Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [1]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

Cersil Cin Tung : Badik Buntung

Badik Buntung
Saduran : GKH
Bab 1
Kabut malam mulai menyelimuti seluruh kota Hangciu. Disebelah timur kota Hangciu terdapat
sebuah bangunan gedung mentereng yang berdiri megah dan angker dikegelapan malam.
Dari dalam gedung yang megah dan angker ini lapat-lapat terdengar gelak tawa orang banyak.
Seorang pemuda mengenakan jubah panjang warna putih, seperti pemuda pelajar umumnya
tengah beranjak cepat menuju ke arah gedung besar ini, pemuda itu berpaling menengadah
melihat cuaca, memandang sang putri malam yang memancarkan cahayanya yang terang
cemerlang. Ditimpah cahaya sang bulan purnama kelihatan sikap tegas dan watak keras dari wijah
pemuda yang putih cakap itu.
Sejenak ia berhenti mengamat-amati gedung besar dihadapannya, ujung mulutnya mengulum
senyum, sedikit pundaknya bergoyang gerak tubuhnya sudah terbang tinggi ke tengah udara
langsung melesat ke atas wuwungan ruangan besar terus meluncur turun memasuki ruangan
pesta itu.
Suara tawa dan percakapan ramai dalam ruangan besar seketika sirap. Dengan berputar tubuh
pemuda itu menjelajahkan pandangannya keseluruh ruang besar itu. Penerangan terpasang
terang benderang, meja besar perjamuan berputar tiga lingkaran. yang terletak paling tengah
sana duduk seorang tua bermuka merah, dua lilin besar dibelakangnya tengah terbakar menyala
menerangi sebuah huruf “SIU” (panjang umur) yang besar dari kertas mas.
Semua mata memandang heran ke arah sipemuda. Mereka merasa takjup akan kepandaian
silatnya begitu lihaynya sampai sudah mendarat di dalam ruangan besar itu baru hadirin
mengetahuinya.
Setelah berputar memeriksa keadaan seluruh ruangan pesta ini sipemuda langsung menghadap
ke arah si orang tua bermuka merah itu, serunya sambil menjura, “Siautit Hun Thian-hi, mendapat
perintah dari orangtua untuk menyampaikan salam panjang umur, setindak telah terlambat harap
paman suka memberi maaf!
Waktu Hun Thian-hi memperkenalkan diri si orang tua muka merah mengerutkan kening dan
mengunjuk rasa heran dan curiga, dengan tajam ia awasi Hun Thian-hi bibirnya bergerak seperti
hendak berkata apa, tapi urung diucapkan. Selanjutnya air mukanya lantas menunjukkan rasa
kejut dan marah. Sekilas kedua biji matanya melirik keseluruh ruang, sekejap saja wajahnya
berubah lagi menjadi beringas dan gusar.
Hun Thian-hi seakan tidak merasa dan tidak tahu akan segala perubahan air muka si orang tua
muka merah, acuh tak acuh seperti anak kecil yang ketarik akan sesuatu yang memincut hatinya
ia berputar dan celingukan menatapi itu persatu seluruh hadirin. Setelah sepasang mata tajam
berkilat menerawang seluruh isi ruang pesta ini, ujung mulutnya lagi-lagi menampilkan senyum
dikulum.

Mendadak berkelebat cahaya aneh dan mengejutkan terpancar dari kedua biji matanya tanpa
merasa sebelah tangannya mengelus Seruling batu pualam dipinggangnya. Ternyata bahwa
dikedua samping kiri kanan si orang tua merah duduk sepasang muda mudi, sorot pandangan
mereka berdua juga berkilat mengandung ketajaman yang luar biasa, pandangan muda-mudi itu
juga tertuju ke arah dirinya.
Dengan muka gusar si orang tua muka merah membentak kepada Hun Thian-ki, “Siapa kau?
Berani kau mengaku sebagai putra Hun Siau-thian Hun-toako untuk menyampaikan salam hormat
kepadaku?”
Seluruh hadirin yang terdiri dari orang-orang gagah persilatan terkejut, begitu mendengar
nama Hun Siau-thian disebut. Harus diketahui bahwa Hun Siau-thian adalah tetua dari Bulim-samciat
pada dua puluh tahun yang lalu, dengan menggembol dan bersenjatakan Badik buntung ia
belum pernah mendapat tandingan di seluruh jagat. Selama dua puluh tahun terakhir jejaknya
menghilang tak karuan paran. Sungguh diluar dugaan hari ini ada seseorang yang berhubungan
dekat dengan beliau muncul disini menyampaikan salam hormat.
Hun Thian-hi mengulum senyum tawar, katanya pelan-pelan, “Jangan takut! Aku tidak akan
menuntut balas, kedatanganku ini hanya mau minta balik badik buntung saja, apa kau minta
bukti?” — dari dalam lengan baju tangan kanannya ia melolos keluar sarung pedang pendek
sepanjang satu kaki entah terbuat besi atau mas, yang terang sarung Pedang ini memancarkan
cahaya terang terus diangsurkan ke depan orang tua muka merah.
Seluruh hadirin bertambah kejut dan heran lagi. Badik buntung sudah menghilang ikut
lenyapnya Hun Siau-thian selama dua Puluh tahun tak duga bisa berada disini!
Merah Padam muka si orang tua, mendadak ia berjingkrak bangun terus membentak sambil
menuding Hun Thian-hi, “Badik buntung berada ditangan Hun Siau-hian, seluruh orang gagah
dijagat ini mengetahui. Siapa kau sebenar-benarnya? Kau kira aku Hoan-thian-chiu Su Tat-jin
gampang dihina dan dipermainkan?”
Baru lenyap suara Su Tat-jin, seseorang yang duduk disebelah samping kanannya sudah
bergegas berdiri serta serunya, “Su Toako, biar kuberi hajaran kepadanya!”
Kalem saja Hun Thian-hi memutar tubuh menghadapi si orang pembicara ini, dengan seksama
ia awasi orang ini. Kiranya seorang Tosu pertengahan umur mengenakan jubah pendeta warna
hijau mulus. Matanya juling seperti mata garuda menyorotkan sinar dingin mendelik ke arah
dirinya.
Sekonyong-konyong wajah putih Hun Thian-hi menampilkan senyum tawa yang aneh. Seketika
si Tosu itu berhenti dan berdiri melongo, matanya berkilat ragu-ragu, agaknya tak tahu apa yang
harus dilakukan selanjutnya setelah melihat senyum tawa Hun Thian-hi yang penuh arti itu.
“Harap tanya slapakah gelaran Totiang ini?” tanya Hun Thian-hi dengan nada mengejek.
Tiba-tiba Tosu pertengahan umur ini tersentak kaget seperti sadar dari suatu lamunan,
dimakluminya sekarang bahwa senyum tawa Giok-liong tadi hakikatnya mengandung sindiran dan
memandang ringan dirinya, saking gusar selebar mukanya menjadi merah padam, teriaknya,
“Hun-tiong-it-ho Ling-ci-cu itulah aku adanya!” habis berkata kakinya terus bergerak menubruk
maju ke hadapan Hun Thian-hi disertai dengan mulutnya membentak, “Lihat pukulan!” sebelah
tangannya tahu-tahu nyelonong menjotos ke dada Hu Thian-hi.

Hun Thian-hi sedikit menekuk dengkul lalu menggeser mundur, ringan sekali tubuhnya ikut
berputar menghindar. Maka pukulan lawan dengan mudah sekali dapat dihindarkan menyamber
lewat disamping dadanya terpaut seurat saja.
Ling-ci-cu menggerung murka, tangan kiri berputar menyusul tiba terus menepuk ke punggung
Hun Thian-hi.
Sambil tetap mengulum senyum Hun Thian-hi menggoyangkan sedikit badan indah sekali ia
bergaja berkelit dari serangan musuh. Gerak tubuhnya enteng laksana awan mengembang seperti
air mengalir ia main mundur ke tengah ruangan. Dimana sepasang matanya berkilat menyapu
pandang ke seluruh keadaan meja perjamuan dalam ruang pesta besar ini.
Diam-diam terkejut hati seluruh hadirin. Siapa yang tak kenal akan ketenaran nama Hun-tiongit-
ho Ling-ci-cu yang berkepandaian tinggi, dengan gerak tubuh serta bekal Lwekangnya ternyata
dua kali serangannya dengan mudah telah dihindarkan oleh pemuda pelajar ini. Ini betul-betul
suatu hal yang luar biasa. Seandainya pemuda ini betul adalah anak kandung Hun Siau-thian,
dengan usia yang masih muda betapapun latihannya takkan mungkin mencapai tingkat yang
sempurna sekian baiknya.
Beruntun serangan berantainya dengan mudah kena kelit oleh lawan, hati Ling-ci-cu menjadi
dongkol seperti dibakar, gesit sekali ia menerjang datang lagi sambil kirim serangan lebih gencar.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Hun Thian-hi berseru menghentikan pertempuran.
Ling-ci-cu segera menghentikan aksinya, dengusnya, “Ada omongan apa lagi yang hendak kau
katakan?”
Hun Thian-ki tertawa lebar, sekilas ia menyapu pandang ke sekelilingnya lalu berkata kepada
Su Tat-jin, “Hari ini aku sudah datang kemari. Perihal Badik Buntung yang di tanganmu itu betapa
juga pasti akan tersiar luas, dengan kemampuanmu kau takkan mungkin kuat melindunginya.
Biarlah kutekankan lagi bahwa kedatanganku ini bukan hendak menuntut balas. Serahkan saja
Badik buntung itu kepadaku, segalanya beres!”
Belum lagi Su Tat-jin membuka suara Ling-ci-cu telah menyelak, “Nanti dulu.”
Pelan-pelan Hun Thian-hi memutar badan menghadapi Ling-ci-cu sambil memicingkan mata.
Kata Ling-ci-cu dengan gusar, “Bocah keparat jangan kau terlalu sombong, tak perlu dikatakan
apakah benar-benar Badik buntung itu berada disini. Seumpama betul ada disini, berani kau
dihadapan kita sekalian hendak mengambilnya begitu gampang?”
Hun Thian-hi celingukan melihat reaksi seluruh hadirin, satu pun tiada yang berani bersuara.
Terang bahwa mereka sudah setuju akan kata-kata profokasi dari Ling-ci-cu itu. Dengan sabar dan
kalem ia hadapi Ling-ci-cu, lalu katanya acuh tak acuh, “Lalu bagaimana maksudmu?”
“Hatimu tahu sendiri,” jengek Li-ci-cu, “kenapa perlu tanya lagi!”
Alis lentik Hun Thian-hi terangkat tinggi, ujung mulutnya mengulum senyum manis, berturutturut
ia mundur dan mundur terus sampai diambang pintu lalu dirogohnya keluar Seruling batu
giok di pinggangnya langsung diangkat ke depan mulutnya.
Gadis yang duduk di sebelah kanan Su Tat-jin bergegas bangun, matanya memancarkan sinar
tajam penuh kejut dan heran, tak kuasa mulutnya juga berteriak, “Lam-siau!”

Pemuda yang duduk di sebelah kiri juga tersentak bangun berdiri.
Seluruh hadirin juga sama terkejut, siapapun tak mengira bahwa Hun Thian-hi kiranya adalah
murid Lam-siau (seruling selatan) salah satu dari Hwe-siang-ki (sepasang manusia aneh dalam
dunia). Tak heran dengan mudah dan seenaknya saja ia tadi berkelit dan menghindari serangan
Ling-ci-cu yang cukup hebat itu.
Sejenak sorot mata Hun Thian-hi memancarkan rasa bimbang dan ragu, namun demikian
mulutnya sudah mulai meniup serulingnya, dilain saat irama seruling yang merdu sudah
kumandang mengalun di tengah udara.
Beramai-ramai seluruh hadirin mengerahkan tenaga murni dan Lwekang untuk
mempertahankan diri.
Hun Thian-hi sendiri juga prihatin dan penuh keseriusan, karena dia sendiri harus memusatkan
pikiran dan mengerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya disalurkan ke dalam irama serulingnya
untuk menundukkan musuh.
Selain kedua muda mudi itu, seluruh hadirin sudah mulai mandi keringat, mati-matian mereka
tengah bertahan sekuat tenaga.
Sambil meniup serulingnya pandangan Hun Thian-hi menyapu ke seluruh ruangan besar, lagilagi
matanya memancarkan rasa ragu dan bimbang, sejalur irama melengking tinggi memecah
angkasa, dinding di empat penduru gedung ini terdengar bergetar dan mulai retak hampir roboh.
Pelan-pelan Hun Thian-hi menarik turun Serulingnya, pandangannya menyapu ke seluruh
hadirin, nyata tiada satupun yang lolos semua telah tertutuk jalan darahnya oleh getaran irama
serulingnya, sebentar ia menarik napas panjang terus tertawa lebar langsung ia melangkah
menghampiri Su Tat-jin.
Pertama-tama ia bebaskan jalan darah Su Tat-jin yang tertutuk. Dengan penuh rasa kejut gusar
dan takut-takut Su Tat-jin menyapu pandang ke seluruh tamu-tamunya. Dilihatnya kedua muda
mudi itu juga telah tertutuk jalan darahnya, dengan penuh rasa murka dan hampir tak percaya ia
tatap Hun Thian-hi.
Kata Hun Thian-hi tanpa menunjukkan expresi, “Su Tat-jin, semasa hidup ayahku betapa baik
sikapnya terhadap kau. Tak duga, dalam keadaan beliau sedang sakit kau rebut Badik buntung itu
lalu melarikan diri menghilang!”
Sambil mundur ke dalam ruangan dalam, Su Tat-jin menyahut cepat, “Bukan aku, itulah. Ling
Ci-cu yang melakukan!”
Hun Thian-hi mendengus hina, katanya, “Sekarang aku tidak ingin tahu segala tetek bengek itu,
serahkanlah Badik buntung itu kepadaku!”
Su Tat-jin kempas-kempis berusaha mengendalikan pembawaannya, sikapnya ragu-ragu.
“Lekas!” desak Hun Thian-hi.
Su Tat-jin membuka pintu terus membawa Hun Thian-hi masuk kerumah dalam. Setelah
melewati sebuah serambi panjang mereka tiba pada pada sebuah kamar. Sekilas Hun Thian-hi
memeriksa keadaan kanan kirinya, mulutnya lantas berkata kepoda Su Tat-jin, “Jangan kau
mengatur tipu daya, aku takkan bisa terjebak oleh tipu muslihatmu!”

Mata Su Tat-jin berjelilatan, akhirnya apa boleh buat ia menghampiri ke depan tempat tidur.
Dengan ketat Hun Thian-hi mengintil dibelakangnya. Mendadak ia memutar tubuh sambil
mengulur serulingnya menekan jalan darah di punggung Su Tat-jin lalu berpaling ke belakang ke
arah pintu.
Di depan kamar tidur sana berdiri berendeng kedua muda mudi tadi, masing-masing tangannya
menyoreng pedang panjang, dengan tajam dan gusar mereka tatap Hun Thian-hi….
Hun Thian-hi diam saja mengawasi mereka. Dalam hati ia menyesal kenapa waktu menutuk
jalan darah mereka dengan irama serulingnya tadi tidak gunakan tenaga berat, sehingga begitu
cepat mereka sudah bisa ikut mengintil datang.
Terdengar pemuda itu buka suara, “Hun Thian-hi, kau adalah murid Lam-siau, lepaskan
pamanku, mari kita bicara diluar!”
Hun Thian-hi merenung sebentar, akhirnya ia menjawab, “Tidak! Suruh dia mengembalikan
Badik buntung kepadaku!”
Su Tat-jin menjadi gugup, serunya, “Anak Cin, jangan kau percaya omongannya, hakikatnya
aku tidak menyimpan Badik buntung apa segala.”
“Lalu kenapa kau bawa aku kemari?” jengek Hun Thian-hi menyeringai.
“Adalah kau yang mendesak aku begitu rupa!”
Hun Thian-hi mendengus hidung, sedikit menerawang hati-hati sekali mendadak sebuah
kakinya menendang ke tempat tidur Su Tat-jin.
“Blang!” seketika ranjang kena ditendang terbalik dimana terdengar suara pegas berbunyi
serentetan pisau terbang melesat keluar berseliweran, sigap sekali Hun Thian-hi jinjing tubuh Su
Tat-jin melompat terbang keluar kamar.
Dengan selamat Hun Thian-hi mendaratkan kakinya di tanah, hidungnya mendengus hina.
Sekilas Su Tat-jin memandang ke arah muda mudi itu lalu berkata, “Memangnya Badik buntung
tidak berada ditanganku, terpaksa aku berbuat begitu!”
Berbareng muda mudi itu melolos pedang panjangnya terus menerjang ke arah Hun Thian-hi.
Cepat sekali biji mata Hun Thian-hi menjelajah keadaan sekitarnya, tiba-tiba tangannya diayun ke
belakang melemparkan tubuh Su Tat-jin keluar rumah sana, disusul tubuhnya sendiri juga ikut
berkelebat keluar hinggap di pelataran luar.
Sebetulnya Su Tat-jin bukan kaum kroco, tadi sedikit pun ia tidak berontak karena di bawah
ancaman Hun Thian-hi, sekarang setelah lepas dari tangan Hun Thian-hi seiring dengan luncuran
tubuhnya ini tiba-tiba ia jumpalitan ditengah udara badannya terus membalik naik hinggap di atas
dahan sebuah pohon besar.
Meski kepandaian Hun Thian-hi tinggi, pengalaman masih cetek sedikit gegabah ia lemparkan
Su Tat-jin keluar, setelah ia melempar tubuh orang baru menyesal juga sudah kasep.
Begitu badan Hun Thian-hi melenting keluar, kedua muda mudi itu juga sudah terbang
mengejar tiba, pedang panjang mereka sebat sekali menusuk tiba dari kanan kiri.

Mendadak Hum Thian-hi memutar tubuh ditengah udara, serempak tangannya dibalikkan ke
belakang sambil menyapukan Serulingnya dengan jurus Hoat-hi-pit-thian, sejalur kabut putih dari
kekuatan tenaga dalamnya segera menyampok ke arah muda-mudi itu.
Baru tusukan sampai ditengah jalan sebelum pedang mereka dan seruling Hun Thian-hi saling
sentuh, pedang sudah ditarik balik, disusul pedang dibalikkan berputar terus menusuk ke depan
dari atas dan bawah, masing-masing mengarah temggorokan dan perut Thian-hi.
Pancaran mata Thian-hi menampilkan rasa kejut dan heran, serulingnya diputar dan disurutkan
mundur, berbareng lincah sekali tubuhnya menggeser terus hinggap di atas tanah. Saat itu juga
kedua muda mudi itu juga sudah meluncur turun, sesaat ketiga orang ini saling tatap tanpa bicara.
Sejenak kemudian Hun Thian-hi baru membuka mulut, “Apakah kalian murid Pak-kiam?”
“Betul!” sahut sipemuda, “Aku bernama, Su Cin. Dan ini adikku bernama, Su Giok-lan.”
Su Giok-lan mencemooh, “Apakah kau murid Lam-siau?”
Hun Thian-hi manggut-manggut, ujarnya; “Kalau begitu lebih baik, harap kalian suka bujuk
paman kalian untuk mengembalikan Badik buntung itu kepadaku!”
“Kau punya bukti apa berani menuduh bahwa Badik buntung itu berada ditangan pamanku.”
semprot Su Giok-lan aseran.
“Dulu pamanmu menggunakan akal muslihat licik merebut Badik buntung itu dikala ayahku
terluka berat,” demikian Hun Thian-hi memberi keterangan, “Kalau nona benar-benar adalah
murid Pak-kiam Siau-cianpwe tentu mengenal juga betapa pentingnya Badik buntung ini, kuharap
nona suka membujuk paman kalian untuk kembalikan Badik buntung itu kepada aku yang rendah,
kupandang muka kalian aku tidak akan menuntut segala peristiwa yang sudah lalu.”
“Enak benar-benar kau mengudal mulutmu,” jengek Su Giok-lan. “Ada bukti apa kau berani
bicara begitu takabur?”
“Apakah murid Lam-siau juga bisa membual?”
“Apakah murid Pak-kiam bisa berlaku ceroboh?”
Berkobar hawa amarah Hun Thian-hi,
“Kau….” katanya berhenti, lalu sambungnya, “Kalau nona hendak mengetahui duduk perkara
yang berbelit2 itu silakan tanyakan kepada Hun-tiong-it-ho dan pamanmu itu, tentu kalian akan
jelas segalanya.”
“Jangan kau kira kau ini paling pintar,” dengus Giok-lan, “apa hakmu menyuruh kami
mengompes keterangan mereka. Murid Lam-siau punya kepandaian apa?”
Mendadak bercekat hati Hun Thian-hi, pikirnya, “Ooo, jadi begitu!” — mungkin karena tadi
mereka kena tertutuk jalan darahnya oleh irama seruling jadi mereka uring-uringan.
Hun Thian-hi berdiri diam, bungkam seribu bahasa.
“Adik Lan!” Cegah Su Cin sambil berpaling ke arah adiknya.

“Kenapa engkoh bantu orang luar!” teriak Giok-lan keras, lalu ia menghadapi Hun Thian-hi lagi,
ujarnya, “Jangan banyak mulut lagi, tiga hari kemudian jam empat subuh kita bertemu di Giokhong-
gay di gunung Sian-sia-nia. Kalau kau menang bagaimana juga kita berusaha
mengembalikan Badik buntungmu, kalau kau kalah sudah jangan cerewet lagi!”
Thian-hi berpaling ke arah Su Cin, melihat orang tidak membuka suara, lalu ia mengawasi pula
ke arah Su Tat-jin, pelan-pelan baru ia berkata, “Begitupun baik, kita bertemu tiga hari kemudian!”
selesai berkata ia memutar tubuh terus berlari bagai terbang sekejap saja ia sudah menghilang.
Sebentar saja tiga hari sudah mendatang. Pagi hari itu cuaca masih gelap Hun Thian-hi sudah
beranjak dari penginapannya, berlari cepat menuju ke Giok-hong-gay di gunung Sian-sia-nia.
Udara gelap dingin kabut masih tebal, dengan kepandaian dan latihan Lwekang Hun Thian-hi
yang sudah cukup sempurna juga tidak lebih hanya dapat melihat setombak jauhnya. Sejenak ia
mengerutkan kening, sebentar ia berdiri di atas ngarai lalu memandang ke arah hutan sebelah
sana.
Tak lama kemudian diantara kabut tebal muncul tiga bayangan orang, langsung berlari kencang
menuju ke puncak ngarai ini. Itulah Su Tat-jin bersama Su Cin dan Su Giok-lan.
Melihat Hun Thian-hi sudah menunggu disitu, Su Giok-lan tersenyum ejek, ujarnya, “Kiranya
kau bisa menepati janji?”
Hun Thian-hi menggendong tangan sambil angkat dahi tanpa bicara.
Kata Su Cin, “Hun Siauhiap! Sudah beberapa kali kutanyakan kepada pamanku, bahwa Badik
buntung memang tiada ditangannya, mungkin Hun Siauhiap salah duga!”
Hun Thian-hi berpaling menatap Su Tat-jin dengan tajam tanpa bersuara.
“Keluarkan Serulingmu!” tantang Su Giok-lan uring-uringan, “ingin aku belajar kenal kepandaian
hebat apa yang dimiliki oleh murid Lam-siau yang diagungkan itu!”
Diam-diam Hun Thian-hi tengah menerawang dalam hati, ia tahu pasti bahwa Badik buntung
itu benar-benar berada ditangan Su Tat-jin, namun dengan adanya Su Cin dan Su Giok-lan sebagai
pelindungnya urusan menjadi rada runyam. Bahwasanya Lam-siau (seruling selatan) dan Pak-kiam
(pedang utara) sama tenar sama derajat, betapa juga ia tidak mungkin bermusuhan dengan
mereka, sebaliknya Badik buntung itu bagaimana juga harus direbut kembali.
Tengah ia berpikir Su Giok-lan sudah tidak sabaran lagi “sreng!” ia cabut keluar pedang
panjangnya, katanya menuding Hun Thian-hi, “Bagaimana, apakah murid Lam-siau sedemikian
pengecut?”
Hun Thian-hi menjadi dongkol pelan-pelan ia putar tubuh, ujarnya, “Apakah nona Su mendesak
aku turun tangan?”
“Bukankah kau minta kembali Badik Buntung?” dengus Su Giok-lan, “Kalau mau minta kembali
silakan keluarkan serulingmu!”
Dengan angkuhnya Hun Thian-hi menyeringai tawa, pelan-pelan dikeluarkan serulingnya.
Tanpa banyak mulut segera Su Giok-lan menerjang maju sambil menusuk membabat dan
membacok bergantian, beruntun ia lancarkan empat jurus serangan berantai.

Seenaknya saja Hun Thian-hi menggerakkan serulingnya, entah menyampok atau menangkis
gampang saja ia punahkan seluruh serangan Su Giok-lan.
Melihat serangan gencarnya tak dapat mendesak lawan Su Giok-lan menjadi sengit, sambil
menggertak pedang panjangnya mendadak menekan ke bawah tiba-tiba terus menukik ke atas
menusuk lambung, kiranya ia sudah mulai kembangkan pelajaran tunggal yang diandalkan pihak
Pak-kiam (pedang utara) yaitu ilmu pedang yang dinamakan Hian-thian-kiam-hoat badan dan
pedang seakan bersatu padu bergerak lincah mengikuti gerak badan dan samberan pedang.
Sejalur pelangi panjang menggubat dan melilit kencang ke arah Hun Thian-hi.
Dengan angkernya Hun Thian-hi tetap berdiri di tempatnya tanpa menggeser sesentipun,
Serulingnya terayun ke kiri menyampok kekanan lalu menekan kebawah bergantian sedikitpun
tidak menjadi gugup atau terpengaruh oleh serangan gencar lawannya.
Meskipun Hian-thian-kiam-hoat yang dikembangkan Su Giok-lan mengandung banyak
perubahan yang susah diraba, sayang Lwekangnya setingkat lebih rendah, sedikitpun ia tak
mampu menyentuh atau mendesak Hun Thian-hi yang berlaku tenang itu.
Sekejap saja kedua belah pihak sudah saling serang sebanyak lima puluh jurus. Dimana ayunan
seruling Hun Thian-hi bergerak sekarang mulai mengambil inisiatif pertempuran dari banyak
membela diri mulai melancarkan serangan balasan. Begitu Lwekang dikerahkan seiring dengan
ayunan serulingnya terpancarlah sinar cahaya putih bergerak lincah menari2 terus menyerang
lebih deras dan ketat ke arah Su Giok-lan.
Semakin lama Su Giok-lan terdesak di bawah angin, untuk membela diri saja menjadi kerepotan
jangan kata balas menyerang.
Akhirnya Su Cin menjadi cemas dan kuatir, sreng! Pedangnya lantas dilolos keluar, teriaknya,
“Adik Lan, kau mundurlah!” — lalu iapun berteriak ke arah Hun Thian-hi, “Hun Siau-hiap, biarlah
aku pun belajar kenal dengan kepandaianmu!”
Sambil menyapukan pedangnya Su Cin terus menerjang maju. Su Giok-lan mendapat peluang
dengan sengit dan gemes ia berteriak, “Aku belum terkalahkan, buat apa kau ikut maju?” seiring
dengan kata-katanya, pedang panjangnya mendadak bergerak lincah, beruntun ia lancarkan lagi
serangan ketat kepada Hun Thian-hi.
Su Cin menjadi serba susah, maju mundur menjadi sulit baginya, kedua belah pihak adalah
murid perguruan ternama yang sejajar ketenarannya, bagaimana mungkin dirinya melawan orang
dengan cara keroyokan. Tapi keadaan Su Giok-lan sudah di ambang bahaya, tidak bisa tidak aku
harus maju membantu, terpaksa mengeraskan kepala ia terus menerjang maju.
Hun Thian-hi bergelak tawa lantang, dimana Serulingnya menari kencang mendadak tubuhnya
terbang ke atas, di tengah udara jumpalitan terus mengembangkan Thian-liong-cit-sek atau tujuh
gaja naga langit.
Jurus pertama yang bernama Liok-liong-wi-hian (enam naga terbang berputar) dikembangkan
berpetalah bayangan seruling samar-samar seperti ada seperti tiada serentak meluncur ke arah
dua sasaran.
Su Cin dan Su Giok-lan merupakan murid didikan Pak-kiam yang kenamaan apalagi dengan dua
mengeroyok satu sudah tentu tidak gampang mereka dikekang dan terkepung. Serempak pedang
panjang mereka silang menyilang di tengah udara ke kanan kiri inilah jurus Ban-liu-ing-hong
(dahan pohon liu menyambut angin) jalur sinar pedang terpancang menjadi pepat merintangi
serangan melandai tiba.

Tapi di tengah jalan tubuh Hun Thian-hi mendadak melenting lebih tinggi lagi, seruling batu
pualam putihnya lagi-lagi meluncur dengan serangan yang dinamakan Gin-liong-jip-cui (naga sakti
masuk air) Seruling batu itu menukik dari atas meluntiur seperti burung menyambar belalang
langsung menutuk ke jalan darah Bi-sim-hiat Su Cin dan Su Giok-lan.
Sekali lagi pedang panjang mereka bekerja sama bersatu padu melancarkan tipu Loan-ciokbing-
hun (batu kalut menerjang awan), sinar pedang berubah setitik bintang menutul balik
merangsak ke arah Hun Thian-hi lagi.
Hun Thian-hi tertawa tawar, lagi-lagi lawan bergabung menyerang dirinya, memang inilah yang
sedang diharapkan, tiba-tiba tubuhnya mengkerut turun, dimana seruling batunya terayun maju
langsung memapak ke arah kedua batang pedang lawan yang terbang meninggi mengarah
dirinya. Di tengah jalan jurus serangan Thian-hi ini lagi-lagi dirubah menjadi Hun-liong-pian-yu,
bayangan seruling mendadak berubah menjadi beribu banyaknya, seperti menyerang tapi juga
membela diri langsung menyapu ke depan.
Naga terbang menyapu baju yang dilancarkan Hun Thian-hi ini merupakan salah satu jurus dari
ilmu Thian-liong-cit-sek yang paling banyak perubahan dan paling sulit di jajaki. Su Cin dan Su
Giok-lan tidak mengira Hun Thian-hi bakal melancarkan jurus-jurus yang sangat lihay ini, keruan
bercekat hati mereka, tak tahu mereka kemana juntrungan Hun Thian-hi melancarkan serangan
berbahaya ini, tanpa merasa gerak-gerik mereka sedikit merandek.
Sementara serangan Hun Thian-hi ini sampai di tengah jalan mendadak juga memperlihatkan
setitik kelemahan, dimana jurus serangan yang seharusnya menutuk maju rada2 kelihatan sedikit
lamban seperti hendak membela diri malah, karuan sedikit lubang kelemahan ini cukup ketahui
oleh kakak beradik didikan Pak-kiam ini, keruan bukan kepalang girang hati mereka, tanpa berjanji
seperti sudah terjadin ikatan batin saja mendadak pedang mereka berbareng membabat dan
menyontek ke atas membabat kaki dan menusuk perut Hun Thian-hi.
Tak kira perbuatan Hun Thian-hi ini memang disengaja untuk memancing gerakan musuh,
sedikit lamban mendadak Hun Thian-hi lincah sekali menyelonong maju, lenyap gaya membela diri
semula mendadak berubah menjadi serangan telak, berbareng dengan gerak tubuhnya yang
lincah lantas menyelinap ke tengah diantara mereka berdua, serulingnya menutuk pundak dan
mengetuk batok kepala.
Karuan Su Cin berdua berjingkrak kaget seperti disengat kala. Berbareng mereka mundur kedua
samping untuk menghindar.
Dengan tipu jurus yang indah Hun Thian-hi berhasil memisahkan kedua musuhnya, mendapat
angin yang menguntungkan ini serulingnya bergerak semakin sebat lagi, jurus demi jurus tipu-tipu
serangan serulingnya membadai tiada habisnya, dengan jurus Jian-hong-ing-long (menuntun
angin menyambut gelombang) ia tumplek seluruh kekuatan untuk menyerang kedua lawannya.
Su Giok-lan dan Su Cin harus melompat mundur kesamping lagi, namun sambil berkelit ini tibatiba
pedang panjang mereka menukik balik, dengan jurus Yau-ci-thian-lam (jauh-jauh menuding
langit selatan) pedang mereka tepat sekali memapaki kedatangan serangan Hun Thian-hi, begitu
seruling dan pedang kedua belah pihak saling bentur, kontan Su Cin dan Su Giok-lan tergetar
mundur satu langkah.
Gerakan Hun Thian-hi tidak berhenti sampai disitu saja, lagi-lagi serulingnya menyapu tiba
dengan tipu Ci-ang-yau-sut (pelangi menggubat saka) dimana sinar putih berkelebat masingmasing
menutuk ke arah jalan darah Thian-to-hiat di atas tubuh Su Cian dan Su Giok-lan. Karena

terdesak untuk membebaskan diri dari tutukan berbahaya ini terpaksa mereka mundur berulangulang.
Wajah Hun Thian-hi menampilkan senyum tawar. seorang diri bukan saja dirinya mampu
melawan keroyokan mereka malah mendesak mundur kedua musuhnya, betapa hatinya takkan
senang.
Dalam pada itu dengan kesima Su Tat-jin menonton pertempuran seru ini dengan seksama,
lambat laun berubah rona wajahnya, kedua biji matanya memancarkan rasa kebencian yang
meluap-luap, samar-samar juga terunjuk rasa ragu sulit mengambil suatu keputusan.
Sementara itu, sinar putih kemilau dari seruling Hun Thian-hi terus berkembang berputar-putar
di tengah gelanggang mengepung dua musuhnya.
Belum lama Su Cin serta adiknya kelana, baru pertama kali ini mereka menghadapi musuh
tangguh, dalam waktu singkat mereka menjadi kelabakan dan keripuhan tak tahu cara bagaimana
untuk bekerja sama menghadapi musuh karena kehilangan pegangan, maka gerak pedang mereka
lambat laun juga menjadi tak terkontrol lagi, begitulah dalam suatu ketika mereka harus
mengayun pedang untuk menangkis.
Melihat kedua musuhnya mengangkat pedang menangkis serangannya Hun Thian-hi tersenyum
riang, tahu dia kalau pedang dan serulingnya saling bentrok tak ampun lagi pasti pedang kedua
musuhnya bakal terpental terbang ke tengah udara terlepas dari cekalannya. Mereka adalah murid
Pak-kiam yang sejajar dengan gurunya, hal inilah yang menjadikan penghambat gerak geriknya.
Semakin lama hati Su Tat-jin semakin berang dan kebat-kebit, pancaran matanya semakin buas
dan mengandung hawa membunuh. Mendadak ia menghardik keras sekali, “Ni, sambutlah Badik
buntung!” sejalur sinar hijau melesat terbang dari tangannya langsung melayang lewat disamping
gelanggang pertempuran tiga kaki tingginya.
Begitu mendengar bentakan, Hun Thian-hi sangat terkejut, sedikitpun tiada tempo untuk ia
pikir, sebat sekali tubuhnya bergerak terus mengejar ke arah Badik buntung yang meluncur itu.
Su Cin dan Su Giok-lan sendiri juga terperanjat, dengan muka merah padam mereka
mengawasi Su Tat-jin.
Ditengah gelapnya kabut di sebelah sana terdengar pekik kejut yang tertahan, sinar hijau
kelihatan berloncat dan terus melayang jatuh ke bawah jurang sana.
Su Cin serta adiknya berdiri terlongo tanpa membuka suara, wajah mereka menjadi pucat pias.
Tak lama kemudian Su Giok-lan membuka mulut kepada Su Tat-jin, “Paman! Ternyata Badik
buntung itu betul berada ditanganmu!”
Su Tat-jin tertawa kering dua kali, ujarnya menyeringai, “Benar-benar! Badik buntung berada
ditanganku. Tapi kalian harus tahu bahwa perbuatanku tadi adalah demi untuk kebaikan kamu
berdua. Kalau aku tidak bertindak cepat, kukuatir kalian bakal terjungkal ditangannya”
“Tapi paman,” sela Su Cin cepat, “seharusnya kau tidak boleh berbuat demikian, dia adalah
murid tunggal Seruling selatan….”
“Justru karena dia adalah murid tunggal Seruling selatan, maka aku bertindak demikian.”
Demikian sambung Su Tat-jin, “apa kalian sudah lupa bahwa kalian adalah murid Pedang utara?
Kalau kalian terkalahkan kemana muka guru kalian hendak ditaruh. Seruling selatan dan Pedang

utara tergabung menjadi Hwe-siang-ki (sepasang manusia aneh di majapada tapi hakikatnya
mereka sendiri belum pernah saling jajal kepandaian masing-masing, apa kalian sudah tahu?”
Su Cin dan adiknya bungkam. Mereka insaf bahwa dengan kekalahan mereka berdua melawan
Hun Thian-hi mungkin akan merupakan noda hitam bagi ketenaran nama baik Pedang utara,
bukankah sejak saat ini taraf antara Seruling selatan dan Pedang utara harus dibagi tingkatannya.
Kata Su Tat-jin pula, “Cin-ji! Lan-ji! Kalian harus tahu bahwa peristiwa pagi ini sekali2 tidak
boleh diketahui orang luar, kalau tidak bukan saja kalian aku pun terseret pula, bagaimana
selanjutnya kita harus berkecimpung dikalangan Kangouw. Kukira guru kalian juga menjadi sulit
untuk angkat kepala di dunia persilatan!”
Berbareng Su Cin dan Su Giok-lan angkat dagu memandang ke arah Su Tat-jin, hati mereka
maklum bahwa kata-kata tadi merupakan ancaman halus terhadap mereka.
Dengan tajam Su Tat-jin juga tatap mereka berdua, apa boleh buat akhirnya mereka
menundukkan kepala. Su Tat-jin tertawa kering lagi dengan puas akan kemenangan, sambungnya
lagi, “Sudah tentu, kalau kalian tidak mengobral mulut aku pun tetap bungkam. Sudahlah, mari
kita turun gunung,” habis berkata ia mendahului berlari-lari kecil kebawah gunung.
Dengan lesu dan rawan Su Cin dan Su Giok-lan ikut turun gunung dengan langkah berat
bergoyang gontai.
Dalam pada itu, begitu melihat Badik buntung meluncur tanpa pikir panjang serta melihat
keadaan sekelilingnya Hun Thian-hi lantas melesat mengejar, syukur tangannya masih sempat
meraih dan digenggamnya kencang, sementara itu badannya lantas meluncur turun. Tapi karena
kabut sedemikian tebal pandangan menjadi gelap begitu tubuhnya meluncur turun terasa
badannya koh terus melayang jatuh tanpa menyentuh tanah, keruan hatinya menjadi gugup,
tanpa merasa ia lantas menjerit dengan kaget!
Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan tubuh untuk jumpalitan mumbul ke atas ngarai, tapi
pandangan sekelilingnya remang-remang semuanya serba putih gelap. Begitulah badannya terus
melayang kebawah, kini hatinya diliputi hawa amarah, sungguh tidak terkirakan olehnya baru
pertama terjun ke gelanggang kericuhan dunia persilatan dirinya lantas masuk jebakan.
Samar-samar di depannya sana menyongsong dekat sebuah bayangan hitam besar, sekilas
pandang saja Hun Thian-hi lantas tahu bahwa itulah sebatang pohon besar yang menjolor keluar
dari batu-batu gunung di tengah kabut, keruan bukan kepalang girang hatinya. Sontak bangkit
semangatnya tenaga dalamnya juga lantas bergairah keseluruh badan, cepat-cepat ia ulurkan
tangan untuk meranggeh, ternyata usahanya tidak sia-sia dengan kencang ia kena menyekap
sebatang pohon sehingga sesaat luncuran tubuhnya menjadi membal bergelantungan, baru saja
hatinya kegirangan tak kira mendadak terdengar suara “krak!” dahan pohon terlalu kecil tak kuat
menahan berat pantulan badannya, seketika badannya terjungkal pula kebawah.
Hun Thian-hi terperanjat, nurani untuk tetap mempertahankan hidup masih menyadarkan
pikirannya, sekuatnya ia mengendalikan badan dengan kesempatan dahan pohon patah dan
meluncur jatuh, kedua tangannya kuat2 menekan kebawah, sehingga tubuhnya lantas membal ke
atas.
Dengan kencang ia berhasil sikap batu gunung untuk menahan badannya, suara gemuruh dari
jatuhnya pohon besar tadi terus kumandang di bawah jurang sana, dengan saksama ia
mendengarkan agak lama kemudian baru terdengar pohon besar itu jatuh menyentuh tanah.

Thian-hi menghela napas lega, hatinya bersyukur dan memanjatkan doa akan kebesaran hati
Tuhan yang mulia. Jikalau pada batang pohon sebagai penangsang tubuhnya tadi, pasti dirinya
sudah terbanting hancur lebur didasar jurang sana.
Sebentar ia mengheningkan cipta lalu angkat tangan meng-amat-amati Badik buntung
ditangannya, terlihat olehnya Badik buntung itu berkilau memancarkan cahaya hijau yang
cemerlang, hawa dingin meresap tulang. Dengan hati-hati ia masukkan Badik buntung ke dalam
sarungnya, sejenak ia berpikir lalu pelan-pelan merambat turun kedasar jurang.
Setelah susah payah menghabiskan banyak tenaga akhirnya ia berhasil mencapai dasar jurang,
didapati bahwa dasar jurang ini merupakan sebuah lembah subur akan semak belukar banyak
batu-batu gunung yang berserakan pula, disebelah sana malah kelihatan onggok demi onggok
tulang-ulang putih manusia.
Dengan jijik dan penuh kelelahan Hun Thian-hi berjalan menyusuri pinggir jurang terus
merambat maju ke arah kiri sana. Kira-kira ia berputar setengah lingkaran. Tiba-tiba di depan sana
dilihatnya sebuah gua besar. Dari dalami gua besar ini terbaur keluar hawa amis yang
memuakkan, diam-diam mencelos hati Hun Thian-hi, ia menjadi kuatir dan was-was kalau gua
besar ini menjadi sarang binatang buas atau berbisa yang sangat ganas sekali, itu akan membuat
dirinya berabe.
Karena kesangsiannya ini segera ia menghentikan langkahnya, baru saja ia hendak berputar
tinggal pergi, mendadak dari dalam gua sana terdengar suara orang bertanya, “Siapa itu!”
Hun Thian-hi tersentak kaget, sungguh diluar sangkanya bahwa gua besar ini ternyata dihuni
oleh manusia. Legalah hatinya, maka dengan tertawa lebar segera ia beranjak mendekati ke arah
gua besar itu, ingin ia melihat orang macam apakah kiranya yang tinggal dalam gua berbau busuk
ini!
Baru saja kakinya melangkah sampai diambang gua, terdengar suara dengusan keras dari
dalam, sejalur benang hitam terus melesat datang menerjang dirinya, Lagi-lagi Hun Thian-hi
terperanjat dibuatnya, secara gerak reflek sebat sekali ia merogoh keluar Badik bumtung terus
diayunkan keluar memapas maju.
Dimana sinar hijau berkelebat lewat bayangan hitam itu seketika putus menjadi dua terus
terpental jatuh di atas tanah. Waktu ia menunduk kebawah kiranya itulah seekor ular.
Berkat ketajaman matanya dengan cermat Hun Thian-hi memandang ke dalam, samar-samar
terlihat olehnya di atas sebuah batu besar duduk bersila seorang tua, berambut panjang warna
merah, demikian juga jenggotnya berwarna merah, sepasang sinar hijau bening dari sorot
matanya menembus keluar dari aling2 rambutnya yang awut2an menutupi mukanya, dengan
seksama ia awasi Badik buntung ditangan Hun Thian-hi. Disekitar kakinya dimana ia duduk
melingkar2 banyak macam ular-ular aneh besar kecil.
Sinar mata hijau bening dari orang tua berambut merah beralih dari Badik buntungnya kemuka
Hun Thian-hi, biji matanya memancarkan rasa gusar dan kebencian yang meluap-luap.
Hun Thian-hi sendiri menjadi menjublek ditempatnya, hatinya tengah dirundung kecemasan.
Mendadak si orang tua berambut merah mendengus hidung, tubuhnya mendadak mumbul ke
atas terus terbang maju dengan tetap bergaja duduk langsung menerjang ke arah Hun Thian-hi.
Bertambah kejut lagi hati Hun Thian-hi, orang tua berambut merah ini tanpa bergaja atau
bergerak ternyata bisa mencelat tinggi terus meluruk datang, betapa tinggi kepandaiannya

agaknya sudah mencapai Sia-ki-hwi-hing (terbang menghimpun hawa), kepandaian hebat begitu
rupa bukan saja dirinya bukan tandingan, seumpama Suhunya sendiri Seruling selatan berhadapan
secara langsung juga takkan mungkin dapat menandinginya.
Tahu ia bahwa aksi orang tua berambut merah ini tentu mempunyai tujuan yang tertentu,
cepat-cepat ia bergerak mundur ke belakang seraya berseru, “Nanti dulu!”
Pedulipun tidak akan seruan Hun Thian-hi ini, si orang tua berambut merah tetap melesat tiba.
Terpaksa Hun Thian-hi mengayun tangan kanan, dengan jurus Jian-hong-in-long Badik
buntungnya menyapu ke arah si orang tua berambut merah, Tampak si orang tua berambut
merah mengebutkan lengan baju tangan kanan, kontan Hun Thian-hi merasa seluruh lengannya
pegal, jalan darah pergelangan tangannya tertutuk, sudah tentu Badik buntung tak kuasa
dipegangnya lagi langsung jatuh ke atas tanah. Tangkas sekali orang tua berambut merah
menyamber dengan tangan kiri meraih Badik buntung itu. Sedang tangan kanan menjinjing tubuh
Hun Thian-hi terus mencelat balik ke atas batu besar lagi. Dalam sejurus saja Hun Thian,hi
teringkus oleh lawan. hatinya menjadi uring-uringan, dua jari tangan kirinya segera diulurkan
untuk mencolok kedua biji mata si orang tua.
Tidak kalah lihay dan sebatnya tahu-tahu Badik buntung sudah mengancam ditenggorokan Hun
Thian-hi. Baru sekarang Hun Thian-hi merasa bagaimana juga dirinya bukan menjadi tandingan si
orang tua berambut merah ini, sudah terang kalah main licik pun tak unggulan. Akhirnya ia
tertawa lebar sambil menurunkan” tangan kirinya.
Dengan tajam si orang tua berambut merah memincingkan mata memandangi mukanya, sorot
matanya mengunjuk rasa heran dan kejut2 aneh, sejenak kemudian ia me buka suara, “Apa yang
kau tertawakan?”
Dengan pandangan aneh Hun Thian-hi juga pandang si orang tua berambut merah ini,
sahutnya, “Apa? Tak boleh tertawa?”
Si orang tua merenung sebentar. lalu katanya, “Badik buntung berada ditanganmu, kau tahu
cara bagaimana aku akan menghadapimu?”
Sebetulnya tengkuk Hun Thian-hi sudah merinding melihat sorot pandangan si orang tua yang
bengis mengandung hawa membunuh, tapi mulutnya tetap bandel, “Itu kan urusanmu, buat apa
aku main tebak?”
Orang-tua berambut merah mendehem keras-keras, ujarnya, “Kau akan kujadikan umpan ular,
supaya kau mati pelan-pelan.” — sambil berkata sinar matanya berkilat-kilat lalu sambungnya lagi,
“Tapi jika kau minta ampun padaku, aku boleh memperingan hukumanmu!”
Hun Thian-hi tertawa dengan angkuhnya, ujarnya, “Minta ampun? Selamanya aku belum
pernah minta ampun kepada siapapun juga!”
Pandangan si orang tua berambut merah berubah beringas penuh kemarahan, katanya sesaat
kemudian, “Apa betul?”
Terasa oleh Hun Thian-hi kelima jari si orang tua berambut merah mencengkram semakin
kencang, sampai pergelangan tangan kanannya sakit bukan main seperti tulang-ulangnya hancur
luluh. Tapi akhirnya ia tetap bersikap keras kepala dan adem-ajem malah dengan congkaknya ia
tersenyum simpul seperti tidak merasakan sakit sedikitpun.

Akhirnya pandangan si orang tua berambut merah menjadi guram putus asa, mulutnya
terdengar menggumam, “Bocah yang keras kepala!” — lalu ia menundukkan kepala, sesaat
kemudian ia angkat dagu memandang muka Hun Thian-hi, wajahnya mengulum senyum sadu.
Dengan pancaran sinar yang bersifat congkak dan berani Thian-hi bersiap menerima siksaan
kedua dari si orang tua berambut merah.
Ternyata pelan-pelan si orang tua berambut merah melepas pergelangan tangan Thian-hi.
sekilas dilihatnya seruling batu pualam yang tergantung dipinggangnya, hidungnya lantas
mendengus hina, pancaran matanya sekarang berganti penuh kemarahan dan bermusuhan.
Hun Thian-hi tak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh si orang tua berambut merah, tapi dari
sinar matanya yang penuh kebencian dan bermusuhan ini tak perlu dijelaskan lagi, hatinya sudah
membadek (menebak) cara bagaimana si orang tua rambut merah ini hendak menjadikan dirinya
bulan2an. Apakah mungkin aku kuat menerima siksaan berat demikian, ia membatin.
Setelah berkilat-kilat sebentar si orang tua berambut merah berkata, “Cara bagaimana kau
turun kemari?”
Hun Thian-hi tercengang, hatinya menjadi heran kenapa si orang tua berbalik menanyakan hal
ini, sejenak ia ragu-ragu dan curiga, akhirnya ia tertawa tawar, ujarnya, “Kau tak perlu tahu.”
“Karena digasak oleh musuh besarmu?” tanya si orang tua rambut merah tak acuh.
Thian-hi semakin heran akan perubahan sikap si orang tua yang menjadi sabar dan kalem,
sejenak ia tatap mata orang tanpa membuka suara.
Si orang tua rambut merah tertawa aneh, ujarnya lagi, “Akupun digasak terjungkal kesini oleh
musuhku, untung tidak sampai menemui ajal, sayang kedua kikiku ini buntung, jadi tak berdaya
pula untuk dapat keluar dari tempat terkurung ini!”
Sejenak ia berhenti, matanya memandang Hun Thian-hi, melihat orang tetap membisu lalu ia
menyambung lagi, “Aneh, dengan bekal kepandaianmu ini, jatuh dari Ngarai curam sedemikian
tinggi tidak mati ini sudah cukup untung dan besar rejekimu, tapi kenapa sedikit luka saja tidak
kau derita?”
Hun Thian-hi tertawa, lebar dengan takabur, katanya, “Kau sangka aku digasak jatuh Kesini?
Tidak, hanya karena kebodohankulah sehingga aku tertipu jatuh kemari!”
Si orang tua berambut merah menjengek dingin; ujarnya, “Jangan kau terlalu membanggakan
dirimu sendiri, kena tipu? Apakah kau tidak merasa malu?”
Kontan mendidih darah Hun Thian-hi bagai dibakar, raut muka merah padam saking menahan
gusar, namun mulutnya tetap terkancing tiada alasan untuk main debat.
Kata orang tua rambut merah lagi, “Apa kau ingin naik ke atas pula?”
Hun Thian-hi menjadi melenggong, pikirnya, “apakah orang tua rambut merah ini sudah
merubah maksudnya semula? Kenapa nada perkataannya berubah begitu besar? Karena berpikir
demikian ia lantas tertawa riang, katanya, “Masa kau sendiri tidak ingin naik?”
Si orang tua menengadah memandang puncak gua, tiba-tiba ia tertawa aneh lagi, katanya, “Ya,
benar-benar. Aku tidak ingin naik, tapi aku dapat membantumu naik!”

Kini berbalik Hun Thian-hi mengerut kening, hatinya was-was, hidungnya mendengus tanpa
bicara,
Orang tua itu menepekur sebentar lalu berkata lagi, “Tapi setelah kau naik ke atas, dengan
bekal ilmu silatmu sekarang, apa pula yang dapat kau kerjakan?” habis berkata ia tertawa geli
penuh nada menghina.
Hun Thian-hi pun tidak mau kalah congkaknya, debatnya, “Walaupun ilmu silatku sekarang
belum cukup tinggi tapi usiaku masih muda, kau sendiri kau sudah tua bangka dan rejot, tinggal
menunggu ajal saja masa kau tahu kalau kepandaianku tak bisa menandingi kau?”
Terpancar rasa bangga dan puas dalam pandangan mata si orang tua rambut merah, katanya
kemudian, “Punya pambek! Tapi kalau tidak berjodoh juga akan sia-sia belaka.”
Lama, dan, lama sekali Hun Thian-hi meng-amat-amati si orang tua berambut merah tanpi
membuka suara, Dia merasa heran kenapa si orang tua rambut merah ini tidak marah lagi, dan
yang lebih menbuatnya tak habis mengerti kenapa orang tua ini tidak menyinggung lagi tentang
Badik buntung dan Seruling batu pualamnya? Kedua benda pusaka ini hakikatnya seperti
mempunyai sesuatu hubungan erat dengan orang tua renta aneh ini, kenapa ia tidak menanyakan
perihal kedua benda ini lebih lanjut?
Ujar si orang tua, “Aku dapat mengangkatmu menjadi seorang tokoh silat ncmor satu di seluruh
kolong langit ini!”
Hun Thian-hi mandah tertawa ewa tanpa menunjukkan sesuatu reaksi.
“Jangan kau mengejek,” ujar si orang tua, “Ketahuilah jika dulu aku jadi melancarkan jurus
tunggalku, yang terjatuh ke dalam jurang sini tentu bukan aku. sebaliknya adalah mereka berdua.”
“Nah, kenapa tidak kau lancarkan?” cemooh Hun Thian-hi.
Si orang tua terkekeh dua kali, ujarnya, “Mungkin kelak kau akan tahu sendiri!”
Hun Thian-hi menebak2 dalam hati, tapi ia tidak mau banyak tanya lagi.
Si orang tua angkat tangan kirinya yang menyekal Badik buntung, katanya, “Badik pusaka tiada
tandingan di kolong langit ini, ditambah dengan jurus tipu ilmuku yang kunamakan Jan-thian-ciatte
(pencacat langit pelenyap buana), kiranya cukup untuk menjagoi di seluruh dunia persilatan!”
lalu ia tertawa nyengir penuh misterius, tiba-tiba ia lempar Badik buntung itu ke arah Hun Thianhi.
Dengan gugup Hun Thian-hi menampani Badik buntung itu, hatinya penuh tanda tanya….
Setelah mengerling ke arah Hun Thian-hi sembari tersenyum simpul si orang tua mengambil
sebatang pedang dari bawah batu, katanya, “Lihat dengan cermat jurusku Jan-thian-ciat-te ini!”
Setelah berkata tubuhnya lantas bergerak melejit tinggi, berbareng pedang panjangnya melingkar
terayun membuat setengah bundaran di tengah udara, seketika bayangan sinar pedang berkilau
laksana bentuk gunung, berputar dan bergerak gesit laksana tebaran bintang-bintang di langit,
hawa pedang berkembang dingin membeku laksana ular emas melingkar yang menari menjadi
gambaran abstrak di tengah udara.
Lima tombak sekelilingnya dilingkupi samberan deras hawa pedang, terdengar suara “plak-plok”
ledakan lirih ditengah udara berulang kali sampai memekakkan telinga!

Hun Thian-hi sendiri juga terdesak mundur keterjang angin lesus yang berputar cepat sampai
terhujung beberapa tindak, diam-diam hatinya mencelos, batinnya dengan kehebatan ilmu pedang
yang tiada taranya ini, ucapan si orang tua berambut merah memang bukan omong kosong
belaka.
Si orang tua menarik permainan pedangnya, sekilas ia melirik ke arah Hun Thian-hi, air
mukanya lagi-lagi mengunjuk senyum misterius penuh arti, tanpa bertanya dulu pada Hun Thianhi
secara tekun dan pelan-pelan ia terangkan intisari pelajaran jurus tipu Jan-thian-ciat-te ini
kepada Hun Thian-hi.
Sambil memberi keterangan dengan pelan secara terperinci sekali lagi ia praktekkan secara
lamban supaya dapat diselami oleh Hun Thian-hi. Dengan tekun dan cermat Hun Thian-hi berdiri
diam saja mendengarkan.
Terdengar orang tua rambut merah bertanya, “Masih adakah yang belum kau paham?”
Hun Thian-hi mandah tertawa-tawa saja, Badik buntung ditangan kanannya tiba-tiba bergerak
sekitar tubuhnya menjadi terang benderang disinari oleh cermerlangnya cahaya hijau pupus yang
menyilaukan mata….
Terunjuk sedikit perubahan pada air muka si orang tua rambut merah, sekilas biji matanya
memancarkan hawa membunuh yang menyala-nyala, tapi hanya sebentar saja lantas hilang lagi.
Sungguh tidak terduga olehnya bahwa Hun Thian-hi sedemikian berbakat dan pintar. Hampirhampir
ia tidak berani percaya akan penglihatannya sendiri.
Sambil memasukkan Badik buntung ke dalam kerangkanya, Hun Thian-hi berkata tawar,
“Apakah begitu cara mainnya?”
Orang tua rambut merah mendengus dongkol, matanya berputar lalu katanya, “Sungguh tak
kuduga ternyata kau berbakat benar-benar, mengandal jurus tipu pedang tadi ditambah dengan
Badik buntungmu itu, aku berani pastikan di seluruh kolong langit ini kau tiada tandingan. Kau
dapat turun dengan selamat menggunakan Badik buntung itu pasti juga kau dapat naik, bolehlah
kau segera berangkat!”
Hun Thian-hi menjadi bimbang, katanya kepada orang tua rambut merah, “Bukankah katamu
semula hendak menjadikan tubuhku sebagai umpan ular, kenapa sekarang kau lepas aku?”
Lagi-lagi orang tua rambut merah menampilkan mimik wajahnya yang aneh dan lucu, serunya
sambil gelak tawa, “Kelak kau akan tahu”
“Kalau kau juga ingin keluar, mari kubantu kau!” demikian ajak Hun Thian-hi.
Orang tua aneh itu tercengang, matanya memancarkan cahaya aneh, dengan tajam ia pandang
muka Hun Thian-hi, sebentar kemudian baru ia membuka mulut, “Kalau aku mau keluar, siangsiang
aku sudah manjat ke atas, buat apa kau harus bantu aku!”
Hati Hun Thian-hi diliputi pertanyaan yang tak terjawab, heran ia kenapa orang tua ini tidak
mau diajak naik ke atas, diam-diam ia menimang, pernah Suhunya memberitahu bahwa tokoh silat
kosen di seluruh kolong langit yang pernah diceritakan itu agaknya tiada seorang seperti orang tua
berambut merah ini.
Sementara itu, pandangan si orang tua juga teralih ke kempat lain. Hun Thian-hi coba-coba
hendak mengorek keterangan, “Tapi kau mengajari jurus lihay itu kepadaku, aku tidak sudi terima
budimu secara gratis, adakah sesuatu urusanmu yang perlu kulaksanakan?”

Orang tua rambut merah berpaling, ujarnya, “Kau merasa hutang budi? Karena aku mengajar
sejurus ilmu pedang itu?” sampai disini ia bergelak tawa sekian lamanya, lalu sambungnya,
“Kenapa aku menurunkan sejurus ilmu pedangku ini kelak kau akan maklum sendiri, sekarang
silakan kau pergi!”
Sekian lama Hun Thian-hi menjadi ragu-ragu dan tak enak mati, akhirnya menjadi kewalahan
katanya, “Kalau begitu baiklah aku pergi!” sambil berkata ia putar tubuh terus keluar.
Memandang punggung Hun Thian-hi orang tua rambut merah menyengir seram dan
menyeringai dingin, seolah-olah ia sudah melaksanakan sesuatu pekerjaan yang sangat
menyenangkan hatinya.
Sampai diambang mulut gua, mendadak Hun Thian-hi memutar badan dan bertanya, “Tapi
siapakah namamu?”
Berubah airmuka orang tua rambut merah, jawabnya mendengus tak sabaran, “Dalam
kelanamu di Bulim kau akan tahu siapa aku ini Sudahlah berangkat jangan cerewet!”
Hun Thian-hi memutar tubuh terus keluar gua, tak jauh kemudian ia duddk bersila memusatkan
pikiran menghimpun tenaga, lalu dikeluarkan Badik buntung dengan senjata ampuh inilah ia
selangkah demi selangkah merambat naik. ke atas tebing yang curam itu.
Setelah susah payah kira-kira pada tengah hari baru ia sampai diatas, perut terasa lapar dan
tenagapun seperti terkuras habis, lagi-lagi ia duduk bersila memejamkan mata beristirahat, kirakira
setengah jam kemudian matanya terbuka lagi.
Sejenak ia menerawang keadaan sekelilingnya, dalam benaknya terbayang wajah Su Tat-jin, Su
Cin dan Su Giok-lan, ujung mulutnya mengulum senyum ejek dan mendengus hidung, pelan-pelan
ia bangkit terus berlari pesat turun gunung.
Setelah matahari tenggelam tabir kegelapan malam mulai menelan bumi, tampak dimana-mana
sudah menyulut pelita, saat itu Hun Thian-hi beranjak pula menuju kegedung Su Tat-jin yang
megah dan angker itu.
Dimana tubuhnya bergerak melayang enteng ke arah samping sana seperti daun jatuh hinggap
di atas wuwungan rumah, terus meluncur lagi turun ke dalam ruang besar perjamuan.
Keadaan ruang besar terang benderang suasana ramai bersuka ria, agaknya Su Tat-jin tengah
merajakan kemenangannya dan menjamu para tamunya.
Begitu Hun Thian-hi melayang turun dalam ruang besar itu, seketika berubah hebat rona wajah
Su Tat-jin, suasana yang riuh rendah tadi saketika menjadi sunyi senyap, begitu hening
seumpama jarum jatuh juga bisa terdengar.
Pelan-pelan Hun Thian-hi menggerakkan kepalanya dengan pandangan menghina dan
memincingkan mata ia tatap semua hadirin, akhirnya pandangannya berhenti pada wajah Su Cin
dan adiknya
Rada lama ia tatap mereka bergantian, akhirnya tercetus jengek sinis dari mulutnya, “Bagus
benar-benar sepak terjang murid Pedang utara “
Kakak beradik ini menundukkan kepala saking malu, namun dikejap lain tiba-tiba Su Giok-lan
angkat kepala dengan mata mendelik ke arah Hun Thian-hi semprotnya, “Orang she Hun, jangan

kau mendesak dan menghina orang, peristiwa itu bukan perbuatan kita berdua, apa maksudmu
dengan murid Pedang utara apa segala!”
Hun Thian-hi menyeringai sinis kepalanya berpaling ke arah Su Tat-jin, katanya, “Sebetulnya
tiada niatku mencari perkara kepadamu. Tapi sekarang aku tak bisa melepasmu lagi, marilah
perhitungan lama dan baru ini kita selesaikan sekarang.
Su Tat-jin menyapu pandang kepara tamunya, matanya berjelilatan, katanya sembari bangkit
dari tempat duduknya. “Banyak orang tahu, betapa besar budi Hun Siau-thian Hun-toako
kepadaku laksana setinggi gunung. Meskipun aku Su Tat-jin tidak bisa membalas budi
kebaikannya itu, tapi aku sudah bekerja sekuat tenagaku.”
Ia menundukkan kepala lalu merendahkan suara, sambungnya, “Waktu Hun~toako menghilang
dulu aku sudah berdaya upaya dengan seluruh kemampuanku untuk mencari jejaknya,
akhirnya….”
Mendadak ia angkat kepala serta bersuara keras; Akhirnya aku tahu sebab musabab
menghilangnya Hun-toa, beliau menghilang karena Badik buntung yang menjadi miliknya itu.
Tokoh-tokoh lihay dalam dunia persilatan ini, ada berapa banyak yang ilmu silatnya bisa
mengungguli Hun-toako?”
Kata-katanya dilembari nada yang penuh keibaan, matanya dingin menyapu seluruh orang
gagah yang hadir, akhirnya pandangan matanya berhenti pada wajah Hun Thian-hi.
Bercekat hati Hun Thian-hi terang dengan kata-katanya ini Su Tat-jin bermaksud mengobarkan
kemarahan hati seluruh hadirin, meski ia tidak takut menghadapi profokasi ini, namun ia harus
menghindari salah paham dengan orang lain.
Maka cepat2 ia bergerak dan berseru lantang, “Ucapan Su Tat-jin ini hanya bualan belaka,
jangan kalian percaya akan obrolannya ini.”
“Banyak orang tahu bahwa musuh besar Hun-toako adalah Sam Kong Lama,” begitulah cepatcepat
Su Tat-jin memainkan diplomasinya, “Untuk merebut Badik buntung itulah maka ia
mencelakai Hun-toako, dan Badik buntung itu kini berada ditangannya,. Coba kalian lihat, Badik
buntung itu kini berada ditangan bocah yang mengakui bernama Hun Thian-hi ini, darimana ia
bisa tahu sama yang hendak kukatakan? Darimana pula ia tahu kalau ucapanku ini bohong
belaka?”
Hun Thian-hi membalik tubuh menghadapi Su Tat-jin, semprotnya gusar; ….Diplomasimu
memang cukup lihay, kau kira kau bisa bebas dari kematian?”
Su Tat-jin melirik ke arah Su Cin dan Su Giok-lan, mestinya mereka sudah menggerakkan mulut
hendak bicara, namun lantas urung dan menundukkan kepala.
Kata Su Tat-jin kepada Hun Thian-hi, “Kau tidak memandang mata seluruh orang gagah disini
bukan?” demikian pancihgnya sembari menyapu pandang keseluruh gelanggang.
Bab 02
Hun Thian-hi menggerung keras, gesit sekali ia bergerak terus menubruk ke arah Su Tat-jin.

Tapi dalan waktu yang sama tiba-tiba seseorang membentak keras dibelakangnya, “Bocah she
Hun jangan kau takabur dan menghina orang.”
Belum lenyap suara ini sepasang sumpit tahu-tahu meluncur kencang mengarah punggung Hun
Thian-hi.
Laksana angin lesus sebat sekali badan Hun Thian-hi bergerak memutar dan mengacungkan
kedua jari tangan kanannya tahu-tahu kedua sumpit terbang itu sudah kejepit dicelah-celah jari
tangannya.
Berkilat matanya memandang ke arah sana, ternyata penyerang gelap ini adalah seorang lakilaki
pertengahan umur yang mendelik memandang dirinya.
Hun Thian-hi tidak tahu sikapnya yang sombong dan perbuatannya meniup seruling itu sudah
menimbulkan rasa dongkol dan tak senang seluruh hadirin, kini dibakar dan diprofokasi lagi
dengan ucapan Su Tat-jin yang tajam tepat menusuk ke lubuk hati mereka, semakin besar rasa
benci seluruh hadirin terhadap dirinya.
Sesaat Hun Thian-hi menjadi melongo dan menjublek di tempatnya, tak tahu ia apa yang harus
diperbuatnya atas laki-laki pertengahan umur ini.
Melihat sikap Hun Thian-hi yang acuh tak acuh itu, laki-laki pertengahan umur itu mengira Hun
Thian-hi sengaja bersikap tidak memandang sebelah mata pada dirinya, maka hardiknya, “Seluruh
orang gagah di kolong langit banyak yang hadir disini, seumpama kau betul adalah murid Seruling
selatan, kita tidak akan membiarkan kau bertingkah dan main gagah2an disini.”
Hun Thian-hi coba berlaku sabar katanya pelan-pelan, “Kelatanganku hari ini bukan ingin
mencari perkara dengan kalian, tujuanku yang utama adalah Su Tat-jin.”
Selesai berkata pelan-pelan setindak demi setindak ia maju ke arah Su Tat-jin.
Su Tat-jin mandah menyeringai dingin, ia tahu sikap lun Thian-hi ini tentu dapat mengobarkan
kemarahan seluruh hadirin, maka untuk peristiwa selanjutnya dirinya boleh enak-enak duduk di
tempatnya tinggal menonton pertarungan saja.
Salah besar dugaan Hun Thian-hi, sangkanya dengan sekedar penjelasannya tadi cukup
menyelesaikan segala urusan, tak disadarinya bahwa dengan perkataannya tadi justru lebih
mempertebal keyakinan seluruh orang-orang gagah yang hadir akan sifatnya yang takabur dan
memandang ringan seluruh hadirin, maka begitu ia bergerak maju, lantas terlihat dua orang
bangkit berdiri malah terus menerjang ke arah dirinya, yang satu menggablok punggung sedang
seorang lain membabat pinggangnya.
Terpaksa Hun Thian-hi menggerakkan Serulingnya, tanpa membalik tubuh serulingnya menutuk
dan menangkis serangan kedua musuh pembokong ini, untuk menolong diri terpaksa kedua
penyerang ini melompat mundur.
Seluruh hadirin terbakar kemarahannya, serempak Semua erdiri dan meluruk maju bersikap
mengancam, bila perlu akan main keroyok tanpa pandang bulu lagi.
Su Cin dan Su Giok-lan menjadi gelisah, namun serta melihat Su Tat-jin tengah melirik dengan
pandangan dingin ke arah mereka mencelos hatinya, kata Su Tat-jin sembari maju mendekat,
“Hakikatnya Hun Thian-hi tidak percaya lagi pada kalian, buat apa kalian hendak menolong ia?”

Su Cin dan Su Giok-lan bungkam sembari menundukkan kepala, waktu angkat kepala lagi
terlihat Hun Thian-hi tengah melancarkan ilmu Thian-liong-chit-sek seruling ditangannya berputar
lincah gagah perwira ia tengah berkutet melawan sekian banyak pengepungnya, namun dasar
kepandaiannya memang hebat setiap kali terlihat sinar putih berkelebat dan menutuk satu persatu
para pengepungnya terjungkir balik dengan jalan darah tertutuk.
Berubah air muka Su Tat-jin, katanya kepada Su Cin dan Su Giok-lan, “Sudah saatnya kita
tinggal pergi.”
“Tidak….” sahut su Giok-lan beragu.
Su Tat-jin berpaling menatap ke arahnya, tanyanya, “Kau tak mau pergi?”
Su Giok-lan menunduk tanpa menjawab. Maka Su Tat-jin segera mendahului beranjak masuk
ke belakang.
Dengan bekal kepandaiannya yang lihay sebetulnya Hu Thian-hi tidak perlu gentar menghadapi
keroyokan sedemikian banyak orang, namun semakin banyak pengerojoknya gerak-geriknya
menjadi sedikit terhalang, kini melihat Su Tat-jin hendak melarikan diri, tiba-tiba ia menghardik
keras jurus-jurus Thian-liong-chit-sek lantas dilancarkan semakin kencang, dengan tipu Lui-thianhwi-
theng (kilat dan geledek menyamber2), seruling pualamnya berputar menyilang menyapu
mundur para pengepungnya, badannya lantas mencelat terbang mengejar.
Sudah tentu para orang gagah yang mengeroyoknya itu tak tinggal diam, be-ramai-ramai
merekapun memburu dengan kencang.
Bukan kepalang gusar Hun Thian-hi, tahu-tahu serulingnya menutuk membalik telak sekali
seorang yang memburu paling depan kena tertutuk jalan darahnya kontan terjungkal dan diinjak2
oleh para kawannya sendiri, gerakan Hun Thian-hi masih tidak berhenti tanpa hiraukan korbannya
kakinya menjejak tanah terus meluncur mengejar ke arah Su Tat-jin. Di lain kejap ia sudah tiba
diserambi panjang, sesudah memutar dua pengkolan terlihatlah ketiga orang buronannya, laksana
seekor burung elang segera ia menubruk tiba.
Su Tat-jin terkejut, katanya kepada Su Cin berdua, “Kalian maju rintangi dia sebentar.”
Sejenak Su Cin “berdua” ragu-ragu, tapi akhirnya melolos pedang terus menghadang di depan
Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi mengayun seruling mengembangkan tipu-tipuan ia mendesak mundur mereka
berdua, mulutnya menjengek dingin, “Bukan kalian yang kucari!”
Su Cin berdua menjadi serba runyam tiada tempo buat mereka untuk menerangkan, apalagi
mendengar sindiran Hun Thian-hi ini hampir-hampir Su Giok-lan melelehkan air mata, dengan
mengertak gigi ia nekad merangsak maju menusuk ke arah Hun Thain-hi.
Ilmu seruling Hun Thian-hi memang cukup hebat terlihat sedikit bergetar tahu-tahu serulingnya
menjungkit dan menyampok turun, sekaligus ia tangkis dan sampok miring pedang panyang
lawan, sebat sekali tahu-tahu ia menerobos lewat diantara celah-celah kosong ini terus mengejar
ke arah mana Su Tat-jin telah melenyapkan diri.
Dengan mengeluh tertahan Su Cin berdua kirim pukulan jarak jauh dengan kepalan tangan kiri
untuk merintangi tindakan Hun Thian-hi, terpaksa ia merandek sejenak sembari dan
menggerakkan serulingnya mendesak mundur mereka berdua.

Sedikit hambatan ini, sementara itu para orang gagah yang mengejar sudah tiba, tanpa kuasa
Hun Thian-hi terkepung lagi dengan ketat….
Sinar pedang berkelebat menyambar2, namun bayangan seruling Thian-hi pun tidak kalah gesit
bergerak, namun menghadapi sekian banyak serangan dari berbagai penjuru akhirnya Thian-hi
terdesak juga di bawah angin. Apalagi dengan rangsekan Su Cin berdua yang berkepandaian
cukup tinggi, semakin payah keadaannya.
Dalam pada itu bayangan Su Tat-jin sudah tidak kelihatan lagi, saking murka dada Hun Thian-hi
terasa hampir meledak, dengan menggertak keras tangan kirinya tiba-tiba terayun, tahu-tahu
Badik buntung sudah tergenggam ditangannya, dimana sinar hijau pupus berkelebat dua batang
pedang yang menyamber tiba kontan terpapas kutung menjadi dua.
Para pengepung menjadi kaget, serempak mereka menyurut mundur dengan ketakutan.
Terpecik dalam benak mereka bahwa ucapan Su Tat-jin barusan memang kenyataan. Bukankah
Badik buntung sudah berada ditangan Hun Thian-hi….
Para pengepung itu hanya sedetik saja beragu lantas merangsek semakin hebat dengan
kemurkaan yang berkobar.
Hun Thian-hi mandah tersenyum sinis sembari melirik ke arah Su Cin berdua.
Keruan hati Su Cin dan Su Giok-lan menjadi mendak seperti ditusuk sembilu, namun urusan
sudah berkembang sedemikian larut terpaksa biarlah terus berlanjut tanpa berkesudahan.
Dengan bersenjatakan Badik buntung di tangannya, Hun Thian-hi bertambah besar, seruling
pualam di tangan kanan ditanggalkan di pinggangnya, sedang Badik buntung dipindah ke tangan
kanan, dengan menggerung keras segera ia terjang para orang-orang gagah yang mengepung itu.
Dimana sinar hijau pupus berkelebatan, para orang-orang gagah menjadi terdesak mundur
tanpa berani melawan tajaman senjata sakti ini, akhirnya mereka mundur-mundur terus sampai di
halaman belakang.
Tapi bayangan Su Tat-jin memang sudah tak kelihan lagi entah sudah merat kemana, sudah
tentu rasa dongkol dan kemarahannya lantas ditimpahkan kepada para pengepungnya, gesit sekali
tubuhnya bergerak terbang menerobos serambi panjang terus menerjang ke dalam halaman
tengah terus meluncur di tengah gelanggang.
Baru saja ia hinggap di tanah lantas ia merasa situ rada ganjil, didapatinya bahwa perhatian
seluruh hadirin ternyata tidak dipusatkan kepada dirinya sebaliknya terus mendelong mengawasi
satu jurusan.
Ia memutar tubuh memandang ke arah sana terlihat di atas tembok tinggi sana berdiri dua
orang, itulah Su Tat-jin dan seorang tua yang mengenakan jubah hitam, dua mata orang tua
jubah hitam ini tengah menatap tajam ke arah Hun Thian-hi.
Secara langsung Hun Thian-hi lantas merasa bahwa orang tua jubah hitam im agaknya punya
wibawa yang cukup angker, kalau tidak kenapa seluruh hadirin menjadi bungkam dan tak berani
sembarangan bergerak, sedang Su Tat-jin sendiri juga kelihatan sangat tenang dan perhatian?
Sejenak Hun Thian-ki menyapu pandang sekelilingnya, sebaliknya orang tua jubah hitam
disampingnya itu lantas membentak dengan nada rendah, “Siapa kau? berani bertingkah dan
kurang ajar dihadapanku?”

Hun Thian-hi menyeringai dengan jongkak, sahutnya, “Siapa kamu aku tidak perduli.”
Su Tat-jin berkata melengking, “Haha, kiranya masih bau kerucut yang tidak tahu kebesaran
nama Toh-bing-cui-hun Cu Hwi!”
Rada bercekat benak Hun Thian-hi ketenaran nama Cu Hwi sudahpernah didengarnya, bukan
saja tinggi ilmu silatnya, terutama permainan senjata rahasia boleh dikatan jagoi seluruh dunia
persilatan tiada tandingan. Adalah senjata rahasia pribadinya lain dari yang lain pula, begitu
dikembangkan memang bukan gertakan belaka dapat mengejar sukma mencabut nyawa.
Cu Hwi tertawa dingin jengeknya, “Sungguh tak kuduga martabat seruling selatan ternyata
begitu rendah.”
Berubah air muka Hun Thian-hi, dengan seringai sombong ia berkata menghina, “Aku juga tak
menduga, Toh-bing-cui-hun yang kenamaan itu ternyata adalah berotak tumpul gampang diapusi
bajingan tengik.”
“Memang sombong dan takabur sekali!” teriak Cu Hwi murka.
Kata Hun Thian-hi kepada Su Tat.jin, “Su Tat-jin, sungguh pintar akalmu, seluruh orang gagah
di kolong langit ini gampang saja kau peralat untuk menjuai nyawa demi kepentinganmu.” habis
berkata ia mendesak maju lebih dekat.
“Berhenti disitu!” bentak Cu Hwi di atas tembok.
Hun Thian-hi tak menghiraukan. Cu Hwi lantas mengulur tangan kanan jari tengahnya
menjelentik, terdengarlah suara mendengung nyaring, sebuah gelang hitam berputar-putar
ditengah udara terbang memutar terus melesat ke arah Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi mendengus hidung, tahu dia inilah satu senjata rahasia andalan Cu Hwi yang
kenamaan dinamakan gelang mencabut nyawa.
Hun Thian-hi tak berani memandang enteng, dengan gagap dan penuh prihatin ia
menggerakkan Badik buntung terus menutul ke arah gelang penyabut nyawa yang menyamber
tiba. Namun ia kecele.
Gelang hitam itu terbang melintang berputar-putar di tengah udara satu bundaran lalu terbang
kembali ketangan Cu Hwi.
Dengan senyum ejek dan dingin Cu Hwi menatap Hun Thian-hi.
Merah jengah muka Hun Thian-hi, terang ia sudah kalah dalam selintas jurus ini.
Alisnya bertaut dalam, tiba-tiba tubuhnya bergerak laksana burung manyar terus menerjang ke
arah Cu Hwi.
“Bocah sembrono!” maki Cu Hwi, lagi-lagi tangan kanannya bergerak dua bilah pisau terbang
meluncur memapak kedatangan Hun Thian-hi.
Begitu badan Hun Thian-hi meluncur cepat, Badik buntung lantas disodokkan ke depan tepat
sekali menyambut kedua pisau terbang ini, maka dilain saat ia sudah hinggap di atas tembok
dimana tadi Cu Hwi berdiri.

Terdengar Cu Hwi mendengus keras, hatinya dongkol dan tak senang menghadapi sikap Hun
Thian-hi yang berandal dan takabur. Namun demikian toh ia tidak gampang jebak dalam tipu
muslihat Su Tat-jin, tahu dia bahwa apa yang dikatakain Su Tat-jin belum tentu benar-benar, tapi
juga kemungkinan ada betulnya, maka ia tidak segera ambil suatu kepastian total, yang pasti ia
hanya ingin menyapu bersih sikap Hun Thian-hi yang sombong ini.
Tangannya membalik melolos pedang panjangnya terus meluncur menyerang ke arah Hun
Thian-hi.
Terpaksa Hun Thian-hi juga membalikkan tangan untuk memapas pedang panjang ditangan Cu
Hwi. Segera Cu Hwi kembangkan ilmu pedangnya yang lihay, seketika ia lancarkan serangan
berantai lima enam jurus, maksudnya hendak mendesak Hun Thian-hi terjungkal ke tanah.
Hebat kepandaian Hun Thian,hi, sembari menggertak keras, Badik buntung bergerak lincah
balas menyerang, tapi serangan Cu Hwi juga cukup gencar sehingga Hun Thian-hi terdesak
mundur berulang-ulang.
Terpaksa Hun Thian-hi merogoh keluar seruling pualamnya, dalam seribu kerepotannya
menjaga diri segera dikembangkan ilmu Thian-liong-chit-sek terus memberondong ke arah Cu Hwi.
Cu Hwi pun tidak mau kalah wibawa, pedang ditangannya ditarikan secepat kitiran, namun toh
terdesak dua langkah, hatinya menjadi kaget sekali. Sungguh diluar perhitungannya bahwa Hun
Thian-hi kiranya membekal kepandaian silat yang begitu tinggi dalam jangka dua tiga tahun
mendatang mungkin tiada tandingannya, dikolong langit.
Karena pikirannya ini serempak tangan kanannya dibolang-balingkan, selarik sinar putih
berkilau meluncur bergantian saling susul, itulah pisau terbang yang disambitkan ke arah Hun
Thain-hi.
Untuk menyelamatkan diri terpaksa Hun Thian-hi memutar dan menggerakkan seruling dan
Badik buntung bersama, namun timpukan pisau terbang musuh memang punya caranya sendiri,
ditengah jalan mendadak luncuran pisau terbang itu berubah arah menukik kebawah, keruan
kejut. Hun Thian-hi bukan main cepat-cepat ia menggeser kaki menyurut mundur kesamping,
meski ia sudah berlaku sebat tak urung ketiga batang pisau terbang itu menembus lengan bajunya
terus menancap didinding dibelakangnya…. Terdengar Cu Hwi tertawa dingin berulang-ulang.
Melihat Cu Hwi hanya main gertak belaka tiada tanda2nya hendak membunuh Hun Thian-hi, Su
Tat-jin menjadi sengit segera ia berseru memberi aba-aba, “Hayo maju semua!”
Banyak diantara pengepung itu yang sudah merasakan kelihayan Hun Thian-hi, rasa dongkol
dan penasaran belum sempat terlampias, kini mendengar aba-aba yang memberikan kesempatan
untuk menuntut balas ini, segera mereka serabutan menerjang maju bersama secara membabi
buta.
Hun Thian-hi menggembor keras dan panjang, tangan kanannya menarik sekuat tenaga “bret!”
lengan bajunya yang kepanjangan sobek saparo, disusul ia mengayun Badik buntung melancarkan
jurus Jan-thian-ciat-te yang ganas itu. Lima tombak sekitar gelanggang pertempuran seketika
terkurung dalam jangkauan serangan jurus yang lihay ini, sinar hijau kemilau hanya berkelebat
cepat laksana kilat terus lenyap tanpa bekas. Namun akibatnya adalah dahsyat sekali dan
mengerikan.
Dalam gelanggang tampak mayat bergelimpangan, hanya Su Cin berdua dan Su Tat-jin serta
Cu Hwi yang kehilangan sebelah lengannya saja yang masih ketinggalan hidup.

Hun Thian-hi terlongong-longong menjublek di tempatnya. Seperti patung kaju tak bergerak.
Dengan dihantui kemarahannya ia melancarkan jurus pelajaran dari orang tua rambut merah,
sungguh diluar tahunya bahwa akibat dari serangannya itu ternyata begitu mengerikan.
Begitu jurus ganas itu mulai dilancarkan lantas segulung tenaga yang begitu besar
mengendalikan nuraninya sehingga tanpa kuasa Badik buntung ditangannya terlanjur mengarah
keleher para musuhnya, dia sendiri sampai heran dan terkesima mengapa ia tak mampu
mengendalikan diri lagi.
Dengan muka pucat pias Cu Hwi mendesis, “Kejam benar-benar! Asal aku Cu Hwi sehari masih
hidup, akan datang saatnya pembalasanku!” habis berkata ia terus berlari sipat kuping.
Demikian juga keadaan Su Tat-jin yang pucat pasi, terhuyung-huyung ia tersurut mundur terus
mendoproh dikaki dinding dengar badan lemas lunglai tak mampu bergerak lagi.
Adalah Su Cin dan adiknya yang berdiri rada jauh diluar gelanggang selamat dari bencana
mengerikan ini. Namun demikian menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini tak urung
berubah pucat dan ketakutan, lama dan lama kemudian baru mereka saling pandang terus berlari
sekencang-kencangnya.
Tinggal Hun Thian-hi yang kesima mengawasi mayat-mayat tak berkepala dengan muka pucat,
seolah-olah ia tak sadar dan tak tahu apa yang telah terjadi barusan, yang masih terpercik dalam
ingatannya hanyalah dengan jurus Jan-thian-ciat-te tadi sekaligus ia telah bunuh semua orang ini,
tak tahu bagaimana ia bekerja dalam waktu sesingkat itu telah mengutungi sedemikian banyak
kepala musuh, terasa pandangannya menjadi gelap otaknya seperti kosong hampa.
Agak lama kemudian baru tercetus gumam dari mulutnya, “Jurus sesat! Jurus sesat.” sembari
berteriak ia berlari sempoyongan dengan kedua tangan menutup mukanya….
Bulan purnama tengah memancarkan sinar redup memutih perak menerangi seluruh jagat raja,
tampak seorang pemuda tengah bergoyang gontai berjalan menyusuri jalan raja yang dipagari
pohon-pohon rindang. Ditimpah sinar bulan nan menyejukkan jelas kelihatan muka si pemuda
yang murung seperti dirundung kemalangan entah kekisruhan apa yang tengah membelit hatinya.
Sinar kemilau bergoyang2 dari sebatang seruling batu pualam yang tergantung di pinggangnya.
Pelan-pelan ia angkat kepala memandang ke arah bulan nan jauh di cakrawala, tak terasa
kakinya berhenti melangkah entah apa yang tengah dipikirkan, tak lama kemudian ia mulai
beranjak lagi ke depan dengan langkah berat.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat keluar dari dalam rimba di pinggir jalan,
persis hinggap ditengah jalan raja dan mencegat di hadapannya….
Segera si pemuda menghentikan langkahnya, pelan-pelan ia berpaling ke arah hutan gelap di
pinggir kanannya lalu berputar menghadapi orang di hadapannya ini.
Kiranya itulah seorang Lama yang mengenakan jubah kuning tua, dari penerangan sinar bulan
jelas kelihatan, lama jubah kuning ini tak lain tak bukan adalah musuh besar gurunya dulu, yaitu
Sam Kong Lama.
Agak lama Sam Kong Lama memicingkan mata mengawasinya, baru ia membuka mulut,
“Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?”
Mendengar pertanyaan ini si pemuda rada bimbang, sesaat baru ia menyahut, “Ya, betul!”

Sam Kong Lama bergelak tawa sekeras-kerasnya, ujarnya, “Sungguh besar nyalimu. Sebetulnya
tiada niat aku mencari kau, tapi kudengar kau sekaligus telah membunuh puluhan tokoh-tokoh
silat kenamaan, malah mengutungi sebelah lengan Toh-bing-cui-hun Cu Wi, apakah berita itu
benar-benar adanya?”
Hun Thian-hi meragu, “Benar-benar!” akhirnya ia mengakui dengan lantang.
Sam Kong Lama menyeringai dingin, jengeknya, “Sungguh tak duga Seruling selatan punya
murid muda yang berhati kejam telengas melebihi kebuasan binatang. Terang dia tak mampu
mendidik muridnya, biarlah aku saja yang memberi hajaran!”
Hun Thian-hi tersenyum sombong, ujarnya, “Lebih baik aku bunuh diri di hadapan guruku
daripada menerima hajaranmu. Ketahuilah sepak terjang murid Seruling selatan selamanya tak
sudi dikekang orang lain.”
Sam Kong Lama menyeringai dingin, katanya, “Cukup gagah dan besar nyalimu, tak malu
menjadi murid Lam-siau. Tapi sepak terjangmu hari ini seumpama Lam-siau sendiri hadir disini,
beliau takkan berani merintangi aku untuk menghajar adat kepadamu.”
Berubah air muka Hun Thian-hi, ia maklum bahwa jurus serangan yang dilancarkan itu
terlampau ganas dan besar akibatnya. Tak heran orang tua berambut merah tak membunuhnya
malah mengajarkan ilmu yang hebat ini, kiranya mempunyai maksud-maksud tersembunyi.
Dengan peristiwa yang telah dialaminya ini, terasa betapa menderita pukulan batin yang menimpa
dirinya rasanya lebih besar derita yang menimpa dirinya dari pada dibunuh oleh si orang tua
berambut merah….
Akhirnya ia tertunduk tanpa bicara, sementara Sam Kong Lama langkah demi langkah
menghampiri semakin dekat.
“Tidak!” mendadak Hun Thian-hi angkat kepala dan berteriak tegas.
Sam Kong Lama terhenyak.
Dalam benak Hun Thian-hi tengah membatin, sakit hati orang tua masih belum terbalas
betapapun aku tidak sudi dikekang orang lain, apalagi peristiwa ini terjadi bukan karena disengaja.
Maka kata Hun Thian-hi lantang, “Tidak, betapapun aku tidak rela menerima cercah kalian.”
Raut muka Sam Kong Lama berkerut-kerut menampilkan rasa gusar, katanya, “Semakin kau
berkukuh dosamu semakin tak berumpun, akan kuseret kau kehadapan gurumu, coba kulihat cara
bagaimana dia akan mendidikmu sekali lagi!”
Hun Thian-hi menanggalkan serulingnya sembari tertawa panjang, ujarnya, “Kalau kau mampu
membekuk aku, dengan senang hati aku ikut kepadamu.”
Sam Kong Lama terbahak dua kali, ujarnya, “Dua puluh tahun yang lalu aku pernah bergebrak
dengan gurumu, akhirnya sama-sama terluka berat. Aku harus mengakui secara pribadi gurumu
adalah seseorang tokoh kenamaan yang sangat kuhormati, sungguh tak duga dia punya murid
macam kau yang tak bisa mengurus diri!”
Berkilat mata Hun Thian-hi desisnya dengan kukuh, “Urusan ini tak perlu kau turut campur.”

Saking murka Sam Kong Lama bergelak tawa menggelegar, tiba-tiba tubuhnya mencelat
mumbul laksana seekor burung elang yang menyamber mangsanya langsung menubruk ke arah
Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi tahu bahwa Sam Kong Lama ini merupakan tokoh nomor satu diluar perbatasan,
seorang tokoh yang tidak boleh diganggu usik, melihat sedemikan hebat terjangan orang, gesit
sekali ia melompat mundur, pikirnya hendak meluputkan diri dari jurus serangan pertama ini. Tak
kira badan besar Sam Kong Lama tiba-tiba jumpalitan dan berputar cepat di tengah udara tahutahu
kedua kakinya sudah menyapu datang ke arah Hun Thian-hi….
Hun Thian-hi menggeser kesamping berbareng serulingnya melintang mengetuk jalan darah
Yung-cwan-hiat dimata kaki Sam Kong Lama.
“Bagus!” Sam Kong Lama berseru memuji, disusul tubuhnya bergerak lurus seperti berhenti di
tengah udara, secepat kilat kedua telapak tangannya sudah menepuk datang kedada Hun Thianhi.
Bercekat hati Hun Thian-hi, diam-diam ia kagum dalam hati akan keanehan dan kecepatan
perubahan jurus tipu serangan Sam Kong Lama ini. Dalam saat2 genting ini tiada waktu untuk
banyak berpikir, tangkas sekali ia bergerak memutar meluputkan diri. “Trang”, tahu-tahu Badik
buntung sudah digenggam ditangan kirinya, berdiri tegap menghimpun semangat ia nantikan
gebrak selanjutnya.
Baru pertama kali ini Sam Kong Lama menyaksikan Badik Buntung, maka ia menjadi was-was
tak berani sembarangan menyerang, lama dan lama sekali ia menatap wajah Hun Thian-hi tanpa
bergerak.
Hun Thian-hi sendiri juga tegak berdiri bersiaga tanpa berani sembarangan bergerak.
Rada lama kemudian baru Sam Kong Lama berkata lirih, “Tak malu kau menjadi murid Lamsia!”
hilang suaranya laksana geledek menyamber mendadak ia menubruk maju lagi seraya
menyerang dengan dahsyat.
Hun Thian-hi bersuit nyaring, gerak tubuhnya pun tak kalah cepatnya menyongsong maju,
tangan kanan membalingkan Seruling pualam mengembangkan ilmu Thian-liong-jhit-sek
mengombinasikan Badik buntung di tangan kiri merangsak dengan berani ke arah Sam Kong
Lama.
Kedua belah pihak tengah meluncur cepat saling terjang di tengah udara, dalam sedetik itu
mereka sudah saling serang sebanyak lima jurus baru meluncur turun dan hinggap di atas tanah.
Tampak Sam Kong Lama menampilkan rasa kagum dan keheranan, katanya, “Betul-betul murid
Lam-sia yang gagah perkasa!”
Sebaliknya Hun Thian-hi mematung ditempatnya tanpa bergerak dan bicara. Dalam kejap lain
rona wajah Sam Kong Lama berubah putus asa dan murung, sekonyong-konyong tubuhnya
mencelat lagi menerjang ke arah Hun Thian-hi.
Meski lahirnya Hun Thian-hi berlaku tenang dan wajar, sebenar-benarnya susah payah tadi ia
menyambut lima kali serangan lawan secara keras lawan keras, dadanya terasa bergetar dan sakit
sehingga napas rada sesak.
Kini melihat lawan menerjang lagi, maka kapok sudah ia, tak berani main kekerasan, cepatcepat
ia membuang diri ke samping.

Tapi betapa luas pengalaman tempur Sam Kong Lama, sembari mendengus hidung kedua
tangannya bergerak menyilang satu di belakang dan yang lain di depan saling susul menghantam
ke arah Hun Thian-hi.
Terpaksa Hun Thian-hi menyapukan Seruling pualam setengah lingkaran di tengah udara terus
mengepruk ke depan. Begitu serulingnya saling bentur dengan telapak tangan lawan seketika
tergetar hebat badan Hun Thian-hi, tak kuasa ia tersurut dua langkah, seketika wajahnya menjadi
pucat.
Sementara serangan susulan Sam Kong Lama sudah melandai tiba pula. Dalam keadaan gawat
ini tanpa disadari Badik buntung di tangan kirinya lantas bergerak memutar siap hendak
melancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang ganas itu.
Untung baru saja jurus sakti itu akan dilancarkan mendadak bergolak darah dalam rongga
dadanya, nuraninya bekerja, secara reflek akan keganjilan hajat diluar kesadarannya, maka cepatcepat
ia berusaha menguasai diri sembari menghentikan aksinya, untung masih keburu menarik
kembali serangan dahsyat yang bakal dilancarkan itu.
Akan tetapi serangan Sam Kong Lama pun sudah melandai tiba, telak sekali sebuah pukulan
mengarah pundak kirinya, untuk menghindar agaknya sudah terlambat. Dalam keadaan krisis
inilah bintang penolong telah tiba.
Mendadak ditengah udara terdengar pekik nyaring seekor burung, disusul suara seorang gadis
berkata, “Siau Hong — Benar-benar itulah orangnya, coba kau turun dan bekuk dia kemari!”
Seiring dengan merdu suaranya tampak dari tengah udara melayang turun seorang gadis
berbaju hijau, pakaian yang lazim dikenakan oleh seorang dayang, dengan tangan tunggalnya
tepat dan persis benar-benar ia tangkis pukulan Sam Kong Lama itu, di lain saat ia sudah berdiri
tegar di atas tanah
sambil tersenyum simpul Terhindarlah Hun Thian-hi dari ancaman maut.
Dayang berbaju hijau ini mendehem dengan puas dan bangga, katanya kepada Hun Thian-hi,
“Mari ikut aku!”
Sejenak Sam Kong Lama menatap dayang baju hijau itu lalu tanyanya, “Siapa kau?”
Dayang baju hijau mendengus hidung, tiba-tiba tangannya bergerak melemparkan sebuah
medali putih dari batu pualam. Begitu melihat medali putih batu pualam ini seketika berubah hebat
air muka Sam Kong Lama, mulutnya terkancing tak berani banyak bicara lagi, diam-diam ia
mengutirkan keselamatan Hun Thian-hi.
Sementara itu dengan seksama Hun Thian-hi sudah mengamati dayang kecil berusia kira-kira
15-16-an, iapun tahu siapa pemilik dari medali putih pualam itu, namun toh ia tersenyum sombong
dan berkata, “Kau kira aku sudi ikut kau?”
Sedikit berubah rona wajah si dayang kecil ini, alisnya bertaut dalam, katanya menjengek,
“Besar benar-benar nyali anjingmu, apa kau tidak kenal medali putih pualam ini?”
Pucat wajah Hun Thian-hi, namun sikapnya tetap angkuh, sahutnya tertawa, “Bu Bing Loni
merupakan tokoh aneh yang kenamaan, aku Hun Thian-hi toh tidak berbuat dosa terhadap beliau.
Kalau kau mampu silakan kau ambil kepalaku persembahkan kepadanya!”

Dayang itu bersungut, katanya, “Kapan kau dengar orang yang dipanggil dengan medali putih
pualam, boleh sembarangan saja dibunuh?”
“Nanti dulu!” tersipu-sipu Sam Kong Lama berseru.
Dayang cilik itu menjadi murka, semprotnya jengkel, “Ada apa lagi yang perlu kau katakan!”
Ragu-ragu sejenak akhirnya Sam Kong Lama berkata, “Untuk apa Bu Bing Loni memanggilnya
dengan medali putih pualam itu?”
Sebetulnya ia tak berani sembarang buka mulut, namun serta melihat Hun Thian-hi berani main
debat, dirinya seorang angkatan yang lebih tua masa harus unjuk kelemahan di hadapan murid
Lam-siau? Apalagi diam-diam timbul kecurigaan dalam benaknya, masakan dengan kepandaian
yang dimiliki oleh Hun Thian-hi sekarang mungkinkah kabar yang tersebar luas di kalangan
Kangouw itu benar-benar kenyataan?”
Sementara itu Dayang kecil itu semakin uring-uringan, ujarnya, “Kalau mau tanya silakan pergi
tanya langsung kepada pemilik medali putih pualam itu!”
Berubah air muka Sam Kong Lama, tapi ia tertawa gelak-gelak untuk membesarkan nyalinya,
dijemputnya medali putih pualam itu, katanya, “Baik, apapun yang hendak kau lakukan silakan.
Tapi sebelum kau katakan sebab musababnya tak kuberi izin kau menyentuhnya.”
Dayang kecil itu semakin gusar, bentaknya, “Besar benar-benar nyali anjingmu!” seiring dengan
bentakannya tubuhnya bergerak bagai angin lesus menerjang kepada Sam Kong Lama, dimana
tangan kanannya bergerak tahu-tahu cakarnya Sudah mengancam muka Sam Kong.
Sam Kong juga bergerak tidak kalah cepatnya, namun ia harus lancarkan empat serangan
balasan baru berhasil membendung sejurus serangan lawan, keruan basah bajunya oleh keringat
dingin.
Sungguh diluar dugaannya bahwa kepandaian silat dayang kecil ini begitu lihay, dilihat naganaganya,
apa yang dinilai orang lain tentang betapa tinggi kepandaian Bu Bing Loni memang
bukan omong kosong.
Melihat jurus serangannya tak membawa hasil dayang kecil itu berjingkrak murka, mukanya
merah padam, tahu-tahu tubuhnya bergerak lebih cepat dan tangkas menyerang pula kepada Sam
Kong.
Hun Thian-hi berpeluk tangan menonton tenang-tenang, sekilas pandang saja lantas diketahui
olehnya bahwa Sam Kong Lama terang bukan menjadi tandingan dayang kecil ini.
Tak tahu dia untuk keperluan apa Bu Bing Loni memanggilnya dengan medali piutih pualam itu.
Pernah didengar dari cerita orang bahwa Bu Bing Loni merupakan tokoh nomor satu di seluruh
Bulim, namun sifatnya kejam dan telengas melebihi para gembong-gembong iblis yang paling
jahat. Dulu waktu masih remajanya pernah patah hati, namun secara kebetulan menemukan
sejilid buku pelajaran silat yang sekaligus telah mengangkat dirinya menjadi tokoh nomor satu
tiada tandingan di seluruh kolong langit.
Konon kabarnya empat puluih tahun yang lalu dipuncak Hoa-san ia tempur puluhan tokohtokoh
silat kelas wahid, semuanya kena dibunuh tanpa ketinggalan satu pun yang hidup, cara
turun tangannya kejam dan sadis sekali tiada bandingannya. Para penonton menjadi bergidik dan
tak tega, sebaliknya sedikit pun tak berubah airmukanya.

Meski kejadian itu sangat menggemparkan, nanum para korban itu memang bukan orang baikbaik
dari golongan sesat. Palagi memang ilmu silat Bu Bing terlalu tinggi maka tiada seorangpun
yang berani tampil ke depan, maka untuk selanjutnya dimana medali putih pualam ini muncul
tiada seorangpun yang berani menolak.
Akan tetapi sebetulnya untuk urusan apakah, kenapa sekarang menimpa giliranku? “Hai,
berhenti!” tiba-tiba ia berseru mencegah.
Tangkas sekali dayang kecil baju hijau itu jumpalitan balik, ditengah udara badannya berputar
indah sekali terus meluncur turun dengan kaki menginjak tanah lebih dulu, tanyanya, “Keperluan
apa pula. yang perlu kau katakan?”
Pelan-pelan Hun Thian-hi berpaling mengamati Sam Kong Lama, mulutnya menyungging
senyum tawar katanya kepada. dayang kecil itu, “Urusan ini tiada sangkut paut dengan dia.
Marilah kita selesaikan sendiri.”
Tak kira Dayang kecil dan Sam Kong Lama berseru berbareng tanpa berjanji, “Tidak!”
Sejenak mereka saling pandang lalu Dayang kecil itu mendengus ejek, ujarnya, “Setiap kali
medali putih pualam muncul siapa yang berani membangkang?” — sejenak ia berhenti mengawasi
Hun Thian-hi berdua bergantian lalu sambungnya, “Memang lain dia lain kau, tapi persoalan ini
bisa dibereskan bersama, silakan kamu berdua maju bersama!”
Sam Kong Lama bergelak tawa, serunya, “Bagus! Hari ini terpaksa aku harus belajar kenal
betapa, tinggi ilmu silat murid didik Bu Bing Loni!”
“Sombong benar-benar,” jengek Dayang kecil baju hijau, Mengandal kemampuan kalian masa
ada. harganya belajar kenal dengan kepandaiian silat dari aliran Bu Bing loni? Aku saja yang maju
sudah cukup berharga memandang kalian!”
Sam Kong Lama menjadi dongkol dipandang enteng begitu rupa, dilandasi kemarahan segera
kirim sebuah pukulan kencang ke arah Dayang cilik itu.
Terdengar Dayang kecil itu tertawa dingin, sebat sekali meloncat terbang lempang ke depan,
kedua ujung sepatunya menendang bergantian mengarah kedua biji mata Sam Kong Lama,
betapa cepat dan tepat serangan berani ini benar-benar sangat hebat dan menakjubkan. Namun
dengan suatu gerak yang sangat cepat Sam Kong Lama meloncat mundur menjauhi.
Sementara Hun Thian-hi juga tidak tinggal diam, laksana kilat iapun sudah bergerak
membuntut tiba, dimana seruling pualamnya bergerak langsung ia menutuk jalan darah
mematikan dipunggung Dayang kecil. Hebat benar-benar kepandaian Dayang kecil baju hijau ini,
seperti tumbuh mata saja belakang kepalanya, mendadak membalik sebuah tangannya, sekali raih
ia mencengkram seruling Hun Thian-hi yang menutuk datang.
Keruan bukan kepalang kejut Hun Thian-hi, cepat Badik buntung ditangan kirinya mengiris
kebawah langsung membabat pergelangan tangan Dayang kecil itu.
Dilain pihak Sam Kong Lama juga tak kalah kejutnya, tergopoh2 ia lancarkan sebuah pukulan
ke arah Dayang kecil untuk menolong Hun Thian-hi.
Dayang kecil itu menggeram lirih, tiba-tiba tangan kanannya digentakkan kuat2, sehingga
tergetar tangan kanan Hun Thian-hi, kontan badannya mencelat ke tengah udara karena hentakan
yang kuat dari gentakan tenaga Dayang kecil itu. seiring dengan gerakannya itu, lincah sekali

dayang kecil itu berputar selicin belut meluputkan diri dari pukulan Sam Kong Lama, tangannya
merangsang ke belakang lengan membelakangi penyerangnya, namun cukup lihay tipunya ini
karena telak sekali jalan darah pelemas Sam Kong Lama tertutuk, kontan ia terjungkal roboh
dengan badan lamas tak mampu bergerak lagi.
Sementara itu, Hun Thian-hi yang mencelat ke tengah udara beruntun jumpalitan dua kali baru
mendarat turun di atas tanah
Sembari tersenyum ejek Dayang kecil mengawasi Hun Thian-hi, sedikit kerahkan tenaga
Seruling batu pualam yang dirampasnya itu seketika dipotes menjadi dua.
Berubah hebat rona wajah Hun Thian-hi. Maklum Seruling pualam itu sudah puluhan tahun
malang melintang mengikuti gurunya, Akhirnya diturunkan kepadanya sampai sekarang.
Melihat perubahan air muka Hun Thian-hi, Dayang kecil Ru malah tertawa riang, ejeknya
menggoda, “Apa, tidas terima?”
Terpancar sinar kilat aneh dalam biji mata Hun Thian-hi, dengan mengertak gigi ia mengayun
Badik buntung sekeras-kerasnya, sejalur cahaya hijau pupus kelihatan menari bergelombang
ditengah gelanggang disertai suara mendesis yang semakin nyata terus menungkrup ke arah
dayang kecil baju hijau.
Semula dayang kecil perdengarkan tawa menghina langsung ia terbang maju memapak
serangan lawan. Dimana jurus Jan-thian-ciat-te dilancarkan gelanggang pertempuran menjadi
seperti dicekam dalam suasana yang menusuk perasaan, begitu kedua belah pihak saling sentuh si
dayang kecil lantas merasa sesuatu yang luar biasa bakal terjadi, berubah air mukanya, sejalur
cahaya hijau pupus langsung menyamber ke arah lehernya.
Secara gerak reflek segera ia angkat kedua kutungan seruling di tangannya untuk menangkis.
Terdengar sentuhan yang lirih nyaring, dengan pesona ia memandangi dua kutungan seruling di
kedua tangannya, sekarang kedua kutungan itu telah terpapas lagi menjadi empat kutungan, dua
yang lain jatuh di tanah, seruling ditangannya terpapas licin dan rajin sekali.
Waktu ia angkat kepala terlihat muka Hun Thian-hi bersemu merah kehitaman, ujung mulutnya
melelehkan sealur daran segar, susah payah ia mengtiasai dirinya untuk tetap berdiri.
Dayang kecil itu semakin dibakar kemarahan, sambil menggertak nyaring ia menyerbu lagi.
Sekonyong-konyong terdengar suara merdu seorang gadis dari tengah udara, “Siau Hong.
Kembali, hari ini ia telah melepas jiwamu, kitapun melepasnya sekali ini, marilah pulang!”
dayang kecil yang bernama Siau Hong itu segera menghentikan aksinya, dengan seksama ia
mengawasi Hun Thian-hi, diam-diam hatinya sangat menyesal dan mendelu, keadaan Hun Tnianhi
ini terang berusaha hendak menarik dan mengendalikan serangan ganas tadi sehingga tenaga
murni sendiri membalik menerjang jantung sampai terluka dalam yang berat.
Ia tahu bahwa dengan bekal yang dimiliki Hun Thian-hi terang takkan mampu melukai dirinya.
namun demikian tak urung ia menjadi terharu dan merasa terima kasih.
Seekor burung besar berbulu hijau terbang rendah, pelan-pelan dayang kecil bernama Siau
Hong itu lantas melompat tinggi naik ke atas punggungnya, sebentar saja burung besar berbulu
hijau itu sudah menjulang tinggi ke tengah angkasa sambil berpekik nyaring dan panjang, dalam
kejap lain sudah menghilang dari pandangan mata.

Mengantar menghilangnya burung besar itu Hun Thian-hi bengong sekian lamanya, lalu duduk
bersila bersemadi mengembalikan tenaga dan semangatnya, setelah pikiranya jadi jernih kembali
bergegas ia berdiri terus membetulkan tutukan jalan darah Sam Kong Lama.
Pelan-pelan Sam Kong Lama merajap bangun, rona wajahnya menunjukkan rasa yang malu
yang tak terhingga, lambat-lambat dijemputnya medali putih pualam itu lalu katanya pada Kun
Thian-hi, “Jurus yang kau lancarkan tadi itu belajar dari mana, aku tidak tahu dan belum pernah
mengenalnya?”
Hun Thian-hi bungkam tak bicara. Agak lama kemudian ia angkat kepala berkata sambil
tersenyum, “Bukankah lebih kau tidak mengetahui saja?” lalu ia melangkah maju menjemput
potongan kecil seruling pualamnya yang kutung terpapas oleh Badik buntungnya sendiri, kutungan
seruling yang lain dibawa pergi oleh dayang kecil tadi, memandangi kutungan dua seruling
ditangannya Hun Thian-hi menjublek di temparnya seperti patung.
Kata Sam Kong Lama, “Medali putih pualam itu sudah berada ditanganku maka aku harus
segera kembali. Aku percaya akan martabatmu, mungkin kau terdesak oleh peristiwa ini. Sekarang
kau sudah bentrok dengan pihak Bu Bing Loni, kalau kau mau marilah kita pulang bersama.
Ketahuilah ilmu silat dikolong langit ini hakikatnya bukan Bu Bing Loni saja yang paling tinggi.”
Hun Thian-hi angkat kepala pandangannya menampilkan rasa haru yang tertekan, sahutnya,
“Terima kasih, tapi aku tak ingin pergi!”
Sam Kong Lama terlongong sesaat lama, katanya tersenyum, “Seharusnya aku tahu kau takkan
sudi ikut aku, Tapi kau harus ingat Bu Bing Loni bukan sembarang tokoh yang dapat dibuat mainmain
jangan sampai kau mengorbankan jiwanya secara sia-sia.”
Bertaut alis Hun Thian-hi, menggelengkan kepala.
Sam Kong Lama menghela napas, ujarnya: Perangainya rada sama dengan sifat gurumu,
akupun tak perlu banyak membujuk kau. Hari ini kau sangat banyak membantu kepadaku jikalau
kelak kau memerlukan bantuan silakan datang ke tempatku, setelah keluar dari perbatasan jejakku
akan gampang kau temukan asal kau bertanya sembarang orang disana.”
Hun Thian-hi tersenyum pahit, ia menganggukkan kepala.
Biji mata Sam Kong berkilat mengawasinya, ia menggeleng kepala dan berkata, “Sayang kau
tak sudi ikut aku, kau sia-siakan kesempatan paling baik ini.” -setelah menghela napas panjang ia
putar tubuh Mengantar punggung Sam Kong Lama yang semakin jauh itu, Hun Thian-hi menghela
napas panjang.
Tengah ia terlongong mendadak dari dalam hutan sebelah kiri sana terdengar gelak tawa orang
yang keras nyaring.
Sigap sekali Hun Thian-hi memutar tubuh sembari menghardik, “Siapa itu?”
Namun suasana hutan di depannya sangat hening lelap, gesit sekali badannya meluncur
menuju ke arah dimana suara gelak tawa tadi terdengar, namun meski ia sudah bergerak begitu
cepat bayangan seorang pun tak terlihat olehnya.
Bercekat hatinya. Batinnya kenapa hari ini beruntun aku bertemu dengan tokoh-tokoh kosen2,
jarak dirinya berdiri tidak lebih tiga tombak saja, dengan kesebatan gerak tubuhnya ternyata
bayangan orang saja tak keliahatan olehnya.

Dengan dongkol ia celingukan ke sekelilingnya Sekonyong-konyong gelak tawa tadi
bergelombang keras seperti gema lonceng besar yang memekakkan telinga. Lagi-lagi Hun Thian-hi
melesat cepat mengejar jejaknya ke arah sana namun ia meluncur turun bayangan setanpun tak
terlihat olehnya.
Sebentar ia menerawang situasi sekelilingnya dengan ketajaman matanya, namun tak
diketemukan sesuatu keganjilan apa-apa.
Meski gelak tawa tadi terdengar lagi, kali ini tak dihiraukan lagi,tanpa berpaling ia terus berlari
keluar.
Tiba-tiba ia merasa tengkuknya terasa rada dingin, juga ada gatal2, keruan kejutnya bukan
main, secara reflek ia menggunakan tangannya untuk mengusap ke belakang, tampak seekor ulat
menggelinding jatuh dari atas tengkuknya….
Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, sungguh hatinya berang sekali, namun hakikatnya ia
merasa kagum dan kaget dengan kepandaian orang telah begitu hebat mempermainkan dirinya.
Gelak tawa yang mengalun tinggi itu bergema pula dari dalam hutan.
Tak sabaran Hun Thian-hi membentak keras, “Siapa itu yang main sembunyi seperti
pancalongok. Kalau kau manusia mari unjukkan tampangmu yang sebenar-benarnya.”
Setitik bayangan melesat dari dalam hutan langsung terbang ke arah Hun Thian-hi, cepat-cepat
ia angkat tangan kanannya dengan kedua jarinya hendak menjepit bayangan kecil ini, tapi
luncuran titik hitam itu mendadak bertambah cepat menerobos lewat dari celah-celah jari
tangannya langsung melekat di bibir Hun Thian-hi. Hun Thian-hi berjingkrak merinding sembari
mengusapnya diatuh dengan tangan kiri, lagi-lagi seekor ulat kecil.
Sungguh dongkol dan gemes benar-benar sampai tak mampu bicara, akhirnya Hun Thian-hi
menjadi nekad terus mengejar semakin dalam ke hutan yang semakin gelap.
Gelak tawa itu selalu membayangi dirinya terus menerobos semakin jauh ke dalam hutan, Hun
Thian-hi pun terus mengejar dengan berani, kejar punya kejar akhirnya sampai di depan sebuah
gua, tiba-tiba gelak tawa itu berhenti.
Hun Thian-hi menjadi ragu-ragu sebentar, namun ia nekad juga mengejar masuk ke dalam gua.
Begitu ia melangki masuk dilihatnya seorang tua yang mengenakan jubah panjang dari kain bagor
tengah duduk semadi didalaiH pojok gua sana. Orang tua ini berwajah merah, rambut dan
jenggotnya sudah ubanan, wajaknya itu mengunjuk senyum ramah tamah, tempat dimana ia
duduk dikeliling sebuah garis bundaran sebesar tiga tombak.tangannya kanan mencekal sebatang
tongkat putih batu pualam panjang tiga kaki.
Hun Thian-hi ragu-ragu sejenak, tanyanya kepada urang tua itu, “Kaukah tadi yang menggoda
aku?”
Orang tua itu tetap dalam keadaan samadinya tanpa bergerak, sedikitpun ia tidak hiraukan
pertanyaan Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi mengerutkan kening, hidungnya mendengus lalu melangkah maju dengan uringuringan.
Namun baru saja kakinya menginjak masuk ke dalam arena garis bundaran itu. tampak
tongkat ditangan si orang tua bergerak menutul ke depan, seketika ia merasa sejalur tenaga besar
mendorong dirinya, tanpa kuasa karena tidak bersiaga sebelumnya Hun Thian terjungkir balik.

Sungguh kejut hati Hun Thian-hi bukan kepalang. Dengan bekal Lwekangnya sekarang masa
begitu gampang kena disengkelit orang dengan sekali tutul dari jarak jauh? Bergegas ia bangkit
berdiri, dengan uring-uringan ia pandang si orang tua, namun orang tua itu tetap dalam gaya
semadinya tanpa bergerak sedikitpun.
Pelan-pelan Hun Thian-hi coba-coba ulur kakinya ke dalam bundaran namun segera hendak
ditarik kembali, namun belum sempat bergerak lebih jauh mendadak terasa kakinya terdorong
naik oleh segulung tenaga besar yang tidak kelihatan, cepat-cepat ia menghimpun tenaga dan
mengendalikan pernapasannya, namun hawa murni seperti macet ditengah jalan, sementara itu
tubuhnya sudah terangkat naik oleh dorongan tenaga besar itu, terpaksa ia harus jumpalitan
ditengah udara baru meluncur turun ke tanah.
Orang tua itu tetap duduk ditempatnya seperti tak terjadi sesuatu.
Setelah hinggap di tanah Hun Thian-hi menjadi berdiri terlolong tak bersuara. Agak lama
kemudian ia melangkah pelan-pelan memutar ke belakang si orang tua.
Si orang tua tetap tak bergerak. Setelah sampai di belakang orang, dijemputnya sebutir kerikil
terus diselintikkan kepunggung si orang tua. Baru saja kerikil itu melesat sampai ditengah jalan,
pandangannya seperti menjadi kabur oleh berkelebatnya selarik bayangan putih, disusul kerikil
yang disambitkannya itu mendadak meluncur balik menerjang dirinya sendiri.
Tersipu-sipu Hun Thian-hi menyingkir kesamping, kerikil itu menyamber lewat disamping
lehernya, “plok” amblas ke dalam dinding batu tanpa bekas.
Akhirnya Hun Thian-hi menjadi gemas dilolosnya keluar Badik buntung, dengan nekad ia
menubruk masuk ke dalam bundaran. Punggung si orang tua seperti tumbuh sepasang mata,
mendadak tongkat putihnya terayun ke belakang menyapu kedua kaki Hun Thian-hi.
Sigap sekali Hun Thian-hi mengayun Badik buntungnya hendak menangkis, namun lagi-lagi
pandangan matanya serasa kabur oleh berkelebatnya sinar putih kemilau, kontan terasa Badik
buntung ditangan kanannya tergetar keras terlepas dari cekaiannya terbang ke atas, sedang
badannya sendiri juga terlempar keluar dari arena bundaran itu.
Begitu berdiri tegak lagi Hun Thian-hi menjadi kesima sekian lama, pelan-pelan dijemputnya
Badik buntung lalu dengan lesu ia berjalan keluar.
Tiba-tiba si orang tua membuka matanya, katanya, “Bocah, kiranya tidak punya tekad besar!”
Hun Thian-hi menghentikan langkahnya, lalu berpaling memandang ke arah si orang tua,
sahutnya, “Betapa besarpun tekadku, aku tak mampu menerjang masuk.”
Si orang tua tercengang dilain saat mendadak bergelak tawa nyaring, serunya, “Benar-benar,
ucapanmu memang betul!”
Teringat akan pengalaman yang aneh yang dialaminya selama ini tergerak hati Hun Thian-hi,
lekas-lekas ia berlutut ke arah si orang ua sembari ujarnya, “Cianpwe menuntunku kemari, entah
ada petunjuk apa yang berharga?”
Orang tua itu tertegun sebentar lalu bergelak tawa, katanya, “Ternyata cukup pintar.”
Rada girang hati Hun Thian-hi, tahu dia bahwa ilmu silat orang tua ini pasti sangat tinggi,
jikalau bisa minta petunjuknya, perbekalan ilmu silatnya tentu akan bertambah maju.

Sekian lama si orang tua tenggelam dalam pikirannya, mendadak wajahnya tegang serius,
tanyanya, “Jurus Jam-thian-ciat-te itu kau pelajari dari mana?”
Hun Thian-hi tertegun, sesaat ia menjadi kememek tak tahu bagaimana ia harus menjawab.
Orang tua itu mendengus hidung, tanyanya pula, “Ang-hwat-lo-mo itu apamu?”
Mendengar orang menanyakan orang tua aneh berambut merah itu, terperanjat hati Thian-hi
sahutnya, “Aku tiada hubungan apa dengan beliau!”
“Bohong!” maki si orang tua, “Kalau kau tiada hubungan dengan dia bagaimana ia bisa
mengajarkan Jan-thian thiat-te kepandaian tunggal yang ganas itu kepada kau!”
Semakin kejut hati Hun Thian-hi, tengkuknya terasa merinding, bermula ia merasa heran
kenapa Bu Bing Loni, bisa mencari dirinya. Pula teringat kata-kata orang tua rambut merah yang
berkata sendlap-sendlup tak keruan itu, kiranya tak lain memang bertujuan mengumpankan
dirinya kepada Bu Bing Loni, bukankah kematian dirinya bakal lebih mengerikan.
Karena pikirannya ini tak terasa mulut Thian-hi menggumam, “Ternyata tujuannya utama
adalah hendak mencelakai jiwaku!”
Si orang tua berubah air mukanya, mengerutkan kening tanpa bicara.
Hun Thian-hi angkat kepala mengawasi si orang tua, Hanya ia bercerita pengalamannya di
dalam jurang dimana Ang-hwat-lo-mo bersemajam. Sambil mendengarkan orang tua manggutmanggut,
setelah Hun Thian-hi habis bercerita ia berkata, “Begitu lebih baik, kan tak usah takut
menghadapi Bu Bing Loni!”
Menatap tajam ke arah si orang tua berubah pikiran Thian-hi, ia mereka-reka, ia heran
siapakah orang tua di hadapannya ini, seluruh tokoh-tokoh di Bulim ini siapa yang berani berkata
bahwa dia tidak gentar menghadapi Bu Bing Loni!.
Melihat sikap Hun Thian-hi ini agaknya si orang tua sudah dapat menebak isi hatinya.
Mendadak ia bergelak tawa pula, tahu-tahu laksana angin lesus berputar tubuhnya melenting
keluar gua, terdengar ia berkata, “Carilah aku di Tay-soat-san, jikalau Ham Gwat mencarimu lagi,
ambillah ini serahkan kepadanya!” — lenyap suaranya tampak tongkat putih batu pualam itu
terbang jatuh di bawah kaki Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi terpesona di tempatnya, sekian lama ia menjublek tak bergerak, dari mulutnya
menggumam, “Soat-san-su-gou!”
Soat-san-su-gou juga merupakan tokoh-tokoh aneh dari kalangan persilatan, sudah puluhan
tahun terakhir tak pernah berkecimpung dikalangan Kangouw. Sungguh tak duga hari ini berjodoh
bisa bertemu dengan beliau, malah mengundang dirinya pergi ke Soat-san.
Hun Thian-hi menghela napas dengan riang, sungguh girang hatinya tak terkatakan.
dijemputnya tongkat putih pualam itu, mendadak mulutnya berseru tertahan, ujarnya, “Eh
siapakah Ham Gwat itu?”
Nama Ham Gwat ini menjadi tanda tanya dalam sanubarinya, teringat olehnya akan dayang
kecil berpakaian hijau yang bernama Siau Hong serta suara gadis remaja ditengah udara itu.
“Mungkinkah….” demikian ia bertanya-tanya dalam hati. Akhirnya ia menjadi geli sendiri, lalu
dengan langkah lebar ia keluar dari gua itu, kiranya hari sudah terang tanah, langit di sebelah

timur bertambah terang, cahaya ungu suram bertambah lama bertambah kuning, dan
kesudahannya timbul dibalik awan luar yang bersusun matahari. Mula-mula sepotong, sebelah dan
akhirnya bulat sebagai bulan digambar2an berseri-seri laksana orang tersenyum memandang ke
bumi.
Hun Thian-hi celingukan mengawasi keadaan sekelilingnya, panjang dan dalam-dalam ia
menghirup hawa pagi lalu perlahan-lahan keluar dari lautan rimba raja.
Baru saja ia sampai diambang hutan gelap itu, ditengah udara didengarnya pula pekik burung
besar berbulu hijau, berdetak jantungnya, lekas-lekas ia mendongak memandang ke angkasa.
Tampak seekor burung besar warna hijau melayang turun dari tengah angkasa, dalam kejap lain
sudah mendarat di tanah.
Dengan tajam Hun Thian-hi menatap gadis kecil di atas punggung burung besar itu, itulah
dayang kecil berpakaian hijau yang bernama Siau Hong itu.
Dayang kecil itupun memandang ke arah Hun Thian-hi sembari tersenyum simpul.
Tanpa menunjukkan perubahan mimik wajahnya Hun Thian-hi terus menatap wajah orang
tanpa buka suara. Entah untuk tujuan buruk atau demi kebaikanlah dayang kecil ini mencari
dirinya lagi.
Seruling pemberian gurunya sudah dikutungi olehnya, ini merupakan suatu kesalahan yang tak
terampunkan baginya.
Ragu-ragu akhirnya Siau Hong menundukkan kepala, namun dalam kilas lain sudah angkat
kepala pula, katanya kepada Hun Thian-hi, “Nyalimu sungguh sangat besar. Kenapa tidak lekas
pergi, sebentar lagi nonaku bakal tiba, beliau takkan melepasmu lagi.”
Hun Thian-hi masih sekian lama mengamati Siau Hong, melihat orang berkata setulus hati,
namun ia masih segan dan tak sudi buka mulut.
Siau Hong menjengek, “Kau jangan anggap diiimu sangat jempolan, aku bermaksud baik
datang kemari memberi kisikan kepadamu, kalau ganti orang lain aku takkan peduli!”
Berkerut wajah Thian-hi, katanya pelan-pelan, “Terima kasih akan maksud baikmu. Aku tak
perlu takut menghadapi nonamu.”
Siau Hong mengejek lagi, ujarnya, “Sombong benar-benar kau. Sangkamu jurus pencacat langit
pelenyap bumimu itu tiada bandingannya di jagat ini? Ketahuilah, sangat jauh sekali dibanding
dengan kepandaian nonaku!”
Siau Hong membanting kaki sembari berkata aleman, “Aku tak mau peduli lagi!”
Terdengar sebuah suara berkata pula ditengah udara, “Siau Hong apa yang tengah kau
lakukan?”
Siau Hong angkat kepala dengan kaget dan takut, sahutnya tercekat, “Nona! Tidak apa-apa.”
Hun Thian-hi mendongak, tampak seekor burung berbulu hijau mulus yang besar sekali, di atas
punggung burung besar ini samar-samar kelihatan duduk seorang gadis remaja.
Terdengar gadis di punggung burung besar itu berkata pula, “Siau Hong, ringkus Hun Thian-hi
dan bawa pulang…. Suhu masih menunggu kedatangan kita!”

Siau Hong mengiakan, matanya memandang gugup dan gelisah ke arah Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi malah mandah tersenyum sinis, tanyanya, “Apakah nonamu itu yang bernama
Ham Gwat?”
Siau Hong manggut-manggut. katanya, “Sekarang tiada jalan lain, biarlah aku berlaku sedikit
ayal2an, lekas kau bunuh diri, biar aku pulang mendapat hukuman saja.”
Hun Thian-hi tertawa-tawa tanpa bergerak.
Suara dari tengah udara berteriak mendesak, “Siau Hong, kenapa tidak lekas turun tangan?”
Hun Thian-hi menyurut mundur beberapa langkah ke belakang, tongkat putih batu pualam di
tangannya diayun berputar setengah lingkaran terus dilontarkan miring ke tengah udara.
Tampak sesosok bayangan mencelat terbang dari punggung burung besar laksana bintang
jatuh tangkas sekali meraih tongkat batu pualam yang melesat terbang meninggi itu, di tengah
angkasa berputar satu lingkaran lalu seringan kapas meluncur pula ke atas punggung burung
besar yang terbang berputar-putar di tengah udara itu….
Gerak gerik tubuhnya adalah sedemikian indahnya laksana bidadari yang menari gemulai di
angkasa, kelihatannya jauh lebih ringan dan gesit dari burung camar. Sekian lama Hun Thian-hi
terpesona sambil mendongak ke atas, hampir saja ia tidak mau percaya akan pandangan matanya
sendiri. Selama hidup ini belum pernah ditontonnya ilmu kepandaian begitu tinggi dan
menakjupkan.
Begitulah ia terlongong memandang ke angkasa. Dari bentuk bayangannya yang kelihatan
sekelebat itu, dapatlah dibayangkan tentu ia seorang gadis remaja yang cantik molek
berperawakan langsing menggiurkan, sayang tak terlihat jelas, sungguh besar harapannya gadis
juwita itu bisa turun kemari untuk bertemu.
Gadis itu berteriak di tengah angkasa, “Siau Hong, hari ini batal saja, mari kita pulang.”
Siau Hong mengiakan, dengan pandangan ganjil ia awasi Hun Thian-hi lalu pelan-pelan naik ke
punggung burung besar itu, sebentar saja mereka sudah menghilang dibalik awan.
Hun Thian-hi mendelong mengawasi ujung langit, hatinya terasa kosong dan hampa, akhirnya
ia menjadi geli sendiri akan sikapnya yang seperti kehilangan semangat itu, bergegas ia
meninggalkan tempat itu.
Selepas pandangan mata panorama di atas puncak pegunungan ini adalah putih bersalju
melulu, pohon siong dan pek sudah berselimutkan bunga salju, selayang pandangan dunia
sekelilingnya seperti dibuat dari keramik yang memutih berkilau.
Waktu sang surja pertama kali mengintipkan sinar kemuning menembus tabir gelapnya seluruh
jagat raya ini, Hun Thian-hi seorang diri sudah beranjak naik menuju ke gunung salju mencari
Soat-san-su-gou.
Tak terasa pagi hari itu ia sudah mencapai setengah perjalanan di lamping gunung, disini ia
berhenti sebentar menghirup napas segar, pemandangan ciptaan alam yang indah molek yang
terbentang di hadapannya betul-betul merupakan sebuah pesona yang seolah-olah merampas
kesadarannya sehingga sekian saat ia menjublek di tempatnya.

Puncak tertinggi dari gunung bersalju sudah terbentang di hadapannya, semangat Hun Thian-hi
tambah berkobar dan hatinya menjadi girang sekali, segera kakinya bergerak semakin cepat
menempuh berbagai aral rintang berbahaya, namun toh semua itu dapat diatasi berkat bekal
Lwekang dan ilmu ringan tubuhnya yang cukup sempurna.
Lain dari keadaan di bawah gunung, puncak. tertinggi dari gunung bersalju ini justru serba
hijau dan bersih sama sekali dari bunga salju, di mana-mana bertabirkan batu hijau seluas tiga
lima puluh tombak. Waktu Hun Thian-hi memanjat ke atas batu hijau itu didapatinya di tengahtengah
sana duduk bersila jajar empat orang tua yang semuanya sudah beruban dan berjenggot
memutih salju pula. Mereka duduk memutar setengah lingkaran, semuanya tengah memejamkan
mata bersamadi, sekali pandang membuat orang timbul rasa hidmat dan hormatnya.
Tersipu-sipu Hun Thian-hi maju berlutut serta sembahnya, “Tecu Hun Thian-hi menghadap para
Cianpwe!”
Seorang tua yang duduk paling ujung membuka mata meng-angguk-angguk kepada Hun Thianhi
sembari tersenyum simpul. Baru sekarang Hun Thian-hi melihat tegas orang tua ini bukan lain si
orang tua beruban yang memberi petunjuk kepadanya di dalam gua itu.
Beruntun orang ketiga juga membuka mata mengamati Hun Thian-hi sekian saat, lalu ujarnya,
“Omongan Si-te memang tidak salah, bocah ini bertulang mas punya bakat yang luar biasa, benarbenar
seorang tunas yang punya harapan dan masa depan yang gemilang. Sayang sifat congkak
dan sombongnya terlalu besar melibatkan dirinya.”
Orang kedua lantas membuka mata dan tertawa gelak-gelak, serunya, “Hal itu tidak menjadi
halangan, bukankah waktu masih muda dulu kita lebih nakal dan brandalan?”
Diam-diam Hun Thian-hi menjadi girang dalam hati, sungguh tak terkirakan olehnya bahwa
Soat-san-su-gou sangat menghargai dirinya.
Orang ketiga mengerutkan kening, ia tetap menyanggah, “Tapi sifat congkak dan takabur selalu
pasti menjadi rintangan kemajuan.”
Tanpa perduli sanggahan saudaranya, orang kedua itu berkata kepada Hun Thian-hi, “Kudengar
Si-te memujimu, sebelum ini aku belum percaya, hari ini dengan mataku sendiri kusaksikan baru
aku mau percaya. Memang tidak salah pujiannya.”
“Terima kasih akan pujian para Cianpwe!” — diam-diam Thian-hi menjadi heran akan sikap
orang pertama dari Su-gou yang tetap samadi tak bergerak atau membuka mata.
Tanya si orang tua Kepada Thian-hi, “Waktu kau kemari apa kau bersua dengan Ham Gwat?.”
Hun Thian-hi manggut-manggut, segera ia ceritakan pertemuan hari itu sejelasnya.
Si orang tua manggut, sebaliknya orang tua kedua mendengus hidung, ujarnya, “Bu Bing Loni
terlalu takabur, sepak terjangnya sangat keterlaluan.”
Baru sekarang tiba-tiba orang tua pertama membuka mata, dua biji matanya yang ditaungi
kedua alisnya yang memutih panjang itu berkilat tajam, tersentak kaget benak Hun Thian-hi
melihat ketajaman sinar pancaran mata orang.
Orang tua beralis putih ini berkata lambat-lambat, “Ji-te, Sam-te dan Si-te!” suaranya terdengar
rendah namun mengandung wibawa yang besar dan angker.

Tiga, orang tua lainnya segera bungkam dan menunduk.
Sambung orang tua beralis putih kalem, “Kita jangan terlalu bangga dan percaya akan kekuatan
sendiri, aku kuatir dengan gabungan kekuatan kita berempat pun masih belum bisa menandingi
Bu Bing Loni!”
Orang tua kedua tak tahan lagi lantas menyeletuk, “Apakah ucapan Toako ini tidak terlalu tinggi
menilai Bu Bing Loni?”
Kata orang tua beralis putih kepada Thian-hi, “Nak, kau bangunlah!”
Sembari mengawasi orang tua beralis putih ini pelan-pelan Thian-hi bangkit berdiri, orang tua
pertama ini rada punya sikap yang angker dan agung dari ketiga saudaranya, setiap patah kata
yang diucapkannya mempunyai pertimbangan yang masak dan masuk di akal.
Orang tua beralis putih manggut-manggut memberi tanda supaya ia maju mendekat. Thian-hi
menurut melangkah maju ke hadapan orang.
Dari jarak yang dekat ini si orang tua beralis putih mengamati Hun Thian-hi dengan seksama,
rada lama kemudian baru ia menghela napas, ujarnya, “Kebesaran dan kejayaan Bulim kelak bakal
tercekam di tangan bocah ini!” lalu ia menunduk terpekur lagi.
Berempat semua diam tenggelam dalam pikiran masing-masing, lahirnya ia memuji akan bakat
dan rejeki Thian-hi yang besar, namun helaan napas panjang itu betul-betul membuat perasaan
semua orang menjadi tertekan dan berat.
Dilain saat orang tua beralis putih angkat kepalanya berkata kepada Hun Thian-hi, “Mungkin
kau harus tinggal beberapa hari disini, tunggulah setelah segala sesuatu mengenai urusan ini
dapat dibikin beres baru kau boleh tinggal pergi, apakah kau sudi?”
Hun Thian-hi manggut-manggut dengan melongo, tak tahu ia entah apa yang dimaksud dengan
kata-katanya itu. Seperti disengat kala, ketiga orang tua lainnya berpaling kaget.
“Toako!” seru orang tua keempat lirih dan tertekan perasaannya.
Mendadak orang tua beralis putih unjuk senyum riang, katanya, “Kalian tahu ilmu silat apa yang
paling diandalkan oleh Bu Bing Loni?”
Tiga yang lain menyahut berbareng, “Kita sama tahu, dia menggunakan sebilah pedang!”
Orang tua alis putih manggut-manggut, ujarnya, “Bukankah ilmu pedangnya yang dinamakan
Hui-sim-kiam-hoat menjagoi di seluhuh jagat ini!” sampai disini ia merandek sebentar lalu
sambungnya, “Kalau kita berempat secara langsung menghadapi Hui-sim-kiam-hwat ini cara
bagaimana mengatasinya?”
Ketiganya tenggelam dalam pikirannya tak bersuara, akhirnya orang kedua buka bicara,
“Menggunakan Gin-ho-sam-sek!”
Orang tua alis putih menganggukan kepala, ujarnya, “Ucapan Ji-te memang tepat,
menggunakan Gin-ho-sam-sek (tiga jurus sungai perak, untuk menyerang dan bertahan!”
Sekonyong-konyong dari jauh diufuk langit Sana terdengar pekik burung yang bersahutan.

Mendengar itu orang tua beralis putih lantas unjuk senyum lebar sembari manggut. Dia
memberi tanda kepada Hun Thian-hi untuk menyingkir dan duduk disamping sana.
Hun Thian-hi menurut perintah, ia menyingkir ke samping orang tua alis putih terus duduk
bersila.
Sementara kedua ekor burung besar yang bentuknya seperti merak yaitu yang dinamakan
burung dewata berbulu hijau pupus sudah terbang mendatang semakin dekat. Kini Hun Thian-hi
sudah semakin jelas, kedua ekor burung besar itu terbang jajar mendatangi dengan cepat. Di lain
kejap kedua ekor burung ini sudah meluncur turun dan hinggap di atas batu hijau tanpa
mengeluarkan sedikitpun suara.
Hun Thian-hi melihat ke atas punggung burung besar itu, yang mendarat lebih dulu ditunggangi
dua orang, yaitu dayang kecil yang bernama Siau Hong, seorang lain adalah gadis berpakaian
serba hitam.
Saduran : GKH
Di upload di Ecersildejavu & Dimhad
Djvu : BBSC, convert : Margareth, axd002, zaqwsw
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http:// http://dewikz.byethost22.com/
Bab 3
Thian-hi kesima mengawasi wajah gadis baju hitam, kulit wajah gadis remaja ini kelihatan putih
halus, sepasang matanya bening dan hitam bersinar tajam, setelah slorot turun dari punggung
burungnya hanya sekilas memandang ke arah Soat-san-su-gou, hakikatnya ia seperti tidak melihat
akan kehadiran Thian-hi disitu.
Sementara itu, begitu loncat turun dayang kecil atau Siau Hong itu lantas sembunyi di belakang
gadis baju hijau itu, lehernya diulur tinggi sembari jinjit2. Sepasang matanya yang jeli melotot
lebar mengintip2 dari belakang pundak sinona ke arah Hun Thian-hi.
Dalam pada itu, burung dewata yang lainnya pun sudah mendarat, ditunggangi oleh seorang
Nikoh tua yang mengenakan jubah keagamaan warna abu-abu. Pelan seperti malas-malasan ia
turun dari punggurg burung dewata itu, matanya terpicing mengawasi Soat-soan-su-gou ganti
berganti, mendadak kelihatan biji matanya terpentang lebar memancarkan napsu membunuh yang
tebal.
Dilain pihak Soat-san-su-gou tetap berduduk samadi memejamkan mata tak bergerak, seperti
tidak mengetahui akan kedatangan mereka.
Kelihatan Bu Bing Loni mengayun tangan kanan, dari dalam lengan bajunya ia melemparkan
sebatang tongkat putih ke hadapan si orang tua pertama beralis putih itu.
Tongkat sepanjang tiga kaki yang terbuat dari batu pualam itu melesak masuk seluruhnya ke
dalam tanah, tanpa mengeluarkan suara.
Perlahan-lahan orang tua alis putih angkat kepala menatap ke arah Bu Bing Loni.

Terdengar Bu Bing Loni tertawa dingin, ujarnya, “Kedatanganku hanya untuk minta orang,
ngajaran dari kalian yang menamakan diri sebagai Soa san-su-gou, betapa tinggi dan ada
keanehan apa dari ilmu kepandaian kalian?”
Orang tua alis putih beragu sebentar, katanya dengan suara rendah, “Ketahuilah dia bukan
murid dari Ang-hwa-lo-mo itu, malah….”
Tak menanti orang bicara habis, Bu Bing Loni segera menyela, “Segala sepak terjangku sejak
dulu siapa yang berani tanya kenapa?”
Sesaat orang, tua alis putih merenung, lalu katanya kalem, “Apa tidak lebih baik kau
pertimbangkan sekali lagi?”
Bu Bing Loni mendengus gusar, ia berpaling ke arah gadis baju hitam serta berkata, “Ambil
pedangku!”
Cepat-cepat gadis baju hitam itu mengangsurkan sebilah pedang panjang, pelan-pelan Bu Bing
Loni melolos pedang itu dari sarungnya.
Orang tua alis putih mandah tertawa tawar, sebelah tangannya diulur mencabut keluar tongkat
yang amblas dalam tanah di depannya terus dilontarkan kepada orang keempat, serempak mereka
lantas mengeluarkan sebatan tongkat putih pula.
Dengan angker Bu Bing loni melintangkan pedangnya di depan dada, lambat-lambat ia
memutar tubuh menghadapi Soat-san-su-gou dengan sikap dingin.
Berbareng Soat-san-su-gou bangkit berdiri. Selama hidup ini baru pertama kali ini Thian-hi
bakal menyaksikan pertunjukan adu silat tingkat tinggi, tak terasa jantung berdebur keras dan
tegang, tersipu-sipu iapun berdiri menyingkir ke samping. Diam-diam ia melirik ke arah gadis baju
hitam itu, orang tengah memusatkan perhatiannya ke tengah gelanggang, sedikitpun tidak
hiraukan kepadanya.
Hun Thian-hi menjadi malu sendiri, iapun segera menaruh perhatian akan pertarungan dahsyat
yang bakal terjadi ini.
Sementara itu Soat-san-su-gou sudah mencari kedudukannya masing-masing, Bu Bing Loni
terkepung diantara mereka berempat. Pelan-pelan Bu Bing Loni angkat dan menggerakkan pedang
ditangannya, sikapnya yang angkuh dan menyungging senyum ejek hakikatnya tidak memandang
sebelah mata pada keempat lawannya.
Pedang panjangnya itu bergerak lamban melancarkan jurus serangan, setelah berputar-putar
setengah lingkaran ditengah udara langsung menutul ketenggorokan orang tua alis putih.
Menghadapi musuh besar yang diagulkan sebagai tokoh jahat nomor satu di seluruh jagat ini
sedikitpun Soat-san-su-gou berempat tak berani berlaku ayal2an, serempak cepat tongkat pualam
mereka bergerak saling silang terbang serabutan melancarkan jurus pertama dari Gin-ho-im-sek
yang dinamakan Gin-poh-tam-tam-gi (gelombang perak mengalun berderai), tabir sinar putih
perak laksana percikan alunan air gelombang melandai ke arah Bu Bing Loni dari berbagai
penjuru.
Dimana Bu Bing Loni menggoreskan pedangnya, tiba-tiba terasa pedangnya menjadi berat
seperti tertahan maju, sementara ujung pedangnya laksana disedot oleh sesuatu kuatan yang
hebat, sehingga kurang leluasa bergerak lagi. Keruan kejut sekali hatinya, diam-diam ia menyedot

hawa mengerahkan tenaga, pedangnya panjang digerakkan kembali lebih cepat merangsak ke
arah Soat-san-su-gou.
Mendadak gerak gerik tongkat para tokoh dari Soat-san itu membaling putar balik secara tibatiba,
kontan pedangnya Bu Bing Loni kena terkurung dan dituntun kesamping hingga menusuk
tempat kosong.
Gabungan ilmu tongkat Soat-san-su-gou memang cukup hebat, perubahannya sukar diraba
sebelumnya, dari menjaga diri bisa berubah menyerang dengan dahsyat, apalagi dengan
kepungan dari empat penjuru ini, serempak empat batang tongkat pualam itu menutuk lempang
ke seluruh badan Bu Bing Loni.
Bu Bing Loni sudah diakui sebagai tokoh silat nomor satu yang tiada bandingannya di kolong
langit, ilmu pedangnya yang bernama Hui-sim-kiam-hoat merupakan ilmu pedang yang paling
digdaya dan malang melintang di seluruh Bulim, masa begitu gampang ia mandah dikalahkan?
Begitu tusukan pedangnya mengenai tempat kosong lantas ia tahu akan akibat apa yang bakal
dialaminya, maka dengan mendengus keras-keras, pedang panjangnya ditarik sertakan
tenaganya…. Ting, ting, ting! Beruntun terdengar suara benturan nyaring yang menusuk telinga,
dengan ketangkasan’
permainan pedangnya sekaligus ia tangkis kembali keempat batang tongkat kemala putih Soatsan-
su-gou yang menyerampang tiba.
Dengan serangan gabungan dari empat penjuru ternyata Soat-san-su-gou masih tidak mampu
mendesak Bu Bing Loni setapak kakipun, dan betul-betul luar biasa keruan mereka bercekat dan
kaget dalam hati, untuk babak selanjutnya mereka tak berani gegabah main serang lebih dahulu
serempak mereka loncat mundur dan berdiri menempati kedudukan semula.
Bu Bing Loni berdiri tegar dengan muka beringas meskipun secara gampang ia berhasil
membendung dan menghalau serangan gabungan lawan, namun hakikatnya selama hidupnya ini
kapan ia pernah terdesak di bawah angin sedemikian rupa? Matanya berkilat memancarkan sinar
biru mengandung nafsu membunuh yang berkobar.
Tersapu oleh pandangan cahaya. mata Bu Bing Loni yang menyeramkan itu, tanpa terasa
melonjak keras jantung Hun Thian-hi, tak kuasa matanya lantas melirik ke arah sigadas baju
berbaju hitam itu. Kelihatan sikap orang tetap seperti waktu datang tadi, sedikitpun wajahnya
tidak menunjukkan expresi apa-apa, matanya menatap tajam dalam gelanggang. Sebaliknya Siau
Hong membelalak kedua biji matanya tengah mengawasi Hun Thian-hi.
Memang diluar dugaan Bu Bing Loni bahwa kepandaian silat Soat-soan-su-gou kiranya memang
hebat diluar perhitungannya semula. Begitulah sekali lagi ia menggetarkan pedang panjangnya
mengembangkan lagi Hui-sim-kiam-hoat yang telah menjagoi di seluruh kolong langit. Setitik sinar
putih kemilau yang menyilaukan mata berkelebat laksana seekor ular hidup terbang menari
ditengah angkasa terus membeliti dan menerjang keempat penjuru menyerang kepada musuhnya.
Soat-san-su-gou memusatkan seluruh perhatiannya. Sekali lagi mereka lancarkan jurus Ginpoh-
tam-tam-ki (gelombang perak mengalun berderai), jurus ini memang peranti untuk menjaga
diri tanpa balas menyerang.
Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu gemblengan hasil pemikiran Swat-san-su-gou selama hidup
ini. Betapapun tinggi kepandaian Bu Bing Loni yang sudah diagulkan sebagai jago nomor satu di
seluruh jagat ini, dengan satu lawan empat dalam sementara waktu agaknya sukar dapat
mengambil kemenangan dan memecahkan kepungan jang’ kepungan yan ketat itu.

Begitulah tanpa menggeser kaki tangan Bu Bing Loni terus bergerak gesit dan tangkas sekali
memutar dan menarik pedang panjangnya menyerang dahsyat kepada empat lawannya, sebentar
saja ratusan jurus sudah berlahu.
Saking hebat pertunjukan yang disaksikan ini Hun Thian-hi sampai melongo dan menjublek
ditempatnya, darahnya berdesir semakin cepat. Pertunjukan adu kepandaian yang dilihatnya ini
betul-betul belum pernah disaksikan selama hidup ini, kecepatan permainan pedang Bu Bing Loni
yang banyak perrubahannya betul-betul sukar diikuti dengan pandangan matanya. Sebaliknya
meskipun Soat-san-su-gou selalu hanya melancarkan jurus-jurus pertamanya tadi, namun
perubahannya yang kokoh kuat itu sulit pula dapat diselaminya.
Semakin bertempur hati Bu Bing Loni semakin was-was, baru sekarang diinsafi olehnya bahwa
Swat-san-su-gou merupkan lawan tertangguh selama hidupnya. Kalau tadi ia berseru angkuh
dengan berdiri diam ditempatnya, sekarang mulai kelihatan kakinya bergerak maju mundur, gerak
badannya mengikuti tarian kelebat sinar pedangnya, mendadak tampak permainan pedangnya
berubah lagi kabut pancaran cahaya putih kemilau beterbangan memenuhi angkasa raya.
Cara perlawanan Swat-san-su-gou sebetulnya adalah dengan ketenangan menundukkan
kekerasan, namun begitu permainan pedang Bu Bing Loni berubah, seketika mereka berempat
merasakan tekanan tenaga dari luar semakin besar, batang pedang Bu Bing Loni kelihatan selincah
naga terbang menari ditengah angkasa dan selulup timbul ditengah samudera raya, sudah
beberapa kali hampir saja menerobos keluar dari kepungan.
Empat tongkat Soat-san-su-gou teracung tinggi-tinggi ke tengah begitu sedikit saling sentuh
gesit sekali sebelum Bu Bing Loni sempat menerobos keluar gerak perubahan tongkat mereka
sudah mendahului menghalanginya kembali.
Sekarang merekapun mulai bergerak. Jurus kedua dari ilmu gabungan Gin-ho-sam-sek mereka
mulai dilancarkan yaitu yang dinamaknn Gam-lian-hun-in-ho (gabungan panjang awan dan
bayangan), empat batang tongkat pualam mereka seperti tergubat menjadi satu membentuk
sejalur cahaya tonggak yang mengurung ketat Bu Bing Loni.
Terdengar Bu Bing Loni menggertak nyaring, permainan pedangnya bergerak semakin cepat,
mereka berlima sudah mulai lancarkan seluruh kemampuan masing-masing, setaker dari seluruh
kekuatan mereka sudah dikuras seluruhnya. Gelanggang pertempuran menjadi ribut, angin
menderu seperti angin lesus, angkasa menjadi gelap. Gadis baju hitam yang menonton dipinggir
gelanggang menjadi kesima dan prihatin menahan napas.
Adalah Hun Thian-hi terlongong di tempatnya berdiri, pertempuran dahsyat macam ini betulbetul
merupakan totonan yang jarang dapat disaksikan.
Tak terasa pertempuran dahsyat ini berjalan semakin cepat dan hebat, dilain kejap ribuan jurus
sudah lewat cuaca semakin terang, sinar bintang-bintang menjadi guram berkelap-kelip
bertaburan diangkasa raya menyinari puncak tertinggi Soat-san ini.
Kini kelihatan jurus permainan Bu Bing Loni dari cepat berubah lambat, namun setiap jurus
tipunya dilandasi kekuatan tenaga dalam yang luar biasa dahsyatnya, terus memberondong
‘kepada empat lawannya.
Demikian juga Soat-san-su-gou terpaksa juga harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk
bertahan dan megurung Bu Bing Loni.

Kelihatan Bu Bing Loni menyeringai dingin, tiba-tiba batang pedangnya bergerak berputar
membuat lingkaran besar seperti lembayung menggubat ke arah empat musuhnya.
Langit di sebelah timur bertambah terang, selarik cahaya kuning yang terang benderang mulai
timbul diufuk timur dibalik awan, pelan-pelan matahari mulai timbul dari peraduannya.
Terdengar Bu Bing Loni menggerung tertahan, cahaya sinar pedangnya mendadak
menggelembung seperti lajur berkembang, itulah jurus Kek-hun-sau-liang (dibalik awan
menggubat tonggak) salah satu jurus Hui-sim-kiam-hoat yang ampuh dan sakti, dimana sinar
pedang berkelebat menembus tinggi keangkasa, terdengar pula suara nyaring lirih menembus
kesunyian alam pegunungan. terlihat tubuh tinggi besar Bu Bing Loni menjulang tinggi keangkasa
menerobos keluar dari kepungan Soat-san-su-gou, ditengah udara ia jumpalitan dengan gaja yang
indah terus meluncur turun hinggap di tanah dengan enteng tanpa mengeluarkan suara.
Sambil berdiri tegap wajahnya mengunjuk senyum sinis yang dingin, pedang melintang di
depan dada.
Sementara itu Soat-san-su-gou juga bergerak cukup gesit, serentak mereka loncat mundur
terus berdiri sejajar bersentuh pundak.
Sesaat orang tua beralis putih merenung, lalu katanya kepada Bu Bing Loni, “Memang hebat,
kita berempat m-ngaku kalah!”
Biji nmata Bu Bing Loni memancarkan cahaya aneh, sekelebat saja lantas lenyap, benar-benar
diluar dugaannya dengan ketenaran Soat-san-su-gou, begitu terdesak di bawah angin lantas
berani terang2an mengaku kalah, apalagi mereka selama ini mengetahui pribadinya.
Bu Bing Loni hanya mendengus saja, tak tahu cara bagaimana ia harus menjawab.
Sekilas menyapu pandang keseluruh gelanggang, orang tua beralis putih borkata lagi, “Secara
jujur harus kita akui, kalau pertandingan ini diteruskan pasti kita berempat tak kuat melawan
kehebatan Hui-sim-kiam-hoat!”
Bu Bing Loni menyeringai dingin, tanyanya, “Kau ada permintaan apa?”
Orang tua beralis putih berpikir sebentar lalu katanya sungguh-sungguh, “Ya, hari ini kita empat
saudara mengaku kalah, malah kita rela untuk bunuh diri. Tapi kau harus melulusi dalam satu
tahun ini melepaskan Hun Thian-hi!”
“Tidak mungkin!” jengek Bu Bing Loni ketus,
“Kalau tidak setuju,” kata orang tua alis putih, “kukira kau sendiri lebih tahu, setelah pulang
dari sini sedikitnya kau harus menghadap dinding sepuluh tahun, apalagi kita berempat,
betapapun tinggi kepandaian silatmu? jangan harap kita mandah menyerah begitu saja.”
Pandangan Bu Bing Loni memancarkan cahaya aneh dan tajam. Orang tua alis putih tahu hati
orang sudah tergerak, maka segera ia menambahi, “Satu tahun, hanya setahun saja. Masa dengan
kedudukanmu yang teragung sebagai tokoh nomor satu dijagat ini takut menghadapi orang bocah
yang masih hijau?”
Bu Bing Loni berpaling mengawasi Hun Thian-hi, “Baik”, sahutnya menjengek hina, “terpaksa
kukabulkan sekali permintaan ini!”

Orang tua alis putih bersorak girang, matanya memancarkan cahaya terang, serunya lagi, “Kau,
demikian juga mereka?”
Bu Bing Loni manggut-manggut.
Orang tua aiis putih memutar tubuh menggapai kepada Hun Thian-hi, “Nak, kemarilah!”
Waktu mendengar percakapan orang tua alis putih dengan Bu Bing Loni tadi sesaat Hun Thianhi
menjadi kesima dan melongo, begitu mendengar panggilan pelan-pelan ia maju kehadapan
orang tua alis putih. Dengan mematung ia bertanya kepada orang tua alis putih, “Locianpwe!
Kenapa kau berbuat begitu?” habis berkata tak tertahan lagi air mata lantas mengalir keluar.
Orang tua alis putih tersenyum manis katanya, “Kelak tentu kau akan tahu, tak perlu kau
bertanya lagi!”
Kata Hun Thian,hi sambil membasut airmata, “Dengan keputusan kalian ini cara bagaimana aku
bisa menerima?…. Baru pertama kali ini aku berjumpa dengan kalian bukan?”
Tangan orang tua alis putih terulur mengelus kepala Hun Thian-hi, matanya memandang jauh
ke ufuk timur memandangi sang surja yang mulai menongol keluar, katanya kepada Hun Thian-hi,
“Coba apa kau sudah melihat matahari terbit itu, itulah lambang dirimu kelak!”
Raut muka Bu Bing Loni berkerut-kerut dan bergidik, namun sebentar saja, tanpa buka suara.
Pelan-pelan Soat-san-su-gou duduk bersila kembali, tersipu-sipu Hun Thian-hi berlutut
dihadapan orang tua alis putih. Jiwa Soat-san-gu-gou berempat untuk menebus jiwanya sendiri
selama setahun saja, sungguh perasaannya sangat tertekan dan haru sekali.
Orang tua alis putih menghela napas, tanyanya, “Nak kudengar kau masih mengemban tugas
menuntut balas sakit hati ayahmu bukan?” Hun Thian-hi manggut-manggut.
“Siapakah musuh besar itu?”
“Mo-bin-su-seng!”
Orang tua alis putih terkejut melongo, mulutnya mendesis, “Oh kiranya dia?”
Sungguh orang tua alis putih tidak mengira bahwa Hun Thian-hi terikat permusuhan dengan
dua tokoh lihay yang paling ditakuti di seluruh kolong langit ini. Bu Bing Loni merupakan tokoh
paling ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi dan sepak terjangnya yang telengas. Sebaliknya
Mo-bin-su-seng (pelajar muka iblis) merupakan tokoh paling licik dan banyak akal muslihatnya.
Orang tua alis putih angkat kepala mengawasi Bu Bing Loni sebentar lalu berkata pula kepada
Hun Thian-hi, “Nak, sepeninggalmu dari sini segera kau menujlu ke Tiang-pek-san, di Tiang-peksan
ada dua tokoh kosen aneh, jikalau kau dapat menerima anugerah mereka berdua, masa
depanmu pasti gilang gemilang!”
Lagi-lagi terdengar Bu Bing Loni menjengek hina. Orang tua alis putih berkata pula, “Kita empat
saudara sejak dua puluh tahun yang lalu mengasingkan diri bersama mempelajari dan
memperdalam ilmu Gin-ho-sam-sek, sampai detik ini belum sempat menerima, seorang muridpun,
hari ini agaknya kita berjodoh maka pelajaran tunggal ini harus kuturunkan kepadamu.” – lalu dari
dalam bajunya dirogoh keluar sejilid buku kecil yang tersulam di atas kain sutra putih terus
diangsurkan kepada Hun Thian-hi.

Hun Thian-hi menerima buku itu dengan kedua tangannya, katanya tertekan hampir
sesenggukan, “Terima kasih akan perhatian dan kepercayaan yang diberikan kepada Wanpwe!”
Orang tua alis putih tertawa tawar, ujarnya, “Mengandal bekal Lwekangmu sekarang kau
takkan mampu mempelajarinya, tapi boleh kau simpan kelak tentu dapat kau gunakan.”
Pandangan Bu Bing Loni memancarkan cahaya aneh dan tajam. Orang tua alis putih tahu hati
orang sudah tergerak, maka segera ia menambahi, “Satu tahun, hanya setahun saja. Masa dengan
kedudukanmu yang teragung sebagai tokoh nomor satu dijagat ini takut menghadapi orang bocah
yang masih hijau?”
Bu Bing Loni berpaling mengawasi Hun Thian-hi, “Baik”, sahutnya menjengek hina, “terpaksa
kukabulkan sekali permintaan ini!”
Orang tua alis putih bersorak girang, matanya memancarkan cahaya terang, serunya lagi, “Kau,
demikian juga mereka?”
Bu Bing Loni manggut-manggut.
Orang tua aiis putih memutar tubuh menggapai kepada Hun Thian-hi, “Nak, kemarilah!”
Waktu mendengar percakapan orang tua alis putih dengan Bu Bing Loni tadi sesaat Hun Thianhi
menjadi kesima dan melongo, begitu mendengar panggilan pelan-pelan ia maju kehadapan
orang tua alis putih. Dengan mematung ia bertanya kepada orang tua alis putih, “Locianpwe!
Kenapa kau berbuat begitu?” habis berkata tak tertahan lagi air mata lantas mengalir keluar.
Orang tua alis putih tersenyum manis katanya, “Kelak tentu kau akan tahu, tak perlu kau
bertanya lagi!”
Kata Hun Thian,hi sambil membasut airmata, “Dengan keputusan kalian ini cara bagaimana aku
bisa menerima?…. Baru pertama kali ini aku berjumpa dengan kalian bukan?”
Tangan orang tua alis putih terulur mengelus kepala Hun Thian-hi, matanya memandang jauh
ke ufuk timur memandangi sang surja yang mulai menongol keluar, katanya kepada Hun Thian-hi,
“Coba apa kau sudah melihat matahari terbit itu, itulah lambang dirimu kelak!”
Raut muka Bu Bing Loni berkerut-kerut dan bergidik, namun sebentar saja, tanpa buka suara.
Pelan-pelan Soat-san-su-gou duduk bersila kembali, tersipu-sipu Hun Thian-hi berlutut
dihadapan orang tua alis putih. Jiwa Soat-san-gu-gou berempat untuk menebus jiwanya sendiri
selama setahun saja, sungguh perasaannya sangat tertekan dan haru sekali.
Orang tua alis putih menghela napas, tanyanya, “Nak kudengar kau masih mengemban tugas
menuntut balas sakit hati ayahmu bukan?” Hun Thian-hi manggut-manggut.
“Siapakah musuh besar itu?”
“Mo-bin-su-seng!”
Orang tua alis putih terkejut melongo, mulutnya mendesis, “Oh kiranya dia?”
Sungguh orang tua alis putih tidak mengira bahwa Hun Thian-hi terikat permusuhan dengan
dua tokoh lihay yang paling ditakuti di seluruh kolong langit ini. Bu Bing Loni merupakan tokoh

paling ditakuti karena kepandaiannya yang tinggi dan sepak terjangnya yang telengas. Sebaliknya
Mo-bin-su-seng (pelajar muka iblis) merupakan tokoh paling licik dan banyak akal muslihatnya.
Orang tua alis putih angkat kepala mengawasi Bu Bing Loni sebentar lalu berkata pula kepada
Hun Thian-hi, “Nak, sepeninggalmu dari sini segera kau menujlu ke Tiang-pek-san, di Tiang-peksan
ada dua tokoh kosen aneh, jikalau kau dapat menerima anugerah mereka berdua, masa
depanmu pasti gilang gemilang!”
Lagi-lagi terdengar Bu Bing Loni menjengek hina. Orang tua alis putih berkata pula, “Kita empat
saudara sejak dua puluh tahun yang lalu mengasingkan diri bersama mempelajari dan
memperdalam ilmu Gin-ho-sam-sek, sampai detik ini belum sempat menerima, seorang muridpun,
hari ini agaknya kita berjodoh maka pelajaran tunggal ini harus kuturunkan kepadamu.” – lalu dari
dalam bajunya dirogoh keluar sejilid buku kecil yang tersulam di atas kain sutra putih terus
diangsurkan kepada Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi menerima buku itu dengan kedua tangannya, katanya tertekan hampir
sesenggukan, “Terima kasih akan perhatian dan kepercayaan yang diberikan kepada Wanpwe!”
Orang tua alis putih tertawa tawar, ujarnya, “Mengandal bekal Lwekangmu sekarang kau
takkan mampu mempelajarinya, tapi boleh kau simpan kelak tentu dapat kau gunakan.”
Pelan-pelan Hun Thian-hi menyimpan buku catatan pelajaran Ghin-ho-sam-sek itu ke dalam
kantong bajunya. Sementara itu orang tua alis putih angkat kepala memandang ke arah Bu Bing
Loni katanya, “Tadi kau baru berkenalan dengan dua jurus pelajaran ilmu Gin-ho.sam-sek saja,
kita berempat baru menggunakan dua jurus tapi cukup mengurung kau selama satu hari satu
malam, ketahuilah perbawa jurus ketiga jauh berlipat ganda, dibanding jurus pertama dan jurus
kedua. Sayang kita berempat belum selesai mempelajarinya, jikalau sudah tamat seluruhnya
kutangggung kita takkan menderita kekalahan seperti ini, kau perlu selalu ingat akan peristiwa hari
ini!”
Bu Bing Loni menjengek dengan nada hina tanpa mengeluarkan suara….
Sejenak orang tua alls putih terpekur lalu katanya kepada Hun Thian-hi, “Jurus pencacat langit
pelenyap bumi itu sekali2 jangan kau lancarkan lagi. Ketahuilah Ang-hwat-lo-mo terlalu banyak
dan mendalam mengikat permusuhan dikalangan Kangouw. Jikalau dia sendiri yang tampil ke
depan mungkin para musuhnya takkan berani banyak tingkah, tapi menghadapi kau kukuatir
dendam kesumat mereka akan seluruhnya ditimpahkan ke atas pundakmu, akibatnya tentu sangat
berat dan menyulitkan bagi kau!”
Hun Thian-hi manggut-manggut dan menerima wejangan ini dengan patuh. Orang tua alis
putih lantas bungkam dan memejamkan matanya.
Sungguh sedih dan rawan sekali perasaan Hun Thian-hi. Soat-san-su-gou rela mengorbankan
jiwanya sendiri untuk mengganti jiwanya, budi teramat besar ini selama hidup ini agaknya sulit
dapat membalasnya.
Segera ia berlutut dan menyembah empat kali dihadapan orang tua alis putih. Tiba-tiba orang
tua alis putih membuka matanya lagi serta katanya, “Nak, sifat congkak dan takabur harus kau
tindas ke-akarnya. Kalau kau selalu dibawa akan adatmu sendiri susah kau dapat mencapai
tingkatan seperti apa yang kita harapkan, maka kuharap kau tidak menyia-nyiakan pengharapan
kita berempat!” — habis berkata lalu memejamkan mata lagi.

Rada lama Hun Thian-hi mengheningkan cipta lalu berturut-turut berlutut dan menyembah
bergantian kepada empat orahg tua itu, mereKa duduk bersila memejamkan mata tanpa bergerak
atau bersuara.
Waktu tiba giliran orang tua keempat, orang tua ini mendadak membuka mata dan berseri tawa
katanya, “Nak, kudoakan kau selamat sepanjang jalan, semoga memperoleh rejeki besar!”
Tak tertahan bercucur deras air mata Hun Thian-hi….
Orang tua itu tersenyum manis, ujarnya, “Kenapa kau, waktu pertama kali kubertemu dengan
kau, kemana pula sikapmu yang gagah perwira tak mengenal takut itu. Sikap congkak memang
boleh asal bukan tukang congkakmu saja yang melandasi segala sepak terjangmu!”
Sejenak Hun Thian-hi terpekur, mendadak ia menyeka air mata dengan tangan kanannya terus
bergegas bangun dengan tangkasnya.
Orang tua itu tersenyum lebar, pelan-pelan memejamkan matanya lagi.
Sebaliknya orang tua alis putih membelalakkan kedua matanya, mulutnya menjebir dan bersuit
panjang melengking, serempak mereka berempat duduk tegak menyilangkan tangan di depan
dada, berbareng tangan kanan terayun kencang, empat tongkat pualam kontan melesat terbang
menghilang, maka dilain saat jiwa merekapun ikut melayang dengan duduk sempurna.
Sekian lama Hun Thian-hi termangu-mangu dengan mengembeng air mata, tiba-tiba ia
membalik tubuh menghadap Bu Bing Loni dan membentak, “Sehari aku Hun Thian-hi masih hidup,
sakit hati ini harus kubalaskan!”
Bu Bing Loni bergantian mengawasi empat orang tua yang sudah wafat itu, lalu melirik ke arah
Hun Thian-hi dengan senyum ejek, waktu pandangannya teradu pandang dengan sorot mata
Thian-hi tanpa merasa terkesiap hatinya. Terasa sorot pandangan Hun Thian-hi begitu tajam dan
menakutkan, selama hidup dan malang melintang di dunia persilatan rasanya belum pernah ia
merasa was-was dan kekuatiran yang luar biasa. Hatinya menjadi bertanya-tanya dan heran
kenapa pancaran mata Hun Thian-hi bisa begitu tajam dan menakutkan, bukan saja mengandung
rasa kebencian yang menggelora terasa pula tersembunyi kepintaran luar biasa yang sulit diraba.
Dengan mengkirik segera ia memutar tubuh ke arah gadis baju hitam serta serunya, “Gwat-ji,
mari kita pulang.”
Dingin-dingin saja sekilas gadis baju hitam menyapu pandang ke arah Hun Thian-hi, lalu
membungkuk tubuh memberi hormat kepada Bu Bing Loni, sahutnya, “Ya, Suhu!”
Dengan rasa takut-takut dan keheranan Siau Hong mengawasi Thian-hi lalu tersipu-sipu
membalikkan tubuh mengintil di belakang nonania, maka dilain kejap mereka bertiga sudah
terbang makin tinggi ditengah angkasa menunggang burung dewata yang besar itu.
Entak berapa lama Thian-hi berdiri termenung seorang diri. Pandangan gadis baju hitam tadi
meski hanya sekilas saja, terasa olehnya pandangan yang dibekali rasa dendam dan kebencian
yang mendalam, entahlah apa dan kenapa gadis remaja itu begitu benci kepadanya.
Thian-hi mendelong mengawasi Soat-san-su-gou, suara mereka masih terkiang dalam
kupingnya prihatin si orang tua alis putih serta belas kasihan si orang tua betul-betul berkesan dan
takkan terlupakan olehnya. Walaupun mereka baru kenal sehari semalam, namun budi dan
kebaikan yang telah tertanam akan dirinya tidaklah kalah besar dibanding gurunya sendiri Seruling
selatan Kongsun Hong yang telah mengasuhnya selama puluhan tahun.

Pelan-pelan ia menghela napas lalu mendongak mengawasi angkasa, bayangan Bu Bing Loni
dan gadis baju hitam bertiga sudah menghilang diujung langit.
Diam-diam Thian-hi menerawang kemana tujuan selanjutnya. Siapakah dua tokoh yang
dimaksud di Ting-pek-san itu? Sekian lama ia terpekur. setelah berlutut dan menyembah lagi
kepada Soat-san-su”gou terus turun gunung.
Setelah tiba dikaki Gunung salju, Thian-hi langsung mengambil jalan menuju keutara,
menyelusuri tembok Besar terus beranjak menuju ketimur laut.
Dataran tinggi tanah merah di daerah utara sangat panas, disini jarang kelihatan orang berlalu
lalang, dimana-mana angin menghembus keras, debu dan pasir bergulung menari ditengah
angkasa. Menunggang seekor kuda Thian-hi pelan-pelan melarikan tunggangannya.
Menurut adatnya ingin rasanya tumbuh sayap lantas terbang sampai di Ting-pek-san. Tapi
dirinya sudah menimbulkan bencana besar setiap saat dirinya menjadi incaran para tokoh-tokoh
silat kenamaan, waktu lewat Tionggoan ia berlaku sangat hati-hati. setelah mengalami berbagai
rintangan dan susah payah akhirnya bisa sampai disini, betapapun harus selalu waspada jangan
sampai meninggalkan jejak.
Begitulah dengan tunggangannya pelan-pelan ia mencongklang ke arah timur. Sekonyongkonyong
jauh dibelakangnya terdengar derap langkan kuda yang dilarikan cepat. tak lama
kemudian tampak dua ekor kuda berbulu putih melesat lewat disampingnya. Sekilas pandang
Thian-hi lantas kenal bayangan mereka, diam-diam terkejut hatinya. Dandan kedua orang itu
serba ketat punggungnya mengenakan mantel berbulu warna putih bersih tanpa kelihatan kena
debu, kalau ilmu silat mereka tidak lihay tak mungkin mereka berani mencari gara-gara pada
dirinya, sedikit mengencangkan pedal kudanya ia menghentikan lari kuda hitamnya. Tampak
kedua ekor kuda putih itu terus membedal ke depan.
Thian-hi termangu mengawasi bayangan kedua orang ini menghilang dikejauhan. Mendadak
dari samping sebelah kanan terdengar lagi derap langkah kuda yang mendatangi, debu kuning
mengepul tinggi, tampak seekor kuda kembang dipacuh ke arah dirinya. Bercekat hati Thian-hi,
agaknya hari ini aku harus memeras banyak keringat.
Kuda kembang itu berhenti dan menghadang di depan Thian-hi, sembari bebenger keras kaki
depannya terangkat naik tinggi terus berputar setengah lingkaran, kini mereka berhadapan
langsung dengan Thian-hi.
Jang duduk di atas kuda kembang ini adalan seorang pemuda bermuka cakap halus berpakaian
serba kuning berkilauan, mengenakan mantel besar berwarna Kuning mas pula.
Berdetak keras jantung Hun Thian-hi. Bukankah pemuda ini berjuluk Kim-i kongcu, putra
tunggal Sing-hu-it-koay siiblis durjana yang sangat ditakuti itu? Entah untuk apa dia gelandangan
sampai di Tionggoan, naga-naganya malah hendak cari setori pada dirinya.
Kim-ikongcu (pemuda baju mas) menyeringai dingin kepada Thian-hi, katanya, “Kau inilah Hun
Thian-hi? Pasti kau sudah tahu siapa aku ini bukan?”
Walau tidak tahu apa gerangan maksud kedatangan Kim-i kongcu Leng Bu ini, namun dari
sikapnya. yang garang dan takabur agaknya tidak mengandung maksud baik.
Sejenak ia amat-amati pemuda baju mas tanpa mengeluarkan suara.

Dari kejauhan tampak mendatangi lagi dua ekor kuda coklat, yang terdepan terdengar berteriak
dari kejauhan, “Saudara Leng, Jangan ceroboh!”
Waktu Thian-hi berpaling tampak yang mendatangi tak lain adalah Su Cin dan adiknya Su Gioklan,
diam-diam hatinya membatin, “Payah, entah berapa banyak orang yang bakal meluruk
datang.”
Su Cin dan Su Giok-lan datang berjajar. Kim-i kongcu, Leng Bu tentavwa lebar, katanya kepada
Su Cin, “Urusan Kim-i kongcu selamanya tak senang dicampuri orang lain.”
Sedikit berubah rona wajah Su Cin, katanya mendengus, “kau sangka aku tukang bikin ribut?
Kalau kau mau hanya kematianlah bagianmu!”
Leng Bu menyeringai sinis, pelan-pelan mantelnya dicopot terus melorot. turun dari
tunggangannya serta katanya Kepada Su Cin, “Benar-benar, kunasehat kau jangan mencampuri
urusan. Urusanku biar ayahku sendiri yang menanggungnya nanti.”
Berubah pucat air muka Su Cin, sekilas ia melirik Kepada Su Giok-lan, tampak muka adiknya
membeku tanpa menunjukkan expresi, kini pandangan Su Cin beralih ke arah Hun Thian-hi.
Sementara itu, ganti berganti Hun Thian-hi juga sedang mengamati mereka bertiga, entah ada
hubungan apa diantara mereka bertiga.
Setelah turun di tanah lambat-lambat Leng Bu melolos sebilah pedang panjang kuning emas,
katanya kepada Hun Thian-hi; Hati-hatilah pedang hari ini harus menenggak sedikit darahmu!”
Hun Thian-hi tenang-tenang bercokol di atas kudanya, dingin pandangannya mengawasi Leng
Bu Ia tahu ayah Leng Bu itu Sing-hu-it-koay merupakan salah satu pentolan iblis ganas yang
ditakuti dikalangan Kangouw. Sing-hu-it-koay jauh menetap di Thian-lam, gurunya yang dijuluki
Lam-siu (seruling selatan) pun segan untuk berhadapan tangsung dengan manusia iblis itu.
Melihat sikap acuh yang tidak menghiraukan dirinya, Leng Bu menjadi sengit, mendadak ujung
pedangnya bergerak menggetar dari samping langsung ia menusuk kepinggang Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi tahu bahwa Kim-i-kongcu Leng Bu sudah lama malang melintang di Kangouw
mengangkat nama, hari ini segaja mencari setori pada dirinya betapapun aku harus beri hajaran
setimpal untuk menumpas sikapnya yang congkak. Seenaknya saja tangan kanan terayun tahutahu
Badik buntung sudah berada digenggamannya, selarik sinar hijau berkelebat langsung
memapas turun kebatang pedang Leng Bu yang menusuk tiba.
Gerak tubuh kedua belah pihak amat cepat dan sama berkelit mundur, dilain saat tubuh Hun
Thian-hi sudah mencelat tinggi meninggalkan tunggangannya dan berdiri berhadapan dengan Kimi
kongcu Leng Bu.
Leng Bu bertengger dengan muka merah padam, betapa cepat ia menarik balik pedangnya
namun tak urung ujung pedangnya sudah terkupas sebagian oleh ketajaman badik buntung.
Disebelah sana Su Cin tampak berseri dan manggut-manggut.
Leng Bu menyeringai sadis, cahaya pedangnya menari merangsak seru ke arah Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi pun menggerakkan badik buntung untuk melawan serbuan musuh. Kedua belah
pihak adalah anak murid dari tokoh ternama yang berkepandaian cukup lihay, Lwekang keduanya
sama kuat dalam sementara waktu sulit untuk tentukan siapa lebih unggul yang terang mereka

bertempur dengan bernapsu dan cepat, sinar pedang ke-kuning2an menari2 laksana kupu2 yang
lincah, sebaliknya sinar hijau pupus laksana lembayung berputar dan membabat kian-kemari.
Meski menggenggam senjata pusaka macam Badik buntung. Hun Thian-hi merasa ilmu pedang
Leng Bu adalah begitu hebat dan aneh sekali, sayang seruling pualamnya sudah kutung, Badik
buntng kurang leluasa baginya sehingga rada menghalangi gerak permainannya.
Begitulah pertempuan sengit itu tanpa terasa sudah mencapai ratusan jurus. Lama kelamaan
dari pihak yang terdesak kini Leng Bu malah berinisiatip menyerang, sebaliknya semakin
bertempur Hun Thian-hi merasa semakin payah. Ilmu serulingnya yang seharusnya cukup hebat
tak kuasa dikembangkan karena tidak sesuai dengan senjata yang dipakai ini, sehingga intisari
ilmu serulingnya kehilangan keampuhannya.
Dikejap lain dua puluh lima jurus telah dicapai, tapi jurus demi jurus Leng Bu semakin gencar
lancarkan serangannya. Su Cin yang menonton dipinggiran menjadi gugup dan gelisah. Sungguh
tak dimengerti olehnya da dalam segebrak saja Hun Thian-hi sekaligus telah dapat membunuh
pukulan musuhnya. Toh-hun-cui-hun yang kenamaan dan lihay itu pun terkutung sebelah
lengannya, kenapa hari ini tak kuasa menghadapi Leng Bu.
Dalam kuatirnya Su Cin melompat turun dari atas kuda. Su Giok-lan tetap duduk di atas kuda
tidak membawa sikap.
Sementara itu, Hun Thian-hi semakin dibuat keheranan, bukankah Su Cin serombongan dengan
Kim-i Kongcu Leng Bu, kenapa dia begitu gugup dan gelisah bagi dirinya? Besar hasratnya untuk
mengetahui rahasia apa dibalik persengketaan ini. Karena pikirannya ini terpaksa ia main mundur
sambil menjaga diri saja.
Sebaliknya Leng Bu menyeringai dingin, pedang panjang ditusukan semakin gencar, ia
kembangkan Sing-hu-kiam-hoat, sejalur sinar kuning mas berterbangan mengurung tubuh Hun
Thian-hi.
Sedikit perhatian Hun Thian-hi terpecah situasi pertempuran lantas berubah gawat, sekarang
Leng Bu telah mantap pegang serangan. Betapa pun Hun Thian-hi menggerakkan Badik
buntungnya untuk menangkis, menyampok gerak-geriknya mulai kacau balau, Kim-i-kongcu
semakin mendapat angin.
Baru sekarang Thian-hi betul-betul terkejut dengan mengertak gigi ia empos semangatnya,
segera mengembangkan ilmu Thian-liong-chit-sek, tujuannya hendak mengrangsak musuh. Tapi
cahaya pedang Leng Bu keburu sudah membendung setiap penjuru dengan jurus Pek-lian-jiancong
(rantai putih ribuan kati) sehingga Hun Thian-hi seakan-akan terbelenggu tak mampu
bergerak.
Berulang-ulang Hun Thian-hi lancarkan serangan balasan yang dahsyat, namun tak berarti
sama sekali, karena ilmu pedang Sing-hu-kiam-hoat yang dilancarkan Lang Bu begitu hebat
dengan tipu-tipunya yang lihay dan sulit diraba, dalam keadaan yang terdesak itu berapa kali
sudah Hun Thian-hi hendak lancarkan jurus pencacat langit pelenyap bumi, namun setiap kali
terkiang pesan orang tua alis putih sehingga niatnya dibatalkan.
Su Cin semakin gelisah seperti semut di dalam kuali panas, tidaklah menjadi soal kalau Hun
Thian-hi dipihak yang menang, kalau kalah…. urusan ini terjadi gara-gara paman dan mereka
berdua yang harus bertanggung jawab, apalagi….
Waktu Hun Thian-hi menghadapi serangan berbahaya lagi tak tertahan Su Cin berteriak maju,
“Leng Bu, berhenti!”

Leng Bu tak menduga Su Cin bakal merintangi perbuatannya, serta merta gerak geriknya
sedikit merandek. Kesempatan baik ini tak disia-siakan oleh Thian-hi, mendadak mencelat tinggi
dengan gaja Lui-tian-hwi-theng (geledek dan kilat terbang menyamber) tubuhnya terbang keluar
dari kepungan musuh.
Leng Bu menjadi melongo, dengan dingin ia awasi Thian-hi. Sekian lama mereka beradu
pandang dengan diam. Mendadak pelan-pelan Leng Bu berpaling mengerling ke arah Su Cin.
Kata Su Cin dengan gusar, “Leng Bu! Jangan kau terlalu menghina orang. Ketahuilah dunia
persilatan bukan milik Sing-hu-lo-koay ayahmu itu saja!”
Thian-hi” tertegun, apa maksud kata-kata Su Cin terhadap Leng Bu ini?
Leng Bu menyipit mata menyeringai sadis, jengeknya, “Kau selalu menghalangi perbuatanku?”
Su Cin mendengus, sebelah tangannya melolos pedang katanya, “Kau sangka murid Pedang
utara gampang dibuat permainan?”
Tanpa bercakap lagi setindak demi setindak pelan-pelan Leng Bu maju menghampiri.
“Engkoh Cin! Hati-hati!” teriak Su Giok-lan dari atas kuda.
“Tak apa, aku tidak takut!” sahut Su Cin.
Sembari melolos pedang tersipu-sipu Su Giok-lan meloncat turun dan berdiri disamping Su Cin.
Hun Thian-hi tidak tahu persoalan apa yang disengketakan, terpaksa ia berdiri menonton saja.
Sebentar Leng Bu menghentikan langkahnya, matanya mengawasi Su Giok-lan lalu mendesak
lagi ke arah Su Cin.
Pedang Su Cin bergerak, ujung senjatanya menusuk tepat di tengah alis Leng Bu. Sigap sekali
Leng Bu angkat pedang masnya menyampok pedang lawan, tangkas sekali tahu-tahu tajam
pedang masnya berbalik sudah mengancam tenggorokan Su Cin.
Su Giok-lan angkat pedangnya membacok, begitulah mereka berdua mengeroyok Leng Bu.
Namun sedikitpun LengBu tidak gentar, dengan Sing-hu-kiam-hoat ia masih mampu menghadapi
keroyokan kedua musuhnya, malah ia pegang inisiatif pertempuran, Su Cin berdua dicecar dengan
serangan membadai. Terpaksa Su Cin berdua kembangkan Hian-thian-hui-kiam pelajaran gurunya,
dengan kekuatan gabungan ini, mereka mandah membela diri saja.
Thian-hi mengikuti terus jalan pertempuran ini pikirnya, “Meski ilmu pedang Leng Bu cukup
aneh dan keji. tapi pedang Hian-thian-hui-kiam dari Pedang utara juga cukup lihay paling tidak
lima raus jurus kemudian baru dapat dibedakan pihak mana bakal unggul dan asor tapi pertikaian
apakah yang membuat mereka bermusuhan? Naga-naganya Su Cin tiada maksud jahat terhadap
dirinya, apalagi melihat martabat dan perangainya jauh lebih baik dibanding pamannya yang licik
dan rendah itu. Syukur tadi ia memberi bantuan hingga aku terhindar dari malapetaka. Dengan
cermat ia ikuti pula jalan pertempuran, kali ini kelihatan situasi telah berubah. Kim-i-kongcu terus
lancarkan serangannya yang deras dan keras, sebaliknya. Su Cin berdua hanya memjaga diri
tanpa balas menyerang. Hian-thian-tui-kiam mentabirkan bayangan pedang yang rapat dan padat
membendung rangsakan Leng Bu.

Wajah Leng Bu menyungging senyum dingin, pedangnya menyerang ke timur membabat
kebarat bermainan sebat sekali kakinya bergerak lincah mengikuti gaja pedangnya, berputar-putar
mengeliling kedua musuhnya. Sekonyong-konyong Leng Bu melenting mundur berkelebat tiba
disamping kuda terus meraih mantel mas yang berada di pungung kudanya.
Seketika berubah hebat air muka Su Cin berdua, cepat-cepat Su Cin berpaling ke arah Thian-hi,
bibirnya sudah bergerak untuk berkata, namun ditelannya kembali. terasa hati Thian-hi menjadi
tegang, serta merta serasa suasana tertekan ini bakal terjadi sesuatu peristiwa hebat.
Sementara itu, dengan seringai giginya yang putih, Leng Bu menyerbu lagi kepada Su Cin
berdua, Sekarang kelihatan gerak-geirik Su Cin berdua yang gugup dan was-was. terpaksa mereka
bergerak untuk menangkis dan mambela diri.
Melihat sikap dan air muka Su Cin berdua seperti ketakutan, pandangan Thian-hi lantas beralih
kepada pedang mas yang dipegang tangan kiri Leng Bu, namun tiada sesuatu yang luar biasa
entah kenapa Su Cin berdua agaknya sangat takut.
Beruntun Leng Bu lancarkan puluhan jurus serangan pedang, tiba-tiba ia ayun mantel ditangan
kirinya untuk meeggubat kedua batang pedang Su Cin berdua.
Hun Thian-hi tersentak kaget, jurus yang dilancar Leng Bu barusan adalah Hwi-cwan-ciam-soatcap-
sa-si.
Itulah ilmu tunggal yang kenamaan dari Hwi-cwan-ciam-soat Ciok Hou-bu majikan Hwi-cwan-po
di Kang-lam. Entah cara bagaimana ilmu hebat itu bisa dipelajari oleh Kim-i-kongcu Leng Bu.
Tengah ia menimang-nimang, Leng Bu sedang mengobat-abitkan mantel masnya itu mendesak
musuhnya sehingga Su Cin berdua kepontang-panting. Sekonyong-konyong, Leng Bu menarik
mantel masnya berputar begitu cepat dikombinasikan dengan pedang ditangan kanannya,
beruntun ia lancarkan lima jurus serangan hebat. Terdengar Su Cin berdua menggertak bersama
serentak kedua pedang mereka saling silang terus memantek ke depan.
“Tring!” tahu-tahu kedua batang pedang mereka menceng tinggi ke tengah udara tersapu
mantel mas seketika tampak bayangan orang berkelebat berpencar, namun tahu-tahu Leng Bu
berdiri angker disebelah samping, mantel mas digenggam ditangan kirinya, sebaliknya ujung
pedangnya mengancam tenggorokan Su Cin.
Su Giok-lan hendak memburu maju.
“Jangan bergerak!” bentak Leng Bu.
Muka Su Cin penuh keringat, seikilas ia mengerling ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi tidak
menduga situasi berubah begitu cepat, seketika, ia menjublek ditempatnya tanpa suara.
Leng Bu menyapu pandang mereka berdua, pelan-pelan ia berkata kepada Su Cin, “Kau selalu
merintangi perbuatanku!”
Melihat keadaan Su Cin yang mengenaskan itu mencemas perasaan Thian-hi, betapapun
keadaan Su Cin in karena menolong dirinya tadi. Sebagai murid Pak-kiam masa mandah saja
dihina begitu rupa. Diam-diam ia menerawang sikap Su Cin tadi waktu membantu dirinya terang ia
mengajak aku bekerja sama untuk menghadapi dan merobohkan Leng Bu.
Perlahan-lahan Kim-i kongcu menarik pedang masnya. Hun Thian-hi menghela napas lega. Tapi
mendadak ujung pedangg Kim-i kongcu menusuk pula ke arah Su Cin. Su Cin tidak menduga Leng

Bu berbuat begitu licik dan keji untuk berkelit pun tak sempat lagi, ujung pedang telak sekali
menembus dadanya sebelah kanan.
Su Giok-lan terpekik nyaring terus menubruk maju. Kim-i-kongcu mengerling ke arah Su Gioklan,
pelan-pelan menarik pedangnya, wajahnya tak berubah sama sekali, lalu mundur dua
langkah.
Kedua tangan Su Cin mendekap luka didadanya, keringat dingin membasahi seluruh mukanya
kedua biji matanya mendelik bagai kelereng yang hendak mencelat keluar ke arah Leng Bu penuh
rasa dendam yang membwa.
Tersipu-sipu Hun Thian-hi juga memburu datang. “Perlu apa kau datang, pergi!” hardik Su
Giok-lan.
Sungguh Thian-hi menyesal setengah mati. ia menjublek ditempatnya.
Kata Su Cin kepada Su Giok-lan, “Dik, jangan begitu kasar! Aku ada omongan yang perlu
kusampaikan kepada saudara Hun!” — lalu ia berpaling katanya kepada Hun Thian-hi, “Saudara
Hun aku ada sedikit omongan harap dengarlah!”
Lekas-lekas Hun Thian-hi maju memajang Su Cin, katanya berbisik, “Saudara Su, sungguh aku
sangat menyesal!”
Su Giok-lan mendekam di tanah menangis tergerung-gerung.
Su Cin mengerling ke arah Su Giok-lan serta katanya pada Hun Thian-hi, “Bermula kusangka
pasti saudara Hun takkan terkalahkan oleh Kim-i kongcu, siapa tahu….
Hun Thian-hi bertambah malu,
Kata Su Cin selanjutnya, “Peristiwa tempo hari saudara Hun sampai terfitnah secara semena2,
untung Suboku sudah jelas duduk perkaranya, kelak tentu segalanya dapat dibikin terang!”
Thian-hi semakin malu dan menyesal sekali, ia tertunduk tak berani adu pandang.
Kata Su Cin, “Adikku diracun oleh Leng Bu, dipaksanya untuk kawin dengan dia. Setelah aku
tiada harap kau suka melindungi dan menjaga adikku baik-baik”
Bercekat hati Hun Thian-hi mulai paham kenapa bermula tadi Su Cin kelihatan rada mengalah
segan menghadapi Leng Bu, kiranya punya latar belakang yang keji ini…. Pelan-pelan ia berpaling
memicingkan mata menatap ke arah Leng Bu, tampak Leng Bu berdiri jajar disam[ing
tunggangannya tanpa menunjukkan sikap tertentu, pedang masih terpegang ditangannya.
Waktu Thian-hi berpaling lagi Su Cin berkata kepadanya, “Kulihat saudara Hun merupakan
calon pendekar kenamaan yang bakal menjulang tinggi diantara sekian tunas muda saat ini, hari
depanmu pasti gemilang, betapapun kau harus menjaga adikku baik-baik!”
Mendengar orang memuji dan mengagumi dirinya, sungguh Thian-hi merasa haru dan terima
kasih, tak kuasa air mata meleleh keluar dari kelopak matanya. Sembari mengigit gigi pelan-pelan
ia berkata tegas, “Aku tentu menuntut balas bagi kau!”
Wajah Su Cin mengunjuk tawa riang, katanya kepada Su Giok-lan, “Dik! Ada sedikit omongan
perlu kusampaikan kepadamu!”

Su Giok-lan berdiri duduk, air mata membasahi dan mengotori mukanya yang putih bersih.
Setelah menghela napas baru Su Cin melanjutkan, “Adik Lan. Apakah kau mau dengar pesan
eagkohmu sebelum ajal ini?”
“Engkoh!” jerit Su Giok-lan, tangisnya semakin menjadi2.
Su Cin menghela napas, ujarnya, “Jangan bersedih adik Lan!”
Terdengar Leng Bu menjengek, “Kau menyesal sesudah sekarat siapa suruh kau selalu
menghalang2i sepak terjangku!”
Berubah air muka Su Cin, cepat Thian-hi menyikapnya erat-erat, kata Su Cin megap2, “Adik
Lan, lekas katakan!”
Melihat keadaan engkohnya yang semakin parah Su Giok-lan menjadi bingung dan manggutmanggut.
Tangan Su Cin menunjuk kepada Thian-hi, mulutnya terpentang namun tak kuasa
mengeluarkan suara, mendadak mukanya menjadi kejang dan berubah semakin pucat, badannya
berkelejotan sebentar terus menjadi kaku
Su Gip-lan semakin hebat tangisnya, dengan mengembeng air mata pelan-pelan Thian-hi
rebahkan badan Su Cin di atas tanah lalu pelan-pelan bangkit berdiri. Sejenak ia amat-amati
jenazah Su Cin terus memutar tubuh mengawasi Kim-i kongcu Leng Bu.
Dengan menyeringai sinis Leng Bu pun mengawasi ke arah Thian-hi. Kalem saja Hun Thian-hi
merogoh keluar Badik buntungnya lagi.
Leng Bu berkata dingin, “Hun Thian-hi menggetarkan Tionggoan, ternyata begitu saja
kepandaiannya.”
Hun Thlan-hi melangkah pelan-pelan menghampiri. Melihat sikap Hun Thian-hi ini diam-diam
mengkirik tengkuk Leng Bu, dengan tangan kiri ia tepuk-tepuk kudanya terus menyuruhnya
menjauh, tangan kanan menyoreng pedang mengawasi Thian-hi dengan tajam.
Setindak demi setindak Thian-hi maju menghampiri, Leng Bu menjidi tidak sabar, ringan sekali
pedang masnya berputar terus menyerang lebih dulu kepada Hun Thian-hi.
Sebat sekali Thian-hi melompat kesamping menghindar. namun laksana bayangan ujung
pedang mas lawan telah menyamber tiba pula. terpaksa Thian-hi harus mencelat berkelit lagi, kini
mereka sudah ganti kedudukan yang berlawanan.
Leng Bu terus mendesak maju dengan serangan pedangnya yang gencar, Thian-hi terdesak
mundur terus. Sekonyong-konyong biji mata Thian-hi memancarkan cahaya terang yang aneh,
dimana Badik buntung bergerak selarik sinar hijau pupus berkelebat jurus Pencacat iangit
pelenyap bumi telah dilancarkan, terus menungkrup ke arah Leng Bu.
Mendadak Leng Bu melihat perubahan permainan Thian-hi yang aneh ini, hatinya sungguh
kejut bukan main, pedang mas dibolang-balingkan rapat sekali untuk melindungi badan, namun
tampak sinar hijau berkelebatan rapat merekah menyamber2. disertai tekanan tenaga besar yang
luar biasa memberondong mengekang dirinya dari berbagai penjuru sehingga tenaga untuk ia
angkat pedang sendiri pun tak mampu lagi.
Dimana sinar hijau melintas, kontan tubuh Leng Bu terkapar di tanah tanpa bergerak lagi.

Hun Thian-hi menyimpan lagi Badik buntungnya serta berjalan balik menghampiri Su Giok-lan.
Su Giok-lan mendelik mengawasi Hun Thian-hi, melihat Thian-hi menghampiri mendadak ia lompat
berdiri sambil membopong jenazah Su Cin, makinya sambil mengertak gigi, “Laki-laki palsu!”
Hun Thian-hi menjadi tertegun. Kata Su Giok-lan gemes, “Terang kau dapat membunuh Leng
Bu semudah itu, tapi kau biarkan engkohku mati dulu baru kau menuntut balas baginya, kau
sangka aku bisa menghargai dan terima kasih kepadamu?” ~ selesai berkata air mata tak kuasa
lagi membendung meleleh dengan derasnya.
Hun Thian-hi punya kesukaran sendiri yang tak mungkim dijelaskan, terpaksa ia berdiri
melongo saja.
Dengan membonong jenazah Su Cin, Su Giok-lan lompat naik ke atas tunggangannya terus
dilarikan ke depan sana dengan cepat.
Tersentak Thian-hi dari lamunannya, cepat ia berlari mengejar serta teriaknya, “Nona Su.”
Su Giok-lan menghentikan lari kudanya, katanya berpaling, “Kau masih ada muka mengejar
kemari! Sebelum meninggal, engkohku menuding kau, apa kau tahu apa maksudnya? Gamblang
sekali ia menghendaki aku menuntut balas baginya, tahu? Laki-laki palsu!” — lalu kudanya dibedal
lagi ke depan sekencang-kencangnya.
Thian-hi berdiri menjublek ditempatnya, mematung seperti tunggak, sungguh hatinya sangat
duka dan entahlah bagaimana pula perasaannya, teringat akan pesan Su Cin sebelum ajal ia
angkat kepala hendak mengejar lagi ke depan, namun bayangan Su Giok-lan sudah tak kelihatan
lagi.
Pelan-pelan ia menghela napas, Su Giok-lan adalah murid Pedang utara yang cukup kenamaan,
tentu tidak akan mendapat kesusahan di depan sana, tapi dia kena dicekoki racun Kim-i kongcu
Leng Bu cara bagaimana harus mengobatinya.
Teringat akan hal ini, cepat-cepat ia larikan kudanya mengajar ke depan, Tiba-tiba terdengar
pekik burung ditengah angkasa, seekor burung terbang rendah di atas kepalanya terus menuju ke
depan. Waktu ia angkat kepala dilihatnya orang yang menunggang burung tak lain adalah Siau
Hong, tanpa merasa pelan-pelan ia meneriaki nama Siau Hong, Siau Hong berpaling ke belakang
melambaikan tangan kepadanya, terus terbang ke depan.
Thian-hi menjadi lega, anak buah Bu Bing Loni muncul menalangi persoalan ini, tentu Su Gioklan
takkan menghadapi bahaya apa-apa, mungkin malah mendapat rejeki besar dari beliau. Justru
Bu Bing Loni tengah bermusuhan dengan dirinya, tentu Su Giok-lan akan dibantu dan dididiknya,
meski selanjutnya ia bertambah seorang musuh yang kuat, betapa pun hati menjadi lega.
Setelah pikirannia ini hati Thian-hi menjadi lapang, ia tertawa geli sendiri lalu memutar balik
kudanya, pelan-pelan dilarikan ke depan menyusuri tembok besar terus menuju ke arah timur laut.
Waktu ia berpaling lagi, burung dewata dan kuda tunggangan Su Giok-lan tak kelihatan lagi.
Mayat Kim-i-kongcu Leng Bu masih menggeletak di tanah, kuda kembang bebenger disamping
jenazahnya, sedang seekor kuda coklat lainnya tampak berlari kencang ke arah lain.
Sementara itu, Su Giok-lan membedal kudanya lari ke depan, hatinya kosong dan hampa,
benaknya dirundung kesedihan yang sangat memukul batinnya, namun tak kuasa dilampiaskan.

Kira-kira setangah li kemudian tiba-tiba terdengar pekik burung ditengah udara yang sangat
nyaring seekor burung besar berbulu hijau lambat-lambat meluncur turun di depan
tunggangannya. Sungguh kejutnya tak kepalang, lekas-lekas ia menarik kendali kudanya, terus
melolos pedang.
Di atas burung besar ini duduk dua gadis jelita, seorang berpakaian hitam sedang yang lain
dandan sebagai pelayan.
Su Giok-lan tak tahu siapakah mereka berdua, namun mereka menunggang burung besar.
tentu bukan sembarang orang, entah apa maksud tujuan mereka?
Sekian lama gadis baju hitam mengamati Su Giok-lan, baru terlihat bibirnya bergerak, katanya,
“Nona Su, peristiwa barusan guruku sudah tahu seluruhnya, beliau menyuruh aku datang
menahanmu sebentar, beliau ada sedikit omongan ingin tanya padamu!”
Su Gio-lan rada sangsi, tanyanya, “Siapakah gurumu? Urusan apa yang ingin dia tanyakan?”
“Guruku itu bergelar Bu Bing Loni!”
“Apa Bu Bing Loni?” teriak Su Giok-lan diluar dugaan.
Gadis baju hitam manggut-manggut. Sungguh mimpipun Su Giok-lan takkan menduga Bu Bing
Loni bakal mencari dirinya. Bu Bing Loni merupakan tokoh kenamaan yang menjagoi seluruh jagat,
kepandaiannya tiada lawan dikolong langit, sepak terjangnya saja yang tidak menentu. Dari sikap
gadis baju hitam yang wajar dan tenang agaknya mereka tak berimaksud jelek terhadap dirinya.
Ia menghela napas lega, katanya prihatin, “Untuk urusan apakah beliau mencari aku?”
“Itulah beliau sudah datang kemari!” sahut gadis baju hitam.
Memang benar-benar, waktu Su Giok-lan mendongak, tampak seekor burug dewata yang lain
tengah meluncur turun pelan-pelan, dari punggung burung berbulu hijau ini berjalan turun
seorang Nikoh tua yang berwajah welas asih, sepasang matanya memancarkan cahaya terang
yang berwibawa….
Su Giok-lan melangkah selangkah terus menekuk lutut, sembahnya” .Wanpwe Su Giok-lan
menghaturkan sembah sujud kepada Cianpwe!”
Bu Bing Loni mengamati Su Giok-lan dengan seksama, akhirnya katanya sembari manggutmanggut,
“Bangunlah!”
Sembari menyeka air matanya pelan-pelan Su Giok-lan bangkit berdiri.
“Sudah jangan nangis lagi,” ujar Bu Bing Loni, “Engkohmu meninggal, kemana selanjutnya kau
hendak pergi?”
Sahut Su Giok-lan sesenggukkan, “Aku hendak mencari guruku untuk menuntut balas!”
Bu Bing Loni menggeleng kepala, katanya, “Tak mungkin, gurumu pun takkan mampu
menangkis jurus serangannya itu!’-
Su Giok-lan melengak, katanya, “Tentu Suhuku bisa mengundang orang lain untuk membalas
dendam ini.”

“Apa kau sendiri tidak ingin membalas dendam dengan tanganmu sendiri?” tanya Bu Bing Loni.
Su Giok-lan tersentak kaget sambil angkat kepala, matanya mengawasi Bu Bing Loni sahutnya
tersekat, “Aku….aku ….”
“Kalau kau mau, aku bisa menerima kau menjadi muridku.”
Su Giok-lan menjadi kegirangan, sungguh tak terkirakan olehnya bahwa tokoh nomor satu
sejagat ini rela menerima dirinya sebagai murid, sesaat ia menjadi melongo.
“Eh, apa kau mau?” desak Bu Bing Loni.
“Suhu!” cepat-cepat Su Giok-lan maju berlutut dan menyembah berulang-ulang.
Bu Bing Loni berseri tawa, ujarnya, “Tulangmu bagus, belum lama berselang aku mendapat
sebatang Ho-siu-oh yang berusia ribuan tahun, nanti boleh kau minum, kalau kau giat dan rajin
belajar, tiga bulan saja, cukup kau dapat mempelajari Hui-sim-kiam-hoat, kalau kau mau
menuntut balas gampang sekali seperti kau membalikkan tanganmu.”
Su Giok-lan merangkak bangun dengan kegirangan, sahutnya, “Aku pasti giat belajar.” lalu
tanyanya tak mengerti, “Suhu atau Suci kenapa tidak memberi hajaran kepadanya sekarang saja?”
Bu Bing Loni mengerut kening, katanya, “Aku sudah sumpah, gurunya membunuh ayah Sucimu
sehingga sakit hati inipun sulit dibalas!”’
Su Giok-lan mengerling memandang ke arah gadis baju hitam. Bu Bing Loni berkata lagi, “Inilah
Sucimu Ham Gwat.”
Tersipu-sipu Su Giok-lan membungkuk tubuh memberi soja, “Suci, harap selanjutnya kau suka
memberi bantuan dan bimbingan kepadaku yang masih hijau ini!”
“Ah Sumoay terlalu sungkan. Kulihat bakat dan rejeki Sumoy sangat besar, kelak tentu
mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari aku sendiri!’
“Hun Thian-hi kan murid Lam siau? Bagaimana bisa menjadi musuh besar pembunuh ayahmu?”
Berkedip2 biji mata Ham Gwat, katanya, “Lam-siau? Dia adalah murid Ang-hwat-lo-mo!”
“Apa”, tanya Giok-lan heran dan, menegas, “Dia murid Ang-hwat-lo-mo?”’
Ham Gwat manggut-manggut, katanya, “Jurus pencacat langit pelenyap bumi yang dilancarkan
tadi untuk membunuh Kim-i-kongcu adalah ilmu silat pelajaran tunggal dari Ang-hwat-lo-mo. Dulu
menggunakan jurus inilah Ang-hwat-lo-mo membunuh ayahku!”
Su Giok-lan manggut-manggut, batinnya, “Kiranya Hun Thian-hi juga menjadi murid Ang-hwatlo-
mo tak heran ilmu silatnya begitu lihay. dalam segebrak saja sekaligus membunuh puluhan
tokoh-tokoh silat kosen!”
Kata Bu Bing Loni, “Giok-lan, tak perlu banyak pikir, mari kita pulang!”’
Su Giok-lan mengiakan, jenazah Su Cin dijinjingnya bersama Bu Bing Loni dan lain-lain
menunggang burung dewa terbang tinggi dan hilang dikejauhan.

Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Hun Thian-hi yang terus maju menyelusuri tembok besar,
tahu dia bahwa urusan hari ini takkan berakhir begitu saja, di depan tentu masih banyak orang
lagi yang tengah menanti kedatangannya. Tengah ia mencongklang kudanya, dari atas tembok
yang tinggi itu kelihatann melayang turun bayangan seorang hinggap tiga tombak dihadapannya.
Waktu Thian-hi menegasi pendatang ini berusia kira-kira empat puluhan, mengenakan jubah
putih, janggut hitam menjulai di depan dadanya, pinggangnya menyoreng sebatang seruling putih,
bukankah beliau Suhunya yang berbudi, Lam-siau Kongsun Hong!
Sungguh kejut dan girang sekali Hun Thian-hi, bergegas ia lompat turun terus memburu maju
dan berlutut, teriaknya, “Suhu!”
Kongsun Hong mendehem keras. katanya kereng mengawasi Hun Thian-hi, “Apakah aku ini
gurumu? Kau masih anggap aku ini gurumu?”
Tercekat hati Thian-hi, berulang-ulang ia menyembah tanpa berani bersuara.
Sejenak kemudian baru Kongsun Hong berkata pula, “Sebelum ajal, ayahmu pernah berpesan
wanti2 kepadaku untuk mengasuh kau baik-baik, tapi kau….”
Mendengar gurunya menyinggung ayahnya terketuk sanubari Hun Thian-hi tak terasa air mata
meleleh dengan dengan derasnya.
Kongsun Hong menghela napas, ujarnya, “Kalau ayahmu bukan saudara angkatku urusan hari
ini aku sudah tidak peduli lagi!”
Hun Thian-hi masih tetap tak berani bicara, Kongsun Hong membentaknya lirih, “Bangun!”
Pelan-pelan Hun Thian-hi merangkak bangun dan berdiri kesamping, lama-lama Kongsun Hong
mengamatinya. lalu katanya, “Kini Thi-kiam Lojin dari Bu-tong-pay, Hwi-lam-it-lo Siang Ing serta
tokoh-tokoh lain tengah menantimu di depan sana, malah Pak-kiam suami-istri katanya juga sudah
datang!”
Berdebar keras jantung Thian-hi, angkat kepala ia awasi Kongsun Hong.
Tanya Kongsun Hong, “Kudengar kau telah membunuh puluhan tokoh-tokoh kosen dalam
segebrak saja dan mengutungi sebelah lengan Toh-bing-cui-hun, apakah berita ini benar-benar?”
Hun Thian-hi manggut-manggut.
Kongsun Hong menjadi bungkam beberapa saat, rada lama kemudian ia tanya lagi dengan
nada berat tertekan, “Dari mana kau pelajari jurus itu?”
Bab 4
Terpaksa Hun Thian-hi menceritakan pengalamannya waktU dijehak oleh Su Tat-jin sehingga
terjeblos ke dalam jurang. Tak lupa iapun ceritakan juga perihal Bu Bing Loni dan Soat-san-sugou.
Kongsun Hong menjadi ketarik akan pengalaman muridnya yang aneh2 itu, sesaat ia
terbungkam tak bisa bicara.
Sekonyong-konyong terdengar gelak tawa nyaring di atas tembok tinggi sana, disusul dua
bayangan orang melayang turun dihadapan mereka.

Kongsun Hong memutar tubuh, katanya tertawa, “Kiranya Pak-kiam suami istri yang telah
datang!”
Waktu Thian-hi menegasi memang yang datang ini adalah sepasang suami istri berusia
pertengahan.
Terdengar Pak-kiam Siau Ling berkata, “Sepak terjang muridku sangat memalukan dan
membikin buruk nama perguruan saja, tak berani lapor kepadaku hanya disampaikan kepada
istriku saja, sampai sekarang baru aku jelas duduk perkaranya, sengaja kita datang untuk
memanggil pulang kedua muridku yang tak genah itu!”
Lam-siau Kongsun Hong tertawa, katanya, “Urusan yang sudah lalu buat apa disinggung lagi,
yang terang mereka kena ditipu oleh pamannya apalagi demi nama baik perguruan maka mereka
tak berani memberi laporan, maka tak perlu lah terlalu salahkan mereka.”
Pak-kiam Siau Ling menghela napas, ujarnya, “Betapa pun mereka tak bisa diberi ampun.”
“Thian-hi!” kata Kongsun Hong, “Ajo, beri hormat kepada Pak-kiam suami istri, inilah Pak-kiam
Siau Ling dan Siau-siang-cu To Bwe yang sangat kau kagumi itu!”
Tersipu-sipu Thian-hi maju memberi sembah hormat, “Cianpwe berdua harap terimalah sembah
sujut Wanpwe Hun Thian-hi!”
“Tak usah banyak peradatan,” ujar Pak-kiam Siau Ling, “perbuatan muridku kurang dapat
dihargai, biarlah aku mewakili mereka minta maaf kepadamu!”
“Mana Wanpwe berani terima. Belum lama berselang aku berjumpa dengan saudara Su dan
adiknya.”
“Dimana mereka?” tanya Siau Ling, mukanya rada berubah.
Hun Thian-hi rada sangsi, ia berpaling memandang ke arah Kongsun Hong.
Kata Kongsun Hong kepada Pak-kiam, “Ah, urusan bocah tak perlu dipikirkan!”
“Saudara Su telah meninggal.” demikian Hun Thian-hi menerangkan singkat.
Bagai disambar petir seketika Pak-kiam berdiri menjublek, Siau-siang-cu To Bwe melangkah
maju menjambret baju Thian-hi teriaknya, “Apa! Kaukah yang membunuhnya?”
“Bukan!” sahut Thian-hi cepat. “Dia menemui ajal di bawah tangan Kim-i-kongcu Leng Bu!”
Siau-siang-cu To Bwe melepas tangan, gumamnya, “Kim-i-kongcu Leng Bu! Lalu kemana Gioklan?”
Thian-hi menunduk, setelah rada sangsi ia menyahut lirih, “Sudah pergi!”
“Leng Bu! Leng Bu!” mulut Pak-kiam menggumam. Matanya terpejam dan mengalirkan air
mata.
Hun Thian-hi berkata lirih, “Leng Bu juga telah kubunuh!”
To Bwe berdiri terlongong. “Kenapa tadi tidak kau ceritakan kepadaku?” tanya Lam-siau.

Thian-hi bungkam, terpekur sekian lamanya baru pelan-pelan ia mengisahkan pengalamannya
yang baru terjadi belum lama berselang.
“Takdir! Takdir!” desis Siau Ling sembari menghela papas.
Dari atas tembok terdengar lagi gelak tawa yang kumandang, sesosok bayangan hijau
melayang turun, teriaknya tertawa, “Kalian mengobrol begitu gembira, kita menjadi tidak sabar
menunggu, maka menyusul kemari!”
Beruntun dari atas tembok melayang turun lagi dua sosok bayangan manusia.
Tawar2 saja Lam-siau tertawa, katanya, “Kiranya adalah Thi-kiam Lojin dari Bu-tong dan Hwilam-
it-lo, dan sahabat ini kalau aku tidak salah lihat tentu Im-hong-ciang Lim Hong adanya.”
Dua orang yang datang belakangan adalah dua orang seorang membawa sebatang pedang
yang terselip dipunggungnya, seorang lain menggembol sebatang tongkat warna hijau, orang
ketiga adalah laki-laki berusia tiga puluhan air mukanya membeku dingin tentu dia inilah yang
berjuluk Im-hong-ciang Lim Hong.
Seru Thi-kiam Lojin bergelak tawa, “Kongsun Tayhiap sendiri juga sudah hadir, sungguh baik
sekali. Entah tindakan apa yang segera kau jatuhkan kepada muridmu ini Kongsun Tayhiap?”
Kongsun Hong mandah tersenyum ewa, ujarnya, “Urusan ini sulit dibicarakan, sebetulnya
segala perbuatan muridku ini itu bukanlah menjadi kehendaknya, dalam hal ini masih ada latar
belakang yang sulit diterangkan. Biarlah aku tuntun muridku ini bertandang ke setiap para sahabat
yang kena menjadi korban untuk minta maaf dan mohon keringanan hukuman. Entah bagaimana
pendapat kalian?”
“Bertandang minta pengampunan?” tiba-tiba Hwi-lam-it-lo menjengek, lalu terbahak-bahak,
katanya lagi, “Apakah puluhan korban jiwa manusia itu cukup ditebus dengan bertandang minta
pengampunan?”
“Biarlah para keluarganya mencacah hancur tubuh Thian-hi.” sela Im-hong-ciang Lim Bing.
“Aku tak tanya kau,” dengus Lam-siau, “di tempat ini tiada tempat bagi kau turut campur
bicara.”
Im-hong-ciang Lim Bing belum lama mengangkat nama di dunia persilatan, sikapnya congkak
sudah tentu dia tak mau mengalah, makinya gusar, “Kongsun Hong, apakah kau mau menjajal
berkenalan dengan aku?”
Pak-kiam Siau Ling terloroh-loroh, serunya, “Aku Siau Ling tak tahu diri, ingin aku minta
pengajaran kepada saudara ini!”
Rada berubah rona wajah Thi-kiam Lojin, katanya kepada Siau Ling, “Siau Tayhiap kenapa
berbalik kau bantu mereka?”
Bertaut alis Siau Ling, katanya, “Bukan melulu Hun Thian-hi saja yang salah dalam peristiwa ini,
dia terdesak oleh situasi dan harus melakukan apa saja yang bisa dia demi keselamatan jiwa
sendiri. Kenapa kalian mejadi semena2 tanpa mencari tahu duduk perkara sebenar-benarnya.
Terpaksa aku bantu mereka!”

Im-hong-ciang Lim Bing mendengus gusar, tantangnya, “Biar aku Ling Bing belajar kenal
betapa tinggi kepandaian Pak-kiam yang kenamaan!” habis berkata langsung ia lancarkan
serangannya ke arah Siau Ling.
Lam-siau dan Pak-kiam diberi julukan sebagai I-Lwe-siang-ki, sudah tentu mereka masingmasing
punya kepandaian simpanan yang melebihi orang lain, sudah tentu angkatan macam Lim
Bing yang belum lama angkat nama tidak dipandang sebelah matanya.
Sedikit bergerak mudah sekali Pak-kiam meluputkan diri dari rangsekan lawan, namun Imkong-
ciang Lim Bing tak tahu diri, ia terus menyerbu dengan ketat.
Pak-kiam Siau Ling merasa hutang budi kepada Hun Thian-hi, diam-diam ia sudah berketetapan
hati untuk membela mati-matian. Gesit sekali ia berloncatan menghindari setiap pukulan Lim Bing
yang cukup hebat juga. gerak jeriknya laksana kelinci seperti burung kutilang yang berloncatan di
atas dahan pohon, tak kalah hebatnya iapun saban2 balas menyerang kepada Lim Bing.
Begitu saling gabrak kedua belah pihak sudah saling serang menyerang puluhan jurus, Siau
Ling lancarkan jurus serangan yang gencar dan deras sehingga Im-hong-ciang Lim Bing kena
terdesak mundur.
Sembari mengayun tongkat bambunya segera Hwi-lam-it-to Siang Bing menghardik, “Siau Ling,
jangan kau takabur dan menghina orang!”
Lekas-lekas Siau-siang-cu pun melolos pedang serta jengeknya, “Biar aku belajar kenal dengan
pentung bambu da Hwi-lam-it-lo yang kesohor itu!” segera ia menghadang maju, maka
merekapun bertempur tidak kalah serunya,
Tinggal Thi-kiam Lojin saja yang masih nganggur, mukanya membesi kaku, tapi hatinya
gundah, ia tahu dan menurut gelagat, besar kemungkinan mereka bertiga bakal terjungkal dan
mendapat malu, menurut dugaan semula disangkanya Pak-kiam suami isteri berdiri dipihaknya,
kemenangan terang dan tentu bisa dicapai oleh pihaknya.
Sungguh diluar perhitungan semula kenyataan Pak-kiam suami-isteri membantu Hun Thian-hi
malah, ia sendiri tahu bahwa kepandaian sendiri bukan tandingan Lam-siau, terpaksa ia tinggal
diam berpeluk tangan saja.
Dalam babak Siau-siang-cu lawan Hwi-lam-it-lo kelihatan sinar pedang dan bambu hijau
berkemilauan, saling serang dengan hebat dan serunya, kedua belah pihak kerahkan setaker
kepandaian masing-masing, dalam waktu singkat susah dipastikan pihak mana bakal menang.
Sebaliknya Im-hong-ciang Lim Bing jelas bukan tandingan Pak-kiam, untung Pak-kiam turun
tangan tidak setakar tenaganya serta memberi sedikit kelonggaran, kalau tidak sejak tadi ia sudah
terjungkal mampus. Meskipun gelisah namun Thi-kiam Lojin tak mampu bertindak.
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar derap langkah kuda yang dilarikan kencang
tengah mendatangi, kira-kira masih berjarak puluhan tombak jauhnya, terdengarlah suitan
panjang, Tampak dua sosok tubuh manusia terbang meninggalkan tunggangannya terus meluncur
datang ke tengah gelanggang pertempuran.
Begitu kedua orang ini hinggap di tanah, seketika beruba air muka Lam-siau, diam-diam ia
mengeluh dalam hati mengapa bisa kedua orang ini tiba disini.
Hun Thian-hi sendiri juga telah melihat tegas orang pendatang ini, bukan lain adalah dua orang
penunggang kedua ekor kuda putih tadi.

Sementara itu, Pak-kiam juga telah melirik, melihat kedatangan kedua orang ini diam-diam
iapun bercekat, gerakannya gesit sekali dengan telak ia tusuk jalan darah Im-hong-ciang, terus
mundur berdampingan dengan Lam-siau. Demikian juga siau siang-cu dan Hwi-lam-it-lo juga
meloncat mundur kembaii ke tempatnya masing-masing.
Begitu melihat kedatangan bala bantuan, legalah hati Thi-kiam Lojin, segera ia bergelak tawa
girang, serunya, “Kiranya Yan-bun-siang-eng Ciok Tayhiap berdua telah datang, entah kemana
hingga’sekarang kalian baru sampai!”
Berdebar keras jantung Hun Thian-hi mendengar kedua pendatang ini adalah Yan-bun-siangeng.
Dari penuturan gurunya ia pernah mendengar perihal Yan-bun-siang-eng Ciok sing dan Ciok
Gi berdua, mereka masih muda dalam pengalaman kelana di Kangouw, namun selama lima tahun
terakhir ini sudah tiga kali mereka pernah meluruk ke Timur tionggoan, mengandal sepasang golok
Yan-hap-to dengan pengalamannya yang aneh dan lucu entah sudah berapa puluh nikoh2 Bulim
yang terjungkal di bawah tangan mereka. Sudah tentu semakin hari ketenaran nama mereka
semakin menjulang tinggi. Mereka berdua telah menciptakan ilmu permainan golok gabungan
yang sangat lihay, selama ini belum pernah menemukan tandingan yang setimpal.
Dalam pada itu, dengan sikap gagah Siang-eng tengah menerawang keadaan kedua belah
pihak, katanya dengan sombong, “Kedatangan kita bersaudara tak lain adalah untuk belajar kenal
dengan tokoh-tokoh kenamaan yang menyebut dirinya I-lwe-siang-ki, betapa tinggi
kepandaiannya sejati.”
Lam-siau Kongsun Hong bergelak tawa, ujarnya, “Bagus, bagus! Kita berdua pun telah lama
dengar Yan-bun-siang-eng, untung hari ini kita bertemu ingin benar-benar kita minta pengajaran!”
pak-kiam Siau Ling ikut menjengek, “Walaupun aku juga pernah dengar Yan-bun-siang-eng,
tapi tidak lebih mereka hanya angkatan muka belaka!”
Berubah rona wajah Siang-eng, tanpa bicara lagi serentak mereka membalingkan golok masingmasing,
dimana sinar putih gemerlapan, tahu-tahu Yan-hap-to sudah digenggam ditangannya.
Lam-siau saling pandang sebentar dengan Pak-kiam diam-diam hati mereka sudah maklum
betapa tinggi kepandain Yan-bun siang-eng ini dilihat cara mereka mengeluarka goloknya, paling
tidak lebih rendah dari Thi-kiam Lojin kalau tidak mau dikatakan lebih tinggi, apapula mereka bisa
bermain begitu rapi dan ketat mengombinasikain permainan golok yang saling berlawanan,
entah pelajaran dari tokoh manakah kepandaian mereka ini.
Pelan-pelan Pak-kiam melolos pedangnya, sedang Lam-siau menanggalkan seruling pualam dari
pinggangnya. Sementara itu gesit sekali Yan-bun-siang-eng sudah bergerak kekanan kiri
mengepung kedua musuhnya ditengah gelanggang.
Lam-siau dan Pak-kiam berbareng bergelak tawa panjang, mereka dijuluki I-lwe-Siang-ki,
betapa. tinggi nama dan gengsi mereka serta melihat tingkah laku Yan-bun siang-eng yang
sombong dan takabur ini hati mereka menjadi tak senang.
Kongsun Hong angkat serulingnya terus dilekatkan di depan bibirnya. Lam-siau sudah dua
puluh tahun malang melintang di Bulim mengandal Thian-liong-chit-sek dan Siau-im-pit-hiat sudah
tentu Siang-eng pun tak berani memandang rendah. Melihat Lam-siau beniat menggunakan irama
serulingnya untuk menundukkm musuhnya, cepat-cepat Siang-eng menggerakkan goloknya terus
menyerbu dengan garangnya.

Pak-kiam terbahak-bahak keras, dimana pedang panjangnya berputar-putar segera ia
kembangkan Hian-thian-hui-kiam merintangi serbuan Yan-bun-siang-eng. Tapi permainan
sepasang Yan-hap-to Siang-eng memang luar biasa, apalagi Pak-kiam sangat percaya akan tenaga
dan kepandaian sendiri
secara kekerasan ia sambut serbuan musuh dari kanan kiri, kontan Siau Ling merasa tangannya
tergetar keras, tahu-tahu pedangnya sudah mencelat terbang.
Melihat hasil itu Yan-bun-siang-eng semakin berbesar hati, keruan mereka semakin temberang
serangan semakin dipergencar…. Kongsun Hong kaget dan merasakan langsung tekanan musuh
yang semakin berat, menurut dugaan semula asal Pak-kiam Siau Ling kuat bertahan dua jurus saja
cukup baginya berkesempatan untuk meniup serulingnya, maka situasi pertempuran selanjutnya
boleh dikata pihak pemenang adalah mereka berdua, siapa duga kejadian justru diluar dugaannya.
Untuk menolong kawannya ia bersuit nyaring seruling ditangannya terbang menyapu dengan
dahsyatnya dengan salah satu jurus Thian-liong-chit-sek yaitu yang dmamakan tipu Hwi-liong-wikhong
(naga sakti terbang ditengah angkasa) menghadapi serbuan Yan-bun-siang-eng. Kombinasi
mempermainkan Yan-hap-to kedua kakak beradik dari Yan-bun memang hebat luar biasa, satu
maju yang lain menjaga dan melindungi, maju mundur sangat teratur sekali, kadang-kadang
serentak menyerbu bersama membacok ke arah Lam-siau dan Pak-kiam.
Sementara itu, belum lagi jurus pertama dilancarkan rampung Lam-siau sudah menarik kembali
serangannya ditengah jalan terus dirubah Sin-liong-jip-cui (naga sakti masuk air) tubuhnya
mencelat terbang tinggi, seruling pualam terbang menukik dari atas ke bawah, berbareng
mengancam jalan darah Hoa-kay-hiat dibatok kepala kedua musuhnya.
Mendapat kesempatan ini Pak-kiam segera melejit ke tengah udara menyamber pedang
panjangnya yang meluncur turun, di tengah udara jumpalitan sekali sembari lancarkan Hian-thianhui-
kiam yang hebat merangsak ke arah Siang-eng berdua.
Namun Yan-bun-siang-eng keburu sudah kembangkan Yan-hap-to-hoat yang hebat, golok
mereka berputar memetakan sinar gemerdep yang bundar dan melingkar2 mengaburkan
pandangan mata. Meski Pak-kiam dan Lam-siau lancarkan serangan gencar yang hebat tapi
kekuatan daya Putar dari pusaran golok lawan adalah begitu hebat dan lebat sekali sehingga
setiap jurus serangan mereka selalu kena tertuntun atau dipunahkan begitu gampang oleh tenaga
hisap yang kuat itu, begitulah meski mereka berdi atas angin untuk waktu dekat tak mungkin
mereka dapat mengalahkan Yan-bun-siang-eng dengan mudah.
Melihat keadaan yang saling bertahan dan sama kuat ini, Thi-kiam Lojin tahu paling tidak
mereka harus bertempur sebanyak tiga ratusan jurus baru Yan-bun-siang-eng dapat dikalahkan.
Maka menggunakan kesempatan ini segera ia mulai bergerak setelah memberi isyarat kedipan
mata kepada Im-hong-ciang dan Hwi-lam-it-lo serentak mereka menubruk ke arah Hun Thian-hi.
“Sreng!” lekas-lekas Siau-siang-cu To Bwe melolos pedang terus menghadang di depan Hun
Thian-hi. Terpaksa Thi-kiam Lojin juga melolos pedang, bersama Im-hong-ciang Lim Bing dan
Hwi-lam-it-lo Siang Bing mengepung Hun Thian-hi berdua dari tiga jurusan.
Sudah tentu Lam-siau menjadi gelisah, cepat-cepat berteriak, “Thian-hi, lekas kau jalan dulu!”
Im-hong-ciang Lim Bing menyeringai dingin, ejeknya, “Mau lari? Tidak begitu gampang!” gesit
sekali ia merintangi jalan mundur Hun Thian-hi.
Mau tak mau Hun Thian-hi harus berpikir cermat, seandainya ia betul-betul bisa merat itulah
baik sekali, namun paling tidak masih ada dua musuh yang bakal mengejar dirinya, maka

kepungan kepada gurunya berdua dengan sendirinya bakal kocar-kacir. Tapi tiga orang yang
dihadapinya sekarang rata2 adalah tokoh-tokoh silat kosen kelas satu dari Bu-lim, seumpama Imhong-
ciang Lim Bing yang paling lemah pun jauh lebih unggul dari kemampuan sendiri. Karena
pikiran ini akhirnya ia harus mengambil keputusan tegas, tangkas sekali kakinya bergerak
menyelinap maju seraya kirim genjotan berantai yang deras merangsak ke arah Thi-kiam Lojin.
Melihat Hun Thian-hi menyerang dirinya dengan bertangan kosong terang tidak memandang
sebelah mata kepada dirinya Thi-kiam Lojin menjadi murka, seking gusar ia tertawa gelak-gelak
malah, pedang panjang bergetar melintas tahu-tahu sudah menukik balik menusuk ke belakang
memapak serangan Thian-hi, pikirnya dengan serangan balasan ini ia hendak menabas buntung
sebelah tangan Thian-hi.
Begitulah disaat Hun Thian-hi menggenjot dengan kerasnya, pedang Thi-kiam Lojin pun sudah
menabas datang.
Keruan Siau-siang-cu To Bwe menjerit kaget. Sangkanya serangan balasan pedang Thi-kiam
Lojin ini hanya bertujuan mendesak mundur Thian-hi adalah diluar dugaannya bahwa Thian-hi
menyerang dengan bertangan kosong, terang sebelah tangannya itu bakal cacat tanpa ampun
lagi.
Tingkat kepandaian dan kedudukan Siau-siang-cu To Bwe sangat tinggi dan hebat, mana
mungkin ia mandah saja melihat seorang angkatan muda begitu saja dikutungi sebelah tangannya
di depan matanya, sungguh dia tidak berani membayangkan sebelumnya kalau hal ini bisa terjadi.
Akan tetapi kejadian selanjutnya justru membuat ia melongo dan heran bukan buatan.
Disaat pedang Thi-kiam Lojin hampir saja menyentuh tangan Hun Thian-hi, bukan saja Hun
Thian-hi tidak berusaha melindungi atau menghindari tabasan pedang musuh kelihatan malah
disorongkan ke depan, berbareng tampak selarik sinar hijau berkelebat membawa hawa dingin
kontan pedang panjang Thi-kiam Lojin kutung menjadi dua potong. Seketika Thi-kiam Lojin berdiri
kesima. Siau-siang-cu sendiri pun terlongo heran dan kegirangan. Begitulah sembari menggembol
Badik buntung Hun Thian-hi berkelebat lewat disamping tubuh Thi-kiam Lojin terus meloncat naik
ke punggung kudanya.
Terdengar Im-hong-ciang Lim Bing menggertak keras terus mengejar dengan kencang. Tapi
keburu Hun Thian-hi sudah menjepit perut kudanya dan membedalnya cepat-cepat ke samping
sana.
Siau-siang-cu menggertak keras sembari melintangkan pedang merintangi mereka bertiga. Thikiam
Lojin menggeruhg keras menerjang lewat, sedang Hwi-lam-it-lo mengayun tongkat
bambunya menempur Siau-siang-cu. Maka Thi-kiam Lojin dan Im-hong-ciang Lim Bing
berkesempatan mengejar terus ke arah Hun Thian-ki.
Hun Thian-hi larikan kudanya kencang-kencang, Thi-kiam Lojin berdua mengejar dengan cepat.
Sekejap saja lima li telah dilampaui jarak Thi-kiam Lojin berdua semakin jauh, mereka ketinggalan
satu li di belakang, tahu mereka kalau mengejar terus pun takkan dapat menyusulnya, terpaksa
mereka putar balik dengan uring-uringan.
Sementara itu Hun Thian-hi masih larikan kudanya sekian lamanya, waktu ia berpaling Thi-kiam
Lojin berdua sudah tidak kelihatan lagi, baru sekarang ia sempat menghela napas lega. Diam-diam
ia bersyukur dalam hati ditengah jalan ini ia bersua dengan gurunya yaitu Lam-siau sehingga
kesulitan dirinya dapat diatasi, terutama bantuan Pak-kiam suami istri sungguh besar artinya,
kalau tidak sukar dikatakan bagaimana akibatnya tadi.

Thian-hi mendongak melihat cuaca, dilihatnya hari sudah hampir gelap, namun dirinya masih
ditengah perjalanan jauh dari kota atau dusun, sekelilingnya tanah tandus dan hutan lekat yang
memagari gurun berpasir menguning melulu. Tak tahu Thian-hi kemana ia harus menuju. terpaksa
ia biarkan saja kuda hitamnya berjalan kemana dia suka….
Hari sudah gelap gulita, samar-samar dikejauhan di depan sana kelihatan titik-titik sinai pelita
yang kelap kelip, mungkin di depan sana ada perumahan atau pedusunan. Thian-hi menjadi
girang, cepat-cepat ia keprak kudanya dilarikan ke arah sana.
Waktu sudah dekat, Thian-ki menjadi melongo karena tempat itu melulu sebuah hutan lebat di
atas sebuah pohon besar yang tinggi tergantung beberapa buah lampion, di tengah lampu2
lampion ini duduk bersila di atas sebuah dahan besar seorang tua yang memejamkan matanya.
Hun Thian-hi hentikan kudanya, ia mendongak mengawasi orang tua di atas pohon itu sekian
lamanya, diam-diam ia membatin siapakah orang tua ini, dengan lampu2 lampionnya ini ia
memancing aku datang kemari apakah maksudnya?
Tiba-tiba orang tua itu membuka mata serta gumamnya, “Eh, betul-betul kepancing datang!”
Bertambah kaget hati Thian-hi mendengar perkataan si orang tua, lekas-lekas ia melorot turun
dari tunggangannya terus membungkuk tubuh serta serunya, “Wanpwe Hun Thian-hi, harap tanya
siapakah Cianpwe yang mulia ini?”
Tanpa menunjukkan berubahan mimik wajahnya si orang tua mengawasi Thian-hi dengan
cermat, rada lama kemudian baiu membuka mulut, “Tepat, kiranya kaukah Hun Thian-hi. Akulah
Jan-ting Lojin, apakah kau pernah dengar nama ini?”
Hun Thian-hi melengak, ia geleng-geleng kepala, sahutnya, “Pengetahuan Wanpwe sangat
cetek, belum pernah dengar nama ini, Cianpwe menggunakan sinar pelita untuk memancing
Wanpwe kemari entah ada urusan apakah?”
Dengan seksama Jan-ting Lojin (situa pelita) mengamat-amati Thian-hi, tanyanya, “Apa betul
kau belum pernah dengar namaku ini?”
Hun Thian-hi geleng kepala.
Tanya situa Pelita, “Apakah gurumu tidak beri tahu kepada kau?”
Hun Thian-hi menjadi was-was dan heran kenapa Situa Pelita ini tanya akan hal ini, ia
menggeleng kepala lagi.
Mendadak Situa Pelita mendongak serta terloroh-loroh, gelak tawanya begitu keras
memekakkan telinga sehingga menggetarkan seluruh alam sekelilingnya, daun berjatuhan. Hun
Thian-hi bercekat dan berubah air mukanya.
Setelah tertawa sekian lamanya, situa pelita ini mendesis sambil mengertak gigi, “Sangkamu
kau masih bisa seperti dulu tidak memandang sebelah mata kepadaku lagi?”
Hun Thian-hi menjublek di tempatnya, ia tidak tahu kemana juntrungnya perkataan si orang
tua, mendadak ia teringat sesuatu serta-merta mulutnya lantas mengiakan, katanya, “Orang yang
Cianpwe maksudkan barusan bukankah Ang-hwat-lo-koay?”
Situa Pelita membelalakkan matanya mengawasi Hun Thian-hi, tanyanya, “Apa katamu?”

“Bukankah orang yang Cianpwe maksudkan tadi adalah Ang-hwat-lo-koay?”
Situa Pelita mendengus sekali, tanyanya, “Apakah orang berbaju mas itu kau yang bunuh?”
Thian-hi manggut-manggut, katanya, “Tapi Cianpwe jangan salah paham, aku bukan murid
Ang-hwat-lo-koay.”
Situa Pelita berkakakan, pelan-pelan kedua telapak tangannya menepuk kebawah tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke tengah udara dan terbang melingkar satu bundaran terus hinggap pula di
tempat asalnya, katanya kepada Thian-hi, “Kau sudah takut?”
Bercekat hati Thian-hi, gerak tubuh situa Pelita ini sungguh luar biasa dan mengagumkan,
belum pernah dilihatnya sebelum ini, apalagi timbul tenggelam tubuhnya begitu enteng tanpa
mengeluarkan sedikit suara atau desiran angin.
Tapi lahirnya Thian-hi tetap tenang, malah ia mendongak dan bergelak tawa juga serunya,
“Apa yang perlu ditakuti?”
“Tidak lebih menakutkan dari ilmu pencacat langit dan pelenyap bumi yang diajarkan oleh
gurumu itu bukan?”
“Perlu kutandaskan lagi bahwa aku bukan murid Ang-hwat-lo-koay” ujar Thian-hi dengan nada
berat,
“Memang kenyataan ia mengajarkan sejurus ilmu ganas itu, kukira kau sendiri sudah tahu
berapa banyak jiwa melayang karena ilmu ganas itu?”
Situa Pelita terbungkam seribu basa.
Sambung Thian-hi dengan nada lebih tertekan, “Betapa picik dan licik tujuannya itu, sungguh
aku lebih menderita daripada dibunuh olehnya!”
Situa Pelita rada sangsi, ia mendengus tidak percaya.
Hun Thian-hi menundukkan kepala tanpa bicara lagi.
Tiba-tiba Situa Pelita bergerak meluncur tiba kedua tangannya dengan telak mencengkeram
kedua pundak Thian-hi, secara gerak reflek Thian-hi meronta sekuat2nya. Sesaat tampak situa
Pelita tertegun sebentar terus menggumam dengan lesu, “Ah, bukan dia!” lalu ia lepas tangan
mencelat kembali ke tempatnya semula.
Thian-hi mendelong awasi si orang tua tanpa buka suara. Akhirnya situa Pelita menunduk
kepala serta katanya lirih, “Pergilah, selanjutnya jangan kau gunakan lagi jurus ganas itu.”
Dilihatnya oleh Thian-hi kelopak mata situa Pelita mengembeng air mata, agaknya ia sangat
kecewa dan sekejap mata saja sudah tambah tua puluhan tahun, maka katanya pelan, “Kalau
Cianpwe punya dendam kesumat dengan Ang-hwat-lo-koay Wanpwe bersedia membantu sekuat
tenaga, aku tahu dimana sekarang ia berada!”
Situa pelita angkat kepala, ujarnya, “Tiada gunanya, siang-siang ia sudah pindah tempat. Tak
mungkin ia menetap di tempat lama menunggu para musuhnya meluruk datang mencari penyakit
padanya.”
Thian-hi berdiam diri sekian lama lalu pelan-pelan putar tubuh.

“Kau kembali!” tiba-tiba situa Pelita memanggilnya kembali.
“Apakah Cianpwe masih ada urusan?” tanya Thian-hi merandek.
Situa Pelita termenung sebentar lalu katanya, “Tadi kau kata bahwa ada banyak orang telah
menjadi korban karena jurus Jan-thian-ciat-te itu bukan?”
Thian-hi manggut-manggut.
Kata Situa Pelita, “Kuduga tentu kau mengalami banyak kesulitan karena jurus yang ganas itu.
Demikian juga aku memancingmu kemari, walaupun kau takkan dapat membantu aku, namun
maksud baikmu itu sungguh mengetuk sanubariku, biarlah kubantu sedikit kepadamu!”
Sebentar Hun Thian-hi berpikir, lalu menggeleng serunya, “Terima kasih akan kebaikan
Cianpwe. Aku terlalu banyak menanam budi orang lain, sampai pun Soat-san-su-gou berempat
Cianpwe rela mati demi jiwaku seorang.”
Bertaut alis situa Pelita, katanya, “Apa katamu?”
Terpaksa Thian-hi ceritakan bagaimana Bu Bing Loni mencari dirinya untuk menuntut balas
serta pertemuannya dengan Soat-san-su-gou.
Berjengkit alis situa Pelita, ujarnya tertawa, “Kiranya begitu. Kedua tokoh yang dimaksudkan
oleh Pek-bi tentu kedua bangkotan tua itu. Ah pengalaman dan pengetahuannya ternyata rada
cetek juga. Tapi aku dapat menunjukkan sebuah jalan penerangan, kalau dibanding kedua
bangkotan tua di Tiang-pek-san itu jauh lebih kuat berapa kali lipat!”
Wajah Hun Thian-hi mengunjuk rasa sangsi dan heran. Kata situa Pelita menerangkan, “Dari
sini kau langsung menuju ke utara, nanti disana kau bakal menemukan sesuatu rejeki besar. Tiga
hari kemudian kau kembali ke sini menemui aku!” selesai berkata tubuhnya mencelat berputar
satu lingkaran menanggalkan semua pelita yang tergantung di atas pohon terus meluncur cepat ke
dalam hutan dan menghilang.
Hun Thian-hi terlongong-longong di tempatnya sekian lama menerawang pesan situa Pelita
sebelum pergi tadi, pikirnya, “betapapun jadinya aku harus pergi mencobanya.”
Cuaca masih rada gelap, dengan menunggang kudanya Hun Thian-hi melanjutkan perjalanan
ke arah utara, entah berapa lama berselang, hari sudah menjelang pagi, namun sepanjang
perjalanan ini tiada sesuatu yang diketemukan. Jauh dikeremangan kabut. pagi kelihatan
bayangan sebuah bangunan kelenteng bobrok. Setelah melakukan perjalanan sehari semalam
badan terasa penat, segera ia turun berjalan kaki sambil menuntun kudanya, setelah menambat
kudanya didahan pohon besar langsung ia beranjak memasuki keleteng bobrok itu.
Begitu sampai diambang pintu dilihatnya seorang Hwesio tua tengah duduk samadi di tengah
ruangan besar sana. Hwesio ini begitu tua sehingga jenggotnya panjang memutih menjulai di
depan dadanya, wajahnya kelihatan berwarna merah, jubah abu-abu yang dipakainya kelihatan
begitu itu bersih tanpa kena debu sedikitpun, sepintas pandang seakan-akan dewata dalam
dongeng.
Begitu Thian-hi melangkah masuk wajah si Hwesio tua lantas berseri tawa, serunya, “Tuan kecil
ini datang dari jauh, harap maaf Lo-ceng tidak menyambut secara semestinya.”

Diam-diam kaget hati Thian-hi, tanpa membuka mata lantas Hwesio tua ini mengetahui
kedatangannya, lekas-lekas ia memberi soja serta sapanya hormat, “Wanpwe Hun Thian-hi,
menghadapi pada Sin-ceng!”
Hwesio tua itu menggoyangkan tangan ujarnya, “Tuan ini janganlah menggoda Lo-ceng, Loceng
sudah biasa mendengarkan derap langkah orang sehingga sekali dengar lantas tahu berapa
usia tuan ini, apalagi sekitar sini tiada pedusunan, terang tuan pasti datang dari tempat yang
cukup jauh bukan!”
Memang ucapan si Hwesio tua masuk akal, hanya dari derap langkah saja lantas dapat
membedakan berapa usia seseorang, apalagi dia tak pernah membuka mata mungkin memang
buta. Tapi bagaimana mungkin seorang diri cacat lagi bisa hidup di tempat yang terpencil ini.
Hwesio tua itu agaknya dapat menebak isi hati Hun Thian-hi, katanya tersenyum, “Aku punya
seorang murid kecil, tapi sekarang sedang keluar.”
Hun Thian-hi manggut-manggut, batinnya, “Tak heran, kukira kau sebatang kara disini.
Seorang tua buta lagi mana mungkin bisa hidup di tempat semacam ini!”
Hwesio tua itu tertawa lagi, katanya, “Silakan duduk tuan, ada beberapa persoalan yang ingin
Lo-ceng bicarakan dengan tuan!”
Hun Thian-hi tertegun, pikirnya, “Aku main terobosan masuk kemari, ada urusan apakah yang
hendak dibicarakan oleh Hwesio tua ini?” Dalam hati ia bertanya-tanya namun ia menurut duduk
dihadapan Hwesio tua.
Rada lama si Hwesio tua terpekur, katanya. “Selama enam puluh tahun Lo-ceng menunggu
disini, hanya besoklah saatnya yang kunantikan!”
Bercekat hati Thian-hi, menunggu selama enam puluh tahun, jadi paling tidak usia Hwesio tua
ini sedikitnya ada delapan atau sembilan puluh tahun, atau mungkin sudah melampaui seabad.
Terdengar Hwesio tua itu sedang bicara, “Di dalam lembah di belakang kelenteng ini ada
sepucuk pohon yang bernama Kiu-thian-cu-ko, enam puluh tahun yang lalu waktu aku datang
kebetulan buah dan kembangnya telah gugur, besok justru adalah saatnya ia berkembang dan
berbuah masak!”
Berdebur jantung Thian-hi, Kiu-thian-cu-ko adalah buah Dewata yang sukar didapat dengan
khasiatnya yang sangat mujarab. Konon kabarnya setiap enam puluh tahun sekali baru berbuah,
jumlah seluruhnya hanya sembilan buah, sungguh tak terduga di tempat ini dirinya bisa
menemukan buah dewata yang sangat berharga itu.
Kata si Hwesio, “Lo-ceng sudah menjaganya selama enam puluh tahun, namun bagi aku
kesembilan buah itu tiada gunanya, hari ini kebetulan tuan datang kemari, biarlah aku pinjam
bunga persembahan kepada sang Budha (memberi sedekah), kuberikan seluruhnya kepada tuan!”
Keruan Thian-hi terkejut, serunya, “Mana boleh jadi? Benda macam KUi-thian-cu-ko yang
begitu tinggi nilainya dijaga selama enam puluh tahun oleh Sinceng lagi, mana bisa diberikan
begitu saja kepala orang lain?”
Hwesio tua tertawa, ujarnya, “Tapi tidak begitu gampang kau untuk mendapatkan pucuk buah
ajaib ini. Ketahuilah ada seekor ular sanca besar yang juga telah menunggu selama enam puluh
tahun, masih ada lagi seorang aneh yang menunggunya selama tiga puluhan tahun pula!”

“Begitupun tak mungkin jadi,” sahut Thian-hi mengiakan keterangan orang, “Besok biarlah aku
pergi mencobanya, jikalau dapat kurebut, aku rela persembahkan kepada Sin-ceng!”
Hwesio tua menggeleng kepala sambil tersenyum.
Kata-Thian-hi lagi, “Meskipun tiada perlunya bagi Sin-ceng, namun kau sudah susah payah
menunggunya selama enam puluh tahun. Kukira tentu sangat memerlukannya bukan?”
“Walaupun Lo-ceng tidak bisa main silat.” demikian ujar Hwesio tua sembari tertawa-tawa,
“namun hidup sampai setua ini perihal seluk beluk Bulim kuketahui juga. menurut jalan
pernapasan tuan ini, bakat dan tulang tuan sungguh merupakan rahmat yang terbaik, apalagi
dalam usia menanjak dewasa. Murid Lo-ceng sendiri tidak becus, maka dengan sukarela dan
senang hati kuberikan pucuk pohon buah ajaib itu kepada tuan, harap tuan tidak menolak lagi.”
Melihat orang bicara begitu tulus dan sungguh hati Thian-hi menjadi tidak enak dan risi. Toh
disana masih ada orang lain yang ingin merebutnya juga, belum tentu dirinya bisa berhasil
memetiknya, terpaksa sekarang disetujui dulu saja. maka segera ia menjawab, “Terpaksa
kunyatakan banyak terima kasih akan karunia Sin-ceng.”
Hwesio tua tersenyum ujarnya, “Suatu hal perlu kutegaskan, kalau tuan sudah setuju maka
betapa juga, jangan sampai buah2 ajaib itu terjatuh ketangan orang lain.”
Thian-hi menjadi terhenyak melongo, sungguh ia tak habis heran kenapa jalan pikirannya dapat
diketahui oleh Hwesio tua ini, terpaksa ia menyahut, “Wanpwe akan berbuat sekuat tenaga.”
“Tuan tentu sangat lelah,” begitu ujar Hwesio tua, “silakan istirahat sebentar!” habis berkata.
dengan telapak tangannya ia meng-usap2 di depan muka Thian-hi, kontan Thian-hi lantas tercatuh
mendengkur dan tertidur nyenyak.
Waktu Thian-hi siuman dari tidurnya hari sudah terang benderang pada hari kedua. Tersipusipu
Thian-hi meloncat angun, ia heran mengapa sekali tertidur dirinya sampai pulas sehari
semalam, waktu ia mengerling Hwesio tua itu sudah tak berada ditempatnya, sesaat ia terlongong,
baru sekarang ia sadar bahwa, Hwesio tua ini pasti seorang sakti waktu ia lari keluat tampak kuda
hitamnya masih tertambat di bawah pohon sana.
Thian-hi masih teringat pesan Hwesio tua kemaren, maka segera ia menyesuri jalanan kecil
menuju ke belakang kelenteng. Dengan ilmu ringan tubuhnya ia memanjat naik kebukit yang tidak
begitu tinggi, tiba dipuncak bukit hidungnya lantas dirangsang bau harum semerbak. Sebenfar
berdiri menerawang keadaan sekitarnya, tampak olehnya diseberang bukit sebelah depan sana
terdapat sebuah gua esar, di depan gua ini melingkar seekor ular sanca besar warna putih tengah
berhadapan dengan seorang tua yang mengenakan jubah kuning. Ular dan orang itu diam tak
bergerak seperti ajam adonan, masing-masing tiada yang berani bergerak dulu, namun besar
hasrat masing-masing untuk mendahului mendapatkan buah ajaib yang berbau wangi.
Agaknya orang tua jubah kuning itu tidak sabaran lagi, gesit sekali ia berkelebat hendak
menerjang masuk ke dalam gua, namun secepat anak panah ular sanca putih itu mematuk
mengarah tenggorokannya. Orang tua jubah kuning menjadi gusar, dengan menghardik keras ia
melolos sebilah pedang terus membabat kemonciong ular yang ternganga lebar itu. Ternyata
siular besar inipun pandai berkelahi, dengan menekuk badannya ia sampok pedang musuh
kesamping tubuhnya terus meluncur hendak menerjang ke dalam gua.
Sijubah kuning menggertak keras, pedangnya berputar mempetakan setabir kabut sinar putih
mendesak mundur ular putih itu keluar gua pula, begitulah mereka saling berhadapan lagi diluar
gua dengan siap siaga.

Meski hanya melibat beberapa gebrak pertarungan antara ular dan manusia ini namun diamdiam
bercekat hati Thian-hi, batinnya, ‘kalau kepandaianku dibanding dengan ular dan sijubah
kuning terang terpaut teramat jauh sekali. Kiu-thian-cu-ko itu jangan harap dapat kuperoleh, tapi
aku sudah berjanji kepada Hwesio sakti itu, masa lantas mundur begini saja.
Bau harum yang teruar keluar dari dalam gua semakin tebal, jelas sijubah kuning dan ular
besar Itu semakin bersitegang leher, pelan-pelan Hun Thian-hi menggeser maju ke arah gua besar
itu. Waktu ia menggeremet tiba di atas samping gua, untung saking tegang dan tumplek perhatian
musuh dihadapannya ular dan sijubah kuning tidak mengetahui kehadirannya.
Kelihatan kedua musuh bertengger ini sudah tak sabar lagi, mendadak sijubah kuning
mengayun pedangnya menyerang ke arah ular sanca sebat sekali ular putih berkelit tanpa
hiraukan sijubah kuning lagi ia mendahului melesat masuk ke dalam gua Tapi gerak-gerik sijubah
kuning cukup hebat. lincah sekali tangan kirinya bergerak dengan telak telapak tangannya
memukul ketubuh siular, terdengar ular putih mendesis keras, tubuhnya melenting balik mematuk
kedua biji mata sijubah kuning. Terpaksa sijubah kuning mundur selangkah, pedang ditangan
kanan lagi-lagi membabat ke kepala musuh.
Siular putih terdesak dan mundur berkelit, kontan jubah kuning timpukan pedangnya mengarah
kedua biji mata sang ular, tanpa melihat apakah serangannya bakal berhasil segera ia menerobos
masuk ke dalam gua. Keruan ular putih menjadi gugup, tubuhnya masih cukup gesit bergerak
namun tak urung badannya sudah kena luka tergores, namun ia berhasil melenting maju
merintangi si jubah kuning masuk ke dalam gua, maka dengan geram sijubah kuning ayun
jotosannya menghantam sekuatnya menggetar mundur sang ular, sementara waktu mereka
berhadapan lagi tanpa bergerak.
Diam-diam Thian-hi menghela napas lega, katanya dalam hati “Untung! Masih belum ada
ketentuan pihak mana yang menang dan asor, kalau tidak sedikitpun ak takkan punya harapan.”
Tengah ia termenung sekonyong-konyong ia merasa telinganya seperti dikili2 dengan
hembusan angin silir, keruan kejutnya bukan kepalang, lekas-lekas ia berpaling dilihatnya seorang
Hwesio kecil yang bertubuh tambun buntak tengah berseri tawa kepadanya.
Mengkirik kuduk Thian-hi, untung orang tiada niat mencelakai jiwanya, kalau tidak sejak tadi
jiwanya tentu sudah melayang.
Sekian lama Hwesio cilik itu tertawa-tawa lucu lalu berseru lirih, “Kau ingin mendapatkan Kiuthian-
cu-ko itu bukan?”
Thian-hi manggut, baru saja ia hendak bicara, Hwesio cilik sudah mencegahnya dengan
mendesis mulut dan menegakkan jari tangannya di depan mulutnya, begitu menarik tangan Thianhi
terus diajak lari kebawah bukit.
Thiar-hi mandah saja diseret kebawah bukit tanpa mampu mengeluarkan tenaga untuk
meronta. Setiba di bawah Hwesio cilik itu memandang Thian-hi dan berkata, “Kalau kau ingin
benar-benar, aku bisa membantu kau!”
Thian-hi rada sangsi, namun akhirnya ia berkata, “Harap tanya Siausuhu ini bergelar nama
siapa?”
“Siausuhu apa?” dengus Hwesio cebol itu rada tak senang, “usiaku jauh lebih tua dari kau,
orang lain sering panggil aku Siau-hosiang (Hwesio jenaka), kau panggil aku Siau-hosiang saja!”

Hati Thian-hi menjadi geli dan ingin tertawa, namun tak enak dikatakan, terpaksa ia manggutmanggut
saja, katanya, “Siau-hosiang! Kau ada cara baik apa?”
Hwesio cilik bernama Siau-hosiang terkekeh-kekeh melebarkan mulutnya tanpa membuka kata.
Thian-hi tahu bahwa ilmu silat Hwesio jenaka ini jauh lebih tinggi dari kemampuannya, kalau
sudi membantu betul-betul merupakan pembantu yang boleh diandalkan, maka ia menambahi,
“Kalau sudah dapat nanti kita bagi rata hasilnya bagaimana?”
Hwesio jenaka menarik muka, jengeknya, “Bagi rata? Kataku tadi aku hanya membantu
kepadamu, kalau aku mau gampang saja aku turun kesana mengambilnya, buat apa harus bagi
rata dengan kau apa segala!”
Terpaksa Thian-hi minta maaf, sambungnya, “Tapi kau hanya tertawa-tawa saja tidak beritahu
cara bagaimana harus bekerja, kalau….,”
“Ah, ada aku disini masa perlu kuatir apa lagi?” kata Hwesio jenaka sambil menepuk dada.
Melihat sikap Hwesio cilik yang takabur ini, Thian-hi menjadi uring-uringan, katanya, “Jangan
kau bicara begitu takabur!”
Hwesio jenaka tertegun sebentar lantas melebarkan mulutnya lagi terkekeh-kekeh, serunya,
“Memang benar-benar, tapi aku ada pegangan dan pasti berhasil. Hari ini kau ada kerja maka
kubantu kau kelak kalau aku punya urusan dan minta bantuanmu apakah kau sudi membantu?”
Thian-hi tercengang, tanyanya, “Kau ada urusan apa?”
“Sekarang tiada,” sahut Hwesio jenaka dengan riang, “maksudku kelak kemudian hari kalau aku
kena perkara apakah kau sudi membantu aku?”
“Tidak kau jelaskan urusan apakah itu, mana aku tahu dapatkah aku membantu?”
Hwesio jenaka menunduk berpikir sebentar lalu angkat kepala serunya, “Mari kita naik ke atas!”
Begitulah dilain saat mereka sudah tiba dipuncak bukit, waktu memandang ke depan sana
kelihatan sijubah kuning dan ular putih masih bersitegang leher berhadapan.
Kata Hwesio jenaka, “Biar aku turun kesana, kau bekerja menurut isyaratku!”
Thian-hi manggut-manggut, Hwesio jenaka tertawa lebar kepadanya terus berjalan bergoyang -
gontai seperti gentong! menggelinding ke bawah lembah sana. Sekilas sijubah kuning dan ular
putih berpaling ke arah Hwesio jenaka lain berpaling lagi bersiaga.
Hwesio jenaka terloroh-loroh menghampiri ke arah sijubah kuning serunya, “Sicu tua ini,
apakah yang kau tengkarkan dengan ular putih ini?”
Sijubah kuning mendengus hidung tanpa hiraukan dirinya.
Sembari tertawa-tawa Hwesio jenaka melangkah lebar masuk gua. Tersipu-sipu si jubah kuning
dan ular putih itu menghadang di depannya, dengan pura-pura kaget Hwesio jenaka melompat
mundur teriaknya, “Waduh! Hebat benar-benar!”
Teriak sijubah kuning, “Hwesio cilik, tiada urusanmu disini, lekas minggir!”

“Sicu tua,” ujar Hwesio jenaka, “salah ucapanmu, aku Hwesio cilik ini ingin masuk kesana untuk
istirahat, kenapa kau menghadang merintangi aku?”
Sijubah kuning tahu bahwa kepandaian Hwiesio jenaka tidak lemah, maka katanya lagi,
“Hwesio cilik, kau usir ular-ular ini, Kiu-thian-cu-ko yang berada di dalam gua nanti boleh kita bagi
dua, bagaimana?”
“Kiu-thian-cu-iko apa?” Hwesio jenaka pura-pura membodoh, “aku belum pernah dengar!”
S
ijubah kuning menggeram jengkel, katanya gegetun, “Mari kau bantu aku mengusir ular ini
saja.”
“Itu boleh,” -sahut Hwesio jenaka manggut-manggut, “selamanya, aku Hwesio cilik paling suka
membantu kesulitan orang, tapi kalau aku bantu kau mengusir ular ini, kau jangan mengganggu
tidur nyenyakku lho!”
“Baik!’ sahut sijubah kuning aseran.
Hwesio jenaka putar tubuh menghadapi siular putih, dengan gentar ular putih surut ke
belakang terus melingkar bundar, kepalanya menegak tinggi dengan lidah melelet2 mengawasi
Hwesio jenaka.
Hwesio jenaka sendiri kelihatan rada takut-takut, selangkah demi selangkah maju mendekat,
tangan diulur ke depan lalu ditarik kembali cepat, mulutnya berkaok, “Sicu tua, marilah kau maju
membantu.”
Biji mata sijubah kuning berputar-putar, ia jemput pedang panjang di tanah terus berlari
kencang menerobos masuk ke dalam gua. Ular putih ternyata sudah siaga, tidak kalah cepatnya
iapun melesat mengejar ke arah sijubah kuning, tangkas sekali sijubah kuning memutar badan
seraya melontarkan pedangnya. mengarah siular putih, gesit sekali ular putih nenekuk badan
menukik kebawah seraya pentang mulutnya mematuk pundak sijubah kuning.
Terdengar sijubah kuning menggerung keras, tangan kanannya membalik mencengkeram leher
ular dengan kencang tidak dilepas!agi. Kesempatan ini digunakan oleh Hwesio jenaka lari ke dalam
gua, tak lama kemudian kelihatan ia berlari keluar lagi sambil menggembol seonggok dedaunan
terus berlari kencang ke atas bukit.
Sijubah kuning berteriak panjang, dengan gusar ia mengumpat caci terus bergerak mengejar
dengan kencang. Sekejap saja suara teriakannya semakin jauh dan tak terdengar lagi. Thian-hi
menghela napas lega, dari atas bukit ia melihat tegas, dedaonan yang dibawa lari oleh si Hwesio
cilik bukan lain hanya dahan pohon yang lebat dengan daun-daunnya yang menghijau. Tapi bagi
penglihatan sijubah kuning Kesekelebatan warna hijau pupus, sungguh tak terpikirkan olehnya
bahwa ini merupakan jebakan memancing harimau meninggalkan sarangnya, tanpa pikir panjang
segera ia lari mengejar sembari membawa ular putih itu.
Cepat-cepat Thian-hi turun ke dalam lembah terus masuk ke dalam gua, setelah membelok
sebuah tikungan tampak sebelah depan sana terdapat sebuah jembangan dengan airnya yang
jernih kelihatan dasarnya. Ditengah jembangan ini kelihatan tumbuh sepucuk pohon kecil berdaon
sembilan berbuah sembilan biji warna merah darah, warna daonnya hijau pupus berkilau menjadi
sangat kontras sekali dengan warna buahnya….

Dalam-dalam Thian-hi menyedot hawa, terasa bau harum merangsang hidung menyegarkan
badan dan membangkitkan semangat. Sungguh mimpi juga tak terduga sebelumnya bahwa buah
ajaib yang tak ternilai itu betul-betul berada di depan matanya.
Sesaat ia menjadi kememek dan tidak tahu cara bagaimana ia harus bekerja, tanpa
mengeluarkan sedikit tenagapun ia bakal memperoleh buah dewata yang sukar didapat, kalau
dikata memang sukar dipercaya, tapi kalau rejeki ini ditolak tak lama kemudian buah dan daon
ajaib ini segera bakal menjadi kuju dan laju.
Tengah Thian-hi terpekur tiba-tiba sebuah bayangan orang meluncur hinggap di depannya,
Thian-hi terperanjat dan menyurut mundur, waktu ia menegasi kiranya si Hwesio jenaka.
Tetap dengan sikapnya yang tertawa-tawa Hwesio jenaka berkata, “Bagaimana? Eh tidak lekas
kau ambil dan menemuinya, sebentai lagi bakal laju kering lho!”
“Siausuhu kenapa kau sendiri tidak mau menelannya?” tanya Thian-hi.
“Segala sesuatu di dunia ini pasti ada sebab dan akibatnya. Jika sudah ditakdirkan bahwa buah
ajaib ini bakal menjadi milikmu, lekaslah Sicu menelannya!”
Thian-hi masih rada sangsi, tiba-tiba Hwesio jenaka melompat maju menutuk jalan darahnya,
cepat-cepat kesembilan buah merah itu dipetik terus dijejalkan semua kemulut Hun Thian-hi.
Terasa oleh Thian-hi rasa manis dan harum tertelan melalui tenggorokannya terus melebar
keseluruh tubbhnya, tak terasa lagi kepalanya menjadi berat dan ia jatuh pingan.
Entah berapa lama berselang waktu ia pelan-pelan siuman dilihatrrja. Hwesio jenaka tengah
berdiri disamping sambil tertawa riang, ditangannya masih menyekal pucuK daun warna hijau
berjumlah sembilan tangkai. Sedikit bergerak lantas Thian-hi rasakan badannya sangat enteng.
“Kusampaikan selamat. tuan kecil!’“ ujar Hwesio jenaka menggoda.
“Akupun banyak terima kasih akan bantuan Siausuhu!” jawab Thian-hi sungguh-sungguh.
Hwesio jenaka memalingkan kepalanya, mulut bergerak hendak bicara namun diurungkan.
Teringat oleh Thian-hi akan permintaan Hwesio jenaka di atas bukit tadi, maka katanya,
“Siausuhu. kalau kau betul-betul memerlukan bantuanku, dimana dan kapan saja pasti aku
membantumu sekuat tenagaku!”
Hwesio jenaka berseri tawa, “Sembilan tangkai daun ini merupakan benda yang sangat
berharga, silakan kau simpan Saja!”
Melihat orang tidak menyinggung persoalan tadi, Thian-hi rada kikuk dan jadi menyesal,
dengan menunduk ia sambuti kesembilan tangkai daun hijau lalu hati-hati disimpan ke dalam baju.
“Kau sudah tidur sehari lamanya,” kata Hwesio jenaka, “hari ini tepat hari ketiga boleh kau
pergi menemui Situa Pelita itu!”
Thian-hi melengak, tak habis herannya dari mana Hwesio jenaka ini mengetahui perihal
pertemuannya dengan situa Pelita itu. Hwesio jenaka mandah tertawa lucu, semoga Selamat
berjumpa kelak!” — hilang suaranya badannya pun melenting keluar gua.
Thian-hi menjublek ditempatnya sekian lamanya baru pelan-pelan beranjak keluar dari gua,
sedikit menyedot hawa dan mengempos semangat badannya lantas bergerak ringan seenteng

asap seperti menunggang awan, keruan ia melengak dan keheranan, sungguh diluar tahunya
bahwa khasiat buah ajaib itu ternyata begitu aneh dan mustajab.
Begitu ia ganti napas badannya lantas meluncur turun, segera ia empos semangatnya terus
berlari kencang kepuncak bukit betapa cepat luncuran tubuhnya sungguh sangat mengejutkan dan
diluar perhitungannya, sekejap mata ia sudah tiba di depan gunung lagi.
Waktu ia melangkah memasuki keleteng brobrok itu keadaan sunyi senyap tiada seorang pun
yang tinggal hanya kasur bundar buat semadi itu. Thian-hi berlutut serta menyembah empat kali
ke arah kasur bundar itu lalu keluar dari pintu samping, setelah mengambil kudanya ia berjalan
balik ke arah datang semula.
Pengalaman tiga hari ini seolah-olah dalam mimpi saja, suatu kejadian yang agaknya tak
mungkin terjadi, namun kenyataan telah dialami olehnya. Hwesio tua itu sudah menunggu selama
enam puluh tahun akhirnya buah itu diberikan kepada dirinya secara mentah-mentah, demikian
juga Hwesio jenaka suka rela membantu dirinya tanpa pamrih.
Waktu ia membedal kudanya sampai di tempat semula, tampak Situa Pelita sudah
menunggunya duduk di bawah pohon besar yang rindang.
Tersipu-sipu Thian-hi turun dari tunggangannya terus menjura dalam. Dengan cermat situa
Pelita mengawasi Thianhi sambil tersenyum simpul, katanya, “Apakah kau sudah bertemu dengan
Go-cu Taysu?”
“Go-cu Taysu?” ulang Thian-hi dengan tak mengerti.
Situa Pelita melengak, tanyanya, “Apa kau tidak jumpa dengan beliau?”
“Apakah beliau seorang Hwesio tua yang buta sepasang matanya serta beralis dan berjenggot
putih?”
“Bukan!” sahut situa Pelita, “Kedua biji mata Go-cu Taysu tidak buta. Apa kau benar-benar
tidak berjumpa dengan Go-cu Taysu?”
Hun Thian-hi termenung beberapa saat tanpa buka suara lagi.
“Apakah kau sudah sampai di kelenteng bobrok itu?” desak situa Pelita.
Thian-hi manggut, sahutnya, “Tapi yang kutemukan hanya seorang padri tua yang buta!”
“Begitulah ‘jodoh’, beliau tentu Go-cu Taysu adanya. Seluruh kaum persilatan di kolong-langit
ini yang paling ditakuti oleh Bu Bing Loni hanya beliau seorang. Dan hanya Bu Bing Loni dan aku
saja dari seluruh jagat ini yang mengetahui adanya tokoh yang lihay ini!”
Thian-hi kesima sekian lama, katanya, “Kiu-thian-cu-ko yang beliau tunggu 5elama enam puluh
tahun telah diberikan kepadaku!”
“Apa?” situa Pelita tersentak kaget.
Thian-hi lantas tuturkan pengalamannya selama tiga hari ini. Situa Pelita manggut-manggut
serta katanya tersenyum, “Begitupun baik, sayang kalau Go-cu Taysu sendiri mau memberi
petunjuk langsung kepadamu tentu lebih besar manfaatnya!”

Diam-diam Thian-hi bertanya-tanya dalam hati, tokoh macam apakah sebenar-benarnya Go-cu
Taysu itu, betapa tinggi ilmu kepandaiannya.
Situa Pelita tertawa-tawa, ujarnya, “Namun rejeki yang kau peroleh pun merupakan karunia
yang sukar didapat oleh orang lain. Tapi kau harus tahu ini baru permulaan dari ‘Sebab’ itu, kelak
tentu banyak pekerjaan dari ‘akibat’ itu untuk kau selesaikan.”
“Kemanakah kiranya Go-cu Taysu sekarang, apakah Cianpwe tahu jejaknya?”’
“Orang muda jangan terlalu serakah. Jejak Go-cu Taysu selamanya. sukar diketahui orang, buat
apa kau tanya kepadaku?”
“Bukan begitu maksudku, tujuanku hanya ingin tanya berbagai persoalan kepada beliau!”
Situa Pelita geleng-geleng kepala, ujarnya, “Mungkin kalau ada jodoh atau secara kebetulan
saja baru kau ada kesempatan bertemu dengan beliau!”
Sesaat mereka berdiam membungkam, Situa Pelita membuka suara, “Sijubah kuning itu kuduga
adalah Mo-lam-it-koay, sedang Hwesio jenaka itu aku kurang terang. Karena kejadian ini ia
menanam permusuhan dengan Mo-lam-it-koay, kelak tentu banyak perhitungan yang harus kau
pikul!”
Diam-diam Thian-hi mencatat nama Mo-lam-it-koay dalam sanubarinya.
“Aku masih punya urusan yang harus segera kuselesaikan. Rejekimu begitu nomplok maka kau
harus hati-hati dan bisa menjaga diri baik-baik karena ilmu silatmu sekarang belum mencukupi
Gin-ho-sam-sek pemberian Soat-san-su-gou boleh kau pelajari dulu, belakang hari kalau ada jodoh
kita bisa berjumpa kembali!” — habis berkata terus tinggal pergi.
Setelah situa Pelita hilang dari pandangan matanya Thian-hi merasa hatinya hampa dan cemas,
lama dan lama kemudian baru ia cemplak kudanya melanjutkan perjalanan ke depan.
Sejak menelan Kiau-thian-cu-ko Lwekangnya maju pesat, sepanjang perjalanan ini tak
mengenal kesal ia pelajari ilmu Gin-ho-sam-sek. Tak terasa tahu-tahu tiga hari sudah lewat,
selama ini ia tidak menemui rintangan apa di tengah jalan. Tapi ia tahu bahwa seratusan li di
sekitarnya banyak orang tengah memata2i dirinya.
Hari itu pagi2 benar-benar Thian-hi sudah congklang tunggangannya melanjutkan perjalanan.
Kira-kira puluhan li kemudian, tiba-tiba puluhan kuda tunggangan membedal datang dari
belakang. Thian-hi hentikan kudanya menunggu, puluhan ekor kuda itu melesat lewat di kedua
sampingnya, terus secepat kilat dihentikan dan putar balik berdiri jajar mencagat di depan Thianhi.
Terlihat oleh Thian-hi puluhan orang itu mengenakan seragam pendek warna hijau, punggung
mereka mengenakan mantel besar, hanya seorang yang ditengah adalah seorang gadis remaja
yang mengenakan pakaian serba merah, mantel yang dikenakan pun warna merah menyolok.
Orang yang paling pinggir memajukan kudanya serta bertanya kepada Thian-hi, “Apakah kau
ini murid Lam-siau Hun Thian-hi?”
Hun Thian-hi manggut-manggut tanpa buka suara.
Terdengar orang itu berseru lantang, “Atas perintah dari Hwi-cwan Pocu, persilahkan Hunsiauhiap
mampir sebentar di Hwi-cwan-po!”

Thian-hi menyapu pandang dulu ke puluhan orang itu baru balas tanya, “Untuk urusan apa?”
“Siauhiap akan tahu setelah sampai disana!”
Thian-hi tertawa tawar, katanya, “Terima kasih akan maksud baik Pocu kalian. Harap beri lapor
kembali pada Pocu kalian katakan bahwa aku Hun Thian-hi punya urasan penting, belakang hari
kalau ada waktu tentu aku mampir kesana!”
Orang itu tertegun sebentar lalu berpaling ke arah gadis baju merah.
“Sekarang juga. harus kesana!” akhirnya gadis baju merah ikut bicara.
“Karena urusan Leng Bu bukan?” seru Thian-hi sembari gelak tertawa, “Siapapun boleh dan
harus membunuh Leng Bu, betapa tercela sepak terjangnya masa Hwi-cwan-po ada maksud
menuntut balas baginya?”
Gadis baju merah menarik muka, bentaknya, “Kau tidak mau pergi terpaksa kita gunakan
kekerasan!”
Thian-hi menjengek dingin, “Ya, biar aku belajar betapa hebat tiga belas jurus Hwi-cwan-kinsoat
dari Hwi-cwan-po kalian!”
Gadis baju merah tertawa dingin, para kerabatnya segera maju merubung kesekeliling Thian-hi.
Thian-hi pentang lebar matanya manyapu pandang para pengepungnya, tahu dia bahwa hari ini
terpaksa ia harus gunakan kekerasan lagi. Maka segera kudanya dikeprak maju terus menerjang
lebih dulu.
Serentak puluhan mantel bertebaran menari2 menggulung berbareng ke arah Thian-hi.
Thian-hi menggertak keras tubuhnya mencelat tinggi ke tengah udara sedang kudanya masih
membedal ke depan terus, ditengah udara Thian-hi mainkan gaja tubuhnya yang indah berkelit
kian kemari dari samberan mantel2 musuh dan membelesot lewat dari tengah celah kepungan
musuh terus meluncur duduk kembali dipunggung kudanya.
Baru saja belum sempat ia membetulkan tempat duduknya, terdengar teriakan nyaring merdu
sekuntum awan merah disertai angin menderu keras menerpa ke arah dirinya. Tahu Thian-hi
bahwa gadis baju merah telah menunjukkan aksinya. Tanpa ayal ia dorong ke depan kedua
telapak tangannya memapak menyambut serangan mantel merah lawan
Begitu serangan pertama gagal, jurus kedua yang lebih hebat dari sigadis baju merah telah
melandai tiba pula. Thian-hi tidak perlu gentar mengingat Lwekangnya baru saja maju berlipat
ganda, enteng sekali tangan kanan dijulurkan keluar mencengkerana mantel gadis baju merah
terus dibetotnya mentah-mentah, dan usahanya ternyata berhasil. Tapi seiring dengan lari
kudanya yang membedal lewat cepat-cepat ia timpukkan pula mantel rampasannya kemuka gadis
baju merah, maka dilain kejap ia sudah menyongklang kudanya ke depan.
Gadis baju merah kelabakan sebentar, namun dilain saat ia sudah larikan kudanya pula
mengejar dengan kencang. Dari kejauhan terdengar gadis baju merah berteriak, “Berani kau lari!
Ketahuilah gurumu tertawan di Hwi-cwanj-po, malah Pak-kiam suami isteri juga disana.”
Terkejut Thian-hi, segera ia tarik kendali kudanya sehingga lari pelan-pelan. Waktu ia berpaling
tampak gadis baju merah memutar balik kudanya seraya berseru, “Kau mampir tidak terserah
kepadamu!”’

Thian-hi menghentikan kudanya terus memutarnya balik. Melihat Thian-hi putar balik gadis baju
merah tertawa senang, kakinya menendang perut tunggangannya terus dibedal ke depan.
Sungguh berat perasaan Thian-hi. Sungguh daluar tahunya, bahwa gurunya bisa tertawan oleh
Hwi-cwan-po di Kanglam, tak bisa tidak ia harus percaya akan berita ini karena hari itu ia tinggal
lari begitu saja Lam-siau dan Pak-kiam berdua masih bertempur seru, setelah ia lolos
kemungkinan besar Thi-kiam Lojin dan Im-hong-ciang Lim Bing kembali dan mengeroyok mereka,
dapatlah dibayangkan pihak mana bakal menang.
Melihat Thian-hi kena terpancing akan kata-katanya dan tunduk berpikir, gadis baju merah
berpaling dan berteriak lagi, “Lekas! Apa lagi yang kau pikirkan?”
Thian-hi angkat kepala, pikirnya urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh terpaksa aku harus
ikut mereka ke Hwi-cwan-po, Karena pikirannya ini segera ia tendang perut kudanya terus dibedal
ke depan.
Gadis baju merah tertawa lebar, tangannya diulapkan memberi aba-aba, puluhan anak buahnya
segera bergerak mengelilingi sekitar Thia-hi berlari kencang. Sekilas Thian-hi menyapu pandang
mereka, namun tak bicara apa-apa kudanya dilarikan terus mengintil di belakang gadis baju
merah.
Entah berapa lama dan betapa jauh perjalanan yang sudah ditempuh ini, tiba-tiba jauh di
depan sana kelihatan puluhan kuda mendatangi dengan cepat. Begitu dekat puluhan kuda itu
lantas berjajar rapi menghadang di tengah jalan.
Dengan muka dingin membeku Gadis baju merah mengajukan kudanya lebih dekat, matanya
yang jeli berputar menyorotkan sinar tajam menatap satu persatu para pendatang ini.
Melihat cara dandanan para pendatang ini diam-diam Thian-hi terkejut, pikirnya, kenapa anak
buah Tong-ting-kun juga meluruk kemari?
Pada jauh di belakang sana berlari kencang seekor kuda putih tengah mendatangi…. seorang
pemuda yang membekal pedarg panjang menerobos lewat dari puluhan pencegat itu terus
menghampiri ke depan gadis baju merah.
“Nyo Seng!” teriak gadis baju merah gusar, “Kenapa kau menghadang perjalanan kita?”
Pemuda itu bergelak tawa serunya, “Nona Ciok, pihak Hwi-cwan-po kalian tiada punya
permusuhan dengan Hun Thian-hi. Urusan Kim-i-kongcu Leng Bu biarlah diselesaikan oleh
ayahnya Sing-hu Lojin tak perlu kalian ikut campur.
“Tapi engkohku menjadi korban ditangan Hun Thian-hi, ayah menitahkan kepadaku kemari
untuk meringkusnya, bagaimana menurut pendapatanmu?”
“Hwi-cwan-kian-soat-cap-sa-sek yang dimainkan Leng Bu itu milik siapa masa kau tidak tahu?”
jengek gadis baju merah dengan uring-uringan.
“Benar-benar!” Seru Nyo Seng tertawa-tawa, “Tapi kau harus tahu Hun Thian-hi membunuh
engkohku, sedang Leng Bu bagi Hwi-cwan-po kalian tidak lebih hanya murid murtad melulu!”
Gadis baju merah mendengus hidung, belum sempat ia bicara Nyo Seng sudah berkata lagi,
“Apakah Hwi-cwaw-po di Kanglam tidak mengenal tata tertib dunia persilatan?”

Seru gadis baju merah, “Nyo Seng! Jangan kau pura-pura, kau sangka aku tidak tahu apa yang
kau pikirkan? Kalau kau benar-benar ingin minta orang, mari silakan datang ke Hwi-cwan-po saja!”
sembari berkata ia jepit perut kudanya seraya mengayun tangan terus menerjang ke depan.
Nyo Seng menjengek dingin, sebelah tangannya membalik melolos pedang, para pengikutnya
serempak juga melolos keiuar senjata masing-masing untuk merintangi jalan si gadis baju merah.
Terdengar gadis baju merah menghardik nyaring tangan yang lain menanggalkan mantel merah
di punggungnya terus diobat-abitkan sembari menerobos maju dengan kencang.
Nyo Seng melintangkan pedangnya, dengan kekerasan ia berusaha merintangi orang,
teriaknya, “Nona Ciok, kalau kau tidak mematuhi peraturan dunia persilatan jangan salahkan aku
Nyo Seng tidak mengenal kasihan lagi.”
Dalam pada itu gadis baju merah sudah menerjang tiba, mantel merahnya segera dikebutkan
ke arah Nyo Seng tanpa pedulikan peringatannya. Terpaksa Nyo Seng angkat pedangnya
menyontek dan membabat ke arah mantel merah yang menggulung tiba. Tapi permainan mantel
si gadis merah ternyata cukup lihay, terdengar ia menghardik keras, kelihatan mantel merahnya
berkembang lebar seperti sekuntum awan merah berterbangan menari2 laksana kupu2 merah
besar. Dengan deras si gadis baju merah lancarkan ilmu Hwi-cwan-kian-soat-cap-sa-sek mendesak
kepada Nyo Seng. Tapi Nyo Seng tidak gentar, sambil tertawa dingin ia berkelit ke samping
sembari memberi aba-aba kepada para pengikutnya untuk menyerbu bersama.
Para kerabat dari Hwi-cwan-po juga tidak mau unjuk kelemahan serentak mereka pun
menanggalkan mantel masing terus menyerbu ke depan. Seketika terjadilah pertempuran kalangkabut
di atas kuda, suasana menjadi riuh meriah. senjata berdenting diselingi teriakan
menggeledek serta pekik kesakitan yang jatuh menjadi korban terutama bebenger kuda-kuda
yang luka dan sekarat. Suasana pertempuran menjadi semakin kalut karena pemandangan
menjadi gelap oleh mengepulnya debu yang menabirkan kabut ke-kuning2an.
Diam-diam Hun Thian-hi menerawang” pertempuran di hadapannya dengan berbagai
pertimbangan yang menggejolak dalam sanubarinya. Pertempuran kedua golongan ini pasti bukan
melulu karena sakit hati atau balas dendam saja, tentu ada latar belakang yang tersembunyi
mungkinkah…., terpikir sampai disini tanpa merasa ia mendengus hidung dengan gemes.
Begitulah pertempuran ini berjalan secara keras lawan keras, sorak-sorai terus terdengar untuk
menambah semangat tempur mereka. Namun tak disadari oleh mereka saking nafsu untuk
merobohkan lawan masing-masing bahwa kedua belah pihak sudah jatuh korban sedemikian
banyak, boleh dikata separo dari jumlah mereka sudah berjatuhan menggeletak di tanah dengan
berlumuran darah, namun semangat tempur kedua belah pihak tetap tinggi dan terus berkutet.
Sementara itu, kepandaian Nyo Seng memang setingkat lebih rendah dari lawannya, setelah
bergebrak puluhan jurus akhirnya ia terdesak di bawah angin oleh gadis baju merah. Apalagi
dilihatnya korban anak buahnya juga semakin banyak, akhirnya sembari menghardik keras:
“Berhenti!” ia meloncat mundur. Pertempuran segera berhenti dan anak buah masing-masing
mundur ke tempat masing-masing.
Mengawasi para korban yang malang melintang di atas tanah, Nyo Seng menggeram dengan
mengertak gigi, “Ciok Yan! Nyo Seng hari ini mengakui keunggulanmu. Tapi dalam sepuluh hari ini
pasti kita berkunjung ke Hwi-cwan-po.”
Dengan sombong gadis baju merah yang bernama Ciok Yan menyahut, “Terserah kapan kau
mau datang. Hwi-cwan-po selalu menanti kedatangan kalian!”

Dengan mengerling Nyo Seng memandang ke arah Hun Thian-hi, lalu mendelik ke arah Ciok
Yan terus memutar kudanya dibedal lari sekencang-kencangnya….
Bab 5
Liong Lui sendiri sudah maklum kalau bertempur secara kekerasan tentu Ciat-jit-chiu takkan
mampu mengambil keuntungan, tapi apakah lawan begitu goblok? Begitulah waktu Oh Lun
lancarkan pukulannya yang ganas itu cepat-cepat ia berloncatan menghindar, setiap kesempatan
tentu tidak disia-siakan untuk menyergap dan balas menyerang.
Tiba-tiba badan Oh Lun melejit ke atas, badannya berputar dan tiba-tiba tangannya membalik
terus menekan kebawah dari atas menggencet kepala Liong Lui, Liong Lui mengerahkan tenaga
pada kedua kakinya untuk bergerak semakin cepat, tubuhnya berloncatan seperti kupu2 menari di
atas sekuntum bunga, terdesak oleh keadaan terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis tindihan
berat serangan Ciat-jit-chiu Oh Lun.
Ditengah udara Oh Lun bisa bergerak begitu lincah seperti burung camar, mendadak badannya
menggeliat sehingga, ia meluncur turun disamping Thian-mo-kiam, kedua jari tangan kirinya
terangkat terus menutuk keketiak kiri Liong Lui.
Terkejut Liong Lui dibuatnya, cepat-cepat ia melangkah mundur mengegos. Tapi serangan Oh
Lun ini sungguh punya gaja tersendiri, dari menutuk ia rubah menjadi pukulan telapak tangan,
dengan jurus tipu Tiang-song-tiam-soat (Pohon Siong menutul salju). telapak tangannya berubah
laksana kabut putih yang berlapis2 mendesak kemuka Thian-mo-kiam Liong Lui.
Terpaksa Liong Lui angkat kedua tangannya untuk menangkis dengan kekerasan. terasa
kekuatan dahsyat bagai gugur gunung menerpa dan menindih bergelombang tak putus2 sehingga
kakinya sempoyongan mundur tiga langkah, akhirnya ia berdiri menjublek dengan muka pucat
pasi.
Ciat-jit-chiu Oh Lun lantas membalik tubuh menghadapi ke arah pemuda jubah putih sambil
menjura dalam, dengan tangannya sipemuda jubah putih memberi isyarat, cepat-cepat oh Lun
duduk kembali ke tempatnya.
Dengan muka pucat Thian-mo-kiam Liong Lui memutar tubuh memandang ke orang tua jubah
merah, dengan kedipan mata ia menyuruh Liong Lui, mundur, dengan malu dan tunduk Liong Lui
mundur ketermpat duduknya sendiri.
Tampak mata sipemuda jubah putih berkilat dengan puas dan bangga.
Dengan lirikan tajam Ko-bok-it-koay Tio Hong-ho mengawasi pemuda jubah putih bergegas ia
berdiri serta menantangnya, “Aku yang rendah Tio Hong-ho, tidak tahu diri ingin belajar kenal
dengan kepandaian Pangcu Partai putih yang luar biasa”
Kiong-sa-khek Ki Kang terloroh-loroh berdiri, serunya, “Tio Hong-ho, jangan kau bersikap purapura
gede, kenapa tidak secara langsung saja kau tunjuk aku, mengandal kau rasanya tiada
berharga untuk bermain-main dengan Pangcu kita.”
Sikap Tio Hong-ho juga tidak kalah dingin, jengeknya, “Pangcu Partai putih, sudah lama aku Tio
Hong-ho mendengar ketenaran namamu, hari kita berjumpa disini, kenapa tidak berani unjuk
muka aslinya?”

Ki Kang melangkah ke tengah gelanggang, serunya, “Tio Hong-ho kau tak usah putar bacot,
marilah aku saja yang akan melayani kau.”
Saking gusar Tio Hong-ho bergelak tawa, akhirnya dengan sikap kaku ia mendesis, “Ki Kang,
betapa besar jagat ini bukan hanya seorang kau yang berkepandaian tinggi, Marilah hari ini kau
saksikan dan rasakan betapa aku Tio Hong-ho tidak mudah dihina.”
Sementara itu Ki Kang sudah menyoreng pedang dan berdiri menanti. Begitu maju Tio Hong-ho
lantas ayun tongkat kayunya menyerang kepada Ki Kang. Begitulah merekai mulai saling serang
menyerang dengan segala tipu daya untuk merobohkan lawannya, sekejap saja saking cepat
gerakan mereka seratus jurus sudah dicapai. Keadaan dua belah pihak masih sama kuat sulit
dibedakan siapa lebih unggul atau asor.
Mendadak pintu besar ruangan diterjang dari luar, tampak sebarisan anak buah Partai putih
menerobos masuk, pemuda jubah putih berkedok bergegas berdiri, dalam hatii ia sudah menduga
pasti terjadi sesuatu diluar dugaan yang sangat gawat.
Ciok Hou-bu mengerutkan kening, siang-siang sudah perintahkan kepada seluruh penghuni
perkampungannya supaya tidak merintangi anak buah Partai merah dan putih, biarlah mereka
saling bentrok dan bertempur mati-matian. Sekarang dilihat gelagatnya seperti Partai putih kena
perkara gawat, entah apa, jika Partai putih sampai mengundurkan diri, situasi yang
menguntungkan pihak dirinya bakal berantakan, mengandal tenaga sendiri mungkin Hwi-cwan-po
bakal runtuh total dan tak mungkin kuasa berdiri di kalangan Kang-ouw.
Seluruh anak buah Partai Putih meluruk ke hadapan Pangcu mereka, sementara itu terpaksa Ki
Kang menghentikan pertarungannya dengan Tio Hong-ho. Salah seorang anak buah Partai Putih
melapor dengan gugup, “Lapor Pangcu, Thian-san-siang-long….”
Pemuda jubah putih menggertak sekali memutus laporan anak buahnya, dengan berpaling ia
mendelik awasi orang tua jubah merah.
Kontan orang tua jubah merah terbahak-bahak, serunya, “Sungguh aku ikut menyesal bahwa
Partai Bun-pangcu tengah terjadi suatu tragedi, kalau Bun-pangcu memerlukan bantuan dan
tenaga kita beramai, setelah urusan disini selesai segera kami akan membantu sekuat tenaga.”
Biji mata pemuda jubah putih memancarkan sinar cemerlang yang aneh, sungguh tak habis
herannya darimana mungkin orang tua jubah merah ini tahu bahwa dirinya she Bun? Tapi dalam
situasi yang genting ini tiada tempo untuk banyak pikir, cepat ia memberi perintah kepada Kiongsa-
khek Ki Kang dan Ciat-jit-chiu Oh Lun, “Jiwi Tongcu harap segera kembali. Urusan disini biar
kuselesaikan sendiri!”
Ki Kang menjadi gugup, serunya, “Pangcu seorang diri….”
“Aku punya rencanaku sendiri!” desak pemuda jubah putih.
Ki Kang dan Oh Lun tak berani banyak debat lagi, tersipu-sipu mereka mengundurkan diri.
Dengan tajam orang tua jubah merah menatap pemuda jubah putih,. sorot matanya menampilkan
rasa dendam yang berkobar, sangkanya tentu musuh utamanya ini akan tinggal pergi, kenyataan
adalah diluar perhitungannya semula.
Dengan mendelong pandangan pemuda jubah putih terarah ke pintu besar, setelah bayangan
Ki Kang beramai tak tampak lagi baru perlahan-lahan ia membalik tubuh, setajam ujung pedang
pandangannya berkilat mendelik ke arah orang tua jubah merah.

Selintas pandang ia menyapu ke seluruh hadirin, pandangannya berhenti dimuka orang tua
jubah merah lagi, pelan-pelan mulutnya mendesis, “Sekarang sudah tiba saatnya untuk kita
menyelesaikan sendiri urusan ini.”
Orang tua jubah merah terkekeh-kekeh bangkit, ujarnya, “Benar-benar memang harus kita
berdua yang menyelesaikan sendiri!” sambil berkata matanya melirik ke kanan kiri pada Liong Lui
dan Oh Lun.
Liong Lui dan Tio Hong-ho segera bangkit bersama, katanya berbareng, “Untuk menyelesaikan
urusan ini masa Pangcu harus turun tangan sendiri, biar kita berdua yang menghadapi saja.”
Orang tua jubah merah terloroh-loroh lagi, dengan congkak ia pandang pemuda jubah putih.
Sudah tentu Pemuda jubah putih tahu apa yang tengah dipikir oleh lawan, diapun tak man kalah
wibawa, dengan tertawa lebar ia berkata, “Boleh juga kalau kalian ingin belajar kenal dengan aku,
Jiwi Tongcu merupakan tokoh kosen dari Partai kalian dan merupakan jago silat kelas wahid
dikalangan Kang-ouw, andai kata bertekuk lutut di hadapanku seorang bocah ingusan yang tak
ternama apakah tidak menjatuhkan gengsi dan nama baik kalian?”
Tio Hong-ho tertawa kering dua kali, katanya, “Pangcu Partai putih sudah tenar dan kenamaan
di kolong langit, seumpama terkalahkan oleh kita berdua kaum keroco….” sampai disini ia
merandek serta menyapu pandang kekiri kanan.
Pemuda jubah putih tertawa geli, ujarnya, “Begitupun baik, marilah kalian maju bersama.”
Tio Hong-ho dan Liong Lui melangkah maju bersama ke tengah arena. Mereka insaf hari ini
menghadapi musuh tangguh, maka pedang dan tongkat yang menjadi senjata andalan mereka
sudah disiapkan, mengkonsentrasikan diri mereka bersiap waspada.
Ujung kaki pemuda jubah putih sedikit menutul dilantai, tiba-tiba tubuhnya melejit enteng ke
tengah udara seringan burung seriti, di tengah udara badannya berputar setengah lingkaran baru
meluncur turun miring, berbareng kedua telapak tangannya menepuk ke arah dua musuhnya.
Tio Hong-ho dan Liong Lui bukan kaum lemah, kepandaian mereka cukup tinggi, serentak
mereka menyilangkan pedang dan tongkat, berbareng balas menyerang memapak luncuran tubuh
lawan.
Kelihatannya pemuda jubah putih acuh tak acuh menghadapi serangan balasan ini, tiba-tiba
tubuhnya meluncur turun, begitu kaki menyentuh tanah dengan gesit kedua kakinya menggeser
kedudukan tahu-tahu kedua telapak tangannya sudah menepuk maju kemuka kedua lawan.
Tio Hong-ho dan Liong Lui melompat mundur menghindar, sekarang mereka berdiri beradu
punggung, setiap jurus pedang dan tongkatnya bergerak untuk melindungi badan saja tak mencari
kesempatan untuk mengejar kemenangan.
Terlihat oleh Ciok Hou-bu yang menonton pertempuran ini dengan seksama, gerak-gerik
pemuda jubah putih semakin tempur semakin tangkas dan cepat. Gaja permainan silatnya hampir
tidak dapat diikuti oleh pandangan mata, diam-diam bercekat hatinya, bukan mustahil sebagai
pejabat Pangcu suatu partai mempunyai kepandaian tunggal yang diandalkan, tapi siapakah
pemuda jubah putih ini, murid siapa lagi? Ternyata begitu tinggi dan mengagumkan ilmu silatnya.
Dilain pihak orang tua jubah merah juga tengah meneliti dengan seksama setiap permainan
silat pemuda jubah putih, semakin lama alisnya bertaut semakin dalan. Hatinya pun tak habis

heran dan kagetnya, bukankah permainan pukulan yang diunjukan ini adalah Eng-jiong-ciang dari
gurun besar diluar perbatasan itu? Apakah pemuda jubah putih she Bun ini adalah murid beliau?
Tengah ia terpekur, tiba-tiba terdengar gertakan cukup keras ditengah gelanggang. Ternyata
pemuda jubah putih itu sudah tidak sabar lagi, beruntun ia bergerak melancarkan tiga pukulan
berantai, tiba-tiba ia melolos keluar cambuk peraknya, tampak selarik sinar putih kemilau
herkelebat kontan pedang dan tongkat lawan kena digubat dan disendak terlepas terbang dari
cekalannya.
Thian-mo-kiam Liong Lui dan Ko-bok-it-koay Tio Hong-ho berdiri terlongong-longong
ditempatnya, dengan seringai dingin pemuda jubah putih berputar tubuh menghadap ke arah
orang tua jubah merah dengan pandangan yang mengejek.
Sekonyong-konyong cahaya matanya mengunjuk rasa kaget dan kesima, dengan melirik sekilas
ia menyaksikan sebuah wajah yang penuh rasa kegirangan dan kekagumam tengah mengawasi
kepadanya wajah nan aju molek itu bukan lain adalah Ciok Yan, putri tunggal dari Hwi-cwan-po.
Terdengar orang tua jubah merah menjengek dingin, ejeknya, “Murid tunggal Cek-hun Totiang
ternyata benar-benar hebat.”
Kontan seluruh hadirin mengunjuk rasa heran dan kaget. Cek-hun Totiang adalah Sute dari
Ciangbunjin Bu-tong-pay Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin, beberapa puluh tahun yang lalu pernah
diusir dari perguruan karena melanggar undang2 perguruan, maka sejak itu entah kemana
jejaknya, sungguh tidak nyana, bahwa pemuda jubah putih ini kiranya adalah muridnya.
Sedikitpun pemuda jubah putih tidak menunjukkan reaksi akan cemooh orang, dengan sikap
dingin ia pandang orang tua jubah merah, sindirnya, “Kedua jagomu sudah keok, sekarang kau
bagaimana?”
Orang tua jubah merah menggeram gusar, pelan-pelan ia melangkah maju. Melihat musuhnya
tiada niat menggunakan senjata, segera pemuda jubah putih membelitkan lagi cambuknya
dipinggang.
Sembari menyeringai orang tua jubah merah menyerang dengan sebelah tangannya kepada
musuh yang masih muda belia ini. Sebat sekali pemuda jubah putih mencelat mundur, namun
orang tua jubah merah mendesak maju mengejar.
Sedikit menutulkan kakinya badan pemuda jubah putih lantas melejit tinggi ke atas, beruntun
kedua kakinya menendang berantai memgarah kedua biji mata orang tua jubah merah.
Orang tua jubah merah menggerung murka, terpaksa dari menyerang ia main bertahan.
Mendapat angin pemuda jubah putih semakin merangsek dengan gagah berani, begitu kakinya
hinggap di tanah di belakang lawan segera ia kembangkan ilmu Eng-jiong-ciang yang mempunyai
delapan belas jalan pukulan, gerak-gerik badannya selulup timbul naik turun persis laksana seekor
elang besar yang beterbangan ditengah udara.
Tapi gerak-gerik orang tua jubah merah pun tidak kalah licinnya, dengan kedua tangan
melintang melindungi dada, kedua matanya menatap tajam setiap gerak gerik pemuda jubah
putih, sedikit ada lowongan baru menyerang tanpa membuang tenaga dan kesempatan, cara
tempurnya adalah main sergap dan tak main kekerasan.
Delapan belas jurus Eng-jiong-ciang sudah hampir dimainkan habis, namun sedikitpun pemuda
jubah putih tak mampu mendesak lawannya, diam-diam gugup dan gelisah hati pemuda jubah
putih, inilah pengalaman pertama yang dialaminya sejak berkelana di dunia persilatan.

Mendadak sebuah pikiran terkilas dalam benaknya, apakah bukan dia? Terpikir akan ini diamdiam
ia mengumpat dalam hati. Segera badannya melejit lagi dengan sejurus Giok-jian-hun-kayloh,
kedua jari-jari tangannya laksana cakar burung elang mencengkeram kemuka musuhnya.
Melihat serangan ganas sipemuda, orang tua jubah merah mandah tertawa sinis, diam-diam
girang hatinya, batinnya kau mimpi kalau berani mengadu kekerasan dengan aku. Kedua telapak
tangannya segera menepuk keluar dengan jurus Ciang-tok-mo-thian melawan serangan pemuda
jubah putih dengan kekuatan penuh.
Tak nyana gerak gerik pemuda jubah putih cukup tangkas, beluam lagi tangannya mengenai
sasarannya cepat-cepat ia meluncur turun dan menghindar, setelah mendengus ejek ia
menyeringai “Kukira siapa, ternyata adalah keturunan dari Thay-i-bun!”
Muka orang tua jubah merah menjadi beringas, dengan menghardik keras ia melolos sebilah
pedang yang berkilauan memancarkan cahaya menyilaukan mata terus membacok serabutan
kepada pemuda jubah putih.
Terpaksa pemuda jubah putih keluarkan kedua senjata, sesuai dengan nama julukannya yaitu
pedang mas dan cambuk perak untuk melawan sebisanya, begitulah pertempuran babak kedua
dengan menggunakan senjata ini tak kalah sengit dan serunya.
Ciok Hou-bu, Nyo Kwong dan To Hwi saling pandang, sungguh mereka tidak nyana bahwa
Thay-i-bun yang dulu sudah ditumpas ternyata muncul lagi disini. kalangan Kangouw mengandal
ilmu pedang yang dinamakan Thay-i-kiam-hoat dari jaya akhirnya berubah menjadi runtuh.
Dulu Thay-i-bun malang melintang dan simaharaja dijadi congkak dan takabur akhirnya karena
merasa terlalu kuat dan sombong, aliran ini menjadi semakin buruk kelakuannya dari golongan
lurus menjadi nyeleweng ke arah yang sesat. Terpaksa berbagai golongan dan aliran bergabung
menumpasnya bersama. Sejak itu golongan Thay-i-bun lantas kelelap dari lembaran sejarah dunia
persilatan, namun sebilah pedang Thay-i-kiam sejak saat itu pula menghilang tanpa diketahui
jejaknya.
Orang tua jubah merah sendiri tahu bahwa golongan Thay-i-bun pihaknya memang sudah
tersingkirkan dari percaturan dunia persilatan. Maka dengan sengit ia kembangkan permainan ilmu
Thay-i-kiam-hoat.
Tanpa gentar sedikitpun pemuda jubah putih mainkan pedang mas dikombinasikan dengan
cambuk perak. Tahu dia bahwa Thay-i-kiam merupakan pedang pusaka yang tajam luar biasa,
walau pedang dan cambuknya cukup lihay bagaimana juga takan kuat melawan pedang pusaka,
Begitu Thay-i-kiam-hoat dikembangkan berkuntum cahaya putih kemilau bertaburan ditengah
gelanggang menari2, begitu ketat dan rapi sekali mengurung pemuda jubah putih, sehingga
terdesak mundur berulang-ulang.
Dilain pihak Ciok Hou-bu beramai juga terperanjat, merekapun insaf bila pemuda jubah putih
tak kuasa melawan dan bertahan, pihak sendiripun bakal kerembet dan celaka. Setelah celingukan
kekanan kekiri ia tanggalkan mantel dipunggungnya, sebat sekali ia bergerak maju sambil tarikan
senjata mantelnya mengembangkan kepandaian andalannya yaitu tiga belas jurus Hwi-cwan-kiansoat.
Sejak tadi Ciok Yan sudah terpesona dan kagum kepada pemuda jubah putih, diam-diam ia
kepincut akan ketangkasan anak muda ini, melihat ayahnya turun tangan ia pun tanggalkan
mantelnya ikut menyerbu ke tengah gelanggang.

Tio Hong-ho dan Liong Lui menggertak bersama, segera mereka menggerakan tongkat dan
pedang masing-masing maju merintangi, maka terjadilah pertempuran dalam tiga kelompok. Tiga
belas jurus ilmu kepandaian mantel yang dimainkan Ciok Hou-bu memang cukup lihay, cukup
dengan putaran senjata lunaknya ini yang bisa berkembang melebar ia desak Tio Hong-ho dan
Liong Lui berdua, dalam waktu singkat mereka rada terdesak di bawah angin.
Nyo Kwong dan To Hwi saling pandang sebentar, To Hwi mendeugus hidung, ringan sekali
tangan kirinya menjentik, sebentuk Toh-bing-ci-hoan (cincin penyabut sukma) melesat keluar
mengeluarkan suara mendengung, terbang berputar melesat ke arah jalan darah mematikan
ditubuh orang tua jubah merah.
Orang tua jubah merah menggertak dengan gusar, cepat sekali ia mengayun Thay-i-kiam, tapi
cara sambitan cincin penyabut nyawa ini memang luar biasa, ditengah jalan mendadak putar
haluan terus terbang berputar satu lingkaran, pedang pusaka membabatnya disebelah samping,
tapi tahu-tahu cincin penyabut sukma ini sudah melesat dari tengah mengarah ke tengah kedua
mata orang tua jubah merah.
Keruan girang bukan main pemuda jubah putih mendapat bantuan yang menguntungkan ini,
pedang cambuknya dimainkan semakin gencar, dengan seluruh kekuatan dan kemampuannya ia
serang orang tua jubah merah habis2an.
Orang tua jubah merah menggerung panjang, kepandaian silatnya sungguh luar biasa dalam
kepungan ketat dari musuh2nya sigap sekali ia masih dapat bergerak cepat, tubuhnya miring
meluputkan diri, berbareng pedangnya menyontek ke atas melancarkan jurus It-goak-hok-su,
tring, tring, terdengar suara nyaring cincin penyabut nyawa yang menyamber itu kena ditangkis
pecah berhamburan, sedang pedang mas pemuda putih pun telah kutung menjadi dua.
Pemuda jubah putih kaget luar biasa, cepat ia melompat mundur, namun sambil menyeringai
seram orang tua jubah merah maju mengejar sambil menusukan pedangnya.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang meluncur turun dari tengah udara memasuki
gelanggang. Ternyata Hun Thian-hilah yang muncul, tampak tangan kanannya menyoreng sebilah
pedang, sejurus saja cukup ia mendesak mundur orang tua jubah merah.
Seluruh hadirin menjadi kaget dan berseru heran. Terutama Ciok Yan berteriak kejut, “Hun
Thian-hi.”
Sesaat seluruh hadirin menjadi sunyi senyap. Sebetulnya sejak tadi Hun Thian-hi sudah
menyelundup masuk keruang besar, tapi selama itu ia tidak mendengar pembicaraan mengenai
gurunya. Kini setelah melihat pemuda jurus Gelonmbang perak berderai ia pukul mundur si orang
baju putih terdesak dan menghadapi bahaya dengan sejurus situa jubah merah.
Sebetulnya tusukan orang tua jubah merah dapat tepat mengenai sasarannya, tentu saat ini
pemuda jubah putih sudah menemui ajalnya di bawah tusukan pedang pusakanya. Tapi begitu
Hun Thian-hi muncul lantas lancarkan serangan ganas dan aneh sehingga terpaksa ia harus
menyelamatkan diri terlebih dulu, keruan gusar bukan kepalang hatinya.
Dasar berhati culas dan banyak akal muslihatnya lahirnya ia tetap tenang-tenang saja, namun
dalam hati ia mengakui, jurus serangan Hun Thian-hi tadi meski dilancarkan secara tak terduga,
namun cukup dapat mendesak dirinya, maka dapatlah diukur betapa tinggi kepandaian bocah ini.
Apalagi Badik buntung masih berada ditangannya, betapa pun aku tak bisa berlaku ceroboh
sehingga kehilangan rejeki.

Tenang-tenang ia menyapu pandang kewajah para hadirin dalam ruang besar ini.
Hun Thian-hi melangkah kesamping serta berkata kepada Ciok Hou-bu, “Ciok-pocu, guruku
Lam-siau dimanakah beliau sekarang, harap suka menerangkan?”
Ciok Hou-bu menghirup hawa, sesaat ya menjadi kememek tak tahu cara bagaimana harus
menjawab. Malah Toh-bing-cui-hun To Hwi yang menjengek dingin, “Hun Thian-hi, jiwamu sendiri
belum tentu selamat, kau masih urus gurumu.”
Biji mata Hun Thian-hi berkilat tajam bagai aliran listrik menatap muka To Hwi, katanya dengan
nada berat, “Hun Thian-hi berani meluruk kemari, sudah tentu tak peduli mati atau hidup. Hun
Thian-hi seorang laki-laki apa yang telah kuperbuat biar aku sendiri yang bertanggung jawab,
kenapa merembet pada guruku?”
Orang tua jubah merah menggerung gusar, teriaknya, “Urusan gurumu aku tidak peduli, yang
terang kau sendiri sekarang disini, dengan sepak terjangmu tadi serta Badik buntung yang kau
miliki itu, apakah kau harap bisa tinggal pergi dari sini?”
Pelan-pelan Hun Thian-hi berputar menerawang seklilingnya, dihhatnya pandangan semua
orang mengandung rasa kepanikan dan dendam yang membara terhadap dirinya.
Tiba-tiba pemuda jubah putih dibelakangnya buka bicara, “Hari ini dia merupakan tamu
teragung dari aku Bun Cu-giok, kalian berani menggangu usik dia harus tanya dulu kepadaku!” —
sembari berkata ia melangkah serindak ke depan.
Kalem2 saja Hun Thian-hi berpaling, sekilas ia pandang pemuda jubah putih dengan perasaan
penuh haru dan terima kasih.
Terdengar ia mendengus serta menyapu pandang keempat penjuru, jengeknya sinis, “Jikalau
tadi dia tidak muncul, seluruh hadirin dalam ruang ini siapa yang masih kuasa hidup sampai
sekarang ini?”
“Itukan persoalan pribadi,” tukas orang tua jubah merah, “Yang terang Hun Thian-hi telah
mengobarkan kemarahan umum, sudah jamak kita bekerja mengutamakan kepentingan orang
banyak, bukankah kau sendiri termasuk aliran dari Bu-tong-pay? Murid Bu-tong pun ada yang mati
ditangannya, apa kau tidak tahu?”
To Hwi juga menggeram dan ikut bicara, “Aku To Hwi tidak peduli apa yang kalian persoalkan,
betapapun hari ini aku harus meringkus bocah Hun Thian-hi ini.”
“Mengandal kau? Apa kau becus?” ejek pemuda jubah putih.
Toh-bing-cui-hun To Hwi bergelak tawa, dengan gerak lamban tangannya sekaligus ia
semtilkan tiga buah cincin penyabut nyawa langsung melesat mengarah Hun Thian-hi.
Kim-kiam-gin-pian menggertak murka, cambuk peraknya yang sudah kulung separo
disambitkan membuat sambitan cincin penyabut nyawa porak peronda ditengah jalan.
Berubah air muka To Hwi, beruntun jari tangan kanannya menjenyik bergantian menyambitkan
tiga batang Cui-hun-chit-sa-cian (panah tujuh iblis mengejar sukma) yang sudah lama tak pernah
dipakai lagi, ketiga batang panah kecil warna hitam kemilau meluncur ke arah Hun Thian-hi. Hun
Thiari-hi bersuit ringan, badannya mendadak. mencelat mumbul ke depan menubruk ke arah
datangnya tiga panah maut sambitan musuh, dimana pedang panjang ditangan kanannya

bergerak dengan jurus Gelombang perak mengalun berderai sekaligus ia tangkis dan hancur
leburlah ketiga Cui-hun-cian musuh.
Berubah hebat rona wajah To Hwi sungguh tidak terduga olehnya bahwa Cui-hun-chit-sa-cian
yang lihay dan kenamaan itu begitu gampang telah dipatahkan. Tadi ia melihat dengan mata
kepala sendiri sekali gebrak Hun Thian-hi berhasi] memukul mundur orang tua jubah merah,
sangkanya merupakan serangan bokongan diwaktu orang tengah melancarkan serangan khusus
pada musuhnya, sekarang kalau dilihat gelagatnya, kepandaian silat Hun Thian-hi betul-betul
sangat mengejutkan sekali.
Badan Hun Thian-hi melunjjur turun dihadapan Ciok Hou-bun, katanya, “Ciok-pocu, harap tanya
dimanakah jejak guruku sekarang?”
Belum sempat Tiiok Hou-bu menjjawab, tahu-tahu orang tua jubah merah sudah putar pedang
pusakanya merabu ke arah Hun Thian-hi. Sejak menelan buah ajaib, Hun Thian-hi mulai melatih
Gin-ho-sam-sek dengan seksama, kecuali jurus ketiga yang masih rada sulit dipahami, jurus
pertama dan kedua dapat dilatihnya dengan gampang. Selama dua hari di Soat-san ia melihat
Soat-san-su-gou mereka menggunakan kedua jurus itu untuk menghalau musuh tangguh, ini
berarti intisari kedua jurus ilmu ini telah diturunkan langsung kepada Hun Thian-hi, sayang
Lwekang Hun Thian-hi sendiri belum mencapai taraf yang diperlukan.
Sekarang waktu Hun Thian-hi lancarkan Gelombang perak mengalun berderai dari bertahan
berbalik balas menyerang malah, orang tua jubah merah terdesak keripuhan. Terasa oleh orang
tua jubah merah sinar perak berkemilau diempat penjurunya menyilaukan mata dan mengganggu
pemusatan pikiran, hawa dingin dan tajam seperti mengiris kulit yang tak kelihatan seiring dengan
kilalatan sinar pedang merangsang dan menyampok ketubuhnya, keruan ia semakin terdesak di
bawah angin, terpaksa ia menjaga diri saja dengan rapat.
Melihat babak pertempuran adu pedang ini diam-diam bercekat hati Ciok Hou-bu, ia membatin
kalau sampai Hun Thian-hi mengambil kemenangan tentu. situasi selanjutnya
tidak menguntungkan bagi dirinya, beruntung kalau ia mau percaya dengan keterangannya,
kalau tidak….
Karena pikirannya ini segera ia berteriak, “Tahan, dengarkan kata-kataku!”
Hun Thian-hi menghentikan serangannya terus mundur dan berdiri sambil masih menenteng
pedangnya, kepalanya berpaling memandang ke arah Ciok Hou-bu.
Tanpa merasa Ciok Hou-bu merasa tekanan bertamba hbesar terhadap dirinya, maka katanya
menyelidik kepda pemuda jubah putih, “Bun-pangcu, apakah tujuanmu yang utama kemari?”
Bun Cu-giok bergelak tawa dijawabnya, “Memang, semula aku mengincar juga Badik buntung
itu, tapi sekarang kunyatakan aku tidak memerlukannya lagi.”
Tergetar perasaan Ciak Hou-bu, ia berpaling dan memandang kekanan diri, diam-diam ia
tengah menerawang situasi sekelilingnya, memperhitungkan untung ruginya, kalau seumpama
dirinya bergabung, ditambah orang tua jubah merah dan seluruh kerabat dari Hwi-cwan-po
kemenangan
terang bakal dapat dicapai dengan mudah. namun….
Agaknya orang tua jubah merah dapat meraba jalan pikirannya, sembari tertawa lantang ia
berseru, “Kenapa Bun-pangcu tersinggung oleh peristiwa tadi, urusan sudah lewat anggap saja

sudah himpas. yang paling utama sekarang adalah demi Hun Thian-hi, seumpama bisa merebut
Badik buntung dari tangannya, kita masing-masing apa kuat mengangkanginya sendiri, maka jalan
satu2nya adalah berserikat.” ~secara gamblang ia ajak Bun Cu-giok untuk bergabung, hakikatnya
tujuan kata-katanya adalah kepada Ciok Hou-bu, secara diam-diam ia memberi kisikan supaya
orang tak perlu kuatir kalau kelak ia bakal memonopoli sendiri hasil jerih payah bersama.
Bun Cu-giok menjengek gusar, “Bun Cu-giok tadi sudah menjelaskan, sekarang aku tidak sudi
lagi dengan Badik buntung apa segala.”
Sudah tentu Ciok Hou-bu juga maklum akan arti kata orang tua jubah merah yang dalam,
sambil tertawa ewa ia berkata kepada Hun Thian-hi, “Sebenar-benarnya gurumu tak berada
disini.”
Hun Thian-hi tersentak kaget, tanyanya, “Apa?”
Ciok Hou-bu menyeringai, katanya lagi, “Hun-siauhiap, gurumu tak berada disini. Memang aku
sudah menahannya, namun akhirnla gurumu pergi juga. Supaya dapat memancingmu kemari
terpaksa aku menyebar kabar bohong itu.”
Gemes dan dongkol pula perasaan Hun Thian-hi, katanya dingin, “Jadi tujuan Ciok-pocu yang
sebenar-benarnya adalah Badik buntung? Ketahuilah bahwa Badik buntung sekarang tak berada di
tanganku.”
Ciok Hou-bu tertegun. Dasar licik adalah orang tua jubah merah yang buka bicara lagi, “Tak
menjadi soal, asal kau disini, tak perlu kuatir Badik buntung takkan datang sendiri?”
Terlihat oleh Thian-hi, Ciok Hou-bu tengah memberi tanda lirikan kepada anak buahnya, tak
lama kemudian sebarisan anak buahnya yang mengenakan seragam hijau berdujun2 memenuhi
seluruh ruangan.
Tiba-tiba Hun Thian hi tertawa lebar, tanyanya, “Apakah Ciok-pocu betul-betul hendak
menahan aku?”
“Sudah tentu!” seru Ciok Hou-bu.
Orang tua Jubah merah tahu saatnya sudah tiba, maka sembari bergelak tawa ia bolang
balingkan pedang pusakanya terus menyerbu lebih dulu. Kim-kiam-gin-pian Bun Cu-giok melihat
situasi sudah berkembang begitu gawat, terpaksa iapun mulai bergerak, dengan menenteng
pedang ia menubruk ke arah Ciok Hou-bu.
Mata Ciok Hou-bu jelilatan melirik ke kanan kiri, segera Nyo Kwong dan To Hwi juga melolos
pedang masing-masing, sedang ia sendiri menggentakkan mantel besarnya terus kembangkan tiga
belas jurus Hwi-cwan-kian-soat menyerbu kepada Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok membuang pedangnya yang sudah kutung, dengan ilmu Eng-hong-ciang ia hadapi
ketiga pengerojoknya.
Sudah sekian lama Ciok Hou-bu angkat nama dikalangan Kangouw dengan ilmunya Hwi-cwankian-
soat-cap-sa-sek, sudah tentu kepandaiannya bukan olah-olah lihaynya, tiga tokoh silat kelas
wahid sekaligus mengeroyok Bun Cu-giok, pedang dan cambuknya sudah kutung dan dibuang
dengan bertangan kosong sudah tentu ia terdesak di bawah angin.

Terdengar Ciok Hou-bu membujuk, “Bun-pangcu seorang gagah harus dapat melihat gelagat
dan mengambil keuntungan, Bun-pangcu masih muda dan punya masa depan yang gemilang,
kenapa berpandangan cupat dan mengukuhi adat sendiri?”
Bun Cu-giok menjengek sinis tanpa buka suara.
Sementara itu Ciok Yan berdiri menjublek di tempatnya, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Di lain pihak dengan permainan Gin-ho-sam-sek seorang diri Thian-hi melawan orang tua jubah
merah. Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu tunggal yang tiada keduanya dari ilmu pedang tingkat
tinggi. Bu-bing Loni yang dipandang sebagai jago nomor satu di seluruh kolong langit pun kena
dikepung selama sehari semalam, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat dan digdaya ilmu ini.
Tapi kepandaian orang tua jubah merah dengan ilmu pedang Thay-i-kiam yang tajam luar biasa
itu berusaha bertahan sekuat tenaga, sayang Hun Thian-hi menguatirkan keselamatan Bun Cugiok
yang terkepung dalam bahaya. diam-diam hatinya menjadi gugup dan kuatir.
Pertempuran tokoh silat tinggi melulu mengutamakan pengkonsentrasian pikiran dan badan
sedikit perhatian terpencar orang tua jubah merah lantas balas menyerang, keadaan menjadi
sama kuat. Hun Thian-hi menjadi tak sabar lagi, Gin-ho-sam-sek jurus kedua segera dilancarkan
setabir cahaya putih berterbangan mengurung orang tua jubah merah. Kontan orang tua jubah
merah terkurung ketat, sekuat tenaga ia bertahan dan berusaha menerobos dan bergulat dengan
segala daya upaya.
Hun Thian-hi semakin mengerutkan kurungannya, sayang ia kuatir dan gentar menghadapi
ketajaman Thay-i-kiam-lawan sehingga mengurangi kebebasan gerak geriknya.
Di belakang sana terdengar gelak tawa Ciok Hou-bu, kiranya kedok Bun Cu-giok ditanggalkan.
Kata Ciok Hou-bu lagi, “Bun-pangcu, sekarang kesempatan terakhir aku mengundangmu ikut
dalam perserikatan kita.”
Biji mata Bun Cu-giok berkilat beringas, dengan murka ia mencemooh, “Seumpama aku Bun
Cu-giok hari ini harus terkubur disini jangan harap keinginan kalian bisa terkabul.”
Melihat Bun Cu-giok sudah terdesak ke dalam bahaya. Hun Thian-hi membentak keras, tiba-tiba
ia melesat berkelebat, pedang panjangnya serentak merabu kepada Ciok Hou-bu bertiga.
Gentar akan kekuatan dan kehebatan kepandaian orang Ciok Hou-bu bertiga menyurut mundur.
Sementara orang tua jubah merah menghardik terus mengejar tiba, pedang panjangnya
menusuk ke punggung Hun Thian-hi dari belakang.
Terpaksa Hun Thian-hi membalikkan pedang, tusukannya balas menyerang ke tengah mata
orang tua jubah merah. Orang tua jubah merah tertawa riang, sedikit angkat pedang dan
menyontek “tring”, kontan pedang Hun Thian-hi kutung menjadi dua dan berkerontangan jatuh di
lantai.
Girang Ciok Hou-bu bukan main, berempat mereka mengepung Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi.
Sementara Ciok Yan berdiri dengan pucat dan ketakutan diluar gelanggang. Bun Cu-giok berdiri
menjublek kehilangan semangat.
Berkilat pandangan Hun Thian-hi satu per satu ia tatap keempat musuhnya, hatinya menyesal
sekali bahwa seseorang menyertai kematiannya, ini adalah tidak diinginkan olehnya, otaknya

tengah menerawang dan beragu apakah ia harus melancarkan jurus ganas pencacat langit
pelenyap
bumi untuk mengakhiri pertempuran ini. Tempo hari ia sudah pernah berjanji kepada Situa
pelita untuk tidak melancarkan jurus ganas ini, tapi Sementara itu, Ciok Hou-bu sudah unjuk muka
berseri, otaknya sudah melayang membayangkan Badik buntung bakal tergenggam dalam
tangannya, maka Ni-hay-ki-tin jelas sudah diambang mata.
Mendadak pintu besar diterjang dari luar, serombongan orang berkuda menerjang masuk, terus
meluruk ke arah Ciok Hou-bu beramai. Keruan kaget Ciok Hou-bu bukan main, cepat ia memberi
aba-aba kepada anak buahnya, pihak Partai merah juga lantas bergerak memapak maju
merintangi. Pemimpin penyerbuan tak terduga ini adalah seorang tua berambut uban, tampak ia
mencelat tinggi dari tunggangannya ditengah udara melolos pedang terus meluncur ke tengah
diantara empat musuh Hun Thian-hi.
Begitu melihat orang tua beruban ini Ciok Hau-bu lantas berteriak, “Kim Poan-long!”
Ki-thian Lojin Kim Poan-long begitu mendaratkan kakinya lantas bertanya lantang, “Siapa Hun
Thian-hi?”
Ciok Hou-bu mengulap tangan menghentikan anak buahnya, serta serunya menunjuk Hun
Thian-hi, “Dia inilah, saudara Kim ada urusan apa?”
Kim Poan-long celingukan menerawang situasi sekelilingnya. Sedang orang tua jubah merah
menjadi marah melihat tambah seorang lagi yang turut campur dalam pertikaian ini, dengan
menggerung ia menusuk dengan pedangnya kepada Kim Poan-long.
Hakikatnya tiada ketulusan hati untuk bekerja sama dengan Ciok Hou-bu beramai kini dilihatnya
tambah kedatangan seorang lagi, tadi mereka sudah berada di atas angin, seumpama Kim Poanlong
bergabung dalam pihak Hun Thian— hi iapun tak perlu takut.
Melihat tusukan orang tua jubah merah, Kim Poan-long mengegos ke samping, berbareng
tangannya terayun serta berteriak kepada Hun Thian-hi, “Hun-siauhiap, sambut ini, mari kita
menerobos keluar!”
Terlihat secarik cahaya hijau berkelebat, tangkas sekali Hun Thian-hi sudah meraih Badik
buntung di tangannya, sungguh kejut dan girang bukan main, sungguh tak terkira olehnya Ki-thian
Lojin Kim Poan-long bakal meluruk datang tepat pada waktunya.
Begitu membekal Badik buntung Hun Thian-hi seperti harimau tumbuh sayap, dimana sinar
hijau menyamber sekaligus ia serang keempat pengepungnya, bersama itu ia berteriak kepada
Bun Cu-giok, “Saudara Bun, lekas ikut kami menerjang keluar!”
Kedatangan Kim Poan-long betul-betul merubah situasi menjadi tegang, sekaligus Badik
buntung juga muncul diarena pertempuran, sudah tentu Ciok Hou-bu berempat menjadi kalang
kabut, kepungan mereka menjadi bobol dan dengan mudah ketiga orang musuhnya dapat
menerobos keluar.
Ciok Hou-bu berkaok2 memberi aba-aba para kerabatnya untuk merintangi, demikian juga
orang tua jubah merah memerintahkan anak buahnya menghadang, namun mana mereka kuat
menghadapi ketajaman Badik buntung, sebentar saja Hun Thian-hi bertiga sudah mencemplak di
atas kuda terus dilarikan pesat menerjang keluar pintu gerbang perkampungan….

Sesaat Ciok Hou-bu berempat menjadi melongo dan kesima di tempat masing-masing, hanya
Ciok Yan merasa hampa nan kecut.
Setelah lolos dari Hwi-cwan-po Hun Thian-hi terus membedal kudanya sekencang-kencangnya,
kira-kira lima li kemudian baru berhenti.
Segera Bun Cu-giok angkat tangan menjura kepada Hun Thian-hi, ujarnya, “Bantuan saudara
Hun hari ini sampai ajalpun takkan kulupakan. Dalam partai masih banyak urusan, terpaksa Bun
Cu-giok mohon diri dulu!”
“Hun-pangcu terlalu sungkan,” demikian jawab Thian-hi dengan sikap jantan dan setia kawan,
“Bun-pangcu, sungguh Hun Thian-hi merasa sangat kagum dan banyak terima kasih pula.”
Bun Cu-giok juga menjura kepada Ki-thian Lojin Kim Poan-long, ujarnya, “Kalau Kim-ke-cheng
memerlukan bantuan kami dari Partai putih pasti akan suka membantu dengan seluruh
kemampuan. Sekarang Bun Cu-giok mohon diri!” — kudanya diputar terus dibedal kencang.
Kim Poan-long tertegun sebentar, katanya, “Diakah Pangcu Partai putih!”
Hun Thian-hi tersenyum, sahutnya manggut-manggut, “Kim-chengcu datang tergesa-gesa,
apakah ada urusan?”
Pelan-pelan Kim Poan-long menundukkan kepala, ujarnya sambil menghela napas rawan,
“Adikku dibokong orang, saat ini sudah wafat karena luka-lukanya yang berat.”
Berubah air muka Thian-hi, serunya kejut, “Ji-chengcu sudah mati?”
Kim Poan-long manggut-manggut tanpa bersuara, katanya, “Dengan sekuat tenaga ia bertahan
kembali kerumah, setelah menceritakan pengalamannya lantas menghembuskan napasnya.”
Sungguh mimpi juga Hun Thian-hi tidak nyana bahwa Kim Ci-ling sudah meninggal dibokong
orang, sekian lama ia terlongong-longong, terbayang olehnya wajah orang di depan matanya,
suaranya pun seperti masih terkiang di pinggirl telinganya, pelan-pelan ia bertanya, “Apakah Jichengcu
tahu siapakah pembokongnya?”
Kim Poan-long menghela napas, katanya, “Musuh di tempat gelap, diapun tak jelas siapakah
yang membokong.”
Hun Thian-hi terpekur, mendadak ia berteriak, “Akulah yang mencelakai dia, biar sekarang juga
aku pergi ke Bu-tong-san.”
“Hun-siauhiap, siapakah yang kau sangka?” tanya Ki-thian Lojin Kim Poan-long.
“Aku belum tahu,” sahut Thian-hi sambil menunduk. “tapi pasti ada sangkut paut dengan pihak
Bu-tong-pay.”
“Dugaankupun begitu,” kata Kim Poan-long, “peristwa ini terjadi begitu mendadak, setiap
kejadian hampir membuat orang susah percaya!”
“Kim-chengcu. sekarang juga aku mohon diri.”
“Perjalanan ini cukup berbahaya, tidakkah lebih baik kita pergi bersama “
Thian-hi manggut-manggut. sahutnya, “Begitupun baik.”

Kim Poan-long memberi pesan dan perintah pada anak buahnya lalu bersama Thian-hi beriring
membedal kudanya langsung menuju ke Bu-tong-san.
Sepanjang jalan ini Hun Thian-hi mengerutkan alisnya hatinya tengah gundah dan
menerawang, kejadian yang dihadapi betul-betul cukup mengherankan, betapapun aku meluruk
ke Bu-tong-san menanyakan secara langsung pada Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin.
Entah berapa lama dan berapa jauh sudah perjalanan ini yang mereka tempuh, yang terang
cuaca sudah berganti mulai magrib.
Secara kebetulan Hun Thian-hi sedang berpaling ke belakang, dilihatnya rada jauh di belakang
sana terlihat dua sosok bayangan hitam tengah mengejar datang dengan kecepatan seperti kilat.
Saking kaget Thian-hi berteriak kepada Kim Poan-long, “Lihat!”
Kim Poan-long berpaling, ia pun tersentak kaget.
Sekejap saja kedua sosok bayangan hitam itu sudah menyusul tiba terus menerobos lewat
tunggangan mereka terus berhenti menghadang di depan.
Lekas-lekas Thian-hi berdua menarik kekang kuda masing-masing.
Dengan seksama seksama Thian-hi mengamati kedua orang penghadang ini, mereka adalah
dua orang berseragam hitam dan berkedok hitam pula, hanya kedua biji mata masing-masing
yang kelihatan berkilat tajam, mereka mencegat ditengah jalan tanpa bersuara.
Bercekat hati Thian-hi, terpikir olehnya bahwa kedua orang ini tentu meluruk dirinya karena
mengincar Badik Buntungnya.
Terdengar Ki-thian Lojin buka suara, “Saudara berdua menyusul kita, entah ada urusan
apakah?”
Dua orang itu tetap bungkam tanpa bersuara atau bergerak.
Dengan cermat Thian-hi pandang mereka, ujarnya, “Apakah kalian mengincar Badik buntung
milikku itu?”
Kedua orang itu masih bungkam.
Hun Thian-hi menjengek dingin, kudanya dibedal menerjang ke depan. Cepat-cepat orang
sebelah kiri angkat sebelah tangannya menepuk kepala tunggangan Thian-hi.
Thian-hi mengayun Badik buntung memapas kepergelangan tangan orang berkedok, terdengar
ia mendengus hidung, tubuhnya mencelat naik ke udara, sebelah kakinya geledek menendang ke
tangan Thian-hi yang me-Badik buntung.
Cepat Thian-hi menarik tangannya, namun kesempatan tidak disia-siakan oleh lawannya gesit
sekali sebelah tangan yang lain sudah meluncur tiba menepuk ke dadanya.
Hun Thian-hi menggertak dengan gusar, sejak menelan buah ajaib Lwekangnya sudah maju
berlipat ganda selama ini belum pernah beradu pukulan dengan lawan secara kekerasan, sekarang
tibalah saatnya ia menjajal kemampuannya, maka sebelah tangan kiri diayunkan memampak
serangan telapak tangan lawan.

Begitu kedua pukulan saling bentrok, seketika berubah rona wajah Hun Thian-hi, terasa telapak
tangannya panas sekali seperti dibakar dalam bara, begitu saling sentuh lantas seluruh lengannya
pati rasa.
Orang berkedok itu menjengek dingin, tangan kanannya terulur cepat sekali menyengkeram
ketangan kanan Thian-hi yang memegang Badik buntung.
Thian-hi mengertak gigi, dengan nekad ia ayun tangannya melancarkan jurus Gelombang perak
mengalun berderai mendesak mundur lawannya.
Melihat muka Thian-hi yang tidak wajar, Kim Poan-long menjadi gelisah, tanyanya gugup,
“Hun-siauhiap, kenapa kau?”
“Tidak apa-apa,” sahut Thian-hi sambil menarik lengan kirinya yang sudah kejang.
Kedua orang berkedok saling berkedip memberi isyarat lalu mulai bergerak lagi menyerang
dengan tekanan lebih besar kepada Hun Thian-hi dan Kim Poan-long.
Luka-luka Thian-hi cukup berat, namun ia bertahan sekuat tenaga, melihat musuh menyerbu
lagi, dia tahu Kim Poan-long tentu tak kuat bertahan, dengan menghardik keras ia menjepit perut
kudanya, tubuhnya mencelat tinggi ia atas terbang lempang ke depan sembari lancarkan Tam-lianhun-
in-hap, inilah jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek yang hebat itu, seketika terlihat cahaya hijau
pupus berkembang melebar terus menungkrup ke arah kedua musuh berkedok.
Agaknya kedua orang berkedok cukup tahu betapa hebat serangan ini, cepat-cepat mereka
melompat mundur jumpalitan.
Lengan kiri Thian-hi terasa panas dan tak tertahan lagi ia insaf semakin lama bertempur tentu
dirinya takkan kuat bertahan, maka setelah dengan aksinya ini, ia obat-abitkan Badik buntungnya
lalu jumpalitan turun di atas pelana kudanya kembali, begitu menggertak kudanya lantas
dicongklang kencang menerjang maju.
Melihat musuh hendak lari, kedua orang berkedok menjadi gugup, cepat-cepat mereka berdiri
kembali sambil pasang kuda-kuda sembari berteriak panjang empat telapak tangan mereka
bekerja bersama memukul ke depan, kontan kedua kuda tunggangan Thian-hi tersentak naik ke
atas dan berbenger panjang terus roboh terkapar tak bergerak lagi.
Begitu melihat gaja serangan kedua musuh Ki-hian Lojin lantas berteriak kaget, “Siau….” salah
seorang berkedok tampak menerjang secepat kilat, sebelah tangannya telak sekali menepuk
kedada Kim Poan-long, terdengar Ki-thian Lojin menjerit ngeri terus robah terjengkang.
Saat mana Thian-hi sudah berhasil menerjang lewat dari samping serta mendengar jerit Kim
Poan-long yang menggiriskan itu, kejutnya bukan kepalang, cepat-cepat ia putar balik hendak
menolong tapi sudah terlambat.
Keruan Hun Thian-hi menjadi berang, seperti banteng ketaton segera ia obat-abitkan Badik
buntung sekencang-kencangnya, maksudnya hendak mendesak dan merobohkan kedua musuhnya
berkedok, tapi kepandaian kedua orang berkedok ternyata juga tidak lemah, enteng sekali mereka
melesat mundur terus putar tubuh melarikan diri.
Hun Thian-hi melompat mengejar, kira-kira puluhan tombak kemudian seluruh mukanya sudah
basah kujup oleh keringat sendiri. Bukan lari terus sebaliknya kedua musuh berkedok itu malah
putar balik, Thian-hi harus kertak gigi sambil menerjang musuhnya, dimana Badik buntung
berkelebat ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai menyerang dengan kalap.

Kedua musuh berkedok melomprt berpencar meluputkan diri, dari dua jurusan ini mereka
angkat tangan balas menyerang kepada Hun Thian-hi.
Begitu melancarkan serangan pertama lantas Thian-hi merasa tenaga dalamnya rada macet tak
kuat bersambung lagi, sudah tentu kejutnya sepeti disengat kala, keringat dingin mengalir keluar,
pikiran otaknya menjadi rada terang. Cepat ia dapat menyadari situasi yang tidak menguntungkan
dirinya ini, diam-diam ia berpikir, “Cara mengadu jiwa begini, mungkin aku sendiri bakal konyol
sebelum dapat menuntut balas.”
Sementara itu kedua musuh berkedok itu telah merangsek maju lagi, sambil menggeram Thianhi
ayun Badik buntung menyerampang musuh. Begitu kedua musuhnya menyurut mundur
menghindar, cepat-cepat ia melompat mundur ke belakang, diam-diam ia mencari jalan untuk
meloloskan diri
Sedikit melompat menghindar kedua musuh berkedok gesit sekali sudah melejit maju pula tiba
di belakang Hun Thian-hi. Saking gugup dan tiada jalan lain, terpaksa tanpa banyak pikir lagi
Thian-hi sambitkan Badik buntung diantara kedua musuhnya. Sudah tentu kedua musuhnya tidak
menyangka bahwa Thian-hi rela melemparkan Badik buntungnya, tanpa berjanji keduanya melejit
terbang mengejar ke arah Badik buntung yang meluncur jauh kesana.
Sebat sekali Hun Thian-hi berkelebat terus melompat naik ke atas sepucuk pohon rindang.
Sesaat kemudian tampak kedua orang berkedok lari balik, sekian lama mereka ubek2an di
dalam hutan mencari jejaknya, akhirnya mereka kewalahan. setelah bercakap-cakap sebentar
mereka lantas berlari pergi.
Melihat kedua musuhnya pergi, Thian-hi sendiri sudah payah dan tak kuat bertahan lagi, begitu
ketegangan hatinya mengendor tubuhnya lantas terjungkal roboh dari atas pohon. Begitu
terbanting di tanah pikiran Thian-hi menjadi rada terang, pelan-pelan dengan segala sisa
tenaganya ia merogoh keluar daon buah ajaib terus dijejalkan ke dalam mulut, seketika hawa
harum mengalir dalam tenggorokannya.
Bergegas Thian-hi duduk bersila. pelan-pelan mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga
dalam kira-kira setengah jam kemudian baru ia merasa kesehatannya pulih seperti sedia kala.
Waktu ia kembali ke tempat semula, tampak kedua ekor kuda mereka dan Kim Poan-long
menggeletak di tanah. Hun Thian-hi menghela napas rawan. Segera ia gali liang lahat, jenazah
Kim Poan-long lantas dikabur sekadarnya.
Setelah mengubur jasad Kim Poan-long, Thian-hi duduk di bawah pohon, pikirannya bekerja,
“Siapakah kedua orang berkedok itu?”
Dipikir punya pikir mendadak ia tersentak kaget, gumamnya, “Siau! Siau-yang-sin-kang” —
kedua biji matanya mendelik lebar, hidungnya mendengus, selain mereka berdua siapa lagi,
demikian dalam hati ia membatin.
Tiba-tiba melonjak berdiri. seperti bakal ketiban rejeki tersipu-sipu ia berlari kencang menuju ke
Bu-tong-san.
Waktu sinar surja menongol keluar di ufuk timur, memancarkan cahayanya yang cerlang
cemerlang Hun Thian-hi sudah beranjak dijalanan yang menuju kepusat Bu-tong-pay, dua pucuk
pohon Siong yang besar dan tinggi berdiri diam laksana raksasa menembus awan.

Dalam hati Han Thian-hi berani memastikan bahwa kedua orang berkedok itu tentu adalan
Gwat Long dan Sing Poh adanya, Kira-kira baru setengah perjalanan, dari ataas gunung berjalan
turun seseorang, begitu melihat Hun Thian-hj orang itu lantas mengumpat caci dengan murka.
Waktu Thian-hi angkat kepala, orang itu bukan lain adalah murid preman pihak Bu-tong-pay,
tak lain tak bukan adalah Thi-kiam Lojin yang pernah mencari perkara pada dirinya.
Begitu melihat tegas pada Hun Thian-hi, kontan Thi-kiam Lojin lantas melolos pedang yang
disandang dipunggungnya, bentaknya kepada Thian-hi, “Orang she Hun! Ke-mana-mana kucari
kau, tak kukira hari ini kau batang sendiri.”
Hun Thian-hi tak sabar main debat dengan Thi-kiam Lojin, tanpa membuka suara cepat ia
menerjang ke atas, melihat sikap acuh tak acuh Thian-hi, Thi-kiam Lojin semakin murka sembari
bergelak tawa ujung pedangnya. menjojoh ke depan menusuk perut Thian-hi.
Enteng sekali badan Thian-hi mencelat tinggi, mulutnya berteriak, “Hari ini aku mencari Giokyap
Cinjin, bukan mencari kau!”
Kepandaian silat Thi-kiam Lojin cukup tinggi, sebab sekali ia pun mencelat terbang menyusul,
beruntun pedangnya berkelebat menyamber, sekaligus ia sudah lancarkan tiga jurus serangan
pedang kepada Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi menghardik keras. dengan sebelah tangannya ia menyampok kebatang pedang
Thi-kiam yang menyamber tiba. Thi-kiam Lojin rada keder, kuatir Hun Thian-hi mengeluarkan
Badik buntung memotong kutung pedang panjangnya seperti tempo hari, maka cepat-cepat ia
tarik balik pedangnya, merubah gaja dan jurus tipu pedangnya ia merabu semakin kencang.
Tak terkira olehnya bahwa kepandaian Hun Thian-hi sekarang sudah jauh beda dengan Thianhi
tempo hari, beegitu ia menarik dan merubah jurus ilmu pedangnya, berbalik Thian-hi mendapat
kesempatan melancarkan tiga pukulan berantai, sehingga Thi-kiam Lojin terpaksa hanya mampu
bertahan dan mundur selamatkan diri dari pada balas menyerang.
Hun Thian-hi melompat tinggi ke depan berlari laksana terbang ke atas gunung. Sepanjang
jalan penuh rintangan, untung mereka bukan terdiri tokoh-tokoh lihay dari Bu-tong-pay, maka
dalam sekejap saja ia sudah sampai diambang Tin-yang-kiong.
Sampai disini baru Hun Thian-hi berhati lega, dia tahu Tio-yang-kiong merupakan tempat
berkumpul para tokoh-tokoh kosen Bu-tong-pay, Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinji sendiri pun
bersemajam di Tio-yang-kiong ini. Thian-hi sendiri insaf bahwa menghadapi Gwat Long dan Sing
Poh saja dirinya bukan tandingan mereka, apalagi Giok-yap Cinji sendiri. Tapi urusan ini sudah
terjadi gara-gara dirinya betapa pun harus jumpa dan menanyakan langsung kepada Giok-yap
Cinjin.
Kenyataan sudah terjadi Gwat Long dan Sing Poh membunuh Kim Poan-long untuk menutup
mulutnya, sudah tentu dengan gampang mereka pun dapat membunuh keempat orang lainnya.
Seumpama tidak meluruk datang juga sama saja. Harapan utama sekarang adalah bahwa Gwat
Long dan Sing Poh membangkang atau bekerja membelakangi Giok-yap Cinjin, kalau tidak begitu
dirinya beranjak ke dalam Tio-yang-kiong bakal takkan mudah keluar kembali.
Dengan teliti dan waspada Thian-hi putar kayun mengelilingi Tio-yang-kiong seputaran, hatinya
tak habis mengerti kenapa selama ini tak terdengar sedikitpun suara. Dengan enteng Thian-hi
meloncat naik ke atas rumah, memandang ke dalam terlihat suasana Tio-yang-kiong sunyi senyap,
seorang pendeta pun tak terlihat bayangannya.

Hati Thian-hi menjadi curiga, pikirnya, “Mungkinkah Tio-yang-kiong tidak kenyataan seperti
yang dikabarkan di luaran?” ~dilain kejap ia melompat turun di sebelah dalam, dengan langkah
tetap ia berjalan masuk.
Tampak di ruang sembahjang batang2 hio masih tersemat menyala, asap mengepul tinggi, tapi
tak kelihatan bayangan seorangpun. Thian-hi melangkah terus ke dalam, memang rumah berhala
yang sedemikian besar ini tidak dihuni seorang manusiapun. Dalam hati Thian-hi membatin,
jikalau Giok-yap Cinjin, bersemajam di Tio-yang-kiong, seumpama orang lain sedang keluar karena
banyak urusan, tentu beliau seorang masih ada didalam.
Jalan punya jalan dari kejauhan dilihatnya di sebelah dalam sana sebuah ruang samadi pelanpelan
ia maju ke arah sana, waktu ia melongok ke dalam terlihat seorang Tosu tengah duduk
samadi tanpa bergerak.
Thian-hi terperanjat, terlihat olehnya sinar mata orang itupun memancarkan cahaya aneh dan
heran, namun ia tidak bergerak dan tidak bersuara.
Setelah menenangkan gejolak hatinya Thian-hi mengamati Tosu itu, jelas Tosu ini berambut
hitam dan berjenggot hitam pula, namun wajahnya pucat pasi seperti kertas, sinar matanya guram
tak bersemangat, duduk mematung tanpa bergerak, jikalau biji matanya tidak terpentang dan
bergerak Thian-hi pasti anggap orang telah mati.
Thian-hi maju mendekat serta menjura katanya, “Aku yang rendah Hun Thian-hi, harap tanya
kepada Totiang, dimana kediaman Giok-yap Cinjin?”
Tosu itu tetap tak bergerak dan tak bersuara, namun matanya mengunjuk rasa heran dan tak
mengerti.
Melihat orang tidak bicara, Thian-hi merenung sebentar, lalu katanya lagi, “Kalau Totiang tidak
bisa bicara, apakah bisa mengantarku kepada beliau?”
Biji mata si Tosu berjelilatan, seolah-olah punya banyak pertanyaan yang hendak disampaikan,
namun sedikitpun ia tidak mampu bergerak.
Thian-hi menjadi putus asa, pelan-pelan ia putar tubuh hendak tinggal pergi, tiba-tiba tergerak
sanubarinya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya, pikirnya siapa lagi orang yang boleh
duduk samadi di dalam ruang Tio-yang-kiong? Tiba-tiba ia putar balik serta maju bertanya,
“Apakah Totiang adalah Giok-yap Cinjin Cianpwe?”
Lagi-lagi mata Tosu tua ini memancarkan cahaya yang sukar diraba juntrungannya. Terkilas
dalam pikiran Thian-hi akan cerita Kim Ci-ling tempo hari, mungkin Giok-yap Cinjin mempunyai
kesukaran yang sulit disampaikan?”
Thian-hi terlongong sebentar, akhirnya ia berketetapan untuk coba-coba, dari kantong bajunya
ia mengeluarkan sepucuk daun buah ajaib terus diangsurkan kepada Tosu itu serta katanya,
“Mungkin Totiang terkena racun jahat, inilah daun Kiu-thian-cu-ko, setelah Totiang menelan daun
ini tentu penyakitmu dapat sembuh.”
Tampak Tosu itu rada beragu sebentar, namun akhirnya ia menerima juga, dengan kedua
tangannya Thian-hi menyongkel gigi si Tosu yang terkatup kencang terus menjejalkan daun buah
ajaib ke dalam mulutnya.
Rada lama kemudian, baru tampak si Tosu dapat menghela napas lega dengan lemah, katanya
serak, “Pinto memang Giok-yap adanya. Entnh Siauhiap mencari aku ada urusan apa?”

Mendengar ucapan orang sungguh girang Thian-hi bukan main, tersipu-sipu ia berlutut dan
menyembah sapanya, “Wan-pwe Hun Thian-hi menghadap pada Lo-cianpwe.”
Kata Giok-yap Cinjin perlahan, “Sekarang aku tahu untuk apa kau kemari. Aku dibokong orang
sehingga tak dapat bicara, badanpun menjadi kaku tak bisa bergerak sejak sebulan yang lalu. Tadi
meski kau sudah memberi daun buah ajaib, paling tidak harus memakan waktu dua belas jam
baru bisa pulih seluruhnya! Eh, kau bangunlah!”
Kata Thian-hi sambil bangkit, “Wanpwe semula mengira mungkin Cianpwe dikelabui dalam
peristiwa ini maka dengan lancang menghadap kemari.”
Ujar Giok-yap Cinjin memejamkan mata, “Aku dapat menduga kejadian apakah itu, tapi belum
jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya, coba Hun-siauhiap menjelaskan.”
Maka Hun Thian-hi menceritakan pengalamannya sejak ia bertemu dengan Kim Ci-ling.
Setelah mendengar cerita Thian-hi Giok-yap Cinjin membuka mata, katanya serius, “Hun
siauhiap! Dosa. Gwat Long dan Sing Poh dalam peristiwa ini tak terampun lagi. Tapi apakah Hun
siauhiap tahu siapakah orangnya yang berdiri di belakang lajar?”
Thian-hi berpikir sebentar, jawabnya, “Tentang hal ini Wanpwe pernah memikirkannya,
memang pasti ada orang yang memegang rol di belakang peristiwa ini, dan orang itu pasti Mo-bin
Suseng adanya.”
Giok-yap Cinjin manggut-manggut, tiba-tiba ia bertanya, “Apakah Siauhiap ada bermusuhan
dengan Mo~bin Suseng?” Hun Thian-hi manggut-manggut mengiakan.
Kata Giok-yap Cinjin, “Beberapa tahun belakangan ini aku gemar main catur, beberapa waktu
yang lalu pernah datang seorang yang mengaku bernama Hou Gwan, diapun pandai bermain
catur, sungguh aku tidak menduga bahwa dia inilah Mo-bin Suseng yang kenamaan di seluruh
jagad itu, diam-diam ia telah meracun kepadaku, racun yang digunakan adalah Soat-san-cu, bisa
paling jahat di seluruh dunia. Karena kurang hati-hati aku terjebak oleh tipu muslihatnya. Dia
ngapusi murid2ku katanya aku tersesat latihan Lwekang, tanpa Badik buntung tak mungkin dapat
disembuhkan.” -setelah bercerita ia menghela napas dengan rawan.
Thian-hi sendiri juga bungkam dan menunduk. Sambung Giok-yap, “Mo-bin Suseng berhati
culas dan banyak muslihatnya, jika dia tahu sekarang aku sudah sembuh tentu menggunakan akal
liciknya untuk mencelakai jiwaku. Baru saja aku menelan daun buah ajaib, betapa pun jangan
sampai dia mengetahui.”
Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia mengakui kenyataan ini, kalau Mo-bin Suseng betulbetul
tahu di bawah gosokan mulut manisnya tentu Gwat Long dan Sing Poh takkan membiarkan
dirinya berada di tempat ini dengan tetap bernapas. Sedang Giok-yap harus menunggu dua belas
jam lagi baru bisa pulih kesehatannya. Kalau Mo-bin Suseng hendak berbuat jahat rasanya
semudah ia membalikkan telapak tangan.
Karena pikirannya ini segera ia bertanya kepada Giok-yap Cinjin, “Kenapa Tio-yang-kiong
kosong melompong selain Cianpwe seorang.”
“Setelah seluruh penghuni Tio-yang-kiong tahu aku keracunan mereka lantas pindah ke Sianggoan-
kiong, tinggal Gwat Long dan Sing Poh saja bersama aku, tapi sewaktu2 mereka pergi,
legakan saja hatimu, saat ini selain mereka berdua tiada seorangpun yang bisa kemari. Meski

sepak terjang mereka sangat tercela, tapi mereka masih dengar kata-kataku!” — habis berkata ia
menghela napas panjang.
Thian-hi memaklumi kesukaran dan pikiran Giok-yap Cinjin, sepak terjang Gwat Long dan Sing
Poh memang patut dihukum mati, tapi betapapun perbuatan mereka itu melulu demi keselamatan
Giok-yap Cinjin, maka tidaklah heran kalau Giok-yap Cinjin merasa sedih dan serba sulit.
Hun Thian-hi tunduk dan terpekur.
Begitulah selanjutnya mereka bicara panjang lebar, dalam kesempatan itu Giok-yap Cinjin
menanyakan riwayat hidup Thian-hi, dengan setulus hati Thian-hi menutur apa adanya. Akhirnya
Giok-yap Cinjin tenggelam dalam pikirannya, agak lama kemudian baru buka bicara lagi, “Urusan
ini setelah aku sembuh tentu akan kubereskan. Tentang urusanmu tentu aku akan berusaha
sekuat tenaga, meski aku ada janji dengan Bu-bing Loni untuk tidak mencampuri urusan dunia
tapi kau telah menolong jiwaku, tidak bisa tidak aku harus membalas budi ini, sampai pada
waktunya tentu dapat dibereskan dengan sempurna.”
Girang hati Thian-hi, lekas-lekas ia nyatakan banyak terima kasih kepada Giok-yap Cinjin,
pikirnya dengan keagungan Giok-yap Cinjin bila ia mau sedikit membela dan bicara demi
kebersihannya maka segala urusan tentu dapat dibikin terang.
Tengah ia kegirangan, mendadak terdengar langkah kaki yang sangat lirih di luar pintu,
bercekat hati Thian-hi, waktu ia pandang wajah Giok-yap agaknya ia tidak mendengar, maklum
karena kesehatan Giok-yap belum sembuh seluruhnya, mana mungkin dengar suara yang begitu
lirih.
Cepat ia berkata kepada Giok-yap Cinjin, “Apakah Cianpwe mendengar suara langkah di luar?
Ada orang tengah mencuri dengar pembicaraan kita!”
Berubah air muka Giok-yap, katanya, “Tentu Mo-bin Suseng adanya!”
Mendengar akan Mo-bin Suseng Thian-hi juga terkejut, sebat sekali ia bergerak melesat keluar,
maksudnya hendak meringkus Mo-bin Suseng. Terdengar olehnya lapat-lapat suara derap langkah
yang ringan dan lirih berlari ke depan sana. Begitu mendengar jelas suara langkah itu bergolak
darah dalam rongga dadanya, sambil menghardik keras, “Lari kemana!” tubuhnya melesat seperti
anak panah mengejar ke depan.
Setelah membelok tiga tikungan pandangan di depan menjadi jelas kiranya itulah seekor kucing
hitam mulus. Thian-hi tertegun sebentar, hatinya lantas mengeluh, “Celaka! Giok-yap masih belum
mampu bergerak, terang aku terpancing meninggalkan sarang,” karena pikirannya ini cepat-cepat
ia berlari balik.
Begitu ia melangkah di ambang pintu seketika ia berdiri kesima di depan pintu. Giok-yap Cinjin
tetap duduk di tempatnya tak bergerak, namun dadanya bertambah sebilah badik dengan
digenangi darah segar, jelas itulah Badik buntung yang menghunjam di dadanya.
Kepala Thian-hi laksana dipukul godam, pikirannya menjadi kosong, segala harapan semula
sekarang menjadi lenyap seperti gelembung air, tak perlu disangsikan lagi tentu inilah buah karya
Mo-bin Suseng yang culas dan banyak muslihatnya itu.
Entah berapa lama ia menjublek di tempatnya, mendadak didengarnya derap langkah orang
banyak. Walaupun Giok-yap Cinjin bukan mati oleh tangan Hun Thian-hi, namun sanubarinya
dirundung suatu perasaan yang susah diraba takutnya, siapapun bila melihat ia hadir disini tentu
akan curiga bahwa dialah yang telah membunuh Giok-yap Cinjin.

Dengan gelisah Thian-hi celingukan ke kanan kirinya, baru saja ia hendak lari ke kamar lain
mendadak teringat akan Badik buntung, kalau Badik buntung tertublas di dada Giok-yap sedang
umum tahu bahwa Badik buntung adalah miliknya, orang lain takkan mau percaya bahwa Badik
buntung pernah direbut oleh Gwat Long dan Sing Poh karena tiada bukti, sekarang….
Lekas-lekas ia berlari masuk ke dalam ruang samadi, baru saja ia menarik Badik buntung dari
dada Giok-yap Cinjin dan berputar, pintu kamar sudah penuh dihadang oleh anak murid Bu-tongpay,
terang Thian-hi tak punya jalan untuk meloloskan diri….
Bab 7
Sungguh Thian-hi tak berani membayangkan, sambil menggerung seperti singa mengaum ia
kiblatkan Badik buntung terus menerjang ke arah pintu.
Tapi para penghadang itu adalah Sam-lo-chit-cu, merupakan tokoh-tokoh yang paling
diandalkan oleh pihak Bu-tong-pay, mana mungkin mereka mau membiarkan dirinya melarikau
diri?
Serempak Sam-lo-chit-cu melolos pedang, terus bergerak saling melintang melancarkan
serangan gabungan yang dahsyat perbawanya, Thian-hi terdesak mundur ke dalam kamar semadi
lagi.
Thian-hi menggertak, yang terpikir dalam otaknya hanya melarikan diri, sedikitpun tidak terpikir
olehnya akibat dari peristiwa hebat ini. Dimana Badik buntung berkelebat dengan jurus Gelombang
perak mengalun berderai ia merabu para musuhnya sehingga Sam-lo-chit-cu terdesak mundur
oleh tabiran cahaya hijau pupus yang dingin dan tajam sekali.
Sam-lo-chit-cu merupakan tokoh-tokoh kosen yang berkepandaian tinggi, mereka insaf setiap
jurus serangan Thian-hi pasti adalah jurus-jurus ganas yang membahayakan, maka sebat sekali
mereka bergerak bersama, sepuluh orang sepuluh batang pedang berbareng melancarkan jurus
gabungan Coan-liu-gak-lik, memang dahsyat sekali perbawa tenaga gabungan ilmu pedang ini,
betapapun lihay dan hebat serangan Thian-hi tak urung ia terdesak balik oleh daya perlawanan
yang kuat dari tenaga musuh.
Sekali gebrak saja lantas terdesak mundur, namun segala akibat dan sesuatunya sudah tak
terpikirkan lagi oleh Thian-hi, begitu mundur ia menyerbu maju lagi, kini ia lancarkan jurus Tamlian-
hun-in-hap dari Gin-ho-sam-sek kedua.
Jurus kedua ini berlipat ganda lebih dahsyat dan hebat perbawanya, Sam-lo-chit-cu terpaksa
harus menyurut mundur, Thian-hi berkesempatan menerobos lewat keluar pintu, begitu sampai
diluar Sam-lo-chit-cu sudah berbaris membentuk sebuah barisan mengepung dan menghadang
jalan lari Thian-hi.
Thian-hi insaf jalan satu-satunya baginya hanyalah menggunakan kekerasan, maka begitu
bergerak langsung ia mengerahkan sekuat tenaga merangsak musuh. Tampak Sam-lo-chit-cu
berpencar dan secepat kilat bergabung maju pula, tetap mereka mengepung Thian-hi di tengah.
Thian-hi sudah berusaha mengerahkan tenaga dan mengembangkan ilmu pedangnya
mengandal ketajaman Badik buntung, namun setiap serangannya selalu kandas, ia terpaksa harus
membela diri melulu.

Untung kedua jurus Gin-ho-sam-sek yang dilatihnya itu merupakan ilmu pedang tingkat tinggi
yang sudah diapalkan diluar kepala, untuk membela diri jauh masih berkelebihan.
Sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu, dari atas gunung tampak berlari-lari mendatangi
dua sosok bayangan. Dilain kejap begitu kedua orang ini tiba Sam-lo-chit-cu segera menarik
serangan, pedang melintang di depan dada. Berpikirpun tidak, begitu melihat Sam-lo-chit-cu
menghentikan aksinya sebat sekali Thian-hi melejit tinggi terus terbang ke depan menuju bawah
gunung.
Sambil menarik muka kedua pendatang itu terus mengejar ke depan, masing-masing mengulur
telapak tangan memukul ke arah Thian-hi.
Begitu melihat gaya serangan kedua orang ini, Thian-hi lantas berteriak kejut, “Gwat Long Sing
Poh!” — setelah berteriak ia angkat kepala mengawasi kedua orang ini dengan seksama. Kiranya
Gwat Long dan Sing Poh adalah pemuda remaja yang berusia 20-an, mengenakan jubah Tosu
warna hijau, punggung masing-masing menyandang pedang panjang, biji matanya tanpa expresi
mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip.
Walau usia Gwat Long dan Sing Poh masih muda, namun mereka adalah murid langsung dari
Giok-yap Cinjin, mereka berdua saja yang menjadi keturunan dari ilmu Siau-yang-sin-kang, maka
begitu mereka unjuk diri, Sam-lo-chit-cu harus memberi muka dan mengalah kepada mereka.
Memandang Gwat Long Sing Poh, Hun Thian-hi menjengek dingin, “Cara bagaimana kematian
Suhu kalian, kukira kalian berdua sudah tahu, kiranya tak perlu aku Hun Thian-hi banyak mulut.
Sekarang kalian mencari perkara kepada aku, sungguh aku ikut penasaran akan kematian beliau.”
Gwat Long dan Sing Poh bungkam seribu basa, Sam-lo-chit-cu mendengus ejek, Gwat Long dan
Sing Poh angkat kepala, pelan-pelan menggapai tangan, serempak Sam-lo-chit-cu menyerbu lagi.
Thian-hi bergelak tawa saking murka, Badik buntungnya berkelebat menyerang kepada Sam-lo.
Gwat Long dan Sing Poh saling pandang sekilas, mereka mencabut pedang masing-masing terus
berkelebat memasuki gelanggang memapas dan menusuk kepada Thian-hi.
Sambil kertak gigi Hun Thian-hi ayun Badik buntungnya untuk melawan keroyokan musuh, tapi
Gwat Long dan Sing Poh adalah murid didik langsung dari Giok-yap Cinjin sejak masih kecil,
Bu-tong-pay merupakan aliran murni dari golongan Lwekeh, sejak kecil mereka sudah diberi
kepandaian dasar yang kokoh kuat sudah tentu hasilnya sangat mengagumkan.
Melihat cara tempur Hun Thian-hi yang nekad dan tanpa gentar sedikitpun berbareng mereka
memutar pedang dan menyampok kesamping, dengan rangsekan berbareng dari dua jurusan ini
Badik Hun Thian-hi kena dituntun miring kesamping, kesempatan ini digunakan Sam-lo-chit-cu
mengacungkan pedang menusuk dan membacok bersama dari berbagai penjuru.
Jidat Thian-hi sudah basah oleh air keringat, terdengar ia menggembor keras, tanpa disadari ia
mengembangkan ilmu ringan tubuh yang pernah dilihatnya dari si tua Pelita dalam rimba tempo
hari, keadaan waktu itu sangat berkesan dalam benaknya, sekarang dalam keadaan genting dia
kembangkan, laksana ikan berenang selicin belut ia bergoyang gontai bergerak lolos dari
rangsekan pedang Sam-lo-chit-cu.
Thian-hi sendiri menjadi tercengang melihat hasil perkembangan ilmu ringan tubuhnya yang
dapat ditirunya dari kepandaian Situa Pelita, bahkan girang melihat dirinya bakal lolos dari
kepungan Sam-lo-chit-cu gerak-geriknya menjadi sedikit lamban, tampak selarik sinar pedang
berkelebat tahu2 lengan kirinya sudah tergores luka panjang dan mengeluarkan darah deras.

Saking kesakitan Thian-hi sampai mengeluh panjang, cepat2 ia kiblatkan Badik buntung
melancarkan jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek untuk membendung serangan susulan pihak musuh.
Dari menyelang ia sekarang menjadi pihak yang bertahan, meski terasa tekanan tenaga dari
berbagai penjuru sangat berat, tapi dalam waktu dekat ia masih kuat bertahan.
Melihat serbuan gabungan ilmu pedang mereka tak berhasil membobol pertahanan Thian-hi,
Gwat Long dan Sing Poh menjadi sengit. Mendadak mereka membalikkan pedang, serempak
melancarkan ilmu simpanan pihak Bu-tong-pay yang dinamakan Cian-si-bi-ciu, dua batang pedang
mereka berputar memetakan cahaya terang benderang menerangi gelanggang, seluruh kekuatan
telah dikerahkan untuk melancarkan serangan ini.
Se-konyong2 Thian-hi merasa tekanan dari empat penjuru bertambah berat, luka lengan kirinya
mengalirkan darah lagi, insaf ia kalau pertempuran berlangsung terus tentu dirinya susah buat
bertahan, paling lama juga hanya kuat bertahan setengah jam.
Lama kelamaan kepalanya terasa berat, matanya ber-kunang2 dan kabur, sekuatnya ia masih
lancar-kan jurus2 ilmu Gin-ho-sam-sek untuk berlindung dan membela diri.
Mendadak samar2 terdengar olehnya teriakan kaget dan takut, Gwat Long dan Sing Poh,
berbareng terasa tekanan serangan mereka mengendor. Kuat2 Thian-hi menggelengkan kepala,
sebuah keajaiban tiba2 membuat semangatnya tersentak bangun dari kepalanya. Namun dilain
saat Thian-hi sendiri juga menjadi melongo, karena terlihat olehnya Giok-yap Cinjin tengah berdiri
tegak dikaki tembok sebelah dalam sana. Sekilas Thian-hi menjadi sadar bahwa entah tokoh siapa
yang telah berusaha menolong dirinya. untuk menerjang keluar dari kepungan, sebat sekali ia
melambung tinggi terbang kebawah gunung.
Sambil menggertak Sam-lo-chit-cu menggerakkan pedang menusuk dan membabat. gesit sekali
Thian-hi menggeliat ditengah udara tubuhnya terus meluncur kedepan, serangan bersama Sam-lochit-
cu mengenai tempat kosong. Terdengar Gwat Long dan Sing Poh menghardik keras.
berbareng mereka melejit mengejar sambil menyerang dari jarak jauh.
Thian-hi berusaha untuk mengegos, namun gerak geriknya sudah rada lamban, kontan pundak
kirinya kena dijotos lagi oleh musuh, seketika ia rasakan seluruh lengan kirinya seperti dipanggang
diatas bara, begitu kakinya menyentuh tanah segera ia kembangkan ilmu ringan tubuh dan berlari
sipat kuping kebawah gunung.
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berlari, cara bagaimana pula ia berhasil
menghindarkan diri dari kejaran Gwat Long dan Sing Poh, tak diketahui pula olehnya kapan ia
telah jatuh pingsan dan tak sadarkan diri lagi.
Waktu Thian-hi membuka mata terasa mukanya dingin, terlihat Hwesio jenaka tengah berdiri
dihadapannya sembari cengar-cengir kepadanya.
Thian-hi merasa badannya sedikit segar, ter-sipu2 ia berusaha bangkit berduduk, segera
Hwesio jenaka mencegahnya katanya tertawa, “Kesehatanmu belum pulih, jangan kesusu
bangun!”
Memang Thian-hi merasa kaki tangannya lemas tak bertenaga, dengan lirih ia menyapa,
“Siausuhu, hari ini aku tertolong pula oleh kau, sungguh tak ahu cara bagaimana aku harus
membalas kebaikanmu ini.”
Hwesio jenaka masih cengar-cengir tanpa bicara, rada lama kemudian baru ia buka bicara,
“Urusan yang kau kerjakan kali ini sungguh sangat menggemparkan. Kau tertuduh membunuh

Giok-yap Cinjin, apakah kau kuat memikul dosa berat ini? Jangan kata orang luar, mungkin
gurumu sendiri pun takkan berani buka bicara untuk membela kau lagi.”
Thian-hi maklum apa yang dikatakan itu memang kenyataan, ia menghela napas an bungkam
seribu bahasa. Sesaat kemudian tiba2 ia bertanya, “Kenapa Siau-suhu bisa disini? Bagaimana pula
kau tahu bahwa Giok-yap Cinjin bukan aku yang membunuhnya?”
Wajah Hwesio jenaka lantas mengunjuk rasa sedih dan rawan, ia berputar menghadap
kejurusan lain, sejenak kemudian ia berpaling serta berkata dengan tersenyum, “Jangan kau
berpikir terlalu jauh, aku mendengar kabar bahwa Mo-bin Suseng hendak mencelakai kau, waktu
aku menyusul tiba tapi sudah terlambat!”
Bergegas Thian-hi bangun berduduk, tanyanya cepat, “Dimana Siau-suhu mendengar kabar
ini?”
Hwesio jenaka menyengir, jawabnya, “Bukan aku tidak mau memberitahu, sebetulnya tak guna
mengetahui hal itu.”
Thian-hi dirundung rasa cemas dan curiga, pelan2 ia merajap bangun menggelendot dibatang
pohon, dengan seksama ia menatap Hwesio jenaka, pikirnya, “Darimana ia tahu?
Mungkinkah……….”
Tampak Hwesio jenaka tetap berseri tawa tanpa menunjukkan sesuatu keganjilan.
Akhirnya Thian-hi menghela napas, ujarnya, “Siau-suhu! Aku memikul dendam kesumat
sedalam lautan, kalau Siausuhu suka memberi petunjuk sehingga aku dapat menuntut balas, Siausuhu
minta apapun terhadap aku tentu dapat kulaksanakan.”
Hwesio jenaka tertawa lebar, katanya:, “Apa yang kutahu saat ini bila kuberitahu kepada kau
hanya akan mengagetkan pihak musuh saja, malah mungkin membawa bencana bagi kau.”
Thian-hi menerawang sebentar, lalu katanya, “Apakah Siau-suhu anggap sepak terjangku
terlalu gegabah?”
Kata Hwesio jenaka tertawa lebar, “Sekarang kau lebih baik pergi ke Siau-lim-si, berusaha
mendapat bantuan dari Thian-cwan Taysu, kalau beliau yang tampil kedepan mungkin dapat
menghapus penasaranmu, Sampai saatnya nanti boleh kau bicara perihal yang lain, karena saat ini
kau terancam bahaja dan sulit berdiri dikalangan Kangouw.”
Terkancing mulut Thian-hi, memang kenyataan apa yang dikatakan itu. Mungkin Thian-cwan
Taysu belum tentu mau membantu, beliau tidak tahu duduk perkara sebenarnya, bagaimana
mungkin beliau mau membantu secara semberono?
Melihat kesangsian Thian-hi, Hwesio jenaka berkata lagi, “Selain jalan ini tidak ada cara lain
untuk mengatasi kesukaranmu ini”.
Thian-hi merenung sekian lama, hatinya gundah dan bingung, memang selain jalan itu tiada
cara penyelesaian lain yang lebih sempurna.
Kata Hwesio jenaka, “Kalau kau sudi aku bisa menunjukkan jalan, sepanjang jalan ini
kutanggung tidak akan ada orang yang mencegat, dan tanpa rintangan kau dapat menghadap
kepada Thian-cwan Taysu. Tapi persoalan lain aku tak berdaja lagi.”

Ter-sipu2 Thian-hi menyatakan banyak terima kasih. Saat itu juga segera mereka berangkat
menuju ke Siau-lim-si.
Mereka menempuh perjalanan dengan gerak cepat, tak terasa lima hari sudah berlalu, luka
Thian-hi sudah mulai sembuh, hari itu mereka sudah tiba dibawah kaki Siong-san. Berjalan
didepan Hwesio jenaka membawa Thian-hi berlari naik keatas melalui jalan yang ber-liku2, tak
lama kemudian jauh diatas tebing terlihat tembok warna merah.
Tak terasa hati Thian-hi menjadi berdebar dan tegang, dengan memikul dosa yang tak
terampun ia hendak menghadap Thian-cwan Taysu, tak tahu bagaimana Thian-cwan Taysu bakal
menghadapi dirinya nanti.
Hwesio jenaka terus membawa Thian-hi maju kedepan, secara sembunyi2 mereka melompati
tembok merah, serta maju terus kedepan sambil berjalan merunduk. Tampak para hwesio penjaga
berlalu lalang meronda. Agaknya Hwesio jenaka seperti apal betul dengan keadaan didalam
kelenteng besar Siau-lim-si ini, selalu ia mencari jalan yang penuh ditumbuhi pepohonan lebat dan
rimbun.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai diambang sebuah hutan bambu, dengan jari telunjuk
Hwesio jenaka memberi isyarat supaya Thian-hi masuk kedalam hutan bambu itu. Girang hati
Thian-hi, segera ia mencelat melesat menuju kehutan bambu itu, sayang gerak geriknya rada
kasar sehingga menyentuh dedaunan dan mengeluarkan suara keresekan. Keruan Hwesio jenaka
kaget sekali, cepat ia celingukan kekanan kiri, tampak olehnya seorang hwesio muda tengah
beranjak maju kearah tempat sembunyi Thian-hi.
Hwesio jenaka menjadi gugup dan gelisah, namun dia sendiripun tidak boleh mengunjukkan
diri, terpaksa sembunyi tanpa berani bergerak, terserah kepada nasib Thian-hi bagaimana.
Meski Thian-hi mendekam tanpa bergerak, namun tempat sembunyinya sudah korangan, mana
mungkin ia dapat mengumpat lagi. Sementara itu hwesio muda itu sudah semakin dekat ketempat
sembunyi Thian-hi.
Waktu Hwesio jenaka melihat tegas wajah hwesio muda itu, hatinya bercekat, kiranya hwesio
muda ini tak lain tak bukan adalah murid Ciangbunjin Siau-lim-si Te-kik Taysu, yaitu Ti-hay.
Thian-hi juga mendengar derap langkah orang yang tengah mendatangi kearah dirinya, tapi ia
tak berani bergerak, besar harapannya hwesio muda ini hanya salah dengar dan menuju ketempat
lain.
Kira2 tiga tomtaak dari jarak tempat sembunyi Thian-hi Ti-hay menghentikan langkahnya.
pelan2 ia buka bicara, “Siapakah itu? Kalau berani berkunjung ke Siau-lim-si, kenapa main
sembunyi segala?”
Thian-hi tahu tak mungkin main sembunyi lagi, dilihatnya hutan bambu itu berjarak tiga lima
tombak jauhnya dari tempat sembunyinya, mungkin sekali lompat saja bisa sampai, kalau bisa
berjumpa dengan Thian-cwan Taysu, maka tidak sia2lah perjalanan jauh ini.
Melihat orang yang sembunyi dibalik rumpun pohon tidak bergerak dan menunjukkan reaksi,
gesit
sekali Ti-hay bergerak maju, tubuhnya melayang ringan menubruk ketempat sembunyi Thianhi.
Tepat pada saat itu juga, Thian-hi menjejakkan kedua kakinya meleset kearah hutan bambu.

Melihat orang buruannya sudah muncul lekas2 Ti-hay berse-ru, “Sicu harap berhenti!” mulut
berkata gerak kakinya begitu cepat, tubuhnya meluncur kedepan mengejar kearah Thian-hi,
kedua jari dirangkapkan langsung menutuk kejalan darah dipungung Thian-hi.
Sejengkal lagi Thian-hi bakal mencapai hutan bambu, namun tutukan Ti-hay sudah hampir
mengenai jalan darah dipunggung, terpaksa ia membalikan tangan kanan mengayun Badik
buntung, selarik sinar hijau yang tajam dan dingin memapas kepergelangan tangan Ti-hay.
“Badik buntung?” teriak Ti-hay dengan kaget, cepat2 ia tarik tangan kanan serta mendegus
gusar, sebat sekali tangan kanan sudah membalik maju lagi telapak tangan terpentang menjojoh
kedepan mengandung tenaga Ciang-mo-sin-kang, yang diarah punggung Thian-hi lagi..
Melihat Ti-hay melancarkan pukulan yang lebih hebat, sementara tubuh Thian-hi sudah
mencelat mumbul sampai diujung sepucuk bambu, terpaksa ia gunakan Badik buntung untuk
menangkis kearah pukulan telapak tangan Ti-hay.
Tenaga pukulan Ciang-mo-sin-kang sungguh bukan olah2 hebatnya, kontan Badik buntung
kena tergetar lepas dari cekalan Thian-hi. Maklum Thian-hi baru sembuh dari luka2nya setelah
beradu pukulan dengan Sian-thian-cin-gi pihak Bu-tong-pay, seketika tenaga pukulan Ciang-mosin-
kang merembes masuk ke lengan kanannya dan terus menerjang jantung, sesaat dadanya
menjadi sesak, tak kuasa lagi mulutnya lantas menyemburkan darah segar.
Sementara tubuh Thian-hi melayang jumpalitan kedalam hutan bambu. Ti-hay tak berani
sembarangan mengejar kedalam, cepat2 ia melompat turun dan menerobas masuk dari jalan yang
menumpuh kedalam hutan bambu itu.
Sekuatnya Thian-hi mengempos tenaga untuk memusatkan semangat, waktu ia menggelinding
jatuh ditanah, samar2 terlihat dalam pandangan matanya seorang Hwesio tua duduk bersila tiga
tombak didepan sana. Susah payah ia merangkak maju serta sembahnya tergagap, “Wanpwe Hun
Thian-hi menghadap Thian-cwan Taysu.” habis kata2nya, iapun jatuh pingsan.
Waktu Ti-hay juga memburu masuk kedalam hutan bambu tampak Thian-hi sudah menggeletak
tak berkutik di tanah, ter-sipu2 ia merangkap tangan memberi hormat dan bersabda, “Thian-cwan
Supek, entah untuk apa orang ini menyelundup ke Siau-lim-si. Harap Supek memberi ijin untuk
kubawa keluar!”
Thian-cwan Taysu membuka mata sejenak ia menatap Hun Thian-hi lalu katanya, “Dia berkata
hendak mencari aku, entah ada urusan apa. Bila Sutit berkenan bisakah kutanyakan dulu beberapa
patah kata?”
Cepat Ti-hay menjawab, “Kalau Supek hendak bertanya kepadanya baiklah Sutit mengundurkan
diri dulu. Tapi orang ini membekal Badik buntung, pernah membunuh banyak orang di kalangan
Kangouw, kabar yang terakhir malah katanya telah membunuh Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin,
betapapun Supek harus hati2, jangan sampai tertipu oleh obrolannya.”
Thian-cwan Taysu tampak terkejut, setelah terpekur sebentar ia berkata, “Giok-yap Cinjin bisa
mati di tangannya ?” — nadanya penuh tanda tanya dan hampir tak percaya.
Sahut Ti-hay, “Sutit pun hanya mendengar kabar saja bagaimana duduk perkara sebetulnya
Sutitpun tidak tahu?”

Thian-cwan Taysu manggut2, ujarnya, “Dia datang ingin bertemu dengan aku, maka aku harus
mencari tahu kepadanya. Kuduga urusan ini terselip latar belakang yang sulit diraba, apalagi
mungkin hanya dia seorang saja yang tahu segala seluk beluknya.”
Ti-hay merangkap tangan didepan dada, serta berkata, “Sulit sementara mengundurkan diri
saja.”
Thian-cwan manggut. Cepat2 Ti-hay membungkuk badan terus mundur keluar.
Sekian lama Thian-cwan Taysu ter-mangu2, baru pelan2 bangkit menghampiri Thian-hi,
diulurkan sebelah tangannya menekan nadi pergelangan tangan Thian-hi. Lalu diangkatnya
diletakkan disamping tempat duduknya, dengan jari jemarinya pelan2 ia mengurut jalan darah
Thian-hi.
Tak lama kemudian dalam keadaan sadar setengah sadar Thian-hi merasa segulung hawa
hangat menjalar kencang menyusup ke seluruh tubuhnya. Setiap jari Thian-cwan Taysu mengurut,
hawa murni dalam tubuhnya serasa bergetar, dan tertuntun oleh hawa hangat tadi serta ikut
berputar dan melandai kesegala jalan darah di seluruh tubuhnya.
Waktu Thian-hi membuka mata, dilihatnya disamping duduk seorang Hwesio tua berjenggot
dan beralis putih, tahu dia mesti beliau inilah Thian-cwan Taysu adanya, bergegas ia bangun serta
katanya, “Terima kasih akan pertolongan Taysu!”
Thian-cwan Tausy menggoyang tangan per-lahan2, “Siausicu tak usah banyak peradatan.
Siausicu mencari aku entah ada urusan apa?”
Thian-hi segera menyembah serta serunya, “Tecu Hun Thian-hi tersangkut bencana yang
penasaran harap Taysu suka membantu mencuci bersih nama baik Wanpwe.”
“Coba kau ceritakan dulu persoalan apakah itu?”
“Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tentu Taysu sudah kenal.” demikian Thian-hi mulai dengan
ceritanya, “Beberapa waktu yang lalu beliau telah terbunuh secara gelap oleh musuh. Tapi seluruh
tokoh2 silat dikolong langit ini semua menuduh adalah buah karya Wanpwe. Andai kata harus
berkorban aku Hun Thian-hi takkan menyesal, tapi apakah kita harus membiarkan pembunuh
durjana itu ongkang2 kaki dan berpeluk tangan, betapapun aku rada penasaran.”
“Hal ini baru saja kudengar beberapa waktu yang lalu,” begitulah Thian-cwan bertanya,
“sebetulnya bagaimana duduk perkara sebenarnya, coba kau ceritakan.”
Per-lahan2 Thian-hi menutur pengalaman sejak dirinya berpisah dengan Suhunya Kongsun
Hong secara ringkas. dan jelas.
Setelah selesai mendengar cerita Thian-hi, Thian-cwan Taysu pejamkan mata terpekur dalam
pikirannya, akhirnya ia berkata, “Meski apa yang kau uraikan sangat beralasan, tapi aku tak bisa
dengar kata sepihak saja, kalau menurut apa yang kau katakan kau memang seorang yang tak
berdosa, atau sebaliknya kau adalah seorang durjana yang keliwat batas.”
Thian-hi menghirup hawa, desaknya, “Taysu merupakan tokoh teragung dalam dunia
persilatan, perkara ini tentu bisa tercakup dalam genggaman Taysu seorang, memang Taysu tak
bisa mendengar kata sepihak dari saja. Sebaliknya kalau Gwat Long dan Sing Poh tidak mau bicara
sejujurnya, selanjutnya aku mesti tenggelam semakin dalam dan tak mungkin membongkar
rahasia pembunuhan gelap yang misterius itu.”

Thian-cwan harus hati2 dan tenggelam dalam pikirannya lagi, katanya, “Dulu aku pernah
berjanji dengan Bu-bing Loni untuk tidak turut campur urusan Kangouw, tapi Giok-yap adalah
sahabat tuaku, urusannya menjadi urusanku juga, kalau kau sudi menetap dan tinggal disini
selama seratus hari, supaya memberi peluang dan kesempatan aku untuk menyirapi dan
menyelidiki peristiwa ini, tentu aku dapat memberikan kepastian dan keputusan, apakah kau
bisa?”
Thian-hi juga ragu2, akhirnya ia berkata, “Taysupun sudah tahu, bahwa Soat-san-su-gou punya
perjanjian selama setahun dengan Bu-bing Loni, jangka waktu itu sudah habis seratusan hari,
kalau aku tinggal lagi disini selama seratus hari, sisa hari2 selanjutnya tidak banyak untuk
menempuh segala usahaku, bagaimana enak perasaanku terhadap Soat-san-su-gou berempat
Cianpwe?”
Thian-cwan Taysu menjadi bungkam, sebentar kemudian ia berkata, “Kau mementingkan
persoalan itu aku pun tak bisa menyalahkan kau. Tapi dalam keadaan gawat begini apakah kau
mampu dan bisa menempuh perjalanan ke Tiang-pek-san?”
Thian-hi berdesah dengan rawan, “Soat-san-su-gou berempat Cianpwe wafat karena aku, masa
untuk mencoba saja aku tidak sudi?”
Thian-cwan menghela napas, ujarnya, “Maksud Soat-san-su-gou memang baik. Tapi masa
mereka tahu kalau ilmu silat Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay dapat menandingi Bu-bing Loni?”
Thian-hi terlongong2, ia tunduk dan tak kuasa bicara.
Kata Thian-cwan Taysu pelan2, “Saat ini sudah tentu siapapun tidak tahu, bukan saja mereka
berdua, dulu situa Pelita pun menyangka Go-cu Taiysu bisa menandingi Bu-bing- Loni, tapi
menurut hematku, belum tentu demikian.”
Thian-hi melengak dengan rasa tak percaya, tanyanya, “Apakah Bu-bing Loni betul2 tiada
tandingan diseluruh kolong langit ini?”
Thian-cwan Taysu geleng2 kepala, jawabnya, “Untuk hal ini siapapun tak berani memastikan
namun untuk saat ini aku sendiri juga sangsi dan belum tahu ada tokoh mana yang mampu dan
kuat menandingi Bu-bing Loni.”
Thian-hi terlongong bungkam.
Thian_cwan Taysu melanjutkan, “Kalau kau mau menghimpas sakit hatimu, tiada halangan kau
menetap disini selama seratus hari. tapi aku pun tidak memaksa kau, kalau tekadmu hendak pergi
ke Tiang-pek-san, boleh silakan kau berangkat!”
Thian-hi angkat kepala memandang kearah Thian-cwan Taysu.
Thian-cwan Taysu tahu maksud Thian-hi, sesaat ia menatap wajah orang lalu katanya, “Aku
akan suruh mereka melepas kau pergi.”
Thian-hi tertunduk lagi, katanya, “Terima kasih akan kebaikan Taysu, sekarang juga Hun Thianhi
mohon diri!”
“Siau_sicu,” ujar Thian-cwan menghela napas, “Sesat dan lurus hanya terpikir dalam kilasan
otak manusia, Sicu berteksd berkecimpung di Kangouw, sungguh Hwesio tua ini merasa kagum.
Sebelum berangkat ingin aku memberi sedikit bekal kepadamu, hanya bersabar dan berlaku
bijaksanalah baru akan tercapai cita2mu tanpa me-nyia2kan harapan orang banyak.”

Thian-hi terlongong sebentar lalu menyembah tiga kali kepada Thian-cwan Taysu, setelah
menjemput Badik buntung terus mengundurkan diri.
Terdengar Thian-cwan Taysu berseru keluar, “Ti-hay!”
Tampak Ti-hay beranjak masuk dari luar hutan. Segera Thian-cwan Taysu memberi perintah,
“Hantarkan Hun-sicu keluar!”
Ti-hay tertegun, tanyanya, “Supek, mengantar dia keluar?”
“Ada urusan baru dia mencari aku,” demikian Thian_cwan menjelaskan, “Hakikatnya tiada
berniat jahat, selamanya Siau-lim kita jarang turut campur urusan Kangouw, untuk urusan ini kita
pun harus dapat membedakan siapa salah dan benar!”
Ti-hay lantas membungkuk tubuh dan mundur. Hun Thian-hi mengintil dibelakang Ti-hay keluar
dari hutan bambu terus keluar dari lingkungan biara Siau-lim.
Setelah sampai diluar pintu, segera Ti-hay merangkap tangan serta katanya, “Hun-sicu, maaf
Siauceng tidak mengantar lebih jauh lagi..”
Ter-sipu2 Hun Thian-hi menjura serta katanya, “Banyak terima kasih kepada Siausuhu.”
Ti-hay lantas membalik tubuh dan masuk kembali. Thian-hi menghirup napas lega, sejenak ia
celingukan keempat penjuru, sekelilingnya sepi tanpa kelihatan bayangan seorangpun, dengan
perasaan hampa dan kosong per-lahan2 ia berjalan turun gunung, hatinya tengah menerawang
wejangan yang diberikan oleh Thian-cwan Taysu tadi.
Sambil berjalan turun gunung, otak Thian_hi berputar, “Apakah benar Bu_bing Loni tanpa
tandingan diseluruh dunia? Menurut kata Thian-cwan Taysu Ce-han-it-ki dan Ciang_ho-it_koay dari
Tiang-pek-san belum mampu menandingi Bu-bing Loni, tapi itu kan penilaian masa lalu, siapa tahu
sekarang? Begitulah berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, namun ia masih bertekad
hendak menuju ke Tiang-pek-san.
Baru saja Thian-hi tiba dikaki gunung dan beranjak dijalan raja, dari kejauhan lantas terlihat
Thian-mo-kiam Liong Lui memimpin sebarisan anak buahnya dari Partai Merah tengah membedal
tunggangannya menuju kearah dirinya.
Lekas2 Thian-hi berlari menyingkir, untung Liong Lui dan anak buahnya tidak melihat dirinya.
Sedang Liong Lui dan kawan2 seperti punya kerja penting terus membedal lewat dengan kencang.
Setelah rombongan Liong Lui pergi jauh baru Thian-hi melongok keluar. Mendadak seekor kuda
mencongklang mendatangi secepat terbang, untuk sembunyi sudah tak sempat lagi, sudah tentu
Thian-hi menjadi kaget, waktu ditegasi pendatang itu bukan lain adalah putri Ciok Hou-bu itu
majikan Hwi-cwan-po yaitu Ciok Yan adanya.
Melihat Hun Thian-hi cepat2 Ciok Yan melompat turun. Thian-hi mundur dua langkah
mengawasinya dengan mendelong.
Ciok Yan berdesah, katanya, “Dimanakah Bun-pangcu sekarang?”
Kiranya orang bukan mencari dirinya dengan heran Thian-hi menggeleng kepala.

Melihat jawaban Thian-hi, Ciok Yan membanting kaki, cepat2 ia melompat naik keatas
tunggangannya terus dibedal kedepan dengan kencang.
Thian-hi menjublek ditempatnya mengantar bayangan Ciok Yan yang semakin jauh, rada lama
kemudian baru ia sadar dan tertawa geli sendiri akan kebodohan dirinya, diam2 ia memaki kenapa
hubungan asmara antar muda mudi saja tidak dapat dirabanya.
Thian-hi jadi berpikir tentu Ciok Yan ada urusan mencari Bun Cu-giok, gerak-gerik rombongan
Liong Lui pun sangat mencurigakan, tentu ada sesuatu hal telah terjadi yang tidak
menguntungkan Bun Cu-giok. Sejak dirinya diusir dari perguruan hanya Bun Cu-giok seorang yang
menjadi sahabat kentalnya. Entah sejak pulang tempo hari bagaimana pula dengan Partai Putih
yang tengah menghadapi berbagai persoalan, bila perlu aku harus menyusul kesana membantu
dia..
Ter-sipu2 Thian-hi ber-lari2 menelusuri jalan raja mengejar kedepan mengikuti telapak kaki
kuda. Kira2 setengah jam kemudian ia menanjak naik keatas sebuah bukit kecil, baru saja ia
sampai diatas bukit terdengar gelak tawa orang yang sudah dikenalnya, serunya, “Ternyata kau
berani datang masuk perangkap.”
Waktu Thian-hi menoleh seketika ia melongo, tampak diatas bukti berdiri jajar beberapa orang,
mereka bukan lain adalah Ciok Hou-bu majikan Hwi-cwan-po, Tio Hong-ho dan Liong Lui dari
Partai Merah dan anak buahnya, yang berdiri paling samping adalah Ciok Yan.
Begitu Thian-hi tiba, segera Ciok Hou-bu bergelak tawa, serunya, “Hun-siauhiap, aku Ciok Houbu
sungguh kagum akan nyalimu yang besar, berani kau bunuh Giok-yap Cinjin Ciangbunjin Butong-
pay, sekarang berani berlenggang kangkung berjalan di jalan raja.”
Berubah air muka Hun Thian-hi, dengan cermat ia bergantian mengawasi tiga orang
didepannya, sindirnya, “Sebaliknya akupun merasa kagum akan kesetiaan kawan kalian serta
berterima kasih akan kehormatan yang tinggi ini, entah ada keperluan apakah kalian menanti aku
disini?”
Ciok Hou-bu ter-kekeh2 tanpa bicara, sebaliknya Tio Hong-ho tertawa kering, serunya,
“Memang kita sedang menanti kedatanganmu.”
Sebentar saja otak Thian-hi yang encer sudah dapat menebak, diam2 ia membatin dalam hati;
tentu mereka hendak menyebak Bun Cu-giok disini, sungguh goblok justru akulah yang masuk
perangkap mereka.
Dari samping Ciok Yan berkata kepada Ciok Hou-bu, “Ajah, Bun Cu-giok tidak akan datang,
masa begitu bodoh dia bisa kena pancing.”
“Budak goblok, cerewet!” semprot Ciok Hou-bu gusar.
Thian-hi tahu, kata2 Ciok Yan itu ditujukan kepadanya secara tidak langsung memberi tahu
akan maksud tujuan mereka sebenarnya. Sedikit memutar otak cepat2 Thian-hi berlari turun bukit.
Sejak tadi Ciok Hou-bu selalu mengawasi gerak-gerik Thian-hi, begitu ia bergerak sebat sekali
iapun sudah mengebutkan mantel abu2nya menyerang kepada Hun Thian-hi.
Sigap sekali Hun Thian-hi sudah mengeluarkan Badik buntung, dimana sinar hijau pupus
berkelebat, gesit sekali ia balas menyerang kepada Ciok Hou-bu. Ciok Hou-bu menggerung gusar,
terpaksa ia melompat mundur sambil mengegos. Sementara itu Tio Hong-ho dan Liong Lui melejit
maju mencegat jalan mundur Thian-hi, serentak pedang dan tongkat mereka bergerak menyerang

saling silang dari dua jurusan, pedang membabat pinggang sedang tongkat menyerampang kaki
Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi menggertak keras, jurus Gelombang perak mengalun berderai dilancarkan,
sekaligus ia punahkan serangan musuh dan merabu maju, terpaksa ketiga lawannya melawan
dengan senjata dan ilmu simpanan masing2.
Thian-hi tahu bahwa ketiga seterunya ini bertujuan hendak mencelakai jiwa Bun Cu-giok
sekarang Bun Cu-giok belum datang, inilah kesempatan bagi aku untuk memancing pergi mereka
bertiga supaya Bun Cu-giok tidak terjebak. Karena pikirannya ini sebat sekali ia melompat jauh
dengan gerak ringan tubuhnya yang pesat dan enteng, sekali ia menerobos lewat diantara
samberan senjata ketiga lawannya terus berlari kencang ke arah depan Sana.
Badik buntung milik Hun Thian-hi adalah benda pusaka yang selalu diimpikan dan diincar oleh
ketiga gembong silat tamak itu. Apalagi Hun Thian-hi memikul dosa dengan tuduhan sebagai
pembunuh Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin, siapa saja yang dapat membekuknya bakal
terangkat nama dan gengsinya
Sudah tentu ketiga lawannya tidak mau melepasnya begitu saja, dengan kencang serempak
mereka mengejar dengan kencang.
Bukan gentar atau gugup sebaliknya Thian-hi malah berlega hati bahwa usahanya ternyata
berhasil memancing ketiga musuhnya berkisar dari tempat bukit kecil itu. Dengan demikian maka
terlepaslah Bun Cu-giok dari perangkap yang telah mereka rencanakan. Apalagi kepandaian dan
kemampuan ketiga lawan ini bila mau cukup dengan bekal kepandaiannya sekarang mudah sekali
untuk mengalahkan mereka.
Baru pikiran ini terkilas dalam benaknya, mendadak terdengar derap lari kuda yang berlari
pesat sekali, begitu dekat kontan menerjang ke arah Ciok Hou-bu, Tio Hong-ho dan Liong Lui
bertiga serta merabu dengan serangan pedang yang ganas.
Waktu Thian-hi berpaling pendatang ini kiranya bukan lain Pangcu Partai Putih Bun Cu-giok si
pedang mas cambuk perak.
Berhasil mendesak mundur ketiga lawan baru Bun Cu-giok berkesempatan menoleh kepada
Hun Thian-hi, serunya, “Dari mana kau saudara Hun?”
“Bun-pangcu,” teriak Thian-hi,
“kenapa kau ke-mari?
Dari nona Ciok tadi kudengar katanya mereka hendak menjebak kau!”
Tergetar badan Bun Cu-giok, namun sikapnya masih tenang2 dan tertawa, tanyanya, “Saudara
Hun hendak kemana kau sekarang?”
Dalam pada itu Ciok Hou-bu sudah menyerbu tiba sambil menggerung gusar, mantelnya
menderu menyapu datang. Sementara pedang dan Tongkat Tio Hong-ho serta Liong Lui juga
tengah mengancam dari jurusan lain.
Se-olah2 tidak terjadi apa2, seenaknya saja Bun Cu-giok tidak pandang sebelah mata
keroyokan para musuhnya. Tampak batang pedang mas berkilau menggetar me-nutul2 sejurus
saja sekaligus ia punahkan serangan ketiga lawannya.

Diam2 terperanjat hati Thian-hi, batinnya, “Kepandaian silat Bun Cu-giok ternyata begitu tinggi,
kalau tidak mengandal ketajaman senjatanya pusaka mungkin si orang tua jubah merah Pangcu
Partai Merah bukan menjadi tandingannya.
Karena ia menonton dengan seksama, pikiran pun tengah melayang sesaat ia menjadi lupa
menjawab pertanyaan orang.
Melihat Thian-hi menonton dengan cermat pertempuran satu lawan tiga, diam2 girang hati Bun
Cu-giok, sengaja ia ingin pamer kepandaian ilmu pedangnya, sinar pedang berkilatan selulup
timbul, beruntun lima jurus ia menyerang mundur musuh ber-ulang2.
Tanya Bun Cu-giok setelah mendesak mundur ketiga musuhnya, “Dikalangan Kangouw tersiar
kabar katanya saudara Hun telah membunuh Giok-yap Cinjin, bagaimana duduk perkara
sebenarnya apakah saudara Hun sudi beritahu kepada aku?”
Mendadak Hun Thian-hi teringat bahwa guru Bun Cu-giok adalah Sute Giok-yap Cinjin, entah
bagaimana pandangannya mengenai persoalan ini, sejenak ia tatap wajah Bun Cu-giok, dilihatnya
orang tiada punya maksud buruk, maka segera ia menjawab, “Soal ini tersangkut paut dengan
Mo-bin Su-seng (pelajar muka iblis). Apalagi kedua murid Giok-yap Cinjin yaitu Gwat Long dan
Sing Poh juga jelas tahu peristiwa itu, Terlalu panjanglah kalau mau diceritakan.”
Setelah mendengar sekedar penjelasan Thian-hi yang singkat itu, Bun Cu-giok angkat alis dan
berseru kepada Ciok Hou-bu bertiga, “Apakah kalian masih ingin bertempur?”
Ciok Hou-bu mendengus, jengeknya, “Kita mengundang kau, apa kau tahu apa tujuan kita?”
Bun Cu-giok ter-bahak2 serunya, “Go Ciok kenapa tidak datang?”
Thian-liong-kiam Liong Lui menjengek dingin, “Kita bertiga sudah lebih dari cukup untuk
membereskan kau, kenapa harus Pangcu sendiri yang turun tangan?”
Bun Cu-giok menggeram, semprotnya, “Kalian dua golongan menyergap dan memusnahkan
Kim-ke-cheng waktu pihak lawan tak bersiaga, kalian sangka urusan lantas beres sampai disitu
saja? Gi Ciok sendiri punya sepak terjang tengik seperti bajingan, maka jangan salahkan kalau aku
menghukum kalian dulu!”
Ciok Hou-bu tersenyum sinis, katanya, “Bun pangcu seorang gagah yang perwira, aku Ciok
Hou-bu benar2 kagum. Urusan harus dibikin beres secepatnya menurut keadilan bagi orang yang
cerdik pandai.”
Bun Cu-giok ter-bahak2, serunya, “Ciok-pocu punya cara muslihat apa untuk menundukkan
aku, Bun Cu-giok ingin belajar kenal!”
Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, dari percakapan ini baru ia tahu bahwa urusan ternyata
sudah berkembang begitu jauh Pihak Kim-ke-cheng sudah musnah begitu gampang dalam waktu
singkat. Kenapa? Bukan lain hanya karena sebilah Badik buntung.
Segere Hun Thian-hi menimbrung, “Hanya karena sebilah Badik buntung milikku itu Partai
Merah dan Hwi-cwan-po memusnahkan seluruh Kim-ke-cheng, aku Hun Thian-hi betul2 menjadi
mati kutu. Tapi Hun Thian-hi ingin minta penjelasan langsung dari Ciok-pocu, mengandal apa Hwicwan-
po kalian bisa malang melintang didaerah Kanglam?”
Ciok Hou-bu ter-loroh2. Tanpa menanti orang berhenti tertawa.

Bun Cu-giok menyindir dengan seringai sinis, “Ciok Hou-bu, kau hendak menjebak dan
mencelakai aku. Lebih baik sekarang kau pulang ke Hwi-cwan-po, coba lihat mungkin sarangmu
itu sudah kubumi hanguskan seluruhnya.”
Berubah hebat rona wajah Ciok Hou-bu.
Tio Hong-ho yang berwatak tenang mendengus, bujuknya, “Ciok-pocu, jangan kau percaya
dengan obrolannya. Partai putih sedang kepepet dari dua jurusan, diutara oleh Thian-san-ji-long,
diselatan ada kita beramai, masa mereka masih punya kekuatan pergi ke Hwi-cwan-po!”
“Apakah begitu gampang seperti uraianmu?” jengek Bun Cu-giok, “Aku kuatir kau hanya
mengudal ludah saja.”
Segera Ciok Hou-bu menenangkan hati, bukan mustahil hal itu bisa terjadi, sesaat ia terlongong
ditempatnya. Terpikirkan olehnya usaha capek lelah selama puluhan tahun telah lenyap hanya
sekejap mata saja betapa tidak sayang dan murung hatinya. Saking gegetun dan gemas ia putar
mantel ditangannya terus menyerbu seperti banteng ketaton.
Tampak diujung lirikan mata Bun Cu-giok, Ciok Yan tengah berlari menyingkir sambil menutupi
raut mukanya dengan kedua tangan. Hatinya menjadi menyesal dan ragu2, cepat2 ia menarik tali
kekang mencongklang kudanya menyingkir dari serangan Ciok Hou-bu ini.
Dengan kalap Ciok Hou-bu menyerbu terus dengan serangan gencar. Tio Hong-ho memburu
maju kesamping Ciok Hou-bu dan membisiki, “Saudara Ciok! Kenapa menjadi kalap!”
Tersentak hati Ciok Hou-bu, tergugah semangatnya untuk berpikir secara terang, bukankah
obrolan orang belum terbukti kenyataannya, sedang pihak sendiri masih punya tipu muslihat untuk
menjebaknya. Karena itu cepat2 ia menyurut mundur, serunya, “Orang she Bun, hari ini kuampuni
jiwamu, aku akan kembali memeriksa dulu!” bersama mereka bertiga terus ia membalik dan berlari2
meninggalkan gelanggang.
Bun Cu-giok menjengek dingin, matanya menerawang keempat penjuru, batinnya, “Aku Bun
Ciok-giok masa bernyali kecil, biar kau mengatur jebakan apapun juga akan kuterjang.” Kudanya
segera dikeprak mengejar serunya, “Begitu gampang kalian hendak melarikan diri ?”
Sambil berlari Ciok Hou-bu menolhi dan berteriak, “Gi-pangcu berada didalam lembah didepan
sana, apa kau berani kesana?”
Bun Cu-giok ter-kakak2, sudah dalam rekaan hatinya bahwa Gi Ciok memendam diri disana
hendak menyergap dirinya, sekarang terbukti kenyataannya. Kudanya dipecut berlari semangkin
kencang. Terpaksa Hun Thian-hi juga ikut berlari pesat, teriaknya, “Bun-pangcu hati2 kau!’”
“Legakan hatimu saudara Hun,” teriak Bun-cu-giok sambil tertawa lebar, “Bun Cu-giok tidak
gentar menghadapi Thay-i-kiam miliknya itu.”
Sementara itu Ciok Hou-bu bertiga sudah mencapai mulut lembah yang sempit itu, sebat sekali
Thian-hi mengerahkan tenaga menjejakkan kaki, tubuhnya melambung tinggi dan meluncur
kedepan, ditengah udara ia berteriak, “Ciok-pocu, harap berhenti sebentar.”
Namun Ciok Hou-bu menjawab dengan gelak tawanya, sekejab saja mereka sudah berkelebat
hilang dibalik mulut selat yang sempit itu.
Bun Cu-giok mencongklang kudanya masuk kedalam lemtah yang sempit, kedua lampingnya
tinggi dan terjal, baru saja beberapa puluh langkah tiba2 terdengar suara gemuruh seperti gugur

gunung, ber-puluh atau beribu batu besar kecil tiba2 berjatuhan dari atas tebing seperti hujan
derasnya.
Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok dan Thian-hi, sigap sekali Bun Cu-giok melompat
turun dari tunggangannya sambil menyeret Thian-hi menyingkir kesamping dan berdiri
membelakangi dinding batu yang terjal itu, mereka menjadi repot menghindar dan memukul batu2
yang meluruk keseluruh tubuh mereka. Kira2 setengah jam lamanya hujan batu gunung itu
berlangsung sampai mereka kehabisan tenaga, setelah suasana menjadi hening dan terang
kembali seluruh lembah sempit itu sudah penuh tertimbun batu dan debu, Thian-hi berdua sudah
kepayahan tertimbun setengah badan, dalam waktu dekat mereka tak mampu bergerak dan
meloloskan diri dari himpitan batu2.
Tak lama kemudian tampak Ciok Hou-bu bertiga mendatangi. Sambil cengar cengir Ciok Hou-bu
bertiga tertawa sinis kegirangan. Maju selangkah gampang sekali Tio Hong ho merebut Badik
buntung yang digenggam ditangan Thian-hi. Ada niat Thian-hi hendak melawan apa daja tenaga
sudah habis, untuk bergerak saja tak mampu.
Bun Cu-giok menghela napas rawan, katanya kepada Thian-hi, “Saudara Hun! Sungguh aku
sangat menyesal.”
Hun Thian-hi tersenyum, ujarnya, “Ah, Bun-pangcu kenapa bicara begitu. Kalau Bun-pangcu
tidak menyeret aku tadi siang2 jiwaku ini pasti sudah melayang.”
Setelah dapat merebut Badik buntung, dengan seksama Tio Hong-ho tengah memeriksanya,
wajahnya dihiasi senyum kegirangan
Ciok Hou-bu menjadi mendelu, tanyanya rada tak senang, “Tio-tongcu cara bagaimana kau
hendak membereskan kedua orang ini ?”
Tio Hong-ho tertawa kering, katanya, “Menurut hemat Pangcu kita untuk memulihkan kekuatan
dan pangkalan Thay-i-bun kembali betapapun perlu minta bantuan Hun Thian-hi. Kalau kita
meringkusnya dan diserahkan kepada Bu-tong-pay, tentu selanjutnya seluruh kaum Kangouw tidak
bersikap bermusuhan lagi dengan Thay-i-bun. Sedang Bun Cu-giok punya permusuhan dengan
Ciok-pocu, dia boleh kuserahkan kepada Pocu terserah bagaimana kau hendak membereskan dia.”
Seketika berkobar amarah Ciok Hou-bu, dalam hati ia mengumpat, “Jang menguntungkan kau
keruk sendiri, sedang Bun Cu-giok yang bisa menimbulkan bencana kau serahkan kepada aku,
apa2an sikap kalian ini!” Dalam hati ia mengumpat namun situasi yang dihadapi ini tak
menginjinkan dia pengumbar nafsunya, maka dengan tertawa lebar ia berkata, “Pikiran Pangcu
kalian sungguh sangat sempurna, sebaliknya aku Ciok Hou-bu punya pandangan yang rada
berbeda.”
Tio Hong-ho tahu kalau Ciok Hou-bu tidak senang akan keputusan tadi, namun urusan sudah
ketelanjur sedemikian jauh, bukan mustahil mereka bakal bertengkar sendiri, sekarang Hwi-cwanpo
sudah musnah, mengandal kekuatan Partai merah yang tersebar luas di kalangan Kangouw
kiranya tak perlu takut menghadapi Ciok Hou-bu.
Terdengar Tio Hong-ho tertawa terkekeh, serunya, “Kalau Ciok-pocu punya pendapat silakan
bicarakan. Hanya aku kuatir Pangcu kita tidak bakal setuju pendapat Ciok-pocu itu.”
Semakin berkobar amarah Ciok Hou-bu, terang orang tengah menggunakan tipu menyebrang
sungai memutus jembatan memukul jatuh anjing kedalam air, jelas sekali menghina Hwi-cwan-po
yang sudah musnah itu. Sedapat mungkin ia menahan gelora amarahnya, setelah bergelak tawa
sekian lama ia berkata, “Semula partai kalian mengajak aku berserikat, tujuan utama Ciok Hou-bu

adalah Badik buntung, sedang Partai kalian menghadapi Partai putih yang merupakan musuh
kebujutan. Menurut perjanjian semula sudah seharusnya Badik buntung itu diserahkan kepada
aku, sedang Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi boleh kalian urus.”
“Pendapatmu ini tidak mungkin terlaksana, perjanjian semula boleh dianggap batal.” demikian
jawab Tio Hong-ho sambil menyeringai.
Tak tertahan lagi gejolak amarah Ciok Hou-bu, desisnya dingin, “Apa yang kuucapkan tadi
sebetulnya sudah memberi banyak kelonggaran dan memberi muka kepada partai kalian.”
Tio Hong-ho bergelak tawa, serunya, “Ciok-pocu, kita bekerja harus menurut aturan,
bagaimana menurut pendapat Ciok-pocu mengenai hal ini’”
Ciok Hou-bu mendengus, batinnya, “Apakah ini yang dimaksudkan dengan mengenai aturan?”.
Kata Tiok Hong-ho meneruskan diplomasinya, “Memang, pembagian cara ini pihak partai kita
rada mengambil sedikit keuntungan. Tapi Ciok-pocu harus ingat, semula cara bagaimana dan
kenapa Kita sampai berserikat?”
“Apakah perlu ditanyakan lagi?” demikian umpat Ciok Hou-bu dalam hati.
“Aku percaya Ciok-pocu sudah maklum dalam hati,” begitulah Tio Hong-ho meneruskan
pidatonya, “kita bergabung karena keuntungan dan berpisah setelah keuntungan itu tercapai, ini
kan sudah jamak, apakah Ciok-pocu berani menyanggah akan kebenaran ini?”
Ciok Hou-bu tertawa hambar, katanya, “Kalau demikian kukuh pendapat Tio-tongcu, terpaksa
Ciok Hou-bu mohon diri saja………”
“Ciok-pocu tunggu sebentar,” teriak Tio Hong-ho, “Bun-pangcu tak berguna lagi bagi kita,
silakan Ciok-pocu membawanya pulang.”
Ciok Hou-bu menggeram, otaknya berpikir, “Jelas kalian gentar menghadapi gurunya yang
kenamaan yaitu Ce-hun Totiang, demi mengambil hati pihak Bu-tong-pay lantas kalian serahkan
dia kepadaku.” mendadak tergerak hatinya, otaknya sudah merancang suatu muslihat, dengan
pura2 tertawa ia berkala, “Kalau Tio-tongcu memang berkeputusan begitu, terpaksa Ciok Hou-bu
menurut saja.”
Tiok Hong-ho tertawa lebar dimabuk kemenangan. Mendadak Ciok Hou-bu menggertak keras
mantel abu2nya bergulung lempang terus terbang menyerang kearah Tio Hong-ho.
Serangan dilancarkan secara tak terduga, Tio Hong-ho tak bersiaga lagi, menurut dugaannya
semula Ciok Hou-bu sudah gentar dan kuncup menghadapi Partai merah yang sudah semakin
menanjak dikalangan Kangouw, betapapun dia takkan berani sembarangan bergerak, apalagi
kepandaian silat sendiri tidak terpaut jauh dibanding kemampuan Ciok Hou-bu.
Begitulah waktu mendengar samberan kuat menyerang kearah dirinya, sekuatnya ia bergerak
mengepos. namun dimana mantel itu menyamber lewat, seketika ia menjerit se-keras2nya, tahu2
lengan kirinya sudah tersapu kutung.
Berhasil akan serangannya Ciok Hou-bu tak berhenti sampai disitu saja, tampak mantelnya
berkembang me-nari2 dengan derasnya membawa deru angin yang sangat kencang, sekaligus ia
sudah melancarkan kepandaian tunggal yang paling dibanggakan, yaitu tiga belas jurus Hwi-cwankian-
soat. Tampak setabir bayangan abu2 berkembang melebar kekanan kiri menyerang kearah
dua orang musuhnya.

Terpaksa Liong Lui mencabut pedangnya menangkis, susah payah ia menghalau setiap
serangan Ciok Hou-bu. Dalam waktu dekat memang Liong Lui kuat bertahan, tapi lama kelamaan
ia semakin terdesak dan mundur selangkah demi selangkah.
Dalim pada itu Tio Hong-ho sudah berhasil membalut luka2 dilengan kirinya mencegah
mengalirnya. banyak darah, sambil kertak gigi ia mengayun tongkat senjatanya membantu Liong
Lui berdua mereka mengerojok Ciok Hou-bu.
Begitulah mereka bertiga bertempur dengan sengit, dalam wuktu singkat keadaan menjadi
berimbang. Sudah tentu kejadian ini sangat menguntungka Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi pernah menelan buah ajaib, sedang Bun Cu-giok pun punya dasar latihan Sianthian-
cin-gi dari aliran murni, dalam waktu singkat tenaga dan semangat mereka bisa pulih
kembali.
Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus, keadaan masih tetap sama kuat. Diam2 Thian-hi
dan Bun Cu-giok saling memberi isyarat, mereka membentak bersama sekaligus berhasil
membongkar batu besar dan debu yang menghimpit mereka terus melompat keluar. Tapi
kelihatan kedua kaki masing2 basah lembab oleh darah yang merembes dari luka2.
Sudah tentu Ciok Hou-bu bertiga kaget setengah mati, Sementara itu Bun Cu-giok serahkan
pedang masnya kepada Hun Thian-hi, untuk melawan musuh ia melolos cambuk perak sebagai
gaman.
Tepat saat itu juga, dari luar lembah terdengar derap kaki kuda yang berlari pesat. Seketika Tio
Hong-ho dan Liong Lui mengunjuk rasa girang, pendatang ini bukan lain adalah Pangcu Partai
Merah Gi Ciok adanya.
Belum lagi sampai Gi Ciok sudah melambung tinggi, ditengah udara melolos pedang pusaka
terus meluncur menyerbu kearah Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok menghardik ringan, tombak perak ditangan kanan terayun, laksana ular hidup
cambuknya melilit kearah Thay-i-kiam musuh.
Terdengar Gi Ciok mendengus kaget, terasa sesuatu keganjilan diluar kesigapannya. Diketahui
olehnya bahwa cambuk perak Bun Cu-giok itu kiranya bukan sembarang senjata umumnya yang
terbuat dari perak biasa, tetapi adalah terbuat dari anyaman sutra perak dan benang baja yang
ulet tak mempan senjata.
Maka cepat2 ia menarik pulang pedangnya. Kesempatan ini tak di-sia2kan oleh Bun Cu-giok,
cambuk perak ditangan kanannya diobat-abitkan sekencang kitiran menyerbu semakin gencar,
setiap lecutan tentu mengarah jalan darah mematikan diseluruh badan Gi Ciok.
Gi Ciok harus kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, meski terdesak ia masih kuat
bertahan terus sampai ratusan jurus Kemudian baru ia bisa memperbaiki posisinya. Sekarang
keadaan kelihatan sama kuat.
Thian-hi tahu bahwa tenaga Bun Cu-giok belum pulih seluruhnya, tentu tidak menguntungkan
bertempur lama-lama, segera ia berkata, “Bun-pangcu, hari ini kita hentikan dulu sampai disini.”
Bun Cu-giok insaf hari ini tentu tak mudah mengambil kemenangan, apalagi kalau Ciok Hou-bu
berbalik kepihak musuh lagi tentu semakin berabe, sambil bergelak tawa ia berkata, “Hari ini
cukup sekian saja, tapi urusan ini takkan ada habisnya.”

Sementara itu Gi Ciok tengah keheran-heranan akan kepandaian silat Bun Cu-giok yang luar
biasa itu, mendengar itu segera ia pura-pura menggertak, “Apa, kau hendak lari?”
Bun Cu-giok menyeringai, katanya kepada Ciok Hou-bu, “Hwi-cwan-po sebetulnya masih utuh,
tapi akan datang suatu hari akan kubumi hanguskan rata dengan tanah.” — Habis berkata lalu
tinggal pergi bersama Hun Thian-hi.
Ciok Hou-bu berdiri menjublek, tak tahu bagamana baiknya, bahwa Hwi-cwan-po masih utuh ini
benar-benar suatu berita yang menggembirakan, namun keadaan sekarang adalah sangat
berbahaya bagi dirinya Pangcu Partai Merah Gi Ciok sudah cba, apakah dia rela melepas dirinya.
Dalam pada itu Hun Thian-hi dan Bun Cu-giok sudah berlari jauh. Gi Ciok tahu dirinya takkan
mampu merintangi, terpaksa ia mandah saja membiarkan mereka pergi.
Pelan-pelan Gi Ciok lantas membalik. Tio Hong-ho segera maju mempersembahkan Badik
buntung katanya, “Pangcu! Badik buntung berhasil kurebut. Tapi karena Ciok Hou-bu merintangi
sehingga kedua orang itu tak dapat dibekuk, harap Pangcu mendapat tahu.”
Gi Ciok manggut-manggut sambil menerima Badik buntung. Sekian lama ia mengamati dan
meneliti seluruh batang Badik buntung itu. Pelan-pelan sinar matanya terangkat naik berpindah
menatap kepada Ciok Hou-bu.
Tergetar jantung Ciok Hou-bu.
Terdengar Gi Ciok menjengek, “Ciok-pocu, kelakuanmu ini apakah terhitung berserikat dengan
kita?” “
Ciok Hou-bu tahu bahwa Gi Ciok takkan melepas dirinya, dari kepepet ia menjadi nekad,
katanya sambil tertawa lebar, “Gi-pangcu sebaliknya apakah kalian punya maksud yang serius
hendak berserikat dengan kita!”
Gi Ciok menggeram gusar, tahu dia kalau Ciok Hou-bu bisa berdiri menjagoi sesuatu daerah
dan membangun Hwi-cwan-po yang kenamaan tentu punya kepandaian simpanan yang
diandalkan, kalau tidak turun tangan sendiri tentu takkan dapat menundukkan dia.
Gi Ciok terkekeh dingin, tantangnya, “Ciok-pocu angkat nama karena tiga belas jurus Hwicwan-
kiaH-soat itu, hari ini Gi Ciok minta belajar kenal betapa lihay ketiga belas jurus ilmu
mantelmu itu.”
Ciok Hou-bu tak mau unjuk kelemahan, tertawa bahak-bahak iapun mengejek, “Betapa
beruntungnya Ciok Hou-bu mendapat pelajaran langsung dari Gi-pangcu, matipun puaslah!” —
tanpa sungkan-sungkan segera ia menggentakkan mantel dari punggungnya.
“Senjataku ini adalah sebilah pedang pusaka, kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat
mengalahkan kau, urusan hari ini anggap himpas seluruhnya.” demikian ejek Gi Ciok.
Ciok Hou-bu insaf, jangan kata sepuluh jurus, hanya lima jurus saja mungkin dirinya takkan
kuat bertahan, namun urusan sudah mendesak begitu jauh, terpaksa ia kerahkan tenaga dan
menggerakkan mantelnya, dengan jurus-jurus ilmu Hwi-cwan-kian-soat ia mendahului menyerang.
Gi Ciok menyungging seringai sadis, cepat sekali ia berkelit kian kemari membebaskan diri dari
samberan mantel musuh. Sekali pedangnya menyontek ke atas, dalam sejurus saja ia berhasil
mengupas sebagian kecil ujung mantel Ciok Hou-bu.

Berubah air muka Ciok Hou-bu, mantelnya dikebutkan dengan jurus It-sek-hun-kian
menggulung ke arah muka Gi Ciok.
Gi Ciok mengandalkan senjata pusakanya sedikit pun ia tidak gentar menghadapi musuh, bukan
mundur atau berkelit sebaliknya dengan berani ia memapak maju, ujung pedangnya tahu-tahu
sudah mengancam di depan dada lawan.
Terpaksa Ciok Hou-bu melompat mundur, sehingga serangannya gagal di tengah jalan. Gerak
pedang Gi Ciok ternyata hebat sekali belum sempat Ciok Hou-bu memperbaiki posisinya, tahu-tahu
mantelnya sudah terkutung menjadi dua oleh ketajaman pedang pusaka musuh.
Insaflah Ciok Hou-bu bahwa dirinya memang bukan tandingan lawan, terpaksa ia pasrah nasib
dan menyerah mentah-mentah, dengan tertawa lebar ia buang mantelnya serta katanya, “Aku
Ciok Hou-bu mengaku kalah, terserah bagaimana kalian hendak membereskan aku.”
Gi Ciok tertawa dingan, katanya kepada Tio Hong-ho, “Tio-tongcu, Ciok-pocu sudah menyerah,
dia membuntungkan lenganmu, sekarang terserah bagaimana kau hendak menghukumnya.”
Sungguh Tio Hong-ho tidak menyangka bahwa Ciok Hou-bu diserahkan kepadanya untuk
memberi hukuman, sesaat ia menjadi melongo tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ciok Hou-bu punya nama dan kedudukan di kalangan Kangouw, kalau menghukumnya terlalu
berat kuatir para sahabatnya nanti menuntut balas. Kalau hukuman terlalu ringan, kelak mungkin
bakal menimbulkan bencana juga bagi dirinya, untuk sesaat ia menjadi bingung mengambil
keputusan.
“Bagaimana?” Gi Ciok mendesak, “Apa Tio-tongcu belum tahu?”
Cepat Tio Hong-ho menjawab, “Selamanya Partai Merah mengutamakan keadilan dan kebenarbenaran,
dia telah membuntungi lenganku. Aku tidak bisa menghukumnya terlalu berat, apalagi
Partai Merah tidak suka mengikat permusuhan, sekarang lengan kiriku sudah buntung maka
akupun mengutungi lengan kanannya saja. Bagaimana pendapat Pangcu?”
Gi Ciok manggut-manggut dengan puas. Pucat wajah Ciok Hou-bu, sebagai seorang tokoh
persilatan, apalagi dalam usia yang sudah menanjak setengah abad, kalau sebuah lengannya
buntung berarti menjadi cacat.
Gi Ciok maju ke hadapannya, katanya kepada Ciok Hou-bu, “Bagaimana Ciok-pocu?”
Hakikatnya Ciok Hou-bu takkan mampu melawan atau mati adalah bagiannya, terpaksa ia
mengulurkan lengan kanannya, sekali bacok Gi Ciok memapas kutung lengan kanan orang. Kontan
Ciok Hou-bu menjadi pucat pasi.
Gi Ciok terbahak-bahak, ujarnya, “Ciok-pocu, sebuah lengan diganti sebuah lengan, untuk
selanjutnya golongan kita sudah himpas dan tidak punya hutang piutang lagi.” — lalu bersama Tio
Hong-ho dan Liong Lui mereka tinggal pergi menunggang kuda.
Otak Ciok Hou-bu terasa hampa dan kosong, setelah membalut sekedarnya luka-luka lengan
kanannya ia berjalan terhuyung-huyung. Dalam keadaan kehabisan darah pikirannya menjadi
semakin kabur, entah berapa jauh sudah ia berjalan jatuh bangun, yang terpikir dalam otaknya
melulu, “Lengan kananku sudah buntung!” — begitulah dia terus melanjutkan ke depan.

Akhirnya ia sampai di tanjakan bukit berbatu, sampai disini tak mungkin ia kuat merambat ke
atas, ia berdiri menjublek dan terlongong disitu, mulutnya menggumam, “Tidak ada jalan lagi.”
Mendadak dibelakangnya terdengar sabda Budha, dengan linglung Ciok Hou-bu menoleh,
tampak seorang Hwesio tua tengah beranjak mendatangi.
Sambil tersenyum Hwesio tua itu berkata kepada Ciok Hou-bu, “Kenapa Sicu tak melanjutkan
ke depan?”
“Terus ke depan?” sahut Ciok Hou-bu bingung, “Depan sana tiada jalan lagi.
“Kembali tentu ada jalan!” sahut Hwesio tua.
Ciok Hou-bu melengak, desisnya, “Kembali?”
Hwesio tua manggut-manggut, katanya tertawa, “Kenapa lengan kanan Sicu buntung?”
“Dibacok buntung oleh orang.”
“Dibacok buntung orang?” Hwesio tua menegas, “Loceng kuatir mungkin lengan itu bukan
dikutungi oleh orang lain.”
Ciok Hou-bu tertegun, desisnya lagi, “Bukan dibacok buntung? Kalau begitu tentu kubacok
buntung sendiri, cara bagaimana aku membacoknya buntung?”
Hwesio tua tersenyum simpul tak bersuara, sesaat kemudian baru buka suara, “Benar-benar,
cara bagaimana kau mengutungi lenganmu sendiri!” habis berkata ia putar tubuh terus tinggal
pergi.
Ciok Hou-bu masih menjublek di tempatnya, sejenak kemudian otaknya rada tergetar sadar
cepat-cepat ia berteriak, “Lo-suhu harap tunggu sebentar.”
Hwesio tua tak hiraukan panggilannya terus berjalan ke depan. Lekas-lekas Ciok Hou-bu
mengejar, sampai dibelakangnya Ciok Hou-bu tak berani mendahului ke depan, begitulah ia terus
mengintil di belakang Hwesio tua itu, lambat laun bayangan mereka menghilang dibayang2 hutan
yang lebat.
Setelah meninggalkan lembah, ditengah jalan Bun Cu-giok menanyakan pengalaman sejak
mereka berpisah tempo hari. Thian-hi tahu tujuan Bun Cu-giok ingin tahu persoalan pembunuhan
atas Giok-yap Cinjin, maka dengan jelas ia menceritakan.
Bun Cu-giok termenung sebentar. lalu katanya, “Guruku sudah lama mengasingkan diri, soal ini
tentu beliau tak mau urus. Tapi kita berdua sudah mengalami berbagai bencana dan bahaya
sehidup semati, untuk persoalan ini kau pun tak perlu kuatir, aku akan membantumu sekuat
tenaga supaya kau dapat melanjutkan ke Tiang-pek-san.”
Hun Thian-hi tertawa getir, katanya, “Bun-pangcu, banyak terima kasih akan maksud baikmu,
kalau hanya aku seorang gampang saja aku mau sembunyi kemana. Sebaliknya Partai Putih untuk
hari2 selanjutnya perlu tegak berdiri di Kangouw, betapapun jangan karena persoalanku sehingga
timbul permusuhan dengan para sahabat Bulim!”
Bun Cu-giok tertawa tawar, katanya menggoyang tangan: Sudah lima tahun aku berkelana di
Kang-ouw, hanya kaulah seorang yang menjadi sahabat kentalku. Tujuanku berkelana di Kangouw

bukan mengejar nama atau mencari keuntungan pribadi. Seumpama Partai Putih harus lenyap dari
Kangouw pun tak kupedulikan lagi!”
Thian-hi menjadi heran, tanyanya, “Lalu apa tujuan Bun-pangcu sebenar-benarnya?”
Bun Cu-giok tertawa getir, katanya menggeleng, “Kau tidak tahu, akupun tidak akan tahu.”
Thian-hi mengira Bun Cu-giok punya rahasia hati yang sulit dikatakan, maka iapun tak
mendesak lebih lanjut.
“Mungkin usiamu lebih muda beberapa tahun baiklah aku panggil kau ajk saja,” demikian kata
Bun Cui-giok sambil menghela napas, “Masih banyak urusanku yang belum dapat kau pahami
kuberitahu pun tiada gunanya.”
Bertambah heran benak Thian-hi. Mendadak teringat olehnya akan sikap Bun Cu-giok yang rada
ganjil waktu mendengar rasa prihatin Ciok Yan terhadapnya, tiba-tiba ia tertawa, katanya, “Apakah
maksud Bun-heng mengenai asmara muda-mudi?”
Bun Cu-giok angkat kepala menatap Thian-hi, desisnya, “Lote, apakah kau….” sampai disini Bun
Cu-giok menjagi geli sendiri.
Bab 8
Sontak Thian-hi merasa jantungnya berdebur keras, hatipun tak tenang, nada tertawa Bun Cugiok
malah membangun kembali kenangan yang tak menentu, bayangan Ham-gwat, Su Giok-lan
dan Siau Hong berkelebat dalam benaknya, akhirnya bayangan jelita lenyap dan berganti wajah
dingin kaku dan seram dari muka Bu-bing Loni.
Tanpa merasa bergidik tubuh Thian-hi, badannya merinding dan terasa dingin. setelah
menghirup hawa ia berkata, “Saudara Bun jangan berkelakar.”
Bertaut alis Bua Cu-giok, hatinya membatin, “Kenapa kelihatannya Hun Thian-hi takut
menghadapi wanita, hanya menyinggungnya saja kenapa badan sampai gemetar?”
Thian-hi menghembuskan angin dari mulutnya, ditatapnya sikap dan mimik wajah Bun Cu-giok,
ia tertawa dibuat-buat, pikirnya mungkin aku terlalu serius dan tegang dalam bicara tadi.
Mendadak ia tertawa lebar dan katanya, “Ucapanku tadi hanya pancingan saja, karena waktu
kusinggung tentang nona Ciok kulihat mimik dan sikap saudara Bun kurang wajar.”
Terketuk sanubari Bun Cu-giok, katanya tersipu-sipu, “Lote, jangan kau sembarang ngoceh,
jangan main-main dengan urusan asmara!”
Melihat kegugupan Bun Cu-giok, Thian-hi menjadi bergelak tawa ujarnya, “Siaute berpikir
sampai sekarang saudara Bun belum punya istri, nona Ciok seorang gadis rupawan, lemah lembut
lagi, menurut penilaian Siaute watak dan martabatnya pun boleh deh….”
Sampai disini dilihatnya. perubahan air muka Bun Cu-giok, maka segera ia berhenti kata, dan
merubah haluan, “Saudara Bun, maaf akan kelancangan mulutku tadi.”
Bun Cu-giok menghela napas, ujarnya, “Tak apa, aku sedang memikirkan persoalan lain,
apakah patut aku berbuat begitu.”

Hun Thian-hi bungkam, Bun Cu-giok pun tenggelam dalam renungannya. Mendadak ia bertanya
kepada Thian-hi, “Lote, ada satu persoalan hendak kutanya kepadamu. Jikalau seseorang
melakukan pekerjaan, tapi melanggar adat istiadat dan pengajaran, namun ia ingin beaar
melakukan semua itu, apakah patut kalau dia melaksanakan terus niatnya itu?”
Mendelong mata Thian-hi mengawasi Bun Cu-giok, hatinya heran dan bertanya-tanya kenapa
Bun Cu-giok menyinggung persoalan begitu kepada dirinya, sebentar ia berpikir lalu jawabnya,
“Aku sendiri juga tidak tahu. Tapi menurut hemadku kalau dia merasa betul, boleh saja dia
melakukan keinginannya.”
Bun Cu-giok menunduk terpekur, katanya kemudian, “Lote, mari kita berangkat, coba lihat,
bagaimana dandanan kita sekarang!”
Waktu Thian-hi menunduk, memang separo badan mereka sudah kotor dan lembab oleh noda2
darah tercampur debu, tak kuasa ia menjadi tertawa geli.
Cepat-cepat mereka menuju kesebuah kota kecil. Anak buah Partai Putih tersebar luas dimanamana,
tak lama kemudian mereka sudah berganti pakaian, dan menginap semalam dikota itu. Hari
kedua Thian-hi berkeras hendak melanjutkan perjalanan seorang diri.
Terpaksa Bun Cu-giok mengangguk setuju.
Begitulah Hun Thian-hi lantas berangkat melalui jalan raja. Jauh dibelakangnya Bun Cu-giok
berlari-lari kecil mengejar. Entah berapa lama Bun Cu-giok berlari saat mana tiba didataran tinggi.
yang menghijau. Mendadak Bun Cu-giok berhenti dan berdiri terlongong, jauh di sebelah sana
kelihatan sebuah bayangan orang yang sangat dikenalnya, bayangan orang bergoyang gontai
berjalan pelan-pelan. Orang ifu bukan lain adalah CioK Yan adanya.
Ciok Yan berjalan menunduk dan tengah menghampiri ke arah dirinya. Jantung Bun Cu-giok
seperti bertambah berdegup dan darahnya menggelora, napas pun jadi memburu. Hampir ia
berniat menyingkir, namun kaki terasa berat dan mungkinkah ia tinggal pergi?
Ciok Yan sudah semakin dekat, setiap langkah Ciok Yan menambah jantung Bun Cu-giok
berdetak semakin cepat, sekarang jelas kelihatan rambut panjang Ciok Yan yang awut2an,
matanya yang redup dan titik-titik air mata yang membasahi pipinya.
Akhirnya Bun Cu-giok tak kuasa angkat kepala, sementara itu Ciok Yan sudah berjalan lewat di
sampingnya seperti orang linglung hakikatnya seperti tak dirasakan akan kehadiran Bun Cu-giok di
pinggir jalan itu.
Sungguh rawan perasaan Bun Cu-giok, hati laksana ditusuk sembilu, sekuatnya ia bertahan
supaya air mata tidak meleleh keluar. Saat itulah terketuk hatinya, ia merasa tidak seharusnya ia
membiarkan keadaan Ciok Yan yang menyedihkan itu, tak tertahan lagi ia berteriak, “Nona Ciok!”
Ciok Yan tersentak kaget dari lamunannya, seketika ia berdiri menjublek.
Bun Cu-giok berseru lagi, “Nona Ciok!”
Pelan-pelan Ciok Yan menoleh memandang ke arah Bun Cu-giok. Bun Cu-giok tak berani
beradu pandang dengannya, cepat-cepat ia berpaling ke arah lain, namun sekilas saja ia sudah
melihat jelas wajah Ciok Yan yang aju jelita, begitu menggiurkan dan menawan hati. Waktu
pertama kali mereka jumpa, dia kelihatan begitu gagah dan berani, sekarang seperti seekor kelinci
yang ketakutan dan terluka, ah, betapa bijaksana hatinya!

Sekian lama Ciok Yan terlongong memandang wajahnya tanpa bersuara.
Apa boleh buat akhirnya Bun Cu-giok buka suara lagi, “Nona Ciok, lekas kau pulang saja, Hwicwan-
po hakikatnya tidak pernah kumusnakan.”
Biji mata Ciok Yan memancarkan cahaya aneh yang gemilang, matanya terbelalak kesima
mengawasi Bun Cu-giok, rasa rawan dan kesedihan hatinya seketika tersapu bersih. Lubuk hatinya
yang paling dalam mendadak merasa kegembiraan yang sangat aneh dan menggairahkan.
Desisnya kegirangan, “Kau…. apakah ucapanmu benar-benar?”
Bun Cu-giok tersenyum dan balas pandang, ujarnya, “Kau tidak percaya kepadaku?”
“Tidak!” kata Ciok Yan kememek, air mata berlinang dikelopak matanya, “Maksudku aku
kegirangan
Bun-pangcu, kau….”
Melihat air mata Ciok Yan, Bun Cu-giok menjadi terpesona, pikirannya melayang, “Ternyata dia
begitu lincah dan lucu,” diam-diam ia merasa lega, namun tak terpikir olehnya kata-kata manis
yang enak dikatakan, terpaksa ia berkata pendek, “Aku….? Kenapa aku?”
Melihat pandangan Bun Cu-giok yang tajam dan penuh mengandung arti itu, Ciok Yan menjadi
malu dan menunduk, batinnya, “kiranya Bun Cu-giok menyusul kemari hendak mencari aku malah
memberi penjelasan duduk perkara sebenar-benarnya. Usianya masih begitu muda, berkepandaian
silat tinggi, sikapnya begitu baik pula terhadap dirinya.”
Melihat Ciok Yan menunduk malu tergetar hati Bun Cu-giok, tersipu-sipu ia berkata, “Nona Ciok,
lekaslah kau pulang. Sekarang aku masih ada urusan, segera harus berangkat!”
Ciok Yan angkat kepala, katanya, “Apa? Kau akan berangkat kemana?”
Sedapat mungkin Bun Cu-giok tertawa sewajarnya, sahutnya, “Hun Thian-hi tengah terkepung
oleh berbagai mara bahaya, aku hendak menyusul dan melindungi jiwanya.”
Lagi-lagi Ciok Yan menunduk dengan rawan, katanya tersendat, “Kalau begitu silakan kau
pergi.”
“Kau sendiri, kau harus lekas pulang!” ujar Bun Cu-giok gugup karena sikap Ciok Yan yang
ogah2-an.
Ciok Yan memutar tubuh tanpa bicara lagi, pelan-pelan ia tinggal pergi.
Bun Cu-giok mengejar beberapa langkah, katanya, “Nona Ciok, kupinta kepadamu, jangan kau
menuju ke tempat lain, langsung pulang saja ke rumahmu.”
Sesaat Ciok Yan menatap Bun Cu-giok lalu manggut-manggut, katanya, “Terima kasih Bunpangcu.”
Bun Cu-giok menghirup hawa panjang, dipandangnya punggung Ciok Yan semakin menjauh,
sejenak ia terlongong, tiba-tiba tergetar hatinya, cepat-cepat ia memutar tubuh hendak mengejar
kesana tapi begitu ia berputar kontan ia tersentak kaget, entah kapan di belakangnya sudah
berdiri seorang nenek ubanan.

Bergegas Bun Cu-giok menyurut mundur, dengan seksama ia awasi nenek tua ini, sekarang
baru lega hatinya, kiranya nenek ini adalah Hoan-hu Popo dari pegunungan Tangkula di daerah
barat, kepandaian silatnya tidak di bawah gurunya Ce Hun Totiang.
Tersipu-sipu Bun Cu-giok menjura serta sapanya, “Nenek apa kau baik.”
Hoan-hu Popo memicingkan matanya, tanyanya tertawa, “Gadis remaja tadi baik bukan?”
Bun Cu-giok mengalihkan pandangannya, apa boleh buat ia manggut-manggut.
Kata Hoannhu popo tersenyum simpul, “Kau tak perlu takut, kulihat sikapmu terlalu baik
padanya, kau harus berkumpul sama dia.”
Bun Cu-giok tergagap, jawabnya, “Jangan nenek berkelakar, Sutit masih banyak urusan lain.”
Berubah dingin wajah Hoan Hu, jengeknya, “Karena Hun Thian-hi bukan? Kau berani
melindungi dia, ketahuilah kedatanganku justru hendak mencabut nyawanya.”
Bun Cu-giok menjadi gugup, serunya, “Nenek, dia orang baik. Giok-yap Cinjin bukan meninggal
di tangannya, dia kena difitnah orang lain.”
“Bocah kecil jangan terlalu banyak turut campur urusan orang.” semprot Hoan-hu popo.
Keruan Bun Cu-giok semakin gelisah, bujuknya, “Kenapa nenek kemari mencarinya. Berilah
muka kepadaku dan memberi ampun pada jiwanya!”
“Tidak bisa!” sentak Hoan-hu sambil menarik muka.
Bun Cu-giok menjadi heran, teraba olehnya sikap Hoan-hu yang kereng ini bukan kenyataan
hendak membunuh orang, kelakuan kasarnya memang sengaja dilakukan untuk menakut2i saja.
Ia beragu sebentar lalu katanya, “Nenek, adakah sesuatu urusan yang perlu kulakukan?”
Hoan-hu merengut, semprotnya, “Urusan apa yang perlu kau kerjakan? Omong kosong belaka.”
Bun Cu-giok rada kuatir kalau membuat sinenek marah mungkin urusan selanjutnya bakal lebih
sulit diselesaikan, cepat-cepat ia merubah sikap, ia berkata tersenyum: ….Nenek. pandanglah
muka Siautit dan berilah kelonggaran!”
Hoan-hu popo menggeram, tanyanya, “Berapa tahun kau berkelana di Kangouw. semakin lama
semakin bejat dan tak tahu aturan.”
Bun Cu-giok menjadi kikuk dan bungkam tak bisa bicara.
Kata Hoan-hu popo lagi, “Apa yang terkandung dalam sanubarimu kuketahui semua, namun
gurumu tak pernah mengurus kau, kalau dia tidak peduli biar aku yang mewakili dia mengajar
adat kepadamu. Cepat kau susul dahulu nona kecil itu kemari.”
Bun Cu-giok melengak, tanyanya menegas, “Nona kecil yang mana?”
“Bocah goblok, jangan pura-pura linglung, lekas susul dia, jangan sampai ia lari jauh atau tak
kuberi ampun kepada kau….”
Bun Cu-giok menjadi serba susah, terdengar Hoan-hu mendengus, katanya, “Ajahnya sudah
cukur gundul menjadi Hwesio, kenapa kau suruh dia kembali seorang diri?”

Bun Cu-giok melengak kaget, dipandangnya mata Hoan-hu lekat-lekat. Hoan-hu mendesak lagi,
“Lekas susul dia!” terpaksa Bun Cu-giok beilari mengejar’ ke depan.
Tak lama kemudian ia sudah dapat menyusul Ciok Yan. Ciok Yan masih berjalan pelan-pelan
sambil menundukkan kepala. Mendengar derap langkah ia angkat kepala dan menoleh, dengan
heran dan bertanya-tanya ia pandang Bun Cu-giok.
Kata Bun Cu-giok tersendat, “Nona Ciok! Seorang teman guruku bernama Hoan-hu Popo
hendak mencari kau, ada berapa patah kata yang hendak disampaikan kepadamu.”
“Apa?” Ciok Yan menegas dengan terlongong.
“Cepatlah,” desak Bun Cu-giok, “Kalau sampai dia jengkel urusan bakal berabe.”
Sejenak Ciok Yan sangsi, akhirnya ia mengintil di belakang Bun Cu-giok. Mulutnya bertanya,
“Untuk keperluan apa dia mencari aku?”
“Akupun tidak tahu,” jawab Bun Cu-giok singkat.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai dimana Hoan-hu popo menunggu. Dengan
tersenyum manis Hoau-hu menatap Ciok Yan, bergegas Ciok Yan maju berapa langkah serta
sapanya, “Wanpwe Ciok Yan menghadap pada nenek!”
Hoan-hu menarik Ciok Yan lebih dekat, dengan lekat-lekat ia mengawasi wajah orang, tak
tertahan mulutnya. menggumam, “Ah, anak yang kasihan!”
Hati Ciok Yan menjadi pedih, tak tertahan airmata mengalir deras, ia menangis sesenggukan.
“Jangan nangis, jangan nangis! bujuk Hoan-hu sambil menepuk2 bahunya. Lalu ia berpaling ke
arah Bun Cu-giok dan berkata, “Cu-giok, lihatlah betapa baik dan rupawan gadis ini dimana ada
kekurangannya.”
Bun Cu-giok terperanjat, mulutnya ternganga tak mampu bicara, sesaat baru ia berkata, “Baik,
baik sekali, tiada kekurangannya!”
“Nah kalau begitu baik kujodohkan menjadi istrimu saja. Untuk selanjutnya kau harus
membimbingnya baik!”
“Apa?” Bun Cu-giok dan Ciok Yan berteriak bersama.
“Kenapa?” tanya Hoan-hu, “Bukankah menguntungkan kau malah?”
Cepat Ciok Yan menalangi, “Nenek, bagaimana bisa, ayahku….”
Hoan-hu membujuk dengan kata-kata manis, “Kau tak perlu kuatir, ayahmu diapusi Hwesio
aneh itu menjadi muridnya. Tentu dia setuju dan tiada persoalan lagi.”
“Aku….aku….Bun Cu-giok hendak menolak.
“Kau kanapa?” semprot Hoan-hu, “Apa kau tidak setuju?”
“Bukan nenek tidak tahu” demikian ujar Bun Cu-giok sambil tunduk, ….Soalnya aku….”

“Jangan kau takut,”-Hoan-hu menghibur. “Akulah yang bertanggung jawab kepada gurumu,
sedang calon istrimu itu, buang saja.”
Ciok Yan tersentak kaget,
“Apa?” tanyanya, Sungguh diluar tahunya bahwa Bun Cu-giok ternyata sudah punya calon istri.
Bun Cu-giok tunduk semakin dalam. Kata Hoan-hu lebih tandas, “Aku yang bertanggung jawab.
kenapa takut-takut lagi. Kukira gurumu pun akan setuju.”
Sekilas Bun Cu-giok melirik ke arah Ciok Yan, dilihatnya orang pun menunduk tanpa bersuara,
akhirnya iapun tunduk lagi tanpa bicara.
Hoan-hu memandang ]ekat2, katanya, “Cu-giok, tak perlu beragu, kebahagian hanya sekilas
datangnya, kalau kau ingin bahagia dihari tua, cepatlah kau ambil putusan!”
Bun Cu-giok masih tunduk tak berani ambil putusan.
Hoan-hu membujuk lagi, “Dalam segala hal terang Nona Ciok lebih unggul dari Nona Ce itu,
sudahlah kau jangan terlalu berat mengenangnya!”
Dilain pihak hati Ciok Yan sendiri juga tengah bimbang, pikiran dan kemauannya saling
bertentangan tak tertahan lagi air mata mengucur deras.
“Nona Ciok,” ujar Hoan-hu. “Apakah kau mau?”
Pikiran Ciok Yan kusut dan bingung. jawabnya, “Nenek, aku tidak mau menikah!”
Hoan-hu menjadi heran dan menatapnya dengan tak mengerti, lalu berpaling dan berkata
kepada Bun Cu-giok, “Cu-giok, kau tunggu disini sebentar, aku hendak bicara dengan nona Ciok.”
Lalu digandengnya tangannya diajak menyingkir.
Ciok Yan mandah saja diseret menyingkir sambiil tunduk, entah apa yang hendak dikatakan
Hoan-hu kepadanya, hatinya menjadi kebat kebit. Betapapun dia takkan begitu saja menyetujui
akan perjodohan ini, sebagai seorang wanita menjadi keharusan untuk menjaga gengsi pribadinya.
Hoan-hu membawa Ciok Yan kebawah sebuah pohon besar yang rindang, dengan tangan ia
suruh Ciok Yan duduk disebelahnya, mulailah ia buka mulut bicara kepada Ciok Yan, “Mungkin kau
menyangka cara kerjaku terlalu sembrono bukan?”
Ciok Yan menggeleng, katanya, “Aku belum memahami jiwa dan karakternya.”
“Bukan kau tidak paham kepadanya,” ujar Hoan-hu, “yang terang kau menyangsikan rahasia
dibalik pribadinya itu bukan?”
Ciok Yan tunduk tak bersuara. Hoan-hu menghela napas sambil menepuk bahunya, katanya,
“Ada sebuah cerita, apakah kau mau mendengarkan?”
“Cerita?” tanya Ciok Yan heran.
“Dulu adalah seorang pendekar muda,” demikian Hoan-hu mulai ceritanya, “belum lama ia
berkelana di Kangouw, waktu itu usianya masih muda dan berwajah ganteng, kepandaian silatnya
pun lihay, sikapnya menjadi congkak dan mau menang sendiri, sudah menjadi kodrat alam
akhirnya ia jatuh cinta dengan seorang gadis.”

Sampai disini ia berhenti sebentar. Pikiran Ciok Yan lantas melayang, mungkin ini cerita
pengalamannya sendiri waktu masih muda dulu.
Memang tampak Hoan-hu tengah termenung2 dan tertawa-tawa tenggelam dalam kenangan
lama.
Akhirnya ia melanjutkan, “Meski jatuh cinta, nmun ia tak berani menyatakan rasa cintanya itu.
Sebaliknya gadis itupun sebetulnya merasa tertarik juga kepadanya, melihat sikapnya itu timbul
salah paham, disangkanya si pemuda adalah begitu congkak dan takabur.”
Ciok Yan menunduk, dua tokoh dalam cerita itu persis benar-benar seperti bayangannya
dengan Bun Cu-giok.
Kulit muka Hoan-ihu berkerut-kerut, lalu katanya lebih lanjut, “Pada suatu hari, pendekar itu
tiba-tiba pergi mencarinya, secara langsung ia meminang dan mengharap sang gadis pujaan mau
menjadi istrinya!”
Sampai disini ia berpaling ke arah Hoan-hu, tanyanya, “Seumpama gadis itu adalah kau,
bagaimana kau hendak mengambil sikap?”
“Aku tidak tahu.” Ciok Yan menjawab singkat.
“Martabatnya baik, dari sepak terjangnya di kalangan Kangouw dapatlah dinilai jiwanya itu, tapi
tiada orang yang tahu perihal asal usulnya, apalagi dia adalah begitu mendadak….” ia merandek
sebentar lalu melanjutkan, “Gadis itu menjadi marah, ia merasa seolah-olah terlukakan oleh
tusukan pedang di ulu hatinya, lalu memakinya kalang kabut, dikatakan dia terlalu takabur,
berlawanan dengan lubuk hatinya ia menyatakan bahwa dia tidak menyukainya!”
Ciok Yan mengeluh tertahan, pikirnya kalau aku sendiri yang mengalami kejadian itu, aku pun
akan berkata begitu.
“Akhirnya baru gadis itu tahu bahwa pendekar muda itu ternyata adalah murid Bu-tong
Ciangbunjin, sebetulnya dia harus masuk biara menjadi imam, tapi demi sang pujaan hatinya dia
rela kehilangan segala miliknya, namun gadis itu berkeras tak menyetujui.”
Baru sekarang Ciok Yan dapat meraba pendekar muda yang dimaksud dalam cerita itu tak lain
tak bukan adalah Ce-hun Totiang adanya.
Hoan-hu berkata lagi, “Cu-giok adalah anak baik. Untuk ini aku berani bicara dimuka, dulu
memang ia sudah mengikat tali perjodohan, namun calon istrinya itu sepak terjangnya semakin
kotor, dari lurus menjurus ke sesat. Setelah mengetahui hal ini, saking duka seorang diri ia
berkecimpung di dunia persilatan. Sebaliknya perempuan itu belum tahu bahwa Cu-giok sudah
tahu akan tingkah lakunya, hatinya masih terkenang akan pujaan hatinya ini. Maka Cu-giok
menjadi hidup sengsara dan merana, dalam hal ini kaulah yang dapat membantunya untuk
melupakan perempuan itu!”
Ciok Yan semakin dalam menunduk. Hoan-hu tertawa geli, ujarnya, “Ajahmu sudah menjadi
Hwesio, kalau kau sudi, Hwi-cwan-po boleh bergabung dengan Partai Putih, kupikir ayahmu tentu
sangat senang mendengar berita ini.”
Terpikir oleh Ciok Yan, “Agaknya Bun Cu-giok bukan seorang tamak dan pengecut seperti yang
tersiar di kalangan Kangouw, dia boleh dipercaya, apalagi sejak bertemu aku sudah memujanya,
asal aku sudah mengetahui martabat dan jiwanya sudah cukup, kenapa menuntut terlalu jauh.”

Akhirnya ia tersenyum dan manggut-manggut setuju.
Hoan-hu berjingkrak bangun kegirangan, katanya sambil menarik tangan Ciok Yan, “Bangunlah
Cu-giok masih menanti kita disana!”
Begitulah mereka beranjak kembali. Hati Ciok Yan menjadi was-was, kuatir Bun Cu-giok sudah
tinggal pergi? Waktu sampai di tempat semula, tampak Bun Cu-giok masih berdiri terlongong
tanpa bergerak. Rada terhibur hati Ciok Yan, cepat-cepat ia menunduk dengan muka merah malu.
Ooo)*(ooO
Sekarang baiklah kita ikuti perjalanan Hun Thian-hi sejak berpisah dengan Bun Cu-giok,
seorang diri dengan tunggangannya langsung ia menuju ke Tiang-pek-san.
Satu jam kemudian, ia sudah menempuh kira-kira lima puluh li jauhnya. Dia insaf siapapun
yang bertemu dengan dirinya pasti takkan melepas begitu saja. Sejenak Thian-hi menerawang
‘pandangan alam sekelilingnya, pikirnya, kalau aku dapat selamat tanpa gangguan hari ini,
mungkin perjalanan kali ini bisa selamat sampai ke tempat tujuan.
Tengah ia berpikir2, kupingnya menangkap samberan angin kencang dari samping menyerang
dirinya, secara gerak reflek ia melolos pedang pemberian Bun Cu-giok terus memapas ke arah
datangnya serangan. “Tak,” kiranya itulah sebatang kayu kering kecil yang patah dua.
Bercekat hati Thian-hi, ia celingukan kian kemari tiada tampak bayangan seorangpun, ia
menghembus napas sebal dari mulutnya lalu mengeprak kudanya ke depan, pedang disarungkan
kembali, untuk selanjutnya ia mulai waspada dan berjaga-jaga.
Tak lama kemudian sebatang kayu kering menyamber tiba lagi, kali ini Thian-hi angkat tangan
dengan kedua jari ia menjepit kayu kecil itu. Tapi tenaga luncuran kayu kecil itu begitu besar dan
kuat, jepitannya menjadi gagal, kayu kecil itu terus terbang melesat dari sampingnya.
Kejut Thian-hi seperti disengat kala, sekarang dilihatnya seseorang tengah duduk bersila di atas
sepucuk dahan pohon, orang itu bukan lain adalah Situa Pelita.
Bergegas Thian-hi melompat turun serta maju menyapa, “Kiranya adalah Jan-teng Cianpwe,
Wanpwe tidak tahu, harap suka dimaafkan!”
Tanpa bersuara Situa Pelita menatap Thian-hi le-kat2, rada lama kemudian baru bicara, “Begitu
besar nyalimu berani membunuh Giok-yap Cinjin!”
Hampir semua orang yang ketemu oleh Thian-hi tentu menuduhnya demikian, dengan sedih ia
menundukkan kepala.
Situa Pelita mendengus serta katanya, “Waktu pertama kali aku melihat kau, mengingat riwayat
dan pengalamanmu yang penuh derita aku rada kasihan dan membantu kau. Aku terburu-buru
pergi karena punya urusan penting, untung waktu itu aku tidak turunkan ilmu Ginkang milik
tunggalku itu kepadamu- Jiwa Soat-san-su-gou berempat terhitung tersia-sia, mereka salah
menilai kau.”
“Cianpwe juga. mencurigai aku?” tanya Thian-hi mendongak.
“Kenapa? Kau berani tak mengakui dosa2mu itu?”

“Semua orang menuduhku begitu, apakah aku harus memberi penjelasan kepada seluruh
manusia di kolong langit ini? Kiranya cukup kukatakan bahwa bukan akulah yang berbuat, aku
tidak bisa menuntut kepada semua orang untuk memberi maaf kepada aku, namun dalam
sanubari aku selalu berdoa, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang telah terjadi!”
Situa Pelita menjadi bungkam, dengan mendelong ia awasi Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi berdesah sambil menunduk, ujarnya, “Cianpwe! Sikapku ini mungkin rada
keterlaluan, hakikatnya aku tidak tahu cara bagaimana aku harus memberi penjelasan kepada
setiap orang, aku pun takkan bisa membuat setiap orang mau percaya kepada aku.”
Setelah berpikir Situa Pelita berkata, “Sebetulnya akupun tak berani berkukuh. Aku hanya
mendengar berita saja, kenyataan pihak Bu-tong-pay sudah menyebar Bu-lim-tiap, mengundang
seluruh tokoh-tokoh silat dari segala lapisan dan golongan untuk mencari jejakmu bersama.”
“Thian-cwan Taysu mengatakan supaya aku bersabar, tujuan hidupku sekarang hanyalah
hendak menuntut balas bagi ayah dan Soat-san-su-gou berempat Cianpwe, soal lain aku tidak
ambil peduli lagi.”
Akhirnya Situa Pelita menghela napas, katanya memberi pesan, “Bagaimana duduk perkara
sebenar-benarnya sulit diterangkan. Tapi kau harus selalu ingat, hasrat kita sangat besar terhadap
kemajuanmu dihari depan, kau harus bisa mengendalikan diri baik-baik, sudah aku pergi!” —
enteng sekali tubuhnya lantas melayang jauh ke dalam hutan dan lenyap tanpa meninggalkan
bekas.
Hun Thian-hi menjublek, pikirannya melayang jauh, akhirnya ia menghirup hawa panjang,
meski Situa Pelita tidak membantu secara langsung, namun sikap dan kata-katanya itu sungguh
membuatnya tunduk lahir batin.
Hun Thian-hi naiki kudanya dan melanjutkan perjalanan lagi. Tak lama kemudian ia memasuki
sederetan hutan-hutan lebat yang semakin gelap. Jalan punya jalan lambat laun firasatnya bicara
bahwa sekelilingnya telah penuh dikuntit oleh banyak perangkap. Segera Thian-hi menarik tali
kekang dan menghentikan kudanya, sekian saat ia celingukan ke sekitarnya.
Benar-benar juga tahu-tahu di hadapannya melayang turun dua sosok manusia, mereka bukan
lain adalah Gwat Long dan Sing Poh. Dengan sikap dingin Hun Thian-hi menatap mereka berdua.
Demikian juga Gwat Long dan Sing Poh berdiri tegak dengan sikap angker di kanan kiri di hadapan
kuda Thian-hi.
“Untuk apa kalian menghadang perjalananku?” jengek Thian-hi dingin.
Gwat Long dan Sing Poh berkata bersama, “Seluruh tokoh Bulim siapa yang tidak tahu bahwa
kau telah membunuh guruku. Kenapa tanya lagi!”
Thian-hi tertawa dengan sombong, sindirnya, “Tapi adalah kalian berdua lebih jelas dari aku
siapa sebetulnya pembunuhnya?”
“Hun Thian-hi!” maki Gwat Long gusar, “jangan cerewet lagi, apa hari ini kau sangka bisa
keluar dari hutan ini? Hutan ini sudah terkepung rapat, seumpama tumbuh sayap pun jangan
harap kau dapat terbang ke langit!”
Thian-hi bergelak tawa dengan congkak, katanya, “Guru kalian Giok-yap Cinjin semula
menyangka kamu berdua sangat setia terhadap beliau, tapi setelah beliau wafat, sepak terjang
kalian sungguh….”

“Hun Thian-hi jangan banyak bacot lagi!” teriak Gwat Long sambil mengulapkan tangan ke
belakang. “Lihatlah itu!”
Tampak dari hutan sebelah depan sana muncul Kongsun Hong gurunya.
Kata Gwat Long berpaling ke belakang, “Kongsun Tayhiap, muridmu disini bagaimana menurut
anggapanmu?”
Melihat gurunya Kongsun Hong mendadak muncul di tempat itu, Thian-hi tercengang heran,
cepat ia nyapa, “Suhu!”
Lam-siau Kongsun Hong menatap tajam ke arah Thian-hi tanpa bersuara.
Gwat Long mendesaknya lagi, “Kongsun Tayhiap, kaulah seorang tokoh Kangouw yang
bangkotan, sepak terjang dan tingkah laku muridmu ini, kau sebagai gurunya bagaimana
mempertanggung jawabkan!”
Kongsun Hong menghela napas tanpa bicara. Thian-hi menunduk dengan sedih, jelas terlihat
olehnya titik-titik air mata dimuka gurunya. Dibanding pertemuan dengan gurunya tempo hari
Lam-siau Kongsun Hong sekarang kelihatan jauh lebih tua sepuluh tahun, rambut dipinggir
telinganya kelihatan sudah mulai ubanan.
Sekian lama Kongsun Hong tenggelam dalam renungannya, akhirnya ia angkat kepala berkata
kepada Gwat Long, “Aku mengusirnya dari perguruan terserah bagaimana kalian hendak
menghukumnya. Aku tak perlu banyak bicara lagi!”
Habis bicara terus tinggal pergi.
Gwat Long menjengek hidung, katanya, “Kongsun Tayhiap begitu saja keputusanmu?”
Kongsun Hong membalik ke arah Gwat Long katanya, “Bagaimana? aku menyerahkan dia
kepada kalian untuk menghukumnya sesuka hatimu apakah masih kurang adil?”
Gwat Long mendengus tak bicara lagi. Maksudnya semula hendak mendesak Kongsun Hong
supaya memerintahkan Hun Thian-hi bunuh diri, sekarang terpaksa harus turun tangan sendiri….
Dengan berlinang air mata Hun Thian-hi mengawasi punggung Kongsun Hong yang menghilang
dibalik pohon dalam hutan. Tahu dia sikap dan keputusan gurunya terhadap dirinya tadi adalah
yang paling baik dan banyak memberi kelonggaran, dan terpaksa memang harus demikianlah
yang dapat diperbuatnya…. di hadapan para gembong-gembong silat Kangouw. Seumpama
Kongsun Hong mengetahui bahwa kematian Giok-yap bukan lantaran dirinya, diapun bakal
berbuat demikian.
Gwat Long melolos pedang terus menyerang kepada Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi bergelak tawa, sigap sekali tubuhnya mencelat tinggi dari tunggangannya,
sebelah tangan kiri menanggalkan pedang dengan jurus Hun-liong-pian-yu ia balas menyerang
kepada Gwat Long.
Hun-liong-pian-yu adalah salah satu jurus dari Thian-liong-chit-sek yang paling hebat dan lihay.
Meski Gwat Long sebagai murid Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tak urung juga terdesak
mundur selangkah. Tapi dasar punya kepandaian tinggi dari didikan perguruan murni ilmu silatnya
memang lain dari yang lain. Kejap lain ia sudah dapat memperbaiki posisinya, sekarang ia mulai

balas menyerang, pedangnya panjang berterbangan, dengan jurus Soat-yong-lou-hwa, selarik
sinar dingin berputar terus balas menyerang mengarah tenggorokan Thian-hi.
Menyaksikan Gwat Long mendesak gurunya begitu rupa sungguh benci Thian-hi bukan main,
saking sengit segera ia kembangkan ilmu Gin-ho-sam-sek, tenaga dikerahkan seluruhnya untuk
merobohkan lawan.
Melihat saudaranya rada terdesak Sing Poh segera mencabut pedang, sekarang berdua
mengepung Hun Thian-hi. Dengan dua lawan satu Hun Thian-hi masih lancar memainkan Tamlian-
hun-in-hap untuk menyerang dan untuk membela diri.
Pertempuran sudah berjalan setengah jam, meski Thian-hi membekal pedang aliran murni dari
tingkat yang paling tinggi, lama kelamaan ia merasa tenaga mulai terkuras habis, pula Gwat Long
dan Sing Poh sudah mainkan Cian-si-bik-so ilmu pedang gabungan yang kokoh dan rapat sekali
untuk menempur Thian-hi mati-matian.
Semakin tempur Gwat Long berdua semakin gagah dan serangan semakin gencar.
Tiba-tiba Hun Thian-hi bersuit nyaring panjang, tibalah saatnya ia kembangkan jurus ketiga
Gin-sho-sam-sek yang belum selesai dilatihnya. Dimana pedangnya berputar lempang dimana
jurus Hwi-ho-poh-cun-siau berkembang, cahaya mas berkilau mengembang lebar langsung
menerjang dan membobol kepungan jalur sinar pedang Gwa Long dan Sing Poh, seiring dengan
hasil gemilang ini tubuh Thian-hi pun ikut melesat keluar dari kepungan.
Begitu berhasil lolos dari kepungan seketika Thian-hi rasakan dadanya sesak dan mual, tanpa
kuasa mulutnya lantas menyemburkan darah segar, sekali lompat ke atas punggung kudanya terus
mencongklang keluar hutan.
Dalam ilmu Gin-ho-sam-sek hanya jurus ketiga inilah yang paling ganas dan merupakan jurus
menyerang melulu. Dulu karena belum selesai sempurna ciptaan jurus ketiga ini maka Soat-sansu-
gou tak berani melancarkan melawan Bu-bmg Loni sehingga mereka sendiri yang menjadi
korban. Atau kalau terpaksa dilancarkan tentu untuk hari2 selanjutnya bilamana Hun Thian-hi
melancarkan jurus ini Bu-bing Loni takkan gentar dan dapat menyelami inti sari serta
pemecahannya. Kenyataan memang mereka terdesak dan bakal kalah akhirnya mereka
sembunyikan jurus yang terlihay ini khusus diturunkan kepada Hun Thian-hi. Kalau Hun Thian-hi
kelak berhasil mempelajari dengan sempurna tentu akan merupakan tekanan berat bagi Bu-bing.
Dengan luka-luka berat Thian-hi semampai di atas kudanya terus menerjang keluar hutan.
Waktu sampai diluar hutan dimana sudah ada orang yang menunggunya. Pertama-tama Toh-bingcui-
hun yang menyerang lebih dulu, sekali ayun tangan kanan cincin pencabut nyawa dan Cuihun-
chit-sa-to sekaligus diberondong keluar, semua mengarah tempat mematikan di tubuh Thianhi.
Meski luka dalam sangat berat, tapi musuh menghadang jalan, terpaksa ia menahan sakit dan
kerahkan tenaga, dengan menggeram gusar pedangnya berkelebat miring, cukup dengan jurus
Tam-lian-hun-in-hap seluruh hujan senjata rahasia kena dipukul runtuh.
Sementara itu jarak kedua belah pihak sudah semakin dekat terpaksa Toh-bing-cui-hun To Hwi
menggunakan pedang menyerang Thian-hi. Di belakangnya tampak Tosu gila juga muncul,
teriaknya tertawa, “Bocah, mau lari kemana lagi!”
Perasaan Thian-hi menjadi pedih seperti diiris-iris, Tosu gila yang tempo hari pernah berjanji
hendak membantu dirinya sekarang berbalik memusuhi dirinya. Saking berduka ia bergelak tawa
panjang, pedangnya bergerak kencang menangkis dan menyampok serangan senjata para musuh,

karena gelak tawanya ini darah menyembur lagi dari mulutnya. Melihat keadaan Thian-hi, Tosu
gila menjadi kaget, biji matanya memancarkan sorot cahaya aneh berkilat.
Beruntun pedang Thian-hi menutul dan menabas ke arah kedua musuh, terpaksa Tosu gila
berkelit mundur, Thian-hi berkesempatan mengeprak kudanya lari.
Tidak jauh Thian-hi lari Gwat Long dan Sing Poh sudah menyusul tiba. Tubuh mereka bagai
terbang mencelat tiba menghadang jalan Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi menjadi sengit bentaknya, “Jangan kalian terlalu mendesak orang!” — matanya
mendelik membara ke arah kedua musuhnya.
Gwat Long dan Sing Poh menjadi gentar dan mundur ketakutan. Dengan gusar Thian-hi
menggentakkan pedang menyerang lagi, karena kata-katanya tadi ia menyemburkan darah segar.
Urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh terpaksa Gwat Long berdua pun tak mau menyudahi
begitu saja. Mana kuat dan mana lemah jelas dapat dibedakan, sekali balas menyerang’ pedang
Thian-hi mencelat dari cekilannya.
Tepat saat itu Toh-bing-cui-hun juga telah memburu tiba, pedangnya menusuk kelambung
Thian-hi karena tak membekal senjata terpaksa Thian-hi menjepit perut kudanya melecutnya ke
depan untuk menghindari tusukan ganas ini.
Melihat Toh-bing-cu-hun To Hwi begitu bernafsu hendak membunuh Thian-hi, memang inilah
yang menjadi maksud tujuan Gwat Long berdua, l
ALWAYS Link ABG BUGIL : Cerita ABG Terbaru , Disklamer, Cerita Dewasa, Foto 2am di jakarta fantastikpop festival,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [1]
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [1] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [1] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cerita-silat-cersil-cin-tung-badik.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [1] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [1] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Cersil Cin Tung : Badik Buntung [1] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cerita-silat-cersil-cin-tung-badik.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar