Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 17 Mei 2012

Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang adalah lanjutan dari 2 seri sebelumnya yaitu
Dan jangan lupa untuk membaca juga

Dan inilah Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang selengkapnya..

Pegunungan Cin-ling-san berderet panjang dengan puncak-puncaknya yang tinggi menembus awan, dari barat ke timur. Terletak di perbatasan tiga propinsi, yaitu Propinsi Kan-si dan Shen-si di utara, dan Propinsi Secuan di selatan. Dari pegunungan inilah mengalir air sungai Wei-ho di sebelah utara yang kemudian memuntahkan airnya ke sungai Huang-ho, dan di selatan mengalir sungai Han-sui yang kemudian bergabung dengan sungai Yang-ce.

Karena adanya sumber-sumber air yang besar, maka permukaan gunung Cin-ling-pai nampak kehijauan, tanahnya subur dan para penghuni dusun-dusun di daerah itu tak pernah kekurangan makan. Pemandangan alamnya amat indah, bahkan ada beberapa bukit yang ditumbuhi banyak macam tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat.

Pegunungan Cin-ling-san bukan hanya terkenal karena keindahan alamnya, kesuburan tanahnya dan kesejukan hawanya, akan tetapi bagi dunia kang-ouw terutama sekali karena di situ terdapat sebuah perkumpulan para pendekar yang bernama Cin-ling-pai. Perkumpulan orang gagah ini berada di sebuah lereng dekat puncak, lereng yang subur dan landai. Karena banyak anggauta cin-ling-pai tinggal di situ, maka lereng ini merupakan suatu perkampungan tersendiri di mana terdapat bangunan-bangunan yang di kelilingi pagar tembok. Tidak kurang dari seratus orang anggauta Cin-ling-pai berkumpul di situ, bersama keluarga mereka. Di tengah perkumpulan ini berdiri sebuah bangunan tua yang paling besar, berdiri seperti bersandar pada sebuah bukit, dan ini merupakan rumah tinggal keluarga ketua Cin-ling-pai.

Cin-ling-pai amat terkenal di dunia kang-ouw karena banyak pendekar dari perkumpulan ini membuat nama besar di dunia ramai dan mengangkat nama tinggi Cin-ling-pai sehingga perkumpulan itu di akui sebagai sebuah perkumpulan-perkumpulan besar di waktu itu. Pada waktu itu, perkumpulan orang-orang gagah lainnya yang terkenal adalah Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai, Im-yang-pai dan masih banyak partai atau perkumpulan lain akan tetapi semua itu merupakan cabang atau pecahan dari perkumpulan-perkumpulan besar itu.

Sejak beberapa turunan, Cin-ling-pai dipimpin oleh keluarga Cia. Keluarga ini terkenal sebagai ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi. Banyak macam ilmu silat tinggi yang hebat-hebat dimiliki keluarga ini sehingga nama Cin-ling-pai menjulang tinggi di dunia persilatan. Apalagi karena sepak terjang keluarga ini selalu menentang kejahatan dengan gigih, maka mereka dikenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.

Kurang lebih seratus tahun yang lalu, Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang bernama Cia-Bun-Houw, seorang yang membuat nama besar sehingga bukan hanya namanya yang terkenal, melainkan juga dia membawa nama Cin-ling-pai menjadi terkenal di seluruh dunia persilatan. Yang menggantikan Cia Bun Houw sebagai ketua Cin-ling-pai adalah Cia Kong Liang yang pada waktu itu telah menjadi seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh dua tahun dan tidak aktif lagi melainkan lebih banyak bertapa di dalam kamarnya di bagian belakang bangunan keluarga ketua Cin-ling-pai yang besar itu. Cia Kong Liang digantikan oleh puteranya, Cia Hui Song yang membuat nama Cin-ling-pai semakin harum dengan sepak terjangnya sebagai pendekar yang gagah perkasa.

Pada waktu itu, biarpun Cia Hui Song baru berusia kurang lebih empat puluh empat tahun, namun dia telah mengundurkan diri dari Cin-ling-pai. Memang dia tidak berbakat menjadi seorang ketua, lebih suka hidup bebas dan berkelana bersama isterinya, yaitu Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Dan kedudukan ketua Cin-ling-pai di serahkan kepada ketua baru yang dipilih melalui ujian dan pertandingan. Akhirnya, kedudukan ketua baru dipegang oleh puterinya, yaitu Cia Kui Hong, seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa pula.

Cia Kui Hong baru berusia sembilan belas tahun ketika ia menjadi ketua Cin-ling-pai, hampir dua tahun yang lalu. Sesungguhnya, sebagai seorang gadis pendekar yang memiliki darah petualang yang sama seperti ayahnya. Kui Hong tidak suka menjadi ketua. Kalau ia ikut dalam pemilihan ketua, hal itu ia lakukan karena ia melihat seorang murid baru Cin-ling-pai yang tak disukanya di calonkan oleh kakek Cia Kong Liang menjadi ketua. Ia tidak suka kepada Tang Cun Sek, murid itu, dan untuk mencegah agar orang yang bukan keluarga Cia ini menjadi ketua baru, Kui Hong mengikuti pemilihan ketua. Ia berhasil mengalahkan Tan Cun Sek dan gadis inilah yang dipilih menjadi ketua baru menggantikan ayahnya! Kemudian ternyata bahwa Tang Cun Sek memang bukan orang baik-baik. Setelah ia dikalahkan Kui Hong dalam pemilihan ketua Cin-ling-pai, dia minggat dan mencuri pusaka Cin-ling-pai, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Akhirnya, dalam pertempuran melawan para pendekar, Tang Cun Sek tewas dan pedang Hong-cu-kiam kembali ke tangan Cia Kui Hong. Semua peristiwa itu di ceritakan dalan kisah SI KUMBANG MERAH.

Ketika Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai hampir dua tahun yang lalu, ia menyerahkan kepengurusan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu tokoh Cin-ling-pai yang masih susiok (paman seperguruan) sendiri. Ia sendiri pergi merantau untuk mencari Tang Cun Sek dan merampas kembali pusaka Hong-cu-kiam.

Gouw Kian Sun ternyata cukup pandai memimpin Cin-ling-pai. Apalagi masih ada kakek Cia Kong Liang yang menjadi pengawas dan penasihat, walaupun kakek ini lebih banyak bertapa di dalam kamarnya. Dan Gouw Kian Sun yang usianya empat puluh dua tahun dan belum berkeluarga itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Dia telah menguasai semua ilmu dari Cin-ling-pai, kecuali beberapa ilmu rahasia yang tidak di kuasai sembarang murid.

Diantara ilmu-ilmu silat dari keluarga Cia di Cin-ling-pai, yang paling ampuh antara lain adalah ilmu Toat-po-san, semacam ilmu kekebalan yang membuat kulit tubuh keras dan kuat menahan pukulan dan bahkan bacokan senjata tajam. Thian-te Sin-ciang merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandung tenaga sin-kang amat kuatnya. Siang-bhok-kiam-sut adalah ilmu pedang khas Cin-ling-pai yang asalnya adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu akan tetapi kini dapat pula dimainkan dengan pedang baja yang ringan. Thai-kek Sin-kun adalah ilmu silat yang amat halus namun kokoh kuat, bukan saja dapat dipergunakan untuk memperkuat tubuh sebagai latihan senam lahir batin, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai ilmu bela diri yang ampuh. Di samping ilmu silat tangan kosong Thai-kek Sin-ciang dan Thai-kek Sin-kun, Cin-ling-pai memiliki pula ilmu silat tangan kosong San-in Kun-hwat (Silat Awan Gunung) dan Im-yang Sin-kun. Juga ilmu tongkat pasangan Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga) amat tangguh.

Akan tetapi, semua ilmu silat Cin-ling-pai itu merupakan ilmu silat tinggi yang tentu saja masih ada tandingannya, yaitu ilmu-ilmu dari partai-partai persilatan besar. Hanya ada satu ilmu Cin-ling-pai yang amat ditakuti semua tokoh kang-ouw. Ilmu itu di sebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Kekuatan Mengganti Semangat). Ilmu ini sebenarnya merupakan kekuatan sin-kang (tenaga sakti) yang bekerja di tubuh orang yang menguasai ilmu itu, dan hebatnya, setiap kali bagian tubuh lawan menempel pada tubuh pemilik ilmu ini, maka tenaga sin-kang lawan akan terhisap dan pindah ke dalam tubuh si pemilik ilmu. Ilmu ini amat di takuti orang, karena orang yang lebih tinggi ilmu silatnya pun dibuat tidak berdaya kalau menghadapi ilmu “menyedot sin-kang lawan” ini. Sayang tidak sembarang orang mampu menguasai ilmu ini. Untuk menguasainya, dibutuhkan bakat yang besar dan juga keadaan tubuh yang sesuai. Oleh karena itu, jarang tokoh Cin-ling-pai menguasai Thi-khi-i-beng. Hanya ayah dari mendiang Cia Bun Houw yang bernama Cia Keng Hong yang dapat menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Bahkan Cia Bun Houw juga tidak mampu mewarisinya. Apalagi Cia Kong Liang putera Cia Bun Houw, dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng. Puteranya yang lebih lihai, yaitu Cia Hui Song, juga tidak dapat menguasai ilmu luar biasa itu, apalagi Cia Kui Hong. Seolah-olah ilmu yang amat hebat itu telah lenyap dari Cin-ling-pai karena tidak ada lagi keturunan Cin-ling-pai yang yang menguasainya. Untuk masa itu, kiranya hanya satu orang saja yang menguasainya, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang menjadi majikan penghuni Pulau Teratai Merah!

Demikianlah sedikit catatan mengenai Cin-ling-pai dan para tokohnya. Pada waktu itu, ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong, sudah lama meninggalkan Cin-ling-pai dan yang mewakilinya mengatur perkumpulan itu adalah Gouw Kian Sun. dia dibantu oleh seorang murid Cin-ling-pai lain yang termasuk murid keponakannya bernama Ciok Gun, murid berusia tiga puluh dua tahun yang sudah terkenal karena kegagahannya. Berkat kesungguhan hati dua orang inilah maka biarpun Cin-ling-pai ditinggalkan ketuanya sampai lama, namun semua murid Cin-ling-pai taat dan mematuhi peraturan, dan selalu menjaga nama baik perkumpulan dengan setia.

***

Pagi yang cerah sekali. Matahari sudah mulai memancarkan cahayanya yang hangat. Ciok Gun bersama dua orang anggauta Cin-ling-pai yang lain memasuki sebuah hutan di bukit sebelah barat perkampungan mereka dengan membawa busur dan anak panah. Pagi hari itu Ciok Gun keluar sendiri untuk berburu di hutan. Bulan itu banyak terdapat ayam hutan dan kelinci di hutan yang mereka masuki itu. Hanya pada bulan-bulan tertentu banyak kelinci gemuk dan ayam hutan berkeliaran di situ dan itulah waktu untuk berburu.

Ciok Gub adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun yang bertubuh jangkung dan tegap. Di antara murid Cin-lingpai tingkat kedua, dialah merupakan murid terpandai, maka dia dipercaya oleh sesioknya, Gouw Kian Sun, untuk menjadi wakil dan pembantu utamanya. Bahkan untuk mengamati dan memimpin latihan silat, Ciok Gun mewakili susioknya itu. Dua orang temannya adalah para sutenya yang juga bertingkat dua dan mereka telah memiliki ilmu silat Cin-ling-pai yang cukup tangguh. Mereka berdua itu adalah Teng Sin yang berusia duapuluh lima tahun dan Koo Ham berusia dupuluh tujuh tahun. Teng Sin berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar, sedangkan Koo Ham tinggi kurus dengan kulit kehitaman. Mereka berdua itu walaupun belum setangguh Ciok Gun, namun sudah merupakan dua orang pendekar yang berkepandaian tinggi dan sukar dikalahkan. Tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu pada pagi hari ini berburu, selain untuk bersenang-senang, juga hasilnya nanti akan mereka serahkan kepada susiok mereka, Gouw Kian Sun dan para susiok lain, yaitu para murid tingkat pertama dari Cin-ling-pai. Di antara tiga orang murid tangguh Cin-ling-pai itu, hanya Koo Ham yang sudah menikah walaupun dia dan isterinya belum mendapatkan turunan. Teng Sin dan Ciok Gun belum berumah tangga, masih membujang walaupun Teng Sin sudah berusia duapuluh lima tahun dan Ciok Gun bahkan sudah tiga puluh dua tahun.

Setelah memasuki hutan, Teng Sin yang wataknya gembira itu berbisik. “Lihat di pohon besar sana itu ada ayam-ayam hutan. Mari kita berlomba, siapa diantara kita yang dapat lebih dulu menjatuhkan seekor!”

Koo Ham tersenyum. “Hemm, mana engkau menandingi Ciok-suheng yang ahli menggunakan panah?”

Ciok Gun tersenyum pula. “Aih, belum tentu. Hasil-hasil berburu tidak di tentukan sepenuhnya oleh keahlian memanah. Juga nasib memegang peran penting. Yang bernasib terang dalam berburu, setiap langkah kakinya membawa dia berhadapan langsung dengan binatang buruan, sebaliknya kalau bintang sedang gelap, sehari penuh tak pernah bertemu dengan seekor pun binatang buruan.”

Setelah dekat dengan pohon besar itu, mereka melihat ada tiga ekor ayam hutan bertengger di cabang pohon dan bergerak-gerak dengan gesitmya. Mereka segera mengambil tempat yang enak, mempersiapkan busur dan anak panah lalu membidik dan menyusup dekat. Mereka sudah menarik tali busur. Akan tetapi milik Ciok Gun meluncur lebih dulu dan lebih cepat dan sasarannya terkena dengan tepat. Seekor ayam hutam jatuh ke bawah dengan leher ditembusi anak panah. Dua ekor ayam hutan melayang jatuh pula dengan perut tertembus anak panah yang dilepas Teng Sin dan Koo Ham. Mereka bertiga cepat mengambil ayam hutan itu dan saling memperlihatkan kepada teman.

“Nah, kau lihat! Mana kita mampu menandingi kepandaian Ciok-suheng?” kata Koo Ham sambil tertawa. Teng Sin harus mengakui keunggulan suhengnya itu. Anak panahnya dan anak panah Koo Ham menembus perut ayam hutan sedangkan anak panah Ciok Gun menembus leher! Tentu saja yang menembus leher itu lebih baik karena daging badan ayam tidak rusak oleh anak panah dan masih utuh, tidak seperti bidikan mereka yang menembus perut dan tentu saja hal ini merugikan karena sebagian daging ayam itu menjadi rusak. Akan tetapi untuk membidik ke arah leher sungguh tidak mudah. Sedikit saja selisihnya akan gagal! Mereka masih belum sanggup membidik leher dan mengenai dengan tepat seperti yang dilakukan suheng mereka.



Bagaimanapun juga, memanah ayam hutan yang gerakannya demikian lincah dan gesit, bukan pekerjaan yang mudah dan mereka bertiga itu sudah membuktikan kelihaian mereka. Apalagi memanah lawan seorang manusia, betapa akan mudahnya untuk merobohkan lawan itu bagi mereka!

Belum setengah hari lamanya, tiga orang murid Cin-ling-pai yang gagah ini telah membunuh dua puluh lebih ayam hutan dan belasan ekor kelinci. Mereka lalu bersepakat untuk pulang ke perkampungan mereka karena hasil buruan itu sudah cukup banyak.

Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari hutan, di lereng bukit yang sunyi itu, tiba-tiba mereka berhadapan dengan dua orang yang entah muncul dari mana, tahu-tahu sudah berada di depan mereka seperti setan. Tentu saja tiga orang murid Cin-ling-pai itu terkejut sekali. Mereka adalah pendekar-pendekar yang sudah banyak pengalaman, maka mereka dapat menduga bahwa tentu dua orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga gerakan mereka amatlah cepatnya. Mereka lalu mengamai penuh perhatian karena belum pernah mereka melihat dua orang ini di daerah itu.

Yang seorang adalah seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya kekuning-kuningan namun cukup tampan, mulutnya tersenyum mengandung ejekan. Rambutnya yang masih hitam itu digelung ke atas dan mengkilap oleh minyak, di jepit jepitan rambut dari emas, dan pakaiannya adalah jubah pendeta. Di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Adapun orang kedua amat menarik perhatian. Ia seorang wanita yang usianya sekitar duapuluh sampai duapuluh lima tahun. Sukar menaksir usia wanita ini sebenarnya karena wajahnya yang cantik manis itu tertutup bedak tebal. Bibir dan pipinya di warnai merah. Kalau pria itu cukup pesolek, wanita muda ini lebih poesolek lagi. Pakaiannya gemerlap indah, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya di ukir dan diwarnai indah, gambar bunga-bunga dan kupu-kupu.wanita inipun tersenyum manis dan agaknya ia yang menjadi juru bicara karena temannya, pria yang berpakaian seperti pendeta tosu (pendeta agama To) itu diam saja, hanya mengelus jenggot sambil tersenyum mengejek.

“Kalian bertiga adalah murid-murid Cin-ling-pai yang terkenal itu, bukan?” tanya si wanita dan ketika ia bicara, gerak bibirnya jelas menunjukkan kegenitannya. Mulut itu memang nampak penuh gairah menantang dan ketika ia bicara, bibirnya bergerak-gerak memikat, nampak giginya berderet rapi dan putih, dan rongga mulutnya yang merah. Lidah yang kecil panjang berwarna merah muda itu kadang menjilat bibir penuh daya pikat.

Namun tiga orang murid Cin-ling-pai itu adalah tiga orang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin bersih dan teguh. Ciok Gun segera menjawab dengan pandang mata penuh selidik dan alis berkerut karena dia merasa tidak suka melihat sikap wanita cantik itu yang jelas bukan seorang wanita sopan.

“Memang benar kami murid-muri Cin-ling-pai dan pada saat ini kami berada di daerah kami sendiri. Sebaliknya ji-wi (anda berdua) adalah orang asing. Ji-wi siapakah, dari mana dan ada keperluan apa berada di daerah ini?” Pertanyaan ini cukup tegas dan tidak ramah walaupun nadanya halus dan sopan.

Wanita itu tertawa, tertawa bebas sehingga mulutnya terbuka lebar namun karena ia memang cantik, sikapnya ini tidak membuat ia nampak buruk. “Heh-heh-heh, alangkah gagahnya! Tentu engkau yang bernama Ciok Gun, murid utama Cin-ling-pai dan engkau yang membantu Gouw Kian Sun memimpin Cin-ling-pai, bukan?”

Diam-diam Ciok Gun terkejut. Wanita asing ini agaknya tahu segala tentang Cin-ling-pai. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan wanita ini seorang sahabat baik ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong yang kini sedang merantau dan belum pulang, pikirnya. Dia harus berhati-hatidan tidak bersikap kurang hormat.

“Benar sekali nona. Ketua kami, yaitu Cia-pangcu, tidak berada di rumah dan yang mewakilinya adalah su-siok Gouw Kian Sun, sedangkan saya hanya diperintahkan untuk membantu su-siok.”

Wanita itu tersenyum manis, lalu memandang kepada Teng Sin dan Koo Ham. “Dan dua orang ini murid-murid Cin-ling-pai tingkat rendahan?”

Wajah Ciok Gun berubah merah. Sahabat ketuanya atau bukan, wanita ini sikapnya amat buruk, lancang mulut dan sombong. “Mereka adalah dua orang suteku!” katanya, tidak begitu hormat lagi. “Sesungguhnya, siapakah ji-wi dan ada keperluan apa…….”

“Ciok Gun, mulai saat ini engkau tidak membantu Gouw Kian Sun atau Cia Pangcu (Ketua Cia) lagi, melainkan membantu aku!”

“Ba ….. baik….. eh, apa artinya ini?” Ciok Gun terkejut bukan main karena di luar keinginannya, begitu saja dia menyanggupi untuk menjadi pembantu wanita yang tidak di kenalnya itu! Hanya dengan memaksa hatinya memberontak dia dapat menahan diri dan kini dia memandang dengan mata terbelalak. “Nona, apa maksudmu? Apa artinya semua ini?”

Kembali wanita itu tertawa. “Ha-ha-heh-heh! Artinya, laki-laki yang gagah, bahwa mulai saat ini akulah yang berkuasa dan engkau harus mentaati semua perintahku!”

Selagi Ciok Gun masih tertegun karena bukan saja terheran mendengar ucapan itu, akan tetapi juga karena ucapan itu ditujukan kepadanya, dia seperti terpengaruh kekuatan yang aneh, dua orang sutenya yang tidak terpengaruh sudah menjadi marah bukan main.

“Sungguh lancang mulut!” bentak Teng Sin marah sambil mengepal tinju dan melangkah dekat.

“Siapakah engkau ini wanita yang berani bersikap kurang ajar terhap suheng?” Koo Ham juga membentak sambil melangkah maju.



Wanita itu memandang kepada mereka dengan tersenyum mengejek, lalu ia mengibaskan tangannya ke arah mereka seperti orang mengusir lalat sambil berkata, “Huh, kalian ini dua orang anak kecil tahu apa?”

Tentu saja dua orang murid Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Mereka adalah tokoh-tokoh Cin-ling-pai tingkat dua yang sudah memiliki kegagahan dan kepandaian tinggi, dan kini diperlukan seperti dua orang anak kecil oleh seorang perempuan muda!

“Nona, kami adalah pendekar-pendekar yang tidak sudi menyerang wanita, kecuali kalau wanita itu seorang penjahat yang patut di basmi. Karena itu, kalau engkau seorang wanita baik-baik, pergilah dari sini dan jangan sampai membuat kami marah!” kata Teng Sin dengan sikap gagah. Bagaimanapun marahnya, dia masih ingat bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita dan tidak ada alasan bagi mereka untuk saling bermusuhan.

Wanita itu tersenyum memandang kepada Teng Sin, dari kepala sampai ke kaki seperti orang yang sedang menaksir sebuah benda dagangan. “Hemmm, engkau ini anak kecil mengaku pendekar? Kalau aku bukan orang baik-baik dan tidak mau pergi dari sini, engkau akan bisa berbuat apakah?”

“Keparat! Kalau begitu terpaksa aku harus mengusirmu dengan kekerasan!” bentak Teng Sin.

“Hi-hik, kukira engkau tidak mampu, cucuku!” wanita itu mengejek. Ini sudah keterlaluan dan Teng Sin menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Tentu saja dia masih belum tega untuk mencelakai wanita itu, hanya ingin memberi hajaran saja, maka dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dia menampar ke arah pundak kiri wanita itu. Biarpun dia murid tingkat dua, akan tetapi Teng Sin telah dapat menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang cukup kuat sehingga ketika tangannya menyambar dengan tamparan itu, terdengar suara dan angin menyambar keras.

“Wuuuuttt…….. plakk!” Tamparan itu mengenai pundak kiri wanita itu karena memang tidak di tangkis atau dielakkan. Teng Sin terbelalak karena merasa khawatir sekali melihat betapa tamparannya itu mengenai pundak lawan tanpa di tangkis atau dielakkan. Kiranya wanita itu tidak pandai ilmu silat! Akan tetapi dia semakin menjadi heran karena tangannya mengenai pundak yang begitu lunak seperti segumpal daging tanpa tulang saja dan tenaga Thian-te Sin-ciang itu seperti tenggelam adan lenyap pada saat itu, tangan kiri wanita itu bergerak secepat kilat sehingga tidak nampak. Tangan iu dengan jari terbuka menusuk ke arah dada Teng Sin.

“Hukkkk…..!” Teng Sin terjengkang dan darah segar muncrat dari mulutnya. Koo Ham dan Ciok Gun terkejut sekali. Mereka berlutut memeriksa dan …… ternyata Teng Sin telah tewas! Di ulu hatinya nampak tanda merah kehitaman, bekas telapak tangan wanita itu dan baju bagian dada itu hancur!

Dengan mata terbelalak Koo Ham memandang sutenya yang tewas, lalu dia melompat sambil mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. “Iblis betina, engkau berani membunuh saudaraku?” bentaknya dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, dan karena dia maklum betapa lihainya wanita itu, begitu menyerang dia memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah dipelajarinya, walaupun belum sempurna benar.

Sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran pedang, wanita itu berseru. “Aih, inilah Siang-bhok Kiam-sut? Kaku sekali!” Kembali ia mengelak sampai tiga kali berturut-turut ketika Koo Ham mendesaknya dengan serangan pedang.

“Tentu saja kaku, karena selain ilmunya itu belum sempurna, juga seharusnya untuk ilmu itu dipergunakan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum)!” tiba-tiba pendeta yang sejak tadi hanya memandang saja, menjawab ucapan wanita itu.

“Wah, kalau begitu bocah ini tidak ada gunanya!” kata wanita itu dan pada saat itu, pedang di tangan Koo Ham sudah menyambar dengan tusukan ke arah lambung. Wanita itu menggeser kaki dan miringkan tubuhnya. Pedang meluncur ke dekat lambung dan begitu tangan kirinya bergerak, ia telah menangkap pedang itu dengan tangan kiri! Koo Ham yang merasa marah karena kematian Teng Sin tidak peduli dan cepat dia menarik pedangnya untuk membuat tangan wanitu itu tersayat. Akan tetapi pedangnya tidak bergerak seolah di jepit bukan dengan tangan melainkan dengan jepitan baja yang amat kuat! Kembali dia mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya, dan pada saat itu, tangan kanan wanita itu bergerak. Demikian cepatnya gerakan itu sehingga Koo Ham tidak menduganya.

“Takk!” jari-jari tangan yang kecil halus itu menampar pelipis kepalanya dan tubuh Koo Ham terpelanting roboh di dekat mayat Teng Sin. Ketika Ciok Gun memandang, ternyata Koo Ham telah tewas pula dan di pelipis kepala yang tertampar itu pun terdapat tanda bekas jari tangan merah kehitaman!

Ciok Gun maklum betapa gawatnya keadaan. Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati sekali melihat betapa dua orang sutenya tewas di tangan wanita itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa agaknya orang itu memusuhi Cin-ling-pai, maka dia menahan kemarahannya dan ingin tahu siapa mereka dan mengapa begitu kejam membunuh dua orang murid Cin-ling-pai.

Karena maklum bahwa wanita ini lihai bukan main, Ciok Gun sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang melintang di depan dada, dia memandang wanita itu dengan mata tajam penuh selidik.

“Siapakah sesungguhnya engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?”

Wanita itu terkekeh lalu menoleh kepada tosu yang sejak tadi berdiri diam saja itu. “Suhu, lihat betapa gagahnya dia! Hayo suhu, kenapa engkau sejak tadi diam saja? Membiarkan seorang wanita bekerja kelelahan. Sekarang giliranmu untuk menghadapi Ciok Gun ini. Akan tetapi ingat, jangan bunuh dia, suhu, sesuai dengan rencana kita.”



“Hemm, untuk mengurus cacing ini saja harus aku turun tangan sendiri?” Tosu itu mengomel, akan tetapi dia melangkah maju menghadapi Ciok Gun. “Ciok Gun, seperti telah dikatakan oleh muridkuu tadi, mulai saat ini engkau harus menjadi pembantu kami. Ketahuilah bahwa kami akan menjadikan Cin-ling-pai bangkit kembali menjadi perkumpulan besar yang akan merajai seluruh perkumpulan dan partai persilatan. Dan engkau akan membantu kami!”

“Aku tidak sudi!” Ciok Gun membentak. “To-tiang, engkau ini agaknya seorang pendeta, kenapa bersikap begini kejam membiarkan muridmu membunuh dua orang suteku? Siapakah engkau?”

“Aku bernama Kim Hwa Cu, masih ada dua orang suhengku bernama Siok Hwa Cu dan Lan Hwa Cu. Ia adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, murid kami bertiga. Sekarang mau tidak mau engkau harus menjadi pembantu kami!”

Ciok Gun belum pernah mendengar nama tiga orang pendeta itu, akan tetapi dia merasa pernah mendengar di dunia kang-ouw di sebutnya nama Tok-ciang Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun).

“Biar sampai mati aku tidak sudi! Sekarang kalian harus mempertanggungjawabkan kematian dua orang suteku!” berkata demikian, diapun menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada tosu di depannya itu.

Tosu yang bernama Kim Hwa Cu itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya. Dia menggerakkan tangan menangkis dan ujung lengan baju yang lebar dan panjag menyembunyikan tangannya itu menyambut pedang.

“Plakk!” Ciok Gun berseru kaget karena tangkisan ujung lengan baju itu sedemikian kuatnya sehingga dia tidak mampu mempertahankan pedangnya lagi dan terpental lepas dari tangannya dan terlempar sampai jauh! Hampir dia tidak percaya akan apa yang dialaminya. Dua orang surtenya, masing-masing dalam segebrakan saja tewas di tangan wanita cantik genit itu, sedangkan dia sendiri dalam segebrakan saja sudah kehilangan pedangnya melawan tosu yang tinggi kurus ini. Bagaimana mungkin ini? Ketuanya sendiri pun tidak mungkin dapat membuat dia melepaskan pedang dalam segebrakan saja!

Ciok Gun adalah murid tingkat dua yang sudah ahli. Bahkan di antara para murid setingkat, dia yang paling lihai dan dia pun ahli dalam ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung). Maka, biarpun pedangnya sudah terlempar, dia tidak mau menyerah dan kini dia sudah menyerang dengan kedua tangan kosong, memainkan ilmu silat San-in Kun-hoat!

Dua kali pukulan dan tendangannya dihindari tosu itu dengan elakan. “Bi Hwa, perhatikanlah. Inilah San-in Kun-hoat!” kata kakek itu sambil terus mengelak, seolah memberi kesempatan kepada Ciok Gun untuk mempertontonkan ilmu silat itu.

“Hemm, sudah lumayan gerakannya.” Wanita itu pun memberi komentar. “Tapi jangan kau lukai dia, suhu. Dialah yang akan membantu kita.”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Bi Hwa. Nah, kurobohkan dia!” kata tosu itu. Tentu saja Ciok Gun yang mendengarkan percakapan itu terkejut dan diapun cepat memasang kuda-kuda untuk membela dirinya yang akan di robohkan tosu itu. Akan tetapi pada saat itu, dua ujung lengan baju menyambar dari kanan kiri. Demikian cepatnya dan demikian dahsyatnya sehingga biarpun Ciok Gun berusaha untuk menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan, tetap saja pundaknya tersentuh ujung lengan baju dan ida pun roboh tertotok dan pingsan!

***

Ciok Gun membuka matanya. Sejenak dia nanar dan merasa tubuhnya panas. Ketika nanarnya hilang dan dia menyadari bahwa dia berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar, dia terkejut dan dia segera teringat akan peristiwa di dalam hutan itu. Mimpikah dia! Mimpi buruk tentang kedua orang sutenya yang tewas? Di mana dia?

Dia bangkit duduk dan makin kaget mendapatkan dirinya dalam keadaan telanjang bulat, dan tadi tubuhnya tertutup selimut. Dan ada yang bergerak di sebelahnya. Dia menoleh dan Ciok Gun berseru kaget. Wanita cantik itu berada di dekatnya, juga tanpa pakaian. Wanita yang dilihatnya dalam “mimpi” telah membunuh dua orang sutenya. Bukan mimpi kalau begitu! Teringatlah dia betapa dia melawan tosu yang amat lihai dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan!

“Keparat……!” serunya dia hendak meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba wanita itu merangkulnya dan diapun tidak mampu meronta.

“Ciok Gun, hendak kemana engkau? Ingat, engkau adalah pembantuku, pembantu kami. Aih, engkau memang gagah…..” Wanita itu mendekap dan mencium. Ciok Gun hendak meronta tetapi tidak dapat dan dia pun seperti tenggelam ke dalam lautan yang amat panas. Dia tidak lagi menyadari apa yang dia lakukan dengan wanita itu. Ada dorongan dalam tubuhnya yang membuatdia seperti mabuk, seperti dalam mimpi, namun nalurinya membisikkan bahwa dia telah melakukan hal yang sungguh tidak pantas, yang berlawanan dengan suara hatinya.

Setelah semua berlalu, Ciok Gun terengah-engah dan setelah dorongan hasrat yang tidak wajar itu terpuaskan, diapun ingat kembali. Dia menyadari bahwa dirinya terpengaruh bius dan obat racun perangsang yang membuat dia lupa segala. Dia meronta dan teringat bahwa wanita cantik di sampingnya yang kini rebah telentang dengan mata terpejam dan mulut tersenyum itu adalah orang yang telah membunuh Teng Sin dan Koo Ham. Wanita ini adalah iblis betina yang amat jahat. Membunuh dua orang sutenya. Menawan dia bahkan kini menggunakan cara yang amat keji untuk memaksa dia melakukan perbuatan yang amat menjijikkan bagi kesadarannya.



“Jahanam kau!” Dan dia pun mengerahkan tenaganya memukul kepala wanita yang rebah tersenyum dan memejamkan mata itu.

“Wokkk!” Bukan kepala wanita itu yang terkena hantamannya melainkan bantal yang tadi ditidurinya dan sebelum Ciok Gun dapat menyerang lagi, sebuah totokan jari tangan wanita itu membuat dia roboh lemas di atas pembaringan.

“Hi-hik, Ciok Gun, engkau masih saja liar dan ganas!” kata wanita itu sambil merangkul kembali dan menciumi Ciok Gun yang terpaksa hanya mampu memejamkan mata karena tidak mampu ebrgerak untuk menghindar. Bahkan sisa hawa panas yang membuat dia di bakar hasrat itu masih ada sehingga diam-diam dengan hati ngeri dia merasakan kenyataan betapa belaian wanita itu mendatangkan kenikmatan dan kesenangan bagi tubuhnya! Dia hendak meronta, hendak menolak, namun tubuhnya seolah bukan miliknya lagi dan tidak dapat dikuasainya. Karena tubuhnya kini tertotok dan tidak mampu bergerak, maka terjadi perang perasaan di dalam dirinya antara melayani rayuan dan belaian wanita itu dan menolaknya. Dan tiba-tiba ketika wanita itu mendengar rintih dan desahnya, totokan pada tubuhnya dibebaskan dan diapun sekali lagi tenggelam ke dalam gairah nafsu yang berkobar dan tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.

Setelah ulangan itu selesai, Ciok Gun merasa demikian tidak berdaya sehingga dia menangis di atas pembaringan yang dianggapnya mendatangkan peristiwa jahanam yang menghancurkan segala martabatnya itu. Dan wanita itu merangkul dan membelainya,, menghiburnya.

“Ciok Gun, sudahlah, tenangkan hatimu. Engkau sudah menjadi kekasihmu, bukan? Nah, mulai sekarang engkau menjadi pembantuku dan kita akan selalu hidup senang…..”

“Tidak……! Tidak sudi…..!” Ciok Gun meronta dan melompat turundari atas pembaringan. Dia maklum bahwa menghadapi wanita ini, dia tidak berdaya dan kalau dia menyerangpun dia tidak akan menang. Dia sudah ternoda, bagaimana mungkin dia dapat menghadapi para pemimpin Cin-ling-pai dan menceritakan semua ini? Dia lalu meloncat ke arah dinding dan bermaksud untuk membenturkan kepalanya ke dinding itu agar kepalanya pecah. Mati lebih baik daripada apa yang dia alami waktu itu!

“Plakk!” Kepalanya tidak membentur dinding melainkan di tahan oleh tangan lembut wanita itu dan di lain saat, dia pun sudah roboh kembali karena di totok secara aneh oleh wanita yang bukan main lihainya itu.

“Hemm, keras kepala!” Kini wanita itu tidak lagi bersikap lembut. Ia mengangkat tubuh Ciok Gun yang sduah tidak mampu bergerak dan melemparkannya ke atas pembaringan kembali. Ia lalu mengenakan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.

Dengan rambut masih awut-awutan, bedak luntur dan pemerah bibir dan pipi juga “berserakan”, wanita itu memasuki sebuah ruangan yang luas di mana duduk tiga orang pria yang berpakaian pendeta. Seorang diantara mereka adalah pendeta yang tadi bersamanya menghadang perjalanan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.

Melihat munculnya wanita itu dengan wajah dan rambut kusut, tosu yang tadi mengaku bernama Kim Hwa Cu tertawa akan tetapi pandang matanya membayangkan iri dan tak suka hati. “Bagus! Kami menunggu di sini dan engkau lupa diri bersenang-senang sepuasnya dengan tawananmu, ya?”

Wanita itu cemberut, lalu dengan sikap kasar duduk di atas kursi menghadapi meja dan menuangkan arak dalam cawean lalu meminumnya sampai tiga kali. Sikapnya sama sekali tidak menghormat kepada tiga orang pendeta itu!

Siapakah mereka? Seperti pengakuan tosu pertama itu kepada Ciok Gun tadi, mereka itu adalah Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus bermuka kuning yang usianya sekitar lima puluh tahun. Adapun dua orang tosu lainnya adalah dua orang suhengnya (kakak seperguruan). Yang berperut gendut pendek bermuka hitam dan bermata lebar adalah Siok Hwa Cu, berusia limapuluh enam tahun. Tosu ketiga yang paling tua, usianya sekitar enampuluh tahun bernama Lan Hwa Cu. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya kasar, akan tetapi sikapnya lembut seperti wanita. Tiga orang ini boleh jadi tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, apalagi di daerah Cin-ling-san. Akan tetapi di dunia barat dan utara, mereka ini di kenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw). Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan golongan sesat berkedok agama yang suka memberontak terhapa pemerintah. Pek-lian-kauw memiliki banyak sekali orang pandai, dan tiga orang ini adalah tiga di antara para tokoh besarnya yang telah memiliki kesaktian yang sukar di cari tandingan!

Adapun wanita itu adalah murid mereka bertiga, ya murid ya kekasih! Keadaan seperti ini tidaklah aneh di dalam dunia golongan sesat, dimana aturan dan kesusilaan oleh mereka yang berkuasa dan yang lebih kuat. Su Bi Hwa, gadis berusia duapuluh lima tahun itu, sejak kecil menjadi murid Pek-lian Sam-kwi. Semua ilmu tiga orang sakti itu telah dipelajarinya dalam kejahatan dan kekejian, gadis ini tidak memalukan tiga orang gurunya sehingga ia mendapat julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun)! Ia seorang wanita yang selain lihai, juga berwatak kejam dan cabul. Bukan saja secara terang-terangan ia membiarkan dirinya menjadi kekasih tiga orang gurunya, terutama sekali Kim Hwa Cu yang terkenal paling cabul di antara mereka bertiga, juga ia begitu menyerahkan diri kepada pria manapun yang disukainya. Tiga orang gurunya tidak dapat melarang, juga tidak mau melarangnya. Inilah “kebebasan” yang dianut oleh orang-orang golongan sesat, dimana tidak ada lagi peraturan, tidak ada lagi kesusilaan, tidak ada lagi hukum dan kesopanan. Akan tetapi justeru inilah yang menimbulkan kerukunan dan persatuan diantara mereka!


Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan murid mereka ini datang jauh dari barat dan mereka membawa tugas yang diperintahkan pimpinan pusat Pek-lian-kauw. Gerakan Pek-lian-kauw selalu gagal dimana-mana, bukan saja karena kekuatan pemerintah, melainkan terutama sekali karena adanya para pendekar yang selalu menentangnya. Maka, tahulah para pimpinan pusat Pek-lian-kauw bahwa selama mereka tidak dapat menguasai para pendekar, tidak dapat merajai dunia kang-ouw, akan sukarlah bagi mereka untuk mengalahkan pemerintah. Dan Pek-lian Sam-kwi kini mendapat tugas yang amat berat dan sulit, yaitu berusaha dengan cara apapun untuk dapat menguasai dunia persilatan, menundukkan para pendekar dan para tokoh kang-ouw, baik golongan putih maupun golongan hitam. Para pucuk pimpinan Pek-lian-kauw yakin akan kesanggupan dan kemampuan Pek-lian Sam-kwi yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu dari Pek-lian-kauw yang selain lihai ilmu silatnya dan kuat ilmu sihirnya, juga mereka memiliki seorang murid yang terkenal kecerdikannya, yaitu Su Bi Hwa yang berjuluk Tok-ciang Bi Moli, yang dalam hal ilmu silat, hanya sedikit di bawah tingkat guru-gurunya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sekuat Pek-lian Sam-kwi, namun ia memiliki kecerdikan yang mengalahkan semua gurunya.

Su Bi Hwa yang mengatur untuk menguasai dan “meminjam” nama Cin-ling-pai untuk mengacau dunia para pendekar dan menguasai mereka! Dan untuk melaksanakan siasat yang amat berbahaya itu, diam-diam mereka memilih bukit itu yang tidak berapa jauh dari perkampungan Cin-ling-pai sebagai tempat persembunyian mereka. Di situ mereka membangun sebuah rumah yang tersembunyi dalam hutan, sebuah rumah yang lengkap dengan segala peralatan, bahkan yang mereka pasangi alat-alat rahasia.

Mereka telah mulai dengan rencana mereka, yaitu dengan menyelidiki semua keadaan di Cin-ling-pai, para pemimpin mereka, kekuatan dan kelemahan mereka dan pada hari itu, mereka telah mulai turun tangan, membunuh dua orang murid Cin-ling-pai yang mereka kubur secara rahasia, dan menawan Ciok Gun. Mereka hendak menundukkan Ciok Gun dan menjadikan pembantu wakil ketua Cin-ling-pai itu sebagai boneka mereka!

Demikianlah keadaan empat orang yang penuh rahasia itu. Tentu saja Bi Hwa merasa mendongkol, kecewa dan marah sekali melihat betapa bujuk rayunya terhadap CiokGun telah gagal! Biarpun dengan penggunaann obat bius dan obat perangsang dia telah dapat memaksa Ciok Gun jatuh ke dalam pelukannya, namun bukan ini yang menjadi tujuannya. Ia ingin agar tokoh Cin-ling-pai itu benar-benar jatuh cinta dan taat kepadanya. Kiranya pria gagah itu sama sekali tidak mau tunduk, bahkan hampir saja mau membunuh diri! Maka, dengan hati mendongkol ia lalu menotok Ciok Gun dan setelah melemparnya ke atas pembaringan, ia lalu menghampiri ruangan di mana tiga orang gurunya berada. Dan ia di sambut dengan teguran Kim Hwa Cu yang sedikit banyak membayangkan perasaan cemburu!

Hal ini membuat hati Bi Hwa semakin mengkal lagi. Ia duduk di atas kursi, menghadapi tiga orang gurunya dan menjawab teguran Kim Hwa Cu yang mengatakan bahwa ia hanya bersenang-senang dengan tawanan.

“Sam-suhu (guru ke tiga) menganggap aku bersenang-senang, ya? Huh, kalau tidak ingat akan tugas, sudah kuhancurkan kepala Ciok Gun itu!”

“Ehhh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi?” tanya Lan Hwa Cu, guru pertama, suaranya tinggi seperti suara wanita, dan kalau bicara matanya melirik genit. Diantara Pek-lian Sam-kwi, orang pertama yang paling tua ini yang menganggap Bi Hwa sebagai murid dan seperti anak sendiri karena dia tidak pernah bersikap mesra terhadap Bi Hwa dan terhadap wanita mana pun juga. Lan Hwa Cu ini mempunyai kelainan dan dia lebih suka mendekati seorang pemuda tampan ketimbang seorang gadis cantik.

“Dia keras kepala. Sampai bagaimanapun tidak mau tunduk malaupun pengaruh obat itu telah membuat dia meniduriku. Akan tetapi, perasaan hatinya tak pernah tunduk, bahkan tadi hampir saja dia membunuh diri.”

“Huh-huh! Kalau begitu bunuh saja dia. Tidak ada gunanya!” kata Siok Hwa Cu yang berwatak kasar, keras dan kejam.

Kim Hwa Cu juga mengagguk-angguk. “Benar, kalau tidak di bunuh, untuk apa?”

Bi Hwa makin cemberut. “Ji-suhu (guru kedua) dan Sam-suhu (guru ke tiga) hanya mau mudahnya saja, tanpa menggunakan kecerdikan sehingga aku khawatir tugas kita akan gagal kalau menuruti kata-kata kalian.”

Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu saling pandang dan menggerakkan pundak. Mereka harus mengakui bahwa menghadapi murid ini, mereka tidak berdaya, karena mereka tidak dapat menduga akal apa yang akan dipergunakan oleh murid yang cantik dan amat cerdik itu.

“Sudahlah, Bi Hwa. Tidak perlu marah terus. Hayo ceritakan, setelah Ciok Gun tak berhasil kau bujuk untuk membantu kita, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya terhadap dia?”

“Twa-suhu (guru tertua), tidak ada lain jalan. Kita harus mengubah rencana. Ciok Gun kita jadikan mayat hidup dan melalui dia, kita melumpuhkan para pimpinan Cin-ling-pai. Dapat di atur begini ……” Gadis itu lalu bicara berbisik-bisik walaupun mereka merasa yakin bahwa di situ tak mungkin ada yang ikut mendengarkan. Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan pandang mata mereka ditujukan kepada mulut gadis yang berbicara itu dengan penuh kagum.

***

Pagi hari yang cerah. Matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang sudah membakar langit timur. Namun, cahaya kemerahan itu sudah dapat mengusir sisa kegelapan yang ditinggalkan sang malam. Cahaya itu pula yang mendatangkan suasana gembira. Setiap batang rumput, setiap helai daun, tenggelam dalam suasana gembira itu, berseri basah oleh embun bermandikan sinar keemasan bagaikan puteri-puteri jelita baru keluar dari dalam danau. Burung-burung juga berdendang senang, berkicau saling menyahut sambil menari berloncatan dari ranting ke ranting, siap untuk memenuhi tugas kehidupan mereka, yaitu mencari makan setiap hari.



Dilereng yang sunyi dan segar indah berseri itu, nampak dua orang manusia yang berjalan-jalan dengan wajah yang ceria pula. Dua orang itu merupakan dua keadaan yang amat berlawanan, namun merupakan perpaduan yang membuktikan kekuasaan alam. Seorang kakek berusia tujuhpuluh dua tahun dan seorang anak laki-laki berusia lima tahun! Seorang manusia yang sudah tiba di ambang akhir perjalanan hidup, dan seorang manusia lain yang baru saja muncul dari ambang pertama dan sedang bertumbuh, menggambarkan awal dan akhir sebuah perjalanan hidup manusia yang hanya dibatasi oleh usia, oleh sang waktu yang melesat cepat tanpa terasa. Kakek itu akhirnya akan mati, dan anak itupun akhirnya akan menjadi seperti kakek itu, siap untuk mati pula, mungkin kelak dia akan menggandeng tangan seorang cucunya seperti dia sekarang digandeng oleh kakeknya.

Kakek itu biarpun usianya sudah tujuh puluh dua tahun, namun masih nampak gagah dan tubuhnya masih tegap. Wajahnya anggun dan mudah dilihat bahwa dia dahulu tentu seorang pria yang amat ganteng. Langkah juga masih gagah dan perutnya tidak menggendut seperti perut kebanyakan pria yang sudah berusia lanjut, juga tidak kurus kering melainkan tubuh itu masih padat. Dia adalah Cia Kong Liang, kakek yang dahulu pernah menjadi ketua Cin-ling-pai, kakek dari ketua yang sekarang, yaitu nona Cia kUi Hong. Sudah belasan tahun kakek ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk bersamadhi, atau berjalan-jalan di puncak-puncak bukit sunyi, merasa lebih akrab dengan alam daripada dengan manusia lain. Dan pada pagi hari itu, dia berjalan-jalan bersama cucunya, anak laki-laki berusia lima tahun yang bernama Cia Kui Bu itu.

Cia Kui Bu adalah anak kedua dari Cia Hui Song, pendekar Cin-ling-pai yang pernah menjadi ketua. Isterinya bernama Ceng Sui Cin, seorang wanita yang mempunyai kepandaian silat tinggi, tiada banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian suaminya karena wanita ini adlaah puteri tunggal dari Pendekar sadis Ceng Thin Sin majikan Pulau Teratai Merah dan isterinya Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), kini seorang nenek yang berusia tujuh puluh tahun yang kepandaiannya setingkat dengan suaminya! Akan tetapi, Ceng Sui Cin ini adalah ibu tiri dari Cia Kui Bu. Anak tunggal Ceng Sui Cin adalah Cia Kui Hong yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Adapun Cia Kui Bu adalah putera Cia Hui Song dari seorang isteri muda bernama Bi Nio yang sudah meninggal, akan tetapi anak ini sejak kecil dirawat Ceng Sui Cin seperti anaknya sendiri sehingga diapun menganggap bahwa ibunya adalah Ceng Sui Cin.

Baru kemarin Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama anak mereka itu, pulang dari perjalanan mereka ke Pulau Teratai Merah, berkunjung ke tempat kediaman orang tua Sui Cin. Mereka beristirahat di tempat itu sampai berbulan-bulan dan baru kemarin mereka kembali ke Cin-ling-pai. Akan tetapi puteri mereka yang menjadi ketua, Cia Kui Hong, belum pulang dari perantauannya.

Tentu saja kedatangan mereka itu disambut gembira oleh semua anggauta Cin-ling-pai. Terutama sekali kakek Cia Kong Liang merasa girang bukan main melihat cucunya, Cia Kui Bu. Dan pada pagi hari itu, seperti telah dijanjikannya semalam kepada cucunya, kakek itu mengajak Cia Kui Bu berjalan-jalan. Cuaca masih gelap ketika tadi mereka meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Setelah berbulan-bulan tinggal di Pulau Teratai Merah, setiap hari hanya menikmati keindahan pemandangan alam pulau yang dikepung air laut itu, tentu saja kini keindahan alam di pegunungan merupakan keindahan yang lain sama sekali dan mendatangkan kegembiraan di hati anak itu. Dia berlari-lari mengejar-ngejar kelinci, meneriaki burung-burung dan kakeknya terbawa oleh kegembiraan cucunya.

Kesenangan melalui panca indera dikemudikan oleh nafsu, oleh karena itu selalu berakhir dengan kebosanan dan dengan pengejaran akan kesenangan yang lain. Inilah sebabnya mengapa orang-orang kota merasa gembira kalau pergi ke dusun, sebaliknya orang dusun senang kalau pergi ke kota. Penduduk pantai tidak lagi menikmati keindahan pemandangan tepi laut dan merindukan keindahan pemandangan di pegunungan, sebaliknya penghuni gunung bosan akan pemandangan di pegunungan dan akan mengagumi keindahan pemandangan di tepi laut.

“Kong-kong (kakek), ada kijang disana. Mari kita tangkap!” Tiba-tiba Cia Kui Bu berlari cepat mendaki lereng sebuah bukit.

“Heii, Kui Bu, hati-hati jangan lari sembarangan!” Kakek itu berseru dan mengejar. Dia dapat menyusul dan menggandeng tangan cucunya dan mereka berlarian mengejar seekor kijang muda yang seperti hewan lainnya kalau masih muda suka bermain-main. Kijang itu seolah mengajak mereka bermain, berlari-lari sambil berloncatan kecil, kalau jarak antara mereka terlalu jauh, ia berhenti dan seperti menanti, kalau sudah dekat ia lari lagi.

Cia Kong Liang membiarkan cucunya bergembira dan mengejar kijang itu. Dia hanya menjaga agar cucunya jangan sampai terjatuh ke dalam jurang. Tanpa terasa mereka telah tiba di tepi hutan lebat yang berada di lereng bukit itu.

Kijang itu melompat ke dalam hutan dan lenyap di balik semak belukar. Ketika Cia Kui Bu yang digandeng kakeknya hendak mengejar, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul seorang laki-laki yang berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka.

Cia Kong Liang berhenti dan memandang. “Haii, Ciok Gun! Kenapa engkau belum pulang? Semua orang disana menantimu. Sejak kemarin pagi engkau pergi berburu dan sampai sekarang belum pulang. Dimana Teng Sin dan Koo Ham?”

Ciok Gun nampak ragu-ragu sejenak, lalu memberi hormat kepada kakek itu. “Sukong,
sute Teng Sin dan Koo Ham baik-baik saja. Nanti teecu (murid) akan pulang.”

Cia Kong Liang memandang dengan heran. Memang Ciok Gun tidak pandai bicara, malu-malu walaupun dia amat setia kepada Cin-ling-pai. Akan tetapi mengapa pagi ini sikapnya kelihatan demikian dingin dan bahkan kaku? Sebelum dia bertanya, Kui Bu sudah berlari ke arah Ciok Gun.



“Suheng…..!” serunya gembira. Karena berbulan-bulan meninggalkan Cin-ling-pai, setelah pulang Kui Bu bersikap ramah kepada semua orang, sebagai pelepasan rindunya. Apalagi kepada Ciok Gun dan Gouw Kian Sun, dua orang yang dekat dengan keluarga Cin-ling-pai. Maka ketika melihat Ciok Gun yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) kakaknya, atau juga murid keponakan orang tuanya, dia lalu lari menghampiri dengan gembira.

“Ciok-suheng, mana hasil buruanmu?”tanyanya setelah dia sampai di depan Ciok Gun. Tiba-tiba Ciok Gun menyambar tubuh Kui Bu dan memondongnya, terus mengajaknya lari kedalam hutan.

“Heii, Ciok-suheng, kita kemana….?” Kui Bu berseru heran akan tetapi gembira karena mengira bahwa tentu Ciok Gun akan mengajaknya bermain-main. Akan tetapi kakek Cia Kong Liang merasa heran dan curiga. Ada sesuatu dalam sikap Ciok Gun yang dianggapnya aneh sekali.

“Ciok Gun, berhenti……!” bentaknya dan diapun melompat dan mengejar.

Akan tetapi Ciok Gun tidak mau berhenti dan berlari terus, dikejar oleh Cia Kong Liang. Akhirnya, Ciok Gun yang memondong Kui Bu, tiba di depan sebuah pondok yang dari luar nampak sederhana saja. Kakek itu memandang heran. Bukit ini sunyi dan biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah mendaki bukit ini, akan tetapi seingatnya, tidak pernah ada orang tinggal disini karena bukit ini jauh dari dusun-dusun lain, juga masih liar dan berbahaya.

Ketika dia hendak mengejar masuk pondok melalui pintunya yang terbuka lebar, tiba-tiba muncul tiga orang pria berpakaian pendeta dan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu berada paling depan dan agaknya sengaja menyambut sambil tersenyum-senyum.

“Selamat datang di pondok kamu, lo-cian-pwe Cia Kong Liang!” kata Su Bi Hwa sambil tersenyum manis sekali.

Kakek itu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal empat orang ini, akan tetapi karena wanita muda itu menyambutnya dengan sukap hormat, diapun membalas penghormatannya dan berkata. “Siapakah nona, dan harap nona menyuruh Ciok Gun keluar mengajak cucuku.”

“Ci-lo-cian-pwe, sekarang lo-cian-pwe telah menjadi tamu kami, seperti juga anak Cia Kui Bu itu. Mari, lo-cian-pwe, silakan masuk dan kita bicara di dalam.”

Biarpun sudah amat tua, namun kakek Cia Kong Liang masih waspada dan pengalamannya yang banyak membuat dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang tidak boleh dipercaya begitu saja.

“Harap suruh Ciok Gun keluar membawa cucuku dulu, baru kita bicara!” Lalu dia mengerahkan khi-kang, suaranya menggetar ketika dia ke arah pondok itu. “Ciok Gun, aku su-kongmu yang bicara ini. Kuperintahkan engkau keluar mengajak Kui Bu!”

Bukan main hebatnya suara itu, melengking dan seperti menggetarkan jantung semua orang. Diam-diam empat orang itu terkejut dan harus mereka akui bahwa kakek yang sudah tua ini tidak boleh di pandang ringan. Su bi Hwa lalu berteriak pula ke arah pintu pondok.

“Ciok Gun, engkau tinggal saja di dalam dan jaga baik-baik Cia Kui Bu. Engkau tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Ini aku Su Siocia (Nona Su) yang bicara!”

Dari dalam pondok terdengar suara Ciok Gun, “Baik, Su Siocia!”

Kakek itu terbelalak. Tidak mungkin cucu muridnya itu begitu saja mentaati wanita ini dan berani membangkang terhadap perintahnya. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar!

“Nona, apa artinya ini? Apa yang kau lakukan kepada Ciok Gun?”

Kini gadis itu tertawa dan begitu tertawa kakek itupun mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang kejam dan amat jahat. “ha-ha-hi-hi-hik! Cia-lo-cian-pwe, tidak perlu engkau mencoba untuk memerintah Ciok Gun. Dia sekarang telah menjadi hambaku yang setia.”

“Akan kuambil sendiri cucuku kalau begitu!” Cia Kong Liang meloncat ke arah pintu, akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan wanita itu telah menghadang di depan pintu.

“Nona, minggir! Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Aku hanya ingin mengambil kembali cucuku!” bentak Cia Kong Liang, kini sikapnya angkuh dan tegas, penuh wibawa.

“Lo-cian-pwe, ini rumah kami dan tanpa seijin kami, engkau atau siapapun tidak boleh memasukinya!” kata gadis itu sambil tetap tersenyum.

Wajah Cia Kong Liang berubah merah. Dia sudah marah sekali. “Nona, apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menculik cucuku dan hendak menahannya di dalam poncokmu ini?”

“Boleh saja kau anggap demikian, Cia Kong Liang,” kata Bi Hwa dan kini ia menanggalkan kedoknya, tidak lagi bersikap hormat.

“Hemm, tidak semestinya aku seorang tua berkelahi melawan seorang muda apalagi seorang gadis! Sekali lagi, kuminta engkau membebaskan cucuku dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!”


Bi Hwa tertawa. “Ha-ha-heh-heh, justeru kami ingin melihat engkau mengeluarkan semua kepandaianmu untuk melawanku, Cia Kong Liang!”

“Keparat!” Kakek itu sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi untuk menjaga kesehatan, hampir setiap hari dia masih berlatih. Dia sudah dapat menjadi seorang yang penyabar sekali. Andaikata tidak untuk membebaskan cucunya, tentu dia akan mengalah dan akan pergi menelan semua penghinaan orang. Akan tetapi sekali ini tidak mungkin dia tinggal diam. Cucunya di sekap di dalam pondok itu! Diapun menggerakkan kaki hendak memasuki pintu pondok.

Su Bi Hwa menghalang dan kakek itu menggerakkan tangan mendorong wanita ituke samping. Karena ia menduga bahwa wanita itu tentu lihai, dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ketika mendorong.

“Plakk!” Gadis itu menangkis sambil mengerahkan tenaga pula dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang masing-masing tiga langkah. Gadis itu tersenyum, tidak terkejut karena ia sudah tahu sebelumnya bahwa kakek ini memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka tentu saja amat tangguh. Sebaliknya, Cia Kong Liang terkejut bukan main. Gadis yang usianya paling banyak dua puluh lima tahun itu sanggup menangkis dorongannya dan membuat dia terdorong mundur tiga langkah!

“Bagus, kiranya engkau penjahat yang mengandalkan kepandaianmu! Nah, terpaksa aku akan menyerangmu untuk menolong cucuku!” Setelah berkata demikian Cia Kong Liang mulai menyerang dan memainkan ilmu silat Im-yang Sin-kun sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Tangannya yang kiri menyambar dengan tamparan ke arah pelipis kepala, tangan kanan memukul ke arah perut.

“Haiiiiitttt…….!” Bi Hwa cepat meloncat ke kiri sambil menangkis pukulan itu dan membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula di tangkis oleh Cia Kong Liang. Kakek itu kini melihat jelas betapa lihainya lawannya walaupun seorang wanita yang masih muda. Maka dia lalu memainkan Im-yang Sin-kun dengan sebaiknya untuk mendesak Bi Hwa.

Sampai lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu, dan ia mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan.

“Lihat, suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada, Bi Hwa berseru.

“Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,” kata Kim Hwa Cu. Mendengar ini, Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka telah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik

“Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru dan sambil mengelak terus. Ia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andaikata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini, tenaga kakek itu sudah banyak berkurang, dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi maka biarpun Bi Hwa terdesak, tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah.

Karena mainkan Thian-te Sin-ciang membutuhkan pengerahan banyak tenaga, maka setelah beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini dia memainkan San-in Kun-hwat.

“Hemm, ini San-in Kun-hwat dimainkan oleh seorang ahli!” Siok Hwa memuji. Mereka diam-diam mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Memang dalam tugas mereka, seperti telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya, mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka Cin-ling-pai. Yang pertama adalah pedang pusaka berupa pedang yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik pendekar sakti Cia Keng Hong. Adapun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu Thi-khi-i-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tanaga dalam yang mujijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sin-kang lawan, betapapun kuat tenaga sin-kang lawan itu!

Karena itulah, maka setelah kini berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua dari Cin-ling-pai, mereka ingin menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan kepada mereka.

Melihat betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tidak dapat merobohkan lawan, hanya mampu mendesak saja, diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung sekali. Dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib cucunya. Ketika perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang meloncat ke atas dan ketika dan ketika dia turun kembali, tangannya telah mematahkan sebatang dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, terdengar angin menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau!

Melihat ini, Bi Hwa cepat meloncat menjauhi dan berkata kepada tiga orang gurunya, “Suhu, ini tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat suhu hadapi aku sudah lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!”



Kini Kim Hwa Cu yang meloncat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia menggerakkan sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan api.

“Tahan….!” Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru nyaring dan dia meloncat ke belakang, menahan dua tongkat dahan pohon itu, matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul.

“Cia Kong Liang, lebih baik engkau menyerah dengan baik. Kami hanya ingin bertanya kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang.”

“Hemm, melihat pakaianmu, agaknya engkau ini seorang pendeta, seorang tosu. Kalau benar demikian, apa artinya semua ini, to-tiang? Kalau kalian datang ke Cin-ling-pai untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, kenapa kalian menguasai Ciok Gun, dan menangkap cucuku?”

Kim Hwa Cu tertawa dan menyilangkan sepasang pedangnya. “Orang tua, urusan kami tdaikperlu engkau mengetahui. Kalau engkau dapat memenuhi dua permintaan kami, kami berjanji untuk membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami tidak akan mengganggumu.”

Biarpun dia marah sekali dan tidak percaya kepada omongan orang itu, namun karena maklum bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh, Cia Kong Liang menahan kemarahannya, “Katakan, apa permintaanmu itu?”

“Hanya ada dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu Harum, dan kedua adalah ilmu Thi-khi-i-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu dan rahasia ilmu Thi-ki-i-beng!” jawab Kim Hwa Cu.

Wajah kakek itu sampai menjadi pucar saking kaget dan marahnya.

“Yang kau sebut adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai, aku lebih baik mati daripada membuka rahasia perkumpulan kami!”

Tiba-tiba Bi Hwa mendengus marah. “Huh, orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala. Sam Suhu, tidak perlu banyak cakap lagi dengan dia, tangkap dia. Akan tetapi jangan bunuh!” katanya dengan nada suara mengkal.

Kim Hwa Cu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau telah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, majulah dan perlihatkan kepadaku sampai dimana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!”

Kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan diapun sudah menggerakkan dua batang kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga. Biarpun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat kakek ini seperti bertambah tenaga dan semangatnya. Sepasang dahan pohon itu bergerak bagaikan sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat berbahaya bagi lawan.

Akan tetapi yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang di tangan Kim Hwa Cu itu dapat membendung gelombang serangan sepasang tongkat. Bahkan Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu.

“Bagus! Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” beberapa kali dia memuji.

“Sudahlah, Sam Suhu. Robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancaing agar dia mengeluarkan Thi-khi-i-beng!” terdengar Bi Hwa berseru dan Kim Hwa Cu teringat akan kewajibannya. Dua kali pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia menyimpan sepasang pedangnya dan menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong.

Tokoh tua Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh kenekatan. Akan tetapi, tadipun ketika melawan Bi Hwa dia sudah tidak mampu menandinginya, apalagi kini guru gadis itu yang maju. Dari pertemuan tenagapun dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah.

"Dukk!" Pundak kiri Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itu pun terhuyung ke belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengelauarkan keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat bagaikan singa terluka.

Mereka saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek Cin-ling-pai itu semakin terdesak. "Plakk!" kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan pada punggungnya, cukup keras sehingga dia terpelanting!

Akan tetapi dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum bangkit berdiri. Akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan.

Tiba-tiba dua buah tangan yang halus namun kuat sekali mencengkeram kedua pundaknya dari belakang. Bukan main nyeri rasa kedua pundak itu, membuat kedua lengannya lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia roboh terkulai dan pingsan.

Su Bi Hwa menyumpah-nyumpah. "Sialan! Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!"



"Hemm, aku yakin bahwa dia tidak menguasai ilmu itu," kata Lan Hwa Cu sambil memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu. “Kalau dia mampu menguasainya, tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada seorang pun ahli silat membiarkan diri terancam maut tanpa mempergunakan ilmu simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng."

"Kalau begitu, kita harus tawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan. Melalui Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini dan bantuan Ciok Gun yang kita jadikan mayat hidup, kita adu domba kekuatan para pendekar!"

Ketika kakek Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya, namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu dan yang membuat dia mengerutkan alisnya adalah ketika dia melihat cucunya terbelenggu kaki tangannya dan menggeletak miring di atas lantai. Ada pula Cik Gun berdiri seperti patung dan wanita cantik itu duduk di atas bangku dan tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya, maka ia pun tidak berusaha untuk meronta.

"Ah, kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?" Bi Hwa. menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi dan ia pun duduk di atas bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar marah.

"Iblis betina jahat!" Cia Kong Liang memaki. " Aku sudah kalah, kalau kalian hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan apa pun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!"

"Kakek Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun telah men jadi pembantu kami yang setia. Maka, kuharap engkau suka menyerahkan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada kami. Kami berjanji akan membebaskan kalian bertiga kalau kami sudah menerima dua pusaka Cin-ling-pai itu."

"Aku Cia Kong Liang bukan orang yang takut mati! Kau boleh siksa, kau boleh bunuh aku, jangan harap kalian akan dapat memaksaku bicara tentang pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai!" kata Cia Kong Liang dan dia membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah wanita itu.

"Hemm, kita sama lihat saja, kakek berkepala batu!" teriak Bi Hwa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mau memandang kepadanya, bahkan memejamkan kedua matanya, seolah hendak menyatakan bahwa dia tidak lagi sudi bicara dengannya.

"Tarr-tarrr……. !" Terdengar suara cambuk meledak-ledak di susul jerit kesakitan dari mulut anak kecil.

Cia Kong Liang terkejut dan menoleh. Matanya terbelalak ketika melihat betapa cucunya, dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, dicambuki oleh wanita itu. Ujung cambuk panjang yang kecil itu melecut baju anak itu robek dan segera nampak darah membasahi baju Kui Bu. Terkena lecutan dua kali saja, kulit tubuh Kui Bu sudah pecah-pecah dan darah mengalir. Anak itu menjerit-jerit kesaki tan dan menangis.

"Tahan…..!!” teriak Cia Kong Liang. Bi Hwa menoleh kepadanya dan tersenyum penuh kemenangan, lalu menghampiri dan duduk kembali di atas bangku yang tadi. Sedangkan tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang menjadi gurunya, masih duduk bersila seperti orang-orang yang acuh saja, padahal diam-diam mereka memperhatikan. Mereka merasa yakin bahwa murid mereka yang cerdik itu akan dapat memaksa tokoh Cin-ling-pai itu membuat pengakuan.

"Hemm, agaknya engkau mulai dapat melihat kenyataan, kakek Cia. Pedang Kayu Harum itu hanya sebuah benda, Thi-khi-i-beng hanya sebuah ilmu. Tidak pantas ditukar dengan nyawa cucumu, bukan? Nah, kami siap mendengarkan keteranganmu!"

Mata Cia Kong Liang masih memandang cucunya yang merintih-rintih. "Rawat dia dulu, baru aku mau bicara, dan berjanjilah bahwa kalian tidak akan megganggunya lagi," katanya lirih.

Dengan senyumnya yang genit, Su Bi Hwa berkata kepada Ciok Gun yang berdiri tak bergerak seperti arca itu. "Ciok Gun, kau rawat dan obati luka cambukan anak itu, ganti pakaiannya dan beri dia makan dan minum. Bawa keluar dari ruangan ini!"

Sambil menghadap ke arah wanita itu, Ciok Gun memberi hormat dengan membungkuk dan berkata, suaranya datar dan kosong. "Baik Su Siocia!" dan dia lalu menghampiri Kui Bu dan memondong anak yang masih merintih itu, membawanya keluar. Diam-diam Cia Kong Liang cemas sekali melihat keadaan Ciok Gun. Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa murid Cin-ling-pai itu bersikap tidak wajar dan ada suatu kekuatan aneh yang mencengkeram dan menguasainya. Dia menarik napas panjang. Cin-ling-pai dalam bahaya, pikirnya. Akan tetapi kalau mengingat bahwa .puteranya, Cia Hui Song, dan mantunya, Ceng Sui Cin, berada di Cin-ling-pai, hatinya menjadi tenang. Puteranya dan mantunya yang memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan tinggal diam, tentu mereka akan mencari putera mereka dan menemukannya di sini. Empat orang jahat ini tentu akan dapat dibasmi oleh Cin-ling-pai di bawah pimpinan putera dan mantunya.

“Aku mau bicara, akan tetapi ada dua syarat,” katanya. "Kalau kalian tidak memenuhi syarat itu, aku tidak mau bicara."

Bi Hwa tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan kosong belaka. Kalau ia menyiksa Cia Kui Bu di depan mata kakek itu, apa pun yang ia minta tentu akan dipenuhi olehnya!



"Hemmm, apakah dua syarat itu?" tanyanya untuk mempermudah pengakuan Cia Kong Liang.

"Pertama, engkau harus berjanji untuk membebaskan Cia Kui Bun."

"Baik, aku berjanji akan membebaskan cucumu itu kalau kami sudah memperoleh Siang-bhok-Kiam dan Thi-khi-i-beng!"

"Dan ke dua, sebelum aku memberi keterangan, kalian harus memperkenalkan diri dan menerangkan mengapa kalian memusuhi Cin-ling-pai!"

Bi Hwa tertawa dan memandang ke arah tiga orang suhunya. Matanya yang genit itu berkijap-kijap bermain mata dengan mereka, kemudian ia pun menjawab. "Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa kami. Lihat, tiga orang itu adalah guru-guruku, yang pertama Lam Hwa Cu, ke dua Siok Hwa Cu, dan ke tiga Kim Hwa Cu."

"Aku tidak mengenal nama-nama itu……." kata Cia Kong Liang sambil mengingat-ingat.

"Mereka bertiga di dunia kang-ouw dikenal sebagai Pek-lian Sam-kwi."

"Ahhh………! Kiranya orang-orang Pek-lian-kauw!" Cia Kong Liang terkejut bukan main dan kini mengertilah dia mengapa mereka mengganggu Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw akan mengganggu siapa saja tanpa pandang bulu, demi kepentingan perkumpulan sesat itu.

"Bagus kalau engkau sudah tahu. Dan aku sendiri seorang anggauta Pek-lian-kauw pula, murid mereka, namaku Su Bi Hwa dan lebih dikenal dengan julukan Tok-ciang Bi Mo-li."

"Hemmm………" Cia Kong Liang maklum bahwa Cin-ling-pai benar-benar berada di dalam bahaya. Akan tetapi dia dibuat tidak berdaya dengan ditawannya cucunya. Pula, kalau dia memberi keterangan tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada mereka pun tidak akan merugikan Cin-ling-pai, dan terutama sekali untuk menyelamatkan cucunya.

“Nah, sekarang katakan di mana adanya Siang-bhok-kiam?” tanya Bi Hwa dan kini tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu pun membuka mata yang tadi mereka pejamkan. Mereka memandang ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh harap.

"u tidak tahu……” Cia Kong Liang menggeleng kepalanya. Bi Hwa melompat berdiri dari bangkunya dan mukanya berubah merah sekali, matanya mendelik dan kedua tangannya terkepal.

"Tua bangka busuk! Engkau menipuku dan melanggar janji? Apa kau melihat cucumu itu kusembelih perlahan-lahan di depan matamu, kemudian daging dan darahnya akan kumasak dan kuahnya akan kupaksa masuk ke dalam perutmu?"

Cia Kong Liang bergidik. Dia sudah cukup mengenal kekejaman orang-orang Pek-lian-kauw dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya gertakan belaka. Kalau perlu, wanita itu tentu akan dapat melaksanakan ancamannya itu dengan darah dingin!

"Anak perempuan calon penghuni neraka! Aku bukanlah seorang yang suka menipu, tak pernah pula melanggar janji! Kalau kukatakan bahwa aku tidak tahu di mana Siang-bhok-kiam berada, hal itu bukanlah bohong! Aku memang benar tidak tahu, bahkan aku belum pernah melihat pedang pusaka nenek moyangku itu!"

"Bohong! Tidak mungkin! Engkau adalah keturunan keluarga Cia, pimpinan Cin-ling-pai. Betapa mungkin engkau tidak tahu tentang Siang-bhok-kiam? Hayo ceritakan semuanya dengan jelas. Awas kalau engkau membohong, aku tidak mau mengancam untuk ke dua kalinya!"

Cia Kong Liang menarik napas panjang. "Pedang pusaka Siang-bhok-kiam milik nenek moyang keluarga Cia memang benar tidak ada lagi. Bahkan mendiang ayahku, Cia Bun Houw, tidak tahu di mana pusaka itu kini berada. Pernah kutanyakan dahulu kepada ayahku, dan dia hanya mengatakan bahwa yang terakhir kalinya, pedang itu berada di tangan kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang dahulu. Kemudian, mendiang ayah tidak pernah tahu lagi di mana pedang pusaka itu disimpan. Pernah ayah mengatakan bahwa kakek Cia Keng Hong sengaja menyembunyikah pedang itu dan melarang pusaka itu untuk dijadikan senjata. Pusaka itu hanya dikenal namanya saja sebagai benda pusaka Cin-ling-pai. Aku sendiri melihat pun belum, apalagi memilikinya.”

Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. "Karena Cia Keng Hong itu ketua Cin-ling-pai, tentu pedang pusaka itu disembunyikan di perkampungan Cin-ling-pai! Tidakkah begitu?"

"Mungkin saja, akan tetapi sejak mendiang ayahku berada di Cin-ling-pai, sampai aku menjadi ketua kemudian dilanjutkan puteraku dan sekarang dipegang oleh cucuku, keluarga kami belum pernah mencarinya." ,

"Kenapa?"

"Mengingat pesan ayah dahulu bahwa kakek tidak menghendaki pedang pusaka itu muncul sebagai senjata. Hanya namanya saja yang kami ingat sebagai pusaka Cin-ling-pai, dan nama itu diabadikan dalam bentuk ilmu pedang Siang-bhok-kiamsut."

Su Bi Hwa mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada tiga orang gurunya dan ia berkata lirih, "Kita bisa mencarinya nanti….” Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu mengangguk.

"Sekarang tentang ilmu Thi-khi-i-beng. Hayo ceritakan yang sebenarnya tentang ilmu itu. Kami ingin memilikinya!” kata pula Bi Hwa dengan suara galak karena kekecewaannya mendengar tentang Siang-bhok-kiam tadi.



"Seperti juga pedang pusaha Siang-bhok-kiam, ilmu Thi-khi-i-beng sudah lama menghilang dari keluarga kami, bahkan dari Cin-ling-pai. Aku sendiri tidak menguasai ilmu itu."

“Aku tahu!” bentak Bi Hwa galak. "Kalau engkau menguasai ilmu itu, tentu tidak mudah tertawan oleh kami! Yang kutanyakan adalah kitabnya, kitab pelajaran ilmu Thi-khi-i-beng itu! Di mana kitab itu?”

Cia Kong Liang memandang wajah wanita muda itu. Di dalam hatinya, diam-diam dia merasa senang. Yang dicari orang-orang jahat ini tidak ada, dan tidak mungkin dapat mereka miliki.

"Ketahuilah, Moli (Iblis Betina), Thi-khi-i-beng tidak pernah ada kitab pelajarannya." katanya dengan suara hampir ramah karena hatinya merasa senang.

"Bohong! Semua ilmu yang hebat tentu ada kitabnya!"

"Sudah kukatakan aku tidak pernah berbohong. Semua ilmu silat dari Cin-ling-pai tidak
ada kitabnya. Kami sudah melihat pengalaman perkumpulan silat yang lain. Selalu kitab mereka diperebutkan orang, dicuri atau dirampas. Karena itu, sejak pendiri Cin-ling-pai pertama, kami tidak pernah mencatat ilmu-ilmu kami dalam kitab. Kami mengajarkan ilmu-ilmu kami secara langsung, dari guru ke murid."

"Dan Thi-khi-i-beng?"

"Tidak ada lagi orang Cin-ling-pai yang menguasainya. Ilmu itu bukan ilmu sembarangan yang dapat dipelajari oleh sembarang orang!" Ucapan ini mengandung kebanggaan.

"Hemm, jadi engkau tidak mempelajarinya karena engkau tidak berbakat?" Bi Hwa mengejek.

"Pertama, karena bakatku tidak cukup, kedua karena tidak ada yang mengajarkannya kepadaku. Bahkan ayahku sendiri pun tidak menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Hanya kakek yang menguasainya."

Bi Hwa saling pendang dengan tiga orang gurunya. Mereka benar-benar merasa kecewa bukan main. Siang-bhok-kiam lenyap. Thi-khi-i-beng juga lenyap!

"Jadi di dunia ini tidak ada lagi orang yang menguasai Thi-khi-i-beng dan kitabnya pun tidak ada?"

Tiba-tiba Cia Kong Liang merasa jantungnya berdebar. Mengapa tidak? Bukan sekedar membuka rahasia, akan tetapi kalau dia boleh mengharapkan pertolongan bagi Cin-ling-pai, maka yang diharapkan adalah dari pulau Teratai Merah!

"Kurasa di dunia ini hanya seorang saja yang kini masih menguasainya, yaitu besanku, Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah."

"Pendekar Sadis.……..??” Empat orang itu serempak berseru kaget. Cia Kong Liang tersenyum senang!

"Benar, hanya dialah yang menguasai ilmu itu. Nah, sekarang aku telah membuka semua rahasia tentang Siang-bhok-kiam dan Thi-khi-i-beng, aku harap engkau suka segera membebaskan cucuku Cia Kui Bu."

"Heh-heh, jangan harap! Dia dan engkau masih akan menjadi tawanan kami, sebagai sandera!" kata Bi Hwa.

"Kau…… kau…….. melanggar janji! Engkau jahat, curang, pengecut hina……!"

"Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan kakek itu terkulai pingsan.

"Suhu bertiga telah mendengar sendiri. Kita harus mengganti siasat." kata Bi Hwa dan kembali ia dan tiga orang gurunya berunding, mengatur siasat selanjutnya setelah langkah pertama itu mengecewakan hati mereka.

***

Suami isteri itu berdiri di pekarangan depan rumah induk perkampungan Cin-ling-pai. Alis mereka berkerut ketika mereka memandang ke luar dalam cuaca yang sudah redup karena senja telah tiba. Pria itu adalah Cia Hui Song, berusia empat puluh empat tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya yang tampan itu selalu cerah, sepasang matanya mencorong dan lincah sedang mulutnya selalu mengandung senyum. Dia putera Cia Kong Liang, bekas ketua Cin-ling-pai yang sudah mengundurkan diri walau usianya belum tua benar karena dia lebih suka bebas merantau bersama isterinya. Wanita itu isterinya, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembila tahun. Dalam usia menjelang tua itu, ia masih nampak manis, matanya tajam bersinar-sinar. Dalam hal ilmu silat, ia tidak kalah jauh oleh suaminya karena wanita ini adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah. Selain keturunan orang-orang pandai, juga suami isteri ini dahulu pernah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti. Cia Hui Song pernah menjadi murid mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. sedangkan Ceng Sui Cin, di samping mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga pernah digembleng oleh mendiang Wum Yi Lojin, juga seorang di antara Delapan Dewa. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya mereka.

Baru kemarin suami isteri ini kembali ke Cin-ling-pai bersama putera mereka, Cia Kui Bu yang berusia lima tahun. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di pulau Teratai Merah. Dan sore hari itu, mereka berada di pekarangan itu dengan hati agak khawatir. Putera mereka, Cia Kui Bu, sejak pagi pergi berjalan-jalan dengan kakeknya, yaitu kakek Cia Kong Liang dan sampai matahari hampir tenggelam, kakek dan cucu itu belum juga pulang.



"Sungguh aneh, ke manakah ayah mengajak Kui Bu pergi? Kalau hanya jalan-jalan, kenapa sampai sehari dan belum juga pulang?" untuk ke sekian kalinya Cia Hui Song mengomel.

"Apakah malam tadi beliau tidak mepesa:n sesuatu kepadamu?" tanya isterinya.

“Tidak, hanya mengatakan bahwa dia ingin berjalan-jalan pagi hari ini dengan Kui Bu. Apakah pagi tadi engkau bertemu dengan ayah?"

"Pagi-pagi sekali Kui Bu sudah bangun dan setelah mandi dia berpamit untuk mengunjungi kakeknya karena sudah berjanji akan berjalan-jalan pagi tadi. Aku hanya mendengar suara ketawanya bersama kong-kongnya di pekarangan ini ketka mereka berangkat pagi tadi."

Dari bangunan tempat tinggal Gouw Kian Sun, di sebelah kiri bangunan induk itu, muncul Kian Sun bersama seorang wanita. Agaknya mereka berdua memang bermaksud mengunjungi bangunan induk. Ketika melihat Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin berdiri di pekarangan, Gouw Kian Sun segera menghampiri mereka dan memberi hormat. Wanita itu pun memberi hormat dan ternyata ia seorang wanita yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan wajahnya nampak gelisah, bahkan ia seperti baru menangis. Hui Song dan isterinya mengenalnya sebagai isteri Koo Ham, yang tinggal di bagian belakang.

"Kebetulan sekali, suheng dan toa-so berada di sini. -Kami memang ingin menghadap ji-wi (kalian berdua)." Kata Kian Sun setelah rnemberi hormat.

"Hemm, ada urusan apakah, sute?" tanya Hui Song sambil memandang kepada wanita itu karena dia menduga bahwa tentu urusan itu mengenai wanita ini. Kalau tidak begitu, tidak mungkin isteri Koo Ham datang bersama Kian Sun, dan suaminya tidak nampak bersama mereka.

"Seheng, isteri Koo Ham ini amat mengkhawatirkan suaminya, juga saya sendiri merasa heran mengapa dia, Ciok Gun dan Teng Sin belum juga pulang sejak kemarin pagi."

"Hemm, ke manakah mereka bertiga pergi?"

"Mereka bertiga pergi berburu. Biasanya kalau rnereka pergi berburu, tidak pernah bermalam. Kalau pun terpaksa bermalam, maka pada keesokan paginya pasti pulang. Akan tetapi sampai sekarang mereka belum juga pulang. Hal ini memang aneh dan isteri Koo Ham ini merasa gelisah sekali karena malam tadi ia bermimpi buruk."

Hui Song dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum. Agaknya isteri Koo Ham ini percaya akan mimpi yang biasanya hanya merupakan bunga dari tidur saja.

"Engkau mimpi apakah?" Ceng Sui Cin bertanya kepada wanita itu.

"Saya….. saya melihat suami saya mandi dengan…… darah…… "

Biarpun mereka bukan orang yang percaya tahyul dan mimpi, namun suami isteri pendekar ini saling pandang dan merasa ngeri.

“Kian Sun sute, apakah engkau tadi melihat ayah?" tiba-tiba Hui Song bertanya.

"Tidak, suheng. Bukankah pagi tadi suhu pergi berjalari-jalan dengan puteramu? Apakah belum pulang?"

Hui Song menahan kegelisahan hatinya agar jangan nampak pada wajahnya. Dia memandang isterinya. "Aku akan pergi mencari mereka! Juga sekalian mencari Ciok Gun dan dua orang sutenya."

Sui Cin mengangguk. la percaya bahwa seperti juga tiga orang murid Cin-ling-pai itu yang tentu mampu melindungi diri sendiri, lebih-lebih ayah mertuanya tentu akan menjaga anaknya dengan baik dan selama ini, di Cin-ling-san tidak pernah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Keadaan di tempat itu selalu aman dan tenteram. Setelah suaminya pergi, ia lalu menghibur isteri Koo Ham dan menyuruhnya pulang dan menanti suaminya di rumah.

Setelah keluar dari perkampungan Cin-ling-pai, Hui Song lalu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat mencari-cari ayahnya dan anaknya. Dia lari mendaki sebuah puncak bukit terdekat, berteriak memanggil nama puteranya dengan pengerahan khi-kang agar suaranya terdengar sampai jauh. Setelah menanti jawaban yang tak kunjung ada, dia menuruni bukit dan lari mendaki bukit lain. Pendekat ini tidak tahu bahwa sejak tadi ada beberapa pasang mata mengikuti gerak-geriknya, dan beberapa pasang telinga mendengarkan teriakannya yang melengking nyaring ketika ia memanggil puteranya itu. Dan pemilik mata dan telinga ini saling pandang dengan kaget dan penuh kagum, juga agak gentar. Mereka adalah Pek-lian Sam-kwi dan murid mereka, Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang mengintai dari puncak bukit tempat mereka bersembunyi.

Selagi Hui Song hendak mendaki bukit berikutnya, tiba-tiba ada bayangan orang muncul dari dalam hutan di lereng bukit itu dan orang ini berlari turun memapakinya.

"Suhu……!” Orang itu bukan lain adalah Ciok Gun yang cepat membungkuk dengan sikap hormat kepada Cia Hui Song.

"Ciok Gun, engkau? Ke mana saja engkau dan mana pula dua orang sutemu? Dan apakah engkau melihat ayah dan puteraku?”

"Suhu, panjang ceritanya. Akan tetapi, marilah suhu ikut saya. Teecu (murid) mengetahui di mana adanya su-kong (kakek guru) dan sute Kui Bu. Mari…..!”


Dan Ciok Gun lalu membalikkan tubuhnya berlari mendaki bukit itu. Tentu saja Hui Song segera mengikutinya. Senja telah mendatang dan akan semakin sukar mencari ayah dan puteranya kalau malam tiba. Dia merasa gembira mendengar bahwa Ciok Gun mengetahui di mana adanya mereka, akan tetapi juga timbul keheranan dan kekhawatiran melihat sikap murid Cin-ling-pai yang tidak wajar ini.

Seperti juga yang dialami kakek Cia Kong Liang, Hui Song merasa terkejut dan heran ketika dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada dihutan dekat puncak bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok di situ!

"Pondok siapakah ini?" tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut.

"Ssttt…… teecu melihat ayah dan putera suhu di sebuah ruangan. Mari…….!" bisiknya dan dia pun menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping kecil yang terbuka. Hui Song juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, dia telah dapat "merasakan" adanya sesuatu yang tidak beres, maka dia pun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam dirinya.

Mereka tiba di ruangan belakang dan Ciok Gun memheri isyarat kepada Hui Song untuk mendekat. Hui Song ikut mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Dan begitu dia mengintai ke dalam, dia terkejut dan juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu kaki tangannya.

"Ayah! Kui Bu……!” Dia berseru dan sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu. Akan tetapi, dari kanan kiri berkelebat bayangan orang dan kini di depannya menghedap empat orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh sampai enam puluh tahun dan seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya.

Hui Song juga melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan dia duduk di atas bangku di sudut dengan tenang dan dingin, seperti sebuah patung saja!

“Selamat datang, pendekar besar Cia Hui Song!" kata wamta itu sambil tersenyum manis dengan gaya yang memikat. "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!"

Hui Song mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat betapa orang tua itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang memandang kepadanya dengan nampak khawatir. Juga puteranya rebah miring dalam keadaan terbelenggu dan tidak bersuara. Tentu saja dia merasa gelisah sekali melihat keadaan mereka.

"Siapakah kalian?” Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia sedang marah. “Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?”

Bi Hwa tersenyum. "Mereka menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu ke sini.”

“Ciok Gun…….? Dia…… dia…….. hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!”

"Nanti setelah kita bicara, pendekar yang tampan!”

"Keparat akan kubebaskan sendiri mereka!" Dan Hui Song bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di Cin-ling-pai itu, maju menghalang.

"Minggir kau, perempuan iblis!" bentak Hui Song dan dia pun mendorong ke arah Bi Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya ,sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk…….! Aihhh……!" Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling.

Akan tetapi ketika Hui Song yang diam-diam terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga wanita itu hendak maju, tiga orang tosu itu sudah berdiri di depannya menghadang. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka sebelum dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya.

"Ciok Gun, bebaskan sukongmu dan sutemu!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi sekali ini, Ciok Gun tetap duduk diam seperti patung, tidak bergerak sama sekali seolah mendengar perintah itu.

“Hemm, kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai!" bentaknya dan dia pun menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut pendek dan bermuka hitam. Dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanahnya menampar ke arah kepala lawan yang pendek gendut itu.

Siok Hwa Cu mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua lengannya menangkis.

"Dukkk ……..!!" Hui Song merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu terhuyung dan dia pun cepat menjatuhkan dirinya dan bergulingan. Melihat ini, Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song. Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang dan pada saat itu, Lan Hwa Cu yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka diapun menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya.



"Dukkk!" Kembali dia tergetar hebat walaupun lawannya juga terpental kebelakang. Diam-diam Hui Song terkejut. Kiranya empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dalam hal tenaga sin-kang, tidak kalah jauh olehnya! Melawan mereka satu per satu, dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang. Akan tetapi kalau mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan ayahnya dan puteranya. Yang lebih kaget adalah tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Biarpun mereka sudah menduga bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai daripada ayahnya yang sudah tua, namun tak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal ini adalah karena mereka bertiga ini, sudah terbiasa memandang diri sendiri terlalu tinggi.

“Hyaaatttt…………..!” Hui Song mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar-nyambar dengan kuatnya. Tiga orang tosu mengepung ketat, namun mereka tidak berani terlalu mendesak dekat karena kedua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya.

Tiba-tiba terdengar suara wanita itu. "Tahan, hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!"

Karena yakin akan kecerdikan Bi Hwa, tiga orang tosu itu berlompatan mundur. Juga Hui Song menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya. Sedangkan wanita itu sudah menodongkan pedangnya ke atas leher Cia Kong Liang dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan!

"Cia Hui Song, lihat baik-baik. Kalau engkau masih hendak menggunakan kekerasan, terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!"

Sebelumnya, Bi Hwa yang cerdik telah memulihkan gerak leher kedua orang kakek dan cucu itu sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara.

"Ayah…….! Ayah ………!!” Kui Bu memanggil dan menangis sesenggukan. Anak itu amat menderita, sakit-sakit tubuhnya karena dicambuki dan juga ketakutan.

Akan tetapi ayahnya membentak nyaring. "Hui Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!" ,

"Ayah …….., Kui Bu dalam bahaya ……" Hui Song menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang kejam seperti wanita itu bukan hanya gertak kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang diancamkannya tadi.

"Lawan mereka! Kalau engkau menyerah pun percuma, akhirnya mereka akan membunuhmu, membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Son!" kembali Cia Kong Liang berteriak-teriak.

."Dukk!" Kim Hwa Cu menotok dan kakek itu pun terkulai pingsan. Melihat ini, Hui Song marah sekali, akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong pedang wanita itu.

"Bagairnana, Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan puteramu, kemudian kami keroyok engkau?" Bi Hwa bertanya dan nada suaranya penuh kemenangan.

Lemas seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Akan tetapi bagaimana miungkin dia tega melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu disembelih di depannya?

"Katakan dulu, apa kehendakmu kalau aku tidak melawan." katanya, suaranya masih berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi.

"Kami hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan…… eh, maksudku tamu kami seperti ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal, engkau mentaati permintaan-permintaan kami."

"Hemm, harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa maksud kalian melakukan semua ini?"

"Cia Hui Song, engkau tawanan kami, tidak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak akan melawan? Kami pun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga."

Hui Song memandang ayahnya yang

masih pingsan, kepada anaknya yang masih menangis lirih, lalu kepada tiga orang pendeta itu.

"Aku mau berjanji, akan tetapi kalian berempat harus mengucapkan janji kalian untuk tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Kalau hanya engkau saja yang berjanji, nona, terus terang aku tidak percaya."

"Baik, kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!" kata Bi Hwa. Dengan heran Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu demikian taat. Mereka mengangguk dan serentak mereka berkata sambil memandang kepadanya.

"Cia Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau menyerah dan tidak melawan."



Hui Song tidak habis mengerti bagaimana tiga orang guru begitu taat kepada muridnya, padahal murid itu seorang wanita muda dan melihat kekuatan mereka, dia tahu bahwa murid itu tidak lebih kuat daripada mereka bertiga? Akan tetapi dia tidak perduli. Dia tidak tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa oleh pimpinan Pek-lian-kauw diangkat menjadi pimpinan dari rombongan pelaksana tugas itu sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya adalah orang-orang bawahannya atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah pengaruh oleh Bi Hwa, apalagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang menganggap gadis itu sebagai kekasih mereka.

" Aku pun berjanji tidak akan rnelawan dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!”

“Tentu saja!” kata Bi Hwa. "Ciok Gun, bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan hijau!"

"Baik, Su Siocia!" kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat bergerak, dia bangkit, menghampiri kakek Cia Kong Liang dan memanggulnya, kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari situ.

"Ayah……!”

"Kui Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kong-kong baik-baik." kata Hui Song menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas.

"Awas kalian berempat. Kalau sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan membunuh kalian!" katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi.

"Hi-hik, kami tidak akan begitu bodoh Cia-taihiap (pendekar besar Cia)!" kata Bi Hwa sambil tersenyum manis. Kini ia menyebut tai-hiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar, apalagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya? Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu membunuh anaknya dan ayahnya.

"Kami tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami tidak ingin memusuhi Cin-ling-pai. Sekarang, engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan engkau ke kamarmu.” kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali. Tanpa bicara apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang ,berjalan di depannya, sedangkan tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, sekali serang dia tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, dan dia pun akan mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya. Akan tetapi, perbuatannya itu andaikata dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah mereka, dan di sana ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka. Maka dia pun menahan gejolak hatinya dan mengikuti dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata telah membuat persiapan, pikirnya. Mereka bahkan telah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu.

Lorong itu cukup panjang, ada seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh di masuk ke dalam sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar itu, yang mempunyai jendela beruji besi yang kokoh kuat, dia dapat melihat betapa kurang lebih lima pu1uh meter dari situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain.

"Nah, ini kamarnya, Cia-taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang lebih baik lagi, lihat di sana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan anakmu, maka tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas." Setelah berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi.

“Nanti dulu!" Tiba-tiba Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu. “Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari Cin-ling-pai?"

Wanita muda itu tersenyum. "Namaku Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka ini adalah guru-guruku bernama Kim Hwa Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu ……..”

Hui Song memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. "Kiranya kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?”

Tiga orang tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa. "Hi-hik, engkau cerdik, tai-hiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu benar. Aih, kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu dalam kamarmu ini, hi-hik!"

Hui Song tidak menjawab dan tidak mau bicara lagi, membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia me1ihat belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin masih ada lebih banyak lagi yang berada di luar.

Dugaan Hui Song memang benar. Ada tiga puluh orang- anak buah Pek-lian-kauw yang dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semua dengan baik sekali. Mereka melarang semua anggauta Pek-lian-kauw untuk bergerak atau memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka. Ciok Gun telah dibius dan dishir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Apa pun yang diperintahkan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa. Biarpun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat kepada wanita muda yang dianggapnya amat baik, amat menyenangkan dan amat mencintanya itu!



Akan tetapi, belasan orang penjaga di luar itu bersikap acuh dan seolah-olah tidak memperdulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, dan yang menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak. Kamar tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat daripada besi. Dan andaikata dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya.

"Hui Song …..!”

Pendekar itu menengok. Ayahnya telah siuman, bahkan telah berdiri di depan jendela beruju menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dari agaknya dalam keadaan sehat saja.

"Ayah ……..!" Kui Bu juga berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan memandang kepadanya, juga anaknya tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja. Hatinya merasa lega.

"Ayah dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?" tanyanya dengan suara lega.

"Hui Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan ditawan! Sekarang siapa yang akan membasmi mereka?"

"Ayah, yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tidak akan dapat berbuat sesuatu." jawab Hui Song dan jawaban ini agaknya menyadarkan kakek itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari maut. Biarpun hatinya merasa penasaran, ketika teringat akan cucunya yang masih kecil, dia pun dapat memaklumi sikap puteranya.

"Engkau benar. Kita harus menjaga kesehatan, dan kekuatan, tidak boleh putus asa." Dan dia pun merangkul cucunya. "Jangan khawatir, Kui Bu berada di sini bersamaku."

"Ayah, aku akan menjaga kakek!" kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan. Agaknya karena melihat ayahnya berada di situ dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan agar dia menjaga kakeknya, semangat anak itu timbul dan memang pada dasarnya Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng.

Demikianlah, dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di dalam kamar tahanan mereka, diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan menanti terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Kalau ada penjaga menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka menerimanya dan makan tanpa bahyak ribut lagi.

***

"Ayah …….!” Suara itu melengking nyaring menembus kesunyian malam.

"Kui Buuuu …….!!” Kembali suara yang sama melengking nyaring menuruni bukit, seolah suara itu datang dari bulan tiga perempat yang memberi penerangan yang cukup. Namun, seperti juga tadi, tidak ada suara jawaban terdengar.

"Song-ko (kanda Song) ………!!" kembali suara itu melengking dan sia-sia, karena tidak ada jawaban. Bahkan suara jengkerik dan belalang malam yang tadinya meramaikan malam, segera terhenti sejenak karena terkejut oleh suara melengking itu. Beberapa saat kemudian, barulah kerik jengkerik dan belalang terdengar lagi.

Ceng Sui Cin menuruni bukit itu. Hatinya cemas bukan main. Yang aneh-aneh terjadi di Cin-ling-pai sejak pulangnya ke situ dari pulau Teratai Merah kemarin. Mula-mula, Ciok Gun, Teng Sin dari Koo Ham, tiga orang murid Cin-ling-pai yang pergi berburu, sampai dua hari semalam belum pulang. Kemudian, sejak pagi tadi Kui Bu dan kakeknya pergi berjalan-jalan juga sampai malam ini belum pulang. Dan yang terakhir, sore tadi suaminya pergi mencari mereka dan sampai kini, menjelang tengah malam, suaminya pun belum kembali! Maka, setelah memesan agar Gouw Kian Sun, sute dari suaminya menyuruh anak buah membuat penjagaan yang lebih ketat, ia sendiri lalu keluar dari perkampungan Cin-ling-pai untuk mencari mereka. Sudah sejak tadi ia mencari-cari, memanggil-manggil ayah mertuanya, suaminya, dan anaknya, namun tidak ada yang menjawab. Padahal, ketika berteriak memanggil, ia sudah mengerahkan khi-kang sehingga suaranya tentu akan terdengar sampai jauh. Setidaknya, suaminya tentu mendengarnya dan kalau begitu, kenapa suaminya tidak menjawab? Hati wanita perkasa ini mulai merasa gelisah. Untung bulan cukup terang dan di angkasa tidak ada mendung sehingga ia dapat mempergunakan ilmunya berlari cepat yang amat hebat untuk berlari-lari mencari. Ilmu ginkang (meringankan tubuh) nyonya ini memang hebat. Ia memiliki ilmu Bu-eng-hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang membuat ia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga bayangannya saja berkelebat dan sukar ditangkap pandangan mata!

Hatinya menjadi semakin gelisah setelah tiga bukit didaki dan dituruni belum juga ia berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ketika ia mendaki sebuah bukit, tiba di luar hutan, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul empat orang yang menghadang di tengah jalan. Tiga orang tosu dan seorang wanita muda yang cantik.

"Selamat malam, pendekar wanita Ceng Sui Cin!" Gadis itu menyalaminya dengan senyum simpul.

Sui Cin terkejut dan merasa heran. Ia memandang penuh perhatian akan tetapi merasa tidak pernah mengenal mereka. Dan mereka telah mengetahui namanya! Jantungnya berdebar tegang karena ada firasat yang tidak enak terasa di hatinya. Seperti ada bisikan bahwa kemunculan empat orang asing ini tentu ada hubungannya dengan lenyapnya mertuanya, anaknya, suaminya dan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.



"Siapakah kalian?" tanyanya.

"Lihiap (pendekar wanita), kami adalah tuan dan nyonya rumah, dan engkau adalah tamu kami. Mari silakan ikut dengan kami!" kata Bi Hwa.

Sui Cin mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengenal kalian dan tidak akan menjadi tamu kalian." Kecurigaannya semakin menebal.

"Aihh, Nyonya Cia Hui Song, bukankah engkau sedang mencari suamimu, anakmu dan ayah mertuamu?"

Sui Cin terkejut. Ternyata apa yang dikhawatirkannya benar. Mereka ini tahu tentang keluarganya yang hilang!

"Di mana mereka? Siapa kalian?" bentaknya.

Bi Hwa tersenyum. "Siapa adanya kami tidaklah penting bagimu, li-hiap. Yang penting, kami mengundangmu untuk menjadi tamu kami, dan kami berjanji bahwa engkau pasti akan dapat berjumpa dengan Kakek Cia, suamimu, dan puteramu dalam keadaan selamat."

Wajah Sui Cin seketika menjadi merah saking marahnya. "Aku tidak sudi menjadi tamu kalian! Jadi kalian telah menawan keluargaku? Katakan, benarkah itu?"

Kembali Bi Hwa tersenyum, merasa menang. “Bukan menawan. Mereka menjadi tamu-tamu kami, tamu terhormat."

"Hayo bebaskan mereka sekarang juga!" bentak Sui Cin sambil mengepal kedua tinju tangannya.

"Hemmm, engkau galak benar, li-hiap. Bagaimana kalau kami tidak mau membebaskan mereka?"

"Keparat, berarti kalian sudah bosan hidup! Akan kusiksa kalian, akan kubunuh kalian kalau tidak segera membebaskan Kakek Cia, suamiku, dan puteraku!"

“Ho-ho-ha-ha, betapa sombongnya perempuan ini!" Siok Hwa Cu sudah melangkah ke depan dan memandang Sui Cin dengan sikap mengejek, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja suaranya yang menggetar penuh kekuatan sihir itu membentak, matanya menatap tajam wajah Sui Cin.

"Ceng Sui Cin, engkau bertemu dengan orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi. Hayo engkau cepat berlutut dan memberi hormat kepada kami!" Diam-diam Kim Hwa Cu dan Lan Hwa tu juga mengerahkan kekuatan sihir mereka melalui pandang mata, untuk membantu usaha Siok Hwa Cu menundukkan nyonya lihai itu dengan sihir.

Sui Cin tiba-tiba merasa betapa tubuhnya tergetar, jantungnya terguncang dan semangatnya melayang. Hampir saja kedua kakinya berlutut. Akan tetapi ia segera tahu bahwa lawan menggunakan kekuatan sihir. Tidak percuma ia menjadi puteri Pendekar Sadis, dan ibunya Toan Kim Hong pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin. Maka, tentu saja dari ayah ibunya selain ilmu silat, ia telah dibekali kekuatan batin untuk menghadapi serangan sihir. Ia mengerahkan tenaga itu untuk menolak dan getaran pada tubuhnya menghilang, juga dorongan untuk bertekuk lutut lenyap. Sebaliknya, dengan marah sekali ia lalu menyerang tosu muka hitam yang gendut pendek itu. Karena ia marah sekali, maka begitu menyerang, Ceng Sui Cin sudah menggunakan sebuah jurus dari Hek-liong Sin-ciang! Ilmu silat sakti ini hanya terdiri dari delapan jurus saja, namun karena ilmu ini merupakan ilmu andalan ayahnya yang mempelajarinya dari Bu-beng Hud-couw, maka hebatnya bukan main. Dahsyat sekali! Begitu tubuhnya merendah, wanita cantik ini menerjang ke depan dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong. Siok Hwa Cu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi, maka dia agak memandang rendah kepada wanita ini. Sebetulnya, dia juga sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita Ceng Sui Cin, akan tetapi, sudah menjadi ciri orang yang menjadi budah nafsu, yang selalu mengejar kesenangan melalui cara kekerasan, dia memandang diri sendiri terlalu tinggi sehingga memandang rendah orang lain. Melihat wanita itu tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya saja, sebetulnya sudah merupakan peringatan yang cukup untuknya. Akan tetapi, dia menganggap gerakan serangan Ceng Sui Cin itu sebagai gerakan serangan yang tidak ada artmya, maka dengan sombong dia menghadapi dengan kedua tangan menyambar, maksudnya untuk menangkap pergelangan kedua tangan lawannya itu

"Desssssss …….!” Pertemuan antara kedua pasang lengan itu hebat sekali. Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu hendak memperingatkan saudara mereka, namun terlambat. Tubuh Siok Hwa Cu terjengkang dan terbanting keras. Ketika dia dibantu kedua orang saudaranya bangkit dia muntah darah!

Akan tetapi Sui Cin tidak berhenti sampai di situ saja. Ia kini tahu bahwa tentu keluarganya ditawan oleh orang-orang jahat ini, maka setelah tosu gendut pendek itu roboh, ia pun terus menyerang lagi, kini ia menyerang wanita cantik yang tadi menjadi juru bicara.

Kembali Sui Cin mempergunakan jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan kini kedua tangannya bukan mendorong seperti tadi, melainkan menyerang dari atas dan bawah, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala, tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Bukan hanya cengkeraman itu yang berbahaya, akan tetapi terutama sekali tenaga yang terkandung dalam serangan inilah yang amat kuat sehingga tadi ketika Siok Hwa Cu menangkis, seketika dia terjengkang dah muntah darah!

Akan tetapi biarpun ilmu kepandaian Tok-ciangBi Moli Su Bi Hwa tidak lebih tinggi dari kepandaian Siok Hwa Cu atau dua orang gurunya yang lain, kecerdikannya jauh lebih menang. Wanita ini maklum betapa dahsyatnya serang Ceng Sui Cin, maka, dia tidak sebodoh gurunya ke dua tadi. Ia tidak berani langsung menghadapi serangan itu, melainkan cepat melompat jauh ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar lembut menyambar ke arah penyerangnya. Namun, jarum-jarum itu runtuh tertiup hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Sui Cin.



"Jahanam! Kubunuh, kalian semua kalau tidak cepat membebaskan semua keluargaku!" Sui Cin membentak dan biarpun ia masih tetap nampak cantik, namun kini empat orang musuhnya menjadi gentar juga. Pendekar wanita itu bagaikan seekor naga betina yang marah.

"Tahan dulu!" Su Bi Hwa membentak nyaring.

“Perempuan rendah, mau bicara apa lagi engkau?" Cui Sin memandang marah. “Bebaskan mereka atau kubunuh kalian! Tidak ada urusan lain!"

"Lihiap, harap tenang dulu. Kami bukan bermaksud buruk, tidak ingin bermusuhan denganmu. Sekali lagi, kami mengundangmu baik-baik sebagai tamu kami, dan kami berjanji tidak akan mengganggu keluargamu. Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan kekerasan, terpaksa kami akan lebih dulu membunuh Kakek Cia, suamimu dan puteramu!"

"Bedebah! Engkau mengancam dan memerasku?" ..

"Bukan mengancam kosong atau memeras, melainkan merupakan pilihan bagimu. Engkau menyerah baik-baik dan keluargamu selamat atau engkau memusuhi kami dan keluargamu akan kami bunuh lebih dulu."

Akan tetapi, sekali ini mereka berhadapan dengan Ceng Sui Cin, puteri dan anak tunggal dari Pendekar Sadis! Wanita ini tidak mungkin dapat diancam dan digertak! "Siluman betina ,dan kalian tosu-tosu palsu, bukalah telingamu dan dengar baik-baik. Nyawa keluargaku berada di tangan Tuhan! Bukan di tangan-tangan kotor kalian. Bagiku, aku lebih senang melihat mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah, daripada hidup menyerah kepada kalian iblis-iblis busuk! Nah, sekarang bebaskan mereka, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni kalian atau tidak!"

Bukan main kerasnya ucapan ini, dan tahulah Bi Hwa bahwa ia dan tiga orang gurunya tidak mungkin dapat membujuk wanita ini, tidak mungkin menundukkannya dengan sikap halus atau dengan ancaman. Wanita seperti ini hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan! Akan tetapi, biarpun mereka mengeroyoknya berempat dan pasti akan mampu merobohkan wanita itu, mereka masih terancam bahaya bahwa seorang di antara mereka mungkin akan tewas atau terluka parah menghadapi amukan pendekar wanita yang nekat ini!

"Kalau begitu, sekarang juga kami akan membunuh puteramu dan suamimu!" Bi Hwa berseru jengkel.

"Iblis betina, engkau yang akan kubunuh lebih dahulu!" Sui Cin membentak dan menyerang dengan dahsyat. Bi Hwa sudah mengelak cepat, namun gerakannya kalah cepat dan hawa pukulan dahsyat dari Hok-liong Sin-ciang membuat ia terhuyung. Tiga orang gurunya sudah menyerang Sui Cin dengan senjata mereka. Terutama sekali Siok Hwa Cu yang tadi sudah terpukul dan terluka dalam, kini dengan marah menyerang dengan golok besarnya yang berat. Kim Hwa Cu menyerang dengan siang-kiam (sepasang pedang). Lan Hwa Cu menggunakan sehelai sabuk yang kedua ujungnya berupa bola dan bintang baja. Sedangkan Su Bi Hwa juga sudah mencabut sebatang pedang.

Biarpun ia sendiri bertangan kosong, dikeroyok empat orang yang memegang senjata tajam, sedangkan tingkat empat orang itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya, Sui Cin sama sekali tidak menjadi gentar. Wanita ini memang terlatih, dan selain ia telah mewarisi ilmu-ilmu pilihan, juga semangatnya besar bukan main, pantang mundur, apalagi sekarang ia berusaha untuk menyelamatkan ayah suaminya, puteranya dan suaminya, tentu saja ia mengamuk mati-matian. Untuk menghindarkan diri dari sambaran empat senjata lawan, ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari ibunya, seorang ahli gin-kang yang sukar dicari tandingannya, juga ia memainkan gerakan kaki yang berdasarkan ilmu Bu-eng Hui-teng (Ilmu Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Maka, tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang lenyap dari pandangan mata empat orang pengetoyoknya! Biarpun ia sendiri tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas, namun Sui Cin membuat empat orang pengeroyok itu terkejut dan gentar.

Tiba-tiba yang biarpun menjadi murid selalu merupakan pimpinan mereka, berseru, “Pergi …….!!” Ini merupakan isyarat kepada tiga orang gurunya. Mereka berloncatan pergi dan pada saat itu Ceng Sui Cin hendak mengejar, Lan Hwa Cu melemparkan sebuah benda ke atas tanah dan terdengar ledakan disusul asap hitam yang membuat tempat itu menjadi gelap. Sui Cin terkejut, karena khawatir kalau asap itu beracun, terpaksa ia melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pengaruh asap. Akan tetapi ternyata asap itu tidak beracun, dan ketika ia mencari-cari, empat orang itu sudah lenyap, tak nampak lagi bayangan mereka. Sui Cin membanting-banting kakinya dengan marah sekali. Ia menyumpah-nyumpah dan memaki mereka mencari ke sana-sini. Ia memasuki hutan yang gelap itu, akan tetapi karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh empat orang tadi, ia menjadi bingung.

Selagi ia menyusup-nyusup di dalam kegelapan malam di hutan lebat itu, di mana sinar bulan sama sekali tidak mampu memberi penerangan, meraba-raba dan tidak tahu arah ke mana ia bergerak. Akhirnya Sui Cin terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon besar. Kecerdikannya belaka yang mencegah ia melanjutkan pencariannya. Di dalam hutan yang gelap itu, amat berbahaya melakukan pencarian kepada empat orang yang lihai dan curang itu. Ia akan mudah terjebak, mudah diserang dari kegelapan. Biarpun ia mengenal benar tempat ini, karena ketika masih muda ia sering bermain-main di bukit-bukit sekitar Cin-ling-san, namun dalam kegelapan malam ini ia tidak akan mampu membela diri dengan baik kalau diserang dari kegelapan. Ia duduk bersila, mengatur pernapasan dan mengumpulkan hawa murni. Ia harus mengumpulkan tenaganya dan besok pagi ia harus segar kembali karena ia membutuhkan kekuatan untuk mencari keluarganya sampai dapat, untuk melawan pihak musuh yang kuat.



Akan tetapi, baru saja ia bersamadhi belum dua jam, dan waktu kurang lebih baru jam tiga pagi, keadaan masih gelap, sinar matahari masih belum nampak, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang.

"Su-pek-bo (uwa guru)......!"

Sui Cin membuka mata dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia melihat sinar obor dipegang oleh seseorang yang menuju ke tempat itu. Ia tidak mengenal suara itu, maka cepat ia meloncat dan menyusup di balik semak-semak, mendekati pembawa obor. Setelah dekat, baru ia melihat bahwa pemegang obor itu bukan lain adalah Ciok Gun! Ciok Gun terhitung pembantu dan murid Gouw Kian Sun, maka menyebut suaminya supek (uwa guru), dan menyebut ia supek-bo. Sekali menggerakkan kaki, ia meloncat dan tiba di depan Ciok Gun yang nampak kaget karena munculnya Ceng Sui Cin begitu tiba-tiba.

"Su-pek-bo......"

"Ciok Gun, dari mana saja engkau? Dan di mana....... "

"Ssttt, supek-bo, jangan terlalu keras bicara. Teecu (murid) tahu di mana mereka menawan su-kong (kakek guru), supek, dan sute (adik seperguruan)." Dia berbisik.

"Bagus ……..!" Sui Cin berseru girang, juga dengan berbisik. "Di mana mereka? Apakah mereka semua selamat?"

"Mereka selamat. Mari, supek-bo, kita harus cepat membebaskan mereka."

Sui Cin tentu saja tidak mau banyak cakap lagi dan dengan hati tegang namun gembira, ia mengikuti Ciok Gun yang menyusup-nyusup melalui hutan itu, mendaki ke puncak bukit. Akan tetapi sebelum sampai ke puncak, di tengah hutan, Ciok Gun berhenti. Tak jauh dari situ, di depan mereka, nampak sebuah bangunan besar tersembunyi di antara pohon-pohon. Ada beberapa buah lampu tergantung di sudut bangunan. Sui Cin merasa heran sekali. Seingatnya, di bukit ini tidak terdapat rumah orang, apalagi sebuah bangunan yang cukup besar itu! Akan tetapi ia tidak banyak bertanya karena ia melihat Ciok Gun memadamkan obornya dan murid keponakan suaminya ini memberi isyarat dengan telunjut ke depan bibir agar ia tidak bicara. Dengan isyarat tangan, Ciok Gun mengajak supek-bo itu itu menghampiri bangunan dari samping dan dia membisikkan ucapan lirih sekali.

"Supek-bo, teecu tahu di mana mereka ditawan. Harap supek-bo mengikuti teecu saja."

Sui Cin mengangguk. Sedikit pun tentu saja ia tidak mencurigai murid Cin-ling-pai yang sudah dipercaya oleh ayah mertuanya sehingga diangkat menjadi pembantu dari Gouw Kian Sun ini. Ia hanya waspada terhadap ancaman yang mungkin datang dari luar, dan dengan berindap-indap ia mengikuti murid keponakan itu yang meloncati pagar halaman rumah gedung itu, kemudian mereka menuju ke belakang bangunan. Sebuah pintu kecil dari kayu bukan merupakan halangan berat bagi Ciok Gun. Dia mempergunakan tenaganya mendorong dan daun pintu itu pun terbuka. Mereka masuk dan Ciok Gun memberi isyarat kepada supek-bonya agar mengikutinya.

Kini sinar subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Akan tetapi lampu penerangan di bagian belakang rumah itu masih bernyala terang. Agaknya penghuni rumah itu masih tidur, kalau pun ada penghuninya. Namun Sui Cin tetap waspada sehingga andaikata saat itu ia diserang senjata rahasia sekali pun, tentu ia akan mampu menghindarkan diri.

Karena hatinya tegang bercampur gembira akan bertemu kembali dengan suaminya, puteranya dan ayah mertuanya dalam keadaan selamat, kepercayaaan Sui Cin terhadap Ciok Gun itu agak berlebihan. Dalam keadaan tegang gembira itu, ia kehilangan kewaspadaan. Dalam keadaan biasa, wanita yang biasanya amat cerdik ini tentu merasa curiga melihat betapa Ciok Gun dapat memasuki bangunan itu dengan begitu leluasa, bahkan kini membawanya melalui lorong yang panjang dan berliku. Penawan keluarganya adalah orang-orang pandai, bagaimana mungkin seorang dengan tingkat kepandaian seperti Ciok Gun dapat menemukan keluarganya yang ditawan oleh para penjahat lihai itu? Namun, saat itu ia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap Ciok Gun.

Ciok Gun berhenti di depan sebuah pintu beruji besi yang terbuka. Ruangan itu kosong, ukurannya kurang lebih delapan kali sepuluh meter dan terdapat sebuah lampu gantung di tengah-tengah. Di seberang sana terdapat pula sebuah Pintu jeruji besi yang juga terbuka.

"Supek-bo, di belakang kamar inilah ruangan tahanan. Kita menyeberang ke sana. supek-bo dulu, teecu takut ……."

Masih juga Sui Cin belum curiga. Ia mengangguk dan dengan hati-hati ia melangkah masuk lewat pintu yang terbuka itu. Ia bersiap-siap mehghadapi jebakan, kalau-kalau lantai itu terbuka atau ada senjata rahasia menyerang dari kanan kiri, atau atas bawah. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan ia pun melangkah terus. Ciok Gun melangkah di belakangnya. Ketika mereka tiba di tengah ruangan itu, tiba-tiba Ciok Gun menunjuk ke atas.

Sui Cin melihat ke atas, akan tetapi tidak terjadi sesuatu di sana. Terdengar suara keras beradunya besi dengan besi dan kedua pintu besi di depan dan belakangnya itu kini telah tertutup! Mereka terjebak, terkurung ke dalam kamar itu.

"Ciok Gun, mari kita jebol pintu itu!" teriaknya kepada Ciok Gun.

Akan tetapi tiba-tiba nampak sebuah benda dilempar dari luar dan sebuah pula dari belakang, terdengar dua kali ledakan dan kamar itu penuh asap putih!


"Awas, Ciok Gun. Tahan napas, jebol pintu …….!" teriak Sui Cin, akan tetapi terlambat. Ia melihat Ciok Gun terhuyung lalu terbatuk-batuk dan roboh. Ia sendiri lalu mengerahkan tenaga dan menubruk pintu belakang untuk membobol pintu yang tertutup. Akan tetapi, terpaksa ia menarik diri lagi karena melalui jeruji besi, ada senjata-senjata golok dan pedang yang menyambutnya! Ia membalik dan hendak menjebol pintu depan. Akan tetapi kembali ia harus mundur karena dari pintu itu pun nampak senjata ditodongkan, siap menyambutnya. Ia segera membuka jubah luarnya, memutar-mutar jubah itu untuk mengusir asap keluar dari kamar melalui jeruji besi. Akan tetapi, kembali ada ledakan-ledakan dan asap semakin menebal. Betapa pun gigihnya Sui Cin mempertahankan diri, tentu saja ia tidak mungkin dapat menahan napas terlalu lama. Akhirnya terpaksa ia terengah, asap terhisap dan ia terbatuk-batuk, kepalanya pening, pandang matanya gelap dan pendekar wanita yang gigih ini pun akhirnya roboh pingsan di dekat Ciok Gun.

Setelah siuman dari pingsannya, Sui Cin mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar yang berpintu baja tebal dengan jeruji baja amat kuatnya. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terluka, dan ia pun tidak dibelenggu. Ketika ia bangkit duduk, ia mendengar suara lirih.

“Sui Cin …….!”

Ia menoleh dan cepat meloncat ke dekat jendela beruji baja itu. Kiranya suaminya berada di sana, di dalam ruangan lain, terpisah beberapa meter dari jendela itu. Juga suaminya berdiri di balik jendela beruji baja.

"Mana ayah dan Kui Bu?" Sui Cin bertanya. Keadaan suaminya tak perlu ia tanya lagi. Suaminya jelas selamat dan sehat, hanya tertawan seperti dirinya.

"Mereka di kamar sebelah. Dalam sebuah kamar, kami dapat saling melihat dan bicara. Mereka selamat." kata Hui Song. "Bagaimana mereka dapat menawanmu?"

"Aku terjebak, dalam ruangan dan pingsan karena asap pembius. Aku bersama Ciok Gun yang juga roboh pingsan."

"Hemm, kiranya mereka mempergunakan dia pula. Ciok Gun itu kaki tangan mereka."

"Eh? Apa maksudmu?" Tentu saja Sui Cin merasa heran dan terkejut pula mendengar ini.

"Mereka lebih dulu menawan Ciok Gun dan membuat dia menjadi seperti mayat hidup yahg mentaati semua perintah mereka. Ingatannya telah mereka kuasai melalui sihir dan racun."

"Ahhh....! Tapi, siapa mereka dan mengapa mereka menawan kita ?"

"Iblis betina itu adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu adalah guru-gurunya."

"Hemm, sudah kuduga mereka orang-orang Pek-lian-kauw, melihat alat peledak itu. Tapi mereka mau apa ……?”

"Mereka tidak mengaku, akan tetapi aku dapat menduga bahwa mereka agaknya hendak menguasai Cin-ling-pai dan akan mempergunakan nama Cin-ling-pai untuk maksud-maksud buruk."

"Hemm, berbahaya sekali kalau begitu! Akan tetapi bagaimana mereka dapat menawanmu? Apakah juga karena jebakan dan asap pembius?" Sui Cin merasa penasaran sekali. Suaminya adalah seorang pendekar sakti, bagaimana sekarang dapat demikian mudahnya tertawan?

Hui Song menghela napas panjang. Dia tahu bahwa isterinya tentu tidak setuju, akan tetapi dia pun tidak dapat berbohong. "Mereka itu hendak membunuh ayah dan Kui Bu di depan mataku, terpaksa aku menyerah."

"Hemm.....!" Sui Cin menahan hatinya yang hendak menegur. Diam-diam ia tidak dapat terlalu menyalahkan suaminya. Suaminya adalah seorang anak yang berbakti, juga seorang ayah yang amat mencinta puteranya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan ayahnya dan puteranya dibunuh?

"Mereka berjanji tidak akan mengganggu ayah dan Kui Bu. Kalau mereka berani melanggar, aku pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa dengan mereka!"

"Kita berdua akan mengadu nyawa dengan mereka!" Sui Cin berkata penuh semangat.

"Hi-hi-hik, sungguh mengagumkan sekali. Sepasang pendekar sakti Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sungguh gagah perkasa!" Terdengar suara ketawa. Baik Hui Song maupun Sui Cin dapat melihat wanita yang berada di luar kamar tahanan itu melalui jeruji baja pintu kamar mereka. Kalau Hui Song memandang dengan sikap tenang dan sinar mata dingin, sebaliknya Sui Cin memandang dengan sinar mata seperti berapi-api.

"Perempuan hina tak tahu malu. Kalian menggunakan cara yang amat curang dan pengecut! Kalau memang kalian orang-orang Pek-lian-kauw mempunyai kegagahan, mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

Su Bi Hwa menghadapi makian itu dengan senyum simpul. "Nyonya yang gagah, simpanlah kemarahanmu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan keluargamu."

"Huh! Engkau jangan harap dapat menggertak aku. Kalau engkau melanggar janjimu kepada suamiku, aku pasti akan merobek-robek kulitmu, mencabuti semua uratmu dan mematahkan semua tulangmu!"



Biarpun mulutnya masih tersenyum, namun wajah Bi Hwa berubah agak pucat dan ia merasa ngeri mendengar ancaman wanita itu. Ia teringat bahwa wanita ini adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, dan kenyataan ini saja sudah membuat bulu tengkuknya berdiri, apalagi mendengar ancaman yang luar biasa sadisnya tadi. Ia sudah mendengar tentang Pendekar Sadis di waktu mudanya. Berdiri bulu tengkuknya kalau ia mendengarkan cerita para tokoh kang-ouw yang tua tentang kekejaman Pendekar Sadis kalau menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya. Dan yang mengeluarkan ancaman sekarang ini, adalah puteri Pendekar Sadis, anak tunggalnya! Tentu saja ia tidak tahu bahwa sejak kecil, ayah ibunya melarang Sui Cin untuk bersikap kejam, bahkan tidak membunuh kalau tidak sangat terpaksa. Sui Cin sama sekali tidak memiliki watak kejam seperti ayahnya dahulu, tidak pula aneh seperti ibunya dahulu. Akan tetapi begitu melihat seluruh keluarganya terancam bahaya, ia dapat berubah menjadi seorang yang amat ganas dan mungkin saja dapat melakukan kekejaman seperti yang diancamkannya tadi.

"Tenanglah, lihiap," kata Bi Hwa sambil tetap tersenyum untuk menyembunyikan perasaan ngerinya. "Kami tidak bermaksud buruk terhadap keluargamu. Kalau memang kami bermaksud buruk, tentu mereka itu tidak kami tawan, melainkan kami bunuh. Dan engkau boleh bertanya kepada mereka. Kami tidak pernah bersikap kasar, kami selalu menghormati mereka. Kalian hanya menjadi tamu kami untuk sementara saja. Kalau sudah selesai urusan kami, tentu kami akan membebaskan kalian disertai maaf kami yang sebesarnya." Setelah berkata demikian, tidak memberi kesempatan kepada Sui Cin untuk memaki lagi, Bi Hwa menghilang.

"Sui Cin, tenanglah. Mereka adalah orang-orang yang jahat, keji dan curang. Kita harus berhati-hati, terutama untuk keselamatan ayah dan Kui Bu."

"Hemm, menghadapi anjing-anjing busuk seperti orang-orang Pek-lian-kauw, tidak boleh kita terlalu mengalah. Kalau mereka memang tidak mengganggu keluarga kita, boleh kita pertimbangkan untuk melepaskan mereka. Akan tetapi sedikit saja mereka mengganggu keluarga kita, aku bersumpah akan membuat perhitungan sampai tuntas, dan akan mengejar mereka sampai ke negara sekali pun!"

Hui Song yang maklum bahwa isterinya itu marah sekali karena terdorong kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarga, hanya mengangguk-angguk. Memang ada baiknya isterinya memperlilihatkan sikap keras agar orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak berani bertindak sembarangan terhadap keluarga mereka. Akan tetapi diam-diam Hui Song amat mengkhawatirkan keadaan Cin-ling-pai yang kini ditinggalkan para pimpinan. Yang berada di sana tinggal Gouw Kian Sun! Dan dia tetap khawatir kalau puterinya, Cia Kui Hong pulang, tentu akan terjadi geger! Puterinya itu malah lebih galak dan lebih berani dibandingkan ibunya!

***

"Aduh, sungguh berbahaya sekali……!" Berkali-kali gadis itu berseru khawatir. Namun pemuda yang mengemudikan perahu itu bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum menyaksikan kekhawatiran gadis itu. Mereka hanya berdua saja di dalam perahu kecil.

"Jangan takut, manis. Aku sudah biasa di tempat ini. Kalau orang lain yang belum pernah tinggal di sini, pasti akan mengalami bahaya mengemudikan perahu di antara batu-batu karang tajam meruncing ini, apalagi kalau ombaknya sedang pasang dan banyak batu yang tidak nampak di permukaan air. Perahu itu dengan mahir dan cekatan sekali menggerakkan dayungnya dan moncong perahu terhindar dari tubrukan dengan batu karang hitam yang menonjol di permukaan air.

Memang daerah itu amat berbahaya. Di permukaan air laut itu banyak terdapat batu-batu karang seperti barisan yang dipasang rapi, sengaja hendak menghalang perahu yang berani mendekat ke pulau itu. Dan pulau itu pun sukar didekati. Sebagian besar merupakan tebing yang tinggi sehingga tidak mungkin perahu mendekat dan para penumpangnya mendarat. Satu-satunya bagian yang landai hanyalah yang penuh batu karang itu! Dan bagian ini berbahaya sekali. Karena hanya bagian ini yang landai, maka ombak dengan bebasnya menyerbu ke darat dan menghantam batu-batu karang. Dan kadang-kadang, di antara batu-batu karang itu, nampak pula seperti batu karang kecil meruncing yang meluncur ke sana sini. Ada belasan buah banyaknya! Yang itu bukan batu karang, melainkan sirip ikan-ikan hiu yang amat ganas dan haus darah. Maka, kalau sampai ada perahu membentur karang dan pecah, penumpangnya terjatuh ke dalam air, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.

Gadis yang berada di perahu itu tidak nampak seperti seorang gadis pemalu dan bodoh. Sebaliknya, ia nampak pemberani dan cerdik. Usianya sekitar dua puluh tahun dan ia memiliki kecantikan yang khas Tibet. Rambutnya hitam panjang dikuncir menjadi dua. Sepasang matanya sipit, hidungnya agak besar dan mulutnya amat kecil mungil, wajah itu nampak manis sekali. Kulit tubuhnya putih kemerahan dan yang lebih menarik lagi adalah bentuk tubuhnya. Tinggi ramping dengan pinggul yang besar bulat dan dada yang montok menonjol. Memang ia peranakan Tibet. Ibunya seorang wanita Tibet yang cantik bernama Souli, sedangkan ayahnya adalah seorang pria Han, seorang tokoh, besar dunia hitam yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Ayahnya yang kini sudah tidak ada lagi itu berjuluk Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan bernama Tang Bun An. Gadis ini bernama Mayang dan ia pun bukan seorang gadis sembarangan saja. Ia adalah murid terkasih dari Kim Mo Sian-kouw. Seorang datuk persilatan yang lihai pula dan yang bertempat tinggal di Puncak Awan Kelabu di pegunungan Ning-jing-san. Ilmu silat yang dikuasai Mayang adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi di antaranya yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan ilmu senjata pecut yang sukar ditandingi!

Ada pun pemuda yang bersama ia naik perahu dan yang demikian pandainya mengemudikan perahu di antara batu-batu karang itu pun seorang pemuda yang amat menarik perhatian. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, tubuhnya sedang namun tegap, sikap dan bicaranya halus dan sopan. Wajah pemuda ini tampak menarik, namun di dalam sinar mata nya yang kadang dingin redup itu terkadung sesuatu yang mengerikan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada Mayang, karena pemuda ini adalah seorang yang telah mewarisi atau mempelajari ilmu-ilmu yang dahsyat dari Pendekar Sadis, majikan pulau Teratai Merah. Dia bernama Sim Ki Liong dan tumbuh dewasa di pulau itu, mehjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu dia melarikan diri, minggat dari pulau Teratai Merah sambil membawa pusaka yaitu pedang Gin-hwa-kiam. Kemudian, di dalam petualangannya selama dua tahun lebih itu, berkali-kali dia bergaul dengan tokoh-tokoh sesat sehingga dia melakukan berbagai kejahatan termasuk pemberontakan. Akhirnya, dalam bentrokan dengan para pendekar, dia bertemu dengan Mayang, saling jatuh cinta dan agaknya perasaan cinta kasihnya terhadap Mayang gadis pendekar keturunan Ang-hong-cu ini, telah mengubah wataknya dan dia ingin kembali ke jalan kebenaran. Pedang pusaka Gim-hwa-kiam yang telah dirampas dari tangannya dan kembali ke tangan Cia Kui Hong, cucu Pendekar Sadis, oleh Kui Hong diserahkan kepadanya untuk dia bawa kembali ke pulau Teratai Merah! Dia ingin menghadap suhu dan subonya, mengembalikan pusaka dan mohon ampun, ditemani oleh kekasihnya, Mayang. Melihat kesungguhan hati pemuda ini, juga karena bujukan Mayang, akhirnya Cia Kui Hong menyerahkan pusaka itu dan dua orang kekasih itu segera menuju ke Laut Selatan untuk berkunjung ke pulau Teratai Merah. (Baca Kisah Si Kumbang Merah).



Demikianlah riwayat singkat kedua orang muda mudi yang kini sedang naik perahu hendak mendarat di pulau Teratai Merah. Ki Liong pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini, tentu saja dia masih hafal akan keadaan di situ dan tahu benar bagaimana harus mengemudi perahu menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang.

"Pada musim air laut surut seperti ini, ikan-ikan hiu itu kelaparan dan menjadi ganas, selalu berkeliaran di sekitar batu-batu karang ini. Di sini kita harus berhenti dan melanjutkan perjalanan ke darat dengan berlompatan dari batu ke batu. Mari.....!"

Beberapa kali Mayang menggerakkan pundaknya karena merasa ngeri melihat betapa dekatnya sirip-sirip ikan hiu itu meluncur di permukaan air dekat batu karang yang diinjaknya. Sekali meleset dan terjatuh ke air, moncong-moncong ikan hiu tentu akan menyergapnya dan tubuhnya akan dicabik-cabik!

"Mayang, sekarang pergunakan cambukmu untuk melindungi kita selagi kita berjalan dari batu ke batu menuju daratan. Setiap kali ada hiu mendekat, pergunakan cambukmu untuk melecutnya. Kalau sudah terlalu kelaparan, ada saja hiu yang berani menyerang kaki yang menginjak batu karang dengan loncatan." Kata Ki Liong yang juga sudah berdiri di atas batu karang dan kedua tangannya memanggul perahu kecil yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang ke pulau itu.

Mayang mengangguk dan cambuk itu sudah berada di tangan kanannya. Benar saja ucapan Ki Liong. Begitu mereka bergerak melangkah dari batu ke batu, sirip-sirip hiu itu berluncuran dari kanan kiri. Mayang segera menggerakkan cambuknya, dan terdengarlah ledakan-ledakan kecil disusul meluncurnya ujung cambuk ke air, ke arah depan sirip-sirip itu. Memang hebat permainan cambuk gadis ini. Walaupun kekuatan cambuk itu sudah terhalang air, namun tetap saja masih mampu menembus air dan mengenai kepala hiu. Ikan-ikan itu merasa kesakitan dan melarikan diri, membuat air di sekitar situ menjadi keruh dan suaranya berdeburan. Mayang terus menggerakkan cambuknya sambil mengikuti Ki Liong yang memanggul perahu dan yang mengenal jalan. Akhirnya mereka melalui batu-batu karang yang lebih tinggi dan tidak dapat dicapai ikan hiu dan sirip-sirip itu pun kembali ke tengah.

"Ihhh mengerikan sekali ikan-ikan itu!" kata Mayang setelah akhirnya mereka tiba di tanah daratan. Ki Liong tersenyum dan menyimpan perahunya di bawah semak-semak.

"Sekarang kita berjalan ke tengah pulau, dan menghadap suhu dan subo. Ah, kita harus membereskan pakaian kita agar nampak pantas." kata Ki Liong yang membereskan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan tertiup angin lautan tadi. Mayang mencontoh kekasihnya, membereskan pakaian dan rambutnya.

"Aih, hatiku menjadi tegang rasanya, Liong-ko." kata Mayang melihat betapa kekasihnya nampak begitu tegang dan gugup.

Ki Liong mencoba tersenyum untuk menutupi ketegangan hatinya. Hati siapa tidak akan tegang? Dia kembali ke pulau itu, kepada suhu dan subonya setelah minggat dari situ dua tahun yang lalu sambil melarikan atau mencuri pusaka kedua orang gurunya, yaitu pedang Gin-hwa-kiam! Padahal dia tahu siapa gurunya. Suhunya adalah Pendekar Sadis yang namanya saja sudah membuat semua tokoh sesat di dunia persilatan gemetar ketakutan. Dan subonya adalah seorang wanita yang lebih galak lagi, pernah menjadi seorang datuk besar! Kalau saja dia tidak ditemani Mayang, agaknya sampai bagaimana pun dia tidak akan berani mendarat di pulau ini, apalagi menghadap suhu dan subonya!

"Tentu saja aku juga tegang, Mayang. Masih ingatkah engkau tehtang suhu dan subo seperti yang kuceritakan kepadamu?"

Mayang mengangguk dan bergidik. "Mereka itu tentu menyeramkan, aku agak …….. takut, Liong-ko."

"Jangan takut, Mayang. Engkau masih ingat pula bagaimana harus kaulakukan di depan mereka ?"

"Aku ingat, koko. Aku akan membela dan melindungimu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku."

"Mayang, engkau sungguh baik sekali. Aku makin cinta kepadamu, Mayang." kata Ki Liong dan ia memegang tangan gadis itu, hendak menariknya mendekat. Akan tetapi Mayang menahan tangannya dan memberi isyarat ke tengah pulau.

"Liong-koko, kalau benar suhu dan subomu itu sehebat yang kau ceritakan, bukan tidak mungkin saat ini mereka mengamati kita."

Mendengar peringatan ini, Ki Liong melepaskan pegangan tangannya seperti orang yang kena pegang ular. Dia mengangguk, "Mari kita ke sana, Mayang."

Apa yang diucapkan Mayang tadi segera ternyata kebenarannya. Mereka kini tiba di pohon-pohon pertama yang merupakan hutan di pulau itu, dan di antara pohon-pohon itu nampak banyak sekali kolam ikan yang penuh dengan teratai merah yang sedang berbunga.

"Aduh, indahnya.....!" Seperti tadi ketika menyatakan kengeriannya terhadap batu karang dan ikan hiu, kini berulang kali Mayang berseru kagum akan keindahan tempat itu. Dia menghampiri tepi kolam dan menjulurkan tangannya untuk memetik setangkai bunga teratai merah.

"Jangan ……!”Ki Long sudah menangkap pergelangan tangan kekasihnya.

Tentu saja Mayang terkejut sekali "Eh ? Kenapa, Liong-ko?"



"Kau tahu, nama pulau ini adalah pulau Teratai Merah. Karena adanya bunga-bunga itulah maka pulau ini dinamakan demikian. Keindahan bunga-bunga ini dijadikan nama pulau dikeramatkan dan tak seorang pun boleh merusak keindahannya. Memetik sebuah bunganya saja dapat dianggap merusak keindahan dan kalau engkau dihukum potong tangan, bagaimana aku akan dapat melindungi tanganmu?"

"Ihhh!" Mayang bergidik dan memandang ke arah tangan kirinya yang tadi hampir memetik setangkai bunga teratai merah. "Betapa kejamnya peraturan itu.”

Ki Liong tersenyum. "Lupakah engkau akan julukan suhu?"

"Pendekar Sadis! Kalau begitu, dia benar sadis dan kejam, sungguh jahat sekali!”

"Hushh, jangan berkata begitu, Mayang. Suhu hanya bertindak keras terhadap penjahat dan kalau engkau memetik bunga, bisa saja dituduh mencuri." Ki Liong memberi isyarat kepada Mayang untuk mengikutinya melanjutkan perjalanan. "Kita sudah dekat. Di balik hutan kecil itulah tempat tinggal suhu! Ehgkau jangan berbuat sesuatu. Ikuti saja aku."

Akan tetapi, baru saja mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti!" dan tiga bayangan orang berkelebat dari kanan kiri. Di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti petani, wajah mereka dingin. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berjenggot panjang, segera menuding kan telunjuknya ke arah muka Ki Liong dan suaranya terdengar ketus.

"Kiranya engkau pengkhianat murtad! Berani engkau mengotori pulau ini?"

"Maaf, Paman bertiga apakah lupa kepadaku? Aku Ki Liong ……"

"Engkau pengkhianat, murid murtad dan jahat! Hajar dia!" Dan tiga orang itu sudah menerjang dan menyerang Ki Liong dengan pukulan-pukulan mereka. Gerakan mereka gesit dan pukulan mereka mengandung tenaga yang kuat. Namun, mereka itu hanyalah pelayan-pelayan setia dari majikan pulau Teratai Merah yang telah menerima latihan beberapa macam ilmu silat dari majikan mereka. Tentu saja dibandingkan Ki Liong, murid dari suami isteri majikan pulau itu, mereka kalah jauh. Untung bagi mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak berani mencelakai mereka. Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, namun setiap kali tertangkis pukulan mereka, tiga orang itu tentu terhuyung dan terdorong ke belakang. Mereka menyerang terus dengan hati penuh kebencian. Dahulu, mereka juga sayang dan hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat dari pulau melarikan pusaka, mereka ikit marah dan membencinya, menganggap dia sebagai musuh majikan mereka.

Melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau membasas serangan para pengeroyok, melainkan mengelak dan menangkis saja, Mayang menjadi marah. Ia tidak berarti lancang turun tangan, akan tetapi karena mendongkol, ia pun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah ia dengan suara nyaring.

"Bagus, bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!"

"Mayang, jangan bicara sembarangan!" Ki Liong menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan elakan dan tangkisan.

Tiba-tiba ada angin besar yang menyambar dan tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu terjengkang dan bergulingan di atas tanah, sedangkan Ki Liong sendiri terhuyung karena sambaran angin dahsyat itu. Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut karena dia tahu bahwa suhu dan subonya yang datang melerai perkelahlan tadi.

Mayang memandang penuh perhatian dan entah dari mana datangnya, seperti pandai menghilang saja, tahu-tahu di situ telah berairi seorang kakek dan seorang nenek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih, wajah sudah keriputan, namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan di waktu mereka masih muda. Yang mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam seperti mata orang muda saja.

Mereka itu bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini sudah bangkit dan berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya, yang lembut namun mengandung wibawa.

"Siapa menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?"

Tiga orang itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan, dan si jenggot panjang
berkata dengan suara gemetar, "Harap maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia.... dia..... !"

"Sudahlah, pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!"

Tiga orang itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu memandang kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Ma yang. Gais ini tetap berdiri dan menatap mereka dengan berani.

Diam-diam Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang nampaknya asing itu, yang memiliki kecantikan khas Tibet. "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya. Akan tetapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!"



"Subo ……!" Ki Liong berkata dengan suara lemah.

"Diam kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!" Nenek itu menghardik. Mayang merasa penasaran sekali. Nenek ini terlalu galak, pikirnya. Akan tetapi karena nenek itu adalah guru Ki Liong, ia pun tidak berani bersikap tidak sopan.

"Lo-cian-pwe, teguran lo-can-pwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak seorang pun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya. Apakah hi-wi lo-cian-pwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir sampai sekarang, berdiam terus di sini? Kalau ji-wi- keluar dari pulau ini, berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apalagi kalau mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini merupakan sebagian kecil dari bumi, tentu saja sewaktu-waktu didatangi orang. Dan kalau kami datang ke sini, bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan ada keperluan, maka sudah sepantasnya disambut sebagai tamu!”

Kakek dan nenek itu saling pandang dan sinar mata mereka saja yang maklum bahwa mereka diam-diam merasa kagum dan tertawa. Kalau saja di situ tidak ada Ki Liong yang kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka sudah tertawa gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong.

"Hemm, bocah lancang mulut!" Nenek Toan Kim Hong menghardik. "Engkau bilang datang ke sini ada keperluan? Keperluan apakah, hayo katakan agar kami pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!”

"Aku pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi locianpwe, bukan aku."

Tentu saja kakek dan nenek ini kini memandang kepada Ki Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya. Pemuda ini diam-diam memaki Mayang karena menganggap sikap gadis itu terlalu berani dan tentu akan membuat suhu dan subonya semakin marah kepadanya.

"Hemm, orang sesat dan murtad! Mau apa engkau datang ke sini? Betapa beranihya mengantarkan nyawa kepada kami!" kata Ceng Thian Sin dengan suara yang keren.

“Suhu dan subo, ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu datang menghadap suhu dan subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap menerima hukumam apa pun yang akan ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!” berkata demikian, Ki Liong mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan dia pun menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut.

Tiba-tiba nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu. Mayang terbelalak kagum. Ia melihat betapa rambut nenek penuh uban itu ternyata panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya terlepas. Akan tetapi pedang itu telah digulung ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek itu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian ia menggelung kembali rambutnya yang terlepas dari sanggulnya.

Ceng Thian Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan dia pun mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang.

"Manusia laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini, dosamu akan menjadi bersih begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia, hanya akan mendatangkan kejahatan saja!" kata nenek Toam Kim Hong dan kini ia bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas murid itu dengan sekali pukul. Akan tetapi tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu.

"Ini sungguh tidak adil!" terlak Mayang penasaran.

Nenek itu mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah gadis itu. “Apa kau bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini, membawa harta dan pusaka! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa engkau sudah bosan hidup?"

"Aku tanu lo-cian-pwe. Aku tahu bahwa Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi di sini kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah, sepantasnya. Akan tetapi sekarang persoalannya menjadi lain. Dia telah menyadari kesalahannya, merasa menyesal dan bertaubat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui kesalahan, mengembalikan pedang pusaka, bahkan menyatakan siap menerima hukuman. Dia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?”

"Mayang! Jangan kurang ajar engkau!" Ki Liong berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subonya akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi.

Akan tetapi, kembali kakek dan nenek itu saling pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah mundur lagi dan berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali.



"Hemm, anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad ini mati-matian?" tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut.

Kini Mayang memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Namaku Mayang, dan Liong-ko adalah sahabatku yang pernah menyelamatkan akudari tangan orang jahat. Melihat dia telah bertaubat, maka aku ingin menemaninya menghadap ji-wi di sini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa ji-wi sebagai dua orang tokoh besar tentu akan suka mengampuninya.”

"Ah, engkau kira kami yang telah dikhianatinya itu akan suka menerimanya kembali sebagai murid kami?" Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin. “Dia terlalu jahat!”

"Kami harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami, Mayang." kata pula Toan Kim Hong. "Siapa sih gurumu yang tidak mampu mengajarmu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain."

"Guruku bernama Kim Mo Sian-kouw yang tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san." jawab Mayang.

Kembali suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani mati.

Akan tetapi Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak mau mengalah, apalagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia persilatan. "Tidak perduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!"

"Lo-cian-pwe, jangan …….!” Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong. ,

"Bocah lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri di pulauku sendiri?" Toan Kim Hong membentak, kini marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah. Walaupun Ceng Thian Sih tidak ingin membunuh bekas murid itu, dia tidak mencegah isterinya karena dia berangagapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki Liong, hal itu tidak dapat disalahkan.

"Lo-cian-pwe, aku tidak berani menghalangi tindakan lo-cian-pwe. Hanya aku sudah berjanji akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku hanya ingin memperingatan lo-cian-pwe agar lo-cian-pwe bertindak adil seadil-adilnya, juga kalau lo-cian-pwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!"

Nenek itu sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong, kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang.

"Mayang, apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?” tanya nenek Toan Kim Hong.

“Enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko dan bahkan menganjurkan agar Liong-ko menghadap ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko di sini dibunuh, bukankah itu berarti bahwa enci Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?"

Ceng Thian Sin mengerutkan alisnya. "Bagaimana kami dapat percaya bahwa kalian sudah bertemu dengan Kui Hong? Kalau ia bertemu dengan dia, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dari bukan dia yang mengembalikannya ke sini."

Ki Liong mengangkat mukanya hendak menjawab, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan suhunya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhunya demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar.

Akan tetapi Mayang sama sekali tidak takut. "Terserah lo-cian-pwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas, pedang itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan enci Kui Hong. Yang merampasnya adalah kakakku, yang membantu enci Hong dan kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong.”

"Hemm, siapakah kakakmu itu?”

Mayang mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu. "Kakakku adalah seorang pendekar sakti, namanya Tang Hay. Lo-cian-pwe hendak mengetahui siapa guru kakakku? Bukan subo, akan tetapi gurunya banyak, di antaranya menurut cerita kakakku adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!"

Kembali kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka terkejut karena nama-nama yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di dalam dunia persilatan.

"Kalau Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan ia yang membawanya pulang ke sini?” Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat percaya begitu saja.

"Sudah kukatakan bahwa enci Kui Hong memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong menyetujui kalau Liong-ko kembali ke sini menghadap ji-wi, mengembalikan Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu, dengan senang hati enci Kui Hong memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko."



"Aku tidak percaya!" Nenak Toan Kim Hong membentak.

Mayang bersungut-sungut. "Percaya atau tidak terserah, akan tetapi begitulah kenyataannya. Kalau ji-wi tetap hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi pembohong terbesar di dunia! Nah, lo-cian-pwe boleh membunuh kami!" Gadis itu berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dan Ki Liong, mengembangkan kedua lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut.

Ia berada dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong dapat keluar dengan selamat! Nenek itu sudah menjadi merah mukanya dan matanya memancarkan sinar berapi. Ceng Thian Sin melihat keadaan isterinya ini dan maklum bahwa sekali isterinya menggerakkan tangan, pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Maka, dia pun sudah mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya.

"Ki Liong, benarkah apa yang dikatakan oleh gadis ini?" Baru sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Sejak tadi, kakek dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang.

Ki Liong yang masih berlutut itu segera merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan sikap merendah sekali. "Suhu yang mulia, semua yang diceritakan Mayang memang benar, akan tetapi mohon suhu dan subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Ia tidak bersalah dan biarlah teecu yang menanggung semua hukuman."

"Huh, gadis yang kasar ini jauh lebih berharga daripada kamu!” nenek Toan Kim Hong berseru. "Ia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan curang!” Biarpun ia masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh Ki Liong. Kalau benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlalu jujur untuk berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal, minggatnya Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena gara-gara Kui Hong. Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak dan karena dia ditegur dan merasa malu, maka Ki Liong melarikan diri. Kesalahannya yang terbesar adalah oleh peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu berkeras hendak membunuhnya? Ia menyerahkan saja kepada suaminya yang ia tahu amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat.

"Ki Liong, kami belum dapat menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu apakah benar engkau telah bertaubat, dan apakah benar Kui Hong telah memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Sukur kalau Kui Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak, sedikitnya harus ada surat tulisan cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!”

Mayang hendak membantah, akan tetapi Ki Liong memegang tangannya dan menarik gadis itu untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong.

"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan suhu dan subo yang sudah mengampuni kami. Karena sudah jelas perintah suhu, teecu mohon diri untuk melaksanakan perintah itu. Teecu akan mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan bukti darinya.”

Kakek dan nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan dan tubuh kedua orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ!

"Aih, betapa kejamnya …….!” Mayang berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai di mana dia menyimpan perahunya tadi.

"Ssttt, diamlah, Mayang dan jangan bicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku, memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersukur."

"Hemm, ke mana kita akan pergi sekarang?" tanya Mayang.

Ki Liong memanggul perahunya. "Persiapkan cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi, menuju ke darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong.”

Mayang mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut. "Kita Harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong! Padahal dari sini kita dapat langsung ke barat menemui ibuku dan suboku untuk membicarakan urusan kita."

"Kita lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu, Mayang."

Seperti ketika mendarat, mereka melalui bagian yang lebih dalam di mana ikan-ikan hiu hilir mudik, siap menyambar kaki mereka di antara batu-batu karang. Kini, karena hatinya mendongkol, Mayang mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya pun patah dan lecet-lecet. Karena ada ikan yang berdarah terkena cambuknya itu, terjadilah perkelahian antara mereka sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu dan air laut di sekitar batu-batu itu pun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu ke tengah.

Setelah Ki Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat duduk santai dan bercakap-cakap. “Mayang, sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya, hatiku belum merasa tenteram. Bagaimana hatiku dapat tenteram sebelum aku diterima kembali oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Tentang urusan kita dengan ibumu dan subomu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang sudah menjadi calon jodoh masing-masing? Kita saling mencinta dan itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri, kalau engkau menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita.”



Mayang cemberut. “Tidak! Sampai mati pun aku tidak sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo! Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh menjadi jai-hwa-cat (penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan suboku, baru aku suka menjadi isterimu, Liong-ko.”

“Akan tetapi kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apa pun lagi yang …….”

“Liong-ko! Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta semata! Kita pun tidak tahu apa cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus disertai pula ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian terhadap orang tua kita. Dan engkau sendiri, bagaimana, Liong-ko? Engkau tidak pernah menceritakan tentang orang tuamu.”

"Ayah ibuku telah tiada, Mayang."

"Ah, kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu. Setelah itu, baru kita pergi keNing-ling-san.”

Mereka melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam sikap Ki Liong. Pemuda itu nampak banyak melamun dan seperti orang yang berduka. Ia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya, dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka ia pun mendiamkannya saja.

***

“Ciok Gun ……!” Gouw Kian Sun berseru dengan mata terbelalak. Pada saat itu, hatinya diliputi kekagetan, keheranan dan juga kekhawatiran, walaupun ada juga perasaan girang melihat munculnya murid kepercayaan itu.

Ciok Gun bukan saja merupakan murid Cin-ling-pai di bawah pimpinannya sendiri, akan tetapi juga telah ia tarik sebagai pembantu utamanya dalam mengurus Cin-ling-pai selama dia mewakili ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kui Hong yang sedang pergi merantau.

Tentu saja dia terkejut karena murid inilah yang pertama kali menghilang bersama dua orang murid Cin-ling-pai lainnya ketika pergi berburu. Dan sebelum mereka dapat ditemukan, kakek Cia Kong Liang dan cucu yang masih kecil, yaitu Cia Kui Bu, telah menghilang pula. Bahkan peristiwa aneh itu disusul dengan lenyapnya Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin ketika suami isteri itu berturut-turut pergi mencari putera dan ayah mereka.

Dia telah mengerahkan anak buah Cin-ling-pai untuk mencari jejak mereka yang hilang secara aneh, namun belum juga berhasil dan malam ini, selagi dia berada di kamarnya, daum jendela kamarnya diketuk orang perlahan-lahan dari luar .

"Siapa ……?” Gouw Kian Sun bertanya dari dalam. Semenjak peristiwa lenyapnya tokoh-tokoh penting Cin-ling-pai, dia selalu merasa curiga dan khawatir. Tentu saja ketukan di jendela itu membuat dia curiga. Kalau ada murid Cin-ling-pai yang perlu bicara dengan dia, tentu akan mengetuk daun pintu, bukan jendela! Dan di tengah malam pula!

"Teecu datang, suhu, harap dibukai jendela!" ,

Hampir Kian Sun tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia lalu membuka jendela kamarnya dan sesosok bayangan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja dia terkejut, heran, khawatir dan juga girang ketika melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciok Gun, murid yang dicari-cari selama ini.

"Ciok Gun, engkau? Apa…… apa yang terjadi?" tanyanya gagap dan bingung.

Ciok Gun memberi isyarat kepada suhunya agar tidak membuat gaduh dan dia pun bicara dengan suara lirih. "Suhu, harap jangan berisik. Teecu tahu di mana adanya su-kong Cia Kong Liang, supek Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin, dan juga adik Cia Kui Bu. Akan tetapi jangan membuat ribut. Marilah, Suhu, teecu antarkan suhu melihat mereka."

Dapat dibayangkan betapa kaget dan girangnya rasa hati Kian Sun mendengar berita yang menggembirakan ini. Akan tetapi dia juga merasa heran dan bingung mengapa pembantu yang sangat dipercayanya ini bersikap demikian aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi kegembiraannya untuk segera melihat gurunya dan suhengnya, dia pun mengangguk dan keduanya lalu berloncatan keluar dari jendela kamar itu, menutupkan daun jendela dari luar, kemudian Gouw Kian Sun mengikuti muridnya menyusup keluar dari perkampungan Cin-ling-pai.

Malam telah larut, bahkan lewat tengah malam, maka para penjaga dan peronda hanya berkumpul di gerdu penjagaan dan membuat api unggun melawan hawa dingin. Dengan mudah guru dan murid yang merupakan orang pertama dan kedua di Cin-ling-pai pada waktu itu, keluar dari perkampungan dan Gouw Kian Sun terus mengikuti muridnya yang berlari-lari menuju ke sebuah bukit.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Sun ketika muridnya membawa dia ke depan sebuah bangunan besar yang tersembunyi di tengah hutan di lereng bukit itu. Setahu dia, di situ tidak ada bangunannya! Dia hendak bertanya, akan tetapi Ciok Gun sudah membisikinya.

"Hati-hati, suhu, jangan mengeluarkan suara. lkuti saja teecu ……"


Biarpun hatinya merasa tidak enak melihat sikap muridnya, yang kini penuh rahasia itu, dia pun mengikuti saja ketika Ciok Gun mengajaknya memasuki bangunan itu dengan menyelinap melalui sebuah pintu kecil di dalam kebun atau pekarangan samping. Tak lama kemudian, muridnya sudah mengajaknya mengintai dari lubang dan dia melihat betapa gurunya, Cia Kong Liang, sedang tidur nyenyak bersama cucu gurunya, yaitu Cia Kui Bu. Jelas bahwa keduanya sehat dan sedang tidur nyenyak di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dengan pintu berjendela dan beruji baja itu. Dan di sebelah sana, dia melihat pula suhengnya, Cia Hui Song, juga tidur pulas di dalam sebuah kamar tahanan lain, sedang di kamar ke tiga dia tnelihat Ceng Sui Cin juga tertidur pulas.

Setelah memandang semua itu dengan mata terbelalak, Kian Sun menoleh dan memandang kepada muridnya. "Cik Gun, apa artinya semua ini? Mengapa mereka di sini dan apa yang telah teriadi?" Saking khawatirnya, dia bicara agak keras. Ciok Gun memberi isyarat agar gurunya suka mengikutinya meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan lain di dalam rumah itu.

"Mari kita temui orang yang menawan mereka, Suhu." kata Ciok Gun yang berjalan cepat memasuki sebuah ruangan lain di bagian depan. Ruangan ini luas dan terang dan ketika Kian Sun melangkah masuk mengikuti muridnya, dia melihat seorang wanita cantik dan tiga orang pria setengah tua berpakaian pendeta sedarig duduk di situ, agaknya memang sedang menanti kehadirannya. Dan suatu hal yang aneh terjadi, Ciok Gun muridnya yang setia dan paling dipercaya itu tanpa ragu-ragu melangkah dan berdiri di belakang empat orang itu dan sikapnya seperti menanti perintah!

“Selamat datang dan selamat malam, Gouw Pang-cu (Ketua Gouw)! Maafkan kelambatan kami menyambut wakil ketua Cin-ling-pai yang terhormat. Silakan duduk, Gouw Pangcu!"

Gouw Kian Sun memandang heran dan gugup, akan tetapi melihat sikap mereka ramah, dia pun terpaksa menyambut dengan hormat dan dia duduk di atas kursi yang sudah disediakan menghadapi mereka berempat. Sejenak dia memperhatikan mereka. Wanita itu usianya masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis, matanya bersinar-sinar, lincah gembira, senyumnya selalu menghias mulut, bentuk tubuhnya padat dan indah. Tiga orang pria berpakaian pendeta itu seperti tosu (pendeta agama To), usia mereka antara lima puluh sampai enam puluh tahun, sikap mereka angkuh dan dingin, dan mereka diam saja, agaknya memang gadis itu yang menjadi juru pembicara.

"Maafkan saya kalau saya terpaksa mengaku bahwa saya tidak mengenal kalian. Siapakah kalian dan apakah artinya semua ini?" kata Gouw Kian Sun sambil memandang tajam. Wanita itu yang bukan lain adalah Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, tersenyum. Manis sekali ketika mulutnya tersenyum, seperti sekuntum bunga merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih.

"Kami tidak akan merahasiakan diri kami, Pancu. Namaku Su Bi Hwa dan golongan kita mengenalku sebagai Tok-ciang Bi Mo-Ii."

Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Dia belum pemah mendengar nama dan julukan ini, akan tetapi mengingat akan arti julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Bertangan Racun) itu saja sudah, diduga bahwa gadis ini adalah seorang wanita golongan sesat yang lihai. Akan tetapi Kian Sun adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang sudah berpengalaman, maka dia mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata.

"Ah, kiranya Tok-ciang Bi Moli yang terkenal. Sudah lama mendengar nama besar itu dan mengaguminya."

"Dan mereka ini adalah guru-guruku, bemama Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu dan Kim Hwa Cu, terkenal dengan julukan mereka Pek-lian Sam-kwi."

Kini Gouw Kian Sun benar-benar terkejut. Kiranya dia berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-kauw! "Hemm, seingatku, Cin-ling-pai tidak pemah berurusan dengan pihak Pek-lian-kauw. Sekarang kalian datang ke wilayah kami, sesungguhnya ada keperluan apakah ?”

"Hi-hik, ternyata Gouw Pangcu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berpengalaman. Sungguh mengherankan kalau seorang gagah seperti pangcu ini sampai sekarang belum juga menikah."

Kian Sun mengerutkan alisnya. Agaknya orang-orang Pek-lian-kauw ini telah menyelidiki keadaan Cin-ling-pai sehingga tahu akan keadaannya pula. Sungguh banyak yang aneh dia temui di sini. Para tokoh Cin-ling-pai, bahkan suhengnya Cia Hui Song dan isterinya, keduanya memilki ilmu kepandaian tinggi, berada dalam kamar-kamar tahanan itu. Muridnya, Ciok Gun bersikap demikian anehnya, tentu muridnya itu yang menceritakan semua tentang Cin-ling-pai. Kian Sun menjadi marah sekali kepada muridnya itu. Ciok Gun yang digemblengnya menjadi seorang pendekar yang gagah itu kini mengkhianati Cin-ling-pai? Rasanya tidak masuk akal.

“Ciok Gun, ke sini engkau dan ceritakan padaku apa artinya semua ini!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi yang dibentaknya itu sedikit pun tidak memperlihatkan tanggapan, bergerak pun tidak, berkedip pun tidak, hanya menunduk dan tetap berdiri di belakang empat orang Pek-lian-kauw itu.

"Moli, katakan saja terus terang, apa yang kalian kehendaki dariku?" Akhirnya dia membentak marah melihat muridnya sama sekali tidak menjawabnya.

"Hi-hik, Ciok Gun, ini hanya akan bicara atau bertindak kalau mendengar perintahku! Gouw Kian Sun, dengarlah keinginan kami. Kami datang ini untuk mengulurkan tangan kepadamu dan menawarkan kerja sama dengan Cin-ling-pai.”


Kin Sun bangkit berdiri, wajahnya berubah merah, "Cin-ling-pai bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Tidak mungkin! Lebih baik aku mati daripada harus bekerja sama dengan Pek-lian-kauw yang sesat!"

Bi Hwa tertawa. "Hi-hik, sudah kuduga engkau akan menjawab demikian, Gouw Kian Sun. Akan tetapi kami tidak menghendaki engkau mati. Engkau perlu hidup untuk bekerja sama dengan kami dan engkau harus mentaati kami."

"Tidak sudi!"

"Hi-hi-hik, bagaimana engkau bisa bilang tidak sudi? Engkau tidak mempunyai pilihan kecuali hanya dua, yaitu pertama, engkau taat kepada kami, suka bekerja sama dan semuanya akan selamat. Dan engkau pilih yang ke dua , yaitu kalau engkau menolak, berarti engkau membunuh kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, juga anak mereka Cia Kui Bu. Engkau membunuh mereka melalui penolakanmu terhadap uluran tangan kami. Nah, kau pilih yang mana?"

“Aku pilih mati!" Gouw Kian Sun membentak dan dia pun sudah menerjang ke arah wanita cantik itu. Karena dia dapat menduga betapa lihainya empat orang itu, maka begitu menyerang Bi Hwa, dia sudah mempergunakan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dalam hantamannya.

"Brakkkk !" Kursi yang tadi diduduki Bi Hwa hancur berkeping-keping, akan tetapi wanita itu sendiri tidak terkena pukulan karena dengan gesitnya ia sudah meloncat meninggalkan kursinya ketika hantaman itu tiba.

Kim Hwa Cu, tosu termuda di antara Pek-lian Sam-kwi, yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, sekali bergerak sudah meloncat ke depan Kian Sun. Dia tersenyum mengejek dan mengelus jenggotnya.

"Gouw Kian Sun, kami peringatkan agar engkau sebaiknya menyerah saja agar semua tokoh Cin-ling-pai selamat. Kami hanya ingin mempergunakan nama Cin-ling-pai saja, untuk mencapai maksud tujuan kami."

"Tosu Pek-lian-kauw keparat!" Kian Sun membentak saking marahnya dan dengan nekat dia pun sudah menyerang tosu itu dengan pukulan tangannya, kini dia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu Thian-te sin-ciang yang amat kuat.

"He-he, ini Thian-te sin-ciang lumayan juga!" Kim Hwa Cu tertawa mengejek dan dia pun dengan berani menyambut pukulan kedua itangan wakil ketua Cin-ling-pai yang didorongkan ke arah dadanya itu dengan keduactangan pula.

"Desss ……..!” Dua pasang tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, Kian Sun terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan Kim Hwa Cu juga mundur dua langkah. Dari pertemuah tenaga ini saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Kim Hwa Cu masih menang sedikit. Tentu saja Kian Sun menjadi terkejut bukan main karena baru menghadapi seorang tosu saja, dia sudah kalah tenaga. Dan tadi pun serangannya terhadap gadis cantik itu gagal, tanda bahwa gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat pula. Tahulah dia bahwa dia tidak akan menang melawan empat orang itu. Namun dia adalah wakil ketua Cin-ling-pai dan karena pada waktu itu ketua Cin-ling-pai tidak ada, maka yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadapCin-ling-pai adalah dia. Bagaimana mungkin dia akan menyerah kepada perkumpulan sesat macam Pek-lian-kauw dan suka diajak bekerja sama? Hal itu tentu akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan dia yakin bahwa ketuanya, Cia Kui Hong, pasti tidak akan, setuju. Maka, dia pun menjadi nekat dan tanpa memperdulikan kehebatan lawan, dia sudah menubruk maju lagi. Kini, Siok Hwa Cu yang maju menangkisnya dan tiba-tiba saja terdengar bentakan suara nyaring seperti suara wanita dari arah belakangnya.

Kian Sun membalik, mengira bahwa gadis tadi yang menyerangnya. Akan tetapi ternyata yang berteriak seperti wanita tadi adalah tosu paling tua, yaitu Lan Hwa Cu. Kian Sun berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja kakinya terkena sapuan dan dia pun terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, ujung sebatang pedang sudah menempel di lehernya! Pedang itu dipegang oleh Bi Hwa yang memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.

"Hi-hik, bagaimana engkau akan mampu melawan kami, Gouw Kian Sun? Sedangkan gurumu dan suhengmu, juga puteri Pendekar Sadis, telah dapat kami tawan. Apalagi kamu!"

"Bunuh saja aku!" bentak Kian Sun.

"Manusia tolol. Apa gunanya kami membunuhmu? Tidak ada untungnya bagi kami, juga tidak ada manfaatnya bagi dirimu. Kalau engkau mati, engkau tidak dapat menyelamatkan nyawa para tokoh Cin-ling-pai itu. sebaliknya kalau engkau hidup, mereka pun akan tetap hidup."

Kian mengerutkan alisnya yang tebal. "Maksudmu?"

"Gouw Kian Sun, kalau engkau menolak tawaran kami untuk bekerja sama, maka mereka yang kini menjadi tawanan kami akan kami bunuh! Dan engkaulah yang membuat mereka terpaksa harus kami bunuh itu! Sebaliknya, kalau engkau menyambut uluran tangan kami untuk, bekerja sama, mereka akan selamat dan akan kami perlakukan seperti sekarang ini, menjadi tamu-tamu kami yang terhormat dan kami takkan mengganggu selembar rambut pun dari mereka. Bagaimana?” Bi Hwa menarik pedangnya dan meloncat ke belakang. "Sekarang duduklah, dan mari kita bicara dengan kepala dingin."

Kian Sun bangkit berdiri akan tetapi tidak mau duduk. Dia tahu bahwa melawan pun tidak ada gunanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi mengingat akan nasib empat orang yang berada di dalam tahanan itu, dia harus memikirkan keadaan mereka.


"Engkau membual, Mo-li! Tidak mungkin kalian akan mampu membunuh mereka!" katanya mencoba, karena bagaimanapun juga,dia tidak percaya kalau gurunya, suhengnya dan isteri suhengnya itu kalah oleh empat orang Pek-lian-kauw ini.

"Hi-hik, untuk apa kami membual? Buktinya, mereka kini menjadi tawanan kami, bukan? Dan apa sukarnya membunuh mereka? Di setiap kamar tahanan itu terdapat pipa-pipa penyalur asap pembius. Kalau kami meniupkan asap pembius dari luar, mereka semua akan pingsan terbius dan tidak ada ilmu silat yang akan mampu menolak serangan asap pembius! Nah, engkau ingin melihat mereka mati konyolkarena kebodohan dan kekerasan kepalamu?"

Kian Sun menjadi lemas. Dia bukan seorang yang bodoh atau ceroboh. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang amat licik. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Dibunuh pada saat itu pun dia tidak akan menyesal kalau pengorbanan itu demi nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi bagaimana mungkin dia membiarkan mereka ini membunuh gurunya, suhengnya, isteri suhengnya dan putera suhengnya? Tiba-tiba dia teringat kepada Ciok Gun. Muridnya itu biasanya setia sekali, juga berjiwa pendekar. Ingin dia dapat menarik Ciok Gun agar dapat membantunya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang curang ini. Tiba-tiba dia menoleh ke arah Ciok Gun yang masih berdiri mematung di belakang empat orang itu.

"Ciok Gun, di mana Teng Sin dan Koo Ham ?" teriaknya untuk memancing perhatian muridnya itu. Akan tetapi, seperti juga tadi, Ciok Gun diam saja, tidak menjawab, juga tidak menoleh, melainkan berdiri dengan muka ditundukkan seperti patung!

"Hi-hi-hik, biar engkau berteriak sampai suaramu habis, dia tidak akan sudi mendengarnya, Gouw Kian Sun. Hanya aku seorang yang akan ditaatinya. Engkau belum percaya? Nah, engkau lihatlah baik-baik." Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ciok Gun dan mengusap leher pemuda itu dengan tangan kirinya, gerakannya mesra sekali seperti orang membelai, dan ia pun berkata dengan suara yang lembut merayu. “Ciok Gun, kekasihku yang tampan, Gouw Kian Sun itu tidak mau tunduk kepadaku. Kau hajarlah dia!"

Kini Ciok Gun mengangkat mukanya dan menoleh ke arah gurunya, dan sinar matanya penuh kemarahan, alisnya berkerut dan tiba-tiba dia melompat ke arah Kian Sun dan langsung saja menyerang dengan tamparan tangan kiri ke arah muka, gurunya sendlri! Tentu saja Kian Sun terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan mengangkat lengan menangkis tamparan itu sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat muridnya itu terdorong jatuh.

"Dukk ……….!" Dua buah lengan bertemu keras dengan sekali dan hampir saja Kian Sun mengeluarkan teriakan saking kagetnya. Muridnya itu sama sekali tidak terdorong jatuh, dan dia merasa betapa kekuatan pada lengan tangan muridnya itu besar sekali, tidak kalah oleh tenaganya sendiri!

Ciok Gun sudah membuat gerakan hendak menyerang lagi dan Kian Sun juga sudah siap melawan muridnya sendiri, akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lembut Bi Hwa, "Ciok Gun, sudah cukup. Engkau mundurlah dan berdiri di tempat semula, siap menanti perintahku!" Dan Ciok Gun tidak memperdulikan lagi kepada Kian Sun, melainkan melangkah ke belakang tempat duduk empat orang itu. Bi Hwa sudah duduk pula di sebuah kursi yang baru karena kursi yang pertama kali didudukinya telah hancur oleh pukulan Kian Sun tadi.

"Ciok Gun! Kau …… kau ……!” Kian Sun menjatuhkan dirinya di atas kursi, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia tahu bahwa keadaan muridnya itu tidak wajar dan teringatlah dia bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak ahli sihir dan ahli racun. T entu Ciok Gun telah dibius dan diberi racun yang membuat dia seperti patung atau mayat hidup yang hanya mentaati perintah dari orang yang menguasainya.,

"Sudahlah, Gouw Pangcu. Engkau telah menyaksikan kelihaian kami. Tidak ada gunanya engkau melawan. Kalau engkau hendak menyelamatkan Cin-ling-pai dan seluruh tokohnya, engkau harus mau bekerja sama dengan kami dan harus memenuhi semua permintaan kami. Teng Sin dan Koo Ham, dua orang murid Cin-ling-pai itu, tidak ada gunanya dan telah kami bunuh. Dan seluruh nyawa semua anggauta Cin-ling-pai berada di tanganmu. Kalau engkau menolak, bukan hanya engkau dan para tawanan kami itu yang akan kami bunuh, juga seluruh murid Cin-ling-pai akan kami basmi, tiada seorang pun yang akan selamat!"

"Kalian iblis-iblis keji! Demi keselamatan suhu dan keluarga suheng, baik aku menurut dan menyerah. Akan tetapi ingat, aku tidak sudi membantu kalian melakukan perbuatan jahat. Ingat, daripada kami orang-orang Cin-ling-pai dipaksa melakukan perbuatan jahat, lebih baik kami mati semua!"

"Aiiih, Gouw Pangcu. Kami adalah orang baik-baik, mana mungkin menyuruh engkau berbuat jahat? Jangan khawatir, kami tidak akan minta engkau melakukan kejahatan."

"Cepat katakan, apa yang harus kulakukan untuk kalian?"

"Sederhana saja, Pangcu. Pertama, engkau cepat umumkan dan kirim undangan kepada para ketua semua perkumpulan dan partai persilatan besar untuk menghadiri pemikahanmu pada tanggal satu bulan depan."

Gouw Kian Sun terbelalak, memandang kepada gadis cantik itu dengan ragu. Gilakah gadis ini, pikirnya. Tanggal satu kurang beberapa hari lagi dan akan diadakan pesta pemikahannya?

"Moli! Apa pula artinya semua ini? Siapa yang akan menikah? Aku kurang mengerti."

“Engkau yang akan menikah, Pangcu."

Kini Kian Sun benar-benar kaget sehingga dia menjadi bengong tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.



"Menikah dengan aku, Pangcu!” kata pula Bi Hwa ,sambil terkekeh genit.

"Aahhh ...?? Aku .... menikah dengan ... dengan kau? Apa artinya ini? Kita .. kita tidak .... eh, maksudku aku tidak .... "

“Hi-hik, jangan bingung, Pangcu. Kau lihat bukankah aku seorang gadis muda yang cantik molek? Tidak banggakah engkau menjadi suamiku? Hemm, ribuan orang pria di dunia ini merindukanku, bermimpi untuk menjadi kekasihku, apalagi suamiku. Dan engkau kelihatan begitu bingung? Hi-hik!"

“Bukan begitu, akan tetapi aku …….. kita …….. bagaimana mungkin kita dapat menjadi suami isteri?"

Kini berubah sikap Bi Hwa, tidak lagi tersenyum manis seperti tadi. Senyumnya berubah dingin dan mengejek. "Gouw Kian Sun, engkau masih ingin membangkang? Perintah yang begini menyenangkan hendak kau tolak? Ini bukan perintah melakukan kejahatan! Aku ingin menjadi isterimu, atau lebih tepat lagi aku ingin menjadi nyonya ketua Cin-ling-pai! Dan untuk perayaan pesta pemikahan, aku minta engkau mengundang ketua-ketua partai persilatan besar di empat penjuru. Jangan banyak membantah lagi kalau ingin aku tidak menjadi naik darah dan membunuh seorang di antara tawananku!”

Diingatkan tentang tawanan itu, wajah Kian Sun seketika berubah pucat. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya. Kalau saja keselamatan nyawa keluarga Cia tidak terancam, tentu dia tidak sudi menyerah dan akan melawan sampai mati! Kini dia merasa tidak berdaya sama sekali. Hatinya memberontak untuk mentaati perintah iblis betina ini, akan tetapi dia tidak dapat membangkang, demi keselamatan keluarga Cia yang dihormatinya.

"Baiklah, aku bersedia melakukan apa yang kau minta." Akhirnya dia berkata sambil menarik napas panjang. Bi Hwa tersenyum manis lagi, bahkan mendekatkan tubuhnya pada Kian Sun dan pandang matanya genit.

“Kalau engkau sudah menjadi suamiku dan bersikap baik dan penurut, aku akan benar-benar melayanimu sebagai isteri dan engkau akan berbahagia sekali."

Kian Sun diam saja, walaupun hatinya merasa marah bukan main. Sampai berusia empat puluh dua, dia masih membujang, belum menikah karena dia belum menemukan seorang gadis yang dianggapnya baik. Bagaimana mungkin sekarang dia merendahkan diri sedemikian rupa dengan menjadi suami seorang wanita iblis macam Tok-ciang Bi Moli ini?

***

Para tokoh kang-ouw partai persilatan merasa heran juga ketika menerima undangan Cin-ling-pai yang hendak merayakan pemikahan wakil ketuanya. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai kini diketuai oleh seorang gadis, akan tetapi yang kini menikah bukanlah gadis itu, melinkan wakil ketua yang bemama Gouw Kian Sun.

Nama Gouw Kian Sun tidak dikenal oleh para tokoh kang-ouw, tidak seperti nama Cia Kui Hong, gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena memandang nama besar Cin-ling-pai, walaupun undangan itu amat tiba-tiba dan waktunya mendesak, hampir semua perkumpulan mengirim wakil atau utusan, ada pula ketua yang datang sendiri.

Biarpun bukan ketua pusat dari perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, melainkan hanya ketua-ketua cabang dan utusan-utusan pusat, namun lengkap jugalah para undangan datang berkunjung. Bahkan karena terdapat undangan yang jauh, maka dua hari sebelum hari perayaan, sudah banyak rombongan utusan perkumpulan silat yahg temama berdatangan. Di antara mereka terdapat wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai.

Sesuai dengan perintah Bi Hwa, Gouw Kian Sun yang tidak berdaya itu telah menyuruh para murid Cin-ling-pai membangun pondok-pondok darurat untuk para tamu. Pondok-pondok darurat itu tersebar di sekitar perkampungan Cin-ling-pai di dekat puncak Cin-ling-san yang luas itu.

Para tamu yang berdatangan itu menjadi semakin herah ketika mereka hanya disambut oleh wakil ketua Cin-ling-pai atau calon pengantin pria yang ditemani oleh Giok Gun dan beberapa orang miurid Cin-ling-pai. Tidak nampak keluarga Cia yang merupakaan keluarga pimpinan Cin-ling-pai turun-temurun itu. Menurut keterangan Gouw Kian Sun atas pertanyaan para tamu, ketua Cin-ling-pai sedang merantau, pendekar Cia Hui Song dan isterinya sedang berkunjung ke pulau Teratai Merah, dan kakek Cia Kong Liang juga tidak berada di Cin-ling-pai. Akan tetapi karena mereka itu menghormati nama besar Cin-ling-pai, biarpun merasa heran dan juga kecewa, rombongan dari berbagai partai persilatan itu menempati pondok masing-masing dan sebelum hari perayaan tiba, mereka menikmati pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang jemih sejuk dari pegunungan Cin-ling-pai.

Rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang, dipinpim oleh Tiong Gi Cin-jin, tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai yang usianya sudah enam puluh dua tahun. Enam orang yang lain adalah murid-muridnya yang berusia dari dua puluh lima sampai empat puluh tahun dan para murid itu merupakan murid-murid yang pandai dari Bu-tong-pai dan terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah. Rombongan Bu-tong-pai ini mendapatkan sebuah pondok besar di sebelah barat, di antara pohon-pohon cemara. Seperti juga para tamu dari berbagai perkumpulan silat, rombongan Bu-tong-pai ini datang lebih awal dua hari, sehingga selama dua hari dua malam mereka akan tinggal di situ sampai hari perayaan tiba.


Tidak jauh dari pondok tempat tinggal para utusan Bu-tong-pai ini terdapat pondok lain yang juga cukup besar. Kedua pondok itu hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar di mana selain pohon-pohon buah juga terdapat taman bunga yang indah. Pondok ke dua ini hanya ditempati empat orang utusan dari Go-bi-pai, tiga orang murid pria yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun, dan seorang murid wanita yang masih gadis, berusia delapan belas tahun. Tiga orang pria itu merupakan murid-murid kelas dua dari Go-bi-pai, sedangkan gadis itu adalah puteri seorang di antara mereka yang menjadi memimpin rombongan. Ayah gadis itu bemama Poa Cin An, berusia lima puluh tahun dan sebagai seorang tokoh kelas dua di Go-bi-pai, tentu saja ilmu silatnya lihai, terutama permainan siang-kiam (sepasang pedang) dari ilmu pedang Go-bi-kiam-sut. Puterinya bemama Poa Liu In, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis dan bersikap lembut.

Di sebelah timur, juga hanya terpisah kebun besar, terdapat pondok untuk para utusan dari Siauw-lim-pai yang terdiri dari dua orang hwesio tingkat dua, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang hwesio kurang lebih enam puluh tahun yang bersikap lembut dan ramah.

Di sekitar pondok darurat itu, tinggal pula utusan dari Kun-lun-pai yang berjumlah empat orang. Tiga orang murid kelas dua dan paman guru mereka, seorang tosu yang bemama Yang Tek Tosu berusia lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kering.

Masih banyak lagi para utusan perkumpulan lain yang tinggal di pondok-pondok darurat, akan tetapi yang merupakan tamu kehormatan di antaranya adalah utusan dari empat perkumpulan besar itu.

Pada keesokan harnya setelah mereka datang, pagi-pagi sekali, masih remang-remang dan hawa dingin sekali, di belakang pondok yang dijadikan tempat bermalam para utusan Go-bi-pai, nampak seorang gadis sedang berlatih silat. Gadis itu adalah Poa Liu In, puteri Poa Cin An yang memimpin rombongan Go-bi-pai. Mula-mula ia berlatih silat tangan kosong. Gerakannya cepat dan pukulannya mantap. Memang ia seorang gadis yang berbakat dan sejak kecil digembleng oleh ayahnya yang menjadi tokoh tingkat dua Go-bi-pai, bahkan kini mengepalai cabang Go-bi-pai yang berada di Lembah Sungai Han, masih merupakan bagian kaki Cin-ling-pai. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan gadis itu selain cepat dan mantap, juga amat indah. Apalagi dimainkan oleh seorang gadis manis yang memiliki bentuk tubuh seindah tubuh Liu In, mana nampak seperti seorang dewi sedang menari saja. Liu In berlatih sungguh-sungguh sehingga dari kepala yang rambutnya hitam panjang itu mengepul uap. Hawa udara sangat dingin sedang tubuhnya menjadi panas karena latihan itu maka kepalanya mengepulkan uap putih, menambah keindahan latihan silat tangan kosong yang seperti tarian itu. Setelah selesai, ia pun mencabut pedangnya, pedang pasangan dan mulailah ia melanjutkan latihannya dengan latihan ilmu pedang Gobi Kiam-sut. Ia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, makin lama semakin cepat sehingga lenyaplah bentuk kedua pedang itu. Yang nampak hanya gulungan dua sinar seperti dua ekor naga bermain-main di antara tubuh yang padat dan langsing itu. Juga dalam latihan ilmu pedang ini, Liu In bermain sungguh-sungguh, mengerahkan semua tenaga dan memusatkan perhatiannya sehingga kini lebih banyak lagi uap putih mengepul ke atas dari kepalanya. Ketika akhirnya ia menghentikan latihan pedangnya, nampak kini muka dan lehernya basah oleh keringat, dan dadanya yang membusung itu naik turun, nafasnya agak memburu.

Liu In lalu meletakkan pedangnya di atas tanah. Ia sendiri lalu memilih tanah yang kering, lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mengatur pemafasan. Sungguh nyaman sekali rasanya, sehabis berlatih, badannya panas dan jantungnya berdebar, kini duduk melakukan latihan pemapasan seperti itu. Setelah napasnya normal kembali dan kelelahannya menghilang, ia pun melanjutkannya dengan siulian.

Pada saat ia mengosongkan pikirannya itulah, tiba-tiba terdengar bisikan suara yang mengandung wibawa amat kuatnya.

"Poa Liu In, betapa nyamannya rasa tubuhmu dan hawa udara sejuk membuatmu mengantuk. Engkau mengantuk dan tertidur …..”

Liu In terkejut dan ia mencoba untuk melawan perintah itu yang dianggapnya tidak wajar. Tidak mungkin ayahnya memerintahkan seperti itu. Ia hendak menoleh dan menolak akan tetapi sungguh aneh. Kepalanya seperti penuh dengan suara itu yang memaksanya untuk tidur, yang menekankan bahwa ia mengantuk, dan ia tidak mampu menoleh, bahkan tidak mampu bergerak, dan akhirnya ia pun menyerah. Ia tertidur dalam keadaan masih bersila! Karena tidurnya adalah tidur tidak wajar, maka ia pun sama sekali tidak terjaga ketika ada bayangan berkelebat di belakangnya. Dengan gerakan yang amat cepat bayangan itu menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu yang terkulai pingsan, kemudian bayangan itu mengangkat dan memondong tubuh yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya pergi dari situ.

Bayangan yang memondong tubuh Liu In yang pingsan itu menyelinap masuk ke dalam sebuah pondok darurat yang belum dipakai tamu dan yang berdiri agak terpencil di dekat hutan sebelah barat.

Tak seorang pun melihat bayangan itu memondong Liu In ke dalam pondok. Dan tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di dalam pondok itu. Hari masih terlalu pagi dan udara terlampau dingin sehingga orang segan untuk keluar dari pondok.

Matahari telah mulai mengeluarkan sinarnya yang lembut namun sudah, mendatangkan kehangatan ketika Liu In mengeluarkan keluhan lirih dan menggerakkan tubuhnya, membuka kedua matanya. Pada saat itu ia mendengar suata yang masuk dari luar tempat itu.

"Gadis Go-bi-pai yang sombong, memamerkan kepandaianmu yang tidak seberapa itu di Cin-ling-pai? Ha-ha! Kalau engkau mau tahu siapa aku, ingat saja orang she Lui murid Cin-ling-pai!"


Liu In terkejut bukan main dan meloncat turun dari atas dipan, hanya untuk menahan jeritnya dan matanya terbelalak mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya telanjang bulat! Pakaiannya berada di atas dipan itu. Ia menyambarnya dan cepat mengenakan kembali pakaiannya, wajahnya pucat karena ia kini sadar benar apa yang telah terjadi menimpa dirinya. Ia telah diperkosa orang selagi pingsan atau tidur! Akan tetapi ia segera ingat bahwa tadi ia berlatih silat dan duduk bersila. Kini tahu-tahu telah berada di dalam sebuah pondok. Tentu ia telah ditotok dan pingsan! Setelah mengenakan kembali pakaiannya secepatnya, ia meloncat keluar mendorong daun pintu pondok itu dan ia berdiri tertegun. Ia melihat beberapa orang pria muda murid-murid Cin-ling-pai hilir mudik, dan melihat rombongan para tamu sedang berjalan-jalan, menikmati cahaya matahari pagi yang hangat. Ia tentu saja tidak berani ribut-ribut. Bagaimana ia berani membuat ribut kepada para murid Cin-ling-pai itu? Tentu berarti ia kan melumuri dirinya dengan aib, mengaku bahwa ia baru saja diperkosa orang! Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan ingin ia menjerit, ingin ia menangis, akan tetapi melihat semakin banyak otang berjalan-jalan, ia pun menahan perasaannya.

"Liu In …….!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya menegur. Ia menoleh dan melihat
ayahnya bersama dua orang susioknya. Mereka agaknya bukan hanya berjalan-jalan biasa, melainkan sedang mencarinya karena ayahnya membawa pula siang-kiamnya yang tadi ia pergunakan untuk berlatih silat.

Melihat puterinya berdiri dengan tubuh kelihatan lunglai dan wajahnya pucat sekali, tentu saja Poa Cin An terkejut bukan main dan merasa amat khawatir. "Liu In, ke mana saja engkau tadi? Apa yang terjadi?" Poa Cin An dan dua orang sutenya cepat menghampiri Liu In. Begitu ayahnya berada di depannya, Liu In tidak dapat menahan kehancuran hatinya lagi.

“Ayah …….!" Ia menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya.

"Ehhh? Apa yang terjadi? Ada apakah, Liu In?" tanya Poa Cin An. Melihat betapa semua orang kini memandang ke arah mereka dengan pandang mata heran dan hanya tidak berani bertanya karena rombongan Go-bi-pai tentu saja disegani orang, dua orang sute dari Poa Cin An lalu memberi isarat kepada ,suheng mereka.

“Mari kita pulang ke pondok dan bicara di sana."

Biarpun ia sedang menangis, mendengar ucapan itu, Liu In mengangguk lemah dan mereka pun berjalan menuju ke pondok mereka. Liu In menahan rasa nyeri di tubuh dan hatinya.

Setelah mereka tiba di pondok mereka, Liu In tak dapat lagi menahah kesedihannya. Ia lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir bagaikah air bah mengalir keluar dari bendungan yang pecah.

Poa Cin An mengerutkan alisnya, memberi isarat kepada dua orang sutenya agar tinggal di luar dan dia sendiri lalu memasuki kamar puterinya, menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Dia melihat puterinya menangis terisak-isak sambil menyembunyikan mukanya di bantal, menelungkup dan tubuhnya terguncang-guncang. Dia duduk di tepi pembaringan, menyentuh pundak puterinya.

"Liu In, ke maha perginya sifatmu yang gagah sebagai pendekar? Kenapa engkau menjadi cengeng dan menangis seperti anak kecil? Apakah yang terjadi? Katakan padaku, ceritakan kepada ayahmu."

Liu In melanjutkan tangisnya sampai akhirnya dapat menguasai hatinya, ia bangkit duduk, akan tetapi kedua tangannya masih menutup mukanya dan dengan suara hampir tidak terdengar ia berkata, “Ayah …… aku ……. aku ……… diperkosa orang …….."

Bagaikan dipatuk ular, Poa Cin An yang biasanya tenang itu melompat dari tepi pembaringan, berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah sekali.

"Apa? Siapa? Hayo ceritakan, apa yang terjadi!” Kini suaranya penuh dengan api yang berkobar karena harga diri dan kehormatannya tertusuk.

Dengan kedua tangan masih menutupi mukanya, Liu In menceritakan pengalamannya, betapa tadi pagi-pagi sekali ia berlatih silat, kemudian ketika ia sedang melakukan latihan siu-lian (samadhi), ia tertidur dan ketika ia terbangun atau siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam pondok kosong dan telah diperkosa orang.

"Siapa? Siapa dia? Cepat katakan!"

"Ayah, aku tidak tahu. Ketika hal itu terjadi, aku dalam keadaan pingsan, sama sekali tidak sadar. Ketika aku siuman, aku sendirian saja di pondok itu dan aku mendengar suara orang laki-laki mengaku bahwa dia yang melakukan perbuatan itu adalah seorang murid Cin-ling-pai yang she (bermarga) Lui …….."

"Keparat jahanam! Noda ini harus dicuci dengan darah!" Poa Cin An berteriak dan dia meloncat keluar dari dalam kamar pondok itu. Dua orang sutenya terkejut dan menyambutnya dengan kaget dan heran.

"Suheng, ada apakah?”

“Keparat Cin-ling-pai ……!” Poa Cin An terengah-engah dan matanya mencorong penuh kemarahan, amat mengejutkan dua orang adik seperguruannya.

Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di dalam kamar Liu In dan disusul rintihan gadis itu, “ …….. ayaahhh …….”


Tiga orang tokoh Go-bi-pai itu lari memasuki kamar dan …….. Poa Cin An berteriak parau dan menubruk tubuh puterinya yang sudah menggeletak di atas lantai dengan kedua pedangnya menembus dada dan perut! Darah membanjiri lantai di mana gadis itu rebah miring.

“Liu In ……..!” Poa Cin An hanya dapat merangkul puterinya, maklum bahwa dengan dada dan perut ditembusi kedua pedang itu, mustahil untuk dapat menyelamatkan nyawa anaknya.

Liu In masih dapat memandang ayahnya dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar suaranya lemah dan lirih, " ……. aku malu ………. ayah ……… balaskan …….” dan lehernya terkulai, nyawanya melayang.

"Liu In …….!” Ayah itu menubruk lagi jenazah puterinya. Poa Cin An seorang tokoh Go-bi-pai, seorang pendekar yang keras hati, namun sekali ini dia menangis seperti anak kecil! Anaknya hanya tunggal dan kini tewas sedemikian menyedihkan di depan matanya. Diperkosa orang kemudian membunuh diri!

"Cin-ling-pai keparat! Tenaglah, anakku, aku akan membalaskan dendam setinggi langit ini!" teriaknya dan dia pun meloncat bangun, menyambar sepasang pedangnya yang tadi dia lempar di atas meja ketika dia melihat keadaan puterinya. Akan tetapi, dua orang sutenya cepat menangkap lengannya.

“Suheng, tahan dulu…..!”

Poa Cin An rnemandang kedua orang sutenya dengan mata merah dan mendelik, kedua pipinya masih basah. "Apa? Kalian hendak menghalangiku? Sepatutnya kalian membantuku!"

“Tentu saja kami akan membantumu, Suheng. Andaikata Suheng tidak menuntut balas pun, kami berdua akan mempertaruhkan nyawa untuk membalas penghinaan ini! Bukan hanya puterimu yang dihina, bukan hanya Suheng, melainkan Go-bi-pai! Akan tetapi, kita harus tenang, Suheng. Apakah Suheng ingin agar seluruh dunia tahu akan aib yang menimpa diri puterimu? Tidak kasihankah Suheng kepada puterimu, setidaknya, kepada namanya?”

Poa Cin An tercengang, lalu menunduk, lalu mengguguk. Sejenak dia tidak mampu bicara, lalu mengangguk-angguk dan menenangkan hatinya dengan tarikan napas panjaang.

"Kalian benar, Sute. Maafkan aku …….! Hampir aku tidak dapat menguasai hati dan menyiarkan noda yang mencemarkan nama baik anakku. Aih, Liu In, sungguh malang nasibmu, anakku. Akan tetapi jangan khawatir, ayahmu akan menuntut balas. Jahanam itu akan kubuhuh, kepalanya akan kupakai bersembahyang di depan jenazahmu atau makammu! Jangan khawatir, anakku ……."

Setelah dia mengangkat jenazah puterinya dan membaringkannya di atas dipan, mencabut sepasang pedang itu dan menyelimuti jenazah, mereka bertiga lalu keluar dari pondok dan dengan langkah lebar dan muka tegang mereka menuju ke bangunan pusat Cin-ling-pai. Di pintu gerbang depan mereka disambut oleh beberapa orang murid Cin-ling-pai yang sedang bertugas jaga. Para murid Cin-ling-pai ini memandang heran melihat sikap tiga orang tamu yang mereka kenal dan mereka hormati sebagai tiga orang di antara para tamu kehormatan, wakil-wakil dari Go-bi-pai. Akan tetapi mereka menyambut dengan ramah.

"Selamat pagi, Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga orang tua gagah). Ada keperluan apakah sam-wi datang berkunjung pagi ini?”

“Laporkan kepada Gouw-pangcu (Ketua Gouw) bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengan dia. Cepat!” bentak Poa Cin An dengan sikap bengis dan marah sehingga mengejutkan tujuh orang murid Cin-ling-pai itu.

Pemimpin para murid yang bertugas jaga itu memberi hormat dan tetap menjawab dengan sikap sopan dan ramah. "Lo-cian-pwe, saat ini Gouw pancu sedang sibuk menerima kunjungan para wakil Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai. Mereka baru saja masuk dan diterima oleh pangcu di ruangan tamu."

"Kalau para utusan Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai dapat diterima, mengapa kami dari Go-bi-pai tidak? Antarkan kami bertemu dengan dia, atau kami akan masuk sendiri!" kata pula Poa Cin An.

"Sabarlah, Lo-cian-pwe. Kami bukan menolak atau menghalangi, hanya kalau sam-wi masuk sekarang, pangcu kami akan menjadi sibuk sekali dan sebaiknya kalau sam-wi menanti sebentar …..”

"Tidak, kami harus masuk sekarang dan bertemu sekarang juga!"

Para murid itu terkejut. Tadi pun mereka sudah dikejutkan oleh sikap para pimpinan Kun-lun-pai yang juga nampak marah, disusul utusan Bu-tong-pai yang juga nampak marah, dari sekarang orang-orang Go-bi-pai ini benar-benar marah sekali. Apa yang telah terjadi? Mereka tidak berani membantah lagi dan mengantarkan tiga orang ini menuju ke ruangan tamu yang amat besar itu.

Ketika memasuki ruangan itu, tiga orang tokoh Go-bi-pai itu melihat bahwa Tiong Gi Cin-jin pemimpin rombongan Bu-tong-pai bersama enam orang murid Bu-tong-pai telah duduk berjajar di situ, demikian pula Yang Tek Tosu bersama tiga orang murid keponakannya, dua di antaranya nampak luka-luka dan dibalut di bagian leher dan dahi. Juga tiga orang tokoh Go-pi-pai itu melihat betapa wajah mereka semua itu nampak tegang dan marah sehingga mudah diduga bahwa pasti telah terjadi hal-hal yang hebat, seperti yang juga mereka alami. Kiranya wakil ketua Cin-ling-pai, yaitu Gouw Kian Sun, belum keluar,menyambut dan para tamu itu baru dipersilakan menanti di ruangan tamu. Hal ini agak mengherankan karena wakil ketua itu tentu sibuk sekali karena dia adalah calon pengantin. Karena mereka sendiri pun sedang tegang dan marah, maka mereka hanya mengangguk saia kepada dua rombongan terdahulu, kemudian mereka duduk pula di sebelah kiri, menanti munculnya GouW Kian Suh.



Akhirnya, orang yang dinahti-nanti, itu pun muhcul dengan sikap tenang dan wajah yang tidak membayangkan kesalahan. Sebagai calon pengantin, pakaiannya baru dan dia nampak gagah. Dia ditemani oleh Ciok Gun, murid Cin-ling-pai yahg pandai dan setia, dan yang menjadi, pembantu utama wakil ketua Gouw Kian Sun. Pria jangkung ini pun nampak tenang saja ketika memasuki ruangan itu. Melihat para tamu bangkit berdiri dengan sikap marah, Gouw Pangcu memandang heran, akan tetapi dengan ramah dia pun menghampiri kursinya, memberi hormat dan mempersilakan para tamunya duduk kembali.

Poa Cin An sudah ingin sekali meneriakkan rasa penasarannya kepada pimpinan Cin-ling-pai itu, akan tettapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang wakil perkumpulan besar yang mengenal aturan, maka sebagai rombongan yang datang terakhir, dia harus bersabar dan mengalah, membiarkan dua rombongan tamu yang datang terlebih dahulu bicara dengan tuan rumah.

“Selamat pagi para Lo-cian-pwe yang terhormat!” Gouw Kian Sun dengan ramah. Walaupun dia sendiri menghadapi urusan Cin-ling-pai yang amat rumit dan membuat dia selalu gelisah, namun di depan para tamu kehormatan ini dia dapat memperlihatkan sikap ramah. "Kami harap cu-wi (anda sekalian) dapat beristirahat dengan senang di pondok-pondok yang kami sediakan dan maafkan kalau ada kekurangan ……”

"Kami datang bukan untuk bicara tentang itu!" tiba-tiba Yang Tek Tosu pemimpin utusan Bu-tong-pai berkata dengan wajah keruh.

Gouw Kian Sun terkejut dan diam-diam dia menjadi semakin gelisah, tidak dapat menduga atau membayangkan apa yang telah terjadi, akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah Ciok Gun, murid yang dia tahu kini telah menjadi mayat hidup dan menjadi kaki tangan dari orang-orang Pek-lian-kauw di luar kesadarannya itu. Kalau terjadi sesuatu Ciok Gun ini mengetahuinya, pikirnya. Akan tetapi wajah Ciok Gun tetap dingin dan dia duduk membungkam mulut dan matanya pun memandang kosong saja!

Selagi dia hendak bertanya kepada tosu Bu-tong-pai itu, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan.

"'Omitohud ……..! Siapa kira Cin-ling-pai menjadi begini?" Dan muncullah Thian Hok Hwesio, dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang juga menjadi tamu itu. Ketika mereka masuk dan melihat betapa rombongan dari tiga perguruan besar sudah berkumpul di situ pula, Thian Hok Hwesio yang tadi bicara menoleh kepada sutenya dan dia pun mengelus jenggotnya yang panjang.

"Omitohud ………., kiranya semua orang telah berkumpul di sini?"

Kian Sun segera bangkit berdiri, diikuti oleh Ciok Gun dan Kian Sun memberi hormat kepada dua orang hwesio itu. "Ji-wi Lo-suhu (Dua orang pendeta tua), selamat pagi dan kebetulan sekali ji-wi datang karena agaknya ada yang perlu dibicarakan yang kami belum mengetahui. Silakan ji-wi duduk."

Dua orang hwesio itu membalas penghormatan Gouw Pangcu dan mereka pun duduk. Agaknya Gouw Pangcu merasa lega dengan hadirnya dua orang hwesio Siauw-lim-pai ini yang dia tahu pasti akan bertindak adil dan tidak suka menggunakan kekerasan.

Agaknya Yang Tek Tosu yang tadi sudah mulai bicara karena rombongannya yang datang lebih dahulu, kemudian bicaranya terhenti dengan munculnya dua orang hwesio itu, kini tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Dia bangkit berdiri dengan muka merah dan tubuhnya yang jangkung kurus itu agaknya nampak semakin jangkung.

“Gouw Pangcu, kami datang bukan untuk beramah-tamah atau berbasa-basi. Lihar saja keadaan dua orang murid keponakan pinto (aku) ini dan kiranya tidak perlu lagi Pangcu berpura-pura!”

Gouw Kian Sun memandang ke arah dua orang murid Kun-lun-pai yang luka-luka di leher dan dahi itu dan dia kembali memandang kepada Yang Tek Tosu yang masih berdiri.

“Saya melibat bahwa mereka itu menderita luka-luka di leher dan dahi. Akan tetapi, sungguh mati saya tidak tahu mengapa begitu, to-tiang (bapak pendeta). Apakah yang telah terjadi?"

Yang Tek Tosu menahan kemarahannya dan kini dia berjalan mondar-mandir, gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata semua yang hadir, kecuali Ciok Gun yang nampaknya tenang-tenang saja, tidak terkejut dan gelisah seperti Kian Sun.

"Mungkin saja Gouw Pancgu tidak mengetahui apa yang terjadi. Kami sendiri hampir tidak percaya kalau saja kedua orang murid keponakan ini tidak mengalami sendiri. Sejak dahulu Cin-ling-pai terkenal sebagai perguruan besar yang memiliki murid-murid pendekar. Akan tetapi siapa tahu sekarang mempunyai murid-murid yang nyeleweng, jahat dan curang!”

Kian Sun bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah. Dia seorang tokoh Cin-ling-pai yang amat setia dan juga dia sedikit pun tidak mengira bahwa ada murid Cin-1ing-pai yang akan berani berbuat jahat. Bahkan dia pun sudah mendapat janji dari Tok-ciang Bi Moli yang menguasai dirinya bahwa wanita itu dan sekutunya tidak akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik Cin-ling-pai. Maka, mendengar tuduhan Yang Tek Tosu, tentu saja dia menjadi terkejut dan juga marah.

"Harap Totiang tidak menuduh yang tidak ada buktinya. Penyelewengan dan kejahatan apakah yang telah dilakukan murid kami? Tunjukkan buktinya dan siapa orangnya, pasti kami akan mengambil tindakan dan memberi hukuman kalau memang benar!" katanya dengan suara lantang.

“Gouw-pangcu! Setelah melihat keadaan dua orang murid keponakanku, masih minta bukti lagi?” Dia menoleh kepada dua orang yang menderita luka-luka itu dan memberi perintah, "Kalian ceritakan apa yang telah kalian alami semalam!"



Dua orang murid Kun-lun-pai itu mengangguk dan seorang di antara mereka yang lukanya tidak terlalu parah bercerita. Kiranya malam tadi, karena iseng saja, mereka meninggalkan pondok dan bahkan keluar dari perkampungan Cin-lihg-pai. Ketika mereka keluar, malam belum gelap benar. Mereka pergi ke perkampungan di lereng bukit, di mana terdapat beberapa dusun. Dua orang murid Kun-lun-pai itu adalah murid biasa, bukan tosu (pendeta To), maka mereka pergi ke dusun itu untuk bermain-main dan membeli makanan. Malam telah agak gelap ketika mereka mengambil keputusan untuk kembali ke perkampungan Cin-lihg-pai. Akan tetapi setiba mereka di luar dusun di mana mereka bermain-main tadi, mereka mendengar jerit tangis seorang wanita. Mereka cepat mengejar dan melihat lima orang laki-laki muda sedang menarik-narik seorang gadis dusun. Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, tentu saja dua orang itu segera turun tangan menegur. Akan tetapi, lima orang itu tanpa banyak cakap lagi memaki. Seorang di antara mereka mengatakan bahwa sebagai tamu, dua orang itu tidak sepatutnya mencampuri urusan murid-murid Cin-ling-pai. Terjadi perkelahian dan karena dua orang itu dikeroyok, maka mereka menderita luka-luka di leher dan dahi. Mereka melawan terus dan akhirnya terpaksa melarikan diri karena lima orang yang mengaku murid Cin-ling-pai itu agaknya berkeras hendak membunuh mereka. Untung mereka dapat melepaskan diri dan lari sampai ke perkampungan Cin-ling-pai dan malam itu mereka mendapatkan pengobatan dari paman guru mereka, yaitu Yang Tek Tosu. Karena kebijaksanaannya, Yang Tek Tosu tidak mau membikin ribut di malam hari itu, menanti sampai keesokan harinya barulah pagi-pagi dia membawa dua orang murid keponakan yang luka-luka itu untuk mengadu dan memrotes kepada pimpinan Cin-ling-pai.

"Nah, Pangcu mendengar sendiri. Apakah patut kelakuan murid-murid Cin-ling-pai itu? Mereka berlima hendak memaksa dan memperkosa seorang gadis dusun! Begitukah kelakuan para pendekar Cin-ling-pai? Ketika dua orang murid keponakanku menegur, mereka berdua malah dikeroyok secara pengecut. Kami minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu sebagai pimpinan Cin-ling-pai saat ini!" sebelum Gouw Kian Sun yang memandang terbelalak saking kaget dan herannya mendengarkan penuturan murid Kun-lun-pai itu, terdengar Tiong Gi Cinjin pimpinan rombongan Bu-tong-pai berseru dengan suaranya yang lantang. "Perbuatan mengeroyok dua orang murid Kun-lun-pai oleh lima orang itu masih belum berapa hebat, karena akibatnya hanya melukai dua orang murid Kun-lun-pai. Yang lebih hebat lagi adalah apa yang dialami oleh muridku sendiri! Muridku telah dikeroyok dan dibunuh oleh belasan orang murid Cin-ling-pai!"

Semua orang terkejut, terutama sekali Gouw Kian Sun. "Tidak mungkin! Bagaimana mungkin murid-murid Cin-ling-pai membunuh tamu mereka sendiri?"

"Hemm, Gouw Pangcu. Selama hidupku, aku tidak pernah berbohong! Aku tidak akan sembarangan menuduh kalau tidak ada buktinya. Mau bukti? Datanglah ke pondok kami dan lihatlah sendiri. Jenazah muridku, Gu Kay Ek, sampai sekarang masih rebah di atas dipan dan masih hangat!”

Saking kagetnya, Kian Sun bangkit berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi menyaksikan sendiri bahwa ada murid Bu-tong-pai yang tewas akibat pengeroyokan murid-murid Cin-ling-pai. Akan tetapi pada saat itu, Poa Cin An bangkit berdiri dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia sudah meloncat dan berdiri di depan Gouw Kian Sun, menghadang kepergian wakil ketua Cing-ling-pai itu.

"Gouw Pangcu, jangan pergi dulu! Kun-lun-pai hanya menderita luka-luka kedua muridnya, Bu-tong-pai menderita kematian seorang murid yang dikeroyok. Akan tetapi aku, aku orang Go-bi-pai yang selama hidupku tidak pernah menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh, pagi hari tadi telah menderita yang teramat hebat dan noda ini hanya dapat ditebus dengan darah!"

Wajah Kian Sun menjadi agak pucat. Dia tahu bahwa Poa Cin An, tokoh kelas dua dari Go-bi-pai ini, datang bersama dua orang sutenya dan puterinya, seorang gadis muda yang cantik. Dan sekarang, tokoh ini hanya muncul dengan dua orang sutenya, tanpa puterinya! Dan dia bicara tentang noda yang harus ditebus dengan darah!

"Lo-cian-pwe ……. apa ……. apa pula yang telah terjadi?" tanya Kian Sun dan suaranya terdengar penuh kegelisahan.

"Apa yang terjadi? Puteriku, Poa Liu In, pagi tadi selagi berlatih sendirian dan sedang bersiulian, telah ditotok orang, dalam keadaan pingsan dibawa ke sebuah pondok kosong dan diperkosa! Dan sekarang, Gouw Pangcu juga tidak percaya dan minta bukti? Lihat, tubuh puteriku juga masih hangat walaupun nyawanya telah melayang, ditembusi dua batang pedangnya sendiri yang ia pergunakan untuk membunuh diri! Pangcu, kalau engkau tidak menyerahkan pelaku perbuatan terkutuk itu, jangan salahkan kalau Go-bi-pai akan membasmi Cin-ling-pai!"

Wajah Gouw Kian Sun menjadi pucat sekali. Sungguh mimpi pun tidak pernah dia bahwa murid-murid Cin-ling-pai dapat melakukan semua perbuatan yang dituduhkan oleh tiga orang pimpinan rombongan tiga perguruan besar itu. Otomatis, seperti orang mencari pembela, dia menoleh ke arah dua orang hwesio Siauw-lim-pai.

"Omitohud …….!" kata Thian Hok Hwesio. "Tadinya pinceng (aku) mengira bahwa orang Cin-ling-pai telah menjadi kurang ajar dan suka menghina orang, tidak tahunya telah terjadi perbuatan-perbuatan yang begitu jahatnya. Hemm, apakah artinya semua ini, Gouw Pangcu?"

“Maaf, Lo-suhu. Apakah juga terjadi sesuatu yang membuat Losuhu menjadi marah?" tanya Gouw Kian Sun, semakin tidak enak perasaan hatinya dan dia seperti mendapat firasat yang amat tidak baik.

"Omitohud, pinceng berdua menerima hidangan yang terdiri dari segala macam daging, juga arak. Sedangkan yang mengantar hidangan itu adalah murid-murid perempuan Cin-ling-pai yang genit-genit pula. Bukankah itu berarti suatu penghinaan yang disengaja untuk merendahkan pinceng berdua?"

"Aih, mana mungkin begitu? Kami sudah mempersiapkan masakan ciak-jai (masakan bebas daging) untuk para Losuhu dan para Totiang!"



"Hemm, Gouw Pangcu. Arak dan masakan itu masih berada di pondok kami, belum tersentuh. Apakah Pangcu tidak percaya dan ingin melihat sendiri?"

Kian Sun menjadi lemas. Bagaimana dia dapat tidak mempercayai mereka? Mereka yang kematian murid, kematian anak, adalah tokoh-tokoh besar dari perguruan yang terkenal. Mereka pasti tidak berbohong. Akan tetapi, kalau untuk percaya begitu saja, dia pun masih ragu-ragu karena selama dia menjadi murid Cin-ling-pai sampai sekarang, belum pernah ada murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat seperti itu. Cin-ling-pai memegang keras peraturan, dan setiap murid yang melanggar peraturan sedikit saja pasti dihukum berat. Apalagi sampai melakukan penghinanan kepada tamu, bahkan pembunuhan dan perkosaan!

"Cu-wi Lo-cian-pwe, bagaimana kami dapat tidak mempercayai keterangan cu-wi (anda sekalian)? Akan tetapi, beritahulah kepada kami siapa saja pelaku-pelaku kejahatan itu di antara murid kami, pasti akan kami tangkap sekarang juga!”

"Mereka yang mengeroyok dan melukai kami tidak pernah menyebutkan nama mereka.” kata dua orang murid Kun-lun-pai itu.

“Muridku Gu Kay Ek sebelum menghembuskan napas terakhir sudah pinto tanyai, akan tetapi dia mengatakan bahwa para pengeroyoknya hanya mengaku murid-murid Cin-ling-pai, tidak ada yang menyebut namanya." kata pula Tiong Gi Cin-jin dari Bu-tong-pai.

"Murid Cin-ling-pai jahanam yang melakukan perbuatan terkutuk kepada puteriku mengaku bermarga Lui!" kata poa Cin An. "Serahkan jahanam she Lui itu kepadaku, Pangcu. Aku harus membawa kepalanya untuk dipakai sembahyang di depan jenazah atau makam puteriku!”

Kian Sun mengerutkan alisnya, “She Lui? Akan tetapi, rasanya tidak ada yang she Lui di antara murid Cin-ling-pai ……..”

“Maaf, Suhu. Teecu melapor. Pagi tadi teecu melihat dua orang murid yang mengganggu seorang gadis dusun. Teecu tegur dan ketika hendak menangkapnya untuk diseret ke depan Suhu agar menerima hukuman, mereka melarikan diri." Tiba-tiba Ciok Gun berkata, suaranya tenang namun jelas terdengar oleh semua yang berada di ruangan itu.

Kian Sun terbelalak memandang kepada muridnya itu. "Ciok Gun! Apa maksudmu? Apa artinya keteranganmu itu? Siapa dua orang murid itu?"

“Mereka itu Lui Ti dan Ji Kun, dua orang murid seangkatan teecu, hanya mereka lebih muda beberapa tahun."

"Gouw Pangcu, jelas bahwa engkau hendak melindungi murid yang bersalah, ya? Tadi kau mengatakan bahwa tidak ada yang she Lui, sekarang muncul yang bernama Lui Ti!" kata Poa Cin An. "Tentu dia yang telah melakukannya. Cepat Pangcu tangkap dan serahkan dia kepada kami!”

Kian Sun merasa kepalanya pening. Tentu saja dia meragukan sekali keterangan yang keluar dari mulut Ciok Gun, muridnya yang kini telah menjadi seperti mayat hidup yang dikuasai oleh Pek-lian-kauw! Di dalam hatinya timbul dugaan bahwa semua peristiwa itu pasti didalangi oleh Pek-lian-kauw! Akan tetapi mengapa mereka itu melakukan semua ini? Ah, dia tahu sekarang! Kiranya Pek-lian-kauw yang hendak menguasai Cin-ling-pai adalah suatu siasat untuk mengadu domba! Antara Cin-ling-pai dengan perguruan-perguruan besar lainnya. Jantungnya berdebar keras. Otaknya dikerjakan. Kalau begitu, setelah pertentangan memuncak, tentu mereka akan membebaskan keluarga Cia, perlunya agar keluarga Cia mempertahankan Cin-ling-pai dari amukan para pimpinan perguruan lain itu. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan sekarang? Membuka rahasia itu? Semakin merugikan. Pertama, tentu para tamu tidak percaya, karena buktinya, dia yang masih duduk sebagai pimpinan di Cin-ling-pai. Dan ke dua, kalau dia membuka rahasia yang belum tentu dipercaya oleh para tamu itu, tentu keselamatan seluruh keluarga Cia terancam. Kalau siasat mereka gagal, tentu orang-orang Pek-lian-kauw takkan segan-segan melanggar janji dan membunuh semua keluarga Cia yahg sudah dipenjarakan itu.

Dia menarik napas panjang. Dia harus mampu mengulur waktu, mencari kesempatan untuk menyampaikan semua itu kepada gurunya,dan kepada suhengnya, Cia Hui Song.

"Cu-wi Lo-cian-pwe harap jangan khawatir. Kami akan menyelidiki dengan teliti dan akan mengerahkan seluruh anggauta kami untuk menangkapi mereka yang bersalah. Kami berjanji. Sekarang kami ingin melihat semua korban sebagai bukti. Dua orang murid Kun-lun-pai sudah kami lihat bahwa mereka memang luka-luka!' ,

Gouw Kian Sun diiringkan oleh Ciok Gun, bersama semua rombongan tamu itu lalu meninggalkan kamar tamu dan pertama-tama mereka berkunjung ke pondok Bu-tong-pai. Di sini mereka melihat Gu Kay Ek, murid dari Tiong Gi Cin-jin, telah menjadi mayat dengan tubuh penuh luka, rebah telentang di atas pembaringan. Kemudian mereka semua menyaksikan jenazah Poa Lui In, murid Go-bi-pai dan yang terakhir mereka semua menyaksikan hidangan daging dan arak di pondok kedua hwesio utama utusan Siauw-lim-pai.

Setelah menyaksikan sendiri, Gouw Kian Sun kembali lagi ke ruang tamu Cin-ling-pai, diikuti oleh mereka yang kini penuh semangat untuk menuntut balas. Kembali mereka duduk di ruangan tamu yang luas itu dan wajah Gouw Kian Sun muram sekali. Dia telah menyaksikan sendiri kebenaraan semua yang laporan dan tuntutan para tamunya yang terhormat. Diam-diam dia merasa khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri, melainkan khawatir akan nama baik Cin-ling-pai. Kini dia dapat menduganya dan hampir yakin bahwa memang inilah yang dikehendaki Pek-lian-kauw, yaitu mengadu domba antara Cin-ling-pai dengan paraperguruan besar! Buktinya, yang terkena musibah hanyalah empat perguruan besar sehingga mereka semua merasa pehasaran kepada Cin-ling-pai. sedangkan para tamu lain, tamu biasa, tidak mengalami gangguan apa pun.

Kini para tamu yang sudah duduk semua memandang kepada Gouw Kian Sun, dengan sinar mata penuh tuntutan. Wakil ketua Cih-ling-pai itu, yang sejak beberapa pekan ini telah kehilangan bobot banyak sekali sehingga nampak pucat dan kurus, berulang-ulang menghela hapas panjang. Kemudian dia mengangkat mukanya yang sejak kembalinya dari pemeriksaan tadi menunduk saja memandang kepada semua tamu.



"Cu-wi Lo-cian-pwe dan Eng-hiong (pendekar), saya telah melihat sendiri bukti dari semua yang cu-wi ceritakan. Saya tidak dapat menyangkal lagi bahwa memang cu-wi mendapatkan gangguan-gangguan hebat di Cin-ling-pai. Akan tetapi, sekarang ini saya belum dapat mepangkap murid-murid Cin-ling-pai yang berdosa, dan saya akan menyelidikinya dengan teliti. Pula, terdapat kemungkinan bahwa ada yang sengaja hendak merusak nama baik Cin-ling-pai, karena bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk di akal kalau murid-murid Cin-ling-pai melakukan kejahatan sekeji itu."

"Bagus!” Poa Cin An bangkit dan berseru keras. "Jadi setelah menyaksikan dengan mata sendiri jenazah puteriku, Gouw Pangcu masih hendak melmdungi murid Cin-ling-pai? Sekarang juga kami menuntut agar jahanam she Lui murid Cin-ling-pai itu ditangkap dan diserahkan kepada kami! Akan kami penggal lehernya agar kepalanya dapat kami pakai menyembahyangi jenazah Liu In!"

"Benar sekali itu!" teriak pula Tiong Gi Cin-jin. "Semua murid Cin-ling-pai harus dipaksa mengaku, kalau perlu disiksa, siapa yang telah membunuh Gu Kay Ek murid pinto (aku) dan harus menerima hukuman yang adil!"

"Sian-cai! Apa yang dikatakan para wakil Go-bi-pai dan Bu-tong-pai itu benar sekali!" kata Yang TeK Tosu "Penghinaan ini harus dibayar lunas! Kalau pemimpin Cin-ling-pai hendak mengelak, akan kami hajar semua murid Cin-ling-pai untuk mehgaku!" Berkata demikian, Yang Tek Tosu yang sudah marah sekali itu meloncat dari atas bangkunya dan berdiri dengan dua tangan terkepal.

"Totiang, tahan bicaramu itu!" tiba-tiba Ciok Gun membentak dan dia punsudah melompat dan berdiri di depan Yang Tek Tosu. "Ingat bahwa engkau adalah seorang tamu yang tidak layak bersikap sembarangan dan seenaknya saja!" Melihat ini, Gouw Kian Sun terkjut dan heran, juga amat gelisah. Dia terkejut melihat sikap muridnya itu, dan juga heran karena muridnya ini memiliki watak yang pendiam,akan tetapi sekarang jadi pandai bicara! Dan dia pun tahu bahwa muridnya ini "dikendalikan" oleh orang-orang Pek-lian-kauw, agaknya sengaja untuk memperuncing keadaan yang sudah gawat itu.

Yang Tek Tosu sudah marah sekali, dan mendengar ucapan Ciok Gun, dia pun membentak, “Memang pinto seorang tamu seperti yang lain, akan tetapi ingat, kami adalah tamu-tamu yang diundang, tamu terhormat, bukan tamu liar! Sepatutnya kalau tuan rumah menghormati kami, bukan malah menghina dan membunuh. Apakah Cin-ling-pai kini berubah menjadi perkumpulan pembunuh dan penjahat keji?"

“Totiang, engkau sungguh menghina kami!" bentak Ciok Gun. "Sudah kami katakan bahwa kami hendak menyelidiki urusan ini, tapi Totiang mendesak. Kalau saat ini kami belum dapat menyerahkan mereka yang bersalah, habis Totiang mau apa? Akan menghajar kami? Hemm, aku khawatir Totiang tidak ada kemampuan untuk itu!"

"Jahanam kau!" Yang Tek Tosu yang sudah marah sekali kehilangan kesabarannya lagi dan dia pun mendorongkan tangan kanannya ke arah dada Ciok Gun, dengan niat untuk membuat orang muda itu terpelanting agar dapat berurusan sendiri dengan wakil ketua Cin-ling-pai yang pada waktu itu memrupakan orang pertama di Cin-ling-pai. Akan tetapi, Ciok Gun tidak mengelak, bahkan dia pun mendorongkan tangan kanannya menyambut pukulan itu. Dua buah tangan yang jari-jarinya terbuka bertemu dengan kuatnya.

"Dessss …….!!" Ciok Gun terdorong mundur dua langkah, akan tetapi juga Yang Tek Tosu terdorong ke belakang dua langkah pula. Diam-diam Kian Sun terkejut. Yang Tek Tosu adalah tokoh tingkat dua di Kun-lun-pai, akan tetapi pukulan tangan kosong yang mengandung sin-kang amat kuat itu dapat ditahan bahkan diimbangi oleh muridnya! Juga Yang Tek Tosu terkejut dan semakin marah.

"Siapakah engkau?" bentaknya.

"Namaku Ciok Gun dan aku pembantu utama suhu .Yang menjadi wakil ketua Cin-ling-pai. Kalau perlu, aku dapat mewakili suhu menghadapi siapa saja yang hendak menggahggu Cin-ling-pai!" Tentu saja diam-diam semua orang terkejut. Tak mereka sangka bahwa wakil ketua Cin-ling-pai demikian lihainya sehingga muridnya saja mampu mengimbangi tenaga tokoh tingkat dua dari Kun-lun-pai!

"Ciok Gun, jangan kurang ajar!" Tiba-tiba Gouw Kian Sun tidak dapat menahan dirinya lagi dan dia meloncat ke depan, Ciok Gun membalik dan kini guru dan murid itu berdiri berhadapan. Mula-mula Ciok Gun memperlihatkan sikap melawan, akan tetapi tiba-tiba saja, seperti ada yang membisikinya, dia mundur dan duduk kembali.

Gouw Kian Sun kini berdiri di tengah ruangan itu, dan dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada semua tamu. "Saya mengerti akan kemarahan cu-wi (anda sekalian). Karena tidak mungkin bagi saya untuk cepat-cepat dapat menangkap para murid yang melakukan perbuatan keji itu, biarlah saya sebagai pimpinan Cin-ping-pai yang bertanggung jawab. Nah, cu-wi majulah dan hukumlah saya, saya tidak akan melawan. Saya mewakili dan menanggung dosa semua murid Cin-ling-pai!"

Gouw Kian Sun memang sudah nekat. Nama baik Cin-ling-pai berada di ambang kehancuran. Permusuhan dengan perguruan-perguruan besar akan meledak, dan semua keluarga Cia masih berada dalam cengkeraman Pek-lian-kauw. Dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghindarkan keluarga Cia dari malapetaka! Maka, dia pun hendak mengorbankan diri saking putus asa.

Sikapnya ini diterima salah oleh Yang Tek Tosu, Tiong Gi Cinjin dan Poa Cin An. Mereka menganggap bahwa sikap ini berarti melindungi para murid yang telah melakukan kejahatan besar. Mereka semua mengenal Cia Kong Liang sebagai ketua Cin-ling-pai yang keras dan adil, juga mengenal puteranya yang pernahmenjadi ketua Cin-ling-pai pula, yaitu Cia Hui Song yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Jelas kalau ada kedua orang itu, tidak ada murid Cin-ling-pai berani melakukan kejahatan. Akan tetapi sekarang, yang menjadi pimpinan adalah Gouw Kian Sun dan terjadilah semua kejahatan itu. Agaknya Gouw Kian Sun ini pun bukan orang baik-baik!



"Bagus, kalau murid-muridnya jahat dan keji, tentu ketuanya lebih jahat lagi dan memang pantas dihukum mati!" bentak Yang Tek Tosu. Juga Tiong Gi Cin-jin dan Poa Cin An sudah maju, siap untuk menyerang Gouw Kian Sun.

"Omitohud, harap saudara sekalian suka menahan diri, jangan menuruti nafsu amarah dan dendam." tiba-tiba Thian Hok Hwesio berseru dan bersama sutenya, Thian Khi Hwesio, dia sudah melangkah maju melerai.

Yang Tek Tosu memandang kepada dua orang hwesio itu dengan sinar mata yang masih diliputi kemarahan. "Hemm, sahabat-sahabat dari siauw-lim-pai mempunyai petunjuk yang bagaimana?" Ucapan ini bukan hanya mengandung pertanyaan, akan tetapi juga celaan mengapa dua orang hwesio yang juga mengalami penghinaan itu maju melerai.

"Omitohud, pinceng (aku) tidak menyalahkan kalau cu-wi marah-marah dan hendak menuntut balas. Akan tetapi harap diingat bahwa saat ini, para tokoh besar Cin-ling-pai, yaitu keluarga Cia, tidak ada yang berada di sini. Dan bagaimanapun juga, jelas bahwa semua kejahatan dilakukan oleh para murid Cin-ling-pai, bukan oleh Gouw Pangcu. Biarpun dia harus bertanggung jawab, akan tetapi kita harus memberi waktu kepadanya. Kita tidak bisa memaksanya untuk sekarang juga melunasi hutang itu. Apalagi kita sebagai tamu harus ingat bahwa Gouw Pangcu menghadapi hari pernikahannya besok. Sungguh tidak tepat kalau kita harus mengeruhkan tempat ini dengan pembalasan dendam. Urusan ini dapat diselesaikan kapan pun juga. Maka, sebaiknya kalau kita memberi waktu kepada Gouw Pangcu untuk menangkapi murid-muridnya yang berdosa selama satu bulan. Biarlah dia melaksanakan pernikahannya dulu dan mengerahkan murid-muridnya untuk menagkapi mereka yang berdosa. Sebulan lagi, tanggal satu bulan depan , kita datang ke sini untuk minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu. Pinceng harap cu-wi setuju dengan usul pinceng ini, karena pinceng percaya bahwacu-wi adalah orang-orang bijaksana. Bagaimanapun juga Gouw-pangcu tidak akan dapat lari dari kita, bukan?"

Tiong Gi Cinjin, Poa Cin An, Yang Tek Tosu dan kawan-kawan mereka saling pandang, berbisik dan akhirnya mereka semua terpaksa menyetujui usul itu. Kalau mereka dapat membunuh Gouw Pangcu sekali pun, hal ini belum berarti membalaskan kematian murid dan puteri mereka. Dan memang semua peristiwa ini terjadi di luar tahu sang ketua, maka tentu membutuhkan waktu untuk membongkarnya dan menangkap yang bersalah! Selam itu mereka juga harus mengurus jenazah Poa Liu In dan Gu Kay Ek.

"Baik, sebulan lagi kami balik ke sini!” kata Tiong Gi Cinjin yang mengajak murid-murid untuk meninggalkan tempat itu.

"Gouw Pangcu, sebulan lagi aku datang menerima pembunuh puteriku!" kata pula Poa Cin An yang juga mengajak murid-murld Go-bi-pai yang lain untuk pergi.

"Kami pun akan kembali sebulan lagi. .Mari kita pergi!" kata Yang Tek Tosu kepada murid keponakannya. Kini tinggal dua orang hwesio itu yang berada di situ. Gouw Kian Sun yang masih berdiri seperti patung, kini menghadapi dua orang hwesio itu. Dia memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas bantuan ji-wi Lo-suhu sehingga saya masih hidup sampai sekarang. "

"Omitohud, tidak ada pertolongan, karena sebulan lagi Pangcu harus menghadapi mereka, juga kami sebulan lagi akan datang. Kalau benar Cin-ling-pai menyeleweng, kami harus menentangnya, dan kami ingin bertemu dengan keluarga Cia untuk minta penjelasan." Dua orang hwesio itu juga meninggalkan tempat itu dan pada hari itu juga, rombongan dari empat perguruan besar ini meninggalkan Cin-ling-pai, membawa jenazah murid masing-masing.

***

Gouw Kian Sun menghadapi Su Bi Hwa di dalam kamar itu dengan muka merah dan mata melotot karena marahnya. Mereka hanya berdua saja dan Bi Hwa menghadapi Kian Sun dengan senyum dan kerling yang genit sekali. Kian Sun melotot dengan marah dan menudingkan telunjuknya ke arah Bi Hwa.

"Moli, kenapa kau lakukan ini semua? Kenapa?”

Bi Hwa mendekat dan menyentuh lengan pria itu dengan gaya yang manja dan genit. "Suamiku yang baik, apa yang telah kulakukan? Ingat, besok kita menikah, jangan kau marah-marah, sayangku."

"Tak usah berpura-pura. Aku tahu engkaulah yang telah mendatangkan malapetaka itu, engkau yang menyuruh orang-orangmu memperkosa dan membunuh, dan mengaku sebagai murid-murid Cin-ling-pai! Para murid Cin-ling-pai yang aseli tidak akan sudi melakukan perbuatan terkutuk itu!”

"Gouw Kian Sun, ingat bahwa engkau akan mentaati semua perintahku kalau kau ingin melihat keluarga Cia selamat. Dan kami pun tidak mengganggu Cin-ling-pai, kenapa engkau ribut-ribut?" Kini Bi Hwa bersikap dingin dan mengancam.

"Akan tetapi engkau telah melakukan hal yang amat merusak! Engkau menjerumuskan Cin-ling-pai sehingga akan dimusuhi oleh banyak pihak. Nama baik Cin-ling-pai akan tercemar!"

Wanita itu tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan putih. "Hi-hik, suamiku yang gagah. Kenapa takut? Ada kami di sini!" ,

"Tidak! Tidak! Kaubunuh saja aku, Moli. Aku sudah tidak tahan lagi!"

"Hemm, tidak usah banyak tingkah lagi, Kian Sun. Keluarga Cia yang kami bunuh kalau kau bertingkah, bukan engkau. Engkau akan menjadi suamiku, ingat?”

"Aku tidak sudi menikah, biar kau paksa dan kau bunuh pun, aku tidak sudi menikah denganmu!"



"Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan pipi Kian Sun sudah ditamparnya, membuat wakil ketua Cin-ling-pai yang tidak menduga-duga itu kena ditampar dan dia pun terhuyung ke belakang.

"Hemm, Gouw Kian Sun. Ingat, kau sudah menyebar undangan kepada semua tokoh persilatan. Kalau engkau batalkan pernikahan kita, bukankah engkau sendiri yang akan mencemarkan namamu dan nama Cin-Iing-pai, sehingga Cin-ling-pai dan pemimpinnya akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan dunia persilatan?" Wanita itu tertawa dan bagi Kian Sun, dia melihat sebuah wajah yang mengerikan, seperti wajah iblis sendiri. Padahal dalam keadaan biasa, atau terlihat oleh mata umum, Su Bi Hwa adalah seorang wanita yang cantik dan memiliki daya tarik yang besar dan kuat.

Mendengar ucapan itu, Kian Sun merasa tubuhnya menjadi lemas seketika dan merasa tidak berdaya. Dia pun menjatuhkan diri di atas kursi dan memandang kepada wanita itu dengan gelisah.

"Moli, engkau memang sungguh jahat seperti iblis! Karena engkau sudah mencengkeram aku, maka sebaiknya engkau katakanlah apa yang akan kau lakukan selanjutnya dan mengapa pula kaulakukan semua ini?"

"Engkau tidak perlu tahu mengapa aku melakukan semua itu, akan tetapi kau boleh mengetahui apa yang selanjutnya kami lakukan dengan harapan engkau tidak akan banyak bertingkah kalau engkau ingin melihat keluarga Cia selamat semua. Besok, pernikahan kita langsungkan dengan meriah, dan demi menjaga baik nama Cin-ling-pai, engkau harus memperlihatkan wajah gembira, tidak muram."

"Hemm ……… lalu bagaimana tanggal satu bulan depan?"

"Aha, kau takut akan kedatangan empat perguruan besar itu?"

"Tentu mereka akan mengirim wakil-wakil yang tangguh, bahkan mungkin ketua mereka sendiri yang akan muncul! Bagaimana aku akanmenghadapi mereka?"

"Haa-ha, tidak perlu takut. Ada kami yang akan menghadapi mereka." Diam-diam Kian Sun merasa girang. Iblis betina ini dan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Pek-Iian-kauw, akan menghadapi para utusan empat perguruan besar. Tentu iblis betina ini dan kawan-kawannya akan dapat dibunuh!

"Kalau begitu bagus sekali! Aku mengharapkan bantuanmu untuk menghadapi mereka1 Moli." katanya girang. Wanita itu tersenyum mengejek.

"Hai, jangan mimpi, Kian Sun! Jangan salah sangka. Aku hendak menghadapi mereka sebagai isterimu, ingat?"

Wajah yang tadinya gembira dan penuh harapan, menjadi muram lagi. Kalau iblis betina ini menentang para utusan itu sebagai isterinya, berarti makin celaka lagi bagi nama baik Cin-ling-pai!

"Sudahlah! Biar aku mati di tangan mereka!" katanya menarik napas panjang.

"Jangan cemas, suamiku sayang. Serahkan saja kepada isterimu ini dan semua akan berjalan dengan beres." Kata pula Bi Hwa dan wanita itu menjatuhkan diri di atas pangkuan Kian Sun. Pria ini tidak mampu berbuat apa-apa. Selain dia tahu bahwa dia tidak bisa mengalahkan wanita ini dengan mudah, juga andaikata dia mampu membunuhnya, di sana masih ada tiga orang guru wanita ini yang lebih lihai lagi, yang setiap waktu akan dapat membunuh seluruh keluarga Cia yang menjadi tawanan mereka. Dia pun lalu menyerah saja, menyerahkan segalanya kepada Tuhah. Bagaimanapun juga, dia hanya mengharapkan agar keluarga gurunya semua selamat, juga agar nama baik Cin-ling-pai tidak sampai tercemar. Untuk semua itu, kalau perlu dia siap mengorbankan nyawanya sendiri.

Pada keesokan hariliya, pernikahan itu dirayakan dengan, meriah dan semua tamu memuji kecantikan pengantin wanita yang mereka memberi selamat kepada Gouw Pangcu yang dikatakan beruntung sekali, dalam usianya yang sudah empat puluh dua tahun mendapatkan jodoh seorang gadis yang masih muda dan amat cantik itu! Tak seorang pun di antara para tamu, tentu saja bukan tamu yang menjadi kaki tangan dan bahkan orang-orang Pek-lian-kauw yang menyamar sebagai tamu, tahu bahwa di balik wajah cantik jelita dan bentuk tubuh yang menggairahkan itu bersembunyi iblis sendiri yang amat keji, jahat dan kejam!

Setelah Bi Hwa secara sah menjadi isterinya, terjadilah perubahan besar-besaran di Cin-ling-pai! Belasan orang murid Cin-ling-pai lenyap secara aneh tanpa meninggalkan bekas, dan kini Bi Hwa menerima lebih dari dua puluh orang anggauta Cin-Ung-pai baru yang bukan lain hanyalah anak buah Pek-lian-kauw yang menyelundup dan diterima sebagai anggauta baru Cin-ling-pai.

Tentu saja Kian Sun menjadi gelisah bukan main. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan murid-murid Cin-ling-pai yang lenyap, dan yang lenyap itu adalah murid-murid Cin-ling-pai pilihan yang setia kepada Cin-ling-pai! Dia merasa dikepung musuh, tidak mempunyai seorang pun yang dapat diajak bicara dan dimintai bantuan. Bahkan Bi Hwa mengancam jika dia menghubungi seorang murid Cin-ling-pai dan bicara mencurigakan, maka murid itu akan dibunuh. Maka, Kian Sun sama sekaLi tidak berdaya. Ciok Gun yang menjadi seperti mayat hidup itu oleh Bi Hwa ditugaskan untuk memata-matainya, sehingga setiap gerak-geriknya, kalau tidak bersama Bi Hwa, tentu di amati oleh Ciok Gun yang kini menjadi orang yang sama sekali tidak dapat dia percaya itu.

Kalau dia menuntut agar keluarga Cia dibebaskan seperti yang dijanjikan Bi Hwa, selalu wanita itu mengatakan urusannya di Cin-ling-pai belum selesai.


“Tunggu sampai tanggal satu bulan depan. Sesudah itu, tentu keluarga gurumu itu akan kami bebaskan," kata Su Bi Hwa. Akan tetapi wanita ini tidak menolak kalau Kin Sun minta agar dia membuktikan dan menyaksikan sendiri bahwa keluarga gurunya masih selamat. Melalui lubang, mengintai dan melihat dengan hati lega bahwa kakek Cia Kong Liang, suhehgnya Cia Hui Song dan isteri suhengnya, Ceng Sui Cin, dan putera mereka, Cia Kui Bu, memang dalam keadaan sehat. Bahkan tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu nampak bersiulian, mungkin untuk mengumpulkan tenaga dan menjaga kesehatan tubuh mereka.

Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan tanggal satu yang ditunggu-tunggu itu pun tibalah! Sejak tiga hari yang lalu Kian Sun sudah amat gelisah, tidak enak makan tidak nyenyak tidur, menanti hari itu dengan hati tegang. Dia bukan tegang akan ancarnan terhadap dirinya, melainkan merasa tegang akan nasib keluarga Cia dan juga nasib nama dan kehormatan Cin-ling-pai. Dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan kecuali mentaati perintah Bi Hwa yang kini ,telah menjadi “isterinya”.

Pagi-pagi sekali Bi Hwa telah menyuruh Kian Sun memanggil semua anggauta Cin-ling-pai hadir dan Kian Sun tahu banwa di antara mereka, sedikitnya ada dua puluh orang anggauta baru yang tentu saja merupakan anak buah Bi Hwa yang diselundupkan! Dia pun seperti telah dipesan oleh Bi Hwa yang saat itu juga berdiri di samping kanannya sedangkan Ciok Gun berdiri di samping kirinya, memesan kepada semua anak buah untuk bersiap-siap dengan senjata mereka dan ikut menyambut tamu.

"Akan tetapi, kalian dilarang untuk bergerak, kecuali kalau ada perintah dariku!" Kian Sun menutup pesannya dan penutup pesannya itu keluar dari hatinya sendiri, bukan seperti yang dikehendaki Bi Hwa. Akan tetapi wanita itu hanya mengangguk-angguk saja.

Sebelum matahari nampak, para murid Cin-ling-pai sudah siap siaga, dengan senjata tergantung di pinggang, mereka membentuk barisan yang berjajar dari pintu gerbang sampai ke depan bangunan induk yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Sisanya membentuk barisan di belakang sang wakil ketua.

Gouw Kian Sun yang selalu didampingi isterinya, Su Bi Hwa, dan pembantu utamanya, Ciok Gun, sudah duduk di ruangan depan, menanti datangnya tamu. Tidak lama mereka menanti. Rombongan tamu-tamu itu datang. Dan kiranya mereka Itu seperti sudah berjanji lebih dahulu, datang bersama-sama. Rombongan Go-bi-pai yang kini terdiri dari sepuluh orang, tetap dipimin oleh Poa Cin An, rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang dipimpin oleh Tong Gi Cin-jin, rombongan Kun-lun-pai terdiri dari lima orang tosu dipimpin oleh Yang Tek Tosu, dan rombongan dari Siauw-lim-pai, masih tetap dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio. Mereka memang merupakan rombongan-rombongan tersendiri dan berkelompok, namun mereka datang pada waktu yang sama dan berbondong mereka memasuki pintu gerbang yang di kanan kirinya terjaga oleh murid-murid Cin-ling-pai yang berdiri di kanan kiri seperti menyambut datangnya tamu agung.

Setelah rombongan tiba di pelataran yang luas dari rumah induk Cin-ling-pai, mereka berhenti dan dari dalam keluarlah Gouw Kian Sun yang didampingi Su Bi Hwa di sebelah kanannya dan Ciok Gun di sebelah kirihya. Wajah Kian Sun nampak agak pucat dan alisnya berkerut, akan tetapi isterinya Su Bi Hwa, tersenyum dan wajahnya cerah dan nampak cantik sekali. Di sebelah kiri wakil ketua itu, Ciok Gun berdiri seperti patung yang wajahnya dingin.

Gouw Kian Sun berhenti dianak tangga teratas, lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada semua tamu yang berkelompok, berdiri dengan tegak di pelataran itu.

"Selamat datang, cu-wi telah datang memenuhi janji dan terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya selama satu bulan ……”

“Gouw Pangcu, cukup tak perlu berpanjang lebar!" bentak Poa Cin An tak sabar. "Kami telah memberi waktu satu bulan. Cepat keluarkan jahanam she Lui itu untuk kupakai bersembahyang depan makam puteriku!"

"Pinto juga minta agar para pembunuh murid pinto diserahkan kepada pinto!” kata Tiong Gi Cinjin.

"Benar! Mereka yang mengeroyok dan melukai murid Kun-lun-pai juga harus cepat diserahkan sekarang juga!” kata pula Yang Tek Tosu penuh semangat.

"Omitohud! Gouw Pangcu, apakah para murid Cin-ling-pai. yang telah melakukan penghinaan terhadap pinceng berdua sudah diberi hukuman?" tanya pula Thian Hok Hwesio.

Kembali Kian Sun mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Wajahnya semakin muram, akan tetapi tidak ada jalan lain baginya kecuali bersikap dan bicara seperti yang telah dipesankan Bi Hwa kepadanya.

"Harap cu-wi sudi memaafkan saya. Kalau ada murid Cin-ling-pai yarig bersalah, dia pasti dihukum. Pelaksanaan hukum itu hanya kami yang berhak melakukan, dan urusan para murid Cin-ling-pai adalah urusan dalam kami sendiri. Harap cu-wi tidak mencampuri dan percayalah kepada kami. Kami pasti akan menghukum murid-murid kami yang bersalah."

"Omongan apa itu? Keluarkan mereka yang bersalah! Setidaknya, kami ingin melihat dia yang membunuh murid pinto!" kata Tiong Gi Cinjin yang galak.

"Aku pun ingin melihat macamnya dia yang telah menyebabkan kematian anakku!" Poa Cin An juga berseru marah.

"Keluarkan mereka yang bersalah!" Yang Tek Tosu juga berkata dan anggauta semua rombongan mengacung-acungkan tangan menuntut agar para murid Cin-ling-pai yang bersalah dikeluarkan di situ.



"Omitohud!" Thian Hok Hwesio berseru lantang, namun amat lembut. “Apakah Gouw Pangcu masih hendak melindungi mereka yang bersalah walaupun murid sendiri?"

Kini Bi Hwa yang melihat "suaminya" tidak mampu bicara lagi, mengangkat kedua tangan depan dada lalu bersuara nyaring karena ia menggunakan tenaga khi-kang. "Cu-wi adalah orang-orang gagah di dunia persilatan, mengapa hendak menggunakan tekanan kepada suamiku yang tidak berdaya? Cu-wi tentu tahu bahwa suamiku hanyalah seorang wakil ketua. Sebaiknya cu-wi menanti sampai ketua Cin-ling-pai datang, yaitu keluarga Cia yang sejak turun-temurun telah menjadi ketua Cin-ling-pai. Harap jangan mendesak suamiku!" .

Sejenak semua orang diam karena dari suaranya saja mereka tahu bahwa isteri Gouw Pangcu ini juga pandai ilmu silat. Dan ucapannya itu agaknya masuk di akal dan beralasan. Juga para murid Cin-ling-pai yang aseli menganggap bahwa isteri Gouw Pangcu itu ternyata setia pula terhadap Cin-ling-pai!

Akan tetapi, seperti sudah diduga sebelumnya oleh Bi Hwa yang cerdik, para pemimpin rombongan itu, terutama rombongan Go-bi-pai dan Bu-tong-pai yang kematian murid mereka, tidak mau menerima alasan itu begitu saja.

"Kami sudah memberi waktu sebulan! Pembunuh anakku harus diserahkan sekarang juga!" teriak Poa Cin An.

"Benar, kami pun menuntut agar pembunuh murid pinto diseret ke sini sekarang. Yang bertanggung jawab adalah Gouw Pangcu, bukan para tokoh pimpinan Cin-ling-pai yang waktu itu tidak berada di sini!"

Diam-diam Bi Hwa girang sekali karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. "Hemm, cu-wi terlalu mendesak. Sebagai wakil ketua, suamiku tentu saja tidak berani mendahului ketua dan pelaksanaan hukum terhadap para murid menanti sampai ketua datang. Kalau suamiku tidak dapat menyerahkan murid-murid Cin-ling-pai, cu-wi hendak melakukan tindakan apakah?"

Pancingan ini segera mendapat sambutan, mula-mula dari Poa Cin An sendiri. "Aku menuntut agar pembunuh anakku diseret ke sini dan diserahkan kepadaku. Kalau tidak, terpaksa kami akan membunuh semua murid Cin-ling-pai karena pembunuh anakku tentu seorang di antara mereka!"

“Benar sekali! Kami pun akan bertindak, membasmi Cin-ling-pai yang menyeleweng!"

Tadi Kian Sun sudah memesan kepada para murid Cin-ling-pai agar jangan bergerak sebelum dia perintahkan, akan tetapi tiba-tiba saja, belasan orang murid Cin-ling-pai sudah menghunus pedang dan mereka berlompatan ke depan. Melihat ini, Kian Sun terkejut sekali dan beberapa kali dia membentak agar para murid itu mundur. Akan tetapi, mereka tidak mau mundur bahkan maju dan bersikap hendak menyerang rombongan para tamu yang tentu saja menjadi marah dan mereka pun siap untuk melawan.

Bi Hwa tersenyum. Inilah yang ia kehendaki dan memang ia yang memesan kepada anak buahnya yang diselundupkan menjadi anggauta Cin-ling-pai untuk mendahului menyerang para tamu. Kalau nanti terjadi pertempuran, dan akibatnya banyak murid Cin-ling-pai tentu tewas, bahkan Kian Sun juga akan ia usahakan supaya tewas, baru ia akan membebaskan keluarga Cia! Dan kalau melihat betapa Cin-ling-pai dibasmi oleh orang-orang dari empat perguruan besar itu, pasti keluarga Cia tidak akan mau sudah begitu saja dan akan terjadilah permusuhan yang semakin hebat. Inilah yang dikendaki para pimpinan Pek-lian-kauw. Sudah terlalu sering para pendekar Cin-ling-pai, juga keluarga Cia, membikin rugi Pek-lian-kauw di mana-mana, menentang dan menjatuhkan banyak tokoh Pek-lian-kauw.

Melihat para murid Cin-ling-pai maju dan bersikap menantang, para murid rombongan tamu utu pun berlompatan maju dan terjadilah perkelahian yang hebat.

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat disusul seruan nyaring melengking, "Tahan semua senjata! Aku ketua Cin-ling-pai datang dan dengarkan dulu kata-kataku!"

Melihat seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun muncul begitu tiba-tiba dengan suara yang amat nyaring, semua orang terkejut. Rombongan tamu yang tadinya sudah mulai bertempur, ketika mendengar teriakan ini, berlompatan ke belakang menghehtikan serangan mereka. Akan tetapi, belasan orang murid Cin-ling-pai masih belum mau berhenti bergerak, bahkan karena gadis itu menghalangi mereka, kini lima orang di antara mereka menggerakkan pedang menyerang gadis itu!

Gadis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong. Melihat lima orang yang nampaknya seperti orang-orang Cin-ling-pai menyerangnya dengan pedang, ia menjadi kaget, heran dan juga marah sekali.

Gadis itu bergerak cepat laksana burung walet, tubuhnya berkelebatan di antara sinar pedang lima orang itu dan begitu kaki tangannya bergerak cepat, lima orang itu berpelantingan ke kanan kiri dan mengaduh-aduh sambil meringis kesakitan dan pedang mereka pun terlempar. Kui Hong melihat betapa masih ada belasan orang yang agaknya hendak menyerangnya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita.

"Hentikan perkelahian!" Dan belasan orang itu pun berloncatan mundur, berbaur dengan para murid Cin-ling-pai yang lain. Kui Hong cepat menoleh dan melihat bahwa yang membentak tadi adalah seorang wanita cantik yang berdiri di sebelah kanan susioknya atau juga wakilnya, yaitu Gouw Kian Sun.

Kian Sun cepat memberi hormat kepada murid keponakan itu, karena biarpun tingkatnya lebih muda, Kui Hong adalah ketua Cin-ling-pai. "Pangcu baru pulang?" katanya dan suaranya menggetar karena ada keharuan, kegembiraan dan juga kegelisahan terkandung dalam suaranya itu.

"Susiok, apa artinya semua ini? Siapa wanita itu?"Kui Hong menuding kepada Bi Hwa yang tersenyum manis.

“Ia... ia ini .... adalah .... isteriku pangcu."

"Isterimu ..?? Hemm, dan siapa pula orang-orang yang menyerangku ini?"

"Mereka .. para murid Cin-ling-pai ...”

Kui Hong melangkah maju dan lima orang itu yang melihat betapa kini para murid Cin-ling-pai menjatuhkan diri berlutut ke arah gadis itu dan menyebut "pangcu", juga berlutut dan mereka ketakutan melihat ketua itu melangkah mendekati mereka.

"Murid-murid Cin-ling-pai? Kenapa aku tidak pernah melihat mereka? Dan kalau murid-murid Cin-ling-pai, mengapa menyerang aku, ketua mereka sendiri? Apakah kalian sudah gila semua?" Kui Hong marah bukan main.

"Maafkan mereka, Pangcu. Mereka adalah anggauta-anggauta baru, maka belum mengenal Pangcu." Bi Hwa sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Kui Hong. Akan tetapi, dengan alis berkerut Kui Hong tidak menanggapinya, sebaliknya gadis perkasa ini meloncat ke atas serambi dan berdiri di depan Kian Sun, lalu membalikkan ttibuh membelakangi wakilnya itu, menghadapi rombongan para tamu. Ia agak terkejut ketika mengenal para tokoh itu. Dengan terheran-heran ia memandang kepada mereka, lalu wajahnya yang tadinya muram itu menjadi cerah, dan ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada mereka.

"Aih, kiranya ji-wi Lo-suhu (kedua guru tua) Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio
dari Siauw-lim-pai, To-tiang (sebutan pendeta To) Ting Gi Cin-jin dari Bu-tong-pai, Totiang Yang Tek Tosu dari Kun-lun-pai dan juga Lo-eng-hiong (orang tua gagah) Poa Cin An dari Go-bi-pai yang hadir! Selamat bertemu dan selamat datang, cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah) dan maafkan Cin-ling-pai yang telah bersikap tidak selayaknya terhadap cu-wi. Sebenarnya, apakah yang terjadi? Nampaknya cu-wi marah dan menuntut sesuatu!"

"Omitohud ………! Cia-lihiap (pendekar wanita Cia), sudah lama pinceng mengenal keluarga Cia sebagai pimpinan Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan berwatak pendekar. Akan tetapi, apa yang terjadi sebulan yang lalu sungguh mengejutkan hati pinceng." kata Thian Hok Hwesio.

"Losuhu, apa yang telah terjadi?"

"Omitohud, tanyakan saja kepada mereka dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai. Pinceng berdua sesungguhnya lebih sebagai saksi saja karena yang kami alami tidaklah ada artinya."

"Poa Lo-enghiong, apakah yang telah terjadi dengan Go-bi-pai di sini sebulan yang lalu?"

Poa Cin An mengepal tinju. "Aihhhh …….. sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Sebulan yang lalu kami datang ke sini dengan rombongan sebagai tamu atas undangan Gouw Pangcu yang akan melangsungkan pernikahannya. Akan tetapi pada pagi hari itu, sehari sebelum hari pernikahan dilangsungkan, terjadi sesuatu yang merupakan aib dan juga menghina kam, aib dan penghinaan yang hanya dapat ditebus oleh darah pelakunya!"

Kui Hong terkejut. "Lo-enghiong, katakanlah, apa yang telah terjadi?”

Poa Cin An menarik napas panjang. "Puteriku yang bernama Poa Liu In, telah ditangkap seorang murid Cin-ling-pai she Lui, dibawa ke pondok dan diperkosa! Lui In lalu membunuh diri setelah menceritakan malapetaka itu kepadaku. Nah, katakan, nona ……. eh, Pangcu, tidak pantaskah kalau aku menuntut agar jahanam she Lui itu diserahkan kepada kami?”

Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main. Kalau bukan seorang tokoh Go-bi-pai yang dikenalnya sebagai seorang yang gagah perkasa itu yang bicara, tentu ia akan marah dan tidak percaya sama sekali, menganggap ucapan itu sebagai fitnah keji. Sejenak ia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking terkejut dan herannya.

"Cia-lihiap, bukan kekejian itu saja yang dilakukan murid Cin-ling-pai, akan tetapi juga murid pinto yang bernama Gu Kay Ek telah mereka keroyok sehingga tewas ketika berada di sini sebagai anggauta rombongan kami, sebagai tamu yang seharusnya disambut dengan baik. Kami datang memenuhi undangan Gouw Pangcu, mengingat akan nama besar keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Siapa kira, baru sehari tiba di sini, kami kehilangan seorang anggauta kami yang dibunuh oleh murid-murid Cin-ling-pai! Dan sekarang kami datang menuntut Cin-ling-pai menyerahkan pembunuh-pembunuh itu setalah kami memberi waktu satu bulan kepada Gouw Pangcu."

Kui Hong kini menjadi bingung. Murid-murid Cin-ling-pai memperkosa seorang tamu wanita dan mengeroyok sampai mati seorang tamu lain? Sungguh tak masuk di akal! Selamanya, sejak ia lahir di situ, sampai sekarang ia berusia dua puluh satu tahun, belum pernah ia mendengar ada murid Cin-ling-pai berani melakukan kejahatan seperti itu! Makin besar keinginan tahunya dan ia pun menahan desakan dalam hati untuk minta keterangan dari susioknya, Gouw Kian Sun yang bertanggung jawab selama kepergiannya. Ia harus mendengar keterangan semua pihak selengkapnya.

"Dan apa yang terjadi dengan rombongan Kun-lun-pai, Totiang?" tanyanya sambil memandang kepada Yang Tek Tosu.

"Siancai …….! Kami selalu menganggap Cin-ling-pai sebuah perguruan yang dipimpin oleh orang-orang bijaksana. Akan tetapi sekarang ternyata telah berubah sama sekali pandangan kami. Dua orang murid Kun-lun-pai ketika menjadi tamu di sini, dikeroyok oleh banyak murid Cin-ling-pai sehingga luka-luka."

"Dan bagaimana dengan rombongan Siauw-lim-pai, Lo-suhu?" tanya Kui Hong kepada dua orang hwesio itu.



"Omitohud, sebetulnya, apa yang menimpa pinceng berdua tidak perlu pinceng ributkan. Akan tetapi karena Li-hiap ingin tahu, baiklah pinceng ceritakan apa yang telah terjadi sebulan yang lalu ketika pinceng bersama sute Thian Khi Hwesio menjadi tamu di sini. Malam pertama kami berada di sini, kami disu- guhi hidangan masakan daging dan arak, bahkan yang membawa hidangan adalah wanita-wanita yang genit dan tidak sopan. Biarpun urusan kecil, , namun pinceng yakin bahwa kalau Lihiap berada di sini, hal yang aneh itu tidak akan mungkin terjadi."

Mendengar ini bagaikan akan meledak rasanya dada Kui Hong. Ia membalik dan kini ia memandang kepada Gouw Kian Sun yang menundukkan mukanya yang pucat.

"Gouw Susiok, engkau sebagai wakilku, engkau bertanggung jawab selagi aku pergi. Nah, katakan, benarkah semua laporan para lo-cian-pwe tadi?"

Kian Sun mengangkat mukanya yang pucat. Ingin ia berteriak bahwa semua itu dilakukan oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang kini menguasai Cin-ling-pai. Akan tetapi dia tidak berani melakukan hal ini, tidak mampu, karena dia harus menjaga keselamatan keluarga Cia! Maka dia begitu bingung sekali.

Melihat suaminya menjadi bingung dan tidak mempu menjawab, Bi Hwa lalu memegang lengannya dan mengguncangnya. “Sun-ko, mengapa engkau diam saja? Koko, ceritakanlah saja kepada pangcu apa yang selama sebuan ini membuat engkau bingung karena engkau tidak berhasil menangkap …….”

“Diam!" Kui Hong membentak. Dalam keadaan seperti ini, ketika Cin-ling-pai berada
dalam bahaya, ia dapat bersikap keras terhadap siapa pun juga. “Susiok, jangan seperti anak kecil! Ceritakan apa yang terjadi!" .

Dibentak seperti itu, Bi Hwa mundur dan nampak gemetar, walaupun di dalam hatinya ia marah sekali kepada Kui Hong. Akan tetapi wanita cerdik ini tahu bahwa Kui Hong adalah seorang yang keras hati dan lihai bukan main. Menghadapi lawan seperti ini, harus menggunakan muslihat dan kelembutan, tidak boleh dengan kekerasan.

“Maafkan saya, saya hanya ingin membantu suami ……" katanya lirih.

“Pangcu, saya memang telah menyaksikan sendiri dan semua laporan itu memang benar. Akan tetapi, selama sebulan ini saya telah gagal menemukan mereka yang bertanggung jawab, gagal menemukan mereka yang telah melakukan semua kejahatan itu."

Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam penuh selidik ke arah muka Kian Sun yang ditundukkan. Tidak biasanya susioknya ini bersikap selemah ini. Ia mengerling ke arah Bi Hwa, wanita cantik yang menjadi isteri susioknya. Wanita itu memandang kepada suaminya dengan pandang mata penuh kekhawatiran. Kemudian, pandang matanya menatap wajah Ciok Gun dan ia pun teringat bahwa Ciok Gun merupakan murid dan pembantu utama Gouw Kian Sun, yang boleh dipercaya akan kesetiaannya.

"Suheng Ciok Gun!" Tiba-tiba ia membentak. “Engkau menjadi pembantu utama susiok. Apa saja yang kau kerjakan? Apakah engkau tidak ikut melakukan penyelidikan dan sama sekali tidak menemukan tanda-tanda siapa kiranya yang melakukan perbuatan keji itu?"

Ciok Gun mengangkat muka memandang Kui Hong dan gadis ini diam-diam terkejut bukan main. Wajah itu! Ia mengenal Ciok Gun dengan baik, karena selama ini Ciok Gun amat sayang kepadanya. Akan tetapi wajah ini! Memang wajah Ciok Gun, akan tetapi wajah itu demikian dingin, seperti topeng saja, dan dia tidak menemukan lagi keramahan dan pandang mata sayang mata wajah itu.

"Maaf, Pancu. Saya pun tidak menemukan apa-apa." jawab Ciok Gun dengan suara kaku dan dingin. Ini juga bukan suara Ciok Gun yang dahulu! Diam-diam Kui Hong bergidik ngeri. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu yang belum dapat ia duga apa, akan tetapi sesuatu yang membuat sikap Gouw Kian Sun dan Ciok Gun seperti itu! Lalu ia teringat kepada kakeknya, karena ibu dan ayahnya tentu masih berada di pulau Teratai Merah.

“Gouw susiok, apa kata kong-kong menghadapi semua peristiwa ini?"

Mendengar pertanyaan ini, wajah Kian Sun menjadi semakin pucat. Dia mengangkat muka memandang kepada gadis itu dan menggeleng kepalanya. "Suhu tidak ada ……. beliau …… beliau meninggalkan Cin-ling-pai dan hanya mengatakan bahwa beliau ingin berjalan-jalan …… eh, merantau ………”

Berdebar rasa jantung Kui Hong. Kakeknya itu biasanya hanya berdiam saja di kamar, seperti pertapa. Kenapa mendadak pergi meninggalkan Cin-ling-pai yang sedang kosong? Sungguh amat mencurigakan. Akan tetapi, saat ini para tamu sedang menanti dengan tidak sabar, maka ia pun cepat menghadap ke arah para tamu.

“Cu-wi sudah mendengar sendiri keterangan wakilku. Ada sesuatu di balik semua ini. Aku berjanji kepada cu-wi untuk membongkar rahasia ini dan menangkap semua pelaku kejahatan itu dan menyerahkan kepada cu-wi. Kuharap cu-wi suka melihat mukaku dan suka menanti selama tiga hari. Dalam waktu tiga hari tiga malam, aku akan melakukan penyelidikan dan setelah tiga hari kemudian, silakan cu-wi datang lagi ke sini!"

Para pimpinan rombongan itu nampak tidak puas. Mereka sudah memberi waktu satu bulan dan sekarang harus menanti lagi? Agaknya, Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai yang selama, ini menjadi sahabat baik keluarga Cia, melihat hal ini dan dia pun bertanya dengan suara lembut namun terdengar oleh semua orang.

"Cia Lihiap, pinceng ingin sekali tahu. Bagaimana kalau lewat tiga hari Lihiap juga tidak berhasil menangkap penjahat-penjahat itu, seperti halnya Gouw Pangcu?" Semua orang setuju sekali dengan pertanyaan itu dan mereka mengangguk-angguk dan semua orang menanti jawaban gadis itu.



"Losuhu tentu sudah mengenal akan watak kami sebagai pimpinan Cin-ling-pair sejak turun-temurun, kami adalah orang-orang yang bertanggung jawab! Kalau dalam waktu tiga hari aku masih juga tidak berhasil menangkap mereka yang bersalah, maka wakil ketua Cin-ling-pai Gouw Kian Sun dan pembantu utamanya, Ciok Gun, harus bertanggung jawab dan aku akan menyerahkan mereka kepada cu-wi untuk diadili!"

Semua orang saling pandang dan akhirnya mereka setuju. Dengan wajah masih penasaran empat rombongan perguruan besar itu meninggalkan Cin-ling-pai dan menuruni puncak itu. Mereka tidak mau lagi tinggal di Cin-ling-pai, tidak mau bersahabat dengan Cin-ling-pai sebelum urusan itu menjadi terang dan yang salah menerima hukuman yang adil.

"Pangcu baru datang sudah rnenghadapi urusan yang menjengkelkan. Harap Pangcu beristirahat dan akan lebih baik kalau kita bicara saja di dalam. Bagaimana pendapat Pancu?” kata Su Bi Hwa dengan ramah. Kui Hog mengangguk dan melangkah masuk, diam-diam mencatat bahwa wanita cantik ini mempunyai dua kemungkian. Memang ia pandai membawa diri dan mencintai suaminya, atau ia seorang yang cerdik dan berbahaya sekali, yang mempunyai rahasia di balik keramahannya. Kui Hong merasa yakin bahwa semua rahasia itu agaknya tersembunyi di dalam hati tiga orang ini. Gouw Kian Sun, Ciok Gun, dan isteri Gouw Kian Sun ini. Entah rahasia apa, ia belum bisa menduganya. Akan tetapi ia mengambil keputusan bahwa dalam tiga hari ini ia harus dapat membongkarnya, karena agaknya rahasia tentang peristiwa aneh yang terjadi di Cin-ling-pai, yaitu dilaporkannya kejahatan yang katanya dilakukan oleh para murid Cin-ling-pai, berada di tahgan tiga orang ini!

Mereka masuk ke dalam dan dengan penuh keramahan Su Bi Hwa mempersilakan Kui Hong memasuki kamarnya yang selama ini ia rawat baik-baik. Selama sebulan tinggal di situ, memang Bi Hwa merawat rumah itu dengan baik sehingga semua perabot rumah nampak bersih, lantaipun bersih dan semua teratur rapi. Akan tetapi hanya sebentar saja Kui Hong memasuki kamarnya, hanya untuk menyimpan buntalan pakaiannya dan untuk berganti pakaian. Setelah itu, ia termenung. Sejak ia tiba di kaki Pegunungan Cin-ling-san, hatinya sudah merasa tidak enak dan hal ini ia katakan kepada Hay Hay. Cia Kui Hong, gadis perkasa itu, biarpun menjadi ketua Cin-ling-pai, namun pekerjaan itu tidak disukainya. Ia suka merantau dan bertualang. Petualangannya yang terakhir adalah ketika bersama para pendekar ia membantu pemerintah menyerbu perkumpulan Ho-han-pang (Perkumpulan Patriot) yang sesungguhnya hanya merupakan perkumpulan yang dipimpin oleh orang-orang sesat, diketuai oleh Tang Bun An yang terkenal dengan julukan Ang-hoa-cu (Si Kumbang Merah) sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Dalam perjuangan ini ia bertemu lagi dengan seorang pendekar yang diam-diam memang telah merebut kasih di hatinya, yaitu Tang Hay. Sebetulnya, pendekar ini adalah putera kandung mendiang Ang-hong-cu Tang Bun An sendiri, namun berbeda dengan Si Kumbang Merah, Tang Hay atau lebih dikenal dengan nama Hay Hay berwatak pendekar. Hanya ada satu hal yang kadang membuat hati Kui Hong panas dan cemburu, yaitu watak Hay Hay yang mata keranjang sehingga dia dijuluki orang Pendekar Mata Keranjang! Walaupun sikap ini hanya lahiriah saja, yaitu tidak pernah Hay Hay sungguh-sungguh menggauli wanita, melainkan terdorong oleh rasa sukanya kepada wanita yang cantik, namun tetap saja dia dianggap sebagai seorang laki-laki mata keranjang, dan sudah seringkali hati Kui Hong yang mencintanya menjadi panas karenanya.

Setelah berhasil membasmi gerombolan Ho-han-pang, Tang Hay dan Cia Kui Hong menemukan kenyataan bahwa mereka saling mencinta. Mereka pun saling mengaku dan keduanya merasa bahagia sekali. Itulah sebabnya mengapa kini Hay Hay melakukan perjalanan bersama Kui Hong, karena Kui Hong memang mengajaknya ke Cin-ling-pai untuk , memperkenalkan kekasihnya itu kepada ayah ibunya dan kakeknya.Dan di dalam perjalanan yang memakan waktu tidak kurang dari sebulan ini, Kui Hong mendapat kenyataan bahwa biarpun sikapnya yang mata keranjang pernah membuat kekasihnya itu dituduh menjadi pemerkosa wanita, namun sikap Hay Hay kepadanya tidak pernah melewati atau melanggar batas kesusilaan. Hal ini membuat ia merasa semakin berbahagia, dan cintanya menjadi semakin mantap.

Pada pagi hari itu, ketika mereka tiba di dusun di lereng bukit Cin-ling-pai, mereka bertemu dengan seorang gadis dusun yang ditemani ayah ibunya, sedang menuruni lereng itu. Akan tetapi, begitu melihat Kui Hong dan Hay Hay, tiga orang itu terkejut lalu lari ketakutan melalui jalan setapak itu. Bahkan gadis dusun itu sampai tersaruk-saruk saking takutnya. Tentu saja hal ini menimbulkan kecurigaan hati Kui Hong. Bersama Hay Hay ia lalu melakukan pengejaran dan hanya dengan beberapa loncatan saja dua orang muda perkasa ini dapat menyusul bahkan mereka meloncat ke depan mereka, menghadang. Begitu melihat Kui Hong dan Hay Hay berkelebat dan menghadang di depan mereka, ayah ibu dan anak itu menjadi semakin terkejut dan mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh gemetar.

"Cia Siocia (Nona Cia), maafkan kami …….ah, ampunkan kami dan jangan bunuh kami …….”

Tentu saja Kui Hong terkejut dan heran mendengar ini. Ia dikenal oleh semua penduduk dusun-dusun di sekitar Cin-ling-pai dan dipanggil Nona Cia sejak kecil. Akan tetapi orang ini yang juga mengenalnya, mengapa begini ketakutan!.

"Paman, apa kau kira aku ini seorang pembunuh?"

"Ha-ha-ha, kalian ini lucu. Nona Cia ini disuruh membunuh tikuspun tidak tega!" Hay Hay tertawa geli melihat kekasihnya dianggap pembunuh kejam.

Akan tetapi, kini tiga orang itu memandang kepadanya dan kembali laki-laki itu meratap, "Cia Siocia, ampunkanlah kami. Anak kami hanya seorang ini saja, jangan biarkan dia memperkosa anak kami ……" Kini ayah itu menuding ke arah Hay Hay dan tentu saja kini Hay Hay yang terbelalak memandang kepada mereka. Akan tetapi segera dia dapat menguasai dirinya dan kembali dia tertawa.

"Aih, jangan main-main, Paman! Apa kau kira aku ini tukang perkosa? Biarpun anakmu ini memang manis sekali, akan tetapi aku tidak pernah memperkosa wanita!” kata Hay Hay.



Kui Hong mengerutkan alisnya dan sekali ia menggerakkan tangan, dia sudah menarik lengan ayah itu sehingga bangkit berdiri dengan paksa. "Hayo ceritakan apa yang terjadi sehingga kalian bersikap begini. Kalian ini hendak pergi ke manakah dan mengapa begini ketakutan, menuduh kami pembunuh dan pemerkosa?"

Melihat sikap Kui Hong, agaknya ayah ibu dan anak itu menjadi heran. Mereka saling pandang dan sungguh aneh, setelah Kui Hong marah-marah, malah mereka kelihatan lega dan tidak begitu ketakutan lagi. “Agaknya siocia baru pulang dan tidak tahu apa yang terjadi di sini? Aih, maafkan kami, Cia Siocia. Kami hendak melarikan diri karena akhir-akhir ini terjadi banyak kejahatan di sini, terutama sekali kejahatan memperkosa dan membunuh gadis-gadis dusun. Sudah kurang lebih satu bulan kejahatan itu merajalela dan para pelakunya adalah para murid Cin-ling-pai …..”

"Heiiiiit…….. ??" Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main. Tanpa banyak bertanya lagi, ia lalu menarik tangan Hay Hay dan diajaknya lari cepat menuju ke puncak, ke perkampungan Cin-ling-pai. Setelah tiba di luar perkampungan Cin-ling-pai, mereka melihat rombongan Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai memasuki pintu gapura. Kui Hong mengajak Hay Hay untuk bersembunyi dan mengintai. Setelah melihat sikap para anggauta rombongan, ia berbisik kepada pemuda itu.

"Hay-ko, pasti terjadi hal yang luar biasa di Cin-ling-pai. Mungkin ada bahaya besar. Sabaiknya kita berpencar. Aku menyelidiki dari dalam dan engkau dari luar. Mereka tidak mengenalmu. Nanti diam-diam kita mengadakan pertemuan di sini."

Hay Hay mengangguk, mengerti akan maksud kekasihnya. Memang, kekasihnya adalah ketua Cin-ling-pai, maka persoalan Cin-ling-pai harus ia tanganr sendiri. Sedangkan dia hanya "orang" luar", tidak baik kalau mencampuri urusan Cin-ling-pai dan dia kan melakukan pengintaian secara sembunyi saja untuk membantu Kui Hong.

Tak lama kemudian, terjadilah ketegangan antara para rombongan tamu dan para anak buah Cin-ling-pai sehingga timbul perkelahian. Akan tetapi, melihat ini, Kui Hong segera berbisik kepada Hay Hay.

"Aku harus bertindak. Kau tunggu saja, aku pasti akan mencarimu di sini, atau di dalam hutan sana.” Ia menuding ke arah lereng berhutan. Tanpa menanti jawaban, karena takut kalau perkelahian itu menjadi berlarut-larut, Kui Hong meloncat, lari dan ia berhasil menghentikan perkelahian itu sebelum jatuh korban.

Demikianah, ketika mendengar tuduhan para wakil empat perguruan besar itu, tentu saja Kui Hong menjadi semakin terkejut dah terheran-heran. Kini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kong-kongnya (kakeknya) pergi meninggalkan Cin-ling-pai, dan susioknya, Gouw Kian Sun yang menjadi wakil ketua, tiba-tiba saja menikah tanpa setahu keluarga Cia. Ia tidak membiarkan lamunannya berlarut-larut, dan cepat ia keluar dari kamar, lalu memanggil susioknya untuk bicara di ruangan dalam. Gouw Kian Sun muncul dari dalam kamarnya, diikuti isterinya, dan tak lama kemudian Ciok Gun juga muncul dari belakang. Memang Kui Hong ingin bicara dengan tiga orang ini, maka ia memberi isyarat kepada mereka untuk menutup pintu dan jendela, kemudian mengajak mereka duduk menghadapi meja besar.

"Pangcu, sebelum bicara, sebaiknya kuhidangkan dulu makanan dan minuman yang sudah saya sediakan. Begitu tadi Pangcu pulang, saya sudah menyuruh siapkan dan tentu sekarang sudah selesai. Biar saya sendiri yang membawa hidangan itu ke sini." kata Bi Hwa dengan ramah dan sebelum Kui Hong menjawab, wanita itu sudah pergi meninggalkan ruangan itu, tidak lupa untuk menutupkan kembali daun pintu dari luar. Kini tinggal Kian Sun dan Ciok Gun saja yang berada di kamar itu dengannya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong.

"Ciok-suheng dan Gouw-susiok, sebenarnya apakah yang telah terjadi di sini? Sekarang hanya ada kita bertiga. Nah, ceritakanlah sejujurnya kepadaku!" Suara Kui Hong mengandung perintah dan ketegasan. Juga sepasang mata yang tajam dari Kui Hong memandang penuh selidik kepada dua orang itu. Ia melihat betapa Kian Sun nampak gugup dan gelisah, akan tetapi Ciok Gun nampak tenang saja, bahkan wajahnya tidak membayangkan perasaan apa pun. Dingin!

"Bagaimana, Gouw Susiok? Apakah engkau takut akan sesuatu yang menekanmu? Katakanlah!"

Kian Sun mengangkat, muka, memandang kepada gadis itu, lalu menunduk kembali. "Tidak ada apa-apa kecuali yang sudah kau ketahui, Pangcu. Memang terjadi hal-hal itu, akan tetapi aku telah gagal melakukan penyelidikan. Tidak ada bukti bahwa murid-murid kita melakukannya."

"Hemm, dan engkau, Ciok Suheng?"

Ciok Gun mengangkat mukanya dan kembali Kui Hong merasa ngeri. Wajah suhengnya ini seperti kedok! "Aku pun tahu, Pancu. Aku sudah membantu sedapat mungkin melakukan penyelidikan, akan tetapi tidak berhasil menangkap pelaku-pelaku itu."

Kui Hong bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Hemm, tidak mungkin, pikirnya. Suhgguh aneh! Yang ia rasakan aneh bukan peristiwa itu sendiri, melainkan sikap dua orang ini! Diam-diam, sambil berjalan hilir-mudik seperti orang sedang berpikir, dikerlingnya dua orang itu dan ia melihat betapa Kian Sun masih menunduk dengan gelisah, dan Ciok Gun tetap tenang saja seperti patung!

"Susiok!" Tiba-tiba saja ia menepuk pundak paman gurunya itu. "Ehh……..? Ahh …….. ada …….. ada apakah, Pangcu?"

“Jelas bahwa susioknya itu terkejut dan gugup sekali ketika tiba-tiba ia panggil dengan bentakan.



“Susiok, katakan siapakah wanita yang menjadi isterimu itu?”

Akan tetapi kini Kian Sun sudah tenang kembali. Dia yakin bahwa keselamatan keluarga Cia yang menjadi tawanan berada di dalam tangannya.

"Aih, isteriku itu? Ia bernama Su Bi Hwa."

“Dari mana ia datang dan bagaimana bisa menjadi isterimu?” seperti seorang hakim yang melakukan penyelidikan, Kui Hong mengajukan pertanyaan dengan suara tegas dan pandang mata penuh selidik.

"Ia datang dari sebelah selatan pegunungan Cin-ling-san. Ayah dan ibunya tewas oleh gerombolan perampok dan ketika ia tiba di lereng Cin-ling-san, pada suatu siang aku melihat ia hendak membunuh diri. Aku melihat dan menolongnya. Kami berkenalan dan aku kasihan kepadanya. Kemudian kami menikah …….." Tentu saja cerita ini sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Bi Hwa yang sudah mempersiapkan jawaban untuk setiap pertanyaan yang mungkin dilontarkan ketua Cin-ling-pai itu. Tadi pun, dengan dalih mempersiapkan manakan dan minuman, Bi Hwa sengaja meninggalkan ruangan itu untuk memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk "memeriksa” suaminya. Ia tidak khawatir kalau Kian Sun akan mengkhianatinya. Wakil ketua itu sudah tunduk kepadanya karena keselamatan keluarga Cia harus dia lindungi. Pula, di sana terdapat Ciok Gun yang menjadi mata-mata yang setia. Pemuda itu sudah menjadi seperti mayat hidup yang akan menuruti semua petunjuknya karena pengaruh sihir dan racun, juga pengaruh rayuan dan rangsangan yang diberikan Bi Hwa kepadanya!

Kui Hong memutar otaknya. Tentu saja ia tidak dapat menelan mentah-mentah ketarangan dari Kian Sun itu. Akan tetapi, andaikata Kian Sun berbohong, apa alasannya? Susioknya ini merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan amat setia, maka ia percaya kepada susioknya itu untuk mewakilinya menjadi ketua Cin-ling-pai.

Tiba-tiba ia menggerakkan tangannya dengan gerakan menyerang ke arah Ciok Gun! Jari tangannya menusuk dengan serangan totokan ke arah pundak kanan suhengnya itu, merupakan sebuah jurus dari ilmu silat San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), satu diantara ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Kui Hong tahu benar bahwa suhengnya itu merupakan seorang ahli dalam ilmu ini, maka ia sengaja menyerang dengan ilmu itu untuk membuat suhengnya terkejut.

Akan tetapi diserang secara tiba-tiba itu, Ciok Gun sama sekali tidak kelihatan gugup atau heran. Dengan tenang saja dia miringkan tubuh sambil menangkis dan meloncat dari kursinya. Tangkisan itu terasa kuat sekali oleh Kui Hong dan ketika ia memandang kepada Ciok Gun yang kini sudah berdiri, pemuda itu sama sekali tidak terkejut atau penasaran, hanya memandang kepadanya dengan wajah dingin.

"Pangcu, mengapa menyerangku?" Pertanyaan itu diajukan, akan tetapi sikap kaki tangan Ciok Gun menunjukkan bahwa dia siap untuk berkelahi! Hal ini tidak lepas dari pengamatan Kui Hong.

"Aku hanya ingin bertanya, Suheng. Dengan adanya Suheng membantu Gouw Susiok, bagaimana rnungkin kalian sampai tidak mampu membongkar rahasia ini? Banyak murid Cin-ling-pai dituduh memperkosa dan membunuh, mengeroyok dan menghina para tamu kehormatan dan kalian sama sekali tidak mampu menangkap seorang pun di antara mereka? Rasanya mustahil sekali ini!"

"Pangcu, kami sudah berusaha sekuat tenaga namun gagal." kata Ciok Gun.

Pada saat itu, Bi Hwa masuk sambil membawa hidangan yang masih panas. "Pangcu, masakan sudah siap. Mari, silakan, Pangcu. Selagi masih panas, silakan makan minum dulu. Pangcu habis melakukan perjalanan jauh, tentu lapar." Dan ia melirik kepada suaminya dan kepada Ciok Gun, "Mari kalian temani Pangcu makan." Dengan ramah wanita ini mengatur hidangan di atas meja. Ia pura-pura tidak tahu betapa sejak tadi Kui Hong mengamatinya dengan penuh perhatian dan penuh selidik.

Melihat betapa baik Kui Hong maupun suaminya dan Ciok Gun kelihatan tegang dan tidak gembira, Bi Hwa menghampiri suaminya. "Eh, kenapa kalian nampak bingung? Silakan makan minum, baru bicara lagi.”

Kian Sun terpaksa menjawab. “Kami sedang membicarakan ancaman tiga hari mendatang dan ……”

“Aih, sun-ko, kenapa murung? Setelah pangcu pulang, apalagi yang ditakutkan? Engkau pernah bercerita bahwa pangcu, biarpun terhitung murid keponakanmu, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau orang-orang yang tidak tahu aturan itu berani mengacau Cin-ling-pai dan menuduh yang bukan-bukan lalu hendak menyerang, tentu pangcu akan sanggup mengalahkan mereka.”

“Pangcu!” kata Ciok Gun penuh semangat. “Para utusan itu memang keterlaluan. Mereka hanya menuduh, akan tetapi kami tidak dapat menemukan buktinya. Memang ada murid mereka yang tewas, akan tetapi apa buktinya bahwa murid-murid Cin-ling-pai yang melakukannya? Kalau mereka mendesak, biar aku yang akan melawan sekuat tenaga!”

Kui Hong tersenyum dan waspada. Dari ucapannya tadi, ia tahu bahwa isteri Gouw Kian Sun itu seorang wanita yang amat cerdik, walaupun nampaknya halus dan hamah.

"Ciok Gun Suheng, engkau tidak boleh bertindak tanpa perintahku! Sudahlah, kita bicarakan lagi nanti, aku ingin beristirahat." kata Kui Hong, dan ia membalik hendak pergi ke kamamya sendiri.

"Aih, Pangcu. Apakah engkau tidak makan dulu? Sudah kuhidangkan semua ini ….”


Kui Hong menghadapi wanita itu dengan sinar matanya mencorong penuh selidik. "Enci," katanya dengan suara tegas, "engkau bukan murid Cin-ling-pai maka tidak perlu menyebut aku pangcu. Namaku Kui Hong, Cia Kui Hong, dan pada saat ini aku tidak lapar. Terima kasih atas keramahanmu. Aku hendak beristirahat di kamarku dan menenangkan pikiran. Aku tidak mau diganggu siapa pun!"

Kui Hong meninggalkan ruangan itu, akan tetapi setelah tiba di luar ruangan itu, ia menyelinap ke balik pilar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan tiga orang di dalam itu.

“Ahhh, ia marah sekali," Kui Hong mendengar suara Kian Sun, suara yang mengandung kedukaan dan kekhawatiran.

"Sudahlah, biarkan ia yang memikirkan hal itu. Ia ketua Cin-ling-pai. Yang penting, engkau tidak bersalah dan tidak ada bukti bahwa murid-murid Cin-ling-pai melakukan semua itu.” terdengar suara Bi Hwa yang halus merdu, seolah menghibur suaminya.

"Benar, Suhu. Kalau mereka datang menyerang, ada pangcu di sini. Dan kita dapat mengerahkan seluruh murid Cin-ling-pai untuk melawan mereka. Aku sendiri akan menghadapi mereka dengan mati-matian!" terdengar suara Ciok Gun. Ketika mereka itu tidak bicara lagi dan terdengar langkah kaki mereka hendak meninggalkan ruangan, Kui Hong menyelinap dan pergi ke kamarnya. Ia tidak tahu betapa Bi Hwa memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut kepada Kian Sun dan Ciok Gun agar mereka tidak bicara lagi!

***

Setelah memasuki kamarnya, Kui Hong mengunci semua daun pintu dan jendela kamarnya, kemudian ia duduk termenung di atas kursi. Ia yakin bahwa rahasia semua peristiwa itu pasti berada di tangan Kian Sun, Ciok Gun dan Bi Hwa. Dia orang murid Cin-ling-pai itu nampak tidak wajar, tidak seperti biasa yang sudah dikenalnya. Kian Sun nampak seperti orang yang tertekan dan menderita duka dan kegelisahan. Ciok Gun nampak begitu dingin dan penuh perhitungan, seolah-olah kepribadiannya telah berubah sama sekali. Dan wanita itu, walaupun kelihatan cantik dan ramah, namun ia dapat menduga bahwa di balik keramahannya itu tersembunyi kecerdikan luar biasa. Yang amat mengherankan adalah Ciok Gun. Dia berubah sama sekali! Ada apakah ini? Pengaruh apakah? Sihir? Sihir! Ah, mengapa tidak? Mungkin sekali dan membayangkan kemungkinan penggunaan sihir, segera ia teringat kepada Hay Hay. Tentu Hay Hay dapat membantunya memecahkan rahasia yang mengancam nama dan kehormatan Cin-ling-pai ini.

Kui Hong lalu mengangkat muka, memandang ke langit-langit kamarnya penuh perhatian. Kemudian, sekali ia meloncat ke atas, tubuhnya melayang naik dan dengan tangan kiri menangkap balok melintang, ia bergantung di sana dan memeriksa sebatang paku besar yang menancap di balok itu sepetti paku penyambung antara dua balok. Ia meneliti, paku itu dan sekelilingnya masih diliputi debu, tidak ada tanda pernah dijamah orang. Ia lalu mendorong paku itu dengan jari tangannya sambil mengerahkan tenaga.

Lantai di bawah pembaringan di kamar itu bergeser dan terbuka sebuah lubang di bawah pembaringan itu, yang tidak nampak dari luar. Kui Hong meloncat turun, merangkak ke bawah pembaringan dan memasuki lubang itu. Ternyata di bawah lubang terdapat terowongan bawah tanah. Ia menggerakkan kembali lantai di bawah pembaringan dengan menarik besi panjang di dalam terowongan dan lantai itu pun pulih kembali menutupi lubang. Lubang ini merupakan terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga Cia saja, tidak ada murid lain yang mengetahuinya.

Sambil meraba-raba, Kui Hong merangkak di dalam terowongan kecil itu dan kurang lebih dua ratus meter kemudian, terowongan itu menembus sebuah retakan lebar yang tertutup batu di tebing gunung.

Ia menggunakan sinkangnya mendorong batu itu sehingga bergeser dan keluar dari lubang retakan, kemudian dari luar ia mendorong kembali batu itu sehingga menutupi lubang. Batu itu sendiri tertutup oleh semak belukar sehingga tidak mungkin ada orang luar dapat menggunakan terowongan rahasia itu, selain harus mengenal rahasianya, juga harus memiliki tenaga sin-kang untuk menggeser batu besar.

Setelah mengintai dari balik semak-semak di depan pintu besar dan tidak melihat seorang pun manusia, Kui Hong melompat keluar dan ia melangkah ke tepi hutan. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke sekeliling, untuk melihat apakah ada orang yang memebayanginya, namun tempat itu sepi dan tidak nampak orang lain. Biarpun demikian, Kui Hong yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam petualangannya di dunia persilatan, begitu tiba di hutan lalu memilih pohon yang besar dan tinggi, melompat ke atas dan bersembunyi di puncak pohon rindang itu, memandang ke sekeliling. Dari puncak pohon ini ia dapat melihat sekelliling sampai agak jauh sehingga kalau ada orang yang membayanginya, biarpun dalam jarak jauh, tentu akan dapat dilihatnya. Ia amat hati-hati karena ia menghadapi urusan besar, bahkan bahaya besar yang mengancam Cin-ling-pai.

Tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Bagaikan seekor burung garuda, bayangan itu meluncur ke arah pohon di mana Kui Hong bersembunyi. Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main dan ia sudah siap menghadapi lawan yang lihai. Akan tetapi, wajahnya yang tadinya tegang berubah cerah ketika ia mengenal siapa bayangan itu. Bukan lain adalah Hay Hay!

“Ihh, kau mengagetkan orang saja!” tegurnya cemberut, akan tetapi pandang matanya tertawa.

“Bagaimana hasilnya? Uhh, orang-orang Cin-ling-pai itu sungguh aneh. Bagaiaman para murid itu bahkan berani menyerangmu?”


Kui Hong menarik napas panjang. “Aihh, panjang ceritanya. Yang lebih aneh lagi, pada saat tidak ada seorangpun keluarga Cia di Cin-ling-pai, tahu-tahu mendadak Gouw-susiok telah menikah!” dan Kui Hong menceritakan semua pengalamannya tadi.

Hay Hay mendengarkan penuh perhatian, “Tentu ada sesuatu yang mereka rahasiakan,” dia menanggapi.

Kui Hong mengangguk. “Yang mencurigakan hatiku ada tiga orang. Pertama adalah Gouw-susiok sendiri. Dia yang biasanya pendiam dan tenang, setia dan bijaksana, kenapa sikapnya seperti orang yang selalu dalam ketakutan dan kebingungan, seolah-olah terhimpit sesuatu. Kemudian isterinya itu, wanita muda yang cantik. Bagaimana ia bisa muncul tiba-tiba dan menjadi isteri Gouw-suiok? Alasan yang susiok yang menceritakan pertemuan di antara mereka meragukan. Dan wanita itu, biarpun cantik, halus dan ramah, namun jelas pandang matanya membayangkan kecerdikan yang luar biasa. Wanita itu bisa berbahaya!”

“Aku sudah melihatnya dari pengintaian. Biarpun agak jauh, aku dapat melihat bahwa ia memang cantik menarik. Terutama sekali mulutnya…..”

Kui Hong mengerutkan alis dan memandang kepada kekasihnya dengan cemberut. “Kenapa mulutnya?”

“Mulutnya memiliki bentuk yang menggairahkan, mulut itu pasti pandai merayu.”

“Huh, kalau melihat perempuan, yang kau perhatikan hanya kecantikannya saja, ya? Dasar mata keranjang!” Kui Hong memeruncing bibirnya.

Hay Hay tersenyum. “Bukan begitu, Hong-moi. Akan tetapi dari wajah seseorang, kita dapat menjenguk isi hati dan wataknya. Dan wajah cantik seperti yang menjadi isteri susiokmu itu, dapat mencerminkan kecerdikan dan kelicikan yang berbahaya sekali. Wajah itu tidak dapat dipercaya.”

Kui Hong tidak cemberut lagi. “Engkau benar. Aku yakin pasti ada sesutu di balik ini semua, dan yang tahu rahasianya hanya tiga orang itu. Gouw-suisok kelihatan begitu berduka dan gelisah juga amat lemah, tidak seperti biasanya. Dan yang aneh sekali adalah suheng Ciok Gun. Sekarang dia berubah menjadi manusia berwajah topeng, begitu dingin, seperti mayat hidup sehingga beberapa kali bulu tengkukku berdiri kalau kami bertemu pandang.”

Hay Hay tertawa. “Aih, aku belum pernah melihat bagaimana bulu tengkukmu berdiri, Hong-moi. Kulihat di tengkukmu sebelah atas hanya ada anak rambut dan bulu yang halus sekali, begitu lembut, bagaimana bisa berdiri ……?”

Merasa betapa tengkuknya diraba oleh jari tangan Hay Hay, Kui Hong menggelinjang dan melengak mundur. “Ihh! Aku bicara serius, engkau hanya main-main dan merayu!” Ia merajuk.

“Kalau engkau serius, aku malah tigarius, Hong-moi!” Hay Hay berkelakar. “Aku juga bersungguh-sungguh keika memuji tengkukmu, bukan main-main. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau lakukan, atau apa yang harus kulakukan?”

“Justeru aku ingin engkau membantuku mencari jalan keluar, Hay-ko. Aku memberi waktu tiga hari kepada para lo-cian-pwedari partai-partai besar itu. Sebelum tiba batas waktu itu, aku harus sudah dapat menangkap biangkeladi semua peristiwa yang memburukkan nama baik Cin-ling-pai ini.”

“Hemm, menurut ceritamu tadi, agaknya suhengmu bernama Ciok Gun itu yang paling mencurigakan. Agaknya sikapnya dingin, wajahnya yang membuatmu ngeri seperti kedok itu sama sekali tidak wajar. Mungkin dia telah dikuasai sihir atau racun oleh orang-orang yang sengaja hendak mempergunakan dia.”

“Aku pikir demikian pula, Gouw-susiok agaknya ditekan, maka dia gelisah dan berduka. Dan suheng Ciok Gun agaknya berada dalam kekuasaan pengaruh yang aneh dan jahat.”

“Kurasa tidak ada lain jalan kecuali mencoba untuk mengorek rahasia dari pengakuan mereka. Kau cobalah dulu agar susiokmu itu mau mengaku. Tentu saja sebaiknya kalau kau ajak dia bicara empat mata. Kemudian, kalau tidak berhasil, bujuklah agar engkau dapat membawa Ciok Gun itu keluar dari Cin-ling-pai dan kau ajak ke sini. Biar aku yang menghadapinya.”

Mereka mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Kemudian, Kui Hong menginggalkan Hay Hay dan kembali ke lereng Cin-ling-pai melalui jalan terowongan yang menembus sampai kedalam kamarnya.

Tidak sukar bagi Cia Kui Hong untuk mengajak Gouw Kian Sun bicara empat mata dengannya. Sengaja ia mengajak susioknya itu bicara ketika mereka bersama Bi Hwa dan Ciok Gun selesai makan siang. Ia hendak melihat bagaimana sikap dua orang itu.

“Susiok, aku ingin bicara empat mata denganmu. Ada hal yang amat penting ingin kubicarakan denganmu. Marilah kita masuk ke kamar belakang, dan kita bicara berdua saja.”

Diam-diam Kui Hong melirik ke arah Bi Hwa dan Ciok Gun untuk melihat sikap mereka. Ciok Gun nampak tenang dan dingin saja seolah-olah ucapannya itu tidak mengandung arti sama sekali. Sedangkan Bi Hwa malah tersenyum maklum.

“Kenapa kalian tidak bicara saja di ruangan ini? Biarlah kami yang akan pergi meninggalkan kalian disini. Mari, Ciok Gun, kita keluar. Pangcu hendak bicara dengan suhumu.”



Ciok Gun membantu isteri suhunya membawa keluar mangkuk piring yang habis dipergunakan makan siang dan tak lama kemudian, Kui Hong sudah duduk berdua saja dengan Gouw Kian Sun. Setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mengintai dan mendengarkan percakapan mereka, Kui Hong bersikap sungguh-sungguh. Ia duduk berhadapan dengan susioknya dan berkata dengan nada suara tegas dan sepasang matanya memandang penuh selidik.

“Nah, sekarang kita hanya berdua saja disini, susiok. Tidak ada orang lain yang mendengarkan.”

Kian Sun nampak gelisah, bahkan terang-terangan dia menoleh ke sekeliling seolah ada yang ditakutinya. Melihat ini, Kui Hong menjadi tidak sabar lagi.

“Gouw Susiok! Pandanglah aku! Kenapa engkau menjadi begini? Engkau telah mengenal aku sejak aku masih kecil, dan aku tahu bahwa susiok adalah seorang pendekar sejati yang gagah perkasa. Sekarang engkau menjadi seorang penakut, ini tentu ada sebabnya! Susiok, engkau tahu bahwa aku dapat mengatasi semua persoalan, kuat menghadapi lawan yang manapun. Kenapa tidak berterus terang? Tidak ada orang lain yang melihat kita. Katakan siapa yang kau takuti dan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Cin-ling-pai?”

Gatal-gatal rasanya lidah Kian Sun. alangkah mudahnya untuk membuat pengakuan dan alangkah lega hatinya kalau dia lakukan itu. Dia akan merasa bebas dari tekanan yang amat menghimpit perasaannya. Akan tetapi diapun tahu bahwa nyawa gurunya, kakek Cia Kong Liang, juga nyawa suhengnya dan isteri serta putera suhengnya, tergantung dari sikapnya saat ini. Kalau dia membuka rahasia itu kepada Kui Hong, empat orang yang amat disayangd dan dihormatinya itu tentu akan dibunuh tanpa dia dapat mencegahnya sama sekali! Tidak, dia lebih suka mengorbankan dirinya daripada mereka mati konyol. Betapa dia ingin bebas dari semua ini. Dapat saja dia membunuh diri, akan tetapi hal itu pun tidak akan menolong mereka. Maka, dia semakin menjadi bingung dan gelisah, kemudian mengeraskan hatinya dan berkata dengan suara nyaring dan tegas, dengan maksud agar pendiriannya itu dapat di dengar Bi Hwa dan kawan-kawannya.

“Aku tidak takut apa-apa, Pangcu. Tidak ada apa-apa yang janggal di sini!”

Kui Hong marah sekali dan ia membanting-banting kaki kananya. Kian Sun yang sudah mengenal baik watak dan kebiasaan murid keponakan yang amat lihai ini maklum bahwa Kui Hong marah sekali kepadanya. Gadis yang amat lihai dan cerdik ini tentu telah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat di Cin-ling-pai!

“Engkau bohong, Susiok! Sungguh aku tidak mengerti, bagaimana seorang seperti engkau, yang dipercaya oleh Kong-kong, di percaya ayah, lalu kupercaya, dapat berbohong kepadaku dan mengkhianati Cin-ling-pai di mana engkau tinggal dan mendapatkan segalanya sejak kau kecil sampai sekarang!”

Pucat sekali wajah Gouw Kian Sun mendengar umpatan ini. “Tidak, sama sekali tidak. Sungguh mati, aku tidak berkhianat kepada Cin-ling-pai, Pangcu. Kalau Pangcu tetap menuduhku, biarlah Pangcu jatuhkan hukuman mati kepadaku, dan aku dengan rela akan menyerahkan nyawaku!” Kian Sun lalu berlutut di depan Kui Hong dan menundukkan kepala, menyerah!

Sikap susioknya ini membuat Kui Hong tertegun! Bukan begini sikap orang yang ketakutan. Paman gurunya ini tetap gagah dan tidak takut mati! Akan tetapi, kenapa tidak mau berterus terang kepadanya? Tentu ada sesuatu yang memaksanya bersikap seperti itu dan jelas bahwa susioknya bersikap seperti bukan karena takut ancaman terhadap dirinya sendiri.

Pada saat itu, Su Bi Hwa dan Ciok Gun bergegas memasuki ruangan itu dan mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Kui Hong.

“Pangcu, harap ampunkan suamiku!” kata wanita itu.

“Pangcu, suhu tidak bersalah apa-apa, harap Pangcu suka memberi ampun,” kata pula Ciok Gun.

Munculnya dua orang ini membuat Kui Hong semakin marah. “Bagus!” bentaknya. “Kalian mengintai?”

“Tidak, Pangcu. Sama sekali tidak.” Kata Su Bi Hwa dengan suara sungguh-sungguh. “Akan tetapi suara Pangcu dan suami saya begitu nyaringnya sehingga terdengar dari luar dan mendengar suami saya hendak menyerahkan nyawa, saya terkejut dan nekat masuk. Harap Pangcu suka memaafkan seorang isteri yang mengkhawatirkan keselamatan suaminya.”

Tiba-tiba Kui Hong bergerak ke depan dan tangannya menyambar ke arah kepala wanita itu. Tentu saja ia hanya menguji, bukan menyerang sesungguhnya walaupun gerakannya yang cepat tidak menimbulkan keraguan. Dan serangannya luput ketika wanita itu membuang diri ke samping lalu melompat berdiri.

“Hemm, engkau pandai silat?” tanya Kui Hong sambil memandang tajam penuh selidik.

Su Bi Hwa baru menyadari bahwa ketua Cin-ling-pai itu hanya mengujinya, maka cepat ia memberi hormat. “Saya, pernah mempelajari sedikit ilmu silat, Pangcu.”

“Hemm, bagus. Hendak kulihat sampai dimana kehebatanmu!” bentak Kui Hong.

“Maaf, Pangcu. Saya tidak berani melawan. Kalau tadi saya mengelak, hal itu hanya karena saya terkejut.” Kata Bi Hwa yang maklum bahwa ketua itu hanya ingin mengujinya. Kini ia menunduk dan tidak mau melawan.


Watak Kui Hong yang gagah melarang ia menyerang orang yang tidak mau melawan. Ia mengerutkan alisnya. Agaknya sukarlah membongkar rahasia itu melalui Gouw Kian Sun dan Bi Hwa. Tinggal seorang lagi, yaitu Ciok Gun.

“Suheng Ciok Gun apakah engkau masih mengakui aku sebagai ketua Cin-ling-pai?” tiba-tiba ia bertanya kepada Ciok Gun yang masih berlutut.

Ciok Gun mengangkat muka memandang, “Tentu saja Pangcu.”

“Dan engkau siap mentaati semua perintahku sebagai ketuamu?”

“Ya, tentu saja,” jawab Ciok Gun dengan singkat dan dengan sikap tenang dan muka dingin.

“Kalau begitu, mari engkau ikut denganku dan jangan bertanya kemana kita pergi dan apa keperluannya. Mari!”

Ciok Gun nampak meragu dan mengerutkan alisnya. Pada saat itu, selagi dia bingung karena perintah ketua itu demikian tiba-tiba dan dia belum “diisi” mengenai hal ini, Su Bi Hwa yang berdiri didekatnya berkata lembut.

“Ciok Gun, ketua telah memberi perintah. Tunggu apa lagi? Taatilah perintahnya!”

Mendengar ini, Ciok Gun bangkit dengan cepat dan tentu saja hal ini tidak terlewat begitu saja oleh perhatian Kui Hong. Diam-diam ia mencatat betapa taatnya Ciok Gun terhadap ucapan wanita cantik itu! Akan tetapi karena tidak ada bukti sesuatu yang mencurigakan, dan ucapan itu seperti bujukan halus agar murid suaminya itu mentaati perintah ketua, sikap yang wajar sekali, Kui Hong juga tidak dapat berbuat sesuatu.

“Mari kita pergi!” katanya dan iapun keluar dari dalam rumah itu, diikuti oleh Ciok Gun. Kui Hong berlari cepat keluar dari Cin-ling-pai, menuruni puncak menuju ke lereng bukit dimana terdapat sebuah hutan. Di hutan itulah ia berjanji untuk bertemu dengan Hay Hay. Akan tetapi sambil menunggu munculnya Hay Hay, ia ingin mencoba untuk memaksa suhengnya itu mengaku. Maka, setelah tiba di dalam hutan, ia pun berhenti dan Ciok Gun juga berhenti. Mereka berhadapan. Ciok Gun berdiri dengan sikapnya yang terlalu tenang dan dingin, menundukkan mukanya dengan sikap menanti.

“Nah, Suheng. Sekarang kita berada di tengah hutan, hanya berdua saja. Katakan, apa yang kau ketahui tentang segala peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai? Siapakah orang-orang yang mengatur semua ini? Siapa yang membuat Gouw Kian Sun ketakutan, dan siapa yang melempar fitnah kepada Cin-ling-pai dengan melakukan semua perbuatan keji terhadap para tokoh partai besar itu?”

Sikap Ciok Gun masih tenang saja, dan wajahnya dingin, sedikit pun tidak membayangkan sikap bersalah ketika dia menjawab. “Aku tidak tahu, Pangcu. Aku tidak tahu apa-apa.”

Kui Hong mengerutkan alisnya. Sekarang baginya tinggal Ciok Gun ini satu-satunya harapan untuk membongkar rahasia itu. Ia harus memaksa orang ini untuk membuka rahasia. Maka, iapun lalu membentaknya, “Suheng, apakah aku harus menggunakan kekerasan?”

Sepasang mata itu menatapnya dan Kui Hong terkejut. Mata itu sama sekali tidak memancarkan perasaan, seperti orang mati. “Terserah kepadamu!” jawaban itu pun sama sekali tidak mencerminkan sikap Ciok Gun yang dahulu selalu sayang dan hormat kepadanya.

“Bagus! Kau sambut ini!” bentak Kui Hong yang segera menyerang dengan cepat, menotok ke arah pundak Ciok Gun. Namun, dengan gerakan sigap, Ciok Gun mengelak sambil membalas serangan dengan cengkeraman ke arah perut Kui Hong. Serangan ini merupakan serangan maut yang amat berbahaya! Ini pun luar biasa! Bagaimana mungkin suhengnya itu mendadak membalas dengan serangan maut terhadap dirinya? Kui Hong meloncat ke belakang dan maju lagi mengirim serangan bertubi-tubi. Ia ingin cepat menotok roboh suhengnya itu agar dapat membujuk dan kalau perlu memaksanya membuka rahasia yang ia yakin diketahui suhengnya itu. Akan tetapi ia terkejut dan merasa heran sekali melihat kenyataan bahwa ternyata Ciook Gun dapat menandinginya dengan baik! Padahal ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dibandingkan suhengnya itu. Demikian cepatkah dia memperoleh kemajuan? Ia merasa penasaran bukan main! Setelah lewat tiga puluh jurus dan ia belum mampu merobohkan Ciok Gun, Kui Hong semakin penasaran. Hal ini sudah tidak mungkin sama sekali! Cepat ia mengubah gerakannya dan dengan tubuh merendah, ia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan bentakan dahsyat sambil memukul dengan dorongan kedua tangan. Itulah sebuah jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menaklukan Naga). Ilmu silat dahsyat yang pernah ia pelajari dari kakeknya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah. Angin dahsyat menyambar ke arah Ciok Gun yang menyambutnya dengan kedua tangan di dorongkan ke depan.

“Desss ……!” Akibatnya, tubuh Ciok Gun terjengkang dan bergulingan. Kui Hong meloncat ke depan mengejar untuk melihat keadaan suhengnya. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika tubuh yang sudah terkena sambaran hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang itu, yang setidaknya tentu akan pingsan, tiba-tiba meloncat bangun dan sudah menyambutnya dengan serangan lagi!

“Ehhh ……?” Kui Hong yang lincah dapat mengelak ke kiri dan matanya terbelalak. Ini sama sekali tidak mungkin! Bagaimana suhengnya yang roboh di landa hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang tidak menderita apapun dan begitu roboh dapat bangun kembali dan menyerangnya dengan dahsyat? Ia pun mengeluarkan kepandaiannya, bersilat dengan amat cepat karena ia memainkan Pat-thong-sin-kun yang membuat tubuhnya berkelebatan di delapan penjuru dan tangannya tiba-tiba meluncur dan mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di punggung lawan.



“Tukk!” Tubuh Ciok Gun terkulai roboh. Akan tetapi kembali Kui Hong terbelalak karena begitu roboh, Ciok Gun yang terkena totokannya itu sudah bangkit kembali! Suhengnya itu seperti tidak merasakan akibat totokannya!

“Wah, dia lihai sekali!” tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan pemuda itu sudah berhadapan dengan Ciok Gun. Ciok Gun nampak bingung ketika melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian biru yang matanya mencorong dan tersenyum-senyum.

“Siapa kau?” bentak Ciok Gun sambil siap untuk menyerang.
Hay Hay tertawa dan diam-diam sudah mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang kepada Ciok Gun, lalu bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke muka murid Cin-ling-pai itu. “Ha-ha-ha, Ciok Gun, apakah engkau lupa kepada kakekmu? Aku kakekmu! Hayo engkau memberi hormat dan berlutut kepadaku!”

Seketika Ciok Gun nampak bingung. Dia terbelalak memandang kepada Hay Hay dan menggagap. “Ehh ….? Apa kau bilang? Kakekku ….. engkau kakekku …..?”

Dan kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hati Hay Hay. Ciok Gun hanya sebentar saja nampak bingung, lalu tiba-tiba menyerangnya dengan geraman seperti seekor binatang buas. Murid Cin-ling-pai itu tidak terpengaruh sihirnya! Dan serangannya sungguh liar berbahaya!

Akan tetapi, tentu saja Hay Hay dapat menghadapi serangan itu dengan mudah. Tingkat ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi, maka begitu melihat Ciok Gun menyerang dengan cengkeraman kedua tangan ke arah leher dan perutnya, diapun menggeser kakinya, tubuhnya miring dan serangan itu luput. Kemudian dari samping, dia menyapu kedua kaki lawan. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Ciok Gun terpelanting! Sebelum dia dapat bangkit, Hay Hay sudah membentaknya dengan pengerahan sihirnya.

“Ciok Gun, rebah dan engkau tidak mampu bangun kembali!” Suaranya mengandung kekuatan yang amat dahsyat, amat berpengaruh sehingga sejenak Ciok Gun hanya terbelalak, tidak mampu bangkit. Akan tetapi, hanya sebentar ia terpengaruh, karena dia segera bangkit kembali walaupun dengan susah payah. Seolah dia bersitegang diantara dua kekuatan yang tidak tampak, yang satu memaksa dan menekannya agar rebah terus, yang kedua mendorongnya agar bangkit dan menyerang!

Melihat ini, Hay Hay dapat merasakan getaran yang kuat, yang melawan kekuatan sihirnya. Maka diapun berkata kepada Kui Hong. “Hong-moi, cepat kau cari orang yang menguasainya dengan sihir. Tak jauh dari sini …….!” Hay Hay menyambut bangkitnya Ciok Gun dengan totokan yang membuat tubuh murid Cin-ling-pai itu terkulai kembali. Karena maklun tubuh Ciok Gun sudah memiliki kekebalan yang tidak wajar, dan pengaruh totokannya itu hanya sebentar saja, Hay Hay lalu cepat menelikung kedua tangan Ciok Gun ke belakang dan mengikat kedua pergelangan tangan dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Juga kedua kakinya diikat sehingga kini, biarpun pengaruh totokan sudah membuyar kembali, Ciok Gun tidak mampu bergerak, hanya mengeluarkan suara menggereng dan mencoba meronta sambil matanya melotot memandang ke arah Hay Hay.

Beberapa kali Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya untuk menaklukkan semangat perlawanan pada diri Ciok gun akan tetapi hanya sebentar orang itu tunduk, lalu melawan kembali dan bersikap liar. Jelas bahwa ada kekuatan rahasia yang mengendalikan Ciok Gun!

Sementara itu, begitu mendengar seruan Hay Hay, Kui Hong segera berkelebat lenyap di antara pohon-pohon di hutan itu. Ia maklum apa yang dikatakan kekasihnya itu. Tentu ada orang ketiga yang bersembunyi dan mengendalikan Ciok Gun dengan ilmu sihirnya. Dan tentu orang itu biang keladi semua kejadian yang penuh rahasia di Cin-ling-pai! Kiranya ketika ia tadi memasuki hutan mengajak Ciok Gun, ada orang yang membayanginya. Tadi pun ia sudah waspada selalu menyelidiki keadaan sekeliling, namun tidak menemukan sesuatu. Hal itu saja menunjukkan bahwa kalau memang benar ada orang yang membayanginya, tentu orang itu lihai sekali, sehingga iatidak dapat melihat atau mendengarnya.

Setelah mencari-cari di sekitar tempat itu, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya! Seorang tosu bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambut di gelung ke atas dan mengenakan jubah pendeta, sedang duduk bersila seorang diri diatas petak rumput diantara pohon-pohon. Tosu itu sedang dalam samadhi, matanya dipejamkan, mulutnya berkemal-kemil dan telunjuk tangan kanannya mencorat-coret tanah di depannya. Ada beberapa batang hio (dupa biting) mengepulkan asap di samping kirinya.

“Pendeta palsu! Kiranya engkau yang mengacau di Cin-ling-pai!” seru Kui Hong dengan marah. Sekali pandang saja ia merasa yakin bahwa pendeta inilah yang mempengeruhi Ciok Gun.

Pendeta itu bukan lain adalah Lan Hwa Cu, seorang diantara tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang terkenal dengan julukan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw) yang bersama Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa bertugas untuk mengadu domba para tokoh partai besar dengan Cin-ling-pai. Tentu saja dia terkejut bukan main mendengar bentakan itu. Ketika tadi Ciok Gun di ajak pergi, Su Bi Hwa cepat memberi tahu kepada tiga orang suhunyam dan Lan Hwa Cu segera membayangi ketua Cin-ling-pai yang mengajak Ciok Gun keluar itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Lan Hwa Cu berhasil membayangi Kui Hong tanpa diketahui. Dia tahu bahwa Ciok Gun telah menjadi mereka. Murid Cin-ling-pai yang tadinya setia itu telah dicekoki racun pembius dan telah dikuasainya dengan ilmu sihir sehingga selain tubuh Ciok Gun menjadi kebal, juga dia dapat dikendalikan dari jauh dengan kekuatan sihir. Biarpun Lan Hwa Cu sudah percaya bahwa Ciok Gun telah menjadi seperti boneka hidup yang akan setia sampai mati kepada Pek-lian Sam-kwi dan Su Bi Hwa, namun dia tetap merasa khawatir. Karena itu, setelah melihat Kui Hong berhenti di tengah hutan, diapun memilih tempat tersembunyi dan cepat duduk bersila untuk menguasai Ciok Gun sepenuhnya dengan sihirnya. Karena bantuannya inilah maka Ciok Gun menjadi makin kuat, sehingga sukar ditundukkan oleh sihir Hay Hay!



Ketika Lan Hwa Cu mendengar bentakan itu, dia cepat membuka mata dan memandang dan terkejutlah dia melihat Cia Kui Hong telah berdiri di depannya, dalam jarak empat lima meter dan gadis itu nampak begitu anggun dan berwibawa, bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan sepasang mata mencorong seperti mata naga!

Maklum bahwa keadaannya telah ketahuan orang, diapun mengambil keputusan cepat. Gadis ini harus dibunuhnya, atau ditawannya. Kalau tidak, semua usaha kelompoknya terancam bahaya kegagalan.

“Haiiiiiiittttt ……..!!” Dia meloncat berdiri dan tangan kirinya terayun. Serangkum sinar menyambar ke arah Kui Hong. Gadis ini maklum bahwa ia diserang senjata rahasia jarum. Ia sendiri adalah ahli senjata rahasia jarum yang dipelajarinya dari neneknya, maka tentu saja dengan mduah ia dapat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangan kirinya juga digerakkan dan nampak sinar merah menyambar ke arah lawan!

Lan Hwa Cu terkejut bukan main. Dengan mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dan panjang, dia mampu meruntuhkan semua jarum merah itu dan yang membuat dia terkejut adalah melihat kelihaian wanita muda itu. Bukan saja mampu mengelak dari serangan jarumnya, bahkan membalas dengan jarum yang lebih hebat, karena ketika dia mengebutkan ujung lengan bajunya tadi, dia mencium bau harum yang kuat, tanda bahwa jarum-jarum merah itu mengandung racun yang ampuh!

Maklum bahwa lawannya lihai, Lan Hwa Cu yang merupakan tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang biasanya memandang rendah lawan, segera melompat ke depan dan sabuknya yang panjang dengan kedua ujungnya dipasangi bola dan bintang saja, sudah menyambar-nyambar dengan ganasnya.

Karena ingin tahu siapa lawannya, Kui Hong kembali mengelak dengan loncatan ke belakang. Ia menudingkan telunjuk tangan kirinya. “Tahan senjata! Totiang katakan dulu siapa engkau dan mengapa pula menyerangku!”

Akan tetapi, tentu saja Lan Hwa Cu tidak mau banyak bicara lagi. Dari pertanyaan itu, tahulah dia bahwa ketua Cin-ling-pai ini hanya menduga saja bahwa dia yang mengacau di Cin-ling-pai. Gadis itu belum mengenalnya dan belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Cin-ling-pai. Karena itu, tentu saja dia tidak akan membongkar rahasia Pek-lian-kauw dan dia pun sudah menyerang lagi dengan ganasnya, menggunakan sabuknya. Ujung bola dan bintang bajaitu beterbangan menyambar-nyambar dalam serangan yang dahsyat sehingga Kui Hong terpaksa berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran maut itu. Gadis sakti itupun terkejut karena dari sambaran senjata itu, ia pun dapat mengukur tenaga lawan dan tahu bahwa lawannya ini selain pandai ilmu sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang kuat. Maka, ia pun cepat mencabut sepasang pedangnya. Begitu sepasang pedang itu tercabut, nampaklah sinar-sinar hitam yang menyilaukan mata. Lan Hwa Cu terkejut. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang amat ampuh. Tanpa disadarinya, pendeta itu mengeluarkan seruan tinggi seperti jerit seorang wanita, Kui Hong terheran karena suara pendeta itu sungguh seperti jerit seorang wanita!

Akan tetapi karena lawan terus menyerangnya, ia pun menggerakkan sepasang pedangnya, menangkis dan balas menyerang.

“Singgg ……!” Bintang baja itu menyambar ke arah pelipis kiri Kui Hong dengan gerakan melingkar dan menyerong dari atas. Serangan ini berbahaya sekali. Namun, Kui Hong adalah seorang gadis pendekar yang telah matang ilmunya. Bukan saja ia telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari ayah ibunya yang juga merupakan sepasang suami isteri pendekar, bahkan gadis ini telah digembleng oleh kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti di pulau Teratai Merah. Tingkat kepandaian Kui Hong kini bahkan telah melampaui tingkat kepandaian ayahnya dan ibunya! Ketika bintang baja itu menyambar ke arah pelipisnya, Kui Hong menggerakkan pedang di tangan kiri, mencoba untuk membabat putus sabuk itu. Akan tetapi, sabuk itu tidak terbabat putus, bahkan melibat pedang dan ujungnya masih menyambar sehingga kini bintang baja itu menyambar ke arah mukanya. Kui Hong menarik kepalaya ke belakang dan pada saat itu, bola baja di ujung kedua sabuk lawan menyambar ke arah perutnya!

Bukan main lihainya tosu itu. Akan tetapi, Kui Hong tidak menjadi gugup. Ia menggerakkan pedang kanannya membacok ke arah bola baja, sedangkan pedang kirinya masih terlibat sabuk.

“Trangggg ……!!” Bola baja itu terpental dan Lan Hwa Cu kembali mengeluarkan jerit wanita karena tangannya terasa panas sekali dan bola baja itu hampir saja mengenai kepalanya sendiri. Terpaksa dia meloncat kebelakang dan melepaskan libatan sabuknya. Melihat lawannya meloncat ke belakang, Kui Hong yang sudah penasaran itu mengejar dan sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam yang dahsyat sekali, bagaikan dua ekor naga hitam mengamuk!

Lan Hwa Cu menangkis dan membalas, namun menghadapi gelombang serangan sepasang pedang hitam yang ampuh itu, dia merasa kewalahan juga. Permainan pedang ketua Cin-ling-pai itu amatlah hebatnya sehingga kalau dia terus melawan, besar kemungkinan dia akan terancam bahaya maut. Kembali ujung pedang kanan di tangan Kui Hong sudah meluncur dan hampir saja mengenai pundaknya, Lan Hwa Cu melompat ke belakang dan ketika tangan kirinya terayun, terdengar ledakan dan tampak asap hitam mengepul tebal. Kui Hong meloncat ke belakang, khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Ketika ia berloncatan mengitari asap itu, ternyata lawannya sudah lenyap.

Kui Hong tidak mengejar karena maklum bahwa selain hal itu sia-sia karena ia tidak tahu ke arah mana lawan pergi, juga amat berbahaya dan ia ingin melihat bagaimana hasilnya Hay Hay menguasai Ciok Gun. Ia pun cepat lari ke tempat tadi ia meninggalkan Ciok Gun. Lega hatinya melihat betapa Ciok gun sudah dapat dikuasai Hay Hay, sudah rebab dengan kaki tangan terbelenggu.

Melihat Ciok Gun seperti orang pingsan, ia berkata, “Hay-ko, cepat sadarkan dia agar terbebas dari pengaruh jahat dan dapat menceritakan semua rahasia kepada kita.”



“Nanti dulu, Hong-moi. Justeru dalam keadaan terbius dan tersihir, dia akan dapat emnceritakan segala rahasia kepada kita. Kalau dia sadar, mungkin dia melupakan segalanya.” Setelah berkata demikian, Hay Hay lalu emnotok pundak dan tengkuk Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai itu mengeluh dan membuka mata. Pada saat itu, Hay Hay sudah mengerahkan tenaga sihirnya, memandang wajah Ciok Gun dan suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata.

“Ciok Gun, engkau selalu mentaati kami! Engkau membantu kami menghadapi orang-orang Cin-ling-pai. Ingat?”

Ciok Gun sejenak memandang kepada Hay Hay seperti orang kehilangan semangat, akan tetapi kemudian dia mengangguk. “Aku ….. aku ingat …..”

Ciok Gun seperti termenung, lalu terdengar jawabannya lirih. “Pek-lian Sam-kwi ….. aku harus taat kepada Pek-lian sam-kwi…….”

Kui Hong mengepal tinjunya. Krianya Pek-lian-kauw yang menjadi biang keladinya! Kini tahulah ia bahwa tosu yang lihai tadi adalah orang Pek-lian-kauw tentu seorang di antara Pek-lian Sam-kwi, tiga iblis dari Pek-lian-kauw yang sudah pernah di dengar namanya akan tetapi belum pernah dijumpainya itu.

“Siapa lagi selain Pek-lian Sam-kwi? Hayo jawab sesungguhnya!”

“Tok-ciang Bi Moli ……”

“Ah, Su Bi Hwa itu?” tanya Kui Hong. Mendengar pertanyaan ini, Ciok Gun tidak menjawab. Dalam keadaan seperti itu, dia hanya mengenal satu suara saja, yaitu suara orang yang mengguasainya lewat kekuatan sihir dan pada saat itu, Hay Hay yang menguasai setelah pengaruh sihir para tosu Pek-lian-kauw menipis. Tadi Lan Hwa Cu masih mengendalikan Ciok Gun, maka sukar bagi Hay Hay untuk menguasainya. Hal ini adalah karena sudah terlalu lama dan mendalam Ciok Gun di cengkeram dalam kekuasaan sihir para tosu Pek-lian-kauw itu. Kini, setelah Lan Hwa Cu diganggu Kui Hong dan terpaksa melarikan diri, cengkeraman itu mengendur dan dalam keadaan lemah ini, dengan mudah Hay Hay dapat menguasai Ciok Gun.

“Ciok Gun, katakan siapa nama Tok-ciang Bi Moli itu!” kata Hay Hay dengan suara mengandung perintah.

“Namanya Su Bi Hwa ….”

Tentu saja Kui Hong menjadi semakin marah. Kiranya isteri Gouw Kian Sun itu berjuluk Tok-ciang Bi Moli dan merupakan seorang di antara gerombolan yang mengacau di Cin-ling-pai.

“Ciok Gun, engkau tahu tentang mengapa Gouw Kian Sun begitu taat kepada Tok-ciang Bi Moli Su BI Hwa dan mau menerimanya sebagai isteri? Ceritakan semua dengan jelas!”

Kini Ciok Gun sepenuhnya sudah berada dalam kekuasaan Hay Hay, maka tanpa ragu lagi dia pun menjawab dengan lancar. “Keluarga Cia ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau suhu Gouw Kian Sun menolak, keluarga itu akan di bunuh.”

Pucat wajah Kui Hong mendengar ini. “Siapa yang ditawan? Siapa?”

Kembali Ciok Gn tidak menjawab dan kelihatan bingung. “Ciok Gun,” kata Hay Hay. “Katakan siapa saja yang di tawan orang Pek-lian-kauw.”

“Kakek guru Cia Kong Liang, su-pek (uwa guru) Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin dan putera mereka, Cia Kui Bu …..”

“Keparat jahanam ……!!!” Kui Hong berseru karena terkejut dan marah bukan main. Kakeknya, ayah ibunya dan adiknya telah ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Kiranya susioknya, Gouw Kian Sun, menjadi lemah tak berdaya dan terpaksa menurut saja kemauan orang-orang Pek-lian-kauw karena mereka mengancam akan membunuh keluarga Cia! Orang-orang Pek-lian-kauw menekan Kian Sun dengan ancaman, dan menguasai Ciok Gun dengan bius dan sihir! Jelas mereka akan menghancurkan Cin-ling-pai dan mengadu domba dengan partai-partai besar di dunia persilatan!

Sekali memerintahkan Ciok Gun untuk tidur, murid Cin-ling-pai yang sepenuhnya sudah dikuasai Hay Hay itupun pulas.

“Kita harus membebaskan ayah dan ibu sekarang juga, dan kita basmi orang-orang Pek-lian-kauw itu!” bentak Kui Hong dengan muka yang menjadi kemerahan saking marahnya.

“Tenangkan hatimu, Hong-moi. Menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang licik dan curang, penuh tipu muslihat, kita harus cerdik dan menggunakan siasat.”

“Aku tidak takut! Kita tunggu apa lagi? Sudah jelas mereka menawan kong-kong, ayah, ibu dan adik Kui Bu. Mereka mempengaruhi Gouw Susiok dan suheng ini, mereka menguasai Cin-ling-pai dan hendak menghancurkan Cin-lingpai, mengadu domba dengan partai-partai lain! Mari kau bantu aku menghancurkan dan membasmi gerombolan jahat ini, hay-ko!”

“Tenang dan ingatlah, Hong-moi. Ingat bahwa kong-kongmu, juga ayah dan ibumu, mereka bertiga adalah yang berkepandaian tinggi. Namun tetap saja mereka sampai tertawan! Tentu Pek-lian-kauw menggunakan akal busuk! Kita harus cerdik dan jangan sampai tertipu. Pula, andaikata kita sekarang menggunakan kekerasan, bagaimana engkau akan menghadapi para tokoh partai besar itu besok lusa?”


“Akan kuhancurkan gerombolan itu dan akan kupaksa mereka mengaku di depan para lo-cian-pwe bahwa Pek-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan itu!”

“Hemm, mudah di bicarakan akan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang jahat dan licik. Bagaimana kalau mereka itu sempat meloloskan diri? Tetap saja Cin-ling-pai yang akan di tuduh melakukan semua pembunuhan itu. Kita harus menangkap basah mereka, kita hadapi kelicikan mereka dengan siasat.”

Kui Hong diam-diam tertegun. Ia dapat melihat kebenaran ucapan kekasihnya. Biarpun hatinya tidak sabar, terpaksa ia mengangguk. “Lalu apa yang akan kita lakukan, Hay-ko? Aku khawatir sekali akan keselamatan keluargaku.”

“Kita pergunakan Ciok Gun untuk memancing! Kalau tadinya Ciok Gun menjadi alat mereka, kini kita menyadarkan Ciok Gun hingga dia dapat membantu kuta memancing mereka itu melanjutlan perbuatan mereka sampai besok lusa. Di depan para lo-cian-pwe itu, kita telanjangi mereka, kita buka rahasia mereka sehingga mereka tidak sempat mengelak atau melarikan diri.”

“Tapi, aku khawatir sekali akan nasib keluargaku!”

“Tidak perlu khawatir, Hong-moi. Mereka menawan keluargamu hanya dengan maksud agar keluargamu tidak sempat menghalangi rencana mereka.”

“Tapi, bagaimana kalau nanti suheng Ciok Gun mereka kuasai lagi? Bisa hancur berantakan semua siasatmu!”

“Jangan khawatir, Hong-moi. Kalung batu kemala ini akan mampu melindunginya dari pengaruh sihir orang-orang Pek-lian-kauw.” Hay Hay mengeluarkan kalung itu lalu memasangnya di leher Ciok Gun, disembunyikan di balik bajunya.

“Terserah kepadamu, Hay-ko. Akan tetapi, hati-hati jangan sampai gagal. Ini menyangkut keselamatan kakek, ayah, ibu dan adikku, juga menyangkut nama baik Cin-ling-pai.”

“Aku mengerti, hong-moi,d an jangan khawatir.” Hay Hay lalu membebaskan totokan Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai ini telah dibebaskan dari belenggunya, dan setelah totokannya bebas, dia tersadar, membuka mata, memandang dengan heran wajah Hay Hay yang tidak di kenalnya. Kemudian dia melirik ke kiri dan begitu melihat Kui Hong, dia cepat bangkit duduk dan memandang heran.

“Sumoi ….. eh, Pangcu! Di mana kita? Apa yang terjadi dan siapa…… siapa saudara ini …..?”

Lega rasa hati Kui Hong. Dari sikap, pandang mata dan suaranya, jelas bahwa suhengnya telah kembali normal. “Hemm, suheng Ciok Gun. Apakah engkau tidak ingat lagi apa yang telah kaulakukan selama ini sehingga engkau mencelakakan keluarga kong-kong dan membahayakan keadaan Cin-ling-pai?” tanya Kui Hong dengan suara penuh teguran.

Ditanya demikian, Ciok Gun termenung dan meraba-raba dahinya, mengingat-ingat. seperti bayangan yang samar-samar, ada sebagian peristiwa yang diingatnya, terutama sekali kakek gurunya, uwa gurunya dan keluarga Cia Kui Bu yang kini meringkuk dalam tempat tahanan! Dan begitu teringat akan keadaan dirinya, betapa dia tidak mampu menolak dan tunduk serta taat akan semua kehendak Tok-ciang Bi Moli yang hina, wajahnya berubah merah sekali.

“Pangcu, apakah yang telah terjadi? Seperti mimpi buruk saja ….. dalam mimpi itu aku melihat betapa kakek guru, juga ayah ibumu dan adikmu, menjadi tawanan dan aku … aku ….. mengapa aku membantu iblis betina dan kawan-kawannya itu? Apa yang sesungguhnya terjadi atas diriku?”

“Tenanglah, Ciok-toako (kakak Ciok), engkau hanya menjadi korban kekuatan sihir dan bius orang-orang Pek-lian-kauw,” kata Hay Hay menghiburnya.

Ciok Gun memandang ke arah Hay Hay dengan alis berkerut. “Siapakah engkau? Pangcu, apakah orang ini boleh dipercaya? Di Cin-ling-pai sekarang berkeliaran banyak orang jahat!”

Kui Hong makin maklum bahwa jalan pikiran suhengnya masih kacau. “Ketahuilah, Suheng. Dia adalah Pendekar Tang Hay, sahabat baikku yang boleh di percaya. Bahkan engkau dapat pulih kembali pikiranmu karena pertolongannya. Dia yang mengusir pengaruh sihir dan pembius yang tadinya meracunimu, dan membuat engkau menjadi hamba dan alat dari iblis betina itu dan kawan-kawannya.”

Mendengar ini, Ciok Gun segera memberi hormat kepada Hay Hay. “Ah, maafkan aku, Tai-hiap (pendekar besar). Aku ….. aku masih bingung…..”

“Toako, kau raba kalung yang kugantungkan di lehermu itu. Sembunyikan kalung itu baik-baik di balik bajumu. Mustika itu kupinjamkan kepadamu dan selama engkau mengenakan mustika itu sebagai kalungmu maka orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak dapat mempengaruhimu dengan sihir lagi.”

“Pek-lian-kauw …..?” Ciok Gun terkejut.

“Benar, suheng. Kita telah terancam oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Seperti kau katakan tadi, ketika engkau masih dalam pengaruh sihir dan dicengkeram mereka, agaknya Pek-lian-kauw mengirim Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli untuk mengacau Cin-ling-pai. Mereka datang ke sini dan entah dengan akal bagaimana mereka dapat menawan kong-kong, ayah, ibu dan adikku. Mereka dapat menguasaimu dengan bius dan sihir sehingga engkau menjadi alat mereka. Dan susiok Gouw Kian Sun mereka kuasai dengan jalan mengancam dia bahwa kalau dia tidak tunduk, maka keluarga Cia akan dibunuh!”



“Ah, aku ingat sekarang! Dalam mimpi buruk itu … aku …. Aku membantu mereka. Aku yang memancing dan menjebak ….. ah, apa yang telah kulakukan? Benarkah semua itu terjadi? Aku ….. aku menjadi pengkhhianat, aku membantu orang jahat menangkapi orang-orang yang kuhormati dan kumuliakan?”

“Semua itu telah terjadi, diluar kesadaranmu karena engkau terbius dan tersihir, Suheng. Dan bukan itu saja. Orang-orang Pek-lian-kauw telah memaksa Gouw Susiok menikah dengan Su Bi Hwa itu, dan juga mengadu domba Cin-ling-pai. Mereka membunuh dan memperkosa murid-murid para tokoh partai besar dan menggunakan nama murid Cin-ling-pai….”

“Ah, benar …..! Aku ingat sekarang! Aduh, Pangcu. Dosaku besar sekali. Aku mengaku berdosa, aku siap menerima hukuman. Hukumlah, bunuhlah aku, Pangcu. Dosaku tak dapat diampuni lagi …..” Dan Ciok Gun, orang yang biasanya tenang dan pemberani itu, kini menangis seperti anak kecil!

“Ciok-taoko, hentikan tangismu yang tidak ada gunanya itu,” kata Hay Hay. “Engkau melakukan semua itu dilaur kesadaranmu, oleh karena itu tidak perlu engkau menyesali perbuatanmu. Yang terpenting sekarang adalah melakukan sesuatu untuk menebus semua itu, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan untuk menyelamatkan Cin-ling-pai dan menghancurkan para penjahat. Maukah engkau membantu kami?”

Ciok Gun mengusap air matanya dan dengan penuh semangat dia berkata, “Tang Taihiap, aku siap mengorbankan nyawaku untuk menebus dosa, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai!”

“Bagus! Kalau begitu, dengarkan rencana kami baik-baik.” Mereka lalu berbisik-bisik mengatur rencana mereka seperti yang dikemukakan Hay Hay. Mereka tidak lama berunding di situ karena Hay Hay dan Kui Hong segera pergi meninggalkan Ciok Gun agar jangan sampai pertemuan mereka itu diketahui oleh orang-orang Pek-lian-kauw.

Perhitungan Hay Hay memang tepat. Tak lama setelah dia dan Kui Hong pergi, muncul Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu, Kim Hwa Cu dan Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa di hutan itu. Empat orang ini tadi berindap-indap memasuki hutan dan setelah mereka mengintai dan hanya melihat Ciok Gun seorang disitu, mereka segera berloncatan menghampiri. Mereka melihat Ciok Gun dalam keadaan pingsan tertotok. Dengan gelisah Su Bi Hwa lalu membebaskan totokan itu dan Ciok Gun siuman kembali. Dia bangkit duduk dan memandang mereka dengan sikap biasa, siap menanti perintah! Akan tetapi, Su Bi Hwa masih merasa khawatir dan curiga, maka ia memberi isyarat kedipan mata kepada tiga orang gurunya.

“Ciok Gun, berdirilah engkau!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berseru dengan suara garang.

Bagaikan boneka hidup, Ciok Gun bangkit berdiri dengan tegak, wajahnya dingin, matanya tidak membayangkan perasaan dan sikapnya siap siaga. Bi Hwa maju menghampirinya, lalu merangkulnya dan mencium pipinya. Ciok Gun tetap tidak membuat gerakan melawan atau menyambut, seperti arca batu saja. Lalu Bi Hwa melepaskan rangkulannya dan mengayun tangan.

“Plakk!” Keras sekali tamparan itu dan akibatnya, tubuh Ciok Gun terhuyung. Akan tetapi tetap saja dia tidak melawan, dan berdiri lagi dengan tegak.

Empat orang itu saling pandang dan mengangguk. Lalu Bi Hwa memegang tangan Ciok Gun. “Ciok Gun, duduklah dan ceritakan apa yang telah kaualami ketika engkau diajak pergi Cia Kui Hong tadi.”

Mereka duduk diatas tanah berumput di bawah pohon dan Ciok gun bercerita dengan suara yang wajar, seperti biasa. “Pangcu membawaku ke sini dan ia memaksaku mengaku. Kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa, bahkan disini semua biasa dan wajar. Ia membujuk dan mengancam, bahkan menghajarku, akan tetapi aku tidak mengatakan sesuatu diluar kehendak kalian. Ia menyerangku, menotok dan karena ilmu kepandaiannya tinggi, aku tertotok dan dan tidak ingat apa-apa lagi.”

Lan Hwa Cu mengangguk-angguk. “Gadis itu memang lihai bukan main. Agaknya setelah merobohkan Ciok Gun, ia mencariku dan menyerangku. Ia berbahaya sekali.”

“Sebaiknya kalau kita tangkap gadis itu juga,” kata Kim Hwa Cu.

“Ya, dan berikan ia kepadaku. Akan kubebaskan ia dari keliarannya!” kata Siok Hwa Cu sambil tersenyum kejam.

“Aih, sam-wi Suhu terlalu sembrono. Serahkan saja kepadaku.”

“Ha-ha, Bi Hwa. Apakah engkau ditulari pengakit suheng Lan Hwa Cu? Dia seorang pria yang hanya suka kepada pria, tidak menyukai wanita. Apakah sekarang seleramu juga beralih kepada sesama wanita?” Siok Hwa Cu mengejek.

“Bukan begitu maksudku, ji Suhu (guru ke dua). Cia Kui Hong itu lihai ilmu silatnya. Hal itu lebih baik lagi. Kalian tentu ingat bahwa lusa adalah hari yang dijanjikan Kui Hong kepada para pemimpin partai-partai persilatan besar itu. Tentu akan terjadi pertandingan hebat dan kalau mereka saling bertanding, berarti mereka akan kehilangan tenaga. Kalau sudah loyo semua, mudah bagi kita untuk membabat mereka. Bukankah begitu? Untung bahwa Ciok Gun masih teguh dan menjadi pembantu kita yang setia. Rencana kita dilanjutkan. Kita menanti sampai lusa dan selama dua hari ini, kita tinggal bersembunyi saja dan pesan kepada anak buah agar jangan melakukan sesuatu yang akan menggoncangkan keadaan. Cia Kui Hong pasti tdiak akan menemukan apa-apa sampai esok lusa.”


“Bagus, dengan anak buah kita, kita akan berjaga-jaga. Kalau mereka semua sudah saling serang dan menjadi lemah, kita turun tangan,” kata Lan Hwa Cu. “Akan tetapi bagaimana dengan Ciok Gun? Kalau kita bertempur, tentu saja kami bertiga tidak dapat mengendalikannya.”

Bi Hwa menoleh kepada Ciok Gun yang duduk seperti patung. Selama berada di bawah pengaruh sihir tiga orang tosu itu, memang dia seperti boneka hidup dan hanya akan mengadakan reaksi kalau empat ornag itu mengajaknya bicara.

“Ciok Gun!” kata Bi Hwa sambil memegang lengannya. Ciok Gun menoleh dan memandang kepada Bi Hwa dengan pandang mata kosong.

“Apa yang dapat kulakukan untukmu, Moli?” tanyanya.

“Esok lusa kalau terjadi pertempuran, apa yang dapat kaulakukan untuk kami?”

“Aku akan membantu dengan taruhan nyawa!” katanya kaku.

“Membantu apa?”

“Apa saja! Kalau perlu, aku dapat menjaga para tawanan itu, atau membunuh mereka kalau kalian kehendaki,” kata pula Ciok Gun.

“Bagus!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berkata. “Memang sebaiknya dia diberi tugas untuk menjaga dan membunuh mereka semua kalau sampai usaha kita gagal. Mereka itu berbahaya dan kita tidak dapat mempercayakan kepada anak buah kita. Ciok Gun yang paling tepat dan dapat diandalkan untuk menjamin agar mereka tidak sampai dapat meloloskan diri.”

Mereka semua bersepakat untuk mengatur siasat, yaitu membiarkan para tokoh partai persilatan besar memperebutkan kebenaran dan bentrok dengan Cin-ling-pai, apalagi kalau sampai gadis ketua Cin-ling-pai yang lihai itu terbunuh atau setidaknya terluka. Kalau sudah sejauh itu, membebaskan keluarga Cia juga tidak mengapa, bahkan lebih baik karena para tokoh Cin-ling-pai itu pasti tidak tinggal diam dan permusuhan akan menjadi semakin menghebat. Kalau sudah begitu, maka tugas mereka untuk mengadu domba dan menghancurkan Cin-ling-pai berhasil baik. Akan tetapi, andaikata siasat mengadu domba itu gagal dan Cin-ling-pai tidak sampai bertempur melawan partai-partai lain, masih belum terlambat untuk untuk membunuh para tawanan itu. Dan untuk tugas ini, Ciok Gun yang telah menjadi seperti boneka hidup itu pasti akan mampu melaksanakannya dengan baik. Asap beracun akan dapat disemprotkan dari luar kamar tahanan dan betapapun lihainya, keluarga Cia itu takkan mampu membela diri, apalagi melepaskan diri.

***

Hari yang telah dijanjikan Cia Kui Hong kepada para tokoh partai-partai besar itu pun tiba. Pagi-pagi sekali, rombongan demi rombongan dari perkumpulan Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai telah mendaki puncak dan menanti di pekarangan depan bangunan yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai.

Sepuluh orang tokoh Go-bi-pai dipimpin oleh Poa Cin An. Yang Tek Tosu memimpin lima orang tosu Kun-lun-pai. Tiong Gi Cinjin memimpin tujuh orang Bu-tong-pai, sedangkan dari Siauw-lim-pai hanya dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Ki Hwesio. Wajah semua orang nampak tegang, juga banyak diantara para mereka yang nampak penasaran dan marah.

Cia Kui Hong juga sudah siap menyambut mereka. Puluhan orang anak buah Cin-ling-pai sudah menerima perintah untuk berbaris rapi di kanan kiri sepanjang pekarang yang luas itu, dan diberanda juga berdiri murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi, dalam keadaan siap siaga, tinggal menunggu perintah ketua mereka. Para anggauta Cin-ling-pai yang baru, yaitu anak buah Pek-lian-kauw yang diselundupkan Bi Hwa dan dijadikan anggauta Cin-ling-pai, berkelompok membentuk barisan pula di sebelah kanan kiri pekarangan, bercampur dengan para anggauta Cin-ling-pai yang aseli. Kui Hong tahu akan hal ini dan ia pun diam saja, pura-pura tidak tahu. Akan tetapi ia yakin bahwa seluruh anggauta Cin-ling-pai yang aseli mengenal dan mengetahui nama anggauta baru dan mana yang lama.

Selama dua hari itu, Bi Hwa bersikap ramah dan biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap lain. Hanya Gouw Kian Sun yang nampak gelisah dan tak menentu, sedangkan wajah Ciok Gun tetap dingin dan acuh. Akan tetapi, pada pagi hari itu, Ciok Gun tidak nampak diantara para murid Cin-ling-pai.

Setelah para tamu berkumpul di pekarangan, terdengar suara canang dipukul di sebelah dalam dan daun pintu yang tinggi, lebar dan tebal itu dibuka dari dalam. Semua tamu memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dan dari dalam keluarlah Cia Kui Hong, di dampingi Gouw Kian Sun dan Su Bi Hwa. Kui Hong nampak tenang saja, agung berwibawa. Gouw Kian Sun kelihatan pucat, muram dan gelisah, sedangkan isterinya yang melangkah di sampingnya kelihatan tersenyum-senyum manis sekali, dengan sepasang mata yang lincah.

Setelah tiba di luar, Kui Hong memandang ke kanan kiri, ke arah anak buah Cin-ling-pai dan ia pun bertanya kepada mereka yang berdiri di beranda dan yang bersikap hormat kepadanya. “Dimana suheng Ciok Gun? Kenapa aku tidak melihat dia di sini?”

Para anggauta Cin-ling-pai saling pandang dan tidak ada yang tahu. Kui Hong mengerutkan alisnya dan ia pun menoleh kepada Gouw Kian Sun. “Susiok, kenapa aku tidak melihat Ciok-suheng? Di mana dia?”

Kian Sun melirik ke arah isterinya dan dia nampak bingung. Bi Hwa dengan cepat berkata, “Ah, apa engkau lupa? Pangcu, saya lihat tadi Ciok Gun rebah saja di kamarnya karena dia merasa tidak sehat, demam.”



Kui Hong mengangguk-angguk. “Ah, kiranya dia sakit.” Lalu dengan tenang ia melangkah terus menuruni beranda dan berhenti di ujung tangga menghadapi para tamu. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.

“Kiranya cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah sekalian) telah berada di sini. Selamat datang dan selamat pagi kami ucapkan.”

“Pangcu, sudah terlalu lama kami menanti. Kami telah memenuhi permintaan Pangcu untuk menanti lagi selama tiga hari. Nah, pagi ini kami datang menagih janji. Serahkan pembunuh puteriku itu kepada kami, dan kami tidak akan mengganggu Cin-ling-pai lebih lama lagi,” kata Poa Cin An.

“Kami juga minta diserahkannya pembunuh dari Gu Kay ek, murid kami!” kata Tiong Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai dengan suara galak.

“Serahkan para murid curang dari Cin-ling-pai kepada kami!” kata pula Yang Tek Tosu.

Hanya dua orang hwesio Siauw-lim-pai yang tidak mengeluarkan ucapan, akan tetapi merekapun memandang kepada Cia Kui Hong dengan sinar mata menuntut. Tuntutan mereka itu mendatangkan kegaduhan karena semua anggauta rombongan itu mengeluarkan suara penasaran.

Cia Kui Hong mengangkat tangan ke atas. “Harap cu-wi tenang dan dengarkan baik-baik keteranganku. Aku jamin bahwa mereka yang berdosa pasti akan kuserahkan kepada cu-wi!”

Mendengar ucapan ini, tentu saja semua orang etrtarik dan mereka pun diam, memandang kepada gadis itu dengan sinar mata penuh harap.

“Cu-wi,” Kui Hong berkata, suaranya lantang sekali. “Tiga hari yang lalu ketika cu-wi menuntut, aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akan tetapi selama tiga hari ini aku melakukan penyelidikan dan semuanya kini menjadi sudah menjadi terang. Para pembunuh itu sudah berada di antara kita!”

Gouw Kian Sun memandang kepada gadis itu dengan sinar mata kaget dan heran, Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. Semua tokoh persilatan itu makin tegang.

“Ketahuilah, cu-wi yang terhormat. Tidak ada seorangpun diantara murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat, memperkosa dan membunuh itu. Kami Cin-ling-pai telah kebobolan! Empat orang tokoh Pek-lian-kauw bersama dua puluh orang anak buah mereka telah menyusup ke Cin-ling-pai dan menguasai pimpinan selagi aku pergi. Mereka menawan keluarga Cia dan mereka mengancam Gouw Susiok, juga membuat suheng Ciok Gun menjadi boneka hidup dengan bius dan sihir!”

Tentu saja ucapan ini membuat semua orang terkejut bukan main. Wajah Su Bi Hwa berubah pucat, lalu kemerahan. Kian Sun sendiri terbelalak memandang ketuanya, dan wajahnya pucat, sinar matanya penuh kegelisahan karena dia khawatir bahwa pembongkaran rahasia itu akan membahayakan keselamatan nyawa keluarga Cia. Semua tamu terbelalak dan memandang tidak percaya, bahkan ada yang mengira bahwa gadis yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari alasan kosong untuk menghindarkan Cin-ling-pai dari tuduhan. Para murid Cin-ling-pai juga terkejut dan saling pandang. Dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw meraba gagang senjata mereka. Suasana tegang dan menggelisahkan.

“Sudah kujanjikan akan menyerahkan mereka yang berdosa. Bukan hanya satu orang dua orang, melainkan duapuluh orang anak buah Pek-lian-kauw dengan empat orang pimpinan mereka!”

“Omitohud ……, keterangan Cin-ling-pangcu terlalu aneh untuk dapat diterima bagitu saja, Pangcu, tunjukkan mana orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau itu!” kata Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai.

“Tiga orang tosu Pek-lian-kau yang terkenal dengan sbutan Pek-lian Sam-kwi sampai sekarang masih bersembunyi, akan tetapi Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah berada di sini! Ia memaksa susiok Gouw Kian Sun menjadi suaminya agar ia dapat mengendalikan Cin-ling-pai dari dalam! Inilah ia iblis betina itu!”

Melihat kenyataan betapa ketuanya sudah mengetahui segalanya, timbul bermacam perasaan di dada Gouw Kian Sun. Dia merasa lega karena ketuanya sudah tahu, akan tetapi berbareng gelisah karena keselamatan keluarga Cia terancam. Di samping itu, diapun merasa malu bahwa dia telah dijadikan alat dan terpaksa membantu iblis-iblis itu, dan merasa menyesal mengapa dia tidak dapat menghindarkan diri dari tekanan yang membuat dia berkhianat terhadap Cin-ling-pai. Saking marahnya, tiba-tiba dia berteriak marah dan menyerang “isterinya” yang berdiri di sebelahnya.

“Tok-ciang Bi Moli, aku bersumpah untuk mengadu nyawa denganmu!”

Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah waspada. Tadipun dia sudah tahu bahwa permainannya telah diketahui orang. Akan tetapi ia masih tenang karena ia yakin bahwa keluarga Cia masih ada dalam kekuasaannya, ketua Cin-ling-pai dan semua anggautanya tidak akan berani melawannya. Begitu melihat Kian Sun menyerangnya, karena ia sudah siap siaga sebelumnya, dengan mudah ia mengelak ke samping dan begitu kakinya menendang, dada Kian Sun tercium ujung sepatunya sehingga tokoh Cin-ling-pai ini hampir terjengkang! Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tingkat Kian Sun seimbang dibandingkan iblis betiina itu dan dia tidak akan mudah di kalahkan. Akan tetapi selama ini, Kian Sun menderita tekanan batin yang hebat, yang membuat dia lemah lahir batin sehingga gerakannya lambat dan kepekaannya berkurang.

Ketika dia dapat menguasai keseimbangannya dan hendak menyerang lagi, Tok-ciang Bi Moli sudah turun dari atas beranda itu, ke sebelah kiri dan ternyata ia telah berada dekat tiga orang tosu yang munculnya dengan tiba-tiba. Melihat tiga orang gurunya sudah berada di situ, muncul dari tempat persembunyai mereka, Su Bi Hwa tertawa bergelak karena hatinya menjadi besar. Suara ketawanya membuat semua orang memandang ngeri karena tawa itu mengandung kekejaman luar biasa.


“Ha-ha-ha-ha, kiranya Cin-ling-pai masih ada orang yang cerdik. Engkau memang cerdik sekali, Cia Kui Hong. Akan tetapi kecerdikanmu tidak ada gunanya!”

Kui Hong memang sengaja belum turun tangan dan membiarkan saja wanita iblis itu bergabung dengan tiga orang tosu yang sekarang baru dilihatnya. Juga ia melihat betapa dua puluh orang anggauta baru Cin-ling-pai yang sesungguhnya adalah orang-orang Pek-lian-kauw kini telah memisahkan diri dan bergabung pula dengan empat orang pemimpin mereka. Kui Hong tersenyum mengejek.

“Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli! Kedoak kalian telah terbuka, dan semua locianpwe yang berada di sini sekarang mengetahui siapa yang sesungguhnya melakukan semua kejahatan itu dan berusaha merusak nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi, kenapa kalian melakukan ini? Kenapa kalian berusaha menghancurkan Cin-ling-pai?”

Kembali Su Bi Hwa tertawa, “Ha-ha-hi-hi-hik, kecerdikanmu masih picik, Pangcu! Sejak dahulu, semua pimpinan Cin-ling-pai selalu memusuhi Pek-lian-kauw. Entah berapa banyaknya anggauta kami yang tewas di tangan orang-orang Cin-ling-pai. Nenek moyangmu adalah musuh-musuh besar kami. Dan sekarang engkau masih bertanya kenapa kami memusuhi Cin-ling-pai?”

“Iblis betina busuk!” Gouw Kian Sun kini membentak lagi. “Engkau dan Pek-lian Sam-kwi harus kubasmi dari permukaan bumi ini!” Dia pun sudah mencabut pedangnya.

“Jangan bergerak!” teriak wanita cantik itu. “Ingat, kalau kami diserang, maka semua keluarga Cia akan mampus! Mereka masih berada di tangan kami, dan setiap saat kami dapat memerintahkan Ciok Gun untuk membunuh mereka! Ha-ha-ha, Pangcu. Kunci kemenangan terakhir masih berada didalam tanganku!” Kini bukan saja Su Bi Hwa yang tertawa, juga tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu tertawa karena mereka merasa yakin akan kemenangan mereka, mereka yang yakin bahwa dengan adanya kenyataan bahwa keluarga Cia masih mereka tawan, orang-orang Cin-ling-pai ini tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap mereka.

Mendengar ini, Kian Sun menahan gerakannya dan wajahnya menjadi pucat kembali. Apakah mereka tetap masih tidak berdaya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?

Akan tetapi, Kui Hong tersenyum lebar. “Iblis-iblis busuk dari Pek-lian-kauw. Hari kematianmu telah tiba dan kalian masih berani bicara besar?” Kui Hong menoleh ke kiri dan semua menengok, juga empat orang tokoh Pek-lian-kauw dan duapuluh orang anak buah mereka itu. Dan muncullah Ciok Gun dengan pedang di tangan, bersama empat orang yang bukan lain adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, dan Cia Kui Bu! Tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik. Hanya Kui Hong seorang tersenyum-senyum karena tentu saja ia telah mengetahui segalanya. Ia bersama Hay Hay telah menjalankan siasat dengan tepat, dan dibantu oleh Ciok Gun dengan baik sekali. Seperti yang direncanakan, Ciok Gun berhasil membujuk empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu untuk menjaga para tawanan dan kalau perlu membunuh mereka! Oleh karena itu, ketika semua orang Pek-lian-kauw hadir dalam pertemuan antara pimpinan Cin-ling-pai dan para wakil perkumpulan besar yang mendendam, Ciok Gun seorang tidak hadir karena dia bertugas menjaga para tawanan!

Setelah semua orang Pek-lian-kauw pada pagi hari itu pergi meninggalkan sarang rahasia mereka, meninggalkan Ciok Gun seorang diri saja di ruangan tahanan bawah tanah, Ciok Gun lalu membuka pintu tahanan dengan kunci yang dipegangnya. Melihat masuknya Ciok Gun, kakek Cio Kong Liang yang tadinya duduk bersila dalam samadhi membuka matanya dan memandang kepada cucu murid itu dengan marah.

“Ciok Gun, murid murtad! Dosamu bertumpuk-tumpuk, tidak takutkah engkau menghadapi hukumanmu di neraka kelak?”

Kui Bu juga berdiri di depan Ciok Gun dengan kedua tangan terkepal dan mata mendelik. “Ciok Gun, aku tidak mangakuimu sebagai suheng lagi! Engkau musuh besar kami, dan kelak kalau aku sudah besar, aku sendiri yang akan membunuhmu untuk membalaskan dendam ini!”

Ciok Gun memandang kepada anak itu dengan muka sedih, akan tetapi dia tidak menjawab ucapan mereka, melainkan diam sana dan dengan kuncinya, dia membuka tempat tahanan Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin. Tentu saja semua orang itu terkejut dan heran, akan tetapi sebelum mereka sempat berbuat atau berkata sesuatu, Ciok Gun menjatuhkan diri dan membentur-benturkan dahinya dilantai.

“Teecu Ciok Gunu telah melakukan dosa besar tanpa teecu sadari. Akan tetapi sekarang teecu telah sadar dan teecu membantu sumoi Cia Kui Hong untuk membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang menimbulkan semua kekacauan ini. Harap Su-kong, Supek, Supek-bo dan Adik Kui Bu mengikuti saya dan bersikap sebagai tawanan saya, sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh sumoi Cia Kui Hong.” Dia bangkit berdiri dan empat orang itu diam-diam girang bukan main. Kiranya Kui Hong telah pulang dan menyelamatkan mereka dengan menyadarkanCiok Gun.

Demikianlah, mereka yang “digiring” oleh Ciok Gun yang memegang pedang telah tiba di pekarangan markas Cin-ling-pai. Melihat munculnya Ciok Gun yang menggiring empat tawanan itu, Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya terkejut dan heran bukan main. Juga mereka melihat bahaya besar karena kini para tokoh Cin-ling-pai telah keluar dari tahanan!

“Ciok Gun, kuperintahkan kau! Bunuh empat orang tawanan itu dengan pedangmu!” teriak Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya juga mengerahkan kekuatan sihir mereka untuk menguasai Ciok Gun.

Ciok Gun tidak memperlihatkan reaksi apa pun mendengar ucapan Su Bi Hwa, akan tetapi ia melangkah menghampiri Su Bi Hwa dengan kepala tetap ditundukkan. Su Bi Hwa mengira bahwa Ciok Gun kurang dapat menangkap perintahnya, maka setelah Ciok Gun berada di depannya, ia berteriak lagi dengan suara melengking, “Ciok Gun, pergunakan pedangmu …..!”

“Baik, kupergunakan pedangku!” Tiba-tiba Ciok Gun menjawab dan memotong perintah itu. Pedangnya digunakan menusuk ke arah dada Su Bi Hwa! Wanita ini terkejut bukan main! Akan tetapi ia memang lihai, dan biarpun serangan itu amat tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka datangnya, ia masih dapat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan terhindar dari tusukan pedang.

“Jahanam busuk kalian! Mampuslah!” Ciok Gun membentak dan kini menyerang ke arah tiga orang tosu Pek-lian-lauw.

“Suheng, jangan …..!” Kui Hing berseru karena ia tahu betapa lihainya orang-orang Pek-lian-kauw itu. Namun Ciok Gun yang merasa menyesal, sedih dan sakit hati sekali kepada orang-orang Pek-lian-kauw, tidak memperdulikan teriakan itu dan ia menyerang mati-matian. Tiga orang tosu itu pun terkejut melihat kenyataan bahwa murid Cin-ling-pai yang tadinya telah menjadi robot bagi mereka, kini tidak mau mentaati perintah, bahkan menyerang mereka dengan dahsyat!

Tiga orang Pek-lian-kauw itu ini mengerti bahwa pengaruh sihir mereka terhadap Ciok Gun telah lenyap, entah bagaimana, dan tidak perlu lagi mencoba untuk menguasainya. Maka, melihat Ciok Gun menyerang dengan pedang, mereka bertiga menggerakkan tangan menyambut. Ada yang menangkis pedang dengan kebutan, dan ada pula yang menyerang.

“Tranggg …. Dukkk ……!” Pedang di tangan Ciok Gun terlempar dan tubuh murid Cing-ling-pai itu pun terjengkang. Darah muncrat dari mulutnya dan dengan sepasang mata mendelik memandang ke arah empat orang Pek-lian-kauw itu, Ciok Gun roboh dan tewas seketika. Dua pukulan yang diterimanya dari Lan Hwa Cu dan Siok Hwa Cu selagi Kim Hwa Cu menangkis pedangnya, terlampau hebat bagi murid Cin-ling-pai itu dan nyawanya terengut seketika.

Melihat ini, marahlah Kui Hong. Ia sendiri tidak menyangka bahwa Ciok Gun akan senekat itu. Padahal menurut siasat yang telah direncanakannya bersama Hay Hay, Ciok Gun hanya bertugas pura-pura dalam keadaan masih terpengaruh sihir agar dia ditugaskan menjaga tawanan, kemudian pada pagii hari itu membawa para tawanan ke Cin-ling-pai untuk membuka kedok orang-orang Pek-lian-kauw. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ciok Gun yang merasa berdosa dan menyesal, telah mengadu nyawa dan tewas di tangan tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai itu.

Sebelum ia melakukan sesuatu, tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu telah mengangkat kedua tangan ke atas dan Siok Hwa Cu memimpin dua orang saudaranya, mengeluarkan suara memerintah yang mengandung getaran kuat sekali.

“Haiii, orang-orang Cin-ling-pai. Di sebelahmu terdapat musuh! Seranglah musuh terdekat sebelum kalian diserang!”

Terjadilah keanehan. Para anggauta Cin-ling-pai tiba-tiba bergerak dan saling pukul! Terjadi kekacauan dan pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang yang tawa bergelombang, disusul suara yang nyaring melengking.

“Saudara-saudara Cin-ling-pai, jangan menyerang saudara sendiri!”

Dan para murid Cin-ling-pai kini terbelalak melihat bahwa mereka sedang berkelahi melawan saudara seperguruan sendiri. Tentu saja mereka semua menghentikan gerakan dan memandang bingung.

Yang tertawa dan berteriak itu adalah Hay Hay. Kini dia menghampiri tiga orang tosu dan Su Bi Hwa sambil tersenyum-senyum. Pek-lian Sam-kwi terkejut sekali ketika mendengar suara ketawa itu dan melihat betapa pengaruh sihir mereka membuyar begitu pemuda yang memakai pakaian biru dan sebuah caping petani lebar itu muncul. Melihat pemuda itu menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum, Siok Hwa Cu yang berperut gendut menyambut dengan bentakan.

“Anjing dari mana berani datang menentang kami?” Dia memberi isyarat kepada dua orang saudaranya dan tiga orang Pek-lian-kauw itu mengerahkan kekuatan sihir mereka, memandang wajah Hay Hay dan Siok Hwa Cu menunjuk ke arah muka pemuda itu sambil berseru nyaring. “Engkau anjing yang baik, hayo merangkak dan menggonggong!” Dalam suara ini terkandung getaran yang amat kuat karena bukan hanya tenaga Siok Hwa Cu seorang yang mendukung suara itu, melainkan tenaga sihir mereka bertiga dipersatukan.

Hay Hay merasa betapa kekuatan yang dahsyat memaksanya sehingga dia tidak dapat mempertahankan lagi dan dia pun jatuh berlutut dan berdiri dengan kaki dan tangannya seperti seekor anjing!

Melihat ini, Ceng Sui Cin marah bukan main. Tahulah pendekar wanita yang galak ini bahwa tiga orang Pek-lian-kauw mempergunakan sihir. Akan tetapi selagi dengan marah ia hendak ke depan untuk menyerang, lengannya disentuh Kui Hong yang sudah berdiri di dekatnya.

“Ibu, biarkan saja. Hay-koko akan sanggup melayani sihir mereka.”

Ceng Sui Cin dan suaminya, Cia Hui Song, memandang puteri mereka dengan heran. Puteri mereka menyebut Hay-koko dengan suara yang demikian mesra. Dan merekapun ingin sekali melihat bagaimana pemuda bercaping lebar itu akan mampu menghadapi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw! Padahal kini pemuda itu telah merangkak seperti anjing.

Tang Hay atau biasa di sebut Hay Hay bukanlah pemuda biasa. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu-ilmy silat yang tinggi, akan tetapi juga dia pernah menjadi murid Pek Mau San-jin dan digembleng dengan ilmu sihir yang kuat sekali. Biarpun demikian, andaikata kemudian dia tidak bertemu Song Lojin yang membuat semua ilmunya, baik silat maupun sihir, menjadi semakin matang, kiranya akan sulit baginya untuk dapat melawan kekuatan sihir gabungan dari Pek-lian Sam-kwi. Kini, ketika merasa betapa dia hampir lumpuh dan sudah jatuh berlutut, bahkan ada dorongan kuat agar dia menggonggong seperti anjing, diapun teringat akan pelajaran yang diterimanya dari Song Lojin dalam keadaan seperti itu. Dia meraba dan menekan tengah dahinya sambil memusatkan kekuatan batinnya, dan seketika dia pun pulih dan dapat mengatasi pengaruh yang menekannya. Dan diapun, dalam keadaan masih merangkak, tertawa bergelak! Suara ketawanya menggetarkan jantung semua orang.


“Ha-ha-ha-ha-ha! Kalian ini Pek-lian Sam-kwi dan juga Tok-ciang Bi Moli empat orang Pek-lian-kauw mengajak aku bermain menjadi anjing? Ha-ha-ha-ha-ha, memang kalian berempat bersemangat anjing! Mari kita bermain-main, kalau aku mengonggong, kalian mulailah saling berlumba memperebutkan anjing betina itu dan saling serang. Hayo, mulailah!”

Semua orang melihat betapa dalam keadaan masih berdiri dengan kaki tangan, Hay Hay mulai mengeluarkan suara seperti seekor anjing menggonggong. Suaranya keras dan memang mirip anjing menggonggong!

“Hung-hung-haunggg …… huk-huk-hunggg ……!”

Dan semua orang terbelalak. Mereka melihat betapa Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa dan tiga orang Pek-lian Sam-kwi itu tiba-tiba saja berlutut dan merangkak-rangkak seperti juga yang dilakukan Hay Hay! Dan terjadilah hal yang aneh sekali. Tiga orang tosu itu merangkak dan berloncatan hendak menerkam Su Bi Hwa yang menyalak-nyalak dan menyingkir, dan tiga orang tosu itu kini saling serang seperti tiga ekor anjing jantan memperebutkan anjing betina! Dan Hay Hay etrus menggonggong. Makin keras gonggongannya, makin hebat pula tiga orang tosu itu saling serang, saling gigit sampai pakaian mereka koyak-koyak! Sedangkan Su Bi Hwa merangkak-rangkak sambil menyalak-nyalak! Sungguh merupakan penglihatan luar biasa sekali. Jika ada tosu yang terkena gigitan lawan, dia pun menguik-nguik seperti anjing tulen yang kesakitan! Kalau tadi semua orang nonton dengan heran, kini mereka mulai tertawa dan terpingkal-pingkal melihat peristiwa aneh yang lucu itu.

Setelah merasa cukup mempermainkan empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu, Hay Hay meloncat berdiri dan dia pun tertawa. Begitu dia menghentikan suara menggonggong seperi anjing, otomatis empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu pun menghentikan gerakan mereka. Su Bi Hwa melompat berdiri dengan muka pucat memandang ke arah Hay Hay. Tiga orang tosu itu pun berloncatan berdiri. Muka mereka merah sekali dan mereka berusaha untuk membereskan pakaian mereka yang koyak-koyak. Ketiganya saling pandang, kemudian menghadapai Hay Hay dengan marah bukan main. Mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang amat hebat sehingga mereka bertiga pun tidak mampu melawannya dan dibuat malu di depan banyak orang! Tanpa banyak cakap lagi, Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning itu telah mencabut senjatanya, yaitu sepasang pedang. Gerakannya diikuti Siok Hwa Cu si perut gendut bertubuh pendek bermuka hitam itu yang mencabut sepasang golok besar, Lan Hwa Cu, orang pertama dari Pek-lian Sam-kwi, juga sudah mengelurkan senjatanya, yaitu sabuk dan ujungnya bola dan bintang baja.

Sementara itu, Tok-ciang Bi Moli maklum bahwa keadaan pihaknya terancam bahaya. Tidak ada lagi sandera, tidak ada lagi kekuatan sihir yang dapat di andalkan. Kini merekalah yang terjepit dan terancam, dan satu-satunya jalan hanyalah membela diri dan mencoba untuk lolos dari tempat itu! Maka, iapun sudah mencabut pedangnya, lalu meloncat ke depan Kui Hong sambil membentak nyaring.

“Cia Kui Hong, bagaimanapun juga, masih belum terlambat bagiku untuk membunuhmu sebagai ketua Cin-ling-pai!” berkata demikian, pedangnya sudah meluncur ke arah dada ketua Cin-ling-pai itu. Kui Hong memang sudah siap siaga, maka ia pun tadi sudah mencabut sepasang pedangnya.

“Tranggg….. !!” nampak bunga api berpijar dan Su Bi Hwa merasa betapa lengan tangannya bergetar hebat.

“Hemm, iblis betina. Engkaulah yang akan kukirim ke neraka, tempat yang cocok dan tepat untukmu!” kata Kui Hong dan ia pun melanjutkan dengan teriakan perintah kepada anak buahnya. “Para murid Cin-ling-pai, cepat basmi gerombolan Pek-lian-kauw yang menyusup menjadi anggauta Cin-ling-pai!”

Para murid Cin-ling-pai yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu segera berteraiak-teriak dan mereka menyerbu dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya mereka sangka sebagai anggauta-anggauta baru pilihan ketua dan isteri ketua! Terjadilah pertempuran yang seru karena orang-orang Pek-lian-kauw yang menjadi anak buah Pek-lian Sam-kwi juga orang-orang yang lihai, dan mereka merasa sudah tersudut sehingga mereka melawan mati-matian.

Adapun Pek-lian Sam-kwi sendiri maju mengepung Hay Hay yang amat mereka benci karena mereka tadi dipermainkan dengan sihir menjadi tiga ekor anjing yang saling terkam. Akan tetapi, nampak dua bayangan berkelebat dan Cia Hui Song bersama isterinya Ceng Sui Cin, sudah berada dekat Hay Hay dan masing-masing menyambut seorang lawan. Cia Hui Song menghadapi Lan Hwa Cu, sedangkan Ceng Sui Cin menghadapi Kim Hwa Cu. Suami isteri pendekar ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang memegang senjata. Hay Hay sendiri sudah menyambut serangan Siok Hwa Cu si pendek gendut bermuka hitam.

Melihat betapa ternyata Cin-ling-pai tidak bersalah, dan yang melakukan semua pembunuhan, perkosaan dan semua perbuatan jahat adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang menyusup ke dalam Cin-ling-pai, tentu saja para tokoh partai persilatan besar menjadi marah sekali. Maka, begitu melihat para murid Cin-ling-pai menyerbu duapuluh orang gerombolan Pek-lian-kauw, tanpa diminta lagi, para tokoh itu segera mengamuk dan membantu orang-orang Cin-ling-pai, menyerang anggauta Pek-lian-kauw yang tentu saja menjadi semakin terdesak.

Tok-ciang Bi Moli menjadi gentar. Baru sekarang ia bertemu tanding yang benar-benar membuat ia kewalahan. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu memang lihai bukan main, dan pantas menjadi ketua Cin-ling-pai. Kiranya Cia Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui paman gurunya, yaitu Gouw Kian Sun. sudah mati-matian Su Bi Hwa melakukan perlawanan, bahkan ia perkuat dengan kepandaian sihirnya, namun semua itu percuma saja. Tidak ada serangannya yang mampu menembus benteng sinar hitam sepasang pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu. Bahkan makin lama ia semakin terdesak.

Tadinya Su Bi Hwa mengharapkan bantuan tiga orang gurunya. Akan tetapi ketika ia dapat melirik ke arah mereka, ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan dan mencemaskan. Tiga orang gurunya itu, jagoan-jagoan Pek-lian-kauw tingkat dua, juga dalam keadaan terdesak seperti keadaannya sendiri. Tidak mungkin mengharapkan bantuan mereka. Su Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat cerdik. Dengan sekilas pandang saja ia sudah dapat mengetahui keadaan dan cepat ia sudah dapat mencari jalan keluar.



Su Bi Hwa kini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya, terus main mundur atas desakan Kui Hong yang mengambil keputusan untuk membunuh wanita iblis yang amat berbahaya itu. Ketika Kui Hong mendesak dengan babatan pedang kiri ke arah kaki disusul tusukan pednag kanan ke arah dada, Su Bi Hwa menghindar dengan loncatan ke atas lalu ke belakang. Akan tetapi kakinya terpeleset dan iapun jatuh terpelanting. Ia bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Jarum-jarum beracun meluncur ke arah Kui Hong. Ketua Cin-ling-pai ini memutar pedang dan semua jarum itu runtuh. Ia mengira bahwa iblis betina itu sudah tersudut dan ia hendak mendesak terus. Tiba-tiba Kui Hong terkejut karena tahu-tahu Su Bi Hwa telah meloncat ke dekat Kui Bu dab anak itu sudah di tangkap dan dipanggulnya dengan tangan kiri! Kiranya iblis betina itu tadi sengaja mundur-mundur mendekati anak itu. Ayah dan ibu anak itu sedang bertanding melawan dua orang di antara Pek-lian Sam-kwi, dan kakek Cia Kong Liang juga ikut membantu para murid Cin-ling-pai mendesak dan menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw. Dalam keributan itu, tidak ada orang yang menjaga Cia Kui Bu karena semua orang mengira anak itu dalam keadaan aman. Bukankah pihak musuh terdesak dan hanya tinggal menanti saat terbasmi saja?

“Kalau kau kejar, akan kubunuh anak ini!” kata Su Bi Hwa sambil meloncat hendak melarikan diri. Kui Hong tertegun! Dalam keadaan terancam seperti itu, ia tahu bahwa iblis betina itu bukan hanya menggertak kosong. Tentu akan benar-benar dibunuhnya Kui Bu kalau ada yang berani menghalangi larinya.

Baru saja Su Bi Hwa yang memondong tubuh Kui Bu lari sejauh kurang lebih lima puluh meter, tiba-tiba dari balik semak belukar melompat sesosok bayangan yang menubruknya dan bayangan itu nekat merangkul pinggangnya sehingga terseret sampai beberapa meter.

“Lepaskan, keparat!” Su Bi Hwa berseru, akan tetapi bayangan itu yang bukan lain adalah Gouw Kian Sun, sudah menangkap kedua lengannya dan menarik sekuat tenaga! Karena tarikan ini, maka pondongan Su Bi Hwa terhadap Kui Bu terlepas. Anak itu terjatuh dan anak yang sudah tahu akan bahaya itu sudah menggelundung lalu meloncat dan lari.

Dengan kemarahan meluap, Bi Hwa dapat melepaskan lengan kanannya dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh Kian Sun terkulai mandi darah. Sebelum Bi Hwa sempat mengejar Kui Bu, Kui Hong sudah datang menyambar tubuh adiknya itu dan melindunginya. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Su Bi Hwa untuk melarikan diri.

Kui Hong hendak mengejar, akan tetapi melihat keadaan Kian Sun, ia berhenti dan memeriksa. Akan tetapi ia tahu bahwa Gouw Kian Sun tidak dapat diselamatkan lagi.

“Gouw Susiok …..” katanya sedih.

“Pangcu …. aku ….. aku berdosa …… aku girang dapat menyelamatkan adikmu Kui Bu …… maafkan aku …. lebih baik aku mati ….” katanya dengan sukar dan lehernya terkulai. Gouw Kian Sun tewas. Kui Hong merasa kasihan sekali. Paman gurunya ini tidak bersalah. Kalau Kian Sun terpaksa menuruti semua kehendak orang-orang Pek-lian-kauw, hal ini dilakukan hanya karena ingin menyelamatkan keluarga Cia yang sudah disandera. Dan memang sebaiknya kalau susioknya tewas. Itu merupakan jalan keluar terbaik. Ia dapat membayangkan betapa kalau terus hidup, susioknya akan selalu menderita batinhebat sekali. Bagaimanapun alasannya, tetap saja dimata orang luar dia dianggap pengkhianat dan pengecut. Bahkan dia telah melangsungkan pernikahannya dengan Tok-ciang Bi Moli dan mengundang semua tokoh kang-ouw menjadi saksi! Namanya akan tercemar. Dia akan selalu ternoda aib yang memalukan.

Pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Pek-lian Sam-kwi yang bertemu dengan lawan yang amat tangguh, seorang demi seorang makin terdesak hebat. Dua puluh anggauta Pek-lian-kauw, tidak seorangpun mampu lolos! Semua tewas ditangan para anggauta Cin-ling-pai yang dibantu oleh para tokoh perkumpulan besar.

Kim Hwa Cu yang ditandingi Ceng Sui Cin, sudah menderita luka-luka oleh tangan lawan. Biarpun tidak memegang senjata, puteri Pendekar Sadis itu selalu menekan lawannya. Karena ia menguasai Bu-eng Hui-teng, yaitu ilmu emringankan tubuh yang membuat tubuhnya ringan danselincah burung walet, sepasang pedang Kim Hwa Cu tak dapat berbuat banyak. Tubuh nyonya yang perkasa itu bagaikan bayangan saja, selalu luput disambar pedang. Sebaliknya, karena cepatnya gerakan wanita itu, beberapa kali Kim Hwa Cu terkena tamparan yang amat kuat sehingga beberapa kali dia terpelanting. Dia sudah mencoba mempergunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi selalu gagal karena setiap kali dia menggunakan sihirnya, selalu pemuda bercaping itu membuyarkannya dengan suara atau tawanya. Bahkan beberapa kali dia menyerang lawan dengan paku beracun, namun ini pun sia-sia karena Ceng Sui Cin selalu dapat mengelak.

Pedang kiri di tangan Kim Hwa Cu telah terlepas dan terlempar, dan karena maklum bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri, Kim Hwa Cu melawan dengan nekat, menggunakan pedang kanannya. Tosu Pek-lian-kauw yang tinggi kurus ini memang lihai. Selain pandai memainkan pedang pasangan, dia pun memiliki sinkang yang dapat membuat lengannya mulur panjang. Masih dibantu lagi dengan senjata rahasianya paku beracun yang berbahaya, juga ilmu sihirnya yang waktu itu sama sekali tidak dapat dia pergunakan karena dia kalah pengaruh oleh Hay Hay. Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi semakin kuning pucat karena bagaimanapun juga, dia mulai merasa gentar, takut akan ancaman bahaya maut di tangan nyonya yang cantik dan lihai itu. Tadi, menggunakan sepasang pedang saja dia terdesak, apalagi sekarang pedangnya tinggal sebatang. Dia terdesak terus dan main mundur.

Adapun Lan Hwa Cu, tosu tertua dari Pek-lian sam-kwi yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa akan tetapi yang gerak-gerik dan suaranya seperti wanita itu, juga repot sekali ketika bertanding melawan Cia Hui Song. Dia sudah menggunakan senjatanya yang berbahaya, yaitu sehelai sabuk sutera yang ujungnya dipasangi bola baja dan bintang baja. Sabuknya menjadi bayangan bergulung-gulung dan dua ujungnya itu menjadi bola-bola dan bintang-bintang yang banyak, dan terdengar suara ebrsuitan ketika senjata itu menyambar-nyambar, namun lawannya adalah seorang pendekar yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang matang. Cia Hui Song bukan saja murid pewaris ilmu-ilmu yang ampuh dari Cin-ling-pai, akan tetapi juga semua ilmunya disempurnakan dan dimatangkan oleh gemblengan mendiang Siang-kiam Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang menjadi datuk di dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song memiliki gin-kang yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja ketika dihujani serangan. Semua serangannya luput. Akan tetapi, Hui Song maklum bahwa lawannya juga lihai dan senjata lawan itu berbahaya kalau hanya dilawan dengan tangan kosong. Maka, ketika pada suatu saat, kedua ujung sabuk itu, yaitu bola dan bintang baja menyambar dari kanan kiri, dia melompat dengan lemparan tubuhke belakang, berpok-sai (bersalto) sampai lima kali ke belakang dan ketika turun kembali ke atas tanah, dia sudah menyambar sebatang senjata toya yang berada di atas tanah. Banyak senjata berserakan di atas tanah, yaitu senjata-senjata dari mereka yang telah roboh dan tewas atau terluka berat. Dengan toya ditangan, dia menyambut datangnya lawan yang sudah mengejar dan menyerang lagi. Begitu dia menggerakkan toya melawan, Lan Hwa Cu menjadi terkejut. Toya itu tidak takut akan sabuknya. Bahkan ketika dia sengaja emlilitkan sabuknya pada toya lawan, toya yang terlilit itu terus saja meluncur ke depan menotok ke arah dadanya! Dia terpaksa melepaskan lilitan sabuknya dan meloncat ke belakang. Namun, kini dia terus terdesak oleh gerakan toya yang seolah-olah telah berubah menjadi seekor naga sakti itu. Dia terdesak hebat, dan tak lama kemudian, punggungnya kena dihantam toya sehingga dia menjerit seperti wanita, jatuh bergulingan. Akan tetapi karena memang dia kebal, dia dapat meloncat bangun dan menyerang mati-matian.



Tosu Pek-lian-kauw yang melawan Hay Hay adalah Siok Hwa Cu. Tosu bertubuh gendut pendek bermuka hitam ini memang merupakan tosu paling lihai diantara Pek-lian Sam-kwi. Biarpun tubuhnya gendut pendek seperti bola, namun dia dapat bergerak cepat dan selain pandai memainkan golok besar, dia juga mempunyai sin-kang yang amat dahsyat. Kalau dia sudah berjongkok dan mengeluarkan sin-kangnya, tiada ubahnya seekor katak buduk yang besar dan begitu perutnya mengeluarkan bunyi berkoko, sambaran tangannya mengandung kekuatan yang kuat dan beracun! Selain ini, dia pun amat kejam, senjata rahasianya adalah golok-golok kecil yang dinamakan huito (pisau terbang). Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu rambutnya. Rambut yang sudah bercampur uban itu, yang biasanya digelung ke atas, dapat ie pergunakan sebagai senjata pecut yang berbahaya bagi lawan. Dia seperti dua orang saudaranya, dia pun seorang ahli sihir.

Akan tetapi lawannya adalah Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang. Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki tingkat kepandaian yang amat hebat dan tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang jauh lebih kuat dibandingkan tiga orang Pek-lian Sam-kwi digabung menjadi satu! Tentu saja kini menghadapi Siok Hwa Cu seorang diri, Hay Hay dapat mempermainkan sesuka hatinya. Andaikata dia dikeroyok tiga sekalipun, belum tentu dia kalah. Apalagi satu lawann satu. Ketika dia melihat keadaan pertempuran menguntungkan di pihak Cin-ling-pai, Hay Hay pun tidak segera merobohkan lawannya, bahkan mempermainkannya. Apalagi ketika dia melihat bahwa kawanan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir, dan banyak anak buah Cin-ling-pai yang tidak lagi kebagian lawan dan hanya menjadi penonton, dia semakin mempermainkan lawannya.

“Heii, kodok buduk, kepandaianmu hanya segini saja, dan engkau sudah berani mencoba-coba mengacau Cin-ling-pai? Sungguh tak tahu diri. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” berulang kali Hay Hay mengejek sambil mengelak ke kiri dan ketika golok menyambar lewat, kakinya menendang ke arah perut yang gendut itu.

“Blukk!” Dan Siok Hwa Cu terhuyung ke belakang, Hay Hay sengaja memegangi
kaki kanannya yang menendang tadi, berjingkrak seperti orang kesakitan. “Aduh, perutmu memang keras dan bau! Ihhh!”

Melihat kelucuan ini, para murid Cin-ling-pai tertawa-tawa. Wajah Siok Hwa Cu menjadi merah kehitaman dan matanya yang besar itu semakin melotot menakutkan. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai dan mempunyai kekuatan sihir yang hebat. Maka, kini dia menggigit golok besarnya dan kedua tangannya sudah bergerak cepat. Sinar-sinar kilat meluncur ke arah Hay Hay ketika belasan pisau terbang meluncur dan terbang ke arah tubuhnya, dari leher sampai kaki!

Kalau dia mau mengelak saja, belasan batang hui-to (pisau terbang) itu tentu tidak ada yang akan mengenai sasaran. Akan tetapi dia khawatir kalau pisau-pisau itu akan mengambil korban orang-orang yang berada di belakangnya. Maka, cepat Hay Hay mengambil topi capingnya yang lebar dan yang tergantung dipunggung. Dengan caping besar itu dia membuat gerakan seperti sebuah perisai dan semua pisau terbang itu menancap pada capingnya!

“Wah, terima kasih atas sumbanganmu pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru.”

Kembali semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay dan si gendut pendek semakin marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jadang ada orang mampu menghindarkan diri dari serangan tiga belas pisau terbangnya itu. Dan kini, semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah caping! Dengan marah dia menggerakkan kepalanya dengan goyangan beberapa kali dan rambutnya yang digelung itu terlepas dan terurai. Kini, dia menyerang lagi dengan golok besarnya, dan rambutnya ikut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya. Serangan rambut itu tidak kalah bahayanya dengan serangan golok besar ditangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk memenangkan pertandingan ini.

Terkejut dan kagum juga Hay Hay ketika dia mengelak dari sambaran golok besar, tiba-tiba segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya! Rambut yang penuh uban, kaku dan berbau apak! Dia tahu bahwa senjata istimewa itu tidak boleh dipandang ringan, karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, kini rambut yang menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya sekali. Hay Hay melangkah mundur, akan tetapi gumpalan rambut itu mengejar terus dengan bertubi-tubi. Ketika Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu, golok besar menyambar ke arah lengannya yang sudah terbelit rambut.

“Hemmm …..!” Hay Hay menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangan yang terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya sekali.

“Ihh, kodok tua. Rambutmu apak menjijikkan!” katanya dan melihat banyak senjata berserakan diatas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang.

Golok menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu sudah menyambar lagi. Hay Hay cepat memantulkan pedang yang bertemu golok dan memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri.

“Brettt!” Sebelum Siok Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu.

“Heiii, siapa mau membeli ekor babi?” Dia menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi penonton. Semua orang menyambutnya dengan gelak tawa karena mereka semua merasa senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang lihai itu.



Siok Hwa Cu hampir meledak saking marahnya ketika rambutnya dibuntungi lawan. Dia menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan marah sekali.

“Haiiii, sayang luout!” kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas. Siok Hw Cu mengejar dengan tanga goloknya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian ketika golok menyambar lewat di bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok, seperti seekor burung hinggap diatas rating saja! Semua orang menahan napas saking kagum dan juga khawatir. Pemuda itu sungguh amat berani mempermainkan lawannya yang demikian berbahaya.

Melihat pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ke arah kaki, akan tetapi kini Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu! Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi.

Sepasang mata Siok Hwa Cu terbelalak. Kalau tidak merasa malu, tentu dia sudah menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, seperti ditindih batu yang beratnya ratusan kati! Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu Hay Hay menotok pundaknya dan lengan kanannya terasa lumpuh. Hay Hay meloncat turun, berjungkir balik dan begitu dia menampar dengan tangan ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, golok itu pun terlepas dan jatuh ke atas tanah.

Kembali semua orang bersorak dan tertawa. Hay hay tersenyum dan menengok. Dia melihat betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton disitu sambil tersenyum. Juga para tokoh Cin-ling-pai berdiri dan menjadi penonton. Kiranya pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai sudah berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi tontonan!

Hay Hay memang berwatak gembira, jenaka dan nakal. Sama sekali bukan karena kesombongan atau mencari pujian kalau dia mempermainkan lawannya, melainkan karena dia hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia sama sekali tidak tahu betapa di antara para penonton, terdapat beberapa penonton yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka itu adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak. Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh, tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong itu. Kui Hong yang sudah mengenal watak pemuda itu, hanya tersenyum saja melihat kenakalan Hay Hay. Ia tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan dan menghukum tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka, ia pun diam saja dan hanya menonton. Seluruh anak buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas di tangannya. Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua, tewas di tangan suaminya. Kini di antara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi, yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay. Seluruh anggauta Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton perkelahian yang lucu dan menarik itu. Bahkan mereka yang terluka seperti mendapat hiburan segar.

Siok Hwa Cu juga maklum bahwa nyawanya terancam bahaya dan bahwa dia dipermainkan pemuda itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan kini golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan sin-kangnya dan dalam keadaan putus asa dan marah dia menjadi nekat. Dia merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru sambil memencet hidung dengan tangan kananya.

“Hai, kodok buduk, kalau kau mau buang air besar jangan di sini! Kotor dan bau menjijikkan!” Tentu saja para anggauta Cin-ling-pai tertawa mengejek mendengar itu dan muka Siok Hwa yang memang sudah hitam itu menjadi semkain hitam karena marahnya. Apalagi melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa yang dilakukan pemuda lawannya yang lihai itu.

“Jahanam sombong, engkau atau aku yang mati!” bentaknya dan ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara berkokokan, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay.

“Kok-kok-kokk!” Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan.

Hay Hay yang ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu, dia juga berjongkok dengan pantat di tonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goynag, kedua tangan didorongkan ke depan dan dia pun mengeluarkan suara seperti lawannya.

“Kok-kok-kokk!”

Diam-diam Siok Hwa Cu terkejut karena mengira bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa lucu sekali oleh mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang laga.

“Dukk!!” Dua pasang telapak tangan saling bertemu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya, tubuh Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri. Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang untuk melawan serangan orang itu. Dan karena memang tenaga sinkangnya jauh lebih kuat, tentu saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling. Kalau Hay Hay menghendaki, dalam adu sinkang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya. Akan tetapi dia belum merasa puas, hendak mempermainkan lawan sampai lawan mengaku kalah atau menyerah.



“Hei, katak buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!”

Akan tetapi Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan Cin-ling-pai, sudah pasti dia akan dibunuh juga, mengingat bahwa kesalahannya terhadap Cin-ling-pai amat besar. Daripada mati dihukum oleh para pimpinan Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini.

“Sampai mati pun aku tidak sudi minta ampun!” Bentaknya dan kembali ia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan seluruh sinkangnya dan menyalurkannya ke arah kepalanya!

“Heii, mau berak lagi?” Hay Hay mengejek dan banyak orang tertawa. Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk.

Hay Hay melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala untuk menyerangnya! Dia pun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu dengan perutnya!

“Capp!” Kepala itu menusuk ke perut Hay Hay dan semua orang terbalalak khawatir akan keselamatan pemuda yang berani itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay. Hay Hay menotok kedua pundaknya sehingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya saja yang bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke dalam lumpur yang mendidih panas!

“Pergilah!” Hay Hay mengerahkan sinkangnya dan menendang kepala itu dengan kekuatan perutnya. Tubuh Siok Hwa Cu terlempar kebelakang dan terbangting keras ke atas tanah. Tosu Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya kepada tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir.

“Krekkk!” Jari-jari tanganya masuk ke dalam kepalanya dan dia pun tewas seketika.

Banyak anak buaj Cin-ling-pai bersorak memuji, dan Kui Hong menghampiri kekasihnya sambil tersenyum girang. “Hay-ko, mari kuperkenalkan kau kepada keluargaku!” Hay Hay juga tersenyum dan mengangguk. Mereka lalu menghampiri Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang berdiri menanti mereka. Hay Hay sudah banyak mendengar akan kebesaran nama keluarga Cia dari Cin-ling-pai ini, maka begitu berhadapan, dia pun cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dengan sikap sopan dan wajah berseri.

“Saya telah banyak mendengar bama besar keluarga Cia dari Cin-ling-pai, sungguh beruntung sekali dan merupakan kehormatan besar hari ini saya dapat berhadapan dengan cu-wi (anda sekalian).” katanya.

“Kong-kong, Ayah dan Ibu, dia adalah sahabatku bernama Hay Hay. Hay-ko, perkenalkan ini kong-kong Cia Kong Liang, ayah Cia Hui Song dan ibu Ceng Sui Cin. Dan ini adikku Cia Kui Bu.”

Kembali Hay Hay memberi hormat kepada tiga orang tua itu, yang dibalas mereka dengan sikap sederhana. Kesan buruk akan cara Hay Hay mempermainkan lawan tadi masih membuat mereka enggan beramah tamah dengan pemuda itu. Akan tetapi, pandang mata mereka cukupp tajam untuk dapat melihat sikap Kui Hong yang amat mesra terhadap pemuda itu, maka mereka pun menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Cia Hui Song hanya membalas penghormatan Hay Hay dan berkata tenang.

“Orang muda, engkau sungguh lihai dan terima kasih atas bantuanmu kepada kami.”

“Ah, harap Paman tidak bersikap sungkan. Saya adalah sahabat baik adik Cia Kui Hong, dan biarpun andaikata orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak mengacau disini, kalau bertemu dengan saya dimana pun tentu mereka akan saya tantang karena mereka selalu melakukan kejahatan-kejahatan.”

“Ayah, Ibu, aku telah mengundang Hay-koko untuk bertamu ditempat kita untuk beberapa hari lamanya.”

Suami isteri itu saling pandang dan Ceng Sui Cin yang menjawab. “Baiklah, antar dia pulang dulu. Kami masih ingin mengatur anak buah untuk membersihkan tempat ini.”

“Benar, Kui Hong. Kau pulanglah dulu bersama sahabatmu ini,” kata pula Hui Song. Melihat sikap ayah ibunya, juga kakeknya yang agaknya tidak suka kepada Hay Hay, tentu saja Kui Hong merasa tidak enak hati. Akan tetapi Hay Hay tetap gembira saja dan dua orang muda ini lalu mendahului keluarga Cia pulang ke rumah keluarga Cia yang berada dibagian belakang. Markas Cin-ling-pai itu memang luas, dan yang menjadi tempat perkelahian tadi adalah bagian paling depan.

Para wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi telah menjadi saksi dan mereka pun maklum akan apa yang terjadi. Mereka tahu bahwa ternyata Cin-ling-pai dimasuki orang-orang Pek-lian-kauw yang setelah menawan keluarga Cia, lalu menggunakan nama Cin-ling-pai untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dan partai-partai persilatan besar. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai tidak bersalah, maka tentu saja ketika terjadi keributan tadi, kemarahan mereka ditujukan kepada orang-orang Pek-lian-kauw dan mereka pun ikut pula membasmi anak buah Pek-lian-kauw. Juga mereka ikut pula melihat sepak terjang Hay Hay dan melihat pertemuan antara Hay Hay dan keluarga Cia. Karena merasa urusan itu bukan urusan mereka, maka mereka pun tidak mencampuri bicara dan diam saja. Padahal, diantara mereka banyak yang mengenal Hay Hay. Dua orang hwesio dari Siauw-lim-pai, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, sudah mendengar tentang pemuda itu. Bahkan Tiong Gi Cinjin, tokoh Bu-tong-pai itu, dahulu pernah bentrok dengan Hay Hay yang mereka kira jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Biarpun akhirnya mereka tahu bahwa pemuda itu bukan Ang-hong-cu, namun diam-diam mereka merasa heran bagaimana putera penjahat besar itu dapat menjadi sahabat akrab dengan Cia Kui Hong, yang menjadi pangcu ketua Cin-ling-pai!



Cia Kong Liang, Cia Hui Song, dan Ceng Sui Cin memerintahkan anak buah mereka untuk menyingkirkan mayat-mayat musuh, mengurus pula mayat kawan-kawan sendiri dan merawat yang luka. Kemudian mereka mengundang para tamu dari empat partai besar untuk minum bersama agar peristiwa tidak enak yang hampir saja membuat Cin-ling-pai bentrok dengan mereka itu dapat dihapuskan. Karena merasa bahwa mereka pun telah salah kira dan memusuhi Cin-ling-pai yang sesungguhnya tidak bersalah, rombongan empat partai besar itu merasa sungkan. Mereka menolak dengan halus dan minta diri untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Keluarga Cia tidak dapat menahan mereka, hanya mohon maaf dan berterima kasih atas pengertian mereka. Kemudian rombongan Bu-tong-pai yang merupakan rombongan terakhir berpamit. Dalam kesempatan itu, Tiong Gi Cinjin berkata kepada Hui Song.

“Kami mengucapkan selamat kepada Cia-taihaip, bukan saja karena terbebas dari tangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Cin-ling-pai telah dapat membersihkan namanya, akan tetapi terutama sekali karena Cia-taihiap mempunyai seorang puteri yang demikian perkasa seperti Cia-pangcu (ketua Cia). Kalau tidak atas kebijaksanaan puteri taihiap, dan dibantu oleh Pendekar Mata Keranjang, tentu kami semua juga masih salah duga."

“Pendekar Mata Keranjang? Siapa yang totiang maksudkan?” Ceng Sui Cin bertanya sambil memandang dengan alis berkerut.

Tiong Gi Cinjin memandang kepada nyonya yang gagah perkasa itu. “Apakah li-hiap belum mengetahuinya? Pemuda tadi ….”

“Ah, kaumaksudkan pemuda sahabat Kui Hong yang bernama Hay Hay tadi? Apakah totiang mengenal dia?” tanya Sui Cin.

“Tentu saja kami mengenal dia, semua orang mengenal dia. Bahkan kami rombongan Bu-tong-pai pernah mengejar-ngejarnya dan menyerangnya karena kami mengira bahwa yang memperkosa seorang murid Nu-tong-pai adalah dia yang tadinya kami kira Ang-hong-cu.”

“Ang-hong-cu?” Cia Hui Song bertanya dengan kaget. “Kenapa menyangka dia Ang-hong-cu?”

“Maklumlah,” kata Tiong Gi Cinjin sambil menarik napas panjang. “Sikapnya selalu merayu wanita dan dia dikenal sebagai seorang yang mata keranjang sehingga dijuluki Pendekar Mata Keranjang.”

“Dan ternyata bahwa bukan dia jai-hwa-cat yabg terkenal jahat itu?” tanya Sui Cin.

“Bukan dia, melainkan ayah kandungnya.”

“Ahhh ….?” Suami isteru tokoh Cin-ling-pai itu terkejut bukan main mendengar ucapan itu. “Dia …. dia putera Ang-hong-cu?”

Ting Gi Cinjin mengangguk dan menghela napas. Bukan maksudnya untuk memburukkan nama orang, akan tetapi bagaimanapun juga dia menganggap Hay Hay bukan pemuda yang baik dan pantas menjadi sahabat seorang gadis sehebat Cia Kui Hong. Apalagi kalau diingat bahwa pemuda itu membikin orang-orang Bu-tong-pai malu karena tidak sanggup mengalahkannga dengan keroyokan.

“Ang-hong-cu bernama Tang Bun An, dan dia seorang di antara banyak anak-anaknya yang lahir dari para wanita yang diperkosanya. Namanya Tang Hay, dan dia tadinya disangka sebagai Ang-hong-cu. Baru dia dapat membersihkan namanya setelah dia berhasil menangkap mendiang Ang-hong-cu.”

“Hemm, Ang-hong-cu sudah mati? Anaknya itu pula yang membunuh.”

“Mereka berkelahi dengan seru sekali, ayah dan anak itu. Ang-hong-cu kalah dan membunuh diri. Sudahlah, taihiap dan lihiap, saya tidak enak membicarakan dia, apalagi karena bagaimanapun, dia dianggap sebagai seorang pendekar yang telah berjasa. Dia pernah membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak, bersama dengan Cia-pangcu, puteri taihiap. Selanmat tinggal.” Tiong Gi Cinjin mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu. Sampai beberapa lamanya suami isteri itu termenung. Bahkan Cia Kong Liang menjadi semakin tidak suka kepada pemuda itu.

“Pantas saja dia menjual lagak seperti itu!” gerutunya. “Kiranya dia seorang mata keranjang, putera penjahat besar Ang-hong-cu!”

“Dan dia yang menangkap ayah kandungnya sendiri, menyebabkan ayahnya sendiri mati,” kata Hui Song. “Tidak baik anak kita bergaul dengan orang seperti itu.”

“Sudahlah, kita tidak perlu pusaing-pusing. Nanti Kui Hong tentu dapat memberi penjelasan mengapa pemuda itu ikut datang ke sini bersamanya. Kurasa Kui Hong bukanlah seorang gadis bodoh yang mudah dirayu seorang mata keranjang,” kata Sui Cin.

Setelah selesai mengurus para anggauta Cin-ling-pai, mereka pun kembali ke dalam rumah mereka untuk menemui puteri mereka yang telah masuk lebih dahulu dengan Hay Hay.

***

“Untung ada engkau yang menggunakan sihirmu menguasai Ciok Gun, Hay-ko, kalau tidak, aku sendiri tidak akan tahu entah bagaimana aku dapat membongkar rahasia mereka dan memancing mereka. Sungguh Cin-ling-pai berhutang budi besar terhadapmu,” kata Kui Hong kepada kekasihnya ketika mereka duduk berhadapan di ruangan tamu rumah keluarga Cia.

Hay Hay tertawa dan menepuk punggung tangan gadis itu. “Hushh, diantara kita mana pantas bicara tentang budi? Aku membantumu, hal itu sama saja dengan kalau engkau membantuku. Saling bantu antara kita adalah wajar sekali, bukan? Jangan katakan Cin-ling-pai hutang budi kepadaku.”

“Kau tidak tahu, Hay-ko. Bagi kami keluarga Cia, Cin-ling-pai paling kami utamakan. Jatuh-bangunnya Cin-ling-pai merupakan jatuh-bangunnya kehidupan kami, setidaknya tekad itu merupakan sumpah bagi setiap anngauta kami yang menjadi pangcu seperti aku sekarang ini.”



Wajah Hay Hay yang tadinya berseri itu kehilangan kegembiraannya, dan dia menatap tajam wajah kekasihnya. “Akan tetapi, Hong-moi, kulihat semua sikap tokoh Cin-ling-pai, maafkan keterus teranganku ini, tidak menunjukkan seperti apa yang kaukatakan itu.”

Sinar mata gadis itu dengan tajam menyambar wajah Hay Hay. “Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu itu, Hay-ko?”

“Mereka semua itu, dari kakekmu sampai ayah ibumu, juga wakil ketua Cin-ling-pai dan pembantunya, semua menyerah kepada orang-orang Pek-lian-kauw karena mendahulukan kepentingan keluarga. Bukankah demikan? Mereka tidak dapat melawan karena mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cia yang telah tertawan. Nah, hal itu bagiku wajar saja. Bagaimanapun juga, setiap orang manusia akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya lebih dahulu, baru mementingkan yang lain.”

“Tidak! Kukatakan tadi bahwa sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang ketua Cin-ling-pai. Ketika kakekku menjadi ketua dahulu, dia pun bersikap demikian. Juga ayahku. Sekarang, akulah yang bersumpah. Karena itu, aku seorang yang tidak mau tunduk kepada mereka, dan aku melawan, biarpun perlawananku itu membahayakan keluargaku. Untung engkau yang membantuku sehingga keluarga kami semua selamat dan Cin-ling-pai dapat pula dibersihkan dari para penyelundup itu.”

Hay Hay mengerutkan alisnya. Pendirian kekasihnya itu merupakan suatu segi yang asing baginya. Akan tetapi dia menghibur dirinya dan sambil tersenyum berkata, “Tentu saja engkau benar, Hong-moi. Akan tetapi, setelah kita menikah, tentu engkau akan melepaskan kedudukan ketua itu kepada orang lain sehingga tidak terikat lagi oleh kewajiban dan tugas yang berat.”

Kui Hong menunduk dan menarik napas panjang. “Tadinya aku pun tidak suka terikat, Hay-ko, maka aku pergi meninggalkan Cin-ling-pai dan menyerahkan tugas kepada susiok Gouw Kian Sun dan suheng Ciok Gun. Aku sendiri merantau untuk menambah pengalaman. Akan tetapi engkau lihat sendiri, apa yang terjadi dengan Cin-ling-pai. Aku merasa menyesal sekali dan aku melihat bahwa aku telah melalaikan kewajibanku. Maka, aku berjanji akan membela dan mengatur Cin-ling-pai sehingga menjadi kuat dan jaya kembali.”

“Biarpun sudah menikah?”

“Apa salahnya setelah menikah tetap menjadi pangcu?”

“Dan suamimu ….. eh, aku?”

“Dengan sendirinya engkau menjadi Cin-ling-pai dan bantuanmu amat kami butuhkan, Hay-ko. Justeru dengan adanya engkau, maka aku menjadi besar hati dan yakin akan mampu membuat Cing-ling-pai kembali jaya seperti di jaman nenek-moyang dahulu.”

Hay Hay tidak bicara lagi karena pada saat itu nampak rombongan keluarga Cia memasuki ruang tamu dimana mereka bercakap-cakap. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa gelisah. Dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat dan keinginan hati kekasihnya. Dia ingin bebas, biarpun sudah menikah dengan Kui Hong, dia ingin bersama isterinya bagaikan dua ekor burung terbang diangkasa luas. Tidak terkurung dalam sangkar berupa Cin-ling-pai. Karena kakek, ayah dan ibu Kui Hong memasuki ruangan itu, Hay Hay cepat bangkit berdiri dengan sikap hormat. Diam-diam mengagumi keluarga kekasihnya itu. Memang keluarga gagah perkasa, pantas namanya terkenal di dunia kang-ouw karena sepak terjang mereka yang keras namun selalu menjunjung kebenaran dan keadilan.

Cia Kong Liang adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih tegak, wajahnya keren berwibawa dan pandang matanya menusuk penuh ketabahan. Cia Hui Song seorang pria berusia empat puluh empat tahun yang juga tampan dan gagah walaupun nampak lebih tua daripada usia sebenarnya dengan banyak garis-garis derita di dahinya. Ibu dari Kui Hon, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun, nampak penuh semangat dan sinar matanya jelas nampak kekerasan hati dan keberanian. Dari sikap mereka saja sudah mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang lihai.

Akan tetapi, Hay Hay merasa tidak enak melihat betapa mereka bertiga itu, terutama ibu Kui Hong yang menggandeng tangan anak laki-laki berusia lima tahun, memandang hanya sekilas kepadanya dengan mulut cemberut. Kakek Cia Kong Liang bahkan sama sekali tidak memandangnya, hanya melewati saja pandang mata itu diatas kepalanya. Hanya Cia Hui Song yang memandang kepadanya agak lama, namun bukan dengan sinar mata ramah, melainkan dengan sinar mata penuh selidik! Sungguh bukan sikap orang-orang yang berterima kasihm walau dia seujung rambutpun tidak mengharapkan terima kasih dari mereka. Yang dia bantu adalah Kui Hong, gadis yang dikasihinya, bukan keluarhga Cia atau Cin-ling-pai.

Kui Hong juga agaknya menjadi curiga. Tentu saja ia mengenal baik tiga orang tua itu dan merasa bahwa sikap mereka sungguh tidak seperti biasa, tidak semestinya, bahkan tidak pada tempatnya. Mereka jelas mengacuhkan, bahkan meremehkan Hay Hay!

Biarpun hatinya merasa tidak enak, bahkan tidak senang melihat sikap orang tuanya, namun tentu saja Kui Hong tidak berani bertanya terang-terangan. Disambutnya ibunya dan ia memondong adiknya, Cia Kui Bu dan mencium kedua pipi adiknya itu!

“Enci hebat! Kata kong-kong, enci yang membebaskan kami. Aih, kalau saja aku sudah besar dan selihai Enci, tentu akan kubasmi habis semua orang Pek-lian-kauw yang jahat itu!”

Kui Hong tersenyum bangga dan menurunkan adiknya, mengelus kepala adiknya, “Kelak engkau tentu lebih lihai daripada aku. Ingat selalu bahwa engkau adalah calon ketua Cin-ling-pai yang hebat!”

Mendengar ini, Cia Kong Liang berkata, “Mudah-mudahan saja kelak dia akan mampu mengangkat kembali nama Cin-ling-pai yang dirusak oleh para jahanam itu.”

Kui Hong memandang kepada ayahnya. “Ayah, apakah orang-orang dari empat partai itu sudah pergi? Mereka sungguh menjemukan. Kita sedang tertimpa malapetaka, mereka bahkan menghimpit kita dengan tuduhan-tuduhan berat!”



“Hemm, jangan engkau berkata begitu Kui Hong,” kata Hui Song dengan suara tegas. “Mereka itu menjadi korban, bahkan ada yang tewas dan terluka di antara orang-orang tak berdosa itu. Karena mereka berada disini, dan yang melakukan menyamar sebagai murid kita, tentu saja tadinya mereka merasa yakin bahwa Cin-ling-pai yang melakukan kejahatan itu. Sungguh sial, Cin-ling-pai telah dinodai dan dicemarkan. Tugasmulah sebagai pangcu untuk mengangkat kembali nama baik Cin-ling-pai, membersihkannya dari noda dengan bertindak tegas dan keras terhadap semua murid dan anggauta.”

“Nanti dulu,” kata Ceng Sui Cin sambil memandang kepada Hay Hay. “Sungguh tidak sepatutnya bicara soal Cin-ling-pai di depan orang luar, padahal yang kita bicarakan adalah urusan pribadi Cin-ling-pai. Kui Hong, sahabatmu ini dari parti manakah, dan siapa pula nama selengkapnya, siapa gurunya dan orang tuanya?”

Biarpun pertanyaan itu ditujukan kepada Kui Hong, namun sinar mata nyonya itu menatap wajah Hay Hay yang penuh senyum kembali, sehingga Hay Hay merasa benar bahwa pertanyaan itu langsung ditujukan kepadanya. Sui Cin sengaja bertanya untuk mengalihkan percakapan keluarga dan kangsung saja bicara tentang pemuda yang mendatangkan perasaan tidak suka di hati mereka itu karena pemuda itu adalah putera seorang jai-hwa-cat besar! Tentu saja sebagai seorang ibu, hatinya tidak suka dan khawatir melihat puterinya akrab dengan putera seorang penjahat yang demikian tersohor seperti Ang-hong-cu.

Kui Hong memandang ibunya, ia pun merasakan sesuatu yang tidak beres dalam sikap ibunya, ayahnya, dan juga kakeknya. Hal ini membuat dia terheran-heran. Bukankah jasa Hay Hay amat besar dalam menyelamatkan keluarga Cia tadi sehingga naka baik Cin-ling-pai dapat dibersihkan kembali? Sepatutnya kalau ibunya, setidaknya, bersikap bersahabat edngan Hay Hay, bukan malah bersikap dingin dan seperti orang yang tidak menyukai kehadiran pemuda itu di Cin-ling-pai. Ia tidak percaya bahwa orang tuanya mempunyai watak yang demikian tak kenal budi.

“Hay-ko, engkau jawablah sendiri pertanyaan ibu,” katanya dengan hati yang tidak puas. Sengaja ia memperlihatkan sikap ini karena ia memang jengkel dan agar ayah ibunya, juga kakeknya tahu akan kejengkelannya itu.

Akan tetapi Hay Hay tenang saja, bahkan senyumnya tidak meninggalkan mulutnya. Setelah memberi hormat kepada tiga orang tua itu yang kini juga mengambil tempat duduk menghadapinya, seperti panitya hakim yang sedang mengadilinya, diapun berkata dengan lembut.

“Saya mohon maaf kepada Kakek, Paman dan Bibi yang terhormat sebagai sesepuh Cin-ling-pai bahwa saya dengan lancang berani datang ke sini dan mencampuri urusan Cin-ling-pai.”

“Hay-ko, engkau datang karena kuajak, dan kedatanganmu bahkan menjadi penyelamat keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Bagaimana engkau malah minta maaf?” Kui Hong berkata setengah berteriak karena hatinya merasa penasaran sekali.

“Kui Hong, kami hanya ingin mengenal pemuda ini lebih dekat, kenapa engkau mendadak bersikap begini kasar?” Hui Song menegur puterinya. Mendepatkan teguran ayahnya, wajah Kui Hong menjadi marah dan mulutnya cemberut.

“Ayahmu benar, Kui Hong. Aku hanya ingin mengetahui siapa gurunya, dan siapa pula orang tuanya. Bukankah ini wajar?” kata ibunya.

“Hemm, sikap kalian yang tidak wajar,” teriak hati Kui Hong. Akan tetapi karena disitu terdapat Hay Hay, ia tidak ingin memperlihatkan perbantahan antara anak dan orang tua. Hay Hay sejak tadi masih tersenyum saja, walaupun disudut hatinya, dia pun merasa heran mengapa keluarga pendekar yang terkenal berbudi itu bersikap seperti itu, hal yang sesungguhnya amat janggal kalau diingat sejak kemunculannya disitu, dia hanya membantu keluarga itu.

“Kalau cu-wi (anda sekalian) ingin mengetahui siapa guru-guru saya, sesungguhnya saya belum pernah menyebut nama mereka kepada orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga cu-wi adalah keluarga pendekar besar, dan saya hanya memberi keterangan karena ditanya dan cu-wi menghendaki jawaban, maka biarlah sekali ini saya menyebut nama mereka…..”

“Hay-ko, kita sudah berkenalan lama sekali, menghadapi segala macam pengalaman dan bahaya maut, namun aku belum pernah mendesakmu untuk mengatakan siapa guru-gurumu. Kalau memang nama mereka harus dirahasiakan, engkau tidak perlu memaksa diri untuk menceritakan kepada orang tuaku!” kembali Kui Hong berseru, hatinya mulai terasa pahit.

“Kui Hong, engkau ini kenapa sih?” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang menegurnya. “Ayah ibumu hanya ingin lebih mengenal sahabatmu yang kauajak ke sini, hal itu kurasa wajar saja! Kenapa engkau seperti orang yang marah-marah?”

Kini Kui Hong tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Ia memang berwatak keras dan galak seperti ibunya, suka berterus terang. Kong-kong, siapakah yang aneh dan siapa yang tidak wajar? Hay-ko ini datang karena ku ajak, kemudian disini kami melihat hal yang tidak wajar, bahkan dia membantuku, dan terang terang saja, tanpa bantuannya, belum tentu aku akan mampu membereskan para penjahat itu dan membebaskan Cin-ling-pai dari malapetaka dengan mudah. Akan tetapi, apa yang kulihat sekarang? Sahabatku ini bukan disambut ramah, melainkan disambut dengan sikap yang tidak sepatutnya, seolah sahabatku ini baru saja melakukan kejahatan!”

Hui Song dan isterinya saling pandang, juga kakek Cia Kong Liang merasa canggung. Mereka bertiga bukan tidak tahu bahwa sikap mereka terhadap pemuda itu memang tidak patut kalau mengingat bahwa pemuda itu telah menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendengar siapa adanya pemuda itu membuat mereka mengkhawatirkan hal yang mereka anggap tidak kalah pentingnya, yaitu masa depan Kui Hong yang berarti menyangkut pula nama baik Cin-ling-pai.



Melihat peledakan yang terjadi antara kekasihnya dan orang tua kekasihnya itu, tentu Hay Hay yang merasa paling tidak enak. Dia cepat bangkit dan memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata kepada Kui Hong. “Hong-moi, kuminta dengan sangat agar engkau tidak menduga yang bukan-bukan. Biarlah saya memperkenalkan diri kepada orang tuamu, karena mereka berhak mengenalku sedalamnya. Nah, Kakek, Paman dan Bibi. Terus terang saya akui bahwa saya mempunyai empat orang guru. Yang pertama adalah suhu See-thian Lama atau Gobi San-jin, yang kedua adalah suhu Giu-sian Sin-kai, ketiga adalah suhu Pek Mau Sanjin, dan keempat suhu Song Lojin.”

Mendengar disebutnya nama-nama itu, tiga orang tua itu terkejut bukan main. Dua orang terdahulu adalah dua diantara Delapan Dewa. Kemudian, biarpun nama Pek Mau Sanjin jarang dikenal orang, namun mereka pernah mendengar nama ini sebagai nama seorang aneh yang kabarnya hidup diantara awan-awan di pegunungan tinggi! Juga nama Song Lojin hanya mereka kenal seperti nama tokoh dongeng saja. Tidak aneh kalau pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat dan sihir yang demikian hebat. Mereka kagum, namun kekaguman itu belum cukup kuat untuk mengusir perasaan tidak senang terhadap pemuda putera Ang-hong-cu itu.

“Kiranya guru-gurumu adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang namanya disebut-sebut seperti dalam dongeng. Mengagumkan sekali!” kata Ceng Sui Cin. “Dan siapakah orang tuamu, orang muda? Apakah nama keluargamu?”

Hay Hay merasa betapa jangtungnya berdebar tegang. Paling tidak enak kalau dia ditanya tentang orang tuanya. Kalau orang lain yang bertanya, mudah saja dia menjawab bahwa dia tidak mempunyai orang tua lagi. Akan tetapi sekali ini lain. Yang bertanya adalah ayah dan ibu Cia Kui Hong, gadis yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya. Tentu saja orang tua gadis itu berhak mengetahui dengan jelas siapa ayah dan ibunya, walaupun mereka telah tiada. Apakah akan dia katakan saja bahwa dia tidak berayah! Kalau begitu, berarti dia anak haram! Ah, tidak! Bagaimanapun juga ayahnya, dia tidak akan mengingkarinya karena memang benar ayahnya adalah Tang Bun An, Si Kumbang Merah! Lebih baik berterus terang, dari pada menyembunyikan dan kelak diketahui. Akan lebih tidak enak akibatnya. Lebih baik memasuki perjodohan dengan semua mata yang bersangkutan terbuka lebar, daripada dipejamkan seperti dalam mimpi dan kelak terkejut kalau sadar dan melihat kenyataan.

“Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia,” katanya lirih, namun wajahnya masih nampak berseri.

Hui Song dan Sui Cin, juga kakek Cia Kong Liang, masih teringat akan keterangan Ting Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai bahwa ayah pemuda ini, Ang-hong-cu, memang telah tewas setelah roboh oleh puteranya ini! Anak penjahat besar ini telah membunuh ayahnya sendiri!”

“Ah, jadi engkau sudah yatim piatu? Kasihan!” kata Ceng Sui Cin. “Siapakah nama mendiang ayahmu? Barangkali kami pernah mendengar atau bahkan mengenalnya.”

Kui Hong memandang khawatir. Ia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi tentu saja ia tiak dapat melarang kekasihnya memperkenalkan nama ayahnya.

“Nama ayah saya she Tang bernama Bun An,” kata Hay Hay dengan tabah, akan tetapi kini wajahnya serius dan senyumnya menghilang.

“Tang Bun An?” Sui Cin tiba-tiba menoleh kepada puterinya. “Kui Hong, aku mendengar tentang adik seperguruankmu Ling Ling …. apakah Tang Bun An yang itu, ataukah orang lain?”

Kui Hong menegakkan kepalanya dan dengan tabah ia pun menjawab, “Benar sekali, ibu. Tang Bun An adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) itu, dan Hay-ko juga tahu tentang adik Ling Ling, bahkan tadinya Hay-ko yang dituduh …..”

“Dan kami mendengar bahwa Ang-hong-cu telah di bunuh oleh Pendekar Mata Keranjang, putera kandungnya sendiri?” tanya Hui Song sambil memandang kepada Hay Hay.

“Benar sekali, Ayah! Walaupun tidak dibunuh sendiri, melainkan dikalahkan dan Ang-hong-cu membunuh diri sendiri. Dan yang disebut Pendekar Mata Keranjang itu adalah Tang Hay, atau Hay-koko inilah!”

Mendengar pengakuan Kui Hong, tiga orang tua itu menjadi heran bukan main. Bukan heran mendengar siapa adanya pemuda itu karena memang mereka sudah mendengar sebelumnya, melainkan heran mengapa Kui Hong agaknya menganggap keadaan pemuda itu biasa saja untuk dijadikan sahabat! Bahkan agaknya sahabat yang baik sekali.

“Kui Hong! Engkau tahu bahwa dia ini seorang mata keranjang, anak kandung Ang-hong-cu yang amat keji dan jahat itu? Dan kau bawa dia datang ke tempat kita ini? Apakah engkau sudah gila?” Ceng Sui Cin membentak marah sekali kepada puterinya, kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya, sekarang meledak karena ternyata puterinya sudah tahu akan keadaan pemuda itu.

“Ibu!” Kui Hong yang tidak kalah hebatnya itu menjawab, “Biarpun orang-orang yang tidak suka itu memberi julukan Pendekar Mata Keranjang kepadanya, akan tetapi Hay-ko bukanlah seorang penjahat cabul. Dia tidak boleh disamakan ayahnya, dan buktinya, dia malah menentang ayahnya dan yang menangkap ayahnya bahkan dia sendiri. Kalau ayahnya yang bersalah, kenapa Ibu menyeret pula anaknya?”

“Kui Hong ….. uhh …….!!” Sui Cin membanting kaki dan memondong tubuh Kui Bu, lalu pergi ke dalam meninggalkan ruangan itu.

Hui Song memandang anaknya dengan alis berkerut. “Kui Hong, sudah benarkah sikapmu terhadap ibumu?” Lalu dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Hay Hay dan berkata, “Saudara muda Tang, maafkan kami, akan tetapi terpaksa kami tidak dapat menerima Saudara karena diantara kita terdapat perbedaan golongan.”



“Ayahhh ……! Dia ini tamuku, aku yang mengundangnya!” Kembali Kui Hong membentak marah.

“Hemmm …..” Hui Song menahan kemarahannya yang dan mengepal tinju. “Aku belum lupa bahwa engkaulah pangcu dari Cin-ling-pai, jadi engkau yang berhak menentukan!” Setelah berkata demikian, Hui Song juga pergi kedalam menyusul isterinya. Dia tidak peduli lagi ketika puterinya memanggilnya.

“Ayahhh …..!!” Melihat ayahnya terus masuk, Kui Hong berpaling kepada kakek Cia Kong Liang. “Kong-kong ….!!”

Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Kui Hong, sekali ini engkailah yang keliru. Pikirkan dulu baik-baik,” katanya dan dia pun pergi meninggalkan ruangan itu.

Kui Hong berdiri seperti patung, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah, kedua tangan terkepal. Suara Hay Hay menyeretnya kembali kepada kenyataan.

“Hong-moi, ucapan kakekmu benar. Ayah ibumu yang benar dan engkau yang keliru membelaku. Bagaimanapun juga, kenyataan adalah bahwa aku ini anak kandung Ang-hhong-cu yang keji dan jahat, bahkan aku dilahirkan dari hasil perkosaan terhadap ibuku. Sedangkan engkau, engkau ini puteri keluarga Cia yang sudah turun temurun menjadi pemimpin Cin-ling-pai yang besar. Tentu saja engkau tidak boleh menyeret Cin-ling-pai sampai demikian rendahnya …..”

“Hay-ko……, diam kau! Begitu tega engkau hendak merobek-robek perasaan hatiku dengan ucapan itu? Engkau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Kita saling mencinta. Aku tahu akan keadaan dirimu da naku tidak perduli akan keturunanmu. Mereka tidak berhak melarangku bergaul denganmu, bahkan menikah denganmu. Siapapun tidak berhak! Aku yang akan menentukan sendiri langkah hidupku!”

“Hong-moi, jangan begitu …..”

“Hay-ko, katakan, apakah engkau cinta padaku?”

“Perlukah kukataka lagi? Sudah berapa kali kunyatakan kepadamu? Tentu saja aku cinta padamu, Hong-moi, dan justeru karena cintaku maka aku tidak ingin melihat engkau menderita karena bertentangan dengan keluargamu …..”

“Hay-ko, ini urusan keluargaku, engkau tidak dapat mencampuri. Biar kuselesaikan sendiri. Kau tunggu dulu di sini, aku harus bicara dengan mereka sampai tuntas!” Setelah berkata demikian, dengan gesit Kui Hong lalu menyusul ayah, ibu dan kakeknya ke dalam. Ia masih melihat pemuda itu menjatuhkan diri dengan lemas ke atas kursi dan belum pernah ia melihat wajah Hay Hay sepucat itu!

***

“Kui Hong!” Suara Cia Hui Song kini mengandung kemarahan dan ketegasan. “Di mana akal sehatmu? Tentu saja ayah ibumu tidak melarang engkau bergaul dengan orang-orang gagah sedunia, terutama dengan pendekar-pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengajak putera Ang-hong-cu ke sini? Biarpun dia sudah membantu kita, tetap saja kami tidak mungkin dapat menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan, apalagi sahabat anak kita. Lebih-lebih lagi sebagai pilihan hatinya! Engkau tahu, nama Ang-hong-cu dikutuk orang gagah sedunia, dan engkau akrab dengannya?”

“Tapi, Ayah. Kami sduah saling mencinta! Bahkan dia kuajak datang ke sini untuk minta pertimbangan Ayah dan Ibu agar kami diperkenankan menjadi suami isteri!”

“Tidak……!” Bentakan Hui Song dan Sui Cin hampir berbareng dan ini saja sudah cukup mejadi bukti bahwa suami isteri itu sependirian dalam hal ini, tidak setuju kalau puteri mereka berjodoh dengan anak Ang-hong-cu!

Kui Hong adalah seorang gadis berhati baja. Makin ditentang, semakin panas hatinya dan semakin berani. Ia menghadapi ayah ibunya dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, walaupun agak basah.

“Sungguh aku tidak menyangka. Apakah ayah dan ibu berpendirian kolot. Apakah ayah dan ibu tidak menghargai kesucian dua hati yang saling mencinta? Apakah Ayah dan Ibu hendak menjodohkan aku dengan pria pilihan Ayah dan Ibu sendiri, tidak menghiraukan pilihan hatiku seolah-olah aku ini bukan manusia, melainkan seekor anjing atau sapi saja? Bukankah ayah dan ibu dahulu juga menikah atas dasar saling mencinta?”

Mendengar serangan pertanyaan dari puteri mereka itu, Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan agak berkuranglah rasa marah dan penasaran mereka. Hui Song lalu berkata, suaranya lebih tenang.

“Memang benar, Kui Hong. Ayah ibu menikah berdasarkan cinta. Akan tetapi, tidak ada latar belakang buruk antara ayah dan ibumu sehingga pernikahan kami pun tidak ada halangannya. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang amat jahat dan keji, entah sudah merusak berapa ratus orang wanita! Bahkan keluarga kita sendiri, Cia Ling, menjadi korbanya! Seluruh orang gagah mengutuknya dan…..”

“Akan tetapi, Ayah. Aku tidak menikah dengan Ang-hong-cu, melainkan dengan Hay-koko!”

“Tapi dia adalah anak kandung Ang-hong-cu, Kui Hong!” bantah ibunya. Kui Bu sudah disuruh masuk kekamar, tidak diperbolehkan ikut mendengarkan percakapan itu oleh ibunya. “Dan bagaimana mungkin keluarga kita yang dihormati orang dapat berbesan dengan ang-hong-cu yang dikutuk semua orang?”



“Tapi, Ang-hong-cu sudah mati, Ibu! Yang jahat memang Ang-hong-cu, akan tetapi Hay-ko tidak jahat, bahkan dia seorang pendekar yang budiman dan gagah! Ingat, Ibu, Hay-ko tidak pernah minta dijadikan anak Ang-hong-cu! Bahkan sejak lahir dia belum pernah melihat muka Ang-hong-cu, sampai dia dewasa dan mencari Ang-hong-cu untuk membalaskan dendam ibunya yang diperkosa ……” Tiba-tiba Kui Hong menghentikan kata-katanya. Karena emosi, ia sampai lupa dan bahkan membuka rahasia Hay Hay yang tadinya hendak disembunyikan dari orang tuanya itu.

“Ya Tuhan! Bahkan dia anak akibat perkosaan yang dilakukan Ang-hong-cu terhadap ibunya? Anak haram ….?”

“Ibu! Ibu terlalu kejam kepadanya! Apa dosa Hay-ko dalam peristiwa terkutuk itu? Apa dosanya? Coba Ibu katakan, apa dosanya?”

Tentu saja Sui Cin tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepala.

“Jelas bahwa kami tidak mungkin dapat menyetujui engkau berjodoh dengan dia, Kui Hong. Ingat, engkau seorang pangcu dari Cin-ling-pai. Ingat akan sumpahmu? Engkau harus lebih mementingkan Cin-ling-pai daripada urusan pribadimu.”

“Ayah, kalau aku menikah dengan Hay-koko, hal itu sama sekali tidak merugikan Cin-ling-pai, bahkan Cin-ling-pai akan mendapat tenaga bantuan orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Cin-ling-pai bahkan akan menjadi semakin maju dengan bantuan Hay-ko sebagai suamiku.”

“Kui Hong, engkau lupa!” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang berkata. “Kalau begitu, lalu apa bedanya dengan Cin-ling-pai maju karena bantuan Pek-lian-kauw, misalnya? Orang-orang dunia kang-ouw akan mengatakan bahwa Cin-ling-pai menjadi kuat karena ada anak Ang-hong-cu menjadi anggauta pimpinan.”

“Kami tidak menghendaki itu!” kata pula Hui Song.

Kui Hong diam saja, sejenak ia memejamkan mata sambil memiarkan dirinya jatuh ke atas kursi. Ia tahu bahwa tidak mungkin lagi berbantahan dengan mereka ini. Jelas bahwa apa pun alasan yang ia kemukakan, kakeknya, ayah dan ibunya tidak akan mau menyetujui perjodohannya dengan Hay Hay. Apalagi kalau mereka menggunakan alasan Cin-ling-pai, tentu ia tidak lagi mampu bergerak. Suasana menjadi lengang sekali ketika gadis itu berdiam diri. Tiga orang tua itu memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kekhawatiran. Mereka semua mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang keras hati dan sukar diduga apa yang akan dilakukan gadis itu.

Akhirnya Kui Hong berdiri dan memandang kepada tiga orang tua itu, mula-mula kepada ibunya, lalu ayahnya, akhirnya kakeknya. “Baiklah, kalau begitu, aku akan mengundurkan diri dari Cin-ling-pai, aku tidak akan menjadi ketua Cin-ling-pai agar aku dapat menikah dengan suami pilihan hatiku sendiri. Aku akan memberi tahu kepada Hay-ko mengenai keputusanku ini.” Setelah berkata demikian ia lalu melangkah pergi meniggalkan ruangan itu.

“Kui Hong ……!” Sui Cin juga bangkit dan hendak mengejar, akan tetapi tangan suaminya menyentuh pundaknya.

“Jangan, tidak ada gunanya lagi,” kata suaminya.

Sui Cin mengerti dan ia pun hanya dapat melempar diri ke atas kursi dan menyembunyikan tangisnya di balik kedua tangannya. Suasana menjadi sangat mencekam dan tiga orang tua itu tenggelam dalam duka dan kecewa.

Dengan muka dan hati masih panas Kui Hong melangkah ke dalam ruangan tamu di mana Hay Hay menunggu. Akan tetapi, ketika ia tiba disana, ia tidak melihat Hay Hay yang tadi duduk di kursi. Ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya sampai keluar ruangan. Namun tidak nampak bayangan Hay Hay. Ia mendekati meja dan kursi dimana tadi Hay Hay duduk dan melihat selembar kertas dilipat di atas meja. Surat dari Hay Hay! Dengan tangan gemeter dan jantung berdebar dibukanya lipatan surat dan dibacanya.


Adik Kui Hong tersayang,
Kita harus melihat dua buah kenyataan yang membuat perjodohan kita tidak mungkin terjadi. Pertama, keluargamu tidak setuju, aku menjadi suamimu, dan kedua, aku sendiri tidak suka terikat di Cin-ling-pai kalau menjadi suamimu. Jangan menjadi anak tidak berbakti dan murid Cin-ling-pai yang murtad, Hong-moi. Cinta kasih adalah antara dua buah hati, akan tetapi pernikahan sudah diatur oleh Tuhan! Sudah kupertimbangkan. Demi kebaikanmu, aku harus mundur.
Aku harus pergi dan jangan tanya ke mana aku pergi, sayang.
Aku sendiri tidak tahu kemana aku pergi.
Sekali lagi ingat, Hong-moi. Jodoh di tangan Tuhan, maka kalau kita saling berjodoh, biar hari ini berpisah, kelak pasti akan bertemu kembali.

Salam dan doaku,
Hay Hay


“Hay-koko ….!” Kui Hong menggenggam surat itu dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kedua pundaknya berguncang dan walaupun tidak terdengar tangisnya, namun di bawah mukanya, meja menjadi semakin basah air mata.

Kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin beberapa lama kemudian ketika menyusul ke ruangan tamu, mendapatkan gadis itu dalam keadaan pingsan, duduk di kursi dengan kepala di atas meja, surat masih terngenggam di tangan. Dengan hati-hati Sui Cin mengambil surat itu dan membacanya. Beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua mata nyonya ini. Ia merasa kasihan sekali kepada Hay Hay dan Kui Hong, akan tetapi juga lega dan girang bahwa pemuda itu telah mengambil keputusan yang demikian bijaksana. Sayang, pikirnya kalau saja bukan putera Ang-hong-cu, keluarga Cia, dan ia sendiri, pasti akan menerima pemuda itu dengan hati dan tangan terbuka!



Tubuh Kui Hong panas! Ia terserang demam karena tekanan batin. Kakek, ayah dan ibunya membujuk dan menghiburnya penuh dengan kata-dan perawatan penuh kasih sayang sehingga akhirnya, bagaimanapun juga, Kui Hong harus membenarkan pendapat dan keputusan kekasihnya. Ia pulih kembali dan dalam hatinya berjanji akan mengurus Cin-ling-pai sebaiknya, dan tidak akan menikah dengan pria mana pun juga. Kalau Tuhan menghendaki, kelak pasti ia akan bertemu kembali dengan Hay Hay dan kalau memang menjodohkan mereka, pasti terbuka jalan sehingga pertalian kasih sayang mereka dapat terjalin dalam pernikahan.

***

Belum pernah selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu. Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang, tak menentu, dan ada sesuatu yang menekan dan menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus mendatangkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa dan ia merasa betapa dia hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa. Wajahnya yang biasa berseri itu kini muram, senyum yang biasanya tak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut seperti orang yang sedang tersiksa nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini bagaikan pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan seudah perlu diganti.

Memang sudah dua hari Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi. Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, jalan tanpa arah tertentu, asal kedua kakinya melangkah saja. Banyak lembah bukit dan sawah ladang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada dimana, dari mana atau hendak ke mana. Dia seperti seorang yang kehilangan ingatan, atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu.

Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal ii justeru membuat perasaan hatinya seperti di tusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis. Ingin memprotes, namun dia tidak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya!

Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihatnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan ikut berduka dengannya. Ada pula perasaan bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu, seolah mengejeknya, menyorakinya!

Haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di tepi sebuah danau kecil yang jernih airnya. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum walaupun air berada didekatnya dan haus mencekik lehernya. Dan ketika dia memejamkan kedua matanya, malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manisnya, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan.

“Hong-moi ….. aihhh, Hong-moi ……” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya. Hanya sesenggukan, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes, ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini!

Tiada hujan yang takkan mereda, tida tangis tanpa berhenti. Setelah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya mereda juga badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan hati Hay Hay. Air matanya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian pula, duka nestapa di hati kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, terasa ringan di hati yang tadinya amat tertekan itu.

Hay Hay tanpa sengaja atau disadari, menarik napas panjang. Seolah-olah hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, melegakan.

Hay Hay membuka matanya, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruangan tamu rumah Kui Hong itu. Dia menghela napas panjang, merasa heran mengapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Dan dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia terkejut.

“Ehh? Kaukah itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya. Dia melihat ketika dia bertanya itu, bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang seperti mayat hidup, wajah yang kotor dan muram, rambut awut-awutan, pakaian lusuh kototr.

“Ihh! Apa-apan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya. Dan tiba-tiba dia membungkuk dan membenamkan kepalanya sendiri sampai ke leher ke dalam air! Air yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman. Ketika akhirnya dia mengangkat kembali mukanya dari dalam air, dia agak terengah-engah. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah.



“Engkau tolol, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali ia membenamkan kepalanya ke dalam air! Hal ini berulang sampai beberapa kali, sampai napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar. Akan tetapi dia kini telah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Dia sudah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan?

Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tidak berduka lagi. Rambutnya sudah dia keringkan, masih terurai di pundak. Dia bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menanti pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijermurnya di ranting pohon. Sambil menanti, dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya. Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi. Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun kini, dengan pikiran jernih dan dingin, dia dapat melihat mengapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat daripada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu. Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat yang mempunyai tugas berat, harus menjaga nama baik Cin-ling-pai. Juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggauta keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci dan bahkan dikutuk oleh semua pendekar?

Memang pahit sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya! Dalam segala peristiwa yang terasa pahit dan tidak enak pun terkandung hikmah yang amat bermanfaat bagi yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pasti demi kebaikan orang itu sendiri. Tentu saja hati pikiran kita yang terbatas ini tidak mungkin mampu menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita hanya melihat kulitnya saja. Kalau menguntungkan kita, kita anggap baik. Kalau merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak.

Hay Hay teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunta yang terakhir, yaitu Song Lojin tentang hikmah yang terkandung dalam segala macam peristiwa dalam kehidupan ini. Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetik pun. Dan pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walaupun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti. Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, seperti Tuhan adalah Maha Sempurna! Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini teringat olehnya dan dia melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi mengandung pelajaran yang dapat membuka mata kita terhadap kenyataan, terhadap hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.

Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup berdua, ia cukup bahagia. Akan tetapi, pada suatu hari, puteranya jatuhs sakit dan usaha apa pun yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya, gagal. Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu. Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan. Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan dalam tangisnya, mengapap Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya anak, satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil!

Saking sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia bertelat untuk menghadap Tuha, untuk memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya.

“Janda saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat.

“Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.

“Mengapa?”

“Aku ingin memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan mempunyai anak seorang, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh ketawakalan, aku menyerah atas kehendak Tuhan. Aku hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi, mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap aku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yangberdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada kehidupanku, seorang yangselallu memuja Tuhan?”
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang dan anda bisa menemukan artikel Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cerita-dewasa-silat-jodoh-mata.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Dewasa Silat : Jodoh Mata Keranjang with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cerita-dewasa-silat-jodoh-mata.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar