cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 10 - boe beng tjoe -terakhir-

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 10 - boe beng tjoe -terakhir-

JILID 42
Su Kay maju satu tindak. untuk mendampingi si nona. "Nona,
apakah nona menyangsikan loolap?" ia tanya perlahan.
"Didalam Siau Lim Sie taysu adalah yang paling sadar" sahut Soat
Kun. "Tentang taysu telah aku dengar dari bengcu kami."
"Sebenarnya loolap mencurigai kematian Su Hong Suheng, ketua
kami yang terdahulu itu," Su Kay memberitahukan. "Ketika
kedelapan belas partai menyerbu Pek Ho Bun, loolap tidak berdaya.
Loolap bersendirian saja. Kalau loolap menentang, mungkin loolap
mendapat susah..."
"Tapi kemudian" tanya si nona "apakah terus taysu tidak
menyelidikinya lagi?"
" Walaupun tatkala itu loolap berdiam saja. Diam diam loolap
membuat penyelidikan. Sampai saat ini sudah lewat belasan tahun,
tetap loolap tidak memperoleh hasil apa apa...."
"Apa saja yang taysu pernah dapatkan?" nona Hoan bertanya
pula.
"Apa yang loolap dapatkan adalah tidak jelas. Loolap merasai
suatu pengaruh rahasia yang lagi meluas menjalar, hanya itu tak
tampak wujudnya, jadi sulit untuk memastikannya," pendeta itu
menerangkan-
"Apakah taysu belum pernah berpikir bahwa pengaruh itu dapat
menjalar kedalam Siaw Lim Sie kalian?" Soat Kun tanya.
"Bicara sebenarnya Siecu, loolap bercuriga dalam halnya It Tie
sutit berhasil memperoleh kedudukan ketua partai kami. Hanya saja,
sebelum ada bUktinya, loolap tidak berani membUka mulut."
"Didalam para tiangloo kalian, taysu apakah ada orang atau
orang orang yang sependapat dengan taysu?"
"Menurut perasaanku, banyak yang berpikiran seperti loolap itu,
cuma mereka itu sangat berat terhadap nama baik dari partai kami,
tak ingin mereka keburukan itu tersiar dimuka umum, maka juga
walaupun hati mereka curiga, dimulut mereka tidak mau
mengeluarkannya .... "
"Bagaimana dengan Su Khong Taysu?"
"Kakak seperguruanku ituselalu menutup diri, ia tidak pernah
memperhatikan urusan itu...."
Selagi mereka bicara itu, mereka sudah memasuki halaman
penuh pohon bambu dari pendopo Tay Jiak Ie itu, maka waktu
mereka mulai memasuki ruang, Su Kay jalan mendahului kepalanya
tunduk. alisnya turun. Siauw Pek memimpin rombongannya
mengikuti pendeta pengantar itu. Mereka bertindak naik ditujuh
undakan tangga batu sebelum mereka memasuki hudkok, ruang
dalam dari pendopo itu.
Didalam ruang, orang paling dulu disambut bau harum dari hio
wangi, yang asapnya mengepul bergulung gulung. pada kedua sisi
timur dan barat tampak dua baris poutoan, yaitu alas tempat duduk.
Disebelah timur, terdapat sembilan buah lainnya, dan didepan itu
berdiri berbaris delapan pendeta dari tingkat huruf "Su". Ketika Su
kay tiba disitu, langsung ia menghampiri pou toan yang kesembilan
yang masih kosong.
Su Khong Taysu menanti sampai para tamunya sudah memasuki
ruang, ia menyambut sambil mengunjuk hormat dan mengundang
dengan manis: "Siecu sekalian, silahkan duduk" Lain- lain tiangloo
juga menunjukkan sikap ramah mereka.
Siauw Pek mengucapkan terima kasih sambil ia menjura dalam,
setelah itu, ia bertindak kepoutuan pertama disebelah barat, dimuka
itu ia berdiri diam dengan sikapnya meng hormat. Soat Kun dengan
dibantu adiknya menghadapi penonton di dekat ketua itu.
Ban Liang dan yang lainnya segera mengambil tempat masingmasing,
semua duduk dengan tenang dan rapih. Sikap sopan santun
dari mereka itu mendatangkan rasa hormat dari para tuan rumah.
Selama itu, Su Kong Taysu tunduk memandangi lantai, ia
berdiam saja, sesudah para tamunya mengambil tempat duduk
dengan rapi. Baru ia memulai bicara. Suaranya sabar dan tegas.
Berkata ia: "Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, ketua kami Suhong
Suheng, bersama ketua- ketua dari Bu Tong Pay, dan Khong Tong
Pay telah berkumpul dipuncak Yan In Hong di gunung Pek Masan
untuk berapat. Pada suatu hari tiba-tiba saja mereka telah di serbu
musuh hingga semua terbinasa. Tatkala berita itu tiba dikuil kami,
semua murid bergusar sekali. Maka juga pantaslahjika mereka
mengambil tindakan membuat pembalasan sakit hati."
"Itulah hal yang selayak" kata Siauw Pek. "Sudah umum, kalau
ada penasaran, penasaran itu harus dilampiaskan, dan jikalau ada
sakit hati, sakit hati itu harus dibalaskan"
Habis mengucap begitu, ketua Kim Too Bun itu tampak sangat
berduka, karena kembali dlingatkan saat naas dari ayah bundanya,
serta orang-orang desanya. Ia tunduk dan menarik napas.
Su Khong Taysu dapat mengerti keharuan pemuda itu.
"Sebenarnya" katanya lebih jauh. "Kami pihak Siauw Lim Sie,
orang-orang beribadat, jika kami menghadapi soal saling bunuh,
soal hutang darah bayar darah, harus kamu memikir panjang dan
dengan seksama...."
Nona Hoan tidak menanti Siauw Pek membuka mulut, ia
mendahului, katanya:
"Dalam peristiwa dahulu itu, semua orang telah kena
diperdayakan dan dipermainkan. Tapi didalam hal itu, ketua kami
berpenasaran secara kecewa sekali. Bahwa sekarang ketua kami
sedang berikhtiar, itulah untuk peri keadilan kaum Bu Lim. ketua
kami itu memikir hanya soal melenyapkan ancaman malapetaka
besar. pada itu, ketua kami tidak membawa-bawa urusan
pribadinya"
"Para Siecu," berkata Su Khong, "Tentang pribadi kalian, loolap
telah mengerti baik sekali Urusan kalian tentang sepak terjang
kalian disini, telah loolap memakluminya."
"Taysu, taysu sangat mengangkat tinggi kepada" kata Siauw Pek
merendah.
Su Khong diam beberapa saat, baru ia berkata pula: "Dipuncak
Yan in Hong itu, empat ketua telah menemui ajalnya dengan
serentak" demikian katanya. "Peristiwa itu amat menggemparkan
dunia Kang ouw. Telah ada bukti dari keempat jenasah, bukti yang
kuat sekali. Sekarang timbul kecurigaan, kecurigaan yang
memerlukan bukti yang kuat sekali......"
"Sekarang bukti sudah ada, walaupun mungkin belum cukup,"
berkata nona Hoan tawar. "Biarpun kuat, bukti pihak sana harus
dirobohkan"
"Nona besar. Walaupun demikian, kita harus berhati-hati....."
"Taysu, apakah taysu masih curigai Han in taysu ini?" si nona
bertanya.
"Loolap bukannya curiga tetapi menghendaki kenyataan Han in
Taysu telah bagaikan hidup kembali, maka menurut loolap.
tugasnya yang utama ialah ia harus lekas-lekas pulang ke Ngo Bie
san, untuk membersihkan partainya, agar murid murtadnya itu
terhukum, supaya dilain pihak. ia mengambil alih pimpinan atas
partainya itu. Selesai itu, yaitu membangun kembali partai sendiri,
seharusnya Hak in Taysu mengadakan undangan umum,
mengumpulkan semua orang Bu Lim, guna membeberkan duduk
kejadian, setelah mana barulah bersama-sama di mulai tindakan
menghukum para penjahat lain partai. Untuk akhirnya kita bersama
menghadapi sepak terjang Seng Kiong."
"Itulah benar" berkata Han In Taysu nyaring.
"Loolap bicara dari hal yang pantas, mulai dari pribadi baru
kepada umum," Su Khong berkata pula. "Han in Taysu tak mati
karena kecelakaan itu, mana dapat ia membiarkan musuhnya hidup
berkuasa terus? Kenapa dia bukan mengurus pembalasannya sendiri
tetapi dia datang kemari untuk membantu Siauw Lim Sie?"
Su Ie menyambungi kakek seperguruannya itu. Katanya: "Jikalau
Han in Taysu, setelah lolos dari bencana, kemudian muridnya yang
jahat itu, guna mengambil pulang kekuasaannya selaku ketua, maka
tindakannya itu pasti akan menggemparkan dunia Kang ouw, maka
waktu itu pastilah kami dari kaum Siauw Lim Pay, kami akan
mencurigai ketua kami. Dipihak Bu Tong Pay dan Khong Tong Pay
juga pasti bakal terjadi pergolakan didalam, guna membersihkan
perkara tak wajar itu yang telah berjalan hampir dua puluh tahun.
Dengan begitu para giecu tak usah sampai kalian bergerak hebat
sampai kemari, ke kuil Siauw Lim Sie kami yang tua ini, hingga
sekarang banyak terjadi salah mengerti"
Kata- kata Su Khong dan Su ie masih bagaikan tak mau
mengakui atau tetap menyalahi, tindakan Han in Taysu, akan tetapi
kata-kata itu beralasan- Maka itu, sulit untuk menentangnya. Maka
Siauw Pek lalu berpikir: "Mereka ini berpiklr tetap tanpa
menunjukkan bukti yang lebih kuat, mungkin sulit
menyadarkannya." Selagi ia berpikir, Siauw Pek mendengar suara
Soat Kun.
"Para taysu, kalian cuma tahu satu, tidak tahu dua." demikian
kata si nona.
"Bagaimana, nona?" sahut Su Khong hambar. "Loolap mohon
penjelasan?"
"Tempat dimana Han In Taysu dikurung ialah wilayah propinsi
Hoolam."
"Maafkan ketololan loolap. Siecu" kata Su Khong. "Loolap mohon
penjelasan lebih jauh. Loolap masih belum menangkap maksud
Siecu."
"Han In Taysu lolos dari kurungan karena ia mendapatkan
bantuan Kim Too Bun hingga sekarang ia merdeka bebas."
"Masih Loolap kurang mengerti, Siecu. Adakah sangkut paut
peristiwa dulu itu dengan yang sekarang ini?"
"Seng Kiong Sin Kun bercita-cita besar, dia menguasai kalangan
Bu Lim, agar dia itu menjagoi dalam dunia. Untuk itu dia telah
bersiap selama dua puluh tahun. Dan sekarang dia telah mulai
bergerak. dia maju setindak demi setindak."
"Silahkan bicara lebih lanjut, Siecu."
"Ketika Han In Taysu bebas, yang pertama-tama dipikirnya ialah
pulang ke Ngo Bie San untuk membersihkan partainya sendiri guna
menghukum murid-muridnya yang mendurhaka itu, buat mengambil
pulang kekuasaannya, sesudah itu baru ia memikir untuk
menghadapi musuh besarnya, yang membuat partainya bercelaka
dan dirinya tersiksa. Apa mau telah ternyata, musuhnya terlalu
tangguh dan sudah mulai bekerja pula. GUnung Ngo Bie San betapa
jauh di Pak Siok.jauh laksana lie, mana dapat Han In Taysu pulang
kesana? Itulah membutuhkan sangat banyak tempo dan berabe
sekali, sedangkan sang waktu sudah sangat mendesak. Apa lagi
satu kesulitan lain, ialah sejak peristiwa Yan In Hong itu, Ngo Bie
Pay kini telah menjadi lemah, maka kalau Han In Taysu pulang
kegunungnya, tak dapat ia bekerja seorang diri, tak sanggup ia
bekerja besar."
Bicara sampai disitu, Noha Hoan menghela napas, untuk
melegakan hati. Selang sejenak baru ia menambahkan, katanya:
"Sementara itu kami dari pihak Kim Too Bun, kami mengingat Siauw
Lim Pay. Sejak dahulu, Siauw Lim Pay biasa menjadi pemimpin
kaum Bu Lim Bay paling maju dan kuat? Terutama para taysu dari
huruf "Su" merekalah orang-orang tua yang beribadat dan liehay,
yang semua berhati mulia dan bijaksana."
Mendengar kata-kata yang berupa pujian itu merah muka Su
Khong.
"Amida Buddha Siecu terlalu memuji, tak sanggup loolap
menerimanya." katanya seraya merangkapkan tangannya. Ia jengah
sekali. Sebaliknya, dibalik cela, wajah si nona tak nampak. Soat Kun
berkata terus, tetap dengan sabar:
"oleh karena itu, maka kami dari pihak Kim Too Bun, kami
berpikir untuk mengambil langkah pertama, yaitu kami memikir
meminta bantuan Siauw Lim Pay. dalam hal ini, kami mau minta
bantuan taysu sekalian kami andalkan kepada Sang Buddha yang
murah hati dan penyayang. Kepada tianglo sekali yang termana
besar dalam dunia Bu Lim. Kamipercaya ka la u taysu sekalian
membuka suara menyerukanpara orang gagah untuk berkumpul
dan bekerja sama, pasti mereka a kan datang memenuhipanggilan
itu untuk menentang Seng Kiong Sin Kun, Han In meng ins aft
bahaya yang mengancam dunia Bu Lim itu, ia merasa malu pula
terhadap Kim Too Bun yang pernah menolongnya, maka waktu kami
mengajaknya kemari, ia segera menerima baik. I a rela
menyampingkan dahulu kepentinganpribadinya. Tapi sekarang taysu
sekalian mencurigai kami sungguh kami menyesal."
Mendengar kata- kata si nona, para tianglo itu malu pada dirinya
sendiri. Mereka merasa bahwa mereka bercuriga tanpa alasan-
Mereka juga malu mengingat mereka memang pendeta-pendeta tua
dan luhur. Sudah selayaknya kalau mereka bekerja sama
menyingkirkan ancamanpetaka untuk dunia Bu Lim seumumnya.
Beberapa kali Su Khong mau bicara, saban-saban ia gagal.
Hingga si nona mendahuluinya .
"Taysu" tanya Soat Kun "Ketika dahulu mendiang Su Hong Taysu
berangkat ke Yan In Hong, ia mengajak berapa orang murid?"
Siauw Pek tidak dapat menerka hati si nona, karena itu ia heran
mendengar nona itu bertanya demikian-Paras Su Khong nampak
terharu.
"Ketika itu hari Su Hong sutee berangkat dia hanya mengajak
dua orang pengikut, yaitu It Tie dan It ceng kedua muridnya. It Tie
adalah ketua kami yang sekarang."
"Sutee" ialah adik seperguruan, maka itu Su Hong Taysu,
mendiang ketua Siauw Lim Pay itu, menjadi adik seperguruan Su
Khong.
"Ketika It Tie dan It ceng lari pulang ke Siauw Lim Sie, apakah
mereka teriluka parah?" tanya Nona Hoan pula.
Su Khong melengak. "Mereka tak terluka" sahutnya.
Soat Kun berkata pula dingin: "Taysu, pernahkah taysu memikir
tentang bagaimana kuatnya kalau keempat ketua partai dari Siauw
Lim, Bu Tong, Ngo Bie dan Khong Tong bekerja sama? Musuh yang
bagaimanakah tangguhnya yang sanggup dengan sekali pukul
membinasakan mereka itu berempat? Mengapakah tidak ada
seorang ketua yang membebaskan diri dan juga yang lolos
sedangkan mereka masing-masing lihay luar biasa? Mengapa It
ceng yang ilmu silatnya masih lebih rendah dapat kabur pulang
dengan kaki tak kuntung dan tangan tak kuntung, bahkan tanpa
luka sama sekali? Bukankah itu luar biasa?"
Muka Su Khong bersemu merah, lalu ia menghela napas.
"Hal ini memang aneh." bilangnya. "Dahulu pun pernah loolap
merasa curiga, selayaknya taysu menyelidikinya."
"Ketika itu loolap lagi sangat berduka, pikiranku suram, sekalipun
loolap curiga, loolap hanya memikirkan hal musuh saja. Loolap pikir,
musuh tentu mengarah para ketua, jadi mereka membiarkan
sekalian murid lawan-lawannya."
Nona Hoan berkata pula. Ia tertawa dingin. Katanya: "Taysu,
pernah kah taysu memikirkan ini? Murid-murid keempat partai
melihat sendiri guru-guru, atau ketua-ketua mereka dibinasakan
orang secara demikian kejam, kenapa tidak ada satu juapun dari
mereka yang membela? Kenapakah tidak ada satu muridpun yang
berkorban untuk membela guru mereka? Tidakkah inipun
mencurigakan?"
Kembali Su Khong melengak. pada akhirnya, ia tersenyum sedih.
"Pikiran Siecu bukannya tak benar." sahutnya, "Hanya saja....."
Soat Kun memotong. Katanya: "Mungkin aku bicara terlalu keras.
Tapi akupun tak dapat menguasai ketegangan hatiku sendiri. Murid
siapa yang menyaksikan gurunya dibinasakan demikian kejam tetapi
masih dapat kabur dengan selamat, bahkan terus dapat
menggantikan gurunya menjadi ketua partai? Tidakkah para taysu
didalam peristiwa itu, hati taysu terlalu sangat terbuka?"
Para Tionglo itu terdiam. Bukan main kagumnya mereka atas
kepandaian bicara sinona. Lebih dahulu daripada itu, mereka sudah
mengagumi ilmu silat Siauw Pek. Kiranya Kim Too Bun mempunyai
orang-orang yang lihay.
"Siecu, kau membuat kami semua kagum sekali," kata Su Kay
Taysu kemudian-
"Maaf taysu," berkata si nona. "Aku berkata selalu begini buat
kebaikan dunia Bu Lim. Kami terpaksa menempuh bahaya untuk
menghadap para Tiongloo, untuk mengajukan permohonan kami
ini."
Su Kay mendahului suhengnya Su Khong Taysu menjawab
sinona. Katanya: "Jikalau Kim Too Bun tak tahu takut menentang
Seng Kiong Sin Kun, maka buat dunia Bu Lim, kami dari pihak Siauw
Lim Pay, kami bersedia mengikuti Siecu beramai, untuk memberikan
tenaga kami yang tidak berarti. cuma......."
"Jangan bersangsi, taysu" Soat Kun menyela. "Kami tak
mempunyai maksud lain lagi. Langit dan bumi menjadi saksinya"
"Jika demikian, Siauw Lim Sie suka bekerja sama......."
"Bekerja sama mudah, asal orang berlaku bersungguh-sungguh
dan jujur" si nona kembali memotong.
"Jikalau orang tak dapat mengutarakan itu seCara terbuka, dia
dapat berjanji didalam hatinya sendiri."
Mendadak Su Khong menatap tajam nona itu dia bagaikan
hendak menembusi Cala dimuka si nona.
Soat Kun tahu sikap sipendeta. Sout Gi telah
memberitahukannya. Ia pula tidak mendengar suara pendeta itu.
"Apakah taysu menganggap kata- kata ku tak tepat?" tanyanya.
"Kata-kata nona terlalu tajam" jawab pendeta itu.
Soat Kun dapat menerka bahwa orang telah berubah pikiran-
Maka ia berkata pula: "Taysu, manakah It Tie? Kita tengah
membicarakan urusan dunia Bu Lim dalam mana Siauw Lim Sie pun
bersangkutpaut, sudah selayaknya saja kalau dia hadir disini"
Tapi Su Khong berkata tawar: "Urusan Siauw Lim Sie, Tiang Loo
Hwee dapat mengurusnya sendiri Kalau nona hendak bicara apaapa,
sampaikan saja pada loolap"
Perkataan sipendeta membuat si nona menduga sesuatu.
Mungkin ada apa-apa didalam Siauw Lim Sie. Lekas-lekas ia
menoleh pada Su Kay Taysu. Ia tidak bisa melihat tapi adiknya
dapat mengisikinya.
Paras Su Kay nampak guram. Segera terdengar dia berkata: "It
Tie sudah bertindak sembrono dan lancang. Dia membuat Siauw
Lim Sie mendapat malu, dia pula merusak diri sebagai penganut
Sang Buddha. Maka itu, Tiang Loo Hwee telah memutuskan menarik
pulang tongkat Lek Giok -hung dari tangannya."
Tiba-tiba saja pendeta itu menghentikan kata- katanya. Mungkin
dia malu orang luar mengetahui keruwetan didalam Siauw Lim Sie
sendiri. "Lek Giok Hung thung," yaitu "tongkat suci kemala hijau",
adalah tongkat kebesaran ketua Siauw Lim Sie.
Nona Hoan sangat cerdas. Kata-kata Su Kay membuat ia percaya
bahwa Tiang Loo Hwee sudah bertindak. bahwa It Tie sudah dipecat
selaku ketua, atau mungkin pendeta busuk itu sudah dipenjarakan,
tinggal perkaranya diperiksa dan diputuskan saja.
Tengah kedua belah pihak itu berdiam, sekonyong-konyong
mereka mendengar suara genta nyaring dan gencar.
Su Thong terkejut, air mukanya berubah. Segera dia menoleh
kepada Su Kay. "Genta itu datangnya dari chong Keng Kok, su Kay
sutee, lekas kau......"
Itulah suara ketua Tiang Loo Hwee itu, yang terputus dengan
tiba-tiba disebabkan munculnya seorang pendeta secara tergesagesa.
"Ada apakah?" tanya tiangloo itu, kaget dan heran-Napas
pendeta itu, yang usianya setengah tua, memburu keras.
"Harap sutee ketahui....." sahutnya susah. Ia pun berkeringat.
"Lekas bicara" bentak Su fe.
"ciangbun suheng....." katanya, kembali terputus. Kali ini dia
menoleh pada rombongan Siauw Pek.
Su Khong menerka jelek. lekas ia berkata pada Siauw Pek. "Maaf
Siecu, silahkan duduk saja. Loolap ingin mengundurkan diri
sebentar."
"silahkan taysu," kata Siauw Pek cepat. Pemuda inipun curiga.
"Maaf.." pendeta tua itu berkata pula, terus ia memberi hormat
dan segera mengundurkan diri. Su Ie dan Su Kay semua mengikuti
ketua Tiong Loo Hwee itu.
Setelah kesembilan Tiongloo tak tampak pula, Ban Liang berkata
perlahan- "Meski telah terjadi perubahan besar dalam Siauw Lim
Sie."
"Tentulah itu mengenai diri It Tie" kata Giok Yauw.
"Nona Hoan," berkata Kho Kong. "coba terka, kejadian apakah
itu?"
Soat Kun tersenyum. Dia balik bertanya: "Kalau Kho Huhoat yang
menjadi ketua Siauw Lim Sie itu, didalam keadaan seperti sekarang
ini, apakah tindakan huhoat?"
Khu Kong melengak.
"Andaikata aku menjadi It Tie Hweeshio, maka..." sahutnya
terputus.
Nona Hoan tersenyum lagi. Ia berkata pula: "Rahasia sudah
pecah, tongkat kekuasaan sudah diambil pulang, hak sudah
ditiadakan. Bahkan diri berada dalam kurungan, tinggal nantikan
putusan saja, tinggal nunggu hukuman-....."
"Kalau begitu, terimalah nasib dan menanti hukuman saja......"
kata Kho Kong.
"Benar, diri telah terkurung, tetapi masih ada kesempatan bisa
lolos, bahlan masih mempunyai konco-konco, kalau kau bagaimana
kau akan berbuat?" tanya si nona pula.
Ciuk Yauw menalangi kawan itu menjawab: "Sampai sebegitu
jauh, sederhana saja: Lakukan perlawanan"
Ban Liang tertawa. Ia Campur bicara: "Di sisi sembilan tiangloo
juga ada rombongan kita, dengan kita kedua belah pihak bekerja
sama, walaupun nyali It Tie besar, tak nanti dia berani berontak....
"Jikalau berontak tidak berani, ajaklah konco-konco kabur" kata
Kho Kong. "Terbang pergi tanpa pamitan lagi"
"Mudahkah untuk kabur beramai-ramai?" tanya nona Hoan-Kho
Kong melengak sejenak, terus ia tertawa. "Kalau begitu, gunakanlah
api, bakar habis" katanya.
"Menggunakan api dapat merugikan diri sendiri."
"Kalau aku bergerak dahulu" kata Giok Yauw.
"Kalau bergebrak dahulu, itu artinya kabur juga . Perbuatan
demikian mirip perbuatan seorang istri yang buron yang membawa
kabur barang-barang halus milik suaminya....."
"Siauw Lim Sie tersohor, ada tujuh puluh dua kepandaiannya,"
berkata pula Kho Kong. "Kabur, sekalian saja bawa kabur kitabkitabnya
pelbagai macam ilmu silat itu......"
Pembicaraan mereka ini terputus dengan tibanya Su Kay.
Pendeta itu datang sambil berlari-lari, mukanya menunjukkan
kegusaran beserta berduka, tangannya mencekal sebatang tongkat
besi panjang.
Siauw Pek semua bangkit untuk menyambut. Siakan muda
bertanya: "Taysu membawa senjata, apakah ada sesuatu urusan
besar?"
Su Kay melirik tongkatnya itu, ia menghela napas panjang.
"Siecu benar," katanya. Siauw Lim Sie telah menemui
kenaasannya, kenaasan yang belum pernah terjadi selama beberapa
puluh tahun."
Mendengar itu semua orang berdiam, cuma mata mereka
mengawasi pendeta itu. Su Kay menatap Siauw Pek.
"Ketika sedang mendatangi kemari, loolap mendengar sebagian
pembicaraan Siecu beramai," ia kata pula. Siauw Pek merasa
kagum.
"Liehay tenaga dalam pendeta ini," katanya didalam hati.
"Selama berjalan, dia telah mendengar pembicaraan kita." Lalu ia
berkata: "Maaf, taysu, kami bicara sembarangan saja."
Su Kay menggelengkan kepalanya.
"Walaupun Siecu bicara sembarangan, tetapi itulah hal yang
benar," sahutnya, berduka. "Siecu beramai menerka tepat." Siauw
Pek terkejut.
"Taysu maksudkan It Tie," katanya terputus.
Diantara musuh- musuh Coh Siauw Pek. It Tie ialah satu
diantaranya. Sekarang musuh itu kabur, sianak muda terperanjat,
menyesal dan mendongkol, hingga hampir ia melompat untuk lari
mengejar.
Su Kay dapat menduga pikiran anak muda ini. Duduk
peristiwanya, "begini Siecu," ia memberi keterangan: "It Tie kabur
sesudah dia menghajar mati pendeta yang ditugaskan menjaga
cong Keng Kok, ranggon perantai menyimpan kitab-kitab kami. Dia
telah membawa pergi semua kitab simpanan itu. Inilah bencana
baru sekali dialami partai kami. Ini pula satu pukulan sangat hebat.
Kami semua menjadi sangat gusar maka kami telah bersumpah, tak
puas kami sebelum kami membinasakan manusia jahat itu serta
merampas kembali semua kitab"
Ketua Kim Too Bun tercengang.
"Jikalau aku tidak salah artikan, taysu." katanya. "Bukanlah
maksud Siauw Lim Pay supaya kami jangan Campurkan urusan
kalian itu?"
"Itulah permintaan yang tak selayaknya, harap Siecu sekalian
memakluminya." jawab si pendeta memastikan-
Giok Yauw tidak puas. Ia memperdengarkan suara dihidung.
"Sebenarnya kalian bersiaga terhadap kami." katanya. "Kalian
kuatir kami menangkap ikan didalam air keruh kalian takut kami
merampas kitab-kitabmu itu"
Muka Su Kay berubah menjadi merah.
"Dapat Siecu menerka begitu, tetapi tidak ada maksud loolap
mengatakan demikian," katanya. "Peristiwa ini menjadi satu malu
besar bagi partai kami, maka kami hendak mengurusnya hingga
beres. Kami mau bekerja dengan sekuat tenaga kami. Jikalau kami
minta bantuan orang lain, umpamanya semua kitab berhasil
dirampas kembali, kami malu terhadap leluhur partai kami"
"Baiklah" sahut Siauw Pek kemudian, sesudah ia berpikir.
"Dengan memandang kepada taysu, kami berjanji tidak akan
mencampuri urusan partai ini. Tetapi, hendak aku jelaskan, kalau
kelak dibelakang hari apa mau kami berpapasan dengan It Tie tidak
nanti kami lepaskan dia"
Su Kay mengangguk. ia memberi hormat. "Terima kasih, Siecu"
Sampai disitu, mendadak Nona Hoan bertanya: "Taysu, It Tie
kabur dengan membawa berapa banyak pengikut?"
Su Kay melengak atas pertanyaan itu. Ia harus mengakui
kecerdikan orang-orang Kim Too Bun ini.
"Ia mengajak lebih daripada lima puluh orang. Diantaranya ada
tujuh orang dari golongan huruf "It". Yang lainnya dari tingkat
ketiga dan keempat."
"Untuk menyusul mereka itu, taysu menggunakan berapa banyak
orang?" tanya Nona Hoan pula.
"Tak kurang dari seribu orang," menjawab su Kay, yang terus
memutar tubuh, buat berlalu. Ia berjalan dengan perlahan-
Siauw Pek jalan berendeng dengan pendeta itu. Ban Liang dan
lainnya mengikuti disebelah belakang. Baru beberapa tindak. si anak
muda, yang telah berpikir. Berkata kepada Su Kay: "Taysu
kehilangan barang, pasti taysu ingin lekas-lekas menyusul orangorang
jahat itu, guna menawan mereka. Karena itu, baiklah taysu
berangkat lebih dahulu. Kami beramai dapat turun gunung dengan
berjalan perlahan-lahan-"
Su Kay mengangguk, tetapi ia berkata: "Beberapa kakak
seperguruanku telah melihat bahwa peristiwa ini adalah permulaan
dari bencana kaum Kang ouw, bahwa karena kejadian didalam
partai kami, pastilah Seng Kiong Sin Kun bakal bergerak guna
mewujudkan usahanya mengacau dunia, supaya benar- benar dia
berhasil menguasai dunia Bu Lim"
"Itulah taysu, pandangan yang sama dengan pandangan kami,"
kata Siauw Pek.
"Siecu, loolap dan kakak-kakak seperguruanku mengagumi Siecu
buat sepak terjang Siecu sekarang ini," Su Kay berkata pula. "Siecu
tak kenal bahaya dan penderitaan, Siecu berusaha keras mencari
kawan diantara pelbagai partai, guna sama-sama menghadapi orang
jahat. Usaha Siecu ini bukan melulu mengenai kita kaum Bu Lim
tetapi juga untuk rakyat jelata. Kami pula berterima kasih yang
Siecu telah membeber rahasia It Tie itu....."
"Kalau kalian berterima kasih, kenapa kalian mengurung kami
didalam penjara batu?" pikir Kho Kong dan Oey Eng mendongkol.
"Siecu, ingin loolap menyampaikan pesan kakak seperguruanku.
Su Khong suheng," Su Kay berkata lagi. "Suhengku itu berkata,
kalau ganti urusan kita sudah selesai, suka Siauw Lim Pay kami
membawa Siecu, sebab Siecu mau bekerja guna umum....."
"Terima kasaih, taysu," berkata Siauw Pek, memberi hormat.
"Harap suheng kalian itu tidak mengatakan begini. Kami harus malu
karenanya."
"Siecu merendah saja. Kami tahu Siecu gagah dan si nona
cerdas, sedangkan kawan- kawan Siecu semua sama gagahnya.
Adalah untungnya dunia Kang ouw dengan munculnya Kim Too Bun
Siecu ini?"
Muka si anak muda merah. "Taysu terlalu memuji" ia merendah.
"Tidak Siecu. Nah, harap Siecu memaklumi yang kami hendak
mencari dahulu si orang jahat. Untuk menghukumnya, guna dapat
merampas pulang kitab-kitab pusaka kami"
"Persilahkan, taysu Tindakan Siauw Lim Pay ini sudah
sepantasnya saja"
"Terima kasih, Siecu. Hatiku tenang sekarang. Lalu......"
"Apakah lagi, taysu?"
"Hendak aku memberitahukan satu hal."
"Apakah itu?"
Pendeta itu menghela napas.
"Benar partai kami tidak dapat membantu sepenuhnya kepada
Kim Too Bun akan tetapi itu bukan berarti bahwa kami menaruh diri
kami diluar garis."
"Tolong jelaskan, taysu."
"Inilah pesan Su Khong, kakak seperguruanku itu. Loolap
diperintah mengikuti Siecu beramai, buat bekerja guna kebaikan Bu
Lim. Loolap akan menerima perintah Siecu, walaupun loolap mesti
menyerbu api"
Siauw Pek tercengang bahkan heran. "Mana dapat, taysu,"
katanya.
"Perintah suhengku tak dapat loolap tentang." Su Kay terangkan.
"Suheng bahkan menandaskan, selama Seng Kiong Sin Kun belum
tertumpas, selama dunia Bu Lim belum bersih dan aman, selama itu
juga loolap termasuk orang Kim Too Bun- Walaupun kepalaku
kuntung dan darahku berhamburan, tak dapat loolap mundur
setengah jalan Suheng juga memberitahukan, setelah beres urusan
rumah tangga kami. Ia akan mengepalai semua muridnya akan
menyusul Siecu, agar dapat membantu sepenuhnya kepada Kim Too
Bun"
"Bersatu hati bersatu tenaga, bersama-sama menentang musuh,
itulah sudah selayaknya," berkata Siauw Pek. "Akan tetapi apakah
kebijaksanaanku, maka juga aku berani menempatkan diri diatasan
kalian, taysu?"
"Itu lain soalnya, Siecu." menjelaskan Su Kay. "Didalam
pergerakan, kalau suatu urusan tidak disatu tangan, kalau perintah
bukannya satu, itu artinya tak akan berhasil"
Siauw Pek melengak saking herannya.
"Loolap pula hendak memberitahukan satu hal," Su Kay
menambahkan. "Sejak sekarang ini diriku sendiri hendak aku
serahkan pada Kim Too Bun, guna turut dalam usahanya. Andaikata
Siecu tidak menampik, suka aku bekerja buat selama lamanya. Atas
nama Buddha kami, hendak aku memastikan bahwa kata-kata
loolap ini bukan kata-kata kosong belaka"
"Taysu......" kata si anak muda, gugup, "Hal ini harus didamaikan
dahulu"
Su Kay menjadi Siauw Lim Sie tingkat huruf "Su" itulah tingkat
tertinggi buat jamannya itu. Ia pula berkenamaan dalam dunia Kang
ouw. Sebab itu sebagai pendeta beribadat dan kenamaan, adalah
luar biasa yang di mesti tunduk dibawah kekuasaan Kim Too Bun
sebuah partai baru. Siauw Pek pula ada seorang pemuda bijaksana,
berat rasanya menerima pendeta itu. Tapi, sebelum sempat ia
menampik terlebih jauh, ia sudah mendengar suara Soat Kun.
Kata Nona Hoan: "Kim Too Bun hendak bekerja guna keadilan
dan kebenaran. Sekarang Su Kay Taysu hendak masuk kedalamnya,
ia tak dapat ditolak. Dengan memasuki partai kita, taysu mau
bekerja guna kebaikan dunia Bu Lim, buat kesejahteraan umum,
tindakannya itu tepat dan sesuai dengan maksud mulia Sang
Buddha"
Mendengar suara si nona, Su Kay menghadapi Siauw Pek, untuk
merangkap tangannya.
"Benarlah apa yang dikatakan Nona Hoan" katanya. "Nyata si
nona mengetahui baik hati ku Nah, bengcu, terimalah hormat
sebawahanmu"
Berkata begitu pendeta itu memberi hormat itu. ia berkata: "Jika
aku tetap menolak. mungkin aku akan dikata mengasingkan taysu.
Maka itu sekarang, aku minta taysu tetap dalam kedudukan orang
yang tertua. Sukalah taysu menjadi pelindung kami mencapai
keadilan buat menolong dunia Bu Lim dari ancaman mara bahaya"
Sampai disitu, lalu muncul satu soal baru, karena ia diterima
dalam Kim Too Bun, berbicara dengan Siauw Pek, sang ketua,
bengcu, Su Kay membahasakan diri sebagai "Siok hee," sebawahan.
Sebutan ini ditolak Siauw Pek. sebab pendeta itu telah berusia lanjut
dan dia pula pendeta kenamaan dari Siauw Lim Sie. Dilain pihak, Su
Kay tetap memaksa juga , sebab katanya, itulah sudah sepantasnya.
Ban liang campur bicara, sambil tertawa ia berkata: "Sebenarnya
Kim Too Bun bukan berarti parta iseumumnya. Kami baru saja
membangun diri, maksudnya cuma untuk menegaskan wajah kami.
Tanpa suatu sebutan, susah buat kami bekerja. Siauw Lim Pay lain
sifatnya. Taysu menjadi pendeta beribadat dan agung dari Siauw
Lim Pay, kurang tepat taysu menjadi sebawahan ketua kami. Apa
kata semua murid Siauw Lim Sie lainnya nanti?"
"Sudahlah, hal ini tak usah diperpanjang." Soat Kun campur
bicara, suaranya tawar. "Taysu memasukkan diri secara sukarela,
taysu benar. Bengcu hendak menolak sebutan, bengcu juga benar.
Alasan bengcu terlebih tepat, karena bengcu hendak menjaga
nama, supaya kelak dikemudian hari tak nanti ada yang
mengatakan ia mau mengangkat diri umpama Seng Kiong Sin Kun."
"Tapi," berkata Su Kay. "Loolap menuruti bukan dimulut saja....."
"Demikian adanya, itulah keberuntungan dunia Bu Lim" berkata
pula Nona Hoan, tetap tawar.
Siauw Pek heran akan nada suara si nona. Tak sungkan-sungkan
Soat Kun terhadap Su Kay. Itulah bukan kebiasaan nona itu berlaku
tawar.
"Mungkinkah sikap nona ini ada sebabnya?" tanyanya didalam
hati. "Biarlah lain waktu, bila saatnya telah tiba, aku akan minta
keterangannya...."
orang berbicara sambil jalan. Tak lama, keluar sudah mereka dari
pintu gereja. Disepanjang jalan itu mereka cuma menemui kacungkacung
serta pendeta-pendeta yang sudah tua-tua. Nampaknya
Siauw Lim Sie kosong, suasana sunyi sekali. Siauw Pek melihat
kelangit, lalu sekitarnya.
"Bagaimana sekarang?" tanya bengcu itu. "Siapakah yang
mempunyai saran?"
"Loolap." menyahut Han in Taysu. "Apakah itu, taysu? Bicaralah"
Han in memajukan keretanya hingga kesisi ketua Kim Too Bun.
"Untuk sementara loolap ingin pamitan dari bengcu," berkata
ketua Ngo Bie Pay itu. "Loolap pergi paling pama setengah tahun,
paling cepat tiga bukan Habis itu loolap akan mengikuti bengcu
untuk bekerja guna dunia Kang ouw." Siauw Pek heran.
"Apakah taysu ingin pulang kegunung taysu guna membersihkan
partai taysu, buat mengambil alih kedudukan ketua?" tanyanya.
Han in berdiam, terus dia menghela napas dalam. Nampak dia
berduka.
"Sudah lama loolap belum pernah pulang kegunungku,"
sahutnya, masgul. "Loolap pergi sementara peristiwa di Yan in Hong
itu. Entah bagaimana keadaan partai loolap sekarang ini."
Si anak muda mengangguk. Dia mengerti.
"Tak heran kalau taysu kangen dan memikirkannya," katanya.
Wajah ketua Ngo Bie Pay itu suram. Katanya: "Telah loolap
menerima warisan dari guruku almarhum, siapa sangka bahwa
loolap telah menyia-nyiakannya, bahkan tubuh loolap malu....inilah
sebabnya kenapa selama banyak tahun itu loolap menahan malu,
mau hidup terus sampai sekarang ini...."
"Tetapi Thian maha adil, taysu Lihat saja sijahat akan makan
hasil perbuatan busuknya" Siauw Pek menghibur. Han in menghela
napas.
"Benar, bengcu. Loolap bersumpah dengan tanganku sendiri
akan menghukum si murid murtad, guna mengambil kembali
kekuasaanku selaku ketua partai. Kalau tidak, tak ada muka loolap
menemui mendiang guruku yang berada dunia lain Dan dihadapan
para murid yang lurus dan setia, akan loolap umumkan kejahatan si
murtad itu, supaya kemudian loolap dapat memperbaiki partai
loolap itu."
Beda dari pada ketuanya. Soat Kun menggeleng kepala atas niat
Han in pulang kegunungnya itu. Kata nona ini. "Taysu, waktu sudah
berubah, suasana telah salin rupa. Daya taysu ini sudah tak
sempurna lagi."
Mendengar itu, Han in Taysu menatap si nona akan tetapi ia
cuma bisa mengawasi cala nona itu.
"Nona, kau sangat mengagumkan loolap." katanya kemudian-
"Maukah nona memberi petunjuk kepadaku?"
"Taysu, kata-katamu ini sangat memuji aku." berkata Nona
Hoan-
"Loolap bicara dari hal yang benar."
"Taysu, pandanganku begini," berkata sinona kemudian- "Ngo
Bie Pay lain dari pada Siauw Lim Pay maka itu, kalau taysu
bertindak seperti pihak Siauw Lim, kau tentu tak akan berhasil.
Tindakan rombongan Su Kay Taysu itu, didalam tempo yang
pendek. bakal tersiar luas, hingga semua orang mengetahuinya.
Dengan demikian, bukankah telah ada contoh? Apakah Hoat ceng
tak bakal menyediakan payung sebelum hujan turun? pastilah dia
telah bersiap sedia akan menyambut taysu"
"Benar" Oey Eng turut bicara. "Sekarang Hoat ceng mengetahui
Ngo Bie Pay. Dia memegang kekuasaan besar, mudah saja dia
bergerak. Bukankah dia Cerdik dan licik? Taysu pulang seorang diri,
apakah itu bukan artinya menyerahkan diri masuk kedalam jaring?"
"Bicara terus terang, taysu," Ban Liang juga turut bicara. "Taysu
bercacat terutama pada kedua kaki taysu, hingga tak merdeka kau
menggunakan kedua kakimu itu. Sekarang taysu mau mendatangi
tempat berbahaya, mana hati kami dapat lega?"
"Paling benar" Kho Kong berseru, "Kita semua sama-sama pergi
ke Ngo Bie San. untuk menemani taysu dan membantunya
membersihkan partainya"
Semua orang Kim Too Bun bersimpatu kepada ketua Ngo Bie Pay
ini. Hati Han in Taysu terharu.
"Siecu sekalian, terima kasih untuk kebaikan hati kalian" katanya.
"Sekarang ini dunia sedang kacau, Kim Too Bunpun mempunyai
urusan sendiri, maka itu mana dapat kalian pergi keSu coan yang
sangat jauh? Untuk pergi dan pulang, orang harus menggunakan
tempo banyak sekali. oleh karena itu, tak usahlah Siecu sekalian
melakukan perjalanan yang jauh itu......."
Terdengar Soat Kun menghela napas.
"Memang sebenarnya, suasana tak mengijinkan kami semua
turut ke Sucoan," katanya. "Tapi juga tidak tepat untuk membiarkan
taysu pergi pula seorang diri. Sedangkan itu adalah perjalanan yang
berbahaya. Kita harus bersama-sama untuk memikirkan jalan yang
ada kebaikannya buat yang kedua belah pihak. Disamping kita
membereskan urusan dalam dari Ngo Bie Pay, kita juga harus
mendapatkan kesempatan buat mengumumkan orang-orang gagah
yang merdeka, untuk kita bekerja sama menentang Seng Kiong Sin
Kun"
"Benar begitu" Giok Yauw pun campur bicara. "Maka itu nona,
tolong kau pikirkan daya yang sempurna. Apakah daya itu?"
Han in Taysu mengangguk. Dia setuju.
"Nona cerdas sekali, pasti nona dapat memikir jalan yang
sempurna" katanya.
Giok Yauw juga mendesak Nona Hoan- ia sangat ingin membantu
pendeta tua itu, yang menurut kenyataan telah menjadi gurunya,
sebab ia telah diajari ilmu silat pedang dan tangan "Hui Liam Sam
Kiam," dan "Thian Hong Su ciang."
Kemudian Soat Kun bertanya. "Taysu, apakah taysu ketahui,
kecuali Hoat ceng, adakah lain orang yang ilmu silatnya liehay
didalam Ngo Bie Pay?"
Pendeta itu menggelengkan kepala.
"MenyesaL Siecu, tak loolap ketahui. Sejak dianiaya dan
dikurung, loolap asing terhadap partai loolap itu."
Siauw Pek berpaling kepada Su Kay Taysu.
"Dalam hal ini." katanya kepada pendeta Siauw Lim itu. "Mungkin
taysu yang dapat memberi keterangan tentang Ngo Bie Pay itu."
"Bengcu menanyakan, tak dapat loolap tak bicara dengan
sebenar-benarnya." berkata pendeta itu, mengangguk. "Sekarang ini
didalam Ngo Bie Pay ada tiga orang yang ternama, mereka itu
terdiri dari satu bikshu, satu bikshuni dan satu orang biasa saja,
bukan pendeta bukan imam. Mereka itu mendapat sebutan Ngo Bie
Hu hoat Sam ciat."
"Taysu, tahukah taysu nama ketiga orang itu?, tanya Han in. Su
Kay mengangguk.
"si bikshu adalah Ang In dan si bikshuni Cie in," sahutnya.
"Sedangkan siorang biasa ialah Kheng Tan-"
Kembali wajah Han In suram mendengar disebutnya tiga nama
itu, bahkan mereka itu disebut "huhoat sam ciat" artinya "tiga
pelindung hukum yang terliehay".
"Merekalah murid- murid durhaka dari Ngo Bie Pay" katanya,
berduka berbareng mendongkol. "Mereka diusir oleh mendiang guru
kami pada tiga puluh tahun yang lalu. Ang In dan Cieng In diusir
sebab melakukan pelanggaran agama, ilmu silat mereka telah
dihapus. Siapa sangka sekarang mereka muncul pula, malah sebagai
pelindung hukum Ngo Bie Pay"
"Merekalah penunjang yang paling diandalkan Hoat ceng." Su
Kay memberi keterangan lebih jauh.
"Loolap masih mempunyai seorang paman guru namanya ceng
ceng." berkata Han in. "Apakah taysu tahu kalau- kalau dia masih
sehat walaftat?"
"Seng ceng Siansu dapat tak dibuat sebutan selang sepuluh
tahun lebih." sahutnya. "Entahlah sekarang dia masih ada atau
sudah menutup mata." Siauw Pek menghela napas.
"Kalau begitu taysu, lebih baik jangan taysu pulang dahulu." ia
mencegah. "Sekarang justru waktunya si sesat berkuasa dan sijujur
bersembunyi."
Han in Taysu tertawa tawar.
"Buat loolap. hidup atau mati sudah diluar garis" katanya.
"Bengcu," Giok Yauw berkata, "Bagaimana kalau aku turut taysu
pergi ke Ngo Bie Pay?" Siauw Pek tercengang. Itulah pertanyaan
diluar dugaannya.
"Sekarang ini bukan soal pergi atau tidak pergi." ia berkata
sesudah berpikir. "It Tie dari Siauw Lim Sie, Gouw in Cu dari Bu
Tong Pay, Hoot Ceng dari Ngo Bie Pay, dan Shie Siang Hin dari
Khong Tong Pay, merekalah penunjang-penunjang yang paling
diandalkan dari Seng Kiong Sin Kun, sedang tadinya, mereka
menjadi mata- mata didalam keempat partai besar. Soal sekarang
ialah kemana kita harus pergi lebih dahulu."
"Bengcu benar, mari kita pahami soal ini." berkata Ban Liang.
Sampai disitu, semua mata diarahkan kepada Nona Hoan- Ketika
itu si nona tampak sedang tunduk tanpa mengucapkan sepatah kata
perkataan. orang tahu, seperti biasanya, nona itu tengah mengasah
otaknya karena itu, tidak ada jalan yang berani mengganggunya.
Dengan demikian, sunyilah mereka semua.
Lewat kira-kira beberapa menit, tiba-tiba terdengar suara si
nona. "Ada Ada Ada"
Giok Yauw, yang menentang matanya, adalah yang paling dulu
bertanya. "Ada apa nona?"
"Ada jalannya" menyahut Nona Hoan- "Asal semua dapat bersatu
hati melakukannya, dapat kita membuat pertempuran yang
memutuskan dengan Seng Kiong Sin Kun"
Mendengar kata-kata si nona, tiba-tiba orang bagaikan terbangun
semangatnya.
"Lekas bicara, nona" Kho Kong berseru. "Daya apakah itu? Siapa
tidak suka bekerja sama dan atau melakukannya dengan sungguhsungguh.
Dia dapat dihukum menurut undang-undang perang"
Suara pemuda tak sabaran itu disambut sinona dengan
senyuman. Lalu habis itu, kembali ia berdiam.
Menyaksikan demikian, Ban Liang menghela napas.
"Rahasia tak dapat dibocorkan" katanya. "makin rahasia besar,
makin tak dapat sembarangan diumumkan. Demikianlah ajarannya
Cukat Bu Houw. Sudah, jangan ada yang tanya kepada si nona"
"oh, begitu?" berkata Kho Kong.
Mendengar suara si anak muda, semua orang tertawa. Akan
tetapi, didalam hati, semua menerka-nerka. "Daya apakah yang si
nona punyai?"
Tidak lama, Soat Kun berpaling kepada Han In Taysu.
"Taysu" kata ia, Jikalau taysu dapat bekerja menurut pikiranku,
aku percaya Hoat Ceng bersama ketiga pelindung hukumnya itu
akan datang kemari kehadapan taysu, untuk membereskan urusan
rumah tangga Ngo Bie Pay itu......"
"Jikalau itu sampai terjadi, sungguh ringan bagi kita," berkata
Siauw Pek. "Dengan begitu tak usah kitalah yang pergi melakoni
perjalanan jauh ribuan lie itu"
Han In taysu melongo karena herannya, ia menengadah kelangit.
"Berapa lama loolap mesti menanti, nona?" tanyanya.
"Dalam waktu tiga bulan, taysu."
"Tidakkah tempo tiga bulan terlalu lama?" tanya sang pendeta.
"Jika loolap tidak dapat membinasakan murid murtad itu, loolap
akan makan tak napsu dan tidur tak nyenyak" Soat Kun tertawa.
"Untuk berita sampai di Ngo Bie San, buat mereka itu sampai
disini, buat pergi dan kembali, sedikitnya dibutuhkan waktu dua
bulan." katanya.
"Karena itu, tempo tiga bulan itu bukanlah tempo yang lama."
"Suhu, dengarlah aku" berkata Giok Yauw. "Belasan tahun suhu
bersabar.....mustahil tiga bulan tidak?"
Pendeta dari Ngo Bie Pay itu tertawa menyeringai.
"Nona, sudi kiranya kau memberi petunjuk kepadaku," ia minta
kepada Soat Kun-"Sebelum murid murtad itu datang kemari, apa
saja yang loolap mesti kerjakan?"
Sebelumnya menjawab, Nona Hoan memperlihatkan sikapnya
yang sungguh-sungguh.
"Taysu" sahutnya. "Hoat Ceng itu menjadi murid taysu, untuk
menghukum dia, taysu yang mesti turun tangan sendiri"
"Kau benar nona, tapi bagaimana caranya?" Sinona tersneyum.
"Inilah urusan dalam Ngo Bie Pay, orang luar tak berhak
mencampur...."
Han In taysu melengak. tapi segera tampak wajahnya terang.
Inilah karena ia dapat berpikir: "Jikalau murid celaka itu datang
bersama tiga kawannya, seorang diri sulit aku melayaninya. Jika kau
gagal, tidakkah itu membuat penasaran? Dalam mengurus urusan
Ngo Bie Pay ini, aku memang tidak dapat minta bantuan orang lain-
....."
Pendeta ini bukannya seorang tolol, ia segera insyaf. Akhirnya ia
tertawa.
"Giok Yauw" berkata ia kemudian- "Loolap harus melatih dahulu
ilmu silatku Lekas kau pernahkah aku kedalam kereta kuda, kaujaga
agar tidak ada orang yang mengganggu.. Ingat, jangan kau
membuatku menyia-nyiakan yang amat berharga ini" Giok Yauw
gembira sekali.
"Baik suhu" sahutnya. "Murid mu akan mentaati perintah mu"
Tetap nona ini memanggil suhu kepada pendeta tua itu.
Sementara itu tiga buah kereta sudah bercokol ditepi jalan Oey
Ho Ciu Ceng telah menempati salah satu kereta. Karena itu, Giok
Yauw membawa gurunya kesebuah kereta yang lainnya. Ia
membantui gurunya itu naik kereta bersama-sama kursi atau kereta
dorongnya sekalian- Sesudah itu, ia sendiri juga turut naik kedalam
kereta. Menyaksikan lagak nona Thio, Ban Liang tertawa.
"Kata- katamu, nona," katanya perlahan kepada Soat Kun,
"mungkin akan menyebabkan nona Thio menjadi murid dari Ngo Bie
Pay"
Soat Kun senyum. Ketika ia menjawab sijago tua, ia bicara tidak
tentang Giok Yauw, katanya: "Waktu untuk bertempur sudah tak
lama lagi, karena itu membuat kepandaian silat sendiri bertambah
menambah tenaga berperang dan itu juga berarti menambah
harapan buat memperoleh kemenangan"
"Nona benar" Kho Kong turut bicara. "Pelajaran kami juga perlu
dilatih terus"
Siauw Pek mengangguk. ia mengawasi semua kawannya.
"selama menanti ini, apakah yang harus kita perbuat?" tanyanya
"Nona Hoan tentu dapat memberi petunjuk." berkata Kho Kong.
Soat Kun menggelengkan kepala.
"Telah ada yang kupikir, akan tetapi didalam tempo satu bulan
ini, aku hendak melihat suasana saja," menyahut si nona. "Sekarang
ini segala sesuatu aku serahkan kepada kalian-"
Siauw Pek memandang Su Kay Taysu.
"Taysu pikir bagaimana?" ia tanya pendeta Siauw Lim Sie itu.
"Loolap menurut saja" sahut orang yang ditanya.
"Menurut aku," Ban Liang berkata. "Baiklah kita berangkat ke
Kanglam untuk melihat keindahan disana."
Setelah mendengar pelbagai suara itu, Soat Kun baru berkata:
"Ban Loocianpwee benar, Kalau kita pergi ke Selatan, mungkin kita
akan memperoleh sesuatu hasil"
Kang Lam ialah wilayah Selatan.
Tiba-tiba Su Kay mendapat pikiran. Maka iapun berkata: "Ngo Bie
San berada jauh di See Siok. tak dapat kita pergi kesana, tetapi Bu
Tong Pay terletak tak jauh dari sini, kenapa kita tak mau pergi
kesana untuk melihat bagaimana keadaan Bu Tong Pay?"
Soat Kun tertawa mendengar suara pendeta itu.
"oh, kiranya taysupun mendapat serupa pikiran sebagai aku"
katanya. "Kenapa taysu tak mengutarakan sejak tadi-tadi? Tidak
demikian tak usahlah taysu membuat kita semua mesti keras
berpikir"
Paras sipendeta bersemu merah. "Pendapatku pendapat yang
cupat saja." bilangnya. Siauw Pek heran
"Agaknya Nona Hoan memikir sesuatu terhadap Su Kay Taysu,"
pikirnya. "Kalau diantara mereka ada ganjalan, aku harus
meredakannya supaya selanjutnya mereka mengerti satu sama lain-
..." Maka ia selalu berkata: "Diantara sembilan partai besar, Bu Tong
termasuk nomor dua yang kuat dan besar pengaruhnya, maka itu,
kalau kita pergi kesana, kita harus berhati-hati. Aku percaya
kepergian kita inipun akan lebih banyak untungnya daripada
gagalnya....."
Su Kay girang Siauw Pek setujui usulnya itu. "Sungguh jauh
pandangan bengcu," kata memuji.
"Taysu cuma memuji," kata sang ketua jengah. "Nona Hoan,
jikalau nona tidak memikir lainnya, mari kita berangkat sekarang"
"Terserah pada bengcu" berkata nona itu. Lalu dengan tangan
kanan dibahu adiknya, ia bertindak kearah kereta bertenda.
Hanya sejenak. maka terdengarlah bergelindingnya roda-roda
kereta.
Disepanjang jalan itu kadang-kadang terlihat dua atau tiga murid
Siauw Lim Sie yang membekal senjata dengan wajah kucal, mereka
tampak dijalan besar atau dijalan kecil, tengah mondar mandir.
Kalau mereka berpapasan dengan Su Kay Taysu, mereka memberi
hormat. Sebaliknya pendeta tua ini tak menanyakan apa juga
kepada mereka itu.
Siauw Pek mengawasi gerak gerik para pendeta, ia tahu bahwa
orang-orang itu belum berhasil mencuri It Tie, akan tetapi melihat
arahnya mereka itu, ia menerka tentulah It Tie kabur ke selatan
gunung Siong San-
Dilain hari, ditengah perjalanan rombongan Kim Too Bun
menemui banyak murid Siauw Lim Sie.
Pada tengah hari itu, selagi Siauw Pek berada didalam kereta,
melihat Ciu Ceng, tiba-tiba keretanya dihentikan, menyusul itu Kho
Kong lari menghampirinya, setibanya didekat kereta, saudara itu
berkata nyaring. "Bengcu, mari, lekas lihat"
Suaranya anak muda ini sangat mendesak saking tegangnya
hatinya sedang napasnya memburu keras. Siauw Pek tercengang.
"Apakah ada musuh?" tanyanya. Itulah terkaannya yang
pertama. Iapun segera melompat turun dari keretanya. Kho Kong
lantas menunjuk.
"Ban Huhoat memegat rombongan orang Rimba Persilatan"
katanya masih napasnya belum teratur kembali. "Pemimpin
rombongan itu justrulah musuh besar kita, orang yang membunuh
ayah bengcu."
Hari si anak muda tercekat.
"Kim ciong Tojin?" tanya sambil terus lari kedepan.
"Bukan- Hui Siu ouw Hwee" sahut sang adik angkat yang
menyusul lari.
Hanya sebentar, tiba sudah mereka didepan kereta terdepan,
maka dari situ mereka dapat melihat tegas.
Ban Liang lagi tersenyum, Oey tengah berdiri menghadang
ditengah jalan besar. Pihak yang dihadang itu terdiri dari dua atau
tiga belas orang. Yang menjadi kepalanya ialah seorang yang
tubuhnya kate dan kecil. Yang hidungnya mirip hidung burung
ulung-ulung, tangan kirinya menggenggam golok pendek. Dia itu
tengah berkata-kata, tetapi Ban Liang sambil menengadah kelangit,
tak menghiraukannya.
Melihat si kate kecil itu dibenak otak Siauw Pek segera berbayang
peristiwa hebat didepan Seng Su Kio dahulu itu, hingga didalam
sekejap saja timbullah hawa amarahnya. Tanpa membuka suara
lagi, ia melompat maju sambil menghunus pedangnya.
Memang benar orang kate kecil itu ialah Hui siu ouw si TUa
Terbang, jago partai Pat Kwa Bun-
Siauw Pek mengingat baik musuh itu, sebagaimana si musuhpun
segera mengenali anak muda ini. Adalah diluar dugaan mereka
berdua bahwa hari ini mereka bertemu ditengah jalan ini.
Mulanya ouw Bwee terkejut hingga ia melengak. tetapi sebentar,
dia menengadah kelangit dan tertawa terbahak-bahak.
"Hmm, tua bangka" menegur Ban Liang. "Apakah dengan
tertawamu ini kau mencoba membesarkan nyalimu?"
Habis tertawa itu, Ouw Bwee menatap tajam kepada sijago tua,
sepasang alisnya bangun berdiri. Setelah itu dia menggeser
tatapannya kepada si anak muda.
"Hai, Coh Siauw Pek" dia menegur. "Selama ini telah tersiar
berita dalam dunia Kang ouw bahwa kau telah membangun Kim Too
Bun bahwa kau yang menjadi ketuanya. Benarkah itu?"
"Tidak salah" sahut Siauw Pek terang. "Berita itu tidak dusta"
Ouw Bwee mengawasi pula Ban Liang.
"Eh, Seng Supoan, kau tentulah orang Kim Too Bun," tanyanya.
"Aku si tua adalah seorang huhoat dari Kim Too Bun" Ban Liang
mengakul.
Agaknya si tua Terbang terkejut. Dia segera berpikir: "Apakah
kebiasaan dan kebijaksanaan Coh Siauw Pek yang muda remaja ini
maka juga si tua bangka yang namanya sudah terkenal sejak
puluhan tahun yang lalu sudi menjadi huhoat bawahannya?
Kenapakah dia rela jadi hanya seorang bawahan?"
Selagi berpikir begitu, ouw Bwee mendapat lihat Su Kay Taysu,
mendadak dia tertawa lebar, terus dia berkata nyaring: "Jikalau aku
si tua she ouw tidak lamur mataku, taysu tentulah itu pendeta
beribadat dari Siauw Lim Sie ialah Su Kay Taysu yang menjadi salah
satu dari empat Kim Kong Siauw Lim Pay?"
"Sungguh malu, demikianlah adanya loolap." Su Kay menjawab
dengan sebenarnya. ia merendahkan diri karena ia disebut sebagai
salah satu Kimkong, Arhat, dari Siauw Lim Sie.
ouw Bwee tertawa dingin, katanya: "Taysu, menjadi pendeta
beribadat, bukankah tak selayaknya taysu merendahkan diri menjadi
seorang anggota Kim Too Bun?"
Dengan bersungguh-sungguh Su Kay memberikan kepastian:
"Memang benar loolap menjadi salah seorang huhoat"
ouw Bwee terkejut, demikian juga kawan-kawanannya. Mereka
semua mengenal pendeta Siauw Lim Sie itu, maka itu mereka
menjadi heran bukan main- orang Siauw Lim Sie menjadi huhoat
pelindung hukum dari partai Kim Too Bun Mereka bungkam.
"ouw Bwee" Siauw Pek menegur, memecahkan kesunyian.
"Ada apakah?" Ouw Bwee balik bertanya, berlagak pilon-
Sianak muda memperlihatkan roman bengis.
"Ketika dahulu hari terjadi pengepungan dan pengeroyokan
terhadap keluarga Coh didepan Seng Su Kio kan toh salah satu
pengeroyok, bukan?" tegur Siauw Pek. jago Pat Kwa Bun itu
mencoba menenangkan hatinya.
"Dunia Rimba Persilatan telah menjadi gusar sekali, mana dapat
aku si orang she ouw ketinggalan dibelakang?" dia menjawab tak
langsung. Siauw Pek tertawa dingin.
"Jikalau aku salah ingat, kau telah menikam punggung ibuku"
katanya. "Aku tak salah bukan?"
Tanpa terasa, Ouw Bwee memanggil sendiri.
Siauw Pek berkata pula, bengis: "Dan kakak ku, Kie Pek. telah
kena tebas tubuhnya hingga menjadi kutung dua potong, tubuhnya
itu jatuh kedalam selokan jurang. Dan ada lagi, kakakku Bun Koan,
telah kau tangkap hidup,hidup Sekarang kau harus membuat
perhitungan"
JILID 43
Masih Ouw Bwee dapat tersenyum.
"Kabu benar" sahutnya. "Memang aku telah tangkap hidup Coh
Bun Koan, tetapi......"
"Tetapi apa?" teriak Siauw Pek. "Apakah kau telah
membunuhnya?"
"Kau dengarlah" balas teriak Ouw Bwee. "Kakakmu itu tidak
mati"
"Baik" seru Siauw Pek. "Kalau kau benar tidak membunuh dia,
dimana dia sekarang?"
Bukan main jerinya si Tua Terbang, dengan Cepat hatinya
berpikir: "Kabarnya bocah ini mewarisi kepandaian Thian Kiam Kie
Tong dan Pa Too Siang Go, sudah begitu disinipun ada Su Kay
Taysu dan Ban Liang. Mana dapat aku lolos dari sini? Mesti aku
menggunakan akal" Dasar licik, dia segera berpura tabah.
"Tentang dimana adanya Coh Bun Koan sekarang, cuma aku
sendiri yang ketahui" berkata dia sambil tertawa kering. "Jikalau kau
tidak menunjukkan kepandaianmu yang membuat aku kagum dan
takluk. jangan kau harap nanti mendapat tahu tentang kakakmu itu"
Si Tua Terbang berharap dengan gertakannya ini, Siauw Pek
tidak akan segera membinasakannya. Dia pikir, selama dia masih
hidup, dia tetap akan berdaya menolong jiwanya.
Kho Kong yang mengawasi jago tua itu, berkata nyaring: "Mata
tu bangka ini memain tak hentinya, dia tidak dapat dipercaya"
"Silahkan toako minggir" berkata Oey Eng. "Biar aku yang
mampuskan dia untuk mengubur arwah ayah toako dialam baka"
Siauw Pek dapat menenangkan diri. Ia tahu ia memang
membutuhkan keterangan musuh ini mengenai kakaknya.
"Saudara-saudara, mundur dahulu." katanya. "Biar aku yang
melayani dia"
Kho Kong menghunus senjatanya. Dia berseru: "Mereka yang tak
bersangkut paut, mundur lima tindak"
Ouw Bwee membesarkan nyalinya. Dia tertawa menghina.
"Coh Kam Pek menjadi musuh umum" teriaknya. "Disini tidak ada
orang yang tidak bersangkut paut"
Sengaja dia berkata demikian, untuk merembet-rembet kawankawannya
itu, supaya semua kawan itu memburu. Siauw Pek dapat
menebak hati orang. "Percuma kau mengharap dapat mengepung
aku" katanya. "Waspadalah"
Begitu ia mengancam itu, sianak muda segera menikam. Ouw
Bwee sudah siap sedia, siap menyampok dengan tamengnya.
Siauw Pek tertawa dingin, ia segera menyerang pula. Bahkan ia
mengurung dengar sinar pedangnya.
Ouw Bwee repot sekali. Dia menangkis-nangkis dengan
tamengnya. Dia mencoba membacok dengan golok pendek
ditangannya, tetapi senjata pendek itu tak sampai kepada musuh.
Maka terpaksa dia membela diri. Dia memang satu jago tua. Dia
segera mengeluarkan ilmu silat "Hoan In Pat Sie" dari partainya,
partai Pat Kwa Bun. Ilmu silatnya itu berarti delapan jurus
"Membalik Awan". Dengan itu dia berkelahi sambil mencari jalan
lolos.
Walaupun lawan mengandalkan tamengnya yang liehay, Siauw
Pek dapat mengurung terus ia dapat membuat lawan repot sekali.
Didalam waktu yang singkat, Ouw Bwee telah bermandikan
peluh, hingga hatinya menjadi Ciut sekali. Wajahnya juga tak dapat
menyembunyikan rasa takutnya. Dla selalu melindungi tubuhnya
yang katai kecil dibalik tamengnya.
Tengah Hui Siu terdesak itu, diantara rombongannya terdengar
perintah segera maju empat orang yang bersenjatakan tameng dan
golok pendek. Maka dapatlah diduga bahwa mereka adalah orangorang
Pat Kwa Bun.
Itulah tidak salah Bahkan salah seorang adalah adik seperguruan
Hui Sui. Tiga yang lainnya adalah keponakan murid.
Siauw Pek melayani keempat musuh baru itu, sehabisnya ia
menangkis setiap serangan mereka, ia serentak mengurung mereka
bersama-sama Ouw Bwee.
Oey Eng menonton dengan asyik. Bahkan mereka bisa saling
melirik dan tertawa. Karena tahu liehaynya ketua mereka itu, yang
tak takut pengepungan-
Lewat beberapa jurus, ketiga keponakan murid Ouw Bwee
merasa dirinya sangat terdesak. Tetapi mereka tidak berani
melompat mundur untuk keluar dari kalangan. Mereka jeri terhadap
aturan keras dari Pat Kwa Bun yang melarang sembarangan orang
mundur.
Sebagaimana biasanya, Siauw Pek dapat mengurung lawanlawannya,
akan tetapi buat turun tangan membinasakannya, ia
merasa "sulit". Ilmu pedangnya itu cuma dapat mengurung
membuat orang lelah.
Dengan perantaraan Soat Gie, Soat Kun mendapat tahu jalannya
pertempuran yang bertele-tele itu, segera juga ia memperdengarkan
suaranya: "Mereka berlima bukan orang baik-baik, mereka juga
musuh- musuh yang membinasakan ayah bengcu, kenapa bengcu
tidak mau segera turun tangan membinasakan mereka?"
Mendengar suara si nona, yang tahu-tahu sudah muncul dan
datang menonton pertempuran- ketiga keponakan murid Ouw Bwee
itu menjadi kaget, mereka takut bukan main, tanpa merasa mereka
menoleh kearah nona itu.
Justru orang berpaling itu, justru pedang sianak muda
mengancam pinggang mereka. Ujung pedang meluncur terus
dengan ancamannya itu.
Ketiga orang Pat Kwa Bun itu terkejut mereka menangkis dan
membacok. membela diri sambil menyerang. "Aduh" demikian satu
jeritan.
Tahu-tahu ujung golok melesat dan menikam kawan sendiri.
Siauw Pek sendiri sudah meneruskan serangannya kepada Ouw
Bwee.
Orang yang terluka itu melemparkan tameng dan goloknya,
sambil menutup lubang lukanya dengan kedua tangannya, ia
menjatuhkan diri bergulingan, keluar dari kalangan pertempuran.
Ouw Bwee kaget serta takut.
"Siapa berani" teriaknya. Tetapi kata- katanya itu tak dapat
diteruskan, karena ia terus lompat kepada keponakan muridnya
yang terluka itu, untuk mendepaknya. Sebenarnya ia berniat
mengancam supaya jangan ada kawannya yang mundur.
Siauw Pek sementara itu ragu-ragu untuk membinasakan musuh,
ia harus menggunakan goloknya. Dengan pedangnya saja ia tak
berdaya.
Disaat itu terdengar pula suara nona Hoan: "Bengcu, Jikalau
bengcu ingin mendapatkan musuh yang hidup, silahkan bengcu
mundur. Biarkan Oey dan Kho Huhoat yang maju"
Suara nona itu dingin. Ia berkata itu karena ada maksudnya.
Kho Kong menerima kata-kata sinona dengan wajar. Ia berkata:
"Benar Silahkan bengcu istirahat Lihat adikmu membekuk mereka
ini"
Mendengar suara saudara itu, paras Siauw Pek berubah. "Lihat
pedang" mendadak ia berseru. "Lihat pedang"
Menyusul seruan itu, berisiklah suara pedang beradu dengan
pelbagai tameng disusul dengan suara berisiknya jatuhnya keempat
tameng ketanah. Karena dengan tiba-tiba saja Ouw Bwee semua
merasai tangannya nyeri, hingga tanpa merasa mereka melepaskan
cekalan atas senjatanya itu masing-masing.
"Bagus" Ban Liang berseru, sedangkan mulanya dia tercengang
heran-
Oey Eng dan Kho Kong turut tercengang juga , tetapi lekas juga
mereka mengawasi musuh.
Ouw Bwee berempat berdiri diam ditengah medan pertempuran
itu, muka mereka pucat pasi. Yang hebat ialah tangan kiri mereka
memegangi tangan kanannya masing-masing. Sebabnya ialah,
semua jeriji tangan kanan mereka telah terbabat kutung dan
darahnya mengucur ke tanah
"Hahaha" tertawa Kho Kong selekasnya dia sadar. "Jikalau kami
tidak segera menyerah manda ditelikung, sungguh kamu tak tahu
mampus"
Berkata begitu, anak muda ini lari kepada Ouw Bwee, untuk
menotok jago tua itu. Hui Siu berlompat mundur, berkelit dari
totokan.
"Kau mengandalkan kawan, adakah kau seorang gagah?"
bentaknya. Pemuda itu menjadi gusar.
"Tua bangka" bentaknya. "Kau berani mendamprat orang? Ambil
senjatamU, aku akan menghajarmu"
Jago tua Pat Kwa Bun itu licik sekali. Dia tidak melayani si anak
muda, hanya dia menoleh kepada Siauw Pek.
"Aku si orang she ouw menyerah" katanya. "Sekarang kau maU
apa?"
Siauw Pek berdiri diam. Ia memang bagaikan mematung
sehabisnya ia membabat jari tangan orang. Inilah karena ia
memikirkan ilmu silatnya itu. Ia merasa, itulah bukan jurus ong Too
Kiu Kiam. Ia percaya, itulah jurusnya semula sebelum ia
mendapatkan pelajaran Kie Tong.
Ouw Bwee melihat anak muda itu berdiam saja, ia heran- Ia
berpikir: "Dasar ia masih terlalu muda, dia belum pernah menang
perang. sekali dia menang, dia menjadi girang begini rupa.....Buat
apakah aku berdiam saja? Kalau tidak sekarang aku mengangkat
kaki, aku hendak tunggu apalagi?"
Maka ia segera berkata pula. "Aku si orang she ouw kalah tak
penasaran GUnung hijaU tak berubah, air hijaU mengalir terus, dari
itu ini hadiah tebasan pedang, lain hari pasti aku balas"
Begitu ia berkata, begitu Hui Siu menjemput golok dan
pedangnya, untuk lari menyingkir.
"Berhenti" mendadak Siauw Pek berseru bengis. Ouw Bwee
memutar tubuhnya.
"Apakah kau hendak menanyakan tentang Coh Bun Koan dimana
adanya dia?" tanyanya. Siauw Pek tertawa dingin.
"Aku memikir mengambil jiwa anjingmu" jawabnya. Terus ia
maju menyerang. Bukan kepalang takutnya Ouw Bwee.
"orang she Coh" dia berteriak. Masih dapat dia menggunakan
otaknya. "Kau mengerti aturan Kang ouw atau tidak?"
Ban Liang tertawa terbahak. dia mendahului ketuanya. "oh tua
bangka, kau justru bicara tentang aturan Kang ouw"
Siauw Pek tertawa dingin, dia maju kepada musuhnya itu, untuk
membulang balingkan pedangnya didada orang empat kali.
Ketika itu tiga orang Pat Kwa Bun lainnya sudah menjemput juga
pedang dan tameng mereka dan mereka menghampiri si jago tua
pemimpinnya itu.
Siauw Pek berlaku sebal. Ia menggores dada lawannya hingga
goresannya itu berupa mirip huruf "che" "Sumur". Dengan begitu
maka terlukalah Ouw Bwee dan darahnya turun mengucur. Luka itu
tidak dalam tetapi darahnya mendatangkan rasa seram. Justru itu,
tibalah ketiga orang Pat Kwa Bun itu, yang hendak membela
pemimpinnya, dengan tameng, mereka mencoba menangkis pedang
sianak muda.
Melihat demikian Siauw Pek berseru: "Pedangnya bekerja,
menusuk ke lengan musuh" Dengan serentak.jatuhlah tameng itu,
sedangkan pemiliknya masing-masing merasai lengannya nyeri.
Sekarang ini Siauw Pek bagaikan telah berubah diri, parasnya
merah padam, matanya terbuka lebar dan sorotnya bengis ia
menghampiri Ouw Bwee, untuk menikamnya. Jago tua itu takut
sekali.
"Tahan" serunya sambil ia mementang kedua tangannya. Siauw
pek mengancam dada orang.
"Lekas bicara" bentaknya bengis. "Saat kematianmu telah tiba.
Jikalau aku tidak membunuhmu, kecewa aku terhadap ayah
bundaku didunia baka"
Muka Ouw Bwee pucat tak berdarah, napasnya memburu.
"Coh Bun Koan adalah saudara kandungmu, benarkah kau tak
mempedulikan mati hidupnya." dia tanyanya.
Mendengar suara orang itu, Siauw Pek berpikir: "Dia sangat licik,
dia harus dipaksa" Maka ia berkata dingin: "Dengan pertanyaanmu
kau hendak memeras aku? Hmm,jangan kau bermimpi" Lalu ia
menikam dada orang.
Ouw Bwee berteriak kesakitan, dengan kedua tangannya, ia
memegang badan pedang, tangan dan tubuhnya bergemetarandarah
mengucur keluar dari lukanya itu, yang tidak dalam karena
sianak muda hanya mengancam. Semua kawan Ouw Bwee terkejut
dan ketakutan.
Bahkan Oey Eng dan Kho Kong heran karena sikap bengcu itu,
yang biasanya murah hati.
Su Kay memuji sang Buddha, terus ia menghampiri Siauw Pek.
Untuk memberi hormat dan berkata: "Siecu, sabar... Mari biar loolap
yang menanyainya"
Siauw Pek menarik kembali pedangnya, ia mundur dua tindak. Su
Kay menatap Hui Siu, agaknya ia tak tega.
"ouw Siecu," sapanya sabar. "Kaulah orang Kang ouw kenamaan,
setelah keadaan begini rupa, seharusnya kau bersikap terus terang"
Berkata begitu, ia menotok jalan darah orang membuat darahnya
berhenti mengucur. Ouw Bwee menarik napas lega, tetapi dia
tertawa tawar.
"Terima kasih, taysu" dia mengucap.
"Ketua kami....."
"Jangan mengucap terima kasih, Siecu." Su Kay memotong.
"Loolap belum menolongmu." Paras Ouw Bwee berubah, kembali dia
tertawa hambar.
"Ada pengajaran apakah, taysu?" dia tanya. Kembali sang
pendeta menatap tajam.
"Hendak loolap tanya kau, Siecu sekarang ini nona Coh Bun Koan
berada dimana?" demikian tanyanya.
Ouw Bwee berpikir keras, ia tahu kesempatan hidupnya sangat
kecil. Siapa tahu pendeta ini dapat menolongnya? Dengan roman
likat ia menjawab: "Memang benar dahulu itu didepan Seng Su Kio
akulah yang menawan Coh Bun Koan hidup, hidup, akan tetapi itu
waktu. Selagi kedua ekor bangau berebut kerang, sang nelayan
memperoleh hasilnya: Coh Bun Koan telah dibawa lari oleh orang
lain....."
Alis Su Kay berkenyit, kembali ia menatap.
"ouw Siecu" katanya nyaring. "Kau bukannya orang yang mudah
diperhina atau ditipu orang, siapa kah yang demikian liehay dapat
merampas orang tawananmu?"
Ouw Bwee tertawa pula. Tetap dingin tertawanya itu.
"orang itu she cee Didalam dunia Kang ouw, dia ternama besar"
"orang Kang ouw ternama besar?" Su Kay mengurangi, serunya
ia menengadah kelangit. "Bukannya dia Hong In Hwee Cu cee cu
Ho?"
"Taysu telah menerka tepat, tak usah aku membilangi lagi"
berkata si Tua Terbang dengan suara dinginnya. "Hwee cu" ialah
ketua perkumpulan (hwee).
"Didalam kalangan Kong ouw tak terdengar berita tentang itu."
kata Su Kay Taysu, ragu-ragu. "Apa Siecu tahu apa yang diperbuat
cee cu Ho setelah dia merampas Nona Coh itu?"
"Tentang itu," sahut Ouw Bwee seenaknya "cuma cu Ho sendiri
yang mengetahuinya."
Pendeta itu menoleh pada Siauw Pek, romannya berduka.
Hendak ia membuka mulutnya tapi gagaL Ia ragu-ragu. Ingin ia
mohon keampunan jiwa bagi Ouw Bwee tapi ia tahu baik hal
kebiasaannya Coh Kee Po sedesa.... Siauw Pek dapat menerka hati
pendeta itu. "Saudara Kho, tolong ringkus empat orang ini" katanya.
Kho Kong menyahuti dan maju menghampiri.
Biar bagaimana, nyali Ouw Bwee sudah pecah tak berani ia lari
ataupun berkelit. Hanya sedetik, ia merasai pinggangnya kaku, terus
tubuhnya roboh.
Oey Eng segera maju, membantu Kho Kong menggotong orangorang
tawanan itu baik keatas kereta.
Masih ada tujuh orang yang menjadi kawan Ouw Bwee itu,
mereka berdiam saja sejak mereka dihadang Ban Liang. Sampai
pertempuran terjadi, hingga ouw Bwee berempat kena dilawan,
akan tetapi sekarang, melihat kesudahannya pertempuran itu,
segera mereka memutar tubuh mereka untuk berlalu pergi.
"Para Siecu tahap dahulu" Su Kay menyerukan tujuh orang itu.
"Mari, loolap ingin bicara dahulu"
Pendeta itu menggunakan ilmu "Say cu hauw atau Geram Singa"
yang dikeluarkan dengan bantuan tenaga dalam. Maka itu suaranya
keras bagaikan guntur. Mendengar suara itu, ketjuh orang itu kaget,
serentak mereka menghentikan langkah mereka, paras mereka
pucat.
Siauw Pek heran atas sikap si pendeta. Menurut ia, tujuh orang
itu ia telah membebaskannya sendiri. Kenapa sekarang sipendeta
menahannya?
"Maafkan mataku yang kurang awas." berkata Su Kay kepada
tujuh orang itu. "Dapatkah Siecu sekalian memberitahukan loolap
kalian ada dari partai apa?"
Tujuh orang itu melengak. mereka saling pandang.
"Maaf, taysu, loohu ialah Houyan Pa dari ImCiu," sahut si orang
tua yang matanya celong, tubuhnya kurus sekali dan jubahnya
hitam. Dia menjawab sambil memberi hormat.
"Maaf" berkata Su Kay setelah mendengar nama orang. "Kiranya
Pek Lin cian Houy an Eng hiong dari im San Pay"
"Pek Lin cian" yang berarti " Panah berCahaya" adalah gelar jago
tua itu.
Berkata begitu, Su Kay memandang seorang lainnya. Dia ini
memiliki mata sangat tajam, usianya lebih kurang lima puluh tahun,
dipunggungnya tersoren sepasang Siang piau atau ruyang.
Saat mata mereka berdua bentrok. orang tua itu mundur satu
tindak. sambil mengangkat kedua tangannya, dia memperkenalkan
diri: "Aku yang bodoh ialah Kiang Seng Hiap dari ceng Shia Pay...."
"Oh, kiranya It Pian Toan Liu Kiang Siecu" berkata sipendeta. "It
Piau Toan Liu" berarti "Ruyung pembendung sungai."
Sekarang Su Kay memandang orang yang ketiga, yang tubuhnya
tegup, dan janggutnya kaku dan mukanya merah. Diapun berusia
lanjut. ia berkata: "Siecu, roman Siecu beda sekali dari lain-lain
orang, apabila loolap tidak menerka salah, kaulah The Loo Enghiong
dari Kun Lun Pay"
Pendeta ini menyebut sekalian gelar jago tua itu (loo Enghiong)
ialah "Ay Kun Lun" atau si "Kun Lun Katai."
Jago tua itu tertawa hambar, terus dia berkata: "Taysu bermata
tajam sekali dan ingatan mu kuat. Dan ini...." ia menunjuk dua
orang disisinya: "Inilah kedua keponakan murid The Beng."
Su Kay mengangguk. Terus ia menoleh kekirinya, kepada
seorang yang mukanya berenjulan dengan daging, yang
menggendol golok Kim san too dipunggungnya, seraya berkata:
"Siecu ini....."
orang itu dengan berani segera mendahului: "Hoan Pa yang
orang gelarkan ok Touw hu" Su Kay mengerutkan alisnya.
"Rupanya Siecu adalah seorang gagah dari Tiat Tan Hwee." "Tiat
Tan Hwee," ialah perkumpulan (hwee) "Nyali Besi."
ok Touwhu berkata dingin: "Terkaan tepat"
"Heran," pikir Siauw Pek. siapa tahu didalam rombongan ini
terdapat demikian banyak partai yang berlainan.
Su Kay sementara itu menyapa orang yang ketujuh. Katanya:
"Siecu juga pastilah seorang gagah kaum Kang ouw?"
Orang yang ketujuh itu, atau yang terakhir. Yang baru setengah
tua, mukanya putih dan kumisan, tetapi wajahnya suram.
Mendengar pertanyaan sipendeta, segera tertawa kering.
Menyahutlah ia: "Aku yang rendah bernama Uh bun ceng. Tak
sanggup aku menerima panggilan orang gagah. Sebab akulah bu
beng Siauw cut"
"Artinya "bu beng Siauw cut" ialah serdadu kecil yang tak
ternama."
Nama orang itu membuat Su Kay berpikir: "Satu nama yang
asing sekali bagiku, belum pernah aku dengar."
Maka ia lalu menanya: "Uh bun Siecu, adakah kau orang gagah
dari sembilan partai besar, dari empat bun, tiga hwee atau dua
pang?" Uh bun ceng menggeleng kepala.
"Akulah asal orang tapi aku tak termasuk partai mana juga."
sahutnya.
Su Kay tersenyum tawar, kembali ia menatap tujuh orang itu, ia
bertanya: "Para Siecu, maafkan loolap kalau dianggap loolap banyak
bertanya. Apakah para Siecu berkawan ini hendak menuju ke Siong
san?"
Siong San ialah gunung Siong San- Pus at Siauw Lim Sie atau
Siauw Lim Pay. Ditanya demikian, ketujuh orang itu berdiam, cuma
paras mereka tampak berubah. Sang pendeta mengerutkan alis.
"Diantara Siecu sekalian, siapa kah yang menjadi pemimpin?" ia
tanya pula.
orang-orang itu saling memandang, mata mereka bersinar. lalu
Uh bun ceng tertawa nyaring. Dia menjawab: "Kebetulan saja kami
bertemu satu dengan lain dan terus berjalan bersama. Tidak ada
pemimpinnya diantara kami"
"Jikalau begitu hendak loolap tanya Uh bun Siecu: "Apakah Siecu
mau pergi ke Siauw Lim Sie?"
orang she Uh bun itu berdiam, tetapi sejenak kemudian dia
menjawab keras: "Aku yang rendah, bukan mau pergi kekuil kalian"
"Bagaimana dengan The Siecu?" Su Kay tanya The Beng.
Jago Kun Lun Pay itu agak tercengang, tetapi dia menjawab
lekas: "The Beng cuma mengagumi Siauw Lim Sie tetapi tidak
bergaul satu dengan lain- Kedudukanku tidak seimbang, karenanya
buat apa aku pergi kesana?"
Kho Kong heran, pikirnya: "Kenapa pendeta ini menjadi aneh
sikapnya? Buat apa dia rewel menanya orang secara melit begini?
Pada saat ini dia tampaknya tak pantas menjadi seorang pendeta
tua dan beriman"
Tapi Su Kay masih melanjutkan pertanyaannya. "Dan orang
gagah ini" ia tanya Hoan Pa. "Aku merasa pasti Hoan Siecu tentu
mau pergi ke Siauw Lim Sie"
Hoan Pa bertebiat berangasan tetapi karena dia jeri terhadap
nama besarnya Su Kay serta juga Siauw Pek yang gagah sekali, dia
membatasi diri, akan tetapi setelah menyaksikan kemelitan
sipendeta. Dia menjadi kurang senang. Maka itu, setelah ditanya,
dia gusar, dia menyahut kasar. "Pendeta tua, buat apa
mengucapkan banyak kata-kata tak ada gunanya?"
Su Kay tidak meladeni sikap kasar itu, bahkan sebaliknya,
mendadak dia menanya bengis: "Loolap tanya Siecu, Siecu mau
pergi ke Siauw Lim Sie atau bukan?"
Ok Touwhu tertawa dingin.
"Jikalau benar Siecu tak sudi menjawab pertanyaanku" berkata
Su Kay, yang menjadi mengotot, loolap persilahkan Siecu kembali,
tak dapat Siecu melanjutkan perjalananmu ini"
Ok Touwhu tertawa berkakak.
"Aku tadinya mengira dikolong langit ini cuma aku ok Touwhu
yang biasa berlaku garang dan galak, tak tahunya juga pendeta dari
Siauw Lim Sie sangat tidak tahu aturan"
Su Kay menjawab: "Seumurku, loolap belum bersikap begini,
baru sekali ini saja.... Inilah karena loolap sangat terpaksa"
"Siapakah yang memaksa kau?" tanya ok Touwhu dingin.
"Tempat ini toh terpisah dari Siauw Lim Sie sejauh seratus lie inilah
jalan besar umum yang setiap orang dapat melewatinya..... Kau
memegat, kau menanya melit, kau memaksa bertanya orang,
apakah pantas perbuatanmu ini?"
Muka Su Kay menjadi merah. Ia segera berpikir: "Memang aku
yang bersalah. Tapi mereka berombongan, mereka mau pergi ke
Siauw Lim Sie. Apakah maksud mereka? Tak bolehkah aku
mencampur? Ah, kalau Nona Hoan...."
Pendeta itu tak sempat berpikir, ia diganggu Uh bun ceng. orang
yang mengaku tak berpartai itu bertanya bengis: "Taysu hendak
mengganggu kami, sebenar taysu mendapat perintah Kim Too Bun
atau dari ketua Siauw Lim Sie?"
Su Kay melengak. pertanyaan itu sukar dijawab. maka ia lalu
berpaling kepada Siauw Pek.
Ketika itu sekonyong-konyong terdengar suara Soat Kun.
"Taysu, apa kah taysu, apa kah taysu mengalami sesuatu
kesulitan?"
"Benar, Siecu" ia menjawab. "Mereka ini datang dalam satu
rombongan, mereka tentu mengandung suatu maksud"
"Benar" si nona menjawab. "Pastilah berita tersiarnya peristiwa
dalam Siauw Lim Sie sudah menjalar cepat sekali maka mereka ini
datang untuk merampok selagi orang repot di ganggu bahaya
kebakaran. Mereka ingin mendapatkan pusaka dari Siauw Lim Sie"
"Anehnya kenapa berita tersiar begitu cepat?" kata Su Kay.
"Tak aneh, taysu. Ada pepatah yang membilang. "Kabar angin
bagaikan angin, kabur tanpa kakinya." Tempo satu atau dua haripun
sudah cukup banyak"
Su Kay masih memikir, ia melengak.
"Mungkin Siecu tidak tahu" katanya pula. "Beberapa kakak
seperguruanku itu berangkat Siang dan malam menyusul It Tie.
Beritahukan ditutup rapat Kenapa kah rahasia toh bocor juga?"
Soat Kun tersenyum.
"Kalau demikian anggapan taysu. Baiklah, tak usah aku banyak
bicara lagi" katanya.
"Tapi loolap......"
Mendadak pendeta ini tak meneruskan kata-katanya itu. Hanya
selang sejenak. baru ia menambahkan: "Siecu, Siecu sangat cerdas,
loolap mengaku kalah....."
"Taysu terlalu memuji," kata si nona.
Su Kay lalu berpaling kepada Siauw Pek, mengawasi ketua Kim
Too Bun itu. Nampaknya dia likat sendirinya.
"Maaf, bengcu." katanya kemudian- "Loolap menerima perintah
suhengku buat berjalan bersama-sama rombongan bengcu,
sebenarnya kami mempunyai pikiran kami sendiri......."
Siauw Pek heran, sampai ia tercengang.
"Taysu menjadi pendeta beribadat" katanya kemudian- "
Walaupun taysu mempunyai pikiran lain- Pastilah itu tidak akan
mengganggu kami."
"Bengcu, sungguh kau berbudi luhur......"
Ban Liang melihat pendeta itu bersangsi, ia campur bicara.
"Taysu" katanya. "Kalau taysu memikir sesuatu, katakanlah itu
kepada kami, mungkin dapat melenyapkan keragu-raguan kami....."
Su Kay menghela napas.
"Hal sebenarnya begini, bengcu" katanya akhirnya: "Saudarasaudaraku
sedang mengejar It Tie, mereka itu khawatir Siecu
beramai nanti mencampuri urusan partai kami ini, maka itu loolap
ditugaskan memasuki kalangan Kim Too Bun untuk melakukan
pengawasan......."
Hoat Soat Kun tertawa.
"Jelaskan Su Khong Taysu beramai mencurigai kami, mereka
kuatir selagi kebakaran terbit, kami nanti menggunakan kesempatan
merampas kitab-kitab pusakanya itu Benar bukan?"
"Jangan kata sampai kena dirampas, Siecu." berkata Su Kay,
jengah. "Sekalipun Siecu beramai dapat membekuk It Tie, asal Siecu
sekalian dapat mengambil kitab-kitab pusaka kami itu, kami dari
Siauw Lim Sie, kami sudah bukan main malunya, kami bukan main
menyesalnya......oh, Siecu, Siecu sangat cerdas, rahasiaku ini
menghamba kepada Kim Too Bun mana dapat ditutup dari mata
Siecu?"
Soat Kun tertawa.
"Itulah tak mungkin, taysu......"
Su Kay tertawa menyeringai, ia jengah.
"Loolap bekerja saking terpaksa, Siecu" ia mengaku terus terang.
"sesungguhnya hati loolap sangat tidak tenang. Dan mengenai
mereka itu."
Pendeta ini memandang pada ok Touwhu semua.
"Tak usah taysu menjelaskan lagi." kata Soat Kun menyela katakata
orang. "Aku juga telah merasa tibanya mereka itu sangat
kebetulan, maka itu mesti ada sebabnya......."
"Maksud Siecu...."
Berkata begitu, mendadak pendeta ini terbangun semangatnya.
"Kalau ada perintah, Siecu titahkanlah," pintanya kemudian-
Nona Hoan berkata: "Dalam peristiwa Pek Ho Bun yang
menyedihkan itu, semua empat bun, tiga hwee dan dua pang ada
sangkut pautnya dengan sembilan partai besar, maka itu terhadap
mereka itu, Kim Too Bun tak usah berlaku sungkan lagi......."
"Jadi Siecu........"
"Maksudku, lebih dahulU tawan mereka, baru kita mengurusnya
kemudian"
Mendengar kata-kata si nona, ketujuh orang Kang ouw itu
terkejut. Sedang sedari tadi mereka berdiri diam saja, hati mereka
penuh keragu-raguan- Mereka jeri terhadap Siauw Pek dan Su Kay
Taysu. Tiba-tiba Uh bun ceng memutar tubuhnya, buat terus pergi
berlari.
Enam orang yang lainnya terperanjat melihat tindakan orang she
Uh Bun itu. Memang, semenjak tadi mereka sudah memikir buar lari
kabur. Maka itu, segera merekapun memutar tubuh dan lari.
Su Kay Taysu tercengang, tetapi hanya sedetik, segera ia lari,
untuk mengejar. "Tahan, taysu" Soat Kun mencegah.
"Nona....." sahut pendeta itu.
Nona Hoan berpaling kearah timur, ia memasang telinganya.
"coba dengar, taysu. Suara apa kah itu?" ia tanya sipendeta.
Bukan hanya Su Kay Taysu, Siauw Pek dan yang lainnyapun
segera memasang kuping.
Didalam rombongan Siauw Pek ini, bicara perihal tenaga dalam
Su Kay Taysu adalah yang paling sempurna mahir, maka juga dialah
yang pertama merasa bahwa suara itu luar biasa. Mirip suara guntur
tetapi samar-samar sekali. Mungkin itu suara sepasukan tentara
yang besar sekali, yang tengah mendatangi. Siauw Pek pun
mengenal suara itu seperti suara derap banyak kuda.
"Mungkin itu suara kuda diatas seratus ekor" kata Su Kay Taysu
kemudian-
"Siapa kah yang tahu ditimur itu tempat apa?" tanya Soat Kun.
"Bagaimanakah letaknya itu? Itulah tanah pegunungan," sahut
Su Kay.
"Apakah ada jalanannya?"
"orang dapat memaksakan jalan disana, kereta tidak....."
"Kata adikku ini, disebelah kanan itu, ditanjakan yang nomor dua,
ada jalan yang dapat lewat disana......"
"Mari kita pergi kesana, untuk melihat" Siauw Pek mengajak.
Soat Kun segera mengajak adiknya naik kereta, maka Oey Eng
dan Kho Kong turut naik juga , buat melarikan kereta itu. Mereka
menggunakan cambuknya. Memang, disebelah kiri itu, tak ada
jalan-
Dengan lekas kereta sudah menanjak naik, akan tetapi, tak dapat
orang tiba dipuncak tanjakan itu diatas bukit.
"Nona, terpaksa kita mesti jalan kaki......" Oey Eng berkata pada
Nona Hoan- Tapi belum berhenti suaranya itu, Soat Kun dan
adiknya sudah melompat turun dari kereta dan bersama-sama
mereka lari mendaki.
Giok Yauw bersama Han In Taysupun berlari-lari naik.
Ketika itu suara dikejauhan itu masih samar-samar, rupanya
terpisahnya dari mereka ini masih jauh. Maka itu, orang mendaki
terus. Segera setelah berada dipuncak tanjakan, orang terkejut.
Dibelakang bukit itu tampak sebuah tanah datar yang luas tetapi
seluruhnya penuh dengan rumput tebal dan tinggi melewati betis.
Tak tampak orang atau asap dari rumah-rumah penduduk desa.
Dalam pihak. suasana sunyi dan selam.....
Adalah diarah timur selatan tegalan terbuka itu terlihat debu
mengepul naik, suara kuda atau suara pertempuran berisik sekali.
Itulah suara yang mereka dapat dengar semenjak tadi. Kemudian
lagi mereka menyaksikan kabur mendatangnya sebarisan
penunggang kuda, arahnya ialah barat utara, barat laut.
Bukit kiri itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan
tegalan sebelah selatan, tampak tinggi sekali. Dari atas bukit itu
orang bisa melihat jauh kedepan, kesegala arah. Maka tampaklah
barisan yang tengah mendatangi itu, walaupun belum jelas.
Su Kay sangat mengagumi Nona Hoan. Karena ia tahu si nona
tak dapat melihat, ia terus menuturkan kepada nona itu apa yang ia
lihat.
"Tegalan ini luas luar biasa" berkata Ban Liang kagum. "Tegalan
ini bisa jadi medan laga dari ratusan ribu jiwa tentara....."
"Ban Huhoat benar" berkata Kho Kong yang mendapat serupa
anggapan.
"coba bilangi aku," berkata Nona Hoan yang memikir sesuatu,
"apakah ditimur selatan itu terdapat tanah pegunungan belaka"
"Betul" Ban Liang menjawab. "Baik-baiknya tidak tinggi tetapi
nampaknya seperti garis-garis pembalasan, bersama bukit kita ini
seperti juga bukit- bukit mengurung tegalan....."
"coba lihat, Ban Huhoat" kata pula si nona, "Apakah bukit dikiri
itu adalah yang paling tinggi."
"Benar, nona. Bagaimana nona ketahui itu?"
"Inilah medan laga pada jaman dahulu" sahut si nona. "Ya,
jaman diakhirnya kerajaan Han Timur......"
Tiba-tiba terdengar suara Siauw Pek. "Lihat Lihat dandanan
pasukan berkuda itu"
"Ada apakah yang aneh" tanya Soat Kun cepat.
"Semua penunggang kuda mengenakan bungkus kepala hitam"
Siauw Pek terangkan. "Yang tampak melainkan sinar mata mereka"
Ban Liang semua mengawasi, kata-kata sianak muda benar.
Jumlah penunggang kuda itu lebih dari pada seratus jiwa.
Sekonyong-konyong Su Kay berseru: "Rombongan bertutup muka
itu ialah rombongan murid- murid murtad dari Siauw Lim Sie"
Pendeta beribadat itu terperanjat sekali. "Bagaimana taysu
mengenalinya?"
"sebab diantara mereka kebanyakan yang memakai jubah suci
abu-abu" jawabnya.
Tenaga dalam mahir dari pendeta ini membuatnya bisa melihat
jauh melebihi lain orang. Lekas juga ia menambahkan- "Silahkan
lihat, bengcu Lihat senjata mereka yang panjang-panjang, bukankah
itu sianthung dan hongpiansan?" sambung pendeta yang bermata
tajam.
Sianthung ialah tongkat panjang mirip toya yang biasa digunakan
para pendeta. sedangkan hongpiansan ialah senjata istimewa
lainnya yang mirip garu atau sekop bergagang panjang.
"Taysu benar" kata Siauw Pek kemudian, sesudah ia mengawasi
beberapa lama. "Hanya yang lain- lainnya, warna pakaiannya serta
macamnya, tak serupa, mereka tak mirip pendeta."
Su Kay berdiam, dia terlihat masgul.
"Entahlah, It Tie berada diantaranya atau tidak." katanya
menyesal. Biar bagaimana pendeta ini agak bingung, hatinya tidak
tenang.
Rombongan berkuda itu masih juga belum tampak jelas. Tujuan
mereka ialah barat laut. Mereka terpisah masih sangatjauh, sudah
lari kudanya pesat, debupun mengepul bagaikan menutupi langit.
Ban Liang masih belum dapat melihat jelas, lebih-lebih Oey Eng,
Kho Kong dan Giok Yauw.
Lewat lagi sesaat, tiba-tiba Soat Kun bertanya: "Apakah pasukan
pengejarnya masih belum tampak?"
"Belum." menjawab sipendeta Siauw Lim Sie.
Oey Eng heran sekali. "Nona" tanyanya. Jarak kita masih
sangatjauh, mengapa kita...."
Nona yang ditanya itu tertawa^
"Kita tak dapat berpeluk dagu saja" katanya.. "sekarang kita jadi
dahulu penonton. Tempat ini tinggi, dapat kita melihat dengan
terang dan jelas" "Lihat, pihak pengejarnya sudah muncul"
mendadak terdengar suara Siauw Pek.
Mendengar itu, semua orang memasang mata. Kearah timur
selatan Disana tampak segumpalan yang bergerak-gerak mirip
bayangan manusia. Jumlah mereka lebih dari tiga puluh orang."
berkata Ban Liang.
"Taysu" tanya Soat Kun kepada Su Kay. "Apakah taysu masih
belum melihat It Tie?"
"Belum Siecu," sahut sipendeta.
"It Tie menjadi pemimpin." Kata pula sinona. "Kalau dia tidak
berada dimuka. Pasti dia mengambil tempat paling belakang. coba
taysu mengawasi pula dengan teliti"
su Kay Taysu memandang kedepan.
"Jaraknya masih terlalu jauh, Siecu" katanya kemudian-
"Debupun mengepul naik dan tebal muka para penunggang kuda itu
masih belum tampak tegas."
Dan rombongan itu mengenakan tutup kepalanya hitam, mereka
juga pada mendekam diatas kuda mereka, andaikata mereka sudah
datang terlebih dekat, masih sulit buat melihat tegas wajah mereka
itu. Karena itu, didalam tegang hati. Su Kay ingin kabur turun
gunung, guna menghadang ditengah jalan- Tapi ia ingat, ia
sekarang telah menjadi orang Kim Too bun, tanpa perkenan, atau
perintah dari Siauw Pek. tidak dapat ia berlaku lancang.
Tiba-tiba terdengar suara Han in Taysu. "Ah Lihat, lihat... Para
pengejar juga mengenakan tutup kepala hitam"
Semua orang heran, semua segera mengawasi. Benarkah para
pengejar itu, jumlahnya puluhan orang, juga masing-masing
bertutup kepala. Su Kay mengernyitkan alisnya.
"Heran" katanya. "Menutupi kepala berarti takut orang
mengenalinya. ini......"
"Mungkin mereka bukan rombongan pengejar" berkata Nona
Hoan-
Hati Su Kay terkejut. Segera dia mengawasi tajam. Semakin
dekat rombongan itu datang, semakin tegas tampaknya. Nyata
pakaian mereka itu tidak seragam. Terang mereka bukanlah
pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie.
"Nona Hoan" katanya, bertambah heran- "Mereka bukan orangorang
Siauw Lim Sie."
Pendeta ini heran karena bingung, bukan heran karena kaget.
"Berapa jauhkah terpisahnya rombongan pertama dari
rombongan yang kedua?"
"Mungkin satu lie, nona."
"oleh karena mereka sama-sama menutup kepala mereka,
mungkin merekalah kawan satu dengan lain-" Siauw Pek pun
berkata.
"Ah sungguh heran" berkata Su Kay Taysu. "Kenapa It Tie dapat
berkawan dengan demikian banyak orang Kang ouw?"
Berkata begitu ia mengawasi kearah timur selatan- Terus ia
menyambung. "Mestinya pihak pengejar sudah muncul."
Soat Kun yang berdiam sekian lama, mendadak tertawa
perlahan.
"Taysu," tanyanya. "Apakah taysu berniat memegat seratus lebih
penunggang kuda itu?"
"Benar" menyahut Su Kay cepat. "Loolap menjadi orang Siauw
Lim Sie, sekarang loolap melihat simurid murtad lewat dihadapanku
dapat loolap membiarkannya tanpa dihadang? Lagi pula....."
saking bernafsu, pendeta ini sempat tak dapat melanjutkan katakatanya
itu.
Tak tega Siauw Pek melihat keadaan pendeta itu. "Taysu, taysu
merdeka." katanya. "silahkan taysu pergi, kami menantikan disini."
Mendengar suara ketua Kim Too Bun itu, bukan main
bersyukurnya sang pendeta.
"Bengcu, terima kasih" dia mengucap. "Loolap cuma mau
menghadang saja, asal pihak pengejar tiba, tak usah dikuatirkan
yang it Tie nanti dapat lolos"
"Rombongan itu lari keras sekali, taysu" berkata Nona Hoan-
"Mereka mirip dengan gempuran gelombang, taysu seorang diri
saja. Mana dapat taysu menghadangnya."
Paras Su Kay menjadi merah Perkataan si nona besar. "Loolap
akan berbuat sebisaku" sahutnya. "Walaupun loolap mesti
mengorbankan diriku, mesti loolap mencegah dan menghadang
mereka itu"
"Bagaimanakah letak tempat dibarat daya?" tanya Soat Kun-
"Tegalan belukar belaka, penuh dengan rumput" sahut Su Kay
menerangkan.
Diam-diam pendeta ini mendapat harapan- ia telah mengenal
baik kepandaian sinona. Mungkin sinona itu mempunyai sesuatu
pikiran-
"Sekarang yang bertiup ialah angin barat." kata Nona Hoan pula.
"Maka itu, baiklah taysu pergi kebarat laut itu, untuk melepas api
disana.Jikalau mereka itu dapat dirintangi oleh api, mungkin pihak
pengejar akan keburu tiba"
Girang sekali Su Kay mendengar petunjuk si nona
"Terima kasih, nona" serunya, dan segera ia berlompat, untuk
lari kearah barat laut itu.
Siauw Pek beramai menyaksikan bagaimana pesat larinya
pendeta itu, yang didalam waktu yang pendek sudah bagaikan
lenyap diantara tegalan rumput yang tinggi dan lebat itu.
Tatkala itu, rombongan pertama sudah berada diutara.
Sementara itu, dengan tiba-tiba saja, diarah barat laut itu tampak
asap mengepul, menyusul api menyala berkobar.
"Ha, sungguh sebat Su Kay Taysu itu" Ban Liang memuji.
"Tak aneh Su Kay Taysu bertindak mati-matian." berkata Siauw
Pek. "inilah saat mati hidupnya Siauw Lim Pay."
Selama Siauw Pek dan Ban Liang bicara itu asap sudah mengepul
dilima tempat. Itulah bukti yang Su Kay Taysu telah membakar
rumput bukan disatu tempat saja.
Dengan cepat, api menjadi berkobar besar. Dari semacam
tabunan berubah menjadi kebakaran, hingga sekarang terdengar
juga suara meretek dari terbakarnya rumput.
Seratus lebih penunggang kuda itu agaknya terkejut melihat api
berkobar-kobar disebelah depan mereka, serentak mereka memutar
haluan kearah selatan- Rupanya mereka itujeri sendirinya. Mungkin
mereka menerka api dilepas oleh musuh. Sementara itu, apipun
muncul diarah selatan itu.
Kembali rombongan itu terkejut lantas saja mereka mengambil
arah timur selatan-Karena ini, mereka mengambil jalan mendaki
tanjakan dimana kumpul rombongan Kim Too Bun-
Sekarang kawanan itu tampak lebih tegas. Benar saja diantara
mereka lebih banyak yang memakai jubah suci, pakaian para
pendeta. Selain yang memegang senjata panjang, ada juga yang
membekal golok kayloo dan ruyung. Yang sisanya, pakaiannya
campur aduk. ada yang singsat ada yang berjubah panjang seperti
dandanan pelajar. yang seragam ialah bungkusan kepala dan muka
mereka.
Dan rombongan itu bagaikan dikejar api, dari itu mereka lari
terus kekaki tanjakan, atau kekaki bukit itu.
Siauw Pek semua mengawasi tajam. Tak dapat mereka
mengenali It Tie. Tiba-tiba Han In menunjuk kearah timur. "Lihat
disana Itulah pasukan pengejar"
Semua orang berpaling ketimur. Disana, ditanah datar, terlihat
mendatangi sepuluh rombongan kecil. Tengah orang mengawasi itu,
mendadak tibalah Su Kay Taysu, yang bermandikan peluh, dan
napasnya memburu, sedangkan ujung bajunya hangus terbakar.
"Lihat disana, taysu" berkata Siauw Pek, tangannya menunjuk
kearah timur. "Itulah pasukan pengejar"
Su Kay Taysu memalingkan kepalanya, terus ia menganggukangguk,
kemudian ia menoleh kearah Soat Kun-
"Nona, terima kasih banyak buat bantuanmu" katanya. "Siauw
Lim Sie tak akan melupakan budi ini" Soat Kun tertawa perlahan.
"Harap taysu ketahui." sahutnya. "Aku berbuat ini karena melihat
taysu, aku bukan membantu Siauw Lim Pay."
"Loolap akan ingat budi ini buat selama-lamanya" kata sipendeta
mengangguk.
"Hai lihat" tiba-tiba Giok Yauw berseru. "Lihat"
Semua orang lalu menoleh. Dikaki bukit itu terlihat munculnya
beberapa orang, yang juga membungkus kepala dan mukanya.
Mereka lari kepada rombongan dari beberapa puluh orang itu,
agaknya untuk mempersatukan diri. Soat Kun tidak bisa melihat
tetapi Soat Gie telah memberitahukannya.
Su Kay khawatir Nona tidak tahu, ia memberikan keterangannya
tentang beberapa orang yang baru muncul itu.
"Jumlah mereka bertujuh?" tanya Nona Hoan-
"Benar, tujuh" sahut Kho Kong.
"Rupanya mereka rombongan ok Touwhu" kata Oey Eng.
Su Kay Taysu mengawasi. Iapun melihat mereka itu mirip
rombongannya Hoan Pa. Siauw Pek heran hingga ia mengerutkan
alisnya.
"Kenapa mereka pada membungkus kepala dan mukanya?
Mungkinkah mereka sudah berjaga dahulu atau karena kebetulan
saja?" katanya.
"Tak mungkin kebetulan" berkata Ban Liang. Su Kay Taysu juga
mengerutkan alis.
"Kalau bukannya kebetulan, mereka mesti ada yang
mengaturnya.." bilangnya.
"Kho Huhoat" Soat Kun memanggil.
"Ya" menyahut Kho Kong.
"Lekas bawa Hui Siu Ouw Bwee kemari" perintah sinona. "Baik"
sahut si orang she Kho, yang berlari pergi.
Api dari arah barat laut itu sudah merembet sampai ketengah
tegalan- Rumput kering dan basah menyala dengan cepat. Bagian
tegalan yang dilanda api itu menjadi hangus hitam dan apinyapun
padam.
Beberapa puluh orang bertopeng itu berkumpul disatu bagian
tegalan disebelah utara. tanah disitu gundul. Terang mereka mau
kebarat.
Rombongan lainnya, yang terdiri dari seratus orang lebih itu
masih berlari berputaran, baru kemudian merekapun menuju
kesebelah utara itu.
Sekarang ini disebelah timur, ditegalan rumput juga , sudah
tampak tegas itu belasan pasukan kecil pendeta-pendeta Siauw Lim
Sie. Setiap pasukan terdiri dari dua atau tiga puluh jiwa, dan setiap
pimpinan rombongan ialah seorang pendeta yang telah berlanjut
usianya. cepat majunya mereka. Pasukan yang pertama segera
mendekati pasukan berkuda itu tetapi...bagaikan tak melihat mereka
maju terus kearah barat itu mungkin mereka berniat mengambil
sikap mengurung.....
Pasukan dari seratus orang lebih itu rupanya insyaf akan
ancaman lawan, mereka tidak berdiam saja mereka justru maju,
untuk menyerang terlebih dahulu. Maka itu, bentroklah kedua belah
pihak itu.
Dengan begitu ramailah tegalan belukar itu yang berubah
menjadi medan pertempuran-Berisik dengan suara bentroknya
macam-macam senjata. Riuh dengan pekik dan ringkik kuda, juga
seruan-seruan mereka sendiri.
Selagi pasukan yang pertama bentrok. Pasukan lain pihak Siauw
Lim Sie itu bergerak terus.
Sebenarnya semua ada delapan belas pasukan. cepat sekali
mereka sudah membentuk barisan rahasia To Han Tin dengan apa
mereka mengurung musuh. Kali ini yang dibilang musuh ialah
rombongan dari tiga puluh orang lebih itu serta yang seratus orang
lebih. Karena desakan api serta letak tempat, kedua rombongan jadi
berkumpul disatu tempat. Demikianlah mereka menjadi terkurung
bersama.
Rombongan Siauw Pek diatas bukit dapat melihat jalannya
pertempuran itu. Mereka mengagumi liehaynya pasukan Lu Han Tin
dari pihak Siauw Lim itu.
Mendadak ada serombongan musuh yang lolos dari kurungan,
mereka menyerbu ketimur, hingga mereka bentrok dengan dua
rombongan Siauw Lim Sie lainnya.
Tepat waktu itu, Kho Kong telah kembali bersama Ouw Bwee.
Dia melempar dan menggabruki orang tawanan itu ketanah. "Nona
Hoan, inilah Ouw Bwee" sihuhoat memberitahukan.
"Geledah tubuhnya" Soat Kun memberi perintah.
Kho Kong segera bekerja, ia mendapatkan segumpal kain hitam,
ketika ia membuka dan membebernya, ternyata itulah bungkusan
kepala dan muka yang sama benar dengan yang dikenakan
pasukan-pasukan "musuh" itu. Nona Hoan tersenyum.
"Ban Loo huhoat, tolong periksa orang ini" sinona meminta
bantuan Ban Liang. "Dia harus dipaksa mengakui segala-galanya"
Ban Liang tertawa dingin-
"Aku si tua tahu bagaimana harus bertindak" katanya. Lantas ia
maju menghampiri ouw Bwee, akan menjambak leher bajunya, buat
mengangkat tubuh orang Ouw Bwee sadar, mukanya pucat-pasi.
"Tak usah mencapikkan hati." kata dia. "Aku si orang she ouw
telah terjatuh ketangan kamu tanyalah segala apa, aku akan jawab"
Soat Kun memperdengarkan suara dingin. "Dari mana kau dapat
bungkusan kepala hitam ini?"
"Itulah pemberian ciangbunjin-" sahut Ouw Bwee.
"ciangbunjin- ialah ketua partai."
"Ngaco" bentak Ban Liang bengis, yang terus menotok pinggang
orang.
ouw Bwee tertawa geli, tetapi mukanya pucat tanda nyeri,
dengan gugup dia berkata: "seorang laki-laki dapat dibunuh, tetapi
tidak dapat dihina. Aku omong dari hal yang benar. Jangan kamu
menggunakan cara-cara kejam"
Siauw Pek mengulapkan tangan mencegah si jago tua. "Dimana
sekarang adanya ciangbunjin kau itu?" tanyanya.
"Di Pat kwa peng." sahut orang tawanan itu. Yang mengerti
salatan dan tak sudi dikompes. "Tadi malam aku dan para adik
seperguruanku berada di Lamyang. Tiba-tiba kami menerima surat
perintah dari ciangbunjin kami. Aku diperintah mengajak sutee dan
kedua sutee lekas pergi ke daerah Hie ciang untuk memapak It Tie
Taysu, ciangbunjin dari Siauw Lim Sie."
"Siapakah yang diperintah membawa surat perintah itu?"
"Dialah pelayan ciangbunjin kami, yang sekalian membawa
bungkusan kepala hitam itu."
"Pat kwa peng berada jauh di Seecuan Barat." menyela Ban
Liang. "Sedangkan peristiwa Siauw Lim Sie baru terjadi satu dua
hari. Apakah ciangbunjin kamu itu pandai ilmu meramalkan?"
"Itulah keajaiban partai kami, tak dapat aku menjelaskannya.
Mungkin orang-orang kedua partai Kun Lun dan ceng shia Pay juga
telah menerima perintah dari ciangbunjin kami itu."
Ban Liang tertawa dingin pula, katanya: "ok Touwhu Hoan pa
dan Uh bun ceng tak punya ketua. Habis mereka menerima perintah
siapa kah?"
"Hal mereka itu, aku si tua tak tahu."
"Apakah hubungannya ciangbunjin kamu dengan Seng Kiong Sin
Kun?" Siauw Pek tanya. Ouw Bwee melengak.
"Seng Kiong Sin Kun?" ia mengulangi. "Pernah aku
mendengarnya. Tak tahu aku ada hubungan apa diantara dia dan
ciangbunjin kami itu."
"Hmmm, kau main tak tahu saja" bentak Ban Liang. "Rupanya
kau mesti dikasih rasa"
Berkata begitu, jeriji tangan si jago tua segera meluncur. Itulah
Ngo Hun Souw hiat, totokan "Lima Sukma."
Tak ampun lagi, Ouw Bwee merasai seluruh tubuhnya geli dan
nyeri, peluhnya mengucur membasahi kepalanya. Dialah seorang
jago tetapi tak sanggup dia menderita, saking gusar dia mencaci
kalang kabutan.
"Hai Ban Liang, tua bangka. Kau menggunakan siksaan, adalah
kau seorang gagah?"
"Aku tanya kau" bentak sijago tua. "Kau konco Seng Kiong Sin
Kun atau bukan?"
Masih Ouw Bwee gusar.
"Seng Kiong Sin Kun itu manusia macam apa?" bentaknya. "Aku
sih orang she ouw adalah anggota Pat Kwa Bun"
"Hei kelinci licik" bentak Ban Liang, "Lihatlah bagaimana aku situa
dengan perlahan-lahan membereskanmu"
Walaupun ia mengatakan demikian, Seng Su Poan toh menotok
membebaskan orang tawanan itu dari siksaan totokan "Lima
Sukma", maka itu segera saja si orang tawanan menarik napas
melegakan diri.
"Kamu orang-orang yang memuja prikeadilan, begini kejam
perbuatan kamu" kata dia mendongkol. "Kenapa hatimu lain dan
mulutmu lain? Apakah kamu tak takut mati ditertawai orang
dikolong langit?"
"cis" Ban Liang membentak. "Terhadap kamu bangsa busuk,
siksaan sepuluh lipat dari inipun masih tak apa" Lalu ia menoleh
kepada ketuanya dan berkata: "Tua bangka ini ada hubungannya
dengan Seng Kiong Sin Kun tetapi dia membela menyangkal, karena
itu aku lihat, baik dia dihabiskan saja"
"Biarkan dahulu dia hidup sementara waktu lagi." sahut Siauw
Pek.
Ban Liang cuma menggertak. maka juga setelah memperoleh
jawaban ketuanya itu, dia jambak ouw Bwee, untuk dibawa pergi.
"Ban Liang huhoat" tiba-tiba Soat Kun memanggil. "Tolong
ambilkan bungkusan hitam dari tiga orang lainnya itu"
"Baik, nona" menjawab sijago tua, yang terus lari. Dilain saat ia
sudah kembali bersama tiga bungkusan kepala yang diminta itu,
sedangkan ouw Bwee telah dikembalikan kedalam kereta.
Dimedan pertempuran, kebakaran rumput sudah padam
seluruhnya, tetapi pertempuran masih beriangsung. Pihak musuh
masih terkurung oleh beberapa ratus pendeta Siauw Lim Sie itu,
yang merupakan pasukan istimewa Lo Han Tin- Nampak diantara
mereka yang terkurung itu ada yang mengerti Lo Han Tin, buktinya
sejumlah penunggang kuda dapat menerjang sana menerobos sini
walaupun mereka belum berhasil menyerbu keluar.
Pertempuran berlangsung hebat tetapi tidaklah kacau, karena dia
pihak mudah dikenali. Pihak yang satu berbungkus kepala hitam,
yang lain berseragam hijau.
"Taysu," tiba-tiba nona Hoan tanya Su Kay. "Apakah taysu masih
belum mengerti It Tie?"
"Loolap telah memperhatikan tetapi belum tampak orang yang
mirip."
"Apakah kesembilan tiangloo hadir semuanya?" Su Kay
menggeleng kepala.
"Tidak. nona .Jangan tampak cuma Su Seng sutee seorang.
Dialah yang mengepalai tin itu."
"jikalau begitu, mungkin It Tie tidak ada dalam rombongan itu."
Su Kay bagaikan tersadar.
"Demikianpun dugaanku, cuma loolap tidak berani memastikan.
Ada kemungkinan It Tie sengaja menyembunyikan diri, untuk pada
saatnya lolos kabur."
"Bagus tipu menggunakan bungkus kepala itu" Siauw Pek puji.
"coba bilang, taysu, apakah rombongan itu dapat lolos dari
kurungan tin?" Nona Hoan tanya kemudian-
"Disiang hari, tidak. entahlah kalau sudah malam."
"Sekarang jam berapa?"
Su Kay melihat langit dan sekitarnya, ia nampak masgul. "Lekas
juga gelap gulita akan datang," sahutnya. Sekonyong-konyong
Siauw Pek menunjuk kearah barat laut. "Lihat disana, ada orang
mendatangi" katanya. Semua orang menoleh dengan cepat.
Benarlah disana lagi mendatangi beberapa bayangan orang,
setelah datang lebih dekat ternyata mereka itu berjumlah belasan.
Mereka berlari-lari kearah medan perang. Su Kay Taysu nampak
tenang, dia mengawasi tajam.
Hanya sebentar, rombongan itu sudah datang lebih dekat hingga
jumlah mereka dapat dihitung tepat, empat belas orang pendeta
dan semua mengenakan bungkus kepala hitam. Bahkan setelah
mereka muncul lagi empat bayangan lain, yang datangnya pesat
sekali.
Dalam ketegangan hatinya, Su Kay Taysu berkata seorang diri:
"Empat orang yang belakangan itu, yang lagi mengejar, adalah
Suheng Su Khong. Su It dan sutee Su Lut dan Sie wi"
"Kalau sampai Su Khong Taysu yang mengejar sendiri," berkata
Siauw Pek, "Diantara empat belas orang itu tentu ada It Tie."
Sementara empat belas orang itu sudah mendekati tegalan bekas
terbakar itu, terpisahnya dari Lo Han Tin tinggal delapan atau
sembilan tombak. tapi mendadak mereka memutar haluan lari
kebarat selatan, barat daya. Paras Su Kay berubah.
"Jikalau mereka berhasil melintas bukit, mereka bakal dapat
lolos" katanya. "Jikalau taysu ingin memegat mereka, silahkan"
Siauw Pek memberi perkenan. Nampaknya pendeta Siauw Lim Sie
itu sangat bersyukur.
"Bengcu, loolap." katanya yang terhenti dengan tiba-tiba. inilah
sebab ia melihat dikiri tanjakan muncul sepuluh orang, delapan
diantaranya berkerudung hitam, hingga ia mengawasi dengan
perhatian. Segera ia mengenali tiga orang yang paling belakang,
yang lagi mengejar tujuh yang didepannya. Mereka bertiga itu ialah
Su ci, Su ceng dan Su Beng.
Delapan orang itu mulanya menuju keutara. Lalu belok kearah
tempat berkumpulnya rombongan Siauw Pek. Maka itu Su Kay
segera maju memapak kedepan sambil menegur: "Siapa kah kamu?
Disini Su Kay"
Delapan orang itu nampak kaget. Mereka itu sudah datang dekat
sekali. orang yang terdepan terpaksa menggunakan golok kaytoo
membacok pendeta yang memapaknya itu.
Su Kay gusar, sambil membentak ia menangkis. Maka bentroklah
tongkat dengan golok, lalu apinya meletik munCrat.
Pendeta berkerudung itu menjerit kesakitan goloknya terlepas
dan jatuh, sebab telapakan tangannya luka mereka mengucurkan
darah.
Ketika itu tibalah Su cu, Su ceng dan Su Beng mereka mengenali
Su Kay, ketiganya lantas berseru: "Suheng, pegatlah mereka ini.
Jangan kasih lolos"
Oleh karena peristiwa yang hebat itu, walaupun dia berbudi
luhur. Su Kay tak dapat menguasai diri lagi, habis berkata itu,
dengan hebat ia serang kedelapan murid Siauw Lim Sie itu. ia
sampai lupa akan orang sendiri
Serangan hebat itu mengasih dengar suara bentrokan senjata
hebat juga , dua pendeta terlepas genggamannya dan tubuhnya
terguling kebawah tanjakan, maka Su Kay tinggal melayani enam
yang lainnya.
Ada rombongan baru yang berlari-lari mendaki, mereka itu
segera dipegat Su cu, Su ceng, Su Beng begitu bergerak. mereka
bertiga tahu bahwa lawan-lawannya itu adalah pendeta-pendeta
dari huruf "It."
Sementara itu Su Kay tengah melayani seorang lawan yang
tangguh, hingga ia menyangka iawan itu It Tie adanya. Demikian ia
berseru: "It Tie, mUrid mUrtad, apakah kaU masih tidak mau
mempertihatkan wajahmu?" berbareng dengan itu, ia putar
tongkatnya, mengelakkan satu serang berbahaya.
JILID 44
Lawan itu berlaku tenang. Walaupun dia telah dicaci dan
dibentak. tak mau dia membuka suara, sebaliknya dia mencoba
membalas menyerang dengan satu tipu silat yang membahayakan
sekali.
Itulah gerakan "Cie So Hok Liong" atau "Rotan Merah Melibat
Naga". Tangan kiri menyambar, untuk menangkap lengan kiri Su
Kay Taysu, tangan kanannya meluncur kepinggang pendeta itu.
Gerakan itu sangat sebat tetapi juga tanpa suara anginnya.
Namanya jurus ialah "Poan Jiak Sian ciang", atau "Tangan Prayna".
Itu pula salah satu tipu silat istimewa Siau Lim Pay yang banyaknya
tujuh puluh dua macam.
Su Kay Taysu dapat membebaskan diri, tetapi ia terkejut sekali,
hingga ia membentak "It Tie, pendurhaka, masih kau tak mau
perlihatkan dirimu"
Tetap pendeta yang disangka It Tie itu membungkam, dia
bagaikan tuli dengkak dan gagu bisu, tetap dia menangkis dan
menyerang, melayani Su Kay Taysu secara yang membuat tiangloo
ini heran dan kagum.
Sebenarnya dia antara tiangloo tiangloo Siauw Lim Sie, Su kay
adalah yang paling lihay disamping Su Khong Taysu, maka heraniah
yang lawan ini dapat melayaninya dengan kepandaian yang luar
biasa hebat itu.
Ketika itu tibalah Su Khong dan Su ie, Su Lut dan Su wie Su Kay
menjadi bertambah semangat, ia menyerang hebat lawannya itu.
Tiba tiba terdengar satu suara menyayatkan hati. Kiranya Su
Beng dilain pihak telah menghajar remuk batok kepalanya lawan,
hingga dia telah hilang nyawa seketika.
Tibanya rombongan Su Khong itu membuat beberapa orang
lawan lari turun tanjakan. Su Beng mau mengejar mereka itu sambil
dia membentak. "Kawanan pemberontak, kau hendak kabur
kemana?"
Tapi Su Khong menteriak "Sutee, tak usah mengejar mereka itu"
Mulanya Su Beng melengak. setelah ia menoleh, ia mengerti.
Maka ia berhenti mengejar lalu ia berdiri diam, bersiap sedia dengan
senjatanya. Dengan begitu ia mau menjaga, mencegah lawan lawan
lainnya lari turun.
Belasan murid Siauw Lim Sie dapat lolos turun, hingga tinggal itu
satu pendeta, yang bertubuh tinggi besar, yang dilihat oleh Su Kay
Taysu, Su Khong dan lainnya bertujuh tiangloo pun berdiri diam,
berjaga-jaga.
Rombongan Siauw Pek diatas bukit tetap menonton pertempuran
yang dahsyat itu. Mereka memikir belum tiba saatnya untuk turun
tangan-
Tengah Su Kay melayani lawannya yang lihay itu, mendadak ia
mendengar suara teguran su cu Taysu. "Apakah kau It Tie?"
Teguran itu mulanya didahulukan suara bentrokan senjata yang
nyaring berisik sekali. Itulah bukti bahwa kedua senjata berada
ditangan yang lihay.
Su Kay mendengar teguran Su cu itu, hatinya bercekat.
Mendengar disebutnya nama It Tie saja sudah membuat darahnya
bergolak., Maka segera ia melirik kearah Su cu Taysu, hingga ia
melihat, Su cu tengah menghadapi serombongan orang
berkerudung yang lainnya yang telah mendaki tanjakan, Su cu bisa
terancam bahaya dikepung rombongan yang baru ini. Maka Su kay
berlompat meninggalkan lawannya, akan menyerang beberapa
orang itu. dalam murkanya, segera ia menghajar roboh tiga lawan,
yang tubuhnya terguling ke bawah bukit.
Han in Taysu menyaksikan kegagahannya, "Sungguh ilmu
tongkat yang bagus sekali Itulah hebatnya sebuah senjata berat "
Menyusul pujian ketua Ngo Bie Pay itu, kembali terdengar seruan
bengis dari Su Kay Taysu, maka kembali tiga orang lawannya, roboh
semua Dengan begitu maka ia bisa terus menghampiri Su cu Taysu.
Su cu Taysu tengah menahan beberapa orang lawan lainnya,
ketika ia melihat tibanya sang suheng, ia menjadi girang
semangatnya terbangun. segera ia berseru: "Suheng, kau bekuk
dahulu itu orang yang bertangan kosong Lihatlah, dia It Tie atau
bukan"
Su Kay menoleh kepada lawan yang ditunjuk Su cu itu, yang
berada disebelah kiri, melihat seorang pendeta dengan tubuh besar
dan kekar, yang mirip dengan potongan tubuh It Tie, maka ia
berseru seraya melompat kearah orang itu.
Melihat majunya Su Kay, lawan itu berlompat nyamping, untuk
dari situ menerjang punggung orang. Ia telah melayangkan
tangannya
Su Kay melihat lawan itu menggunakan jurus "Hang Liong sippat
Siang" yaitu tipu silat "Delapan belas Tangan Menaklukkan Naga"
Sekarang ia melihat tegas, inilah lawan lihay yang tadi bentrok
hebat dengannya. Maka ia segera berlaku waspada.
Tengah saudaranya itu bertempur, Su Khong menegur, "It Tie,
murid murtad, apakah kau masih tak mau menyerah? Kau mau
tunggu apa lagi ?"
Teguran itu mengejutkan pendeta itu, hingga gerakannya jadi
ayal, Su Kay menggunakan kesempatan untuk menghajar kepala
orang.
Pendeta itu kaget tapi ia sempat melompat berkelit. Dia
melompat sejauh tujuh kaki
Su Khong semua mendongkol. Mereka mengenali kelitan atau
lompatan itu, ialah salah satu jurus terlihay dari Siauw Lim Sie.
Diantara sembilan tiangloo, cuma Su Khong yang pernah
mempelajari tipu silat itu.
Karena pendeta itu menggunai tipu silat yang lihay itu, Su Kong
beramai menerka pasti dialah It Tie, si ketua murtad. Maka semua
lalu berwaspada.
Dengan berlompat itu, pendeta itu jadi mendekati Su cu Taysu,
yang menjaga diarah timur laut. Tanpa ayal lagi, Su cu membentak
sambil menerjang. Ia menggunakan tangan kosong.
Atas serangan itu, yang ia dengar anginnya, pendeta
berkerudung kepala itu menangkis sambil memutar tubuhnya. Hebat
tangkisannya itu hingga ia mundur satu tindak. Dilain pihak. Su cu
mundur tiga tindak dengan tubuhnya limbung
Menurut tingkat golongan, It Tie ada terlebih rendah daripada Su
cu. Dia dari huruf It Su cu dari huruf "Su". Toh sekarang terbukti,
dia terlebih gagah
Sebagai kesudahan dari bentrokan itu, Su Khong beramai
berseru, lalu mereka maju berbareng, mengurung bebas ketua itu.
Itulah kurungan Lo Han Tin yang dipersingkat.
Kedelapan tiangloo heran sekali menyakslkan kelihayan lawan itu.
Kalau dia itu benar It Tie, itulah hebat bukan main- Maka mereka
perhebat pengepungan mereka.
Selang dua puluh jurus, baru tampak lawan itu keteter, walaupun
demikian, tak dapat dia segera diringkus atau diroboh kan.
Bertempur terlebih jauh, kedelapan tiangloo bersikap semakin
keras. Mereka heran dan penasaran jikalau mesti bertempur satu
lawan satu, mungkin mereka bukanlah lawannya. begitulah Su
Khong, setelah mendesak keras dia menyapu dengan tongkatnya.
Lawan itu berkelit sambil berlompat, sambil berlompat itu, dia
meneruskan menyerang Su Lut dan Su Beng dikiri dan kanannya.
Dia bertarung mementang kedua belah tangannya.
Su Kay menggunakan saat orang menyerang ke kedua arah itu,
ia berlompat maju, menyerang dengan sianthung, tongkatnya. Tapi
ia menyerang bukannya dengan menikam atau menyodok. hanya
tongkat itu diteruskan dilepas dari cekalannya, dibuat meluncur
pesat
Orang yang diserang itu kaget sekali. Inilah dia tidak sangka.
Tapi dia lihay luar biasa, sambil berkelit kesamping, dia mengulur
tangan kirinya, menyambut tongkat itu
Berbareng dengan serangannya Su Kay itu Su cu bersama Su Ie
dan Su Beng menyerang serempak. Itulah hebat sekali. Lawan
belum sempat memperbaiki kedudukannya, sedangkan tangan
kirinya baru mencekal tongkatnya Su Kay itu. Toh dia masih
mencoba berkelit dan menangkis. Sayang dia repot sekali dia jadi
kurang sebat. Mungkin ini disebabkan ia sudah terdesak. karena dia
telah letih. Tidak ampun lagi, ujung tongkat Su Ie mampir di
pinggangnya, hingga tubuhnya menjadi limbung. Justru itu, tibalah
jeriji tangan Su Kay dan Su Khong maka itu dia segera kena
tertotok. Di saat tubuhnya limbung hendak jatuh, sebelah tangan Su
Khong telah menyambar kekepalanya, menjambret bungkusan
kepala hitam itu
Selekasnya kerudung itu terpisah dari kepalanya, tampaklah
kepala gundul dan wajah si lawan. Benar benarnya dia It Tie adanya
Su Ie berlaku sebat, segera ia mengeluarkan tambang istimewa
yang dinamakan "Kauw Kin Sun So", atau "tambang otot ular naga".
Dibantu oleh Su Lut dan Su Beng, kedua tangan It Tie ditarik rapat
kebelakang, terus dilibat diikat erat erat. Bahkan kedua kakinya
diikat juga
Disaat itu mendadak terdengar teriakan kaget dari Su Kay Taysu.
"Ditubuh binatang ini tak ada apa apanya" demikian teriakan itu.
"Apa?" seru Su Khong bertanya.
"Dari sembilan belas kitab rahasia, satupun tiada" Su Lut pun
berseru.
Su Khong kaget hingga ia bermandikan peluh, hingga dengan
kedua tangannya sendiri ia meraba raba tubuhnya itu ketua murtad.
Kesudahannya itu membuat ia mengoceh seorang diri. suaranya
bagaikan orang menangis.
Siauw Pek berkata perlahan pada Oey Eng:
"Adik, coba tolong nyalakan obor untuk mereka itu"
Memang, ketika itu, cuaca sudah mulai gelap.
Oey Eng serta Kho Kong berlaku sebat, mereka mencari rumput
kering, untuk diikat dijadikan obor dan terus disulut.
Ketika itu, Soat Kun memperdengarkan suaranya: "Para taysu,
baiklah kalian kekang dahulu semua orang di bawah itu supaya
jangan ada yang lolos, sesudah itu barulah kalian periksa It Tie"
Su Khong bagaikan tersadar. Suara si nona benar sekali. Saking
tegang hatinya, tadi ia melupakan mereka yang sedang bertempur.
Ia pun mengagumi si nona yang cerdas itu. Maka ia lalu memegang
It Tie dengan kedua tangannya untuk mengangkat tinggi tubuh
sang ketua berbareng dengan mana ia berkata nyaring:
"Kamu dengar, Semua berhenti bertempur... Lihat, It Tie si
pemberontak telah kena ditawan. Pemberontak inilah yang bakal
dihukum, kalian yang hanya ikut ikutan saja, akan memperoleh
keringanan"
Suara ketua tiangloo ini terdengar tegas oleh semua orang yang
sedang bertempur itu. Mengalun nyaring suaranya, karena
dikeluarkannya menuruti ilmu suara "Hud Bun ciang Keng" yaitu
Cara pembacaan khotbah istimewa.
Menyusul itu Su Kay Taysu juga memperdengarkan suara
gunturnya. "Berhenti" Ia menggunakan ilmu suara "Say cu Hauw"
artinya "Derum singa" Suara itu lantas berkumandang, terdengar
oleh semua orang di Tegalan itu.
Hanya sebentar, sunyilah seluruh medan pertempuran itu.
Pertempuran berhenti serentak. sebagai gantinya, semua mata
diarahkan ke atas bukit
Dalam kesunyian itu terdengar suara Su Khong Taysu: "Su Kay
Sutee berdiam disini. Yang lainnya turun untuk mengurus mereka
itu semua, guna menjaga jangan ada yang lolos." Atas perintah itu,
Su ie semua segera lari turun dari atas bukit.
Di dalam waktu yang pendek. Lo Han Tin sudah berubah menjadi
delapan belas pasukan kecil, yang terus bersikap mengurung semua
pengikut It Tie Taysu.
Tegalan belukar menjadi terang pada saat lain- Itulah karena
pihak $pengurung menyulut unggun, yang mereka tumpuk disana
sini. Terutama dari atas tanjakan, dari atas bukit, orang dapat
melihat dengan tegas.
Pemandangan dimedan tempur itu menyedihkan. Diantara
bangkai bangkai kuda tampak mayat mayat berserakan, mayat yang
tak utuh lagi serta berlumuran darah. Tak sedikit kurban telah
berjatuhan-
Segera setelah Su Khong menyaksikan selesainya pengurungan
orang orangnya. ia menepuk dua kali tubuh It Tie, membuat bekas
ketua itu sadarkan diri.
"Manusia durhaka, mana itu sembilan belas kitab pusaka?"
tiangloo ini membentak. "Dimana kau sembunyikan?"
It Tie mementang matanya, mengawasi orang yang menegurnya.
Ia bagaikan tak mendengar suara orang.
Bukan kepalang mendongkolnya Su Khong. "Plok" demikian satu
gaplokan kepipi orang
It Tie merasakan sangat nyeri, matanya sampai berkunang
kunang, sedang mulutnya mengeluarkan darah. Tapi ia tetap
berdiam saja, ia berdiri mematung. Memang ia telah diringkus
tangan dan kakinya.
Dengan tangan kanan mencekal tulang pipa dari bekas ketua itu,
Su Khong menyentil telinga orang
Luar biasa pendeta lawan itu, ia masih saja berdiri diam.
Su Kay gusar bukan main, akan tetapi ia masih dapat menguasai
dirinya.
"It Tie," katanya, dengan perlahan, suaranya terharu, "kau
menjadi ketua Siauw Lim Sie, mengapa kau berbuat begini rupa?
Bagaimana perasaanmu terhadap gurumu yang berbudi, terhadap
sucow kita yang maha mulia? Kau tahu sendiri, sembilan belas kitab
pusaka itu menjadi pusaka Siauw Lim Sie kita, bahkan empat jilid
diantaranya adalah tulisan tangan dari Tatmo couwsu kita sendiri,
sedang lima yang lainnya hasil kerja susah payah dari seluruh kita.
Kitab-kitab itu memuat tujuh puluh dua rupa ilmu silat istimewa dari
partai kita. Mana dapat semua kitab itu dihilangkan atau
dimusnahkan? Lekas kau kasih tahu, dimana kau sembunyikan? Asal
kau bicara terus terang, bersedia menjamin keselamatan jiwamu,
kau memperoleh hukuman yang ringan"
Su Khong gusar tetapi, dengan nada sengit, ia toh berkata: "Asal
kau mengaku, aku jamin seutar nyawamu"
It Tie terus berdiam, tak peduli apa katanya kedua pendeta itu.
Mulutnya tertutup rapat, sedang matanya mengawasi saja kesatu
arah biji matanya itu tak berputar atau memain.
Bukan main berkuatirnya Su Khong berkuatir akan keselamatan
kitab kitab pusaka partainya.
"Apakah kau telah merusak habis semua kitab itu?" tanyanya
pula, keras.
Su Kay juga bingung, hingga ia menyambar lengan orang, untuk
dipegang dengan keras.
"Lekas bilang " bentaknya, "Apakah kitab kitab itu berada pada It
ceng ?"
Masih itu berdiam saja.
Sampai itu waktu, Hoan Soat Kun bertindak menghampiri. "Maaf,
taysu," katanya. "Dapatkah taysu mengijinkan aku melihat wajah
murid murid dari kuilmu ini ?"
"Silahkan, nona," berkata Su Khong, yang segera mundur
kesamping. "Tolong nona menanya dia. Sekarang ini pikiran loolap
sangat kacau hingga loolap tak tahu harus bagaimana bersikap."
su Kay pun mengundurkan diri.
Soat Kun tersenyum.
"coba kau lihat wajahnya, adikku" ia berkata kepada Soat Gie,
yang tubuhnya ia tolak kedepan.
Adik itu menghampiri It Tie, untuk berdiri didepannya sekali.
Segera ia mengawasi mukanya pendeta itu, bahkan ia mengangkat
tangan kanannya untuk meraba pipi orang, kemudian lagi, dengan
kedua tangannya, ia membuka kulit matanya. Baru setelah itu,
kembali ke sisi kakaknya.
Dilain detik, kedua saudara berCacat itu telah saling berpegangan
tangan jeriji mereka memain satu dengan lain- Demikianlah Caranya
mereka berbicara dengan terlebih jelas.
"Inilah aneh " berkata Nona Hoan kemudian "Akupun tak
mengerti."
"Nona, apakah kata nona?" tanya Su Kay bingung.
"Taysu," menjawab si nona, "orang yang taysu tawan ini
bukanlah It Tie yang menjadi ketua kalian itu"
Su Kay Taysu terperanjat. "Apa?" tanya menyusul mana tangan
kanannya menjambret kepada mukanya pendeta tawanan itu.
Soat Kun menjawab, "Dengan satu kepandaian luar biasa, muka
orang ini telah diubah hingga menjadi merupakan wajahnya yang
sekarang ini. Dia bukannya mengenakan topeng kulit manusia"
Su Kay kaget dan heran bagaikan kalap. dia merobek jubah
sucinya It Tie itu It Tie yang dikatakan palsu
Oey Eng dan Kho Kong maju menghampiri dengan membawa
obor, untuk dapat menyuluhi dengan terang sekali, maka sekarang
tampak tegas dileher It Tie itu ada tampak berbatas seperti kulitnya
ditukar.
"Nona, sebenarnya bagaimana ini?" tanya Su Kay. sedangkan Su
Khong berdiam saja semenjak tadi.
"Inilah suatu kenyataan," berkata Soat Kun menjawab sipendeta.
"Seorang yang mempunyai kepandaian luar biasa, besar sekali cita
citanya. Dia hendak menelan semua partai lainnya dan sekarang
Siauw Lim Sie menjadi buktinya. It Tie palsu ini adalah karya orang
dibelakang tirai itu"
Muka Su Kay menjadi pucat.
"Nona," tanyanya, "apakah nona tahu siapa orang dibelakang
tirai itu?"
"Dialah Seng Kong Sin Kun" sahut Soat Kun, dingin. "Sin Kun"
Raja Sakti, dari "Seng Kong" Istana Nabi.
Kembali su Kay diam tertegun matanya terpentang, lidahnya
terkeluar. Ia berdiam beberapa lama. Baru kemudian ia menuding
pada It Tie palsu itu.
"Apakah iniorangnya yang telah membawa kabur pusaka kami?"
ia tanya Nona Hoan. Nona Hoan menggelengkan kepala.
"Bukan- sahutnya. "Perbuatan itu dilakukan oleh It Tie. Dia ini
muncul ditengah jalan, guna mengalihkan perhatian orang, supaya
It Tie sendiri lolos bersama semua kitab pusaka itu. Taysu telah
terkena tipu daya Seng Kiong Sin Kun yaitu tipu tonggeret
meloloskan kerangka. Jikalau dugaanku tidak keliru, sekarang ini
pastilah sembilan belas kitab pusaka itu sudah berada didalam
tangan Sin Kun"
Muka Su Kay pucat seperti mayat, segera dengan jeriji tangannya
yang kuat bagaikan ujung tombak. ia menutup jalan darah im kauw
dari It Tie palsu itu, sambil menotok itu ia bertanya bengis: "Siapa
kau? Siapakah yang menitahkan kau berbuat begini? Lekas bicara"
Kena totokan pendeta itu, It Tie tetiron meringis ringis, tubuhnya
bagaikan Ciut ringkas. Dia kesakitan bagaikan tersiksa hebat.
"Jangan gusar, taysu," Soat Kun membujuk. "orang ini telah
dilupakan semacam obat, pikirannya tak waras lagi, maka itu,
sekarang keterangannya tak dapat didengar."
Su Khong, yang masih berdiam saja, maju akan mendekati It Tie
tetiron, untuk mengawasi dengan tajam. Ia mendapati tubuh orang
itu menggigil tak hentinya, walaupun demikian matanya tetap tak
bergerak. arah matanya cuma satu mendelong saja. Bahkan dia tak
merintih kesakitan-
Tanpa ayal lagi, tiangloo ini menotok bebas orang itu dari siksaan
totokannya Su Kay.
Dengan roman duka tetapi mengandung keheranan, Su Kay
berkata: "Terang ilmu silat orang ini ilmu silat partai kita, bahkan dia
telah memperoleh ilmu silat simpanan yang istimewa. cuma ketua
partai kita yang dapat mempelajari ilmu silat itu. Loolap menjadi
tiangloo, loolap masih tak pandai jurus itu. Kalau dia bukannya It
Tie, habis siapakah dia?"
Su Khong Taysu pun bingung. Katanya: "Dengan melihat
jurusnya tadi, kalau bukannya peryakinan dua puluh tahun, tak
dapat dia sedemikian mahir. Mungkinkah pada dua puluh tahun
yang lampau itu rahasia ilmu silat kita ini telah bocor keluar?"
Tipu silat yang dimaksudkan itu adalah "Sie ble KayCie" atau
"Semeru Kecil", nama yang diambil dari suatu kitab agama Buddha.
Itulah salah satu dari tujuh puluh dua macam tipu silat istimewa dari
Siauw Lim Pay.
Tengah orang bingung itu, mendadak Han In Taysu berlompat
menghampiri. Dengan kedua tangannya menekan tanah, ketua dari
Ngo Bie Pay itu membuat dirinya mencelat kedepan. "Taysu berdua,
benarkah taysu tidak tahu siapa orang ini?" demikian tanyanya.
Itulah pertanyaan yang dianggapnya aneh, hingga Su Kay
melengak.
"Taysu," berkata ia, "sekarang ini pikiranku sedang sangat kusut
hingga loolap bagaikan tak sadarkan diri. Adakah petunjuk taysu,
yang dapat membuka hati kami? Tolong taysu jelaskan. . . "
Su Kay juga heran, hingga ia mengawasi pendeta tua dan
bercacat itu. Han In Taysu berlaku tenang, ia menghela napas.
"Ini dia yang dibilang, orang yang bersangkutan pudar, orang
luar sadar," katanya, perlahan- Lalu, sambil menunjuk orang yang
dinamakan It Tie tetiron itu, dengan suara rada menggetar, ia
melanjutkan- "Taysu berdua, orang itu pernah bersama sama taysu
belajar ilmu silat didalam suatu ruangan besar, yang dengan taysu
berdua pun mempunyai hubungan erat bagaikan tangan dengan
kaki. Dialah yang taysu berdua mengenalnya semenjak kecil.
Mustahil taysu berdua benar benar tak mengenalnya ?"
Su Khong menjadi sangat bingung. "Apakah katamu, taysu?"
tanyanya.
Su Kay tak kalah herannya, dia tertegUn seperti kakak
sepergUruannya itu. Han In segera memperdengarkan sUaranya
yang tawar.
"Taysu berdua," demikian katanya, orang ini adalah ketua
terdahulu dari Siauw Lim Sie, kakak seperguruan kalian, atau dialah
guru It Tie Taysu "
"Su Hong Suheng" Su Khong memotong. Han In Taysu tertawa
dingin-
"Benar Su Hong Taysu" sahutnya berseru.
Su Khong dan Su Kay saling mengawasi, mata mereka
mendelong. Keduanya terus berdiri diam bagaikan patung.
Siauw Pek tahu kedua pendeta tua itu sedang kacau pikirannya,
ia merasa kasihan sekali. Lalu ia bertindak menghampiri mereka itu.
"Taysu berdua, katanya sabar, apa yang dikatakan Han In Taysu
tidak salah. Memang benar orang ini adalah Su Hong Taysu, ketua
terdahulu dari Siauw Lim Pay." Su Khong heran.
"Coh Siecu, bagaimana kau mengenalnya?" ia tanya ketua Kim
Too Bun itu. Siauw Pek tetap bersikap sabar.
"Taysu, ia balik menanya, tolong taysu bilang, andaikata taysu
bertempur satu dengan satu dengan orang ini, dapatkah taysu
melawannya?"
Su Khong terus dipengaruhi rasa herannya, tetapi ia menjawab
sejujurnya: "Tenaga dalam dan ilmu silat orang ini benar lihay luar
biasa, buat melawan dia satu sama satu, loolap bukanlah
lawannya."
"Dan ilmu silatnya benarkah itu ilmu silat Siauw Lim Pay?" Siauw
Pek bertanya pula.
"Memang, seluruhnya memang ilmu silat Siauw Lim Pay," jawah
Su Khong.
"Nah, taysu, tolong taysu sudi pikirkan- dijaman sekarang ini,
siapakah orangnya yang sanggup mengalahkan tiangloo dari huruf
Su dari Siauw Lim Pay? siapakah orangnya kecuali Su Hong Taysu ?"
"Tetapi," kata Su Khong, bukan main bingungnya, "Su Hong
suheng itu, ketua kami telah terbinasa dipuncak Yan In Hong."
Mendengar disebut nama puncak Yan In Hong itu. Mendadak
muka Siauw Pek menjadi pucat, lalu mengingat akan duduk halnya,
mendadak ia menghentikan kata katanya.
Tapi Han In Taysu sambil menengadah kelangit tertawa nyaring
dan berkata^ "Hai, pendeta tua, kau sudah ling lung. Mustahilkah
aku Han In bukannya salah seorang kurban dari puncak celaka itu?"
Siauw Pek menghela napas. Dia segera sadar. Maka dia berkata
tenang: "soal sangat sederhana. Dahulu dipuncak Yan In Hong,
semua ketua Siauw Lim Pay, Bu Tong Pay, Ngo Bie Pay dan Khong
Tong Pay, semua telah terjatuh kedalam tangan Seng Kiong Sin
Kun- Han In taysu dirusak mukanya, dikutungi kedua kakinya. Dan
Su Hong taysu ini, selain dibikin kacau pikirannya, hingga ia lupa
akan dirinya dia pula diubah wajahnya disamakan dengan It Tie,
muridnya itu Dan dia mau dijadikan alat untuk merobohkan Siauw
Lim Sie "
Su Khong berpaling kepada Nona Hoan-
"Nona, kau cerdas dan luar biasa, kau melebihi kebanyakan
orang lain, benarkah penjelasan Coh SieCu ini?" ia bertanya kepada
nona itu.
Soat Kun mengangguk. "Sedikitpun tidak salah," sahutnya.
Su Khong meraba kulit dilehernya Su Hong taysu itu, bagaikan
diri. ia berkata sendirinya: "Benarkah didalam dunia ada orang
sepandai ini yang dapat merubah wajah orang begini miripnya ? Oh,
sungguh tak terpikirkan "
"Memang kejadian sangat aneh" kata Siauw Pek. "Aku sendiri,
jikalau aku bukannya telah melihat seorang yang rupanya sangat
mirip dengan rupaku sendiri, akupun tak nanti mempercayainya "
Kembali orang berdiam, semua tengah berpikir keras. Hanya
sebentar, mereka segera disadarkan oleh suara riuh dikaki bukit.
Riuh karena berisiknya alat alat senjata yang beradu adu dan seruan
bentakan berulang ulang. Dan ketika semua orang menoleh
memandang kekaki bukit, tampak Lo Han Tin sedang bergerak
gerak. Sebab disana sudah terjadi satu pertempuran seru
Su Khong Taysu heran, tetapi ia segera berkata pada Su Kay:
"Sutee, kau berdiam disini menjaga Su Hong Suheng, aku hendak
melihat kesana, harap saja aku dapat menemukan It Tie."
Begitu berkata, kakak seperguruan ini membawa tongkatnya lari
turun bukit.
Su Kay mengawasi suheng itu, ia melihat kemed an
pertempuran, habis itu ia menoleh kepada Nona Hoan-
"Nona, apakah nona mempunyai daya untuk melenyapkan
kekangan atas diri kakak seperguruanku ini?" tanyanya "Aku ingin ia
pulih keadaannya."
"Seng Kiong Sin Kun lihay luar biasa, tak sanggup aku
menyingkirkan kekangan atas diri saudaramu ini, taysu," menyahut
si nona. Su Kay berdiam, nampak dia sangat masgul.
Han In mengawasi Su Hong, ia jadi ingat pengalamannya dahulu,
tiba tiba hatinya menjadi panas.
"oh, Seng Kiong Sin Kun yang jahat" katanya keras. "Sampai saat
ini, dia masih belum memperlihatkan dirinya. Sebelum aku
menuntut balas belum hatiku puas " Siauw Pek pun menoleh kepada
Soat Kun-
"Sekarang ini saatnya kita membutuhkan bantuan," katanya, "Su
Hong taysu ini lihay sekali, dia pula musuh besarnya Seng Kiong sin
Kun, kalau kesadarannya dapat pulih, bagaimana besar tenaganya
untuk kita "
"Bengcu benar," berkata si nona. "Akan aku coba sebisaku untuk
memulihkan kesadaran Su Hong Taysu ini."
Berkata begitu, Nona Hoan menghampiri pendeta yang hilang
kesadarannya itu, tanpa likat likat, ia mencekal nadi orang.
Su Kay mengawasi si nona dengan perhatian sangat besar. Ia
mengharap sangat bantuannya nona itu. Selekasnya nona itu
melepaskan pegangannya kepada nadi suhengnya, ia lalu menanya,
"bagaimana nona? Benarkah suhengku ini terganggu obat yang luar
biasa?"
"Memang ia terkena semacam obat," sahut nona itu, "Disamping
itu, masih ada kekangan lainnya." sambung Nona Hoan
menjelaskan.
"Kekangan apa itu, nona?" tanya si pendeta.
"Buat sementara ini, belum dapat aku menerkanya," menjawab si
nona, "Harap taysu sabar supaya dapat aku memikirkannya."
Ketika itu terdengar bentakan bentakan keras sekali. Ketika
Siauw Pek sekalian menoleh, tampak belasan orang berkerudung
kepala itu berhasil menerobos keluar dari garis terakhir dari Lo Han
Tin, tetapi Su Khong Taysu bersama satu pasukannya berhasil
mengejar dan membuat mereka itu terkurung pula
Menyaksikan penyerbuan itu, tiba tiba Soat Kun berkata,
"Sekarang ini, yang utama ialah kita harus mencari Seng Kiong Sin
Kun, setelah itu, yang lain lain segera ada harapannya buat
dipecahkan "
"Ya, Seng Kiong Sin Kun itu aneh" kata su Kay, "Sampai sekarang
ini, dia masih belum ketahuan siapa, ingin sekali aku melihat
wajahnya"
"Sebenarnya aku telah memikir satu hal," kata Nona Hoan
kemudian- "Aku percaya bahwa aku akhirnya akan berhasil mencari
tahu tentang hal ikhwal Seng Kiong Sin Kun- cuma sayang sekali,
terhadap Kim Too Bun, pihak Siauw Lim Sie masih menaruh
kecurigaan"-
Muka Su Kay merah, karena malu sekali.
"Salah mengerti diantara kita sudah dihabiskan" katanya Cepat.
"Sekarang ini kita bukan lagi musuh, bahkan kitalah orang orang
dalam sebuah perahu Nona, daya apa juga kau punyai, kau
gunakanlah itu, pasti Siauw Lim Sie tidak akan mencurigai lagi"
Soat Kun tertawa.
"Syukur hati taysu sangat terbuka " berkata gembira. "Inilah
untungnya kaum Rimba Persilatan. Ini pula untuk kebaikan Siauw
Lim Pay"
"Nona memuji saja " berkata Su Kay. "Daya apakah nona punyai?
Silahkan nona tunjukkan padaku, akan loolap lakukan itu. loolap
bersedia sekalipun akan menyerbu api "
"Dayaku ini sangat sederhana, taysu," berkata si nona. "Sekarang
taysu menggunakan bungkusan kepala lekas taysu turun bukit
dengan mempersatukan diri diantara rombongan mereka kabur
meninggalkan tempat ini..."
"Meninggalkan tempat ini?" tanya Su Kay heran. "Kemudian ?"
"Selanjutnya terserah kepada taysu, asal taysu bertindak dengan
melihat selatan," kata si nona. "Semoga taysu berhasil membekuk It
Tie dan merampas kembali kitab kitab pusaka kalian- Atau taysu
masuk terus kedalam gua harimau, untuk mencari tahu tentang
Seng Kiong Sin Kun-.."
Su Kay mengangguk berulang ulang.
"Bagus tipu ini, nona" ia memuji terus, tanpa ragu ragu, ia
menambahkan: "Baik, nona loolap akan bekerja, walaupun mesti
mati, loolap tak akan menyesal "
Berkata begitu, pendeta ini menjemput bungkusan kepala It Tie
tetiron atau Su hong taysu itu, terus ia pakai. Kebetulan sekali,
bungkusan itu cocok dengan kepalanya.
"Taysu, apakah taysu menghentaki bantuanku?" tanya Siauw
Pek.
"Bengcu..." kata si pendeta, yang berhenti tiba tiba.
Soat Kun menyela: "Maksud taysu ialah menawan si murid
murtad serta merampas kembali kitab kitab pusaka, sedangkan
maksud kami ialah menumpas Seng Kiong Sin Kun, guna kebaikan
kaum Rimba Persilatan, karena cita cita itu besar, tak dapat tidak,
tenaga kita harus bersatu padu"
"Nona benar" Su Kay menyatakan akur. "Loolap setuju"
Sementara itu Soat Kun telah memegang bungkusan kepala Ouw
Bwee berempat lalu ia serahkan itu pada Siauw Pek. Oey Eng, Kho
Kong dan Ban Liang sambil minta mereka itu mengenakannya.
Katanya: "Diwaktu malam yang gelap dan kalian mengenakan
bungkusan kepala ini, harus kalian berada bersama sama, jangan
kalian berpisah "
"Jangan kuatir, nona," berkata Ban Liang. "Bengcu membekal
pedang dan golok, ia mudah dikenali "
"Tetapi Bengcu harus berhati hati," Soat Kun pesan- "Munculnya
Thian Kiam dan Pa Too telah diketahui tak sedikit orang Kang ouw,
karena itu bengcu harus menjaga supaya tak mudah orang
mengenalimu "
Siauw Pek meloloskan goloknya. "Baiklah nona pegang golokku
ini," katanya
"Inilah senjata ampuh untuk menghajar musuh, senjata ini tak
dapat terpisah dari tubuh bengcu" berkata si nona. Siauw Pek
tertawa.
"Tidak demikian, nona" kata dia. "Dahulu memang aku tak boleh
ketinggalan golok ini, sekarang tidak. Sekarang ini aku telah
memperoleh kemajuan pesat, maka juga, kecuali aku menghadapi
musuh lihay luar biasa, tak perlu aku akan golokku ini"
Ban Liang semua girang mendengar kata kata ketua itu. Mereka
percaya, habis pertempuran yang paling belakang ini, ketua itu telah
memperoleh kemajuan pesat.
Soat Kun percaya anak muda itu, ia mau menyambut golok
mustika itu, tapi mendadak Ban Liang berkata: "Dimedan
pertempuran terjadi sesuatu yang diluar dugaan, karena itu,
bengcu, baiklah golokmu ini akulah siorang tua yang membawanya"
Dan segera ia menyambut golok itu, untuk digendol
dipunggungnya Soat Kun tak menghadapi jago tua itu.
Siauw Pek terus memandang si nona dan Han In Taysu, katanya:
"Nona bersama taysu baik ikut perlahan lahan dibelakang
rombongan Siauw Lim Sie, jikalau kalian sampai bertemu musuh,
bertindaklah dengan seksama "
"Jangan kuatir, bengcu, kami dapat menjaga diri kami," berkata
si nona. Siauw Pek lalu berpaling kepada Su Kay Taysu, ia memberi
hormat. "Kami tak kenal tin, karena itu, kami mengandaikan kepada
taysu," katanya.
"Maaf," Su Kay berkata seraya mengangguk terus ia berlari lari
turun bukit. Siauw Pek berempat lari mengikuti.
Belum lama, mendadak ada bentakan terhadap mereka:
"Berhenti Siapakah kamu?" Itulah Su Ie Taysu, bersama satu
pasukan, yang muncul dari samping.
Su Kay Taysu tidak menjawab, ia hanya menangkis Su Ie, setelah
mana, ia berkelit dan terus lari turun.
Siauw Pek dihadang tiga buah golok kaytoo. ia tidak menghunus
pedangnya, untuk menangkis, sebaliknya, ia berkelit begitu rupa
sambil menyambut golok lawan, yang ia terus rampas. Ha bis
bertempur dengan Ouw Bwee berempat, ia telah mendapat
kemajuan istimewa.
Ban Liang mengikuti ketuanya itu. Iapun terbacok. ia memang
biasa tak menggunakan senjata, maka buat menolong diri, ia
meneladani sang ketua. Tapi ia salah sangka. Kali ini ia menghadapi
lawan lihay. Baru ia menangkap golok tapi lima golok lainnya
menyambar ke arahnya
"Trang Trang" demikian suara nyaring berulang ulang.
Buat kebaikan jago tua ini, Siauw Pek dengan golok kaytoo
rampasannya itu menalangi kawannya menangkis, hingga Seng Su
Poan terhindar dari ancaman bahaya. Tapi ia juga tak berdiam saja.
Dengan tangan kosong, dengan kepandaiannya, ia memaksa
seorang pendeta mundur sendirinya. Maka iapun bebas.
Dibelakangnya, Oey Eng dan Kho Kong turut meloloskan diri juga .
Dilain saat, Su Kay telah mengajak keempat kawannya itu
memasuki barisan Lo Han Tin-
Selama masih diluar tin, Siauw Pek dan kawan kawannya tidak
melihat apa apa yang luar biasa, akan tetapi segera setelah berada
didalam, mereka terkejut orang orang bergerak bagaikan bayangan,
semUanya sangat gesit. Dan alat senjata bentrok tak hentinya,
sUaranya sangat berisik. Ditanah, sebaliknya, terdapat banyak
bangkai kuda dan mayat manusia, diantaranya ada yang hanya
terluka dan mesti rebah tak berdaya diantara darah melulahan
Su Kay Taysu menyerbu ketengah itu, lalu berbelok. Buat ia,
leluasalah ia untuk bergerak didalam barisan rahasia itu Disebelah
kiri, ia melihat tiga atau empat puluh orang berkerudung kepala,
yang lagi mencoba mencoblos keluar. orang yang memimpin
rombongan itu nampak mengenal baik tin itu. Dengan cepat ia
menghampiri rombongan itu, untuk mencampurkan diri. Dengan
bantuan bungkusan kepalanya itu, mereka tak dikenali musuh.
Tiba tiba Su Khong Taysu dan pasukannya muncul, mereka itu
membentak musuh.
Pemimpin musuh seperti tahu Su Khong Taysu lihay, dia
menghindarkan diri, dia menyerbu kebelakang tiangloo itu.
Su Kay menggunakan kesempatan, ia menerobos. Tapi ia toh
tercegat beberapa pendeta yang berbareng membacoknya. Dengan
satu tangkisan hebat, ia menolong diri, terus ia lompat maju untuk
lolos. Semua pendeta itu kaget, sebab golok mereka terpental dan
tangan mereka gemetar kesemutan akibat tangkisan hebat itu.
Itulah sebabnya, penyerangnya Su Kay bisa menerobos lewat.
Siauw Pek turut menerobos. ia dipegat beberapa pendeta lain,
iapun diserang. ia bekerja seperti Su Kay, ia menangkis hebat, terus
ia melompat pergi. Dibelakangnya, Ban liang bertiga Oey Eng dan
Kho Kong turut menerobos juga.
Rombongan berkerudung itu melihat lowongan yang dibuat oleh
Su Kay Taysu, yang mereka tidak kenali, mereka hanya menyangka
konco sendiri, mereka menggunakan kesempatan itu, dengan
serempak mereka menyerbu.
Su Kay maju terus, berapa kali ia dirintangi tetapi tidak terhalang,
hingga berhasil ia melintasi beberapa lapis kurungan. Paling
belakang, ia menyerbu kelapis timur selatan. Di sini ia terpegat Su
Khong Taysu.
"Apa boleh buat," pikirnya, tak dapat ia memperkenaikan diri.
Maka bentroklah ia dengan suheng itu. Su Khong heran waktu
keduanya bergebrak. Lawan itu lihay sekali. ia sampai membentak:
"Siapakah kau?" Kembali ia memegat.
"Suheng bukalah jalan" kemudian Su Kay berkata kepada suheng
itu. Ia menggunakan saluran Toan Im Jip bit.
Su Khong heran- ia tidak segera mengenali sutee itu.Justru itu Su
Kay menerobos pergi. la turut Siauw Pek dan yang lainnya.
"Su Seng sutee, pimpinlah barisan kita" berseru Su Khong. "Para
sutee, mari turut aku"
Dan ia lari, mengejari Su Kay semua.
Tengah ia lari itu, Su Kay mendengar suara Siauw Pek, yang lari
disisinya: "Taysu, buka jalan, Kasih mereka mendahului"
Mulanya pendeta itu heran, tetapi sekejap ia sadar, maka lekas
lekas ia berpura ia tersusul dan menjadi ketinggalan
Rombongan dari tiga puluh lebih orang berkerudung itu kabur
kearah barat laut, Su Kay beramai ramai mengikuti. Dibelakang
mereka Su Khong mengejar bersama enam adik seperguruannya.
Kedua belah pihak terpisah belasan tombak. Sesudah melewati kaki
bukit, terpisah sudah mereka dari medan pertempuran-
"Keselatan" tiba tiba seorang berseru, terus ia melompat
mendahului. Dia bertubuh jangkung kurus. Dia itu segera membuka
jalan-
Su Kay perhatikan orang itu, ia tidak mengenali. orang itu
jangkung kurus dan rada bongkok. larinya sangat pesat. Mungkin
dia bukan orang Siauw Lim Sie. Ketika ia menoleh kebelakang, ia
melihat Ban Liang, tetapi Siauw Pek bertiga Oey Eng dan Kho Kong
entah kemana...
Tengah berlari lari itu, seorang terdengar napasnya memburu,
lekas juga dia ketinggalan dibelakang. Dia mengenakan baju abu
abu.
Dibawah terangnya bintang Su Khong memperpesat larinya
mengejar orang itu, selekasnya ia sudah menyandak. ia menghajar
dengan tongkatnya kepada punggung lawan-Pendeta didepan itu
menjerit, dia roboh, mulutnya memuntahkan darah. Tapi, belum lagi
tubuhnya jatuh ketanah, Su Ie sudah menyandak dan menjambret.
Dengan sebat Su ie menggeledah tubuh orang itu, ia tidak
memperoleh apa apa. ia memegang mencari kitab rahasianya.
Karena ini ia melempar tubuh orang itu ketepi jalan, membiarkannya
roboh terguling, ia sendiri segera lari terus kedepan, akan menyusul
kakak seperguruannya .
Su Khong Taysu mengejar dan menghajar musuh, setelah musuh
sudah roboh atau terguling, ia meninggalkannya, ia membiarkannya
kawan kawannya yang mengurus. Inilah siasat untuk menang
tempo, supaya ia bisa menghajar semua musuh yang lari kabur itu.
Kalau ia sendiri turut mengurus kurbannya, musuh musuh lainnya
nanti keburu lolos. Demikianlah barusan, Su Ie yang mengurus
kurban kakak seperguruannya itu.
Sementara itu Siauw Pek, yang mencampurkan diri diantara
rombongan itu, sempat memperhatikan kawan kawannya. begitulah,
dengan saluran suara Toan Jip bit ia memesan Oey Eng dan Kho
Kong senantiasa mendampinginya, agar mereka tidak terpencar satu
dengan lain-
Disebelah depan, kembali Su Khong Taysu menghajar musuh
yang tercandak olehnya, setelah musuh itu roboh, ia meninggalkan
pergi.
Tiba tiba siorang jangkung kurus berseru^ "Lekas" dan larinya
dipercepat.
Su Kay melihat dan mendengar, ia pula melihat tempat disebelah
depan mereka. Itulah sebuah rimba yang lebat.
Justru itupun terdengar teriakan bengis, dari Su Khong Taysu:
"Jikalau kamu tidak berhenti lari, jangan kamu sesalkan loolap"
Menyusul bentakan Su Khong itu, mendadak terdengar suara
berisik dari dalam rimba dari mana muncul kira kira sepuluh orang
yang berkerudung hitam pada kepala dan mukanya.
Su Khong Taysu gusar dan bingung. Ia segera berseru: "Sutee
sekalian, lekas hajar semua musuh yang kabur itu" Dan iapun
berlompat seraya menggunakan tongkatnya.
Seorang berkerudung hitam menjerit keras dan tubuhnya roboh,
jeritannya tertahan karena kepalanya pecah dan polonya
berantakan. "Dia seperti It Seng" Su Khong berseru. "Sekalian
sutee, geledah dia"
Su Lut berlompat maju, paling dahulu ia merobek kerudung
orang, hingga ia mengenali, orang itu benar benar It Seng murid
Siauw Lim Sie dari huruf "It" seperti It Tie dan It ceng. Ketika ia
menggeledah tubuh mayat, ia tidak mendapatkan apa apa.
Su Khong maju terus, bersama sama Su ie dan Su Beng ia
sampai dipinggir rimba. Bertiga mereka itu melakukan penyerangan-
Siauw Pek mendengar suara hebat dari anginnya peribagai
tongkat, ia terus berlaku waspada. Kalau perlu, ia menangkis buat
membela diri.
Tiba tiba...........
"Lekas lari Aku yang akan menghadang lawan"
Itulah teriakan satu orang, yang lompat keluar dari dalam rimba.
Siauw Pek lompat kesisi, hingga ia melihat orang itu, yang
berkerudung, benar benar menghalang didepan para pengejar.
Hingga kedua belah pihak lalu bertempur didepan rimba itu diantara
langit suram.
Sempat Siauw Pek melihat penghadang itu. Dia bukannya
seorang pendeta, karena dia tak mengenakan jubah suci. Ia tidak
mau menonton, ia meninggalkannya pergi.
Dengan lekas mereka melintasi rumba, hingga mereka menjadi
berada dijalanan terbuka. Tengah mereka berlari lari, orang tadi,
yang bertubuh jangkung kurus, tampak lari menyusul, terus dia lari
kearah selatan.
Berlari lari tak ada setengah jam, tibalah mereka dijalan bercagak
tiga disitu dari tepi jalan mendadak orang melompat keluar dari
semak rumput tebal. Dia berkerudung hitam. Dia berseru : "Ke kiri"
Mendengar suara orang itu, si jangkung kurus mengajak kawan
kawannya lari kearah kiri yang ditunjukkan itu.
Selagi Siauw Pek lewat disisi orang yang baru muncul itu, yang
menunjuk jalan, ia menoleh maka ia melihat bahwa didalam semak
rumput itu ada sinar banyak golok Jadi disitu ada bersembunyi
banyak orang.
Su Kay Taysu dan Ban Liang juga dapat mendengar dan melihat
seperti Siauw Pek, keduanya kagum untuk persiapan Seng Kiong sin
Kun Si "Raja Sakti", sin Kun pandai bekerja dan banyak juga orang
orangnya.
Ketika itu terang pihak yang lari kabur ini sudah letih sekali,
sebagaimana napas mereka terdengar memburu. Karena ini
sijangkung kurus kemudian memperlahan larinya.
Sedikit disebelah depan, kembali satu bayangan orang terlihat
lompat muncul dari tempat sembunyi disisi jalan itu. Dia ini tidak
cuma berkerudung hitam, juga pakaiannya hitam mulus. Berdiri
ditepi jalan, dia tampak bagaikan hantu. Dengan tangan kirinya
menunjuk jalan kecil disisinya, dia berkata seram: "Lari ke arah
barat. Disana ada lentera pertanda"
Semua orang menurut, semua lari kejalan kecil itu.
Itulah jalan yang membawa orang kesebuah tanah pekuburan.
orang menjadi bingung. Tapi segera juga mereka melihat api lentera
dikanan mereka, maka kesanalah orang lari menuju. Sijangkung
kurus tetap lari paling depan-
Api lentera itu berlari lari disebelah depan jaraknya dua puluh
tombak lebih. orang tak dapat lari mendekatinya. Kemudian api
tampak mendaki. Tanpa terasa, tibalah orang dikaki sebuah bukit
kecil. Tetap orang lari mengkuti maka merekapun mendaki bukit itu.
Dilain saat, sirnalah api lentera itu. Ketika itu, orang bagaikan
telah habis tenaga. Semua berhenti berlari, semua napasnya turun
dan naik tak hentinya, perlahan lahan.
Seorang pendeta yang berjubah abu abu telah menyingkirkan
tutup kepalanya. Ia menyusuti peluhnya yang membasahi mukanya.
Su Kay dan Coh Siauw Pek terperanjat selekasnya mereka
melihat wajah orang. Mereka mengenali. Pendeta itu ialah ji ceng,
sutee dari It Tie si ketua Siauw Lim Sie yang buronan itu.
Hanya sebentar, It ceng sudah mengenakan pula kerudungnya.
Su Kay segera melihat kesekitarnya, ia mencari It Tie Taysu Ia
menerka ketua itu berada didalam rombongan mereka.
Tempat dimana mereka itu berhenti bukannya dipuncak bukit,
hanya tanah datar disampingnya,jadinya ditengah tanjakan.
Diantara pohon Cemara dan pek. tampak sebuah kuil yang pintu
halamannya terpentang, dikiri dan dikanan pintu berdiri masing
masing seorang yang berpakaian hitam, kepalanya terbungkus
kerudung hitam juga , punggungnya membekal pedang panjang.
Sijangkung kurus mengawasi kearah kedua orang itu, didalam
hati dia berkata: "Diantara kelima tong dari Seng Kiong, cuma orang
orang chee liong Tongcu yang mengenakan pakaian hitam, yang
membekal pedang panjang dipunggungnya, maka itu mustahilkah
chee liong Tongcu yang menanti disini memapak kami?"
Karena memikir begini, ia lalu berkata pada rombongannya,
suaranya perlahan: "Yang mulia chee liong Tongcu berada disini,
kalian harus berhati hati, supaya kalian jangan berlaku kurang
hormat"
Habis berkata itu, dia mengulapkan tangan- Kemudian dia
mendahului bertindak maju.
Su Kay Taysu dan Siauw Pek kecele mendengar keterangan
halnya chee liong Tongcu, atau kepala dari ruangan (tong) Naga
Hijau (chee liong).Jadi disitu tak ada Seng Kiong Sin Kun sendiri.
Suasana dikuil itu sunyi tetapi nampaknya tak terhindari ancaman
bencana, selagi cahaya bintang bintang dilangit suram, angin
gunung bersilir silir, membuat dahan dan daun daunp ohon cemara
dan pek memperdengarkan suaranya.
Tiba dipintu halaman, semua orang memandang kedalam,
sampai dimuka pendopo, tampak tergelar jalan batu yang
terhampar rapih. Di tepi jalan itu terdapat berbaris kira kira lima
atau enam puluh orang berpakaian serta berkerudung hitam, semua
berdiri diam tetapi dengan waspada.
Sijangkung kurus beramai maju terus sampai didepan tangga.
Disini dia berhenti didepan tangga pertama dimana terlihat
empat anak perempuan dengan bercela hitam sebagai hitam juga
bajunya. Dua yang ditengah bertangan kosong, yang dikiri dan
kanan membawa masing masing sebuah nampan dengan isinya
ialah sebuah thee koan serta dua buah cangkirnya.
Mulanya sijangkung kurus melengak sedetik, lalu dia menjura
kerah toa tian, pendopo besar itu, seraya berkata "Uh bun ceng,
pengiring pribadi sin Kun, mohon menghadap chee liong Tongcu "
"Ah, kiranya dia Uh bun ceng," kata Siauw Pek didalam hati. Ia
kecewa.
Salah seorang nona itu berkata "Tongcu memerintahkan supaya
semua orang disuguhkan masing masing secawan air teh, habis
minum baru semua boleh datang menghadap "
Hati Uh bun ceng tidak tenang. "Nona..." katanya tertahan-
Nona itu tertawa tawar, terus dia berkata seram: "Benarkah kau
Uh bun ceng pengiring pribadi dari sin Kun?"
Sijangkung kurus melengak.
"Memangnya aku yang rendah mempunyai berapa batok kepala
maka juga aku berani memalsukan diri sebagai pengiring pribadi Sin
Kun?" katanya setelah dia sadar.
Kembali si nona serba hitam itu tertawa dingin- Katanya
"beranikah kau bertanggung jawab bahwa diantara orang orang
rombonganmu ini tak ada mata mata musuh didalamnya?" Uh bun
ceng tunduk.
"Aku yang rendah tak berani bertanggung jawab," sahutnya. Lagi
lagi si nona tertawa dingin-
"Kalau kau benar pengiring pribadi sin Kun, kaulah si emas tulen
yang tak takut api. Mustahilkah kau takut Tongcu kami memfitnah
padamu?"
"Tak berani hambamu menerka demikian," sahut Uh bun ceng
ragu ragu.
Dari dalam rombongan tiba tiba maju seorang berkerudung hitam
yang mengenakan jubah hitam panjang, sambil menjura dia
berkata: "Aku yang rendah suka menerima hadiah dari chee liong
Tongcu"
"cerdas dan gagah, itulah baru orangnya Sin Kun" berkata si
nona baju hitam. Dan ia mengangsurkan secawan teh.
Cawan itu tidak besar, isinya juga cuma separuh dan masih
hangat.
Orang itu menyambut dengan kedua tangannya, terus dia
menghirup kering isinya, setelah mana, cawan itu dia
mengangsurkannya kembali.
Si nona menyambut cawan kosong itu, terus ia bertindak
minggir, membuka jalan-
Orang itu memberi hormat, dia bertindak maju, memasuki
pendopo hingga dia tak tampak lagi.
Menyakskan contoh orang itu, Uh bun ceng bertindak maju. Ia
meluncurkan kedua tangannya, menyambut cawan teh, untuk
minum isinya, sesudah mana ia pun bertindak maju. Habis Uh bun
ceng, seorang pula maju dan minum teh, terus ia berjalan masuk.
setelah itu yang lainnya lalu meniru, semua memasuki toa tianJumlah
rombongan ini kira kira tiga puluh orang, diantaranya
sepuluh lebih murid murid Siauw Lim Sie yang turut it Tie berontak
mendurhaka terhadap partainya. Mereka semua menjadi orang
orang kepercayaan ketua yang murtad itu. Mereka termasuk orang
orang Seng Kiong Sin Kun tetapi tidak seCara langsung. Belasan
orang lainnya terdiri murid murid atau anggota lain lain partai,
mereka sama seperti Ouw Bwee dan kawan kawannya. Mereka
termasuk orang Seng Kiong Sin Kun sendiri, sekalipun ketua kelima
tong belum pernah mereka lihat.
uh bun ceng memang pengikut pribadi dari seng Kiong Sin Kun,
tetapi Istana Nabi banyak aturan yang tersendiri, anggota atau
anggota anggota dari satu tong sukar berhubungan dengan anggota
atau anggota tong lainnya.
Maka itu, ia tidak kenal tidak dikenal oleh orang orang chee liong
Tongcu ini. Karena itu, terhadap mereka dikenakan kemestian
minum teh itu. Tadi, orang yang pertama meminum teh, dia
memang orang chee liong Tong orangnya chee liong Tongcu sendiri.
Bahwa air teh itu tercampurkan semacam obat itulah tak
disangsikan pula, hanya ketika obat itu rupanya tak ada racunnya.
walaupun demikian, teh itu menyulitkan rombongan Siauw Pek atau
Su Kay Taysu. Buat orang Sin Kun, minum racun tak ada artinya,
Tidak demikian bagi Siauw Pek beramai. Mereka mata mata,
mereka mengandung suatu maksud, kalau mereka keracunan, itu
berarti kegagalan
Tiga puluh orang itu terpecah dalam dua rombongan, mereka
maju minum dengan gerak gerik perlahan.
Diam diam Siauw Pek bicara dengan saluran Toan Im Jip bit
kepada Su Kay Taysu:
"air teh itu mesti tercampurkan racun racun kalau bukan racun
keras, sedikitnya obat yang dapat melenyapkan kesadaran diri,
meskipun isinya cuma setengah cawan, itulah berbahaya untuk kita.
Bagaimana kalau kita tidak sadar atau kehilangan tenaga kita?"
Su Kay menjawab: "Bagaimana kalau kita tidak minum itu? Pasti
rahasia kita terbuka. Bukankah sia sia belaka usaha kita yang baru
separuh ini?"
"Apakah taysu membawa obatpemunah racun?" tanya Siauw Pek.
"Sayang loolap tidak membekalnya..." sahut Su Kay. "Kini
terpaksa kita mesti minum cu setelah dapat masuk, kita kumpulkan
air teh itu disatu tempat, perlahan lahan kita berdaya untuk
memusnahkannya..."
Siauw Pek berpikir keras^ "Dia mahir tenaga dalamnya, dia tidak
usah kuatir. Aku dan Ban Liang juga mungkin dapat bertahan-
Bagaimana dengan Oey Eng dan Kho Kong?" Ketua ini menjadi
bingung sekali. Giliran mereka akan lekas tiba.
Seorang tua yang bertubuh kurus dan kecil sudah menyambut
teh, habis dia minum, dia bertindak masuk. Untuk minum teh, dia
mesti menyingkap sedikit kerudungnya seperti semua orang lainnya
dan memberi hormat, baru dia bertindak masuk. Tiba tiba:
"Saudara, jalanlah baik"
Demikian terdengar sinona serba hitam itu, yang suaranya
dalam, berbareng dengan mana sebelah tangannya dilayangkan.
"Buk" begitu terdengar satu suara nyaring, suara tangan halus itu
menghajar punggung si tua kurus dan kecil itu, sehingga hampir dia
jatuh berlutut. Apakah yang sudah terjadi?
orang tua itu bercuriga, dia ragu ragu. Dia minum air teh tetapi
tidak segera ditelan. Terang dia memikir untuk memuntahkannya di
lain kesempatan-
Tapi sinona bermata jeli, ia melihat, maka lalu menghajar
serangan itu tidak hebat tapi secara mendadak sekali. Si tua kaget,
hampir dia berseru. tanpa terasa, air tehnya itu kena tertelan- Dia
malu, dia ngeloyor cepat.
Melihat kejadian itu, orang tersenyum, tapi Siauw Pek, pemuda
ini menahan napas. Diluar dugaannya, nona itu bermata liehay.
Ban Liang berada di belakang sang bengcu, tiba tiba ia berbisik:
"cepat totok jalan darahnya orang didepan bengcu itu"
Siauw Pek heran hingga dia melengak, tapi ia bermata jeli, maka
ia melihat, tangan orang di depannya itu merogo saku. Tanpa
bersangsi bahkan dengan sebat, ia menotok orang itu.
Perbuatannya ini tak ada yang lihat sebab perhatian orang banyak
lagi dicurahkan kepada si tua kurus dan kecil tadi.
Karena kena tertotok, orang itu jari berdiri diam tanpa berkutik.
"Lekas ambil barang dalam sakunya itu" Ban Liang bisiki pula
Siauw Pek.
Bengcu itu tertawa dalam hati mengingat kecerdikan sijago tua.
Ia lantas bertindak maju, dengan disengaja, ia kena bentur tubuh
orang yang ia totok itu, berbareng dengan mana tangannya bekerja,
merogo saku orang, buat mengambil isinya ialah sebuah peles batu
hijau, yang dia teruskan kepada Ban Liang.
Jago tua itu dengan cepat memeriksa isi peles, ialah enam butir
pil. Sebutir pil ia perhatikan. Pil itu berwarna merah, ada gubahnya,
ada baunya sedikit. Tiba tiba ia menjadi girang katanya didalam
hati: "Inilah obat pemunah racun Hwee Kut Tan dari partai Tiam
cong Pay. Baiklah aku coba,"
Terus ia menelan sebutir, sedang dua lainnya, ia angsurkan
kepada Oey Eng dan Kho Kong. Dua saudara ini memang sedang
bingung memikirkan teh itu, yang mencurigakan hati mereka,
seterimanya pil, segera mereka menelannya.
Siauw Pek juga bingung. Itu waktu, lagi lima orang, akan tibalah
gilirannya. Maka iapun girang ketika Ban Liang memberikan ia dua
butir pil. Tanpa bersangsi, ia telah yang sebutir, sedangkan sebutir
lainnya, setelah ia memberi isyarat, ia sentilkan kepada Su Kay
Taysu. Pendeta ini mengenali pil itu selekasnya ia melihat
macamnya, iapun dengan tidak ragu ragu lagi segera menelannya^
Tiam cong Pay adalah partai yang berkedudukan diwilayah
selatan, barat daya. Diwilayah itu banyak terdapat binatang berbisa,
maka partai itu membuat pilnya itu Hwee Kut Toan pil, Tulang Api
guna menolong diri dari ancaman racun atau bisa binatang itu,
bahkan pil itu tersohor kemujarabannya, maka taklah heran Su Kay
Taysu, pendeta dari Siauw Lim Sie itu, mengenalnya dengan baik.
Segera juga didepan Su Kay Taysu tinggal dua orang dan
didepan Coh Siauw Pek tiga orang. Karena jumlah itu, yang tinggal
sedikit, si nona berseragam hitam lantas mendapat lihat ada salah
seorang yang berdiri diam saja. Dia segera memberitahukan hal itu
kepada kawannya, si nona berseragam hitam lainnya.
"Sebentar kita mengurusnya," berkata kawan yang diberitahukan
itu, yang tertawa tawar.
Lantas tiba giliran Su Kay Taysu. Dia disodorkan cangkir teh, dia
menyambuti, dia meminumnya tanpa bersangsi sedikit juga . Toa
tian makin gelap. sampai sukar melihat lima jeriji tangan-
Tiba tiba Su Kay melengak. Ia mendengar suara nyaring sinona:
"Jalan kekiri " Tanpa bersuara ia jalan kekiri. Tiba tiba pula.
"Berhenti " demikian suara sinona tadi. Ia berhenti pula. Didalam
gelap petang itu, samar-samar ia melihat sebuah meja panjang
diatas toa tian seseorang duduk dibelakang meja itu. Disebelah kiri
orang itu berdiri pula enam orang lainnya. Kecuali orang yang duduk
dibelakang meja itu, semua yang lainnya membekal pedang
dipunggungnya masing masing. Rombongan Su Kay Taysu terpecah
dua, terpisah sejarak setombak.
Diujung kiri meja, seorang yang berdiri yang bertubuh kecil, mirip
seorang wanita yang menyamar sebagai seorang laki laki,
memerintah: "Berjalan kekanan "
Su Kay Taysu, yang melihat seorang muncul dimulut toatian, dia
tampak seperti bayangan. Atas perintah itu, dia berjalan kekanan-
Wanita itu berdiri disebelah dalam, dia dapat melihat keluar
karena bantuan cahaya bintang yang suram. orang dari luar,
sebaliknya sukar melihat padanya. Dia yang menyuruh orang orang
yang masuk itu, berdiri menjadi dua baris.
Su Kay Taysu yang mahir tenaga dalamnya, dapat melihat cukup
jelas. orang membagi dua baris an dari rombongan itu, karena para
pendeta dipisahkan dari orang bukan pendeta. Sementara itu diam
diam ia menyalurkan pernapasannya. Ia merasa lega,
pernapasannya itu tidak ada rintangannya. Jadi air teh tadi tidak
mengganggunya.
Siauw Pek muncul masuk. diapun dipisahkan- Muncul pula Ban
Liang, Oey Eng dan Kho Kong
Dilain saat, telah masuk semua tiga puluh orang lebih itu, semua
berkumpul didalam toa tian, pendopo besar itu.
Menyusul itu, terdengar tindakan kaki yang ramai. Kiranya orang
orang berseragam hitam yang bersenjatakan pedang dari luar tadi
pada masuk kedalam ruang, mengatur diri diempat penjuru,
menutup semua jalan keluar pendopo.
JILID 45
Dua orang nona kecil berseragam hitam muncul dengan
membawa lentera.
Mereka diikuti oleh dua orang nona lain, yang mengapit si
anggota Tiam Cong Pay yang tadi tertotok Siauw Pek. Dia diantar
kedepan meja. Pendopo besar itu sunyi sekali.
Kedua nona yang membawa lentera maju pula beberapa tindak.
terus mereka berdiri diam, berdiri dikiri dan kanan, lentera mereka
diangkat tinggi hingga cahayanya menyinari muka Su Kay Taysu dan
Coh Siauw Pek sekalian. Dengan begitu, selagi orang lain melihat
tegas pada mereka, mereka sebaliknya silau melihat orang orang
lainnya.
Kedua nona, yang mengapit anggota Tiam Cong Pay yang
tertotok itu, satu antaranya melaporkan: "harap diketahui, orang ini
berdiri diam didalam rombongannya, dia telah ditotok oleh
kawannya, entah siapa."
"Ilmu totok itu ilmu golongan apa?" tanya orang yang duduk
dibelakang meja itu.
"Ilmu totok biasa saja"
"Bebaskan dia dari totokan, biar dia bicara" demikian perintah
orang dibelakang meja itu.
Si nona menepuk, membebaskan orang itu. Tapi setelah itu, ia
menotok lagi.
Semua mata diarahkan kepada orang itu, yang tak tampak
wajahnya sebab dia memakai kerudung kepala dan muka yang
berwarna hitam. orang hanya menerka dengan melihat Cara
berdandannya serta senjata yang dibawanya.
Su kay dilain pihak tak bisa melihat wajah orang dibelakang meja
itu. Dia bertubuh kecil, dilihat dari potongan tubuhnya serta
suaranya mestinya dia seorang wanita, bahkan usianya tentu belum
lanjut.
Semua orang menerka orang itu ialah chee Liong Tongcu, Cuma
Uh bun ceng yang tahu bahwa dia itu bukanlah pemimpin dari
Ruang Naga Hijau chee Liong Tong sebab chee Liong Tongcu adalah
seorang lelaki cuma, iapun tidak kenal wanita ini siapa adanya.
"Kasih tahu namamu" demikian wanita itu memerintahkan si
anggota Tiam chong Pay ya baru dibebaskan dari totokan itu.
"Cie Sun dari Tiam chong Pay," sahutnya orang itu.
"Pernah apakah kau dengan cia Po Sie?" si wanita itu bertanya
pula.
"Dia adalah Ciangbun suhengku."
Jadi dialah sutee, adik seperguruan, dari cia Po Sie, ketua Tiam
cong Pay yang namanya disebut itu.
"Kaulah murid Tiam chong Pay, kenapa kau tidak membekal
pedang?"
"Selama bertempur tadi, pedangku terhajar patah oleh tongkat
Su Lut Taysu."
"Tiam chong Pay jauh diwilayah Barat laut, kenapa kau datang ke
wilayah Tionggoan ini dan bahkan turut didalam pertempuran?"
"Sebenarnya aku pergi ke Hie ciang mengunjungi sahabat, tiba
tiba aku menerima titah ketua ku buat pergi menyambut it Tie
Taysu, membantu dia meloloskan diri. It Tie Taysu, ketua Siauw Lim
Pay, sudah buron dengan membawa kitab kitab pusaka partainya."
"Kemudian bagaimana ?"
Cie Sun melengak sejenak, baru dia menjawab: "Titah ketua
kami itu cuma menyuruh ia menyambut it Tie Taysu."
"Takkah dia memesan buat bertindak dengan melihat selatan,
supaya kalau ada kesepatan merampas kitab kitab pusaka itu?"
"Tidak."
Walaupun dia menyahut demikian maka Cie Sun toh bersemu
merah.
"Tahukah kau hubungan diantara Tiam cong Pay dan Seng Kiong
kami?"
Nampak Cie Sun terkejut dan kuatir, tapi dia menjawab: "Aku
cuma tahu keduanya mempunyai hubungan kerja sama, entahlah
jelasnya."
"Kau telah tiba disini, kenapa kau kena orang totok ?"
"Aku terbokong selagi aku kurang waspada."
"Kenapakah orang totok padamu?" suara si nona menjadi
perlahan.
"Mungkin karena aku membawa obat partaiku..."
"Apakah itu obat Hwee Kut Tan?"
"Benar."
Wanita itu tertawa dingin.
"Mungkin kau menyiapkan obatmu itu buat menjaga kalau kalau
air tehku ada racun. Benar atau tidak ?"
Tampak Cie Sun takut sekali.
"Itulah ketololanku sesaat, harap Tongcu memaafkan."
Lalu si wanita berkata dingin: "Kau berani menentang perintah.
Hmm Buat apa kau dikasih hidup lebih lama pula?"
"Aku tak minum obat itu. Tongcu..." kata Cie Sun, sangat
ketakutan, "Adalah pencuri itu"
"Akan Punco urus itu" berkata si wanita, tetap dingin- Dia
membahasakan dirinya "punco", sebutan diri atasan buat
bawahannya. "Sekarang kau mundur dahulu"
Meski ia berkata demikian, kepada bawahannya dia
memerintahkan: "Bereskan dia "
Seorang wanita disisi meja menggerakkan tangan kanannya, satu
sinar kuning emas lantas berkeredep berkelebat. Hanya sekejap.
sinar itu lenyap. Tapi menyusul itu, Cie Sun menjerit tertahan, terus
kepalanya teklok sebatas lehernya, karena jiwanya telah melayang
pergi.
Kematian sedetik itu membuat toatian bagaikan terlebih sunyi
lagi. Semua orang heran dan terperanjat. Itulah sungguh suatu
keputusan, atau tindakan, sangat getas. segera si wanita dibelakang
meja memanggil. "Uh bun ceng "
"Aku yang rendah disini " sahut orang she Uh bun itu, hatinya
berguncang.
Dengan suara dingin bagaikan es, wanita berkerudung muka itu
berkata pula. "Apakah rombenganmu ini semua kau yang
membawanya?"
"Benar aku yang muda yang mengajaknya."
"Mana It Tie ?"
Suara si wanita tetap dingin-
Uh bun ceng melengak, tetapi lekas dia menjawab, "Siauw Lim
Pay itu hebat sekali dan kami semua justru terkurung di dalam Lo
Han Tin..."
"Hm" si nona memotong. "It Tie tidak ada, tidak apalah. Nah,
mana kitab kitab pusakanya"
Uh bun ceng berpikir keras, "Dia bukannya chee Liong Tongcu,
perlu aku tahu terlebih dahulu siapakah adanya dia."
Diapun berpikir cepat. Terus dia menjura Katanya perlahan:
"Maafkan aku yang rendah. Aku mohon bertanya kepada siangco..."
"Siang co" itu ialah panggilan kepada atasan.
Wanita itu tertawa dengan nada tawar.
"Benarkah kau begini bernyali besar?" tegurnya. "Hendak aku
belajar kenal" Terus ia menoleh kepada wanita disisinya untuk
memerintahkan: "coba buka perutnya, hendak aku melihat berapa
besar nyalinya "
"Baik" sahut si wanita berseragam hitam.
Uh bun ceng sangat kaget. Ia melihat, sambil menyahuti itu,
untuk menerima perintah, si wanita sudah lantas menggerakkan
tangannya. Dalam kagetnya itu, dengan sebat ia menekuk kedua
kakinya untuk berlutut, sedang mulutnya mengucapkan, "Maaf, aku
yang rendah harus mati. Aku..."
Wanita itu memotong^ "Kau tahu kau harus mati, apa lagi kau
hendak bilang ?"
Orang she Uh bun itu berpikir cepat. Biar bagaimana, saat seperti
ini, aku harus bersabar, jikalau tidak aku pasti akan mati konyol..."
Karena ini, lekas lekas berkata dengan sikap dan nada mohon
dikasihani. "Aku yang rendah bertindak tak selayaknya, aku telah
menentang siangco, memang aku harus mati tak berani aku
membilang apa apa lagi. Aku yang rendah cuma memohon belas
kasihan supaya siangco melepas budi membebaskanku dari
kematian sekali ini, pastilah aku akan sangat berterima kasih dan
bersyukur."
Wanita berkerudung itu berkata dingin: "coba kau bernafas, coba
salurkan itu dari peparu hoat keng hingga ke nadi jim me Lihat, ada
apakah yang luar biasa?"
Uh bun ceng terperanjat. Segera ia menyalurkan nafasnya.
Lantas ia menjadi kaget sekali. Ia merasakan sangat nyeri diantara
dada dan perutnya, bagaikan disayat sayat. Tanpa merasa ia
meintih rintih dan peluhnya membasahi seluruh tubuhnya
Menyusul perubahan Uh bun ceng itu, maka ruang pendopo itu
menjadi berisik dengan rintihan- Semua orang mendengar dan
mengawasi gerak gerik orang she Uh itu, karena dia menyalurkan
napasnya, lain lain orang tanpa merasa meniru sendirinya, siapa
tahu, selekasnya mereka bernapas, nyerilah perut mereka, bahkan
Su Kay Taysu dan Coh Siauw Pek tidak terkecuali.
Dengan semangatnya bagaikan terbang, Uh bun ceng lalu
berkata. "Harap diketahui..." Tapi dia segera dipotong oleh kata
katanya si wanita, yang berkata. "Tak usah kau banyak bicara lagi.
Mengingat kaulah pengikut pribadi Sin Kun, tak aku tarik panjang
pula kesalahanmu ini. Nah kau telanlah obat pemunah raCun, habis
itu kau melihat kebelakang pendopo, siapa disana"
Berkata begitu, wanita itu menyentilkan sebutir tablet, yang keCil
seperti kacang hijau.
Uh bun ceng menyambuti bagaikan dia menerima mustika,
dengan segera dia menelannya sambil berpikir. "Mestinya chee
Liong Tongcu berada dibelakang pendopo ini..." Maka juga , habis
berpikir, terus dia pergi kebelakang pendopo itu.
Rata rata didalam ruang itu rombognan Uh bun ceng ini
terserang rasa takut mati. Aneh racun itu. Siapa tidak menyalurkan
napasnya dia tak merasakan sesuatu yang berbeda, tapi asal dia
bernapas, terus dia merasa perutnya nyeri sekali. Siapapun menjadi
tak tenang hati, memikirkan kapan saat ajalnya tiba...
"It Tie" tiba tiba si wanita berkata nyaring.
Semua orang segera saling melihat satu sama lain, akan tetapi
tidak ada yang dapat melihat wajah muka, karena semua muka
tertutup kerudung hitam. Mereka pula berdiam semua, maka juga
teranglah diantara mereka tidak ada ketua Siauw Lim Sie itu...
Si wanita menanti sekian lama, karena tidak ada yang menjawab,
ia berkata pula: "Para pendeta Siauw Lim Sie, semua bukalah
kerudung kalian"
Suara itu dingin dan seram, bagaikan suara dari neraka. Hati
orang guncang mendengarnya.
Para pendeta berbaris dikiri, mendengar suara itu, untuk sejenak
mereka beragu ragu, lalu beberapa diantaranya segera membuka
tutup kepalanya. Hanya sebentar, karena ada contoh itu, yang
lainnya turut membuka kerudungnya itu.
Su Kay turut menyingkirkan tutup kepalanya. Ia sudah berpikir,
kalau ia sendiri yang menentang perintah, ia bakal dicurigai hingga
entahlah apa ekornya bantahannya itu.
Didalam sekejap maka ruang itu bagaikan tertambahkan
sembilan belas orang berkepala gundul, bahkan pada batok kepala
mereka bukanlah pendeta pendeta dari tingkat rendah.
"Nyalakan obor" terdengar pula suara si wanita.
Sejumlah orang yang membekal pedang segera bekerja, maka
pada lain detik, belasan obor sudah menggenciang dengan apinya
yang terang benderang membuat toatian itu menjadi tampak nyata
tegas sekali.
Masih hati orang tak tenang, semua mengawasi si wanita, untuk
mendapat tahu apa pula titahnya terlebih jauh.
"It Tie" berseru pula si wanita.
Para pendeta itu terperanjat. Didalam hati, mereka menerka
tentulah diantara mereka ada ketua mereka itu, yang namanya
disebut berulang ulang. oleh karena itu, mereka lantas saling
menoleh.
Ternyatalah It Tie Taysu tidak ada di antara mereka, yang
kedapatan ialah Su Kay Taysu, salah satu tiangloo. Mereka itu
menjadi kaget, siapa berada dekat tiangloo itu lantas minggir
sendirinya. Bukan main takutnya mereka.
Sendirinya orang gentar terhadap Su Kay Taysu sebab kecuali
menjadi tiangloo ia dikenal untuk kejujuran, ketaatannya kepada
agama, hingga disamping dihormati orangpun takut terhadapnya.
orang takut sendirinya karena sipendeta tak disangka sangka berada
didekat mereka
Su Kay Taysu sebenarnya tidak memikir apa apa terhadap
mereka itu, akan tetapi kapan ia melihat It ceng, dengan sendirinya
ia bergerak. meluncurkan tangan menyambar pendeta huruf "It" itu
untuk dibekuk
It ceng terkejut dan jeri, wajar saja ia lompat mencelat,
menyelamatkan diri dari sambaran itu. Su Kay liehay, dia juga
liehay. Hanyalah saja, untuk berlompat, dia mesti menyalurkan
napasnya. Justru dia bernapas, terasalah nyeri pada perutnya,
hingga geraknya menjadi ayaL. Maka kenalah dia dicekap tiangloo
itu.
Didalam sekejap. kacaulah toatian itu. Kacau disebabkan
ketakutan para murid Siauw Lim Sie itu. Yang memulainya ialah
seorang pendeta yang mendadak melompat untuk lari keluar
pendopo.
"Kau hendak lari kemana?" membentak menegur seorang
berseragam hitam sambil dia menghadang dengan tikamannya .
"Aduh" menjerit si pendeta, yang dadanya kena tertikam, hingga
darahnya mengucur keluar, tubuhnya menyusul roboh terkulai.
Pendeta pendeta yang lainnya pada berlompat juga tetapi begitu
mereka berlompat untuk kabur segera nyerilah dada dan perut
mereka.
Su Kay tak menjadi kecuali ketika ia menawan It Ceng, iapun
merasakan nyeri.
Si wanita berseragam hitam berlaku tenang, dengan keren dia
berseru: "Kamu semua denga. Jikalau kamu tidak takut mampus,
teruslah kamu berlari lari. Jikalau kamu menyayangi jiwa kamu lekas
berlaku tenang untuk menantikan keputusan"
Besar pengaruh kata kata itu, didalam sekejap. berdiamlah
semua orang hingga ruang menjadi sunyi dan tenang kembali.
Hanyalah saja, diantara sinar obor, tampak mereka itu beroman
takut. Semua mata diarahkan kepada si wanita dan Su Kay Taysu.
Wanita itu melihat suasana dia mengerti keadaan. Dengan sinar
mata dingin, dia mengawasi tajam kepada tiangloo dari Siauw Lim
Sie itu.
"Kau siapa kah, taysu?" demikian tegurnya, suaranya perlahan.
Su Kay berlaku tenang.
"Loo lap Su Kay dari Siauw Lim Sie," sahutnya sabar. Wanita itu
tertawa tawar.
"Kiranya pendeta beribadat dari huruf Su" katanya. "Maaf Maaf"
Habis itu, wanita itu segera menatap It Ceng. "Siapa dia?"
tanyanya.
"Dialah murid murtad dan pemberontak partai kami, namanya It
Ceng" sahut Su Kay.
"It Ceng ? Dia toh adik seperguruan It Tie ketua Siauw Lim Sie?"
"Benar.. Dan kau, siapakah kau, nona?" Setelah menjawab,
pendeta ini balik bertanya.
"Akulah Chee Liong Tongcu, bawahan seng Kiong Sin Kun," sahut
wanita itu.
Su Kay berkata, berani. "Nona menjadi tongcu, kenapa nona
tidak berani mengasih lihat wajahmu?"
Wanita itu tertawa hambar.
"Seorang pendeta adalah seorang alim, apakah pendeta juga
gemar melihat roman yang cantik manis?" dia bertanya, lalu
tangannya diangkat, agaknya hendak dia menyingkirkan tutup
mukanya.
Suara itu bernada mengejek, Su Kay tidak puas.
"Sudah" serunya, mencegah orang memperlihatkan wajahnya.
Agak sangsi sejenak ia menambahkan: "Loolap cuma ingin belajar
kenal dengan wajah Siapa mau menontoni kau cantik atau tidak?"
Wanita itu masih tertawa hambar.
"Kaulah orang yang lagi menantikan kematianmu, kau tidak
melihat wajah puncopun tidak apa" katanya, kembali
mencemoohkan.
Su Kay berkata pula, tetap berani. "Walaupun loolap sudah
terkena racun, belum tentu loolap dapat dikekang olehmu. Siapa
bakal hidup dan siapa bakal mati, saat ini masih belum dapat
dipastikan"
Demikian kedua orang itu mengadu lidah, selama mana Su Kay
tak pernah mengendorkan pegangannya terhadap It Ceng.
Tiba tiba si wanita tertawa nyaring, terus dia berkata "it Ceng
menjadi adik seperguruan dari ketua Siauw Lim Sie, kau lancang
datang kemari, apakah kau hendak menolong dia dengan membawa
dia lari?"
sepasang alis pendeta itu terbangun.
"Jikalau loolap memikir menolong dia untuk dibawa lari, itulah
bukannya soal sulit" sahutnya, keras. Terus ia menatap It Ceng
dengan bengisnya, ia bertanya. "It Ceng, apakah kau kenal loolap?"
It Ceng tercengang, lalu matanya bergerak. memandang kepada
si wanita yang menyebut dirinya tongcu ketua, dari Chee liong
Tong, Ruang Naga Hijau.
"Kau terangkan dirimu menjawab dia" berkata wanita itu. "Tak
usah kau menyembunyikan apa apa. Pendeta tua itu sudah terkena
racun, dia tak akan dapat berlalu dari sini dengan hidup"
Mendengar suara si wanita, It Ceng berpaling kepada Su Kay
Taysu.
"Teecu mengenali susiok." sahutnya. Dengan "teecu"
"murid" It Ceng membahasai dirinya sendiri. sedangkan "susiok"
ialah "paman guru", panggilan untuk sang paman guru itu.
Dengan sinar mata tajam bagaikan kilat, Su Kay mengawasi
keponakan murid itu.
"Syukur kau masih mengenali loolap" katanya, bengis. "Tahukah
kau bahwa loolap. walaupun sudah terkena racun, masih dapat
loolap membunuhmu?"
It Ceng tidak menjawab langsung hanya dia membalas bertanya
"susiok menjadi pendeta beribadat dan luhur, mana dapat susiok
dengan mudah saja melanggar pantangan membunuh?"
Su Kay gusar sekali.
"Loolap hendak tanya kau" ia membentak "Dan kau mesti
menjawab dengan sebenar benarnya. Jikalau kau berdusta sepatah
kata saja, akan segera loolap mengambil jiwamu" Paras It Ceng
menjadi pucat sekali.
"Silahkan tanya, susiok." sahutnya, "Tidak ada yang teecu tidak
akan katakan, pasti teecu tidak akan mendusta..."
su Kay segera menanya dengan suara yang keras: "Mana dia It
Tie?" demikian tanyanya.
"Teecu tak tahu," menjawab It Ceng, "Tadi dimedan
pertempuran kami kena dikacaukan dan terpisah satu dari yang lain,
sekarang teecu tidak mengetahui kemana perginya ciang bun
suheng itu...
"Ciangbun suheng" ialah kakak seperguruan yang menjadi ketua.
"Dan manakah kitab kitab pusaka itu?"
"Semua itu berada ditangan ciang bun suheng."
"Hm" Su Kay bersuara dingin. Mendadak ia menotok jalan darah
moa hiat dari It Ceng membuat keponakan murid itu berdiri
mematung, setelah mana segera ia menggeledah tubuhnya.
Semua mata diarahkan kepada Su Kay dan it Ceng itu, tak
terkecuali mata Chee liong Tongcu, hanya dia ini bersikap tawar.
Su Kay menjadi bingung sendiri. pada tubuh It Ceng tak dapat
kitab kitab pusakanya itu Maka ia menarik keras tangan orang dan
membentak "Hai, anak celaka, kau mau hidup atau mati?"
Kembali muka It Ceng menjadi pucat-pasi,
"Andaikata susiok membunuh teecu, itu tak menolong urusan,"
katanya perlahan. Su Kay sangat mendongkol.
"Kau murid Siauw Lim Sie Kenapa kau bersekongkol dengan
pihak luar dan mencuri kitab pusaka partai sendiri?" tegurnya.
"dalam hal ini haruslah dipersalahkan para tiangloo, yang mau
mendengar hasutan orang luar," menyahut It Ceng. "Hal itu
membuat ciang bun suheng tidak dapat berdiri diam lebih lama pula
didalam kuil kita. Itulah sebabnya kenapa ciang bun suheng
mengambil kitab kitab pusaka dan membawanya lari, meninggalkan
Siauw Lim Sie. Teecu cuma mengikuti ciang bun suheng, karena itu
rasa teecu tidak berdosa"
Pandai pendeta ini berbicara, hingga dalam murkanya, Su Kay
Taysu tertawa.
"Murid celaka" bentaknya. "Dahulu diatas puncak Yan in Hong
kau telah berbuat gila, kamu mencelakai guru dan ketua kamu,
apakah itu disebabkan kau dipaksa oleh para tiangloo? Apakah
ketika itupun kau cuma menurut dan ikut ikutan saja?"
Lagi lagi pucat pasilah It Ceng.
"Itulah urusan tanpa buktinya," kata dia, berani. "Dapatkah
susiok memfitnah membuat teecu berdosa?"
"Binatang" Su Kay membentak pula. "Kau dengar.. Tahukah
bahwa gurumu itu, walaupun dia bercelaka, dia masih belum mati?
Bahwa sekarang ia sudah lolos dari penderitaan kesengsaraan,
hingga ia melihat matahari yang indah? Sekarang ini justru ketua
kita itu mencari kau untuk membuat perhitungan. Binatang apakah
kau masih tidur nyenyak saja?"
Tubuh it Ceng menggigil saking takutnya.
"Aku tak percaya" katanya nyaring. Tak percaya ia bahwa Su
Hong Taysu, ketuanya yang terdahulu, masih hidup,
Su Kay gusar tak kepalang. ia tersinggung karena keponakan
murid itu tak percaya padanya.
"Binatang" teriaknya, sengit, lalu tangannya digerakkan.
"Tahan" berseru si wanita, gusar.
Tapi suara nyaring sudah terdengar tangan Su Kay sudah
melayang kemuka orang hingga It Ceng roboh terguling, mulutnya
mengeluarkan darah sebab giginya pada copot. Kalau tadi dia gusar,
sekarang wanita itu tertawa.
"Pendeta yang bernyali besar" katanya, nyaring. " Didepan
punco, bagaimana kau berani mengganas? Jikalau kau tidak
dihukum, pasti akan ada contoh teladannya"
Su Kay tak takut.
"Jikalau tongcu sudi memberi pengajaran, loolap bersedia
menerimanya" katanya, menyambut ancaman tongcu itu.
"Kau sudah tidak mampu bernapas, kau berani turun tangan,
takkah itu lucu?" kata si wanita.
Diam diam Su Kay menyalurkan napasnya Kembali ia merasa
nyeri diperutnya. Diam diam ia terkejut. ia membungkam. Wanita
bertopeng itu tertawa dingin.
"Racun punco racun istimewa. Apakah kau sangka sembarang
obat dapat memunahkannya?" katanya.
"IHm Jangan berlagak pintar. Jangan kau kira dapat menelan
obat pencegahnya Itulah artinya kau cari kesengsaraanmu sendiri.
Jangan kau nanti sesalkan punco"
Mendengar kata kata orang itu, Su Kay berpikir. "Apakah dia
maksudkan bahwa aku telah salah makan obat? Yaitu karena makan
obat pemunah terlebih dahulu, akibatnya jadi terlebih buruk?"
"It Ceng" tiba tiba terdengar suara wanita
Justru itu It Ceng baru merayap bangun dan tengah menyusuti
darah dibibirnya. ia mendengar panggilan itu.
"Ya, aku bersedia menerima perintah" sahutnya lekas.
"Semenjak kapan kau masuk kedalam kalangan Istana kami?"
"Sejak sebelas tahun yang lampau."
"Apakah kau pernah menghadap Sin Kun?"
"Pernah."
"Kapankah itu dan dimanakah?"
"Sama sekali sudah dua kali. Pertama ketika aku mulai berguru
kepada Sin Kun, dan tempatnya diluar kota Kim leng. Yang kedua
kali dipuncak Yan in Hong, disaat ketua keempat partai. . . "
"Semua itu kejadian sepuluh tahun yang telah lewat," menyela si
wanita, "Kalau sekarang kau bertemu dengan Sin Kun, kau masih
mengenalinya atau tidak?"
Hati It Ceng terkejut, matanya mencilak. "Apakah tongcu?..."
katanya, terputus suaranya bergemetar.
"Punco adalah Chee liong Tongcu" berkata si nona, menyela
pula, "Walaupun Sin Kun dapat menyalin rupa seribu macam wajah,
tapi belum pernah ia menyamar menjadi wanita" It Ceng melengak.
"Ketika pertama kali aku menemui Sin Kun," berkata ia, bagaikan
menggumam, "tatkala itu Sin Kun berupa sebagai seorang pendeta
tua berusia lebih dari pada seratus tahun yang mukanya merah
marong. Danpada kedua kalinya, ia tampak sebagai seorang
pemuda pelajar yang cakap ganteng."
"Sin Kun dapat menyalin diri menjadi banyak macam, cara
bagaimana kau dapat mengenalinya? "
"Setiap Sin Kun mUncUl, ada pertandanya yang luar biasa. maka
itu, dapat aku mengenalinya. Selama yang paling belakang ini Sin
Kun senantiasa menyampaikan surat surat perintah dengan
menyuruh orang, karena itu belum pernah aku menemuinya pula."
"Kau cerdas" wanita itu memuji. "Kau pula orang yang berjasa.
Habis makan obat, pergilah kau keruang belakang ini, lihat disana
ada siapa..."
Berkata begitu, wanita itu menyentilkan jeriji tangannya,
melemparkan sebutir obat.
Su Kay melihat obat itu hijau seperti yang diberikan kepada Uh
bun Ceng, ia lompat untuk menyambarnya.
It Ceng terkejut berbareng gusar, ia berlompat maju sambil
menyerang, mengarah punggung paman gurunya itu.
Su Kay berlaku awas. Ia mendapat tahu It Ceng menyerangnya.
Sambil dengan tangan kanan menyambuti obat, dengan tangan kiri
ia menyampik, menangkis berbareng menghajar tangan keponakan
muridnya itu...
Hanyalah, dengan menggunakan tenaganya, berdua mereka
masing masing merasai nyeri dalam perutnya, hingga tenaga
mereka berkurang, tempo lengan mereka beradu, mereka
merasakan lebih nyeri pula, hingga keduanya sama sama merintih
kesakitan- Su Kay masih dapat menahan diri, melawan rasa sakitnya
itu. Tidak demikian dengan It Ceng, dia limbung dua tindak. hampir
dia roboh terguling.
Si wanita menyaksikan perebutan obat itu. Ia melihat bagaimana
tangguhnya Su Kay Taysu.
"Kau telah mendapatkan obat itu, kenapa kau tidak segera
menelannya?" dia tanya pendeta tiangloo dari Siauw Lim Sie itu,
yang dia awasi dengan tajam.
Su Kay melengak. Ia segera melihat obat di dalam
genggamannya itu. Didalam hati, ia berkata: "Aku berlima telah
minum setengah cangkir air teh itu. Mana dapat aku makan obat ini
untuk menolong diriku sendiri?"
Tengah tiangloo ini ragu ragu, ia mendengar suara Toan Im Jip
bit dari Siauw Pek terhadapnya: "Taysu, lekas makan obat itu. Itulah
penting Kalau sebentar kita mesti bertempur, dapat taysu
menggunakan ilmu silat Siauw Lim Pay untuk melindungi kami,
jikalau tidak. kita bakal habis semuanya"
Masih Su Kay bersangsi. Ia ingat: "Coh Siauw Pek menjadi Kim
Too Bengcu, ia jauh terlebih gagah daripada aku, maka obat ini
selayaknya dialah yang makan"
Selagi pendeta ini berpikir itu, ia melihat si wanita kembali
menyentilkan obat kepada It Ceng.
Sambil menyentil itu, wanita itu memperdengarkan suara "Hm"
yang dingin. Bukan main girangnya ia. Ia tahu betapa besar
harganya apabila ia dapat tambahan obat tersebut. Maka segera
berlompatlah dia sambil mengulur tangannya, guna menyambar
obat itu
It Ceng melihat perbuatan sang paman guru, gusarnya bukan
kepalang sambil berteriak, dia pun melompat, hendak merampas
obat itu
Siwanita terkejut sekali Tidak disangkanya bahwa Su Kay kembali
merebutnya. Pendeta itu berhasil karena gerakannya yang gesit
laksana kilat.
Untuk sedikit, It Ceng melongo karena dia gagal merampas obat,
segera setelah itu, sambil membentak, dia lompat kepada sang
paman guru dengan kedua tangannya dia menyerang Su Kay
melihat datangnya serangan, ia berkelit.
It Ceng tahu serangannya gagal, dia menyerang pula, dia
mengulangi terus terusan. Su Kay terpaksa melayani, hingga
mereka dengan cepat bergebrak sampai empat jurus.
Karena mereka bertempur hebat, orang pada mengundurkan diri.
Saking gusarnya itu, It Ceng seperti lupa sakit pada perutnya.
Sebaliknya Su Kay, yang sadar, saban saban merasai rasa nyerinya
itu, nyeri bukan buatan. Karena terpaksa, ia tidak merintih. Ia pula
terpaksa melayani keponakan murid yang bagaikan kalap itu.
Karena terpaksa, satu kali ia menyampok dengan keras sekali.
"Aduh" It Ceng menjerit keras, mulutnya menyemburkan darah
hidup, menyusul mana robohlah tubuhnya, kali ini untuk tak dapat
bergerak pula.
Su Kay mencoba menenangkan diri, tapi toh ia merasai
kepalanya pusing, matanya kabur, rasa nyeri bertambah tambah,
nyeri pula di ulu hati.
Menyusul itu, ia pula merasai tubuhnya bagaikan kaku semua.
Lekas lekas ia menjatuhkan diri, untuk duduk bersila, guna
bersemedhi, menyalurkan pernapasannya, menurut ilmu partainya.
Ia melawan guna mencegah hatinya beku.
Siwanita tertawa dingin. Katanya: "Lihat kau berlaga gagah,
maka sekarang racun sudah menyerang keulu hatimu Sekarang ini,
walaupun kau memakan obatku, itu sudah sukar akan menolong
jiwamu"
Su Kay mendengar ejekan orang, tetapi ia tertawa ingat dua butir
pil didalam tangannya itu sambil mempertahankan diri, ia berkata di
dalam hati: "Dia kata racun sudah menyerang kehatiku. Mana dia
tahu bahwa latihan tenaga dalamku sudah lama lebih daripada
enam puluh tahun. Jikalau obat ini memang obat tepat, mustahil dia
tak mujarab? sekarang ini perlu sekali aku menolong jiwaku, baiklah
aku segera makan yang sebutir, yang sebutir lagi, aku sediakan
buat Coh Siauw Pek. Buat menolongi Ban Liang, Oey Eng dan Kho
Kong, nanti saja aku berusaha pula."
begitu ia berpikir, begitu Su Kay Taysu membawa sebutir pil
kemulutnya.
Siauw Pek sementara itu mengawasi dengan heran kepada
pendeta kawannya itu, tiba tiba timbul rasa curiganya, tak ayal pula,
ia bicara dengan saluran Toan Im Jip bit. "Awas pada akal busuk.
taysu, Jangan makan dulu obat itu"
Su Kay mendengar pemberian ingatan itu, ia heran, iapun curiga,
tanpa merasa, ia menoleh kepada ketua Kim Too Bun itu.
Siauw Pek menyembunyikan diri diantara puluhan orang itu, ia
berkata pula dengan saluran ilmunya itu: "Aku menerka bahwa
sengaja ia berbuat begini guna membikin taysu minum obat itu. Aku
menduga obatnya tidak tepat, kalau taysu makan itu, mungkin
bahayanya jadi semakin hebat..."
Su Kay Taysu bagai disadarkan, maka timbullah juga
kecUrigaannya. Maka ia jadi berpikir untuk menjaga dirinya. Batal ia
memasukkan obat kedalam mulutnya. sebaliknya, ia memusatkan
pikirannya kepada latihan pernapasannya guna memperkuat tenaga
dalamnya. sekonyong konyong si wanita tertawa nyaring.
"oh, kiranya kau mempunyai konco"^ serunya. "Hampir punco
kena dikelabuhi" Segera ia menoleh kepada Coh Siauw Pek, untuk
mengawasi sejenak. "Semua membuka tutup kepala" tiba tiba dia
memerintahkan.
Rombongan itu telah terpengaruh sangat oleh si wanita, perintah
itu ditaati serentak. Semua orang segera membuka tutup kepalanya
kecuali Siauw Pek. Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong. oleh karena
itu baik pihak si wanita, ma upun para pendeta Siauw Lim Sie dan
lainnya turut menumplakkan perhatiannya kepada rombongan Kim
Too Bun itu. Sejenak itu, ruang sangat sunyi.
Wanita itu tetap mengawasi keempat orang yang masih belum
menyingkirkan tutup kepalanya itu, kemudian dia tertawa dingin dan
berkata: "Punco telah menduga mesti ada mata mata yang
menyelundup kesini, sekarang dugaanku itu tepat. Sesudah rahasia
kamu pecah, apakah masih kamu tidak mau membuka tutup kepala
kamu? Mustahilkah kamu menghendaki punco yang turun tangan
sendiri?"
Siauw Pek berpikir cepat. "Sudah terlanjut, baiklah aku
perlihatkan wajahku. Hendak aku lihat, apa yang kau dapat bikin"
Maka segera ia menyingkirkan tutup kepalanya.
Segera setelah pemuda itu memperlihatkan diri, didalam
rombongan bukan pendeta ada seorang yang berlompat keluar dari
dalam rombongannya. Dia nampak kaget sekali. Dialah seorang tua
kurus kering dengan dua mata celong serta jubah hitam. Dia
berlompat sejauh setombak lebih.
Si wanita gusar melihat gerakan orang tua itu. "Mau apakah
kau?" bentaknya.
Masih si orang tua terpengaruh oleh kagetnya itu. "Maaf,
tongcu," katanya mohon, "aku si tua,"
"Sebutkan she dan namamu" perintah si wanita, tawar.
"Aku si orang tua Houyan Pa dari San im..."
Wanita itu memotong, "Pernah punco mendengar nama Houyan
Pa dari San im Pay yang bergelar Pek Lin Cian, apakah kau
adanya?"
Mengetahui bahwa orang ketahui nama dan gelarannya itu,
Houyan Pa nampak puas. Tapi dia mengekang diri. Terus dia
memberi hormat, merangkap kedua tangannya sambil memberi
hormat.
"Memang Pek Lin Cian adalah gelaranku," sahutnya. "Hanya itu
nama kosong belaka, tak berharga sekalipun untuk dibuat tertawaan
saja."
Wanita itu mengawasi: "Kau menyebut dirimu si orang tua,
mungkin kaulah orangnya seng Kiong..."
Houyan Pa terperanjat. "Maaf, tongcu, Siok hee..." katanya
"Siok hee" ialah sebutan "aku" untuk orang sebawahan
Wanita itu tertawa dingin pula. Terus dia menunjuk Siauw Pek.
"Siapakah dia itu?" dia tanya Houyan Pa. "Kenapa kau sangat takut
terhadapnya?"
Kulit muka Houyan Pa berubah menjadi merah. Dia malu dan
jengah.
"Harap tongcu ketahui," sahutnya, "Dialah Coh Siauw Pek.
bengcu dari Kim Too Bun yang belum lama muncul dalam dunia
Kang ouw"
Nama Siauw Pek memang telah menggetarkan dunia Kang ouw,
Sungai Telaga. atau kalangan Bu Lim, Rimba Persilatan, disebutnya
nama itu oleh Houyan Pa membuat kaget para hadirin didalam
ruang itu. Kiranya Coh Siauw Pek yang tersohor itu berada diantara
mereka. Dengan serentak mereka pada menjauhkan diri lalu terus
mereka mengawasi jago muda itu.
Wanita yang mengaku sebagai Chee Liong Tongcu itupun
terkejut karena ia mendengar nama ketua Kim Too Bun itu, ia
mengawasi tajam. orang telah pada menjauhkan diri dan si anak
muda tanpa kerudung kepala dan muka, ia pula dapat melihat
dengan tegas sekali. Tentu saja ia melihat seorang muka yang
tampan dan gagah sikap duduknya. ia juga mendapat kenyataan,
bersama anak muda itu ada lagi tiga orang kawannya. "Coh Siauw
Pek" kemudian berkata si wanita, nyaring. Siauw Pek maju satu
tindak.
"Akulah si orang she Coh" Siauw Pek menjawab sambil tertawa,
tidak ada rasa takut. Kedua mata wanita itu menatap sangat tajam.
"Jadi kaulah Coh Siauw Pek yang baru muncul yang istimewa
menentang Seng Kiong?" dia tanya pula.
Siauw Pek heran- Nada wanita itu beda dari pada semula. ia
mengangguk tetapi ia tidak menjawab.
Wanita itu berkata pula, bahkan kali ini suaranya bagaikan
menggetar: "Pernah apakah kau dengan Coh Kam Pek dari Pek Ho
Po yang telah menutup mata?"
"Itulah almarhum ayahku," sahut Siauw Pek.
Wanita muda yang berdiri diujung meja segera membisiki wanita
yang meng aku tongcu itu: "Lekaslah beri putusan kepada semua
orang yang lainnya, supaya dapat dicegah kalau terjadi perubahan
sesuatu"
Wanita itu melengak sejenak, lalu dia tertawa nyaring:
"Coh Siauw Pek" katanya keras. "Sin Kun justru hendak
membekukmu. Kau sekarang mengantarkan diri, sungguh baik
sekali"
Habis berkata begitu, wanita itu mengawasi semua orang, lalu
berkata dengan tak kurang kerasnya: "Sekarang Sin Kun ada
dibelakang pendopo ini, lagi menantikan datangnya kamu"
Wanita yang berdiri diujung meja itu lalu bergerak. Dia pergi
kepintu yang menjurus ke belakang pendopo itu, untuk berdiri
dipinggirnya sambil berkata: "Jalan berbaris kemari. Lekas"
Mendengar perintah itu, Houyan Pa yang mendahului bertindak
maju. Melihat contoh itu, orang orang yang lainnya mencontohnya,
semua mengambil jalan kebelakang toatian itu.
Sementara itu, bagaikan tak nampak, dimuka pintu sudah
tampak empat orang wanita yang mengenakan cala yang tangannya
masing masing membawa sebuah menampan merah diatas mana
terdapat cawan cawan teh, yang semuanya telah ada separuh
isinya.
Terdengar suara si wanita tongcu itu: "Semua minum dahulu
obat pemunah, kalau sampai racun sudah bekerja, kau tak bakal
menemui Sin Kun."
Houyan Pa berani sekali. Dia menjemput sebuah cangkir, tanpa
bersangsi lagi, dia mencegluk isinya. Ketika dia melihat kedepan, dia
melihat sebuah gang atau lorong yang dikedua sisinya terdapat
berdiri berbaris orang orang dengan seragam hitam, mukanya
tertutup topeng hitam, senjatanya pedang semua. Diujung lorong
itu ada sebuah toatian pendopo besar lainnya. Dengan
membesarkan hati, Houyan Pak berjalan terus memasuki pendopo
besar itu.
Dengan kepergian Houyan Pa semua, didalam pendopo tadi
tinggallah Su Kay Taysu bersama rombongan Coh Siauw Pek.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu tetap masih duduk bersila. Puluhan
tahun tenaga latihannya lagi dikerahkan guna melawan racun Chee
Liong Tongcu. Siauw Pek berempat berdiri mengintari si pendeta,
untuk melindunginya. Semua sambil menutup mulut.
Dengan tetap duduk ditempatnya, mata si wanita memain
diseluruh ruang besar itu. Beberapa kali dia mengawasi pula kepada
Siauw Pek. Selama orang berjalan kebelakang, iapun suka
mengawasi mereka itu. Dia mengenakan tutup muka, maka itu tak
tampak wajahnya. Mestinya dia bersitegang hati karena menghadapi
ketua dari Kim Too Bun itu.
juga Siauw Pek. Hatinya anak muda ini tak tenang sebagai
semula, ada sesuatu yang membuat hatinya itu bekerja hingga ia
menjadi tidak keruan rasanya. ia menguatkan hati agar dapat
bersikap tenang. ia bagaikan mendapat firasat bakal terjadi sesuatu
yang mengejutkan. . .
Hanya sebentar kira kira tiga puluh orang itu sudah lenyap
semua dari toatian-segera setelah orang yang terakhir tak tampak
pula bayangannya, si wanita bangun bangkit dari tempat duduknya.
"Coh Siauw Pek" terdengar suaranya. Alis si anak muda
terbangun.
"Ada perintah apa, tongcu?" tanyanya tenang.
Dengan suara rada menggetar, wanita itu berkata: "Dalam dunia
Kang ouw ramai tersiar berita bahwa kaulah pewaris dari Thian
Kiam dan Pa Too, kedua ilmu silat pedang golok yang istimewa
itu..."
Tanpa merasa, Siauw Pek tertawa lantang. Dengan tangan kanan
ia meraba pedang di punggungnya, dengan tangan kirinya ia
menunjuk golok yang berada pada Ban Liang
"Dua pedang dan golok itu telah berada di sini" katanya. "Tongcu
ada pengajaran apa untukku ?"
Wanita itu melengak. walaupun cuma sedetik. "Seng Kiong Sin
Kun pandai mengubah wajah orang, kau Coh Siauw Pek. kau entah
yang tulen atau yang palsu" katanya pula.
sebelum menjawab pertanyaan orang itu Siauw Pek berpikir
cepat: "Kita semua telah terkena racun, tindakan utama kita ialah
harus dapat mengekang wanita ini, atau mencekiknya guna
memaksa dia memberikan obat pemunahnya", maka itu ia
menjawab sabar: "Aku juga , tak tahu diriku yang tulen atau yang
palsu, kalau Tongcu ingin mendapat kepastian, tak ada halangannya
untuk Tongcu mencoba mencarinya"
Wanita itu melengak pula. Mendadak dia mengulapkan
tangannya.
"Sam Kiamcu Cit Kiamcu" demikian suaranya memanggil "Maju "
Siauw Pek heran- ia menerka nerka, siapa Kiamcu,jago pedang
yang ketiga (sam) dan ketujuh (cit) itu. ia berpikir hingga alisnya
berkerut.
Gesit sekali dua orang berlompat maju, bagaikan bayangan
sekejap saja sudah tiba di depan anak muda. Diam diam Siauw Pek
terperanjat. Itulah disebabkan karena ia melihat sinar luar biasa dari
senjata Kiamcu yang disebelah kanan- ia menerka kepada senjata
mustika. Maka wajar saja, ia mundur setindak. Berbareg dengan itu,
dengan tangan kanan ia menyambar gagang pedang orang yang
kanan- Sedang tangan kirinya ia menyambut pedang orang yang
lainnya untuk disentil. hingga terdengarlah satu suara yang nyaring.
Kiamcu itu terkejut, tak keburu ia menarik kembali senjatanya.
Itulah sebabnya kenapa pedangnya kena tersentil mental kesamping
Hanyalah, karena ia menggunakan tenaganya, mendadak Siauw
Pek merasa ulu hatinya nyeri, maka gerakannya menjadi ayal,
hingga pedang orang itu tak dapat dirampas.
Sebat sekali kedua kiamcu itu melompat mundur, sesudah mana
tanpa memberi kesempatan sianak muda, mereka maju pula dengan
berbareng mereka menyerang kembali.
Siauw Pek insaf akan liehaynya racun, maka tak mau ia
sembarangan bernapas. Ia segera menggunakan kelincahannya,
buat selalau berkelit dari tikaman- Sejenak itu ia belum mendapat
pikiran tentang bagaimana caranya ia harus merampas senjata
kedua orang itu. Ia berlaku sabar luar biasa.
Tengah pertempuran itu berlangsung, mendadak Su Kay Taysu
berjingkrak bangun seraya dia berkata dengan suara keren: "Bengcu
lekas hunus pedang, melayani musuh. Ban Huhoat. Lekas bersiap
membuka jalan Lolap berdua bengcu akan merintangi musuh
dibelakang "
Mendengar kata kata sipendeta, Oey Eng dan Kho Kong segera
mengeluarkan senjatanya masing masing.
Seng Su Poan Ban Liang berpiklr lain- Ia segera berteriak:
"Bengcu, lekas mundur, untuk menyingkirkan racun dalam tubuh.
Habis itu barulah kita membuat perhitungan "
Mendengar suara orang itu, Cit Kiamsu tertawa mengejek. terus
dia perkeras serangannya. Dia mendesak agar lawannya tak sempat
untuk berkelit.
Si wanita mengawasi tajam kepada Coh Siauw Pek, sambil
mengawasi itu, dia berkata nyaring^ "Coh Siauw Pek, telah lama
punco mendengar nama Thian Kiam, kalau sekarang kau tidak
menghunusnya, kau akan menyesal sesudah terlambat "
Siauw Pek tertawa secara memandang enteng. Katanya^
"Seorang ketua Kim Too Bun, buat melayani musuh tak punya nama
seperti mereka ini, perlukah aku menghunus pedangku? Kalau hal
ini tersiar dalam dunia Kang ouw, tidakkah itu bakal mendatangkan
tertawaan "
Sam Kiamcu gusar sekali. Dia merasa sangat terhina.
"Bocah tak tahu adat" teriaknya. "Lihatlah pedang kiamcumu "
Lalu diapun mendesak seperti Cit Kiamsu, guna melampiaskan
menendongkolannya.
Siauw Pek tidak melayani suara orang, ia hanya memasang mata
untuk bersiap sedia. Ia pun tidak mau berkelit terus terusan- Sambil
mengumpulkan semangat ia menanti tibanya pedang lawan- Baru
setelah ujung pedang mengancam, ia mengegos tubuh sedikit, guna
mengasih lewat ujung pedang itu, berbareng dengan mana tangan
kanannya dengan kecepatan luar biasa meluncur dan dengan
sebuah jeriji tangan menolek lengan penyerang itu
Dengan mendadak saja Sam Kiamcu merasai tangannya
kesemutan, terus nadinya beku, walaupun ia tahu, ia toh hampir tak
merasa lagi melihat bagaimana pedangnya dirampas si anak muda
Gerakan Siauw Pek luar biasa cerdas dan cepat. Kesempatan
beristirahat satu hari dan satu malam membuat otaknya menjadi
terang luar biasa, hingga ia ingat segala macam ilmu silat yang
pernah ia pelajari terutama yang dari Kie Tong, hingga pada saat
saat sangat mendesak. ia ingat pelbagai jurus atau tipu silatnya itu.
Bahkan dengan lincah dan tepat sekali ia dapat menggunakannya,
maka juga latihannya menjadi berarti sekali, menjadi sangat mahir.
Itulah kemajuan yang diperolehnya berkat sang tempo dan
pengalaman- Setiap pertempuran bagaikan penerangan baginya,
membuat matanya seperti terbuka dan hatinya terang bercahaya.
Selekasnya ia mencekal pedang lawan, terus saja bengcu ini
menyerang Cit Kiamcu, yang ia tusuk kerongkongannya, hingga ahli
pedang lawan it uterkejut, sambil lekas lekas berkelit diapun
mencoba menangkis tikaman
Siauw Pek menarik kembali tikamannya itu, tetapi ia tidak
berhenti sampai disitu pedangnya itu ditarik kembali untuk
diteruskan ditikamkan kepada sam kiamcu, pemilik pedang itu.
Tanpa pedang, sam kiamcu menjadi tidak berdaya, syukur dia
masih mempunyai kesebatan, terutama dia tak menjadi bingung
maka dengan gesit dia melompat mundur, guna menyelamatkan
dirinya.
Ketua Kim Too Bun tak berhenti. Gagal menyerang sam kiamcu,
ia meneruskan menyerang pula cit kiamcu. Kalau tadiialah yang
didesak, sekarang ia yang berbalik mendesak kedua lawan itu.
Cit kiamcu tak sempat menangkis, terpaksa dia berkelit dengan
melompat mundur, pedangnya dikibaskan, untuk sekalian
menangkis, tapi dia menangkis tempat kosong.
Selekasnya lawan melompat, Siauw Pek berbalik menyerang pula
jago pedang yang ketiga itu. Hingga terus menerus ia membuat
kedua lawan itu makin mundur saja.
Didesak begitu rupa, kedua kiamcu bagaikan tak sempat
bernafas. Dengan demikian buruklah keadaannya
Cara berkelahinya Siauw Pek itu membuat heran dan kagum
mereka yang menonton pertempuran. Selama ini, belum pernah
Siauw Pek berkisar dari tempat dimana dia berdiri.
Dia melainkan memutar tubuh apabila perlu. pula dia
menggerakkan pedangnya berulang ulang itu bagaikan dia sedang
bermain main, tak tampak dia menggunakan tenaga hebat.
Ruang menjadi sangat sunyi, walaupun disitu, dipihak lawan,
berkumpul puluhan orang. Mereka itu menonton sambil mendelong,
umpama kata, bernafaspun tak berani.
Si wanita juga menonton dengan kekaguman, baru kemudian
terdengar dia berseru "Berhenti "
Kedua kiamsu lompat mundur dengan segera. Mereka memang
Ciut nyaliny a. Mereka mundur tanpa menghiraukan bakal diserbu.
Kenyataannya memang demikian. Selagi mereka melompat itu,
bergantian lengan mereka ditepuk Siauw Pek dengan ujung pedang.
Keduanya kaget, keduanya menjerit pedang mereka terlepas dan
jatuh kelantai
Dengan kedua tangannya menekan meja dengan suara rada
menggetar, siwanita berseru^ "Bagus Inikah ilmu pedang Tay Pie
Kiam hoat yang kesohor didalam dunia?"
Siauw Pek tertawa hambar.
"Ilmu pedang Tay Pie Kiam hoat adalah ilmu pedang bukan
sembarang ilmu" berkata ia "Kecuali tongcu yang turun tangan
sendiri, tak dapat aku gunakan itu"
Wanita itu melengak. Lalu dia berkata agak tertahan: "Aku tahu
kau siapa. Kau sebaliknya tak tahu..."
"Setahuku kaulah Chee Liong Tongcu" kata Siauw Pek.
Nyata sekali hati si wanita bersitegang sendirinya. Mendadak ia
mengangkat tangan kanannya, menyingkirkan cala di mukanya, lalu
bernafas sedang suaranya menggetar: "Kau lihat... Kau lihat baik
baik. Sebelumnya ini pernah kah kau melihat roman punco?"
Siauw Pek mengawasi. Ia menatap. Tiba tiba ia merasa tubuhnya
menggigil, saking tegang hatinya. Kedua matanya terbuka lebar.
"Mustahilkah kau..." sahutnya.
Wanita itu adalah seorang nona usia muda dua puluh lebih
sedikit, kulitnya putih bersih dan halus, romannya cantik. Akan
tetapi, tanpa cala, terlihatlah air matanya meleleh turun kepada
kedua belah pipinya.
Ban Liang heran, dia mengawasi dengan penuh kecurigaan.
sekonyong konyong dia berseru: "Waspada, bengcu Seng Kiong Sin
Kun sangat banyak akal muslihatnya"
"Siapa kah kau?" Kho Kong pun bertanya bengis.
"Lihat pedang" mendadak si nona berseru, lalu dia
menggerakkan tangannya kearah dada sianak muda yang bertabiat
keras itu. Menyusul itu tampak suatu sinar emas berkelebat
berkilauan.
Ban Liang terperanjat. Ia tahu itulah semacam senjata rahasia.
Karena ia kuatir Kho Kong tidak dapat mengelakkan diri, ia segera
melompat sambil mengulur tangan menyambuti senjata rahasia itu.
Diantara sinar terang cahaya api, pada badan senjata rahasia itu,
yang merupakan sebuah pedang kecil, tampak ukiran empat huruf
"Kiu Heng Cie Kiam" "Pedang Sakit Hati".
Kho Kong tak sabar, dia merampas senjata rahasia itu dari
tangah sijago tua, selekasnya sinar matanya bentrok dengan ukiran
empat huruf, dia tidak tahan sabar lagi untuk tidak berseru^ "Kiu
Heng Cie Kiam" Ban Liang segera tertawa terbahak bahak.
"Kiranya Kiu Heng Cie Kiam yang menggemparkan dunia Kang
ouw adalah Chee liong Tongcu" katanya. "Sungguh dunia aneh,
makin lama tambah banyak segala sesuatu yang mujijat Keanehan"
Sementara itu terdengar suara Siauw Pek suara yang hampir tak
tegas: "oh, kakak..."
"Ya, adik..." terdengar si nona, yang mendadak menangis keras,
terus dia berlompat maju, lari kepada si anak muda, untuk
menubruk dan merangkul. "Adikku"
Hanya sekejap. kedua muda mudi ini sudah saling berpelukan
sambil menangis keras dan bersedu sedang Semua orang menjadi
heran, hingga semuanya berdiri diam dengan tertegun saja.
Oey Eng dan kawan kawan tahu yang bengcu mereka itu
mempunyai seorang enCie, kakak wanita yang bernama Bun Koan,
yang hilang dimuka jembatan maut Seng Su Kio didalam medan
pertempuran, katanya kakak itu tertawan musuh, yang hilang entah
kemana selama itu, tidak disangka dialah pemilik dari Kiu Heng Cie
Kiam. Pedang Sakit hati, dan sekarang orangnya berada disini,
bahkan sebagai Chee liong Tongcu, ketua dari Ruang Naga IHijau
dari Seng Kiong Sin Kun
Dari heran orang menjadi terharu. Itulah karena mereka
mendengar tangisan kakak beradik ini.
Bahkan sejumlah wanita berbaju hitam lainnya turut menangis
juga karena merekalah pelayan pelayan Nona Bun Koan-
Baru selang sekian lama sesudah ia dapat menguasai dirinya,
Nona Coh berkata. "Adik, ayah dan kakak kita mati secara sangat
menyedihkan, maka itu kita harus membalaskan kepenasaranannya
"
"Jangan kuatir, kakak"jawab Siauw Pek sambil menangis.
"Adikmu pasti..."
Tak dapat pemuda itu melanjutkan kata katanya. Karena ia
tercegah oleh kesedihannya.
Ketika itu Ban Liang bertindak maju, menghampiri kakak beradik
itu, sambil mengangkat tangannya ia berkata. "Sekarang ini saatnya
bekerja, bengcu, maka itu harap bengcu dapat menguatkan hati,
untuk menguasai kesedihan bengcu, untuk kita mulai dengan usaha
kita"
Dengan tiba tiba saja, semangat Coh Bun Koan terbangun.
"Benar kata orang tua yang gagah ini " katanya nyaring. Ia terus
mencekal keras tangan adiknya, untuk berkata. "Adikku, saat ini
adalah saat pembalasan kita. Kita harus bangkit sekarang, tak dapat
kita mengasi lewat, mensia siakan saat yang baik ini "
Siauw Pek mengangguk. "Benar, kakak " sahutnya. "Sakit hati
kita yang dalam bagaikan lautan mana adikmu berani lupakan "
si nona mengangguk. Lalu dia berpaling kepada Ban Liang.
"Maaf, loocianpwee, aku masih belum ketahui she dan nama
besar loocianpwee?" katanya hormat.
Ban Liang merangkap kedua tangannya.
"Aku si tua ialah Ban Liang, huhoat dari Kim Too Bun." sahutnya
sijago tua.
Bun Koan mengangguk, ia mengucap terima kasih, terus ia
berpaling kepada Oey Eng dan Kho Kong kedua pemuda kawan Ban
Liang itu.
"Itulah kedua adik angkatku, Oey Eng dan Kho Kong." Siauw Pek
lekas lekas memperkenalkan.
Kedua pemuda itu mengangguk pada sinona.
"Kami semua adalah orang orang Kim Too Bun, nona tak usah
sungkan sungkan terhadap kami," katanya. Bun Koan membalas
hormat.
"oh, kiranya kedua saudara Oey dan Kho" ucapnya. Kemudian
setelah itu, ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah peles dan
membuka tutupnya serta menuang keluar isinya, lima butir pil,
sambil berbuat begitu, ia berkata merendah, "maafkan aku atas
perbuatanku tadi. Inilah obat pemunah, silahkan telan "
Siauw Pek lekas lekas menyambut obat itu, paling dahulu ia
menelan sebutir, lalu sisanya ia bagi bagikan kepada Su Kay Taysu.
Ban Liang, Oey dan Kho Kong untuk mereka menelannya tanpa
ditunda pula.
obat itu berwarna kuning tua dan besarnya seperti kacang
kedele, beda daripada pil yang tadi diberikan kepada Uh bun Ceng
dan lainnya. Karena kelainan itu, Siauw Pek heran-
"Kakak. adakah ini obat yang lainnya?" tanyanya.
Ditanya begitu, Nona Bun Koan tertawa manis, lekas lekas ia
menyusut air matanya. Tapi selekasnya itu, ia berkata: "Semua
orang Seng Kiong Sin Kun menjadi musuh musuh kita, mana dapat
aku melepaskan mereka? Dengan banyak susah aku telah mengatur
tipu memancing mereka datang kemari Untuk menghabiskan
mereka itu rasanya masih kurang, karena itu mustahil aku sudi
memberikan mereka obat untuk membebaskan mereka?"
Siauw Pek terkejut.
"oh," serunya. "Kalau begitu..."
"Semua obat itu, bukannya obat pemunah," berkata Bun Koan,
"itulah bahkan obat yang mempercepat bekerjanya racun. Syukur
Su Kay Taysu tak makan, kalau tidak. oh, itulah kesalahan....
(Halaman hilang)
Paras Siauw Pek pucat saking kagetnya. "Kakak, kau..." katanya.
Alis si nona berkerut.
"Adik," katanya, "apakah kau hendak mengatakan aku telengas
dan gila akan pembunuhan?"
"Mana berani aku mencela dan menyesaikan kau, kakak," berkata
si anak muda. "Aku hanya merasa, makin banyak kita
membinasakan orang itulah perbuatan yang menentang peri
kemanusiaan, itulah..."
Baru berkata sampai disitu, mendadak si anak muda
menghentikan sendiri kata katanya. Ia melihat kakaknya menangis
pula, air matanya meleleh dengan tiba tiba. Hanya sejenak, ia
menambahkan. "Sudah lama aku mengetahui adanya satu
perkumpulan rahasia kaum Kang ouw yang menggunakan pedang
kecil yang berukirkan empat huruf Kiu Heng Cie Kiam, yang
usahanya melulu memusuhi orang orang dari sembilan Pay besar,
empat Bun, tiga IHwee dan dua Pang kakak ada sangkut pautnya
dengan perkumpulan itu atau tidak?"
Bun Koan menangis semakin sedih.
"Bukannya saja kakakmu ini ada sangkut pautnya," sahutnya,
"bahkan itulah perkumpulan yang dibangun oleh kakakmu sendiri.
Akulah pemimpinnya, adikku"
Siauw Pek kagum, hingga ia menatap kakaknya itu.
Su Kay Taysu berempat juga tak kurang kagumnya, hingga
mereka pada menghela nafas. Tak mudah bagi seorang nona untuk
berusaha demikian besar pandai, berani dan gagah
"Adik, tahukah kau apa artinya 'Kiu Heng' dari empat huruf Kiu
Heng Cie Kiam itu?" tanya Bun Koan"
Pastilah itu diartikan sakit hati, karena sakit hati keluarga kita
besar dan dalam bagaikan lautan," sahut Siauw Pek. Nona Coh
mengangguk, air matanya bercucuran deras.
"Benar..." sahutnya, "Bukankah keluarga terdiri dari seratus-jiwa
lebih ? Bukankah kematian keluarga kita itu sangat menyakiti hati?
Sakit hati laksana lautan itu dapatkah tak dibalas?"
"Pembalasan sudah selayaknya. Tanpa pembalasan pastilah ayah
dan kakak tak tenang dialam baka..."
"Hutang darah dibayar dengan darah, itulah sudah selayaknya "
kata si nona. "Maka itu, setiap jiwa keluarga kita harus dibalaskan
satu demi satu. Nama Kiu Heng Cie Kiam telah menggemparkan
dunia Kang ouw tetapi selama itu, aku belum membunuh seratus
orang, karenanya, dapatkah dikatakan perbuatanku melewati batas
atau menentang peri kemanusiaan? Habis sebutan apa hendak
dikatakan buat pembunuhan terhadap seratus jiwa lebih keluarga
kita itu?"
"Tidak, kakak..."
Siauw Pek kuatir kakak itu mencelanya lemah.
Bun Koan tertawa sedih.
"Keluarga kita telah dicelakai orang, hingga tinggal kita berdua.
Bukankah dulu itu telah kau lihat dengan matamu sendiri bagaimana
hebat kebinasaan ayah dan kakak kita?"
"Kakak..." sahut Siauw Pek. yang berduka sangat. Dia jadi
diingatkan pula akan peristiwa yang menyakiti hati itu. "Sebenarnya,
kakak, ketika itu aku tak dapat melihat dengan mata sendiri."
"Kau tidak melihat sendiri, aku sebaliknya" berkata kakak itu,
bersedih berbareng mendongkol, dan gusar. "Aku melihat ayah dan
kakak mati membela diri, tubuhnya rebah ditanah dengan
berlumuran darah. Tak dapat aku melupakan itu, tak seumur
hidupku Sampai ini hari di ini detik, masih berbayang pemandangan
pertempuran hari itu. Setiap mengingat sakit hati itu, aku bagaikan
tak sudi hidup lebih lama pula didalam dunia ini, aku menyesal dan
membenci."
"Ah, sudahlah kakak. sudah," Siauw Pek memotong sambil ia
menangis.
"Aku sengaja mengatakan semua ini, adikku, karena aku kuatir
kau melupakannya" kata kakak itu. Dia sangat gusar tetapi diapun
sangat sedih. "Kita harus menuntut balas dengan menghabiskan
tenaga kita agar tak jadi anak yang tak berbakti, yang tak
menunaikan tugasnya sebagai anak sejati"
"Biar bagaimana, kakak, tak nanti aku melupakan sakit hati
keluarga kita itu" kata Siauw Pek dengan air mata bercucuran. Bun
Koan menghela napas.
"Asal kau tak melupakannya, adikku," katanya. "pastilah roh ayah
dan kakak di dunia baka akan merasa terhibur."
JILID 46
Su Kay Taysu kagum terhadap si nona. Diam diam ia
mengawasinya.
"Dia sangat bersakit hati, hingga perbuatannya jadi begini
telengas," pikirnya. "cara bagaimana aku harus membujuknya,
membuatnya mengerti, supaya dia mencari musuh musuh besarnya
yang langsung, supaya dia tak melakukan terlalu banyak
pembunuhan semacam ini?"
Ketika itu, hati Nona Coh sudah menjadi tenang, maka ia
berpaling kepada sekalian pengikutnya, habis mengawasi mereka
itu, ia berkata. "Inilah Coh Siauw Pek, adik kandung dari punco.
Mari kalian mengenalnya." Berkata begitu, nona itu menunjuk
adiknya itu.
Beberapa puluh orang itu dengan segera berpaling kepada Siauw
Pek, dengan serempak mereka memberi hormat sambil
membungkuk, dan dengan serempak mereka memanggil, "Coh
Tayhiap"
"Hiap" ialah orang gagah, dan "tay" yang besar.
Siauw Pek merangkap kedua tangannya membalas hormat,
sambil merendah dia berkata. "Aku masih berusia muda, aku
mengharap petunjuk dari kalian."
Segera terdengar pula suara Bun Koan, nyaring. "Saudaraku ini
adalah Kim Too BengCu. Kalian telah menyaksikan kegagahannya,
karena itu, tak usah punco menyebutnya lebih banyak pula."
Semua orang itu mengangguk tanpa mengatakan sesuatu. Siauw
Pek terlihat tegas bagaimana kewibawaan kakaknya itu terhadap
orang orang bawahannya.
Sementara itu hati suci dan pemurah dari Su Kay Taysu tak
tenang disebabkan ia memikirkan it ceng semua yang terdiri dari
beberapa puluh jiwa, maka itu, selagi semua diam, ia merangkap
kedua tangannya terhadap si nona dan bertanya, "Nona Coh, orang
tadi yang berjumlah tiga puluh lebih, telah matikah mereka semua
karena bekerjanya racun ?"
Sepasang alis lentik si nona bergerak. matanyapun bersinar.
"Loosiansu" ia berkata tanpa menyangkal atau mengiakan
pertanyaan si pendeta, "agaknya loosiansu sangat memperhatikan
nasib mereka itu. Apakah loosiansu menghendaki hidupnya mereka
atau kematiannya ?"
Hati Siauw Pek tidak tenang. Sikap kakaknya itu sikap keras. Tak
ingin ia ada perselisihan diantara kakak itu dan Su Kay. Karena itu
sebelum sipendeta menjawab, ia mendahului datang sama tengah.
"Siauw Lim Pay telah kehilangan kitab kitab pusakanya,"
demikian ia berkata kepada kakaknya itu, "dan semua orang itu ada
sangkutpautnya dengan pusaka tersebut, karenanya losiansu sangat
menguatirkan kalau kalau mereka mati semuanya hingga tak ada
lagi jalan mencari tahu tentang kitab pusaka itu."
"Pada saat ini mereka masih belum mati" sahut Bun Koan, dingin.
Mendengar kata kata kakaknya itu, sedikit itu legalah hati Siauw
Pek. Ia segera memutar haluan.
"Kakak," katanya "kaulah pemilik Kiu IHeng Cie Kiam, tetapi
kenapa kaupun menjadi tongcu dari chee liong Tong dari Seng
Kiong Sin Kun?"
Kakak itu tertawa hambar.
"Kedudukan tongcu dariku ini adalah kedudukan sementara
waktu, karena terpaksa oleh suasana," sahutnya. "Aku
menggunakan tubuh lain orang..."
Ia mengernyitkan alisnya, terus ia menghela napas perlahan-
Hanya sedetik ia melanjutkan kata katanya. "Guna membalas sakit
hati besar dari Pek Ho Bun, kakakmu ini perlu mengumpulkan
tenaga yang besar, sambil berbareng melakukan pembalasan
terhadap setiap musuh kita. Telah aku berpikir keras, telah aku
menggunakan banyak daya, masih belum berhasil aku mencari
musuh musuh besar kita, si biang keladi. Barulah yang paling
belakang ini, aku berhasil mendapat tahu tentang suatu rahasia
besar..."
Siauw Pek heran, hatinya tertarik. "Rahasia apakah itu, kakak?"
tanyanya.
Sinar mata si nona bermain main- Disitu tampak cahaya
kesedihan dan kegusaran- Ia masih muda tetapi telah banyak
pengalamannya, penderitaannya membuat hatinya jadi membaja.
Maka juga, walaupun ia sangat berduka, sanggup ia
mempertahankan melelehnya air mata.
"Rahasia itu menyangkut nama baik keluarga kita," sahutnya,
dingin. "Rahasia itu panjang untuk dituturkan. Lain kali saja akan
aku ceritakan kepadamu..."
Siauw Pek mengerti. Disitu banyak orang luar sedang ceritera si
kakak mengenai keluarganya. Tetapi ia berduka. Iapun malu kalau
ia ingat, ia adalah seorang pria tetapi usahanya masih kalah dari
usaha kakaknya itu. Tanpa merasa, air matanya menetes turun...
Bun Koan bagaikan hendak meredakan kesedihan adiknya itu, ia
barkata: "Aku mengetahui rahasia ini sesudah aku masuk didalam
rombongan Seng Kiong Sin Kun. Itulah mengenai si biang jahat.
Karena itu aku segera berusaha keras untuk mencari tahu
sarangnya. Baru beberapa hari yang lalu, dengan kebetulan saja aku
dapat membekuk mulutnya aku mendapat tahu tentang
pendurhakaan dan penghinaan pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie
itu"
"Siapakah itu Khouw Hong Tie?" tanya Siauw Pek. Ia tak kenal
nama itu.
Ban Liang menyela. "Dia adalah ketua dari Tiat ciang Bun. salah
satu dari keempat Bun."
Bun Koan mengangguk.
"Ban Loo Enghiong benar," bilangnya. "Memang Khouw Hong Tie
itu ketua Tiat ciang Bun. Aku kaget sekali waktu aku bertemu
dengannya"
Siauw Pek heran. "Kenapakah, kakak?" tanyanya.
"Duduknya begini," sang kakak menerangkan "pada setengah
bulan terdahulu, selagi aku berada diwilayah KangCiu tengah
menyelidiki letak Seng Kiong, disana seCara kebetulan aku bertemu
dengan Khouw Hong Tie. Dia justru tengah menyelidiki tentang
pemilik pedang Kiu Heng Cie Kiam. Kami berdua bentrok. kami
berkelahi, Khouw Hong Tie kalah, dia mati ditanganku, dibawah
pedang emasku."
"Pedang emas" ialah "kim kiam" (Kim emas, Kiam pedang).
Si nona berfikir sedetik, lalu sambungnya. "Ketika itu telah aku
ketahui bahwa ayah dan kakak kita telah terbinasa ditangan orang
orang dari sembilan pay besar, empat bun, tiga hwee dan dua pang,
bahwa orang yang dibelakang layar ialah Seng Kiong Sin Kun, akan
tetapi supaya mudah pembalasanku, guna memperkurang
perintangku, habis membinasakan Khouw Hong Tie, diam diam aku
mengubur mayatnya. Perbuatanku itu tersimpan bagaikan rahasia,
bahkan orang orang Tiat ciang Bun juga tak ada yang tahu bahwa
ketuanya telah terbinasa ditanganku. Siapa tahu, selewatnya setelah
bulan itu, mendadak aku bertemu pula dengan Khouw Hong Tie
yang masih hidup,.."
Siauw Pek mengerutkan alisnya.
"Seng Kiong sin Kun, pandai dalam ilmu merubah wajah muka
orang," berkata dia "Dia pandai membuat satu orang mirip dengan
orang lainnya hingga mereka berdua itu menjadi kembar, sulit
dibedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Khouw Hong Tie
itu pastilah karya dia "
"Ketika itu aku heran bukan main," Bun Koan meneruskan
Ceriteranya. "Aku menyembunyikan diri, seCara diam diam aku
awasi gerak gerik Khouw Hong Tie. Begitulah aku mendapat tahu
dia memerintahkan orang orang Tiat ciang Bun mengenakan tutup
kepala dan muka warna hitam, mereka itu diperintahkan lekas pergi
ke gunung Siong San untuk menyambut it Tie, pendeta Siauw Lim
Sie yang berkhianat dan memberontak itu."
Siauw Pek terperanjat.
"Teranglah bahwa kaum Kang ouw atau Bu Lim telah
terpedayakan Seng Kiong Sin Kun" katanya. "Dia Cerdik dan licik,
dia pandai mempermainkan orang tanpa orang sadar bahwa dirinya
dijadikan boneka, tanpa orang insyaf bahwa dia telah diperintah
melakukan segala sesuatu yang tak wajar..."
"Tapi itu tak selamanya benar," berkata sang kakak, tawar.
Siauw Pek heran.
"Bagaimana itu?" tanyanya.
"Dari sembilan pay besar, empat bun tiga hwee dan duapang,
telah ada banyak orang pentingnya yang sudah menakluk kepada
Seng Kiong Sin Kun It Tie dari Siauw Lim Sie ialah salah satu
contoh. Yang lainnya lagi seperti Gouw In cu dari Bu Tong Pay, Hoat
ceng dari Ngo Bie Pay dan Shie Siang Hin dari Khong Tong Pay.
Mereka itu bertakluk kepada sin Kun semenjak sepuluh tahun yang
lampau"
"Itulah kejadian yang sungguh diluar dugaan orang" berkata
Siauw Pek masgul, hingga kembali ia mengerutkan dahinya.
"Mereka toh ketua ketua dari keempat partai besar yang
kedudukannya tinggi dan mulia? Kenapa mereka justru tunduk
terhadap orang yang mencelakai guru mereka masing masing ?"
"Peristiwa di Yan In Hong itu terjadi menurut rencana Seng Kiong
Sin Kun," Bun Koan menerangkan terlebih jauh. "Dia bekerja
dibelakang layar. Yang turun tangan ialah It Tie berempat itu.
Dengan lebih tegas, mereka menjadi mata mata Sin Kun, mereka
berkhianat terhadap partai sendiri. mereka merampas kedudukan
ketua partainya masing masing dengan bantuan Sin Kun itu.
Dengan begitu juga Sin Kun jadi mengumpul tenaga bantuan untuk
dirinya sendiri, guna Cita cita yang besar. Dia hendak merajaiBu Lim
dunia Rimba Persilatan."
su Kay kaget hingga mukanya menjadi pucat.
"Nona," tanyanya. "Dari manakah nona ketahui semua ini ?"
Nona Coh tertawa dingin.
"Apakah taysu tidak percaya?" dia balik bertanya.
"Loolap percaya, nona," sahut Su Kay tetap. "Hanya saja urusan
ini sangat mengejutkan. saking anehnya hingga sulit orang
mempercayainya."
Bun Koan tetap tertawa dingin.
"Ketua kalian, It Tie telah kabur dengan membawa kitab kitab
pusaka partai kalian, dia berkhianat dan memberontak^ tidakkah itu
sangat mengejutkan ?" tanyanya. "Toh kejadiannya benar benar
dan terbeber dihadapan mata kita, mau atau tidak. orang mesti
mempercayainya "
Tajam dan keras suara si nona. Siauw Pek kuatir su Kay nanti
tersinggung, maka ia mengawasi kakaknya itu dan berkata: "Apakah
dari partai partai lainnyapun ada lagi yang berkhianat dan
memberontak itu ?"
"Tentang itu, aku masih belum memperoleh keterangan," sahut
sang kakak, yang merandak sejenak. "Hanya saja, terhadap yang
dia belum pengaruhi, Seng Kiong Sin Kun menggunakan siasat
lainnya, yaitU ia menyamarkan ketua ketua partai yang
bersangkutan itu, ia memalsukan segala titah partai, supaya orang
orang partai yang belum ditaklukkan itu dapat diperintah sesukanya
olehnya. Ini juga merupakan suatu siasat yang lihay sekali."
Tiba tiba : "Coh Bun Koan, rahasia yang kau ketahui tak sedikit
jumlahnya" demikian terdengar satu suara mengalun yang
memasuki pendopo besar itu.
Hanya sejenak itu, tubuh Siauw Pek sudah bergerak. untuk
melesat keluar toatian guna mencari orang yang berbicara itu. Tapi
sama sebatnya, Bun Koan telah menyambar dan menarik lengan
adiknya itu, mencegahnya melompat keluar.
"Siapa disana?" tanya Nona Coh sambil mencegah saudaranya
itu.
Suara tadi yang datangnya bagaikan dari atas udara, terdengar
pula: "Kalian kakak beradik, bukankah kalian berniat untuk
membalaskan sakit hati ayah dan kakakmu ?"
Bun Koan tidak menjawab, hanya dia bertanya dingin: "Kaukah
Seng Kiong sin Kun?"
"Tak salah Itulah punco" sahut suara itu.
Darah Siauw Pek bergolak mendengar mengetahui orang itu ialah
musuh besarnya. Kembali ia hendak melompat keluar pendopo,
untuk mencarinya. Tapi Bun Koan mencekal keras tangan adiknya
itu.
"Jikalau benar kau sendirilah yang hadir, Sin Kun," kata si Nona.
"mengapa kau tak sudi menampakkan diri ?"
Suara itu menjawab pula, sama sabarnya seperti barusan: "Punco
masih mempunyai urusan, buat sementara ini belum dapat punco
menemui kalian kakak beradik sekarang ini baiklah kamu rajin rajin
melatih ilmu silat kamu, untuk menanti hari pertemuan kita "
Mata Siauw Pek merah membara. "Kakak, lepaskan tanganku"
katanya.
sebelum Bun Koan menjawab adiknya, terdengar pula suara tadi.
"Walaupun ilmu silatmu sempurna, kau masih bukan
tandinganku" demikian katanya, mencemooh. "Dibelakang hari kita
akan bertemu pula, maka sekarang janganlah kau bergusar tak
karuan "
makin lama suara itu terdengar makin jauh, sampai pada kata
kata "tak karuan", suara tinggal bagaikan nyamuk. Maka teranglah
bahwa orang telah pergi jauh. Siauw Pek gusar hingga tubuhnya
menggigil sendirinya, hingga ia mengucurkan air mata
Untuk sejenak. Bun Koan berdiam ia agaknya sangat bersusah
hati, ia merasa kasihan terhadap adiknya itu, tetapi dilain saat
muncul pula sikap dingin dan agungnya. "Mungkin dia itu memang
jauh lebih lihay dari pada kita," katanya tawar.
"Sekalipun kita tak dapat melawan dia, tak dapat kita
membiarkannya berlalu sesukanya" berkata sang adik, yang hatinya
masih panas.
"Saat ini bukan saatnya menggunakan kekerasan," kata Bun
Koan sabar, tetapi nada suaranya sangat dingin. "Buat apa kita
mengumbar hawa amarah kita jikalau itu toh tak ada faedahnya ?"
Su Kay Taysu, yang sejak tadi berdiam saja, menghela napas.
Iapun mengagumi ketenangan nona itu.
"Loolap pun tadi berniat menyusul keluar pendopo, loolap ingin
memaksa dia memperlihatkan diri Sayang loolap tak tahu dia
sebenarnya berada dimana..."
"Adik, sabar," berkata Bun Koan kemudian- "Buat menuntut
balas, memang mesti kita cari dia " Ia memutar tubuh kebelakang,
untuk memerintahkan seorang berseragam hitam dibelakangnya itu:
"coba pergi lihat di pendopo belakang, Uh bun ceng masih ada atau
tidak."
"Baik, nona" berkata pengikut itu, yang terus lari ke belakang.
Menyaksikan gerak gerik si nona, Ban Liang berkata didalam
hatinya: "Nona ini cerdas Sekali, dia pula teliti, memang pantas dia
menjadi pemimpin..."
Tidak lama, pengikut tadi sudah kembali dengan lari lari terengah
engah, agaknya dia heran dan kaget, hingga ketika dia memberikan
laporannya, suaranya bergemetar. "Nona, orang orang tawanan kita
telah mati semuanya "
Menyusul pengikut itu, muncul empat orang berseragam hitam
yang bertubuh besar. Mereka segera berlutut didepan si nona, paras
mereka pucat sekali, suatu tanda mereka heran, kaget dan takut.
Bun Koan menatap bengis kepada keempat orang itu, yang tak
dapat segera berkata kata. "Kamu toh yang bertugas menjaga
pendopo belakang?" tanyanya, keren.
Dengan muka pucat, dengan roman ketakutan, empat orang itu
mengangguk. "Benar..." sahutnya, susah.
Siauw Pek mengawasi kakaknya. Ia mendapat kenyataan kakak
itu gusar sekali, hingga ada kemungkinan dia akan menjatuhkan
hukuman mati kepada empat pengikutnya itu. Maka lekas lekas ia
campur bicara.
"Apakah mereka semua mati disebabkan bekerjanya racun?" ia
mendahului menanya mereka itu.
Bun Koan mendahului orang orangnya itu menjawab adiknya.
"Tak mungkin mereka itu terbinasa karena bekerjanya racun"
ujarnya. "Pasti kematian itu hasil perbuatan seng Kiong Sin Kun- Dia
tidak dapat menolong, dia juga tak menyukai orang terjatuh
kedalam tanganku, karena itu, dia membinasakan mereka semua "
Keempat orang itu takut bukan main-
Hati Su Kay pun berdenyutan, hingga berulang kali ia memuji
Sang Buddha. ia takut Nona Coh kembali membunuh orang. Lekas
ia berkata, "Seng Kiong Sin Kun hebat luar biasa sekalipun kita,
tidak dapat kita mencegahnya berlalu dari sini, apa pula ini empat
orang petugas..."
"Bagaimana dengan Uh bun ceng dan Khouw Hong Tie?" si nona
tanya pula, dingin.
"Telah hamba memeriksanya, semua tiga puluh sembilan
tawanan lengkap mayatnya, satu pun tidak kurang," menjawab si
pengikut wanita.
"Amidha Buddha " Su Kay memuji, "orang itu sangat kejam, dia
gemar sekali membinasakan orang, tak dapat dia dikasih hidup
didalam dunia"
Saking gusarnya, pendeta ini menjadi hilang sabar.
Bun Koan menatap pendeta itu, dari roman mukanya, ia hendak
mencemooh, tapi lantas diulapkannya tangannya kepada empat
orang petugasnya itu.
Bukan main girangnya keempat orang itu, lekas lekas mereka
menghaturkan terima kasih sesudah itu, lekas lekas juga mereka
mengundurkan diri.
Seberlalunya empat orang pengikut itu, Bun Koan berkata: "Apa
yang aku lakukan sebegitu jauh adalah apa yang dinamakan
pembunuh pembunuh gelap. Aku pula tidak mempunyai tempat
kediaman yang tetap, karena itu, aku singgah dimana aku suka..." ia
menoleh kepada Ban Liang, dan memanggil: "Ban Loo Enghiong"
"Ada apa, nona?" menjawab sijago tua, sambil merangkap kedua
tangannya.
"Baru saja Seng Kiong Sin Kun mengatakan dia mempunyai
urusan, dapatkah loo Enghiong menerka urusan itu urusan apa?"
sinona bertanya.
Seng su Poan berpikir cepat.
"Mungkin itu mengenai It Tie," sahutnya.
"Dugaanku sama dengan dugaan loo Enghiong," sinona berkata.
"Rupa rupanya Seng Kiong sin Kun masih belum berhasil
mendapatkan kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie itu."
"Siauw Lim Pay mengerahkan tenaganya secara besar besaran,"
Siauw Pek turut bicara, "dengan begitu It Tie menjadi terdesak
sampai dia kehabisan jalan lolos, kelangit tak dapat naik, kebumi tak
dapat masuk. karena itu, pastilah tak mudah seandainya Seng Kiong
Sin Kun menghendaki kitab kitab pusaka itu..." sekonyong konyong
alis sinona terbangun.
"Ada pepatah yang mengatakan, Kerajaan cin kehilangan
menjangannya, dunia sama memburu mengejarnya," katanya.
"Demikian dengan halnya barang pusaka Siauw Lim Pay itu, karena
sekarang pusaka itu tak ada pemiliknya lagi, sudah selayaknya saja
jikalau kita bekerja keras untuk mencoba merampasnya"
Su Kay Taysu jengah sendirinya mendengar kata kata polos dari
sinona, yang bicara tanpa tedeng aling aling lagi sekalipun
dihadapannya ada pendeta dari Siauw Lim Sie. Orang Siauw Lim Pay
yang masih mempunyai hak atas kitab kitab pusaka itu. Bahkan
Siauw Pek sendiri turut jengah juga .
Bun Koan melihat semua orang bungkam, ia tertawa tawar.
"Adik" katanya.
"Ada apa kakak?" tanya si anak muda.
Nona Coh mengawasi saudara mudanya itu, tanyanya: "Diantara
musuh keluarga Coh yang dahulu mengejar ngejar kita, ada juga
pendeta pendeta dari Siauw Lim Pay, kau tahu atau tidak"
Siauw Pek menghela napas ia dapat menerka hati kakak itu. Sang
anak tengah bergusar.
"Itulah perbuatan It Tie satu orang" sahutnya perlahan- "It Tie
telah menjadi murid murtad dan durhaka, penghianat dari kuil dan
partainya, maka itu janganlah kita karena kita membenti It Tie satu
orang, menyama ratakan semua orang Siauw Lim Sie."
Bun Koan tetap tertawa dingin. Katanya bengis: "It Tie menjadi
musuh besar kita, dia juga murid murtad dan durhaka dari Siauw
Lim Sie .Jikalau kita Cari dan bekuk dia, kita toh tidak bersalah,
bukan ?"
"Memang, kakak..."
Nona itu tertawa, bengis nadanya. Segera ia memberikan
perintahnya, ia memeCah orang orangnya buat pergi turun gunung,
untuk nanti berkumpul dikaki gunung Siong San, pusat Siauw Lim
Sie.
Perintah itu ditaati, dengan Cepat semua kiamsu serba hitam itu
memeCah diri dalam tujuh pasukan keCil dan segera berangkat
turun gunung, menuju ketempat yang ditunjuk itu.
Tatkala waktu fajar yang Cerah, Bun Koan juga lalu berangkat
bersama empat pelayan kepercayaannya, Siauw Pek turun bersama
Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kong dan Su Kay Taysu. Pendeta ini
likat atau tidak, terpaksa harus turun bersama. ia dapat memahami
jalan pikiran Nona Coh. Ia insyaf kekeliruan pihaknya, walaupun
semua itu disebabkan pengkhianatan It Tie seorang.
Pikiran Su Kay Taysu sama dengan pikiran Siauw Pek. Untuk
membekuk It Tie, mereka berdua sependapat. Untuk merampas
kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie, itulah urusan lain-Itu pula
pekerjaan tak mudah. Maka juga mereka terserah pada sang waktu
nanti...
Rombongan Siauw Pek, bahkan Siauw Pek sendiri, jeri terhadap
kewibawaan Nona Coh. Nona itu gagah, keras hati dan pandai
mengambil keputusan Cepat. orang boleh tak takut tetapi orang
harus menghormati atau mengaguminya...
Sambil berjalan itu, Bun Koan mengambil kesempatan berbicara
banyak dengan adiknya yang dia tanyakan pengalamannya
semenjak mereka terpaksa berpisah di muka jembatan maut seng
Su Kio -Jembatan Hidup atau Mati.
Siauw Pek menuturkan segala pengalaman bagaimana ia berhasil
melintasi jembatan itu hingga bertemu dengan Kie Tong dan Siang
Go hingga memperoleh pelajaran ilmu pedang dan ilmu golok kedua
jago itu, bagaimana dalam perjalanan mengembara ia bertemu Oey
Eng dan Kho Kong dan Ban Liang sijago tua, bagaimanakah ia
mendapat warisan golok ceng Go Loojin sehingga ia membangun
Kim Too Bun, partainya itu. ia menceritakan perjalanannya
mengunjungi Hoan Tiong Beng sehingga ia bertemu dengan kedua
Nona Hoan, yang membantunya melawan musuh musuhnya sampai
mereka berhasil menolong ketua dari Ngo Bie Pay, sampai paling
belakang itu mereka menempur orang orang Seng Kiong Sin Kun.
"Dengan kedua saudara Hoan itu, pernah satu kali aku bertemu
muka," berkata sang kakak. yang menghela napas. "Mereka itu
Cerdas sekali dan Cantik, sayang Thian yang berkuasa tak
memberkahi mereka..."
"Mungkin kamu belum jelas, kakak," kata Siauw Pek. "Walaupun
mereka itu bercacat, mereka bukan main cerdik dan pandainya,
mereka melebihi kebanyakan orang."
"Syukurlah kalau begitu"
Nona Coh mengangguk. lalu ia menambahkan^ "Di bawah
perintahku ada tujuh orang kiamsu. Kepada mereka itu aku telah
menjanjikan diriku, yaitu aku akan menikah dengan satu
diantaranya yang paling gagah dan lihay maka juga mereka itu
selalu bekerja mati matian membantu aku. Mereka berebut
membuat pahala supaya dapat mendahului memilikiku."
Mendengar keterangan itu, Siauw Pek melengak. Tidak tahu ia
harus berkata apa. Hati Su Kay Taysu berdebar sendirinya. Pikirnya:
"Aneh Nona ini. Saking kerasnya keinginan menuntut balas, ia
sampai bertindak tanpa pikir panjang lagi, hingga tubuhnya sendiri
dijadikan taruhan hadiah"
Siauw Pek sebaliknya terharu sekali, ia berduka.
"Kakak..." katanya, air matanya mengucur turun. Ia menangis
sesegukan. "Putusanku telah tetap adikku," berkata Bun Koan-
Jikalau dapat, kakak, baik kakak batalkan janjimu itu," berkata
sang adik. "Tanggung jawab menuntut balas sakit hati kita serahkan
kepadaku saja, aku tak akan mundur sekalian pun aku mesti
kehilangan kepalaku" Bun Koan tertawa.
"Tak usah kau pikirkan aku," katanya. "Mulanya aku bersendirian,
aku kekurangan tenaga, aku bertindak saking terpaksa. Sekarang ini
lain-.."
Tengah mereka bicara itu, tampak kiamsu,jago pedang, lari
mendatangi Cepat sekali. Alis Bun Koan terbangun. Darijauh jauh ia
sudah mengenali jagonya itu.
"Ngo kiamsu, ada apakah?" tanyanya.
"Ngo kiamsu" ialah jago yang nomor lima (ngo).
Kiamsu itu berumur kira kira empat puluh tahun, mahir ilmunya,
ringan tubuhnya, setelah datang dekat, dia memberi hormat seraya
memberikan laporannya. "Baru Siok hee menerima laporan bahwa
pihak Siauw Lim Sie telah memperoleh bala bantuan maka juga
mereka bisa lolos dan lari menuju ketimur."
"Apakah ada berita mengenai It Tie?" tanya Bun Koan-
"Belum." sahut ngo kiamsu. Dia agak bersangsi sejenak baru dia
menambahkan. "Pagi ini ada serombongan besar orang orang
berkerudung kepala tiba disini, mereka itu segera bentrok dengan
pihak Siauw Lim Sie, tapi anehnya, mereka bertempur sambil berlari
lari. Rupanya mereka itu sama sama mencari It Tie."
Nona Coh berpikir Cepat, maka Cepat juga ia memberikan
perintahnya. "Perintahkan semua orang mengenakan kerudung
kepala Kalau terjadi sesuatu lekas memberikan laporan"
"Baik" menjawab ngo kiamsu, yang terus memberi hormat dan
pergi. Siauw Pek memandang kakaknya itu. "Apakah kakak berniat
menyusul ke timur?" ia tanya. Bun Koan menggeleng kepala. "Kita
harus pergi dahulu ke Siong San."
Sang adik heran-
"Untuk apakah?" tanyanya.
"Tentu saja untuk selagi api bekobar kita membarengi
merampok" sahut kakak itu terus terang. "Kita harus berdaya
merampas kitab kitab pusaka itu" sambung Bun Koan-
Mau atau tidak. Coh Siauw Pek tersenyum.
"Pihak Siauw Lim Sie telah meluruk keluar, maksudnya yang
utama ialah mencari It Tie" berkata ia, "Maksud mereka itu ialah
untuk mendapat kembali kitab kitab pusaka mereka. Kenapa
sekarang kakak mau pergi ke Siong San. Bagaimanakah pendapat
kakak?" tanya si adik.
Bun Koan bersikap dingin ketika menjawab adiknya itu. "Sampai
didetik ini tidak seorang pun jua yang berhasil menemukan It Tie.
Bahkan Seng Kiong Sin Kun sudah berhasil memiliki kitab kitab itu,
pasti dia dapat seCara langsung menghadapi pihak Siauw Lim Sie
tak usah dia kelabakan seperti ini." Si anak muda terCengang.
"Kalau begitu" katanya ragu ragu "jadi kakak maksudkan It
Tie..."
"Itu Tie belum meninggalkan Siong San"
Su Kay yang berdiri dibelakang kakak beradik itu dia heran sekali
hingga dia terkejut.
"Nona, apakah yang dijadikan dasar pendapatmu ini?" tanyanya
"Kenapa nona percaya It Tie belum meninggalkan gunung kami?"
Bun Koan bersikap tawar seperti biasa.
"Berdasarkan pengalamanku hidup menderita delapan atau
sembilan tahun," sahutnya.
Su Kay berdiri tertegun, Nada suara si nona tetap bernada
bermusuhan- Terang si nona sangat sakit hati. Karena ini, sulit buat
ia membuka mulut guna menjelaskan sesuatu.
"Kakak" Siauw Pek berkata pula. "Kakak berpendapat begini,
mesti ada sebabnya, sayang aku bodoh, tak dapat aku menerkanya.
Maukah kakak menjelaskannya?" tanya Siauw Pek.
Selama berbicara itu, mereka masih berlari lari. Bahkan Bun Koan
lari cepat dengan menggunakan ilmu ringan tubuh. Sambil lari itu,
dengan suara sabar, ia menjawab. "it Tie cerdik dan licik, dia
berontak. dia pasti telah memikirkannya masak masak. Dia telah
menjadi ketua partai, pasti dia tahu jelas keadaan partainya itu,
terutama tentang kekuasaan partai. Dia tentu tahu baik sekali
bahwa dalam ilmu silat dia tak dapat melayani kesembilan tiangloo,
dan juga dia mengerti bahwa sulit baginya menyingkir lolos dari
tangan para tiangloo itu."
"Jadi kakak maksudkan, untuk dapat lolos, It Tie perlu gunakan
tipu daya yang licik itu."
"Memang" sahut Bun Koan- "Tapi akal itu banyak macamnya.
Akal apakah harus digunakan? Dia memikir tipu daya tonggeret
melepaskan kerangkanya. Begitulah dia sendiri, dia tetap berdiam di
dekat Siong San- Dia menanti sampai orang orang turun gunung
semua baru ia melihat selatan, akan menggunakan akal lainnya buat
pergi lolos." Siauw Pek berpikir.
"Itu benar juga ," katanya. "Andaikata para pengejarnya pergi
keselatan, dia dapat menyamar dan kabur keutara, dengan begitu
dia tentu tak nanti kena tersusul dan tertawan."
Hati Su Kay terasa dingin mendengar pembicaraan kakak beradik
itu, Sinona menerka benar. Karena itu, ia segera campur bicara.
"Sudah lama It Tie takluk kepada Seng Kiong sin Kun," demikian
katany, "Maka itu selolosnya dari Siauw Lim Sie, dia tentu pergi ke
Seng Kiong, untuk memohon perlindungan"
"Itu belum tentu," kata si nona. "Ketika ia menakluk kepada Seng
Kiong sin Kun, itulah kejadian pada banyak tahun yang lalu, akan
tetapi didalam Siauw Lim Sie, dia telah berkuasa selama sembilan
tahun, dia pegang kekuasaan besar, ada kemungkinan, karena
kedudukannya yang tinggi itu, dia sudah memikir lain yaitu dia jadi
sungkan berada dibawah perintah orang."
Pengalaman membuat sinona dapat berpikir luas, maka juga
dalam urusan It Tie ini, beda pendapatnya dari Siauw Pek atau Su
Kay Taysu Siauw Pek heran hingga ia berdiam.
"Jadi kakak." tanyanya kemudian, "kau berpendapat bahwa It Tie
akan atau sudah memberontak terhadap Seng Kiong Sin Kun?"
"Demikianlah perkiraanku" jawab sang kakak. "Kekuasaan adalah
unsur yang aneh. orang dapat ketagihan terhadapnya. Demikianpun
aku sendiri. pada waktu pertama kali aku membangun Kiu Heng Cie
Kiaw maksud utama dari aku ialah menyelesaikan sakit hati pribadi,
tetapi sesudah lewat sekian lama, setelah aku berhasil seperti
sekarang, cita citaku melampaui itu. Tak mudah buatku melepaskan
kekuasaanku ini. Tanpa kekuasaan, aku akan merasa kesepian dan
kehilangan..."
"Aku berpikir sebaliknya, kakak," berkata Siauw Pek. "Aku justru
merasa hidup merdeka dan sebatang kara. Itulah bebas sekali,
itulah jauh lebih menyenangkan daripada kita menjelajah kesana
kemari, hingga kita bagaikan terikat..." Bun Koan tertawa.
"Berapakah jumlah orang orang mu, adikku?" tanyanya, dingin.
"Semua cuma terdiri dari enam atau tujuh orang," sahut Siauw
Pek tersenyum. "Mereka itu bukanlah orang orangku hanya saudara
saudari saja."
"Karena itu,jadinya, kau tak pernah merasa memegang
kekuasaan?" kata sang kakak. "Kau tak pernah menikmati itu" Sang
adik menggeleng kepala.
"Aku tak tahu apakah kenikmatan kekuasaan-" sahutnya.
Bun Koan memandang adiknya. Katanya: "Seandainya ada
banyak sekali orang yang hidup matinya, kemuliaan dan
kehilangannya, kesenangan dan kesedihannya, semua berada dalam
genggamanmu, semua mengandal kepadamu seorang diri, untukmu
mereka bersedia menyerbu api, mengurbankan jiwa Bukankah
dengan begitu kau bakal merasakan dirimu luar biasa sekali?
Bukankah kau jadi bertanggung jawab? Bagaimana perasaanmu
andaikata kau dapat memanggil, lalu ratusan orang menyahuti, yah
kalau kau suka, dapat kau menyuruh mereka hidup. Jikalau kau
membenci, dapat kau membinasakan mereka itu. Ada kau
menggedrukkan kakimu, lantas langit dan bumi guncang? Bukankah
itu akan membuatmu merasa dirimu besar sekali?"
Mendengar kata kata kakaknya itu, Siauw Pek berpikir: "Dilihat
dari sikap kakak sekarang, pastilah sudah bahwa selama hidupnya ia
telah menderita sangat. Kalau tidak, mengapa ia jadi gemar akan
kekuasaan besar serta pimpinan?"
Bun Koan menghela napas. Adiknya itu tidak menjawab. ia
berkata pula. "Sekarang ini keluarga Coh mempunyai kau satu
satunya putra, maka itu tak lama lagi aku akan serahkan semua
pengikutku kepada Kim Too Bun, untuk dengan Sepenuh tenagaku
aku menunjang kepadamu supaya kau berhasil menjadi seorang
besar kaum Bu Lim, supaya dengan demikian cepat kau menghadapi
Seng Kiong Sin Kun"
Siauw Pek agak tak sepaham dengan kakaknya itu.
"Tujuanku hanya untuk membalaskan sakit hati, yang lainnya
ialah urusan belakangan," katanya.
Tapi dengan tawar Bun Koan berkata: "Kau harus ketahui bahwa
kaki tangan Seng Kiong sin Kun tersebar diseluruh negeri Sin Kun
dapat memerintah atas demikian banyak pengikutnya, mestinya dia
berkepandaian tinggi luar biasa Kau bersendirian saja, mana dapat
kau menuntut balas?"
Siauw Pek tertawa.
"Menurut terkaan kau kakak It Tie jadinya ada didekat dekat
sekitar gunung Siong San?" tanya ia, menyimpangi pembicaraan-
"Aku hanyalah menerka," sahut kakak itu. "Mungkin aku keliru. It
Tie kabur dengan menggondol kitab kitab pusaka yang sangat
berharga, mungkin karena kitab kitab itu, timbullah ketamakannya.
Maka juga dia telah mendurhakai terhadap Seng Kiong Sin Kun-.."
Sampai disitu, Su Kay Taysu campur bicara
"Jikalau It Tie berhianat terhadap Seng Kiong sin Kun, apakah itu
bukan berarti dia menanam dua permusuhan, hingga didepan dan
dibelakangnya dia ada seterunya?" tanya pendeta beribadat itu.
"Dengan demikian, walaupun dunia ada besar lebar sebagaimana
adanya ini tapi tak ada tempat lagi dimana dia dapat berdiam diri."
"Hm" sinona memperdengarkan suara tawarnya. "Dunia begini
luas dimana saja orang dapat menyembunyikan dirinya.
Umpamakata aku menjadi dia, akan aku pilih sebuah kota besar dan
ramai dimana akan aku tempatkan diriku. Akan aku salin rupa dan
wajahku, untuk aku hidup menyendiri, guna meyakinkan pelajaran
pelajaran istimewa dari kitab kitab pusaka itu. Aku percaya tanpa
tiga atau lima tahun aku akan sudah berhasil memahami semuanya
dengan sempurna, hingga selanjutnya aku dapat pulang ke Siong
San guna merampas kembali kekuasaan ketua partai, guna bangun
mengangkat diri, untuk menghadapi Seng Kiong Sin Kun, buat
merampas pengaruh si Raja Sakti itu, supaya aku menjadi jago
tunggal didalam dunia ini. Bukankah itu mudah?"
Siauw Pek kagum berbareng heran buat pikiran kakaknya itu.
"Pernah aku menempur sembilan tiangloo," berkata ia mencari
penjelasan, "mereka itu mempunyai masing masing kepandaian
yang istimewa maka itu buat It Tie merampas kekuasaan partai,
buat ia menaklukkan kesembilan tiangloo, itulah sulit sekali."
"Seorang diri adikku menempur sembilan tiangloo, bagaimanakah
kesudahannya?" Bun Koan tanya.
"Kesembilan tiangloo belum mengeluarkan seluruh
kepandaiannya, dan Su Kay Taysu senantiasa mengalah, karena itu
kesudahannya aku beruntung keluar sebagai pemenang," sahut
Siauw Pek terus terang. Ia tidak menyebutkan bahwa ia tidak
menggunakan goloknya, belum sampai ia memakai golok yang
ampuh itu. Bun Koan tertawa dingin-
"Mana mungkin orang menempur tetapi bermain mengalah?"
katanya. "Pastilah itu disebabkan mereka tak berdaya untuk
mengalahkan kau maka mereka mengambil sikap menolak perahu
menuruti aliran air, hingga nampaknya mereka mengalah"
Berkata begitu, Nona Coh segera berpaling kepada Su Kay Taysu.
"Apakah kitab kitab pusaka yang dibawa kabur itu memuat ilmu
ilmu luhur yang istimewa?" ia tanya pendeta itu.
"Itulah tujuh puluh dua ilmu silat istimewa dari Siauw Lim Pay,"
sang pendeta rada likat.
"Dan taysu, berapa macamkah diantara ilmu ilmu silat itu yang
taysu dapat menguasai?" si nona tanya pula tanpa sungkan
sungkan.
"Ilmu silatku sangat terbatas," jawab Su Kay. Dia bersangsi
sejenak. lalu dia menambahkan. "Yang dibawa buron It Tie sama
sekali sembilan belas jilid, diantara sembilan belas macam itu, loolap
baru mempelajari tiga rupa, walaupun demikian, loolap masih belum
mencapai kesempurnaan."
"Telah lama aku dengar ilmu silat Siauw Lim Sie banyak rupa dan
perubahannya," berkata pula si nona, "dengan berpangkal kepada
kepandaian taysu, maka tak sukarlah akan menerka kepandaian
tiangloo tiangloo yang lainnya. Hanyalah, tak tahu bagaimana
dengan bakat It Tie?"
"Dia berbakat baik sekali," su Kay akui. Jikalau tidak, tidak nanti
suheng Su Hong sangat menyayanginya."
"Kalau begitu, untuk mempelajari belasan kitab itu, dia cuma
membutuhkan tempo beberapa tahun saja" berkata si nona.
"Selewatnya beberapa tahun, pastilah dia mampu untuk
mengalahkah kesembilan tiangloo..."
Paras si pendeta menjadi pucat. "Nona benar," ia mengakui.
"Nona cerdas sekali." Bun Koan tertawa tawar.
"Jikalau It Tie dapat mengalahkan kesembilan tiangloo," katanya,
"dia pasti segera merampas kembali kekuasaannya. Siauw Lim Pay
mempunyai demikian banyak murid, tak usah dijerikan lagi untuk
menghadapi Seng Kiong sin Kun. Bukankah berkuasa sendiri jauh
terlebih baik daripada It Tie berlindung kepada seng Kiong Sin Kun
dan buat selama lamanya hidup dibawah perintah orang ?"
Su Kay berdiam, akan tetapi otaknya bekerja. Makin lama makin
ia menghargai si nona, yang berpikir tajam dan luas, yang
berpandangan jauh. Benarlah apa yang dibilang nona itu.
"Nona ini cerdas tak dibawahnya Nona Hoan," pikirnya. "Dia pula
sangat teliti. Dengan dia pandai silat, dia sungguh liehay..."
Karena ini, sendirinya hati Su Kay menjadi tidak tenang. Sungguh
celaka kalau It Tie dapat dibiarkan hidup merdeka selama beberapa
tahun hingga dia memperoleh kesempatan mempelajari isi semua
sembilan belas kitab pusaka itu.
Sementara itu perjalanan dilanjutkan terus, pada suatu hari
tibalah mereka di kaki gunung Siong san yang tersohor itu, gunung
yang menjadi pusat partai Siauw Lim Pay atau kuil Siauw Lim Sie
Gunung Siong San terpecah dua, ialah Thay Sit San disebelah
timur dan Siauw Sit San di sebelah barat. Thay Sit San disebut juga
Gwa Hong. Gunung itu letaknya disebelah utara kecamatan Teng
Hong, propinsi Holam (Honan).
Tatkala itu sudah tengah malam, jagat sunyi dan gelap. Dikaki
bukit itu ketujuh kiamsu sudah siap menanti perintah pemimpinnya.
Bun Koan melihat letak gunung, setelah itu ia memberikan
perintahnya buat orang orangnya membagi diri, buat mendaki
dengan berbareng, guna mencari It Tie Taysu, si ketua murtad dan
durhaka dari Siauw Lim Sie atau Siauw Lim Pay. Biar bagaimana, Su
Kay Taysu toh bersangsi bahwa It Tie masih ada digunung itu.
"Nona," tanyanya, tertawa hambar, "apakah nona benar benar
merasa pasti bahwa It Tie masih belum meninggalkan gunung Siong
San?"
"Keadaan kita sekarang ini bagaikan permainan catur, sulit untuk
menerka pasti," sahut Bun Koan- "Aku juga hendak bekerja sekuat
tenagaku, guna mengadu untung"
"Gunung Siong San atau Siauw Sit San ini, luas seratus lie lebih,"
berkata pula sang pendeta. "Dan tempatnya yang lebat dimana
orang dapat menyembunyikan diri sangat banyak jumlahnya.
Umpama benar It Tie berada di sini, tanpa petunjuk jalan, mana
bisa kita mencarinya? Seharusnya kita mencari orang yang kenal
baik keadaan disini..."
"Yang mengenal baik tempat ini hanyalah taysu sendiri" berkata
sinona terus terang.
Su Kay terkejut, cepat sekali ia berkata di dalam hati: "Aku
menjadi murid Siauw Lim Sie, mana dapat aku membantu orang lain
merampas kitab pusaka partaiku..." karena ini ia berdiam, matanya
mengawasi tanah.
Siauw Pek tidak menghendaki adanya bentrokan diantara
kakaknya dan pendeta itu. ia menghela nafas, lalu ia berkata^
"Kakak... baiklah kakak ketahui, kitab pusaka itu adalah milik Siauw
Lim Pay."
"Aku tahu itu" sang kakak memotong, "memang itulah kitab kitab
tanpa pemilik"
"Siauw Lim Pay bekerja sama dengan kita dia kawan serikat
kita..." kata Siauw Pek.
"Memang sekarang kitalah sahabat sahabat" Nona Coh
memotong pula. "Tetapi dahulu, ketika orang menyerbu dan
membasmi Pek Ho Po, diantara para penyerbu itu ada orang orang
Siauw Lim Sie"
"Itulah perbuatan It Tie seorang," berkata sang adik, "kita harus
mencari It Tie untuk berhitungan dengannya, tak usahlah kita
mencari kitab kitab milik Siauw Lim Pay itu..."
"Kau belum tahu" berkata sang kakak, "kitab kitab pusaka itu
amat berbahaya bagi kita. Jika kitab dimiliki It Tie, kelak di belakang
hari, dia dapat pakai kepandaiannya itu untuk menentang kita
Sebaliknya, kalau kita yang mendapati, buat kita besar faedahnya
dalam usaha kita mencari balas"
Siauw Pek dapat mengakui kebenaran pendapat kakak itu, tetapi
ia toh berkata: "kakak aku berhasil memiliki rangkap dua dua
kepandaian Thian kiam dan Pa Too, bahkan paling belakang ini
telah aku insyaft kemurniannya, karena itu, didapatnya kitab kitab
Siauw Lim Pay itu bagiku tak ada gunanya"
"Hmmm" Bun Koan memperdengarkan suaranya yang dingin,
"kau masih sangat muda, apa yang kau pikirpun terlalu sederhana"
Siauw Pek bingung dan masgul sekali. Tahulah ia bahwa kesan
kakaknya terhadap Su Kay Taysu buruk sekali, sudah mendalam,
dan itu bahaya kalau kesan itu tidak lekas lekas disingkirkan,
bahkan itu akan menambah buruk...
"Kakak." katanya kemudian, sabar sekali, "kakak mempunyai
rencana atau pikiran apa yang sempurna? coba tolong kakak
tuturkan untuk membuka hatiku yang cupat..." Kakak itu tertawa
tawar.
"Tidak ada rencana atau pikiranku yang sempurna" sahutnya.
"Aku ingin mendapatkan kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie itu guna
memakainya mengekang murid murid Siauw Lim Pay, guna
memerintahkan mereka itu maju di depan, supaya pertempuran
mereka melawan Seng Kiong Sin Kun membuat Sin Kun lemah, dan
untuk akhirnya kitalah yang menempurnya secara memutuskan,
guna menunaikan pembalasan kita "
Siauw Pek semua mengawasi nona itu, yang pikirannya
sempurna dan tak ada bagiannya yang dapat dicela itu.
Adalah Su Kay Taysu, yang kagum berbareng mendongkol. ia
tertawa dingin dan berkata: "Nona, pikiranmu ini sempurna sekali "
"Dendam kesumat besarku ini membuat kami tak dapat bersama
sama musuh hidup dikolong langit," berkata si nona, "karena itu,
saking terpaksa, aku harus mengambil segala macam daya upaya
yang muncul dalam benak pikiranku"
Dengan sungguh sungguh, pendeta itu berkata pula. "Walaupun
terpaksa, cara yang digunakan harus cara yang berterus terang..."
Dengan tawar Bun Koan kata, "Ketika dahulu hari orang
menyerang Pek Ho Po, kami dikepung dan dibUnuh bUnuhi bukan
oleh orang orang yang berlaku terus terang, bukan oleh bangsa laki
laki sejati. Apa yang kami akan lakukan sekarang ini ialah kami
cuma menelad contoh orang orang busuk dan jahat itu " Su Kay
Taysu bungkam.
"Luar biasa keras hatinya nona ini hingga keputusannya sukar
diubah," katanya didalam hati. "Tak dapat ia diajak bicara..."
Tepat tengah si pendeta berpikir itu, telinga mereka mendengar
suara tindakan kaki dari beberapa orang. Walaupun suara itu sangat
perlahan tetapi Siauw Pek dan Su Kay Taysu tahu baik, itulah suara
serombongan orang orang yang biasa keluar malam, yang tengah
mendatangi.
Siauw Pek lalu mengulapkan tangannya.
"St, perlahan" katanya hampir berbisik. "Ada serombongan orang
tengah mendatangi kemari, entah apa maksudnya, maka itu mari
kita bersembunyi dahulu, sesudah kita melihat jelas, baru kita
memikir buat bertindak."
Semua orang setuju, semua segera lari menyembunyikan diri
diantara semak semak rumput ditepi jalan.
Siauw Pek bersama kakaknya bersembunyi dibelakang sebuah
pohon besar.
Didalam tempo yang pendek tampak tibanya beberapa puluh
orang, yang semua berhenti dikaki gunung Siong San itu. Paling
belakang terdapat sebuah joli yang digotong dua orang wanita
dengan kaki kaki yang besar dan tubuhnya kekar. Malam sunyi
sekali. semua orang itu berdiri diam.
Seorang yang bertubuh jangkung kurus, mendekati joli dengan
tirainya yang hijau. Dia menjura kea rah joli itu seraya berkata:
"Lapor kepada Hoa Siang Sudah sampai dikaki gunung Siong San"
Bun Koan terperanjat mendengar disebutnya nama Hoa Siang itu,
tanpa merasa tubuhnya menggigil sejenak. Siauw Pek sebaliknya
melengak.
"Nama Seng Keng Hoa Siang pernah kudengar," bilangnya.
Bun Koan berbisik: "Seng Kiong Hoa Siang bukanlah hanya satu
orang"
Dari dalam joli terdengar satu suara wanita yang halus tetapi
nyaring: "Sin Kun telah membilang pasti, It Tie masih belum
meninggalkan gunung Siong San, maka itu mengertilah kamu, sejak
saat ini, jikalau sampai It Tie dikejar lolos, kamu semua adalah
bagian mati"
Mendengar suara Hoa Siang itu, Siauw Pek berpikir: "Nyatalah
pikiran Sin Kun sama dengan terkaan kakakku "
Tengah berpikir begitu, tiba tiba ia melihat tubuh kakaknya itu
bergemetar, maka ia menjadi heran-
Bun Koan merasa bahwa adik itu mengetahui ia terkejut, segera
ia menggenggam tangan sang adik sambil ia berbisik: "Perhatikan
musuh. Jangan bicara "
Siauw Pek mengangguk. Ia heran pula sebab ia merasa tangan
kakaknya itu dingin. "Kakak gagah dan pintar, apa benar dia begini
jeri terhadap Hoa Siang ?"pikirnya.
Sementara itu tampak sijangkung kurus mengulapkan tangannya,
atas mana beberapa puluh orangnya Hoa Siang itu segera pergi
dengan memencar diri, mencari pelbagai jalan naik, untuk terus
mendaki.
Kembali pemuda ini heran- Ia mendapat kenyataan puluhan
orang itu mempunyai masing masing ilmu ringan tubuh yang mahir,
maka itu nyatalah mereka bukannya sembarangan orang
Bun Koan juga rupanya merasa seperti Siauw Pek mengenai
kepandaian orang orang Hoa Siang itu, bahkan diluar dugaan sang
adik, sekonyong konyong ia memperdengarkan bentakannya:
"Berhenti"
Didalam kegelapan dan kesunyian, bentakan itu terdengar nyata
diseluruh kaki gunung itu, bahkan semua orang Seng Kiong Hoa
Siang terkejut, hingga serempak mereka itu menghentikan lari
mereka. Semua menoleh mengawasi kearah dari mana bentakan itu
datang.
Selagi Siauw Pek keheran heranan, juga wanita didalam joli itu
tak kurang terkejutnya, dengan satu singkapan tangannya, dia
mementang tenda jolinya, hingga tubuhnya segera tampak. Hingga
terlihat dialah seorang wanita setengah umur.
"Siapa disana ?" terdengar dia membentak menanya.
Dengan pedang ditangan, Bun Koan keluar dari tempatnya
bersembunyi, dengan nyaring ia menjawab memperkenalkan dirinya
terus terang. "Kamilah Coh Bun Koan dan Coh Siauw Pek. kakak
beradik dari Pek Ho Po"
Wanita itu menjejakkan kakinya, lalu kedua wanita yang
menggotong joli menurunkan jolinya itu, setelah mana dengan
pesat dia melompat turun, untuk berdiri ditengah jalan tanjakan. Dia
melihat kelilingan.
"Mana Coh Siauw Pek?" dia tanya. Didalam gelap. dia tak dapat
melihat tegas kepada pemuda she Coh itu.
Siauw Pek maju kedepan, untuk berdiri berendeng dengan
kakaknya itu.
"Disinilah dua saudara Coh" ia menjawab sabar.
Dengan mata bersinar, wanita itu mengawasi si anak muda.
"Apakah benar kau Coh Siauw Pek ketua dari Kim Too Bun yang
baru dibangun itu?" dia tanya menegasi.
Siauw Pek mengangguk. "Benar" sahutnya. "Anda siapakah?"
"seng Kiong Hoa siang" sahut si wanita itu singkat dan tawar.
"She nama anda?" Siauw Pek tegaskan, dingin-
Dengan sikap tawar, wanita itu menjawab. " orang Seng Kiong
biasanya tak memberitahukan she dan namanya " Berkata begitu,
dia memandang kesekitarnya, terus dia berkata pula. "Diantara
kalian masih ada beberapa sahabat lagi, kenapa mereka itu tak
sekalian memperlihatkan diri?"
Ban Liang segera keluar dari tempat sembunyinya. ia diturut oleh
Su Kay Taysu, Oey Eng dan Kho Kong serta keempat pengikut Bun
Koan-
Seng Kiong Hoa siang mengawasi dengan tajam. Dia seperti
menimbang nimbang berapa tinggi, atau berapa liehay, ilmu silat
rombongan Siauw Pek itu. Kemudian dengan dingin juga, dia
berkata. "Taysu itu tampak bukan seperti sembarang orang,
rupanya taysu adalah dari pihak Siauw Lim Sie dan ternama besar"
Mulanya Su Kay melengak. tetapi lekas dia menjawab. "Loolap.
Su Kay"
"Nah, benar juga pendeta luhur dari huruf Su" berkata wanita itu.
"Maaf aku kurang hormat "
Bibir su Kay bergerak, akan tetapi dia batal membuka mulutnya.
Hoa Siang sementara itu segera mengulapkan tangannya seraya
berkata, "Pat siang Sie turut aku menyambut musuh. Yang lainnya
semua tetap mencari It Tie. Jikalau ada orang yang merintangi,
bunuh saja "
Menyusul suara itu, muncullah delapan orang yang bergerak
sebat bagaikan bayangan, yang memernahkan diri dikedua sisi
wanita itu, sedangkan semua orang yang lainnya bergerak untuk
melanjutkan mendaki gunung.
Delapan orang itu ialah yang disebut "pat sia ngSie", yaitu
delapan (pat) pengiring atau pengikut (siang-Sie) .
Bun Koang tertawa dingin melihat aksi si wanita.
"Apakah kau sangka, dengan mengandalkan delapan orang mu
itu, keselamatanmu akan terjamin?" tanyanya.
Seng Kiong Hoa siang tertawa terbahak bahak.
"Telah punco dengar halnya Kiu Heng Cie Kiam adalah ilmu yang
luar biasa sekali, sekarang kebetulan kita bertemu disini, ingin aku
belajar kenal dengannya" katanya jumawa.
Paras Bun Koan nampak berubah, sambil menghUnus
pedangnya, ia bertindak majU, untuk menghampiri lawan itu.
"Kakak, tunggu" Siauw Pek mencegahnya. "Berilah pembukaan
ini pada adikmu"
Bun Koan berkata perlahan: "Hendak aku melihat dahulu
kepandaian dia ini..." Lalu ia memperCepat langkahnya.
Hoa Siang tertawa pula.
"Punco cuma mau melihat Kiu Heng Cie Kiam" kata dia. "Jikalau
bicara dari hal kepandaian, tak usahlah punco yang turun tangan
sendiri"
Bun Koan tidak menghiraukan orang mengejeknya.
"Aku kuatir kau tak dapat berpikir banyak lagi" katanya seraya
terus menikam dada lawan-
Hoa siang tertawa tawar, terus sebelah tangannya diulapkan.
Atas itu majulah seorang dengan pa kaian hijau, menyambut
Nona Coh.
Bun Koan melihat orang majU tanpa senjata, ia tidak
mempedulikan, terus ia memutar pedangnya, untuk membabat.
orang berbaju hijau itu melompat mundur, akan berkelit, habis
itu, dia maju pula seraya menyerang. Dia mengarah lengan kanan
Bun Koan- Itulah serangan pembalasan yang lihay.
Dengan Cepat Bun Koan berpikir: "Pantas dia cuma
meninggalkan delapan orang pengiringnya, kiranya mereka ini liehay
semuanya" Berpikir demikian, habis mengelit tangannya itu, iapun
mengulangi serangannya. Menikam lawan
orang itu berkelit. seperti tadi, habis berkelit dia membalas
menyerang pula. Kali ini, dia menukar tangannya. Tak tampak
pertanda bahwa dia suka mengalah. Dengan begitu bertempurlah
mereka berdua. Dengan cepat, lima jurus telah lewat
Mendadak dari kiri gunung terdengar suara bentrokan senjata
yang nyaring, dibarengi dengan bentakan bentakan. Dibawa sang
angin suara itu terdengar jelas sekali
Mendengar suara itu, Siauw Pek menghunus pedangnya sambil
berseru: "Kakak. silahkan mundur Serahkan mereka ini kepadaku"
sepasang alis kakak itu terbangun, nampak dia menjadi sangat
bengis.
"Siauw Pek. dengar" katanya nyaring. Dia pun tak menyebut
"adik" lagi, langsung namanya saja, "lebih dahulu kau bekuk seng
Kiong Hoa Siang ini Dia sangat bersangkut paut dengan sakit hati
ayah kita. Biar bagaimana, jangan biarkan dia lolos"
Siauw Pek melengak. Dia berpikir: "Pantaslah selekasnya melihat
Hoa Siang, sifat kakak jadi bengis luar biasa Kiranya dia ini
bersangkut paut dengan kematian ayahku"
Tapi tak lama ia berpikir, mendadak saja darahnya menjadi
bergelora. Maka sambil berseru seraya melompat pada wanita
setengah umur itu ^
Justru sianak muda maju, dua orang berbaju hijaupun berseru
berlompat menghadang
orang yang disebelah kiri adalah siorang jangkung kurus. Dialah
pemimpin dari Pat siangSie. Dia bersenjatakan thie cio, besi cagak
tiga dengan ujung tajam, hitam berkilau.
Siauw Pek bagaikan telah dipalu kakaknya rasa sakit hatinya
membuatnya panas sekali, maka kali ini, ia menjadi beda dari pada
biasanya. Dengan hati panas, lenyaplah sabar "Mundur" ia
membentak bengis seraya ia menyerbu kedua orang berbaju hijau
itu
Kedua orang itu terkejut, apalagi yang di sebelah kanan, di dalam
segebrakan saja segera memperdengarkan jeritan kesakitan. itulah
sebab pedang Thian Kiam telah mengenai lengannya, hingga
senjatanya jatuh seketika.
Lawan yang dikiri terkejut, tetapi dia gesit dia lekas menarik
kembali lengannya, maka selamatlah lengannya itu. Dia pula tabah
dan berani, selekasnya bebas dari ujung pedang dia menyerang
pula. Dia tak menghiraukan bahwa kawannya sudah terluka.
Siauw Pek terkejut juga . Diluar dugaannya orang ini demikian
berani dan gesit. Segera dia berkelit.
Menyaksikan pertempuran itu Ban Liang berseru, "Mari" Ia pula
mendahului berlompat maju. ia segera diturut Oey Eng dan Kho
Kong serta empat pengikutnya Bun Koan-
Melihat majunya semua orang Kim Too Bun itu, Su Kay Taysupun
tidak tinggal diam, ia segera turun tangan, maka didalam tempo
sekejap ramailah pertempuran di kaki gunung itu. Masing masing
orang mencari lawannya sendiri.
Seng Kiong Hoa Siang masih belum turun tangan, dia menonton
dengan sangat, perhatian penuh. Hati pemimpin wanita ini guncang
juga mendapat kenyataan semua musuh liehay sekali. sedangkan
dipihaknya jumlahnya cuma delapan orang. Hingga mereka itu
segera terdesak.
Selagi bertempur itu, kembali terdengar suara nyaring dari nona
Coh. "Malam yang panjang banyak impiannya, tak dapat kita ayal
ayalan- Adikku, lekas kau maju membekuk Hoa Siang"
Tapi seruan Bun Koan itu disambut tawa Hoa Siang, yang terus
berkata keras. "oh Coh Bun Koan yang baik. Alasan apakah kau
punyai maka kau menuduh punco bersangkut paut dengan sakit hati
ayah kamu?"
"Berdasarkan suara bicaramu"
Hoa Siang nampak terkejut, hingga dia tercengang. cuma
sekejap. dia tertawa nyaring. "Punco tidak mengerti..." dia berseru.
Suara itu diputuskan bentakan Siauw Pek. Pemuda itu yang
menjadi garang luar biasa, telah membuat kutung lengan kanannya
salah seorang pengiring Hoa Siang Hoa siang kaget sekali, mukanya
jadi pucat.
"Dengar" teriaknya segera "Tong Tiat Jie Nio, maju..Bereskan
bocah itu"
"Tong Tiat Jie Nio" berarti "dua wanita Djie nio) kuningan (tong)
dan besi (tiat)". Nyatalah mereka adalah kedua wanita tukang
gotong joli itu. Karena perintah itu, keduanya lantas mencabut dua
palang gotongan joli, dan dengan bersenjatakan itu mereka maju
kepada Siauw Pek. jadi merekalah yang bernama Tong Nio dan Tiat
Nio.
Melihat majunya dua orang itu, Siauw Pek berpikir "Mungkinkah
mereka ini jauh terlebih liehay daripada para siangSie?" Tapi selagi
berpikir itu, ia menyambut dan menyerang terlebih dahulu
Kali ini Tay Pie Kiam Hoat tak lagi digunakan seperti biasanya
yaitu ayal ayalan-sebaliknya kali ini pedang itu menjadi gesit luar
biasa. Didalam satu atau dua gebrakan, Tong Tiat Jie Nio hendak
segera dikurung, tak peduli mereka berdUa liehay sekali.
Kedua wanita itu bermuka kuning dan hitam itulah rupanya yang
membuat mereka memperoleh nama atau sebutannya itu. Mereka
bisa bekerja dengan rapih, ialah satu menjaga, lainnya menyerang,
atau sebaliknya. Mereka mencoba mendesak.
Selagi pertempuran itu berjalan mendadak terdengar Bun Koan
berseru. Nyatalah sinona telah berhasil menikam lawannya. Tapi,
diluar dugaannya, lengan kirinya juga tergores ujung thie cio
lawannya, yang tak kalah liehaynya.
Tanpa menghiraukan lukanya, Bun Koan menendang roboh
lawannya itu.
"Kakak, lekas mundur dan beristirahat" Siauw Pek berseru.
"Serahkan mereka kepadaku"
Tapi sang kakak membentak: "Jangan banyak omong Lekas
bertempur dan meneruskannya." Dan habis membentak itu, ia
lompat ke arah Hoa siang Wanita setengah umur itu tertawa lebar,
suaranya tawar.
"Kau cari mampus sendiri. Jangan kau sesalkan punco" serunya.
Dan dia menyambut Nona Coh dengan tusukan jari tangannya
JILID 47
Bun Koan tidak tahu lawan menggunakan tipu apa, tetapi ia
sudah nekad, ia tidak menghiraukannya, maka ia maju terus sambil
menabas dengan pedangnya.
"Hai, wanita galak" Hoa Siang berkata tawar sambil dia berkelit,
terus dia menyerang lengan kanan si nona. Dia liehay sekali. Dia
gesit dan berani.
Melihat majunya sikakak. Siauw Pek bingung juga. Inilah sebab
Tong Tiat Jie Nio benar benar liehay, mereka dapat berkelahi
bersama untuk melibatnya.
Dilain pihak. lawan Ban Liang berimbang dengannya. Sebaliknya
Oey Eng dan Kho Kong mereka kalah setingkat, akan tetapi dua
suadara ini berkelahi dengan semangat penuh.
Su Kay Taysu dapat melayani lawannya, hanya ia tidak berkelahi
dengan sungguh sungguh. Sebabnya ialah dia ragu ragu terhadap
Bun Koan, karena nona Coh telah mengatakan terus terang hendak
merampas kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie. Mana dapat dia
membantu sinona karena merampas kitab kitabnya itu sendiri? oleh
karena ia berkelahi dengan setengah hati, pat siangsi menjadi tak
mudah terkalahkan lekas lekas. Lagi lagi terdengar tawa Seng Kiong
Hoa siang. Tawa itu tak sedap didengar Siauw Pek.
Sambil tertawa dia mendesak Bun Koan- Liehay jeriji
tangannnya,jari itu dapat menoel lengan kiri nona Coh yang tadi
terlukakan senjata lawannya yang semula.
"Kau Liehay" seru Hoa siang sambil merangsek.
Terserang lengan kirinya itu, Bun Koan bermandikan peluh. Ia
merasakan nyeri pada lengannya itu, yang segera saja bagaikan
mati menjadi kaku. Tapi ia menguatkan hati, ia nekad, ia
menyerang terus dengan tangan kanannya
Hoa Siang heran orang demikian tangguh, sehingga ia mesti
lompat kesisi kanan.
Pada saat itu, Siauw Pek dibikin gusar oleh Tong Tiat Jie Nio,
sebab pedangnya tak sanggup merusak senjata kedua lawan itu.
Senjata mereka bukannya kayu tapi besi istimewa, sampai tak
mempan pedang.
Dalam panas hatinya, sianak muda berseru: "Ban Huhoat, golok"
Ban Liang terkejut mendengar suara sianak muda. Tapi ia
mengerti keadaan. Tanpa sangsi lagi, ia berlompat mundur
meninggalkan lawannya, untuk menghampiri ketuanya itu,
selekasnya ia menginjak tanah, ia menghunus Pa Too, yang terus
dilemparkan pada pemiliknya.
Siauw Pek menyambut golok ampuhnya, setelah mana ia berseru
nyaring sekali.
"Aduh" terdengar jeritan Tong Tiat Jie Nio saling susul. Itulah
jeritan tertahan sebab keduanya segera roboh terguling, karena
kepala mereka tertabas sebatas leher, darahnya muncrat
berhamburan- Mereka terbinasa bagaikan tanpa merasa sebab
mereka tak melihat bagaimana bekerjanya Toan Hun It Too
selekasnya Siauw Pek lompat menyambut goloknya.
Aksi Siauw Pek membuat musuh kaget sekali, hingga serempak
mereka itu berhenti berkelahi, semua mengawasi ketua dari Kim
Too Bun itu.
Ban Liang dan yang lainnyapuntak menjadi kecuali. Semua mata
diarahkan pada golok ampuh itu
Sementara itu, bagaikan tak ada yang melihatnya Siauw Pek
sudah berada didepan Seng Kiong Hoa Siang, hingga mereka itu
berdua terpisah satu dengan lain cuma sejarak enam kaki. Muka
Siauw Pek merah padam mengawasi wanita setengah umur itu
Hoa Siangpun mengawasi tajam, tapi matanya bagaikan
medelong, sedang mukanya pucat pasi. Sebab diapun kesima oleh
gerakan Pa Too
Selagi mata kedua belah pihak bagaikan bentrok satu dengan
lain, karena masing masing sinarnya yang tajam dan bengis,
mendadak mata Siauw Pek bergerak. menyusul mana tangannya
yang memegang golok bergerak pula.
Hoa siang kaget sekali. Ia menerka tentulah musuh hendak
menyerangnya. Maka ia segera mendahului berlompat berkelit.
Walaupun begitu, dia tidak diam saja, dia terus menggerakkan
kedua tangannya untuk menyerang lawan
Bun Koan telah menyaksikan liehaynya Pa Too, ia terkejut. Tanpa
merasa, ia menyerukan adiknya. "Jangan habisi dia"
Siauw Pek mendengar suaranya kakak itu, hampir ia
menggerakkan goloknya. Syukur ia dapat berlaku cepat, sembari
batal menyerang, ia berlompat mundur
Justru itu, satu sinar kuning emas berkelebat kearah Seng Kiong
Hoa Siang, pada saat dia menyerang Siauw Pek. Serangan Hoa
siang tak dapat dibatalkan lagi, walaupun serangan itu tak
mengenai sasarannya. Dilain pihak sinar kuning emas itu, ialah Kiu
Heng Cie Kiam tak terelakkan atau tertangkis. pedang sakit hati
menancap dijalan darah eng cong dari Hoa Siang. Maka sekejap itu,
wanita setengah umur itu mati kutu. Kalau pedang tak dicabut, dia
tak dapat bergerak, sebaliknya pedang itu tak meminta jiwa orang
Habis menyerang lawan itu, Bun Koan menunjuk kepada orang
orang musuh sambil ia berseru : "Adik, kalau kau belum puas,
habisilah sisa sisa rombongan itu"
Nona Coh maksudkan orang orangnya Seng Kiong Hoa siang itu.
Bukan main kagetnya sisa pat siangsie, saking takutnya mereka
lupa pada pemimpin mereka, lantas mereka memutar tubuh untuk
lari kabur guna menyelamatkan diri mereka. Mereka jeri terhadap
golok ampuh dari lawan
Melihat lawan lari, Bun Koan gusar sekali. Selama itu ia lupa pada
nyeri lengannya. Sambil berseru ia menimpukkan Kiu Heng Cie Too
golok mautnya "Aduh" menjerit seorang siangSie, yang roboh
terguling dan jiwanya terbang melayang. syukur buat lima yang lain,
mereka dapat kabur terus. Siauw Pek menoleh kepada kakaknya.
"Sayang kakak aku berayal, maka bebaslah mereka itu" katanya
menyesaL
Sang Kakak berkata dingin : "Hari ini kau berbelas kasihan
adikku. Ingatlah lain kali kau tak dapat berbuat begini. Lolosnya
mereka berlima berarti tambah lima orang lawan yang tangguh"
Muka Siauw Pek merah. Ia jengah. Kakak itu benar. Maka ia
bungkam.
Bun Koan segegra membuka tindakan lebar menghampiri Seng
Kiong Hoa Siang. Ia meluncurkan tangan kanannya, menyambar
leher baju pemimpin wanita dari rombongan Seng Kiong Sin Kun itu.
Hoa Siang tak berdaya tetapi dia sadar. Dia kaget. Mendadak dia
mengerahkan tenaganya menggunakan kedua tangannya untuk
menyambar lengan nona Coh
"Hm, kau cari mampus?" bentak Bun Koan gusar.
Hoa Siangpun gusar. "Jikalau kau hendak membunuh aku,
bunuhlah" kata dia "Jikalau kau berani menghina punco, orang Seng
Kiong tak akan melepaskanmu"
Nona Coh tertawa dingin, "aku hendak membunuh habis semua
orang Seng Kiong" katanya keras dan sengit. "Tak satu jiwa jua
akan aku biarkan hidup. Siapa perduli kamu hendak melepaskan aku
atau tidak"
Dengan satu pengerahan tenaganya, Bun Koan membebaskan
lengannya dari cengkeraman Hoa Siang, lalu dengan lain gerakan
yang menyusul, ia membuka melowek leher baju orang hingga
tampak sebuah leher yang putih dan halus, hingga ia merdeka
menatapnya.
"Kau sangka punco merubah wajahku?" tanya Hoa Siang, "Hmm"
Bun Koan tidak menjawab, ia hanya menatap muka orang,
mengawasi dengan tajam, sedetikpun kedua matanya tak berkedip.
Siauw Pek bertindak mendekati kakaknya itu. "apakah kakak
menerka wajah dia telah dirubah oleh Seng Kiong Sin Kun?" ia
bertanya kepada sang kakak.
Dengan paras yang bengis, Bun Koan menggelengkan kepala. Ia
menjawab keren "Dia ini tak mengubah atau diubah wajahnya, akan
tetapi rasanya kita pernah melihatnya. Hanya karena lamanya sang
waktu, sekarang aku sudah lupa, sulit buat mengingat ingatnya."
Siauw Pek heran hingga ia melongo. Iapun menatap orang
tawanannya itu sambil ia mengasah otaknya. Tak dapat ia ingat
dimana ia bertemu atau menemukan orang semacam wanita
setengah umur ini.
Bahu Seng Kiong Hoa siang masih tetap tertancapkan pedang Kiu
Heng Cie Kiam dan darahnya masih mengalir terus, karena lukanya
itu, dia telah kehabisan tenaga. Dia menahan rasa nyerinya hingga
selain darahnya itu, dia juga bermandikan peluh pada dahi dan
mukanya. Dia telah memikir untuk menghabiskan jiwanya tetapi
belum ingin dia mewujudkan itu. Dia masih mengharap datangnya
ketika baik guna meloloskan diri. Siapa tahu kalau ada datang
pertolongan?
Tiba tiba Bun Koan menggertakkan giginya, sedangkan matanya
terbuka lebar, kedua biji matanya itu merah membara. Tiba tiba
dengan dua jari telunjuknya dia menyentil pedangnya yang
menancap dibahu musuh, hingga pedang itu berbunyi nyaring.
Jalan darah eng cong yang tertancap pedang itu disebut juga
jalan darah siang hiat hay, adanya ditetek kiri, satu cun enam hun
diatasan tetek itu. Dan pedang itu nancap dalam sampai tiga cun
(dim). Karena sentilan itu, yang membuat pedang bergerak. Hoa
Siang merasai nyeri yang bukan buatan, hingga dia menjerit keras
dan pingsan-
Siauw Pek gagah dan hatinya kuat akan tetapi tak tega dia
melihat penderitaan Hoa Siang, hingga hatinya berdenyutan-
"Kakak....." katanya
Bun Koan gusar, dia menegur keras "Percuma kau memiliki ilmu
silat yang lihay. Terhadap musuh besar, mengapa kau tak bersakit
hati? Hmm, hendak aku lihat kalau nanti kau sudah mati, kau
mempunyai mUka atau tidak menemui orang tua dan saudara kita
dialam baka"
Siauw Pek diam melongo, mukanya pucat. Hebat teguran kakak
itu. Lalu dahinya mengucurkan pelUh. Lekas lekas ia tunduk. Tak
berani ia menentang kakaknya itu.
Bun Koan mengawasi pula lawannya. Ia menggerakkan sebelah
tangannya, menepuk tubuh orang yang telah jatuh dan rebah
terkulai. Hanya sebentar, Hoa siang sadar perlahan lahan-
"Kau she apa?" tanya Bun Koan bengis.
Muka Hoa Siang basah dengan peluhnya, napasnya memburu.
"Kenapa kau tidak mau membunuh punco?" tanyanya. Dia tidak
menjawab. Bahkan dia mengawasi bengis. Nona Coh tertawa dingin.
"Kau harus dibunuh, itulah bagianmu" katanya. "juga mudah
untuk membunuh mu. Membunuhmu bukanlah urusan terlalu
penting. Kau tahu, seratus lebih jiwa orang Pek Ho Po mati tidak
karuan"
Hoa Siang melengak. hanya sebentar, kemudian dia menengadah
langit, terus dia tertawa dingin. Nyaring tawanya itu Hingga
terdengarlah kumandangnya diantara gunung dan lembah lembah.
Su Kay Taysu dan Ban Liang bersama mengawasi saja, hati
mereka berdenyutan-
Itulah suatu pemandangan yang hebat. Bagaimana nasibnya Hoa
Siang? Apakah tindakan selanjutnya dari nona Coh, yang seluruh
dirinya dikuasai sang amarah? Selang sesaat, terdengar suara
bengis dari Hoa Siang.
"Jikalau punco tidak bicara terus terang, tak puas hatiku" katanya
nyaring. "Dan kau pun tentu sama tak puasnya. Nah, kautanyalah
akan aku jawab kau"
"Hm" Bun Koan tertawa dingin. "Kau benar. Untukmu mencari
jalan mampus sama sukarnya"
Hening sedetik. Lalu puteri almarhum Coh Kiam Pek bertanya,
suaranya tetap dingin "Kau she apa? Dan siapa namamu?"
Siauw Pek terCengang sejenak. lalu segera dia menyela. "Ingat,
tak dapat kau mengarang Cerita dan mengaco belo"
Hoa siang berani sekali. Dia menahan rasa nyerinya. "AKu
beritahu kepadamu" sahutnya. "Aku Teng So Keng"
"Ha, benar benar kau" seru Bun Koan- ia tertawa. "Seharusnya
dapat aku menerka siang siang?"
Siauw Pek berpikir : "Teng So Keng Nama ini rasanya pernah aku
dengar...."
Segera terdengar suara Bun Koan- "Dia ini adalah saudara
seperguruan dari ibu kita. Pada kira kira sepuluh tahun yang lalu,
dia pernah datang ke Pek Ho Po. Tatkala itu kau masih terlalu kecil
adikku...."
Sepasang alis sianak muda bergerak. SEkarang ia ingat, pada
suatu hari pada masa keCilnya itu, pernah kakaknya ini
menuntunnya mengajak main main diluar dusun, ketika itu ada
datang seorang wanita yang mencari ibunya. Menurut ibunya,
wanita itu adalah saudara seperguruan sang ibu. Yang lainnya, tidak
ia ingat lagi.
sepasang mata tajam dari Bun Koan bagaikan pisau belati
mengupas wajah Teng So Keng.
"Aku tanya kau" tanyanya pula, tawar dan bengis : "Seng Kiong
Sin Kun sipengacau dunia Kang ouw itu, orang macam apakah dia
sebenarnya?"
Paras So Keng tersungging senyuman hambar.
"Seng Kiong Sin Kun?" dia balik bertanya, suaranya
mencemoohkan. "Banyak sekali. Kau hendak tanyakan Seng Kiong
Sin Kun yang mana?"
Bun Koan gusar sekali. Ia menyangka bahwa dia diejek.
Tangannya segera diangkat, jari tangannya sudah ditekuk, untuk
menyentil pula pedangnya. "Tahan" seru So Keng, mukanya pucat.
Ia insyaf artinya ancaman nona itu.
"Tak dapat kau bersikap berkepala batu" kata nona Coh. "Paling
benar kau tahu diri"
Peluh So Keng masih bercucuran turun.
"Kau meraba salah" katanya, nadanya keras. "Telah punco
katakan bahwa punco bersikap berbicara terus terang. Tak usah kau
menggunakan lagi tangan atau kakimu" Siauw Pek mengernyitkan
alisnya.
"Kalau menurut kau," ia menyesaL "Seng Kiong Sin Kun itu satu
nama palsu belaka. Benarkah pemimpin Seng Kiong bukan cuma
satu."
So Keng tertawa menyeringai.
"Tak salah" sahutnya "kau cerdas"
"Nah, berapakah jumlahnya pemimpin Seng Kiong?" Bun Koan
tanya. Nona itu senantiasa bersikap dingin.
"Hitung saja tiga orang" sahut So keng. Agaknya dia menjawab
secara licik. Kedua alis Bun Koan terbangun.
"Kau sebutkan satu dahulu" perintahnya "Yang pertama"
"Yang pertama?" So Keng mengulangi. "Ialah seorang dengan
seluruh tubuhnya kaku beku yang macamnya mirip tulang belulang
didalam liang kubur, yang tangannya tak mempunyai tenaga
sekalipun untuk mencekal seekor ayam"
Bun Koan tertawa seram. "Bagaimana yang nomor dua?" Teng
So Keng tertawa tergelak gelak.
"Seng Kiong Sin Kun yang nomor dua adalah seorang yang dapat
mencinta sejak bakatnya" sahutnya. "Disamping itu ia pula seorang
raja hantu yang punya hati sakit gila"
"Dia aneh" pikir Siauw Pek. "Kenapa dia mengaco belo begini
rupa? Mungkinkah karena goncangan yang sangat hebat maka juga
otaknya jadi tergerak rusak?" ia membathin.
Bun Koan terdiam. Ia tidak berpikir sebagai adiknya itu, ia cuma
mengawasi siwanita setengah usia itu. Kalau toh ia berpikir, ia
menerka nerka apa yang tersembunyi didalam kata kata So Keng
itu. Si wanita tawanan itu. Melihat sinona berdiam saja, So Keng
tertawa dengan terbahak bahak.
"Masih ada Seng Kiong Sin Kun yang nomor tiga" katanya tanpa
menanti pertanyaan-"Eh, kenapa kah kau tidak tanyakan Seng Kiong
Sin Kun yang nomor tiga itu?"
Bukannya gusar, Bun Koan justru tertawa. "Bicara terus"
perintahnya agak ketus.
Kembali So Keng tertawa. Tetap nada tawanya nada mengejek.
Habis tertawa, dia menjawab. "Seng Kiong Sin Kun yang ketiga itu?
Hahahah Dialah yang diluarnya manis budi dan sopan santun tetapi
hatinya bukan main busuknya. Dialah seorang wanita yang sangat
cabul"
Bun Koan tertawa tawar. "Bicara terus" perintahnya.
"Tahukah kau siapakah wanita itu?" balik tanyanya. "Dialah kamu
berdua kakak beradik empunya."
Tiba tiba kemurkaan Bun Koan meluap. Sebelah tangannya
melayang dan.... plok satu suara nyaringga ring terdengar dari pipi
si wanita she Teng itu.
Tubuh So Keng terhuyung, mulutnya mengeluarkan darah. Hebat
tamparan itu. Sebab beberapa buah giginya copot
Su Kay bersama Ban Liang dan Oey Eng serta Kho Kong berdiri
mematung. Mereka heran menyaksikan gerak gerik Bun Koan-
Hebat tindak tanduk nona ini, sedangkan nampaknya dialah berbudi
halus dan lemah lembut.
Beda adalah sikap Siauw Pek. Kata kata wanita she Tong itu
membuatnya ingat sesuatu hingga pikirannya menjadi gelap.
Bun Koan juga terdiam, tapi tubuhnya bergerak. ia membungkuk
akan menjumput sebutir gigi So Keng, habis meneliti itu, ia masuki
gigi itu kedalam sebuah peles kumala yang ia keluarkan dari
sakunya. Dengan perlahan ia menyimpan pula pelesnya itu. ia tidak
mencuci atau menyusut dulu gigi yang berdarah itu.
Itu sebenarnya adalah sebuah gigi palsu. Itulah gigi yang
didalamnya tersimpan semacam obat berbisa yang paling dahsyat.
Itulah racun yang sengaja disimpan untuk saat terakhir. Siapa yang
menelan itu, tak ampun lagi, dia akan mati seketika. Itulah racun
untuk membunuh diri
So Keng telah memikir habis bicara, hendak dia menelan gigi
beracun itu, supaya dia tak usah menderita malu dan nyeri lebih
lama pula. Tapi dia kalah cerdik, dia kalah sebat dari Sinona Coh.
Bahkan Sinona telah mencegahnya mati Dengan begitu, dia juga
terCegah mengucapkan terus kata katanya itu.
Nona Coh tertawa dingin, sinar matanya menatap wanita
tawanannya itu. Lalu dengan tenang, tetapi dengan nada dingin ia
berkata "Aku Coh Bun Koan, dengan tubuhku yang lemah, aku telah
menjelajah dunia Kang ouw dimana aku hidup sengsara, terlunta
lunta dengan penderitaan, maksudku satu satunya ialah menuntut
balas. Hm...Tahukah kau, pengalaman pahit apajuga yang telah aku
alami?"
Mendengar kata kata kakaknya itu, tanpa merasa air mata Siauw
Pek keluar bercucuran. Didalam hatinya, anak muda ini berkata
"Siapa kira kakak demikian menderita karena setiap saat tak pernah
dia melupakan sakit hati kita."
"Akulah seorang laki laki, dapatkah aku tak melakukan
pembalasan? Sementara itu, sekian tak dapat aku membantu
kakakku ini, tidakkah aku harus malupada diri sendiri?"
Ketika itu, terus So Keng menatap bengis kepada Bun Koan- Dia
sangat gusar, tapi dia tak berdaya. Mulutnyapun terasa sangat nyeri
sebab giginya yang copot terpaksa itu Mulutnya itu masih belepotan
darah. Karena darah itu dia mirip hantu. Tepat waktu itu, tampak Cit
kiam Cu lari mendatangi.
"Lapor" serunya, selekasnya dia datang dekat kepada
pemimpinnya. "Dibelakang gunung ini ada sebuah gua batu, tak
dapat kami menyerbunya, karena itu aku datang untuk meminta
petunjuk"
Mata Bun Koan terbuka lebar. cepat luar biasa ia menotok So
Keng.
"Cie In Han Giok" ia memanggil.
Dua orang perempuan dengan pakaian abu abu muncul dengan
segera.
"Hambamu disini, nona" berkata mereka, yang menghampiri
nonanya itu. Keduanya menjura dalam.
Dengan mata tajam nona Coh mengawasi kedua nona itu lalu
dengan suara dingin, ia berkata : "Ini perempuan bersama Teng So
Keng aku serahkan kepada kamu ingat, jikalau kau alpa
menjaganya, kamu mesti datang kepadaku dengan kamu
menenteng kepalamu"
"Baik nona" sahut kedua hamba itu tanpa menghiraukan
ancaman hebat itu. Mereka toh diperintah menenteng kepala
mereka sendiri. Bun Koan segera menoleh kepada Cit kiamcu.
"Jalan" perintahnya, sedangkan tangannya diulapkan
Cit Kiamcu menerima perintah itu, segera dia memutar tubuh,
buat berlari pergi.
"Mari" Bun Koan mengajak kawan kawannya seraya ia
mendahului bergerak menyusul kiamcunya itu.
Su Kay memandang kearah mana cit kiamcu lari pergi itu. Ia tahu
itulah arah belakang puncak Siauw Sit san- Didalam hati terkejut.
"Aneh" pikirnya "Disitu toh tak ada tempat sembunyi it Tie pasti
ketahui baik gunung ini, kenapa ia sembunyi dibelakang gunung?"
Pendeta ini berpikir demikian karena ia menerka It Tie mungkin
bersembunyi dalam gua.
cepat sekali orang telah melintas wihara Bin Pek Am. Lewat
belum jauh, dari situ sudah terdengar suara berisik dari bentroknya
alat alat senjata berCampuran dengan CaCian dan bentak bentakanBun
Koan rupanya telah mendengar suara itu, ia percepat larinya
dengan satu lompatan, ia melewati dan mendahului cit kiamcu
untuk lari terus dengan pes at sekali. Siauw Pek semuapun segera
mempercepat larinya.
sElewatnya sebuah dinding gunung, disana terdengar suara
nyaring dari seorang wanita. Dia itu mencaci sembari tertawa
mengejek. Terdengar pula suaranya ini tegas dan terang "Mahluk
mahluk tak tahu mampus atau hidup. Lekas kamu titahkan Seng
Kiong Sin Kun datang menemui aku.Jika tidak, aku bunuh habis
kamu semua"
Menyusul perintah atau ancaman ini, terdengarlah jeritan aduh
dari seorang lelaki.
"Itulah suara nona Thio" seru Kho Kong.
"Nona Thio, siapakah?" tanya Bun Koan-
"Nona Thio Giok Yauw" sahut Siauw Pek. "Dialah nona gagah dari
Kim Too Bun"
Karena menerka kepada Giok Yauw itu, semua orang makin
mempercepat larinya.
Kira kira pertengahan gunung, dimana tampak tanah datar yang
berdinding batu gunung dan pada dinding itu kedapatan delapan
atau sembilan buah gua yang tinggi setinggi manusia. Diantara sinar
bintang bintang, ditanah air itu terlihat seorang tua yang rambutnya
kusut riap riapan, yang duduk numprah didepan salah satu gua,
sedang didepan gua, seorang nona tengah menempur serombongan
orang. Nona itu sendirian saja.
Selekasnya dia melihat pemandangan didepan matanya itu, Coh
Bun Koan menitahkan keenam kiamcu mengepalai masing masing
bawahannya untuk menyerbu kearah gua itu. Dilain pihak. Siauw
Pek segera berseru:
"Tahan itulah orang sendiri. Kakak lekas titahkan mereka
menghentikan penyerangan"
"Berhenti" sinona memerintahkan setelah ia melihat kelilingnya,
setelah mana, ia maju terus.
Melihat pemimpinnya itu, keenam kiamcu segera menitahkan
orang orangnya mengundurkan diri, maka disitu lalu terbuka sebuah
halaman besar. Dengan titah Bun Koan itu, berhentilah
pertempuran-
Nona didepan itu, ialah Thio Giok Yauw segera melihat Siauw Pek
yang maju terus ketempat pertempuran itu.
"ooh bengcu" berseru nona Thio melihat ketuanya itu. ia lalu
memberi hormat. "Bengcu baik"
Siauw Pek mengangguk.
Thio Giok Yauw juga segera melihat Bun Koan, ia mengawasi
sejenak. lalu ia merangkap kedua tangannya memberi hormat
seraya menyapa. "Kiranya kakak Coh. Terimalah hormat adikmu"
Bun Koan membalas hormat.
"Nona gagah sekali" pujinya. Terus ia mengawasi slorang tua
didepan gua itu.
"Itulah Han in Taysu" Siauw Pek lekas lekas memberi keterangan
kepada kakaknya. Ialah ketua terdahulu Ngo Bie Pay ia berCacat
karena disiksa oleh Seng Kiong Sin Kun yang kejam"
Bun Koan melihat muka pendeta itu rusak dan kedua kakinya
buntung, tahulah ia bahwa Siauw Pek tidak mendustainya. Maka ia
maju, akan memberi hormat kepada pendeta itu seraya hatur maaf.
Han In Taysu membalas hormat, sesudah mana, ia menoleh pada
Siauw Pek. "oh bengcu. Kenapa bengcu bisa tiba disini?"
"Kami datang kemari untuk mencari It Tie,"jawab Siauw Pek.
"Menurut terkaan kakakku ini, ketua Siauw Lim Sie itu mesti
bersembunyi disini, sebab dia tentunya belum meninggalkan Slong
San"
Mendengar itu, kedua mata Han In bersinar terang terus dia
tertawa.
"Dasar orang gagah, pandangnya sama" katanya. "Nona Hoan
juga menerka serupa. Mereka berada didalam gua."
Su Kay Taysu mendelong mengawasi gua yang ditunjuk itu. la
berpiklr. "SEingat loolap, disini tak ada gua..." katanya.
Han In Taysu menunjuk pada tumpukan rumput, batu dan tanah
disini mulut gua.
"Mulanya memang sukar mencari gua ini," bilangnya. "Gua telah
tertutup batu batu besar tertutupnya sudah buat banyak bulan dan
tahun, telah penuh tumbuh rumput, hingga dari luar tak nampak
pertanda apa juga. Kecuali orang yang cerdik panda iseperti nona
Hoan, walaupun delapan atau sepuluh tahun lamanya orang
mencari, tak nanti dia dapat menemukan inilah semacam gua
rahasia"
Tiba tiba dari dalam gua itu terdengar suara nona Hoan : "Taysu,
jangan terlalu memuji. Kami gagal"
Menyusul kata kata itu, Soat Kun tampak bertundak keluar
dengan sebelah tangannya dibahu Soat Gie, adiknya. Mereka
berjalan dengan perlahan- Dibelakang mereka menyusul Oey Ho Ciu
ceng sijenjang kuning. tangan kanannya mengangkat tinggi
sebatang obor,
tangan kirinya mengangkat tongkat pat poo sian thung serta
jubahnya seorang pendeta. Segera dia mendahului kedua nona.
Han In Taysu yang bercokol dimulut gua sekali, telah menggeser
tubuh kesisi, membuka jalan buat nona nona itu.
SElekasnya berada diluar gua, Soat Kun menghadapi Siauw Pek,
sang ketua, untuk memberi hormat seraya mengucapkan kata kata
bahwa ia datang menghadap. Tentu saja adiknyalah yang mengisiki
diarah mana berdirinya ketua mereka itu. cepat Cepat Siauw Pek
membalas hormat. "Nona banyak Capai" ia menghibur.
Soat Gie dan Ciu ceng turut memberi hormat kepada ketua itu.
Lega hati Siauw Pek melihat Ciu ceng sudah sembuh seluruhnya,
bahkan sikapnya gagah, sedang kata katanya barusan selagi
menghormati ketuanya tenang dan tegas. Itulah bukti bahwa dia
telah bebas seluruhnya dari pengaruh kekangan Seng Kiong Sin
Kun, si Raja Sakti dari Istana Nabi...
SEgera anak muda ini berkata kepada Bun Koan kakaknya,
sambil menunjuk kedua nona Hoan : "Kakaknya, inilah kedua nona
Hoan Soat Kun dan Hoan Soat Gie, puteri puterinya almarhum Hoan
Tiong Beng..."
Bun Koan tertawa, ia menyela adiknya itu dengan berkata.
"Selama aku hidup terlunta lunta, pernah aku bertemu dengan
kedua saudara Hoan ini"
"Apakah disana Nona Coh Bun Koan ya, kakak Coh?" bertanya
Soat Kun.
"Benar, inilah aku" jawab Bun Koan, tertawa. "Aku girang adik,
setelah berpisah beberapa tahun, hari ini aku nampak kau sehat
walafiat melebihi dahulu hari. Hendak aku memberi selamat
padamu" Soat Kun tersenyum.
"Kakaklah yang harus diberi selamat" ujarnya. "Kakak tidak
kurang suatu apa dan bahkan telah bertemu dengan saudaramu.
Sungguh aku girang"
Sejenak itu, Bun Koan menghela napas. Lalu ia berkata pula.
"Dahulu hari itu, jikalau tidak ada adik berdua yang memberi
petunjuk kepadaku, mungkin tubuhku telah menjadi kerangka yang
tersia sia ditanah belukar, mana dapat aku hidup sampai sekarang
ini? Juga adik berdua telah menunjang adikku ini. Adik, kau melepas
budi bukan main besarnya,aku bersyukur tak habisnya"
"Jangan bersyukur kakak. jangan menghaturkan terima kasih,"
berkata nona Hoan merendah. "Aku berbuat apa yang seharusnya
saja."
Tiba tiba su Kay taysu menyela. "Nona Hoan, tongkat ditangan
Ciu Siecu itu mirip tongkat yang biasa digunakan It Tie..." Soat Kun
mengangguk.
"Benar, itu benar tongkatnya It Tie" sahutnya. Setelah itu ia
berpaling kepada Ciu ceng. Walaupun kedua matanya tak melihat,
nona ini dapat berpaling kepada siapa dia suka.
Ciu ceng sangat mengagumi dan menghormati nona itu, begitu
dia melihat si nona menoleh kepadanya, ia sudah dapat menerka
maksud orang, maka segera ia bertindak menghampiri Su Kay
Taysu.
"Inilah senjata It Tie, sebaiknya taysu yang menyimpannya,"
katanya kepada tiangloo
Dari Siauw Lim Sie itu. Ia mengangsurkan tongkat patpo
sianthung dengan sikap menghormat. Su Kay membalas hormat.
"Terima kasih Siecu" katanya, seraya menyambut tongkat itu.
Biarpun tongkat itu tongkat It Tie, ia bersikap menghormati. It Tie
pula pernah satu kali menjadi ketuanya.
"Pat poo sian-tung" berarti tongkat suci dengan delapan mustika.
Itulah sebab tongkat itu terbuat dari besi pilihan bercampur emas
merah, hingga nampaknya berkilauan, sedang pembuatannya indah
sekali. Itu pula tongkat ketua Siauw Lim Sie atau Siauw Lim Pay,
yang tak biasa ditunjukkan pada orang luar.
Su Kay Taysu berdiam mengawasi tongkat partainya itu.
Tongkatnya ada, orangnya tiada. Maka sejenak itu rupa rupa
perasaan memenuhi otaknya. Kemudian ia mengawasi jubah
pendeta ditangan Ciu ceng. Hendak menanyakan halnya jubah itu
tetapi ia batal sendirinya. Ia berada didepan banyak orang, tak
dapat ia membuka mulutnya....
Didalam rombongan itu cuma Siauw Pke seorang yang tetap
menghargai Su Kay. Ia melihat roman sang pendeta, ia dapat
menerka hati orang. Maka ia mengawasi Ciu ceng dan bertanya :
"Saudara Ciu, jubah ditangan saudara itu milik siapakah?"
"Jubah ini serta tongkat itu sama sama terdapat didalam gua,
terletak sia sia" sahut Oey Ho siJenjang Kuning. "Nona Hoan
menerka kepada miliknya It Tie, tetapi ia belum berani
memastikannya. Karena mungkin nona masih hendak memeriksa
terlebih jauh, barusan aku menjemput dan membawanya sekalian."
"Sungguh dia dapat menjadi pembantuku yang berharga," pikir
Siauw Pek. Ia melihat Ciu ceng teliti.
Sementara itu orang she Ciu itu meletakkan jubah ditanah untuk
dibeber, untuk dilihat tegas oleh semua orang. Su Kay menghampiri,
untuk memeriksa.
"Tak keliru terkaan nona Hoan" katanya nyaring. "Ini memang
jubah It Tie."
Mendengar begitu, Bun Koan mementang kedua tangannya.
"Tak salah lagi, pasti sudah It Tie telah melakukan penyamaran"
serunya. "Dia telah menukar dandanan, ini menambah kesulitan kita
mencarinya"
"Tak salah, inilah jubah It Tie" Su Kay memastikan. "Pada ujung
jubah ada tandanya, tanda dari pendeta tukang Cuci."
"Nona Hoan, apakah yang nona pikir mengenai sepak terjang it
Tie ini?"
"It Tie kabur meninggalkan Siauw Lim Sie." berkata Soat Kun,
"itu artinya dia berkhianat kepada partainya dan memberontak
untuk pergi kepada Seng Kiong Sin Kun kepada siapa dia hendak
menyerahkan kitab kitab pUsaka, akan tetapi mendadak rupanya dia
merubah pikirannya, dia hendak berkhianat jUga terhadap Seng
Kiong Sin Kun, maka ditengah jalan dia memisahkan diri dari
sekalian pengikutnya, kemudian dia kembali dan pergi ke gua ini
untuk menukar pakaian menyalin diri, untuk selanjutnya dia buron
sendiri saja. Teranglah sudah bahwa dia hendak mengangkangi
sendiri sembilan belas kitab pusaka itu."
Bun Koan mengangguk.
"Akupun menerka demikian" katanya.
MEndengar kata kata kedua nona. Su Kay Taysu berpikir "Seng
Kiong Sin Kun jauh terlebih liehay dari pada It Tie, daripada kitab
kitab pusaka itu terjatuh kepada Sin Kun, lebih baiklah dimiliki It Tie,
sedangkan untuk mencarinya ada terlebih mudah."
Oleh karena mendapat pikiran begini, tanpa merasa wajah
pendeta ini menjadi tak suram seperti tadi tadinya. Ia mendapat
harapan dan karena menjadi sedikit terhibur, sedikit girang.
"Hanyalah" Nona Hoan berkata pula, "mungkin masih ada satu
hal yang membuat orang tak mengerti, tak mencurigai."
"Apakah itu nona?" tanya Siauw Pek. "Bersediakah nona
menerangkannya?" Bun Koan juga menanyakan demikian-
"Didalam gua itu kedapatan mayat seorang pendeta muda" sahut
nona Hoan "Sedangkan pada dinding gua, ada bekas bekas dari
suatu pertarungan seru. Mungkin saat It Tie nyamar itu ada orang
yang memergoki dan menyerangnya dan orang itu pasti liehay
sekali. Tak dapat dipastikan siapa yang menang dan siapa yang
kalah dan bagaimana kesudahannya pertempuran dahsyat itu. Sulit
untuk menerkanya..."
"Rupanya ada orang yang menerka sebagai kita hanya dialah
terlebih sebat" kata Bun Koan dingin-Soat Kun tersenyum.
"Itulah sebab mengapa aku beranggapan bahwa kali ini kita
sudah kalah," bilangnya.
"Tapi siapakah orang itu?" tanya Siauw Pek. "Mungkinkah dia
Seng Kiong Sin Kun?"
"Jikalau dia benar Seng Kiong sin Kun, tak dapat tidak kita mesti
mengaguminya" berkata pula nona Hoan-
Tiba tiba Su Kay Taysu berkat bersemangat: "Ciu Siecu, tolong
pinjamkan obor padaku" Ciu ceng menyerahkan obornya.
Dengan mencekal alat penerangan itu, Su Kay lari masuk
kedalam gua.
"Kakak Coh, bengcu," Soat kun tanya, "apakah kakak dan bengcu
tak mau masuk kegua untuk memeriksanya?" Bun Koan tertawa.
"Nona telah melihatnya, pasti tak ada yang terlewat" sahutnya.
Sekonyong konyong wajah Soat Gie berubah, cepat sekali dia
mencekal tangan kiri Soat Kun kakaknya. Itulah suatu cara bicara
diantara kedua saudara itu, yang orang lain tak tahu artinya.
Soat Kun lantas menoleh memandang kepada Han Giok.
"Siapa kah itu yang nona pondong?" ia tanya.
Bun Koan lekas mewakili orangnya menjawab. "inilah pelayanku
yang bernama Han Giok. Wanita yang dia pondong bernama Teng
So Keng, salah satu Hoa Siang."
"Wanita itu telah mati, kenapa mayatnya tak ditinggalkan?" Soat
Kun bertanya pula.
Bun Koan tercengang, ia lalu menoleh. Ia melihat kedua mata So
Keng separuh meram dan mulutnya separuh tertutup, tubuhnya
lemah lunglai, tanda bahwa jiwanya benar sudah melayang.
Han Giok dan Cie in kaget sekali. Mereka yang bertanggung
jawab terhadap tawanan itu. Saking bingungnya, air mata mereka
lantas meleleh keluar.
Bukan main gusarnya Bun Koan, hingga kedua tangannya
melayang kemuka kedua pelayan itu. Kedua pelayan itu, dengan
muka pucat berdiam saja. Mereka tidak menangkis dan berkelit.
Cepat luar biasa Siauw Pek maju menghadang didepan kedua
pelayan itu.
"Maafkan mereka kakak" katanya tersenyum. "Menurut aku ini
bukan kesalahan mereka berdua..."
Soat Kun juga berkata: "Menurut kata Soat Gie, adikku. so Keng
itu mati disebabkan kumatnya lukanya yang lama."
Suara nona Hoan perlahan dan tenang. Bun Koan masih saja
gusar.
"orang mati didalam pondongannya mereka tak tahu" demikian
katanya sengit. " orang demikian sembarangan, apakah yang dapat
mereka lakukan. Buat apakah mereka hidup lebih lama?"
Siauw Pek sabar sekali. Dia tertawa dan berkata : "So Keng mati
belum lama. Aku berada dekat mereka, aku juga tak tahu dia telah
mati. Karena itu, mereka tak dapat sesalkan-"
Terus ia menoleh kepada kedua pelayan itu : "Mayat itu sudah
tak perlu lagi, pergilah kamu bawa pergi"
Han Giok berlalu dengan memondong mayat So Keng, ia
meletakkannya sedikit jauh, setelah kembali, bersama sama Cie In
ia mengasih hormat kepada nonanya seraya mengucap terima kasih
yang mereka telah diberi ampun. Mereka juga sangat bersyukur
kepada Siauw Pek, orang yang menolong jiwa mereka.
Ketika itu terlihat Su Kay Taysu keluar dari dalam gua, wajahnya
suram.
"Apakah Taysu mendapatkan sesuatu?" Siauw Pek mendahului
bertanya. Pendeta Siauw Lim itu menghela napas.
"Yang mati itu Leng Kong," menjawab dia. "Dialah murid
tersayang dari It Tie."
"Apakah taysu telah memeriksa tubuhnya?" Siauw Pek tanya
pula. "Mungkinkah taysu mendapatkan sesuatu pertanda? "
"Leng Kong mati terkena pukulan tangan seorang laykee" sahut
Su Kay pula. "Itu bukan pukulan ilmu silat Siauw Lim Pay"
"Jikalau begitu, pastilah selagi It Tie merias diri melakukan
penyamaran, orang telah datang menyerangnya," Siauw Pek
mengutarakan terkaanya. Su Kay mengangguk.
"Selalu loolap menguatirkan kitab kitab pusaka itu terjatuh
kedalam tangan Seng Kiong Sin Kun," ia menjelaskan, "melihat
keadaan didepan mata ini, kekuatiran loolap itu menjadi bertambah
tambah..."
Bun Koan mendengar pembicaraan adiknya dengan pendeta itu,
ia lalu memikir sesuatu, maka segera ia menoleh kepada Soat Kun.
"Nona Hoan" sapanya.
"Ya, ada apakah kakak Coh?" Soat Kun bertanya. "ada apakah
pengajaran kakak"
"Nona berdua saudara Cerdas dan pintar sekali, aku sangat
kagum," kata Bun Koan-
Soat Kun tersenyum.
"Kakak memuji saja padaku" bilangnya.
Bun Koan tersenyum.
"Nona" tanyanya, "bagaimanakah anggapan nona tentang Seng
Kiong sin Kun? Sebenarn dia orang macam apakah?"
Alls Soat Kun berkenyit, kedua matanya terus dipejamkan. ia
berpikir.
"Selama sepuluh tahun ini dunia Kang ouw telah dikacaukan
Seng Kiong Sin Kun" katanya setelah hening sejenak, "sebaliknya
dia sendiri bagaikan si naga sakti yang terbenam didalam kabut dan
mega. tak nampak kepala dan ekornya."
"Demikianiah adanya" Bun Koan membenarkan- "Memang hebat
tindak tanduk Seng Kiong sin Kun. Dia menyebabkan Pek Ho Po
musnah, sekarang dia membuat Siauw Lim Sie hampir jungkir balik
seluruhnya. Lihat Han in Taysu ini, ia tersiksa lahir dan batin,
sampai mempunyai rumah tetapi tak dapat pula ng kerumahnya itu.
Toh sampai didetik ini, si Raja sakti belum tampak roman wajahnya.
Sebenarnya dia laki laki atau wanita, dia tua atau muda?
Bagaimanakah kepandaian silatnya? Dia dari partai apakah? Kami
bersaudara, rumah tangga kami hancur, keluarga kami mati dan
berantakan, kami sendiri sekarang mesti terlunta lunta dalam
perantauan Bagi kami tak jelas bagaimana macam musuh kami itu.
Tidakkah itu memalukan?" Soat Kun menghela napas perlahan"
Sekarang ini kita cuma dapat menerka nerka" katanya sabar.
"Pertama tama sin Kun adalah seorang yang banyak sekali akalnya."
"Nona benar," Su kay taysu turut bicara. "Seng Kiong Sin Kun
pandai sekali mencari tahu urusan dalam dari orang lain, dia pandai
menempatkan mata mata, guna mengacaukan keadaan dalam dari
pihak yang dia tak sukai atau yang hendak diruntuhkannya. Dengan
kelicikannya dia pakai tenaga orang lain tenaga musuh untuk
merobohkan musuhnya oleh karena itu, kita cuma bisa melawan ia
dengan kecerdasan juga..." Nona Hoan mengangguk.
"Tadi tadinya mungkin Sin Kun tidak pandai ilmu silat" katanya
"Hanya sekarang baru lewat beberapa tahun, dia rupanya menjadi
liehay sekali..."
"Mungkin nona benar" Han In Taysu turut bicara. "Buktinya ialah
pengalamanku yang pahit getir ini...."
Mendengar suara pendeta ketua terdahulu dari Ngo Bie Pay itu,
semua orang berpaling kepadanya. Kasihan si pendeta tua, yang
sekarang memiliki tubuh dan rupa tak keruan macam....
Han In Taysu menghela napas dua kali dalam dalam, itu
pertanda bahwa hatinya bergolak.
"Setelah peristiwa hebat dan menyedihkan dipuncak Yan in Hong
itu" berkata ia pula, "loolap telah terjatuh didalam tangan Seng
Kiong Sin Kun. Dia menyiksa loolap dengan segala macam tangan
jahat, maksudnya yang utama ialah memaksa loolap membeber
kepadanya segala macam ilmu silat istimewa dari Ngo Bie Pay.
Kalau dia memang sudah liehay sejak semula, tak nanti dia ingin
sekali memperoleh ilmu silat Ngo Bie Pay".
"Itulah peristiwa delapan atau sembilan tahun yang telah
lampau," berkata Ban Liang. "Dahulu itu dia sudah sangat cerdik
dan liehay, sekarang ini tentu dia bertambah liehay, bahkan liehay
luar biasa. Karena itu tak dapat memandang ringan terhadapnya."
Ban Liang bicara dari hal yang benar, orang rata rata
menganggukkan kepalanya.
"Taysu" tanya Bun Koan terhadap Han in Taysu kepada siapa ia
berpaling, "taysu telah melihat Sin Kun beberapa kali, apakah taysu
ingat dan mengenalinya?"
"Selama loolap dikurung dan disiksa. Loolap telah bertemu
dengannya delapan atau sembilan kali" menyahut Han in "akan
tetapi setiap kali loolap berhadapan dengannya, dia selalu menyalin
rupa dan usia bahkan lagu suaranya juga berbeda. Adakalanya dia
tampak bagaikan imam tua, ada kalanya dia tampak bagaikan imam
tua, ad akalanya pula seperti pemuda pelajar yang tampan, hingga
sangat sulit untuk mengenali diri dia yang sebenarnya."
"Dengan demikian teranglah dia pasti menyamar" kata Bun Koan
tawar. "oleh karena itu taysu, kenapa taysu mau percaya merekalah
satu orang ialah dialah Seng Kiong Sin Kun sendiri? Tak dapatkan ia
memakai lain orang sebagai penggantinya, orang dalam
penyamaran?"
"TEpat pertanyaan nona." berkata Han In- Lalu dia berdiam
sejenak. Ketika pada lain saat dia melanjutkan, dia balik bertanya.
"Nona, apakah nona pernah memikirkan sesuatu? Tubuh orang,
rambut dan kulitnya dapat diubah, akan tetapi toh ada satu bagian
dari anggotanya yang sukar, ya, yang tak dapat diubah sama sekali"
Bun Koan berdiam untuk berpikir. Ia bisa menerka apa yang
dimaksud pendeta itu. Ia berdiam terus, menantikan orang bicara
lebih jauh. Han in berdiam hanya sejenak.
"Nona beramai pasti ketahui bahwa sinar mata orang tak dapat
disamarkan." katanya melanjutkan- "Pada mata Seng Kiong Sin Kun
ada suatu sinar kelobaan, kelicikan dan kekejaman, yang tak mudah
dilupakan- Sinar mata itu tak pernah berubah. Pertama kali loolap
berhadapan dengannya, loolap telah melihat sinar mata itu yang
membuat loolap mendapat kesan yang tak dapat dilupakan-"
Kembali ketua Ngo Bie Pay itu menarik napas dalam dalam,
untuk melegakan hatinya.
"Ketika pertama kali jahanam itu memaksa loolap membuka
rahasia ilmu silat istimewa dari partaiku dan menolak dengan keras,
dengan segera saja dengan kejam dia membacok kutung sebelah
kakiku kaki yang kanan" berkata pula Han In Taysu, "Nah, nona
beramai boleh pikir, sakit demikian besar, mana dapat loolap
melupakannya? Tatkala itu loolap melihat tegas bagaimana sinar
matanya memain sinar mata dari kekejaman. SEkarangpun dapat
loolap membayangkannya."
"Maka itu selanjutnya, taysu mengenali dia dari sinar matanya
itu?" tanya Bun Koan-
"Ya, setiap kali loolap dihadapkan untuk dipaksa, setiap kali dia
menganiaya loolap. setelah kakiku lalu telinga dan mukaku.
Sekarang beg inilah keadaan tubuh ragaku" Siauw Pek menoleh
kepada kakaknya.
"Teng So Seng membilangi kita bahwa Seng Kiong Sin Kun terdiri
dari tiga orang" kata ia, "katanya Sin Kun pria dan wanita, karena
itu dia pastilah berdusta. Keterangannya itu tidak dapat dipercaya."
"Itupun masih belum pasti, saudaraku" kata Bun Koan tertawa
dingin- "Mungkin Seng Kiong mempunyai tiga orang pemimpin, dan
orang yang selalu memeriksa dan menganiaya Han In Taysu ialah
satu diantarannya"
Hati pendeta Siauw Lim Sie ini demikian tergerak hingga dari
ragu ragu dia menjadi memperoleh ketetapan hati.
Sampai disitu, Ban Liang turut bicara pula. Dia memandang
kepada nona Hoan-
"Nona Hoan- katanya "guru nona pandai luar biasa, dia ketahui
pelbagai peristiwa Bu Lim dahulu dan sekarang, dan nona telah
lama menuntut ilmu dibawahnya, nona juga tentu ketahui banyak
segala macam hal, sampaipun hal ikhwalnya pelbagai partai
persilatan, nona mungkinkah nona tak dapat menerka
sedikitpunjuga tentang asal usul Seng Kiong sin Kun."
Soat Kun tersenyum.
"Menerka aku dapat, hanya menerka tepat itulah yang sukar,"
sahutnya tenang.
"Jikalau nona sukar menerka, mengapa nona tak mau
memberitahukan kita apakah terkaan nona itu?" bertanya Su Kay
Taysu, "keterangan nona mungkin akan membuka kecupatan hati
kami...."
Soat Kun berpikir sebentar, lalu dia berkata "melihat kepandaian
Seng Kiong Sin Kun dalam ilmu tabib serta kegemarannya
menggunakan racun, dia pasti ada hubungannya atau bersangkut
paut dengan ceng Gie Loojin, atau sedikitnya dengan kepandaian
atau warisan orang tua yang lihay itu. Atau lagi dia mendapati
kepandaiannya ceng Gie Loojin bukan dengan Cara langsung...."
"cEng Gie Loojin tersohor berhati mulia dan murah" berkata Su
Kay Taysu, "dia telah membuat namanya berCahaya dalam dunia Bu
Lim mungkinkah dia...."
"inilah justru yang memusingkan kepalanya untuk menerkanya,"
Soat Kun menyela.
"ceng Gie Loojin tersohor juga ilmu silatnya," kata Ban Liang.
"Aku tak percaya Seng Klong Sin Kun adalah murid atau ahli
warisnya...."
Han In Taysu turut berpikir, kemudian ia mengutarakan
dugaannya. "Apakah tak mungkin dia adalah orang jahat dari salah
satu dari sembilan pay, empat bun, tiga hwee dan dua pang."
Semua orang berdiam. Kemudian Bun Kucn memandang
mengawasi pendeta itu "Taysu, tahukah taysu dimana pernah atau
letak Seng Kiong?"
Pendeta dari Ngo Bie Pay itu menggelengkan kepala.
"Selama ditangan musuh, loolap telah dibawa pergi datang
kesana kemari," sahutnya. "Tak tahu loolap dimana sarang Sin Kun
yang dia beri nama Seng Kiong itu. Mungkin loolap pernah dibawa
kesana, mungkin juga tidak...."
Setelah orang berbicara banyak itu, pada akhirnya Bun Koan
berpaling kepada Ciu ceng. Dia mengawasi dengan tajam tajam.
"Bagaimana dengan kau saudara Ciu?" tanyanya kemudianSi
Jenjang Kuning, yang sebegitu jauh berdiam saja,
memperlihatkan wajah suram. Nampak dia sangat berduka.
"Selama aku berCampur gaul dengan Seng Kiong Sin Kun, aku
telah diberi kedudukan Oey Liong Tongcu" demikian sahutnya. "Aku
ditugaskan untuk menjadi pimpinan dengan sejumlah bawahan-
Ah..."
Jago she Ciu ini menghela napas, sehingga kata katanya
tertunda.
"Oey Liong Tong adalah satu diantara kelima Tong dari Seng
Kiong," berkata Bun Koan-"Kedudukan itu bukannya kedudukan
yang rendah"
"Memang demikianlah tampaknya nona" sahut Ciu ceng masgul.
Lagi lagi ia menarik napas panjang.
"sebenarnya Seng Kiong Sin Kun mempengaruhi bukan dengan
mengandalkan obat saja. Dia juga menggunakan suatu ilmu
kepandaian silat dengan menotok beberapa jalan darah dari Ciu
Huhoat.Jadinya Huhoat dikekang dengan dua Cara."
Bun Koan berdiam tetapi hatinya berpikir:
"Sungguh hebat kepandaiannya Seng Kiong sin Kun" karena
memikir ini, ia lalu bertanya kepada Soat Kun-
"Adik, kau sanggup mengobati saudara Ciu hingga sembuh
seluruhnya, kamu tentu tahu juga ilmu apa itu yang digunai Seng
Kiong Sin Kun itu?" bertanya Bun Koan-
"Buat membikin orang lupa dirinya atau kesadarannya dengan
menggunakan obat, itulah tidak aneh," sahut nona Hoan- "Asal ada
bahan obatnya, akupun dapat membuatnya." Kakak Siauw Pek
menghela napas.
"Ah...." katanya menyesal. "Selama kita belum berhasil
mengetahui dan mencari sarang lawan, selama itu juga kitalah pihak
yang mudah diserang dan dipermainkan musuh kita terus akan
dapat diperlakukan sesukanya dia"
Mendengar jawaban itu Kho Konh tertawa. "Pergi dan pulang,
kita kembali ketempat asal" bilangnya.
Kata kata "tempat asal" itu membuat Su Kay Taysu mendadak
ingat sesuatu, dia lalu menoleh kepada nona Hoan.
"Didalam hal ini, kita mengandalkan kepada nona seorang,"
bilangnya.
Paras sang pendeta merah.
"Loolap melainkan hanya dapat menjadi kuda atau prajurit yang
maju dimuka," sahutnya. "Buat menggunai kepintaran atau
kecerdlkan sama sekali loolap tak sanggup,"
Soat Kun tertawa "sebenarnya telah aku pikirkan berulang ulang,
akan tetapi sungguh sayang, masih belum dapat aku menerka
dimana adanya sarang dari Seng Kiong Sin Kun itu..."
Su Kay Taysu merangkap kedua tangannya kepada nona itu.
"Soal ini mengenai keselamatan banyak jiwa rakyat," kata ia,
sungguh sungguh, "maka itu loolap memohon sudilah nona
mencapalkan hati memikirkannya."
"Memang nona, tak dapatkah nona memikirkannya pula?" Kho
Kong turut memohon- "Aku percaya buat nona tak ada soal yang
tak dapat dipecahkan-"
"Benar" Su Kay Taysu menimbrung. "Nona memang cerdas luar
biasa" Soat Kun tersenyum.
"Sebenarnya" katanya kemudian, "untuk mencari sarangnya Seng
Kiong Sin Kun, ada satu cara atau jalannya."
"Nah, apakah kataku?" Su Kay menyela. "Memang loolap percaya
nona mestinya mempunyai jalannya Silahkan nona
menyebutkannya, jlkalau loolap diperlukan, tak akan loolap
menampik andaikata loolap mesti terjun kedalam api"
Nona Hoan tidak segera menjawab. Bagaikan ada sesuatu yang
ia pikirkan- Habis berpikir sekian lama, ia menggeleng kepala.
JILID 48
"Aku telah pikir sesuatu jalan, tetapi jalan itu ada bagiannya yang
tak sempurna" katanya kemudian "Taysu, sudikah taysu memberi
ketika buat aku memikirkannya pula?"
Giok Yauw tertarik mendengar kata kata nona Hoan- la memang
tak sabaran, sedangkan selama mengikuti Han In Taysu, dari siapa
ia memperoleh beberapa kepandaian silat baru, keras minatnya
untuk mencoba kepandaiannya yang baru itu. Maka dia bertanya
cepat "Apakah jalan itu? Silahkan tuturkan kepada kami. Nona
Hoan...Tak usah nona bersangsi, kau membuatku jadi bingung"
Nona Hoan berlaku tenang. ia bersenyum menoleh kepada Ciu
ceng, ia awasi, masih ia tak membuka mulutnya, ia melainkan
berkemak kemik.
Si Jenjang Kuning melihat keragu raguan orang
"Apakah itu ada hubungannya?" tanyanya. Nona Hoan
mengangguk.
"Diantara kita semua" katanya "Cuma saudara Ciu sendiri yang
pernah pergi keistana nabi dari Seng Kiong Sin Kun. Maka itu untuk
mencari sarangnya itu aku memikirkan kepada kau saudara"
"Memang pernah aku pergi kesana" berkata Ciu ceng "akan
tetapi telah aku lupa benar benar. Dahulu itu aku pergi kesana
dibawah pengaruh obat. Sekarang ini, biar bagaimana aku
mengingat ingat, masih tak dapat aku mengingatnya, bahkan
kesannyapun telah lenyap sama sekali"
"Tapi diantara kita, saudara Ciu adalah Sit hun sut, yaitu
semacam ilmu menarik atau menguasai sukma manusia" berkata
Soat Kun. "Dengan ilmu itu seorang dapat dibikin bagaikan
bermimpi dan selama bermimpi itu dia dapat diperintah melakukan
sesuatu, selama itu dia menjadi ingat semua pengalamannya yang
sudah sudah."
"Nona, apakah ilmu yang nona sebutkan ini sama dengan ilmu
yang digunakan Seng Kiong Sin Kun?" tanya Ciu ceng. "Ilmu Seng
Kiong Sin Kun ialah untuk mengekang semangat orang hingga dia
dapat memerintah melakukan segala apa sesuka dia."
"Nampaknya mirip tetapi sebenarnya lain" sahut sinona. "Ilmu
Sin Kun membuat orang lupa segala apa yang telah lalu, ilmu yang
aku sebutkan ini, sebaliknya ialah untuk mengingat kembali segala
sesuatu"
"Apakah nona mengerti ilmu itu?" tanya Ciu ceng sungguh
sungguh.
"Siapa pandai, tak ada yang dia tak bisa"
Su Kay Taysu menyela "Nona Hoan sangat berbakat dan Cerdas
sekali, ia pintar luar biasa, pasti ia mengerti" Soat Kun tertawa.
"Taysu Cuma memuji" katanya merendah. "Memang aku
mengerti ilmu itu tetapi rasanya tenaga dalamku kurang mahir, aku
kuatir aku nanti membikin Celaka saja pada saudara Ciu"
"Jangan kuatir nona" berkata siJenjang Kuning bersungguh
sungguh. "Jikalau aku tidak ditolong nona, sampai detik ini tentulah
aku masih tersiksa lahir batin oleh Seng Kiong Sin Kun. oleh karena
itu, guna mencari sarang musuh, jangan kata baru tubuhku rusak.
sekalipun mesti hancur lebur, aku tak jeri, aku tak penasaran atau
menyesal"
Soat Kun berdiam pula, untuk berpikir.
"Kalau demikian kata saudara" ia bilang kemudian "baiklah
sekarang juga kita bekerja. Aku akan mencoba sekuat tenagaku
Semoga aku tidak sampai mencelakai tubuh saudara...."
"Bagaimana nona mau bekerja?" tanya Ciu ceng "apakah yang
harus aku lakukan?"
"SEkarang aku minta saudara duduk bersila dan berdiam saja"
berkata Soat Kun. "Yang lainnya semua baiklah mundur sejauh lima
tombak lebih, supaya selama aku memusatkan pikiranku, aku tidak
mendapat gangguan."
Ciu ceng menurut, terus ia duduk bersila, sedangkan Siauw Pek
semua segera menjauhkan diri. Hingga disitu tinggal Ciu ceng
berdua nona Hoan, Soat Gie mesti selalu mendampingi kakaknya
itu.
Soat Kun mengajak adiknya duduk menghadapi Ciu ceng. Tanpa
membuang tempo lagi, ia mulai dengan Sit hun sut, ilmunya yang
mirip dengan ilmu sihir. Ia tidak memaksa semangatnya si Jenjang
Kuning, ia hanya mengajaknya bicara, bagaikan orang mengobrol
setiap hari, suaranya halus dan lembut bagaikan siurannya angin
musim semi.
Ciu ceng menyangka si nona belum menggunai ilmunya, ia
melayani bicara seenaknya saja, sampai satu kali sinar matanya
beradu dengan sinar mata si nona. Ia menjadi heran-sinar mata
Soat Kun lemah, bagaikan orang yang letih seperti yang kantuk dan
mau tidur.
"Nona berdua agaknya letih, baiklah nona beristirahat" katanya.
Nona Hoan menjawab halus seperti biasanya "Saudara sudah
letih berhari hari, baiklah saudara juga beristirahat...."
Mendengar kata kata sinona, tiba tiba saja siJenjang kuning
merasai pelupuk matanya berat. Segera ia ingin tidur. Ia sampai
malas mengatakan bahwa iapun ingin tidur itu. Tanpa merasa sinar
matanya telah terbetot oleh sinar mata sinona.
Sementara itu, telinga jago ini tetap mendengar suara lemah
lembut dari nona Hoan-Tanpa merasa, ia telah terpengaruhkan
hingga ia masuk dalam lingkungan tak sadar akan diri sendiri.
Tiba tiba "Saudara Ciu, kau pernah pergi keSeng Kiong,
sebenarnya istana itu dimana adanya?" demikian pertanyaan nona
Hoan perlahan.
Wajah Ciu ceng menyatakan ia was was tanpa berdaya, bibirnya
sudah bergerak akan tetapi mulutnya tak terbuka, suaranya tak
terdengar.
"Seng Kiong" berkata sinona "Aku bilang Seng Kiong istana nabi
dari Seng Kiong Sin Kun coba kau ingat ingat"
Benar benar Ciu ceng memperlihatkan sikap tengah berpikir
keras.
"Seng Kiong" berkata pula sinona "Ingat, aku tanyakan Seng
Kiong. Ingatkah kau? Tahukah kau, dimana letaknya istana itu?"
Ciu ceng mendengar, terus ia berpikir, berpikir pulang dan pergi.
Lama ia berdiam, lama otaknya bekerja, lama lama didalam
benaknya itu terbayanglah suatu tempat "Itulah sebuah tanah
pegunungan. Tak dapat ia menyebutkan gunung itu gunung apa
dan dimana adanya."
Dengan suaranya yang halus, lagi lagi Soat Kun menanya,
mendesak orang didepannya, yang lupa dirinya, yang bagaikan ling
lung karena terlalu berpikir keras, sedangkan otaknya tak cukup
kuat untuk mengingat jelas jelas.
Tiba tiba Soat Gie mencengkram tangan kakaknya, untuk bicara
dengan kakak itu.
Soat Kun dapat mengerti kisikan adiknya itu, ia tampak ragu
ragu. Lewat beberapa detik ia mengambil keputusan- Maka sebelah
tangannya segera merogoh sakunya, untuk mengeluarkan dua
batang jarum emas halus bagaikan dua lembar bulu kerbau. Dengan
kecepatan luar biasa, dengan cekatan ia menusukkan kedua batang
jarum itu ke kedua pelipis orang she Ciu itu.
Ciu ceng tengah tak sadarkan diri, ia lagi mengawasi sinona
ketika ia tertusuk itu, terus tampak dia bagaikan orang ling lung.
Setelah itu terdengarlah suara dalam dari nona Hoan "Sekarang
kita mau pergi keSeng Kiong" demikian suaranya itu. "Kau jalan
depan, untuk menunjukkan jalan, kita akan mengikuti
dibelakangmu"
Mata Ciu ceng mendelong, sinarnya dungu. Mulanya dia diam
sejenak, terus dia bangkit, akan memutar tubuh kearah timur
selatan- Ia mengawasi kearah itu sekian lama, mendadak dia
membuka tindakannya melangkah pergi dengan Cepat untuk terus
berlari
Soat Kun dan Soat Giepun, segera bangkit, melihat orang lari
keduanya terus lari menyusul. Kakak itu berpegangan pada bahu
adiknya, karena mereka lari. Siauw Pek sekalian juga lari, untuk
menyusul dengan cepat, agar mereka semua tak ketinggalan.
Sambil berlari itu, Soat Kun mengambil kesempatan akan
menoleh kebelakang, guna memperingati Siauw Pek beramai agar
mereka memperhatikan Ciu ceng tetapi jangan membuatnya kaget,
supaya dia tetap berada dibawah pengaruh ilmu sit-hun sut itu,
Sebaliknya kalau Ciu ceng menghadapi musuh, Siauw Pek
beramai harus mendahului menyerang dan menumpas musuh itu
supaya waktu mereka yang berharga tidak sampai tersiakan-
Siauw Pek menyahuti bahwa ia mengerti.
"Tetapi nona, keretamu?" ia balik bertanya.
"Ada dikaki gunung" Soat Kun menjawab.
"Kalau begitu, baik nona berjalan perlahan" Siauw Pek kasih tahu
"Biarkan kami yang mengikuti Ciu ceng sebentar, kalau nona sudah
naik kereta, baru nona menyusul kami."
Habis berkata begitu, terus ketua ini lari keras. Dibelakang ia
menyusul Su Kay Taysu serta Ban Liang bersama Oey Eng, Kho
Kong dan yang lainnya.
Soat Kun dan adiknya bersama Han In Taysu selekasnya tiba
dikaki gunung, mereka mencari kereta mereka, yang disembunyikan
dilebatnya pepohonan, setelah itu mereka mulai menyusul.
Bun Koan menyuruh pengikutnya menyusul juga, ia sendiri
bersama empat pelayannya lari mendahului untuk menyusul Siauw
Pek, guna menjadi satu rombongan dengan pemuda itu semua.
Ciu ceng lari terus, ingatannya hanya satu menuju Seng Kiong,
Istana nabi dari Seng Kiong Sin Kun. Kecuali itu, ia bagaikan waswas,
tak sadar, sedikitpun ia tak menghiraukan banyak orang yang
lari mengikutinya.
Lewat tengah hari, si Jenjang kuning singgah disebuah desa
untuk menangsal perut. Siauw Pek beramai segera menemui pemilik
rumah makan untuk menyuruh menyediakan barang hidangan buat
mereka semua. Ciu ceng duduk seorang diri disebuah meja lain dan
ia dahar.
Sendirian dengan lahapnya. Habis dahar, ia masih beristirahat
sekian lama, baru ia melanjutkan perjalanannya, tetap dengan
berlari lari. Siauw Pek semua menyusul dengan segera.
Perjalanan selanjutnya dilakukan dengan cepat. Jika lapar orang
berhenti untuk bersantap dan ma lam singgah untuk beristirahat.
Selama itu Ciu ceng dibiarkan seorang diri, ia beristirahat dengan
rebah dan tidur dimana saja dia suka, dan selekasnya ia sadar ia
berjalan pula.
Pada suatu hari, selagi tiba diwilayah Hoay Lam, rombongan
Siauw Pek ini berpapasan dengan rombongan Su Ie dan Su Lut
Taysu yang terdiri lebih dari pada dua puluh orang murid pendeta
Siauw Lim Sie. Sebenarnya mereka itu sedang mengejar ngejar
serombongan orang jahat, sekelompok musuh.
Su Kay Taysu segera menemui kedua saudara seperguruan itu,
guna menerangkan halnya Ciu ceng itu, bahwa mereka tengah
mencari istana nabi dari Seng Kiong sin Kun, sebaliknya Su Ie dan
Su Lut menjelaskan tentang mereka lagi mengepung musuh
musuhnya itu, setelah itu bertiga mereka berdamai dan mengambil
keputusan
"Su Ie akan mengejar musuh terus, Su Lut akan pulang guna
memberi kabar kepada Su Khong Taysu untuk menerima petunjuk.
sementara Su Kay tetap mengikuti Siauw Pek."
Maka itu selesai berdamai, bertiga mereka memecah diri.
Tengah orang mengikuti Ciu ceng itu, rombongan bertemu pula
dengan rombongan Su Wie Taysu. Mereka ini datang menyusul.
Kembali Su Kay memberi keterangan kepada saudara seperguruan
itu, habis mana, Su Wie terus turut rombongan Siauw Pek itu.
Menurut Su Wie, didalam pertempuran itu, selain banyak orang
musuh yang terbinasa dan terluka, pihak Siauw Lim Sie juga
menderita kerugian tak sedikit jiwa yang mati dan terluka. Hingga
Su Kay taysu menghela napas.
Ciu ceng telah melintasi sungai Tiang Kang, akan tetapi ia masih
berjalan terus, menuju keselatan, sampai waktu itu Soat Kun minta
Siauw Pek menyusul dan menahan Ciu ceng guna
menghentikannya, buat diberi obat. Sesudah berlari lari tak hentinya
begitu jauh dikuatirkan sijenjang kuning terluka didalam, maka perlu
dia dibantu dengan obat penguat tubuh.
Lewat beberapa hari, akhirnya tibalah orang dikaki gunung Toat
cong San-
Itulah sebuah gunung yang menempati diri dalam wilayah
beberapa kecamatan, terutama kecamatan Lee-sui. Kecamatan
kecamatan lainnya ialah ceng thian, cin in, SI an Kie, Lim hay, Hong
giam dan Un nia. Bun Koan pernah mencari Seng Kiong kegunung
itu tetapi ia tak berhasil siapa tahu sekarang ia datang pula kesitu.
Untuk mendekati gunung, Soat Kun dan Soat Gie meninggalkan
keretanya, begitu juga Han In taysu, bahkan pendeta ini mesti
berjalan dengan kedua tangannya menggantikan kedua kakinya
Hari sudah mulai magrib ketika orang terus mengikuti Ciu ceng
mendaki gunung yang luas itu, sekarang ini setiap orang
bersetengah hati. Karena mereka bakal segera menemukan istana
nabi yang termashur itu. Dilain pihak mereka bersemangat, selalu
bersedia untuk turun tangan menempur musuh yang sangat jahat
itu.
Tengah berjalan, Bun Koan berlompat naik kesebuah puncak
kecil, ia memandang jauh kedepan, kesekitarnya.
"Dikiri itu ialah kecamatan Sian Kie" bilangnya "Dan puncak
gunung didepan itu ialah puncak utama dari kota chong san" Nyata
nona Coh kenal baik gunung itu."
Siauw Pek turut melompat naik kepuncak keCil itu, untuk turut
menyaksikan-
"Sarang Seng Kiong Sin Kun disebut Seng Kiong, mestinya dia
mengambil tempat tak keCil" katanya "kalau sarang itu berada
dipuncak sekali, mestinya kita sudah dapat melihatnya."
Tiba tiba Soat Kun turut bicara, katanya: "Waspadalah semua..
Kita sudah berada dalam lingkungan lawan, kita mesti berhati hati"
Belum berhenti suara nona Hoan itu, tiba tiba orang telah
dikejutkan pekik panjang yang datangnya dari sebuah pohon besar
dan tinggi, sedikit lebih jauh dari tempat dimana mereka berkumpul.
Pekik itu dibarengi dengan melompat turunnya empat tubuh
manusia bagaikan bayangan yang terus lari kepada Ciu ceng
Dengan kecepatan yang luar biasa, su Kay Taysu lompat
mengejar. Pendeta ini berlompat sambil berseru. Ia menggunai
lompatan "Sie Bie Kay cu", ilmu ringan tubuh istimewa dari Siauw
Lim Sie. Ia terus menggunakan sian thung tongkatnya yang lihay,
menghajar salah seorang yang terdekat dengan si Jenjang Kuning.
Satu jeritan tertahan terdengar, lalu robohlah orang yang
diserang pendeta itu. Dia pecah kepalanya berikut tulang bahunya.
Dia berpakaian hitam seperti orang konconya.
Penderitaan Siauw Lim Pay membuat Su Kay yang welas asih
menjadi berubah, hingga dalam penyerangannya itu, ia nampak
menjadi telegas.
Siauw Pek bertindak tak kalah gesitnya daripada sipendeta,
bahkan dia sudah lantas menggunakan Pa Too, goloknya yang
ampuh. Maka orang berseragam hitam yang kedua roboh terbinasa
seketika
Dua orang yang lainnya tidak memperdulikan bahwa dua orang
kawannya sudah terbinasa, mereka terus menghampiri Ciu ceng.
Teranglah mereka bertugas untuk membinasakan si Jenjang Kuning.
Mungkin dimata Seng Kiong Sin Kun, Ciu ceng sudah terpandang
sebagai penghianat yang bakal merusak usahanya yang besar itu.
Mereka masing masing bersenjatakan sebatang ruyung dan sebuah
golok tajam bagaikan gigi gergaji.
Lantas Su Kay dan Siauw Pek meneruskan berlompat kepada
kedua musuh itu. Ciu ceng mesti dilindungi.
Oey Eng bersama Kho Kong berlompat maju, buat turut
menyerang musuh. Kedua musuh agaknya lihay, mereka dapat
melayani Siauw Pek dan Su Kay.
Ciu ceng seperti tak tahu akan adanya pertempuran itu, bahwa
ada orang orang yang hendak membinasakannya. Dengan
mendelong dia mengawasi empat orang yang lagi mengadu jiwa itu,
sedetik dia ragu ragu, dia bagaikan berpikir keras. Tiba tiba saja dia
memutar tubuhnya, buat berjalan kelain arah
"Ban Hu Hoat" Soat Kun berseru "Oey huhoat dan Kho Huhoat
Lekas susul Ciu Huhoat. Jagalah ia dari serangan musuh"
Ban Liang menyambuti seruan sinona. Ia menhunus senjatanya,
ia segera lari menyusul Ciu ceng, Oey Eng dan Kho Kong menyusul
segera, mereka pun menghunus senjatanya.
Bun Koan menonton pertempuran, ia menjadi habis sabar.
"Lekas bereskan mereka" ia berseru "Jangan biarkan mereka itu
menggagalkan kita"
Segera juga terdengar bentakan Ban Liang, disusul dengan suara
beradunya senjata senjata tajam. Mendengar itu, Nona Coh
melompat maju, untuk lari menyusul, memutar melewati Siauw Pek.
Sementara itu Siauw Pek dan Su Kay bermula berniat menawan
hidup hidup kepada musuhnya masing masing, guna mengorek
keterangan dari mulut mereka itu, akan tetapi mendengar anjuran
Bun Koan terpaksa keduanya merubah pikirannya itu dan segera
mereka menghajar mati masing masing lawannya.
Pertempuranpun terjadi disebelah depan- Telah muncul secara
tiba tiba beberapa orang yang berseragam hitam, yang menyerbu
kepada Ciu ceng karena mana Ban Liang bertiga segera maju
merintangi mereka. Dengan majunya nona Coh, ketiga huhoat
menjadi mendapat bantuan cepat.
Orang orang berseragam hitam itu bukan sembarang orang.
Buktinya ialah mereka sanggup melayani Bun Koan berempat,
hingga buat sementara itu mereka kedua pihak sama tangguhnya.
Tengah mereka itu bertempur seru, sekonyong konyong dari atas
sebuah pohon didekat mereka semua berlompatan turun satu
bayangan orang, yang terus lari cepat kearah Ciu ceng.
"Siauw Pek" Bun Koan berseru ketika melihat gerakan bayangan
itu. Ia menguatirkan keselamatannya siJenjang Kuning maka ia
meninggalkan lawannya dan melompat memburu kepada bayangan
itu, yang gerakannya gesit luar biasa
Siauw Pek dan Su Kay Taysu, yang baru selesai membereskan
musuhnya masing masing juga telah melihat bayangan itu, tanpa
bersangsi mereka berlompat untuk lari menyusul. Tapi mereka,
seperti Bun Koan telah terdahulukan oleh sibayangan hitam.
Ketika itu Ciu ceng tidak dapat berbuat apa apa. Ia boleh gagah
tetapi waktu itu ia berada dalam keadaan was was. Ia nampak
bagaikan orang bingung atau ling lung. Hebat kesudahannya apabila
ia berCelaka ditengah bayangan hitam itu, sedangkan ia adalah
orang satu satunya yang tahu sarangnya Seng Kiong Sin Kun
Si bayangan hitam sudah mendekati Ciu ceng ketika dengan
mendadak satu tubuh orang yang melesat muncul dari samping,
yang terus saja menyerang kepadanya, hingga dia kaget dan
bingung, hingga dia tak berdaya ketika orang itu menyerangnya,
hingga ia roboh seketika
Habis menyerang, orang itu berlompat kesisi Ciu ceng, maka
sekarang ia tampak tegas. Ia adalah seorang tua dengan kulit
keriputan, kumisnya sudah putih, sedangkan bajunya baju hitam. Ia
bertubuh jangkung tetapi bungkuk. sedangkan ditangannya tercekal
sebatang jeroan pancing
Melihat orang tua itu yang ia kenali, Siauw Pek girang sekali.
Sebab orang itu ialah Hie Sian cian Peng
"oh, loCianpwee" serunya girang dan kagum, "sungguh besar
bantuan locianpwee ini. Locianpwee, terima kasih banyak banyak"
Berkata begitu, bengcu dari Kim Too Bun segera memberi hormat.
cian Peng tidak berlaku sungkan, bahkan ia tertawa.
"Jangan banyak adat peradatan bengcu" katanya polos. "Soal kita
sekarang ini soal besar kaum Rimba Persilatan, karena itu aku si
nelayan tua, tak dapat aku tidak menyayangi lagi setakar tenagaku,
bahkan harus aku menggunai menghabiskannya. Sebaliknya kau
bengcu, berhasil atau tidaknya usaha kita sekarang ini, semua itu
bergantung kepada dirimu sendiri. Karenanya bengcu, aku situa
justru bersedia untuk menerima segala titahmu"
"Loocianpwee terlalu merendahkan diri" berkata Siauw Pek.
"cukup sudah" berkata Soat Kun. yang segera telah datang pada
ketuanya itu. "Kim Too Bun menjadi pembela keadilan, maka juga
setiap orang rimba persilatan yang menjunjung keadilan, sendirinya
dia menjadi huhoat, pelindung dari Kim Too Bun, karena mana tak
usah bengcu berlaku sungkan- Sungkan berarti akan melemahkan
bentengan kita"
Cian Peng heran, hingga ia berpaling dan menatap sinona.
"Sungguh Cerdas" ia memuji. Soat Kun tersenyum.
"Loocianpwee" ia bertanya "sekarang loocianpwee berada
digunung ini, apakah loocianpwee datang terlebih dahulu daripada
kami atau belakangan?"
"Aku selalu mengiring dibelakang rombonganmu nona" sahut Hie
sianGiok
Yauw tertawa geli mendengar jawaban orang itu.
"Loocianpwee sendirian saja ataukah mempunyai kawan?" tanya
dia. cian Peng membuka matanya lebar lebar.
"Aku si nelayan tua, aku selalu sendirian" sahutnya "Mana ada
kawanku"
Nona Thio tersenyum, dia menoleh kearah rimba dan mengawasi
sekian lama.
Menyaksikan lagak nona itu, cian Peng tertawa berkakak.
Mendadak saja ia lari kearah rimba dan lompat memasukinya,
hingga dia lenyap seketika Semua orang tersenyum. Lucu gerak
geriknya jago tua itu.
Kemudian orang menoleh untuk mengawasi Ciu ceng. Si Jenjang
Kuning berdiri ditepi jurang, dengan mata mendelong dia
mengawasi kebawah jurang itu kearah lembah. Sampai ekian lama
dia mengawasi, agaknya dia ragu ragu, terang dia tengah berpikir
keras, mengingat ingat....
Dengan berpegangan pada bahu adiknya, Soat Kun bertindak
mendekati jago tua she Ciu itu.
Saat itu rembulan guram, maka juga lembah nampak gelap.
hingga nona Hoan tidak dapat melihat apa- apa. Atau sebenarnya,
Soat Gie tidak melihat apa juga.
Setelah berpikir, Soat Kun minta semua orang beristirahat ditepi
jurang itu, guna menantikan tibanya sang fajar diwaktu mana
barulah mereka akan melanjutkan usaha mereka mencari Istana
Nabi.
Oey Eng dan Kho Kong mengeluarkan ransum kering, untuk
dibagi baglkan kepada sekalian kawan itu, maka semua orang lantas
dahar sambil duduk. buat terus beristirahat guna mengUmpulkan
tenaga.
cepat rasanya sang malam berlalu, sang fajar segera tiba.
Matahari pagi segera tampak diufuk timur. Dengan perlahan lahan,
lembah mulai tampak tegas.
Tengah orang mengawasi lembah, tiba tiba saja Ciu ceng
berlompat bangun, terus dia lari, untuk melompat turun
Ban Liang ditugaskan selalu mengawasi siJenjang Kuning, jago
tua itu terperanjat, tetapi dia tak menjadi bingung, bahkan dia
segera lompat menyusul. Su Kay Taysu adalah orang yang kedua
yang menyusul Seng Su Poan.
Soat Kun segera diberi kisikan oleh Soat Gie tentang gerak
geriknya Ciu ceng iut serta menyusulnya Ban Liang berdua Su Kay
Taysu, ia segera berpaling kearah Siauw Pek seraya berkata
"Mestinya Ciu ceng mengingat sesuatu, karena itu bengcu silahkan
kau menyusulnya buat melihat sekalian melindunginya"
Siauw Pek sementara itu telah menerka, mungkin Istana Nabi
berada dilembah itu, maka ia segera menjawab sinona. Tapi iapun
lekas berkata "Lembah ini dalam dan berbahaya, nona mungkin tak
leluasa buat nona turut turun kesana^
"Jangan kuatir bengcu" sahut sinona cepat, "kami berdua tahu
bagaimana harus menuruninya"
"Silahkan berangkat lebih dahulu bengcu" Giok Yauw turut
berkata "Bersama sama nona nona Hoan kami akan menyusul"
Ketua itu mengangguk.
"Baik Kalian berhati hatilah" pesannya seraya terus lompat turun
kelembah.
Didalam tempo yang pendek, Siauw Pek telah dapat menyusul
Ciu ceng, bahkan ia melihat siJenjang Kuning tengah menggunakan
tangannya menyerang kearah dinding gunung yang licin- Tiga kali
serangan itu dilakukan, setiap kalinya menimbulkan suara keras
yang mendatangkan kumandang disusul dengan satu suara
gemuruh yang mengakibatkan bergeraknya kesisi hingga
tertampaklah sebuah mulut gua.
Tepat dengan terpentangnya pintu gua itu, Ciu ceng menjerit
nyaring dan tiba tiba saja dia roboh terlentang, bahkan kedua biji
matanya mencilak dan mulutnya mengeluarkan busa putih,
sedangkan sekujur badannya bergerak gerak gemetaran
Su Kay Taysu kaget sekali, akan tetapi didalam kagetnya itu ia
ingat akan melihat sekitarnya. Ia tidak mendapatkan apa juga,
jangan kata musuh
Dengan pedang terhunus, Siauw Pek berdiri disisi Ciu ceng,
matanya diarahkan kesekitarnya. Ia hendak melindungi kawanan
itu.
Ban Liang terus berjongkok disisi tubuh si orang she Ciu, berniat
memeriksa kalau kalau kawan itu mendapat suatu luka.
"Ban Huhoat, jangan sembarang menggeraki tangan" sekonyong
konyong terdengar seruan atau Cegahan Soat Kun, yang
mendatangi dengan cepat.
Sebenarnya Ban Liang tengah hendak menotok beberapa ototnya
siJenjang Kuning, akan tetapi mendengar suara sinona, lekas lekas
ia membatalkannya. Ia menarik pulang tangannya yang sudah
diulurkan itu.
Bagaikan menyusul suara nona Hoan itu, dari jauh terdengar satu
siulan yang nyaring dan panjang, datangnya dari arah barat daya,
mungkin dari tempat hitung lie atau pal. Mendengar seruan itu, Su
Kay tampak girang "Itulah suara Su Khong, kakak seperguruanku"
dia berseru
"Kalau dialah Su Khong Taysu, kenapa taysu tidak mau segera
menyambutinya?" Siauw Pek tanya.
Tanpa menjawab lagi ketua Kim Too Bun itu, Su Kay Taysu
segera menegasi dengan siulannya yang nyaring dan panjang, yang
terus berkumandang dilembah lembah, hingga sebelum kumandang
itu lenyap. sudah datang timpalannya, ialah suara yang pertama
tadi, suara Su Khong Taysu.
Saat itu tiba juga orang orang yang lainnya.
Soat Kun menghampiri Ciu ceng dengan petunjuk Soat Gie, Ia
menotok tiga kali pada tubuh si Jenjang Kuning. Menotok ditiga
tempat, setelah mana ia mencabut sebatang jarum yang
tertusukkan nancap ditempilingan orang. Ciu ceng lantas
memperdengarkan keluhan terus bibirnya bergerak, giginya terbuka.
Dia mengeluarkan napas panjang.
"Dia terluka parah" berkata nona Hoan. "Dia membutuhkan
istirahat yang cukup lama. Tak usah kuatir, jiwanya tidak terancam"
Mendengar itu, Su Kay merogoh sakunya mengeluarkan sebutir
obat pil yang tak ayal lagi ia jejalkan kedalam mulutnya orang luka
itu.
Ketika itu diarah barat sudah tampak bermunculannya sejumlah
pendeta dengan jubah abu abu, diantaranya Su Khong Taysu
dengan tangannya mencekal siantung, tongkatnya yang panjang
mirip toya. Pendeta itu berjalan dimuka. Di tepi jurang, ia melongok
kebawah kearah lembah.
"Disanakah Coh tayhiap dan sutee Su Kay?"
Siauw Pek mengangkat kepalanya. "Benar" ia menyahut dengan
lantang.
Su Khong sudah lantas melihat tegas keletakan lembah, terus ia
berlompat turun akan lari kepada rombongan Siauw Pek itu. Ia
segera disusul oleh Su Ie, Su Lut dan lainnya. Melihat para pendeta
itu, Siauw Pek berkata didalam hati "terang sudah Su Khong masih
belum berhasil mencari It Tie dan belum juga mendapatkan kembali
kitab pusakanya". Tapi ia tidak berpikir lama, bersama sama Su Kay
ia segera menyambut mereka itu. Kedua pihak saling memberi
hormat.
Wajah Su Khong muram, pertanda bahwa ia sangat berduka,
"Apakah tayhiap telah berhasil mendapat Seng Kiong?" tanya dia.
Siauw Pek menunjuk kearah gua.
"Baru saja kami mendapatkan itu, belum sempat kami masuk
melihatnya" sahutnya. "Untuk memeriksanya, pihak Siauw Lim Pay
bersedia maju dimuka" katanya Su Khong.
Dan ketua Kim Too Bun dapat memaklumi pendeta itu yang telah
menjadi sangat benci sekali pada Seng Kiong Sin Kun-
"Kami bersedia mengiringi taysu beramai" katanya sambil
memberi hormat.
"Tayhiap terlalu merendah" berkata sipendeta yang tanpa ragu
ragu lagi terus bertindak maju.
Gua itu lebar dua tombak dan tingginya setombak lebih,
dindingnya licin. Karena gua gelap. tak tampak ujungnya. Walaupun
demikian, Su Khong maju terus.
Oey Eng dan Kho Kong bersama sama beberapa pendeta Siauw
Lim Pay sudah lantas menyalakan obor, dengan begitu merkea
dengan mudah bisa membuka langkah untuk memasuki gua itu.
Siauw Pek bersama Bun Koan mengikuti Su Khong Taysu
dibelakang mereka mengiringi yang lain lainnya. Semua berjumlah
seratus orang lebih. Dan semua orang kagum menyaksikan gua itu
rata rata mereka menyangsikan lagi bahwa itulah sarangnya Seng
Kiong sin Kun.
sekonyong konyong dari arah depan terdengar suara gemuruh,
yang berkumandang keras.
Su Khong Taysu terperanjat, segera dia berpikir. "celaka kalau
musuh memasang alat peledak hingga kita bisa mati terkubur
didalam gua ini." Tanpa merasa, pendeta itu perCepat larinya.
Yang lainnya juga menerka serupa, serentak merekapun segera
berlari lari maju.
Hanya sebentar, sampailah mereka itu diujung lain dari gua itu,
atau terowongan itu. Mereka masih mendengar suara bagaikan
menggelegar, sedangkan mata mereka menampak dua buah pintu
gua.
Su Khong Taysu mengernyitkan alisnya saking mendongkol.
"Bagus" serunya. "Lihat Seng Kiong sin Kun lagi mementang
pintu guna menyambut tetamu" berkata ketua para tiangloo itu.
Diantara Cahaya matahari, disana tampak sebuah lembah yang
lebar, yang indah. Disana sini terdapat pepohonan serta pohon
pohon bunga beraneka warna. Tapi yang paling menarik perhatian
adalah satu pemandangan disebelah kiri, yang seperti teraling
pepohonan. Itulah sebuah rumah berhala besar yang temboknya
merah.
Sementara ituSu Khong Taysu berkata nyaring. "Para murid
Siauw Lim, dengarlah... Hari ini, disini kalau ada musuh, tak ada
kita, kalau ada kita, tidak ada musuh... Siapa menjadi murid Siauw
Lim, dia mesti maju dimuka, guna mengadu jiwa dengan musuh"
"Baik tiangloo" jawab murid muridnya.
Tiba tiba Siauw Pek menunjuk kedepan seraya berkata. "Lihat
disana... Ada orang mengatur barisan menantikan kita. Mari kita
maju"
"Maju" Su Kay berseru, sedangkan sebelah tangannya diulapkan.
Terus dengan membawa tongkatnya iapun mendahului bertindak
maju.
Seruan itu berupa perintah juga. semua murid Siauw Lim
bergerak serentak menaatinya. Maka, majulah mereka semua.
Siauw Pek maju bersama rombongannya sendiri serta Bun Koan
dengan sekalian pengikutnya.
Justru itu terdengar seruan peringatan dari Soat Kun
"Perhatikan... Diwaktu melintasi lorong bunga bunga, semua harus
menahan napas. Kita harus menjaga kalau kalau bunga bunga itu
ada racunnya, agar kita tak tercelakai musuh"
Nasihat itu dituruti, maka juga selagi perjalanan diantara pohon
pohon bunga, semua orang berdiam sambil menahan napas. Dilain
pihak^ mata mereka diarahkan kedepan kepada musuh.
Dipelataran dimuka istana Seng Kiong Sin Kun itu, diantara kira
kira seratus orang berjubah merah dari si Nabi sakti, tampak
seorang yang menjadi pemimpinnya. Dia bertubuh jangkung,
mukanya brewok hingga kepipinya dan brewoknya itu berwarna
kuning. Tubuhnya tertutup semacam mantel merah. Berdiri tegak,
dia tampak angker.
Selekasnya ia memandang pemimpin berseragam merah itu, Su
Kay Taysu mengernyitkan alisnya.
"Dia mirip The Eng, pangcu dari Hui Eng Pang" katanya.
"Hui Eng Pang menjadi satu diantara dua partai besar dalam
dunia Kang ouw" berkata Su Khong Taysu, "Terutama dia sangat
berpengaruh diwilayah Khong ouw. Kenapa sebuah partai besar
dapat muncul disini?"
Su Kay menjadi heran sekali, hingga timbul keragu raguannya.
"Dia sangat mirip dengan The Eng" demikian pikirnya. "Bukankah
ini aneh...?"
Ketika itu orang sudah datang dekat sekali kepada rombongan
seragam merah itu, diantara siapa ada yang telah mengajukan diri
guna merintangi.
Sipemimpin brewok kuning dan berbaju merah itu mementang
kedua matanya yang bercahaya berkilauan, menyapu kepada para
pendatang. "Apakah diantara kalian ada yang menjadi pemimpin?"
tanya dia nyaring. Seng Su Poan Ban Liang bertindak maju.
"Kami mempunyai banyak pemimpin" sahutnya sama nyaringnya.
"Kau tanyakan yang mana?"
Sibrewok kuning itu melengak mendengar jawaban yang tak
diduga duga itu, kedua sinar matanya memain. Lalu dia mengawasi
tajam kepada Su Khong Taysu.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu tidak menghiraukan lagak orang.
ia tetap bersikap tawar.
"Loolap adalah Su Khong" katanya "Para murid Siauw Lim Sie
menganggap loolap sebagai kepala mereka"
orang itu tidak berkata apa apa, sinar matanya yang bengis
beralih kepada Siauw Pek. "Numpang tanya, kau siapa kah tuan?"
tanya ketua Kim Too Bun itu, yang biasa berlaku hormat kepada
siapapun.
Si baju merah menjawab "Akulah tongcu dari Ang Llong Tong,
satu diantara kelima Tong dari Seng Kiong"
Ban Liang yang tak sabaran jadi tak senang.
"Apakah orang orang Seng Kiong bukan dipelihara ayah
bundanya?" tanyanya mengejek. "Bagaimana orang sampai tak
mempunyai she dan nama?"
Wajah tongcu itu menjadi muram. Terang dia gusar.
"Aku yang bodoh ialah The Eng" dian menjawab, keras dan
sengit "Sahabat, siapakah kau?" terus dia balik bertanya. Ban Liang
tertawa dingin.
"Benar saja kau?" serunya. "Aku situa ialah Ban Liang, anggota
dari Kim Too Bun"
The Eng menyeringai. Kembali dia mengawasi Siauw Pek. "Dan
sahabat itu?" tanyanya.
Kho Kong mendongkol, dia menyela. "inilah bengcu Coh Siauw
Pek dari Kim Too Bun. Siapa kah sahabatmu?"
KEtua Hui Eng Pangpun murka, tetapi dia mencoba
mengendalikan diri dengna rerus menengadah kelangit.
"Kecuali pihak Siauw Lim Pay dan Kim Too Bun," katanya tawar,
"apakah masih ada lainnya lagi? Siapa kah orang gagah itu?"
Dengan tawar, Bun Koan menjawab. "Aku Coh Bun Koan dari Pek
Ho Bun. Aku datang bersama ketujuh kiamcu kami, guna menagih
hutang darah"
The Eng tertawa dingin.
"Bagus" serunya. "Nah, Su Khong Taysu dari Siauw Lim Sie, Coh
Bengcu dari Kim Too Bun, Nona Coh dari Pek Ho Bun... Mari kalian
turuti aku si orang she The menghadap Sin Kun. Semua sahabat
lainnya tunggulah disini"
Ban Liang mengangkat kepalanya, dongak kelangit. Ia tertawa
nyaring. Tiba tiba Su Kay Taysu maju satu tindak kepada sibrewok
kuning itu.
"The Siecu" tanyanya, "benarkah kau pangcu dari Hui Eng Pang
yang kesohor dalam dunia Kang ouw"
"Tak salah" sahut The Eng itu, singkat dan dingin.
"Seorang pangcu yang besar dan agung, bagaimana dia dapat
berada disini menjadi hamba didalam Seng Kiong?" Su Kay tanya
pula. The Eng tertawa besar.
"Taysu keliru" ujarnya nyaring. "Didalam Seng Kiong ada harimau
harimau tidur dan naga naga mengeram. Jangan kata baru pangcu
dari Hui Eng Pang yang kecil mungil, Bahkan ketua ketua dari Siauw
lim pay dan Bu Tong Pay pun berada didalam Seng Kiong bekerja
selaku hamba hamba sebaya"
Tajam kata kata itu, sampai Su Khong semua berdiam sejenak.
Itulah bukti dari benarnya perihal ketua ketua partai besar
menjadi orang orang Seng Kiong sin Kun
"Saudara" seru Ban Liang kemudian, "Buat apa kita mengadu
lidah dengan segala manusia rendah? Sekarang ini keputusan ialah
hasilnya pertempuran"
Benar benar jago tua ini habis sabar, habis berkata ia melompat
maju, untuk segera menyampok ketua Hui Eng Pang itu.
The Eng gusar, dia menangkis sambil membentak. "Bagaimana
kau berani banyak lagak didalam Seng Kiong? Rupanya benar benar
sudah bosan hidup" Dan habis menangkis, dia balas menyerang.
Hebat serangan itu, karena anginnya sampai mendering
Diam diam Ban Liang terkejut, ia berkelit. Tak mau ia melawan
dengan keras, sambil berkelit itu. la membarengi menotok
The eng lihay, dapat dia menghindarkan diri kembali dia
menyerang. Maka keduanya menjadi bertempur seru.
Sebagai seorang tongcu, The Eng pastilah bukan sembarang
orang. ia pula jadi pangcu, ketua dari Hui Eng Pang, partai elang
terbang yang tersohor, sudah tentu dia mesti berkepandaian tinggi.
Maka juga, walaupun sijago tua lihay, tak mudah ia dapat
merobohkan lawannya didalam tempo yang pendek. Bahkan ketika
itu, tak sanggup dia berbuat banyak.
Su Kay Taysu menonton dengan prihatin.
"Suasana mengancam sekali, bengcu" katanya kepada Siauw Pek
kepada siapa dia menoleh. "Apakah pendapat bengcu?"
"Menurut aku, kita harus menggunai tenaga berbareng dengan
kecerdikan" sahut si anak muda "Tak dapat urusan diselesaikan
secara damai....."
"Jikalau demikian" Bun Koan turut bicara dingin, "kenapa kita
tidak meluruk saja. Kita harus segera memberikan hajaran kepada
mereka itu"
Nona Coh juga telah menjadi habis sabar, sebab dia selalu
dipengaruhi dendam kesumat.
Su Kay setujui sinona. Memang, iapun tengah dipengaruhi
lenyapnya kitab kitab pusakanya yang ia sangat menginginkan lekas
didapat kembali.
"Nona benar" ujarnya, "Pertempuran kali ini tak dapat disamakan
dengan pelbagai pertempuran dunia persilatan yang sudah sudah.
Kalau main satu lawan satu, sampai kapankah akan berakhirnya?
Sampai kapankah kita dapat bertemu dengan pemimpin mereka
itu?"
Mendengar suara sipendeta, Siauw Pek berpikir cepat.
"Nona Hoan cerdas luar biasa, sekarang dia tidak campur bicara,
rupanya dia menyetujui pertempuran cepat" demikian pikirnya.
Maka ia jawab pendeta itu "Baik taysu, bersedia aku mengiringi
taysu"
Su Khong pun akur dengan saudara seperguruannya itu.
"Para murid Siauw Lim Sie" ia segera berseru. "Mari kalian turut
padaku"
Tiangloo ini terus mengibaskan tangannya, terus dia maju
kemuka
Sambil berseru seru, para pendeta Siauw Lim Sie terus maju,
untuk menerjang musuh.
Siauw Pek bersama Bun Koan tanpa ayal tapi turut maju juga.
Pasti mereka tak sudi ketinggalan. Lebih lebih Nona Coh itu.
Bagaikan air bah, meluruklah rombongan Siauw Lim Pay, Pek Ho
Bun dan Kim Too Bun itu. The Eng yang lagi melayani Ban Liang
dapat melihat gerak gerik musuh itu, dia gusar bukan main, akan
tetapi karena dia lagi bertempur seru, dia tak dapat berbuat apa
apa. Justru begitu, Su Khong Taysu telah tiba didekatnya, sambil
berseru pendeta itu menyerang padanya. Mau tak mau, dia toh
kaget, syukur dia masih dapat berkelit.
"Gundul Seng Kiong" berseru Su Khong, "Tak dapat loolap
memberi ampun kepadamu"
Kata kata itu diantar dengan satu serangan susulan.
"oh keledai tua" mencaci The Eng dalam gusarnya "Kenapa kau
tidak memakai aturan Kang ouw? Kalau begini, jangan kau sesalkan
orang Seng Kiong"
"Maut menghadapimu, buat apa kau banyak bicara" kata Su
Khong dingin. Kembali ia menyerang pula.
The Eng gelagapan, syukur dia masih dapat menangkis dan
berkelit. Tapi ia kaget tak terkirakanDidalam
sedetik itu, tanah datar itu sudah bermandikan darah.
Banyak orang Seng Kiong yang roboh binasa dan terluka. ereka itu
segera kacau, tak lagi merupakan pasukan yang rapih. Hebat
serangannya rombongan Siauw Lim Pay itu. Tiba tiba Dari dalam
Seng Kiong terdengar gemuruh lonceng.
The Eng bagaikan mendapat air penawar ketika ia mendengar
suara lonceng itu.
"Mundur" ia segera berseru seraya terus ia lompat mundur,
berniat meninggalkan Su Khong, lawannya yang tangguh yang
membuatnya repot sekali. Lonceng itu pertanda untuk mundur.
Su Khong tengah sengit sengitnya, melihat orang berlompat
pergi, iapun berlompat, hanya ia untuk menyusul dan menghajar
musuh itu.
Ketua Hui Eng Pang berlaku sebat, tetapi ia masih kalah gesit,
bahkan tak sempat ia menangkis, ujung sianthung sudah mengenai
punggungnya, hingga sambil berseru tertahan memuntahkan darah,
tubuhnya turut roboh ngusruk
Semua orang Seng Kiong yang tinggal separuh, kabur terus
kearah istananya atau lebih benar, sarangnya. Merekapun lalu
meninggalkan pemimpin mereka yang segera saja putus nyawa,
karena memang selagi roboh itu, dia terus benar terinjak injak
kawanan musuh yang mengejar sisa pasukannya itu.
Belum berhenti suaranya lonceng, pihak Siauw Lim Pay sudah
mulai memasuki istana.
Seng Kiong dibangun menyender kepada samping gunung,
karena bangunan itu makin kebelakang makin mendaki. Ketika para
pengejar baru memasuki toatian yaitu pendopo depan dan besar,
mendadak mereka dikejutkan suara dahsyat bagaikan guntur,
segera jalan maju mereka terintang
Itulah sebab suara mengguntur itu adalah suara jatuh turunnya
pintu besi yang lebar dan berat beberapa ribu kati. Karena guruh
berbunyi tiga kali, maka juga tiga tiga jalan masuk tertutup
semuanya. Hanya sekejap. toatian menjadi gelap gulita. Su Kay
Taysu yang mengepalai pasukannya menjadi terkejut.
"Tenang" serunya segera "Nyalakan obor"
Su Khong Taysujuga turut memperdengarkan suaranya yang
berwibawa.
Orang orang Siauw Lim Pay, yang telah terlatih, demikian juga
pengikut pengikutnya
Bun Koan, lantas berdiam, tanpa bergerak. tanpa bersuara,
sedangkan mereka, yang bertugas membawa obor, sudah lantas
menyulut nyalakan api, hingga seluruh ruang tampak pula dengan
tegas dan terang.
Jumlah rombongan kira kira tiga ratus jiwa tetapi mereka tak
memenuhi ruang yang luas itu, mereka dapat bergerak dengan
leluasa. Dengan nyalanya api obor, para tiangloo Siauw Lim Sie,
Siauw Pek, Bun Koan dan lainnya berkumpul ditengah toa tian.
Soat Kun yang sampai sebegitu jauh berdiam saja, sekarang
membuka suaranya paling dulu. Katanya:
"Semua menjaga diri baik baik, supaya tak terserang racun jahat.
Semua lekas memeriksa pintu, supaya kita dapat lekas keluar dari
sini."
Nona ini ketahui halnya mereka sudah terkurung didalam toatian,
maju tak bisa, mundur tak dapat. Semua jalan didepan dan
belakang dan sisi sudah tertutup,
Dengar suara sinona, semua orang lantas insaf bahwa mereka
memang lagi menghadapi ancaman petaka. Kalau mereka diserang
dengan air, api atau racun, celakalah mereka semua. Ruang luas
tetapi itu bukan berarti bahwa mereka dapat menyingkir jauh.
Hanya sedetik para pemimpin itu saling melirik, terus mereka
mulai menyelidiki pintu, untuk mencari jalan keluar.
Toatian semuanya mempunyai empat buah pintu. Pintu masuk
sudah tertutup terlebih dahulu. Tiga pintu lainnya, belakang dan
kedua sisi baru saja ditutup, Su Khong Taysy mengernyitkan
dahinya.
"Biar loolap menghajar dulu pintu belakang" katanya nyaring. Ia
tidak melihat lain jalan- la pun segera lari sambil membawa tongkat
panjangnya itu.
Selagi yang lain lain mendatangi kepadanya Su Khong Taysu
sudah menghajar daun pintu, hingga terdengarlah satu suara sangat
nyaring dan berisik.
"Segala pintu begini hendak mengurung kita?" kata Su Ie dengan
tawanya yang dingin-Sementara itu daun pintu tak segera
tergempurkan-
"Mungkin musuh membuat pintu ini sengaja untuk menjebak
kita" berkata Siauw Pek yang berpikir jauh. "Mungkin musuh lagi
menggunai tipu dayanya" sambung anak muda itu.
"Biarnya dia menggunai akal busuk, kitapun harus mengujinya"
kata pula Su Ie sambil ia mengajukan diri. Dia penasaran hingga dia
mengernyitkan dahinya. Hatinyapun mendongkol.
Su Khong mundur untuk adik seperguruan itu.
Su Ie telah menggerakkan tangannya ketika ia menggunakan
tongkatnya menghajar pintu. Berbareng dengan suara nyaring,
berisik, tembok pintu pecah berantakan- Menampak demikian,
pendeta itu mengulangi serangannya. Maka kembali tembok
gempur. Hati orang mulai menjadi lega. Kiranya pintu itu tak
sedemikian kuat.
Kembali Su Ie mengulangi hajarannya, Setelah beberapa kali,
gempuran makin besar. Agaknya pintu bakal lekas dapat didobrak.
"Suheng, beristirahatlah dahulu" berkata Su Kay seraya ia
bertindak maju, untuk menggantikan kakak seperguruan itu.
Su Ie mundur. Bagaimana juga, ia merasa tangannya risi juga.
Su Kay segera menyerang dengan tongkatnya. Tembok gempur,
sebuah terowongan segera tampak.
Orang menyangka, setelah pintu batu itu, dibelakang pintu batu
ini ada sebuah pintu lainnya, yaitu pintu besi yang dipalang turun
dari atas. Rupanya itulah sebuah pintu gantung
Mau atau tidak, orang terkejut. Ada diantaranya yang merasa
kecele. Su Khong Taysu juga merapatkan sepasang alisnya.
"Sutee, coba kau gempur tembok disampingnya" katanya pada
Su Kay.
"Baik suheng" sahut Su Kay Taysu. Dan ia segera bekerja.
Kembali terdengar suara keras dan berisik.
Hanya kali ini suara berisik itu disusul suara riuh rendah, yang
Bun Koan dengan datangnya dari arah belakang mereka dari antara
orang orangnya. Maka ia segera memutar tubuhnya.
"Ada apa??" ia tanya keras.
Tidak ada jawaban, ada juga penyahutan suara berisik seperti
tadi, hanya kali ini ditambah suara tubuh tubuh terkulai. Dan segera
terlihat para kiamsu roboh tak sadarkan diri, dari mulutnya keluar
ludah putih atau busa.
Bun Koan kaget sekali. Ia menggerakkan tubuh, untuk lari
menghampiri, guna memeriksa.
Tiba tiba Siauw Pek ingat pesannya Soat Kun. Bagaikan kilat ia
sambar tangan kakaknya itu, buat ditarik, sedangkan mulutnya
segera berteriak. "Lekas memecah diri. Jangan berkumpul disatu
tempat. Tahan napas!!! Awas hawa beracun"
Ketika itu diantara murid murid Siauw Lim Sie juga ada yang
roboh dengan mulut berbusa itu, keadaannya sama dengan para
kiamsu, tetapi seruan Siauw Pek segera ditaati. orang segera pada
memencar diri dan menahan napas. Biar bagaimana, mereka itu
heran dan kuatir.
Segera orang merasa pasti dari bekerjanya racun, hanya tak
dapat diketahui racun apa itu yang demikian liehay dan bagaimana
caranya untuk menolong sekalian korban itu.
Dalam suasana genting itu terdengar suara Soat Kun. "Para
tiangloo harap lekas menggempur tembok, buat mencari jalan
keluar, buat memberikan pertolongan, boleh nanti"
Soara nona Hoan didengar dan dituruti oleh para tiangloo, maka
semua orang lalu lari menuju ketembok lagi.
Ketika itu masih ada beberapa orang yang berjatuhan- Melihat
itu, Su Khong taysu menjadi bingung dan sangat berkuatir, maka
tempo ia sudah mendekati tembok, segera ia menyerang dengan
tongkatnya.
Bertepatan dengan itu maka tembok disebelah kiri
memperdengarkan suara bergemuruh hebat sekali, disusul dengan
berhamburan beterbangannya debu pasir kapur. Sebab itu adalah
gemuruh dari bobolnya tembok itu.
Su Kay Taysu lompat ketembok yang gempur itu, buat
melakukan penyerangan, maka gempur pula lagi bagian tembok itu,
bahkan kali ini gempuran itu segera mengasi lihat sebuah lobang
.Jadinya tembok telah pecah dan lowong
Jsutru itu maka disebelah sana tembok itu terlihat seorang usia
setengah tua, yang mukanya bersih, yang bajunya hijau muda.
Terlihat tegas orang itu tengah menarik pulang tangannya suatu
tanda dialah yang menghajar tembok dari sebelah yang lain itu.
Teranglah orang itu telah menggempur berbareng dengan Su Kay
Taysu.
Sementara itu kira kira sembilan tombak jauhnya dari orang
setengah tua itu tampak serombongan orang orang Seng Kiong Sin
Kun tengah mengepung lagi melakukan perlawanan seru.
Dengan terbukanya lowongan pada tembok itu, segera
rombongan Siauw Pek menyerbu masuk kedalam tembok itu. Atau
lebih benar, mereka semua menyerbu keluar.
Tiba tiba saja Thio Giok Yauw berseru. "AYah" dan terus dia lari
kepada si orang tua berbaju hijau itu, untuk menubruk hingga dilain
saat ia sudah ada didalam rangkulan orang.
Siauw Pek bersama dua saudara Hoan menyusul keluar, mereka
menghampiri orang berbaju hijau itu.
Giok Yauw melepaskan diri dari rangkulannya si orang tua ia
menghadapi ketuanya dan berkata gembira. "Bengcu, inilah ayahku,
Thio Hong Hong"
Siauw Pek segera memberi hormat.
"Aku yang rendah Coh Siauw Pek" ia memperkenalkan diri.
"Loocianpwee, kami mengucapkan banyak banyak terima kasih yang
loocianpwee telah meloloskan kami dari kurungan ini"
orang tua itu membalas hormat.
"Jangan mengucap terima kasih" katanya. "Sudah selayaknya
saja aku memberikan tenagaku".
ia diam sebentar lalu ia menambahkan- "Saat sangat penting,
silahkan Coh Siauwhiap menyerbu kebelakang istana itu. Mereka
yang pingsan disini serahkan padaku siorang tua"
"Terima kasih" berkata Siauw Pek yang terus mengajak kawan
kawannya.
Rombongan dari Siauw Lim Sie sudah menerjang musuh. Pihak
lawan kewalahan, mereka terdesak. banyak kawannya yang roboh
mati dan terluka, terpaksa sisanya pada melarikan diri. Mereka
mundur.
Siauw Pek danSu Kay taysuu dengan pedang dan tongkatnya
masing masing, menghajar siapa yang menghadangnya. Mereka
bersikap keras. Kegagalan mereka membuat musuh jeri dan
menyingkir.
Segera juga pemimpin Kim Too Bun dan pendeta dari Siauw Lim
Sie itu bertemu dengan Hie sian cianpeng si dewa lkan.
"Mari" cian Peng berseru. la mendahului lari dijalan batu. "Dari
sini"
Semua orang lari mengikuti. Merkea melewati beberapa ruang
atau undakan rumah sampai mereka melihat sebuah pendopo besar
toa tian didepan mana tampak sudah menanti serombongan orang,
pria dan wanita, jumlahnya tiga ratus jiwa lebih, semuanya tampak
keren.
Siauw Pek dan Su Kay taysu menerka, inilah tentu pemusatan
tenaga musuh. Mereka segera maju kedepan pendopo. Ada yang
aneh, dimuka pintu besar tampak semacam kabut, yang membuat
orang tak dapat melihat tegas bagian dalam dari pendopo itu.
Setelah mengawasi rombongan musuh, Su Kay mendongkol
sekali. ia melihat ada banyak murid Siauw Lim Sie didalam
rombongan itu. Merekalah simurid murid murtad yang kena
dipengaruhi It Tie.
Orang tak usah menanti lama akan mendengar suara yang keluar
dari dalam pendopo, yang keras: "Punco ada disini Eh, hweslo, ada
apakah petunjukmu?"
"Ah, orang yang membuat orang tertawa" sahut Su Kay Taysu.
"Semua orang gagah sudah masuk kedalam sarangmu ini, masih
kau tidak keluar buat menyambut kami, masih kau main sembunyi
sembunyi. Apakah kau tak malu"
Suara keras terdengar pula: "Punco toh berada disini, bersedia
menyambut serbuan kamu. Kamu mengawasi kami, tetapi kamu
tidak dapat melihat tegas, jangan kamu sesalkan diri sendiri karena
mata kamu tidak awas. Kenapa kau mengatakan punco main
sembunyi sembunyi? Sungguh lucu"
Su Kay tidak menghiraukan ejekan itu. "Mana It Tie?" tanya
keras.
Dari belakang kabut itu terdengar tawa dingin- Lalu datang
jawaban ini: "Kau hendak cari It Tie sipendeta? Dia berada disini
dibawah perintah punco"
"Mana kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie?" Su Kay bertanya pula.
"Kitab pusaka Siauw Lim Sie berada ditanganku" demikian
jawaban dari dalam kabut. Jawaban Seng Kiong Sin Kun.
Su Kay menahan desakan hawa amarahanya, ia berpaling kepada
Siauw Pek.
"Suasana sekarang telah berubah" katanya. "Karena itu pihak
Siauw Lim Sie ingin maju dimuka. Tentang urusan pihakmu, Coh
tayhiap suka apalah kau bersabar dahulu"
Coh Bun Koan menjawab mendahului Siauw Pek: "Sama sama
menghadapi musuh siapa lebih dahulu siapa lebih belakang sama
saja" Suara Nona Coh ini dingin sekali.
Su Khong Taysu merangkap kedua tangannya memberi hormat.
"Terima kasih" katanya. Lalu dia mengawasi pada musuh. "It Tie
terkutuk. dimana kau? Masih kau tidak mau muncul untuk menerima
kematianmu? Kau hendak menanti apa lagi?"
Didalam kabut itu terdengar pula suara Seng Kiong Sin Kun. "it
Tie, kau keluarlah. Pergi kau menemui tiangloo Siauw Lim Pay
kamu"
Sunyi sedetik itu, walaupun pada kedua belah pihak ada orang
berjumlah lima ratus jiwa lebih. Suasana tapinya sangat tegang.
Lalu dari kabut itu muncul It Tie, pendeta ketua Siauw Lim Sie yang
murtad dan kabur itu. ia bertindak perlahan, dia beralis gomplok
dan bermata besar, tubuhnya tinggi dan kekar. Dibatok kepalanya
ada sejumlah titik pitak. tanda dialah seorang pendeta agung.
Dipandang seluruhnya, dia bengis dan menyeramkan. Selama itu,
dia tak membuka mulutnya. Kalau dia bukan tengah berjalan, dia
mirip dengan sebuah patung.
JILID 49 - TAMAT
Segera terdengar suara nona Hoan: "orang itu sudah hilang
kecerdasannya, dia telah tak berkuasa lagi atas dirinya."
Kedua mata Su Khong Taysu terbuka lebar dan tajam mengawasi
ketuanya itu, ia melihat mata orang tak bersinar dan wajahnya diam
saja, ia percaya sebenarnya perkataan sinona. Tapi ia menoleh
kesisi kiri dan kanannya, untuk bertanya: "Sute, siapa yang mau
keluar untuk menawan dahulu pemberontak dan penghianat itu?"
"Su Ie yang akan mencoba," demikian satu jawab dari Su Ie
taysu.
"Dialah simanusia murtad yang menerbitkan bencana juga,"
berkata Su Khong. "Kalau dia tak dapat ditawan hidup hidup,
hajarlah dia mampus dengan tongkat" su Ie Taysu mengangguk.
"Aku Su Ie mentaati perintah suheng" katanya, seraya ia terus
bertindak maju sambil membawa tongkatnya.
IT Tie melihat Su Ie mendatangi, ia mengawasi, akan tetapi
sikapnya atau gerak geriknya menyatakan dia tidak kenal paman
guru itu. Maka juga melihat demikian bukan main mendongkolnya
Su Ie.
"orang terkutuk, mari terima kebinasaanmu" bentaknya. Dan
segera dia menyerang.
Walaupun dia nampak seperti kurang ingatan, It Tie tahu bahwa
dia dibentak dan diserang, begitu serangan tiba, dia berkelit untuk
segera membawa menyerang. Dia bertangan kosong tetapi dia tak
takut.
Su Ie berkelit. Lagi sekali ia menyerang. Itulah serangan tongkat
"Naga hijau masuk kelaut"
It Tie berkelit pula. Lagi lagi dia membalas menyerang, dia awas
dan gesit.
Maka dua orang itu segera bertarung dengan seru sekali. Karena
dua dua mereka sama liehaynya.
Nona Soat Kun menyaksikan pertempuran itu, bukan dengan
matanya hanya dengan telinganya. Ia memasang telinga sambil
memandang kekalangan pertempuran- Disisinya Soat Gie yang
menonton benar benar, ia selalu mengerak geraki tanganya, guna
memberikan keterangan tentang jalannya pertempuran itu.
"Dibanding dengan masanya dia masih berada di Siauw Lim Sie,
kepandaiannya It Tie telah maju jauh" berkata sinona selang sekian
lama. "Belum tentu Su Ie taysu dapat mengalahkan dia...."
Itulah salah satu pukulan dari tujuh puluh dua jurus simpanan
dari Siauw Lim Pay, namanya ialah "tangan Arhat suci" karena itu Su
Ie kontan terdesak mundur kesamping
Hebat It Tie, walaupun dia nampaknya telah kehilangan
kecerdasannya, diwaktu berkelahi, dia tetap masih mengingat baik
ilmu silatnya. Dia segera mendesak lawannya. Saling susul dia
menyerang hingga empat kali, pertama kali saja, Su Ie repot,
apapula setelah ia terdesak itu. Maka satu kali dadanya disentuh
tangannya IT Tie, hingga ia mengasih dengar suara tertahan,
menyusul mana tubuhnya terlenggak.
Diantara saudara saudara setingkatnya, Su Ie adalah yang
tabiatnya paling keras, maka itu serangan it Tie membuat ia sangat
gusar. Ia tidak segera roboh. cepat luar biasa, ia dapat memperbaiki
diri, setelah mana, ia tak menantikan satu detikpun, seCara luar
biasa ia membalas menyerang
It Tie tidak menyangka bahwa orang masih bisa membalas
menyerang padanya, bahkan ia tidak sempat menangkis atau
berkelit ketika tangan Su ie tiba. Ketika itu, tongkat Su Ie ini telah
terlepas, serangannya itu tepat mengenai iga.
Sangat hebat kesudahannya saling serang itu, setelah
serangannya itu mengenai sasarannya tubuh Su Ie segera roboh
terkulai, bahkan jiwanya terus melayang. Karena hajaran it Tie
adalah hajaran kematian- Tapi It Tie pun tidak lolos dari petaka.
Hajaran Su Ie membuat dua batang tulang rusuknya patah,
tubuhnya terus terhuyung, sedangkan mulutnya menyemburkan
darah hidup
Su Khong memang senantiasa siap sedia, melihat It Tie luka, ia
melompat kepada keponakan murid atau ketua yang murtad untuk
menyambar mencekal lengan kanannya.Justru ia maju menangkap
It Tie itu, justru dari pihak lawan dua orang berlompat maju
kearahnya. Teranglah kedua orang musuh itu berniat menolongi
ketua murtad dari Siauw Lim Sie itu.
Sementara itu, disaatSu Ie melakukan serangan pembalasannya
itu, Soat Kun telah memutar tubuh kearah Coh Siauw Pek. Nona ini
terus menerus memperhatikan jalannya pertempuran serta suasana
disekitarnya. Atau lebih benar Soat Gie adalah yang melakukan
pengawasan dengan tajam dan senantiasa dengan pencetan
tangannya kepada tangan kakaknya memberitahukan segalanya
kepada sang kakak.
"Bengcu" berkata si nona, suaranya agak kesusu "musuh ayah
bengcu berada didalam toa tian itu, lekas bengcu bertindak^ jangan
tunggu waktu lagi. Inilah saatnya Pa Too bekerja"
Sekalipun nona Hoan bicara dengan cepat, jalannya pertempuran
bagaikan melombainya, demikianlah selagi ia mengakhiri kata
katanya kepada ketuanya, sang bengcu Siauw Pek. Pertempuran
berlanjut dengan sangat cepatnya, ialah ketika itu Su Khong sudah
menangkap tangan It Tie dan dua orang lain dari Seng Kiong Sin
Kun sudah berlompat kepada tiangloo dari Siauw Lim Sie itu
Siauw Pek pun selalu waspada, Maka juga selekasnya mendengar
anjuran si nona dan ia melihat dua orang musuh muncul untuk
mengganggu Su Khong Taysu, ia segera mencelat maju sambil
berseru, sementara golok pembasmi sudah berada didalam
genggamannya.
Hanya dengan satu kelebatan bagaikan kilat, muncratlah darah
berhamburan berbareng dengan dua kali jeritan yang hebat, yang
disusul dengan jatuh terbantungnya empat buah tubuh Karena
golok pembasmi sudah menguntungkan tubuh dua orang musuh itu
menjadi masing masing dua potong, kutung sebatas pinggang
mereka Pihak musuh kaget bukan main menyaksikan kejadian hebat
itu.
Bahkan Su Khong juga kagum tak kepalang hingga ia berkata
didalam hatinya. "Bukan main hebatnya Pa Too. Dia tak kalah
dengan jurus ilmu silat yang manapun dari Siauw Lim"
Habis membinasakan kedua jago dari Seng Kiong Sin Kun, Siauw
Pek menoleh ke nona Hoan yang tuna netra.
"Nona" tanyanya. "Bagaimana sekarang? Apakah perlu kita basmi
musuh yang diluar dahulu atau segera menyerbu kesarang lawan?"
"Bukankah jumlah musuh diluar Seng Kiong berjumlah hanya kira
kira dua ratus jiwa?" balik bertanya si nona.
"Tak salah" sahut Siauw Pek cepat. Hanya sekelebatan ia
menyapu dengan sinar matanya kepada musuh. "Tapi kita tak perlu
bertempur bergumulan dengan mereka itu cukup bersama beberapa
orang tiangloo dari Siauw Lim Sie. Dengan menyerbu kepada
mereka itu, dapat kira melabraknya hingga mereka nanti buyar
sendirinya." Nona Hoan menghela napas.
"Itulah benar" bilangnya "Tapi itu bukanlah Cara yang sempurna.
Kebinasaan seratus orang lebih didalam satu saat aku rasa terlalu
kejam. Pasti tindakan kita semacam itu sudah berada didalam
perhitungannya Seng Kiong sin Kun yang Cerdik itu. Itu bukan cara
yang memutuskan"
Dan suaranya si nona berubah menjadi tinggi hingga terdengar
oleh pihak musuh. Demikianlah dari balik kabut terdengar satu
timpalan yang keras.
"Benar" begitu suara timpalan "itu bukan cara yang memutuskan.
Merekalah orang orang yang berbaja, jumlah banyak dari mereka
tidak berarti apa apa" katanya lagi lantang.
Nada suara itu, yang nyaring beda daripada suara yang semula
tadi. Suara ini mestinya suara dari Seng Kiong sin Kun sendiri.
Dengan memegangi bahu adiknya, Soat Kun bertindak perlahan
kedepan toatian. Disitu ia segera memperdengarkan suaranya yang
tinggi halus "oleh karena pemandangan kedua belah pihak sama
satu dengan lain, sekarang pastilah kita sudah dapat berbicara
langsung, bukan?"
Dari dalam kabut segera terdengar jawaban seorang yang suara
serak.
"Aku mohon bertanya, kedudukan nona sebagai apa?" demikian
suara itu menanya.
Tanpa bersangsi nona Hoan menjawab "AKulah orang Kim Too
Bun" katanya tegas.
Siauw Pek segera menambahkan. "Dan aku yang rendah adalah
bengcu dari Kim Too Bun. Nona ini mempunyai kekuasaan penuh
untuk mewakili partai Kim Too Bun kami"
Juga Su Khong mengasi dengar suaranya, "Kami dari Siauw Lim
Sie, kami juga dapat diwakilkan oleh nona ini" demikian ketua Siauw
Lim Pay itu, yang sekarang sudah menaruh kepercayaan penuh
kepada murid yang cacat mata dari almarhum Hoan Tiong Beng.
Beda dari barusan, didalam toatian terdengar tawa ejekan yang
disusul dengan suara dingin ini. "Tidak kusangka bahwa seorang
nona muda sekali sebagai kau tetapi telah mendapat kepercayaan
dan kekuasaan begini besar." Soat Kun tertawa hambar.
"Bagus Sin Kun, kau telah menginsafi suasana " demikian
katanya sabar "Kau telah melihat keadaan yang sebenarnya, kau
telah mengerti bahwa pertempuran tak dapat diputuskan dengan
pertarungan pergumulan yang kacau balau. Pertempuran semacam
itu cuma akan menambah banyaknya roh roh yang berpenasaran
dan tak ada perlunya. Buat pihakmu cukup sudah asal kau dapat
membinasakan beberapa orang kami yang termasuk pemimpin, itu
sudah berarti kemenangan pihakmu. Jikalau kita toh mesti perang
bergumulan itu, pihak kami berada jauh lebih kuat, didalam tempo
tak satu jam, dapat kami membuat muka istana ini penuh dengan
bergeletaknya dua ratus mayat."
Teranglah Seng Kiong Sin Kun menginsafi baik sekali kata kata
sinona, maka tak terdengar pula suaranya yang keras atau
ejekannya ia sudah segera merubah sikapnya menjadi tenang.
"Nona, dapatkah kau memberitahukan she dan namamu serta
riwayat hidupmu?" demikian pertanyaannya .
Soat Kun bersikap halus seperti biasanya.
"Aku adalah Hoan Soat Kun" sahutnya sabar. "Aku adalah murid
satu satunya dari almarhum Hoan Tiong Beng serta sekalian juga
menjadi anak angkatnya."
"Jadi kau telah mewarisi banyak kepandaian Hoan Tiong Beng?"
tanya satu suara dalam - suara dari seorang lainnya.
"Semua kepandaiannya almarhum ayah angkatku itu telah
diwariskan kepada kami dua saudara" sahut si nona tetap sabar,
bahkan ia berlaku jujur, "akan tetapi karena kecerdasan kami
berdua ada batasnya, ada beberapa bagian yang kami tak dapat
menyamai almarhum ayah angkat kami itu"
"Ha, kiranya kamu berdualah yang mangacau rencana kami" tiba
tiba terdengar suara keras dari dalam kabut.
Tanpa menanti berhentinya suara orang itu dengan tertawa
hambar, Soat Kun menyela "Kata kata yang hebat" Hanya berhenti
sejenak ia terus menambahkan "Semua orang Bu Lim sudah sama
insaf bahwa cuma dengan berkelahi mati matian barulah jiwa
mereka dapat dilindungi. Maka andaikata tidak ada kami berdua
saudara tekad mereka sudah bulat, dengan bekerja sama pastilah
mereka bakal menyerbu kesini"
Suara dalam didalam kabut itu berkata:
"Kalau saja kamu datang lebih siang tiga bulan yang lalu...."
"Dan jikalau kami datang terlambat tiga bulan kemudian?" tanya
Soat Kun.
"Maka seluruh dunia Bu Lim akan berada dalam genggamanku"
jawab suara didalam kabut itu.
"Nah, sekarang terbukti bukan bahwa Thian telah tidak
membantu kamu?" tanya nona Hoan.
"Akan tetapi sekarang pun masih belum dapat dipastikan sang
menjangan bakal terbinasa ditangan siapa" kata pula suara didalam
kabut itu, suara yang menyatakan dia menentang Thian, Tuhan
Yang Maha Esa. Soat Kun tetap sabar.
"sin Kun" katanya, "kalau kau telah mempunyai kepercayaan
yang kuat itu, sekarang sudah tiba saatnya buat kamu muncul
memperlihatkan dirimu, guna kita melakukan satu pertempuran
yang memutuskan. Kedua belah pihak akan mengajukan pemimpin
pemimpinnya yang utama untuk bertanding untuk menang atau
kalah, tak usah kita mengorbankan lebih banyak lagi tenaga tenaga
yang tak berguna"
Tertawa dingin didalam kabut terdengar pula, disusul dengan
pertanyaan yang sama dinginnya ini. "Bagaimana jika punco tak
mau bergerak dari toatianku ini?"
Su Khong mendahului sinona menjawab. "Pendeta pendeta dari
Siauw Lim Sie akan segera menyerbu kedalam toatian kamu"
"oh sungguh seorang pendeta tekebur" begitu terdengar ejekan
dari dalam kabut, suara dingin diiringi dengan tawa dingin pula.
Nona Hoan tidak melayani orang mengadu bicara, sebaliknya dia
bertanya tenang. "Apakah kamu mengandalkan kabutmu yang tebal
ini untuk melukai orang?"
Suara didalam kabut itu tidak menjawab, ia hanya bertanya.
"Kaulah akhirnya Hoan Tiong Beng. Dialah seorang pintar yang tak
ada yang dia tak tahu. Maka itu sebagai murid Hoan Tiong Beng,
kau tahukah kabut ini benda apa?"
Nona Hoan menjawab pasti "itulah kabut alam yang ditambah
bubuk beracun yang dibuat halus bagaikan debu"
Suara didalam kabut itu berkata pula. "Ya mungkin benar tepat
dugaan kau ini, akan tetapi tahukah kau bagaimana harus
memecahkannya?"
Dengan sabar sekali, Soat Kun memberikan jawabannya "jikalau
kau menganggap kabut beracunmu didalam pendopo ini dapat
merintangi kaum BuLim dikolong langit ini, itulah pertanda bahwa si
manusia tolol tengah mimpi."
Orang didalam pendopo itu tertawa tawar.
"Jikalau kau dapat menerangkan caranya untuk memecahkan
kabut kami ini, mungkin punco akan memikir buat mengangkat kaki
dari pendopo ini" demikian suara yang menentang. Soat Kun tidak
menjawab, hanya ia mengernyitkan alisnya. Terang ia sedang
berpikir.
Ketika itu Su Khong sudah menotok beberapa jalan darah It Tie,
yang terus diserahkan pada murid muridnya untuk dikekang, ketika
ia melihat si nona berdiam, ia berbisik pada Coh Siauw Pek, "Coh
bengcu... walaupun si nona sangat cerdas, mungkin ia tak akan
dapat jalan buat segera memecahkan kabut itu."
Siauw Pek tahu pendeta luhur itu tidak bicara tanpa berpikir
dahulu, maka:
"Habis bagaimana pendapat taysu?" ia tanya.
Tiang loo dari Siauw Lim Sie itu menjawab dengan sangat
perlahan, hingga cuma ketua Kim Too Bun itu sendiri yang dapat
mendengar. "Setelah tadi It Tie terlukakan dan tertawan, masih ada
dua orang lain dari Seng Kiong sin kun yang menyerbu keluar
hingga dia terbinasa diujung golok bengcu. Kenapakah mereka itu
tak takut terhadap kabut beracun."
Siauw Pek cerdas, dapat ia menerka hati si pendeta.
"Apakah taysu maksudkan mereka itu membawa atau memakai
obat yang dapat memunahkan kabut beracun itu?" tanyanya. Su
Khong mengangguk.
"Tak perduli itu obat atau benda apapun lainnya" katanya "yang
terang ialah mereka itu tidak takut akan racun itu. Inilah soalnya"
Siauw Pek mengangguk.
"Benar" katanya "Baik, nanti aku bicara dengan nona Hoan"
Lalu ketua ini bertindak dengan sangat perlahan kearah Soat
Kun, ia berhenti didampinginya nona itu, dan berkata bagaikan
berbisik, "nona, aku ingin bicara. Aku mau minta penjelasanmu...."
"Apakah itu bengcu?" si nona tanya.
"Nona lihat kabut musuh, bukan ? Kenapa kabut itu tidak
mencelakai orangnya sendiri"
"Itulah sebab mereka terlebih dahulu sudah makan obat
pemunahnya."
"Kalau begitu disaat ini, sukar buat kita mendayakan obat
semacam itu, maka itu menurut aku, jalan satu satunya ialah
berdaya mendapatkannya dari tubuh mereka sendiri...."
"Memang, itulah satu satunya jalan...."
"Kalau begitu, ingin aku mencoba menyelundup kedalam
musuh...."
"Daya ini baik, akan tetapi tak dapat kau menyerbu ancaman
malapetaka"
Kata si anak muda pasti. "Kalau aku sendiri tidak memasuki
sarang harimau, siapakah lagi?"
Soat Kun memperingati perlahan- "orang kita berjumlah cukup
besar tetapi buat merebut kemenangan, itu bergantung cuma
dengan kau dan Su Khong serta satu dua orang lainnya. Aku berdua
cuma dapat berpikir, tidak dapat aku membantu. andaikata pihak
sana nekad menyerbu kita. Seandainya kau sampai terkena
racunnya, aku kuatir keadaan kita akan segera berubah buruk"
"Habis, bagaimana pendapat nona?"
"Karena keadaan sangat mendesak ini" sahut si nona itu, "Tak
dapat tidak terpaksa aku mesti mengambil jalan terakhir."
Siauw Pek menggeleng. "Bagaimanakah itu nona?"
"Aku menghendaki Ban Liang dan Oey Eng menyerbu ancaman
marabahaya itu"
Kembali bengcu dari Kim Too Bun melengak. "Ini.... ini...."
katanya gugup "Ini... mana bisa...?"
Soat Kun tidak menghiraukan keberatan ketua itu.
"Bengcu" katanya, "tolong minta mereka itu datang kemari, aku
hendak bicara sendiri dengan mereka."
Tak tega hatinya Siauw Pek. tetapi keadaan sangat terpaksa,
mau atau tidak ia toh memanggil Ban Liang dan Oey Eng. Soat Kun
bangkit dengan perlahan sekali.
"Su Khong Siansu" panggilnya.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu menghampiri.
"Ada perintah apa, nona?" tanyanya.
"Aku minta sekarang juga siansu mengatur Lo han tin" sinona
minta. "Inilah perlu buat menjaga kalau kalau musuh menerjang
kita"
Su Khong taysu cerdas, tahu ia akan tugasnya, tanpa banyak
bicara lagi, ia lantas memerintahkan pihaknya bersikap untuk
membangun Lo Han Tin, benteng arhat, barisan dari Siauw Lim pay.
"Menurut apa yang aku dengar, Lo Han Tin menjadi pusaka aneh
nomor satu dikolong langit ini" kata Soat Kun kemudian, "pasukan
itu dapat maju dan mundur dan dapat membela diri dan menyerang
dengan sewajarnya, benarkah itu?"
"Sebenarnya barisan kami ini terutama untuk membela diri" Su
Khong menjelaskan. "Perihal penyerangan, tak selihay sebagaimana
yang tersiar diluaran."
"Kalau begitu, tolonglah atur Lo Han Tin dimuka Toatian ini" si
nona minta "Aku hendak mencoba memecahkan kabut racun
dipendopo itu"
"Kita sekarang menghadapi pemimpin musuh. Inilah saat berhasil
atau gagalnya usaha kita" berkata Su Khong "karena itu, sudah
selayaknya kita bersiap sedia"
"Siansu benar" si nona mengangguk "tetapi masih ada satu
permintaan lagi..."
"Apakah itu nona? Bilanglah" kata Tiangloo itu. "Asal yang kami
sanggup, pasti kami slap sedia"
"Kabut beracun itu menjadi tameng liehay dari musuh" berkata
sinona. "Untuk menyingkirkan itu, kita mesti menerjang bencana,
harus ada orang yang berani menyerbunya" su Khong dapat
menerka hati sinona.
"Aku akan sediakan empat orang ku untuk mona perintah"
bilangnya.
"Mereka itu selain halus lihay ilmu silatnya" nona Hoan jelaskan,
"juga merka mesti berpengalaman dan cerdas serta harus pandai
merubah siasat seketika. Aku maksudkan orang sebangsa Su Kay
Taysu. Bagaimana pendapat siansu?"
Belum lagi tiangloo itu menjawab. Su Kay sudah mendahuluinya.
"Buat guna kehormatan dan kehinaan Siauw Lim Pay" kata
pendeta itu "untuk hidup dan musnahnya partai kita, loolap bersedia
sekalipun untuk menyerbu api membara, berlaksa kali mati juga
loolap tak perduli"
"Bagus" nona Hoan memuji. "Dengan keberanian berkorban dari
taysu ini, hari ini pasti kita mempunyai harapan besar untuk
menang"
Su Kay maju mendekati, ia memberi hormat.
"Loolap disini" katanya. Itu artinya ia telah menyiapkan diri buat
menerima perintah apapun juga." ia memang sudah sangat
mengagumi sinona.
Soat Kun mundur sejauh satu tombak.
"Kabut racun itu adalah racun yang bekerja sangat dahsyat"
berkata ia "tanpa obat pemunahnya, biar dia orang gagah dan kuat
luar biasa, tidak dapat dia bertahan andaikata dia menyerbu
kedalam pendopo. oleh karena itu kita mesti berdaya dahulu
mendapatkan obat pemunah itu."
Su Kay Taysu dan Ban Liang mengangguk berbareng tanda telah
mengerti^
"Aku telah mengerti maksud nona" berkata mereka berbareng
juga. "Ada perintah apa lagi dari nona? Silahkan menitahkan"
"Seng Kiong Sin Kun dan orang orangnya berjumlah besar"
berkata nona Hoan "Kenapa mereka tidak takut kabut beracun itu?
Apakah sebabnya?"
"Rupanya sebab mereka mempunyai obat penakluk racunnya itu"
Ban Liang mengutarakan terkaannya itu.
"Itu benar" si nona mengangguk. "Jangan kata memangnya aku
tidak mampu memecahkan racun itu, taruh kata aku ketahui
caranya disaat seperti ini dimana kita dapat cari bahan bahan obat
serta membuatnya?"
"Maka itu perlu kita mengambil obat itu dari tangan musuh" Su
Kay bilang.
"Pendopo dirintangi kabut racun, cara bagaimana kalian dapat
memasuki pendopo itu?" si nona bertanya pula.
"Tak ada jalan lain daripada kita menyelundup bercampur baur
dengan orang orang mereka...." sahut Ban Liang.
"caranya merampas obat pemunah itu, tak dapat aku segera
memberitahukannya" Nona Hoan berkata pula "cara itu harus
dilakukan dengan melihat gelagat. Sementara itu ada kemungkinan
kalian kena dipergoki Seng Kiong Sin Kun, akan terkena racun dan
akan mati karenanya. Ataupun ada kemungkinan kalian kena
tertawan dan dijatuhkan hukuman mati. Maka itu, kalian benar
benar berani menempuh jalan ini atau tidak, terserah kepada kalian
masing masing. Aku sendiri, tak mau aku memaksanya."
Dengan gagah Su Kay segera memberikan jawabnya "Loolap
akan mati tanpa penasaran"
Ban Liang pun lantas berkata "Aku sudah tua, aku sudah
mendekati liang kubur, kalau aku mati buat guna kaum kita, buat
kepentingan orang banyak, aku puas" Soat Kun menghela napas.
"Umpama kata kalian dapat memasuki toa tian, tak nanti seketika
juga kalian berhasil mendapatkan obat pemunah itu" berkata ia
"kalian dapat memasuki pendopo itu dengan mengerahkan tenaga
dalam, dengan menahan napas, tetapi ini tidak dapat meminta
banyak tempo, sebaliknya tak mudah buat mencari tempat
penyimpanan obat itu...."
"Dalam hal ini nona, loolap mohon petunjukmu" berkata Su Kay.
Ban Liang dan Oey Eng berdiam.
Soat Kun mengawasi ketiga orang itu. Katanya "Diumpamakan
kalian bertiga berhasil mencari tempat penyimpanan obat itu, tetapi
didepan Sin Kun ada banyak orangnya yang liehay, cara bagaimana
kalian dapat mengambilnya didepan mereka itu?"
Su Kay Taysu berpikir keras. Lewat sesaat ia tersenyum.
"Agaknya nona bukan bersungguh sungguh menghendaki kami
mengambil obat pemunah racun itu...." katanya sabar.
"Tak salah" si nona menjawab "Pikiran semacam itu khayalan
belaka. AKu tidak pandai meramalkan, mana aku tahu obat
disimpan dimana?"
"coba nona jelaskan" berkata Oey Eng, yang berdiam saja sejak
tadi.
Tiba tiba wajah si nona muram.
"Tak kuat hatiku buat menyebutnya..." sahutnya.
"Nona" sianak muda mendesak "sekalipun nona menunjuk kami
untuk mati, kami tak akan penasaran. Maka, tolong bilanglah"
"Ini bukannya soal mati saja" si nona tandaskan "inilah kematian
yang sudah merupakan tubuh hancur dan tulang lebur. Tak dapat
aku menyebutnya...."
"Sebetulnya itu kematian macam apakah?" Su Kay turut bicara.
"Sulit buat menjelaskannya" jawab sinona "Yang dapat dikatakan
ialah kematian itu bakal sangat hebat dan mengenaskan....
Dianatara kalian bertiga, yang satu pasti akan mati dan yang dua
lainnya mungkin masih dapat hidup."
"Loolap hidup dengan mengandalkan kepada Sang Buddha,
bagiku mati atau hidup sama saja" berkata orang beribadat itu.
"Tanah suci diBarat itu adalah tanah yang menjadi kenang
kenangan, karena itu kalau mesti mati biarlah loolap yang mati"
"Taysu maha suci dan ilmu silat taysu juga mahir luar biasa"
berkata Ban Liang "masih sangat banyak diperlukan dari taysu,
karena itu mana dapat taysu sembarang bicara dari hal mati?
Adalah aku yang kedua tanganku berbau darah, karena telah
banyak orang yang aku binasakan, kalau mesti mati, biarlah aku si
tua yang menyambutnya" Oey Eng mengawasi kedua jago tua itu.
"Taysu berdua jauh lebih tua daripada aku, kalau ada sesuatu,
akulah yang harus mewakilkan mengerjakannya" kata ia " Baiklah
aku saja yang menerima tugas itu"
"Taysu bertiga sangat mengagumi aku" sinona berkata "Dalam
hal matipun taysu bertiga saling berlomba Sungguh sifat luar biasa"
"Loolap yang paling dulu membuka mulut, orang yang mesti mati
itu mesti loolap adanya" berkata pula Su Kay Taysu "Sudahlah
jangan kita saling berebutan. Disaat ini, sang waktu berharga
sebagai emas. Nona, lekas nona keluarkan perintah mu"
"Telah aku bilang, orang yang mesti mati itu akulah situa" Ban
Liang bilang.
"Aku juga tak mau ketinggalan" Oey Eng memastikan.
"Sudah, taysu bertiga jangan berselisih" berkata Soat Kun.
"Aku ada daya" Ban Liang akhirnya mengusulkan "Kita mengundi,
bagaimana?"
"Itulah tak dapat" Su Kay menentang, "Kalau tiga tiganya,
bagaimana?"
"Jikalau kalian percaya, bagaimana kalau aku yang menunjuk?"
tanya sinona.
"Bagus" berseru Ban Liang. "Kalau nona yang menunjuknya,
pasti nona sudah memikirkannya masak masak"
Oey Eng berkata didalam hatinya: "Jangan jangan aku bukanlah
yang akan ditunjuk itu...."
Su Kay Taysu dan Ban Liangpun menerka nerka.
Segeralah terdengar suara merdu si nona Hoan: "Su Kay Taysu
berdua Ban Huhoat sama sama mempunyai pengalaman yang
banyak sekali, sudah sering menghadapi pertempuran, pula pandai
melihat selata, taysu tak dapat disamakan dengan kebanyakan
orang, karenanya taysu berdua tak dapat menerima tugas ini.
Menurut aku, paling tepat kalau Oey huhoat yang menerima tugas"
Su Kay dan Ban Liang heran sekali. Kenapa si nona memilih
seorang muda? Tadi si nona menunjuk calon yang pandai silat dan
berpengalaman- Oey Eng pasti kalah dari mereka berdua. Maka
keduanya segera menoleh mengawasi pemuda itu.
Oey Engpun heran, hingga ia melengak. sedangkan barusan ia
menerka ia bukanlah orang yang bakal dipilih. Tapi cepat cepat ia
berkata "Memang tepat pilihan ini"
"Amitaba budha" Su Kay kemudian memuji. "Nona, pilihanmu ini
sangat loolap tak setuju"
Tapi sinona tersenyum.
"Sejak ribuan tahun, siapapun tak luput dari kematian,. kata ia.
"Oey Eng hu hoat masih muda sekali, sebenarnya aku tak tega akan
kematiannya..."
"Benar Tapi kenapakah nona tidak memilih aku slorang tua?"
tanya Ban Liang.
"Aku mengambil keputusan dengan melihat keadaan," nona Hoan
memberi keterangan. "Tugas ini paling tepat bagi Oey huhoan. Tapi
akupun tidak dapat membiarkan Oey huhoat mati dengan begitu
saja...."
"Bagaimana itu nona?"
"Bagi seorang perempuan, apakah yang paling pahit getir?"
sinona balik tanya.
"Itulah kalau masih muda dia kehilangan suaminya dan sesudah
tua dia kehilangan anaknya..." sahut Ban Liang.
"Benar" kata sinona "sekarang aku serahkan diriku kepada Oey
huhoat. Kalau nanti dia mati, aku akan menjadi jandanya. Harga
dan hadiah ini cukup bukan?"
Oey Eng menjadi gugup,
"Tidak. tidak dapat" serunya.
Ban Liang dan lainnyapun heran sekali.
Hoan Soat Kun tersenyum.
"Apakah kau mencela aku bercacat" ia tanya.
"Jangan salah mengerti nona" kata Oey Eng bingung. "Mulai dari
bengcu, siapakah yang tidak memandang dan menganggap nona
sebagai malaikat?"
"Jikalau aku bukannya malaikat hanya manusia biasa, kau toh
dapat menerima, bukan?" si nona tanya pula.
"Jikalau aku dikehendaki menyerbu api, tak akan aku tampik"
sahut Oey Eng
"Nah, nona perintah kan saja" Soat Kun menghela napas.
"inilah pilihanku karena terpaksa" katanya perlahan "telah aku
menimbang berulang kali, telah aku melihat kesana kemari, lambat
laun pikiranku mulai menjadi terang, dapat aku membayangkan
Seng Kiong Sin Kun itu orang macam apa. Aku perhatikan segala
kepandaiannya, lalu sepak terjangnya.."
Ban Liang dan Su Kay taysu menjadi sangat tertarik,
"Bagaimana sebenarnya nona?" tanya mereka.
"Seng Kiong Sin Kun adalah seseorang" sahut si nona "Nama itu
nama buatannya, guna menakuti hati orang"
"Menurut nona, nama itu jadinya nama kosong belaka?" Ban
Liang menegasi.
"Ya demikianlah" jawab Soat Kun. "Didalam dunia ini tidak ada
Seng Kiong sin Kun, yang ada hanya seorang edan otaknya yang
telah lenyap kesadaran dirinya"
"Siapakah dia nona?" tanya Ban Liang.
"Ini barulah pendapat. Kalau aku menyebutnya, mungkin Ban
Huhoat beramai tak akan percaya" menyahut si nona "Baiknya
tunggu sampai sebentar, sesudah Ban huhoat bertiga memasuki
toatian musuh. Disana akan dapat diketahui siapa dia itu..."
Ban Liang heran-
"Nona," ia tanya pula, "sudikah nona menjelaskan sekarang
siapakah dia?"
Nona itu agak terdesak. "Boleh" sahutnya akhirnya.
"Silahkan sebutkan nona?"
Nona Hoan segera menyebutkan dengan sangat perlahan "Dialah
ceng Gi Loojin."
Ban Liang bertiga melengak, hingga sekian lama mereka
bungkam saja. Sungguh diluar dugaan
Soat Kun menambahkan "Aku bicara yang sebenarnya. Kalau
sebentar kalian sudah berada didalam pendopo musuh, kalian akan
mendapatkan kebenarannya kata kataku ini" Su Kay merangkap
kedua belah tangannya didepan dadanya.
"Amitabha budha" ia memuji. "Loolap percaya kau nona, loolap
sangat mengagumimu, akan tetapi didalam hal ini, inlah terlalu tak
dapat dipikir Sungguh sulit membuat orang mempercayainya.
Bukankah ceng Gie Loojin telah terbinasa?"
"Memang sangat sulit buat dipercaya. Karena itu juga tidak
berani aku membeberkan dimuka orang banyak. Tapi satu hal dapat
aku terangkan, bukankah Seng Kiong Sin Kun selalu membuat
manusia manusia palsu, baik mereka yang sudah mati maupun yang
masih hidup? Kenapa ia tak dapat memalsukan dirinya sendiri?"
Si nona kemudian lantas merogoh sakunya, ia mengeluarkan tiga
butir pil.
"inilah obat peranti melawan racun peninggalan guruku" ia
menerangkan "silahkan Ban Huhoat bertiga mengemunya didalam
mulut. Didalam istana sebentar, apabila musuh besar benar ceng Gi
Loojin, harap kalian menggunai ini."
Nona Hoan merogoh pula sakunya. Kali ini dia mengeluarkan dua
buah barang sebesar telur ayam, yang ia seragkan masing masing
kepada Ban Liang dan Su Kay Taysu. Ia menambahkan "kalau
barang ini ditimpukkan kelantai, api akan menyala dan asapnya
mengepul. Adalah asapnya itu yang akan membuat orang tak
sadarkan diri. orang orang sin Kun pandai menggunai racun tetapi
mereka tak akan dapat bertahan dari racunku ini. orang akan roboh
pingsan dalam sejenak. Kalian mengemut obat, kalian sendiri akan
bebas dari bahaya tak sadarkan diri itu"
Ban Liang dan Su Kay menyambut benda itu.
Oey Eng mengawasi kedua orang itu diberikan pesan dan barang
tetapi ia tidak. "Habis aku, apakah tugasku?" ia tanya.
Soat Kun mengawasi anak muda itu. Atau lebih benar ia cuma
berpaling kearahnya.
"Tugasmu ialah yang terberat" sahutnya. Si anak muda menatap.
"Jikalau demikian, aku akan mati tanpa menyesal" bilangnya
"coba nona menjelaskan apa yang aku harus kerjakan"
Soat Kun tidak segera menjawab. ia hanya berkata "Masih kau
belum memberikan jawabanmu kepadaku"
"Apakah itu?" si anak muda tegaskan-
"Soal jodoh kita, Kau belum menyatakan menerima tawaranku"
Oey Eng nampak sulit.
"Ada satu hal yang membuatku tidak mengerti" katanya.
"Hal apakah itu?"
"Jikalau aku toh mesti mati, apa gunanya merecoki jodoh kita?
Jikalau seandainya aku tidak mati, bagaimana saja nona nanti
mengaturnya? Aku tahu tindakanmu ini cuma karena kau sangat
kasihan terhadap diriku."
"Kau keliru menerka. Suatu pertempuran yang hebat, bagiannya
ialah sembilan mati dan satu hidup, tetapi untuk kau bagian yang
satu saja, yaitu bagian hidup, telah tidak ada. Kau mati untuk
kebaikan orang banyak. Tanpa ada ikatan suami istri diantara kita,
mana dapat aku menitahkan kau?"
Si anak muda menggelengkan kepala.
"Aku tidak mau kau mengasihani aku" katanya. "Itulah
pengorbanan"
"Itu bukan pengorbanan belaka. Itu karena rasa hormatku. Rasa
hormatlah yang mendatangkan cinta kasih" Oey Eng tersenyum.
"Jikalau aku dapat keluar dari istana dengan masih hidup?"
"Pasti aku akan serahkan diriku kepadamu, buat merawatmu. Tak
nanti aku telan kata kataku ini"
Wajah si anak muda suram. Ia menarik napas.
"Baik" sahutnya, akhirnya "Aku menerima baik padamu"
Soat Kun segera berlutut.
"Taysu dan Ban huhoat, aku minta kalian menjadi saksi" kata ia.
Terus ia berkata pada Oey Eng. "Mari kita mengasi hormat kepada
Thian Yang Maha Esa, supaya dengan begini kita menjadi suami
istri."
Melihat si nona demikian sungguh sungguh, Oey Eng turut
menekuk lututnya. Maka bersama sama mereka menghormati
Thian, lalu saling menghormat diri.
Su Kay dan Ban Liang heran, tetapi merekapun terharu. Mereka
menerka, dengan Soat Kun berbuat demikian, mungkin si anak
muda tidak bakal mempunyai harapan hidup lagi.
Selesai upacara yang sangat sederhana itu, Soat Kun bangkit,
buat berkata dengan sungguh sungguh. "Taysu bersama Ban
huhoat telah menjadi saksi: mulai hari ini aku Hoan Soat Kun, telah
menjadi istrinya Oey Eng" Ban Liang berdua mengangguk.
Nona Hoan menghadapi Oey Eng, untuk berkata sangat
perlahan- "Oey long, jikalau terjadi kau sampai mengorbankan
dirimu, buat seumur hidupku aku akan menjaga kesucian diriku.
Jikalau aku makan kata kataku, inilah sumpahku"
Setelah itu Soat Gie merogoh pinggangnya, untuk meloloskan
sebuah ikat pinggang warna hitam yang lebar empat jari dan setiap
satu dim ada bagiannya yang menonjol setinggi dua jari. Ia
serahkan itu kepada kakaknya.
Soat Kun menyambuti ikat pinggang itu yang sebaliknya ia
angsurkan pada Oey Eng. "Kau libat ini dipinggangmu" pintanya.
Oey Eng menurut walaupun ia belum tahu apa maksudnya ikat
pinggang itu.
"Nona ada pesan apa lagi?" ia tanya.
"Panggil aku hian cee" kata sinona.
"Baiklah Hiancee, ada apa lagi pesanmu?" tanya Oey Eng. ia
menurut seketika tetapi la mengerutkan alis.
Baru sekarang sang "istri" memberikan keterangannya:
"ikat pinggang ini adalah menjadi barang peninggalan guruku
almarhum. Didalam itu terbungkus obat peledak yang dahsyat
sekali, yang kata guruku dapat menggempur gunung. Digunakan
juga cuma satu kali"
"Suami" itu mengangguk.
"Aku mengerti" katanya "sekarang coba terangkan cara
penggunaannya" Soat Kun memberikan keterangan-
"Baiklah aku ingat" kata Oey Eng.
"Sekarang Oey long, kau ikutlah siansu dan Ban huhoat" pesan
istri itu. "Kalau didalam istana kau bertemu dengan ceng Gie Loojin
dan hendak bertempur dengannya, kau kendorkan dahulu ikat
pinggang itu, baru kau melawannya. Dia mesti dibikin hancur lebur
seluruh tubuhnya" Oey Eng mengangguk.
Lantas Su Kay Taysu bertanya "Apakah perlu kita masuk dengan
paksa?"
"Tak usah" sahut sinona "Aku akan membuat Seng Kiong Sin Kun
gusar hingga dia nanti membiarkan taysu sekalian masuk dengan
bebas, tanpa rintangan apapun juga"
Berkata begitu nona itu dan saudaranya bertindak ke toa tian,
Ban Liang bertiga mengiringi. Untuk itu mereka melintasi Lo Han
Tin, Siauw Pek dan lainnya terpisah cukup jauh dari empat orang
itu, sebagaimana tadipun mereka berbicara berempat saja.
"Sin Kun, dengar" berkata si nona, nyaring setibanya mereka
didepan toatian sekali menghadapi musuh "AKu telah mendapatkan
cara untuk memunahkan kabut asapmu, tetapi untuk itu, kau harus
izinkan tiga orang ku ini masuk kedalam pendopo guna mencoba
coba dulu."
Dari dalam kabut terdengar suara yang dingin. "Benarkah itu,
Punco tidak percaya"
"Jikalau kau tidak percaya, kau cobalah" Soat Kun bilang "Kau
perintahkan orang orangmu membuka jalan, supaya ketiga orangku
ini dapat masuk kedalam pendopo kamu"
"Baiklah, punco mau lihat" kata suara dingin tadi. "Hendak punco
lihat, murid Hoan Tiong Beng mempunyai kepandaian apa. Nah,
kamu masuklah"
Soat Kun tidak melayani bicara.
"Taysu silahkan masuk" ia kata kepada Su Kay Taysu bertiga.
Su Kay Taysu lantas membuka langkah lebar. Ia berjalan dimuka.
Oey Eng ditengah, Ban Liang berjalan dibelakang bagaikan
pahlawannya si orang she Oey. Benar benar mereka memasuki toa
tian tanpa rintangan-
Siauw Pek dan rombongannya memasang mata tajam, terutama
mereka mengawasi ketiga kawan mereka itu yang hendak mengadu
jiwa, sampai mereka lenyap didalam kabut beracun.
"Sungguh nona lihay" Siauw Pek puji "Nona Hoan, didalam tempo
yang pendek. nona telah berhasil mencari pemecahannya kabut
jahat itu"
"Telah aku ajari siansu bertiga bagaimana harus menyerang
kabut itu" kata nona Hoan-"Sekarang mari kita mundur sejauh
sepuluh tindak. Selekasnya kabut buyar dan punah, baru kita
menyerbu masuk untuk menyapu mereka"
Semua orang menurut, semua lantas mundur. Su Khong semua
sangat mengagumi nona ini. Tidak ada orang yang menanya ini dan
itu walaupun sebenarnya mereka heran dan ingin mengetahui
sesuatu....
"Nona" kemudian kata Su Khong, yang mendekati nona Hoan,
"mereka cuma bertiga, bagaimana mereka nanti melayani Seng
Kiong sin Kun serta orang orangnya yang berjumlah sangat besar
itu? Bagaimana kalau loolap memilih dua puluh orang ku untuk turut
memasuki toatian? Pasti mereka dapat memberikan tenaga bantuan
mereka."
Soat Kun menggoyangkan kepala.
"Tak usah siansu" sahutnya. "Telah aku mengatur cukup, Mereka
bertiga dapat melayani musuh."
Siauw Pek semua turut mendekati sinona hingga dia bagaikan
dirumung. Semua mata mengawasi tajam. Semua kagum, tapi juga
semua heran seperti Su Khong Taysu. cumalah bercuriga atau tidak.
mereka bungkam, tidak ada yang berani menanya apa apa.
Sebaliknya sinonalah yang membuka suara
"Aku mempunyai satu kabar girang untuk disampaikan kepada
kalian semua" demikian katanya.
Kembali orang merasa heran sekali. Disaat genting seperti itu,
sinona bicara kabar girang. Maka semua orang mendelong
mengawasinya.
"Kabar girang apakah itu?" Siauw Pek tanya.
Soat Kun tidak menjawab, hanya dia bertanya "Mana Han in
Taysu?"
Ketua dari Go Bie Pay itu menekan tanah dengan kedua
tangannya, maka melesatlah tubuhnya kedepan sinona. "Loolap
disini" sahutnya.
"Mana Nona Thio Giok Yauw?" sinona tanya pula.
"Ada apa nona Hoan?" tanya Giok Yauw cepat. "Aku disini"
Memang nona she Thio itu berada disisi nona yang
menanyakannya itu.
Soat Kun tersenyum.
"Inilah kabar girangku" bilangnya "ini mengenai diriku. Dengan
disaksikanBan Loocianpwee dan Su Kay siansu, tadi jodohku telah
dirangkap dengan jodoh Oey Eng"
Singkat dan getas warta girang itu.
"Benarkah itu?" tanya Giok Yauw heran- Nona inipun menghela
napas perlahan.
"Thian yang menjadi saksi, aku tidak main main" sahut nona
Hoan.
Siauw Pek tercengang, darahnya bergolak. Pemuda ini heran dan
terkejut. Sebenarnya ia telah menaruh hati kepada nona yang cacat
matanya itu. Ia sangat tertarik, kepintaran dan kecantikan sinona
hingga ia tak memikirkan soal matanya yang tak bisa melihat itu.
sekarang mendadak saja ia mendengar warta itu. Maka hebat
baginya buat menenangkan diri.
"Terimalah hormatku, nona" ia segera memberi selamat.
Soat Kun tersenyum.
"Nona Thio, hendak aku menjadi tukang merecoki jodohmu" kata
ia kepada Giok Yauw, "sudikah kau memberi muka padaku?"
Hati nona Thio berdenyut. Inipun mengherankan dan
mengejutkan padanya. Tidak keruan orang menimbulkan soal
jodohnya. Bukankah merka tengah berada dimedan laga dan lagi
menghadapi lawan yang sangat tangguh? Tapi ia harus memberikan
jawabannya.
"Ayahku berada disini, encie bicara saja dengan ayahku itu"
demikian jawabnya perlahan-
Soat Kun lalu menoleh kepada Thio Hong Hong.
"Loocianpwe, bagaimana pikiran loocianpwee?" ia tanya.
"Inilah urusan putriku" menjawab jago tua itu "Biasanya aku si
tua taksuka usil. Buatku cukup asal anakku setujU."
"Seorang ayah yang baik" Nona Hoan memuji jago tua itu. "Nah
nona Thio, bagaimana pikiranmu?"
Lihat atau tidak, Giok Yauw menjawab "Biasanya aku mengagumi
kau encie, apapun yang encie rasa baik, aku..."
"Bagus kausuka mendengar aku" tukas nona Hoan- "Coh bengcu
menjadi yatim piatu semenjak masih kecil sekali, dia harus dapat
dilayani dan dihiburi oleh seorang nona pintar, gagah dan manis
budi seperti kau, baru dia tak akan kesepian"
Siauw Pek mengerutkan alis. Hendak dia menyatakan sesuatu,
tapi Soat Kun sudah mendahuluinya .
"Kalian telah menerima baik, bagus" demikian kata sinona
"Sekarang hendak aku memberitahukan kalian siapa itu Seng Kiong
Sin Kun"
Kata kata sinona bagaikan guntur yang mengagetkan orang.
Memang siapapun ingin mendapat tahu tentang itu. Maka
berdiamlah semua hadirin.
"Baik nona Silahkan nona menyebutkannya" kata Siauw Pek si
ketua.
"Bukankah bengcu telah menerima baik tangannya nona Thio?"
tanya nona Hoan.
Sementara itu Giok Yauw girangnya bukan kepalang. Sudah
sekian lama ia jatuh hati pada pemuda yang tampan dan gagah itu.
cuma ia tak berani mengutarakan sesuatu, sekarang ia girang
hingga hatinya berdetak keras...
Siauw Pek mengangguk. Tak ada lain jalan baginya.
"Nah.... bagaimana pihak Thio?" Soat Kun tegaskan- ^
Thio Hong Hong memandang puterinya, terus ia menjawab
"Baiklah, sekarang aku mewakilkan anakku mengambil keputusan,
aku menerima baik jodoh ini. Nona kau bicaralah sekarang"
"Siapakah diantara kita yang pernah bertemu dengan ceng Gie
Loojin?" tanya sinona kemudian-
"Aku" sahut cian Peng si dewa ikan.
"Ingatkah loocianpwee kalau pada wajahnya ada sesuatu yang
beda dari pada orang lain?" tanya si nona sungguh sungguh. cian
Peng berpikir.
"Dia mempunyai alis yang bagus dan mata yang jeli, tapi sinar
matanya itu, jikalau diawasi sangat tajam dan agak bersikap kejam.
sinar mata itu bagaikan dapat menembus hati"
"Han in Taysu" tanya sinona kepada ketua Ngo Bie Pay "kau
berkesan sangat mendalam terhadap sinat matanya orang atau
orang orang yang kau katakan Seng Kiong Sin Kun itu, benarkah
sinar matanya seperti apa yang dilukiskan cian Loocianpwee ini?"
"Tak salah" Han in Taysu menjawab cepat "kedua matanya
sangat tajam dan berkilau, ada yang sangat sukar melupakan itu."
"Tapi ini masih belum cukup untuk membuktikan dialah ceng Gie
Loojin" berkata Thio Hong Hong.
"Masih ada keteranganku lebih jauh" berkata sinona sambil ia
menyingkap rambut didahinya. "Sebenarnya ceng Gie Loojin dan
guruku almarhum adalah asal satu rumah perguruan- Guruku itu
mempelajari ilmu alam, ilmu kebatinan , ilmu bintang dan ilmu
tenung. Sedangkan ceng Gie Loojin mengutamakan ilmu obat
obatan dan sebangsana. Entah apa ceng Gie Loojin secara diam
diam telah meraCuni guruku dengan semacam racun istimewa
hingga guruku tak bisa mempelajari ilmu silat sampai sempurna.
oleh karena guruku tidak pandai silat, orang mengatakan ia
dibataskan oleh bakatnya. Mengenai itu guruku menutup mulut.
Tidak mau suhu membeber kejahatan saudara seperguruannya itu.
Suhu berdiam tapi gurunya, ialah kakek guruku, mendapat tahu
juga hal itu. ceng Gie Loojin lantas diusir. Lalu dia pergi merantau,
dengan mengandali ilmu obat obatanya itu, dia berbuat amal. Itulah
waktunya dia menyebut dirinya sebagai ceng Gie Loojin, siorang tua
yang maha adil. Dengan berbuat baik, dia ingin gurunya berubah
pikiran dan akan menerimanya kembali. Tapi kakek guru tidak
memperdulikannya. Dia masih penasaran, dia baiki kacung tukang
masak obat, yang dia suruh meracuni kakek guruku. Dia berbuat itu
guna mencegah kakek guru mewariskan semua kepandaian kepada
suhu. Tempo kakek guru ketahui ia diracuni, ia segera menghajar
mati kacungnya itu, tetapi iapun sudah terlambat, tak dapat ia
mengobati dirinya sendiri. Inilah keterangan yang aku dapat dari
suhu. suhu telah memesan kecuali sangat terpaksa, jangan aku
buka rahasia ini"
Baru sinona bicara sampai disitu, telinga semua orang lantas
diganggu suara gemuruh beberapa kali, bagaikan bumi ambruk.
Suara itu disusul dengan berjatuhan banyak kepingan kepingan
anggota tubuh manusia dan darahpun bermuncratan, semua ini
datangnya dari arah toatian, pendopo besarnya Seng Kiong.
Semua orang terkejut. Siauw Pek sudah lantas menghunus Pa
Too dengan menggenggam senjata mana ia berlompat lari
ketoatian. begitu gesit dan pesat ia bergerak. cuma nampak sinar
goloknya, ia sudah lantas tiba didepan pendopo. Semua orang
kagum menyaksikan kelincahannya itu.
Su Khong Taysu bersama Thio Hong Hong, Bun Koan, Hie Sian
cian Peng dan lainnya segera lompat menyusul bengcu dari Kim Too
Bun- Mereka dapat menerka artinya gemuruh serta segala akibatnya
itu.
Tiba didalam toatian, Siauw Pek menyaksikan satu pemandangan
yang sangat menyayat hati berbareng membangunkan bulu roma.
Mayat mayat bergelitukan atau bertumpukan, kaki dimana tangan
dimana, muka mereka itu tak beraturan lagi. Darah mengalir
diseluruh ruangan yang luas seklai, ia sampai berdiri menjublak
saja.
"Adik, kau lagi bikin apa?" tiba tiba terdengar suara Bun Koan
sang kakak.
Bengcu itu menoleh agak terkejut. Suara sikakak membuatnya
sadar. Selain kakaknya itu, segera ia melihat Su khong taysu, yang
lari keluar sambil memondong tubuh Su Kay Taysu yang mandi
darah. Su Kay Taysu lantas ditolong, terutama mencegah darahnya
mengalir terus serta membantu tenaga dalamnya.
Juga Hie Sian cian Peng muncul bersama Ban Liang, diapun
bermandikan darah seluruh tubuhnya. Hingga Seng Su Poan juga
perlu segera ditolongi.
Dilain bagian, Siauw Pek melihat Soat Kun dan Soat Gie tengah
menghadapi Oey Eng. Pemuda itu rebah dilantai dengan
bermandikan darah juga seperti Su Kay Taysu dan Ban Liang. Kedua
nona tampak sangat berduka, air mata mereka meleleh. Oey Eng
mengulur tangannya, untuk menggenggam tangan Soat Kun.
"Hiancee" katanya perlahan sekali "terkaanmu benar semuanya.
Aku telah bertemu dengan ceng Gie Loojin yang lihay itu"
Baru ia mengucap demikian- Oey Eng sudah melepaskan
genggamannya, matanya terus dipejamkan-
Soat Kun lantas mengeluarkan sebuah peles obat, katanya "inilah
obat Hu Sim Sin tan buatan guruku, karena obatnya tinggal tiga
maka juga aku cuma minta tiga orang yang menyerbu kabut asap
Seng Kiong Sin Kun, adikku, lekas kau bagikan seorang satu"
Soat Gie adalah yang dipanggil adik itu, dan sang adik yang bisu
itu segera bekerja. Ia menghampiri Oey Eng, buat memaksa
membuka mulutnya buat memasukkan sebutir obat. Dua butir yang
lainnya ia berikan kepada Su Khong Taysu dan cian Peng, buat
dipakai menolongi Su Kay Taysu dan Ban Liang.
Tak lama setelah menelan obat, Oey Eng tersadar, bahkan dia
tak selesu semula tadi. Ia membuka matanya mengawasi istrinya
dan yang lain lain- ia belum bisa mengatakan sesuatu.
Demiklan juga keadaan Su Kay Taysu dan Ban Liang. Setelah
lama berdiam saja, Soat Kun menghela napas panjang.
"Seng Kiong sudah termusnah. Seng Kiong sin Kun telah
terbinasa, maka aman sejahteralah dunia sungai telaga atau kaum
rimba persilatan" katanya perlahan "Sekarang telah selesai tugasku
disini maka hendak aku pergi bersama suamiku ini guna menolong
dia sebisa bisanya. Selamat tinggal"
Habis berkata, nona ini membungkuk untuk mengangkat dan
memondong tubuhnya Oey Eng, lalu dengan berpegangan pada
Soat Gie, ia bertindak pergi....
Justru disaat itu mulailah toatian didengungkan doa para pendeta
dari Siauw Lim Sie yang mengapal kitab Kim Kong Keng atau
Diamond sutra. Disitu banyak sekali kurban manusia, juga pendeta
pendeta dari Siauw Lim Sie sendiri.....
Siauw Pek berpaling kepada Bun Koan.
"Benar encie, manusia itu harus melakukan banyak kebaikan"
katanya.
"Ya" sahut kakak itu mengangguk "Nona Hoan telah berbuat baik
terhadap kita."
"Encie mari" kata adik laki laki itu yang terus bertindak keluar
toatian- Dan ketua ini lantas diikuti semua kawannya.
Disekitar situ, habis ledakan tadi, sunyi semuanya hanya kali ini
burung burung gagak ramai dengan suaranya, sebab baru saja
mereka pulang kesarangnya masing masing. Karena ketika itu, sang
waktu mulai magrib
Kim Too Bun dibawah kepemimpinan Coh Siauw Pek terus
menjaga ketenangan rimba persilatan- Coh Siauw Pek dengan
pedang dan goloknya menjadi legenda dalam dunia persilatan
selama ratusan tahun sebagai seorang pendekar pembela
kebenaran yang tak terkalahkan.
Sampai disini cerita pedang dan golok yang menggetarkan.
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 10 - boe beng tjoe -terakhir- dan anda bisa menemukan artikel cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 10 - boe beng tjoe -terakhir- ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yang-menggetarkan.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 10 - boe beng tjoe -terakhir- ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 10 - boe beng tjoe -terakhir- sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 10 - boe beng tjoe -terakhir- with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yang-menggetarkan.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar