cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 4 - boe beng tjoe

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 4 - boe beng tjoe


Dengan terputusnya rotan itu, segera terbawa arus dan hanyut
cepat sekali.
Tubuh Siau Pek terbawa hanyut, tak hentinya telinganya
mendengar suara-suara nyaring dan berisik. Sebab baloknya itu
sering membentur batu dan saban-saban teringat hanyutnya.
TubuhnyapUn senantiasa terombang ambing karena damparan arus.
Didalam keadaan seperti ini, Siauw Pek tak tahu bahwa ia telah
melewati waktu berapa lama. Apa yang dirasakannya ialah
tenaganya hampir habis. Meski demikian, pelukannya tetap
diperkeras. Yang terakhir ia merasa kaget dan merasa sangat nyeri,
sebab dahinya sebelah kiri kena terbentur batu besar, hingga ia tak
sadarkan diri. Ketika entah berapa lama kemudian ia tersadar dari
pingsannya, ia melihat tempat disekitarnya telah berubah.
Berdiri dihadapan Siauw Pek seorang nona nelayan yang
mengenakan baju hijau berkuncir panjang. sedangkan celananya
komprang dan kedua kakinya telanjang. Nona itu tengah merapikan
jalanya. Ia sendiri rebah diatas lantai dari suatu bahagian perahu,
yang beralaskan kasur yang tebal. Ia menarik napas lega, lalu ingin
menyapa nona itu, tapi sinona, yang melihatnya tersadar, berbalik
menatap kepadanya, kemudian melepaskan jaringnya, sambil
berseru: "Kakek Kakek.. Mari orang itu sudah sadar"
Kemudian terdengar jawaban dari seorang kakek, yang berkata:
"Lekas kau panaskan sup kau itu, suguhkan kepadanya, supaya dia
makan" Menyusul kemudian, terlihat datangnya orang itu. seorang
tua yang bertubuh kasar, yang kepalanya ditutup dengan tudung
bambu dan tubuhnya mengenakan baju kasar.
Diam-diam anak muda ini mengerahkan tenaga dalamnya. Ia
merasa lega. Jalan napasnya tidak terganggu, cuma kepalanya
masih nyeri sedikit demikian juga lengan dan pahanya, terasa nyeri
sekali bekas terbentur- bentur batu
orang tua itu menghampirinya, lalu dia membungkuk sambil
mengulurkan tangannya untuk meraba kepala sianak muda.
Mendadak anak muda itu bergerak bangun untuk duduk. orang tua
itu terkejut dan dia lalu mundur. "oh saudara kecil, kau telah sadar,"
katanya heran-
"Terima kasih paman," sahut Siauw Pek. "paman telah
menolongku," ia bangkit, dan memberi hormat.
orang tua itu hendak mencegah, tetapi sudah tidak keburu.
"Kau bertubuh kuat, saudara kecil," katanya. "Rupanya kau
pernah belajar silat."
"Maaf paman, itulah sebenarnya," Siauw Pek mengakui. Tak
dapat ia berdusta. tiba tiba ia terkejut. Ia ingat pedang dan
goloknya yang biasanya tergantung dipinggangnya, telah tidak ada.
Ia melihat tajam kesekitarnya.
"Saudara kecil, kau mencari apa?" tanya si nelayan tua.
"Aku membekal senjata, entah itu telah lenyap atau..."
"Apakah itu golok dan pedang ?"
"Benar. Apakah paman telah melihatnya ?"
"Barang- barang itu telah kusimpan-.."
Ketika itu terdengar suara nyaring halus si nona : "Kakek. sup
ikan sudah dipanasi, biarlah dia makan "
Siauw Pek menoleh. sekarang ia melihat tegas nona itu, yang
usianya dikira baru lima atau enam belas tahun, matanya jeli,
alisnya lentik, kulitnya putih halus. Untuk kaum nelayan, dia cantik
sekali.
Meskipun dia mengatakan demikian, nona itu toh membawakan
sendiri sup ikannya kepada si anak muda, sambil mengangsurkan ia
berkata manis : "Sup ini masih panas, tuan- Mari makan "
Siauw Pek menyambut sop itu.
"Ucapannya halus dan rapi. mungkin dia pernah bersekolah,"
pikir Siauw Pek. yang terus mengucapkan terima kasih :
"Merepotkan saja, nona "
"Maafan kami, saudara kecil," berkata si nelayan tua, ramah.
"Kami berdua, kakek dan cucu, hidup sebagai nelayan sukar hidup
kami, karena itu tak dapat kami mematuhi aturan adat istiadat
sopan santun, yang melarang pria dan wanita berpegangan tangan-
.."
"Paman jujur dan polos, aku justru senang sekali " Orang tua itu
tersenyum, ia melihat kesekitarnya.
"Hari ini hasil kami lumayan, cukup buat aku membeli arak. untuk
minum sampai mabuk, sekarang, marilah kita pulang "
"Ya, kakek " kata si nona, yang terus tertawa manis. "Hari ini
akupun mendapatkan dua ekor ikan yang langka, hendak aku bawa
pulang untuk dipiara. Aku minta jangan kakek menjualnya, untuk
ditukar dengan arak " Kakek itu tertawa.
"Ah budak. kau selalu biasa " tegurnya.
"Masih tak mau lekas lekas merapikan jala kita "
Nona manis itu tersenyum, dia keluar dari gubuk perahunya.
Senang Siauw Pek melihat lagak lagu si nona, yang wajar dan
polos, yang, rupanya tahu segala sesuatu sebagai seorang anak
nelayan.
"apakah paman masih mempunyai anggota keluarga lainnya ?"
Ditanya begitu, sicrang tua menghela napas
"Kami cuma berdua, kakek dan cucu," jawabnya. "Buruk nasib
anak ini, dihari dia lahir, ayahnya mendapat kecelakaan, yaitu
perahunya karam dan lenyap bersama-samanya, hingga sekarang
tak ada kabarnya lagi..."
"Mungkin dia masih hidup, paman- orang baik dilindungi Tuhan "
Nelayan tua itu tersenyum sedih.
"Saudara kecil, tak usah kau menghibur aku," katanya. "Sudah
lima puluh tahun aku hidup sebagai nelayan, mustahil aku tak tahu
sifat air? Kecelakaan itu disebabkan munculnya angin puyuh laut
yang hebat sekali. Kami kaum nelayan, siapa ketemu angin itu, dia
tak ampun lagi. Untuk kami, kami mengenal pepatah yang
mengatakan, rejeki tak datang serentak. bencana tak jalan
sendirian- Setahun kemudian, ibu si anak telah menemui ajalnya.
Maka selanjutnya, kami hidup berdua. Syukur kepada Tuhan, dalam
usiaku begini tinggi, aku tetap sehat dan segar, maka selama tiga
belas tahun, kami kakek dan cucu dapat terus hidup bersama."
"Jadi cucu paman itu tahun ini berusia tiga belas tahun ?"
"Empat belas tahun, saudara kecil. Memang nampaknya dia
seperti anak umur lima atau enam belas tahun- Tidak ada yang
mendidiknya, maka aku kirim dia kesekolah dimana dia telah belajar
selama tiga tahun- Anak itu berotak terang, sayang dia wanita dan
juga longgor, dalam usia sepuluh tahun, dia sudah mirip anak umur
tiga atau empat belas tahun- Terpaksa aku menghentikan
sekolahnya, supaya dia bisa diajak menangkap ikan bersama sama.
Inilah penghidupan kami."
Siauw Pek heran- Bocah umur empat belas tahun sudah seperti
orang dewasa. orangnya pun cerdas dan cantik. Ketika itu muncul
pula si nona.
"Kakek. sudah siap " katanya. si kakek bangkit.
"Saudara kecil, kau rebahlah, biarlah aku memegang kemudi."
Habis berkata, dia pergi ke luar.
Siauw Pek mengawasi kakek dan cucu itu keluar, kemudian dia
duduk bersemadhi.
Kira-kira sudah lewat waktu beberapa lama, tiba-tiba terdengar
suara nyaring halus dari si nona : "Tuan, sudah sampai, silahkan
turun dari perahu "
Siauw Pek membuka matanya dan memandang keluar, maka ia
melihat si nona di mulut gubuk perahunya itu, wajahnya manis
menarik hati. Dia tidak tertawa tapi nampak bagaikan sedang
tersenyum simpul. Tanpa merasa, hati pemuda ini guncang.
"Sungguh manis sekali " pikirnya. Terus ia bangkit seraya
bertanya : "Mana kakekmu, nona ?"
Si nona membalas memandang, kedua matanya bermain
menggiurkan-
" Kakek telah pergi membeli arak. dia mau mengundang kau
minum, tuan " sahutnya.
"Aku tak biasa minum, aku kuatir nanti mengecewakan kakekmu
"
Nona itu tertawa, hingga nampak dua baris giginya yang bagus.
"Kau she apa tuan ?"
"She Tjoh, namaku Siauw Pek," si anak muda memperkenalkan
diri.
"Oh, tuan Tjoh " kata si nona. "Aku Han Lian Jie. Selanjutnya
panggil saja aku Lian Jie. si Lian-"
"Mana aku berani lancang, nona." Nona itu tertawa.
"Tak apa " katanya. "Bahkan kakek memanggil aku si budak Lian
Semua tetanggaku memanggil aku Lian Jie, maka itu, janganlah kau
segan-" Selagi bicara itu, mata si nona bermain bagus sekali,
lagaknya menggiurkan-
Siauw Pek masih muda, dia jangan sendirinya, hingga tak berani
dia mengawasi lama-lama.
"Mari nona " katanya, seraya berjalan keluar dari gubuk perahu.
"Rumah kami sempit, maka itu kakek menyuruh aku mengajakmu
ke Heng Hoa Kie," kata si nona.
"Heng Hoa Kie" adalah sebuah rumah makan didesa itu.
Siauw Pek heran- Asal sinar mata mereka berdua bertemu, terus
hatinya bimbang.
"Baik nona tak usah mengantarkanku," katanya kemudian, seraya
matanya diarahkan kesungai. "Nona tunjukkan saja jalannya, nanti
aku pergi sendiri."
"Kalau begitu, aku jadi mesti berdiam seorang diri didalam
perahu. Mana bisa ?" kata si nona, menatap.
"Kalau begitu, marilah " kata Siauw Pek. yang terus turun dari
perahu.
"Eh, tuan " memperingatkan si nona. "Apakah kau tidak mau
bawa golok dan pedangmu?"
Siauw Pek tercengang.
"Akh, mengapa aku melupakan senjataku?" ia tegur dirinya
sendiri. "Nona ini terlalu manis, tak dapat aku berdiam lama-lama
disini. Sebentar setelah bertemu si orang tua, perlu aku segera
mengucapkan selamat tinggal..." Ia kembali kedalam perahu,
mengambil golok dan pedangnya, kemudian ia keluar pula, untuk
bertindak pergi.
"Eh, eh, jangan jalan terlalu cepat, tuan " berkata si nona, yang
repot menyusul. "Nanti aku tak kuat mengikuti "
Terpaksa Siauw Pek memperlambat tindakannya, hingga
keduanya jalan berendeng.
"Tuan tentu pandai silat?" kata sinona sambil jalan-
"Aku tidak pandai, lumayan saja," sahut si anak muda.
"Maukah tuan mengajari aku barang dua jurus?"
Tak dapat Siauw Pek menolak. orang telah menolong jiwanya
dan pantaslah kalau ia membalas budi.
"Aku akan ajari tiga jurus," katanya. "Untuk menjaga diri saja."
Berkata begitu, anak muda ini lalu mengajari tiga jurusnya sambil
ia memetakan dengan kedua tangannya.
Nona Han benar-benar cerdas, cepat sekali ia hafal tiga jurus itu.
"Dia cerdas melebihi aku sepuluh kali," kata Siauw Pek didalam
hati, kagum.Jikalau dia dapat guru yang pandai, pasti dia lekas maju
dan mencapai kesempurnaan-"
Pasar terpisah empat atau lima lie dari tepi sungai, maka itu
tanpa merasa, sepasang muda mudi itu sudah sampai disana. Ketika
itu kira kira jam tiga empat lohor, pasar sudah bubar, tak banyak
orang mundar mandir, tetapi, dilihat dari toko-toko atau warung
dikiri kanan, rupanya itulah sebuah pasar yang ramai.
Lian Jie kenal baik pasar itu, langsung ia mengajak Siauw Pek ke
Heng Hoa Kie, sebuah rumah makan yang selalu banyak
langganannya. Ruang ada tiga, dua dikiri dan satu dikanan.
Sejumlah tetamu sedang duduk berkumpul. Ketika sinona tiba,
banyak mata diarahkan kepadanya.
Diam-diam Siauw Pek memasang mata kepada si nona. Dia
ternyata berjalan langsung, tidak melirik kekiri dan kanan, sama
sekali tak menghiraukan para tetamu itu. Dia membawa kawannya
ini masuk keruang kedua dimana terdapat sebuah kamar.
Setelah dua orang ini mengambil tempat duduk, seorang pelayan
muncul. Dia kenal si nona, sambil tertawa dia berkata : "oh kau,
nona Sudah sepuluh hari aku tak melihatmu"
"Sudahlah, jangan banyak omong" nona itu menegur, "Kakekku
sudah datang, atau belum?"
"Sudah, paman Han sudah datang. Dia memesan, kalau nona
datang, supaya menantikannya, dia pergi sebentar saja."
Setelah berkata begitu, pelayan itu mengawasi si nona tak
hentinya, matanya galak. Dia seperti kelaparan paras elok. Lian Jie
mengerutkan alisnya. "Bawakan kami dua kati arak " katanya.
"Nona minum seorang diri atau berdua ?" tanya pelayan itu,
mencari cari omongan- Dia toh tahu orang berdua, dan akan jadi
bertiga dengan si orang tua nanti.
"Memangnya kau buta?" bentak sinona. "Kau lihat sendiri berapa
jumlahnya kami ?"
Pelayan itu menoleh kepada Siauw Pek lalu dia tertawa dan
berkata : "oh, nona sudah punyai si dia "
Tiba-tiba siauw Pek menjadi gusar. ia menekan meja, tubuhnya
lalu mencelat, terus sebelah tangannya melayang kemuka orang itu
sedang mulutnya mencaci : "Kau ngoceh tidak keruan, yah ?"
Tanpa disengaja, pemuda ini memperlihatkan ilmu ringan
tubuhnya. Pelayan itu kaget, dia menjerit keras, tubuhnya
terpelanting.
Melihat orang itu terpelanting, Siauw Pek terperanjat. Sekarang
baru ia insaf. segera ia melompat pula untuk menyambar tubuh
pelayan itu. ia berhasil tetapi si pelayan bagaikan setengah mati dan
mulutnya berdarah. Begitupun hidungnya, sedangkan napasnya
empas- empis.
Segera Siauw Pek menguruti tubuh orang.
Hanya sebentar, orang itu telah membuka matanya, ia menatap
si anak muda. Mendadak ia menekuk lutut dan bermohon : "Tuan,
maaf, ampunilah jiwaku..." Lian Jie tercengang, ia mengawasi
kawannya. Siauw Pek menatap. ia menghela napas.
"Ingat, lain kali jangan kau menghina perempuan " katanya
bengis.
"Aku berjanji tuan," kata pelayan itu, yang terus ngeloyor pergi.
Lian Jie sadar, ia kagum sekali.
"Liehay ilmu silatmu" Katanya pada sianak muda.
"Maaf nona, pelayan itu kurang ajar hingga aku habis sabar."
si nona mengawasi.
"Aku hendak minta sesuatu, dapatkah ?"
Siauw Pek tunduk. Matanya si nona memain secara menarik hati
sekali.
"Kamulah penolongku, nona, asal yang aku sanggup, akan aku
lakukan," ia menjawab.
Mendadak nona itu tertawa.
"Disekitar tempat ini, semua orang memuji aku cantik," katanya.
"Dimana aku lewat, disitu semua mata memandangku, kau telah
melihat, coba katakan, aku ini benar benar cantik atau tidak?"
siauw Pek melengak. Tidak sangka ia akan mendengar
pertanyaan itu. ia menjadi tidak dapat menjawab segera. Kembali si
nona tertawa. "Katakanlah " desaknya, "jangan ragu ragu"
"Kalau benar nona tanya aku, kalau jawabanku salah, harap kau
jangan gusar."
"oh, tidak bicaralah"
"orang memuji nona cantik, tetapi buat aku kau lebih benar
genit."
Di saat itu si nelayan tua muncul di ambang pintu.
" oh, paman " si pemuda menyambut. "Silahkan duduk "
"Tadi aku jumpa beberapa sahabat, mereka mengajakku minum,"
berkata si nelayan "Kau tentu telah menunggu lama, maaf"
"Paman sungkan"
Ketika itu seorang pelayan muncul dengan barang makanan,
ketika dia melihat si nona, dia tersengsam, hingga hampir dia
membentur meja, melihat itu, Lian Jie tertawa geli. Diam diam
Siauw Pek menghela napas.
"Dia masih muda sekali, tetapi tampaknya seperti sudah
dewasa." pikirnya. "Pakaiannya yang sangat ini tidak dapat
menyembunyikan kecantikannya. Sayang dia genit sekali."
"Adik, mari minum " si nelayan tua mengundang selagi pemuda
itu berpikir.
siauw Pek mengangguk. ia menemani minum. Setelah bergaul
dengan Kie Tong, ia jadi doyan arak.
Lian Jie menuangi cawan pemuda itu. "Tuan, mari minum "
katanya.
" Inilah hormatku" Siauw Pek mengawasi nona itu, ia bingung.
"Minumlah, adik kecil," kata Han Loo Djie.
"Anak ini, sejak kecil melihat aku doyan minum, dia meniru."
siauw Pek malu di hati ia menghabiskan isi cawan yang kedua
itu. ia memikir buat lekas lekas angkat kaki. Karena terpaksa ia
melayani minum lagi. Selama itu, ia melihat si nona makin manis
dan makin manis.
"Aku mesti pergi sekarang," pikirnya kemudian- Maka ia bangkit,
untuk menjura kepada si nelayan tua seraya berkata. "Paman kau
beserta nona Han telah menolong aku, aku sangat berterima kasih,
akan kuingat budi kalian berdua, sayang aku punya urusan penting
hingga tidak dapat aku berdiam lama lama di sini. Aku memohon
diri..." Berkata begitu, pemuda ini membalikkan tubuhnya hendak
pergi.
"Tuan Tjoh, jangan pergi dulu" Itulah suaranya si nona, keras
tetapi merdu.
"Ada apa, nona?" Siauw Pek berbalik. Si nona tertawa.
"Hendak aku beritahukan suatu hal kepadamu," katanya.
"Beberapa hari lalu seorang tukang tenung telah meramaikan aku,
katanya aku tidak selamanya menjadi seorang nelayan sewaktu
waktu namaku bakal terkenal di antara orang banyak."
"Kau sudah mabuk, nona," kata Siauw Pek yang membalikkan
tubuhnya pada si nelayan tua, dan meneruskan berkata: "Paman,
nona Lian sudah mulai dewasa, harap kau baik baik mendidiknya . "
Sia sia saja kata kata pemuda ini. Tanpa ketahuan, Han loo djie
sudah tidur pulas, kepalanya diletakkan di atas meja.
"Tuan Tjoh," kata si nona, "Jikalau kau suka mengajak aku,
kakek tak akan mencegah." Siauw Pek terkejut.
"Lain kali saja," katanya. "Apabila ada kesempatan, aku akan
datang menjenguk nona dan kakekmu."
Begitu berkata, Siauw Pek lantas bertindak pergi dengan cepat,
tetapi ia masih dengar suara si nona. "Tuan Tjoh, tukang tenung
berkata bahwa tiga bulan lagi aku bukan seorang nelayan lagi "
Pemuda itu berjalan terus, pesat tindakannya. Selang sepuluh lie,
barulah ia berjalan perlahan- ia menyesal meninggaikan si nelayan
secara terburu begitu, tetapi ia tidak bisa berbuat lain- inilah
perjalanannya yang pertama, tetapi ia tidak menjadi bingung. Kie
Tong telah banyak sekali menuturkan ia segala hal ikhwal Kangouw,
dunia Sungai Telaga.
Ketika matahari mulai selam diarah barat, Siauw Pek menunda
tindakan kakinya ia menoleh kearah dari mana ia datang, lalu ia
ingat Lian Jie. Sayang anak itu cantik tetapi genit dia mendatangkan
rasa suka tetapi pun rasa ngeri...
Lama juga pemuda ini berdiri diam, baru ia melanjutkan
perjalanannya itu. ia menghela napas perlahan, ia berduka tetapi
dadanya panas. Beberapa kali ia meraba golok dipinggangnya dan
pedang dipunggungnya. Lalu dia berkata didalam hati : "Tjoh siauw
Pek Tjoh Siauw Pek. Ingat... Kaulah putera ayah bundamu, kau
akhli waris Pek Ho Bun, tak dapat kau melupakan sakit hatimu yang
besar sekali. Kau ingat tanggung jawabmu Kau mesti ketahui,
berapa sulit perjalanan dihadapanmu. Disana terdapat musuh
musuhnya ratusan jiwa anggota keluargamu. Dikolong langit ini,
sebagian besar orang-orang Rimba Persilatan adalah musuh
musuhmu.
-ooodwoooJILID
6
"Karena itu, kau harus sabar dan tenang, kau mesti pandai
berpikir.Jangan sampai kau dapat dipermainkan oleh kecantikan dan
kegenitan Han Lian Jie "
Berpikir demikian, Siauw pek lalu mengambil ketetapan. Ia
menuju dulu ke pek Hopo kampung halamannya di kota Gak yang.
Ia ingin menyaksikan reruntuhan rumah tanggan yang hancur itu.
Mungkin reruntuh rumahnya akan membuatnya ingat sesuatu.
Setelah itu mau pergi ke Jie Sie Wan untuk menjenguk Lauw Hay itu
si buta, guna meminta pulang barang barang titipan ayahnya. Itulah
warisan yang tertinggal untuknya.
Setelah dia mengambil ketetapan ini, harinya menjadi lebih lega.
Ia membuka tindakan lebar, untuk melanjutkan perjalanannya.
Sore itu, ditengah jalan tak tampak lain orang. Hanya sang angin
yang menghembus-hembus bajunya. Tetapi ia tak merasa kesepian-
Baginya sudah biasa hidup menyendiri. Tengah ia berjalan,
sekonyong-konyong Siauw Pek mendengar suara napas orang. Berat
suara itu, seperti suara orang sakit parah. Ia heran hatinya menjadi
tertarik, ingin ia ketahui, siapa orang itu.
Berjalan maju, pemuda ini mengitari sebuah tempat yang lebar
dengan pepohonan- Ia mendapatkan tanah datar yang ditumbuhi
rumput. Ketika itu binatang binatang sudah keluar, dan dibawah
cahaya bintang, ia melihat dua orang yang berpakaian serba hitam
tengah bertarung seru. Mereka itulah yang mengeluarkan suara
napas yang berat itu.
"Heran mereka itu," pikirnya. "Apakah ada permusuhan besar
diantara mereka berdua sehingga mereka berkelahi mati hidup
ditempat belukar ini? Mengapa mereka mencari waktu malam
seperti ini ?"
Sambil berpikir, Siauw Pek bertindak dengan perlahan, hingga
setelah datang lebih dekat ia dapat melihat tegas kedua orang itu,
yang masing-masing baru berusia dua puluh empat atau dua puluh
lima tahun, yang satu bersenjatakan sepasang poan koan-pit,
senjata yang berupa seperti pit, alat tulis, yang lain bergeman
sebatang pedang panjang. Hanya ketika itu, senjata mereka itu
diletakkan ditanah sejauh satu tombak lebih, mereka sendiri
berkelahi dengan tangan kosong, untuk mengadu kekuatan-
Mungkin ini disebabkan mereka telah kewalahan bertarung dengan
memakai senjata.
Dua orang muda itu berdiri berhadapan, sama sama memasang
kuda kuda, dan mengeluarkan tangan mereka masing masing, untuk
ditempelkan menolak satu pada lain-Itulah pertanda mereka sedang
menguji tenaga dalam masing masing. Rupanya mereka sudah
beradu lama, hingga kaki mereka melesak ke dalam tanah.
Anehnya, mereka sama tangguhnya.
Dahi dua orang muda itu sudah bermandikan peluh. Dilihat dari
roman dan suara napasnya nyata mereka sudah kehabisan tenaga,
hanya untuk menghentikan pertempuran, agaknya mereka segan-..
"Tentunya mereka akan berhenti sendiri sesudah mereka
kehabisan tenaga..." pikir siauw Pek.
"Itulah berbahaya, sebab ada kemungkinan napas mereka akan
turun berhenti juga. Dapatkah aku berdiam saja dan tidak menolong
mereka ?"
Sejenak anak muda ini berdiam, buat berpikir mengambil
keputusan- Setelah itu, ia bertindak maju menghampiri dua orang
itu. Ia maju sambil dekat sekali, diantara keduanya. Diam diam ia
mengerahkan tenaga dalamnya, kedua tangannya diangsurkan. Lalu
tiba tiba ia berseru, kedua tangannya ditempelkan diantara dua
orang itu, untuk menanggapi, seraya maju ke tengah tengah
mereka sambil menolak kekiri dan kekanan.
Dua orang itu terpisah, mereka sama sama mundur. Mereka tidak
dapat mempertahankan diri lagi dua duanya lalu roboh. Hanya
begitu roboh cepat mereka bangun pula, untuk duduk bersemadhi,
guna mengatur napasnya masing masing. Mereka menutup mata,
tidak ada orang yang mengawasi orang yang memisahkannya.
Siauw Pek mengerti sebabnya itu. Itulah daya guna mencegah luka
dalam.
"Tuan tuan," kata anak muda ini, " kepandaian kamu berimbang,
jikalau bertempur terus, kamu bakal sama sama celaka. Paling
benar ialah kau jangan berkelahi lebih jauh "
Setelah berkata, siauw Pek membalikkan tubuhnya hendak
berjalan pergi. Ia tidak menantikan jawaban- la tahu, tak mudah
kedua orang itu lekas lekas menyahuti. Akan tetapi dugaannya
meleset. Baru ia jalan belasan tindak dari belakangnya terdengar
satu seruan lemah : "Berhenti "
Lemah itu suara tapi nadanya penuh hawa amarah. Siauw Pek
heran, ia menghentikan tindakannya.
Segera terdengar suara yang lainnya : "Jikalau kau seorang lakilaki,
tunggulah kami barang satu jam "
Anak muda itu memandang langit.
"Baiklah " katanya sabar. "Akan aku tunggu kamu selama satu
jam." Untuk menantikan itu, ia terus duduk numprah ditanah.
Benar saja selang kira-kira satu jam, si baju hitam disebelah
selatan sudah bangkit lebih dahulu. Lantas yang disebelah utara pun
menyusul berlompat bangun. Mereka itu saling memandang, terus
keduanya berjalan menghampiri pemisahnya tadi. Melihat sikap
orang mengancam, Siauw Pek bangkit.
"Kamu menyuruh aku menanti, tuan-tuan, ada petunjuk apakah
dari kamu kepadaku ?" ia tanya sabar.
"Siapa suruh kau campur tangan ?" bentak pemuda yang dikiri,
bengis.
"Memang " kata yang dikanan. "Kami berdua berkelahi, ada
sangkut pautnya apakah denganmu? Kenapa kau pisahkan kami?"
"Maksudku baik, tuan-tuan- Aku lihat tenaga kamu bisa mati
berdua. Sudah nyata kamu sama tangguhnya, buat apa kamu
berkelahi terus ?"
"Kamu benar, tetapi kamu telah merusak sumpah kami " berkata
yang dikiri. "Bahkan kamu membikin kami celaka. sebab kami mesti
berkelahi dari mulai lagi "
Yang dikananpun berkata dingin- "Kami sudah berkelahi selama
tiga bulan, tak juga ada kesudahannya, kekuatan kami selalu
seimbang, tidak ada yang menang atau kalah, maka malam ini kami
berjanji akan berkelahi terus sampai mati. Siapa sangka, selagi akan
tiba saatnya kematian, kau datang mengacau. Maka kaulah yang
harus bertanggung jawab "
siauw Pek mengawasi tajam kedua orang itu. Usia mereka
ditaksir belum lewat dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun. Ia
heran, maka ia bertanya: "Tuan-tuan, kamu masih muda, kenapa
kamu bermusuhan begini hebat, hingga kamu mau berkelahi sampai
mati ? Sudah berkelahi tiga bulan, kamu tetap seri, bukankah itu
bukti dari batas kepandaian kamu ? Apakah kebaikannya andaikata
kamu berkelahi terus ?"
"Sebenarnya kami tidak bermusuhan," sahut yang dikiri. "Tetapi,
tak dapat tidak kamu mesti berkelahi "
Lalu kata yang dikanan: "Bukan saja kami tak bermusuhan,
bahkan kami saling mengasihi, tapi kami terikat oleh sumpah, maka
salah satu dari kami mesti mati " Siauw Pek heran berbareng
tertarik hati. Ia jadi ingat akan nasibnya sendiri.
"Aneh, tuan-tuan," katanya. "Kamu sendiri tidak bermusuhan,
tapi kamu mau berkelahi hidup atau mati. Mungkinkah ada
permusuhan mengenai pembunuhan ayah kamu?"
"Bukan permusuhan disebabkan pembunuhan ayah, hanya guru "
kata yang kiri, dingin-"Hanya guru sama dengan ayah, bukan? Maka
itu pun musuh besar "
"Dan kami telah bersumpah didepan arwah guru kami untuk
menuntut balas. Begitulah sulit buat kami hidup bersama didalam
dunia ini " Siauw Pek dapat mengerti, ia mengangguk.
"Bicaramu beralasan, tuan-tuan- Coba katakan kepadaku, kenapa
guru kamu bermusuhan satu dengan lain ? Siapakah sebenarnya
yang bersalah diantara mereka itu ?"
"Inilah permusuhan yang kami, sebagai murid tak dapat
menjelaskannya," jawab yang di kiri. "Urusan kami tak dapat
diberitahukan orang luar. Yang benar ialah guruku terbinasa
ditangan guru dia. Mana bisa sakit hati ini tidak dibalaskan ?"
"Gutuku juga terbinasa ditangan guru dia " kata yang dikanan,
dingin- " Urusan tetua kami mesti kami yang muda yang
membereskannya "
"Bagaimana, eh?" tanya Siauw Pek heran- "Jadi guru kamu telah
saling bunuh ?" Orang yang dikanan mengangguk.
"Mereka sama-sama terkena satu pukulan tangan, lantas mereka
sama-sama mati." Mendengar itu, siauw Pek menarik napas.
"Kalau begitu, tuan-tuan bakal mengulangi lakon guru kalian itu "
katanya. "Kamu bakal jadi seperti batu kemala yang sama-sama
hancur lebur Tuan-tuan, maukah kamu mendengar nasihatku,
berhentilah berkelahi, supaya kalian mengikat persahabatan saja ?"
orang yang dikiri menghela napas.
"Kau benar," katanya. Tapi tak dapat aku turuti nasehatmu ini."
"Kalau kata-kataku benar, kenapa tak dapat dituruti ?" tanya
Siauw Pek.
"Aku juga tak dapat menerima," kata yang di kanan- "Kecuali...?"
"Kecuali apa ?"
"Sebab sumpah kami itu " menjelaskan yang dikanan. "kecualinya
yaitu ada orang yang dapat mengalahkan kami berdua, kami berdua
serentak akan melawan satu orang "
"Mengapa sumpah itu begini aneh ?"
"Jikalau dia dapat mengalahkan kami, itulah bukti keliehayan
dia," kata yang dikanan "Jikalau kami tidak mendengar nasehat dia,
andai kata dia mau, mudah saja dia membunuh salah satu dari
kami, kalau salah satu dari kami mati, mana dapat kami. kami ialah
yang masih hidup dapat menuntut balas." Siauw Pek heran, tapi
didalam hati dia mau tertawa:
"Kamu aneh" katanya, "toh salah satu diantara kamu mesti mati
?"
"Sudah" Kata yang dikiri, "kau memisahkan kami, kau cari
kesulitanmu sendiri"
"Jangan kau sesalkan kami."
Siauw Pek menatap orang itu, dia mengangguk.
"Baiklah kalau begitu," katanya, terpaksa. "Ingin mencoba coba
kamu barang satu dua jurus. Tapi perlu aku jelaskan, tiada niatku
merampas kemenangan atau untuk bersombong maksudku hanya
ingin memisahkan kami, supaya kamu akur satu sama lain- Nah,
majulah "
"Kami berdua mengepung kau seorang, itulah tidak adil," kata
yang kiri. "Sekarang begini saja : Kau boleh pilih pakai tangan
kosong atau senjata "
Siauw Pek berpikir : "Aku belajar silat, kebanyakan aku
mengatakan senjata tajam, Guru Kie mengatakan kepadaku, ong
Too Kiu Kiam dapat dipakai melawan kepungan, baiklah sekarang
aku mencoba..." Segera ia menghunus pedangnya, ia berkata pula :
"Baiklah, mari kita main main dengan senjata tajam "
Orang yang dikiri melompat, dan memungut senjatanya :
pedang.
Orang muda yang dikananpun menjemput pegangannya :poan
koan pit. Lantas keduanya bersikap mengurung.
"Awas " berseru orang yang memegang pedang, yang terus
menikam, dengan tipu silat " Kebakaran hutan membakar hutan-"
Siauw Pek mengalah, dia berkelit.
Justru orang berkelit, pemuda yang memegang poan koan pit,
maju menusuk. karena dia menggunakan tipu "Kuda hutan membiak
suri," senjatanya mengarah kekedua jalan darah.
Tepat pada waktu itu, pemuda berpedang itu menikam pula, kali
ini dengan tikaman "Burung belibis terbang turun di pasir datar."
Maka dengan begitu, segera serulah Siauw Pek dikepung dua
lawan itu.
Setelah bertarung beberapa lama tetap Siauw Pek terkurung
kedua musuhnya. Ia bisa mendesak mereka itu mundur, tetapi
kembali dia dirapatkan- Ia terkepung tetapi ia tak terdesak. Dengan
mudahnya ia menghalau setiap serangan, pembelaan dirinya rapat
sekali.
Oleh karena putera Tjoh Kam Pek kena dikurung, tanpa merasa,
mereka sudah bertempur dua puluh jurus lebih. Mulanya Siauw Pek
rada risi setelah itu, hatinya mantap. permainan silatnya menjadi
tenang dan rapi, dilain pihak, serangannya terus bertambah
membahayakan lawan-
Lagi sepuluh jurus dilewatkan, tengah serunya mereka
bertempur, mendadak pemuda yang bergegaman pedang melompat
keluar kalangan- Sambil memberi hormat, dia berkata : "Saudara,
ilmu pedangmu lihay, aku menyerah kalah" Iapun terus
melemparkan senjatanya. Pemuda yang lainnya turut mundur.
"Terima kasih buat belas kasihanmu, saudara," katanya sambil
melemparkan poan koan pitnya untuk memberi hormat juga. Siauw
Pek heran. Ia melihat orang orang itu belum kalah.
"Tuan tuan mengalah saja," katanya.
Pemuda yang bersenjata pedang itu memberi hormat pula, ia
berkata : "Saudara, akulah oey Eng. Bolehkah aku mengetahui she
dan besar dari saudara ?"
"Aku Tjoh Siauw Pek," sahut Siauw Pek singkat.
"Aku Kho Kong," berkata pemuda yang bersenjata poan koanpit
sambil menjura.
"Syukur saudara saudara suka berdamai," kata Siauw Pek.
"Terima kasih, itu tandanya saudara saudara sudi memberi muka
padaku. Nah, sampai ketemu pula "
Berkata begitu, anak muda ini menyimpan pedangnya, ia
memberi hormat, kemudian bertindak pergi. Iasudahjalan empat
atau lima lie tatkala ia mendengar suara orang berlari lari dari arah
belakangnya. Ia heran, maka ia menoleh. Ternyata oey Eng dan Kho
Khong tengah berlari cepat ke arahnya, mereka sambil saban saban
memanggil padanya. Ia lalu berhenti berjalan, untuk menantikan-
"Kami mengagumi kepandaian silatmu, saudara Tjoh," kata oey
Eng. "kami juga kagum akan kebaikan hatimu. Kau amat mulia
sekali Saudara, aku menyusul kau untuk bermohon jikalau anda
tidak mencela kebodohan kami, agar kami diijinkan menemanimu di
sepanjang jalan, agar sewaktu waktu kami dapat menerima
petunjukmu, supaya kami mendapat tambah kemajuan-"
"Kami berdua adalah sama sama anak yatim piatu yang
dipelihara dan dididik guru kami masing masing," Kho Kong pun
berkata. "Itulah sebabnya mengapa kami sangat menyintai dan
menghormati guru kami, sehingga kami suka membelanya mati
matian- Aku kagum terhadap kau, saudara Tjoh. Kau telah
memisahkan kami dan membuat akur satu dan yang lain- Saudara
tahu, kami tidak punya rumah tangga, kami hidup dalam
perantauan- Ketika dulu guru kami berkelahi, mereka cuma
perebutkan nama kosong. Mereka menutup mata karena sama sama
terluka, tak sempat mereka memberi penjelasan atau memesan-
Kami berkelahi hanya disebabkan ingin menuntut balas, lain tidak.
Tadinya habis setiap berkelahi, karena letih, kami beristirahat,
selama itu, selalu kami sadar bahwa kami inilah anak anak piatu..."
Siauw Pek menghela napas.
"Nasibku juga sama dengan kamu, saudara saudara," katanya,
yang lantas menghentikan kata katanya, sebab mendadak ia ingat,
tidak selayaknya ia menuturkan riwayatnya. "Bagus kamu insaf akan
keadaan diri kami. Bukankah kamu tak akan berkelahi pula, bahkan
sebaliknya, akan bersahabat?"
"Itulah putusan kami, saudara Tjoh," sahut oey Eng. "Dulupun
guru kami tidak memesan buat kami menuntut balas hingga hidup
dan mati. Bahkan sekarang kami menyesal, kami pun menyesalkan
sumpah kami itu, yang keterlaluan-"
"Sebenarnya," Kho Kong turut bicara pula, "guru kami ada juga
meninggalkan pesan tetapi itu tidak mengenai sebab musababnya
mereka bertempur, hanya mengenai soal pembalasan- Pesan itu
ialah: Kalau kelak dikemudian hari ada orang yang memisahkan
kami, kami berdua mesti kepung dia, jika kamu kena dikalahkan,
pembalasan harus dilunaskan-"
"Baru guru kami berkata begitu, mereka sudah menutup mata.
Tadi kami kena dikalahkan, saudara Tjoh, hati kami jadi tertarik,
maka kami berdamai untuk mengikuti kau..."
Tak dapat Siauw Pek menerima permintaan itu. Ia mempunyai
urusan sendiri.
"sukur kamu akur satu sama lain," katanya "saudara saudara,
aku mempunyai urusan sendiri yang penting, maaf, tak dapat aku
menemui kamu lama lama, selamat tinggal "
"TUnggu dulu saudara Tjoh " Kho Kong memanggil sela gi
pemuda itu mengangkat kaki.
"Tolong dengar dulu kataku..."
"Saudara Tjoh," oey Engpun berkata, "kau bagaikan penolong
jiwa kami, karena itulah, suka kami mengawanimu, untuk
mengiringimu."
"Terima kasih, saudara saudara. Dengan sebenarnya, tak dapat
kamu mengikuti aku. Aku mempunyai musuh besar, sekarang aku
lagi mencarinya, entah di mana, tetapi setiap saat, mungkin aku ini
akan bertempur mati hidup.Jikalau kamu berdua turuti aku,
bukankah itu dapat menyusahkan kamu? Yang benar kita
bersahabat saja Nah, sampai bertemu pula"
"Saudara Tjoh mari dengar dahulu" kata oey Eng, yang telah
saling mengerdipi mata dengan Kho Kong. "Sebenarnya kami
menyusul saudara sebab kami melihat saudara agaknya mempunyai
urusan penting..."
"Bukannya aku menolak kalian, saudara saudara, yang benar
ialah kedudukan aku sangat berbahaya. Memang sekarang aku tak
kurang suatu apa, siapa tahu dilain waktu? Sekarang ini orang
belum tahu tentang kemunculanku"
"Seorang laki laki binasa untuk orang yang mengenalnya,
demikian sebuah pepatah." berkata oey Eng. "Pepatah itu tepat
sekali. Kami takluk kepadamu, saudara Tjoh, maka itu kami bersedia
menyerahkan diri kami untuk mengikutimu, supaya kami dapat
membalas sedikit budimu. Dalam hal ini kami tidak menghiraukan
soal mati hidup"
"Jiwa kami telah kau tolong, saudara Tjoh," kata Kho Kong, "
karena itu mana dapat kami tidak membalasnya dengan jiwa kami
juga?"
"Kamu baik sekali, saudara saudara. Hanya..."
oey Eng tertawa nyaring dan lama, kata katanya Siauw Pek
terputus karenanya. Tertawa itu mengagumkan dan mengharukan,
sebab keluar dari hati yang tulus.
Habis tertawa, oey Eng bersikap tenang sekali. Katanya sabar:
"Saudara Tjoh, kami tahu sebabnya saudara menampik kami. Itulah
karena ilmu silat kami tidak berarti, hingga kau kuatir kami hanya
akan menjadi bandulan saudara, bahwa kami cuma akan
menyusahkanmu saja... Nah, saudara, karena itu, ijinkanlah
memohon diri" Berkata begitu, pemuda ini memberi hormat, terus
memutar tubuh. Kho Kong melihat kawannya pergi, dia menarik
napas panjang.
"Kami berlaku setulusnya, sesungguh hati siapa tahu saudara
Tjoh menolak kami," katanya masgul. "Baiklah, saudara, akupun
bermohon diri..." Ia memberi hormat, lalu pergi menyusul oey Eng.
Siauw Pek tergugah, hingga ia ternganga mengawasi dua orang
itu. ia menghela napas, hatinya tidak enak.
"saudara oey, Saudara Kho" ia lalu memanggil. "Saudara saudara
maukah kamu dengar dahulu kata kataku?"
oey Eng berpaling, dia tertawa sedih.
"Kepandaian kami tidak berarti, sukar buat kami bersahabat
dengan kau, saudara Tjoh..." katanya, menyesal.
"Saudara-saudara, kamu baik sekali, akupun mengerti," kata
Siauw Pek. "Hanya aku mohon supaya kami juga mengerti aku. Aku
mempunyai kesulitan sendiri. Tapi, saudara-saudara, jikalau kamu
tidak kuatir nanti kena terembet rembet olehku baiklah, suka aku
terima tawaran kamu ini. Lebih dahulu, terimalah rasa syukurku"
Berkata begitu, ia memberi hormat. oey Eng girang, dia tertawa.
"Jikalau saudara memang benar sudi menerima kami," katanya,
"kami berjanji akan dengan sekuat tenaga kami membantu saudara
membuat pembalasan" Kho Kong juga, memberikan janjinya Siauw
Pek menghela napas. Wajahnya tampak guram.
" Kedua saudaraku, tahukah kamu siapa itu musuhku?"
"Kami tidak tahu, saudara sudi kiranya anda menjelaskan," minta
Kho Kong.
"Musuhku itu bukan cuma satu, bahkan banyak." Siauw Pek
menerangkan- "Merekalah kesembilan partai besar serta sembilan
partai lainnya merabalah sembilan pay, empat bun, tiga hwee dan
dua pang."
Mendengar itu, oey Eng dan Kho Kong melengak. Itulah mereka
tidak sangka. Hingga beberapa lama mereka tak dapat berkata kata.
"Nah, sekarang tentulah saudara saudara sudah ketahui," Siauw
Pek menambahkan.
"Kalau tentang diriku ini, terutama tentang niatku untuk
menuntut balas, diketahui oleh pihak luar oleh musuh musuhku,
segera juga aku akan terancam bahaya besar. Pasti mereka itu akan
mencariku, guna turun tangan lebih dahulu. Dengan begitu, saudara
saudara, hanya karena aku seorang, kamu pun jadi dimusuhi oleh
banyak musuh Maksudku, oleh dunia Rimba Persilatan-.."
"Ya, Saudara," tanya oey Eng kemudian, "kau baru berusia lebih
kurang dua puluh tahun bagaimana caranya sampai kau jadi
bermusuhan dengan delapan belas partai itu ?"
"Ya, saudara, apakah sebabnya itu ?" Kho Kong pun bertanya.
"Panjang ceritanya, saudara saudaraku," sahut Siauw Pek,
tenang. "sakit hati ini dimulai oleh keluargaku setingkat diatas. inilah
dendam kesumat pembunuhan ayahku beserta penasaran
kebinasaan seluruh keluarga dan kampung halaman " Kho Kong
heran.
"Saudara Tjoh," katanya, "toh tak dapat kau membalas dendam
kepada semua orang Rimba Persilatan ?"
Siauw Pek mengangguk.
"Benar," sahutnya. "Kata pepatah penasaran ada penyebabnya,
utang ada piutangnya. Demikian juga sekalian orang Rimba
Persilatan yang telah memusuhi keluargaku itu. Pertama tama
hendak aku membuat penyelidikan yang seksama, untuk dapat tahu
sebab musabab yang sebenarnya, setelah itu, ingin aku cari dia atau
mereka yang menjadi biang keladinya. Tak kupikir buat ganggu
mereka yang main ikut ikutan saja. Akan aku bunuh musuh atau
musuhku yang utama, guna menghibur arwah ayah bunda serta
saudara saudaraku di alam baka."
oey Eng mengerti, ia mengangguk angguk. Selanjutnya, ia
memperlihatkan roman sungguh sungguh.
"Ada sesuatu yang hendak kutanyakan, saudara," katanya,
"Mungkin ini pertanyaan yang tak seharusnya. Aku minta saudara
tidak menjadi kecil hati."
" Katakanlah, saudara oey " kata Siauw Pek cepat. "Aku bersedia
mendengarnya."
"Jikalau seorang orang dituduh oleh ribuan orang, pasti semua
orang mengatakan dia bersalah," kata oey Eng. "Dia itu tentulah
ada sebabnya. Sekarang mengenai sakit hatimu, saudara. inilah
perumpamaan saja. Seandainya setelah saudara membuat
penyelidikan tetapi kenyataannya ayah saudaralah yang bersalah,
bagaimana nanti sikap dan tindak tanduk saudara ?"
"Pertanyaanmu tepat, saudara oey." jawab Siauw Pek, yang tidak
menjadi kurang senang "Jikalau hasil penyelidikanku benar seperti
terkaanmu ini, aku bersedia menghadapi orang banyak untuk
mengaku bersalah buat menebus dosa " oey Eng kagum, dia
menunjukkan jempolnya.
" Dengan mengandaikan kepada kata katamu ini, saudara Tjoh "
katanya, sungguh sungguh " bersedia aku untuk mengikuti kau,
untuk memberikan seluruh tenagaku kepadamu "
"Aku juga " seru Kho Kong, yang tidak kurang kagumnya, hingga
dia memberikan janjinya seketika.
Siauw Pek terharu, ia menghela napas.
"Kamu baik sekali, kedua saudaraku, aku sangat bersyukur
kepada kamu," katanya. Dengan sebenarnya, seorang diri saja, aku
menghadapi kesulitan dalam usahaku menuntut balas ini. Syukur,
didalam perantauan aku bertemu dengan kamu berdua yang
bersedia membantuku. Mungkin ini disebabkan arwah ayah
danibusaya yang sudah meninggal dunia itu telah
memberkahikuputra tunggalnya. Nah, kedua saudara, terimalah
hormat dan terima kasihku "
Berkata begitu, Siauw Pek lalu memberikan hormat sambil
berlutut, menjura.
oey Eng dan Kho Kong menjadi repot, dengan tersipu sipu
mereka menjatuhkan diri di tanah guna membalas hormat itu.
"Tidak berani kami menerima hormat ini," kata mereka.
Bertiga mereka saling memberi hormat, lalu sambil berpegangan
tangan, mereka berbangkit berdiri. oey Eng puas, dia tersenyum.
"Sejak saat ini, kami akan turut segalanya perintahmu, kakak
Tjoh," kata dia setulusnya. "Di dalam dunia Rimba persilatan tidak
ada si tua dan si muda, yang ada hanya si gagah dan si pintar,
karena itu, saudara, justru kau terlebih lihay daripada kami berdua,
kaulah kakak kami " Tapi Siauw Pek menolak.
"Itulah tak dapat, saudara oey. Kita bersahabat, mesti ada yang
usianya lebih tua..."
"Bukan begitu, kakak Tjoh," Kho Kong pun berkata. "Ular tanpa
kepala tidak dapat berjalan, burung tanpa sayap tidak dapat terbang
demikian juga kita. Kami berdua sangat mengagumi saudara,
karenanya kami memohon persahabatanmu. Saudara, untuk
mewujudkan cita citamu, tenaga kita bertiga masih belum cukup.
Maka itu, menurut pikiranku untuk usaha kita ini, baik kita
membangun suatu ikatan dan yang menjadi bengcu, kepala ataupun
pemimpinnya, ialah kau sendiri. Setelah ini, kita akan cari dan
menerima kawan kawan yang sepaham dengan kita. Secara begini,
disamping kita bisa membalas dendam, sekalian kita juga bisa
membasmi mereka yang busuk dan jahat, supaya kaum Rimba
Persilatan mengangkat pula namanya yang bersih."
"Bagus, bagus," oey Eng memuji. "Inilah pikiran yang baik sekali.
Menurut aku, tak usah sulit sulit kita mencari nama, baik pakai saja
Rombongan Tjeng Gi pang "
"Apakah nama itu tidak terlalu agung?" tanya Siauw Pek. "ceng
Gi berarti "keadilan", dan "Pang" ialah "Kawanan". "Menurut aku,
sekarang baiknya kiga jangan membangun ikatan dahulu, sebab kita
belum membuat penyelidikan dan hasilnya belum ketahuan-Jikalau
nanti yang bersalah adalah ayahku, tidakkah kita merusak kesucian
kata kata Tjeng Gi itu?" oey Eng menarik napas kagum.
" Kakak Tjoh, kau ini sungguh bijaksana " ia memuji. "Sekarang
baiknya begini saja. Ikatan kita jangan dibangun dahulu, tetapi kau
tetap menjadi bengcu yaitu pemimpin kami."
"Ya, ya kakak Tjoh menjadi bengcu" kata Kho Kong, "Nah,
bengcu, apakah tindakan permulaanmu? Kemana kita pertama
pergi?"
"Ketika ayahku masih ada," sahut Siauw Pek "beliau pernah
memberitahukan bahwa beliau telah menitipkan beberapa rupa
barang pada seorang sahabatnya, maka itu sekarang aku
memikirkan buat pergi mengambil barang barang itu, yang mestinya
penting sekali. Dari sana baru kita mulai membuat penyelidikan
tentang urusan ayahku."
"Jikalau demikian, mari kita berangkat sekarang," mengajak oey
Eng.
"Satu hal harus diperintah," Siauw Pek pesan- "Sebelum kita
berhasil mencari keterangan baiknya aku menyembunyikan diri dulu,
agar musuh tidak datang mengganggu. Artinya kita membuat
penyelidikan secara rahasia."
"Itu benar" oey Eng dan Kho Kong setuju.
Lalu mereka itupun berjalanlah. Inilah yang pertama kali putera
Tjoh Kam Pek mendapat kawan- Dan, pada suatu tengah hari,
mereka tiba di Ji Si Wan, kota Gak yang bagian selatan-
Jie Sie Wan adalah sebuah dusun kecil, yang penduduknya hanya
beberapa puluh keluarga, kebanyakan petani yang sederhana.
Tiba didesa itu Siauw Pek bertiga berpakaian sebagai orang
orang desa juga. senjata mereka disimpan dalam bungkusan, untuk
tidak mendatangkan kecurigaan- Lebih dahulu mereka berpura-pura
mengitari desa, baru berjalan memasuki.
Seorang tua, yang sedang berangin sambil mengipasi diri,
tampak sedang duduk dibawah sebuah pohon, Siauw Pek
menghampiri orang tua itu, untuk memberi hormat kepadanya
sambil menanya kalau-kalau desa itu benar desa Jie Sie Wan"
Benar," sahut orang tua itu, "Tuan tuan hendak mencari
siapakah ?"
"Ada seorang tuna netra yang dipanggil Lauw Hay tju, benarkah
dia tinggal disini?" tanya Siauw Pek.
sebelum menjawab, orang tua itu memandangi si anak muda
dahulu.
"Lauw Hay tju ?" dia mengulangi. "Dia tinggal disebelah barat
sana, di sebuah rumah bilik. Mudah mencarinya, sebab rumahnya
itu mencil sendirian."
"Terima kasih " kata Siauw Pek seraya memberi hormat pula,
terus ia mengajak kedua kawannya bertindak kearah barat.
Selagi berjalan, tiga orang ini masih mendengar orang tua itu
berkata kata seorang diri : "Aneh Sudah empat atau lima tahun, tak
pernah ada seorang jua yang mencari Lauw Hay tju, tetapi selama
beberapa hari ini, tak hentinya orang datang menjenguknya..."
Siauw Pek terperanjat. Karena ini, segera ia mempercepat
tindakannya.
Disebelah barat itu ada sebidang tanah persawahan dan kebun,
benar disana tampak sebuah rumah kecil, yang dikelilingi pohonpohon
bambu hijau.
"Tentu itulah rumahnya," kata oey Eng, perlahan. "Mari kita
hampiri."
Begitu ia melihat rumah cilik itu, Siauw pek merasakan
tindakannya menjadi berat. Disebabkan hatinya tiba-tiba menjadi
tidak tenang, dan ia lalu menerka nerka : Adakah barang titipan
ayahnya masih ada ? Apakah barang titipan itu ada sangkut pautnya
dengan urusan sakit hatinya? Sebenarnya si tuna netra itu orang
macam apa? Kenapa ayahnya menitipkan barangnya kepada orang
buta itu?
Selagi ia masih berpikir, tahu tahu Kauw-Pek telah tiba di depan
rumah orang. Pintu rumah tertutup. Didepannya tergantung sebuah
papan merk, bunyinya: Lauw Hay tju, Mo Kut Tam Siang. Artinya
"Lauw Hay tju si akhli nujum dengan meraba tulang."
Segera Siauw Pek mengetuk pintu. "Apa ada orang di dalam ?"
tanyanya.
Dari dalam terdengar jawaban yang parau. "Apakah orang yang
ingin di ramalkan? Silahkan masuk "
Siauw Pek menolak daun pintu. Ia melihat ruang depan yang
penuh rumput dan daun daun, tandanya ruang itu tak kenal sesapu.
Ia menerka tentulah tuan rumah tinggal seorang diri saja.
Disitu, Kho Kong mendahului masuk keruang dalam. Segera
dilihatnya seorang buta yang sedang duduk dibelakang sebuah
meja, orang itu sudah tua, rambutnya panjang dan kusut,
bajunya telah pecah disana sini, sedang janggutnya ubanan dan
meroyot turun kedadanya. Kedua matanya sudah buta. Mengawasi
orang bercaCad itu ia heran- ia tidak mengerti mengapa Tjoh Kam
Pek dapat menitipkan barangnya kepada orang buta semacam ini.
Tuan rumah rupanya telah tahu tetamunya sudah masuk. ia
bangkit secara mengundang: "Silahkan duduk dikursi bambu
didepanku ini." Sementara itu Siauw Pek dan oey Eng mengikuti Kho
Kong.
Walaupun buta matanya, Lauw Hay tju terang pendengarannya.
Ia dapat membedakan orang dari tindakan kakinya saja.
" Ketiga tuan, silahkan duduk" ia mengundang pula. "Mataku
tidak dapat melihat, maaf, aku tak dapat meninggalkan tempat
dudukku untuk menyambut kedatangan tuan tuan."
"Maaf, lotjianpwee, aku mengganggu ketenteramanmu," kata
Siauw Pek. Ia menyebut "lootjianpwee" orang tua tingkat lebih atas
karena dialah sahabat, bahkan orang kepercayaan ayahnya.
"Sama sekali tidak. tuan," kata tuan rumah. "Aku hidup dari
hasilnya ramalanku, aku menyambut girang setiap kunjungan, lebih
banyak tetamu lebih baik lagi, jikalau tiada orang datang, bukankah
aku mati kelaparan ?"
Diam-diam Siauw Pek mengawasi tajam si tuna netra. Ia tidak
melihat sesuatu yang luar biasa, yang mencurigakan-
"sebenarnya kami datang bukan untuk minta diramalkan,"
katanya kemudian perlahan-Mendadak Lauw Hay-tju menjadi heran.
"Habis kamu datang mau apa ?" tanyanya, suaranya segera
berubah.
"Bengtju kami datang untuk mencari keterangan," oey Eng turut
bicara. "Jikalau kau dapat memberi penjelasan, kami akan beri
banyak uang kepadamu, hingga selanjutnya tak usah kau hidup dari
ramalanmu lagi."
" Walaupun kedua mataku sudah buta, aku masih mempunyai
semacam kepandaian." berkata si buta. " Dengan hasil
kepandaianku itu, dapat aku melewatkan hari-hariku. Mengenai
uang yang tak ketahuan asal usulnya, maaf, tak dapat aku
menerimanya."
"Lotjianpwee memang seorang berilmu," kata Siauw Pek. "Aku
yang muda..."
"Aku menujumkan orang untuk penghidupanku," memutus si
orang tua, "aku harap tuan tuan jangan mengangkat tinggi-tinggi
padaku." Siauw Pek menghela napas perlahan-
" Lotjianpwee, ingin aku menyebut satu nama mungkin
lotjianpwee mengenalnya," katanya sabar.
"Tidak. aku tidak kenal " kata siorang cepat. " Kecuali orangorang
yang datang meramalkan kesini, aku tidak kenal siapa juga "
Mendengar suara orang itu, hati Siauw Pek lega, kemudian ia
berkata perlahan sekali : "Lotjianpwee, apakah barang titipan
sahabatkmu dari kaum Pek Ho Bun masih ada?" Ditanya begitu,
Lauw Hay-tju kaget, hingga tubuhnya gemetar.
"Sekarang jam berapa ?" tanyanya cepat.
"sudah lohor magrib matahari sore merah," sahut Siauw Pek.
Kembali tubuh siorang buta bergemetar. Dia berkata lagi:
"Dijalan ketempat baka tak ada penginapan-.."
Siauw Pek kemudian menimpali: "Tetamu datang dari Tanah
Barat tempat hati Buddha."
Tiba-tiba Lauw Hay-tju menggerakkan tangannya menyambar
tongkat bambu yang disandarkan dikursinya.
"Kau siapa ?" dia bertanya keras.
"Boanpwee Tjoh Siauw Pek," sahut sianak muda sabar.
Mendadak pula tangan kanan Lauw Hay tju bergerak. dengan
tongkatnya itu dia menusuk kedada sianak muda. Tongkat itu
bergerak bagaikan kilat. Siauw Pek kaget sekali.
"Lotjianpwee" ia berseru sambil berkelit. Kho Kong kaget, dia
segera menyiapkan senjatanya.
Hebat orang tua itu, dia buta tetapi sangat gesit. Baru tetamunya
berkelit, tusukannya yang kedua sudah menyusul.
Melihat betapa liehaynya si orang tua, Siauw Pek kagum. Katanya
didalam hati: "Hebat ilmu silat tongkat ini, sungguh gagah, juga
tenaga dalamnya mahir sekali." ia berkelit pula.
Kali ini Kho Kong menangkis. "Tahan, lotjianpwee " dia berseru.
"Aku situa tidak takut kamu kabur" kata orang tua itu, yang terus
mundur kesamping, sedang tongkatnya ditarik kembali.
Boanpwee Tjoh Siauw Pek, ia berkata pula. "Ayahku ialah Tjoh
Kam Pek dari Pek Ho Bun." Lauw Hay tju menyela dengan tertawa
dingin.
"Apakah kau menghinaku sebab aku buta tak melihat apa-apa,
tidak melihat kau ?" tanyanya.
Siauw Pek heran, hingga dia tercengang.
"Sebelum ayahku melihat bencana, ayah telah memesan
boanpwee." ia menerangkan- "Ayah bilang, andaikata boanpwee
dapat hidup, supaya boanpwee pergi mencari lotjianpwee disini
untuk meminta barang-barang yang dititipkan ayah. Syukur
boanpwee tidak mati maka itu sekarang boanpwee datang
kemari..."
Mata situan rumah buta tetapi toh mencilak hingga tampak
putihnya. "Kalau begitu sungguh aneh " serunya.
"Kenapa, lotjianpwee ?" bertanya Siauw Pek. Iapun heran,
hatinya bercacat. "Apakah jawaban boanpwee tidak tepat ?" Lauw
Hay-tju tidak menjawab dia hanya bertanya. "Bukankah kau telah
datang kemarin ?"
sekarang Siauw Pek yang ganti terkejut. "Apa ?" tanyanya.
"Kemarin datang seorang pemuda kepadaku," berkata Lauw Haytju.
"Katanya dialah anak piatu dari Tjoh Kam Pek. Tepat jawaban
dia tak salah sepatah katapun juga, kata-kata rahasia itu hanya
diketahui kami berdua, ayahmu dan aku. Kalau dia tahu kata-kata
rahasia itu, dia pasti bukan si orang palsu "
Siauw Pek bingung dan menyesal, berkali kali dia membanting
kakinya.
"Siapakah orang itu ?" tanyanya berulang ulang. "Siapakah dia ?
Bagaimana dia dapat mengetahui kata kata rahasia itu ?"
Tiba tiba terdengar tawa dingin dari Kho Kong.
"Lotjianpwee" dia menyela, "kedua matamu itu benar benar buta
atau hanya berlagak buta ?"
"Bicara sebenarnya, tuan tuan," sahut orang tua itu, " mata ku ini
bukan buta seluruhnya, cuma lamur saja. Aku dapat melihat jauh
empat atau lima kaki, dengan samar samar."
oey Eng campur bicara.
"Locianpwee," katanya, "kalau loocianpwee cuma lamur, tentu
loocianpwee berkesan mendalam mengenai anak muda yang
kemarin itu. Apakah loocianpwee bisa menunjukkan sesuatu yang
istimewa ?" orang tua itu berdiam.
"Andaikata aku tahu, akupun tidak dapat menjelaskan kepada
kamu," sahutnya dingin. "Kalau dikatakan dia itu palsu, mana bisa
aku percaya bahwa kamu bukannya yang palsu juga."
"Tetapi loocianpwee," kata Siauw Pek, yang tetap bingung sekali,
apakah kata-kata rahasiaku ada yang salah ?"
"Tidak Sepatah katapun tidak "
"Jikalau sepatah katapun tidak ada yang salah, kenapa
loocianpwee masih tak mau percaya aku ?"
Kho Kong menyela: "Dikolong langit ini, semua orang dapat
dipalsukan, tetapi tidak ada orang yang sudi mengaku menjadi anak
orang lain "
"Tapi kata kata rahasia orang itu, sepatah juga tidak salah,"
berkata si orang tua. "kata kata rahasia itu hanya diketahui oleh aku
dan sahabat Tjoh Kam Pek serta isterinya. Jikalau bukan Tjoh Kam
Pek yang memberi tahu, bagaimana orang lain itu?" Siauw Pek
menghela nafas.
"Loocianpwee, coba tolong ingat ingat pula, ia minta: Benarkah
taksalah sepatah kata jua timpalan orang muda kemarin itu?"
"Tidak. tidak salah sama sekali. Kata kata itu telah aku hafal
belasan tahun, jangankan orang itu salah, dia beragu ragu pun pasti
curiga dan aku dapat mendedasnya "
"Apakah loocianpwee tanya she dan namanya ?"
"Itulah tidak, anak. Adalah perjanjian diantara aku dan sahabatku
Tjoh Kam Pek untuk tak usah menanyakan she dan nama orang
yang minta barang titipan itu. Pesan ayahmu itu pasti adalah hasil
dari pemikiran yang dalam. Ayahmu merantau keseluruh negara,
pasti ada orang yang memperhatikan dan mengintainya. Pasti
orangpun akan mencurigai setiap orang yang ada hubungan
dengannya. Aku menerima pesan aku mesti berlaku jujur dan setia
terhadap pesan itu, jadi aku tidak tanyakan she dan nama anak
muda itu." Siauw Pek menyesal sekali. Kembali ia menarik nafas.
"Boanpwe datang dari ribuan lie, tak sangka karena terlambat
satu hari, urusan jadi gagal secara hebat begini..^" katanya. Si
orang buta dengan perlahan duduk pula dikursinya.
"Anak." ia menegaskan, "apakah kau benar benar putera Tjoh
Kam Pek sahabatku itu?"
"Jikalau loocianpwee masih menyangsikan aku, nanti aku
terangkan segala apa yang aku masih ingat perihal ayahku itu."
"Segala sesuatu dahulu itu." kata Lauw Hay cu, " walaupun aku
tidak tahu jelas tapi aku rasa masih ada yang aku ingat. Asal aku
memperoleh kepastian kaulah anak sahabatku itu, akan aku
tuturkan segala apa yang aku tahu kepadamu."
"Bagaimana caranya loocianpwee percaya aku?" Siauw Pek
bertanya.
"Semasa hidupnya, ayahmu itu sangat terkenal, dia telah
merantau luas," kata si orang tua "karena itu tidak ada orang yang
tidak mengenalnya, jadi buat melukiskan roman wajahnya itulah
tidak sulit."
"Kalau begitu sungguh sukar buat boanpwee" Siauw Pek
mengaku.
"Jangan bersusah hati dulu, anak. Aku masih punya satu cara."
"Tolonglah jelaskan, loocianpwee."
"Dalam ilmu silat Pek Ho Bun, ada tiga jurusnya yang istimewa
yang dapat dipakai menyelamatkan diri dari ancaman bahaya,"
berkata Lauw Hay-tju, "sekarang dengan tongkatku ini, aku hendak
mengujimu. Mataku lamur, aku tidak dapat melihat tegas, tetapi
asal kau gunakan itu, dapat aku merasakannya." Berkata begitu, dia
lalu menjemput tongaktnya. "Mari kita coba" katanya pula. Siauw
Pek bingung, dia mengeluh didalam hati.
"Lootjianpwee," katanya, "walaupun cara ini sempurna tetapi
bagiku sulit sekali. Aku tidak mengerti ilmu silat Pek Ho Bun. Mana
bisa aku melayani lootjianpwee bersilat ?"
Lauw Hay tju menunda tongkatnya, dia heran.
"Ngaco " bentaknya. "oh, hampir aku kena diperdayakan olehmu
"
Baru saja dia membentak. orang tua itu sudah menyerang
dengan hebat, dia menggunakan tipu silat "Menyapu tentara seribu
jiwa."
Ruang itu tidak luas, itulah berbahaya bagi Siauw Pek. Iapun
tidak berniat melayani tuan rumah itu. Terpaksa ia melompat
mundur, untuk menyingkir keluar. Kho Kong menjadi tidak puas, dia
gusar.
"oh, tua bangka tidak pakai aturan" bentaknya. "Bengcu kami
tidak sudi melayani kau, karena itu dia senantiasa mengalah.
Apakah kau sangka dia takut padamu." Sementara itu, Siauw Pek
sudah tiba diluar, ia diikuti oey Eng.
Kho Kong mendongkol, akan tetapi iapun tidak melayani. ia
berkelit, terus menyingkir ke sudut.
Mata Lauw Hay tju tidak berguna, tapi tidak demikian dengan
telinganya. Ia tahu masih ada satu orang dalam ruangan itu dan
juga di mana orang itu berada, ia maju untuk menyerang Kho Kong.
Kali ini dengan menggunakan jurus "Naga emas mengulur kuku."
Pemuda itu telah menyiapkan sepasang senjatanya, sambil
menangkis dan membalas menyerang. ia menusuk dengan jurus
"cecer terbang membentur lonceng."
Lau Hay tju berkelit, terus dia menyerang pula, empat kali
beruntun- Semua serangan berat dan berbahaya. Kho K^ong
membela diri dengan menjaga dan menangkis, dan ketika ia hendak
membalas menyerang, tiba-tiba sibuta menggunakan tongkatnya
menyingkap tirai, kemudian lompat menyelinap dibelakangnya. Ia
menyingkir kedalam kamar.
Kho Kong heran, dia mengerutkan alis.
"Saudara oey, jaga jendela belakang," teriaknya setelah dia ingat
sesuatu. "Jangan biarkan situa buta lolos"
oey Eng menyahut. Sambil menghunus pedang ia lari
kebelakang.
Sesaat lamanya itu Siauw Pek berdiam saja. Ia heran dan
bercuriga. Pikirnya: "Dia lihay, kenapa dia suka tinggal menyendiri
ditempat sesunyi ini, hidup belasan tahun sebagai tukang tenung ?
Sayang ayah tak pernah menceritakan dia pandai silat..."
Ketika itu suara Kho Kong : "TUa b angka buta, ada apakah
kesulitanmu? Lekas beri tahu terus terang. Tak nanti kami paksa
dan mengganggumu.Jikalau kau tetap bersembunyi, awas akan aku
bakar gubukmu ini"
Menyusul ancaman itu, Lauw Hay tju menyingkap tirai dan
muncul. Ditangan kanannya tambah sebuah pisau belati. Dia
berkata dingin.
"Siapakah yang menyembunyikan diri? Kamu tahu, Lauw Hay tju
juga seorang lelaki sejati sayang mataku bercacat, hingga tak
sanggup aku membalaskan sakit hati Tjoh Toako, hingga aku mesti
menahan malu hidup menyendiri disini, supaya aku dapat
melindungi barang titipannya. Aku tidak tahu titipan itu barang apa
tetapi aku percaya itu pastilah barang berharga sekali. Karena itu,
aku tak dapat mati. Tapi sekarang lain Sekarang ini titipan Tjoh
Toako telah diambil oleh ahli warisnya, kalau aku mati, aku tidak
menyesal, maka sekarang, mari kita mengadu jiwa sebagai ganti
membalaskan sakit hati Tjoh Toako "
Berkata begitu, orang tua ini berhenti sejenak, kemudian
meneruskan- "Biar kamu menggunakan akal apa juga, jangan
mengharap aku membuka rahasia sedikitpun. Mataku gelap tetapi
tidak hatiku. Baik akujelaskan terlebih dahulu, Pisau belatku ini ada
racunnya yang jahat, asal pisau ini melukai tubuh orang, racunnya
akan bekerja menutup kerogkongan. Pisau belati ini aku simpan
spesial untuk membalaskan sakit hati Tjoh Toako, maka itu, justru
kamu datang kemari, inilah bagus sekali. Andaikata aku tidak dapat
melawan kami, maka senjata ini akan kupakai membunuh diri "
Mendengar begitu, Siauw Pek makin curiga.
"Lootjianpwee, tunggu " ia berkata. "Letakkan dulu senjata
lootjianpwee, supaya kita dapat berbicara secara terus terang."
"Tak perlu kita bicara lagi," kata orang tua itu. "Telah kuketahui
siapa kamu "
Siauw Pek semakin heran- orang lamur, tapi kata katanya
demikian pasti. " Lootjianpwee, tahukah kau siapa kiranya aku ini ?"
ia bertanya.
"Aku tak tahu, namamu, tetapi aku tahu kamu termasuk
rombongan apa haha. Kau ingin mengorek keterangan dari mulutku
si buta ? Hm Jangan harap " Kho Kong gusar.
"Baiklah, tua bangka buta" teriaknya. "Belum pernah aku
menemui orang dungu semacam kau Mari "
Kawan ini mau maju menyerang, tapi Siauw Pek mencegahnya.
"Sudah, saudara Kho, kita jangan mendesaknya. Mari kita pergi "
Lauw Hay tju mendengar itu, dia tertawa dingin-
"Pergilah kamu, pergi, untuk mengundang lebih banyak kawan "
dia menantang. "sekalipun kamu datang beratus atau beribu orang,
tetapi aku tak jeri Hm Tak lebih tak kurang, jiwaku cuma satu "
Kho Kong gusar dan mendongkol. tetapi dia bertindak keluar. Dia
mesti taati kata kata pemimpinnya itu.
Maka bersama-sama bertiga mereka mengundurkan diri.
Tiba ditegalan, Kho Kong mengeluh. "Tua bangka buta itu benar
benar gila. Dia tetap tidak percaya kau, bengtju Dia tidak mau pikir
dikolong langit ini dimana ada orang yang memalsukan anak orang "
"Kalau mendengar kata katanya itu, tak heran dia mencurigai
kita," kata Siauw Pek, sabar. "Mestinya dia bersahabat sangat erat
dengan almarhum ayahku. Dia menerima pesan, sudah seharusnya
dia bersetia kepada pesan itu. Aku tidak mengerti ilmu silat Pek Ho
Bun, ilmu silat partaiku, tidak heran dia menjadi curiga."
"Kalau begitu, apakah kita berhenti sampai disini saja?" tanya
Kho Kong, penasaran-Siauw Pek menghela nafas.
"Sayang dia telah menganggap kita sebagai musuh besar,"
katanya. "Sukar sekali bagi kita merebut kepercayaannya.Jangankan
dialah sahabat karib ayahku, walaupun dia seorang tidak dikenal
oleh ayahku itu, tak dapat kita memaksakan kematiannya. Aku
menyesal sebab kelambatan satu hari saja, gagallah perjamuanku
ini..."
"Kau berpikir besar, bengtju," oey Eng turut bicara. "Tapi hati
manusia itu sukar dijajaki. Siapa tahu mungkin dia sedang
menggunakan tipu daya? Dia toh dapat berpura pura."
Lagi lagi Siauw Pek menarik nafas.
"Melihat gerak geriknya itu, tak mungkin dia sedang
menggunakan tipu," katanya. "Sekarang baik kita mencari akal..."
Kho Kong tetap penasaran-
"Menurut aku, dia pasti berpura pura " katanya sengit. "Dia licik
sekali "
"Dunia Sungai Telaga penuh dengan akal bulus, tak dapat kita
menjaganya," kata Siauw Pek, tetapi mengenai Lauw Hay tju, aku
percaya dia bukanlah seorang licik,"
Pengalaman pahit getir membuat anak mdua ini dapat memikir
jauh. Ia menjadi beda dengan orang orang dewasa seumurnya. Kho
Kong bertabiat keras, tetapi dia juga dapat berpikir.
"Ya, sayang kita terlambat," katanya kemudian- "Barang titipan
itu mestinya penting sekali. Apakah kita berhenti sampai disini?
Menurut aku, sekarang baik kita menyembunyikan diri ditempat ini,
untuk secara diam diam kita intai gerak gerik si buta itu. Setelah itu
barulah kita menetapkan rencana kita..." oey Eng yang berdiam saja
sejak tadi, turut bicara.
"Pikiranmu ini baik, saudara. hanya pelaksanaannya meminta
terlalu banyak waktu," katanya. "Menurut aku, baiklah kita
melenyapkan dahulu tenaga perlawanannya, yaitu kita tangkap dia
hidup hidup, kemudian baru kita berdaya membuatnya mau
menuturkan segala galanya. Kalau kita sudah bekuk dia, dia mau
matipun tidak bisa." Kho Kong menunjukkan jempolnya.
"Bagus Bagus" pujinya. "Pikiran yang bagus." Tapi, mendadak ia
mengerutkan alisnya. "oh, tidak, tak dapat kita lakukan ini" ia
menambahkan. "Tadi aku menempur dia, dia lihay."
"Kita berdua bersaudara oey, tak sanggup kita membekuknya.
Bengcu liehay, tetapi bengcupun sukar menotok jalan darahnya
dalam satu serangan-"
"Memang, dia memang liehay," oey Eng akui "sekarang
bagaimana ? Titipan barang ayah bengcu penting sekali, perlu kita
dapatkan itu. Bagaimana kalau kita sekarang istirahat dahulu, nanti
aku selesaikan dia ? Kita masuk ke gubuknya dengan berpencar, lalu
kita tunggu kesempatan untuk membokong menotok jalan
darahnya."
"Didalam pertempuran, tak ada halangannya orang
menggunakan pelbagai macam tipu muslihat," kata Siauw Pek.
"Hanya dialah sahabat kekal almarhum ayahku, mana pantas kau
membokong dia. Lagi pula dia bertabiat sangat keras, andaikata dia
membandel menutup rahasia bagaimana, apa yang dapat kita
perbuat."
oey Eng berpikir.
"Jikalaujalan keras tak dapat. Terpaksa kita mesti ambil jalan
halus," katanya. "Terpaksa kita mesti mengalah dan mengabdi
kepadanya." Siauw Pek berdiam. Belum bisa ia mengambil
keputusan-
"Sayang dahulu ayah tidak mengajariku ilmu silat Pek Ho Bun
hingga aku tidak mengerti tiga jurus ilmu itu," katanya. "Tak heran
orang tua itu mencurigai aku karenanya."
"Soalnya memang sukar," kata Kho Kong. "Tua bangka itu kukuh
sekali"
Tiba tiba oey Eng menarik tangan Siauw Pek. "Ada orang"
bisiknya. Mari kita bersembunyi."
Memang ketika itu mulai terdengar tindakan kaki kuda, maka
ketiga pemuda itu lalu mendak diantara gerombolan pohon.
Segera juga tampak mendatang seekor kuda putih tinggi besar,
yang berjalan dengan perlahan, penunggangnya ialah seorang
muda yang berpakaian mewah, usianya ditaksir baru dua puluh
empat atau dua puluh lima tahun, mukanya putih, matanya jeli.
Pada pelana tergantung sebatang pedang panjang, yang dihiasi
runce merah, yang berkelebat- kelebat ditiup angin.
Tiba didepan rumah Lauw Hay-tju, kuda itu dihentikan,
penunggangnya mengawasi rumah serta sekitarnya, setelah itu dia
melompat turun dan menghampiri pintu.
"Dialah seorang pemuda hartawan, buat apa dia mengunjungi
Lauw Hay-tju?" berbisik oey Eng, mari kita lihat.
"Memang dia mencurigakan," kata Siauw Pek aku menerka dia
pandai silat. Kalau kita dekati mungkin dia bercuriga."
"Jangan ragu, bengcu," kata Kho Kong, "dengan selalu ragu, kita
bakal gagal. Mari kita dekati dia, kalau dia mempergoki kita, tidak
apa. Siapa tahu dialah pemuda yang telah menipu Lauw Hay tju,
yang telah mengambil barang titipan ayah bengcu ?"
"Baiklah," Siauw Pek berkata, "sekarang kamu tunggu disini, aku
hendak pergi melihat dia, seandainya aku kepergok dan jadi
bertempur, jangan sekali-sekali kamu membantu aku, tugas kalian
ialah pergi mencari tahu tempat mondoknya orang itu."
"Baik," jawab oey Eng. "Bersama saudara Kho, aku nanti
memisah diri untuk menguntit dan menyelidikinya."
Siauw Pek keluar dari tempat sembunyinya, kemudian bertindak
menuju kerumah Lauw Hay tju, ia berjalan dengan perlahan. segera
setelah ia mendekati pagar pekarangan, ia melompat untuk
bersembunyi diantara pagar itu, guna menghampiri bilik rumah.
Ketika itu si tetamu muda dan Lauw Hay tju tengah berbicara sambil
berdiri. ia lalu memasang telinga.
"Barang titipan sudah diserahkan, buat apa paman masih
menjaga terus rumah gubuk ini?" demikian terdengar sianak muda
bertanya.
"Seseorang mempunyai pikirannya sendiri, tak dapat dipaksa,"
sahut sibuta. "Tolong sampaikan kepada gurumu bahwa aku sehat
walafiat "
"Tetapi," kata pula sianak muda, "apabila hal ini tersiar diluaran,
mungkin semua orang Rimba Persilatan bakal memusuhimu" orang
tua itu menggoyang kepala.
"Gurumu baik, aku berterima kasih," katanya. "Tapi aku sudah
jadi biasa dengan penghidupan sunyi ini, jikalau aku dipaksa berlalu
dari sini, itulah tidak baik."
Pemuda itu masih hendak bicara, tapi ia telah ditolak tubuhnya
oleh tuan rumah sampai diluar, setelah itu, brak maka daun pintu
telah digabruki di belakangnya.
Untuk sejenak. pemuda itu bengong mengawasi daun pintu, lalu
ia menarik napas masgul, kemudian dengan lesu ia menghampiri
kudanya, segera mencengklaknya dan berlalu pergi. Kalau tadi
datangnya perlahan lahan, kini cepat sekali perginya. Sekali
dikaburkan, kudanya segera membawanya larat dan lenyap dari
pandangan mata
Siauw Pek heran. Sampai disitu, ia ingin berlalu, tetapi mendadak
ia mendengar suara pintu dibuka, lalu tampak Lauw Hay-tju muncul,
bertindak perlahan keruang luar.
"Rupanya ada maksud tertentu mengapa orang tua ini lebih suka
tinggal menyendiri disini," pikirnya.
"Entah siapa anak muda itu? Dia tidak mirip sembarang orang
Kenapa Lauw Hay-tju tak sungkan sungkan lagi terhadapnya ?"
Lauw Hay-tju berhenti berjalan, nampak dia memasang telinga.
Siauw Pek terperanjat, lekas lekas ia menahan napas.
Beberapa saat lamanya si buta memasang telinga, terus dia
menarik napas panjang kemudian dia berjalan mundar mandir di
pekarangan yang penuh daun rontok itu Teranglah pikirannya
sedang kacau, rupanya dia tak dapat memutuskan sesuatu. Hingga
dia menjadi tidak tenang.
Mendadak. Siauw Pek mendapat satu pikiran : "Kenapa aku tidak
mau mencuri masuk ke dalam kamarnya. Mungkin aku akan
mendapatkan sesuatu mengenai barang titipan ayahku... Perbuatan
ini tidak baik, tapi terpaksa. Kita pun sudah salah paham "
Hanya sedetik, anak muda ini mengambil putusan. Sambil
menahan terus napasnya, dia bertindak melintas kebelakang, untuk
kedalam rumah.
Lauw Hay-tju sedang terbenam dalam pikirannya, ia tidak
mendengar sesuatu.
Dengan cepat Siauw Pek langsung masuk ke kamar tidur si tuna
netra. Sebuah kamar sederhana luar biasa. Tidak ada lain perabotan
kecuali bale bale yang dijadikan pembaringan, di atasnya bertumpuk
kacau beberapa potong pakaian tua dan rombeng. Sebuah selimut
bututpun numpuk diujung pembaringan itu.
Dengan berhati hati, Siauw Pek menghampiri pembaringan- ia
telah mengulur tangannya, tetapi tiba-tiba ia dikejutkan oleh satu
bentakan : "Siapa?" Lekas lekas ia menarik kembali tangannya itu,
tubuhnya ditempelkan kebilik dimana ia berdiam sambil menahan
napas, sedang matanya segera mengawasi ke arah suara itu.
Di saat itu terdengarlah satu suara yang nyaring "Amida Buddha
Loo lap Su Kay datang mengganggu Lauw Sietju."
Tiba tiba Siauw Pek ingat si pendeta bertubuh tinggi besar yang
terlibat di dalam pertempuran mati hidup d imuka jembatan maut
Seng Su Kio Dia itu menggunakan goat gee san, senjata yang mirip
sekup dan berkilauan. Pendeta itu sangat mengesankan kepadanya.
sekarang ia mendengar orang menyebut nama sucinya, mendadak
dadanya bergolak. darahnya mendidih panas. "Loo lap" berarti
"Pendeta Buddha tua", biasanya dipakai untuk menyebut diri sendiri.
Atas kata kata pendeta itu, terdengar jawaban tuan rumah : "Tay
su datang berkunjung ke gubukku yang buruk ini, apakah hendak
membuat ramalan seumur hidup ?"
Terdengar pula suaranya si Pendeta, yang terlebih dahulu
menghela napas panjang : "Lauw Sie tju, kau sungguh seorang
yang luar biasa. Telah beberapa tahun loo lap mengembara selama
beberapa bulan aku mencarimu, baru sekarang ini loolap berhasil
menemukan siecu disini. Siecu, maksud kedatanganku ini ialah
untuk berbicara dengan siecu mengenai suatu peristiwa dalam
Rimba Persilatan beberapa tahun yang lampau..." Istilah "taysu" itu
ialah panggilan menghormat untuk seorang pendeta. Mendengar
itu, Lauw Hay tju tertawa dingin.
"Aku situa adalah orang yang kedua matanya tak dapat melihat
apa apa," berkata tuan rumah pula, "aku hidup sebagai tukang
meramalkan, dan mengenai urusan kaum Rimba Persilatan tak tahu
menahu. Mungkin taysu telah keliru mencari alamat."
-ooodwooo-
JILID 7
"Lauw Sietju, tak usah sietju mendustai loo lap lagi," berkata pula
si pendeta. "seperti baru saja loolap katakan, sudah beberapa tahun
lamanya loolap mencari tahu tentang sietju, baik secara berterang
maupun diam diam, baru hari ini loolap berhasil. Sietju, loo lap
mengharap dapat bicara dengan kau mengenai peristiwa beberapa
tahun yang lampau."
sekonyong konyong si orang buta menjadi habis sabar. "Bicara
tentang apakah ?" tanyanya tajam.
"Perkara lama, perkara hutang darah seratus jiwa lebih kaum Pek
Ho Bun," Su Kay Tay su, sang pendeta, menegaskan.
Siauw Pek terkejut. Itu adalah soal yang mengenai dirinya
sendiri. Mengenai itu, ia menjadi berduka secara tiba tiba, hingga ia
tidak dapat mencegah air matanya mengalir keluar. Lekas lekas ia
menepisnya, terus ia memasang telinga pula. "Tentang peristiwa itu,
sedikitpun aku tak tahu apa apa " Terdengar Su Kay menghela
napas panjang pula.
" Karena peristiwa itu, loolap merantau beberapa tahun
lamanya," katanya, menyesal, "setelah dengan susah payah baru
hari ini aku dapat mencari sietju..."
Lauw Hay tju seperti tidak sabaran. Terdengar dia
menggeprakkan tongkatnya ketanah. Dia berkata pula dingin sekali:
"Taysu, adakah kau datang kemari untuk memaksa aku si orang she
Lauw ?"
"Memaksa, itulah loolap tidak berani," sahut si pendeta.
"Beberapa tahun waktu telah loolap kurbankan, hanya untuk
mencari siecu, maksudku yang utama ialah untuk memperoleh
penjelasan siecu supaya loolap dapat pecahkan keragu raguanku."
Kata kau yang belakangan ini rupanya menggerakkan juga hati
tuan rumah, sikapnya tak sekeras semula.
"Keragu raguan apakah itu ?" dia bertanya.
"Soalnya begini, siecu," sahut Su Kay : " Dahulu itu kaum kami,
Siauw Lim Pay, telah bekerja sama dengan partai partai besar
lainnya menyerbu dan membasmi pihak Pek Ho Bun. Peristiwa itu
mencurigai loolap. Ketika pembicaraan dilakukan, persetujuan
umum telah didapatkan- Loolap bersama beberapa kakak
seperguruanku bercuriga tetapi kami tak dapat berbuat apa apa.
Ketika itu kami tidak punyabukti bukti serta juga tidak sanggup
menunjuk siapa orang yang bersalah. Demikianlah kami tidak dapat
mencegah penyerbuan dan pembasmian besar-besaran itu, hingga
dengan hati berdenyutan dan giris kami cuma bisa menyaksikannya.
Itulah peristiwa rimba persilatan yang hebat sekali."
Mendengar itu Lauw Hay tju berkata dengan tawar: "Jikalau kau
curiga, kenapa kau tidak mau mengajukan diri untuk berbicara terus
terang guna mengucapkan beberapa kata kata untuk membela Tjoh
Kam Pek? Apakah sikapmu disebabkan kau takut membangkitkan
kemarahan umum, hingga seumpama kau menyalahkan api jadi
membakar tubuhmu sendiri?"
"Pada saat itu kemarahan umum tengah bergolak." Su Kay
menjelaskan- "Seperti diketahui ketua partai kami juga menjadi
salah seorang yang telah dibinasakan secara kejam sekali, hingga
kakak seperguruanku, yang mewakili ketua partai tidak dapat
mengendalikan diri lagi. Aturan partai kami sangat keras, jika lalu
loolap mencegah, bukan saja faedahnya tidak ada, sebaliknya,
loolap bakal menambahkan minyak pada api yang sedang berkobar
besar. Demikianlah loolap terpaksa tutup mulut."
Lauw Hay tju tidak puas. Dia berkata: "Ketika itu kau sudah
bercuriga tapi kau toh dapat duduk diam menonton terjadinya
peristiwa sangat menyedihkan itu. Sekarang telah lewat belasan
tahun, apakah artinya kau mencari tahu duduk persoalannya ?"
" Karena hebatnya peristiwa itu, loolap sampai tak dapat tidur tak
bernapsu makan," su Kay mengaku, " karena itu loolap telah
memikir buat melakukan penyelidikan, supaya duduk perkara yang
sebenarnya dapat dijelaskan dimuka umum supaya sakit hati
Keluarga Tjoh itu dapat dicuci bersih."
Lauw Hay tju berkata pula, suaranya tetap dingin: "seratus jiwa
lebih orang Pek Ho Bun menjadi arwah arwah yang penasaran,
jikalau kau berhasil mencari keterangan, dapatkah kau
membalaskan sakit hati mereka itu? Maukah kau membalaskannya?"
Su Kay Taysu melengak.
"Soalnya sangat sulit, sangkut pautnya sangat luas," ia berkata. "
Didalam peristiwa itu, loolap sendiri terhitung sebagai salah seorang
yang turut melakukan pengeroyokan, cuma loolap bersumpah
dihadapan matahari, sama sekali loolap tidak membunuh satu jiwa
juga orang orang Pek Ho Bun itu"
"Kau tak mampu membalaskan atau mencuci bersih sakit hati
dari seratus lebih jiwa orang Pek Ho Bun itu," kata tuan rumah
dengan suaranya yang tetap dingin, "kau pula salah seorang tukang
mengeroyok, maka kalau kau sekarang berhasil membuat
penyelidikan, apakah gunanya itu? menurut aku yang paling benar
tak usah mencari tahu terlebih jauh"
Su Kay jengah tetapi ia masih berkata: "Diantara langit dan bumi
ada terdapat semangat yang suci murni, begitu didalam dunia
Rimba Persilatan terdapat seseorang atau orang orang yang jujur
dan adil, bijaksana Aku harap sie cu mengerti hal itu. Telah loolap
katakan, dari dulu-dulu loolap sudah curiga. Bagaimana dapat loolap
berdiam saja buat selama-lamanya ? Mana mungkni bisa loolap
membiarkan Keluarga Tjoh itu tidak terlampiaskan? Mungkin loolap
tidak sanggup membalaskan sakit hati, tetapi asal loolap dapat
membeberkan duduk perkaranya di muka umum, hingga si penjahat
besar, si biang keladi, dapat ditunjuk, itupun sudah dapat membuat
legakan hatiku.Jikalau si biang keladi dapat ditunjuk. pasti akan ada
orang yang nanti menghukumnya... Dengan begitu maka tercapailah
maksud hati" Tiba tiba Lauw Hay tju menghela napas.
"Siauw Limpay mendapat sebutan dan diagungkan sebagai
gunung Tay Sang dan bintang Pek Taw terang itu bukan tanpa
alasan berkata dia kagum. "Taysu, kau sungguh seorang yang baik
hati"
Lauw Haytju menyebut bintang Pek Taw itu sebagai pujian, Pek
Taw ialah Bintang Utara atau Dipper. Su Kay jengah.
"Lauw Sitju, harap kau jangan memuji loolap" ia berkata. "Kau
membuat loolap malu sekali."
Di saat si pendeta berkata begitu, justru si buta dengan secara
sangat mendadak menggerakkan tongkatnya menyambar
pinggangnya tetamu itu. Ia sudah menggunakan tipu silat tongkat
"Menyapu seribu serdadu" Betapa kaget si pendeta. Untung dia
dapat berkelit.
"Sietju" teriaknya mencegah. "Sietju, berbicaralah yang baik
Kenapa tiba tiba sietju menyerang diriku?"
Habis serangannya itu, tiba tiba Lauw Hay tju tertawa nyaring,
nadanya bersemangat berbareng bersedih. Itulah seumpama tawa "
Dengung naga." Hati Siauw Pek terguncang mendengar tawa itu.
Su Kay merangkap kedua belah tangannya yang diangkat
kedepan dadanya. Ia menanti tawa tuan rumah itu berhenti,
kemudian ia berkata: "Lauw sitju, di dalam dadamu terbenam
kedukaan penderitaan yang tidak terduga besarnya Kenapakah Sitju
tak mau mengatakan pada loolap?"
Lauw Hay tju berlaku tenang, dia menjawab:
"Kesembilan partai besar dan kesembilan partai sekutunya,
berapa besar pengaruh mereka itu? Kini karena aku ini seorang she
Lauw telah dapat kau temukan, bagianku adalah bagian mati.
Walaupun demikian, andaikata kau hendak mengeluarkan sesuatu
dari dalam mulutku, itu laksana impian di siang hari" Su Kay
menghela napas.
"Lauw Sietju, apa yang loolap utarakan itu telah keluar dari
hatiku yang tulus," ia berkata, menyesal. "Tetapi Sietju tidak
percaya padaku. oh Tapi, akupun tidak sesalkan . kau memang
nyeri rasanya bila menyaksikan seorang sahabat karib terbinasakan,
hingga rumah tangganya pun hancur berantakan. Sudah begitu,
diantara kaum Rimba Persilatan, tiada seorang jua yang
mengajukan diri untuk membelai ataupun sedikitnya untuk
mendamaikan, menjelaskan duduk perkaranya . Jangan kata Sietju,
loolap sendiri juga tak puas."
"Bagiku," kata tuan rumah, "sudah tidak percaya lagi kepada
dunia Rimba Persilatan ada ceng cie perikeadilan Kita adalah ini
orang orang asing, taysu, oleh karena itu, aku persilahkanmu"
"Lauw Sietju, sabar dahulu," berkata sipendeta luar biasa. Ia
telah "dipersilahkan-diusir, tapi ia tidak gusar. "Sukalah sietju
tenangkan diri jangan berduka dan bergusar, sudi kiranya sitju
mendengar sepatah kata lagi dari loolap." Lauw Haytju berdiam
sekian lama.
"Baiklah" kata kemudian- "Baiklah, aku akan mendengarkan-"
"Penasaran pihak Pek Ho Bun telah menjadi peristiwa yang telah
berlalu," berkata si pendeta itu, "dengan begitu, seratus lebih jiwa
yang hilang juga tidak bakal hidup kembali, sekarang, aku ingin
berusaha untuk melenyapkan penasarannya Tjoh Kam Pek
sekeluarga serta seluruh Pek Kee Pok, supaya dunia Rimba
Persilatan mengetahuinya. Di dalam dunia ini, sietju, cuma
engkaulah seorang yang tahu peristiwa itu, karenanya apa bila kau
tidak sudi bicara, bukankah itu akan membikin sahabatmu itu
penasaran di alam baka sehingga seratus lebih anggota keluarga
dan kampung halamannya turut penasaran juga?"
Mendengar demikian, wajah Lauw Haytju menjadi guram, tanpa
terasa, airmata berlinang. su Kay menyedekap tangannya.
"Amidabuddha" pujinya. "Lauw Sietju, loolap mohon dengan
sangat, sudi kiranya mempertimbangkan kata kataku ini."
Siauw Pek diam diam mengangguk angguk seorang diri. Katanya
dalam hati, "Pendeta ini kata katanya benar. Tidak peduli
bagaimana hebat dan menyedihkan penderitaannya Pek Ho Bun,
tetapi, siapa yang benar, siapa yang salah, mestinya dicari tahu
dahulu biang keladinya"
Sampai waktu itu, barulah situna netra menjadi sabar.
"Kau hendak menanyakan hal yang mana?" dia bertanya kepada
Su Kay, suaranya sabar.
"Segala apa yang ada hubungannya dengan peristiwa Pek Ho
Bun dahulu itu, ingin loolap ketahui," menjawab si pendeta. "Apa
yang loolap harap yaitu supaya sietju suka menuturkan semua
sejelas jelasnya."
Sebelum menjawab, Lauw Haytju berkata "Aku siorang she Lauw,
aku tidak takut kau tak kan nanti membunuh untuk memberangus
mulutku"
"Sietju, tembok tetangga ada telinganya" berkata Su Kay.
"Jikalau loolap berniat membunuhmu, untuk menutup mulutmu,
tidak guna loolap begini lama denganmu dan menanyakan urusan
begini melit"
Lauw Haytju mengetok ngetokka n tongkatnya beberapa kali.
"Gubukku buruk dan juga tak punya hidangan untuk disuguhkan
kepada para tamu," katanya kemudian, "tapi, silahkan taysu masuk
kedalam untuk bicara sambil duduk."
"Sebagai seorang beragama loolap bersahaja baiklah kita duduk
disini saja." Berkata begitu, pendeta ini lalu mendahului duduk di
tanah.
Kata Lauw Hay tju, mulai: "Jikalau dahulu kaulah yang menjadi
ketua Siauw Lim sie, taysu, tak akan terjadi peristiwa hebat dan
sedih semacam itu."
"Peristiwa dahulu itu seumpama anak panah yang telah
terpasang di busur," berkata sang pendeta, " hingga anak panah itu
tak dapat ditarik kembali, hingga andaikata loolap yang menjadi
ketua, belumlah tentu loolap sanggup mencegahnya."
Untuk sejenak. pendeta itu berdiam, ia memperdengarkan suara
tak nyata bagaikan menggumam.
"Jikalau es tebal tiga kaki, itu karena hawa dingin satu hari,"
katanya kemudian-" Dalam peristiwa itu loolap percaya Tjoh Kam
Pek penasaran, akan tetapi melihat suasana atau duduk perkaranya,
loolap tak melihat jalan untuk mencuci bersih sakit hatinya itu.
Andaikata ada orang memfitnahnya, fitnah itu teratur sangat
sempurna, tak dapat orang memecahkannya. Mungkin siecu
mengetahui lebih banyak lagi, cuma belum tahu siecu bisa mulai
dari bagian yang mana. Bagaimana jikalau loolap tanya satu demi
satu, lalu dimana perlunya, siecu menambah atau menjelaskannya?
Dengan cara ini mungkin kita bisa cari sebab musababnya..." Lauw
Hay tju mengangguk.
"Taysu benar," katanya. "Hanya terlebih dahulu hendak aku
jelaskan satu hal. Penasarannya saudara Toh itu tak dapat
diragukan lagi, cuma karena banyak yang aku tidak jelas, tak berani
aku sembarangan bicara."
" Loolap tahu," berkata sipendeta. " Itulah mengenai Nyonya
Tjoh. Cerita di luaran banyak sekali, karenanya timbullah kesangsian
loolap..."
"Apa?" tanya Lauw Hay-tju cepat. Agaknya dia bersitegang hati.
"Maksud taysu, apakah iparku itu, yaitu Nyonya Tjoh seorang wanita
jahat?"
"Belum tentu dia seorang jahat," sahut Su Kay, "Tapi benar dia
adalah kunci dari peristiwa ini, dia adalah orang penting."
Siauw Pek yang sedang mengintai dan mencuri dengar itu
merasakan tubuhnya bergidik. Diluar dugaannya, orang menyebut
nyebut ibunya, bahkan katanya si ibu menjadi orang penting. ibu itu
dicurigai Dalam hal apakah ? "Benarkah ibuku tersangkut paut?"
tanyanya di dalam hati.
oleh karena urusan hebat sekali, tak berani anak ini berpikir lebih
jauh. Ia menenangkan diri dengan mencoba memasang telinga lebih
jauh.
"Lauw Sie-tju, bukankah kau dan Tjoh Kam Pek bersaudara
angkat?" Su Kay mulai dengan pertanyaannya .
"Dialah penolong jiwaku" sahut si tuna netra sambil menggeleng
kepala. "Tapi dia, dia memandang aku sebagai saudaranya sendiri."
su Kay batuk batuk perlahan-
"Itulah sama saja," katanya. "Lauw Sie-tju, kenalkah kau Nyonya
Tjoh?"
"Tentu saja Aku tinggal di Pek Ho Bun lima tahun lamanya."
"Maaf, aku hendak tanya hal dirimu sendiri, siecu," kata
sipendeta pula. "Ketika siecu bertemu dengan Tjoh Kam Pek. siecu
sudah bercacat mata atau belum ?"
"Belum," sahut orang yang ditanya. "Ketika itu kedua mataku
belum rusak"
"Lalu kemudian, apakah sebab kerusakannya?"
"Aku bertempur dengan seorang lawan- Dia menggunakan bubuk
beracun-"
"siecu diperlakukan baik di Pek Ho Po, lalu kenapa kemudian
siecu meninggalkannya?"
"Memang Tjoh Toako memperlakukan aku baik sekali, walaupun
demikian Pek Ho Bun bukanlah tempatku tinggal buat selama
lamanya?"
"Apakah sebabnya itu? Mungkin ada hubungannya dengan
Nyonya Tjoh ?"
Hati siauw Pek tergetar. Itulah pertanyaan yang kembali
menyentuh hatinya. Hampir ia tak sanggup mengendalikan diri lagi.
Mestinya tak ada alasannya sipendeta menanyakan demikian-
Mungkinkah ibunya berhati serong ? oh, tak dapat ia memikir hal itu
Lauw Hay cu bersikap sangat terang. Ketika ia menjawab, ia
menjawab dengan sabar, dengan perlahan sekali.
"Kenapa taysu bertanya begini ?" demikian jawabnya ganti
bertanya. Su Kay juga berlaku tenang.
"Adalah soal sukar buat seorang suami menjaga kebijaksanaan
isterinya dan kebaikan puteranya," demikian jawabnya. "Loolap
cuma mengingini kenyataan, maka itu, loolap mengharap sangat
siecu menjawab dengan sebenar benarnya."
"Itu.. itu..." menyahut si orang buta, terputus putus, dan tak
segera dia melanjutkanjawa bannya itu.
Panyahutan ini menikam hebat kepada Siauw Pek. Disana
terdapat soal ibunya, yang ia sangat cintai. Hampir tak mau ia
memasang telinga terlebih jauh.
Su Kay Taysu menanti, tetapi ia menghela nafas perlahan-
"Loolap tahu pertanyaanku ini mengenai kehormatan Nyonya
Tjoh, kemudian menjelaskan-Inilah pertanyaan yang seharusnya tak
diajukan oleh orang luar, apalagi nyonya itu telah marhum. Tak
heran kalau sietju sulit menjawabnya, sebagaimana loolap pun
mulanya sukar menanyakannya. Tapi ini terpaksa, sebab disini
tersangkut penasarannya seratus lebih jiwa orang Pek Ho Bun,
terutama penasarannya Tjoh Kam Pek sendiri. oleh karena loolap
tak dapat tidak menanyakannya sietju juga tak dapat tidak
menjawab pertanyaanku."
Wajah Lauw hay tju guram sekali waktu ia menjawab.
"Lima tahun aku tinggal di Pek Ho Po, dengan Tjoh Toako, aku
bagaikan saudara kandung," demikian sahutnya. "Tjoh Toako satu
lelaki sejati, dia jujur, dia memperlakukan aku setulus hati. oleh
karena itu diantara kami berdua tiada hal apa juga yang tidak dapat
dibicarakan satu sama lain- Tjoh Toako ingin memajukan Pek Ho
Bun, untuk mengangkat namanya didalam Rimba Persilatan, sering
dia merundingkan soal itu. Dalam hal itu, aku utarakan segala apa
yang aku pikir. Cuma dalam soal inilah yang aku belum pernah
bicara dengan Tjoh Toako."
Su Kay hendak membuka mulutnya tetapi batal walaupun
bibirnya sudah mulai bergerak.
Siauw Pek pun mematung.
lauw Hay tju menghela nafas pula.
"Iparku itu, yaitu Tjoh Toaso," sambungnya, "sebagaimana yang
terlihat sehari hari, adalah seorang wanita yang bijaksana. Tjoh
Toako perlakukan aku sebagai orang sendiri, bagai ia takada
pantangan apa apa, demikian sering ia mengundang aku makan
minum diruangan dalam dimanapun kami bisa berunding. Karena
ini, aku sering bertemu dengan Tjoh Toaso, hingga aku
mengenalnya baik sekali."
Su Kay batuk-batuk perlahan- Ia melihat orang bicara bagaikan
memutar mutar.
"Rupanya sietju tidak mau mempercayai loolap." katanya
kemudian- "Baiklah, disini loolap mengangkat sumpah yang berat
sekali.Jikalau loolap bocorkan soal ini, biarlah loolap tak mati wajar "
"Oh, taysu..." kata Lauw Hay tju, cepat. Masih ia berdiam sesaat,
baru ia melanjutkan- "Ketika tahun kelima kira kira setelah hari raya
kauwgwee Tjeekauw tanggal sembilan bulan sembilan ketika Tjoh
Toako berangkat ke Utara buat suatu urusan, iparku telah
menyuruh seorang budak perempuan menyampaikan sepucuk surat
kepadaku yang meminta aku segera masuk ke dalam, untuk suatu
urusan penting katanya ?"
"Habis sietju pergi atau tidak ?" menyela Su Kay Taysu. Dia
sangat tertarik perhatiannya.
"Aku tahu kakak Kam Pek pergi ke Utara, mestinya hubungan
kami erat sekali, tak selayaknya aku pergi ke dalam," jawab Lauw
Hay tju. "Andaikata ada urusan penting, itu dapat dibicarakan di
ruang luar. Hanya ketika itu, tidak dapat aku mengutarakan rasa
hatiku itu maka aku cuma menitahkan si budak kembali lebih
dahulu..."
Pendeta itu kuatir orang tidak mau bicara terus, ia mendesak.
"Sebenarnya sietju pergi ke dalam atau tidak ?"
"Mulanya aku menerka, karena iparku itu seorang cerdas,
jawaban itu akan membuatnya mengerti dan dia akan merubah
tempat pertemuan, yaitu di ruang luar. Nyata dugaanku itu tidak
tepat. Tak lama sekembalinya si budak ke dalam, dia sudah muncul
pula, dia memanggil lagi bahkan dengan mendesak. Saking terpaksa
aku beritahukan budak itu agar dia menyampaikan kepada majikan
perempuannya supaya pertemuan dilakukan di ruang luar, setelah
mana aku mendahului pergi ke ruang itu, untuk menantikannya. Siasia
saja aku menunggu diruang luar itu, iparku itu tidak muncul..."
"Apa mungkin dia tak sudi menemui sietju" Su Kay tanya. orang
yang didedas itu menarik nafas perlahan-
"Selagi aku memikir buat meninggalkan ruang luar itu, mendadak
aku melihat si budak perempuan datang sambil berlari lari,
romannya sangat terburu. Dia memberitahukan padaku bahwa tak
leluasa buat bicara diruang luar itu dimana ada banyak orang
mundar mandir maka aku diminta dengan sangat pergi ke ruang
dalam saja. Kembali aku diminta masuk dengan mereka."
Berkata sampai disitu, orang buta ini menarik nafas panjang,
setelah itu, ia meneruskan keterangannya : "Hal itu membuat aku
menjadi curiga, lantas aku tegur budak perempuan itu serta
menyuruhnya menyampaikan kepada iparku bahwa sebelumnya
kakak Kam Pek kembali tak dapat aku seorang diri masuk ke ruang
dalam, bahwa kalau toh iparku itu mempunyai urusan, itu dapat
disampaikan padaku dengan perantaraan si budak."
"Bagus sikapmu, Lauw Sietju." Su Kay memuji. "Aku kagum
terhadapmu " si orang tua tertawa sedih.
"Habis menegur si budak. aku lalu meninggalkan ruang luar itu,"
ia meneruskan- "Hari itu aku menjadi tidak bernafsu makan, hatiku
tidak tenang, sedangkan malamnya aku gelisah saja, tak dapat tidur
pulas. Tidak habisnya aku memikirkan soal iparku itu."
Su Kay menatap tuan rumahnya. Ia mengharapkan sangat
keterangan lebih lanjut. Itu pula pengharapan Siauw Pek tetapi
pemuda ini bingung dan berduka.
"Sejak itu, sampai tiga hari, tidak terjadi sesuatu," kemudian
Lauw Hay tju menjelaskan lebih jauh. "Budak perempuan itu juga
tidak pernah muncul pula . Hanya lewat hari ketiga itu, kebetulan
aku bertemu dengan budak itu dipekarangan luar dan ia
memberitahukan aku satu hal. setelah itu segera aku mengambil
keputusan buat meninggalkan Tjoh Kee So "
"Apakah yang diberitahukan oleh budak itu ? Su Kay bertanya.
"Budak itu memberitahukan bahwa pada hari aku tegur dia, dia
menyampaikan semua kata kataku kepada nyonya, tanpa dirubah
sepatah katapun juga. oleh sebab itu, katanya, nyonya itu terus
menangis, sampai dua hari satu malam, hingga kedua matanya
bengul dan merah, dan bahwa selama itu nyonya tidak mau makan
dan minum..."
siauw Pek kaget, hatinya dirasakan nyeri sekali. Tanpa terasa air
matanya mengucur keluar.
"Setelah itu, sietju, kau terus meninggalkan Tjoh Kee So ?" Su
Kay tanya pula. Lauw Hay tju menggeleng kepala.
"Walaupun aku telah mengambil keputusan buat mengangkat
kaki tetapi itu harus dilakukan nanti, sesudahnya kakak Kam Pek
pulang," sahut orang yang ditanya. "Hanya ketika itu hatiku
mendongkol sekali, sukar buat menenangkan diri. Akujadi sangat
berduka bila aku ingat bagaimana kakak Kam Pek perlakukan aku
sangat baik. Dialah seorang laki laki sejati. Karena hatiku panas, aku
kuatir tak dapat aku mengendalikan diri apa bila aku berdiam tetap
di Tjoh Kee So. Buat sementara aku lalu tinggal diluar. Aku kembali
sesudah lewat sebulan lebih."
" Ketika itu tentulah Tjoh Kam Pek sudah pulang. Pernahkah kau
singgung soal itu kepadanya?"
"Tidak. Ingin aku bicarakannya.Jikalau aku bicara dengan kakak
Kam Pek, aku kuatir dia berselisih dengan isterinya, itu buruk.
Iparku putrinya seorang ternama dan ayahnyapun telah membantu
banyak kepada kakak Kam Pek..."
"Kemudian siecu toh bicara juga kepada Kam Pek halnya kau
berniat meninggalkan rumahnya ?"
"Benar. Setelah aku memberitahukan niatku itu, kakak Kam Pek
heran, sampai dia tercengang. Dia menahan aku, dia mintaaku
jangan pergi. Niatku sudah pasti, tidak dapat aku merubahnya.
Kakak Kam terus menahan, sampai dia memaksa aku tinggal hingga
permulaan lain tahun. Permintaan itu tidak dapat aku tolak maka
aku berjanji akan berdiam terus di Tjoh Kee So. Itulah janji belaka,
sebab kejadiannya belum lagi habis musim dingin, aku sudah
berangkat pergi dengan hanya meninggalkan sepucuk surat."
"Setelah kepergianmu itu, apa kemudian kau pernah bertemu
pula dengan Tjoh Kam Pek ?"
"Kendati juga aku sudah meninggalkan Tjoh Kee So, aku tetap
tidak melupakan kakak Kam Pek, terutama aku sangat menaruh
perhatian pada soal kemakmuran dan keruntuhan Pek Ho Bun-
Kakak Kam Pek demikian baik hati, sukar buat aku melupakan
kebaikannya itu. Karena itu secara diam diam aku biasa memasang
mata atas Pek Ho Bun-.."
"Sietju telah tinggal beberapa tahun lamanya di Pek Ho Bun
pastilah orang orang Pek Ho Bun semuanya kenal kau. Selama sietju
menyelidik itu, apakah tak pernah ada seorang juga yang
memergokinya ?" Lauw Hay tju menggeleng kepala.
"Tidak." sahutnya. "Aku bisa menyamar, akupun menggunakan
obat merubah warna kulit mukaku..."
Baru saja tuan rumah yang buta ini menutup rapat mulutnya,
tiba tiba ada golok ringan Liu yap hui too, " golok terbang daun
yang liu" yang menyambar kedadanya. Itulah serangan gelap yang
sangat mendadak dan menyambarnya senjata juga pesat luar biasa.
Su Kay Taysu adalah salah seorang pendeta Siauw Lim Sie yang
lihay ilmu silatnya, ia melihat datangnya bokongan itu, walaupun
terkejut, ia dapat mengebut dengan tangan jubahnya yang
gerombongan, kemudian membentak:
"Siapa berani main gila" Tubuhnya mencelat bagaikan burung
melesat keluar pagar pekarangan
Siauw Pek sedang bingung dan berduka, meskipun ia liehay, ia
tidak melihat atau mendengar serangan gelap itu, baru setelah Su
Kay Taysu membentak. ia terperanjat dan tersadar. Ia segera
melihat senjata gelap itu menancap ditiang pintu. Lekas-lekas ia
menyusut air matanya. Ia memikir ingin turut keluar, guna melihat
siapa sipembokong itu, tetapi sekonyong konyong, terjadilah hal
hebat dan menyedihkan
Dengan tiba-tiba Lauw Hay tju, yang bangkit berdiri,
memperdengarkan suara yang tertahan, terus tubuhnya roboh
terguling
Menyaksikan itu, si anak muda kaget sekali, tapi dia sadar,
segera dia lompat keluar ruangan, akan tetapi ia tidak melihat siapa
juga. Sebagaimana tadi, Su Kay yang gesit itu, juga tidak melihat
adanya orang lain-
Ketika Siauw Pek kembali, untuk melihat Lauw Haytju, ia
mendapat kenyataan dada si orang tua tuna netra itu telah
tertancap dua batang senjata gelap yang bentuknya anak panah
bukan dan anak torak juga bukan-
Diterangnya matahari, senjata rahasia itu memperlihatkan warna
biru marong, maka itu jelaslah, itulah senjata maut yang telah
dibubuhi bisa.
Walaupun dia lihay, Siauw Pek masih hijau dalam hal
pengalaman, maka itu, melihat kecelakaan si tunanetra, ia bingung,
baru sesaat kemudian ia ingat bahwa ia perlu menolong orang itu.
Segera ia maju dua tindak. untuk membangunkan orang tua itu
sambil memanggil : "Loocianpwee Loocianpwee "
Panggilan itu tidak mendapat jawaban- Di dalam herannya, si
anak muda meraba ke hidung orang tua itu. Ia tidak merasakan
hembusan napasnya.
"Mati " serunya didalam hati. Kembali ia bengong, matanya
mendelong mengawasi senjata rahasia itu. Didala m hati, ia berkata
: Sungguh senjata rahasia yang sangat berbahaya Dalam sekejap
dia rampas nyawa orang..."
Penyerang gelap itu liehay sekali, senjata rahasianya sampai
nancap di tulang dada. Itulah yang menyebabkan kematian segera
Dalam bingungnya, Siauw Pek tidak tahu mesti berduka atau b
erg usar, cuma air matanya turun menetes tanpa dirasanya, jatuh
ketubuh tak bergerak dari si orang tua yang malang itu.
Tiba tiba, dari kejauhan terdengar jeritan tajam dari seorang
wanita.
XXX
Mendengar jeritan itu, tiba-tiba Siauw Pek menjadi tenang. Maka
ingatlah ia bahwa Su Kay Taysu bakal segera kembali. Ia harus
menyingkir, supaya orang tidak memergokinya, agar ia tidak akan
dicurigai dan disangka jelek. Tapi, sebelumnya berlalu, ia masih
ingat senjata rahasia itu. Dengan sebat ia mencabutnya, terus ia
melompat, melintasi pagar pekarangan, guna menyembunyikan dirl
diantara gerombolan rumput disis Hutan bambu. Baru saja ia
bersembunyi, Su Kay sudah kembali. Segera ia mendengar pendeta
itu menghela napas panjang dan berkata-kata seorang diri: "Kurang
ajar, aku telah kena terpedayakan tipu "Memancing harimau
meninggalkan gunung". Dengan begini aku telah mengurbankan
jiwa Lauw Sie tju, meskipun benar bukanlah aku yang
membunuhnya. Inilah sangat penasaran Cara bagaimana aku dapat
menenteramkan hatiku...?"
Sekonyong-konyong pendeta ini berhenti berbicara seorang diri.
Hal ini disebabkan sinar matanya bentrok dengan dada Lauw Hay
tju dimana tak ada lagi senjata rahasia maut yang nancap itu. Tentu
sekali ia tidak tahu bahwa Siauw Pek telah mengambilnya. Ia hanya
menjadi heran curiga.
Sesaat kemudian, Siauw Pek mendengar pula suara pendeta itu,
yang berkata: "Penjahat itu berani sekali, dia tak melihat mata
padaku Dia telah membawa pergi senjata maut itu, supaya aku
tidak dapat menyelidiki. Sayang aku terlambat kembali, hingga aku
kehilangan barang bukti itu. oh, LauwSietju, kau dengar, biar
bagaimana, pasti aku akan menyelidiki perkaramu ini, guna
membalaskan sakit hatimu "
Sampai disitu, Siauw Pek tidak mendengarkan terlebih jauh,
sebaliknya, lekas-lekas ia mengangkat kaki, guna menyusul oey Eng
dan Kho Kong, di tempat yang dijanjikan untuk mereka saling
bertemu. Tiba disana, ia disambut gembira oleh dua kawannya itu,
yang kuatir akan keselamatannya sebab ia pergi begitu lama. oey
Eng mengeluarkan napas lega.
"Apakah bengcu menemukan kesulitan?" dia bertanya. Dia
melihat roman muka ketua itu beda daripada biasanya.
"Tempat ini bukan tempat bicara yang aman " sahut Siauw Pek.
"Mari kita lekas berlalu dari sini" Dan ia mendahului bertindak pergi.
oey Eng heran tetapi ia ikut pergi. Begitu jugakho Kong, yang tak
kurang herannya.
Mereka berlari-lari terus, sampai sejauh tujuh lie. Kebetulan
sekali, mereka berhenti di sebuah Touw Tee Bio, yaitu kuil dimana
dipuja malaikat bumi. Disitu kuil itu mencil sendiri, karena tak
tampak kampung atau rumah orang di sekitarnya.
"Bengcu, kenapakah kau?" tanya Kho Kong bingung. "Apakah
bengcu menghadapi lawan yang tangguh?"
"Hebat," sahut si anak muda, menghela napas. Ia
menceriterakan apa yang ia saksikan, kecuali yang mengenai
ibunya. Mendengar keterangan ketua itu, Kho Kong gelisah.
"Mengapa bengcu tidak membantu pendeta itu mencari s i
pembunuh?" tanyanya. "Mengapa bengcu tidak mau membalaskan
sakit hatinya Lauw Haytju ?"
"Bukannya aku tidak mau membantu tetapi aku mesti berhatihati,"
sahut ketua itu.
"Dilihat dari keadaannya, terang sudah bahwa seorang yang
berbuat jahat itu hendak datang dengan berencana. Mereka telah
bersiap sedia dan mengatur segalanya. Tak mudah mencari
penjahat itu karena disekitar rumah Lauw Haytju terdapat banyak
gerombolan rumput dan pohon bambu lebar, hingga dimana saja
orang dapat menyembunyikan diri."
"Lain daripada itu, sekarang ini tidak dapat bengcu muncul
secara terbuka," berkata oey Eng yang menyetujui sikap ketuanya.
"Seorang laki-laki sejati " kata Kho Kong keras. Masih dia
penasaran : "Berjalanlah dia tak merubah namanya, duduk dia tak
menukar shenya. Mengapa kita mesti bekerja dengan
mengumpatkan kepada dan hanya menonjolkan ekor? Mengapa kita
tidak mau memperlihatkan dirl untuk secara laki laki sejati
melakukan pembalasan sakit hati ?"
"Kau benar, saudaraku, hanya keadaannya bengcu lain-" oey Eng
memberi penjelasan- "Jikalau bengcu menampakkan diri, setelah
namanya diketahui umum, segara kita akan mendapat kesulitan-
Pertama tama semua orang Rimba Persilatan akan menjadi musuh
musuh kita, yang kedua, musuh kita yang sebenarnya, si biang
keladi, akan mendapat kesempatan untuk berlaku waspada atau
menyembunyikan diri, hingga kita bertambah sukar buat
menyelidikinya. Adalah berbahaya untuk menghadapi musuh yang
banyak. yang kita tidak kenal sama sekali. Kau tahu sendiri berapa
besar jumlah anggota anggota sembilan partai besar serta sembilan
partai lainnya itu. Bagaimana kita bertiga dapat menghadapi mereka
semua ?"
"Jikalau begitu, bukankah buat selama lamanya bengcu tidak
akan dapat muncul secara terang terangan ?" Kho Kong berkata
pula. Dia tetap kukuh dengan anggapannya. Dia terlalu jujur untuk
bisa segera merubah pendiriannya itu.
"Bukan begitu saudara," oey Eng memberi penjelasan pula.
"Dalam hal ini kita mesti melihat waktu dan kesempatannya. Nanti
sesudah ketahuan siapa si musuh besar, baru bengcu perkena ikan
dan mengumumkan dirinya guna menghadapi musuh besar itu
secara terang-terangan, secara laki laki sejati "
Kho Kong tak sabaran tetapi dia cerdas, dia dapat mengerti,
maka setelah mendengar keterangan saudara itu, ia segera tutup
mulut. oey Eng menghela napas.
"Bengcu, bagaimana sikap bengcu? Apa bengcu telah memikir
atau menetapkan tindakan bengcu selanjutnya ?" ia bertanya
kepada ketuanya.
"Sebentar kita kembali kerumah gubuk tadi, untuk melihat mayat
loosianpwee Lauw Hay tju sahut ketua itu, "Dia menjadi saudara
angkat ayahku, tak dapat kita membiarkan mayatnya itu terlantar.
Kecuali Su Kay Taysu telah mengurusnya Saudara tadi berdiam
ditempat yang penting, apakah kalian tidak melihat orang yang
mencurigakan yang berlalu disitu ?"
oey Eng dan kawannya berpikir.
"Tidak^ kecuali seorang penggembala dan seorang wanita
dusun," jawab oey Eng kemudian-
"Benar, aku mengerti sekarang" berkata Kho Kong.
"Kau mengerti apa ?" bertanya oey Eng.
Kho Kong menunjuk pakaiannya.
"Kita dapat menyamar, kenapa mereka tidak ?"
"Benar, adikku " kata oey Eng. "Kata katamu ini membuat aku
ingat si wanita dusun itu Dia membawa sebuah rantang, kepalanya
dibungkus hingga mukanya tak nampak tegas. Ketika itu angin tidak
bertiup keras dan juga wanita dusun tidak biasanya membungkus
kepala dengan sabuk putih..."
"Sayang ketika itu kita tidak curiga hingga kita tidak memegatnya
untuk menanyainya dengan jelas," kata Kho Kong.
"Bagaimana dengan si penggembala, apakah diapun
mencurigakan?" bertanya Siauw Pek.
"Tentang dia aku tidak perhatikan, jadi tidak ada yang dapat
dicurigai," sahut oey Eng "Apa yang ingat, dia menuntun seekor
kerbau celananya digulung tinggi, dan usianya rasanya sudah
lanjut."
"Apakah dia membawa pacul atau lain alat pertanian?" "Tidak.
dia cuma membawa sepotong suling bambu."
"Apakah kau melihat tegas sulingnya itu ?" Kho Kong melengak.
"Suling bambu atau bukan, aku kurang tegas, tetapi jelas itu
bukan alat pertanian-" Tiba tiba semangat si anak muda terbangun-
"Mari kita cari " serunya, "barangkali kita masih bisa mendapati
sesuatu..." Kho Kong pun menjadi bersemangat.
"Mari " sambutnya. "Mari " dan segera ia mendahului bergerak.
"Jangan sembrono, saudara," pesan oey Eng. "Kita mesti dengar
bengtju, jangan kita bertindak sendiri " Kho Kong tersadar. Dia
tersenyum. "Baik " katanya.
Segera mereka berangkat. Ketika mereka mendekati rumah Lauw
Hay tju, disana terlihat banyak penduduk kampung, antara satu
dengan lain mereka berbicara perlahan- Teranglah kebinasaan si
orang buta telah tersiar cepat.
"Kasihan," kata seorang wanita tua. "Dialah seorang buta dan
tidak ada anaknya baik lelaki maupun perempuan, bahkan juga
tiada sanaknya..."
"Kasihan Lauw Hay tju" kata seorang kakek, "dia hidup sebagai
tukang tenung, dia tidak punya musuh, entah siapa yang demikian
kejam membunuhnya mati..."
"Akan tetapi paman," kata seorang lain, "walaupun dia buta,
uang simpanannya banyak. simpanannya itu pasti menarik hati
orang jahat. Mungkin uangnya ada delapan ratus atau seribu tahil "
"Bagaimana kau tahu uang simpanannya ada seribu tahil ?" tanya
seorang lainnya.
"Benar Bagaimana kau ketahui itu ?" tanya seorang lain lagi.
orang itu terkejut. Terang dia insaf bahwa dia telah salah bicara.
Tidak tunggu lagi, dia pergi mengangkat kaki. Siauw Pek sebaliknya
memikir lain"
Tak pantas Su Kay Taysu," pikirnya. "Lauw Hay tju mati
karenanya, kenapa sekarang dia meninggalkannya pergi ?
Mungkinkah didaalm kalangan pendeta tidak ada orang yang baik
hatinya ?"
Pemuda ini berpikir demikian karena ia ingat halnya sipendeta
tinggi besar yang bernapsu sekali menyerang ayah bundanya. Inilah
kesan buruk yang ia dapatkan dari pengeroyokan dahulu itu.
Kho Kong mementang mata lebar, memandang keempat penjuru.
Mendadak dia menghampiri ketuanya. Kemudian berbisik: "Lihat di
sana, bengcu, dibawah pohon yangliu itu, itu orang yang lagi
berdiri. Dialah si penggembala tadi "
siauw Pek kemudian menoleh. Dua tombak terpisah dari mereka
ada sebuah pohon yang liu, disitulah si penggembala yang
disebutkan kawannya itu.
orang itu mengenakan pakaian kasar, tubuhnya besar, celananya
digulung tinggi, kakinya terbungkus sepatu rumput, sedang
tangannya memegang sebatang tongkat panjang dua kaki yang
warnanya hitam, tampak mirip seruling.
"Pasang mata terhadapnya, jangan sampai dia lolos," katanya.
"Baik, bengcu" Kho Kong menjawab.
"Intai saja," Siauw Pek pesan lagi kawan itu mau memisahkan
diri. Jikalau tidak sangat terpaksa, jangan bentrok dengannya. Kho
Kong mengangguk, terus ia bertindak pergi.
siauw Pek bertiga berdandan sebagai orang desa, mereka tidak
menarik perhatian orang-orang desa itu.
Tidak lama disitu muncul seorang tua usia lebih kurang lima
puluh tahun, dia mendatangi cepat-cepat, tangannya memegang
sebatang bun cwee pipa panjang, dimana digantungkan kantong
tembakaunya. Melihat dia, orang kampung mengangguk memberi
hormat.
Mungkin dia itu kepala desa Jie Sie Wan- Dia membuka jalan
diantara orang banyak yang berkerumun, akan menghampiri mayat
Lauw Hay tju, untuk memeriksa. ia menggeleng geleng kepalanya
dan menarik napas.
"Perlu kita membelikan peti mati, untuk mengurus mayatnya,
kemudian merawatnya dahulu dirumah ini..." katanya kemudian- Ia
memandang kesekelilingnya, kemudian meneruskan- "Anak anak
muda baiklah tenaga, dan siapa yang berada, seharusnya dia
mengeluarkan uang. Aku akan mengeluarkan seratus bun-"
Suara itu mendapat sambutan hangat. Kemudian banyak orang
yang merogo sakunya. Maka didalam waktu yang pendek telah
dapat dikumpulkan uang sebanyak kira-kira lima renceng. Empat
orang muda segera membawa uang itu pergi, dan tidak lama,
mereka sudah kembali bersama sebuah peti mati.
siauw Pek menyaksikan mayat Lauw Hay tju dimasukkan kedalam
peti mati, diam-diam ia mengeluarkan airmata.
"Lootjianpwee, tenangkanlah hatimu," katanya didalam hati.
"Asal nyawaku masih ada, akan aku cari si orang jahat buat dipakai
sebagai kurban untuk sembahyangi lootjianpwee"
Selagi ia memuji, Siauw Pek merasa ada orang membentur
tubuhnya. ia segera menoleh itulah oey Eng, yang terus bertindak
pergi. ia mengerti, ia segera pergi menyusul.
Segera sesudah ia terpisah cukup jauh dari rumah gubuk, oey
Eng mempercepat jalannya sembari berjalan cepat itu ia berkata:
"Saudara Kho tengah menyusul penggembala itu. Mari kita lekas
menyusul "
Siauw Pek mengangguk. iapun mempercepat jalannya. Ditempat
terbuka seperti itu, mereka tidak berani sembarangan menggunakan
Keng kang sut, yaitu ilmu lari ringan tubuh yang pesat. Baru setelah
terpisah semakin jauh dari rumah gubuk. mereka berani lari lebih
cepat.
Sekira empat atau lima lie, mereka melihat kesana kemari. Kho
Kong tak nampak. juga si penggembala yang dicurigai itu.
"Apakah kita tidak salah jalan, saudara oey?" bertanya Siauw
Pek, heran.
"Aku melihat tegas, tidak salah " sahut sang kawan-
"Disini tidak ada orang, mari kita menggunakan ilmu lari cepat"
kata Siauw Pek kemudian- ia terus berlompat.
"Tahan " mendadak terdengar satu bentakan disusul dengan
melesatnya satu bayangan orang dari sisi jalan yang penuh dengan
gombolan pohon- Dia terus menghadang ditengah jalan itu.
Siauw Pek segera memandang tajam. Orang itu, yang
pakaiannnya dari bahan kasar, berumur kira-kira lima puluh tahun,
kumisnya sudah putih.
"Siapakah kau tuan?" tanya sianak muda. "Kenapa kau
menghadang kami ?"
"Belum aku tanya kau, kau sudah mendahului menegur" kata
orang tua itu dengan gusar. "Aku hendak bertanya kepada kamu,
apakah hubunganmu dengan Lauw Hay tju?"
Siauw Pek menatap tajam, di dalam hati ia berkata: "Aku sedang
mencari seseorang, tapi justru yang aku cari muncul sendiri " Ia
mendongkol tapi menahan sabar. "Aku tidak kenal dia..." sahutnya
pelan-orang tua itu tertawa terbahak bahak.
"Hmm, kau hendak mempermainkan akukah Kim Gan Tiauw"
katanya, mengejek. "Sudah beberapa puluh tahun aku menjelajah
dunia Sungai Telaga, mataku belum pernah kelilipan pasir
sebutirpun. Jikalau kau tidak kenal dia, habis, siapakah yang kenal
dengannya? Aku lihat kau diam memuji dan matamu mengeluarkan
sesuatu air"
"Seandai benar aku mengenal dia, lalu kau mau apa?" Siauw Pek
balik bertanya. "Apakah kalau orang kenal dia orang menjadi
melanggar hukum"
orang yang menyebut dirinya Kim Gan Tiauw itu Elang Mata
Emas menjawab kaku kaku: "Mengenal dia tidak melanggar undang
undang tetapi kau menyinggung aku. Jikalau kau tahu diri, marilah
baik baik ikut denganku"
"Turut kau pergi kemana?" Siauw Pek tanya.
"Tak usah kau tahu"
"Emas tulen tak takut api" kata sipemuda. "Aku tidak sangkut
paut dengan Lauw Hay tju, aku tidak takut diperiksa kamu..." Ia
menoleh kepada oey Eng, lalu menambahkan : "Aku hendak bicara
dahulu dengan saudaraku ini, supaya dia dapat membawa
kerumahku."
"Tidak dapat" Kim Gan Tiauw membentak. lalu mendadak ia
menyerang kearah oey Eng yang mendampingi ketuanya.
oey Eng terkejut sekali. Serangan itu tak disangkanya sama
sekali. Tapi syukur masih sempat ia berkelit.
Hebat Kim Gan Tiauw Dia bukan menyerang dengan tangan
kosong tapi dengan senjata tajam, bahkan itulah "hui too", yaitu
senjata rahasia "golok terbang" senjata itu lewat disisi telinga
sasarannya, terus nancap dipohon jue di belakangnya.
Mata Siauw Pek menatap tajam. Sesaat ia telah mengenali golok
terbang itu. Itulah senjata rahasia yang nancap didada Lauw Hay tju
yang merampas nyawanya orang tua tukang tenung itu. Karena itu,
selain sangat berduka, ia pun menjadi gusar. Teranglah orang tua
ini pembunuh saudara angkat dari ayahnya almarhum
Kim Gan Tiauw tidak menyangka oey Eng dapat berkelit, ia
tercengang. Tapi cuma sebentar, kemudian dia tertawa terkekeh
kekeh.
"Maaf, maaf" katanya. "Aku situa bangka tidak pernah menerka
bahwa kamu berdua adalah orang-orang yang pandai silat.
Bagaimana jikalau kau mencoba lagi beberapa golokku ?"
Berbareng dengan kata-katanya itu, Kim Gan Tiauw segera
menyerangnya lagi, bahkan sekarang dia telah meluncurkan empat
batang hui to dengan saling susul yang tiga hampir serentak yang
keempat berada di belakang jarak dua kaki. Tiga golok terbang yang
pertama itu menuju tiga tempat berbahaya pada tubuhnya oey Eng.
Sekarang anak muda itu sudah siap sedia. Ia berkelit sambil terus
memutar tubuh dan tangan kanannya meraba kepada buntalannya,
untuk mengambil senjatanya, tetapi golok yang keempat menyusul
cepat sekali. Ia jadi terdesak, tak sempat ia berkelit pula, dengan
terpaksa ia mengayun tangan kirinya, buat menangkis. Kalau hui to
dan lengan beradu, dan maka terlepaslah lengannya itu.
Tepat golok terbang itu lagi mengancam sasarannya, jatuh bakal
mangsanya, mendadak ujungnya melengos, menyambar kesamping,
hingga oey Eng mendengar disamping telinganya suara lewatnya
senjata itu, hingga hati tergetar.
Kim Gan Tiauw terperanjat melihat senjatanya itu gagal. Ia kaget
karena ia ketahui sebab ialah goloknya telah disentil lawannya
dengan "Tan Cie Sin thong". yaitu ilmu "Menyentil jeriji tangan".
Insyaftah ia bahwa ia tengah menghadapi lawan yang tangguh,
maka tanpa ayal lagi, melompat meninggalkan oey Eng, untuk
menyelinap di dalam rujuk yang lebat.
Siauw Pek tidak menyangka orang kabur, hingga ia tidak sempat
mengejar.
oey Eng menghampiri ketuanya sambil berkata: "Aku menyesal
sudah berlaku lengah, hingga hampir aku terkena huitoo, terima
kasih bengcu, atas pertolonganmu"
"Kau dalam bahaya, saudaraku, aku merasa kuatir," kata Siauw
Pek. Mendadak ia berhenti sejenak. tetapi segera ia menambahkan:
"Eh, apakah katamu tadi?"
"Terima kasih atas pertolongan bengcu," oey Eng mengulangi.
Siauw Pek menggeleng kepala.
" Kapan aku menolong kau, saudaraku?" ia tanya. "Aku justru
menguatirkan keselamatanmu waktu melihat kau menggunakan
tenagamu menyampok senjata rahasia itu."
"Oh, bengcu cuma memuji aku" kata kawan itu tertawa. Siauw
Pek menggeleng kepala pula.
"Dengan sebenarnya, bukan aku yang menolong kau, saudara"
Oey Eng mau percaya ketua itu, maka ia menjadi heran, hingga
ia melengak.
"Kalau begitu aneh, bengcu" katanya. "Dengan sebenarnya,
bukanlah aku yang menangkis golok terbang itu. Memang aku telah
mencoba menyampoknya, sebab sudah tidak ada lain jalan untuk
menolong diri. Aku percaya lenganku sebelah bakal terlepas
kutung^ Kalau itu sampai terjadi, pasti aku tidak akan dapat
membantu lagi kepada bengcu. Di luar dugaanku, tengah lenganku
terancam itu, tiba tiba golok melesat kesamping dan telingaku
mendengar suaranya yang lewat pesat sekali. Heran, siapakah
orang yang demikian liehay dapat menyampok golok itu dengan
tenaga dalamnya?" Siauw Pek menyeringai jengah.
"Bicara terus terang, kepandaian silatku ialah sembilan jurus ilmu
pedang serta sejurus ilmu golok." ia menerangkan- "Aku lihat kau
terancam bahaya, aku hendak menolongmu, tapi aku tidak berdaya,
niat ada, tenaga tiada."
Memang benar, kecuali ilmu golok dan pedangnya, Siauw Pek tak
mengerti ilmu senjata rahasia atau ilmu silat lainnya. Satu satunya
kepandaiannya ialah tenaga dalamnya itu.
"Memang benar golok itu ada yang sampok." oey Eng berkata
pula. "Jikalau penolong itu bukannya bengcu, mesti ada orang lain?"
"Yang pasti bukannya aku"
"Amidabuddha" tiba tiba terdengar satu seruan suci. disusul
dengan munculnya orang yang memuji itu, keluar dari dalam rujuk
sejauh setombak lebih dari mereka. Dialah seorang tua dengan
jubah abu abu, tangannya mencekal hudtim yaitu kebutan. Dia
berwajah tenang tenang agung.
Dua orang itu lalu menoleh, dan Siauw Pek segera mengenali Su
Kay Taysu. Pendeta itu bertindak perlahan menghampiri mereka
berdua.
"Maaf loolap telah secara diam diam menyampok huitoo itu,"
katanya, merendah. oey Eng lebih melengak.
"Kita tidak kenal satu dengan lain, kenapa suhu membantuku?"
tanyanya.
oey Eng lebih tenang daripada Kho Kong akan tetapi, dia juga
masih kurang pengalamannya dalam dunia Sungai Telaga. Su Kay
tersenyum.
"Buddha kami maha agung dan mulia," sabdanya, "tugasnya
ialah menolong sekalian makhluk, maka itu adalah tugasku bila aku
berbuat sesuatu untuk sietju."
siauw Pek sementara itu mengingat mayat Lauw ha tju, yang
ditinggalkan secara begitu saja oleh pendeta ini, ia menjadi tidak
senang.
"Ya, kata kata saja menolong sesama manusia, buktinya lain "
katanya, tertawa dingin, "Perbuatannya lain daripada kata katanya "
Mendengar itu, Su Kay melengak. Tapi hanya sejenak. ia lantas
tertawa.
"Sietju menegurku, pasti ada sebabnya, katanya. Loolap mohon
sukalah sietju menunjuki kesalahanku itu."
"Boleh saja menunjuki bukti" kata Siauw Pek masih menolongkol.
"Di depan mata kami berada satu kesalahan besar dari kau" Pendeta
itu merangkap kedua tangannya di depan dadanya. Loolap bersedia
mendengarnya, katanya.
"Kau kenal Lauw Hay tju atau tidak ?" Siauw Pek bertanya.
Kembali pendeta itu melengak.
"Baru hari ini loolap menemuinya," sahutnya. "Inipun dapat
dikatakan kenalan-Baik Sekarang hendak aku tanyakan tentang
Lauw Hay tju.
Sayang dia telah mati terbokong orang jahat dan jenazahnya
masih berada di gubuknya, di sana tak jauh dari sini."
"Itu aku tahu. Kematiannyapun ada sangkut pautnya dengan
kau. Hanya, setelah dia mati, mengapa kau tidak mengurus
mayatnya?"
Su Kay terperanjat, lalu dengan pandangan tajam dan dingin dia
menatap anak muda di hadapannya itu. Hanya sejenak. dia nampak
menjadi tenang pula.
"Sietju, bagaimana kau dapat tahu begini jelas ?" tanyanya. "Kau
seperti melihatnya sendiri "
Ditanya begitu, Siauw Pek terkejut didalam hati. ia lalu berpikir.
"celaka Kalau aku jelaskan bahwa aku mengintai mereka, tentu
pendeta ini mencurigai aku, pasti dia akan mendesakku dengan
pelbagai macam pertanyaannya.Jikalau aku tidak berikan dia
keterangan yang sebenarnya..."
Karena keragu raguannya ini, si anak muda menjadi tak dapat
segera menjawab. Su Kay menjadi curiga.
"Sietju," katanya keren, "pakaianmu kasar tetapi itu tak dapat
menyembunyikan wajahmu yang sebenarnya. Bicara terus terang,
tentu sietju datang ke Jie Sie Wan karena ada maksud yang
tertentu..."
"Memang benar, taysu. Tapi itu tak ada hubungannya dengan
taysu sendiri."
"Amidabuddha " sipendeta memuji pula, "Sietju tidak sudi
memberitahukan maksud kedatanganmu kemari, mungkin itu
disebabkan ada kesulitannya. Sietju, jikalau kau percaya loolap.
ingin sekali loolap bicara terbuka denganmu."
siauw Pek berpikir, kelihatannya dia bukan orang jahat. Tapi hati
manusia tak dapat diterka, lebih baik aku tidak memperkenalkan
diriku kepadanya. Maka ia lekas menjawab: " Itulah tak usah, taysu"
Terus dia menoleh kepada oey Eng dan berkata: "Mari kita
berangkat "
Pemuda ini membatalkan niatnya menegur lebih jauh kepada
sipendeta tentang dia meninggalkanjenazah Lauw Hay tju, sebab
soal itu dapat menyangkut dirinya. Karenanya ia ingin lekas lekas
pergi.
"Sietju, tunggu" tiba tiba sipendeta berkata
"Loolap masih ingin bicara "
Mau tidak mau, Siauw Pek menoleh juga.
"Kau melepaskan budi kepada saudaraku ini, budimu itu akan
kami ingat baik baik. Dilain hari, apabila kita bertemu pula, akan aku
membalasnya. Aku mempunyai urusan yang penting, sekarang tidak
dapat aku bicara banyak banyak denganmu, taysu "
Justru karena orang ingin lekas lekas pergi, malah Su Kay Taysu
bertambah. Tiba tiba sepasang alisnya terbangun, lalu tubuhnya
melompat maju dengan pesat sekali. Dengan begitu didalam
sekejap ia telah berada didepan si anak muda.
"Sietju kau membutuhkan penjelasan" katanya seraya merangkap
kedua belah tangannya tanda menghormat. "Memang aku
membiarkan jenazahnya Lauw Hay tju tetapi inilah untuk
memancing si penjahat yang telah menurunkan tangan berbisa itu.
Aku menerka dia bakal datang pula untuk memperoleh kepastian
Lauw Hay tju benar sudah mati atau masih hidup,"
"Habis, berhasilkah kau mendapatkan sijahat itu ?"
"Menurut penyelidikanku," sahut si pendeta, "diJie Sie Wan ini
atau sekitarnya telah berkumpul secara diam-diam tak sedikit jagojago
Rimba Persilatan, kalau toh sampai sekian lama Lauw Hay tju
masih hidup dengan tenang, itulah disebabkan orang jahat, atau
sijahat itu, tidak berniat membinasakannya. Atau karena penjahat
itu belum memperoleh keterangan cukup maka dia belum turun
tangan membunuh orang buta itu."
"Sekarang dengan kedatanganmu, kau telah menyebabkan
kematian Lauw Hay tju" Siauw Pek menegur.
"Itulah sebabnya hendak loolap cari sipenjahat, untuk
membalaskan sakit hatinya Lauw Hay tju "
"Jikalau kau mendengar kata katamu ini, aku rupanya juga
mencurigai aku?" kata Siauw Pek.
Su Kay berlaku terus terang.
"Sekarang ini belum dapat aku memastikan siapa pembunuh itu,"
sahutnya. " Karena itu siapa juga yang datang kemari, dia tak bebas
dari sangkaan- Sietju mengatakan diri kamu bukannya sipenjahat,
tetapi biar bagaimana pun, kamu belum dapat membebaskan diri
seluruhnya."
siauw Pek berpikir pula: "Dunia Kang ouw berbahaya, pendeta ini
sukar dipastikan dia tidak tengah mendusta. Tak dapat aku
terpedayakan olehnya. Baiklah aku lekas-lekas berlalu dari sini."
Karena berpikir begini, ia berkata dingin "Taysu, dapat kami
memastikan kepadamu bahwa kami bukanlah pembunuh Lauw Haytju
Didalam hal ini, taysu percaya atau tidak. terserah kepada taysu
sendiri."
"Benar benarkah tuan berdua hendak berlalu dari sini ?" pendeta
itu menegaskan-"Kalau begitu, terpaksa loolap mesti menahannya
?"
"Jikalau kami berdua tidak mau berdiam di sini ?"
" Karena ummat Buddhist mengutamakan cinta kasih, suka loolap
memberikan siecu memilih satu diantara dua jalan "
"Jalan apakah itu, taysu ?"
"Jalan yang satu sangat sederhana. Itulah supaya siecu suka
berdiam disini sementara waktu untuk bisa berhandai handai.Jalan
ini tidak saja dapat membantu loolap pula dapat membebaskan
siecu dari sangkaan-"
"Jalan yang lainnya ?"
"Itu juga sederhana. Cukup asal siecu berdua dapat lolos dari
cegahanku ini Jikalau siecu berhasil lolos, loolap tidak akan
menahan kalian lagi."
"Pendeta ini sangat sombong, mestinya dia liehay sekali," pikir
Siauw Pek. "Baiklah aku mencoba ilmu pedang guruku."
Begitu ia berpikir, segera pemuda ini menghunus pedangnya.
"Dari kata katamu, taysu pastilah ilmu silatmu liehay sekali."
katanya. "Nah sekarang aku yang muda ini ingin mencoba barang
satu dua jurus"
Su Kay tahu dia terkenal sekali dalam Rimba Persilatan, dia
menerka si anak muda tidak akan berani melawannya, maka dia
menjadi heran ketika mendengar pemuda ini ingin mengujinya.
"Baiklah," akhirnya dia berkata. " Dengan sepasang tangan
kosongku ini hendak aku menyambut pedangmu. Silahkan"
"Baik" Siauw Pek pun menyambut. "Terpaksa aku menyambut
perintahmu " Begitu ia berhenti berkata, begitu sianak muda
menikam.
Su Kay berlaku tenang sekali, bahkan ia tersenyum, akan tetapi,
segera setelah si pemuda menyerang itu, parasnya berubah
sekejap. Dalam terkejutnya, ia mencelat berkelit
"Terima kasih mau mengalah, taysu " kata Siauw Pek sambil
memberi hormat dengan merangkap pedang dan kedua tangannya,
setelah mana ia menarik tangannya oey Eng untuk diajak berjalan
pergi.
Pendeta itu ternganga mengawasi orang berlalu, baru setelah
mereka pergi jauh juga, ia tersadar. Ia kaget dan heran, iapun
menyesal dan malu sendirinya. Tak dapat ia menyangkal janjinya,
akan memaksa menahan pemuda itu. Dialah seorang pendeta dan
pula laki-laki sejati, dia jago Rimba Persilatan-
Sesudah terpisah lima tombak dari sipendeta, dengan perlahan
oey Eng kata pada ketuanya: "Bengcu, tikaman bengcu tadi luar
biasa sekali, sangat hebat. tak dapat orang menyangka atau
menerkanya, tidak heran sipendeta mencelat keheranan. Aku lihat
wajahnya berubah menjadi pucat "
"Dia sombong, dia memandang enteng kepada lawan, itulah
sebabnya. Asal dia dapat mengendalikan dirinya sedikit saja, tak
nanti dia terdesak pedangku."
"Tak usah merendah, bengcu. Menurut penglihatanku, sekalipun
dia bersiap sedia dan berhati-hati, tak mudah buatnya menangkis
tikaman bengcu."
Siauw Pek hendak menjawab pula kawan itu tetapi ia terhalang
oleh satu seruan. oey Eng terperanjat.
"Itulah Kho Kong " serunya, dan segera dia lari, akan memburu
kearah suara itu.
Liauw Pek segera menyusul.
Mereka mesti memutari sebuah rimba dahulu sebelum mereka
melihat tiga orang tengah bertarung seru. Mulanya mereka itu
nampak bagaikan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak gesit
sekali. setelah datang mendekat, Siauw Pek seketika melihat tegas
Kho Kong tengah dikepung dua orang dan keadaan sahabat itu
terancam
--ooo0dw0ooo--
JILID 8
"Saudara Kho, lekas mundur " si anak muda menyerukan-
Kho Kong bertiga bertempur ditanah sawah yang berlumpur, kaki
mereka saban-saban membelebas, karena itu gerak gerik mereka
kurang bebas. Pakaian mereka telah kecipratan air kotor.
Kho Kong sudah mulai terdesak, ketika ia mendengar suaranya
Siauw Pek, yang ia kenal ia menjadi girang sekali. Maka ia
menjawab : "Bengcu..." Tapi baru saja ia membuka mulutnya ketika
itulah justru serangan tiba. Ia kaget sekali, dengan gugup ia
menangkis. Karenanya tak sempat ia melanjutkan kata-katanya. oey
Eng melihat tegas saudara itu terdesak. "Biar aku bantu padanya."
katanya pada Siauw Pek.
"Jangan sembrono," sianak muda berkata, "saudara Kho terdesak
tetapi ia masih dapat bertahan sekian lama. Sulit adalah lumpur
sebatas dengkul itu. Tapi mereka itu sudah jadi biasa, tidak
demikian dengan kau, bahkan kalau kau maju, kedua lawan
mungkin akan memperkeras desakannya. Baiklah kita tunggu
sampai mereka pindah dari sawah, baru kita memberikan bantuan."
oey Eng menurut.
"Bengcu benar," katanya. Ia lantas menyiapkan pedangnya,
untuk sewaktu-waktu membantu saudara angkatnya itu.
siauw Pek berkata tenang, sebenarnya hatinya tegang. Itu
disebabkan Kho Kong makin terdesak kedua lawannya, jangankan
buat mundur keluar dari sawah, buat menangkis saja repot.
Bagaimaa harus menolong kawan itu ?
"Mau tak mau, mesti aku mencoba goloknya Suhu Siang Go."
pikirnya kemudian- Ia ingat Toan Hun It Too. golok tunggal
pencabut nyawa. "Terpaksa aku mesti melukai kedua musuh itu "
Segera dia mengambil keputusan, siauw Pek mulai menghafal
rahasia cara pemakaian goloknya yang ampuh, sambil menghafal
tangannya membuka buntalannya, dikeluarkan goloknya.
Itu adalah sebuah golok tua yang terbuat dari baja hijau, dari
perunggu, gagangnya terukir dengan ukiran yang halus dan
tergantung runce sutera kuning. Terkena sinar matahari, golok itu
bercahaya berkilauan-
Segera setelah dia bersiap. sepasang mata Siauw Pek yang tajam
dan bengis diarahkan kepada kedua lawan Kho Kong.
Oey Eng melihat wajah bengcu itu, dia terkejut hingga dia
tercengang. Ketua ini menjadi bengis luar biasa, perubahannya itu
secara sangat tiba tiba. Tadinya ia hendak mencegah, tetapi bibir
bengcu itu sudah bergerak mengeluarkan seruan perlahan, segera
disusul selagi tubuhnya lompat kearah sawah, berkelebat golok itu
yang memperlihatkan sinar hijau yang menyilaukan-
Hanya sekejap maka terdengarlah suara jeritan kesakitan yang
hebat, yang saling susul, diiringi dengan robohnya kedua musuh
Kho Kong roboh terkulai di sawah, darahnya yang merah
berlumuran membuat merah lumpur di dekatnya.
Sementara itu Siauw Pek berdiri diam saja. goloknya didalam
cekalannya, wajahnya nampak tak wajar guram, suram dan
menyesal... Kho Kong dengan sepasang senjatanya ditangan juga
berdiri tertegun- Baru selang sesaat dia tersadar, maka lekas lekas
ia meninggalkan sawah menghampiri ketuanya itu.
"Terima kasih, bengcu." katanya memberi hormat. "Terima kasih
atas pertolongan bengcu."
Sesaat itu, Siauw Pek pun bagaikan tersadar, maka wajahnya
segera berubah pula. Bahkan dia bisa tertawa perlahan- Walaupun
demikian diapun berkata kata seorang diri: "Kenapa kau membunuh
mereka? Mereka toh bukannya musuh besar hingga mereka mesti
dibinasakan?"
Kho Kong dapat menerka hati orang.
"Tetapi, bengcu," katanya, "bengcu terpaksa melakukan itu untuk
menolong aku." Siauw Pek menghela napas.
"Tidak salah, tidak salah," katanya, menarik napas. "Ia, karena
aku hendak menolong jiwamu, saudara, terpaksa aku
membinasakan mereka itu berdua."
Sementara itu terdengar suaranya Oey Eng, "Bengcu Saudara
Too, mari lekas"
"Perlu kita urus dahulu mayat dua orang itu," kata sang ketua.
"Tak usah bengcu berlelah diri," berkata Kho Kong, yang segera
mengangkat kedua mayat lawannya itu pergi dari tengah sawah.
Bagaikan dia letih sekali, siauw Pek mengambil sarung golokya,
yang terletak ditanah untuk menyimpan goloknya itu, kemudian dia
duduk menumprah, kepalanya diangkat, didongakkan, untuk
mengawasi matahari diantara langit yang biru.
Berselang sekian lama, Kho Kong sudah kembali dengan pakaian
sudah ditukar dengan yang kering dan bersih, dia menghampiri
ketuanya dan berkata perlahan- "Bengcu, dua orang itu adalah
penjahat-penjahat besar dari dunia Rimba Hijau, merekalah yang
digelarkan Hoolam Jie cie. Dua tikus dari Hoolam. Julukan itu sudah
membuktikan kejahatan mereka, dengan membinasakan dua
manusia jahat itu, tak usah bengcu menyesal atau masgul."
Siauw Pek berpaling dengan perlahan-
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya.
"Selagi aku mengubur mayatnya, pada tubuhnya kedapatan
sebuah surat yang memakai alamatnya," sahut Kho Kong. Siauw
Pek menghela napas.
"Mana suratnya itu?"
Kho Kong merogoh sakunya dan mengeluarkan surat yang ia
sebutkan, lalu menyerahkannya pada ketuanya seraya berkata:
"Silahkan bengcu periksa." Siauw Pek menyambuti, ia membeber
surat dan membaca: "Hoolam Djie Tjie
Selagi aku bepergian, diam diam pada tengah malam kamu
memasuki rumahku, kamu mencuri dan juga melukai orang, maka
ketahuilah olehmu, untuk sakit hati ini, jikalau aku tidak membunuh
kami, tak puas hatiku...
Bagian selanjutnya surat itu tidak dapat dibaca, sebab suratnya
sudah kotor dan rusak bekas terkena lumpur.
"Jikalau begini, benarkah mereka manusia manusia busuk." kata
si anak muda seorang diri.
"Mereka mencuri dan melukai orang, memang benar mereka
bukan orang baik baik " kata Kho Kong tertawa. Siauw Pek
tersenyum.
"Mereka manusia manusia jahat, tak salah aku membunuhnya"
katanya, yang terus melemparkan surat itu seraya ia berlompat
bangun-Hati Oey Eng lega menyaksikan gerak gerik ketuanya itu.
"Bengcu penuh kasih dan bijaksana, kaulah bukan sembarang
orang," katanya. Si anak muda menghela napas.
"Ayah bundaku terfitnah dan terbinasakan, mereka merembet
seratus jiwa orang lain," katanya. "peristiwa itu membuat aku
merantau dan terlunta lunta bertahun tahun, semua itu aku ingat
baik sekali, berkesan sangat mendalam, walaupun demikian, tak
ingin aku membinasakan biar seorangpun asal dia orang baik baik.
Selamanya aku hendak mencari tahu dan membedakan diantara
benar dan salah."
"Oh, begitu..." kata Oey Eng, yang terus memandang Kho Kong
dan menanya : "Saudaraku, rupanya karena kau menguntit Hoolam
Djie Tjie, kau jadi dikepung mereka itu?"
"Tidak seluruhnya begitu," jawab saudara yang ditanya itu.
"Sebenarnya aku menguntit si penggembala yang membawa bawa
seruling itu. Rupanya dia mengetahui aku menguntitnya, lalu dia
memancing aku sampai disini. Terang disini dia telah mengatur
tentara tersembunyi. Dengan mendadak Hoolam Djie Tjie muncul
dan mengepung aku, selagi aku bertempur, penggembala itu terus
kabur dan menghilang. Tidak kusangka kedua penjahat itu tangguh,
untung bengcu lekas datang membantu..."
"Teranglah mereka telah mengatur rencana sempurnya," berkata
Siauw Pek.
"Lauw Hay tju sudah menutup mata, kawanan itu tentu tidak
bakal datang pula kemari," berkata oey Eng. "Aku pikir, sebaiknya
kita segera berangkat pergi. Kita perlu menyelidiki si penggembala
dan konco-konconya." Kembali Siauw Pek menghela napas. Ia
masgul sekali.
"Aku berniat pergi ke Pek Ho Po untuk melihat kampung halaman
dan rumahku..." katanya. Ia mendongak melihat langit.
"Baiklah, bengcu. Mudah mudahan saja disana kita akan
mendapatkan sesuatu yang bisa membantu penyelidikan kita ini,"
berkata oey Eng. Siauw Pek mengangguk. "Baik Marilah "
Segera anak muda ini berjalan di depan- ia berjalan sambil
mengingat-ingatjalanan ke kampung halamannya itu. Ia mengingat
samar samar. Oey Eng dan Kho Kong mengikuti di samping kiri dan
kanan bengcu itu.
Belum ada satu jam, tiga orang sekawan ini sudah mulai melihat
kota Gakciu. Itulah sebuah kota yang ramai, disana banyak
penduduk mundar mandir. Dipandang dari segi militer, kota itu juga
sebuah kota penting.
Ketika sedang berjalan oey Eng mengawasi pakaian kedua
kawannya dan pakaiannya sendiri.
"Dengan dandanan semacam ini, tak pantas kita berjalan dijalanjalan
yang ramai ini," katanya perlahan- "Baik kita cari tempat
dimana kita bisa beristirahat sebentar." Siauw Pek setuju.
"Baiklah," sambutnya. "Kita singgah sekalian untuk jajan-"
"Gak Yang Lauw menjadi tempat terkenal dari kota Gakciu,
kenapa kita tidak pergi kesana saja?" Kho Kong mengusulkan- "Kita
minum disana."
"Didalam kendaraan, diatas perahu, di rumah makan atau
dikantoran, orang paling berminyak matanya," kata oey Eng. "kita
berdandan begini, apakah kita tidak bakal diusir bagaikan anjing ?"
"Jikalau sampai terjadi begitu, aku akan ajar adat orang macam
begitu" Siauw Pek usulkan- "Kita pergi dahulu kesebuah tempat,
untuk membuat pakaian baru, barulah kita pergi ke Gak Yang
Lauw."
"Bengcu benar " Kho Kong memuji.
Maka pergilah mereka mencari suatu toko penjahit, disana
mereka minta dibikin beberapa potong baju dan celana. Dilain saat,
selagi mendekati magrib, mereka itu sudah sedang menuju
keranggon, atau lauwteng, Gak Yang Lauw.
Sebenarnya Gak Yang Lauw bukan ranggon atau lauwteng
bersahaja, tempat itu adalah restoran terbesar didalam kota Gakciu.
Sekalipun dihari hari biasa, restoran itu selalu penuh dengan tamu
tamunya. Demikianlah, ketika Siauw Pek bertiga tiba, ruang sudah
penuh.
"Maaf tuan tuan, sudah kehabisan tempat duduk" menyambut
seorang pelayan.
"Tak usah kau gelisah hati, kami dapat naik dan melihat sendiri "
kata Kho Kong, dingin. Dan tanpa memperdulikan si pelayan, dia
membuka tindakan lebar untuk naik kelaUWteng.
Siauw Pek dan oey Eng mengikuti. Mereka tak likat lagi, karena
pakaian mereka sekarang sudah mentereng. Nampaknya mereka
sebagai orang yang beruang atau orang Rimba Persilatan, hingga
pelayan itu tidak berani mencegah.
Tiba diatas lauwteng, benar semua meja sudah penuh, kecuali
didekat jendela ada seorang pria setengah tua lagi duduk sendirian-
Dia mengenakan baju panjang warna biru. Bertiga mereka
menghampiri meja itu, tanpa mengatakan sesuatu, ketiganya
kemudian duduk.
Mata seorang setengah tua itu bersinar tajam memandang ketiga
orang itu, rupanya dia bergusar tetapi sejenak itu juga, dia batal
membuka mulutnya. Dia berdiam saja.
Kho Kong lalu minta delapan rupa barang santapan serta sebotol
arak cong Goan Ang, setelah itu dia berkata keras-keras : "Pelayan
tadi tak dapat dipercaya kata katanya Katanya tidak ada tempat
kosong, nyatanya disini masih ada sebuah, bahkan meja ini besar "
orang setengah tua itu jadi mendongkol sekali.
"Meja ini meja yang telah aku pesan dari tadi " katanya, dingin-
"Sekarang ini aku tengah menantikan kawan kawanku " Kho Kong
tidak merasa tersinggung, bahkan dia tertawa. "Kalau begitu, kami
akan makan lekas lekas." katanya.
Pelayanan nampak cepat sekali, hanya sebentar, datanglah arak
yang dipesan-
Kho Kong segera menyambar botol arak itu, kemudian menuangi
sebuah cangkir, terus ia tenggak kering, habis itu, dengan
seenaknya saja ia berkata pada si orang setengah tua berbaju biru.
"TUan- silahkan Mari kita minum "
Pria itu bingung melihat lagak polos dari Kho Kong, tak tahu dia
mesti bergusar atau bersabar, sedangkan Kho Kong sudah duduk
bercokol waktu kemudian dia melayani minum, Kho Kongpun sudah
mendahului mengeringkan cawannya Siauw Pek maju sampai
tengah.
"Tuan, dapatkah aku mengetahui she dan nama tuan yang mulia
?" tanyanya hasrat.
"Aku she Beng," sahut pria setengah tua itu. Tapi ia tidak sempat
melanjutkan kata katanya, untuk menyebut namanya, sebab dari
bawah lauwteng segera terdengar suara berisik. Segera ia
mendekati jendela untuk mendongok kebawah dimana ia dapatkan
banyak orang berkerumun dijalan besar. Mungkin disana telah
terjadi sesuatu keonaran-
Siauw Pek tertarik suara riuh itu, ia turut menghampiri jendela,
untuk melihat kebawah. Dan ia melihat orang yang rebah di tanah,
rupanya orang itu sudah tidak bernyawa.
Tiba tiba si pria setengah tua berseru kaget, segera dia menolak
daun jendela, untuk dipentang, kemudian lompat turun
Perbuatan luar biasa itu menyebabkan seruan kaget dari banyak
orang dijalan besar, bahkan ada yang berteriak : "celaka celaka Ada
orang bunuh diri dari lauwteng "
Selain suara riuh itu, orangpun kacau, sebab banyak yang lari
menyingkir, kuatir nanti ketimpa pria yang melompat turun itu.
Hingga mereka saling tubruk.
Siauw Pek heran melihat sikap orang itu, tetapi ia lebih heran
waktu ia mengawasi kearah orang yang rebah ditanah itu. Karena ia
melihat punggung orang itu tertancaplah senjata tajam. Saking
ketarik, tak sempat mengajak kedua kawannya, ia lari turun
ditangga lauw teng.
Melihat kelakuan ketuanya itu, oey Eng dan Kho Kong lari
menyusul.
Tiba dijalan besar, si pria setengah tua terlihat tengah
mengangkat tubuh orang yang terluka itu, sepasang matanya
mengeluarkan sinar sangat bengis, dengan tajam ia mengawasi ke
sekitarnya, seperti orang yang lagi mencari si pembunuh gelap.
"Penyerang itu keberaniannya luar biasa," kata Siauw Pek
menghela napas. "Dia berani turun tangan disaat siang benderang
seperti ini serta ditempat umum yang begini ramai..."
"Memang pembunuh itu berani sekali. Amidabuddha " tiba tiba
terdengar pujian dibelakang si anak muda.
Siauw Pek bercekat hati, segera ia menoleh. Maka ia mengenali
Su Kay Taysu. Ia melengak saking herannya.
"Teranglah pendeta ini sedang mengamat amati kami " pikirnya.
Tak lama pria setengah tua itu memeluk tubuh mayat itu,
mendadak dia menyabut pisau belati yang menjadi algojonya.
Karena senjata tajam itu dicabut, darah hidup lantas mancur keluar
dari liang lukanya.
Siauw Pek mengawasi senjata itu, ialah sebuah pedang pendek
tiju atau delapan kim, cahayanya menyilaukan mata. Itulah tanda
bahwa pedang itu tidak beracun. Tapi itu pula bukti lengan si
penyerang kuat luar biasa, hingga dia dapat merenggut jiwa orang
sekejap tanpa menggunakan bisa.
oey Eng menghampirkan sipria setengah tua sampai dekat, maka
ia melihat padapedang pendek itu ada ukiran hurufnya yang halus,
yang bunyinya: "Kiu heng tje kiam-Hiat tyay hiat boan, artiya :
"pedang permusuhan dan kebencian- Hutang darah bayar darah."
Pria setengah tua itu juga melihat huruf huruf ukiran pedang itu,
setelah itu dipondongnya mayat itu, untuk terus dibawa lari cepat
sekali, hingga sesaat dia sudah lenyap dari tempat ramai itu.
Siauw Pek mengawasi hingga orang itu lenyap dari pandangan-
"Pedang permusuhan dan kebencian Hutang darah bayar darah."
ia menghafal perlahan-Apakah pemilik pedang pendek itu? Mungkin
ia menderita terlebih hebat daripada aku?"
"Takdir Takdir " kata Su Kay Taysu seorang, suaranya keras. Dia
seperti menimpali anak muda ini. "Melihat begini, agaknya bencana
Rimba Persilatan sedang makmurnya dan belum mulai reda..."
siauw Pek melirik kepada pendeta itu, lalu ia berkata perlahan
kepada kedua kawannya : "Mari kita naik pula ke lauwteng."
Dengan berlalu tiga orang ini, berkurang juga orang banyak yang
berkerumun itu, mereka pada bubar sendirinya, hanya mereka itu
pada menarik napas panjang pendek. Karena petaka itu hebat
sekali.
"Aneh Berbahaya " tiba tiba terdengar satu seruan parau.
siauw Pek mendengar suara itu, ia segera menghentikan
tindakannya, untuk secara diam diam memperhatikannya.
Segera terdengar pertanyaan seorang lain : "Eh, Yu Loo dji, apa
yang aneh ?"
orang yang dipanggil Yu Loo-dji itu, yaitu si Yu nomor dua,
menjawab : "Aneh korban tadi. Tadi dia sedang berjalan
dibelakangku, jarak antara kami cuma satu tindak, tetapi aku tidak
dengar suara jeritan atau keluhan kesakitan, tahu tahu aku
dikagetkan suara robohnya tubuh, hingga aku segera menoleh. Aku
berpaling dengan cepat, tetapi aku tidak melihat sekalipun
bayangan dari penyerangnya, sedangkan setahuku biar orang
bagaimana gesit juga tak mungkin dia lolos dari mataku. Bukankah
itu sangat aneh dan berbahaya ?"
Terdengar lagi satu suara lain : "Ya, aneh si aneh, tetapi, apakah
si bahayanya ?"
"Kami berjalan hanya selang satu tindak." Yu Loodjie
menerangkan, "jikalau penyerang itu salah tangan dan dia menikam
punggungku apakah itu bukan namanya berbahaya ?"
Tiba tiba Su Kay Taysu menyapa orang she Yu itu : "Sietju, coba
kau ingat ingat. Apakah kau tadi tidak melihat orang yang
mencurigakan sikapnya ?"
Yu Looejie berpikir, ia menjawab : "Memang tadi banyak orang
yang berlalu lintas tetapi orang yang terdekat dengan kurban itu
cuma aku, waktu aku berpaling, aku melihat dia sudah rebah
tengkurep dan punggungnya telah tertancapkan senjata tajam itu.
Aku tidak melihat siapa juga yang dapat dicurigai."
Mendengar pembicaraan itu, Siauw Pek mempercepat jalannya
hingga dilainsaat ia sudah sampai di lauwteng. Ketika itu, tetami
tetamu rumah makan itu sudah tinggal kira kira separuh. Rupa
rupanya yang lain lainnya telah pada menggunakan kesempatan
untuk mengangkat kaki dan mengalap barang hidangannya
Ketika siauw Pek dan kawan kawannya sudah duduk kembali,
pelayan segera menyuguhkan barang makanan yang dipesan tadi.
oey Eng mengisikan cawan mereka.
"Bengtju, pendeta itu turut datang ke mari " katanya perlahan. ia
teliti dan melihat kemuka tangga lauwteng. Disana pendeta muncul.
" Kita jangan usil padanya, kita tetap makan," kata ketua itu.
oey Eng menurut, juga Kho Kong. Maka merekapun bersantap.
cepat makan mereka, habis minum segera mereka turun dari lauw
teng. Uang barang hidanganpun diletakkan saja di atas meja.
siauw Pek berjalan di sebelah depan kawannya, menuju
keselatan. ia selalu mengingat-ingat jalan kekampung halamannya.
Lewat kira kira empat atau lima lie, di depan mereka tampak
sebuah kuil besar, berdiri tegak di antara banyak pepohongan yang
merupakan rimba.
"Semasa aku kecil, pernah dengan ayah datang ke kuil ini," kata
Siauw Pek peria han, "Inilah Kwan ong Bio, kuil dimana dipuja Kwan
Kong yang gagah, jujur dan setia. Dahulu, kuil ini sangat bersih,
perawatnya hanya seorang beribadat yang telah lanjut usianya serta
kacungnya. Sekarang kita perhatikan dulu keadaan disini, baru kita
cari tempat sepi dimana kita dapat beristirahat. Setelah sore nanti,
baru kita pergi ke Pek Ho Po..."
" Kenapa kita mesti menanti sampai sore?" Kho Kong tanya.
" Untuk beriaku waspada," sahut sang bengcu "Aku duga mesti
ada satu atau lebih jago Rimba Persilatan yang mengawasi Pek Ho
Po, jikalau kita datang siang, kita mudah diintai.Jika kita pergi
malam, andaikata dipergoki, mudah untuk kita melarikan diri." Kho
Kong dapat mengerti, bahkan ia puji kecerdikan ketuanya itu.
Mereka berbicara sambi berjalan, maka itu lekas juga mereka itu
telah mendekati kuil. Kedua daun pintu pekarangan yang diberi
berwarna merah, ditutup sebelah hingga hanya tubuh seorang saja
dapat lewat situ. Dari antara pepohonan terdengar suaranya tong
geret, suara mana menambah kesunyian kuil itu.
oey Eng mendahului jalan di muka. Selewatnya pintu itu,
tampaklah sebuah pekarangan yang luas dan ditumbuhi rumput
kecuali jalanannya, yang terbuat dari batu baru merah.
Seorang tua yang rambutnya sudah putih, tengah memaculi
rumput, agaknya dia sudah tak kuat lagi.
Kuil besar, saking sepinya nampak menjadi seram. oey Eng
merasakan itu. " Kuil tua yang menyeramkan," katanya dengan
perlahan.
"Tembok bersih, jendela dan pintu tak ada yang rusakl kuil
seperti baru selesai diperbaiki" berkata Kho Kong. "Mengapa tak
nampak orang atau orang orang yang datang bersujud?"
"Yah. Inilah aneh " kata Oey Eng merasa.
Si orang tua, seorang imam, perlahan lahan mengangkat
kepalanya mengawasi ketiga orang itu, kemudian ia tunduk pula,
melanjutkan pekerjaannya. Menyaksikan orang bekerja begitu
lambat Kho Kong menggeleng geleng kepala.
Melihat cara bekerjanya itu, sebelum rumput yang di timur
selesai, yang di barat pasti tumbuh lagi, hingga seumur hidupnya
itu, tak kanti dia dapat membersihkan seluruh pekerjaan ini...
"Entah ketuanya, apa dia sama tuanya seperti orang tua itu?"
kata Siauw Pek.
Mereka berjalan terus, sampai memasuki pintu yang ke dua.
Keadaan disini berbeda daripada pekarangan disebelah depan itu.
Disini tumbuh belasan buah pohon pek yang, besar besar dan tinggi
sekali, hingga seluruh pekarangan teriyon cabang caban dan
daunnya, dan rontokan daun membuatnya bala sekali. Pekarangan
itu bagaikan beberapa bulan tidak pernah disapu.
"Diruang ke dua ini banyak kamar yang kosong, baik tak usah
kita masuk kedalam." oey Eng usulkan sesudah ia memandang
sekitarnya. "Jangan kita ganggu imam ketuanya kuil ini, cukup kita
beristirahat disini."
Siauw Pek akur. ia segera pergi kesebelah barat, kekamar
ramping.
Kho Kong mendahului ketuanya. ia segera membuka pintu kamar
sisir itu, hingga lantas ia melihat sebuah meja dimana terpuja Toh
Wan Sam Kiat Gle, Tiga Saudara angkat dari Taman Loh (persik),
ialah Lauw Jie, Kwan Kong dan Thio Hwie. Merekalah tiga orang
besar darijaman Sam Kok Tiga Negara yang menjadi contoh teladan
buat kesetiaan, kegagahan dan kejujuran- Bahkan kesetiaannya
mencakup kesetiaan diantara saudara, kesetiaan/cinta negara, dan
kesetiaan menepati janji. Tirai sulam disitu masih baru tetapi penuh
debu.
"Aneh " pikir oey Eng. "Kuil telah diperbarui segalanya, mestinya
kuil ini menerima kunjungan ramai, kenapa sekarang justru begini
sunyi, malah menyeramkan ?"
Masih kawan ini memandang sekitarnya, baru dia bertanya
kepada ketuanya: "Bagaimana bengcu lihat kuil ini?"
"Baiklah, kita beristirahat disini saja." sahut ketua itu sambil
mengangguk perlahan- "Selekasnya sang malam tiba, kita pergi ke
Pek Ho Po."
oey Eng segera meletakkan buntalannya, terus ia duduk sambil
memejamkan mata, untuk bersemadhi, tetapi suasana kuil
mencekam hatinya, tak dapat ia menenangkan diri. Ketika ia melirik
kedua kawannya, ia mendapatkan mereka itu sudah bercokol
dengan tenang sekali. Ia segera bangkit bangun, untuk bertindak
keluar. Belum lagi ia melintasi pintu, matanya sudah melihat si
kacung imam tadi, tengah berjalan sambil memanggul paculnya
dijalan samping untuk menuju ke toa-tian, pendopo besar.
"Dia masuk kedalam, entah dia mengabarkan ketuanya atau
tidak tentang kedatangan kami," pikirnya. Ketika ia melihat pula
kearah si too jin, ia terperanjat. orang itu telah lenyap cepat sekali
"Aneh " pikirnya pula, dan kecurigaannya segera timbul. Maka ia
batal berjalan terus, sebaliknya, dengan perlahan-lahan, ia kembali
ketempatnya, untuk duduk bercokol pula. Ia terus piklri si imam
tua^ "Dia masuk ke dalam tentu dia akan melapor ketuanya. Hanya
dia aneh. Dia sudah loyo, mengangkat pacul hampir tidak kuat,
kenapa dia lenyap demikian cepat, hanya sekejapan mataku? Pasti
dia liehay ilmu ringan tubuhnya. Satu antara dua: Apakah dia orang
liehay yang lagi menyembunyikan diri atau satu penjahat besar yang
menyamar... Dan ketuanya, dia pasti ketua yang liehay juga, sebab
kalau tidak, tak nanti dia dapat menguasai kacungnya ini..."
Memikir lebih jauh, oey Eng menyaksikan siimam tua yang lenyap
kedalam ruang dalam dengan melalui pintu sisir. Kemungkinan dia
mendekam di tanah dan lalu merayap memasuki pepohonan lebat,
baru dari sana masuk ke dalam.
"Apakah tak aneh sikapnya almarhum ayah bengcu dahulu ?"
pikirinya pula lewat sejenak. "Bengcu mengatakan, ketika dahulu ia
bersama ayahnya datang kemari, kuil ini sama sepinya seperti
sekarang ini dan penghuninya juga tetap dua orang, si ketua dan
kacungnya. Buat apakah ayah bengcu datang kesini? Pasti ada
maksudnya."
Walaupun otaknya bekerja keras, oey Eng tidak mau
mengganggu ketua dan saudaranya. Ia coba menenangkan diri. tapi
sekarang, diam diam ia berjaga jaga. Kecurigaan membuatnya
waspada dan bersiap siaga.
Belum lama orang she oey ini bersemadhi, tiba tiba telinganya
mendengar tindakan kaki yang perlahan sekali. Hatinya bercekat,
segera ia membuka sedikit matanya. Ia melihat sikacung imam tua
berkelebat. Hanya sedetik imam itu lantas menghilang pula dipintu
dimana dia muncul.
"Tepatlah terkaanku " pikir Oey Eng. "Dia muncul sekejap. lalu
menghilang Apa mau dia kerjakan?" Maka ia segera merogoh
sakunya, menyialkan dua biji senjata rahasianya. Lama juga Oey
Eng menanti, kuil tetap sunyi senyap. dan siimampun tak muncul
pula. Lewat lagi sekian lama, Siauw Pek dan Kho Kong tersadar.
oey Eng lega melihat kedua kawan itu sudah bangun, segera ia
berkata kepada ketuanya : "Bengcu, aku ingin menanyakan sesuatu,
dapat atau tidak ?"
Siauw Pek tertawa. " Katakanlah "
"Begini, bengcu. Ketika dahulu ayah bengcu datang kekuil ini,
apakah maksudnya ?" Siauw Pek heran, dia mengawasi sahabatnya
itu. Diapun berpikir.
" Waktu itu aku masih kecil, ingatanku belum kuat. Jikalau tidak
salah, ayah mau menjenguk ketua kuil ini."
oey Eng bangkit, ia lari keluar kamar, untuk melihat sekeliling,
setelah itu ia masuk kembali.
"Apakah bengcu ingat berapa lama ayah bengcu berdiam didalam
kuil ini?" ia tanya pula.
Siauw Pek heran-
"Saudara ku menanya begini rupa, apakah kau curigai sesuatu?"
ia balik bertanya.
"Tjoh Lotjianpwee menjadi ketua Pek Ho Bun mestinya dia
banyak sekali kerjaan dan repot," berkata Oey Eng. "Kuil seharusnya
ramai, dan bukan tempat bersemayam, apa perlunya ayah bengcu
datang kemari? Tentu ada maksud dan sebabnya, bukan? Demikian
dengan bengcu sekarang, kenapa bengcu ingat kuil ini dan mau
langsung datang kesini? Bukankah itu disebabkan bengcu berkesan
sekali terhadap kuil ini?"
Siauw Pek mengangguk. "Kau benar," sahutnya.
"Sekarang ingin aku menerka," kata oey Eng pula. "Ketika dahulu
bengcu dan ayah bengcu datang kemari, kuil sama sunyinya seperti
sekarang. Itulah kesunyian yang mengesankan, sekarang kita tiba
disini, kitapun beristirahat ditempat yang sepi. Bukankah ini yang
menyebabkan bengcu ingat kuil Kwan ong Bio ini ?"
"Jikalau kau tidak menjelaskan begini, saudara oey, akupun tidak
ingat kesanku dahulu itu," ia akui. "Ketika dahulu ayah datang
kemari rasanya ayah membuat janji pertemuan dengan seorang
sahabatnya."
"Nah, coba bengcu ingat ingat, siapakah sahabatnya itu ?"
" Ketika itu aku masih kecil sekali, mana dapat aku mengingatnya
?" jawab siketua. Tapi ia toh berpikir, kepalanya diangkat, melihat
ke atas. Lewat sejenak, ia berkata pula: " orang yang dijanjikan itu,
yang aku ingat, datang dengan menaiki sebuah kendaraan berkuda
yang mentereng sekali."
Tiba tiba Kho Kong menyela: "Kalau begitu tak sukar buat kita
mendapatkan kepastian Bukankah waktu itu belum lewat terlalu
lama ? Kenapa kita tidak mau cari ketua kuil ini, untuk menanyakan
?"
"Begitulah pikiranku," kata oey Eng. " Entah bagaimana pendapat
bengcu."
"Pikiranmu berdua sama, pastilah itu tidak keliru."
"Kalau begitu, baik sekarang kita segera pergi cari siimam ketua"
kata Kho Kong, yang mendahului berlompat bangun. Dia bukannya
sembrono hanya tabiatnya agak terburu nafsu.
"Menurut dugaanku, ketua kuil ini pasti bukan orang biasa," oey
Eng berkata pula. Jikalau sebentar kita bertemu dengannya, harus
kita berlaku sungkan, asal kita tetap waspada, dan jikalau tidak
sangat perlu, baik bengcu j angan perkenalkan diri." Siauw Pek
mengangguk. Dia setuju. "Kamu baik sekali " katanya.
"Aku berterima kasih "
Iapun bangkit buat memberi hormat sambil menjura, sedangkan
air matanya berlinang-linang .
oey Eng dan Kho Kong terperanjat, lekas lekas mereka membalas
hormat.
"Jangan, jangan sungkan bengcu" kata mereka. "Tanpa bengcu
kita pasti tak akan akur seperti sekarang ini, bahkan pasti kita sudah
mati bersama. Untuk membalas budi, kami mau lakukan segala apa
untuk bengcu."
"Jangan mengucap demikian, saudara," kata Siauw Pek, yang
menepas air matanya.
Ketika itu matahari sudah doyong kebarat dan sinarnya sinar
layung, dari luar terdengar suara pohonpekyang yang tertiup angin,
pemandangan indah tetapi itu tak dapat menyingkirkan kesunyian
yang menyeramkan dari kuil ini. Sampai disitu ketiganya bertindak
kedalam oey Eng jalan dimuka.
DI luar toatian ada lantai yang tinggi, disitu menghadang sebuah
pintu yang tertutup rapat. Dipojok pintu itu tampak sikacung imam
yang tua yang duduk nglenggut. Jubahnya abu-abu disisinya
menggeletak paculnya.
"Locianpwee" oey Eng menyapa sambil memberi hormat. Ia tahu
bukan orang sembarangan orang, tidak mau ia berlaku gegabah.
Dengan perlahan si imam membuka kedua matanya, ia
mengawasi orang yang menyapanya. "Ada apa ?" dia tanya.
"Kami bertiga kebetulan lewat di Gakciu," sahut oey Eng. "sudah
lama kami mendengar nama terkenal dari ketua Kwan ong Blo, kami
sengaja datang berkunjung. Tolong locianpwe mengabarkan
kedatangan kami ini."
Nampak imam itu tercengang, terus ia tertawa hambar.
"Terlambat kedatanganmu ini, tuan-tuan," katanya. Kho Kong
heran-
"Terlambat bagaimana ?" dia tanya.
"sudah tiga hari ketua kami pergi kelain tempat."
"Tahukah locianpwee kemana perginya ketuamu itu?" tanya oey
Eng tersenyum. Si imam menggoyang kepala, tetapi dia tertawa.
"Kuil kami tidak ramai, ketua kami senggang sekali, maka itu dia
pergi pesiar seenaknya saja. dia pergi kemana dia suka, jadi sulit
untukku menyebutkan kemana dia pergi."
"Kuil ini besar dan indah, mustahilkah loo tiang tinggal seorang
diri disini?" tanya Kho Kong. Ia membahasakan "lootiang", orang tua
yang dihormati. Imam itu melempangkan tubuhnya.
"Inilah kuil tua seperti juga tua pohon-pohonnya." sahut. "Kuil ini
belukar dan bala, tapi dia telah menemani aku situa selama
beberapa puluh tahun- Memang kuil ini sepi tetapi tenteram, tempat
tenteram yang jarang didapati. Jangan terharu karena kesepianku,
tuan-tuan, sekalipun masih ada ketua kami, dia juga tak pernah
memperhatikannya," Ia bangkit dan mengangkat paculnya, lalu
sambil tertawa tawar ia menambahkan : " Hari ini sudah banyak aku
bicara " Segera ia memanggul pacul dan bertindak pergi. Kho Kong
melirik ketuanya.
"Tua bangka ini aneh" katanya.
Suara itu tak perlahan, mestinya si imam dengar, tetapi dia
seperti berlagak tuli, dia ngeluyur terus.
"Mari kita masuk kedalam toatian untuk melihat lihat" kata oey
Eng yang suaranya disengajakan keras.
Mendadak si imam merandek, agaknya dia ragu, tetapi segera
dia berjalan terus. Kho Kong mengangkat tangannya, dia meraba
pintu. "Apa kita masuk ?" tanyanya.
"Awas, jangan merusak pintu orang" Siauw Pek memperingatkan-
Kho Kong menolak daun pintu, tetapi pintu itu tak bergeming. Ia
heran, alisnya berkerut.
"Di luar tak ada kuncinya, tentu dikunci dari dalam," kata oey
Eng.
Kho Kong mencoba menggunakan tenaga tenaganya pintu itu,
sampai dua kali. Pintu itu tetap berdiri tegak. Ia menjadi gusar,
sehingga dia berkata: "Aku tidak percaya aku tidak sanggup
mendorongmu menjeblak"
Segera dia mengerahkan tenaga dalamnya. Dia memang pernah
mempelajari "Tong cu Hun goan Khie kang", yaitu ilmu tenaga
dalam yang dinamakan "semangat perjaka". Ia mengerahkan
separuhnya tetapi sudah seberat lima ratus kati. Maka hanya
segebrakan, daun pintu itu menjeblak, roboh terbanting dengan
menerbitkan suara berisik sekali. Siauw Pek menghela nafas.
"Kita telah merusakkan pintu orang. Bagaimana kita nanti
bertanggung jawab?" katanya.
"Janganlah kuatir, bengcu " kata Kho Kong tertawa. "kita
gantikan saja dengan sejumlah uang" terus dia bertindak masuk.
Dengan terpaksa, Siauw Pek dan oey Eng mengikuti.
Toa tian ataupun pendopo besar itu, semua jendelanya tertutup
rapat karena itu, ruang menjadi gelap suram. Mata sipemuda tajam
tetapi ia masih sukar melihat tegas.
Hanya sebentar, terdengar satu suara perlahan- Kemudian suara
itu lenyap pula. Tapi Siauw Pek mengenalinya, itulah suara tindakan
kaki. Maka ia segera memasang mata dan waspada.
Ditengah toa tian itu tampak duduk bercokol patung Kwan Kong
yang besar dan tinggi setombak lebih, dikedua sisinya mendampingi
ia Kwan Peng bersama ciu cong, putra serta pengikut pribadinya
yang gagah dan setia. ciu cong mencekal chee Liong Yan goat too.
golok besar dan tajam kepunyaan Kwan Kong. Dia berewokan kaku
dan pendek, sepasang matanya mendelik, maka juga dia nampak
bengis sekali. Kecuali ketiga patung itu, seluruh ruang kosong
melompong.
Dengan tibanya sang magrib, toa tian menjadi makin guram.
"Apakah bengcu mendengar sesuatu?" oey Eng berbisik.
"Ia, rupanya tindakan kaki sangat perlahan," sahut sang ketua.
"Peduli apa suara itu" kata Kho Kong sengit, "Mari kita periksa"
"Jangan sembrono," oey Eng peringati. "Penghuni kuil dan
segalanya aneh semuanya."
Kho Kong mengeluarkan senjatanya poan koanpit. Katanya: "Aku
akan masuk dari kiri kekanan Kau, kakak oey, dari kanan ke kiri
Bengcu sendiri harap berdiam ditengah, untuk bersiap membantu ke
kiri dan ke kanan" Dan tanpa menanti jawaban, dia terus bertindak
ke kiri.
Kini mata Siauw Pek telah menjadi biasa.
Maka ia dapat melihat ditembok kanan dari patung Kwan Kong
tergantung sehelai gambar lukisan. Tong geret disinar rembulan
yang bergoyang perlahan- Ia menjadi curiga^ "Benar katanya oey
Eng, didalam kuil ini orang dan segala sesuatunya aneh"
Berpikir lebih jauh, tiba tiba pemuda ini ingat sesuatu. Mungkin
itulah sebuah pintu rahasia. Ia jadi ingat juga suara tindakan
perlahan tadi. Suara itu rasanya datang dari arah itu. Maka ia ingin
maju menghampiri untuk memeriksa. Tapi tepat itu waktu, ia
mendengar tindakan kaki datang dari belakangnya. Tidak ayal lagi,
sambil mengumpul semangat, ia berpaling. Maka ia melihat
sikacung imam yang tua itu, entah kapan datangnya, sudah berada
didalam ruangan itu. Ia terkejut, berpikir: "Dia muncul tanpa suara
apa-apa, terang dialah seorang berkepandaian tinggi."
Sepasang mata Imam itu tajam sekali, dia menatap wajahnya si
anak muda, setelah itu dia menegur: "Tuan-tuan lancang memasuki
toa tian dan telah merusak pintu juga, apakah maksud kalian?"
Dalam keadaan terlanjur itu, Siauw Pek terpaksa berlaku
seenaknya saja. Ia tertawa tawar dan berkata. "Kami datang buat
memuja tentulah ini bukan perbuatan yang terlarang. Tentang pintu
yang rusak ini, aku yang rendah bersedia ganti dengan uang"
Imam itu tertawa dingin. "Tuan, tidakkah kau bicara terlalu
ringan?"
" Habis bagaimana pikiran lootiang?"
"Menurut aku si tua, karena kau telah lancang memasuki kuil ini
dan merusak pintunya maka kamu harus dihukum menurut aturan
di kuil kami." Mendengar suara orang itu keras, Siauw Pek segera
berpikir:
"Dia menutup mulutnya rapat rapat. Tentu sulit akan mengorek
keterangan darinya telah terlanjur, harap saja aku berhasil
mendapatkan sesuatu." Karena ini, iapun lantas bicara dengan
roman keren:
"Sebuah kuil dan patungnya biasa dipuja orang dari segala
penjuru arah, pintunya senantiasa dibuka terpentang, tetapi aneh
kuilmu ini justru ditutup rapat dan kamu menolak orang datang
bersujud. Ada apakah sebenarnya?" Mendadak si imam tertawa
nyaring.
"Tak sedikit si tua menemukan orang orang sembrono sebagai
kau bertiga, tuan-tuan Ya, pintu ini juga bukan baru pertama kali ini
didubrak orang, hanyalah, semua pendobrak itu sudah menerima
hukuman menurut aturan kuil kami "
"Bagaimana aturan kuilmu itu?" tanya oey Eng nyaring. "Dan
bagaimana dihukumnya orang yang lancang masuk kependopo ini?
Kami ingin mendengarnya dahulu."
oey Eng telah muncul kembali bersama Kho Kong. Mereka
menggeledah tanpa hasil, maka mereka lekas kembali, hingga
mereka mendapat dengar kata kata si imam. Imam itu tertawa
dingin.
"Rupanya tuan tuan, sebelum kamu melihat peti mati tak kamu
mengucurkan air mata " katanya. Dan mendadak dia menyampok
dengan sebelah tangannya dengan telapak tangan-
"Hebat tangan orang ini..." pikir Siauw Pek.
SI imam menyampok tembok disampingnya, suaranya terdengar
keras sekali. Tapi yang luar biasa ialah tembok dikedua sisi bergerak
dengan tiba tiba, menutup pintu toatian Hingga sekejap itu, gelap
gulitalah pendopo besar ini
oey Eng terkejut tapi dia telah siap sedia, dengan pedangnya dia
lantas menerjang si imam. Tapi imam itu lenyap seketika
Pendopo jadi demikian sunyi hingga dapat terdengar suara
nafasnya tiga pemuda itu.
"Jangan sembrono, waspada" Siauw Pek memperingatkan-
Kho Kong menyiapkan senjatanya didepan dadanya. Dia gusar
sekali hingga dia berkata keras. "Tak usah kau main sembunyi
sembunyian. Jikalau berani, mari kita bertempur secara terang
terangan. Jangan kau membuat tuan Kho kamu gusar, nanti aku
bakar kuilmu ini " Sia sia saja suara keras itu. Tidak datang
jawabannya.
"Sudah saudara Kho" Oey Eng mencegah. "Jangan kau membuka
suara, itu sama juga memberitahukan kita berada di arah mana"
"Benar" kata Siauw Pek. "Kita mesti berdiam saja " Kho Kong
mendengarnya, dia lantas menutup mulut.
oey Eng sebaliknya berbisik. "Mari kita pergi kepojok. untuk
mengumpatkan diri, disitu kita mencari jalan untuk keluar dari
sini..."
"Kau benar. Mari kita menyembunyikan diri dulu," Siauw Pek
setuju.
Bertiga mereka bertindak ke pojok timur. Disitu mereka duduk
seraya memasang mata dan telinga, guna melihat perubahan-
Mungkin baru seminuman teh lamanya, tiba tiba terdengar suara
dingin si imam tua. "Sekarang ini jalan hidup kamu cuma satu Ialah
meletakkan senjata kamu dan manda ditelikung tanganmu, lalu
turut aku menghadap ketua kuil kami. Jikalau kamu mengandalkan
kepandaian yang tidak berarti itu dan kamu membangkang terus,
tak mau menyerah, jangan nanti kamu katakan aku si orang tua
kejam "
Siauw Pek pernah memperhatikan suara itu, ia menerka
datangnya dari belakang patung, ia lalu menggunakan "Toam Im cie
Sut" ilmu menyalurkan suara berbisik berbicara dengan kedua
kawannya:
"Dia belum tahu tempatnya sembunyi kita, jangan layani dia
bicara."
Suara dingin itu terdengar pula: "Bagus, ya Kamu mau main diam
diam saja untuk mengulur waktu. Jikalau aku tidak
mempertunjukkan kepandaianku, kamu belum tahu punya
kelihayan"
Siauw Pek mendengar jelas. Benar orang bersembunyi di
belakang patung Kwan Kong.
Kho Kong memasang mata, dia menggunakan Toan Im cie Sut
terhadap ketuanya. "Tua bangka itu berada di belakang patung
Bengcu dan saudara oey siap siaga, nanti aku hajar dia"
Siauw Pek menarik tangan kawannya. "Jangan sembrono. Kita
nanti sebentar lagi."
Suaranya si imam tua tidak terdengar pula, Siauw Pek bertiga tak
sabaran.
Justru itu mendadak dua mata Kwan Kong menyoroti sinar terang
tajam, menyapu keseluruh pendopo.
Siauw Pek terkejut pikirnya, "oh, kiranya pendopo ini penuh
dengan pelbagai alat alat rahasianya..."
Karena sorotan itu tiga pemuda tak dapat bersembunyi lagi.
Segera terdengar tertawa dingin yang lama, disusul tawa si imam
pula. "Jikalau sekarang aku menjalankan alat alat rahasiaku, segera
ribuan senjataku yang beracun akan menyapu kamu diempat
penjuru ruang. Inilah kesempatan terakhir Lekas letakkan senjata
kalian-Jika mau main ayal ayalan, berarti mencari mati sendiri" Kho
Kong bertingkat bangun, dia telah habis sabar.
"Jikalau kau laki laki sejati, mari melayani Tuan Kho kamu dan
bertempur selama tiga ratus jurus"
Sorotan itu membuat Siauw Pek bertiga itu silau hingga mereka
sukar melihat apapun juga dilain pihak. gerak gerik mereka
tampaklah nyata. oey Eng menarik tangan Kho Kong.
"Janganlah sembrono" ia memperingatkan- "Kita dengar putusan
bengcu"
Siauw Pek menenangkan diri.
"Kita kurang pengalaman," katanya pelan"
Ketika tadi dia menyampok, kita tak menyangka dia mau
menggerakkan alat rahasianya. Menurut dugaanku, biang pesawat
berada di patung Kwang Kong itu, dari mana suara si tua itu keluar.
Mungkin tubuh patung kosong dan si tua sembunyi di dalam..."
"Aku dugapun begitu." kata oey Eng.
"Bagaimana kalau kita rusak saja patung itu?" Kho Kong
mengusulkan-
"Musuh ditempat gelap. kita di tempat yang terang, keadaan kita
berbahaya," berkata sang ketua, "jangan kita sembrono, terkecuali
kita sudah sangat terdesak."
"Toh, kita tidak dapat main diam diam saja?" kata Kho Kong tak
sabar.
"Sabar saudaraku. Bengcu akan dapat mengatur," oey Eng
memperingatkan-Ketika itu, mendadak hilang sinar bersorot itu.
Dalam sekejap. pendopo gelap gulita.
"Bengcu, saudara Kho, mari kita menukar tempat." oey Eng
berbisik.
Siauw Pek dan Kho Kong sama pikiran, keduanya segera
bergeser diri kepinggir. oey Eng mengikuti.
"Rupanya si imam tua bukan pemimpin di sini." Siauw Pek
berbisik. "Dia tentu lagi minta petunjuk ketuanya .Jikalau dia
siketua, tentu dia sudah turun tangan-"
"Tak dapat diam saja," Kho Kong kata pula "Dari pada menanti
diserang, lebih baik kita mendahului menyerbu. Bagaimana pikir
bengcu ?"
"Kau benar, tetapi kita harus sabar. Mari kita menanti sebentar
lagi."
"Bukankah kita jadi memberi kesempatan bekerja kepada lawan-
.."
"Tapi inilah daya kita satu satunya. Pepatah mengatakan :
memanah penunggang kuda, panah dahulu kudanya, membekuk
orang jahat bekuk dulu kepalanya. Si imam belum tentu ketua disini,
kalau dia bukan, percuma kita menawannya, bahkan sebaliknya kita
bagaikan menggebrak rumput membuat ular kaget kita membuat
musuh dapat bersiap siaga "
Bertiga mereka bicara dengan saluran Toan Im cie sut, supaya
musuh tidak dapat dengar.
Selagi mereka berdiam, tiba tiba terdengar suara dingin yang
memecah kesunyian:
"Selama beberapa puluh tahun, belum pernah ada seorang jua
yang dapat lolos dari pendopo ini, disekeliling tembok terdiri dari
batu batu hijau yang kuat keras, sedangkan di pelbagai tempat
telah dipasang pesawat pesawat Jikalau kamu tahu selatan, lekas
letakkan senjata kamu masing masing lantas kamu pergi ketengah
tengah pendopo, menanti keputusan, dengan begitu mungkin kamu
akan memperoleh keselamatan jiwa kamu " Kho Kong gusar tak
terkendalikan.
"Jahanam " cacinya. "Jikalau kau laki laki, kau keluarlahJikalau
Tuan Kho kamu tidak hancur luluhkan batok kepalamu, aku akan
buang sheku ini "
"Siapa terkurung, sembilan bagiannya adalah mati" kata pula
suara dingin tadi. "Bagaimana kau masih sombong begini? Rupanya
kau benar benar laki laki sejati"
Siauw Pek dan oey Eng tidak mencegah kepada Kho Kong .Justru
pembicaraan itu membuat mereka mendapat kesempatan akan
memperhatikan suara dingin itu darimana keluarnya.
"Siapa kesudian dipuji kamu?" bentak Kho Kong. "Buat seorang
laki laki, nanti tak ditakuti."
Sekonyong konyong terdengar suara halus lembut:
"Seorang manusia cuma mati sekali, kau berani mati, kau dapat
dipuji, tetapi matimu secara begini, sungguh tak setimpal"
Kho Kong melengak. Ia mengenali suara seorang wanita. Ini
yang tak dikira. Siauw Pek dan oey Eng pun heran. Kuil Kwan Kong
ini aneh. Kho Kong tertegun tidak lama, lalu habis sabarnya.
"Siapakah kau?" tegurnya.
Pertanyaan itu dijawab tawa yang nyaring halus, yang sedap
untuk telinga. Tawa itu Seperti juga membuyarkan suasana seram
dari pendopo. Tidak lama, terhentilah tawa itu, diganti pula oleh
suara merdu tadi:
"Akulah si ketua yang kamu ingin ketemukan. Sejak tadi kamu
memasuki toa tian, aku telah melihat kalian-.."
"Tetapi tadi kamu tidak melihat seorang wanita jua" kata Kho
Kong.
"Aku pandai menyamar, menyalin wajahku" kata pula suara
merdu itu. "Mana dapat kamu mengetahui penyamaranku yang lihay
ini"
Mendengar suara orang itu, berkuranglah hawa marahnya Kho
Kong sisembrono
"Aku hendak menanyaimu," katanya. "Kita tidak kenal satu
dengan yang lain, seumpama air sumur yang tidak menyerbu air
kali, kenapa kau mengurung kami didalam pendopo ini? Apakah
maksudmu?"
sementara itu Siauw Pek membisiki oey Eng "Aneh.. Seingatku,
kuil ini tidak mempunyai ketua wanita..."
"Inilah mungkin disebabkan perubahan suasana dunia," oey Eng
berkata. " pula sekarang dunia Kang ouw mempunyai orang orang
perempuan yang luar biasa, siapa tahu kalau ada wanita yang
mengambil alih pimpinan kuil ?"
"Tentu ada maksudnya" demikian jawab suara merdu tadi.
"Menurut terkaanku, kamu adalah orang orang muda yang baru
keluar dari rumah perguruan serta mempunyai kepandaian silat
yang baik sekali."
"Kami mengerti silat, apakah sangkut pautnya itu dengan kau?"
Kho Kong tanya.
" Kenapa kau mengurung kami disini?" Wanita itu tertawa pula.
"Pasti ada sangkut pautnya" jawabnya. Dia diam sejenak. lalu
menambahkan : "Kamu adalah orang orang yang baru keluar dari
rumah perguruan, kamu sangat cocok untuk syarat syarat kami"
Kho Kong tidak mengerti.
"Syarat syarat apakah ?" tanyanya. Ia menjadi suka melayani
orang bicara.
"Aku hendak mengambil kamu menjadi orang pihak Kwan ong
Bio" sahut wanita itu.
"Bagaimana pikiran kamu bertiga?"
"Kalau begitu, buanglah pikiranmu itu" bentak Kho Kong, "Kami
adalah laki laki sejati..."
Wanita itu memotong: "Apakah kau kira cuma kamu bertiga laki
laki? Apakah kamu sangka kami pihak Kwan ong Blo tidak
mempunyai? Hm Kamu sudah terkurung, tak dapat kamu
dibebaskan biar bagaimana, kamu telah datang kemari dan
mengetahui juga sedikit dari rahasia kami"
"Kau dapat mengurung kami tetapi belum tentu kami tak dapat
lolos" kata Kho Kong "coba kami menggunakan senjata, belum tentu
kami akan roboh ditangan kamu"
"Sudahlah" kata wanita itu. "Rupanya sebelum kelelap didalam
sungai Hong Hoo, kamu belum mau menyerah Karena aku tidak
sudi dengar nasehatku, maaf tak dapat aku melayani kamu lebih
lama lagi. Tunggu saja sampai kamu telah merasai liehay kami, baru
kamu akan memohon kepadaku"
Diakhiri tertawa merdu, lenyaplah suara wanita itu. Kho Kong
menyesal.
"Sayang," katanya didalam hati. " Dialah ketua disini, kalau dia
pergi, aku dapat bicara dengan siapa lagi? orang lain toh tak dapat
mengambil keputusan-.."
Selagi menyesal, Kho Kong ingat sesuatu suara dingin tadi. Ia
rasa pernah mendengar suara itu, entah dimana...
Segera setelah lenyap suara si wanita, Siauw Pek melompat maju
juga Oey Eng. Lompat mereka itu tidak mendengarkan suara.
Kho Kong si tak sabaran melihat gerak gerik kedua kawannya itu
menerka bahwa tentu kedua kawan itu sudah ketahui tempat
darimana suara tadi datangnya, maka segera ia berkata keras:
"Jikalau kamu tidak mau membuka pintu pendopo, dan melepaskan
kami keluar, aku akan bakar kuilmu ini hingga musnah tanpa kerana
"
Inilah siasat si sembrono, untuk menimbulkan suara berisik,
supaya musuh tidak mendengar suara bergeraknya Siauw Pek.
siauw Pek dan oey Eng pun menggunakan kesempatan itu untuk
menghampiri patung Kwan Kong (Kong Kong she Kwan bernama Ie
alias In Tiang. Kong adalah sebutan terhormat untuknya karena ia
telah dipandang sebagai malaikat, iapun disebut Tee Kun Kwan Tee
Kun Kwan Mee, Kwan Seng, Kwan Looya da Kwan Hutju. Ia dipuja
sebagai dewa Perang.
Ketika oey Eng mengulur tangannya meraba patung Kwan Kong
itu, ia mengerutkan alis. Patung itu dingin sekali. Terang itulah
patung besi. Maka lekas lekas ia bicara dengan menggunakan suara
salurannya. "Bengtju, jangan seenaknya turun tangan- Patung ini
terbuat dari besi belaka "
siauw Pek tercengang. Ia lalu berkata. "Tapi setelah keadaan kita
begini rupa, tak dapat tidak, kita mesti turun tangan juga. Mari kita
mencoba, dapat kita merobohkan patung ini atau tidak..."
oey Eng terpaksa menurut. Ia lalu menaruh kedua tangannya
pada patung sambil terus mengerahkan tenaganya.
siauw Pek meluncurkan tangan kanannya. Dengan satu isyarat, ia
mengerahkan tenaganya. oey Eng menelan- Namun, patung tak
bergeming sedikitpun juga.
"Mari" kata ketua itu sambil menarik tangan kawannya. Tetapi,
tiba tiba dari empat matanya patung patung Kwan Peng dan Tjiu
Tjong yang berada dikedua sisi patung Kwan Kong itu mengeluarkan
sinar merah marong, disusul dengan sehembusan bau harum sekali,
hingga segera hidung kedua anak muda itu menciumnya, seketika
itu juga keduanya roboh tak sadarkan diri.
juga Kho Kong tidak luput dari hembusan wewangian itu.
Entah telah lewat berapa lama, tatkala ketiga pemuda itu
tersadar, mereka mendapatkan diri mereka terkurung didalam
sebuah penjara air, kedua tangan dan kaki mereka terbelenggu
rantai rantai besi sebesar jeriji tangan, sedangkan tubuh mereka
juga dilibat dengan tambang-tambang otot kerbau, ditambat pada
sebuah tiang batu. Kaki mereka semua, sebatas dengkul ke bawah,
terendam didalam air. oey Eng membuka matanya, melihat
kesekitarnya.
"Apakah bengtju sudah sadar?" tanya dia perlahan.
"Ya," Siauw Pek menyahut.
"Asal mereka membuka pintu air, tidak ada satujam, pasti kita
sudah kelelap mampus." kata oey Eng pula. "Sekarang baik kita
mencoba bersabar..."
"Mereka ahli ahli tukang ringkus." berkata Kho Kong. "Dengan
diringkus cara begini, tak dapat kita meronta."
"Yang hebat ialah libatan tambang otot ini" kata Siauw Pek. "Tak
dapat kita lolos kecuali kita mengerti Siu kut hoat, yaitu ilmu
meringkaskan tulang tulang dan daging. sekarang ini, mengarahkan
tenaga dalampun sulit."
"Masih sulit juga," kata oey Eng. " Dengan Siu kut hoat dapat kita
bebas dari libatan, tapi bagaimana kita bisa keluar dari penjara air
ini?"
"Habis, kakak oey, apa sekarang kita diam saja menerima
binasa?" tanya Kho Kong.
"Bukan begitu, saudaraku. Kita sabar dulu, untuk melihat salatan
atau kesempatan-Mereka mengurung kita secara begini, itu tanda
bahwa mereka belum menginginkan jiwa kita. Mungkin mereka
mempunyai suatu keperluan- Menurut aku, sekarang baik kita
mengumpulkan tenaga, untuk menunggu saat menggunakannya..."
"Benar, kita harus sabar," Siauw Pek pun kata. "Kita beristirahat
untuk sekalian menantikan saat yang baik."
Karena sering menderita semenjak masih kecil, pemuda ini
mempunyai kesabaran luar biasa, bisa ia menguasai diri.
Kho Kong mendongkol sekali, dia hendak mengumbar hawa
amarahnya, tetapi karena ketua itu berlaku tenang, ia terpaksa
menutup mulutnya.
Sekira waktu sesantapan, tiba tiba mereka bertiga mendengar
satu suara berisik, ketika mereka menoleh, mereka melihat sebuah
pintu terpentang disebelah kanan mereka. Disitu muncul seorang
pemuda yang tangannya memegang sebuah lentera tengloleng
(orang biasa menyebut tanglung, harusnya teng-lung, atau teng
long dalam dialek Hokkian. "E" dari teng long dibaca dengan "e" dari
"tenggara, tentara," sedangkan "e" dari tenglong dengan "e" dari
"besok, beres". Tenglungbah. Kucyu.)
Perlahan lahan pemuda itu sambil mengawasi ketiga orang
tawanan itu, dia berkata tawar: "Tuan tuan, paling baik kamu
jangan memikir untuk meloloskan diri dari sini."
Akan tetapi, walaupun dia berkata demikian, mendadak dia
menghunus pisau belati dengan apa dia memotong putus tambang
otot kerbau yang melibat tubuhnya ketiga pemuda itu.
Menggunakan kesempatan itu, Siauw Pek mengerahkan tenaga
dalamnya, maka dilain detik putuslah rantai besi yang mengekang
tangannya. Pembawa tengloleng itu kaget, dia segera menikam
dengan pisaunya.
Siauw Pek mengegos kesamping sambil berkata: "Tuan, tak ada
maksudku untuk menempurmu "
orang itu tidak menyerang lebih jauh, dia hanya mengangkat
tinggi lenteranya. "Tuan, liehay tenaga dalammu, kau sangat
mengagumkan," katanya. "Aku kagum"
Siauw Pek tertawa hambar, ia tidak menyahut. Inilah karena ia
sendiri heran dengan hasil pengerahan tenaga dalamnya itu.
Pemuda pembawa lentera itu mengeluarkan tiga helai
saputangan hitam dari sakunya.
"Tuan tuan, silahkan kamu tutup mata kamu," katanya. "Aku
hendak meloloskan rantai pada kaki kamu."
"Silahkan, saudara," kata Siauw Pek. "Bagaimana jikalau aku
tolong kau memegangi lenteramu?"
Pemuda itu berpikir sejenak. segara ia angsurkan lenteranya itu.
"Terima kasih," ucapnya. Tapi, sebelum membuka rantai itu, dia
memasang dahulu saputangan hitam itu pada mata Kho Kong, oey
Eng dan Siauw Pek. terus dia menambahkan-"Dengan dibukanya
rantaipada tangan dan kaki tuan tuan bertiga, itu berarti kebebasan
kamu telah pulih, karena itu, sebelumnya, hendak aku memakaikan
lain macam alat belengguan"
"Silakan " kata pula Siauw Pek yang terus berlaku sabar.
"Bagus, tuan " puji si pemuda. "Kau jujur, kau membuat orang
kagum "
Setelah mata mereka ditutup, Siauw Pek bertiga tidak tahu
mereka akan dirampas kemerdekaannya dengan alat apa, mereka
hanya menerka pastilah itu semacam borgol, barulah mereka kaget
sekali ketika mereka merasai bahu kiri dan kanan sebuah senjata
tajam. Hilang rasa nyeri, terus bahu itu beku kaku
Pemuda itu tertawa dan berkata: "Tuan tuan jalan darah pada
pundak kamu telah ditusukkan sebatang jarum emas, maka itu,
sekalipun liehay sekali ilmu silat kamu, kamu tak akan dapat
berdaya lagi, karenanya sekarang baiklah kamu mengenal salatan-"
Siauw Pek diam diam mengerahkan tenaga dalamnya, ia terkejut.
Memang kedua lengannya tak dapat diangkat lagi.
"Sungguh jahat " pikirnya. "Dasar aku yang bodoh..."
Terdengar pula suara pembawa lentera itu. "Tuan-tuan lihay,
walaupun kedua tangan tuan tuan tidak dapat digunakan lagi, tetapi
tidak demikian dengan kaki kamu, kamu masih bisa berjalan seperti
biasa dan dapat mendengar dengan sempurna. Sekarang silakan
kalian mengikutiku "
Siauw Pek bertiga tidak membantah, mereka lalu mengintil. oey
Eng dibelakang pengantarnya itu, Siauw Pek ditengah dan Kho Kong
paling belakang.
--ooo0dw0ooo—
JILID 9
Kemudian mereka merasa bahwa mereka berjalan naik, seperti
mendaki tangga. Ketika mereka tiba ditanah datar lagi, lalu mereka
tersampok angin yang adem. Itulah tanda bahwa mereka sudah
keluar dari penjara air. Sekarang mereka merasa menginjak sesuatu
yang lunak. rupanya rumput.
Mereka berjalan sekira sehirupan teh, kemudian terdengar
kembali suara pengantarnya itu. “Tuan tuan, silahkan duduk “
Siauw pek bertiga menurut. Memang, untuk membantahpun
sudah tidak ada gunanya.
Setelah mereka duduk. pemuda itu berkata dingin. “Disekitar sini
ada berjagajaga tak sedikit orang kosen, mereka juga pada
membekal senjata senjata rahasia beracun, jikalau tuan tuan
mencoba hendak melarikan diri, tak ampun lagi tuan tuan bakal
dibinasakan-” Dia diam sejenak, kemudian menambahkan- “Ketua
kami bakal segera datang kesini, maka itu, sebentar aku harap
sukalah kamu tak usah mengalami siksaan lahir “
Kho Kong sengit, berkata dia: “ Lelaki itu takut mati, apapula
segala siksaan-Jikalau dia hingga keleluhur nenek moyangnya “
Gusar si pemuda mendengar ancaman itu. Kata dia bengis. “Asal
kau berani mencaci ketua kami dengan sepatah kata saja, aku akan
hajar rontok gigimu, dan kubetot lidahmu" “Saudara Kho, sudah
diam,” oey Eng membisiki saudaranya itu. Segera setelah itu
terdengar tindakan kaki yang pergi jauh.
oey Eng mendekam ditanah, setelah itu, dia tanya Siauw Pek.
“Apakah bengcu dapat menyingkirkan jarum dibahu kita ini?" Siauw
Pek menghela napas.
“Telah aku coba, tetapi gagal...”
“Kalau begitu, aku ada akal...”
“Apakah itu? Lekas katakan “ Kho Kong lantas mendesak.
“Inilah cara sangat sederhana, asal kita dapat bebas dari
pengawasan sekalian penilik kita. Mari, bengcu, akan aku
cabutjarummu dengan gigiku...”
“Ya, akal sederhana sekali “ kata Kho Kong
“Mengapa aku tak dapat memikirkannya?”
siauw Pek baru hendak mendekati kawannya tetapi dia
mendadak berkelit kesamping, menyusul sesuatu yang berkelebat
dan berhawa dingin menyambar kearah mukanya, jatuh tiga kaki
dari dekatnya. Segera ia mendengar suara halus dan merdu serta
pujian, “Sungguh ilmu ringan tubuh yang mahir sekali”
Nyatalah pengawas itu mengawasi gerak gerik, oey Eng dan
Siauw Pek, maka dia mencegah maksud oey Eng dengan serangan
senjata.
Terang dia telah mendengar pembicaraan ketiga orang tawanan
itu.
siauw Pek bertiga berdiam. Segera mereka mendengar pula
suara tadi, suaranya seorang wanita: “Pergilah, kini kamu tak
dibutuhkan pula”
Terdengar suara dua orang menyahut: “Ya” disusul suara
tindakan kaki mereka itu.
“Kiranya benar tetap ada orang mengawasi kita,” pikir Siauw Pek.
Ketika itu terasa tiupan angin yang halus sekali, tiga orang itu
kemudian mencium bunga...
bau wangi dari yanci dan pupur, Siauw Pek bertiga tidak dapat
melihat orang tetapi bau itu membuktikan bahwa ada orang yang
telah datang dekat sekali kepada mereka.
Hanya sedikit, lalu terdengar pula suara si wanita: “Kamu harus
bicara secara terus terang padaku, supaya kamu tak usah dipaksa
bicara dengan siksaan-"
'Dalam hal itu, terserah kepada pertanyaanmu,' sahut Siauw Pek.
'Percuma saja kalau hal yang ditanyakan tak kami ketahui.”
”Pasti kamu dapat menjawabnya...'
Agaknya wanita itu ragu ragu, dia diam sejenak, baru dia mulai
bertanya: ”Tuan tuan, apa she dan nama kamu yang besar? Dan
apa maksud kamu datang kemari?'
'Aku yang rendah Tjoh Siauw Pek.' sipemuda menjawabnya
sejujurnya. 'Dan kawanku ini saudara saudara oey Eng dan Kho
Kong. Kami datang kemari tanpa maksud apa apa, aku percaya
nona tentu telah mengetahuinya.'
'Tetapi, tuan tuan, telah masuk kedalam kuil kami ini,' kata
sinona.
Dengan telah datang kemari, pasti kamu mengetahui tak sedikit
rahasia kami. Karena itu, walaupun kami dapat memikir untuk
membebaskan kamu, alasan untuk itu tipis sekali...'
'Habis, kau mau apakah?' siauw Pek tanya,
”Satu yaitu masuk kedalam rombongan Kwan ong Bie kami, yang
kedua yaitu kami masukkan kamu pula kepenjara air untuk
merendam kamu hingga mati kelelap'
siauw Pek menggumam, lalu menjawab: 'Kalau begitu silahkan
nona bawa kami kembali ke penjara air”
Sinona tidak segera mengatakan sesuatu, dia hanya mengawasi
oey Eng dan Kho Kong, kemudian menanya “Bagaimana pikiran
kami berdua, tuan tuan Kamu mau mati bersama kawanmu ini atau
kamu suka masuk kedalam rombongan kami?'
oey Eng menjawab segera: “Kami bertiga telah bersumpah akan
sehidup semati, maka itu kami bersedia mengikuti kakak kami pergi
ke dunia baka”
”Jikalau kami mati, kami bakal jadi setan setan” kata Kho Kong
nyaring. “Kami akan masuk kedalam delapan belas neraka,
kemudian kami akan mengamuk dirumah kami hingga kamu
serumah tangga tak akan hidup tenteram dan tenang"
Wanita itu tertawa dingin.
“Aku telah membunuh tak sedikit orang, belum pernah aku
melihat setan- katanya. Jikalau kamu sudi mati bersama sama,
baiklah, akan aku penuhkan keinginan kamu itu ' Siauw Pek bangun
berdiri.
'Nah, nona, silahkan antar kami ' katanya. Dan ia maju kedepan
oey Eng.
oey Eng sudah siap sedia, begitu bahu ketua itu lewat di depan
mukanya, ia segera membuka mulut, untuk menggigit ujung jarum.
cepat gerakannya itu.
Wanita itu telah melihat perbuatan itu, dengan gerakannya yang
lebih gesit, dia maju untuk menyampok dengan tangan kanannya.
Siauw Pek pun mendengar gerakan si wanita, ia segera menyepak.
“Plok” demikian satu suara nyaring, dan pipi oey Eng kena
tergaplok hingga tubuhnya limbung, ketika ia dapat berdiri tetap.
pipi kanannya sudah bengap dan merah
Kesebatan si wanita diluar dugaan siauw Pek dan oey Eng, maka
gagallah usaha mereka.
Dan wanita itu tidak kena didupak. sebab dia keburu lompat
menyingkir. Hanya dia kaget sekali sampai dia mengeluarkan peluh
dingin. Hampir dia roboh sebagai kurban dupakan itu. Oey Eng
menahan nyerinya.
“Bengcu,” kata dia. “ walaupun kita tidak dapat melihat apa-apa,
tidak dapat kita berdiam saja menanti kematian '
“Benar” Kho Kong turut bicara, 'Sedikitnya kita mesti mengadu
jiwa “
“Baik “ sahut Siauw Pek. “Mari kamu berdiam di belakangku,
supaya kita dapat saling membantu “
Kho Kong menurut, segera ia lompat kebelakang ketuanya.
Baru saja pemuda itu bergerak. tiba tiba sebatang golok
menyambar kearahnya.
siauw Pek telah memasang telinga, ia mendengar suata, maka
dia menarik kembali serangannya itu.
Tiba tiba si nona tertawa terkekeh.
“Bagus” serunya, memuji. “Sungguh kamu sangat akur satu
dengan lain Baiklah, suka aku menerima pengajaran dari kamu “
Kata kata itu ditutup dengan satu serangan pedang.
Dengan matanya tertutup, Siauw Pek cuma mengandaikan
telinganya. Maka itu, dalam beberapa gebrak saja, repotlah ia. Ia
mesti membela diri sambil melindungi kedua saudaranya.
oey Eng pandai berpikir. Ia tahu waktu tidak dapat dibiarkan
berlarut larut. Karena itu ia menjadi nekad. Kalau mesti mati, ia
mesti mati sesudah berdaya. Maka ia lalu mencoba pula. Ia
memasang telinganya. Ia tunggu sampai pedang menyambar,
mendadak ia berseru: “Bengcu, awas” serentak dengan itu, ia
melesat maju. Dan ia merasai iganya sakit, karena tusukan pedang.
Siauw Pek menendang, untuk menolong saudara itu.
“Kau terluka, saudara oey?” tanya dia.
oey Eng tidak menjawab. Kalau ia membuka mulut, ia kuatir tak
dapat ia bertahan diri. Sekarang ia bisa mempertahankan terus
tenaga dalamnya. Bahkan ia melompat kebelakang ketuanya, ia
membuka mulutnya dan menggigit kebelakang leher siketua,
mencabut jarum beracun yang liehay itu
Tepat orang gagah ini berhasil, ia memperdengarkan suaranya
“Ya, aku telah terlukakan pedang” dan ia terus roboh terguling.
Sementara itu Siauw Pek telah bebas, dapat ia menggunakan
tangan kanannya. Dengan sebat ia menyingkirkan tutup matanya,
sedangkan kakinya dilayangkan guna menolong oey Eng dari
tikaman susulan- Menyusul itu ia mencabut jarum dipunggung
kirinya, sehingga dua-dua tangannya merdeka. Dengan tangan
kirinya ia menyambar tubuhnya oey Eng untuk dipondong, sedang
tangan kanannya, ia cabut j a rum pad a pundak Kho Kong, ketika
itu datang pula serangan ia berkelit.
Disaat yang sangat berbahaya itu, walaupun ia bertangan
kosong, Siauw Pek dapat menggunakan dua jurus tipu muslihat
pedang Tay Pek Kiam Hoat. Ia pakai kedua jeriji tangannya sebagai
pengganti pedang. Dengan begitu ia bisa menolong diri serta kedua
kawannya itu.
Setelah jarum dipundak kirinya tercabut, Kho Kong segera bisa
menggunakna tangannya, sambil berteriakn dia menyingkirkan
tutup matanya.
Tepat waktu itu Siauw Pek bertiga mendengar seruan yang
nyaring halus: “Sungguh hebat luar biasa” Menyusul itu, tak ada lagi
pedang menyambar-nyambar.
Baru sekarang siauw Pek dapat memandang kearah lawannya.
Dan didepannya sejarak setombak lebih, ia melihat ada berdiri
seorang nona usia delapan atau sembilan belas tahun yang
mengenakan baju hijau, yang tangannya mencekal sebilah pedang.
Tampaknya nona itu terkejut dan kagum.
Kho Kong sendiri segera menghampiri oey Eng. “ Luka mu parah,
saudara oey?” ia tanya. oey Eng membuka matanya. “Aku tak bakal
mati” sahutnya. segera Kho Kong menghadapi sinona.
“Apakah kau yang melukai kakakku ini?" dia menegur, bengis.
“Tidak salah “ menjawab sinona, mengangguk.
“Bagus” seru nya dengan gusar sekali. 'Perhitungan kita masih
belum selesai Sebelum aku gempur Kwan ong Blo kamu ini, itu
belum dikata bahwa aku telah selesai menuntut balas'
Siauw Pek mencegah saudaranya maju. Terus dia menghadapi si
nona, dengan sikap gagah ia tanya: 'Pedangmu beracun atau tidak
?”
“Tidak “ sahut si nona menggelengkan kepala.
“Kau mempunyai obat luka atau tidak ?” Siauw Pek tanya pula.
“Ada” sahut nona itu yang merogoh sakunya lalu melemparkan
sebuah kantong sulam.
Siauw Pek menyambut, meletakkan tubuhnya oey Eng, setelah
itu baru ia buka kantong itu dimana terdapat obat bubuk warna
putih. Ia memeriksa dahulu obat itu, sesudah merasa bahwa itu
bukan racun, baru ia buka baju saudaranya itu, untuk segera
mengobatinya. Sambil berbuat begitu, dengan perantaraan Toan lm
Tjie sut, ia berkata pada Kho Kong: 'Awasi nona itu, jangan
dibiarkan dia pergi Sekarang kita masih belum bebas dari bahaya '
Kho Kong mengerti. Ia segera melihatnya kesekitarnya. Ia
mendapatkan mereka berada di dalam sebuah pendopo besar, cuma
d is ini tak ada patungnya seperti pendopo tadi. Ketika ia
mengawasi si nona, nona itu masih berdiri tenang, dan
pandangannya yang tadi diangkat naik, perlahan lahan diturunkansebat
Siauw Pek mengobati saudaranya, terus ia kata perlahan
pada Kho Kong: "Baik baik kau jaga saudara oey, aku hendak pergi
mengambil senjata kita,” Habis berkata, ia bertindak menghampiri si
nona. Kho Kong menaati kata-kata ketuanya itu.
Si nona melihat pemuda itu mendatangi, dia tak memperlihatkan
sikap bermusuhan-
Siauw Pek memperhatikan nona itu, lalu ia berhenti
dihadapannya. Ia menanya: “Apakah nona hendak menggunakan
akal muslihat buat mencelakakan kami bersaudara? Aku katakan
terus terang, aku sendiri tidak biasa berbuat curang.
Nona itu balik memandang, ia berkata: “Kau dapat meloloskan
diri dari tikaman pedangku, dari jurus Twie IHunTji Kiam, itulah
bukti ilmu silatmu memang jauh daripada ilmu silatku Biasanya aku
paling bangga dengan ilmu pedangku ini, tapi sekarang bertempur
dengan kau, nyata kepandaianku tidak berarti. Ah, nyatalah bahwa
mereka itu, yang setiap memuji-muji aku, mengangkat-angkat aku,
mereka hanya memperdayakan “ Pedang si nona Toan Hun Tjie
Kiam ialah pedang “Memutus roh”.
Siauw Pek heran, hingga ia melengak.
“sebenar siapakah kau?” ia bertanya. “Dan apakah hubunganmu
dengan kuil ini ?”
“Akulah ketua dari Kwan ong Bio ini. Mereka itu mengangkat aku
sebagai pengganti ketua yang lama. Tapi mulai saat ini, tak sudi aku
menerima pengangkatan itu ' Kembali Siauw Pek heran-'Memang
kenapa, nona.”
'Kau bertangan kosong, aku bersenjatakan pedang,'jawab nona
itu, 'Toh aku tidak sanggup melayani kau Bagaimana aku
mempunyai muka buat terus menjadi ketua mereka ?"
'Oh, begitu ? Nona, sejak kapan kau menjadi ketua kuil ini ?”
“Sejak setahun yang lampau, ketika kakekku mau meninggalkan
Kwan ong Blo, dia memanggil aku, dia sudah memikir buat
mengangkat aku sebagai penggantinya. Dan ketika kakek mau
pergi, dia berpesanpadaku, seandainya didalam waktu satu tahun
dia tetap belum kembali, aku mesti langsung menggantikannya.
Kwan ong Blo ini adalah sebuah partai yaitu Kwan Ong Bun.”
Siauw Pek heran dan kagum terhadap nona ini. Nyata dialah
seorang jujur dan polos, yang tak licik. Pikirnya: 'Kalau begitu,
kakeknya ialah ketua kuil ini. Aneh orang tua itu Kenapa dia angkat
cucunya sendiri menjadi ketua ? Apakah disini bukan terselip suatu
rahasia ?” Karena herannya, ia bertanya : “Nona, kemana perginya
kakekmu itu ?”
Si nona menggelengkan kepala.
“Aku tidak tahu, kakek cuma berkata dia pergi untuk
memenuhkan janji seseorang sahabatnya, siapa tahu sudah satu
tahun lebih kakek pergi, ia masih belum kembali.”
Siauw Pek melihat kesekitarnya. “Apakah kakekmu itu kakek
benar ?"
“Ya.”
Pemuda itu mengerutkan alis. Tak habis ia berpikir. “Apakah ayah
bunda nona masih ada ?”
Dengan matanya yang jeli, nona itu menatap tajam pemuda
didepannya ini. Dia agak tak sabar. “Kau aneh “ katanya.
“Pertanyaanmu ini sungguh tidak pantas Kalau kakekku masih ada,
pasti ayah bundakupun masih hidup “
Siauw Pek tidak mau bertanya melit lagi, tak ingin ia berbantah
mulut. “Nona, benarkah kau mengakui bahwa kau bukanlah lawanku
?” ia tanya sabar.
”Ya, aku memang tak dapat melawanmu.” si nona mengaku
jujur.
“Nona, walaupun kau telah melukai kawanku, tetapi karena laki
laki sejati tak pantas melayani seorang wanita, aku tidak ingin
menariknya panjang.” kata sipemuda kemudian-”Hanya nona, aku
minta supaya kau serahkan dahulu pedangmu kepadaku.”
Siauw Pek bersikap begini karena ia kuatir nanti datang orang
lain kependopo itu hingga tanpa senjata, ia dan kawan kawannya
akan mendapat kesulitan lagi.
Nona itu segera menjawab, sebaliknya dia menatap anak muda
didepannya ini. Dia agaknya memikirkan permintaannya itu. Tapi
hanya sejenak. ia lalu memberikan jawabannya: “Kau tunggu saja
sebentar disini, aku akan ambilkan alat senjata kami,” Habis
berkata, ia memutar tubuhnya.
Siauw Pek bertindak maju, akan menghalangi orang pergi.
“Tidak usah “ katanya, tawar, “Nona pinjamkan saja pedangmu,
itu saja saja “
Nona itu mundur dua tindak.
“Inilah pedang istimewa milikku, mana dapat aku berikan
kepadamu ?' katanya.
”Kau pinjamkan sebentar saja, nona. Setelah nona
mengembalikannya.'
Sabar bicara pemuda ini, tapi tangannya diulurkan, sambil
menyambar tangan orang yang kanan yang memegang pedang.
Geakan itu hebat luar biasa, sedangkan sinona tidak bersedia dan
tangannya sudah tercekal, maka pedangnya terus terampas
Secepat dia bersenjatakan pedang, Siauw Pek membulang
balingkannya dua kali, hingga cahaya pedang berkelebatan. Setelah
itu dia menanya dingin : 'Nona, apakah nona orang yang tadi
memeriksa kami ?”
Si nona terperanjat, tapi dia sadar. “Benar Mengapa ?” ia balik
bertanya.
siauw Pek tertawa dingin. Dia menatap. “Nona bicara halus dan
polos, terang nona belum berpengalaman,” katanya. “Sebaliknya,
yang tadi memeriksa kami, dialah seorang Kang ouw kawakan.
Hanya di dalam sekejap. kamu berdua telah bertukar orang,
sungguh aku tidak tahu apakah artinya ini Tapi mata kami ditutup,
kami tidak dapat melihat apa apa, akan tetapi suaramu, nona,
suaramu tak dapat memperdayakan telingaku “
'orang itu akulah adanya ' si nona memastikan- ”Jikalau kau tidak
percaya, tak ada dayaku lagi.' Siauw Pek tetap percaya.
'Mungkin nona menjadi salah seorang yang turut hadir tadi,'
katanya pula ia mengancam dengan pedangnya pada tubuh nona
itu. 'Ke mana perginya nona tadi itu? Lekas katakan “
Dengan perlahan si nona mundur dua tindak.
“Dia sudah pergi...” ujarnya perlahan sekali, hingga mungkin dia
sendiri tidak mendengarnya .
siauw Pek berpikir cepat: “Benar-benar nona ini belum
berpengalaman, dia masih polos sekali. Ternyata nona yang
pertama itu sengaja memakai orang sebagai ganti dirinya. Hanya
entah sikakek itu, dia sebenarnya orang macam apa. Kalau aku
ketahui she dan namanya, mungkin tak sulit mencarinya tentang
asal usul nona ini.” Berpikir begitu, ia tanya pula: “Apakah kau
ketahui jalan untuk meninggaikan tempat ini?"
"Tahu “ sahut si nona sambil tunduk.
Dengan pedang ditangannya, si pemuda mengancam punggung
nona itu. ia berkata: Jikalau kau dapat membawa kami
meninggaikan tempat ini dengan selamat, aku tidak akan ganggu
sekalipun selembar rambutmu, nona. Tetapi jikalau sebentar terjadi
sesuatu, jangan kau sesaikan aku “
Tanpa banyak bicara lagi, sinona bertindak pergi. Tak pernah ia
menoleh kebelakang. “Saudara Kho, lekas pondong saudara oey”
siauw Pek kata pada kawannya. ikut aku
sejarak lima atau enam tindak. supaya mudah aku bergerak
andaikata ada rintangan ditengah jalan-
Kho Kong menyahuti, kemudian dipondongnya oey Eng, untuk
dibawa berjalan.
siauw Pek menggerakkan pula pedangnya sampai ujung pedang
menembusi baju sinona. Kata ia dingin.
“Aku tahu Kwan ong Blo kamu ini mempunyai banyak pesawat
rahasia, tapi walaupun demikian, aku mengharap nona tidak timbul
niatan jahat dalam hatimu dan nona akan mengantarkan kami
dengan tak kurang suatu apa meninggaikan tempat ini ' Tetap si
nona tidak mau bicara. ia menuju kesebuah pojok.
Masih Siauw Pek mengancam dengan pedangnya, hanya
sekarang, dengan tangan kiri, cekal lengan kiri si nona. Dengan
suara yang sengaja dikeraskan, ia berkata:
“Aku tahu, hati manusia sangat sukar diterka, karena itu nona...
maafkan aku... tolong nona menemani kami berjalan bersama sama

Nona itu masih tidak membuka mulutnya, ia juga tidak meronta.
ia membiarkan anak muda itu memegangi lengannya.
Sampai di situ Siauw Pek pun bungkam. Tapi ia tetap curiga, dan
bahkan semakin keras kecurigaannya itu. ia hanya pikir, bila bahaya
sudah dilalui, baru ia hendak menanya pula si nona.
Segera mereka tiba di pojok tembok. Mendadak nona itu
menggunakan tangan kanannya menekan pada tembok itu.
“Apakah ini pintu rahasia ?” akhirnya Siauw Pek menanya jug a.
“Kau sudah tahu, buat apa kau tanya ?” balas si nona, dingin.
“Aku hendak memperingatkan kepada kau, nona” kata Siauw Pek
pula, 'yang benar kau jangan mikir yang tidak tidak Kau ketahui
sendiri, asal masih ada kesempatan, walaupun sedikit, dapat aku
ambil jiwa”
Hampir serentak dengan kata kata sipemuda mereka mendengar
suara keras dan berisik sekali. Mendadak saja pada tembok tidak
ada bekas dan tandanya itu muncul sebuah pintu
si nona tunduk. la mau melewati pintu itu. Tapi, baru ia bertindak
satu kali, siauw Pek sudah menariknya kembali.
“Pintu rahasia ini menembus kemana ?” tanya si anak muda. Si
nona agaknya mendongkol. ia seperti diperbuat penasaran-
“Kau begini bercuriga, mana dapat aku bekerja benar?” katanya,
dingin. “Andaikata pintu ini tembus ke neraka, aku toh akan
menemani kamu pergi kesana “
siauw Pek merasa kulit mukanya panas. Dia jengah sekali. Tapi
malu atau tidak. ia berkata:
“Aku tidak takut mati, meskipun demikian, aku tidak membiarkan
kedua adikku turut binasa”
Nona itu tertawa dengan tiba tiba.
“Aku menerka usia mereka itu jauh terlebih tua daripada usiamu,
bagaimana kau mengakui dirimu kakak Tidak malukah kau?”
demikian dia mengejek. Siauw Pek mengelak.
“Ini urusan kami bersaudara, tak usah kau turut campur, nona”
“Siapa usil kepada kami” nona itu membaliki. ”Kaulah yang
menarik tanganku dan tak mau melepaskannya “
siauw Pek melengak. Kembali ia jengah sendirinya. Memang ia
masih memegangi erat erat tangan lunak nona itu. Lekas lekas ia
melepaskannya. “oh.. Maaf, nona “ katanya.
Tiba-tiba nona itu tertawa pula. Tapi dia tidak berkata apa apa.
Lagi sekali dia tunduk untuk kemudian masuk kepintu rahasia itu,
yang tak terlalu tinggi.
'Saudara Kho, hati hati ' pesan Siauw Pek yang terus menelad si
nona melewati pintu rahasia itu.
Berada disebelah dalam pintu itu, yang gelap. Siauw Pek tidak
merasa pepat napas. Itu ruang dalam tanah, yang buatnya
sempurna. ia tetap berlaku waspada. Asal si nona main gila ia pasti
akan segera membunuhnya.
Jalan sejauh empat atau lima tombak. mereka mulai menanjak.
bertindak d ia nak tangga batu Baru jalan beberapa undak.
mendadak si nona berhenti dan memasang telinganya. Siauw Pek
turut merandak juga. Hanya sejenak. mereka berjalan pular
si anak muda heran, tetapi la terus menutup mulut. Mereka naik
dua belas undakan-Tiba tiba saja si nona mengangkat kedua belah
tangannya, untuk menolak keras, hanya sekejap. terlihat sinar
terang langit.
'Sudah sampai ' begitu si nona membuka mulutnya. “Nah, naiklah

Kho Kong mempercepat tindakannya, dan hingga ia berada dekat
si nona. ia menatap nona itu.
'Tempat apa ini?' tanyanya.
'Itu disana pintu belakang dari Kwan ong Bio,' menjawab si nona,
'tempat ini tanah belukar, amatjarang orang lalu lalang disini.Jangan
kuatir apa apa, pergilah '
siauw Pek mengeluarkan kepalanya, melihat sekelilingnya. ia
mendapatkan tempat itu benar sunyi. Lalu ia menolak tubuh Kho
Kong buat membantu dia naik membawa oey Eng. ia naik paling
belakang, tapi sebelumnya ia memberi hormat seraya berkata:
'Nona, kau musuh atau kawan, inilah aku tak tahu pasti,
walaupun demikian, kebaikanmu hari ini akan kuingat baik baik, di
belakang hari, akan aku coba membalasnya.' Nona itu bergumam.
'Sekarang ini, di tempat ini, tak dapat kita bicara banyak,”
katanya. “ Lekas kamu berangkat Di belakang hari, apabila ada
perlunya, dapat aku pergi mencarimu”
“Tapi senjataku, yang menjadi hadiah guruku, perlu aku ambil
kembali”. berkata Siauw Pek. “Maukah nona menolongnya ?”
Nona itu berpikir.
“Di saat aku pergi mencari kami, aku akan bawa senjatamu itu,”
sahutnya
“Apabila nona tidak pergi mencari kami ?” tegaskan Siauw Pek.
Alis lentik si nona berkerut.
Jikalau sampai terjadi begitu, terpaksa buat sementara senjata
itu dibiarkan di sini dahulu,” jawabnya. Kho Kong mendongkol, dia
berkata dingin:
“Kali ini kami tidak bersiap siaga, kami dapat dirugikan, tapi lain
kali, apabila kami datang pula, tak dapat tidak. akan kami beri rasa
kepada sekali Siauw Pek sebaliknya berlaku tenang.
”Jikalau kau tidak mencari kami, nona...” katanya sabar, “aku
minta nona tolong simpan saja senjataku itu. Di dalam waktu satu
bulan aku akan datang pula kemari untuk mengambilnya “
“Baiklah, begini janji kita” kata si nona. “Silahkan berangkat”
“Semoga kita akan bertemu pula” Siauw Pek masih
mengucapkan- Lalu, dengan satu kali mengapungi diri, ia telah
berlompat naik keatas.
Si nona baju hijau, sebaliknya, dengan cepat menutup pula pintu
rahasia itu.
Siauw Pek memperhatikan pula sekelilingnya, terutama pintu
rahasia itu, yang dari atas tampak merupakan sepotong batu
persegi lima kaki ketika ia mencoba memegang dan menggesernya,
batu itu tidak berkutik. Teranglah pintu itu telah dirantai mati dari
bawah.
Lagi sekali ia memperhatikan sekelilingnya, barulah ia mengajak
Kho Kong meninggalkan tempat itu.
Ketika itu fajar. Makin lama, langit akan makin terang.
Siauw Pek mencari sebuah tempat sunyi dimana ia mengajak Kho
Kong berhenti. Ia periksa luka oey Eng, parah tetapi tak
membahayakan karena tidak mengganggu otot dan tulang. Ia lalu
menotok beberapa jalan darah, agar darah kawan itu tersalurkan
rapi. Memang tadi, selagi memberi obat, ia telah totok kawan itu,
guna mencegah dia mengeluarkan terlalu banyak darah yang mana
berbahaya.
Hanya sebentar, oey Eng membuka matanya, lalu mengeluarkan
napas lega, kemudian ia menggerakkan tubuhnya, terus bangun
duduk. “Terima kasih, bengcu “ katanya, bersyukur.
“Diantara saudara, jangan kita berlaku sungkan,” kata siauw Pek.
“Apakah kau tak merasa nyeri lagi?”
oey Eng melompat bangun, ia menggerakkan seluruh tubuhnya.
“jangan kuatir, bengcu “ katanya, “ luka ku tidak mengganggu
otot dan tulang igaku."
Hati Kho Kong lega, tapi mendadak dia menghela napas dan
berkata: “Aku tidak mengerti, bahkan makin lama, aku menjadi
makin bingung...” Siauw Pek pun lega hatinya. Si nona tadi telah
memberikan obat yang tepat. “Kau bingungkan apa, saudara Kho?
ia bertanya kepada si tabiat keras.
“Pihak Kwan ongBun bukan musuh kita, kenapa dia kurung kita
didalampenjara airnya itu?” kata saudara itu. “Ada waktu bagi
mereka membunuh kita tetapi mereka tidak lakukan itu, dan si nona
bahkan membebaskan kita Mengapa ? Nampaknya seperti musuh
tetapi bukan musuh, bagaikan sahabat tapi bukan kawan Tidakkah
ini membingungkan ?"
“Memang aneh mereka bersikap bermusuh, lalu bersahabat, kata
Siauw Pek. “Nona tadipun luar biasa. Dia dapat ditaklukkan dengan
kepandaian, hingga dia suka membebaskan kita Didalam hal ini
mesti ada sebab musababnya.
“Biarlah, setelah aku sembuh, kita nanti pergi pula kesana,”
berkata oey Eng.
“Sekarang disaat belum terang tanah, mari kita menjenguk
dahulu kampung halamanmu bengcu, untuk memberi hormat kita
kepada almarhum ayah bundamu.”
Lukamu belum sembuh, mungkin tak leluasa buatmu melakukan
perjalanan, kata Siauw Pek. oey Eng tertawa.
”Jangan kuatir bengcu,” katanya, “luka tak berarti ini tak usah
dipikirkan “ Habis berkata, kawan ini lantas memutar tubuh untuk
berangkat mendahului
Hati Siauw Pek lega, ia segera mendahului untuk jalan didepan
sebagai pengantar. Tujuannya ialah langsung ke Tjoh Kee Po.
Perjalanan ada belasan lie tetapi dengan mereka bertiga berjalan
cepat, dalam waktu yang pendek. mereka sudah tiba didusun
keluarga Tjoh itu. Hanya setibanya, Siauw Pek menampak dusun
telah berubah. Tembok gempur disana sini, rumput tumbuh lebat
tak teratur, suasana dusun sangat sunyi bahkan menyedihkan.
Disekitar tiga lie, Tjoh Kee Po tidak ada penghuninya, sebab
penduduk telah pindah, kedua daun pintu besar catnya sudah luntur
rusak.
Masih ada kesannya Siauw Pek mengenai rumahnya itu,
mengenai peristiwa tiga belas tahun yang lalu, karenanya ia menjadi
ingat kesengsaraannya selama delapan tahun, bagaimana ayah
bunda dan saudara saudaranya dibasmi musuhnya. Ia jadi sangat
bersedih sehingga air matanya tidak dapat dicegah mengucur
keluar.
oey Eng dan Kho Kong berdiri diam disisi ketua itu. Mereka tahu
kedukaan siketua, mereka tidak dapat membujuk dan menghibur.
Lama Siauw Pek memandangi rumahnya, lama ia berdiri
bagaikan tonggak. baru ia mengangkat tangannya dan menepas air
matanya, kemudian ia membuka tindakannya untuk menuju
kerumahnya yang telah runtuh itu.
Setelah pintu besar, yaitu pintu terdepan, di dalam situ tampak
sebuah pekarangan yang luas. Ia ingat pekarangan yang dulu
terawat b arik tetapi kini penuh dengan rumput, dan tinggi sebatas
lutut. Ia maju hingga menaiki undakan tangga tujuh tingkat, sampai
dipintu yang kedua. Disinipun penuh dengan daun-daun, bahkan
tembok juga telah berlumutan.
oey Eng memperhatikan rumah besar itu, tak terawat tapi masih
ada pengaruhnya bekas sebuah gedung besar.
Siauw Pek bertindak dilantai batu hijau, untuk masuk terus
kedalam, kebelakang, disana ada sebuah ruang terbuka tempat Tjoh
Kam Pek mengajari siat pada anak anak dan muridnya. Disitu, dikiri
kanan ada para-para alat senjata yang telah rusak tidak karuan-
Disebelah timurnya ada sebuah kuburan tinggi dan besar, penuh
ditumbuhi rumput.
Menunjuk kepada kuburan besar itu, sambil menghela napas
Siauw Pek berkata: “Seratus lebih jiwa penghuni Tjoh Kee Po,
semua terkubur didalam situ.”
Mendadak oey Eng memutus kata-kata ketuanya. Dia terkejut
dan berseru : “Bengcu, lihat disana “
Siauw Pek terperanjat, ia segera menoleh kearah yang ditunjuk
kawan itu. Maka ia melihat dua orang yang dandanannya rapi,
tengah berlutut disisi kuburan, lagi menghunjuk hormat dengan
hikmad. Ia heran hingga ia melengak.
“Ayah bundaku dimusuhi delapan belas partai besar hingga
dikejar-kejar, siapa mereka ini yang datang menyambangi dan
berbela sungkawa?” tanyanya.
'Mari kita hampiri mereka' kata Kho Kong yang terus bertindak
maju.
Ditempat seperti itu, tindakan kaki si aseran dapat terdengar
nyata, apalagi dia diikuti Siauw Pek dan oey Eng. Walaupun begitu,
selagi mereka mendekati, dua orang itu tetap berlutut, mereka tidak
tahu atau tidak menghiraukan-Kho Kong sengaja berbatuk-batuk.
'Sahabat-sahabat, apakah gerangan she dan namamu yang
besar?' menyapa si aseran ini, 'Sudi kiranya aku menerima hormat
kami '
Teguran itu tidak mendapat jawaban, sekalipun Kho Kong telah
mengulanginya beberapa kali.
'Tak usah memanggil mereka terlebih jauh, saudara Kho,”
berkata oey Eng, yang telah mengawasi tajam kedua orang itu,
“Menurut terkaanku dua orang ini pasti telah tidak ada nyawanya
lagi...”
“Sudah mati?” seru Kho Kong heran- ia melompat kesisi dua
orang itu, dan dengan kedua tangannya ia menyambar pundak
mereka, untuk membalik tubuh mereka itu.
Benar seperti terkaan oey Eng, dua orang itu adalah mayat
mayat dengan masing-masing dadanya bagian tempat yang
berbahaya, tertancap pedang pendek yang melesak sampai dibatas
gagangnya Siauw Pek mengerutkan alisnya. “coba cabut pedang
pendek itu dan periksa” katanya. Kho Kong mencabut kedua pedang
pendek itu.
Waktu itu matahari mulai naik diufuk timur, cuaca sudah terang
benderang. Maka kedua senjata itu dapat dilihat dengan tegas,
ketiga pemuda itu jadi kaget sekali. Sebab pada masing masing
pedang terukir empat hurf besar bunyinya : “Kiu Heng cie Kiam”,
Pedang sakit Hati dan Penasaran-
”Hebat seru si anak muda. “ Kembali Kiu i Heng cie Kiam Pemilik
pedang itu liehay sekali, dia tak dapat dipandang ringan- Mendadak
ia memutus kata katanya itu, karena ia ingat sesuatu. Ia lalu
berpikir keras.
“Bengcu, apakah bengcu menyangka pemilik kiu heng cie kiam
ini ada hubungannya dengan peristiwa Pek HoBun dahulu?” oey Eng
tanya ketuanya, perlahansiauw
Pek tidak segera menjawab, hanya ia berkata pada Kho
Kong: “Saudara Kho, coba periksa, sudah berapa lama mereka itu
mati ?" Kho Kong memeriksa nadi dua orang itu
“Belum ada dua jam,” ia memberitahukan-
”coba periksa lagi, mereka mengerti silat atau tidak ?”
Kho Kong meraba-raba tubuh kedua mayat itu, “Ya, mereka
pernah belajar silat,' ia memberitahukan pula .
Baru setelah itu, Siauw Pek berpaling pada oey Eng.
'Tidak dapat aku pastikan ada hubungannya atau tidak, tapi
terang ini adalah satu soal baru,' ia berkata. Ia menghela napas
perlahan, kemudian menambahkan- 'Sejak ayah bundaku dimusuhi
sembilan partai besar dan konco-konconya itu, negara begini luas
tidak ada satu pojoknya dimana kami dapat mendiamkan diri,
dimana-mana terdapat musuh musuh kami, dimana mana kami
disebut. Dua orang ini aneh Lainlah orang kita, bersembunyipun
sulit, tapi mereka ini justru datang kemari untuk menunjukkan
bela sungkawa Aneh pula pemilik Kiu Heng cie Kiam senjatanya luar
biasa bahkan juga diukirkan huruf huruf “
”Jikalau ini bukannya jebakan, mestinya kiu heng cie kiam ada
hubungannya dengan keluarga Tjoh,” kata oey Eng. Ia mengawasi
ketuanya, lalu menambahkan-
“Tak mungkinkah dialah salah seorang murid Pek HoBun yang
dahulu dapat meloloskan diri ?”
“Aku rasa itu tak mungkin,” kata Siauw Pek menggelengkan
kepala.
“Segala sesuatu sukar diterka, baik hal ini tak usah bengcu terlalu
pikirkan,' oey Eng kemudian menghibur. 'Nanti saja kita
menyelidikinya dengan perlahan-lahan-'
Baru saja oey Eng menutup mulutnya, tiba tiba mereka
mendengar satu siulan panjang yang datang dari tempatjauh.
Dengan ia mengambil kedua batang pedang dari tangannya Siauw
Pek sambil menyerahkan itu pada Kho Kong, ia kata 'Saudara, lekas
kembalikan pedang ini ditubuhnya si korban, lebih baik tetap di
tempat lukanya'
Kho Kong menyambut pedang, dengan cepat ia
mengembalikannya ditubuh kedua mayat itu. 'Mari kita
bersembunyi, supaya orang tak dapat melihat kita ' oey Eng
mengajak.
Disekitar itu banyak gombolan rumput tinggi, mudah saja tiga
pemuda itu mencari tempat sembunyi
Tak lama tampaklah dua orang dengan pakaian hitam sedang
mendatangi. Selagi mendekati, terdengar orang yang disebelah kiri
berkata. 'Aku lihat bahwa hari ini tak seperti biasanya...'
'Apakah yang luar biasa?" tanya orang yang di kanan-
'Aku melihat roman pangcu kurang wajar, ia rada tegang
sendirinya.'
“Benar Dengan menyebut ini kau membuat aku ingat sesuatu.
Tanpa sebab tanpa alasan mendadak pangcu mau datang ke Pek Ho
Po ini Lihatlah suasana sunyi dan suram disini, ini bukanlah alamat
baik”
Sekonyong konyong orang yang dikiri itu merendak.
“ Lihat disana, saudara Sun” kata dia, terperanjat. Lihat itu dua
orang yang berlutut didepan kuburan Aneh atau tidak ?”
orang yang disebelah kanan, yang dipanggil “saudara Sun” itu
agak terperanjat. Dia segera mengawasi kearah kuburan.
“Ya, aneh, katanya. Kenapa tubuh mereka kaku mirip mayat.”
Teranglah dua orang itu adalah orang orang Kang ouw yang
berpengalaman maka mereka bisa segera menerka bahwa kedua
orang dipinggir kuburan itu bukan orang hidup, “Saudara Sun,
kauberjagajaga” kata orang dikiri itu. Aku hendak pergi melihat.'
Begitu berkata ia berlari lari, terus dia berlompat kedepan dua
mayat itu.
Sekarang Siauw Pek dapat melihat tegas orang ini berusia kurang
tiga puluh tahun dan pada bahunya tergemblok sebatang golok. Dia
segera memegang bahu kedua mayat, tetapi segera dia menjadi
kaget, mukanya menjadi pucat, sambil berteriak. dia melompat
mundur. 'Kenapa, saudara Kim?' tanya si orang she Sun-si orang
she Kim masih gugup. 'Kembali Kiu Heng Tjie Kiam...” jawabnya tak
tegas.
si orang she Sun melompat menghampiri, goloknya dihunus,
matanya memandang sekelilingnya. Ini yang keberapa kalikah kita
melihatnya,” ia bertanya.
"Yang ketiga kali “ sahut si orang she Kim. “Aku kuatir
ketegangan pangcu disebabkan ini golok Kiu I Heng Tjie Kiam...”
“Kau benar, saudara Kim. Tempat ini sangat sunyi. Lebih baik
kita lekas berlalu dari sini.”
Nyata kedua orang itu rada jeri.
orang she Kim menyusut peluh dimukanya.
“Tapi pangcu akan segera datang kemari kita tunggu saja.”
si orang she Sun memb alingkan pedangnya yang sinarnya jadi
berkelebat menyilaukan-Agaknya dia hendak membangunkan
semangatnya.
“Aku dengar kuburan ini kuburannya keluarga Tjoh yang terdiri
dari seratus jiwa lebih dan karenanya, keluarga itu lenyap dari dunia
ini. Benarkah ?”
“Tentang kuburannya benar, tetapi menurut apa yang aku
dengar, ada dua orang anggota keluarga itu yang lolos dari bencana
kemusnahan, yaitu anaknya lelaki dan perempuan-Katanya si anak
lelaki berhasil menyeberangi jembatan maut Seng Su Klo, dan si
anak perempuan telah ditolong seorang rahasia yang tak diketahui
she dan namanya, yang membawanya lari.”
“Sungguh aneh” si orang she sun berseru. “ Kabarnya Seng Su
Klo telah memendam entah berapa banyak roh roh penasaran. dan
selama beberapa puluh tahun belum pernah ada orang yang
sanggup melintasinya, maka heran kenapa bocah itu berhasil
menyeberanginya?”
Kho Kong gusar mendengar kata kata dua orang itu. Pikirannya:
“Dua manusia ini kurang ajar? Kenapa mereka berani menghina
begitu? Dia mesti diajar adat” lalu ia mau terbangkit hendak lompat
menghampiri dua orang itu.
“Saudara Kho, jangan sembrono”, oey Eng berbisik, menasehati,
dan tangannya mencekal untuk menarik tangan kawan itu. Sambil
berkata begitu, ia menoleh kepada ketuanya. Ia menjadi terharu.
Siauw Pek tengah menangis, airmatanya meleleh turun dengan
deras. Rupanya kesedihannya dibangkitkan oleh kata kata kedua
orang she Sun dan she Kim itu.
”Ya, itu justru yang paling mengherankan”, terdengar si orang
she Kim berkata pula. ”Kabarnya keluarga Tjoh itu dikejar kejar
beberapa puluh jago silat, yang hendak membasminya habis
habisan- Beberapa jago, yang liehay luar biasa, menyusul anak
lelaki itu menyeberangi Seng Su Kic Aneh anak itu, dia dapat
melintas dengan tidak kurang suatu apa, sebaliknya para
pengejarnya, semua roboh terguling kekolong jembatan maut itu...”
“ Kenapa anak itu tidak turut jatuh ?”
“ Entah lah. Kalau dia jatuh, tentu tak ada cerita kita ini “
Selagi dua orang itu bicara sampai disitu, di sana terdengar suara
tindakan kaki mendatangi. Mereka terkejut, lalu mereka berdiam.
Siauw Pek bertigapun mendengar suara itu, mereka lalu menoleh.
Semua mata lantas diarahkan kejurusan dari mana suara
tindakan itu datang. Disana tampak dua orang tengah mendatangi.
Merekalah orang orang yang tubuhnya kate, yang mengenakan baju
hijau. Yang luar biasa, baju mereka yang panjang dipakai begitu
rupa sampai menutupi kepala mereka, hingga terlihat seperti
manusia manusia tak berkepala...
Si Sun dan si Kim memang sudah jeri, melihat dia orang baru ini,
hati mereka menjadi terkejut. Tapi si orang she Sun toh
mengangkat goloknya, dia lalu menegur keras : “Siapa kamu?
Kenapa kamu berlagak begini rupa? Ketahui olehmu, akulah Sun
Djle ya kamu Telah aku menjelajah kedua Sungai Besar di Selatan
dan Utara telah aku mengalami angin besar dan gelombang
dahsyat, semua itu tidak membikin gentar hatiku Apakah kamu mau
mencari penyakitmu sendiri ?”
Dua orang kate yang aneh itu tidak menghiraukan suara orang.
tetap mereka berjalan kearah orang orang she SUn dan Kim itu.
Si orang she Kim pun menjadi nekad, dia menghunus goloknya,
lalu dengan berdiri berendeng dengan kawannya, dia memas ng
Anda sedang membaca artikel tentang cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 4 - boe beng tjoe dan anda bisa menemukan artikel cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 4 - boe beng tjoe ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yg-menggetarkan-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 4 - boe beng tjoe ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 4 - boe beng tjoe sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post cersil : Pedang Golok Yg Menggetarkan 4 - boe beng tjoe with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yg-menggetarkan-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar