Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 11 Mei 2012

Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 4

seorang pria yang suka dengan wanita-wanita muda sehingga di samping isterinya, juga di istananya terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik. Namun hal ini bukan merupakan kejahatan apalagi di masa itu di mana seorang bangsawan atau hartawan sudah biasa mempunyai banyak selir muda yang cantik. Pula, tidak pernahterdengar pangeran ini menggunakan kekuasaannya untuk memaksa isteri atau anak orang untuk menjadi selirnya.
Oleh karena itu, pembunuhan terhadap dirinya sungguh mengejutkan dan menggegerkan, apalagi ketika para tokoh
itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Sadis yang terkenal sebagai pembasmi yang kejam terhadap
orang-orang jahat, dan bahwa pembunuhan itu dilakukan karena Sang Pendekar yang kejam itu menuduhnya berbuat
kejahatan. Para tokoh besar dunia kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Pendekar Sadis, yang sudah
merasa marah dan menentang, tidak setuju akan kekejaman-kekejaman itu walaupun dilakukan terhadap penjahat-penjahat, kini menjadi marah dan menganggap bahwa Pendekar Sadis itu kini telah menyeleweng dan menjadi Penjahat Sadis!
Ramailah dipersoalkan orang siapa adanya pemuda yang disebut Pendekar Sadis itu. Pendekar Sadis tidak pernah
mengakui namanya dan julukannya itupun adalah pemberian orang kepadanya karena sepak terjangnya yang
mengerikan. Datangnya seperti setan, tersenyum-senyum, tampan, ganteng, halus sikapnya, suka bersajak dan
membaca ayat-ayat suci dari kitab-kitab suci, suka menyuling dan bernyanyi dengan suara merdu, akan tetapi
sekali tangannya bergerak, maka lawan akan terjatuh dan tewas dalam keadaan tersiksa dan amat mengerikan! Belum
pernah para tokoh kang-ouw melihat kekejaman yang sehebat itu dan merekapun merasa muak dan menentang keras.
Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Pendekar Sadis itu sungguh kejam dan tidak patut dilakukan oleh orang
yang mengaku Pendekar. Hal ini bisa menodai dan mengotorkan nama pendekar-pendekar di dunia! Pendekar bukanlah
orang yang kejam, walaupun pendekar selalu menentang kejahatan. Bahkan seorang pendekar harus menentang
kekejaman, bersikap adil tanpa kejam, mengabdi kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang
yang kuat sewenang-wenang. Bahkan dua orang murid Siauw-lim-pai itu, yang malam itu menjadi tamu Pangeran Toan
dan bahkan menjadi saksi kekejaman Pendekar Sadis, cepat-cepat pulang ke Siauw-lim-si untuk melaporkan sepak
terjang Pendekar Sadis kepada para pemimpin Siauw-lim-pai.
Sementara itu, Thian Sin juga merasa menyesal bahwa dia harus bentrok dengan dua orang yang melihat gerakannya
dapat diduga tentu tokoh-tokoh Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Kalau mereka itu membela
Toan-ong-ya, berarti mereka membela fihak yang salah, pikirnya. Dengan cepat dia membawa lari Kim Lan dari
istana pangeran itu. Dia tidak mau meninggalkan wanita itu di sana, karena hal itu sama saja dengan
mencelakakannya. Dengan cepat sekali dia telah keluar dari kota raja dan menuju ke kuil yang gelap dan sunyi
itu. Setibanya di luar kuil, dia menurunkan tubuh Kim Lan dan berkata, "Nah, sudah terbalas dendammu, sekarang pergilah kau."
Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Thian Sin. "Taihiap... aku merasa berterima kasih sekali kepadamu... dan biarlah aku menyerahkan diriku kepada taihiap untuk membalas budi aihiap..."
"Hemm, pergilah dan jangan kauganggu aku lagi!" kata Thian Sin.
"Tapi... tapi, taihiap, ke manakah aku dapat pergi? Kalau bertemu dengan kaki tangan dan teman-temannya Pangeran Toan, tentu aku akan tangkap dan dibunuhnya. Taihiap, mengapa taihiap menolong aku setengah-setengah?"
Thian Sin mengerutkan alisnya, maklum bahwa apa yang dikatakan oleh wanita itu memang ada benarnya. "Habis, apa maumu?" tanyanya, agak bingung juga.
"Taihiap, biarlah selama taihiap berada di sini aku menemani taihiap, aku akan melayani taihiap... dan apapun
yang taihiap kehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang hati."
Thian Sin tidak menjawab. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Untuk
mengusirnya begitu saja terang tidak mungkin karena tentu wanita ini akan tertimpa malapetaka kalau bertemu
dengan orang-orang yang mencarinya. Kematian Toan-ong-ya tentu akan menggemparkan kota raja dan para penjaga
keamanan tentu akan mencari wanita ini. Maka diapun lalu masuk ke dalam kuil, menyalakan lilin. Ketika dia
hendak membuat api unggun, dia telah didahului oleh Kim Lan yang tanpa banyak cakap, telah membuat api unggun,
kemudian wanita itu duduk di sudut tanpa banyak bergerak, hanya sepasang matanya yang bening itu menatap ke
arah pemuda itu.
Thian Sin melirik. Wanita itu memang manis, dengan bentuk tubuh yang padat, kulit leher dan tangan cukup bersih
dan halus. Sudah beberapa lamanya dia tidak berdekatan dengan wanita dan wanita ini memang manis, masih muda
pula.
"Tidak mungkin aku dapat melindungimu terus, besok aku akan pergi dari sini," tiba-tiba pemuda itu berkata
sambil merebahkan dirinya di alas jerami kering.
Kim Lan memandang dengan mata terbelalak, lalu bangkit dan menghampiri duduk di atas jerami dekat dengan Thian
Sin. "Engkau hendak pergi, taihiap? Ke mana? Lalu aku... aku bagaimana...?"
Sambil rebah itu Thian Sin memandang. Apa gunanya wanita ini? Dan tiba-tiba dia bertanya, "Kim Lan, apakah yang
harus kulakukan denganmu? Aku mempunyai banyak urusan penting dan aku tidak mungkin dapat melindungimu terus.
Aku telah membalaskan sakit hatimu. Besok aku harus pergi untuk mencari seorang musuh besarku yang sampai kini
belum juga kutemukan. Aku terpaksa akan meninggalkanmu di sini."
"Mencari musuhmu, taihiap? Siapakah yang kaucari? Siapa tahu aku dapat membantumu menemukannya."
Ucapan ini mendatangkan harapan pada Thian Sin. "Benarkah? Yang kucari itu adalah seorang yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang kabarnya melarikan diri di kota raja, akantetapi sampai kini belum juga dapat kutemukan."
Wanita itu nampak termenung dan bibirnya membisikkan nama itu berkali-kali. "Tok-ciang Sian-jin...?
Tok-ciang... ah, pernah aku mendengar nama itu, taihiap!" Dan iapun mendekat dan jari-jari tangannya memegang lengan Thian Sin karena merasa tegang dan girang. Pemuda itu merasa jari-jari tangan yang halus itu mencengkeram lengannya, akan tetapi hal ini tidak begitu diperhatikan karena dia sudah bangkit duduk dan memandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Benarkah? Engkau tahu di mana dia?" tanyanya.
Kim Lan mengangguk-angguk. "Sekarang aku teringat. Mendiang suamiku pernah mengirimi kulit harimau yang dipesan oleh ketua Pek-lian-kiuw di lereng Tai-hang-san, di dusun yang disebut Dusun Tiong-king. Ya, suamiku pernah bercerita bahwa di situ terdapat seorang kakek yang berjuluk Tok-ciang... yang kuingat hanya Tok-ciang begitu saja, entah Tok-ciang Sian-jin atau Tok-ciang siapa. Suamiku mendengar julukan itu dari percakapan antara para anggauta Pek-lian-kauw ketika dia menantikan pembayaran."
"Bagus sekali!" Thian Sin berseru dengan girang. "Engkau mau membantuku?"
"Tentu saja, taihiap. Setelah apa yang kaulakukan untukku, biar harus berkorban nyawapun untukmu aku bersedia melakukannya!"
"Aku akan mencari harimau dan engkau boleh menawarkan kulitnya ke orang Pek-lian-kauw, dengan demikian engkau dapat menyelidiki di mana adanya orang yang berjuluk Tok-ciang Sian-jin apakah dia itu benar Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam atau bukan."
"Baik, taihiap, dengan senang hati. Dan lebih dari itu... kalau engkau menghendaki... aku... aku akan senang
sekali menemanimu tidur..." Wajah itu masih sempat menjadi merah ketika mengatakan hal ini dan matanya mengerling tajam, mulutnya tersenyum. Memang sejak pertemuannya yang pertama dengan pemuda itu, Kim Lan sudah tergila-gila oleh ketampanan wajah Thian Sin, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Pendekar Sadis ini.
Thian Sin tersenyum, lalu meraih dan menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Tentu saja dia tidak menolak penawaran diri seorang wanita semanis Kim Lan, apalagi karena sudah beberapa lamanya dia tidak pernah menyentuh wanita.
***

Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) sebenarnya bukanlah suatu perkumpulan agama, melainkan sebuah perkumpulan
politik yang menentang pemerintah. Memang para pemimpinnya terdiri dari para tosu yang sebagian menganut Agama To yang sudah tidak aseli lagi, yang bercampur-baur dengan pelajaran-pelajaran Agama Buddha dan pelajaran
aliran-aliran lain yang suka akan hal-hal mistik. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulah penentang pemerintah yang kuat. Biarpun sudah sering kali pemerintah melakukan usaha untuk membasminya, namun perkumpulan ini selalu berdiri lagi dan mempunyai cabang di mana-mana. Kekuatannya terletak kepada pengerahan rakyat yang mudah terbujuk perkumpulan ini melalui ilmu-ilmu sihir, melalui filsafat-filsafat agama dan janji-janji. Tentu saja semua ini didasarkan atas penderitaan rakyat. Pek-lian-kauw pandai menggunakan bujuk rayu, memanfaatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat yang merasa tidak puas terhadap pemerintah yang memang pada waktu itu amat buruk.
Banyak pembesar yang bersikap sewenang-wenang, pejabat-pejabat yang menindas rakyat dengan berbagai jalan.
Kekeliruan pemerintah yang terutama adalah bahwa pemerintah selalu mengejar-ngejar perkumpulan itu dengan kekerasan. Tentu saja pemerintah selalu gagal, karena pemerintah hanya mengejar dan berusaha membasmi akibatnya saja tanpa mempedulikan sebabnya. Timbulnya ketidakpuasan rakyat membentuk adanya perkumpulan seperti perkumpulan Pek-lian-kauw yang ideologinya dilandaskan atas kemiskinan rakyat yang menderita dan tidak puas itu adalah akibat saja, dan sebabnya terletak pada keadaan rakyat itu sendiri. Biarpun ribuan kali perkumpulan semacam itu dibasmi, namun selama rakyat masih tertindas, miskin dan tidak puas, tentu akan muncul pula perkumpulan baru yang serupa, yaitu menentang pemerintah dan merongrong pemerintah.
Pek-lian-kauw selalu menghasut di dusun-dusun, rakyat miskin dengan mengatakan betapa rakyat sengsara hidupnya,ditindas, dan menonjolkan pula betapa mewahnya kehidupan orang-orang kaya dan pembesar-pembesar yang korup di kota-kota dan kota raja. Dengan perbandingan-perbandingan yang menyolok ini, yang ditambahi pula bumbu-bumbu, Pek-lian-kauw menghasut rakyat jelata untuk menentang, untuk memberontak terhadap orang kaya, terhadap pembesar, terhadap pemerintah. Kemiskinan rakyat merupakan sumber pertumbuhan perkumpulan semacam Pek-lian-kauw itulah. Rakyat yang kecewa atau tidak puas akan keadaan hidupnya, merupakan makanan empuk bagi perkumpulan semacam itu, mudah dihasut.
Oleh karena itu, mengejar-ngejar Pek-lian-kauw, membasminya dengan kekuatan senjata, sama saja dengan membabat
rumput pada daunnya saja. Karena akarnya masih, maka dalam waktu singkat saja rumput-rumput itu akan tumbuh
lagi, bahkan lebih subur mungkin. Sebuah pemerintahan yang baik, di bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang
bijaksana, tentu akan lebih mempelajari sebabnya daripada terkecoh oleh akibatnya, tentu akan lebih
memperhatikan akarnya daripada mengacuhkan rumputnya. Sebabnya atau akarnya terletak kepada kesengsaraan atau
kemelaratan rakyat jelata. Kalau pemerintah memperhatikan keadaan kehidupan rakyat jelata, di dusun-dusun, di
gunung-gunung, kalau pemerintah dapat meningkatkan kehidupan mereka yang miskin dengan pendapatan yang memadai,
sehingga semua rakyat dapat memperoleh sandang pangan papan yang layak, kalau perbedaan antara si kaya dan si
miskin tidak begitu menyolok, kalau semua pejabat yang memeras dan korupsi diberantas dan diganti orang-orang
yang bijaksana, maka rakyat akan hidup tenteram, tenang dan tidak kecewa. Nah, kalau sudah begini, maka tanpa
diberantaspun, perkumpulan-perkumpulan macam Pek-lian-kauw itu akan mati sendiri. Rakyat tentu akan terbuka
matanya bahwa perkumpulan semacam itu hanya menghasut belaka untuk mempergunakan kekuatan mereka, kekuatan
rakyat, untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan, atau lebih jelas lagi perkumpulan itu hendak
mempergunakan kekuatan rakyat untuk merebut kedudukan, demi kepentingan beberapa gelintir pemimpin perkumpulan
itu sendiri tentu saja. Dan rakyat tentu akan menentangnya.
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Akan tetapi
semenjak Jeng-hwa-pang diserbu oleh putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kemudian dibantu oleh keturunan
Cin-ling-pai, dia merasa tidak aman hidupnya. Dia masih merasa ngeri kalau membayangkan kelihaian putera
Pangeran Ceng Han Houw itu. Dan diapun mengerti bahwa pemuda yang mengandung sakit hati atas kematian ayah
bundanya itu tentu akhirnya akan mencarinya. Maka larilah dia, setelah Jeng-hwa-pang dibasmi, ke kota raja di
mana dia mempunyai banyak sahabat dan dapat menyembunyikan dirinya. Beberapa tahun lamanya tidak ada orang
mencarinya maka dia mulai merasa tenang.
Akan tetapi, kemudian terdengar munculnya seorang pemuda yang dijuluki Pendekar Sadis karena kekejamannya
membasmi orang-orang jahat. Tok-ciang Sian-jin teringat kepada Thian Sin, putera Ceng Han Houw itu, dan dia
sudah dapat menduga bahwa agaknya Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin putera pangeran yang pernah menggegerkan
dunia persilatan sebagai jagoan nomor satu itu! Dan diapun menjadi panik dan ketakutan, apalagi ketika dia
mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang telah diobrak-abrik oleh Pendekar Sadis, bahkan Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin
Mo-kai juga telah dibunuhnya secara mengerikan. Makin yakinlah hatinya bahwa pemuda itu tentulah Ceng Thian Sin
dan diapun tahu bahwa pemuda itu tentu akan mencarinya, tentu tahu pada akhirnya bahwa diapun menjadi satu di
antara pengeroyok dan pembunuh Pangeran Ceng Han Houw.
Tok-ciang Sian-jin merasa tidak aman lagi tinggal di kota raja dan diapun lari ke satu-satunya tempat yang
dirasanya aman baginya, yaitu ke sarang Pek-lian-kauw. Memang sudah lama dia mempunyai hubungan baik dengan
Pek-lian-kauw. Setelah dia menempati sebuah pondok di dalam komplek sarang Pek-lian-kauw dan beberapa oreng
tokoh Pek-lian-kauw yang cukup lihai sebagai teman, hatinya menjadi tenteram juga. Betapapun juga putera Sang
Pangeran Ceng Han Houw yang diduganya tentulah Si Pendekar Sadis itu hanya seorang diri saja, maka dengan
bantuan Pek-lian-kauw, bukan saja dia akan mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan kalau pemuda itu berani
muncul, dia tentu akan berusaha agar pendekar itu dikeroyok dan tewas seperti mendiang ayahnya.
Sarang Pek-lian-kauw yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san dan tidak jauh dari daerah kota raja itu
memang merupakan tempat yang amat baik bagi perkumpulan ini. Dan agaknya untuk tidak menarik perhatian
pemerintah, maka perkumpulan itu tidak mendirikan sebuah benteng, melainkan mempergunakan sebuah dusun untuk
menjadi sarang mereka. Mereka mendirikan rumah-rumah di antara penduduk dusun, dan ada pula yang mendirikan
rumah-rumah di hutan-hutan tepi dusun itu, akan tetapi di antara rumah-rumah ini terdapat hubungan rahasia dan
setiap saat tempat itu terjaga oleh anak buah Pek-lian-kauw yang bersembunyi di tempat-tempat rahasia. Para
penduduk dusun Tiong-king itupun kesemuanya telah dipengaruhi dan biarpun mereka masih merupakan penduduk dusun
biasa, namun sesungguhnya mereka itu telah menjadi anggauta-anggauta yang setia dari Pek-lian-kauw yang
menjanjikan perbaikan nasib bagi mereka kalau kelak "perjuangan" Pek-lian-kauw berhasil.
Pada suatu pagi, seorang wanita yang manis memasuki perkampungan Pek-lian-kauw itu dan karena ia membawa kulit
harimau dan mengatakan bahwa wanita itu adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi (Setan Penakluk Harimau), yaitu
pemburu yang biasa menjual kulit harimau dan ular besar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, maka ia diterima
tanpa banyak kecurigaan. Bahkan Kim Lan yang membawa dua gulung kulit harimau itu segera dibawa menghadap
kepada Thian Hwa Lo-su, yaitu kakek yang pada waktu itu menjadi pemimpin atau ketua cabang Pek-lian-kauw di
daerah itu. Adapun pusat Pek-lian-kauw masih berada di selatan, di Propinsi Hok-kian. Thian-hwa Lo-su ini
adalah seorang sahabat baik dari Tok-ciang Sian-jin, dan dia memimpin Pek-lian-kauw cabang daerah itu dengan
bantuan lima orang sutenya. Dengan hadirnya Tok-ciang Sian-jin di tempat itu, tentu saja dia merasa gembira dan
berarti memperoleh tenaga yang boleh diandalkan, yang akan membuat Pek-lian-kauw cabang daerah itu menjadi semakin kuat.
Pada waktu itu, Thian-hwa Lo-su sedang bersama lima orang sutenya dan juga Tok-ciang Sian-jin hadir pula.
Mereka sedang menerima kunjungan seorang tokoh Pek-lian-kauw dari Hok-kian. Tokoh ini adalah seorang tosu
Pek-lian-kauw yang bernama Giok-lian-cu, seorang tosu tinggi kurus yang mukanya seperti tikus akan tetapi
matanya amat berwibawa dan memang tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi di samping ilmu sihir yang
cukup kuat. Giok-lian-cu ini datang membawa pesan dari para pimpinan Pek-lian-kauw pusat untuk memperingatkan
para pengurus cabang bahwa mereka itu kurang tekun berusaha menarik dukungan rakyat.
"Bagaimana dapat dikatakan kami kurang berusaha?" Thian-hwa Lo-su membantah. "Kami setiap hari sudah membujuk dan menghibur rakyat di dusun-dusun, dan sudah banyak yang menjadi pengikut kami. Seperti di dusun Tiong-king ini, dari anak-anak sampai kakek-kakek, laki-laki maupun wanita, semua mendukung gerakan kita!" Dia merasa agak penasaran kalau dikatakan bahwa para pimpinan cabang kurang giat atau rukun bekerja.
"Siancai... harap Lo-heng jangan salah mengerti dan dapat menyelami apa yang dimaksudkan para pimpinan kita,"
kata Giok-lian-cu sambil tersenyum. Kalau tersenyum, mukanya semakin mirip dengan muka tikus karena bentuk muka
itu memang meruncing dan panjang, sedangkan muka itu dicukur licin, hanya disisakan beberapa helai kumis
jarang. "Coba Lo-heng jawab, selain berusaha membujuk dan mengambil hati rakyat dengan janji-janji muluk,
apakah juga kawan-kawan di daerah ini berusaha untuk mencegah dan menghalangi adanya kemakmuran rakyat? Apakah
ada usaha untuk mengacaukan pembagian air sawah, merusak tanaman, meracuni sungai-sungai agar ikan-ikan banyak
mati, juga mengadakan kekacauan-kekacauan berselubung sehingga rakyat hidup dalam kekurangan, kelaparan dan kegelisahan?"
Para pimpinan Pek-lian-kauw daerah itu terbelalak. Selama mereka menerima "gemblengan" di pusat belum pernah
mereka mendengar akan usaha seperti itu. "Tapi mengapa? Bukankah kita malah harus berbaik dengan rakyat miskin?
Mengapa kita harus membuat kehidupan mereka menjadi semakin memburuk...?"
"Ha-ha-ha, agaknya Lo-heng lupa bahwa rakyat harus dibuat semenderita mungkin, karena dengan demikian, dengan
adanya kegagalan panen, kegagalan para nelayan, kekacauan dan ketidakamanan, maka semakin besar pula rakyat
akan tidak puas dan membenci pemerintah. Kaisar dianggap sebagai utusan Thian, dan kalau sampai panen gagal dan
kehidupan sukar, berarti bahwa Thian marah kepada kaisar maka menjatuhkan hukuman. Ini lebih mudah untuk
mendorong rakyat untuk memberontak dan menjadi pengikut-pengikut kita."
Para pimpinan Pek-lian-kauw mengangguk-angguk dan mereka merasa kagum akan siasat baru yang dibawa oleh rekan
ini dari pusat. Mereka lalu menyatakan kesanggupan mereka untuk mempergiat usaha mereka membuat rakyat di
wilayah kekuasaan mereka menjadi semakin melarat, dan kalau perlu mereka akan membasmi hartawan-hartawan yang
suka menderma, menghancurkan atau membakar persediaan pangan, meracuni sungai yang banyak ikannya dan meracuni
tanaman-tanaman agar mati sebelum mengeluarkan hasil.
Akhirnya mereka itu minum arak dari cawan mereka sambil berseru, "Hidup Pek-lian-kauw! Demi kemakmuran rakyat
kalau pemerintah telah digulingkan dan Pek-lian-kauw yang berkuasa!"
Rapat pimpinan dilanjutkan dengan makan minum untuk menjamu tamu dari pusat itu. Dan biarpun para pimpinan
Pek-lian-kauw itu terdiri dari orang-orang yang mengenakan jubah pendeta, akan tetapi mereka semua tidak pernah
pantang makan barang berjiwa maupun minuman keras. Bahkan merekapun tidak pernah pantang bersenang-senang
dengan wanita. Karena itu, dalam perjamuan itupun terdapat beberapa orang wanita muda, yaitu wanita-wanita dari
dusun-dusun yang telah menjadi pendukung mereka, tentu saja dipilih yang manis-manis melayani mereka makan
minum. Para gadis yang telah dipilih oleh pimpinan Pek-lian-kauw itu rata-rata telah lama menjadi kekasih
mereka pula, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw. Gadis ini merasa
seolah-olah mereka itu terpilih dan merasa bangga karena selain mereka merasa dipakai oleh para orang
terkemuka, juga mereka tentu saja dihadiahi banyak barang berharga, pakaian indah dan emas permata. Karena itu,
dalam melayani mereka makan minum gadis-gadis itupun bersikap genit-genit, apalagi terhadap tamu itu, walaupun
pendeta tamu itu tak dapat dikatakan memiliki wajah dan bentuk badan yang menarik hati wanita.
Pada pagi hari itulah, selagi para pimpinan Pek-lian-kauw menjamu Giok-lian-cu, tokoh Pek-lian-kauw pusat itu, muncul Kim Lan yang menawarkan dua gulungan kulit harimau kepada para pimpinan Pek-lian-kauw. Anggauta Pek-lian-kauw yang mengenal suami wanita ini dan bahwa ketua mereka suka sekali mengumpulkan kulit binatang buas, segera membawa Kim Lan masuk ke ruangan di mana mereka sedang berpesta, apalagi melihat bahwa wanita penjual kulit harimau ini amat manis.
Melihat anggautanya datang membawa seorang wanita yang tidak mereka kenal, Thian-hwa Lo-su mengerutkan alisnya.Betapa sembrono anak buahnya itu. "Siapa yang kaubawa menghadap ini?"
"Maaf, suhu, ia adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi si pemburu yang pernah menjual kulit binatang buas ke sini,dan ia sekarang membawa dua gulung kulit harimau..."
Kecurigaan segera lenyap dari sepasang mata ketua Pek-lian-kauw itu dan kini dia memandang dengan penuh
perhatian, juga dengan pandang mata lembut ketika melihat betapa wanita itu memiliki wajah yang manis dan
pakaiannya yang ketat itu menonjolkan tubuh yang padat dan menggairahkan. Juga pandang mata wanita itu
mengandung kerling tajam, tanda bahwa wanita itu tidak berdarah dingin. Dan terutama sekali, baru sekarang tuan
rumah ini melihat betapa pandang mata tamunya berkilat. Kalau tadi tamunya menghadap para pelayan itu dengan
sikap tak acuh dan jemu, kini kedatangan wanita itu membangkitkan gairah tamunya. Dan memang, dibandingkan
dengan gadis dusun yang sudah terbiasa melayani mereka dan bersikap genit-genit itu, wanita penjual kulit
harimau ini jauh lebih unggul, baik dalam hal kemanisan wajah, kepadatan tubuh yang nampak menyembunyikan
kekuatan dan kehangatan, maupun dalam sikap yang nampak alim.
"Ah, jadi engkau adalah isteri Hok-houw-kwi? Pinto mengenal baik suamimu itu. Apa, sudah mendiang? Duduklah
nyonya muda, duduklah dan ceritakan kapan suamimu itu meninggal dunia," kata Thian-hwa Lo-su dengan sikapramah.
Kim Lan menolak dengan sikap malu-malu, akan tetapi setelah dibujuk oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang lain
akhirnya duduklah ia di sebuah kursi, setelah ia menarik kursi itu agak menjauh dari meja dan dari para tokoh
Pek-lian-kauw yang sedang duduk menghadapi masakan di atas meja yang panjang dan lebar itu. Diam-diam ia
mengerling ke arah mereka dan dengan mudah ia dapat mengenal Tok-ciang Sian-jin seperti yang didengarnya dari
Thian Sin. Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh, masih nampak kuat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya pucat
agak kehijauan, sepasang mata yang sipit seperti terpejam, dan jubahnya kuning. Yang berwajah dan bertubuh
seperti itu hanya orang ini, maka tentu inilah Tok-ciang Sian-jin, pikirnya. Pendeta yang selalu menatapnya,yang tinggi kurus pula, mukanya seperti tikus, tentu bukan Tok-ciang Sian-jin. Maka, iapun cepat mencurahkan perhatian kepada tugasnya dan setelah duduk, ia diam saja menundukkan mukanya yang manis.
"Ceritakanlah, nyonya, bagaimana suamimu meninggal? Apakah meninggal ketika memburu binatang buas? Sudah lama sekali dia tidak pernah mengirim kulit binatang ke sini," desak pula ketua cabang Pek-lian-kauw itu sambil tersenyum melihat betapa Si Muka Tikus itu nampak makin tertarik setelah mendengar bahwa suami wanita ini telah meninggal dunia.
Didesak demikian, tiba-tiba saja sepasang mata Kim Lan yang bening itu menjadi basah dan ia menjawab dengan
suara gemetar memancing rasa iba, "Suami saya... dan ayah saya... telah dibunuh oleh si keparat Pangeran Toan."
Ia sengaja memaki nama pangeran itu karena iapun tahu bahwa orang-orang Pek-lian-kauw ini amat membenci kaum bangsawan, hartawan, dan juga pemerintah.
"Toan-ong-ya...?" tanya ketua cabang Pek-lian-kauw itu dan semua orang memandangnya dengan penuh perhatian.
"Benar, totiang," kata wanita itu sambil menahan isaknya.
"Ahhh...! Tapi bukankah pangeran keparat ini baru-baru saja dibunuh oleh Pendekar Sadis? Demikian yang kami
dengar!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata dan diam-diam Kim Lan bergidik mendengar suara ini, suara yang
mengandung getaran yang mengguncangkan jantungnya. Pendekar Sadis telah memberi tahu kepadanya bahwa pendeta
ini memiliki kepandaian yang amat lihai.
"Saya juga sudah mendengar akan hal itu dan saya bersyukur karenanya. Siapapun yang membunuhnya, sakit hati
saya akan kematian suami dan ayah saya telah terbalas!" katanya dan ia dapat membuat suaranya terdengar lega dan bersyukur.
"Eh, nyonya muda, kau belum menceritakan mengapa suamimu dan ayahmu dibunuh oleh pangeran itu, dan kapankah terjadinya hal itu?"
"Ayah saya dan suami saya dibunuh oleh kaki tangan pangeran itu, kurang lebih empat bulan yang lalu karena...
karena... ketika saya diutus suami saya menjual kulit harimau ke sana, pangeran itu hendak memaksa saya menjadi
selirnya... saya melarikan diri, dikejar kaki tangan pangeran itu. Ayah dan suami saya membela, akan tetapi
mereka dibunuh dan saya berhasil melarikan diri dan bersembunyi. Setelah mendengar pangeran keparat itu dibunuh
orang barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya lagi."
Semua orang mengangguk-angguk. Akan tetapi ketua cabang Pek-lian-kauw itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan,
"Kalau mereka sudah mati, bagaimana engkau bisa memperoleh dua gulung kulit harimau ini?"
Hemm, ketua perkumpulan ini cerdik juga, pikir Kim Lan. Ia harus berhati-hati, karena kalau sampai bocor rahasianya, tentu ia akan mati tanpa dapat menghindarkan diri dari bahaya maut lagi.
"Setelah mendengar pangeran keparat itu tewas, saya berani keluar lagi dan bersama teman-teman pemburu yaitu
bekas teman-teman suami saya, saya lalu melanjutkan pekerjaan suami saya. Kami berhasil menjebak dua ekor
harimau dan karena kami memburu di hutan-hutan yang berdekatan dengan tempat ini, yaitu di lereng Tai-hang-san
sebelah barat, saya lalu teringat kepada pesan suami saya untuk menjual hasil buruan, terutama kulit harimau ke dusun Tiong-king, di mana katanya ada ketua perkumpulan yang suka membelinya."
"Hemm, dia mengatakan ketua perkumpulan? Perkumpulan apa?" tanya ketua Pek-lian-kauw dengan kaget.
"Saya tidak tahu namanya, totiang, hanya dikatakan bahwa di dusun ini saya boleh minta menghadap ketuanya untuk
menawarkan kulit-kulit ini. Maka saya berani datang ke sini karena menurut keterangan suami saya dahulu, para pendeta di sini berani membayar mahal dan juga bahwa mereka... semua manis budi dan gagah perkasa."
"Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba pendeta muka tikus itu tertawa. "Sayang suamimu telah meninggal nyonya, kalau belum,tentu aku akan suka berkenalan dengan dia."
Melihat sikap tamunya, ketua cabang Pek-lian-kauw tertawa. "Lo-te, kalau suaminya sudah meninggal, masih ada
isterinya, bukankah boleh juga untuk berkenalan?"
Mereka semua tertawa, kecuali Tok-ciang Sian-jin. Pendeta ini memang sejak dahulu tidak suka kepada wanita. Dia
lebih suka untuk mengajak seorang pria tampan menemaninya tidur. Dan mendengar bahwa suami dan ayah wanita ini
terbunuh oleh Toan-ong-ya yang baru saja terbunuh oleh Pendekar Sadis, dia tidak merasa enak hati sungguhpun dia tidak dapat menghubungkan wanita ini dengan Pendekar Sadis.
"Nyonya muda, jangan khawatir. Dua gulung kulit harimau itu tentu akan kami beli dan kami akan membayar berapa
saja harga yang kauminta. Akan tetapi, mengingat bahwa mendiang suamimu adalah sahabat baik kami, maka
engkaupun merupakan sahabat baik kami dan engkau kami anggap sebagai seorang tamu yang terhormat. Mari masuk
dan minum bersama kami, nyonya!" Dan kepada para pelayan itu Thian-hwa Lo-su berteriak agar disediakan mangkok,sumpit dan cawan bersih.
"Ah, mana saya berani, totiang... ? Saya... tidak seharusnya saya..."
"Nyonya, kami dengan sungguh hati menghormatimu sebagai isteri bekas sahabat dari Thian-hwa Lo-su, mengapa
engkau hendak menolaknya? Apakah engkau tidak mau menerima kebaikan kami?" Tiba-tiba pendeta yang bermuka tikus
itu berkata sambil tersenyum penuh arti. Sekali pandang saja Kim Lan yang sudah berpengalaman itu maklum apa
yang berkecamuk dalam benak kepala yang seperti kepala tikus itu dan di dalam hatinya iapun tersenyum puas.
Memang inilah yang dicarinya. Tanpa dapat mengait seorang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw dengan
kecantikannya, mana mungkin ia akan dapat menyelidiki tentang keadaan Tok-ciang Sian-jin itu? Dan Si Muka Tikus
ini agaknya bukan seorang yang berkedudukan rendah, buktinya dia dapat bicara seolah-olah dia berkuasa di situ.
Mendengar ucapan tamunya ini, Thian-hwa Lo-su girang sekali. Terbuka jalan baginya untuk meyenangkan hati
tamunya dan hal ini amat perlu karena dengan demikian maka tentu orang penting ini akan membuat laporan baik ke
pusat tentang dirinya. "Ha-ha-ha, engkau sungguh beruntung sekali, nyonya, telah menyenangkan hati tamu agung
kami. Perkenalkanlah, Lo-te ini adalah Giok-lian-cu, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan
engkau tidak akan rugi berkenalan dengan dia."
Dengan lagak seorang wanita "baik-baik", Kim Lan akhirnya menerima ajakan makan minum itu dengan sikap
malu-malu. Akan tetapi setelah makan minum beherapa cawan arak, wanita ini mulal tersenyum manis sekali kepada
Si Muka Tikus. Wajahnya yang manis menjadi kemerahan, senyumnya makin lebar, tidak malu-malu lagi seperti tadi
sehingga kalau tersenyum nampak deretan gigi putih rapi dan kadang-kadang nampak ujung lidahnya yang merah meruncing.
Giok-lian-cu, tosu Pek-lian-kauw yang seperti juga rekannya, biarpun sudah memakai pakaian pendeta namun masih
menjadi hamba nafsu yang amat lemah, sudah menjadi tergila-gila kepada Kim Lan. Seorang janda yang sudah empat
bulan ditinggal suaminya! Tentu saja bayangan ini lebih menarik daripada wanita-wanita dusun yang melayani
mereka makan minum itu, yang biarpun tidak bersuami, namun setiap malam melayani para pimpinan Pek-lian-kauw ditempat itu secara bergilir.
Dan Kim Lan pandai jual mahal, bersikap seperti seorang wanita yang belum tahu apa-apa, dan hanya dengan
bujukan dan seperti orang setengah terpaksa karena takut akhirnya ia membiarkan diririya digandeng dan setengah
ditarik-tarik oleh tosu muka tikus itu memasuki kamar tamu yang sudah disediakan untuknya oleh para
rekan-rekannya. Para tosu pimpinan cabang Pek-lian-kauw mengiringi mereka berdua yang masuk kamar itu dengan
ketawa gembira, membuat Kim Lan mudah saja menjadi merah mukanya, yang sesungguhnya bukan merah karena
malu-malu, melainkan karena marah! Namun semua ini harus dilakukannya. Betapapun juga, ia harus berkorban untuk
Pendekar Sadis. Bukan hanya karena pendekar itu telah mampu membalaskan sakit hatinya terhadap Pangeran Toan,
melainkan juga karena ia amat takut kepada pendekar yang luar biasa kejamnya itu, dan disamping rasa takut,
juga ia tunduk dan tergila-gila kepada pemuda itu setelah beberapa hari lamanya ia menjadi kekasih pemuda yang
lihai, gagah dan juga kejam dan aneh itu. Ia sudah berjanji untuk membantu, untuk menyelidiki tempat
persembunyian Tok-ciang Sian-jin dan tentang keadaan di sarang Pek-lian-kauw, dan satu-satunya jalan baginya
untuk dapat berhasil tentu saja hanya dengan mengorbankan dirinya dan menggunakan kecantikannya untuk memikat
hati seorang pimpinan Pek-lian-kauw. Dan ia berhasil. Dengan baik sekali karena dari percakapan tadi ia
diperkenalkan bahwa tamu agung yang harus dilayaninya adalah Giok-lian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw dari
pusat yang tentu saja amat dihormati oleh para pimpinan di situ. Juga, di dalam perjamuan tadi ia diam-diam
memperhatikan musuh Pendekar Sadis dan diam-diam ia merasa serem dan ngeri. Tosu itu nampak demikian pendiam
dan dingin, memandang rendah segala sesuatu di sekelilingnya, bahkan dialah satu-satunya orang di antara para
tosu itu yang tidak bersikap merendah dan menjilat terhadap tosu tamu muka tikus itu. Kim Lan maklum bahwa
orang seperti itu tentu amat kejam dan juga amat cerdik, maka ia bersikap amat hati-hati.
Untung bahwa bukan kepada tosu musuh besar Pendekar Sadis itu ia harus melayani, karena biarpun Tok-ciang
Sian-jin itu jauh lebih menarik sebagai pria dibandingkan dengan kakek muka tikus, namun ia akan merasa
ketakutan dan ngeri terhadap Tok-ciang Sian-jin dan tosu itu tentu akan dengan mudah dapat membongkar rahasianya.
Dengan pengalaman yang luas dalam hal hubungan antara wanita dan pria, Kim Lan dengan mudah saja membuat tosu
muka tikus itu semakin terbuai dan tergila-gila kepadanya, dan dari tosu inilah Kim Lan akhirnya dapat
memperoleh keterangan selengkapnya tentang diri Tok-ciang Sian-jin, di mana tinggalnya, di pondok mana, dan apa
kedudukannya di tempat itu. Satu-satunya pertanyaan Si Muka Tikus yang membayangkan keheranan tanpa kecurigaan hanyalah, "Eh, kenapa engkau tanya-tanya tentang Tok-ciang Sian-jin?"
Kim Lan menjawab sambil merangkul dan tubuhnya agak menggigil seperti orang ketakutan dan ngeri. "Mukanya
begitu dingin dan sinar matanya kepadaku seolah-olah hendak menembus jantungku. Itulah sebabnya aku ingin tahu siapa sih manusia bermuka dingin itu."
Jawaban ini menyenangkan hati Giok-lian-cu dan diapun menceritakan semua keadaan Tok-ciang Sian-jin seperti
yang ditanyakan oleh wanita yang malam itu benar-benar telah menghiburnya dan membuatnya merasa senang sekali.
Biarpun malam itu merupakan siksaan jasmani dan rohani bagi Kim Lan yang harus melayani seorang kakek yang
dibencinya, harus menurut saja apapun yang dilakukan oleh laki-laki itu kepadanya, namun pada keesokan harinya,
ketika ia berpamit dan dibekali uang cukup banyak untuk membayar dua gulung kulit harimau dan pelayanannya, Kim
Lan pulang dengan hati senang bukan main. Ia telah berhasil, ia akan membikin girang hati Pendekar Sadis yang
dipuja dan dicintanya!
Setelah Thian Sin mendengarkan semua keterangan dari Kim Lan tentang musuh besarnya, dia tersenyum girang.
"Terima kasih, Kim Lan. Kau tunggu saja di dalam hutan ini, aku mau pergi, tunggu sampai aku kembali!"
"Taihiap...!" Kim Lan berseru, akan tetapi pendekar itu telah lenyap dari depannya dengan cepat sekali. Kim Lan
duduk di atas batu sambil termenung, merasa kesepian dan juga gelisah. Malam tadi ia telah melakukan tugas yang
berat dan sekarangpun ia masih merasa muak kalau teringat akan kakek si muka tikus. Akan tetapi, pendekar itu
tidak mau menghiburnya dan pergi begitu saja, menyuruhnya tinggal seorang diri di tempat sunyi itu. Akan tetapi
ia percaya bahwa Pendekar Sadis tentu akan kembali dan kalau pendekar itu sudah berhasil membunuh musuh
besarnya, barulah ia akan menagih upah sepuas hatinya atas jasa-jasanya membantu pendekar itu!
Sementara itu, Thian Sin sudah melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Dia telah
memperoleh keterangan dengan jelas dari Kim Lan. Tok-ciang Sian-jin memang benar berada di sarang
Pek-lian-kauw, dan menurut keterangan wanita itu, Tok-ciang Sian-jin bersembunyi di dalam sebuah pondok seorang
diri di sebelah utara dusun atau perkampungan Pek-lian-kauw itu. Dan perkampungan itu setiap saat dijaga oleh
anak buah Pek-lian-kauw sehingga tidak mungkin ada orang asing dapat memasuki kampung tanpa diketahui mereka
dan sebelum dia sempat bertemu dengan musuh besarnya itu, tentu dia telah dilaporkan terlebih dahulu dan fihak
musuhnya dapat berjaga-jaga. Akan tetapi, pada waktu pagi itulah kesempatannya yang paling baik karena menurut
keterangan Kim Lan, Tok-ciang Sian-jin berlatih samadhi dan tidak keluar dari pondoknya dari pagi sampai sore,
tosu itu melatih ilmu silat kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, atau setidaknya bertukar pikiran tentang ilmu
silat dan saling mengisi. Menurut penuturan kakek muka tikus yang memberi keterangan kepada Kim Lan, katanya
Tok-ciang Sian-jin mempunyai hubungan baik sekali dengan Thian-hwa Lo-su dan sering mewakili ketua itu untuk
melatih ilmu silat kepada murid-murid ketua itu, dan bahkan kepada para sute ketua itu yang merupakan dewan
pimpinan cabang Pek-lian-kauw. Tentu saja hal itu dilakukan sebagai imbalan jasa Pek-lian-kauw yang sudah
menerimanya untuk bersembunyi di tempat itu dan juga tentu saja untuk perlindungan yang dijanjikan oleh
Pek-lian-kauw kepadanya untuk menghadapi musuh besarnya, demikian pikir Thian Sin. Dan memang sesungguhnya
dugaan pemuda ini tidak meleset dari kenyataan. Tok-ciang Sian-jin sudah mendengar tentang Pendekar Sadis itu,
sudah dapat menyangka siapa adanya pendekar kejam itu, dan dia merasa gentar sekali. Maka dia sudah berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw untuk minta bantuan mereka apabila musuh besarnya tiba, dan sudah memperoleh janji dari pihak pimpinan Pek-lian-kauw.
Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak merasa takut menghadapi mereka semua itu. Hanya dia bersikap cerdik,
tidak mau memasuki sarang Pek-lian-kauw begitu saja, karena kalau dia tidak hati-hati dan masuk begitu saja,sebelum dia bertemu dengan musuhnya, dia akan ketahuan dan musuhnya yang mendengar akan kedatangannya itu sangat boleh jadi akan melarikan diri terlebih dulu. Dia harus dapat menyergap Tok-ciang Sian-jin di pondoknya sebelum orang itu pergi, dan setelah itu, biar dia akan dikeroyok oleh seluruh anggauta Pek-lian-kauw
sekalipun, dia tidak merasa gentar. Yang penting dia harus dapat bertemu dengan Tok-ciang Sian-jin dan membunuh musuh besar ini sebelum orang itu sempat melarikan diri lagi.
Ketika itu Thian Sin menyelinap di antara pohon-pohon di luar dusun sebelah utara. Sampai beberapa lamanya dia
diam saja bersembunyi tanpa bergerak dan akhirnya dia dapat melihat tiga orang anggauta Pek-lian-kauw yang
mendekam di dalam parit, agak jauh di depannya. Hemm, kiranya mereka itu berjaga sambil bersembunyi di dalam
parit, seperti barisan pendam. Tentu saja sukar bagi orang luar untuk memasuki wilayah itu tanpa ketahuan,
pikirnya. Dia lalu menyelinap di antara pohon dan semak-semak, mempergunakan kepandaiannya sehingga gerakannya
seperti terbang saja, cepat sekali dia berpindah dari pohon ke pohon, bergerak ke sebelah kanan. Tepat seperti
yang diduganya, antara jarak seratus meter dari parit itu, terdapat parit lain dengan tiga orang anggauta
Pek-lian-kauw yang berjaga sambil enak-enak duduk di dalam parit. Ketika dia memeriksa ke kiri, di sebelah
parit pertama, juga dalam jarak seratus meter, terdapat parit lain. Kiranya demikian ketat penjagaannya.
Thian Sin bergerak cepat, setelah dia merunduk dan bergerak sambil tiarap di antara rumput, mendekati parit
pertama, setelah tiba dekat tubuhnya terjun ke bawah dan sebelum tiga orang itu sempat mengeluarkan suara,
hanya memandang dengan mata terbelalak, dalam beberapa detik saja Thian Sin telah merobohkan mereka dengan
menotok mereka. Gerakannya terlampau cepat bagi tiga orang penjaga ini sehingga mereka itu sebelum tahu apa
yang terjadi telah roboh terkulai pingsan! Thian Sin cepat menggunakan sabuk mereka untuk mengikat kaki tangan
mereka, lalu menggunakan baju mereka untuk menyumbat mulut mereka sehingga kalau mereka siuman kembali, mereka
takkan dapat berkutik atau berteriak. Semua ini dilakukannya dalam waktu kurang dari lima menit dan di lain
saat, dia sudah bergerak seperti seekor ular, bertiarap dan merangkak maju menuju ke parit ke dua di sebelah
kiri. Kembali dia menaklukkan tiga orang penjaga seperti tadi dan tak lama kemudian dia sudah meninggalkan
mereka menuju ke parit ke tiga dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka seperti tiga orang teman mereka
yang pertama tadi. Tanpa banyak mengalami kesukaran, Thian Sin juga membuat tiga orang penjaga di parit ke tiga
tidak berdaya. Giranglah hatinya dan diapun cepat bergerak maju. Akan tetapi dia tidak kehilangan
kewaspadaannya. Biarpun dia sudah membersihkan jalan masuk dengan menundukkan para penjaga di tiga parit, dan
dia percaya bahwa penjaga di parit yang lain jauh untuk dapat melihatnya, dia masih maju dengan sangat
hati-hati. Pondok yang paling ujung itu, pondok tempat tinggal Tok-ciang Sian-jin sudah nampak. Akan tetapi
Thian Sin menahan kegembiraan hati yang dapat membuat orang menjadi lengah itu. Dia tetap berhati-hati dan
memeriksa keadaan sekelilingnya dengan teliti. Dan sikapnya ini berhasil baik ketika tiba-tiba dari jauh dia
melihat gerakan di atas pohon. Cepat dia menyelinap di balik semak-semak belukar dan mengintai. Ternyata di
atas pohon itu terdapat seorang penjaganya! Ah, tentu di lain-lain pohon yang agaknya sengaja ditanam di
sekeliling daerah itu tentu ada penjaganya yang bersembunyi. Untuk melumpuhkan penjaga di atas pohon itu
seperti yang dilakukannya terhadap para penjaga di parit tidaklah mudah, pikirnya. Tentu gerakannya itu akan
nampak oleh para penjaga lain di pohon lain, atau bahkan nampak dari jendela pondok itu. Siapa tahu Tok-ciang
Sian-jin sedang melihat dari sana. Thian Sin memutar otak mencari akal.
Kemudian dia mengambil keputusan untuk mempergunakan kepandaiannya yang lain, yaitu ilmu sihirnya. Dengan
langkah tetap dia lalu bangkit dan berjalan menghampiri pohon itu! Dia telah berada di dalam wilayah
Pek-lian-kauw setelah dapat melampaui para penjaga di parit tadi, maka biarlah dia berlagak seperti bukan orang
asing di daerah itu! Setelah tiba di dekat pohon dia lalu memandang ke atas, ke arah penjaga yang sejak tadi
tentu saja telah melihatnya dan sudah mempersiapkan anak panah di busurnya untuk menyerang ke bawah itu.
Akan tetapi penjaga itu menjadi ragu-ragu ketika pemuda yang berada di bawah itu menggapai dengan tangan,
tersenyum ramah dan berkata, "Hai, kawan, aku ada pesan penting sekali dari ketua. Turunlah, akan kuberitahukan padamu!"
Penjaga itu meragu, akan tetapi melihat sikap pemuda ini dan melihat bahwa pemuda itu telah berada di daerah
mereka sendiri, berarti bukan orang asing karena orang asing takkan mungkin mampu melewati para penjaga parit,
dan mendengar bahwa pemuda itu membawa pesan penting dari ketua, dia menjadi ingin tahu dan cepat memanjat
turun dari pohon. Pemuda itu tidak membawa senjata dan sikapnya tidak seperti seorang musuh, maka diapun tidak khawatir.
Akan tetapi ketika dia sudah berdiri berhadapan dengan pemuda itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong
seperti mata harimau. Penjaga itu terkejut sekali, namun terlambat karena dia sudah tunduk di bawah pengaruh
pandang mata Thian Sin yang kini berkata dengan suara lirih namun mengandung penuh wibawa, terutama sekaii terasa oleh orang itu sebagai perintah yang tak mungkin dibantah.
"Antarkan aku menghadap Tok-ciang Sian-jin ke pondoknya!"
"Baik, kuantarkan, marilah," jawab penjaga itu seakan-akan dia bicara dengan seorang rekannya sendiri. Tentu saja hal ini adalah hasil dari kekuatan sihir Thian Sin yang memaksa orang itu percaya bahwa dia adalah seorang temannya.
Para penjaga lain di atas pohon yang berada di kanan kiri tentu saja melihat hal ini, akan tetapi karena
penjaga itu menerima Si Pemuda dengan baik, bahkan mengajaknya berjalan menuju ke pondok tempat tinggal
Tok-ciang Sian-jin, tentu saja para penjaga lain itu tidak menaruh curiga dan mengira bahwa pemuda itu adalah penduduk dusun atau juga orang yang sudah dikenal oleh penjaga itu maka dapat diterima. Apalagi melihat orang itu dibawa oleh si penjaga menuju ke pondok Tok-ciang Sian-jin, para penjaga lain itu tersenyum. Mereka sudah mengenal watak Tok-ciang Sian-jin, yang lebih suka berdekatan dengan seorang pemuda tampan daripada dengan
wanita. Dan pemuda itu, biarpun kelihatan dari jarak agak jauh, memang nampak tampan!
Berdebar tegang juga rasa hati Thian Sin setelah mereka berdua mendekati pondok itu. Di sinilah orang yang selama ini dicari-carinya! Hatinya berdebar karena tegang dan girang, juga khawatir kalau-kalau dia gagal.
"Panggil dia keluar, katakan ada tamu yang membawa berita penting untuknya!" bisiknya dengan pengerahan tenaga sihirnya. Orang itu mengangguk dan mengetuk pintu pondok yang tertutup dengan hati-hati.
"Sian-jin harap suka buka pintu, ada tamu yang membawa berita penting sekali untuk Sian-jin!"
Sunyi saja di dalam. Tidak ada jawaban. Penjaga itu, atas desakan Thian Sin, mengetuk lagi dan mengulang
kata-ketanya sampai beberapa kali. Akan tetapi tetap saja sunyi, tidak ada jawaban dari dalam. Tentu saja Thian
Sin menjadi curiga dan khawatir kalau-kalau gagal. Dia lalu menerjang ke depan, mendorong pintu dengan kedua tangannya.
"Brakkk...!" Pintu itu jebol dan terbuka. Thian Sin dengan berani meloncat ke dalam pondok, membiarkan penjaga
itu bengong terlongong, seperti baru bangun dari tidur dan merasa terheran-heran mengapa dia berada di depan
pondok itu melihat orang menjebol pintu pondok, padahal seharusnya dia berjaga di atas pohon!
Thian Sin bergerak cepat di dalam pondok, memeriksa seluruh isi pondok. Ternyata pondok itu kosong! Burung itu
telah terbang! Dia telah ditipu, atau bahkan dijebak! Dengan marah dia lalu menendangi semua barang di dalam
pondok itu sehingga terdengar suara hiruk-pikuk dan barang-barang di situ rusak semua. Tiba-tiba terdengar suara ketawa di luar pondok!
"Ha-ha-ha, Pendekar Sadis! Engkau telah masuk perangkap!"
Thian Sin menjadi marah sekali, tidak tahu marah kepada siapa. Dia tidak tahu apakah Kim Lan mengkhianatinya?
Agaknya tidak demikian. Lebih besar kemungkinan bahwa memang Pek-lian-kauw ini lihai sekali sehingga mereka
sudah tahu akan kunjungannya sehingga sebelum dia tiba di pondok, Tok-ciang Sian-jin telah pergi dulu dan
membiarkan dia memasuki pondok kosong. Dia lalu menerjang keluar dan ternyata orang yang dicarinya itu,
Tok-ciang Sian-jin, memang sudah berada di luar, berdiri dengan tegak di samping tujuh orang berjubah pendeta
yang dia duga tentulah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan di belakang orang-orang itu nampak puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw. Tempat itu telah dikurung oleh para anggauta Pek-lian-kauw.
Thian Sin tersenyum mengejek. Sikapnya tenang sekali walaupun dia maklum bahwa dia telah dikurung oleh
sedikitnya seratus orang, dan dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan dia
masih mampu mengeluarkan kata-kata yang dinyanyikannya untuk mengejek lawannya, "Seekor buaya selalu memilih
pecomberan di mana dia akan merasa senang. Seorang Ciu Hek Lam, biarpun sudah berjuluk Tok-ciang Sian-jin,
merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya di antara orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak segan-segan untuk melakukan pengeroyokan. Betapa menjemukan!"
Mendengar ini, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw menjadi merah mukanya, sedangkan Tok-ciang Sian-jin diam
saja, hanya memandang dengan tajam, wajahnya yang dingin sama sekali tidak membayangkan sesuatu. Senjatanya
pecut baja masih terlibat di pinggangnya, dan dia selalu mengikuti gerak-gerik Thian Sin dengan penuh
perhatian. Diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang yang masih begini muda telah memiliki kepandaian
yang demikian menggiriskan, bahkan telah dikenal sebagai Pendekar Sadis yang sepak terjangnya mendirikan bulu
roma. Untunglah dia bersikap waspada dan dia sudah curiga kepada wanita pembawa dua gulung kulit harimau itu,
maka diam-diam setelah wanita itu pergi, dia mengadakan perundingan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw,
menyatakan kecurigaannya dan diam-diam diapun sudah bersiap-siap sehingga ketika pemuda itu muncul, dia telah
mengetahuinya terlebih dulu dan mengatur jebakan. Kini pemuda itu telah terkurung dan menurut kehendaknya, dia
ingin lekas-lekas melihat pemuda yang merupakan ancaman baginya itu dienyahkan dari muka bumi. Akan tetapi, di
depan para orang Pek-lian-kauw, tentu saja dia merasa malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, apalagi di situ
terdapat Giok-lian-cu yang kabarnya amat lihai itu.
Sementara itu, mendengar ucapan Thian Sin yang dilagukan seperti nyanyian ejekan ini, pendeta bermuka tikus itu
lalu tertawa dan diapun lalu memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata yang amat tajam, seolah-olah ada
getaran keluar dari sinar matanya, lalu mulutnya mengeluarkan suara yang juga mengandung getaran amat
berwibawa, sehingga terasa oleh semua orang yang berada di situ.
"Orang muda, engkau berhadapan dengan Giok-lian-cu. Engkau telah terkurung, melawanpun tidak ada gunanya. Orang
muda, lihatlah baik-baik padaku dan kuperingatkan engkau untuk lekas berlutut dan menyerah!" Thian Sin merasa
bahwa ada kekuatan yang cukup hebat seperti hendak memaksanya berlutut. Namun dia dapat menangkis dan melawan
kekuatan sihir ini, akan tetapi dia lalu mempunyai akal. Mengapa dia tidak pura-pura menurut? Kalau dia sudah
berlutut, tentu Tok-ciang Sian-jin akan turun tangan menyerangnya dan saat itu, selagi semua orang lengah, dia
akan dapat menyerang musuh besarnya itu dan merobohkannya! Kalau sekarang dia menyerang, tentu akan terdapat
banyak orang yang melindungi Tok-ciang Sian-jin sehingga dia khawatir kalau-kalau serangannya akan gagal dan
dia keburu dikepung ketat sehingga musuh besarnya itu akan mampu melarikan diri lagi. Maka, setelah
memperhitungkan dengan cepat, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut!
Melihat ini, Giok-lian-cu tertawa bergelak dengan hati penuh kebanggaan. Dia telah berhasil memperlihatkan
kepandaiannya, disaksikan oleh semua anak buah Pek-lian-kauw. Dan memang semua orang mengeluarkan seruan kagum
melihat betapa dengan sekali perintah saja, pemuda yang didesas-desuskan sebagai Pendekar Sadis itu telah
menjatuhkan diri berlutut di depan tamu dari Pek-lian-kauw pusat itu! Sementara itu, melihat pemuda itu
menjatuhkan diri berlutut Tok-ciang Sian-jin merasa girang sekali dan menurutkan kata hatinya, ingin dia segera
menubruk, menyerang dan membunuh pemuda itu. Sudah dilolosnya cambuk atau pecut bajanya dari pinggangnya, akan tetapi kecerdikannya menahan tangannya untuk bergerak, sebaliknya dia lalu, berkata kepada dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su yang juga dapat disebut muridnya karena lima orang itu sering kali menerima petunjuk-petunjuknya dalam ilmu silat.
"Lekas ringkus dia, tapi patahkah dulu kedua tulang pundaknya!"
Dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su cepat menubruk maju dari kanan kiri. Merekapun ingin berjasa dan memperlihatkan kepandaian, dan tentu saja mereka berani melakukan ini bukan hanya karena tingkat kepandaian
merekapun sudah tinggi akan tetapi terutama melihat keadaan pemuda itu yang sudah dikuasai oleh sihir dari Giok-lian-cu. Jangankan pemuda itu sudah tak berdaya, biarpun pemuda itu masih sehat sekalipun kalau mereka
maju berdua, mereka tidak merasa takut. Nama besar Pendekar Sadis itu mungkin omong kosong belaka, pikir mereka, melihat keadaan usia pemuda ini yang masih begitu muda. Maka, sekali menubruk, keduanya sudah menghantamkan tangan terbuka dengan pengerahan sin-kang untuk menghancurkan tulang pundak kanan kiri Thian Sin.
Diam-diam Thian Sin kecewa bukan main. Siasatnya memang sudah berhasil dan orang menyangka dia benar-benar
telah dikuasai ilmu sihir dari tosu muka tikus itu. Akan tetapi sialnya, bukan Tok-ciang Sian-jin yang maju sendiri walaupun orang itu telah melolos senjata, melainkan menyuruh dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lain.
Akan tetapi, tentu saja dia tidak sudi tulang pundaknya diremukkan orang dan melihat angin pukulan yang cukup dahsyat itu berbahayalah tulang pundaknya kalau dia tidak melawan.
"Dess! Desss!" Thian Sin bangkit menangkis dan tubuh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terlempar ke kanan
kiri dan terbanting keras. Thian Sin tidak berhenti sampai sekian saja, sambil membentak, "Tok-ciang Sian-jin pengecut hina!" Dia sudah menerjang dan mengirim pukulan dahsyat ke arah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam.
"Desss...! Desss...!" Tok-ciang Sian-jin dan juga Thian-hwa Lo-su yang ikut menangkis serangan itu untuk
melindungi sahabatnya, terjengkang dan keduanya tentu akan terbanting pula kalau mereka tidak cepat berjungkir balik.
"Tar-tar-tarrr!" Cambuk baja di tangan Tok-ciang Sian-jin sudah meledak-ledak ke atas kepala Thian Sin. Akan
tetapi setiap serangan cambuk itu membalik ketika bertemu dengan jari-jari tangan pemuda itu. Dari samping menyambar angin pukulan dahsyat sekali. Thian Sin terkejut, maklum akan datangnya serangan yang kuat. Cepat ia membalik dan menangkis sambil menggunakan tenaga Thi-khi-i-beng.
"Plakk! Ahhhhh... ahhhhh, lepaskan...!" Giok-lian-cu terkejut bukan main ketika melihat betapa lengannya
melekat dengan lengan pemuda itu dan betapa tenaga sin-kangnya membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan
yang merapat dengan lengan pemuda itu. Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga menampar ke arah kepala Thian Sin.
Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal lengannya.
"Plakk! Aihhhhh... lepaskan tanganku...!" Thian-hwa Lo-su juga berseru dan kedua orang ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka akan tetapi sungguh celaka, makin besar mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar.
"Itu Thi-khi-i-beng, jangan kerahkan sin-kang!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berseru keras dan cambuknya
menyambar-nyambar lagi, kini cambuknya itu seperti burung mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala, kedua mata
dan bagian-bagian yang lemah lainnya. Menghadapi ini, Thian Sin terpaksa berlompatan dan melepaskan dua orang
yang melekat pada lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum ia mampu mendesak Tok-ciang Sian-jin, para tosu lain
telah mengurung dan mengeroyoknya. Juga Thian-hwa Lo-su dan Giok-lian-cu yang marah sekali karena dipermainkan pemuda ini, telah maju mengeroyok sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Bukan hanya mereka, bahkan kini banyak anggauta Pek-lian-kauw yang mengepung dan mendesaknya. Para anggauta ini dikerahkan oleh Tok-ciang Sian-jin yang tiba-tiba saja menghilang di antara banyak anggauta Pek-lian-kauw itu.
"Tok-ciang Sian-jin manusia pengecut, jangan lari kau!" Thian Sin membentak marah, akan tetapi orang itu sudah
menghilang dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Thian Sin mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh
orang karena dia tidak merasa bermusuhan dengan perkumpulan itu walaupun perkumpulan itu telah melindungi musuh
besarnya. Dia tidak begitu bodoh untuk menanam permusuhan dengan perkumpulan besar itu, sama saja dengan
mencari penyakit. Setelah musuhnya benar-benar lenyap, diapun merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan angin
dorongan kedua tangan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas genteng.
"Pek-lian-kauw bukan musuhku!" teriaknya dan diapun berloncatan cepat sekali dan menghilang di balik
pohon-pohon di luar dusun itu. Giok-lian-cu melarang anak buahnya mengejar, dan Thian-hwa Lo-su memberi
perintah agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian mereka dengan hati kecil dan gentar membicarakan kehebatan
ilmu kepandaian pemuda itu yang terkenal dengan sebutan Pendekar Sadis, dan mereka bergidik. Untung pemuda itu
tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, kalau demikian halnya, tentu telah jatuh banyak korban tadi. Dan
merekapun merasa tidak perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para pimpinan Pek-lian-kauw
itu menganjurkan kepada Tok-ciang Sian-jin untuk bersembunyi di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum
pemuda itu benar-benar meninggalkan daerah itu. Juga Giok-lian-cu terpaksa dengan terus terang mengatakan kepada Tok-ciang Sian-jin untuk mencari tempat perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tidak mau terbawa-bawa ke dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis.
***
"Sungguh mati, taihiap, apakah aku telah menjadi gila, berani mengkhianatimu? Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan ketika aku terpaksa melayani mereka, dan... ah, sudah kukatakan bahwa aku mau mati untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih tidak percaya bahwa aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?"
"Tidak perlu semua janji dan sumpah itu, kalau memang benar perasaanmu itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sian-jin dari tempat sembunyinya."
"Baik, saya akan melakukan segala perintahmu," kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk membuktikan bahwa ia memang tidak mengkhianati pemuda itu. "Asalkan... asalkan engkau tidak melupakan semua pembelaanku, taihiap..." katanya dengan sikap manja. Thian Sin tersenyum dan karena dia membutuhkan bantuan wanita ini, maka diapun mengulurkan kedua tangannya dan menerima wanita itu yang menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya.
Thian Sin sengaja tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa
fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia telah pergi dan mencari jejak Tok-ciang Sian-jin di lain tempat, apalagi ketika Thian Sin sengaja melakukan kegemparan dengan mcmbasmi beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan berjalan seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang. Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya. Selama dua hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu roboh berlumuran darah. Kim Lan terkejut sekali dan
menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah membayangkan keheranan.
"Kepalamupun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning. Tok-ciang Sian-jin! Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan
dibuat-buat biarpun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Memang wanita ini semenjak pertemuan pertama sudah merasa takut sekali kepada tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri.
"Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk kaulaporkan kepada
Pendekar Sadis! Hayo mengaku sebelum kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!" bentak Tok-ciang Sian-jin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu sungguh nampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil.
"Tidak... ti... tidak...!" Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa gelisah sekali mengapa Pendekat Sadis belum juga muncul, padahal ia seperti merasa betapa maut telah mengelus-elus kepalanya.
"Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau kaki tangan Pendekar Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki aku kemudian melaporkan kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan di mana dia sekarang berada?"
"Tok-ciang Sian-jin, aku berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara ini yang seketika membuat mata kakek itu
yang biasanya sipit seperti terpejam kini terbelalak dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat.
"Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Mampuslah kau, perempuan laknat!" Cambuk baja di
tangannya bergerak dan suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan.
Akan tetapi, secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan terlempar, sampai bergulingan akan tetapi ia selamat dari cengkeraman
maut di ujung cambuk baja tadi.
Tok-ciang Sian-jin yang sama sekali tidak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada di situ, kini maklum bahwa
dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci,
sebetulnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang selalu membayangi
wanita itu. Tahulah dia bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya, dia menyerang dengan dahsyat. Cambuknya
meledak-ledak mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga melakukan serangan pukulan beracun. Tokoh ini terkenal
dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya
dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya. Namun, sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki
tingkat kepandaian yang jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani,
dan bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan Tok-ciang Sian-jin sendiri yang
tergetar hebat dan dari pertemuan tangan itu menjalar hawa yang panas dan amat kuat. Itulah tenaga Thian-te
Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang keluar dari tangannya. Dan
cambuk bajanya juga dapat dihadapi dengan amat mudah oleh Thian Sin! Pemuda itu seolah-olah mempermainkannya
seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Kalau pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawan terhuyung dan tiada hentinya dia mengejek.
"Hemmm, pengecut yang hanya berani main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam beberapa jurus saja ayahku atau
ibuku tentu telah mampu membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku! Plak!" Kembali
sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan
mampu menandingi putera Pangeran Ceng Han Houw ini, dan kalau dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar
Sadis, keringat dingin keluar dari leher dan mukanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman
pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri. Maka, setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak
sambil tertawa, diapun lalu membalikkan tubuhnya dan menggunakan gin-kangnya untuk mencoba lari dari tempat itu
menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi, tiba-tiba ada angin berkesiur dan bayangan
berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda
itu telah mendahuluinya dan menghadang sambil tertawa. Akhirnya, Tok-ciang Sian-jin putus asa dan untuk yang
terakhir kali, dia mengerahkan seluruh tenaganya, menyalurkan tenaga itu pada cambuknya dan menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung cambuk meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin.
Sungguh serangannya ini amat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut dan cepat
pemuda ini miringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau
ditarik kembali, jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan saat itu juga dia telah mempergunakan
Thi-khi-i-beng. Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga ketika Tok-ciang Sian-jin
mengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sin-kangnya membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu dan
cepat dia melepaskan tenaga sin-kangnya, akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sian-jin terpelanting keras.
Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah
ubun-ubun kepalanya sendiri, akan tetapi... tiba-tiba dia terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia mencoba tangan kanan, akan tetapi juga tangan kanannya tidak dapat digerakkan. Kiranya, dengan kecepatan yang luar biasa Thian Sin yang maklum bahwa lawannya hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat kakek itu lumpuh kedua lengannya dan tidak mampu digerakkan.
"Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!" kata Thian Sin sambil tertawa dan dari jauh, Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik. Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak ia melihat kekejaman dilakukan orang, namun menyaksikan sikap Pendekar Sadis, ia benar-benar bergidik dan hampir ia tidak berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sian-jin. Betapapun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh diri.
"Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, bunuhlah, siapa yang takut mati?" bentak Tok-ciang Sian-jin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil kalau teringat bahwa dia terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak terjangnya sudah banyak didengarnya itu.
"Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkaupun harus mati dikeroyok!"
"Apa... apa maksudmu...?" Tok-ciang Sian-jin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar.
"Kaulihat saja nanti...!" Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk panjang itu melibat tubuh kakek itu, lalu diseretnya kakek itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh
Thian Sin untuk keperluan ini. Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas sekali, berwarna merah darah! Melihat semut-semut itu,
mengertilah Tok-ciang Sian-jin dan diapun berteriak-teriak.
"Jangan...! Jangan... bunuh saja aku...!"
Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum dan cambuk rampasan di tangannya itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja semua pakaian tosu itu telah direnggut lepas dan tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu
beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu dan pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang. Kemudian, dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu lalu menggantung tubuh itu di cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya, dia melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang. Mengamuklah semut-semut itu dan akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh Tok-ciang Sian-jin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa malu-malu lagi
menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun. Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja dansemut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas dan mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya,
pipi, mata, telinga! Tok-ciang Sian-jin meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi telinganya dan membuang muka tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sian-jin mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hiduppun tidak. Menjelang senja, setelah mengalamisiksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya diapun terkulai dan pingsan, mendekati mati. Thian Sin lalu menggunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan sin-kangnya, cambuk itu menyambar seperti pedang, tepat mengenai leher tubuh itu dan putuslah leher Tok-ciang Sian-jin. Dengan pakaian tosu itu
yang tadi dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu, lalu dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw!
"Taihiap...!" Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali.
"Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua." kata Thian Sin dan wanita itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian.
Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw ketika menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang
telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw!
Biarpun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu
Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Sadis! Akan tetapi karena Tok-ciang Sian-jin bukan orang
Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataannya pendekar itu tidak membunuh seorangpun anggauta Pek-lian-kauw, maka merekapun diam saja.
Sementara itu, di kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw mengenal bahwa kepala itu adalah kepala Tok-ciang Sian-jin, maka orang-orangpun dapat menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis.
Sementara itu setelah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana,
Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno di mana Kim Lan telah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri sungguhpun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu.
Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil.
Suara itu halus, akan tetapi juga berwibawa, "Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!"
Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet dan mengucek matanya. Tubuhnya terasa segar karena hatinya puas telah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia tersenyum. "Tenanglah, kenapa takut?"
"Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan begitu berwibawa dan
marah. Aku...aku khawatir, taihiap."
"Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu." Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya.
"Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!" Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi. Thian Sin mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia melihat ada
lima orang kakek yang berdiri di pekarangan kuil kuno. Seorang hwesio tua yang wajahnya keren, memegang
sebatang tongkat hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi kurus,
selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam
puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih. Tiga orang kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata
mengenakan pakaian biasa, seperti sastrawan, namun sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga
bahwa mereka berlima itu tentu bukan orang-orang sembarangan, apalagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim
dan berwibawa itu, sungguh jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw. Maka diapun lalu menjura
dengan sikap hormat dan berkata, "Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah membawa keperluan apakah?" Thian
Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sastrawan muda yang tahu akan sopan santun.
"Omitohud...! Benarkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?" tanya Si Hwesio tua sambil merangkap kedua
tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di pundaknya.
"Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, sungguhpun saya sendiri sama sekali tidak menghendaki menerima julukan seperti itu," jawab Thian Sin dengan sikap merendah dan masih manis budi.
"Siancai... siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar Sadis," kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya.
"Siapa ngo-wi locianpwe kalau saya boleh bertanya dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?"
"Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai," kata hwesio itu dengan sederhana, akan tetapi Thian Sin terkejut sekali karena nama Hwa Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di
Siauw-lim-pai!
"Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai," kata Si Tosu yang ramah. Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu!
"Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya." kata seorang di antara
tiga orang tua gagah itu. Biarpun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini namun dia dapat menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali.
"Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya," kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu.
"Pinto banyak berhutang budi kepada mendiang Toan-ong-ya," sambung tosu Kun-lun-pai.
Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka
jelaslah dapat diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan
kematian pangeran itu. Akan tetapi, karena dia yakin akan kebenarannya, bahwa pembunuhannya terhadap
Toan-ong-ya itu adalah karena kesalahan pangeran itu sendiri, dia bersikap tenang dan tidak merasa takut
sedikitpun juga. Hal ini nampak oleh lima orang kakek itu dan merekapun diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis
ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa.
"Ah, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Kalau begitu, agaknya
kedatangan ngo-wi adalah karena saya telah membunuh pangeran itu, bukan?" tanyanya dengan jujur, tanpa membuang
waktu lagi.
"Bukan hanya itu, orang muda," kata tosu Kun-lun-pai. "Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!"
"Omitohud, dosamu bertumpuk-tumpuk, orang muda. Siapakah kaukira engkau ini? Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils
berwajah manusia? Pinceng sudah mendengar akan caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan
yang amat mengerikan. Omitohud... Siauw-lim-pai akan ikut bersalah kalau tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!"
Thian Sin mengerutkan alisnya, akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus ketika dia berkata, "Ji-wi
locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan
tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena
saya bukanlah anggauta kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya tidak perlu mempedulikan
larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan ji-wi." Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas.
Kedua orang pendeta itu saling pandang dan nampaknya kehabisan akal, karena bagaimanapun juga, memang ucapan pemuda itu benar. Selain pemuda itu tidak ada urusan dengan Kun-lun-pai maupun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tidak melakukan kejahatan dalam membasmi mereka yang tergolong jahat. Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini. Seorang di antara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang.
"Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat
mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Kalau kami diamkan, berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat."
Thian Sin tersenyum lebar. "Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah berbalik hati dan hendak
membela orang jahat? Kalau benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah
saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!"
"Omitohud...!"
"Siancai...!"
"Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang mengatakan bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat?
Agaknya wanita itu yang memberitahukanmu, bukan?" Seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak.
"Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?" Thian Sin balas bertanya.
"Coba katakan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!"
"Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tidak perlu berdebat. Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak
membela orang jahat yang telah saya bunuh, silakan maju, saya tidak akan undur selangkahpun!"
"Keparat...!" Tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah.
Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing dan nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah. "Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!"
Thian Sin tersenyum dan biarpun dia tahu bahwa mereka bertiga itu lihai sekali ilmu pedangnya, namun dia tidak
merasa takut. "Sam-wi hendak membela orang jahat? Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi."
Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin marah, dan mereka sudah
hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata.
"Omitohud... harap sam-wi tenang dulu. Tidak baik turun tangan sebelum diperoleh penjelasan." Karena
menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur dengan muka merah padam.
Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju menghadapi Thian Sin. "Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan
dengan kepala dingin. Sungguh kami bukanlah orang-orang yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya
ada kesalahfahaman antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap engkau suka
memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya
sehingga engkau mengambil keputusan untuk membunuhnya?"
Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang
tidak tahu aturan. Maka diapun menjawab tenang. "Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus
saya bunuh dia? Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah dan suami wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuhnya?"
"Hemm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?" seorang di antara tiga orang Shan-tung itu berkata.
Thian Sin mengangguk. "Benar, dan dia di sini karena harus kulindungi dari ancaman kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya." Dia sengaja menggunakan kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka.
"Omitohud... Sicu, engkau orang muda, biarpun telah memiliki ilmu silat yang tinggi, namun kurang pengalaman.
Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya membunuh dua orang laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?"
Mendengar pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa memang dia tidak mengenal dengan baik siapa sebenarnya diri Kim Lan sebelumnya, dan dia hanya percaya saja kepada cerita wanita ini!
"Mereka adalah pemburu-pemburu binatang liar yang menjadi langganan Toan-ong-ya dan ketika wanita ini mengantar
kulit harimau, ia telah ditahan dan diperkosa oleh pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang untuk
menyelidik, mereka dibunuh oleh pangeran itu..."
"Siancai...!" Tosu itu berseru dengan suara panjang. "Pemutarbalikan fakta yang sungguh memalukan. Pendekar
Sadis, ketahuilah bahwa wanita ini adalah bekas seorang maling tunggal yang terkenal di kota raja. Ia pernah
berusaha untuk mencuri di istana Toan-ong-ya, lalu tertangkap, akan tetapi ia diampuni oleh Toan-ong-ya bahkan
diberi pekerjaan menjaga keamanan asalkan ia berjanji akan merubah jalan hidupnya. Baru satu bulan dipekerjakan
di istana Toan-ong-ya, ia bersekutu dengan dua orang perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya, dan
ketika mereka datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh Toan-ong-ya karena selama itu ia telah
diambil selir oleh Toan-ong-ya, suatu kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu wanita. Akan
tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya. Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi
Toan-ong-ya tidak menuntut atau membunuhnya, hanya mengusirnya."
"Omitohud, sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar Sadis, ia telah berhasil membujukmu dan
memutarbalikkan fakta sehingga engkau tertipu dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti
Toan-ong-ya..."
Thian Sin sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Kim Lan...!" Dia memanggil dan menengok, akan tetapi
wanita yang tadi berhenti di belakangnya itu tiba-tiba melarikan diri.
"Berhenti kau...!" Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.
"Plakk!" Thian Sin menangkisnya dan tosu itu terhuyung ke belakang. "Harap locianpwe jangan mencampuri
urusanku!" Thian Sin berkata dan sekali loncat, tubuhnya sudah melesat ke depan seperti seekor burung saja, dan
sekali tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya dan ditariknya dengan kuat sehingga tubuh wanita itu
jatuh tergungkur. Kim Lan meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati dan menusukkan pisau ke perutnya
sendiri, akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu telah pindah ke tangan Thian Sin dan sebuah tendangan
membuat wanita itu terjungkal.
Tiga orang kakek itu telah maju mendekat dan hanya menonton. Thian Sin seperti tidak menganggap ada orang lain
di tempat itu.
"Kim Lan, hayo katakan, benarkah semua itu? Benarkah bahwa engkau datang pura-pura menggantung diri untuk
membujuk dan membohongi aku? Benarkah mereka itu perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah
seorang yang budiman? Hayo jawab sebenarnya!"
Tiba-tiba wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air matanya, dan ia berkata,
"Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan suamiku dibunuh, aku harus membalas dendam, dan engkau taihiap...
engkau... aku tergila-gila kepadamu... ahhh!"
"Perempuan iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek seperti hendak kaubikin buta, dan mulutmu
pandai sekali membujuk, merayu, berbohong! Rasakan ini!" Beberapa kali pisau berkelebat. Lima orang kakek itu
hendak mencegah akan tetapi menahan tangan mereka karena maklum bahwa selain tidak keburu, juga pemuda itu
agaknya tidak mau dicampuri orang lain. Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah
muncrat-muncrat dari mukanya. Kedua matanya telah dicokel keluar oleh pisau di tangan Thian Sin, dan ada dua
guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya dari pipi di kanan kiri sampai ke dagu. Tentu saja Kim Lan
berkelojotan di atas tanah dan karena bibirnya dan pipinya sudah robek-robek, suara yang terdengar dari
mulutnya menjadi aneh, seperti suara binatang!
"Inilah biang-keladi semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat berpisah!" Thian Sin melompat dengan cepat
tanpa memberi kesempatan lima orang itu menjawab. Lima orang kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri
menyaksikan hukuman kejam yang dijatuhkan oleh Pendekar Sadis kepada Kim Lan sehingga mereka tercengang dan
tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan pula, apa perlunya menghalanginya. Mereka datang selain untuk
menuntut pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk memberi nasihat kepada pendekar yang hatinya kejam
seperti iblis itu. Dan ternyata, dalam urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukannya sengaja membunuh orang
baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula, sedangkan tentang nasihat, agaknya
pemuda itu agaknya tidak dapat dinasihati. Buktinya, baru saja mereka menegur si pendekar itu kembali telah
melakukan kekejaman dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap wanita itu, dan di depan mata mereka sendiri
malah!
Thian Sin cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga setelah pertemuannya dengan lima orang
kakek itu. Mengapa dia begitu ceroboh sehingga mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan? Kini dia
dihadapkan dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para tokoh pendekar di dunia. Akan tetapi, dia tidak
peduli dan hatinya merasa puas setelah dia berhasil membunuh semua musuh orang tuanya. Dan sekarang tinggal
musuh-musuh keluarga Lian Hong! Dan musuh-musuh keluarga Ciu Khai Sun itupun hanya tinggal See-thian-ong,
Lam-sin dan Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat. Akan tetapi, dia harus dapat mengalahkan mereka, membunuh
mereka. Biarpun bukan tokoh-tokoh besar itu sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang mereka ikut
menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan selain keinginannya hendak membalaskan kematian
keluarga Ciu itu, ada satu keinginan lain yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati sanubarinya.
Mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Dia, sebagai keturunannya, putera tunggalnya,
harus menebus kegagalan itu. Dia harus dapat mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali datuk-datuk
kaum sesat. Memang, dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, akan tetapi kemenangannya itu belum
mutlak. Barulah kemenangannya akan diakui oleh dunia kalau dia sudah dapat membunuh mereka, yaitu ketiga datuk
itu, See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kwi! Dan dia akan mencari, akan membunuh mereka selain untuk membalas
sakit hati Ciu Lian Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa puteranya telah dapat
mengalahkan semua detuk di dunia sesat! Setelah membunuh mereka bertiga, barulah dia akan menghadapi
Tung-hai-sian, datuk di timur itu. Biarpun dengan datuk ini dia tidak mempunyai urusan sesuatu, namun untuk
dapat mengangkat nama ayahnya dia harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk Tung-hai-sian. Dan puterinya
itu, siapa namanya? Ah, ya, Bin Biauw, sungguh cantik jelita, kecantikan yang khas wanita keturunan Korea!
Dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia pernah bertemu dengan Tung-hai-sian. Hanya
Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari selatan itulah yang belum pernah dijumpainya, walaupun dia pernah bertemu
dengan anak buahnya, yaitu anggauta-anggauta Bu-tek Kai-pang yang rata-rata amat lihai itu. Juga berita tentang
Lam-sin ini amat menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang satu ini keadaannya diliputi penuh rahasia
dan kabarnya lihai bukan main, lebih lihai daripada tiga datuk lainnya. Pula, untuk sementara waktu, memang ada
baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh mungkin, apalagi setelah para pendekar merasa tidak senang
kepadanya. Dan tempat tinggal datuk selatan itu tempatnya paling jauh dari kota raja. Dia mendengar bahwa
Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke sanalah dia pergi. Adapun tentang Lam-sin
sendiri, tidak ada yang tahu berada di mana atau di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa
di sarang Bu-tek Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan ketuanya, yaitu Lam-sin, atau setidaknya, dari para
pengemis itu tentu dia akan dapat menemukan alamat Lam-sin.
Sama sekali Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah kota di mana dara yang dicintanya itu,
Ciu Lian Hong, pernah tinggal, bahkan tinggal bersama dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia Han
Tiong, bersama ayah dan ibu angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga, pernah datang ke kota itu dan bertemu dengan
Lam-sin!
Bu-tek Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang amat berpengaruh di Propinsi Hu-nan bahkan di
seluruh daerah selatan. Bukan hanya karena para pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu rata-rata
berkepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti orang, akan tetapi terutama sekali karena
perkumpulan ini adalah anak buah dari Lam-sin, datuk selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum sesat di
daerah selatan. Yang disebut daerah selatan adalah yang berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang.
Lam-sin sendiri merupakan seorang tokoh yang penuh rahasia, jarang ada yang tahu bahwa datuk kaum sesat selatan
yang hanya terkenal dengan sebutan Lam-sin (Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan orang-orang di
dalam kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri, kalau bertemu dengan nenek ini, tidak tahu bahwa ia adalah
Lam-sin yang tersohor itu. Lam-sin tidak pernah keluar turun tangan sendiri menghadapi segala macam urusan.
Cukup dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang saja yang membereskan semua persoalan. Memang dalam urusan yang besar,
yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek Kai-pang, seperti ketika ada lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau
di pantai lautan timur selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek Kai-pang tidak mampu
menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan. Namun, ia turun tangan di waktu malam dan lima orang jagoan
dari Jepang itu tidak tahu orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari tunggang langgang naik
ke dalam perahunya dan tidak pernah berani kembali lagi. Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh rahasia dan di
manapun ia berada, tidak pernah ia memperkenalkan dirinya kepada orang lain.
Bu-tek Kai-pang merupakan nama perkumpulan yang membayangkan ketinggian hati ketuanya. Bu-tek Kai-pang berarti
Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding! Dan untuk urusan sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua
yang disebut pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut ketua pengemis! Tiga orang pangcu dari
Bu-tek Kai-pang adalah orang-orang yang menerima pelajaran ilmu silat langsung dari Lam-sin, dan mereka itupun
hanya dikenal julukan mereka saja yang sesuai dengan warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i Kai-ong
(Raja Pengemis Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong karena pakaiannya yang berwarna hijau dan
yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong yang selalu berbaju putih. Tiga orang inilah yang langsung menangani semua
urusan kai-pang itu. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan amat tunduk dan setia kepada Lam-sin
yang merupakan guru mereka.
Tentu saja Bu-tek Kai-pang dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat dan Lam-sin sendiri juga sebagai datuk sesat
karena sepak terjang perkumpulan itu sendiri memang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam.
Perkumpulan ini merupakan pemerintah gelap yang menuntut pajak dari tempat-tempat perjudian, pelacuran dan
semua penjahat dari golongan apapun di selatan selalu membayar semacam "pajak" atas penghasilan mereka kepada
Bu-tek Kai-pang. Kalau hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan dapat melanjutkan "pekerjaan"
mereka. Oleh karena itu, tentu saja penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk amat banyak dan perkumpulan itu
memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang memang tadinya sudah memiliki harta yang besar itu
kini hidup serba kecukupan dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga.
Ketika pada pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa bertanya-tanya saja dia sudah dapat melihat ada
beberapa orang anggauta pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran di dalam kota. Pakaian mereka yang tambal-tambalan
akan tetapi bersih dan baru itu sudah menunjukkan siapa adanya mereka. Dan mereka itu tidak ada yang mengemis!
Mereka berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga keamanan saja, dengan sikap yang angkuh dan pendiam, tidak
mempedulikan keadaan kanan kiri agaknya. Ada yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di
punggung, akan tetapi setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu mempunyai sebatang tongkat akar bahar yang
berwarna hitam dan berlekak-lekuk seperti ular.
Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan pintu. Dengan penuh
perhatian dia melihat pengemis yang mendekati rumah makan itu. Pengemis itu masih muda, belum empat puluh tahun
usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang
ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang disambung-sambung. Pengemis inipun
mempunyai sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari gerak kedua kaki itu ketika si
pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan
kakinya tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada. Thian Sin memang sengaja mau mencari
gara-gara. Dia tadi sudah makan panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu
mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, dan memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata dengan
suara lantang.
"Heii, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?"
Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika melihat siapa yang
dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh
itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol! Semua orang memandang dan menduga bahwa di lain saat mereka akan
melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu. Akan tetapi, pengemis muda yang sudah berhenti
melangkah dan berdiri di depan Thian Sin, sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa
dia marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima tulang-tulang
ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin!
Itulah demontrasi kekuatan sin-kang yang lumayan!
Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. "Ha-ha-ha, rajamu tidak doyan tulang? Aneh sekali!
Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia
datang ke sini!"
Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tidak ada seorangpun di
kota itu akan berani bersikap menghina seperti ini, apalagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari
mati seratus kali!
Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia mengerti benar bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk
Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Maka setelah memandang
dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk. Biasanya, seorang
anggauta Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani seperti tamu-tamu biasa, walaupun mereka itu
tidak perlu membayar. Dan fihak pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggauta Bu-tek
Kai-pang itu selalu tertib, tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan hanya masuk dan makan kalau memang
mereka lapar dan membutuhkan makanan. Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti
penjahat-penjahat kecil.
Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum dan melanjutkan makan minum seperti tidak pernah
terjadi sesuatu. Dia tidak peduli akan pandang mata para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan di antara
mereka ada yang memberi tanda-tanda dengan kedipan mata agar dia itu cepat-cepat pergi saja. Sebaliknya, Thian
Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik
ketika membawa arak yang dipesannya.
"Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini...!"
"Jangan campuri urusanku!" bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan. Semua orang merasa tegang dan
ngeri, apalagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama
pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Mereka berdua itu kini telah
memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka telah bersiap-siap menghajar pemuda kurang ajar yang masih
enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu. Thian Sin juga melihat dua orang pengemis itu dan dia tersenyum,
hatinya gembira bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk mencari Lam-sin tanpa memancing
keributan dengan Bu-tek Kai-pang. Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak
tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega
melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu
mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari restoran. Thian Sin melangkah keluar sambil
tersenyum-senyum tenang melihat lagak dua orang pengemis yang menghadangnya di luar itu.
Thian Sin bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa dua orang pengemis itu marah sekali, dan tidak melihat bahwa
tangan mereka yang memegang tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin memukul. Malah dia
tersenyum.
"Aih, kiranya engkau masih berada di sini dan membawa teman? Apakah kalian diutus oleh raja kalian untuk
menerima hadiah tulang ayam dariku?"
"Keparat bermulut busuk!"
"Bocah sudah bosan hidup!"
Dua orang pengemis itu sudha bergerak cepat, yang seorang menusukkan tongkatnya ke arah dada Thian Sin, yang ke
dua menghantamkan tongkat itu ke arah lehernya. Namun Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan belakang
saja sudah dapat menghindarkan diri dan dia berkata sambil tertawa, "Nah, ini hadiahku, sampaikan kepada
Lam-sin!" Dan tangannya bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu berteriak kesakitan,
tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur dengan mata terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan
tulang-tulang ayam itu telah menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar yang membuat lengan mereka
menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main. Maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka,
kedua orang pengemis itu lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar, kedua lengan masih
bergantung lumpuh.
"Hei, jangan lupakan tongkat jimat kalian!" Thian Sin berseru dan dia menyambar dua tongkat itu, lalu
melemparkannya sembarangan ke depan. Tongkat-tongkat itu melayang dan dengan tepat sekali tiba di punggung
kedua orang pengemis itu, mengait dan bergantung seperti kalau mereka sendiri yang menggantungnya!
Semua orang yang berada di rumah makan itu tadi telah melongok keluar pintu dan jendela, karena mereka merasa
yakin bahwa pemuda itu akan dibunuh oleh dua orang Bu-tek Kai-pang, kini terbelalak dan melongo penuh
keheranan. Hampir mereka itu tidak dapat mempercayai pandang mata mereka sendiri menyaksikan dua keanehan yang
selama bertahun-tahun tak pernah terjadi itu. Pertama, adanya seorang pemuda yang berani mati melawan dua orang
Bu-tek Kai-pang, bahkan berani menyebut-nyebut dan menantang Lam-sin. Dan ke dua, adanya seorang pemuda yang
mampu mengalahkan dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang dalam segebrakan saja, tidak mempergunakan senjata
melainkan menggunakan tulang-tulang ayam!
Dan kini mereka melihat pemuda itu dengan lenggang kangkung meninggalkan tempat itu seenaknya, seolah-olah
tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Maka mulailah orang-orang bertanya-tanya. Siapakah gerangan
pemuda yang luar biasa itu? Luar biasa beraninya dan juga luar biasa lihainya?
Pertanyaan ini bergema di seluruh Bu-tek Kai-pang. Tiga orang Kai-pangcu yang mendengar laporan dua orang anak
buahnya, melihat betapa tulang-tulang ayam itu menusuk lengan-lengan murid atau anak buah mereka bagaikan
senjata-senjata rahasia yang ampuh, menggebrak meja.
"Siapakah pemuda keparat itu?"
"Kami... kami tidak tahu namanya."
"Bodoh! Kenapa tidak kalian tanya dan di mana dia sekarang?"
Seorang pengemis yang baru datang berkata, "Harap pangcu ketahui bahwa pemuda itu kini mondok di rumah
penginapan Lok-nam."
"Bagus," kata Ang-i Kai-ong, ketua pertama. "Lima Ular Hitam malam nanti kutugaskan menangkapnya dan
menyeretnya ke sini!"
Lima orang pengemis berusia empat puluhan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan terkenal dengan julukan Hek-coa
Ngo-kai (Lima Pengemis Ular Hitam) cepat memberi hormat dan menyatakan kesanggupan mereka. Hek-coa Ngo-kai ini
tadinya adalah lima orang perantau yang menjual obat-obat dan racun-racun ular dengan memainkan pertunjukkan
dengan ular-ular hitam. Oleh karena itulah, setelah mereka ditundukkan oleh Bu-tek Kai-pang dan menakluk,
mereka diterima sebagai anggauta-anggauta kai-pang dan merupakan lima di antara pembantu-pembantu para ketua
kai-pang itu, dengan julukan Lima Pengemis Ular Hitam. Mereka adalah ahli-ahli racun yang lihai, di samping
ilmu silat mereka yang tinggi, apalagi setelah mereka menerima Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis).
Malam itu sunyi sekali di penginapan Lok-nam. Hal ini bukan sekali-kali karena penginapan itu sepi tamu, sama
sekali tidak, melainkan karena pemilik penginapan dan para tamu, penjaga dan pelayan telah mendengar dari
Bu-tek Kai-pang bahwa seorang di antara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan berpakaian sasterawan yang
bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang!
Tentu saja hal ini menimbulkan ketegangan, apalagi ketika para pelayan membocorkan rahasia itu kepada tamu-tamu
lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu
kamar dan tidur atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka terbawa-bawa.
Thian Sin tentu saja tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Setelah pancingannya yang
berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing
keluarnya "kakap", yaitu Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar. Sejak pagi tidak terjadi sesuatu,
akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya.
Demontrasi kepandaian yang diperlihatkannya ketika dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak berapa hebat,
tidak mungkin membuat jerih tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang yang tentu jauh lebih lihai daripada tingkat yang telah
diperlihatkannya pagi tadi. Dia menduga kalau hari itu tidak ada sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti
sampai malam ini. Maka diapun sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi pada lahirnya, dia
nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan pelayan rumah penginapan itu mendengar dia bernyanyi-nyanyi
dan membaca sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya!
Menjelang tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah sunyi benar-benar. Pemuda yang menjadi pusat
perhatian yang tadi masih membaca sajak dengan suara merdu, kinipun tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah
sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur.
Ada bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepatnya. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan mudah
karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima,
kamar di mana Thian Sin bermalam. Tak lama kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela.
Asap dari dupa harum sekali. Setelah membiarkan kamar itu penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius
sampai beberapa lamanya, lima orang Pengemis Ular Hitam itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu
keluar lagi melalui jendela-jendela yang terbuka.
Betapapun juga, mereka masih mempergunakan saputangan yang telah diberi obat penawar untuk ditutupkan di muka
mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui jendela yang telah terbuka. Mereka berlima melihat tubuh
berselimut di atas pembaringan, sedikitpun tidak bergerak. Dengan girang karena ternyata lawan yang dikatakan
lihai ini begitu mudah ditundukkan, lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam
dari luar jendela yang sudah terbuka, biarpun remang-remang mereka dapat melihat bahwa lawan mereka itu rebah
berselimut dalam keadaan tak berdaya.
"Hayaaa...!" Mereka berteriak, dengan kaget.
"Kita tertipu...!"
Kiranya yang mereka tubruk bersama itu bukan lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah berada di mana!
"Cepat keluar, angin buruk!" kata yang menjadi pimpinan. Angin buruk ini berarti bahwa keadaan tidak baik bagi
mereka dan mereka hendak cepat-cepat pulang melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika mereka
berlompatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda yang berdiri bertolak pinggang sambil
tersenyum memandang kepada mereka. Dan pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin!
"Ha-ha-ha, pengemis-pengemis tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!" Pemuda itu mengejek sambil tersenyum lebar.
Lima orang pengemis yang sudah menerima perintah ketua mereka untuk menangkap pemuda itu, "hidup atau mati"
demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung. "Orang muda, menyerahlah agar kami dapat membawamu kepada
ketua kami dan tidak perlu untuk melukaimu," kata seorang di antara mereka. Sebenarnya ucapan ini sama sekali
bukan timbul karena sayang kepada pemuda ini melainkan karena gentar dan mereka ingin agar pemuda itu menyerah
saja agar mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik sekali ini.
"Jembel busuk, ucapanmu seolah-olah kalian akan mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh ketua kalian ke
sini, itu si Lam-sin ke mana dia? Kenapa tidak berani muncul? Sampaikan tantanganku kepadanya!"
"Manusia sombong!" Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi mereka seperti nama dewa
junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja tanpa dipuja. Mereka sudah menerjang dengan tongkat akar
bahar mereka, langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai.
Tingkat kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlalu rendah kalau dibandingkan dengan tingkat
yang dimiliki Thian Sin pada waktu itu sehingga kalau dia menghendaki dalam satu dua jurus saja Thian Sin akan
dapat dengan mudah merobohkan, bahkan menewaskan mereka. Akan tetapi, pemuda ini melanjutkan siasatnya
memancing "kakap" dan dia tidak mau membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka diapun melayani
lima orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang. Dengan Ilmu San-in-kun-hoat dia mempermainkan mereka
seperti seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak yang nakal saja. Ke manapun tongkat mereka menyambar,
selalu mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin. Beberapa kali dia membiarkan tubuhnya
terpukul, bahkan sempat dia pura-pura terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa
sebetulnya tingkat kepandaiannya tidak jauh lebih tinggi daripada mereka. Dengan lagak seperti orang kewalahan,
akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya dan nampaklah sinar perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang
diterimanya sebagai hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun Liong di
Bwee-hoa-san. Dan kini perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memainkan pedang
itu dengan indahnya, dan mereka nampak setanding. Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh
jurus lebih barulah pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas dan robohlah empat orang pengeroyok dengan leher
berlubang dan mereka tewas seketika, sedangkan yang seorang lagi kehilangan lengan kanan sebatas siku yang
dibuntungi oleh Thian Sin! Orang ini merintih-rintih dan menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan yang buntung itu.
"Hemm, pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam kamarku!" Setelah berkata
demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar,
menutup jendela dan pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja diapun sudah pulas!
Tentu saja peristiwa ini menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek Kai-pang. Pemuda yang pagi
tadi melukai dua orang pengemis malam ini malah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat di antara mereka dan
membuntungi lengan yang seorang lagi! Inilah hebat bukan main! Lima Ular Hitam adalah pembantu-pembantu utama
dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang
ketua itu! Biarpun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa kepandaian pemuda itu hanya
setingkat dengan mereka, namun pemuda itu telah dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat
hebat. Berarti bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan. Dan mereka semua bertanya-tanya, siapa gerangan
pemuda yang berani mati menentang Bu-tek Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini malah berani membunuh itu.
Dan merekapun teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan, bahkan sempat menggegerkan
kota raja, yaitu Pendekar Sadis! Benarkah Pendekar Sadis pemuda ini dan kalau benar demikian, mengapa dia
mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang? Kalau benar pemuda itu Pendekar Sadis, maka fihak
Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati.
Tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga lalu pergi menghadap Lam-sin di
dalam gedungnya yang indah itu. Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi ketika tiga orang ketua
itu datang menghadap, dan sebelum ia menerimanya, ia telah lebih dulu mendengar dari pelayan wanita tentang
permohonan tiga orang itu untuk menghadap.
"Hemm, pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka langsung saja datang ke
sini dan sediakan sarapan untuk mereka," perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu
wanita-wanita yang cantik-cantik.
Begitu masuk dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat disebut murid-murid
Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit
dengan sikap muak. "Sudah, jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku sarapan,
dan jangan bicara sebelum kita selesai makan." Ucapannya ini diikuti sikap wajah ramah dari muka yang
berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata itu, yang selalu ditakuti dan dikagumi oleh tiga orang ketua
kai-pang ini, nampak bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan.
Tiga orang ketua itu tidak berani menolak, biarpun agak canggung namun mereka makan sarapan pagi bersama guru
dan ketua mereka yang mereka hormati dan takuti itu. Akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi,
pekerjaan yang dilakukan dengan seenaknya seolah-olah tidak ada apa-apa yang menyusahkan di dunia ini, sama
sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung dan kelihatan gugup itu.
Setelah para pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah Lam-sin menghadapi
tiga orang ketua itu dan berkata, "Sepagi ini kalian datang menggangguku, tentu ada urusan penting yang kalian
merasa tidak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?"
"Harap locianpwe sudi memaafkan kami," kata mereka. Mereka memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek
itu, karena nenek itu tidak menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya
menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu. "Sesungguhnya kami tidak berani
mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami
menduga bahwa pengacau yang menentang Bu-tek Kai-pang sekali ini adalah seorang yang baru-baru ini namanya
menonjol di dunia kang-ouw, bahkan telah menggegerkan kota raja, maka kami memberanikan diri melaporkan kepada
locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan. Kalau locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami
tidak lagi mengganggu locianpwe."
"Menggegerkan kota raja? Siapakah yang menggegerkan kota raja akhir-akhir ini selain Pendekar Sadis itu?"
"Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe."
Nenek itu nampak tertarik. "Ah, benarkah? Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek
Kai-pang? Ceritakan semua!"
Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sutenya menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai
peristiwa di rumah makan di mana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian dua orang
pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan agar tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada
raja pengemis. "Bahkan dia berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami
berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe."
Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang
sambil tersenyum saja!
"Menarik sekali!" katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar. "Lalu bagaimana?
Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!"
"Menurut laporan para anggauta, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang dia telah merobohkan dua orang
pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan."
"Hemm, kalau mereka juga gagal, maka menarik sekali," kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta
kelicikan Lima Ular Hitam itu.
"Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka yang hanya buntung
lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan
merupakan bahaya besar." Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat
di antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi dibuntungi lengannya dan kembali dalam kesempatan itu, Si Pemuda
tanpa menyebutkan namanya menantang Lam-sin.
Lam-sin mengangguk-angguk. "Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali."
"Memang dia sombong sekali, locianpwe, akan tetapi kami masih cukup kuat untuk menundukkannya dan menyeret ke
hadapan kaki locianpwe, kalau locianpwe menghendaki," kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali.
Akan tetapi nenek itu tersenyum. "Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja bisa disangka bahwa
aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih
dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku
dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat
tantanganku dan aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk
melawanku, baru aku akan menemuinya." Lam-sin memanggil pelayan dan membuat coretan-coretan di atas kertas
merah muda, lalu memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus : PENDEKAR SADIS!
Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran bahwa
semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi
ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa semua bekas telah
dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak
Bu-tek Kai-pang. Dia tidak tahu bahwa sehari itu dipergunakan oleh para anggauta kai-pang untuk melakukan
penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka memperoleh berbagai keterangan tentang pendekar
itu yang dikabarkan masih muda, berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah
lembut, murah senyum, mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu
sudah pasti adalah Pendekar Sadis!
Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin.
"Masuk saja, pintuku tidak dikunci!" kata Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya.
Pintu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop. "Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi
biarpun nomor kamarnya nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan."
Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar KEPADA PENDEKAR SADIS. Dia
tersenyum dan mengangguk. "Benar, surat ini untukku. Terima kasih!"
Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu Pendekar Sadis, yaitu
melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu
mengundurkan diri keluar dari kamar itu. Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah
muda. Dia bersikap hati-hati, tidak ceroboh ketika membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang
lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, maka dia
membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli. Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan
yang goresannya halus dan rapi itu.
Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunting Cemara sebelah timur kota Heng-yang, kalau memang Pendekar Sadis berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini Tertanda : Lam-sin Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walaupun masih
bersembunyi di balik murid-muridnya.
"Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apalagi murid-muridmu, Lam-sin!" katanya sambil tersenyum
dan tak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang
saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di situ untuk menyelidiki, cepat melaporkan kepada tiga orang
ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali. Pemuda
itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia
ataukah setan orang itu?
Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta-pora seorang diri. Tadinya
timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, karena
satu di antara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, kecuali perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah
kecurangan dalam menghadapi lawan. Lam-sin kini sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai
mereka melakukan penyerangan melalui makanan dengan racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu
dan akan menjadi marah kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka.
Sehabis makan, setelah beristirahat beberapa jam lamanya, pada saat matahari mulai condong ke arah barat, Thian
Sin keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah,
"Tolong kalian beritahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini."
Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah
menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian
tenang seperti berada di antara sahabat-sahabat sendiri saja. Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang
memang sudah menerima pesan itu memberitahukan jalan dan arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang
kini diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbeda, penuh kengerian dan
ketakutan.
Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat
itu dikelilingi hutan-hutan kecil, akan tetapi di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya. Ketika Thian
Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberitahukan oleh
pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorangpun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan
oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena
orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja. Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan tidak
akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan gin-kang biasa saja. Akan tetapi
gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya seperti terbang. Maka ia merasa penasaran dan diapun
lalu mengerahkan gin-kang dan melakukan pengejaran. Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan
itu sungguh luar biasa cepatnya. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia
mengejar, lenyap lagi dan muncul di sebelah kanan. Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu
mempermainkannya, atau setidaknya, tentu hendak menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan
seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ
ternyata telah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang
tinggi tingkatnya.
Thian Sin teringat bahwa dahulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang
pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa kini telah terjadi perubahan besar, Lam-thian
Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis
setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri
dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia lalu melangkah maju, menghampiri mereka dan
setelah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak
sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara para sahabat!
"Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong? Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim
surat tantangan kepadaku? Aku telah datang, harap mereka berdua suka mempprkenalkan diri."
"Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!"
Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia
kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan, di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan
seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing.
"Yang manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?"
Ang-i Kai-ong menjawab, "Pendekar Sadis, orang yang kaucari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan
kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga."
"Ah, begitukah? Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin? Aku datang untuk memenuhi panggilan dan
tantangannya."
"Bocah sombong!" bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. "Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe
Lam-sin! Engkau telah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, kini engkau sudah berhadapan dengan kami,
ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!"
Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka diapun tertawa bergelak dan
berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia
kira tentu bersembunyi tidak jauh dari situ. Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu
kecuali ketika mencoba gin-kangnya tadi, lalu terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk
menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi.
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang
sekumpulan pengemis tukang pukul!"
Ucapan Thian Sin ini merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin
sebagai seorang junjungan yang ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu
saja mereka menjadi marah sekali. Akan tetapi, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang
Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja, membunuh dua
orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya, kemudian terdengar desas-desus bahwa pemuda ini
telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sian-jin yang amat lihai itu. Maka, mereka bertiga tidak
berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lalu berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang
sudah mempunyai tingkat tinggi, untuk maju mengepung dan mengeroyok! Kurang lebih tiga puluh orang tenaga
Bu-tek Kai-pang segera maju mengepung dan mereka bergerak mengitari pemuda itu sambil mengeluarkan senjata
masing-masing. Sebagian besar di antara mereka, memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang
membawa tombak, golok atau pedang.
Thian Sin yang datang memang dengan maksud membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu ketika keluarga Ciu
Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan kanan dan
kiri, sedangkan telinganya mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya,
yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap.
Dia berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dulu, melainkan terutama sekali membuat
perhitungan, mempelajari kedudukan mereka. Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan
barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena itu diapun bersikap
waspada. Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju
hijau memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin
barisan di sebelah kanannya sedangkan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Sisa
pasukan pengemis itu berada di belakangnya.
Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu sudah menggerakkan
senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang
menerjangnya dari belakang. Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya dan tahulah
dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu. Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini telah siap
untuk menyerbu dan menanti kesempatan. Diapun dapat menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu.
Karena itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan
musuh-musuh di depan. Baru setelah dia merasa adanya sambaran senjata sudah dekat sekali dengan tubuh
belakangnya, dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang.
Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang
terdepan yang terjengkang dan tidak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te
Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang
tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sin-kang yang kuat sekali. Melihat ini, sisa
penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar sekali. Belum pernah mereka
melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh mendorong dengan kedua tangan membunuh lima orang teman mereka!
Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin sudah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat
bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong telah menggerakkan barisan masing-masing maka senjata dari depan, kiri
dan kanan datang bagaikan hujan saja. Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga
tidak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki
dan tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi
pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan. Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan
itu amat teratur, maka biarpun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sin-kang yang membuat
tubuhnya kebal dan tidak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi
robek-robek di sana-sini! Dia menjadi marah. Memang penyerangan itu teratur sekali, kalau dia menghadapi
barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan
demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus dan kini sudah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh
amukannya. Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia meloncat, membiarkan
senjata para pengemis menghantaminya dan melindungi dirinya dengan kekebalan, dia langsung menyerang Ang-i
Kai-ong! Kakek ini terkejut dan menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat
dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya
sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan
dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu
kepandaian si jubah merah ini hebat juga.
"Dukkk!" Dia menangkis dengan lengannya dan mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan
pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia
memberi isyarat dan kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan
tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya dan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya.
"Plak! Plak!" Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong,
dua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting
roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka
telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk
Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan
Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu!
Para anggauta Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan
Pendekar Sadis itu telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang
ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu.Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebat. Biarpun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang tangguh dan
senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apalagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, namun berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu
dengan gurunya.
Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak!
Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu
membuat mereka repot sekali dan sering kali mereka terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat melindungi
diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya. Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga
hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentu
lebih lihai lagi daripada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus
diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu.
"Plakkk!" Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau
menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Sepasang mata Ang-i Kai-ong terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia
meronta, akan tetapi semakin hebat tenaga sin-kang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat.
Hal ini terasa olehnya, membuat dia panik.
"Tolong... tolong...!" teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya.
Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin. Dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri.
"Plakk! Bukk!" Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong
menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi-i-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya.
Tiga orang pengemis tua itu terkejut, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, makin keras pula tenaga sin-kang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu! Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat dan meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengan muka
pucat mata terbelalak dan terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Karena
mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh dipertahankan
oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan bantu
menarik. Namun mereka inipun berteriak kaget ketika tenaga merekapun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang
ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, dan lebih banyak orang lagi tenaga
sin-kangnya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong.
Pada saat itu, nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin!
"Tuk! Tuk!" Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda
itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika
merasa tubuhnya tergetar hebat. Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat
tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam. Maka dia menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi-i-beng dan
menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui kedua tangan dan seluruh
badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya. Akibatnya, terdengar
teriakan-teriakan dan belasan orang itu terlempar sampai jauh. Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat,
roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka
muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya!
Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di
depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan
kemanapun dia mencari, hasilnya sia-sia. Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ telah
sunyi, tidak nampak seorangpun pengemis, juga mayat-mayat para anggauta pengemis telah lenyap. Hanya
darah-darah yang berceceran di situ saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat.
Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf!
LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA.
Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa. "Ha-ha-ha, Lam-sin, biarpun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!"
Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu megah dan
menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa
orang pengemis Bu-tek Kai-pang. Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali
tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar
terhadap pemuda ini. Thian Sin berlenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia
maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia telah memasuki gua naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut.
Keadaan di tempat itu sunyi saja. Hanya nampak beberapa orang anggauta Bu-tek Kai-pang yang berdiri seperti
patung. Seolah-olah tempat itu diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggauta
Bu-tek Kai-pang berkabung karena kematian para anggauta yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng. Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah.
Ketika Thian Sin tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin, dia memandang kagum. Gedung itu
mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias petak rumput
yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga. Jalan menuju
ke pintu depan ditutup dengan kerikil yang merupakan kerikil yang putih kebiruan. Ketika menginjak jalan
berkerikil itu, terdengar suara berisik dan Thian Sin lalu mengerahkan gin-kangnya. Kini dia berjalan melalui
kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja!
Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan
keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan
suara. Ini saja merupakan demontrasi gin-kang yang hebat, dan yang mereka ketahui hanya dapat dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin.
Ketika Thian Sin berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu cepat memberi hormat. Seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga ia nampak
manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu, "Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja."
"Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya," kata wanita ke dua.
Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak nampak
seperti pelayan. Maka diapun mengangguk. "Pangcu kalian sungguh baik hati." Maka diapun melangkah ke dalam
gedung itu, diiringkan oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya.
Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat,
langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa
sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan huruf indah yang tentu
terbuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali. Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan,
dan perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya indah seperti istana saja!
Ketika mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk
menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin. Akan tetapi nenek itu masih duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lalu dimasukkan ke mulutnya, mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang.
Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam
hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang sudah mendekati lubang
kubur ini, maka sia-sialah agaknya perjalanannya yang jauh ini. Dia sudah melihat tiga orang di antara empat
datuk empat penjuru, Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang nampak kebesaran dan keangkerannya
sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat. Pak-san-kui Siangkoan Tiang
juga pantas dinamakan datuk wilayah utara karena memang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, juga
mempunyai pengaruh dan wibawa yang tak dapat dibantah lagi kekuatannya. Demikian pula See-thian-ong amat gagah
perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat. Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanya
seorang nenek tua renta seperti ini. Nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja
sudah merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak
mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik
perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Ketika Thian Sin mengulangi
batuknya, nenek itu mengerutkan alisnya, tanpa menengok ia berkata kepada seorang di antara lima orang gadis cantik itu.
"A-bwee, suara apakah itu? Tikus? Anjing?"
Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab,
melainkan menutupi mulut mereka dengan saputangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Hal ini
saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghina, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas.
"Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?" akhirnya dia bertanya dengan suara nyaring. Dia
melihat betapa wajah lima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata
mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya itu tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini amat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian.
Thian Sin, dan tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu
melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus, "Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?"
Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini sungguh memandang rendah kepadanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus, rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, dan hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga.
"Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!"
"Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!"
"Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!"
"Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang
pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah yang berusaha meniru lagak seorang siucai!"
Hampir meledak rasanya dada Thian Sin saking mendongkolnya. Nenek ini ternyata seorang yang pandai berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, semakin cerewet, maka dia pikir kalau harus berdebat adu mulut, dia akan kalah. Lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol.
"Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, engkau mengundangku mau apakah?"
Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Thian Sin kini melihat dari samping sebuah wajah yang berkeriputan kedua pipinya, dengan hidung kecil dan bibir kering mengejek.
"Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya? Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada saat aku makan maka aku engundangmu untuk makan bersamaku. Tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan menghadapi kematianmu."
Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seolah-olah nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa
sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia melangkah maju dan berkata dengan nada tidak kalah
mengejeknya, "Memang sebaiknya orang yang akan mati makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani
calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kauserahkan dan gunakan untuk bertindak
curang." Dan Thian Sin pun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu
sehingga mereka kini dapat saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan bermacam-macam masakan yang
masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang masih
panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi.
Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin
terkejut bukan main dan merasa serem sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh nampak
seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan. Akan tetapi
begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu
tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tidak pantas dimiliki seorang nenek tua
renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Kontras antara wajah tua
keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga
menakutkan. Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu
ketakutan tadi melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini.
Setelah sejenak saling pandang dan nenek itupun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu
karena agaknya baru pertama kali inilah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam
jarak yang tidak jauh, nenek itu sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi
seluruh bagian muka Thian Sin. Setelah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup
dan sambil menoleh kepada para pelayannya ia berkata, "Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!"
Memang saat itu sudah menjelang senja dan cuaca di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke
timur sudah tidak kebagian sinar matahari lagi dan menjadi agak remang-remang. Dua orang pelayan sibuk
menyalakan beberapa buah lampu yang digantung di sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi
terang. Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan
hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguhpun wajah nenek yang keriputan itu
menjadi semakin jelas setelah tertimpa sinar yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan
menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng.
"Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!" kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh seorang pelayan. Ketika
pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini
mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis, itu.
Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia
tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi
datuk kaum sesat, mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga. Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia
mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, Si Nenek akan tiba-tiba
melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu
memenuhi cawan araknya dan mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi.
Nenek itu tersenyum dan mulutnya menjadi miring, bibirnya tinggi dan sepasang mata itu berkilat-kilat.
"Pendekar Sadis, beranikah engkau minum arak dalam cawanmu itu?" Berkata demikian, nenek itu mengisi cawannya
sendiri dengan arak sampai penuh, dari guci arak yang sama. Thian Sin adalah seorang pemuda yang selain
berkepandaian tinggi, juga amat cerdik. Dia maklum bahwa seorang datuk besar seperti nenek ini yang sudah
berani mengangkat diri sebagai datuk wilayah selatan, yang merajai seluruh wilayah selatan, biasanya, seperti
para datuk lain, memiliki ketinggian hati yang luar biasa. Seorang datuk sudah terlalu percaya kepada dirinya
sendiri dan selalu menjaga kehormatan namanya sebagai seorang yang berada di tingkatan atas. Maka, kiranya
tidak mungkinlah kalau seorang datuk seperti Lam-sin ini akan sudi menggunakan racun, suatu perbuatan yang amat
rendah dan hanya dilakukan golongan penjahat rendahan saja. Perbuatan seperti ini akan menghancurkan nama
besarnya sendiri dan Lam-sin tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk menjatuhkannya, bukan dengan
menggunakan racun. Apalagi Lam-sin belum pernah mencoba sendiri kepandaiannya sehingga datuk ini tidak mungkin
merasa gentar kepadanya sehingga sampai begitu merendahkan diri menggunakan bantuan racun. Dengan pikiran ini,
Thian Sin tersenyum memandang kepadanya.
"Andaikata engkau menggunakan racun, Lam-sin, maka aku akan mati sebagai pendekar gagah perkasa yang tidak takut akan kecuranganmu, akan tetapi sebaliknya engkau akan hidup sebagai seorang datuk yang paling rendah di dunia ini, akan dikutuk sebagai seorang datuk yang wataknya tidak lebih tinggi daripada seorang penjahat yang paling hina sekalipun! Nah, takut apa minum arak suguhanmu?" Berkata demikian, Thian Sin mengangkat cawan araknya dan minum arak itu sampai habis.
"Heh-heh-heh, bagus sekali. Engkau memang cukup bernyali!" Nenek itupun lalu minum araknya, akan tetapi bukan
seperti lagak seorang jago minum yang kawakan, melainkan seperti seorang nenek lemah yang tidak begitu suka
minum arak. Arak di cawan itu hanya diteguk seperempat saja, lalu ia letakkan kembali cawannya di atas meja.
"Nah, silakan, Pendekar Sadis. Makanlah seadanya dan jangan malu-malu, setelah kita makan baru kita bicara nanti!"
Dan mereka berdua makanlah. Sungguh luar biasa sekali suasana di saat itu. Dua orang tokoh silat yang pada masa
itu mendatangkan rasa serem di hati siapapun jugap bahkan para pendekar menjadi kecil nyalinya apabila
mendengar nama mereka, duduk berhadapan sambil makan bersama! Padahal, keduanya sudah saling tantang-menantang
dan dapat dibayangkan bahwa tak lama lagi mereka itu akan saling serang dan saling berusaha untuk membunuh
lawan. Namun, melihat betapa mereka itu duduk semeja menghadapi hidangan yang banyak macamnya, makan dengan
selera yang baik dan kelihatan enak, seolah-olah mereka berdua itu bukan dua orang lawan yang sebentar lagi
akan mengadu nyawa melainkan seperti dua orang sahabat lama yang saling jumpa dan kini merayakan perjumpaan
mereka dengan gembira! Dan anehnya, mereka itu makan tanpa saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.
Keduanya makan dengan enak, menyumpit sayur ini dan daging itu, tanpa saling menawarkan, seolah-olah mereka itu
berlumba makan. Biarpun keduanya nampak makan bersama, namun terasa suatu tegangan luar biasa diantara mereka,
bahkan lima orang pelayan yang berada di pinggiran itu dapat merasakan ketegangan luar biasa yang memenuhi
kamar itu. Ketegangan yang panas dan yang sebentar lagi akan meledak menjadi suatu perkelahian seru dan
mati-matian antara kedua orang yang kini makan minum bersama itu.
Thian Sin makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biarpun kelihatan makan dengan sama
gembiranya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong nasi sedikit demi sedikit saja, juga mengambil sayur
atau daging yang kecil-kecil potongannya. Malah araknyapun dilanjutkan dengan anggur yang tidak begitu keras.
Akhirnya, keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan kenyang. Setelah
membersihkan mulut dengan minum teh yang dihidangkan oleh para pelayan, keduanya duduk diam seperti orang
bersamadhi sementara lima orang pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa makan minum telah
selesai dan mereka tanpa diperintah lagi membersihkan meja, membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar
saja meja makan itupun bersih dan tidak ada sedikitpun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok kain.
"Keluarlah kalian, tinggalkan kami sendiri," tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya dan
sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak senang.
Lima orang pelayan itu saling pandang, nampak ragu-ragu. "Dan para pengawal...?" tanya Si Baju Ungu.
"Tinggalkan! Pergilah kalian semua dan jangan perbolehkan siapapun juga memasuki rumahku. Dan kalian jangan keluar dari kamar kalau tidak kupanggil!"
"Baik, pangcu..." jawab mereka berlima dengan sikap takut-takut karena nenek itu kelihatan marah. Setelah menjura ke arah Thian Sin merekapun segera pergi dari situ, dengan langkah ringan dan cepat tanda bahwa mereka berlima itu bukanlah wanita-wanita cantik lemah. Hal inipun dimengerti oleh Thian Sin semenjak dua di antara mereka tadi menyambutnya. Nenek ini sungguh tinggi hati, pikirnya. Begitu pasti akan dapat memenangkan sehingga ia tak mau dibantu oleh siapapun juga! Pantaslah menjadi datuk kaum sesat. Dan agaknya memang tentu memiliki ilmu yang hebat maka berani bersikap sesombong ini.
Setelah lima orang pelayannya itu pergi dan meninggalkan mereka berdua saja, nenek itu lalu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin. Pemuda itupun balas memandang dan menanti dengan sikap waspada. Karena nyonya rumah belum bangkit, diapun masih enak-enak saja duduk, berhadapan dengan nenek itu, terhalang meja.
"Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini. Gedung ini kosong sama sekali, hanya ada kita berdua. Percayakah
engkau bahwa Lam-sin bukanlah penjahat kecil yang curang?"
Thian Sin tersenyum dan mengangguk. "Sampai detik ini memang benar demikian, akan tetapi untuk menentukannya
harus ditunggu sampai saat terakhir."
Lam-sin mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh, aku tidak pernah membunuh orang tanpa alasan, juga
tidak sudi mengotorkan tangan pada orang yang tidak ada nama dan tidak kuketahui riwayatnya. Walaupun jangan
dikira bahwa aku tidak dapat menebak siapa adanya engkau ini, Pendekar Sadis!"
Thian Sin tersenyum mengejek. Dia tidak percaya bahwa nenek yang belum pernah dijumpai selamanya ini dapat tahu
siapa dia sesungguhnya. Karena tidak ada yang tahu siapakah sebenarnya Pendekar Sadis. Paling-paling nenek ini
hanya tahu bahwa dia adalah Pendekar Sadis.
"Benarkah engkau tahu siapa diriku sebenarnya?" Thian Sin memancing dengan suara menantang.
"Kalau aku dapat mengetahui siapa dirimu, tahu pula mengapa engkau mencariku dan mengapa engkau memusuhi Bu-tek Kai-pang, kalau aku tahu pula semua riwayatmu sejak kau kecil, siapa orang tuamu. Nah, kalau aku tahu semua itu, maukah engkau mendengarkan semua kata-kataku dan menemaniku bercakap-cakap, sebelum kita sampai pada akhir tujuan pertemuan ini, yaitu bertanding mati-matian untuk menentukan siapa yang menang siapa kalah di antara kita?"
Cerewetnya nenek ini, pikir Thian Sin sebal. Akan tetapi dia tertarik juga. Tidak mungkin nenek ini mengetahui semua itu tentang dirinya.
"Baik, nah coba kaukatakan sekarang siapa aku."
"Namamu adalah Ceng Thian Sin. Benarkah?"
Thian Sin memandang dengan sepasang mata terbelalak. Nenek ini menyebut namanya seolah-olah nama itu tidak asing baginya.
"Dan engkau adalah putra tunggal dari Pangeran Ceng Hen Houw. Ibumu adalah keturunan Cin-ling-pai. Benarkah?"
Thian Sin memandang dan menatap sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Luar biasa sekali nenek ini. "Hemmm, kiranya engkau memiliki jaringan mata-mata yang amat luas, Lam-sin. Aku tidak perlu menyangkal, memang benarlah semua yang kaukatakan itu. Nah, selanjutnya bagaimana?"
"Ayah bundamu meninggal karena dikeroyok oleh pasukan dan setelah engkau mempelajari banyak ilmu, engkau lalu
membalas kematian ayah bundamu dan engkau membasmi musuh-musuh mereka, termasuk ketua-ketua Hwa-i Kai-pang dan Tok-ciang Sian-jin, dan karena hatimu sakit maka engkau menjadi kejam terhadap musuh-musuhmu dan engkau menjadi Pendekar Sadis. Benarkah?"
Thian Sin bangkit berdiri, akan tetapi lalu duduk kembali. Ini sudah keterlaluan! Bagaimana nenek ini sampai dapat mengetahui segala hal itu tentang dirinya?
"Aku tidak dapat menyangkalnya pula dan hanya iblis yang tahu bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu. Dan ingin kudengar apakah engkau juga tahu mengapa aku mencarimu? Mengapa aku menantangmu?"
Nenek itu menyeringai yang tentu saja dimaksudkan tersenyum. Thian Sin membuang pandang matanya agar tidak usah melihat keburukan muka itu terlalu lama ketika Si Nenek menyeringai. Lalu nenek itu berkata, "Aha, itu mudah saja. Engkau sengaja memancing dan sengaja mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang untuk memancing aku keluar, bukan? Dan engkau mempergunakan Thi-khi-i-beng untuk mengalahkan tiga orang ketua pembantuku."
"Hemm, jadi engkaukah kiranya bayangan itu yang menyerangku dengan dua kerikil kecil?"
"Hanya untuk memperingatkan padamu bahwa aku tahu tentang Thi-khi-i-beng dan aku tidak takut menghadapinya!
Heh-heh, dan kau kira engkau akan dapat lolos sekiranya aku mempergunakan Bu-tek Kai-pang mengeroyokmu dan aku
sendiri keluar?"
"Hemm, kenapa tidak kaulakukan kecurangan itu! Sekarangpun masih belum terlambat. Kalau kau hendak mengerahkan
anak buahmu untuk mengeroyokku, akupun tidak takut, Lam-sin. Karena agaknya engkau tahu semua tentang diriku,
tentu engkau tahu pula mengapa aku menantangmu dan tahu bahwa aku tidak akan undur selangkahpun andaikata engkau mengeroyokku."
"Tentu saja aku tahu. Engkau datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun, bukan? Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan? Heh-heh-heh!"
Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam. "Lam-sin! Kalau engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan..."
Lam-sin masih menyeringai ketika ia mengeluarkan selipat surat. "Aku sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!"
Thian Sin terlalu kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak mampu mengeluarkan sebuah katapun
melainkan menerima lipatan kertas itu, lalu dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditandatangani oleh Lian Hong, dan memang ditujukan kepadanya.
Sin-ko Lam-sin adalah suboku dan juga subo Lam-sin lah yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku Ciu Lian Hong
Sambil membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin.
"Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini tulisan Hong-moi? Aku tidak pernah mengenal tulisannya."
"Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, melainkan ia sendiri yang meninggalkan surat, katanya untuk
mencegah kesalahfahaman seperti yang terjadi ketika pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini."
"Apa? Tiong-ko sudah datang ke sini?"
"Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga dan isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga
sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku mengingat kesombongan mereka!" Dan memang nenek itu masih merasa sakit
hatinya kalau mengingat betapa keluarga itu memandang rendah kepadanya, bahkan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat!
Thian Sin termenung. Hatinya kecewa bukan main. Lagi-lagi Han Tiong yang menang, kalau pencarian mereka
terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan suatu perlumbaan. Kakak angkatnya itu yang lebih dulu menolong Lian
Hong walaupun Lian Hohg agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin! Saking
kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tak dapat berkata apa-apa dan berulang kali
menarik hapas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri. Akan tetapi sepasang mata nenek itu sejak
tadi mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa ini seperti
menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena
ternyata nenek ini adalah penolong, malah menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek ini
menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apalagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai
musuh untuk membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa kira dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil sebagai murid!
"Heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak tangan, melainkan
luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!"
Thian Sin terkejut sekali mendengar ini. "Apa...? Apa maksudmu...?"
"Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa karena kedahuluan Cia Han Tiong."
Kata-kata itu cepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah keadaan hatinya. Dia
memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang
terasa oleh hatinya pada saat itu? Akan tetapi dia cepat menggeleng kepala dan membantah.
"Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Sudah sepatutnya kalau ia pergi
bersama Tiong-ko dan keluarga Cia."
"Hemm, tak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apalagi kalau bukan karena patah
hati? Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!"
"Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatangkara di dunia ini." Thian Sin
menarik napas panjang dan benar-benar dia merasa betapa dia kesepian, tiada seorangpun yang mencintanya!
Sejenak mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itupun tenggelam ke
dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus dan ramah. "Ceng Thian Sin, kita ini sama!"
Thian Sin memandang heran. "Sama? Sama bagaimana?"
"Sama sebatangkara, sama kesepian."
"Ah, tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana engkau bisa sebatangkara dan kesepian?"
"Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang? Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku hanya menundukkannya
saja, dan aku tidak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh sebatangkara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin."
Pemuda itu memandang kepada nenek yang luar biasa itu penuh perhatian. Sukar untuk dapat diterimanya betapa
seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga berpengaruh, memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka!
"Apakah engkau tidak mempunyai keluarga? Suami, anak atau cucu?"
Nenek itu menggeleng kepala. "Aku hanya sebatangkara, seperti engkau. Aku... aku tidak pernah tidak mempunyai keluarga..."
Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorangpun. Lalu ia menggeleng kepala dan menarik napas. "Sukar dapat dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka."
Nenek itu terkekeh. "Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah dapat mengenal semua keadaanmu, bukan? Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari
kuperlihatkan engkau keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan."
Thian Sin yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk. Nenek itu lalu mengajaknya berkeliling
memasuki ruangan-ruangan istananya yang penuh dengan perabot halus dan mahal, penuh dengan hiasan-hiasan yang
amat indah. Di sebuah ruangan besar sebelah kiri terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis kenamaan
yang tentu harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja sudah merupakan sejumlah modal yang amat
besar! Dan diapun dikagumkan oleh pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu mengenal lukisan-lukisan ini dan dapat menceritakan pula tentang pelukis-pelukisnya, segi-segi keindahan yang khas dari masing-masing lukisan.
Ketika nenek itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali Thian Sin kagum. Di situ terdapat alat-alat musik
serba indah, bahkan ada sekumpulan alat-alat musik kuno. "Apakah engkau suka pula dengan musik dan nyanyian,Pendekar Sadis?"
Thian Sin mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul seperti dua orang sahabat ini sebenarnya
adalah calon lawan yang berbahaya, dan juga mendengar nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis sungguh tidak sesuai
dengan keakraban mereka ketika bersama mengagumi alat-alat musik itu.
"Dan pandai bermain musik pula?"
"Ah, tidak, aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak."
"Meniup suling? Bagus sekali! Dan akupun suka meniup suling dan bermain yang-kim. Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar Sadis!"
Berkata demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim dan mulailah ia mainkan kawat-kawat
yang-kim itu sehingga terdengar suara merdu. Melihat cara jari-jemari itu menari-nari di atas kawat-kawat
yang-kim dengan lincahnya dan terdengar serangkaian suara merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang pandai bermain yang-kim. Kini yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenal, maka hati pemuda inipun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan meniup suling itu mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka terdengarlah paduan suling dan yang-kim, saling susul, saling belit dan saling bergandengan, amat cocok dan sedap didengar. Setelah mainkan dua tiga macam lagu, nenek itu menghentikan permainannya dan bangkit berdiri, sejenak memandang kepada Thian Sin lalu terkekeh.
"Heh-heh-heh, sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya kejamnya melebihi iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan penuh perasaan!"
"Dan siapakah yang percaya kalau Nenek Lam-sin, datuk sesat yang ditakuti oleh penjahat betapapun ganasnya,
ternyata pandai bermain yang-kim seperti puteri istana kaisar saja?" kata Thian Sin dan nenek itu tertawa,tiba-tiba suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga mengejutkan hati Thian Sin. Nenek itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa.
Kembali Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke kamar perpustakaan. Di situ terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam kitab sastra dan sajak terdapat di situ!
Satu di antara kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno, terutama sajak-sajak kuno. Maka, melihat demikian banyaknya kitab-kitab sajak di dalam rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia memandang dengan kagum dan sepasang matanya bersinar-sinar, jari-jari tangannya meraba dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut.
"Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang suka membaca sajak. Kiranya memang benar.
Sungguh seorang teman yang amat menyenangkan! Akupun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!"
Ah, kiranya banyak sifat-sifat nenek ini yang amat berlawanan dengan nama besarnya sebagai datuk kaum sesat.
Dia telah bertemu dengan Tung-hai-sian, Pak-san-kui dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk kaum sesat
dan mereka semua itu memang hebat dan juga penuh kekuatan dan kekerasan. Akan tetapi Lam-sin hanyalah seorang
nenek lembut yang pandai bermain yang-kim, pandai pula mengumpulkan lukisan-lukisan yang bernilai dan bahkan
kini suka membaca dan menulis sajak! Bukan main. Dia mulai menyangsikan apakah nenek inipun memiliki kelihaian
seperti ketiga orang datuk lainnya itu.
"Pendekar Sadis, setelah kita saling bertemu dalam kesempatan ini maukah engkau menulis sajak untukku, sebagai kenang-kenangan?" tiba-tiba nenek tua itu bertanya.
Thian Sin mengerutkan alisnya. "Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita akan saling serang dan mungkin saja aku atau engkau roboh dan tewas? Apa perlunya sajak dalam saat seperti ini?"
"Heh-heh, mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus menikmati hidup yang sekarang ini. Andaikata engkau mati dalam pertandingan nanti, sajakmu akan merupakan kenang-kenangan yang cukup baik."
Thian Sin mengerutkan alisnya. Betapapun juga, nenek ini sungguh tinggi hati dan merasa yakin bahwa ia akan
menang nanti, hal ini sudah berkali-kali disindirkan. Maka diapun lalu berkata. "Lam-sin, memang kau benar,
akan tetapi kematian bisa menimpa siapa saja, juga engkau dalam pertandingan nanti. Karena kita belum tahu
siapa yang akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing menuliskan sajak, agar kalau yang
seorang tewas, yang lain masih mempunyai kenang-kenangannya berupa sajak."
"Ha-ha-ha, bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita menulis sajak masing-masing!" Lam-sin
lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang tersedia di dalam kamar perpustakaan itu. Merekapun lalu menulis
sajak. Thian Sin menulis di atas meja di sudut kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas meja yang
berada di sudut kanan kamar.
Mereka selesai hampir berbareng. Lam-sin selesai lebih dulu, hanya beberapa menit kemudian Thian Sin pun
menyelesaikan sajaknya. Sambil ketawa dan penuh keinginan tahu memancar dari sepasang matanya yang tajam itu,
Lam-sin mengajak bertukar kertas yang penuh dengan tulisan. Lalu, dengan suara lantang, nenek itupun membacakan sajak tulisan Thian Sin.Lam-sin datuk dunia selatan mendatangkan kagum dan heran aku melihat perpaduan antara ketuaan dan kesegaran keganasan dan kelembutan
Sementara itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus indah, yang sudah dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya.
pendekar Sadis yang tersohor kiranya hanya seorang pemuda hijau
yang lemah lembut dan halus pandai bersuling dan bersajak betapa amat mengagumkan Mereka saling pandang dan keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi sajak mereka itu serupa benar. Keduanya menyatakan keheranan masing-masing dan juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama lain!
"Lam-sin, sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga amat indah," Thian Sin memuji.
"Hem, kepandaianmu menulis sajak juga amat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis," Nenek itu berkata. Dan pada
saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam hati Thian Sin! Maka, sebagai penyesalan bahwa ia terpaksa harus bertanding melawan datuk ini, kalau bukan karena keluarga Ciu juga untuk membuktikan bahwa dia mampu mengalahkan semua datuk sesat sehingga dengan demikian dia akan mengangkat nama besar ayahnya dan melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, dia berkata.
"Lam-sin seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki banyak macam ilmu kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak patut menjadi seorang golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi datuk kaum sesat?"
"Hemm, kaukira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku suka menjadi orang yang dianggap
jahat? Huh, aku muak dengan sikap para pendekar sakti seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri
saja yang pandai, gagah dan bersih, memandang rendah kepada golongan lain. Aku tidak peduli dianggap jahat dan
engkaupun boleh saja memandang aku sebagai seorang datuk yang jahat. Akan tetapi ketahuilah, Pendekar Sadis
yang tidak menyeramkan, bahwa golongan hitam atau kaum sesat perlu ada yang ditakuti, agar mereka itu dapat
terkendali. Kalau mereka itu tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang mereka takuti, maka mereka itu akan
menjadi liar dan hal ini amatlah berbahaya bagi seluruh rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya
penjahat, akan tetapi aku paling benci melihat penindasan, apalagi melihat perkosaan terhadap wanita. Kau tahu
mengapa aku menolong Lian Hong dan menganggapnya sebagai murid? Karena ia hendak diperkosa orang dan tahukah
engkau siapa orang itu? Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri, dan aku telah membunuhnya sendiri!"
"Hemm, memang ada kumelihat kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Berhadapan denganmu, sungguh sama sekali aku
tidak merasa berhadapan dengan seorang datuk sesat, berbeda dengan kalau aku berhadapan dengan tiga orang datuk
yang lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa kalau orang seperti engkau ini sejak dahulu tidak
pernah berkeluarga. Kalau kaulakukan hal itu, tentu sekarang engkau telah menjadi seorang nenek yang
dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta."
Mendengar kata-kata itu, Lam-sin menundukkan mukanya dan Thian Sin hanya memandang, mengira bahwa nenek itu
tentu menjadi sedih mendengar ucapannya. Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut sekali.
Sepasang mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak menembus jantungnya dan mulut yang keriputan itu
bertanyao "Ceng Thian Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Thian Sin terkejut, bukah hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan tetapi juga mendengar nenek itu secara
tiba-tiba saja menyebut namanya selengkapnya, tidak lagi sebutan yang nadanya mengejek memanggil nama
julukannya. Juga dia terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu
"Cinta? Jatuh cinta? Ah, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita cantik yang menarik perhatianku, akan
tetapi jatuh cinta...? Ah, aku tidak mengerti..."
"Hemm, bukankah engkau mencinta Lian Hong?"
Thian Sin menunduk dan menarik napas panjang. Sukar menyangkal di depan nenek yang matanya tajam ini.
"Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis lain sebelumnya. Akan tetapi setelah Hong-moi
menjadi tunangan Tiong-ko, seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku, aku meragu
lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta, mungkin hanya mengira
saja pernah jatuh cinta kepada setiap gadis yang menarik hatiku." Thian Sin berhenti sebentar, lalu menyambung
sambil menatap wajah keriputan itu, "Engkau sendiri bagaimana, Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu
berarti bahwa engkau juga belum pernah jatuh cinta sampai setua ini?"
Nenek itu menggeleng kepalanya. "Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!" Setelah menjawab demikian,
iapun menyambung cepat, "Mari kita ke lian-bu-thia!"
Thian Sin tidak menjawab dan mengikuti nenek itu, hatinya meragu. Setelah nenek itu mengajaknya ke lian-bu-thia
(ruangan berlatih silat) maka tentu maksudnya untuk mengajaknya bertanding. Dan kini dia ragu-ragu! Bukan dia
takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa dia bertanding melawan nenek ini? Seorang nenek tua yang
pandai bersajak, pandai bermain musik, yang begitu lemah lembut nampaknya. Dia tahu bahwa kalau dalam
pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan membunuh nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya.
Mungkinkah dia dapat berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta seperti ini? Dan kalau dia kalahpun akan
membuat namanya menjadi bahan tertawaan orang-orang di seluruh dunia! Akan tetapi, dia tidak dapat mundur lagi.
Seperti pada ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin melihat keadaan yang amat mewah dan indah.
Ruangan lian-bu-thia ini selain amat luas dan bersih, juga mempunyai banyak jendela di atas sehingga udaranya
segar, sungguh amat baik dipakai berlatih silat atau berlatih samadhi. Di sudut terdapat rak senjata yang penuh
dengan segala macam senjata yang serba indah dan juga amat baik buatannya, dari bahan baja yang baik pula.
"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah itu yang kaukehendaki ketika engkau
datang ke kota Heng-yang dan mencari gara-gara dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?"
Thian Sin mengangguk. "Tadinya memang demikianlah, demi membalaskan kematian keluarga Ciu, akan tetapi
sekarang..."
"Sekarang bagaimana? Engkau takut? Heh-heh-heh!"
Merah muka Thian Sin. "Siapa takut kepadamu? Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi mengapa aku harus membunuhmu."
"Engkau membunuhku? Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan apakah kematian banyak anak buah Bu-tek
Kai-pang itu tidak cukup untuk membuat aku membunuhmu?"
Lega rasa hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk menghadapi Lam-sin
sebagai musuh. "Bagus! Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu itu. Mari, Lam-sin, kita
bereskan perhitungan antara kita!" Dan pemuda itu lalu meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia dan berdiri tegak dengan sikap tenang.
Lam-sin juga meloncat ke depannya dengan gerakan ringan seperti seekor burung pipit terbang saja. Thian Sin waspada, dia maklum bahwa biarpun dia belum dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan tetapi satu hal sudah jelas bahwa nenek ini memiliki ilmu gin-kang yang hebat, yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri.
"Menurut penuturan Lian Hong, engkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga ilmu-ilmu dari keluarga
Cin-ling-pai, bahkan telah menguasai Thi-khi-i-beng, padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai ilmu mujijat
itu. Agaknya, dalam hat ilmu silat, engkau malah lebih lihai daripada putera Pendekar Lembah Naga. Nah,
keluarkanlah semua ilmumu itu, orang muda!" Lam-sin menantang.
Thian Sin melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi sepasang pedang tipis dengan gagang emas,
berukir kepala ular, maka dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan tetapi
pada saat itu, Lam-sin tidak mencabut keluar sepasang pedangnya, maka diapun bertanya, "Lam-sin, kita
bertanding dengan tangan kosong ataukah engkau hendak mempergunakan sepasang pedangmu itu?"
Nenek itu tersenyum menyeringai, mengejek. "Apa sih bedanya dengan pedang atau tidak? Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat daripada pedang kalau memang diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan, perlu apa tanya pakai senjata atau tidak? Kalau engkau sendiri memiliki seribu macam senjata, keluarkanlah itu semua, aku tak mundur selangkahpun!"
"Nenek sombong, tak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!" Thian Sin lalu menampar dengan gerakan
sembarangan, akan tetapi dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tangannya didahului sambaran angin
pukulan yang dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan yang lincah sekali sehingga tidak patut dengan orangnya yang
sudah demikian tua, Lam-sin mengelak dan dengan sama cepatnya dari samping iapun sudah membalas serangan Thian
Sin dengan pukulan tangan kiri ke arah dada. Pukulan itu ringan bukan main, seperti kapas saja! Akan tetapi
Thian Sin cepat mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang amat ringan ini adalah pukulan Ilmu
Silat Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang nampaknya saja lembut dan tidak mengandung tenaga kasar sedikitpun.
Akan tetapi jangan kira pukulan itu tidak berbahaya karena di balik keringanan dan kelembutan itu mengandung
tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga orang yang terkena pukulan, biarpun kulitnya
tidak lecet, akan tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah.
Mulailah mereka saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan gin-kangnya, maka terpaksa Thian Sin mengimbanginya.
Gerakan mereka cepat sekali dan setiap pukulan, setelah dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga dalam
waktu singkat, gerakan mereka yang cepat itu telah melewati tiga puluh jurus di mana mereka saling pukul namun
selalu mengenai tempat kosong karena keduanya menghindarkan diri dengan elakan-elakan yang tepat dan cepat.
Setelah lewat tiga puluh jurus mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah Thian Sin bahwa kalau dia terus
mengandalkan gin-kang, dia akan menderita rugi karena harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih kalah
setingkat oleh lawan! Maka diapun lalu mengerahkan sin-kangnya, menghentikan gerakan bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda dengan teguhnya, lalu mengubah ilmu silatnya. Tadi, ketika dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah mainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang diterimanya dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, atau setidaknya dapat membendung banjir serangan dari lawan yang memiliki kecepatan luar biasa itu. Kini, dia menghentikan gerakan cepatnya dan mengubah ilmu silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu.
Melihat lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan seolah-olah lawannya itu berubah menjadi
delapan orang sehingga diam-diam Lam-sin kagum sekali maka kini berubah lambat dan kokoh kuat, Lam-sin
menyerang dengan sama cepatnya, hanya bedanya, kini diarahkannya sebuah pukulan ke arah kepala lawan dengan
tenaga yang dahsyat, bukan dengan tenaga halus seperti tadi.
"Haiiittt...!" Ia membentak dan terdengar desir angin ketika pukulannya meluncur ke depan.
"Hemmm...!" Thian Sin cepat menangkis gerakan tangkas dan kuat sekali karena memang dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis dan mengadu kekuatan sin-kang. Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang hebat itu.
"Dukkk...!" Benturan dua lengan yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu hebat bukan main dan akibatnya,
Thian Sin terdorong mundur dua langkah akan tetapi Lam-sin sendiri terhuyung ke belakang sampai tiga langkah!
Nenek itu terkejut bukan main. Selama ini, belum pernah ia menemukan lawan yang dapat menandinginya dalam hal
gin-kang dan sin-kang. Sekarang, biarpun dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu masih kalah
sedikit olehnya, akan tetapi sebaliknya dalam hal sin-kang agaknya ia kalah kuat! Hal ini membuatnya penasaran
bukan main dan sambil menjerit, ia sudah menerjang lagi dan sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya,
menghantamkan lagi tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin.
Pemuda ini maklum bahwa lawannya penasaran, maka sambil tersenyum diapun menangkis lagi, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh tenaga, maka diapun mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ditambahnya dengan khi-kang yang diperolehnya dalam latihan ilmu peninggalan ayahnya.
"Desss...!" Tubuh Thian Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang, akan tetapi sebaliknya, tubuh nenek itu
terbanting roboh! Nenek itu terkejut, dan cepat ia menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi, memandang
dengan mata terbelalak. Bukan main marahnya dan ia sudah meloncat ke depan lagi. Thian Sin menyambutnya dengan
tamparan dan menggunakan satu jurus dari San-in-kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari
tangannya mengepul uap putih. Melihat ini, nenek itu kagum sekali, akan tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa mengadu tenaga akan merugikan dirinya. Maka ia sudah mengubah lagi gerakannya, kini mengandalkan gin-kangnya untuk memperoleh kemenangan. Setelah ia mengelak tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan tiba-tiba ada sinar hitam menyambar dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin.
Sinar hitam itu menyambar seperti ular hidup, Thian Sin cepat menundukkan kepalanya menghindarkan diri dan
ternyata sinar hitam seperti ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut panjang, sepanjang pinggangnya setelah kuncir itu terlepas dari sanggulnya, dan anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi nampak putih penuh uban, setelah kini rambut yang panjang itu terlepas dari sanggul dan tergantung sebagai kuncir tebal, rambut itu masih nampak hitam dan subur sekali. Juga ketika menyambar lewat, Thian Sin mencium keharuman kembang. Kembali rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, disusul dengan pukulan-pukulan kedua tangan dan bahkan kini nenek itu mulai menggunakan kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat. Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu, menyerang bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main. Pantaslah kalau nenek ini menjadi datuk karena memang ilmu silatnya hebat,
kecepatannya menggiriskan dan rambutnya itu pun merupakan senjata yang lebih berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita tua itu. Terpaksa diapun harus cepat mengelak dan menangkis pukulan dan tendangan, akan tetapi tidak berani menangkis rambut karena dia maklum bahwa rambut yang lemas itu kalau ditangkis, dapat melibat dan membelit seperti ular sehingga dia akan terancam bahaya.
Thian Sin mulai terdesak oleh serangan-serangan yang amat dahsyat itu. Tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk kuning dari pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng. Dia tahu bahwa satu-satunya senjata yang dapat melawan senjata rambut itu hanyalah sabuknya ini. Sabuk ini mempunyai sifat yang sama dengan rambut,
lemas dan kalau perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran sin-kang. Adapun kipasnya dapat dipergunakan untuk menotok, atau kadang-kadang tangan yang memegang kipas tetap saja dapat mengirim pukulan.
Kembali lewat lima puluh jurus benar saja, setelah Thian Sin mempergunakan sabuknya yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga sabuk itu seperti seekor naga kuning yang melayang-layang, ujung sabuk dapat menotok jalan darah, dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan gerakan rambut lawan, maka nenek itu kembali terdesak.
"Lihat jarumku!" tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti kilat.
Thian Sin terkejut sekali, mengebut dengan kipasnya dan melempar tubuhnya ke belakang dan dia bergulingan.
Kipasnya telah berlubang oleh jarum-jarum merah yang beracun! Keringat dingin membasahi lehernya karena pemuda
ini maklum bahwa baru saja ia terlepas dari bahaya maut yang nyaris merenggut nyawanya! Nenek itu tertawa dan
melanjutkan serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua tangannya. Ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang
pedang) dan segera bergerak ke depan, menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam
menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar. Kiranya dua batang pedang itu adalah pedang yang berwarna
hitam! Dan begitu kedua pedang itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang. Gerakan
sepasang pedang itu amat hebatnya, juga amat aneh. Tahulah dia bahwa nenek itu benar-benar amat lihai dengan
siang-kiamnya. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang yang diajarkan oleh nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang.
Memang hebat permainan pedang nenek itu dan biarpun Thian Sin sudah berusaha untuk memutar kipas dan sabuknya,
namun dia tetap terdesak, bahkan lewat belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya terbabat putus oleh sinar
hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya menjadi semakin hebat.
Thian Sin terpaksa menyimpan sabuknya dan mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar perak berkelebat.
"Trang! Cringgg...!" Nampak bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Thian Sin menangkis sepasang
pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar hebat. Memang ia tahu akan kekuatan dahsyat pemuda itu, maka
iapun cepat menyerang lagi, tidak mau mengadu senjata lagi. Thian Sin juga memutar pedangnya, menangkis,
mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya yang dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar
biasa sekali. Sepasang pedang hitam itu masih dibantu oleh gerakan kepalanya yang membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main lagi. Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek inilah yang paling berbahaya dan lihai!
Maka, setelah sejak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka
itu saling desak, Thian Sin lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan setelah menyimpan kipasnya,
tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong, miring dan dari tangan ini menyambar angin pukulan dabsyat,
dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya. Dahsyat bukan main serangan tangan kiri itu karena dia sudah
mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang disempurnakannya di dalam gua, di bawah
bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya.
Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yang kiri terlepas dari pegangan tangan. Ia masih
dapat menangkis, lalu menahan desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan memutar
pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang. Menghadapi serangan-serangan
ini, nenek itu bingung. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah
ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat ia selalu terdorong mundur. Maka nenek itupun menjadi nekat. Ia
mengerahkan seluruh khi-kangnya dan melawan keras sama keras!
Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu dan akibatnya Nenek Lam-sin
terlempar dan terbanting. Akan tetapi, ia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu
mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, ia masih terus melawan
dengan nekat dan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, tidak enak dan kasihan. Mengapa
nenek ini masih belum juga mengaku kalah?
Ketika nenek itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang, lalu ia
menggerahkan Thi-khi-i-beng! Nenek itu menjerit, akan tetapi lalu tiba-tiba saja seluruh tubuhnya mengendur
sehingga sin-kang tidak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek ini yang amat lihai memiliki kecerdikan sehingga
ia tahu bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng dan kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dan dua
kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin. Diserang seperti ini, tentu
saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja tidak dapat
dilindungi dengan kekebalan.
Karena kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa membunuhnya, tiba-tiba Thian Sin
berjungkir balik dan dia telah menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu
mencelat ke depan dan terdengar nenek itu berteriak kaget lalu roboh terguling, kedua kakinya terasa lumpuh
karena telah kena ditotok oleh jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu. Sebelum pedang itu
menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang.
Sambil memandang kepada nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata, "Lam-sin apakah engkau belum juga mengaku kalah?"
Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, juga kasihan melihat nenek itu tiba-tiba menangis!
Thian Sin tidak dapat berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak!
"Kau... kau kenapakah, nek?" Thian Sin bertanya sambil mendekati.
"Aku sudah kalah... lebih baik mati...!" Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri.
"Jangan...!" Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu. Lam-sin meronta, akan
tetapi Thian Sin merangkul dan memeluknya, memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin
tak dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat berkurang, bahkan
menjadi lemah dan ia tidak meronta lagi, melainkan menangis.
Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya, secara tidak sengaja tangan dan tubuh
Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat,
mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas menjadi tubuh seorang dara!
"Kenapa kau hendak bunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?" Thian Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walaupun pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu.
"Engkau tahu... mengapa sampai... saat ini aku belum menikah?" Akhirnya Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin
menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu melanjutkan, "Aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan
menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku... dan sampai detik ini... sebelum ini tidak
ada seorangpun pria yang mampu menandingiku... karena itu aku belum pernah... sampai sekarang aku masih perawan... dan setelah akhirnya ada yang mengalahkan aku... hu-hu-huhh... engkau... engkau tentu tidak akan
sudi menerimaku... maka daripada aku terhina, lebih baik aku mati...!"
Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang hangat
dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat
suatu hal yang tidak mungkin. Sepasang mata itu, demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan mata
nenek-nenek biarpun di pinggir mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat
betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput di pipinya, di tepi hidung dan mulut, di tepi matanya, sama sekali
tidak berubah, sama sekali tidak bergerak. Mana ada keriput begitu kaku dan tidak bergerak ketika mulut bicara?
Juga suara nenek ini, demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan
suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet dan putih bersih, biarpun nenek itu berusaha untuk tidak
membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan nampak.
"Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!" Thian Sin berkata. "Biarpun engkau seorang nenek, namun engkau
masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, akupun bersedia menerimamu,
aku bersedia membantumu memenuhi sumpahmu."
"Kau... kau mau...?" Lam-sin berkata dengan mata terbelalak dan Thian Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia
tersenyum dan mengangguk, lalu dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya. "Benarkah kau... kau mau...?" Nenek itu seolah-olah tidak percaya.
Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikitpun tidak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya,dan dia mencium bau harum minyak wangi. "Di antara semua kamar di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi belum kulihat, maka coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, dan aku akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin."
Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya sudah merangkul leher
pemuda yang memondongnya dan hanya terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, "Ke kiri...
melalui pintu kiri itu..."
Thian Sin melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan selanjutnya, tanpa mengangkat muka
dari tempat persembunyiannya, Lam-sin menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh
Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing
tanpa berani keluar! Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia tercengang dan kagum.
Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya.
Kamar itu lengkap dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan nampak begitu bersihnya, tidak pantas menjadi
kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana! Thian Sin melangkah masuk dan
mempergunakan jari tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia
merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda.
Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan, tertutup kap berwarna hijau
sehingga membuat suasana di kamar itu nampak romantis dan indah sejuk.
"Kau... kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?" tanya nenek itu.
"Ah, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan." Dengan halus Thian Sin meraba pinggang nenek itu dan bukannya
menotok dengan kasar, melainkan mengurut dan menekan lembut dan totokan itupun punah. Thian Sin duduk di tepi
pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu.
Otomatis Lam-sin menarik kakinya yang diraba. "Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya lirih
dan gemetar.
Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tidak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu. "Hanya ingin
melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan? Pembaringan akan kotor..."
"Nanti..." kembali Lam-sin menarik kakinya. "Kau... kaupadamkan dulu lampu itu... aku... aku tidak bisa, aku
malu... padamkan lekas, Thian Sin..."
Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan dalam kamar yang menjadi gelap
gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu.
Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang amat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang
berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara yang muda dan memiliki tubuh yang indah, montok dan yang
benar-benar selamanya belum pernah berdekatan dengan seorang pria! Dan wanita ini menyerahkan diri dengan
sepenuh hati, dan rela bahkan menangis, saking bahagianya ketika berada dalam pelukannya. Mereka itu seperti
pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian sin adalah bahwa mereka berada di tempat yang
gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan lampu.
"Thian Sin, kasihanilah aku... jangan nyalakan lampu... kau tunggu saja sampai besok pagi... ah, bertahun-tahun
aku menyembunyikan diri dan kini... setelah aku menemukan engkau... engkaulah orang pertama yang akan tahu
segala-galanya... maafkan aku."
Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan ketika dia menciumnya, Lam-sin balas mencium dengan kemesraan dan
kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biarpun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah
dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiripun sebelum berdekatan muka tidak akan pernah
menyangkanya, namun dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik. Tentu saja hal itu baru
dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, biarpun tidak dapat melihatnya, namun dia dapat merabanya
dan memperoleh kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, masih gadis.
Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita yang sama sekali belum
pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin dan mendatangkan ketegangan luar
biasa. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan
kemesraan.
Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, setelah sinar matahari mulai menerobos masuk dan kamar itu
diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin menyembunyikan dirinya dalam selimut! Bahkan mukanyapun
disembunyikannya, seluruh tubuhnya tertutup selimut!
Thian Sin bangkit duduk dan tertawa. "Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan mari kau memperkenalkan
dirimu!"
Dari dalam selimut terdengar suara yang gemetar, "Aku... aku malu..."
"Ih, bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami isteri, walaupun tidak sah? Bukalah, aku
ingin melihat bagaimana cantiknya wajah dewi pujaanku..."
"Thian Sin, jangan merayu engkau!"
"Sungguh, aku telah jatuh cinta padamu, dewiku..."
"Kepada Lam-sin nenek tua renta?"
"Bukan, kepada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan indah." Thian Sin memeluk dan dengan
perlahan membuka selimut itu dan... dia terpesona! Memang sudah diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita
muda yang cantik, akan tetapi tak pernah disangkanya sejelita ini! Seorang gadis yang cantik jelita dan manis
sekali, yang kini memandang kepadanya dengan sepasang mata yang berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu,
yang kedua pipinya merah sekali dan bibirnya yang merah membasah itu tersenyum malu-malu.
"Ya Tuhan... engkau cantik jelita sekali!" katanya lirih dan Thian Sin lalu merangkulnya, mendekatkan muka itu
lalu menciumnya dengan sepenuh kemesraan hatinya. Sampai terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong
dada Thian Sin dengan lembut.
"Thian Sin, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"
"Sungguh mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat ganda!"
"Engkau tahu Thian Sin, bahwa aku telah menyerahkan diri kepadamu sebagai seorang perawan, untuk memenuhi
sumpahku."
Thian Sin mengangguk dan mengelus rambut yang hitam panjang itu. "Dan aku merasa terharu, merasa berterima
kasih sekali bahwa engkau percaya kepadaku."
"Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak dapat menikah denganmu, tidak dapat menjadi isterimu."
Terkejut juga Thian Sin mendengar ini. Sungguh aneh sekali, dia melepaskan rangkulannya dan menatap wajah yang
cantik itu. Sungguh manis sekali wanita ini, dan memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan. Dia merasa
beruntung sekali dapat menjadi pria pilihan gadis seperti ini dan diapun agaknya tidak keberatan untuk
mendampingi gadis ini selamanya! Akan tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan
tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi
kebalikan dari apa yang disangkanya. Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan,
tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka dapat menikah dan menjadi suami isteri. Akan
tetapi mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya?
"Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?" kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium. Wanita itu
membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini,
biarpun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa
malu-malu.
Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. "Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat
bicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?"
"Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!" kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak
merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan.
"Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kila bereskan urusan
Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan
melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan
daripada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian."
Sikap wanita yang semalam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api berahi yang
bernyala-nyala, kini berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah!
Thian Sin tersenyum. "Memang bijaksana sekali keputusan itu. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan
menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab."
Setelah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan. Mereka mandi di kamar mandi yang berada di
bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah
dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Kiranya nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit tipis
sekali dan ada rambut putih di bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari
dekat sekali kalau meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan.
"Ah, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?" kata Thian Sin.
"Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu."
Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu dan lapat-lapat terdengar suara berkeliling di luar kamar.
Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu.
Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapapun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan
dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi
pelayannya. Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan
bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani
berkata sesuatu, hanya berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan,
kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar.
"Cepat, ambilkan tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!" perintah Nenek Lam-sin. "Kemudian umumkan kepada para
pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota."
Setelah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan
pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani
mengeluarkan sebuahpun kata. Setelah mereka pergi, Lam-sin lalu mengajak Thian Sin makan pagi. Setelah selesai
makan pagi, mereka keluar dari kamar dan Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke sebelah belakang rumah
perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para
anggauta Bu-tek Kai-pang berkumpul. Melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek
Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu masih hidup dan
tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang. Thian Sin
melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya sedikitnya ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu
ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin
dilakukan secara tiba-tiba. Dan diapun melihat tiga orang ketua kai-pang itu dengan rebah di atas usungan,
hadir pula. Wajah mereka masih pucat dan mereka memandang kepada Thian Sin dengan mata mendelik dan muka marah.
Merekapun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin,
seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.
"Para anggota kai-pang sekalian." terdengar "nenek" itu berkata, suaranya lantang berwibawa dan semua orang
yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut
yang mendalam, "dengarkan baik-baik segala perintahku pagi hari ini yang merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!"
Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu?
"Aku perintahkan semua anggauta, baik yang kini hadir maupun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu
ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, untuk mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan
sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak memimpin kalian lagi, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak
membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena
hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan tanpa adanya aku di sini, kalian akan dihancurkan golongan
lain. Kalian boleh memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian boleh memilih ketua sendiri, apakah
akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua
barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi
rata dan adil, tidak boleh ada yang main curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk
mengurusnya. Setelah aku pergi, tidak ada seorangpun yang boleh menggunakan namaku lagi, dan semua urusan
kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku
ini tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di manapun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan
datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!"
"Pangcu...!" Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan merekapun menangis! Dan hal ini menular kepada
beberapa orang anggota kai-pang dan sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis!
Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Ia sendiri menarik napas panjang beberapa kali dan nampaknya juga berduka, akan tetapi ia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak
"Cukup...! Bukan sikap orang-orang gagah kalau membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada
perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku
dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin
melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang hendak mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke
kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini."
"Tapi... tapi, locianpwe..." kata Ang-i Kai-ong. "Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya
bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang telah membunuh begitu banyak anggauta kami?"
Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, "Dia datang untuk
membalas kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab mengirim anak buah
untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian menanggung akibatnya dan telah lunas.
Pendekar Sadis sudah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!"
"Ahhh...!" Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar.
"Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, dan kalian menanti sampai lima orang pelayanku ini menyelesaikan semua
urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan lain nama, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tidak ada sangkut-pautnya
lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?"
Tiga orang ketua itu berkata. "Kami mengerti!" dan disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti.
Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin dan lima orang pelayannya untuk masuk lagi ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal dan beberapa potong perhiasan yang diambilnya
sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan.
Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, "Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan setelah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal."
Lima orang itu hanya terisak dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian
Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu iapun meninggalkan istananya melalui pintu samping
yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua
miliknya itu dan setelah keluar dari pintu pekarangan, ia mengajak Thian Sin untuk cepat meninggalkan kota
Heng-yang, pemuda itu mengikuti tanpa membantah, akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di
mana terdapat sebuah perahu hitam disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik
perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, "Ke manakah kita pergi?"
"Kau ikut sajalah, aku mempunyai sebuah tempat yang indah dan di sanalah kita bicara tanpa ada seorangpun yang
akan mengganggu kita," jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu
mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara.
Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat dan Lam-sin lalu menggerakkan dayung,
membuat perahu itu minggir dan akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan
pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia.
Dengan sehelai tali, Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu meloncat ke darat
yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena berbahaya kalau
harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tidak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin
menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di
tempat terbuka. Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan di antara
pohon-pohon besar, nampak padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga.
Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara
pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara
pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil namun kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali.
Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu dan membuka semua jendela.
Hawa yang sejuk memasuki pondok dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biarpun kecil namun isinya lengkap.
Sebuah pembaringan yang biarpun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan
perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biarpun agaknya sudah lama tempat
itu tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu
maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.
Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, lalu melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira
sekali. "Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada jika hatiku sedang risau. Kini aku bebas...!
Bebas...!" Dan iapun mengembangkan kedua lengannya nampaknya berbahagia sekali.
"Tempat yang indah, seperti sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!"
Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.
Lam-sin mengelak. "Nanti dulu," katanya. "Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh
karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!"
"Eh... kenapa begini? Bukankah... bukankah..."
"Mari kita keluar dan engkau saksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!"
"Apa... apa maksudmu...?" Thian Sin semakin kaget.
Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin mengikutinya dan mereka tiba di lapangan
rumput. Rumput di situ hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak bisa
tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, ia berkata, "Maukah
engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?"
"Membuat api unggun? Untuk apa...? Tapi baiklah..." Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu matahari sedang
berada di atas, cuaca cukup cerah dan biarpun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu
dingin. Perlu apa api unggun? Tapi melihat sikap Lam-sin begitu sungguh-sungguh, diapun cepat pergi mencari
kayu kering yang dibutuhkan wanita tua. Setelah memperoleh kayu kering cukup, Lam-sin menumpuknya di atas
batu-batu yang sudah diatur di tempat itu, dan iapun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api bernyala cukup besar
dan nenek itu lalu meraba ke arah mukanya.
"Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang telah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang
yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!"
Sekali ia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu dan nampak wajahnya yang berkulit putih halus
dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja
segera dimakan api. Wanita itu lalu menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu
sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itupun melayang ke arah api,
dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu.
Gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira. "Nah, mampuslah
sudah Lam-sin si nenek buruk!"
"Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari...!" kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya.
Gadis itu tersenyum, nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu
dengan bebasnya, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh tubuh yang menggairahkan itu dengan pandang matanya,
sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin dengan halus ketika
pemuda itu hendak menciumnya.
"Nanti dulu, engkau belum mengenalku!" bisiknya.
"Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik semalam..." Thian Sin tersenyum.
"Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku."
"Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik seperti bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku..." Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak.
"Kalau memang memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!" tiba-tiba ia membentak dan sepasang mata yang indah
itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin dan diam-diam dia
bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat
demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.
"Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu," kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal.
Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar sampai berkobar, dan sebentar saja pakaian
itupun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Dan tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun,
terdengar suaranya lirih, "Ibu... ibu... anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah..." Akan tetapi sebentar saja ia menangis karena ia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan saputangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah akan tetapi dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya!
Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan
kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak dapat menikmati
pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas dan
diam-diam dia membanding-bandingkan dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang
gadis yang lebih hebat daripada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apalagi kepandaian silatnya,
juga kepandaiannya dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!
"Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong..."
"Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!"
"Aku she Toan..."
"Ehh...?" Thian Sin teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.
Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu.
"Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kaubunuh itu adalah terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong."
Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia tidak pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaannya tentu gawat!
"Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya karena fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali."
"Aku tidak peduli akan hal itu!" Gadis itu berkata dengan suara kesal. "Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!"
"Ahhh...!"
"Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat dan setia kepada kaisar. Tidak, ayahku
berjiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan dan
menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kaisar."
"Ah, kalau begitu... engkau masih keluarga kaisar..."
"Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita adalah keluarga-keluarga jauh yang sudah terlempar ke
luar. Engkau anak pemberontak, akupun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah
begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku melarikan diri, menjadi buronan.
Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak, sehingga dia memperoleh
tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayah bertemu dengan ibuku, yaitu seorang
wanita kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi daripada tingkat
kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang amat terkenal. Mereka saling jatuh
cinta dah hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah
tidak memungkinkannya untuk menikah dengan terang-terangan."
"Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya," Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan.
Kim Hong mengangguk. "Akupun berpendapat demikian." Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh
Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik ketika mendapat kenyataan
bahwa Kim Hong adalah puteri seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia!
Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya, atau lebih tepat lagi kekasihnya yang
menjadi isterinya tanpa pernikahan yang bernama Ouwyang Ci, bersama-sama melarikan diri di daerah selatan, jauh
dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer.
Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus
berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci lalu tinggal di
sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai
Merah), sebuah pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tinggal kosong.
Namung kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah. Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di
pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali Toan Su ong atau isterinya
naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di
Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahir seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong.
Dan mereka terus bertapa dan memperdalam ilmu-ilmu mereka, bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The
Hoo itu mereka menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo-sin-kun (Ilmu
Silat Penakluk Iblis).
Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua
ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo
Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapapun juga, tetap saja
ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai daripada ayahnya. Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau
diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi, anak itu tidak menjadi canggeng,
bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka iapun mempelajari semua ilmu yang lain di samping ilmu
silat, yaitu ilmu kesusasteraan dari ayahnya, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya sedangkan
dari ibunya iapun mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi
seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu.
Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan
besar, secara kebetulan ia mendengar bahwa kaisar telah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong.
Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan
mencari di mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke
pulaunya dan dengan terengah-engah saking tegang dan girang hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan
ini ia menceritakan kepada suaminya.
"Suamiku! Engkau telah bebas! Engkau telah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ah, kita tidak menjadi
orang-orang pelarian lagi!" kata isteri itu dengan girang sekali.
Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak
kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya. "Habis, mengapa? Apa bedanya
bagiku?" katanya dingin.
"Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau kan
seorang pangeran? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran..."
"Tidak...!" Tiba-tiba Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. "Keluarga kaisar adalah
keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggauta keluarga
yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!"
"Tidak mungkin!" Ouwyang Ci juga membantah dengan suara berteriak marah. "Engkau terlalu mementingkan diri
sendiri, menyenangkan hati sendiri, tidak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin,
menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup seperti
pertapa di tempat terasing! Aku tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri
seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran
terhormat, bukan gadis terlantar yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja,
mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu."
"Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran."
"Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!"
Percekcokan menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar
mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci
keluarga kaisar itu tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap dan
akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran inipun berkelahi!Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya dapat menangis. Segala jeritannya untuk melerai sia-sia belaka.
Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat
seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka lupa bahwa mereka
adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seolah-olah menghadapi musuh besar yang harus
dibinasakan! Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan
mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semua. Semua jurus ilmu silat mereka telah mereka pergunakan, dan akhirnya
mereka berdua sama-sama mainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama. Bukan main hebatnya perkelahian
ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah
melihat contoh-contoh gerakan yang sempurna dan ia melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri.
Terutama sekali ketika ayah ibunya berkelahi melihat Hok-mo Sin-kun, ia dapat meneliti setiap jurus yang
dikeluarkan dan otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu
sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan!
Akhirnya, terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah seperti
kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Matanya terbelalak dan ketika ia
melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, ia menjerit lalu menubruk suaminya yang sudah
pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu telah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri!
Kalau kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan,
bahkan mungkin ada yang mengatakan tidak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi, cobalah kita
membuka mata dan memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan tentang "cinta" yang begitu mudah keluar
dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau
isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua. Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su
Ong dan Ouwyang Ci itu terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu
silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, namun sedikit saja selisihnya. Betapa
banyak suami isteri yang hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu menumpahkan rasa kasih sayang
masing-masing, dengan ringan kata-kata "aku cinta padamu" meluncur keluar dari mulut mereka, pada hari ini
saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata penuh dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan
benci, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan-serangan kata-kata yang dapat menimbulkan
luka yang amat parah di dalam batin masing-masing! Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata,
bahkan ada kalanya beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada
pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru semalam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang!
Begitukah cinta kasih? Ataukah semalam itu yang terjadi hanyalah gelora nafsu berahi belaka? Dan setelah nafsu
terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbul kemarahan dan kebencian sebagai penggantinya? Kemudian
setelah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu
saling mencinta? Ataukah hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu
yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain?
Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan
bahkan berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara sahabat. Apakah ini? Bukankah
yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintaimu sebagai sahabat karena engkau baik kepadaku? Dan
dengan demikian, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku? Apakah cinta itu
demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang kepada kita, apakah dia itu menguntungkan atau
menyenangkan hatiku, apakah dia itu merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini,
seperti jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin
darimu dan sebaliknya? Kalau sudah tidak memporoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi.
Begitukah cinta kasih?
Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tidak akan menyinarkan cahaya selama di situ
terdapat kebencian, iri hari, rase takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itupun cinta kasih tidak
ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci.
Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal oleh perbuatannya sendiri itu lalu memondong suaminya,
dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Ia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat dan suaminya
tidak sadar lagi dan tewas dua hari kemudian! Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi dan menyesali
perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia
empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka
goresan mendalam di batinnya.
Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Ia menjadi sakit-sakitan dan ia
melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim
Hong telah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan ia lebih
lihai dari ibunya sekarang! Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa malapetaka itu terjadi karena ia lebih lihai
dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang
mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan
dirinya. Ia menghendaki agar puterinya menjadi isteri seorang pria yang memiliki kepandaian lebih tinggi
daripada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang
dikehendaki suaminya. Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena ia akhirnya sadar bahwa suaminya benar.
Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta dan kalau ia dahulu menurut kata-kata
suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.
"Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang
jantungnya, tentu karena kedukaannya, dan akupun hidup sebatangkara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu
berpesan kepadaku agar aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik
sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan dapat mengalahkan aku, maka ibu
menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek untuk mengurangi gangguan dan godaan. Aku
menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah."
Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali. "Dan muncullah Lam-sin yang merajai
dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang."
"Tidak begitu mudah," jawab Kim Hong. "Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat
kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku lalu turun tangan membasmi mereka. Namaku
mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama)
karena aku tidak pernah mau mengakui namaku. Makin banyak golongan sesat yang menentangku dan aku basmi mereka
semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, setelah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin."
"Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?"
"Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapi Lam-thian Kai-ong meninggal tak lama kemudian karena luka-lukanya ketika melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Dan akupun lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku."
"Dan sekarang?"Sekarang? Aku telah bebas... aaahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kaulihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas..."
"Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin..." kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.
"Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya."
"Dengan sepenuh hatiku," kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu.
Demikiantah, dua orang muda itu tenggelam dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh
tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan
perbedaan usia ini. Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan.
Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Harus si calon suami lebih tua
beberapa tahun daripada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan
begitu. Akan tetapi, dua orang muda ini tidak terikat oleh apapun juga. Mereka melakukan hubungan karena
dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itupun hampir tidak mempedulikan soal cinta atau tidak cinta. Mereka
suka untuk saling bercumbu, saling berdekatan, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan hati
masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apapun juga yang
mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan.
Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh
kemanisan yang membuat mereka lupa segala-galanya, seperti sepasang pengantin yang berbulan madu.
Sebulan kemudian, ketika mereka berdua mandi di sumber air tak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat
seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di situ tidak ada orang lain kecuali mereka, Thian Sin duduk di
atas batu. Kim Hong berenang menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di
atas badan mereka yang basah.
"Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?" tanya Thian Sin, memandang termenung ke air di bawah
mereka yang jernih dan sejuk sekali itu.
Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. "Tentu saja!
Mengapa tidak? Bukankah kita berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?"
Thian Sin merangkul. "Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi,
segala kesenangan itu tentu akam menimbulkan kebosanan, bukan?"
Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya dan ia mendorong dada Thian Sin dengan kuat.
"Eh-eh...!" Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu
sempit saja. "Byuuuuurrr...!" Thian Sin berenang menghampiri lagi.
"Kim Hong, mengapa engkau?" tanyanya sambil memegangi batu.
"Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!" Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin.
Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang dan diapun cepat menyelam dan menjauh.
"Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan padamu bahwa aku tak pernah bosan!" Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki gadis itu, menariknya dan Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya.
"Kenapa kau tadi bilang bosan?"
"Dengarlah dulu, aku tidak bosan sekarang, akan tetapi aku tahu benar bahwa kesenangan kelak akan membosankan,
baik kepadaku maupun kepadamu. Hidup rasanya hambar kalau setiap hari harus bersenang-senang saja seperti kita
sekarang ini, bukan?" Dia berhenti sebentar dan menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu.
"Perlu ada selingan, sayang. Baru namanya hidup. Aku sudah terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa
kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau hendak
meniru mendiang ayah bundamu yang menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita perlu
melihat dunia ramai!"
Kim Hong termenung, lalu mengangguk. "Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlampau terpengaruh oleh kehidupan
orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru kepada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian.
Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja."
"Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku ingin mencari dan menantang, juga ingin mengalahkan orang-orang
seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!"
"Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan mempunyai banyak kaki tangan.
Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!"
"Justeru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan
bahaya itu terdapat kenikmatan?"
Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya ketika ia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. "Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!" katanya.
"Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?"
"Terdengarnya menarik juga. Tapi, mengapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?"
"Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hati saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor
satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Aku ingin
mengobrak-abrik mereka dan berarti aku telah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka aku
berarti telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Kalau engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku akan berhasil
mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sesungguhnya, aku pernah mengukur kepandaian mereka dan pernah menang
ketika bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi." Lalu dia menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika
dia mengalahkan dua orang datuk itu.
Kim Hong termenung. "Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan akupun ingin bertemu dengan
orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku."
"Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?"
Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan
riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan gua mulutnya yang kemerahan. "Ha-ha, engkau seperti
seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?"
Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa
dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang. "Kim Hong, terus terang
saja, dahulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang
cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih
ingin lagi berdekatan dengan wanita lain." Dia mencium mulut itu. "Dan engkau bagaimana?"
Kim Hong menggeleng dan tersenyum manis. "Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan
engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!"
"Ih, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah engkau menemani dan membantuku
menghadapi para datuk itu? Hanya untuk selingan hidup, mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat
kembali ke sini lagi kalau sudah bosan merantau."
"Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah
saja bagiku untuk kembali ke sini lagi."
"Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!" Thian Sin menciuminya dan sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya.
"Eh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!"
"Lapar? Wah, setelah kauingatkan, akupun merasa lapar sekali!"
"Tunggu apa lagi? Bubur menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!" Mereka
tertawa-tawa seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak, keluar dari
sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak kecil berlumba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang
saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ.
Melihat keadaan muda-mudi ini, timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita ragu-ragu untuk menjawabnya.
Pertanyaam itu adalah : Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka
itu? Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal dalam perasaan kita, tentu kita akan
menyeringai dan dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tidak tahu malu, tidak sopan dan
sebagainya, walaupun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang
merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu. Mereka itu hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali
mereka, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah
seperti mereka itu, tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak kepada pernikahan, yang untuk
jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah. Dan suami isteri, atau dua orang yang sudah seperti mereka
itu keadaannya, seperti satu badan dan tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti kalau kita
sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya
kemunafikan kita sendiri.
Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat.
***
Thian Sin dan Kim Hong membuat perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dulu
mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan
seenaknya tidak tergesa-gesa karena Kim Hong yang selama empat lima tahun ini selama tinggal di Heng-yang dan
sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka kini memperoleh kesempatan merantau dengan Thian
Sin, ia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya. Oleh karena itu, mereka melakukan perjalanan
seperti pelancong-pelancong saja, atau seperti sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan
madu yang manis, di kuil-kuil kuno, dan kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah
penginapan seperti suami isteri.
Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, seringkali mereka cekcok, walaupun lebih sering lagi
mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras
dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena ini, maka sering kali mereka cekcok, walaupun
sebentar kemudian mereka sudah saling cium dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling
mencinta dan menyayang!
Di dalam perjalanan itu, Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang
kelihaian-kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari
murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid
See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebetulnya malah lebih lihai daripada
suhengnya itu. Dan memesan kepada Kim Hong agar berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.
"Tingkat ilmu kepandaian silatmu kiranya tidak perlu kalah berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat
engkau tidak kalah lihai. Hanya dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Aku dahulu pernah hampir
celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula."
"Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?"
Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.
"Eh, kenapa engkau memandangku seperti ini...?" Tiba-tiba Kim Hong yang melihat perbedaan pandang mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena ia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.
"Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Engkau hendak melawanpun percuma karena kedua tanganmu tak dapat kaugerakkan.
Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!"
Di dalam suara Thian Sin itupun mengandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan ia mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi... benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali,
betapapun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat.
Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, "Aku menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapapun engkau hendak mengelak dan menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!" Dan benar saja, Thian
Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup!
Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, "Engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!"
Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. "Ilmu siluman apakah ini?" bentaknya, akan tetapi ia benar-benar menjadi gentar.
"Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, maka engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu."
"Thian Sin, kauajarkan aku ilmu ini, agar aku dapat melawannya!"
"Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya dapat dipelajari kalau
engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, di dalam
perjalanan ini akan kuajarkan kepadamu bagaimana agar engkau dapat menghindarkan diri dan menolak pengaruh
sihir. Tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal engkau tidak
sampai ditarik perhatianmu olehnya, dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu."
Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim
Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan
dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khi-kang yang amat kuat,
maka latihan seperti itu amat mudah baginya dan sebentar saja ia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup
sehingga tidak akan mudah diseret perhatiannya oleh lawan.
Ketika mereka memasuki kota Si-ning keduanya lalu mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan
buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai
yang amat luas itu. Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu dan dengan
gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Mereka membuat sajak-sajak sambil
berperahu, makan daging panggang dan kacang, minum arak wangi dan setelah matahari naik tinggi barulah mereka
kembali ke kota Si-ning. Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka
berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga.
Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberitahu
oleh anak buahnya tentang adanya Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah
barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali. Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, mencari
kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu telah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya.
Cepat See-thian-ong mengumpulkan para murid dan pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoinya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini telah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu telah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoinya ini.Selain kedua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng
sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang pria yang usianya hampir lima puluh tahun dan yangterkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biarpun tingkat kepandaian mereka
masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling maupun Ciang Gu Sik, akan tetapi kalau kelima orang ini maju
bersama, mereka dapat membentuk barisan yang amat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum
tentu dapat mengalahkan mereka. Lima orang ini sekarang yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh
See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk "membereskan" urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu.
Yang hadir, selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu
yang selain berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu.
"Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan
membalas penghinaannya dahulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya
atau isterinya itu. Jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan
turun tangan. Dan agaknya dia datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan
biarkan dia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui." Demikian antara lain See-thian-ong memberi
perintah kepada para murid dan pembantunya.
"Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!" kata So Cian Ling kepada gurunya.
"Hemm, kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apalagi setelah kedua tanganmu cacad,"
jawab gurunya. "Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana
tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang kuterima, mereka bermalam di hotel
sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta."
Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So
Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah
membagi-bagi perintah agar mereka semua siap siaga, pertemuan itu dibubarkan dan ketika Ciang Gu Sik dan So
Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara
Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong. Kakek ini membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk,
tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya.
Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul
mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja.
"Bagus!" kata See-thian-ong. "Usulmu memang baik sekali." See-thian-ong tertawa. "Memang dugaanmu tepat.
Betapapun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapapun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada
putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kausuruh isterimu pergi menemui Thian
Sin dan kausuruh melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, ketika mereka berdua itu
berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!"
"Lalu bagaimana rencana suhu?" tanya Ciang Gu Sik, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di
situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ.
"Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlalu enak
baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku akan menentukan
selanjutnya."
Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat
isterinya sedang duduk termenung. Dia duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam.
"Engkau kenapa?"
Cian Ling menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa."
"Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?"
Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar. "Laki-laki jahanam itu!"
"Engkau cemburu?"
"Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Dia membuat aku kehilanga kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku
harus membalasnya!" kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya. Akan tetapi suaminya yang sudah amat mengenal
isterinya ini dapat melihat kerinduan dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di
waktu berada dalam pelukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya isterinya ini menyebut
nama Thian Sin! Itu saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Hal
inilah yang membuat Gu Sik semakin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu kiranya tidak kalah oleh
kebencian suhunya terhadap pemuda itu!
"Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi."
"Tugas apakah, suheng?" Memang aneh sekali dua orang ini. Biarpun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi
mereka telah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut sumoi dan suheng! Dan hubungan mereka
juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan inipun
dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan suhengnya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik amat
mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suhengnya, hanya perasaan berhutang budi saja, dan untuk itu ia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya.
"Begini, sumoi, seperti kauketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin telah berada di
Si-ning bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan
yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu agar engkau pergi menemui Thian Sin dan menggunakan perhubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, sebaiknya kauusahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian."
Cian Ling mengangguk-angguk. "Baiklah, akan kulakukan itu."
"Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu."
Kembali Cian Ling mengangguk dan alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak mencari akal bagaimana
untuk dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau
bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan
wanita itu amat mesranya dan terbayanglah kembali kenang-kenangan lama ketika pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan!
Senja hari itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah penginapan yang
melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah
penginapan itu. Ketika Thian Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So Cian Ling!
"Hemm, kau cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?"
"Dari So Ciang Ling, murid See-thian-ong."
Kim Hong sudah pernah mendengar cerita Thian Sin tentang gadis itu, maka ia berjebi dan membuang muka.
"Kau mau membacanya?"
"Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!"
"Ha-ha, kau cemburu?"
Kim Hong memandang dengan mata bersinar marah. "Siapa bilang cemburu? Biar kau mau menggandeng seribu orang
wanita, aku tidak akan peduli! Kalau engkau menggandeng lain wanita, berarti engkau tidak suka lagi kepadaku,
dan tidak ada yang memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!"
Thian Sin tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini meninggalkannya atau
tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimanapun juga, dia merasa amat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dahulupun hanya terdorong oleh keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong.
"Maafkan aku, Kim Hong, aku hanya main-main. Kaubacalah suratnya, atau kaudengarkan, kubacakan. Ada jalan yang
baik sekali untok menyelidiki keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling." Thian Sin lalu membaca surat pendek dari Cian Ling itu.
Ceng Thian Sin Mengingat akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu untuk membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari terbenam, di luar kota Si-ning
gerbang selatan Tertanda : So Cian Ling
"Hemm, agaknya ia rindu padamu," kata Kim Hong, tersenyum mengejek.
"Mungkin saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak memikirkannya, Kim Hong. Kupikir, sebaiknya kalau kutemui wanita ini untuk menyelidiki tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang tidak kuketahui."
"Sesukamulah!" jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimanapun juga ada perasaan tidak sedap di
datam hatinya. Ia merasa marah kepada hatinya sendiri. Ia tidak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak menemui kekasih lama. Inikah yang dinamakan cemburu?
Seperti kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa cemburu tentu timbul di mana terdapat
si aku yang mementingkan kesenangan sendiri. Di mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbul iri hati
atau cemburu. Hubungannya dengan Thian Sin, baik sah atau tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan
pengesahan atau tidak, telah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan baginya. Kesenangan inilah yang membentuk
ikatan batin, dan si aku selalu enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi,
membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain inilah yang melahirkan cemburu. Milikku
diganggu, punyaku diambil orang!
Malam itu, dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen itu. Ia merasa gelisah,
rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu bangkit lagi dan mondar-mandir di dalam kamarnya.
Semenjak menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, ia selalu berdua dengan Thian Sin dan telah mengalami
kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Memang kadang-kadang ia marah
kepada Thian Sin, kadang-kadang ia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras hati,
mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya.
Akan tetapi semua itu lenyap setelah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau sudah begitu, ia
tidak ingin berpisah sedikitpun juga dari pria itu. Dan sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu Thian
Sin pergi meninggalkannya sendirian. Dan ia merasa betapa tidak enaknya perasaan hatinya, begitu kesepian,
begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu!
Ia dan Thian Sin sering bicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah setuju untuk tidak mengikat
diri satu sama lain. Oleh karena itu pula maka ia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya, untuk
mencegah agar ia tidak mengandung dari hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itupun menyetujuinya. Kalau ada
anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau mereka menjadi terikat oleh anak itu. Mereka berdua ingin
bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh
kewajiban-kewajiban yang timbul karena suatu ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka lagi
hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau kalau keduanya menghendaki, tentu hubungan itu
dapat bertahan selama hidup!
Kini Kim Hong merasa betapa sangat sunyi dan kosongnya rasa hatinya setelah Thian Sin pergi. Hal ini membuat ia
merasa bahwa ia telah jatuh cinta benar-benar kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, ia sebenarnya telah
terikat secara batiniah. "Aku cinta padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!" Gadis yang pernah menjadi datuk
kaum sesat selama hampir lima tahun ini berjalan mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan
kepalan kanannya sendiri. Hatinya mulai risau. Ia tidak akan bebas kalau sudah terikat, buktinya, baru
ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya kalau begini?
Belum lama Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi ia mondar-mandir di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamar
itu diketuk dari luar. Hampir ia melompat dengan hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi
tidak mungkin. Kalau Thian Sin yang datang, tidak akan mengetuk pintu!
"Siapa?" tanyanya sambil menghentikan kakinya.
"Saya, toanio, pelayan."
Kim Hong mengenal suara pelayan yang melayani mereka makan, juga yang menyerahkan surat wanita bekas kekasih
Thian Sin tadi. Ia membuka pintu dan Sang Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat.
"Ada apa?" tanyanya tidak senang.
"Maaf, toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita penting sekali bagi toanio," kata pelayan itu.
Kim Hong memandang penuh kecurigaan, lalu membentak, "Siapa tadi yang memberi surat yang kauberikan... suamiku?"
"Saya... saya tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, entah siapa..." Tentu saja
pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada yang tidak mengenal So Cian Ling! Akan tetapi dia
takut untuk mengaku, takut terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa.
"Siapa yang mencariku di luar? Wanita pengirim surat tadi?"
"Bukan, Toanio. Seorang laki-laki, sayapun tidak mengenalnya."
Kim Hong keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, lalu metangkah keluar. Di ruangan depan, seorang laki-laki
berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang telah menantinya. Laki-laki
itu memberi hormat ketika Kim Hong tiba di situ dan memandangnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Siapakah engkau? Ada keperluan apa mencariku?" Kim Hong bertanya.
"Apakah nona... eh, sahabat baik dari Ceng-taihiap?" pria ini bertanya.
"Benar. Siapa kau dan ada apa?"
Pria itu memandang ke kanan kiri. "Berita penting sekali tentang Ceng-taihiap. Nona, dia telah masuk perangkap
musuh."
"Ehh...?"
"Nona, marilah kita bicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada yang mendengarnya." Pria
jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan. Kim Hong yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar
kata-kata tadi, lalu mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, di bagian yang
gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata lagi, suaranya berbisik-bisik.
"Bukankah tadi Ceng-taihiap dipanggil oleh seorang wanita...?"
"Nanti dulu, siapakah engkau?"
Pria itu menjura dan berkata, "Nama saya Sim Kiang Liong, saya seorang sahabat baik dari pendekar Ceng Thian
Sin. Ceng-taihiap tentu akan dapat menceritakan siapa adanya saya, nona. Akan tetapi sekarang yang penting,
Ceng-taihiap telah terjebak dalam perangkap musuh..."
"Musuh siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan See-thian-ong. Bukankah Ceng-taihiap datang untuk mencarinya? Saya tahu bahwa Ceng-taihiap bermusuh dengan datuk itu..." Kim Hong bukanlah anak kemarin sore yang mudah saja percaya omongan orang. Ia adalah Lam-sin, selain lihai,juga cerdik dan hati-hati sekali. "Lalu apa maksudmu memberitahukan hal itu kepadaku?"
"Nona, Ceng-taihiap telah berjasa bagi para pendekar di sini dan kami berhutang budi kepadanya, maka begitu melihat dia terjebak dalam perangkap, mungkin sekarang telah tertawan oleh See-thian-ong, kami para pendekar tentu saja ingin menolongnya. Karena kami merasa gentar terhadap See-thian-ong, dan karena kami pikir nona tentu akan dapat pula membantu, maka kami sengaja mengundang nona untuk bersama-sama membicarakan hal itu dan mengatur siasat untuk dapat menolong Ceng-taihiap."
Diam-diam Kim Hong terkejut sekali dan jantungnya berdebar keras membayangkan Thian Sin terancam bahaya membuat
hatinya gelisah bukan main. Ia mengangguk. "Baik, mari antarkan aku ke tempat para pendekar."
banyak cakap lagi, keduanya lalu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang utara. Tak jauh dari pintu
gerbang, pria itu mengajak Kim Hong memasuki pekarangan sebuah gedung besar dan megah namun kelihatan sunyi dan
angker. "Mereka telah berkumpul menanti kita di ruangan belakang, nona. Maklumlah, menghadapi See-thian-ong
yang berpengaruh dan banyak kaki tangannya, kita harus hati-hati sekali. Kita masuk dari pintu belakang.
Marilah..."
Kim Hong mengikuti orang itu memasuki pekarangan dan mengambil jalan ke samping gedung dan menuju ke pintu
belakang. Orang bertubuh jangkung itu membuka daun pintu dan mereka memasuki sebuah lorong yang gelap, hanya
ada sedikit penerangan sehingga remang-remang. Sunyi sekali, tidak terdengar suara seorangpun di situ. Pria itu
lalu berhenti di depan sebuah daun pintu tertutup, lalu berkata kepada Kim Hong.
"Nona, silakan masuk, mereka berkumpul di ruangan dalam," berkata demikian, Si Jangkung itu mempersilakan dan
mengembangkan tangan kanannya.
Akan tetapi Kim Hong tidak pernah kehilangan kewaspadaan dan kecurigaannya. Ia tidak bergerak dan berkata,
"Harap kau suka masuk lebih dulu, aku mengikut saja."
Orang itu menarik napas panjang. "Ahh, agaknya nona mencurigai saya, masih belum percaya bahwa kami adalah
sahabat-sahabat yang hendak menolong Ceng-taihiap. Baiklah, aku masuk lebih dulu." Dia membuka pintu dan
ternyata di balik daun pintu itu merupakan sebuah kamar atau ruangan yang remang-remang dan kosong, akan tetapi
di sebelah kanan terdapat sebuah lubong pintu yang kelihatan gelap. Karena melihat orang itu sudah melangkah
masuk, Kim Hong juga ikut masuk. Akan tetapi, tiba-tiba orang di depannya itu telah meloncat dengan cepat
sekali ke arah pintu sebelah kanan itu. Kim Hong terkejut dan cepat iapun meloncat, namun tiba-tiba pintu itu
tertutup begitu laki-laki jangkung tadi lewat. Kim Hong hanya terlambat dua detik saja. Dengan gerakan yang
luar biasa cepatnya, sebelum daun pintu di belakangnya dari mana ia masuk tadi tertutup, tubuhnya sudah
mencelat hendak keluar dari pintu itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja muncul tiga orang laki-laki tinggi besar di
ambang pintu dan mereka ini mendorong dan memukul ke arah tubuh Kim Hong yang hendak menerobos keluar.
"Desss...!" Tiga orang itu mengeluarkan teriakan keras dan tubuh mereka terjengkang, dari mulut mereka keluar
darah segar! Ternyata Kim Hong telah memapaki dorongan mereka itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi
ketika gadis itu hendak meloncat keluar, muncul seorang kakek tinggi besar yang menggunakan kedua tangan
mendorongnya kembali. Kim Hong marah dan iapun menerima atau menyambut dorongan itu dengan kedua tangannya.
"Dukkk...!" Keduanya terkejut. Kakek itu terhuyung ke belakangg sebaliknya Kim Hong juga terpental kembali tiga
langkah ke dalam kamar dan... tiba-tiba saja kakinya terjeblos karena lantai itu telah bergeser dan lenyap!
Karena kakinya tidak berpijak pada sesuatu, tentu saja tubuhnya melayang ke bawah.
"Haiiiiittt...!" Kim Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba tubuhnya yang sedang melayang ke
bawah itu membuat poksai (salto) dan dapat membalik ke atas lagi. "Dukk!" tubuhnya membentur lantai yang sudah
tertutup kembali dan kini tubuhnya terjatuh ke bawah tanpa dapat ditahannya lagi. Maklum bahwa ia telah
terjebak, Kim Hong mengerahkan gin-kangnya dan dapat menahan luncuran tubuhnya. Akan tetapi ketika kedua
kakinya menyentuh lantai, ternyata di bawah tidak dipasangi benda tajam atau runcing sehingga ia dapat mendarat
dengan selamat. Gelap sekali tempat itu. Kim Hong bukan seorang gadis penakut. Begitu kedua kakinya sudah
menginjak lantai ia cepat menyelidiki keadaan kamar itu dengan meraba-raba. Sebuah kamar yang luasnya kira-kita
tiga meter persegi. Dindingnya amat kuat, terbuat dari pada beton. Ada lubang-lubang hawa sebesar lubang-lubang
jari di sebelah atas, dekat langit-langit yang tingginya kurang lebih tiga meter. Ia meloncat dan mendorong
langit-langit, akan tetapi ternyata langit-langit itu terbuat dari baja yang amat kuat. Tidak ada pintu atau
jendelanya! Mungkin pintu rahasia yang bergeser dan masuk ke dinding, pikirnya. Tidak ada jalan keluar. Akan
tetapi ia masih selamat dan tidak terluka. Ini saja merupakan hiburan baginya, karena selama ia masih hidup, ia
tidak akan kehilangan harapan.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kim Hong waspada dan siap. Akan tetapi tempat itu terlalu
gelap behingga ia tidak dapat melihat sesuatu. Tangannya sendiripun tidak nampak, apalagi benda lain. Dan
tiba-tiba ia mencium bau yang harum dan keras. Celaka, keluhnya karena ia tahu bahwa ada asap beracun
dimasukkan ke dalam kamar itu. Tentu melalui lubang hawa di atas, pikirnya. Ia tahu bahwa melawanpun tidak ada
gunanya, membuang tenaga sia-sia belaka. Kalau ia melawan dengan menahan napas, hanya akan kuat bertahan
beberapa jam saja, akhirnya ia akan tidak dapat lolos pula dari asap yang ia duga tentu mengandung obat bius
itu. Kalau ia melawan dan menahan napas sekuatnya, ada bahayanya paru-parunya akan terluka. Lebih baik ia
menyerah kepada keadaan yang tak mungkin dapat dilawannya lagi, untuk menghemat tenaga menghadapi apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Karena itu, Kim Hong tidak melawan, hanya cepat merebahkan dirinya terlentang di atas lantai dan melemaskan
tubuhnya, mengendurkan semua urat sarafnya agar jangan menegang. Karena ia merebahkan diri, maka asap itu agak
lama baru mulai memasuki pernapasannya, yaitu setelah udara di atas penuh. Kim Hong yang sudah banyak
mempelajari racun dan obat bius, maklum bahwa asap yang disedotnya itu mengandung obat bius yang tidak mematikan, hanya membuatnya tertidur atau pingsan saja. Maka pernapasannya juga lega dan ia jatuh pingsan
dengan hati tenang.

***



"Cian Ling...!"
"Thian Sin, ah, Thian Sin...!" Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis. Thian Sin mengelus rambut kepala itu, membiarkan Cian Ling menangis sejenak di dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia mendorong pundak wanita itu dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi bintang-bintang
"Engkau kurus..." kata Thian Sin dan memang wanita itu nampak kurus dibandingkan dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu.
"Aku hidup menderita, Thian Sin. Aku... aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan diri. Suheng membelaku
dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu... suhu
menghancurkan kedua tulang pergelangan tanganku." Cian Ling memandang kepada dua tangannya dengan sinar matasedih.
"Ah, maafkan aku, Cian Ling." Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan itu bergantian.
"Engkau menderita karena aku."
"Dan engkau agaknya sudah senang sekarang, ya? Lupa kepadaku dan sudah memperoleh gantinya?"
"Ah, jangan berkata demikian, Cian Ling. Bukankah engkau sudah menjadi isteri suhengmu? Nah, katakan, apa
kepentingan yang hendak kaubicarakan denganku?"
"Apa pertemuan antara kita ini tidak kauanggap penting?"
"Memang, akan tetapi tentu ada yang lebih daripada itu yang hendak kausampaikan kepadaku."
"Aku diutus suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmu di Si-ning? Tentu bukan untuk mencariku, karena
kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak memusuhi See-thian-ong?"
Thian Sin tersenyum dan mencium bibir itu. Betapapun juga, wanita ini adalah bekas kekasihnya dan mencintanya.
Hal ini terasa benar sekarang. "Ah, engkau diutus menyelidiki aku akan tetapi mengapa engkau berterus terang
begini kepadaku?" Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya.
"Memang tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau telah meninggalkan aku, karena engkau telah menyebabkan
aku begini. Tapi... tapi... mana bisa aku mencelakaimu, Thian Sin? Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa
guruku dan suamiku dan semua kaki tangannya telah siap untuk membalas dendam, untuk menawanmu, untuk menyiksamu
dan membunuhmu. Karena itu, engkau hati-hatilah dan lebih baik engkau segera pergi saja dari tempat ini."
"Cian Ling, kenapa kaulakukan ini semua? Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhumu dan suamimu...?" Than Sin
bertanya, terharu juga.
"Aku... ohhh..." Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi. Mereka saling berciuman, Cian Ling
untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling
melepaskan rangkulannya.
"Aku girang bahwa aku berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela. Biarpun engkau tidak
mencintaku, namun engkau seorang laki-laki yang baik, yang dapat menyenangkan hati wanita."
"Nah, ceritakan apa yang hendak mereka lakukan."
Dengan singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh See-thian-ong dan para
murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai.
"Semenjak kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu malah telah memperoleh
murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Mereka itu, kalau maju
bersama, lebih lihai daripada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang kini semakin tua menjadi semakin
lihai. Engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku
tidak dapat lama-lama bertemu denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa
kedatanganmu ini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?"
"Ya, sebaiknya katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri, nanti dulu, Cian Ling. Aku memang
ingin menentang suhumu itu, dan terima kasih atas semua kebaikanmu kepadaku."
"Jadi, engkau hendak nekad menentang suhu?"
"Dia memang pantas ditentang, apalagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu."
"Ah, aku khawatir sekali!"
"Tak usah khawatir, aku dapat menjaga diri."
"Selamat berpisah."
Cian Ling ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan sepenuh hatinya, lalu
terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan malam. Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan
mengelus bibirnya. Di antara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya adalah Kim
Hong, ke dua adalah Cian Ling inilah. Lian Hong tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian
Hong lain lagi, lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu berahi. Dia sendiri tidak tahu apakah
terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapapun juga, Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk
hatinya. Wanita itu telah menyerahkan dirinya, hatinya dan pada saat inipun sudah membuktikan pembelaannya,
setelah berkorban kedua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa kalau
pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita
itu taruhannya. Akan tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biarpun See-thian-ong mempersiapkan diri. Lebih
baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia kalahkan secara mutlak!
Akan tetapi, teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki tangannya, ia harus
berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu tidak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan
kecurangan. Baiknya ia datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tidak kalah dibandingkan dengan
See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi seluruh jagoan di dunia ini! Teringat
akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan cemburu, Thian Sin tersenyum dan
mempercepat larinya, kembali ke kota, ke losmen di mana mereka bermalam.
Akan tetapi, ketika dia memasuki kamar, ternyata kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan surat maupun pesan. Seketika hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu pergi meninggalkannya karena marah dan cemburu. Akan tetapi, buntalan pakaiannya masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah? Dia pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, namun tidak dapat menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya.
"Engkau melihat nona?" tanyanya kepada pelayan itu.
"Tidak, tuan..."
Akan tetapi Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang
disembunyikan oleh pelayan itu. "Baikiah," katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, diapun memasuki
kamarnya. Akan tetapi cepat sekali diapun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke luar, mengintai
dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki tinggi besar berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya
terdengar olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut.
"Dia sudah pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamarnya..."
"Baik, kami akan menjemputnya," kata seorang di antara tiga orang itu. Thian Sin cepat meloncat dan berlari
memasuki kamarnya kembali melalui jendela, menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas pembaringan.
"Tok-tok-tokk!"
Thian Sin membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, barulah dia menjawab dengan suara
mengantuk, "Siapa di luar?"
"Aku, utusan See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu, Pendekar Sadis!"
Thian Sin tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Kalau See-thian-ong sudah berani mengirim utusan
secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai
sebagai andalan.
"Hemm, pintu kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja."
Hening sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan berunding. Terdengar mereka saling
berbisik. Lalu seorang di antara mereka mondorong daun pintu. Daun pintu terbuka dan nampak orang itu
berlindung di kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi ketika melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani, lalu melangkah masuk. Orang tinggi besar, seorang di antara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian Sin bangkit duduk dan orang itu maju sambil menodongkan goloknya, siap untuk menyerang.
"Hemm, kalau aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu bisa minum darah
tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!" kata Thian Sin sambil minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli. Orang itu jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia menyeringai dan berkata dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya.
"Pendekar Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk sebelum habis mendengarkan kata-kataku."
"Hemm, kalau aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang temanmu di luar kamar
itu. Masuk saja kalian semua dan katakan apa yang dipesan oleh See-thian-ong?" Sikap Thian Sin tetap tenang
saja dan justeru ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku karena gentar.
Dua orang tinggi besar yang menanti dan berjaga-jaga di luar kamar itupun menampakkan diri sambil memegang
golok dengan tangan agak gemetar. Nama besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apalagi kalau
diingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang pernah mengalahkan See-thian-ong
sendiri! Mereka bertiga kini menghadapi Thian Sin, siap dengan golok di tangan dan Thian Sin memandang dengan
sikap tak acuh.
"Pendekar Sadis," kata seorang yang pertama tadi. "Ketua kami hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa
engkau harus mengikuti kami menghadap beliau tanpa banyak ribut."
Thian Sin tersenyum. "Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh kalian bertiga? Apa
sukarnya bagiku?"
Orang yang mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah sebelum menjawab, merasa sukar bicara seolah-olah
jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya. "Kalau... kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya
besok pagi setelah matahari terbit, wanita itu akan mati..."
"Wanita...?" Thian Sin pura-pura bodoh.
"Ya, wanita cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!" Orang tinggi besar itu merasa dapat mengancam dan berada di
pihak yang menang sekarang. "Dan matinya akan mengerikan sekali! Ketua kami tidak akan kalah olehmu dalam
menyiksa orang-orang yang menjadi tawanannya. Sedikit saja engkau mengganggu kami, kawanmu yang cantik itu
besok sebelum matahari terbit, akan menjadi mayat dengan tubuh terhina dan tidak berupa manusia lagi!"
Thian Sin masih bersikap tak acuh. "Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan bajingan-bajingan macam kalian
bertiga ini?"
Seorang di antara mereka, yang berjenggot panjang dan mempunyai muka yang menyeramkan, mengeluarkan sesuatu
dari saku bajunya dan melemparkannya ke arah Thian Sin sembil berkata. "Lihat ini!"
Thian Sin menyambut benda itu yang ternyata adalah potongan celana dari bawah sampai ke lutut. Celana Kim Hong!
Dia mengenal kain celana itu! Jelaslah bahwa Kim Hong telah terjatuh ke tangan mereka, ke tangan See-thian-ong.
Dia merasa heran sekali bagaimana Kim Hong yang dia tahu amat lihai itu sampai dapat tertawan musuh.
"Hemm, di manakah ia?"
Orang pertama tertawa, suara ketawanya seperti suara burung hantu, lalu berkata, "Pendekar Sadis, kami tidak
begitu bodoh. Kau ikutlah saja kalau menghendaki ia selamat!"
Thian Sin berpikir sejenak. Diapun tahu bahwa See-thian-ong menangkap Kim Hong hanya untuk memaksanya menyerah.
Bukan Kim Hong yang dikehendaki See-thian-ong yang pasti tidak mengenal bahwa Kim Hong adalah Lam-sin,
melainkan dialah yang dikehendaki orang tua itu. Kepada dialah See-thian-ong menaruh dendam. Dan kini baru
dimengerti bahwa So Cian Ling telah menipunya. Wanita itu, yang tadi menciumnya demikian mesra, yang tadi
menangis dengan air mata panas, hanya dipergunakan oleh See-thian-ong untuk memancingnya keluar, untuk
membuatnya meninggalkan Kim Hong sehingga kakek datuk kaum sesat itu dapat menangkap Kim Hong untuk memaksanya
menyerahkan diri. Akan tetapi bagaimana Kim Hong sampai dapat ditawan? Hal ini tentu baru akan dapat
diketahuinya kalau dia bertemu dengan Kim Hong. Dan melihat celana yang dirobek itu, diam-diam dia bergidik.
Dia tahu orang macam apa mereka ini, dan kalau dia membunuh mereka ini dan tidak muncul sampai besok pagi,
tentu bukan hanya sebagian celana Kim Hong yang akan dirobek oleh mereka.
"Baiklah, aku ikut dengan kalian!" katanya sambil bangkit berdiri.
"Ha-ha-ha, kami sudah tahu bahwa engkau tentu akan berpikir dengan tepat, Pendekar Sadis," kata orang pertama.
"lihat, golok kami ini tidak perlu lagi, karena di sana ada golok yang lebih tajam tertempel di leher yang kulitnya mulus itu."
"Kami harus melucutimu dulu," kata Si Jenggot Panjang sambil menghampiri Thian Sin dan mengeluarkan pedang
Gin-hwa-kiam dari pinggang pemuda itu, juga mengambil kipasnya dan suling bambunya. Tiga benda itu dibawanya
sendiri, pedang dia gantungkan di punggung, suling dan kipas dia selipkan di pinggang.
"Mari kita berangkat!" kata orang pertama dan keluarlah mereka dari dalam kamar itu. Thian Sin berjalan di
tengah-tengah mereka, seperti seorang di antara sahabat-sahabat saja. Ketika tiba di depan rumah penginapan
itu, Thian Sin melihat pengurus dan para pelayan berdiri dengan sikap takut-takut, akan tetapi melihat Thian
Sin pergi tanpa melawan dengan tiga orang itu, mereka nampak lega. Mengertilah Thian Sin bahwa semua orang di
dalam rumah penginapan ini adalah juga kaki tangan See-thian-ong, atau setidaknya orang-orang yang tunduk dan
taat kepada datuk kaum sesat itu.
Dia memperhatikan ke mana dia akan dibawa oleh tiga orang tinggi besar yang sikapnya kasar ini. Setelah mereka
tiba di tempat gelap, dia didorong-dorong oleh mereka.
"Setelah keluar dari pintu gerbang kota, engkau harus memakai penutup mata, Pendekar Sadis. Ha-ha-ha!" kata
orang pertama sambil mendorong pundak Thian Sin agak keras ketika pemuda itu agak lambat jalannya.
Hemm, mereka akan membawaku ke luar kota, pikirnya. Jadi Kim Hong ditahan di luar kota. Akan tetapi di mana?
Dia harus tahu di mana Kim Hong ditahan dan harus dapat membebaskannya sebelum matahari terbit pada esok pagi,
kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diri gadis itu. Terlalu ngeri untuk
dibayangkan. See-thian-ong tidak percuma berjuluk datuk kaum sesat.
Tentu segala daya akan dilakukan untuk menyakitkan hatinya. Tiba-tiba Thian Sin merasa tengkuknya menjadi
dingin. Menyakitkan hatinya! Itulah yang akan dilakukan See-thian-ong sebelum membunuhnya. Dan melihat dia kini
menyerahkan diri demi Kim Hong, tentu iblis tua itu akan dapat menduga bahwa dia mencinta Kim Hong, dan kalau
demikian halnya, maka tidak mungkin kalau Kim Hong akan dibebaskan setelah dia menyerahkan diri. Bahkan
sebaliknya gadis itu akan merupakan alat yang baik sekali untuk menyiksa batinnya! Tentu See-thian-ong akan
menyiksa gadis itu di depan matanya, sebelum membunuhnya!
Mereka sudah tiba di luar pintu gerbang kota sekarang dan berjalan di jalan sunyi. Bulan sudah muncul dan malam
itu amat cerah. Ketika mereka tiba di jalan yang sunyi, diapit-apit sawah ladang, Si Jenggot Panjang berkata.
"Sudah waktunya untuk menutupi kedua matanya."
Mereka bertiga mendekati Thian Sin dan orang pertama mengeluarkan sehelai kain hitam dari saku bajunya.
"Pendekar Sadis, kami harus menutupi kedua matamu agar kau... hukkk!" Orang itu tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena tiba-tiba saja tangan Thian Sin bergerak menonjok ulu hatinya, membuat napasnya terhenti
dan diapun terjengkang memegangi perut. Dua orang kawannya terkejut sekali dan mereka berdua cepat mencabut
golok. Akan tetapi Thian Sin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Tubuhnya bergerak lebih cepat
daripada tangan mereka yang mencabut golok dan gerakan kedua orang itu terhenti setengah jalan ketika tubuh
mereka terpelanting oleh tamparan-tamparan Thian Sin. Mereka hanya pingsan dan tidak mati, karena memang Thian
Sin belum hendak membunuh mereka. Belum lagi, mereka itu masih amat penting baginya, untuk menunjukkan di mana
Kim Hong ditahan. Thian Sin sengaja menanti sampai mereka berada di luar kota, di tempat sunyi, baru dia
bergerak karena kalau dia bergerak di dalam kota, tentu akan datang banyak kaki tangan See-thian-ong yang akan
dapat menggagalkan usahanya menolong gadis itu.
Ketika tiga orang itu siuman mereka mendapatkan diri mereka sudah tertotok, membuat kaki tangan mereka lumpuh
sama sekali dan mereka berada di dalam sebuah gubuk tempat petani menjaga sawah. Thian Sin lalu menyeret
seorang di antara mereka, yaitu orang ke tiga yang pipinya sebelah kiri ada tanda bekas lukanya. Dua orang
kawannya hanya memandang dengan mata terbelalak penuh rasa takut ketika kawan mereka itu diseret keluar dari
dalam gubuk oleh Pendekar Sadis.
"Jangan takut," bisik Si Jenggot Panjang kepada orang pertama, "dia tidak mampu mengganggu kita, selama gadis
itu berada di tangan ketua kita."
Orang yang codet pipinya ketakutan setengah mati ketika dia diseret oleh Pendekar Sadis menjauhi gubuk dan
berhenti di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan.
"Nah, sekarang katakan di mana gadis itu ditahan!" kata Thian Sin, suaranya tetap halus dan tenang, bahkan
terdengar ramah dan tanpa mengandung ancaman.
Si Codet menelan ludahnya, akan tetapi dia teringat akan teman Pendekar Sadis yang sudah berada di tangan
See-thian-ong, maka dia merasa yakin bahwa pendekar ini hanya akan menggertaknya saja. Maka dia memaksa sebuah
senyum yang merupakan senyum masam yang membuat wajahnya yang codet itu menjadi nampak semakin buruk dan
menyeramkan. "Hemm, kaukira aku takut dengan ancamanmu? Gadismu itu telah di dalam cengkeraman maut, dan kalau
sampai besok kami tidak datang bersamamu, tentu ia akan disiksa sampai mampus, dan sebelum itu dipermainkan
dulu. Heh-heh, lebih baik engkau bebaskan kami dan mari sama-sama menghadap ketua kami agar gadismu selamat,
Pendekar Sadis."
"Begitukah? Kita lihat saja nanti!" Thian Sin berkata dan dengan cekatan lalu melepaskan sabuk orang itu,
mengikat kedua kakinya dan diangkatnya orang itu lalu dilemparkan ke atas melewati sebuah cabang pohon. Ketika
tubuh itu meluncur turun, dia memegang ujung sabuk dan orang itupun tergantung dengan kepala di bawah dan
terpisah dari tanah kurang lebih satu setengah meter. Thian Sin mengikatkan ujung sabuk itu ke batang pohon,
kemudian dengan tenangnya lalu membuat api unggun di bawah orang yang tergantung dengan jungkir balik itu.
"Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" Si Codet itu berkata dengan muka pucat dan mata terbelalak. Thian Sin
tidak menjawab, terus menyalakan api unggun dan asap mulai mengepul ke atas, membuat Si Codet itu
terbatuk-batuk dan sesak napas. Dia mengulang-ulangi pertanyaannya, menjadi semakin takut ketika mulai
merasakan hawa panas dari api unggun yang mulai bernyala di bawah kepalanya. Dengan panik dia mengerti bahwa
Pendekar Sadis itu hendak membakarnya hidup-hidup! Dia mulai berteriak-teriak, memaki, mengancam, memohon, akan
tetapi Thian Sin sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan melihat sedikitpun tidak, melainkan menambah kayu
bakar untuk membuat api unggun itu bernyala makin besar. Dan tersiksalah Si Codet itu, napasnya terengah-engah,
akan tetapi dalam keadaan tertotok dia tidak mampu meronta, hanya berteriak-teriak.
"Ahhhhh... akhhh... aku... ah, lepaskan aku... Pendekar Sadis..."
Thian Sin sama sekali tidak peduli, seakan-akan tidak mendengarnya. Akan tetapi sebenarnya dia terus memasang
pendengarannya dan memperhatikan semua teriakan yang keluar dari mulut orang tersiksa itu. Tubuh Si Codet penuh
dengan keringat, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan lidah api hampir menjilat kepalanya. Malah
sudah ada bau rambut termakan api, bukan langsung dijilat lidah api melainkan rambut itu mengering dan
menghangus oleh panas dari bawah.
"Aduuhhh... panas... aughhh... dengar Pendekar Sadis... gadismu itu... berada di... pesanggrahan... auhhhhh,
lekas turunkan... aku akan mengaku..."
Api unggun itu mengecil karena beberapa pohon kayu bakar ditarik oleh Thian Sin. Bahan bakarnya dikurangi dan
tentu saja apinya mengecil, akan tetapi masih bernyala. Dia kini mendekati orang yang masih tergantung itu.
"Jelaskan, di mana ia ditahan?"
Si Codet itu membelalakkan matanya. Dia membayangkan betapa dia akan dihukum dan tentu dibunuh oleh
See-thian-ong kalau dia berani mengkhianatinya, kalau dia berani mengaku di mana adanya gadis itu. Melihat
keraguan ini Thian Sin berkata sambil mengambil lagi kayu bakar yang tadi disingkirkan.
"Aku tidak mau tawar-menawar lagi kalau engkau tidak mau mengaku, api akan kubesarkan dan tidak ada apapun yang akan dapat mengubah keadaanmu!"
"Nanti... nanti dulu... ia... ia ditahan di dekat Telaga Ching-hai, di pondok merah milik ketua kami..." Orang
itu merintih dan menangis, tahu bahwa dia telah menentukan hukumannya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin
dapat selamat karena andaikata Pendekar Sadis tidak membunuhnya, tentu See-thian-ong tidak akan mau
mengampuninya. Maka dia merintih dan menangis karena menyesal dan ketakutan. Akan tetapi, karena api unggun
tidak begitu besar lagi dan biarpun masih mendatangkan panas dan asap namun tidak begitu menyiksanya lagi,
diapun akhirnya menghentikan tangisnya, apalagi ketika melihat Pendekar Sadis meninggalkannya, memasuki pondok
gubuk itu dan menyeret keluar seorang temannya, yaitu Si Jenggot Panjang.
Si Jenggol Panjang melihat keadaan temannya, Si Codet, mengerti bahwa Pendekar Sadis hendak menyiksa mereka
untuk minta keterangan di mana adanya gadis itu. Maka diapun mendahului dengan suara ketawa. "Ha-ha, Pendekar
Sadis! Percuma kalau engkau hendak menyiksa kami. Kami tidak akan bicara, dan biar engkau membunuh kami
sekalipun, engkau tidak akan dapat menyelamatkan gadismu kecuali kalau engkau ikut dengan kami menghadap See-thian-ong!"
Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan cepat menggunakan golok besar milik seorang di antara mereka untuk menggali lubang dalam tanah. Tidak terlalu dalam, hanya kurang lebih setengah meter pula. Dengan tenaga sin-kangnya, cepat dia menyelesaikan pekerjaan itu, lalu ditendangnya tubuh Si Jenggot Panjang memasuki lubang
dalam keadaan telentang. Si Jenggot Panjang terbelalak, tidak tahu apa maksud pendekar itu. Akan tetapi ketika
Thian Sin mulai mendorong tanah galian ke dalam lubang menimbuninya dari kaki ke atas dan berhenti sampai di
dada, tahulah dia bahwa pendekar itu hendak menguburnya hidup-hidup! Dia memandang dengan mata terbelalak.
"Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya gemetar.
Thian Sin menghentikan pekerjaannya menimbuni Si Jenggot dengan tanah. Memang disengaja menimbuninya sampai ke
dada saja membiarkan bagian muka itu terbuka.
"Katakan di mana adanya gadis itu!" katanya, suaranya halus dan tenang saja, namun mengandung sikap dingin yang
mengerikan. Orang pertama, Si Codet yang masih tergantung, merasa ngeri bukan main. Dia dapat melihat semua
yang terjadi itu dengan jelas, walaupun matanya sudah menjadi merah karena sejak tadi tergantung dan kemasukan asap.
Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu malah tertawa, suara ketawanya memang agaknya tidak takut mati.
"Ha-ha-ha-ha, engkau hendak mengancam dan memaksaku? Pendekar Sadis, biar kaubunuh sekali kami bertiga tidak
akan mengaku, dan tahukah engkau apa yang akan terjadi kalau engkau tidak ikut bersama kami menghadap
See-thian-ong! Ha-ha, aku sudah tahu. Gadismu yang cantik jelita itu akan diperkosa beramai-ramai, diantri oleh
lebih dari dua puluh orang di antara kami. Untuk menentukan siapa yang akan kebagian daging lunak itu, kemarin
ketua kami sudah mengundi! Sayang, aku sendiri tidak kebagian, akan tetapi aku ingin sekali melihatnya.
Ha-ha-ha!"
Thian Sin mengerutkan alisnya dan menurut panasnya hati, ingin dia sekali pukul menghancurkan kepala Si Jenggot
ini. Akan tetapi dia menahan diri, lalu mulai mendorongkan tanah sedikit demi sedikit menimbuni dada dan muka
Si Jenggot. Si Jenggot masih berteriak-teriak, mengancam, memaki lalu menangis, akan tetapi Thian Sin tidak
peduli, walaupun dia menangkap satu demi satu semua yang keluar dari mulut Si Jenggot ini, kalau-kalau Si
Jenggot menyerah dan mah mengaku. Biarpun orang pertama sudah mengaku, namun Thian Sin masih belum puas, dan
masih belum yakin benar hatinya. Orang-orang macam ini, orang-orang golongan hitam yang pikirannya selalu penuh
dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh dipercaya begitu saja. Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang
benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya makin kurang ketika mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali
membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup dan Si Codet memejamkan
matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup
daripada harus mengaku itu. Dia tidak menyesal telah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu
sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang, dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat
kejam dan sadis itu. Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis daripada tindakan
Pendekar Sadis ini. Dia sendiripun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman
mereka itu berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus
dan tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja!
Setelah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam
tanah sehingga tanah itu bergunduk merupakan sebuah kuburan baru, Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk.
"A-ciang...!" Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah sambil memandang dengan mata melotot.
"A-ciang...! Apakah engkau bisa mendengarku?" Si Codet bertanya dengan hati ngeri. Ingin dia memberi tahu dan
membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andaikata temannya dapat mendengarnya sekalipun, tentu
teman itu tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya.
Si Codet tidak memanggil lagi ketika Thian Sin sudah mendatangi dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama
yang menjadi pemimpin dari rombongan tiga orang itu. Orang ini memiliki kepandaian yang tertinggi di antara
mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu mirip
dengan muka seekor monyet. Ketika Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini
memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak
dan nampak ketakutan.
"Pendekar Sadis, apa yang kaulakukan terhadap dua orang temanku ini?" tanyanya.
Thian Sin tidak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan
dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia melihat bekas api unggun
yang masih mengepulkan asap di bawah sutenya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sutenya tadi tentu telah
dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sutenya itu belum mati, maka dia bertanya "Tauw-sute, di mana Ciang-sute?"
Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba mata A-tauw itu terbelalak seperti orang yang
ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan diapun terbelalak melihat betapa
tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu
tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kepala yang penuh tanah itu kini keluar,
matanya berkedip-kedip karena kemasukan tanah, mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah
pula. Kiranya Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati dan ketika
ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah dan dia mampu mengerahkan tenaganya untuk
membobol tanah yang menimbuninya.
Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, "Kau mau mengaku."
Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu memaki dengan suara seperti orang yang dicekik lehernya, "Jahanam kau!" Dan
tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin. Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru
bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan seperti harimau itu tentu saja dengan
mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu
sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak
timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet
dan temannya menggigil.
"Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam untuk menyiksa temanku itu? Baiklah, mungkin aku terlambat
dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong dan seluruh anak buahnyapun akan kusiksa sampai mati semua.
Dan kalian memperoleh giliran pertama!" kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. "Beri
saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu." Berkata
demikian, tiba-tiba leher Si Muka Monyet itu telah dibelit sabuknya sendiri dan sekali saja menggerakkan kedua
tangannya, Thian Sin telah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada
lehernya! Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya, sehingga tubuh itu dapat
meronta-ronta. Sebentar saja muka itu menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar dan tiba-tiba Si
Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Thian Sin melepaskan ujung sabuk dan tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas
dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak
mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang.
"Nah, apa yang hendak kaukatakan?" katanya kemudian.
"Gadis itu... ia... ditawan... di pondok merah... dekat Telaga Ching-hai..."
Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau dua orang memberi
keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasan. Sinar berkelebat
dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu sudah menyambar ke arah leher mereka dengan
kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, yang
seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya!
Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudian
mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya untuk lari menuju ke Telaga Ching-hai!
***
Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, ia mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri dan ketika ia hendak
menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya,
terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika
ia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah ia bahwa ia telah terjebak, lalu diserang
dengan asap pembius.
Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Ia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi
keadaan seperti sekarang ini. Ia tahu bahwa ia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti
dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa ia masih hidup sampai saat ini. Dan itu berarti bahwa fihak
musuh belum menghendaki kematiannya dan mempunyai suatu rencana mengapa ia masih dibiarkan hidup. Dan selama ia
masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan.
Pandang matanya menyatakan bahwa ia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang
amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula.
Ia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan
besi di mana ia rebah miring. Kedua kakinya bebas, akan tetapi kedua lengannya dibelenggu ke belakang.
Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah ia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat
berduri, dan bahwa duri-duri besi telah melukai kedua pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui
celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat. Thian Sin menerima surat
seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin
pergi, ia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apalagi bermusuhan. Jelaslah
bahwa ia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin. Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong
dapat menduga bahwa tentu ia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan ia tahu bahwa Thian Sin
sudah pasti akan mencarinya dan berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal ini yang dikehendaki
oleh pihak musuh yaitu memancing datangnya Thian Sin. Ini berarti bahwa ia sendiri sudah tertawan, dan dengan
adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa ia sendiri untuk sementara waktu
ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sinlah yang terancam. Ia harus dapat lolos untuk
memperingatkan Thian Sin!
Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di tepi pembaringan. Pertama-tama, ia harus dapat membebaskan
kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, ia masih
akan mampu menjaga dan melindungi dirinya. Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya
kedua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapapun juga, ia harus
hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Ia
harus melepaskan belenggu kawat berduri itu.
Akan tetapi, hal ini jauh lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan. Dengan pengerahan sin-kang, mungkin
saja ia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu ia akan melukai pergelangan kedua
lengannya. Dan kalau sampai urat besarnya yang terluka, dapat berbahaya juga. Apalagi ketika ia mencoba
tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, ia memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tidak
mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidaknya harus ada tangan orang lain
yang membukanya. Kim Hong bangkit dan memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang
terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka diapun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, dan mulailah ia menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat.
Lebih dari dua jam ia bekerja, mengerahkan tenaga, dan hasilnya baru sedikit saja, baru mulai dapat
merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini
membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh memakan
banyak sekali tenaga dalam badan.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat
menangkapnya dan Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi.
Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang kesemuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong
bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja ia tidak mengkhawatirkan
Thian Sin yang akan dipancing dan dijebak, tentu ia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan
tetapi ia menahan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia
melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Kalau mereka itu hendak kurang ajar
atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek. Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru
siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian
dengan susah payah ia bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Si
Jangkung yang menjebaknya tadi.
Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum
bahwa gadis yang ditawannya memiliki kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walaupun
tingkatnya belum setinggi tingkat para suhengnya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia dan dua orang sutenya
yang bertugas menjaga di situ memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan
pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong. Si Jangkung tersenyum mengejek ketika melihat gadis itu agaknya hendak
melawan namun tidak berdaya dan dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka di pergelangan lengannya.
perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?"
"Persetan dengan kalian!" bentaknya. "Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?"
Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.
"Nona manis, simpanlah kegalakanmu. Engkau sekarang telah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong."
"Ahhhhh...!" Dengan sengaja Kim Hong memperlihatkan kekagetannya dan juga memperlihatkan rasa takut.
Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut.
"Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu
See-thian-ong hendak bertemu denganmu."
Kim Hong masih memperlihatkan sikapnya yang ketakutan dan iapun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali.
"Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?"
Ia disuruh berjalan di muka dan tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biarpun
demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin bahwa dengan kedua kakinya saja, ia akan mampu merobohkan
tiga orang ini. Akan tetapi hal ini tidak ia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, ia tidak akan mau
bertindak sembrono karena ia akan gagal kalau harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan kedua tangan
terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak
berdaya ini ia harus mempergunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad.
Ruangan itu luas dan See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam ia merasa
kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik,
mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia memandang marah.
"Duduk!" bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai. Gadis itu jatuh berlutut, akan
tetapi ia menegakkan kepalanya memandang kepada See-thian-ong, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut kini.
Baru sekarang ia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah perkasa
dengan tubuhnya yang tinggi besar dan berkulit hitam ini. Selama ia menjadi Lam-sin, ia baru mendengar nama
saja dari "rekan" ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa.
"Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?" Tiba-tiba See-thian-ong bertanya.
Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita
cantik yang manis yang berpakaian mewah dan pesolek, sedangkan di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula
seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Ia dapat
menduga bahwa tentu wanita ini murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh
Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik. Lima orang laki-laki
tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan
tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tidak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang
itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai.
Melihat So Cian Ling berada di situ, Kim Hong yang tadinya tidak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara
lantang, "Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?"
See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan
minumnya amat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapapun banyaknya arak memasuki perutnya.
"Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkaupun cukup manis.
Siapakah namamu, nona?"
"Namaku Kim Hong!" jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya. She Toan adalah she yang terkenal sebagal
she keluarga kaisar, maka ia tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan
menyangka ia she Kim dan bernama Hong.
"Nama yang manis seperti orangnya," kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. "Akan tetapi sayang,
Nona Kim. Nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis."
"Apa maksudmu?" tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu.
"Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya kalau Pendekar Sadis tidak muncul ke sini,"
See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandang mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu.
Dan memang sesungguhnyalah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali
dan membencinya. Ia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suhengnya yang sama sekali tidak dicintanya.
Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja ia merasa iri sekali.
"Perempuan rendah," kata So Cian Ling. "dengarlah baik-baik. Kami telah mengutus orang untuk memanggil Ceng
Thian Sin ke sini menghadap suhu. Kalau sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini
bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan sampai mati. Pertama-tama, engkau akan
diserahkan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua
merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan
bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!"
Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, "Dan aku mati, habislah. Tapi engkau masih terus
hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian
Sin, sampai engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh
lebih baik daripada nasibmu."
"Perempuan rendah!" Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang.
"Cian Ling, jangan!" terdengar See-thian-ong berkata sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani
melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu mengangguk-angguk. "Memang engkau cukup tabah,
nona Kim. Aku kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami
bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuknya!" perintahnya kepada
seorang murid, dan di antara murid-muridnya yang mengurung tempat itu segera maju dan membawa sebuah piring
terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil.
"Letakkan piring itu di depannya," perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini.
Kim Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti dan daging itu
berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja ia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena ia tidak mampu
menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar. Ia tahu bahwa
pihak musuh hendak menghinanya. Kalau menuruti hatinya, tentu saja ia lebih baik memilih mati daripada menerima
penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa mereka ini,
kecuali Cian Ling mungkin, amat membenci Thian Sin, karena itupun tentu saja membencinya sebagai kekasih pemuda
itu. Mereka ingin melihat ia terhina, dan ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat
pemuda itu tewas. Kalau ia menolak suguhan ini, berarti ia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan
mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini
amat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai ia kelaparan, ia akan lemas dan ilmu
silatnyapun takkan mampu menolong tubuh yang kelaparan. Maka, Kim Hong lalu mendiamkan pikirannya sehingga
segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, dan iapun lalu menekuk tubuhnya ke depan.
"Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!" kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa
kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan.
Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan seperti seekor anjing!
Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring dan perbuatannya ini memancing suara ketawa
dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya
cemburu itu ternyata hanya merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu!
Biarpun agak sukar, piring itu kadang-kadang terdorong ke depan dan terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan
mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Badannya terasa
lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering dan ia ingin sekali minum.
"See-thian-ong, aku ingin minum," katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan
kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu "darahmu"!
"Ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!" kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali. Dia seperti
melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu dan sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lalu
mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring,
karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan
melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu.
Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini
bukan lain adalah Thian Sin! Dia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong dari
tiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu
pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu. Tidak sukar menemukan pondok itu di
antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga
yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan mempergunakan
ilmu kepandaiannya, dia memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok.
Dengan perlindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk, kemudian, menggunakan kesempatan
selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong. Dengan amat
hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat
penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang. Kalau
menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan tetapi, diapun bukan orang yang
biasa menurutkan perasaannya saja. Dia dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat
berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia dapat menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim
Hong untuk melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh
secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong. Ketika dia melihat betapa
Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi
Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong.
Kalau saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati! Kalau
See-thian-ong cerdik, tentu akan dibunuhnya Kim Hong seketika itu juga, tidak mempermainkan dan menghinanya
seperti itu. Dan diapun mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan
atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu.
Maka Thian Sin hanya menonton saja.
Benarlah dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong mau saja dihina seperti
itu, padamlah nafsu para penghinanya untuk menghinanya lebih jauh lagi.
"Bawa ia kembali ke kamar tahanan," kata See-thian-ong, tidak tertawa karena dianggapnya wanita ini tidak
berharga menjadi lawan yang ditakuti. "Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!"
Maka terhindarlah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguhpun penghinaan yang lebih hebat
masih menantinya. Ia maklum bahwa ancaman kepadanya tadi, bahwa ia akan diperkosa oleh dua puluh orang apabila
Thian Sin tidak muncul, justeru merupakan pertanda bahwa kalau Thian Sin muncul dan tertawan, maka hukuman atau
penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu ia akan
mengalami siksaan seperti yang diancamkan kepadanya tadi. Tiada alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan
ia seperti itu. Akan tetapi kalau Thian Sin terkena pancingan dan datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah
bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan membiarkan pemuda itu menyaksikan
ia diperkosa oleh banyak orang di depan matanya. Hal ini ia yakin benar! Itu pulalah sebabnya See-thian-ong
tidak mau menyiksanya sekarang, dan membiarkan ia makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika ia kelak
"dibantai" oleh dua puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri.
Sementara itu, Thian Sin mengikuti dengan pandang matanya ke mana kekasihnya dibawa pergi. Ke belakang! Maka
diapun dengan cepat dan hati-hati sekali menuju ke wuwungan bagian belakang, dan mengintai. Dari sini dia dapat
melihat Kim Hong digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang, menuju ke sebuah
kamar tahanan. Ketika mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang teman Si
Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng segera mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus
terhias anak rambut halus melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan
tangannya menggerayangi buah dada gadis itu.
"Manis, ingatlah, kami berdua adalah dua di antara dua puluh orang yang bernasib mujur untuk melayanimu bermain
cinta besok," bisik Si Muka Bopeng. Tentu saja Kim Hong merasa muak dan marah, akan tetapi ditahannya dan ia
bergegas memasuki kamar tahanan itu.
"Nanti dulu," kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong. Gadis ini mengira bahwa Si Jangkung
tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini
hanya melihat bahwa kawat berduri pembelenggu kedua pergelangan tangan agak mengendur, maka dia kini
mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim Hong dan gadis ini menggigit bibirnya.
Sakit sekali rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat berduri. Dua jam lebih ia
berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si
Jangkung. Sungguh perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan daripada kekurangajaran dua orang temannya.
"Awas kau kubunuh kau lebih dulu nanti...!" kata suara hati Kim Hong ketika Si Jangkung mendorongnya dan keluar
dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar bercakap-cakap dengan dua orang temannya.
Thian Sin melihat ini semua. Tangannyapun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar dua orang yang kurang
ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan
menyerbu, kemudian seorang di antara mereka sempat berteriak memanggil teman-temannya, tentu usahanya menolong
Kim Hong akan menjadi gagal. Diapun lalu meneliti keadaan kamar itu. Kamar itu memang kuat sekali dan lubang
satu-satunya hanyalah pintu besi yang berjeruji atasnya. Untuk memasuki dari pintu tidak mungkin. Maka diapun
lalu menyelidiki atapnya. Langit-langitnya kamar itu amat tinggi, sehingga akan sukarlah bagi Kim Hong kalau
hendak meloncat ke atas, apalagi langit-langitnya tertutup oleh papan tebal. Dia lalu membuka genteng, tepat di
atas kamar tahanan. Tangannya meraba-raba dan akhirnya dia dapat menemukan paku-paku yang memaku papan
langit-langit. Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga nampak paku itu,
kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti
paku-paku itu satu demi satu. Akhirnya, berhasillah dia membongkar papan persegi selebar satu meter itu dan
mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja suara itu sudah cukup bagi Kim
Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar tahanan itu ada suatu gerakan.
Dengan hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong yang sudah menduga dengan
hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri,
lalu gadis ini berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu. Dilihatnya betapa tiga orang
penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka iapun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa
keadaan "aman". Pendekar itu lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam kamar
itu tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa bicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin memegang dagu itu dan mencium
bibir Kim Hong, kemudian diapun sudah melepaskan kawat berduri yang membelenggu kedua lengan kekasihnya. Kim
Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka berdarah itu.
"Mereka sedang bermain kartu..." bisiknya.
"Hanya bertiga itu?" bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk.
"Kita pancing mereka masuk," kata Thian Sin.
Kim Hong mengangguk. "Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan yang kubalikkan. Aku
akan merobohkan yang terdekat, dan kau menjaga agar mereka tidak mengeluarkan suara," bisik gadis itu dengan
sikap tenang. Diam-diam Thian Sin kagum. Tidak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, karena memang sikapnya
bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seorang datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali.
Thian Sin membantu gadis itu menarik dipan ke tengah, lalu dia mendekam di balik dipan yang dimiringkan oleh
Kim Hong. Gadis itu lalu membuat suara berisik dengan dipan yang dipukul-pukulkan ke atas lantai, memasang
kembali kawat berduri pada lengannya dan rebah miring di atas lantai dengan rambut awut-awutan, setelah
menggunakan darah yang membasahi kedua lengan tangannya, dioleskan ke pipi dan dahinya dan kini ia miring
memperlihatkan bagian muka yang berdarah itu. Ia merintih-rintih lirih.
Suara gedobrakan itu tentu saja mengejutkan tiga orang yang berjaga di luar pintu dan nampak wajah tiga orang
penjaga itu. Si Jangkung dan teman-temannya terkejut sekali mellhat dipan sudah terguling, apalagi melihat dahi
dan pipi sebelah kiri gadis itu berlepotan darah.
"Celaka... ia membunuh diri...!" kata Si Jangkung yang cepat membuka daun pintu dengan kuncinya, kemudian dia
mendorong daun pintu itu dan berlari masuk diikuti oleh dua orang temannya. Si Jangkung cepat menghampiri Kim
Hong dan berjongkok di dekat gadis itu, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan gadis tawanan itu. Pada saat
itu selagi Si Jangkung meraba dahi Kim Hong dan dua orang temannya berlari masuk, Kim Hong bergerak cepat
sekali, sama cepatnya dengan gerakan Thian Sin yang meloncat dari belakang dipan yang rebah miring.
Kim Hong menyambut Si Jangkung dengan tendangan kilat yang tepat mengenai anggauta kelamin orang itu dan pada
detik berikutnya, ketika Si Jangkung membuka mulut untuk berteriak, secepat kilat tangan kanan Kim Hong
menyambar ke arah tenggorokannya.
"Krekkk!" Hanya itulah suara yang keluar, suara hancurnya tulang kerongkongan yang menghalangi keluaarnya
teriakan Si Jangkung yang tewas seketika dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, Kim Hong sudah menyambarnya.
Pada detik yang hampir sama, nampak sinar perak berkelebat dua kali dan tubuh dua orang penjaga lainnya telah
roboh dengan tenggorokan berlubang ditembusi pedang Gin-hwa-kiam. Begitu cepatnya sinar pedang menyambar
sehingga dua orang itu tidak sempat bergerak mengelak atau menangkis, bahkan untuk berteriakpun tidak sempat
karena yang dijadikan sasaran ujung pedang Gin-hwa-kiam adalah tenggorokan mereka. Mereka inipun roboh disambar
oleh tangan Thian Sin sebelum jatuh berdebuk.
"Bagaimana dengan pergelangan lenganmu?" bisik Thian Sin setelah mereka merebahkan mayat-mayat itu tanpa
mengeluarkan suara, sambil menghampiri Kim Hong. Gadis itu memeriksa pergelangan lengannya dan menggerak-gerakkannya.
"Hanya luka di kulit saja, tidak berbahaya," jawabnya.
"Tidak nyeri kalau digerakkan? Kita menghadapi banyak lawan tangguh."
"Bagus. Nih kaupakai pedangku..."
"Tidak perlu, Thian Sin. Kaupakailah sendiri. Kau tahu, aku biasa menggunakan pedang pasangan, dan pedang
mereka ini tidak terlalu berat dan sama bentuknya, dapat kupakai sebelum aku menemukan kembali pedang
pasanganku yang mereka rampas." Kim Hong mengambil dua batang pedang milik penjaga-penjaga itu. Setelah mencoba
memutar-mutar sepasang pedang itu dengan kedua pergelangan tangannya digerak-gerakkan, Kim Hong tersenyum dan berkata, "Mari, aku sudah siap!"

Thian Sin memandang dengan kagum. Bukan main kekasihnya ini. Baru saja terbebas dari ancaman bahaya yang mengerikan, namun sama sekali tidak nampak gentar atau girang karena tertolong. Seolah-olah yang dihadapinyaitu bukan bahaya yang lebih mengerikan daripada maut.
"Engkau tidak takut...?" Thian Sin bertanya dengan bisikan.
"Tidak, aku yakin engkau pasti datang menolongku, kalau tidak, akupun tentu akan mendapatkan akal untuk
membebaskan diri. Bisa kupancing mereka ini masuk, lalu kubunuh dua orang, yang seorang lagi dapat kuancam dan
kupaksa membukakan belenggu ini," jawab Kim Hong tenang dan Thian Sin percaya akan kemampuan gadis itu bahwa dengan kedua lengan terbelenggu sekalipun Kim Hong akan mampu membunuh mereka bertiga itu.
"Sekarang mari kita keluar. Tadinya aku hanya ingin mengalahkan See-thian-ong, akan tetapi melihat sambutannya dan perlakuannya kepadamu, kita harus membalas dendam dan menghancurkannya!" kata Thian Sin. "Kita harus berhati-hati, jangan sampai melayani mereka bertempur di dalam tempat ini karena banyak mengandung rahasia yang berbahaya."
"Kita bakar saja sarang mereka ini dan memaksa semua ularnya keluar untuk dibunuh," kata Thian Sin gemas dan Kim Hong mengangguk karena memang siasat ini cocok dengan rencananya.
Kini setelah langit-langit itu berlubang, keduanya tentu saja dapat meloncat dan menerobos melalui lubang dan
menangkap kayu penyangga atap, kemudian keluar dari atas genteng. Setelah memeriksa keadaan di sekeliling
pondok itu dari atas, Thian Sin berbisik, "Engkau melakukan pembakaran dari sebelah sana, aku dari sini,
kemudian kita bertemu dan berkumpul di lapangan sana itu. Lapangan rumput itu enak untuk menghadapi lawan banyak."
Kim Hong mengangguk dan merekapun berpencar. Tak lama kemudian, nampaklah api berkobar dari sebelah kanan dan
kiri bangunan itu, disusul teriakan-teriakan para penjaga dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika terdengar
pula teriakan-teriakan bahwa gadis tawanan telah lenyap dan para penjaga terbunuh.
See-thian-ong terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat turun tangan seperti
itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan
melakukan pembakaran. Dia memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh masuk
tanpa ada yang melihatnya. Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong, Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga
belasan orang murid lain, dia melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang
mengamuk dari dua jurusan itu.
See-thian-ong tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan Kim Hong di
lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui. Di bawah sinar api yang menerangi cuaca
hampir pagi yang masih remang-remang itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, dan
kedua orang muda itu dikepung.
Thian Sin menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum mengejek.
"Hemm, kiranya See-thian-ong yang katanya datuk dunia barat itu bukan lain hanya seorang pengecut hina yang
beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia, dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh
tak tahu malu...!" kata Kim Hong.
"Tidak perlu kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut tua bangka!" Thian
Sin menambahkan.
Tentu saja ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam.
Kedua matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan bulat-bulat kedua orang muda itu.
"Dua bocah setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!" bentaknya.
"Wah, betulkah? Apakah ada yang bisa mengantarku ke kematian? Hemm, ingin aku melihat siapa yang dapat membuat
aku mati!" Kim Hong melangkah maju tanpa mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya.
Sikapnya menantang dan tenang sekali.
Akan tetapi, biarpun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja See-thian-ong
memandang rendah kepadanya. Maka diapun lalu menoleh kepada belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah
setingkat dibandingkan dengan Ching-hai Ngo-liong, dan setingkat dengan tiga orang penjaga yang tewas di kamar
tahanan itu. Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan
Thian Sin!
"Siapa di antara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!"
Ucapan See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu. Dan See-thian-ong sendiri
sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda
itu tersenyum dan enak-enak saja berdiri menonton, seolah-olah melihat gadis cantik itu dikurung empat belas
orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali.
Melihat gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek, tidak memegang senjata, belasan orang itu menjadi
berani. Mereka seperti berlumba dan lima orang sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang dari depan hendak merangkul pinggang! Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis itu yang semalam telah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah membayangkan gadis itu sebagai korban mereka!
Kim Hong tidak menjadi gugup, bahkan ia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri menangkap kedua lengannya.
Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya telah menendang ke bagian anggauta rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada saat yang sama,
kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang terlepas dari sanggul menyambar ke arah
ubun-ubun kepala orang yang berada di depan. Hanya terdengar suara "tokk!" dan seperti dua orang yang
tertendang itu, orang yang terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah memutar
tubuhnya dan kedua tangannya menampar. Hanya terdengar suara "Plak-plak!" dan dua orang itupun roboh dengan
kepala retak. Lima orang itupun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika!
Semua yang melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan kaget bukan main. Dia dapat menduga bahwa
gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu! Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima
orang saudara mereka itu tewas dalam segebrakan saja, menjadi marah dan mereka telah mencabut senjata
masing-masing. Ada yang memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar sudah menyambar tongkat
mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka, See-thian-ong juga terkenal lihai sekali dengan
permainan tongkat Giam-lo-pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut). Dan kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong,
bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk membunuhnya, untuk membalas
kematian kawan-kawan mereka.
Kembali terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu ia bergerak, semua orang terkejut karena tubuhnya lenyap
dan sebagai gantinya nampak dua sinar bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah
muncrat di sana-sini dan sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang. Ketika dua sinar itu berhenti
bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi
mangsa sepasang pedang rampasannya!
See-thian-ong melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut, mengerutkan alisnya dan membentak, "Bukankah
itu Ilmu Pedang Hok-mo-kiam? Nona, engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?"
bentakan ini disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya marah dan mengancam. Betapapun juga,
Lam-sin dapat dibilang masih "rekan", sama-sama datuk kaum sesat, maka kalau sekarang ada muridnya yang
memusuhinya, sungguh hal ini membuat dia penasaran sekali.
"Heii, See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur? Siapakah kiranya yang kauhadapi itu?"
kata Thian Sin mengejek.
See-thian-ong terbelalak, akan tetapi masih belum mengerti benar, atau kalaupun dia mengerti, dia sama sekali
tidak percaya. "Tapi... Lam-sin adalah datuk selatan, rekan kami, bukan musuh...!" katanya.
"See-thian-ong, Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau telah menghinaku.
Ingatkah betapa engkau memperlakukan sebagai anjing semalam?"
Wajah See-thian-ong menjadi pucat. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya seorang nenek yang amat sakti itu
adalah dara ini? Dan dia telah menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan menduga
bahwa tentu Thian Sin mempermainkannya, atau sengaja mempergunakan nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan
gentar.
"Siapapun adanya engkau, jangan menjual lagak di sini!" katanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan
pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar dan Kim
Hong cepat mengerahkan sin-kang untuk menyambutnya, dengan pengerahan Ilmu Bian-kun (Tangan Kapas). Tenaga
sin-kang yang amat kuat menjadi tenaga lemas yang membuat tangannya lunak seperti kapas sehingga tangan ini
mampu menyambut senjata tajam sekalipun tanpa terluka.
"Plakk!" See-thian-ong terkejut sekali ketika merasa betapa tenaganya yang amat kuat seperti amblas. Maklumlah
dia bahwa lawannya benar-benar hebat dan diapun meloncat lagi ke belakang karena ada sinar hitam menyambar
dahsyat, yaitu rambut Kim Hong yang sudah menyambar ganas.
"Benarkah... engkau... Lam-sin...?" See-thian-ong berseru, kaget bukan main karena diapun pernah mendengar
tentang Ilmu Bian-kun dan ilmu mempergunakan rambut dari Lam-sin.
"Tak perlu banyak ribut, See-thian-ong, kalau engkau berkepandaian, majulah!"
"Nona, jawablab, siapakah engkau sebenarnya?" Tiba-tiba di dalam suara See-thian-ong terkandung getaran mujijat
yang membuat tubuh Kim Hong menggigil! Nona ini terkejut dan maklum bahwa lawan menggunakan kekuatan sihir.
Maka dengan cepat iapun menundukkan matanya agar tidak sampai dipengaruhi.
"Aku... aku..."
"See-thian-ong, manusia curang!" Tiba-tiba Thian Sin membentak dan menepuk pundak Kim Hong. "Mundurlah, Kim
Hong. Tua bangka ini lawanku!" Kim Hong yang tadi hampir saja dapat dipengaruhi dan hampir menjawab, terkejut
dan melangkah mundur, membiarkan Thian Sin menghadapi kakek itu.
"Suhu, biarkanlah teecu berlima menghajar perempuan ini!" Tiba-tiba Ching-hai Ngo-liong berseru.
See-thian-ong mengangguk dan Lima Naga Dari Ching-hai itu segera mengepung Kim Hong sambil mencabut senjata
mereka yang mengerikan, yaitu golok besar di tangan kanan dan rantai baja di tangan kiri. Akan tetapi Kim Hong
tersenyum dan memandang rendah. Dengan tenang ia berdiri mengikuti gerak-gerik mereka dengan sudut kerling
matanya, tanpa mengeluarkan sepasang pedang yang tadi sudah disimpannya di balik punggung lagi setelah ia
merobohkan semua pengeroyok.
Sementara itu, See-thian-ong yang berhadapan dengan Thian Sin, diam-diam sudah mengerahkan kekuatan sihirnya,
mulutnya berkemak-kemik, kemudian tiba-tiba dia membentak dengan suara mengguntur, "Ceng Thian Sin, engkau
takkan kuat melawanku. Menyerahlah engkau!" Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dikembangkan ke depan,
dengan jari-jari menunjuk ke arah pemuda itu. Dari jari-jari tangan ini keluar getaran yang amat kuatnya,
mempunyai daya sihir yang berpengaruh sekali. Akan tetapi, betapa kagetnya hati See-thian-ong, ketika melihat
pemuda itu bertolak pinggang dan tertawa!
"Ha-ha-ha, See-thian-ong, simpanlah kembali permainan sulapmu itu! Aku bukan anak kecil yang mudah kautipu
dengan permainan sulap tukang jual obat itu, dan marilah kita bertanding sebagai laki-laki sejati!"

Kakek itu maklum bahwa musuhnya ternyata kini telah memiliki ilmu untuk melawan kekuatan sihirnya, maka diapun
tidak mau membuang waktu lagi dan segera menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, "Bocah sombong
mampuslah!"
Begitu menyerang, See-thian-ong telah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, tubuhnya merendah dan tubuh itu menjadi
besar, terutama di bagian perutnya seperti seekor katak membengkak dan ketika kedua tangannya menyambar, maka
angin pukulan yang dahsyat menerjang dahsyat ke arah Thian Sin. Ketika Thian Sin merasa betapa sambaran angin
dahsyat itu mengandung hawa dingin, tahulah dia bahwa ternyata kakek inipun selama ini telah memperdalam
ilmunya. Pukulan ini jauh lebih ampuh dibandingkan dengan dulu. Ternyata Ilmu Hoa-mo-kang dari kakek itu kalau
dahulu hanya merupakan pukulan jarak jauh yang amat kuat, kini ditambah lagi dengan mengandung hawa dingin dan
beracun! Tentu saja keampuhannya menjadi berlipat ganda dan juga menjadi amat berbahaya. Namun, Thian Sin
sekarang bukanlah Thian Sin dahulu ketika dia pernah mengalahkan See-thian-ong. Bukan saja pemuda ini telah
memiliki ilmu yang menandingi kekuatan sihir dari datuk dunia barat ini, juga dalam hal ilmu silat, pemuda ini
telah mewarisi ilmu peninggalan dari ayah kandungnya. Maka, menghadapi Ilmu Hoa-mo-kang dari lawan, dia sama
sekah tidak merasa gentar dan menandinginya dengan Ilmu Silat Hok-liong-sin-ciang sambil mengerahkan tenaga
Thian-te Sin-ciang.
Di lain fihak, Kim Hong telah dikeroyok oleh lima orang Ching-hai Ngo-liong. Tadinya Kim Hong memang memandang
rendah, bahkan tidak mempergunakan pedang rampasannya ketika mereka mulai mengepung. Akan tetapi setelah mereka
menyerang dengan bertubi-tubi dengan cara yang amat teratur, saling bantu dan dengan pengerahan tenaga
disatukan, Kim Hong terkejut juga dan maklumlah ia bahwa lima orang ini kalau maju satu demi satu memang bukan
lawan yang berat baginya. Akan tetapi ternyata mereka itu dapat maju bersama sebagai barisan yang amat kuat,
kadang-kadang mirip dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) dan kadang-kadang berubah pula dengan barisan yang
bernama Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Dan segera ia memperoleh kenyataan bahwa barisan mereka itu
sungguh amat berbahaya, maka terpaksa Kim Hong lalu mengeluarkan sepasang pedang rampasan itu dan melawan
dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat,
di satu pihak pertandingan antara Thian Sin dan See-thian-ong, dan di lain pihak adalah Kim Hong yang dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong.
Betapapun lihainya Ching-hai Ngo-liong menghadapi Kim Hong mereka segera terdesak hebat sekali. Pengepungan mereka kadang-kadang demikian kacaunya sehingga mereka tidak dapat bekerja sama lagi dan beberapa kali nyaris ada di antara mereka yang binasa kalau saja tidak cepat mereka saling melindungi lagi. Sepasang pedang di
tangan Kim Hong, ditambah lagi dengan rambutnya, sungguh amat berbahaya. Kalau saja senjata-senjata rahasia
jarum merah gadis ini tidak dirampas musuh semalam tentu sejak tadi sudah ada di antara mereka berlima yang roboh oleh jarum merahnya yang beracun itu.
Sementara itu, Ciang Gu Sik dan So Cian Ling masih berdiri menonton. Kedua orang ini menjadi bingung juga. Cian
Ling maklum bahwa ternyata wanita yang menjadi kekasih baru Thian Sin itu lihai bukan main. Ia merasa bahwa ia
kini tidak berdaya lagi setelah kedua pergelangan tangannya cacat, sehingga menghadapi lawan-lawan berat itu,
bantuannya boleh dibilang tidak ada artinya lagi. Tentu saja ia tidak suka mengeroyok Thian Sin dan untuk maju
mengeroyok Kim Hong pun ia merasa bahwa tenaganya terlalu lemah. Sedangkan Ciang Gu Sik sendiri juga bingung.
Ingin dia membantu gurunya, akan tetapi mengingat akan watak gurunya, dia takut kalau-kalau hal itu akan
membuat gurunya marah. Membantu gurunya sama saja mengaku bahwa gurunya kalah kuat oleh lawan, dan hal ini
dapat dianggap merendahkan gurunya.
Akan tetapi, perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin mulai nampak berat sebelah. Terjadi
perubahan yang menampakkan gejala terdesaknya kakek datuk barat itu. Setelah kedua orang sakti ini berkelahi
lebih dari seratus jurus, See-thian-ong harus mengakui bahwa lawannya kini sungguh amat tangguh, jauh lebih
lihai daripada satu setengah tahun yang lalu. Yang membuat dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han
Houw yang sungguh amat luar biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah
kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Lebih baik menghadapi ilmu-ilmu itu dengan asing sama
sekali dan mengandalkan kepandaiannya sendiri daripada seperti dia itu yang pernah meminjam kitab-kitab itu
selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu dengan ketekunan luar biasa, siang malam. Dia tahu
bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia telah mempelajari secara yang salah tanpa
mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa kalau
dilanjutkan dia malah akan celaka sendiri. Akan tetapi, setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan
ilmu-ilmu seperti Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau, dia teringat akan ilmu-ilmu yang
pernah dipelajarinya itu dan mau tidak mau kadang-kadang dia tanpa disengaja teringat dan mempergunakan
jurus-jurus yang sebenarnya palsu itu. Inilah yang membuat dia bingung dan sudah dua kali dia terkena tendangan
kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya terasa nyeri walaupun tidak sampai terluka
oleh tendangan kilat itu.
See-thian-ong menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, sejak dikalahkan oleh Thian Sin,
kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi setelah kini bertanding
lagi menghadapi musuh lama itu, yang betapapun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak hebat!
"Singgg...!" Demikian kuatnya dia menyambar dan menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga mengeluarkan suara
mendesing. Sinar tongkatnya bergulung-gulung ketika kakek itu menyerang. Thian Sin tersenyum mengejek, akan
tetapi pemuda inipun maklum akan hebatnya tongkat itu dan Ilmu Giam-lo-pang-hoat, maka biarpun tersenyum
mengejek, terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya untuk dapat menghindarkan diri dengan cara mengelak ke
sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tidak ada kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu
dengan tenaga Thian-te Sin-ciang. Dalam kegembiraannya karena melihat kenyataan bahwa dia mampu menggungguli
See-thian-ong dengan mudahnya, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan menghadapi tongkat itu
dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosongpun dia mampu
menaklukkan See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu dilanjutkan dengan
lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan lawan dengan serangan-serangan maut.
Sementara itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong juga memperlihatkan
keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong sibuk sekali dan pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir.
Melihat ini, Cian Ling tidak dapat tinggal diam saja. Biarpun cacat pada kedua pergelangan tangannya membuat ia
kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, ia masih setingkat lebih lihai daripada masing-masing
dari Ching-hai Ngo-liong itu. Ia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan kalau bekerja sama, kini kerja
sama mereka kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak hebat. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling
menerjang dan memutar pedangnya. Melihat cara gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong
bahwa gadis murid See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka iapun menyambut dengan tangkisan pedangnya. Akan
tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan. Bantuan Cian
Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyusun kembali
barisan mereka yang tadi hampir berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena
mereka sudah dapat menyusun barisan. Kim Hong cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang
datangnya seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang pengeroyok itu.
Melihat isterinya yang juga sumoinya itu telah terjun ke dalam medan perkelahian membantu Ching-hai Ngo-liong,
diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa gurunya
terdesak hebat tadi, dan kini setelah gurunya mempergunakan tongkat sebagai senjata, masih saja gurunya tidak
dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu, Ciang Gu Sik lalu mempersiapkan senjatanya, yaitu
joan-pian emas yang amat ampuh itu. Dia tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil
mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.
See-thian-ong kini mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih dan dia mulai merasa lelah
sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang masih amat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya
dan diapun maklum bahwa sekali ini, kalau dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh, akan tetapi
dia sendiripun agaknya takkan keluar dalam keadaan hidup dari medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi
nekat. Maka, setelah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, diapun lalu mengeluarkan bentakan keras sekali dan
menubruk ke depan, tongkatnya menyambar-nyambar ganas, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang tanpa
mempedulikan segi pertahanan karena dia sudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung
seperti balon ditiup keras.
Thian Sin cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinya memukul ke arah dada
lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi
gulungan sinar emas menyambar ke arah kepala Thian Sin!
"Dukkk...!" Dada See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan
terguling-guling, akan tetapi karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, pukulan itu tidak melukainya.
"Desss...!" Pada detik berikutnya, pundak Thian Sin disambar ujung joan-pian, membuat bajunya robek dan juga
kulit dan sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi pemuda itu bahwa dia masih melihat
menyambarnya sinar emas pada saat dia memukul See-thian-ong tadi, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya,
dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu mengenai pundaknya. Ciang Gu Sik memang cerdik
sekali, dia menyerang tepat pada saat Thian Sin menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai
dada suhunya yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah pukulan itu
dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga, tentu saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda
itu ditinggalkan kekuatan sin-kang karena baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka Thian Sin tidak
dapat melindungi pundaknya yang terjuka oleh senjata itu.
Begitu pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu Sik, akan tetapi murid
See-thian-ong yang cerdik ini sudah meloncat jauh ke belakang sehingga terbebas dari serangan Thian Sin.
Sementara itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya, menghantam dengan
tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka
tidak berbahaya, akan tetapi cukup nyeri dan membuat dia marah.
Seperti kita ketahui, Cian Ling tadi ikut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong dan ketika melihat
betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga suhengnya, wanita ini menjadi khawatir sekali. Betapapun
juga, diam-diam Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka oleh joan-pian
dan berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa Thian Sin tentu akan celaka dan tidak akan mampu
menghadapi pengeroyokan See-thian-ong dan Ciang Gu Sik. Kini, melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan
See-thian-ong sedangkan suaminya itu masih siap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti saat seperti
tadi, Cian Ling menjadi marah dengan tiba-tiba. Dugaannya memang benar karena pada saat Thian Sin dan
See-thian-ong sedang saling serang dengan hebat, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang.
Tanpa banyak cakap, Cian Ling meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong yang telah
dapat mengatur kembali barisannya itu, dan Cian Ling lalu menyerbu ke dalam medan perkelahian yang lain itu
bukan untuk mengeroyok dan menyerang Thian Sin, melainkan untuk menggunakan pedangnya menusuk ke arah lambung
suaminya dari samping! Ciang Gu Sik sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu untuk
menyerang dirinya, maka dia tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan tahu-tahu pedang isterinya itu menusuk
dan menembus lambungnya di bawah iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak lalu terbelalak memandang
kepada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya menekan kedua lambungnya dan
dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih terbawa oleh tubuhnya.
Peristiwa yang tak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut, sehingga keduanya undur ke
belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian Ling. Tiba-tiba See-thian-ong menubruk ke depan dan memukul
Cian Ling dengan Ilmu Hoa-mo-kang! Thian Sin yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya. Cian Ling kena
terpukul dadanya dan wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat
isterinya roboh, Ciang Gu Sik terhuyung menghampiri dan diapun terguling roboh tak jauh dari isterinya.
"Cian Ling... kenapa kau... kau membunuhku...?"
"Suheng... maaf... aku cinta padanya..."
Hanya itulah yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat dia mencabut kipas
dan pedang Gin-hwa-kiam dan diserangnya See-thian-ong dengan hebatnya. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya
dan membalas sehingga dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru dan
mati-matian.
Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini menghendaki, sebetulnya
sudah sejak tadi ia mampu merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak
mempelajari ilmu barisan mereka yang dianggapnya cukup hebat itu, dan pula, ia tadi melihat bahwa kekasihnya
tidak memerlukan bantuannya. Melihat betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, iapun maklum bahwa
kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi, tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin
akan terkena serangan mendadak dari Gu Sik sehingga terluka pundaknya. Maka Kim Hong segera mempercepat gerakan
sepasang pedang itu dan lima orang pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apalagi sekarang Cian Ling tidak membantu
mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan
dua orang pengeroyok yang tewas seketika. Tiga orang saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan
tetapi tentu saja mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus mempercepat
gerakannya dan berturut-turut tiga orang dari Ching-hai Ngo-liong itupun roboh dengan jantung tertembus pedang!
Ketika orang ke lima roboh, Kim Hong melihat bahwa sepasang pedang tipisnya tersembunyi di balik jubah orang
itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat melempar pedang rampasannya dan mengambil kembali sepasang pedangnya.
Di pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka iapun mengambil senjata rahasia ini.
Setelah memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian antara dua orang itu.
Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini,
bajunya berlumuran darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi kakek itu masih
dapat melawan dengan tidak kurang kuatnya daripada tadi.
"Thian Sin, mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!" kata Kim Hong dengan suara gembira.
Thian Sin meloncat ke belakang. Tentu saja kalau dilanjutkan, akhirnya dia yang akan menang. Akan tetapi dia
tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu ingin
sekali mencoba kepandaian datuk barat!
"Maju dan cobalah macan tua ompong ini!" katanya.
Kim Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut terjangan See-thian-ong. Terdengar bunyi berdencing beberapa
kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa tenaga mereka berimbang.
See-thian-ong menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya telah tewas. Tak disangkanya wanita muda ini
sedemikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan
mulai percaya akan keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin!
"Tranggg!" See-thian-ong menahan pedang Kim Hong, lalu membentak, "Benarkah engkau Lam-sin?"
Kim Hong tersenyum tanpa memandang mata kakek itu. "Lam-sin sudah tidak ada, yang ada aku Toan Kim Hong!"
katanya sambil menyerang lagi. Akan tetapi See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata.
"Tahan dulu! Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai nama Lam-sin,
berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk
barat!"
"Hi-hik, kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan memusuhimu. Akan tetapi
engkau lupa, aku sekarang bukan lagi Lam-sin, melainkan gadis biasa saja Toan Kim Hong yang ingin mencoba
sampai di mana kelihaian orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!"
"Bagus, bocah sombong mampuslah!" Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Dia tidak percaya bahwa
gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka biarpun nanti dia akan kalah, kalau dia sudah dapat morobohkan dan
membunuh gadis ini, puaslah hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga dapat
membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya mengapa kakek itu mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya untuk menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya.
Thian Sin kini menghampiri Cian Ling dan memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkejut sekali melihat bahwa gadis
itu telah menderita luka yang amat hebat, tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada
saat itu Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, ia tersenyum.
"Cian Ling...!" Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena mencoba untuk
menolongnya. "Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?"
"Thian Sin... aku... aku cinta padamu... aku tidak tahan melihat engkau terancam... dan aku... tidak dapat
hidup... tanpa engkau..."
Thian Sin menarik napas panjang dan dia merasa kasihan kepada gadis ini. Bagaimanapun juga, dia tidak mencinta
gadis ini, sungguhpun dia suka sekali kepadanya. Siapa yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling?
"Ciang Ling..." Thian Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Lalu dia menoleh dan melihat betapa
perkelahian antara See-thian-ong dan Kim Hong terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong
benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, diapun maklum bahwa
agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya.
Maka timbul kekhawatirannya dan diapun bangkit berdiri.
"Thian Sin..."
Dia berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini.
"Kau... kau cinta padanya...?"
Thian Sin maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini dan diapun mengangguk. Memang, pada saat itu dia berani
mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walaupun dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itu
yang dinamakan cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila kepada para gadis
lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling.
"Ah... ia... ia bahagia... aku... aku... iri kepadanya..."
Napas gadis itu tinggal satu-satu dan Thian Sin memandang dengan hati kasihan. "Tenangkanlah hatimu, Cian Ling.
Seorang gagah tidak takut mati!" Dia membesarkan hati gadis itu.
Cian Ling menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. "Thian Sin... maukah engkau mengantar kematianku
dengan sebuah ciuman..."
Mendengar permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba dan diapun merangkul dan mengangkat tubuh bagian atas
gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, dan kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada
saat itu Thian Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis itu menghembuskan
napas terakhir pada saat dia menciumnya, maka dengan perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas
tanah.
Akan tetapi pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan terkejut bukan main
melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tidak sempat mengelak, maka dia menangkis dan "desss...!"
Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya.
"Eh... kau sudah gila...?"
"Engkau yang gila, bukan aku!" bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian Sin dengan sepasang
pedangnya! Thian Sin menangkis beberapa kali, lalu meloncat dan mengejar See-thian-ong yang mempergunakan
kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat dan ternyata gin-kang dari gadis ini yang
paling hebat dan dia yang lebih dulu menghadang dan menyerang See-thian-ong! Kini See-thian-ong diserang oleh
dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali, mengelak ke sana ke mari dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba
terdengar dia menjerit ketika sebatang pedang dari Kim Hong yang marah-marah itu membabat putus lengannya
sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus melawan, bahkan mendesak Thian Sin dengan tongkatnya.
Thian Sin menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan. Dia telah menggunakan
jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil
menghindarkan dirinya dan dadanya kena dipukul.
"Desss...!" Bukan main hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas. Akan
tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke belakang dan diapun bergulingan sampai
jauh. Ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan
kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata berkilat.
"Engkau telah menghinaku!" bentak Kim Hong kepada pemuda itu.
Thian Sin masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan nyaris membunuhnya. "Eh,
kenapakah...?" Lalu dia teringat dan dia tersenyum. "Eh, apakah engkau... marah dan cemburu melihat aku mencium
Cian Ling tadi? Kau tahu, ia... ia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman, ia sudah mati, harap kau
tidak cemburu!"
"Siapa cemburu? Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampuspun aku tidak peduli, akan tetapi kalau
engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Kalau
memang engkau ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!"
Thian Sin melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh ini. Akan tetapi
tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka diapun tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim
Hong yang kembali mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong!
"Hemm, kalian tidak mau melepaskan aku, ya? Kalian menghendaki kematianku? Baiklah, aku akan mati di depanmu!"
Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya dan... terdengar suara keras disusul robohnya tubuh
yang tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi! Kiranya See-thian-ong sudah
putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua orang muda itu, juga tidak dapat melarikan diri.
Maka, daripada disiksa oleh Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri!
Thian Sin mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini telah tewas, dia menarik napas
panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia tidak melihat lagi Kim Hong di situ. Ternyata gadis itu telah
pergi tanpa pamit, meninggalkannya.
"Kim Hong...!" Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu. Akan tetapi
hasilnya sia-sia belaka, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkah bekas. Akhirnya Thian Sin terpaksa kembali ke
pondok merah yang tadinya menjadi sarang See-thian-ong dan anak buahnya. Akan tetapi tempat itu telah menjadi
sunyi sekali. Kebakaran telah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap di sana-sini. Akan tetapi
mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan tidak seorangpun berada di tempat itu. Juga ketika dia
memasuki pondok besar yang kebakaran itu, tidak nampak seorangpun manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong
telah melarikan diri sambil membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat itu
agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka Thian Sin meninggalkan tempat itu untuk
mencari Kim Hong.
Apa yang dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan peristiwa yang
menggemparkan sekali. Terutama dunia kang-ouw segera mendengar berita yang dibawa oleh sisa anak buah
See-thian-ong bahwa datuk barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk itu.
Sungguh hal ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua orang memang sudah
tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga
karena kelihaiannya yang dikabarkan amat luar biasa itu. Akan tetapi belum pernah sebelumnya ada yang menduga
bahwa Pendekar Sadis akan mampu mengalahkan See-thian-ong bahkan mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu,
membunuh Si Datuk dan semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh dunia hitam bahwa Pendekar Sadis
merupakan ancaman bahaya yang besar bagi kelangsungan hidup mereka.
Hasil yang amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong, bahkan akhirnya dapat
mengalahkan See-thian-ong, membunuhnya dan para muridnya itu mestinya amat menggirangkan hati Thian Sin. Akan
tetapi, ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau girang, bahkan merasa gelisah dan
bingung. Semua ini, dia tahu, disebabkan oleh perginya Kim Hong tanpa pamit.
Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian dan kehilangan kegembiraan, bahkan
kehilangan gairah hidup. Apakah ini disebabkan karena perginya Kim Hong? Mengapa sebelum dia bertemu dan
berkumpul dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini? Apakah ini berarti bahwa dia
telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu?
Thian Sin mengeraskan hatinya. Kalau Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia, diapun tidak dapat
berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara
mereka tidak ada ikatan apapun! Hubungan mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi,
kalau seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan hubungan itupun putus sampai di situ saja! Dan
agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya,
dan biarpun dibantah oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu.
Thian Sin merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk dapat dicarinya begitu
saja kalau Kim Hong tidak ingin bertemu dengannya. Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri
sendiri dan yang lebih dari kesemuanya itu, Kim Hong memiliki gin-kang yang lebih tinggi daripada dia sehingga
andaikata ia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan diri dia tidak akan mampu mengejar dan
menyusulnya.
Dalam perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian. Dia tidak tahu ke mana harus
mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada
harapan baginya untuk dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, diapun lalu pergi menuju ke Tai-goan. Dia telah
berhasil menundukkan dua di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua,
See-thian-ong telah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itupun merupakan musuhnya, dan
sekali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong.
Akan tetapi perjalanannya sekali ini terasa kosong dan tidak menyenangkan. Pernah dia merasakan hal yang mirip
dengan perasaannya sekarang ini, yaitu ketika dia mendapat kenyataan bahwa Ciu Lian Hong telah memilih Han
Tiong, kakak angkatnya, daripada dia. Dia merasa nelangsa sekali, merasa ditinggalkan dan terpencil, dan
timbullah perasaan kesepian yang menimbulkan rasa iba diri dan merasa dirinya sengsara. Rasa kesepian bukan
hanya melanda dalam hati orang seperti Thian Sin, melainkan pernah dialami oleh hampir seluruh manusia di dunia
ini. Suatu perasaan kosong, perasaan betapa hidup ini terpencil dan sendirian tanpa ada arti yang mendalam.
Kita melihat betapa kita dipermainkan oleh suka duka, lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak
susahnya daripada senangnya.
Kesenangan-kesenangan yang mula-mula menggembirakan hati, makin lama menjadi semakin hambar tanpa arti. Kita
mencari yang lebih! Semua kesenangan kita jangkau, akan tetapi setelah terdapat lalu kehilangan artinya,
menjadi hambar dan kembali kita terbenam ke dalam kekosongan. Dan kita teringat bahwa pada suatu saat semua ini
akan berakhir, tanpa arti sama sekali, seolah-olah kita ini hanya seperti angin lalu, hidup ini seperti
segumpal awan yang melayang di angkasa kemudian lenyap untuk digantikan oleh gumpalan-gumpalan awan lainnya.
Rasa kesepian ini mengundang rasa takut, khawatir akan masa depan kita, akan hari kemudian kita, baik hari
kemudian ketika kita masih hidup maupun sesudah mati. Kita takut menghadapi kekosongan ini dan kita selalu
berdaya upaya untuk mencari sesuatu yang ada isinya, untuk dapat menghibur hati kita. Kita takut berhadapan
dengan rasa kesepian, maka kitapun lari ke apa saja yang kiranya dapat menghibur kita, dapat mengusir rasa
kesepian itu, yang dapat membuat kita lupa akan rasa kesepian yang menakutkan. Namun, pelarian diri,
hiburan-hiburan itu hanya membuat kita lupa sebentar saja dan rasa kesepian akan datang lagi menekan hati,
membuat kita gelisah dan tidak dapat tidur, dan kalau sudah tidur terisi oleh mimpi-mimpi buruk.
Apapun yang kita lakukan untuk mengusir rasa takut dan kesepian, akhirnya hanya akan memperkuat benih rasa
takut dan kesepian itu sendiri yang akan terus mengejar-ngejar kita. Dan kita tidak mungkin selalu memenuhi
diri dengan hiburan-hiburan untuk melupakannya. Sekali waktu kita pasti berada seorang diri dalam batin,
walaupun banyak orang mengelilingi kita, dan rasa kesepian itu akan semakin mencekik, mendatangkan rasa
nelangsa, merasa sengsara dan iba diri.
Rasa kesepian ini pasti timbul secara menakutkan kalau kita membayang-bayangkan masa depan kita, membayangkan
masa tua di mana kita takkan banyak berguna lagi bagi dunia, di mana kita tidak akan dibutuhkan lagi oleh orang
lain, ketika tidak ada orang yang mengacuhkan kita, tidak ada orang yang memperhatikan dan mencinta kita lagi.
Rasa takut dan kesepian timbul kalau kita membayangkan betapa kita akhirnya akan terpisah dari semua yang kita
senangi, kita akan bersendirian! Sendirian! Tidak ada siapa-siapa yang mempedulikan kita, tidak ada siapapun
yang mencinta kita!
Kalau kita mau waspada, kalau kita mau menghadapi rasa kesepian yang mendatangkan rasa takut itu, menghadapinya
dengan terbuka, tanpa melarikan diri melainkan kalau kita menyelidiki dengan penuh kewaspadaan, membuka mata
memandangnya dengan cermat, maka akan nampaklah bagaimana rasa takut itu, bagaimana kepalanya dan bagaimana
ekornya. Rasa takut akan kesepian timbul dari bayangan yang kita ciptakan sejak kecil, bayangan berupa si aku
yang selalu ingin ada dan berkuasa. Si aku inilah yang merasa ngeri kalau-kalau dia tidak ada lagi, kalau-kalau
dia lenyap dari keadaannya. Dan si aku ini hanyalah bayangan belaka, ciptaan dari pikiran yang ingin mengulang
pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi pengalaman yang tidak menyenangkan.
Kalau kita tidak melarikan diri, kalau kita menghadapi rasa kesepian yang mendatangkan rasa takut itu, rasa iba
diri itu, kalau kita menghadapinya dan memandangnya tanpa berusaha untuk menekan atau mengendalikan, tanpa
mengutuk dan membelanya, melainkan mengamatinya saja penuh kewaspadaan, maka pengamatan yang waspada penuh
perhatian itu sendiri yang akan menghentikan rasa takut dan rasa kesepian ini. Asalkan kita tidak terkecoh oleh
si aku yang licik itu, asalkan yang mengamati bukanlah si aku itu pula, karena kalau yang mengamati itu adalah
si aku, maka akan timbullah pula keinginan agar rasa takut itu lenyap! Dan keinginan dari si aku inilah justeru
yang memperkuat adanya rasa takut itu sendiri, karena rasa takut rasa kesepian itu bukan lain adalah si aku itu juga!
Dan kalau rasa takut akan kesepian itu sudah tidak ada lagi, maka berada sendirian bukan lagi merupakan
kesepian, melainkan keheningan. Dan keheningan bukanlah rasa kesepian. Keheningan merupakan sesuatu yang amat
mendalam, yang amat luas, yang mencakup seluruh alam, di mana getaran cinta kasih mencapai puncaknya, di mana
sinar cinta kasih bercahaya tanpa halangan sesuatupun.
Di dalam perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri dengan peasaan kosong
dan sunyi. Dia sering kali membayangkan semua pengalamannya, semua perbuatannya. Dia telah dijuluki Pendekar
Sadis, dan dia tidak merasa menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi dia
bersikap kejam hanya terhadap para penjahat!
Dia memang sudah berniat untuk membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya.
Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi
jagoan nomor satu di dunia ini, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi jagoan nomor
satu di dunia. Dia menganggap bahwa semua tindakan itu benar, dan menurut pendapatnya, kalau semua pendekar di
dunia ini bertindak seperti dia, membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan!
Sungguh dangkal sekali jalan pikiran pendekar muda ini. Sayang! Akan tetapi, dalam pikiran kitapun amat
seringnya muncul pendapat yang sama seperti pendapat Thian Sin ini. Bagi kita, yang dinamakan "adil" adalah
kalau yang berbuat jahat itu dihukum berat, dan menurut pendapat kita, kalau semua penjahat dihukum berat, maka
tidak akan ada lagi kejahatan di dunia ini! Kita lupa bahwa kejahatan tak terpisahkan dari manusia itu sendiri,
dan selama manusia belum dapat hidup waras lahir batin, maka kejahatan akan selalu timbul.
Kalaupun seluruh manusia yang jahat di dunia ini dibasmi sehingga yang bersisa hanya tinggal dua orang saja,
namun selama dua orang ini belum waras dalam arti yang seluas-luasnya, maka mungkin saja timbul kejahatan di
antara kedua orang ini! Kejahatan adalah bentuk kekerasan yang didasari keinginan menyenangkan diri sendiri.
Diri sendiri ini bisa saja diperluas menjadi teman sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, aliran sendiri,
bahkan bangsa sendiri. Dan mungkinkah membasmi kejahatan, yang merupakan suatu bentuk kekerasan, dengan jalan
kekerasan pula? Sama saja dengan mencoba untuk mengakhiri perang dengan peperangan!
Juga Thian Sin mengenangkan hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali. Pertama-tama dia
berdekatan dengan wanita adalah dengan Bwe Cu Ing, gadis dusun dekat Lembah Naga, yang merupakan cinta
pertamanya. Kedukaan pertama karena wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya. Kemudian
muncul Loa Hwi Leng, puteri anggauta Jeng-hwa-pang itu yang kemudian dibunuh oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia
amat membenci Jeng-hwa-pang dan mengobrak-abriknya. Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang telah berhubungan
sangat akrab dengan dia, lebih daripada wanita-wanita lain sebelumnya.
Dan ada pula Bin Biauw, puteri Tung-hai-sian itu yang manis dan yang pada pertemuan pertama juga menggerakkan
hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur karena di situ hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu
muncul pula Ang Bwe Nio, anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dia buntungi hidungnya karena telah
mengkhianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai, dan terakhir adalah Kim Hong atau
Lam-sin.
Dia sering duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua wanita itu baginya? Itukah
cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu berahi saja? Atau apa? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas,
mereka semua itu mendatangkan duka setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya yang menimbulkan
keinginan hatinya untuk memperisterinya, mendatangkan rasa duka dan sengsara karena berpisah darinya, karena
harapannya untuk memperisteri dara itu gagal. Apakah terhadap Lian Hong itu cinta? Dan bagaimana dengan Kim
Hong ini? Cintakah? Atau sekedar nafsu berahi. Kalau cinta, mengapa mendatangkan duka? Dia bingung, tak mampu
menjawab!
Tai-goan adalah kota kedua sesudah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota itu, menjadi ibu kota Propinsi
Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai
Hoang-ho. Dengan adanya Sungai Fen-ho ini, maka tentu saja hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota lain
menjadi lancar, bukan hanya melalui darat, melainkan juga melalui air.
Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota di dalam Propinsi Ho-nan dan Shan-tung dapat melalui air dan
daerah yang dilalui Sungai Fen-ho yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Hoang-ho, amatlah luasnya.
Karena hubungan dengan daerah dan kota-kota lain amat lancar, maka tentu saja perdagangan di Tai-goan menjadi
makmur sekali.
Berita tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, sudah mendahului Thian Sin dan
sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan,
bahkan sudah sampai pula ke daerah kota raja! Dan tentu saja berita itu telah pula terdengar Pak-san-kui!
Seperti kita ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota Tai-goan. Dia memiliki
banyak perusahan dan toko-toko, terutama sekali penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi dan
rumah-rumah pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang adalah miliknya, atau kalaupun milik orang lain,
tentu berada di bawah kekuasaannya.
Datuk kaum sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan. Akan tetapi yang menjadi
murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu
saja puteranya sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong. Dan untuk kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui
juga hanya para tokoh kang-ouw dan para pendekar saja, sedangkan rakyat di situ lebih mengenalnya sebagai
hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau Siangkoan-loya (tuan besar).
Ketika mendengar terbunuhnya See-thian-ong dan murid-muridnya oleh Pendekar Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang
menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu. Dia teringat
kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda itu pernah mengalahkannya setelah
menipunya dengan kitab-kitab palsu! Biarpun selama ini, semenjak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya
bersilat dengan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga.
Lawan yang pernah mengalahkannya itu adalah orang muda, dan amat mudahnya bagi seorang pemuda untuk memperoleh
kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Maka diapun
lalu memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong.
"Hampir dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah Si Pendekar Sadis, dan kalau benar demikian, sudah tentu
dia pada suatu hari akan muncul di sini," kata Pak-san-kui.
"Ayah, kalau dia hanya datang seorang diri, takut apa? Dahulupun aku hanya kalah setingkat olehnya dan selama
ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua,
dibantu oleh para suheng Pak-thian Sam-liong, dan kalau kita mengerahkan lagi sepasukan orang-orang pilihan,
tentu kita akan dapat membekuknya! Kita berlima saja kiraku akan cukup untuk membekuknya, betapapun lihainya.
Bukankah benar demikian, suheng?"
Pak-thian Sam-liong mengangguk. "Benar sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute. Dengan suhu sendiri saja,
atau melawan sute sendiri sudah setingkat, apalagi kalau kita berlima maju bersama. Kami merasa yakin akan
dapat membekuknya atau membunuhnya." Mendengar ucapan murid-murid dan puteranya, legalah hati Pak-san-kui.
"Betapapun juga, kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus diadakan perondaan
dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu,"
katanya kepada Pak-thian Sam-liong yang cepat menyatakan kesanggupan mereka. "Wi Hong," katanya kepada
puteranya. "Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun, undang dia ke sini untuk membicarakan tentang
kemungkinan Pendekar Sadis mengacau Tai-goan."
"Baik, ayah." Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya.
Siong-ciangkun atau Komandan Siong adalah komandan yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan. Seperti juga
dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan maupun di kota raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan baik
sekali, tentu saja dengan bantuan kekayaannya. Diapun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan keamanan
di Tai-goan itu dan untuk menghadapi Pendekar Sadis, datuk utara itu kini mengadakan persekutuan dengan
Siong-ciangkun.
Tentu saja dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak membayangkan bahwa dia takut menghadapi Ceng Thian
Sing, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan
yang tenteram itu. Dan dia tidak lupa untuk memberi bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan
mengadakan penjagaan ketat. Seratus orang anggauta pasukan pilihan dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh
komandan ini dan mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota, memata-matai semua orang yang datang,
terutama sekali menghubungi Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru yang
memasuki kota.
Hanya repotnya bagi para petugas itu adalah bahwa mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang
berjuluk Pendekar Sadis, dan tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki
yang bengis.
Dan Pak-san-kui sendiripun belum berani menentukan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, karena hal
itupun baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Diapun tidak berani ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin
bukan Pendekar Sadis? Dia harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang telah menjadi musuhnya, akan
tetapi juga terhadap kemungkinan bahwa Pendekar Sadis bukanlah Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seorang
yang berbahaya dan belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan mengganggunya, seperti yang
dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong.
Inilah sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa hanyak halangan. Para anggauta pasukan
istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika
melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar tinggi,
dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda itu adalah putera bangsawan atau hartawan
yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan mungkin datang dari kota raja!
Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak terdapat kaki tangan Pak-san-kui,
maka biarpun dia tidak memasuki kota dengan cara bersembunyi, namun diapun tidak mau menonjolkan diri karena
dia tidak ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri. Maka sebelum pergi ke
tempat lain, dia lebih dahulu mencari-cari tempat yang baik unluk bersembunyi atau bermalam.
Dia tidak mau bermalam di rumah penginapan karena biarpun dia dapat menggunakan nama palsu, tentu dalam waktu
beberapa hari saja Pak-san-kui akan mengetahui tempat itu. Dan hatinyapun girang sekali ketika dia melihat
sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai. Ketika
melihat bahwa rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang pekerjaannya sebagai kuli mengangkut
barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu di tempat itu, Thian Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang
miskin itu girang sekali dan dia memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan
dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam tikar rombeng.
Kepada kakek itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan tidak ingin
terganggu kenalan-kenalan maka dia sengaja mencari tempat sunyi untuk menginap agar jangan terganggu orang
lain. Juga dia berpesan kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberitahukan kepada siapapun juga. Kakek itu
menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan tidak mau bicara tentang tamunya yang
mendatangkan rejeki baginya itu.
Setelah memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar, barulah Thian Sin memasuki
daerah kota yang ramai untuk mencari rumah makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru
melihat tempatnya yang mewah dan bersih itu saja sudah menimbulkan selera, maka diapun memasuki rumah makan itu.
sore, kongcu." Seorang pelayan menyambutnya dengan manis. "Kongcu hendak makan di bawah ataukah di loteng?"
Thian Sin menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di loteng, dibuat dengan
cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa dia ingin makan di loteng, pelayan itu lalu mengantarnya naik ke
loteng. Tiba-tiba, setelah dia hampir sampai ke loteng, Thian Sin berhenti melangkah dan wajahnya berubah. Dia
mendengar suara Kim Hong!
"Kenapa, kongcu?" Pelayan yang berjalan di belakangnya bertanya melihat pemuda itu berhenti.
"Aku tidak senang di ruangan loteng, kausiapkan saja semangkok bakmi dan panggang ayam dengan arak di meja
bawah, di sudut jauh dari pintu keluar," kata Thian Sin.
"Baik, kongcu," kata pelayan itu yang segera turun kembali. Thian Sin pura-pura melihat-lihat ke dalam ruangan
loteng itu, akan tetapi hanya melongok saja dan dia melihat Kim Hong duduk di meja bagian luar loteng,
berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang membelakangi jalan luar. Jantung Thian Sin berdebar dan terasa
panas ketika dia mengenal pemuda itu. Andaikata dia lupa pemuda itu, pasti dia tidak akan melupakan alat musik
yang-kim yang terletak di atas meja itu.
Siangkoan Wi Hong! Siapa lagi pemuda tampan pesolek yang ke mana-mana membawa yang-kim, alat musik yang juga
merupakan senjatanya yang ampuh itu? Dan Kim Hong duduk semeja dengan pemuda itu, bercakap-cakap dan
tertawa-tawa penuh keakraban, bahkan kemesraan! Hatinya terasa panas bukan main. Dia mengenal Siangkoan Wi Hong
sebagai seorang penakluk wanita, pemuda pengejar wanita yang amat lihai! Cepat diapun turun tangga loteng itu
dan memilih tempat duduk agak ke dalam sehingga tidak akan kelihatan oleh mereka yang masuk atau keluar melalui
pintu depan.
Ketika pelayan itu datang membawa masakan yang dipesan, Thian Sin segera membayarnya sekali agar nanti dia
dapat pergi tanpa menunggu-nunggu lagi kalau sudah selesai makan. Dia makan perlahan-lahan, sama sekali tidak
terasa enak karena pikirannya melayang ke atas loteng. Seolah-olah dia masih mendengar suara Kim Hong
bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui itu dan
makin dipikir, hatinya menjadi semakin panas.
Baru saja dia selesai makan, dia melihat mereka itu turun dari tangga. Sejenak tangan mereka bersentuhan,
seperti hendak bergandengan tangan, akan tetapi lalu terlepas lagi. Akan tetapi yang sedikit itupun cukuplah
bagi Thian Sin untuk menimbulkan dugaan di dalam hatinya bahwa pasti "ada apa-apa" antara mereka itu. Dan
merekapun keluar, lalu naik sebuah kereta yang sudah menanti di luar restoran tadi. Thian Sin meninggalkan
mejanya, tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kecurigaan, dan keluar dari rumah makan. Dengan tenang
diapun lalu membayangi kereta itu yang dijalankan perlahan-lahan menuju ke sebelah utara.
Cuaca sudah mulal gelap dan hal ini memudahkan Thian Sin untuk membayangi kereta. Akhirnya kereta berhenti di
depan sebuah rumah penginapan! Mereka berdua itu menginap dalam sebuah rumah penginapan yang mewah! Makin panas
hati Thian Sin dan diapun menyelinap ke dalam gelap dan dari situ dia mengintai. Dia melihat mereka berdua
turun dari kereta, dan bercakap-cakap sebentar.
Agaknya, dari jauh dia dapat menduga bahwa Kim Hong minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk lebih dulu
berangin-angin di taman bunga rumah penginapan itu sebelum mereka masuk. Siangkoan Wi Hong nampak tersenyum di
bawah lampu depan pekarangan itu, lalu keduanya memasuki taman bunga yang letaknya di belakang rumah penginapan
dan di sebelah kirinya.
Thian Sin tetap membayangi mereka dan menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman itu sampai dia dapat
mengintai mereka tidak terlalu jauh dan dapat mendengarkan percakapan mereka. Mereka duduk di atas bangku yang
saling berhadapan, dekat kolam ikan emas di mana terdapat sedikit penerangan lampu gantung. Suasana di taman
itu sungguh romantis dan pada saat itu amat sunyi. Agaknya tidak terdapat lain orang kecuali mereka berdua.
"Nona Toan, engkau sungguh cantik seperti bidadari, dan aku berbahagia sekali dapat berjumpa dan mengenalmu,
nona." terdengar Siangkoan Wi Hong tiba-tiba menyatakan rasa hatinya dengan sikap dan suara mesra.
Kim Hong tertawa, ketawa ditahan yang sudah amat dikenal oleh Thian Sin itu. "Engkau juga gagah dan tampan
sekali, Siangkoan-kongcu, dan akupun gembira dapat berkenalan denganmu."
"Ah... benarkah apa yang kaukatakan itu, Kim Hong? Bolehkah aku memanggil namamu?"
"Tentu saja benar, dan engkau boleh memanggil namaku."
"Kim Hong... aku suka sekali kepadamu... belum, aku belum dapat mengatakan cinta karena baru beberapa hari kita berkenalan, akan tetapi aku... aku suka sekali padamu."
"Hemm, akupun suka sekali padamu, kongcu. Engkau baik sekali dan engkau gagah sekali..."
"Kim Hong..." Pemuda itu bangkit dan menghampiri, lalu duduk di samping gadis itu dan merangkulnya. Kim Hong
tidak menolak, bahkan mengangkat mukanya sehingga memudahkan Siangkoan Wi Hong untuk menciumnya. Mencium
bibirnya dengan mesra dan lama sekali.
"Keparat jahanam! Siangkoan Wi Hong, bersiaplah engkau untuk mampus!" Teriakan ini keluar dari mulut Thian Sin
yang sudah meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, tidak dapat menahan lebih lama lagi rasa panas di dada
dan perutnya menyaksikan adegan mesra antara Kim Hong dan putera Pak-san-kui itu.
Seketika dua orang yang sedang berpelukan dan berciuman itu melepaskan diri masing-masing, dan Siangkoan Wi
Hong menyambar yang-kimnya dan membalik. Wajahnya menjadi pucat ketika dia mengenal Thian Sin yang sudah
berdiri di bawah lampu, wajah yang biasanya ramah itu kini nampak muram dan menakutkan.
"Thian Sin...!" Dia berseru penuh rasa gentar akan tetapi juga marah.
"Bagus, engkau sudah mengenalku sehingga engkau tidak mati penasaran!" Thian Sin berkata dan secepat kilat dia
menerjang ke depan dengan serangan maut. Akan tetapi Siangkoan Wi Hong bukanlah orang lemah dan dia sudah
menggerakkan yang-kimnya untuk menangkis.
"Dukkk...!" Dan terkejutlah putera Pak-san-kui itu karena tubuhnya tergetar hebat dan dia terdorong mundur,
terhuyung-huyung! Thian Sin tidak mau memberi hati lagi, terus menerjang lawan yang sudah terhuyung itu.
"Dess...!" Thian Sin terkejut melihat bahwa Kim Hong telah menangkis pukulannya. Sejenak mereka saling pandang.
Akan tetapi Kim Hong tidak mau membuang waktu lagi dan secepat kilat gadis ini sudah mencabut sepasang
pedangnya dan menyerang Thian Sin kalang-kabut! Tentu saja Thian Sin cepat mengelak. Hatinya seperti ditusuk
rasanya. Begini marahkah Kim Hong kepadanya sehingga kini malah membantu Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya
mati-matian? Ingin dia bicara, ingin dia minta maaf. Akan tetapi di situ ada Siangkoan Wi Hong. Dia malu kalau
harus memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Maka diapun mencabut pedangnya dan diputarnya pedang itu
untuk menangkis.
Sementara itu Siangkoan Wi Hong girang sekali melihat Kim Hong membantunya. Dia memang telah tahu bahwa gadis
itu memiliki kepandaian silat yang lihai, maka diapun lalu memutar yang-kimnya dan membantu Kim Hong.
"Pendekar Sadis, jangan harap engkau dapat lolos dari tanganku sekarang!" Kim Hong membentak. Bentakan ini
diterima oleh Thian Sin dengan mata terbelalak. Dia merasa heran sekali mendengar gadis itu menyebutnya
Pendekar Sadis. Ada permainan apa ini? Akan tetapi karena Kim Hong mendesaknya dengan hebat, dibantu pula oleh
pemuda itu, dia merasa serba salah. Kalau dia melawan dengan kekerasan, dia takut kalau-kalau melukai gadis
itu. Maka diapun lalu meloncat ke dalam kegelapan dan melarikan diri.
"Lekas lapor ayahmu, aku akan mengejarnya!" kata Kim Hong kepada Siangkoan Wi Hong, dan diapun telah meloncat
dengan cepat untuk melakukan pengejaran.
Bagaimanakah Toan Kim Hong dapat bersama-sama dengan Siangkoan Wi Hong di Tai-goan dan telah berkenalan dengan
akrabnya? Terjadinya tiga hari yang lalu, di sebuah hutan di lembah Sungai Fen-ho. Ketika itu, seperti yang
telah menjadi kesukaannya, Siangkoan Wi Hong berburu binatang hutan. Yang-kimnya selalu dibawanya, tergantung
di punggung sedangkan tangannya memegang busur dan anak panah. Ketika melihat seekor kijang, dia cepat
mengejarnya. Kijang itu masih muda dan gesit bukan main, berloncatan amat cepatnya dan menyusup-nyusup ke dalam
semak-semak, kalau didekati meloncat lagi.
Wi Hong sudah melepaskan anak panah dua kali, yang sekali luput dan yang sekali lagi hanya menyerempet betis
binatang itu, membuatnya menjadi semakin ketakutan, liar dan lebih cepat lagi larinya. Akan tetapi akhirnya
Siangkoan Wi Hong dapat mendesaknya ke tepi sungai dan binatang itu kebingungan. Wi Hong memasang anak panah
pada busurnya dan siap untuk membidikkan anak panahnya.
Akan tetapi pada saat dia hendak melepaskan anak panah, tiba-tiba saja kijang itu mengeluarkan teriakan nyaring
dan roboh terpelanting! Wi Hong terkejut bukan main dan cepat meloncat, akan tetapi dia melihat bayangan
berkelebat dan seorang gadis cantik jelita telah berdiri di dekat bangkai kijang. Siangkoan Wi Hong terpesona
dan memandang dengan melongo.
"Hemm, apa yang kau pandang?" bentak gadis itu sambil memandang dan bertolak pinggang.
Siangkoan Wi Hong baru sadar dan dia tersenyum, menyimpan gendewanya, lalu menghampiri.
"Ah, kukira ada bidadari yang turun dari kahyangan. Nona, apakah nona... eh, manusia biasa?"
Wanita itu adalah Kim Hong dan mendengar ucapan itu, Kim Hong juga tersenyum. Pemuda tampan ini sungguh
mengagumkan dan juga menyenangkan hatinya. "Kalau aku bukan manusia, apakah kaukira aku setan atau siluman?"
Siangkoan Wi Hong memandang ke kanan kiri. "Tempat ini amat sunyi, dan kijang ini tiba-tiba tewas sebelum
kupanah, lalu muncul seorang seperti nona! Begini... cantik jelita. Aku mendengar bahwa di tempat-tempat sunyi
terdapat... eh, siluman-siluman yang pandai mengubah diri menjadi wanita cantik melebihi bidadari, seperti...
eh, dongeng tentang Tiat Ki dalam dongeng Hong-sin-pong itu, begitu cantiknya sampai menjatuhkan hati Kaisar
Tiu-ong!"
"Hemm, apa kau tidak dapat membedakan antara manusia dan siluman?" Kim Hong menanggapi, tidak marah disangka
siluman karena cara pemuda itu mengatakannya sama sekali tidak terkandung nada menghina, melainkan memuji.
Semakin gembiralah hati Siangkoan Wi Hong melihat betapa gadis yang cantik jelita itu mau menanggapinya, maka
dia lalu pasang aksi, pura-pura memikat dan mengingat-ingat, mengerutkan alisnya, kemudian berkata dengan wajah
berseri. "Ah, aku ingat! Dalam dongeng kitab kuno tentang siluman-siluman yang menyamar sebagai wanita cantik,
terdapat tanda-tanda. Ada tanda yang... ah, sebelumnya maaf, nona. Kata kitab itu, kalau siluman rase atau
rubah menyamar sebagai wanita, satu hal tidak dapat dilenyapkannya, yaitu ekornya! Wanita cantik penyamaran
siluman rubah itu tentu mempunyai ekor! Ah, akan tetapi tentu saja aku tidak dapat membuktikan pada dirimu..."
dia berhenti untuk melihat reaksi gadis itu. Akan tetapi Kim Hong masih tersenyum saja, dan agaknya tidak
nampak marah sama sekali. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong menjadi semakin girang dan berani.
"Akan tetapi ada tanda lain lagi yang dapat kubuktikan pada dirimu, nona. Kata kitab itu, seorang wanita
penyamaran siluman rubah mempunyai dua tanda yaitu pertama, karena tubuh yang diambilnya adalah tubuh wanita
yang telah mati, maka lengannya akan terasa dingin seperti mayat kalau dipegang, dan dari hawanya keluar bau
rubah yang khas. Nah, kalau aku boleh menyentuh lenganmu, nona, dan kalau aku boleh mendekatimu tentu aku akan
segera dapat membedakan apakah nona seorang manusia biasa ataukah sebangsa siluman."
Kim Hong tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya yang cantik manis itu berseri. Ia juga merasa
gembira oleh sikap pemuda itu. Maka ia menyingsingkan lengan baju sebelah kiri dan menyorongkan lengan kirinya
itu kepada Wi Hong sambil berkata dengan senyum, "Nah, periksalah."
Siangkoan Wi Hong girang bukan main dan dia menelan ludahnya melihat sebuah lengan yang berkulit begitu mulus,
putih dan lembut, halus dan seperti lilin diraut. Diapun melangkah maju mendekat, lalu menggunakan tangan
kanannya untuk menyentuh, bahkan setelah ujung jari-jari tangannya menyentuh kulit halus lunak hangat itu
dengan sepasang matanya tetap menatap wajah Kim Hong untuk melihat reaksinya, dan melihat bibir nona itu tetap
tersenyum, jari-jari tangannya lalu melanjutkan dengan meraba-raba lengan dan memegangnya dengan mesra! Kim
Hong menarik lengannya dengan gerakan halus sambil berkata dengan senyum, "Bagaimana, dingin seperti mayatkah?"
Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan memandang dengan mata berseri. "Ah, sama sekali tidak, sebaliknya malah,
begitu hangat, halus dan lunak... ah, dan yang tercium olehku hanya keharuman seperti bunga setaman...!"
Kim Hong tersenyum gembira, akan tetapi berlagak tak senang. "Hemm, engkau seorang perayu! Siapakah engkau?"
Siangkoan Wi Hong menjura. "Perkenalkan, nona, namaku Siangkoan Wi Hong. Aku sedang berburu di hutan ini dan
mengejar-ngejar kijang itu sampai ke tepi sungai. Setelah aku berhasil menyudutkannya dan siap hendak melepas
anak panah... eh, tahu-tahu kijang itu roboh dan tewas, lalu muncul nona. Siapakah nona dan bagaimana seorang
wanita muda seperti nona dapat berada di tempat sunyi terpencil seperti ini?"
"Namaku Toan Kim Hong..."
"Nama yang indah sekali, seperti orangnya! Dan she Toan...? Ah, apakah ada hubungan dengan keluarga pangeran...?"
Kim Hong mengangguk.
Siangkoan Wi Hong menjura lagi. "Ah, maaf, maaf...! Kiranya nona adalah seorang puteri yang berdarah bangsawan!
Sungguh sikap saya layak dihukum..."
Kim Hong menarik napas panjang. "Sudahlah, urusan kebangsawanan itu dahulu, sekarang aku adalah orang biasa
saja. Aku kebetulan lewat di sini dan selagi menikmati keheningan tempat ini, aku melihat seekor kijang. Karena
perutku lapar, maka aku segera merobohkannya dengan sambitan jarumku."
Wi Hong terbelalak. "Apa...? Membunuh kijang dengan sambitan jarum saja? Agaknya tak masuk akal...!"
"Siapa bilang kalau tidak masuk akal kalau jarumku memasuki kepala melalui antara matanya lalu menembus otak,"
jawab Kim Hong. Mendengar jawaban ini, tentu saja Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kaget dan heran. Sebagai
seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dia tahu bahwa jarum hanya merupakan senjata rahasia
ringan yang hanya dapat dipergunakan dari jarak dekat, dan bukan merupakan senjata rahasia yang berbahaya. Akan
tetapi gadis ini mampu membunuh seekor kijang dari jarak jauh dengan penyambitan jarum, bahkan tanpa memeriksa
lagi gadis itu dapat memastikan bahwa jarumnya telah menembus antara mata kijang itu dan sampai ke otak! Hal
ini kalau memang benar, menunjukkan bahwa gadis ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Dan
jarum itupun tentu mengandung racun yang amat hebat.
Untuk meyakinkan hatinya diapun lalu berjongkok dan memeriksa kijang itu. Dan betapa kagumnya ketika dia
mendapat kenyataan bahwa memang benar pada kepala binatang itu, antara kedua matanya, terdapat luka kecil
kemerahan yang mulai membengkak dan mengeluarkan darah! Dia cepat bangkit berdiri dan kembali dia menjura
dengan hormat.
"Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita lihai! Toan-lihiap, aku girang sekali dapat
berkenalan dengan seorang gadis pendekar sepertimu!"
"Ah, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Sebaliknya, akupun pernah mendengar namamu dan melihat yang-kim di
pundakmu tadipun aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah Siangkoan-kongcu yang amat terkenal itu putera
dari Locianpwe Pak-san-kui, bukan?"
"Tepat sekali, lihiap."
"Ah, jangan sebut aku lihiap, membikin aku merasa canggung dan malu saja."
"Baiklah, kalau begitu biar kusebut engkau Toan-siocia." Siangkoan Wi Hong lalu memanggul bangkai kijang itu.
"Nona, setelah kita bertemu dan saling berkenalan di sini, aku mengundang nona untuk bersama-sama menikmati
daging kijang ini. Akan kusuruh masak daging ini di rumahku. Silakan, nona."
Demikianlah, dua orang itu berkenalan dan Kim Hong mengunjungi rumah pemuda hartawan itu. Sebaliknya Wi Hong
juga sering mengunjungi hotel di mana gadis itu bermalam, mengajaknya pelesir atau makan ke restoran-restoran
terbesar di kota Tai-goan, mengajaknya pesiar dengan kereta. Dalam waktu beberapa hari saja hubungan antara mereka amat akrabnya.
Demikianlah pertemuan antara Kim Hong dengan putera Pak-san-kui itu sampai mereka dilihat oleh Thian Sin yang
membayangi mereka dan Pendekar Sadis menyerang Siangkoan Wi Hong ketika melihat betapa putera datuk utara itu
berpacaran dengan Kim Hong. Dan dalam waktu beberapa hari itu, Siangkoan Wi Hong sempat mengajak Kim Hong
berkunjung pula kepada ayahnya. Pak-san-kui Siangkoan Tiang menerima perkenalan itu dengan senang. Dia melihat
bahwa bukan saja gadis itu amat cantik dan menurut puteranya juga memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi
juga mengingat bahwa gadis itu masih keluarga bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Toan, maka mereka merasa girang kalau puteranya dapat berjodoh dengan gadis ini.
Terutama sekali setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong seperti
pengakuannya, diam-diam dia terkejut dan semakin kagum. Dia pernah mengenal pangeran pemberontak itu, dan
maklum bahwa kepandaian pangeran itu tidak berada di bawah tingkatnya! Bahkan akhirnya dia mendengar bahwa
sebelum meninggal, pangeran itu bersama isterinya telah menemukan ilmu peninggalan Menteri The Hoo sehingga
kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingannya.
Ketika Thian Sin menyerang Siangkoan Wi Hong dengan ganas karena pemuda ini sudah marah sekali dan ingin
membunuhnya, Kim Hong membela sahabat barunya ini dan ketika Thian Sin melarikan diri karena pemuda ini tidak
mau berkelahi melawan kekasihnya, Kim Hong lalu mengejar dan minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk melaporkan
kepada ayah pemuda itu.
Dengan gin-kangnya yang memang lebih tinggi daripada Thian Sin, Kim Hong berhasil membayangi pemuda itu tanpa
diketahuinya, dan dara ini dapat melihat pondok kecil yang disewa pemuda itu di tepi kota. Maka iapun cepat
meninggalkan tempat itu dan menyusul Siangkoan Wi Hong ke rumah Pak-san-kui.
Ketika tiba di rumah datuk itu, ternyata Pak-san-kui telah mengumpulkan murid-muridnya dan ketika melihat Kim
Hong cepat menyambutnya dan memegang tangan dara itu. "Nona, bagaimana...? Dapatkah engkau mengejarnya?"
"Aku tahu di mana dia, akan tetapi aku tahu dia lihai sekali, maka aku tidak berani turun tangan sendiri, dan
aku cepat menyusulmu untuk memberitahukan hal itu."
Akan tetapi Pak-san-kui memandang kepada gadis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Nona Toan, kenapakah
nona membantu puteraku dan memusuhi Pendekar Sadis?"
Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba dengan suara keras penuh desakan, karena memang kakek ini menaruh
curiga dan sengaja menanya secara tiba-tiba untuk membuat gadis itu tidak dapat membohong tanpa diketahuinya.
Akan tetapi gadis ini bersikap tenang, dan di bawah sinar lampu yang terang itu nampak betapa gadis itu
memandang kepada penanyanya dengan penasaran. "Ah, apakah locianpwe belum tahu? Bukankah Pendekar Sadis yang
membunuh pamanku, Pangeran Toan-ong di kota raja? Locianpwe, biarpun mendiang ayahku dianggap pemberontak oleh
kota raja, akan tetapi telah diampuni, dan bagaimanapun juga, Toan-ong yang dibunuh Pendekar Sadis itu adalah
pamanku sendiri. Maka, aku tentu saja menganggap Pendekar Sadis sebagai musuhku!"
"Ayah, selain itu, juga kami berdua saling mencinta. Aku... aku telah mengambil keputusan untuk memilih Nona
Toan sebagai calon jodohku, maka sudah sepatutnya kalau ia membantuku ketika Pendekar Sadis menyerangku," kata
Siangkoan Wi Hong. Kim Hong mengerling ke arah pemuda itu dan sepasang pipinya berubah merah, akan tetapi ia
tidak berkata sesuatu.
"Jadi engkau sudah tahu di mana dia berada, nona?" tanya Pak-san-kui Siangkoan Tiang. Gadis itu mengangguk.
"Sebaiknya kalau malam ini juga kita menyerbunya, selagi dia lengah," katanya.
"Memang itupun menjadi rencana kami," kata Pak-san-kui. "Akan tetapi, kita masih menanti datangnya pasukan
Siong-ciangkun."
"Ah, jangan menggunakan pasukan, locianpwe!" Tiba-tiba Kim Hong berkata sambil mengerutkan alisnya. "Kenapa
menghadapi satu orang saja harus menggunakan pasukan? Locianpwe sendiri adalah seorang sakti, belum lagi
locianpwe masih dibantu oleh putera locianpwe yang lihai dan juga ada lagi murid-murid locianpwe ini yang
terkenal pula. Dan, kalau locianpwe percaya kepadaku, akupun dapat membantu. Padahal, bukan aku sombong, kalau
aku dibantu oleh Siangkoan-kongcu seorang saja, akupun sudah akan mampu menandinginya!"
Tentu saja Pak-san-kui menganggap gadis ini bicara sombong. Betapapun lihainya, mana mungkin gadis ini mampu
melawan Pendekar Sadis? Dia sendiri saja gentar menghadapi pendekar yang telah mampu menewaskan See-thian-ong
dan para muridnya itu. Akan tetapi karena gadis inipun merupakan pembantu yang lumayan, dia diam saja tidak
menanggapi sikap yang dianggapnya sombong itu. Akan tetapi diam-diam Siangkoan Wi Hong mempercayai omongan
gadis itu karena dia sudah melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan pendekar
itu yang ketihatan gentar dan melarikan diri, maka diapun cepat berkata, "Ayah, kalau Toan-siocia membantu
kita, aku yakin kita akan mampu menghancurkan Pendekar Sadis!"
"Locianpwe, sebetulnya, sudah lama aku sendiripun ingin sekali bertemu dengan pembunuh pamanku itu dan membalas
dendam. Oleh karena itulah, maka sekarang ini sama sekali bukan berarti aku membantu locianpwe, bahkan dapat
dikatakan sebaliknya, pihak locianpwe yang membantu aku agar berhasil membalas dendam. Karena aku tidak mau
gagal, maka kuharap locianpwe jangan mengerahkan pasukan."
"Hemm, mengapa nona mengatakan begitu?"
"Pendekar Sadis adalah seorang yang amat lihai, kalau kita menyerbu menggunakan pasukan besar, tentu sebelumnya
dia akan lebih dulu mengetahui dan dapat melarikan diri sehingga usaha kita akan sia-sia belaka. Sebaliknya
kalau yang menyergapnya hanya kita saja, yang semua memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, maka kita tentu akan
dapat datang tanpa menimbulkan suara dan dapat menyergapnya, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan
diri. Maka, kuusulkan agar locianpwe sendiri, dibantu oleh Pak-thian Sam-liong, Siangkoan-kongcu dan aku
sendiri, kita berenam sudah lebih dari cukup untuk menandingi dan merobohkannya. Jangan membawa pasukan."
Pak-san-kui mengangguk-angguk. Kini dia melihat benarnya ucapan gadis itu, dan diam-diam dia girang bahwa
puteranya dapat menarik gadis ini sebagai sahabat. Kini dia yakin pasti akan berbasil membalas dendam, bukan
hanya mengalahkan Pendekar Sadis, bahkan membunuhnya.
"Baik, kita berangkat sekarang tanpa pasukan," katanya dan mereka berenam lalu berangkat. Kim Hong berjalan
lebih dulu sebagai penunjuk jalan.
Pondok itu memang terpencil di pinggir kota. Dan malam sudah larut, suasana amat sunyi. Agaknya semua penghuni
rumah sudah tidur dan tidak terdengar suara apapun. Dengan hati-hati Kim Hong memberi isyarat-isyarat kepada
teman-temannya dan mereka berenam mengurung pondok kecil itu. Kim Hong sendiri bersama Pak-san-kui menghampiri
pintu depan, dan terdengarlah Pak-san-kui berseru, seperti yang telah mereka rencanakan.
"Pendekar Sadis! Kami telah mengetahui tempat sembunyimu. Keluarlah untuk menerima kematian!"
Sejenak sunyi saja. Pak-san-kui yang menjadi tidak sabaran itu menggedor pintu.
"Pendekar Sadis, keluarlah, kalau tidak, akan kurobohkan pondok ini!"
"Jangan dirobohkan pondokku...!" Terdengar teriakan dan pintu depan terbuka, seorang laki-laki tua keluar dari
pintu itu. Dari dalam terdengar suara nyaring.
"Paman, jangan keluar!"
Akan tetapi terlambat! Melihat seorang pria tua keluar, Pak-san-kui menggerakkan huncwenya. Terdengar jerit
orang itu yang terpelanting roboh tak bergerak lagi. Pak-san-kui sendiri sampai terkejut. Tak disangkanya bahwa
orang yang keluar itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat sehingga begitu mudah roboh dan tewas.
Karena rumah itu menurut Kim Hong adalah tempat sembunyi Pendekar Sadis, maka tentu saja dia tadi menyangka
bahwa yang keluar tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, membunuh orang, baik yang bersalah maupun yang
tidak, bagi datuk ini tiada bedanya, maka diapun sama sekali tidak peduli. Puteranya, murid-muridnya dan juga
Kim Hong memandang tanpa mempedulikan, melainkan memperhatikan ke dalam pondok melalui pintu yang kini tetah terbuka itu.
Akan tetapi tidak terdengar sesuatu dari dalam pondok, juga tidak nampak sesuatu muncul dari situ. Thian Sin
yang tadinya sedang merebahkan diri di dalam pondok itu, begitu mendengar suara Pak-san-kui, sudah meloncat ke
atas dan membuka genteng, lalu mengintai dari atas. Dia melihat Pak-san-kui datang bersama Siangkoan Wi Hong
dan Pak-thian Sam-liong dan sama sekali tidak merasa gentar. Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah melihat
Kim Hong berada pula di situ bersama mereka!
Tadipun dia sudah gelisah memikirkan betapa Kim Hong melindungi Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya. Dan kini
ternyata gadis itu agaknya telah bersekutu dengan musuh besarnya! Hal ini mendatangkan rasa nyeri daripada
ketika melihat gadis itu berciuman dengan Siangkoan Wi Hong tadi. Kalau memang Kim Hong sudah mengambil
keputusan bersekutu dengan datuk utara itu untuk memusuhinya, diapun tidak takut! Demikian suara hatinya yang
terasa nyeri, kecewa, berduka dan marah. Maka diapun bangkit berdiri di atas atap rumah itu. Sinar
bintang-bintang membuat dia nampak seperti tubuh siluman yang tiba-tiba muncul di situ. Akan tetapi suaranya
masih halus walaupun mengandung teguran keras.
"Kim Hong, begitu tidak tahu malukah engkau, merendahkan diri menjadi kaki tangan Pek-san-kui?" Kemudian dia
melayang turun di depan Pak-san-kui sambil menudingkan telunjuknya. "Pak-san-kui, tua bangka keparat! Kalau
memang engkau seorang datuk dan seorang laki-laki sejati, hayo lawanlah aku, keroyoklah dengan murid-muridmu,
akan tetapi jangan ikut-ikutkan orang lain!"
Sebelum Pak-san-kui menjawab, tiba-tiba Kim Hong tertawa dan berkata dengan nada menghina, "Hi-hik, Pendekar
Sadis! Apakah engkau telah buta dan tidak melihat dengan siapa kau berhadapan? Locianpwe Siangkoan Tiang adalah
datuk dunia utara, seorang locianpwe yang gagah perkasa. Dia sendiri saja sudah cukup untuk membikin engkau
mampus, siapa butuh mengeroyokmu?"
Mendengar ucapan ini, Pak-san-kui terkejut. Ucapan itu memang bermaksud baik, akan tetapi sungguh merugikannya!
Dan setelah mendengar gadis itu bicara demikian, tentu dia akan merasa rendah den malu kalau begitu maju lalu
mengeroyok musuhnya itu. Maka diapun mengerling ke arah puteranya dan tiga orang muridnya.
"Aku akan menghadapinya sendiri! Kalian tahu kapan untuk turun tangan mencegah dia melarikan diri!" Setelah
berkata demikian dan merasa yakin bahwa puteranya dan tiga orang muridnya dapat mengerti apa yang
dimaksudkannya, tiba-tiba saja Pak-san-kui sudah menerjang ke depan dengan senjatanya yang ampuh, yaitu huncwe
maut itu. Nampak api menyambar dari dalam huncwe yang kemudian menjadi sinar menyambar ke arah muka dan leher
Thian Sin. Cepat bukan main gerakan ini, akan tetapi Thian Sin sudah mengelak ke belakang. Kim Hong melihat
gerakan itu, kemudian melihat betapa kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan lengan kiri itu mulur sampai
panjang mengejar atau membuat serangah susulan ke arah kepala Thian Sin.
"Dukkk!" Thian Sin menangkis dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat ini, Kim Hong diam-diam
terkejut dan kagum akan kelihaian datuk ini yang selain memiliki senjata huncwe yang berbahaya, juga memiliki
lengan kiri yang dapat mulur panjang dan tentu saja amat berbahaya pula.
Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong hanya mengurung tompat itu, siap untuk membantu karena
mereka maklum bahwa kehadiran Kim Hong tentu saja membuat Pak-san-kui merasa sungkan untuk melakukan
pengeroyokan. Akan tetapi mereka tahu bahwa kalau sampai Pak-san-kui terdesak, mereka berempat tentu akan
segera turun tangan mengeroyok. Maka Siangkoan Wi Hong lalu mendekati Kim Hong.
"Adik manis, kalau dia terlalu berat bagi ayah, kita baru akan turun tangan mengeroyoknya. Dia memang orang
yang berbahaya sekali." Kim Hong tidak menjawab, seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menonton
perkelahian itu dengan penuh perhatian.
Dan perkelahian itu memang amat menegangkan untuk ditonton. Seru dan mati-matian, juga merupakan perkelahian
antara orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Dahulu, ketika untuk pertama kalinya Thian Sin mengalahkan
Pak-san-kui, dia harus mengandalkan akal, menggunakan air untuk menghadapi serangan api yang kadang-kadang
keluar dari huncwe maut itu, yang membuat lawan kewalahan dan panik.
Akan tetapi sekarang dia tidak membutuhkan lagi akal seperti itu, dan pula, sejak kekalahannya dari Thian Sin
dahulu itu, Pak-san-kui sudah berlatih matang dan bersiap-siap kalau-kalau lawan menggunakan air lagi. Maka
andaikata Thian Sin mengulangi akalnya yang dahulu, dia tentu akan kecelik dan tidak akan berhasil. Pemuda ini
hanya menghadapinya dengan memegang kipasnya. Setiap kali ada bunga api menyambar, atau asap yang berbau keras,
kipas itulah yang mengebut dan api serta asap itu membalik dan menyerbu kakek itu sendiri! Sedangkan serangan
huncwe itu hanya dihadapi dengan tangan kosong saja oleh Thian Sin.
Huncwe maut itu menyambar-nyambar dengan ganas, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan. Thian Sin selalu dapat
mengelak atau menangkis hunewe dengan tangannya, bahkan membalas serangan lawan dengan sama dahsyatnya,
menampar dan memukul atau menendang sambil mengerahkan sin-kang. Thian Sin dapat melihat kenyataan bahwa
dibandingkan dengan dahulu, datuk ini telah memperoleh kemajuan yang cukup banyak, maka diapun lalu mengubah
gerakannya, mainkan ilmu silat warisan ayahnya yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus itu.
Akan tetapi, baru saja dia mengeluarkan tiga empat jurus yang masing-masing mempunyai bagian-bagian dan
perkembangan-perkembangan yang amat sulit itu, lawan telah terdesak hebat!
Pak-san-kui mengenal jurus-jurus ini, akan tetapi hanya kulitnya saja dan isinya sungguh membuat dia bingung
karena mengandung daya serang yang sama sekali tidak pernah dapat diduganya, dan selain itu juga amat hebat.
Dalam serangan-serangan itu terkandung gerakan-gerakan aneh dan hampir saja dia kena dirobohkan lawan sehingga
ketika kaki Thian Sin menyerempet lambungnya, dia terbuyung dan meloncat ke belakang sambil mengeluarkan
seruan. Seruan ini dikenal oleh Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong, maka mereka itu segera bergerak
untuk membantu.
Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menghadang mereka disertai bentakan, "Tahan dulu!"
Siangkoan Wi Hong terkejut melihat bahwa yang menghadang itu adalah Kim Hong! Gadis ini berkata, "Tadi sudah
diadakan janji bahwa tidak akan ada pengeroyokan! Kalau kalian ingin mencoba kelihaian musuh, biarlah Pendekar
Sadis menghadapi kalian. Dan karena tingkat kepandaian kalian masih rendah, kalian berempat boleh saja maju
berbareng untuk menghadapinya! Hei, Pendekar Sadis tinggalkan dulu Pak-san-kui, dan hadapi mereka ini. Aku
sendiri ingin merasakan kelihaian huncwe maut!" Setelah berkata demikian, Kim Hong sudah meloncat ke dalam
arena pertempuran itu sambil mencabut sepasang pedangnya dan langsung menerjang Pak-san-kui!
Perubahan sikap gadis ini sungguh mencengangkan semua orang. Akan tetapi, kalau Siangkoan Wi Hong menjadi kaget
dan marah sekali, sebaliknya Thian Sin yang juga kaget itu merasa girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa
bingung dan gelisah kalau terpaksa harus menghadapi gadis itu sebagai musuh. Biarpun hatinya masih panas kalau
mengingat akan adegan romantis dan mesra antara Kim Hong dan Siangkoan Wi Hong, namun pembalikan sikap Kim Hong
yang kini jelas berpihak kepadanya itu membuatnya girang sekali dan begitu melihat Kim Hong menyerbu
Pak-san-kui, diapun lalu meloncat ke belakang untuk menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong yang
segera mengurung dan mengeroyoknya dengan serangan-serangan yang bertubi-tubi.
Terutama sekali, Siangkoan Wi Hong menyerang dengan penuh kebencian dan kemarahan. Pemuda hartawan ini kecewa
bukan main melihat betapa Kim Hong, gadis yang menjatuhkan hatinya, yang disangkanya telah terjerat olehnya,
ternyata kini malah membantu Thian Sin! Dan timbullah kecurigaannya bahwa memang gadis itu sengaja bersikap
baik kepadanya untuk memancingnya, memancing ayahnya untuk menghadapi Pendekar Sadis di tempat sunyi itu.
Dan teringatlah dia betapa gadis itulah yang menganjurkan agar mereka berenam saja yang menghadapi Pendekar
Sadis dan melarang agar jangan menggunakan pasukan. Teringat akan ini, keringat dingin membasahi dahi Siangkoan
Wi Hong dan dia menyerang semakin dahsyat, dibantu oleh tiga orang suhengnya yang sudah membentuk barisan
Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) itu.
Thian Sin menghadapi empat orang pengeroyoknya dengan tenang-tenang saja. Akan tetapi karena untuk menghadapi
pengeroyokan empat senjata itu lebih enak kalau menggunakan senjata pula, maka selain kipasnya, diapun lalu
mencabut Gin-hwa-kiam dan memutar pedangnya untuk melindungi dirinya dan kipasnya kadang-kadang menyambar
dengan totokan-totokan maut. Akan tetapi, Thian Sin tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian terhadap empat
orang pengeroyoknya itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong terancam bahaya, walaupun dia maklum
bahwa kepandaian gadis itu kiranya tidak berada di sebelah bawah tingkat Pak-san-kui.
Pak-san-kui sendiri yang tadinya tercengang dan marah melihat betapa gadis itu membalik dan memihak musuh,
dengan kemarahan meluap menghadapi Kim Hong. "Bagus!" bentaknya. "Memang anakku yang buta, tidak tahu bahwa
engkau adalah seekor siluman yang jahat. Mampuslah kau di tanganku!" Kakek itu segera menghisap huncwenya dan
sekali dia menggerakkan huncwe, ada bunga api menyambar ke arah muka Kim Hong, disusul tiupan asap dari
mulutnya dan dibarengi pula dengan totokan-totokan maut dari ujung hunewe!
Sungguh merupakan serangan maut yang amat hebat. Kim Hong sejak tadi sudah melihat dan mempelajari kepandaian
lawan, maka gadis ini mengerahkan gin-kangnya yang istimewa, sudah melesat ke atas untuk mengelak dari serangan
bertubi-tubi itu. Akan tetapi tangan kakek itu sudah menyambar, mulur sampai dua kali panjang lengan biasa,
mencengkeram ke arah dada Kim Hong!
"Hih!" Kim Hong berseru dan pedangnya berkelebat menyambar untuk membacok lengan yang panjang mengerikan itu.
Pak-san-kui kembali meniupkan asapnya dan menarik tangannya. Karena asap itu selain amat kuat juga mengandung
bau yang menyesakkan napas, terpaksa Kim Hong berjungkir balik di udara itu saja sudah menunjukkan kemahiran
gin-kang yang amat hebat. Dan sambil berjungkir balik ini Kim Hong sudah memindahkan pedang di tangan kirinya
ke tangan kanan yang memegang dua pedang, sedangkan tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar dari atas ke
arah kepala dan dada Pak-san-kui!
"Uhhh...!" Pak-san-kui terkejut sekali dan dengan cepat dia memutar huncwenya menangkis. Terdengar suara
nyaring berkerincingan ketika jarum-jarum merah itu terpukul runtuh. Akan tetapi, gadis itu telah turun ke atas
tanah dan menyerang lagi dengan sepasang pedangnya, gerakannya aneh luar biasa sehingga yang nampak hanya dua
gulungan sinar hitam yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga hitam mengamuk. Pak-san-kui menangkis beberapa
kali sehingga nampak bunga-bunga api berhamburan, dari mulut huncwe dan juga dari pertemuan senjata mereka!
Kembali Pak-san-kui merasa terkejut bukan main. "Tahan...!" serunya dan diapun meloncat ke belakang.
Kim Hong menyilangkan sepasang pedang hitamnya di depan dada sambil memandang dengan senyum mengejek.
"Pak-san-kui, kau hendak bicara apa lagi?" tanyanya, sikapnya yang tadinya menghormat datuk itu kini lenyap,
berubah menjadi sikap dan suara penuh ejekan.
Pak-san-kui mengerutkan alisnya dan memandang tajam, penuh selidik. Dan teriakannya tadi ternyata juga
menghentikan pertandingan antara Thian Sin yang dikeroyok empat. Agaknya puteranya, dan juga tiga orang
muridnya, mengira bahwa teriakan itu ditujukan untuk semua sehingga mereka berempatpun meloncat ke belakang,
dan tentu saja Thian Sin juga menunda gerakannya. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh kakek itu.
"Nona, aku pernah mendengar tentang jarum merah dan Hok-mo Siang-kiam. Ada hubungan apakah engkau dengan
Lam-sin?"
Pertanyaan yang persis sama dengan yang pernah diajukan oleh See-thian-ong kepadanya! Sekali ini Thian Sin diam
saja, dan Kim Hong menjawab seperti ketika ia menjawab See-thian-ong, "Lam-sin sudah tidak ada, yang ada
hanyalah Toan Kim Hong saja!"
"Tapi... tapi... Lam-sin adalah datuk selatan, masih rekan dan segolongan denganku...!"
"Cukup! Kalau engkau takut menghadapiku, katakanlah, tua bangka!" bentak Kim Hong.
Tentu saja bentakan ini membuat Pak-san-kui marah bukan main. Ia tahu bahwa gadis ini ternyata lihai sekali,
dan mungkin sudah mewarisi semua kepandaian datuk yang bernama Lam-sin. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa
dia takut menghadapinya, hanya kalau gadis selihai ini sekarang berpihak kepada Thian Sin, sungguh amat
berbahaya bagi pihaknya. Kini mendengar makian dan bentakan Kim Hong, dia lupa akan semua kekhawatiran itu,
terganti rasa kemarahan besar sekali dan diapun membentak, "Bocah yang bosan hidup!" Dan huncwenya sudah
menyerang lagi.
Kim Hong tersenyum mengejek dan menggerakkan sepasang pedangnya pula. Melihat betapa mereka sudah mulai
bertempur lagi, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong juga segera menyerbu Thian Sin yang menghadapi mereka
sambil tersenyum dan memandang rendah. Akan tetapi pemuda ini tetap membagi perhatiannya kepada Kim Hong karena
dia tidak ingin gadis itu celaka di tangan datuk utara yang lihai itu.
Diam-diam Kim Hong merasa gembira sekali karena semenjak ia meninggalkan Pulau Teratai Merah, berkelana di
dunia kang-ouw sampai mendapatkan julukan Lam-sin, baru beberapa kali saja memperoleh lawan yang cukup tangguh.
Pertama sekali adalah Thian Sin yang telah berhasil mengalahkannya, mengalahkan ilmu silatnya dan juga
menundukkan hatinya, pria pertama yang ia serahi tubuhnya sebagai tanda takluk. Kemudian ia bertemu dengan
See-thian-ong yang merupakan lawan yang tangguh pula. Dan kini, Pak-san-kui juga merupakan lawan yang
menggembirakan karena memang amat lihai. Kim Hong harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, barulah
ia dapat mengimbangi kehebatan kakek itu.
Di lain pihak, Pak-san-kui terkejut bukan main setelah memperoleh kenyataan bahwa dia sungguh-sungguh tidak
dapat mengatasi gadis itu! Jurus apapun yang dikeluarkannya, selalu dapat dibendung oleh gadis itu dan dia
sendiri baru dengan setengah mati dapat menyelamatkan diri dari desakan gadis itu. Apalagi kecepatan dan
keringanan tubuh gadis itu yang membuat dia hampir kewalahan. Benar-benar seorang lawan yang agaknya tidak di
bawah Pendekar Sadis sendiri tingkat kepandaiannya. Mulailah dia merasa khawatir sekali. Kalau gadis ini
membantu Thian Sin, maka pihaknya jelas akan mengalami kerugian hebat.
Setelah membiarkan Kim Hong menghadapi dan "merasakan" kelihaian datuk utara itu selama lima puluh jurus lebih,
tiba-tiba Thian Sin lalu melompat, meninggalkan empat orang pengeroyoknya dan menerjang datuk itu sambil
berkata kepada Kim Hong. "Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!"
Kim Hong tertawa dan gadis inipun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat
itu, Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui
untuk memancing mereka ke tempat itu, maka diapun menjadi marah sekali.
"Perempuan hina, rasakan pembalasanku!" Yang-kimnya menyerang ganas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan
ilmu cakar garuda!
Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yang-kim
dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, iapun mengerahkan semua tenaganya.
"Trakkk!" Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras
itu, yang-kimnya pecah ujungnya terbabat pedang hitam! Dan Kim Hong terus mendesaknya, akan tetapi pada saat
itu Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua
pedangnya dan kembali ia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak
main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat empat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak
hebat. Apalagi Siangkoan Wi Hong sudah mengalami kekagetan karena yang-kimnya patah ujungnya. Sama sekali tidak
pernah disangkanya bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya mesra itu ternyata memiliki
kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiripun tidak mampu mengalahkannya.
Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin melawan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perobahan. Kini Thian
Sin mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan
sinar lampu di depan pondok itu biarpun hanya suram saja masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya
menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang
tebal. Thian Sin terus mendesaknya, dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu
tergetar dan terhuyung ke belakang.
"Tranggggg...!" Kembali kedua senjata itu bertemu dan sekali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu
terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui sudah menggerakkan lengan kirinya yang
dapat memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu telah menangkap kaki
kanan Thian Sin. Pemuda ini memang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik,
tetap saja dia tidak mampu mempertahankan dan diapun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting,
melainkan terpelanting yang telah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah.
"Crokk! Aughhhhh...!" Pak-san-kui meloncat berdiri dan terhuyung ke belakang, akan tetapi lengannya tertinggal
di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku! Akan tetapi, tangan
kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan melepaskan
tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia terus menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah.
"Trang! Tranggg...!" Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin menyimpan
Gin-hwa-kiam dan pada saat kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, kini mempergunakan kedua tangan
kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi
Thian Sin. Pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan tiba-tiba Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng!
"Ahhh...!" Pak-san-kui terkejut sekali. Dia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki ilmu Thi-khi-i-beng yang
mujijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangkanya bahwa pemuda itu akan mempergunakannya pada saat
itu. Kini huncwenya melekat pada tangan pemuda itu dan pada saat dia mengerahkan tenaga sekuatnya untuk
membetot, pemuda itu mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sin-kang yang tersalur lewat tangan
kanannya. Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dan
menghentikan pengerahan sin-kangnya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga
lwee-kangnya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini,
tiba-tiba merenggut lepas huncwenya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui.
"Prakkk!" Huncwe itu remuk, pecah berantakan, tetapi tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah!
Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu dan meloncat mendekati untuk memeriksa apakah lawannya telah
tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat.
"Desss...!" Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat
mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar
saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam. Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya
sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang setelah terlempar tadi.
Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun.
"Cusss...!" Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Disangkanya
bahkan kakek itu mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti
Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak
bernyawa lagi! Kiranya setelah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruknya tadi, kakek itu telah
tewas! Tenaganya yang terakhir dipergunakan dalam tendangan tadi dan setelah dia memeriksanya, ternyata pelipis
kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi.
Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Diapun tidak
membantu, hanya menonton sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia semakin kagum kepada Kim Hong. Empat
orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju
bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri.
Namun, jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu. Dara ini membagi-bagi serangan seenaknya, dan dengan
gin-kangnya yang luar biasa ia seperti beterbangan ke sana ke mari, seperti seekor kupu-kupu lincah beterbangan
di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan
suara berdesing-desing dan yang membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali. Bahkan barisan Sha-kak-tin
itupun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga
karena adanya Siangkoan Wi Hong ikut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh
tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dengan segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan
tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biarpun dasar ilmu silat mereka
dari satu sumber, akan tetapi kehadiran Siangkoan Wi Hong ini tidak memungkinkan lagi mereka memainkan
Sha-kak-tin dengan sempurna. Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan merekapun merupakan hal yang
berbahaya sekali karena lawan mereka sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan
pengeroyokan. Akibatnya malah mereka sendiri yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam!
Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Ia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit
dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi belum
mau merobohkan mereka. Ia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dan setelah melihat
Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah ia tersenyum.
"Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringkan guru kalian ke neraka!" Dan gerakan pedangnyapun
berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali sinar hitam menyambar disusul
robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tak bergerak lagi karena ujung kedua pedang
hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka. Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang marah sekali
menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali sinar hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang
itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus terbabat sinar hitam pedang Hok-mo
Siang-kiam.
Tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan
tetapi dia maklum bahwa dia tidak mungkin dapat melarikan diri lagi maka diapun lalu membuat gerakan tiba-tiba,
menyambitkan yang-kimnya ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun
kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu
nyawa dengan gadis cantik itu!
Akan tetapi, dengan mudah Kim Hong mengelak dari sambaran yang-kim, dan sebelum serangan kedua tangan lawan
dapat menyentuhnya, ia sudah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan,
kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu telah menyambar ke depan dan
telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh
Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang amat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah
mencekik leher! Siangkoan Wi Hong terkejut dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan
belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong memutar kepalanya dan tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa
putaran itu, diputar beberapa kali dengan amat kuat. Tubuh Siangkoan Wi Hong melayang ke arah Thian Sin! Tubuh
itu sudah lemas karena belitan rambut tadi membuatnya tidak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya
dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tidak mampu mengelak lagi.
"Prokk!" Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak oleh tamparan Thian Sin dan
diapun tewas tak jauh dari mayat ayahnya.
Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan.
"Kim Hong..."
"Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita repot juga." Kim Hong memotong kata-kata Thian
Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin. Baru setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah
di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan, mereka berhenti. Pagi itu cerah dan indah
sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti
sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walaupun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis
ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong!
Mereka berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi
dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorangpun manusia lain di sekitarnya.
"Kim Hong," kata Thian Sin yang sejak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dada, karena ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah
hendak mengajaknya berlumba. "Sekarang aku minta penjelasan darimu."
Kim Hong tersenyum, menggunakan saputangan sutera hijau untuk menghapus keringat dari leher dan dahinya,
kemudian ia menggunakan saputangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian umput itu kering, iapun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum.
"Penjelasan apa lagi?" tanyanya sambil mengerling dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu
mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan.
Thian Sin mengerutkan alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya dan dia menjadi tidak sabaran. Diapun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan
rumput-rumput hijau.
"Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa... engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?"
Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang
dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian ia mencabut sebatang rumput dan
menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih seperti deretan mutiara, di antara
bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu.
"Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan
tumpul. Kalau engkau tidak mengerti mengapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tinggal tolol dan aku tidak mau
memberitahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak
menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kausohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan ketika
aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi
Hong. Tentu saja aku mencegahmu. Aku sengaja bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya dan
melihat keadaan mereka amat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau mampu
mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, engkau lari dan diam-diam aku
membayangimu, tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan
pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya dan tiga orang muridnya menyerbu, bukankah hal itu yang
kautunggu-tunggu?"
Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong mengelak.
"Kim Hong, maafkan aku. Kiranya engkau melakukan semua itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku
seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka.
Kaumaafkan aku!"
Bibir bawah yang lunak itu mencibir, "Hemm, untuk kesalahpengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena
memang sebaiknya kalau engkau salah mengerti agar penyelidikanku menjadi sempurna."
"Kim Hong, kalau engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti."
"Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?" Kim Hong mengejek.
"Kim Hong... aku minta kepadamu, jangan kaubiarkan aku dalam kebingungan, jelaskanlah mengapa engkau
meninggalkan aku dan mengapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong."
Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. "Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan
memberitahu, akan tetapi kalau sesudah ini engkau tidak minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi
bertemu muka denganmu lagi! Dengarlah baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau telah meremehkan perasaanku
dengan mencium So Cian Ling di depan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku
membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan pria lain, tidak peduli siapapun pria itu? Karena aku sengaja
melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu engkau membayangi kami dan aku ingin engkau melihatnya!
Nah, aku sudah memberi penjelasan!" Kim Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu.
Thian Sin menjadi bengong sejenak, kemudian melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia
bahwa Kim Hong menangis, walaupun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka diapun lalu menubruk kedua kaki
gadis itu dan dengan penuh penyesalan diapun berkata, "Kim Hong, kauampunkanlah aku, Kim Hong."
Sikap dan ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan
kini ia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan.
"Kim Hong, aku mengaku salah... aku... tidak sengaja, melihat ia menghadapi kematian, aku terharu dan... ah,
ampunkan aku, Kim Hong, aku... cinta padamu."
Akan tetapi walaupun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di depannya, Kim Hong tidak menjawab dan
hanya menangis dan menutupi mukanya dengan saputangan.
"Kim Hong, maukah engkau mengampuniku?" Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang.
Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, "Kalau aku tidak sudah mengampunimu sejak tadi, tentu aku sudah
membantu mereka mengeroyokmu dan apa kaukira saat ini kau masih dapat hidup?"
Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang diapun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis
itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia takkan mungkin dapat menang.
Menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong maka
kalau Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah. Apalagi di situ masih ada
Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu dia telah
dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapapun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri
dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya.
"Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh aku yang tolol, dan aku amat cinta padamu. Kim Hong, apakah
engkau juga cinta kepadaku?"
Kim Hong menjatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. "Tolol, kalau aku tidak cinta padamu, apa
kaukira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya
bagiku untuk membunuh diri?"
"Kim Hong..."
Mereka berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka
mencurahkan semua kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi
rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi
itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya
bermain cinta, saling mencurahkan cinta berahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas.
Sanggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tidak
terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang
terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang suci, karena di dalamnya terkandung kemujijatan besar, yaitu perkembangbiakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya.
Sungguh sayang bahwa sejak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan,
sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada
calon-calon manusia yang pada waktunya tidak akan terbebas daripada perbuatan itu pula.
Sementara bahkan ada pandangan orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti,
bahwa sanggama adalah suatu hal yang "kotor" untuk dibicarakan. Mengapakah kita tidak berani mengungkap
peristiwa ini, perbuatan ini, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila
kalau membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di situlah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang
membuat kita tidak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si "aku"?
Ataukah karena begitu saratnya kata sanggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas
maka kata itu, penggambaran tentang itu dianggap tidak layak dikemukakan kepada kita yang "berbudaya", yang
"sopan" yang "bersusila"? Mengapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walaupun
tidak seorangpun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi melakukannya, walaupun
dengan sembunyi-sembunyi, tidak. Bukankah ini munafik namanya?
Memang, seperti juga orang makan, kalau sanggama dilakukan orang hanya untuk sekedar mengejar kesenangan
belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam
perutnya melalui mulut, kalau hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin "makan" lalu
menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit. Demikian pula dengan sanggama,
kalau dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu berahi semata dan hal ini
menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau
sanggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan sanggama
merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa
sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung.
Perbuatan apapun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali sanggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta
kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua
orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, tidak terdapat sedikitpun kekerasan,
di situ yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan. Saling membahagiakan! Inilah sanggama
yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak.
Bahkan kenikmatan itu datang karena membahagiakan partnernya. Inilah sanggama yang benar karena cinta kasih
tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini
dilupakan orang.
Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa sanggama hanyalah suci dan bersih apabila dilakukan orang atas dasar
cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor.
Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan adalah sesuatu yang kotor karena di situ terkandung kekerasan
dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, perlulah bagi anak-anak kita untuk
semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa sanggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang
laki-laki dan wanita yang saling mencinta. Saling mencinta! Dan bukan hanya saling tertarik oleh keadaan
lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Perlu
anak-anak kita mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemujijatan terciptanya
manusia baru dan sumber perkembangbiakan manusia.
Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih penutup kemunafikannya. Semacam keranjang
sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran sendiri yang masih mengeram di dalam
batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata maupun perbuatan, melainkan di dalam
lubuk hati. Cabulkah orang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar
lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang ternyata di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya
membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang?
Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya kalau di waktu menonton dia
menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi
dan memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apapun. Kecabulan
timbul dari pikiran. Pikiran yang mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri
maupun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita, pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan
itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu berahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu berahi tanpa cinta
kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi
mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si "aku" yang selalu
ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah
sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.
Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari
dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya.
Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang
melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang
menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan seperti itu,
keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi dan membuat sex menjadi sesuatu yang teramat
penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi suatu
kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lalu menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat
buruk.
Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan,
dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walaupun tidak ada ikatan
lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri.
***
"Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?" Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena
betapapun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan
di hatinya. "Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
"Ibu, apakah ibu hendak menonjolkan kedudukan di sini?" puteranya membantah. Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walaupun dia mewarisi kekerasan hati ibunya.
"Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa
ayahmu seorang pendekar besar. Ibumupun sejak muda adalah seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian
seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To
itu! Engkau tentu sudah mendengar perkumpulan macam apa yang disebut Mo-kiam-pang yang diketuai dan didirikan
oleh Tung-hai-sian itu, menguasai seluruh dunia perbajakan."
"Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin agar menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan
Nona Bin Biauw!" Pemuda itu bicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya dan sadar
bahwa dia bicara terlalu keras kepada ibunya, maka disambungnya dengan suara halus, "Ibu, aku tahu bahwa
Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi ketika aku menjadi
tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan seorang yang berhati
jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai
seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?"
"Betapapun juga, orang tua dan keluarga tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang,
tidak menentang, hanya minta kebijaksanaanmu."
Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia menarik napas
panjang dan berkata, "Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari oleh perhitungan-perhitungan yang
kesemuanya mengandung kebenaran, akan tetapi betapapun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain dan
terjadilah perselisihan dan kalau sudah begitu, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapapun
tepat semua pendirianmu tadi, namun kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang
sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampurtanganan orang lain, biar orang tua
sendiri sekalipun, biasanya tidak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap
kauingat akan hal ini."
Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itupun
mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua
selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya? Ia tahu benar
akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya ia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang telah jatuh cinta kepada
puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi ia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan betapa sukarnya menerima kenyataan
yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi
kebenarannya itu, ia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah. Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan
kepada isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin
sekali melihat puteranya berjodoh dengan seorang dara yang memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu.
kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat."
Mendengar ini, Yap In Hong mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang
kepada puteranya sambil memaksa senyum penuh harapan. "Itulah harapanku dan agaknya anak kita tidak akan
memilih dengan membabi buta."
Kong Liang maklum benar apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi dalam perasaan ibunya.
Maka diapun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih. "Percayalah, ibu, aku selama ini
banyak bertemu dengan wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Ia
selain cantik jelita, juga amat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan
gerak-geriknya, pakaiannya, amat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walaupun ia anak orang
kaya."
Ibunya tersenyum. "Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Ayahmu dulupun menganggap ibumu ini sebagai wanita paling
cantik di dunia!"
"Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!" Kong Liang berseru. "Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!"
Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini tersenyum dan berkata, "Tentu saja, karena
aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!" Mereka bertiga
tertawa-tawa gembira dan suasana menjadi tenang dan akrab kembali.
Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka melihat kenyataan betapa
putera mereka memang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. "Akan tetapi, sebaiknya kalau
kita mengirim utusan saja," kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. "Biarpun engkau telah merasa yakin bahwa
keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu berdasarkan dugaan saja.
Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu telah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat
ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan
ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andaikata gagal sekalipun tidak langsung membikin malu."
Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan
terpukul rasa hati orang tuanya apabila melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian kemudian
pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya.
Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi
Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat gembira dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin
Mo To. Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu Bin Mo
To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Juga dia mengirim
undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan.
Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. "Kong Liang,
pernikahan bukanlah hal yang remeh dan patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan
penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau telah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus
kauakui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih amat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua
sendiri, seyogyanya kalau pernikahan ditunda dulu beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan
juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum
menikah, masih belum terlambat untuk mengubah jika terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki."
Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou
memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena
dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja dalam kesempatan ini dia
yang merasa bangga sekali itu memperoleh kesempatan untuk menikmati kebanggaannya.
Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh amat meriah.
Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggauta Mo-kiam-pang
(Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali. Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru, diterima oleh
murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo
To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah lebih dulu datang dan terjadi pertemuan ramah tamah di dalam
gedung, di mana keluarga Cia disambut penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan.
Tung-hai-sian Bin Mo To merasa amat berbahagia dan bangga. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang
Jepang, biarpun keturunan samurai sekalipun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu
dianggap rendah oleh orang Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa
bajak dan perampok! Dan betapapun juga, tidak dapat diingkari bahwa dia merupakan seorang datuk golongan hitam,
seorang tokoh besar di antara dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar.
Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang disegani.
Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengah putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan
penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw
dan para pendekar. Karena itu, biarpun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan
pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim
undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw
atau kaum pendekar, dikirimi undangan.
Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aselinya
Minamoto itu dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan amat luas
itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, penuh dengan
para tamu. Minuman berlimpahan disuguhkan berikut kuih-kuih ringan sebelum hidangan dikeluarkan dan tempat itu
amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu
ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik. Semua wajah nampak
gembira seperti biasa nampak dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang
memasuki perut dan mendapat kesempatan bertemu dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk semeja.
Kelompok memilih kelompok dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya
sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik.
Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat
kehormatan di atas panggung, mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Untuk keperluan ini, Bin Mo To
tidak melupakan asal-usulnya dan dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit
berhak tinggi dan tebal. Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan
tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan
berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap
itu berlenggang seperti langkah seekor harimau.
Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin
Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang
lain sibuk di dapur, kemudian merekapun muncul di pinggiran. Bagaimanapun juga, Bin Mo To merasa sungkan untuk
menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahun, juga
seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, merupakan seorang
wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dengan pakaian yang khas Korea masih nampak cantik.
Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena
perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka iapun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita
bangsa Han, walaupun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa
Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah. Untung bahwa dara
ini memiliki bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biarpun ia menjadi tokoh
utama dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, namun pakaiannya yang indah itu tidak terlalu
menyolok, bahkan mukanya tidak dibedak terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang
tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam
pertemuannya dengan calon mantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiripun merasa puas.
Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, menjadi pusat perhatian
orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak
gagah dan jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak
berwibawa walaupun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata.
Akan tetapi pedang Hong-cu-kiam pada saat itu menjadi sabuk atau ikat pinggangnya. Isterinya, Yap In Hong, yang
usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih nampak gesit
dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam.
Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang
pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini
mempunyai sikap yang agak tinggi hati. Betapapun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang tampan
dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai.
Tempat pesta sudah penuh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat,
sesuai dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai
persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia
persilatan. Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana
berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu murid-murid atau anggauta-anggauta dari
berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di
sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal.
Ketika Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu dia berjalan
ke tepi panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisikpun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang
bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas
memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah
kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku
dengan lidah asingnya itu.
"Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi
undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti
cu-wi telah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang
dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw
dan isterinya."
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia
membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian.
Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya.
"Bagi kami, ikatan perjodohan ini merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Dan untuk
menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kamipun tahu diri dan berusaha untuk
menyesuaikan diri. Kami hendak mencuci tangan membersihkan diri agar tidak sampai menodai nama mantu dan besan
kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi
ini!" Si Pendek ini lalu mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya.
Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggauta dari Mo-kiam-pang, bergerak maju, memberi
hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama
yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya. Ketika delapan orang
itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan
pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Papan nama itu tentu saja
terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian.
Sejenak, kakek ini memandang papan nama itu dengan muka agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang,
kemudian dia menarik napas panjang dan begitu tangannya bergerak, nampak bayangan samurai berkelebat disusul
bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu
yang tak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah
kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkata, "Mulai saat ini, Mo-kiam-pang
telah tidak ada lagi. Para bekas anggauta Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau
tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami."
Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan
membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah
pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan dan perlindungan Mo-kiam-pang! Sungguh
merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat maupun kaum pendekar.
Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya dan
suaranya mengatasi semua kegaduhan, "Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!"
Semua drang memandang dan suasana menjadi sunyi. "Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya
Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, tidak ada sebutan Datuk Dunia
Timur! Mulal saat ini, saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya mencuci tangan
dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!"
Pengumuman ini sungguh mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana
mungkin meninggalkan julukan dan nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar
mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya. Mereka
akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka menjadi lemah. Apalagi tiga orang datuk lain
telah tumbang, Lam-sin tidak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak.
See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya
berdiri di pihak para pendekar karena memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya malah
melebihi kekejaman golongan sesat yang manapun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan
kini datuk inipun mengundurkan diri.
Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di situ bangkit berdiri dan berseru, "Locianpwe
Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?"
Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan
bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong
dan Pak-san-kui, dengan murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, dan Lam-sin dikabarkan lenyap tak
meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul di selatan pula. Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang
memusuhi para datuk, maka tentu saja semua orang dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan
muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa
ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan dan semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum
mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya berubah merah karena pertanyaan yang
sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu.
"Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang mengajukan pertanyaan kepada kami," kata datuk itu sambil tersenyum
penuh kesabaran, walaupun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya,
orang telah berani memandang rendah kepadanya seperti itu!
"Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa
pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang."
Bagaimanapun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena merekapun rata-rata merasa tidak puas dan ingin
sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya dan melepaskan julukan semudah
itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan
julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah.
"Telah kunyatakan tadi bahwa setelah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami
menyadari sepenuhnya bahwa kami tidak mungkin lagi melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimanapun juga, kami
harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan
mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar
kepada siapapun juga."
"Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!"
Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang dan semua mata memandang ke arah wanita yang berani
bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang bicara itu hanyalah seorang
dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang
yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh
kecantikannya. Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya
dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya nampak
putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu
senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang ramping itu.
Sikapnya gagah dan sedikitpun ia tidak nampak malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandang mata para
tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya.
Tung-hai-sian Bin Mo To memandang kepada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tidak merasa mengenal
gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah seorang
di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak
pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan
kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam. Akan tetapi karena yang memakinya bohong dan penakut hanya
seorang gadis muda remaja, tentu saja sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, Bin Mo To terpaksa
menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum dan berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang.
"Agaknya nona hendak mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan
para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona." Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan
dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis
itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali.
Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali dan tubuhnya sudah
melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena ia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah
meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal
oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu gin-kang yang amat tinggi.
Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Gin-kang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang
tingkatnya sudah tinggi. Maka, diapun tidak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat.
"Kiranya nona adalah seorang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau kami sebagai tuan rumah yang
sudah tua tidak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan
diri dan mengeluarkan isi hati nona."
"Aku bernama Toan Kim Hong. Kenapa aku tadi mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang
agaknya dia sengaja hendak menghindari Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu untuk
menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong
datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk
menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah
ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjadi seorang penakut?"
Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera
ketua Cin-ling-pai tentu dia sudah mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti
itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah
orang yang kini kedudukannya hanya sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan
kekerasan? Apa artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau
dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Maka, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa
sebuah senyum pahit.
"Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku
masih menjadi Tung-hai-sian sekalipun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab yang jelas,
apalagi sekarang setelah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa."
Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya.
Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong
di bagian tamu umum. Ketika Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan
puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa
ketua Cin-ling-pai dan isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud
melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada saat itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak
mempedulikan semua itu, sudah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian sehingga Thian Sin terpaksa hanya
menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah.
"Tung-hai-sian! Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama
Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, kalau engkau tidak berani,
katakan saja, bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini membawa
kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!"
Wajah Bin Mo To menjadi pucat dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring. "Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?" Dan nampak sinar pedang
berkelebat ketika Bin Biauw sudah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah
lehernya. Akan tetapi, ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itut menahan serangan puterinya.
"Anakku, hari ini adalah hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah
kembali, Biauw-ji," kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang.
"Hemm, anaknya jauh lebih gagah daripada ayahnya!" Kim Hong sengaja mengejek dan ia memang merasa kagum melihat
kecantikan Bin Biauw tadi.
Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan
tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang
berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa.
"Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!"
Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tidak
gentar menghadapi wanita itu walaupun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya agak tidak enak. Akan
tetapi dengan munculnya mantunya yang dia tahu amat lihai, apalagi di situ hadir pula besannya, yaitu ketua
Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar dan diapun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, "Harap engkau
berhati-hati." Lalu diapun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka.
Kini Cia Kong Liang berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda yang gagah perkasa dan ganteng
ini. Kim Hong memandang pemuda itu dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis iapun
berkata, "Ah, kiranya inikah yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo To dan putera ketua Cin-ling-pai? Hebat!
Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih mantu!" katanya dan semua orang yang mendengar menjadi semakin
heran. Gadis itu bicara tentang Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang
setingkat dengan dirinya saja.
Cia Kong Liang tidak mau banyak bicara dengan wanita cantik itu. "Engkat tadi mengatakan bahwa Pendekar Sadis
sudah muncul untuk mengacau di sini. Nah, akulah lawannya karena aku mewakili tuan rumah Locianpwe Bin Mo To
untuk menghadapi Pendekar Sadis. Sudah lama aku mendengar tentang kekejamannya dan hari ini aku ingin sekali

Anda sedang membaca artikel tentang Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 4 dan anda bisa menemukan artikel Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/kho-ping-hoo-pendekar-sadis-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/kho-ping-hoo-pendekar-sadis-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar