Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang 3 Tamat

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 17 Mei 2012

Description: Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang 3 Tamat Rating: 4.5 Reviewer: Unknown - ItemReviewed: Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang 3 TamatCerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang 3 Tamat adalah lanjutan dari

Dan jangan lupa untuk membaca juga

Dan berikut Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang 3 Tamat selengkapnya
Kini pandang mata gadis itu menjadi terbelalak. Agaknya ia bingung. Belum pernah ia mendengar pendapat seorang pria seperti yang baru saja didengarnya.

"Engkau ini……aneh, Hay Hay! Benarkah pujianmu tadi bukan rayuan, melainkan pernyataan yang jujur? Apakah di balik pujian itu tidak ada suatu pamrih, suatu dorongan berahi? Apakah engkau tidak ingin menyentuhku, memeluk dan menciumku?"

Tiba-tiba Hay Hay merasa betapa mukanya panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya berubah merah. Untung bahwa sinar penerangan yang memasuki kamar batu itu pun kemerahan sehingga perubahan warna pada wajahnya tidak akan nampak. Dia menjadi salah tingkah mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Dia harus be.rsikap sejujurnya. Gadis ini berbeda dengan gadis-gadis bangsanya. Demikian terbuka dan agaknya tidak pantangbicara tentang berahi. Dia harus menarik napas panjang beberapa kali untuk mengumpulkan keberaniannya sebelum bicara.

"Kau ingin aku jujur, bukan? Jangan marah kalau jawabanku yang jujur akan menyinggung perasaan hatimu."

"Kalau engkau tidak jujur dan membohongiku, barulah aku akan tersinggung, Hay Hay."

"Baiklah. Terus terang saja, kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuhmu, memeluk dan menciumi, jawabnya sama dengan kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuh, meraba dan mencium setangkai bunga yang indah mengharum? Aku akan berbohong kalau aku mengatakan tidak, Sarah. Engkau begini cantik jelita seperti setangkai bunga, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa aku mempunyai niat tidak senonoh kepadamu. Aku menyayangi keindahan. Aku akan menyentuh dan mencium setangkai bunga karena mengaguminya, akan tetapi aku tidak akan memetiknya dan merusaknya. Engkau mengerti?"

Hay Hay menduga bahwa gadis itu akan tersinggung dan marah. Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali! “Aku mengerti, Hay Hay, dan aku semakin kagum kepadamu. Engkau jujur dan jantan. Nah, kalau memang engkau ingin menyentuh, memeluk dan menciumku, kenapa tidak kau lakukan itu?”

"Ehhh……!" Hay Hay terbelalak mengamati wajah gadis itu. Mengejekkah gadis itu?

"Kenapa, Hay Hay? Bukankah engkau ingin memeluk dan menciumku? Nah, aku akan girang sekali kalau kaulakukan itu.

Ataukah ucapanmu itu hanya basa-basi belaka dan engkau tidak berani melakukan apa yang kau katakan?"

"Aku takut engkau akan marah kalau kulakukan itu, Sarah."

"Kenapa marah? Kalau memang engkau jujur, aku tidak akan marah bahkan aku akan merasa bangga dan girang sekali. Atau engkau hanya pura-pura jujur saja?"

Bukan main! Hay Hay tercengang. Belum pernah dia bertemu seorang gadis seperti ini. Kalau dia tidak yakin akan kejujuran Sarah, tidak yakin akan kesucian hatinya dan melihat betapa Sarah mati-matian mempertahankan kehormatannya, bahkan akan membalas dendam secara mengerikan kalau sampai kehormatannya dicemarkan, tentu dia akan mengira gadis ini murahan! Begitu saja menantang seorang laki-laki untuk memeluk dan menciumnya untuk menimbulkan kekagumannya dan kejujurannya! Namun, Hay Hay tahu bahwa menghadapi gadis seperti ini, dia pun harus berani membuktikan kejujurannya. Apalagi, bukti itu akan amat menyenangkan!

"Kalau begitu, maafkan aku!" katanya dan dia pun bangkit, menghampiri Sarah, duduk di dekatnya dan dia pun merangkul dengan perasaan sayang, lalu dengan lembut dia mencium dahi yang kulitnya putih seperti susu itu. Ciuman yang hangat dan mesra.
Dalam sentuhan antara hidung dan bibir Hay Hay dengan kulit dahi yang halus dan harum aneh oleh bedak dan keringat itu terkandung perasaan sayang dan kagum dari hati Hay Hay, mendatangkan kehangatan pada hidung dan bibirnya. Kedua lengannya merangkul pundak dan le.her dengan lembut namun kuat, seolah dia hendak melindungi wanita asing yang membuatnya kagum ini.

Ketika tadi Hay Hay mendekatkan mukanya, Sarah sudah memejamkan mata dan membuka bibir, menanti ciuman hangat. Ia masih memejamkan mata ketika ciuman itu jatuh ke dahinya dan ia pun teringat kepada ayahnya yang biasanya juga mencium dahinya dengan kasih sayang. la membiarkan dirinya dipeluk ketat, membiarkan pemuda pribumi itu sejenak menempelkan bibir dan hidung didahinya, dengan pasrah.

Hay Hay menarik kembali mukanya dan melepaskan rangkulannya dengan lembut, memandang wajah ayu yang masih memejamkan mata. Dahulu, kalau dia mencium seorang gadis, maka gadis itu akan tersipu malu, membuang muka ke samping atau menunduk. Akan tetapi, Sarah masih tetap tengadah, memejamkan mata dan mulutnya tersenyum dengan bibir setengah terbuka. Sama sekali tidak nampak canggung atau malu-malu. Perlahan-lahan Sarah membuka matanya memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sejenak dan pesona itu pecah ketika Sarah tertawa! Tawanya juga lepas walaupun suaranya hanya lirih karena ditahan. Deretan giginya yang rapi dan putih hampir nampak semua ketika sepasang bibir yang merah itu merekah.


Hay Hay mengerutkan alisnya, wajahnya terasa panas sekali. Dia merasa diejek! Apanya yang salah pada ciumannya? Kenapa Sarah menertawakannya?

Tawa itu jelas tawa yang mengandung arti, seperti orang melihat sesuatu yang amat lucu.

"Sstt, jangan keras-keras tertawa, Sarah. Katakan, kenapa engkau menertawakan aku?"

Sarah berhenti tertawa dan memegang lengan Hay Hay. "Tentu saja aku tertawa karena engkau lucu. Engkau mengingatkan aku kepada ayahku."katanya sambil menahan tawa dengan senyum lebar. Kerut di antara alis Hay Hay masih belum lenyap. "Hemm, sudah begitu tuakah aku? Kenapa aku mengingatkan engkau kepada ayahmu? Usiaku baru dua puluh lima tahun!"

Mendengar ucapan ini, Sarah kelihatan semakin geli dan kini kedua tangannya memegang kedua tangan Hay Hay, matanya menatap dengan terbuka dan bibirnya menahan senyum geli, "Tentu saja engkau mengingatkan aku kepada ayahku karena engkau menciumku seperti kalau ayah menciumku. Dan engkau bukan ayahku. Ha, engkau sungguh sama sekali tidak pandai mencium, Hay Hay."-

Kini Hay Hay yang tersipu. Gadis ini segalanya begitu terus terang, begitu polos dan sadar, ada yang ada dalam hati dan pikirannya, ceplas-ceplos saja dikatakan melalui mulutnya tanpa ada rikuh, tanpa khawatir menyinggung perasaan orang karena memang sama sekali tidak ada niat untuk menyinggung. Biarpun tersipu, Hay Hay tersenyum dan semakin kagum.

"Maafkan aku, Sarah. Terus terang saja, aku memang bukan ahli dalam hal itu, mungkin kurang pengalaman karena jarang memperoleh kesempatan. Nah, kau beritahu padaku, bagaimana sih seharusnya mencium seorang gadis seperti engkau ini?"

Tentu saja Sarah merasa heran dan geli. Seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun, bertanya kepadanya tentang cara mencium seorang gadis! Hal ini terdengar janggal dan aneh baginya, tentu saja karena bangsanya sudah pandai berpacaran sejak usia di bawah dua puluh tahun! Melihat cara Hay Hay tadi menciumnya, ia percaya bahwa Hay Hay tidak berpura-pura.

"Ada tiga cara mencium, Hay Hay. .Pertama, ciuman sayang orang tua kepada anaknya, yaitu ciuman di dahi seperti yang kau lakukan tadi. Kedua, ciuman sayang antara saudara atau sahabat baik, di pipi kanan atau kiri atau keduanya. Dan ke tiga adalah ciuman tanda cinta seseorang kepada kekasihnya yaitu ciuman bibir dengan bibir. Nah, engkau sekarang sudah tahu. Perbaikilah ciumanmu yang salah tadi." Setelah berkata demikian, gadis itu dengan sikap manja menengadahkan mukanya yang cantik, dengan mata terpejam dan bibir sedikit terbuka.

Melihat wajah yang dekat itu, hidung yang mancung dan bibir yang menggairahkan dan menantang, ingin sekali Hay Hay mengecup bibir itu. Akan tetapi dia tidak berani melakukannya. Biarpun aneh dan bebas, dia tahu bahwa Sarah adalah seorang gadis yang terhormat, seorang gadis yang memiliki harga diri yang tinggi. Dia tidak ingin menyinggung hati gadis yang mendatangkan perasaan kagum di hatinya itu. Maka, dia pun mendekatkan mukanya, kemudian mencium gadis itu pada kedua pipinya, dengan hidung dan bibirnya. Ciuman yang mengandung perasaan sayang dan kagum. Dan dia merasa betapa gadis itu pun tanpa canggung-canggung membalas ciumannya.

Setelah Hay Hay melepaskan rangkulannya dan menatap wajah Sarah, mereka saling pandang dan gadis itu tersenyum. Dan Hay Hay merasa betapa terjadi perubahan dalam suasana dan hubungan mereka. Terasa akrab sekali dan seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak bertahun-tahun. Lenyaplah perasaan asing di antara mereka.

"Nah, sekarang kita telah benar-benar menjadi sahabat baik, Hay Hay. Dan aku berterima kasih sekali kepadamu, karena selain engkau telah menolongku, juga ternyata engkau seorang gentlemen sejati."

"Gentlemen? Apa itu?"

Sarah tersenyum lebar. "Gentlemen itu kalau menggunakan bahasamu adalah seorang jantan, seorang ksatria, seorang laki-laki sejati yang dapat dipercaya, yang gagah perkasa, lembut hati. Pendeknya, seorang laki-laki pilihan, begitulah!"

"Dan engkau seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi baik, dan terus terang saja, juga begitu amat aneh. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dan bersahabat dengan gadis yang hebat seperti engkau ini."

Gadis itu memandang dengan wajah berseri gembira. "Dan aku pun tidak pernah mimpi akan dapat berkenalan dengan seorang pendekar seperti engkau. Kukira tadinya bahwa semua orang pribumi……"Sarah menghentikan ucapannya dan menatap wajah pemuda itu dengan ragu. Bagaimanapun, dara ini tidak ingin kalau ucapannya akan membuat sakit hati orang yang dikagumi ini.

"Kaukira semua orang pribumi bagaimana, Sarah? Lanjutkanlah dan jangan ragu. Aku pun mengagumi kejujuranmu."

"Baik aku akan berterus terang saja. Karena terpengaruh oleh pendapat bangsaku, tadinya aku mengira seperti juga mereka bahwa semua orang pribumi di sini kasar, sombong, kotor dan jahat, tidak dapat dipercaya. Setelah aku bertemu dan berkenalan denganmu, sekarang aku melihat bahwa pendapat itulah yang sombong!"

Hay Hay tersenyum dan sikapnya membuat Sarah merasa lega karena pemuda itu tidak tersinggung seperti yang dikhawatirkannya tadi. "Sarah, apakah engkau belum melihat kenyataan bahwa manusia ini, bangsa apapun juga, dari manapun juga, hanyalah makhluk yang lemah dan banyak di antara manusia terlalu sering melakukan kesalahan. Manusia hanya berbeda pada lahirnya saja, berbeda warna kulit, mata, rambut dan kebudayaan karena pengaruh alam lingkunganya. Akan tetapi jiwanya datang dari satu Sumber. Tidak ada satu Dangsa yang orangnya baik semua, atau jahat semua. Kalau ada yang buruk, pasti ada yang baik dan demikian sebaliknya, karena baik dan buruk memang sudah merupakan pasangan yang tak terpisahkan. Di antara bangsaku terdapat banyak orang jahat, kurasa tiada bedanya dengan bangsamu. Dan kalau di antara bangsamu terdapat banyak orang baik, demikian pula dengan bangsaku. Jahat tidaknya seseorang bukan tergantung dari bangsanya, agamanya, atau keadaan lahiriahnya. Bukankah demikian, Sarah?"



"Ya Tuhan! Di samping kegagahanmu, ketampananmu, keramahan dan semua kebaikanmu, kiranya engkau masih mempunyai kehebatan lain. Engkau seorang filsuf yang bijaksana!" Sarah berseru kaget, heran dan kagum sehingga lupa untuk melunakkan suaranya.

"Stttt, jangan berteriak-teriak, Sarah….." kata Hay Hay dan dia memberi isyarat kepada gadis itu agar tidak mengeluarkan suara lagi sambil membuat gerakan menunjuk ke arah luar ruangan itu.

Sarah memandang keluar dan mereka pun cepat menyelinap ke belakang peti-peti mati sambil mengintai keluar. Terdengar suara banyak orang di luar guha. Tahulah Sarah bahwa orang-orang yang tadi ketakutan, kini telah datang kembali dan agaknya disertai para pimpinan gerombolan itu.

"Heii, iblis mana yang bermain-main dengan kami? Iblis jahat, ini aku Ma Kiu sudah datang, keluarlah dan jangan membikin takut keluarga mereka yang mati!" Terdengar teriakan raksasa hitam yang menjadt orang pertama dari lima pemimpin gerombolan.

Tiba-tiba dari dalam guha itu terdengar suara tawa yang mengerikan. Tawa perempuan yang terkekeh-kekeh, kedengarannya aneh dan menyeramkan sekali karena datangnya dari peti-peti mati itu! Semua orang yang berada di luar guha hanya berani memandang ke dalam, ke arah tiga buah peti mati yang tertutup kabut asap tipis dari hio-hio yang masih terbakar.

"Siluman betina……” mereka berbisik-bisik ketika mendengar suara tawa wanita itu. Akan tetapi, karena lima orang pemimpin berada di situ, mereka tidak lari tunggang-langgang. Dan Ma Kiu raksasa hitam itu pun nampak tidak takut. Hal ini karena dia datang bersama empat orang saudaranya dan di situ berkumpul pula puluhan orang anak buahnya. Andaikata dia harus menghadapi guha itu sendirian saja, tentu dia sudah lari ketakutan sejak tadi! Ma Kiu biasanya amat galak, pemberani dan tidak takut menghadapi lawan yang mana pun juga, biasa membunuh orang dengan kejam dan dengan darah dingin. Akan tetapi, semua kegalakannya dan kegagahannya terbang entah ke mana kalau dia harus menghadapi setan dan iblis.

"Roh jahat yang berada di dalam guha! Keluarlah perlihatkan diri kalau memang berani, atau pergilah dari sini, jangan mengganggu kami lagi!" dengan suara yang digalak-galakkan Ma Kiu berteriak lantang.

Melihat lagak Ma Kiu, orang-orang yang berkumpul di situ timbul keberaniannya dalam hati mereka. Seperti juga Ma Kiu yang sudah mengamang-amangkan goloknya, mereka mencabut senjata masing-masing dan mulailah mereka berteriak-teriak.

"Siluman betina, pergilah dari sini!"

"Iblis, jangan ganggu kami!"

Seperti rasa takut yang mudah menular, maka keberanian pun dapat mudah menular. Orang yang tadinya ketakutan, kalau melihat semua orang berlagak berani, rasa takutnya akan lenyap dan timbullah keberaniannya. Mereka kini mengamangkan senjata dan berteriak-teriak sehingga suasana gaduh sekali. Juga tempat di depan guha itu menjadi terang benderang karena banyak obor bernyala.

Melihat ini, hati Sarah menjadi gentar juga. Bagaimana mungkin Hay Hay akan mempu melawan orang sebanyak itu? Ia memegang lengan kiri Hay Hay dengan kedua tangannya. Tadi ia telah mengeluarkan suara tawa seperti yang diminta Hay Hay, yang membisikkan agar ia mencoba untuk tertawa seperti setan agar menakut-nakuti mereka. Ia pun tadi tertawa seperti sedang main-main saja, seperti seorang anak kecil menakut-nakuti anak-anak lain, dan ia pun gembira sekali. Akan tetapi, melihat orang-orang itu mencabut senjata dan siap menyerbu ia mulai ketakutan.

Biarpun mulut gadis itu tidak mengeluarkan perasaan takutnya, akan tetapi merasa betapa kedua tangan Sarah yang memegang lengannya terasa dingin dan gemetar, tahulah Hay Hay bahwa gadis pemberani ini mengenal juga perasaan ngeri dan gentar.

"Tenanglah, aku tanggung mereka tidak akan dapat mengganggumu, Sarah. sekarang, kau lihat baik-baik apa yang akan kulakukan kepada mereka!" kata Hay Hay dan dia lalu mengangkat ujung peti mati yang berada di tengah-tengah, mendorong ujung peti itu ke atas sehingga peti itu bangkit berdiri, seolah-olah mayat yang berada di dalam peti hidup kembali dan bangkit bersama petinya! Dan Hay Hay mengeluarkan suara menggereng yang membuat seluruh guha itu tergetar, disusul kata-kata yang suaranya terdengar parau dan menyeramkan.

"Hemmm, kalian berani mengganggu kami? Akan kami cabut nyawa kalian satu demi satu kalau tidak segera pergi meninggalkan kami. Kami ingin tenang mengerti?"

Suara itu bergema dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika dengan tangan kirinya Hay Hay rnenggoyang-goyangkan peti di sebelah kiri sedangkan tangan kanan masih tetap menahan peti tengah agar berdiri. Ditambah lagi peti yang kanan mulai bergoyang-goyang karena Sarah membantu Hay Hay dan mengguncang peti itu dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Orang-orang yang berada di depan guha terbelalak. Siapa orangnya tidak akan takut melihat peti mati dapat bangkit berdiri dan yang dua buah lagi bergoyang-goyang. Tiga rnayat itu agaknya benar-benar telah hidup kernbali! Raksasa Hitam Ma Kiu terbelalak, wajahnya pucat dan seluruh bulu di tubuhnya meremang, tengkuknya terasa dingin seperti ditempeli es. Di kanan kirinya, orang rnenahan napas, ada yang rnenggigil, bahkan ada yang terkulai lemas karena pingsan saking takutnya. Ma Kiu dan empat orang saudaranya yang biasanya amat kejam dan dapat mernbantai banyak orang tanpa berkedip, kini melihat mayat-mayat dalam peti hidup kembali, menjadi gemetar ketakutan dan nyali mereka pun terbang entah ke mana. Apalagi mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara menyeramkan tadi. Mereka tak dapat lagi menahan rasa takut mereka dan Ma Kiu yang lebih dulu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ dengan langkah lebar. Dia malu untuk lari, akan tetapi langkahnya lebar dan cepat melebihi lari cepatnya! Empat orang saudaranya mengikuti jejaknya dan gegerlah semua anak buahnya, berebut dulu melarikan diri. Mereka saling tabrak dan melarikan diri cerai-berai, tunggang-langgang dan jatuh bangun. Ada yang menyeret kawan yang jatuh pingsan dan terdengar tangis di sana-sini, membuat suasana menjadi semakin menyeramkan.



Melihat tingkah puluhan orang itu, Sarah tidak mampu menahan geli hatinya dan ia pun tertawa terkekeh-kekeh, bukan lagi tawa buatan melainkan tertawa bebas dan wajar. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sudah hampir gila oleh rasa takut itu, suara tawa yang wajar ini, suara tawa seorang wanita yang merdu, membuat mereka semakin menjerit-jerit, lari terkencing-kencing seolah-olah suara tawa itu mengejar mereka dan yang tertawa berada di dekat tengkuk mereka!

Melihat Saran tertawa geli dan terpingkal-pingkal, Hay Hay ikut pula. tertawa. setelah tawanya reda, Sarah mengusap beberapa butir air mata yang ikut terloncat keluar ketika ia tertawa, lalu matanya mencari-cari wajah pemuda itu dalam keremangan cuaca karena setelah semua orang melarikan diri dan tidak ada lagi cahaya obor-obor bersinar dari luar, cuaca menjadi gelap.

"Hay Hay……" katanya, dalam suaranya ,terkandung keheranan dan keraguan sehingga Hay Hay balas memandang dengan sinar mata menyelidik.

"Ada apakah, Sarah?"

"Katakanlah sebenarnya kepadaku. Apakah engkau ini benar-benar seorang……..manusia biasa…..?”

Kini Hay Hay yang membelalakkan kedua matanya, kemudian dia tertawa. "Ha-ha-ha, apakah engkau sudah ketularan mereka tadi, mengira bahwa aku ini siluman, setan atau iblis, Sarah?"

“Aku bukan orang picik yang percaya tahyul, Hay Hay. Akan tetapi aku melihat engkau melakukan hal-hal yang tidak lajim dapat dilakukan manusia biasa. Peti ini berat sekali. Aku mengguncang sekuat tenaga pun hanya dapat membuatnya bergerak-gerak. Padahal, biar aku wanita, tenagaku tidak kalah dibandingkan pria biasa. Tapi engkau dengan sebelah tangan, mudah saja mendorongnya sampai bangkit berdiri dan tanganmu sebelah lagi mengguncang peti yang lain. Dan tadi engkau mengeluarkan gerengan yang membuat seluruh guha tergetar, bahkan aku merasa jantungku terguncang dan bulu tengkukku meremang. Seorang manusia biasa tidak mungkin dapat melakukan hal itu."

Hay Hay tersenyum. "Sarah, aku mendengar bahwa pada diri siluman terdapat tiga tanda. Pertama, dia tidak mempunyai lekuk bibir di bawah hidungnya, dia tidak memiliki tumit, dan yang ke tiga, kalau dia berdiri, kedua telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Nah, sekarang lihatlah aku," dia meraba bawah hidungnya. "Di sini terdapat lekukan biasa, dan lihat kakiku." Dia bangkit berdiri dan memperlihatkan kakinya. "Kedua tumitku masih utuh, dan kalau aku berdiri, lihat kaki kananku ini, menyentuh tanah ataukah tidak?" Hay Hay sengaja mengangkat sedikit kaki kanannya sehingga tidak menyentuh tanah. Sarah mengikuti semua ucapan Hay Hay, tadi memperhatikan bawah hidung, lalu tumit kaki dan ketika ia memandang ke arah kaki kanan yang tidak menyentuh tanah, ia terbelalak, akan tetapi ketika ia melirik ke arah kaki kiri Hay Hay yang tentu saja berpijak di atas tanah, ia pun tertawa dan tahu bahwa pemuda itu sengaja mempermainkan ia.

"Hemm, engkau memang bukan manusia biasa, Hay Hay. Engkau seorang manusia yang luar biasa, engkau seorang pendekar yang tidak saja gagah perkasa, akan tetapi juga jujur, baik budi, jenaka dan……..mata keranjang.

"Aih, kenapa ujungnya menjadi tidak enak? Engkau ini memuji, merayu atau mencela, Sarah?"

"Bukan merayu bukan mencela, melainkan bicara sejujurnya, seperti engkau. Ahh, aku lelah sekali, dan mengantuk." Sarah merebabkan diri begitu saja, miring di belakang peti mati.

"Tidurlah, Sarah, biar aku yang menjagamu."

"Bagaimana aku dapat tidur bersama orang-orang mati begini, Hay Hay? Aku hanya ingin merebahkan diri, akan tetapi tempat ini agak kotor, ihh……!" Ia bangkit dan mengebut-ngebutkan bajunya. Lantai itu memang tidak bersih, terdapat banyak debu dan abu hio di situ.

"Kalau kau mau, rebahlah di sini, Sarah." kata Hay Hay menepuk kedua pahanya. Dia bicara setengah main-main, akan tetapi diam-diam dia terkejut karena tanpa banyak bicara lagi Sarah lalu merebahkan diri di atas pangkuannya dan menyandarkan kepala di dadanya! Hay Hay bersikap biasa saja dan merangkul pinggang itu, seperti seorang ayah memangku anaknya.

"Sarah, aku heran sekali mengapa engkau tidak suka kepada Kapten Gonsalo itu. Menurut keteranganmu, dia seorang kapten pembantu ayahmu yang tampan dan mendengar ceritamu tadi, dia cukup gagah dan pemberani, bahkan amat mencintamu. Pandang matanya kepadamu itu adalah tanda bahwa dia mencintamu, Sarah. Bukankah dia akan menjadi pasanganmu yang cocok dan baik sekali?" Hay Hay setengah memaksa diri untuk bercakap-cakap, karena kelembutan tubuh yang dipangkunya itu, kehangatannya, dan keharuman rambut yang berada di dadanya, membuat dia tidak tenang. Dengan percakapan, tentu perhatiannya akan terpecah.

Mendengar pertanyaan itu, Sarah menarik napas panjang. "Dia memang gagah dan tampan, bahkan aku tahu bahwa dia menjadi rebutan para gadis bangsa kami. Dia telah berjasa besar ketika berhasil menghadap kaisar bangsamu dan diterima dengan baik ketika mewakili bangsa kami menyerahkan hadiah kepada kaisar. Namanya terkenal dan dia dipuji-puji. Akan tetapi, aku…….aku tidak mencintanya, Hay Hay."

Hay Hay mengerutkan alisnya. Ada suatu kejanggalan di sini, pikirnya. Kalau Kapten Gonsalo itu demikian tampan dan gagah, menjadi rebutan para gadis bangsanya, kenapa Sarah tidak tertarik kepadanya? Tentu jawabnya hanya satu, yaitu bahwa Sarah mencintai pria lain! Seorang dara yang "panas" seperti Sarah ini rasanya tidak mungkin kalau tidak mempunyai seorang kekasih.



"Sarah, aku yakin bahwa engkau tentu telah mempunyai pilihan hati sendiri, mempunyai seorang kekasih."

Tubuh yang bersandar di dada itu bergerak, membalik ketika Sarah menengok ke arah Hay Hay dengan matanya yang biru itu terbelalak. Indah sekali.

"Heiii, bagaimana engkau bisa tahu, Hay Hay?"

Hay Hay tersenyum, untuk menangkis serangan keindahan mata yang menembus jantung itu. "Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa aku bukan manusia biasa? Nah, katakanlah terus terang. Engkau sudah mempunyai seorang kekasih, bukan?"

Sarah menghela napas dan bersandar kembali. "Benar, namanya Asron, berusia dua puluh tima tahun. Kami saling mencinta…….”

“Lalu kenapa bukan yang mengantar engkau berkuda, akan tetapi Kapten Gonsalo?"

"Ah, bagaimana mungkin? Dia hanya seorang perajurit biasa saja. Karena itu, ayah tidak menyetujui hubungan kami. Padahal, aku tahu dan yakin benar, Asron tidak kalah gagah perkasa dibandingkan Kapten Gonsalo. Hanya dia kalah pendidikan sekolah, maka dia hanya perajurit biasa, tidak seperti Gonsalo. Hay Hay, aku sungguh sedih kalau mengingat Asron. Hanya karena cintanya kepadaku maka dia masih bertahan menjadi perajurit, sejak dahulu tidak dinaikkan pangkatnya oleh ayah, walaupun jasanya sudah banyak sekali. Kalau dia tidak ingat padaku, dia sudah berhenti menjadi perajurit. Aku menyesal sekali……"

Tubuh di pangkuannya itu terguncang. Sarah menangis! Aneh, pikir Hay Hay. Betapa seorang wanita berhati singa ini dapat juga menangis, Cinta memang bisa membuat orang bersikap aneh, bisa menghancur luluhkan hati yang sekeras baja, juga bisa mengeraskan hati yang tadinya lemah. Dia membiarkan Sarah menangis. Setelah agak reda, dia menggunakan tangan untuk mengusap air mata dari pipi gadis itu.

"Sarah, benarkah engkau ini Sarah yang tadi begitu berani menghadapi penjahat, bukan seorang anak perempuan yang cengeng?" Hay Hay sengaja berkelakar.

Sarah membalikkan mukanya, menghapus air mata dari mukanya ke baju Hay Hay! Lalu ia membalik dan bersandar lagi. "Hay Hay, jangan mengejek. Engkau tidak merasakan betapa duka dan perihnya hatiku kalau teringat kepada Asron. Aku kasihan kepadanya."

“Bagus, kasihan memang menjadi bunganya cinta. Akan tetapi mengapa berduka, Sarah? Hidup ini memang merupakan perjuangan. Hidup ini berarti menghadapi segala macam bentuk tantangan. Setiap kesukaran dalam hidup merupakan tantangan yang harus kita hadapi dengan tabah, yang harus kita perjuangkan agar kita dapat mengatasinya, memenangkannya. Justeru perjuangan menghadapi dan mengatasi setiap tantangan itulah seninya kehidupan! Tanpa adanya tantangan berupa segala bentuk kesukaran, alangkah akan hampanya hidup ini, tidak ada gairah lagi. Jadi, jangan melarikan diri ke dalam kesedihan dan menenggelamkan diri ke dalam lautan air mata. Bangkit dan hadapi kesukaran itu dengan tabah, dan berusaha sekuatnya untuk mengatasinya. Itu baru pantas bagimu, Sarah."

Sarah menarik napas panjang. "Luar biasa! Engkau seorang pemuda aneh yang luar biasa, Hay Hay. Hemm, andaikata di sana tidak ada Asron, betapa akan mudahnya bagiku untuk jatuh cinta kepadamu."

"Heii, benarkah itu? Bukankah tadi engkau mengatakan aku mata keranjang?"

Sarah menjebikan bibirnya yang merah basah. "Hemm, laki-laki manakah di dunia ini yang tidak mata keranjang? Tentu saja mata keranjang dalam arti kata suka sekali kepada wanita cantik, mudah tertarik dan suka menikmati keindahan seorang wanita melalui pandang matanya. Semua laki-laki mata keranjang dan dia akan mengakui hal ini kalau dia jujur. Hanya bedanya ada yang berterus terang seperti engkau, bahkan engkau memperlihatkannya tanpa tedeng aling-aling lagi, mengaku terus terang sehingga kalau wanita kurang kuat batinnya, ia akan mudah saja bertekuk lutut terhadap pujian dan kata-katamu yang bermadu. Ada pula yang pura-pura menunduk akan tetapi matanya melirik ganas, dan yang model inilah yang amat berbahaya, seperti seekor kucing yang diam-diam melirik tikus, tanpa bergerak, tahu-tahu menubruk saja! Untung batinmu bersih dan tidak menjadi hamba nafsu, Hay Hay. Kalau engkau seperti itu, alangkah banyaknya wanita yang menjadi korbanmu. Engkau akan menjadi seorang perusak wanita nomer satu, banyak wanita akan hancur binasa dalam pelukanmu akan tetapi dengan mulut tersenyum karena mabuk oleh rayuanmu."

Hay Hay mengerutkan alisnya. Apa yang digambarkan gadis bule itu persis keadaan mendiang ayahnya. Ayahnya ada lah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal. Entah berapa puluh atau ratus wanita yang sudah menjadi korbannya, termasuk di antaranya adalah ibu kandungnya! Ayahnya itu dahulu tampan, perayu dan menjatuhkan wanita dengan ketampanannya, rayuannya, kepandaiannya, bahkan tidak segan-segan memperkosa! Dan agaknya, kesukaan yang agak keterlaluan dari hatinya terhadap wanita merupakan warisan ayahnya. Untungnya, seperti yang dikatakan Sarah, dia tidak memiliki niat jahat, tidak menjadi hamba nafsu sehingga dia mampu mengendalikan nafsunya. Dia tidak tega merusak wanita, tidak tega menyengsarakan dan mematahkan hatinya, apalagi memperkosanya.

"Sudahlah Sarah. Sekarang tidurlah. Engkau perlu beristirahat karena besok pagi-pagi sekali, setelah di luar tidak segelap ini, kita harus cepat meninggalkan tempat ini dan pelarian itu tentu membutuhkan tenaga."

"Baik, Hay Hay, aku memang sudah mengantuk sekali. Biar kubersihkan dulu lantai ini agar dapat tidur enak……"

"Lantainya kotor, tidur sajalah di sini, Sarah."



"Hemm, engkau tentu akan lelah sekali kalau kusandari sampai pagi."

"Tidak, engkau ringan sekali bagiku."

"Terima kasih, engkau memang baik sekali, aku merasa seperti engkau ini kakakku
sendiri," kata Sarah dan ia pun menyandarkan kembali kepalanya di dada Hay Hay dan tak lama kemudian napasnya sudah menjadi lembut dan panjang, tanda bahwa ia telah jatuh pulas. Hay Hay merangkulnya dan ketika dia melihat wajah di dadanya itu, dia segera memejamkan matanya. Terasa benar olehnya timbulnya berahi. Timbulnya dari pandang mata lalu dikembangkan dalam benak. Pikiran membayangkan hal-hal yang menggairahkan dan nafsu berahi pun mulai bangkit dan kalau nafsu ini dikipasi dengan bayangan dalam pikirannya, nafsu itu tentu akan semakin berkobar. Ketika dia memejamkan mata dan mengosongkan pikiran, hal yang sudah dilatihnya sejak dia masih remaja dan mempelajari ilmu dari See-thian Lama, kemudian dilanjutkan dari Ciu-sian Sin-kai, Pek-mau San-jin, kemudian Song Lojin, maka seketika pikirannya menjadi tenang dan bagaikan air yang diam, pikiran menjadi jernih dan bayangan yang menimbulkan nafsu berahi pun lenyap.

Nafsu merupakan pelengkap dalam kehidupan manusia, bahkan pendorong dan manusia tidak akan hidup tanpa adanya nafsu. Kenikmatan hidup dapat datang karena adanya nafsu. Keindahan melalui pandang mata, kemerduan melalui pendengaran telinga, keharuman melalui penciuman hidung, dan semua kenikmatan yang dapaf kita rasakan melalui panca indera, melalui semua anggauta tubuh, melalui hati akal pikiran, semua itu dapat kita nikmati karena adanya nafsu. Nafsu merupakan anugerah bagi manusia hidup di dunia ini, merupakan barkah dan bekal hidup. Seperti juga anggauta badan, hati dan pikiran, nafsu merupakan peserta dan alat yang bertugas mengabdi dan membantu manusia. Manusia dapat menemukan segala kekuatan dan sarana yang ada di dunia ini, berkat bekerjanya akal yang didorong nafsu. Kemajuan lahiriah yang ada sekarang ini, semua berkat bekerjanya nafsu melalui hati akal pikiran. Dan semua hasil pekerjaan nafsu ditujukan untuk kesejahteraan hidup manusia, untuk kenikmatan hidup manusia di dunia, yaitu yang lajim disebut materi, benda. Namun, nafsu yang amat berguna bagi kehidupan kita ini, juga amat berbahaya karena kalau manusia dikuasainya, maka manusia akan diseretnya menjadi hamba nafsu yang hidupnya hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan duniawi saja. Akibatnya, segala cara dilakukan manusia demi meraih kesenangan yang menjadi tujuan semua nafsu dan terjadilan perbuatan-perbuatan yang dinamakan jahat, yaitu merugikan orang lain.

Kalau kita tidak waspada dan ingat selalu kepada Sang Maha Pencipta, yang menciptakan kita, yang menguasai seluruh diri kita luar dalam, yang mengatur segala yang nampak dan tidak nampak, maka kita akan mudah menjadi korban kekuatan nafsu. Segala kebutuhan hidup kita ini dilengkapi dengan nafsu yang akan menimbulkan kenikmatan dalam memenuhi kebutuhan hidup itu. Kita lapar butuh makan agar bertahan hidup, dan di dalam makan itu kita dianugerahi nafsu yang mendatangkan kelezatan dalam mengisi perut yang pada dasarnya dilakukan untuk mempertahankan hidup. Kita mengantuk butuh tidur, dan di dalam tidur pun kita dianugerahi kenikmatan. Kalau haus butuh minum dan dalam minum pun tersedia kenikmatan yang didorong oleh nafsu. Tidak ada kebutuhan yang tidak disertai kenikmatan dalam memenuhinya. Puji Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Demikian besarnya Tuhan melimpahkan cinta kasih kepada segala cintaan-Nya. Akan tetapi, kalau nafsu merajalela dan kita yang diperhamba, apa akibatnya? Kita melupakan kebutuhan inti dari kehidupan ini, yang kita kejar hanyalah kenikmatan dan kesenangan, hanya kebutuhan nafsu semata. Kita makan bukan lagi untuk sekedar mempertahankan hidup menghilangkan lapar, melainkan lebih condong untuk memuaskan nafsu yang mengejar keenakan sehingga seringkali dapat kita lihat buktinya betapa dalam keadaan lapar sekali pun, kalau lauknya tidak menyenangkan mulut kita, kita makan sedikit saja, tidak perduli bahwa mulut kita membutuhkan lebih banyak. Sebaliknya, biarpun perut sudah kekenyangan, kalau yang kita makan itu kita rasakan enak, dan memuaskan nafsu, kita makan terlalu banyak sampai akhirnya menderita sakit perut! Demikian pula dengan semua kebutuhan hidup, termasuk haus, kantuk, mencari kebutuhan hidup yang lainnya, termasuk pula nafsu sex. Nafsu sex ini mutlak penting dengan perkembangbiakan manusia. Tanpa adanya nafsu ini, orang tidak akan suka melakukan, hubungan dan akibatnya, manusia akan punah seperti yang terjadi pada banyak mahluk lain yang dahulu juga menjadi penghuni bumi namun kini tidak ada lagi sama sekali.

Teringat akan semua itu, Hay Hay menarik napas panjang. Mendiang ayah kandungnya, jai-hwa-cat Ang-hong-cu, merupakan contoh dari sekian banyaknya pria yang menjadi hamba nafsu berahinya. Demi memuaskan nafsunya itu, dia tidak segan-segan mengejar dan melampiaskannya dengan segala macam cara, tidak perduli lagi apakah cara itu baik atau buruk, melanggar hukum ataukah tidak.

"Semoga Tuhan akan selalu membimbingku sehingga aku tidak akan mabuk oleh nafsu dan kehilangan kewaspadaan," pikirnya dan tangan kirinya dengan lembut mengelus kepala yang berambut kuning emas itu. Alangkah indahya rambut ini, pikirnya, kini tidak ada sedikit pun nafsu berahi menggodanya. Seperti benang sutera emas! Kulit muka itu demikian putih kemerahan. Kalau saja tidak ada bulu lembut di permukaannya, kulit muka itu seperti kulit muka bayi. Mata yang terpejam itu tidak kelihatan bola mataya yang biru, akan tetapi masih saja mendatangkan kesan asing dan aneh karena bulu matanya juga tidak hitam benar, melainkan agak kelabu dan panjang melengkung. Dan garis mata itu demikian panjang. Dan hidung itu pun biar tidak terlalu besar, namun mancungnya lain daripada kemancungan hidung bangsanya. Punggung hidung itu tinggi sehingga kalau nampak dari pinggir, mirip paruh burung. Dan mulut itu pun berbibir indah, sulit menggambarkan keindahannya karena keindahan itu tersembunyi dalam lekukan-lekukan kecil di sekitar mulut, tersembunyi di antara bibir yang sedikit terbuka, di kedua ujung yang membelok ke atas, di bibir belahan bawah yang penuh dan tipis, agaknya tergigit sedikit pun akan pecah, dan bentuk dagu itu membayangkan keangkuhan, keanggunan, juga amat manis. Wajah ini memang aneh dan asing baginya. Akan tetapi ketika mereka tadi bercakap-cakap, tidak terasa sama sekali keasingan itu. Jalan pikiran, hati dan akal pikiran gadis ini sama saja dengan apa yang ada pada diri gadis-gadis bangsanya. Yang berbeda hanya kulitnya, akan tetapi isinya sama. Dan dia merasa sayang kepada gadis ini. Bahkan Sarah tadi mengatakan bahwa ia merasa seperti dengan kakaknya sendiri! Akan tetapi, kebiasaan atau cara hidup dari gadis ini sungguh berbeda sekali dengan cara hidup bangsanya. Kalau seorang gadis bangsanya, sampai bagaimana pun juga, tidak mungkin mau tidur di atas pangkuan dan menyandarkan kepala di dada seorang laki-laki asing yang bukan apa-apanya. Bahkan antara saudara sekandung sendiri pun tidak! Mungkin hanya laki-laki yang menjadi suami seorang wanita saja yang akan dipercaya seperti ini.



Tentu saja lain halnya kalau wanita itu seorang wanita sesat yang telah menjadi hamba nafsu yang tidak mengenal susila lagi, hamba nafsunya sendiri yang telah menjadi seperti buta. Akan tetapi Sarah bukanlah wanita seperti itu. Sama sekali bukan! Ia mempertahankan kehormatannya mati-matian, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Jelaslah bahwa bagi bangsa Sarah, hubungan antara pria dan wanita jauh lebih bebas dan berdekatan seperti ini bukan merupakan hal yang buruk bagi Sarah.

Hay Hay tidak berani tidur, maklum bahwa di luar guha terdapat banyak musuh yang tentu telah berjaga-jaga, menanti datangnya pagi, Setelah mereka tidak ngeri lagi terhadap siluman, tentu mereka akan menyerbu guha. Dia tidak berani tidur, dan sambil memangku tubuh Sarah, dia hanya menghimpun tenaga murni dan membiarkan tubuhnya melepas lelah.

***



“Sttt, Sarah, bangunlah……” Hay Hay berbisik di dekat telinga kiri gadis itu. Sarah menggerakkan bulu matanya, menggeliat dan ketika ia mengangkat kedua lengannya ke atas, tangannya menyentuh muka Hay Hay dan ia pun membuka mata dengan kaget dan heran. Akan tetapi, ketika kedua matanya yang biru dan masih mengantuk itu menatap wajah Hay Hay, ia segera teringat dan tersenyum.

"Selamat pagi, Hay Hay."

"Selamat pagi. Bersiaplah, kita akan pergi sekarang. Kau tunggu dulu di sini, aku akan mencari kuda untuk kita."

Setelah ingatannya segar kembali, Sarah segera berbisik. "Kalau bisa, tolong ambilkan kudaku, Hay Hay. Berbulu kelabu dengan keempat kaki dan ekornya putih."

Hay Hay mengangguk. "Kau tetap bersembunyi saja di kamar paling belakang tempat menaruh senjata-senjata itu dan jangan keluar dari kamar sebelum aku kembali. Jangan pula mengeluarkan suara, Sarah."

"Aku tahu, Hay Hay," kata Sarah dan ia pun bangkit, melangkah masuk ke dalam kamar di bagian belakang guha itu. Semalam ia dan Hay Hay tetap bersembunyi di balik tiga buah peti mati. Setelah mengantar gadis itu memasuki kamar, sekali berkelebat, Hay Hay lenyap dari depan Sarah. Gadis itu terbelalak, menjenguk keluar kamar, ke arah ruangan depan di mana nampak tiga buah peti mati dari situ. Akan tetapi tidak nampak lagi bayangan Hay Hay. Ia menghela napas panjang. Pernah ia mendengar cerita tentang pendekar pribumi, akan tetapi tak pernah disangkanya ada yang sehebat Hay Hay, yang agaknya memiliki ilmu aneh, ilmu menghilang! Seperti bukan manusia saja, pikirnya.

Hay Hay menyelinap ke belakang batu di depan guha dan menghilang keluar. Benar saja dugaannya, dia melihat gerakan di sana-sini, di balik batu-batu dan nampak rambut kepala orang-orang tersembul di balik batu. Tentu banyak orang berjaga-jaga, pikirnya, dan tentu mereka memperhatikan mulut guha ini. Dia lalu melepas kancing bajunya, dan membalikkan bajunya ke atas, menutupi caping dan seluruh mukanya. Dari celah-celah baju dia dapat melihat keluar. Kemudian dia bangkit dan berloncatan dengan gerakan aneh keluar dari situ. Tentu saja anak buah gerombolan yang mengintai dari kanan-kiri dan depan guha, melihat mahluk aneh itu muncul dari dalam guha tempat tiga buah peti mati ditaruh. Dan mereka gemetar ketakutan. Mahluk apakah yang keluar dengan loncatan-loncatan aneh, miring dan ke kanan-kiri itu? Seperti loncatan katak mabuk. Mahluk itu berkaki seperti manusia, akan tetapi tubuh atasnya berkerobong sehingga tidak nampak kedua tangan maupun kepalanya. Hanya dalam kerobongan itu, nampak bagian kepala yang luar biasa besarnya. Itulah caping yang terbungkus baju! Tentu. saja mereka yang masih merasa ngeri, ketika melihat "mahluk" aneh itu keluar, menjadi semakin gentar. Hari masih pagi sekali, kabut masih menggelapkan cuaca. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul. Mereka tidak berani bergerak, akan menanti sampai cuaca terang, baru mereka berani mendekati guha atau memasukinya, tergantung perintah lima orang ketua mereka yang sejak pagi sekali sudah berada pula di tempat persembunyian para penjaga.

Melihat mahluk aneh itu, lima orang pimpinan gerombolan juga termangu dan gentar, tidak berani memberi perintah apa-apa karena mereka berlima juga hanya orang-orang sederhana yang amat tahyul. Mereka adalah orang-orang kejam yang tidak segan membunuh orang, dan mereka tidak takut menghadapi orang lain, akan tetapi mereka gentar untuk melawan setan. Apalagi mahluk aneh itu dengan loncatan yang mengerikan, memiliki gerakan yang amat ringan dan beberapa kali loncatan saja dia menghilang! Suasana makin menyeramkan.

Dengan mudah Hay Hay menemukan kuda milik Sarah yang dikat dalam sebuah guha kosong. Tidak ada orang berjaga di situ. Agaknya semua orang berkumpul, suasana yang menyeramkan dan rasa takut terhadap "mayat hidup" membuat mereka tidak berani menyendiri. Mereka merasa lebih aman untuk berkumpul dengan teman-teman. Akan tetapi Hay Hay tidak melihat kuda lain. Seekor pun sudah cukup, pikirnya. Kuda untuk Sarah, sedangkan dia sendiri tidak membutuhkan kuda. Kedua kakinya lebih dari cukup dan untuk berlari cepat, dia tidak mau kalah oleh kuda yang mana pun! Dia menuntun kuda itu dan ditambatkannya kuda itu di tempat yang lain. Setelah mengenal benar jalan dari tempat dia menyembunyikan kuda itu ke guha perkabungan, dia lalu kembali. Seperti tadi, dia menutupi kepala berikut capingnya dengan baju yang dibalik ke atas, akan tetapi sengaja sekali ini dia bergerak cepat sekali sehingga orang-orang yang mengintai di sekeliling tempat itu hanya melihat bayangan yang aneh bentuknya, kepala besar tanpa muka, berkelebat memasuki guha. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan.

Ma Kiu, raksasa hitam kepala gerombolan itu tidak sabar lagi. Dia mendorong rekannya yang ke lima dan ke empat untuk menjadi pelopor. "Kalian berdua majulah. Beri contoh kepada yang lain. Pengecut!" bentaknya akan tetapi dengan suara lirih tertahan. Kepala ke empat yang tubuhnya gendut perutnya besar dan ke lima yang kurus kering, saling pandang dengan muka pucat. Mereka takut kepada pirnpinan pertama mereka, juga malu kepada para anak buah karena mereka dimaki pengecut. Mereka memberanikan diri dan keduanya segera muncul dari balik batu. Mereka memegang sebatang golok besar di tangan kanan dan sebuah perisai baja di tangan kiri. Di antara rnereka berlima, yang memegang senjata cakar besi di tangan kiri dan golok di tangan kanan hanyalah Ma Kiu, pemimpin pertama. Karena cakar besinya inilah maka mereka berlima dijuluki Lima Harimau Cakar Besi. Narnun, dua orang yang bergolok dan berperisai ini pun lihai bukan main.



"Haii, siluman, keluarlah dan lawanlah kami berdua!" teriak si gendut dengan sikap gagah akan tetapi suaranya jelas terdengar gemetar dan parau!

"Setan iblis yang berani mengganggu kami! Keluarlah dan rasakan tajamnya golokku!" teriak pula si kurus kering. Dia ini bersuara lantang dan tidak gemetar, akan tetapi kalau orang melihat ke arah kakinya, jelas bahwa dua buah kakinya itu menggigil! Dua orang pemimpin ini sebenarnya ketakutan sekali, akan tetapi mereka memaksa diri dan keduanya lalu melangkah maju menghampiri mulut guha.

Setelah tiba di mulut guha dan melihat tiga buah peti mati itu terletak seperti biasa, timbullah keberanian mereka. Mereka memutar golok ke atas kepala dengan sikap gagah dan menantang.

Akan tetapi, mereka yang mengintai dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kaget dan terheran-heran ketika mereka melihat betapa dua orang pemimpin itu, si gendut dan si kurus kering, kini mulai saling serang dengan mati-matian! Saling serang dengan golok, ditangkis dengan perisai dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang ketika mereka saling serang dengan ganasnya.

"Mampus kau, setan!" teriak si gendut.

"Rasakan golokku, iblis!" bentak si kurus.

Pada saat semua orang terheran-heran, nampak dua sosok bayangan melesat keluar dari dalam guha. Dua orang tanpa kepala, atau lebih tepat, kepalanya tidak nampak karena tubuh bagian atas merupakan kerobongan. Dua orang itu lari dengan cepat, seperti saling melekat. Melihat ini, Ma Kiu menjadi curiga karena cuaca sudah semakin terang dan dia dapat melihat bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita yang mengerobongi tubuh atas mereka dengan baju yang dibalik ke atas!

"Kalian cepat kejar mereka!" teriaknya kepada pemimpin ke dua dan kepada Ji Tang, pemimpin ke tiga sedangkan dia sendiri sudah meloncat ke arah dua orang pembantunya yang saling serang itu.

"Berhenti!" teriaknya sambil menggerakkan golok menangkis. "Trang-trang!" "Berhenti, apakah kalian berdua sudah gila, saling serang sendiri?"

Si gendut dan si kurus saling pandang, terbelalak dan bingung.

"Aku tadi menyerang setan!" kata si gendut.

"Aku pun menyerang iblis!" kata si kurus.

Tentu saja ulah yang aneh itu akibat pengaruh sihir Hay Hay. Sekarang karena Hay Hay telah pergi mereka sadar kembali dan Ma Kiu dapat menduga bahwa tentu ada musuh yang menggunakan ilmu sihir. Tentu peristiwa semalam yang menggegerkan karena disangka tiga buah mayat dalam peti mati hidup kembali juga merupakan perbuatan musuh itu. Musuh itu dan wanita bule telah melarikan diri, yaitu dua bayangan tadi. Dia segera mengajak si gendut dan si kurus untuk melakukan pengejaran agar dapat membantu dua kawan terdahulu yang telah melakukan pengejaran.

Mereka mendengar derap kaki kuda dan ke sanalah mereka berlari. Akan tetapi mereka hanya menemukan Ji Tang dan orang ke dua mengerang kesakitan dengan dahi terluka.

"Di manakah mereka? Apa yang terjadi?" tanya Ma Kiu penasaran.

"Ahh, si keparat itu!" Ji Tang mengepal tinju mengamangkan tinju itu ke arah bayangan yang kini nampak sudah jauh sekali, dan bunyi derap kaki kuda juga tinggal sayup sampai saja. "Kiranya yang melarikan gadis bule itu adalah seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar. Tentu dia yang semalam mempermainkan kita semua, dan agaknya dia pandai ilmu sihir. Ketika tadi kami mengejar sampai di sini, mereka melompat ke atas kuda milik gadis itu, dan si caping lebar menyambit kami dengan batu, mengenai dahi kami."

Ma Kiu menyumpah-nyumpah, memaki kawan-kawan dan anak buahnya penakut dan
tolol, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani melakukan pengejaran kedalam kota.

Keterangan yang diberikan Ji Tang memang benar. Hay Hay yang tadi menggunakan sihir membuat dua orang pimpinan gerombolan itu saling serang di depan guha, kemudian, menggunakan kesempatan itu dia mengajak Sarah untuk lari keluar dari guha dengan membalikkan baju ke atas menutupi muka mereka. Di balik baju, dia menggandeng tangan Sarah dan dia seperti menarik tubuh Sarah dibawa berlari cepat, menuju ke tempat dia menyimpan kuda.

"Cepat naiklah kudamu, aku mengikuti dari belakang." Kata Hay Hay.

"Tidak!" Sarah berkukuh. "Aku tidak mau naik kuda kalau engkau berjalan kaki."

"Habis, bagaimana ? Aku hanya mendapatkan seekor kuda, tidak terdapat kuda lain, entah mereka sembunyikan di mana."

"Kudaku ini kuda pilihan yang kuat. Kita menunggang kuda bersama, berboncengan, atau bersama pula kita berlari!"

Karena khawatir dikejar puluhan orang dan Sarah tentu terancam bahaya, Hay

Hay tidak mau banyak berbantah lagi. "Baik, kita berboncengan!" katanya dan dia sudah melihat datangnya dua orang yang berlari cepat ke arah mereka. Tanpa banyak cakap lagi dia memeluk pinggang Sarah dan mengangkatnya naik ke atas kuda, kemudian dia memungut dua buah batu sebesar telur ayam dan menyambit dua kali ke arah dua orang yang berlari menghampiri. sambitan tepat mengenai dahi dan dua orang itu pun terpelanting dan mengaduh-aduh. Hay Hay meloncat ke atas punggung kuda, di belakang Sarah dan gadis itu yang sudah memegang kendali kuda lalu membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu.



Mereka menunggang kuda tanpa pelana karena ketika Hay Hay menemukan kuda itu, pelananya tidak ada, entah disimpan di mana. Untung bahwa kendali kuda masih dipasang. Kini kuda dilarikan kencang dan mereka duduk tanpa pelana. Tubuh Sarah tegak dan lentur, tanpa tahu bahwa ia memang ahli menunggang kuda, ,Hay Hay juga biasa menunggang kuda, akan tetapi belum pernah dia menunggang kuda tanpa pelana, apalagi berboncengan seperti itu. Ketika kuda dilarikan kencang, dia terpaksa memeluk pinggang gadis itu dengan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan badannya dan tubuhnya merapat dengan tubuh belakang Sarah. Dia memejamkan mata dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk membayangkan yang bukan-bukan, tidak merasakan tubuhnya yang merapat dengan tubuh Sarah.

Setelah mereka keluar dari daerah bukit yang berguha-guha itu, Hay Hay berkata, "Cukup, Sarah. Kita sudah keluar dari daerah mereka dan kulihat tidak ada yang mengejar. Kasihan kudamu kalau disuruh membalap terus." Diam-diam hatinya mengeluh. Akulah yang patut dikasihani, seperti tersiksa oleh bisikan setan!

Sarah menahan kendali kuda dan membiarkan kudanya berjalan congklang. Ketika kuda itu berjalan congklang seperti itu, Hay Hay merasa semakin tersiksa. Tubuhnya terangkat angkat seperti diadu dengan tubuh Sarah! Dia tidak dapat bertahan lagi dan melompat turun.

"Eh, kenapa?" tanya Sarah sambil menahan dan menghentikan kudanya.

Wajah Hay Hay seperti kepiting direbus. "Tidak apa-apa, aku…..aku hanya kasihan kepada kudamu……lebih baik aku berjalan saja."

Sarah menatap wajah Hay Hay penuh perhatian, dan tiba-tiba ia tertawa, tawa yang bebas lepas. Hay Hay mengerutkan alisnya, dan dari pandang mata gadis itu dia dapat menduga bahwa agaknya Sarah tentu dapat mengerti apa yang menyiksanya dan yang memaksanya turun. Dia semakin tersipu. "Sarah, kenapa engkau tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku, Sarah?"

Sarah menghentikan tawanya dan tersenyum kepadanya. "Engkau memang lucu, Hay Hay. Lihat, kudaku tidak apa-apa, kenapa engkau yang ribut-ribut? Kudaku ini kuat sekali. Naiklah, mari kita lanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Kalau engkau berjalan kaki, aku pun akan berjalan kaki. Kenapa sih kalau berboncengan dengan aku? Apakah engkau malu?"

Hay Hay tersenyum, di dalam hatinya mengeluh. Gadis ini memang aneh, agaknya memang tidak akan sungkan-sungkan lagi dengannya. Tentu saja dia malu untuk mengaku betapa himpitan tubuh di antara mereka tadi membuat dia tidak dapat menahan gejolak berahinya. "Tidak apa-apa, Sarah, hanya……tidak enak dilihat orang kalau kita menunggangi seekor,kuda berdua, akan dianggap tidak mempunyai perasaan kasihan kepada kuda ini."

Tiba-tiba Sarah tertawa lagi. "Aih, Sarah, benar-benarkah engkau mentertawakan aku?"

Sarah menggeleng kepalanya. "Hay Hay, ucapanmu itu mengingatkan aku akan dongeng kuno yang pernah diceritakan pelayan kami kepadaku," katanya menahan tawa.

"Dongeng apa?" Hay Hay cepat menyambut karena dia mendapatkan bahan percakapan lain untuk mengalihkan urusan berboncengan itu.

"Dongeng tentang dua orang, seperti kita ini, yang hanya mempunyai seekor kuda, mereka adalah suami isteri yang melakukan perjalanan, seperti kita pula. Nah, si suami mendesak agar isterinya naik kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat suami isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan suaminya berjalan sampai bermandi peluh. Nah, mendengar omelan itu, sang isteri segera turun dan mendengar agar suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang isteri kini yang berjalan menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan seorang waruta setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami isteri itu, lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya berjalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan betapa tidak pantasnya sikap suami itu. Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya ke atas punggung kuda dan mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi. Akan tetapi kembali mereka bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan dengan

marah menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan kuda mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini, suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan tubuh di bawah. Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka disoraki dan ditertawakan orang!"

Sarah mengakhiri ceritanya dengan tertawa geli. Hay Hay juga tertawa.

"Hay Hay tidakkah sama benar keadaan Itu dengan keadaan kita kalau engkau menolak untuk berboncengan? Kalau engkau jalan kaki, aku tidak mau naik kuda, sebaliknya kalau aku yang berjalan kaki, jelas engkau tidak mau naik kuda. Dan sekarang engkau menolak untuk berboncengan. Apakah sebaiknya kita mencari bambu dan memikul kuda ini seperti suami isteri itu? Heh-heh-hi-hik, alangkah akan lucunya!" kata Sarah.

Hay Hay juga tertawa. "Sarah, rasanya tidak pantas kalau aku sebagai laki-laki harus membonceng."

"Kalau begitu aku yang membonceng!”

Hay Hay menghela napas. Sukar untuk membantah gadis yang lincah dan pandai berdebat ini. "Baiklah engkau yang membonceng." Dia pun melompat ke atas punggung kuda, ke depan Sarah yang sudah menggeser duduknya ke belakang. Mereka melanjutkan perjalanan dan biarpun tubuh Sarah menempel ketat di belakangnya dan kedua lengan gadis itu merangkul pinggangnya, namun Hay Hay tidak merasa begitu tersiksa seperti tadi. Bagaimanapun juga, setan seperti berbisik-bisik, mengingatkan dia akan perasaan aneh di tubuh belakangnya yang berhimpitan dengan tubuh Sarah, sehingga terpaksa dia harus mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan.



Untuk membuyarkan perhatiannya yang selalu terarah kepada perasaan di punggungnya, Hay Hay mengajak Sarah bercakap-cakap. Dia tahu bahwa setelah berhasil dengan penyelidikannya, dia akan ke kota raja menyerahkan surat laporan Yu Siucai kepada Menteri Yang Ting Hoo atau Cang Ku Ceng. Dan tentu pemerintah di kota raja akan merigirim pasukan untuk menggempur Cang-cow dan mengusir orang-orang Portugis. Akan tetapi perang menumpas para pemberonrak. Dia amat mengkhawatirkan Sarah.

"Sarah, setelah engkau kembali kepada ayahmu, kita akan saling berpisah."

Kedua lengan yang memeluk pinggangnya itu semakin kuat, seolah gadis itu tidak ingin berpisah darinya. "Akan tetapi, bukankah engkau hendak mencari pekerjaan, Hay Hay? Aku dapat membantumu, aku dapat minta kepada ayah agar engkau diberi pekerjaan. Dengan demikian, kita akan dapat selalu berdekatan. Aku ingin persahabatan kita ini dapat berlanjut selamanya……”

“Sarah, hal itu tidak mungkin, dan terima kasih atas maksud baikmu. Akan tetapi, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, Sarah. Dan aku ingin meninggalkan pesan yang teramat penting bagimu."

Sarah adalah seorang gadis yang berhati baja dan tabah. Akan tetapi membayangkan bahwa setelah ia kembali kepada ayahnya ia akan berpisah dari penolongnya yang amat dikaguminya ini, ingin rasanya ia menangis.

"Katakan, pesan apakah itu?"

"Engkau tentu tahu sendiri betapa bangsamu, orang-orang Portugis, mengadakan persekutuan dengan para pembesar di Cang-couw, juga dengan para bajak laut Jepang. Mereka bersikap memberontak terhadap pemerintah di kota raja. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan perang. Pemerintah tidak tinggal diam dan pasti Cang-couw akan diserbu."

Sarah terkejut. "Ah, begitukah? Aku malah tidak tahu akan hal itu, Hay Hay. Aku tidak pernah mencampuri urusan politik ayah. Setahuku menurut ayah, kepala daerah Cang-couw menghukum mati banyak pejabat penting yang dituduh memberontak. Bukankah itu berarti bahwa kepala daerah Cang-couw setia kepada rajanya?" .

"Hemm, itu pemutarbalikan kenyataan, Sarah. Akan tetapi engkau tidak akan mengerti. Pesanku hanya ini, yaitu agar engkau segera meninggalkan Cang-cow, kembalilah ke negerimu sebelum terlambat, sebelum terjadi perang. Karena kalau terjadi perang, aku sungguh amat mengkhawatirkan keselamatanmu."

"Bagaimana mungkin, Hay Hay? Aku tidak dapat meninggalkan ayah, apalagi ada Asron……"

"Nah, bukankah pernah kau ceritakan bahwa kekasihmu itu bertahan di sini hanya karena engkau? Bahwa ayahmu selalu menekannya dan tidak pernah memberi kenaikan pangkat? Ajaklah dia pulang saja ke negeri kalian, Sarah. Aku tidak ingin mendengar engkau menjadi korban perang. Pulanglah dan hiduplah berbahagia dengan kekasihmu itu di sana. Gadis seperti engkau ini tidak layak menjadi korban dalam perang yang kejam, engkau layak untuk hidup berbahagia di samping pria yang mencintamu. Ingat baik-baik pesanku ini, Sarah……”

Sarah tidak sempat menjawab lagi karena tiba-tiba bermunculan banyak kuda yang mengepung mereka dan ternyata mereka adalah pasukan orang Portugis yang dipimpin oleh Kapten Armando dan Kapten Gonsalo!

Kapten Gonsalo dengan pistol ditodongkan ke arah Hay Hay, sudah mengajukan kudanya dan membentak. "Jahanam busuk, angkat tangan atau kuhancurkan kepalamu yang terkutuk dengan peluru pistolku!"

"Kapten Gonsalo, hentikan kata-katamu yang busuk dan kotor itu!" bentak Sarah dengan marah sekali. "Dia adalah seorang pendekar, dan dialah yang telah menyelamatkan aku dari tawanan para gerombolan penjahat! Hati-hati kau dengan mulutmu!"

"Hemm, mereka semua adalah orang-orang biadab! Mereka layak dibunuh!" Gonsalo masih menodongkan pistolnya ke arah Hay Hay yang bersikap tenang saja sambil tersenyum.

"Kapten Gonsalo, bersabarlah dan jangan lancang tangan," kata Kapten Armando. "Sarah, turunlah dan ke sinilah, biar kami yang akan menyelesaikan urusan ini. Aku girang sekali melihat engkau selamat."

Sarah tidak mau turun, akan tetapi Hay Hay yang biarpun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, dapat menduga kehendak kapten setengah tua yang rambutnya keemasan dan matanya biru seperti rambut dan mata Sarah itu. "Sarah, turunlah dan pergi kepada ayahmu. Jangan lupakan pesanku tadi."

"Tapi, Hay Hay…..aku khawatir mereka mengganggumu……"

“Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Hay Hay yang sejak tadi telah menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya. Sarah percaya kepada Hay Hay dan ia pun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah tentang ciuman dan dia pun tersenyum.

"Jahanam biadab, sekarang terimalah hukumanmu!" Kapten Gonsalo membentak dan mengacungkan pistolnya.

"Gonsalo, jangan…..!” Sarah menjerit.



Hay Hay tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo. "Kapten Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?"

Gonsalo tertegun. “Ular……? Ehhh…..ular….!!" Matanya terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desisi dan siap mematuk hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya. Semua orang yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan!

Sarah lalu cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo dan ia pun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Kapten Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo, majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!"

"Sarah…..!" teriak Kapten Armando kaget.

"Biarlah dulu, Ayah!" Sarah berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini. Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak kepalanya!

"Sarah, aku hanya bermaksud membelamu……" dia berkata.

"Membelaku? Engkau manusia kasar, sombong dan kepala besar! Ketika aku ditawan gerombolan penjahat, ke mana saja engkau minggat? Engkau melarikan diri seperti pengecut. tidak memperdulikan aku yang ditawan penjahat. Kemudian, setelah aku diselamatkan oleh pendekar ini, yang mati-matian membelaku dan berhasil membebaskan aku, engkau malah memaki-maki dia dan hendak menembaknya? Aku yang akan membelanya, kalau perlu dengan nyawaku!"

Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Kapten Armando sendiri sampai terlongong dan tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi Kapten Gonsalo marah bukan main, merasa dihina.

"Sarah, engkau sungguh tidak adil! Ketika kita dikepung penjahat, aku membelamu mati-matian sampai terluka dan terpaksa aku pergi, bukan karena takut melainkan untuk mencari bala bantuan karena pihak lawan terlalu banyak. Aku sampai terluka akan tetapi pagi ini sejak semalam terus ikut mencarimu, dan engkau kini bahkan memaki aku? Engkau tidak adil, atau apakah engkau sudah dipengaruhi jahanam ini? Sejauh manakah hubunganmu dengan dia? Kulihat tadi kalian berpelukan di atas kuda! Sarah, sungguh aku merasa malu……."

“Cukup, Kapten Gonsalo!" tiba-tiba nampak seorang pemuda Portugis yang turun dari kudanya, meloncat ke depan Gonsalo. Dia seorang perajurit muda yang bertubuh tegap jangkung, rambutnya hitam kemerahan dan matanya tajam penuh keberanian. Wajahnya yang halus tanpa kumis dan jenggot itu nampak kekanakan dan tampan, namun dagunya berlekuk tanda bahwa dia seorang yang pemberani. "sebagai seorang yang sopan, engkau tidak pantas menghina Sarah dan mengeluarkan ucapan yang kotor, tuduhan yang keji itu!"

Gonsalo membelalakkan mata memandang kepada pemuda itu. "Kau……! Asron, kamu ini perajurit biasa, berani menentang kaptenmu? Kau hendak memberontak?"

Dengan sikap gagah dan tenang Asron menjawab, "Tidak ada perajurit menentang kaptennya, tidak ada yang hendak memberontak. Aku berhadapan dengan engkau sebagai seorang jantan berhadapan dengan seorang laki-laki, engkau menghina seorang wanita terhormat dan aku membela wanita yang kucinta. Ini urusan pribadi!"

Hay Hay tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi mendengar pemuda itu disebut Aaron, tahulah dia bahwa pemuda itu kekasih Sarah dan dia kagum melihat sikap perajurit muda yang berani menentang atasannya untuk membela kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu Gonsalo mengeluarkan kata-kata yang tidak berkenan di hati Asron yang maju membela kekasihnya.

"Bagus! Ini urusan pribadi dan aku akan menghajarmu!" bentak Gonsalo dan dia sudah menyerang dengan tinjunya. Asron menangkis dan balas menyerang. Mereka segera bertanding, bertinju dan saling serang dengan ganas.

"Cukup! Hentikan semua kegilaan ini!" Kapten Armando membentak, akan tetapi Sarah menjawab dengan suara yang tidak kalah lantangnya.

"Biarkan mereka, Ayah! Aku ingin melihat bukti kesetiaan Asron kepadaku! Biarkan mereka bertanding dan kita lihat saja siapa yang lebih jantan!"

"Sarah, perajurit itu akan dihajar oleh Gonsalo." kata Kapten Armando agak lirih.

"Hemm, biarlah kalau memang begitu. Akan tetapi aku tidak percaya laki-laki sombong macam dia akan mampu menghajar Aaron." Lalu dara ini menoleh kepada Hay Hay sambil berkata, "Hay Hay, lihat betapa kekasihku Aaron membelaku. Dan aku percaya bahwa Aaron akan mampu membersihkan namaku dan menang dalam pertandingan ini!"

Hay Hay mengangguk, tersenyum dan meloncat turun dari atas kudanya. Dia maklum maksud yang tersembunyi di dalam ucapan Sarah tadi. Gadis itu ingin melihat kekasihnya menang dan sengaja memberitahu kepadanya. Baik, dia akan menjamin agar Aaron menang dalam pertandingan adu tinju itu.

Dua orang itu berkelahi semakin seru. Karena Kapten Gonsalo memang seorang jago tinju yang kuat, dua kali Aaron sempat tercium kepalan tangannya, membuat pemuda itu terpelanting. Akan tetapi dia tidak mengeluh, juga segera bangkit berdiri dan melawan lagi.



"Pukul dia, Aaron. Demi aku, hajar orang kurang ajar itu!" Teriakan-teriakan Sarah ini
mendatangkan semangat yang berkobar dan Aaron mengerahkan seluruh tenaganya utuk melawan. Dia pun bukan seorang pemuda lemah. Dia telah belajar ilmu berkelahi, pandai bertinju, bermain pedang dan juga merupakan seorang penembak jitu.

Namun, menghadapi Gonsalo, dia kalah pengalaman. Gonsalo mempunyai banyak gerak tipu yang licik, suka mencuri dengan sikunya, dengan lututnya sehingga Aaron nampak terdesak. Pemuda yang sudah berdarah di tepi bibirnya itu melawan mati-matian. Tiba-tiba saja, entah megapa, Gonsalo terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Aaron untuk mengayun tinjunya, dengan cepat sekali ayunan tinju kanannya meledak di rahang Gonsalo yang terhuyung.

"Dess….!" Gonsalo terjengkang. Pukulan itu keras sekali dan tadi, tanpa sebab tertentu, tiba-tiba saja kaki kirinya seperti kram dan dia terhuyung sehingga terpukul lawan. Akan tetapi dia memang kuat. Begitu tubuhnya terjengkang dia sudah melompat bangkit kembali dan bagaikan seekor harimau, dia menggereng dan menerjang lagi. Akan tetapi kembali terjadi keanehan. Tiba-tiba saja kedua lutut kakinya lemmas dan dia pun jatuh berlutut. Aaron. sudah datang dengan tinju kanan kiri, dua kali dia rneninju pangkal telinga dan dagu.

"Dess! Desss……!!” dan kini Gonsalo roboh dan biarpun dia berusaha untuk rnerangkak bangun, kepalanya pening dan ia pun roboh lagi, lalu bangkit duduk dan rnengguncang-guncang kepala. Terdengar sorak-sorai dan ternyata banyak di antara para perajurit yang memihak Asron karena banyak yang diam-diam tidak suka kepada Gonsalo yang sombong dan keras terhadap bawahannya itu.

"Cukup, hentikan perkelahian!!" Tiba-tiba Kapten Armando berseru. Sarah lalu menghampiri Aaron dan mereka berpelukan. Sarah rnengusap sedikit darah dari tepi bibir kekasihnya, lalu mereka berciuman di depan Armando dan semua perajurit. Kembali terdengar teriakan gembira. Kapten Armando menghela napas panjang dan merasa dikalahkan puterinya. Kini semua orang tahu bahwa puterinya saling mencinta dengan Aaron, dan pemuda yang berpangkat perajurit biasa itu ternyata dapat membuktikan bahwa dia lebih jantan daripada Gonsalo.

"Asron, ketahuilah bahwa Hay Hay yang membantumu sehingga engkau tadi menang," Sarah berbisik di dekat telinga kekasihnya. Aaron membelalakkan mata memandang Hay Hay yang juga memandang ke arah mereka sambil tersenyum. Kini mengertilah Aaron. Tadi dia juga merasa heran mengapa Gonsalo terhuyung sehingga dia dapat memukulnya, kemudian Gonsalo bahkan berlutut sehingga dia dapat menalukkannya. Dia tahu bahwa hal ini tidak wajar, kecuali kalau Gonsalo terserang penyakit mendadak. Kini mendengar ucapan Sarah, mengertilah dia. Dia pun sudah banyak mendengar tentang adanya "pendekar" di negeri asing ini.

Gonsalo dibantu berdiri oleh anak buahnya. Kesempatan ini dipergunakan Sarah untuk menghampiri ayahnya dan dan dengan lantang ia berkata, "Ayah, kalau tidak ada Hay Hay, tentu saat ini aku tidak dapat bertemu kembali dengan Ayah. Karena itu, aku minta agar jangan ada yang mengganggu Hay Hay."

Kapten Armando memandang kepada Hay Hay. Dia melihat betapa pemuda itu memiliki wajah yang cerah dan ramah, akan tetapi mata itu sungguh mengejutkan, seperti mata harimau, mencorong! "Baiklah, dia boleh pergi. Akan tetapi kami akan menyerbu sarang perampok yang telah menawanmu."

"Terserah kepada Ayah. Ada satu lagi permintaanku, Ayah."

"Apa lagi? Katakan dan cepat kembali ke benteng."

"Ayah, setelah peristiwa ini, aku tidak suka lagi tinggal di sini. Aku ingin pulang ke negeri kita. aku ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi."

Kapten Armando mengangguk-angguk. Kalau tidak ada puterinya di situ, dia akan merasa lebih bebas dan tidak khawatir. Puterinya terlalu nakal dan berandal, telah mendatangkan banyak kepusingan kepadanya. “Boleh, boleh. Dalam kesempatan pertama engkau boleh berlayar pulang ke negeri kita."

"Aku minta diantar Aaron!" seru pula Sarah.

"Tapi dia seorang perajurit yang bertugas di sini." bantah ayahnya.

"Tidak, Ayah. Setelah peristiwa ini, tentu dia akan diancam oleh Kapten Gonsalo. Pula, dia bukan perajurit biasa, dia calon mantumu Ayah. Di negeri kita, dia dapat bekerja, daripada di sini selama hidup dia hanya menjadi perajurit saja yang tidak pernah dinaikkan pangkatnya!"

Kapten Armando kembali merasa dikalahkan. Jelas bahwa puterinya memprotes dan dia pun merasa salah karena memang sengaja dia tidak menaikkan pangkat Aaron karena memang dia tidak setuju puterinya berpacaran dengan perajurit itu. Kini, Sarah membuka semua itu di depan banyak perajurit dan dia akan nampak buruk sekali kalau dia berkeras.

"Baiklah, dia akan mengantarmu pulang.” kata Kapten Armando.

"Terima kasih, Ayah…..!" Sarah berteriak dan dia pun melepaskan Aaron, lari kepada ayahnya, memeluk ayahnya dan menciumi kedua pipi ayahnya. Mau tidak mau Kapten Armando merasa terharu juga.

Setelah menciumi ayahnya, Sarah kembali menghampiri Aaron. "Aaron, kalau tidak ada Hay Hay, mungkin aku sudah mati atau setidaknya, tidak mungkin kita akan dapat berjodoh. Semua ini berkat pertolongannya. Kau menyadari hal ini?"

Aaron mengagguk, lalu menggandeng tangan Sarah dan menghampiri Hay Hay yang masih berdiri sambil memandang semua itu dengan hati gembira. Dia semakin kagum. Sarah memang hebat, pandai sekali memanfaatkan keadaan sehingga terkabullah semua keinginannya. Juga hatinya lega melihat Sarah telah berbaik kembali dengan ayahnya. Walaupun dia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun melihat sikap mereka, dia pun dapat menduga bahwa Sarah telah berhasil.



Dia menyambut Sarah yang bergandengan tangan dengan Aaron itu dengan wajah cerah. "Berhasilkah engkau, Sarah?" tanyanya menyambut mereka.

"Berkat bantuanmu, semua berhasil baik Hay Hay. Ayah membolehkan aku pulang ke negeri kami diantar oleh Aaron."

Aaron juga mengulurkan tangan kepada Hay Hay. "Terima kasih," katanya. Itulah satu-satunya kata yang dikenalnya dari bahasa daerah. Hay Hay menyambut uluran tangan itu dengan hangat.

"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Sarah." kata Hay Hay mengulurkan tangan kepada gadis itu.

Akan tetapi Sarah tidak menyambut uluran tangan itu. "Aaron, engkau tidak keberatan kalau aku mencium penyelamat kita?" Aaron tersenyum dan menggeleng kepalanya. Sarah lalu menghampiri Hay Hay yang masih mengulurkah tangannya, kemudian ia merangkul, menarik leher Hay Hay sehingga mukanya menunduk, lalu Sarah menciumnya. Bukan di dahi buka di pipi, melainkan di bibir. Ciuman yang hangat, yang mesra dan dilakukan dengan seluruh luapan perasaan yang berterima kasih. Hay Hay merasakan ini, dan dia pun merasa betapa pipinya basah oleh air mata gadis itu.

Sarah mengendurkan rangkulannya dan berbisik, "Hay Hay, demi aku, perlihatkan kepandaianmu dan menghilang dari sini agar mereka percaya." Ia melepaskan rangkulannya dan berkata dengan suara lantang, "Hay Hay, selamat berpisah dan selama hidupku, aku tidak akan melupakanmu!" Ia mengusap air matanya.

Hay Hay terharu. "Semoga Tuhan selalu membimbingmu dan memberkahimu hidup berbahagia bersama Aaron, Sarah. Selamat tinggal!" Tiba-tiba Hay Hay meloncat ke atas, tinggi seperti terbang saja. Semua orang terbelalak memandang. Pemuda itu seperti seekor burung saja melayang ke atas pohon dan begitu dia membuat salto, dia pun lenyap di antara pohon-pohon! Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa kagum, dan kini semua orang, termasuk Gonsalo sendiri dan juga Armando, percaya akan cerita Sarah bahwa yang menolongnya adalah seorang pendekar sakti!

Sarah lalu mengajak Aaron untuk pulang ke benteng, sedangkan Kapten Armando dibantu oleh Kapten Gonsalo bersama pasukanya, melanjutkan perjalanan menyerbu sarang gerombolan di bukit berguha-guha. Gonsalo agaknya hendak melampiaskan sakit hatinya kepada mereka dan segera terdengar letusan-letusan senjata api ketika sarang itu diserbu. Terjadilah pembantaian dan hanya sedikit saja di antara gerombolan itu yang lolos. Lima orang Harimau Cakar Besi yang menjadi pemimpin mereka tewas.

Peristiwa ini disusul oleh amukan orang-orang Portugis yang sejak terjadinya penyerbuan ke sarang perampok itu memperlihatkan sikap mereka yang aseli. Mereka menjadi ganas dan kejam, dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Mereka merasa diri kuat, apalagi karena mereka telah berhasil mengikat para pembesar daerah untuk bersekutu, dibantu pula oleh para bajak laut Jepang yang mempergunakan kesempatan itu untuk membonceng demi keuntungan diri sendiri.

Sarah dan Aaron segera berangkat dengan kapal pertama yang membawa barang dagangan, meninggalkan Cang-cow dan berlayar ke tanah airnya. Di sana telah menanti suatu kehidupan baru yang cemerlang, yang jauh bedanya dengan kehidupan di Cang-cow, hidup dalam benteng yang penuh dengan kekerasan dan kelicikan.

***



Kini kedua orang itu, Liong Ki alias Sim Ki Liong, dan Liong Bi alias Cu Bi Hwa, bersikap hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa mereka telah mendapatkan kedudukan yang baik sekali, dipercaya oleh Menteri Cang, seorang di antara semua menteri yang paling besar pengaruh dan kekuasaannya. Mereka berdua memang ingin sekali meningkatkan kedudukan mereka sampai yang paling tinggi, namun mereka berdua adalah orang-orang cerdik yang maklum bahwa sekali mereka salah langkah, bukan tingkat tertinggi yang mereka peroleh, melainkan kejatuhan yang akan amat menyakitkan.

Biarpun mereka telah bertekad untuk menjadi mantu Menteri Cang dengan merayu putera dan puteri pembesar itu, namun mereka berdua tidak terlalu mendesak. Mereka ingin agar Cang Sun dan adiknya, Cang Hui, dengan wajar jatuh cinta kepada mereka, walaupun tentu saja dibantu oleh kekuatan sihir mereka. Hal itu harus terjadi secara wajar dan perlahan-lahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi di situ terdapat Mayang. Gadis ini agaknya memperlihatkan sikap curiga kepada mereka, dan nampak tidak senang kalau Liong Ki mendekati Cang Hui dan Liong Bi mendekati Cang Sun. Mereka harus berhati-hati, karena Mayang dapat saja menjadi penghalang terbesar bagi tercapainya cita-cita mereka. Karena mereka mengaku sebagai kakak-beradik, tentu saja persekutuan antara mereka itu menjadi lancar dan mudah. Tidak ada orang menaruh kecurigaan kalau mereka berada berduaan saja sehingga mudah bagi mereka untuk mengatur siasat dan merundingkan segala langkah mereka.

Biarpun bukan merupakan tokoh resmi, namun Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang kini dikenal sebagai Liong Bi adalah murid Pek-lian-kauw dan sudah banyak jasanya untuk perkumpulan pemberontakan itu. Oleh karena itu, di kotaraja pun ia kadang mengadakan hubungan dengan mata-mata Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw, mendengar pula akan keadaan di Cang-cow di mana para pembesarnya bersekongkol dengan orang-orang Portugis, dengan para bajak laut Jepang dan tentu saja dengan Pek-lian-kauw. Ia bahkan sudah mendengar pula bahwa seorang siucai tua bernama Yu Siucai, telah menulis pelaporan tentang persekutuan itu dan bermaksud menyerahkan pelaporan itu kepada kaisar di kotaraja. Menurut mata-mata Pek-lian-kauw itu, kini surat laporan Yu Siucai berada di tangan seorang pemuda dan mereka sedang membantu persekutuan Cang-cow untuk mencari pemuda itu dan sedapat mungkin merampas surat laporan itu sebelum terjatuh ke tangan kaisar. Mendengar ini, Liong Bi segera berunding dengan Liong Ki. Mereka mengambil keputusan untuk bersikap waspada karena menurut keterangan mata-mata Pek-lian-kauw itu, orang yang merampas surat laporan mungkin sekali akan menyerahkan surat yang membuka rahasia persekutuan itu kepada Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo.



Pada suatu hari, masih pagi sekali, Liong Ki dan Liong Bi sudah keluar dari istana Menteri Yang dan mereka pergi ke taman bunga yang luas di sebelah barat kotaraja. Taman bunga ini memang terbuka untuk umum. Mereka mencari tempat di sini agar leluasa bicara dan mengatur siasat selanjutnya. Menteri Cang pagi sekali tadi sudah berangkat ke istana kaisar untuk menghadiri pertemuan antara para menteri yang menghadap kaisar untuk membicarakan segala permasalahan negara.

Mereka berdua duduk di bangku panjang di tepi kolam ikan. Tempat ini terbuka sehingga mereka akan melihat kalau ada orang lain mendekat dan percakapan mereka tidak akan dapat didengar orang lain. Juga di sekitar, situ ada tempat persembunyian yang rnemungkinkan orang lain mengintai dan mendengarkan secara sembunyi-sembunyi.

Liong Bi nampak murung dan begitu mereka duduk di atas bangku itu, ia segera berkata dengan wajah bersungut-sungut, "Sialan! Ciang Sun agaknya malah makin tertarik kepada Mayang. Gadis itu sungguh merupakan penghalang besar bagi kita."

"Bersabarlah, Bi-moi. Kelak kalau ia sudah menjadi milikku, tentu ia akan mentaati semua perintahku."

"Hemmm, sampai kapan? Kita tidak berdaya. Ia kebal terhadap sihir, tidak terbujuk rayuanmu, lalu bagaimana? Ia malah menjadi berbahaya sekali. Menggunakan kekerasan pun tidak mudah karena ia cukup lihai. Ia menjadi ancaman bagi kita, sekarang sudah kelihatan curiga kepada kita, membuat kita tidak leluasa bergerak. Lihat, untuk berunding pun kita terpaksa menggunakan tempat ini, tidak berani di istana menteri. Tidak, Ki-ko, kita harus bertindak, kita harus menyingkirkannya." kata , Liong Bi. Ia dan Liong Ki membiasakan diri untuk saling menyebut Bi-moi dan Ki-koko agar tidak kesalahan sebut kalau berada di depan orang lain. Sebutan itu kini telah akrab dan biarpun Su Bi Hwa lebih tua satu dua tahun, namun ia tidak merasa canggung disebut adik.

Sim Ki Liong atau Liong Ki mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu, "Singkirkan Mayang? Apa maksudmu?"

"Bunuh ia dan lenyapkan. Apa lagi?" jawab Liong Bi singkat.

Liong Ki terkejut dan mengerutkan alisnya. Dia bukanlah orang yang tidak biasa membunuh. Entah sudah berapa banyaknya nyawa orang tidak berdosa tewas di tangannya. Akan tetapi sekali ini, yang akan dibunuh adalah Mayang, dan dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis itu! Dia merasa tidak tega kalau sampai Mayang dibunuh.

"Gila kau!" desisnya. "Aku mencintanya!"

Liong Bi menggerakkan cuping hidungnya dan mencibirkan bibirnya. "Cinta ? Huh, lelucon yang konyol! Kalau ia kehilangan kecantikanya, ke mana larinya cintamu itu? Kalau ia menjadi penghalang kesenangan kita, bahkan mengancam kedudukan kita dan mungkin akan menghancurkan cita-cita kita, apakah engkau tetap akan mencintanya? Apa kau ingin mampus demi cintamu kepadanya ? Konyol dan tolol!"

Bagi seorang wanita seperti Liong Bi atau Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, di dalam kehidupan ini tidak ada cinta.Yang dikenalnya hanyalah cinta nafsu, kesenangan yang ditimbulkan karena hubungan antara manusia. Kalau nafsu berahinya terpuaskan, ia mengaku cinta. Kalau kebutuhan hidupnya dicukupi bahkan sampai berlebihan, ia mengaku cinta. Kalau hatinya disenangkan, ia mengaku cinta. Cintanya kepada seseorang tidak ada bedanya dengan sayangnya kepada sebuah benda mainan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya.

"Jangan berkata demikian, Bi-moi. Engkau tahu, sudah banyak kualami bersama Mayang. Aku sudah terlanjur amat suka kepadanya. Sebelum aku berhasil memilikinya, bagaimana engkau dapat bicara tentang membunuhnya ?”

Sebetulnya, tidak banyak bedanya antara Ki Liong dan Bi Hwa ini. Sim Ki Liong atau Liong Ki juga mengukur cinta dari kesenangan dan kepentingan dirinya pribadi saja. Memang ada sesuatu pada diri Mayang, sesuatu yang amat menarik hatinya, yang membuat dia ingin berdekatan selalu dengan gadis itu, membuat dia ingin memiliki Mayang selama hidupnya. Bahkan untuk dapat memilikinya, dia tadinya rela untuk mengubah jalan hidupnya. Akan tetapi semua itu pun tidak terlepas dari pengaruh nafsu. Dia tergila-gila kepada Mayang karena ada sesuatu yang amat menarik hatinya dan yang dianggapnya amat indan. Untuk mendapatkan diri Mayang dia akan rela melakukan apa pun. Akan tetapi itu bukanlah cinta. Itu hanya nafsu walau mencoba untuk mengenakan pakaian atau bentuk lain. Cinta semacam ini, kalau sampai berhasil memiliki orang yang dicintanya, maka cinta itu akan menipis seperti berkobarnya api yang menjadi padam dan hanya tinggal asapnya saja. Nafsu dalam bentuk apa pun juga memiliki sifat yang sama. Menggelora kalau sedang mengejar dan belum memiliki, belum terpuaskan. Akan tetapi sekali yang dikejar itu telah terdapat, maka akan timbul kebosanan kepada nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang dianggapnya lebih menarik dan lebih baik. Dan demikian seterusnya, sekali kita menjadi hamba nafsu, maka kita akan selalu dicengkeram dan tidak berdaya. Kita dipermainkan nafsu sejak kanak-kanak yang asyik dengan mainan baru, namun begitu datang yang baru, maka yang lama menjadi tidak menarik lagi dan membosankan.

Nafsu menjadi pendorong bagi kita untuk mencari kepuasan dalam segala hal sehingga terjadilah kemajuan-kemajuan lahiriah, bertambahnya sarana kesejahteraan dan kesenangan lahiriah, namun nafsu pula yang menyeret kita untuk mundur dalam hal rohaniah.

Ketika Liong Bi hendak membantah lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut, tak jauh dari tempat mereka duduk, dan ketika mereka menengok, mereka melihat lima orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah orang-orang muda yang kaya-raya, sedang ribut mengeluarkan kata-kata teguran yang nadanya keras dan marah kepada seorang hwesio berjubah kuning. Mereka berdua tertarik sekali dan mendekat. Hwesio itu berusia sekitar enam puluh tahun, kepalanya gundul dan perutnya gendut sekali. Karena gemuknya maka dia kelihatan pendek. Yang aneh adalah warna kulit di bagian yang tidak tertutup jubah kuning, yaitu di bagian leher dari kedua tangan sampai di atas pergelangan. Kulit leher dan lengan itu nampak hitam kehijauan seperti baja! Mukanya yang bulat itu nampak lucu karena berseri dan mulutnya senyum-senyum sinis, akan tetapi matanya mencorong! Hwesio itu tidak memperdulikan lima orang muda yang marah-marah, dan dia melanjutkan makan dengan lahapnya beberapa sayuran dari mangkok-mangkok besar yang berada di atas tanah, di depan dia bersila. Liong Ki dan Liong Bi melihat bahwa mangkok-mangkok itu berisi masakan dari daging, bahkan terdapat pula seguci besar arak di situ.



"Hwesio tua yang jahat, berani engkau mencuri hidangan kami?" teriak seorang di antara lima pemuda berpakaian mewah itu.

"Engkau ini seorang hwesio, akan tetapi makan daging dan minum arak yang kau rampas dari kami!" teriak orang ke dua.

"Orang tua tak tahu malu. Engkau ini pendeta atau perampok?"

"Hayo pergi dari sini dan tinggalkan makanan kami!"

Menghadapi kemarahan lima orang pemuda hartawan itu, hwesio tua itu senyum-senyum saja. Sambil mengunyah makanan dia menoleh dan memandang kepada mereka, sebelum menjawab, dia menuangkan arah dari guci ke mulutnya. Setelah tidak ada lagi makanan di mulutnya, barulah dia mejawab.

"Omitohud, kalian ini hartawan-hartawan muda macam apa? Sepantasnya kalian bersyukur bahwa makanan kalian dipilih oleh pinceng. Memberi makanan kepada seorang hwesio akan mendatangkan barkah yang berlipat ganda, kenapa kalian banyak rewel?"

Lima orang pemuda itu menjadi semakin marah. Mereka memberi isyarat kepada tiga orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaian dan sikap mereka , jelas bahwa mereka adalah jagoan-jagoan yang mengawal lima orang pemuda itu.

"Seret dia pergi dari sini!" perintah seorang di antara lima orang pemuda itu. "Pendeta tua itu perlu dihajar!"

Tiga orang jagoan itu bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Agaknya mereka merasa sungkan juga harus menangani seorang pendeta tua gendut. Bagaimanapun juga, biasanya para hwesio dihormati dan dimintai berkah, sekarang mereka harus menghajar seorang pendeta, tentu saja mereka merasa sungkan. Kalau mereka disuruh menghajar orang biasa, mereka tidak akan merasa sungkan. Maka, seorang di antara mereka yang mukanya kuning pucat menghampiri hwesio itu dengan sikap hormat dia berkata.

"Losuhu, harap Losuhu tidak menyusahkan kami dan suka pergi saja dari sini, jangan mengganggu para kongcu yang sedang bersenang-senang di taman ini.

"Omi tohud, kalian ini tiga orang anjing penjilat, kalianlah yang cepat pergi dari sini, jangan mengurangi selera makan pinceng." kata hwesio itu dengan senyum lebar dan suaranya mengandung ejekan.

"Losuhu, kami bersikap hormat akan tetapi engkau malah memaki kami. Jangan mengira kami takut menyeretmu keluar dari taman ini!" bentak jagoan ke dua.

"Heh-heh-heh, kalau pinceng tidak mau pergi, kalian mau apa ?"

"Kami akan terpaksa menyeretmu pergi!" bentak si muka kuning yang sudah kehilangan kesabarannya.

"Ha-ha-ha, anjing-anjing yang gonggongnya nyaring tidak dapat menggigit!" hwesio itu tertawa dan melanjutkan makan minum dengan lahapnya. Mendengar ini, tiga orang tukang pukul itu tentu saja menjadi semakin marah dan serentak mereka menerjang ke depan untuk menangkap dan menyeret hwesio yang sedang makan itu.

"Pergilah kalian anjing-anjing penjilat!" hwesio itu berkata dan dia membuat gerakan seperti menepiskan tangan kirinya ke arah tiga orang jagoan itu dan akibatnya membuat Liong Ki dan Liong Bi yang menonton dari jarak agak jauh terbelalak. Tiga orang jagoan itu tiba-tiba saja terjengkang seperti dipukul atau didorong tangan yang tidak nampak. Mereka terbanting keras dah mengaduh-aduh karena tubuh mereka terus terguling-gu1ing seperti diseret angin yang amat kuat. Liong Ki dan Liong Bi, dua orang yang memi1iki ilmu kepandaian tinggi itu melihat betapa debu dan daun kering berhamburan dan beterbangan seperti ditiup angin dan beberapa helai daun melayang ke arah mereka. Mereka mengebutkan tangan ke arah daun-daun itu dan alangkah kaget hati mereka ketika merasa betapa daun kering itu terasa berat dan keras seperti batu saja ketika mereka tangkis. Tiga orang jagoan itu babak belur dan mereka tidak bergulingan lagi, bangkit duduk dan dengan muka pucat dan mata terbelalak mereka memandang ke arah hwesio itu.

"Hemm, ka1ian orang-orang muda kaya-raya sungguh tak tahu malu. Kalian bergelimang kemewahan, berpesta-pora di taman, di depan orang-orang yang kelaparan, sungguh bermuka tebal. Kalian perlu dicuci sampai bersih!" kata pula hwesio itu sambil tetap menyeringai dan kembali tangannya membuat gerakan seperti mendorong ke arah lima orang pemuda hartawan yang juga kelihatan kaget bukan main melihat tiga orang jagoan mereka roboh secara aneh. Dan tiba-tiba mereka berlima mengeluarkan teriakan kaget karena tubuh mereka seperti disambar angin keras yang tidak dapat mereka lawan. Mereka terhuyung dan tanpa dapat dicegah lagi mereka berlima terlempar ke dalam kolam ikan. Terdengar suara berjebur lima kali dan air muncrat tinggi, ikan-ikan dalam kolam berenang ketakutan.

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi. Hwesio itu tadi telah mendemonstrasikan tenaga sakti jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu, mereka berdua jelas tidak mampu menandinginya.

"Dia lawan yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat berguna." bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya. Mereka berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tiga orang jagoan itu kini sibuk menolong lima orang pemuda hartawan keluar dari dalam kolam dan mereka segera pergi bergegas meninggalkan taman itu. Juga mereka yang kebetulan berada di taman itu kini mulai bubaran setelah tadi ikut menjadi penonton.



Kini Liong Ki dan Liong Bi sudah tiba di depan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi hormat. Liong Ki berkata dengan sikap menghormat, "Locianpwe, lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Biarpun kami berdua bukan hartawan, namunkami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi menerimanya, kami mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah makan Lok-an yang terkenal di kotaraja ini."

Hwesio itu bukan lain adalah Hek Tok Siansu. Seperti telah kita ketahui, bersama mendiang Bak Tok Siansu, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Ketika mereka melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan Heng-toan-san dalam keadaan sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menderita, dan mereka mendengar cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka marah sekali. Ketua kuil Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka, yang menyadarkan mereka dari jalan sesat, bahkan yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk memperdalam ilmu. Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun, dalam pertandingan melawan Siangkoan Ci Kang, Ban Tok Siancu tewas walaupun dia mampu melukai Siangkoan Ci Kang.

Dapat dibayangkan kesedihan hati Hek Tok Siansu ketika rekan, sahabat dan saudara seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas. Dia membawa jenazah suhengnya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang. Tepat seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kag, Hek Tok Siansu tidak rela membiarkan Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suhengnya. Dia ingin Siangkoan Ci Kang dan isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si sampai mati agar menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio! Dia sendiri segera pergi ke kotaraja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada di kotaraja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suhengnya kembali dari barat. Yaitu, mencari pemuda bernama Tang Hay!

Ketika Hek Tok Siansu dan suhengnya, mendiang Ban Tok Siansu, mengembara ke Tibet dan memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini mendapatkan saudara-saudara seperguruan yang kemudian menjadi pendeta-pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama yag mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah saudara-saudara seperguruan mereka. Tiga orang. Lama itu adalah Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Hek Tok Siansu dan Ban Tok Siansu sendiri tidak ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun ketika mereka mendengar betapa tiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh, mereka menjadi marah dan mendendam. Mereka sudah menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di tangan Kim Mo Siankouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san, sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan seorang pemuda bernama Tang Hay!

Mereka segera mencari Kim Mo Siankouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini tidak menyangkal ketika ditanya, dan ia pun melakukan perlawanan dengan gigih ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya. Terjadi perkelahian mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim Mo Siankouw roboh dan tewas! Dua orang hwesio itu lalu melakukan perjalanan, pulang ke timur untuk mencari musuh mereka yang ke dua, yaitu pemuda bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika mereka singgah di kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus membalas kem.atian Ceng Hok Hwesio kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu.

Kii Hek Tok Siansu berangkat sendiri ke kotaraja untuk mencari Tang Hay. Ketika tiba di kotaraja, hari itu dia pergi ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak menawarkan kepadanya, dia pun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa memperdulikan lagi kepada mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka.

Ketika Liong Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah makan, Hek Tok Siansu mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah kenyang makan garam dunia kangouw, pandang matanya tajam dan dia segera dapat mengenal orang pandai, walaupun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya.

"Ha-ha-ha, orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas, ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta seperti pinceng, omitohud…..!”

Hek Tok Siansu bangkit berdiri dan meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti Liong Ki da Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat dekat lima orang pemuda hartawan yag sudah keluar dari dalam kolam dalam pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air, Liong Ki berkata kepada mereka.

"Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong. AKu adalah perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan tuntut kalian kalau kalian menghabiskan urusan itu sampai di sini saja."

Mendengar bahwa pemuda itu perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan mereka lalu menghormat ke arah Hek Tok Siansu sambil berkata, "Mohon Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya."



"Omitohud, kalian memang sudah diampuni Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira kalian dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?" Dia tertawa dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman. Lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pendeta gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Hek Tok Siansu memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, bersama mendian Ban Tok Siansu, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil tertawa. Kemudian dia dan Ban Tok Siansu bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertaubat dan bahkan merelakan diri menjadi hwe-sio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng Hok Hwesio. Ketua Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu setelah nienjadi hwesio dan dengan bekal pengetahuan agama yang,mereka telah kuasai, mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam ilmu keagamaan Budha. Demikianlah, dua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu dengan. banyak pendeta dan pertapa lihai, maka mereka lalu memperdalam ilmu silat mereka pula. Bukan hanya i1mu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu, tentang racun! Dan dalam hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang daripada agama yang aseli. Karena mempelajari bermacam ilmu inilah, maka Hek Tok Siansu menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi terkadang dia dapat bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu.

Hek Tok Siansu yang menganggap dirinya sudah berada di puncak, tidak perduli lagi
akan baik buruk perbuatannya. Dia menganggap bahwa semua berbuatnya benar. Dia selalu menuruti dorongan batinnya yang berada dalam gelombang pertentangan yang tak kunjung henti antara keinginan mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesenangan. Kedua keinginan itu nampaknya berlawanan namun sesungguhnya masih merupakan nafsu yang sama. Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya tercapai, dan betapa terselubung pun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih, tetap saja tujuannya hanya demi kepentingan diri sendiri. Aku tidak perduli melakukan kejahatan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kejahatan itu. Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kebaikan itu. Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu ingin mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh, melainkan dijadikan alat atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu kesenangan yang dikejar-kejar.

Nafsu selalu menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan antara manusia menimbulkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu bertabrakan dengan pengejar hasil kebaikan yang lain karena terjadi bentrokan pamrih. Agama yang satu bentrok dengan agama yang lain karena masing-masing pemeluknya, yaitu manusia, saling mempertahankan “kebaikan” berpamrih tadi.

Orang menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan, masyarakat yang dianggap sebagai penyebab penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita lupa bahwa 1ingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi. Kalau hendak menyehatkan 1ingkungan, seharusnya harus menyehatkan pribadi. Kalau pribadi-pribadi sehat, lingkungan pun otomatis menjadi sehat. Orang boleh bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan diri dari keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk mengendalikan dan meyalahkan nafsunya senndiri. Namun orang lupa bahwa perbuatan ini pun merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi masih dalam 1ingkaran setan, masih terdorong nafsu. Selama ada dasar "aku ingin" tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk "agar berhasil". Dan apapun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih, dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian, kesempurnaan dan lain-lain, tetap saja di dalamnya bersembunyi “kesenangan”. Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan sebagainya itu dianggap enak dan menyenangkan maka, kita kejar-kejar dengan cara memaksa diri berbuat apa yang kita anggap sebagai kebaikan. Tidak pernah kita bertanya kepada diri sendiri : Andaikata sorga itu tidak, menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu tidak enak, apakah kita masih melakukan kebaikan yang kita paksakan itu? Lalu untuk apa?

Kebaikan adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan suatu perbuatan yang disengaja. Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka di situ pasti terkandung suatu harap akan pahalanya, walau tersembunyi sekali pun. Matahari merupakan kebutuhan mutlak semua mahluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan cahayanya, namun dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-pohon memberikan bunga-bunga, harum, buah-buahan segar, kayu dan kulitnya pun bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti sapi, kuda, anjing dan sebagainya, semua melakukan "kebaikan" tanpa sengaja dan tidak mengharapkan imbalan.

Kita dianugerahi hati akal pikiran yang mengagkat kita menjadi mahluk termulia. Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu. Namun, justeru hati akal pikiran manusia yang menimbulkan malapetaka di dunia ini, karena nafsu yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana?

Jalan satu-satunya hanya kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran di mana seluruh anggauta tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Kalau sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan.



Setelah dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah makan terbesar, Hek Tok Siansu menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena diisi banyak makanan dan arak.

"Heh-heh-heh, kalian dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, engkau tadi mengatakan kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taiji, siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik kepadaku?"

"Lo-cian-pwe, nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya bernama Liong Bi. Kami berdua bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang."

"Hemm, lalu mengapa kalian bersikap baik kepada piceng? Pinceng Hek Tok Siansu tidak pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik kepadaku?"

Liong Ki dan Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang sakti dan berwatak aneh.

Terhadap orang seperti itu mereka harus bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama sekali tidak boleh dijadikan lawan.

Dari julukan kakek itu saja mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya saja Racun Hitam (Hek. Tok), dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya.

"Lo-cian-pwe, kami kakak beradik amat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai. Begitu bertemu dengan Lo-cian-pwe, ka:mi dapat menduga bahwa Lo-cian-pwe adalah seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Lo-cian-pwe merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan kami yang dangkal." kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat.

Kakek gundul gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang makin mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk dan mengamati kedua orang muda itu. "Kalian mengaku sebagai pembantu- pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang amat terkenal sebagai seorang pembantu kaisar yang amat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa ?”

"Lo-cian-pwe, harap jangan salah mengerti," kata Liong Ki cepat. "Kami hanya ingin mengajak Lo-cian-pwe untuk menghadap Cang Tai-jin. Beliau adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai tingkat orang-orang pandai. Kalau Lo-cian-pwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Tai-jin. Pasti Lo-cian-pwe akan diterima dengan senang."

"Heh-heh-heh, pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apalagi yang remeh. Kalau kaisar sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan."

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. "Lo-cian-pwe, pendapat Lo-cia-pwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua. Kami sendiri pun ingin mendapatkan kedudukan di istana kaisar, akan tetapi tidaklah mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping Cang Taijin, akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah, Lo-cian-pwe, kami perkenalkan Lo-cian-pwe dengan Cang Taijin dan akan kami akui sebagai guru kami. Kami siap membantu Lo-cian-pwe agar kita bertiga kelak akan mampu menduduki tempat yang berarti di istana kaisar.”

Hek Tok Siansu merasa tertarik. Sejak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun lamanya bersama mendiang Ban Tok Siansu, dia tidak pernah hidup senang, selalu dalam perantauan yang membosankan, kadang harus menahan rasa lapar dan haus, kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang pantas. Kini Ban Tok Siansu sudah tidak ada, dan dia sendiri pun sudah tua. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya dalam kemuliaan dan kesenangan? Pula, selama puluhan tahun dengan susah payah dia mempelajari segala macam ilmu itu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau hasilnya tidak dinikmati? Akan tetapi, yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu pantas mengaku dirinya sebagai guru mereka.

"Omitohud, kalau kalian mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Akan tetapi pinceng harus mengenal benar kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian murid sendiri? Mari kita ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak ragu-ragu lagi." Setelah berkata demikian, kakek itu keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan Liong Bi.

Mereka tiba di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti dan Hek Tok Siansu tertawa senang. "Nah, sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin mengaku sebagai murid pinceng." tantangnya sambil berdiri tegak, perut gendutnya menonjol ke depan, kedua lengan yang pendek tergantung di kedua sisi badan.

"Kak Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Lo-cian-pwe Hek Tok Siansu lebih dahulu." kata Liong Bi dan ia pun melangkah maju menghampiri kakek itu. Hek Tok Siansu tersenyum. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini cukup gagah karena mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan hatinya dah membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu.



"Liong Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat menilalnya."

"Baik, Lo-cian-pwe. Sambut seranganku!" Liong membentak dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat sekali. Kedua tangannya menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara bertubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena ia pun ingin menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan sekutunya.

Kakek itu diam-diam terkejut dan kagum. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan kecepatan yang jauh di atas dugaannya semula. Dia masih menggeser kaki ke belakang dan kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu. Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya! Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya.

"Dukk!" Akibatnya, tubuh Liong Bi terpental dan ia pun membuat gerakan salto jungkir balik tiga kali, sedangkan tubuh Hek Tok Siansu terdorong mundur dua langkah.

“Omitohud……..engkau boleh juga, Nona!” kakek itu memuji. "Coba kau sambut seranganku ini!" Dan kini kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar itu menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah. Gerakannya tidak nampak terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu mendatangkan angin dahsyat yangmenggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon rontok!

Liong Bi terkejut dan ia mempergunakan gin-kangnya untuk berkelebatan ke sana sini, menghindarkan diri dari sambaran tangan dan ujung lengan baju itu. Bahkan Liong Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti yang telah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan menguntungkan sekali kalau dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini menjadi sekutu dan kawan.

Di lain pihak, Hek TokSiansu menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang dahsyat ini. Akan tetapi, gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih! Untung saja ia tadi maju seorang diri. Kalau kakaknya memiliki kepandaian seperti adiknya, dan mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Kiranya dia berhadapan dengan dua orang muda yang hebat; yang tidak akan mengecewakan untuk dijadikan sekutu atau pembantunya. Ketika dahulu dia berdua dengan Ban Tok Siansu, dialah yang menjadi pembantu karena Ban Tok Siansu sebagai suhengnya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda ini bekerja sama dengan dia, apalagi mengaku muridnya, berarti mereka ini dapat menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan!

Tiba-tiba Hek Tok Siansu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah dan gerakan tubuhnya berubah. Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu menyerang bagaikan gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman keluar dari gulungan serangan. itu! Liong Bi terkejut bukan main. Ia pun bertanding dengan sungguh-sungguh karena ia hendak menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan ia pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh, yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini ia pelajari dari mendiang tiga orang gurunya, yaitu Pel-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua tangannya ketika ia memainkan ilmu ini.

Akan tetapi, begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek Tok Siansu, Liong Bi terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. “Brettt……!!” Liong Bi meloncat ke belakang sambil berteriak kaget dan mukanya. Berubah merah, kedua tangannya menutupkan kembali bajunya yang terobek dan terbuka.

“Aih, Lo-cian-pwe nakal………” katanya manja.

“Omitohud, sekali tanganku menyerang, harus menjatuhkan korban. Karena pinceng tidak ingin merobohkanmu, maka terpaksa pinceng merobek baju itu sebagai gantinya." kata Hek Tok Siansu dan dari sikap dan bicaranya saja tahulah Liong Bi bahwa kakek ini tidak dapat disamakan dengan mendiang tiga orang gurunya. Kakek kulit hitam ini tidak menjadi hamba nafsu berahinya, dan, penyobekan bajunya tadi bukan karena watak cabulnya, melainkan untuk menunjukkan bahwa dia lebih unggul.

"Ilmu kepandaian Lo-cian-pwe hebat, aku mengaku kalah." kata Liong Bi dengan sejujurnya karena ia maklum kalau mereka bertanding sungguh-sungguh, ia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini. Hek Tok Siansu tertawa senang.

"Engkau pun hebat, Liong Bi, dan pinceng tidak akan malu diakui sebagai guru olehmu. Nah, Liong Ki, sekarang giliranmu. Majulah dan mari kita main-main sebentar.

"Baik, Lo-cian-pwe. Sambutlah seranganku ini!" Liong Ki menerjang maju dan seperti juga Liong Bi, dia tidak main-main, mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluarkan ilmu silat yang ampuh, untuk mengalahkan lawan. Karena dia tadi melihat betapa gerakan kakek itu ketika menyerang dan mengalahkan Liong Bi menda tangkan angin dan gelombang dahsyat, maka begitu menyerang dia pun menggunakan ilmu Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru angin)! Gerakannya cepat dan mendatangkan angin yang cukup dahsyat.

"Omitohud…...!!” Hek Tok Siansu berseru kaget dan kagum. Kalau tadi dia mengenal ilmu silat yang dimainkan Liong Bi berasal dari Pek-lian-kauw, sekarag dia menghadapi permainan silat yang sama sekali tidak dikenalnya, namun yang dahsyatnya bukan main. Pemuda ini ternyata lebih lihai daripada adiknya! Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa ilmu yang dimainkan Liong Ki itu adalah ilmu silat yang dia pelajari dari Si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!

Karena dia merasa bahwa kalau sampai dia kalah oleh pemuda ini, bukan saja dia akan gagal memperoleh kedudukan tinggi, juga tentu pemuda itu tidak jadi menariknya dan mengakuinya sebagai guru di depan Cang Taijin, maka Hek Tok Siansu juga tidak berani main-main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmunya yang memiliki gerakan aneh-aneh, yaitu ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun berkeliaran di sekitar Pegunungan Himalaya dan negara-negara sekitarnya.



Pertandingan itu memang seru dan hebat bukan main. Setiap kali keduanya terpaksa bertemu tangan mengadu tenaga, ternyata Liong Ki masih kalah kuat dan terdorong mundur sampai empat lima langkah, sedangkan lawannya hanya terdorong mundur dua langkah. Namun, dalam hal kecepatan Liong Ki dapat mengimbangi kakek itu, dan dia pun memiliki lebih banyak ilmu silat tinggi yang tidak dikenal kakek itu dan membuat kakek itu agaknya sukar untuk mengalahkannya.

Setelah lewat empat puluh jurus kakek itu lalu berjongkok dan mendorong dengan kedua tangan ke depan, seperti seekor katak besar hendak meloncat. Dari kedua telapak tangannya menyambar tenaga dahsyat disertai uap hitam! Liong Ki mengenal ilmu pukulan yang amat berbahaya, maka dia pun meloncat ke samping untuk menghindar. Baru saja kedua kakinya kembali ke atas tanah, kakek itu sudah menerjangnya lagi, sekali ini tubuh kakek itu bergulingan seperti seekor trenggiling. Kaki tangannya menyerang ketika dia bergulingan itu dan menghadapi serangan aneh ini, Liong Ki terkejut dan terdesak. Ke mana pun ia mengelak, tubuh yang bergulingan itu selalu mengejarnya. Akhirnya, terpaksa Liong Ki menyambut kedua tangan lawan dengan tangannya ketika dalam keadaan jongkok seperti katak kakek itu sudah menghantamnya lagi.

"Plakk!" Dua pasang tangan bertemu dan saling melekat, dan pada saat itu, kaki Hek Tok Siansu menendang, mengenai paha Liong Ki dan tubuh pemuda itu pun terjengkang!

Namun Liong Ki dapat meloncat bangun dengan cepat dan dia pun memberi hormat kepada kakek itu. "Kepadaian Locianpwe sungguh dahsyat, aku mengaku kalah."

Hek Tok Siansu tertawa bergelak sambil meraba-raba dagunya yang tak berjenggot. "Ha-ha-ha, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dua orang muda selihai kalian. Bahkan andaikata aku mempunyai murid, kiranya dia akan kalah kalau bertanding melawan seorang di antara kalian. Hebat, memang sudah pinceng dengar bahwa kini banyak bermunculan orang-orangmuda yang berkepandaian tinggi. Tentu sa ja pinceng merasa bangga kalau diperkenalkan sebagai guru kalian. Pinceng mau kalian ajak menghadap Menteri Cang, dan suka bekerja sama dengan kalian. Namun sebaiknya, kalian sebagai murid-murid angkat harus membantuku mencari seseorang sampai dapat.”

"Tentu saja kami mau membantumu, Suhu!" kata Liong Ki dan mendengar sebutan itu, Hek Tok Siansu tersenyum. "Katakan siapakah orang itu dan di mana tinggalnya, pasti kami akan berusaha mencarinya. Kalau perlu kami dapat menyerahkan pasukan penyelidik…….."

"Bagus, itulah yang pinceng kehendaki. Orang yang pinceng cari-cari itu juga seorang pemuda yang lihai seperti engkau, namanya Tang Hay….."

"Hay Hay…..?" teriak Liong Ki

"Pendekar Mata Keranjang?" Liong Bi juga berseru sambil bangkit berdiri dari atas batu besar di mana ia tadi duduk.

"Oh, kalian sudah mengenal dia, bukan? Bagus sekali. Di mana dia sekarang?"

Liong Bi yang cerdik mendahului Liong Ki agar jangan salah bicara. "Kami memang mengenal Tang Hay atau Hay Hay Si Mata Keranjang itu, Suhu, akan tetapi kami tidak tahu di mana dia sekarang. Akan tetapi, apakah hubungan Suhu dengan dia dan mengapa pula Suhu mencari Hay Hay?" Mereka tentu saja khawatir mendengar orang yang dicari kakek ini Hay Hay, musuh besar mereka! Kalau kakek ini sanak keluarga atau sahabat baik Hay Hay, celakalah mereka.

Hek Tok Siansu adalah seorang yang merasa dirinya datuk yang menduduki tingkat tinggi, maka dia tidak merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu karena tidak ada yang ditakutinya di dunia ini. Mendengar pertanyaan Liong Bi tadi, mulutnya yang selalu tersenyum sinis itu kini menyeringai.

"Tang Hay adalah musuhku dan pinceng mencari dia untuk membunuhnya. Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Hati mereka lega dan senang, akan tetapi mereka cerdik dan ingin yakin lebih dahulu. "Lo-cian-pwe, apakah yang telah dilakukan Tang Hay maka Lo-cian-pwe hendak membunuhnya ? Apa dosanya?

"Ha-ha-ha, dosanya besar sekali! Bersama Kim Mo Siankouw, Tang Hay telah membunuh tiga orang suhengku yang bernama Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Aku sudah berhasil membunuh Kim Mo Siankauw, tinggal Tang Hay yang belum dapat kutemukan."

Barulah hati kedua orang muda itu yakin dan merasa gembira bukan main. Apalagi Liong Bi yang sudah mendengar tentang tiga orang pendeta Lama yang dimaksudkan oleh Hek T ok Siansu tadi. Tiga orang pendeta Lama itu adalah tiga orang sakti yang berusaha untuk memberontak di Tibet dan dapat dihancurkan oleh Dalai Lama dan pasukannya. Kiranya Hay Hay juga membantu pembasmian pemberontakan itu.

“Kalau begitu, sungguh kebetulan sekali, Suhu!" kata Liong Ki dengan girang. "Ketahuilah bahwa kami pun membenci anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu itu! Dia adalah musuh besar kami pula!"

"Hemm, begitukah? Pinceng juga sudah mendengar bahwa pemuda bernama Tang Hay itu anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu (penjahat pemetik bunga Si Kumbang Merah). Dia harus membayar kematian tiga orang suhengku. Akan tetapi kenapa pula kalian memusuhinya?"

Anak jai-hwa-cat itu sombong dan jahat bukan main, Suhu." kata Liong Bi. "Aku pernah bertemu dengan dia dan hampir saja dia memperkosaku, kalau saja tidak muncul kakak Liong Ki yang menyelamatkan aku."

"Benar, dia memang jahat dan kejam, penjahat cabul seperti ayahnya. Julukannya saja Pendekar Mata Keranjang. Aku pun pernah bentrok beberapa kali dengan penjahat itu. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk menyelidiki di mana pemuda jahat ituberada, Suhu. Sekarang, marilah kita meghadap Cang Taijin dan Suhu akan kami perkenalkan dengan beliau."



Mereka bertiga meninggalkan hutan, kembali ke kota dan langsung menuju ke istana Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang menerima kunjungan Hek Tok Siansu dengan gembira. Menteri yang bijaksana ini memang pandai menghargai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Apalagi ketika kakek gundul itu diperkenalkan oleh dua orang pembantunya sebagai guru mereka, dia menyambut dengan hormat. Setelah berbincang-bincang sejenak, dengan ramah Menteri Cang memberi ijin kepada Liong Ki yang mohon perkenan agar untuk sementara "gurunya" tinggal bersama dia di kamarnya. Bahkan kepada Menteri Cang, Liong Ki mengatakan dia akan membujuk gurunya agar suka melatih ilmu kepada keluarga Cang dan kepada para perwiranya.

Ketika Liong Ki dan Liong Bi meninggalkan ruangan dalam di mana mereka tadi diterima Cang Taijin, sambil mengajak Hek Tok Siansu, dan mereka menuju ke perumahan di belakang dalam komplek lingkungan istana menteri itu, mereka berjumpa dengan Mayang. Gadis ini memang sudah mulai merasa tidak senang kepada Liong Ki dan Liong Bi, walaupun perasaan itu dipendamnya saja di dalam dada karena tidak ada alas an yang dapat dijadikan bukti. Sikapnya dingin saja ketika ia berjumpa dengan tiga orang itu, hanyadiam-diam ia heran melihat dua orang itu berjalan bersama seorang kakek pendeta gundul berjubah kuning.

"Mayang, perkenalkan. Ini adalah guru kami…….” kata Liong Ki.

Mayang mengerutkan alisnya. Setahunya, guru Liong Ki atau Sim Ki Liong adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya di pulau Teratai Merah.

"Gurumu……?”gumamnya.

"Ini adalah guruku, suhu Hek Tok Siansu.” L.iong Bi memotong cepat dan Liong Ki yang menyadari kesalahannya cepat menyambung.

"Sekarang menjadi guruku pula, Mayang. Aku telah mengangkat lo-cian-pwe ini
menjadi guruku.

Mayang mengangguk-angguk, walaupun masih agak ragu, namun keterangan pemuda itu masuk akal. Bisa saja dia mengangkat guru orang lain lagi karena gurunya di pulau Teratai Merah sudah tidak mengakuinya lagi, pula apa salahnya kalaudian berguru lagi kepada orang pandai? Dengan sikap acuh saja ia lalu meninggalkan mereka.

"Siapakah nona itu? Ia seperti bukan gadis Han." kata Hek Tok Siansu tertarik.

"Memang ia peranakan Tibet, Suhu. Sebetulnya ia jahat sekali dan dapat menjadi penghalang kemajuan kita. Aku sudah ingin melenyapkannya saja, akan tetapi selalu dilarang kakak Liong Ki karena dia dan gadis itu saling mencinta, atau lebih tepat, dia tergila-gila kepada Mayang."

“Mayang?"

“ya, nama gadis itu Mayang. Ia terbawa oleh kami ke sini, akan tetapi agaknya ia tidak suka kepada kami, atau hendak mengambil jalan sendiri. Agaknya ia hendak memikat hati Cang-kongcu, putera Menteri Cang dengan kecantikannya dan kalau ia berhasil, kami yakin ia tentu akan mempergunakan kekuasaanya untuk medesak kami." kata pula Liong Bi.

"Omitohud, alangkah jahatnya. Memang sudah sepatutya kalau ia dilenyapkan." kata
kakek itu.

Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi merasa girang dan mereka maklum bahwa mereka boleh mengandalkan tenaga bantuan kakek ini. "Suhu," kata Liong Ki, "sebaiknya memang Mayang itu dilenyapkan, akan tetapi aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya dan aku tidak tega membunuhnya. Aku ingin agar ia dapat kutundukkan, menjadi milikku dan kalau sudah begitu, aku dapat menguasai dan mempengaruhinya agar ia selalu taat kepadaku. Kuharap dalam hal ini Suhu suka membantuku."

"Omitohud, engkau terlalu memandang rendah dirimu sendiri Liong Ki. Kulihat kepandaian kalian sudah cukup hebat, apa sukarnya menundukkan seorang gadis muda seperti itu? Memang masih memerlukan bantuan pinceng?"

"Suhu tidak tahu, Mayang itu memiliki kepandaian yang cukup lihai. Ia pun kebal terhadap ilmu sihir. Dan ia pun amat berbahaya bagi Suhu sendiri!” kata Liong Bi.

"Heh? Berbahaya bagi pinceng? Kenapa?”

"Ia adalah murid Kim Mo Sian-kouw." Hwesio itu terbelalak. "Omitohud! Jadi ia murid Si Rambut Emas itu? Kalau ia tahu bahwa gurunya mati di tanganku, tentu ia akan memusuhiku. Kalau begitu, memang sudah sepatutnya ia dilenyapkan." kata Hek Tok Siansu.

"Lebih dari itu, Suhu, ia adalah adik tiri dari Tang Hay. Ia juga puteri Si Kumbang Merah, berlainan ibu." Kata Liong Ki.

"Bagus, bagus! Serahkan ia kepada pinceng. Pinceng akan melenyapkan tanpa ada yang mengetahuinya, jangan khawatir……"

“Ah, tidak, Suhu. Maksudku bukan begitu. Aku cinta padanya, dan akan merasa sayang sekali kalau ia dilenyapkan. Aku menghendaki agar ia jatuh ke dalam pelukanku, agar ia menjadi milikku dan kalau sudah begitu tentu ia akan tunduk kepadaku."

"Ooh-ho-ho-hoh, kiranya begitu maksudmu? Cinta memang dapat membuat orang melakukan apa saja. Baik, pinceng akan membantumu. Apa yang harus pinceng lakukan? Menangkapya, menelikungnya lalu menyerahkan kepadamu?" .

"Tidak, suhu. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadap Mayang. Aku terlalu mencintanya. Kita harus menggunakan cara halus dan akan kuberitahu kepada suhu kalau saatnya tiba sekarang ini ada dua hal penting yang kami berdua harapkan bantuan dari suhu."

"Hemm, bantuan apa lagi yang kalian harapkan dari pinceng?"



Kini Liong Bi yang menjelaskan. "Suhu, kami ingin sekali meningkatkan kedudukan kami. Menteri Cang mempunyai dua orang anak. Yang laki-laki bernama Cang Sun dan yang perempuan bernama Cang Hui. Nah, kalau aku dan koko Liong Ki dapat berjodoh dengan mereka, tentu dengan sendirinya derajat dan tingkat kedudukan kami akan naik. Dan sebagai guru kami, tentu suhu juga terangkat derajatnya. Kami berdua sudah melakukan usaha pendekatan dan hampir berhasil, akan tetapi akan selalu Mayang itu yang menghalangi dan menggagalkan usaha kami. Kami mohon bantuan suhu agar Cang-kongcu itu tergila-gila kepadaku, dan Cang-siocia tergila-gila kepada kakak Liong Ki.

“Ho-ho-ha-ha! Demikian banyaknya permintaan bantuan dari kalian kepadaku! Dan apa imbalannya? Kalau hanya makan minum enak saja, setiap saat aku dapat memperolehnya tanpa susah payah.”

“Ingat, Suhu. Kmi sudah berjanji akan membantu mencarikan Tang Hay, musuh besarmu itu. Dan kedua, di istana keluarga Cang ini Suhu mendapat kedudukan baik sebagai guru kami,bahkan kami dapat memintakan kepada Cang Taijin agar Suhu memperoleh pangkat yang resmi. Dan ketiga,kalau kami berdua sudah menjadi mantu keluarga Cang, berarti kedudukan Suhu ikut naik dan kita dapat meningkatkan lagi kedudukan kita karena sudah semakin dekat dengan istana kaisar. Bukankah itu berarti bahwa kita bertiga akan. menikmati nama besar, kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda?"

Hwesio itu tertawa dan perut gendutnya terguncang-guncang. Dia merasa gembira sekali telah dapat berkenalan dengan dua orang muda yang cerdik ini.

"Ha-ha-ha-ha, kalian memang berjodoh sekali dengan pinceng. Kalian masih muda namun sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan yang lebih lagi, kalian memiliki kecerdikan luar biasa. Baik, pinceng akan membantu kalian."

***



"Kui Hong. Bagaimanakah engkau ini? Sudah sering datang pinangan, namun engkau selalu menolak. Engkau sudah cukup dewasa dan ayah ibumu sudah ingin melihat engkau menikah, Nak. Pinangan sekali ini datang dari murid Kun- lun-pai yang gagah, bahkan dia putera ketua Kun-lun-pai. Bagaimana engkau menolaknya pula? Sungguh kami merasa amat tidak enak hati," kata Ceng Sui Cin kepada puterinya.

"Maaf, Ibu dan Ayah. Aku sudah tidak mempunyai sedikit pun keinginan untuk menikah. Kalau dipaksakan, tentu aku hanya akan hidup menderita dan kecewa, dan aku yakin Ayah dan Ibu tidak ingin melihat aku hidup menderita, bukan? Biarlah aku seperti sekarang ini, di samping Ayah dan Ibu, mengurus Cin-ling-pai."

Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dengan alis berkerut. Mereka mengamati wajah puteri mereka. Kini Kui Hong jauh berbeda dengan gadis lincah jenaka yang dahulu lagi. Tubuhnya kurus, matanya tidak memancarkan cahaya seperti dahulu, mulut yang biasa tersenyum itu kini merapat, dan kalau dahulu ia ramah gembira dan suka berceloteh, kini menjadi seorang gadis yang pendiam, kaku dan seperti mayat hidup saja.

"Kui Hong, pikirkanlah baik-baik," kini ayahnya berkata. "Kurasa para peminang itu memenuhi segala syarat. Ada yang kaya raya, ada putera bangsawan, ada pula seorang pendekar yang memiliki nama terkenal, akan tetapi engkau selalu menolak. Bahkan diperkenalkan pun tidak mau. Seolah-olah engkau memang sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Betulkah ?”

Gadis itu mengangkat mukanya, memandang kepada ayahya, lalu kepada ibunya. Suami isteri itu hampir tidak tahan menerima pandang mata itu. Pandang mata yang amat menyedihkan. Mata itu nampak lebar karena mukanya kurus.

"Ayah, menikah berarti penyerahan diri kepada seseorang yang untuk selama hidup menjadi teman. Bagaimana mungkin aku menyerahkan sisa hidupku kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal, sama sekali tidak kusukai? Daripada kelak menderita sengsara di samping orang yang tidak kusayang, lebih baik hidup seorang diri. Aku yakin Ayah dan Ibu cukup bijaksana untuk tidak memaksaku menyerahkan diri dan sisa hidupku kepada orang yang tidak kucinta."

Gadis itu menunduk kembali dan suami isteri itu saling pandang. Sudah lama mereka berdua sering bicara dalam kamar mengenai puteri mereka ini. Setelah saling pandang dengan suaminya dan menghela nafas berulang-ulang untuk mencari kekuatan, akhirnya Ceng Sui Cin yang bertanya, "Kui Hong, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencinta Tang Hay?"

Bagaikan disengat kalajengkit rasanya ketika Kui Hong mendengar disebutnya nama ini oleh ibunya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ibunya akan menyebut nama ini. Alisnya berkerut, wajahnya berubah pucat dan jantungnya seperti ditusuk. Ia mengangkat muka memandang kepada ayah ibuya dan melihat betapa mereka mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Muncul perlawanan dalam hatinya. Selama ini ia menderita batin karena penolakan ayah ibunya terhadap diri Tang Hay, dan kini ibunya masih bertanya apakah ia masih tetap mencinta pemuda itu!

"Ibu dan Ayah!" jawabnya dan suaranya mengandung kekerasan. "Apakah cinta kasih itu dapat berubah dan dapat diganti begitu saja? Tentu saja aku masih mencinta Hay-koko, dan sampai mati pun aku akan tetap mencintanya. Hanya dengan dialah aku mau menikah. Perlukah hal ini kutegaskan lagi? Ayah dan Ibu sudah tidak setuju, kenapa mesti mengungkit kembali dan menyebut namanya?"

Suami isteri itu kembali saling pandang. "Kui Hong, jangan salah mengerti. Ayah ibumu amat sayang kepadamu dan engkau tentu sudah tahu mengapa dahulu kami tidak setuju engkau berjodoh dengan Tang Hay ………"

Kui Hong bangkit berdiri, tusukan pada jantungnya terasa semakin menghujam dalam. "Ayah, tidak perlu dijelaskan lagi, aku sudah cukup mengetahui! Ayah dan Ibu menolak karena Hay-koko adalah seorang anak haram, lahir dari perkosaan, ayahnya seorang jahanam busuk Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat terkutuk!" Dalam suaranya ini terkandung isak dan beberapa butir air mata mengalir keluar dari sepasang matanya. "Perlukah Ayah dan Ibu mengingatkannya kembali dan menekan-nekan, menggosok-gosok luka di hatiku agar pecah kembali?"



"Kui Hong, kau kira kami sekejam itu terhadap anak sendiri?" Ceng Sui Cin mendekat dan memegang kedua tangan puterinya. "Kui Hong, kalau kami dahulu menolak adalah karena kami amat sayang kepadamu, kami ingin melihat engkau memperoleh jodoh seorang laki-laki keturunan terhormat. Kami hanya memikirkan masa depanmu, Nak. Akan tetapi, kalau sampai sekarang engkau tidak dapat melupakan dia, masih tetap mencintanya, dan hanya mau berjodoh dengannya, kalau memang hanya menjadi isterinya saja yang akan membahagiakan hatimu, kami juga tidak dapat melarangmu ……….."

Kui Hong terkejut, memandang kepada wajah ibunya, lalu ayahnya. "Apa maksud Ibu dan Ayah ……..?”

Kini Hui Song berkata, "Sudah lama aku dan ibumu memperbincangkan soal ini, Kui Hong. Akhirnya kami bersepakat bahwa kalau memang tidak ada pilihan lain, dan engkau tetap memilih Tang Hay menjadi suamimu, kami berdua tidak akan melarangmu lagi. Kau carilah dia dan ajaklah dia ke sini agar kami dapat bercakap-cakap dengan calon suamimu itu."

Kui Hong terbelalak, merasa seperti dalam mimpi, hampir tidak dapat percaya, tadinya menatap wajah ayahnya, lalu perlahan-lahan memandang ibunya dan berbisik, "Ibu ……, Ibu …….., benarkah …….?"

Ceng Sui Cin tersenyum. Matanya basah. "Benar, Anakku. Kami teringat bahwa kami pun pernah memiliki nenek moyang yang menyeleweng. Kalau ayahnya tersesat, belum tentu anaknya juga jahat. Kami telah bersikap tidak adil kepadamu, maafkan kami."

"Ibu ………..!" Kui Hong menjerit, merangkul ibunya dan bertangisan. Kemudian ia melepaskan ibunya dan menubruk ayahnya.

"Ayah ………!”

Suami isteri itu merasa terharu. Sekarang mereka yakin benar bahwa puteri mereka ini
amat mencinta Tang Hay. Hanya karena ingin berbakti saja kepada mereka, Kui Hong mengorbankan perasaannya, rela hidup terpisah dari kekasihnya, demi mentaati orang tua.

"Kui Hong, engkau cepatlah pergi mencari Tang Hay, ajak dia ke sini. Aku ingin mengenalnya lebih baik." kata Hui Song.

"Akan tetapi, tahukah engkau ke mana harus mencarinya, Anakku?" tanya ibunya.

Kui Hong tersenyum dan menyusut air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk. "Aku pasti akan dapat menemukannya, Ibu. Memang aku tidak tahu, dia berada di mana sekarang. Akan tetapi aku akan mencarinya, sampai dapat! Pernah dia berkata bahwa kalau kami sudah menikah, dia ingin tinggal di kota raja. Dia suka tinggal di sana karena ramai dan mudah mendapatkan pekerjaan di sana. Apalagi dia mengenal baik Menteri Cang yang bijaksana, yang tentu akan suka memberi pekerjaan kepadanya. Aku akan mencarinya ke kota raja!”

Setelah berpamit dari ayah ibunya, kakeknya, dan menyerahkan semua urusan Cin-ling-pai kepada ayahnya, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai pada keesokan harinya dan ayah ibu serta kakeknya yang mengantarnya sampai keluar pintu gerbang Cin-ling-pai, diam-diam merasa terharu dan juga gembira melihat betapa keputusan mereka itu dalam sehari semalam saja telah mengubah diri Kui Hong secara hebat, yang tidak mungkin dapat dihasilkan oleh obat yang bagaimana manjur sekali pun. Gadis itu seperti telah menemukan dirinya kembali, telah kembali seperti dahulu, lincah gagah dan penuh semangat, dengan sepasang mata yang kini bersinar-sinar, wajah yang berseri-seri dan bibir yang tersenyum manja.

Ceng Sui Cin merangkul anaknya. "Aku akan bersembahyang setiap hari, berdoa agar engkau segera dapat bertemu dengan dia dan mengajaknya pulang ke sini, Kui Hong."

"Terima kasih, Ibu, dan jangan khawatir, aku pasti akan dapat menemukannya dan mengajaknya menghadap Ayah dan Ibu. Selamat tinggal." Kui Hong mencium pipi ibunya yang basah, dan kini ia tidak menangis lagi, melainkan tersenyum melambaikan tangan kepada ayah, ibu dan kakeknya. Kemudian, ia pun berlari menuruni lereng gunung dengan cepat, bagaika seekor burung terbang meninggalkan sarangnya.

Memang Kui Hong telah menemukan kembali dirinya. Semenjak ditinggal pergi Hay Hay yang membuat ia jatuh sakit, ia seperti kehilangan semangat, kehilangan gairah hidup. Biarpun ia giat mengurus Cin-ling-pai, membangun kembali perkumpulan nenek moyangnya itu yang baru saja mengalami malapetaka besar dengan menyelundupnya tokoh-tokoh sesat yang hendak menghancurkan Cin-ling-pai, namun ia bekerja seperti boneka hidup saja. Ia tidak memperdulikan dirinya sendiri sehingga tubuhnya kurus, bahkan rambutnya yang hitam panjang itu nampak kusut tak terpelihara. Semangat dan gairah hidupnya lenyap terbawa pergi bayangan Hay Hay.

Kini, harapan bertemu dan bersatu kembali dengan Hay Hay memulihkan keadaannya, mengembalikan gairahnya. Ia tahu benar bahwa Hay Hay amat mencintanya, bahwa kepergian pemuda itu meninggalkannya merupakan bukti dari cintanya yang sejati. Pemuda itu rela berkorban, rela berpisah dan menderita batin demi Kui Hong! Pemuda itu meninggalkannya karena dia tidak ingin melihat Kui Hong bentrok dengan orang tuanya. Ia dapat membayangkan betapa Hay Hay tentu pergi meninggalkannya dengan hati hancur. Ia yakin benar bahwa Hay Hay, biarpun putera Ang-hong-cu, sama sekali tidak dapat disamakan dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu Orang boleh menjulukinya Pendekar Mata Keranjang, namun itu hanya karena wataknya yang gembira, suka bergurau suka akan keindahan dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya terhadap keindahan, termasuk kecantikan wanita. Karena keterbukaannya itulah maka dia dikatakan-mata kerajang, padahal ia tahu benar bahwa di lubuk hatinya, Hay Hay tidak mempunyai pikiran yang cabul. Dia bukan hamba nafsu berahinya. Hal ini ia ketahui benar setelah lama bergaul dengan dia. Dahulu pun ia pernah mengira bahwa Hay Hay seorang pemuda yang sama dengan ayahnya, suka berjina dan berbuat mesum dengan wanita cantik mana saja. Akan tetapi sekarang ia sudah yakin.

Kui Hong melakukan perjalanan cepat. Ia tidak tahu bahwa baru tiga hari setelah ia meninggalkan Cin-ling-pai, seorang gadis yang cantik jelita, bertahi lalat di dagunya, mendakl gunung Cin-ling-san dengan gerakan cepat dan ringan menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang berilmu tinggi. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian. Seperti kita ketahui, pada saat Bi Lian menjadi pengantin dengan Pek Han Siong, dalam pesta perayaan pernikahan itu muncul Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu yang mendendam karena menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-limsi adalah karena ketua Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, orang tua Bi Lian. Ceng Hok Hwesio menyiksa diri, bertapa sampai mati dan dua orang pendeta aneh ini menyalahkan Siang Koan Cikang dan isterinya, dan mereka datang untuk minta pertanggungan jawab. Terjadilah bentrokan di mana Ban Tok Siansu bertanding melawan Siangkoan Ci Kang yang mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu, akan tetapi Siangkoan Ci Kang juga roboh dan terkena pukulan beracun yang hebat dari Ban Tok Siansu. Hek Tok Siansu membawa jenazah suhengnya dan pergi.



Keluarga Siangkoan menjadi geger Luka yang diderita Siangkoan Ci Kang amat parah, pukulan beracun itu sukar diobati sampai sembuh. Han Siong dan Bi Lian, juga ibu Bi Lian, hanya dapat memberi obat agar racun tidak menjalar saja, akan tetapi tidak mampu menyembuhkan sama sekali. Mereka lalu membagi tugas. Han Siong melakukan pengejaran kepada Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar, sedangkan Bi Lian pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimiliki Hay Hay.

Han Siong telah memberitahu kepadanya bahwa sebaiknya dia mencari Hay Hay ke
Cin-ling-san, karena ketika mereka saling berpisah dahulut Hay Hay pergi bersama Kui Hong. Setidak nya, di Cin-ling-pai tentu Bi Lian akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Hay Hay. Demikianlah, pagi hari itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, Bi Lian mendaki pegunungan Cin-ling-san, sama sekali tidak tahu bahwa baru tiga hari yang lalut Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai melalui lereng yang lain.

Karena pikirannya penuh dengan kekhawatiran akan keadaan ayahnya. Maka Bi Lian melupakan urusannya sendiri. Andaikata ia tidak memikirkan keadaan ayahnya mungkin ia akan berduka sekali. Betapa tidak? Ia baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Han Siong. Peristiwa besar dan penting baginya itu tengah dirayakan dan terjadikan kegegeran itu yang kini membuat ia terpisah dari suaminya! Ia menjadi isteri Han Siong hanya dalam upacara saja, belum menjadi isteri yang sesungguhnya, belum melewatkan malam pengantin! Namun pada saat itu, semua ini tidak ia hiraukan, bahkan tidak diingatnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah pada usaha mencarikan obat untuk menyembuhkan ayahnya.

Keluarga Cia di Cing-ling-pai menyambut kunjungan gadis perkasa ini dengan heran. Akan tetapi ketika Bi Lian memperkenalkan namanya dan ingi mecari Cia Kui Hong atau Tang Hay, mereka pun segera menyambutnya dengan ramah. Dari Kui Hong mereka telah mendengar banyak tentang Siagkoan Bi Lian ini. Ketika Bi Lian mendengar bahwa baru tiga hari Kui Hong turun gunung untuk mencari Hay Hay, ia pun tidak ingin berhenti lama.

"Ke manakah adik Kui Hong mencari Hay Hay?" tanyanya.

"Menurut Kui Hong, ia akan mencarinya ke kota raja." jawab Ceng Sui Cin.

"Kalau begitu, harap Paman dan Bibi memaafkan, saya tidak dapat berhenti lama, saya ingin segera menyusul adik Kui Hong. Saya juga sedang mencari Tang Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimilikinya, untuk mengobati ayah yang terkena pukulan beracun."

Demikianlah, dengan tergesa-gesa Bi Lian berpamit dan pada siang hari itu juga ia menuruni kembali gunung Cia-ling-san untuk mengejar Kui Hong. Ia mengambil jalan ke arah kota raja dan mempergunakan ilmu berlari cepat. Akan tetapi karena Kui Hong juga mempergunakan ilmu berlari cepat, dan Bi Lian sering berhenti untuk bertanya-tanya dan mencari keterangan tentang Kui Hong agar tidak kehilangan jejak, tentu saja Bi Lian tertinggal jauh-jauh. Jarak antara mereka pada permulaan saja sudah tiga hari. Bagaimana juga, keduanya mengambil jalan yang sama, yaitu menuju ke kota raja.

***



Sejak pertama kali melihat Hek Tok Siansu yang diaku guru oleh Liong Ki dan Liong Bi, hati Mayang merasa tidak enak sekali. la dapat menduga bahwa tentu kakek itu lihai bukan main dan jelas bukan guru Liong Ki. Ia tahu benar bahwa guru Liong Ki adalah Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Kalau kedua orang itu mengakui kakek gendut itu sebagai guru dan mengajak mereka ke istana Menteri Cang, tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi di balik perbuatan itu. Ia harus waspada.

Ia menemui Cang Hui dan Teng Cin Nio di kamar mereka dan dengan berbisik-bisik ia memberitahu kepada mereka akan kecurigaanya terhadap kakek gundul yag perutnya gendut itu.

“Aku mengenal guru Liong Ki, maka dengan pengakuannya sebagai guru terhadap kakek itu tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Aku merasa curiga sekali. Adik Hui dan adik Cin, mulai sekarang kalian harus berhati-hati menjaga diri dan bersikap pura-pura tidak menaruh curiga apa pun. Jangan khawatir, aku selalu siap siaga menjaga kalian dan seluruh keluarga Cang."

"Mayang, apakah tidak sebaiknya kalau kuperingatkan ayah agar dia menangkap dan memeriksa mereka?" kata Cang Hui.

Mayang menggeleng kepala. "Tanpa bukti, bagaimana mungkin ayahmu bertindak?
Ayahmu adalah seorang yang bijaksana., tentu tidak mau bertindak tanpa bukti."

"Kalau begitu, akan kuberitahu kepada kakak Sun." kata Cang Hui.

Mayang mengangguk. "Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dia menjadi kaget dan gelisah."

Cang Hui tersenyum melihat Mayang mengkhawatirkan kakaknya. "Ada engkau di sini, apakah dia perlu khawatir?"

Mayang menunduk dan melirik ke arah Cin Nio yang juga menjadi merah mukanya. "Kami semua mengharapkan perlindunganmu, mayang." kata Cin Nio yang merasa salah tingkah. Ia sudah mendengar dari sepupunya bahwa Cang Sun yang dicintanya akan tetapi tidak membalas itu jatuh hati kepada Mayang.

"Kami pun tidak akan tinggal diam, Mayang. Aku dan Cin Nio mulai sekarang akan selalu membawa pedang untuk menjaga diri. Kalau perlu, di waktu mandi atau tidur pun kami akan selalu membawa pedang!" kata Cang Hui bergurau karena ia merasa telah bicara terlalu banyak tadi sehingga menimbulkan suasana yang kikuk kepada dua orang gadis itu.



"Benar, Mayang. Dan kita juga harus berlatih lebih tekun. Gerakan pedang dengan jurus Ular Hitam Menyelam Samudera itu masih belum juga dapat kulakukan dengan baik." kata Cin Nio.

Mayang lalu melatih kedua orang gadis itu di taman bunga belakang kamar mereka. Pada sore hari itu, setelah mandi, Mayang berjalan-jalan di taman bunga seorang diri, melamun. Sesungguhnya ia sudah merasa bosan harus menipu keluarga Cang dengan berpura-pura menjadi sabahat Liong Ki dan Liong Bi. Betapa inginnya untuk membuka rahasia mereka itu kepada keluarga Cang, bahwa yang bernama Liong Ki sebenarnya bernama Sim Ki Liong, sedangkan Liong Bi sama sekali bukan adiknya, melainkan seorang wanita bernama Su Bi Hwa. Atau ia dapat. meninggalkan mereka begitu saja. Namun, di situ ada Cang Hui dan Cin Nio yang disayangnya, dan ada pula…..Can Sun! Berat rasanya meninggalkan mereka. Apalagi, Cang Taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana, bersikap baik dan lembut kepadaya. Bersama keluarga Cang, ia merasa seperti bersama keluarga sendiri. Akan tetapi, cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah lenyap sama sekali. Kini ia semakin yakin bahwa ada hubungan gelap yang memisahkan dan Su Bi Hwa. Ia merasa seperti dipermainkan saja. Kalau dahulu ia merasa iba kepada Ki Liong, mengharapkan dia akan bertaubat dan kembali ke jalan benar, menjadi pendekar, kini harapannya itu lenyap sama sekali. Sim Ki Liong agaknya tidak akan mau kembali ke jalan benar. Teringat ia akan usaha Liong Bi untuk memikat Cang Sun seperti diceritakan Gang Hui, dan ia melihat sendiri betapa Liong Ki berusaha memikat Cang Hui. Seringkali ia termenung memikirkan dua peristiwa mencurigakan itu.

Dan kini ia seperti menyadari apa artinya semua itu.. Agaknya Liong Ki sudah bersekongkol dengan Liong Bi. Jelas bahwa mereka yang sejak pertama sudah menggunakan siasat agar dapat diterima bekerja pada keluarga Cang itu, dengan jalan Liong Ki berkedok menculik Cang Sun lalu muncul Liog Bi menolongnya, kini mempunyai cita-cita yang lebih besar lagi. Agaknya kedua orang itu sengaja hendak memikat putera da puteri Menteri Cang. Kalau mereka dapat menjadi mantu Menteri Cang, berarti kedudukan mereka meningkat dan menjadi kuat! Tidak, mereka tidak boleh berbuat seperti itu. Mereka tidak boleh dibiarkan saja, dan ia yang akan menentang. Kalau memang putera dan puteri Menteri Cang jatuh cinta kepada mereka, tentu saja ia tidak akan mencampuri. Akan tetapi kalau Liong Ki dan Liong Bi mempergunakan daya pikat, dan menggunakan sihir apalagi kekerasan, ia harus melindungi keluarga Cang.

Mayang tenggelam ke dalam lamunan sampai-sampai ia tak menyadari bahwa senja telah lewat, lampu-lampu telah dinyalakan oleh para petugas, bahkan beberapa buah lampu tihang di dalam taman juga sudah dinyalakan. Malam mulai tiba, menyelimuti bumi dengan sayap hitamnya. Makin gelap, semakin asyik pula Mayang melamun, mengenangkan masa lalunya sejak ia kecil sampai sekarang.

Tiba-tiba teguran lembut menyentaknya bangun dari dalam lamunan."Mayang, engkau disini...?"

Ia cepat bangkit dan membalikkan tubuh. Kiranya ia sudah berhadapan dengan penegurnya tadi, yaitu Cang Sun. Wajah Mayang menjadi kemerahan karena lamunannya tadi justeru baru tiba pada diri Cang Sun. Dalam lamunan tadi ia membayangkan semua pengalamannya yang menyangkut perasaan cintanya, pertama kepada Hay Hay yang gagal karena pemuda itu ternyata kakaknya sendiri, ke dua cintanya kepada Sim Ki Liong yang kini pun gagal dan putus karena ternyata pemuda itu tidak berubah menjadi orang baik-baik, dan ke tiga ia sedang melamunkan Cang Sun yang di hormati dan dikagumi walaupun pemuda bangsawan itu tidak pandai silat. Dan tiba-tiba orangnya muncul, seperti menjawab lamunannya saja. Tentu kemunculan tiba-tiba ini membuatnya kaget dan juga tersipu.

"Ah, kiranya Cang-kongcu (tuan muda Cang)………" katanya tersenyum, sudah dapat memulihkan dan menenangkan hatinya.

Melihat gadis itu memberi hormat kemudian hendak melangkah pergi meninggalkannya, Cang Sun berkata lembut. "Mayang, jangan pergi, aku ingin bicara denganmu."

Mayang menahan langkahnya dan memandang kepada pemuda itu dengan mata penuh pertanyaan. Lampu taman yang muram membuat mereka seperti baying-bayang, akan tetapi dalam jarak dekat, mereka dapat saling pandang dengan cukup jelas. Mayang melihat betapa wajah pemuda itu bersungguh-sungguh seolah ada urusan penting sekali yang hendak dibicarakan dengannya.

"Ada urusan apakah, Kongcu?" tanyanya, melangkah maju mendekat.

"Duduklah, Mayang, agar kita dapat bicara dengan santai." Mayang mengangguk, duduk di atas bangku, dan pemuda itu pun duduk di atas bangku lain, berhadapan dengannya dalam jarak tiga meter. Angin malam bersilir sejuk, dan bulan mulai muncul di timur, melumasi puncak-puncak pohon dengan emas.

"Nah, katakan, ada urusan apakah, Cang-kongcu?" tanya pula Mayang, kini jantungnya agak berdebar karena selama ia berada di istana keluarga Menteri Cang, baru sekali ini ia duduk berdua saja dengan pemuda itu.

"Mayang, sebelumnya aku minta maaf kalau apa yang hendak kubicarakan ini tidak berkenan di hatimu, apalagi kalau sampai menyinggungmu. Maukah engkau berjanji sebelumnya bahwa engkau akan memaafkan aku?" ,

Gadis itu terbelalak namun matanya tetap sipit lucu dan mulutnya tersenyum ramah, lalu mengangguk. ."Tentu saja, Kongcu."

"Dan maukah engkau berjanji akan menjawab semua pertanyaanku dengan terus terang, apa adanya?"

Mayang kembali mencoba melebarkan matanya yang sipit. "Aih, ada apa sih, Kongcu? Engkau membuat aku tegang. Tentu saja aku akan menjawab sejujurnya." ,

"Mayang, kemarin aku mendengar dari adikku Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong Ki. Benarkah apa yang dikatakan adikku itu?"



Mayang merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kenapa pemuda ini menanyakan hal itu? Akan tetapi ia sudah berjanji akan menjawab dengan jujur dan .memaafkan kalau tersinggung, maka ia pun mengangguk. "Benar, Kongcu."

Wajah pemuda itu nampak cerah dan bersemangat ketika dia mendengar jawaban ini. "Kalau begitu benar! Sungguh tidak kusangka sama sekali, Mayang. Tadinya aku mengira bahwa engkau benar tunangan dan calon isteri Liong Ki!"

“Kami hanya sahabat, Kongcu. Kami akrab sebagai sahabat.”

“Sekarang pertanyaanku yang ke dua, harap kaujawab dengan. sejujurnya, Mayang. Biarpun kalian tidak bertunangan, akan tetapi apakah kalian saling mencinta? Maksudku, apakah engkau cinta kepada Liong Ki?"

Mayang mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah pemuda itu. “Kongcu, aku sudah berjanji akan memaafkan semua singgungan dan menjawab sejujurnya, akah tetapi setidaknya aku ingin sekali tahu mengapa Kongcu hendak mengetahui rahasia pribadiku, hal-hal yang menyangkut perasaan hatiku? Apa hubungannya semua itu dengan Kongcu?”

“Hubungannya dekat sekali, Mayang. Jawablah dulu sejujurnya, baru nanti akan kujelaskan kepadamu mengapa aku mengajukan semua pertanyaanku ini. Nah, kuulangi pertanyaanku, apakah engkau mencinta Liong Ki?”

Mayang menguatkan perasaan hatinya. “Kongcu minta agar aku menjawab sejujurnya. Kalau aku mengatakan tidak mencintanya, maka jawaban itu bohong, akan tetapi kalau aku mengatakan mencintanya, itu pun tidak benar. Sesungguhnya begini, Kongcu. Pernah aku tertarik dan suka kepadanya, bahkan mencintanya dan mau berkorban untuknya, akan tetapi akhir-akhir ini cintaku terhadap dirinya pudar dan luntur. Nah, itulah jawabanku yang sebenarnya. Saat ini aku tidak berbohong kalau kukatakan bahwa aku tidak cinta lagi kepadanya."

Cang sun mengerutkan alisnya. "ehh? Apakah cinta dapat berubah-ubah, apakah dari cinta akan timbul benci? Mengapa begitu, Mayang? Atau, engkau tidak dapat dan tidak mau memberi penjelasan mengapa cintamu terhadap Liong Ki berubah?"

"Kongcu, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Tadinya aku mengira bahwa dia benar-benar mencinta diriku, akan tetapi setelah aku mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa dia hanya mempunyai cinta nafsu berahi belaka, aku sadar bahwa dia bukanlah pria yang kudambakan menjadi jodohku. Nah, hanya itu yang dapat kukatakan kepadamu, Kongcu, dan semua jawabku itu adalah sejujurnya seperti yang kujanjikan tadi."

sepasang mata pemuda itu bersinar girang mendengar jawaban Mayang, lalu dia berkata. "sekarang datang giliranku untuk menjelaskan mengapa aku ingin mengetahui urusan pribadimu. Begini, Mayang, orang tuaku selalu mendesak aku untuk menikah, akan tetapi aku belum dapat mentaati perintah mereka karena aku belum mendapatkan seorang gadis yang kuanggap cocok untuk menjadi sisihanku, belum ada gadis yang kucinta……. "

" Aku mendengar dari adik Cang Hui, bahwa engkau amat mencinta enci Cia Kui Hong, Kongcu." Mayang memotong.

Cang Sun tidak terkejut atau heran mendengar ini. Dari Cang Hui ia sudah tahu bahwa pergaulan antara adiknya dan Mayang amatlah eratnya sehingga mungkin saja Cang Hui menceritakan segala tentang dirinya. "Memang benar, Mayang. Akan tetapi seperti kau katakan tadi, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Aku mencintanya, akan tetapi ia tidak membalas cintaku, dan dengan terus terang ia mengakui bahwa ia mencinta pemuda lain. Aku memaklumi dan mencoba untuk melupakannya, akan tetapi sia-sia belaka. Setiap kali ayah ibu hendak menjodohkan aku dengan seorang gadis, aku selalu menolak karena aku teringat kepada Kui Hong, walaupun aku sudah tidak mengharapkannya lagi. Kemudian muncullah engkau, Mayang. Aku seolah melihat Kui Hong dalam dirimu, seolah menemukan pengganti Kui Hong. Aku langsung jatuh cinta padamu, Mayang. Akan tetapi, ketika aku mendengar bahwa engkau adalah tunangan Liong Ki, tentu saja aku mundur dengan penuh kekecewaan dan kepahitan. Kemudian, kemarin aku mendengar dari Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong Ki, maka hidup kembali semangat dan harapanku, Mayang, dan aku sengaja menemuimu untuk bicara sejujurnya. Mayang, aku cinta padamu. Mungkinkah hatiku dan hatimu yang keduanya menjadi korban cinta yang gagal, dapat dipersatukan, kita saling menghibur, saling mengobati dan saling mengisi?"

Mayang tertegun, mukanya menunduk, jantungnya berdebar. Tidak disangkanya sama
sekali bahwa Cang Sun akan membuat pengakuan cinta yang demikian terbuka dan jujur. Di dasar hatinya, ia merasa bangga dan senang karena ia sendiri memang mengagumi pemuda ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia dapat membalas cinta Cang Sun? Banyak hal mengenai dirinya yang tidak diketahui pemuda bangsawan itu. Pertama, ia adalah anak Ang-hong-cu, seorang penjahat besar yang amat terkenal. Ke dua, ia hidup sebatangkara, seorang gadis miskin dengan seorang ibu yang janda dan tinggal jauh di puncak Awan Kelabu, di pegunungan Ning-jing-san dekat perbatasan Tibet. Dan yang ke tiga, ini merupakan hal yang paling gawat, ia memasuki istana keluarga Menteri Cang secara yang curang dan rendah, betapa Liong Ki dan tiong Bi bersiasat menolong Cang Sun sehingga mereka diterima bekerja di situ dan ia terbawa masuk. Semua ini harus ia ceritakan kepada cang Sun! Sebelum pemuda itu mengetahui segala hal ini dan mau memaafkannya, bagaimana mungkin ia berani menerima uluran cintanya?

"Mayang, kenapa engkau diam saja dan hanya menunduk? Pandanglah aku, jawablah. Aku telah bersikap sejujurnya kepadamu, dan kuharap engkau pun bersikap jujur. Aku telah siap andaikata aku harus menderita gagal cinta untuk ke dua dan terakhir kali. Kalau engkau memang tidak ada perasaan cinta kepadaku, dan tidak dapat menerima cintaku, katakan saja terus terang, aku tidak akan menyalahkanmu. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan berilmu tinggi sedangkan aku hanya seorang pemuda yang lemah……."

“Kongcu, jangan berkata demikian.” Mayang memotong cepat, mengangkat muka dan memandang dan suaranya agak gemetar, "biarpun engkau seorang pemuda sastrawan yang tidak pernah belajar ilmu silat, namun aku kagum kepadamu, aku menghormatimu dan aku suka padamu." Akan tetapi tentang cinta, bagaimana seorang gadis seperti aku ini berani……….? Bagaikan seekor burung gagak dengan seekor burung dewata. Kongcu, berilah aku waktu beberapa hari. Pernyataan Kongcu ini terlalu tiba-tiba bagiku, tak tersangka-sangka, membuat aku bingung………”



Cang Sun mengangguk dan tersenyum, lalu bangkit berdiri. "Baiklah, Mayang. Aku juga mengerti bahwa sebagai seorang gadis, tidaklah semudah itu mengaku tentang cinta. Pergunakan waktumu untuk berpikir dan mengambil keputusan, aku tidak tergesa-gesa. Dan kalau engkau merasa sungkan untuk menyampaikannya kepadaku, boleh kau sampaikan lewat adikku Hui-moi, karena engkau lebih akrab dengannya. Nah, aku harus pergi sekarang. Tidak baik bagimu kalau terlihat orang lain kita berdua saja di sini.”

Pemuda itu meninggalkan taman dan Mayang mengikuti langkahnya yang tegap dari belakang. Jantungnya berdebar keras. Dia mencintaku! Cang Sun mencintaku! Demikian hati itu bersorak. Akan tetapi, ia merasa rendah diri, juga merasa khawatir sekali. Bagaimana kalau kelak Cang Sun mengetahui siapa dirinya lalu memutuskan cintanya? Mengapa tidak tadi saja ia berterus terang? Akan tetapi, sekali berterus terang, ia harus membongkar semua rahasia Liong Kicdan Liong Bi dan tentu terjadi kegemparan. Dan rasanya terlalu berat baginya kalau perasaan bahagia karena pengakuan cinta Cang Sun ini dihancurkan oleh kenyataan tentang dirinya yang membuat Cang Sun menjauhkan diri. Mengerikan kalau sampai terjadi demikian. Biarlah untuk sementara waktu ini ia menikmati perasaan ini, perasaan bahwa ia dicinta oleh Cang Sun, pemuda yang diam-diam dikaguminya itu.

Malam itu di kamarnya Mayang tak dapat tidur pulas sampai jauh malam, hanya rebah telentang sambil melamun. Setelah akhirnya ia pulas, ia bermimpi indah, bersama Cang Sun ia berlayar mengarungi samudera luas, berdua saja dan segala kebahagiaan menyelimuti mereka berdua.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Menteri Cang memanggil Liong Ki, Liong Bi dan juga Mayang menghadap. “Kami hari ini akan melaksanakan tugas perjalanan ke utara yang akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Oleh karena itu, keselamatan keluarga kami di sini kami serahkan perlindungannya kepada kalian bertiga.” Demikian, pesan pembesar itu yang di sanggupi oleh tiga orang pembantunya.

Kepergian Menteri Cang membuat Mayang lebih Waspada mengamati gerak-gerik Liong Ki dan Liong Bi, juga Hek Tok Siansu yang tinggal di kamar Liong Ki. Akan tetapi mereka bertiga itu tidak memperlihatkan sikap mencurigakan sehingga hatinya merasa lega. Ia pun memesan kepada Cang Hui dan Cin Nio untuk berhati-hati menjaga diri.

Mayang belum berani menceritakan kepada Cang Hui akan pernyataan Cang Sun kepadanya. Apalagi Cin Nio. Ia bahkan merasa kasihan sekali kepada Cin Nio. Cang Hui pernah bercerita kepadanya betapa Cin Nio mencinta Cang Sun dan mengharapkan menjadi jodoh Cang Sun seperti yang di harapkan orang tua pemuda itu, namun Cang Sun tidak membalas cintanya. Cinta Cang Sun tadinya hanya pada Cia Kui Hong, namun kemudian berpindah kepadanya karena Kui Hong tidak membalas perasaannya itu. Cin Nio adalah seorang gadis yang baik, dan Mayang merasa kasihan, tidak sampai hati untuk menceritakan tentang Cang Sun.

Malam itu adalah malam keempat semenjak Menteri Cang meninggalkan istananya. Cang Hui dan Cin Nio mengundang Mayang untuk makan malam di kamar mereka. Dua orang gadis bangsawan ini memang tidur sekamar, sebuah kamar besar dengan dua buah tempat tidur mereka. Makan malam di hidangkan di kamar itu oleh para pelayan yang di pimpin oleh Pek Lan, seorang pelayan kepercayaan Cang Hui.

Tiga orang gadis itu makan minum dengan gembira di dalam kamar itu, di layani oleh Pek Lan yang menuangkan anggur dalam cawan mereka. Karena beberapa malam mereka kurang tidur, mereka merasa letih dan kini mereka menghibur diri dengan minum anggur yang keras namun lembut.

Setelah makan dan minum beberapa cawan anggur, pipi mereka menjadi kemerahan dan sikap mereka pun lebih lincah.

“Mayang, mari kau terima pemberian selamat dariku dengan secawan anggur!” kata Cang Hui sambil memberi isyarat kepada Pek Lan yang dengan sigap sudah mengisi, kembali cawan mereka dengan anggur dari sebuah guci arak.

“Aih, adik Hui, pemberian selamat untuk apa?” tanya Mayang, tersenyum akan tetapi memandang heran.

Cang Hui yang sudah dipengaruhi hawa minuman keras tertawa. "Hi-hik, ini namanya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Mayang, aku sudah mendengar semua dari Sun-ko tentang kalian, hi-hik."

Panas rasa kedua pipi Mayang mendengar ini dan ia pun mengerling ke arah Cin Nio dan mencela, "Ih, adik Hui kenapa bicara urusan itu…..” Ia merasa tidak enak sekali terhadap Cin Nio. Ia mengerling dan melihat betapa Cin Nio tersipu, akan tetapi gadis itu dengan gagah mengangkat cawan araknya dan berkata.

"Mayang, aku pun merasa senang sekali mendengar itu dan aku pun ingin mengucapkan selamat!"

Akan tetapi Mayang menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Terima kasih atas kebaikan kalian, akan tetapi sungguh aku sendiri belum dapat mengambil keputusan dalam hal itu. Nah, mari kita minum untuk kesehatan kita bertiga!"

Setelah makan selesai, mereka minum banyak dan Mayang kelihatan lelah dan mengantuk sekali. Beberapa kali ia harus menyembunyikan kantuknya dan menguap di balik telapak tangan.

“Mayang, kalau engkau mengantuk sekali, rebahlah dulu di pembaringanku.” kata Cin Nio. Mayang bangkit.

“Sebaiknya aku kembali ke kamarku saja…..” Akan tetapi ketika ia bangkit berdiri, tubuhnya terhuyung dan cepat Cin Nio merangkulnya dan membimbingnya ke pembaringannya.

"Engkau kelihatan pusing, tidurlah dulu di sini." Mayang tidak membantah karena memang ia merasa betapa kepalanya berat dan matanya sukar dibuka lagi, demikian hebat rasa kantuk menguasainya. Begitu ia merebahkan diri, tanpa membuka sepatu dan baju luar, ia pun sudah tidur pulas!



Cin Nio dan Cang Hui saling pandang. Mereka juga merasa lelah dan mengantuk, dan mereka juga tadi minum banyak anggur. Akan tetapi, mereka tidaklah selelah Mayang. Mereka lalu memerintahkan Pek Lan memanggil pembantu dan membersihkan meja makan. Setelah para pelayan pergi, Cang Hui berkata, "Kasihan sekali Mayang, tentu ia selama beberapa hari dan malam ini tidak pernah mengaso dan kini tertidur saking kelelahan." .

"Sebaiknya biarkan ia tidur di tempatku malam ini, dan aku yang tidur di kamarnya. Kasihan kalau ia harus dibangunkan dan disuruh pindah kamar." Kata Cin Nio dan Cang Hui mengangguk setuju. Cin Nio membawa pedangnya dan ia pun meninggalkan kamar besar menuju ke kamar Mayang di sebelah belakang. Ia membuka pintu kamar yang hanya dirapatkan saja, mengunci pintu dan memeriksa keadaan dalam kamar, kemudian ia melepaskan sepatu dan pakaian luar, meniup padam lampu penerangang dan merebahkan diri di tempat tidur Mayang karena ia pun merasa lelah dan mengantuk akibat nimum anggur terlalu banyak. Pedangnya ia letakkan di bawah bantal untuk bersiapan.

Jauh lewat tengah malam, sesosok bayangan hitam yang mukanya tertutup kain hitam, menyelinap ke kamar Mayang, dengan mudah mencokel daun jendela dan bayangan itu menyelinap masuk, menutupkan kembali daun jendela. Gerakannya demikian gesit dan ringan, dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam kamar itu sejak dia menyelinap masuk sehingga para petugas yang melakukan ronda malam tidak melihat atau mendengar sesuatu. Menjelang pagi, daun pintu kamar itu dibuka dari dalam, bayangan hitam itu menyelinap keluar dan beberapa kali loncatan saja dia pun setelah tadi menutupkan kembali daun pintu kamar. Kini, kalau ada orang menempelkan telinganya di daun pintu, tentu dia akan mendengar lapat-lapat suara orang menangis sesenggukkan dari dalam kamar itu.

Mayang membuka matanya, terkejut dan heran melihat dirinya rebah di atas pembaringan dalam kamar Cang Hui dan Cin Nio. Cepat ia bangkit duduk dan melihat Cang Hui juga agaknya baru saja terbangun, ia meloncat turun dan menghampiri pembaringan gadis itu.

"Apa yang terjadi? Kenapa aku tidur di sini?" tanyanya sambil menekan-nekan kedua pelipis kepalanya karena masih terasa agak pening.

"Tidak apa-apa, Mayang. Hanya semalam engkau terlalu lelah atau terlalu banyak minum sehingga ketika rebahan di situ engkau terus pulas dan kami biarkan sampai pagi ini."

Hemm, tidak mungkin ia tertidur pulas karena kelelahan atau hanya karena minum anggur! Mayang menjadi curiga sekali dan menoleh ke kanan kiri. "Mana adik Cin Nio?" tanyanya.

“Melihat engkau pulas di pembaringannya, ia tidak tega untuk menggugahmu, dan ia memhiarkan engkau tidur di pembaringannya, sedangkan ia sendiri pergi tidur di kamarnya.”

Mayang terbelalak, mukanya berubah pucat. Ia sudah curiga. Tidak mungkin rasanya ia mahuk hanya karena minum anggur, juga tidak mungkin ia sedemikian lelahnya sampai tidur semalam suntuk tanpa bangun sebentarpun. Pasti ada hal yang tidak beres, pikirnya. Dan kini Cin Nio tidur di kamarnya!

"Celaka…..!" katanya dan sekali berkelebat ia sudah berlari keluar dari kamar itu, menuju ke kamarnya. Hari masih pagi sekali, lampu-lampu penerangan masih belum dipadamkan karena di luar masih gelap. Ia tiba di depan kamarnya dan membuka daun pintu yang ternyata tidak terkunci dari dalam. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kamar itu gelap, remang-remang saja mendapat penerangan dari lampu luar kamar. Mayang menahan jeritnya ketika ia melihat tubuh yang tergantung di sudut kamar. Tubuh Cin Nio! Lehernya terikat kain ikat pinggang dan tubuh itu tergantung dari tihang. Sekali melompat, Mayang sudah menyambar pedang Cin Nio yang berada di atas pembaringan, lalu melompat ke atas tangan kanan memondong tubuh yang tergantung, tangan kiri membabat ikat pinggang di atas kepala gadis itu. Ia melompat turun lagi sambil memondong tubuh yang masih hangat itu.

Ketika ia merebahkan tubuh itu dan melepaskan ikatan pada leher, hatinya terasa lega. Biarpun tinggal satu-satu, Cin Nio masih bernapas! Cepat ia mengurut sekitar leher gadis itu, perlahan-lahan dan menotok beberapa jalan darah di tengkuk dan kedua pundak. Gadis itu kini teregah-engah dan pernapasannya mulai pulih. Mayang membuka daun jendela sehingga lampu yang tergantung di luar jendela menyorot ke dalam kamar. Mayang kembali menghampiri Cin Nio yang sudah siuman. Gadis ini membuka matanya dan melihat Mayang duduk di tepi pembaringan ia menangis terisak-isak.

Mayang sudah melihat keadaan gadis itu. Pakaiannya tidak karuan, hampir telanjang dan di atas tilam kasur yang putih bersih nampak noda darah. Biarpun ia masih gadis, namun Mayang sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri gadis itu. Cin Nio telah diperkosa orang! Dan yang lebih jelas lagi, ada orang memasuki kamarnya dengan maksud memperkosa dirinya, akan tetapi yang menjadi korban bukan dirinya, melainkan Cin Nio yang kebetulan bertukar tempat tidur dengannya!

" Adik Cin, siapa yang melakukannya ? Katakan, siapa yang melakukan ini kepadamu?" tanyanya lirih.

Tangis Cin Nio semakin menjadi-jadi, dan Mayang memeluknya, berbisik di dekat telinganya, "Adik Cin, demi Tuhan, aku yang akan membalaskan penghinaan ini, aku bersumpah! Jahanam itu sebenarnya mengarah diriku, akan tetapi engkau menjadi korban. Sekarang hentikan tangismu, urusan ini hanya diketahui oleh kita berdua saja. Aku berjanji akan menutup rahasia ini, bahkan adik Hui juga tidak perlu tahu. Nah jangan menangis lagi, cepat bereskan pakaianmu, aku akan membersihkan pembaringan."

Cin Nio maklum bahwa itulah jalan satu-satunya kecuali kalau ia membunuh diri. Biarpun ia mati membunuh diri sekali pun, dirinya tidak akan menjadi bersih, bahkan dengan membunuh diri, maka semua orang tentu akan dapat menduga apa yang telah terjadi dan ia akan dibicarakan orang, namanya akan tercemar. Ia harus mencuci aib ini dengan darah orang yang telah menodainya, sementara itu, ia menanggung aib dengan diam-diam tak diketahui orang lain kecuali Mayang, gadis yang berjanji hendak membalas dendam ini. Maka, ia lalu menghentikan tangisnya, masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, merapikan kembali pakaiannya sedangkan Mayang cepat membersihkan tempat tidur, dan menghilangkan bekas-bekas yang dapat mencurigakan hati orang lain.



Ketika Cang Hui tiba di situ dan mengetuk pintu kamar, semua telah beres dan Cang Hui disambut oleh Mayang dan Cin Nio yang sudah dalam keadaan rapi.

"Apakah yang telah terjadi? Cin Nio, kenapa engkau kelihatan pucat?” Cang Hui segera menegur.

"Ah, tidak ada apa-apa, adik Hui. Tadi aku hanya salah duga. Karena terbangun di kamarmu, aku menduga telah terjadi hal-hal yang mencurigakan. Dan aku menggedir kamar ini sehingga adik Cin terkejut disangkanya terjadi hal-hal yang hebat. "

“Benar aku kaget oleh kedatangan Mayang secara mendadak di pagi buta," kata Cin Nio yang sudah dapat bersikap wajar.

Ketika mendapat kesempatan bicara empat mata dengan Cin Nio, Mayang minta keterangan dari gadis itu. "Sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi, dan siapa yang telah melakukan perbuatan terkutuk itu, adik Cin."

"Kamar itu gelap, aku terbangun dan tak mampu bergerak. Aku hampir pingsan karena menderita penghinaan itu, Mayang. Aku tidak dapat melihat muka orang itu, selain gelap juga mukanya tertutup kain hitam. Dia pun tidak mengeluarkan kata-kata apa pun. Aku sendiri tidak dapat mengeluarkan suara karena tertotok. Kemudian…. Kemudian….. dia membuka daun pintu dan menyelinap keluar, seperti iblis saja gerakannya, cepat sekali, dan setelah aku mampu terbebas dari totokan, aku lalu lalu…..lalu….” Cin Nio menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Ssttt, tenangkan hatimu, enci Cin. Ingat, engkau harus dapat menyimpan rahasia dan kuatkan hatimu. Sekarang ini pikiranmu harus selalu dipusatkan untuk membalas dendam kepada orang itu sehingga tidak kau bayangkan lagi peristiwa itu, tidak membayangkan kehancuran hatimu. Untung aku datang tidak terlambat. Kalau terlambat, tentu semua orang akan mengetahui. Percayalah, engkau menjadi korban karena diriku, maka aku bersumpah untuk membalaskan dendammu ini, adik Cin.

"Terima kasih, Mayang, akan tetapi kalau bisa….aku….aku ingin membununya dengan kedua tanganku sendiri!" Cin Nio meraba gagang pedang dan matanya mengeluarkan sinar penuh dendam.

Mayang mengangguk. "Mudah-mudahan aku akan dapat menangkapnya. Akan tetapi, satu hal yang ingin aku mendapat penjelasan darimu. Yakin benarkah engkau bahwa jahanam itu bukan seorang yang berperut gendut?"

Cin Nio menundukkan mukanya yang berubah merah padam lalu pucat, dan ia menggelehg kepalanya, tidak tahu mengapa Mayang bertanya demikian, dan ia pun malu untuk bertanya. Mayang mengangguk-angguk lagi dan mengepal tinju. Biarpun tadinya ia ragu-ragu, namun kini ia merasa bahwa tidak ada orang lain lagi yang patut dicurigai kecuali Sim Ki Liong atau Liong Ki! Bukankah Liong Ki pernah mencoba untuk merayunya, mengajaknya berbuat mesum? Dan pemuda itu memang pernah menjadi seorang sesat dan jahat! Kini agaknya dia bukan bertaubat dan kembali ke jalan benar, melainkan kumat kembali. Biarpun belum ada bukti kuat, namun ia akan menyelidiki sampai tuntas! Tadinya timbul juga persangkaannya bahwa kakek gendut gundul yang diaku sebagai guru oleh Ki Liong itu yang melakukannya, namun keyakinan Cin Nio bahwa pemerkosanya itu tidak gendut, membuat dugaannya kembali kepada Liong Ki. Akan tetapi, tentu saja tanpa bukti ia tidak mungkin dapat menuduh pemuda itu begitu saja, dan bagaimanapun juga, tentu Liong Ki akan menyangkal. Lalu tiba-tiba matanya bersinar-sinar! Di kamarnya itu gelap, dan selain si pemerkosa, juga Cin Nio yang tertotok tidak pernah dapat mengeluarkan suara. Besar sekali kemungkinannya, si pemerkosa pun tidak tahu bahwa yang diperkosa bukan ia melainkan Cin Nio! Ia harus dapat mempergunakan akal untuk memancing, bersikap seolah-olah ia yang diperkosa dan ia menerima perlakuan ini sebagai hal yang telah terlanjur! Ia akan pura-pura menuntut pertanggungan jawab, hanya untuk memancing pengakuan Liong Ki bahwa dialah pemerkosa itu.

"Adik Cin, harap kau tenangkan hatimu. Aku pasti tidak akan mau sudah sebelum jahanam itu dapat kutangkap dan kuseret di depan kakimu. Hanya saja, hal ini harus dilakukan dengan diam-diam, tidak menimbulkan keributan agar rahasia ini jangan sampai bocor. Kau setuju, bukan?"

Cin Nio mengangguk pasrah. Dalam, keadaan seperti itu, hanya Mayang satu-satunya orang yang dipercayanya, satu-satunya orang yang dapat diharapkannya.

***



Mayang tidak memberitahukan dugaannya itu kepada Cin Nio. Hal itu bahkan akan berbahaya sekali. Ia belum mempunyai bukti, dan kalau sampai Cin Nio mendengar kemudian langsung nekat menyerang Liong Ki, tentu siasatnya akan gagal. Liong Ki akan menyangkal dan tidak ada bukti atau saksi yang akan dapat membuka rahasianya. Juga tidak mungkin dapat memancing pengakuan Liong Ki di dalam istana itu. Kalau sampai terjadi keributan, tentu semua orang akan mengetahuinya.

Besok pagi-pagi ia kan mengajak Liong Ki keluar kota dan bicara di tempat sunyi, memancing pengakuan Liong Ki sebagai pemerkosa malam itu. Hatinya diliputi penuh ketegangan. Bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Liong Ki memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau ia hanya nekat mengandalkan kepandaiannya, sukarlah mengalahkan pemuda itu. Apalagi kalau ada Liong Bi yang membantunya, lebih-lebih lagi kakek gendut yang diakuinya sebagai guru itu. Ia harus berhati-hati. Kalau terpaksa, ia akan nekat mengamuk, kalau perlu berkorban nyawa.

Karena gelisah membayangkan percakapannya dengan Liong Ki esok hari malam itu Mayang merasa tegang dan untuk rnenghilangkan ketegangan hatinya, ia pun memasuki taman mencari angin dan udara segar. Belum lama ia berada di situ, ia mendengar langkah kaki dan muncullah Cang Sun! Agaknya pemuda ini memang hendak memberi waktu kepadanya utuk berpikirdan mengambil keputusan. Buktinya sejak pengakuan cintanya itu, sepekan telah lewat dan Cang Sun tidak pernah menemuinya, seolah pemuda itu sengaja bersembunyi saja untuk memberi kesempatan kepadanya untuk berpikir. .

"Mayang…..”



“Oh, Kongcu….. !" Mayang berkata, agak gugup karena tadi ia sedang melamun dengan hati yang tegang. "Silakan, Kongcu….." katanya sambil bangkit berdiri, dengan tangannya mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku.

“Mayang, sudah cukupkah waktu yang kuberikan kepadamu untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan? Aku selalu menanti jawabanmu, Mayang."

Mayang menunduk. Ah, andaikata tidak terjadi peristiwa malapetaka yang menimpa diri Cin Nio, agaknya tidak akan sukar baginya untuk menjawab. Kini ia sudah tahu dari sikap Cin Nio bahwa gadis itu merelakan ia menerima cinta kasih Cang Sun seperti yang dilihat dan didengar ketika ia dan kedua orang gadis bangsawan itu makan bersama malam itu. Akan tetapi kini hatinya sedang risau, dan ia merasa bahwa bukan saatnya yang baik untuk bicara tentang cinta. Kasihan Cin Nio yang menjadi korban karena dirinya! Dan Cin Nio juga tahu akan hal itu, bahwa karena ia tidur di kamar Mayang maka malapetaka itu menimpa dirinya. Dan gadis itu sepatah kata pun tidak pernah mengeluarkan penyesalan kepadanya. Ia merasa seperti berhutang budi kepada Cin Nio. Kalau saja Cin Nio tidak kasihan melihatnya dan membiarkan ia tidur di pembaringan gadis itu, kemudian Cin Nio yang mengalah dan tidur di kamarnya, tentu tidak akan terjadi malapetaka itu menimpa dirinya.

"Kongcu, aku masih bingung sekali. Pernyataan Kongcu itu merupakan hal yang terlalu besar bagiku, sehingga bingung aku menghadapinya, sukar untuk mengambil keputusan."

Cang Sun, mengerutkan alisnya. “Mayang, aku telah bersikap jujur dan aku hanya mengharapkan kejujuranmu pula. Andaikata engkau tidak mempunyai perasaan sayang sedikit pun kepadaku dan karenanya tidak dapat membalas cintaku, katakan saja terus terang. AKu tidak akan marah, tidak akan menyesal kepadamu, hanya menyesali diri sendiri yang tiada untung. Aku, tidak ingin engkau membalas cintaku hanya karena merasa berhutang budi, atau hanya karena kasihan. Sungguh, Mayang, aku menghendaki kejujuran dalam urusan cinta, karena hal ini menyangkut sisa kehidupan kita sampai akhir hayat.”

Mayang merasa terharu. Pemuda ini memang hebat. Biarpun tidak pernah mau mempelajari ilmu silat, namun bijaksana dan wawasannya jauh dan mendalam, dan ia merasa yakin bahwa pemuda seperti ini akan menjadi suami yang baik, men,jadi ayah yang bijaksana.

“Sama sekali tidak, Kongcu. Aku tidak akan bersikap tidak jujur dalam hal ini, akan tetapi, terus terang saja, aku sedang menghadapi persoalan yang amat sulit dan yang tak dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, bahkan kepadamu pun belum saatnya kuceritakan. Percayalah kepadaku, Kongcu. Aku menanggapi pernyataanmu itu dengan setulus hatiku, dan sudah pasti akan tiba saatnya aku akan memberi jawaban keputusanku. Harap Kongcu bersabar sampai beberapa lama lagi. Aku harap Kongcu yakin bahwa aku tidak mempermainkan Kongcu, aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Maukah Kongcu memberi waktu lagi kepadaku dan sebelum aku memberi jawabanku, Kongcu tidak akan bertanya sesuatu?” .

"Hemm, sampai kapan, Mayang? Sampai berapa lamanya? Aku seorang manusia biasa, dan menunggu merupakan pekerjaan yang amat berat."

"Maafkan aku, Kongcu. Tunggulah sampai aku menyelesaikan urusan pribadiku, mudah-mudahan tidak lama lagi. Kelak kalau sudah tiba saatnya aku memberi jawaban, semua persoalan ini akan kujelaskan kepadamu dan aku yakin bahwa engkau akan membenarkan sikapku sekarang ini, Kongcu."

Cang Sun tersenyum. "Mayang, setidaknya, aku merasa terhibur dengan penguluran waktumu ini. Andaikata engkau menolak, sudah pasti engkau tidak akan mengulur waktu. Ini aku yakin. Jadi, dengan mengulur waktu, berarti aku mempunyai harapan. Begitu, bukan?"

Wajah Mayang berubah kemerahan dan ia pun tersenyum, lalu mengangguk. "Mudah-mudahan begitu, Kongcu."

“Ha-ha, wajahmu menjadi merah seperti bunga mawar tersinar matahari pagi! Biarlah, aku tidak akan membuat engkau merasa canggung, Mayang, dan tidak akan mengganggumu lagi. Aku berjanji bahwa selama engkau belum memberikan sendiri jawabanmu kepadaku, aku tidak akan mengganggumu lagi dengan pertanyaan dan desakanku. selamat malam, Mayang."

"Selamat malam, Cang-kongcu."

Setelah Cang Sun meninggalkannya, Mayang semakin termenung. Bermacam pikiran menggeluti pikirannya, membuat ia merasa pusing. Jelas ia akan merasa berbahagia kalau sampai dipersunting Cang Sun sebagai isterinya. Betapa akan mudahnya mencintai seorang pemuda seperti itu. Memang sejak pertama kali bertemu, ia sudah merasa suka dan kagum, dan dua perasaan itu mempunyai garis lurus menuju ke arah cinta kasih. Apalagi dengan adanya ulah sim Ki Liong, pemuda yang tadinya telah menjatuhkan hatinya. Kekecewaan dan penyesalan hatinya melihat ulah sim Ki Liong seolah kini hilang nyerinya, terobati oleh kasih sayang Cang Sun, walah hanya baru dapat ia nikmati melalui pandang mata pemuda itu, melalui tutur katanya dan pengakuan cintanya. sebetulnya, ia merasa berbahagia sekali. Baru saja kehilangan cintanya yang dikecewakan oleh Sim Ki Liong, ia telah memperoleh penggantinya yang jauh lebih baik. Dah betapa menyedihkan nasib Cin Nio. Baru saja Cin Nio mengalami patah hati karena cintanya ditolak oleh Cang Sun, kini tertimpa malapetaka yang hampir saja membuat ia membunuh diri. Mayang menghela napas panjang dan melamun di dalam taman itu sampai malam.

Entah berapa jam ia berada di taman itu, melamun dan memandang bulan sepotong yang sudah keluar dan cukup tinggi, membuat suasana di taman itu indah sekali.Akhirnya dengan malas-malasan ia bangkit berdiri untuk kembali kekamarnya. Akan tetapi, ketika ia berjalan perlahan-lahan menyelinap di antara pohon-pohon bunga, tiba-tiba ia melihat dua bayangan hitam berkelebat di luar taman. Sesosok bayangan lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio, sedangkan sesosok lagi lari menuju ke kamar Cang Sun. Berdebar rasa jantung Mayang melihat.bayangan-bayangan itu. Tentu keselamatan Cang Sun dan dua orang gadis itu terancam!



Sejenak hati Mayang menjadi bimbang. Siapa yang harus ditolongnya lebih dahulu? Akan tetapi dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba saja menyelinap akan yang dianggapnya amat baik untuk menggagalkan niat buruk dua sosok bayangan itu. Ia lari ke gudang penyimpanan jerami untuk ransum kuda dekat kandang kuda dan dibakarnya setumpuk jerami yang berada di luar gudang. Karena jerami itu sudah kering benar, sebentar saja api berkobar.

"Kebakaran……!Kebakaran……!!” Mayang berteriak-teriak sambil memukuli canang tanda bahaya yang tergantung dekat kandang. Sebentar saja gegerlah ketika semua orang berlarian keluar.

Mayang sendiri sudah cepat berlari, pertama-tama ia lari menuju ke kamar Cang Hui dan Cin Nio karena ia amat mengkhawatirkan nasib dua orang gadis itu. Ia masih sempat melihat sesosok bayangan hitam melompat keluar melalui jendela kamar itu. Ia mencoba untuk mengejar, namun bayangan itu dengan gesitnya sudah menghilang di balik wuwungan rumah. Ia melompat memasuki kamar dan cepat menutup hidungnya karena tercium bau harum yang aneh. Tahulah ia bahwa kamar itu telah dipenuhi asap pembius! Ia menyambar selimut, dikebut-kebutkan selimut itu mengusir asap dan membuka pintu kamar. Asap itu pun cepat terbang pergi melalui lubang jendela dan pintu. Ketika ia menghampiri dua orang gadis itu, ia melihat mereka sudah tidur pulas atau pingsan, tentu terpengaruh asap pembius yang harum seperti dupa itu.

Ketika ia teringat akan Cang Sun, ia pun cepat meloncat keluar lagi dan lari ke kamar pemuda itu. Ia menarik napas lega melihat pemuda itu tertidur sambil duduk di kursinya, meletakkan kepala di atas meja. Agaknya pemuda itu tadi belum tidur ketika bayangan hitam meniupkan asap pembius ke kamarnya sehingga ia tertidur di atas kursinya. Seperti juga di kamar dua orang gadis tadi, Mayang mengusir asap melalui jendela dan pintu kamar.

Beberapa orang pengawal muncul dan merasa, terbatuk-batuk ketika hendak memasuki kamar. Melihat Mayang mengebut-ngebutkan selimut mengusir asap yang baunya harum menyesakkan dada, mereka bertanya apa yang telah terjadi.

"Lihiap, apakah yang terjadi?" .

"Entah, ada kebakaran dan rupanya ada penjahat masuk melepas asap beracun untuk membius Cang-kongcu."

Tiba-tiba muncul Liong Ki dan Liong Bi. Mereka kelihatan kaget dan tegang, dan ketika melihat Mayang di luar kamar Cang Sun, Liong Ki berkata, "Wah, di kamar nona Cang Hui dan nona Teng Cin Nio juga penuh asap, tapi sudah kubersihkan bersama para pengawal."

Liong Bi juga berkata, " Api yang membakar gudang sudah dapat kami padamkan. Apa yang terjadi di sini, Mayang?”

Mayang pura-pura bersikap biasa saja walaupun di dalam hatinya, keras dugaannya bahwa dua sosok bayangan hitam yang tadi memasuki kamar Cang Sun dan kamar dua orang gadis itu adalah dua orang yang kini bicara dengan sikap seperti orang yang ikut berjasa itu.

"Hemm, rupanya ada dua orang maling hina yang mencoba untuk mencuri barang berharga di kamar Cang-kongcu dan kamar kedua orang nona itu,” kata Mayang sambil memandang kepada mereka.

"Heran sekali, bagaimana gudang itu dapat terbakar tanpa ada yang mengetahuinya," kata Liong Bi. "Penjaga hanya mendengar suara gaduh dan melihat bahwa jerami di luar gudang itu sudah terbakar besar."

“Kalau begitu, tentu ada orang ketiga yang membakarnya." kata pula Mayang, tentu saja ia tahu benar karena yang membakarnya adalah ia sendiri. Bagaimanapun juga, hatinya lega bahwa siasatnya itu telah menyelamatkan Cang Sun, Cang Hui dan Cin Nio. Kalau ia tidak melakukan siasat membakar jerami itu, bagaimana mungkin ia melindungi ketiganya.

"Omitohud…….apakah yang terjadi sampai ribut begini?" terdengar suara orang dan nampak Hek Tok Siansu menghampiri mereka, dan kakek gendut ini menggosok-gosok matanya seolah baru bangun dari tidurnya. Mayang memandang kepada kakek itu dan sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, ia dapat melihat betapa kulit yang hitam kehijauan itu tidak wajar, dan ia dapat menduga bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu sesat yang amat berbahaya.

"Ada tiga penjahat besar menyusup masuk ke dalam istana keluarga Cang ini," kata Mayang sambil menatap tajam wajah kakek itu.

"Omitohud ..., mana penjahatnya yang begitu berani…..?"

“Kalau kita baru terbangun setelah semua selesai, tentu para penjahatnya telah lama menyingkir," kata Mayang dengan suara mengejek. Kemudian, setelah menyuruh seorang pengawal yang dipercayanya membangunkan Cang-kongcu dan memberi keterangan apa yang telah terjadi, Mayang menghampiri Liong Ki yang berdiri agak menyendiri, kemudian ia berbisik, "Besok pagi jam delapan aku menunggumu di danau. Aku 1ngin bicara urusan penting antara kita."

Liong Ki memandang heran, akan tetapi Mayang tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menjawab karena gadis itu sudah melangkah pergi menuju kekamar Cang Hui da Cin Nio.

Dua orang gadis itu pun sudah sadar dan dikerumuni para pelayan yang tadi terbangun dan ikut panik. Melihat Mayang, kedua orang gadis itu lalu menyuruh pergi semua pelayan. Setelah mereka hanya bertiga saja di kamar itu, Cang Hui segera bertanya kepada Mayang.

"Mayang, apa yang telah terjadi? Menurut para pelayan, kamar ini tadi penuh asap pembius dan kami berdua pingsan, dan katanya di gudang ada kebakaran. Mereka mendengar katanya ada dua atau tiga orang penjahat menyelundup masuk ke istana. Juga katanya kamar Sun-ko dipenuhi asap pembius seperti kamar kami. Benarkah itu? Apa yang sesungguhnya terjadi?"



Cin Nio tidak bicara, akan tetapi pandang matanya kepada Mayang penuh arti, penuh pertanyaan apakah peristiwa malam ini ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa dirinya beberapa malam yang lalu.

"Memang benar, ada dua orang penjahat menyelinap masuk dan melepas asap pembius di kamar ini dan kamar Cang-kongcu. Akan tetapi, untung bahwa mereka ketahuan sehingga mereka melarikan diri." .

Cang Hui mengerutkan alisnya. "Mayang, sesungguhnya apakah yang terjadi? Siapa
mereka dan apa mau mereka itu melepaskan asap pembius di kamarku dan kamar Sun-ko?"

" Adik Hui dan adik Cin, harap kalian tenang. Aku sedang menyelidikinya dan kuharapkan dalam waktu singkat akan dapat menemukan jawabannya. Semua urusan mudah-mudahan akan dapat kubikin terang dalam waktu dua tiga hari ini." Berkata demikian Mayang memandang kepada Cin Nio penuh arti, dan Cin Nio mengerti bahwa Mayang hendak mengatakan bahwa juga urusan malapetaka yang menimpa dirinya akan dapat dibikin terang. Hal ini berarti bahwa tentu ada hubungannya antara peristiwa malam ini dengan malapetaka yang menimpa dirinya.

Pada saat itu, terdengar suara Cang Sun yang telah berdiri di pintu kamar adiknya. "Mayang, apakah yang sebenarnya telah terjadi? Aku mendengar berita yang simpang siur dari para pengawal, katanya kamarku dipenuhi asap pembius dan aku telah tak sadar di atas kursiku. Aku ingin mendengar sendiri darimu, apa sebenarnya yang telah terjadi?"

Cang Hui mendekati kakaknya. "sun-ko, ada penjahat menyusup ke dalam rumah kita. Mereka itu melepas asap pembius di kamarku dan kamarmu, tentu dengan niat buruk terhadap kita. Dan ada yang membakar jerami di dekat gudang. Untung Mayang segera datang mengusir asap itu dan berteriak-teriak sehingga para pengawal berdatangan. Dua penjahat itu telah melarikan diri."

"Mayang, apa artinya semua ini?" tanya Cang Sun sambil memandang kepada Mayang. Agaknya keterangan adiknya itu masih belum memuaskan hatinya dan ia ingin mendengar sendiri keterangan Mayang.

"Artinya bahwa ada penyerang gelap mengancam keluarga Cang, Kongcu, dan aku akan mencoba untuk membikin terang perkara ini."

Cang Sun menatap wajah gadis itu penuh selidik. "Adakah ini hubungannya dengan urusan pribadimu itu?"

Mayang mengangguk. "sekarang belum waktunya aku bicara banyak, Kongcu. Bersabarlah beberapa hari lagi, pasti aku akan dapat membongkar semua urusan ini. Setelah berkata demikian, Mayang segera meninggalkan mereka, kembali ke kamarnya karena ia tidak ingin percakapannya tadi didengar orang lain.

***



Pada hari-hari biasa, danau di luar kota raja itu sepi saja, apalagi pada pagi hari itu. Bukan waktunya orang berlibur. Para pemilik perahu yang biasanya menyewakan perahu pada para tamu di hari-hari yang ramai, pada hari sepi itu menggunakan perahu mereka untuk mencoba peruntungan mencari ikan di tengah danau.

Sejak awal sekali Mayang telah berada di tepi danau, memandang ke arah timur, ke arah kota raja. Akhirnya, orang yang dinanti-nanti sejak pagi tadi muncul. Sim Ki Liong berjalan seorang diri menuju telaga dan dia segera dapat melihat Mayang karena gadis itu sengaja naik ke atas tepi danau yang menonjol tinggi. Mayang melambaikan tangan dan Sim Ki Liong atau Liong Ki berlari menuju ke tempat itu. Akan tetapi, setelah pemuda , itu dekat, Mayang memberi isyarat agar Ki Liong mengikutinya dan ia pun berlari memasuki sebuah hutan yang berada di sebuah bukit kecil. Tempat itu sunyi dan tak nampak seorang pun manusia lain. Mayang ingin bicara denganSim Ki Liong di tempat sepi agar jangan terdengar orang lain. Diam-diam hatinya merasa tegang sekali karena kalau benar seperti yang disangkanya bahwa Sim Ki Liong pelaku pemerkosa akan diri Cin Nio maka hal itu merupakan kepastian baginya untuk bertindak, menganggap Ki Liong sebagai musuh. Mungkin akan terjadi bentrokan antara ia dan Ki Liong, dan ia sudah siap siaga untuk menghadapinya. Dan ia pasti tidak akan tinggal diam sekali ini. Akan dibukanya rahasia Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa kepada Menteri Cang agar kedua orang itu tidak lagi diterima sebagai pembantu, bahkan ditangkap karena dahulu mereka mengatur siasat menculik lalu menolong Cang Sun. Ia harus membuat perhitungan dengan Sim Ki Liong yang telah mengkhianatinya, mengkhianati cintanya.

Setelah tiba di tempat terbuka di puncak bukit, dikelilingi hutan kecil, Mayang berhenti dan menanti Sim Ki Liong yang mengejarnya. Kini mereka ,berdiri berhadapan, dalam jarak empat meter. Ki Liong tersenyum memandang kepada Mayang, senyum yang penuh arti.

"Mayang, engkau mengundangku datang ke sini, agaknya hendak bicara penting sekali. Ada urusan apakah, sayang?"

Kata-kata dan nada suaranya itu terasa oleh Mayang seperti sebatang pisau menusuk jantungnya, akan tetapi ia pura-pura tidak merasakannya dan ia bahkan menekan perasaannya sehingga suaranya terdengar datar dan biasa tanpa emosi.

"Liong-ko, aku mengundangmu ke sini agar dapat bicara berdua denganmu. Aku menuntut pertanggungan jawabmu terhadap diriku!"

Ki Liong tersenyum dan maju selangkah. "Tentu saja, Mayang. Pertanggungan jawab yang bagaimana yang kau maksudkan? Jelaskanlah, sayang."

Mayang mengerutkan alisnya dan mengambil sikap pura-pura marah. “Liong-ko, setelah apa yang kau lakukan kepadaku beberapa malam yang lalu, sekarang engkau masih berpura-pura lagi bertanya pertanggungan jawab apa yang kumaksudkan?" Setelah berkata demikian, ia memandang penuh selidik, dan ini bukan lagi bersandiwara karena memang ia ingin sekali mengetahui reaksi dari pemuda itu ketika mendengar ucapannya ini.



Mendengar ucapan itu, Sim Ki liong tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya itu yang kau maksudkan? Aih, Mayang, bukankah sudah lama sekali kita saling mencinta? Tentu saja aku akan mempertanggungjawabkan. Sudah berani berbuat aku tentu berani bertanggung jawab. Nah, katakan, apa yang harus kulakukan untukmu?" Ki Liong bersikap menantang. sambil tersenyum dan jelas bahwa pandang matanya membayangkan perasaan senang. Agaknya hatinya senang melihat Mayang tidak marah. Akan tetapi jawaban itu masih belum memuaskan atau belum meyakinkan hati gadis itu.

“Liong-ko, engkau telah menodai seorang gadis dan sekarang masih bertanya apa yang harus kau lakukan? Begitu bodohkan engkau, atau memang tidak perduli akan nasibku?" Ia memancing lagi.

"Mayang, kekasihku. Sejak dahulu aku mencintamu. Jangan katakan bahwa aku menodaimu, sayang. Malam itu aku hanya membuktikan rasa cintaku kepadamu. Nah, malam itu kita telah menjadi suami isteri yang sah. Engkau menghendaki pernikahan, bukan? Sabarlah, Mayang, kalau sudah tiba saatnya, kita pasti akan menikah. Heh-heh-heh……. !”

Akan tetapi, suara tawanya terhenti seketika ketika tiba-tiba saja terjadi perubahan dalam sikap Mayang. Sepasang mata itu mencorong seperti mengeluarkan api dan tangan Mayang sudah menyambar ke depan, meluncur seperti ular mematuk ke arah leher Ki Liong.

"Haiiiiittttt…….!!"

“Ehh……..ahhh……!" Sim Ki Liong terkejut setengah mati. Biarpun dia amat lihai, akan tetapi datangnya. serangan itu demikian tiba-tiba, tubuh Mayang menerjang dengan amat cepatnya dan pukulan yang dilancarkan itu adalah ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang amat ampuh. Tidak ada kesempatan bagi Ki Liong untuk menangkis lagi, maka sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia sudah melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik sampai lima kali baru dia terlepas dari ancaman maut pukulan beruntun yang dilakukan Mayang kepadanya.

“Heii, Mayang! Ada apakah engkau ini? Gilakah engkau? Bukankah kita Sudah menjadi suami isteri dan……?”

“Jahanam busuk! Kiranya benar engkau yang melakukannya! Keparat terkutuk! Sekarang aku yakin bahwa yang berniat busuk terhadap Cang Hui dan Cang-kongcu tadi malam tentulah engkau dan komplotanmu, pelacur hina Su Bi Hwa itu! Sekarang terbukalah semua kedokmu, jahanam! Aku pasti akan membuka rahasiamu kepada Menteri Cang!"

Wajah Sim Ki Liong berubah pucat mendengar ini. " Aih, Mayang, kenapa engkau berkata demikian? Ingat, engkau telah menjadi isteriku! Engkau sudah tidak gadis lagi. Kalau bukan aku yang mengawinimu kelak, apakah engkau akan menjadi seorang yang menderita aib selama hidupmu?" ,

"Sim Ki Liong, iblis busuk! Aku telah buta dan tolol menganggap seorang manusia iblis macam engkau akan bertaubat dan kembali ke jalan benar. Kiranya engkau hanya menipu dan mempermainkan aku! Huh, jangan diikira bahwa akan mudah saja engkau untuk menghinaku. Yang engkau perkosa pada malam itu bukanlah aku!"

Sepasang mata Sim Ki Liong terbelalak dan dia memandang tak percaya. "Bukan engkau? Tapi…..tapi di kamarmu dan…..kalau bukan engkau lalu siapa ?”

Mayang tersenyum mengejek. "Tak perlu engkau tahu siapa, karena saat ini pun aku akan mencabut nyawamu yang tak berharga!" Berkata demikian, Mayang sudah melepaskan senjatanya yang ampuh, yaitu pecutnya yang panjang. Begitu ia mengayun pecutnya ke atas kepalanya, terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil yang nyaring.

Pada saat itu muncullah Su Bi Hwa atau yang dikenal sebagai Liong Bi oleh keluarga Menteri Cang. "Hi-hi-hik, Liong koko, sekarang engkau tahu rasa! Sudah sejak dulu kukatakan bahwa bocah ini berbahaya, sebaiknya dilenyapkan saja. kalau tidak, ia tentu akan membikin ribut saja dan selalu menggagalkan semua rencana kita.”

Ki Liong merasa lega melihat munculnya sekutu ini, akan tetapi juga heran karena dia tidak menyangka. "Engkau pun di sini, Bi-moi?" tanyanya.

"Tentu saja! Aku tidak sebodoh engkau, Liong-ko. Aku sudah mencurigainya, maka aku sudah membuat persiapan yang serba lengkap. Sekarang, mari kita habiskan riwayat bocah ini agar tidak menjadi penghalang bagi kita."

Melihat munculnya Su Bi Hwa, Mayang menjadi semakin marah lagi. "Bagus, kau siluman betina. Memang aku pun sudah mengambil keputusan untuk membasmi siluman jahat macam engkau!" Mayang lalu menggerakkan cambuknya dan menyerang kalang kabut. Cambuknya mengeluarkan suara bercuitan disusul ledakan-ledakan, menyambar-nyambar dengan ganasnya ke arah kedua orang itu. Sim Ki Liong maklum akan kelihaian Mayang maka dia pun sudah mencabut pedangnya, demikian pula Su Bi Hwa. Mereka maju bersama dan mengeroyok Mayang dengan gerakan peda.ng mereka yang lihai.

Kalau hanya Su Bi Hwa seorang diri, yang melawan Mayang, tentu ia akan kewalahan. Akan tetapi di situ ada Sim Ki Liong, murid Pendekar Sadis yang amat lihai. Baru menghadapi Sim Ki Liong seorang diri saja agaknya Mayang tidak akan mampu mengalahkannya. Kini Sim Ki Liong dibantu Su Bi Hwa, maka tentu saja amat berat bagi Mayang untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi, gadis ini tidak mengenal takut dan ia sudah nekat untuk melawan mati-matian. Gerakan pecut di tangannya amat menggiriskan, setiap sambaran pecutnya merupakan sambaran maut yang mengarah nyawa lawan.

Berbeda dengan Su Bi Hwa yang, membalas serangan Mayang dengan serangan maut untuk membunuh pula, Sim Ki Liong agak ragu-ragu dalam serangan balasannya. Bagaimanapun juga, Sim Ki Liong memang pernah tergila-gila kepada Mayang. Bahkan sampai kini, belum ada wanita yang dapat menandingi daya tarik Mayang baginya. Agaknya dia tidak tega kalau harus membunuh Mayang, dan agaknya akan membiarkan Bi Hwa saja yang membunuhnya. Oleh karena itu, gerakan pedangnya hanya untuk menangkis serangan Mayang dan mendesak gadis itu sehingga Su Bi Hwa yang nampak lebih ganas menghujankan serangan.



Kenekatan Mayang membuat kecepatan dan kekuatannya bertambah, namun karena dua orang lawannya juga merupakan ahli-ahli pedang yang hebat, terutama sekali Ki Liong, setelah lewat seratus jurus, mulailah Mayang terdesak hebat. Melihat ini, mulailah Su Bi Hwa mengejek dan tertawa-tawa. "Hi-hi-hik, Mayang, bocah sombong. Bersiaplah engkau untuk mampus!”

Pedangya membabat ke arah leher Mayang. Mayang mengelak dengan loncatan ke samping, akan tetapi ketika pecutnya menyambar ganas ke arah Bi Hwa, pedang di tangan Ki Liong sudah membabat dari samping, kuat bukan main sehingga terdengaar suara keras dan ujung pecut itu terbabat putus oleh pedang Ki Liong! Melihat ini Su Bi Hwa menggerakkan kakinya dan paha kiri Mayang kena ditendangnya.

"Dukk!" Tak dapat dicegahnya lagi, tubuh Mayang terpelanting keras. Sambil terkekeh Bi Hwa membacokkan pedangnya, akan tetapi pedang itu ditangkis oleh pedang di tangan Ki Liong.

"Tranggg……..!”

"Ehh? Liong-Ko, apa yang kau lakukan ini?" Bi Hwa berseru kaget.

"Aku ingin menangkapnya hidup-hidup, Bi-moi!"

Bi Hwa mengerti dan tertawa. "Heh-heh, agaknya karena malam itu ternyata bukan Mayang yang kau tundukkan dalam kamarnya, engkau masih penasaran? Baiklah, akan kutangkap ia untukmu, kuhadiahkan padamu untuk hari ini, akan tetapi sesudah itu ia harus dibunuh dan mayatnya dilenyapkan di dasar danau!" kata Bi Hwa.

Mendengar ini, Mayang, mengerahkan seluruh tenaganya dan meloncat bangun, tidak memperdulikan rasa nyeri di pahanya. Hatinya terasa sakit bukan main. Kini terbukalah matanya dan tahulah ia benar-benar macam apa adanya Sim Ki Liong yang penah dicintanya. Ia telah mintakan ampun untuk Ki Liong dari Cia Kui Hong, kemudian di pulau Teratai Merah ia pun memintakan ampun untuk Ki Liong dari Pendekar Sadis dan isterinya. Dan kini ternyata Ki Liong hanya memandangnya sebagai alat memuas nafsunya belaka. Bahkan demikian kejinya Ki Liong untuk minta kepada Bi Hwa agar ia tidak dibunuh dulu sebelum digumulinya!

"Jahanam kau……, terkutuk kau…….!" Dan dengan napas terengah-engah saking marahnya ia sudah menyerang lagi dengan cambuknya yang sudah patah ujungnya, menyerang mati-matian ke arah Ki Liong. Bahkan hantaman pecutnya dibantu oleh tangan kirinya yang juga melakukan serangan dengan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang mengandung hawa beracun. Namun, Ki Liong mengelak dari pukulan itu dan menangkis hantaman cambuk dengan pedangnya. Mayang kembali mengamuk, dan karena kini Su Bi Hwa tidak lagi menyerang untuk membunuh, melainkan untuk merobohkannya dan menangkapnya, maka Mayang tidak terancam maut lagi. Bagaimanapun juga, tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat menangkap gadis yang seperti singa betina mengamuk ini begitu saja.

"Wirrr…… !" Pecut itu kembali menyambar ke arah kepala Ki Liong. Serangan yang dilakukan penuh dengan kebencian. Ki Liong menyambut dengan pedang dan sengaja memutar pedang sehingga pecut itu melibat pedangnya. Kesempatan ini kembali dimanfaatkan Bi Hwa. Tangannya menampar ke arah pundak Mayang dan gadis ini kembali terpelanting, sekali ini terpelanting keras dan kepalanya terasa pening. Namun ia telah dapat melepaskan libatan cambuknya dan ia sengaja menggulingkan tubuhnya sambil memutar-mutar cambuk melindungi diri. Memang hebat gadis ini. Kalau ia tidak bergulingan dan memutar cambuknya, tentu mudah bagi dua orang pengeroyoknya untuk menotok dan menangkapnya. Namun dengan bergulingan dan memutar cambuk, kembali ia terlepas. Ia meloncat berdiri lagi dan walaupun kepalanya pening,dan pundaknya nyeri, ia sudah siap untuk melawan sampai titik darah penghabisan.

"Sim Ki Liong, jahanam busuk kau……!!" Ia berteriak, suara teriaknya melengking nyaring dan kembali ia mengamuk dengan cambuknya, amukan yang tidak lagi menghiraukan keselamatan dirinya.

Su Bi Hwa menjadi penasaran dan marah sekali. Kalau menurutkan hatinya, ia ingin segera membunuh saja gadis peranakan Tibet itu agar tidak menyusahkan lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau hal itu ia lakukan, ia akan rugi karena tentu Ki Liong akan merasa kecewa dan tidak senang kepadanya.

"Liong-ko, biar kurobohkan dia dengan jarum agar lebih mudah!" katanya, akan tetapi sebelum Ki Liong menjawab, tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari kiri, sinar merah lembut yang menyambar dengan cepat sekali ke arah Su Bi Hwa da Sim Ki Liong! Kiranya sebelum Bi Hwa mempergunakan jarum-jarumnya, telah ada orang lain yang lebih dulu menggunakan jarum-jarum merah yang amat lihai, akan tetapi bukan untuk menyerang Mayang, sebaliknya malah menyerang mereka.

Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa cepat mengelak dan sinar merah lembut itu menyambar lewat. Bukan jarum-jarum merah itu yang mengejutkan hati mereka, melainkan setelah orangnya yang menyambitkan jarum itu muncul.

"Siluman betina busuk, kiranya engkau di sini! Dan bersama si murtad Sim Ki Liong mengeroyok Mayang! Bagus, jangan takut, Mayang. Aku membantumu menghajar jahanam-jahanam ini!" kata gadis perkasa yang menyambitkan jarum-jarum merah itu.

Wajah Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong berubah ketika mereka mengenal Cia Kui Hong! Yang menolong Mayang itu memang Kui Hong. Seperti kita ketahui, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-san setelah ia mendapatkan persetujuan ayah ibunya untuk berjodoh dengan Tang Hay. Bagaikan mendapatkan semangat hidup baru, Kui Hong segera berangkat dan mencari ke kota raja. Akan tetapi, kebetulan sekali ia lewat di danau itu dan tertarik oleh keindahan danau. Ia berjalan-jalan di sekitar danau dan tadi, ketika ia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan danau dan pergi ke kota raja, ia kebetulan lewat dekat bukit itu dan mendengar teriakan marah dari
Mayang. Ia pun bergegas naik ke bukit itu dan melihat betapa Mayang didesak dengan hebat oleh dua orang yang membuat ia marah bukan main. Dua orang pengeroyok Mayang itu adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Tentu saja Kui Hong merasa heran sekali. Bukankah Ki Liong dan Mayang saling mencintai? Bahkan Mayang sendiri yang pernah mintakan ampun untuk Ki Liong kepadanya! Bagaimana sekarang Ki Liong malah menyerang Mayang, dan bersama dengan Tok-ciang Bi Mo-li murid Pek-lian Da-kui itu? Dalam keheranannya, ia tidak banyak membuang waktu dan mendengar betapa Su Bi Hwa hendak menyerang Mayang dengan jarum, ia mendahului dan menyambit kedua orang pengeroyok dengan jarum-jarum merahnya.



“Enci Kui Hong…….!!” Mayang berseru girang bukan main ketika melihat siapa penolongnya dan cepat ia meloncat ke dekat Kui Hong.

"Mayang, apa yang telah terjadi? Kenapa engku dikeroyok oleh dua orang ini?" Kui Hong bertanya, penasaran.

"Enci Kui Hong, jahanam Sim Ki Liong mengkhianatiku, dia bersekongkol dengan iblis betina itu untuk menguasai keluarga Menteri Cang Ku Ceng."

Kui Hong membelalakkan matanya. "Begitu berani mereka? Kalau begitu dosa mereka sudah melewati ukuran dan mereka layak dibasmi!” Kui Hong membentak dan ia pun sudah mencabut sepasang pedangnya, lalu menyerang Ki Liong dengan sepasang pedang itu. Serangannya hebat bukan main karena ia telah mengerahkan tenaganya dan memainkan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang dipelajarinya dari Toan Kim Hong, neneknya. Ki Liong yang maklum akan kelihaian gadis ini, tidak banyak cakap lagi dan cepat memutar pedangya melawan.

Mayang kini memperoleh angin baik. Biarpun ia sudah menderita luka oleh tendangan pada paha dan pukulan pada pundaknya, kini melihat munculnya Kui Hong, semangatnya timbul kembali dan bagaikan seekor singa betina, ia menggunakan cambuknya yang sudah patah ujungnya untuk menyerang Su Bi Hwa dengan dahsyat.

Kini terjadilah pertandingan satu lawan satu yang amat seru. Akan tetapi, Ki Liong segera mulai terdesak oleh sepasang pedang di tangan Kui Hong. Gadis ini, biarpun hanya menerima keterangan singkat dari Mayang, maklum bahwa Ki Liong, telah mengkhianati gadis itu dan tentu telah melakukan kejahatan kembali. Memang ia sudah sangat membenci pemuda murid pulau Teratai Merah yang murtad ini. Kalau dulu ia mengampuninya adalah karena atas permintaan Mayang. Kini, ia menyerang untuk membunuh sehingga Ki Liong hanya mampu menangkis dan menjaga diri, tidak diberi kesempatan lagi untuk balas menyerang. Adapun Su Bi Hwa yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan Mayang, kini juga kewalahan menghadapi desakan Mayang karena gadis peranakan Tibet ini marah sekali sehingga gerakannya menjadi sangat dahsyat, terutama sekali serangan tangan kirinya yang menggunakan Hek-coa-tok-ciang.

Tiba-tiba Su Bi Hwa berseru nyaring. "Suhu, keluarlah dan bantulah kami!" Ki Liong sendiri merasa heran, mengira bahwa tentu sekutunya itu hanya mempergunakan siasat menggertak saja. Akan tetapi, betapa girang rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar suara orang yang amat dikenalnya, suara Hek Tok Siansu!

"Omitohud……., banyak benar orang muda perkasa bermunculan!" Dan sambaran angin dahsyat menyerang ke arah Kui Hong dari arah kanan! Kui Hong yang sedang mendesak Ki Liong, ketika mendengar suara itu dan merasakan sambaran angin pukulan dahsyat, cepat membalik ke arah suara itu dan memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri yang kini memegang dua batang pedang, lalu tangan kanannya ia dorongkan kearah dari mana datangnya angin pukulan,

"Desss……!” Dua tenaga sakti bertemu di udara lewat telapak tangan Hek Tok Siansu dan Cia Kui Hong.

"Omitohud…..!” Hek Tok Siansu berseru kaget dan heran karena tangkisan gadis itu membuat pukulannya tadi membalik. Jarang di dunia ini ada orang mampu menangkis pukulannya seperti itu, dan gadis ini masih muda sekali! "Bi Hwa, siapakah nona ini?" Saking heran dan kagumnya, ia bertanya kepada Bi Hwa. Bagi, Hek T ok Siansu, tidak ada rahasia lagi tentang Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong karena mereka sudah mengaku kepadanya tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Su Bi Hwa memang cerdik. Ia telah mengatur semuanya sehingga kakek itu berada pula di situ, siap membantu. Bahkan banyak pula orang-orang Pek-lian-kauw sudah siap membantunya.

"Suhu, ia adalah pangcu (ketua) dari Cin-ling-pai."

"Omitohud, seorang wanita masih begini muda sudah menjadi ketua perkumpulan besar. Pantas saja lihai!"

Kui Hong merasa heran mendengar Bi Hwa menyebut suhu kepada hwesio ini. Setahunya, guru Bi Hwa adalah Pek-lian Sam-kwi yang ketiganya sudah tewas semua. Bagaimana tiba-tiba muncul seorang hwesio yang mengaku sebagai guru wanita iblis ini ?

"Lo-cian-pwe," katanya dengan sikap tegas. "Aku Cia Kui Hong tidak pernah bermusuhan denganmu. Tok-ciang Bi Moli ini pernah mengacau Cin-ling-pai, maka aku akan membunuhnya, dan Sim Ki Liong ini adalah murid murtad dari kakek dan nenekku. Oleh karena itu, harap Lo-cian-pwe tidak mencampuri urusan kami agar aku tidak perlu bermusuhan denganmu."

"Omitohud, nona muda yang sombong. Apa kau kira pinceng takut melawanmu! Ha-ha-ha, dua orang ini adalah sekutu pinceng, sudah menjadi murid pinceng, tentu saja urusan mereka adalah urusan pinceng."

Tahulah Kui Hong bahwa ia berhadapan dengan seorang yang bentuk dan pakaiannya saja pendeta, akan tetapi isinya adalah seorang yang condong kepada golongan sesat.

"Kalau begitu, pendeta palsu, engkau pun hanya akan membikin kacau dunia saja!" bentaknya dan ia pun sudah menyerang dengan sepasang pedangnya.

"Omitohud, biarlah nona ini menjadi lawan pinceng!" kata Hek Tok Siansu dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya. Ujung lengan bajunya menyambar dan ketika kedua ujung lengan baju itu menangkis pedang di tangan Kui Hong, gadis itu merasa seolah-olah sepasang pedangnya ditangkis oleh senjata keras yang kuat. Segera terjadi perkelahian di antara mereka.

"Bi-moi, kau bantu suhu menundukkan Kui Hong, biar aku yang menangkap Mayang!" kata Ki Liong dengan gembira. Tak disangkanya bahwa Bi Hwa sedemikian cerdiknya sehingga kini pihaknya yang lebih kuat. Bi Hwa juga maklum bahwa kalau eta Cin-ling-pai itu tidak di kalahkan, tentu merupakan ancaman baginya, maka tanpa banyak cakap lagi ia membantu Hek Tok Siansu mengeroyok Kui Hong. Adapun Ki Liong segera menghadapi Mayang.



Kembali keadaan berubah setelah tadi Kui Hong dan Mayang mampu mendesak dua orang lawannya. Dengan masuknya Hek Tok Siansu, keadaan kembali tidak menguntungkan bagi pihak Mayang dan Kui Hong. Kakek ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, yang kadang amat mengejutkan Kui Hong dan membuat gadis itu terdesak dan hanya dapat melindungi dirinya saja tanpa dapat membalas menyerang. Apalagi di situ terdapat Bi Hwa yang menggunakan pedang mengeroyok dan jelas bahwa iblis betina ini bersungguh-sungguh hendak membunuhnya, membuat Kui Hong segera terdesak. Hanya kematangan ilmu pedang Kui Hong yang bersumber kepada ilmu pedang dahsyat dari neneknya yang membuat gadis itu masih dapat bertahan.

Yang payah adalah Mayang. Gadis ini sudah terluka, dan menghadapi Ki Liong ia merasa kalah setingkat, maka segera ia diserang dan didesak hebat oleh Ki Liong yang amat bergairah untuk menangkapnya hidup-hidup. Kini Ki Liong bagi Mayang merupakan iblis yang amat jahat, dan ia tahu bahwa kalau sampai ia tertawan, tentu Ki Liong akan menghina dan memperkosannya. Kiranya pemuda ini sama sekali tidak mempunyai peri kemanusiaan, tidak tahu malu dan sudah tersesat sampai jauh. Mayang menggigit bibirnya dan melawan mati-matian. Sudah dua kali ia terpelanting oleh tendangan kaki Ki Liong, akan tetapi setiap kali ia meloncat bangun lagi, tidak merasakan kenyerian yang dideritanya dan melawan terus dengan gigihnya.

Kui Hong maklum bahwa pihaknya terancam bahaya kalau perkelahian berat sebelah itu dan membiarkan diri mati konyol. Ia harus melindungi Mayang karena ia dapat melihat betapa gadis itu terancam oleh Ki Liong. Ia mulai mencari kesempatan untuk mengajak Mayang melarikan diri lebih dahulu agar terlepas dari himpitan lawan. Akan tetapi, tiga orang lawan itu tidak memberi kesempatan dan mendesak terus. Selagi Kui Hong memutar pedang mencari kesempatan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

“Tahan semua senjata!” Ucapan aitu demikian penuh wibawa sehingga seperti tertahan oleh tenaga yang tidak nampak, lima orang yang sedang berkelahi itu otomatis menghentikan gerakan tangan mereka. Hek Tok Siansu terkejut bukan main karena dia merasakan getaran yang amat kuat dalam suara itu, getaran yang mengandung kekuatan sihir yang luar biasa kuatnya. Segera ia memandang dan ternyata yang membentak itu pun hanya seorang pria yang masih amat muda! Sungguh mengherankan hatinya karena demikian banyaknya bermunculan orang muda yang amat lihai!

Yang paling kaget sampai mukanya berubah pucat adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa ketika mereka mengenai orang yang datang itu karena pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay!

Melihat pemuda itu, Mayang menjerit sambil terisak dan lari menghampiri Hay Hay, langsung meloncat dan merangkul leher pemuda itu. “Hay-koko…….Hay-ko……uuuuuhuhu-huuuuu…….Hay-kooo…..!” Ia menangis tersedu-sedu di dada kakaknya itu.

Hay Hay mengelus kepala adiknya penuh kasih sayang. “Sssttt, Mayang adikku yang manis, di mana kegagahanmu? Hentikan tangismu, Mayang dan ceritakan apa yang terjadi.” Dia lalu mengangkat muka dan bertemu pandang dengan Kui Hong. Keduanya berau pandang mata, dua pasang sinar mata bertaut sejenak dan keduanya tersipu.

“Hay-ko…..!” Kui Hong berbisik hampir tidak bersuara, akan tetapi bibirnya jelas menyebut nama pemuda itu.

“Hong-moi, kulihat mati-matian engkau melindungi Mayang adikku. Terima kasih! Akan tetapi apa yang telah terjadi? Ini si iblis betina dari Pek-lian-kauw kembali telah mengacau dan kenapa Ki Liong bahkan menyerang Mayang, bukan melindungi? Dan siapa pula kakek yang gagah ini?” Hay Hay bertanya.

Ki Liong merasa gentar bukan main dan dia pun cepat berkata kepada Hek Tok Siansu, “Suhu, inilah yang bernama Tang Hay, yang suhu cari-cari!” katanya.

Mendengar keterangan itu, Hek Tok Siansu terkejut, akan tetapi juga girang. Diam-diam dia lalu menggerakkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara yang mengandung wibawa. “Omitohud……kiranya engkau yang bernama Tang Hay? Orang muda, engkaulah yang telah menewaskan dua orang saudara pinceng yang bernama Janghau Lama dan Pat Hoa Lama di Tibet?”

Hay Hay mengamati kakek itu dan dia menjawab, “Kalau yang Lo-cian-pwe maksudkan tiga orang pendeta Lama yang memberontak kepada Dalai Lama itu, memang benar bahwa aku pernah bertentangan dengan mereka. Aku tidak membunuh siapa pun, dan kalau ada yang tewas dalam pertandingan, maka itu sudahlah wajar. Yang bersalah akhirnya pasti akan kalah dan terhukum perbuatannya sendiri.”

“Mengapa Lo-cian-pwe masih merasa penasaran?”

“Omitohud, engkau orang muda yang sombong. Kematian tiga orang saudara kami itu harus di balas. Kim Mo Siankouw sudah membalas kematian Gunga Lama, dan sekarang, engkau harus menebus kematian Janghau Lama dan Pat Hoa Lama.”

“Kalau Lo-cian-pwe membela yang bersalah, berarti bahwa Lo-cian-pwe juga menyeleweng dari kebenaran!”

kakek itu tertawa. “Ha-ha, sungguh menyenangkan sekali bertemu dengan orang yang sudah lama kucari-cari. Menggembirakan sekali bertemu dengan orang-orang muda yang berkepandaian. Nah, orang-orang muda, mari kita bergembira, tertawa dengan gembira, ha-ha-ha-ha!!” Suara tawanya sernakin lama semakin kuat dan mengandung getaran hebat, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa sudah ikut tertawa. Mayang sendiri cepat mengerahkan ilmunya. Dari gurunya ia memang menerima ilmu yang menolak kekuatan sihir, maka ia dapat bertahan. Kui Hong juga tergetar hebat dan dengan segeraa mengerahkan sin-kang untuk menolak,namun tetap saja mulutnya membentuk se-nyum lebar.



"Bagus, tertawalah Lo-cian-pwe. Tertawalah sepuasmu biar kulihat!" kata Hay Hay, tentu saja dengan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk melawan.

Akhirnya, yang tertawa bergelak adalah kakek itu sendiri, diiringi suara tawa Ki Liong dan Bi Hwa! Melihat kenyataan ini, Hek Tok Siansu terkejut. Dia mempergunakan sihir agar para lawan itu tertawa dan muda dia kuasai. Tidak tahunya sekarang malah dia sendiri yang tertawa dan tidak dapat dihentikan Cepat dia merendahkan tubuhnya, seperti katak hendak meloncat dan mengerahkan tenaga dari dalam perut sehingga terdengar bunyi berkokok seperti katak. Akan tetapi dia berhasil menghentikan tawanya dan otomatis Ki Liong dan Bi Hwa juga berhenti tertawa. Waiah dua orang itu menjadi pucat.

"Tang Hay, hari ini, pinceng Hek Tok Siansu akan membuat perhitungan denganmu! Bersiaplah untuk menebus kematian saudara-saudaraku!” kakek itu membentak.

Hay Hay tersenyum. "Kalau Lo-cianpwe tetap hendak membela yang bersalah, dan ingin menyusul mereka, silakan!"

Hek Tok Siansu yang sudah marah sekali, segera memutar kedua lengannya dan dia sudah menyerang Hay Hay dengan ilmu pukulannya yang ampuh, yaitu pukulan Gelombang Samudera yang amat dahsyati Hay Hay mengenal ilmu pukulan ampuh, maka dia pun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangannya

“Dess....... !!" keduanya terpental ke belakang. Ternyata tenaga mereka seimbang. Hal ini mengejutkan Hek Tok Siansu dan dia pun semakin penasarang tubuhnya seperti menggelundung dan ia menyerang semakin dahsyat. Hay Hay menyambutnya dan dua orang sakti ini segera bertanding.

Tiba-tiba Su Bi Hwa yang melihat betapa keadaan pihaknya tidak menguntungkan segera mengeluarkan suara bersuit nyaring. Dan bermunculanlah belasan orang tosu Pek-lian-kauw dari tempat persembunyian mereka! Melihat ini, Kui Hong meloncat rnendekati Mayang. Mereka beradu punggung dan saling melindungi, menghadapi pengepungan Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang dibantu belasan orang tosu Pek-lian-kauw!

Hay Hay maklum akan kehebatan lawannya, juga ia tahu bahwa Kui Hong dan Mayang dikeroyok banyak orang. Maka, dia pun cepat menggunakan ilmunya giauw-pon-poan-san, dengan langkah terputar-putar dia dapat membuat lawannya hanya membuang-buang tenaga sia-sia belaka. Hay Hay kadang-kadang meninggalkan kakek itu dan menerjang untuk membantu Kui Hong dan Mayang, membubarkan kepungan dan merobohkan satu dua orang pengeroyok. Baru dia menahan lagi kalau kakek itu mendesak, lalu menggunakan langkahnya yang ajaib itu untuk bermain kucing-kucingan. Dengan demikian, Hay Hay dapat melindungi Mayang dan Kui Hong.

Pada waktu itu, ilmu kepandaian Cia Kui Hong telah meningkat karena selama ia berada di Ci-ling-san, di bawah pengamatan ayah bundanya, ia berlatih dengan tekun sehingga saat itu, tingkat kepandaiannya sudah melebihi ayah dan ibunya. Hal ini tidak mengherankan karena gadis perkasa ini pernah digembleng sendiri oleh kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Biarpun ia harus menghadapi pengeroyokan Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa, ia tidak akan kewalahan dan mampu mengimbangi mereka berdua. Mayang sendiri pun bukan gadis lemah. Akan tetapi ia telah terluka, dan para anggauta Pek-lian-kauw yang kini mengeroyok ia dan Kui Hong, berjumlah tiga belas orang dan mereka itu bukan anggauta biasa, melainkan tokoh-tokoh yang telah memiliki kepandaian tinggi. Maka, bagaimanapun Kui Hong mengamuk, tetap saja ia harus melindungi Mayang dan kedua gadis ini tetap terdesak. Untung disitu ada Hay Hay. Dengan siasatnya kadang-kadang melawan Hek Tok Siansu, dan kalau ada kesempatan ia meloncat dan menggempur para pengeroyok kedua orang gadis itu, dan gempurannya selalu merobohkan seorang pengeroyok, maka keadaan menjadi seimbang.

Sim Ki Liong yang menyamar dengan nama Liong Ki dan Bi Hwa yang memakai nama Liong Bi, adalah dua orang yang kicik. Mereka tidak mengenal apa yang disebut budi, tidak mengenal setia kawan. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Kini, melihat keadaan mereka yang tidak lahan semalarri. Maka, mendengar ucapan menguntungkan mereka merasa gelisah. Mereka tahu bahwa setelah rahasia mereka kini diketahu Mayang, tidak mungkin bagi mereka kembali ke istana Menteri Cang Ku Ceng. Dalam keadaan yang gawat itu, Liong Bi berbisik kepada Liong Ki, “Cepat, kit aharus pergi dari sini agar jangan terlambat!”

Dua orang itu memang memiliki jalan pikiran yang sama, maka mendengar ucapan itu saja Liong Ki sudah dapat menangkap maksud yang terkandung di dalamnya. Di pun melihat bahwa keadaan mereka amat tidak menguntungkan dan diam-diam dia mengutuk Mayang. Gadis itulah gara-gara semua kegagalan ini. Dia sama sekali tidak mengira bahwa malam itu bukan Mayang gadis yang di perkosanya selagi terbius, melainkan Teng Cin Nio! Dan Mayang telah mengetahui hal itu. Semua menjadi gagal! Kalau menteri Cang pulang dan mendengar akan peristiwa itu, tentu dia akan di tangkap. Habislah sudah semua cita-cita yang muluk, hancur oleh kesalahan semalam. Maka, mendengar ucapan Liong Bi, dia pun mengangguk-angguk dan keduanya lalu keluar dari kalangan pertempuran, membiarkan sisa anggauta Pek-lia-kauw untuk mengeroyok Kui Hong dan Mayang. Karena ditinggakan dua orang itu, belasan orang Pek-lian-kauw menjadi kocar-kacir melawan amukan Kui Hong dan Mayang. Beberapa orang terpelanting roboh disambar sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam di tangan Kui Hong dan beberapa orang lagi roboh disambar pecut di tangan Mayang, walaupun pecut itu telah putus bagian ujungnya.

"Enci Hong, cepat kejar mereka, lindungi keluarga Menteri Cang!" Mayang berseru dengan khawatir. Ia sendiri merasa tidak mampu untuk melawan dua orang lihai itu.

Mendengar itu, Kui Hong terkejut. Berbahaya sekali kalau orang-orang macam Ki Liong dan Bi Hwa itu benar-benar menyerang keluarga Menteri-Cang. Ia meloncat ke belakang dan menoleh ke arah Hay Hay yang masih bertanding dengan seru melawan Hek Tok Siansu. Pertandingan antara dua orang itu berlangsung dengan seru. Kakek itu berusaha sekuat tenaga uhtuk mengalahkan Hay Hay, untuk membalas dendamnya. Dia sudah bertubi-tubi melakukan penyerangan dengan pukulan Angin Taufan, pukulan Gelombang Samudera, bahkan dia sudah menggunakan cara bergulingan seperti trenggiling, lalu mendekam dan melancarkan pukulan sakti seperti katak hendak meloncat. Namun Hay Hay selalu dapat menghindarkan diri. Langkah-langkah ajaib giau-pouw-poan-san dapat menghindarkan sernua pukulan dan kalau sekali dua kali pemuda itu menangkis, maka keduanya terpental karena memang tenaga sinkang mereka seimbang. Hay Hay juga penasaran garang dia berhadapan dengan lawan setangguh ini. Baru setelah dia memainkan Ciu-sian Cappek-ciang, yaitu,delapan belas jurus ilmu pukulan yang dipeiajarinya dari Ciu-sian Sin-kai, kakek gendut berkulit hitam itu terdesak mundur. Pada saat itulah Kui Hong meloncat ke belakang meninggalkan gelanggang.



"Hay-ko, kau lindungi Mayang. Aku harus melindungi keluarga Cang!” kata Kui Hong.

Melihat Kui Hong berlari cepat meninggalkan tempat itu, Hay Hay menjadi sadar. Tadi Sim Ki Liong dan wanita cantik yang dia kenal sebagai Tok-ciang Bi Moli yang pernah mengacau Cin-ling-pai telah melarikan diri. Kalau kini Kui Hong mengatakan hendak melindungi keluarga Cang, berarti kedua orang tadi mungkin merupakan ancaman bagi keluarga bangsawan itu. Akan tetapi Mayang masih dikeroyok beberapa orang anggauta Pek-lian kauw, dan di sini terdapat pula Hek Sansu yang lihai. Kalau dia pergi mengejar dan membantu Kui Hong, tentu Mayang terancarn bahaya. Tak mungkin dia rneninggalkan Mayang, apa lagi kelihatannya adiknya itu telah menderita luka-luka.

Karena mengkhawatirkan Kui Hong yang melakukan pengejaran seorang diri, juga mengkhawatirkan keadaan Mayang, Hay Hay menjadi rnarah. Dia mengerahkan seluruh tenaga saktinya, lalu mengeluarkan teriakan melengking. Teriakan ini mengandung kekuatan sihir yang amat dahsyat sehingga Hek Tok Siansu sendiri sampai terhuyung ke belakang dan muka nya berubah pucat. Saat itu dipergunakan oleh Hay Hay untuk menyerang dengan dorongan kedua tangannya.

Saat itu tubuh Hek Tok Siansu sedang terhuyung oleh daya kekuatan lengking nyaring yang dikeluarkan Hay Hay, maka datangnya serangan ini amat dahsyat. Dia berusaha mengerahkan tenaga untuk menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.

“Desss….!” Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh Hay Hay terlempar ke atas. Dia membuat salto sampai lima kaki baru turun ke bawah. Akan tetapi kakek itu terjengkang dan dia cepat duduk bersila mengatur pernapasan dan mengusap darah dari bibirnya. Setelah itu, dia membuka mata, memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata kagum dan tidak percaya, lalu berkata dengan lirih.

“Tang Hay, lain kali kita bertemu lagi." Dan dia pun bangkit berdiri lalu berkelebat pergi dengan cepatnya.

Melihat kakek itu melarikan diri, sisa orang-orang Pek-lian-kauw tentu saja menjadi ketakutan dan mereka pun lari meninggalkan kawan-kawan mereka yang terluka atau tewas.

"Koko mari cepat kita susul enci Hong. Keluarga Cang berada dalam bahaya!" kata Mayang, akan tetapi ia terhuyung karena lelah dan karena lukanya. Tanpa membuang banyak waktu untuk bertanya, Hay Hay Ialu menyambar tubuh adiknya dan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti terbang menuju ke kota, dan langsung pergi ke gedung Menteri Cang yang sudah dikenalnya baik itu.

Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa secepatnya meninggalkan gelanggang pertempuran yang tidak menguntungkan pihak mereka, dan cepat sekali mereka tiba di istana keluarga Menteri Cang Ku Ceng. Karena mereka adalah orang-orang kepercayaan Menteri Cang, tentu saja para pengawal juga tidak banyak bertanya melihat mereka datang nampak tergesa-gesa itu. Keduanya langsung saja mencari Cang Hui dan Cang Sun, dengan maksud untuk menangkap mereka. Mereka telah ketahuan, rahasia mereka telah terbuka dengan munculnya Hay Hay dan Kui Hong, maka kalau mereka tidak menyandera putera puteri Menteri Cang, tentu mereka akan celaka. Akan tetapi, mereka tidak melihat Cang Sun, hanya menemukan Cang Hui dan Teng Cin Nio yang sedang menanti pulangnya Mayang karena gadis itu tadi pergi tanpa pamit. Ketika mereka melihat munculnya orang-orang yang mereka kenal sebagai Liong Ki dan Liong Bi, keduanya terkejut, apalagi melihat sikap dua orang itu yang aneh dan tidak seperti biasanya. Cin Nio sendiri belum menduga bahwa Liong Ki yang memperkosa dirinya malam itu, akan tetapi ia memang sudah tidak suka melihat sikap pemuda itu yang kadang-kadang memandang kepadanya dengan sinar mata kurang ajar. Lebih-lebih Cang Hui. Ia pernah dirayu oleh pemuda itu, maka ia merasa tidak suka kepada Liong Ki.

"Di mana Mayang?" tanya Cang Hui ketika melihat mereka berdua menghampirinya. Ia dan Cin Nio sedang duduk di taman bunga. "Ke mana ia pergi? Sejak tadi aku tidak melihatnya." Cin Nio sendiri hanya memandang dan tidak bicara sesuatu.

Liong Ki dan Liong Bi mendekat, dan Liong Ki berkata, "Mayang telah dicelakai orang jahat. Kalian pun akan celaka kalau tidak cepat pergi dari sini. Mari, kami akan melindungi kalian." katanya sambil mendekati Cang Hui.

"Pergi? Ke mana? Aku tidak mau. Pula, bahaya apa yang mengancam?" Akan tetapi, secepat kilat Sim Ki Liong telah menerjang dan menotoknya, hampir berbareng dengan yang dilakukan Su Bi Hwa kepada Cin Nio. Biarpun dua orang gadis itu pernah berlatih silat dengan tekun di bawah bimbingan Mayang, namun dibandingkan dengan dua orang itu, mereka kalah jauh. Pula, penyerangnya itu tidak mereka duga-duga sama sekali sehingga mereka tidak sempat mengelak, menangkis maupun berteriak.

Sesuai dengan rencana yang mereka atur ketika lari tadi, keduanya tanpa banyak cakap lagi memondong kedua orang gadis yang sudah lemas dan tidak mampu bergerak maupun bersuara itu, dan membawanya lari menuju ke belakang di mana terdapat beberapa buah kereta keluarga dan banyak kuda-kuda yang pilihan.

Melihat dua orang kepercayaan majikan mereka itu memasang dua ekor kuda di depan sebuah kereta, lalu memapah dua orang siocia mereka ke dalam kereta dan menjalankan kereta keluar dari situ, para pelayan hanya memandang dengan melongo, tidak berani menegur atau banyak bertanya. Mereka, hanya mengira bahwa agaknya dua orang nona mereka itu tiba-tiba terserang penyakit lumpuh dan, dua orang kepercayaan itu tentu akan membawa mereka mencari tabib dalam keadaan tergesa-gesa.

Akan tetapi ketika kereta tiba di pintu gerbang belakang, dari mana kereta-kereta dari istana itu biasanya keluar, lima orang penjaga pintu gerbang menghadang di tengah jalan dan mengangkat tangan memberi isyarat agar kereta dihentikan.

"Minggir!” bentak Sim Ki Liong. "Apakah kalian tidak melihat bahwa aku yang membawa kereta keluar.



"Maaf, Taihiap. Akan tetapi kami mendengar bahwa Cang Siocia dan Tang Siocia kaubawa dalam kereta. Kami harus mempertanggung jawabkan ini. Hendak dibawa ke mana mereka itu dan mengapa? Apa yang terjadi denga mereka, Taihiap?"

“Keparat, kalian tidak percaya kepadaku? Minggir!” bentak Sim Ki Liong yang tidak mau membuang banyak waktu. Sementara itu tanpa banyak cakap lagi Su Bi Hwa menggerakkan tangan lima kali. Lima orang penjaga itu menjerit dan roboh, tewas karena yang memasuki tubuh mereka adalah jarum-jarum beracun yang disambitkan Su Bi Hwa. Sim Ki Liong ,segera melarikan dua ekor kuda yang menarik kereta keluar dari situ dengan cepat.

Para peniaga lain yang melihat lima orang rekan mereka tewas, segera berteriak-teriak dan gegerlah seisi istana. Apalagi, ketika Nyonya Cang mendengar bahwa puteri dan keponakannya dilarikan oleh dua orang kepercayaan itu, ia mejadi bingug karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Rasanya, sukar diterima dugaan bahwa dua orang kepercayaan itu menculik dan melarikan dua orang gadis itu. Untuk apa diculik?

Selagi semua orang kebingungan karena pada waktu itu Menteri Cang tidak berada di rumah, muncullah Cang Sun yang ketika peristiwa itu terjadi sedang keluar istana dan berkunjung ke rumah seorang sahabatnya. Tentu saja dia menjadi sekali mendengar bahwa liong Ki dan Liong Bi melarikan Cang Hui dan Cin Nio dengan sebuah kereta. Dia memang mulai curiga kepada dua orang itu, apalagi mengingat sikap Liong Bi yang selalu berusaha merayunya.

"Pengawal, cepat kerahkan pasukan pengawal dan mengejar kereta itu!” kata Cang Sun dengan gelisah. Selagi semua orang sibuk, muncullah Kui Hong!

"Nona Cia……..ah, nona Cia…….!”

Nyonya Cang merangkul Cia Kui Hong dan menangis. "Mereka melarikan Cang Hui dan Cin Nio….”

Sementara itu, Cang Sun juga tertegun melihat munculnya gadis yang selama ini, sebelurn dia bertemu Mayang.

"Nona Kui Hong....... !” katanya, disambungnya cepat-cepat, "Nona, kau harus menolong Hui-moi dan Ci-moi. Mereka berdua dilarikan Liong Ki dan Liong Bi dengan kereta!"

"Mereka itu dua orang penjahat besar yang kejam! Aku akan mengejar mereka!” kata Kui Hong dan ia pun melompat dan berlari cepat meninggalkan rumah itu. Di pintu gerbang, ia rnendapat keterangan dari penjaga bahwa kereta itu dilarikan ke arah barat. Pantas saja ia tadi tidak berternu karena ia masuk kota melalui pintu gerbang selatan. Melihat seekor kuda milik para penjaga, ia lalu berkata.

“Aku pinjam kuda kalian sebentar!”

Para penjaga sudah mengenal Kui Hong dyang mereka kagumi ketika gadis itu dahulu pernah tinggal di rumah Menteri Cang. Mereka tahu bahwa gadis itu lihai sekali, bahlan kabarnya menjadi ketua Cin-ling-pai. “Silakan, nona!”

Kui Hong membalapkan kudanyamelakukan pengejaran. Akan tetapi karena kereta itu sudah jauh meninggalkan pintu gerbang kota raja, karena memang kedua orang itu memilih kuda terbaik sehingga kedua kuda itu berlari cepat sekali. Namun, jejak kereta itu jelas dan Kui Hong terus melakukan pengejaran.

"Hong-moi, perlahan dulu....... !” Suara itu terdengar jelas sekali walaupun lirih, seolah-olah yang bersuara itu berbisik di dekat telinganya. Tahulah ia bahwa itu adalah suara Hay Hay dan bahwa orang yang selama ini selalu tak pernah meninggalkan hatinya itu mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh yang hanya dapat di lakukan orang yang memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Ia menahan kudanya dan menengok. Benar saja. Bayangan itu seperti terbang saja datang dari belakang, cepatnya bukan main. Ia harus mengakui bahwa ia sendiri tidak rnungkin dapat menandingi ilmu berlari cepat Hay Hay. Memang seorang di antara guru Hay Hay, yaitu See-thian La-rna adalah seorang ahli gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sukar dicari bandingnya. Dan agaknya Hay Hay telah menguasai ilmu-ilrnu peninggalan para gurunya dengan baikg bahkan mungkin gurunya sendiri lebih baik dibandingkan setelah pemuda ini mendapat. gemblengan dari Song Lojing seorang sakt! yang menyempurnakan semua ilmunya.

"Hay-ko bagaimana dengan mereka tadi?"

"Hek Tok Siansu melarikan diri, orangorang, Pek-lian-kauw juga lari. Mayang berada di rumah Cang Taijin."

"Hay-ko, kenapa engkau menahanku? Bukankah kita harus cepat mengejar dan menyusul kereta itu?" Ia menunjuk ke depa dan kereta itu kini nampak sudah jauh.

"Hong-moi, kita harus berhati-hati menghadapi dua iblis itu. Kalau kita mengejar seperti ini dan mampu menyumereka akan memperguakan sul, tentu, dua orang gadis itu sebagai sandera dan kalau mereka mengancam dua orang gadis bangsawan itu, apa yang dapat kita lakukan?"

Kui Hong mengangguk. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Kita harus menyamar sebagai dua orang perampok yang menghadang perjalanan mereka, menutupi muka dengan saputangan. Kalau mereka mengira kita perampok, tentu mereka akan menyerang dan kita pendapat, kesempatan untuk menyelamatkan dua orang gadis tawanan itu."


"Engkau benar, Hay-ko. Mari kita cepat menyamar dan megejar." Kui Hong Ialu menggunakan saputangan mdnutupi mukanya dari bawah mata ke bawah, dan membungkus rambut kepalanya dengan kain pula sehingga sukarlah mengenal ketua Cin-ling-pai ini. Hay Hay juga menggunakan saputangan lebar menutupi mukanya. mengacaukan rambutnya sehingga riap-riapan.

"Hong-moi, sembunyikan sepasang pedangmu agar tidak dikenal." kata Hay Hay, dan Kui Hong cepat menyimpan sepasang pedang di balik bajunya yang longgar. Kemudian, gadis itu menatap wajah Hay Hay yang sudah tertutup saputangan. Mereka hanya saling beradu pandang mata Sejenak sinar mata mereka bertaut lalu dengan suara menggetar Kui Hong berkata.

Hay-ko, betapa banyaknya yang ingin kubicarakan denganmu. Akan tetapi waktunya tidak ada. Kelak saja kalausudah selesai urusan ini Mari kita kejar mereka!" Ia pun melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda kedepan mengerahkan gin-kangnya Hay Hay juga melesat cepat mengejar dan tubuhnya kuda itu.

Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa rnerasa lega. Memang semua cita-cita mereka hancur dan gagal, dan mereka tidak mungkin menjadi orang kepercayaan Menteri Cang, akan tetapi setidaknya mereka dapat menyelamatkan diri. Dengan adanya Cang Hui dan Cin Nio sebagai sandera, takkan ada orang yang berani menggannggu mereka, apalagi menyerang mereka. Dan kini Ki Liong masih mempunyai harapan tipis, yaitu dengan menyandera Cang Hui, mungkin Menteri Cang akan mengalah demi keselamatan puterinya dan akan suka menerimanya sebagai mantu. Mengingat betapa dia pernah berjasa dan menjadi orang kepercayaan Menteri Cang, dan mengingat pula bahwa bangsawan tinggi itu tentu akan menjaga nama baik keluarganya daripada aib, besar kemungkinan niatnya itu akan terkabul.

Kini kereta itu telah tiba di luar kota raja, mendekati kaki sebuah bukit dan hati mertka sudah merasa senang. Dua orang gadis yang mereka tawan masih rebah setengah duduk dalam keadaan lemas tak mampu bergerak di dalam kereta. Ki Liong memegang kendali, dan Bi Hwa duduk, di sampingnya sambil mengawasi dua orang tawanan mereka.

“Aih, engkau mau enak sendiri saja." kata Bi Hwa bersungut-sungut, "Kita menculik dua orang gadis, hanya akan menyenangkan engkau saja. Aku tentu hanya akan menjadi penonton yang panas perut."

Ki Liong tertawa dan mengelus dagu perempuan yang duduk di sampingnya. “Ah, engkau ini masih mempunyai cemburu? Ha-ha, jangan berpendapat sepicik itu, Bi Hwa. Kalau tadi ada Cang Sun, tentu akan ku culik pula pemuda itu untukmu. Yang penting bukan kesenangan, melainkan keselamatan kita lebih dahulu. Dengan adanya mereka, kita akan selamat. Siapa tahu, kelak Cang Taijin akan mau menerimaku sebagai mantu. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan melupakan engkau, manis."

Tiba-tiba mereka menjadi tegang dan memandang ke depan. Ada dua orang yang mukanya tertutup sapu tangan menghadang di depan. Dua orang itu mengangkat tangan ke atas memberi isyarat untuk berhenti. Dari pakaian mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi baik Ki Liong maupun Bi Hwa tidak mengenal mereka karena wajah mereka tertutup saputanga, bahkan wanita itu kepalanya dikerudungi, dan yang pria rambutnya riap-riapan. Karena tidak ingin kuda yang menarik kereta ketakutan dan sukar dikendalikan, terpaksa Liong menahan kedua ekor kuda yang sudah kelelahan itu.

Heii, kalian mau apa?" bentaknya penuh wibawa. “Minggir!"

"Kalian yang cepat turun dan serahkan kereta dan kuda kepada kami." kata pria bertopeng yang rambutnya riap-riapan. Suaranya parau dan dalam. Tahulah Ki Liong dan Bi Hwa bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perampok yang hendak merampas kereta dan kuda. Mereka marah bercampur geli.

"Hemm, kalian sudah bosan hidup!" bentak Su Bi Hwa dan tangannya bergerak. Jarum-jarum beracun meluncur menjadi sinar hitam kehijauan menyambar ke arah kedua orang perampok itu. Akan tetapi, kini kemarahan dua orang itu berubah menjadi kekagetan dan keheranan. Dua orang "perampok" itu menggerakkan tangan mengibas dan semua jarum itu runtuh oleh hawa pukulan dari tangan mereka! Kibasan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sin-kang (tangan sakti) yang kuat.

"Keparat, kalian benar-benar ingin mampus!" Bi Hwa hendak melompat turun, akan tetapi tiba-tiba Ki Liong memegang pergelangan tangannya.

"Jangan turun, jaga dan todong kedua orang tawanan kita.” Bisiknya. Bi Hwa adalah seorang wanita yang berpengalaman dan cerdik, maka seketika, ia pun sadar, dan pedang yang tadinya sudah ia cabut untuk “menghajar” kedua orang perampok itu, kini sebaliknya ia todongkan kearah dua orang tawanan yang sudah tidak berdaya.

Ki Liong yang masih di bagian depan kereta memegang kendali kuda, kini tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, Kui Hong dan Hay Hay, kalian kira aku begitu tolol untuk dapat kalian tipu? Jangan kalian bergerak, karena begitu kalian bergerak, nona Cang Hui dan Teng Cin Nio akan kami bunuh!"

Tentu saja Hay Hay dan Hui Hong terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa Ki Liong demikian cerdiknya sehingga tidak dapat mereka pancing meninggalkan dua tawanannya. Mereka merasa tidak ada gunanya lagi menyamar, rnaka mereka merenggut lepas sapu tangan penutup kepala dan muka.

"Ki Liong, engkau iblis cerdik," kata Hay Hay, suaranya tenang saja walaupun di dalam,hatinya, dia merasa khawatir. "Bagaimana engkau dapat mengenal kami?"

"Heh-heh, Hay Hay, kau kira aku begitu bodoh? Ingat, sudah lama aku mengenal Kui Hong. Aku pernah tergila-gila kepadanya, dan aku ingat benar bentuk dan sinar matanya, ingat akan bentuk tubuhnya. Siapa lagi, kalau bukan ia yang dapat meruntuhkan jarum-jarum Tok-ciang Bi-Moli semudah itu? Dan yang pria tentu saja engkau, karena tadi kalian yang menentang kami. Nah, mudah sekali, bukan? Dan kalian yang bodoh. Jangan bergerak kalau menghendaki dua orang nona itu tidak mampus lebih dulu!"



Hay Hay menahan nafas, merasa tidak berdaya. Mengunakan sihir? Dia tahu bahwa Ki Liong terialu lihai untuk dikuasai dengan sihir, karena tentu pemuda itu sudah siap siaga. Dan Su Bi Hwa adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw, tentu saja ahli sihir dan kalau mereka berdua sudah siap siaga menjaga diri, sukarlah menguasai mereka dengan sihirnya. Berbahaya, tentu pedang di tangan iblis betina itu akan membunuh kedua orang gadis tawanan itu.

Selagi Hay Hay merasa bingu, dan tak berdaya, tiba-tiba Kui Hong mengeluarkan suara mengejek. "Huh, engkau iblis berrnuka manusia, srigala berkedok domba, engkau jahanam busuk dan terkutuk Sim Ki Liong! Kau kira dapat menggertak kami dengan menyandera kedua gadis bangsawan itu? Bunuhlah mereka kalau engkau mau membunuh, akan tetapi ingat, kalau engkau dan siluman itu membunuh mereka, aku dan Hay-ko akan menangkap kalian dan engkau tentu masih ingat bahwa aku adalah cucu Pendekar Sadis! Dan engkau lebih mengetahui bahwa kakekku yang pernah menjadi gurumu itu dijuluki Pendakar Sadis bukan sekedar omong kosong. Aku juga tahu bagaimana caranya menyiksa kalian sesadis-sadisnya sebelum kalian mampus sehingga kalian akan mati seribu kali!”

Mendengar ancaman ini, meremang bulu tengkuk Ki Liong dan Bi Hwa. Mereka yakin bahwa kalau sedang marah, bukan tidak mungkin ancaman ketua Cin-ling-pai itu akan dilaksanakan!

Ki Liong dan Bi Hwa saling lirik dan muka mereka berubah agak pucat mendengar ancaman Kui Hong itu. Mereka berdua maklum bahwa kalau mereka membunuh dua orang gadis tawanan, pasti mereka harus melawan Kui Hong dan Hay Hay, dan mereka tahu bahwa mereka tidak akan menang. Kalau mereka tertawan dan ketua Cin-ling-pai, cucu Pendekar Sadis itu melaksanakan ancamannya, wah, sungguh rnengerikan sekali membayangkan derita siksaan yang akan mereka alami.

Diam-diam Hay Hay kagum kepada Kui Hong. Gadis pujaan hatinya itu telah mempergunakan siasat yang tepat sekali. Gertak dilawan dengan gertakan yang lebih hebat lagi! Dia tahu bahwa dalam keadaan bingung dan ragu, bisa saja dua orang manusia sesat itu menjadi nekat dan benar-benar membunuh dua orang gadis bangsawan, maka dia pun cepat bicara dengan suara yang juga mengandung ejekan.

"Nah, kalian sudah mendengar sendiri ancaman cucu Pendekar Sadis! Aku sendiri hanya akan menyaksikan dari jauh karena aku pasti tidak tega melihat siksaan yang hanya dapat terjadi di neraka! Bagaimanapun juga, akhirnya kedua orang tawanan kalian mati kalian bunuh, dan kalian mati disiksa pangcu (ketua) dari Cin-ling-pai. Nah, bagaimana kalau kita biarkan kalian berempat tetap hidup?

Dalam keadaan panik dan bingung, ucapan Hay Hay itu merupakan pegangan harapan terakhir bagi Sim Ki Liong. "Aku setuju! Cia Kui Hong, aku menawarkan penukaran nyawa kami berdua dengan nyawa dua orang tawanan kami."

Kui Hong tersenyum mengejek. "Kalau menurut kata hatiku, aku tidak mungkin sudi melepaskanmu untuk ke dua kalinya, Ki Liong. Dahulu, Mayang memohon dan mintakan ampun bagimu karena ia tertarik dan terbujuk rayuanmu. Karena mengira bahwa engkau akan berubah dan kembali ke jalan benar, aku membiarkan engkau pergi. Ternyata engkau malah mengkhianati Mayang! Karena Mayang tidak berada di sini, biarlah kakaknya yang mengambil keputusan. Hay-ko, terserah kepadamu apa yang harus kita lakukan terhadap dua iblis ini."

Hay Hay bersikap acuh dan acuh dan suaranya sambil lalu saja ketika dia bertanya, "Sim Ki Liong, mengadakan perjanjian dengan orang seperti engkau sungguh merugikan diri sendiri karena engkau adalah seorang pengkhianat yang tidak suka memegang janji. Nah, tawaran penukaran yang kau maksudkan itu bagaimana? Jelaskan, nona Cia Kui Hong dan aku akan mempertimbangkannya. Akan tetapi awas, kalau engkau bertindak curang apa yang diancamkan nona Cia Kui Hong tadi pasti akan menjadi kenyataan." Sikap dan suara Hay Hay juga seperti orang yang tidak begitu memperdulikan nasib kedua gadis bangsawan itu sehingga Sim Ki Liong dan Siu Bi Hwa merasa kalah angin. Kalau saja yang mereka hadapi itu bukan Kui Hong dan Hay Hay, pikir mereka, kalau yang mereka hadapi itu Menteri Cang, pasti menteri itu tidak bersikap acuh seperti ini, tentu akan memperhatikan apa yang mereka tuntut dan memenuhinya tanpa banyak berbantah lagi. Akan tetapi, dua orang ini tidak dapat mereka gertak dan agaknya tidak perduli apakah mereka akan membunuh dua orang gadis itu atau tidak. Sebaliknya merekalah yang terancam!

"Kui Hong dan Hay Hay, kalau kalian mau berjanji tidak akan menyerang kami, dan membiarkan kami pergi dari sini, maka kami pun akan menyerahkan dua orang gadis di dalam kereta ini kepada kalian. Kami percaya akan janji kalian, terutama sekaii janji yang keluar dari mulut ketua Cin-ling-pai. Kalau kalian tidak mau, apa boleh buat, dua orang nona ini akan kami bunuh, kemudian melawan kalian untuk kami mati-matian mengadu nyawa. Bagaimanapun juga, kami sudah untung membunuh dua orang gadis tawanan ini."

Hay Hay pura-pura meragu lalu bertanya, sambil menoleh kepada Kui Hong, “Bagaimana pendapatmu, Pangcu(ketua)? Rasanya sayang membiarkan dua ekor tikus busuk ini pergi, setelah kita dengan mudah akan dapat menangkapnya dan menyeretnya ke depan Menteri Cang, atau rnembunuh mereka di sini seperti dua ekor tikus. Bagaimana pendapatmu dengan penawaran mereka itu?"

Kui Hong juga memperlihatkan sikap ragu-ragu. "Hemm, aku pun merasa sayang kalau harus melepaskan dua iblis busuk yang layak mampus ini. Akan tetapi, bagaimanapu juga, nyawa mereka tidak ada harganya. Dua orang nona itu jauh lebih berharga. Biarlah untuk sekali ini kita mengalah dan membiarkan mereka pergi, akan tetapi lain kali kita tidak akan mengampuni mereka lagi."

"Nah, Cia Kui Hong, sebagai ketua Cin-ling-pai, berjanjilah bahwa engkau dan Hay Hay tidak akan menyerang kami dan membiarkan kami pergi." kata Sim Ki Liong, diam-diam merasa girang sekali. Bagi dia dan Bi Hwa pada saat itu, yang paling penting adalah kebebasan dan keselamatan mereka. Yang lain-lain tidak ada artinya. Kalau mereka masih hidup, tentu mereka akan dapat bercita-cita lagi, mengejar segala macam kesenangan lagi.



Kui Hong mengangguk. "Baik sekali ini aku berjanji akan membiarkan kalian pergi, akan tetapi lain kali kita bertemu lagi, aku pasti tidak akan mengampuni kalian. Nah, pergilah cepat!”

Setelah rnendengar janji Kui Hong, Sim Ki Liong memandang dengan wajah berseri dan ia menjadi berani. Dia yakin bahwa orang seperti Cia Kui Hong, sampai mati pun tidak akan sudi melanggar janjinya

"Bi Hwa, tinggalkan mereka!” katanya kepada Su Bi Hwa. Biarpun hatinya ragu dan khawatir, akan tetapi Bi Hwa percaya kepada Ki Liog dan melihat Ki Liong melompat turun dari kereta, ia pun meninggalkan dua orang tawanan itu. Ki Liong tersenyum dan berkata kepada Kui Hong. "Nah Kui Hong, ambillah mereka dan biarkan kami membawa kereta itu. Atau kalian tukar dengan dua ekor kuda kalian, bukankah kalian masih untung sebuah kereta dalam penukaran ini?"

Kui Hong menudingkan telunjuknya ke arah bekas suhengnya itu. "Sim Ki Liong manusia iblis tak tahu malu. Kalau engkau dan iblis betina ini mau pergi, cepatlah pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaranku dan lupa diri, lupa janji! Semua kuda dan kereta ini milik Menteri Cang, kalian hanya mencuri. Nah, cepat menggelinding pergi dari sini!”

Ki Liong menyeringai, hatinya panas sekali, akan tetapi dia tidak berdaya. Kalau dia tidak terima, apakah yang dapat dia lakukan? Marah dan menyerang mereka? Kalau begitu, jelas di luar perjanjian dan berarti dia mencari penyakit, bahkan mungkin saja mencari mati. Karena merasa,betapa Kui Hong sudah diikat janji, maka untuk melampiaskan kemarahan hatinya, dia pun berseru marah.

"Cia Kui Hong, aku tidak akan melupakan penghinaan ini. Ingat baik-baik, sekali waktu engkau akan terjatuh ke tanganku dan engkau akan membayar semua hutangmu kepadaku berikut bunganya!” Setelah berkata demikian, dia pun memberi isyarat kepada Bi Hwa dan mereka berdua membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

"Hemm, ingin sekali aku memukul pecah kepala yang isinya pikiran busuk itu!” kata Hay Hay.

"Sabarlah, yang paling penting kita menyelamatkan Cang Siocia." kata Kui Hong sambil mendekati kereta. Melihat Cang Hui dan Cin Nio dalam keadaan lemas tertotok, Kui Hong menggerakkan jari tangannya membebaskan mereka dari pengaruh totokan. Begitu dapat menggerakkan tubuhnya, Cang Hui lalu merangkul Kui Hong sambil menangis.

"Enci Hong.........!!”

Kui Hong menepuk-nepuk pundak Cang Hui. "Tenangkan hatimu, Nona. Engkau tidak diganggu oleh iblis itu, bukan?"

Cang Hui mengerti apa yang dimaksudkan Kui Hong dan ia menggeleng kepala, "Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, enci Hong. Mereka itu tiba-tiba saja datang dan menotok lalu menculik kami. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan Mayang dan mengapa pula mereka berdua yang selama ini diperlakukan dengan baik oleh ayah, kini berbalik menculik aku dan Cin Nio."

Kui Hong mengerutkan alisnya, "Nona Cang, agaknya engkau belum mengenal betul siapa mereka tadi?"

"Tetu saja aku mengenal mereka. Mereka telah diterima sebagai pembantu dan pengawal keluarga kami oleh ayah. Mereka kakak beradik bernama Liong Ki dan Liong Bi!” kata Cang Hui heran.

Kui Hong menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. "Rumah ayahmu telah kemasukan dua orang manusia iblis yang amat jahat, Nona. Akan tetapi panjang ceritanya dan nanti kita bicara dalam perjalanan pulang. Kami akan mengantar kalian pulang. Siapakah nona ini?" tanya Kui Hong menunjuk kepada Cin Nio. Ketika ia berada di istana Menteri Cang dahulu, Cin Nio belum berada di sana maka ia tidak mengenalnya.

"Ia adalah saudara misanku bernama Tan Cin Nio dan tinggal bersama kami. Dan siapakah pendekar ini?" Cang Hui memandang kepada Hay Hay, juga Cin Nio memandang.

"Aku, ji-wi Sio-cia (nona berdua)? Namaku Tang Hay akan tetapi panggil saja aku Hay Hay. Ah, sekarang aku mengerti mengapa Sim Ki Liong yang jahat itu menculik kalian. Kiranya kalian adaah dua orang nona bangsawan yang cantik jelita bagaikan dua tangkai bunga yang sedang mekar merekah dengan harumnya.......”

"Ihhhh....... Cang Hui terkejut mendengar ucapan yang Memuji dan merayu itu, dan ia menoleh kepada Kui Hong dengan sinar mata bertanya-tanya mengapa Kui Hong berkawan dengan pria yang kurang ajar itu!

Kui Hong tersenyum. “Saudara Tang Hay atau Hay Hay ini adalah seorang pendekar yang dikenal baik oleh ayahmu. Jangan kaget melihat dan mendengar sikapnya yang seperti merayu karena memang julukannya adalah Pendekar Mata Keranjang! Akan tetapi hatinya bersih. Hay-ko, jagalah sikap dan kata katamu agar tidak mengejutkan nona Cang dan nona Teng.”

Hay Hay tersenyum. Girang hatinya mendengar ucapan Kui Hong tadi karena ucapan itu jelas membuktikan bahwa Kui Hong telah mengenalnya dan tidak akan merasa cemburu kalau dia memuji-muji kecantikan wanita dengan sejujurnya.

"Ji-wi Sio-cia, harap ji-wi sudi memaafkan kalau sikapku tidak berkenan di hati ji-wi. Dua orang dara seperti jiwi yang anggun seperti bidadari, tentu memiliki belas kasihan seperti bidadari pula dan sudi memaafkan seorang hamba rendah macam diriku.”



Cang Hui adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan selalu gembira. Biarpun baru saja terbebas dari ancaman yang lebih mengerikan daripada maut, namun kini setelah mendengar keterangan Kui Hong tentang Hay Hay dan mendengar ucapannya yang terakhir itu, mau tidak mau ia terkekeh geli. "Aduh, setiap orang gadis harus berhati-hati sekali menjaga diri kalau bertemu dengan Tai-hiap ini! Kalau tidak hati-hati tentu akan mudah jatuh bangun!”

Hay Hay menjadi semakin gembira. Kiranya puteri Menteri Cang Ku Ceng ini seorang gadis yang lincah jenaka. "Maaf, Siocia. Apanya yang jatuh bangun itu?"

"Apanya? Tentu saja hatinya!" kata Cang Hui. "Enci Hong, sekarang ceritakan, apa artinya kata-katamu, tentang diri Liong Ki dan Liong Bi tadi?”

"Mari kita naik kereta. Hay-ko, engkau yang menjadi kusir." kata Kui Hong.

Hay Hay tertawa dan mereka semua naik ke dalam kereta. Tiga orang itu duduk di dalam dan Hay Hay duduk di depan, di tempat kusir. Dua ekor kuda itu memang kuda pilihan, dan kuda yang tadi dituggangi Kui Hong diikat di belakang kereta.

Dalam perjalanan kernbali ke kota raja itulah Kui Hong memberi penjelasan kepada Cang Hui dan Cin Nio tentang dua orang yang selama ini dipercaya oleh keluarga Cang itu.

"Orang yang kalian kenal sebagai Liong Ki itu sebetulnya bernama Sim Ki Liong, dan dia sebetulnya adalah murid dari kakekku, akan tetapi telah menyeleweng dan tidak diakui lagi bahkan menjadi musuh besarku. Dia pengkhianat, curang dan licik, seorang yang berbahaya sekali karena dia pandai bersikap seperti seorang pendekar budiman. Dia pernah membantu gerakan pemberontak yang telah dihancurkan. Dia amat jahat dan palsu. Untunglah bahwa engkau dapat terlepas dari tangannya, Nona."

Tiba-tiba Teng Cin Nio menangis. Gadis ini merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk ketika mendengar ucapan Kui Hong. Ia telah menjadi korban kejahatan Sim Ki Liong! Hanya Mayang seorang yang tahu akan peristiwa itu, dan hanya karena bujukan Mayang sampai hari ini ia masih hidup, karena aib itu membuat ia ingin bunuh diri saja.

"Enci Cin, kenapa engkau menangis?” tanya Cang Hui. "Sepatutnya kita bersukur telah terbebas dari tangan dua orang manusia iblis itu.”

"Adik Hui, aku teringat akan Mayang. Kalau mereka itu demikian jahatnya, kenapa Mayang datang bersama mereka ke rumah keluarga Cang? Kenapa Mayang mau berdekatan dengan mereka, padahal kita mengetahui benar bahwa Mayang adalah seorang gadis yang baik?"

"Ah, hal itu memang perlu dijelaskan agar tidak salah sangka." kata Kui Hong. “Memang Nona benar kalau mengatakan bahwa Mayang adalah seorang gadis yang baik dan gagah perkasa. Bagaimana tidak akan demikian kalau ia adalah adik dari Pendekar Mata Keranjang ini?"

“Aihh, Hong-moi, kenapa engkau suka sekaii menyebut mata keranjang? Engkau bisa membuat aku benar-benar merasa mata keranjang!”

"Memang kau mata keranjang, habis disuruh mengatakan apa? Akan tetapi aku sekarang tahu bahwa seluruh pria di dunia ini, bahkan seluruh mahluk jantan di dunia ini, semua mata keranjang! Hanya ada yang kecil. ada yang besar kadarnya, ada yang jujur seperti engkau, ada yang pura-pura, ada yang kasar dan ada yang halus, ada yang mampu mengendalikan diri dan ada yang menjadi hamba nafsunya."

"Enci Kui Hong, kalau memang Mayang seorang pendekar wanita yang perkasa, kenapa ia ikut-ikutan, menyelundup kedalam keluarga Cang?" Kini Cin Nio mendesak, marasa penasaran.

"Karena Mayang pernah terpikat dan jatuh cinta kepadanya, itulah sebabnya. Ketika aku akan membunuhnya dalam pertempuran menghancurkan pemberontak, Mayang mintakan ampun untuknya, karena Mayang berharap agar Ki Liong dapat sadar dari kesesatannya. Dan entah bagaimana Mayang dapat bergaul pula dengan Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan mau saja diajak menyusup ke dalam keluarga Cang. Hal itu tentu ada sebabnya dan nanti Mayang dapat menjelaskan kepada kita. Mungkin Mayang tidak tahu siapa sebenarnya iblis betina yang memakai nama Liong Bi itu. Kemudian, agaknya ia mengetahui juga rahasia mereka dan karenanya ia menentang mereka yang dibantu pula oleh Hek Tok Siansu, seorang datuk yang lihai."

"Kakek itu diakui guru oleh mereka, bahkan mereka mengajak kakek itu menghadap ayah!” kata Cang Hui terkejut.

"Sungguh berbahaya sekali. Untung sekarang rahasia mereka telah diketahui dan mereka tidak akan mungkin berani lagi muncul di rumah keluarga Cang." kata Kui Hong. "Hampir saja Mayang menjadi korban ketika dikeroyok oleh dua orang iblis itu, ketika aku dan kemudian Hay-koko ini muncul dan membantu Mayang.”

"Aku yakin bahwa Mayang tentu mempunyai alasan yang kuat kenapa ia dapat datang bersama mereka menghadap ayah." kata Cang Hui. "Di mana sekarang Mayang dan bagaimana keadaannya?"

"Ia menderita luka, akan tetapi agaknya tidak parah dan sekarang telah berada di rumah keluargamu, Siocia. Tadi ia dilindiingi kakaknya dan diantar kesana."

Kereta telah tiba di pekarangan gedung tempat tinggal keluarga Cang. Tentu saja mereka disambut dengan penuh kegembiraan, bukan saja oleh Cang Sun, ibunya dan Mayang, bahkan semua pengawal merasa gembira dan lega karena tadi mereka tentu saja merasa khawatir dan tentu mereka akan mendapat hukuman berat dari Menteri Cang kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Cang Siocia.

* * *

Sebelum mereka itu tiba, lebih dahulu Mayang dan Cang Sun telah bicara dari hati ke hati. Melihat tadi Mayang diantar oleh Hay Hay dalam keadaan luka-luka, tentu saja Cang Sun merasa khawatir sekali dan cepat-cepat dia memanggil tabib yang pandai untuk mengobati luka-luka yang diderita Mayang. Akan tetapi luka-luka itu tidak berat dan tak lama kemudian Mayang telah diajak bicara empat mata oleh Cang Sun, di ruangan sebelah dalam. Tak seorang pun pelayan diperbolehkan mendekat dan setelah duduk berhadapan berdua saja, Cang Sun mengamati waiah gadis yang di cintanya itu dan dengan nada suara khawatir dia mengajukan pertanyaan kepada Mayang apa yang sesungguhnya terjadi.

“Engkau tentu mengerti segalanya, dan ceritakan mengapa Liong Ki dan Liong Bi melakukan perbuatan menculik Hui-moi dan Cin-moi.”

Mayang menundukkan mukanya sampai beberapa saat lamanya. Kemudian, ketika ia mengangkat muka memandang, Cang Sun semakin khawatir. Wajah gadis itu agak pucat dan pandang matanya demikian sayu minta di kasihani.

“Kongcu, sekarang saatnya aku menceritakan segalanya secara terus terang kepadamu. Sungguh tugas ini amat menakutkan hatiku, kongcu, karena besar kemungkinan setelah kongcu mendengar keteranganku, kongcu akan membenciku. Aku telah melakukan kesalahan besar sekali di luar kesadaranku, dan kesalahanku ini hampir saja mencelakakan keluargamu, bahkan kini kita masih belum tahu bagaimana nasib adik Hui dan adik Cin.” Suara Mayang terdengar gemetar penuh perasaan sesal.

“Mayang, ceritakanlah. Aku bukan anak kecil, aku sudah dewasa dan aku dapat mempertimbangkan persoalan dengan adil. Apalagi engkau mengatakan tadi bahwa kesalahan itu kau buat di luar kesadaranmu, itu saja sudah menghapus sebagian besar dari kesalahanmu, kalau memang ada. Ceritakanlah.”

Berceritalah Mayang. Semua ia ceritakan darai permulaan. Sejak ia menyelamatkan Sim Ki Liong sehingga tidak sampai di bunuh oleh Cia Kui Hong karena ia merasa kasihan kepada Ki Liong, karena ia pun membalas cinta pemuda itu dan mengharapkan pemuda itu akan dapat kembali ke jalan benar. Betapa ia dan Ki Liong melakukan perjalanan dan di tengah jalan bertemu dengan Su Bi Hwa yang tidak di kenalnya dan yang di akui sebagai seorang sahabat lama oleh Ki Liong.

“Aku sempat melihat perbuatan mereka terhadap Kongcu. Aku tegur mereka dan mereka menyatakan bahwa mereka melakukan itu agar dapat memperoleh Kedudukan dan pekerjaan yang baik agar dipercaya oleh keluarga Kongcu. Mulai saat itu aku sudah merasa curiga dan tidak suka, akan tetapi karena menyangka bahwa mereka memang ingin mencari kedudukan yang pantas, aku pun menahan diri. Mereka mempergunakan nama palsu dan mengaku sebagai kakak beradik agar tidak menimbulkan kecurigaan. Aku yang bodoh, dapat saja mereka tipu dan aku sama sekali tidak mempunyai prasagka buruk terhadap mereka, hanya curiga. Akan tetapi, mereka membuat jasa, mereka nampakya setia kepada ayah Kongcu, bahkan mereka merobohkan orang-orang jahat yang hendak membunuh ayah Kongcu. Baru sekarang aku mengerti bahwa para pembunuh itu tentulah kawan-kawan mereka karena Su Bi Hwa itu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw.

Cang Sun terbelalak. "Orang Pek-lian-kauw? Betapa berbahayanya...... !” Aku sama sekali tidak tahu dan mereka kelabui, Kongcu. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa mereka bukan orang baik-baik, bahwa Sim Ki Liong tidak dapat kembali ke jalan benar, bahkan semakin jahat. Maka aku lalu mengambil keputusan untuk menentangnya, untuk membongkar rahasia mereka. Namun, aku terjebak dan dikepung, dikeroyok dua oleh mereka. Karena merasa bahwa rahasia buruk mereka telah kuketahui dan mereka tidak aman lagi, mereka berusaha untuk membunuhku. Aku melawan mati-matian akan tetapi karena mereka berdua memang lihai, aku sudah terluka ketika muncul enci Kui Hong.”

Cang Sun mengangguk. “Sukurlah, ia tadi ke sini dulu lalu kami minta ia suka menolong Hui-moi dan Cin-moi. Jadi engkau sudah mengenal Kui Hong?”

"Mengenal enci Hong? Ah, Cang-kongcu, bukan hanya mengenal, akan tetapi kami adalah sahabat baik dan lebih dari itu, enci Hong adalah calon kakak iparku.”

"Ehh? Calon kakak iparmu?” Can Sun menegas karena tidak mengerti.

“Ia akan berjodoh dengan kakakku."

"Siapakah kakakmu, Mayang?" "Kongcu mengenal dia dengan baik Dia adalah yang mengantarku ke sini tadi."

Sepasang mata Cang Sun terbelalak. "Tang-taihiap? Si Pendekar Mata Keranjang? Aih, jadi engkau ini adiknya?”

“Adik seayah berlainan ibu, Kongcu."

Cang Sun mengangguk-angguk. Pemuda bangsawan ini sudah mendengar betapa banyak tentang diri Tang Hay, Tang Hay adalah anak dari jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) yang amat jahat dan keji. Akan tetapi, Tan Hay tidak menuruni watak jahat itu walaupun menuruni sifat mata keranjangnya, bahkan Ang-hong-cu roboh dikalahkan Tang Hay sendiri. Jadi Mayang ini pun anak dari mendiang Ang-hong-cu? Dia dapat menduga bahwa seperti juga para wanita lain, ibu Mayang tentu juga menjadi korban dari Si Kumbang Merah.

"Teruskan ceritamu, Mayang.”

Melihat betapa pemuda itu hanya kelihatan kaget dan heran, tidak marah kepadanya, Mayang berani melanjutkan. “Dengan bantuan enci Hong, kami berdua dapat mendesak dua orang jahat itu.Akan tetapi kiranya mereka memang sudah membuat persiapan, karena segera muncul Hek Tok Siansu.......”

Pendeta yang mereka perkenalkan sebagai guru mereka itu?"



"Sama sekali bukan guru mereka, Kongcu. Hek Tok Siansu itu lihai bukan main dan kemuculannya membuat enci Hong dan aku kembali terancam. Akan tetapi, Tuhan tidak membiarkan orang-orang jahat merajalela terus. Muncul kakakku Tang Hay. Setelah kami melawan, diperkuat oleh Hay-koko. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang licik dan pengecut itu Ialu melarikan diri. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Kong-cu, maka aku minta enci Hong melakukan pengejaran ke sini.......”

"Keselamatanku'?" Cang Sun bertanya heran.

"Kongcu, sejak mereka tinggal di sini, Su Bi Hwa itu berusaha untuk memikatmu dan Sim Ki Liong berusaha memikat adik Cang Hui. Tentu mereka bermaksud agar mereka dapat menjadi mantu ayahmu. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Kongcu dan juga adik Hui. Karena Kongcu sedang tidak berada di rumah, maka tadi yang diculik adalah adik Hui dan adik Cin."

"Hemm, nona Cia Kui Hong datang ke sini dan kami minta ia pergi mengejar dua orang adikku yang diculik itu. Lalu bagaimana lanjutannya dengan pertempuran setelah nona Kui Hong pergi melakukan pengejaran?"

"Kakakku dapat mendesak dan mengalahkan Hek Tok Siansu. Kakek itu melarikan diri dan sisa orang-orang Pek-liankauw yang megeroyok juga melarikan diri. Hay-koko lalu membawa aku ke sini dan setelah kini dia dan enci Hong yang melakukan pengejaran, aku yakin bahwa adik Hui dan adik Cin akan dapat diselamatkan."

Setelah gadis ini berhenti bercerita, Cang S-un mengangguk-angguk. "Ceritamu sungguh menarik sekali, Mayang.

"Menarik? Apakah Kongcu…… tidak ....... marah dan benci kepadaku setelah mendengar ceritaku tadi?" Mayang memandang dengan muka terangkat. Sepasang mata sipit dan jeli itu memandang penuh selidik, mulut yang kecil itu agak terbuka penuh ketegangan dan alisnya berkerut mengandung kegelisahan.

Cang Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan. "Kenapa harus membencimu, Mayang? Tidak, aku tidak membencimu, tidak marah kepadamu."

"Tapi….. tapi aku……aku telah menipumu, tidak berterus terang, aku bahkan seperti melindungi dua orang penjahat keji yang membahayakan keluarga Cang."

Kembali Cang Sun menggeleng kepalanya, "Engkau melakukan hal itu tanpa kau sadari, Mayang. Dan kejujuranmu bahkan mengagumkan hatiku. Engkau sungguh polos, engkau selalu mempunyai niat baik. Aku tidak membencimu, bahkan semakin menyayangmu, Mayang.”

Mayang menelan isaknya, seperti tidak percaya kepada pendengarannya sendiri. Tadinya ia membayangkan bahwa Cang Sun tentu akan marah kepadanya, akan membencinya dan cintanya akan hilang, seperti cintanya terhadap Liong Ki yang bukan hanya lenyap, bahkan berubah menjadi kebencian setelah ia melihat Liong Ki tidak kembali ke jalan benar bahkan menjadi amat jahat. Adakah cinta kasih di antara manusia yang tanpa syarat, tanpa pamrih?

Kiranya cinta kasih tanpa syarat dan tanpa pamrih tidak akan mungkin dapat ditemui di antara manusia yang selalu menjadi permainan nafsu daya rendah. Dan apa pun yang dikemudikan nafsu, selalu pasti mempunyai pamrih demi kesenangan dan pemuasan nafsu itu sendiri, dan manusia menjadi alat, menjadi hamba nafsu.

"Tapi…….tapi, Kongcu…….” saking herannya Mayang berkata gagap.

Cang Sun memegang kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya. "Sudahlah, Mayang. Aku tetap cinta padamu, dan agaknya sekarang tiba saatnya aku mendapatkan jawaban dan kepastian darimu. Maukah engkau menjadi isteriku, Mayang?"

Inilah saat yang dinanti-nanti Mayang sejak ia mulai menanggalkan cintanya terhadap Ki Liong, sejak ia mendengar pengakuan cinta dari Cang Su. Akan tetapi, ia membutuhkan kekuatan dan ia pun membalas genggaman kedua tangan pemuda bangsawan itu sebelum menjawab. Ia mengangkat muka dan mereka saling pandang.

"Kongcu……..orang sehina dan serendah aku ini tentu saja merasa mendapat anugerah besar sekali mendengar pinanganmu. Akan tetapi, maafkan aku, Kongcu. Terpaksa sekali aku harus mengatakan bahwa aku hanya dapat menerima pinanganmu untuk menjadi isterimu, kalau Kongcu suka memenuhi sebuah permintaanku."

Cang Su mengamati wajah gadis itu seperti mengamati sesuatu yang lucu. "Eh? Engkau, mempunyai syarat, Mayang? Sudah sepantasnya seorang gadis pilihan seperti engkau mengajukan syarat dalam perjodohan. Nah, katakan, apakah syarat itu? Mudah-mudahan tidak terlalu sulit bagiku untuk memenuhinya."

"Syarat itu hanya satu, Kongcu. Yaitu, aku baru mau menjadi isterimu kalau engkau menikah dengan adik Teng Cin Nio…….”

"Apa ...??" Cang Sun sedemikian terkejut sehingga dia melepaskan kedua tangan itu, bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah kemerahan. "Kau ... kau .......... sudah gilakan engkau, Mayang? Aku meminangmu untuk menjadi isteriku, dan engkau mengajukan syarat agar aku menikah dengan aku Cin Nio? Tidak kelirukan pendengaranku?"

"Benar, Kongcu. Engkau tidak keliru Memang itulah syaratku. Aku mau menjadi isterimu kalau engkau menikah dengan adik Cin Nio."

"Akan tetapi, apa artinya ini? Mengapa begini dan apa sebabnya engkau mengajukan syarat yang amat aneh ini? Aku hanya cinta padamu, Mayang."



"Dan aku pun…..cinta padamu, Kongcu. Juga adik Cin Nio amat mencitamu."
"Tapi itu bukan alasan bahwa aku harus menikahinya, Mayang. Engkau tidak adil dan amat aneh!"

"Memang bukan itu alasannya. Akan tetapi kalau Kongcu tidak menikah dengan adik Cin, mungkin ia akan bunuh diri dan kalau hal itu terjadi, maka akulah penyebabnya, seolah akulah yang membunuhnya."

Cang Sun terbelalak. "Apa artinya semua ini, Mayang? Ceritakanlah yang jelas agar aku dapat mengerti yang kau maksudkan dengan permintaan yang aneh dan tak masuk akal ini?"

Mayang lalu menceritakan apa yang telah terjadi, musibah yang menimpa diri Teng Cin nio yang diperkosa oleh Sim Ki Liong karena gadis itu tidur di dalam kamarnya.

"Sebetulnya jahanam itu bermaksud untuk memperkosaku, Kongcu. Mungkin makanan kami bertiga, yaitu adik Hui, adik Cin dan aku, diberi obat pembius sehingga setelah makan minum, aku merasa mengantuk sekali. Adik Cin lalu menyuruh aku tidur di tempat tidurnya, dan ia tidak tega membangunkan aku, maka ia sendiri lalu tidur di kamarku malam itu. Maka, malapetaka yang mestinya menimpa diriku, berbalik menimpa dirinya."

"Keparat si Ki Liong itu!" Cang Sun mengepal tinju dengan marah.

"Setelah terjadi Peristiwa itu, adik Cin berusaha membunuh diri, akan tetapi aku dapat rnencegah dan membujuknya. Nah, itulah yang terjadi dan mengapa aku mengajukan syarat agar engkau suka menikah dengannya, Kongcu. Pertama, untuk menebus penyesalan hatiku bahwa ia menjadi korban karena aku. Ke dua untuk rnencuci aib yang menimpa dirinya agar ia tidak melakukan kenekatan membunuh diri karena kalau hal itu terjadi, selama hidupku aku akan merasa menyesal dan merasa bersalah.”

Cang Sun mengangguk-angguk, termenung. Sungguh kasihan sekali Cin Nio pikirnya. Dia pun tahu bahwa Cin Nio jatuh cinta padanya. Hal ini mudah saja dilihat dari sikapnya, suaranya, da terutama sekali pandang matanya kalau berhadapan dengan dia. Dia tahu pula bahwa ayah dan ibunya mengharapkan agar dia menikah degan Cin Nio. Akan tetapi, ketika itu hati dan pikirannya masih, dipenuhi bayangan Cia Kui Hong. Kemudian, muncul Mayang dan dia jatuh cinta kepada gadis peranakan Tibet itu. Dan kini, Mayang hanya mau menjadi isterinya kalau dia menikahi Cin Nio. Baru sekarang dia mendengar ada seorang gadis yang minta agar dimadu!

"Bagaimana, Kongcu? Kuharap engkau suka memberi keputusan sekarang."

"Tapi ia……eh, mereka……belum kembali, mereka masih berada dalam tangan penculik…….”

"Kongcu, aku percaya sepenuhnya kepada kakakku Tang Hay dan kepada enci Kui Hong. Mereka berdua pasti akan berhasil menyelamatkan adik Hui dan adik Cin. Aku menghendaki agar sebelum adik Cin pulang, engkau sudah dapat mengambil keputusan sekarang agar nanti kalau ia pulang, Kongcu langsung melamarnya. Kalau begitu, barulah aku akan menerima pinanganmu dehgan sepenuh hatiku."

Cang Sun kini menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Selama hidupku belum pernah aku mendengar hal yang seaneh ini, Mayang. Engkau seorang gadis yang luar biasa aneh akan tetapi juga baik budi. Baiklah, Mayang, kalau itu yang kau kehendaki. Aku akan menikah dengan engkau dan Cin-moi. Akan kuminta kepada ayah ibuku agar aku menikah dengan kalian dalam waktu yang sama.”

"Dan begitu adik Cin pulang, engkau akan langsung melamarnya agar hatiku tenteram dan ia tidak melakukan hal yang bukan-bukan?"

Aku akan langsung rnelamarnya, akan tetapi dengan satu syarat”

"Eh? Engkau mengajukan syarat pula." Apa syaratmu Kongcu?"

“Engkau harus menemaniku, atau setidaknya engkau harus hadir dan menjadi saksi ketika aku melamarnya." Berkata demikian, Cang Sun kembali memegang kedua tangan Mayang.

Baik, aku akan menghadirinya....... .” kata Mayang dan ia pun tidak melanjutkan kata-katanya karena dengan penuh kebahagiaan Cang Sun sudah mendekapnya.

* * *



Kedatangan kereta yang membawa Cang Hui, Cin Nio, kui Hong dan Hay Hay disambut penuh kegembiraan. Mayang segera lari menyambut kakaknya dan dengan sikap manja ia merangkul Hay Hay.

"Hay-koko, aku meyakinkan Cang-kongcu bahwa engkau dan enci Hong sudah pasti akan mampu menyelamatkan adik Hui dan adik Cin."

"Kau anak Bengal! Bagaimana engkau sampai tertipu dan diperalat manusia-manusia macam Ki Liong dan Tok-ciang Bi Moli?" tegur Hay Hay kepada adiknya.


Mayang menoleh dan tidak menjawab karena ia melihat Cin Nio yang turun dari kereta bersama Cang Hui kini lari ke dalam. Ia melepaskan rangkulannya dari leher Hay Hay, menoleh ke arah Cang Sun dan memberi isyarat dengan pandang matanya, lalu ia berlari mengejar Cin Nio.



Ketika Maynag memasuki kamar, ia mendapatkan Cin Nio rebah menelungkup di pembaringannya dan menangis tersedu-sedu. “Adik Cin……!” Mayang menghampiri, duduk di tepi pembaringan.

Cin Nio mengangkat muka menoleh dan melihat Mayang, ia lalu bangkit duduk dan merangkul Mayang sambil menangis terisak-isak. “Mayang……ah, Mayang ……aku…….aku tidak mungkin dapat hidup terus…….”

“Hush, adik Cin. Ceritakan dulu apa yang terjadi. Tadi aku belum sempat mendengar dari Hay-koko atau enci Kui Hong. Engkau dan adik Hui di selamatkan mereka, bukan? Lalu bagaimana dengan mereka, dengan kedua orang iblis busuk itu?”

"Mereka takut kepada kakakmu dan Cia-lihiap, mereka menggunakan kami berdua sebagai sandera dan akhirnya mereka menukar nyawa mereka dengan kami berdua. Kakakmu dan Cia-lihiap terpaksa melepaskan mereka dan sebagai gantinya, kami berdua pun dibebaskan. Mereka telah berhasil lolosi Mayang, kalau aku tidak mampu melihat musuh besar itu binasa, bagaimana mungkin aku dapat hidup terus? Cin Nio menangis lagi.

Adik Cin, ingatlah baik-baik. Tidak ada orang lain yang mengetahui peristiwa itu kecuali engkau dan aku. Karena tidak ada yang tahu, maka namamu tidak akan tercemar. Engkau tidak boleh putus asa. Percayalah, aku akan minta kepada kakakku, juga kepada enci Hong yang menjadi calon kakak iparku untuk mencari jahanam itu dan membunuhnya. Aku sendiri akan membunuhnya untuk membalaskan sakit hatimu."

"Tapi, Mayang, bagaimana aku dapat berlahan untuk hidup terus setelah aku ternoda? Akhirnya akan ada yang tahu dan aku tidak akan sanggup menahan derita karena malu!"

Mayang maklum apa yang dimaksudkan Cin Nio. "Adik Cin, engkau hanya mau menikah dengan pria yang kau cinta bukan? Dan engkau mencinta Cang Kongcu, bukan?"

Mendengar ucapan ini, Cin Nio menjerit, akan tetapi jerit itu tidak keluar dari kamar karena ia mendekap mulutnya sendiri. Ia sesenggukan dan memandang wajah Mayang dengan mata merah dan muka basah air mata.

"Mayang, kenapa engkau berkata demikian? Ucapanmu seperti pedang beracun menembus jantungku. Mayang, kau kira aku ini orang macam apa? Aku menganggapmu seperti saudaraku sendiri. Kanda Cang Sun hanya mencinta nona Cia Kui Hong, kemudian engkau muncul dan karena cintanya terhadap Cia-lihiap tidak terbalas, dia jatuh cinta kepadamu, Dia tidak cinta kepadaku, Mayang. Dan pula, bagaimana aku dapat mengharapkan berjodoh dengan dia setelah keadaanku seperti sekarang ini? Dahulu pun sebelum malapetaka menimpa diriku, dia tidak cinta padaku, apalagi sekarang……."

Sebelum Mayang menjawab, terdengar ketukan pada pinti, dan daun pintu didorong dari luar, kemudian nampak Cang Sun memasuk! kamar itu. Melihat siapa yang datang, Cin Nio terbelalak dan cepat ia bangkit duduk sambil mengusap air matanya.

"Sun-ko .…." katanya heran dan juga kaget melibat munculnya pemuda itu yang tak disangka-sangkanya.

"Cin-moi, siapa bilang aku tidak cinta padamu? Cin-moi, biarlah aku membuktikan tidak benarnya pendapatmu itu dengan meminangmu sekarang juga, Cinmoi, maukah engkau menjadi isteriku?"

Tentu saja Cin Nio terbelalak, mukanya tiba-tiba menjadi merah, lalu pucat, dan merah kembali. Sampai lama ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Cang Sun seperti orang melihat setan di tengah hari.

"Cin-moi, bagaimana jawabanmu? Maukah engkau menjadi isteriku?" Cang Sun mengulang dan kini dia melihat betapa Cin Nio menitikkan air mata. Hatinya merasa terharu bukan main. Mayang memang benar sekali dan keputusannya yang aneh itu memang tepat, mungkin merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan adik misannya ini.

"Sun-ko.... jangan…. jangan bergurau……akhirnya Cin Nio berkata, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil.

"Bergurau? Cin-moi, pandanglah aku. Apakah aku biasa bergurau dalam urusan yang begini penting? Mari, mari kita menghadap ayah dan ibu agar kita semua dapat membicaraka urusan perjodohan kita." Cang Sun melangkah maju hendak memegang kedua tangan gadis itu.

"Tidaaaak…..! Jangan sentuh diriku, Sun-ko….! Tidak, aku……..aku tidak bisa…….aku tidak mungkin menjadi isterimu…….!” Ia menjerit dan melempar tubuhnya kembali ke pembaringan, memeluk bantal dan menangis, tersedu-sedu.

Cang Sun saling pandang dengan Mayang. Cang Sun menggerakkan kedua pundak menunjukkan bahwa dia tidak berdaya membujuk, sedangkan Mayang mengangguk lalu ia menghampiri pembaringan dan menyentuh pundak yang terguncang menangis itu dengan lembut.

“Adik Cin, hentikan tangismu dan jangan berduka. Bukankah pinangan Cang Kongcu sepatutnya kau sambut dengan perasaan bahagia, bukan dengan tangis duka?”

Mendengar ucapan Mayang, Cin Nio bangkit duduk dan memandang kepada gadis tibet itu. Sambil terisak-isak ia berkata. “Mayang, bagaimana engkau dapat berkata demikian? Mayang, bagaimana engkau tega berkata demikian…? Bagaimana mungkin aku…aku….” Ia pun menangis lagi dan kini menubruk dan merangkul Mayang.

Mayang mendekap Cin Nio dan mengelus rambutnya sambil berkedip kepada Cang Sun. Pemuda itu menghampiri dan setelah dekat dia pun berkata. “Cin-moi, hentikan tangismu itu. Aku sudah tahu apa yang menimpa dirimu dan menurut pendapatku, engkau tidak bersalah, Cin Moi.”

Isak itu terhenti. Dengan muka pucat, Cin Nio yang kini mengangkat mukanya itu memandang kepada Cang Sun melalui genangan air matanya. “Apa….? Engkau sudah tahu bahwa aku….., aku….dan engkau tadi masih….?”

Cang Sun mengangguk. “Benar, aku sudah tahu akan malapetaka yang menimpa dirimu, akan tetapi karena engkau tidak bersalah, akupun tidak akan mengingat hal itu lagi dan aku tadi meminangmu untuk menjadi isteriku. Bagaimana jawabanmu?”



Sepasang mata itu masih terbelalak, memandang kepada Cang Sun kemudian kepada Mayang, penuh keheranan dan tidak percaya. “Sun-ko, engkau tahu bahwa aku telah ternoda akan tetapi engkau tetap hendak meminangku, padahal engkau…..dan Mayang…..kalian saling mencinta, bukan….? Apa artinya ini?”

Mayang memegang kedua tangan Cin Nio dan mereka saling pandang. “Adik Cin, dengar baik-baik. Peristiwa yang menimpa dirimu itu hanya di ketahui kita bertiga dan Cang Kongcu tidak menyalahkanmu. Dia mencintamu, adik Cin, juga mencintaku, dan kita berdua mencintanya, bukan? Nah, sekarang dia hendak memperisteri kita berdua. Maukah engkau menjadi maduku, adik Cin Sin?”

Sejenak Cin Nio memandang nanar, akan tetapi segera pengertiannya menembus semua kekagetan dan keheranannya. Ia pun mengerti bahwa semua ini adalah usaha Mayang! Ia sendiri memang mencinta Cang Sun, maka kalau Cang Sun mau melupakan semua peristiwa itu, tidak menyalahkannya dan mencintanya, tentu saja dengan sepenuh hati ia mau menerima pinangan itu.

Mayang.......!” Ia menjerit lemah dan terkulai dalam rangkulan Mayang. Pingsan!

Cang Hui sedang sibuk menceritakan pengalamanya yang menegangkan kepada ibunya, didengarkan pula oleh para pelayan dan kesempatan ini dipergunakan Hay Hay untuk mengajak Kui Hong bicara. Kui Hong juga ingin bicara banyak dengan pemuda itu, maka ialah yang mengajak Hay Hay memasuki taman di sebelah kiri istana keluarga Cang. Ia memang sudah hafal akan keadaan di tempat itu. Mereka duduk di bangku dekat kolam ikan, terlindung oleh semak-semak dan bunga-bunga yang indah.

Hong-moi, ketahui bahwa aku membawa tugas yang teramat penting untuk pemerintah, dan ada sesuatu yang harus segera kusampaikan kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Karena Menteri Cang sedang tidak berada di rumah, maka harus cepat menghadap Menteri Yang Ting Hoo. Akan tetapi sebelum aku pergi kesana, aku ingin mendengar dulu apa yang hendak kau bicarakan denganku. Aku merasa seperti bermimpi ketika melihatmu, Hong-moi."

Kui Hong menatap pria yang dicintanya itu. Agak kurus, dan pandang matanya agak sayu walupun sikapnya masih gembira seperti biasa, pikirnya. Hatinya terharu karena ia maklum bahwa kalau perpisahah di antara rnereka rnembuat ia pernah jatuh sakit, tentu bagi pemuda ini lebih menderita lagi. Pemuda ini telah ditolak oleh ayah ibunya!

“Hay-ko, ada dua buah pertanyaan saja yang ingin kutanyakan kepadamu dan sejujurnya kuharap engkau suka menjawab dan setulus hatimu."

Hay Hay juga menatap wajah gadis itu, tak pernah berkedip dan penuh kasih sayang. Setelah kini berhadapan, baru dai menyadari benar-benar bahwa selama inidia amat mencinta Kui Hong dan betapa selama ini dia merindukan Kui Hong, akan tetapi perasaan itu dia tutup-tutupi dengan wataknya yang gembira.

"Hong-moi, engkau tentu tahu bahwa terhadapmu, aku selalu akan bersikap jujur dan tulus. Tanyakanlah, dan aku akan rnenjawab sesuai dengan suara hatiku."

"Pertanyaanku yang pertama, apakah engkau suka memaafkan ayah ibuku yang pernah menyakiti hatimu dengan penolakan mereka terhadap dirimu dahulu tu?" Suara gadis itu terdengar gemetar, tanda bahwa hatinya dicengkeram penyesalan. Mendengar pertanyaan ini, Hay Hay terbelalak, lalu mulut dan matanya tertawa Kui Hong melihat bahwa tawa itu bukan dibuat-buat, melainkan wajar sehingga ia merasa lega. Bukan tawa yang mengandung ejekan, tidak sinis.

“Ha-ha-ha. pertanyaanmu ini sungguh aneh sekali, Hong-moi. Kenapa harus kumaafkan? Ayah ibumu adalah orang-orang bijaksana yang hanya mengatakan hal hal yang benar. Tidak ada yang perlu dimaafkan karena pendapat mereka memang tepat. Engkau adalah puteri keluarga ketua Cin-ling-pai yang namanya terkenal bersih dan gagah perkasa di dunia kang-ouw, sedangkan aku adalah putera seorang jai-hwa-cat yang tersohor jahat. Mereka benar dan aku sendiri pun kalau menjadi, mereka akan berpendapat dan bersikap yang sama."

Kui Hong memandang wajah pria itu dengan penuh selidik. Bukan ucapan ejekan atau sindiran, melainkan sejujurnya. "Bagaimanapun juga, penolakan mereka itu telah memisahkan kita dan tentu telah menghancurkan hatimu atau mungkin bagimu perpisahan denganku itu tidak berarti apa-apa?"

"Hong-moi....... !” Kenapa engkau berkata demikian? Hampir mati aku karena duka, nyaris gila karena merana. Akan tetapi aku menyadari keadaan diriku dan aku dapat menerima keadaan, rnenerima kenyataan, betapa pahit pun."

"Nah, itulah yang kutanyakan kepadamu. Ayah ibuku telah menyebabkan engkau menderita, oleh karena itu aku bertanya apakah engkau suka memaafkan mereka? Jawablah, Hay-ko, jawablah agar hatiku lega, apakah engkau mau memaafkan ayah dan ibu atas penolakan mereka terhadap dirimu dahulu itu?"

Dalam suara gadis itu terkandung himbauan dan permohonan yang membuat suara itu menggetar sehingga hati Hay Hay tidak tega untuk menolak permintaannya. Dengan kesungguhan hati dia pun mengangguk. “Tentu saja, Hong-moi. Kalau memang dikehendaki, aku selalu siap sedia untuk memberi maaf sampai seribu kali kepada ayah ibumu."

Kui Hong menghela napas panjang dan hatinya terasa lega dan senang bukan main. "Aihh, Hay-ko, jawabanmu tadi telah menyingkirkan beban berat yang selama ini menghimpit perasaan hatiku. Percayalah, Hay-ko, ketika engkau pergi meninggalkan aku, penderitaan batin yang kurasakan tidak kalah berat dibandingkan dengan penderitaanmu. Biarpun sudah kucoba untuk melupakannya dengan bekerja untuk Cin-ling-pai, tetap saja aku merana, hampir gila, bahkan hampir mati karena sakit."

"Hong-moi……!” Hay Hay memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh penyesalan.

"Kalau begitu, aku telah berdosa kepadamu. Kau maafkanlah aku, Hong-moi.”

Kui Hong tersenyum, "Yang patut minta maaf adalah kami sekeluarga, Hay-ko, bukan engkau. Akan tetapi sudahlah, tentang maaf-maaf ini aku percaya bahwa engkau suka memaaf kan kami dengan setulus hatimu. Sekarang ada pertanyaanku yang ke dua kuharapkan pertanyaan ini terutama sekali harus kau jawab dengan sejujurnya."



Tanyalah, Hong-moi, jangan membikin aku tegang menantinya. Tentu saja aku selalu bersikap jujur kepadamu."

"Nah, jawablah, Hay-koko. Apakah engkau masih cinta padaku?"

Mendengar pertanyaan ini, kembali kedua mata Hay Hay terbelalak, kemudian alisnya berkerut dan matanya memandang dengan penuh penasaran. "Ya Tuhan, Masih perlukah engkau bertanya seperti ini, Hong-moi? Masih belum percayakah engkau bahwa aku mencintamu sampai aku mati kelak? Hong-moi, apa kau kira cintaku kepadamu dapat berubah-ubah seperti awan di langit? Apa pun yang terjadi, aku tetap cinta padamu, Hong-moi, dahulu, sekarang, kelak dan selamanya. Perlukah aku bersumpah? Dan mengapa pula engkau menanyakan hal itu?”

Ucapan pemuda itu terdengar bagaikan musik yang amat merdu dalam telinga Kui Hong, membuatnya tersenyum manis dan kedua pipinya menjadi kemerahan, "Aku menanyakan hal itu bukan karena meragukanmu, Hay-ko, melainkan agar aku merasa yakin karena aku…..aku…..selalu cinta padamu dan…..aku mengharapkan untuk menjadi isterimu, yaitu….kalau engkau sudi melamarku……”

“Hong-moi……! Tidak mimpikah ini? Dan bagaimana nanti ayah ibumu?”

"Mereka telah menyetujui, Hay-ko, mereka telah menyadari kesalahan mereka, dan mereka akan menerirna dengan hati tulus kalau engkau datang meminangku."

"Hong-moi……ya Tuhan, Hong-moi…….!" Hay Hay bersorak, menerjang ke depan, menangkap pinggang gadis itu dan melontarkannya ke atas! Seperti sebuah boneka saja tubuh Kui Hong terlempar ke udara dan ketika turun, Hay Hay menyambut dengan kedua lengan, merangkul, mendekap dan keduanya tenggelam dalam pelukan mesra yang membuat mereka sukar bernafas.

Setelah waktu yang entah berapa lamanya lewat, terdengar bisikan Kui Hong dari dalam dekapan Hay Hay. "Hay-ko, tugasmu…..”

Hay Hay melepaskan pelukannya, memegang kedua pipi Kui Hog seperti mengamati sebuah benda mustika yang amat berharga, lalu menciumnya dengan lembut seperti takut kalau-kalau mustika itu akan rusak oleh ciumannya, dan dia pun tertawa. "Engkau benar, aku hampir lupa. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menemui Menteri Yang. Urusan ini penting sekali dan nanti di perjalanan akan kuceritakan semua padamu.”

Mereka bergandeng tangan meninggalkan taman dan memasuki istana untuk berpamit. Dan di ruangan tengah, mereka mendapatkah keadaan yang membahagiakan. Dengan wajah berseri-seri, Cang Hui dan ibunya memberi tahu kepada mereka bahwa Cang Sun telah bertunangan dengan Mayang dan Cin Nio. Sekaligus bertunangan dengan dua orang gadis itu.

Hay Hay terbelalak ketika ibu Cang Sun berkata kepadannya.

"Tang-taihiap, karena engkau adalah kakak Mayang, maka sebelum ayah Cang Sun pulang, biarlah aku mewakili keluargaku mengajukan pinangan kepadamu sebagai wali dari Mayang. Kami melamar Mayang untuk dijodohkan dengan putera kami, Cang Sun.”

Hay Hay cepat memberi hormat untuk membalas nyonya bangsawan itu dan dia berkata dengan gugup, "Eh……maaf Cang-hujin (Nyonya Cang), saya……eh, saya tidak tahu bagaimana…….heii, Mayang, bagaimana ini?" Hay Hay tentu saja menjadi kikuk dan bingung ketika tiba-tiba saja dia menjadi wali dan menerima pinangan orang atas diri Mayang.

Mayang menghampiri kakaknya dan merangkul pundak Hay Hay dengan sikap manja. "Koko, apakah engkau mau mengatakan bahwa engkau tidak setuju kalau aku menjadi isteri kanda Cang Sun?"

Ditodong dengan pertanyaan seperti itu, Hay Hay ingin menjewer telinga adiknya. "Hushh, jangan sembarangan bicara. Tentu saja aku setuju sepenuhnya. Akan tetapi, bagaimana aku dapat memutuskan? Seharushya engkau bertanya kepada ibumu, bukan kepadaku."

"Hay-ko, ibuku jauh dan waliku yang terdekat hanya engkau. Nah, engkaulah yang,harus menjawab. Apakah engkau setuju dengan pinangan keluarga Cang atas diriku?"

Hay Hay mendekatkan mukanya kepada muka adikya dan berbisik, "Kenapa bertunangan sekaligus dengan dua orang gadis?"

Mayang terseyum manis. "Itu sudah menjadi keinginan kami bertiga engkau tidak perlu mencampuri, Hay-koko. Sekarang katakan saja bahwa engkau setuju dan menerima pinangan itu, habis perkara!”

Hay Hay mengangguk-angguk, lalu menghampiri nyonya Cang dan berkata dengan dengan sikap hormat. "Saya sebagai wali adik saya Mayang merasa setuju dan menerima dengan baik pinangan keluarga Cang."

Tentu saja nyonya Cang, Cang Sun dan Cang Hui menjadi gernbira sekali.

"Tang-taihiap,” kini Cang Sun yang bicara dengan sikapnya yang lembut dan tenang. "Tentu saja kami akan mengirim utusan kepada ibu Mayang untuk mengajukan pinangan resmi, akan tetapi sementara ini, persetujuan Taihiap amat menggembirakan hati kami."

"Peristiwa menggembirakan ini patut dirayakan. Mari kita semua pergi ke dalam untuk merayakan pertunangan ini." kata Nyoya, Cang.

Hay Hay cepat memberi hormat. "Harap memaafkan kami. Terus terang saja, saya mempunyai urusan yang teramat penting yang harus saya sampaikan kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Karena sekarang Menteri Cang kebetulan tidak berada di rumah, terpaksa saya akan menghadap Menteri Yang untuk menyampaikan sesuatu yang teramat penting bagi keamanan negara. Nanti setelah semua urusan selesai, baru saya akan kembali ke sini ikut bergembira."

"Saya pun akan ikut dan membantu Hay-koko." kata Kui Hong dengan wajah berseri.

Mayang segera memegang tangan Kui Hong, lalu menoleh kepada kakaknya, "Hay-ko aku adikmu sudah bertunangan dan akan menikah. akan tetapi engkau yang menjadi kakakku, kapan engkau akan menikah dengan enci Hong?"


Hay Hay dan Kui Hong saling pandang dan mereka tersenyum, dan Kui Hong yang mewakiii HayHay, merangkul Mayang dan berkata, "Engkau tunggulah saja, Mayang, tidak lama lagi kami pun akan menikah."

Karena mempunyai tugas yang penting sekali, Hay Hay dan Kui Hong Ialu meninggalkan keluarga yang berbahagia itu untuk menghadap Menteri Yang Ting Hoo. Dalam perjalanan ini dia mengomel, "Enak benar Cang Kongcu, sekaligus mendapatkan jodoh dua orang gadis cantik."

Tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya. Ketika Hay Hay juga berhenti dan menengok, dia berhadapan dengan gadis yang mukanya kemerahan,

Matanya berapi dan kedua tangannya bertolak pinggang. "Apa kau bilang tadi, Hay-ko? Jadi kau anggap Cang Kongcu senang dan enak, ya? Sekaligus mendapatkan jodoh dua orang gadis cantik? Engkau rnerasa iri? Boleh kau cari seorang gadis lain lagi dan aku akan menghadapi kalian dengan pedang!”

Hay Hay terbelalak. Dia tahu bahwa sekali Kui Hong cemburu dan marah, mengira dia iri hati terhadap Cang Sun dan ingin pula mengawini dua orang gadis seperti pemuda bangsawan itu. Dan baru sekarang dia melihat Kui Hong, calon isterinya itu, berdiri bertolak pinggang dan marah seperti itu. Tiba-tiba dia pun membayangkan Cang Sun berdiri menghadapi dua orang isteri di kanan kiri, dua orang isteri yang berdiri bertolak pinggang dan marah-marah kepadanya, apalagi Mayang adiknya yang galak itu. Membayangkan ini, Hay Hay tertawa bergelak.

"Hemm, engkau malah mentertawaiku?" Kui Hong membentak dan membanting-banting kaki kanannya. Hay Hay semakin gembira. Gerakan membanting kaki kanan ini sungguh ciri khas dari Kui Hong kalau sedang marah. Karena dia tahu benar bahwa kekasihnya sudah marah, dia lalu menghentikan tawanya.

"Aku menertawakan Cang Sun, bukan mentertawakan engkau, Hong-moi. Kini aku teringat bahwa keadaannya sama sekali tidak senang, karena kalau kedua orang isterinya itu marah-marah dalam saat yang bersamaan, aduh, celaka tiga belaslah dia!" Hay Hay tertawa lagi. "Apalagi Mayang galaknya tidak alang kepalang, aku tertawa membayangkan bagaimana dia akan melindungi dirinya dari dua ekor harimau betina yang marah-marah."

"Mau tidak mau Kui Hong tersenyum juga mendengar ucapan kekasihnya. "Sudahlah, tidak perlu kita membicarakan orang lain. Birpun Cang Sun seorang pemuda bangsawan, aku mengenal dia sebagai seorang pemuda yang baik tidak mata keranjang seperti engkau. Dan betapapun anehnya Mayang, kalau ia sampai bersedia dimadu dengan Cin Nio, jelas ada apa-apanya di balik semua itu yang hanya diketahui mereka bertiga. Bukan urusan, kita. Nah, sekarang ceritakan tugas penting apakah yang kau laksanakan, dan apa perlunya kita menghadap Menteri Yang."

Hay Hay lalu menceritakan dengan singkat namun jelas tentang mendiang Yu Siu-cai, sasterawan tua yang menulis laporan yang amat penting tentang keadaan di kota Cang-cow, tentang persekutuan yang dilakukan orang-orang Portugis dengan para pejabat tinggi di kota Cang-cow, juga dengan para bajak laut jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, betapa orang-orang Portugis di sana telah membuat benteng yang diperkuat meriam, betapa pejabat yang bersekongkol dengan orang Portugis itu telah menculik dan membunuh banyak pejabat yang setia kepada pemerintah.

"Aih, begitu hebatkah?" Kui Hong sangat kaget mendengar ini.

"Bahkan kepala daerah dan wakilnya di Cang-cow sudah tunduk kepada orang-orang Portugis," kata Hay Hay. “Di sepanjang perjalanan, banyak orang kang-ouw yang menghadangku dan mencoba merampas gulungan kertas laporan dari Yu Siucai. Itu saja membuktikan bahwa persekutuan itu telah meluas dan agaknya banyak orang Kang-ouw terlibat."

"Ah, kalau begitu, kita harus cepat menghadap Menteri Yang. Urusan ini teramat penting dan tidak boleh ditunda lebih lama lagi." kata Kui Hong dan mereka lalu bergegas pergi ke istana Menteri Yang Ting Hoo, menteri yang merupakan orang ke dua setelah Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal sebagai menteri yang setia, jujur, pandai dan mereka berdualah yang berdiri di belakang kaisar, mengatur pemerintahan sehingga Kerajaan Beng pada waktu itu menjadi semakin berkembang.

Menteri Yang Ting Hoo menerima mereka dengan ramah karena pejabat tinggi ini sudah lama mengenal nama mereka sebagai pendekar-pendekar yang berjasa terhadap negara. Hay Hay dan Kui Hong dipersilakan duduk diruang tamu dan ketika menteri yang tinggi kurus berjenggot panjang, bermata sipit dan wajahnya membayangkan keramahan dan kesabaran itu muncul, mereka berdua cepat memberi hormat."

Menteri Yang Ting Hoo berusia kurang lebih lima puluh empat tahun, lebih muda dibandingkan Menteri Cang Ku Ceng dan biarpun matanya sipit, namun sepasang mata itu memiliki sinar kilat yang membayangkan kecerdikannya. Setelah memasuki ruangan tamu dan membalas penghormatan dua orang tamunya, pembesar itu lalu memberi isyarat kepada para penjaga untuk meninggalkan ruangan itu.

Melihat dua orang tamunya kelihatan heran melihat dia menyuruh semua pengawal pergi, pembesar itu tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Kami telah mengenal baik nama besar ji-wi yang gagah perkasa. Kalau ji-wi saat ini berkunjung dan minta bertemu dengan kami, jelas bahwa ji-wi tetu membawa berita yang teramat penting. Oleh karena itu, sebaiknya kalau tidak ada orang lain yang mendengar agar lebih leluasa ji-wi menyampaikannya kepada kami."

Hay Hay dan Kui Hong saling pandang. Betapa cerdik dan bijaksananya pembesar ini dapat dilihat dari sikapnya itu.

“Tepat sekali dugaan paduka, Tai-jin." kata Hay Hay sambil mengeluarkan gulungan kertas bernoda darah itu. "Saya ingin menghaturkan surat laporan yang amat penting ini."

Melihat gulungan kertas itu, Menteri Yang berseru, "Aih, jadi benarkah berita yang kami dapat bahwa ada surat laporan rahasia yang ditulis oleh seorang siucai tua dari Cang-cow yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw? Inikah surat itu?"

Kembali Hay Hay dan Kui Hong kagum. Kiranya pembesar bijaksana ini telah mendengar pula tentang surat laporan itu! "Benar sekali, Tai-jin. Penulis laporan adalah mendiang Yu Siucai dan kebetulan dia serahkan kepada saya sebelum dia meninggalkan dunia, dan ketika saya membawanya ke kota raja untuk menyerahkannya kepada paduka atau kepada Cang-taijin seperti dipesan oleh Yu Siucai, banyak orang hendak merampasnya.”



"Menteri Cang sedang bertugas ke luar kota raja, jadi ji-wi (anda berdua) membawanya kepada, kami?”

"Menurut pesan mendiang Yu Siucai, laporan ini harus saya berikan kepada Menteri Cang atau kepada paduka."

Menteri itu menerima gulungan surat laporan, lalu membacanya. Alisnya berkerut dan dia memegang surat yang sudah dia buka gulungannya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kini dikepal.

"Ah, keparat. Memang mereka selalu mengadakan kekacauan, orang-orang biadap Portugis itu! Sekarang juga kami akan mengirim pasukan besar untuk menghajar mereka dan membasmi para pemberontak di Cang-cow!" katanya dan dia pun memberi isyarat memanggil para pengawal. Maka sebentar saja mereka bermunculan dari segala penjuru sehingga Hay Hay dan Kui Hong maklum bahwa setiap saat, pembesar itu terlindung ketat walaupun nampaknya seorang diri saja. Yang-taijin segera memerintahkan kepala penjaga untuk memanggil para perwira pasukan pengawal untuk pergi mengundang panglima pasukan keamanan.

Melihat kesibukan itu, Hay Hay dan Kui Hong menawarkan tenaga untuk. membantu. Menteri Yang mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Tai-hiap dan Li-hiap, urusannya sekarang adalah urusah ketentaraan. Kami akan mengirim pasukan untuk menghancurkan pemberontak. Kalau ji-wi ingin membantu, ji-wi dapat menjadi penyelidik ke Cang-cow, kemudian kalau ada hal penting yang perlu diketahui panglima pasukan, ji-wi dapat menghubungi dia. Jasa jiwi akan kami catat, menambah jasa-jasa jiwi yang pernah ji-wi berikan kepada pemerintah ketika ji-wi membantu Menteri Cang.”

Mereka menyatakan kesanggupan mereka, kemudian meninggalkan istana itu dan mereka kembali ke istana keluarga Menteri Cang karena sebelum meninggalkan kota raja mereka ingin pamit dulu dari keluarga yang mereka kenal baik itu.

Ketika mendengar keterangan Hay Hay bahwa dia bersama Kui Hong hendak pergi ke Cang-cow membantu pemerintah membasmi para pemberontak, Mayang segera menyatakan hendak ikut pergi.

"Hay-koko, aku harus ikut denganmu untuk membantu pemerintah membasmi para pemberontak!"

Mendengar ini, Cang Sun mengerutkan alisnya. "Mayang, untuk membasmi pemberontak, sudah ada pasukan besar yang akan melakukannya. ini bukan merupakan tugasmu, dan kalau engkau pergi, engkau hanya akan membuat kami di rumah merasa khawatir .”

Cin Nio juga memegang tangan Mayang. "Kalau engkau pergi, aku pun harus ikut pergi bersama, Mayang."

"Ih, kalau kita berdua pergi, kasihan…..tunangan kita, adik Cin!" semua orang tertawa mendengar ucapan Mayang tanpa sungkan-sungkan itu.

"Mayang, jangan seperti anak kecil. Engkau tidak boleh pergi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati semua perintah Cang Kongcu. T entang pemberontak itu, memang akan ditanggulangi Menteri Yang dan akan dikirim pasukan besar. Aku dan Hong-moi juga hanya akan membantu melakukan penyelidikan saja."

"Tapi, aku merasa benci sekali kepada Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa. Kalau aku belum dapat membunuh dua jahanam itu, selama hidupku, aku akan merasa penasaran terus Hay-ko."

"Kalau begitu, biarlah aku mewakilimu untuk mencari dan membasmi dua orang itu. Mereka memang merupakan dua orang yang berbahaya kalau dibiarkan hidup terus."

"Aku pun merasa berkewajiban melenyapkan Sim Ki Liong karena dia hanya akan mengotori naroa baik kakekku di pulau Teratai Merah." sambung Kui-Hong. Mayang memandang kepada Cin Nio yang berbalik juga memandangnya. Pertukaran pandang antara dua orang wanita itu sudah cukup bagi mereka. Mayang bertekad hendak membunuh Sim Ki Liong, terutama sekali untuk membalaskan dendam hati Cin Nio yang pernah diperkosa laki-laki jahat itu. Cang Sun yang merupakan orang ke tiga yang tahu akan peristiwa itu, segera berkata dengan suara tenang berwibawa.

"Mayang, engkau sudah mendapat janji kakakmu dan Cia-lihiap. Aku yakin bahwa mereka berdua akan dapat menghukum dua orang manusia iblis itu. Engkau dan Cin-moi tidak perlu pergi sendiri. Kalian harus berada di sini, menanti sampai ayah pulang agar urusan perjodohan kita dapat dibicarakan."

Karena maklum bahwa Cang Sun dan Cia Nio tidak meghendaki ia pergi, maka! Mayang juga tidak memaksakan kehendaknya. setelah ia menjadi tunangan Cang Sun, gadis ini terpaksa harus mengendalikan diri, karena ia tidak lagi bebas seperti dahulu. la merasa terikat, akan tetapi betapa manisnya dan menyenangkan ikatan itu baginya! Ia merasa diperhatikan, dipermanjakan, diperdulikan!

Pada hari itu juga berangkatlah Hay Hay dan Kui Hong meninggalkan kota raja, menuju ke kota Cang-cow. Cang Sun memberi mereka dua ekor kuda yang baik, dan mereka melakukan perjalanan cepat melalui pintu gerbang sebelah selatan dari kota raja.

Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan berhari-hari, mereka tiba di sebuah hutan di bukit kecil di sebelah barat kota Cang-cow, dan teringatlah Hay Hay kepada Sarah yang cantik manis. Tentu saja dia tidak pernah bercerita kepada Kui Hong tentang Sarah. Namun, dia tidak akan pernah dapat melupakan gadis Portugis berambut kuning emas bermata biru yang indah itu. Kini tentu Sarah sudah tidak lagi berada di Cang-cow dan dia merasa senang mengingat akan hal itu. Dia bersyukur karena kini Sarah tentu telah berlayar meninggalkan negeri ini bersama Aaron, pemuda kekasihnya dan mereka berdua tentu akan terhindar dari bahaya maut kalau pasukan pemerintah menyerbu Cang-cow. Kui Hong mengajak Hay Hay beristirahat di bukit itu. Mereka sendiri tidak begitu lelah, akan tetapi kuda tunggangan mereka sudah tampak letih. Mereka perlu dibiarkan mengaso dan makan rumput hijau tebal yang terdapat di bukit itu. Keduanya membiarkan kuda mereka terlepas makan rumput, dan mereka sendiri duduk berhadapan di atas rumput tebal.

Kui Hong bertanya tentang Cang-cow dan Hay Hay menceritakan apa yang dia ketahui. Antara lain dia bercerita bahwa kota itu menjadi pusat orang-orang Portugis yang memiliki pasukan kuat karena mereka semua mempunyai senjata api.



Tiba-tiba, mereka berdua bangkit berdiri dan bersikap waspada. Pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap gerakan orang. Tempat itu memang dikelililingi pohon-pohon dan semak belukar. Kecurigaan mereka memang terbukti. Jarum-jarum lembut menyambar dari kiri ke arah mereka! Dengan mudah pasangan pendekar yang tangguh ini memukul runtuh semua jarum dengan kibasan tangan mereka yang mendatangkan angin kuat.

“Kiranya siluman beracun dari Pek-lian-kauw yang datang! Pengecut curang, keluarlah kalau memang engkau ingin mampus!" bentak Kui Hong yang mengenal senjata rahasia itu.

Nampak bayangan berkelebat dan benar saja, Tok-ciang Bi-mo-li Su Bi Hwa telah berada di situ, tersenyum simpul dengan sikap genit memandang kepada Hay Hay. Baik Hay Hay maupun Kui Hong maklum sepenuhnya bahwa wanita siluman ini tidak akan berani banyak berlagak di depan meteka kalau saja ia tidak mengandalkan orang lain, maka keduanya bersikap waspada. Kalau tidak mempunyai andalan, mustahil Tok-ciang Bi-mo-li berani muncul memperlihatkan diri kepada mereka. Hallni sama saja dengan seekor ular mendekati pemukul. Dugaan mereka memang tepat karena dari kanan kiri nampak bayangan beberapa orang berkelebat dan ternyata seorang, seperti mereka berdua telah menyangka sebelumnya, adalah Sim Ki Liong! Melihat pemuda bekas murid kakeknya ini, Kui Hong tersenyum mengejek dan mendengus.

"Huh, kiranya si anjing keparat, pengkhianat murtad pengecut busuk Sim Ki Liong masih berani mengantar nyawa. Sekali ini, aku akan mencabut nyawamu!"

Sementara itu Hay Hay juga mengenal Hek Tok Siansu, kakek berbahaya yang amat lihai dan yang pernah dia kalahkan walaupun dengan susah payah. Dia pun tersennyum dan menggerakkan kedua tangan ke depan dada. "Kiranya Hek Tok Siansu yang kembali menghadang kami. Apakah engkau hendak melanjutkan pertandingan tempo hari, Sian-su?" Dalam pertanyaan ini terkandung ejekan yang membuat wajah di gundul itu menjadi semakin hitam kehijauan dan seyuman yang selalu membayang di bibir, senyum mengejek, kini berubah menjadi senyum masam dan hambar. Akan tetapi sekali ini dia tidak banyak cakap, melainkan memberi isyarat kepada Sim Ki Liong dan pemuda ini tanpa banyak bicara lagi sudah menerjang maju dan biarpun dia belum menguasai dengan sempurna, dia sudah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang, yaitu ilmu silat yang paling hebat dan menjadi andalan dari gurunya, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin! Ilmu ini memang hebat bukan main, dan hanya mempunyai delapan jurus. Namun, dibutuhkan orang yang telah memiliki tenaga sakti yang mencapai tingkat tinggi sekali saja yang dapat memainkannya. Kalau Pendekar Sadis yang memainkanya, tentu saja akan jarang ada orang mampu menandinginya. Bahkan dalam hal permainan ilmu-ilmu tertinggi dari pulau Teratai Merah, Sim Ki Liong masih kalah setingkat dibandingkan Cia Kui Hong. Semenjak Sim Ki Liong minggat dari pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka, Pendekar Sadis dan isterinya menurunkan ilmu-ilmu andalan mereka kepada Kui Hong agar gadis itu dapat mengatasi kepandaian Ki Liong.

Betapapun juga, karena ilmu Hok-liong Sin-ciang memang hebat, Hay Hay tidak berani memandang ringan, apalagi pada saat itu Hek Tok Siasu juga sudah bergerak menyerangnya. Hay Hay dikeroyok dua oleh Ki Liong dan Hek Tok Siansu sehingga mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepadaiannya untuk menandingi mereka.

Sementara itu, Kui Hong sudah menerjang dan menyerang Tok-ciang Bi mo-li Su Bi Hwa dan
karena Kui Hong amat marah kepada iblis betina itu yang pernah nyaris menghancurkan Cin-ling-pai, bahkan pernah melawan ayah-bundanya dan kakeknya, maka begitu menyerang ia telah mempergunakan jurus ampuh dari Thai-kek Sin-kun dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang. Hebat, bukan main serangan Kui Hong, dan dalam sekali serangan itu saja Su Bi Hwa terhuyung ke belakang dan tentu ia akan celaka kalau saja pada saat itu tidak ada dua orang tosu Pek-lian-kauw yang amat tangguh karena mereka adalah dua orang tosu Pek-lian-kauw tingkat dua.

Kui Hong merasa terkejut juga ketika meyambut seragan dua orang tosu Pek-lian-kauw karena serangan mereka sungguh tidak boleh dipandang ringan sama sekali! Tingkat kepandaian dua orang tosu ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Su Bi Hwa. Memang, tidak mengherankan kalau dua orang tosu Pek-lian-kauw ini lihai karena mereka adalah Gin Hwa Cu dan Lian Hwa Cu, dua orang tosu yang merupakan saudara-saudara seperguruan dari mendiang Pek-lian Sam-kwi. Tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit lebih rendah dibandingkan Kui Hong, maka setelah kini mereka maju berdua, ditambah lagi dengan bantuan Su Bi Hwa, tentu saja Kui Hong menjadi kewalahan.

Kalau Kui Hong terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, sama pula keadaan Hay Hay. Pemuda perkasa ini mendapatkan lawa tangguh dalam diri Hek Tok Siansu, dan kini karena Hek Tok Siansu dibantu Sim Ki Liong, dia menjadi terdesak. Memang semua ini telah diatur oleh Sim Ki Liong dan Su Bl Hwa. Dua orang yang cerdik dan licik ini sudah memperhitungkan bahwa dengan pengeroyokan seperti itu, mereka akan dapat mengalahkan Hay Hay dan Kui Hong.

Kalau Hay Hay dalam ilmu langkah ajaibnya Jiauw-pou Poan-san masih dapat menghindarkan hujan serangan dari dua orang pengeroyoknya yang tangguh, keadaan Kui Hong lebih, gawat. Gadis ini juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun karena tiga orang pengeroyoknya semua memiliki ilmu kepandaia tinggi, sejak semuia ia sudah repot dan setelah lewat tiga puluhan jurus saja, ia harus memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri tanpa dapat membalas serangan lawan sama sekali. Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang dimainkannya itulah yang sampai sekian lamanya dapat menyelamatkannya sehingga tiga batang pedang lawan belum mampu menembus benteng sinar sepasang pedangnya. Biarpun demikian, Kui Hong maklum benar bahwa kalau hal seperti itu berkelanjutan, akhirnya ia akan terancam bahaya. Tidak mungkin berkelahi hanya mengandalkan pertahanan saja, tanpa dapat membalas serangan lawan. Untung bagi Kui Hong bahwa ketika ia digembleng. kakek dan neneknya ia telah menguasai ilmu meringankan tubuh yang amat hebat. Gin-kang (ilmu meringankan) tubuh) nenak Toan Kim Hong memang amat luar biasa, bahkan lebih hebat dibanding gin-kang suaminya, Si Pendekar sadis. Karena itu, biarpun ia terdesak dan tidak mampu membalas serangan tiga orang pengeroyoknya, sebegitu jauhnya Kui Hong belum pernah terkena senjata lawan.

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Kui Hong dan Hay Hay, tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita yang nyaring, "Adik Kui Hong, jangan khawatir, kami datang membantu!"


"Enci Bi Lian!" Kui Hong girang bukan main melihat munculnya Bi Lian, apalagi gadis itu datang bersama Pek Han Siong! Suami isteri yang terpaksa saling berpisah selagi merayakan hari pernikahan itu kini menerjang dua orang tosu Pek-lian-kauw yang mengeroyok Kui Hong sehingga Kui Hong berhadapan sendiri satu lawan satu dengan Su Bi Hwa. Wanita Pek-lian-kauw ini terbelalak ketakutan ketika muncul dua orang tangguh yang begitu menerjang membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw terdorong, ke ,belakang. Ia sendiri harus menghadapi Cia Kui Hong yang amat marah dan benci kepadanya karena ia pernah mengacaukan Cin-ling-pai! Ia tahu bahwa ketua Cin-ling-pai itu tidak akan mau mengampuninya, dan untuk melarikan diri pun agaknya sia-sia saja. Ia tahu benar betapa ketua Cin-ling-pai ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat dan ke mana pun ia lari, tentu akan dapat dikejar dan disusulnya dengan mudah. Oleh karena itu, ia pun menggigit bibirhya dan dengan nekat ia lalu memutar pedangnya menyerang mati-matian mengeluarkan seruruh kepandaiannya. Jarum-jarum beracunnya sudah sejak tadi habis karena ketika ia mengeroyok tadi, ia masih melepaskan jarumnya terus-menerus sampai habis, namun gerakan Kui Hong memang luar biasa cepatnya sehingga semua serangan jarumnya tidak berhasil mengenai tubuh gadis itu.

"Su Bi Hwa, -dosamu sudah bertumpuk! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut dan mempertanggungjawabkan semua dosamu!" seru Kui Hong dania pun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat, mendesak Su Bi Hwa yang memang sudah jerih sekali itu. Karena maklum bahwa kalau sampai iblis betina itu mampu lolos lagi tentu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi orang lain, maka. Kui Hong tidak memberi kesempatan lagi dan dengan ilmu Pedang Penakluk Iblis, sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar bagaikan dua ekor naga sedang memperebutkan mustika. Dan mustika itu adalah tubuh Su Bi Hwa! Wanita yang sudah ketakutan ini berusaha sedapat mungkin untuk melindungi tubuhnya dengan , putaran pedangnya, namun terdengar Kui Hong membentak nyaring, sinar kedua pedangnya berkelebat dan Su Bi Hwa yang terdesak hebat itu meloncat tinggi ke'atas untuk menghindar. Namun, tubuh Kui Hong juga melompat tinggi dan ia menggerakkan sepasang pedangnya menyerang di udara. Su Bi Hwa berusaha menangkis, namun hanya sebatang pedang yang dapat ditangkisnya, sedangkan pedang di tangan kiri Kui Hong sudah membabat ke arah lehernya.

Tanpa dapat menjerit lagi Su Bi Hwa terbanting roboh ke atas tanah dengan mandi darah yang bercucuran keluar dari lehernya yang hampir putus. Ia tewas seketika. Kini Kui Hong melihat ke arah Hay Hay, Han Siong dan Bi Lian. Baik Han Siong maupun Bi Lian mampu mendesak dua orang tosu Pek-lian-kauw akan tetapi Hay Hay masih nampak terdesak oleh pengeroyokan Sim Ki Liong dan Hek Tok Siansu.

"Sim Ki Liong, bersiaplah untuk mampus!" Kui Hong membentak dan dengan sepasang pedangnya, ia pun menerjang bekas murid pulau Teratai Merah itu. Ki Liong menyambut dengan nekat walaupun dia maklum bahwa kini keadaannya sudah berbalik sama sekali. Ketika tadi dia melihat munculnya Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian, wajahnya berubah pucat dan dia merasa jerih sekali. Akan tetapi karena kedua orang itu bertanding melawan dua orang tosu Pek-lian-kauw, dan Su Bi Hwa mati-matian melawan Kui Hong, dia pun berusaha untuk lebih dulu merobohkan Hay Hay bersama Hek Tok Siansu. Kalau Hay Hay sudah roboh, dengan batuan Hek Tok Siansu pan dua orang tosu Pek-lia-kauw, kiranya dia dan kawan-kawannya ticPak perlu takut lagi. Akan tetapi, teryata amat sukar untuk merobohkan Hay Hay dan sebaliknya, Su Bi Hwa malah roboh lebih dahulu. Dan kini Kui Hong menyerangnya, maka tidak ada jalan lain baginya keculi melawan mati-matian dengan nekat.

Kini terjadilah perkelahian satu lawan satu yang amat hebat. Sungguh merupakan pertandinga tingkat tinggi yang pasti akan ditonton oleh semua tokoh kangouw sekiranya mereka mengetahuinya. Sayang pertandingan yang demikian hebatnya tidak ada yang menyaksikan, terjadi di tempat yang sunyi, hanya disaksikan pohon-pohon dan batu-batu, dan sinar matahari.

Pertandingan antara Siangkoan Bi Lian dan Lian Hwa Cu terjadi amat serunya karena tingkat kepandaian mereka seimbang. Biarpun Bi Lian sudah mengeluarkan ilmunya yang paling. hebat, yaitu Kim-ke-kiamsut (Ilmu Pedang Ayam Emas) yang indah dan cepat, namun lawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang banyak pengalamannya. Sebagai saudara seperguruan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Setan Pek-lian) Lian Hwa Cu memiliki kepandaian tinggi dan dia memiliki ilmu pedang yang berbahaya karena dia memiliki ilmu andalan seperti halnya mendiang Kim Hwa Cu, suhengnya yang merupakan seorang di antara Pek-lian Sam-kwi. Ilmu itu adalam penggunaan tenaga sakti yang membuat lengannya dapat mulur sampai hampir dua kali lengan biasa! Inilah yang sangat berbahaya dan ketika dia menggunakan ilmu itu, untuk pertama kali, Bi Lian terkejut dan hampir saja pundaknya terkena bacokan pedang lawan. Tentu saja ia tidak mengira sama sekali bahwa pedang yang tadinya menyerangnya dan sudah dapat ia elakkan itu, tiba-tib meluncur terus membacok lehernya! Ia tidak pernah menduga bahwa tangan yang memegang pedang itu dapat menjadi panjang seperti itu.

Akan tetapi setelah ia mengetahui, ia kemudian dia dapat mengatasi keanehan ilmu itu dengan kecepatan gerakannya, bahkan beberapa kali, ketika, lengan itu mulur, Bi Lian menyerang ke arah lengan untuk membuntunginya! Dengan demikian, dari keadaan menguntungkan bagi Lian Hwa Cu, lengan panjangnya itu sebaliknya malah merugikan. Setelah ilmu yang diandalkan itu kini bahkan membahayakan dirinya sehingga dia tidak berani lagi mempergunakannya, mulailah Lian Hwa Cu terdesak oleh permainan pedang Siangkoan Bi Lian yang amat dahsyat. Beberapa kali Lian Hwa Cu yang pandai menggunakan sihir seperti para tosu Pek-lian-kauw pada umumnya, mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi Bi Lian. Namun setiap kali dia mengerahkan sihir untuk merobohkan lawan, sihirnya itu tidak hanya gagal tidak mampu menguasai Bi Lian, bahkan kekuatan sihirnya membalik dan menyerang dirinya sendiri. Setelah mencoba empat lima kali yang akibatnya bahkan hampir mencelakai dirinya, akhirnya dia tidak berani lagi mencobanya, mengira bahwa lawannya itu seorang yang kebal terhadap serangan sihir.

Tentu saja tidak demikian halnya. Biarpun ia lihai sekali, namun Bi Lian tidak kebal terhadap sihir, juga tidak pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi, semua serangan sihir Lian Hwa Cu ditolak oleh Pek Han Siong yang sengaja melawan Gin Hwa Cu, tosu Pek-lian-kauw yang matanya juling namun lihai bukan main, selalu mengawasi dan mendekati isterinya untuk melindunginya dari penyerangan sihir lawan. Han Siong maklum bahwa orang-orang Pek-lian-kauw pandai sihir, maka biarpun dia tidak mengkhawatirkan isterinya kalau bertanding silat, namun dia tahu bahwa kalau lawan isterinya menggunakan sihir, isterinya akan terancam bahaya.

Gin Hwa Cu sendiri begitu tadi diserang Han Siong, dia mencoba kekuatan sihirnya kepada pendatang baru yang masih muda itu. Dan mengira bahwa dengan kekuatan sihirnya, dia akan dapat membuat pemuda itu tidak berdaya tanpa susah payah.

"Orang muda, pandang mataku!" bentaknya dan dengan pedang di tangan kanan, dia mengangkat kedua tangannya menatap sepasang mata Han Siong. Pemuda ini mengangkat muka memandang dan dia melihat betapa sepasang mata lawannya itu memang tajam berpengaruh, akan tetapi juling sehingga nampak lucu. Biarpun Han Siong seorang pemuda pendiam, tenang dan halus, jarang berkelakar, namun melihat sepasang mata itu, dia pun merasa geli juga. Sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh sihir Gin Hwa Cu, dia pun berkata, bukan main-main, melainkan sejujurnya.



"Sudah kupandang, matamu juling!"

Gin Hwa Cu terkejut, terheran dan marah bukan main. Pemuda itu tidak terpengaruh oleh perintahnya, tidak menjatuhkan diri berlutut, sebaliknya malah mengatakan matanya juling. Tidak mungkin ini, pikirnya. Dia mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke atas dan ke bawah, kemudian seperti ditimpakan ke arah Han Siong dan suaranya terdengar semakin galak.

"Kukatakan berlututlah! Haiiiittttt……phuahhh!" Air ludah muncrat dari mulutnya yang dimoncongkan. Akan tetapi Han Siong tetap berdiri tegak, sama sekali tidak berlutut, hanya senyum-senyum dan bersikap tenang.

"Sudah selesaikah engkau bermain sulap, dukun lepus?" dia bertanya.

Wajah Gin Hwa Cu berubah pucat, lalu merah karena malu. Tahulah dia sekarang bahwa dengan sihirnya, dia tidak mampu mempengaruhi lawan muda itu. Maka dia pun memutar pedangnya dan sambil mengeluarkan betakan nyaring, dia pun menerjang maju. Han Siong mempergunakan Kwan-im-kiam dan setelah menyerang dengan pedangnya, tosu Pek-lian-kauw itu dengan kaget mendapat kenyataan bahwa dalam hal ilmu pedang, ternyata pemuda itu lebih lihai lagi! Dia telah menyerang bertubi-tubi, dengan marah dan setiap serangannya merupakan serangan maut, namun tak sebuah pun di antara hujan serangannya mengenai sasaran, bahkan beberapa kali pedangnya yang ditangkis lawan membalik dan hampir menyembelih lehernya sendiri! Namun karena dia tidak melihat jalan keluar, dan kawan-kawannya juga masih sibuk bertanding sehingga dia tidak dapat mengharapkan bantuan, Gin Hwa Cu tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan mati-matian. Masih untung baginya bahwa perhatian lawannya agaknya terpecah untuk melindungi gadis cantik yang bertanding melawari sutenya, yaitu Lian Hwa Cu, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan.

Pertandingan yang paling sengit dan mati-matian adalah antara Cia Kui Hong dan Sim Ki Liong. Akan tetapi yang paling dahsyat adalah pertandingan antara Hay Hay melawan Hek Tok Siansu. Sebetulnya, kakek ini meninggalkan barat dan kembali ke timur bersama Ban Tok Siansu untuk mencari ketenangan dan menghabiskan sisa hidup mereka di kampung halaman. Akan tetapi ternyata bukan ketenangan yang mereka peroleh. Begitu berkunjung ke kuil Siauw-lim-si untuk menemui penolong dan, guru mereka, yaitu Ceng Hok Hwesio di pegunungan Heng-tuan-san, mereka sudah dibuat marah karena penderitaan penolong mereka itu, bahkan Ceng Hok Hwesio meninggal dunia dalam penderitaan, di rangkulan mereka. Karena menganggap bahwa yang menjadi biang keladi penderitaan Ceng Hok Hwesio adalah Siongkoan Ci Kang dan isterinya, maka mereka berdua berusaha untuk membalaskan kematian Ceng Hok Hwesio. Akan tetapi, bukan suami isteri itu yang dapat mereka bunuh, sebaliknya Ban Tok Siansu tewas di tangan Siangkoan Ci Kang, pendekar yang tangan kirinya buntung itu! Hek Tok Siansu tinggal seorang diri dengan hati penuh dendam, kepada keluarga Siangkoan Ci Kang, juga kepada Tang Hay karena pemuda itu dianggap sebagai pembunuh tiga orang pendeta Lama dari Tibet yang menjadi saudara seperguruannya.

Kini, Hek Tok Siansu sudah berhadapan dengan Tang Hay, satu lawan satu, maka kakek ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk membunuh pemuda yang dia tahu amat lihai itu.

Begitu pemuda itu harus ia hadapi sendiri karena Sim Ki Liong terpaksa meninggalkannya karena pemuda itu diserang oleh gadis yang amat lihai pula, dia segera berkemak-kemik membaca mantram, mengerahkan ilmu sihir yang dipelajarinya dari para pendeta Lama di Tibet. Kemudian, dia menyambar segenggam tanah, dikepalnya genggaman, ditiupnya tiga kali kemudian sambil memandang kepada Hay Hay dia berseru dengan suara yang menggetar penuh wibawa.

“Orang muda, lihat naga hitamku akan menelanmu!" Dia melontarkan segenggam tanah ke atas dan………nampaklah seekor naga hitam yang mengerikan melayang di udara dengan moncong terbuka lebar seolah hendak menggigit dan menelan Hay Hay.

Kui Hong yang sedang bertanding melawan Ki Liong dan sudah mendesak pemuda itu, sempat terkejut bukan main melihat seekor naga hitam menyambar dan hendak menerkam ke arah Hay Hay.

"Hay-ko, awas………!” teriaknya dan karena perhatiannya terpecah, hampir saja pedang di tangan Ki Liong menusuk dadanya. Gadis ini terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan tusukan pedang lawan dan ketika Ki Liong mengejar dengan serangan bertubi-tubi, ia pun bergulingan sambil menangkis. Ki Liong melihat kesempatan baik untuk membunuh gadis yang penah membuatnya tergila-gila akan tetapi yang juga merupakan penyebab utama penyelewengannya ke dalam kesesatan. Melihat gadis itu bergulingan, dia menyerang terus, tidak memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk bangkit. Biarpun dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu lebih tinggi darinya, akan tetapi kini Kui Hong telah rebah di tanah dan tidak sempat bangkit, maka dia terus mendesaknya dengan bacokan bertubi-tubi, membuat Kui Hong bergulingan ke sana-sini sambil menangkis untuk menghindarkan diri dari maut.

Sementara itu, melihat ada naga hitam hendak menerkamnya dari udara seperti yang dilihat Kui Hong, Hay Hay tenang saja, berdiri tegak, bahkan kedua tangannya menolak pinggang dan mulutnya tersenyum, seolah seorang dewasa melihat lagak seorang anak-anak. Dan dia sempat melirik ke arah Kui Hong dan biarpun dia melihat Kui Hong bergulingan dan didesak dengan serangan bertubi oleh Ki Liong, Hay Hay tidak merasa khawatir. Dengan ilmunya yang tinggi, dia dapat melihat bahwa Kui Hong bergulingan bukan karena terdesak, melainkan bergulingan untuk memancing lawan menjadi lengah. Maka dia pun memperhatikan kembali lawannya sendiri dan melihat kakek itu mengangkat kedua tangan ke atas, seolah-olah hendak mengemudikan naga hitam itu dan mulutnya tetap perkemak-kemik membaca mantram.

"Hek Tok Siansu, engkau bermain-main dengan seekor cacing tanah untuk apa? Cacingmu itu hanya pantas untuk menakut-nakuti anak perempuan saja!"

Hek Tok Siansu terkejut karena dalam pandang matanya sendiri, naga hitam jadi-jadian itu benar-benar berubah menjadi seekor cacing hitam! Dia membaca mantram lagi dan mengerahkan tenaga sihir sekuatnya, menggerakkan kedua tangannya ke arah bayangan naga yang berubah menjadi cacing sehingga kini perlahan-Iahan, cacing itu membesar dan menjadi naga kembali.



Hay Hay diam-diam kagum. Kakek ini boleh juga, memiliki kekuatan sihir yang ampuh. Maka, dia pun merendahkan tubuhnya, tangan kanannya mengambil segenggam tanah dan melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga sambil membentak, "Hek Tok Siansu, engkau tidak dapat mengubah kenyataan. Asal dari tanah kembali menjadi tanah!" Genggamam tanah itu disambitkan ke arah bayangan, nampak sinar hitam menyambar ke arah naga jadi-jadian dan bayangan itu pun lenyap, yang nampak hanya tanah berhamburan jatuh kembali ke bawah.

Kembali Hek Tok Siansu membaca mantram dan tubuhnya membuat gerakan berputar seperti gasing dan mulutnya terdengar berkata "Angin hanya terasa dan tidak nampak, aku menggunakan ilmu angin, bersatu dengan angin…..!” suaranya bergema di udara, tubuhnya berputar semakin cepat dan akhirnya bayangannya pun tidak nampak, hanya terdengar bunyi angin berdesir timbul dari gerakannya berputar cepat itu! Sungguh hebat ilmu ini karena tentu saja lawan menjadi bingung melawan seseorang yang tidak nampak dan hanya terasa sambaran anginnya. Sambil berputar itu Hek Tok Siansu meluncur ke arah Hay Hay. Disangkanya bahwa ilmu yang mengandung kekuatan sihir itu sekali ini mempengaruhi lawannya, maka dia pun cepat menyerang dengan pukulan maut dari arah belakang Hay Hay.

Akan tetapi, Hay Hay yang memiliki kekuatan sihir amat kuat itu tentu saja tidak terpengaruh dan kalau orang lain tidak dapat melihat bayangan kakek itu, dia sendiri dapat mengikuti dengan baik maka dia pun tahu bahwa kakek itu menyerangnya dari belakang. Dia tersenyum dan membiarkan kakek itu mengira dia terpengaruh. Hal ini bahkan dia pergunakan untuk keuntungannya. Karena mengira dia terpengaruh, kakek itu sudah yakin bahwa serangannya akan mengenai sasaran dan dia merasa tidak perlu bersikap waspada menjaga diri.

“Wuuuuutttttt……..!!” Ketika serangan itu sudah datang dekat dan Hek Tok Siansu merasa yakin lawannya sekali ini akan dapat dipukul roboh dengan pukulan beracun, tiba-tiba saja dengan cepat bukan main Hay Hay telah melempar tubuh ke samping, dan kakiya mencuat dari samping menyambar ke arah dada lawan. Hek Tok Siansu yakin bahwa lawannya akan roboh dengan tubuh menjadi hitam seperti arang terkena pukulan racun hitamnya, maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja tubuh Hay Hay mengelak dan kaki pemuda itu bahkan menyambar ke dadanya secepat kilat! Hek Tok Siansu yang tidak menyangka sama sekali, mencoba untuk mengelak dengan miringkan tubuhnya. Biarpun dadanya terhindar dari tendangan, namun kaki Hay Hay masih mengenai pangkal lengan kirinya, membuat dia terpelanting dan kalau dia tidak cepat menjatuhkan diri bergulingan, tentu tubuhnya akan terbanting keras. Dan dia pun terus bergulingan seperti seekor binatang trenggiling, dan setiap kali tubuhnya bangkit dia mengirim pukulan seperti seekor katak berjongkok dan kedua tangan yang didorongkan ke arah Hay Hay itu mengandung tenaga sik-kang yang amat dahsyat. Namun, Hay Hay selalu dapat menghindarkan diri dari serangan aneh ini, ilmu campuran antara binatang trenggiling yang bergulingan dan binatang katak.

"Haiiiiittttt!" Gin Hwa Cu membentak marah karena sudah dua kali dia terpelanting oleh tendangan kaki Han Siong. Kemarahannya membuat dia nekat karena dia merasa dipermainkan lawan. Pedangnya membuat gerakan melingkar-lingkar dan bagaikan badai mengamuk dia pun menerjang ke arah Han Siong. Seluruh tenaganya dia kerahkan untuk penyerangan itu, tanpa memperdulikan segi perlindungan diri karena dia sudah nekat hendak mengadu nyawa.

Melihat kenekatan lawan, Han Siong maklum bahwa kalau dia tidak cepat merobohkan lawan dan selalu mengalah, keadaan dapat berbahaya baginya. Melawan orang nekat amatlah berbahaya, maka dia pun mempercepat gerakan pedangnya. Ilmu pedang Kwan-im-kiamsut yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu membuat lawan menjadi bingung. Seperti para tokoh Pek-lian-kauw, Gin Hwa Cu ini juga memiliki banyak macam ilmu hitam di samping ilmu silatnya yang lihai. Karena maklum bahwa dalam hal ilmu silat, agaknya dia tidak akan menang melawan orang muda yang tangguh dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa itu, dia lalu mencoba untuk menyerang dengan ilmu lain. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara nyanyian yang aneh, nadanya tinggi sampai seperti melengking-lengking. Suara ini seperti pedang runcing menusuk ke dalam telinga Han Siong! Inilah ilmu yang berbahaya sekali bagi lawan karena suara melengking itu dapat membuat lawan menjadi bingung dan telinga seperti ditusuk benda tajam. Bahkan kalau lawan kurang kuat, suara ini dapat menyerang kedalam kepala dan mematikan! Ilmu ini didorong oleh tenaga sakti yang bercampur dengan ilmu hitam.

Namun, Pek Han Siong, adalah seorang pemuda bekas Sin-tong (anak ajaib). Selain dia memang memiliki pembawaan lain sejak lahir, memiliki dasar lebih kuat secara batiniah, juga dia telah berkenalan dengan ilmu sihir sejak kecil dari ibunya, bahkan kemudian menerima pelajaran ilmu sihir yang ampuh dari Ban Tok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Oleh karena itu, dia memiliki kekuatan sihir yang hebat sehingga menghadapi serangan suara dari Gin Hwa Cu, dia bersikap tenang saja. Dengan tenaga saktinya, dia dapat menutup kedua telinganya sehingga tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia mempercepat gerakan pedangnya mendesak. Gin Hwa Cu terkejut. Pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh oleh serangan suaranya, sebaliknya malah mendesaknya secara gencar sehingga terpaksa dia memutar pedangnya dan terhuyung-huyung. Karena terdesak, maka perhatiannya terpecah dan suara lengkingannya itu menjadi kacau dan sumbang, bahkan menurun, dan sebuah tendangan kaki Han Siong membuat dia terpelanting.

Dengan kaget dan gentar, Gin Hwa Cu yang terpelanting itu dapat bergulingan utnuk menghindarkan diri dari serangan susulan lawan. Namun, Han Siong adalah seorang pendekar gagah sejati yang sudah tidak mau menyerang lawan yang sudah roboh, maka melihat tendangannya membuat tosu Pek-lian-kauw itu terguling-guling, dia hanya berdiri tegak dan memandang saja. Kesempatan itu dipergunakan Gin Hwa Cu untuk memulihkan diri. Dada kanannya terasa nyeri oleh tendangan tadi, akan tetapi dia sudah melompat bangun dan mulut berkemik-kemik, lalu dia mengembangkan jubahnya dan melambaikannya ke atas kepalanya. Ini merupakan ilmu sihir untuk membuat dirinya tidak nampak oleh orang lain! Setelah memutar jubah di atas kepala dan yakin bahwa dia lenyap dari pandang mata lawan, diapun tiba-tiba meloncat kedepan dan pedangnya meluncur, menusuk ke arah dada Han Siong yang disangkanya tidak dapat melihatnya dan tentu dadanya akan tertembus pedang.



“Wuuuuttt ….. singgg ……. Cappp!” Sinar pedang berkilat, sebuah dada tertembus pedang yang cepat tercabut kembali, darah muncrat dan robohlah tubuh Gum Hwa Cu! Kiranya ilmunya menghilang itu tidak mempengaruhi Han Siong sehingga pendekar itu melihat jelas semua gerakan lawan. Ketika Gin Hwa Cu menusukkan pedangnya dengan keyakinan pasti akan berhasil sehingga tidak melakukan penjagaan diri sama sekali, dengan mudah Han Siong miringkan tubuh dan menggeser kaki kesamping dan pada saat tubuh lawan berlebat ke depan, diapun menggerakkan pedangnya yang menembus dada Gin Hwa Cu. Ketika tubuh tosu itu roboh dan tewas, Han Siong sduah melompat meninggalkannya untuk membantu isterinya, Siangkoan Bi Lian.

Wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa ini sebetulnya tidak perlu dibantu. Biarpun lawannya, Lian Hwa Cu, amat lihai, namun Bi Lian dapat mengimbanginya, bahkan setelah ia memainkan Kwan-im-kiam-sut, tosu Pek-lian-kauw itu menjadi sibuk sekali. Kawan-im-kiam-sut merupakan ilmu pedang yang nampak lembut, gerakannya halus seperti gerakan wanita cantik menari pedang, atau seperti Dewi Welas Asih Kwan Im beterbangan dan bermain di awan, namun di balik keindahan dan kelembutan gerakan itu terkandung kekuatan yang dahsyat sekali.

Melihat isterinya mendesak lawan dan tidak terancam bahaya, Han Siong tentu saja tidak mau melakukan pengeroyokan. Bukan saja dia tidak mau bertindak curang, juga dia tahu bahwa kalau dia turun tangan mengeroyok, tentu isterinya akan merasa tidak senang. Maka dia hanya berdiri menjadi penonton sambil siap membantu atau melindungi kalau lawan isterinya mempergunakan kekuatan sihir terhadap isterinya. Diapun memperhatikan perkelahian yang terjadi di situ.

Sim Ki Liong terdesak hebat. Pria yang sudah terlalu banyak menumpuk dosa ini, yang beberapa kali ingin bertaubat namun selalu gagal, repot bukan main menghadapi desakan Kui Hong yang mengamuk bagaikan seekor naga betina marah. Sim Ki Liong sudah mengluarkan semua kepandaiannya. Akan tetapi, semua gerakan silatnya dikenal Kui Hong, maka tentu saja gadis perkasa ini mampu membuyarkan semua serangan Ki Liong, dan sebaliknya, dengan menggunakan ilmu-ilmu yang tak pernah dipelajari lawan, Kui Hong mendesak terus. Sebetulnya, sudah lama Kui Hong memaafkan kesalahan yang diperbuat Ki Liong ketika pemuda ini pernah merayunya, kemudian bahkan melarikan diri minggat dari pulau Teratai Merah dan melarikan pula pedang pusaka milik kakek dan neneknya. Kebenciannya terhadap Ki Liong pernah lenyap berganti perasaan iba ketika Mayang memintakan ampun untuk Ki Liong demi cinta kasih gadis adik tiri Hay Hay itu terhadap Ki Liong. Akan tetapi, setelah melihat kenyataan bahwa pemuda ini mengkhianati cinta Mayang, bahkan kembali bergaul dengan golongan sesat dan terjun kembali menjadi orang jahat, Kui Hong marah bukan main dan ia sudah mengambil keputusan bahwa sekali ini ia harus membunuh pemuda jahat ini. Demi Mayang, demi dunia persilatan, karena kalau di biarkan hidup, pemuda ini hanya akan mendatangkan banyak bencana bagi orang banyak.

Sambil membela diri mati-matian, memutar pedangnya seolah sinar pedangnya bergulung-gulung itu menjadi perisai baginya, di dalam hatinya Ki Liong menyesal bukan main. Seperti serangkaian gambar yang diputar, dia melihat betapa dia tersesat, terbujuk oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga akhirnya dia kini harus menghadapi akibat yang mencelakakan dirinya. Dia seolah melihat mata pedang sduah menempel di lehernya, tidak ada jalan keluar lagi, dan dia merasa takut dan menyesal mengapa dia yang tadinya sduah tertolong oleh Mayang, menyia-nyiakan cinta kasih Mayang dan terbujuk oleh Su Bi Hwa, wanita iblis yang kini menggeletak tanpa nyawa.

Kita semua, seperti juga Ki Liong, yaitu manusia pada umumnya, memang merupakan mahluk yang amat lemah menghadapi nafsu-nafsu yang berada di dalam diri kita sendiri. Nafsu-nafsu dalam diri kita merupakan suatu pembawaan sejak kita lahir, memang diikutsertakan dengan kita karena kehidupan manusia ini baru mungkin dapat berkembang selama adanya nafsu. Nafsu yang menimbulkan gairah dan semangat bagi kita untuk melakukan sesuatu karena nafsu mendatangkan kenikmatan. Nafsu mendatangkan kenikmatan dalam mulut sehingga kita bergairah untuk makan, satu diantara sarat untuk kelangsungan hidup. Nafsu pula yang mendatangkan kenikmatan dalam hubungan badan sehingga kita bergairah untuk berjodoh, yang merupakan syarat bagi perkembangbiakan manusia. Dan demikian seterusnya. Tanpa adanya daya nafsu rendah, kita tidak akan bergairah melakukan apa yang menjadi syarat utama untuk kelangsungan hidup. Nafsu-nafsu menyelinap dan menjadi gerak pendorong bagi hati akal dan pikiran sehingga timbul gairah untuk mengerjakan pikiran demi kenikmatan kehidupan kita, maka nafsu daya rendah telah mendorong kita untuk menggunakan akal, berpikir untuk membuat segala sesuatu demi kenikmatan dan kesenangan hidup. Maka manusia dapat membuat segala macam benda, perabot-perabot hidup, pakaian, rumah dan segala macam benda yang dibuat melalui akal pikiran untuk mendatangkan kenikmatan dalam kehidupan.

Puji Tuhan Maha Pengasih! Hanya karena kasih Tuhan sajalah maka manusia diberi semua itu, diberi peserta-peserta seperti nafsu daya rendah sehingga kita dapat menikmati kehidupan. Naun, nafsu yang sedianya menjadi peserta yang amat berguna itu, yang menjadi hamba yang melayani semua kebutuhan jiwa dalam badan yang berujud manusia ini, terjadi karena daya-daya rendah yang saling berlomba untuk menguasai kita! Nafsu daya rendah membutuhkan badan manusia yang dapat menyampaikan dan memuaskan keinginannya, oleh karena itu, nafsu-nafsu daya rendah berebut untuk menguasai kita agar manusia saja segala kehendak nafsu. Nafsu yang tadinya menjadi alat kita, berbalik ingin memperalat kita. Nafsu yang sedianya menjadi hamba kita, berbalik ingin memperhamba kita. Kita diperhamba melalui kenikmatan dan kesenangan tadi. Kita di perhamba nafsu melalui benda-benda yang kita buat sendiri seperti harta kekayaan, uang, dan sebagainya. Melalui makanan, melalui hubungan seksuil, pendeknya semua daya rendah saling berebut untuk menguasai kita. Nafsu itu mutlak penting bagi kita, namun juga mutlak berbahaya. Seperti api, kalau menjadi alat kita teramat penting, akan tetapi kalau sudah menjadi liar tak terkendali, akan menghabiskan segala! Akan membakar kita. Seperti kuda, kalau jinak, menjadi hamba yang amat berguna, sebaliknya kalau liar, kita dapat dibawa kabur memasuki jurang.



Manusia baru tahu akan bahayanya nafsu dalam diri sendiri setelah merasakan akibat buruknya. Memang sifat nafsu itu selalu mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Maka, pengetahuan tentang akibat buruk itu pun datang dari nafsu, dan tentu saja nafsu berkeinginan pula untuk mengubah yang buruk dan menyusahkan itu. Dan kitapun terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada putusnya. Hati akal pikiran dipergunakan untuk mengendalikan nafsu, tidak kita sadari bahwa hati akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu, sudah dikuasai nafsu! Maka, apa pun yang dilakukan menurut hati akal pikiran, sejalan dengan kehendak nafsu, yaitu mengejar kesenangan, masih tetap dalam ruangan yang sama dimana nafsu menjadi rajanya. Karena itu, segala macam usaha yang diperbuat manusia untuk “menjadi orang baik” selalu gagal karena usaha itu pun timbul dari keinginan nafsu dengan dasar bahwa menjadi orang baik berarti akan terbebas dari kesusahan dan berada di dalam kenikmatan atau kesenangan, walaupun mungkin dengan jubah yang lebih halus dan bersih.

Kenyataan terbukti kalau kita melihat keadaan manusia dalam dunia ini. Setiap orang manusia berusaha melalui segala cara, melalui kebudayaan, melalui keagamaan, melalui filsafat, pelajaran budi pekerti, melalui pengertian, untuk menjadi “orang baik” karena melihat betapa ketidakbaikan sebagai manusia telah mendatangkan berbagai malapetaka. Namun, adakah nampak hasil dari semua usaha untuk menjadi baik itu? Kalau kita mempelajari sejarah dan melihat keadaan di dunia ini, kita harus dengan jujur mengakui bahwa semua usaha itu agaknya belum dapat dibilang berhasil! Dunia masih kacau balau, kehidupan masih merupakan penderitaan yang berkepanjangan, permusuhan yang berkepanjangan, permusuhan terjadi di mana-mana, nampak sekali bahwa nafsulah yang menjadi raja, yang merajalela menguasai hati akal pikiran semua manusia. Bahkan segala pemenuhan dan hasil buatan manusia, menjadi alat nafsu untuk mengumbar angkara murka! Kita telah gagal!

Keadaan kita sama benar dengan keadaan Sim Ki Liong. Sebagai manusia, mula-mula dia diseret oleh dorongan nafsu yang memang ada dalam dirinya seperti dalam dirinya seperti dalam diri kita, dorongan yang membuat dia melakukan hal yang tidak patut. Kemudian, akibat perbuatannya yang mendatangkan kepahitan membuat dia menyesal dan ingin memperbaiki jalan hidupnya. Penyesalan yang datang dari akibat pahit, jadi jelas dari nafsu. Keinginan untuk mengubah cara hidup, juga keinginan nafsu yang hanya ingin mengubah yang tidak enak menjadi yang enak, melalui istilah yang lebih baik menjadi yang baik! Tentu saja dia gagal, karena nafsu hanya menuntunnya kejalan di mana dia akan mendapatkan kesenangan, kenikmatan, dan karena itulah maka Ki Liong juga gagal. Seperti juga semua orang di dunia ini, dia tahu bahwa dia melakukan kejahatan dan melalui jalan yang tidak benar, bahwa dia jahat. Namun, dia tak kuasa menghentikannya. Pencuri manakah di dunia ini yang tidak tahu bahwa perbuatan mencuri itu tidak baik? Namun, pengetahuan tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan nafsu. Biarpun tahu bahwa perbuatan itu tidak benar dan tidak baik, namun kita tidak mampu mengalahkan dorongan nafsu dalam diri yang telah mencengkeram kita melalui hati akal pikiran dan panca-indera kita.

Tahu belum berarti mengerti. Bahkan biarpun mengetahui dan mengerti sekalipun, belumlah yakin kalau belum merasakan. Namun, kelengkapan dari tahu, mengerti dan dan merasa pun tidak cukup kuat untuk menguasai gelora nafsu. Lalu bagaimana nasib kita ini kalau kita ini tidak dapat hidup tanpa nafsu, namun juga kita dicengkeram oleh nafsu? Bagaimana kita akan mampu mengalahkan nafsu, atau lebih tepat, bagaimana kita akan dapat mengendalikan nafsu dalam kedudukannya semula, yaitu menjadi alat dan hamba, menjadi peserta yang baik dari kita?

Tidak ada caranya! Karena cara ini merupakan jalan dari pikiran pula. Kita, dengan akal pikiran dan hati, tidak akan mungkin dapat mengalahkan nafsu kita. Hanya ada Satu yang dapat menguasai nafsu, yaitu Pencipta nafsu itu sendiri, Sang Maha Pencipta, Maha Kuasa yang menciptakan segala apa pun di dalam alam mayapada ini. Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang mampu mengendalikan yang bengkok menjadi lurus, yang salah menjadi benar. Karena itu, satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menyerah! Menyerah lahir batin, menyerah sepenuhnya, dan penuh keikhlasan dan ketawakalan, sepenuh iman kita kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Dan kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja dalam diri kita, maka dengan sendirinya semua akan berjalan dengan baik dan sewajarnya menurut kodrat masing-masing.

Menyerah bukan dalam arti kata yang sempit, juga bukan dalam arti kata untuk mencari enaknya saja. Yang menyerah itu seluruh jiwa raga, sebagai dasar dari semua tindakan kita dalam hidup. Hati akal pikiran harus bekerja, bahkan bekerja dengan sepenuhnya, sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan kewajibannya. Hati akal pikiran sudah diciptakan untuk bekerja membantu manusia, mengatur semua alat tubuh untuk bekerja, untuk mencukupi kebutuhan hidup di dunia ini.

Ki Liong selalu dipermainkan nafsu-nafsunya yang semakin kuat. Sebagai manusia, Ki Liong telah menjadi hamba nafsunya. Keadaan telah berbalik, maka setiap derap langkahnya dalam hidup, selalu ditujukan untuk mencari kesenangan, tanpa menghiraukan segala cara. Perintah nafsu setiap saat berteriak lantang dalam hatinya, sebaliknya, suara nurani yang memperingatkan hanya terdengar bisik-bisik dan sayup sampai saja.

Kini dia merasa menyesal, namun penyesalan yang tidak ada gunanya lagi. Andaiakata dia mendapatkan kesempatan kedua seperti ketika dia dimintakan ampun oleh Mayang, belum tentu dia akan benar-benar insyaf dan menjadi baik kembali. Selama nasu masih mencengkeramnya, dia akan selalu saja melakukan penyelewengan untuk mengejar kesenangan. Karena tidak melihat jalan keluar, Ki Liong menjadi nekat dan diapun melawan mati-matian mengeluarkan segala kepandaiannya.

“Sing-sing-singgg ……!” Ki Liong menggerakkan pedangnya dengan nekat, mengerahkan tenaga sakti Thian-te-sin-kang dan pedangnya memainkan jurus ilmu pedang Gin-hwa-kiamsut menyambar-nyambar dengan dahsyat. Namun, Kui Hong sudah mengenal baik ilmu dari kakeknya itu. Ia menyambut dengan tangkisan kedua pedangnya, kemudian, pada saat yang baik ia melihat kesempatan dan kedua pedangnya menyambut pedang Ki Liong dengan menggunting dari kanan kiri. Pedang Ki Liong tertahan dan ketika dia mengerahkan tenaga, tiba-tiba saja pedang di tangan kiri Kui Hong sudah meluncur ke depan sedangkan pedangnya yang kanan masih tetap menempel pedang lawan. Ki Liong melihat luncuran sinar itu dengan mata terbelalak, tidak sempat lagi menghindar dan dia seolah melihat betapa pedang itu memasuki dadanya.



“Ohhhhhh …….!” Ki Liong melepaskan pedangnya, mendekap dada yang terluka, lalu terhuyung. Kui Hong sudah meloncat kebelakang dan berdiri tegak dengan sepasang pedang di tangan, matanya memandang tajam. Ki Liong mundur dan terhuyung, memandang kepada Kui Hong dengan mata yang membayangkan kedukaan dan ketakutan, lalu diapun jatuh terjengkang dan tewas.

Kui Hong menoleh dan melihat betapa Hay Hay masih bertanding melawan Hek Tok Siansu dan Bi Lian masih menandingi seorang tosu Pek-lian-kauw yang tangguh. Juga ia melihat Han Siong berdiri nonton. Ia mengerutkan alisnya.

“Pek Han Siong, bagaimana sih engkau ini? Menjadi penonton saja dan tidak membantu Bi Lian dan Hay-ko?” tegurnya.

Han Siong tersenyum. “Aku tidak mau dikatakan curang dan ……”

“Ih, bodoh sekali, dalam pertandingan mengadu ilmu, memang tidak boleh melakukan pengeroyokan dan kecurangan, menang atau kalah harus seperti seorang pendekar sejati. Akan tetapi, yang kita hadapi ini adalah segerombolan tokoh sesat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kecurangan. Mereka tadi pun mengeroyok kami. Kita hadapi mereka untuk membasmi kejahatan, bukan untuk mengadu ilmu. Nah, terserah padamu, akan tetapi aku akan membantu Hay-ko!” Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Kui Hong sudah melompat dan terjun ke dalam lapangan perkelahian, sepasang pedangnya menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek Tok Siansu!

“Sing ….! Sing ……..!!” Dua sinar berkliat, membuat Hek Tok Siansu terkejut karena
dia tahu bahwa sepasang pedang itu lihai dan berbahaya sekali. Cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan baju yang panjang itu menyambt sepasang pedang. Bagaikan dua ekor ular saja, lengan baju itu menangkap dan membelit sepasang pedang Kui Hong. Gadis itu terkejut, berusaha menarik kembali sepasang pedangnya, namun belitan ujung lengan baju itu terlampau kuat dan sepasang pedang itu tidak dapat terlepas lagi. Melihat ini, Hay Hay menyerang dari samping. Tentu saja Hek Tok Siansu maklum bahwa serangan Hay Hay jauh lebih berbahaya daripada sepasang pedang itu, maka terpaksa dia melepaskan libatan kedua ujung lengan bajunya pada pedang-pedang itu untuk dapat meloncat ke belakang dan mengelak.

“Hay-ko, mari kita basmi tosu iblis ini!” kata Kui Hong yang sudah bergerak menyerang lagi. Namun, lebih mudah mengeluarkan ucapan itu daripada melaksanakannya. Hek Tok Siansu adalah seorang datuk yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali sehingga walau kini dikeroyok oleh Hay Hay dan Kui Hong, tetap saja dia dapat mempertahankan diri dengan ilmu-ilmu pukulannya yang dahsyat. Kadang dia mengeluarkan ilmu pukulan Angin Taufan, kadang mengerahkan tenaga sakti dan menyerang dengan ilmu pukulan Gelombang Samudera, bahkan kadang dia mengejutkan Kui Hong dengan serangan bergulingan seperti trenggiling, dan melancarkan pukulan jarak jauh dengan dorongan kedua tangannya sambil berjongkok dan dari perutnya keluar suara berkokokan.

Sementara itu, mendengar ucapan Kui Hong, Han Siong diam-diam kagum dan mengangguk membenarkan. Memang, perkelahian itu bukanlah adu kepandaian diantara orang-orang gagah, melainkan sebuah pertempuran antara mereka melawan segerombolan orang sesat. Tugas mereka adalah membasmi orang sesat. Akan tetapi karena dia melihat bahwa isterinya sama sekali tidak membutuhkan bantuan, bahkan Bi Lian mendesak tosu yang menjadi lawannya, diapun ragu-ragu untuk membantu. Dia tidak ingin mengecewakan hati isterinya. Maka, dia tidak mau membantu secara langsung, hanya berseru dengan suara berwibawa, sambil menudingkan telunjuknya ke arah Lian Hwa Cu yang sedang repot menghindarkan rangkaian serangan Bi Lian.

“Lian-moi, tosu lawanmu itu hanya seorang yang kerdil dan lemah, sedangkan engkau memiliki tubuh raksasa dan bertenaga raksasa, kenapa tidak segera merobohkannya?”

Mendengar ucapan itu, diam-diam Bi Lian merasa heran karena ia tidak mengerti mengapa suaminya mengatakan ia bertubuh dan bertenaga raksasa sedangkan lawannya seorang kerdil dan lemah. Akan tetapi, keheranannya bertambah menjadi terkejut sekali ketika melihat bahwa lawannya benar-benar dalam pandangannya menjadi seorang yang kerdil, hanya setinggi lututnya! Sebaliknya, tosu itu pun terbelalak ketika mendengar ucapan itu kini melihat betapa lawannya menjadi seorang wanita yang tinggi besar menakutkan! Sebagai seorang ahli sihir, dia pun segera menyadari bahwa ucapan tadi mengandung tenaga yang amat kuat dan telah mempengaruhinya, maka cepat dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk membuyarkan pengaruh yang menakutkan itu. Namun, pada saat itu Bi Lian sudah menyerang dengan pedangnya dan karena pedang itupun nampak besar dan panjang sekali, lebih panjang dari pada tingi tubuhnya, maka mengelak pun amat sukar bagi Lian Hwa Cu dan pinggangnya tersabet ujung pedang. Diapun terjungkal roboh dam tidak mampu bangkit kembali karena beberapa saat kemudian dia tewas.

Baru dua hari suami isteri ini saling berjumpa. Seperti yang telah diduga oleh Pek Han Siong, isterinya itu pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika kemala penghisap racun ke Cin-ling-pai. Di Cin-ling-pai, Bi Lian tidak bertemu dengan Hay Hay, bahkan mendengar bahwa Kui Hong juga pergi mencari Hay Hay ke kota raja. Ia pun segera pergi ke kota raja. Han Siong yang juga mengejar isterinya itu, melakukan perjalanan cepat, tidak seperti Bi Lian yang mencari Hay Hay. Oleh karena itu, dua hari yang lalu, Han Siong berhasil menyusul Bi Lian dan suami isteri ini merasa gembira dan bahagia bukan main. Mereka baru saja melangsungkan pernikahan, akan tetapi di tengah perayaan itu datang gangguan yang membuat mereka saling berpisah. Dan pertemuan dengan suami tersayang itu semakin menjadi berbahagia ketika ia mendengar dari Han Siong bahwa ayahnya telah di sembuhkan oleh obat yang ditinggalkan Hek Tok Siansu. Dapat dibayangkan betapa suami isteri ijni selama dua hari dua malam itu menumpahkan kerinduan dan kasih sayang hati masing-masing sebagai pengantin baru yang berbulan madu.

Dan pada hari ke dua, ketika mereka sedang berbulan madu di sebuah rumah penginpan, tidak melanjutkan usaha mereka mencari Hay Hay, dari dalam kamar penginapan itu mereka mendengar suara orang yang amat mereka kenal, yaitu suara Hek Tok Siansu! Mereka mengintai dan melihat serombongan orang memasuki rumah penginapan itu, langsung menuju ke ruangan belakang. Suami isteri ini terkejut dan heran mengenal adanya Sim Ki Liong di antara rombongan itu. Selan Hek Tok Siansu dan Sim Ki Liong, ada pula dua orang tosu dan seorang wanita cantik yang tidak mereka kenal. Tadinya Bi Lian hendak menerjang keluar, mengingat bahwa Hek Tok Siansu adalah musuh besar yang bersama mendiang Ban Tok Siansu telah menyerang ayahnya. Akan tetapi suaminya merangkulnya dan mencegahnya, membisikkan bahwa yang melukai Siangkoan Ci Kang adalah Ban Tok Siansu, dan bahwa Hek Tok Siansu malah meninggalkan obat penawar racun yang telah menyembuhkan ayah mertuanya itu.

Betapapun juga, ketika pada keesokan harinya pagi-pagi sekali rombongan itu pergi, seperti yang mereka dengar dari pelayan rumah penginapan, Han Siong dan Bi Lian merasa tertarik dan melakukan perjalanan cepat mengejar ke arah perginya rombongan itu, yaitu ke arah kota raja. Dan akhirnya mereka melihat Hay Hay dan Kui Hong dikeroyok oleh rombongan itu, terdesak dan keadaannya gawat. Maka, tanpa diminta lagi mereka lalu terjun ke dalam pertempuran dan mereka berdua akhirnya dapat merobohkan dua orang tosu Pek-lian-kauw.

Kini mereka memandang ke arah perkelahian antara Hek Tok Siansu yang dikeroyok oleh Hay Hay dan Kui Hong. Mereka tidak maju membantu, karena mereka ingat bahwa bagaimanapun juga, Hek Tok Siansu telah memberi obat penawar racund an menyembuhkan Siangkoan Ci Kang.

“Kita tidak boleh mencampuri, apalagi pihak Hay Hay dan Kui Hong sama sekali tidak membutuhkan bantuan,” kata Han Siong dan isterinya mengangguk membenarkan.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara orang riuh mendatangi ke arah tempat itu. Han Siong dan Bi Lian mengangkat muka memandang dan mereka terkejut ketika melihat rombongan orang yang tidak kurang dari seratus orang datang dari arah kota Cang-cow yang temboknya sudah nampak dari situ. Dan rombongan ini tanpa banyak cakap lagi menggunakan senjata mengepung Kui Hong dan Hay Hay yang sedang bertanding melawan Hek Tok Siansu, dan dari sikap mereka jelas bahwa mereka berpihak kepada Hek Tok Siansu! Padahal, mereka itu terlihat seperti para petugas keamanan dari kota Cang-cow, sebagian menganakan seragam, akan tetapi di antara mereka terdapat pula orang barat yang bermata biru, adapula orang asing yang pendek dan mengingatkan Han Siong pada orang Jepang, dan ada pula beberapa orang tosu seperti dua orang tosu yang mereka lawan tadi, yaitu tosu Pek-lain-kauw!

Maklum bahwa Hay Hay dan Kui Hong berada dalam bahaya, suami isteri muda ini tanpa banyak cakap lagi, segera mereka menerjang ke arah gerombolan orang yang baru tiba itu dan mengamuk dengan pedang mereka. Segera puluhan orang mengeroyok suami isteri ini. Melihat itu, Kui Hong yang tahu bahwa kekasihnya tidak akan kalah melawan Hek Tok Siansu, segera meloncat dan membantu suami isteri itu, menghadapi pengeroyokan banyak orang. Kini terjadi pertempuran yang amat hebat. Tiga orang ini, Cia Kui Hong, Siangkoan Bi Lian, dan Pek Han Siong mengamuk dan diantara para pengeroyok banyak yang roboh bergelimpangan terkena sambaran sinar pedang mereka yang bergulung-gulung! Betapapun gagah perkasanya tiga orang pendekar ini, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang mendekati seratus jumlahnya, apalagi di situ terdapat orang Pek-lian-kauw, jagoan-jagoan bajak laut Jepang, dan beberapa orang Portugis yang pandai mempergunakan pedang tipis panjang dan runcing, mereka terdesak juga dan terpaksa harus memutar pedang menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai diri mereka.



Pertandingan antara Hay Hay dan Hek Tok Siansu juga amat seru. Hek Tok Siansu juga merasa penasaran dan marah bukan main ketika tadi terdesak karena masuknya Kui Hong ke dalam perkelahian. Kini dia melawan Hay Hay satu lawan satu, dan dia merasa penasaran. Apalagi hatinya besar karena munculnya rombongan para rekan dari kota Cong-cow. Memang Su Bi Hwa, yang kini telah tewas, seorang wanita amat cerdik dan luas hubungannya. Ketika mereka bertiga melarikan diri dari kota raja, atas petunjuk Bi Hwa, mereka lari ke Cong-cow dan di kota itu ternyata Su Bi Hwa mempunyai hubungan dengan para tosu Pek-lian-kauw yang bersekutu dengan orang Portugis dan pejabat Cong-cow, juga dengan bajak-bajak laut Jepang. Tentu saja Su Bi Hwa, Sim Ki Liong dan Hek Tok Siansu diterima dengan baik oleh pejabat Cong-cow yang bersekutu dengan orang Portugis, yaitu kepala daerah Yong Ki Hok dan wakilnya, yaitu Ouw Seng. Dua orang pejabat yang merencanakan pemberontakan karena mengandalkan kekuatan orang Portugis ini membutuhkan orang-orang pandai. Apalagi Hek Tok Siansu, Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong datang diperkenalkan oleh orang-orang Pek-lian-kauw.

Ketika mendengar dari mata-mata yang melakukan penjagaan di sepanjang jalan di luar kota bahwa Hay Hay dan Cia Kui Hong menuju ke kota Cong-cow, Hek Tok Siansu, Su Bi Hwa, Sim Ki Liong dan dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai, melakukan penghadangan. Agar tidak menarik perhatian, maka tidak dikirim pasukan, apalagi Hek Tok Siansu memastikan bahwa pihak mereka tentu akan cukup kuat untuk meringkus atau membunuh Hay Hay dan Kui Hong. Hanya ada beberapa orang mata-mata saja yang melakukan pengintaian untuk melihat hasil penghadangan terhadap dua orang musuh itu. Para mata-mata inilah yang cepat mengirim laporan ke kota Cong-cow ketika pihak mereka kewalahan. Kepala daerah Yong Ki Hok cepat mengirim serombongan orang-orang yang terdiri dari campuran persekutuan mereka, namun kedatangan rombongan itu terlambat karena di antara lima orang jagoan mereka yang kini masih dapat bertahan hanyalah Hek Tok Siansu seorang, sedangkan empat orang yang lain, yaitu dua orang tosu Pek-lian-kauw yang tadinya disombongkan oleh para orang Pek-lian-kauw sebagai jagoan tangguh, juga Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong, telah tewas!

Melihat munculnya gerombolan yang mempunyai banyak orang tangguh itu, Hay Hay merasa khawatir juga. Biarpun dia yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Han Siong, Bi Lian dan Kui Hong, namun jelas nampak bahwa mereka mulai terhimpit oleh banyaknya musuh. Maka, diapun mengambil keputusan untuk cepat merobohkan Hek Tok Siansu. Namun, ternyata kakek ini pun berusaha mati-matian, bukan hanya untuk melindungi dirinya, melainkan juga untuk membalas dengan serangan yang amat dahsyat, yang membuat Hay Hay tidak berani bersikap lengah.

“Aaauuughhhhhhhh!!” Hek Tok Siansu kini mengirim serangan dengan ilmunya Angin Taufan yang dahsyat, dengan kedua lutut di tekuk dia meloncat ke depan dan mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Hay Hay. Pendekar ini maklum bahwa kalau dia tidak cepat mengalahkan orang ini, maka tiga orang temannya akan terancam bahaya. Sekali ini dia tidak lagi mengelak atau menangkis, melainkan dia mengerahkan sinking pula dan menyambut dorongan itu dengan dorongan kedua telapak tangannya pula.

“Plakkk!!” Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan melekat! Keduanya
mengerahkan tenaga sakti yang melalui telapak tangan mereka mempunyai kekuatan untuk membunuh lawan yang kuat sekali pun. Keduanya tak mau kalah karena mundur berartu hancur. Mengalah berarti terancam maut. Kini keadaan mereka sudah terlanjur, kedua pasang telapak tangan itu sudah saling melekat dan terjadi adu sin-kang yang tak dapat dilihat orang lain. Tubuh mereka tergetar dan dari ubun-ubun kepala mereka keluar mengepul uap tebal!

Dalam adu tenaga itu, Hay Hay maklum bahwa tenaga lawannya sunggguh amat dahsyat. Walaupun dia tidak dapat dikatakan lebih lemah, namun dia tidak berani menganggap diri lebih kuat. Andaikata ada selisihnya, maka dia hanya menang sedikit saja dan ini tidak cukup untuk dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat. Tahulah Hay Hay bahwa adu tenaga sin-kang ini akan berlangsung lama sebelum dia akan mampu mengalahkan kakek itu. Kini hanya tinggal mengadu daya tahan dan kekuatan napas saja karena tenaga mereka seimbang. Kalau saja Kui Hong tidak meninggalkannya untuk membantu Han Siong dan Bi Lian, tentu dengan bantuan kekasihnya itu dia akan mampu mendapat kemenangan tanpa banyak membuang waktu. Akan tetapi dia tidak menyalahkan Kui Hong. Memang Han Siong dan Bi Lian lebih perlu dibantu.

Tiba-tiba seorang tosu Pek-lian-kauw yang datang bersama rombongan itu, meloncat ke belakang Hay Hay yang berdiri dengan kedua lutut di tekuk dan kedua lengan diluruskan, dengan telapak tangan menempel pada kedua telapak tangan Hek Tok Siansu. Tosu Pek-lain-kauw itu tanpa banyak cakap lagi sudah menghantamkan telapak tangan kanannya ke punggung Hay Hay dengan pengerahan sin-kang yang cukup dahsyat.

“Plakkk!” telapak tangan itu menempel di punggung Hay Hay dan tenaga yang kuat memasuki tubuh Hay Hay melalui punggung itu. Si tosu terkejut karena sama sekali tidak ada perlawanan dari orang yang dipukulnya, bahkan tenaga sin-kang dari telapak tangannya itu seperti menembus punggung dan memang hal itu di sengaja oleh Hay Hay. Dengan tingkatnya yang tinggi berkat gemblengan Sang Lojin, dia dapat menerima dan menampung tenaga dari hantaman tosu itu dan langsung menyalurkan hawa itu ke arah kedua telapak tangannya sehingga tenaganya bertambah besar menghadapi kedua telapak tangan Hek Tok Siansu.

“Uhhhh ……!” Hek Tok Siansu menyemburkan darah dari mulutnya dan dia memandang kepada tosu Pek-lian-kauw itu. Dia tidak berani membuka mulut melarangnya karena mengeluarkan kata-kata berarti memecah tenaga dan hal ini akan membahayakan nyawanya. Akan tetapi membiarkan saja tosu itu membantunya dan juga mendorongnya ke ambang maut karena lawannya yang masih muda itu mampu memanfaatkan serangan tosu itu untuk memperbesar tenaga sin-kangnya!

Akan tetapi, tosu Pek-lian-kauw itu biarpun dia seorang tokoh yang lihai, namun dia terlalu memandang rendah Hay Hay. Menerima dan menyalurkan tenaga lawan demi keuntungan diri sendiri merupakan ilmu yang amat langka, maka dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda itu mampu melakukan hal itu, dan disangkanya bahwa Hek Tok Siansu sudah terluka dan lemah, maka diapun ketika melihat kakek itu menyemburkan darah, bermaksud untuk membantunya dan kini tangan kirinya di hantamkan ke punggung Hay Hay sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya.



“Dessssss …….!!” Akibatnya hebat sekali. Hek Tok Siansu kembali menyemburkan darah dan diapun terjengkang, sedanglan tubuh Hay Hay bergulingan menjauh. Ketika pemuda ini meloncat bangun, wajahnya agak pucat dan napasnya terengah, namun dia tidak terluka, sedangkan ketika dia menoleh ke arah Hek Tok Siansu, kakek itu rebah terlentang dan telah tewas! Kini barulah tosu Pek-lian-kauw itu tahu apa yang terjadi. Hek Tok Siansu tewas karena tanpa disadarinya dia telah membantu pemuda itu yang mampu menerima dan menyalurkan tenaga hantamannya tadi untuk menyerang Hek Tok Siansu. Dia pun menjadi marah, lalu meneriaki kawan-kawannya untuk mengeroyok Hay Hay.

Biarpun kini bertambah dengan Hay Hay, tetap saja para pendekar itu kewalahan menghadapi pengeroyokan musuh yang sedemikian banyaknya. Mereka segera bergabung membentuk sebuah lingkaran dengan saling membelakangi. Empat orang pendekar atau dua pasang orang muda perkasa itu masing-masing menghadap empat penjuru sehingga pihak musuhnya hanya dapat menyerang mereka dari depan dan kanan kiri saja.

Kalau saja Hay Hay dan Han Siong tidak memiliki kekuatan sihir yang hebat di samping ilmu silat mereka, agaknya mereka berempat tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Namun, kedua orang muda perkasa ini berulang-ulang mengeluarkan bentakan-bentakan yang menggetarkan, membuat banyak pengeroyoknya terjungkal tanpa dipukul, terpelanting atau terjengkang karena pengaruh suara yang mengandung kekuatan sihir Hay Hay dan Han Siong.

Namun, mereka tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri karena pengepungan itu berlapis-lapis dengan datangnya bala bantuan bagi musuh yang mengalir keluar dari kota Cong-cow. Keadaan benar-benar gawat! Bahkan empat orang pendekar muda itu sudah menerima beberapa kali serangan yang mendatangkan luka di tubuh mereka, walaupun berkat kelihaian mereka, luka-luka itu tidaklah parah.

Keadaan yang amat gawat bagi dua pasang pendekar itu tiba-tiba berubah ketika terdengar suara tambur dan sorak-sorai, diikuti munculnya pasukan pemerintah yang besar jumlahnya! Di antara para panglima dan perwira yang memimpin pasukan itu terdapat pula Mayang, Cang Hui dan Teng Cin Nio! Bahkan Cang Sun yang tidak pernah bertempur itu terdapat pula diantara mereka.

Tentu saja gerombolan pemberontak itu tidak mudah di basmi, bahkan pasukan-pasukan yang dipimpin langsung oleh Menteri Yang Ting Hoo itu terus menyerbu ke dalam kota Cong-cow, bergabung dengan pasukan pemerintah yang masih setia kepada pemerintah dan tidak ikut terseret ke dalam gerombolan persekutuan pemberontak.

Hay Hay, Kui Hong, Han Siong dan Bi Lian tidak ikut menyerbu ke kota itu, melainkan menumpang dalam kereta besar bersama Cang Sun, Mayang, Cang Hui dan Cin Nio, kembali ke kota raja.

Dua pasang pendekar itu sempay saling mengobati luka-luka kecil di tubuh mereka, kemudian mereka semua menghadap Menteri Cang Ku Ceng yang menyetakan penyesalannya bahwa keluarganya sampai diselundupi orang-orang macam Su Bi Hwa dan Sim Ki Liong sehingga hampir saja mendatangkan malapetaka, bukan hanya bagi keluarga, melainkan juga bagi istana kerajaan.

Menteri Cang Ku Ceng dengan keluarganya menyambut gembira ketika puteranya, Cang Sun menyatakan keinginannya untuk menikah dengan Mayang dan Cin Nio sekaligus! Dalam kesempatan ini, Cang Sun yang tentu saja sudah di bujuk oleh Mayang, minta kepada ayahnya agar suka menjadi wali bagi Hay Hay untuk mengajukan pinangan ke Cin-ling-pai, meminang Cia Kui Hong untuk menjadi jodoh Hay Hay. Bahkan dia menyatakan, tentu saja atas desakan Mayang pula, bahwa hari pernikahannya akan dibarengkan dengan hari pernikahan Hay Hay. Menteri Cang Ku Ceng yang merasa betapa besar jasa Hay Hay selama ini, menyatakan setuju.

Orang-orang Portugis, untuk sekian kalinya, kembali di halau pergi oleh pasukan pemerintah dari kota Cong-cow. Banyak diantara mereka yang tewas bersama sekutu mereka di Cong-cow dan sisanya di halau pergi, melarikan diri dengan kapal-kapal mereka ke lautan.

Akan tetapi, agaknya pemerintah kerajaan Beng tidak pernah jera menghadapi kecurangan orang-orang Portugis. Memang tertanam kebencian dan kecurigaan terhadap orang-orang kulit putih karena ulah orang-orang Portugis yang merupakan pendatang orang kulit putih pertama di daratan China. Akan tetapi pemerintah dan para pedagang melihat keuntungan besar dengan adanya perdagangan antara bangsa pribumu dengan orang-orang asing barat itu. Rempa-rempa yang dianggap kurang berharga di daratan Cina, amat dihargai oleh orang-orang kulit putih, dan rempa-rempa itu ditukar dengan benda-benda asing yang langka didapat di daratan. Perdagangan yang dianggap menguntungkan kedua pihak inilah yang membuat pemerintah kerajaan merasa sayang untuk menolak sama sekali kedatangan orang-orang Portugis. Akhirnya, beberapa tahun kemudian, dalam tahun 1557, pemerintah yang di dukung oleh pejabat daerah yang memperoleh banyak keuntungan melalui pajak dan sogokan perdagangan itu, mengijinkan orang-orang Portugis untuk mendarat di Macao, sebuah semenanjung di Kanton, sebuah tempat yang terpencil dan jauh dari kota-kota yang penting. Bahkan sebuah pasukan yang kuat ditempatkan di perbentengan untuk mencegah orang-orang Portugis masuk ke pedalaman. Karena ulah orang-orang Portugis inilah maka sampai bertahun-tahun lamanya, rakyat Cina tidak percaya kepada orang-orang kulit putih, biarpun mereka itu bukan orang Portugis, melainkan dari daratan Europa yang lain, seperti Belanda dan Inggeris.

Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, tentu saja menerima dengan penuh penghormatan ketika utusan Menteri Cang Ku Ceng datang untuk meminang Kui Hong, dijodohkan dengan Tang Hay. Suami isrteri ini sekarang yakin bahwa jodoh berada di tangan Tuhan, dan kalau puteri mereka sudah saling mencinta dengan Tang Hay, merekapun tidak mampu menghalangi.

Tak lama kemudian, dilangsungkan pernikahan pada hari yang sama antara Tang Hay dan Cia Kui Hong, dan antara Cang Sun dan kedua orang isterinya, yaitu Mayang dan Cin Nio. Perayaan pengantin kembar itu dirayakan secara besar-besaran di kota raja, di gedung istana keluarga Menteri Cang Ku Ceng, dihadiri oleh para pejabat tinggi dan oleh tokoh-tokoh persilatan. Diantara mereka, hadir pula, tentu saja Pek Han Siong dan isterinya tecinta, yaitu Siangkoan Bi Lian.

Sampai disini selesailah sudah kisah Jodoh Si Mata Keranjang ini, disertai harapan pengarang semoga kisah ini, selain dapat menghibur pembacanya, juga mengandung manfaat bagi kita semua. Sampai jumpa di lain kisah.

TAMAT
More aboutCerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang 3 Tamat