cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 9 - boe beng tjoe

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 25 Agustus 2011

cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 9 - boe beng tjoe

JILID 37
Han in melihat munculnya musuh-musuh itu segera ia
menyerang.
Seorang pendeta yang berada paling depan menjerit, terus
tubuhnya roboh. Dia menjerit sambil mulutnya memuntahkan darah
hidup. Melihat nasib kawannya, yang menyedihkan itu, beberapa
pendeta lainnya lekas-lekas mundur pula.
Mereka jeri. Sebaliknya pendeta gemuk yang bersenjata lonceng
itu, yang lagi mendesak Giok Yauw. Dia melihat dua orang
kawannya roboh secara hebat itu dan yang lain lainnya mundur
sendiri, segera ia meninggalkan Nona Thio untuk meng hampiri si
pendeta bercacad. Tanpa menanti sampai sudah datang dekat, dia
menyerang sambil menimpukkan loncengnya itu. Han In melihat
datangnya serangan hebat ia segera menggunakan kedua
tangannya menolak dengan keras. Sehabisnya menolak, senjata
istimewa dari musuh itu. Han in Taysu menyerukan Giok Yauw
supaya si nona merintangi pendeta-pendeta lainnya. "Serahkan dia
ini kepadaku" menambahkan si pendeta tua.
Giok Yauw menurut, ia melompat ke mulut lubang dimana
sejumlah pendeta nampak hendak menerobos masuk. Tanpa raguragu
pula, ia menimpukkan jarumnya.
Beberapa teriakan kesakitan terdengar diantara pendeta pendeta
itu. Karena itu, mereka tak dapat melanjutkan penyerbuannya.
Pendeta yang bersenjatakan lonceng terkejut melihat lonceng
kembali kepadanya, lekas lekas dia membuka kedua tangannya
untuk menyambuti. Sementara itu dia heran mendapat kenyataan
musuh bercacat itu demikian liehay. Diapun menjadi penasaran-
Maka dia mengulangi timpukannya.
Kembali Han in menolak dengan tangannya maka kembali
lonceng mental kepada musuh.
Dalam penasaran si pendeta mengulangi serangannya beberapa
kali, tapi saban-saban dia tidak peroleh hasli, selalu loncengnya
dimentahkan kembali kepadanya. Pendopo terang benderang. Tidak
semua obor dapat dipadamkanBan Liang tadi.
Ketika itu dari luar pendopo terdengar suara "Masih ada dua
orang bocah wanita yang belum turun tangan. cobalah
menggempur tembok pula, buat membuat satu lubang lain, untuk
menyerbu masuk dari situ, guna menyerang kedua bocah itu. Asal
mereka sudah turut berkelahi, lalu merdekalah kita masuk dari
lubang yang mana juga .
Han In Taysu mendengar jelas kata kata itu ia kuatir. Ia tahu
dengan "dua orang bocah wanita" itu tentulah dimaksudkan dua
Nona Hoan. Itulah berbahaya. Nyata musuh liehay dan kejam Mana
dapat si nona menangkis serbuan?
Tengah ketua Ngo Bie Pay berpikir, lonceng sudah datang pula.
Kali ini ia menolak dengan tangan kirinya, dengan tangan kanannya
dia membarengi menotok.
Pendeta gemuk itu sedang mengagumi pendeta lawannya ketika
ia melihat kembaliknya loncengnya, dia lalu menggunakan kedua
tangannya untuk menyambut senjata istimewanya itu supaya dia
bisa menimpuk pula dengan kedua tangan, dengan terlebih hebat.
Tapi kali ini dia terkejut. Mendadak ia merasai sebelah tangannya
nyeri. Tadi dia tidak menduga apa apa, baru sekarang dia kaget. Dia
tahu bahwa orang telah menotoknya. Rasa nyeri itu membuat
tenaganya habis, tak sanggup dia memegang loncengnya lebih
lama, lonceng mana terus meluncur kebelakangnya. Syukur dia
sempat berkelit.
celaka tembok dibelakang itu, yang gempur peCah membarengi
suara terhajarnya seCara hebat. Tapi bukan Cuma tembok itu yang
menjadi korban-Disebelah luar itu terdapat pendeta pendeta
lainnya, yang bersiap sedia membantu kawan kawan mereka, tak
mereka sangka akan gempurnya tembok. akan meluncurnya
lonceng, maka tanpa berdaya, terhajarlah mereka. Maka juga
diantara riuhnya jeritan ketakutan dan kesakitan dari mereka,
robohlah mereka semua Berhasil dengan serangan itu, Han in Taysu
lalu bergerak Cepat dan meluncurkan kedua tangannya berulang
ulang, untuk memadamkan sisa obor.
Ketika itu Giok Yauw dan Oey Eng masih menempur musuhnya
masing masing kedua pihak agaknya sangat tangguh. Lima belas
kali Giok Yauw menyerang, tapi selalu ia kena ditangkis.
Kedua pendeta dapat bertahan, tapi itu juga berarti bahwa
mereka menahan penyerbuan kewan kawan mereka sendiri.
sementara itu lubang tembok yang baru, yang disebabkan
terhajarnya lonceng yang mental balik akibat penolakan Han in
Taysu, telah menambah jalan masuk bagi kawanan pendeta.
Kesempatan itu tak mereka sia-siakan. Begitulah dua orang kepala
gundul tampak berlompat masuk dari lubang itu.
Penuturan kita ini agak lamban sedangkan kejadian sebenarnya
berlaku cepat sekali. Selagi kedua pendeta itu berlompat masuk Han
in berkata kepada Ban Liang: "Kalau jumlah musuh yang masuk
bertambah, keadaan akan menjadi hebat sekali..."
"Memang," berkata sijago tua, mengangguk "Sekarang kita
sudah repot, apa pula kalau jumlah musuh meningkat... It Tie
rupanya berniat keras membinasakan kita, tak nanti dia suka
menyerah kalah "
"Mungkin mereka menunda penyerbuan untuk sementara saja
dan akan dilanjutkan dengan yang terlebih hebat."
"Taysu benar. Apakah Taysu menerka It Tie akan merubah
siasat.”
“Entahlah, yang terang dia bersedia mengorbankan pendopo
besarnya ini.”
“Nampaknya demikian-"
"Mungkin mereka hendak menggunakan api" berkata Siauw Pek,
yang bertindak menghampiri. Karena mundurnya musuh tadi, ia
sempat kedalam dan sempat pula mendengar pembicaraan kedua
jago tua itu.
"Sulit kalau mereka benar-benar menggunakan api," kata Ban
Liang.
"Kalau sampai terjadi demikian, terpaksa kita harus
meninggalkan pendopo ini," kata Han In Taysu. "Kita terpaksa mesti
berkelahi mati-matian.”
“sekarang baiklah menanyakan pendapat Nona Hoan," kata
Siauw Pek.
"Sejak pertempuran dimulai, Nona Hoan terus duduk berdiam
saja," kata Ban Liang perlahan.
Siauw Pek heran, alisnya dikerutkan.
"Kenapa begitu? " tanyanya sepertipada dirisendiri.
"Nona itu telah terialu menggunakan otaknya, dia harus
beristirahat," berkata Han In Taysu. "Tadi siecu melayani kawa nan
pendeta itu, ilmu pedang siecu luar biasa sekali, belum pernah aku
menyaksikan sebelumnya. Aku kagum sekali"
"Taysu memuji saja," kata si anak muda merendah.
"Serbuan musuh hebat sekali, apakah siecu tak merasa terdesak?
"
"Kalau pertempuran berlarut beberapa lama lagi, mungkin aku
yang muda tak akan dapat bertahan..."
Pembicaraan mereka terhenti sampai disitu karena dari luar
terdengar suara keras dan mengancam^ "Diluar pendopo besar ini
telah ditumpuk banyak bahan bakar kering, asal kayu disulut maka
habislah ruangan ini, maka itu kau, tak peduli tubuhmu tubuh besi,
kamu akan hancur lebur juga. Tapi punco masih menaruh belas
kasihan, sekarang punco suka beri kesempatan kepada kamu. Akan
punco bunyikan lonceng hingga sepuluh kali, selewatnya itu, kalau
kamu masih tak mau keluar dari pendopo, nah, jangan kamu nanti
sesalkan punco kejam dan telengas"
Begitu suara pendeta itu berhenti, begitu terdengar suara
lonceng ditabuh satu kali. Ban Liang mementang matanya lebar
lebar, dia mengawasi Han in Taysu.
"Kelihatannya kita terpaksa mesti keluar dari sini," katanya.
Ketua Ngo Bie Pay balik mengawasi jago tua itu, sebelum dia
memberikan jawabannya. tiba tiba mereka mendengar suara yang
nyaring merdu ini: "Tak usah kita bela lagi pendopo besar ini. Mari
kita pergi keluar"
Itulah suara Soat Kun, yang tampak mendatangi dengan tenang,
sebelah tangannya tetap pada bahu adiknya.
"Nona sudah tersadar? " tanya Han in Taysu. Nona itu
mengangguk.
"Tak kusangka It Tie berani membakar pendoponya," berkata si
nona. "Jikalau mereka membakar dari empa tpenjuru, tak dapat kita
lolos lagi. Maka itu, sebelum mereka membakar kita harus
mendahuluinya meninggalkan pendopo ini."
"Tetapi, nona," berkata Han in Taysu, "barisan rahasia Lo Han
Tin liehay sekali, apabila kita keluar dari sini, pasti ditengah jalan
kita bakal kena terkurung tin itu..." Nona Hoan tetap bersikap
tenang.
"It Tie Taysu berlaku begini kejam, terpaksa kitapun jangan
berbelas kasihan lagi terhadapnya," sahutnya.
Ban Liang heran akan ketenangan si nona yang sejak tadi terus
berlaku sabar sekali. Ia tidak dapat menerka apa yang dipikirkan si
nona selama nona itu duduk diam saja. sekarang mendadak nona
itu mengajak mereka keluar.
"Nona, apakah nona telah mendapat jalan untuk keluar dari sini?
" tanyanya.
"Mulanya aku menyangsikan It Tie bersedia membakar
pendoponya ini," sahutsi nona. "Nyata terkaanku itu keliru.
Sekarang jalan kita cuma jalan keluar. Seperti baru saja kukatakan,
kitapun jangan main kasihan lagi."
"Jikalau kita sampai terkurung didalam Lo Han Tin, sangat sedikit
kesempatan buat kita lolos..." kata Han In Taysu.
"Jikalau mereka dapat menggunakan tin, kenapa kita tidak
melawannya? " tanya si nona.
"Bagaimana caranya itu, nona? " Han In Taysu tanya.
"Bukankah dibelakang pendopo besar itu terdapat sebuah rimba?
"
Han In danBan Liang saling mengawasi heran. Begitupun yang
lainnya. Tak pernah mereka perhatikan rimba yang disebutkan si
nona. Sedangkan si nona tak dapat melihat Soat Kun berkata pula:
"Jikalau ingatanku tidak keliru, dibelakang pendopo besar ini mesti
ada sebuah rimba, maka itu selekasnya kita meninggalkan pendopo,
mesti kita langsung menuju kerimba itu untuk masuk kedalamnya.”
“Kemudian? " Han In Taysu bertanya.
"Rimba itu pasti jauh lebih luas daripada pendopo ini, dengan
demikian, kalau kita melawan musuh, kita akan dapat bergerak lebih
leluasa. Kita dapat maju atau mundur sekehendak kita. Dilain pihak,
kita juga dapat melihat tegas kepada musuh, kepada gerakgeriknya,
hal mana memudahkan pertahanan kita.”
“Ada satu hal yang loolap tak dapat tak menjelaskannya...”
“Apakah itu, taysu? "
"Musuh banyak, kita sedikit, tak lazimnya kita melawan musuh
ditempat luas terbuka seperti itu..."
"Dengan berdiam di dalam pendopo yang terkurung rapat, kalau
It Tie membakar kita bagaimana kita dapat meloloskan diri? " Han
In Taysu berdiam. Lainnya pun sama.
Nona Hoan berkata pula, perlahan^ "Sekarang ini tidak ada lain
jalan. Kita meninggalkan tempat kematian buat mencari jalan hidup"
Ia berhenti sedetik, segera ia menambahkan^ "Sekarang ini sudah
tak ada tempo berbicara lagi dan berpikir lagi, maka itu kalau taysu
sekalian percaya kepadaku, marilah"
Siauw Pek tiba tiba teringat akan barisan bambu rahasia dari si
nona. Maka ia segera menjawab: "Nona, perintahkanlah"
Hoan Soat Kun kemudian berkata pula, terang, jelas: "Pada saat
menghadapi ancaman bahaya besar, jikalau kita ingin terhindar dari
ancaman, kita harus memusatkan pikiran kita, kita harus bersatu
padu. Maka itu, mulai dari bengcu sampai kepada para anggota dan
tamu semua mesti bulat tekadnya, jangan ada yang sangsi atau
bercuriga. Bagaimana pikiran taysu semua? Setujukah? Hanya
dengan cara ini barulah kita mempunyai harapan untuk dapat lolos
kejalan hidup"
Siauw Pek segera memperdengarkan suaranya pula. "Aku orang
she coh bersedia sebagai orang pertama yang akan mentaati
perintahmu, nona"
Melihat sikap ketuanya itu, Oey Eng, Ban Liang dan Kho Kong
segera turut memberikan suara mereka. Kata mereka: "Kami juga
akan mentaati titah nona Kami tak akan menyesal andaikata kami
harus menghadapi kematian. Kita memang harus saling membantu"
Han in Taysu batuk batuk. kemudian ia berkata: "Loolap bukan
orang Kim Too Bun Tapi Loolap telah ditolongi oleh kau, hal itu
membuat loolap amat berterima kasih. Sekarang kita menghadapi
bahaya bersama sama, orang luar atau bukan, bagiku sama saja.
Maka itu... nona, loolap bersedia akan mendengar kata katamu.
Loolap berCaCad kaki, tak dapat bergerak dengan leluasa, walaupun
demikian loolap masih dapat menggunakan kedua tanganku ini.
Nona, loolap sedla bertempur mati atau hidup"
"Taysu, tak usah taysu bicara begini" berkata Ban Liang, yang
telah menyaksikan bagaimana kehebatan silat tangan sipendeta tua.
Han in Taysu tidak menyambut suara Seng Su Pan, sebaliknya
dia berkata nyaring:
"Nona sekalian, jikalau benar kamu tidak menganggap diriku
sebagai bandulan bagimu, nah marilah loolap akan maju membuka
jalan." Pendeta ini berkata dan berbuat. Dengan kedua tangannya,
dia menarik dan menolak roda roda keretanya, untuk maju kepintu
pendopo Siauw Pek meluncurkan tangan kanannya mencegah
pendeta itu.
"Jangan sembrono, taysu" katanya. "Taysu kurang leluasa
bergerak. biarlah, aku yang muda jalan di muka" Dan ia mendahului
maju. Han In tidak memaksa, maka ia lalu mengikuti dalam
rombongan-Tiba diluar pendopo, kawan Kim Too Bun ini melihat
tumpukan kayu disekitar toatian-Siauw Pek mengernyitkan alisnya.
"Sungguh aku tak mengerti," pikirnya. "Kenapa seorang ketua
Siauw Lim Sie dapat bertindak begini rupa? "
Sementara berpikir begitu, ia berjalan terus diikuti
rombongannya.
Soat Kun tahu suasana diluar itu. Soat Gie tetap
memberitahukannya segala sesuatu.
"Nona Hoan," menyapa Ban Liang perlahan-"Memutar
kebelakang pendopo" Soat Kun mendahului sijago tua. "Dengan
kecepatan luar biasa menuju langsung kedalam rimba Setelah tiga
tombak didalam rimba kemudian berhenti."
"Sungguh hebat" pikir Seng Su Poan-"Sungguh cepat dan manis
kakak beradik ini berhubungan satu dengan lainnya "
Siauw Pek mendahului jalan mutar kebelakang pendopo.
pada saat itu, tiba-tiba Kho Kong ingat ciu ceng yang masih
dibiarkan didalam pendopo.
"Nona Hoan," katanya pada Soat Kun, perlahan, "apakah ciu
Tayhiap hendak diajak bersama? "
"Tak usah..." sahut sinona.
Belum habis nona itu menjawab, dari dalam toatian terdengar
suara nyaring. "Mereka memutar kebelakang pendopo "
Mendengar suara itu, suara dari musuh sebagai isyarat untuk
kawan-kawannya Soat Kun mengayun tangannya kebelakang,
melemparkan sesuatu atas mana segera terdengar suara letusan
yang dibarengi menyalanya sesuatu seperti kembang api, memencar
bundar empat atau lima kaki lebar, sedangkan diantara sinar api itu
tampak dua orang pendeta kelabakan sebab jubah mereka terbakar
letusan benda itu
Siauw Pek dan kawan-kawan melongo, tak terkecuali Ban Liang
dan Han in Taysu yang sangat banyak pengalamannya. Belum
pernah mereka menyaksikan senjata rahasia berapi semacam itu,
bahkan yang menggunakannya seorang nona tuna netra. Kedua
pendeta repot mencoba memadamkan api pada jubah mereka itu,
tetapi mereka menepuk nepuk dengan sia sia belaka, sang api tak
mudah dipadamkan, bahkan setiap kali ditepuk. apinya bertambah
berkobar. Maka itu habis daya, mereka menjatuhkan diri untuk
bergulingan ditanah. Kemudian si nona berkata pula, sungguh
sungguh: "Asal kita bisa keluar dari pendopo besar ini, It Tie tidak
bakal membakarnya, hingga keselamatan ciu ceng tak usah
dikhawatirkan lagi. Sekarang lekas menuju kedalam rimba "
Siauw Pek bertindak cepat. Dibelakang pendopo, ia melihat kayu
kayu bakar bertumpuk tinggi setombak lebih. Ia membulang
balingkan pedangnya, membabat bolak balik tumpukan kayu itu
untuk membuka jalan, guna dilintasinya. Dengan begitu terbukalah
sebuah jalan lima kaki lebar, yang terus dilaluinya.
"Sungguh malu" berkata sianak muda didalam hati. "Nona Hoan
buta kedua matanya tetapi dia toh tahu dibelakang pendopo ini ada
rimbanya"
Pemuda ini berpikir demikian karena selewatnya rintangan
tumpukan kayu, matanya segera melihat sebuah rimba bagaikan
menghadang perjalanan maju mereka. Tanpa ayal lagi ia lari kearah
rimba itu.
Kembali terdengar suara sinona, sekarang nyaring: "Jarak
pendopo besar dengan rimba, ada belasan tombak. ditengah-tengah
rimba itu mungkin musuh mengatur jebakan, karena itu berhati
hatilah"
Kembali Siauw Pek kagum. Jarak yang disebutkan sinona
memang tepat, yaitu belasan tombak dari toatian kerimba itu. Tapi
tak mau ia memikirkan itu, segera ia berkata^ "Aku akan membuka
jalan. Ban Loocianpwee, tolonglah menjaga sebelah kiri Nona Thio,
kau menjaga disebelah kanan Saudara-saudara Oey dan Kho, kalian
berdua memotong dibelakang Han In Taysu bersama nona berdua
mengambil tempat ditengah-tengah"
Ban Liang dan Thio Giok Yauw menyahuti, segera keduanya
memecah diri kekiri dan kanan-Oey Eng dan Kho Kong merendak
sebentar, untuk memernahkan diri dibelakang.
Segera setelah mengatur itu, Siauw Pek bergerak kearah rimba.
Baru melalui kira kira setengah perjalanan Siauw Pek dan kawan
kawan melihat munculnya cahaya api diempat penjuru api dari
belasan batang obor. Dan diantara sinar api itu, tampak
bermunculan dari empat penjuru sejumlah pendeta yang terus
mengambil sikap mengurung Han In Taysu berjalan dengan kereta
tak dapat dia berjalan cepat. Ini pula sebabnya kenapa Siauw Pek
dan lainnya tidak bisa berlari lari. Karenanya terpaksa sianak muda
menghentikan tindakannya.
Diwaktu gelap seperti itu, para pendeta tak tampak jelas, apa
pula jubah mereka berwarna abu abu gelap. Tadi itu, mereka
bersembunyi sambil mendekam ditanah, lalu mereka bangkit.
Melihat jumlah kawan puluhan jiwa, Han in Taysu berkata cepat,
"Sebelum mereka membangun Lo Han Tin, lekas kita menyerbunya”
“Jangan bingung," berseru Soat Kun. Jangan sibuk"
"Lo Han Tin sangat liehay, nona," Han in memperingatkan,
"Semenjak dahulu, belum pernah ada orang lolos dari dalam tin itu"
"Aku tahu" sahut sinona. "Andaikata mereka sempat mereka
membangun Lo Han Tin, tak nanti mereka sanggup mengurung kita
sedikitnya mereka harus sudah insyaf."
Han in bungkam tetapi didalam hati ia berkata^ "Tak mungkin
nona." Segera juga tujuh pendeta telah menghadang.
Siauw Pek memandang tajam, hatinya berpikir keras^ "Tak dapat
tidak, terpaksa aku harus memperlihatkan contoh kepada mereka
ini. Atau didalam pertempuran, kedua belah pihak bakal mengalami
kerusakan. Bagi kita, kerusakan itu berarti kerugian besar dan
celaka..." Maka lekas lekas ia menyimpan pedangnya ke dalam
sarung, kemudian tangan kanannya terus meraba goloknya. Ia
segera berkata kepada pendeta itu: "Para Taysu, kamu waspadalah"
Suaranya itu sangat dingin, tak sadar untuk telinga lawan-
Ketujuh pendeta itu heran-Memang selama pertempuran dimuka
pendopo, mereka sudah menyaksikan ketangguhan anak muda ini.
Sekarang mereka heran melihat sianak muda menukar pedang
dengan golok mereka mengawasi mendelong. Para pendeta lainnya
turut mengawasi juga dengan tajam.
Siauw Pek tidak mau memberi kesempatan kepada sekalian
pendeta itu. Dengan sama dinginnya, bahkan berpengaruh sekali, ia
berkata keras: "sekarang perhatikan oleh kamu bertujuh orang. Aku
hendak membinasakan salah satu dari kamu orang yang ditengah "
Tak seharusnya menyerang orang, orang menyebut dahulu jelasjelas
siapa yang hendak diserang itu. cara itu berarti memberi
kesempatan lawan bersiaga, untuk melawan atau lari. Tapi sianak
muda telah melakukan itu. Itulah perbuatan yang sangat langka.
Para pendeta itu heran, hingga mereka melengak.
Tak terkecuali juga Han In Taysu. Ketua Ngo Bie Pay ini
tercengang saking herannya, hingga dia mendelong mengawasi
sianak muda.
Sedetik itu sunyilah keadaan dimedan pertempuran itu.
Walaupun demikian, semua pendeta diempat penjuru sama
waspada.
Selagi keadaan sunyi itu, Siauw Pek memperdengarkan suaranya
yang keren: "Apakah kamu semua sudah siap sedia? "
Para pendeta telah bersiap, terutama yang ditengah itu, yang
ditunjuk si anak muda. Dia memasang mata, dia menyiapkan
goloknya didepan dada. "Pinceng sudah sedia." akhirnya dia berkata
perlahan-Enam orang pendeta lainnya bersiap untuk melindungi
atau membantu kawannya itu.
Siauw Pek memperlihatkan wajah dingin yang menyeramkan.
Sekali lagi ia memperdengarkan suaranya yang keren: "Nah,
waspadalah "
Menyusul peringatannya itu, Siauw Pek menghunus goloknya dan
membacok. Ia tidak menghiraukan jarak yang memisahkan ia dari
sipendeta.
Secepat sinar putih dari golok berkelebat, terdengar sipendeta
menjerit menyayatkan hati, tubuhnya terus roboh bermandikan
darah. Tubuh itu tertabas kutung menjadi dua potong. Sia-sia
belaka keenam pendeta lainnya bersiap sedia, tak sempat mereka
melindungi kawannya itu. Mereka terlalu lambat untuk
berkelebatnya Toan Hun It Too golok ampuh dari Siang Go. Ketika
kemudian semua mata pendeta mengawasi si anak muda, dia
terlihat berdiri diam dengan tenang ditempat asalnya saja. Maka
kembali semua orang tercengang. Hingga sangat sunyilah suasana
disekitar mereka.
Siauw Pek menanti sebentar, lalu terdengar pula suaranya yang
dingin: "Sekarang aku hendak menyerang satu diantara kamu
berenam, aku maksudkan yang berdiri paling kanan sana. Maka
berhati hatilah kamu"
Segera setelah suaranya itu, bengcu dari Kim Too Bun
mengangkat tangannya dan menyerang. Keenam pendeta itu telah
siap sedia, sekarang mereka dapat menggerakkan senjata masingmasing
guna menangkis Hoan Uh It Too Golok Tunggal Jagat.
Karena itu, berisiklah suara bentrokan pelbagai alat senjata mereka
menentang golok istimewa itu.
Tapi cuma sekejap saja suara berisik itu, lalu diakhiri dengan
jeritan yang menyayatkan hati seperti semula tadi. Sebab pendeta
yang paling kanan itu roboh dengan tubuh menjadi dua potong
seperti rekannya tadi, menggeletak ditanah dengan berlumuran
darah Dan Siauw Pek. si anak muda, berdiri tegak tetap
ditempatnya. Semua pendeta melengak. mata mereka berkedapkedip.
Sampai disitu, Siauw Pek lalu berseru nyaring: "Matilah dia siapa
berani menentang aku" Dan ia bertindak maju untuk membuka
jalan.
Rombongan Kim Too Bun segera bergerak, menuju kearah rimba.
Mereka berjalan tanpa rintangan, bagaikan didepan mereka tak ada
satu orang musuh jua Barulah sesudah orang masuk kedalam rimba
terdengar suara para pendeta itu: "Lekas Lekas pegat mereka"
Tentu saja tindakan mereka itu sudah kasip. meski benar ada
enam atau tujuh pendeta yang sadar segera dan terus lari mengejar
Thio Giok Yauw menoleh kebelakang, tangannya diayun. Ia
menggunakan jarumnya.
Pendeta-pendeta itu kaget melihat benda halus berkeredepan,
mereka memencari diri guna menolong jiwa mereka masing masing.
Siauw Pek yang jalan dimuka mendadak memutar tubuh, untuk
lari kebelakang. "Nona, lekas memasuki rimba" ia berseru kepada
Nona Thio.
Giok Yauw meng insaft keliehayan sianak muda, ia mendengar
kata. Tapi dasar sibocah nakal, sambil berjalan pergi, ia tertawa dan
berkata: "Kawan kepala gundul sangat takut kepadamu, pergi kau
gertak mereka"
Siauw Pek tidak menggubris nona itu, sebaliknya ia bertindak
keluar rimba. "Siapa tidak takut mampus? " bentaknya. "Mari maju"
Habis menyingkir dari jarum Giok Yauw, para pendeta sudah
berkumpul pula, niatnya untuk melanjutkan pengejaran mereka
kedalam rimba, siapa tahu sekarang mereka dihadang sianak muda
yang ditakuti itu. Dengan serempak mereka menghentikan tindakan
kaki mereka, semua mengangkat kepala, mengawasi anak muda itu.
Siauw Pek berdiri tegak dengan tangan kanan pada gagang
goloknya, matanya mengawasi musuh, sedangkan semua musuh
melongo mengawasinya. Ban Liang mengawasi suasana tegang dan
sunyi itu, ia menghela napas. "Aku rasa tak ada jago Bu Lim lainnya
seperti pemuda ini..." katanya perlahan.
"Memang" kata Han In Taysu. "sudah ilmu silatnya demikian
liehay, goloknya begini ampuh. Mungkin dialah yang bakal
menghindar kaum Rimba Persilatan dari bencana besar. Ketika baru
saja loolap melihat cara ia menghunus golok, loolap menjadi ingat
satu orang..."
"Siapakah orang itu? " Ban Liang tanya.
"Pa To Siang Go, yang kaum Rimba Persilatan menyebutnya
Hoan Uh It Too."
Mendengar jawaban itu, Ban Liang tersenyum "Setelah sekarang
ini, baiklah aku tak usah mendustai kau lebih lama lagi, taysu,"
katanya.
Han In Taysu heran, hingga dia memandang melongo. "Apakah
katamu siecu? " dia menegaskan.
"Kecuali Thian Kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go," menyahut
jago tua itu, "siapa lagi dikolong langit ini yang sanggup bertahan
dari kawanan pendeta Siauw Lim Sie ini, yang cara menyerbunya
bergelombang? Siapakah lagi yang didalam pertempuran dapat
membinasakan lawan dengan menunjuk bakal korbannya sekali? "
Han In Taysu melengak pula, dia mengawasi tajam.
"Jadi menurut kau, siecu, pemuda ini seorang diri memiliki
kepandaian merangkap yang istimewa itu? " dia tanya, matanya
mengimplang. Ban Liang mengangguk.
"Tidak salah Dialah ahli waris Thian Kiam dan Pa Too"
"Melihat kepandaiannya, tak mau loolap menyangka," berkata
ketua Ngo Bie Pay itu, masih ragu ragu. "Tapi, menurut apa yang
loolap tahu, sudah lama Thian Kiam dan Pa Too tidak pernah
memperlihatkan diri lagi, bahkan semenjak mereka
menyembunyikan diri diseberang Seng Su Klo, orang tak tahu lagi
mereka masih hidup atau sudah mati. Mungkinkah pemuda ini
berhasil melintasi jembatan maut itu hingga ia memperoleh
kepandaian ini dan kemudian berhasil pula menyeberang kembali
melalui jembatan itu? "
Kembali Ban Liang mengangguk.
"Taysu, tahukah kau siapa pemuda kita ini? " tanyanya selang
sesaat. Pendeta tua ini menggelengkan kepalanya. "Loolap tidak
tahu."
"Ketika dahulu empat ketua dari empat partai besar berkumpul di
Pek Ma San dimana mereka menemui ajalnya secara hebat dan
menyedihkan, setelah itu ada seorang lain yang menjadi sasaran
pembalawan karena kebinasaan mereka itu. Bukankah sasaran itu
ialah pihak Pek Ho Bun sekeluarga atau seluruh anggota partai? "
"Memang telah loolap pikir," berkata Han In Taysu, "bahwa
setelah peristiwa itu, bakal muncul ekor yang hebat, yang
mendatangkan rasa penasaran sekali..."
"Benar. Dan ratusan jiwa orang Pek Ho Bun telah jadi kambingkambing
kurban itu..."
"Ban Hu hoat" tiba-tiba terdengar suara Nona Hoan.
"Loohu disini, nona" sahut sijago tua, sang hu hoat, pelindung
hukum.
"Mungkin hu hoat mengetahui hal rimba ini," berkata si nona.
"Rimba ini tidak terlalu lebat, tapi juga didalam sini tidak ada tempat
terbuka yang lebih daripada lima kaki luasnya, maka itu, walaupun
Lo Han Tin Siauw Lim Sie lihay, aku percaya tak nanti It Tie mampu
membangun tinnya itu disini..."
"Itulah benar, siecu" Han In Taysu mendahului sijago tua
menjawab. "cuma, selagi Siauw Lim Sie tidak mampu membangun
tinnya disini, kita juga tidak dapat mengatur tin sendiri Maka itu,
bukankah kita sama tak berdayanya? "
"Tapi tinku lain, taysu," berkata soat Kun "Tinku justru dapat
menggunakan rimba lebat ini. Selain tidak membahayakan, justru
kehebatannya ini menambah kegaiban tinku." Han In Taysu
melengak. Dia heran sekali.
"Ah, tin apakah ini? " ia tanya diri sendiri.
"Diantara kalian, tuan tuan, mungkin ada yang kurang percaya
akan kata kataku," berkata pula si nona kemudian-"Akan tetapi, asal
saja kalian suka menuruti segala petunjukku, aku tanggung pastilah
tidak akan salah"
Han In Taysu berpikir. "Mungkinkah nona ini cerdik luar biasa?
Baiklah aku dengar kata katanya."
Tengah ketua Ngo Bie Pay berpikir itu, telinganya mendengar
bentakan dari kemurkaan: "Sambutlah golokku ini" Dan menyusul
itu, menjeritlah seorang pendeta, yang tubuhnya roboh ditanah.
Itulah suara keren dari Siauw Pek, yang menggunakan goloknya
saking terpaksa sebab seorang pendeta merangsak kepadanya,
membuatnya gusar sekali.
Lalu terdengar suara Nona Hoan: "Sekarang ini, tuan tuan, tak
sempat aku menjelaskan banyak banyak. waktu sudah tidak ada.
Marilah mengatur diri, untuk mendengar kata kataku."
Kembali Han In kata dalam hatinya "Inilah yang belum pernah
aku alami..."
Tepat waktu itu diluar rimba terdengar puji suci yang tinggi
nadanya, lalu belasan pendeta merangsak kepada Siauw Pek,
agaknya mereka itu tidak kenal mati.
Sianak muda heran. Tak mengerti ia akan puji itu. Ia hanya
menerka, mungkin itu tanda "berani mati" guna membangunkan
semangat, buat bertempur mati atau hidup, Bukankah beberapa
orang pendeta sudah mati konyol? Tak mungkinkah kawankawannya
hendak memba secara membabi buta?
Tapi dia didesak lagi. Bagi Siauw Pek tak ada pilihan lain-"Kamu
terlalu, baiklah" serunya. Maka ia menyambut pendeta yang
pertama.
"Aduh" teriak pendeta itu, yang terus roboh tanpa nyawa. Golok
ampuh telah menabas kutung tubuhnya Menyaksikan itu, para
pendeta lainnya merendak. Kembali mereka melihat hebatnya golok
itu, yang tak dapat dilawan, yang tak pernah memberi keringananSementara
itu Siauw Pek menyimpan goloknya, buat berganti
menghunus pedang.
"Para suhu" ia berseru, "tak ingin aku melukai atau membunuh
orang, tetapi aku terpaksa dibuatnya. Sekarang aku beritahukan
kepadamu kapan kamu masih tetap mendesak padaku,
pembunuhan pembunuhan lagi"
Para pendeta itu gusar beserta takut. Bukankah telah beberapa
saudaranya terbinasakan? Tapi mendengar suara sianak muda,
mereka dapat berpikir Memang benar pihak merekalah yang
mendesak terus terusan, yang membuat orang nekad.
"Kalau dia mogok, kemana perannya jikalau dia tak pernah
membunuh? " demikian mereka menimbang.
Karena ini, berhentilah puji mereka itu Siauw Pek sementara itu
mengawasi musuh sambil ia berpikir.
"Didalam pendopo, walaupun kita terkurung, ada juga
rintangannya, yaitu pintu dan tembok." demikian pikirny a. "Disini
ditempat terbuka, kalau mereka datang dari segala arah, sulit untuk
menolong mereka itu. Untuk membela diri mau tak mau, aku toh
mesti mengandalkan golok."
Tepat waktu itu terdengarlah suara Soat Kun: "Jangan
membunuh lebih banyak orang lagi Lekas mundur"
Mendengar itu Siauw Pek menurut. la memang mengerti keadaan
dan mengenalnya juga dirinya sendiri. Semenjak tadi sudah terlalu
lama ia bertempur, maka juga , perlu ia beristirahat, guna
memelhara dirinya.
Selekasnya sianak muda mundur, musuh merangsak. hanya
didalam rimba yang lebat itu, mereka tak dapat berombongan,
mereka mesti berpencar.
Setelah mundur enam tombak. Siauw oek dapat berkumpul
bersama kedua Nona Hoan-Ia melihat Ban Liang, Oey Eng, Kho
Kong dan Giok Yauw bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar,
sedangkan Han In Taysu bersama keretanya menempatkan diri
dibelakang sebuah pohon lainnya. Kedudukan mereka itu
merupakan separuhnya sebuah bundaran-Kedua Nona Hoan
berdiam ditengah tengah sekali.
Biar bagaimana, Siauw Pek tidak melihat bahwa itulah sebuah
tin- Ia heran-"Bengcu," terdengar suara Nona Hoan, perlahan,
"silakan bersama kami berdua saudara mengambil tempat
kedudukan tengah ini guna menyambut yang lainnya."
cuaca waktu itu suram. Awan tebalpun menutupi sang putri
malam, yang telah mulai muncul. Tanpa terasa sang malam telah
tiba.
"Bagaimana dengan kepandaian bengcu menggunakan senjata
rahasia? " Soat Kun kemudian bertanya. Selalu ia bicara bagalkan
berbisik.
"Buruk" sipemuda mengakui.
"Kalau begitu, coba cengcu menggeser kekiri tiga tindak." minta
sinona. "Disitu ada setumpuk batu, ambillah sedikit, buat disimpan
di dalam saku baju, guna dipakai merintangi musuh Mereka harus
dicegah datang mendekati sambil membawa obor dengan begitu
malam ini tak akan mereka menyerbu pula."
"Mereka cuma mengurung kita, mungkin mereka sedang
menantikan sang siang untuk melanjutkan pengepungannya . "
"Benar. Akupun membutuhkan waktu ketenangan lagi satu atau
dua jam saja."
siauw pek percaya sinona, ia tak mau bicara lagi. Ia bertindak
kekiri dimana benar terdapat banyak batu kecil. Ia menjadi sangat
kagum.
"Nona ini tidak dapat melihat tetapi ketelitiannya luar biasa. Dia
memikir apa yang orang ia tak ingat." Demikian pikirnya.
Kemudian terdengar Soat Kun berkata pula^ "Asal Hong Thian
membantu kita, asal awan tetap mendung lagi satu jam, itulah
sudah cukup,"
Kembali siauw Pek kagum. Sinonapun tahu cuaca gelap itu dan
telah mengharapi bantuan Hong Thian Tuhan Yang Maha Kuasa.
Baru saja berhenti suara sinona, tiba tiba sinar api berkelebat.
Itulah dua batang obor yang ditimpukkan masuk.
siauw Pek waspada dan sebat sekali. Segera ia menimpuk
dengan kedua belah tangannya, memadamkan api obor itu. Ia
bukan ahli senjata rahasia tetapi timpukannya tepat. Api padam
seketika^
Segera terdengar suara sinona^ "Pada saat ini didetik ini, biar
bagaimanapun, tak boleh musuh diizinkan menyerbu masuk"
"jangan khawatir, nona" Siauw Pek memberikan perkataannya.
Nona Hoan tidak mengatakan sesuatu lagi.
siauw Pek tahu, nona itu sedang mengasah otaknya dan bekerja.
Dengan dibantu adiknya si nona lalu jalan berputaran disitu.
cuaca makin gelap. angin malampun menggoyang-goyangkan
cabang-cabang pohon hingga menerbitkan suara berisik halus.
Sukar untuk melihat jelas keliling.
Didalam gelap dan sunyi itu, kecuali suara sang angin, mendadak
terdengar dua kali suara tertahan. Itulah suara bentroknya dua
buah tangan, yang mengakibatkan salah satu pihak terlukakan.
Menyusul itu dari tempat terpisah beberapa tombak terdengar
perintah: "Lekas nyalakan api "
siauw Pek terperanjat. Ia mengenali suara It Tie Taysu, ketua
siauw Lim Sie. Maka ia lalu berpikir: "Untuk mencegah penyerangan
musuh, kelihatannya perlu aku melakukan atau merobohkan
pendeta ini. Tanpa dia, para pendeta pasti tak akan berlaku mati
matian-.."
Selagi ketua Kim Too Bun ini berpikir itu, cahaya api telah
tampak. Itulah apinya empat buah obor, yang terpencar diempat
penjuru, jaraknya satu dengan lain kira2 setombak lebih Dengan
adanya sinar api itu maka tampaklah Soat Kun, sambil memegangi
pundak adiknya tengah berjalan berputaran sejauh dua tombak.
Dengan sebat Siauw Pek menggerakkan pula kedua tangannya,
melontarkan batu-batu yang digenggamnya, kearah dua buah obor
Kali ini ia gagal memadamkan api itu. sebabnya ialah, dua batang
golok telah dipakai menghajar, merintangi batu itu.
Terangnya api membangunkan semangat para pendeta yang
berpencar diempat penjuru. Terangnya api membuat mereka dapat
melihat pihak lawan, dalam hal ini, nona nona she Hoan itu. Dengan
selalu berlindung diantara pepohonan, mereka itu mencoba maju,
guna mendekati kedua nona.
soat Kun masih tetap jalan memutari tempat lingkungannya itu,
cepat jalannya. Para pendeta heran-Biar begitu, mereka itu terus
maju.
Pihaknya siauw Pek juga tak dapat menerka maksud Nona Hoan,
tapi mereka juga tidak berani bertanya apa apa, mereka cuma
waspada.
Han In Taysu sementara itu memperhatikan keempat buah obor,
yang cahaya terangnya merugikan pihaknya dan sangat
menguntungkan musuh. Ia menginsafi ancaman petaka sebab pihak
Siauw Lim Sie tak dapat dipandang ringan, baik jumlah maupun
kepandaiannya. Musuh makin mendekati. Itulah berbahaya. Maka
pada akhirnya, ia tak dapat tahan sabar lagi.
"Api obor itu mesti dipadamkan" katanya kemudian-"Siapa yang
sudi maju bersama aku untuk menerjang musuh? " sambungnya
lagi.
Walaupun ia berkata demikian, Tapi mata sipendeta diarahkan
kepada coh siauw Pek.
Anak muda itu juga menginsafi ancaman bencana itu. Dari pada
menanti sampai kena dikurung lebih baik musuh dihadang dahulu.
"Suka ku mengikuti loocianpwee" ia menjawab Han in Taysu.
"Tetapi lebih dahulu Nona Hoan harus diberitahukan"
"Ya, memang kita harus menanyakan nona itu dahulu," Han
Inpun bilang.
siauw Pek segera mendekati Soat Kun, dengan perlahan ia
berkata: "Nona, musuh telah merangsak mendekati kita, niatnya
mau mengurung, karena itu aku memikir bersama Han In Taysu
untuk menyambut mereka, guna merintanginya. Bagaimana pikiran
nona? "
Tidak ada jawaban dari si nona. Entah ia tidak mendengar atau
sengaja ia membungkam. Ia tetap berdiam walaupun si anak muda
telah mengulangi kata katanya.
Sementara itu dilain pihak, Thio Giok Yauw sudah bentrok
dengan musuh. Tak dapat ia mengendalikan diri menyaksikan
musuh mendesak maju, walaupun hanya setindak demi setindak.
Begitulah sambil membentak. ia menimpuk dengan jarumnya, Dua
orang pendeta kena terhajar senjata rahasia yang halus itu,
walaupun sebenarnya mereka telah mendengar suara si nona. Inilah
sebab mereka kalah sebat. Karena itu, mereka lalu mundur. Tapi,
dua orang mundur, empat yang lain telah pula menggantikannya.
Han In Taysu menyakslkan kejadian itu, mendadak dengan
tangan kanannya ia menepuk sebuah pohon sambil berkata keras:
"Kita tak dapat menanti lagi" lalu, dengan satu gerakan keras, ia
menggelindingkan keretanya maju. Luar biasa ketua Ngo Bie Pay ini.
Dengan kecekatannya, ia berhasil membuat keretanya berjalan
diantara pohon pohon kayu itu. Kalau perlu, dengan menyambar
pohon, ia bisa membikin keretanya berhenti dengan tiba-tiba.
Secara begini ia telah mendekati musuh hingga sejarak satu
tombak.
Ketika ia menghentikan keretanya, tangan kirinya memegang
sebuah pohon-Seorang pendeta, yang bertubuh tinggi besar, heran
mengawasi pendeta yang bercacat itu. Ia tidak merasa jeri karena ia
mendapat kenyataan bahwa sipendeta tua bercacat kedua kakinya,
bahkan ia segera berlompat maju, untuk menyerang dengan
tongkatnya. Itulah hajaran kematian, yang dari atas turun kebawah
Han In Taysu berkelit dengan tangan kirinya menolak pohon yang
tadi ia pegangi, di lain pihak. dengan tangan kanan, ia menyambar
pohon lain disisinya, guna menahan meluncurnya keretanya Lalu,
dengan sangat sebat, dengan tangan kiri, ia membalas menyerang
dalam rupa bacokan tangan Hebat serangan sipendeta Siauw Lim
Sie, lengannya turun mengikuti ujung tongkatnya.
Justru selagi lengannya turun tak sempat diangkat naik, tibalah
bacokan tangan lawannya. Tidak ampun lagi... lengan kanan itu
terhajar patah.
Tidak cukup dengan bacokan tangan itu, selagi musuh kaget dan
kesakitan, Han In meluncurkan tangan kanannya, untuk menyambar
dada orang. Ia meninju tepat. Musuh itu menjerit keras, tubuhnya
tertolak mundur, roboh terjengkang kebelakang, terbanting di
tanah, tongkatnya terlepas jatuh.
Gerakan Han In Taysu itu dilakukan dengan tubuhnya terangkat
dari keretanya, maka juga , habis menyerang itu, tubuhnya terpisah
dari kereta itu. Maka waktu tubuhnya turun, ia turun terus ketanah
dimana ia terus duduk numprah.
Ketika itu muncul empat orang pendeta lainnya. Mereka itu
melihat kawannya roboh, tanpa ayal lagi, mereka segera menyerang
ketua Ngo Bie Pay itu. Mereka maju dari kiri dan kanan-Melihat
datangnya musuh, dengan cepat Han In Taysu memungut tongkat
lawannya tadi,
selekasnya serangan tiba, ia menggunakan tongkat itu untuk
menangkis berputar, dari kiri terus kekanan.
Keempat lawan itu berlompat mundur.
Melihat musuh mundur, Han In menimpuk dengan tongkat di
tangannya itu. Ia mengarah lawan yang kedua dari kiri. lawan ini
tidak menyangka bakal diserang secara demikian rupa, tak sempat
dia menangkis atau berkelit, tahu tahu perutnya telah ditembus
ujung tongkat, hingga dua cuma bisa menjerit satu kali, terus dia
roboh dan binasa.
Habis menimpuk itu, dengan kedua tangan Han In menekan
tanah, sambil menekan iapun menggerakkan tubuhnya, untuk
dilambungi kearah kedua musuh yang di kanan, untuk melewatinya.
Ketiga pendeta itu kaget bercampur gusar, maka mereka
mengepung si cacad ini. Tetapi waktu itu, Siauw Pek keburu tiba.
Dan sianak muda segera menikam musuh yang kedua dikiri.
Pendeta itu berani, dia menangkis dengan goloknya.
Siauw Pek menarik kembali pedangnya itu, untuk terus
diluncurkan kepada musuh lainnya. Ia bergerak sebat dan lincah
seperti biasa.
Ketiga musuh itu menjadi jeri. Mereka mengenali anak muda
yang liehay ini.
Ketika itu tiba tiba terdengar suatu suara yang bengis. "Kamu
jangan mundur. Kau lihat pemuda itu, jangan kasih dia kesempatan
untuk menolong kawan kawannya. Jangan mundur walaupun kamu
bakal mati"
Suara itu bengis dan dingin, bernada kejam. Tidak mungkin itu
dikeluarkan oleh seorang pendeta. Tapi itulah suara It Tie Taysu,
ketua Siauw Lim Sie. Mendengar perintah itu, ketiga pendeta batal
mengundurkan diri, sebaliknya dengan nekad mereka merangsak
Siauw Pek.
Siauw Pek melayani ketiga musuh itu, sambil berkelahi, ia melirik
kearah Han In Taysu Pendeta itu sudah bertempur pula, bahkan dia
dikepung oleh empat orang musuh. Karena ia tak duduk diatas
keretanya, dia tetap numprak di tanah. Untuk menghalangi musuh
datang dekat, saban saban dia menggunakan pukulan angin
menyerang kepada musuh musuhnya itu.
"Walaupun dia liehay, tak dapat dia dikepung terus terusan," pikir
ketua Kim Too Bun itu. "Lama lama dia bisa kehabisan tenaga.
Dialah seorang penting bagiku, tak dapat dia dibiarkan bercelaka,
aku harus membantunya"
Begitu berpikir, begitu Siauw Pek mengambil keputusan. Segera
dia itu mengurung ketiga lawannya dengan sinar pedangnya,
sehingga lekas sekali mata mereka itu berkunang kunang tapi
mereka ini mau mentaati perintah ketua mereka, masih mereka
mencoba bertahan-.. Ada kalanya mereka memejamkan mata, buat
terima binasa, sebab ujung pedang mengancam hebat dan mereka
tidak berdaya menghindari diri. Tetapi nyatanya mereka tidak
terlukakan mereka heran-Tentu saja mereka tidak tahu bahwa
memang demikianlah sifatnya Pedang Maha kasih, yang tak biasa
merampas jiwa.
Selagi tetap dikepung itu, hati Siauw Pek menjadi tegang sendiri.
Disamping ia menyaksikan Han In Taysu terus dikurung, sejumlah
pendeta lainnya tengah menghampiri kedua Nona Hoan-itulah
berbahaya Bagaimana ia harus memecah diri untuk memberikan
bantuannya?
Habis juga kesabarannya pemuda ini, wajahnya berubah menjadi
merah padam. Segera ia meraba gagang goloknya. Tadi ia maju
bersama Han in Taysu guna memadamkan obor, siapa tahu, mereka
jadi kena dikurung oleh lawan lawan yang bandel itu.
Sesudah mengurung musuh musuhnya, yang tak mau mundur,
Siauw Pek mundur sendirinya tetap sambil mundur, ia berkata
bengis:
"Ketiga suhu, kamu terlalu. Kenapa kamu mendesakku begini
rupa? Baiklah, kamu membuat aku habis daya"
Kata kata itu ditutup dibarengi menyerang dengan hunusan golok
ampuh. Maka menjeritlah pendeta yang di tengah. Kepalanya
terpisah dari tubuhnya Tubuhnya dan kepalanya itu jatuh terbanting
keras. Sisa kedua musuh lainnya jadi tercengang. Tidak mereka lihat
bagaimana bergeraknya golok musuh. Ketika mereka menatap si
anak muda, dia itu tengah berdiam, pedangnya di tangan kiri,
tangan kanannya digagang golok. Mereka heran, tak tahu mereka
musuh menggunakan pedang atau goloknya itu...
"Mundur" kemudian Siauw Pek berseru bengis. "celakalah siapa
menentang ku" Lalu dia bertindak maju.
Tanpa merasa kedua pendeta itu membuka jalan kekiri dan
kekanan, baru setelah sianak muda lewat, mereka bagaikan
tersadar, segera mereka lari menyusul Rupanya mereka ingat pesan
ketua guna melibat anak muda itu...
Siauw Pek tahu orang menyusulnya, ia tidak ambil pusing. Ia
maju terus kearah Han in taysu yang masih dikurung keempat
pendeta itu, timbullah hawa amarahnya.
"Kamu terlalu..." teriaknya. "Kamu sangat menghina orang
bercacad. Bagaimana hina akan mengepung cara begini kepada
seorang yang tak berdaya? Nah kamu lihatlah golokku." Kali ini anak
muda membuktikan kata katanya itu, tanpa memberikan ancaman
pula, Ia segera menghunus goloknya. Maka robohlah Salah seorang
pendeta, dengan tubuhnya terkutung dua. Ketiga pendeta lainnya
kaget. Justru itu dua diantaranya memperdengarkan jeritan
tertahan. Selagi mereka berdiam itu, pukulan anginnya Han In
Taysu telah tiba kepada tubuh mereka hingga selain nyeri, mereka
itu terpukul mundur dengan limbung.
Pendeta yang ketiga itu masih berdiri menjublak. inilah
disebabkan kesangsiannya untuk mundur teratur. Ia takut kepada
ancaman ketuanya, yang menugaskan mereka mengurung dan
membekuk lawan-Justru ia berdiam saja, Han in Taysu sudah
menyerang pula kepadanya. Tanpa ampun, ia menjerit tertahan,
tubuhnya terpelanting, roboh terguling seperti kedua kawannya
terdahulu Tapi dia masih sadar terus dia rebah saja. Dia tahu, maju
salah, mundurpun salah, maka paling benar, jalan rebah diam saja.
Han In heran orang roboh dengan tak bergerak bangun pula. Ia
tahu, serangannya barusan bukan serangan kematian. Tapi ialah
seorang cerdas, segera ia menduga kepada sebabnya itu. Rupanya
ketiga pendeta sengaja tidak bangkit pula, supaya mereka tak usah
dimata ketua mereka.
"Mungkin mereka ini sudah mulai mencurigai ketua mereka? "
ketua Ngo Bie Pay itu berpikir lebih jauh. "Kalau benar, ancaman
bahaya untuk kita pastilah akan berkurang..."
Berpikir demikian, pendeta ini tersenyum, Terus ia bergerak pula.
Dengan kedua tangannya dia menekan tanah, untuk melompat
mengapungkan diri guna menghampiri sebuah bara api menyala
yaitu obor. Hanya dengan satu kali sampok. padamlah nyala api itu.
Siauw Pek dapat melihat gerak gerik pendeta tua, ia menjadi
kagum. "Dasar jago asli" katanya didalam hati. "Dia cacad begini
tetapi tetap liehay dan semangatnya berkobar terus. Karena itu aku
coh Siauw Pek, yang mengandung dendam kesumat hebat, apakah
aku harus takut mati? "
oleh karena berpikir demikian, anak muda ini segera maju
kedepan. Justru itu ia mendengar suara Han In Taysu. "Pendetapendeta
Siauw Lim sie itu sudah bosan berkelahi, jangan siecu
terlalu banyak membinasakannya, nanti membangkitkan kenekadan
mereka hingga mereka tak segan mengadu jiwa."
Siauw Pek melengak. Kembali ia berpikir^ "Memang kalau
mereka semua nekad, sulit untuk melayaninya..."
Tak sempat pemuda ini berpikir lama. Dari kiri dan kanan tiba
serangan berbareng. la menangkis yang dikiri sambil berkelit dari
yang dikanan, serentak dengan itu ia lompat melewati mereka.
Hanya sampai disitu, kedua pendeta itu tidak menyusul lebih jauh.
Maju sedikit lebih jauh, Siauw Pek mendekati obor. Dan segera ia
menyampok dengan tangannya. Tapi dalam hal tenaga dalam, ia
kalah dengan Han in Taysu. obor itu tidak padam, cuma bergoyan
goyang, lalu tetap menggenciang. Hanya dilain saat, api padam
akibat hembusan angin-Kiranya itulah serangannya pendeta Ngo Bie
Pay.
"Lekas mundur" terdengar suara sipendeta "Musuh sudah mulai
bentrok dengan Ban Tayhiap sekalian."
"Masih ada sisa api," kata anak muda. Tapi mendadak obor
lainnya padam juga .
“Heran," pikir si anak muda. "Bukankah Han in Taysu sudah
mundur? Siapakah yang membantu kita? "
Ketika itu terdengarlah bentrokan senjata yang nyaring berisik,
datangnya dari arah timur selatan-Itulah pertanda bentrokan yang
keras. Mendengar itu, si anak muda percaya pasti ada orang yang
membantunya.
Hanya ketika itu, dengan padamnya obor, gelaplah diantara
mereka. Tanpa bersangsi pula, anak muda ini mundur perlahanlahan
cuma telinganya terus mendengar suara bentrokan alat alat
senjata.
Dan memang juga pihak Siauw Lim Sie sudah menghampiri Ban
Liang dan kawannya.
Selesai Siauw Pek mendekati, ia melihat Giok Yauw bersama Kho
Kong lagi melayani empat orang pendeta yang mengepung mereka
itu. Tampak Kho Kong sudah mulai terdesak. Nona Thio masih dapat
bertahan-
Diantara ke empat pendeta, yang bersenjatakan tongkat,
kelihatan lihay sekali, dialah yang mencoba mendesak. Dengan
cepat si anak muda mengambil putusan buat membantu saudaranya
itu. Akan tetapi baru ia mau maju, mendadak sipendeta yang lihay
itu telah memperdengarkan seruan tertahan, terus tongkatnya
terlepas, disusul dengan roboh tubuhnya.
Menyusul itu, satu tubuh tampak berlompat bagaikan burung
melayang, menghampiri tiga pendeta lainnya, dua diantaranya
roboh sambil berseru tertahan juga . Karena orang yang datang
secara tiba-tiba itu sudah menyerang kekiri dan kekanan dengan
kesebatan luar biasa Habis itu, dia berlompat pula kesebelah timur.
Sekelebatan itu, Siauw Pek telah mendapat melihat siapa orang
gagah itu, maka kekagumannya menjadi berlimpah-limpah. Sebab
orang itu tidak lain dari pada Han In Taysu. "Jikalau tidak ada dia,
sungguh berbahaya keadaan kita," pikir si anak muda. Justru itu
terdengar suara Giok Yauw. "Nona Hoan terluka..."
Siauw Pek kaget, dia melompat maju, sambil melewati pendeta
yang keempat, dengan ujung pedangnya ia menepuk bahu pendeta
itu.
Pendeta Siauw Lim Sie itu tengah berdiri menjublak. ia telah
menyaksikan bagaimana tiga kawannya, yang menjadi kakak
seperguruannya telah dirobohkan dengan saling susul. Atas tepukan
pedang sianak muda itu, dia merasa nyeri, dia mundur dua tindak.
terus dia memutar tubuh untuk berlalu.
Didalam rimba terdengar pula bentrokan senjata berisik sekali,
maka juga Han in Taysu segera pergi kesana.
Siauw Pek berlari, sampai ia tiba ditempat Soat Kun-Nona itu
memegangi bahu Soat Gie, Lengan kanannya casah dengan darah,
bajunya telah robek. Ketika ia melihat sianak muda, ia segera
berkata: "Tidak apa, lukaku ringan Pergi lekas lihat yang lain-lain.
Jumlah kita sangat sedikit, tak boleh ada orang kita yang terluka lagi
"
Berkata begitu, sinona tak berhenti berjalan. ia bersama adiknya
yang membantunya, terus mengatur tin, barisan rahasianya itu.
Siauw Pek tidak dapat bicara banyak. ia mengagumi sinona yang
nyalinya besar dan tabah. Hanya sebentar ia berkata: "Nona,
jagalah diri baik baik" Habis itu ia lari kepada Ban Liang.
Seng Su Poan lagi bertempur melawan tiga orang pendeta, yang
semuanya gagah, lebih-lebih yang satunya, yang senjatanya
tongkat. Dengan tongkatnya pendeta itu merabu pulang pergi,
selalu mengincar bagian anggota tubuh yang berbahaya.
Pendeta yang dikanan, yang bergolok kaytoo saban-saban
menikam dan membacok. dia juga terus mengancam bagian tubuh
yang lemah.
Adalah pendeta yang ditengah, yang membawa golok. sebagai
gantinya senjata tajam dia mengandalkan kedua tangannya, setiap
pukulannya mendatangkan hembusan angin. Nyatalah bahwa dia
pandai ilmu pukulan tangan kosong, atau yang disebut "Pek Khong
ciang" pukulan "Tangan Udara", sebagaimana tadi Han in Taysu
menghajar ketiga pendeta lainnya.
Walaupun ia didesak dan terancam, Ban Liang tidak mau
mundur. la bertahan terus. Tak kecewa ia menjadi jago tua. Sayang
karena terdesak tak sempat ia menggunakan pukulan Ngo Kwie
Souw Hun ciang yang lihay itu.
Segera setelah ia tiba, Siauw Pek menangkis golok kaytoo dari
pendeta yang disebelah kanannya Ban Liang. Rupanya sipendeta
mengenali sianak muda. begitu goloknya ditangkis, begitu dia
mengangkat kaki pergi meninggalkannya.
Habis itu, Siauw Pek menyampok tongkat pendeta yang kedua,
setelah mana ia terus membalas menyerang. Dengan cepat ia sudah
menguasai lawan-Ketika pendeta itu melihat sianak muda, seperti
kawannya tadi, dia segera lompat mundur, untuk berlalu pergi
Sekarang tinggal seorang pendeta lagi. Dialah yang berkelahi
dengan tangan kosong.
Siauw Pek menyerang, mendesak dengan tiga tikaman saling
susul. Dengan begitu ia membuat lawan terpaksa mundur. Lawan
itu merasa aneh. Dia didesak tapi tidak dilukai. Tak tahu dia akan
maksud anak muda ini, dari merasa aneh, dia menjadi merasa likat,
malu sendirinya. Diapun melihat kawan kawannya sudah pada pergi.
Maka tak ayal lagi, dia melompat mundur dan mengangkat kaki.
Dengan empat batang obor telah pada mati semuanya, rimba
menjadi gelap. sukar untuk melihat walaupun sejarak lima kaki.
Gelap gulita itu menguntungkan rombongan sianak muda.
Seberlalunya ketiga musuh yang terakhir itu, mendadak Ban
Liang jatuh numprah ditanah.
Siauw Pek terkejut, segera ia menghampiri, untuk
membangunkannya. "Apakah loocianpwee terluka? " tanyanya
prihatin.
Sijago tua tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala,
terus dia memejamkan mata untuk beristirahat. Sebenarnya dia
telah kehabisan tenaga, saking kuat hatinya, dia masih bertahan
tadi Siauw Pek berduka, nona Hoan terluka, Ban Liang kehabisan
tenaga, maka itu tenaganya jadi makin berkurang. Entah dengan
Oey Eng bertiga. Ingin ia melihat ketiga kawan itu tetapi ia berat
meninggalkan Soat Kun bertiga. cuma ia merasa hatinya lega juga
sebab disekitarnya sunyi, tak ada suara beradunya alat senjata.
JILID 38
Heran kenapa It Tie menghentikan serbuannya, pikirnya lebih
jauh.
Didalam kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara Giok Yauw yang
bertanya "Eh, apakah kau cian Peng? "
Tertawa yang nyaring adalah jawaban atas pertanyaan itu,
kemudian tawa itu disusul kata-kata ini: "Eh, budak. kenapa kau
menyebut namaku terang-terang? Apa itu bukan berarti kau
membuka rahasia? Aku sinelayan tua tak berani berterang terang
menentang pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie, aku membantu
secara diam diam saja, didalam gelap. Kenapa kau banyak mulut? "
Terdengar pula suara sinona, yang tertawa mengejek.
"Sebenarnya kau telah pergi kemana? " tegurnya.
"Aku sinelayan tua tahu kamu mau pergi ke Siauw Lim Sie,
karena itu mana berani aku seorang diri mengikuti kamu untuk
mengantarkan jiwa? " Giok Yauw tertawa jenaka.
"Oh, kiranya kau pergi mencari pembantu? Terima kasih Terima
kasih" cian Peng tertawa dingin-
"Siapa mencari pembantu untuk kau? Aku mengundang
pembantu membantu diriku sendiri "
Segera terdengar suara tawar: "Eh, nelayan bangkotan. Siapakah
yang sudi membantumu. Ingat, jangan kau menempel emas pada
mukamu" Lalu terdengar pula suara cian Peng itu: "Jikalau kau
datang kemari bukan untuk membantu aku, habis buat apakah
kedatanganmu ini? "
Suara tawar itu terdengar pula: "Nelayan bangkotan, apakah kau
kira aku tak berani datang sendiri kemari? "
“Hei, nelayan bangkotan" Giok Yauw menegur. "Kenapa kau
membuat seorang sahabat menjadi tidak senang hati? "
Kemudian terdengar suara cian Peng, suara yang bernada gusar:
"Eh, bocah Cilik, kenapa kau berani sembarangan membelai orang?
Tahukah kau siapa dia? Kenapa kau lancang? Mana bisa kau
sembarang mengikat persahabatan? "
"Diempat penjuru lautan, semua orang bersaudara" berkata si
nona. "Apakah salahnya untuk mengikat persahabatan? "
"Bukan begitu, itulah tak dapat" berkata Cian Peng pula : " orang
itu buruk hatinya, beribu la berlaksa kali, janganlah kau bergaul
dengannya "
Hanya selagi bicara itu, suara Cian Peng terdengar makin jauh
dan makin jauh. Giok Yauw sibuk sendirinya.
“Hei, nelayan bangkotan, lekas kembali" teriaknya. "Lekas
kembali. Aku hendak bicara denganmu" panggilan itu mengalun
dimalam yang gelap dan sunyi itu tetapi tidak ada jawabannya.
Terang bahwa Cian Peng sudah pergi jauh...
Siauw Pek mendengarkan saja, baru kemudian ia berkata
didalam hatinya: "Oh, kiranya ada orang yang membantu kita...
Pantas kawanan pendeta menghentikan penyerangannya"
Ketika itu terdengar helahan napas dari Ban Liang. "Apakah
musuh sudah mundur? " dia bertanya.
"Mereka sudah mundur" jawab siauw Pek. "Baiklah loocianpwee
beristirahat terus." Ban Liang menghela napas pula.
"Sudah tua, tak berguna..." katanya, menyesal. "Pertempuran ini
membuatku letih hebat semacam ini... Eh, apakah kedua Nona Hoan
baik-baik saja? ”
“Nona Hoan terluka sedikit tetapi tidak apa. Ia sudah memakai
obat.”
“Bagaimana dengan Han In Taysu? "
"Dasar orang tua, dia memperhatikan segalanya..." terus ia
menjawab. "Mereka itu tidak kurang suatu apa." Jago tua itu
bangkit perlahan lahan.
"Ah..." ia memperdengarkan keluhannya. "Dahulu semasa muda,
pernah aku bertempur satu hari satu malam, kami seri. Sekarang...
sekarang aku sudah tua..."
"Baiklah beristirahat terus, cianpwee," berkata Siauw Pek,
menghibur. "Pihak Siauw Lim Sie sangat tersohor, sudah begitu
loocianpwee seorang diri mesti melawan banyak musuh, pasti kau
letih karenanya."
Jago tua itu menghela napas pular "Tak apa," katanya. "Aku
telah beristirahat. tenagaku sudah mulai pulih." Justru itu, Thio Giok
Yauw muncul. Dia menatap sijago tua.
"Kau terluka? " tanyanya.
"Tidak Aku cuma letih. Bukankah Cian Tayhiap telah datang? "
"Benar Dia datang bersama dua orang undangannya, untuk
membantu kita."
"Cian Tayhiap itu memang liehay," berkata Ban Liang pula.
"Joran dan jalanya menjadi senjata senjatanya yang istimewa,
pantaslah pihak siauw Lim Sie mendadak mundur sendirinya"
“Hm" Giok Yauw memperdengarkan suara mengejek. "Si nelayan
bangkotan takut bentrok dengan pihak siauw Lim Sie, dia tak berani
membantu kita secara terang terangan, karena aku membuka
rahasianya, dia mendongkol dan pergi. Sebenarnya apa gunanya
kepergiannya? Ya Kaburnya Pihak Siauw Lim Sie sudah tahu
namanya. Jikalau pihak Siauw Lim Sie mau membalas sakit hati,
bukankah mudah mencarinya? Kabur atau tidak toh sama "
Ban Liang heran sekali. Pikirnya “Hi Sian Cian Peng menjadi
orang Rimba Persilatan yang berkenamaan, kenapa bocah
perempuan ini berani berlaku begini kurang ajar terhadapnya?
Kenapa dia selalu menyebut nelayan bangkotan, nelayan
bangkotan? " Saking herannya itu, tanpa terasa ia berkata. "Cian
Tayhiap bertabiat luar biasa, orang-orang Rimba Persilatan
umumnya mengalah kepadanya, maka itu di waktu berbicara
dengannya baiklah nona sedikit sungkan." Tetapi nona Thio
tersenyum.
"Bagaimana, eh? Apakah kau takut bersalah terhadapnya? "
tanyanya.
"Benar, Cian Tayhiap aneh, tak ada orang yang tak tabiatnya itu
maka kalau kita berbuat salah terhadapnya, apakah itu bukan
berarti kita menambah musuh? "
"Tak apa, jangan kuatir" berkata si nona. "Kalau aku berbuat
salah terhadapnya, mustahil dia sudi mengajak orang datang kemari
untuk membantu kita? "
Ban Liang berdiam, tetapi hatinya berkata, "Benar juga nona ini.
Mungkinkah si nona telah memegang suatu kelemahan dari Cian
Peng maka dia menjadi suka mengalah? Dan siapakah itu dua orang
kawannya? Semoga aku tidak membuat keliru terhadap mereka "
Selagi sijago tua berpikir demikian, tiba-tiba ia mendengar
hembusan angin, hembusan ujung baju, yang mengarah kearah
mereka. Di dalam gelap petang, tak dapat mereka melihat siapa
orang yang mendatangi itu.
Giok Yauw berbuat getap. dengan sebat ia menghunus
pedangnya, menikam kearah orang itu, tetapi mendadak. selagi
pedangnya kena disampok nyamping, telinganya mendengar suara
ini. "Loolap Han In" Cepat sekali, Nona Thio berlompat minggir
"Maaf, suhu "
Setelah Han In memegang tanah dengan kedua tangannya,
segera dia duduk menumprah.
"Kau tidak bersalah anak" katanya sabar. Kemudian ia menoleh
pada Siauw Pek dan Ban Liang, untuk berkata. "Semua pendeta
Siauw Lim Sie sudah mundur dari rimba ini. Sebegitu jauh loolap
menyangka, rupanya mereka telah mendapat kerugian banyak
orangnya yang terluka atau terbinasa, maka juga malam ini tak
nanti mereka mengulangi mengepung kita."
“Hanya sebentar, setibanya sang fajar, mungkin mereka akan
menyerang secara terlebih hebat" berkata Seng Su Poan si Hakim
Penuntut Hidup Mati.
"Benar, demikian juga terkaanku." berkata Han In. "Sebelum
hujan turun pula, perlu kita bersedia payung, harus kita siap sedia."
"Entah Nona Hoan, ia mempunyai daya apa untuk menangkis
musuh." kataBan Liang,
"mari kita berunding dengannya."
"Baiklah," kata Giok Yauw. "Nanti aku undang mereka."
Nona ini segera berlalu. Hanya sebentar ia sudah kembali
bersama Soat Kun dan Soat Siauw Pek dan Han In tidak mau
menanyakan si nona mengapa selama didalam toa-tian tadi, mereka
duduk diam saja, tak memperhatikan pertempuran yang hebat itu.
Adalah Ban Liang yang menanyakan lain hal. "Apakah baru saja
nona terluka? " demikian tanyanya.
"Tak apa, lukanya sangat ringan," jawab ^ona Hoan. "Ada
senjata nyasar..."
"Sekarang musuh telah mundur seluruhnya," berkata Ban Liang
pula, "tetapi kami menerka semunculnya fajar mereka bakal datang
pula, mungkin penyerangannya akan jauh lebih hebat, karena itu,
nona, bagaimana pemandangan nona? ”
“Pandanganku sama," sahut Soat Kun. "Apakah nona telah
memikir daya untuk menangkisnya? ”
“Ya."
"Apakah daya itu, nona? " tanya Siauw Pek. "Baiklah nona
mengatur siang-siang. sekarang ini kita masih berada ditempat
berbahaya, orang kita tinggal sangat sedikit, kita juga letih
semuanya. Syukur rimba ini menghalangi musuh mengatur Lo Han
Tin-Sebentar pagi, di dalam keadaan terang benderang, mungkin
mereka akan memperhebat serangan mereka." Soat Kun
mengangguk.
"Aku tahu itu. Maka juga sekarang tak dapat kalian beristirahat,
bahkan kalian perlu segera berlatih, mempelajari Ngo Heng Lian
Hoan Tin-”
“Apakah artinya tin itu, nona? " tanya Ban Liang.
"Itu hanya cara menentang musuh dengan kita bersatu padu
tangan, dan hanya ditambah lima macam perubahan..."
"Dipihak Bu Tong Pay ada ilmu pedang yang dinamakan Ngo
Heng Kiam, apakah nona tahu itu? " tanya Han In Taysu.
"Aku tahu, dan pernah aku mendengarnya dari mendiang guruku,
hanya perubahan barisan pedang itu beda dengan barisanku ini."
"Dahulu hari pernah loolap perhatikan gerakan yang disebut Ngo
Heng itu," berkata pula ketua Ngo Bie Pay, "gerakan itu rumit sekali
perubahannya, maka juga , mungkin sulit memahaminya didalam
waktu sesingkat ini."
"Ngo Heng" itu ialah serba lima, dan "Lian Hoan" yaitu berantai,
maka itu, tin si nona banyak perubahannya, yang tali menali,
bersangkut satu dengan lain-
"Demikianlah kelihatannya, taysu," berkata si nona. "Tapi, kalau
nanti sudah melatihnya, sebenarnya itu taklah sulit..." Ia berhenti
sejenak. terus ia menambahkan. "Lawan menghentikan
penyerangannya, itu berarti bahwa mereka memberi kesempatan
hidup untuk kita."
"Waktu kita sedikit, nona, nah, mulailah? " Ban Liang minta.
"Bagaimanakah penglihatan mata kalian? " tanya si nona. "Diwaktu
malam segelap ini? " Ban Liang tegaskan.
"Ya, didetik ini. Berapa jauh kalian dapat melihat kedepan? "
"Dalam hal ini, perlu kami tahu dahulu apa yang kami harus
lihat," berkata Ban Liang pula.
"Aku hendak membuat garis garis Ngo Heng," kata si nona,
"cobalah, kalian bisa melihatnya atau tidak..."
"Asal nona menjelaskannya, mungkin kami sanggup," berkata
pula sijago tua.
"Ngo Heng Lian Hoan Tin memerlukan lima orang sebagai
bahagian yang utama," menerangkan Soat Kun "Mereka menguasai
satu tempat masing2. Yang lain2nya melainkan sebagai pembantu,
guna membantu dimana yang perlu."
"Silakan nona mengatur, kami nanti mengatur diri. Senoga kami
tak kacau sendirinya."
"Jikalau benar siauw Lim Pay akan menerjang pula sebentar
fajar, mereka tentu bakal mulai arah timur dan selatan." berkata
Nona Hoan-"maka itu pada dua arah itu, perlu orang yang ilmu
silatnya mahir sekali."
"Yang paling mahir ialah bengcu. Baik bengcu mengambil tempat
yang paling penting itu." Ban Liang mengusulkan.
"Ban Hu hoat baik menjaga di timur," berkata pula si nona. "Arah
timur itu termasuk garis kah-it-bok."
Berkata begitu, dengan menggunakan cabang pohon, Nona Hoan
membuat goresan ditanah.
Ban Liang berniat menolak tugas itu mengingat dia sudah tua
dan baru saja bagaikan kehabisan tenaga, tetapi Soat Kun sudah
melanjutkan kata-katanya. "Ban Hu hoat, tolong perhatikan,
beginilah perubah kedudukan gu goat."
Goresan si nona itu dari timur menyambung keselatan dan utara.
oleh karena keadaan sudah demikian mendesak. mau atau tidak,
terpaksa Ban Liang batal menolak, terpaksa dia memehami gerak
yang dilukiskan si nona.
"Bengcu silakan menjaga di selatan," berkata pula si nona
kepada ketuanya. "Arah selatan itu termasuk garis Phia-teng hwee."
Dan lalu ia meng gores tanah. Siauw Pek memperhatikan goresan
itu.
"Thio Huhoat, pergi kau menjaga ke utara. Arah itu termasuk
Jim-kwie swie," sambil berkata begitu iapun menggores pula.
Suasana sangat sunyi. Semua mendengarkan dan mengawasi
tangan si nona.
"Oey Huhoat menjaga di barat."
Mendengar itu Siauw Pek bertiga heran.
Oey Eng dan Kho Kong tidak ada diantara mereka "Nanti aku cari
mereka," berkata si anak muda.
"Biarkan aku yang pergi," kata Giok Yauw "Mereka lagi
memasang mata diatas pohon." Siauw Pek mengawasi kedua
saudara itu, jalan mereka rada ayal.
"Saudara Oey Saudara Kho " ia menyapa. "Ya, bengcu Ada
perintah apakah? ”
“Kalian baik-baik saja, bukan? "
Dua saudara itu tidak segera menjawab, agaknya mereka
berpiklr. "Kami baik-baik saja," sahutnya sejenak kemudian.
Didalam gelap. wajah kedua pemuda itu tak tampak. tapi
sUaranya tetap tak mirip orang yang terluka. Karena itu, heran si
ketua. Tak dapat dia menduga duga.
"Jangan kau menyembunyikan lagi, saudara saudara," Giok Yauw
berkata. "Nona Hoan tengah mengatur Ngo Heng Lian Tin, Oey
huhoat ditetapkan menjaga diarah barat, jikalau kalian tidak bicara
sebenar-benarnya, bukankah usaha kita bisa jadi gagal? ”
“sebenarnya telah terjadi apakah? " Siauw Pek bertanya.
"Mereka telah terluka, karena kuatir bengcu bersusah hati,
mereka tak mau menjelaskannya" nona Thio menerangkan-Siauw
Pek terkejut.
"Apakah luka mereka parah? " tanyanya. Oey Eng
menggelengkan kepala.
"Tak parah, bengcu," sahutnya, "kalau luka kita berat, mustahil
bengcu tidak melihatnya."
"Dia benar juga ," pikir si anak muda.
"Oey huhoat," berkata Nona Hoan-"Kau luka parah atau tidak,
kau mesti jelaskan. Ingat disini tergantung keselamatan kita
bersama tak dapat kita menyembunyikan sesuatu."
Oey Eng melengak, lalu dia berkata: "Aku terkena satu pukulan
tangan kosong, sebenarnya lukaku tidak ringan, akan tetapi, setelah
aku meluruskan tenaga dalamku, sekarang sudah terasa
mendingan.”
“Mari, kasih loolap lihat," berkata Han In Taysu. Oey Eng
menghampiri, untuk berdiri disisi pendeta itu.
Han In meraba lengan sianak muda, nadinya. Hanya sejenak. ia
berkata: "Luka ini bukannya ringan, perlu rawatan yang cukup."
"Itulah berarti sudah tak dapat dia menjaga tempat itu," kata
Soat Kun.
"Memang. Dia harus beristirahat."
"Coba aku periksa nadinya," berkata Nona Hoan.
Oey Eng menghampiri, ia mengulur tangan kirinya.
soat Kun meletakkan jari tangannya yang halus diatas nadi
sianak muda, akan menekannya sedikit, sesudah mana dia berdiam
untuk merasai denyutan nadi anak muda itu. Kira-kira sehirupan teh
ia mengangkat tangannya terus merogoh sakunya buat
mengeluarkan dua butir obat pulung.
"Makan ini lebih dahulu" katanya perlahan-Oey Eng percaya nona
ini, ia menyambut pel itu dan terus menelannya.
"Kho Huhoat, apakah kaupun terluka? " kemudian sinona
bertanya kepada Kho Kong.
"Aku terluka bacokan pada pahaku," menyahut hu hoat itu. "Aku
telah membalutnya. Luka dikulit tidak ada artinya." Soat Kun
menarik napas perlahan-"Sekarang aku terpaksa merepotkan taysu,"
katanya kepada Han in Taysu. "Sebenarnya aku hendak minta
bantuan taysu buat lain tugas tetapi kedua hu hoat terluka, aku
mohon taysu sudi menggantikannya.”
“Loolap bersedia, nona" menjawab sibhiksu tua.
soat Kun menggores gores pula ditanah sambil menjelaskannya
secara sederhana, setelah itu ia berkata pula: "Taysu semua gagah
tetapi semuanya telah payah, karena itu tak seharusnya kalian
berkelahi mati-matian, maka juga pertempuran terpaksa, jangan
kita menggunakan seluruh tenaga kita. Kita akan menahan musuh
mengandalkan tin saja."
Mendengar kata kata nona itu, Ban Liang berkata didalam
hatinya: "Sayang kau bercacat pada matamu, nona. Coba kau bisa
melihat sekitarmu, mungkin kau tak akan berkata begini. Segera
setelah langit terang, pastilah pihak Siauw Lim Sie akan mengulangi
penyerbuannya secara besar besaran, dengan seluruh kekuatan.
Dapatkah tin ini menentang penyerbuan mereka itu? "
Walaupun dia berpikir demikian, tetapi jago tua itu tidak
mengatakan apa apa.
Nona Hoan tidak mendengar suara orang yang mengiakan atau
memohon penjelasan, ia melanjutkan kata katanya. "Seseorang, tak
peduli dia lihay luar biasa, kalau dia tak minum setetes air,
selewatnya satu hari dan satu malam kekuatan tubuhnya bakal
berkurang sendirinya. Mungkin disaat ini kalian belum merasakan
sesuatu, hanya besok tengah hari, akan kalian rasakan
perbedaannya."
"Siecu benar," berkata Han in Taysu. "Pernah loolap
mengalaminya. Siapa tidak makan dalam satu hari dan juga tak
dapat beristirahat, tenaganya akan lenyap sebagian."
jikalau demikian adanya, sekarang ini perlu kita beristirahat,"
berkata Ban Liang. "Kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik
baiknya."
"Telah belasan tahun loolap disekap ditempat gelap. perihal
menahan dahaga dan lapar, telah ada pengalaman loolap." berkata
Han in kemudian, karena itu silahkan kalian beristirahat, loolap yang
akan mewakili kalian melakukan penjagaan."
"Lebih baik taysu turut beristirahat," Siauw Pek menganjurkan.
"Biarkan loolap. bengcu. dalam hal penderitaan begini, loolap
lebih hebat daripada bengcu sekalian."
"Apakah demikian pendapat taysu, baiklah" Ban Liang berkata
akhirnya. Didalam hati, ia sebenarnya percaya Siauw Pek lebih ulet
daripada pendeta ini.
"Nah, silahkan kalian beristirahat" Han in kata akhirnya. Lalu,
dengan kedua tangannya, dia menekan tanah, membuat tubuhnya
mencelat tinggi, naik keatas pohon didepannya Ban Liang semua
segera duduk bersila, untuk bersemedhi. Mereka memang telah
merasakan sangat letih, maka kesempatan ini dipakai sebaik
baiknya. Didalam waktu yang singkat sekali, semua sudah hening
bagaikan mereka lupa akan diri sendiri...
Sang waktu berjalan dengan tenang tetapi rasanya cepat sekali.
Entah telah lewat berapa lama, tiba tiba terdengar suara ketua dari
Ngo Bie Pay. "Saudara, saudara, bangunlah "
Semua orang terbangun, semua segera membuka mata mereka.
Sang fajar telah tiba. Cuaca yang cerah memperlihatkan sesuatu.
Kembali terdengar suara pendeta tua itu: "Loolap melihat
pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie tengah mendatangi dengan
teratur. mungkin pertempuran bakal segera dimulai, silahkan
bengcu sekalian mengambil tempat masing masing."
Oey Eng dan Kho Kong telah mendapat kesempatan untuk
beristirahat, merekapun telah makan obat Soat Kun, mereka merasa
tubuh mereka segar, maka itu keduanya segera menyatakan pada
nona Hoan, karena kesehatan mereka beralih baik, mereka mohon
diberi tugas.
"Sekarang ini tenaga kalian belum dibutuhkan," berkata Soat
Kun-"Coba kalian lihatlah sekitar tin ini, ditempat luas beberapa
tombak. kalian boleh memilih satu tempat dimana kalian dapat
beristirahat. Disini masih ada cukup luang untuk kalian-"
Mendengar kata kata si nona, Oey Eng dan Kho Kong segera
memandang kesekitarnya. Tadi, perhatian mereka belum tertarik
Sekarang lain-Mereka memperhatikan dengan seksama. Lalu
mereka menjadi heran. Memang, disitu ada pepohonan dimana
mereka dapat berlindung.
"Terima kasih" berkata Oey Eng.
"Beristirahatlah kalian baik-baik," pesan Nona Hoan. "Kalau nanti
pihak Siauw Lim Sie menerjang tak hentinya, baru kami
membutuhkan bantuan kalian-"
Suara si nona itu bagalkan diputuskan suara keras dari Ban
Liang. Terdengar suara nyaring sijago tua, "para taysu, kamu
keterlaluan. Kenapa kamu begini desak kami? Ingatlah, jangan
kamu mengatakan aku si tua menurunkan tangan jahat"
Mendengar suara jago tua itu, Soat Kun segera berseru:
"Menggeser tempat memohon bantuan, dengan perubahan
menentang musuh Oey Eng heran mendengar suara sinona itu.
Katanya. "Apakah arti kata kata itu? " Tetapi ia menaruh perhatian-
Maka ia segera melihat bergerak geraknya sinar pedang dan
golok, bagaimana Siauw Pek sudah menukar kedudukan Phia teng
hwee di selatan dengan kedudukan Kah it Bok ditimur, sedangkan
Ban Liang memutar keutara dan Giok Yauw kebarat, sedangkan Han
In Taysu pindah keselatan. Dengan cara demikian, Ngo Heng Tin
nampak menjadi terlebih ringkas, akan tetapi gerakannya lebih
lincah.
orang orang Siauw Lim Sie sudah mengurung Ngo Heng Tin
tetapi disebabkan malang melintangnya pepohonan, telah dapat
mereka segera menyerbu masuk. untuk turun tangan-Han in Taysu
telah segera bekerja. Dengan tangan kanan terbuka, ia
menyamp^ok dua kali kearah timur. Anginnya itu menghembus
keras.
diarah timur itu ada seorang pendeta yang lagi menempur Siauw
Pek. tiba tiba dia merasakan angin menyambar dari sampingnya,
belum sempat dia tahu apa apa, iga kirinya sudah kena terhajar,
hingga dia mengeluarkan jeritan tertahan, terus dia mundur.
siauw Pek mengambil kesempatannya, untuk menikam dengan
pedangnya, atas mana lawan itu melompat mundur pula dua tindak.
Dia tidak disusul, karena penyerangnya menggunakan kesempatan
itu untuk memutar diri guna menyerang lawan yang lagi bertempur
dengan Ban Liang Pendeta lawan sijago tua terkejut, dalam gugup
ia menangkis.
Justru ketika dia repot ituBan Liang meninju dengan pukulan Ngo
Kwei Souw Hun Ciang. Dia sebenarnya seorang anggota dari Ruang
Tatmo ih. ilmu silatnya amatlah sempurna sekali, dalam hal ini akan
tetapi karena repotnya, tidak dapat dia melindungi diri, dia kena
terhajar roboh kebelakang.
Seterusnya, pertempuran berjalan secara demikian rupa. Serbuan
pihak Siauw Lim sie terintang dan terhambat pepohonan, pihak Kim
Too Bun menang kedudukan dan kerja samanya sempurna.
Demikian, selang beberapa lama, pihak penyerang sudah merugi
belasan orangnya yang roboh sebaliknya serbuannya tidak ada
hasilnya. Walaupun demikian, pihak Siauw Pek juga merasa letih...
Tengah pertempuran tak seimbang itu berlangsung terus, tiba
tiba orang mendengar bunyi genta yang nyaring mendesak.
menyusul mana semua pendeta lalu menghentikan penyerangan
mereka, dan cepat mengundurkan diri Hingga didalam sekejap itu
medanpun sunyi.
Ban Liang menghela napas lega.
"Jika mereka menyerang terus lagi, mungkin tenagaku si orang
tua akan habis" katanya Siauw Pek yang diajak bicara, cuma
tersenyum.
Han in Taysu menengadah kelangit akan melihat cuaca.
"Sebegitu jauh yang loolap tahu," katanya "Belum pernah
sebelum ini ada pihak yang mengacau Siauw Lim Sie begini lama
hingga pihak itu kewalahan dan mundur sendirinya."
Siauw Pek tidak berkata apa-apa. Iapun lelah. Ketika ia
memandang Nona Thio, paras Giok Yauw pucat. Cuma pendeta dari
Ngo Bie itu tak nampak lesu.
"Jikalau aku mempunyai jarum satu kantung, tak usah aku
menghabiskan tenagaku terhadap pendeta-pendeta Siauw Lim Sie
itu" terdengar nona Thio pun berkata, dia menarik napas untuk
melegakan hatinya.
Kata-kata sinona bagaikan menyadarkan Siauw Pek. Pemuda ini
lalu memikir perlunya daya upaya yang sempurna guna mengatasi
keadaan kalau tidak, sungguh mereka bakal terancam bahaya.
"Taysu," kemudian ia bertanya kepada ketua Ngo Bie Pay,
"apakah Taysu merasa letih? " Iapun menatap kawan itu.
"Buat bertempur lagi satu jam atau lebih, mungkin loolap masih
dapat bertahan," sahut pendeta yang ditanya itu.
Si anak muda menunjukkan sikap sungguh sungguh. "Jikalau
begini gelagatnya, mungkin kita tak dapat menanti sampai para
tiangloo memunculkan diri." katanya. Han In mengangguk. Ingin ia
membuka mulut tapi batal
Siauw Pek balik mengawasi Nona Hoan. Katanya menyambung:
"Dapatkah kita mewujudkan pepatah Menangkap penjahat
membekuk kepalanya, dipihak Siauw Lim sie, biangnya ialah It Tie
Taysu, apabila kita dapat meringkusnya, tentulah pendeta-pendeta
lainnya bakal kehilangan semangatnya, hingga mereka tak akan
berani melanjutkan mengurung dan mengepung kita."
"Apakah bengcu memikir untuk menawan It Tie? " tanya Soat
Kun-"Pikiranku ialah daripada kita menanti untuk diserbu, lebih baik
kita mendahului menerjangnya" sahut si anak muda. Jikalau kita
beruntung dengan percobaan kita itu, ialah It Tie dapat dibekuk.
pasti kita akan lolos dari ancaman petaka ini." Soat Kun menghela
napas.
"Memang," katanya, "memang berbahaya kalau kita bertempur
terus selagi kita letih dan persiapan makan dan minum kurang."
"Rasa lapar masih dapat ditahan, tidak demikian dengan
dahaga," berkata sang ketua. "Pihak kita tidak mengatakan apa-apa
tetapi kita dapat merasainya sendiri. Kita dapat bertahan hanya
untuk sementara. Maka itu aku pikir, aku hendak bersama Han In
Taysu menerjang keluar."
"Bagaimana andaikata kalian terkurung di dalam Lo Han Tin? "
sinona memperingatkan.
"Tapi inilah jalan satu satunya untuk kita menyingkir dari
kematian," berkata sianak muda. Ia menghela napas, lalu
menambahkan : "Saudara semua tak akan tiba disini jikalau bukan
karena urusanku si orang she Coh, maka itu, setelah kita terkurung
ini, apabila aku tidak berusaha, mana hatiku lega? "
"Rencana adalah aku yang atur, sekarang kita terkurung, itulah
salahku," berkata nona Hoan. "Karena itu, untuk membekuk It Tie,
mesti aku juga lah yang bekerja"
xxxxxx
Siauw Pek melengak. Bukankah ilmu silat si nona sangat
sederhana? Semangat si nona dapat dipuji dan dikagumi, tetapi
mana pantas dia menjadi lawan It Tie, si orang lihay dari Siauw Lim
Sie? Pula It Tie dikelilingi demikian banyak murid-muridnya.
"Sekalipun aku menerjang bersama Han In Taysu, masih belum
tahu bagaimana kesudahannya," pikirnya lebih jauh. "Aku memikir
sepintas lalu saja, karena kita sudah kehabisan jalan-Jikalau Nona
Hoan berdua yang pergi, apa itu bukan berarti mereka
mengantarkan jiwa mereka sendiri? "
Walaupun dia memikir demikian, tak berani Siauw Pek
mengutarakannya. Maka itu, setelah berdiam sekian lama, baru ia
berkata: "Nona silahkan nona berdiam disini, untuk tetap
memegang tampuk pimpinan-Dengan aku bekerja sama dengan
Han In Taysu, aku percaya bahwa sebagian besar kita berhasil "
soat Kun berdiam tetap otaknya bekerja. Katanya didalam hati:
"It Tie tangguh, dia dikitari berlapis-lapis pelindungnya, tak mungkin
dia mudah ditawan. Kita harus mendapatkan akal yang sempurna."
Maka, setelah berdiam pula sedetik, ia lalu berkata, "Maksudku
semula ialah untuk tidak melukai atau membinasakan banyak jiwa,
pikiranku untuk menasehati dan menaklukkan pihak siauw Lim Sie
dengan kejujuran dan kebijaksanaan, tak sangka maksudku itu tak
tercapai, bahkan perkara menjadi besar dan hebat begini. Untuk
hidup kita memang terpaksa kita harus turun tangan "
"Kau aneh nona," pikir Siauw Pek. "Sampai pada detik ini, kau
masih sabar saja." Ia lalu mengawasi nona itu, akhirnya dia
bertanya: "Jadi sudah pasti nona yang pergi sendiri? "
"Ya," begitu jawaban pasti dari si nona.
"Nona berdua saja? " si anak muda menegasi.
"Aku mau minta bengcu menemani kami," sahut si nona.
"Baik Nah, mari kita pergi "
"Tanggung jawab disini aku serahkan kepada taysu," berkata si
nona kepada ketua Ngo Bie Pay.
"Loolap akan mencoba," sahut Han in. "Baiklah nona lekas pergi
lekas kembali." Soat Kun mengangguk. Ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan sebutir obat pil. "Bengcu, tolong telan ini" katanya^
Siauw Pek tidak tahu si nona bermaksud apa akan tetapi, karena
ia menaruh kepercayaan besar terhadap nona itu, ia menyambut
obat itu dan menelannya tanpa ragu-ragu.
"Nah, sekarang silahkan bengcu membuka jalan" kata Soat Kun
akhirnya.
Siauw Pek menghunus pedangnya, terus ia bertindak dimuka.
Sambil memegangi bahu adiknya, Soat Kun berjalan mengikuti.
Pihak Siauw Lim Sie heran menyakskan tiga orang musuh keluar
dari dalam rimba, walau demikian, mereka mengawasi dan
membiarkan saja. Mereka berada didalam kesangsian. Penyerbuan
mereka berakibat buruk bagi mereka sendiri, sebab banyak orangorangnya
yang luka dan gUgur, sedangkan rimba tak berhasil
diserbu didudUki. Setelah menghentikan penyerangan, mereka
mengUndUrkan diri, buat menjaga diluar rimba saja.
Baru setelah ketiga orang itu berada diluar rimba, seorang
pendeta maju menghadang. Dia berjubah abu-abu.
Siauw Pek mengangkat kepalanya, mengawasi tajam. Ia
mendapatkan pendeta itu berada bersama kawan kawannya, jumlah
mereka dua puluh orang lebih. Tiba-tiba ia ingat keterangan Han In
Taysu mengenai Lo Han Tin, yang dapat dibangun baik dengan
jumlah orang yang banyak atau sedikit, misalnya dengan seratus
orang lebih atau hanya belasan saja. Siapa tahu mereka ini adalah
anggota-anggota tin dari Siauw Lim Pay itu?
"Baiknya sebelum tin mereka teratur, aku mendahului" kemudian
si anak muda berpikir dengan cepat. Tak ingin ia memikul risiko. Ia
terus menyimpan pedangnya, untuk sebaliknya meraba gagang
goloknya.
"Para taysu, siapakah pemimpin kamu? " tanyanya sambil
memasang mata.
"Itulah pinceng," menjawab seorang pendeta usia pertengahan.
Siauw Pek masih menatap tajam, juga kepada rombongan orang,
habis itu, baru ia berkata keren: "Golok ditanganku ini, asal dihunus,
pasti dia membinasakan orang, maka itu taysu..."
"Itulah pinceng sudah ketahui" menyela si pendeta setengah tua.
Lalu mendadak dia mengibaskan sebelah tangannya, atas mana
semua kawannya segera bergerak. lari serabutan, guna memencar
mengatur diri Siauw Pek tertawa dingin, dia mencekal erat gagang
goloknya.
"Sabar" mencegah Soat Kun-"Mari kita belajar kenal dahulu
dengan Lo Han Tin dari siauw Lim Sie"
Ketua itu heran hingga dia tercengang.
Sementara itu, rapihlah sudah kawanan pendeta mengatur diri,
atau lebih benar, mengurung ketiga lawannya itu.
Selama siauw Pek bertiga mulai muncul, pihak siauw Lim Sie
telah mengirim laporan kepada ketuanya, dari itu, lekas juga tiba
para pemimpin mereka yang termasuk rombongan Tatmo ih.
Pendeta pimpinan rombongan itu girang melihat rampungnya tin
mereka, ia lalu tertawa dingin dan berkata dengan sombong:
"Seingatku, selama seratus tahun lebih belum pernah ada orang
yang sanggup lolos dari tin kami ini, maka itu sungguh kau gagah,
siecu, yang kamu berani menentangnya"
"Belum tentu Lo Han Tin dapat mengepung kami" Siauw Pek pun
berkata sama dinginnya. la segera memasang mata, akan mencari
bahagian terlemah dari barisan rahasia musuh itu.
Selagi ketuanya memasang mata itu, Soat Kun berkata perlahan
kepadanya. "Cuma menghadapi Lo Han Tin dari Siauw Lim Sie ini
tak usah bengcu turun tangan sendiri..."
Habis itu, ia memandang musuh dan bertanya nyaring: "Apakah
kamu sudah selesai dengan pembangunan tin kamu? "
"Sudah" menjawab pihak pendeta. "Karena kami yang berjumlah
besar mengurung kamu bertiga, silahkan kamu yang turun tangan
terlebih dahulu" Kawanan pendeta itu sangat mempercayai tin
mereka itu, hingga mereka tidak khawatir sedikit pun juga .
siauw Pek berpikir. "Tin musuh ini tersohor Sangat liehay, entah
dengan cara apa Nona Hoan hendak memukulnya...? "
Segera juga terdengar suara si nona tunanetra. "Untuk kebaikan
kamu pihak Siauw Lim sie sendiri, supaya kamu tidak terjerumus
dalam dunia siksaan hingga kamu tak dapat kembali lagi, terpaksa
aku hendak menunjukkan sesuatu kepada kamu supaya kamu dapat
saksikan."
Kata-kata si nona ini diakhiri dengan sentilan jeriji tangannya
yang lentik hingga beberapa kali.
siauw Pek heran menyaksikan gerak gerik si nona. "Dapatkah tin
dipecahkan dengan hanya beberapa sentilan? " tanyanya didalam
hati. "Bukankah Lo Han Tin menjadi tin yang sangat tersohor
dikolong langit ini? "
Sementara itu pendeta pemimpin rombongan Siauw Lim Pay itu
heran melihat baik Siauw Pek maupun nona-nona itu masih belum
juga mau turun tangan untuk menyerbu tin mereka. Lekas sekali,
dia menjadi habis sabar. Maka ia lalu berkata nyaring: "Kalau kamu
tidak mau turun tangan, baiklah, pinceng yang akan mendahului"
kemudian ia mengulapkan tongkat di tangannya, atas mana
rombongannya segera bergerak. Maka itu, bergerak juga lah Lo Han
Tin.
Tapi si nona, bukan mengajak siauw Pek menentang, dia justru
menyerukan para pendeta itu. "Lekas letakkan senjata kalian. Kalian
sudah tak dapat menggerakkan tangan kalian-" Si pendeta setengah
tua tertawa terbahak.
"Apa katamu, siecu? " tanyanya, mengejek. "Kata katamu
membuat pinceng tak mengerti”
“Kataku, kalian sudah tidak dapat menggerakkan tangan kalian"
si nona menegaskan. Pendeta itu heran-
" Kenapa kah? " tanyanya.
Sahut si nona, "Jikalau kalian tidak percaya, cobalah jalankan
pernapasan kalian"
Semua pendeta heran sekali, tanpa merasa, mereka mendengar
kata. Rata rata mereka lalu bernapas. Dan selekasnya menarik dan
mengeluarkan napas, semua lalu berdiri tertegun, paras mereka
berubah menjadi pucat. Tak ada seorang jua yang maju terus atau
menggerakkan tubuhnya. Itu disebabkan ketika mereka bernapas,
mereka merasa nyeri di dalam perut mereka, bagaikan telah terkena
racun.
soat Kun mengawasi mereka itu, iapun berkata pula. "Asal kamu
menggerakkan pernapasan kamu, racun didalam tubuhmu akan
segera bekerja. Bukannya aku menakut nakuti, tapi bagaimana biar
liehay tenaga dalam kalian tak akan sanggup melawan racunku ini"
siauw Pek heran menyaksikan semua pendeta berdiri mematung
itu, mengertilah sekarang ia bahwa Nona Hoan tidak bicara dusta. ia
tidak menanya si nona, tetapi ia berkata didalam hatinya. "Kiranya
nona ini pandai menggunakan racun."
Sekali lagi si nona berkata kepada semua pendeta. "Nah, telah
aku peringatkan kepada kalian," lalu seperti berbisik, ia mengajak
ketuanya. "Mari kita pergi." Siauw Pek mengerti, dia menurut.
"Minggir" dia berseru terhadap musuh, sedangkan pedangnya
dipakai mengancam.
Pendeta yang ditegur itu seharusnya dapat menggerakkan
tongkatnya untuk menghalau pedang itu akan tetapi dia tidak dapat
berbuat begitu seluruhnya. Dia mengangkat tongkatnya, baru
setengah jalan, senjatanya sudah diturunkan lagi, lalu sambil
menekap perutnya, dia jalan minggir siauw Pek tidak menikam,
hanya pedangnya dipakai menepuk bahu kiri pendeta itu, yang telah
tak berdaya, maka juga segera dia kena terhajar, dia roboh
terguling. Semua pendeta lainnya kaget dan heran, mereka
mengawasi mendelong...
siauw Pek bergerak pula, pedangnya diputar untuk mengancam
semua lawan-Mereka itu kaget, otomatis mereka menggerakkan
masing masing senjatanya, tapi mendadak semua merasakan
perutnya nyeri sekali, hingga diluar kehendaknya, semua lalu pada
berjongkok sambil memegang perutnya.
siauw Pek menggunakan tangan kirinya, menotok beberapa
pendeta yang ada dekat dengannya, terus bertindak maju.
Beberapa orang pendeta, yang berada di garis belakang, menjadi
heran sekali mendapatkan kawan kawan mereka yang berada
disebelah depan itu pada jongkok. Hati merekapun gentar. Pikir
mereka benar benar musuh liehay. Didalam waktu begini singkat
mereka bisa melumpuhkan Lo Han Tin..." Ketika mereka melihat
Siauw Pek bertiga mendekati, mereka tidak merintangi, mereka
cuma mengawasi sambil bersiap siap.
siauw Pek maju sampai dimuka pendopo besar toatian-Disitu ada
dua orang pendeta yang menjaga pintu "Kami numpang tanya,"
katanya kepada kedua pendeta itu, "dimana adanya ketua kamu, It
Tie Taysu? "
Kedua pendeta sudah siap menyerang ketika mereka mendapat
kenyataan musuh bicara sabar dan tidak niatnya menyerang,
mereka lalu saling memandang, setelah mana yang disebelah kiri
membuka mulutnya: "Tuan, ada perlu apakah tuan mencari ketua
kami? " Rupanya dua orang ini cuma bertugas menjaga.
"Kami hendak menemuinya," sahut Siauw Pek. "Kamu lihat
sendiri kita sudah bertempur siang dan malam dan telah roboh
banyak korban. Kamupun harus ketahui, tidak ada niat kami
memusuhi pihak kamu "
Kedua pendeta berpikir sejenak. lalu yang tadi menjawab, "Jalan
terus ketimur sepuluh tombak. lalu belok ke utara " Siauw Pek
memberi hormat.
"Terima kasih " katanya, yang terus berjalan kearah yang
ditunjuk itu.
soat Kun yang mengikuti bersama adiknya, memesan-"Kita
memasuki jauh kurungan musuh, kau harus tabah hati dan berhati
hati "
"Aku mengerti, nona," sahut sianak muda "Pasti It Tie sudah
mendapat tahu apa yang adi disini."
Lekas juga mereka sudah melalui sepuluh tombak lebih. Ketika
mereka menoleh mereka melihat, dihadapan mereka, ditanah
berumput ada seorang pendeta tengah berdiri diam. Jubah dia itu
berwarna kuning. Karena dia berdiri membelakangi, tak tampak
mukanya. Siauw Pek menghentikan tindakannya.
"Pastilah ini suatu jebakan," pikirnya. "Mungkinkah kita
menyerbunya? "
soat Kun tahu ketuanya ini ragu ragu, ia berkata. "Lekas maju..
Kita menggunakan kesempatan tipu dia ini untuk menemukan it Tie.
Berulang kali dia kalah, pasti dia jeri dan waspada, mana dia mau
memberi kesempatan kita dengan mudah saja mencarinya? "
siauw Pek suka mendengar kata-kata si nona akan tetapi karena
ia tetap ragu-ragu, tak tenanglah hatinya.
"Janganiah berjalan terlalu cepat" Nona Hoan memperingatkan-
"Lebih baik kalau sebentar bengcu mendatangi dia lebih dekat "
siauw Pek berjalan sambil berpikir. "Terang si pendeta lagi
memancing, kita justru mau menelan pancingnya itu. Bukankah ini
berarti menyerahkan diri masuk dalam perangkap? Kamu berdua tak
lihay ilmu silatmu, lalu aku mesti sekalian melindungi kamu.
Bagaimana? "
Selagi berpikir itu, lekas juga tibalah sianak muda dekat
sipendeta, sejarak setombak lebih.
Tiba tiba saja pendeta itu menoleh dan bertanya dingin, apa
ketiga tamunya ini ingin mengharap ketuanya.
Ketua Kim Too Bun mendongkol sekali. Pendeta itu, usia lebih
kurang tiga puluh tahun, bukanlah It Tie. "Ya" sahutnya keras.
"Dimana dia? "
Pendeta ini berkata pula, dingin- "Jikalau memang kamu hendak
menemui ketua kami itu, lebih dulu kamu harus meletakkan senjata
kamu " Siauw Pek gusar.
"Aku hendak minta kau mengikuti kami" bentaknya, lalu
tangannya digerakkan-
"Tahan" Soat Kun berseru.
Nona ini tidak dapat melihat akan tetapi Soat Gie
memberitahukannya, maka itu, ia lalu mencegah. Siauw Pek batal
menikam, bahkan ia mundur dua tindak. "Kenapa? "
"Kita sudah masuk didalam kurungan, percuma kau bunuh dia."
Siauw Pek melihat keempat penjuru. Tidak ada seorang pendeta
juga yang tampak. Didua arah, barat dan utara terdapat rimba,
jauhnya lima tombak lebih, misalkan disana ada bersembunyi
musuh, masih ada kesempatan buat mundur. Maka itu ia heran-
Walaupun ia tidak bisa melihat, Soat Kun tahu baik gerak gerik atau
sikap sianak muda Sebab Soat Gie cerdas dan bermata tajam dan
dia selalu mengisikinya segala apa kepada kakaknya itu."
"Turuti permintaannya, letakkan senjata." terdengar kata sinona
pula. Siauw Pek makin heran, tetapi ia menurut. Ia melemparkan
pedangnya. "Masih ada golokmu itu" berkata si pendeta, dingin
Kembali siauw Pek menurut. Ia mencabut goloknya dan
melemparkan pula ketanah. Pendeta itu menghela nafas perlahan.
"Tuan tuan, silahkan turut aku," katanya sungguh sungguh. Dia
berpaling untuk jalan-Siauw Pek mengawasi pedang dan goloknya
itu, katanya didalam hati: "Itulah warisan kedua guruku, terutama
golok mustika itu, bagaimana aku dapat membiarkannya? Kenapa
nona Hoan bersandiwara begini rupa? Bagaimana kalau kita
menghadapi musuh tangguh? Tidak bisa lain, mesti aku
mengandalkan kedua tanganku saja..."
Pendeta itu membawa ketiga tamunya kesebuah ruang dimana
terdapat banyak pendeta, disana tampak It Tie Taysu duduk
bercokol di atas sebuah kursi, wajahnya muram. Ketika dia melihat
sipendeta pengantar, dia bertanya tawar: "Apa kau kau tidak mati? "
Pendeta itu menjawab: "Teecu menghendaki dia meletakkan
dahulu senjatanya, baru teecu menghendaki dia menghadap
hongthio. Nyatanya dia menuruti semua kata kataku, hingga teecu
jadi tidak mempunyai kesempatan untuk turun tangan
terhadapnya."
Mendengar jawaban pendeta itu, siauw Pek berpikir: "Ditempat
terbuka seperti tadi itu, andai kata kau hendak bunuh aku, tanpa
ada yang bantu, tak mungkin tercapat maksudmu"
Wajah It Tie tetap suram. Dia mengulapkan tangannya. "Baiklah
Sekarang kau boleh beristirahat" demikian perintahnya.
Pendeta itu menurut. Dia memutar tubuh dan berlalu. Sekarang
ketua Siauw Lim Sie itu menatap tajam ketiga tamunya.
"Kamu hendak bicara apa? " sapanya kaku. "Bicaralah "
soat Kun menyahut tenang. "Anggota anggota kuilmu yang lihay
sangat besar jumlahnya, sebaliknya jumlah kami sedikit sekali, maka
itu kami hendak minta taysu."
It Tie memotong dingin, "Mungkin karena kamu tahu bahwa
kamu tidak bakal lolos maka kamu hendak memohon damai dengan
punco? "
Siauw Pek sementara itu menghitung jumlah para pendeta, kirakira
dua puluh orang, yang semua lengkap bersenjata serta
matanya mengawasi tajam kearah pihaknya. Ia memikir-mikir
bagaimana harus melayani mereka itu andai kata pertempuran
mesti terjadi. Soat Kun tidak menghiraukan sikap orang yang tawar
itu. "Apakah Taysu dapat menerima baik? " ia bertanya.
"Jikalau kamu menghendaki jiwa kamu, jalannya cuma satu "
menjawab pendeta kepala itu, suaranya itu tetap dingin.
Dengan sabar Nona Hoan mengangkat tangannya. "Seseorang,
asal dia ingin hidup apa juga dapat diperbuatnya." sahutnya pula.
"Siapa tahu selatan, dialah si orang gagah, demikianlah ajaran
orang jaman purba kala" berkata It Tie, nyaring. "Karena kamu tahu
bahwa kamu tidak dapat membangkang lagi, tak usah kamu banyak
pikir pula." Mendadak saja si nona memperdengarkan suaranya.
"Taysu" katanya, "andaikata tempat kita bertukar^
bagaimanakah sikapmu nanti? "
It Tie menjawab lantang. "Letakkan senjata manda ditelikung,
menyerah atas segala keputusan kami."
"Bagus" berseru sinona, yang nada suaranya berubah: "Sekarang
kamu boleh melemparkan senjatamu dan menyerahkan diri kamu
untuk ditelikung" It Tie heran hingga ia tertawa keras. "Eh, siecu,
apakah kau sudah menjadi edan? " tanyanya. Soat Kun tetap
berlaku tenang.
"Di detik ini kamu sudah tidak mempunyai kesanggupan
berkelahi lagi" berkata si nona. "Jikalau kamu tidak mau
melemparkan senjatamu, apakah kau hendak menantikan
kematianmu?"
Bukan main gusarnya si pendeta. "Eh, kau ngaco belo apa? "
teriaknya.
"Jikalau kamu tidak percaya, taysu, silahkan kau coba
menyalurkan napas mu," berkata sinona, tenang. "Selama kita
berbicara tadi, aku telah menggunakan kesempatanku untuk
menyentilkan bubuk racunku yang tak berwarna dan tak berbau
untuk kau sedot”
“Jika kata katamu benar, kamu bertiga juga terkena racunmu itu"
"Kami datang dengan bersiap siaga, kami sudah lebih dahulu
memakai obat pencegahnya.”
“Oh, perempuran busuk. Seharusnya dari siang siang aku berjaga
jaga terhadapmu"
"Ini dia yang dibilang, satu salah, semuanya Taysu sudah kalau,
sudah seharusnyalah kau mengakuinya."
It Tie tidak menghiraukan kata kata orang yang menusuk rasa
keagungannya, diam diam ia bernafas. Begitu ia menarik nafas,
begitu ia merasakan nyeri dalam perutnya. Tentu saja, kagetnya
tidak kepalang.
Selagi si ketua berdiam, para pendeta lainnya turut berdiam juga
. Seperti si ketua diam diam mereka itu sudah bernafas dan benar
saja masing masing merasai perutnya nyeri.
Selama itu Siauw Pek memasang mata secara diam diam, bersiap
untuk sesuatu kemungkinan ia bisa melihat para pendeta berdiam,
tak ada yang bersikap hendak maju menyerang.
"Apakah benar benar mereka semua telah terkena racun,"
pikirnya.
"Para taysu, apakah sekarang kamu sudah percaya kata kataku?
" kemudian terdengar suara si nona.
Semua pendeta berdiam, cuma mata mereka itu diarahkan pada
ketua mereka. Rupanya mereka menanti jawaban atau isyarat
ketuanya. Dengan perlahan, It Tie memberikan jawabannya.
"Tidak salah, kami semua telah terkena racun" katanya.
"Itu artinya," berkata si nona, "di dalam mengadu kecerdasan ini,
kau kalah"
"Sekarang apakah perintahmu, nona? " tanya It Tie. Tak mau dia
langsung mengutarakan, atau mengakui, kekalahannya itu.
"Kami mengharap." menjawab sinona, "supaya taysu meng
eluarkan perintahmu menarik kembali semua orangmu yang
mengurung kami, untuk menanti sampai waktunya para tianglo
memunculkan diri" It Tie mengangguk.
"Baik! punco berikan titahku" sahutnya. "Nah mana obat
pemunah racunnya? "
"Jangan kesusu taysu," berkata si nona. "Racun yang aku
gunakan itu bersifat keras tapi pun luar biasa. Asal kamu tidak
menggerak gerakkan nafasmu dan tidak berkelahi menggunakan
tenaga, racun itu tak akan bekerja"
"Apakah siecu mau artikan supaya aku mengeluarkan saja
perintahku membubarkan pengurungan tetapi obat pemunahnya tak
mau siecu berikan? " it Tie tegaskan"
Aku ingin pihakku berjalan sama sama kamu, taysu. Kami mau
menanti sampai para tiang loo sudah keluar, baru aku hendak
memberikan obat pemunahku.”
“Siecu, kau pandang punco orang macam apakah? " It Tie
mendongkol.
"Aku tak peduli taysu orang macam apa. Bukankah jiwa taysu
cuma satu? Kalau taysu tidak takut mati, tak usahlah taysu
menerima baik syaratku ini "
Tenang sikap sinona tapi kata-katanya bernada kepastian-Hanya
sedetik, ia segera berkata keren-"Coba kasih mereka lihat " Katakata
itu ditujukan kepada Siauw Pek.
"Ya, nona" sahut sianak muda, yang segera meluncurkan sebelah
tangannya.
Itulah serangan terhadap seorang pendeta. Dia ini wajar saja
mengangkat sebelah tangannya untuk menangkis.
Maka beradulah tangan mereka dan suaranya terdengar cukup
keras. Akan tetapi lebih keras adalah jeritan kesakitan dari
sipendeta, yang segera berjongkok sambil memegangi perutnya.
It Tie Taysu terperanjat. Dia mengawasi orang itu. wajah
sipendeta meringis ringis menahan nyeri, mukanya bermandikan
peluh dingin, yang turun menetes. Nyata sekali dia lagi menderita
siksaan sang nyeri.
Soat Kun tidak dapat melihat kesudahan perintahnya itu tetapi ia
tahu segala sesuatu, Soat Gie terus mengisikinya.
Semua pendeta lainnya kaget juga . Korban itu adalah suheng
atau kakak seperguruan mereka. Didalam hati, mereka pada
mengatakan^ "Teranglah sinona bukan hanya menggertak."
"Bagaimana taysu, apakah taysu telah melihat? " kemudian Nona
Hoan tanya ketua Siauw Lim Sie itu.
"Ya" sahut sipendeta.
"Demikianlah, taysu Siapa untuk membela diri sendiri saja tak
mampu, mana dia sanggup menolong lain orang" demikian berkata
sinona.
It Tie bungkam, cuma matanya mengawasi dua orang pendeta
dikiri dan kanannya.
Soat Kun menanti jawaban dengan sia sia, maka ia berkata^
"Kelihatannya taysu masih kurang percaya. Pastilah taysu ingin
mencoba coba, bukan? " Mendengar perkataan sinona, Siauw Pek
maju dua tindak menghampiri It Tie. Kedua pelindung ketua itu
maju, untuk menghadang sianak muda.
Melihat aksi orang, Siauw Pek menggerakkan kedua tangannya
untuk menepuk kedua orang itu. Sesudah melihat contoh,
sebenarnya kedua pendeta itu takut untuk menangkis, akan tetapi
mereka terpaksa. Mereka tidak dapat berdiam saja. Begitulah
mereka menggunakan tangan mereka, guna melindungi diri.
Segeralah tangan kedua belah pihak beradu satu dengan lain,
suaranya keras. Menyusul itu kedua pendeta terpukul mundur, terus
mereka berjongkok sambil memegangi perut mereka. Bahkan
mereka ini menderita terlebih hebat daripada kawannya yang satu
itu. Selain mandi peluh, mereka juga merintih-rintih "Itulah bukti
bahwa racun sudah mulai bekerja" berkata Nona Hoan-"Asal kamu
mengerahkan tenaga dalam kamu, racun akan bekerja lebih hebat,
hingga ususmu akan melilit melingkar-lingkar, nyeri bukan kepalang
tak akan kamu sanggup bertahan walaupun tubuhmu tubuh emas
atau baja. Para suhu, siapakah yang tak mau percaya aku? Silakan
coba"
Belum berapa lama suara nona berhenti, mendadak seorang
pendeta kesakitan, terus dia berjongkok sambil memegangi
perutnya.
Pendeta itu tidak diserang oleh Siauw Pek dan juga dia tidak
membokong Soat Kun, dia menjerit dan kesakitan sendiri, hingga
semua kawan menjadi heran-Nona Hoan lalu berkata: "Taysu
sekalian rupanya masih tidak percaya aku. Nah, inilah buktinya
Sekarang siapa ingin mencoba, cobalah mengerahkan napas atau
tenaga dalamnya" Pendeta yang kesakitan seorang diri itu berdiam,
dia menderita terus.
Semua pendeta berdiam, mata mereka mendelong. Tidak ada
seorang juga yang berani mencoba mengerahkan tenaga dalamnya.
Mata mereka semua diarahkan kepada It Tie seorang.
oleh karena ketua Siauw Lim Sie itu tetap membungkam, Soat
Kun berkata pula^ "Ada pepatah mengatakan, 'Menangkap penjahat
menangkap rajanya Menghajar ular menghajar kepalanya' Mungkin
pepatah itu cocok untuk kita sekarang. Kuil kamu terjaga kokoh kuat
dunia telah mengetahuinya, tapi kamu lihat sendiri, sekarang kami
dapat memasukinya secara merdeka. Kamu sendiri aneh, para
taysu, Sudah jelas ketua kamu yang sekarang tidak terang asal
usulnya tetapi karena kamu jeri terhadap aturan kuil kamu yang
keras, kamu tidak berani mengutarakan rasa hatimu sejujurjujurnya...
Buktinya, walaupun kamu sudah terkena racun, tanpa
perintah ketua kamu, masih kamu tidak sudi melepaskan senjata
kamu masing-masing, tak mau kamu manda ditelikung. Sekarang ini
cara yang paling baik ialah menyuruh ketua kamu merasakannya
sendiri, merasai penderitaan seperti ketiga kawanmu itu, barangkali
barulah dia insyaf."
Berkata begitu, Nona Hoan berpaling kepada ketuanya. "coba
serang It Tie barang dua jurus" demikian perintahnya.
Dengan mukanya tertutup Caia, tak ada seorang pendeta juga
yang bisa melihat wajah nona ini, hingga juga tak ada yang ketahui
bahwa ia sebenarnya tidak bisa melihat apa "Baiklah" Siauw Pek
menjawab sinona, terus dia bertindak kearah ketua Siauw Lim Sie
itu.
Melihat sianak muda maju, semua pendeta turut pula mendekati
ketua mereka. Mereka tahu bahwa mereka sudah tidak dapat
berkelahi, tapi toh mereka masih hendak melindungi juga .
Menampak demikian, Siauw Pek mangagumi aturan dari Siauw
Lim Sie yang sangat ditaati itu. Walaupun begitu ia tidak menjadi
jeri, bahkan ia berkata kepada mereka semua: "Para suhu,
walaupun kamu semua turun tangan, tak akan kamu dapat berbuat
suatu apa. Tak nanti kamu dapat bertahan dari satu saja tanganku"
Kata-kata itu ditutup dengan gerakan tangan kanan terhadap It Tie.
JILID 39
Seorang pendeta setengah tua melompat maju, untuk
menghadang dengan tubuhnya didepan ketuanya. Dia tahu dia tak
dapat menangkis, dengan berani dia pasang tubuhnya sebagai ganti
sasaran Tepat dan telah serangan sianak muda mengenai dada
pendeta itu, maka tak ampun lagi, dia mengeluarkan jeritan
tertahan, terus dia jongkok dengan kedUa tangannya diperutnya
"oh, para suhu, kamU semUa memikir keliru" berkata Soat Kun.
Ia buta tapi ia seperti dapat melihat. "Asal kamU bergerak tanpa
menyalurkan napas, masih ada harapan racun didalam tubuhmu tak
berdaya. Demikian tentu anggapan kamu itu, Itulah keliru
Sebenarnya, asal tubuh kamu digerakkan, tentu kamu menderita"
"Para suhu" Siauw Pek berkata nyaring. Ia tidak menghiraukan
suara Nona Hoan-"Para suhu, jikalau kamu tetap tidak mau
menyingkir terpaksa aku hendak menurunkan tangan kejam. Jangan
kalian menyesal atau mengatakan aku telengas"
It Tie melihat suasana buruk itu, yang tak dapat dihindarkan lagi.
"Kamu semua minggir" akhirnya ia memerintahkan. Semua pendeta
itu menyahuti, semua mundur dengan serentak.
"Kini bagaimana? " kemudian It Tie bertanya kepada Siauw Pek.
"Nona Hoan menghendaki taysu ikut pada kami pergi kedalam
rimba," sahut sianak muda
"Jikalau punco tidak turut pergi? "
"Tak bisa lain, taysu harus merasai sedapnya racun" It Tie
berbangkit ayal ayalan.
"Lekas minta pulang senjatamu" Soat Kun berkata kepada Siauw
Pek.
Siauw Pek ingat pedang dan goloknya itu. Didalam keadaan
seperti sekarang, senjata tak dibutuhkan, tetapi lain waktu. ia pula
tak bisa kehilangan kedua senjatanya itu. Maka ia terus berkata
kepada sipendeta
"It Tie, kau perintahkah orang mengembalikan pedang dan
golokku"
"Itulah bukan urusanku" kata It Tie ketus.
"Biar bukan urusanmu, kau toh harus mengurusnya juga. Lekas
perintah orang antarkan kemari, atau akan aku totok jalan darahmu
yang disebut Ngo-im ciat hiat, supaya kau rasakan bagaimana
sedapnya darah berjalan berputar arah serta juga bekerjanya
racun." gertaknya.
Paras It Tie tetap tenang akan tetapi hatinya guncang hebat
sebab takutnya. Maka ia menoleh kepada orang orangnya dan
mengatakan sesuatu kepada satu diantaranya para pendeta.
Hanya sebentar muncullah seorang kacung pendeta yang
membawa pedang Thian Kiam dan golok Pa Too, dilihat dari
tindakannya yang gesit terang kacung itu tidak terkena racun.
"It Tie licin, perlu aku bersiaga," pikir si anak muda. Segera si
kacung tiba didepan Siauw Pek.
"Apakah ini pedang dan golok siecu? " tanyanya sambil dia
mengangsurkan kedua senjata itu, sikapnya hormat.
"Benar," jawab Siauw Pek mengangguk.
"silakan siecu periksa, supaya jangan salah." Siauw Pek
menghunus goloknya.
"Golok ini tak salah," katanya sambil goloknya itu dimasukkannya
kedalam sarungnya. "Apakah pedangnyapun perlu diperiksa? "
"Tak usahlah," jawab Siauw Pek percaya. Kacung itu menjura
terus dia mundur.
Dengan pedang dan goloknya telah kembali, legalah hati sianak
muda.
"Apakah kita membawa dia pergi? " Siauw Pek bertanya kepada
Soat KUn.
"Ya. Dia seorang saja sudah cukup," sahut si nona.
Siauw Pek menoleh pada It Tie "Taysu mari berangkat. Apakah
mesti kami mendesak? " It Tie menoleh kepada semua orangnya:
"Apakah nona menghendaki pinceng turut kamu? " dia bertanya.
"Kemanakah? "
"Kedalam rimba," sahut Soat Kun. "Kami tak ingin melukai
banyak orang, dari itu kami membutuhkan taysu, supaya kami tak
usah sampai diserbu para pendeta." It Tie memandang Nona Hoan
itu.
"Nona, pinceng kagum atas kepandaianmu menggunakan racun,"
katanya, "cuma...”
“cuma apakah, taysu? " tanyanya.
"Sejak memasuki kuil kami selalu nona mengenakan Cala, apakah
maksudnya itu? ”
“Apakah itu mengganggumu, taysu? "
"Siang hari terang benderang toh ada bintang muncul..." katanya
seorang diri.
Siauw Pek heran, hingga ia mengangkat kepalanya. Hanya langit
biru, bintang tidak ada sama sekali.
"Ah, apakah pendeta ini sudah edan? " pikirnya.
"Apakah taysu ingin melihat bintang disiang hari begini? " Soat
Kun bertanya.
“Heran " pikir Siauw Pek. "Mengapa Nona Hoanpun bicara begini
rupa? "
"Apakah kata nona? " It Tie tanya, alisnya berkerenyit.
"Apakah taysu tidak mengerti? " sinona membaliki.
"Ya, benar punco tidak mengerti," jawab pendeta itu.
"Matahari dan rembulan berputaran tak hentinya," berkata
sinona. "Begitu juga pemandangan alam bisa berubah-ubah.
Sekalipun urusan didalam dunia, urusan apakah yang bakal tak
berubah juga? ”
“Maksud siecu, apakah..."
"Aku maksudkan soal-soal manusia, yang biasa muncul yang
barunya, lalu semuanya berubah mengikuti sang waktu..."
It Tie menoleh kepada Siauw Pek. "Bagaimana siecu? " tanyanya.
Soat Kun menyela "Sang hari masih banyak taysu, jangan
terburu-buru" Siauw Pek makin tidak mengerti.
"Apakah yang mereka bicarakan? " ia tanya dirinya sendiri. "Yang
satu bicara soal bintang yang lain tentang manusia. Itu sama artinya
dengan bertanya kepada kerbau dengan mulut kuda..."
Saking bingung, ingin sianak muda menanyakan kepada soat
Kun. Tapi ia mendengar si nona sudah berkata pula: "Mari lekas kita
memasuki rimba. Jangan membiarkan mereka menanti terlalu lama
"
Dan sinona mempercepat langkahnya, mendahului yang lainnya.
It Tie turut bertindak cepat juga , untuk menyusul sinona, dia
berjalan dibelakang nona itu.
Hanya sebentar, tiba sudah mereka didalam rimba dimanaBan
Liang dan yang lainnya justru hendak keluar untuk menyusul
mereka. Mereka ini berlega hati berbareng heran, sebab tampak It
Tie diantara nona-nona dan ketuanya itu.
Segera setelah mendekati Siauw Pek, separuh berbisik, sijago tua
bertanya kepada anak muda itu: "Ketua Siauw Lim Sie mestinya
dilindungi berlapis lapis pembelanya, kenapa dia sekarang dapat
dibawa kemari secara mudah begini? "
"Nona Hoan telah menggunakan kepandaiannya," sahut Siauw
Pek. "Semua pendeta lainnya dapat dipengaruhi maka juga pendeta
ini dapat dipaksa datang kesini."
soat Kun berdua mengajak It Tie sampai di bawah sebuah pohon
besar, disitu si pendeta lalu duduk bersila. Kedua belah pihak lalu
berbicara perlahan suaranya. Karena terpisahnya jauh, Siauw Pek
tidak dapat mendengarnya. Hanya selang sesaat, sinona tampak
bertindak ke arahnya.
Ketika itu Giok Yauw dan Oey Eng tetap melakukan penjagaan
dibatas tin, mereka memasang mata keempat penjuru sambil
bersiap sedia untuk memberi laporan atau isyarat apa ada perlunya.
Selama tadi itu, karena pihak Siauw Lim Sie terus berdiam, Ban
Liang sekalian dapat kesempatan berjaga jaga sambil beristirahat.
Nona Hoan menghampiri Ban Liang. Katanya^ "Kita telah
mempunyai orang tanggungan tak usah kita khawatir pihak Siauw
Lim Sie nanti menyerbu kita. Baiklah minta semua kawan agar
beristirahat."
Ban Liang menerima baik anjuran itu dan menyampaikannya
pada Giok Yauw semua.
Siauw Pek diam diam memperhatikan It Tie Taysu. Sipendeta
duduk diam seorang diri saja. Mau atau tidak^ ia heran dan
khawatir.
"Tak mudah sipendeta dibawa kemari," pikirnya. "Mana dapat dia
dibiarkan terus berdiam seorang diri saja? Jika dia merat, bukankah
itu akan mendatangkan kepusingan? Bagaimana andaikata dia
datang menyerang bersama semua muridnya? Bukankah itu
berbahaya?" Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, maka ia
menghampiri Soat Kun dan bertanya, "Nona membiarkan sipendeta
berdiam seorang diri, apakah kau tidak takut kabur? "
"Jangan khawatir, tak apa apa," sahut nona. "Dia tengah
memikirkan sesuatu, sebelum dia dapatkan pemecahannya, tak
nanti dia kabur"
"Masih ada satu soal lagi, nona"
"Apakah itu, bengcu? silahkan perintah"
"Tadi... di tengah jalan, apakah yang nona bicarakan dengan it
Tie Taysu? ”
“oh, kau dengar itu? Kau merasa anehkan? ”
“Tak cuma heran, bahkan bingung"
"Itulah suatu rentetan kata kata rahasia, yang aku sendiri masih
belum mengerti..."
"sebenarnya, apakah yang nona bicarakan dengannya? "
"Aku ingin memancing dia memecahkan kata kata rahasianya itu
serta hubungannya...”
“Kalau nona sendiri tak mengerti, mungkinkah dia? " Siauw Pek
bertanya pula.
soat Kun tak menjawab. Dia memakai cala, tidak tampak
airmukanya. Hanyalah Soat Gie yang tertawa, Malam dan siang,
setiap detik, adik ini selalu mendampingi kakaknya, dia mirip
bayangan si nona cerdik pandai itu. Apa segala yang ia lihat dan
dengar, semuanya itu diberitahukannya kepada kakaknya. Dilain
pihak, ia bersikap seperti juga ia tak memperhatikan segala sesuatu
Sebab tak peduli ada kejadian apa menggembirakan ataU
berbahaya, air mukanya tidak berubah. Dia selalu tenang tenang
saja. Hingga kemudian, seperti melupakannya. Tapi kali ini, diluar
kebiasaannya, dia tertawa. maka juga dia menarik perhatian Siauw
Pek semua.
Siauw Pek berpaling. Melihat wajah orang, ia menjadi
kesengsam. Kecuali tawanya itu merdu, kecantikan Soat Gie sangat
menakjubkan "Jikalau dia dapat bicara, sungguh dialah nona paling
istimewa..." pikir ketua ini...
Perhatian si anak muda terhadap soat Gie berhenti sampai disitu,
sebab ia telah mendengar suaranya soat Kun. Kata nona penasehat
itu "sebegitu jauh aku berbicara dengannya, aku masih belum
melihat pemecahannya...”
“Agaknya dia mulai bercuriga," Siauw Pek menyatakan "Dia
hanya merasa aneh, maka juga dia menggunakan otaknya untuk
memikirkannya."
"Sekarang kita sudah menawan ketua Siauw Lim Sie dan
mengekangnya, bagaimana tindakan kita selanjutnya? ”
“Bagaimana pikiran bengcu sendiri? "
"Menuruti suara hatiku, ingin aku segera membalaskan dendam
kesumatku," sahut si anak muda, ragu ragu, "akan tetapi sekarang,
aku mendapat serupa perasaan lain..."
"Apakah itu, bengcu? Apakah kelainan itu? "
"Sekarang aku merasa bahwa dendam keluargaku seperti telah
menjadi satu dengan suasana dunia Sungai Telaga seluruhnya,
maka juga sekarang aku tak kesusu dengan niatan pembalasanku
itu..."
"Bagus, bengcu Bagus kau telah memperoleh pengertian itu"
"Maka itu, nona, bagaimana sekarang kita harus bertindak? "
"Yang paling utama ialah kita berbicara dengan para tiang loo
Siauw Lim Sie itu."
Waktu mereka berdua bicara sampai disitu, tampak Ban Liang
datang bersama Giok Yauw dan yang lainnya.
"Banyak capai, Nona Thio" Soat Kun mendahului menyapa. Ia
tidak melihat tetapi kisikan tangan Soat Gie memberitahukan ia
siapa siapa yang menghampirinya.
"Terima kasih, Nona Hoan" Giok Yauw membalas.
Soat Kun segera berkata kepada Ban Liang. "Ban Huhoat, aku
mohon bertanya sesuatu.”
“Oh, nona" berkata sijago tua. "Nona titahkan saja"
"Peperangan tak mengenal kelicikan atau kepalsuan, bukan? "
berkata si nona, "Dengan satu pada lain menjadi musuh, bukankah
kita dapat menggunakan segala macam siasat atau akal? "
"Benar Didalam dunia Sungai Telaga, keadaanpun mirip seperti
itu. Terhadap musuh tidak soal jujur atau adil lagi"
"Kalau begitu, baiklah" berkata nona Hoan "Sebentar aku hendak
mohon Ban Huhoat bekerja"
"Kerjaan apakah itu, nona? "
"Untuk menotok jalan darah It Tie Taysu"
"Apakah nona maksudkan aku menotok secara membokong? "
Ban Liang tegaskan-
"Benar Kita telah menculik ketua Siauw Lim Sie, walaupun para
tiangloo tidak puas pada ketuanya itu, biar bagaimana, mungkin
mereka itu akan berdaya menolongi ketuanya..."
Nona Hoan berhenti sejenak. untuk menarik napas lega.
"Selama ini kita memang telah bertempur dengan jago-jago
Siauw Lim Sie, akan tetapi, mereka itu baru termasuk jago jago
kelas dua atau tiga," Nona Hoan melanjutkan "Tidak demikian para
tiangloo itu. Karena ada kemungkinan kita nanti bentrok dengan
mereka itu, sekarang haruslah kita beristirahat."
Kata-kata si nona benar, maka Ban Liang semua menurut. Lalu
semua beristirahat.
Siauw Pek tidak dapat beristirahat sepenuhnya. Ia tetap
bercuriga dan khawatir It Tie kabur, maka itu, senantiasa ia melirik
kepada pendeta itu.
Di luar kecurigaan si anak muda, It Tie bersikap sangat tenang.
Dia seperti tak menghiraukan bahwa orang mengawasinya. Dia
duduk tenang sekali, bahkan dia seperti sedang berdiam didalam
rimba ini Selewatnya beberapa waktu, didalam rimba itu tampak
muncul dua orang pendeta. Mereka itu bergerak kearah ketua Siauw
Lim Sie. Teranglah mereka itu datang dengan niat menolong ketua
mereka.
Siauw Pek memasang mata, ia meliaht datangnya kedua pendeta
itu. Segera ia melompat bangun dan menghunus pedangnya. Ia
hendak mencegah
Tiba-tiba terdengar suara perlahan dari Soat Kun disisinya:
"Lekas duduk kembali. Tenang tenang saja mengawasinya."
"Mereka itu mau menolong It Tie..." kata si anak muda.
"Jikalau It Tie mau kabur, sekarang sudah terlambat, tak akan
keburu kau mencegahnya." kata pula sinona.
Sianak muda melengak. "Nona Hoan benar..." pikirnya.
Maka itu lalu duduk pula, matanya mengawasi si pendeta itu
serta kedua pendeta yang datang hendak menolongnya.
It Tie mengawasi kedua pendeta itu, bibirnya bergerak gerak.
Kemudian kedua pendeta lalu menjura, setelah mana, keduanya
terus mengundukan diri, berlalu dari tempat itu. Teranglah ketua
Siauw Lim Sie itu menampik pertolongan orang orangnya.
Diam diam Siauw Pek berpikir "Luar biasa Bukankah It Tie
mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri? Disekitar kita ada
banyak pendeta lainnya, asal dia kabur, pasti mereka itu akan
menghalang halangi pihakku yang akan mengejarnya Kenapa dia
tak mau pergi? "
Dengan perlahan pemuda ini berpaling kepada soat Kun, sambil
mengawasi sinona, ia berkata didalam hati^ "Tak tahu dengan cara
apa nona ini dapat membuat It Tie suka tunduk terhadapnya.
Sungguh aneh..."
Tiba-tiba sianak muda mendengar pertanyaan nona itu.
"Apakah kau merasa aneh? "
"Benar," jawab sianak muda terus terang. "Makin lama aku makin
bingung."
"Semasa hidupnya guruku," sinona memberi keterangan, "ia
sering mengajari aku perihal sifat manusia, tentang pelbagai
perasaannya, terutama mengenai kelemahannya. sifat itu terbagi
tiga macam. Gutuku berkata, makin seorang jahat dan kejam, makin
dia takut mati..."
Sinona menghela napas, setelah itu ia melanjutkan^ "it Tie
adalah tergolong lemah hatinya Dia cerdas dan licik, dia kejam
sekali, tetapi diapUn. takut mati. Maka itu, asal kelemahannya itu
dapat dikuasai, dia dapat dipengaruhi"
"Oh begitu, nona? " kata sianak muda, heran dan kagum. "Jadi
dia takut mati disebabkan dia khawatir racun didalam tubuhnya
nanti bekerja membetot nyawanya? Dia takut nanti tak tertolong
maka juga tak berani dia buron"
"Terkaan kau benar sebagian saja, bengcu," berkata Soat Kun.
"Siauw Lim Sie mempunyai macam obat juga obat pemunah racun,
kalau It Tie dapat pulang, dia bisa menolong diri dengan memakai
obatnya itu. Itulah berarti sebagian harapan hidupnya. Kenapa dia
tak mau mencobanya? "
"Inipun benar," Siauw Pek mengakui didalam hati. Tapi toh ia
bertanya: "Habis, kenapa It Tie tetap tidak mau lari? "
soat Kun menjawab, perlahan^ "Dia bersangsi, dia mencurigai
aku adalah konconya. Dia menyangka aku sedang menjalankan
tugas di dalam kuil Siauw Lim Sie, kedudukan it Tie sangat tinggi
dan mulia, akan tetapi dimana Seng Kiong Sin Kun, dia tak lebih tak
kurang daripada seorang prajurit pesuruh. Maka itu dia sangat
menghormati orang orang dari Seng Kiong."
"Apakah sebabnya itu, nona? "
Sianak muda tetap belum mengerti jelas.
"Sebabnya ialah, Sebelumnya It Tie menjadi ketua partainya dia
sangat menginginkan dan mengharap harap kedudukan ketua partai
itu. Lalu datang orang orang Seng Kiong, yang membantu dia
memperolehnya. Dengan begitu mungkinkah orang seng Kiong
memperkenankan dia melakukan apa yang dia suka? Pastilah
kemerdekaannya dikekang dengan pelbagai cara"
"Siauw Lim Sie besar dan kuat, tak dapatkah Siauw Lim Sie
memberontak dan melawan Seng Kiong? "
"Nah, disini kita kembali kepada sifat manusia, kepada
kelemahannya, ia cacatnya" berkata sinona. "Sebenarnya, didalam
hatinya, tak nanti It Tie tunduk dengan sesungguh sungguh hatinya,
tetapi suasana, atau keadaan, memaksanya tunduk. Yang paling
diakui olah It Tie bukanlah soal Seng Kiong nanti mengirim
orangnya yang liehay untuk datang ke Siauw Lim Sie merampas
jiwanya. Sebagai ketua Siauw Lim Sie, dia dapat mengatur
penjagaan kuat guna melindungi keselamatannya. Seng Kiong boleh
mempunyai banyak orang kosen tetapi tak usah It Tie khawatir.
Yang dia takuti yaitu takut nanti Seng Kiong membeber rahasia
kejahatannya. Kalau rahasianya dibeber, dia bukan saja bakal tak
menjadi ketua Siauw Lim Sie lagi, bahkan sebaliknya, dia akan
menjadi simurid murtad, murid pendurhaka secara demikian didalam
waktu sekejap saja dia bukan ketua Siauw Lim Sie yang diagungkan
dan dimalui"
“Habis nona, bagaimana nona dapat membuatnya menuruti
segala kehendakmu, buat duduk berdiam saja tanpa bergerak
bergeming? "
"Itulah sebabnya pertama-tama dia takut racun nanti bekerja,
dan kedua dia mencurigai akulah orang Seng Kiong, karena itu, tak
berani dia menantang aku."
"Jikalau demikian adanya, habis kenapa nona tak
menginginkanBan Huhoat menotok jalan darah pendeta itu? "
"Tepat pertanyaan ini, bengcu Tidak saja bengcu gagah perkasa
tapi juga kau cerdas sekali, kau telah maju pesat sekali. Bilang terus
terang, kecerdasan orang tampak dari kecerdikannya, dari cara
pemikirannya yang lengkap sempurna, yang nyalinya besar dan
teliti. Di dalam ilmusilat itu berarti pandai mencari bagian bagian
tubuh yang lemah dan berbahaya untuk dijadikan sasaran
penyerangan-.."
Nona Hoan berhenti sejenak, baru ia menambahkan^ "Sekarang
ini It Tie tengah mencurigai aku sebagai utusan Seng Kiong, tetapi
nanti kalau kita berbicara dengan para tiangloo, pasti kecurigaannya
itu bakal segera lenyap sendirinya, lalu dia telah merasa merdeka
seluruhnya..."
Selagi mereka bicara itu, tiba tiba tampak satu bayangan orang
melesat datang. Kiranya itulah Han In Taysu, yang datang untuk
menyampaikan laporan. Sambil berdiam dekat muda mudi itu,
pendeta itu berkata, "Nona Hoan suasana rupanya."
"Apakah itu? " tanya si nona.
"Baru saja loolap turun dari atas pohon," menjawab sang
pendeta tua. "Selagi memasang mata keempat penjuru, loolap
melihat muncul tak kurang dari pada lima ratus jiwa pendeta Siauw
Lim Sie yang tengah mendatangi kearah sini... Mungkin mereka
hendak mengurung kita..."
"Apakah sekarang sudah tiba waktunya para tiangloo muncul? "
tanya si nona. Han in menengadah kelangit.
"Mungkin belum waktunya..."
"Kalau begitu, perintahkanlah semua orang bersiap ditempatnya,
tetapi dengan sedikit perketat diri" Nona Hoan menitahkan.
"Nona," berkata Han in heran, "kalangan Ngo Heng Tin sudah tak
luas, kalau itu diperkecil pula. bukankah kita jadi berada ditempat
kecil? "
"Inilah terpaksa, taysu," berkata Soat Kun.
Ketika itu Ban Liang bersama Oey Eng, Kho Kong dan Giok Yauw
telah datang berkumpul. Bertambah kuat kepercayaan dia itu
terhadap Nona Hoan sejak si nona menawan it Tie taysu.
Segera nona itu memesan: "Kecuali sangat terpaksa, jangan
huhoat sekalian turun tangan Ban huhoat tolong perhatikan, begitu
lekas para tiangloo muncul, segera kau totok It Tie beberapa kali,
jangan terlalu keras dan juga jangan terlalu ringan, cukup asal dia
tak dapat bicara dan bergerak. Ingat, jaga jangan sampai dia roboh

“Baik, nona," Ban Liang memberikan janji.
Nona itu menghela nafas. Ia berkata pula. "Inilah saat penting
terakhir, harap kalian waspada, tak dapat kita membuat para
tiangloo gusar, atau misaikan kita bisa taklukkan it Tie, itu tak ada
gunanya. Yang penting ialah membuat semua pendeta Siauw Lim
Sie tunduk dengan hati ikhlas"
"Apakah nona telah memperoleh kepastian? " tanya Ban Liang.
"Aku masih ragu ragu tapi aku mengharap sangat bisa
menaklukkan pihak Siauw Lim Sie."
"Bagaimana cara nona hendak berbicara dengan para tiangloo
itu? " tanya pula Ban Liang. Dia berduka hingga dia menarik nafas.
Dia ragu-ragu.
"Aku akan menunjukkan kenyataan kepada mereka. Yang
kukuatirkan ialah mereka memberati muka mereka hingga mereka
tak sudi menggubris hal yang sebenarnya. Apabila itu terjadi,
pertumpahan arah tak dapat dihindarkan lagi."
"Apakah rencana nona andaikata kita mesti bertempur? " Ban
Liang masih menanya.
"Tak dapat kita mengandaikan tenaga kekuatan saja”
“Bicara buruknya, nona, bagaimanakah sikapmu? "
"Jikalau terpaksa, mesti kita tumpas Siauw Lim Sie hingga dia tak
akan dapat bangkit pula "
"Sungguh hebat," pikir sijago tua. "Sudah berabad-abad Siauw
Lim Sie berkenamaan, sungguh sayang kalau dia runtuh ditangan
seorang wanita..." Karena berpikir begitu, ia segera berkata
perlahan: "Kalau bisa, nona, janganlah kita menanami permusuhan
hebat dengan pihak Siauw Lim sie..."
"Itu juga maksudku, Ban Huhoat. Harap kau melegakan hati,
Kecuali sangat terpaksa, tak nanti aku mengambil jalan terakhir.
Kita cuma ingin lolos dan selamat, bukan? "
Mendengar pembicaraan itu, Giok Yauw dan lainnya berpikir
masing masing. siauw Pek percaya penuh kepada kemampuan si
nona. Buktinya It Tie dapat ditawan secara mudah sekali.
Giok Yauw baragu ragu.
Oey Eng dan Kho Khong kurang percaya, sebab setahu mereka,
Siauw Lim sie sesungguhnya sangat kuat.
Han In Taysupun bersangsi, ia separuh percaya separuh tidak.
Karena pikiran mereka itu berbeda, semua menjadi berdiam saja.
soat Kun dapat menerka hati sekalian kawan itu, maka ia segera
menambahkan. "Memang sulit kita mengandal kepada kekuatan
tenaga saja, walaupun demikian, mesti ada jalan pemecahannya. "
Pembicaran mereka terputus oleh kata kata Han In Taysu "Ada
orang lagi mendatangi. Mungkin ditawannya It Tie ada yang
melaporkan, maka juga para tiangloo muncul siang siang."
Siauw Pek segera berpaling. Iamelihat datangnya seorang
pendeta tua dengan jubah putih, yang jalannya perlahan, pertanda
dari kesabaran dan ketenangan-Dia datang seorang diri tanpa
membekal senjata. Mestinya dia datang bukan untuk bertempur.
Selekasnya dia datang dekat, pendeta itu menghentikan
tindakannya. Dia tidak menanti sampai ditegur atau disapa. Segera
dia mengangkat tangannya memberi hormat seraya berkata:
"Loolap ialah su Kay. Diantara Siecu sekalian, siapakah yang
memegang tampuk pimpinan? "
"Ada pengajaran apakah, taysu? " tanya Soat Kun.
"Para tiangloo kami mendengar halnya diantara siecu sekalian
dengan pihak Siauw Lim Sie telah terjadi salah paham benarkah itu?
"
"Itulah benar. Apakah pendapat taysu? "
Mata Su Kay menatap It Tie "Loolap diutus datang kemari untuk
mengundang satu atau dua siecu datang ke kuil kami untuk
menemui para tianglo. Entah siecu dapat menerima undangan ini
atau tidak? "
"Baik, taysu, kami bersedia," sahut Soat Kun "Tetapi, kami minta
supaya ketua kamu ditinggal disini sebagai orang tanggungan."
Berkata begitu, si nona segera mengangkat naik tangannya
merapikan rambutnya, yang turun dikedua pipinya. Dia membawa
sikap yang wajar sekali, sedang Soat Gie tersenyum.
Ban Liang telah dipesan si nona, melihat gerak-gerik si nona itu,
mengertilah ia akan tugasnya. Ia segera bertindak kepada It Tie
untuk menotok pendeta itu.
It Tie tidak berdaya, mudah saja ia kena ditotok. Ia tidak
memperlihatkan reaksi. Tetapi Su Kay Taysu yang liehay melihat
perbuatan Ban Liang, ia dapat menerka maksudnya itu, ia menjadi
kurang puas.
"Siecu sikapmu ini kurang tepat " katanya.
"Apakah itu, taysu? " si nona berpura2 pilon.
"Semenjak berdirinya, pihak siauw Lim Sie belum pernah dipaksa
orang" jawab Su Kay. "Nona telah menculik ketua kami, itulah satu
soal, tetapi sekarang, tengah kita berbicara, kenapa ketua kami itu
ditotok jalan darahnya? "
"Selama kami menawan ketua kalian, taysu, tak pernah kami
menotok dia." berkata Nona Hoan, menerangkan "tetapi sekarang
karena taysu datang mengundang kami untuk menemui para
tiangloo, terpaksa kami membuat penjagaan."
"Kalau ketua kami tak ditotok," berkata pula Su Kay dingin,
"kenapa sejak tadi-tadi walaupun dia melihat loolap, dia bersikap tak
tahu menahu. Tak peduli? ”
“Dia tengah berpikir banyak hal, dari itu dia tak melihat taysu."
Su Kay sangat sabar, bisa ia menguasai diri "Diantara siecu, siapa
kah yang akan pergi? "
"Itulah bengcu serta kami berdua saudara, bertiga orang. Jumlah
ini terlalu banyak atau tidak? "
"Yang mana bengcu siecu itu? Dapatkah loolap menemuinya? "
tanya Su Kay itu. Siauw Pek maju dua tindak.
"Itulah aku yang rendah," sahutnya. Ia memperkenalkan diri
tanpa menanti isyarat dari Soat Kun lagi.
Su Kay menatap tajam anak muda itu, sinar matanya dingin.
"Sungguh siecu sangat muda," katanya sabar.
"Taysu cuma memuji" berkata sianak muda.
Masih Su Kay mengawasi ketika ia berkata "Menurut aktanya
murid murid Siauw Lim sie, siecu mahir sekali menggunakan golok
dan pedang, apabila ada kesempatannya, pastilah loolap sudi
menerima pengajaran dari kau, siecu..."
"Jikalau taysu sudi memberi pengajaran kepadaku, rela aku
menemaninya." sahut Siauw Pek.
Mendengar suara orang yang polos dan merendah itu, Su Kay
Taysu tertawa bergelak. "Sungguh seorang muda yang gagah"
pujinya.
"Para tianglo pastilah tengah menantikan kita," Soat Kun
menyela, "karena itu, taysu, mengingat usiamu yang tinggi, aku
percaya, tidakkah karena kata kata taysu ini, taysu akan
menghambat urusan besar kita..." Su Kay merasai teguran halus itu.
Ia mengangguk.
"Benar," katanya. "Baiklah, nanti saja habis pertemuan dengan
para tiangloo, baru loolap belajar kenal dengan kepandaian bengcu.
Masih belum terlambat, bukan? Nah, dapatkah kita berangkat
sekarang? "
"Sembarang waktu, taysu"
"Mari loolap yang mengantarkan" berkata pula si pendeta, yang
terus memutar tubuh dan membuka langkahnya. Soat Kun berpaling
kepada Han In Taysu. "Segala apa disini aku serahkan kepada
taysu," pesannya.
Pendeta tua itu mengangguk. "Akan loolap coba," sahutnya.
sekarang si nona menoleh kepada Siauw Pek. "Mari kita
berangkat" katanya. Ia merapihkan calanya. Demikian mereka
berangkat dengan Su Kay Taysu berjalan dimuka.
Nona Hoan dapat berjalan dengan leluasa, walaupun sebelah
tangannya terus berada pada bahu Soat Gie. Siapa yang tidak tahu
pasti tak akan menyangka bahwa ia bercacat kedua matanya.
Siauw Pek berjalan didepan kakak beradik itu, sejarak dua tindak.
Sesudah melintasi beberapa halaman, tibalah rombongan ini
disebuah halaman dimana tertanam segundukan pohon bambu
hijau. Disitu terdapat banyak sekali pendeta, yang semua
mempersenjatai diri, yang mengawasi para tetamunya dengan sinar
mata tajam akan tetapi tak seorang punjua yang mengganggu.
Tiba dimuka pintu, Su Kay Taysu menghentikan tindakannya.
"sudah sampai" katanya, memeritahu "Silahkan masuk "
Pendeta ini masih saja panas hatinya tetapi ia tetap menguasai
diri, untuk terus berlaku tenang dan hormat.
Siauw Pek mengangkat kepalanya, untuk melihat papan dimuka
pintu itu. Ia membaca tigahuruf "Tay Pie Ih" Jadi itulah halaman
maha kasih, yang tertuliskan huruf huruf air emas.
"Silahkan, taysu" berkata Soat Kun, yang telah memperoleh
kisikan Soat Gie,
"Maaf," berkata Su Kay, yang kemudian memimpin masuk.
Dengan sabar Siauw Pek bertiga mengikuti pendeta itu, masuk
kedalam halaman. Didalam sini banyak pohon bunga, yang
mengitari sebUah pavilyUn, yang seluruhnya diberi berwarna
kuning. Undakan tangannya berjumlah tujuh tingkat.
Su Kay Taysu bertindak naik pada tangga itu, untuk masuk
kedalam pavilyun.
Siauw Pek mengikuti bertindak masuk. Karena ia tahu ia berada
ditempat berbahaya,
kedua tangannya meraba gagang golok dan pedangnya. Ia
bersikap tenang tapi waspada.
Didalam pavilyun, asal wangi mengepul bergulung gulung,
menyerang hidung mendatangkan rasa nyaman-Diantara kepulan
asap itu tampak sembilan orang pendeta tua tengah duduk bersila.
Jubah mereka berwarna abu abu. Diantara mereka itu terdapat juga
su Lut, sedangkan Su Kay bersila dipaling ujung.
Sembilan pendeta duduk sambil meluruskan tangan
kehadapannya, tangan kanan berada atas tangan kirinya.
Menyaksikan sikap para pendeta itu, rasa hormat Siauw Pek
datang sendirinya.
"Para taysu, terimalah hormatnya coh siauw Pek yang bertingkat
lebih muda," katanya sambil memberi hormat.
Pendeta yang duduk paling tengah, yang usianya paling tua
membuka matanya. Dia mengawasi si anak mdua. "Silahkan duduk.
siecu," katanya, perlahan-Suara pendeta itupenuh dengan
kewibawaan.
siauw Pek mengambil tempat duduknya. soat Gie mengajak
kakaknya duduk disamping ketuanya itu. untuk mereka telah
tersedia pou toan, tempat duduk istimewa untuk kaum pendeta.
Pendeta yang ditengah itu mengangguk kepada Soat Kun berdua,
dengan hormat ia menanyakan she dan nona nona itu.
Soat Kun yang menjawab, menyebut namanya sendiri serta nama
adiknya itu. Pendeta tua itu berkata pula, perlahan lahan: "Kalian
bertiga datang ke siauw Lim Sie ini dan telah melakukan kekerasan
hingga bagaikan langit terbalik dan bumi ambruk. juga kalian telah
menurunkan tangan jahat membinasakan dan melukai banyak murid
Siauw Lim Sie kami, apakah maksud kalian? "
Nona Hoan yang mananggapi pertanyaan pendeta itu. Ia
berkata: "Partai taysu dipandang umum sebagai gunung Tay San
atau bintang Pak Tauw dari kaum Rimba Persilatan, semua orang
Rimba Persilatan menghormatinya. Partai taysu kecuali ilmu silatnya
sangat tersohor juga jumlah anggotanya banyak sekali, tenaganya
besar bukan main. Masih ada lagi, yaitu partai taysu sejak beberapa
ratus tahun biasa mengutamakan kebenaran dan keadilan, setiap
terdapat bencana dunia Sungai Telaga, orang orang partai taysu tak
mau berpeluk tangan saja, selalu suka membantu
menghindarkannya. Maka juga dimata kami, penghormatan kaum
Rimba Persilatan terhadap partai taysu adalah karena kebenaran
dan keadilan yang dijunjung itu."
"Siecu cuma memuji" berkata sipendeta. "Tapi loolap ingin lekas
lekas mengetahui duduk kejadian yang sebenarnya, maka itu tolong
siecu terangkan apa maksudnya maka siecu sekalian telah
menyerbu masuk ke dalam kuil ini hingga terjadinya peristiwa itu
yang menyedihkan. . . "
"Maksud kedatangan kami sebenarnya untuk mencari kebenaran,
untuk menyelesaikannya," sahut Soat Kun, "akan tetapi diluar
dugaan kami ketua kalian sudah mengandalkan kekuatan untuk
menindas si lemah, dia telah memerintahkan para muridnya
mengurung dan menyerang kami. Demikianlah, karena terpaksa,
kami sudah melakukan usaha membela diri kami"
"oleh karena itu lalu siecu menggunakan tangan jahat siecu itu
membunuh dan melukai beberapa murid kami? " tanya sipendeta
itu.
"Pada saat membela diri mati matian, itulah sesuatu yang
terpaksa," kata Nona Hoan-"Dalam hal ini kami mohon maaf!!"
Pendeta itu berdiri sejenak. baru dia berkata pula^ "Tak peduli
apa maksud kedatangan siecu sekalian, akan tetapi kalian telah
melukai banyak murid siauw Lim Sie, hal itu sungguh tidka tepat
Loolap menjadi ketua dari Tiang Loo Hwee, mana dapat loolap
bertopang dagu tak mengurusnya..."
"Tiang Loo Hwee" ialah musawarah para tiangloo, pendeta
pendeta tua dan Agung.
Berkata begitu pendeta tua mengangkat mukanya. Ia menghela
napas.
"Sudah beberapa ratus tahun Siauw Lim Sie berkenamaan,
dapatkah itu dibiarkan saja? "
"Dengan demikian, taysu," berkata soat Kun "karena cuma
membela nama besar dari Siauw Lim Sie lalu kebenaran dan
keadilan hendak diambaikan."
Pendeta itu menoleh kepada delapan pendeta lainnya, "Nah,
sutee sekalian," katanya "Kalian telah dengar kata kata siecu ini,
bukan? " Dengan serempak. kedelapan pendeta itu menjawab
mengiakan.
"Sekarang sutee sekalian," kata sipendeta tua pula,
"bagaimanakah pandangan kalian? Silakan utarakan itu dengan
terus terang." Su Kay Taysu yang mulai bicara.
"siauwtee mempunyai satu pemandangan yang cupat," katanya.
"Siauwtee" ialah "adik kecil" untuk membahasakan dirinya sendiri
sebagai adik. "Pandanganku benar atau keliru tolong suheng dan
sute sekalian menimbangnya."
"Bicaralah, sutee."
"Mereka demikian bernyali besar telah mendatangi dan menyerbu
kuil kita ini, itu tentu ada maksudnya, karena itu, siauwtee minta
suheng dan sutee sekalian mencari tahu sebab yang sebenarnya
itu." kata Su Kay.
Seorang pendeta, yang duduk dikiri ketua itu, lalu berkata.
"Siauwtee tak berani menyetujui pikiran Su Kay sutee." Dialah Su Ie.
Sipendeta tua mengernyitkan alisnya. "Apakah pendapatmu,
sutee? " tanyanya.
"Walaupun perkataan Su Kay sutee mempunyai alasan tetapi
urusan dalam kita tak dapat dibeberkan dihadapan orang luar" kata
pendeta itu
“Habis, begaimana pendapat suheng? " langsung Su Kay tanya
kakak seperguruan itu.
"Menurut pikiranku," Su Ie menyatakan terus terang. "paling
dahulu kita tangkap hidup semua orang Kim Too Bun yang
menyerbu kuil kita ini, terus kita hukum mati sesudah itu baru kita
urus urusan dalam kita sendiri."
su kay Taysu menghela napas perlahan-"Sungguh kukagum buat
kesetiaan Su Ie suheng yang hendak membela nama baik kita,
kaum Siauw Lim Pay" berkata ia bersabar "akan tetapi dengan
terlebih dahulu menawan orang lalu hendak dihukum mati
semuanya, itulah satu soal pertanyaan-" Su Ie tertawa lebar.
"Apakah itu yang menjadi soal pertanyaan? "
"Pihak Kim Too Bun mendatangi siauw Lim Sie tentu karena ada
sebab atau maksud," kata Su Kay pula. "Kalau mereka ditangkap
terus dibunuh, bukankah perkara jadi sukar diterangkan? Inilah
yang menjadi soal atau pertanyaan yang kumaksudkan itu. Inilah
pertanyaan yang pertama..."
"Bagus" Su Ie berseru. Lalu "Dan yang kedua? "
"Yang kedua sangat sederhana" sahut Su Kay. "Apakah orang
orang Kim Too Bun dapat mudah ditawan? Jikalau mereka melawan,
pegangan apa kita punyai yang kita pasti dapat membekuk mereka?
" Su ie tersenyum.
"Sutee menangkan lain orang, sebaliknya merendahkan diri
sendiri, apakah maksudmu?" dia tanya. Nada suara itu mengejek,
berirama menghasut.
"Siauwtee bicara dengan sejujurnya."
Su Ie berkata pula. sombong "Jikalau ada perkenan dari ketua
kita, hendak ku menawan ketiga orang dihadapan kita ini untuk
membuka matamu, sutee " Su Kay menyesal sekali.
"Selagi kita bicara dari urusan benar, kau menyimpang, suheng,"
pikirnya. "Kenapa kau turuti saja suara hatimu? Tapi, kalau kau
tidak diberi ajaran, kau tentu tak puas..."
Maka ia lekas menjawab: "Baiklah, suheng, kau boleh coba, aku
hendak menyaksikannya "
"Baik" berseru Su Ie gusar. "Sekarang juga loolap akan bekuk
yang dua, saksikanlah" Su Ie tua dan beribadat, dia menyebut
demikian rupa, terang bahwa gusarnya bukan buatan.
Pendeta yang ditengah itu berkata sabar: "Sudah, sutee, jangan
kalian berselisih paham"
Su Ie tidak mau mengerti. Katanya: "Telah siauwtee
mengucapkan kata-kata, harap suheng menepati kata-kata ku itu"
Pendeta tua itu tertawa hambar.
"Kesulitan didalam dunia Rimba Persilatan umumnya disebabkan
keruwetan perselisihan, karena benar dan salah," kata dia, sabar.
"Kenapa sutee mendongkol didalam urusan ini? "
"Buatku ialah kata-kataku telah dikeluarkan" Su Ie masih
membela. "Bahkan kata-kata ku itu telah didengar sendiri oleh
musuh. Diluar dari duduk persoalannya, kata kataku telah menjadi
soal tersendiri. Maka itu, suheng, beri perkenanlah kepadaku" pada
akhirnya pendeta tua itu terdesak.
"Jikalau demikian pandanganmu, baik, suheng dapat memberi
perkenan kepada kau," katanya. "Tapi benar apa yang dikatakan Su
Kay sutee, sebelum kita tahu pasti duduk peristiwanya, tak dapat
kita melukai atau membinasakan orang, maka itu, sutee, kau dapat
turun tangan tapi jangan kau sembarang melukai orang”
“Siauwtee berjanji," berkata Su Ie, yang terus bangkit perlahanlahan.
siauw Pek, yang mendengari saja perselisihan mulut itu, berkata
didalam hatinya: "Didalam Siauw Lim Sie ada pendeta yang tak sudi
membedakan benar atau salah, yang main mengeloni, itu artinya
tak mungkin ada murid yang tak manja... Dia memaksakan
kehendaknya, baiklah, dia harus diberi sedikit ajaran..."
Su Ie sementara itu sudah menghampiri soat Kun bertiga, dia
berhenti sejarak tigakaki, segera dia menantang. "Kalian menjadi
pemimpin pemimpin Kim Too Bun pastilah ilmu silat kalian mahir
sekali"
Siauw Pek melirik kedua Nona Hoan, lalu ia bangkit. untuk berdiri
tegak.
"Begitulah taysu boleh anggap" katanya singkat, bernada
sombong. "Nah, ada apakah pengajaran taysu? " Su Ie memandang
tajam.
"orangnya masih muda sekali, kenapa bicaranya begini kurang
ajar? " katanya dingin.
Siauw Pek menyahut tenang. "Taysu tidak menaruh hormat
kepada kami, dari itu, kami pun tak usahlah menghormati taysu"
Su Ie gusar, katanya keras. "Kalau begitu, tak salahlah ciangbun
sutit kami"
Degnan "ciangbun su tit" diartikan Su Ie ketuanya yang baru,
yaitu It Tie Taysu. It Tie menjadi ketua (ciangbunjin) tapi dia
menurut tingkat derajat menjadi "sutit" yaitu "keponakan murid".
Siauw Pek tidak mendengar kata apa apa dari soat Kun, ia tahu si
nona menyetujui sikapnya ini. Terang Nona Hoanpun tidak puas
terhadap pendeta yang keras kepala dan takabur itu. Maka itu, ia
berkata: "Taysu tua dan agung tetapi dalam urusan ini taysu
mengabaikan kebenaran. taysu bersikap terlalu keras dan
melindungi yang sesat, maka itu," lalu dia berkata sabar, " orang ini
sangat sombong, suheng telah melihat dan mendengarnya sendiri.
jikalau siauwtee tidak mengajar adat padanya, dimana nama baik
Siauw Lim Sie hendak ditaruh? "
Sembilan pendeta itu termasuk tiang lo yang dihormati, kecuali
Su ie seorang yang lainnya tetap tenang, bahkan airmuka tak
berubah sedikit juga . Pendeta yang ditengah itu memandang Siauw
Pek sebentar, dia berdiam terus.
Su Ie tidak mendengar suara pendeta itu, dia menyangka ketua
tiangloo itu menjemputnya, maka juga dia memandang Siauw Pek
untuk menanya dengan suara sombongnya "Bagaimana sekarang?
Kamu menghendaki lohu turun tangan atau kamu ingin mengikat
diri kamu sendiri? "
Siauw Pek tetap berlaku tenang.
"Kami datang kemari tanpa niat sedikit jua untuk menempur
taysu" sahutnya sabar.
"Walaupun kau tidak mengandung maksud bertempur tetapi kau
sangat sombong, dalam hal ini saja sudah selayaknya kamu
mendapat hukuman "
Siauw Pek merasa bahwa pertempuran tak dapat dihindarkan
lagi, maka ia juga lalu berkata sungguh sungguh: "Jikalau taysu
hendak mencoba coba kepandaianku, tak bisa lain, terpaksa aku
yang rendah bersedia untuk melayani "
"Sungguh mulut besar" berseru Su Ie "Awas"
Mendadak saja sipendeta keras kepala meluncurkan tangan
menyambar tangan kirisi anak muda.
Siauw Pek menarik tangannya itu sambil mundur dua tindak Ia
tidak mau menangkis atau membalas menyerang. Ia cuma
memasang mata tajam. "Kenapa kau tidak melawan? " Su Ie
menegur.
"Taysu berusia tinggi dan bijaksana, aku yang muda harus
mengalah," sahut Siauw Pek merendah.
Nampak Su Ie sangat mendongkol. Tapi dia tertawa dingin dan
berkata: "Jikalau lolap salah tangan dan melukai kau, itulah salahmu
sendiri "
Kata kata itu ditutup dengan serangan kedua sebelah tangan
saling susul. Hebat serangan itu sebagaimana anginnya saja sudah
menghembus keras.
Ketua Kim Too Bun berlaku sabar, tetapi lincah. Ia mengelit diri
dari dua serangan itu. Walaupun demikian, ia terperanjat juga .
Anginnya itu membuatnya risi.
"Amat gesit" Su Ie memuji sambil dia tertawa dingin, serentak
dengan mana, dia mengulangi serangannya. Kali ini tangan
kanannya melayang kearah dada. Panas juga hati sianak muda.
Tawa itu tak sedap bagi telinganya.
"Jikalau aku tidak membalas dan memberi rasa kepadanya, dia
tentu menyangka aku ini takut" pikirnya. Ia melihat serangan kali ini
sukar ditangkis, maka ia menghunus pedangnya sambil berseru:
"Awas..." lalu dengan pedangnya, hendak ia menyambut tinju
lawan. Melihat orang menggunakan pedang, cepat cepat Su Ie
menarik serangannya kembali.
Dilain pihak Siauw Pek, setelah orang batal menyerang,
meneruskan menikam kedadanya lawan-Su Ie mendongkol
serangannya dirintang pedang, dia merasa malu sebab dia dihadang
di depan sekalian saudara seperguruannya, dilain pihak, dia masih
ingat sipendeta ditengah, yang melarangnya bersikap terlalu keras.
Selagi pedang meluncur, dia berkata dalam hatinya. "Jikalau
didalam tiga atau lima jurus tak dapat aku kekang dia, sungguh
malu". Maka tak ayal pula, dia mengebut dengan tangan kanannya
untuk menyingkirkan ujung pedang, sedangkan tangan kirinya ia
membarengi menyampok.
Siauw Pek menyingkir kekiri, tak sudi ia memberikan tubuhnya
sebagai sasaran.
"Sebat kau berkelit" kata Su Ie tertawa dingin. Kembali dia
menyerang. Kali ini dengan tangan yang lainnya.
"Setiap serangannya berbahaya, tak bisa aku main berkelit saja."
Siauw Pek berpikir. "Rupanya pendeta itu, dalam gusarnya berniat
keras merobohkanku. Benarkah pertempuran ini mesti berakhir
dengan satu menang dan satu kalah? Kalau benar begitu kenapa
aku tak mau siang siang memutuskannya? "
Tengah anak muda ini berpikir, kembali serangan sipendeta
datang Kali ini, karena ia sedang berpikir Siauw Pek berlaku lambat.
Maka itu lengan kirinya kena tersentuh sedikit. namun itu juga
sudah hebat. Tanpa merasa ia mesti tertolak mundur lima tindak.
Lengannya itu terasa bagaikan beku. Melihat hasil serangan itu, Su
Ie berkata seorang diri. "orang ini cuma begini saja kepandaiannya,
kenapa kah banyak murid ku yang tak sanggup melayaninya?
bukankah itu disebabkan kebanyakan muridku tidak cukup
bersungguh sungguh mengejar kemajuan ilmu silatnya? " Kata kata
itu diucapkannya seperti disengaja supaya murid-muridnya
mendengarnya.
Sementara itu diam-diam Siauw Pek telah mengerahkan tenaga
dalamnya, untuk memulihkan lengan kirinya itu, sesudah itu ia
menyerang dengan satu tebasan.
Su Ie tertawa dinin. Dia mengebut dengan tangan bajunya.
Sebelum pedang dapat dihalau pendeta ini dapat terkejut. Pedang
lawan tidak meluncur terus, hanya berputar, pada lain kesempatan
berbalik dipakai menikam.
Melihat demikian, sipendeta dengan sebat mundur dua tindak.
Dia menaruh kaki untuk bersiap membalas menyerang. Tapi kembali
ia menjadi kaget, sebab kembali serangan sudah tiba Siauw Pek
mulai mendesak.
Su Ie sekali lagi mundur dua tindak. Dan sampai disitu, si anak
mdua sudah menyerang dengan tipu-tipu dari Tay Pie Kiam hoat
dengan cepat ia mengurung lawan dengan sinar pedangnya. Pedang
itu mengeluarkan cahaya berkilauan, Pendeta itu terkurung hingga
sulit untuk membalas menyerang. Kedelapan pendeta menonton
dengan penuh perhatian. Ketika tadi Siauw Pek terdesak mereka
acuh tak acuh. Sekarang lain Mereka memperhatikan dengan mata
mereka terbuka lebar. Inilah sebab Su Ie yang dibikin terkekang.
Hanya sebentar, belasan jurus telah berlalu. Masih Su Ie tak dapat
meloloskan diri, walaupun dia telah mencoba dengan segala jalan,
siauw Pek terus mengurung, kendati dia menyerang, tidak pernah ia
melukai lawannya itu.
Lagi delapan jurus dilewatkan, tapi mendadak pendeta tua yang
duduk ditengah itu, ketua Tiang Loo Hwee, yang sebenarnya adalah
Su Khong Taysu terdengar berseru. "Berhenti." Didalam telinga
Siauw Pek. suara sipendeta bagaikan guntur logam emas bentrok
dengan logam besi, ia menjadi kagum sekali.
“Hebat tenaga dalam pendeta ini." pikirnya Dan ia lalu berhenti
mengurung.
Su Ie telah mengeluarkan banyak tenaga, napasnya memburu.
Dia terkejut berbareng mendongkol. Justru si anak muda berhenti
menyerang, justru dia menyerang hebat sekali.
Itulah serangan diluar dugaan Siauw Pek. sukur ia dapat melihat
dan bisa berlaku sebat. Ia berkelit hingga cuma ujung bajunya yang
kena tertembus angin serangan maut itu.
"Sutee, berhenti" Su Khong berkata tawar. "Ilmu pedang siecu ini
mirip dengan Tay Pie Kiam hoat dari Kie Tong, biar bagaimana kau
tak akan sanggup melawannya."
Su Ie melengak. "ong Too Kiu Kiam? " tanyanya.
"Tidak salah" sahut Su Khong, yang terus menatap sianak muda
sambil dia terus menanya^ "Siecu she apa? "
"Aku yang muda she coh," sahut Siauw Pek hormat.
"coh apakah? " Su Khong tanya pula.
"coh Siauw Pek."
Pendeta tua itu nampak terkejut.
"Pernah apakah kau dengan coh Kam Pek dari Pek Ho Bun? "
tanyanya pula.
"Dialah mendiang ayahku, yang dikepung orang dan dibinasakan
dipuncak Yan In Hong." sahut Siauw Pek pula.
"oh, jadi kaulah turunan coh Kam Pek. Apakah kau datang kemari
untuk menuntut balas sakit hati ayahmu itu? "
"Maksudku datang kemari bukan untuk menuntut balas."
"Bukan buat menuntut balas? Habis, buat apakah? " Menanya
demikian pendeta tua itu mengerutakan alisnya. Lalu ia bertanya
pula: "Apakah kau menghendaki Siauw Lim Pay muncul untuk
mencampuri urusan dunia Sungai Telaga? "
"Demikianlah kira-kria."
su Khong menghela napas.
"Memang pada saat ini kaum Rimba Persilatan sudah
menghadapi ancaman petaka besar," katanya: "Kau masih sangat
muda, tetapi cita-citamu luhur, kau harus dipuji."
Ia merandek sebentar, untuk kemudian bertanya: "Apakah ilmu
silatmu warisan Thian Kiam Kie Tong? "
"Tidak berani boanpwee mendusta," sahut Siauw Pek. "Memang
itulah Tay Pie Kiam Hoat."
Pendeta tua itu mengangguk perlahan-"Kalau demikian taklah
heran banyak orang siauw Lim Sie yang terbinasa dan terluka,"
katanya pula.
Su Ie Taysu menyela: "Telah lama siauwtee mendengar nama
besar dari Kie Tong, sebegitu jauh belum ada kesempatan buat
menemukannya, sekarang tiba ahli warisnya, ingin sekali
siauwtee..."
Su Khong mengulap tangan memotong perkataan adik
seperguruan itu. Ia berpaling pada sianak muda untuk bertanya
pula: "sebegitu jauh yang loohu ketahui, kecuali pendeta Kie Tong
tidak menggunakan lain senjata pula. maka itu kenapa, selainnya
pedang, kaupun membawa golok."
Ditanya begitu, Siauw Pek berpikir dengan cepat, "Dapatkah aku
bicara terus terang? Bukankah aku belum tahu hati pendeta ini? "
dengan segera juga ia menjuawab: "Selain pedang, boanpwee
mempelajari juga ilmu golok."
Su Khong dapat menerka orang tidak mau bicara sejujurnya, ia
tidak memaksa. Ia memandang semua saudara seperguruan dan
murid muridnya yang hadir bersama, baru ia berkata pula pada
tetamunya bicaranya sabar: "Siecu telah mengacau didalam kuil
kami ini serta banyak mencelakai murid kami, pasti kedatangan
siecu bukan tak ada sebabnya, bukankah? "
"Demikianlah sebenarnya," sahut Siauw Pek, "Sebelum kami
datang kemari, kami sudah menuruti peraturan Siauw Lim Sie yaitu
lebih dahulu mengirim utusan menghaturkan kartu nama serta juga
menempuh ujian yang diwajibkan, walaupun demikian, kami masih
didesak dengan pelbagai cara hingga terpaksa kami, untuk membela
diri, menggunakan kaki tangan kami melakukan perlawanan-
Didalam satu pertempuran sulitlah untuk mencegah terjadinya
kecelakaan"
"Tetapi yang terbinasa dan terluka itu semuanya murid siauw Lim
Sie kami..." berkata Su Khong Taysu.
"Diantara beberapa orang kami juga ada yang terluka, taysu,
cuma saja taysu belum tahu," sahut sianak muda.
"Tapi," mendadak suara sipendeta menjadi keras, "kamu
memasuki kuil kami dengan sembarangan melukai orang bahkan
dengan tangan yang kejam, kamu menggunakan senjata rahasia
dan juga racun Bahkan itu berarti tak memandang mata kepada
siauw Lim Pay? "
siauw Pek hendak menjawab pendeta itu Soat Kun
mendahuluinya. Kata nona itu tenang tetapi tetap suaranya "Jumlah
murid Siauw Lim Sie hitung ratusan, mereka itu mengeroyok kami
yang jumlahnya cuma beberapa gelintir, maka itu kalau sekarang
kami beruntung menghadap dan bertemu dengan taysu, itulah
semua disebabkan rejeki kami besar dan usia kami panjang"
Mendengar suara si nona, Su Khong tertawa dingin. "Siecu she
apakah? " tanyanya.
"Boanpwee Hoan Soat Kun," sahut si nona. "Dan disisiku ini
adikku, Soat Gie,"
Su Khong tidak kenal nona nona itu, dia mengernyitkan alisnya.
Dia berkata: "Selama hampir seratus tahun ini, telah banyak orang
ternama yang loohu kenal, akan tetapi mengenai kalian berdua
belum pernah loohu mendengarnya. Mungkin itu disebabkan usia
siecu berdua yang masih terlalu muda? "
Ia diam sejenak. baru ia menanya pula : "Dapatkah siecu
memberitahukan nama guru atau orang tua siecu? Mungkin loohu
kenal..."
Mendengar suara orang itu, Siauw oek berkesan tak manis
terhadap pendeta tua ini, yang sebegitu jauh ia menerka jujur dan
adil.
"Nampaknya disini disini cuma Su Kaylah seorang yang dapat
disebut pendeta baik," pikirnya.
soat Kun menjawab tawar. "Almarhum guruku jarang sekali
muncul didalam dunia Kang ouw, kalau aku menyebutkannya, taysu
pun mungkin tidak mengenalnya”
“Lihat saja, siecu. coba kau sebutkan "
"Almarhum guruku adalah Hoan Tiong Beng" sahut si nona.
Su Khong terkejut hingga parasnya berubah. "Dimana adanya
sekarang gurumu itu? "
"Sudah lama guruku pergi kelain dunia."
Dari terkejut, roman Su Khong menunjukkan kegembiraan.
"Bagaimana eh, saudara Tiong Beng telah menutup mata? "
tanya Su Khong kemudian.
"Ya semenjak beberapa tahun yang lampau"
Pendeta itu mengangkat kepalanya, ia menarik napas panjang.
"Loolap kenal gurumu itu," katanya kemudian-"Pernah kami
berdua duduk berhadapan berbicara selama satu hari dan satu
malam tetapi pembicaraan belum berakhir juga . Loolap kagum
sekali akan kepandaian dan kecerdasan guru siecu itu."
Ia berhenti pula sebentar baru ia melanjutkan. "Itulah kejadian
sudah dua puluh tahun yang lalu, ketika itu siecu berdua mungkin
belum lahir."
JILID 40
"Kiranya Taysu adalah sahabat guru kami, oh maaf, kami kurang
hormat."
"Sebenarnya loolap beruntung sekali dapat berunding dengan
guru slecu itu," kata pula sipendeta. "Siecu, pastilah kau telah
mewarisi kepandaian gurumu itu."
"Kami berbakat tolol, walaupun kami mempunyai guru yang
pandai, kebisaan kami sangat terbatas," si nona memberitahukan.
Su Khong menggumam sebentar. "Sejauh ingatanku," katanya
"guru siecu itu selain pandai juga memuja pri-kebenaran, karena itu
tak mungkin dia menghendaki siecu menentang kami dari Siauw Lim
Sie."
Sedetik itu, kembali berubah nada suara sipendeta. Kembali dia
menunjukkan tak senang hatinya.
Soat Kun berlaku tenang seperti semula. Ia berkata. "Kami
datang kemari sama sekali tak dengan niat menentang, bahkan
kami berniat mengangkat Siauw Lim Pay dari tempat di mana dia
terbenam, supaya Siauw Lim Sie bangun pula seperti sediakala."
demikian katanya.
Kata-kata itu mendatangkan rasa tak puas kepada semua
pendeta itu, tetapi karena Su Khong berdiam saja, tak ada pendeta
yang berani bertindak atau bicara yang keras-keras.
Su Khong tersenyum. "Siecu, besar bicaramu " katanya.
"Sebenarnya bagaimanakah terbenemnya kami maka juga siecu
sampai datang hendak menolong mengangkatnya? " tanyanya.
Soat Kun merapikan rambut sisi telinganya "Taysu, apakah taysu
masih ingat peristiwa menyedihkan sepuluh tahun lebih yang lalu
itu? " ia tanya, sabar. "Ketika itu ketua kalian dan ketua ketua Bu
Tong Pay, Ngo Bie Pay dan Khong Tong Pay telah dibinasakan
orang"
"Itulah peristiwa yang memalukan Siauw Lim Sie Dikolong langit
ini tidak ada orang yang tidak tahu, karena itu mana dapat kami tak
mengingatnya? "
"Taysu, apakah taysu melihat sendiri mayat Su Hong Taysu itu? "
"Ketua keempat partai mati teraniaya, peristiwa itu sangat
menggemparkan, mana dapat loolap tak pergi sendiri ke Pek Ma
San, tempat kejadian itu? "
"Kalau begitu, tentulah taysu melihat sendiri mayat Su Hong
Taysu itu? "
Paras muka sembilan tiangloo itu berubah sendirinya, sikap
mereka jadi sangat bersungguh sungguh. Semua mata mereka
dengan tajam diarahkan kepada sinona. Tapi nona itu tertutup cala,
tak ada mata yang dapat menembusnya, untuk melihatnya dengan
tegas.
"Pernah loolap memeriksanya dengan teliti," sahut Su Khong.
"Dari pakaian dan juga barang barangnya, dia benarlah ketua kami."
"Hanya dari pakaian dan barang barang, dapatkah itu
diandalkan? "
Su Ie menyelak keren: "Peristiwa sudah lewat sepuluh tahun
lebih, sipembunuh juga telah dibinasakan, sekarang siecu
menimbulkannya pula, apakah maksud siecu? "
Nona Hoan tetap dengan sikap tenangnya.
"jikalau aku mengatakan sekarang ini Su Hong masih hidup,
apakah taysu sekalian suka percaya atau tidak? " Su Khong Taysu
melengak.
"Kecuali siecu dapat membuat loolap bertemu muka dengan
ketua kami itu, tak nanti loolap dapat mempercayaimu"
"Taysu, hanya karena muka terang dari Siauw Lim Sie, walaupun
taysu bercuriga, taysu tak sudi mengakuinya. Benar kataku ini,
bukan? "
"Amidha Buddha" demikian puji yang keras nadanya, yang keluar
dari mulut seorang tiangloo. "Suheng, wanita ini mengoceh tidak
keruan, dia hendak mengacaukan pikiran orang. dia tak dapat
dibiarkan saja. Harap suheng..."
"Menurut apa yang boanpwee tahu" Soat Kun mendesak, "bukan
saja ketua kamu itu mungkin masih hidup didalam dunia ini, juga
musuh kamu yang kuat sudah menempatkan mata matanya didalam
Siauw Lim Sie, untuk dia atau mereka dapat memegang kekuasaan
disini" Su Khong nampak heran.
"Siecu, apakah siecu merasa pasti? " dia bertanya. "Kira kiralah"
"Boanpwee bicara dari apa yang benar" Nona Hoan memastikan.
"Ada satu hal yang membuat boanpwee heran Sudah terang
didalam Siauw Lim Sie ada orang orang yang percaya akan kata
kataku ini akan tetapi mereka itu mengambil sikap menentang
hatinya sendiri, mereka memaksa mengatakan aku mengoceh tidak
karuan dan mengacaukan pikiran orang. Mereka itu mesti ada
maksudnya maka mereka tak mau mempercayainya. Entahlah apa
sebabnya itu"
"Apakah kata kata kosong saja dapat membuat orang percaya? "
Su Khong tanya.
Soat Kun berdiam Su Khong memang benar. Kata kata saja tanpa
tak ada gunanya. Maka ia memikir, bagaimana harus memberi bukti.
Dipihak para tiangloo, kemurkaan sudah mulai mereda. Bicara si
nona beralasan, tinggal buktinya saja.
"Taysu," tanya si nona kemudian, "apakah taysu kenal ketua Ngo
Bie Pay? "
"Kau maksudkan ketua yang mana? Ketua yang dulu atau yang
sekarang? ”
“Aku maksudkan ketua yang sama sama ketua kamu telah
terangnya itu."
"Kau maksudkan Han In Taysu? "
"Tidak salah Benar Han In Taysu"
"Beberapa kali loolap pernah bertemu dengan Han In Taysu itu.
Kesanku dalam, pasti loolap mengenalnya."
"Apakah taysu masih ingat wajah Han In Taysu itu? "
"Asal loolap melihat mukanya, tentu loolap akan mengenalinya.
Mungkinkah ada sesuatu yang tak sempurna? "
"Bagaimana kalau taysu cuma mendengar suaranya saja? " su
Khong nampak tidak puas.
"Siecu, kau terlalu banyak pernik" tegurnya. "Kau tanya cuma
mendengar suaranya saja. Apakah artinya itu? " Soat Kun berlaku
tenang seperti biasa.
"Maksudku, taysu," sahutnya, sabar, "kalau taysu tak usah
melihat orangnya, yaitu taysu cuma dengar suaranya, apakah taysu
mengenali dia benar ketua Ngo Bie Pay atau bukan? "
Su Khong berdiam untuk berpikir. "Didalam hal itu, loolap masih
belum pasti..."
Soat Kun agak kecele.
"Kenapakah, taysu? " tanyanya. "Apakah taysu tidak bersahabat
kekal dengan Han In Taysu itu? "
"Dialah ketua suatu partai, loolap memang tak bergaul erat
dengannya." Su Khong mengakui. "Siecu, kau hendak bicara
apakah? Aku minta kau bicara dengan terus terang. jikalau
pembicaraan kita ini tidak ada hasilnya, aku kuatir siecu sukar
meninggalkan kuil kami ini"
Soat Kun tidak menjawab permintaan atau ancaman itu,
sebaliknya, ia kata dengan berani^ "Telah lama boanpwee dengar
halnya para tiangloo dari siauw Lim Sie adalah orang orang
beribadat yang jujur dan bijaksana, yang agung martabatnya akan
tetapi siapa sangka sekarang ternyata merekalah orang orang yang
tak dapat dipercaya"
"Siecu, apakah siecu maksudkan karena loolap tak berdaya
mengenali Han In Taysu itu," Su Khong tanya.
Soat Kun tidak mengiakan, hanya ia berkata pula: "Boanpwee
kuatir kalau nanti ketua kamu yang terdahulu itu bertemu dengan
taysu sendiri, mungkin taysupun tidak mengenalinya "
"Dialah sutee dari loolap dengan siapa loolap telah tinggalbersama-
sama puluhan tahun, mustahil loolap tidak mengenalinya?
"
"Sutee" yaitu adik seperguruan. Kembali Su Khong tak puas.
Soat Kun berkata dingini "pengalaman sedih dari ketua itu hebat
tak ada bandingannya. Pengalamannya itu sama dengan
pengalaman Han In Taysu dari Ngo Bie Pay, Dia telah dirusak muka
dan anggota-anggota tubuhnya. Mana dapat taysu mengenalinya?
..."
Ia berhenti sebentar, baru ia menambahkan^ "buat
melindunginya nama besar Siauw Lim Pay, andaikata taysu dapat
mengenalinya juga taysu tak akan sudi mengenalinya" Mau atau
tidak, Su Khong Taysu menjadi gusar sekali.
"Dimana-mana kau menghina adik seperguruan kami, siecu"
katanya keras. "Apakah maksud siecu? sungguh kau sukar diterka"
Habis berkata, pendeta itu mengulapkan sebelah tangannya.
Melihat demikian dua pendeta, yang duduk bersila, berlompat
bangun, untuk berlompat lebih jauh kemulut pintu, guna menutup
jalan keluar. Menyaksikan lagak orang, Siauw Pek mengerutkan
alisnya.
"Tidak kusangka bahwa para tiangloo dari Siauw Lim Sie juga
begini cupat pemikirannya..." pikirnya. "Kenapa mereka sudi
melindungi yang tidak benar? Nampaknya hari ini mesti terjadi
pertumpahan darah juga, sebelum itu, urusan tak akan dapat
diselesaikan"
Melihat sikap para pendeta itu, Soat Kun mengangkat tangannya,
untuk merapihkan sanggulnya yang tinggi. Beberapa kali ia
menyentil nyentilkan jeriji tangannya, baru setelah itu dengan sabar
ia bertanya: "Para taysu yang pandai dan bijaksana adakah niat
taysu sekalian untuk mengurung kami bertiga orang muda di dalam
ruang suci kalian ini? "
Su Khong berkata dengan suaranya yang keren: "Jikalau kalian
tidak dapat memberi bukti maka terpaksa loolap mesti membiarkan
kalian berdiam disini sampai nanti loolap selesai membuat
penyelidikan dari hal yang benar, itu waktu loolap akan mengambil
keputusan kami. Andaikata apa yang kalian bilang benar adanya,
maka loolap semua akan mengantarkan kalian keluar dari sini
dengan cara yang hormat. Jikalau tidak, maka siapa membunuh
orang, dia pasti mengganti jiwa Beberapa puluh murid Siauw Lim
Sie tak dapat mati dan terluka konyol"
Habis berkata begitu, mendadak Su Khong meluncurkan
tangannya kearah Soat Kun sambil mebentak. "Siecu, apakah kau
hendak nyebar racun? "
Gerakan tangan pendeta itu mendatangkan hembusan angin
yang keras.
Itulah serangan pukulan angin-Melihat itu, Siauw Pek segera
meluncurkan tangannya, guna menangkis, sambil berbuat begitu, ia
menegur: "Taysu menjadi pendeta tua dan beribadat, kenapa begini
saja sikap taysu menghadapi seorang wanita yang lemah?"
Su Khong terkejut. Hebat tangkisan sianak muda. Maka ia
meluncurkan pula tangannya itu, kali ini kearah sianak muda.
Siauw Pek pun menangkis lagi, tetapi ia terkejut, darahnya terus
bergolak. Hebat serangan pendeta itu, hingga ia berkata da lam
hatinya^ "Pendeta ini sangat liehay. Dia menyerang seenaknya saja,
aku menangkis dengan setakar tenagaku, tetapi aku masih kalau
tangguh..."
Su Khong pun bertambah heran-Sebenarnya ia menggunakan
lima bagian tenaganya.
"Bocah ini benar tak ada celanya" pikirnya kagum. Iapun lalu
teringat bahwa orang masih sangat muda, maka tanpa terasa,
timbullah rasa sukanya terhadap pemuda itu, ia menyayangi
kepandaian sianak muda...
Siauw Pek masih memikir pula^ "Kalau dia pula, terpaksa, aku
mesti menggunakan pedangku" Karena memikirkan ini, lekas-lekas
ia berkata. "Aku yang muda tidak pernah memikir untuk mengadu
kepandaian dengan taysu sekalian-.."
Mendengar itu, Su Ie berkata dingin "Jikalau benar tidak ada
niatmu, lekas kau letakkan senjatamu dan manda dibelenggu"
Siauw Pek tidak melayani pendeta itu, melihatpun tidak. Ia hanya
memandang Su Khong Taysu, dan bertanya "Taysu, taysu hendak
bersikap bagaimana terhadap kami? "
"Untuk sementara, loolap minta kalian berdiam didalam ruang
Kay sie Ih," menyahut Su Khong. "Loolap hendak membuat
penyelidikan, sesudah itu baru kami akan merdekakan kamu
bertiga..."
Siauw Pek menggeleng kepala.
"Walaupun kami tidak mengandung niat menempur taysu
sekalian," katanya, "kami juga tidak sudi berdiam dan terkurung
disini. Kecuali jalan ini, masih ada jalan lain tidak? "
"Masih ada cara lain"
"Apakah itu, taysu?"
"Jikalau kamu dapat menyerbu keluar dari ruang ini, kami tak
akan mengganggu kamu"
Dengan cepat Siauw Pek melihat kesekelilingnya. Ternyata
semua jalan keluar pintu dan jendela jendela sudah terjaga rapat. Ia
pikir: "Tidak bisa lain, kali ini kita menempur mereka. Hanya,
bagaimana dengan kedua nona Hoan ini? Sukar mereka melawan
para pendeta liehay ini... Kelihatannya aku mesti melibat semua
pendeta ini supaya semua mereka melayani aku seorang..."
Begitu berpikir demikian, begitu anak muda ini mendapat pikiran-
Lalu ia berkata sabar "Para taysu yang beribadat, pastilah kalian tak
sudi menempur dengan kaum wanita bukan? "
Su Khong mengerutkan alinya Katanya: "Kalau kau memikir buat
kami membebaskan dahulu kedua nona, itu artinya pikiran sia-sia
belaka" berkata pendeta kepala amat angkuh.
"Bukan begitu maksudku," sahut si anak muda, "maksudku ialah
supaya aku sendiri yang mencoba menerobos keluar dari ruangan
ini, aku berhasil atau gagal, itu masih hitungan buat kami bertiga"
"Apakah siecu percaya sungguh sungguh kemampuan siecu? "
kata sipendeta kepala.
"Karena terpaksa, bisa atau tidak. aku mesti paksakan juga "
Su Khong tertawa dingin. "Apakah siecu sangat mengandalkan
Thian Kiam dari Kie Tong maka juga siecu menjadi begini sombong"
"Tidak sama sekali, taysu."
Mendengar jawaban itu, Su Khong menjadi tenang pula. Katanya
sabar: "Thian Kiam Kie Tong memang sangat tersohor, tetapi dia
belum pernah bertempur dengan loolap atau saudara-saudara
seperguruanku ini. Karena itu, kalau sampai terjadi pertempuran,
sukar dipastikan sang menjangan bakal terbinasa ditangan siapa.
Kie Tong cuma mengandalkan ilmu pedangnya itu. lain dari itu, tak
pernah loolap mendengar dia berhasil dengan lain macam
kepandaian-"
"Pendapat taysu itu tak aku setujui," berkata Siauw Pek. Dia
ingat, orang Siauw Lim Sie sangat jarang menggunakan pedang,
bahkan orang pusat Siauw Lim Sie digunung Siong San sama sekali
tak memakai senjata semacam itu. Dan sebenarnya ia hendak bicara
lebih jauh, tapi ia melihat Su Kay Taysu mengedipkan mata
padanya, melarang ia bicara lebih jauh.
Melihat orang berdiam, Su Khong bertanya "Kalau kau tidak
setuju, habis bagaimana pikiranmu? "
Heran si anak muda. Apa sebenarnya maksud Su Kay? Ia telah
dicegah untuk bicara. sekarang ia ditanya pula oleh Su Khong. Ia
mau menerka bahwa tadi Su Kay ingin ia mengalihkan pembicaraan
kelain arah, untuk meredakan suasana. Maka ia menjawab.
"Pelajaran ilmu pedang membutuhkan pengendalian hati, ilmu harus
disatu padukan dengan semangat, setelah itu barulah orang akan
memperoleh hasil kemajuan hingga mahirlah kepandaiannya."
"cuma sebegitu saja? "
"Pengetahuanku sangat terbatas, taysu."
"Bagaimana kalau ilmu pedangmu dibandingkan dengan ilmu
siauw Lim Sie? "
"Tak dapat aku mengatakannya."
"Tahukah kamu bahwa kami mempunyai tujuh puluh dua macam
ilmu silat? "
"Telah aku mendengarnya."
"Bagus Semua saudaraku disini pernah mempelajari beberapa
dari puluhan macam ilmu itu ada peyakinannya sudah beberapa
puluh tahun bahkan ada yang memperoleh pelajaran merangkap
beberapa macam diantaranya..."
Bicara sampai disitu, Su Khong berhenti sejenak. habis itu, baru
ia melanjutkan. Katanya.
"Siauw Lim Sie belum pernah membiarkan orang memandang
rendah kepada kami, sedangkan kalian, siecu, kalian justru
menyerang nama baiknya ketua kami..."
Tiba tiba saja Soat Kun menyela^ "Apakah ketua kami dapat
berbuat semaunya saja? "
"Aturan Siauw Lim Sie sangat keras, dunia Rimba Persilatan
mengetahuinya. Umpama kata benar ketua kami berbuat salah,
tidak nanti kami melindungi dan membelanya cuma, dalamhal itu,
kami harus menyelidikinya dahulu serta memperoleh bukti
buktinya..."
Pendeta tua itu menghela panas. Dia menambahkan^ "Loolap
menghendaki kamu berdiam disini, supaya kami memperoleh
kesempatan melakukan pemeriksaan, sesudah itu, baru kami akan
mengambil keputusan. ini toh bagus, bukan? Kamu menolak Cara
kami ini, bukankah itu berarti kamu mempunyai maksudmu sendiri?
"
"Apakah maksud kami," sinona bertanya. "Umpama kami
membinasakan It Tie, kami toh tidak dapat mewarisi kedudukannya
sebagai ketua Siauw Lim Sie? "
Su Khong melengak Bicara sinona sederhana tetapi tajam.
Memang dengan dibunuhnya It Tie, mereka ini tidak bakal menjadi
ketua Siauw Lim Sie.
Lalu pendeta tua itu berkata sabar: "Siecu, emas tulen tak takut
api Kalau kamu tidak mengandung sesuatu, kenapa kamu takut
kami membuat penyelidikan? "
"Kami bukan takuti penyelidikan kamu, kami hanya tak sudi
ditahan disini " Itulah suara Siauw Pek, suara yang tetap dan keras.
"Loolap telah keluarkan kata kataku, tak dapat itu ditarik kembali.
Jikalau kau tak sudi ditahan disini, nah kau gunakanlah
kepandaianmu untuk menerobos keluar dari sini"
Siauw Pek melihat kelilingan, ketika ia memandang Su Kay,
pendeta itu mengangguk perlahan-Itulah isyarat yang
menganjurkan ia menerima baik tantangan Su Khong itu. Maka
juga, segera ia mengangkat dadanya dan berkata^ "Baiklah, taysu,
untuk berlaku hormat, boanpwee menerima perintahmu ini " Kedua
mata Su Khong bersinar.
"Bagus" serunya. "Kau masih begini muda tapi kau gagah sekali
Sukar dicari orang semacam kau"
Siauw Pek segera memegang pedangnya, tangan kirinya diatas
pedangnya itu. "Taysu terlalu memuji" dia berkata, merendah.
Su Khong Taysu tertawa. Katanya: "Kalau hari ini kau dapat lolos,
namamu bakal jadi sangat terkenal"
"sekarang, taysu," kata si anak muda, "aku mohon keterangan.”
“Keterangan apakah itu? "
"Apakah ada aturan atau syaratnya buat aku menerobos ruang
ini? " Pendeta tua itu menggeleng kepala.
"Kau merdeka untuk menyerbu dari arah yang manapun. Setelah
kau berhasil, kau juga merdeka buat segera berlalu atau berdiam
lebih lama disini"
"Jikalau aku berhasil lolos, apakah masih ada lain lain pendeta
yang akan mengganggu kami? "
"Akan loolap mengajak semua saudaraku mengantarkan siecu
berlalu dari sini”
“Masih ada satu permintaanku, taysu. Mungkin ini kurang
pantas.”
“Bicaralah. Asal itu pantas, akan loolap terima baik"
"Dalam pertempuran ini, kalah atau menang siapa mati, dia
jangan menyesal, dia jangan mencari balas. Dapatkah? ”
“Jika kau gagal, kau bakal berdiam disini"
"Itulah sudah selayaknya. Kalau aku berhasil, aku akan berlalu
bersama semua orang dengan siapa aku telah bersama datang
kemari"
"ya, selama kita bertempur, sebelum ada kepastian siapa
menang siapa kalah, taysu semua tak dibenarkan mengganggu
kedua nona itu “
“Hei orang begini muda, kenapa sih begini rewel" bentak Su Ie.
"Dalam hal itu, loolap telah memberi janjiku " berkata Su Khong.
Siauw Pek mengangguk. "Apakah sekarang juga kita milai? "
"Ya, kau boleh mulai" berkata Su Khong, yang terus memandang
kesekitarnya.
"cuma ada satu hal, yang loolap ingin jelaskan dahulu "
"Perintah apakah itu, taysu? Sebutkanlah, aku siap
mendengarnya."
"Aku menghendaki, kecuali sangat terpaksa, jangan kau merusak
ruang suci kami ini" Su Khong minta. "Ruang ini adalah satu ruang
yang sangat penting, sedangkan diantara kita tidak ada
permusuhan-^.”
“Apakah taysu keberatan aku lolos dari jendela? ”
“Tidak."
Siauw Pek melihat pula berkeliling.
Kecuali tiga buah jendela, jalan keluar cuma pintu. Semua jalan
itu telah dijaga delapan pendeta. Dua orang menjaga setiap pintu.
Pendeta yang kesembilan berdiam ditengah, untuk membantu
kesegala arah. Itulah pengurungan ketat, maka juga, melihat itu,
anak muda itu berdiam untuk berpikir.
Melihat sikap orang, Su Ie tertawa dingin dan berkata mengejek:
"Kalau kau mesti juga merusak ruang ini, kau dapat lolos dari sini.
Terserah”
“Baiklah" sahut Siauw Pek. Tapi kata kata itu ditujukan kepada su
Khong.
Su Khong Taysu mengulapkan tangannya. Atas isyarat itu,
delapan orang pendeta segera siap ditempatnya masing masing. Ia
sendiri tetap berdiam ditengah tengah, bahkan ia memejamkan
kedua belah matanya Siauw Pek telah menduga cara pengurungan
itu, sekarang dugaannya cocok. Dipintu yang menjaga adalah Su
Kay bersama Su Ie. lalu menerka Su Kay pasti akan berlaku lunak,
sedang Su Ie bakal bersikap keras.
"Baiklah aku coba pintu dahulu," pikirnya. Maka ia mengerahkan
tenaga dalamnya, terus ia bertindak kearah pintu.
Su Ie Taysu mengawasi tajam, kedua matanya sampai
mengeluarkan sinar. Dia tersenyum ewah. Bedadengan Su Kay,
yang tenang sikapnya. Kira kira lima kaki dari kedua pendeta itu,
Siauw Pek menghentikan tindakannya. Ia terus memutar
pedangnya, hingga cahayanya berkeredepan.
"Taysu berdua, awas" ia berseru sambil menyerang Su ie.
Pendeta itu mengebutkan tangan bajunya, guna menyampok
pedang, menyusul mana tangan kirinya menyerang. Hebat
sampokannya itu.
Siauw Pek tahu orang liehay, ia mendahului menarik kembali
pedangnya, bukan untuk disimpan, hanya diteruskan kepada Su Kay
Taysu. Iapun berbareng berkelit dari serangan sipendeta galak.
Su Kay menyambut pedang dengan dua buah jari tangannya.
"Kau terlalu memandang ringan" pikir Siauw Pek, yang
meneruskan menabas.
Su Kay menarik tangannya, serentak dengan itu, ia menyerang
dengan tangan kiri.
Siauw Pek berkelit sambil memutar tubuh untuk terus menikam
Su Ie pula. Bahkan kali ini ia menikam tiga kali beruntun.
Paras Su Ie padam. Ia mengebut keras dengan tangan kirinya,
tangan kanannya menyerang. Hebat kedua gerakannya itu,
anginnya menghembus keras, ujung baju sianak muda sampai
berkibar.
Su Khong memejamkan mata, ia merasai angin itu, ia menjadi
heran.
"Baru tig ajurus, kenapa Su Ie sudah menggunakan tipu silat Kim
kong Siang ciang? " katanya didalam hati.
"Kim kong Sian ciang" berarti pukulan "Tangan Arhat".
Saking heran, si tiangloo membuka matanya menonton. Masih
sempat ia menyaksikan gerakan sangat sebat dari Siauw Pek
mengelakkan diri dari ancaman bahaya, setelah mana anak muda
itu membalas menabas.
Mau atau tidak, dua-dua Su Ie dan Su Kay berlompat berkelit.
Siauw Pek segera berpikir dan mengambil putusan-Dua-dua
musuhnya liehay, tenaga dalam mereka mahir sekali, tidak boleh ia
berlaku lemah, kalau ia keburu lelah, itulah berbahaya. Segera ia
berseru, terus ia menyerang pula pada Su Ie.
Su Ie repot juga menghadapi serangan saling susul dari lawan
yang dia pandang enteng itu, mau atau tidak, dia terpaksa mundur
mendekati pintu.
"Tinggal lagi satu tindak" pikir Siauw Pek hatinya terbuka. Maka
hendak ia mendesak terus.
Tiba tiba terdengar seruan Su Kay: "Ilmu pedang yang bagus.
Lihat tanganku" Dan pendeta itu menyerang keras sekali.
Sianak muda terperanjat. Ia menabas sambil mundur satu tindak.
Su Ie menjadi sangat gusar. Serangan Su Kay membuat ia
mendapat kesempatan memperbaiki kedudukannya, maka juga,
setelah itu, iapun membalas menyerang. ia berlaku lebih bengis dari
semula tadi.
Demikianlah bertiga mereka menjadi bertempur seru sekali,
semua berlaku cepat dan keras. Satu pihak ingin mengundurkan,
lain pihak ingin merobohkan. Su Kay Taysu, yang berkesan baik
terhadap sianak muda, turut bersikap keras juga. Setelah
melewatkan banyak jurus, Siauw Pek merasa sulit juga buat
merebut kemenangan-Maka ia jadi berlambat.
Selagi lawannya itu berpikir, Su Ie tertawa dingin, kemudian dia
melakukan serangan yang habat sekali. Rupanya diapun memikirkan
sesuatu.
Siauw Pek heran-Beda dari yang sudah-sudah, serangan Su ie
kali ini tanpa memperdengarkan suara anginnya. Su Ie pula
menyerang tiga kali terus menerus. Tapi tak sempat ia berpikir.
Serangan itu segera terasa. Desakan angin yang mulanya halus,
mendadak menjadi embusan keras. Dalam kagetnya, ia berlompat
jauh satu tombak. Tak sempat ia berdaya lainnya.
Habis menyerang itu, Su Ie tidak mendesak bahkan ia berdiri
dimuka pintu. Su Kay mendampinginya. Pendeta yang sombong itu
memperlihatkan roman takaburnya, untuk men lawannya itu.
"Terlukakah kau? "
Itulah pertanyaan halus merdu dari Soat Kun. Siauw Pek cepatcepat
menyalurkan pernapasannya.
"Tidak" sahutnya. "Aku tak kurang suatu apa."
Ketika itu terdengar suara menyindir dari Su Ie Taysu, yang
berkata sambil tersenyum dingin. "Tuan, ilmu pedangmu memang
mahir sekali, tapi dengan mengandalkan pedang saja keluar dari
ruang ini, itulah pikiran tolol"
Siauw Pek mendongkol sekali, hampir ia membuka mulutnya
untuk membalas menyindir, tapi tiba-tiba ia ingat bahwa semua
pendeta didalam ruang itu liehay masing-masing ilmu silatnya, kalau
ia dikepung, itulah berbahaya. Karena ini, ia kembali meraba
goloknya.
Su Kay melihat gerak-gerik si anak muda, lekas-lekas ia bicara
dengan saluran suara Toan Im Jip-bit: "Siecu, sabar.. Biar
bagaimana, tak dapat kau mengucurkan darah disini..."
Mendengar kisikan itu, si anak muda menjadi ragu-ragu. Suara
itu sabar dan nadanya memohon.
Tengah orang berdiam, Soat Kun berkata pada ketuanya:
"Bengcu, kalau kau melawan satu sama satu, dapatkah kau
mengalahkan beberapa taysu ini? "
Siauw Pek melengak, lekas-lekas ia menjawab. "Kalau satu sama
satu, sekalipun tidak menang, aku tidak bakal kalah..."
"Kalau satu lawan dua? ”
“Sulit untuk memastikannya."
Su Khong Taysu mendengar pembicaraan itu, ia tertawa tawar.
"Siecu, tak usah kau memancing kemarahan orang" tegurnya.
"Kami cuma ingin menahan kalian disini buat sementara waktu saja,
supaya kami memperoleh kesempatan memeriksa keadaan dalam
kami, untuk lekas memberi keputusan, jadi kami tidak bermaksud
buat berebut kemenangan-Soal kita ini ada sangkut paut yang hebat
sekali dengan Siauw Lim Sie kami, karena itu, tidak dapat
disamakan dengan perselisihan yang umum dalam dunia Sungai
Telaga..."
Soat Kun menghela napas.
"Itulah sulitnya" katanya. Kata kata itu dapat ditujukan kepada
Siauw Pek dan juga terhadap ketua tiangloo itu. Terus si nona
menambahkan: "Kalau begitu, bengcu, baik mengaku kalah saja..."
Alis Siauw Pek berkerut, kedua bahunya dinaikkan.
"Aku lebih suka mati berperang daripada tunduk dan manda
dibunuh orang" katanya keras. "Tak sudi aku mati konyol"
Soat Kun mengangguk. lalu ia berkata pula. “Hari ini keadaan
sudah jelas sekali. Su Khong Taysu telah menjelaskan tentang tak
dipakainya lagi aturan kaum Kang ouw Sesudah dua orang
dihadapkan kepada bengcu, maka tiga orang dapat juga. Jikalau
terjadi bengcu melukai seorang taysu, bahkan kalau bengcu
membinasakan satu diantaranya, bukankah itu berarti bahwa
permusuhan besar telah ditanam. Apabila itu sampai terjadi, pasti
hebatlah kesudahannya."
Kembali terdengar suara Nona Hoan: "Sudah sejak lama Siauw
Lim Sie menjadi seperti pemimpin para partai, sedangkan sembilan
taysu ini menjadi pendeta2 beribadat berusia tinggi dan
kedudukannya dihormati orang, karena itu, walaupun bengcu gagah
perkasa, hanya mengandalkan diri sendiri dan sebilah pedang,
bagaimana mungkin bengcu menangkan sembilan orang yang
bergabung menjadi satu? Maka itu, menurut pikiranku, baik bengcu
mengaku kalah saja..."
"Kata kata nona memang tidak salah," berkata Siauw Pek. "akan
tetapi aku, semenjak aku dilahirkan, tahuku cuma bekerja terus
menghabiskan tenagaku, aku tak kenal takut dan mundur
karenanya..."
Tanpa menanti orang habis bicara, Soat Kun memotong.
Katanya: "Jikalau sudah pasti bengcu mau bertempur hingga habis
tenagamu, karena jelas sudah tidak ada harapan akan berhasil
merebut kemenangan, daripada hanya satu lawan dua, kenapa
bengcu tidak menantang satu lawan sembilan? Dengan begini,
andaikata bengcu terbinasa ditempat suci ini, dibelakang hari pasti
bengcu akan meninggalkan nama harum"
Kata kata itu berarti anjuran semangat, maka Siauw Pek
melengak dan tertawa nyaring.
"Benar" serunya. "Dahulu ayahku terbinasa karena dikepung oleh
jago-jago dunia yang tak terhitung banyaknya, walaupun demikian,
ayah masih hidup merantau hingga delapan tahun lamanya. Tempo
delapan tahun bukan main lamanya, tetapi lucu adalah sijago-jago
dunia, didalam waktu delapan tahun itu, mereka tak mampu
membinasakan ayahku Maka sekarang aku melayani sembilan taysu
dari Siauw Lim Sie, kalau aku mengubur tulang belulangku di dalam
ruang ini, aku pasti mati tak menyesal"
Mendengar suara sianak muda, yang demikian gagah, para
pendeta malu sendirinya. Lalu terdengar elahan napas dari Su
Khong Taysu.
Kemudian pendeta tua itu berkata, sabar, "Walaupun kami yang
banyak menghina yang sedikit, tetapi inilah saking terpaksa, kami
tak berdaya berbuat lainnya. Bahwa kami mengurung kalian, siecu,
semoga kau memakluminya."
Berkata begitu, sipendeta merasa hatinya tidak tenang, air
mukanyapun berubah.
Siauw Pek tidak menjawab pendeta itu, dia pun tidak
mengatakan apa-apa lagi, mendadak ia melompat menerjang dua
orang pendeta yang menjaga jendela timur.
Sekarang, setelah tekad bulatnya melawan sembilan pendeta itu,
putra almarhum coh Kam Pek menjadi tenang sekali. Pedangnya itu
memperlihatkan sinarnya yang menyilaukan mata.
Kedua pendeta dijendela timur itu ialah Su Lut dan Su Seng. Atas
tibanya serangan, mereka berkelit bersama, sesudah mana,
bersama juga mereka membalas menyerang dengan masing masing
satu tinjunya. Dengan begitu sipenyerang jadi terhajar dari kiri dan
kanan.
Siauw Pek berseru, tubuhnya berkelit. Dengan begitu, ia lolos
dari serangannya Su Lut. Juga dengan sendirinya iapun bebas dari
serangan Su Seng. Sambil berkelit itu, ia menebas ke arah Su LU
Taysu Su Lut memperdengarkan suara “Hm" Iamenarik tangan
kanannya itu, yang diarah lawan itu. Iapun mundur dua tindak.
Siauw Pek tidak menyia nyiakan waktu, gagal menyerang Su Lut,
ia terus menerjang Su Seng Taysu. Itulah tipu silat "Bu Liong Pa
Bwee", atau "Naga didalam kabut menggoyang ekor". Su Seng tidak
menyangka akan serangan itu, ia terlambat meski juga ia sudah
bergerak dengan cepat sekali Syukur untuknya, ujung pedang cuma
menggores ujung jubahnya.
Merah muka pendeta itu, hingga dia berdiri tertegun. Buat
seorang tiangloo dari Siauw Lim Sie, meskipun hanya ujung bajunya
saja kena digores senjata lawan, itu sudah memalukan Sementara
itu Siauw Pek telah tidak melanjutkan serangannya. Kalau ia lakukan
itu, pasti Su Seng terbinasa, atau sedikitnya terluka. Sebaliknya,
anak muda ini melompat menerjang dua orang lawan yang menjaga
jendela selatan. Perlawanan hebat dari si anak muda terhadap Su Ie
dan Su Kay, Su Lut dan Su Seng, membuat terbuka matanya para
tiangloo itu, maka sekarang tiada lagi yang berani memandang
ringan, sebaliknya, semua bersikap sungguh-sungguh. Demikian
ketika si anak muda menerjang keselatan, dua orang pendeta disitu,
ialah Su Wie dan Su cu, sudah mendahului menyambutnya. Baru
Siauw Pek menaruh kakinya, pukulan udara kosong dari Su cu
sudah meluncur kearahnya. Hebat serangan itu, anginnya
menghembus keras.
Siauw Pek tenang dan waspada, matanyapun awas. Ia melihat
adanya penyambutan dengan kegesitan luar biasa, ia berkelit
kesamping. Tapi toh ia terlambat sedikit serangan itu mengenai
lengan kirinya, hingga ia terpelanting sampai lima tindak. Dan
sementara itu su Wie sudah menyambar dengan tangan kanannya.
Siauw Pek menggertak gigi, kedua kakinya menetapkan tubuhnya
dengan pedangnya, ia menabas tangan kanan penyerang itu.
Walaupun terpelanting, ia bisa dengan lekas memperbaiki
kedudukan tubuhnya.
Su Wie menarik kembali tangannya, bahkan ia mundur dua
tindak. Karena ini si anak muda sempat meneruskan menyerang
pada Su cu.
Su cu tidak berani berlaku sembrono. Ia telah melihat bagaimana
ujung baju Su Seng kena dirobek lawan-Dengan sebat ia lompat
mundur dua tindak. dengan begitu ia menyelamatkan lengannya
sambil berbareng menjaga diri supaya tidak sampai didesak si anak
muda.
Melihat musuh mundur, Siauw Pek berbalik menyerang Su Wie
pula. Pendeta inipun terpaksa melompat mundur.
Siauw Pek sudah ketetapan melayani kesembilan pendeta
kenamaan itu, setelah kedua lawannya mundur, ia tidak merangsak.
sebaliknya, sekarang menerjang kebarat. Hanya ketika ia mendekati
kedua lawan yang baru, ia menghentikan tindakannya. Karena ia
mau menggunakan waktu untuk bernapas guna meluruskan jalan
darah pada lengan kirinya yang tadi terhajar Su Wie.
Melihat si anak muda berdiam, kedua pendeta itupun mengawasi
saja. Seperti yang lainnya, kedua pendeta ini mengagumi Siauw
Pek.
Su Khong dapat melihat pemuda itu lagi memperbaiki jalan
darahnya. Ia segera berpikir. "Tadi Su Seng sudah kalah satu jurus,
kalau sekarang dia diberi kesempatan menyembuhkan lengannya
itu, dapatkah Su Beng dan Su ceng menentangnya? Harapannya
tipis." Maka itu ia berseru nyaring. "Siecu, ilmu pedangmu hari ini
membuat mata loolap terbuka lebar"
Siauw Pek tengah memperbaiki diri, ia tidak dapat menjawab.
Adalah Nona Hoan yang menalanginya. "Taysu sungkan sekali.
Taysu cuma memuji"
Dengan begitu, si anak muda mendapatkan waktunya
memperbaiki terus jalan darahnya itu Su Khong ingin mengalihkan
perhatian si anak muda, mendapatkan percobaannya itu gagal, ia
mengulangi pula buat kedua kalinya. Katanya. "Siecu, walaupun kau
lihay sekali, tetapi dengan seorang diri dan sebatang pedang kau
melayani kami bersembilan, itu sedikitnya berarti tak tahu akan
tenaga sendiri."
Soat Kun tidak melihat, tetapi ia mendengar, Soat Gie pula telah
memberi kisikan padanya atas gerak-gerik ketua tiangloo itu, ia
dapat menerka maksud orang. Maka itu, kembali mendahului
ketuanya, ia menyela. "Benar atau tidak kawanku tidak tahu diri,
atau mungkin kepandaian taysu beramai yang sangat mengejutkan
orang, nanti akan segera ketahuan. Taysu baiklah menonton saja
dengan tenang"
Muka Su Khong menjadi merah. Ia malu sendirinya. Hendak ia
bicara tetapi batal. sebagai pendeta beribadat, tak dapat ia melayani
si nona adu bicara. Karena itu, ia menjadi bingung sendirinya. Tepat
pada waktu itu tampak Siauw Pek mengangkat kepalanya, kedua
matanya mengeluarkan sinar mata tajam. Pula jeriji tangan kirinya
dipakai menyentil dua kali pada pedangnya. Hingga pedang itu
mengalun sekian lama. Itulah pertanda bahwa lengannya sudah
sembuh.
Su ceng dan Su Beng yang terus memasang mata, dapat melihat
mata lawan bersinar dan wajahnyapun bercahaya, diam-diam
mereka mempersiapkan diri. Mereka menerka akan datangnya
serangan hebat Siauw Pek mengawasi tajam kepada kedua pendeta
itu, ia tidak segera maju menyerang, hanya ia berkata tenang.
"Taysu berdua, aku hendak menerjang kalian-Kesudahannya ini
mungkinkah aku bakal terluka ditangan kalian-Atau kalau taysu
ngotot hendak mempertahan diri mungkin taysu yang bakal
terlukakan pedangku"
"Jikalau kedua pihak sama sama terluka, bagaimana siecu
hendak anggap itu? " Su Khong menyela.
Siauw Pek mengawasi tajam kemulut jendela. Ia bagaikan tidak
mendengar perkataan pendeta kepala itu, baru kemudian dia
berkata tenang. "Sekalipun kita akan sama sama runtuh pasti sekali
tubuhku bakal roboh di luar ruang ini" Itu artinya, ia toh dapat
mencoblos juga kurungan itu. sepasang alis Su Khong berkerut.
"Siecu," katanya kemudian-"Ilmu silat pedangmu begini liehay,
kenapa kau tidak sudi memberikan kesempatan untuk loolap belajar
kenal buat beberapa jurus" Itulah tantangan dari sipendeta tua
Mendengar itu, Soat Kun mendahului menjawab: "Kalau pihakku
beruntung menang satu jurus, apakah kami boleh keluar dari ruang
ini"
Paras Su Khong berubah menjadi merah. "Nona, lidahmu..."
Pendeta itu mau menyebut lidah orang tajam tetapi ia batal
sebab matanya segera melihat Siauw Pek sudah menggerakkan
pedangnya. Anak muda itu membawa pedang kedepan dadanya,
lalu terus tubuhnya turut bergerak. Walaupun demikian, sinar
pedang sudah berkilauan.
Su Khong heran.
"Ah, tipu silat apakah ini? " tanya di dalam hati.
Nampaknya gerakan si anak muda ayal tapi tenaganya besar, itu
terbukti dari sinar pedangnya itu. Su Khong liehay tapi toh ia tak
mengerti, ia tak tahu.
Su ceng dan Su Beng tetap memasang mata cuma hati mereka
terus menduga duga bagaimana jadinya dengan serangan lawan
itu...
Pada saat itu, suasana amat sunyi tetapi tenang. Itulah
ketenangan jelang tibanya sang badai dan hujan lebat...
Tubuh Siauw Pek bergerak terus, berputar, makin lama semakin
cepat, tetapi mendadak pedangnya memperdengarkan suara
mengaum. Tubuh itu masih berputar pesat. Maka tidaklah heran
apabila dilain saat, sinar pedang bagaikan mengurung melibat
seluruh tubuh. Sekarang su Khong Taysu mulai melihat tegas.
Pikirnya: "Jurus ini bakal hebat luar biasa. Satu pedang akan berarti
sepuluh pedang. Bagaimana itu harus dielakkan? "
Soat Kun tidak tahu apa yang terjadi diruang itu, ia hanya
merasai kesunyian, ia menerka kepada ketegangan-Tanpa merasa,
ia menoleh kepada adiknya untuk menanya.
Soat Gie segera memberikan kisikan pada kakaknya itu. Ia
melukiskan suasana yang terang itu, terutama gerak gerik bengcu
mereka. Kisikan itu diakhiri dengan keterangan bahwa sianak muda
masih belum mulai menyerang...
Su Khong tetap belum mendapatkan pemecahannya, melihat
orang berputar makin keras ia bingung. Ia percaya Su ceng dan Su
Beng tidak akan dapat bertahan. Saking bingung, ia kemudian
berkata. "Siecu ilmu pedangmu benar benar liehay. Marisiecu, loolap
yang bodoh ingin menerima pelajaran beberapa jurus dari kamu..."
Dan kata kata itu diikuti dengan bertindaknya tubuhnya.
Soat Kun mendengar suara pendeta itu dan Soat Gie telah
mengisiki gerak geriknya. Ia bingung juga . Pendeta itu dapat
mengganggu pemusatan tenaga, pemikiran dari Siauw Pek. Maka
itu, lekas lekas ia berkata: "Taysu, kau seorang pendeta beribadat
luhur, mustahilkah kata katamu tak masuk hitungan? " Gusar
pendeta itu.
"Apakah yang loolap kata kan? " tegurnya.
"Taysu bilang, asal kami dapat mencoblos kurungan, akan dapat
keluar dari sini dengan cara baik dan tak kurang suatu apa. Benar
tidak? "
"Tidak salah"
Si nonapun mau mengalihkan perhatian sipendeta tua, supaya
Siauw Pek dapat memusatkan daya penyerangannya terhadap Su
ceng dan Su Beng, maka ia berkata pula, dengan ayal ayalan:
"Karena telah dijelaskan yang kami harus mencoblos kurungan,
sudah selayaknya sebelum kami lolos, para taysu tidak boleh turun
tangan terlebih dahulu."
Su Khong heran-"Siecu, apakah artinya ini" dia bertanya.
"Sederhana, bukan? " sahut sinona hambar. "Jikalau taysu dapat
turun tangan terlebih dahulu maka terang taysu dapat maju dengan
serentak. sembilan orang bekerja sama, mengepung bengcu kami
seorang. Kalau itu sampai terjadi, jangankan bengcu kami bisa lolos,
bahkan jiwanya tak akan tertolong"
Kembali Su Khong tercengang. Pikirnya. "Sungguh tajam lidah
wanita ini. Dia dapat memaksakan alasan "
Sementara itu Su ceng dan Su Beng bersiap sedia dengan hati
yang tegang. Tangan mereka berada didepan dada, mata mereka,
sebaliknya, mengawasi tajam kepada Siauw Pek. Si anak muda
masih saja berputaran, tubuhnya dikurung rapat sinar pedangnya.
Su Khong mengawasi kedua adik seperguruan itu, dari sinar mata
orang, dari wajahnya, ia dapat menerka mereka itu rada jeri. Ia jadi
berkuatir. Tidak ada jalan untuk membantu kedua sutee itu, tidak
bisa ia mencegah si anak muda. Ia pula tidak berani menyerang
Siauw Pek, sebab si nona barusan telah menyergapinya.
Siauw Lim Sie cuma menjaga atau mencegah bukan menyerang,
kecuali kalau sudah diserang lebih dulu
Maka itu, suasana bagaikan saat anak panah hendak dilepaskan
dari busurnya.
Tiba tiba Su Khong ingat sesuatu. Pikirnya: "Jikalau Su Beng
menggunakan jurus cu Hud Tiauw Kin dari tipu silat Poan Jiak Sian
ciang dan Su ceng menggunakan jurus Hud cay Tong Tiauw dari
tipu silat Pou Tee Sian ciang pasti mereka bakal dapat memancing
membuat coh Siauw Pek menyerang kearahku."
Hanya sedetik ia berpikir itu, segera ia berseru: "Poan Jiak kiri, cu
Hud Tiauw Kin "
"Poan Jiak Sian ciang" ialah tipu silat "Tangan Prayna" dan "cu
Hud Tiauw Kin" yaitu jurus "Para Buddha datang menghadap"
sedangkan Pou Tee Sian ciang berarti tipu silat "Tangan Bodhi" dan
“Hud cay Teng Tiauw" yakni "Sang Buddha dimuka".
Mendengar Su Khong Taysu memperdengarkan suaranya itu,
suatu isyarat untuk saudara saudara seperguruannya, Nona Hoan
lalu berkata nyaring: "Bagus betul. Kiranya beginilah martabatnya
seorang pendekar luhur dari Siauw Lim Sie"
Sementara itu Siauw Pek terdengar berseru keras sekali
mengikuti berkelebatnya sinar pedang bulat bundar melesat kearah
jendela. Melainkan sinar pedang yang tampak, tidak tubuh orang
yang mencekal atau menggunainya Su Beng berdiri dikiri, dia telah
mendengar isyarat kakak seperguruannya itu, karena dia telah siap
sedia, wajar saja dia dapat segera menyerang dengan kedua belah
tangannya dengan jurus cu Hud Tiauw Kin-"Para Buddha datang
menghadap" dari tipu silat yang dikisikkan itu, "Poan Jiak Sian
ciang" pukulan "Tangan Prayna".
Su ceng belum sempat mendengar suara kakak seperguruannya
itu, karena diapun telah bersiaga, walaupun kesusu, dia dapat juga
menyerang. Dia menggeser sebelah kakinya, untuk memasang kuda
kuda, buat menyerang dengan kedua tangannya.
Ketiga pihak bergerak dengan sangat sebat, walaupun demikian,
Siauw Pek terlambat, yaitu sebelum kedua kakinya melintasi
jendela, serangan kedua lawan telah mengenai kakinya itu, maka
tak ampun lagi, robohlah ia diluar jendela. Daun jendela yang
tertembak hebat, peCah rusak dan mental berantakan, suara
berisiknya menyusuli seruannya si anak muda.
Tetapi Siauw Pek bukannya roboh terkulai, tangan kirinya dapat
mendahului menekan tanah, maka dengan satu gerakan tangan
tubuhnya mumbul naik, hingga pada saat berikutnya, ia telah berdiri
pula dengan kedua kakinya^
“Hebat peristiwa ini, Siauw Lim Sie pasti kehilangan muka.
Beberapa pendeta inipun tidak jahat. Baiklah aku berpura pura,
untuk tidak membuat mereka malu..."
Maka dari itu, segera ia berlagak terluka kakinya, tubuhnya roboh
pula, untuk duduk mendeprok sedangkan nafasnya sengaja
dibuatnya tersengal sengal.
Dengan cepat Soat Gie dan Soat Kun lari keluar ruang, untuk
menghampiri ketua mereka itu.
"Apakah bengcu terluka parah? " Soat Kun bertanya, prihatin.
Soat Gie tidak dapat bicara tetapi sinar matanya, wajahnya,
menunjukkan perhatiannya yang tak kurang besarnya.
Siauw Pek berlaku cerdik dan cepat. Paling dahulu secara diam
diam ia melirik kearah Su Khong Taysu. Pendeta itu dengan roman
keren, bertindak keluar dari ruang sucinya itu. Delapan pendeta
lainnya mengikuti ketua tiangloo itu.
Melihat mereka itu mendatangi, sianak muda memperlihatkan
roman sangat murung, sambil menghela nafas. ia berkata^ "Ah,
benarlah Siauw Lim Pay memimpin kaum Rimba Persilatan, ilmu
silatnya liehay luar biasa" Karena ini, ia tidak segera menjawab
Nona Hoan-
"Kau terluka apamu, bengcu? " si nona bertanya pula. agaknya
dia berduka.
"Kedua belah kakiku nyeri sekali," sahut sianak muda, yang terus
bermain komedi. "Aku pun merasa nafasku kacau."
Bagaikan suaranya habis ia lalu berdiam...
Su Khong bersembilan segera tiba di sisi si anak muda.
"Telah aku janjikan," berkata ketua tiangloo itu, "kalau siecu
dapat mencoblos kurungan, dapat kamu merdeka berlalu dari sini."
Tidak menanti orang bicara habis, Soat Kun menyela: "Bengcu
kami telah berhasil keluar dari kurungan, maka dalam perjanjian kita
ini pihak taysu sudah kalah"
Su Khong tertawa dingin. "Baiklah Sekarang siecu sekalian boleh
pergi"
Habis berkata demikian tanpa menanti kata kata apapun dari
pihak tamu, pendeta itu segera mengajak saudaranya pergi
meninggalkannya.
Siauw Pek mengawasi orang berlalu. Ia melihat tindakan kaki
orang yang berat, ia dapat merasai kedukaan atau kemenyesalan
sekalian pendeta itu. Karenanya ia berdiam saja. Tengah ketua ini
berdiam itu, tiba tiba:
"Segera juga perkara menjadi terang, karena itu siecu harus
berdaya buat bisa berdiam lamaan didalam kuil ini. Sekarang ini
keadaan masih sulit sekali, pihak Siauw Lim Sie pasti bakal dapat
membantu usaha siecu."
Itulah suara halus sekali yang masuk kedalam telinga Siauw Pek.
Si anak muda terperanjat. Ia berpikir: "Su Kay benar. Kalau aku
berlalu sekarang, Su Khong tidak akan bilang suatu apa, dia telah
menepati janjinya. hanya saja pihak Siauw Lim Sie, biar bagaimana,
muka terangnya kurang bercahaya. Mereka itu sudah mencurigai It
Tie, cuma sebab soal masih suram, dan buat melindungi nama baik
partainya, Su Khong beramai masih membawa sikapnya yang
berpura pura. Baiklah aku berdiam disini, siapa tahu aku akan
memperoleh sesuatu untuk kebaikan pihakku..."
Karena memikir begini, barulah Siauw Pek bicara dengan Soat
Kun. Katanya perlahan. "Nona ada sebuah pepatah yang
mengatakan kaku itu mudah patah, benarkah? "
soat Kun cerdas sekali, ia dapat menangkap maksud bengcu itu,
maka iapun menjawab. "Mengalah berarti memperoleh
kesempurnaan."
"Nona sungguh cerdik," kata Siauw Pek perlahan menyusul
mana, ia berseru: "Para taysu tunggu"
Su Khong beramai sudah berada dihalaman luar ketika mereka
mendengar panggilan itu, kemudian mereka menghentikan tindakan
mereka.
"Ada apakah, siecu? " tanya ketua tiangloo.
"Lukaku parah, tak dapat aku berjalan-" sahut si anak muda.
“Habis, apakah maksud siecu? " tanya Su Khong pula.
"Aku tahu, buat merawat lukaku ini, aku membutuhkan waktu,"
sahutnya si anak muda. "karena itu, aku hendak minta supaya aku
dapat berdiam didalam kuil ini."
Su Khong mengerutkan alis, tampak dia heran. Kemudian ia
berjalan balik, menghampiri untuk berkata "walaupun kau terluka
parah, siecu. kau toh telah berhasil keluar dari ruang kuil itu. Loolap
telah memberikan janjiku, tak kumenyesal, dari itu siecu bebas
merdeka buat berlalu dari sini. Didalam kuilku ini tak nanti ada
seorang pendeta juga yang bakal menghalangimu"
"Bagus betul" kata Siauw Pek didalam hati "Didalam kuilmu tak
akan ada orang menghalangi kami. Tetapi diluar nanti? Pasti ada
banyak pendeta yang tanpa memilih cara bakal merintangi"
Meski didalam hati ia memikir demikian Siauw Pek toh berkata.
"Bukannya begitu, taysu. Meski juga aku sudah berhasil keluar dari
dalam ruang, tapi sekarang aku terluka luar dalam, lukaku berat,
sampai aku tak dapat berjalan."
"AmidaBudha" Su Khong memuji perlahan-"sebenarnya kita
belum menjelaskan keputusan apa yang harus diambil kalau terjadi
begini rupa. Benar aku lolos tapi aku terluka parah" kata pula si
anak muda.
"Itu benar juga . Nah, bagaimana pendapat siecu? " Su Khong
tanya.
"Dengan begini, bukankah belum ada keputusan siapa menang
siapa kalah? " balik bertanya si anak muda yang cerdik, "Bagaimana
pendapat taysu? ”
“Demikianlah kiranya."
"Aku sudah tidak dapat berkelahi lagi," kata Siauw Pek.
"Sekarang ini, sekalipun seorang ahli silat biasa saja dapat
membinasakan aku." Nampak Su Khong bingung. Dia menoleh
kepada sekalian saudaranya.
"Maksud siecu? " tanya dia sejenak kemudian
"Menurut pendapatku, dalam perjanjian ini aku menang tiga
kalah tujuh," menjawab Siauw Pek. "Karena itu, setelah kupikir-pikir,
akulah yang kalah"
Inilah diluar terkaan Su Khong. Dia heran-"Setelah kau mengaku
kalah, siecu? " tanyanya.
"Aku bersedia berdiam disini dan terserah kepada keputusan
taysu."
Berkata begitu, diam-diam Siauw Pek melirik pada Su Kay. ia
mendapat kenyataan, dari roman mukanya, pendeta itu puas.
"Dalam hal ini loolap tidak dapat sembarang mengambil
keputusan," kata Su Khong kemudian-"Baiklah, akan loolap
berdamai dahulu."
"Baik, taysu, aku akan menunggu kabar..." kata Siauw Pek, yang
menunjukkan roman berlagak kesakitan.
Su Khong lalu masuk pula kedalam ruang tadi, yaitu ruang Hud
Kok. Su Kay berdelapan mengikuti ketua tiangloo itu.
soat Kun lalu berbisik pada si anak muda: "Sekarang ini aku
merasa, tanpa Siauw Lim Sie yang memulai, pihak Bu Tong, Khong
Tong dan Ngo Bie, tak akan dapat melakukan pembersihan
didalam...”
“Nona benar. Karena itu, kita harus sabar."
"Tapi jangan lupa, bengcu," si nona memperingatkan, "bengcu
harus minta para pendeta itu mengijinkan kau memanggil Han in
Taysu dan Nona Thio semua datang kemari. Inilah perlu supaya kita
tak mencil sendirian disini. Dilain pihak, selagi kesempatan berdiam
ini, aku ingin mewariskan beberapa dari kepandaian suhu. inilah
penting untuk pertempuran pertempuran yang mendatang . . . "
Ketika itu tampak Su Khong muncul bersama Su ie dan Su Kay.
Mereka menghampiri si anak muda Su Khong berkata "loolap telah
berbicara dengan sekalian saudaraku. Kami setuju dengan
pendapatmu, siecu. cuma, untuk siecu berdiam didalam kuil kami
ini, mesti mentaati aturan kami"
Kata-kata yang belakangan itu diucapkan dengan sungguh
sungguh.
"Itulah sudah sepantasnya, taysu."
Su Khong berkata pula. "Didalam ruang Kay Sie Ih dari kuilku ini
terdapat sebuah penjara batu yang diperantikan menghukum murid
murid yang berbuat pelanggaran, karena siecu mau berdiam disini,
kami hendak menempatkan kalian didalam tempat itu."
Siauw Pek berpikir keras. Didalam hati ia berkata. "Kamu terlalu.
Aku mau berdiam di sini sebagian untuk melindungi nama kamu,
kenapa sekarang kamu mau memberikan tempat didalam penjara? "
ia memandang semua pendeta itu, ketika ia melihat roman Su Kay,
pendeta itu agaknya ingin ia menerima baik. Maka ia pikir pula, "Su
Kay ingin aku berdiam disini, mesti dia telah mempunyai rencana."
Karena itu, ia segera menjawab:
"Baiklah. Karena aku sudah kalah, berdiam didalam penjarapun
sudah kalah selayaknya, cuma..."
"cuma apa siecu? "
"Didalam rimba masih ada kawan-kawanku yang terkurung,"
sahut Siauw Pek. "Apakah siecu menghendaki kami mengantar
mereka ketempat yang aman? ”
“Aku ingin mereka ditempatkan bersama di sini"
"Jikalau mereka tak sudi menurut karena loolap yang memanggil
mereka? ”
“Itulah mudah. Nona Hoan ini akan mewakili aku menyuruh
mereka menyerah."
Su Khong berdiam untuk berpikir, katanya: "Seluruh orang Kim
Too Bun kena dipenjara kan pihak Siauw Lim sie, kalau kemudian
hal ini tersiar dimuka umum, apakah itu tidak merugikan partai
kamu? "
"Akulah ketua Kim Too Bun, aku sudah kalah bertaruh, karena itu
sudah sewajarnyalah kalau semua anggota Kim Too Bun turut
menderita bersama.”
“Jikalau demikian anggapan siecu loolap tidak bisa berkata apaapa
lagi.”
“Masih ada satu permintaanku, taysu.”
“Sebutkan saja, siecu"
"Aku akan mengutus kedua Nona Hoan ini, harap taysu mengirim
orang buat menghantarkan dan melindungi keselamatannya." Su
Khong menoleh pada Su Kay dan Su Ie
"Kalian saja yang mengantarkan"
ia menitahkan kedua adik seperguruan itu.
"Baik suheng" jawab kedua sutee itu.
soat Kun bangkit, tangan kirinya diletakkan dibahu adiknya.
"silahkah taysu." katanya yang terus berjalan, perlahan lahan-
Selekasnya kedua nona berlalu Siauw Pek tertawa hambar. Katanya:
"Lukaku parah, perlu aku beristirahat"
Dan, terus ia duduk bersila sambil memejamkan mata. ia
memang harus mengaso, sebab tadi ia telah menghamburkan
banyak tenaga dalamnya: Ketika membUka matanya, Soat Kun
sudah berkumpul bersama semua kawannya. Su Khong beramai
entah telah pergi kemana, disitu cuma ada Su Kay dan Su Ie selaku
teman, atau lebih benar, pengawas mereka
"Bagaimana kau rasai lukamu, siecu? " Su Kay bertanya.
JILID 41
"Aku tak bakal mati" sahut si anak muda singkat.
"Apakah Siecu perlu bantuan loolap untuk berjalan?"
"Terima kasih, tak usah"
Berkata begitu, Siauw Pek memegang tangan Ban Liang. Ia
bangkit dengan perlahan sekali untuk berdiri.
"Dimanakah letak penjara itu?" ia bertanya, "tolong antarkan
kami."
Su Kay memutar tubuhnya.
"Silahkan Siecu turut kami," katanya, "penjara itu berada didalam
ruangan Kay Sie Ih."
Siauw Pek beramai mengikuti kedua pendeta itu.
Su Ie berjalan paling belakang. Mereka melintasi dua buah
halaman dalam, baru mereka tiba diruang Kay Sie Ih. Di muka pintu
terlihat papan mereknya yang berhuruf besar dan diberi warna air
emas. Disini Su Kay mendahului bertindak memasuki pintu, untuk
menuju kebagian belakang.
"Itulah dia rumah batu" berkata ia sambil menunjuk sebuah
bangunan. "Itulah penjara batu dari kuil kami."
Siauw Pek mengawasi tajam, terus ia memandang Su Kay.
"Aku mohon bantuan taysu" katanya.
"Asal yang loolap sanggup, Siecu."
"Selama kami berdiam didalam rumah batu ini, kami minta taysu
tolong menyediakan keperluan bersantap dan minum kami."
"Jangan kuatir, Siecu. Akan loolap pesan tukang masak."
Siauw Pek memberi hormat.
"Terima kasih" katanya. Lalu terus ia mendahului memasuki
rumah batu itu. Han In taysu semua mengikuti ketuanya itu.
Su Kay menutup pintu, lalu ia menekan pesawat dibagian
luarnya, maka jatuhlah sebuah batu besar menghadang dimuka
pintu itu. Keras suara jatuhnya batu itu.
Didalam kamar, Siauw Pek melihat kesekitarnya. Kecuali daun
pintu, semua dinding terdiri dari batu hijau.
"sekarang baik baiklah kita beristirahat" berkata Soat Kun. Semua
orang kemudian memilih tempat untuk duduk bersemadhi. Sesudah
lelah habis bertempur, inilah kesempatan untuk memelihara diri.
cuma Han In seorang yang tak terganggu keletihan, karena tenaga
dalamnya telah mencapai puncak kemahiran.
Berselang kira kira satu jam, Siauw Pek yang sadar paling
dahulu. Ia memandang keseluruh ruang.
Ban Liang orang yang kedua yang menyusul tersadarnya
ketuanya itu.
"Menurut kata nona Hoan"jago tua itu kata pada si anak muda,
suaranya sangat perlahan, "bengcu telah bertaruh dengan para
tiangloo dan telah kalah, benarkah itu?"
"Benar" Sahut Siauw Pek Selang sedetik.
"Thian Kiam dan Pa Too menjadi ilmu Silat yang luar biasa
istimewa, mungkinkah pendeta pendeta dari siau Lim Sie dapat
memecahkannya?" tanya pula si jago tua.
Pertanyaan itu menyulitkan Siauw Pek. Ia berdusta untuk
menolong mUka Siauw Lim Sie. Kalau ia mengiakan Ban Liang, ia
membuka rahasia, percuma ia berpura pura. Kalau ia menyangkal,
tak puas ia terhadap dirinya sendiri. Dilain pihak, ia mau menerka,
kecuali Su Kay, juga Su Khong tentulah sudah bercuriga atau
mencurigai kekalahannya itu. Dan yang terutama, ia malu sekali
kalau ia meruntuhkan nama besar Kie Tong dan Siang Go, kedua
gurunya itu.
Tengah anak muda ini bersangsi, ia mendengar suara berkelotek
pada pintu. Segera ia mengangkat kepala, disitu ia mendapatkan
lubang kecil persegi. Ia segera mendengar suara Su Kay Taysu
"Siecu sekalian, inilah barang santapan- Loolap sendiri yang
memiliki koki memasaknya dan loolap juga sudah mencicipinya.
Silahkan makan, jangan kuatir apa apa."
"Terima kasih" berkata Siauw Pek, yang terus ingat Ciu ceng,
maka segera ia berkata: "Taysu, ada satu urusan buat mana aku
mohon pertolonganmu."
"Apakah itu, Siecu?"
"Diantara kawanku ada seorang bertubuh besar yang telah
terkena racun. Dia berjanggut bajunya kuning, romannya gagah,
karena terkena racun, dia tak sadarkan diri, tetapi dia belum putus
jiwa. Kalau bisa, aku mengharap bantuan taysu melihat dan
menolongnya."
"Tentang itu, loolap tidak tahu," sahut Su Kay. "Nanti loolap cari
tahu dahulu, baru loolap akan memberi kabar."
"Terima kasih taysu" Siauw Pek mengucap pula. Ia menyambut
barang makanan itu, untuk terus bersantap bersama-sama.
Su Kay baru berlalu sesudah orang makan cukup dan ia
membawa pergi sisanya. Ia menutup pula liang dipintu itu, yang
berupa seperti jendela. Sebagai seorang berpengalaman, Ban Liang
bisa melihat sikap su Kay itu. Maka ia berkata pada ketuanya.
"Siauw Lim Sie itu memperhatikan keperluan kita, mungkin ada
sebabnya."
Mendengar kata kata jago tua itu Siauw Pek berkata didalam
hatinya. "Aku mengalah, aku berbuat baik terhadap kesembilan
tianglo, mungkin kebanyakan dari mereka itu telah mengerti duduk
halnya."
Ban Liang tidak memperoleh jawaban, ia berkata seorang diri:
"Pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie ini lihay akan tetapi aku sangsi
mereka dapat bertahan dari golok Pa Too dari Slang Go, walaupun
dalam satu gebrak saja Atau paling sdikitnya mesti ada beberapa
diantaranya yang terbinasa dan terluka....."
Siauw Pek menguasai dirinya, ia tidak menjawab.
Ban Liang batuk batuk perlahan, terus dia berkata pa da Han in
Taysu "Taysu, kalau diantara beberapa tiangloo Siauw Lim Sie itu
ada satu saja yang terbinasakan Thian Kiam atau Pa Too, tak nanti
mereka perlakukan kita begini baik...."
Ketua Ngo Bie Pay itu cuma tersenyum, dia tidak menjawab. Han
in Taysu bercacat kaki dan muka, roman mUkanya tak sedap untuk
dipandang, bahkan suaranya juga tidak "merdu", akan tetapi
sesudah orang berkumpul sekian lama dengannya dan mengetahul
sifatnya, semua orang menyukai dan menghargainya. Semua orang
berkesan baik terhadapnya. Soat Kun mendengarkan pembicaraan
itu, atau lebih benar pembicaraan Ban Liang seorang diri, dan Siauw
Pek terus tidak menjawab, ia mengerti si anak muda berada didalam
kesulitan, maka itu, ia segera memperdengarkan suaranya: "Siauw
Lim Sie berlaku baik pada kita mungkin disebabkan mereka
menghormati kegagahan kita serta kepandaian bengcu. Didalam
pertempuran didalam ruang Hud kok itu walaupun bengcu kalah
tetapi dia kalah dengan terhormat."
"Nona, sudikah kau menuturkan kepadaku jalannya pertempuran
itu?" tanya Ban Liang, yang hatinya tetap penasaran. "Sungguh aku
si orang tua tidak percaya kalau pihak Siauw Lim Sie dapat
memecahkan Thian Kiam dan Pa Too, tanpa ada salah satu
orangnya yang terbinasa atau terluka...."
"Sayang aku tidak dapat melihat jalannya pertempuran itu....."
sahut Soat Kun. Ia diam sejenak. baru ia menambahkan. "Karena
bengcu mengaku sudah kalah dan kitapun telah masuk kedalam
penjara ini, aku pikir, baiklah perkara itu tak usah dipersoalkan lagi."
Kata kata itu dapat membuka hati Ban Liang, tidak demikian
dengan Oey Eng dan Kho Kong, juga Giok Yauw. Mereka ini tetap
curiga.
"Kenapa bengcu mengaku kalah?" tanya sinona yang hatinya
keras. Dia "nakal" tetapi jujur, dia bisa menguasai dirinya sendiri.
Soat Kun tersenyum.
"Sudahlah, kita jangan bicarakan pula soal itu....." katanya. Ia
berhenti sebentar, lalu ia melanjutkan. "Pihak Siauw Lim Sie
mengurung kita disini, bagi kita, itu mungkin ada untungnya tidak
ada ruginya."
"Bagaimana begitu?" tanya Nona Thio heran. "Apakah nongkrong
didalam penjara ada suatu hal yang menggembirakan?"
"Memang bukan hal yang menggembirakan, tetapi kita harus
memikir kefaedahannya," Soat Kun menjawab.
Siauw Pek batuk batuk. ia tertawa perlahan. Lalu katanya:
"Baiklah kita jangan bicara seenaknya saja. Penjara ini tempat
Siauw Lim Sie mengurung murid muridnya yang bersalah. Siapa
tahu kalau didalam sini dipasang juga pesawat rahasia, untuk
mendengarkan pembicaraan orang2 tahanan? Baiklah kita
membatasi diri."
"Itu benar" berkata Giok Yauw keras. "Nah mari kita periksa" Ia
pun segera berlompat bangun, untuk lompat kesebuah pojok. Siauw
Pek tersenyum.
"Tak usahlah kita periksa" katanya. "Kita membatasi diri saja."
Mendengar kata kata si ketua, Han In Taysu mengawasi muka
orang. Ia kagum terhadap anak muda ini, yang hatinya terbuka.
sebab didalam kurungan dia tetap gembira.
Dalam heningnya semua orang, Siauw Pek berkata pula: "Nona
Hoan, bukankah kau telah mengatakan bahwa menggunai saat
ketika beristirahat ini, kau berniat mengajari beberapa rupa ilmu
warisan guru nona kepada saudara saudara kita?"
"Memang demikianlah pikiranku," sahut Soat Kun.
"Kesempatan sebagai ini jarang terdapat, kenapa nona tidak mau
mengajari kepada kami?" kata pula sianak muda, yang mendesak
secara halus.
"Bengcu benar," sahut sinona. Kho Kong terbangun alisnya.
"Benarkah nona hendak mengajarkan ilmu kepada kami?"
tanyanya. Dia bagaikan menagih.
Nona Hoan tersenyum, dia mengangguk. Katanya: "Siapa
menanyakan ilmu, ada yang datang lebih dahulu, ada yang datang
belakangan segalanya terserah kepada ketekunan saja. Dan ilmuku
ini....."
Tanpa menanti orang bicara habis, Oey Eng sudah melompat
bangun, dia terus memberi hormat kepada sinona seraya berkata:
"Nona jangan sungkan, Marilah Oey Eng mohon petunjukmu"
"Tak dapat kau sendiri, saudaraku" seru Kho Kong yang juga
lompat berjingkrak. Dia memang tak sabaran. Nona Hoan tertawa.
"Siapa belakangan, siapa duluan, sama saja" Katanya sabar. Ia
tunduk berpikir, kemudian ia berkata pula "Aku mempunyai dua
jurus ilmu pedang. Mari aku ajari dahulu Oey Huhoat, Kho Huhoat,
silahkan bersabarlah sebentar"
Kho Kong menurut, akan tetapi didalam hatinya ia berkata "Ah,
cuma dua jurus terlalu sedikit" Terus ia pergi kepojok untuk duduk
bersila. Soat Kun bangkit.
"Oey Huhoat, tolong pinjamkan pedangmu"pintanya. Oey Eng
menghunus pedangnya, dengan kedUa belah tangannya, ia
mengangsurkan. Ia berlaku hormat walaupUn sinona tak
melihatnya. nona Hoan menyambuti pedang sambil terus berkata:
"Namanya saja ilmu pedangku dua jurus sebenarnya cuma satu.
Bedanya ialah selain dapat maju menyerang dan mundur menjaga,
diantaranya terdapat perubahannya."
Mendengar itu perhatian Oey Eng jadi semakin tertarik. Ia
berpikir, kalau hanya satu jurus, tentulah perubahannya istimewa.
Beda dari Kho Kong yang berpikir pendek. ia tidak menyayangi akan
sedikit jurus itu. Soat Kun segera mencekal erat erat pedang dengan
tangan kanannya dan tangan kirinya diletakan diatasnya, sesudah
itu, ia memasang kuda kuda, untuk mulai bersilat, hanyalah
gerakannya sangat perlahan.Mulanya ia menggerakkan pedangnya
kearah timur selatan. "Ingat, inilah gerakan yang pertama" katanya.
"Aku ingat nona," sahut pemuda.
Soat kun menarik kembali pedangnya, untuk mulai lagi.
"Ingat baik baik" katanya. Sekarang dia mulai bersilat,
pedangnya dinaikkan dan diturunkan-
"Aku ingat" si anak muda menjawab pula.
Nona itu lalu bersilat terus, sabar dan tenang. Hanya kemudian,
mendadak sinar pedangnya berkeredepan cepat.
"Bagus" Siauw Pek berseru ketika ia melihat perubahan gerakan
itu.
SEdangkan tadinya ruang sunyi senyap sebab semua perhatian
diarahkan kepada si nona serta gerak geriknya.
Soat Kun berhenti bersilat, sambil tersenyum ia berkata kepada
Oey Eng. "Huhoat, inilah perubahan yang kedelapan. Ingatkah
kau?"
"Mungkin," sahut si anak muda yang bermandikan peluh pada
dahinya. orang lain yang bersilat, ia yang berkeringatan. Itulah
sebab ia menaruh perhatian sepenuhnya, dia menggunakan mata
dan otaknya.
Ban Liang yang kagum seperti Siauw Pek menanya "Nona,
berapa banyakkah jumlah perubahannya ilmu pedang ini?"
"Menyerangnya enam belas perubahan" sahut nona Hoan, "dan
pembelaannya dua puluh satu. Tentang kefaedahannya itu
tergantung kepada latihan."
"Jikalau orang telah melatihnya sempurna, inilah ilmu pedang
yang istimewa," berkata pula Siauw Pek. "Penyerangannya hebat,
pembelaannya kokoh kuat."
Soat Kun tersenyum.
"Nona," berkata Oey Eng, "aku hendak mulai berlatih, aku kuatir
aku nanti lupa."
Kembali si nona tersenyum. Ia mengangsurkan pedang
ditangannya.
"Terima kasih nona" berkata Oey Eng yang menyambut dengan
hormat, seperti tadi diwaktu menyerahkannya.
Soat Kun lalu mundur, maka anak muda itu terus
menggantikannya.
Oey Eng bergerak dengan perlahan, sebab ia sambil mengingat
ingat, meski begitu diwaktu menikam, menabas atau menangkis, ia
menggunakan tenaganya, hingga pedangnya itu memperdengarkan
hembusan anginnya.
Nona Hoan mengawasi "murid" itu dengan bantuan telinga serta
kisikan Soat Gie. Dari hembusan angin ia bisa tahu gerakan keliru
atau kurang tepat.
Maka itu, beberapa kali ia memberitahukan si anak muda dimana
kekeliruannya.
Dengan banyak susah, dengan meminta waktu, akhirnya Oey
Eng bisa juga menjalankan delapan perubahan itu dengan baik,
hingga hatinya menjadi lega.
Nona Hoan puas, katanya "Kau belajar cukup cepat. Oey Huhoat.
Selanjutnya, itu bergantung kepada latihanmu"
"Banyak terima kasih, nona" si anak muda mengucap pula.
"Apakah ilmu pedang ini ada namanya?"
"Ada, nama lengkapnya adalah Hong Lui It Kiam." sahut si nona.
"Penyerangannya disebut Lui Tiam Kauw Kee dan pembelaannya
Hong In Su Hap."
Sampai disitu, Kho Kong mengajukan diri.
"Nona, sekaranglah giliranku" katanya sambil ia mengunjukkan
hormat.
Soat Kun tersenyum. ia berpaling kepada Oey Eng dan berkata:
"Hari ini sampai disini dulu. Pergilah kau beristirahat. Baik kalau kau
dapat menggunakan pikiranmu memahami pelbagai perubahannya
itu."
"Baik nona" kata Oey Eng. "Semoga aku tak menyia nyiakan
harapanmu ini."
Habis berkata, anak muda ini mengundurkan diri.
"Nona," berkata Kho Kong, "senjataku ialah sepasang poan koan
pit, apakah nona dapat mengajari aku sesuatu yang hebat?"
Ban Liang tersenyum. ia anggap sisembrono jenaka.
"Nona Hoan sudah mengijinkanmu, mustahil ia akan menarik
kembali kata katanya?" katanya. "Kenapa kau begini tak sabaran?
Biarkanlah nona Hoan beristirahat dahulu"
Kho Kong tertawa.
"Locianpwe benar" katanya. Maka ia mundur pula, untuk duduk
kembali. Siauw Pek menoleh kepada Oey Eng. ia mendapatkan anak
muda itu duduk diam, matanya dipejamkan tetapi mulutnya kemak
kemik, sedangkan dahinya penuh peluh. Teranglah pemuda itu
tengah mengingat ingat ilmu silatnya yang baru itu.
"Nona...." berkata ketua ini perlahan.
"Ya bengcu, Ada apakah titahmu?" si nona menyahut, perlahan
juga.
"Hong Lui It Kiam bagus sekali nona, dan tak kalah dari Tay Pie
Kiam hoat," kata ketua itu. "Guru nona lihay luar biasa, sayang ia
tak panjang usianya, coba ia masih hidup, mestinya dialah orang
gagah yang utama"
"Bengcu memuji terlalu tinggi," kata sinona merendah. "Memang
kepandaian guruku tak kecewa, tetapi suhu sendiri pernah
mengatakan kepadaku bahwa bakatnya ada batasnya, hingga ia tak
dapat maju lebih jauh."
"Tapi nona telah mewarisi dengan baik sekali, nona dapat
melanjutkan cita citanya, sehingga tak usahlah guru nona merasa
kecewa."
Tapi nona itu menggeleng kepala.
"Sayang kamipun tidak dapat berbuat apa apa," katanya pula.
"Kami mempunyai cacat sendiri sendiri...."
"Tak usah menyesal atau kecewa, nona. Sejak dahulu tak kurang
orang pandai yang bercacat juga...."
"Bengcu benar akan tetapi keadaan kami lain- Memang pernah
suhu mengajari kami ilmu silat, tetapi kemudian, ia tukar itu dengan
ilmu surat, tentang pengobatan dan siasat perang. Kalau toh kadang
kadang kami bersilat juga, suhu tidak mencegah. Inilah sebab ilmu
silat kami sangat terbatas. Suhu pernah menghiburi agar kami tidak
kecewa. Katanya, langit itu ada waktunya jernih dan suram, dan
rembulan ada bundarnya ada sisirnya. Demikian seorang manusia,
tak dapat dia sempurna sepenuhnya...."
"Jikalau demikian nona" turut bicara Ban Liang, yang sejak tadi
berdiam saja, "asal nona suka mengingat ingat, kau tentu dapat
memahami satu atau lebih ilmu silat lainnya."
"Bicara sejujurnya, locianpwe, benarlah seperti kata loocianpwe
itu," Nona Hoan mengakui. "Kelemahanku ialah aku tidak dapat
ingat lagi semua ajaran suhu kecuali kalau akupunya waktu untuk
memikirkannya."
"Apakah Hong Lui It Kiam itu baru saja teringat?" tanya Siauw
Pek.
"Tidak. Aku ingat itu sejak lama."
"Nona, sungguh hebat gurumu itu" Han in taysu yang turut
bicara juga.
"Dengan demikian, dialah ahli surat yang juga ahli silat yang
lihay"
"Memang benar demikian, taysu. suhupun pernah merundingkan
tentang Thian Kiam dan Pa Too...."
"Apakah kata gurumu itu, nona?"
"Suhu berkata dua dua kepandaian itu lihay, hanyalah cacat Tay
Pie Kiam hoat terlalu lunak. lemah mirip hati wanita."
"Inilah benar," pikir Siauw Pek. "Thian Kiam dapat melayani
lawan sedikit atau banyak tetapi sulit memutuskannya."
"Dan Pa Too," si nona meneruskan. "suhu bilang itu terlalu keras,
andaikata ada orang yang dapat berkelit dari serangannya, mungkin
serangan pembalasannya tak dapat ditangkis lagi atau dielakkan."
"Ah, inilah lain," pikir si anak muda." Belum pernah aku
mengalami kegagalan Pa Too." Lalu ia utarakan kesangsiannya itu.
"Bagaimana dengan pandangan bengcu?" tanya si nona.
"Pa Too hebat dan tak memungkinkan orang menentangnya."
"Ada kemungkinannya, Bengcu. Suhu pernah membicarakan
kemungkinan itu."
"Benarkah itu nona?"
"Jikalau bengcu tidak percaya, suhu pernah mengajari aku
bagaimana harus melawannya."
"Kalau begitu, bagaimana andaikata aku ingin mengetahuinya?"
Siauw Pek jadi tertarik hati, ia bangkit. "Benar nona ingin
mencoba?"
Soat Kun bangkit perlahan lahan, iapun tersenyum.
"Kepandaianku sangat terbatas, harap bengcu menaruh belas
kasihan," katanya.
Segera setelah ia berlari dan mengucapkan kata katanya itu,
Siauw Pek menyesal. Kenapa ia mau melayani sinona, ahli pemikir
dan penunjangnya itu. Sekarang sudah terlanjur.
Ban Liang, Oey Eng dan Kho Kongpun tertarik perhatiannya
tetapi berbareng khawatir, mereka pernah menyaksikan sendiri
keampuhan Pa Too dari Siang Go itu, asal golok dihunus dan dipakai
menyerang, pasti lawan terbinasa
"Harap bengcu tak bersungguh sungguh," akhirnya sijago tua
bilang. Siauw Pek mengangguk kepada jago tua itu, terus ia
mencekal gagang goloknya.
"Nona, berhati hatilah" pesannya.
Soat Kun mengangguk. Kalau tadinya tangan kanannya selalu
berada dibahu adiknya, sekarang ia menolak tubuh adiknya, ia
berdiri seorang diri. la mengangkat dan merangkap kedua belah
tangannya seraya berkata: "Silahkan mulai, bengcu"
Semua mata segera diarahkan kepada tangan ketua mereka.
Mata Han in taysu tidak terkecuali. Seingatnya, belum pernah ia
mendengar siang Go gagal dengan goloknya. Mau atau tidak, ia
khawatir buat nona Hoan-sedetik itu, sunyi senyaplah penjara batu
itu.
Sampai sekian lama unutk herannya banyak orang itu Siauw Pek
tak menggerakkan tangannya. ia mencekal gagang golok, tetapi
tangan itu berdiam, seperti tak bergemingnya tubuhnya.
"Bengcu" tanya Soat Kun "kenapa bengcu belum menghunus
golokmu?"
Ketua itu menghela napas perlahan-
"Jikalau aku berkata nona, mungkin kau tidak percaya..."
sahutnya.
" Kenapa kah bengcu?"
"Rasanya aku tak berdaya menghunus golokku ini...." Si nona
berpikir.
"Mungkinkah bengcu kuatir melukai aku?"
"Bukan, bukannya begitu pikiranku."
"Nah, cobalah bengcu pikirkan, apakah sebabnya itu. Mungkin
disinilah terselip atau terbenam kemurniannya ilmu silat Siang
Loocianpwe..."
"sekarang ini nona" Siauw Pek mengakui, "aku bagaikan
dianjurkan desakan gelombang untuk menghunus golokku ini, akan
tetapi selagi aku memandang nona, tak ada dayaku untuk
menghunusnya..."
Soat Kun berdiam, lalu dia mengangguk.
"Baiklah kalau begitu," katanya kemudian. "Sekarang tak usah
kita lanjutkan percobaan kita ini."
Maka semua orang lalu pada duduk pula. Setiap orang memikir,
tetapi tak ada yang membuka mulut. PAda pihak pria, semua
mengagumisi nona, yang bagaikan mempunyai pengaruh luar biasa.
Satu hal diingat Siauw Pek, ketika dahulu ia diajari ilmu goloknya
itu, Siang Go membuatnya bersemangat dan gusar, gusar seperti ia
tengah menhadapi musuh besar atau orang jahat, sedangkan kalau
ia tidak berkobar kobar kemurkaannya, tak dapat ia menggunakan
senjatanya yang luar biasa itu. Sinona bukan musuh, juga bukan
orang jahat, bahkan dialah seorang nona lemah lembut, inilah
kemungkinan yang menyebabkan ia tak sanggup, tak mampu untuk
turun tangan.
Semua orang duduk mengitari kedua nona Hoan-
"Nona, dapatkah kita berbicara?" kemudian Siauw Pek bertanya.
ia berpikir keras, ia merasa heran, maka akhirnya tak sanggup ia
berdiam saja terus terusan.
"Dalam hal apakah, bengcu?" tanya sinona. "Apakah bengcu
heran aku yang lemah hendak mencoba Pa Too? Adakah bengcu
menerka sesuatu?"
"Benar nona. Ada yang aku tidak mengerti."
"Ketika suhu hendak menutup mata, suhu pernah omeng pula
tentang Thian Kiam dan Pa Too" berkata sinona. "Suhu
mengatakan, Thian Kiam Lie Tong dengan ilmu pedangnya itu telah
mengangkat namanya, sedang Pa Too dengan goloknya yang
ampuh telah mengagetkan dan menggetarkan Bu Lim, dunia Rimba
Persilatan- Setiap orang Bu Lim mengharap harap Thian Kiam dan
Pa Too bertemu dan bentrok. untuk mengetahui mana yang terlebih
lihay, tetapi harapan itu sia sia belaka, Thian Kiam dan Pa Too selalu
menghindarkan diri satu dari yang lain, keduanya tak suka
melakukan pertempuran-"
"Itulah benar," berkata Ban Liang, "Loohu juga pernah memikir
demikian-Bukankah kedua jago sama sama hidup disatu jaman?
Kenapa mereka dapat tak bentrok? Maka itu selama puluhan tahun,
itulah keanehan dunia Kang ouw"
"Hanya ada satu hal yang kaum Bu lim tak tahu," berkata sinona.
"Sebetulnya Kie Tong dan Siang Go itu satu kali pernah bertempur
juga..."
Mendengar itu, semua orang heran tak terkecuali Han In Taysu.
"Bagaimana kau ketahui itu nona?" tanya Ban Liang setelah
hilang herannya.
"Duduk soalnya begini loocianpwee" sahut Soat Kun. "Pada suatu
hari Thian Kiam Kie Tong datang berkunjung dan ia yang bicara
sendiri dengan suhu. Kedua orang tua itu berbicara semalam
suntuk. Suhu pernah menerima baik permintaan Kie Tong untuk
memikirkan ilmu guna memecahkan Pa Too, hanya untuk itu Kie
Tong diminta menjelaskan segala perubahan ong Too Kiu Kiam
serta kemahiran Toan Hun It Too yang asal dihunus pasti akan
membinasakan lawan-"
"Apakah guruku mengatakannya kepada gurumu nona?" tanya
Siauw Pek.
"Demikian adanya pastilah nona ketahui jelas rahasia Thian Kiam
dan Pa Too itu."
"Garis besarnya susah, hanya bagian bagiannya yang
tersembunyi, itu harus dipahamkan dengan seksama dengan
ketekunan luar biasa."
"Karena nona telah mengenl baik Thian Kiam dan Pa Too,
bersediakah nona menjelaskan sesuatu?"
"PErintahkan saja bengcu"
"Tolong nona terangkan diantara Thian Kiam dan Pa Too, yang
mana yang lebih bagus dan yang mana yang lebih buruk?"
Nona itu berpikir. "Sulit untuk menjelaskannya bengcu, karena
masing masing memiliki rahasia kemahirannya sendiri sendiri. Suhu
kata, Thian Kiam, Pa Too mempunyai kesempurnaannya separuh
masing masing. Kekurangan Thian Kiam ialah kelebihan Pa Too,
demikian juga sebaliknya. Suhu belum sampai menjelaskan
pengaruh Pa Too saat dihunusnya, karena Pa Too dapat bersatu
padu dengan hati sanubarinya orang yang memakai untuk
menyerangnya."
Siauw Pek belum puas. Ia ingin tahu kepastiannya.
"sebenarnya siapa yang lebih tangguh. Thian Kiam atau Pa Too?"
tanyanya pula.
"Sukar untuk mengatakannya bengcu. Ketika Siang Go
menyerang, Kie Tong tidak binasa diujung goloknya itu. Tapi ketika
Kie Tong menyambut serangan, dia bermandikan keringat, dia
terluka didalam. Katanya luka parah sekali. Lalu anehnya, Kie TOng
tidak tahu cara bagaimana dia menyambutnya, menangkis serangan
golok ampuh itu. Ketika Siang Go melihat ia tidak mampu melukai
Kie TOng, iapun tidak tahu Kie Tong telah terluka, ia menganggap ia
sudah kalah, segera ia mengangkat kaki dan berlalu. Nah, dalam
pertandingan itu, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah?"
Siauw Pek tercengang, "melihat duduknya kejadian, nona Pa Too
adalah yang lebih unggul."
"Jadinya menurut kalian Pa Too lebih lihay daripada Thian Kiam?"
tanya si nona.
"Demikianlah juga pendapat loohu" Ban Liang turut bicara.
"Mungkin kalian melupakan satu hal", berkata sinona, "serangan
Pa Too biasa dengan satu jurus. Dengan satu jurus, Kie Tong tidak
terlukakan, jangan kata terbinasakan- Itu artinya Siang Go sudah
menggunakan seluruh tenaganya, toh ia tidak berhasil. Mengenai
ini, aku mempunyai pendapatku. Bukankah kita cuma tahu Kie TOng
terluka? Tapi bagaimana dengan Siang GO? Kenapa dia habis
menyerang, karena kegagalannya itu lalu kabur pergi? APakah
sebabnya? Aku melihat dua alasan-...."
Siauw Pek semua mengawasi nona itu.
"Aku menerka satu diantara dua: Pertama tama mungkin Siang
Go telah mendapat luka dalam tubuh yang melebihi parahnya luka
Kie Tong, dan yang
kedua tentunya Siang Go menganggap Kie Tong mempunyai
kemampuan mengalahkan goloknya, dari itu dia buru buru
mengangkat kaki."
Ban Liang mengangguk.
"Pandanganmu luas nona" ia mengakui.
Soat Kun berkata lebih jauh. "Menurut suhu ong Too Kiu Kiam
tentu mempunyai salah satu jurus yang dapat memecahkan Toan
Hun It Too, atau sedikitnya yang dapat merintanginya. Hanya
tentang itu, Kie Tong sendiri tidak mengetahuinya.Apa ang Kie Tong
lakukan, selama bertanding itu, ia cuma membela dirinya, lalu tanpa
merasa ia telah menggunakan jurusnya yang paling lihay itu
memusnahkan serangan maut dari Pa Too."
"Itulah mungkin nona. Memang pada saat kematian, ada kalanya
orang mendapatkan pikiran yang murni yang membuatnya diluar
kesadarannya memperoleh daya untuk menghindarkan diri dari
kematiannya itu."
"Itulah bukan soalnya taysu"
"Nah, bagaimanakah pendapat nona?" tanya Han in.
"Suhu pernah merundingkan soal ini, Kie Tong sangat
menghargai suhu, setelah pembicaraan semalaman suntuk itu,
kekagumannya terhadap suhu meluap luap. maka dengan jelas ia
menuturkan tentang segalanya mengenai ilmu pedangnya itu.
Sayangnya megenai Pa Too, ia tidak bisa memberi penjelasan yang
memuaskan-"
"Bagaimana kemudian guru nona ketahui rahasia atau caranya
memecahkan keampuhan Pa Too?" tanya Han in pula.
"Memikirkan soal itu, suhu menggunakan waktu tiga bulan- ia
sampai membuat peta dari gerak gerik ong Too Kiu Kiam diatas
dinding tembok. Pada akhirnya suhu mendapatkan satu
kemungkinan."
"Kemungkinan bukan satu kepastian nona"
"Itulah sebabnya taysu, karena aku masih ingat kemungkinan itu,
baru aku minta bengcu mencoba menyerang aku. Maksudku tidak
lain, hanya untuk mendapatkan bukti. Kalau aku berhasil itu juga
hasilnya suhu, artinya telah kesampaian usaha suhu mencari jurus
penakluknya Pa Too. Seumpama kemudian aku bisa bertemu
dengan Kie Loocianpwe, dapat aku menyampaikan hasil
percobaanku ini."
Siauw Pek berpikir, ia berdiam.
Tengah orang berdiam itu, hingga penjara menjadi sangat sunyi,
dari luar terdengar pujian
"Amitabha Budha" Lalu liang jendelanya terbuka, Mulanya orang
terkejut, baru kemudian hati mereka lega. Di mulut jendela tampak
wajah tenang dari Su Kay Taysu.
"Ada apakah taysu?" Siauw Pek menyapa.
"suheng su Khong ingin bicara dengan Siecu beramai," sahut
pendeta itu.
"Apakah bengcu dapat membagi waktu kalian yang berharga?"
"Kami semua sedang terkurung, kami bagaikan daging ditempat
gantungannya" berkata si anak muda, "apakah kami bukan tinggal
menanti saja untuk dipotong diiris iris?"
Su Kay menghela napas perlahan.
"suhengku itu serta loolap sudah mengerti persoalannya,"
katanya.
"Bengcu, undanglah mereka datang..." kata Soat Kun perlahan.
Siauw Pek menatap Su Kay, tanya dia:
"Taysu berdua yang sudi datang kemari atau kami yang mesti
pergi menerima pengajaran?"
Kembali pendeta itu menarik napas.
"Tentu saja suhengku yang akan datang menerima pengajaran
disini" sahutnya
"Kalau begitu, tolong taysu mengundangnya"
Su Kay menurunkan penutup jendela, maka putus pula hubungan
antara luar dan dalam penjara itu.
Kho Kong gusar atas datangnya sipendeta. ini disebabkan ia
justru ingin sangat menerima pelajaran silat dari Soat Kun. ia
bagaikan mengira melihat Oey Eng sedang rajin berlatih.
"Hai, pendeta bau" teriaknya. "Pagi tidak muncul, malam tidak
datang, sekali nongol kau cuma mengganggu aku"
Siauw Pek semua tahu hati kawan itu, mereka pada tersenyum.
Nona Hoan berkata perlahan pada ketuanya:
"Su Khong Taysu menjadi pendeta tua dan beribadat, walaupun
demikian tak dapat ia merusak nama baik Siauw Lim Sie, tetapi
karena kau telah melindungi mukanya itu, maka sekarang ia
mendapat perasaannya ini. ia sadar. Mau ia datang kemari, pasti ia
akan membicarakan urusan mengenai rimba persilatan seumumnya.
Karena itu bengcu, berhati hatilah kau melayaninya bicara."
Siauw Pek mengangguk.
"Kalau ada kata kataku yang kurang tepat, tolong nona
ingatkan," pintanya.
"sebenarnya aku ingin mengurangi bicara" berkata si nona.
"Kalau bengcu menghadapi soal penting sekali, cobalah berpikir
dengan seksama".
Baru habis mereka bocara, pintu penjara batu sudah terpentang.
Kedua daun pintu terbuka dengan memperdengarkan suara keras
dipintu, Su Khong muncul ditemani Su Kay. Perlahan tindakan kaki
mereka itu. Siauw Pek bangkit, menyambut hormat.
"Taysu berdua silahkan duduk" undangnya. Su Khong membalas
hormat.
"Maaf untuk perlakuan kami ini," sahutnya. Terus ia duduk
bersila.
Su Kay duduk dibelakang kakak seperguruannya itu.
Siauw Pek mengawasi pendeta tua itu, ia mau bicara tapi bataL
ia sangsi akan mengucapkan apa. Dengan begitu, kedua belah pihak
berdiam saja sekian lama.
Akhirnya Su Khong yang mulai membuka mulut. Langsung ia
membicarakan persoalannya. Katanya: "Loolap telah memikir
beberapa soal yang mencurigakan, maka itu loolap sengaja datang
kemari untuk memohon pengajaran."
"Maaf taysu" sahut Siauw Pek merendah.
"Ada titah apakah dari taysu? Silahkan sebutkan, kami akan
mencuci telinga kami untuk mendengarkannya baik baik"
Su Khong memandang kepada Han in Taysu. "Taysu ini...."
katanya.
Siauw Pek menyela pendeta ini "inilah Han in Taysu ketua
terdahulu dari Ngo Bie pay"
Terperanjat ketua tiangloo dari Siauw Lim Sie itu, hingga dia
mementang lebar lebar kedua matanya menatap ketua Ngo Bie Pay
itu. Memang dia bermata tajam, maka juga matanya itu bercahaya
terang. Sampai lama dia masih mengawasi.
Han in Taysupun berdiam saja. ia duduk tenang sejak tibanya
pendeta dari Siauw Lim Sie itu. la tak memperdulikan kata kata
Siauw Pek dan tak menghiraukan sikap tiangloo.
Siauw Pek heran, hingga ia habis sabar.
"Taysu" tegurnya, "apakah taysu tak percaya aku?"
Su Khong tidak memperdulikan ketua Kim Too bun itu, orang
yang dia datangi untuk diajak bicara, terus dia menatap Han in
Taysu mengawasi tajam mukanya. Hanya sejenak kemudian,
mendadak ia meluncurkan sebelah tangannya kearah ketua Ngo Bie
Pay itu, melakukan pukulan angin ke dada orang. sebagai ketua
Siauw Lim Sie, dapat dimengerti betapa lihay pendeta ini, maka itu
dapat dimengerti pula hebatnya serangan mendadak itu. Tapi luar
biasa juga Han in Taysu, dia duduk bersila tenang tenang saja,
membiarkan serangan tak diduga duga itu.
"Pukulan loolap ini ialah yang dinamakan Hui Poat Tong ciong."
berkata Su khong. Baru sekarang dia bicara pula.
"Hui Poat Tong ciong" berarti "cecer terbang menghajar genta."
Mendengar keterangan itu, dengan sabar Han in Taysu
menjawab, "Loolap ingat beberapa puluh tahun yang lampau pernah
loolap menggunakan jurus Hwa Liong Tiam ceng untuk
memecahkannya"
Su Khong tetap belum mau percaya. Katanya "Peristiwa itu saja
belum cukup untuk membuktikan tentang dirimu"
Dengan sabar Han in menjawab. "Taysu boleh tak percaya.
Loolap tidak berminat memaksa memohon orang mempercayainya"
Su Khong mengangguk. ia berkata pula, "melihat awan putih
berubah menjadi anjing abu abu berubah ubah luar biasa"
mendadak dia bungkam.
Atas itu, Han in Taysu membaliki, "Rumah sunyi pada pokoknya
tak pantangannya, karena Sang Buddha berada didalam hati."
Mendengar itu, Su Khong Taysu merangkap kedua belah
tangannya, sambil memberi hormat ia berkata. "Maaf, loolap sudah
berlaku kurang hormat."
Han in Taysu menjawab. "inilah urusan yang tak selayaknya
diherankan."
Kemudian Su khong Taysu bertanya. "Dahulu hari itu dipuncak
Yan in Hong digunung Pek Ma San, ketua keempat partai telah
menemui bencana kebinasaanya, mengapa kau sendiri sekarang
bagaikan pelita padam hidup pula, bagaikan roh yang menjelma
kembali"
Han in menjawab, "meninggalkan si mayat mengganti si mati
melulu untuk mengacaukan telinga dan mata orang, harus disayangi
orang orang Rimba persilatan semua telah kena diperdayakan"
Masih Su Khong Taysu bertanya "keempat ketua partai
mempunyai masing masing kepandaian silatnya yang istimewa,
kenapakah mereka dapat dianiaya secara serentak?"
Berkata Han in Taysu "Itu dia yang dikatakan, bencana mulai dari
tirai dindin, berubah menjadi bencana ketiak dan sikut, atau
penjahat didalam rumah sukar dijaganya."
Jelas kata kata Han in itu, penghianatan sukar dihindarkan-sekian
lama kedua pendeta tua ini, duduk berhadapan dan berbicara satu
dengan lain, sebegitu jauh Su Khong tidak mau mengenal atau
mengenali, Han It Taysu, akan tetapi setelah tanya jawab mereka
yang terakhir ini mendadak pendeta dari Siauw Lim Sie itu bangkit,
kemudian merangkap kedua belah tangannya terhadap pendeta dari
Ngo Bie pay itu untuk menanya: "Jadinya Taysu adalah Han in
Tooheng?"
Han in tak bangkit untuk membalas hormat, hanya dengan
tenang, sabar ia menjawab:
"Dulu loolap dikurung dalam kamar rahasia, sukur loolap dapat
ditolong oleh ketua dari Kim Too Bun dan rombongannya akan
tetapi sekarang ini, kawanan murid murtad celaka dari Ngo Bie pay
masih belum dapat ditumpas dibersihkan, maka itu seam sebelum
itu, tak berani loolap menyebut diriku Han in".
Su Khong mengangkat kepalanya, dia menarik napas panjang.
"Sungguh bencana hebat dan menyedihkan kaum rimba
persilatan yang sebelumnya belum pernah terjadi," katanya
berduka, "hingga ratusan ribu orang kena dipermainkan, hingga
sekarang sisa gelombangnya belum juga reda, sekarang setelah
lewat belasan tahun, hingga selama itu, seratus lebih orang mesti
terbinasa konyol dan sia sia belaka. Sungguh jahat, sungguh
mengharukan. Amitabha Buddha"
Baru sampai waktu itu nona Hoan turut bicara.
"Taysu" tanyanya, "setelah sekarang taysu ketahui peristiwa
yang sebenarnya entah bagaimanakah taysu hendak bertindak?"
"Tidak ada jalan lain daripada perkara harus diurus" menjawab
Su Khong Taysu, "awan tebal gelap itu mesti disapu bersih, supaya
langit dan matahari dapat dilihat kembali terang benderang"
"Taysu benar", berkata sinona. "Tindakan itu harus tindakan
guntur"
"Terima kasih atas petunjukmu Siecu" pendeta Siauw Lim Sie
mengucap. Lalu berpaling kepada Su Kay Taysu, adik
sepergUruannya itu untuk memesan: "Sutee, kau berdiam disini
menemani para Siecu itu, aku hendak pergi lebih dahulu."
Begitu berkata, begitu pendeta tua itu memutar tubuh dan
berlalu.
"Silahkan suheng" kata Su Kay sambil bangkit memberi hormat.
Lalu selekasnya kakak seperguruannya itu sudah tak nampak
bayangannya lagi, ia menolak daun pintu penjara, kemudian
menoleh kepada Coh Siauw Pek seraya berseru "Coh bengcu...."
"Ya taysu Ada perintah apakah?" Siauw Pek tanya.
"sekarang ini kakak seperguruanku sudah mengerti jelas,"
berkata pendeta itu. "seberlalunya dari sini, ia tentu akan
menghimpunkan Tiang Loo Hwee guna memperbincangkan urusan
ini....."
"Soal sudah jelas, apakah yang harus diperbincangkan pula?"
Soat Kun bertanya.
"Aturan kami keras, dunia mengetahuinya", Su kay memberi
keterangan. "Ketua kami berkedudukan tinggi, walaupun ada Tiang
Loo Hwee, tak dapat tiangloo hwee sembarangan mengambil
keputusan dan melaksanakannya. Apalagi disamping itu, pendapat
para anggota Tiang Loo Hweejuga tak menyeluruh."
"Jikalau demikian adanya taysu, walaupun kakak seperguruan
taysu telah mengetahui jelas duduk perkara, itu masih belum ada
faedahnya yang langsung...."
"Bukan begitu bengcu" berkata Su Kay menggeleng kepala.
"Suheng Su khong itu bukan saja dihormati Tiang Loo Hwee, juga
semua anggota partai kami sangat menghargainya, cuma karena
urusan ini besar luar biasa, ia harus bertindak sabar, terutama untuk
terlebih dulu membuat para tiangloo sadar dan berpihak
kepadanya."
"Menurut taysu, apakah suheng kalian itu akan berhasil dengan
usahanya ini?" tanya si nona Hoan-
"Mudah mudahan nona. Hanya ini bukanlah kerjaan dari
setengah hari saja..."
"Jikalau seorang enghlong sejati, putusan getas," berkata pula
nona Hoan-"Dimana sekarang perkara sudah sangat jelas, apa
perlunya akan menggoyang dan menggoyangkan lidah lagi?"
Dengan enghlong, orang gagah disini Soat Kun artikan laki laki
sejati.
"Didalam Tiang Loo Hwee nona, ada beberapa tiangloo yang
menghargai nama baik Siauw Lim Sie secara luar biasa sekali" Su
Kay menjelaskan pula. ia bicara dengan sangat perlahan dan
mendadak ia menghentikan kata katanya itu.
Nona Hoan menghela napas.
"Taysu telah tiba saatnya utnuk taysu mengundurkan diri",
katanya. "Perlu taysu pergi membantu kakak seperguruanmu itu."
Mendengar kata kata si nona, tak ada lagi orang Kim Too Bun
yang membuka suara, walaupun sebenarnya masih ada beberapa
hal yang ingin ditanyakan. Su Kay mengangguk.
"Para Siecu, beristirahatlah dengan tenang", katanya. "Didalam
tempo dua hari pasti loolap akan menyampaikan kabar baik kepada
Siecu semua"
Habis berkata, ia memberi hormat, terus ia berlalu.
"Hmm" Kho Kong memperdengarkan suara dihidungnya. "Kenapa
sih pendeta ini bicara ayalan? orang Bu Lim siapa yang tidak
menghargai nama? Apakah cuma Siauw Lim Sie?"
"Dia belum bicara habis, dia berhenti secara tiba tiba", berkata
Giok Yauw, "entah apakah maksudnya?"
"Jangan persalahkan dia, dia memang sulit membuka mulutnya"
Soat Kun menerangkan.
"Kenapa begitu nona?" Nona Thiopun bertanya.
"Tadi dia menyebut bahwa diantara Tiangloo ada beberapa yang
sangat menghargai nama partainya" berkata Soat Kun. "itu artinya
dia tak ingin kita membeberkan rahasia mereka itu. Sebenarnya
Siauw Lim Sie terancam keruntuhan dan itu harus dapat dicegah."
"Katanya Tiang loo hwee terdiri dari pendeta yang berusia lanjut,
beribadat dan bijaksana" kata Kho Kong pula. "tetapi kenapa kini
sulit mengambil keputusan? Apakah mereka hendak menanti sampai
api membakar alis mereka?"
"Sebenarnya mereka sudah insyaf tetapi mereka tak ingin dunia
mengetahuinya. Mereka pula tak ingin meminjam tenaga bantuan
kita."
"Toh hal telah kita ketahui" Kho Kong masih mendesak.
"Sekalipun mereka tak sudi minta bantuan kita, mereka tetap tak
dapat membungkam mulut kita..."
"Mungkin masih ada soal lainnya.^.." Soat Kun berkata pula. Tiba
tiba ia menghentikan kata katanya itu, ia mengangkat tangannya
untuk merapihkan rambutnya. Habis itu baru ia menyambungi. "Kho
hu hoat apakah kau sudi menerima dua jurus pelajaran dari aku?"
Sebenarnya sisembrono masih penasaran, masih ia mau
menanyakan lebih jauh, tetapi mendengar sinona bicara dari hal
pelajaran silat, kegirangannya meluap luap hingga sejenak itu ia
lupa pada urusan yang membuatnya penasaran itu.
"Pasti nona" sahutnya nyaring. Nona Hoan tersenyum.
"Bukankah huhoat menggunakan poan koanpit?" tanyanya.
"Benar nona. Tapi kalau perlu, suka aku menukarnya dengan
pedang...."
"SEmua delapan belas rupa alat senjata ada masing masing
keistimewaannya" berkata nona Hoan. "Hanyalah bakat dan tenaga
orang yang berlainan, dari itu berlainan pula hasil yang
diperolehnya..... Aku telah mengajari Oey Huhoat sejurus tipu silat
pedang, kau akan mendapatkan tiga jurus poan koan pit".
"Terima kasih nona" kata Kho Kong girang luar biasa. Terus ia
menjura.
"Jangan memakai ada peradatan, huhoat."
"Nona mau mengajari ilmu silat padaku, mana dapat aku tidak
menjalankan aturan diantara murid dan guru?" kata siorang
sembrono yang tahu aturan itu.
Noba Hoan menggoyang goyang kepala.
"Aku cuma mengajari hafalannya saja" katanya "bagaimana
hasilnya nanti, itu tergantung kepada huhoat sendiri, kepada
ketekunanmu. inilah beda daripada cara guru mengajari
muridnya...." Berkata begitu, sinona bangkit.
"Kho huhoat, dapatkah kau meminjamkan pitmu?" tanyanya.
Kho Kong mengeluarkan poan koanpitnya, dengan hormat ia
mengangsurkannya. Soat Gie menyambuti senjata berupa alat tulis
itu, untuk diteruskan kepada kakaknya.
Setelah mencekal senjata itu, nona Hoan berkata perlahan- "Kho
huhoat, perhatikanlah"
"Akan aku perhatikan nona" sahut sianak muda hormat.
Soat Kun mengangkat senjatanya.
"Inilah jurus pertama Ho Gak Tiam ciang" bilangnya.
"Nama jurus yang bagus", kata Siauw Pek yang terus memasang
mata.
Dengan perlahan Soat Kun mengangkat tangannya, lalu dengan
perlahan juga ia menurunkan lagi, tetapi tiba ditengah jalan,
mendadak ia menusuk dan menangkis berulang ulang bagaikan kilat
sebatnya.
"Kho huhoat telah kau lihat jurus pertama ini?" tanya sinona.
"Aku lihat nona, hanya kurang jelas."
"Siapakah yang lainnya yang telah melihat jelas?" sinona tanya.
Semua orang berdiam, tiga kali sinona mengulangi pertanyaan,
tidak ada jawabannya. Maka ia tanya Han in,
"apakah taysu melihatnya?"
"Gerakan Siecu cepat luar biasa, loolappun belum melihat tegas"
sahut ketua Ngo Bie Pay itu.
"Sayang kami terbatas bakatnya, tak dapat kami mempelajari
silat hingga sempurna" berkata sinona. "Maka itu walaupun suhu
lihay tapi kami tidak dapat menuruninya."
"Kenapa Siecu berkata begitu?" tanya Han in- "Bukankah jurus
tadi lihay sekali?"
"Itulah sebab tenagaku kurang dan aku tak dapat melukai orang"
sinona akui.
"Aku menyesal" berkata Ban Liang, "Aku bersahabat kekal
dengan gurumu nona, tetapi aku tidak tahu ia selihay ini, kalau tidak
aku pasti sudah minta ia suka mengajari aku barang beberapa
jurus."
"Tentang itu, suhupun pernah omong kepadaku loocianpwe"
berkata sinona. "Kalau loocianpwee menyetujui dapat aku mewarisi
barang satu atau dua jurus."
Jago tua itu menghela napas.
"Dalam usiaku ini, nona" katanya masgul. "loohu adalah umpama
lilin yang sisa apinya tinggal padamnya saja, jadi tak usahlah nona
mewariskan kepandaian sahabatku itu kepadaku, tidak demikian
dengan beberapa pemuda ini. Harap nona mewarisi kepada mereka
agar tak sia sialah kepandaiannya sahabatku itu, supaya
kepandaiannya itu tak hilang terpendam"
Soat Kun mengangguk.
"Loocianpwee" katanya. Jikalau loocianpwee merasakan sesuatu
yang kurang sehat, tolonglah beritahukan kepadaku. Mengenai ilmu
pengobatan, guruku telah ada keyakinannya yang mendalam. Tak
dapat suhu mengatakan ia bisa menghidupkan pula orang yang
telah mati, akan tetapi sedikitnya ia dapat mendayakan untuk
mencegahnya, buat membantu memperpanjang umur. Berkat
warisan suhu itu, aku mengerti juga sedikit."
Mendengar kata kata si nona, Ban Liang tertawa terkekeh.
"Walaupun loohu telah merasakan ketuaanku tetapi aku belum
berkenan akan kematianku" katanya gembira dan jenaka.
"Memelihara diri juga sama dengan belajar silat loocianpwee.
Disini perlu juga orang menyediakan payung sebelum hujan turun"
Kembali sijago tua tertawa nyaring.
"Kakak Hoanku itu" katanya, "dia pandai melebihi kebanyakan
orang, dia cerdas luar biasa, dia toh tak sanggup mencegah
kematiannya sendiri. Karena itu buat apa aku situa jeri akan ajalku?
Buatku sekarang ini, yang aku harap ialah kabut tebal dan gelap
dunia Bu Lim dapat disapu bersih, supaya langit menjadi terang
benderang pula"
Han in menghela napas mendengar kata kata sijago tua.
"Sungguh Ban Sie cu seorang gagah sejati" pujinya kagum.
"Loocianpwee, aku cuma mau menunaikan tugasku, lain tidak."
Soat Kun bilang.
Selagi orang berbicara itu, Kho Konh seorang diri tengah berkutat
dengan jurus poan koanpitnya yang pertama itu. ia terus mencoba
mengingat ingat, perhatiannya tak dialih kan kearah mana juga.
Sementara itu sang waktu berjalan terus tanpa menghiraukan
urusan manusia. Lekas rasanya, lima hari sudah lewat, selama mana
Siauw Pek mendekam didalam penjara batu itu. Selama itu tak
terlantar barang santapan mereka, selalu Su Kay Taysu yang
meniliknya sendiri. Maka juga, walaupun terkurung, karena
mendapat waktu sebaik itu, lenyaplah lelah letih mereka selama
setengah bulan melayani musuh musuh terus terusan. Sekarang ini
mereka semua sehat walafiat seperti sediakala.
Kho Kongpun girang sekali. Selewatnya lima hari, berhasil juga ia
memahami tiga jurus ilmu silat poan koanpit ajaran nona Hoan-
Thio Giok Yauw juga tidak melewatkan hari hari senggang itu
dengan begitu saja, ia memperoleh hasil yang menggirangkannya.
Karena ia gemar dengan senjata rahasia, tanpa sungkan ia minta
Soat Kun suka mengajarinya dan untuk kebahagiaannya nona Hoan
menerima baik permintaannya itu. Maka ia dapat mewariskan
kepandaian Hoan Tiong Beng almarhum. Sambil beristirahat itu,
Siauw Pek juga tidak menganggur. Seandainya ia memahamkan
ilmu pedang Tay pie kiam hoat serta Toan hun It Too, ia mencari
cari kelebihan dan kekurangan kedua ilmu itu. Sampai sebegitu jauh
ia masih belum juga berhasil. Akan tetapi untuk kegembiraannya,
latihannya menambah kemahirannya dalam ilmu pedang dan golok
yang istimewa itu.
Pada hari keenam, tengah hari muncullah Su Khong taysu dan Su
Kay dan Su Ie. Mereka datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu,
mereka memperlihatkan diri secara mendadak.
Dan pendeta tua itu dengan merangkap kedua belah tangannya
itu, dengan cara yang hormat berkata sabar kepada sekalian
tamunya. "Siecu maaf, loolap telah membuat kalian menderita
selama beberapa hari..."
Siauw Pek lekas lekas membalas hormat.
"Untuk keselamatan sesama kaum Bu Lim" katanya, "bagi kami
kaum Kim Too Bun, penderitaan beberapa hari ini tak ada artinya
sama sekali. Yang penting ialah taysu percaya akan kata kata kami
atau tidak?"
Anak muda ini bicara jujur tanpa tedeng aling aling lagi, dia
langsung tiba pada titik soal.
Dengan sikapnya yang agung sabar seperti semula, su Khong
berkata "Setelah kami menerima petunjuk Siecu sekalian, timbullah
kecurigaan kami, cuma karena urusan sangat besar dan penting,
sebelum kami memperoleh bukti yang kuat, kami masih diganggu
oleh keragu raguan, kami baru setengah percaya...."
Soat Kun menghela napas mendengar kata kata jujur pendeta
tua itu.
"Taysu, katanya sabar, tahukah taysu mengapa kami beramai
sudah melakukan perjalanan melewati gunung dan sungai serta
juga menerjang bahaya mendatangi kuil Siau Lim Sie dari taysu
beramai ini? untuk apakah itu?"
"PAra Siecu, loolap menghargai usaha dan jerih payah kalian ini"
menjawab pendeta itu, "Siecu beramai sudah datang kemari guna
menyampaikan kabar untuk kebaikan Siauw Lim Sie, untuk itu kami
sangat bersyukur dan berterima kasih."
Aneh pendeta tua ini, pikir Ban Liang. Dia telah ketahui duduk
peristiwanya mestinya dia telah mempercayainya penuh, tetapi
kenapa dia masih tak sudi mengakuinya terus terang?
Nona Hoan berkata pula: "Sekarang ini separuh dari pengaruh
jahat sudah meliputi dunia Bu Lim, maka itu sekarang juga saat
atau kesempatannya yang terakhir. Jikalau kita tidak bertindak tegas
sekarang ini hanya berayal ayalan hingga mereka itu tumbuh sayap
pepak lengkap. pastilah celaka kita semua. Dengan
perlengkapannya itu, orang dibelakang layar itu yang menjadi
penggerak utama, asal dia memaklumkan perintahnya melakukan
penyerangan umum, pasti dunia Bu Lim seluruhnya akan terjatuh
dibawah pengaruhnya. Hingga walaupun tiga puluh tahun, tak nanti
kita dapat bangun pula. Dan partai kamu yang mulia taysu, yang
biasa memegang tampuk pimpinan, kali ini kami harap semoga
dapat bertindak pula, supaya dunia Kang ouw disadarkan agar
pengaruh iblis dapat ditumpas habis"
Mendengar suara sinona, Su Kay menghela napas panjang. Ngo
Kwie Toan Hun Ciu Ban Liang pun turut bicara. Katanya "Sejak
sembilan partai besar menggabung pelbagai partai menyerang dan
membasmi Pek Ho Bun, aku situa sudah merasa curiga, maka juga
telah kuberniat mencari tahu duduk hal yang sebenarnya, syukuriah
usaha kami tidak sia sia belaka karena Hong Thian telah
memberkahinya"
"Mengenai urusan ini loolap sudah berunding lama dengan adik
seperguruanku," su Khong berkata pula: "Kesulitan kami ialah kami
masih belum mempunyai bukti untuk dijadikan pegangan kuat.
Sekarang setelah para Siecu tiba disini, untuk mendapat kepastian,
sudikah para Siecu datang keruang Tay Jiak Ie kami untuk
berunding lebih jauh bersama kami?."
Siauw Pek menerima baik undangan itu
Soat Kun ingat akan Ciu ceng, ia lalu bertanya kalau kalau
kawannya itu yang menjadi kurban racun masih hidup atau sudah
meninggal dunia.
"Kami telah menempatkan dia di Tat Mo Ie" menjawab Su Kay.
"Kami telah memberikan dia obat tetapi hasilnya tidak ada, obat
kami bagaikan tenggelam lenyap didalam laut besar."
"Jikalau obatnya tidak tepat, memang tidak dapat dia ditolong",
kata nona Hoan.
"Apakah nona dapat menolong dia?" Su Kay tanya.
"Aku tidak dapat menolong dia, tetapi aku ketahui caranya,"
menyahut sinona. "Dia sebenarnya ada sangkutpaut dengan ketua
kalian".
"Nona, apakah nona telah ketahui sipemimpin yang masih
menjadi orang rahasia itu?" Su Kay menanya menegasi.
"Aku tidak tahu", menjawab si nona. "Nah, mari kita berangkat"
Dengan berpegangan pada adiknya, nona ini segera membuka
langkah kakinya
Anda sedang membaca artikel tentang cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 9 - boe beng tjoe dan anda bisa menemukan artikel cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 9 - boe beng tjoe ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yang-menggetarkan-9.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 9 - boe beng tjoe ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 9 - boe beng tjoe sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post cersil : Pedang Golok Yang Menggetarkan 9 - boe beng tjoe with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/08/cersil-pedang-golok-yang-menggetarkan-9.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar