Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 6 Tamat

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 11 Mei 2012

Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 6 Tamat
s yang ditahan-tahannya, "Ia atau aku! Kalau engkau memilih ia, jangan engkau harap aku akan sudi hidup bersamamu sebagai isterimu dan jangan engkau berani mencariku lagi karena kalau hal itu kaulakukan, aku akan menganggap itu sebagai penghinaan! Sebaiknya, kalau engkau memilih aku, engkau harus membunuhnya, membunuh wanita pelacur itu!"

"Sui Cin, jangan engkau memaki orang tanpa alasan!" Tiba-tiba Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin menegur puterinya. Ia dan suaminya sejak tadi hanya mendengarkan saja, tidak mencampuri urusan puteri mereka, hanya menjadi saksi saja. Akan tetapi, mendengar puterinya memaki isteri muda Hui Song sebagai pelacur, ia merasa tidak setuju dan menegur puterinya.

"Tentu saja ada alasannya, Ibu!" bantah Sui Cin. "Semua wanita yang merebut suamiku adalah pelacur!" Lalu ia menoleh kepada suaminya lagi. "Nah, sekarang engkau boleh pilih dan mengambil keputusan sekarang juga!"

Diam-diam Pendekar Sadis Ceng Thian Sin juga menyesalkan sikap puterinya, yang dianggapnya terlalu keras itu, akan tetapi dia diam saja dan hanya memandang kepada Hui Song. Ketua Cin-ling-pai ini merasa terpukul sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa isterinya akan bersikap sekaku dan sekeras itu. Dia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia sudah mengenal baik watak lsterinya ini. Memang sikap Sui Cin keras, sesuai dengan wataknya yang keras, akan tetapi di balik kekerasan itu, isterinya memillki hati yang amat baik dan bijaksana. Kalau sekarang kelihatan kejam adalah karena hatinya sedang dikeruhkan oleh perasaan cemburu dan panas. Dia tidak percaya bahwa isterinya akan memaksanya membunuh Bi Nio, karena hal ini sungguh berlawanan denpn watak pendekar dari isterinya.

"Cin-moi, terus terang saja, aku tidak tega membunuh ibu dari puteraku sendiri. Kalau engkau yang akan melakukannya, terserah. Bagaimanapun juga, aku jelas lebih ,berat kepadamu karena engkau adalah isteri yang kupilih sendiri, sedangkan Bi Nio menjadi isteriku karena keadaan. Marilah ikut pulang bersamaku dan di sana terserah kepadamu kalau engkau hendak menyingkirkan dan membunuh Siok Bi Nio."

Pendekar Sadis diam-diam memuji mantunya itu. Dia dapat mengerti akan sikap Hui song dan dia sendiri pun tidak percaya kalau puterinya akan demikian kejamnya membunuh isteri muda Hui Song yang sama sekali tidak berdosa itu.

"Memang sebaiknya kalau engkau ikut pulang suamimu, Sui Cin dan urusan itu dapat kalian selesaikan di Cin-ling.san,” katanya.

Isteri pendekar sakti itu pun mengangguk, karena ia pun dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Ia tahu bahwa puterinya mencinta Hui Song dan pada saat ini, puterinya sedang terbakar hatinya oleh cemburu dan ia merasa yakin bahwa kalau cemburu itu sudah hilang, muka puterinya tidak akan bersikap seperti itu.

"Ayahmu benar, Sui Cin. Memang sebaiknya kalau kalian pulang ke Cin-ling-san dan di sana, urusan keluarga ini dapat dibicarakan dengan semua yang bersangkutan."

Tidak dapat disangkal oleh Sui Cin sendiri bahwa jauh di dasar hatinya, ia amat mencinta Hui Song. Hampir tidak kuat ia bertahan ketika ia harus berpisah dari orang yang dicintanya selama tiga tahun ini. Hanya keangkuhan dan kekerasan hatinya sajalah yang membuat ia mampu bertahan dan menekan rasa rindunya yang amat sangat. Dan kekerasan hatinya juga yang membuat ia enggan mengalah, sehingga bersikap keras dan menuhtut agar suaminya membunuh isteri mudanya itu yang dianggapnya sebagai saingannya, sebagai seorang yang menjadi sebab kehancuran kebahagiaannya. Ia tidak mau mempedulikan alasan lain. Dianggapnya bahwa isteri muda suaminya itulah yang bersalah!

"Baik," katanya setelah mendengar ucapan ayah ibunya. “Aku akan ikut bersamamu ke Cin-ling-pai, akan tetapi, kalau sampai di sana engkau tidak mau membunuh perempuan pelacur itu, akulah yang akan turun tangan membunuhnya sendiri!"

Hui Song mengangguk. "Baiklah, aku dapat menerima syaratmu itu, Cin-moi."

Ceng Thian Sin mengeluarkan suara ketawa. "Aha, akhirnya dapat juga dicapai kata sepakat. Girang sekali hati kami suami isteri mendengar ini, Anakku dan kami sungguh mengharap agar kalian dapat menemukan jalan keluar dari persoalan keluarga ini. Akan tetapi cukuplah bicara bersitegang dan ajaklah suamimu untuk makan minum dulu, Sui Cin "

Hui Song tinggal di Pulau Teratai Merah selama tiga hari, barulah Pendekar Sadis dan isterinya memperkenankan dia dan Sui Cin meninggalkan pulau. Biarpun Sui Cin tidak lagi memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap suaminya, namun ia masih selalu menjauhkan diri. Hui Song diperlakukan sebagai seorang tamu saja! Bahkan ketika mereka meninggalkan pulau itu menuju ke Cin-ling-pai, ketika di sepanjang perjalanan mereka bermalam di sebuah rumah penginapan,Sui Cin menghendaki agar mereka menyewa dua buah kamar karena ia belum mau tinggal atau tidur sekamar dengan suaminya itu sebelum urusan di antara mereka dapat disesalkan.

Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, para anggauta Cin-ling-pai merasa gembira sekali melihat munculnya isteri ketua mereka. Mereka memberi hormat dan diterima dengan dingin saja oleh Sui Cin. Ketika mereka tiba di beranda, Sui Cin menolak untuk masuk terus.

"Biarlah aku menanti saja di sini sampai kulihat engkau membunuhnya atau aku sendiri yang akan membunuhnya. Setelah itu, baru aku mau masuk ke dalam rumah ini."

Hui Song tidak menjawab dan sampai beberapa lamanya dia memandang kepada isterinya, hatinya sedih bukan main. Tidak ada anggauta Cin-ling-pai yang berani mengganggu mereka dan di beranda rumah itu sunyi. Ayahnya tentu sedang bersamadhi di dalam kamarnya sendiri, pikirnya. Dan isterinya, Bi Nio, bersama puteranya, tentu berada di dalam kamar atau di bagian belakang. Mereka semua belum tahu akan kedatangannya, dan tentu sama sekali tidak menyangka bahwa pulangnya bersama Sui Cin, isteri pertamanya.

"Baiklah, aku akan menemui Bi Nio." katanya dan dia meninggalkan Sui Cin masuk ke dalam rumah untuk mencari isteri mudanya. Dia menemukan mereka berada di ruangan belakang. Bi Nio terkejut dan girang melihat suaminya pulang.

"Ah, engkau begini tiba-tiba pulang sehingga kami tidak dapat melakukan penyambutan…" katanya sambil tersenyum manis, akan tetapi senyumnya segera menghilang ketika ia melihat wajah suaminya yang nampak keruh dan berkerut penuh kegelisahan.

"Apakah yang telah terjadi…?" tanya isteri itu khawatir. Hui Song belum menjawab, melainkan meraih puteranya, Cia Kui Bu yang baru berusia sekitar dua tahun memangkunya, mencium kepalanya. Anak yang mengenal ayahnya itu tertawa-tawa dan kembali Bi Nio mendesak.

“Apakah yang terjadi maka engkau kelihatan begini susah.... ?" tanyanya lagi sambil menyentuh lengan suaminya. Biarpun wanita ini menjadi isteri Hui Song atas kehendak orang tuanya, namun selama ini ia menemukan seorang suami yang amat baik dan bijaksana, dan Bi Nio telah jatuh cinta kepada suaminya sendiri yang jauh lebih tua darinya itu, setua ayahnya.

“Bi Nio…” Hui Song berkata, akan tetapi tidak mampu melanjutkan. Biarpun tadinya dia merasa yakin bahwa Sui Cin tidak mungkin akan melaksanakan tuntutan atau ancamannya, namun berhadapan dengan Bi Nio dan membayangkan betapa nasib amat buruk menanti wanita ini, hatinya penuh rasa iba. Bi Nio tidak bersalah apa pun, dan Cia Kui Bu juga tidak bersalah apa-apa. Mana mungkin dia harus membunuh Bi Nio dan memisahkan Kui Bu dari ibunya? Dosanya akan menjadi semakin besar kalau dia melakukan hal itu!

."Bi Nio, ketahuilah bahwa isteriku yang pertama kini ikut pulang bersamaku…"

"Ah, sungguh berita yang menggembirakan sekali. Saya harus segera keluar menyambut! Di mana ia…?" Bi Nio menggendong puteranya dan nampak gembira.

Melihat ini, Hui Song menarik napas panjang. "Nanti dulu, Bi Nio. Justeru karena inilah maka aku menjadi bingung. Ceng Sui Cin, isteri yang pertama itu, ia... ia menuntut agar aku memilih salah satu. Memilih engkau atau memilih ia! Ia tidak mau dimadu, tidak mau kalau aku memiliki dua orang isteri."

Sepasang mata itu terbelalak dan mukanya menjadi sepucat kertas ketika ia menatap wajah suaminya. Beberapa saat lamanya ia seperti kehilangan akal saking kagetnya mendengar ucapan suaminya itu. Kemudian, dengan suara lirih ia bertanya.

"Kalau... kalau memilih aku….?"

"Kalau aku memilih engkau, ia tidak sudi kembali ke sini, tidak mau lagi hidup di sampingku sebagai isteriku."

"Ah, tidak mungkin kaulakukan hal itu!" Bi Nio berseru kaget.

"Tentu saja tidak mungkin. Engkau tahu bahwa ia adalah isteriku, dan pernah kukatakan kepadamu bahwa ia isteriku yang kucinta, dan kami telah mempunyai seorang anak perempuan yang kucinta pula. Engkau sudah melihat Kui Hong ketika ia datang berkunjung…"

"Seorang gadis yang hebat. Dan kalau engkau memilih isterimu yang pertama?" Bi Nio mendesak.

Hui Song menarik napas panjang, tidak mampu menjawab, tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa Sui Cin menghendaki dia membunuh Bi Nio! Melihat keraguan suaminya, Bi Nio mendekap anaknya dan berkata sambil menangis" "Aku tahu! Aku yang harus pergi dari sini! Ah, memang sudah sepatutnya begitu. Aku hanya isteri ke dua, dan sudah tentu engkau lebih berat kepada isterimu pertama baiklah, aku akan pergi, akan kubawa Kui Bu pergi…."

"Tidak mungkin!" Tiba-tiba Hui Song berseru keras mengejutkan Bi Nio yang belum pernah selama menjadi isteri Ketua Cin-ling-pai itu mendengar suaminya membentak kepadanya, "Engkau tidak boleh membawa pergi Kui Bu! Dia adalah putera tunggalku, satu-satunya penyambung keturunan keluarga Cia. Engkau tidak boleh membawanya!"

Sepasang mata Bi Nio kini terbelalak lebar penuh kegelisahan dan puteranya didekap di dadanya dekapannya kuat sekali sehingga anak yang baru berusia dua tahun lebih itu menangis. Agaknya dia dapat merasakan kegelisahan hati ibunya.

"Kau... kau hendak memisahkah aku dari Anakku? Ahh tidak... jangan...! Biar kubawa dia pergit aku tidak minta apa-apa darimu, tidak menuntut apa pun. Aku akan pergi tanpa membawa apa pun... tapi... jangan minta aku pergi meninggalkannya di sini ! Ah, jangan... lebih baik kaubunuh saja aku…." Dan wanita itu menangis sesenggukan satnbil mendekap dan menciumi puteranya yang juga ikut menangis.

Melihat keadaan Ibu dan anak itu, Hui Song lalu berlari keluar. Inilah saatnya yang tepat untuk mempertemukan Sui Cin dengan mereka, pikirnya. Dia melihat Sui Cin masih duduk di serambi depan.

"Cin-moi, marilah. Siok Bi Nio dan anaknya sudah menantimu di dalam. Mari kita temui mereka!"

Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menurut dan mengikuti suaminya memasuki rumah itu, rumah di mana kurang lebih enam belas tahun menjadi tempat tinggalnya, di mana selama enam belas tahun ia hidup berbahagia dengan suaminya.

Mereka mendapatkan Bi Nio masih menciumi puteranya sambil menangis di ruangan dalam. Sui Cin memandang penuh perhatian. Hemm, seorang perempuan yang masih muda sekali, paling banyak berusia dua puluh satu atau dua tahun, sepantasnya menjadi kakak Kui Hong. Pantas menjadi anaknya, atau keponakannya! Dan anak laki-laki yang juga ikut menangis bersama ibunya itu, demikian mirip dengan Hui Song! Berkerut alis Sui Cin.

"Cin-moi, inilah Siok Bi Nio dan anak kami, Cia Kui Bu. Aku sudah memberitahu kepadanya akan keputusanmu bahwa aku harus memilih antara engkau dan ia. Dan sudah kukatakan bahwa tentu saja aku berat kepadamu yang menjadi isteriku sejak muda. Sekarang terserah kepadamu, ini ia dan anaknya, boleh kauputuskan sendiri," kata Hui Song, wajahnya agak pucat dan hatinya terasa tegang sekali. Sementara itu, mendengar kedatangan dua orang itu, Bi Nio mencoba untuk menghentikan tangisnya dan mengangkat muka memandang kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang cantik dan berwibawa, nampak galak dan membuat ia merasa kecil sekali, kecil dan lemah.

"Engkau yang bernama Siok Bi Nio?" Sui Cin bertanya, suaranya ketus.

"Benar, aku bernama Siok Bi Nio." jawab yang ditanya, suaranya lirih dan ia mendekap puteranya yang masih menangis, menggoyang-goyang anaknya untuk membujuknya agar diam.

"Engkau sudah mendengar akan keputusanku. Suamiku minta agar suka kembali dan tinggal di sini. Aku mau kembali, dengan syarat bahwa dia harus membunuhmu. Dan tentang anakmu ini, .karena dia anak suamiku, biarlah aku yang akan memeliharanya."Berkata demikian Sui Cin menatap wajah Bi Nio dengan tajam penuh selidik, agaknya hendak melihat reaksi wanita itu setelah mendengar ucapannya.

Bi Nio terbelalak, kembali anaknya didekap erat-erat, dan ia memandang suaminya. "Ah, jadi begitukah? Suamiku, kalau memang kalian berkeras untuk mimsahkan aku dari anakku, lebih baik cepat kauturun tangan dan bunuh aku. Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dengan anakku, dan bunuh pula anakku ini. Aku akan membawanya ke mana saja, hidup atau mati harus bersama dia! Bunuhlah agar kalian dapat hidup berbahagia!" Bi Nio berkata sambil menangis dan tak pernah melepaskan rangkulannya dari anaknya.

"Cin-moi, tak mungkin aku dapat membunuhnya. Tidak mungkin aku akan sekejam itu. Kalau engkau masih menghendaki untuk membunuhnya, nah, terserah kepadamu. Lakukanlah kalau memang kau ingin demikian!" Hui Song berada dalam keadaan tegang sekali. Dia tahu bahwa kalau sampai isterinya itu benar-benar turun tangan hendak membunuh Bi Nio, dia tentu akan menentang dan mencegahnya, dan mungkin sekali dia akan memutuskan hubungan batinnya dengan Sui Cin, betapa besar pun cintanya terhadap Sui Cin. Dia akan menganggap perbuatan Sui Cin yang hendak membunuhBi Nio sebagai perbuatan terkutuk dan kejam sekali.

Hui Song sama sekali tidak tahu atau menyangka bahwa kalau Sui Cin mengatakan bahwa dia harus membunuh Bi Nio, hal itupun hanya merupakan suatu ujian saja. Sui Cin hendak melihat apakah suaminya tetah menjadi sedemikian palsunya, mudah mengorbankan seorang wanita demi tervcapainya keinginannya. Dulu, suaminya mengorbankan dirinya, membiarkan ia pergi bersama Kui Hong karena suaminya hendak menikah lagi. Dan sekarang, karena suaminya menghendaki ia kembali, ia ingin melihat apakah suaminya mau mengorbankan Bi Nio, bahkan mau membunuhnya! Tentu saja, betapa pun rasa cemburu dan panas hati menyesak dadanya ketika berhadapan dengan madunya, ia sebagai seorang pendekar tidak akan sudi menyerang, melukai apalagi membunuh seorang wanita lemah seperti Bi Nio.

"Bi Nio, karena suamiku memilih aku untuk kembali ke sini, maka aku minta agar engkau suka pergi dengan baik-baik dari rumah ini. Puteramu harus ditinggal di sini, akan kupelihara, dan kami akan memberimu uang secukupnya agar engkau dapat berdagang, membuka toko, atau menikah lagi dengan seorang laki-laki yang muda dan sebaya denganmu," kata Sui Cin, suaranya tidak ketus lagi, bahkan agak lembut.

Ucapan Sui Cin itu membuat Bi Nio terbelalak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun mendekap anaknya, lalu bangkit berdiri. "Tidak...! Tidaaaakk...! Siapa pun tidak boleh mengambil anakku! Biarkan aku pergi bersama anakku. Aku tidak butuh uang, tidak butuh harta, tidak butuh suami muda..., aku ingin hidup bersama anakku, biar miskin sekalipun. Biarkan aku pergiiii…!"

Wanita itu lalu keluar dengan tubuh terhuyung, sambil memondong puteranya dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, baru tiba di pintu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di depannya, menghadangnya dan sekali kakek itu menggerakkan tangan, Kui Bu, anak berusia dua tahun itu telah terampas dari pondongan ibunya dan berada dalam pondongan lengan kanan kakek itu.

"Cia Kui Bu adalah satu-satunya keturunan keluarga Cia yang harus berada di sini, mewarisi seluruh peninggalan keluarga Cia dan menjadi calon ketua Cin-ling-pai, tidak boleh siapa pun membawanya pergi dari sini.' katanya, suaranya keren sekali. Melihat ayah mertuanya, Bi Nio menjerit dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan ayah mertuanya.

"Ayaaaahhh...!" Ia merangkul kaki ayah mertuanya dan menangis sesenggukan.

Kakek itu adalah Cia Kong Liang yang terbangun dari samadhinya dan ketika dia mendengar keributan diruangan belakang, dia segera menghampiri dan turun tangan merampas cucunya yang hendak dibawa pergi oleh mantunya itu. Kini, dengan cucunya yang masih menangis dalam pondongannya, dia berkata kepada mantunya yang pertama, suaranya halus namun tegas.

"Sui Cin, aku tahu betapa pernikahan Hui Song dengan Bi Nio telah menghancurkan hatimu dan kini engkau datang untuk menuntut hakmu. Akan tetapi aku harap engkau bertindak adil, dapat melihat siapa yang bersalah dan siapa tidak! Bi Nio tidak dapat disalahkan dalam hal ini, karena ia hanya seorang wanita yang menurut kemauan orang tuanya, menyerahkannya kepada kami untuk menjadi isteri kedua Hui Song. Jadi, kesalahannya kini terletak di atas pundak Hui Song. Akan tetapi, engkau pun tentu telah mengetahui bahwa pernikahan ke dua ini sama sekali bukan keinginan hati Hui Song. Dia hanya ingin memenuhi perintahku, atau tidak berani menolak perintahku sebagai seorang putera berbakti. Dengan. demikian, kesalahan dari pundaknya kini berada di atas pundakku! Nah, akulah yang bersalah, aku yang berdosa, karena itu, tidak sepatutnya kalau untuk kesalahan yang kulakukan, Bi Nio yang harus menanggung hukumannya! Aku sudah tua dan aku siap menerima hukumannya, Sui Cin. Kalau engkau merasa sakit hati, nah, balaslah kepadaku, aku tidak akan melawan untuk menebus kesalahanku kepadamu, akan tetapi jangan ganggu Bi Nio. Ia seorang isteti yang baik, ia telah memberi seorang keturunan laki-laki kepada keluarga Cia, dan ia mencinta suaminya….."

"Ayah...!" Sambil terisak dan merangkul kaki ayah mertuanya, Bi Nio berkata, "Ayah tidak bersalah, Ayah tidak berdosa! Kalau Ayah menginginkan putera Ayah menikah lagi, hal itu Ayah lakukan bukan karena Ayah membenci mantu pertama, melainkan karena Ayah ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki! Bagaimana pun juga, sayalah yang menjadi biang keladi semua pertentangan dan keributan ini. Ayahnya Kui Bu ingin kembali dengan isterinya yang pertama, dan isterinya yang pertama mau kembali kepadanya akan tetapi tidak mau dimadu, dan Ayah tidak ingin melihat Kui Bu keluar dari sini, tidak ada yang dapat memberi penerangan dalam kegelapan ini kecuali saya. Satu-satunya jalan, saya harus pergi dari sini, tanpa... tanpa anakku..., biarlah saya menderita, merana, demi kebahagiaan suami saya, isterinya, dan Ayah, juga Kui Bu sendiri…" Kini wanita itu bangkit dan lari keluar, terhuyung dan menangis sedih.

Sejenak tiga orang itu tidak ada yang bergerak, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin meloncat dan tubuhnya meluncur cepat melewati Bi Nio. Ketika ia turun, ia telah menghadang di depan Bi Nio.

"Tidak... engkau... tidak boleh pergi…." kata Sui Cin, suaranya agak gemetar, “Bi Nio..., apakah engkau... kau mencinta Hui Song?"

Bi Nio yang berdiri agak membongkok sambil menangis itu, tiba-tiba saja mengeluarkan suara seperti orang tertawa, agaknya pertanyaan itu terasa lucu olehnya. “… aku ….? Mencinta dia….? Aku …. aku bersedia mati untuk kebahagiaannya..., mungkin aku tidak mampu melarikan diri dari kalian, akan tetapi aku dapat pergi dengan cara lain…." Tiba-tiba saja ia terkulai dan Sui Cin melihat darah membasahi baju di bagian dada wanita itu.

"Bi Nio...!" Sui Cin berteriak dan bergerak ke depan, merampas sebuah pisau sepanjang dua jari, pisau berlumuran darah yang tadi dipergunakan oleh Bi Nio untuk menusuk dadanya sendiri!

“Bi Nio...!" Hui Song berteriak dan sekali meloncat, dia sudah menubruk Bi Nio yang terkulai roboh. Dipangkunya tubuh isterinya itu dan diperiksanya.

"Bi Nio...!" Cia Kong Liang juga berteriak dan meloncat dekat, lalu berjongkok dan ikut memeriksa. Sementara itu, Kui Bu menangis keras, seolah-olah anak kecil yang belum tahu apa-apa ini merasakan adanya suatu malapetaka yang menimpa diri ibunya.

"Bi Nio..., ahhh, Bi Nio...!" Hui Song menangis dan ayahnya hanya menggeleng kepala ketika keduanya mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin lagi menyelamatkan Bi Nio karena pisau yang ditusukkan ke dadanya itu langsung mengenai jantungnya! Bi Nio membuka matanya, berbisik-bisik,

“Anakku..., anakku..., mana…."

Cia Kong Liang menangkap cucunya dan didekatkan kepada Bi Nio yang segera mendekap anaknya. Tentu saja muka dan pakaian anak itu berlumuran darah segar.

" Aku... aku pergi... tolonglah... tolong semua saja, rawat baik-baik anakku Kui Bu... kalian... kalian maafkan aku yang berdosa…." Bi Nio melepaskan anaknya dan terkulai lemas. Ia mati dengan bibir tersenyum, seolah-olah ia telah rela meninggalkan dunia ini, meninggalkan anaknya karena merasa yakin bahwa anaknya akan dirawat orang dengan baik.

"Bi Nio….! Ah, Bi Nio, aku telah membunuhmu…!" Hui Song merintih dan terisak. "Aku telah membunuhmu, Bi Nio…." kata Sui Cin lirih, menunduk dan merasa menyesal, dan ia memondong Kui Bu, mendekap anak yang muka dan pakaiannya berlepotan darah itu. "aku... aku akan merawat dan mendidik anakmu ini, Bi Nio, jangan kau khawatir….."

"Aku yang telah membunuh Bi Nio…." Kakek Cia Kong Liang juga berkata dengan wajah sedih.

Hui Song bangkit berdiri, dan memondong tubuh Bi Nio yang masih berlumuran darah. "Aku seorang suami yang tidak baik, suami yang celaka dan tidak mampu membahagiakan isteri, baik bagi Sui Cin maupun bagi Bi Nio. Aku... aku yang telah menyebabkan kematiannya, aku akan menguburnya di puncak bukit itu dan menemaninya di sana, selamanya….”

Hui Song lalu membawa lari mayat Bi Nio, diikuti pandang mata Cia Kong Liang yang tak mampu membendung aliran air matanya, dan Sui Cin yang masih mendekap Kui Bu.

Lahir dan mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal ini. Kita hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum terlahir dan sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apapun juga, kaya atau miskin, mulia maupun papa, dari 'keluarga yang bagaimanapun juga, seorang bayi begitu terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis! Tangis adalah peluapan duka, dalam bahasa dari bangsa manapun juga. Begitu memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis, seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka! Dan di dalam kenyataannya, hidup ini memang lebih banyak mengandung duka daripada suka. Kemudian, setelah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa pada wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu, membayangkan kelegaan, kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena telah terlepas daripada kehidupan yang banyak duka ini!

Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira. Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan orang dalamn penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru? Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangis sedih walaupun wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini pun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang bebas sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh derita, seperti sekumpulan orang dalam penjara yang melihat seorang rekannya dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara.

Hidup ini penuh duka yang timbul dari segala perasaan kecewa, iri hati, dengki, ketakutan, kekerasan, dan iba diri. Kesenangan hanya muncul seperti kilat di antara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan selalu diikuti oleh sedepa kesusahan. Namun, tanpa adanya pikiran yang menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, mengingat-ingat, tanpa adanya si aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu? Dalam keadaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam yang tidak mengenal suka duka! Mimpi mengandung suka itu ada? Dalam keadaaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu mengada-ada!

* * *

Pria itu bersikap halus dan penuh wibawa, dan sepasang matanya menunjukkan bahwa dia seorang yang amat cerdik dan bijaksana. Usianya sekitar lima puluh tahun dan duduk di atas kursi di dalam ruangan yang lebar itu, di mana belasan orang perwira nampak amat menghormatinya, dia kelihatan semakin berwibawa walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pembesar sipil, bukan militer. Tidak mengherankan kalau semua perwira demikian menghormatinya karena dia adalah Menteri Cang Ku Ceng, seorang di antara menteri-menteri yang paling setia kepada kaisar, dan satu di antara para pejabat yang berjasa besar dalam menegakkan keadilan dalam pemerintahan Beng-tiauw di bawah pimpinan Kaisar Cia Ceng itu. Sesungguhnya, hanya ada dua orang menteri yang paling terkenal dalam pemeritahan itu dan tercatat dalam sejarah sebagai dua orang yang berjasa besar. Mereka adalah Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng inilah.

Untuk membasmi gerakan pemberontakan di selatan, yang menurut para penyelidik dipimpin oleh datuk sesat yang bersekongkol dengan seorang bangsawan dari Birma, Menteri Cang Ku Ceng turun tangan sendiri terjun ke lapangan! Dan hal ini amatlah besar pengaruhnya, terutama sekali dalam menarik perhatian dan bantuan para pendekar. Sebagian besar para pendekar kagum kepada kedua menteri itu, maka mendengar bahwa Menteri Cang terjun ke lapangan, mereka pun tertarik dan banyak yang berdatangan ke Yunan untuk membantu gerakan pemerintah membasmi pemberontakan. Andaikata gerakan pembasmian itu hanya dipimpin oleh para perwira, kiranya para pendekar tidak akan demikian bersemangat membantu

Mereka sedang mengadakan perundingan di dalam ruangan itu, sebuah ruangan luas dalam pondok darurat yang dibuat di lereng gunung yang penuh hutan itu. Para perwira itu telah mempersiapkan pasukan yang cukup besar, namun pasukan mereka masih disembunyikan, berpencar dan belum berkumpul di bukit itu karena mereka khawatir kalau-kalau para mata-mata pemberontak akan melihatnya, dan akan menggagalkan penyergapan mereka. Adapun kehadiran Menteri Cang Ku Ceng dan para pendekar, juga belasan orang perwira di situ, tidak akan mudah diketahui orang karena hutan itu telah dikepung dan dijaga ketat, baik oleh pasukan pilihan yang berpakaian preman maupun oleh para pendekar dan anak buah mereka. Takkan ada orang asing dapat memasuki hutan di lereng bukit itu tanpa ijin.

Selain Menteri Cang Ku Ceng dan belasan orang perwira, di situ sudah berkumpul pula para pendekar yang siap menyumbangkan tenaga mereka untuk membasmi pemberontakan, dan pada pagi hari itu, mereka diterima menghadap oleh Menteri Cang Ku Ceng. Di antara para pendekar itu, terdapat beberapa orang yang terkenal sekali, bukan hanya tokoh-tokoh partai persilatan besar seperti wakil dari Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-lim-pai, akan tetapi nampak hadir tokoh-tokoh persilatan perorangan yang tidak mewakili perguruan atau perkumpulan silat. Juga nampak Pek Kong, Ketua Pek-sim-pang yang datang bersama Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang dari Cin-an. Seperti kita ketahui, terjadi ikatan perjodohan antara anak kedua orang tua yang memang bersahabat karib ini. Puteri Pek Kong, yaitu Pek Eng, telah dilamar oleh Ketua Kang-jiu-pang untuk dijodohkan dengan puteranya yang bernama Song Bu Hok dan pinangan itu diterima dengan senang hati. Akan tetapi ternyata ikatan jodoh itu bahkan membuat Pek Eng marah dan berduka, dan gadis ini minggat dari rumahnya dengan alasan untuk mencari kakak kandungnya, Pek Han Siong. Dan seperti telah kita ketahui, dalam perantauannya ini Pek Eng tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo akan tetapi berkat kecerdikannya, ia bahkan diambil murid dan anak angkat oleh bengcu itu. Dan mempergunakan kesempatan baik ini, Pek Eng berhasil membujuk gurunya itu untuk mengirim orang dan membatalkan ikatan jodoh antara ia dan Song Bu Hok! Lam-hai Giam-lo memenuhi permintaan Pek Eng dan Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis itulah yang diutus pergi ke Cin-an dan dengan kekerasan mereka menuntut agar ikatan jodoh itu dibatalkan. Tentu saja para pimpinan Kang-jiu-pang membuat perlawanan, namun mereka semua dikalahkan oleh suami isteri itu sehingga terpaksa mereka berjanji akan membatalkan ikatan jodoh! Dan setelah suami isteri Lam-hai Siang-mo pergi, dengan hati penuh rasa penasaran, Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang, segera pergi berkunjung ke Pek-sim-pang dan mengadukan semua peristiwa ini kepada Pek Kong, ayah Pek Eng Ketua Pek-sim-pang!

Tentu saja keluarga Pek terkejut bukan main mendengar akan teristiwa itu. Lebih kaget lagi ketika mendengar bahwa Pek Eng memutuskan ikatan jodoh dengan mempergunakan tokoh-tokoh sesat macam Lam-hai Siang-mo! Bagaimana Pek Eng dapat bergaul dengan orang-orang macam itu? Apalagi menurut Song Un Tek, sepasang iblis itu membatalkan ikatan jodoh atas nama Lam-hai Giam-lo! Mereka merasa khawatir sekali dan demikianlah, akhirnya Pek Kong dan Song Un Tek meninggalkan rumah mereka, pergi berdua ke selatan untuk melakukan penyelidikan dan mencari Pek Eng.

Ketika mereka tiba di selatan, mereka baru mendengar akan gerakan pemberontak yang dipimpin oleh orang-orang sesat, dan pemimpin utamanya adalah Lam-hai Giam-lo! Mereka lalu pergi ke daerah Yunan untuk menyelidiki, dan di perjalanan, mereka bertemu dengan para pendekar lain yang telah diundang oleh Menteri Cang Ku Ceng. Maka mereka pun bergabung untuk membantu pemerintah membasmi para pemberontak.

Selain dua orang ketua ini, juga di situ nampak Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian! Kita sudah mengetahui bahwa suami isteri ini pun sedang dalam perjalanan mencari musuh besar mereka, yaitu Lam-hai Giam-lo dan mereka bahkan sudah berjumpa dengan Hay Hay di Telaga Cao-hu. Ketika mereka melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Lam-hai Giam-lo telah menghimpun banyak sekali datuk sesat yang lihai di samping pasukanyang cukup besar, keduanya mengerti bahwa amatlah sukar, bahkan berbahaya bagi mereka kalau mencari Lam-hai Giam-lo di sarangnya. Mereka tldak takut menghadapi musuh besar itu, akan tetapi kini Lam-hai Giam-lo bukan sendiri, dan kalau mereka berdua harus menghadapi musuh besar itu yang dibantu banyak tokoh sesat yang lihai di samping anak buah yang berjumlah ratusan orang, tentu mereka akan mati konyol! Dan selagi mereka berkeliaran di sekitar Yunan, mereka bertemu dengan beberapa pendekar yang mengajak mereka untuk membantu pemerintah yang pasukannya sudah siap dan dipimpin langsung oleh Menteri Cang Ku Ceng. Suami isteri ini lalu datang menghadap dan pagi hari itu mereka ikut pula mengadakan rapat.

Masih ada belasan orang-pendekar yang duduk dalam ruangan itu, dan di antara mereka terdapat pula Cia Kui Hong! Seperti kita ketahui, gadis yang gagah perkasa ini mengalami guncangan batin yang amat hebat ketika ia bersama Hay Hay tenggelam dalam lautan nafsu sampai Hay Hay tersadar dan meninggalkannya. Hal ini menghancurkan hati Kui Hong. Ia tahu bahwa ia telah jatuh cinta kepada Hay Hay maka ia mandah saja ketika pemuda itu memeluk dan menciumnya, bahkan ia membalas kemesraan itu dengan sepenuh hatinya. Akan tetapi ketika Hay Hay menyatakan bahwa pemuda itu tidak mencintanya dan merasa menyesal akan apa yang telah terjadi, ia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang dan ia lari meninggalkan Hay Hay dengan hati hancur dan mengalami guncangan hebat. Dan ia melanjutkan perjalanannya seorang diri dengan hati merana, untuk mencari musuh besarnyat yaitu Ki Liong. Dalam usahanya mencarl Ki Liong inilah ia mendengar bahwa Ki Liong bergabung dengan para pemberontak dan ia pun bertemu dengan orang-orang kepercayaan Menteri Cang Ku Ceng, sehingga ia memenuhi pula undangan menteri itu dan hari itu ia berada di antara mereka yang sedang mengadakan perundingan.

"Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian)." terdengar Menteri Cang berkata dengan suaranya yang halus namun mengandung wibawa, "kami atas nama pemerintah mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali bahwa Cu-wi (Anda Sekalian) telah suka bergabung di sini dan membantu usaha kami membasmi gerakan pemberontakan. Memang harus kami akui bahwa pekerjaan membasmi pemberontakan adalah tugas kami. Akan tetapi pemberontakan yang timbul di Yunan ini lain dengan pemberontakan biasa. Sekali ini, pemberontakan dipimpin oleh orang-orang dari dunia hitam, golongan sesat yang memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan kabarnya orang-orang Pek-lian-kauw ikut bergabung dan mereka terkenal pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Menghadapi orang-orang seperti ini, tentu saja kami tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan pasukan saja. Tanpa bantuan orang-orang pandai seperti Cu-wi Enghiong, mungkin usaha pembasmian kami akan mengalami kegagalan, atau setidaknya, tentu akan jatuh banyak korban di antara pasukan kami. Maka kami bersukur bukan main bahwa Cu-wi sudi membantu kami dan mudah-mudahan dalam beberapa hari ini, akan datang bantuan yang lebih banyak lagi."

Menteri ini dengan ramahnya lalu minta kepada para pendekar untuk masing-masing memperkenalkan diri dan kalau. datang sebagai wakil, menyebutkan partai atau perguruan mana yang diwakilinya."

Ketika itu, Kui Hong duduk dekat Hui Lian dan Su Kiat. Semenjak terjadinya peristiwa di Cin-ling-pai di mana mereka bertemu, bahkan saling serang, kemudian semua peristiwa itu berakhir damai, Kui Hong menganggap Hui Lian sebagai seorang wanita yang hebat, memiliki ilmu kepandaian yang melebihi tingkatnya! Dan sebaliknya, Hui Lian juga memandang Kui Hong sebagai seorang gadis yang gagah perkasa dan mengagumkan, apalagi kalau diingat bahwa gadis ini adalah cucu dari Pendekar Sadis yang terkenal sakti.

Para orang gagah itu memperkenalkan diri satu demi satu. Ketika tiba giliran Su Kiat dan Hui Lian, mereka hanya mengaku bahwa mereka mempunyai urusan pribadi dengan Lam-hai Giam-lo, akan tetapi setelah mendengar bahwa Lam-hai Giam-lo bahkan menjadi pemimpin gerombolan pemberontak, mereka lalu ingin bergabung dan membantu pemerintah. "Kami berdua tidak mewakili golongan mana pun, karena kami tidak terikat oleh sesuatu perkumpulan atau perguruan, walaupun kami pernah membuka perguruan silat yang tidak ada artinya, bukan merupakan perkumpulan melainkan sekedar mencari nafkah. Namun, kami siap membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin musuh besar kami, yaitu Lam-hai Giam-lo." kata Su Kiat penuh semangat.

Ketika tiba giliran Kui Hong untuk memperkenalkan diri, ia teringat bahwa keluarganya, baik dari ayahnya maupun dari ibunya, tidak ada yang hadir, maka la ingin mewakili mereka untuk mengangkat nama keluarganya. Setelah memperkenalkan nama, ia melanjutkan. "Saya mewakili Cin-ling-pai karena Ayah saya adalah Ketua Cin-ling-pai juga saya mewakili Pulau Teratai Merah karena Pendekar Sadis adalah Kakekku."

Mendengar ini, mereka yang belum tahu tertegun dan memandang kagum, juga Menteri Cang tersenyum lebar dan wajahnya berseri. "Aih, sungguh tidak kami sangka bahwa di sini hadir pula wakil dari mereka yang namanya sudah lama kami dengar. Selamat datang, Nona Cia dan teri~a kasih. Makin besar hati kami karena dengan hadirnya seorang wanita perkasa seperti Nona, pasti usaha kami membasmi gerombolan pemberontak akan berhasil baik."

Mereka lalu mengadakan perundingan. Menteri Cang menjelaskan bahwa menurut hasil penyelidikan mata-mata yang disebar, belum nampak gerak-gerik para pemberontak, kecuali bahwa para tokoh sesat telah berkumpul di sarang mereka.

"Kami khawatir kalau mereka menyembunyikan pasukan di suatu tempat. Kalau kita lebih dahulu bergerak, berarti kedudukan kita akan mereka ketahui, sebaliknya kita belum mengetahui kedudukan mereka. Karena itu, sebaiknya kalau kita menanti sampai mereka itu mengeluarkan pasukan mereka dan bergerak lebih dahulu. Dengan demikian, selain dapat melihat kekuatan pasukan mereka, juga kita dapat mengatur siasat untuk menyergap mereka."

Selagi mereka berunding, tiba-tiba ada komandan jaga datang menghadap, melaporkan bahwa ada seorang pemuda dan seorang gadis minta agar dihadapkan kepada Menteri Cang Ku Ceng.

"Pemuda itu adalah Can-taihiap, dan Nona itu baru datang menghadap Taijin." komandan jaga itu menutup laporannya. Mendengar disebutnya nama Can-taihiap, wajah Cang Ku Ceng, menteri yang bijaksana itu tersenyum.

"Ah, silakan mereka masuk!"

Muncullah Can Sun Hok dan Cia Ling. Begitu masuk, Kui Hong yang mengenalnya, segera berseru girang. "Ling Ling...!"

Cia Ling, gadis yang masih merasakan remuk rendam hatinya karena peristiwa perkosaan. yang menimpa dirinya, terkejut dan mengangkat muka. Ketika ia mengenal Kui Hong, ia pun berseru. "Bibi Kui Hong…!" Dan ia pun lari menghampiri lalu kedua gadis itu berangkulan. Kui Hong terkejut bukan main ketika melihat Ling Ling merangkulnya sambil menangis sesenggukan!

"Heiii Ling Ling, ada apakah? Apa yang telah terjadi?" tanyanya penuh keheranan dan kekhawatiran. Barulah Ling Ling sadar bahwa ia telah terseret oleh perasaan dukanya, padahal di situ terdapat banyak orang asing! Cepat ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaannya, mengusap air mata dan memandang kepada Kui Hong sambil tersenyum.

"Maafkan aku, Bibi Hong, aku... begitu girang bertemu denganmu di sini sehingga lupa diri terharu dan menangis. Maafkan aku…!" Biarpun lain orang di situ tidak merasa curiga akan adegan kecil ini, namun diam-diam Kui Hong merasa heran. Keponakannya, seperti yang diketahuinya setelah mereka untuk pertama kali bertemu di Cin-ling-pai adalah seorang gadis yang tenang dan halus, juga amat gagah dan tabah. Kenapa gadis ini tiba-tiba berubah menjadi seorang gadis cengeng dan lemah?

Menteri Cang segera memperkenalkan pemuda yang baru tiba itu kepada mereka yang hadir. Tentu saja Kui Hong sudah mengenalnya dan pemuda ini pun agak terkejut dan wajahnya agak merah ketika dia mengenal Kui Hong. Teringat dia akan pertemuannya dengan Kui Hong dan ibunya, Ceng Sui Cin yang kemudian berakhir dengan tewasnya Nenek Wa Wa Lobo, pelayannya yang setia ketika Wa Wa Lobo gagal mengalahkan pendekar wanita Ceng Sui Cin untuk membalas kematian ibu kandungnya, yaitu Gui Siang Hwa. Mereka memang berpisah dengan baik-baik, dan dia sudah menyadari akan kelirunya perbuatan Wa Wa Lobo yang hendak membalas dendam, namun betapapun juga, dia merasa kikuk bertemu dengan Kui Hong, hal yang sama sekali tidak disangkanya.

"Cu-wi Enghiong, dia ini adalah Can-taihiap, namanya Can Sun Hok. Ketahuilah bahwa dia masih berdarah bangsawan, putera dari mendiang Pangeran Can Koan Ti. Akan tetapi, kini dia telah menjadi seorang pendekar yang berkepandaian tinggi dan yang datang untuk membantu pemerintah dalam penumpasan terhadap gerombolan pemberontak. Dan Nona ini, siapakah ia, Can-taihiap?"

Sun Hok memandang kepada Ling Ling. "Nona itu adalah Nona Cia Ling dan ia membawa berita yang teramat penting, oleh karena itu, tanpa membuang waktu lagi saya ajak ia untuk datang menghadap Taijin."

"Berita apakah yang penting itu?" tanya Menteri Cang sambil memandang tajam penuh selidik.

Sun Hok memandang sekeliling, seolah merasa ragu untuk bicara karena di situ hadir demikian banyak orang. Melihat ini, Menteri Cang berkata lagi, "Katakanlah saja, Taihiap. Yang hadir ini adalah rekan-rekan dan para sahabat sendiri."

"Taijin, ketika saya datang melakukan penyelidikan mendekati sarang para pimpinan pemberontak, saya melihat Nona Cia Ling ini sedang berkelahi dengan Saudara Tang Hay yang pernah kita bicarakan, bahkan Taijin menyatakan bahwa dia adalah orang kepercayaan Yang-taijin dan Jaksa Kwan. Saya ingin melerai, dan begitu perkelahian terhenti, Saudara Tang segera melarikan diri. Dan saya mendengar hal yang amat luar biasa dari Nona Cia ini, yaitu bahwa Saudara Tang Hay adalah seorang jai-hwa-cat!"

"Ihhh…!" Seruan ini keluar dari mulut Kui Hong yang merasa terkejut bukan main mendengar itu. Juga Menteri Cang terkejut, dan heran, sementara itu Sun Hok melanjutkan.

"Kalau berita ini benar, sungguh berbahaya sekali, Taijin. Kalau benar bahwa Saudara Tang Hay itu seorang penjahat cabul, berarti dia adalah seorang di antara tokoh sesat itu dan siapa tahu, dia sengaja menyelundup dan mengambil hati Yang-taijin dan Jaksa Kwan agar dipercaya dan sebenarnya dia adalah mata-mata dari para pemberontak. Itulah sebabnya maka saya segera mengajak Nona Cia Ling untuk menghadap Paduka."

"Nona Cia Ling, benarkah apa yang dikatakan oleh Can-taihiap ini? Harap Nona suka ceritakan dengan jelas." Kata Menteri Cang setelah mempersilakan keduanya duduk.

Cia Ling duduk di dekat Kui Hong dan. ia pun mengangguk memberi hormat kepada Hui Lian, yang duduk di dekat situ karena ia pun pernah bertemu dengan wanita sakti itu di Cin-ling-pai, bahkan pernah membantu Kui Hong menandingi Hui Lian. Tentu saja Hui Lian juga terkejut sekali dan matanya terbelalak, kedua pipinya menjadi merah karena penasaran dan marah mendengar tuduhan bahwa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat, hal yang sama sekali tidak dipercayanya sama sekali. Ia telah mengenal Hay Hay, luar dalam! Akan tetapi berada di tempat itu, tentu saja ia tidak berani bersikap sembarangan dan hanya menanti untuk mendengar perkembangan selanjutnya.

Tentu saja Ling Ling merasa yakin bahwa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat tulen. Bukankah kekejian pemuda itu telah dirasakannya sendiri? Bukankah Hay Hay telah memperkosanya, dan hal itu membuktikan kebenaran tuduhan orang-orang Bu-tong-pai? Tehtu saja ia tidak mau menceritakan malapetaka yang menimpa dirinya akibat kejahatan Hay Hay.

"Seperti yang telah saya ceritakan kepada Saudara Can Sun Hok ini, saya melihat Tang Hay diserang oleh orang-orang Bu-tong-pai dan dituduh bahwa dia adalah Ang-h.ong-cu, seorang jai-hwa-cat yang telah memperkosa dan membunuh seorang murid perempuan Bu-tong-pai. Dan melihat betapa dia tidak mempunyai alasan cukup untuk membantah, saya percaya bahwa dia seorang jai-hwa-cat "

"Ah, kalau begitu sungguh celaka! Di mana dia sekarang, Nona Cia?" tanya Menteri Cang.

"Dia menerima penawaran seorang tokoh pemberontak untuk bekerja sama, katanya kepadaku hal itu hanya merupakan siasat untuk dapat menyelidiki keadaan para pemberontak dari dalam." jawab Cia Ling yang menjadi semakin bingung.

"Bagaimana kalau semua itu benar dan dia memang kaki tangan pemberontak, Taijin?" tanya Can Sun Hok.

"Tidak benar!" Tiba-tiba Hui Lian berseru keras. "Saya mengenal pemuda bernama Tang Hay itu, Taijin dan saya berani sumpah bahwa dia bukanlah seorang penjahat, bukan jai-hwa-cat apalagi anggauta pemberontak!"

"Semua keterangan itu benar!" Tiba-tiba terdengar suara lain. "Dia memang Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat dan kami berani sumpah pula untuk menyatakan bahwa hal ini benar!" Semua orang menengok dan yang bicara itu adalah Tiong Gi Tojin, tokoh Bu-tong-pai yang pernah bersama anak buahnya menyerang Hay Hay, disaksikan oleh Ling Ling.

"Kamilah orang-orang Bu-tong-pai yang diceritakan oleh Nona itu. Ang-hong-cu itu pernah menculik seorang murid perempuan kami, dan kami menemukan ia telah menjadi mayat dan penjahat itu meninggalkan tanda perhiasan tawon merah persis seperti perhiasan yang berada di tangan Tang Hay itu. Dia adalah Ang-hong-cu, penjahat cabul yang suka memperkosa dan membunuh wanita!"

Hui Lian hendak membantah, akan tetapi tangan suaminya menyentuh lengannya, dan suaminya berbisik, "Tak perlu ribut, lihat saja perkembangannya " karena cegahan suaminya, Hui Lian kini diam saia. Hatinya mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang pada umumnya dikatakan mata keranjang, suka akan wanita cantik. Akan tetapi menjadi jai-hwa-cat? Tak mungkin ia dapat membayangkan itu! Hay Hay bukan penjahat, dia seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa, yang tidak mungkin dapat melakukan hal-hal jahat, apalagi memperkosa wanita. Dia pemuda yang memuja kecantikan wanita, untuk dikagumi, untuk dipuji-puji, bukan untuk dirusak.

"Aih, kalau begitu, sungguh berbahaya keadaan kita. Tentu dia telah membuka semua rahasia kita dan para pemberontak sudah tahu akan kedudukan kita sehingga mereka dapat bersiap-slap, bahkan akan membuat gerakan yang amat merugikan kita,” kata Menteri Cang Ku Ceng.

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar ruangan itu. Para penjaga agaknya mengejar-ngejar orang dan daun pintu ruangan itu terbuka. Muncullah seorang laki-laki setengah tua, dikejar oleh belasan orang perajurit penjaga.

"Sudah kukatakan bahwa aku hanya ingin menghadap Cang-taijin! Kenapa kalian ribut-ribut dan hendak menangkap aku seolah-olah aku seorang pencuri saja?" laki-laki itu berseru ke arah para pengejarnya. Semua orang memandang dan hanya Cia Ling yang mengenalnya karena gadis ini pernah melihatnya sebagai penggembala kambing, suku bangsa Hui itu. Akan tetapi sekarang dia tidak memakai pakaian orang Hui, melainkan pakaian biasa dengan capingnya yang lebar .

Melihat sikap dan mendengar suara orang itu, seorang. komandan lalu bangkit berdiri dan memerintahkan para perajurit menghentikan pengejaran mereka, kemudian dia menghadapi pendatang itu sambil bertanya dengan suara keren. "Siapakah engkau yang berani membikin ribut di sini? Tak seorang pun boleh masuk ke sini tanpa ijin dan agaknya engkau sudah berani masuk dengan paksa! Hayo mengaku terus terang sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan untuk menangkapmu sebagai mata-mata pemberontak!"

Laki-laki itu mengeluarkan suara ketawa kecil dan dia menurunkan topinya yang lebar. Kini nampaklah mukanya yang masih gagah dan tampan walaupun usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Kebetulan sekali dia memandang ke sekeliling, dia melihat Cia Ling dan dia pun mengenal gadis itu.

"Aih, kiranya Nona yang gagah dan cantik telah berada pula di sini? Selamat berjumpa!" Dia menjura dalam ke arah Cia ling yang tidak menjawab langsung, hanya memandang penuh selidik, kemudian baru ia dapat bertanya.

"Bukankah engkau penggembala kambing bersuku bangsa Hui itu?" tanyanya

Orang itu pun tertawa lagi. "Mata Nona memang tajam sekalii. Benar, akulah yang menyamar sebagai penggembala kambing suku Hui. Akan tetapi, yang manakah di antara Cu-wi yang disebut Menteri Cang Ku Ceng yang mulia? Aku datang membawa berita rahasia yang teramat penting untuk beliau."

"Akulah Cang Ku Ceng!” kata menteri itu dengan suara halus. "Sobat, siapakah engkau dan berita rahasia apa yang kaubawa? Silakan duduk dan bicara."

Laki-laki itu menghadapi Menteri Cang dan sejenak kedua orang yang sebaya itu bertemu pandang. Kemudian, orang bercaping yang kini sudah menurunkan capingnya itu menunduk dan memberi hormat dengan tubuh membungkuk, nampaknya dia kalah wibawa.

"Harap Paduka suka mengampuni kelancangan saya seperti ini, Taijin. Nama saya, seperti biasa orang menyebut saya, adalah Han Lojin. Saya seorang perantau dan biarpun saya tidak berani mengaku sebagai seorang pendekar atau orarig baik-baik, akan tetapi saya masih mempunyai kesetiaan terhadap tanah air dan bangsa. Mendengar akan pemberontakan yang digerakkan oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya, saya sengaja melakukan penyelidikan dan berhasil masuk, bahkan berhasil mengetahui rencana mereka.Saya datang menghadap Paduka untuk menyampaikan berita rahasia yang amat penting."

"Bagus sekali, Han Lojin. Sebelumnya, kami berterima kasih kepadamu. Nah, sekarang katakanlah, berita apa yang kaubawa. Jangan khawatir, mereka semua yang hadir ini adalah rekan-rekan kita, yang bertekad untuk membasmi gerombolan pemberontak. Nah, bicaralah!"

"Dari mulut Lam-hai Giam-lo sendiri saya mendengar bahwa rencana gerakan pemberontakan ini akan diatur oleh seorang tokoh bernama Kulana, dan dimulai nanti pada malam terang bulan kurang lebih seminggu lagi yang akan datang. Dan kini, gerombolan-gerombolan itu sudah mulai dikumpulkan dan sebelum malam terang butan, semua pasukan sudah akan dilatih dan diberi penjelasan tentang siasat yang akan mereka lakukan. Menurut rencana mereka, pasukan yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu dibagi menjadi banyak kelompok dan mereka akan berpencar menyerang dusun-dusun dan kota-kota dari selatan. Dengan siasat seperti itu, maka pasukan pemerintah akan menjadi bingung dan sibuk, bahkan mungkin terpecah-pecah pula untuk menghadapi gerakan yang dilakukan serempak di banyak tempat itu. Oleh karena itu, Taijin, satu-satunya cara untuk membasmi mereka hanyalah dengan mendahului gerakan mereka. Sebelum terang bulan, satu dua hari sebelumnya, kalau Taijin mengerahkan pasukan dan mengepung perkampungan mereka lalu mengadakan penyerbuan tiba-tiba di pagi hari selagi mereka lengah, saya yakin bahwa gerombolan itu akan dapat dibasmi semua. Di sini saya telah membuat gambar tentang keadaan dan kekuatan perkampungan itu, dan bagaimana cara sebaiknya untuk mengepung dan menyerbu mereka dari delapan penjuru."

Han Lojin mengeluarkan segulungan kertas yang sudah digambari dan ditulisi, merupakan sebuah gambaran peta dari perkampungan pemberontak, jelas dengan keterangan tentang bukit, jurang dan hutan-hutannya. Gambar itu dia bentangkan di atas meja dan Menteri Cang Ku Ceng bersama para hadirin semua mengamatinya.

Setelah mempelajari peta itu, Menteri Cang mengangguk-angguk dan memandang dengan gembira. "Sungguh baik sekali, Han Lojin. Kalau semua laporanmu itu benar, berarti engkau telah menyelamatkan kami, dan telah memberi jalan yang amat baik sehingga akan dapat membasmi gerombolan pemberontak itu."

"Harap Taijin suka berhati-hati terhadap orang itu!" tiba-tiba Tiong Gi Cinjin berseru nyaring sehingga semua orang menengok kepadanya. Juga Menteri Cang memandang kepada orang tua itu, lalu bertanya kepada tosu Bu-tong-pai yang kelihatan bersungguh-sungguh itu.

"Apakah maksud Totiang?"

"Seperti tadi telah diceritakan, pinto bersama beberapa orang murid berusaha menangkap Ang-hong-cu, akan tetapi tiba-tiba saja orang ini muncul dan mengacaukan keadaan. Dengan menyamar sebagai seorang penggembala, dia menggagalkan pengepungan kami dan ternyata dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pinto khawatir kalau-kalau dia ini seorang kawan dariAng-hong-cu, dan dia datang ini hanya untuk menjebak kita. Bagaimana kalau semua ini hanya suatu jebakan dan kalau kita menuruti keterangannya, kita semua masuk perangkap para gerombolan pemberontak?"

Seorang perwira tinggi memberi hormat kepada Menteri Cang. " Apa yang dimaksudkan. Tiong Gi Cinjin memang benar, Taijin. Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati karena kita belum mengenal benar siapa adanya orang yang mengaku bernama Han Lojin ini."

Menteri Cang memandang kepada Han Lojin, "Engkau mendengar sendiri kecurigaan yang dijatuhkan kepadamu, Han Lojin dan harus kami akui bahwa pendapat mereka itu memang benar sekali. Bagaimana pertanggungan-jawabmu seandainya kemudian terbukti bahwa semua laporanmu ini hanya suatu jebakan belaka?"

Han Lojin tertawa. "Ha-ha-ha, Taijin Yang Mulia. Betapapun bodohnya, saya belumlah gila untuk mempermainkan begini banyaknya orang-orang pandai yang terkumpul di sini. Kalau saya memasang umpan perangkap, apa yang dapat saya andalkan untuk menyelamatkan diri? Saya tentu akan mati sebelum mampu lari sepuluh langkah, dan saya berani menebus kebenaran laporan saya dengan nyawa saya."

“Bagus kalau begitu. Nah, mulai sekarang, engkau menjadi orang tahanan kami. Engkau akan ditahan di puncak bukit, dijaga dengan ketat. Kalau kemudian ternyata bahwa laporanmu benar, engkau akan berjasa besar sekali dan menerima hadiah besar dari kerajaan. Sebaliknya, kalau semua laporan ini hanya perangkap maka engkau akan menerima hukuman berat!"

"Baik, Yang Mulia! Saya memang tidak suka perang, dan saya akan menanti dengan hati lapang karena saya percaya bahwa Paduka yang memiliki nama besar sebagai seorang menteri yang bijaksana, tentu akan memenuhi janji."

Menteri Cang lalu memerintahkan dua orang perwira untuk membawa Han Lojin pergi dari situ, untuk ditahan di puncak bukit di mana sudah disediakan sebuah bangunan khusus untuk menahan para pimpinan musuh kalau tertawan dan dijaga dengan ketat. Dengan sikap tenang, Han Lojin bangkit dan digiring oleh dua orang perwira itu keluar. Sebelum dia keluar, Hui Lian sempat berteriak kepadanya.

"Han Lojin, apakah engkau melihat Tang Hay di perkampungan pemberontak? Bagaimana keadaannya?"

Mendengar pertanyaan ini, Han Lojin berhenti melangkah dan menoleh memandang kepada Hui Lian dan berseru kagum. "Wah, Ang-hong-cu muda itu memang hebat, di mana-mana dikagumi wanita! Dia memang di sana dan dalam keadaan sehat-sehat saja!"

Mendengar betapa Han Lojin menyebut Ang-hong-cu kepada Hay Hay, jantung dalam dada Hui Lian berdebar tegang. Benarkah bahwa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat? "Benarkah bahwa dia adalah kaki tangan pemberontak?" tanyanya pula sebelum Han Lojin keburu pergi.

"Ang-hong-cu seorang kaki tangan pemberontak? Ha-ha, yang bilang demikian itu sungguh bodoh! Ang-hong-cu boleh jadi suka memetik kembang, akan tetapi dia tidak akan merusak taman. Bahkan dia siap membela tanah air dan bangsa dengan taruhan nyawanya, ha-ha-ha!" Dia lalu melangkah pergi digiring oleh dua orang perwira dan di luar disambut oleh pasukan yang berjumlah dua losin orang bersenjata lengkap. Dia terus dibawa ke puncak bukit di mana terdapat sebuah bangunan yang kokoh dan terjaga ketat.

Setelah Han Lojin pergi, Menteri Cang segera mengadakan perundingan dengan para perwira dan para pendekar. Kemudian mengambil keputusan untuk mendahului gerakan para pemberontak seperti yang diceritakan oleh Han Lojin tadi. Biarpun mereka masih belum percaya begitu saja kepada Han Lojin yang tidak mereka kenal, namun keterangan itu sungguh penting dan kalau benar para pemberontak akan mulai bergerak setelah malam terang bulan, maka jalan satu-satunya terbaik adalah mendahului mereka, menyerbu tempat yang menjadi sarang mereka itu sebelum mereka berpencar dan mulai dengan gerakan mereka.

Menteri Cang adalah seorang pembesar yang amat pandai dan bijaksan. Walaupun dia seorang menteri sipil, namun dia pandai ilmu perang, dan kini dia merundingkan siasat mereka untuk menyerbu sarang pemberontak bersama para komandan pasukan, juga minta pendapat para pendekar yang hadir di situ. Sikap seperti ini dari seorang pemimpin mendatangkan banyak keuntungan. Pertama, para pembantunya atau bawahannya akan merasa terangkat dan dihargai pendapat mereka sehingga mereka akan menjadi semakin suka kepada pemimpin mereka. Dan ke dua, dengan mengumpulkan banyak pendapat, maka dapat disaring dan diambil keputusan terbaik, karena bukan tidak mungkin seorang yang kedudukannya lebih rendah memiliki pendapat dan siasat yang lebih baik daripada atasannya.

Setelah mengadakan perundingan serius, mendengarkan bermacam pendapat dan saran, akhirnya Menteri Cang mengambil keputusan dan berkata dengan suara lembut namun tegas kepada semua yang hadir .

"Terima kasih atas segala saran yang kalian berikan kepadaku, dan terutama sekali saran dari para Enghiong (Pendekar) yang membantu pemerintah untuk menumpas gerombolan pemberontak. Setelah menampung dan menyaring semua saran, kami memutuskan untuk melakukan penyerbuan sekarang juga ke sarang gerombolan itu. Karena daerah itu merupakan daerah berbahaya, maka kita harus melakukan pengepungan dari enam penjuru. Harap Cu-wi (Kalian) periksa baik-baik peta yang dibuat oleh Han Lojin dengan amat teliti ini." Pembesar tinggi itu membeberkan peta di atas meja dan semua yang hadir mendekat, lalu sama-sama mempelajari peta itu.

"Nah, ada enam jurusan yang dapat kita pergunakan untuk mengepung sarang pemberontak itu. Kalau gerakan kita lakukan sekarang, maka paling lambat lima hari sarang itu akan dapat kita kepung seluruhnya, jadi kurang dua tiga hari sebelum bulan purnama muncul. Pasukan akan kita bagi menjadi tujuh, enam kelompok melakukan gerakan dari enam jurusan untuk mengepung sarang musuh, sedangkan kelompok ke tujuh yang merupakan kelompok induk, akan menyerbu langsung dari depan. Enam kelompok yang mengepung, tidak akan bergerak lebih dahulu agar musuh mengira bahwa kita hanya datang dari satu jurusan. Kalau mereka mengerahkan kekuatan mereka untuk menghadapi kelompok induk, barulah enam kelompok yang lain menyerbu dari jurusan masing-masing dan tidak memberi kesempatan kepada para pemberontak untuk lolos melarikan diri. Khusus untuk para pendekar yang gagah perkasa, ketika terjadi pertempuran, kami mengharap dengan hormat dan sangat, agar Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian) suka menghadapi para tokoh sesat yang membantu pasukan pemberontak. Pasukan pemberontak itu sendiri, menjadi bagian pasukan kami untuk menghancurkannya, jadi harap Cu-wi menghadapi saja para tokoh sesat yang lihai itu. Apakah sudah jelas? Kalau ada pertanyaan, harap diajukan sekarang. Malam ini juga kita bergerak, dan Koan-ciangkun harap nanti mengatur untuk membagi-bagi pasukan menjadi tujuh kelompok. Kelompok ke tujuh sejumlah empat persepuluh bagian, sedangkan enam kelompok yang lain sejumlah sepersepuluh bagian."

Para pendekar mengangguk dan merasa bahwa keterangan itu sudah cukup jelas. Akan tetapi seorang perwira mengacungkan tangan untuk bertanya. Setelah Menteri Cang mengangguk, dia bertanya, suaranya lantang. "Harap Paduka suka memberi petunjuk bagaimana kami harus bersikap terhadap para pemberontak itu. Apakah kami harus membunuh mereka semua tanpa ampun?"

Menteri Cang mengangguk-angguk. "Pertanyaan yang baik sekali dan tadi kami kurang teliti sehingga hal penting itu belum kami beritahukan. Harap Cu-wi ingat benar bahwa biarpun mereka itu memberontak, namun mereka adalah sebangsa dan mereka itu, terutama para anak buah, hanya mentaati perintah atasan saja. Oleh karena itu, kalau ternyata kekuatan kita jauh lebih besar, kita tidak boleh membantai mereka secara kejam. Hindarkan pembunuhan dan sedapat mungkin tawan saja mereka. Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi kaum sesat yang memang patut untuk dibasmi. Nah, masih ada pertanyaan?"

Setelah tidak ada lagi yang bertanya, Komandan Koan yang ditunjuk sebagai pimpinan untuk mengatur pembagian kelomppk, segera melaksanakan tugasnya. Dia bukan saja membagi pasukan menjadi tujuh kelompok dengan masing-masing komandannya, akan tetapi juga membagi para pendekar dalam kelompok-kelompok itu untuk membantu kalau-kalau ada kelompok yang bertemu dengan tokoh sesat. Su Kiat, Hui Lian dan Kui Hong, juga Sun Hok dan Ling Ling, ditugaskan untuk membantu dan memperkuat kelompok induk, bersama beberapa orang tokoh dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai.

Malam itu, berangkatlah ketujuh kelompok pasukan itu, mengambil jalan masing-masing. Yang enam kelompok melakukan perjalanan secara rahasia, menyusup-nyusup keluar masuk hutan, adapun kelompok induk mengambil jalan besar dan memang kelompok ini dimaksudkan untuk melakukan penyerbuan secara berterang sehingga drsambut oleh musuh dan membuat lalai dan lengah sehingga enam kelompok yang lain akan dapat menyusup dan mengurung sarang gerombolan pemberontak tanpa diketahui.

Tepat seperti yang telah diperhitungkan Menteri Cang, yang memimpin sendiri kelompok induk dengan menunggang kuda dan diapit-apit pengawal pribadinya, tiga hari sebelum terang bulan, kelompok induk telah berhadapan dengan sarang musuh yang berada di Lembah Yang-ce, di Pegunungan Yunan. Kelompok induk ini sengaja melakukan perjalanan lambat-lambatan karena hendak memberi waktu kepada enam kelompok lainnya agar mereka itu dapat lebih dahulu datang ke tempat tujuan dan melakukan pengepungan. Dan malam itu, Menteri Cang melihat luncuran panah api dari enam penjuru, sebagai tanda bahwa enam kelompok pasukan itu telah tiba di tempat masing-masing dan siap siaga sambil melakukan pengepungan. Melihat ini, menjelang pagi, Menteri Cang, memberi isarat agar pasukan induk itu melakukan penyerbuan.

Munculnya pasukan ini tentu saja sudah dapat diketahui oleh mata-mata pemberontak dan telah dilaporkan kepada Lam-hai Giam-lo dan Kulana yang telah berada di situ menjadi tamu kehormatan, juga diangkat menjadi panglima tertinggi yang memimpin siasat gerakan pemberontak itu.

"Hemm, agaknya rencana kita telah bocor dan bukan tidak mungkin pemuda bernama Tang Hay itu, atau juga Nona Pek Eng yang menjadi muridmu itu yang berkhianat, Lam-hai Giam-lo," kata Kulana mengerutkan alisnya.

Lam-hai Giam-lo menggeleng kepalanya. "Kurasa bukan mereka, akan tetapi aku lebih mengkhawatirkan orang yang mengaku bernama Han Lojin itulah yang menjadi mata-mata musuh. Habis, bagaimana baiknya sekarang, Saudara Kulana?"

Bangsawan Birma itu tersenyum. "Jangan khawatir, bahkan kebocoran ini dapat menguntungkan kita! Bukankah menurut perhitungan orang kita, jumlah pasukan itu hanya antara tujuh ratus sampai delapan ratus orang saja? Sedangkan pasukan kita yang sudah berkumpul di sini tidak kurang dari seribu dua ratus orang! Dan kita masih dibantu oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Biarkan mereka datang menyerbu, kita pura-pura tidak tahu saja. Jalan terusan menuju ke lembah ini yang terapit oleh dinding bukit itu merupakan tempat jebakan yang amat baik. Biarkan pasukan mereka memasuki jalan itu, setelah semua masuk ke jalan itu, kita tutup dari depan dan belakang dan kita serang mereka! Kita pasang barisan pendam di mulut jalan terusan. Dengan demikian, kita akan dapat membasmi mereka semua. Bunuh mereka semua, jangan beri ampun kepada seorang pun di antara mereka. Kemenangan besar ini akan membakar semangat anak buah kita dan kita akan dapat merampas persenjataan mereka yang cukup banyak dan baik."

Kulana lalu mengadakan perundingan dengan para pembantu, mengatur siasat untuk menjebak pasukan pemerintah yang dikabarkan datang ke arah sarang mereka itu.

Sementara itu, Koan-ciangkun yang memimpin pasukan induk, segera menghadap Menteri Cang Ku Ceng, memberi tahu bahwa pihak lawan agaknya diam saja, seolah-olah tidak tahu akan usaha penyerbuan tentara kerajaan.

"Hamba khawatir kalau-kalau mereka mengatur perangkap, karena mereka itu bersikap diam saja seolah-olah tidak tahu akan kedatangan pasukan kita. Bagaimana baiknya sekarang, harap Paduka suka memberi petunjuk."

Di malam gelap itu, Menteri Cang memeriksa peta buatan Han Lojin, mengerutkan alisnya, kemudian dia menunjuk ke arah peta dan berkata, "Lihat, untuk memasuki daerah sarang mereka, kita akan melalui sebuah jalan terusan yang sempit dan memanjang, diapit-apit dinding bukit di kanan kiri. Kalau memang mereka itu memasang perangkap, agaknya tidak ada tempat yang lebih baik daripada jalan terusan ini. Mungkin mereka sudah memasang barisan pendam dan membiarkan kita memasuki jalan terusan itu, baru diserbu dari depan dan belakang sehingga kita tidak akan mendapatkan jalan keluar lagi. Hemm, agaknya mereka sudah begitu yakin akan menang dan akan membasmi kita semua seperti kucing mempermainkan tikus yang terjebak dan tidak ada jalan keluar. Hal ini hanya membuktikan keberhasilan siasat kita, Koan-ciangkun. Mereka itu pasti beranggapan bahwa pasukan kita hanya ini, hanya berjumlah kurang lebih tujuh ratus lima puluh orang, dan agaknya mata-mata mereka juga tidak melihat para pendekar yang menyamar sebagai perajurit-perajurit biasa, maka mereka mengatur jebakan ini dan merasa yakin bahwa mereka akan berhasil menghancurkan kita. Biarkan mereka beranggapan begitu, dan kita tetap akan memasuki jalan terusan itu. Begitu mereka menyerbu, engkau cepat memberi isarat kepada enam kelompok kita dengan panah api agar mereka serentak menyerbu sarang dan menggencet pasukan musuh yang mengira telah dapat menjebak dan mengepung kita."

Koan-ciangkun dan para pendekar mengangguk-angguk dan diam-diam mereka memuji ketenangan dan kematangan siasat Menteri Cang.

"Akan tetapi, maafkan pinto, Taijin," kata Tiong Gi Cinjin, tokoh besar Bu-tong-pai yang ikut pula dalam kelompok itu. "Bagaimana kalau perhitungan Paduka itu keliru dan mereka mengatur jebakan yang lain lagi sifatnya?"

Menteri Cang tidak marah dan hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya kita selalu harus meragukan pendapat kita sendiri dan selalu waspada terhadap musuh, Totiang. Akan tetapi, jebakan apa pun yang mereka atur, kita sudah mengetahui keadaan dan kekuatan mereka. Bukankah Han Lojin sudah menceritakan bahwa kekuatan mereka hanyalah sekitar seribu dua ratus orang? Dengan kekuatan seperti itu, perangkap apa pun yang mereka pasang untuk kita, akan mampu kita hancurkan mengingat bahwa jumlah pasukan kita seluruhnya jauh lebih besar, ada dua ribu orang lebih. Dan begitu mereka bergerak menyerang, kita memberi isarat kepada kelompok-kelompok lain sehingga tetap saja pihak musuh yang akan kita kepung."

"Maaf, akan tetapi jumlah itu hanya menurut laporan Han Lojin. Bagaimana kalau ternyata jumlah mereka jauh. Lebih besar?" Tiong Gi Cinjin adalah seorang tosu Bu-tong-pai yang tidak pernah mengalami perang, maka setalu bersikap hati-hati dan khawatir.

"Bukan hanya menurut laporan Han Lojin, akan tetapi juga mata-mata kami sudah memberi laporan,” jawab Menteri itu.

"Dan laporan Han Lojin itu tidak keliru!" Tiba-tiba terdengar suara orang sehingga semua orang terkejut karena tiba-tiba saja di situ muncul seorang laki-laki asing. Usianya sekitar empat puluh dua tahun, tubuhnya sedang saja, akan tetapi pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang asing. Pakaiannya yang mewah seperti pakaian bangsawan dari kain sutera warna-warni, juga kepalanya mengenakan kain kepala yang berwarna indah seperti pelangi, dihiasi mainan berbentuk burung merak dari emas permata. Sikapnya anggun dan wajahnya yang tampan itu cukup berwibawa, seperti pembawaan seorang bangsawan tinggi.

Akan tetapi, ketika beberapa orang perajurit mata-mata yang pernah diselundupkan ke sarang para pemberontak melihat orang ini, mereka segera berloncatan dan menghunus senjata.

"Dia ini Kulana! Dia orang Birma yang memimpin pemberontakan itu disamping Lam-hai Giam-lo….!" Teriak seorang di antara mereka dan bersama teman-temannya, dia sudah siap untuk menyerang.

Mendengar ini, para pendekar juga sudah berlompatan, mengepung orang itu dan siap untuk menangkapnya, sebagian lagi melindungi Menteri Cang, kalau-kalau akan diserang musuh. Akan tetapi, orang asing itu tersenyum dan sikapnya tetap tenang, bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat dan sopan kepada Menteri Cang.

"Apakah Paduka Menteri Cang yang kabarnya amat bijaksana dan kini memimpin sendiri pasukan yang hendak membasmi pemberontak?"

Menteri Cang adalah seorang yang waspada. Begitu orang ini muncul, dia sudah memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia hanya dapat menduga bahwa orang ini menderita kedukaan yang amat mendalam, sinar matanya demikian sayu dan biarpun pakaiannya indah, namun jelas bahwa dia tidak mempedulikan keadaan dirinya. Sepatunya yang dari kulit itu kotor penuh debu dan pakaiannya juga kusut. Biarpun tadi ia tersenyum namun senyumnya menyedihkan, seperti hendak menutupi kedukaannya dengan sia-sia belaka.

"Benar, kami adalah Menteri Cang seperti yang kaukatakan, orang asing. Dan siapakah engkau dan apa maksudmu muncul secara tiba-tiba di tengah-tengah pasukan kami?"

“Saya datang dengan niat baik, Taijin. Hanya satu yang menjadi dasar perbuatan saya, yaitu menentang kejahatan, baik itu dilakukan oleh siapa pun juga…."

"Dia bohong, Taijin...!" Perajurit mata-mata itu berseru. "Dia Kulana, pemimpin pemberontak! Hamba sudah pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri ketika dia datang berkunjung ke sarang pemberontak dan diterima dengan penuh kehormatan. Hati-hati, Taijin, harap perintahkan hamba sekalian untuk menangkap atau membunuhnya!"

Juga para pendekar kini sudah mengepung ketat dan siap menangkap, akan tetapi Menteri Cang berpendapat lain. Dia mengangkat tangan mencegah orang-orangnya turun tangan, lalu bertanya kepada orang itu dengan lembut.

"Benarkah apa yang dikatakan anggauta pasukan kami itu?"

Orang itu mengangguk dan kembali senyum sedihnya nampak. "Memang tidak keliru bahwa Kulana yang menjadi gara-gara sehingga terjadi pemberontakan. Dia menghasut dan bersekutu dengan para penjahat untuk memberontak. Saudaraku itu telah menjadi gila karena dendam…."

"Saudaramu? Jadi engkau ini saudara dari yang bernama Kulana itu?"

"Benar. Nama saya Mulana dan saya adalah saudara kembar dari Kulana yang dimaksudkan oleh perajurit itu. Akan tetapi, biarpun saudara kembar, kami berdua tidak bekerja sama, bahkan bertentangan dalam hal ini. Bahkan saya datang untuk membantu Paduka, kalau Paduka percaya kepada saya."

Biarpun para pendekar masih sangsi, namun Menteri Cang mengangguk , dan kembali dia memberi isarat kepada para pembantunya, kemudian mempersilakan Mulana untuk duduk.

"Duduklah di sana, Saudara Mulana dan ceritakan apa sebenarnya yang menjadi maksud kunjunganmu ini."

Sebelum menjawab, Mulana, orang itu, lebih dahulu menoleh ke kiri kanan, mengamati semua orang yang hadir di tempat itu. Dia kelihatan heran karena di antara wajah-wajah yang disoroti penerangan obor itu tidak nampak wajah dua orang yang amat dikenalnya, yaitu Han Siong dan Bi Lian, dua orang pendekar muda yang pernah menjadi tamunya, bahkan yang telah menyaksikan kematian isterinya tercinta, yaitu Yasmina. Seperti telah kita ketahui, Yasmina membunuh diri dengan menghisap racun yang disembunyikannya pada mulut tengkorak tukang kebun bekas kekasihnya. Saking sedih dan menyesalnya, Mulana menjadi seperti gila dan akhirnya Han Siong dan Bi Lian meninggalkan laki-laki yang diracuni cemburu itu. Mulana lalu mengusir semua pelayannya, kemudian dia membakar istananya berikut jenazah isterinya. Seperti orang gila dia lalu pergi berkeliaran, kehilangan isteri, bahkan kehilangan semua harta miliknya. Dan akhirnya dia pun teringat akan saudara kembarnya, Kulana, maka dia pun segera mengunjungi saudara kembarnya untuk menumpahkan isi hatinya yang sedang tertekan dan amat menderita itu. Akan tetapi, Kulana sedang berkunjung Ke sarang pemberontak, maka Mulana segera menyusulnya. Akan tetapi, sungguh dia menerima pukulan batin yang lebih parah lagi ketika tiba di sarang pemberontak itu karena dia dicurigai oleh saudara kembarnya sendiri sebagai orang yang pro pemerintah dan hendak mengkhianati gerakan saudara kembarnya sendiri. Terjadi keributan dan nyaris Mulana tewas dikeroyok kalau dia tidak cepat dapat meloloskan diri. Semakin besar jurang pemisah antara kedua orang saudara kembar ini dan Mulana merasa sakit hati. Inilah yang mendorongnya menemui Menteri Cang yang sedang memimpin pasukan induk untuk menyerbu sarang pemberontak.

"Seperti telah saya katakan tadi, Taijin, saya sengaja menemui Paduka untuk membantu Paduka membasmi gerombolan jahat yang hendak memberontak itu."

"Saudara Mulana, tadi engkau mengatakan sendiri bahwa laporan Han Lojin tentang jumlah pasukan pemberontak yang hanya seribu dua ratus orang itu tidak keliru. Dengan jumlah pasukan sekecil itu, kami akan dapat menghancurkan mereka. Oleh karena itu, bantuan apalagi yang dapat kauberikan kepada kami?" Menteri Cang memancing.

"Akan tetapi, pasukan Paduka akan terjebak "

Menteri Cang tersenyum dan mengibaskan tangan kanannya. "Ah, itu sudah kami perhitungkan! Perangkap yang dipasang di jalan terusan diapit dua dinding bukit itu, bukan? Tentu mereka akan menutup dua jalan keluar dan menyerang kami dari depan dan belakang bukan? Kami tidak takut, bahkan mereka yang akan dapat kami basmi." Menteri itu belum begitu percaya kepada Mulana, maka dia pun tidak mengatakan siasat yang sudah direncanakan untuk menghadapi perangkap musuh.

Akan tetapi Mulana memandang kepadanya dengan wajah serius. "Ah, harap Paduka jangan terlalu memandang rendah kepada saudara kembarku, Si Kulana itu! Ingatlah, dia adalah penasihat perang di Birma yang sudah banyak menggagalkan serangan dari pemerintah Paduka! Dia cerdik bukan main. Jangan dikira bahwa dia tidak akan memperhitungkan apa yang Paduka rencanakan sekarang ini. Saya pun sudah dapat menduganya."

"Benarkah? Nah, Saudara Mulana, kalau benar demikian, coba katakan bagaimana siasat yang telah kami rencanakan!" kata Menteri itu dengan suara mengandung penasaran.

Mulana mengerutkan alisnya dan memandang Menteri itu. "Agaknya tidak sukar untuk diperhitungkan, Taijin. Melihat betapa seorang pejabat tinggi seperti Taijin maju sendiri memimpin pasukan, hal ini membuktikan bahwa Taijin sudah tentu merasa yakin benar bahwa pasukan ini akan dapat membasmi musuh dengan mudah. Dan keyakinan ini sudah tentu hanya didasarkan oleh suatu kenyataan, ialah bahwa pasukan Taijin tentu jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan pasukan musuh. Kemudian, kemungkinan besar kedua adalah karena Taijin sudah mengetahui akan keadaan musuh, sehingga Taijin sudah dapat lebih dahulu mengatur siasat untuk lebih meyakinkan kemenangan itu. Siasat apakah yang paling baik untuk menyerbu pihak di suatu tempat tertentu dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar dari kita? Tak lain tentulah penyerbuan tiba-tiba dengan cara pengepungan sehingga musuh takkan dapat lari lagi karena sudah dihadang dalam berbagai jurusan. Nah, dengan siasat itu, maka Taijin yang sudah pula memperhitungkan kemungkinan perangkap musuh di jalan terusan yang sempit, merasa yakin akan kemenangan pasukan Taijin. Bukankah demikian?"

Para perwira yang mendengar hal ini terbelalak dan Menteri Cang sendiri memandang kagum. Orang Birma ini memang lihai sekali, pikirnya. Mulailah dia percaya dan dia membayangkan kekhawatiran. Kalau saudara kembar orang ini, Kulana, juga secerdik itu, berarti Kulana sudah dapat menduga pula akan siasatnya dan tentu akan menghadapi dengan yang lebih hebat dan amat berbahaya pula.

"Saudara Mulana, perhitunganmu memang tepat sekali! Akan tetapi, kalau kami sudah mempergunakan siasat itu kini sarang pemberontak itu sudah terkepung, lalu apakah yang akan dilakukan oleh mereka? Melawan pun tidak ada artinya bagi mereka!" kata Menteri Cang nada suaranya penuh kemenangan.

Mulana memandang dengan serius. Wajahnya di bawah sinar api obor nampak seperti kedok yang tampan dan penuh rahasia, sepasang matanya bersinar-sinar dan mencorong.

"Semua itu benar sekali, Taijin, kalau yang memimpin musuh di sana bukan saudara kembarku Kulana! Akan tetapi Kulana amat cerdik, pandai sekali dia dan mempunyai siasat yang penuh tipu muslihat. Dengan kekerasan, agaknya tidak dapat diragukan lagi pasukan Taijin akan mampu menghancurkan pasukan pemberontak. Pasukan Paduka tentu merupakan pasukan pilihan dan lebih banyak dalam pengalaman bertempur dibandingkan pasukan mereka. Bantuan para tokoh sesat takkan ada artinya kalau dibandingkan dengan bantuan para pendekar kepada Paduka. Akan tetapi ada dua hal yang mungkin belum Paduka ketahui dan dua hal ini dapat merupakan ancaman bahaya besar yang bukan tidak mungkin akan membasmi pasukan Paduka sendiri."

"Hemm, sebelum kami mendengar penjelasanmu, perlu lebih dahulu engkau melenyapkan kesangsian dan kecurigaan kami, Mulana. Kalau benar engkau ini saudara kembar Kulana, mengapa engkau hendak berkhianat kepadanya?" Sepasang mata Menteri Cang kini mencorong ditujukan ke arah wajah orang Birma itu, penuh selidik.

Mulana mula-mula menentang pandang mata itu, lalu menunduk, dan wajahnya berduka sekali. "Taijin, kehidupan hamba sudah rusak, kebahagiaan hamba sudah hancur, semua disebabkan oleh Kulana! Kalau dia tidak memberontak di Birma, tak mungkin hamba kehilangan segala-galanya. Sekarang, dia menghasut pemberontakan pula. Hamba, dalam kesempatan terakhir ini untuk menebus dosa-dosa hamba harus melawannya, menggagalkan usahanya itu. Terserah kepada Taijin dapat mempercaya saya ataukah tidak."

Menteri Cang mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Baiklah, sekarang jelaskan apa adanya dua hal yang kauanggap membahayakan itu."

"Memang Kulana tidak akan mampu melawan paduka dengan pasukan pemberontak yang tidak terlatih dan lebih kecil jumlahnya itu. Akan tetapi, hendaknya Paduka ketahui bahwa dia adalah seorang ahli sihir yang amat pandai. Dia dapat mempergunakan ilmu hitam untuk mencelakai pasukan Paduka. Saya tahu, bagi para pendekar yang telah memiliki sin-kang yang kuat, tidak akan mudah terpengaruh oleh ilmu hitamnya. Akan tetapi para anak buah pasukan Paduka dapat terpengaruh dan hal ini amat berbahaya. Pasukan takkan berdaya menghadapi ilmu hitam dan dapat melakukan hal semacam bunuh diri saja. Dan ke dua, dan ini lebih berbahaya lagi, Taijin, Kulana pandai menggunakan bahan peledak dan dia telah memiliki bahan peledak itu dalam jumlah besar. Saya dapat membayangkan apa yang akan dilakukan dalam keadaan seperti sekarang ini. Tentu dia telah memasang bahan peledak di dinding bukit di kanan kiri jalan terusan itu. Kalau dengan kekuatan pasukan dia tidak akan dapat menangkan pertempuran, maka dengan bahan peledak itu, dia akan dapat meruntuhkan dinding di kanan kiri itu dan mengubur pasukan hidup-hidup!"

Mendengar ini, Menteri Cang mengerutkan alisnya dan diam-diam para perwira terkejut sekali, saling pandang dengan muka berubah. Kalau ucapan orang Birma ini menjadi kenyataan, akan terbasmilah pasukan mereka!

"Ah, kalau begitu, Han Lojin itu adalah mata-mata musuh yang sengaja hendak memancing kita memasuki perangkap maut!" teriak seorang di antara mereka.

Akan tetapi, Mulana menggeleng kepala. "Aku sudah mendengar tentang Han Lojin itu." katanya kepada perwira tadi, "dan dia bukanlah mata-mata Kulana, bahkan dia mengkhianati Kulana."

Menteri Cang tertarik sekali. "Saudara Mulana, ceritakan siapa Han Lojin itu!"

"Dia seorang yang penuh rahasia, mula-mula muncul di sana hendak membantu Kulana. Akan tetapi baru beberapa hari berada di sana, dia telah pergi lagi tanpa pamit, dan kini tahu-tahu dia berada di sini dan menceritakan semua keadaan pasukan pemberontak. Apakah dia memang orang kepercayaan Paduka untuk melakukan penyelidikan ke sarang Kulana, Taijin?"

Menteri Cang menggeleng kepala. "Tidak, dia datang dan membuka rahasia kedudukan para pemberontak, juga rencana para pemberontak untuk bergerak mulai pada malam bulan purnama."

"Hal itu memang benar, Taijin. Kalau begitu, dia seorang pendekar yang hendak menentang pemberontakan dan membantu pasukan kerajaan."

"Saudara Mulana, kalau semua yang kauceritakan dan kauperhitungkan itu benar, lalu menurut pendapatmu, apa yang harus kami lakukan?"

"Apakah pertanyaan Paduka ini berarti bahwa saya dipercaya dan diterima untuk membantu pasukan Paduka?" Mulana balas bertanya.

Menteri Cang mengangguk. "Kami percaya padamu dan suka menerima uluran bantuanmu." Pejabat tinggi ini lalu memandang sekeliling, kepada para perwira dan pendekar. "Harap Cu-wi ketahui bahwa sejak saat ini, Saudara Mulana kami terima sebagai seorang pembantu kita dan kami percaya." Semua yang hadir mengangguk.

"Nah, Saudara Mulana, jangan sampai kehabisan waktu. Jelaskan apa rencanamu untuk menghadapi kemungkinan ancaman perangkap musuh itu yang dapat kita lakukan."

"Begini, Taijin. Kalau benar perhitungan saya tentang siasat yang akan Taijin pergunakan, yaitu mengepung sarang pemberontak, siasat itu lanjutkan saja."

"Benar perhitunganmu. Kami membagi pasukan kami yang jumlahnya dua ribu orang lebih menjadi tujuh kelompok. Enam kelompok datang mengepung dari enam jurusan, sedangkan kelompok induk ini menyerang dari depan dan memasuki jalan terusan itu."

"Siasat yang baik sekali. Sebaiknya siasat itu dilanjutkan dan kita hanya menghadapi dua kemungkinan yang akan membahayakan kita, seperti yang telah saya ceritakan tadi, pertama menghadapi ilmu hitam yang mungkin akan dipergunakan oleh Kulana. Ke dua adalah menghadapi bahan peledak yang mungkin akan dipergunakannya pula untuk meruntuhkan dua dinding bukit. Untuk itu, saya telah mempunyai cara yang terbaik untuk menanggulanginya."

"Apakah engkau seorang ahli sihir pula yang hendak melawan ilmu hitam Kulana dengan sihir?" tanya Menteri Cang.

Mulana menggeleng kepala. "Biarpun saya pernah mempelajari ilmu hitam, namun dibandingkan dengan Kulana, saya akan kalah jauh. Akan tetapi saya telah mempelajari cara-cara untuk menolak dan memunahkan kekuatan ilmu hitam, Taijin. Harap mengutus anak buah untuk mencari dan menyembelih tiga ekor anjing hitam, menampung darahnya karena darah itulah yang akan dapat dipergunakan untuk memunahkan kekuatan ilmu hitam yang dipergunakan Kulana. Akan tetapi, anjing-anjing itu kita bawa saja dulu, setelah menghadapi ilmu hitam baru kita sembelih agar darahnya masih hangat dan belum membeku."

Seorang perwira lalu diutus untuk mengusahakan pencarian tiga ekor anjing hitam ini, di dusun-dusun yang tidak berjauhan dari tempat itu. "Dan bagaimana untuk mengatasi ancaman bahan peledak yang akan meruntuhkan dua dinding bukit?" tanya Menteri Cang karena hal inilah yang dianggap paling berbahaya.

"Untuk meruntuhkan dinding-dinding itu, maka satu-satunya jalan hanyalah memasang bahan peledak di atas, dan bahan peledak itu diledakkan dengan sumbu yang panjang, lalu dinyalakan. Karena itu, agar dibentuk regu-regu pemanah yang pandai yang dengan diam-diam akan mendahului pasukan dan mendaki kedua bukit di kanan kiri jalan. Sebaiknya kalau dipimpin oleh pendekar-pendekar yang pandai. Tugas mereka untuk mencegah petugas musuh yang hendak menyalakan sumbu api bahan peledak."

Mendengar itu, Menteri Cang mengangguk-angguk dan para pendekar juga menyatakan kekaguman mereka. Segera waktu itu dibentuklah regu-regu pemanah yang dipimpin oleh para pendekar. Karena Menteri Cang menghendaki agar regu-regu ini benar-benar kuat dan akan dapat menggagalkan rencana jahat musuh yang mungkin akan meledakkan dinding bukit, maka dia menunjuk suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian untuk memimpin regu yang mendaki bukit sebelah kanan, sedangkan regu yang mendaki bukit sebelah kiri, dipimpin oleh Cia Kui Hong, Cia Ling, dan Can Sun Hok.

Kelompok pasukan induk itu lalu melanjutkan perjalanan, dan Mulana sendiri akan memimpin regu yang bertugas menghadapi ilmu hitam dengan darah anjing. Namun, tentu saja diam-diam Menteri Cang memerintahkan tokoh-tokoh pendekar dari Siauw-lim-pai., Bu-tong-pai dan yang lain-lain untuk mengamati dan menjaga Mulana, membayangi orang ini agar dapat bertindak kalau-kalau Mulana melakukan pengkhianatan.

Malam bertambah larut dan pasukan induk itu bergerak maju dengan cepat karena tadi telah terganggu gerakan maju mereka oleh munculnya Mulana. Namun, kini dalam hati para perwira semakin tenang dan penuh semangat karena mereka telah mengetahui siasat busuk dan tipu muslihat musuh, juga mereka percaya akan kecerdikan Menteri Cang dan kegagahan para pendekar yang mem bantu mereka.

* * *

Hay Hay lari sambil mengepal kedua tangannya, membentuk tinju yang keras, seperti kerasnya hatinya pada saat itu. Bedebah Sim Ki Liong! Hanya nama ini yang teringat terus olehnya, nama yang dimaki dan dikutuknya karena dia hampir merasa yakin bahwa Ki Liong yang telah memperkosa Pek Eng. Bukankah Han Lojin memberitahukan kepadanya betapa Ki Liong merayu Pek Eng di dalam taman? Dan bukankah pemuda itu pula yang agaknya bertukar nama keturunan, dari Ciang ke Sim, murid Pendekar Sadis yang telah murtad, melarikan diri meninggalkan Pulau Teratai Merah tanpa pamit, bahkan melarikan pula banyak pusaka dari pulau itu? Siapa lagi kalau bukan Ki Liong yang telah melakukan kekejian memperkosa, atau lebih tepat menggauli Pek Eng dengan menyamar sebagai dia? Siapa lagi kalau bukan Ki Liong karena dialah orang terdekat di waktu itu? Bentuk tubuh Ki Liong sama dengannya dan dalam kegelapan itu, tentu Pek Eng tidak dapat membedakan. Agaknya Ki Liong telah mempergunakan kesempatan jahanam itu, ketika dia melarikan diri karena takut terhadap diri sendiri yang hampir saja tergelincir ke dalam perjinaan bersama Pek Eng, lalu Ki Liong menyelinap masuk dan melanjutkan apa yang baru saja dia tinggalkan!

"Jahanam...!" Hay Hay marah sekali. Dua hal yang membuatnya marah sekali. Pertama karena pemuda itu telah menodai Pek Eng dan dengan demikian merusak kehormatan, harga diri dan kebahagiaan gadis itu. Dan ke dua, pemuda itu telah mencemarkan nama baiknya, karena dengan perbuatannya itu, Pek Eng kini mengira bahwa dialah yang melakukannya!

"Keparat terkutuk!" Kembali dia memaki. Dia harus dapat menangkap Ki Liong dan memaksa pemuda itu untuk mengaku di depan Pek Eng bahwa dialah yang melakukan perbuatan keji itu. Kemudian, tiba-tiba saja wajah Pek Eng yang dibayangkan itu berubah menjadi wajah Ling Ling dan seketika dia merasa lemas. Dia berhenti lari dan melempar dirinya duduk di bawah pohon dalam hutan itu.

"Celaka...!" serunya bingung ketika dia teringat akan tuduhan Ling Ling bahwa dia telah memperkosa gadis itu! Tidak mungkin Ling Ling berbohong karena dia telah melihat sendiri keadaan gadis itu. Bertelanjang bulat di tepi telaga itu dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena ditotok orang! Jelas bahwa Ling Ling memang diperkosa orang semalam, dan gadis itu mengira bahwa dialah yang melakukan perkosaan!

"Keparat jahanam.....!" Dia memaki lagi, akan tetapi sekali ini makian tidak ditujukan kepada Ki Liong. Siapakah yang telah melakukan perkosaan terhadap diri Ling Ling? Dan mengapa pula Ling Ling mengira bahwa dia pelakunya? Kenapa dalam waktu yang bersamaan, dua orang gadis yang telah direnggut kehormatannya oleh orang lain, keduanya menuduh dia yang telah melakukannya?

"Sialan...!" gerutunya gemas, akan tetapi juga trenyuh karena dia merasa kasihan sekali kepada kedua orang gadis itu. Dua orang gadis yang gagah perkasa, cantik manis, muda belia, bagaikan dua tangkai bunga sedang mekar semerbak, tahu-tahu di petik orang secara keji, dan dialah yang dituduh sebagai pemetik dan perusaknya. Dan dia pun teringat akan orang-orang Bu-tong-pai! Mereka ini pun menuduhnya memperkosa seorang murid wanita Bu-tong-pai, bahkan mengira bahwa dialah jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Urusan dengan orang-orang Bu-tong-pai ini dapat dia mengerti. Mereka itu salah sangka. Mungkin saja seorang murid wanita Bu-tong-pai diperkosa oleh Ang-hong-cu, dan mereka menuduh dia sebagai Ang-hong-cu karena mereka melihat dia memegang sebuah mainan tawon merah dari emas, yaitu benda yang menjadi tanda-tanda dari penjahat cabul Ang-hong-cu, ayahnya! Ayah kandungnya! Dan kini, tiba-tiba saja Pek Eng dan Ling Ling menuduh dia sebagai perusak keperawanan mereka!

"Tenanglah Hay Hay, tenanglah…." Dia menghibur diri sendiri. Dia harus berpikir masak-masak sebelum bertindak secara sembrono, hanya menurutkan emosi belaka, menurutkan kemarahan hatinya. Agaknya tersembunyi rahasia aneh di balik ini semua. Maka sebelum melanjutkan perjalanannya dan niat hatinya untuk mencari Ki Liong yang dituduhnya sebagai pemerkosa atau perusak kehormatan Pek Eng dengan menyamar sebagai dirinya, dia ingin memikirkan kembali segala yang terjadi baru-baru ini.

Dia mengenang kembali peristiwa malam itu. Dia berada di dalam kamarnya ketika Han Lojin memanggilnya dari luar kamar. Kemudian mereka bercakap-cakap dan Han Lojin memberitahukan bahwa baru saja dia menghindarkan Pek Eng dari rayuan maut Ki Liong. Kemudian, sebagai tanda persahabatan dan perasaan kagum Han Lojin kepadanya, Han Lojin mengajaknya minum tiga cawan arak yang harum dan manis. Dia merasa khawatir. Setelah Han Lojin pergi, dia lalu memanggil Pek Eng keluar dari kamarnya, diajak ke dalam taman dan dia hendak memperingatkan gadis itu dari bahaya rayuan Ki Liong. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hay Hay mengerutkan alisnya, mukanya terasa panas karena malu dan dia mengepal tinju, sekali ini ingin dia menampar mukanya sendiri. Mengapa dia secara mendadak saja lalu seperti orang mabuk, terangsang oleh kehadiran Pek Eng yang demikian dekat dengannya? Kenapa dia seperti dimasuki iblis, merangkul dan menciurmi gadis itu? Dan Pek Eng tidak melawan, bahkan pasrah saja, bahkan membalas rangkulannya dengan mesra, dengan penuh penyerahan diri. Hampir saja terjadi pelanggaran di dalam pondok taman itu ketika dia dan Pek Eng berada di dalamnya, di atas dipan. Akan tetapi, dia tersadar dan cepat dia pergi meninggalkan gadis itu, meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Dia merasa menyesal sekali, dan malu kepada diri sendiri, malu untuk bertemu dengan Pek Eng.

Hay Hay menggaruk kepalanya. Heran sekali dia, mengapa dia menjadi seperti orang mabuk dan terangsang ketika berhadapan dengan Pek Eng. Arak itu! Arak harum manis yang diminumnya bersama Han Lojin!

Hay Hay meloncat bangun. Mungkinkah arak yang disuguhkan Han Lojin itu yang menjadi sebabnya? Arak itu mengandung obat perangsang? Akan tetapi... dia melihat betapa Han Lojin sendiri juga meminumnya, bahkan dia mentertawakan orang itu yang nampak mabuk setelah minum tiga cawan. Dan andaikata benar demikian, lalu apa artinya? Apa maksudnya Han Lojin menyuguhkan arak yang mengandung obat perangsang kepadanya? Dan Han Lojin pula yang menceritakan kepadanya bahwa Pek Eng dirayu oleh Ki Liong. Seolah-olah ada hubungannya antara pemberitahuan tentang Pek Eng dan penyuguhan arak perangsang itu. Benarkah ada hubungannya? Apakah Han Lojin menghendaki agar dia mendekati Pek Eng dalam keadaan terangsang? Apakah orang aneh itu menghendaki agar terjadi hubungan gelap antara dia dan Pek Eng? Lalu apa maksudnya kalau begitu?

"Sungguh bisa bikin orang menjadi gila!" pikirnya. Dan lebih membingungkan lagi kalau dia mengingat akan peristiwa yang menimpa diri Ling Ling. Dia memang menjanjikan kepada gadis yang masih puteri suhengnya itu untuk menanti di tepi telaga selama tiga hari. Dia akan datang mencarinya dan mengabarkan tentang penyelidikannya ke sarang pemberontak. Akan tetapi, dia menemukan gadis perkasa itu telah diperkosa orang. Mengingat akan tingkat kepandaian Ling Ling, Hay Hay merasa yakin bahwa pemerkosa gadis itu bukan orang sembarangan. Tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau tidak demikian, mana mungkin dapat membuat seorang gadis selihai Ling Ling tidak berdaya dengan totokan dan memperkosanya? Dia bersedih sekali mengingat akan nasib Ling Ling.

"Hemm, aku pasti akan mencari dua orang yang telah merusak Pek Eng dan Ling Ling itu, sampai dapat! Bukan hanya untuk mencuci bersih namaku, akan tetapi terutama sekali untuk mencegah agar penjahat keji itu tidak lagi melakukan kecabulan terhadap gadis lain!" Dan dia pun akan mencari ayah kandungnya sampai dapat! Ayahnya pun termasuk seorang penjahat cabul yang kejam, dan dia harus menegur ayah kandungnya, dan kalau perlu menentangnya! Juga dia akan menemui Ki Liong, memaksa pemuda itu untuk mengaku kalau memang benar Ki Liong yang telah menggauli Pek Eng seperti yang dia sangka, dengan menyamar sebagai dia. Selain Ki Liong, dia juga harus menemui Han Lojin untuk menuntut orang itu mengaku tentang arak perangsang dan apa maksudnya Han Lojin rnenyuguhkan arak perangsang kepadanya!

Dengan keputusan hati seperti ini, Hay Hay menjadi tenang kembali. Dia tidak boleh dimakan perasaan emosi dan kemarahan. Dia menghadapi orang-orang pandai seperti Ki Liong, Han Lojin, dan pemerkosa misterius itu, juga menghadapi ayah kandungnya sendiri yang belum pernah dikenalnya. Dia harus berhati-hati!

Ketika dengan hati-hati dia menyusup-nyusup melalui hutan-hutan dan perbukitan untuk memasuki perkampungan para pemberontak, tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat. Dia cepat menyusup ke balik semak belukar untuk bersembunyi dan nampaklah olehnya bahwa bayangan itu adalah Han Lojin! Hay Hay mengintai dan melihat betapa orang itu memegang sehelai kertas yang mulai digambarinya, kadang-kadang mengangkat kepalanya melihat-lihat ke arah sarang pemberontak di bukit depan. Han Lojin sedang melukis, pikirnya heran. Dengan hati-hati dia menyusup semakin dekat. Ah, Han Lojin sedang melukis peta, pikir Hay Hay, semakin heran lagi. Tiba-tiba Han Lojin bergerak dan berloncatan ke depan. Dengan hati yang penuh tanda tanya, Hay Hay membayangi dari jauh. Tak salah dugaannya, Han Lojin sedang membuat peta dari keadaan sekeliling sarang pemberontak! Sungguh tak dapat dia menduga apa maksudnya. Hanya setan saja yang tahu apa yang dilakukan orang aneh itu, pikirnya.

Tiba-tiba muncul belasan orang, berloncatan dari balik batang-batang pohon. Hay Hay mengenal mereka sebagai anggauta Kui-kok-pang dengan pakaian mereka yang serba putih, dipimpin sendiri oleh Kim San, ketua Kui-kok-pang yang pakaiannya serba putih pula, mukanya pucat seperti mayat.

"Berhenti...!!" Kim San membentak, menghadang di depan, dan tiga belas orang anak buahnya, dengan senjata di tangan, mengepung Han Lojin.

Han Lojin sudah menggulung kertas peta itu, menyimpan dalam kantung jubahnya yang lebar, tangannya masih memegangi pensil bulu yang bergagang panjang yang tadi dipergunakan untuk membuat lukisan. Dia tersenyum tenang, memandang kepada Kim San dan tertawa.

"Aha, kiranya Kui-kok Pangcu yang datang! Ada keperluan apakah menemui aku di sini?"

"Han Lojin, kami diperintah oleh Bengcu untuk mencarimu. Han Lojin, apakah yang kau pegang tadi dan apa yang kaulakukan di sini?"

Han Lojin masih tersenyum lebar. "Aku sedang menyalurkan bakatku untuk melukis! Mengapa Bengcu menyuruhmu mencariku?"

"Engkau harus kembali, karena engkau telah pergi tanpa pamit!" kata Ketua Kui-kok-pang itu dengan sikap dingin dan marah karena Han Lojin sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat kepadanya.

"Hemm, biarpun aku menyatakan untuk bekerja sama dan membantu, akan tetapi aku bukanlah anak buah Lam-hai Giam-lo yang dapat disuruh begini begitu sesuka hatinya. Aku akan menghadap sendiri kalau aku suka, tidak perlu engkau menyuruhku. Pergilah, Pangcu dan jangan ganggu kesibukanku di sini."

"Han Lojin, engkau sudah dianggap melarikan diri dan mungkin menjadi pengkhianat. Karena itu, mari turut saja dengan aku untuk menghadap Bengcu!"

"Kalau aku tidak mau?"

"Mati atau hidup, kami akan membawamu menghadap Bengcu!" Memang para tokoh sesat telah diperintah Lam-hai Giam-lo untuk berpencaran pergi mencari tiga orang, yaitu Hay Hay, Han Lojin, dan juga Pek Eng. Kalau gadis itu diharuskan pulang, kalau perlu dengan paksaan akan tetapi tidak boleh diganggu apalagi dibunuh, sebaliknya Lam-hai Giam-lo sudah memberi perintah agar membunuh saja Hay Hay dan Han Lojin kalau mereka tidak mau kembali.

"Wah, manusja sombong! Hendak kulihat bagaimana kalian akan membunuhku!" kata Han Lojjn, sikapnya menantang, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menudingkan mouwpit (pensil) ke arah muka Ketua Kuk-kok-pang.

"Engkau memang sudah bosan hidup! Serang dan bunuh!" bentak Kim San kepada anak buahnya dan segera mereka semua menyerbu dengan ganasnya. Han Lojin tersenyum dan mouwpit di tangan kanannya bergerak cepat sekali. Ujung gagang pensil bulu itu menotok ke sana-sini dan empat orang Kui-kok-pang bergelimpangan karena tertotok!

Kim San mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, kedua tangannya membentuk cakar setan dan dia menerkam seperti seekor biruang marah. Han Lojin maklum betapa kedua tangan manusia yang seperti mayat hidup ini mengandung tenaga beracun yang dahsyat, maka dia pun cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Dia disambut oleh anak buah Kui-kok-pang, namun kedua kakinya membagi tendangan. Cepat dan kuat sekali tendangan yang diluncurkan Han Lojin sehingga anak buah Kui-kok-pang tidak mampu mengelak atau menangkis. Kembali ada dua orang terjungkal oleh tendangan itu sehingga yang lain menjadi jerih, hanya mengepung dan mengacungacungkan senjata. Kim San marah sekali. Dia kembali mengeluarkan teriakan parau dan kini dengan cepat dia menyerang secara bertubi. Namun, Han Lojin menghadapinya dengan tenang, mengelak dan menggerakkan gagang mouwpitnya yang menyambut dengan totokan-totokan sehingga kini sebaliknya Kim San yang merasa repot karena harus mengelak, atau menangkis. Totokan itu lihai sekali dan kalau sampai terkena, tentu dia akan roboh!

Dari tempat sembunyinya, Hay Hay mengintai. Dia tidak merasa heran melihat kelihaian Han Lojin. Dia sendiri sudah merasakan kelihaian orang itu ketika dia disuruh menguji kepandaian Han Lojin oleh Lam-hai Giam-lo dan Sim Ki Liong. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Ketua Kui-kok-pang itu masih kalah jauh dibandingkan tingkat Han Lojin. Hanya diam-diam dia merasa heran mengapa Han Lojin yang tadinya disangka seorang petualang yang hendak mencari imbalan jasa besar dengan membantu Lam-hai Giam- to, kini tiba-tiba saja agaknya telah membalik dan melawan orang-orangnya bengcu yang hendak memberontak itu.

Tepat seperti dugaannya, Kim San dipermainkan oleh Han Lojin. Mouwpit itu menyambar-nyambar dan kini terdapat coretan-coretan yang membuat wajah itu menjadi tidak karuan dan lucu sekali. Ada kumisnya di kanan kiri hidung, di kedua pipinya adatulisan "monyet" dan "babi", semua ini dilakukan oleh Han Lojin dengan kecepatan luar biasa. Hay Hay sendiri kini bahkan terkejut. Kiranyaketika mengadu kepandaian dengannya, Han Lojin agaknya belum mengeluarkan semua ilmunya! Baru ilmu memainkan mouwpit ini saja, mampu menuliskan huruf-huruf di muka lawan yang juga bukan orang lemah, merupakan ilmu yang hebat!

Akhirnya, sebuah tendangan kaki kiri Han Lojin mencium lutut Kim San, membuat Ketua Kui-kok-pang itu terjatuh berlutut dan Han Lojin lalu mengeluarkan suara ketawa panjang dan tubuhnya melayang jauh meninggalkan. tempat itu. Hay Hay cepat membayangi dari jauh.

Ketika pada hari itu Han Lojin menghadap Menteri Cang, diam-diam Hay Hay juga membayangi. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat menyusup ke dalam dan ketika dia melihat bahwa di situ hadir pula Hui Lian, Su Kiat, Kui Hong, Ling Ling, Can Sun Hok, dan banyak lagi para pendekar dari berbagai golongan, Hay Hay cepat mengundurkan diri. Terlalu berbahaya kalau dia memperlihatkan diri, apalagi di situ terdapat pula orang-orang Bu-tong-pai yang tentu tidak akan mau melepaskannya.

Dia hanya melakukan pengintaian dari jauh saja. Akhirnya dia meninggalkan tempat yang dijadikan markas sementara oleh pasukan pemerintah yang dipimpin langsung oleh Menteri Cang. Ketika ia melihat. betapa pasukan pemerintah mulai meninggalkan tempat itu, dibagi menjadi tujuh kelompok, menuju ke sarang gerombolan pemberontak, tahulah dia bahwa penyerangan akan dimulai. Dia akan membantu pasukan pemerintah dengan diam-diam, dan dia mengambil keputusan untuk mendahului pasukan itu, memasuki perkampungan pemberontak. Terutama sekali dia harus dapat menemui Sim Ki Liong untuk dipaksa mengaku tentang peristiwa di dalam taman pada malam hari itu, mengaku bahwa Sim Ki Liong telah menyamar sebagai dia, menggauli Pek Eng yang mengira bahwa pemuda itu adalah dirinya.

* * *

Perhitungan Mulana tentang diri saudara kembarnya memang tepat. Kulana adalah seorang yang amat cerdik, juga dia seorang ahli siasat perang yang lihai. Tentu saja dia sudah dapat memperhitungkan siasat yang akan diambil oleh pimpinan pasukan pemerintah yang menjadi musuhnya.

"Biarkan mereka datang mengepung kita." katanya tenang kepada Lam-hai Giam-lo dan para pembantunya ketika mereka mengadakan perundingan. "Kita akan menghadapi mereka, dan percayalah kita akan dapat menghancurkan mereka, membinasakan mereka sampai tidak ada seorang pun di antara mereka akan mampu lolos!"

"Akan tetapi, jumlah pasukan mereka lebih besar daripada pasukan kita!" seru Sim Ki Liong, sangsi. "Dan mereka dibantu pula oleh para orang-orang berkepandaian tinggi! Tang Hay itu tentu berada di antara mereka, juga Han Lojin."

Kulana tersenyum. "Jangan khawatir. Siasat kita menggunakan jalan terusan itu tentu sudah mereka perhitungkan pula dan biarlah mereka semua mengerahkan kekuatan di jalan terusan itu. Aku akan menggunakan akal, memancing agar semua pasukan musuh berkumpul di jalan terusan itu, dan di sanalah aku akan menghancurkan mereka semua!" Agaknya Kulana masih merahasiakan siasatnya yang terakhir ini karena dia belum percaya sepenuhnya kepada para pembantu Lam-hai Giam-lo yang terdiri dari para tokoh sesat itu. Orang-orang seperti itu sukar dipercaya, begitu pendapat Kulana. Rahasia penting tidak aman berada di tangan mereka yang akan suka menjual rahasia apa pun demi keuntungan sendiri. Akan tetapi diam-diam dia sudah mempersiapkan dan mengatur siasatnya itu, dan untuk keperluan itu dia mempergunakan orang-orangnya sendiri, pelayan-pelayan yang dipercayanya. Dia hanya mengingatkan semua perwira pasukan pemberontak bahwa begitu dia memberi tanda dengan tiga kali tiupan terompet yang khas, semua pasukan harus segera ditarik dan meninggalkan jalan terusan, membiarkan musuh berkumpul di antara dua bukit itu. Hal ini diperingatkannya berulangkali, dan hanya kepada Lam-hai Giam-lo seoranglah dia menjelaskan siasatnya yang terakhir itu, yaitu hendak meledakkan dinding bukit untuk menyerang musuh.

Dua hari sebelum malam bulan purnama tiba. Malam itu cukup terang dengan bulan yang dua hari lagi akan penuh. Malam yang indah dan cerah, namun sunyi menyeramkan di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan yang menjadi sarang para pemberontak itu. Tempat itu sunyi seolah-olah sudah ditinggalkan oleh para pemberontak. Padahal, setiap orang pemberontak sudah menanti dengan jantung berdebar tegang karena mereka telah diberitahu oleh Kulana bahwa malam itu mereka akan menyambut serbuan musuh di luar jalan terusan.Sebagian dari mereka telah membentuk barisan pendam di luar jalan terusan, dan barisan pendam ini dipimpin sendiri oleh Lam-hai Giam-lo, dibantu oleh Sim Ki Liong yang menjadi orang kepercayaan bengcu itu. Adapun pasukan yang menyambut musuh dipimpin oleh para tokoh yang lain, di antaranya Ji Su Bi, Min-san Mo-ko, Kim San, Hek-hiat Mo-ko, dengan para tosu Pek-lian-kauw dan dipimpin sendiri oleh Kulana.

Suasananya sunyi sekali di sarang para pemberontak itu sampai ke jalan terusan. Menjelang tengah malam, di bawah sinar mata para pimpinan pasukan yang mengintai dari tempat persembunyian mereka, nampaklah Kulana sendiri muncul keluar ke atas sebuah batu besar. Dari atas batu itu dia dapat melihat ke arah jalan terusan di bawah sana. Kulana mempergunakan pakaian serba putih, dengan potongan seperti jubah pendeta. Rambutnya dibiarkan riap-riapan, sehingga dia kelihatan seperti seorang pendeta yang aneh dan sikapnya menyeramkan. Sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan mukanya yang tertimpa sinar bulan itu nampak kehijauan. Di tangan kirinya terdapat seuntai tasbeh sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar berkilauan. Dia lalu duduk bersila di atas batu itu, menghadap ke utara, k.e arah datangnya musuh menyerang yang sedang ditunggu.

Malam pun berjalan terus dan bulan sudah condong ke barat. Cuaca mulai remang-remang, kemudian muncul sinar kemerahan di ufuk timur, sinar yang biarpun masih kemerahan namun masih nampak kekuatannya sehingga memudarkan sinar bulan. Itulah sinar matahari yang mulai menyapu kegelapan di kaki langit sebelah timur. Kemudian dalam kesunyian malam menjelang pagi itu, terdengarlah suara terompet memanjang. Itulah tanda yang dinanti-nantikan oleh pasukan pemberontak. Suara terompet itu merupakan tanda bahwa pasukan musuh telah datang dan tiba di perbatasan yang telah mereka tentukan.

Tiba-tiba tubuh yang tadinya duduk bersila itu kini bangkit berdiri, perlahan-lahan. Diacungkannya pedang telanjang itu ke atas, lalu menuding ke arah utara, tasbeh di tangan kiri berrputar-putar dan mulut Kulana berkemak-kemik, sementara kedua matanya terpejam untuk beberapa lamanya. Setelah kedua mata itu terbuka, orang akan merasa terkejut dan ngeri karena mata itu kini mengeluarkan sinar yang amat liar menakutkan, kehijauan seperti mata seekor harimau yang marah.

Saat bertemunya t kedua pasukan yang bermusuhan itu pun dinanti dengan hati tegang oleh pasuka kerajaan yang berbaris maju dengan penuh semangat. Kini, pasukan itu tiba di perbatasan, dan jalan terusan yang diapit-apit dinding bukit itu sudah nampak dari tempat ketinggian itu, di bawah sinar bulan yarig mulai pudar oleh sinar matahari merah. Menteri Cang sendiri, didampingi Mulana, berdiri di atas batu besar dan meneliti tempat itu dari jauh.

"Itulah jalan terusan yang dimaksudkan?" tanya Menteri Cang, diam-diam dia mulai percaya akan gambar peta yang diterimanya dari Han Lojin. Agaknya orang aneh itu tidak berbohong atau berkhianat, pikirnya.

Mulana mengangguk, "Benar, Taijin. Dan lihat, betapa sunyinya. Kalau menurut sepatutnya, para pemberontak tentu sudah tahu aka kedatangan pasukan kita, akan tetapi kenyataannya sunyi saja. Oleh karena itu, tidak salah lagi, mereka sedang mempergunakan siasat dan mereka pasti kini sedang menanti kita. Kita harus bersikap hati-hati dan biarkan pasukan terus maju, saya akan berada di depan dengan para pembantu saya, menghadapi segiala kemungkinan."

Menteri Cang mengangguk dan memberi isarat agar pasukan yang untuk sementara dihentikan itu bergerak lagi, menuju ke arah jalan terusan yang dari situ agak menurun itu. Mulana dan belasan orang pembantunya berada di depan, menuntun tiga ekor anjing hitam, mendahului pasukan. Di belakangnya nampak para pendekar, didahului oleh Can Sun Hok dan Cia Ling lalu para tokoh partai persilatan besar. Semua orang siap siaga dan waspada maklum bahwa sewaktu-waktu pihak musuh tentu akan muncul dan menyambut mereka.

Ketika ujung jalan terusan itu tinggal beberapa puluh meter lagi, Mulana memberi isarat agar pasukan berhenti melangkah. Dia sendiri bersama belasan orang pembantunya yang membawa ember melangkah maju mendekati ujung jalan terusan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan aneh dan dahsyat, lalu disusul datangnya angin dari arah jalan terusan. Mulana segera memberi isarat kepada para pembantunya yang segera melaksanakan tugas yang telah diatur sebelumnya, yaitu dengan golok-golok tajam mereka menyembelih tiga ekor anjing hitam itu. Anjing-anjing itu tidak sempat mengeluarkan. suara. Darah mengucur dari leher mereka yang putus, dan segera darah itu ditampung ke dalam ember-ember yang sudah dipersiapkan.

Kini angin yang menyambar-nyambar menjadi semakin dahsyat dan nampaklah asap hitam bergumpal-gumpal keluar dari dalam jalan terusan, mengerikan sekali. Akan tetapi, Mulana yang sudah siap dengan pakaian pendeta berwarna kuning dan rambut terurai, kini melangkah maju dengan pedang di tangan kanan. Dia mencelup pedang itu sampai ke gagangnya dalam darah anjing, lalu mengangkat pedang tinggi-tinggi sambil melangkah maju dan mulutnya berkemak-kemik. Belasan orang itu mengikutinya dan dengan gayung kecil, mereka itu menciduk darah anjing dan mempercikkannya ke arah asap hitam bergumpal-gumpal. Dan aneh sekali, asap hitam yang bergulung-gulung itu segera lenyap, angin pun berhenti bertiup dan cuaca menjadi bersih kembali, jalan terusan itu nampak kembali.

Akan tetapi, kini terdengar gerengan yang semakin keras dan dari dalam jalan terusan itu kembali muncul asap hitam bergumpal-gumpal dan dari dalam asap itu muncullah seekor naga hijau yang menyeramkan. Naga itu besar sekali, sepasang matanya mencorong dan moncongnya yang terbuka lebar itu mengeluarkan api menyala-nyala, kedua lubang hidungnya mengeluarkan asap putih yang panas sedangkan kedua cakar depan dengan kuku-kuku yang mengerikan seperti hendak menubruk ke arah Mulana. Namun, Mulana tidak menjadi gentar dan dia pun maju dengan pedangnya yang kini berubah merah oleh darah anjing, sedangkan para pembantunya sibuk memercikkan darah anjing ke arah asap hitam yang semakin menjalar.

Anak buah pasukan yag berada di belakang, memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka tentu saja merasa nyeri dan takut. Akan tetapi para tokoh pendekar yang melihat ini, maklum bahwa mereka menghadapi ilmu hitam yang dahsyat, maka mereka segera mengerahkan sin-kang untuk memperkuat batin dan menolak pengaruh ilmu hitam ini. Can Sun Hok dan Cia Ling yang telah memiliki tingkat yang cukup tinggi, setelah mengerahkan sin-kang, dapat membuat mata mereka menjadi tenang dan bayangan naga yang menyeramkan itu pun menipis walaupun belum lenyap. Mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu menghadapi ilmu hitam seperti ini, dan hanya percaya bahwa Mulana akan mampu memunahkannya.

Mulana melangkah maju, dan pedangnya menyambar, menyerang ke arah naga hijau itu, sedangkan orang-orangnya memercikkan darah anjing. Terdengar suara melengking dahsyat dan naga hijau itu pun lenyap, asap hitam pun bergulung-gulung naik dan mundur sampai lenyap. Mulana memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk maju terus, sedangkan pasukan di belakangnya, didahului oleh para pendekar, juga bergerak maju lagi mulai memasuki jalan terusan.

Kini sunyi di jalan terusan itu. Dengan hati-hati pasukan yang dipimpin sendiri oleh Menteri Cang itu memasuki terusan. Karena maklum bahwa mereka memasuki perangkap yang mengerikan, mau tidak mau jantung pejabat tinggi itu berdebar juga penuh ketegangan. Dia memandang ke atas, kanan kiri dan merasa seram. Dinding bukit itu menjulang tinggi dan kalau ada batu-batu runtuh ke bawah, pasukannya akan celaka, apalagi kalau sampai dinding itu diledakkan! Dia hanya mengharapkan agar mereka yang bertugas merayap ke atas bukit di kanan kiri itu akan berhasil menyergap dan menggagalkan rencana peledakan dinding bukit.

Akan tetapi, kesunyian itu tiba-tiba dipecahkan oleh beberapa suara jeritan di sana-sini, dilakukan oleh anak buah pasukan. Dan Mulana melihat betapa kembali ada asap hitam bergulung-gulung dan di atas dinding bukit di kanan kiri nampak segala macam serangga beracun merayap turun. Ular, kalajengking, kelabang dan banyak lagi macamnya, mengerikan, juga menjijikkan! Dia tahu bahwa itu bukanlah binatang-binatang aseli, melainkan jadi-jadian, hasil ilmu hitam. Maka dia lalu memimpin orang-orangnya untuk memercikkan darah anjing, sedangkan pedangnya yang berlumuran darah anjing hitam itu pun mengamuk, membabat ke arah binatang-binatang kecil menjijikkan itu. Dan seperti juga tadi, penglihatan yang mengerikan itu pun lenyap bersama asap hitam.

Kini pasukan pemerintah itu kesemuahya telah memasuki jalan terusan dan bersama dengan bunyi tambur yang dipukul gencar, kini dari luar jalan terusan bermunculan pasukan pemberontak yang menerjang dari belakang. Dan pada saat itu juga, terdengar sorak-sorai dan pasukan pemberontak yang bersembunyi didalam, kini pun bermunculan dan menyerang dari depan. Dengan demikian, pasukan induk pemerintah itu tergencet dari depan dan belakang, dan berada di dalam jalan terusan yang memanjang itu. Tepat seperti yang telah diperhitungkan oleh Mulana. Akan tetapi yang membikin pasukan pemerintah merasa bingung adalah keluarnya asap hitam yang membuat penglihatan menjadi gelap bagi mereka, akan tetapi agaknya tidak demikian bagi pasukan pemberontak.

Kalau tidak ada Mulana, tentu pasukan pemberontak akan celaka bertempur dalam keadaan seperti itu. Mulana dan para pembantunya sibuk memercikkan darah anjing ke kanan-kiri dan akhirnya, asap hitam bergulung-gulung itu pun perlahan-lahan lenyap sehingga kini mereka dapat bertempur dalam keadaan cuaca terang karena matahari telah mulai muncul!

Melihat betapa di pihak pemberontak terdapat orang-orang Kui-kok-pang yang mudah dikenal dengan pakaian mereka yang putih dan gerakan mereka yang ganas dan dahsyat, Can Sun Hok dan Cia Ling lalu terjun dan menerjang mereka, merobohkan beberapa orang anggauta Kui-kok-pang. Can Sun Hok segera melihat kepala gerombolan ini, yaitu Kim San yang mudah diketahui dari keadaan pakaiannya dan kelihaian gerakannya. Can Sun Hok segera menerjang Kim San yang bertangan kosong. Segera terjadi perkelahian yang amat seru. Biarpun bertangan kosong, namun kedua tangan Ketua Kui-kok-pang yang membentuk cakar itu amat berbahaya dan mengandung hawa beracun yang jahat. Namun, Can Sun Hok yang memegang suling itu tidak mau memberi kesempatan kepada lawan yang lihai itu. Dia memutar sulingnya dan memainkan ilmu pedang simpanannya, yaitu Kwi-ong Kiam-sut (Ilmu

Pedang Raja Iblis) yang amat dahsyat. Biarpun dia memainkannya dengan suling, namun keampuhannya tidak kalah dengan pedang, dan ilmu pedang ini dahulu adalah ciptaan Si Raja Iblis, datuk sakti kaum sesat itu. Maka, betapa pun lihainya Kim San, menghadapi ilmu pedang ini, dia segera terdesak hebat dan hanya karena bantuan anak buahnya saja dia masih mampu mempertahankan diri.

Ling Ling sendiri sudah mengamuk dan gadis ini biasanya juga bertangan kosong. Ia sudah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari ayahnya, maka biarpun ia bertangan kosong, kedua tangan dan kedua kakinya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh. Dengan gerakan lincah seperti seekor burung walet, gadis ini berloncatan dan menyambar-nyambar ke sana-sini, dan setiap kali tangan atau kakinya mencuat ke depan atau ke samping, tentu ada seorang anggauta pasukan musuh yang terjungkal roboh.

Sementara itu, di atas sebatang pohon yang tumbuh di tebing, terdapat dua orang sejak tadi menonton pertempuran. Mereka adalah Pek Han Siong dan Cu Bi Lian atau lebih tepat lagi, Siangkoan Bi Lian walaupun gadis itu sendiri belum tahu akan nama keturunannya yang sesungguhnya. Seperti telah kita ketahui, Han Siong bertemu dengan Bi Lian secara kebetulan sekali. Ketika itu Bi Lian sedang dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang hendak menangkapnya. Hampir saja Bi Lian celaka dan dapat tertangkap oleh ilmu sihir yang dipergunakan Kulana, akan tetapi tiba-tiba muncul Han Siong yang menyelamatkan gadis itu dengan kekuatan sihirnya pula. Mereka berkenalan dan saling mengetahui bahwa mereka masih suheng dan sumoi, walaupun Han Siong belum menceritakan bahwa sumoinya itu sesungguhnya adalah puteri kedua orang gurunya, bahkan juga telah menjadi calon jodohnya! Mereka berdua bertemu dengan Mulana dan menjadi tamu orang Birma aneh ini, bahkan menjadi saksi akan peristiwa mengharukan ketika Yasmina, isteri Mulana, membunuh diri.

Setelah meninggalkan Mulana yang kemudian mereka lihat dari jauh membakar istananya sendiri, Han Siong dan Bi Lian lalu melakukan penyelidikan ke sarang gerombo1an pemberontak. Bi Lian ingin membalas kematian kedua orang gurunya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, yang mati sampyuh karena saling bertentangan sendiri ketika Bi Lian dilamar oleh Kulana. Bi Lian menganggap bahwa kematian kedua orang gurunya akibat ulah Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka dara ini ingin membalas kepada kedua orang sakti itu. Adapun Han Siong, selain siap menentang gerombolan pemberontak itu, juga ingin mencari adik kandungnya, Pek Eng, yang menurut Bi Lian kini berada di sarang gerombolan pemberontak, bahkan menjadi murid dan anak angkat Lam-hai Giam-lo, Bengcu dari gerombolan pemberontak.

Akan tetapi, sepasang orang muda perkasa ini mendapat kenyataan betapa kuatnya keadaan di sarang gerombolan. Kini bahkan seribu lebih orang anak buah gerombolan telah berkumpul, berlatih perang-perangan dan amat berbahayalah kalau mereka berani memasuki sarang itu. Maka, mereka hanya melakukan penyelidikan di luar saja dan menanti kesempatan baik untuk melaksanakan niat mereka.

Dan pada pagi hari itu, mereka melihat penyerbuan pasukan pemerintah dan dari tempat pengintaian itu, mereka melihat pula betapa Kulana telah melakukan sambutan dengan ilmu hitam yang dahsyat. Melihat ini, ketika Bi Lian juga terkejut dan merasa ngeri, Han Siong berkata,

"Orang yang bernama Kulana itu memang hebat. Yang dia lakukan itu bukan sekadar ilmu sihir belaka, melainkan ilmu hitam yang mempergunakan tenaga gaib dan kotor yang berasal dari iblis dan setan. Untung bahwa di sana agaknya ada yang mampu memunahkan kekuatan ilmu hitamnya, kalau tidak, tentu akan celaka pasukan pemerintah."

"Akan tetapi, engkau sendiri bukankah seorang yang mengerti akan ilmu sihir, Suheng?"

"Benar, aku pernah mempelajari ilmu sihir. Akan tetapi, ilmu sihir hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi pikiran dan panca indera seorang atau beberapa orang lawan saja. Sebaliknya, ilmu hitam dapat mengeluarkan jadi-jadian yang datangnya dari alam rendah, sehingga dapat mempengaruhi ribuan orang pasukan musuh. Sungguh berbahaya sekali orang itu."

"Lihat, Suheng, pertempuran kini menjadi semakin hebat dan agaknya pasukan pemerintah yang berada di tengah-tengah itu terdesak karena digencet dari depan dan belakang. Mereka terjebak ke dalam jalan terusan yang terapit dinding bukit itu! Mari, Suheng, mari kita bantu pasukan pemerintah! Aku akan turun dan menyerang Kulana si jahanam itu!"

"Hati-hatilah, Sumoi. Biar aku menghadapi dia," pesan Han Siong yang merasa khawatir karena Kulana sungguh terlalu berbahaya bagi Bi Lian. Mereka lalu meninggalkan batang pohon itu dan merayap turun melalui tebing lain yang tidak begitu terjal seperti kedua tebing bukit di kanan kiri jalan terusan itu. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dengan cepat mereka dapat turun ke tempat pertempuran. Akan tetapi ketika mereka terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mereka tidak melihat lagi Kulana yang tadi mereka lihat dari atas batu besar. Karena itu, kedua orang muda ini lalu terjun dan ikut mengamuk di antara para anggauta gerombolan pemberontak yang menjadi kocar-kacir karena tidak ada yang mampu menahan kedua orang muda perkasa ini.

Akan tetapi, dari pihak pemberontak segera bermunculan orang-orang lihai sekali. Suami isteri Lam-hai Siang.mo, yaitu Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sudah cepat melihat kehebatan sepak terjang. pemuda dan gadis yang baru muncul itu dan bersama sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci Ki, mereka lalu menerjang ke dalam pertempuran. Lam-hai Siang-mo segera mengeroyok Han siong, sedangkan Si Tangan Maut dan isterinya, Si Jarum sakti, sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai selatan itu mengeroyok Bi Lian yang mereka kenal sebagai murid mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang amat lihai. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka.

Menteri Cang yang melihat betapa pasukan pemberontak telah dikerahkan, lalu memberi isarat dan terdengar suara sorak-sorai disertai suara terompet dan tambur, dan enam kelompok pasukan yang tadinya mengepung sarang, kini bermunculan, dari enam jurusan, semua menuju ke jalan terusan dan dengan demikian maka kini berbalik pihak pasukan pemberontak yang terkepung dari dalam dan luar! Keadaan menjadi kacau-balau dan pertempuran berlangsung semakin seru dan mati-matian. Para pendekar juga kini bertemu langsung dengan para tokoh sesat sehingga mereka itu merupakan kelompok tersendiri yang mempergunakan ilmu silat tinggi saling gempur, dan terjadilah pertempuran yang amat hebat di luar dan di dalam jalan terusan.

Bagaimana Can Sun Hok dan Cia Ling dapat muncul dalam pertempuran itu, padahal mereka bertugas bersama Cia Kui Hong untuk mencegah peledakan dinding tebing bukit sebelah kiri? Mari kita tengok apa yang terjadi di kedua puncak tebing itu. Dengan diikuti belasan orang anak buah pasukan, Cia Kui Hong, Can Sun Hok dan Cia Ling mendaki bukit sebelah kiri jalan terusan. Dan memang tepat seperti yang diperhitungkan oleh Mulana, mereka melihat segerombolan orang sejumlah dua belas orang dikepalai seorang kakek cebol gendut dengan kepala kecil, berkulit hitam, duduk bergerombol mengelilingi sebuah batu besar. Melihat ini, Cia Kui Hong menyuruh teman-temannya bersembunyi dan ia sendiri mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara batu-batu dan pohon-pohon, mendekati dan melakukan pemeriksaan. Untung bahwa matahari telah mulai memancarkan cahayanya sehingga ia dapat meneliti dari jarak agak jauh dan melihat bahwa yang berada di atas batu besar itu adalah benda seperti tali putih yang dari atas batu itu terus menuruni tebing. Tak salah lagi, pikirnya, tentu itulah sumbu bahan peledak, siap untuk dinyalakan oleh gerombolan orang itu setelah terdapat isarat dari Kulana! Ia dan kawan-kawannya harus dapat menguasai sumbu itu, kalau tidak, pasukan pemerintah di bawah akan terancam bahaya maut! Ia lalu menyelinap kembali dan kembali ke tempat kawan-kawannya bersembunyi. Setelah merundingkannya dengan Sun Hok dan Ling Ling, mereka bertiga mengambil keputusan untuk melakukan penyergapan tiba-tiba.

"Kalian menyergap Si Cebol yang agaknya lihai itu, dan pasukan menyerbu dan menyerang anak buahnya. Aku sendiri akan menguasai sumbu itu dan menjaganya agar pihak lawan tidak ada yang dapat mendekat!" bisik Kui Hong. Setelah mengatur siasat, mereka lalu berindap-indap menghampiri batu yang dikurung oleh tiga belas orang itu.

Penyergapan itu dilakukan serentak sehingga Si Cebol yang bukan lain adalah Hek-hiat Mo-ko dan anak buahnya, menjadi terkejut sekali. Apalagi ketika Hek-hiat Mo-ko melihat dirinya diserang dengan dahsyatnya oleh seorang pemuda dan seorang pemudi, dia mengeluarkan suara mencicit seperti tikus, tubuhnya yang cebol itu melompat dan terus bergulingan membebaskan diri dari serangan kedua orang muda yang lihai itu. Adapun belasan orang anak buahnya juga sudah sibuk menghadapi serangan belasan orang anak buah pasukan pemerintah. Kui Hong sendiri merobohkan dua orang dengan tamparannya dan ia pun melompat ke atas batu besar itu. Dengan gagahnya ia menjaga sumbu di atas batu, dan untuk penjagaan, ia mengeluarkan sepasang pedangnya. Ketika ia memandang, dengan lega ia mendapat kenyataan betapa Can Sun Hok dan Ling Ling telah dapat mendesak kakek cebol, bahkan anak buah yang belasan orang banyaknya itupun telah menyerbu dan mendesak anak buah gerombolan pemberontak.

Hek-hiat Mo-ko adalah keturunan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo dan dia telah mewarisi ilmu sesat yang hebat dari neneknya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Demikian mendalam dia menguasai ilmu Hek-hiat (Darah Hitam) itu sehingga kini darah di tubuhnya benar-benar agak kehitaman! Dan tentu saja kedua tangannya sudah dialiri hawa beracun yang menjadi pukulan maut. Dia lihai dan kejam bukan main, disamping wataknya yang cabul dan jahat. Entah sudah berapa puluh atau bahkan berapa ratus orang wanita yang telah menjadi korban kebiadabannya selama puluhan tahun ini.

Betapa hebatnya ilmu kepandaian Hek-hiat Mo-ko, menghadapi Can Sun Hok dan Cia Ling, dia seperti mati kutu. Apalagi harus dikeroyok dua. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja dia belum tentu akan mampu menang, walau pun bagi Sun Hok atau Ling Ling juga tidak akan demikian mudahnya menundukkan Si Cebol ini kalau saja harus turun tangan sendiri tanpa bantuan. Akan tetapi, kini mereka maju bersama. Perkelahian ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perang, maka dua orang muda perkasa ini pun tidak merasa sungkan untuk maju bersama mengeroyok Hek-hiat Mo-ko.

Biarpun Hek-hiat Mo-ko mengerahkan seluruh tenaga racunnya, dan mengeluarkan semua ilmu silatnya, namun tetap saja dia terdesak dan akhirnya tidak mampu lagi membalas, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja. Akhirnya, sebuah tamparan dari tangan kiri Ling Ling menyerempet pelipisnya. Dia terjungkir dan cepat melompat bangun lagi, akan tetapi disambut totokan suling di tangan Sun Hok yang tepat mengenai dadanya. Dari mulutnya keluar suara mencicit nyaring, disusul keluarnya darah hitam dan tubuh Hek-hiat Mo-ko kini tersungkur. Akan tetapi orang ini memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Biarpun totokan tadi sudah mengenai jalan darah yang membawa maut, tetap saja dia mampu bergulingan, hanya arahnya yang ngawur sehingga dia bergulingan ke tepi tebing dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuhnya tergelincir dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu dalam keadaan sudah hampir mati!.

Juga dua belas orang anak buah Hek-hiat Mo-ko roboh semua oleh Sun Hok dan Ling Ling. Setelah tidak nampak seorang pun lagi musuh di puncak tebing itu, mereka memandang ke bawah dan melihat pertempuran telah berlangsung. Melihat betapa pasukan pemerintah dihimpit dari depan dan belakang, Sun Hok lalu berkata, "Ah, di bawah sana telah terjadi pertempuran. Untuk apa kita menganggur saja di sini? Lebih baik membantu di bawah."

"Akan tetapi tempat ini harus kita jaga, agar jangan sampai ada musuh yang dapat meledakkan tebing," bantah Ling Ling.

"Kalian berdua turunlah dan bantulah menggempur gerombolan pemberontak. Biar aku dan pasukan ini yang berjaga di sini!" kata Kui Hong yang juga melihat betapa tidak ada gunanya mereka bertiga menganggur di tempat itu. Demikianlah, mendengar kesanggupan Kui Hong untuk menjaga sumbu bahan peledak di situ, Ling Ling dan Sun Hok lalu menuruni tebing dan mereka ikut pula bertempur membantu pasukan pemerintah, menerjang Kui-kok-pangcu Kim San dan anak buahnya.

Keadaan di puncak tebing sebelah kanan juga tidak banyak bedanya dengan apa yang terjadi di puncak sebelah kiri. Yang memimpin pasukan belasan orang dan mendaki puncak tebing sebelah kanan adalah suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian, suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu. Adapun yang diberi tugas untuk memimpin belasan orang meledakkan tebing kanan ini apabila ada isarat dari Kulana, bukan lain adalah Min-san Mo-ko, bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai ilmu pedang dan ilmu sihirnya itu. Karena usianya yang sudah enam puluh lebih, Min-san Mo-ko tidak begitu bernafsu untuk ikut bertempur dalam peperangan, maka dia memilih untuk menjaga sumbu bahan peledak yang dipasang di puncak tebing sebelah kanan. Dia sudah siap untuk meledakkannya, dengan menyulut sumbunya, begitu menerima isarat dari Kulana. Diam-diam dia merasa gembira sekali karena dia akan dapat menonton kalau nanti tebing itu runtuh menimpa pasukan pemerintah sehingga akan terkubur hidup-hidup! Akan tetapi dia harus menanti isarat dari Kulana lebih dahulu. Karena kalau tidak, mungkin yang terkubur hidup-hidup oleh ledakan tebing itu bahkan pasukan kawan sendiri.

Tiba-tiba saja muncul belasan orang perajurit pemerintah mendaki puncak tebing itu. Melihat belasan orang perajurit musuh ini, Min-san Mo-ko tertawa, dan suaranya melengking tinggi ketika dia berkata, "Ha-ha-ha, hayo bunuh bebeberapa ekor cacing busuk itu!" Dia amat memandang rendah kepada belasan orang perajurit musuh yang disangkanya secara kebetulan saja naik ke puncak ini. Akan tetapi pada saat itu muncullah Kok Hui Lian yang bergerak cepat, dengan gerakan indah sekali telah menampar roboh dua orang perajurit pemberontak. Melihat munculnya seorang wanita muda yang demikian cantiknya, juga amat cepat gerakannya sehingga merobohkan dua orang anak buahnya, Min-san Mo-ko terkejut, akan tetapi juga gembira sekali. Wanita itu cantik menarik.

"Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Aku sedang kesepian dan engkau datang menemaniku, manis!" kata Min-san Mo-ko yang biarpun sudah berusia enam puluh tahun lebih namun masih amat mata keranjang itu. Dia pun memandang ringan wanita cantik itu, maka sekali meloncat dia sudah meninggalkan benda yang dijaganya sejak tadi, yaitu ujung sumbu bahan peledak yang menghubungkan sumbu dengan bahan peledak yang ditanam di bawah puncak tebing. Ujung sumbu itu ditindih beberapa buah batu dan nampak mencuat putih. Dengan kedua tangannya yang panjang dan kurus, Min-san Mo-ko menubruk dari belakang untuk menangkap Hui Lian.

Namun, sekali ini, orang yang kurus pucat dan lihai ini kecelik bukan main. Tubuh wanita cantik yang ditubruknya dari belakang itu, tiba-tiba berputar di atas tumit kiri dan kaki kanannya telah mengirim tendangan yang amat cepatnya, demikian cepat sehingga orang selihai Min-san Mo-ko sampai tidak dapat mengelak atau menangkis lagi. Tentu saja hal ini terutama sekali dapat terjadi karena Min-san Mo-ko memandang lawan terlalu ringan.

"Dukkk….!!"

"Ihhhh…..?" Min-san Mo-ko mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya terbelalak dan dia mulai marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia akan terkena tendangan pada dadanya, dan tendangan itu membuat dadanya terasa agak nyeri.

"Perempuan setan, kiranya engkau memiliki kepandaian juga? Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!" Min-san Mo-ko mencabut pedangnya dan sekali melompat, dia sudah berada di depan Hui Lian dan tiba-tiba dia menudingkan pedangnya pada wajah Hui Lian sambil mengeluarkan suara lengkingan panjang disusul kata-kata yang nyaring melengking dan berpengaruh.

“Perempuan, berlutut dan menyerahlah engkau!" Dia mengerahkan sihirnya dan menggerak-gerakkan pedangnya, sepasang matanya mencorong aneh dan menyeramkan. Hui Lian tidak menyangka bahwa ia akan diserang dengan ilmu sihir, maka tiba-tiba saja ia menekuk lututnya. Hal ini terjadi di luar kehendaknya, maka ia pun terkejut dan sambil meloncat ke atas, ia mengeluarkan bentakan nyaring sambil mengerahkan tenaga saktinya dan seketika buyarlah kekuatan sihir yang tadi hampir mempengaruhi. Hui Lian menjadi marah sekali dan sepasang matanya berkilat ketika memandang wajah Min-san Mo-ko.

"Iblis busuk, ilmu iblismu tidak ada artinya bagiku!" dan kini wanita perkasa ini sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Entah kapan ia mengeluarkan pedang itu, tahu-tahu telah berada di tangannya. Itulah pedang Kiok-hwa-kiam, peninggalan orang sakti yang ia temukan di dalam guha di tebing curam.

Kini Min-san Mo-ko tidak berani main-main lagi, sama sekali tidak berani memandang rendah. Bahkan dia terkejut bukan main melihat betapa wanita cantik itu mampu membuyarkan kekuatan sihirnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, maka melihat lawan memegang pedang, tanpa banyak cakap lagi dia pun mencabut pedangnya dan mendahului lawan menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Min-san Mo-ko memang terkenal sebagai seorang ahli pedang yang memiliki banyak macam ilmu pedang yang tinggi tingkatnya. Kini begitu dia memutar pedang, senjata itu lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar putih yang panjang dan menyambar-nyambar

Melihat ini, Hui Lian pun tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang yang lihai, maka ia pun memutar Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dan segera mainkan Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan), yaitu satu di antara ilmu. yang dipelajarinya bersama suaminya di dalam guha tebing. Ilmu pedang ini adalah peninggalan mendiang In LiongNio-nio, seorang di antara tokoh sakti Delapan Dewa. Begitu ia memutar pedang, terdengar suara mengaung panjang dan terkejutlah Min-san Mo-ko karena gulungan sinar pedangnya segera tertekan dan terdesak oleh ilmu pedang yang aneh dan tidak pernah dilihatnya itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi permainan pedang lawan, namun percuma saja karena gulungan sinar pedang di tangan wanita sakti itu ternyata telah jauh lebihl kuat. Dia terdesak mundur terus.

Sementara itu, belasan orang anggauta regu yang dikepalai Min-san Mo-ko, tentu saja bukan lawan Ciang Su Kiat dan sebentar saja, pendekar lengan buntung ini dengan mudah merobohkan mereka semua, menendangi mereka sehingga tubuh mereka terlempar ke bawah tebing. Setelah membasmi belasan orang itu, Su Kiat menoleh ke arah isterinya dan dia tidak merasa khawatir karena isterinya kelihatan mendesak Min-san Mo-ko. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, muncul seorang laki-laki berusia empat puluh lebih bertubuh sedang dengan wajah anggun berwibawa, mengenakan jubah seperti pendeta, dengan rambut riap-riapan dan sebatang pedang di tangan, telah berdiri dekat sumbu yang tadi dijaga oleh Min-san Mo-ko dan anak buahnya. Ciang Su Kiat memandang kaget, dan lebih kaget lagi ketika melihat laki-laki itu mengeluarkan sebuah benda dari saku jubahnya dan tiba-tiba benda itu bernyala dan dia membuat gerakan untuk membakar sumbu bahan peledak itu!

"Tahan….!" Su Kiat membentak dan tubuhnya ringan sekali, bagaikan seekor burung rajawali terbang menyambar, tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu dan.lengan kanannya yang utuh sudah menusuk dengan jari tangan terbuka ke arah dada. Serangannya ini cepat bukan main, juga mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara mencicit, sehingga laki-laki itu terkejut sekali. Cepat dia menyimpan kembali alat pembakar yang sudah padam lagi itu, dan sambil meloncat ke samping untuk mengelak, pedangnya menyambar untuk membacok leher lawan yang menyerangnya sambil meluncur seperti terbang.

"Wuuuuuttt…… takkk…..!" Kulana, laki-laki itu, terkejut bukan main karena lawannya yang hanya berlengan sebelah itu telah mampu menangkis pedangnya dengan ujung baju lengan kiri yang buntung. Ujung lengan baju itu begitu bertemu pedang, menjadi keras bagaikan tongkat baja! Hal ini menunjukkan bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang amat hebat! Sungguh seorang lawan yang tangguh, pikirnya, apalagi ketika tadi dia melihat betapa Min-san Mo-ko juga terdesak hebat oleh seorang wanita cantik. Akan tetapi, Kulana yang naik ke situ untuk meledakkan tebing tanpa mempedulikan bahwa pasukan pemberontak masih berada di atas jalan terusan dan akan menjadi korban pula kalau tebing runtuh, kini tidak merasa gentar dan masih mengandalkan ilmu hitamnya.

Ciang Su Kiat yang maklum betapa berbahayanya kalau sampai sumbu itu dinyalakan, sudah cepat meloncat ke dekat sumbu dan melindunginya, gepasang matanya dengan tajam menatap ke arah laki-laki berambut riap-riapan yang berpakaian jubah pendeta itu, menduga-duga siapa adanya orang aneh itu. Dia sama sekali tidak menduga bahwa orang ini adalah Kulana, pemimpin yang sesungguhnya dari pemberontakan

Kulana yang maklum bahwa Si Lengan Buntung itu lihai sekali, maka cepat dia mengelebatkan pedangnya dan berkemak-kemik membaca matram lalu berkata dengan suara lantang dan dengan logat suara asing. "Hemm, orang berlengan satu, betapa pun lihainya engkau, mana mungkin dapat melawan aku? Lihat, engkau hanya seorang diri, sedangkan aku berlima!"

Su Kiat membelalakkan matanya ketika melihat bahwa orang itu benar-benar kini telah berubah menjadi lima orang! Lima orang kembar yang menyeringai dan memandang kepadanya dengan mata mencorong beringas. Dia menganggap hal ini mustahil dan tahu bahwa ini tentulah permainan sihir, maka dia pun mengerahkan sin-kangnya dan membentak nyaring untuk membuyarkan kekuatan sihir lawan.

Namun, kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana jauh berbeda dibandingkan dengan ilmu sihir yang dikuasai Min-san Mo-ko. Dengan pengerahan tenaga batin, kekuatan sihir Min-san Mo-ko dapat dibuyarkan oleh Hui Lian, akan tetapi sihir dari Kulana adalah ilmu hitam yang jahat mengandung kekuatan roh jahat atau setan yang menyeramkan. Sedangkan Ciang Su Kiat, betapa pun lihai ilmu silatnya, tidak pernah mempelajari ilmu sihir, maka pengerahan tenaga sin-kangnya tidak mampu membuyarkan ilmu sihir Kulana dan matanya masih tetap melihat betapa lima orang lawan yang kembar itu kini mulai mengepungnya!

"Iblis busuk, biar engkau menjadi seratus, aku tidak akan gentar menghadapimu!" Su Kiat membentak dan laki-laki tinggi besar ini berdiri dengan gagahnya di atas tempat di mana terdapat sumbu yang dijaganya itu. Bagaimanapun juga, dia akan melindungi sumbu itu agar jangan sampai dibakar musuh. Ketika melihat lima orang kembar itu mulai menggerakkan pedang menyerangnya dengan kepungan, dia pun memutar lengan kirinya yang buntung dan ujung lengan baju itu membentuk gulungan sinar yang melindungi tubuhnya! Tangan kanannya juga melakukan tamparan dan pukulan ke kanan kiri, dibantu oleh kedua kakinya.

Bagaimanapun juga, tentu saja dia menjadi repot dikeroyok lima orang kembar itu, yang kesemuanya amat lihai. Setelah mempertahankan diri selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba ujung lengan baju kirinya itu terbabat pedang sehingga putus! Hal ini terjadi karena pada detik itu, untuk menghimpun hawa segar, dia melepaskan pengerahan sin-kangnya. Sedetik dua detik saja, namun cukup bagi Kulana yang pandai untuk mempergunakan kesempatan itu membabat putus ujung lengan baju yang ampuh itu. Setelah ujung lengan baju yang dipergunakan sebagai senjata dan perisai itu putus, tentu saja Su Kiat menjadi semakin repot. Lawannya amat lihai, dengan ilmu pedang aneh, dengan tenaga sakti yang amat kuat, ditambah lawannya berubah menjadi lima orang. Tentu saja Su Kiat terdesak dan dengan mati-matian dia bertahan untuk menjaga agar sumbu itu tidak sampai dinyalakan lawan.

Pada saat itu, nampak sebatang pedang yang merah karena berlepotan darah, meluncur dan menangkis pedang di tangan Kulana.

"Tringgg….!!" Bunga api berpijar dan kini Su Kiat terbelalak. Yang muncul adalah orang yang serupa benar dengan penyerangnya, dan anehnya, lawan yang tadinya berubah menjadi lima orang itu kini telah menjadi seorang saja lagi. Dan kini, dua orang yang serupa benar wajah dan bentuk badannya, hanya yang berbeda warna jubah mereka. Orang pertama berjubah putih dan orang ke dua berjubah kuning. Orang pertama memegang pedang putih dan orang ke dua memegang pedang yang berlepotan darah merah! Orang ke dua itu bukan lain adalah Mulana! Karena pedangnya berlepotan darah anjing, ditambah lagi dengan ilmunya memunahkan sihir, maka kekuatan sihir Kulana tadi buyar dan dia pun nampak hanya satu orang saja, bukan lima seperti tadi. Dan marahlah Kulana ketika dia melihat saudara kembarnya.

"Ah, bangsat keparat! Kiranya engkau Mulana? Engkau berani mengkhianati saudara sendiri dan membantu musuh?"

"Kulana, engkaulah yang menyeleweng! Engkau menganggap aku musuh, dan engkau hendak menimbulkan pemberontakan, bahkan kini hendak meledakkan tebing, tidak peduli siapa yang berada di bawah sana. Engkau jahat, Kulana, aihhh, engkau jahat dan terpaksa aku harus menantangmu!"

"Huh, pantas! Pantas saja tadi semua ilmuku buyar, dan di kedua puncak tebing ini datang musuh menyerang. Tentu karena ulahmu, Mulana!"

."Memang benar, Kulana. Sekarang, lebih baik engkau mengakhiri petualanganmu yang jahat ini dan marilah kita berdua pergi, kembali ke selatan. Marilah, Kulana, aku saudara kembarmu, aku mengingatkanmu, sebelum terlambat…”

"Engkaulah yang terlambat, Mulana, karena sekarang aku sudah pasti akan membunuhmu dengan pedangku ini!” setelah berkata demikian, Kulana menerjang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat yang amat kuat dan cepat. Mulana melompat ke samping sambil menangkis dengan pedangnya yang berlepotan darah anjing.

“Tringgg …. trang-cringgg….!” Kembali nampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata dan kedua orang ini sudah saling terjang dengan hebatnya. Melihat ini, Ciang Su Kiat tertegun. Munculnya Mulana tadi membuat dia bingung. Dia tidak mengenal kedua orang itu, akan tetapi dari percakapan mereka, walaupun dilakukan dalam bahasa Birma yang hanya dimengerti sedikit, dia dapat menduga bahwa mereka adalah dua orang saudara kembar yang kini saling bermusuhan. Dan melihat betapa orang pertama yang kini diketahuinya bernama Kulana membantu pemberontak, tentulah orang kedua yang bernama Mulana itu membantu pasukan pemerintah. Akan tetapi, dia masih merasa ragu untuk turun tangan membantu. Apalagi melihat betapa mereka adalah dua orang saudara kembar yang demikian mirip, sukar membedakan antara mereka kecuali warna jubah mereka, Su Kiat merasa tidak enak dan tidak tega untuk. mencampuri urusan mereka. Maka, dia pun hanya mendekati sumbu dan menjaga agar benda itu tidak diganggu orang.

Sementara itu perkelahian antaraHui Lian dan Min-san Mo-ko kini mendekati akhirnya. Min-san Mo-ko mempertahankan diri mati-matian, namun makin lama dia semakin terdesak oleh wanita sakti itu sehingga dia hanya mampu menangkis dan mengelak saja, tanpa mampu membalas serangan Hui Lian yang semakin mendesak keras.

"Haiiii! Rebah kamuuu…..!!" Tiba-tiba Min-san Mo-ko berteriak lantang dan mengisi suara itu dengan seluruh kekuatan sihirnya. Hal ini merupakan serangan yang mendadak bagi Hui Lian. Ia terkejut dan tergetar, kedua kakinya lemas dan hampir ia terpelanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Min-san Mo-ko untuk menerjang dengan pedangnya. Dalam keadaan terhuyung itu, Hui Lian menangkis, akan tetapi hal ini membuat ia bahkan terguling jatuh. Dengan girang Min-san Mo-ko menubruk, akan tetapi pada saat itu, sebuah batu sebesar telur ayam meluncur dan mengenai hidungnya.

"Dukkk! Aduuhhhh….!" Min-san Mo-ko memegangi hidungnya dengan tangan kiri dan tangan itu berlepotan darah. Hidungnya pecah dan darah bercucuran deras. Saat itu, Hui Lian yang tadinya terjatuh, sudah meloncat dengan meminjam tanah sebagai penahan loncatan kaki dan sebelum Min-san Mo-ko sempat mengelak atau menangkis karena dia sibuk memeriksa hidungnya, pedang Kiok-hwa-kiam telah menghilang ke dalam dadanya dari bawah, menembus jantung! Dia terbelalak heran, seolah tidak percaya bahwa dia akan menjadi korban penusukan itu. Hui Lian menarik kembali pedangnya sambil menendang agar tidak sampai terkena percikan darah. Tubuh Min-san Mo-ko yang sudah tidak berdaya itu terlempar dan kebetulan jatuh menggelinding bagian yang menurun sehingga tubuh i tu terus menggelinding turun dan terjatuh dari tepi tebing yang curam!

Hui Lian segera melompat ke dekat suaminya, menyentuh lengan suaminya, "Terima kasih…." bisiknya. Ia tahu bahwa tadi, dalam keadaan terdesak karena lawan menggunakan sihir, walaupun belum tentu ia akan celaka, suaminya telah membantunya dengan lontaran batu yang membikin remuk hidung Min-san Mo-ko.

"Sshhh….." Su Kiat berbisik dan menunjuk ke depan. Hui Lian memandang dan ia pun terheran-heran melihat kedua orang kembar itu saling serang dengan hebatnya. Ia segera tahu bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu memiliki ilmu pedang aneh dan kepandaian yang tinggi.

“Siapa… siapa mereka….?” Bisiknya sambil memegang tangan suaminya.

"Saudara kembar, yang jubah putih membantu pemberontak, yang jubah kuning membantu pemerintah." kata Su Kiat.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan benturan pedang yang hebat sekali, membuat Kulana dan Mulana masing-masing terdorong mundur. Kulana mengangkat pedangnya, berkemak-kemik dan kembali memekik. Nampak asap hitam bergulung-gulung di atas tebing itu. Segera segala sesuatu menjadi gelap. Suami isteri pendekar itu terkejut sekali. Mereka mengerahkan sin-kang, namun tetap saja tempat itu menjadi gelap.

"Kita jaga sumbu ini, kau di kanan aku di kiri…." bisik Su Kiat. "Siapkan pedangmu dan setiap kali mendengar gerakan mendekatimu, serang!" Suami isteri itu lalu berdiri dengan sikap waspada di kanan kiri sumbu yang harus mereka jaga.

"Heii, kedua orang gagah di sana...!" tiba-tiba terdengar suara Mulana dari asap hitam, "Hati-hati berjaga di situ, jangan perkenankan iblis itu mendekati sumbu itu. Aku... aku... tak berdaya, darah di pedangku telah bersih...."

Ternyata dalam perkelahian tadi, berkali-kali pedang di tangan Mulana beradu dengan pedang Kulana sehingga darah anjing yang berlepotan di situ memercik lepas dan kini pedang itu telah bersih. Tanpa adanya darah anjing, kini Mulana tidak berdaya untuk menolak dan membuyarkan pengaruh ilmu hitam yang dipergunakan Kulana. Menyusul suara Mulana ini, terdengar suara ketawa yang menyeramkan, suara ketawa Kulana dan suara itu menunjukkan bahwa orangnya yang tertawa mempunyai gejala kelainan jiwa alias gila!

Tiba-tiba terdengar gerakan pedang dan Hui Lian cepat menangkis dengan pedangnya ke arah suara itu.

"Cringgg….!!" Bunga api berpijar ketika pedangnya berhasil menangkis pedang yang tadi dipergunakan Kulana untuk menyerangnya di dalam kegelapan yang tidak wajar itu. Beberapa kali Kulana mencoba untuk menyerang lagi, namun selalu dapat ditangkis oleh Hui Lian, bahkan ada sambaran tangan yang amat ampuh dari Su Kiat menyerangnya. Biarpun suami isteri itu tidak dapat melihat lawan dalam kegelapan itu, namun pendengaran mereka amat peka sehingga suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya itu seolah-olah dapat melihatnya. Menghadapi suami isteri yang kini bergabung menjaga sumbu itu, Kulana menjadi sibuk dan tidak berdaya. Dia tahu bahwa biarpun dalam kegelapan, sukar untuk menghalau suami isteri itu meninggalkan sumbu bahan peledak, apalagi mengalahkan mereka! Dia menjadi marah dan penasaran sekali.

"Jahanam Mulana, pengkhianat saudara sendiri! Engkaulah biang keladinya sehingga usahaku gagal!" bentaknya dan disambut oleh Mulana dengan suara ketawa cerah.

"Ha-ha-ha, Kulana! Ingatlah bahwa semua usaha jahat selalu akan menimpa diri sendiri, seperti mengalirnya air ke tempat rendah.”

"Jahanam, mampuslah kau lebih dulu sebelum aku meledakkan tebing ini!" Kulana sudah menyerang dengan gemas sekali.

“Trang-trang-trang….!" Tiga kali Mulana berhasil menangkis serangan pedang saudara kembarnya yang bersembunyi di dalam kegelapan itu. Mulana juga memiliki ilmu kepandaian tinggi maka seperti kedua orang suami isteri itu, maka dia pun memiliki panca indera yang amat peka. Biarpun dia tidak dapat melihat dengan jelas gerakan Kulana yang bersembunyi di dalam kegelapan asap hitam, namun Mulana dapat menangkis serangan bertubi yang dilancarkan saudara kandungnya. Betapapun juga, karena kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana semakin kuat, bukan hanya menimbulkan kegelapan akan tetapi juga mendatangkan perasaan ngeri dan seram, apalagi ketika terdengar suara aneh-aneh, bukan suara manusia melainkan suara yang lebih mirip suara setan dan iblis dari neraka. Mulana mulai menjadi sibuk dan kacau permainan pedangnya yang dipergunakan melindungi tubuhnya. Dia terdesak hebat dan di antara suara ketawa yang menyeramkan dari mulut Kulana, Mulana kini terhimpit dan hanya dapat menangkis dan mengelak dengan susah payah.

"Desss...!" Sebuah tendangan yang mengikuti bacokan pedang mengenai lutut Mulana, membuat dia terpelanting.

"Ha-ha-ha, Mulana, bersiaplah untuk mampus….!" Kulana tertawa bergelak dan siap untuk menubruk saudara kembarnya yang sudah jatuh terlentang dan takkan mampu menyelamatkan diri lagi itu. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti karena mendadak saja semua asap hitam lenyap dan cuaca menjadi terang lagi, cuaca dari matahari pagi yang mulai muncul di ufuk timur. Kulana marah dan mengira bahwa Mulana yang telah memunahkan kekuatan sihirnya, maka dia menubruk ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah dada Mulana yang masih rebah terlentang.

“Trangggg….!!” Pedang itu tertangkis dan Kulana meloncat ke belakang dengan muka berubah pucat karena tangkisan pada pedangnya tadi membuat dia merasa telapak tangannya seperti akan pecah-pecah kulitnya. Panas dan perih sekali! Dia mengangkat muka memandang dan ternyata yang berdiri di depannya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya cerah, matanya mencorong dan pemuda tampan yang berpakaian biru muda dengan garis pinggir kuning ini tersenyum-senyum dengan tenang. Dia tidak mengenal Hay Hay, karena ketika pemuda ini diterima oleh Lam-hai Giam-lo, dia tidak berada di sana dan sebelum Kulana datang ke sarang pemberontak untuk mengatur gerakan pasukan pemberontak, Hay Hay sudah pergi meninggalkan sarang itu karena dia penasaran dituduh menggauli Pek Eng.

Seperti kita ketahui, Hay Hay yang tadinya membayangi Han Lojin yang membuat peta daerah pemberontak. Setelah melihat Han Lojin menghadap Menteri Cang yang memimpin pasukan pemerintah, Hay Hay tidak lagi mencurigai Han Lojin dan dapat menduga bahwa tentu Han Lojin kini menjadi mata-mata pemerintah yang sengaja datang ke sarang pemberontak untuk melakukan penyelidikan. Untuk masuk ke sarang pemberontak mencari Ki Liong, sungguh merupakan perbuatan berbahaya dan nekat. Maka, dia lalu membayangi pasukan pemerintah itu dan hendak membantunya di samping niatnya untuk menemui Ki Liong dan menyelidiki siapa para pengrusak Pek Eng dan Ling Ling itu.

Melihat jalannya pertempuran, Hay Hay tidak merasa khawatir karena yakin bahwa pasukan pemerintah pasti akan menang. Maka, dia lalu membantu sana-sini dan akhirnya dia naik ke tebing karena melihat ada perkelahian di sana. Dia melihat betapa dua orang laki-laki yang berpakaian pendeta saling serang, akan tetapi yang seorang mempergunakan ilmu hitam menciptakan asap hitam bergulung-gulung. Dia melihat pula Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian berdiri dengan tegang saling membelakangi, agaknya juga terpengaruh oleh ilmu hitam itu. Maka, Hay Hay lalu mengerahkan ilmu sihirnya dan dalam sekejap mata saja dia mampu mengusir semua asap hitam dan memunahkan kekuatan sihir Kulana. Ketika dia melihat betapa orang yang melakukan ilmu hitam itu hampir membunuh pendeta lain yang mempunyai wajah dan tubuh yang mirip sekali, Hay Hay cepat meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk menangkis, sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Keparat! Siapa engkau?" Kulana membentak, dan dari sinar mata mencorong pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda inilah kiranya yang tadi telah memunahkan kekuatan sihirnya.

"Namaku Hay Hay, dan engkau ini siapakah? Kenapa main-main dengan sulap dan seperti menghibur anak-anak saja?"

"Jahanam muda! Engkau belum mengenal Kulana, ya? Rasakan sekarang pembalasanku!" .

"Amboi...! Inikah yang bernama Kulana, yang dijagokan oleh Lam-hai Giam-lo? Hemm, ingin aku melihat pembalasan apa yang kaumaksudkan, karena aku tidak berhutang apa pun padamu!" Hay Hay mengejek.

Kulana sudah berkemak-kemik membaca mantram dan pedangnya diacungkan ke atas. Tiba-tiba saja nampak api berkobar keluar dari pedang itu dan kobaran api itu bagaikan hidup saja, melepaskan diri dari ujung pedang dan melayang ke arah Hay Hay, seolah-olah mengancam dan hendak membakar pemuda itu.

"Hay Hay, awas….!" Hui Lian berseru khawatir, bahkan hendak meloncat ke depan, akan tetapi lengannya dipegang suaminya.

"Sssttt, tenanglah, kurasa dia mampu mengatasi ilmu hitam itu!" kata suaminya yang sudah menduga bahwa tentu pemuda aneh itu yang tadi telah membuyarkan ilmu hitam yang mendatangkan asap hitam. Mendengar ucapan suaminya, Hui Lian teringat akan kehebatan Hay Hay, maka ia pun diam saja, apalagi mengingat bahwa ia dan suaminya harus menjaga sumbu bahan peledak itu mati-matian sehingga ia tidak boleh meninggalkan tempat itu. Dengan jantung berdebar tegang ia memandang ke arah Hay Hay yang menghadapi gumpalan api berkobar. Juga Mulana memandang dengan mata terbelalak. Dia telah bangkit berdiri dan kini menjadi penonton pertandingan aneh ini, bersama suami isteri pendekar itu.

Menghadapi serangan api berkobar itu, Hay Hay bersikap tenang. Dia maklum bahwa lawannya lihai sekali, memiliki kekuatan sihir yang tak boleh dipandang ringan, apalagi disertai ilmu hitam yang menjadi ilmu setan. Namun, dia adalah murid Pek Mau San-jin yang merupakan ahli sihir yang jarang ditemui tandingnya, bahkan kemudian dia digembleng oleh Song Lojin sehingga ilmu silat dan ilmu sihirnya menjadi semakin kuat. Dari Pek Mau San-jin, dia telah banyak mempelajari tentang ilmu hitam, bukan belajar cara penggunaannya, melainkan cara penanggulangannya, cara melumpuhkan dan mengatasinya. Kini, melihat datangnya api berkobar, bukan sekedar khayal seperti juga nampak oleh tiga orang berilmu tinggi yang menjadi saksi, dia segera mengacungkan sulingnya.

"Kulana, api akan kehilangan kekuatannya jika bertemu dengan air, bukan? Nah, mari kita lihat apimu padam oleh airku!" Dan sungguh luar biasa, dari ujung suling itu kini memancur air seolah-olah suling itu menjadi pipa yang dialiri air. Pancaran air itu jatuh menimpa kobaran api dan terdengar suara "cesssss….." disusul padamnya api yang tersiram air. Begitu api padam, air yang memancar keluar dari suling pun terhenti.

Wajah Kulana menjadi merah padam. "Keparat, engkau suka air, ya? Nah, terimalah air ini secukupnya!" Dan ketika dia mengacungkan pedangnya ke atas, dari atas kini turun air yang banyak sekali, seperti dituangkan dari atas, seolah-olah di atas terdapat sungai yang kini membanjir ke bawah!

Hay Hay kembali mengacungkan sulingnya ke atas, wajahnya agak pucat dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Betapa pun banyaknya, air dapat dibendung dan diarahkan alirannya. Kulana!" Terdengar suara Hay Hay tenang, dan tiba-tiba saja dari ujung sulingnya itu tercipta sebuah bendungan yang menerima air yang tumpah dari atas, dan karena bendungan itu miring ke depan, maka air yang ditampungnya mengalir turun dan menimpa ke arah Kulana sendiri!

Terpaksa Kulana menarik kembali ilmu sihirnya dan begitu air itu lenyap, bendungan itu pun lenyap. Kini Kulana menjadi marah bukan main, sepasang matanya jalang dan merah, mulutnya mengeluarkan buih, cuping hidungnya kembang kempis dan lubang hidungnya mengeluarkan uap putih, Kegilaan nampak pada wajahnya yang tertarik-tarik aneh itu.

"Hay Hay, hari ini aku Kulana akan mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!" Berkata demikian, Kulana melontarkan pedangnya ke atas dan... pedang itu, seperti bernyawa, tiba-tiba meluncur turun ke arah Hay Hay, mengeluarkan suara mencicit mengerikan, seolah-olah dibawa oleh tangan iblis yang tidak nampak untuk menyerang pemuda itu.

Hay Hay mengenal ilmu ini, ilmu sihir pula, akan tetapi dia tahu bahwa pedang itu bergerak menurut kehendak hati pemiliknya, seolah-olah Kulana sendiri yang memainkannya dengan ilmu pedangnya. Dia pun segera mengerahkan tenaga batinnya dan melontarkan sulingnya ke atas.

"Sulingku akan menyambut pedangmu seperti aku akan menyambut semua ilmumu, Kulana!" katanya dengan tenang namun penuh wibawa. Suling itu meluncur ke atas, lalu membalik, seperti seekor naga memandang ke arah lawan, kemudian meluncur ke depan menyambut pedang itu. Dan terjadilah "perkelahian" yang amat menarik, aneh, hebat dan seru antara pedang dan suling. Pedang masih mengeluarkan suara mencicit, suling mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan setiap kali pedang dan suling bertemu, terdengar suara nyaring dibarengi muncratnya bunga api! Tentu saja Hui Lian dan Su Kiat yang menjadi penonton, memandang dengan takjub dan kagum, sedangkan Mulana juga memandang dengan kagum. Alisnya berkerut karena dia tahu bahwa kini saudara kembarnya bertemu dengan seorang lawan yang amat tangguh, baik dalam ilmu silat maupun ilmu sihir.

Hay Hay juga tidak berani main-main. Pemuda ini harus mengaku di dalam hatinya bahwa selama dia berkelana, belum pernah dia bertemu tanding yang begini tangguh, baik ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Selama ini, baru dua kali dia bertemu tanding yang kiranya setingkat dengannya, yaitu Sim Ki Liong dan Han Lojin. Biarpun dia sendiri belum pernah bentrok secara sungguh-sungguh dengan Ki Liong, namun dia pernah melihat Sim Ki Liong melawan jagoan-jagoan Bu-tong-pai itu dan dia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai dan merupakan lawan berat. Demikian pula dengan Han Lojin. Walaupun dia hanya baru melakukan pibu (adu ilmu silat) dengan Han Lojin dan bukan berkelahi sungguh-sungguh, namun dia tahu bahwa orang tua itu pun merupakan lawan yang tangguh sekali. Kini, dia bertemu Kulana yang bukan hanya hebat ilmu silatnya, namun juga berbahaya sekali ilmu sihirnya.

Pertandingan antara pedang dan suling itu berlangsung semakin seru dan kini nampaklah betapa wajah Kulana penuh dengan keringat, juga dari kepalanya yang tak tertutup dan rambutnya terurai itu keluar uap putih yang tebal, dia berdiri dengan kedua tangan diangkat ke atas, kedua lengannya itu kini gemetar, kedua kakinya menggigil. Sebaliknya, Hay Hay berdiri dengan tenang, kedua tangannya juga diangkat ke atas dan mulutnya tersenyum, namun sepasang matanya mencorong memandang ke arah pertempuran antara pedang dan sulingnya itu. Ternyata di dalam adu ilmu senjata ini, Hay Hay lebih unggul. Pemuda ini pernah digembleng dengan tekun oleh tiga orang sakti, tiga orang di antara Delapan Dewa, maka tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang telah dimatangkan pula oleh gemblengan Song Lojin.

Kulana yang keras kepala itu merasa penasaran, tidak mau percaya bahwa dia akan dikalahkan oleh seorang pemuda yang tidak ternama! Dia tidak menerima keadaan, tidak menyadari akan kelemahannya, dan dengan nekat dia melawan terus, bahkan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi, kini jelas nampak oleh tiga orang penonton itu betapa pedang makin lemah gerakannya, sedangkan suling itu makin mengganas. Suara suling makin nyaring mengaung-ngaung, sedangkan suara pedang yang mencicit garang tadi kini berubah mengecil, seperti bunyi cicit tikus yang ketakutan. Suling mendesak terus dan akhirnya, dengan hantaman yang amat kuat, pedang itu dibuat terpental oleh suling dan pedang itu meluncur turun ke arah Kulana!

"Kulana, awas….!" Mulana memperingatkan dan meloncat ke depan. Namun terlambat. Kulana yang masih juga keras kepala itu masih berusaha untuk mengerahkan seluruh semangat dan tenaganya untuk mengirim kembali pedangnya yang seperti melarikan diri itu. Betapapun juga, dia tidak kuat dan pedangnya tetap meluncur turun dan tanpa dapat dielakkannya lagi, pedangnya itu menancap di dadanya sendiri! Kulana terkejut, mengeluh seperti orang tidak percaya. Dengan kedua tangannya, dia mencabut pedang yang menancap lebih setengahnya ke dalam dadanya itu dan dia menunduk, terbelalak memandang darahnya yang mengucur dari dada, membasahi jubahnya yang putih, membuat jubah itu menjadi merah di bagian dada, kemudian dia pun roboh terjengkang.

"Kulana….!" Mulana menubruk saudara kembarnya, berlutut dan berusaha merangkulnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah saudara kembar dan ada hubungan dan ikatan batin yang amat dekat antara mereka. Melihat kini Kulana terkapar dengan mandi darah, Mulana merasa seolah-olah dadanya sendiri yang terluka.

"Mulana... kau... kau... biang keladinya….!" Tiba-tiba, dengan sisa tenaganya yang masih ada, Kulana menusukkan pedangnya itu ke dada saudara kembar yang merangkulnya. Pedang menancap di dada Mulana sampai setengahnya. Mulana terbelalak, namun dia tidak melepaskan rangkulannya, bahkan dia tersenyum, mengangguk-angguk.

"Baiklah, kutemani engkau... pulang... pulang..., Kulana…" Dan dia pun tergelimpang, jatuh di samping saudaranya, kedua lengannya masih merangkul Kulana yang juga menghembuskan napas di saat itu.

Hay Hay berdiri dengan muka pucat. Dia menghapus keringatnya dan memandang dengan mata sayu. Hatinya merasa sedih dan terharu. Mengapa manusia harus saling bunuh? Kalau di dunia ini ada kebaikan, mengapa manusia memilih kejahatan untuk mengisi hidupnya? Kalau ada kasih sayang, mengapa manusia saling membenci?

"Hay Hay…..!" Panggilan Hui Lian ini menyadarkannya. Wanita yang pernah hampir menaklukkan hatinya itu telah berdiri di depannya dan memegang kedua pundaknya, mengguncangnya karena Hui Lian tadi melihat Hay Hay berdiri dengan muka pucat seperti patung.

“Enci… Enci Hui Lian….” Dia berkata dan cepat melangkah mundur, melepaskan diri dengan lembut dari rangkulan Hui Lian ketika dia melihat pendekar lengan kiri buntung, suami wanita itu berdiri di situ.

"Lihat, di bawah masih terjadi pertempuran, sebaiknya kita membantu di sana." kata Su Kiat yang dapat merasakan kecanggungan yang diperlihatkan Hay Hay. Diam-diam Su Kiat merasa kagum sekali kepada Hay Hay. Pemuda itu memang hebat, dan memang patut seorang pemuda seperti itu mendapatkan kasih sayang Hui Lian. Seorang pemuda yang tampan, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapnya sederhana dan gembira, namun harus diakuinya bahwa Hay Hay memiliki watak yang agak mata keranjang terhadap wanita.

"Tapi, kita harus menjaga sumbu itu…" kata Hui Lian yang sudah dapat memulihkan ketenangannya setelah tadi diliputi keharuan dan kebanggaan terhadap Hay Hay.

"Kita dapat menarik sumbu ini sampai putus di bawah sana, sehingga tidak akan dapat disulut orang." kata Su Kiat dan dia lalu memegang ujung sumbu itu dan menariknya. Sumbu itu panjang menuju ke bawah, ke tempat bahan peledak ditanam. Sekali tarik sambil mengerahkan tenaga, sumbu itu pun putus di sekitar timbunan bahan peledak.

"Nah, sekarang kita boleh meninggalkan tempat ini dengan aman." kata Su Kiat dan dia pun berlari menuruni bukit itu, diikuti oleh Hui Lian dan Hay Hay. Pertempuran di bawah memang masih terjadi dengan serunya, dan Hay Hay ingin segera mencari Ki Liong untuk diminta pertanggunganjawabnya tentang diri Pek Eng.

Sementara itu, di bagian lain, di bawah dekat jalan terusan di mana terjadi pula pertempuran, dan kita kembali melihat perkelahian yang amat seru antara Pek Han Siong dan Bi Lian yang menghadapi dua pasang suami isteri iblis yang lihai. Han Siong dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo, yaitu suami isteri Siang-koan Leng dan Ma Kim Li yang keduanya merupakan tokoh sesat yang amat lihai dan kejam. Namun, sekali ini, mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai. Han Siong menghadapi dua orang lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong saja karena dia tadi telah menyerahkan pedang Kwan-im-kiam kepada Bi Lian. Biarpun bertangan kosong, dia sama sekali tidak terdesak, bahkan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sin-kang hebat sekali itu membuat Lam-hai Siang-mo kewalahan dan beberapa kali nampak mereka itu terhuyung seperti dilanda angin badai yang kuat.

Keadaan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tiong Ci Ki, juga sama saja. Mereka berdua menggunakan pedang menghadapi Bi Lian yang telah menerima pedang dari Han Siong. Ketika mereka terjun ke dalam pertempuran dan dihadapi dua pasang suami isteri. Han Siong merasa khawatir akan keselamatan Bi Lian, maka dia lalu mengambil pedang Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya, melemparkannya kepada Bi Lian sambil berkata. "Sumoi, kaupergunakan pedang ini!"

Bi Lian menyambut pedang itu dan ketika mencabutnya, ia merasa gembira sekali melihat bahwa senjata itu merupakan sebuah pedang pusaka yang amat indah, ringan dan juga ampuh, mengeluarkan sinar berkilauan. Dengan pedang Kwan-im-kiam di tangan, dengan tenang dan tanpa harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga Bi Lian menghadapi pengeroyokan suami isteri itu. Akan tetapi, gadis ini mengalami suatu keanehan ketika ia mainkan pedang itu. Pedang di tangannya itu merupakan senjata yang baik sekali untuk melindungi diri, bahkan setiap kali dipergunakan untuk mempertahankan diri pedang itu seperti mengeluarkan hawa yang amat kuat. Akan tetapi setiap kali dipakai untuk menyerang, pedang itu terasa berat dan lamban gerakannya, seolah-olah pedang itu tidak suka dipakai untuk menyerang manusia!

Bi Lian merupakan murid terkasih dari dua orang datuk sesat, maka tentu saja ia digembleng dengan ilmu yang jahat dan kejam oleh Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Hanya karena di dalam darahnya mengalir darah pendekar maka ia tidak suka, bahkan selalu menentang perbuatan jahat dan kejam.

Ketika melihat betapa dua orang suami lsteri itu tidak berdaya menghadapi gulungan sinar pedang yang diputarnya, Bi Lian lalu mulai melakukan serangan dengan tangan kirinya.

"Tranggg...!" Bi Lian mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis pedang Tong Ci Ki yang menusuk dadanya. Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga Tong Ci Ki mengeluarkan suara jeritan halus, dan pedangnya hampir terlepas dari pegangannya, tubuhnya terhuyung. Ketika terhuyung ini, tangan kirinya bergerak dan sinar halus hitam menyambar ke arah Bi Lian! Gadis ini maklum bahwa lawan menggunakan senjata rahasia. Jarum-jarum beracun memang menjadi keistimewaa Tong Ci Ki sehingga wanita ini mendapat julukan Si Jarum sakti. Akan tetapi, sebagai murid dua orang datuk sesat, tentu saja Bi Lian mengenal baik segala macam serangan gelap dan curang. Tubuhnya sudah melayang ke atas dan dengan kemarahan meluap, tangan kirinya menyambar ke arah kepala Tong Ci Ki. Wanita ini terkejut, mengelak mundur, akan tetapi tangan kiri Bi Lian itu dapat mulur dan mengejar terus. Hal ini tentu saja sama sekali tidak pernah disangka oleh Tong Ci Ki sehingga ia terkejut dan tanpa dapat dihindarkannya lagi, tangan kiri Bi Lian yang kini mengeluarkan uap putih itu telah mengenai pelipisnya.

"Plakk!" Tubuh Tong Ci Ki terpelanting dan wanita itu mengeluarkan jerit kecil, lalu terkulai lemas dan tewas seketika! Melihat isterinya roboh, Kwee Siong marah bukan main. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka, dia menyerang dengan pedangnya, membarengi dengan hantaman tangan kirinya. Serangan ini ganas sekali karena tangan kiri Kwee Siong tidak kalah ampuh dibanding pedang di tangan kanannya. Dia berjuluk Si Tangan Maut karena kehebatan tangan kirinya itu. Namun, sambil membalik, Bi Lian menghadapi serangan dahsyat itu dengan pekik melengking yang amat hebat. Itulah ilmu Ho-kang, gerengan atau pekik melengking yang mengandung tenaga khi-kang hebat, yang dipelajari dari Tung Hek Kwi. Mendengar pekik yang hebat ini, seketika Kwee Siong menjadi seperti lumpuh, kaki kanannya seperti kaku tak dapat digerakkan. Sebelum dia sempat memulihkan keadaannya, karena jantungnya tergetar hebat oleh pekik itu, tangan kiri Bi Lian sudah menampar.

"Takkk…!" Jari-jari tangan mungil dari tangan Bi Lian menyambar ke arah tengkuk dan robohlah Kwee Siong, tak dapat bangkit kembali karena nyawanya sudah menyusul nyawa isterinya.

"Sumoi, kenapa engkau tidak mempergunakan pedang itu? Pedang itu kuterima dari Subo…."

Bi Lian membalik menghadapi suhengnya, dan ia melihat bahwa Han Siong telah pula merobohkan Lam-hai Siang-mo. Tidak sukar bagi Han Siong untuk merobohkan dua orang pengeroyoknya itu karena tingkat kepandaian mereka jauh di bawah tingkatnya. Dia merobohkan Siangkoan Leng dengan cara menyentil pedang di tangan Siangkoan Leng sehingga membalik dan menusuk tenggorokan pemegangnya sendiri, sedangkan Ma Kim Li dirobohkannya dengan totokan maut yang mengenai pangkal leher kiri, Han Siong sempat menyaksikan ketika Bi Lian merobohkan dua orang suami isteri itu maka dia merasa heran dan bertanya mengapa gadis itu tidak mempergunakan pedang untuk merobohkan mereka.

Bi Lian tersenyum, "Sayang kalau pedang ini dikotori dengan darah mereka, Suheng. Nih, kukembalikan pedangmu dan terima kasih." Han Siong menerima kembali pedang itu, pedang yang menjadi tanda ikatan jodoh antara dia dan gadis itu.

"Heii, lihat siapa di sana itu….!" Tiba-tiba Bi Lian menunjuk ke depan. Han Siong menengok dan melihat seorang gadis mengamuk di antara pasukan pemberontak. Seorang gadis yang masih muda sekali, antara tujuh belas sampai delapan belas tahun, tinggi ramping dengan wajah manis. Gerakan gadis itu lincah dan Han Siong melihat bahwa tingkat kepandaian silat gadis itu biasa saja, namun sudah cukup tangguh untuk merobohkan anggauta-anggauta pasukan pemberontak. Gadis yang tadinya bertangan kosong itu dapat merampas sebuah golok dan kini ia mengamuk dengan golok rampasan itu.

"Siapakah ia?" Han Siong bertanya, tidak begitu tertarik, bertanya hanya karena Bi Lian menunjukkan gadis itu kepadanya.

"Ia gadis yang kaucari-cari, Pek Eng adikmu, Suheng."

"Ahhh….!" Mendengar ini, Han Siong segera melompat dan dengan tendangan-tendangannya, dia merobohkan beberapa orang anggauta pemberontak yang mengeroyok Pek Eng, diikuti oleh Bi Lian yang tersenyum melihat ulah suhengnya itu.

"Enci Bi Lian….!" Pek Eng berseru girang ketika melihat Bi Lian dan ia menoleh kepada Han Siong, mengangguk.

"Terima kasih atas bantuan kalian."

"Eng-moi, tahukah engkau siapa dia ini? Dia adalah Kakakmu yang bernama Pek Han Siong!"

Wajah Pek Eng berubah, matanya terbelalak dan ia memandang kepada Han Siong yang sebaliknya juga memandang adiknya dengan mata mengandung keharuan.

" Adik Eng…!"

"Kakak Han Siong..., Kakakku...!" Pek Eng lari maju dan menubruk kakaknya yang merangkulnya dan tiba-tiba Pek Eng menangis tersedu-sedu di atas dada kakaknya yang sudah banyak didengarnya akan tetapi yang selamanya belum pernah ditemuinya itu. Bahkan ketika ia terlahir, kakaknya sudah tidak berada di rumah orang tuanya. Melihat pertemuan yang mengharukan itu, Bi Lian sengaja menjauhkan diri dan melanjutkan amukannya di antara pasukan pemberontak karena pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya.

Sementara itu, diam-diam Han Siong terkejut dan agak kecewa. Kenapa adik kandungnya ini ternyata seorang gadis yang cengeng? Memang pertemuan di antara mereka itu menyentuh perasaan dan mengharukan, akan tetapi bukankah mereka berada di tengah pertempuran dan tadi adiknya ini nampak demikian gagah menghadapi pengeroyokan para pemberontak? Kenapa tiba-tiba menjadi begini cengeng setelah bertemu dengan dia? Akan tetapi, dia pun merasa khawatir ketika memperhatikan adik kandungnya itu. Bukankah menurut keterangan ayah ibunya, Pek Eng merupakan seorang gadis yang cerdik, berani dan tabah ? Dan kini tangisnya begitu menyedihkan, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu perasaan gadis ini, maka dia merangkulnya lebih erat untuk menghiburnya.

“Tenangkanlah hatimu, Adikku. Kenapa engkau menangis begini sedih? Bukankah pertemuan antara kita ini amat menggembirakan? Tahukah engkau betapa aku sudah mencarimu sampai beberapa lamanya? Aku mendengar tentang engkau dari Sumoi Bi Lian. Kenapa engkau seperti orang berduka, Adikku?”

Mendengar kata-kata itu, tangis Pek Eng makin menjadi-jadi! Ia kini sesenggukan dan Han Siong merasa betapa dadanya basah karena air mata adiknya itu menembus bajunya. Ah, tentu ada sesuatu yang menghancurkan hati adiknya, pikir Han Siong khawatir.

"Katakanlah saja kepada Kakakmu ini, Adikku. Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang telah membuatmu begini berduka?"

Mendengar pertanyaan itu, Pek Eng mengangkat mukanya memandang kepada wajah kakaknya penuh harap. "Koko, apakah engkau sayang kepadaku? Apakah engkau kasihan kepadaku?"

Hampir saja Han Siong tertawa mendengar ini. Tiba-tiba dia menggerakkan kaki kirinya dan seorang perajurit pemberontak terlempar jauh. Perajurit itu tadi agaknya hendak mempergunakan kesempatan selagi kakak beradik itu lengah untuk menyerang dengan goloknya.

"Tentu saja aku sayang dan kasihan kepadamu, Adikku."

"Dan engkau mau memaafkan kalau aku membuat kesalahan?"

"Tentu, tentu saja…."

"Koko, aku... aku telah dicemarkan orang….."

Han Siong terkejut sekali, bagaikan disambar halilintar. Dia memegang pundak adiknya dengan kedua tangannya dan mendorongnya untuk dapat melihat wajah adiknya, lebih jelas. "Kau... telah diperkosa orang?"

Pek Eng menggeleng kepala. " Aku... aku menyerahkan diri dengan sukarela, Koko, aku... aku terlalu lemah dan aku... aku cinta padanya. Akan tetapi dia... dia... ahhh…." Gadis itu menangis lagi.

"Dia mengapa? Dia siapa? Katakanlah, Adikku!" kata Han Siong dengan hati tidak enak.

"Dia... dia mengingkarinya, Koko. Dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan dia menyangkal!" Kini Pek Eng tidak menangis lagi, akan tetapi mengepal tinju dengan marah. "Bantulah aku, Koko, untuk menyadarkannya, atau kalau dia tetap menyangkal, untuk membunuhya!"

Han Siong mengerutkan alisnya. "Sungguh aku tidak mengerti, Adikku. Bagaimana mungkin dia mengingkarinya, menyangkal kalau memang benar dia telah melakukannya?"

Dengan singkat Pek Eng lalu menceritakan peristiwa malam itu di dalam pondok taman yang sunyi, betapa pemuda itu telah menggaulinya, akan tetapi kemudian melarikan diri dan menyangkal perbuatan itu.

"Siapa dia?" Han Siong bertanya marah.

“Dia Hay-ko…”

"Hay…..? Maksudmu, Hay Hay yang menjadi penggantiku di keluarga orang tua kita itu?"

"Benar, Koko, dialah orangnya. Temuilah dia, Koko. Hanya ada dua pilihan baginya, mau memperisteriku dengan baik-baik atau dia harus mati di tanganku."

“Di mana dia?"

"Aku tidak tahu, Koko, aku pun sedang mencarinya. Mungkin dia berada pula di dalam medan pertempuran ini."

"Hayo kita cari dia!" kata Han Siong dan mereka pun segera pergi, mencari Hay Hay.

* * *

Bi Lian meninggalkan Han Siong, mulai mencari sendiri musuh-musuhnya, yaitu Lam-hai Giam-lo dan Kulana. Dara ini masih merasa sakit hati terhadap kedua orang. itu atas kematian kedua orang gurunya. Dan tak lama kemudian, ia melihat Lam-hai Giam-lo! Kakek ini sedang mengamuk dan di punggungnya terdapat sebuah gendongan kain. Mudah diduga bahwa kakek ini agaknya sudah siap untuk melarikan diri, dan di dalam gendongannya itu terdapat batangan emas yang diterimanya dari Kulana. Para perajurit kerajaan yang melihat kakek ini segera mengepung, namun mereka ini bagaikan sekawanan nyamuk yang menyambar api saja. Lam-hai Giam-lo amat lihai sehingga setiap orang perajurit yang berani mendekat segera roboh oleh tamparan atau tendangannya. Bahkan beberapa orang pendekar anggauta Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kong-thong-pai roboh pula menjadi korban kelihaian pemimpin pemberontak itu.

Melihat Lam-hai Giam-lo, Bi Lian yang tadinya sudah khawatir kalau-kalau musuh besarnya ini telah melarikan diri, segera menghampiri dengan cepat dan membentak, "Lam-hai Giam-lo, iblis busuk! Bersiaplah untuk menebus nyawa kedua orang guruku!" Setelah mengeluarkan bentakan ini, Bi Lian sudah menerjang maju dan menyerang dengan ganasnya karena gadis ini maklum akan kelihaian lawan maka begitu menyerangnya, ia sudah mengerahkan tenaga sekuatnya. Lam-hai Giam-lo juga mengenal Bi Lian. Dia maklum bahwa sebagai murid paman gurunya, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tentu gadis itu berbahaya sekali, maka dia pun menyambut serangan itu dengan sepenuh tenaganya, menangkis dengan tangan kiri ke arah lengan kanan Bi Lian yang mencengkeram ke arah lambungnya, dan tangan kanannya sudah menampar dari atas mengarah ubun-ubun kepala Bi Lian.

“Ciuuuttt…!" Bi Lian sudah melompat ke samping sehingga hantaman maut itu lewat di samping kepalanya. Bi Lian segera membalas dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke arah dada lawan. Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang ringan jari-jari tangan mungil ini karena tangan mungil itu sudah diisi tenaga .sin-kang yang membuat tangan itu dapat tajam seperti golok sehingga kalau mengenai sasaran, dapat menembus kekebalan, merobek kulit daging dan mematahkan tulang.

"Dukkk!" Lam-hai Giam-lo menangkis dari samping dan ketika kedua lengan bertemu, tubuh Bi Lian terdorong mundur sedangkan tubuh Lam-hai Giam-lo hanya tergetar saja. Hal ini membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga sin-kang, pemimpin pemberontak itu masih lebih kuat dibandingkan adik misan seperguruannya. Terjadilah serang-menyerang yang sengit antara kedua orang ini sedangkan para pendekar lain yang merasa tingkat kepandaian mereka masih belum mampu menandingi Lam-hai Glam-lo dan maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya akan mengantar nyawa, segera menonton dari jarak jauh. Perkelahian antara dua orang itu makin lama semakin seru dan akhirnya Bi Lian mulai terdesak juga. Bi

Lian maklum akan ketangguhan lawan, maka ia mulai melirik ke sana-sini menanti kemunculan Pek Han Siong untuk mengharapkan bantuan pemuda itu. Akan tetapi yang muncul bukan Han Siong, melainkan dua orang yang amat ditakuti Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian!

"Lam-hai Giam-lo, bersiaplah untuk mampus!" terdengar Hui Lian membentak nyaring dan begitu ia menyerang, nampak sinar terang menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo.

"Singgg…!" Pedang itu dapat dielakkan oleh Lam-hai Giam-lo yang membuang diri ke belakang.

"Wuuuttt….!" Angin dingin menyambar dari arah lain dan Lam-hai Giam-lo kembali harus melempar diri ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung lengan baju kiri dari Su Kiat yang tidak kalah berbahayanya dibandingkan pedang Kiok-hwa-kiam di tangan isterinya itu.

Ketika Lam-hai Giam-lo mengangkat muka memandang dan mengenal suami isteri yang amat ditakuti itu, wajahnya berubah pucat. Sudah beberapa kali dia harus menyelamatkan diri dari suami lsteri ini, bahkan dia sampai melarikan diri dan menyamar sebagai seorang hwe-sio di kuil Siauw-lim-pai saking takutnya dikejar-kejar suami isteri ini. Tak disangkanya bahwa perbuatan yang iseng dan jahat di waktu yang lalu mengakibatkan munculnya dua orang musuh yang luar biasa tangguhnya ini. Kini, dua orang musuh besar ini muncul kembali sebagai pembantu pasukan pemerintah, pada saat anak buahnya sudah mulai tersudut dan terhimpit.

Dia mulai mencari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi ketika membalik, di sana sudah ada Bi Lian yang siap menerjangnya! Celaka, pikirnya, menghadapi Bi Lian seorang saja, dia masih belum mampu mengalahkannya, apalagi dengan munculnya suami isteri yang ditakutinya itu. Pasukannya menghadapi kehancuran, dan tidak nampak ada pembantu-pembantunya yang unggul, bahkan dia tidak metihat adanya Kulana dan Sim Ki Liong yang diandalkan, yang entah berada di mana. Karena tidak metihat jalan keluar, Lam-hai Giam-lo menjadi nekat.

"Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dengan suaranya yang parau seperti ringkik kuda. Tubuhnya lalu berputar-putar dan dia mulai memainkan ilmu silat yang diandalkan, yaitu ilmu silat dengan tubuh berputaran. Di dalam putaran tubuhnya ini terkandung kekuatan seperti angin puyuh yang berpusing, bahkan nampak daun kering dan debu ikut berpusing di sekeliling tubuhnya dan angin menyambar-nyambar di sekitarnya! Hebat sekali ilmu dari Lam-hai Giam-lo ini sehingga beberapa orang pendekar dan banyak anak buah pasukan pemerintah tidak berani mendekat, membiarkan tiga orang perkasa itu menghadapi pemimpin pemberontak yang amat sakti itu.

Su Kiat dan Hui Lian tidak mengenal Bi Lian, akan tetapi mereka berdua merasa kagum sekali. Gadis yang cantik jelita itu, yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, berani menghadapi Lam-hai Giam-lo seorang diri saja, tanpa senjata bahkan dapat menandingi iblis itu sehingga terjadi perkelahian yang seru. Padahal Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang amat berbahaya!

Sementara itu, melihat munculnya seorang laki-laki berlengan kiri buntung bersama seorang wanita yang cantik dan mereka berdua itu menyerang Lam-hai Giam-lo dengan dahsyatnya, bahkan membuat Lam-hai Giam-lo kelihatan seperti orang ketakutan, Bi Lian juga memperhatikan dengan heran. Akan tetapi, dara ini maklum bahwa mereka berdua itu adalah kawan-kawan, setidaknya membantu pasukan pemerintah, maka tanpa banyak cakap lagi ia pun siap bekerja sama dengan mereka untuk membasmi manusia jahat macam Lam-hai Giam-lo. Tanpa mengucapkan sepatah pun kata, tiga orang ini sudah membentuk Sha-kak-tin (Barisan Segitiga) mengepung Lam-hai Giam-lo yang berputaran seperti gasing itu!

Bi Lian sudah mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkan lewat kedua lengannya dan ia memainkan ilmu silat gabungan dari Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, ilmu silat yang aneh gerak-geriknya, kedua telapak tangannya mengeluarkan uap putih, lengannya dapat mulur dan memendek seperti karet, tubuhnya dengan ringan dan cekatan dapat berlompatan ke sana-sini dan kadang-kadang tangannya mencuat ke depan, hendak menembus tubuh yang berpusing itu.

Ciang Su Kiat dengan lengan kiri buntung kini digantikan ujung lengan baju yang dapat dibuat lemmas dan kadang-kadang keras seperti besi memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun yang amat cepat. Ilmu silat tangan kosong Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) ini adalah peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan orang sakti yang dikenal dengan julukan Delapan Dewa. Dengan ilmu silat ini, tubuhnya seperti dapat terbang saja, atau bahkan bagi pandang mata biasa, saking cepatnya gerakannya, yang nampak hanyalah bayangan saja, dan setiap kali menyerang, baik ujung lengan bajunya yang kiri ataupun tangan kanannya, maka serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan.

Kok Hui Lian juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi Lam-hai Giam-lo yang lihai. Ia memainkan In-liong Kiam-sut dengan pedang Kiok-hwa-kiam. Gerakannya tangkas dan gagah, tepat seperti nama ilmu itu sendiri. In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan) ciptaan mendiang In Liong Nio-nio, seorang dari Delapan Dewa itu amat gagah gerakannya, seolah-olah seekor naga yang melayang-layang di angkasa. Gulungan sinar pedang itu panjang dan dari dalamnya menyambar-nyambar sinar pedang yang dahsyat.

Menghadapi tiga orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu, Lam-hai Giam-lo menjadi repot bukan main. Lawan lain tentu akan menjadi gentar menghadapi ilmunya itu, akan tetapi tiga orang ini memiliki tingkat yang mampu menandinginya, maka tentu saja dia tidak memperoleh banyak kesempatan untuk menyerang mereka. Dalam keadaan berpusing itu, dia hanya mampu mempertahankan diri untuk menangkis atau bersembunyi di dalam pusingan tubuhnya yang sukar dijadikan sasaran serangan itu.

"Sing-singgg….!!" Gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam itu mengeluarkan sinar mencuat dua kali, yang pertama menyarnbar ke arah leher, kemudian seperti meluncur turun dan menyambar ke arah kaki tubuh Lam-hai Giam-lo yang berpusing. Lam-hai Giam-lo mampu menghindarkan diri dengan elakan-elakan, akan tetapi pada saat itu, tangan Bi Lian yang mulur mencengkeram ke arah lehernya.

"Dukk!" Dia menangkis dan benturan kedua lengan membuat tubuhnya tergetar walaupun Bi Lian juga terhuyung, dan getaran tubuh ini menghentikan pusingan tubuh Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu, ujung lengan baju yang menjadi lemas seperti cambuk sudah melecut ke arah matanya, dan ketika Lam-hai Giam-lo menarik tubuh ke belakang, ujung lengan baju itu sudah berubah kaku dan kini menotok ke arah pinggang. Totokan maut ini nyaris mengenai pinggangnya. Diam-diam Lam-hai Giam-lo cepat membuang dirinya ke samping dan bergulingan.

Sinar pedang menyambar-nyambar mengejar tubuh yang bergulingan itu. Dalam keadaan terhimpit itu, Lam-hai Giam-lo mencengkeram tanah dan sekali menggerakkan kedua tangan, ada pasir dan tanah menyambar ke arah mata ketiga orang pengeroyoknya! Hebat memang kakek ini! Namun, yang dihadapinya juga merupakan tiga orang lawan yang amat tangguh, yang tidak mudah digertak dengan senjata rahasia seperti itu. Hanya dengan memiringkan kepala, tiga orang itu dapat menghindarkan diri dari sambaran pasir dan tanah itu tanpa menghentikan pengejaran mereka terhadap tubuh yang masih bergulingan itu.

"Singgg….!" Sinar pedang Kiok-hwa-kiam menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengelak lagi. Terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya ke arah sinar pedang berkilauan itu.

"Crokk!" Pedang tertahan dan tidak mengenai leher, namun lengan Lam-hai Giam-lo terbabat buntung sebatas siku. Lam-hai Giam-lo sama sekali tidak mengeluarkan teriakan walaupun lengan kirinya buntung. Dengan tangan kanan dia cepat menotok jalan darah di pangkal lengannya untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar, kemudian tubuhnya membalik ke arah Hui Lian dan dengan marah, disertai kenekatan, Lam-hai Giam-lo menubruk dengan serangan tangan kanan yang ampuh. Orang ini memang memiliki daya tahan yang kuat sekali sehingga dalam keadaan terluka parah itu serangannya bahkan lebih dahsyat daripada tadi. Hui Lian terkejut, mengelebatkan pedangnya, namun pedang itu dapat ditampar dari samping oleh tangan kanan Lam-hai Giam-lo sehingga hampir terlepas dan tangan itu seperti cakar setan telah menyambar ke arah dada Hui Lian! Keadaan wanita itu sungguh kritis dan berbahaya sekali. Akan tetapi suaminya, Ciang Su Kiat, sudah siap siaga dan melihat bahaya mengancam isterinya, dia pun menubruk ke depan dan menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Lam-hai Giam-lo.

"Plakk!" Tubuh Lam-hai Giam-lo terpelanting keras dan roboh tak mampu bergerak lagl. Tewaslah Lam-hai Giam-lo, datuk sesat yang memiliki ambisi besar itu. Setelah Lam-hai Giam-lo tewas, Hui Lian, Su Kiat dan Bi Lian berpencaran lagi, masing-masing melanjutkan amukan mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang mulai mendesak pasukan pemberontak yang kehilangan banyak pemimpin itu.

Sementara itu, Can Sun Hok yang berkelahi melawan Kim San Ketua Kui-kok-pang juga sudah berhasil merobohkan lawan itu dengan sulingnya yang lihai, kemudian membantu Ling Ling yang masih mengamuk dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang. Mereka berdua mengamuk dan biarpun anak buah Kui-kok-pang berdatangan membantu teman-teman mereka, namun satu demi satu mereka roboh dan tewas di tangan sepasang orang muda perkasa ini.

Kui Hong yang menjaga di atas tebing sebelah kiri bersama belasan anak buahnya, melihat betapa tebing di seberang sudah dikuasai pula oleh pihak pasukan pemerintah, bahkan kini ditinggalkan setelah tadi ia melihat betapa pendekar lengan buntung Ciang Su Kiat menarik putus sumbu panjang itu. Melihat ini, Kui Hong juga meniru perbuatan Su Kiat. Ia menarik sumbu panjang yang menjulur ke bawah dari puncak tebing itu dan mempergunakan tenaga menyentak sehingga sumbu itu putus pula dekat tempat pemasangan bahan peledak.

"Kalian jaga saja di sini, aku mau turun membantu pertempuran di bawah.” pesannya kepada para perajurit, dan ia pun berlari turun dengan cepatnya.

Selagi ia berloncatan menuruni tebing itu, ia melihat seorang wanita cantik berpakaian merah bergegas hendak melarikan diri, tersaruk-saruk di tebing. Kui Hong belum pernah melihat wanita ini, akan tetapi ia pernah mendengar dari Hay Hay tentang datuk-datuk sesat yang membantu pemberontakan, di antaranya terdapat orang-orang lihai seperti Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi dan orang-orang Pek-lian-kauw. Melihat keadaan wanita itu, ia menduga bahwa agaknya itulah wanita yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) dan bernama Ji Sun Bi itu. Maka, cepat ia menghadang. Setelah wanita itu tiba di depannya, ia lalu menudingkan telunjuk kanannya dan membentak.

"Heii! Bukankah engkau ini Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi?"

Pertanyaan ini dikeluarkan tiba-tiba dengan bentakan sehingga wanita itu terkejut dan marah, tidak sempat berpikir panjang lagi lalu balas membentak. "Kalau benar, kenapa engkau tidak lekas berlutut agar aku tidak membunuhmu?" Wanita itu memang Ji Sun Bi. Melihat betapa Min-san Mo-ko yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu tewas, demikian pula banyak kawan yang membantu Lam-hai Giam-lo roboh dan tewas, Ji Sun Bi merasa kecil hati dan ketakutan. Memang orang seperti ia, juga para datuk sesat, tidak memiliki kesetiaan. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanya mempunyai satu dasar, yaitu ingin menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri belaka. Kalau ia seperti yang lain membantu Lam-hai Giam-lo, adalah karena mereka itu melihat kemungkinan untuk memperoleh kemuliaan apabila gerakan itu menang. Kini, melihat betapa gerakan pemberontak itu terancam kehancuran di kandang sendiri sebelum sempat bergerak keluar, Ji Sun Bi segera mengumpulkan barang-barang berharga dan diam-diam ia meninggalkan medan pertempuran. Tidak ada jalan lari melalui jalan terusan, juga tidak mungkin ke belakang lembah karena di sana pun sudah penuh dengan pasukan pemerintah. Jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyelamatkan diri lewat tebing di kanan kiri jalan terusan. Ia memilih tebing kiri, tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang mengenalnya dan bertanya tanpa sopan santun sama sekali. Maka ia pun menjadi marah apalagi gadis itu hanya seorang diri dan tentu saja Ji Sun Bi memandang rendah gadis itu. Hal ini tidaklah aneh mengingat bahwa Ji Sun Bi adalah seorang datuk sesat wanita yang berilmu tinggi dan jarang menemukan tanding.

Kui Hong adalah seorang gadis yang galak dan berandalan, gagah dan tak mengenal takut, bahkan dalam keadaan mendongkol melihat keangkuhan Ji Sun Bi, ia masih dapat tersenyum manis. Pada dasarnya, Kui Hong memiliki watak jenaka, hanya kadang-kadang watak itu tertutup oleh kegalakan dan keberandalannya.

"Wah, kalau engkau berjuluk Iblis Betina Berhati Racun, sebentar lagi engkau harus mengubah julukanmu itu menjadi Mayat Iblis Tak Berjantung karena engkau akan mati di tanganku. Aku adalah Cia Kui Hong dan julukanku adalah Hok-mo Sian-li (Dewi Penakluk Iblis)!" Tentu saja julukan ini hanya buatan Kui Hong saja untuk menggoda orang. Wanita itu berjuluk Iblis maka ia sengaja memakai julukan Penakluk Iblis!

"Srattt…!" Nampak dua sinar berkelebat ketika Ji Sun Bi mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dengan pedang kiri diangkat ke atas kepala dan pedang kanan menodong ke arah Kui Hong, Ji Sun Bi mengeluarkan bentakan nyaring. "Bocah lancang, akan kupotong lidahmu!"

Akan tetapi, terdengar suara berdesing dan kini tahu-tahu di kedua tangan Kui Hong telah nampak masing-masing sebatang pedang. Gadis itu telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam, pemberian neneknya, yaitu Toan Kim Hong di Pulau Teratai Merah. Melihat sepasang pedang berwarna hitam yang mengeluarkan sinar menyeramkan itu, Ji Sun Bi terkejut sekali. Akan tetapi ia tidak mengenal pedang itu dan masih memandang ringan.

"Keparat, makanlah pedangku!" bentak Ji Sun Bi ketika melihat Kui Hong sambil tersenyum mengejek melintangkan pedangnya di depan muka. Ia membacok dengan pedang kiri sedangkan pedang kanannya meluncur ke arah perut Kui Hong.

“Heiiittt….. ihhh…..!” Kui Hong berseru dan dua batang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam.

“Cringgg…. Tranggg….!”

Kini terkejutlah Ji Sun Bi karena ia merasa betapa kedua tangannya tergetar keras ketika sepasang pedangnya ditangkis dengan cepat oleh lawannya. Ji Sun Bi boleh jadi memiliki watak yang angkuh dan sombong, namun ia cukup cerdik dan benturan dua pasang senjata itu memberi tahu kepadanya bahwa lawannya, biarpun masih muda, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga kuat sehingga sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan ganas, mengeluarkan ilmu-ilmunya yang paling diandalkan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga mencari mangsa. Namun, yang dihadapinya adalah Cia Kui Hong yang ilmu pedangnya amat hebat, apalagi setelah ia menerima gemblengan dari kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Dengan lincahnya, Kui Hong memainkan Ilmu Pedang Hok-mo Siang-kiam yang telah disempurnakan oleh gemblengan neneknya. Dari kakek dan neneknya, selain menerima gemblengan dalam ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dari latihan yang diberikan ayah ibunya, juga Kui Hong memperdalam ilmu gin-kangnya sehingga kini ia dapat bergerak amat lincah dan ringannya. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya berkelebatan di seputar lawannya, membuat Ji Sun Bi semakin kaget dan khawatir.

Tingkat kepandaian Kui Hong agaknya akan seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Sun Bi sebelum ia digembleng oleh kakek dan neneknya. Kini, ia menang jauh, terutama sekali dalam hal sin-kang dan gin-kang. Tenaga saktinya lebih kuat dan ia pun memiliki gerakan yang lebih ringan, lincah dan cepat sehingga lewat tiga puluh jurus saja, Ji Sun Bi mulai terdesak dan kewalahan.

"Hyaaaattt….!" Tiba-tiba Ji Sun Bi mengeluarkan lengking panjang dan kedua pedangnya diputar sedemikian rupa sehingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri, lalu dari gulungan sinar pedang itu mencuat dua sinar yang menyambar ke arah leher dan dada Kui Hong. Namun gadis itu dengan tenang saja meloncat ke belakang dan ketika lawannya mengejar, tiba-tiba ia mengelebatkan kedua pedangnya. Dua sinar hitam menyambar dari atas dan bawah. Ji Sun Bi tidak sempat mengelak karena ia sedang meloncat ke depan, terpaksa ia menangkis dengan kedua pedangnya.

“Singgg…. singgg….!” Tiba-tiba Kui Hong menarik kembali sepasang pedangnya sehingga tangkisan itu, meluncur ke tempat kosong dan pada saat itu, sepasang pedang hitam sudah menyerang lagi dari kanan kiri, Ji Sun Bi makin kaget, terpaksa memutar pergelangan tangannya, menggunakan pedang untuk menangkis. Terdengar suara nyaring dua kali dan pedang kiri Ji Sun Bi terlepas dan terlempar, sedangkan tangan kanannya hampir saja melepaskan pedang karena telapak tangannya terasa panas dan perih. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu meloncat ke belakang dan melarikan diri! Ji Sun Bi maklum bahwa kalau ia melanjutkan perkelahian itu, tentu ia akan kalah dan akhirnya tewas di tangan lawannya yang amat tangguh itu.

"Heii, .iblis betina pengecut, hendak lari ke mana engkau?" Kui Hong memaki dan mengejar. Karena ia memang memiliki gin-kang yang hebat, sebentar saja ia hampir dapat menyusul Ji Sun Bi yang menjadi semakin gelisah. Ketika melihat bahwa ia telah mengambil jalan yang salah, yaitu yang menuju ke jurang yang curam, Ji Sun Bi menjadi semakin bingung. Sedangkan Kui Hong tertawa girang melihat lawannya terjebak dan berada di jalan buntu.

"Heh-heh, Tok-sim Mo-li, engkau hendak lari ke mana lagi sekarang?" Kui Hong mengejek dan dengan gerakan cepat sekali ia mengejar lawan yang sudah ketakutan itu. Ji Sun Bi menoleh melihat Kui Hong mengejarnya, ia maklum bahwa sekali ini ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Ia dalam ketakutannya, lalu menjadi nekat dan meloncat ke depan! Tubuhnya meluncur ke bawah.

"Ehhh….!" Kui Hong berseru dan cepat meloncat ke tepi jurang, menjenguk ke bawah. Ia masih sempat melihat betapa tubuh wanita itu terbanting dan terpental, lalu menggelinding terus ke bawah sampai tidak nampak lagi. Kui Hong menarik napas panjang dan menyarungkan sepasang pedangnya. Wanita iblis itu tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi. Terjatuh dari tempat setinggi itu pasti akan mati. Ia pun tidak dapat mengejar karena menuruni jurang itu tidak mungkin. Maka, Kui Hong lalu melanjutkan larinya menuruni tebing untuk membantu pertempuran pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak.

Sementara itu, Hay Hay sambil merobohkan perajurit pemberontak yang menghadang di jalan, terus mencari Ki Liong. Akhirnya dia melihat pemuda itu di luar jalan terusan, sedang mengamuk dengan hebat. Memang benar apa yang dikatakan Kui Hong kepadanya. Pemuda yang menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya itu sungguh lihai bukan main. Sudah belasan orang menjadi korban pedang pusaka Gin-hwa-kiam, pusaka Pulau Teratai Merah, pedang yang dicurinya bersama beberapa benda pusaka dari pulau itu menurut cerita Kui Hong. Gerakan pedang pemuda itu demikian matang dan mantap, dan para perajurit kerajaan merasa gentar juga menghadapi pemuda ini setelah ada beberapa orang perwira roboh dan tewas. Mereka mengepung dari jarak jauh menggunakan tombak panjang. Melihat keadaan ini, Hay Hay lalu meloncat dekat dan Ki Liong segera melihatnya.

"Saudara Tang Hay…!" kata Ki Liong. "Bantulah aku keluar dari tempat ini dan akan kubagikan pusaka-pusaka indah kepadamu!"

Akan tetapi Hay Hay melangkah maju dan berseru kepada para perajurit. "Harap kalian mundur dan biarkan aku menghadapinya!" Para perajurit mundur dan mengepung tempat itu dari jauh. Kini Hay Hay berhadapan dengan Ki Liong yang mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik karena dia masih belum yakin benar di pihak mana Hay Hay berdiri.

"Sim Ki Liong, apa yang telah kaulakukan terhadap Pek Eng?"Hay Hay bertanya, lirih karena tidak ingin hal itu didengar lain orang, namun dalam pertanyaan yang lirih itu terkandung ancaman dan kemarahan besar. Ki Liong melebarkan matanya memandang Hay Hay dengan heran.

"Apa yang telah kulakukan? Tidak apa-apa, Saudara Tang Hay. Gadis itu pergi dan tak seorang pun tahu ke mana. Aku tidak pernah mengganggunya…."

"Bohong! Malam itu, di dalam pondok taman! Apa yang telah kaulakukan? Jangan menyangkal, hayo ikut bersamaku dan membuat pengakuan di depan Pek Eng, atau aku akan memaksamu!"

"Tang Hay manusia sombong! Aku tidak ada urusan dengan Pek Eng atau denganmu! Kalau engkau tidak suka membantu aku keluar dari tempat ini, sudahlah, aku tidak ada waktu untuk melayani obrolanmu yang tidak karuan ujung pangkalnya!"

"Ki Liong! Kalau engkau menyangkal, terpaksa aku harus memaksamu untuk menyerah!" bentak Hay Hay sambil melompat menghadang ketika melihat Ki Liong hendak pergi meninggalkannya.

Marahlah Ki Liong, "Keparat! Engkau seorang jai-hwa-cat hina berani mengancam aku?" Dia mengacungkan pedang Gin-hwa-kiam. Hay Hay juga marah. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihirnya untuk melawan Ki Liong, karena dia ingin mencoba sampai di mana kelihaian murid dari Pulau Teratai Merah ini.

Mulut busuk seperti hatimu!" Hay Hay balas memaki mendengar dia dimaki sebagai jai-hwa-cat. Akan tetapi pada saat itu, Ki Liong sudah menggerakkan Gin-hwa-kiam menyerangnya. Serangannya hebat bukan main, dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Ilmu pedang yang dimainkannya adalah Hok-mo Kiam-sut, dan jurus yang digunakan untuk penyerangan pertama itu adalah jurus Sin-liong Hok-mo (Naga Sakti Menaklukkan Iblis), pedang itu meluncur ke arah dada lawan untuk dilanjutkan dengan putaran pergelangan tangan sehingga pedang dapat dilanjutkan dengan bacokan memutar yang mengancam semua bagian tubuh depan lawan! Hebat bukan main jurus ini, dan karena dia telah menerima gemblengan dari suami isteri pendekar yang sakti, maka gerakannya itu mantap dan juga ganas.

Menghadapi sebatang pedang pusaka, Hay Hay tidak berani bertangan kosong saja. Dia mengenal pusaka ampuh, maka dia pun cepat mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan sambil meloncat ke belakang untuk mengelak, dia memutar sulingnya sehingga terdengarlah suara melengking tinggi rendah. Pedang itu telah dilanjutkan dengan putaran yang menyerang leher, dan Hay Hay kini menangkis dari samping dengan sulingnya.

"Tranggg...!" Suling dan pedang bertemu dan keduanya melangkah mundur dua tindak, masing-masing mengakui akan kehebatan tenaga sin-kang lawan. Namun, Ki Liong yang ingin cepat-cepat pergi dari tempat berbahaya itu dan untuk itu dia harus cepat pula menyelesaikan perkelahian ini, sudah menerjang lagi ke depan. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyelimuti tubuhnya. Bagaikan roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju ke arah Hay Hay, dengan suara mendesing-desing memekakkan telinga, dan angin sambaran pedang terasa sampai beberapa meter jauhnya.

Hay Hay bersikap hati-hati. Maklum akan kelihaian lawan yang memiliki ilmu silat tinggi dan pilihan itu, dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-paow-poan-soan. Tubuhnya berputar-putar dan dengan langkah ajaib itu dia mampu menghindarkan diri dari tekanan dan sambaran sinar pedang lawan, bahkan membalas pula dengan totokan ke arah jalan darah dengan ujung sulingnya. Terjadilah perkelahian yang hebat sekali, yang membuat daun kering dan pasir berhamburan dan debu mengepul di sekitar tempat itu. Suara mengaung dan berdesing memekakkan telinga dan sambaran angin berputar-putar membuat para penonton, baik dari pihak pasukan pemerintah maupun pemberontak, terpaksa mundur lagi beberapa langkah.

Setelah lewat dua puluh jurus lebih tiba-tiba Hay Hay melakukan serangan dengan sulingnya, menotok ke arah muka lawan antara kedua matanya. Serangan ini hanya untuk memancing perhatian lawan, karena tangan kirinya sudah siap untuk melakukan serangan inti, pada saat lawan terpaksa mencurahkan perhatian kepada serangan pertama. Akan tetapi Ki Liong cukup lihai untuk menduga siasat lawan ini. Pedang Gin-hwa-kiam dikelebatkan dari samping menangkis suling, dan sekaligus dia mengerahkan tenaga sin-kang yang mempunyai daya tempel yang kuat. Pemuda ini memang belum diberi pelajaran Thi-ki-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang dapat membetot dan menghisap tenaga sakti lawan, merupakan ilmu mujijat dan simpanan dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, namun dia telah mempelajari sin-kang yang dilatih dengan jungkir balik, dan dapat mempergunakan tenaga sakti ini untuk mendorong, menarik, membetot, bahkan menempel. Begitu pedangnya bertemu suling yang ditangkisnya, maka pedang itu melekat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi terkejut juga karena sulingnya melekat pada pedang itu seperti besi melekat pada besi semberani! Dan kekagetannya itu membuat dia agak lambat mempergunakan tangan kiri yang sudah dipersiapkan. Serangan suling yang tadinya dilakukan untuk mengejutkan lawan itu kini bahkan membuat dia sendiri terkejut ketika sulingnya melekat pada pedang lawan. Dan pada saat itu, tangan kiri Ki Liong sudah menghantam ke arah dadanya dengan tangan terbuka! Kiranya Ki Liong mempunyai siasat yang sama, yaitu menggunakan daya lekat sin-kangnya untuk mengejutkan lawan sehingga lawan akan menjadi lengah ketika tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut. Pukulan itu adalah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Bumi Langit) merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari Pendekar Sadis!

Dalam keadaan kritis itu, Hay Hay tidak kehilangan akal. Tangan kirinya memang sudah dia persiapkan tadi untuk menyerang, akan tetapi dia kedahuluan lawan, maka kini dia pun mendorong dengan tangan kirinya itu, dengan jari tangan terbuka. Itulah sebuah jurus ampuh dari Ciu-sian Cak-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajarinya dari Ciu-sian Lokai, seorang di antara Delapan Dewa.

"Plakkk!!"

Dua buah tangan itu saling bertemu dan saling menempel! Kini, kedua orang muda itu tak dapat melepaskan diri lagi. Pedang dan suling saling melekat dan kedua tangan kiri saling tempel, sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanyalah mengerahkan sin-kang, mengadu tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Dan dalam pertandingan ini, keduanya mengerahkan seluruh tenaga karena siapa kalah dalam adu sin-kang ini tentu akan putus nyawanya! Perlahan-lahan, Ki Liong merasa betapa tenaga lawannya menjadi semakin kuat saja, dan mulailah dia gemetar. Keringat membasahi muka dan lehernya, dan uap putih mengepul dari kepalanya.

"Mati aku sekali ini…." pikir Ki Liong akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus mernpertahankan diri. Dia tidak dapat melepaskan diri dari himpitan ini, dan tiada jalan lain kecuali mempertahankan sampai saat terakhir!

Pada saat yang amat berbahaya bag Ki Liong karena dia memang kalah tenaga itu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan dua buah tangan mendorong dari samping. Dua buah tangan ini mengandung tenaga sin-kang yang kuat pula, dan oleh dorongan itu, Ki Liong dan Hay Hay menjadi miring sehingga benturan atau adu tenaga dari mereka berdua menyeleweng dan terlepaslah telapak tangan mereka. Hay Hay meloncat ke belakang dan Ki Liong terguling! Dia terus bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat. Dia nyaris tewas dalam adu tenaga tadi dan kini dia melihat bahwa orang yang melerai tadi adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia maupun Hay Hay, bermuka putih bulat dan bersikap tenang. Akan tetapi pemuda yang tidak dikenalnya itu tidak memperhatikannya, bahkan kini menghadapi Hay Hay yang juga memandang dengan penuh perhatian. Melihat kesempatan yang amat baik ini, diam-diam Ki Liong lalu melarikan diri dan melompat jauh.

"Heii! Mau lari ke mana kau!" Hay Hay membentak dan hendak mengejar, akan tetapi pemuda muka putih yang bukan lain adalah Pek Han Siong itu menghadang di depannya.

"Tahan dulu….!!"

Hay Hay yang tidak ingin melihat Ki Liong melarikan diri, hendak mengejar terus dan karena Han Siong menghadang di jalan. Hay Hay mengibaskan lengannya untuk mendorongnya minggir.

“Dukkk!" Kedua lengan mereka bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur. Terkejutlah Hay Hay. Orang ini ternyata lihai sekali! Karena Ki Liong sudah lenyap di antara para perajurit yang masih bertempur, dan karena pemuda di depannya itu agaknya bersungguh-sungguh hendak menghadangnya, maka terpaksa dia membiarkan Ki Liong pergi dan kini dia menghadapi Han Siong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini dan tidak tahu apakah orang ini memihak pemberontak ataukah pemerintah.

"Saudara yang gagah, siapakah engkau dan mengapa engkau menghadangku?" tanya Hay Hay, diam-diam terkejut melihat betapa sinar mata pemuda ini mencorong dan wajahnya penuh wibawa, menunjukkan bahwa pemuda ini memiliki kekuatan tersembunyi yang dahsyat.

"Benarkah engkau yang bernama Tang Hay?" Han Siong berbalik mengajukan pertanyaan sambil memandang tajam.

Hay Hay mengerutkan alisnya dan mengangguk, "Benar, namaku Tang Hay. Siapakah engkau dan ada urusan apakah…."

Han Siong memotong. "Namaku Pek Han Siong dan…."

"Ah! Kiranya engkau yang dijuluki Sin-tong….!”

"Benar sekali, akan tetapi aku datang bukan untuk meributkan urusan itu. Aku datang untuk minta pertanggunganjawabmu, Tang Hay. Bersikaplah sebagai seorang jantan yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!"

"Apa maksudmu?" Tanya Hay Hay, akan tetapi dia segera mengerti sebelum pemuda itu menjawab karena pada saat itu dia melihat mynculnya Pek Eng!

"Jangan engkau menyangkal tentang perbuatanmu terhadap adik kandungku, Eng-moi!"

Hay Hay, cepat menggeleng kepala, dan matanya tetap memandang ke arah Pek Eng seolah-olah jawaban itu dia ajukan kepada Pek Eng. "Tidak... tidak…! Aku tidak melakukan kekejian itu! Aku sama sekali tidak melakukannya!"

Han Siong memandang dengan muka merah. Benar adiknya. Pemuda ini sungguh pengecut walaupun berilmu tinggi, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Teringat dia bahwa pemuda ini, menurut keterangan orang tuanya, adalah putera seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita dan kemarahannya semakin memuncak. Adik kandungnya telah menjadi korban kecabulan laki-laki ini dan sekarang dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan menyangkal! Padahal, buktinya sudah jelas, adiknya menjadi saksi utama. Tidak mungkin adik kandungnya melakukan fitnah, menuduh seorang yang tidak berdosa sebagai pelakunya.

"Tang Hay, apakah engkau hendak mengikuti jejak Ayah kandungmu? Kalau, engkau secara pengecut menyangkal perbuatanmu sendiri, terpaksa aku akan menghajarmu!" Wajah Hay Hay berubah merah. Dia tahu bahwa orang ini marah karena percaya bahwa dia telah merenggut kegadisan Pek Eng dan minta dia bertanggung jawab. Akan tetapi karena dia betul-betul merasa tidak melakukan hal itu, dan kini dia diingatkan tentang ayahnya yang jahat, hal yang amat menyakitkan hatinya, maka dia pun menjadi marah.

"Sampai mati pun aku tidak mungkin dapat mengakui perbuatan yang tidak kulakukan. Terserah apa yang hendak kaulakukan kepadaku, aku tidak takut!" jawabnya. Jawaban ini bagi Han Siong dianggap ucapan seorang yang keras hati dan yang nekat hendak menyangkal perbuatannya, maka dia pun semakin penasaran. Akan tetapi niatnya bertemu dengan Hay Hay bukan hendak menyerangnya, apalagi membunuhnya. Dia hanya hendak membujuk pemuda itu bertanggung jawab, apalagi karena menurut pengakuan Pek Eng, adiknya itu mencinta Hay Hay. Kalau tidak dapat dibujuk, dia hendak menggunakan akal agar Hay Hay suka menyerah dan sadar dan mau menerima Pek Eng sebagai jodohnya. Oleh karena itu, Han Siong hendak menakut-nakuti Hay Hay dengan ilmu sihirnya, untuk menaklukkan pemuda itu tanpa harus menggunakan kekerasan. Maka, diam-diam dia lalu mengerahkan kekuatan batinnya dan sekali mencabut pedangnya, nampak sinar berkilauan dari pedang Kwan-im-kiam yang ditodongkan ke arah muka Hay Hay, lalu terdengar suaranya menggeledek.

"Tang Hay, lihat baik-baik! Aku adalah seorang yang jauh lebih sakti darimu, aku seorang raksasa setinggi pohon, dan engkau hanya seorang manusia kecil, takkan ada artinya melawan aku!" Ketika dia menggerakkan pedangnya, nampak kilatan pedangnya dan tiba-tiba saja, semua orang yang mengelilingi tempat itu, menjadi terbelalak dan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba saja keadaan tubuh Pek Han Siong berubah. Kini pemuda itu menjadi tinggi besar, setinggi pohon besar, seorang raksasa yang mengerikan dan menakutkan karena Hay Hay kini hanya setinggi lututnya saja!

Akan tetapi Hay Hay tetap bersikap tenang walaupun dia juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Sin-tong dan yang menjadi rebutan itu memiliki ilmu sihir yang cukup kuat! Timbul kegembiraannya dan dia pun tidak mau kalah. Dia mengerahkan kesaktiannya dan suaranya terdengar penuh wibawa yang menggetarkan jantung para penonton pertandingan itu. "Bagus sekali, Pek Han Siong! Engkau menjadi raksasa, aku pun sanggup mengembarimu! Lihatlah baik-baik!"

Hay Hay mengibaskan tangan yang memegang suling, terdengar suara melengking tinggi dan tubuhnya pun tumbuh menjadi besar, sebesar Han Siong! Mereka berdiri berhadapan dalam keadaan yang menyeramkan semua orang. Han Siong kini terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa Hay Hay akan sehebat ini kepandaiannya! Karena sudah terlanjur mengeluarkan ilmu sihirnya, melihat lawan sudah mengembarinya menjadi besar pula, Han Siong lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang. Hay Hay menggerakkan sulingnya menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang hebat dan dahsyat, mengguncangkan tanah di sekelilingnya. Pohon-pohon bergoyang seperti tertiup angin taufan, bahkan banyak dahan pohon yang patah, batu-batu beterbangan tertendang kaki mereka dan debu mengebul tinggi. Kembali keduanya terkejut dan kagum. Kwan-im Kiam-sut yang dimainkan Han Siong memang merupakan ilmu pedang yang jarang tandingannya, namun Hay Hay mampu menandinginya dengan sulingnya. Bahkan setelah lewat belasan jurus, Han Siong dapat menilai bahwa akan sukarlah baginya mengalahkan pemuda itu dengan pedangnya, apalagi setelah keduanya menjadi sebesar raksasa itu. Dan kalau perkelahian itu dilanjutkan, dapat membahayakan arang-orang yang menonton di sekeliling tempat itu.

"Tang Hay, tidak perlu menakut-nakuti orang lain. Aku akan menjadi kecil sampai engkau tidak akan dapat melihatku lagi!"

Kembali "raksasa" Han Siong menggerakkan pedangnya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap, karena dari keadaan tinggi besar seperti raksasa, tiba-tiba saja tubuh itu menyusut menjadi kecil, hanya sebesar jari tangan manusia biasa! Kehilangan lawannya, Hay Hay sejenak bingung dan dia pun tahu apa yang telah dilakukan lawannya.

"Pek Han Siong, sudah kukatakan, aku akan mengembari ilmumu. Lihat, aku pun menjadi kecil sebesar kamu!" Dan tubuh Hay Hay kini lenyap dari pandanggan orang-orang yang berada di situ, menjadi kecil seperti Han Siong dan keduanya kini melanjutkan perkelahian dengan suling dan pedang dalam keadaan. Tubuh sebesar jari tangan manusia biasa. Mereka yang menonton perkelahian aneh itu akhirnya dapat melihat mereka berdua dan terdengar seruan-seruan kaget, heran dan kagum!

Kalau tadi mereka menyaksikan dua orang raksasa yang tingginya empat ukuran manusia biasa berkelahi, mengguncangkan tanah di sekeliling tempat itu, kini mereka melihat dua orang yang amat kecil, hanya sebesar jari tangan mereka, berkelahi. Tadi mereka merasa seram dan takut, kini merasa ngeri dan juga lucu bercampur tegang. Han Siong dan Hay Hay kembali saling serang dan biarpun keduanya mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian simpanan mereka, namun masing-masing selalu menjaga agar jangan sampai saling membunuh. Han Siong sama sekali tidak ingin membunuh Hay Hay yang dicinta oleh Pek Eng, melainkan ingin menaklukkannya. Sebaliknya, tentu saja Hay Hay tidak ingin membunuh Han Siong yang membela adiknya, hanya ingin memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai dipandang rendah sebagai putera seorang jai-hwa-cat.

Sebetulhya, kalau dibuat ukuran, Hay Hay telah menerima gemblengan yang lebih kuat daripada Han Siong. Baik dalam ilmu silat, mereka berdua menerima pelajaran dari orang-orang yang menjadi anggauta Delapan Dewa. Akan tetapi Hay Hay menerima gemblengan langsung. Juga dalam hal ilmu sihir, Hay Hay telah digembleng oleh dua orang, apalagi gemblengan terakhir dari Song Lojin membuat kedua macam ilmu kepandaiannya itu menjadi matang betul. Akan tetapi karena dia selalu mengalah dan tidak ada niat di hatinya untuk mengalahkan Han Siong, apalagi melukai atau membunuh, maka pertandihgan antara mereka itu menjadi seimbang dan seru bukan main.

Sementara itu, kini pertempuran telah mulai terhenti di sana-sini. Setelah sebagian pemimpin mereka tewas atau melarikan diri, makin gentarlah hati para pasukan pemberontak. Mereka kalah banyak dan terhimpit dari depan belakang. Apalagi di pihak pemerintah terdapat para pendekar yang amat lihai. Orang-orang yang mereka andalkan sudah habis. Lam-hai Giam-lo telah tewas, juga Kulana yang amat mereka harapkan itu. Para pembantu Lam-hai Giam-lo juga sudah roboh satu demi satu. Suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li yang terkenal dengan julukan Sepasang Iblis Laut Selatan itu telah tewas di tangan Pek Han Siong. Suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukan suami isteri Guha Iblls Pantai Selatan tewas di tangan Bi Lian. Lam-hai Giam-lo sendiri tewas di tangan suami isteri Cang Su Kiat dan Kok Hui Lian, musuh besarnya. Ji Sun Bi yang juga merupakan seorang tangan kanan Lam-hai Giam-lo, terjatuh ke dalam jurang yang curam ketika berkelahi melawan Cia Kui Hong. Gurunya, Min-san Mo-ko, tewas di tangan Kok Hui Lian pula. Ketua Kui-kok-pang, yaitu Kim San, tewas di tangan Can Sun Hok dan anak buahnya hampir habis terbasmi oleh Sun Hok dan Ling Ling. Demikian pula Hek-hiat Mo-ko tewas oleh Sun Hok dan Ling Ling. Kulana sendiri tewas sampyuh bersama Mulana. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sesat yang membantu pemberontakan itu, para pendeta Pek-lian-kauw, menjadi korban dalam pertempuran itu. Biarpun di pihak pemerintah, banyak pula pendekar, perwira dan perajurit yang tewas, namun jelas bahwa pihak pemberontak mengalami kekalahan dan kini sisanya yang tidak mampu lagi me1arikan diri, berlutut dan menyerah! Pertempuran berhenti, akan tetapi masih ada pertempuran yang amat hebat terjadi antara Hay Hay dan Pek Han Siong sehingga menarik perhatian para pendekar dan para perwira untuk datang menonton. Banyak orang menjadi saksi betapa tadi baik Hay Hay maupun Han Siong telah berjasa mengamuk dan membantu pemerintah, maka kini semua orang yang tidak tahu urusannya, merasa heran melihat mereka saling gempur sendlri dan tidak ada yang berani melerai. Apalagi melihat betapa kedua orang itu mempergunakan ilmu-ilmu yang aneh.

Para pendekar yang keluar sebagai pemenang dalam pertempuran itu, kini satu demi satu menghampiri tempat perkelahian yang amat seru itu, menjadi penonton. Mereka semua takjub menyaksikan perkelahian yang luar biasa itu. Su Kiat dan Hui Lian melihat dengan penuh kagum, juga Kui Hong, Ling Ling dan Sun Hok, Pek Eng yang tidak melihat bahwa di antara para pendekar yang mengelilingi tempat pertempuran itu terdapat pula ayahnya, Pek Kong dan juga Song Un Tek bekas calon ayah mertuanya. Pek Kong yang amat tertarik melihat puteranya, Pek Han Siong, bertanding melawan Hay Hay, hal yang amat mengherankan hatinya, belum melihat kehadiran Pek Eng di seberang. Pek Kong amat terkejut dan heran melihat perkelahian itu, akan tetapi dia tidak mau lancang melerai dan membiarkan saja, sambil siap-siap untuk membantu puteranya kalau perlu.

Pertempuran itu memang berjalan dengan seru. Setelah mendapat kenyataan bahwa dengan merobah diri menjadi kecil diturut pula oleh Hay Hay dan dia tidak mampu mendesak pemuda yang menjadi lawannya, Han Siong merobah dirinya menjadi seekor harimau besar yang mengaum-ngaum dan mencakar-cakar. Dan hebatnya, Hay Hay juga mengubah diri menjadi seekor harimau yang sama besarnya. Kedua binatang itu bertarung dengan hebatnya, menggetarkan jantung para penonton yang memenuhi tempat itu. Berulang kali Han Siong mengubah diri menjadi naga, menjadi rajawali, bahkan menjadi biruang, namun selalu Hay Hay dapat mengembari dan menyainginya, dan akhirnya Han Siong terpaksa mengubah dirinya kembali menjadi normal. Hal ini diikuti oleh Hay Hay dan bertempurlah kembali kedua orang muda yang sama gagah dan sama perkasanya itu! Suling dan pedang sudah beradu ratusan kali dan memercikkan bara api yang menyilaukan mata.

"Aih, kalau dilanjutkan, tentu seorang di antara mereka akan celaka…" bisik Hui Lian di dekat telinga suaminya, Su Kiat.

"Kurasa tidak," bisik Su Kiat kembali. "Lihat, mereka itu seperti orang berlatih saja. Keduanya nampaknya berhati-hati agar jangan sampai mencelakai lawan. Hemm, sungguh membuat hatiku kagum bukan main. Mereka adalah dua orang pemuda yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan."

Kui Hong yang berdiri seorang diri, menonton dengan jantung berdebar. Melihat Hay Hay, teringatlah dara ini akan pengalamannya yang mesra dengan pemuda itu. Kini, melihat Hay Hay berkelahi menemukan lawan yang demikian tangguhnya, diam-diam ia merasa khawatir. Ia memang kadang-kadang merasa benci sekali kepada Hay Hay yang dianggapnya telah mempermainkannya, telah menolaknya, menolak cintanya. Akan tetapi, harus diakuinya pula bahwa ia masih mencinta pemuda itu!

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Engkau harus mati…!" dan ,nampak Ling Ling meloncat ke medan pertempuran itu, menggunakan sebatang pedang menerjang dengan nekat, lalu menyerang Hay Hay! Tentu saja Hay Hay terkejut sekali dan cepat dia mengelak. Pek Han Siong juga terkejut. Dia tidak menghendaki ada orang lain mencampuri perkelahiannya dengan Hay Hay, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegah gadis ini.

"Engkau harus mati…..!" Kembali Ling Ling berseru dan menyerang dengan dahsyatnya. Hay Hay merasa betapa perasaan hatinya tertusuk. Dia tahu mengapa Ling Ling menyerangnya. Gadis itu masih menganggap bahwa dialah yang telah memperkosa gadis itu! Perasaan tertusuk ini membuat dia menjadi lengah, apalagi karena sulingnya masih terus dipergunakan melindungi dirinya dari desakan Han Siong. Karena itu, serangan Ling Ling agak lambat dielakkan dan bahu kirinya tergurat pedang sehingga bajunya robek berikut kulitnya dan darah membasahi bajunya. Pek Han Siong sudah mengenal Ling Ling dan tidak tahu mengapa gadis itu menyerang Hay Hay, akan tetapi karena dia sendiri merasa kewalahan menghadapi Hay Hay, kini melihat pemuda lawannya yang amat tangguh itu terluka, dia segera mendesak dengan tusukan pedangnya.

“Tranggg…!” Kembali Hay Hay menangkis dan melompat menjauhi Ling Ling yang marah itu. Kembali terjadi pertarungan sengit antara Hay Hay dan Han Siong. Ling Ling juga sudah siap untuk menyerang lagi dan mengeroyok Hay Hay.

“Ling Ling, jangan…!” Tiba-tiba Kui Hong meloncat ke depan, dan ia memegang lengan kiri Ling Ling, menariknya mundur dari medan pertempuran.

Ling Ling membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa yang menariknya adalah Kui Hong, ia pun menangis. Kui Hong terkejut dan merangkul Ling Ling.

“Eh, Ling Ling, engkau kenapakah…?” bisiknya, semakin heran melihat keadaan gadis i tu.

“Bibi Kui Hong….!” Ling Ling mengeluh dan tangisnya semakln sesenggukan. Semenjak malapetaka yang menimpa dirinya itu, Ling Ling telah menderita tekanan batin yang hebat, dan ia selalu menahan dan menyembunyikannya, tidak mau menceritakan kepada siapapun juga. Kini, bertemu Kui Hong yang masih terhitung bibinya sendiri dan dengan siapa ia sudah menjalin persahabatan yang akrab ketika ia berada di Cin-ling-pai, kesedihannya mengalir bersama air mata, seperti terlepas dari bendungannya.

"Ling Ling, kenapa engkau ingin membunuh dia?" bisik Kui Hong.

Setelah mengalirkan banyak air mata, Ling Ling mampu menguasai dirinya dan masih dalam rangkulan Kui Hong, ia pun berbisik dengan hati hancur, "Bibi Hong, dia... dia jai-hwa-cat yang jahat... dia harus mati di tanganku... dia... telah memperkosa aku, menotok aku selagi tidur dan memperkosaku…."

Saking kagetnya, Kui Hong mendorong tubuh Ling Ling, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Lalu ia menoleh ke arah perkelahian yang masih berlangsung seru itu, mukanya perlahan-lahan berubah merah sekali dan sepasang matanya yang jeli mengeluarkan sinar berapi. Kemudian, tiba-tiba ia berkata kepada Ling Ling. "Kalau begitu akulah yang akan membunuhnya!" Dan Kui Hong sudah mencabut Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang yang berwarna hitam itu lalu menerjang ke medan perkelahian, menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali.

Hay Hay terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang. "Kui Hong, kau... kau...!" Akan tetapi gadis itu sudah menyerang lagi sehingga Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan ke samping.

"Engkau manusia busuk dan jahat, harus mati di tanganku!" bentak Kui Hong. Terpaksa Hay Hay memutar sulingnya untuk me1indungi dirinya karena kini Han Siong yang tadinya bingung dan ragu melihat munculnya seorang gadis lain yang lebih lihai menyerang Hay Hay, sudah maju lagi menggerakkan pedang pusakanya.

Melihat Kui Hong menyerang Hay Hay, Ling Ling lalu meloncat maju dan ia pun cepat menyerang. Kini Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang dan karena dia sama sekali tidak ingin merobohkan atau melukai seorang pun di antara mereka bertiga, maka dia hanya mencurahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk menjaga dan melindungi dirinya. Hal ini membuat dia semakin terdesak hebat dan kembali dia terluka oleh serempetan pedang hitam di tangan kiri Kui Hong, mengenai paha kanannya sehingga celananya robek berdarah.

"Heiii! Jangan main keroyokan…..!" Hui Lian berteriak dan meloncat ke depan, hatinya tidak tega melihat betapa Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang itu, dan ia pun merasa heran mengapa gadis-gadis she Cia itu kini ikut pula menyerang Hay Hay.

Akan tetapi suaminya memegang lengannya dan berbisik, "Sebaiknya kalau kita tidak mencampuri karena kita tidak tahu perkaranya." Hui Lian menghentikan gerakannya, akan tetapi matanya masih memandang ke arah perkelahian itu dengan cemas.

"Bunuh jai-hwa-cat itu!" terdengar teriakan-teriakan dan tampak Tiong Gi Cinjin, diikuti oleh Bu-tong Liok-eng berlompatan maju dan mengepung perkelahian, lalu mengeroyok Hay Hay. Tentu saja hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin repot. Betapapun lihainya, yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka kembali dia menerima tusukan dan bacokan yang biarpun telah dilawan dengan kekebalan, tetap saja melukai kulitnya dan membuat luka-luka kecil yang mengeluarkan darah.

Sementara itu, pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak telah selesai. Sisa para pemberontak menyerah dan menjadi tawanan. Sedangkan para pendekar dan perwira, kini sudah menjadi penonton perkelahian antara Hay Hay yang dikeroyok oleh puluhan orang lihai itu. Untung baginya bahwa kini Han Siong tidak mendesak lagi. Pemuda itu merasa rikuh harus mengeroyok seperti itu, akan tetapi dia semakin penasaran karena dari sikap para pengeroyok, jelaslah bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda jai-hwa-cat yang amat jahat.

Selagi Hay Hay terdesak hebat, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang perwira, "Atas nama Cang-taijin, harap perkelahian dihentikan!"

Perwira ini memang tugasnya menjadi juru bicara dan sudah biasa mengeluarkan bentakan nyaring. Ketika para pengeroyok melihat bahwa yang muncul adalah Menteri Cang, dengan sikapnya yang halus ramah namun penuh wibawa, mereka merasa tidak enak hati dan segera berlompatan mundur walaupun masih dalam keadaan mengepung Hay Hay, Hay Hay sendiri berdiri lemas dengan tubuh penuh luka-luka yang walaupun tidak berbahaya namun membuat pakaiannya berlepotan darah. Dia menundukkan mukanya dan diam-diam bersukur bahwa Menteri Cang datang melerai, karena kalau tidak, entah sampai kapan dia dapat bertahan sebelum akhirnya pasti akan roboh binasa di bawah senjata para pengeroyoknya.

Setelah memandang kepada mereka yang berkelahi itu satu demi satu, dan diam-diam terkejut melihat bahwa yang terlibat dalam perkelahian itu adalah pendekar-pendekar pilihan, Menteri Cang lalu berkata.

"Cu-wi Enghiong (Para Orang Gagah Sekalian), setelah kita semua berhasil menumpas pemberontak, mengapa di antara Cu-wi bahkan terjadi perkelahian sendiri? Bukankah kemenangan kita ini sepatutnya mendatangkan kegembiraan dan bukan perkelahian antara teman sendiri? Apakah yang telah terjadi?"

Hay Hay adalah seorang pemuda yang berpemandangan luas dan bijaksana. Otaknya bekerja dengan cepatnya. Dia tahu bahwa perkelahian itu menyangkut soal kehormatan dua orang gadis yang tentu saja tidak mungkin diumumkan. Kalau diceritakan sebab perkelahian itu, berarti akan melempar aib kepada Ling Ling dan Pek Eng, mencemarkan nama baik dua orang gadis yang tertimpa malapetaka itu. Tidak, dia harus mencegah hal itu terjadi, maka mendengar pertanyaan Menteri Cang, sebelum ada orang lain yang mendahuluinya, dia sudah cepat maju memberi hormat kepada menteri itu. Menteri Cang memandang kepadanya penuh selidik. Dari para penyelidiknya, pembesar ini mendengar bahwa Hay Hay merupakan seorang di antara para pendekar, yang tadi mengamuk mati-matian membantu pasukan pemerintah, bahkan pemuda ini yang telah menempur Sim Ki Liong, tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai itu.

"Harap Taijin sudi memaafkan kami. Sesungguhnya perkelahian ini hanyalah urusan pribadi. Mereka semua menuduh bahwa hamba adalah seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat yang jahat dan keji. Karena hal itu tidak benar, maka hamba menyangkal dan mereka lalu menyerang hamba dan terjadilah perkelahian itu."

Lega rasa hati Ling Ling dan Pek Eng yang tadinya sudah pucat dan cemas kalau-kalau aib yang menimpa diri mereka akan dibicarakan di tempat umum seperti itu.

"Bohong, Taljin! Dia memang benar jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Kami melihat buktinya, dan anak murid kami yang telah menjadi korbannya!" terdengar Tiong Gi Cinjin dari Bu-tong-pai berseru marah. "Karena itu, pinto harus membunuhnya!" Kakek ini saking marahnya sudah menggerakkan tongkatnya dan menghantam dengan sepenuh tenaga ke arah kepala Hay Hay. Pemuda itu mengangkat kedua lengannya.

"Dukkk!" Tongkat itu tertangkis dan sekali memutar kedua tangannya, Hay Hay telah berhasil merenggut tongkat itu terlepas dari kedua tangan lawan. Demikian cepat dan kuat gerakannya sehingga Tiong Gi Cinjin tidak mampu lagi mempertahankan tongkatnya. Akan tetapi Hay Hay menyodorkan kembali tongkatnya itu dan berkata dengan tenang.

"Harap Totiang suka bersikap jantan dan tenang, dan tidak membuat ribut di depan Cang Taijin."

Tosu itu menerima kembali tongkatnya dan mukanya berubah merah karena rikuh terhadap Menteri Cang. "Sudahlah." Kata pembesar itu, "Urusan Cu-wi adalah urusan pribadi, karena itu harus diselesaikan secara pribadi pula. Cu-wi adalah pendekar-pendekar yang telah berjasa kepada negara, akan tetapi kalau di sini membuat ribut, berarti melanggar peraturan dan larangan perintah. Kalau Cu-wi masih berkeras membuat ribut di sini, terpaksa kami akan mempergunakan kekuatan kami untuk menangkap Cu-wi dan untuk diajukan di depan pengadilan untuk menemukan siapa yang salah. Kami tidak menghendaki hal itu terjadi, maka biarlah kami menjadi saksi dan Cu-wi selesaikan urusan ini dengan jalan damai di depan kami."

"Taijin, harap Paduka suka mempertimbangkan dengan adil." kata pula Tiong Gi Cinjin. "Seorang anak murid Bu-tong-pai, gadis yang masih muda, telah menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu si penjahat cabul jai-hwa-cat yang terkenal di dunia kang-ouw. Anak murid Bu-tong-pai kami sebar untuk mencari penjahat itu dan pada suatu hari, murid-murid kami menemukan pemuda itu sedang main-main dengan perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang ditinggalkari pada mayat murid perempuan kami yang telah dihina dan dibunuhnya. Jelas bahwa dia ini Ang-hong-cu pemerkosa dan pembunuh murid perempuan kami, oleh karena itu, bukankah sudah adil dan sepatutnya kalau kami hendak membunuhnya? Bukan sekedar membalas kematian murid kami, juga untuk melenyapkan seorang penjahat besar yang mengancam keamanan dunia, terutama kaum wanitanya!"

Menteri Cang mengangguk-angguk dan menoleh kepada Hay Hay, di dalam hatinya kurang percaya bahwa pemuda gagah ini seorang jai-hwa-cat yang memperkosa dan membunuh wanita dengan kejam.

"Bagaimana pembelaanmu terhadap tuduhan ini, orang muda?" tanyanya.

"Taijin, hamba dengan tegas menyatakan bahwa hamba bukanlah jai-hwa-cat Ang-hong-cu. Akan tetapi, kalau hanya satu pihak menuduh dan.lain pihak menyangkal, takkan ada habisnya. Hamba berjanji kepada Bu-tong-pai bahwa hamba akan mencari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang sesungguhnya dan kalau perlu menyeretnya ke Bu-tong-pai untuk mengakui kejahatannya itu. Kalau hamba tidak berhasil, boleh saja Bu-tong-pai minta pertanggunganjawab hamba. Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang telah mengganas di dunia kang-ouw sebelum hamba lahir, jadi tidak mungkin hamba yang menjadi jai-hwa-cat Ang-hong-cu."

"Enak saja berjanji!" kata seorang di antara Bu-tong Liok-eng. "Apakah engkau sudah mengenal Ang-hong-cu yang sebenarnya?"

" Aku tahu siapa dia walaupun aku belum sempat berjumpa dengan Ang-hong-cu yang memang sedang kucari.” jawab Hay Hay.

"Anghong-cu adalah ayah kandungnya!” Tiba-tiba terdengar Pek Eng berseru dan semua orang terkejut dan terheran-heran mendengar ini. Bahkan Hui Lian menutup mulutnya menahan teriakan kaget, juga Kui Hong dan Ling Ling memandang dengan mata terbelalak. Semua orang memandang kepada Hay Hay.

Hay Hay menjadi pucat seketika ketika dia mengangkat muka memandang kepada Pek Eng sejenak, lalu menundukkan mukanya yang ternyata berubah merah sekali. Rahasianya telah dibuka gadis yang merasa penasaran itu. Biarlah, biarlah semua orang tahu bahwa dia anak jai-hwa-cat. Biarlah dunia tahu bahwa dia anak haram dari Ang-hong-cu, penjahat cabul yang amat jahat itu. Kenyataan ini tak perlu ditutupi lagi, tak perlu dirahasiakan lagi karena hal itu bukanlah kesalahannya.

Kini dengan perlahan Hay Hay mengangkat mukanya yang sudah normal kembali, bahkan mulutnya tersenyum duka, dan dia memandang orang sekelilingnya, lalu memandang kepada Menteri Cang, dan mengangguk. "Ucapan itu benar. Aku adalah anak seorang wanita yang menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu. Karena itu, harap para Enghiong dan Locianpwe dari Bu-tong-pai menyadari. Dia adalah Ayah kandungku, dan aku akan mencarinya sampai dapat, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik terhadap murid Bu-tong-pai, terhadap mendiang Ibuku, atau terhadap semua wanita yang pernah menjadi korbannya!"

"Siancai…..!" Tiong Gi Cinjin berseru. "Sekarang pinto mengerti dan maafkan kekhilafan kami. Kalau saja sejak dahulu engkau mengatakan hal ini. Ah, kalau begitu, perhiasan tawon merah yang berada di tanganmu itu…."

"Itulah perhiasan yang ditinggalkan oleh Ibuku kepadaku, sebagai tanda bahwa beliau menjadi korban Si Tawon Merah."

"Sekarang kami merasa puas dan baiklah, kami menerima kesanggupanmu, orang muda yang gagah. Bu-tong-pai hanya akan menunggu sampai engkau dapat menangkap Ang-hong-cu." Lalu Tiong Gi Cinjin menoleh kepada Menteri Cang. "Taijin, kami dari Bu-tong-pai sudah tidak ada urusan lagi dengan orang muda ini, harap Taijin sudi memaafkan keributan yang kami lakukan tadi."

Menteri Cang tersenyum girang, diam-diam dia merasa terharu atas pengakuan Hay Hay tadi. Seorang pemuda yang gagah perkasa, mengaku sebagai putera kandung yang tidak sah dari seorang jai-hwa-cat yang dicari-cari para pendekar untuk dibunuh! "Bagus, segala urusan dapat diselesaikan dengan musyawarah, asal dilakukan dengan hati jernih dan kepala dingin. Bagaimana, apakah masih ada orang lain yang mempunyai urusan pribadi dengan Saudara Tang Hay?" tanyanya sambil memandang kepada Han Siong, Ling Ling dan Kui Hong yang tadi mengeroyok Hay Hay.

"Taijin, perkenankanlah hamba bicara empat mata dengan Saudara Tang Hay." kata Han Siong yang mulai merasa sangsi akan keterangan adiknya. Harus diakuinya bahwa Hay Hay merupakan seorang pemuda yang amat luar biasa, memiliki ilmu sihir dan silat yang amat tinggi sehingga dia sendiri kewalahan menghadapinya. Biarpun keturunan jai-hwa-cat, namun sikap Hay Hay tidak menunjukkan bahwa dia seorang pengecut yang jahat, maka dia ingin membicarakan urusan itu dengan Hay Hay, tentu saja tanpa didengar orang lain kecuali dia dan Pek Eng.

"Baik sekali, silakan. Pek-enghiong." kata pembesar itu. Han Siong lalu mengajak Hay Hay untuk menyingkir dari situ dan memilih tempat sunyi di antara pohon-pohon, cukup jauh dari situ. Dia pun memberi isarat kepada adiknya untuk ikut dan kini mereka bertiga berdiri berhadapan di bawah pohon, dapat terlihat oleh Menteri Cang, akan tetapi tidak dapat terdengar apa yang mereka bicarakan.

"Saudara Tang Hay, sekarang aku minta pengakuanmu tentang….”

"Aku sudah tahu, Saudara Pek Han Siong." Hay Hay memotong. "Adik Eng sendiri sudah pernah menyerangku mati-matian."

"Apakah engkau akan bersikap demikian pengecut untuk menyangkal perbuatanmu itu terhadap Adikku?"

Hay Hay tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Entah mengapa, agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa hidupku, sejak lahir sampai sekarang, selalu menjadi korban keadaan. Dilahirkan oleh seorang ibu yang menjadi korban perkosaan kemudian mati membunuh diri, kemudian dijadikan penggantimu, seorang Sin-tong sehingga aku diperebutkan seperti sebuah benda pusaka! Kemudian setelah dewasa, aku dijadikan korban fitnah dari sana-sini. Sungguh mati, Saudara Pek Han Siong, bukan aku orangnya yang telah menodai Adik Eng…”

"Hay-ko... begitu kejamkah hatimu, untuk tetap menyangkal? Jangan kira bahwa aku begitu kejam dan tak tahu malu untuk menjatuhkan fitnah kepadamu, Hay-ko. Karena engkaulah orangnya yang melakukan, maka tentu saja aku minta pertanggunganjawabmu, sebagai seorang jantan, sebagai seorang pendekar! Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk menghancurkan perasaan dan kehormatanku?" Pek Eng menangis.

Hay Hay menarik napas panjang dan memandang kepada Han Siong. "Saudara Pek Han Siong, bolehkah aku mempergunakan kekuatan batin untuk memaksa Adikmu mengucapkan pengakuan yang sebenarnya akan apa yang telah menimpa dirinya? Agar dia menjawab dengan sepenuh hati dan sejujurnya atas semua pertanyaanku? Ataukah engkau yang hendak mempergunakan kekuatan batin itu atas dirinya?"

Han Siong mengerti apa yang dimaksudkan Hay Hay dan dia pun mengangguk. Dia mulai meragukan apakah benar Hay Hay telah melakukan perbuatan itu lalu menyangkal secara pengecut. Melihat sikapnya, agaknya Hay Hay bukan seorang pengecut.

"Baik, lakukanlah." katanya lirih sambil memasang perhatian sepenuhnya untuk mengamati agar Hay Hay tidak menyalahgunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi jawaban Pek Eng. Sementara itu, Hay Hay lalu berkata, suaranya berpengaruh dan menggetar.

"Eng-moi, kaupandanglah mataku, dan jawablah sejujurnya apa yang kutanyakan kepadamu!"

Pek Eng mengangkat muka memandang. Ia terkejut bertemu dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu, akan tetapi untuk membuang pandang mata atau mengelak sia-sia belaka karena ia tidak mampu lagi melepaskan pandang matanya yang sudah bertaut dan melekat dengan pandang mata Hay Hay.

"Eng-moi, katakanlah sejujurnya, siapa yang malam itu memasuki pondok taman dan menggaulimu?"

Dengan mata yang tak pernah berkedip, memandang wajah Hay Hay Pek Eng menjawab, suaranya datar, "Dia adalah Hay-ko."

Jawaban ini sudah diduga oleh Hay Hay, maka dia tidak merasa terpukul. Dia tahu bahwa Pek Eng bukan melakukan fitnah, melainkan benar-benar merasa yakin bahwa yang menggaulinya itu adalah dia. Dia harus dapat mengorek rahasia init tanda-tanda pada laki-laki itu yang akan dapat memberikan jejak kepadanya.

"Eng-moi, ketika laki-laki itu memasuki pondok, bagaimana cuaca dalam pondok itu? Gelap ataukah terang?"

"Gelap."

"Apakah engkau dapat melihat wajah laki-laki itu?"

"Tidak."

"Lalu bagaimana engkau dapat yakin bahwa dia adalah Hay-ko?" tanya Hay Hay.

"Sudah pasti dia. Hay-ko tadinya meninggalkan aku, lalu dia kembali dan aku mengenal bentuk tubuhnya, wajahnya ketika tanganku merabanya."

"Apakah dia mengeluarkan suara?"

"Tidak."

Hay Hay menjadi bingung, lalu berpikir keras. “Apakah tidak ada sesuatu yang khas pada orang itu, suaranya, tanda sesuatu pada tubuhnya, atau... mungkin bau badannya?”

Sampai beberapa detik lamanya Pek Eng tidak menjawab, kemudian ia berseru, "Bau badannya... ah, aku teringat bau badannya, bau harum cendana…”

Hay Hay menyudahi pengaruh sihirnya dan Pek Eng merasa seperti orang baru sadar dari tidur. Hay Hay memandang kepada Pek Han Siong, dan berkata. “Tidak begitu jelas memang keterangan Eng-moi, akan tetapi, Saudara Pek Han Siong, engkau tahu bahwa aku tidak berbau cendana."

Han Siong mengerutkan alisnya. “Lalu, siapa kiranya orang itu kalau bukan engkau?"

Hay Hay menggeleng kepala. "Aku belum tahu, aku belum dapat menduga, akan tetapi... rasanya bau cendana itu tidak asing bagiku harap engkau dan Eng-moi menanti sebentar, biar aku mengambil keputusan apa yang dapat kujanjikan kepadamu, Saudara Pek. Akan tetapi kalau engkau dan Eng-moi kukuh berkeyakinan bahwa aku yang berdosa, nah, silakan kalau hendak membunuhku. Aku tidak akan melawan, namun kuperingatkan kalian bahwa kalian akan menanggung dosa yang amat besar karena aku sungguh tidak bersalah!"

Pek Han Siong adalah seorang pemuda yang cukup bijaksana, pernah menerima gemblengan dari para hwesio yang hidup bersih di kuil Siauw-lim-si. Oleh karena itu, dia dapat menangkap kebenaran kata-kata Hay Hay, maka dia pun menggandeng tangan adiknya, diajak pergi, kembali ke tempat di mana Menteri Cang dan para pendekar lainnya masih menunggu, setelah berkata kepada Hay Hay. "Baik, kami percaya kepadamu dan kami menunggu!"

"Tapi, Koko…." Pek Eng membantah.

"Sudahlah, kau percaya saja kepadaku, Adikku." kata Han Siong.

Hay Hay menarik napas lega. Andaikata tadi kakak beradik itu tidak percaya kepadanya dan menyerangnya, dia akan memejamkan mata saja dan menerima kematiannya! Kini tinggal Ling Ling! Maka dia meloncat ke tempat pertempuran tadi dan berkata kepada Ling Ling yang masih digandeng Kui Hong.

"Ling-moi, mari kita bereskan urusan antara kita di sana." ajaknya.

Ling Ling yang sejak tadi sudah dibujuk Kui Hong, untuk menyerahkan urusan itu kepadanya, kini menoleh dan memandang kepada Kui Hong.

"Baik, ia akan pergi bersamaku bicara denganmu!" kata Kui Hong dengan suara ketus. Gadis ini pun maklum bahwa untuk membicarakan urusan Ling Ling, tidak mungkin dilakukan di depan banyak orang. Dua orang wanita itu lalu mengikuti Hay Hay yang juga mengajak mereka menjauhi semua orang untuk dapat bicara tanpa terdengar orang lain.

Setelah mereka bertiga berhadapan, Kui Hong yang sudah menjadi marah sekali dan membenci Hay Hay, segera berkata, "Laki-laki busuk! Apalagi yang hendak kaukatakan kepada kami? Engkau telah memperkosa Ling Ling secara kejam dan biadab, dan engkau bahkan begitu pengecut untuk menyangkal perbuatanmu yang busuk itu! Sekarang, apalagi yang akan kaulakukan?"

Ling Ling mengusap air matanya karena hatinya hancur teringat akan malapetaka yang menimpa dirinya. Hay Hay menghela napas panjang. Tadi dia berani mempergunakan ilmu sihir untuk memaksa Pek Eng mengucapkan pengakuan yang sejujurnya, karena di situ ada Han Siong yang menjadi saksinya. Kini, dia tidak berani melakukan hal serupa kepada Ling Ling karena hal itu tentu akan menambah kecurigaan dua orang gadis itu.

“Kui Hong, harap bersabar dulu. Engkau hanya baru mendengar keterangan sepihak, dari pihak Ling Ling yang memang sedang menyangka bahwa aku pelaku pemerkosa yang biadab itu. Akan tetapi, kalau engkau mau mendengarkan keterangan dariku, aku sama sekali tidak merasa pernah melakukan perbuatan biadab itu, baik kepada Ling Ling atau kepada wanita manapun juga! Ling Ling engkau adalah murid keponakanku sendiri, puteri dari Suhengku, bagaimana mungkin aku melakukan perbuatan sekeji itu terhadap dirimu? Apakah engkau tidak keliru sangka?"

Ling Ling menghentikan tangisnya dan mengangkat muka memandang wajah Hay Hay, kini pandang matanya tajam penuh selidik dan ia menggeleng kepala penuh keyakinan.

"Aku tidak mungkin keliru." Katanya pasti.

"Bukankah engkau sedang tidur pulas ketika ditotok orang?"

"Benar, akan tetapi aku lalu tersadar walaupun tidak mampu bergerak."

"Dan waktu itu malam, gelap sekali, bukan?"

"Remang-remang, walaupun aku tidak dapat melihat wajahmu dengan jelas, namun bentuk mukamu, bentuk wajahmu dengan jelas, namun bentuk mukamu, bentuk wajahmu, aku tidak akan keliru sangka. Pula, tidak ada orang lain kecuali engkau yang tahu bahwa aku menunggu di tempat sunyi itu. Dan kalau orang biasa saja, apakah akan mampu menotokku sampai tidak mampu bergerak? Akan tetapi, engkau adalah sute dari Ayahku, engkau mengenal ilmu silatku….."

"Dan orang itu sama sekali tidak mengeluarkan suara?"

Ling Ling mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak."

"Ling Ling, aku tahu dan yakin bahwa engkau seorang gadis yang budiman, gagah perkasa dan tidak akan mungkin mau melakukan fitnah, dan aku yakin engkau jujur. Coba ingat-ingat, apakah tidak ada sesuatu yang khas pada orang itu? Sesuatu yang merupakan tanda, mungkin cacat di tubuhnya, atau suaranya, atau sinar matanya, atau mungkin juga... bau badannya?"

Ling Ling termenung dan sepasang alisnya berkerut, kemudian tiba-tiba ia berkata. "Ah, aku ingat. Dia... dia... mengeluarkan bau harum... seperti bunga…. Seperti madu... bau bunga... ya, bau bunga….”

"Bunga cendana….?"

"Benar! Bau bunga cendana!"

Seketika wajah Hay Hay menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar seperti melihat setan, dan dia pun meloncat tinggi, dan ketika turun, dia mengepal tinju dan terdengar suaranya melengking nyaring seperti jeritan seekor binatang buas yang marah.

"Han Lojin….!!!" Dan Hay Hay sudah melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Lengkingan panjang yang amat nyaring ini terdengar sampai di tempat di mana Menteri Cang dan yang lain-lain masih menanti. Semua pendekar terkejut, apalagi ketika melihat Hay Hay berlari cepat seperti itu lewat di dekat mereka. Han Siong dan beberapa orang sudah berlompatan maju menghadang karena mengira bahwa Hay Hay yang menjadi tertuduh itu melarikan diri. Akan tetapi Hay Hay melompat ke samping, menghindar dan kembali dia berteriak, sekali ini lebih nyaring daripada tadi.

"Han Lojiiiinnnn….!!!" Sambil berterlak-teriak memanggil nama ini seperti orang kesetanan, Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit di mana Han Lojin dijadikan tawanan oleh Menteri Cang.

Para pendekar cepat melakukan pengejaran, juga Kui Hong dan Ling Ling yang tadi terkejut, kini ikut pula mengejar. Menteri Cang, yang juga ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi, menunggang kuda dikawal oleh para perwira, setelah memberi perintah kepada komandan pasukan untuk membereskan para tawanan pemberontak.

Dengan mngerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya berlari cepat, Hay Hay tak terkejar oleh para pendekar dan dia dapat tiba lebih dahulu di bukit kecil itu. Pasukan yang berjaga di situ sudah mendengar laporan bahwa pasukan pemerintah berhasil baik dan bahwa Han Lojin yang ditawan di situ bukanlah pembohong, maka mereka pun tidak ketat menjaga Han Lojin, memberinya kebebasan di puncak bukit. Akan tetapi ketika mereka melihat Hay Hay, pemuda yang tidak mereka kenal, komandan jaga lalu membawa anak buahnya menghadang.

"Hei, berhenti! Siapapun juga dilarang naik ke puncak bukit ini!"

Hay Hay masih tertegun dan mukanya penuh keringat. Dia teringat akan Tek-pai, tanda kuasa yang diterimanya dari Menteri Yang Ting Hoo, maka tanpa banyak cakap dia mengeluarkan tanda kuasa itu, memperlihatkannya kepada komandan jaga. Melihat tanda kuasa ini, komandan segera memberi hormat, diturut oleh para anak buahnya.

"Di mana Han Lojin?" Hay Hay bertanya. "Aku harus berjumpa padanya, penting sekali!"

."Dia berada di dalam kamarnya, di pondok itu, sejak pagi tadi tidak pernah keluar dari dalam pondok.”

"Kalau begitu, biarkan aku menemuinya dalam pondok."

"Silakan, Taihiap!" kata komandan itu, menyebut Taihiap (Pendekar Besar) setelah melihat pemuda itu membawa tanda kuasa dari Menteri Yang. HayHay melompat dan berlari cepat ke puncak bukit. Tubuhnya berkelebat dan melihat pemuda itu bergerak ke atas seperti terbang saja, komandan jaga dan anak buahnya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.

"Han Lojin, keluarlah!" Hay Hay berseru. Tiada jawaban. Dengan tidak sabar lagi Hay Hay mendorong daun pintu. Pintu terbuka dan ternyata pondok itu kosong, dan semua jendelanya terbuka sehingga sinar matahari memenuhi pondok. Tiada seorang pun di situ, akan tetapi Hay Hay segera tertarik oleh coret-coret di dinding sebelah dalam pondok. Tulisan yang cukup indah dan jelas dalam bentuk sajak. Dibacanya tulisan itu.

Beterbangan dari bunga ke bunga

menyusup kelopak bunga harum semerbak

sepuas hati menghisap madunya

meninggalkan bunga layu tergeletak!

Kamu Tawon Muda tiada guna

hanya puas dimabok harum bunga

biarkan seratus bunga melayu

masih ada ribuan kuncup mekar penuh madu!

Hay Hay mengerutkan alisnya, dan kini dia melihat dua buah benda berkilauan di atas meja dekat dinding itu. Ketika dja menghampiri, ternyata dua buah benda itu adalah dua perhiasan tawon merah, persis seperti yang tersimpan dalam kantung bajunya! Dan terdapat sehelai kertas tertulis di bawah dua benda perhiasan itu. Cepat disambarnya kertas itu dan dibaca tulisannya.

“Dua buah tanda mata ini untuk Nona Pek Eng dan Nona Cia Ling, masing-masing sebuah.”

Dan di dalam tulisan itu terdapat lukisan seekor tawon merah! Wajah Hay Hay berubah pucat kedua tangan yang memegang surat itu gemetar, dan tiba-tiba dia meremas hancur surat itu, lalu menyimpan dua buah perhiasan yang amat dibencinya itu ke dalam saku bajunya. Kemudian, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang ke arah tulisan sajak di atas dinding, tubuhnya gemetar dan kedua tangannya digenggam kuat-kuat dan dia pun mengeluarkan bentakan nyaring.

"Jahanaaaammmm….!" Dihantamnya meja di depannya.

"Braaakkkk…..!!" Meja itu hancur berkeping-keping, akan tetapi tubuh Hay Hay terkulai di atas lantai, pingsan! Dia telah mengalami guncangan batin yang amat hebat. Ketika untuk kedua kalinya, pertama dari Pek Eng, kemudian kedua kalinya dari Ling Ling, dia mendengar bahwa yang menggauli Pek Eng dan memperkosa Ling Ling itu seorang pria yang mengeluarkan bau harum bunga, madu dan cendana, dia pun segera teringat. Hanya Han Lojin yang mengeluarkan bau seperti itu! Hal ini diingatnya benar, karena ketika dia disuguhi arak di waktu malam itu oleh Han Lojin, dia pun mencium bau yang khas itu, yang sempat membuatnya terheran-heran. Dan dia pun merasa yakin bahwa pelaksana kejahatan yang amat keji itu tentulah Han Lojin yang lihai! Ini merupakan guncangan pertama. Kemudian, di dalam pondok ini, setelah membaca sajak itu, apalagi membaca surat dan peninggalan dua buah perhiasan tawon merah, hatinya terguncang untuk ke dua kalinya, bahkan lebih hebat lagi karena dia mendapat kenyataan bahwa Han Lojin penjahat keji yang telah memperkosa Pek Eng dan Ling Ling, bukan lain adalah Ang-hong-cu, atau ayah kandungnya sendiri! Kebencian menyesak di dadanya. Ayah kandungnya itu terkenal sebagai Ang-hong-cu, jai-hwa-cat yang amat kejam dan jahat, pemerkosa ibunya, kemudian bahkan memperkosa dua orang gadis dusun yang sederhana itu, dan kini memperkosa Pek Eng dan Ling Ling! Lebih hebat lagi, semua orang menyangka dia yang melakukan perbuatan itu, dan agaknya Han Lojin atau Ang-hong-cu orang she Tang itu agaknya memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya. Bahkan dari sindiran pada sajak itu, agaknya Ang-hong-cu atau Han Lojin sudah tahu bahwa dia adalah puteranya yang dikatakan "Tawon Muda tiada guna!" Pantas dia pernah disuguhi arak perangsang, tentu dengan maksud agar dia memperkosa atau menggauli Pek Eng, perbuatan yang tentu akan menyenangkan hati ayah kandung itu karena dianggap cocok dengan wataknya, dianggap mewarisi bakat dan keahlian ayah kandungnya!

Ketika Menteri Cang dan para pendekar memasuki pondok itu, Hay Hay sudah siuman dari pingsannya, dan dia demikian terpukul sehingga dia masih berlutut di atas lantai dan termenung seperti orang kehilangan semangat.

Kok Hui Lian yang tadi merasa amat khawatir akan keadaan Hay Hay dan wanita yang diam-diam amat mencinta Hay Hay ini tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya, mempergunakan ilmu berlari cepat yang membuat tubuhnya meluncur bagaikan terbang, kini sudah tiba paling depan dan ia pun menyentuh pundak Hay Hay dengan lembut dan penuh kekhawatiran.

"Hay Hay, apakah yang telah terjadi?" tanyanya.

"Di mana Han Lojin?" terdengar pertanyaan-pertanyaan dari para pendekar yang tadinya sudah tahu bahwa Han Lojin ditahan di pondok itu.

Ketika Menteri Cang muncul pula ke dalam pondok, semua orang memberi jalan dan dia pun bertanya, "Di mana adanya Han Lojin? Tang-enghiong (Orang Gagah. Tang), di mana Han Lojin?" tanyanya kepada Hay Hay.

Sejak. tadi, Hay Hay diam saja seolah-olah tidak mendengar pertanyaan orang-orang itu, bahkan seolah-olah tidak sadar bahwa pondok itu telah penuh orang. Kini, mendengar suara Menteri Cang, dia pun sadar dan mengangkat kepala memandang pembesar itu. Akan tetapi dia pun tidak menjawab, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah tulisan di dinding.

Semua orang, termasuk Menteri Cang, membaca sajak di dinding itu, dan mulailah mereka itu berseru kaget dan suasana menjadi bising.

"Ang-hong-cu….! Ada gambar tawon merah….!”

"Kalau begitu, dia Ang-hong-cu….!"

"Han Lojin adalah Ang-hong-cu…..!"

Kini Hay Hay telah sadar betul. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, menyapukan pandang matanya kepada mereka semua, kemudian dia berkata, suaranya lantang. "Benar sekali! Han Lojin adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), penjahat cabul, jai-hwa-cat yang amat kejam! Dia adalah Ayah kandungku! Dialah yang melakukan semua kejahatan terhadap wanita, yang dituduhkan kepadaku. Aku berjanji, kepada semua orang, untuk mencarinya, untuk meminta pertanggunganjawabnya! Akan tetapi, kalau masih ada yang penasaran dan hendak menghukum aku sebagai anaknya, sebagai penggantinya yang menerima hukuman, silakan! Aku tidak akan melawan, silakan sebelum aku pergi dari sini untuk memulai dengan tugas yang sudah kujanjikan yaitu mencarinya sampai dapat dan menuntut pertanggunganjawab darinya!"

"Bapaknya jahat, anaknya pun tentu jahat! Biar aku yang menghukumnya!" Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan Bu-tong Liok-eng, enam orang tokoh murid utama dari Bu-tong-pai, berlompatan maju dan mengepung Hay Hay yang sudah keluar dari dalam pondok dan berada di pelataran pondok itu.

Akan tetapi tiba-tiba Hui Lian melompat ke dalam kepungan, mukanya merah, matanya bersinar-sinar.

"Hay Hay tidak bersalah, kalau ada yang hendak mengganggunya, akan berhadapan dengan aku!"

Suaminya, Ciang Su Kiat, yang juga berpendapat bahwa Hay Hay tidak dapat disalahkan, sudah maju pula di samping isterinya sehingga Hui Lian merasa girang sekali.

"Saudara Tang Hay tidak bersalah, biarkan dia pergi mencari Ayah kandungnya seperti yang telah dijanjikannya tadi." kini Han Siong juga melangkah maju ke dalam kepungan, siap untuk membela Hay Hay karena dia tidak merasa rela kalau sampai pemuda perkasa itu dibunuh tanpa dosa.

"Siancai... kalian mundurlah." Kata Tiong Gi Cinjin. "Bukankah tadi sudah ada kesepakatan antara kita dengan putera Ang-hong-cu itu?" Mendengar teguran paman guru mereka, juga melihat betapa orang-orang sakti itu maju membela Hay Hay, Bu-tong Liok-eng lalu mundur.

Hay Hay memandang ke sekeliling, terutama sekali dia memandang wajah Ling Ling dan Pek Eng dengan penuh iba, kemudian mengangkat kedua tangan ke dada memberi hormat. "Terima kasih atas kepercayaan Cu-wi. Bagaimanapun juga, yang melakukan kejahatan-kejahatan itu adalah Ayah kandungku sendiri, oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau di sini aku mohon maaf sebesarnya kepada Cu-wi. Percayalah, aku akan pergi mencarinya sampai dapat, dan akan kupaksa dia untuk mempertanggungjawabkan semua dosanya. Kalau perlu, dia mati di tanganku atau aku mati di tangannya. Nah, selamat tinggal dan maafkan aku" Hay Hay memberi hormat lalu meloncat jauh dan berlati secepatnya meninggalkan tempat itu.

Menteri Cang lalu menghaturkan terima kasih kepada para pendekar atas bantuan mereka sehingga pemberontakan dapat ditumpas dan menawarkan bantuan bagi mereka yang kehilangan anggauta atau teman dalam pertempuran itu. Para pendekar lalu bubaran.

Pek Eng yang bertemu dengan ayahnya lalu lari menghampiri ayahnya dan disambut dengan pelukan. Gadis itu menangis di dada ayahnya. Pek Kong, atau Ketua Pek-sim-pang, mengajak kedua orang anaknya, yaitu Pek Han Siong dan Pek Eng untuk bicara di tempat terpisah. Bahkan dia minta permisi kepada sahabatnya, Song Un Tek untuk dapat bicara bertiga saja dengan kedua orang anaknya.

"Nah, sekarang ceritakanlah apa artinya semua itu." kata Pek Kong dengan nada suara yang penasaran. "Pertama, aku minta penjelasan dari engkau Eng-ji. Apa yang telah terjadi sehingga Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis itu mendatangi Kang-jiu-pang dan memutuskan pertalian jodoh antara engkau dan Song Bu Hok, bahkan suami isteri iblis itu telah membikin kacau dan menyerang orang-orang Kang-jiu-pang!"

Dengan muka menunjukkan penyesalan dan ketakutan terpaksa Pek Eng menceritakan betapa ia ditangkap oleh anak buah Lam-hai Giam-lo dan untuk menyelamatkan diri, ia terpaksa mau menjadi anak angkat dan murid Lam-hai Giam-lo. Karena tidak setuju dengan ikatan jodoh itu, ia minta kepada Lam-hai Giam-lo untuk membatalkannya dan ketua pemberontak itu mengutus Lam–hai Siang-mo untuk mendatangi Kang-jiu-pang dan memutuskan pertalian jodoh.

Merah wajah Pek Kong mendengar pengakuan puterinya itu. "Hemm, sungguh engkau membikin malu keluarga kita!" omelnya. "Lalu apa artinya keributan dengan Tang Hay tadi? Han Siong, mengapa pula engkau bersusah payah berusaha untuk membunuh Tang Hay?"

Han Siong tidak berani menjawab dan memandang kepada adiknya Pek Eng sudah menangis dan tiba-tiba ia menubruk kaki ayahnya dan menangis sesenggukan. Pek Kong amat mencinta Pek Eng, maka betapa pun marahnya, melihat puterinya merangkul kedua kakinya dan menangis sesenggukan, dia terkejut dan mengangkat bangun gadis itu.

"Engkau kenapakah?"

"Ayah, ampunkan aku, Ayah... atau... bunuh saja aku…..!”

"Eh, sudah gilakah engkau? Apa yang telah terjadi?"

"Koko... tolonglah, ceritakan kepada Ayah…" pinta Pek Eng kepada kakaknya dengan sendu. Bagaimanapun juga, bagaimana ia dapat menceritakan aib yang telah menimpa dirinya itu kepada ayahnya?

Han Siong mengangguk, maklum akan perasaan adiknya. Dia pun ingin menolong adiknya dan meringankan kesalahan adiknya, oleh karena itu dia berani sedikit membohong kepada ayahnya. "Ayah, sesungguhnya, Eng-moi telah menderita malapetaka yang hebat. Ia telah... telah diperkosa orang..."

"Apa…." Pek Kong berseru keras dan mukanya berubah pucat. "Bagaimana…? Siapa…?” Dia tergagap saking kaget dan marahnya mendengar bahwa puterinya telah diperkosa. Berita ini agaknya lebih hebat daripada berita kematian.

Han Siong maklum akan keadaan ayahnya maka dengan tenang dia lalu berkata, "Harap Ayah suka menenangkan hati Ayah. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih kalau sudah dikehendaki oleh Thian. Eng-moi diperkosa orang yang memiliki ilmu tinggi, ia tidak berdaya dan tertotok. Tadinya Eng-moi menyangka bahwa pelakunya adalah Tang Hay, oleh karena itu ia memusuhi Tang Hay dan minta kepadaku untuk menghajarnya. Itu pula sebabnya mengapa aku berkelahi mati-matian melawan Tang Hay. Akan tetapi, kemudian kita sama melihat bahwa Tang Hay tidak berdosa, bahwa yang melakukan hal itu bukan lain adalah Ang-hong-cu, Ayah kandung Tang Hay yang menyamar sebagai Han Lojin."

Kini wajah Pek Kong menjadi merah dan dia mengepal tinju, marah sekali. "Keparat! Kita harus mencarinya untuk membuat perhitungan!"

Melihat kemarahan ayahnya, Han Siong mendekati dan menghibur. "Ayah, memang peristiwa ini menyakitkan hati, menyinggung kehormatan keluarga kita, dan menghancurkan kehidupan Eng-moi. Akan tetapi, Tang Hay sudah berjaji untuk mencari dan menangkap ayah kandungnya sendiri. Dan kita harus ingat, Ayah. Sejak dahulu, memang ada hubungan dekat sekali antara Ang-hong-cu dengan kita. Bukankah Tang Hay itu anak kandungnya, dan Tang Hay telah dipergunakan oleh keluarga kita untuk menggantikan aku, untuk menyelamatkan aku? Agaknya itulah kesalahan keluarga kita, Ayah, sehingga kini timbul peristiwa dan aib yang menimpa keluarga kita. Yang penting sekarang adalah mengurus bagaimana baiknya dengan nasib Adikku ini.”

Pek Kong menarik napas panjangd an memandang kepada puterinya itu, walaupun tidak menangis sesenggukan, tetap saja mengeluarkan air mata yang menetes-netes di sepanjang kedua pipinya. “Baiklah, memang seyogiyanya begitu. Aku akan membicarakan hal ini dengan keluarga Song. Eng-ji, bagaimana skearang, apakah engkau masih tetap tidak setuju kalau menjadi isteri Song Bu Hok?”

Pek Eng mengangkat mukanya yang basah, memandang ayahnya dengan sikap memelas, lalu ia mengangguk lemah. “Aku menurut saja apa yang dia tentukan Ayah, akan tetapi, Ayah, aku… aku sudah…” Ia tidak dapat melanjutkan.

"Jangan khawatir. Aku tahu bahwa Song Bu Hok sungguh mencintamu, dan mudah-mudahan dia cukup gagah untuk dapat melihat bahwa peristiwa ini bukan karena kesalahanmu."

"Tapi, Ayah, bukan sebaiknyakah kalau aib ini dirahasiakan dari orang lain? Mungkin harus berterus terang kepada Song Bu Hok, akan tetapi, kurasa tidak perlu diketahui keluarganya. Hal itu akan amat merugikan Eng-moi, karena akan dipandang rendah." Mendengar pendapat puteranya, Pek Kong mengangguk-angguk setuju.

"Engkau benar, aku yang akan bicara empat mata dengan Song Bu Hok setelah kita pulang nanti,” kata Ketua Pek-sim-pang itu.

"Dan aku akan pergi mengunjungi guru-guruku di kuil Siauw-lim-si, Ayah, bersama Sumoi Bi Lian. Ada urusan yang amat penting antara aku, Sumoi, dan kedua orang Guru kami. Kelak akan kuceritakan kepada Ayah akan semua itu."

Demikianlah, ayah dan dua orang anaknya ini lalu berpisah. Han Siong menemui Bi Lian yang sudah dijanjikan akan dibawa menghadap kedua orang gurunya di kuil Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong mengajak puterinya yang prihatin itu untuk pulang.

Bagaimana dengan Ling Ling? Gadis ini bersama Kui Hong meninggalkan tempat itu dengan sedih. Kesedihan yang dirasakan Ling Ling hampir mirip dengan kesedihan Pek Eng. Kedua orang gadis ini bukan hanya menyedihi nasib mereka yang sudah dinodai aib, kehilangan keperawanan dan kehormatan, melainkan lebih daripada itu, ketika mereka melihat kenyataan bahwa yang memperkosa mereka itu bukan Hay Hay melainkan ayah kandung pemuda utu, seorang jai-hwa-cat yang amat jahat! Inilah yang menyedihkan hati mereka, bahkan membuat harapan mereka lenyap sama sekali. Kalau Hay Hay yang menjadi pelakunya, sedikitnya mereka masih mengharapkan pemuda itu mau mengakui dan bertanggung jawab mengawini mereka!

Kui Hong tak pernah melepaskan tangan Ling Ling, menggandengnya ketika mereka meninggalkan sarang pemberontak yang telah dikuasai pasukan pemerintah. Setelah berada berdua saja, sambil bersandar kepada Kui Hong, Ling Ling menangis, dihibur sepanjang jalan oleh Kui Hong. Ling Ling membayangkan nasibnya. Ia mencinta Hay Hay, hal ini tak dapat disangkalnya pula, dan biarpun tadinya ia mengira bahwa Hay Hay telah memperkosanya, namun ia siap untuk memaafkannya bahkan bersedia menjadi isteri pemuda yang dicintanya itu. Akan tetapi, kenyataannya demikian pahit.

Pemerkosanya adalah Ang-hong-cu, penjahat besar, ayah kandung Hay Hay. Bagaimana ia dapat hidup terus menahan siksa batin karena aib ini? Bagaimana pula ia akan menghadap ayah dan ibunya? Ah, ayah dan ibunya tentu akan merasa terpukul, akan ikut menderita sengsara. Membayangkan betapa ayahnya akan berduka sekali, ibunya akan menangis, tiba-tiba Ling Ling melepaskan diri dari gandengan tangan Kui Hong, menjerit dan berlari seperti orang gila! Kui Hong terkejut dan mengejar, khawatir sekali karena agaknya Ling Ling tidak mempedulikan lagi ke mana ia lari, seperti orang yang lari sambil menutup matanya.

"Ling Ling….! Bethentilah, Ling Ling….!" Kui Hong mengejar sekuat tenaga. Ia terbelalak melihat betapa Ling Ling lari mendaki bukit, terus lari ke arah tebing yang curam.

"Ling Ling…!" Wajah Kui Hong sudah menjadi pucat sekali kareha ia merasa tidak akan mampu mencegah gadis itu yang agaknya akan lari terus dari atas tebing!

Ling Ling yang berlari terus agaknya tidak melihat bahwa ia berlari menuju ke tebing yang curam. Tapi tebing itu dua tiga meter lagi dan tiba-tiba nampak berkelebat sesosok bayangan dari samping dan tubuh Ling Ling sudah disambar dan dirangkul pinggangnya oleh Can Sun Hok.

"Lepaskan aku….! Lepaskan aku….!” Ling Ling meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri, namun Sun Hok mempergunakan seluruh tenaganya untuk memeluk dan tidak mau melepaskan gadis itu. Melihat betapa pemuda ini nekat merangkulnya, Ling Ling menjadi heran, keheranan yang sejenak membuat ia bingung dan yang mengatasi kedukaan dan keputusannya, yang membuatnya ingin membunuh diri itu. Ia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu, dan kembali ia membentak.

"Lepaskan aku!"

"Tidak, Ling-moi, tidak mungkin aku membiarkan engkau lepas dan melanjutkan niatmu yang sesat itu!" kata Sun Hok, tetap merangkul pinggangnya. Ling Ling menjadi semakin bingung. Perkenalannya dengan Sun Hok belum lama, akan tetapi telah timbul keakraban di antara mereka ketika mereka berdua menghadapi gerombolan pemberontak itu. Hok menyebutnya adik dan ia pun menyebut kakak kepada pemuda perkasa itu.

"Hok-ko, lepaska aku dan jangan engkau mencampuri urusannku!" kembali ia meronta dengan sia-sia.

"Ling-moi, aku tahu bahwa engkau ingin membunuh diri ke jurang itu! Ingin membunuh diri! Perbuatan itu sungguh sesat, pengecut dan sama sekali keliru, Ling-moi. Karena itu, sebelum engkau mengubah pendirianmu itu, aku tidak akan melepaskanmu!”

Ling Ling menjadi marah. Tangan kanannya sudah menempet di tengkuk pemuda itu. "Lepaskan! Kalau tidak, kubunuh engkau lebih dahulu!”

Sun Hok tidak terkejut, melainkan tersenyum. "Bagus, kalau engkau masih dapat marah, hal itu berarti engkau masih suka hidup. Ling-moi, kalau engkau hendak membunuhku sebelum engkau bunuh diri, silakan. Biarlah aku akan mengantarkanmu ke alam baka. Nah, sialakan…..”

Melihat kepasrahan pemuda ini, Ling Ling menjadi lemas lahir batin. Tenaganya seperti habis dan ia pun menangis, mengguguk di atas pundak pemuda itu yang kini melepaskan rangkulan pada pinggannya dan merangkul pundak gadis itu, mengelus rambut kepalanya dan membiarkan gadis itu menangis sepuas hatinya.

Kui Hong menghampiri dan gadis ini menarik napas lega. Wajahnya masih pucat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan tadi, dan melihat betapa Ling Ling menangis dalam rangkulan pemuda itu, ia tidak berani mengeluarkan kata-kata, takut kalau-kalau Ling Ling "kumat" lagi kenekatannya. Ia hanya saling pandang dengan Sun Hok, pemuda yang sudah dikenalnya itu. Beberapa tahun yang lalu, ia dan ibunya pernah bertemu dengan pemuda ini yang tadinya mendendam kepada ibunya karena kematian ibu pemuda ini, seorang tokoh sesat bernama Gui Siang Hwa, disebabkan karena bertanding melawan Ibunya. Akan tetapi ibunya dapat menyadarkan Can Sun Hok. Dan agaknya memang pemuda ini telah menjadi seorang pendekar yng gagah perkasa. Buktinya, dia pun muncul dalam pertempuran melawan kaum sesat yang memberontak, bersamaan dengan Ling Ling yang agaknya dikenal dengan baik. Tentu ada apa-apa di antara mereka, pikir Kui Hong, dan tanpa banyak cakap, sebelum Ling Ling sempat melihatnya, dam-diam Kui Hong meninggalkan kedua orang itu.

Setelah tangisnya mereda, Ling Ling teringat bahwa ia menangis di dada pemuda itu sehingga baju bagian dada Sun Hok menjadi basah. Ia lalu melepaskan diri dan dengan lembut Sun Hok melepaskan pelukannya. Gadis itu mundur dua langkah, mengangkat muka dan memandang dengan sepasang mata yang kemerahan dan basah. Sun Hok memandang dengan senyum yang membesarkan hati, dan sepasang matanya jelas membayangkan perasaan iba dan sayang.

"Hok-ko, kenapa…. kenapa engkau... menghalangi aku? Kenapa engkau tidak membiarkan aku mati saja sehingga aku akan terbebas dari penderitaan?" kata Ling Ling, suaranya setengah menyesal dan setengah menegur.

Sun Hok masih tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Ling Ling, bagaimana mungkin aku membiarkan engkau mati? Hal itu sama saja dengan membunuh kebahagiaan dan harapan hidupku sendiri. Tidak, Ling-moi, aku tidak akan membiarkan engkau mati seperti juga dunia tidak akan membiarkan hilangnya matahari."

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak mengamati wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, bertubuh tegap dan matanya mencorong, sikapnya ramah dan sederhana. "Hok-ko… apa... apa maksudmu? Apa... artinya kata-katamu itu, Hok-ko…?” tanyanya bingung dan jantungnya berdebar karena samar-samar ia dapat menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu, namun ia masih belum dapat menetima atau percaya begitu saja.

"Engkau tentu mengerti, Ling-moi, bahwa sejak kita saling berjumpa, aku…. aku mengagumimu, menyukaimu, mengasihanimu dan aku... cinta padamu."

Sepasang mata Ling Ling semakin terbelalak, dan wajahnya yang tadinya pucat kini berubah merah sekali, kemudiaan wajah yang membayangkan kekagetan dan keheranan itu berubah, berkerut-kerut, bibir itu gemetar, matanya menjadi sayu dan tak tertahankan lagi Ling Ling lalu menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, terisak-isak, lebih sedih daripada tadi!

Can Sun Hok mengerutkan alisnya, dan menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara lembut sekali. "Ling-moi, sungguh aku tidak tahu diri dan lancang sekali. Aku bahkan menambah kedukaanmu dengan singgungan. Kalau kejujuranku tadi menyinggung hatimu, kaumaafkan aku, Ling-moi.”

Sampai lama Ling Ling tidak mampu menjawab, hanya terisak-isak, pundaknya terguncang-guncang dan air mata menetes melalui celah-celah jari tangannya. Akhirnya setelah tangisnya mereda, ia menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Sun Hok yang masih menanti dengan sabar.

“Bukan begitu maksudku, Hok-ko…. aku… aku menjadi semakin sedih karena…. karena engkau begitu baik, engkau…. engkau menyatakan cinta kepadaku, padahal aku… aku…..”

Sun Hok tersenyum lembut dan memandang dengan sikap memberi semangat. “Engkau kenapa Ling-moi? Bagiku, engkau gadis yang paling hebat di dunia ini.”

“Aihh… Hok-ko, aku…. aku tidak berharga untuk menjadi sisihanmu…. aku…. aku….”

“Engkau kenapakah? Katakanlah Ling-moi, aku siap mendengar yang bagaimanapun juga.”

Ling Ling menatap tajam wajah pemuda itu, mengumpulkan ketabahannya dan ia pun berkata. “Aku… aku telah ternoda…. aku bukan perawan lagi, Hok-ko….” Dan ia pun menundukkan mukanya yang menjadi pucat, air matanya mengalir di sepanjang kedua pipinya, kedua kakinya menggigil dan ia tentu akan roboh kalau saja Sun Hok tidak cepat menghampiri dan memegang kedua pundaknya mengguncangnya sedikit untuk membersi semangat dan kekuatan.

“Aku telah mengetahui, Ling-moi, aku telah dapat menduga semuanya.”

Ling Ling semakin terkejut dan heran. Ia mengangkat muka dan memandang pemuda itu, sinar matanya menyelidik, melalui genangan air matanya. “Engkau…. engkau sudah tahu….? Bagaimana……. engkau bisa tahu?”

“Sejak bertemu denganmu, melihat engkau berkelahi mati-matian melawan pemuda perkasa bernama Tang Hay itu, mendengar engkau menyebutnya jai-hwa-cat, dan melihat kebencianmu kepadanya, aku sudah menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat antara engkau dan dia. Kemudian, tidak percuma aku bertemu dan jatuh hati kepadamu, Ling-moi, aku memperhatikan semua gerak-gerikmu, dan aku melihat smeua yang terjadi ketika engkau menyerang Tang Hay, kemudian melihat perkembangannya aku dapat menduga bahwa engkau tentulah seorang diantara korban-korban dari jai-hwa-cat yang ternyata kemudian adalah Ang-hong-cu, Ayah kandung Tang Hay! Benarkah demikian, Ling-moi?”

Ling Ling menggerakkan tangan mengusap air matanya, dan ia mengangguk. “Benar dugaanmu, Hok-ko. Aku adalah seorang korban dari jai-hwa-cat itu, yang tadinya kukira Hay-ko orangnya. Dan engkau…. engkau sudah t ahu bahwa aku bukan perawan lagi, sudah ternoda, tercemar badan, nama dan kehormatanku, akan tetapi engkau…. engkau masih menyatakan cinta…..?”

Sun Hok melepaskan kedua pundak gadis itu lalu mundur dua langkah. Mereka saling pandang dan Sun Hok mengangguk. “Benar, Ling-moi. Aku cinta padamu, dan dengar baik-baik, engkaulah yang kucinta, engkau, jiwa ragamu, engkau seutuhnya! Bukan mencinta nama dan kehormatanmu. Dan aku merasa bangga dan girang sekali bahwa engkau telah berani mengaku di depanku, hal ini menandakan bahwa cintaku tidak keliru. Engkau seorang gadis yang hebat sekali. Akan tetapi… Ling-moi, aku masih merasa ragu apakah seorang gadis sehebat engkau ini akan mungkin membalas cinta kasihku? Jawablah, Ling-moi, sudikah engkau menerima pinangan dan maukah engkau menjadi calon isteriku?”

Kembali mereka saling pandang, dan sebelum Ling Ling menjawab, Sun Hoj sudah mendahuluinya. “Nanti dulu, Ling-moi! Jangan jawab dulu sebelum engkau mendengar siapa adanya diriku ini!”

“Engkau seorang pendekar gagah perkasa dan patriotik!”

Sun Hok menggeleng kepala. “Jauh daripada itu, Ling-moi. Mendiang ibuku adalah seorang tokoh sesat yang terkenal amat lihai! Hanya saja, aku sadar akan kesesatannya dan tidak mengikuti jejaknya.

Dan yang lebih daripada itu, aku… aku telah mempunyai seorang selir, Ling-moi. Jadi, kalau engkau sudi menjadi isteriku, disana telah menanti seorang selir, berarti seorang madu bagimu…”

Kini Ling Ling mengangkat muka memandagng dengan mata dilebarkan. “Seorang selir….? Tapi, kenapa tidak menjadi isterimu? Siapa ia dan bagaimana hanya menjadi selir? Ceritakanlah tentang wanita itu...."

Sun Hok mengangguk-angguk. "Bukan isteri, hanya selir, itu pun hanya seorang calon selir. Ia tidak mau menjadi isteriku, hanya mau menjadi selir, itu pun kalau aku sudah beristeri, kalau belum, ia tidak mau."

Ling Ling semakin heran. "Hok-ko, ceritakan tentang dia!" Ling Ling semakin tertarik sekali. Sun Hok lalu bercerita dengan sejujurnya tentang Bhe Siauw Cin, gadis penyanyi bekas dayang seorang pangeran di kota raja yang di pergunakan oleh Jaksa Kwan untuk merayu dan membujuknya itu. Siauw Cin memang sudah mengaku kepadanya akan keadaan dirinya yang sebenarnya dan Sun Hok sudah memaafkannya. Dia menceritakan kepada Ling Ling betapa Siauw Cin yang mencinta dirinya, tidak mau mendatangkan aib kepada namanya dan hanya mau melayani sebagai seorang selir kalau dia sudah menikah.

"Demikianlah, sekarang ia berada di rumahku, menjadi seorang pengurus rumah dan juru masak. Ialah yang akan menjadi selirku kalau engkau sudi menjadi isteriku, Ling-moi."

Ling Ling mengerutkan alisnya, dan diam-diam ia merasa kagum sekali kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang jujur, yang tidak malu mengakui kelemahannya dan cacatnya, kalau saja mempunyai seorang calon selir dapat dikatakan cacat. Agaknya pemuda itu pun sengaja menceritakan hal ini untuk membangkitkan harga diri Ling Ling, karena setidaknya, Ling Ling akan menganggap bahwa Sun Hok pun mempunyai cacat dan seperti juga dirinya, menjadi jodohnya tidak dalam keadaan "utuh". Dan biarpun harus diakuinya bahwa hatinya pernah jatuh kepada Hay Hay, namun sejak bertemu dengan Sun Hok, ia pun merasa tertarik dan kagum kepada pemuda ini.

"Ling-moi, bagaimana? Sudikah engkau menerima cintaku, sudikah engkau menjadi calon isteriku?"

Akhirnya Ling Ling memandang kepadanya dan menarik napas panjang. "Hok-ko, engkau telah menghindarkan aku dari kematian bunuh diri yang sesat, engkau seolah memberi harapan dan kehidupan baru bagiku. Tentu saja aku merasa berterima kasih sekali dan menerima uluran tanganmu dengan bersukur dan dengan gembira. Akan tetapi bagaimanapun juga, yang akan mengambil keputusan adalah Ayah Ibuku. Aku akan pulang ke dusun Ciang-si-bun, menceritakan semuanya kepada orang tuaku." Berkata demikian, nampak oleh Sun Hok betapa gadis itu gemetar, agaknya merasa ngeri untuk menceritakan malapetaka yang menimpa dirinya kepada Ayah Ibunya. Dengan hati penuh iba Sun Hok maju dan merangkulnya.

"Jangan khawatir Ling-moi, aku akan menyertaimu, dan aku akan membantumu bercerita kepada mereka, juga sekalian mengajukan pinangan karena aku sudah tidak mempunyai orang tua yang akan “mengajukan pinangan.

Ling Ling merasa demikian lega dan girang sehingga sejenak ia menyandarkan kepalanya di dada calon suaminya itu. Kedamaian yang menenteramkan hatinya, yang mendatangkan harapan baru baginya, menyelubungi hatinya dan gadis ini nampak tersenyum manis walaupun kedua pipinya masih ada sisa air mata yang tadi.

Kita manusia hidup bagaikan mendayung perahu di tengah samudera kehidupan yang luas, penuh dengan ombak mengalun yang menghantam biduk kita dari kanan kiri! Biduk yang kita dayung di tengah samudera kehidupan itu dipermainkan ombak senang dan susah silih berganti. Mulut ini sampai lelah rasanya oleh permainan tawa dan tangis yang saling menyeling tiada hentinya, walaupun tangis datang lebih banyak daripada tawa sepanjang hidup kita. Kita selalu mendambakan kesenangan yang membuat kita tertawan, dan kita menjauhi kesusahan yang mendatangkan tangis. Namun, mungkinkah itu? Mungkinkah ombak mengalun dari satu sisi saja? Senang dan susah hanyalah suatu timbal- balik seperti terang dan gelap, seperti siang dan malam. Tidak mungkin mendapatkan senang saja sepanjang hidup tanpa menemukan susah, karena senang dan susah merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan, seperti dua permukaan dari satu mata uang yang sama! Kalau sudah mengetahui ini, maka bijaksanalah orang yang tidak menjadi lupa daratan di kala senang, dan tidak menjadi putus semangat di kala susah. Dari susah ke senang, dan sebaliknya, hanya satu langkah saja! Lebih bijaksana lagi kalau kita mau mengamati dan mempelajari apa sebenarnya susah dan senang itu, bagaimana munculnya. Sesungguhnya, susah dan senang hanyalah permainan pikiran belaka, pikiran yang menilai berdasarkan keuntungan dan kepentingan pribadi. Segala peristiwa yang menguntungkan pribadi, mendatangkan senang, dan sebaliknya yang merugikan pribadi mendatangkan susah. Kalau pikiran tidak menimbang-n-mbang, menilai, maka segala peristiwa adalah wajar dan tidak akan menimbulkan susah senang. Berbahagialah dia yang berada di luar jangkauan susah senang ciptaan pikiran ini. Pengamatan mendalam secara pasip (tanpa mengubah) bilamana susah atau senang menguasai batin merupakan langkah pertama ke arah kebebasan.

"Heii, di mana Bibi Kui Hong…..?" Tiba-tiba Ling Ling teringat dan melepaskan diri dari rangkulan Sun Hok.

“Ia tadi menuju ke sana…." Sun Hok menunjuk ke arah sebuah hutan kecil tak jauh dari situ.

"Mari kita cari Bibi Kui Hong!" Ling Ling lalu berlari ke arah itu, diikuti oleh Sun Hok.

"Bibi Kui Hong….! Bibi Kui Hong…..!” Beberapa kali Ling Ling memanggil ketika memasuki hutan itu.

"Lihat itu di sana! Seperti ada kertas menempel di batang pohon." tiba-tiba Sun Hok berkata. Ling Ling menengok dan menghampiri sebatang pohon besar. Benar saja ada kertas berlipat menempel di batang pohon itu, ujungnya tertusuk sebuah ranting kecil. Ling Ling cepat mengambil kertas itu, dibukanya dan ternyata kertas itu adalah sehelai surat dari Kui Hong kepadanya! Segera dibacanya surat singkat itu.

Ling Ling,

CanSun Hok adalah cucu seorang pangeran, dia seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Semoga engkau dapat hidup berbahagia dengan dia.

Bibimu,

Cia Kui Hong.

Ling Ling tersenyum dan semakin gembira. Kiranya pemuda yang mencintanya ini bukan orang sembarangan, melainkan cucu seorang pangeran. Akan tetapi mengaku putera seorang wanita tokoh sesat! Sambil tersenyum ia menyerahkan surat itu kepada Sun Hok yang membacanya pula. Pemuda itu pun tersenyum.

"Ah, kiranya wanita perkasa itu, cucu Pendekar Sadis, adalah Bibimu? Ternyata engkau keturunan keluarga para pendekar yang hebat. Ling-moi!"

Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Ciang-si-bun di sebelah selatan kota raja, ke tempat tinggal orang tua Cia Ling. Ketika mereka tiba di rumah Cia Sun, kembali Cia Ling merasa tegang dan ada rasa takut menyelinap dalam hatinya. Kalau saja ia tidak pulang bersama Sun Hok, kiranya ia tidak akan berani langsung menceritakan keadaan dirinya kepada ayah ibunya. Kehadiran Sun Hok membesarkan hatinya, apalagi karena selama dalam perjalanan itu, Sun Hok membuktikan dirinya sebagai seorang pria yang menghargainya dan sopan.

Cia Sun dan Tan Siang Wi menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira. Akan tetapi Tan Siang Wi merasa agak khawatir melihat wajah puterinya yang agak pucat dan sinar matanya yang redup seperti orang menderita tekanan batin. Sedangkan Cia Sun merasa heran ketika melihat puterinya pulang bersama seorang pemuda tampan yang sederhana sikapnya.

Dengan suara tersendat-sendat bercampur tangis, akan tetapi dibantu dan diberi semangat oleh Sun Hok, akhirnya keluar pula dari mulut Ling Ling cerita sedih tentang malapetaka yang menimpa dirinya, yaitu diperkosa oleh seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu. Baru cerita itu tiba di bagian ini, Tan Siang Wi yang berwatak angkuh dan galak itu telah melompat berdiri dari kursinya, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali, kedua tangan dikepal dan matanya mendelik.

“Aku harus mencari Ang-hong-cu! Aku akan mengadu nyawa dengan jahanam keparat busuk itu!"

Akan tetapi Cia Sun yang berwatak sabar dan halus, menyentuh lengan isterinya dan berkata, "Tenang dan bersabarlah. Segalanya telah terjadi dan mari kita mendengarkan cerita Ling-ji lebih lanjut." Akhirnya wanita yang marah itu dapat dibikin tenang dan dengan kedua mata basah ia mendengarkan kelanjutan cerita anaknya

Ling Ling melanjutkan ceritanya bahwa bukan hanya ia yang menjadi korban, akan tetapi banyak dan di antaranya seorang murid Bu-tong-pai. Kini Ang-hong-cu menjadi buronan dan dikejar oleh puteranya sendiri yang bernama Tang Hay karena pemuda ini hendak mencuci namanya yang tadinya menjadi pusat persangkaan dan dia ingin memaksa agar ayah kandungnya mempertanggungjawabkan semua perbuatannya yang jahat. Juga Ling Ling menceritakan tentang pemberantasan gerombolan sesat yang memberontak sehingga gerombolan itu dapat dihancurkan. Demikian pula pertemuan-pertemuannya dengan Kui Hong dan para pendekar lainnya.

"Dan siapakah orang muda ini?" Cia Sun bertanya kepada puterinya setelah ceritanya selesai.

"Ayah, dia adalah seorang di antara para pendekar yang membantu membasmi gerombolan pemberontak. Namanya Can Sun Hok, tinggal di kota Siang-tan. Dia...dia ikut bersamaku ke sini... untuk... untluk….” Ling Ling tidak melanjutkan ucapannya melainkan menoleh ke arah Sun Hok seperti hendak minta bantuan. Suami isteri pendekar perkasa itu kini memandang kepada Sun Hok. Di dalam hati mereka terdapat penasaran karena tadi puteri mereka menceritakan tentang aib yang menimpa dirinya di depan pemuda asing ini pula.

Sun Hok cepat memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu. Dia tadi terkesan melihat sikap orang tua Ling Ling. Ibunya demikian galak penuh semangat dan keberanian, ayahnya demikian pendiam dan tenang, penuh wibawa. Hatinya gentar juga menghadapi dua orang yang perkasa ini.

"Harap Paman dan Bibi sudi memaafkan saya. Sebetulnya, amat tidak pantas kalau saya datang menghadap sendiri untuk keperluan ini, akan tetapi mengingat bahwa saya tidak mempunyai keluarga lagi, tiada Ayah Bunda, maka terpaksa saya memberanikan diri menghadap Paman dan Bibi untuk mengajukan pinangan atas diri Ling-moi, untuk menjadi calon isteri saya kalau Paman dan Bibi sudi menerima saya yang bodoh dan yatim piatu sebagai calon mantu."

Suami isteri itu sating pandang dan nampak ibu Ling Ling membelalakkan kedua matanya, lalu menoleh kepada puterinya.

"Dia... dia sudah tahu... tentang dirimu….?" tanyanya kepada Ling Ling.

Ling Ling mengangguk. "Sudah, Ibu. Bahkan sudah menduganya sebelum aku berterus terang kepadanya. Aku tentu sudah mati membunuh diri dengan terjun ke jurang kalau saja tidak ada Hok-ko ini yang mencegahku. Dia tidak peduli akan aib yang menimpa diriku, bahkan dia merasa iba kepadaku."

Mendengar ini, ibu Ling Ling merasa terharu dan suami isteri itu tentu saja tidak menolak, bahkan berterima kasih sekali kepada pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawa puteri tunggal mereka, bahkan mau pula mencuci aib itu dengan menikahinya. Akan tetapi, sebagai seorang wanita yang terkenal angkuh, belum puas rasa hati Tan Siang Wi kalau belum mendapat keterangan tentang asal-usul pemuda yang akan menjadi mantunya. Maka, secara langsung saja ia lalu bertanya tentang orang tua pemuda itu, walaupun ayah ibu pemuda itu telah meninggal dunia.

"Ibu, Hok-ko adalah cucu seorang pangeran." Ling Ling berkata untuk mengangkat pemuda itu dalam pandangan ibunya.

Akan tetapi Sun Hok segera berkata. "Ah, keturunan bangsawan itu sudah tidak termasuk hitungan lagi. Memang, Kakek saya adalah Pangeran Can Seng Ong, yang pernah rnenjadi gubernur di Ning-po. Kemudian Kakek saya pindah ke Siang-tan. Ayah saya bernama Can Koan Ti, dan Ibu saya... bernama Gui Siang Hwa dan mereka sudah meninggal dunia semua….”

Tiba-tiba Tan Siang Wi meloncat dari kursinya. Matanya terbelalak karena ia ingat benar kepada nama itu. "Gui Siang Hwa? Benarkah nama ibumu Gui Siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis?"

Sambil menundukkan mukanya, Sun Hok berkata, "Benar, Bibi. Mendiang Ibu saya adalah seorang tokoh sesat."

Cia Sun juga tertegun. Lebih lagi Tan Siang Wi. Ia pernah bentrok dengan Gui Siang Hwa dan teringatlah ia akan masa lalu, ketika ia masih seorang gadis, pernah ia bertanding melawan Gui Siang Hwa yang amat lihai dan ia kalah bahkan tertawan oleh wanita iblis itu (baca kisah Asmara Berdarah). Wanita ini menjadi bingung. Ia bermantukan putera Gui Siang Hwa yang terkenal dengan julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi) itu? Tidak mungkin! Akan tetapi, ia pun teringat akan keadaan puterinya yang sudah ternoda, dan ingat betapa putera Gui Siang Hwa ini adalah seorang pendekar, bahkan patriot! Maka ia terduduk kembali dan termangu-mangu, memandang suaminya.

Cia Sun menarik napas panjang. "Di dalam kehidupan manusia, ada tiga hal yang sudah ada garisnya, sudah ditentukan dan diatur oleh kekuasaan Thian, yaitu kelahiran, perjodohan dan kematian. Kita manusia hanya mampu menerima saja dan dalam perjodohan, yang terpenting adalah cinta kasih antara kedua orang yang berjodoh. Can Sun Hok, apakah engkau benar-benar mencihta puteri kami Cia Ling?" Sambil bertanya sinar mata Cia Sun dengan tajam mengamati wajah pemuda itu. Sun Hok balas memandang dan menjawab dengan suara yang tenang dan tegas, tanpa ragu-ragu.

"Saya mencinta Ling-moi dengan sepenuh hati, Paman."

"Dan engkau, Ling Ling, apakah engkau mencinta Can Sun Hok?" Kini pendekar itu memandang kepada Ling Ling. Wajah gadis ini berubah merah dan sambil mengerling ke arah Sun Hok, ia pun menjawab dengan lantang dan tegas.

"Ayah, aku... aku cinta padanya."

Cia Sun mengangguk-angguk. "Bagus, kalau begitu, kami orang tua hanya tinggal melaksanakan saja pernikahan antara kalian. Kita memilih hari dan bulan dan merayakan pernihakan kalian secara sederhana saja.” Keluarga itu dengan hati gembira, lalu merayakan pulangnya Ling Ling, juga merayakan perjodohan antara kedua orang muda itu. Cia Sun dan isterinya akhirnya merasa puas dan gembira juga mendengar tentang riwayat hidup Can Sun Hok yang tanpa merahasiakan lagi menceritakan pertemuannya dengan Ceng Sui Cin yang tadinya dianggap musuh besarnya, betapa kemudian dia sadar setelah mendengar wejangan wanita perkasa itu. Biarpun mendiang ibunya seorang tokoh sesat yang terkenal jahat, namun pemuda ini agaknya tidak mewarisi kejahatan ibunya.

Demikianlah, seperti bergantinya hujan dan mendung dengan sinar matahari yang cerah, setelah mengalami penderitaan batin karena diperkosa orang yang hampir saja membuat Ling Ling membunuh diri, kini gadis itu menemukan kebahagiaan di samping Can Sun Hok yang mencintanya. Setelah menjadi isteri pemuda itu dan dibawa pulang ke Siang-tan, ke rumah megah di mana ia dipertemukan dengan Bhe Siauw Cin, hati Ling Ling menjadi semakin gembira. Bhe Siauw Cin ternyata seorang wanita muda yang selain cantik jelita, juga ramah dan halus budi bahasanya, pandai membawa diri dan biarpun ia seorang bekas penyanyi dan penghibur panggilan kelas tinggi, namun ia cerdas dan memiliki banyak pengetahuan sehlngga Ling Ling yang kini menjadi "nyonya besar" banyak belajar dari wanita ini, juga dalam melayani suaminya. Pada masa itu, merupakan hal yang lajim bagi seorang pria, apalagi kalau dia bangsawan atau hartawan untuk memiliki isteri lebih dari seorang walaupun isteri yang lain dinamakan selir. Ling Ling hidup berbahagia di samping suaminya dan madunya.

* * *

Nasib Pek Eng tidaklah sebaik nasib Ling Ling yang mendapatkan seorang suami yang selain mencintanya, juga dicintanya. Namun mengingat akan peristiwa yang mendatangkan aib bagi diri Pek Eng, nasibnya dapat dinamakan baik juga. Setelah ayahnya, Pek Kong yang menjadi Ketua Pek-sim-pang, diam-diam menemui Song Bu Hok dan mengajaknya bicara empat mata.

Setelah memesan kepada pemuda itu bahwa apa yang akan dibicarakan merupakan rahasia besar keluarga Pek dan hanya kepada Song Bu Hok seorang Ketua Pek-sim-pang itu memberitahukan dan minta kepada pemuda itu agar menyimpannya sebagai rahasia sampai mati, barulah Pek Kong menceritakan tentang peristiwa yang menimpa diri puterinya.

Song Bu Hok adalah seorang pemuda keturunan orang-orang gagah pekasa.

Biarpun wataknya agak tinggi hati, akan tetapi memiliki jiwa yang gagah perkasa, seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Mendengar betapa gadis yang dicintanya, yang menjadi calon isterinya karena pinangan ayahnya telah diterima oleh keluarga Pek, diperkosa oleh jai-hwa-cat Ang-hong-cu, dia menjadi marah sekali.

"Saya akan mencari jahanam itu dan akan saya bunuh dia!" katanya penuh geram.

"Bukan itu maksudku mengapa aku membuka rahasia ini kepadamu, Anakku.” kata Pek Kong. "Akan tetapi, kami sekeluarga menanti keputusanmu mengenai ikatan perjodohan antara engkau dan Eng-ji."

Pemuda itu memandang calon ayah mertuanya dengan tajam dan heran. "Keputusan apakah? Bukankah ikatan perjodohan itu telah diputuskan dan kedua pihak telah menyetujuinya?"

" Akan tetapi, setelah malapetaka yang menimpa keluarga kami, setelah tunanganmu itu tercemar, mendapatkan aib... bagaimana pendirianmu?"

Bu Hok mengerutkan alisnya. "Gak-hu (Ayah Mertua), aib yang menimpa tunangan sama dengan aib yang menimpa diri sendiri. Tentu saja saya tidak menyalahkan Eng-moi, saya tetap menghormati dan mencintanya."

Wajah Pek Kong yang tadinya muram kini nampak cerah ketika dia mengamati wajah Song Bu Hok dengan tajam penuh selidik. "Engkau tidak akan merasa kecewa atau menyesal, dan tidak akan memandang rendah, menghina atau membenci Eng-ji karena persitiwa itu?"

"Kenapa saya harus begitu? Eng-moi tidak bersalah. Keparat busuk itulah yang bersalah dan kelak saya akan mencarinya untuk menuntut balas! Mengenai perasaan saya terhadap Eng-moi... saya kira tidak akan berubah, Gak-hu, bahkan bertambah dengan semacam perasaan lagi, yaitu iba. Kasihan Eng-moi yang tertimpa kemalangan seperti itu. Saya tetap menghormati dan mencintanya, Gak-hu."

"Bagus, sungguh sikapmu ini jantan dan mulia, Bu Hok dan engkau telah membuat hati kami menjadi tenang. Terima kasih! Dan tentu engkau akan menyimpan aib dari calon isterimu sendiri, bukan?"

"Tentu saja! Sampai mati peristiwa yang saya dengar dari Gak-hu ini tidak akan keluar dari mulut saja, bahkan mulai saat ini pun sudah saya lupakan."

Demikianlah, akhirnya Pek Eng juga terangkat dan namanya tercuci bersih karena ia menikah dengan Song Bu Hok, putera tunggal Song Un Tek Ketua Kang-jiu-pang, yang menurut pendapat orang banyak, merupakan kedudukan terhormat dan menyenangkan. Song Bu Hok terkenal sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa berwatak baik, dan dari keluarga terhormat, disegani oleh dunia kang-ouw. Memang Pek Eng tidak mempunyai perasaan cinta terhadap Song Bu Hok, akan tetapi ia merasa berhutang budi karena Song Bu Hok tetap menghormati dan mencintanya, bahkan mau menikah dengannya. Hal ini saja sudah membuat ia bersukur dan berhutang budi sehingga setelah menikah, Pek Eng berusaha sekuatnya untuk dapat menumbuhkan perasaan cinta terhadap suaminya.

* * *

Hay Hay seperti menjadi gila. Dia meninggalkan bukit di mana Ang-hong-cu yang mengaku bernama Han Lojin itu ditahan kemudian melarikan diri, meninggalkan sajak yang membuat Hay Hay menderita pukulan batin yang paling hebat. Dia melarikan diri meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan seluruh tenaganya berlari cepat. Bagaikan terbang saja tubuhnya meluncur ke depan tanpa ada tujuan tertentu, lari dan lari terus, seolah-olah dia hendak lari dari kenyataan yang amat pahit getir dan merobek-robek perasaan batinnya itu. Sambil berteriak seperti kuda gila, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang makin menusuk hatinya. Bahwa ayahnya adalah seorang jai-hwa-cat kelas berat, hal itu merupakan luka yang sudah lama. Akan tetapi kini luka itu ditambah lagi dengan kenyataan betapa ayahnya telah mencemarkan Pek Eng dan bahkan memperkosa Cia Ling secara keji. Lebih dari itu malah, ayah kandungnya itu agaknya memang sengaja melakukan hal itu untuk merusak namanya, agar semua orang menuduh dia sebagai pelakunya.

"Ang-hong-cu...! Keparat jahanam, di mana engkau….!!" Akhirnya dia berteriak-teriak, mengerahkan khi-kang sehingga suaranya melengking dan bergema sampai jauh. Dia berlari terus, naik-turun gunung, meloncati jurang-jurang. Kadang-kadang dia berteriak-teriak menyebut nama Ang-hong-cu, kadang-kadang pula nampak air mata bercucuran disepanjang kedua pipinya. Dia berlari terus, tanpa pernah mengurangi tenaganya.

Betapa pun terlatih dan kuatnya, tenaga manusia terbatas dan akhirnya, menjelang senja, Hay Hay roboh terpelanting di atas rumput, di lereng bukit yang sunyi. Dia roboh dan pingsan karena kelelahan dan kehabisan tenaga. Seperti telah mati tubuhnya rebah miring setengah menelungkup di antara rumput tebal hijau segar. Dan kini, setelah roboh pingsan, wajahnya yang tadinya penuh dengan linangan air mata dan nampak lesu, muram dan berkerut-kerut, kini berubah menjadi tenang bahkan ada setengah senyuman membayang pada mulutnya.

Segala macam duka, benci, takut dan sebagainya adalah perasaan yang muncul sebagai kembangnya pikiran. Pikiranlah yang menjadi biangkeladi segala macam emosi dan sentimen di dalam batin kita. Pikiran mengenang masa lalu, membayangkan masa depan, pikiran yang menimbang-nimbang dan menilai-nilai untung rugi terhadap diri kita, menciptakan segala macam perasaan itu. Bahkan, duka dan pikiran bukan dua hal yang berlainan! Duka adalah pikiran itulah. Yang merasa punya diri, yang merasa ada aku, juga pikiran itu dan iba diri timbul pula dari permainan pikiran. Iblis itidak berada jauh dari diri kita, bersarang di dalam pikiran setiap saat membisikkan bermacam kata-kata berbisa, dari yang manis merayu, sampai yang mencaci maki dan menusuk perasaan. Betapa pun duka atau benci atau takutnya seseorang apabila pikirannya tidak bekerja lagi, dalam tidur, dalam pingsan seperti Hay Hay, maka semua bentuk perasaan duka, benci, takut dan sebagainya itu akan lenyap pula! Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk mengalahkan duka, benci atau takut, selama pikiran masih menjadi bisikan iblis. Kalau yang berusaha mengalahkan duka itu pikiran, maka yang muncul hanyalah pelarian, hiburan, dan semua ini kosong dan sia-sia belaka, karena duka ialah pikiran itu sendiri! Bagaimana mungkin pikiran melarikan diri dari dirinya sendiri?

Yang penting adalah melepaskan belenggu ikatan pikiran ikatan si aku, membebaskan diri dari semua permainan pikiran yang menyenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Bukan aku yang membebaskan, karena yang mengaku sebagai "aku yang berusaha membebaskan" bukan lain adalah pikiran pula, dalam bentuk lain. Pikiran memang lihai dan lincah, bagaikan Sun Go Kong (Si Raja Monyet} dalan dongeng See-yuki. Lalu tlmbul pertanyaan, yaitu bagaimana lalu caranya untuk membebaskan diri dari pikiran ini? Pertanyaan ini pun masih sekali tiga uang, sama saja, karena yang bertanya itu juga si aku atau pikiran yang mempunyai pamrih untuk bebas dari pikiran agar tidak ada duka lagi! Setiap gerakan dari pikiran sudah pasti berpamrih, karena pusatnya adalah si aku yang ingin senang!

Jadi : Tidak ada pamrih membebaskan diri, namun sadar akan bekerjanya pikiran kita sendiri yang menjadi sumber dari segala perasaan. Dan tidak terdapat cara untuk membebaskan pikiran, karena pikiran adalah aku atau kita sendiri! Akan tetapi, dengan sepenuh kewaspadaan mengamati diri, mengamati apa yang terjadi di dalam dan di luar diri, di dalam pikiran, mengamati diri ketika timbul duka, benci, takut. Pengamatan inilah yang amat penting. Pengamatan tanpa pamrih, pengamatan tanpa ada si aku yang mengamati karena kalau demikian, tentu si aku akan menilai dan mengubah, mencela dan memuji. Yang ada hanya PENGAMATAN saja, dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian, dengan menyeluruh, namun sedikit pun tidak ada pamrih mengubah atau boleh disebut secara pasip saja.

Angin semilir menggoyangkan rumput-rumput hijau, membuat rambut kepala Hay Hay berkibar pula.

Angin dingin meniupi kepalanya dan hawa dingin menyusup ke dalam kepala, menggugah Hay Hay yang pingsan seperti orang tertidur itu. Dia membuka mata, menggerakkan tubuhnya dan bangkit duduk. Teringat dia akan semua yang terjadi dan dia pun menampar kepala sendiri, lirih, lalu tersenyum.

"Hay Hay, apakah engkau sudah gila? Membiarkah diri terseret oleh duka dan malu? Tenanglah, tidak ada suatu apa pun tidak dapat diatasi di dunia ini."

Dia pun bangkit berdiri, merentangkan kedua lengannya ke atas, menghirup udara segar sampai sepenuh paru-paru dan perutnya, menghembuskannya perlahan dan perasaan lega dan sejuk menyusup sampai ke dalam dirinya yang paling dalam. Dia pun lalu tersenyum lagi dan kembalilah dia seperti keadaan Hay Hay semula, sebelum diracuni duka. Juga perasaan benci terhadap Ang-hong-cu tidak terasa lagi. Dia mengangguk-angguk, merasa bersukur melihat keadaan batinnya. Kemudian, perlahan dia menghampiri sebuah batu besar di bawah pohon tak jauh dari situ, lalu dia duduk di atas pohon. Tempat itu sunyi dan sejuk sekali. Langit senja demikian indahnya, menciptakan awan beraneka warna dan di sudut barat langit terbakar warna merah muda. Di antara kelompok awan yang bentuknya seperti biri-biri putih salju, nampak sinar biru dan ungu, juga ada awan besar yang menghitam yaitu awan mendung yang bagaikan raksasa malas, bergerak perlahan-lahan, tidak secepat awan-awan putih di sekitarnya. Langit bagaikan pemantulan lautan yang amat luas, dengan awan-awan itu mengambang di atasnya secara terbalik, hanyut bersama arus angin.

Di bawah tidak kalah indahnya. Rumput di padang itu hijau kekuningan, segar dan nampak hidup setelah sehari penuh dibakar matahari, kini agaknya dengan penuh harapan menyambut selimut malam yang hitam dan sejuk. Pohon-pohon besar bagaikan raksasairaksasa berjajar, siap untuk memasuki alam gelap malam yang penuh rahasia. Burung-burung sudah sibuk memilih tempat tidur mereka di antara daun-daun dan ranting-ranting, suara mereka bagaikan celoteh yang cerewet menceritakan pengalaman masing-masing sehari yang lalu.

Hay Hay duduk bersila di atas batu. Sebelum membiarkan diri tenggelam ke dalam siu-lian (samadhi), dia lebih dahulu mengenangkan segala yang terjadi. Tentang Pek Eng, tentang Cia Ling, tentang Hul Lian, Kui Hong, dan mereka yang ditemuinya, tentang pertempuran hebat itu. Dan dia menhat betapa dia dituduh karena sikapnya yang manis terhadap setiap wanita yang dijumpainya. Dia dianggap mata keranjang! Mata keranjang! Dia mencari arti dari kata-kata sebutan ini. Mata keranjang! Seorang pria yang suka sekali kepada wanita cantik? Seorang pria yang selalu tertarik kepada wanita cantik? Yang suka memuji-muji kecantikan wanita yang dijumpainya? Itukah yang dinamakan mata keranjang? Pesti bukan seperti Ang-hong--cu! Dia bukan mata keranjang saja, melainkan perusak, penjahat yang berhati kejam dan keji. Tidak, dia tidak seperti Ang-hong-cu, walaupun harus diakuinya bahwa dia suka sekali melihat wanita cantik, tertarik akan kecantikan wanita dan suka memuji-muji kecantikan itu. Apa salahnya dengan ini? Apa salahnya kalau pria itu mata keranjang? Bukankah setiap orang pria, kalau dia itu normal, memang mata keranjang? Bukankah daya tarik atau kecantikan wanita terhadap pria itu sudah alami! Setiap orang pria normal sudah pasti suka melihat kecantikan wanita, sudah pasti tertarik hatinya, sudah pasti memujinya, walau dalam hati. Hanya bedanya, dia tidak mau menyimpan perasaan suka ini menjadi rahasia, dia berterus terang, dia memuji kecantikan wanita seperti memuji keindahan akan kecantikan bunga dan dia mendapatkan kenikmatan batin kalau dia menyampaikan pujiannya itu kepada si empunya kecantikan. Apa salahnya dengan itu? Dia tidak suka untuk berpura-pura, menikmati kecantikan wanita sambil sembunyi, melirik dari sudut, memuji dalam hati, bahkan berpura-pura alim, berpura-pura tidak suka! Ini munafik namanya!

Dia teringat akan ayah kandungnya. Tidak, dia tidak membenci ayah kandungnya. Perasaan benci adalah racun, ini dia tahu benar. Akan tetapi dia pun tahu betapa jahatnya Ang-hong-cu, dan betapa berbahayanya membiarkan orang seperti itu berkeliaran dengan bebas. Tentu akan berjatuhan lagi korban-korban baru. Gadis-gadis cantik yang tidak berdosa, seperti bunga-bunga indah yang dipetik secara kasar, dipermainkan lalu dicampakkan begitu saja, mati melayu di selokan, di tepi jalan, terinjak-injak kaki! Bagaimanapun juga, dia harus mencari Ang-hong-cu sampai dapat, dia harus minta pertanggunganjawab laki-laki itu. Setidaknya, dia akan membuktikan bahwa dia memegang janji, kepada Bu-tong-pai, kepada Pek Han Siong dan Pek Eng, kepada Kui Hong dan Ling Ling.

Hatinya terasa tenteram dan Hay Hay lalu tenggelam ke dalam samadhi.

* * *

Selain Hay Hay, bagaimana dengan Pek Han Siong dan Cu Bi Lian atau Siangkoan Bi Lian yang melakukan perjalanan untuk berkunjung kepada suhu dan subonya, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang bertapa di kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu itu?

Bagaimana pula dengan keluarga Cin-ling-pai yang baru saja mengalami drama rumah tangga yang mengenaskan dengan tewasnya Siok Bi Nio, isteri ke dua Cia Hui Song yang membunuh diri? Juga dengan Cia Kui Hong?

Bagaimana pula dengan keadaan Sim Ki Liong, murid Pendekar Sadis yang sesat itu setelah dia berhasil melarikan diri dari maut ketika terjadi pertempuran yang menghancurkan gerombolan pemberontak? Juga Ji Sun Bi, sudah matikah ia ketika terlempar ke bawah jurang?

Masih terlalu panjang kisah ini, dan karena sudah cukup panjang dengan hancurnya gerombolan pemberontak, maka kisah ini pun selesai sampai di sini untuk BAGIAN PERTAMA. Semua pertanyaan di atas akan terjawab dalam BAGIAN KE DUA, di mana kisah petualangan Hay Hay yang mata keranjang (?) akan diceritakan lengkapnya. Betapa dia mencari Ang-hong-cu sampai dapat berhadapan muka, betapa dia bertemu dengan musuh-musuh lama, musuh.musuh baru, dan terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang lebih seru, seram dan jenaka.

Kemudian pengarang mengharap mudah-mudahan kisah Pendekar Mata Keranjang Bagian Pertama ini dapat menghibur hati para pembaca di samping menghidangkan secuil manfaat yang kiranya dapat dipetik. Sampai jumpa di dalam kisah Pendekar Mata Keranjang Baglan ke Dua.

TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 6 Tamat dan anda bisa menemukan artikel Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 6 Tamat ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kph-pendekar-mata-keranjang-6.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 6 Tamat ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 6 Tamat sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 6 Tamat with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kph-pendekar-mata-keranjang-6.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 2 komentar... read them below or add one }

Unknown mengatakan...

ceritanya mantap sob, ane sudah Follow Members(74)& pasang link blognya sob, pasang juga link ane ya sob http://www.prediksibola.asia

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar