Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 11 Mei 2012

Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 4
"Engkau manusia tak tahu malu!" Hui Lian mendesis dalam bahasa Han, tidak keras hanya cukup terdengar oleh Hay Hay saja ketika, mereka saling serang dan belum juga berhasil menodai baju masing-masing kecuali huruf-huruf tadi. "Aku tidak percaya engkau benar-benar mau menjadi mantu kepala suku dan kawin dengan gadis Miao itu!"

Tentu saja Hay Hay merasa heran mendengar ucapan itu. "Gila." dia pun berbisik. "Siapa mau menjadi mantu kepala suku?"


"Engkau tergila-gila kepada gadis suku Miao itu, tadi engkau mengajaknya senyum dan memui ia manis!"


"Memang ia manis, apa salahnya aku memuji? Akan tetapi aku tidak tergila-gila!"


"Engkau tolol, kamu tidak tergila-gila, mengapa ikut sayembara ini?" Kini Hui Lian menduga bahwa pemuda ini mengikuti sayembara hanya karena iseng saja, mungkin tidak tahu apa artinya sayembara ini karena dia tidak paham bahasa Miao.


"Aku ikut karena tertarik, apa salahnya?" Hay Hay tersenyum. "Aku hanya hendak mengurangi kesombonganmu melagak dan memamerkan kepandaian!"


"Aih, engkau lancang mulut! Apa engkau tidak tahu, sayembara ini diadakan untuk memperebutkan gadis anak kepala suku! Pemenangnya yang akan menjadi suaminya."

Hay Hay terkejut sekali dan dia menengok ke arah kiri di mana duduk gadis Miao itu di
samping ayah dan ibunya. Gadis beranting-anting besar itu memandang kepadanya dan tersenyum. Karena menoleh, Hay Hay menjadi lengah dan Hui Lian berhasil membuat coretan pada bajunya. Hay Hay meloncat ke belakang.


"Apa? Gadis beranting-anting besar itu? Jadi …. jadi isteri pemenang…?”



"Benar, tolol! Dan kau tidak tahu tentang itu, ya? Ikut sayembara hanya untuk iseng saja?" Hui Lian menyerang lagi dan ia terkejut karena kini mudah saja baginya untuk mencoretkan mouw-pitnya kepada pakaian lawan.


"Wah, kalau begitu biar aku kalah saja. Ambillah perempuan itu untukmu, sobat!" Dan kini sambil bersilat, Hay Hay melakukan gerakan yang amat cepat dengan mouw-pitnya, akan tetapi bukan pakaian lawan yang menjadi sasarannya, melainkan pakaiannya sendiri! Bahkan saking gemasnya kepada diri sendiri yang hampir saja celaka karena kalau menang dia harus menjadi suami gadis Miao itu, dia mencoret-coretkan mouw-pitnya pada mukanya pula! Saking cepat gerakannya, para penonton tidak ada yang tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu mencoretl pakaian dan mukanya sendiri. Hanya Hui Lian yang tahu dan diam-diam ia tertawa. Pemuda ini betapapun juga bukan orang jahat dan bukan mata keranjang, bahkan lucu sekali! Setelah hio yang membara itu padam, pengatur pertandingan memberi tanda agar mereka berhenti bertanding dan tanpa dihitung lagi, mudah saja diketahui bahwa Hay Hay telah kalah! Bajunya penuh coretan, bahkan leher dan mukanya juga berlepotan bak hitam! Sorak-sorai menyambut kemenangan Hui Lian, dan mereka yang tadi bertaruh menjagoi Hay Hay, terpaksa membayar kekalahan sambil mengomel panjang pendek.


Sebagai pemenang, Hui Lian dihadapkan kepala suku. Kepala suku mencabut golok dari pinggangnya, memberikannya kepada puterinya. Nian Ci, gadis kepala suku itu, membawa golok dan melepaskan pula kalungnya, hendak dikalungkan ke leher Hui Lian dan menyerahkan golok sebagai tanda bahwa "pemuda" itu diterima menjadi mantu ayahnya. Akan tetapi, Hui Lian melangkah mundur dan dengan tangan memberi isyarat penolakan. Melihat ini, kepala suku terbelalak dan para penonton menjadi gaduh. Pemenang menolak menjadi suami Nian Ci! Apa pula ini?


"Orang muda!" Kepala suku membentak dengan suara marah karena hatinya penasaran. "Kenapa engkau menolak? Engkau adalah pemenang sayembara dan berhak menjadi mantuku!"


"Aku mengikuti sayembara bukan untuk diri sendiri, akan tetapi mewakili dia!" Dan ia menuding ke arah Kiao Yi yang berada di bawah panggung. Digapainya Kiao Yi dan disuruhnya naik ke panggung. Kiao Yi yang masih lemah tubuhnya itu naik dan menjatuhkan diri berlutut di depan kepala suku.


"Kiao Yi ….!" Nian Ci berseru, pemuda itu membalas pandangan kekasihnya dan mengangguk tersenyum. Semua orang mendengar ini merasa penasaran dan mulailah mereka berteriak-teriak. Mereka adalah suku bangsa yang menjunjung kegagahan dan kejujuran. Mereka tidak setuju kalau kini hadiah puteri kepala suku itu diberikah kepada Kiao Yi yang dianggap tidak berhak karena yang memenangkan sayembara adalah pemuda berpakaian putih itu.


Hay Hay juga merasa penasaran. "Heii, sobat!" teriaknya dari bawah panggung. "Apa-apaan itu? Engkau menang dan engkau berhak mengawini gadis itu, kenapa menolak? Ia cantik jelita dan manis, pantas menjadi teman hidupmu selamanya. Ha-ha-ha! Bukankah engkau sudah menang?" Hay Hay mentertawakan Hui Lian.


Kepala suku Miao itu kini memandang kepada Kiao Yi dengan mata terbelalak. Dia suka kepada Kiao Yi dan tahu bahwa antara puterinya dan pemuda ini sudah lama terjalin clnta saling suka. Akan tetapi dia harus mempertahankan kewibawaan dan kegagahannya sebagai kepala suku.


“Kiao Yi, apa artinya ini? Kenapa engkau lancang berani maju hendak menerima hadiah dari pemenang, padahal pemenangnya orang lain?"


Kiao Yi menjawab dengan lantang, terdengar oleh semua orang. "Harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya sendiri yang akan maju memasuki sayembara. Akan tetapi saya keracunan dan jatuh sakit, hampir mati kalau tidak ditolong oleh... pendekar itu. Melihat saya diracun orang yang agaknya hendak menghalangi saya ikut sayembara, dan mendengar bahwa antara saya dan Nian Ci sudah saling cocok untuk menjadi suami isteri, Tuan pendekar ini lalu mewakili saya dalam pertandingan sayembara ini."



Kini para penonton kembali terpecah dua, ada yang pro dan ada pula yang kontra sehingga keadaan di situ menjadi gaduh dan bising sekali karena mereka saling berbantahan sendiri, ada yang setuju kalau puteri kepala suku menikah dengan Kiao Yi yang sudah dikenal sebagai pemuda suku sendiri yang cukup gagah perkasa. Ada yang mempertahankan agar puteri kepala suku dikawinkan dengan pemuda pakaian putih sebagai pemenang sayembara.


Selagi keadaan menjadi tegang, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan ketakutan dan orang-orang Miao berlarian, dikejar oleh orang-orang yang keadaannya amat mengejutkan karena mereka itu adalah orang-orang yang berwajah dan bersikap menyeramkan. Apalagi ketika nampak beberapa orang Miao telah roboh mandi darah, diserang oleh beberapa orang itu. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerbu perkampungan itu.


Hui Lian sudah meloncat turun dari atas panggung. Ia tadi menengok dan melihat bahwa di antara para penyerbu terdapat dua pasang suami isteri yang pernah dilawannya ketika mereka hendak merampas domba-domba yang digembala seorang anak Miao di hari kemarin. Ia tahu betapa lihainya mereka, dan kini mereka berempat datang bersama belasan orang lain, yang keadaannya juga aneh aneh dan menunjukkan bahwa mereka adalah kaum sesat yang berilmu tinggi.


Hay Hay juga terkejut, bukan saja melihat dua pasang suami isteri itu, melainkan karena di antara para penyerbu itu dia mengenal pula Ji Sun Bi yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) yang cantik dan cabul itu bersama gurunya. Min-san Mo-ko yang lebih lihai lagi. Melihat kedua orang ini, Hay Hay mengerutkan alisnya dan teringatlah dia kembali akan pengalamannya ketika dia terjatuh ke tangan dua iblis itu. Untunglah bahwa dia dapat lolos dari tangan dua orang manusia keji ini, ditolong oleh mendiang Pek Mau Sanjin yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadanya.


Bagaimanakah dua pasang suami isteri iblis itu kini dapat bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, murid dari mendiang See Kwi Ong, seorang di antara Empat Setan? Seperti kita ketahui, suami isteri Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, setelah tadinya bermusuhan karena memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) keluarga Pek dan sama-sama gagal, mereka bahkan dapat bersekutu. Ketika secara berkelompok mereka bertemu pula dengan Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong yang sudah bergabung pula dengan Min-san Mo-ko yang setingkat dua pasang suami isteri ini lalu menggabungkan diri pula.


Ketika itu, golongan hitam yang mulai menghimpun kekuatan ini mendengar bahwa Jaksa Tinggi Kwan Sin bersama keluarganya sedang mengadakan liburan ke Telaga Tung-ting. Jaksa Tinggi ini terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang pembesar yang menghadapi dunia kejahatan dengan tangan besi. Banyak sudah tokoh-tokoh kaum sesat yang menjalani hukuman berat melalui Kwan-taijin ini. Maka dia pun dianggap sebagai tokoh umum oleh kaum sesat. Banyak orang dari dunia hitam menginginkan nyawanya, bukan saja karena membencinya sebagai seorang pejabat yang bertangan besi terhadap penjahat, juga terutama sekali karena pembesar itu terkenal memiliki mustika yang amat langka. Benda mustika itu merupakan sebuah giok (batu kemala) yang sudah ribuan tahun umurnya, berwarna belang merah hijau dan mempunyai khasiat menyembuhkan segala macam luka beracun, dapat menyedot racun dari dalam tubuh dan juga kalau air rendaman batu kemala ini diminum selama beberapa hari berturut-turut, maka akan menjadi obat kuat pembersih darah. Batu giok ini selalu tergantung di dada pembesar itu sebagai mainan seuntai kalung, tersembunyi di balik jubahnya.


Berita tentang Kwan-taijin inilah yang membuat kawanan sesat itu kini menuju ke Telaga Tung-ting. Dua pasang suami isteri iblis itu sering kali memisahkan diri dari gerombolan mereka dan kemarin mereka gagal merampas domba. Hari ini, dengan teman-teman mereka segerombolan, mereka menyerbu perkampungan suku Miao yang sedang mengadakan pesta itu.


Ketika Hui Lian berloncatan menyambut serbuan gerombolan penjahat, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan yang berdekatan dengan Min-san Mo-ko cepat berkata, "Itulah pemuda yang amat lihai itu." Mereka sudah menceritakan kepada rekan yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka itu tentang kegagalan mereka merampas domba ketika bertemu dengan pemuda berpakaian putih itu.


Ji Sun Bi yang mata keranjang, begitu melihat Hui Lian, segera jatuh hati. Tak disangkanya bahwa pemuda yang kabarnya telah mengalahkan pengeroyokan dua pasang suami isteri itu adalah seorang yang demikian tampan. Maka ia pun cepat meloncat ke depan menyambut Hui Lian dengan senyum memikat. Karena sudah mendengar betapa lihainya pemuda pakaian putih itu, Ji Sun Bi yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan memegang di kedua tangan.


"Orang muda yang ganteng, engkau ikutlah saja dengan kami, menjadi sahabat baikku dan kita hidup bersenang-senang!” katanya sambil melepas senyum manis dan lirikan mata memikat.


Melihat sikap wanita yang cantik dan genit itu, Hul Lian mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa ia berhadapan denganseorang wanita cabul dan mata keranjang, maka ia pun membentak marah.


“Perempuan tak tahu malu, jangan mencoba untuk membujukku!"


Ji Sun Bi adalah orang yang selalu berpendapat bahwa jlka sesuatu yang dikehendaki itu tidak akan berhasil dimilikinya, maka sesuatu itu harus dihancurkan! Karena itu, melihat sikap pemuda berpakaian putih yang memakinya, rasa sukanya segera berubah dan membalik menjadi kebencian.


"Kalau begitu, mampuslah!" bentaknya dan sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat ke arah Hui Lian. Melihat betapa serangan wanita itu ternyata cukup dahsyat dan berbahaya, Hui Lian maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan tangguh, maka ia meloncat ke belakang menghindar sambil menggerakkan tangannya dan tiba-tiba nampak sinar putih kemerahan berkelebat ketika ia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan. Itulah Kiok-hwa-kiam, pedang yang ia temukan bersama suhengnya di dalam guha berikut kitab peninggalan In Liong Nio-nio dan Sin-eng-cu The Kok, dua orang di antara delapan tokoh yang dahulu dikenal dengan sebutan Delapan Dewa.



Ji Sun Bi yang sudah marah, melanjutkan serangannya dan kini dua gulungan sinar pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam.


"Cring-tranggg …..!!”


Ji Sun Bi menahan teriakannya dan terkejut bukan main karena dalam pertemuan pedang itu ia merasa betapa sepasang tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga lawannya memang amat kuat. Ia pun berhati-hati dan kembali menggerakkan sepasang pedangnya menyerang dengan dahsyat. Hui Lian menyambutnya dengan gerakan tenang saja, akan tetapi dalam gebrakan-gebrakan berikutnya, pedangnya menekan sepasang pedang lawan dan ia pun sudah mendesak hebat!


Melihat ini, Min-san Mo-ko melangkah maju. "Sun Bi, minggirlah'" bentaknya dan ketika muridnya meloncat ke belakang, dia melangkah maju lagi menghadapi Hui Lian. Gadis ini memandang tajam lawan barunya yang bertubuh kurus bermuka pucat itu, akan tetapi melihat betapa sepasang mata kakek ini mencorong seperti mata harimau, ia bersikap hati-hati.


Dengan suara melengking tinggi, Min-san Mo-ko menudingkan telunjuknya ke arah Hui Lian sambil memandang dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!"


Hui Lian terkejut bukan main karena suara itu seperti menembus otaknya dan menusuk ke arah jantungnya, menguasai dirinya sehingga tak dapat ditahannya lagi pedang ditangannya dilepaskan, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi, ia masih bertahan dan tidak menjatuhkan diri berlutut. Melihat ini, Min-san Mo-ko mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lagi suaranya makin tinggi melengking.


"Orang muda, engkau tak dapat menahan lagi, harus berlutut di depan1ku!" Tangan kanannya bergerak-gerak ke arah Hui Lian. Kembali Hui Lian merasa seolah-olah dirinya dipaksa untuk berlutut dan walaupun hatinya menolak, namun kedua kakinya sudah gemetar dan hampir saja ia menjatuhkan diri berlutut. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan anehnya, suara ketawa ini membuyarkan kekuatan hebat yang memaksanya harus berlutut tadi.


“Ha-ha-ha, Toako yang berpakaian putih, jangan dengarkan omongan dukun cabul itu. Omongannya tidak ada arti dan gunanya sama sekali, lebih busuk dari kentut perut kotor!"

Ucapan ini membuyarkan sama sekali pengaruh yang menguasai diri Hui Lian sehingga ia terkejut sendiri melihat pedang Kiok-hwa-kiam di dekat kakinya. Cepat ia membungkuk dan mengambil kembali pedangnya. Ia menoleh dan melihat bahwa yang muncul adalah pemuda bercaping itu. Mukanya berubah merah karena tadi ia memperlihatkan kelemahannya terhadap lawan dan baru sekarang ia sadar bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh sihir. Kalau tahu begitu, dengan pengerahan sinkang dan khikang, ia tentu akan mampu mempertahankan dirinya!


"Terima kasih." katanya kepada Hay Hay.


"Lebih baik engkau bantu orang-orang Miao itu, Toako dan biarlah aku yang menghadapi Si Dukun Cabul ini!" kata Hay Hay.


Hui Lian melihat betapa dua pasang suami isteri yang pernah dikalahkannya kemarin, bersama teman-teman mereka, kini mulai menyerbu dan terjadi pertempuran antara mereka dengan orang-orang Miao Yang tentu saja tidak mampu menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi itu. Beberapa orang Miao telah roboh menjadi korban keganasan gerombolan itu. Melihat ini dengan pedang di tangan Hui Lian lalu berlari dan menerjang ke arah para penyerbu, pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung.


Sementara itu, sambil tersenyum lebar Hay Hay menghadapi Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko. Ji Sun Bi segera mengenalnya dan giranglah hati wanita ini melihat pemuda yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Teringat ia betapa bagaikan segumpal daging di mulut harimau, pemuda ini sudah berada dalam cengkeramannya dan tentu telah dimilikinya kalau tidak muncul kakek aneh yang merebut pemuda ini darinya.

"Hay Hay ! Engkau datang mencariku, sayang?" tegur Sun Bi sambil tersenyum manis dan menghampiri, akan tetapi berhati-hati karena ia sudah mengenal kelihaian Hay Hay.

Hay Hay juga tetap tersenyum memandang wanita yang merupakan orang pertama yang mengajarkan bercumbu itu, wanita cantik menarik yang kemudian menjadi musuhnya karena hendak memaksakan kehendaknya yang tidak baik, wanita cabul!

"Ji Sun Bi, kita berjumpa lagi! Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memaksakan keinginanmu yang kotor dengan bantuan dukun cabul ini!" Dia menuding ke arah Min-san Mo-ko.


Tentu saja Min-san Mo-ko menjadi marah mendengar dua kali dia dimaki dukun cabul oleh Hay Hay. Tadi ketika Hay Hay muncul, dia tidak mengenal pemuda ini dan baru dia teringat ketika Ji Sun Bi saling tegur dengan pemuda itu. Teringatlah dia bahwa pemuda ini yang pernah dljatuhkannya dengan sihir dan sebelum dibunuh hendak dipermainkan dulu oleh Sun Bi, akan tetapi kemudian muncul Pek Mau San-jin yang kuat sekali ilmu sihirnya sehingga pemuda itu dapat lolos.


"Bagus! Dahulu engkau kebetulan saja dapat melepaskan diri, sekarang jangan harap lagi, orang muda!" Kakek itu lalu menggosok kedua telapak tangannya, mulutnya berkemak-kemik, matanya mencorong menatap wajah Hay Hay, kemudian dia mengembangkan kedua lengannya dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan terdengar suaranya melengking tinggi.


"Orang muda, tidurlah engkau! Tidurlah, karena engkau merasa lelah dan mengantuk sekali!" Suaranya bergema mengerikan dan mempunyai pengaruh amat kuat



Hay Hay tentu saja sudah bersiap siaga menghadapi ilmu sihir kakek itu. Dia mengerahkan tenaga batinnya, menangkis bahkan melontarkan kekuatan yang menyerangnya itu kembali kepada Si Penyerang, ditambah lagi oleh kekuatan sendiri yang bergelombang amat kuatnya. "Bagus, kakek kurus, bagus sekali, tidurlah engkau!"


Min-san Mo-ko sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda di depannya itu sama sekali berbeda dengan pemuda yang pernah dirobohkannya dengan sihir! Kini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang hebat, jauh lebih kuat daripada ilmu sihirnya sendiri. Dia tidak tahu betapa kekuatan sihirnya tadi ditangkis dan dikembalikan oleh Hay Hay kepadanya, bahkan ditambah oleh kekuatan pemuda itu sendiri. Tahu-tahu dia merasa mengantuk bukan main, menguap dan tubuhnya terkulai, terus rebah di atas tanah tidur mendengkur!


Melihat keadaan gurunya yang juga menjadi kekasihnya, terkejutlah Ji Sun Bi. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Biasanya, gurunya amat lihai dalam ilmu sihir dan sekali memerintah orang, tentu akan berhasil. Kini gurunya memerintah Hay Hay untuk tidur, akan tetapi mengapa hasilnya bahkan gurunya sendiri yang tidur mendengkur? Ia pun menubruk dan mengguncang pundak Min-san Mo-ko, mengerahkan sin-kang dan berseru, "Suhu, bangunlah! Bangunlah!"


Sebagai seorang ahli sihir yang berpengalaman, tentu saja Min-san Mo-ko menyadari bahwa dia telah terpukul oleh serangannya sendiri namun tadi terlambat dia menyadari hal ini sehingga dia keburu terpengaruh dan pulas. Kini gugahan Ji Sun Bi membuat dia terbangun dan dengan muka merah dia meloncat berdiri, memandang kepada pemuda yang masih senyum-senyum itu. Dia teringat akan ilmu sihirnya yang paling kuat. Sejenak dia diam mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian tiba-tiba saja kedua matanya mencucurkan air matanya dan dia menangis sesenggukan! Sungguh penglihatan yang lucu dan aneh sekali! Kakek Min-san Mo-ko menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran sambil memandang kepada Hay Hay.


"Huu-uhu-hu-huuu ……!” Dia menangis dan mengeluh, "Hidup begini ….. sengsara... penuh duka... uhu-hu-huuuu …..!"


Tangis biasa saja sudah amat menular, memiliki kekuatan untuk menyeret orang lain ikut menangis, apalagi tangis Min-san Mo-ko ini, tangis yang mengandung kedukaan sihir amat dahsyat. Bahkan Ji Sun Bi, yang biarpun sudah tahu bahwa gurunya melakukan sihir, tak dapat menahan diri dan ikut pula menangis!


Hay Hay merasakan getaran yang amat kuat, yang seolah-olah menerkamnya dan menyeretnya, memaksanya untuk ikut pula menangis bersama Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Bahkan ingatannya pun membayangkan keadaan dirinya, yang sebatang kara, yang tidak memillki apa-apa di dunia ini, terbayang olehnya betapa sunyinya hidup, betapa dia menderita kesepian. Mau rasanya dia mengguguk menangis seperti anak kecil. Akan tetapi kesadarannya membuat dia waspada dan dapat melihat bahwa semua ini hanyalah karena kekuatan sihir lawan! Dia membiarkan air matanya jatuh menitik ke atas pipinya, kemudian dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara menghibur.

"Sudahlah, Kakek yang malang, jangan terlalu berduka, hal itu dapat mengganggu kesehatanmu."

Biasariya, orang yang sedang bersedih kalau mendengar kata-kata hiburan, kedukaannya menjadi penuh keharuan yang membuatnya menangis semakin sedih. Demikian pula dengan Min-san Mo-ko, karena kekuatan sihirnya tidak cukup kuat untuk mengalahkan Hay Hay, kini sebaliknya dia malah terseret oleh kekuatan sihir yang dilepas Hay Hay. Mendengar kata-kata hiburan itu, dia pun menangis semakin hebat, tidak lagi hanya mengguguk, bahkan kini melolong-lolong dan tak lama kemudian dia pun bergulingan di atas tanah sambil menangis seperti anak kecil!


Melihat keadaan gurunya ini, Ji Sun Bi terkejut sekali, akan tetapi ia pun tidak berdaya karena ia pun menangis semakin hebat, terseret pula oleh pengaruh sihir yang dilepas Hay Hay! Guru dan murid itu bertangis-tangisan dengan amat sedihnya, sampai keduanya megap-megap dan sukar bernapas seperti tercekik oleh tangis sendiri.


Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan- muncul dua orang berpakaian pendeta. Melihat gambar teratai di dada mereka, mudah dikenal bahwa mereka adalah dua orang pendeta Agama Pek-lian-kauw. Seorang di antara mereka membanting sesuatu, terdengar suara meledak dan tempat itu penuh tertutup asap hitam. Hay Hay mempergunakan kedua lengannya untuk mengebut dan mengusir asap, akan tetapi setelah asap hitam menghilang, tidak nampak lagi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi di situ. Ternyata mereka berdua telah dilarikan oleh dua orang teman mereka dari Pek-lian-kauw!


Hay Hay tidak peduli dan cepat dia menyerbu ke dalam pertempuran. Hui Lian yang memegang pedang dikeroyok banyak orang, akan tetapi pemuda berpakalan putih itu sedemikian hebat permainan pedangnya sehingga biarpun ada belasan orang lihai mengeroyoknya, mereka tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedang itu! Metihat ini, Hay Hay lalu menepuk pundak seorang lawan yang mengeroyok, lalu orang ke dua. Dua orang itu membalik, kemudian mereka berdua saling hantam sendiri karena dalam pandangan mereka, masing-masing merupakan musuh yang harus dihantam, bukan kawan lagi! Hay Hay melakukan hal yang sama kepada dua orang pengeroyok lain dan tak lama kemudian, para pengeroyok Hui Lian itu telah saling hantam sendiri antara teman mereka!


Tentu saja Hui Lian sendiri menjadi bingung metihat ulah para pengeroyoknya itu, demikian pula orang-orang Miao yang kini dengan enaknya memukuli para penyerbu yang saling hantam itu. Melihat keadaan ini, Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, juga suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki, menjadi terkejut dan gentar. Mereka lalu berloncatan dan melarikan diri dari tempat itu.


Sisa anak buah atau teman-teman mereka, hanya setengahnya yang akhirnya lolos melarikan diri membawa luka-luka ketika mereka diserbu oleh suku Miao. Ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu, beberapa orang lagi luka-luka dan merangkak pergi, dibiarkan saja oleh orang-orang Miao yang sibuk merawat teman-teman sendiri yang terluka. Pesta yang gembira itu berubah menjadi suasana berkabung karena diantara suku Miao ada beberapa orang pula yang tewas.


Kepala suku menghaturkan terima kasih kepada Hui Lian dan Hay Hay karena jelas bahwa dua orang inilah yang telah mengusir para perampok tadi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Lian untuk memberi tahu kepada kepala suku. "Saya akan melakukan pengejaran terhadap mereka dan meninggalkan perkampungan ini. Akan tetapi saya minta dengan sangat agar Nian Ci dikawinkan dengan Kiao Yi karena keduanya sudah saling mencinta. Maukah kalian memenuhi permintaanku itu?"


Kepala suku dan keluarganya menyatakan setuju dan Hui Lian lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sekali berkelebat, tubuhnya telah lenyap dari situ, membuat orang-orang Miao melongo.


"Ha-ha, aku pun harus pergi!" kata Hay Hay dalam bahasanya sendiri, dan orang-orang pun hanya melihat pemuda itu berkelebat lenyap. Muncul dan lenyapnya dua orang muda itu tak pernah dilupakan oleh orang-orang Miao di perkampungan itu. Mereka yang masih percaya akan tahyul percaya bahwa kedua orang itu tentulah penjelmaan para dewa yang sengaja hendak menolong mereka dari serbuan para perampok tadi. Dan Kiao Yi juga tidak pernah membuka rahasia bahwa pemuda berpakaian putih itu adalah seorang wanita menurut pengakuan orang itu sendiri. Dia sendiri masih belum yakin benar, akan tetapi dia takut untuk membuka rahasia ini, biar kepada isterinya sendiri sekalipun. Hal itu disimpannya sendiri sebagai suatu rahasia keramat.



“Heiii, sobat, tunggu dulu!" Hay Hay berteriak-teriak memanggil bayangan putih yang berlari cepat di depan itu. Tentu saja Hui Lian mendengar teriakan ini, akan tetapi ia mempercepat larinya karena ia ingin menguji sampai di mana kepandaian berlari cepat pemuda bercaping yang aneh itu. Melihat betapa orang yang dikejarnya itu semakin ngebut, Hay Hay juga mengerahkan tenaganya dan dia pun berlari dengan amat cepatnya. Sebetulnya kalau dilihat dari gemblengan yang mereka peroleh, dalam hal ginkang Hay Hay masih menang tingkat karena pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang berdasarkan ginkang dari See-thian Lama atau Go-bi San-jin, yaitu terutama sekali Ilmu Yan-cu-coan-in (Walet Terbang Menembus Awan) yang membuat tubuhnya ringan dan dia dapat berlari secepat kijang. Akan tetapi, di samping ilmu-ilmu silat tinggi yang telah dipelajari oleh Hui Lian dari Ciang Su Kiat, juga wanita ini telah mewarisi ilmu peninggalan dari dua orang di antara Delapan Dewa, dan terutama sekali yang membuat tubuhnya ringan adalah akibat makanan aneh berupa jamur-jamur yang dimakannya selama sepuluh tahun dalam guha terasing. Inilah sebabnya mengapa kekalahannya dalam hal ilmu meringankan tubuh dapat ditebusnya dan kini keadaan mereka berimbang. Jarak di antara mereka tidak menjadi lebih jauh atau lebih dekat. Melihat kenyataan ini, kembali keduanya terkejut dan kagum.


Karena Hui Lian hanya ingin menguji, dan ia pun ingin berkenalan lebih dekat dengan pemuda bercaping yang menarik Itu, akhirnya ia berhenti di lereng sebuah bukit sehingga dalam beberapa detik saja Hay Hay sudah menyusulnya.


"Wah, sobat, larimu seperti kijang saja"' Hay Hay memuji ketika mereka sudah berdiri berhadapan. Hui Lian tidak menjawab, melainkan menatap wajah pemuda di depannya itu dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang tampan, dengan wajah yang cerah gembira. Dadanya bidang, tubuhnya yang berukuran sedang itu tegap dan jelas membayangkan tenaga kuat yang dikandungnya. Matanya selalu bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum-senyum penuh daya tarik, dan hidungnya yang mancung itu seperti orang yang selalu mengejek. Pakaiannya sederhana, berwarna biru muda dengan garis-garis kuning di tepinya. Punggungnya membawa buntalan pakaian dan sebuah caping lebar kini tergantung di atas buntalan itu, seperti perisai melindungi tubuh belakangnya. Seorang pemuda yang masih muda sekali, hanya kurang lebih dua puluh tahun! Hui Lian yang usianya sudah sekitar tiga puluh tahun itu menganggap Hay Hay masih remaja!


Karena merasa dirinya diamati orang, Hay Hay pun mempergunakan kesempatan itu untuk balas mengamatinya. Seorang pemuda yang tubuhnya agak kecil dan ramping, pakaiannya serba putih, wajahnya tampan sekali, kulit mukanya begitu halus kemerahan, sepasang matanya yang jeli itu seperti sepasang bintang yang selalu memancarkan sinar, akan tetapi dari mata yang jeli itu, hidung kecil mungil yang agak berjungkit ke atas, mulut dengan bibir yang kemerahan dan indah bentuknya itu, dagu yang meruncing, membayangkan kekerasan hati!


Setelah beberapa lamanya mereka saling pandang dan saling mengamati, Hui Lian lalu bertanya, "Ada keperluan apakah engkau mengejar aku?"


Hay Hay memperlebar senyumnya. Dia sudah beberapa kali berhadapan dengan pemuda ini, yang dia taksir usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya, dan sikap pemuda berpakaian putih ini selalu keras dan tidak bersahabat! Akan tetapi, dia sudah melihat sepak terjang orang ini, dan biarpun sikapnya keras dan galak, namun sesungguhnya orang ini memiliki watak yang gagah, seorang pendekar sejati. Bukankah dia telah membela penggembala domba dan dengan gagah beraninya menghadapi pengeroyokan dua pasang suami isteri iblis itu? Kemudian, dia bahkan mewakili seorang pemuda Miao untuk memenangkan sayembara dan menjodohkan sepasang orang muda yang saling mencinta itu, dan betapa gagahnya ketika dia menyambut serbuan golongan jahat itu untuk membela orang-orang Miao!


"Aku ingin mengenalmu lebih dekat Toako (Kakak)." kata Hay Hay dan melihat betapa alis yang hitam itu mengerut, dia cepat melanjutkan, "bukankah sebenarnya kita telah lama saling berkenalan? Kita bekerja sama menolong penggembala, kita bahkan sudah sama-sama menjadi rekan peserta sayembara, dan sama-sama pula menghadapi gerombolan tadi. Nah, salahkah kalau aku ingin mengenalmu lebih dekat?"


Di dalam hati kecilnya, Hui Lian sebenarnya juga ingin sekali berkenalan dengan pemuda bercaping yang lihai ini, akan tetapi wataknya yang angkuh, apalagi sebagai seorang wanita, tentu saja ia merasa malu untuk menyatakan perasaan hatinya ini dan untuk menyembunyikan perasaannya, ia menjawab ketus.


"Aku tidak ada waktu untuk berkenalan dan banyak bicara, aku harus mengejar orang-orang tadi!"


Hay Hay melebarkan matanya. "Ah, kebetulan sekali! Aku pun mempunyai niat yang sama. Aku merasa curiga dengan munculnya orang-orang seperti mereka itu, tokoh-tokoh sesat yang kenamaan!"


"Kau mengenal mereka ?"


Hay Hay mengangguk, maklum bahwa hal itu menarik perhatian pemuda galak dan angkuh ini, maka dia pun bersikap penuh rahasia dan hanya mengangguk. Benar saja, Hui Lian merasa penasaran, apalagi teringat betapa tadi hampir saja ia celaka oleh ilmu sihir kakek kurus itu.


"Siapa mereka?"


"Bukankah akan makan waktu lama untuk bercakap-cakap?" Hay Hay mengingatkan, lalu disambungnya cepat, teringat akan watak galak orang itu. "Bagaimana kalau kita melanjutkan pengejaran, dan nanti saja bercakap-cakap kalau kita sudah berhasil menyusul mereka?"


Hui Lian mengangguk dan tanpa bicara lagi keduanya lalu melanjutkan lari mereka mendaki bukit karena gerombolan tadi pun melarikan diri naik ke bukit itu. Mereka lari dengan Hui Lian di depan, Hay Hay di belakangnya, dekat di belakangnya. Dan kembali Hay Hay mencium keharuman yang aneh itu. Dia masih mengira bahwa pemuda pakaian putih di depannya ini pesolek dan suka memakai wangi-wangian, sama sekali tidak pernah menduga bahwa bau harum itu tercium karena Hui Lian mulai berkeringat dan memang keringat Hui Lian mengeluarkan bau harum sebagai akibat dari makanan jamur selama sepuluh tahun!



Karena kedua orang itu mempergunakan ilmu berlari cepat yang tinggi tingkatnya, tubuh mereka berkelebatan cepat dan tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul gerombolan yang melarikan diri tadi. Setelah tiba di balik bukit, gerombolan itu tidak berlari lagi, tidak tahu bahwa mereka dikejar dan kini dibayangi oleh dua orang muda yang membuat mereka lari ketakutan itu.


"Apakah kita akan menyerang mereka?" tanya Hay Hay kepada Hui Lian ketika mereka berdua mengintai dari balik pohon-pohon, melihat gerombolan itu berhenti mengaso sambil mengobati teman-teman yang terluka di bawah pohon besar di kaki bukit sebelah sana.

"Tidak, aku ingin melihat apa yang akan dilakukan gerombolan itu? Mereka berkepandaian tinggi, rasanya tidak mungkin kalau mereka itu gerombolan perampok biasa saja yang hendak merampok perkampungan Miao yang miskin."


Hay Hay mengangguk-angguk. "Dugaanmu benar, Toako. Aku pun yakin mereka itu bukan perampok-perampok biasa, apalagi melihat dua pasang suami isteri iblis dan wanita cabul bersama gurunya itu."


Kini tiba waktunya untuk bercakap-cakap sambil membayangi gerombolan itu, pikir Hui Lian. "Kau tadi mengatakan bahwa kau mengenal mereka? Siapakah mereka itu?"

Hay Hay memandang Hui Lian sambil tersenyum, "Toako yang baik, sebelum engkau mengenal mereka, bukankah lebih baik kalau mengenal aku lebih dulu? Kita sudah bekerja sama akan tetapi belum saling mengenal." Dengan gaya lucu dan gembira Hay Hay bangkit dan memberi hormat dengan bersoja kepada Hui Lian. "Toakot namaku Hay dan kalau boleh aku mengetahui namamu ….."


Hui Lian juga membalas penghormatannya dan menjawab, "Namaku Hui Lian, Kok Hui Lian. Siapa nama lengkapmu, apa nama keturunanmu?"


"Namaku hanya Hay saja dan orang memanggil aku Hay Hay. Tentang nama keturunan... aku tidak punya. Namamu indah sekali. Kok-toako (Kakak Kok), membayangkan kelembutant cocok dengan keadaan dirimu yang amat tampan ini."


Hui Lian menatap wajah Hay Hay, diam-diam memperhatikan kalau-kalau pemuda ini sudah dapat menduga bahwa ia seorang wanita. Akan tetapi karena ia tidak melihat tanda-tanda itut ia pun merasa lega dan tersenyum pula. Senyum yang pertama kali dan kembali Hay Hay memandang kagum. Tampan bukan main orang ini kalau tersenyum. Sayang jarang tersenyum, dan wajahnya lebih sering membayangkan kedinginan dan kekerasan hati.


"Berapa usiamu?" tanya Hui Lian.


"Dua puluh satu tahun. Engkau tentu lebih tua satu dua tahun daripada aku, Toako."


Hui Lian hanya mengangguk-angguk, diam-diam merasa girang bahwa ia nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh tahun dan Hay Hay ini mengira bahwa ia baru berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun! Hati wanita mana yang tidak akan girang kalau dianggap lebih muda daripada usia sebenarnya?


"Sekarang ceritakan siapa mereka itu." katanya mengalihkan percakapan karena ia tidak ingin mereka bicara tentang dirinya.


"Lihat baik-baik, kakek tinggi besar itu bernama Siangkoan Leng, dan nenek yang masih nampak cantik di sebelahnya itu bernama Ma Kim Li. Keduanya merupakan suami isteri yang amat terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan). Dan suami isteri ke dua itu juga amat terkenal dan tidak kalah jahatnya. Kakek pakaian hitam tinggi kurus yang mukanya tampan dingin seperti memakai kedok itu adalah Si Tangan Maut Kwee Siong. Nenek berpakaian hitam yang cantik akan tetapi mukanya pucat seperti mayat itu adalah Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Mereka itu dikenal sebagai suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, sama jahatnya dengan Lam-hai Siang-mo dan di daerah selatan nama mereka berempat sudah terkenal sekali."


"Aku pernah mendengar nama mereka." kata Hui Lian. "Dan siapa wanita cantik yang mempergunakan siang-kiam (pedang pasangan) itu? Siapa pula kakek kurus pucat yang lihal itu?”


Hay Hay memandang ke arah Ji Sun Bi dan teringatlah dia akan semua pengalamannya dengan wanita itu. Wajahnya berubah merah karena malu ketika dia terkenang betapa dla pernah menerima pelajaran bagaimana caranya orang bercumbuan dari wanita yang amat berpengalaman itu. Harus diakuinya bahwa dia pernah dibakar nafsu yang dibangkitkan oleh wanita itu dan masih untung bahwa batinnya cukup kuat untuk mengatasi gelora nafsu berahinya sendiri.


"Wanita itu amat berbahaya dan lihai, namanya Ji Sun Bi dan kalau tidak salah julukannya adalah Tok-sim Mo-li. Kakek kurus pucat itu lebih lihai dan berbahaya lagi karena selaln tinggi ilmu silatnya, dia pun seorang ahli sihir dan nama julukannya Min-san Mo-ko."


Hui Lian memandang wajah Hay Hay penuh kagum. Pemuda ini memang masih muda sekali, akan tetapi ternyata pengalamannya telah luas sehingga mengenal tokoh-tokoh kang-ouw.

"Hay-te (Adik Hay), ternyata engkau telah banyak mengenal tokoh kang-ouw. Engkau begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas!"


Hay Hay tersenyum. "Aih, Toako jangan terlalu memuji. Dibandingkan dengan Toako, aku belum apa-apa."


"Jangan merendah, Hay-te. Tadi ketika aku berhadapan dengan Min-san Mo-ko, hampir aku celaka oleh sihirnya.” Hui Lian bergidik mengenang peristiwa itu. "Bagaimana engkau dapat menandingi dia yang ahli dalam ilmu sihir itu?"


"Kebetulan sekali aku pernah mempelajari cara untuk menolak pengaruh sihir, Toako. Dalam hal ilmu silat, guru dan murid itu jelas bukan tandinganmu. Kulihat ilmu silatmu hebat bukan main, kalau boleh aku mengetahui, siapakah Gurumu, Toako? Dari perguruan manakah?"



Hui Lian menarik napas panjang dan teringat akan suhengnya. "Aku tidak punya guru, aku bersama Suheng menemukan kitab-kitab ilmu silat dan kami mempelajarinya bersama. Sudahlah, hal itu tidak penting. Akan tetapi engkau sendiri yang masih begini muda, dari mana engkau memperolah ilmu kepandaian begini tinggi?"


"Wah, Guruku banyak sekali, Toako. Jadi kepandaianku adalah semacam cap-jai, campuran macam-macam. Dasar aku yang tolol, makin banyak diberi pelajaran, semakin bingung dan bodoh saja." Hay Hay mengelak. "Ah, mereka sudah bergerak lagi, Toako. Mari kita bayangi mereka."


"Tidak perlu!" tiba-tiba Hui Lian berkata ketus. "Aku ingin bercakap-cakap dulu denganmu!"

Hay Hay terkejut. Kenapa mendadak saja orang ini demikian ketus? "Kenapa? Bukankah kita bermaksud untuk membayangi mereka?" kata Hay Hay sambil memandang ke arah gerombolan itu yang mulai meninggalkan tempat di mana mereka tadi beristirahat.


"Nanti dulu, engkau harus menceritakan dulu dari mana engkau memperoleh semua ilmu tadi, ilmu silat tinggi dan juga ilmu menolak kekuatan sihir. Aku harus tahu lebih dulu siapa sebenarnya engkau ini, kawan ataukah lawan."


Hay Hay tersenyum menatap wajah yang tampan itu. "Toako, engkau sungguh aneh. Apakah masih juga sangsi terhadap diriku yang sudah bekerja sama denganmu menghadapi gerombolan tadi? Kalau aku bukan kawanmu, tentu kita tidak bekerja sama.."


"Akan tetapi aku ingin tahu siapa Gurumu!" Hui Lian mendesak.


"Kok-toako, sudah kukatakan bahwa Guruku banyak sekali sampai aku tidak ingat lagi, dan perlu apa mengenal guru-guru kita? Aku pun tidak bertanya siapa Gurumu."


Hui Lian mengerutkan alisnya. Pemuda ini bukan orang sembarangan, dan biarpun tadi sudah bekerja sama dengannya menghadapi gerombolan, namun ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya dia. Dan sikapnya demikian ramah dan pandai mengambil hati. Masih ada perasaan curiga bahwa pemuda ini seorang laki-laki mata keranjang, mengingat betapa tadi mengikuti sayembara memperebutkan seorang gadis Miao yang cantik. Selain itu, juga timbul rasa penasaran dalam hati Hui Lian untuk menguji sampai di mana kelihaian pemuda ini, karena ketika mereka bertanding dalam sayembara, mereka, terutama pemuda itu, tidak bertanding dengan sesungguhnya. Hal ini membuat ia merasa penasaran sekali. Bagaimanapun lihainya, pemuda ini baru berusia dua puluh satu tahun, masih remaja, dan tak mungkin ia tidak mampu mengalahkannya!


"Kalau engkau tidak mau memberitahu siapa Gurumu pun tidak mengapa karena dengan bertanding, aku akan dapat mengenal ilmu silatmu. Mari kita main-main sebentar untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai, melanjutkan pertandingan dalam sayembara yang tidak sungguh-sungguh itu."


Melihat Hui Lian kini memasang kuda-kuda menghadapinya, siap untuk menyerang, Hay Hay terkejut. Akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Hui Lian seperti melihat sesuatu yang lucu. "Wah, Toako, apa-apaan lagi ini? Kenapa engkau menantang aku? Apa lagi sekarang yang akan kita perebutkan? Dia menoleh ke kanan kiri. "Tidak ada gadis cantik jelita untuk kita perebutkan sekarang!"


Wajah Hui Lian berubah merah dan hatinya terasa panas. "Engkau mata keranjang, yang dipikirkan hanya gadis cantik saja!" bentaknya. "Sekali ini kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Sambutlah!" Tanpa banyak cakap lagi, begitu Hay Hay bangkit berdiri, Hui Lian sudah menyerangnya dengan gerakan cepat dan mantap. Hay Hay terkejut. Serangan itu bukan main-main, bahkan berbahaya sekali. Dia pun cepat meloncat ke samping untuk menghindarkan pukulan tangan miring yang mengarah lehernya itu. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, Hui Lian telah menyusulkan lagi totokan-totokan yang bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di tubuh Hay Hay.


"Ahh... ehhh... wah, apakah engkau sudah gila, Toako?" Hay Hay berseru kaget dan repot mengelak dan menangkis menghadapi serangkaian serangan yang benar-benar amat berbahaya itu. Setiap serangan yang dilakukan lawan itu merupakan ancaman maut dan terhadap serangan seperti itu, dia sama sekali tidak boleh main-main atau lengah. Akan tetapi, melihat betapa semua serangannya gagal dan pemuda itu memakinya gila, Hui Lian menjadi semakin penasaran dan marah. Setelah serangkaian totokannya tadi gagal, Hui Lian juga terkejut dan maklum bahwa Hay Hay memang lihai sekali, maka tanpa ragu-ragu lagi ia pun mulai memainkan Sian-eng Sin-kun yang amat hebat untuk mendesak lawan.


Di lain pihak, melihat gerakan lawan, Hay Hay diam-diam terkejut bukan main. Dalam pertandingan sayembara tadi, ketika mereka saling totol dengan mouw-pit, dia pun sudah tahu bahwa pemuda berpakaian putih yang tampan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekarang barulah dia melihat betapa Kok Hui Lian memang hebat sekali ilmu silatnya. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga tubuhnya berkelebat menjadi bayangan putih yang menyambar-nyambar, dengan pukulan-pukulan cepat yang sukar diikuti dan diduga ke mana arah selanjutnya. Maka dia pun cepat mengeluarkan kepandaiannya, mengerahkan ginkang yang dipelajarinya dari Ciu-sian Sin-kai dan mempergunakan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Go-bi San-jin atau See-thian Lama! Dan kini Hui Lian yang terkejut bukan main. Kiranya bocah ini dapat mengimbangi kecepatan gerak tubuhnya, dan setiap kali lengan mereka beradu, dirasakannya betapa tubuhnya tergetar dan lengannya nyeri, tanda bahwa bocah itu memiliki tenaga yang tidak kalah kuat dibanding dirinya! Memang, kalau dibuat ukuran, baik kecepatan, tenaga maupun kelihaian ilmu silat kedua orang ihi tidak banyak selisihnya. Kalau saja Hay Hay mau mempergunakan kekuatan sihirnya, tentu dia akan dapat mengalahkan Hui Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau melakukan hal ini. Dia dapat menduga bahwa lawannya ini merupakan seorang pemuda halus yang berwatak angkuh, tidak mau dikalahkan, maka dalam pertandingan itu pun, dia hanya berusaha mengimbanginya saja, membalas setiap serangan tanpa keinginan untuk merobohkan lawan yang memang tidak mudah dilakukannya.



Setelah lewat seratus jurus, barulah Hui Lian merasa yakin benar bahwa pemuda ini memang hebat, kalau tidak lebih lihai darinya, setidaknya juga setingkat. Makin kagumlah ia, dan makin suka karena baru sekarang ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian menarik.


"Haiiiittt ……!" Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan suara melengking nyaring ketika tubuhnya melayang ke atas dan menukik dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah lawan, ke ubun-ubun dan leher! Hay Hay terkejut bukan main. Dia mengelak, namun masih kurang cepat karena tangan kiri Hui Lian sudah mencengkeram pundaknya. Hay Hay mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat pundaknya kebal, lalu menangkis dengan keras.


"Brettt ….!" Baju di bagian pundak Hay Hay terobek lebar, akan tetapi tangkisan itu membuat tangan Hay Hay meleset dan menyentuh dada Hui Lian. Dia hampir berteriak saking kagetnya ketika merasa gumpalan daging yang lembut di dada pemuda berpakalan putih itu! Hay Hay terbelalak memandang dan baru sekarang dia menginsyafi bahwa pemuda berpakaian putih di depannya itu adalah seorang wanita! Pantas saja wajahnya demikian tampan, kulitnya demikian halus! Dan kini keharuman yang luar biasa menyengat hidungnya. Wanita ini basah oleh keringat, dari dahi sampai lehernya penuh keringat, akan tetapi mengapa kini keharuman itu makin semerbak? Apakah keringatnya yang berbau harum itu? Hay Hay makin terbelalak, menatap wajah Hui Lian dengan penuh takjub.


"Maaf... maafkan aku... tidak sengaja ….." katanya gagap teringat betapa tadi tanpa disengaja ia telah menyentuh payudara wanita itu!


Wajah Hui Lian berubah kemerahan. Ia pun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja, akan tetapi bagaimanapun juga, kini rahasianya telah terbuka. Pemuda itu telah tahu bahwa ia adalah seorang wanita. Tadinya ia akan marah sekali dan ingin menyerang lagi karena pemuda itu berani menyentuh dadanya, akan tetapi, ia pun tahu diri, maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, tentu sentuhan pada dadanya tadi akan dapat berubah menjadi totokan atau pukulan yang mematikan! Ternyata sejak tadi, Hay Hay telah mengalah terhadap dirinya. Maka kemarahannya berubah menjadi perasaan malu dan tanpa banyak cakap lagi, setelah mereka saling pandang sejenak, Hui Lian membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi, melarikan diri dengan amat cepatnya.


"Toako...! Ehh... Enci yang baik ….!" Hay Hay berteriak, akan tetapi Hui Lian telah lari jauh dan Hay Hay tidak berani mengejar karena takut kalau-kalau gadis itu akan menjadi semakin marah. Dia pun berdiri termenung, kemudian tersenyum-senyum nakal sambil mencium tangan kanannya yang tadi menyentuh dada. Bukan main, pikirnya! Seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, menyamar sebagai pria. Dan keringatnya berbau harum! Dia pun segera melanjutkan perjalanan ke arah perginya gerombolan tadi karena dia mengambil keputusan untuk membayangi mereka dan melihat apa yang akan dilakukan oleh gerombolan kaum sesat yang lihai itu.


**

Perahu itu besar, paling besar di antara perahu-perahu lain yang berada di Telaga Tung-ting. Memang perahu itu paling besar, karena pembesar setempat memang menyediakan perahu itu untuk keperluan Jaksa Kwan yang berlibur dan pelesir di telaga bersama keluarganya. Dan semua pejabat setempat tunduk dan takut kepada Jaksa Kwan, seorang pembesar yang keras dan memegang teguh hukum, tegas dan sama sekali tidak pernah mau disogok. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) terkenal sekali sebagai seorang jaksa yang menentang kejahatan, dan bersikap keras sekali terhadap pelanggar hukum, terhadap kaum penjahat sehingga dia dibenci oleh golongan hitam, akan tetapi sebaliknya dia amat dikagumi dan dihormati oleh para pendekar yang menjunjung kebenaran dan keadilan. Pada waktu itu, jaranglah terdapat seorang pejabat pemerintah seperti Kwan-taijin. Hampir semua pejabat, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, pada waktu itu merupakan koruptor-koruptor yang tidak segan-segan melakukan segala macam penindasan terhadap rakyat atau pencurian terhadap pemerintah untuk menggendutkan perut sendiri. Oleh karena itu, Jaksa Kwan merupakan seorang yang sukar ditemukan keduanya. Kejujuran dan keadilannya membuat dia ditakuti para penjahat dan disegani para pendekar, akan tetapi juga mendatangkan hal lain yang membahayakan, yaitu dia dibenci oleh golongan hitam! Akan tetapi, karena Kwan-taijin tidak pernah menyimpan sesuatu pamrih demi keuntungan pribadi atau dendam pribadi, karena dia bertindak tegas keras dan adil demi tegaknya hukum yang dipegangnya, maka, dia pun tidak pernah merasa takut atau terancam. Dan tidaklah aneh kalau seorang pejabat pada waktu itu yang tidak mau mengikuti jejak kawan-kawan dan rekan-rekannya, tidak mau berkorupsi, Kwan-taijin hidup sederhana walaupun tidak kekurangan karena sebagai seorang pejabat tinggi dia memperoleh gaji yang cukup besar. Namun dibandingkan dengan para pejabat lain yang lebih rendah tingkatnya daripada Kwan-taijin, yang biasa hidup berkelebihan dan bergelimang kemewahan, keluarga Kwan-taijin dapat dibilang hidup secara sederhana.


Kini keluarga itu, pada waktu Jaksa Kwan mendapat cuti, mengadakan pelesir di Telaga Tung-ting yang indah. Keluarga pembesar lain kalau berpelesir di telaga ini, tentu akan berpesta pora dalam perahu besar, mengundang gadis-gadis penyanyi dan tukang-tukang musiknya, bahkan banyak pula yang membawa gadis-gadis pelacur. Akan tetapi Jaksa Kwan menikmati rnasa liburnya dengan memancing ikan di telaga, atau minum arak dan membuat sajak memuji keindahan tamasya alam di telaga itu. Pada sore hari itu, Jaksa Kwan duduk seorang diri di kepala perahu, menghadapi guci dan arak, juga kertas dan alat tulis karena dia sedang minum arak dan menulis sajak. Keluarganya yang tidak besar, hanya seorang isteri dan dua orang anak, mengaso di dalam bilik perahu besar. Seperti sebuah patung, Jaksa Kwan tidak bergerak, termenung dan menikmati keindahan dan kesunyian telaga yang amat luas itu. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian longgar sederhana, kumis dan jenggotnya terpelihara baik -baik, sepasang mata yang lebar itu berwibawa, dan di lehernya tergantung sebuah batu giok yang warnanya belang-belang merah dan hijau, indah sekali. Dia menerima batu giok ini sebagai hadiah dari seorang tokoh pendekar yang merasa kagum kepadanya, dan batu giok ini merupakan sebuah pusaka yang amat langka. Kalau dipakai sebagai kalung, dapat menolak datangnya penyakit, dan batu giok itu pun dapat memunahkan segala macam racun yang bagaimana jahat pun, selain itu juga air yang merendam batu itu semalam suntuk, dapat merupakan obat kuat yang manjur.

Beberapa buah perahu kecil berseliweran di permukaan telaga, ada pula beberapa buah yang bergerak di dekat perahu besar Kwan-taijin. Akan tetapi pembesar ini agaknya tidak memperhatikan perahu-perahu itu, dan sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu itu terdapat beberapa buah perahu yang ditumpangi penjahat-penjahat besar yang sejak tadi membayanginya! Sebuah perahu kecil yang ditumpangi tiga orang yang memegang joran pancing, meluncur dekat dan tiba-tiba dari atas perahu kecil itu melayang sesosok tubuh ke atas perahu besar. Tanpa menimbulkan guncangan, tubuh itu kini hinggap di atas dek perahu besar, di dekat Kwan-taijin yang masih duduk termenung dan sebelum Kwan-taijin sempat bergerak atau berteriak, tiba-tiba saja tubuhnya tertotok lemas dan di lain saat, tubuh pembesar itu telah dipondong oleh kakek kurus itu dan dibawa melompat ke atas perahu kecil di mana dua orang kawannya telah menanti



Seorang pengawal yang kebetulan melihat peristiwa itu berteriak dan gegerlah pasukan pengawal yang hanya terdiri dari selosin orang itu di atas perahu lain yang berada di belakang perahu besar. Akan tetapi, Min-san Mo-ko yang menawan Kwan-taijin tidak mempedulikan pengejaran para pengawal. Dua orang pembantunya sudah mendayung perahu kecil dengan cepatnya, meluncur pergi ke tengah telaga! Dan ketika perahu pengawal melakukan pengejaran, mereka itu dihadang oleh perahu-perahu kecil yang ditumpangi oleh Ji Sun Bi, Lam-hai Siang-mo, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, dan anak buah mereka. Terjadi pertempuran yang berat sebelah karena dua belas orang pengawal itu sama sekali bukan merupakan lawan berat bagi tokoh-tokoh sesat itu sehingga sebentar saja perahu kecil yang membawa Kwan-taijin lenyap tidak ada yang mengejar! Para pengawal itu pun satu demi satu terlempar ke dalam air dan melihat betapa Min-san Mo-ko berhasil melarikan Kwan-taijin, para penjahat itu pun cepat melarikan diri dengan perahu-perahu mereka, tidak mau menanti datangnya pasukan bala bantuan yang tentu akan tiba di tempat itu.


Sementara itu, setelah merasa aman dari pengejaran para pengawal, Min-san Mo-ko dan dua orang anak buahnya mendarat di tepian yang sunyi. Akan tetapi, tiba-tiba saja sebuah perahu nelayan kecil meluncur dari samping, dan dari dalam perahu itu berkelebat bayangan orang yang meloncat naik pula ke darat, dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depan Min-san Mo-ko. Pemuda ini bukan lain adalah Hay Hay! Ketika dia melakukan pengejaran dan tiba di tepi telaga, Hay Hay menyamar sebagai seorang nelayan karena dia melihat beberapa orang penjahat yang pernah dilihatnya menyerbu perkampungan suku Miao, nampak berkeliaran di situ, ada pula yang menunggang perahu! Dia dapat menduga bahwa tentu gerombolan itu sedang hendak melakukan sesuatu di tempat itu, entah apa dia tidak dapat menduga. Maka, dia pun menyamar sebagai nelayan dan menyewa sebuah perahu, mendayung perahunya berkeliling sampai akhirnya dia mengenal Min-san Mo-ko dan dua orang anak buahnya dalam sebuah perahu. Dia tertarik sekali dan membayangi, melindungi mukanya dengan caping lebar. Ketika dia melihat Min-san Mo-ko meloncat ke perahu besar dan menculik seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, dan melihat betapa pasukan pengawal dihadapi anak buah Min-san Mo-ko, tahulah dia bahwa tentu pria yang diculiknya itu seorang pembesar penting. Dia pun cepat mengikuti dari jauh dengan perahunya dan ketika Min-san Mo-ko membawa Kwan-taijin melompat ke darat, dia pun cepat melompat dan kini berhadapan dengan Min-san Mo-ko sambil menyeringai.


"Eh, kiranya Si Dukun Lepus Min-san Mo-ko yang kembali membuat ulah! Hayo lepaskan orang yang kaucilik itu!" bentak Hay Hay. Melihat munculnya pemuda yang kini amat lihai itu, yang bahkan pandai ilmu sihir sehingga dia tidak mungkin lagi menguasainya dengan sihir, Minisan Mo-ko terkejut bukan main.


"Mundur engkau bocah setan!" bentaknya. "Atau... akan kubunuh dulu Jaksa Kwan ini!" Dan dia pun menempelkan pedangnya pada leher Jaksa Kwan yang masih belum mampu bergerak karena tertotok. "Mundur dan jangan mengikuti kami!"


Hay Hay yang cerdik maklum bahwa setelah susah payah menculik orang, tidak mungkin Min-san Mo-ko akan membunuhnya begitu saja. Dia tidak mau digertak, maka dia pun tertawa.


"Ha-ha-ha, Min-san Mo-ko dukun cabul! Aku sama sekali tidak mengenal orang yang kauculik tu. Mau kaubunuh atau tidak, tidak ada hubungannya dengan aku, dan aku tidak akan rugi. Kalau engkau membunuhnya, silakan, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melepaskan engkau lagi!"


Gertakan dibalas dengan gertakan dan Min-san Mo-ko menjadi agak bingung. Hatinya sudah khawatir sekali bertemu dengan Hay Hay dan kini dia bahkan digertak oleh pemuda remaja yang lihai itu. Dia tidak tahu betapa diam-diam Hay Hay merasa tegang karena pemuda ini melihat berkelebatnya bayangan putih yang sudah dapat diduganya siapa orangnya.


"Penjahat busuk terimalah kematianmu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seperti seekor garuda menyambar, Hui Lian telah meloncat dan menerkam ke arah tengkuk Min-san Mo-ko dengan totokan maut!


"Ihhh …..!" Min-san Mo-ko mengelak sambil membabatkan pedangnya ke belakang menyambut serangan Hui Lian. Kesempatan ini memang ditunggu-tunggu oleh Hay Hay. Dia menubruk ke depan dan di lain saat, tubuh Kwan-taijin sudah pindah ke dalam pondongannya! Min-san Mo-ko terkejut, apalagi ketika dua orang pembantunya yang maju hendak membantunya, dirobohkan oleh Hui Lian dengan sebuah tendangan dan tamparan! Dia pun meloncat jauh dan melarikan diri tanpa menoleh lagi! Menghadapi Hay Hay seorang saja dia merasa jerih, apalagi di situ masih muncul pemuda berpakaian putih yang juga sudah diketahui kelihaiannya.


"Terima kasih... Kok-toako." kata Hay Hay, tidak mau menyebut enci karena di situ terdapat Kwan-taijin dan dua orang anggauta gerombolan yang mengaduh-aduh dan memijit-mijit pundak dan kaki yang patah tulangnya.


Hui Lian tidak menjawab, melainkan bertanya tentang Kwan-taijin. "Siapakah orang ini dan mengapa dia diculik?"


Hay Hay membebaskan totokan Kwan-taijin dan pembesar ini setelah mampu bergerak lagi, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada dua orang muda itu.


"Saya adalah Jaksa Kwan dari kota Siang-tan. Banyak penjahat yang memusuhi saya, mungkin untuk membalaskan sakit hati rekan-rekan mereka yang saya tangkap dan tuntut sehingga terhukum berat. Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Pendekar Besar Berdua) yang telah menyelamatkan saya sehingga saya tidak terbunuh, melainkan kehilangan pusaka saya."


"Pusaka? Pusaka apa yang hilang?"tanya Hay Hay.


“Pusaka batu giok penawar segala racun yang tadinya saya pakai sebagai kalung. Sayang sekali pusaka yang amat langka itu terjatuh ke tangan penjahat. Dia tadi merenggut kalung itu dan disimpannya dalam saku. Ahhh, kalau mereka pergunakan pusaka itu untuk kejahatan, sungguh sayang sekali."



Hui Lian berkata kepada Hay Hay, "Hay-te, antarkan Kwan-taijin ini kembali kepada keluarganya, aku akan mengejar mereka!" Tanpa menanti jawaban, sekali berkelebat nampak bayangan putih dan lenyapnya tubuhnya, membuat Kwan-taijin menarik napas kagum.

"Marilah, Taijin, saya antar kembali ke sana." kata Hay Hay, girang bukan main mendengar suara Hui Lian tadi yang agaknya sudah tidak marah lagi kepadanya dan sebutan Hay-te (Adik Hay) tadi terdengar demikian akrab.


Keluarga Kwan-taijin merasa gembira sekali melihat pembesar itu kembali dalam keadaan selamat. Kehilangan pusaka batu giok itu tidak begitu besar artinya bagi mereka dan setelah menghaturkan terima kasih kepada Hay Hay, keluarga itu cepat-cepat pulang ke Siang-tan diikuti para pengawal yang juga merasa terkejut dan cemas dengan adanya peristiwa tadi.


Hay Hay cepat meninggalkan tempat itu, mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran pula ke arah larinya Min-san Mo-ko yang dikejar oleh Hui Lian tadi. Dia merasa khawatir akan keselamatan Hui Lian karena dia maklum betapa berbahayanya Min-san Mo-ko, apalagi ilmu sihirnya yang sukar dilawan oleh Hui Lian. Dia khawatir, lebih-lebih setelah kini dia tahu bahwa Hui Lian adalah seorang wanita! Seorang gadis yang cantik jelita dan... harum bau keringatnya!


Kekhawatirannya berrtambah ketika dia tiba di luar sebuah hutan dan masih belum juga dapat menemukan jejak mereka, baik jejak Min-san Mo-ko dan teman-temannya maupun jejak Hui Lian. Dia teringat akan dua orang yang tadi terluka oleh Hui Lian, maka cepat dia berlari seperti terbang menuju ke tepi telaga yang tadi. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan mereka yang hanya dapat berjalan perlahan-lahan karena seorang di antara mereka menderita patah tulang kaki kirinya sehingga hanya dapat berjalan terpincang-pincang. Ketika melihat Hay Hay yang tiba-tiba muncul, mereka terkejut bukan main dan menggigil ketakutan!


Hay Hay tidak mau membuang waktu. Segera dia mengerahkan ilmu sihirnya, memandang tajam dan berkata dengan suara yang amat berwibawa, "Aku ingin kalian mengatakan di mana sarang Min-san Mo-ko. Kalau kalian berbohong, awas! Lihat, aku dapat menjadi seekor raksasa yang akan mengganyang habis kalian!"


Dua orang itu terbelalak dan muka mereka pucat, tubuh mereka menggigil dan mereka berdua jatuh berlutut ketika melihat betapa pemuda yang berada di depan mereka itu benar-benar telah berubah menjadi seorang raksasa yang mukanya mengerikan, mulutnya lebar terbuka dan penuh dengan taring yang runcing!


“Ampun …. ampunkan kami …. Min-san Mo-ko berada di dalam kuil Pek-lian-kauw yang berada di dalam hutan …. di lereng bukit sana ….”


Tanpa menanti keternagan lebih lanjut karena sudah cukup baginya, Hay hay berkelebat lenyap dari depan kedua orang itu yang terjungkal pingsan saking takutnya. Kini Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit itu dan ketika dia memasuki hutan yang berada di lereng bukit itu, sore telah larut dan cuaca di dalam hutan mulai remang-remang. Tiba-tiba dia mendengar suara beradunya senjata dari tengah hutan. Jantungnya berdebar tegang dan diapun cepat berlompatan ke arah datangnya suara berkelahi itu. tak lama kemudian tibalah dia didepan sebuah kuil tua dan disitu dia melihat Hui Lian yang memegang pedang sedang dikeroyok oleh banyak orang! dan tentu saja Hui Lian terdesak hebat karena pengeroyoknya adalah Min-san Mo-ko, kedua pasang suami isteri iblis, dan masih ada pula beberapa orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai! Tidak nampak iblis betina Ji Sun Bi di situ. Diam-diam Hay Hay merasa lega bahwa Hui Lian belum terluka walaupun terdesak hebat. Agaknya gadis ini telah melindungi dirinya dengan sinkang dan khikang sehingga tidak akan mudah dipengaruhi sihir Min-san Mo-ko sehingga dengan gigih ia masih mampu membuat perlawanan.


“Toako, aku datang membantumu!” teriak Hay Hay dan dia pun mencabut sebuah suling dari pinggangnya, lalu terjun ke dalam perkelahian itu dengan suling di tangan.


“Hay-te, cepat ke sini … kita saling melindungi!” kata Hui Lian sambil memutar pedangnya. Hay Hay yang maklum betapa bahayanya musuh-musuh itu, segera membuka kepungan dengan putaran sulingnya. Terdengar suara senjata beradu dan dua orang anak buah gerombolan itu terjengkang. Hay Hay melompat masuk dan kini sudah berdiri beradu punggung dengan Hui Lian, memutar sulingnya dan menagkis senjata-senjata yang datang menyambar, juga dia menggunakan tangan kiri mendorong ke kanan kiri dan pihak lawan yang kurang kuat tentu terdorong mundur sehingga mereka merasa kaget dan jerih terhadap pemuda yang baru muncul ini.


Legalah hati Hui Lian kini karena tadi ia sudah kewalahan dan kalau Hay Hay terlambat datang, bukan tidak mungkin ia akan segera roboh, tertawan atau tewas. Hatinya merasa gembira dan setiap kali pinggulnya menyentuh Hay Hay dalam gerakan mereka yang saling melindungi, jangtungnya berdebar aneh.


Mereka berdua mengamuk dan setelah banyak anak buah gerombolan roboh oleh pedang Hui Lian dan suling di tangan Hay Hay, mereka menjadi jerih dan kini yang masih mengeroyok hanyalah Min-san Mo-ko, dua pasang suami isteri dari selatan, ditambah lima orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan bersenjata tongkat panjang. Beberapa kali tosu dan juga Min-san Mo-ko mencoba ilmu sihir mereka, namun berkat kekuatan sihir Hay Hay, semua serangan mereka tidak mempan. Juga Hay Hay tidak mau mencoba ilmu sihirnya, maklum bahwa dia tidak akan berhasil karena selain Min-san Mo-ko, di situ terdapat lima orang tosu yang kesemuanya memiliki ilmu sihir yang cukup kuat!


Walaupun kedua orang muda itu dikeroyok sepuluh orang pandai, namun mereka sama sekali tidak gentar, dan juga tidak terdesak, walaupun bagi mereka berdua pun tidak mudah untuk dapat melukai para pengeroyok yang lihai itu. Selagi Hay Hay berniat untuk mengajak kawannya melarikan diri, tiba-tiba muncul dua orang di pihak para pengeroyok. Mereka itu bukan lain adalah Ji Sun Bi, wanita cabul itu, dan seorang pemuda yang tampan dan gagah sikapnya.


Ji Sun Bi segera membantu para pengeroyok, menyerang Hui Lian, sedangkan pemuda gagah itu menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar perak mengeroyok Hay Hay. Ketika menangkis sinar perak itu dengan sulingnya, dia kaget bukan main. Pemuda yang baru datang ini amat kuat sinkangnya, dan pedang itu pun berbahaya sekali karena ujung sulingnya terbabat putus! Kiranya pemuda itu seorang yang amat lihai dan memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh. Diam-diam Hay Hay mengeluh. Dengan munculnya pemuda ini dan Ji Sun Bi, jelas bahwa kedudukan dia dan Hui Lian terhimpit dan berat sekali.



Di lain pihak, dengan munculnya Ji Sun Bi yang meyerang dengan siang-kain (sepasang pedang), Hui Lian juga merasa berat dan repot. Wanita cabul itu memang lihai, lebih lihai di bandingkan suami isteri iblis atau para tosu Pek-lian-kauw. Maka kemunculannya membuat Hui Lian terdesak dan hanya mampu menangkis saja, sedikit sekali mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Kini ia dan Hay Hay dikeroyok dua belas orang dan ketika ia memperhatikan dengan sudut matanya, ia melihat betapa pemuda yang datang bersama Ji Sun Bi itu pun lihai bukan main.


“Toako, mari kita pergi!” Tiba-tiba terdengar Hay Hay berseru dan tiba-tiba saja Hay Hay tertawa bergerlak. Suara tawanya sampai menimbulkan gema, demikian dalam penuh wibawa. Para pengeroyok terkejut dan tanpa mereka sadari, mereka pun kini tertawa semua, terseret oleh arus yang amat kuat dari getaran suara ketawa Hay Hay. Kesempatan ini di pergunakan oleh Hay Hay untuk menyambar lengan Hui Lian dan diajaknya meloncat keluar dari kepungan!


Pada saat para lawan terpengaruh sihirnya dan tertawa, Hay Hay yang memegang lengan Hui Lian meloncat keluar, akan tetapi hanya sebentar saja Min-san Mo-ko terpengaruh, demikian pula lima orang tosu Pek-lian-kauw. Min-san Mo-ko sudah mebubruk ke depan dengan pedangnya yang menyambar ke arah leher belakang Hay Hay. Pemuda ini mengelak dan tubuhnya diputar. Dia melihat benda mencorong di dada Min-san Mo-ko. Bati giok milik Kwan-taijin! Hay Hay menusukkan suling ke arah mata Min-san Mo-ko, akan tetapi tangan kirinya menyambar dan dia berhasil merampas batu giok yang dikalungkan di leher Min-san Mo-ko. Pada saat itu, lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah menubruknya!


Hui Lian membantunya dengan putaran pedang sehingga tongkat para tosu dapat ditangkis. Akan tetapi pada saat itu, ada sinar hitam menyambar dan Hui Lian mengeluh dan terhuyung. Ia telah diserang dengan jarum beracun dari belakang oleh Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, iblis betina dari Guha Iblis Pantai Selatan. Tiga batang jarum kecil memasuki pinggul kanan tanpa dapat ditangkisnya sama sekali sehingga ia terhuyung dan sebelan kaki seperti lumpuh.


Pada saat itu, Hay Hay cepat menyambar tubuh Hui Lian dengan tangan kiri, sedangkan sulingnya di putar cepat. Dua orang tosu Pek-lian-kauw etrjungkal roboh, akan tetapi ujung pedang di tangan Min-san Mo-ko juga menyerempet dada Hay Hay, merobek baju dan juga kulit dan daging di dada kananya.


“Kami tidak ada waktu melayani kalian. Kami pergi, kami menghilang dan kalian tak dapat melihat kami lagi!” terdengar Hay Hay berseru, kini mengerahkan seluruh tenaga sihirnya dan sekali ini dia berhasil baik karena semua musuhnya tiba-tiba menjadi bingung ketika Hay Hay dan Hui Lian lenyap. Beberapa kali Min-san Mo-ko dan para tosu Pek-lian-kauw mengeluarkan bentakan-bentakan untuk memunahkan pengaruh sihir itu, dan akhirnya mereka berhasil juga menyingkrkan pengaruh itu. Akan tetapi semua orang sadar dan mengejar keluar ruangan depan, yang nampak hanya bayangan kedua orang musuh itu memasuki hutan yang sudah menjadi amat gelap. Mengingat akan lihainya dua orang itu, mereka tidak berani melakukan pengejaran di dalam gelap karena hal itu berbahaya sekali bagi mereka.


Min-san Mo-ko membanting-banting kakinya. “Keparat jahanam! Mereka dapat lolos!” Dia mengutuk.


“Jangan khawatir, Mo-ko,” kata Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. “Pemuda pakaian putih itu telah kuhadiahi tiga batang jarum beracunku, dia tentu takkan mampu berlari jauh dan akan mampus juga.”


“Dan aku melihat tadi pedangmu juga telah melukai dada Hay Hay,” kata Ji Sun Bi kepada suhung dengan suara menghibur. “Tentu dia tidak akan terlepas dari maut karena pedangmu yang beracun.”


Akan tetapi, ucapan dua orang wanita itu agaknya bahkan menambah kejengkelan hati Min-san Mo-ko. “Semoga segala iblis mengutuk mereka!” katanya dengan muka merah dan mata melotot. “Apa artinya luka-luka oleh jarum dan pedang beracun kalau mereka memiliki batu giok mustika itu?”


“Apa? Jadi batu giok itu terampas oleh mereka?”


“Hay Hay keparat itu yang merampasnya dari leherku. Besok setelah terang tanah kita harus melakukan pengejaran. Pemuda itu harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja bagi kita. Ahhh, bagaimana kita akan dapat menghadap Giam-lo kalau begini? Jaksa Kwan lolos, dan sekarang mustika batu giok juga terampas orang.” Min-san Mo-ko kelihatan marah dan juga bingung, takut akan kemarahan Lam-hai Giam-lo yang menjadi pimpinan mereka.


Kini pemuda tampan yang tadi muncul bersa Ji Sun Bi, melangkah maju dan berkata kepada Min-san Mo-ko, “Mo-ko, kenapa susah amat? Sungguh memalukan kalau kita yang begini banyak sampai tidak mampu membekuk bocah itu. Biarlah aku yang akan mencari dan membekuk mereka, atau setidaknya merampas kembali mustika batu giok itu.”

Min-san Mo-ko memandang kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya juga masih muda, sebaya dengan Hay Hay, dan pemuda ini pun memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dia sendiri sudah mengujinya dan memang pemuda ini patut menjadi sekutunya yang boleh diandalkan, walaupun pemuda ini tidak memiliki ilmu sihir. Dalam hal ilmu silat, agaknya dia sendiri pun belum tentu akan mampu mengalahkannya!

“Kita mencari mereka beramai-ramai besok pagi!” Dia hanya dapat berkata demikian karena terhadap pemuda yang baru saja menjadi sekutu mereka ini, dia tidak berani bersikap kasar atau keras.


“Tentang mustika batu giok itu, kiranya Giam-lo juga tidak akan terlalu menyesal karena sebagai gantinya, dia mendapatkan Sim-kongcu sebagai sahabat, dan Sim-kongcu sudah berjanji akan menghadiahkan sebuah benda mustika yang tidak kalah langkanya dibandingkan mustika batu giok itu kepada Lam-hai Giam-lo,” kata Ji Sun Bi sambil menggandeng tangan pemuda itu dan mengerling dengan sikap manja. Pemuda yang disebut Sim-kongcu (Tuan Muda Sim) itu hanya tersenyum, kemudian berkata dengan suara yang jelas membayangkan kebanggaan dirinya.


“Batu giok penawar racun seperti itu saja kiranya tidak perlu diperebutkan. Aku memiliki sebuah cawan arak yang dapat dipakai mengenal minuman atau makanan beracun. Cawan itu akan kuhadiahkan kepada Lam-hai Giam-lo sebagai tanda persahabatan, dan kini dapat dipakai sebagai pengganti mustika batu giok yang tak berhasil lita rampas itu



Mendengar janji ini, hati Min-san Mo-ko menjadi agak lega. Setidaknya, kemarahan Lam-hai Giam-lo akan berkurang kalau sebagai pengganti mustika batu giok, dia memperoleh seorang pembantu selihai pemuda ini, apalagi ditambah sebuag cawan pusaka yang langka.


Oleh karena itu, ketika pada keesokan harinya mereka tidak berhasil menemukan jejak Hay Hay dan Hui Lian, Min-san Mo-ko mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu dan menghadap Lam-hai Giam-lo memberi laporan.


Siapakah pemuda lihai yang kini agaknya baru saja bersekutu dengan gerombolan itu? Dia bukan lain adalah Sim Ki Liong, atau tadinya memakai she Ciang ketika berguru kepada Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Seperti telah kita ketahui, dengan siasat yang amat cerdik, ketika berusia empat belas tahun, Sim Ki Liong berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya karena dia pandai membawa diri, memperlihatkan diri sebagai seorang pemuda yang sopan santun, berbakti dan juga amat berbakat, suami isteri pendekar yang biasanya amat cerdik itu dapat dikelabuhi dan dia pun mendapat pelajaran ilmu silat yang hebat dari suami isteri itu selama enam tahun. Tidak pernah suami isteri itu melihat kelakuan buruk Ki Liong selama menjadi murid mereka dan tinggal di pulau itu, sampai kemudian datang puteri cucu perempuan mereka, yaitu Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong. Berkobarlah nafsu berahi dalam diri Ki Liong ketika dia melihat Kui Hong dan hampir tak tertahankan lagi sehingga dia pun bersikap ceriwis dan kurang ajar terhadap Kui Hong sehingga terjadi keributan. Agaknya karena memang sudah merasa pandai dan tidak betah lagi tinggal di pulau itu, setelah terjadi keributan dengan Kui Hong yang menolak keinginannya untuk bermesraan, Ki Liong lalu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa beberapa buah benda pusaka dan juga harta dari pulau itu, milik Pendekar Sadis dan isterinya! Di antara benda-benda pusaka itu, dia membawa pergi Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis, dan juga sebuah cawan pusaka yang amat langka karena minuman atau makanan apa saja yang mengandung racun, kalau ditaruh di dalam cawan, lalu nampak tanda hijau pada cawan perak itu!


Demikianlah, ketika meninggalkan pulau secara minggat, Ki Liong mencari ibunya yang tinggal di sebuah dusun. Hanya beberapa hari saja dia tinggal di situ. Setelah rasa rindu terhadap ibunya terobati, mulailah dia merantau untuk mencari musuh besarnya, pembunuh ayahnya. Menurut ibunya, pembunuh ayahnya itu bernama Siangkoan Ci Kang yang dahulu masih saudara seperguruan dengan ayahnya yang bernama Sim Thian Bu. Kata ibunya, Siangkoan Ci Kang adalah seorang laki-laki yang berkepandaian tinggi dan lengan kirinya buntung sebatas siku. Tidak sukar mencari orang yang buntung lengan kirinya, apalagi kalau orang itu seorang ahli silat yang lihai. Tentu akan mudah dia mencari keterangan di dunia kang-ouw, karena Si Lengan Buntung yang lihai itu tentu dikenal oleh banyak orang kang-ouw. Akan tetapi, ternyata harapannya itu sia-sia dan dugaannya meleset. Memang banyak orang mendengar nama Siangkoan Ci Kang, putera dari mendiang Siangkoang Lojin yang berjuluk Si Iblis Buta, akan tetapi semenjak belasan tahun sampai duapuluh tahun yang lalu, nama Siangkoan Ci Kang tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw dan tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang tahu di mana adanya jagoan itu.


Hal ini tidaklah aneh karena memang Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu “bersembunyi” di dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi orang-orang hukuman sehingga mereka berdua itu seolah-oleh lenyap dari dunia kang-ouw, bahkan dunia ramai.


Ki Liong tidak putus asa dan mencari terus sampai akhirnya dia tiba di daerah Propinsi Hu-nan dekat Telaga Tung-ting dimana dia berjumpa dengan Ji Sun Bi. Seperti kita ketahui, bersama teman-temannya, setelah tidak mampu mengalahkan Hay Hay dan Hui Lian, Ji Sun Bi juga melarikan diri dan seperti yang telah mereka rencanakan, mereka itu berkumpul di dalam kuil tua di mana terdapat para tosu Pek-lian-kauw yang untuk sementara menjadikan kuil itu sebagai tempat persembunyian mereka. Di antara para anggauta gerombolan itu dan Pek-lian-kauw memang sudah ada hubungan baik, apalagi kalau diingat bahwa Min-san Mo-ko sendiri adalah bekas seorang tokoh Pek-lian-kauw.


Ji Sun Bi tidak betah tinggal di kuil tua yang buruk itu dan ia pun berkeliaran keluar kuil, dan mendaki bukit itu, keluar dari dalam hutan. Dan di puncak bukit inilah ia melihat seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Seperti biasa, setiap kali bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah, tergeraklah hati Ji Sun Bi dan gairahnya pun timbul. Melihat pemuda itu melangkah seorang diri dari atas puncak bukit menuju turun, Ji Sun Bi cepat mencubit pahanya sendiri sampai kain celananya robek dan kulit pahanya membiru, kemudian ia rebah di atas tanah di dekat jalan setapak sambil merintih-rintih.


Ketika Ki Liong berjalan seenaknya menuruni bukit itu, tentu saja dia melihat seorang wanita yang rebah miring di atas tanah sambil merintih-rintih itu. dia terkejut sekali dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah menghampiri wanita itu. Wanita itu amat cantik manis, mukanya bulat dan kulitnya putih mulus, tubuhnya padat dan menggairahkan. Sepasang pedang yang melintang di punggungnya menunjukkan bahwa wanita itu bukan wanita sembarangan.


“Aduhh…. aughh…. aduuuhh…” Ji Sun Bi merintih-rintih, pura-pura tidak melihat orang yang datang menghampirinya.


“Toanio, siapakah engkau dan apakah yang telah terjadi?” Ki Liong bertanya kepada wanita yang dia takisr usianya tentu beberapa tahun lebih tua darinya walaupun masih cantik dan menarik sekali.


Ji Sun Bi menoleh dan seolah-olah baru melihat Ki Liong, tiba-tiba saja ia bangkit duduk dan meloncat berdiri dengan kaki terpincang, memasang kuda-kuda dan memegang gagang pedangnya. “Engkau siapa…?” bentaknya seperti orang yang khawatir menghadapi musuh dalam keadaan terluka.


Ki Liong tersenyum dan Ji Sun Bi yang mata keranjang itu merasa jantungnya jungkir balik melihat betapa tampannya pemuda ini kalau tersenyum.


“Toanio, jangan salah kira. Aku bukan musuhmu, aku hanya kebetulan saja melihat engkau rebah di sini dan merintih kesakitan. Apakah engkau sakit, Toanio? Barangkali aku dapat menolongmu…..?”



Tidak! Engkau tentu seorang musuh!” kata Ji Sun Bi dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan kedua tangannya, menggunakan jurus pukulan yang ampuh. Tangan kirinya menotok ke arah leher sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah lambung. Serangan hebat ini dilakukan Ji Sun Bi bukan untuk mencelakakan orang, melainkan untuk menguji apakah pemdua ini seorang yang memiliki kepandauan silat seperti yang diduganya, melihat cara pemuda itu tadi berlompatan menghampirinya. Kalau pemuda ini tidak pandai silat, atau tidak begitu pandai sehingga jurusnya ini terlalu berbahaya baginya, tentu ia akan menarik kembali tangannya.


Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ji Sun Bi ketika melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak ata menangkis, melainkan membuat gerakan aneh dengan kedua tangannya dan tahu-tahu kedua pergelangan tangannya sudah dipegang oleh pemuda itu! Sepasang lengan pemuda itu tadi bergerak sedemikian cepatnya seperti dua ekor ular saja, mendahului serangannya. Serangannya disambut oleh serangan pula dan tahu-tahu kedua pergelangan tangannya sudah di pegang dan ia tidak berdaya!


Ki Liong memperlebar senyumnya. “Aku bukan musuhmu! Aku tidak mungkin mau bermusuhan dengan orang secantik engkau, lebih suka kalau bersahabat denganmu, Toanio.” Ki Liong melepaskan pegangannya dan Ji Sun Bi yang merasa terkejut, heran dan juga girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini lihai bukan main dan juga ingin bersahabat, lalu sengaja terhuyung dan terpincang lalu rebah pula, seolah-olah kaki kanannya menjadi lumpuh.


“Aduuuh….!”

Kembali Ki Liong sudah berlutut di dekatnya. “Engkau kenapakah, Toanio? Apanya yang sakit?”

Ji Sun Bi berlagak menahan sakit, mengigit bibirnya kemudian berkata dengan alis berkerut, “Aku dan kawan-kawan… baru saja berkelahi dengan musuh, dan aku terluka…. pada paha kananku, aduuhh…..!” Dan ia memijit paha kananya.


Ki Liong merasa kasihan. “Bolehkah aku memeriksanya, Toanio? Mungkin aku dapat menolongmu karena aku membawa obat yang manjur sekali untuk menyembuhkan luka…”

Ji Sun Bi mengangguk dan Ki Liong lalu memeriksa paha kanan itu. Dia membuka kain celana yang terobek cukup lebar sehingga nampaklah paha yang mulus karena kulitnya putih mulus, akan tetapi ada nampak biru kemerahan bekas cubitan. Setelah memeriksa dengan teliti, Ki Liong hampir tertawa, akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahannya. Paha itu tidak apa-apa, hanya kulit paha yang halus hangat itu saja yang membiru bekas cubitan. Akan tetapi, dia mengelus paha itu dan jantungnya berdebar penuh gairah. Wanita ini cantik sekali, tubuhnya padat dan pahanya demikian mulus!


“Lukanya tidak parah, Toanio, akan segera sembuh setelah kuurut dan kupijit,” kata Ki Liong sambil mengelus-elus kulit paha yang membiru itu. Diam-diam Ji Sun Bi merasa girang sekali. Jelas ada tanda-tanda bahwa pemuda ini menyambut dan suka kepadanya, seorang pemuda yang tampan dan gagah, bahkan ia menduga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi! Ketika pahanya dielus seperti itu, ingin ia langsung saja merangkul pemuda itu, akan tetapi ditahannya karena ia tidak mau gagal, seperti yang pernah terjadi dengan Hay Hay.



“Terima kasih, ahh… terasa nyaman sekarang….”


Ki Liong tersenyum, elusan tangannya semakin berani. “Enak…?”


“Enak sekali, terima kasih, nyerinya hampir hilang…. ah, sobat yang baik, engkau tadi demikian mudah menangkap kedua pergelangan tanganku. Engkau yang lihai dan baik hati ini, siapakah engkau?”


Tanpa melepas jari-jari tangannya yang mengelus dan membelai, Ki Liong memandang wajah manis itu dan menjwab. “Namaku Sim Ki Long, aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan bertemu denganmu, Toanio…” Dia memandang paha itu dan melihat kulit paha yang demikian putih mulus, demikian hangat terasa di tangannya, Ki Liong lalu menunduk dan mencium paha itu.


Makin keras jantung Ji Sun Bi berdegup dan mukanya menajdi kemerahan, tanda bahwa nafsunya telah naik ke kepala. Sungguh beruntung, pikirnya, sekali ini ia menemukan seorang pemuda yang begini heban dan menyenangkan!


“Sim-kongcu…. engkau tentu seorang pemuda bangsawan atau hartawan, jangan menyebut Toanio kepadaku karena aku belum…. belum menikah, eh, namaku Sun Bi, Ji Sun Bi….” Suara Sun Bi sudah tidak karuan karena napasnya semakin memburu.


“Baiklah, Enci Sun Bi. Wah, engkau cantik sekali….”


Sun Bi tidak dapat menahan dirinya lagi dan tiba-tiba ia memeluk dan mencium pemuda itu. Makin gembira hati Sun Bi ketika pemuda itu membalas ciumannya, ia mendapat kenyataan betapa canggung pemuda ini melakukan hal itu, menandakan bahwa pemuda yang menarik hatinya ini adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman. Ia lalu menarik pemuda itu rebah di atas rumput dan kegembiraannya makin besar ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia bertemu dengan seorang perjaka tulen! Dengan penuh gairah dan kesukaan hati ia pun lalu mengajar dan membimbing pemuda itu untuk memuaskan berahi dan gairah mereka. Dan dalam hal ini, tentu saja Sun Bi merupakan seorang guru yang amat pandai dan berpengalaman bagi Ki Liong!

Tak lama kemudian, dengan hati yang girang sekali, seperti menemukan sebuah mustika yang hebat, Ji Sun Bi sudah menggandeng tangan Ki Liong dan diajaknya pemuda ini menemui Min-san Mo-ko dan yang lain-lain, memperkenalkan pemuda itu sebagai sahabat barunya, sebagai kekasihnya!



“Suhu, Sim Ki Liong ini adalah sahabat baikku yang boleh dipercaya dan jangan pandang rendah, Suhu, dia amat lihai. Ilmu kepandaiannya tidak kalah dibandingkan dengan siapapun juga, dan andaikata dia membantu ketika kita menghadapi dua orang musuh itu, tentu pihak kita tidak akan kalah!”



Ji Sun Bi adalah murid merangkap kekasih Min-san Mo-ko, akan tetapi Iblis dari Min-san ini tidak merasa cemburu melihat Sun Bi yang gila lelaki itu mendapatkan kekasih baru. Akan tetapi, diam-diam dia merasa tidak senang mendengar ucapan Sun Bi yang memuji-muji Ki Liong dan mengatakan bahwa pemuda ini tidak akan kalah dibandingkan dengan siapapun juga. Ucapan itu seperti merendahkan dirinya, seolah-olah dia sendiri pun tentu kalah oleh pemuda yang menjadi kekasih Sun Bi ini. Dia merasa penasaran dan ingin menguji sampai di mana kebenaran pujian Sun Bi.


“Benarkah demikian? Kalau memang Sim-kongcu benar lihai dan dapat menahanku sampai sepuluh jurus, sungguh aku merasa girang sekali karena kita mendapatkan seorang sekutu baru yang boleh diandalkan.”


Ki Liong memang memiliki watak yang tinggi hati. Merasa bahwa dia adalah murid Pendekar Sadis dan isterinya, dia merasa seolah-olah kepandaian silatnya sudah paling tinggi dan tidak ada lawannya! Maka, kini dia pun memandang rendah kepada orang tua yang diperkenalkan oleh Sun Bi sebagai gurunya dan yang bernama Min-san Mo-ko itu.


Kini semua orang telah berkumpul disitu, ingin sekali melihat pimpinan mereka menguji kepandaian pemuda yang baru tiba, juga anak buah gerombolan itu berkumpul di situ dengan hati tegang. Setelah memandang ke sekeliling, Ki Liong menghampiri Min-san Mo-ko dan dengan lantang berkata, “Mo-ko, aku pun ingin sekali melihat apakah engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, karena kalau begitu halnya, engkau bukan hanya pantas menjadi pimpinan kelompok ini, bahkan pantas menjadi guruku!”


“Bagus!” Min-san Mo-ko menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu dia sudah berdiri di depan Ki Liong. “Orang muda, sambutlah seranganku!” Dan dia pun sudah menyerang dengan amat ganasnya, menyambung suaranya yang melengking tadi. Tangannya bergerak cepat sekali mencengkeram ke arah kepala Ki Liong, disusul tendangan ke arah pusar.


“Hemmm….!” Ki Liong tenang saja dan dengan amat mudah dia miringkan tubuh mengelak, sedangkan tendangan itu ditangkisnya dengan tangan terbuka. Tendangan itu mental dan kedua pihak kini maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang amat kuat! Jurus pertama gagal, disusul jurus kedua dan makin lama, serangan Min-san Mo-ko menjadi semakin dahsyat dan berbahaya. Namun, bukan saja Ki Liong mampu mengelak dan menangkis, bahkan tiga kalidia mampu membalas dengan serangan yang tentu akan mencelakakan diri Min-san Mo-ko kalau saja Ki Liong tidak menahan dan menarik kembali serangannya sambil tersenyum.


Jurus kesepuluh merupakan serangan paling hebat. Tubuh Min-san Mo-ko melayang ke depan, tangan kirinya dengan jari terbuka menotok ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke bawah pusar, kebagian tubuh yang paling lemah dan berbahaya bagi seorang pria. Ji Sun Bi sampai mengeluarkan jerit tertahan melihat kekasihnya terancam demikian hebatnya!


Namun, Ki Liong masih tersenyum saja, kakinya bergeser dan lutut kirinya terangkat melindungi bawah pusar, tangan kanannya meluncur bagaikan ular mematuk menyambut totokan pelipisnya, dan tangan kirinya sudah menyelinap masuk dan tahu-tahu sudah menyentuh ulu hati di dada Min-san Mo-ko! Tentu saja Min-san Mo-ko terkejut bukan main dan dia pun sudah meloncat jauh ke belakang, mukanya agak pucat karena dia maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, sekarang dia sudah menjadi mayat atau setidaknya akan terluka parah. Tak disangkanya bahwa bukan saja pemuda itu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan berkali-kali mampu membalas dan yang terakhir kalinya malah memperlihatkan keunggulannya!


Dia pun mengangguk-angguk. “Sim-kongcu memang hebat! Sun Bi tidak salah memilih kawan dan kami merasa girang sekali mendapatkan seorang sekutu seperti Sim-kongcu. Lam-hai Giam-lo tentu akan girang pula menerimamu, Sim-kongcu.”


Tentu saja Ji Sun Bi girang dan bangga sekali dan di depan demikian banyaknya orang, wanita ini segera merangkul dan mencium mulut Ki Liong begitu saja! Tentu saja Ki Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Sun Bi menarik tangannya diajak keluar dari kuil, diikuti suara ketawa para anggauta gerombolan itu. Seperti mendapatkan barang mainan baru yang amat menarik hatinya, Ji Sun Bi mengajak Ki Liong menjauhi kuil dan bersenang-senang sepuas hatinya dengan pemuda itu. Di lain pihak Ki Liong baru saja terjunke dalam dunia yang baru ini, merasa senang sekali memperoleh seorang kawan, kekasih dan juga guru dalam permainan cinta yang demikian pandai dan berpengalaman seperti Ji Sun Bi.


Baru ketika senja hari itu Hay Hay dan Hui Lian menyerbu kuil dan Hay Hay berhasil merampas mustika batu giok, Ji Sun Bi dan Ki Liong muncul dan mereka segera membantu sehingga dua orang lawan itu akhirnya melarikan diri. Ki Liong berjanji akan menghadiahkan caran arak pusaka itu untuk diberikan kepada Lam-hai Giam-lo sebagai pengganti mustika batu giok yang telah lenyap dirampas lawan. Memang pemuda ini memiliki beberapa benda pusaka yang langka, yaitu yang dicurinya dari Pulau Teratai Merah.

Dengan munculnya Sim Ki Liong maka pihak gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo menjadi semakin kuat, dan hal ini merupakan ancaman bagi keamanan, juga bagi para pendekar. Sim Ki Liong sendiri mengharapkan untuk mendapatkan bantuan kawan-kawan barunya dalam mencari musuh besarnya, yaitu Siangkoan Ci Kang



Guha itu lebar sekali, tidak kurang dari sepuluh tombak lebarnya dan empat tombak dalamnya, walaupun bagian depannya tertutup batu-batu besar dan jalan masuk ke dalam guha itu hanya sebesar tubuh orang saja, itu pun masih tertutup semak-semak sehingga jarang ada orang luar yang mengetahui bahwa di balik semak-semak itu terdapat sebuah guha yang demikian lebarnya. Juga guha itu tidak gelap karena bagian atasnya terdapat lubang besar dari mana sinar matahari dapat masuk. Tidak mengherankan apabila gerombolan Min-san Mo-ko tidak mampu menemukan dua orang buronan yang menyembunyikan diri di dalam guha itu.


Sebelum kini terpaksa melarikan diri bersama Hui Lian, dalam perantauannya, secara kebetulan Hay Hay pernah menemukan guha ini, oleh karena itu ketika mereka melarikan diri membawa luka yang cukup parah karena mengandung racun, dia mengajak Hui Lian memasuki guha itu dan tersembunyi. Malam itu tentu saja di dalam guha amat gelapnya. Mereka tidak dapat saling memeriksa luka, dan begitu masuk ke dalam dan membetulkan lagi semak-semak dari sebelah dalam agar menutupi lubang guha, Hay Hay bertanya.


“Bagaimana, Enci Hui Lian, parahkah luka yang kauderita?” Dalam suara Hay Hay terkandung kekhawatiran besar karena ketika melarikan diri tadi, wajah Hui Lian nampak pucat dan larinya kadang terhuyung.


Di dalam kegelapan guha itu, Hui Lian meraba pinggul kanannya dan ia menahan rintihannya. Pinggul kanan itu membengkak dan rasanya panas, gatal dan sakit bukan main.

“Pinggul kananku… agaknya terkena jarum-jarum berbisa,” katanya, akan tetapi ia pun teringat akan keadaan Hay Hay sendiri yang juga terluka dadanya. “Dan bagaimana dengan luka di dadamu, Hay-te?”


Hay Hay merasa betapa luka di dadanya juga amat parah, walaupun ujung pedang itu hanya menggores dan merobek kulit dan daging, tidak sampai memasuki rongga dada, namun karena ujung pedang itu mengandung racun, kini lukanya membengkak dan rasanya panas bukan main, sampai menembus ke seluruh tubuhnya! Akan tetapi, kawannya itu sedang terluka parah, tidak baik kalau dibuat khawatir pula.


“Ah, hanya tergores sedikit kulit dadaku, tidak apa-apa, Enci Lian. Akan tetapi luka di pinggulmu itu….. ah, apakah jarum-jarum itu sudah kaucabut?”


“Mana bisa mencabutnya? Jarum-jarum itu masuk ke dalam!” kata Hui Lian agak khawatir juga karena ketika meraba dengan jari-jari tangannya, ia tidak merasakan adanya gagang jarum di permukaan kulit pinggul. “Agaknya ada tiga batang yang menembus kulit….”


“Ingatkah engkau siapa di antara mereka yang melepas jarum-jarum itu?”


“Ketika aku membalik, kulihat perempuan bermuka mayat yang pakaiannya serba hitam itulah…”

“Celaka!” Seru Hay Hay. “Ia adalah Tong Ci Ki, Si Jarum Sakti! Jarum-jarumnya mengandung racun yang amat berbahaya, tidak kalah jahatnya dibandingkan jarum-jarum dari Ma Kim Li! Mari, Enci, aku harus membantumu mengeluarkan jarum-jarum itu!”

“Tapi… begini gelap, biarlah kulawan dengan samadhi dan mengerahkan sinkang. Besok kalau sudah terang baru kita…”


“Besok bisa terlambat, Enci. Biar kubuat api unggun!” kata Hay Hay lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian, sinar api unggun mengusir kegelapan dalam guha dan mereka dapat saling pandang. Keduanya terkejut ketika melihat betapa wajah masing-masing pucat kehijauan tanda bahwa hawa beracun mulai menguasai mereka!

“Bagaimana kalau mereka melihat api unggun dan datang menyerbu?” tanya Hui Lian.

“Mereka tidak akan melihatnya, sinar api tertutup sama sekali. Dan pula, tidak perlu kita memikirkan itu, yang penting sekarang harus mengeluarkan jarum-jarum itu…”


“Tapi… tapi….” tentu saja Hui Lian merasa rikuh bukan main. Bagaimana mungkin ia dapat membiarkan pemuda ini mengeluarkan jarum-jarum dari pinggulnya?

Mengeluarkannya sendiri, tentu saja tidak mungkin karena kedua tangannya hanya mampu menjangkau tempat itu, juga tangannya hanya mampu meraba-raba saja dan ia tidak dapat melihatnya. Kalau dibiarkan Hay Hay melakukannya, berarti membiarkan Hay Hay melihat pinggulnya! Bukan hanya melihat, bahkan meraba dan menyentuhnya! Bagaimana mungkin ini?


“Kenapa engkau masih ragu-ragu, Enci? Bukankah berbahaya sekali kalau dibiarkan saja? Marilah, biarkan aku memeriksa luka itu!” Hay Hay mendekati Hui Lian yang duduk bersandar dinding guha dan dia pun berlutut, tangannya diulur ke arah pinggul.


“Tidak….! Jangan…..!” Hui Lian membentak dan terkejutlah Hay Hay mendengar kemarahan dalam bentakan ini. Ketika dia memandang, Hui Lian sedang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan mendelik marah!


“Eh, kenapa Enci Lian?”


“Bagaimana…. bagaimana engkau berani kurang ajar kepadaku?”


Hay Hay melongo. “Wah, kurang ajar? Apa maksudmu, Enci Lian? Aku tidak pernah kurang ajar kepadamu.”


“Engkau hendak melihat pinggulku, bahkan mungkin memeriksa dan merabanya, dan engkau bilang tidak kurang ajar?” Gadis itu kini marah sekali dan ingin ia menampar muka pemuda itu, kalau saja ia tidakmelihat betapa wajah pemuda itu pun pucat dan nampak kesakitan.



Hay Hay tersenyum karena tiba-tiba dia mengerti dan melihat kelucuan dalam keadaan mereka itu. “Wah, Enci Lian, pikirkan baik-baik sebelum engkau menuduh aku yang bukan-bukan. Pinggulmu terluka oleh jarum beracun, bukan? Nah, bagaimana aku tidak akan melihat pinggulmu kalau hendak menolongmu dan memeriksa pinggul itu? Dalam keadaan seperti ini, di waktu engkau terancam bahaya maut, mengapa memikirkan soal kecil itu, Enci? Baiklah, biarkan aku memeriksa dan mengobati pinggulmu, lupakan kekurangajaranku, dan nanti setelah aku berhasil mengeluarkan jarum-jaurm itu dan mengobati lukamu, engkau boleh menghukum aku karena kekurangajaranku. Aku tidak akan melawan. Bagaimana, akur?”


Lega hati Hui Lian. Bagaimanapun juga, ia akan dapat membalas “kekurangajaran” itu nanti. “Akur, akan tetapi engkau tidak boleh berbohong dan melanggar janji.”


“Aku tidak pernah berbohong.”


“Hemm, laki-laki paling pandai berjanji, akan tetapi paling pandau pula melanggar janji sendiri!”

“Tapi aku tidak. Nanti boleh kau hukum aku sesuka hatimu, Enci Lian. Akan tetapi sekarang biarkan aku memeriksa lukamu.” Dan kini Hui Lian rebah menelungkup, memejamkan mata dan menyembunyikan muka di atas kedua lengannya, membiarkan Hay Hay memeriksa lukanya. Seluruh bulu di tubuhnya meremang ketika ia merasa betapa Hay Hay menyentuh lembut pinggulnya di luar celana.


“Enci Lian, celanamu harus dilepas…. eh, maksudku, harus diturunkan agar aku dapat memeriksa keadaan luka di pinggulmu…”


“Kurang ajar engkau….!” Hui Lian membantak dan ia merasa malu bukan main, akan tetapi jari tangannya melepaskan tali celana itu dan dengan hati-hati ia menurunkan bagian belakang celana itu agar pinggul yang terluka itu nampak. Ia menggigit bibir menahan rasa nyeri dan malu.


Akan tetapi, pada saat itu, seluruh perhatian Hay Hay ditujukan untuk memeriksa keadaan luka. Dia melihat betapa pinggul kanan itu membengkak, merah kebiruan dan tiga titik hitam sejajar di situ. Dia meraba dengan hati-hati, akan tetapi jari-jari tangannya tidak merasakan adanya ujung gagang jarum, maka tahulah dia bahwa jarum-jarum itu terbenam ke dalam daging pinggul!




“Enci Lian, tahankanlah, tentu agak sakit, akan tetapi satu-satunya jalan untuk mengeluarkan jarum hanya begini…” Dan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan kepada gadis itu untuk membantah karena Hay Hay tahu bahwa gadis itu tentu akan keberatan, dia cepat menundukkan mukanya dan menempelkan mulutnya di atas tiga titik hitam itu!


“Aihh… kau…. kau….. keparat……!” Hui Lian berseru, akan tetapi rasa sakit yang luar biasa kini menggantikan rasa malu ketika Hay Hay mengerahkan tenaga khikang untuk menyedot dengan mulutnya. Hui Lian mengaduh dan merintih, lupa akan rasa malu betapa mulut pemuda itu menempel dipinggulnya. Hay Hay melepaskan kecupannya dan meludahkan tiga batang jarum kecil hitam ke atas tanah.


"Sudah keluar jarum-jarum itu, akan tetapi racunnya harus diketuarkan sampaibersih, Enci Lian." katanya dan kembali dia menyedot dengan mulutnya melalui tiga lubang kecil bekas jarum. Nyeri bukan main rasanya bagi Hui Lian, akan tetapi rasa malu bersaing dengan rasa nyeri sehingga ia mampu menahan keduanya!


Setelah berkali-kali menyedot dan meludahkan darah hitam, akhirnya Hay Hay melihat darah merah keluar dari lubang-lubang kecil itu dan dia pun menghentikan penyedotannya.

"Semoga racunnya sudah keluar, Enci. Kini tinggal memberi obat luka." Dia me-ngambil obat luka berupa bubukan putih yang dibuatnya dari kulit pohon yang dikeringkan,dan menaburkan bubukan itu pada luka di pinggul, lalu memijit-mijitnya sehingga bubukan putih memasuki lubang dan menutupnya.


"Nah, selesailah sudah, Enci Lian." katanya. Ketika dia hendak membantu menaikkan celana itu, Hui Lian merenggutnya dan menaikannya sendiri, lalu mengikatkan kembali tali celana. Ia lalu bangkit duduk dan tiba-tiba saja tangannya menampar muka Hay Hay sampai tiga kali.


"Plak! Plak! Plak!" Dua kali tangan kanan menampar pipi kiri dan satu kali tangan kirinya menampar pipi kanan pemuda itu. Demikian tiba-tiba dan keras sehingga terdengar suara nyaring dantubuh Hay Hay terguncang ke kanan kiri, kemudian roboh!


Hui Lian yang merasa malu dan marah, melihat wajah pemuda itu dan dia pun terkejut sekali. Pemuda ini seperti orang pingsan, atau setengah pingsan, nampak lemah sekali dan mukanya menjadi kehitaman, juga kedua ujung bibirnya berdarah.


"Hay-te …..!" Hui Lian berseru memanggil dan mengguncang-guncang pundak pemuda itu, namun Hay Hay kelihatan semakin lemah. Hui Lian semakin terkejut dan gelisah. Apakah tamparannya tadi demikian kuatnya? Kalau bibir pemuda itu berdarah, hal ini tidak aneh, akan tetapi mengapa Hay Hay sampai pingsan?


"Hay-te, maafkan aku... ah, engkau sadarlah ….!" katanya lagi dan kini ia cepat melakukan pemeriksaan. Denyut nadi pemuda itu lemah sekali, dan napasnya juga memburu! Ah, ingatlah dia bahwa pemuda ini pun terluka parah. Cepat Hui Lian merobek baju di bagian dada pemuda itu, dan nampak betapa di dada sebelah kanan terdapat luka yang cukup lebar dan luka itu melepuh, membengkak dan kehitaman! Racun yang jahat telah membuat luka itu menjadi parah dan berbahaya sekali! Ia harus cepat menolongnya. Dengan cekatan, jari-jari tangan Hui Lian membuka kancing-kancing baju itu, dengan maksud membuka baju agar lebih mudah ia berusaha mengobati. Ketika ia hendak menanggalkan baju itu, tiba-tiba ada sebuah benda terjatuh keluar dari saku baju dan kebetulan sekali benda itu terjatuh ke atas dada Hay Hay, tepat di atas luka di dadanya.



Hui Lian hendak mengambil benda itu dan ia mengeluarkan seruan kaget, menahan tangannya. Benda itu adalah sebuah batu giok berwarna belang-belang merah dan hijau dan kini benda yang berkilauan terkena sinar api unggun itut perlahan-lahan berubah menjadi menghitam, dan warna hitam pada luka di dada itu perlahan-lahan menghilang! Teringatlah Hui Lian akan mustika batu giok milik Jaksa Kwan yang dirampas penjahat dan agaknya Hay Hay telah dapat merampasnya kembali dan ia pun teringat akan kata-kata jaksa tinggi itu bahwa mustika itu merupakan benda langka penawar racun!

Dengan hati girang Hui Lian memegang benda itu dan kini sengaja menggosok-gosokkan perlahan-lahan ke atas luka dan tepat seperti yang diduganya, makin digosokkan, benda itu berubah makin menghitam dan luka itu pun dengan cepat sekali mengempis dan kehilangan warna hitamnya.


Hay Hay bergerak dan mengeluh. "Wah, apa dingin-dingin sekali di atas dadaku itu, Enci Lian?"

Melihat keadaan Hay Hay telah sembuh secara cepat itu, Hui Lian merasa lega bukan main dan ia pun tersenyum. Hay Hay sampai melongo melihat Hui Lian tersenyum. Bukan main cantiknya gadis ini kalau tersenyum, senyum wajar pertama kali yang dilihatnya.

"Enci Lian, engkau... cantik sekali kalau tersenyum." kata Hay Hay dan kembali berkerut alis Hui Lian. Bocah ini sungguh perayu benar, baru saja sadar dari pingsan, pertama kali yang dilakukan adalah memuji kecantikannya!


"Hay-te, engkau membawa mustika batu giok ini yang dengan mudah menyedot semua racun dari dadamu, kenapa tidak kaupergunakan ketika engkau menolong aku?"


Hay Hay bangkit duduk, memeriksa dadanya sendiri dan dia menjadi kagum. Dilihatnya batu giok itu yang kini sudah diletakkan di atas lantai guha oleh Hui Lian dan perlahan-lahan, dari batu giok itu menetes cairan hitam, dan perlahan-lahan batu giok itu memperoleh kembali cahaya dan warnanya merah hijau, warna hitam makin lenyap bersama cairan yang keluar. Benar-benar benda mustika yang langka dan mujijat!


“Ah, sungguh... aku lupa sama sekali tentang batu giok ini, Enci Lian. Aku... ahhh ….." Tiba-tiba Hay Hay memegang kepala dengan kedua tangannya karena kepala itu terasa pening dan bumi seperti terputar, akan tetapi dia memaksa diri melanjutkan, "Aku terlalu khawatir setelah memeriksa pinggulmu... eh, pinggulmu itu indah sekali dan membengkak merah kehitaman... dan keringatmu harum sekali, Enci ….”


“Gila ……!" Hampir saja Hui Lian menampar muka Hay Hay, akan tetapi tiba-tiba saja ia melihat pemuda itu terkulai dan roboh pingsan! Tentu saja Hui Lian menjadi terkejut.

"Hay-te, ada apakah ……..?" Ia mendekat dan lebih kaget lagi ketika ia menyentuh dahi pemuda itu terasa panas. Kiranya racun dari pedang Min-san Mo-ko amatlah jahatnya sehingga tadi telah menimbulkan hawa beracun dalam tubuh Hay Hay sehingga walaupun racunnya sudah tersedot oleh batu giok, namun kini meninggalkan demam yang cukup hebat pada diri Hay Hay. Hal ini adalah karena tadi Hay Hay mengerahkan khikang ketika menyedot racun dan jarum dari pinggul Hui Lian sehingga pengerahan khikang ini membuat hawa beracun terdorong semakin dalam ke dadanya.


Maklum bahwa Hay Hay terserang demam, Hui Lian lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Hay Hay dan dengan pengerahan hawa sakti dari tubuhnya, ia membantu pemuda itu mengusir hawa beracun itu. Lambat laun, terjadi perubahan pada diri Hay Hay. Napasnya normal kembali, mukanya menjadi merah biasa dan panasnya menurun. Hui Lian melepaskan tangannya dan membiarkan pemuda itu tertidur. Sampai lama ia mengamati wajah pemuda itu dan hatinya semakin tertarik. Terngiang di telinganya kata-kata Hay Hay yang memuji-mujinya, memuji betapa cantiknya kalau ia tersenyum, bahkan sebelum pingsan tadi memuji bahwa pinggulnya indah dan keringatnya harum! Teringat hal ini, Hui Lian tersenyum. Bocah kurang ajar, pikirnya sambil tersenyum memandang wajah itu. Wajah yang masih kekanak-kanakan, namun sungguh amat menarik hatinya. Jantungnya berdebar dan bergeloralah gairahnya terhadap Hay Hay. Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, pandai merayu dan menarik hati walaupun sikapnya agak nakal dan kurang ajar. Tanpa disadarinya lagi, tangan kirinya bergerak menyentuh dan meraba wajah pemuda itu, mengusap dagunya, bibirnya yang tadi tanpa ragu-ragu menyedot luka beracun di pinggulnya, mulut yang tadi sampai berdarah karena ditamparnya. Ia telah menamparnya dengan keras setelah pemuda itu menyelamatkan nyawanya dan setelah pemuda itu tanpa rasa jijik sedikit pun menyedot luka beracun di pinggulnya. Ia merasa terharu dan kedua matanya basah.


"Hay Hay, kaumaafkan aku …." bisiknya.


Hay Hay membuka matanya, berkejap lalu bangkit duduk setelah melihat bahwa dia rebah di atas lantai guha dan gadis itu duduk bersimpuh di dekatnya.


"Enci Lian, apakah aku tertidur? Aku seperti dalam mimpi mendengar engkau bicara padaku, seperti maaf-maaf begitu. Apa sih yang kaukatakan, Enci Lian?"


Hui Lian tersenyum. Kadang-kadang Hay Hay bersikap kekanak-kanakan dan ia merasa seperti bicara dengan adiknya sendiri, apalagi mendengar pemuda itu menyebutnya "Enci Lian" secara demikian akrabnya.


"Tidak apa-apa, Hay-te. Ti'durlah, biar aku menjagamu…..!”


"Tidak, Enci Lian. Aku tidur enak-enakan dan engkau yang berjaga kalau ada musuh datang? Wah, itu terbalik namanya, Enci. Engkau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki. Engkaulah yang tidur dan aku yang berjaga."


"Akan tetapi engkau baru saja pingsan dan demam, juga biarpun perempuan aku lebih tua, engkau kanak-kanak.



Hay Hay yang sudah pulih kembali kesehatannya memandang wajah Hui Lian sambil tersenyum. "Enci yang baik, jangan katakan aku kanak-kanak, aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran sekalipun!"

"Ih, engkau memang ceriwis, mata keranjang, tak senonoh kata-katamu!"


Hay Hay membelalakkan matanya. "Wah, seenaknya engkau memaki aku, Enci Lian. Di bagian mana kata-kataku yang tidak senonoh?" Dia mengingat-ingat, alisnya berkerut. "Belum banyak aku bicara padamu, hemm... tadi, aku memuji bahwa engkau cantik, dan keringatmu berbau harum dan... dan pinggulmu indah …."


"Nah, itulah! Tutup mulutmu, Hay Hay, engkau sungguh lancang dan tak tahu malu!"


"Eihhh? Kenapa, Enci? Apa salahnya kalau aku memuji sesuatu yang memang indah dan pantas dipuji? Bukankah pujian itu menunjukkan kejujuranku dan tidak pura-pura? Memang mataku melihat sesuatu yang indah, mulutku langsung memuji, salahkah itu?"


"Tapi bukan... eh, pinggul! Tidak sopan itu menyebut-nyebutnya juga sudah tidak sopan
dan harus malu!"


Hay Hay menggaruk-garuk belakang telinganya. "Lhoh! Kenapa tidak sopan? Apa salahnya kalau aku menyebut pinggul, pinggul, pinggul! Bukankah memang kita manusia ini semua berpinggul? Apa bedanya kukatakan pinggulmu indah, dengan matamu indah, tanganmu indah dan sebagainya?"


"Cukup! Jangan membikin marah padaku! Engkau masih kanak-kanak, aku lebih tua darimu dan tidak pantas kalau engkau merayuku dengan kata-kata manis dan pujian-pujian muluk dan kotor!"


"Aku semakin penasaran, Enci. Maafkan, aku bukan bermaksud menghinamu. Engkau memang lebih tua, akan tetapi hanya satu dua tahun saja dan itu sama sekali tidak ada artinya. Dan aku bukan kanak-kanak! Usiaku sudah dua puluh satu tahun dan banyak pria berusia dua puluh satu sudah mempunyai dua tiga orang anak! Aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran. Dan aku memujimu dengan jujur, sama sekali bukan merayu, aku hanya mengatakan apa adanya saja menurut penglihatanku!"


Melihat pemuda itu berkata keras penuh rasa penasaran, Hui Lian berbalik menjadi geli. "Hemm, kalau menurut penglihatanmu bagaimana?" tanyanya, tertarik juga karena pemuda ini jelas tidak bermaksud kurang ajar kepadanya.


Dengan sepasang matanya yang tajam mencorong itu Hay Hay memandang seluruh bagian tubuh Hui Lian dari kepala sampai ke kaki, kemudian memandang wajah gadis itu dan berkata ragu, "Kalau aku bicara terus terang, apakah engkau tidak akan marah lagi, Enci Lian?"


Gadis itu menggeleng kepala tanpa menjawab.


"Baiklah, aku bicara menurut hasil penglihatanku. Engkau seorang gadis yang sudah matang, beberapa tahun lebih tua dariku, jiwamu sederhana dan engkau suka akan kebersihan, wajahmu cantik menarik dan manis, dengan sepasang matamu yang indah, jeli dah tajam, hidungmu yang kecil mancung dan mulutmu yang menggairahkan, dengan bibir merah basah, barisan gigi putih rapi, dagu meruncing manis, rambutmu hitam panjang dan berombak, lehermu berkulit putih mulus dan panjang, tubuhmu padat dan memiliki lekuk lengkung yang sempurna, dengan pinggang ramping, dada membusung dan pinggul penuh, kedua lenganmu bulat penuh dan jari-jari tanganmu panjang kecil lembut, kakimu kecil mungil dengan paha dan betis panjang. Engkau cantik manis, jiwamu gagah perkasa biarpun ada suatu kedinginan dan kegalakan tersembunyi di balik gerak bibirmu, dan yang amat mengagumkan adalah keringatmu yang berbau harum, engkau seperti setangkai bunga yang indah, semerbak harum ….."


"Sudah... sudah cukup ….! Wah, Hay-te, sungguh engkau seorang perayu besar! Kalau kaulanjutkan jangan-jangan kepalaku akan menjadi besar kemasukan angin dan tubuhku akan dibawa melambung ke udara, kemudian meletus di atas sana!" Hui Lian berseru sambil mengangkat kedua tangan menutupi kedua telinganya dan tertawa. Baru sekarang gadis itu mampu tertawa gembira, terbawa oleh kegelian hati mendengar pujian yang dihujankan oleh pemuda itu kepadanya.


"Aku bicara sejujurnya, Enci …."


"Tidak, engkau mata keranjang. Seorang laki-laki mata keranjang selalu melihat wanita dari segi keindahannya saja, sehingga setiap orang wanita muda akan nampak secantik bidadari baginya. Engkau perayu wanita yang berbahaya karena wanita-wanita mudah runtuh pertahanan dirinya kalau menghadapi rayuan laki-laki. Jangan-jangan kelak engkau akan menjadi penakluk wanita!"


"Tidak, Enci Lian. Engkau memang cantik jelita dan …."


"Cukup, Hay-te, jangan memuji lagi."


"Dan aku heran sekali, justeru karena engkau begini cantik, kenapa ergkau berkeliaran
sendiri saja di dunia kang-ouw? Padahal sepatutnya, seorang wanita secantik engkau ini tentu sudah menjadi seorang isteri, bahkan mungkin seorang ibu yang baik, yang hidup penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan, dalam sebuah rumah tangga yang berbahagia …."


"Hay-te…… jangan teruskan ….” Hui Lian yang duduk bersandar dinding guha, menutupi muka dengan kedua tangannya dan wanita yang gagah perkasa ini, wanita yang keras hati dan galak, sekali ini menangis! Kedua pundaknya terguncang dan walaupun ia menahan diri sehingga tidak mengeluarkan suara, namun ia sesenggukan dan air ma tanya mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya



Hay Hay terbeJalak, sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita seperti Hui Lian itu dapat juga menangis, menjadi seorang wanita biasa yang lemah dan mudah mencucurkan air mata. Dia tidak tahu betapa semua kedukaan semenjak kegagalan pernikahannya yang sudah dua kali itu selama ini ditahan-tahan oleh Hui Lian, dan ucapan Hay Hay itu sebagai pembuka bendungan sehingga kini tercurahlah semua kedukaan yang menumpuk di dalam batinnya melalui tangis. Melihat gadis itu demikian nelangsa, Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu masa lalu gadis ini amat suram dan menyedihkan, maka dia pun mendekat dan menyentuh pundak gadis itu.


"Enci Lian, kaumaafkanlah aku, Enci. Aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, akan tetapi kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu, sungguh, engkau boleh memukulku lagi, Enci. Akan tetapi jangan menangis, hatiku terasa pilu dan ikut sakit melihat engkau menangis begini sedih ….."


Merasakan sentuhan tangan Hay Hay yang lembut dan hangat di pundaknya, mendengar ucapan itu, bukannya terhibur hati Hui Lian, bahkan ia menangis semakin sedih. Ia merasa nelangsa, merasa betapa dirinya sebatang kara dan bernasib buruk, disakiti hatinya dan dikecewakan dalam dua kali pernikahan, dan betapa hidupnya terasa kosong dan kesepian.


"Adik Hay... uuhuuhuu…. Adik Hay …..!" Ia mengguguk dan merangkul pemuda itu, menjatuhkan mukanya di atas dada Hay Hay. Pemuda ini merangkulnya, dan mengusap-usap rambut kepala hitam halus itu untuk menghiburnya.


"Tenanglah, Enci Lian, kuatkan hatimu. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi di dunia ini." kata Hay Hay, sungguh-sungguh, nadanya menghibur. Dia merasa betapa air mata membasahi bajunya dan menembus baju, membasahi dadanya. Dan jantungnya berdegup keras, seolah-olah menjadi segar terkena pula siraman air mata itu. Tubuh yang dipeluknya itu demikian lunak dan lembut, dan keharuman yang halus keluar dari tubuh Hui Lian, memabokkan dan menggairahkan.


"Aih, Hay-te... engkau tidak tahu, aku... aku adalah wanita yang paling sengsara di dunia ini... sebatang kara, tidak mempunyai siapa pun…."


Hay Hay mempererat pelukannya dengan sikap menghibur. "Enci Lian, mengapa engkau berkata demikian? Ada aku di sini, bukan? Engkau memiliki aku, jangan merasa kesepian, Enci ….."


Ucapan Hay Hay itu hanya untuk menghibur dan setengah berkelakar, akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa ucapannya itu membangkitkan keharuan dan gairah dalam hati Hui Lian. Sambil tersedu Hui Lian merangkul leher Hay Hay dan mencium mulut yang mengucapkan kata-kata demikian manisnya sebagai ucapan terima kasih. Perbuatan Hui Lian ini sebetulnya hanya terdorong luapan perasaan saja, akan tetapi begitu ia mencium Hay Hay, gairahnya berkobar tanpa dapat ditahannya lagi. Sambil setengah menangis dan merintih Hui Lian menciumi Hay Hay, mencurahkan seluruh kerinduan dalam hatinya, seluruh kehausan akan kemesraan seorang pria yang selama ini ditahannya, demikian bernafsunya sehingga Hay Hay jatuh telentang dan tertindih oleh Hui Lian!


Hay Hay adalah seorang manusia biasa, dari darah daging, bahkan seorang pemuda yang mulai dewasa, bertubuh sehat, bahkan mempunyai watak romantis sekali, suka akan keindahan bahkan pemuja keindahan. Oleh karena itu, kini dia digeluti seorang wanita seperti Hui Lian, yang dirangsang berahi, yang haus akan kasih sayang, penuh kerinduan akan belaian dan kemesraan seorang pria, seorang wanita yang bagaimanapun juga sudah berpengalaman karena sudah dua kali menjanda, tidak mengherankan kalau Hay Hay juga tnenjadi kebakaran oleh nafsu berahinya sendiri. Bau keringat yang sedap harum seperti bunga dari tubuh Hui Lian, menambah rangsangan dan dia pun balas merangkul, balas mencium, balas membelai sampai Hui Lian terengah-engah dan mengeluarkan rintihan-rintihan kecil. Belaian dan ciuman itu menambah berkobarnya api nafsu berahi masing-masing sehingga mereka lupa diri, lupa keadaan dan yang ada hanyalah pasrah, siap menyerahkan dirinya lahir batin demi untuk pemuasan hasrat nafsu, terseret oleh gelombang badani yang memabokkan.

Akan tetapi, pada saat mereka telah bergulingan sampai ke tepi jurang, hampir mencapai puncak pemuasan gairah mereka, ketika Hui Lian yang memejamkan mata terengah-engah dan berbisik-bisik lirih, ketika Hay Hay membalikkan tubuh wanita itu sehingga kini dia yang menindihnya, dia membuka mata dan melihat wajah Hui Lian yang berkeringat, matanya yang hampir terpejam, mulutnya yang ditarik seperti orang yang sedang menderita nyeri hebat, tiba-tiba saja Hay Hay sadar!

"Aihhh ……!" Dia melepaskan rangkulannya, dengan lembut melepaskankedua lengan Hui Lian yang merangkul lehernya, dan dia pun menjauhkan diri, menatap wajah Hui Lian yang kini juga membuka matanya yang sayu. Hui Lian mengembangkan kedua lengannya, dengan sikap mengajak, hendak merangkul kemba1i.


"Hay Hay aku... aku... ahhh, aku..."


"Tidak, Enci Lian!" Tiba-tiba Hay Hay berseru dengan keras dan di dalam seruannya ini dia mengerahkan tenaga batinnya. Seruan ini dapat mengusir semua kekuasaan sihir, dan amat berwibawa sehingga dapat pula menyadarkan Hui Lian yang sedang mabok oleh gairah nafsu berahi itu. Gadis itu bangkit duduk, matanya terbelalak dan mukanya pucat memandang Hay Hay.


Hay Hay merasa kepalanya pening dan seperti ada suara berbisik-bisik di belakangnya, "Bodoh kau... ia begitu cantik manis, begitu hangat tubuhnya, ia begitu menantang, begitu mesra dan penuh api nafsu ciumannya. Ia ingin cintamu, bodoh. Lekas peluk dan cium ia, tidak ada orang melihatnya di sini... lekas, tolol …..!"


Sejak tadi bisikan-bisikan ini memenuhi kepalanya, bisikan iblis yang seolah-olah berada di belakangnya.


"Keparat!" Hay Hay melayangkan tangannya ke belakang sambil mengerahkan tenaganya. "Prakk!" Sebuah batu menonjol di dinding guha itu remuk oleh tamparannya.

.
"Hay-te... engkau... engkau kenapakah …..?" Hui Lian bertanya, masih merah sekali wajahnya, membuat sepasang bibir itu merah basah dan matanya sayu sekali seperti mata orang mengantuk.



Tiba-tiba Hay Hay berlutut di depan Hui Lian, "Enci Lian, ampunkan aku, Enci ….! Ah, aku layak dipukul mampus, aku benar-benar telah menjadi hamba iblis. Enci, marilah kita berdua sadar. Perbuatan kita ini tidak boleh dilanjutkan. Enci Lian, bereskanlah pakaianmu dan kita bicara yang benar." Dia sendiri lalu mengancingkan kembali kancing-kancing baju yang tadi sudah hampir terlepas semua.


Kini sepasang mata Hui Lian terbuka lebar dan ia pun baru sekarang melihat keadaan mereka. Setelah ia dapat menguasai batin sendiri sepenuhnya, ia melihat betapa ia telah melakukan hal yang amat memalukan. Dengan tubuh menggigil ia bangkit duduk dan jari-jari tangannya gemetar ketika membereskan pakaiannya, kemudian tiba-tiba ia menampar muka sendiri dengan tangan kirinya.


"Plakk!" ujung bibir sebelah kiri pecah dan berdarah ketika menampar, dan ia pun menggerakkan tangan kanan untuk menampar lagi mukanya yang sebelah kanan.


Akan tetapi dengan cepat Hay Hay menangkap pergelangan tangan kanan itu dan suaranya menggetar penuh keharuan ketika dia berkata. "Enci Lian... jangan lakukan itu! Kalau engkau mau menampar, tamparlah aku, Enci ….!"


Hui Lian merenggut lepas tangannya dan ia pun kini meloncat berdiri, mukanya masih merah sekali, akan tetapi sekali ini bukan merah oleh gairah nafsu berahi, melainkan merah karena merasa malu dan marah. Matanya tidak sayu seperti mata yang mengantuk lagi, melainkan terbuka lebar dan memancarkan sinar berkilat. Tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menyambar pedangnya yang berada di atas buntalan pakaian dan dihunusnya pedang itu. Pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan sinar berkilat tertimpa cahaya api unggun.


"Bangkitlah ……!" katanya dengan suara menggetar pula, "bangkitlah dan mari lawan aku. Seorang di antara kita harus mati di sini!"


"Enci Lian….!” Hay Hay berseru, terkejut sekali.


"Hal yang memalukan telah terjadi, satu di antara kita harus mencucinya, satu di antara nyawa kita harus menebusnya!" kata pula Hui Lian.


“Tidak, Enci Lian! Aku tidak mau membunuhmu, engkau tidak bersalah, aku pun tidak bersalah. Kita berdua telah menjadi korban bisikan iblis ……"


"Kalau begitu, engkau harus mati!" Dan Hui Lian sudah menyerang dengan hebatnya. Hay Hay terkejut dan cepat mengelak. Namun wanita itu sudah melanjutkan serangannya dan melihat ini, Hay Hay cepat mempergunakan ilmunya Jiau-pou-poan-soan, yaitu langkah ajaib yang berputar-putaran untuk selalu mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran pedang Kiok-hwa-kiam. Akan tetapi, betapa hebatnya langkah-langkah ajaib itu, kini yang dihadapinya adalah serangan Ilmu Pedang In-liong-kiam-sut (llmu Pedang Naga Awan) yang amat hebat maka maklumlah Hay Hay bahwa tidak mungkin dia akan dapat menyelamatkan diri kalau hanya mengelak terus. Dia pun cepat mengeluarkan sulingnya dan kini menggunakan benda itu untuk kadang-kadang menangkis, dan terpaksa juga membalas dengan serangan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Lian. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat di dalam guha itu! Sekali ini Hui Lian yang sudah dikuasai kemarahan dan kenekatan saking malunya, menyerang dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedang In-Iiong-kiam-sut amatlah hebatnya, peninggalan dari mendiang In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Pedang Kiok-hwa-kiam lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar yang amat luas, dan dari dalam gulungan sinar ini mencuat sinar-sinar berkelebatan yang menghujankan serangan-serangan maut ke arah tubuh Hay Hay! Menghadapi ilmu yang hebat ini, diam-diam Hay Hay merasa terkejut dan kagum bukan main. Agaknya kini Hui Lian benar-benar marah, dan baru sekarang dia melihat Hui Lian mengeluarkan kemampuannva yang dahsyat. Hanya dengan mengerahkan sinkang dan memainkan suling seperti yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lo-kai, dibarengi gerakan kaki dalam langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama, Hay Hay mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Hui Lian.


Di samping kekagumannya, Hay Hay juga merasa berduka sekali. Sungguh menyedihkan betapa baru saja mereka saling mencurahkan kasih sayang dan kemesraan, bahkan hampir saja terjadi hubungan yang lebih mendalam antara mereka, kini mereka telah saling serang dan agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk saling membunuh!


"Enci Lian, engkau tidak adil... hentikanlah seranganmu …..!" berkali-kali Hay Hay memohon, akan tetapi Hui Lian tidak mempedulikan semua ucapannya, bahkan memperhebat serangannya.


"Cappp ….!" Ujung pedang Kok-hwa-kiam berhasil melukai pangkal lengan kiri Hay Hay. Robeklah baju di bagian itu dan segera nampak darah membasahi kain yang terobek. Hay Hay terhuyung dan jatuh terduduk, bersandar dinding guha. Dia lalu menancapkan suling di atas lantai.


"Enci Lian, kalau engkau memang menghendaki nyawaku. Bunuhlah aku! Aku tidak akan melawanmu lagi." Dia pun bersedakap dan pasrah.


Hui Lian menahan pedangnya, berdiri dan menodongkan pedangnya, napasnya terengah, matanya berkilat memandang pemuda itu. "Hay Hay, bangkitlah! Demi Tuhan, kubunuh engkau kalau tidak bangkit melawan!"


"Hemm, mengapa kita harus saling membunuh?"


"Keparat ! Engkau... engkau telah menghinaku, menolakku, setelah menggodaku... engkau... sungguh memandang rendah padaku!"


Hay Hay menarik napas panjang. "Enci Lian, aku kagum padamu, aku... amat suka padamu, bagaimana mungkin aku menghinamu? Enci Lian, bukankah kita berdua telah membuktikan bahwa kita saling suka? Kalau bicara tentang kesalahan, maka kita berdualah yang bersalah, kita berdua yang lemah. Bankan menurut aku, kita berdua tidak bersalah, yang bersalah adalah iblis dalam guha ini yang telah membuat kita lupa diri. Enci Lian, aku tidak menghinamu, melainkan memperingatkanmu bahwa kita telah salah tindak, kita hanya menuruti nafsu berahi belaka... kalau hal itu kauanggap bersalah, nah, kaubunuhlah aku ….!"



Kemarahan sudah menipis menyelubungi batin Hui Lian dan kini ia pun mulai dapat menembus seluruh selubung kemarahan itu dan melihat keadaan yang sebenarnya. Pemuda ini bukan mempermainkannya, bahkan mengingatkan! Hay Hay tidak menghinanya, sama sekali tidak. Lemaslah seluruh tubuhnya.


“Tranggg …..!" Pedang Kiok-hwa-kiam terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas lantai batu. Tubuhnya terhuyung ke depan dan ia pun sudah menubruk Hay Hay, merangkul dan menangis terisak-isak!


Legalah rasa hati Hay Hay. Dia pun merangkul, membelai rambutnya dan dengan rasa sayang dia mencium dahi yang halus itu dan kembali dia dibikin kagum oleh keharuman ketika hidungnya menjadi agak basah oleh keringat di dahi itu. Luar biasa, pikirnya. Gadis ini benar-benar memiliki keringat yang harum!


“Enci Lian, tenangkanlah hatimu!" Hay Hay menghibur dengan ramah sekali. "Engkau tentu dapat merasakan betapa aku sayang padamu, aku suka padamu dan engkau adalah seorang wanita yang hebat, yang paling hebat di antara semua wanita yang pernah kujumpai. Akan tetapi, kita berdua harus waspada, Enci dan sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan kita harus kuat menahan dorongan gairah dan nafsu yang akan menyeret kita ke dalam perbuatan yang akhirnya hanya akan menimbulkan penyesalan belaka."


Kagum bukan main hati Hui Lian mendengar ucapan pemuda ini. Seorang pemuda yang masih begini muda, namun memiliki pandangan yang demikian luasnya.


"Hubungan badan hanya patut dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, Enci yang baik, dan hanya baik dilakukan oleh sepasang suami isteri. Kita bukan suami isteri, dan biarpun ada rasa suka dan kagum, harus diakui bahwa tidak ada perasaan cinta seperti itu di dalam hatiku. Aku hanya mau melakukan hal itu dengan seorang wanita yang kucinta, sebagai isteriku. Nah, engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak menghinamu, bahkan menghormati dan menghargai dirimu, Enci, agar kita tidak sampai mabok dan tenggelam ke dalam jurang kehinaan dengan melakukan perbuatan aib."


Hui Lian menghentikan tangisnya. Dengan pengerahan sinkangnya, ia tadi telah berhasil mengusir pula gairah nafsu yang menguasai batinnya. Kini ia dapat melihat dengan jelas betapa mulia hati pemuda ini yang tidak ingin menyeretnya ke dalam perbuatan tercela. Ia pun tahu bahwa ia tidak mencinta pemuda ini, melainkan tadi hanya terdorong oleh nafsu berahi belaka.


"Terima kasih, Hay-te... terima kasih, dan kaumaafkan aku ….."


"Aih, akulah yang harus minta maaf, Enci. Atau kita berdua tadi telah menjadi lemah dan kita berdua yang bersalah. Sudahlah, Enci, kita tetap menjadi sahabat baik dan selamanya aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang luar biasa, cantik menarik dan gagah perkasa, juga berhati mulia ….."


"Jangan terlalu memuji, .Hay-te, aku hanya seorang perempuan yang bernasib malang. Engkau tidak tahu bahwa semuda ini aku telah menjanda sampai dua kali…..”


"Ahhh …..! Aku tidak percaya, Enci!" Hay Hay benar-benar terkejut dan heran, tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang wanita sehebat ini sampai menjanda dua kali? Laki-laki tolol barangkali yang menjadi suami-suaminya itu.


Hui Lian tersenyum, senyum pahit akan tetapi senyum itu menunjukkan bahwa keadaan batinnya telah normal kembali, semua sisa penyesalan karena peristiwa tadi agaknya sudah dapat dilenyapkan.


"Tidak percaya namun kenyataannya demikian, Hay-te." Ia lalu menceritakan tentang perkawinannya dengan Tee Sun, putera kepala daerah dusun Hek-bun yang amat pencemburu itu. Betapa pernikahan pertama ini, yang hanya dilakukan untuk menyenangkan hati suhengnya yang menjadi pengganti orang tuanya, telah gagal dan berakhir dengan perceraian karena suami pertama itu terlalu pencemburu sehingga hal itu menyiksa batinnya. Kemudian ia jatuh oleh rayuan seorang laki-laki lain, yaitu Su Ta Touw yang menjadi suaminya ke dua. Betapa kemudian ternyata bahwa suaminya itu seorang mata keranjang, perayu dan perusak wanita termasuk wanita isteri orang sehingga kembali ia terpaksa bercerai dari suaminya yang ke dua itu.


"Sejak itu, aku tidak ingin menikah lagi, Hay-te, bahkan aku mulai menaruh rasa tidak suka kepada kaum pria yang kuanggap palsu dan perayu belaka. Akan tetapi ketika bertemu denganmu, aku... aku telah lupa diri …."


Hay Hay tersenyum. "Laki-laki mana pun akan terpesona oleh kecantikanmu, Enci Lian. Engkau cantik jelita dan yang istimewa padamu adalah bau harum keringatmu. Aku sendiri pun terpesona dan tergila -gila."


"Ihh, engkau mencoba untuk merayu lagi? Dasar engkau perayu!" kata Hui Lian, akan tetapi sekali ini sambil tersenyum.


"Tidak merayu, Enci. Terus terang saja, aku amat suka akan keindahan, dan wajah seorang wanita, juga bentuk tubuhnya merupakan suatu keindahan luar biasa bagiku. Kalau aku memujimu, itu bukan merayu, melainkan dengan sejujurnya!"


Hui Lian bangkit berdiri. "Sudah, Hay-te, kalau engkau memuji terus, aku akan keluar dari guha ini dan pergi sekarang juga. Pujian-pujianmu ini merupakan godaan yang akan dapat membuat aku mabok lagi."


Hay Hay cepat berdiri dan memberi hormat. "Maafkan, maafkan aku, Enci Lian. Aku berjanji, aku bersumpah, tidak akan memujimu lagi dengan mulut, melainkan di dalam hati saja."



Hui Lian tersenyum lagi. "Tidak perlu engkau bersumpah, anak nakal! Cukup berjanji saja, dan mulai saat ini aku menganggap engkau sebagai adikku sendiri!"


"Terima kasih, Enciku yang baik. Nah, engkau tidurlah. Luka-luka itu baru saja sembuh, engkau perlu beristirahat."


"Engkau juga baru saja sembuh dari lukamu. Biarlah engkau yang tidur dulu dan aku yang berjaga, nanti bergantian."


"Engkau dulu, Enci."


"Tidak! Engkau adikku bukan? Nah, seorang Enci harus mengalah dan biarlah Si Adik tidur dulu dan Si Enci menjaganya."


"Tapi aku bukan adik yang masih kecil. Dan biarpun engkau lebih tua, engkau adalah wanita. Tidurlah, Enci dan jangan sungkan. Nanti boleh kita berganti tugas.”


Akhirnya Hui Lian yang memang merasa lelah sekali itu mengalah, dan ia pun tidur di dekat api unggun, sedangkan Hay Hay duduk bersila dan berjaga.


Sebentar kemudian Hui Lian telah tidur pulas. Napasnya halus dan panjang tanda bahwa tidurnya nyenyak sekali. Hay Hay mengambil sehelai selimut dari buntalan pakaiannya dan menyelimuti tubuh wanita itu, kemudian dia duduk termenung sambil memandang wajah yang manis itu. Dia menarik napas panjang. Sudah dua kali dia mengalami hal yang sama. Pertama kali dengan Ji Sun Bi. Akan tetapi ketika dia bermesraan dengan Ji Sun Bi, dia tergoda oleh rayuan wanita iblis itu dan mudah dia menyingkir ketika Ji Sun Bi memperlihatkan sikap hendak bertindak lebih daripada sekedar cumbuan belaka. Akan tetapi ketika tadi dia bercumbuan dengan Hui Lian, keadaan mereka berdua sama saja, sama-sama tenggelam dan terseret oleh gairah nafsu berahi mereka. Sungguh berbahaya, pikirnya, membayangkan betapa mereka tadi sudah berada di tepi jurang dan nyaris keduanya terjerumus ke dalam jurang. Bagaimana seandainya tadi terjadi? Dia tentu harus menjadi suami Hui Lian! Kalau tidak, mereka berdua tentu akan selalu dibayangi perasaan kotor dan hina! Celaka kalau sudah begitu, pikirnya, bergidik.


Sudah menjadi pendapat umum bahwa cinta antara pria dan wanita harus dibuktikan dengan sex. Akan tetapi, tepatkah pendapat ini? Memang harus diakui bahwa hubungan sex HARUS didasari cinta kasih, karena kalau tidak demikian, maka hubungan sex menjadi semacam pengejaran kenikmatan belaka, menjadi pemuasan dan pemanjaan nafsu berahi belaka. Hubungan sex tanpa cinta kasih seperti itu terjadi di dalam pelacuran, dalam perkosaan, dan jelaslah bahwa hubungan semacam itu hanya akan menimbulkan duka sebagai imbalan daripada kesenangan yang diperoleh darinya. Hubungan sex tanpa cinta kasih menjadi suatu hubungan yang kotor. Sebaliknya, hubungan sex yang dilandasi cinta kasih merupakan sesuatu yang indah dan bersih, merupakan pencurahan kasih sayang antara dua orang manusia yang saling mencinta, dan hubungan seperti ini menjadi sarana penciptaan manusla baru yang sempurna. Jelaslah bahwa sex bukanlah cinta! Ada cinta kasih yang sama sekali tidak mengandung gairah sex, misalnya cinta kasih antara saudara, antara anak dan orang tua, antara sahabat.


Lewat tengah malam, Hui Lian terbangun dari tidurnya dan ia berganti jaga, menyuruh Hay Hay beristirahat. Karena dia pun merasa amat lelah, sebentar saja Hay Hay tertidur pulas dan kini giliran Hui Lian duduk termenung dekat api unggun sambil mengamati wajah Hay Hay.


Teringat akan peristiwa yang baru saja terjadi, wajah Hui Lian menjadi merah dengan sendirinya. Ia memang haus akan belaian seorang pria, rindu kepada seorang pria yang mencintanya. Biarpun Hay Hay seorang pemuda yang tampan gagah dan menarik hati, namun kini ia merasa yakin bahwa bukan Hay Hay orang yang dirindukannya itu! Pemuda ini jauh lebih muda darinya, dan ia tidak dapat membayangkan kebahagiaan hidup dengan seorang suami yang masih demikian muda, sepuluh tahun lebih muda darinya! Tak dapat disangkal bahwa ia suka kepada Hay Hay, karena dia tampan, gagah dan lucu, suka mempunyai Hay Hay sebagai sahabat, sebagai adik, bukan sebagai suami! Diam-diam ia bersyukur bahwa Hay Hay yang tadi juga sudah terseret arus memabokkan, dapat sadar dan mencegah terjadinya hubungan badan yang tentu akibatnya hanya akan membuat mereka berdua merasa malu dan menyesal.


Ia mengenang kembali pernikahannya dengan dua orang pria itu. Pernikahan yang pertama terjadi karena ia ingin berbakti kepada suhengnya. Dan pernikahan tanpa cinta itu gagal. Kemudian muncul Su Ta Touw, dan ia pun jatuh oleh rayuan pemburu yang tinggi kurus dan pincang itu. Su Ta Touw tidak tampan, namun pandai merayu dan ia pun jatuh dan menjadi isterinya. Tanpa cinta pula, hanya sekedar nafsu yang dibangkitkan oleh rayuan pria itu. Gagal lagi! Ah, betapa ia merindukan seorang laki-laki yang benar-benar dicintanya! Dan yang benar-benar mencintanya!


Akhirnya perasaan kesepian dan duka membawa Hui Lian tidur pulas dan di dalam tidurnya, beberapa kali ia mengerang dan mengeluh sehingga Hay Hay dari tempat duduknya dekat api unggun memandang dengan perasaan iba. Dia kagum sekali kepada wanita ini, dan betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Hui Lian. Heran sekali dia memikirkan bagaimana seorang wanita seperti Hui Lian sampai dua kali gagal dalam membina rumah tangga. Tentu dua orang laki-laki, yang pernah menjadi suaminya itu merupakan orang-orang yang tidak benar dan agaknya memang tidak secara murni mencinta wanita ini. Betapa pun cantiknya seorang wanita, kalau tanpa cinta di dalam hati, maka setelah menjadi milik seorang pria, maka wanita itu lambat laun akan kehilangan daya tarik kecantikannya. Nafsu mendatangkan kebosanan, dan nafsu selalu haus akan yang baru.


"Kasihan engkau, Enci Lian. Semoga engkau akan segera bertemu dengan seorang pria yang benar-benar mencintamu dan dapat hidup berbahagia bersamanya." Diam-diam dia mengeluh dan berdoa.


Hari telah terang ketika Hui Lian terbangun. Tubuh mereka sudah segar kembali. Ia menggeliat dan membuka mata, melihat Hay Hay masih duduk di dalam guha, akan tetapi api unggun telah padam dan pemuda itu duduk di mulut guha, menghadap keluar. Ketika ia bergerak, agaknya Hay Hay mendengar dan menengok. Kiranya pemuda itu sudah nampak segar dengan rambut masih basah.


"Wah, engkau sudah mandi rupanya! Di mana ada air di tempat ini, Hay-te?"


"Di luar guha, tidak jauh dari sini, di sebelah kiri guha."


"Aku hendak mandi!" kata Hui Lian sambil melompat bangun dan keluar dari dalam guha. Hay Hay menunjukkan sumber air itu, kemudian dia pun kembali ke guha, menanti Hui Lian yang membersihkan badan dengan air sumber yang dingin sejuk itu



Mendengar suara air ketika wanita itu mandi, tidak jauh dari situ, hanya terhalang oleh batu-batu besar, berdebar rasa jantung Hay Hay. Dia membayangkan wanita yang cantik dan harum keringatnya itu mandi bertelanjang bulat di bawah air jernih yang menyiram seluruh tubuhnya yang indah! Gairahnya timbul dan hanya dengan pengerahan tenaga batinnya saja dia dapat menahan diri untuk tidak mendekat dan mengintai! Nafsu berahi, seperti segala nafsu yang selalu silih berganti menguasai diri manusia seperti kita ini, selalu ditimbulkan oleh ingatan. Pikiran mengingat-ingat, membayangkan segala hal yang pernah dialami atau didengar dari orang lain, segala hal yang menyenangkan dan nikmat. Ingatan inilah bayangan-bayangan yang diciptakan oleh pikiran inilah sesungguhnya yang menimbulkan gairah nafsu! Untuk membebaskan diri dari perbudakan nafsu, kita diajar untuk mengekang dan mengendalikan nafsu! Bagaimana mungkin akan berhasil kalau yang mengendalikan itu pun pikiran kita sendiri? Nafsu merupakan hasil pemikiran dan keinginan mengendalikan juga timbul dari pikiran setelah melihat akibat nafsu yang merugikan, dan pada hakekatnya, pengendalian itu pun didorong oleh keinginan pula, keinginan untuk bebas dari nafsu. Kalau dikendalikan maka akan terjadi lingkaran setan. Nafsu timbul dikendalikan, tidur sebentar, bangkit lagi dikendalikan lagi, demikian tiada habisnya sampai kita mati!


Setelah tahu bahwa sumber nafsu adalah pikiran, mengapa kita tidak melenyapkan sumbernya saja? Bukan berarti mematikan pikiran, karena pikiran memang penting bagi hidup, melainkan mempergunakan pikiran untuk hal-hal yang bermanfaat dan membiarkan pikiran bersih dari ingatan-ingatan tentang hal-hal yang akan menimbulkan gairah nafsu, menimbulkan dendam, duka, iri, dan sebagainya. Bukan timbul dari keinginan membersihkan pikiran, melainkan membiarkan pikiran bersih sendiri dengan pengamatan penuh kewaspadaan terhadap pikiran sendiri, terhadap nafsu yang timbul dalam pikiran. Pengamatan saja tanpa usaha pengekangan, tanpa usaha merobah, tanpa menilai. Pengamatan ini yang akan menimbulkan suatu kesadaran, yang akan mendatangkan perobahan. Pengamatan dengan waspada akan membebaskan pikiran menyeleweng, perhatian setiap saat terhadap segala yang terjadi di dalam dan luar diri akan mendatangkan kesegaran baru.


Hui Lian keluar dari balik batu-batu besar. Segar, bersih, masih basah rambutnya yang terurai lepas. Sinar matahari pagi menimpanya, menerangi wajahnya, dan Hay Hay terpesona. Wanita itu demikian cantiknya, kedua pipinya yang agaknya tadi digosok keras ketika mandi, pada tonjolan pipi di bawah mata, menjadi kemerahan seperti diberi pemerah kulit saja, namun segar tidak seperti kalau dirias, bibirnya segar merah membasah, dan kulit muka dan lehernya demikian putih bersih, rambutnya demikian hitam dan seolah-olah ada sinar cerah mengelilingi seluruh kepada wanita itu.


"Haiiii... engkau kenapa, Hay-te? Kenapa engkau memandangku seperti itu? Dengan mata terbelalak dan mulut celangap, melongo seperti orang keheranan. Ada apa sih?"


Hay Hay menarik napas panjang. "Aduhhh, Enci Lian. Kalau aku belum mengenalmu, tentu engkau kukira Dewi Pagi sendirr yang baru turun dari langit!"


"Eh? Apa maksudmu? Aneh-aneh saja engkau ini!"


"Engkau demikian cantik, demikian anggun, demikian agung! Wahai.... sungguh mati, Enci Lian, engkau wanita paling cantik yang pernah kulihat di dunia ini…..!"


Sepasang mata itu terbelalak, kedua pipinya menjadi semakin merah, akan tetapi Hui Lian tidak marah, bahkan tertawa terkekeh geli sampai ia menutupi mulut dengan tangannya.

"Hayaaaa, wanita yang menjadi isterimu tidak perlu lagi kauberi makan Hay-te."


"Eh, kenapa begitu?"



"Cukup dengan pujian dan sanjunganmu saja. Pagi sarapan pujian, siang makan sanjungan, malam makan rayuan, dan kenyanglah ia! Engkau sungguh seorang laki-laki mata keranjang dan perayu wanita nomor satu di dunia ini!"


Hay Hay tersenyum. "Enci, salahkah itu kalau aku memuji sesuatu yang memang amat indah? Aku suka akan keindahan dan aku melihat keindahan di mana-mana, terutama sekali dalam diri dan wajah seorang wanita. Demikian sempurna, lekuk-lengkungnya, garis-garisnya, demikian….. ah, sukar aku menceritakan dengan kata-kata ….."


Sejenak Hui Lian menatap wajah pemuda itu, sambil melangkah dekat, kemudian ia pun duduk di depan Hay hay, di atas batu di luar guha dan sikapnya menjadi serius. "Hay-te, kalau boleh aku menasihatimu, sebaiknya kalau engkau lekas mencari jodoh dan kawin saja."

Hay Hay yang melihat sikap serius juga mendengarkan dengan serius dan dia terkejut, memandang dengan heran. "Mengapa begitu, Enci Lian?"


"Karena kalau tidak, akan berbahaya jadinya."


"Eh? kenapa?"


"Engkau seorang pemuda yang berwajah tampan, ganteng, akan tetapi yang paling berbahaya adalah watakmu yang demikian pandai merayu wanita. Setiap orang wanita akan jatuh hati kalau bertemu dan berkenalan denganmu, dan hal ini amat tidak baik karena akhirnya akan timbul kesalahpahaman dan engkau disangka orang penggoda wanita. Kalau engkau sudah kawin, berarti akan ada seorang wanita di sisimu, dan mungkin hal itu akan dapat mengobatimu dari penyakitmu itu."


"Penyakit? Aku tidak sakit!"


“Maksudku, penyakit mata keranjang itulah."



Hay Hay yang tadinya memandang serius dan agak khawatir, kini tertawa geli dan gembira. "Ha-ha-ha, engkau sungguh aneh, Enci Lian. Bagaimana orang kawin dapat didorong-dorong? Kawin haruslah berdasar cinta, dan sampai saat ini, belum ada wanita yang kucinta. Mengenai penyakit itu, ah, aku tidak menganggapnya sebagai penyakit. Salahkah kalau aku suka kepada wanita, kagum dengan tulus hati, bukan karena pengaruh nafsu? Siapa dapat menyalahkan orang yang suka akan kembang yang indah? Bagiku, wanita bagaikan bunga. Seperti engkau ini, Enci. Engkau seperti setangkai bunga teratai yang amat indah, lihat sepasang matamu, demikian jernih dan jeli seperti mata seekor burung merpati, wajahmu berbentuk demikian manisnya memiliki daya tarik yang amat kuat, terutama sekali bibirmu yang segar merah membasah, kedua pipimu kemerahan seperti kelopak teratai bermandi embun, rambutmu ….."


" "Stop! Stop!" Hui Lian berseru sambil menutupi kedua telinganya dengan kedua tangan, akan tetapi sambil tertawa. "Lihat itu! Setiap kali membuka mulut, terus saja memuji-muji! Engkau benar-benar pria mata keranjang nomor satu di dunia, belum pernah aku bertemu dengan laki-laki seperti engkau, Hay-te. Biasanya kalau seorang memuji wanita, maka tentu ada udang di balik batu, ada maunya. Pria merayu untuk menjatuhkan hati wanita, akan tetapi engkau tidak demikian. Engkau memuji-muji karena memang engkau mengagumi wanita, akan tetapi pujianmu mengalahkan segala perayu-perayu wanita yang berpamrih menjatuhkan dan menguasai."


"Kenapa engkau menutupi telingamu tadi, Enci Lian? Apakah... apakah kata-kataku tidak menyenangkan? Apakah engkau tidak senang kalau kecantikanmu kugambarkan dengan sejujurnya?"


Kembali Hui Lian tertawa. "Tidak senang? Hi-hik, hati wanita manakah di dunia ini yang tidak senang mendengar pujian, apalagi kalau pujian itu diucapkan sedemikian indahnya, oleh seorang pemuda seganteng engkau? Aku hanya takut kalau-kalau akan jatuh pingsan dan mendjadi lemas karena pujianmu yang melangit itu. Sudahlah, Hay-te, kini tiba saatnya kita berpisah."


"Berpisah? Kenapa Enci?" Hay Hay terbelalak memandang seperti orang terkejut. Demikian menyenangkan keadaan wanita itu sehingga ketika mendengar bahwa mereka harus saling berpisah, dia terkejut.



Melihat keadaan pemuda itu, Hui Lian tersenyum. "Anak bodoh, kita bukan apa-apa, hanya kebetulan bertemu di jalan dan menjadi sahabat. Apa kaukira kita harus terus begini dan tidak pemah saling berpisah? Kita masing-masjng mempunyai urusan sendiri dan aku harus melanjutkan perjalananku. Sudah terlalu lama perjalananku tertunda oleh ulah gerombolan penjahat itu."


"Akan tetapi, Enci Lian." Hay Hay yang masih ingin terus bersama wanita itu membantah, "urusan kita dengan gerombolan itu belum selesai! Kita telah mereka lukai, dan mereka itu jahat sekali. Apakah engkau tidak ingin menyerbu lagi ke sana dan membasmi orang-orang jahat itu? Kalau mereka itu dibiarkan merajalela, tentu mereka hanya akan mendatangkan kekacauan dan mengganggu rakyat yang tidak berdosa."


"Engkau benar, Hay-te, dan memang sudah sepatutnya kalau kita membasmi gerombolan itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa pada waktu ini, aku mempunyai urusan pribadi yarig amat penting, yang harus kuselesaikan lebih dulu. Oleh karena itu, selamat berpisah, Hay-te, dan terima kasih atas segalanya. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu pula." Setelah berkata demikian, Hui Lian meloncat ke dalam guha, mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung, kemudian ia pun keluar pula dan setelah memandang kepada Hay Hay yang sudah bangkit berdiri sejenak, ia pun meloncat pergi.


"Enci Lian …..!" Hay Hay memanggil sambil mengejar. Hui Lian berhenti dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri saling pandang dan Hay Hay melangkah menghampiri.


"Ada apakah, Hay-te?" Hui lian bertanya manis, diam-diam ia pun merasakan kekecewaan bahwa ia harus berpisah dari pemuda yang amat menyenangkan hatinya ini.


"Enci, setelah apa yang kita alami bersama, walaupun dalam waktu singkat, sejak dari sayembara suku bangsa Miao itu sampai kita dikeroyok oleh gerombolan penjahat dan hampir kita tewas, setelah semua itu, apakah kini kita harus saling berpisah begini mendadak? Enci, hatiku terasa sedih dan seperti terbetot ketika engkau pergi meninggalkan aku."


"Hay-te, ada pertemuan dan ada perpisahan, hal seperti itu sudah lumrah bukan? Kita dapat bersyukur bahwa kita berpisah sebagai dua orang sahabat yang baik dan aku yakin bahwa kelak kita pasti akan dapat saling berjumpa pula." Wanita itu menarik napas panjang dan menyentuh lengan Hay Hay. "Nah, selamat tinggal Hay-te, jangan murung seperti anak kecil. Ingat, engkau telah dewasa dan engkau pemuda ganteng mata keranjang perayu wanita nomor satu di dunia!" Hui Lian berkelakar untuk menggembirakan sahabat barunya itu, sambil membalik lagi untuk pergi.


Hay Hay memegang tangannya sehingga wanita itu kembali membalik dan memandang heran. "Enci, sebelum kita berpisah, sebelum engkau meninggalkan aku, aku... ingin... aku ingin minta sesuatu darimu, bolehkah?"


Hui Lian memandang sambil tersenyum manis, giginya mengintai dari balik bibir yang merah. "Minta apakah, adikku yang baik?"


"Aku... aku ingin... menciummu untuk kujadikan kenangan tentang dirimu, Enci. Bolehkah? Jangan... jangan marah lagi..." Hay Hay kelihatan khawatir kalau-kalau wanita itu menjadi marah.


Akan tetapi Hui Lian tidak marah. Ia sudah mulai mengenal watak pemuda ugal-ugalan ini, Seorang pemuda romantis sekali, namun berhati baja dan kuat mempertahankan kebenaran, tidak mudah tersesat. Ia tersenyum dan mengajukan pipinya. "Tentu saja boleh. Nah, ciumlah!" katanya.


Melihat wanita itu menyerahkan atau menyodorkan pipinya yang kemerahan itu, Hay Hay girang sekali, maju merangkul dan mencium pipi yang hangat itu. Diciumnya kedua pipi Hui Lian, kemudian bibirnya dan terdengar Hui Lian merintih kemudian wanita ini balas merangkul dan mencium Hay Hay penuh nafsu bernyala. Mula-mula ia seperti berkelakar menyodorkan pipinya, akan tetapi ciuman-ciuman Hay Hay itu ternyata secara wajar membangkitkan gairahnya dan kini ialah yang menyerang. Hay Hay mencium leher Hui Lian dan menghisap keharuman keringat di leher itu.



Sudah... cukup... cukup !" Hui Lian terengah-engah, kedua matanya terpejam dan biarpun ia membisikkan kata-kata itu, tetap saja kedua lengannya merangkul. Hay Hay dengan lembut melepaskan pelukannya dan melepaskan lingkaran kedua lengan Hui Lian yang bagaikan ular-ular membelit lehernya.


"Terima kasih, Enci Hui Lian. Selama hidup, aku tidak akan melupakan engkau, Enci. Engkau sahabatku yang paling baik dan semoga Thian memberkahimu, semoga engkau akan memperoleh seorang jodoh yang benar-benar mencintamu dan semoga engkau hidup berbahagia."


Sampai beberapa saat lamanya Hui Lian masih memejamkan mata dan terengah-engah, kemudian ia dapat menguasai dirinya dan membuka mata, memandang wajah Hay Hay. "Aihhh, Hay-te, engkau sungguh seorang laki-laki berbahaya sekali. Selamat tinggal, Hay-te, aku pun selamanya takkan pernah melupakanmu. Selamat tinggal!" Wanita itu meloncat dan berkelebat lenyap, diikuti pandang mata Hay Hay yang menjadi agak basah. Entah bagaimana, dia merasa kasihan sekali kepada wanita itu, dan harus diakuinya bahwa berdekatan dengan wanita itu pun merupakan ancaman bahaya yang amat besar baginya. Setiap kali menyentuh Hui Lian, dia diserang oleh gairah yang amat kuat, dan hanya dengan pengerahan seluruh tenaganya saja dia mampu mempertahankan diri. Malam tadi dia nyaris tergelincir, bahkan ketika mereka berciuman tadi, nyaris dia tidak kuat bertahan! Memang sebaiknya kalau mereka saling berpisah! Dia pun mengambil buntalan pakaiannya dan meninggalkan guha itu.


**

Di puncak sebuah di antara bukit-bukit Pegunungan Cin-ling-pai berdiri megah bangunan-bangunan yang dikenal sebagai pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Seperti telah kita ketahui, terjadi perubahan besar dalam keluarga Cia, yaitu keluarga yang menjadi pimpinan perkumpulan Cin-ling-pai. Di dunia persilatan, perkumpulan Cin-ling-pai amat terkenal sejak puluhan tahun yang lalu, maka tidak aneh kalau perkembangan dan perubahan dalam perkumpulan ini diikuti orang-orang kang-ouw dan merupakan berita yang menarik bagi mereka.


Walaupun tidak ada orang yang dapat mengetahui sebabnya, namun dunia kang-ouw mendengar bahwa mantu dari Ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar wanita Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis, telah meninggalkan Cin-ling-pai, meninggalkan keluarga suaminya dan pergi bersama puterinya, anak tunggalnya, yaitu Cia Kui Hong. Sejak itu, tidak ada lagi yang mendengar berita tentang ibu dan anak ini, akan tetapi keadaan keluarga Ketua Cin-ling-pai selalu diperhatikan orang. Tahulah dunia kang-ouw bahwa Cia Hui Song, putera tunggal Ketua Cin-ling-pai, kini menikah lagi dengan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang bernama Siok Bi Nio, seorang gadis biasa, dan isteri baru ini setahun kemudian melahirkan seorang anak laki-laki bernama Cia Kui Bu. Dan sejak isteri barunya melahirkan seorang putera, Ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang menyerahkan kedudukan ketua perkumpulan itu kepada puteranya, pendekar Cia Hui Song.


Pendekar Cia Hui Song berusia empat puluh dua tahun ketika dia diserahi tugas sebagai Ketua Cin-ling-pai oleh ayahnya. Biarpun di perguruan silat atau perkumpulan silat itu terdapat peraturan bahwa yang berhak menjadi ketua haruslah tokoh terlihai dari Cin-ling-pai, namun ketika Cia Kong Liang mengundurkan diri, dan mengumumkan bahwa Cia Hui Song menjadi ketua baru, tidak ada yang berani maju untuk menguji kepandaian Cia Hui Song. Semua tokoh dan murid Cin-ling-pai tahu belaka siapa adanya Cia Hui Song. Dalam ilmu silat, pendekar ini bahkan jauh melampaui kelihaian ayahnya, maka siapakah yang berani mengujinya? Selain mewarisi semua ilmu silat Cin-ling-pai dengan baiknya, juga pendekar ini mewarisi banyak ilmu kesaktian dari mendiang Siang-kiang Lojin, seorang di antara tokoh atau datuk sakti yang terkenal sebagai Delapan Dewa! Maka, pengangkatan Cia Hui Song sebagai Ketua Cin-ling-pai disambut gembira oleh para murid, karena tentu ketua baru ini akan mengajarkan pula ilmu-ilmu silatnya yang tinggi demi kemajuan perkumpulan dan kemajuan para murid pula.


Pada waktu isterinya yang amat dicintanya, Ceng Sui Cin, pergi meninggalkan Cin-ling-san bersama puteri tunggal mereka, pendekar Cia Hui Song tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan yang hebat, yang membuatnya jatuh sakit sampai lebih dari satu bulan lamanya. Namun, sebagai seorang anak tunggal yang berbakti, dia mentaati kehendak ayahnya dan dia pun tidak membantah ketika dinikahkan dengan Siok Bi Nio, seorang gadis muda yang usianya separuh usianya sendiri.


Duka dan penyesalan, seperti semua perasaah timbul dari pikiran dan apa yang timbul dari pikiran tidaklah bertahan lama. Sang Waktu akan melahapnya, akan menenggelamkannya. Demikianlah dengan kedukaan yang meliputi hati Cia Hui Song ketika dia ditinggal pergi oleh isterinya dan puterinya. Selama berbulan-bulan dia memang selalu nampak melamun dalam duka, akan tetapi lambat laun, apalagi setelah isteri barunya melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat, luka di hatinya oleh kepergian Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong menipis, mongering dan sembuh. Bahkan kini hanya kadang-kadang saja dia teringat kepada isteri dan anaknya itu, yang dia tahu tentu kembali ke Pulau Teratai Merah, dan kalau teringat dia nampak melamun. Akan tetapi, lebih sering dia kelihatan tenang. Satu-satunya perubahannya diketahui oleh orang yang mengenal sejak muda, yaitu bahwa kini dia kehilangan wataknya yang lincah gembira dan amat ramah, juga agak ugal-ugalan. Betapapun juga, kedukaannya lenyap dan yang tinggal hanyalah garis-garis di antara kedua alisnya, di tepi matanya dan di kanan kiri ujung bibirnya.


Duka selalu ditimbulkan oleh ikatan batin. Ikatan batin dengan keluarga, dengan orang yang dicinta, dengan harta benda, dengan kedudukan,dengan ketenaran, dengan kepandaian, dan dengan apa saja. Ikatan menimbulkan rasa takut pula, takut akan kehilangan dan setelah tiba saatnya ketika kehilangan sesuatu yang mengikat batin kita, timbullah duka. Tentu saja kita yang hidup di dalam masyarakat, tidak mungkin bebas sama sekali daripada segala macam kewajiban dengan keluarga, dengan masyarakat dan sarana-sarana hidup bermasyarakat. Namun, semua itu hanyalah urusan lahiriah, oleh karena itu ikatannya pun seharusnya lahiriah, bukan batiniah. Pada lahirnya, memang kita berkeluarga dan kita mempunyai keluarga, bekerja untuk kepentingan keluarga, membinanya, mendidik anak-anak dan sebagainya lagi. Akan tetapi, sekali batin kita terikat, maka timbullah rasa takut, takut akan masa depan keluarga, takut akan kehilangan dan takut akan masa depan, takut tidak akan memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kalau semua yang kita takutkan itu terjadi, timbullah duka karena kehilangan. Ini bukan berarti bahwa kita harus acuh terhadap keluarga atau segala hal yang kita punyai, sama sekali tidak! Cinta kasih bukan berarti harus ada ikatan batin! Lahiriah kita boleh mempunyai apa saja, namun batin seharusnya bebas, batin tidak memiliki apa-apa! Mempunyai namun tidak memiliki! Lahiriah mempunyai, batiniah tidak memiliki atau bebas. Cinta kasih yang menimbulkan semua perbuatan seperti memelihara, membimbing dan sebagainya, bukan ikatan! Kalau batin terikat oleh sesuatu, maka yang sesuatu itu melekat dan berakar di dalam hati, tentu saja sekali waktu tiba saatnya harus berpisah, sesuatu itu seperti dicaput dan akarnya akan membuat hati berdarah dan terluka! Sekali lagi, bukan berarti acuh dan masa bodoh, bukan berarti tidak mencinta kalau tidak ada ikatan. Sebaliknya malah, cinta kasih tidak membutuhkan ikatan. Yang membutuhkan ikatan hanyalah si Aku, hanyalah nafsu, dan si-aku akan merasa takut dan kosong kalau tidak memiliki sesuatu. Memiliki sesuatu ini menambah "isi" dan arti dari si-aku, membesarkan si-aku



Kini Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai, hidup bersama isteri barunya dan puteranya yang baru berusia dua tahun, nampaknya hidup dengan tenteram dan Cin-ling-pai menjadi semakin maju setelah dia menjadi ketuanya. Ayahnya Cia Kong Liang, yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, kini tidak mau mencampuri urusan dunia lagi melainkan setiap hari tekun bersamadhi di dalam sebuah kamar yang sunyi di belakang. Ketika masih dipegang ayahnya, Cin-ling-pai dikenal orang sebagai perkumpulan yang keras dan tanpa mengenal ampun terhadap kejahatan. Dan para murid Cin-ling-pai sendiri merasakan kekerasan yang menjadi sikap ketua mereka. Cia Kong Liang keras hati dan memegang teguh peraturan tanpa mengenal kebijaksanaan dan pertimbangan lagi, juga agak tinggi hati, terlalu mengangkat tinggi nama sendiri dan nama Cin-ling-pai. Akan tetapi kini, di bawah pimpinan Cia Hui Song, terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu.


Cia Hui Song bersikap bijaksana, dapat lembut dan dapat pula tegas, mudah memaafkan dan menghargai pendapat orang lain. Dan seperti yang diharapkan oleh para murid Cin-ling-pai, Hui Song mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang dianggapnya praktis untuk menambah ketangguhan para murid Cin-ling-pai.


Pada pagi hari itu, Cia Hui Song sedang duduk di beranda rumahnya ketika seorang murid datang menghadap dan memberitahukan bahwa di luar pintu gerbang yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai muncul seorang wanita yang menyatakan ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai.


Untuk beberapa detik lamanya jantung dalam dada Hui Song berdebar tegang. Seorang wanita? Ceng Sui Cin, isterinya yang pertamakah yang datang? Ataukah Cia Kui Hong, puterinya? Akan tetapi tidak mungkin. Kalau seorang di antara mereka yang datang, tentu murid ini mengenal mereka. Dia lalu menyerahkan Cia Kui Bu yang tadinya dipangkunya, kepada ibu anak itu. "Siapa namanya dan ada keperluan apakah ia hendak bertemu dengan aku?" tanyanya.


"Ia tidak mau memperkenalkan namanya dan keperluannya, hanya berkeras mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai." murid itu menerangkan.

Cia Hui Song mengerutkan alisnya dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi, dia pun merasakan sesuatu yang tidak enak. Mudah diduga bahwa tentu ada urusan pribadi antara wanita itu dan dia, dan sukarlah menduga siapa orangnya, karena banyak sekali pengalaman sudah dilalui dalam hidupnya. Sebagai seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dia pun tahu bahwa banyak sekali terdapat orang dari golongan hitam yang menaruh dendam kepadanya, oleh karena itu, dia harus selalu siap siaga menghadapi segala bentuk ancaman. Akan tetapi, pengunjungnya adalah seorang wanita, dan sebagai seorang yang sopan dia harus menyambutnya dengan hormat.


"Baiklah, persilakan ia masuk dan menanti di ruang tamu."


"Aku sudah berada di sini, harap Pangcu (Ketua) suka keluar!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dari luar beranda. Hui Song terkejut ketika mengangkat muka dan melihat seorang wanita cantik sudah berdiri di pekarangan. Empat orang murid Cin-ling-pai datang berlari-lari ke pekarangan itu.


"Heiii! Engkau tidak boleh masuk begitu saja!" teriak mereka dengan sikap marah.


Cia Hui Song memberi tanda kepada isterinya agar masuk. Siok Bi Nio, wanita muda yang menjadi isterinya itu, sambil menggendong anaknya, berjalan masuk. Hui Song lalu melangkah lebar keluar beranda, menghadapi wanita itu.


"Apa yang terjadi?" tanyanya kepada empat orang murid yang nampak hormat ketika melihat ketua mereka.


"Pangcu, wanita ini kami suruh menunggu karena belum ada keputusan Pangcu, akan tetapi tiba-tiba ia melompati pintu gerbang dan berlari masuk. Kami mengejarnya dan ……"

"Sudahlah, kalian kembali ke pintu p gerbang dan berjaga baik-baik." kata Hui Song kepada para muridnya dan ketika mereka semua sudah pergi, dia menghadapi wanita itu, mengamati penuh perhatian. Seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah cantik, dengan sepasang pipi kemerahan dan mulut indah yang membayangkan kemarahan, sepasang mata yang berkilat mengamatinya pula.


"Aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai!" Wanita itu berkata, suaranya tegas dan galak.


Hui Song tersenyum sabar dan menjiura. "Akulah Ketua Cin-ling-pai. Silakan masuk dan kita bicara di dalam."


Wanita itu terbelalak. Ia adalah Kok Hui Lian dan kini ia pun teringat. Seperti kilat
menyambar ingatannya membayangkan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Ia baru berusia sepuluh tahun ketika gedung ayahnya, yaitu Kok Taijin yang menjadi gubernur kota San-hai-koan diserbu pemberontak. Orang tuanya terbunuh, gedungnya dibakar dan ia sendiri tentu telah tewas kalau tidak ditolong oleh seorang pendekar yang gagah perkasa. Ia digendong keluar dari keributan itu oleh penolongnya, kemudian penolongnya dikeroyok oleh musuh sehingga terpaksa ia dilepaskan. Kemudian ia ditangkap penjahat dan di saat itulah muncul suhengnya, Ciang Su Kiat yang kemudian menjadi gurunya, juga suhengnya, juga pengganti orang tuanya. Dan pendekar yang gagah perkasa itu bukan lain adalah pria yang kini berdiri di depannya dan mengaku sebagai Ketua Cin-ling-pai!


"Tidak, bukan engkau... aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai yang tua, yang bernama Cia Kong Liang."


"Ah, kiranya engkau ingin bertemu dengan Ayahku. Sayang, sudah sejak dua tahun lebih Ayah tidak lagi mencampuri urusan dunia, dan selalu bertapa. Kalau ada urusan, harap sampaikan saja kepadaku, karena akulah yang berkewajiban untuk menanganinya."



"Tidak, aku tidak ada urusan dengan engkau, aku hanya mau bertemu dan bicara dengan Cia Kong Liang!"


Hui Song menggeleng kepala, masih tersenyum ramah walaupun sinar matanya berkilat. "Tidak mungkin, Nyonya. Dia sedang bertapa dan tidak boleh diganggu siapa pun. Kalau ada urusan dengan Ayahku, biarlah aku yang akan membereskan semua perhitungan. Silakan."

"Tidak….. tidak……!” Hui Lian tentu saja tidak mau berurusan dengan orang yang pernah menyelamatkannya ini dan ia pun membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan saja tubuhnya melayang ke atas pagar tembok dan lenyap. Diam-diam Hui Song terkejut bukan main melihat kecepatan gerakan wanita itu. Jelaslah bahwa wanita muda itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, terutama memiliki ilmu ginkang (meringankan diri) yang hebat. Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah mengenal wanita itu. Dia merasa khawatir, dan memerintahkan para murid untuk melakukan penjagaan yang lebih ketat.


Sementara itu, Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai dengan hati tegang. Ia harus menemui Cia KongLiang, ketua lama Cin-ling-pai untuk menegurnya dan kalau mungkin membalaskan penderitaan suhengnya yang telah dibuntungi lengannya oleh ketua yang kejam itu! Akan tetapi, sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pendekar yang dulu menyelamatkannya dari maut adalah putera ketua itu, bahkan kini telah menggantikan ayahnya menjadi Ketua Cin-ling-pai. Suhengnya, Ciang Su Kiat, tidak pernah menceritakan tentang putera ketua itu. Adanya kenyataan bahwa pendekar penolongnya itu berada di situ sebagai putera musuhnya, sebagai Ketua Cin-ling-pai, mendatangkan keraguan dan kebimbangan dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia memusuhi pendekar itu? Ia sudah berhutang budi, bahkan berhutang nyawa! Akan tetapi, penderitaan suhengnya juga harus dibalas, walaupun hanya berupa teguran keras terhadap ayah pendekar itu yang telah bertindak kejam, membuat lengan suhengnya buntung sebagai hukuman. Malam nanti ia akan berusaha menyelundup, mencari tempat kakek itu bertapa, akan ditemuinya dan akan ditegurnya. Setelah menegur keras, tanpa menimbulkan hentrokan dengan pendekar penolongnya itu, baru akan puas hatinya.


Baru beberapa jam Kok Hui Lian meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai ketika para murid yang berjaga di pintu gerbang, menyambut datangnya seorang wanita lain dengan pandang mata penuh kecurigaan. Baru saja pagi tadi datang seorang wanita cantik yang masuk dengan memperlihatkan kepandaiannya, dan setelah wanita itu pergi lagi, ketua mereka berpesan agar mereka berjaga lebih ketat dari biasanya. Dan kini muncul lagi seorang wanita lain. Wanita ini jauh lebih muda dibandingkan wanita pertama, seorang gadis yang berusia kurang, lebih tujuh belas tahun, berpakaian sederhana sekali, namun wajahnya yang tidak memakai perhiasan, juga tidak memakai bedak itu nampak halus dan mengandung daya tarik yang amat kuat. Yang paling menarik adalah mata dan mulutnya yang membayangkan watak yang lembut, kesabaran dan ketenangan yang jarang terdapat pada diri seorang gadis yang demikian muda. Ia tidak dapat dinamakan gadis yang cantik, walaupun ia tidak buruk rupa pula, melainkan manis karena kelembutannya terutama sekali. Biarpun demikian, bagaikan sekelompok kijang yang baru saja dikejutkan oleh serangan harimau, para murid Cin-ling-pai yang masih merasa tegang itu segera menghadang di depan pintu gerbang dengan sikap galak.

"Berhenti! Siapakah engkau, Nona dan ada keperluan apa mengunjungi Cin-ling-pai?" tanya seorang di antara para murid itu dengan suara galak.


Akan tetapi gadis yang bermata lembut itu tersenyum, nampaknya girang biarpun ia dibentak orang. Ia memandang kepada enam orang murid Cin-ling-pai yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu dan berkata, "Ah, benar ini perkampungan Cin-ling-pai! Syukurlah, akhirnya dapat juga aku sampai ke sini. Namaku Ling Ling dan aku ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."


Biarpun cara gadis itu memperkenalkan diri masih seperti seorang gadis remaja, akan tetapi mendengar ia ingin bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai, para murid itu saling pandang dengan penuh arti. Sama benar keinginan gadis ini dengan wanita pagi tadi!


"Hemm, siapakah nama Ketua Cin-ling-pai yang kau ingin temui itu?" seorang murid bertanya lagi, memancing.


"Namanya... Kakek Cia Kong Liang. Bukankah beliau yang menjadi Ketua Cin-ling –pai?”


Kembali para murid itu saling pandang. Tepat, sungguh sama dengan wanita pagi tadi! Sekali ini mereka tidak ingin menerima teguran, mereka harus menghalangi gadis ini untuk mengacau ke dalam. Tidak perlu sampai ketua mereka yang turun tangan mengusir, seperti wanita pagi tadi.


"Hemm, engkau ini masih kanak-kanak berani hendak membikin ribut di sini. Pergilah sebelum kupukul kau!" kata murid yang memakai kumis tebal, bermaksud untuk menakut-nakuti agar gadis itu pergi tanpa banyak ribut lagi.


Gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu mengerutkan alisnya.


"Aih, kenapa? Harap kalian tidak membikin susah padaku. Aku datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan sampai berbulan! Dan setelah tiba di tempat yang kutuju, kalian hendak menyuruh aku pergi begitu saja? Aku hanya ingin menghadap Kakek Cia Kong Liang, Ketua Cin-ling-pai, tidak membikin ribut."


"Sudahlah, tidak mudah untuk menghadap beliau. Setidaknya engkau harus melalui barisan tiga lapis dari Cin-ling-pai!" kata seorang murid kepala yang baru muncul dari dalam dan kini banyak murid Cin-ling-pai keluar dan ikut menghadang. Cin-ling-pai terkenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan kuat, tentu saja terdapat peraturan-peraturan yang ketat dan tidak sembarang orang boleh masuk tanpa ijin. Karena itu, di situ memang terdapat tiga lapis barisan yang berjaga dan selama ini belum pernah ada orang dari luar yang mampu menembusnya! Jadi, ucapan mereka itu bukan sekadar menakut-nakuti saja. Kalau pagi tadi, mereka sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita yang cantik itu akan mempergunakan ilmu kepandaiannya, meloncati mereka dan meloncati tembok begitu saja! Kalau mereka mengetahui lebih dulu, tentu mereka akan menahannya dengan pasukan tiga lapis itu. Kini mereka sudah siap siaga, setelah mendapat peringatan dari ketua mereka untuk melakukan penjagaan ketat

Wajah yang lembut itu masih tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan kilauan penuh semangat kegembiraan. Menghadapi tantangan itu, gadis ini merasa gembira untuk mencobanya! Ia bukan seorang gadis sembarangan walaupun usianya baru tujuh belas tahun. Gadis ini adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar Cia Sun yang amat lihai karena Cia Sun adalah putera dari Pendekar Lembah Naga yang bernama Cia Han Tiong, seorang pendekar yang menjadi ketua perkumpulan Pek-liong-pang. Murid-murid Pek-liong-pang banyak yang kini menjadi pendekar-pendekar yang tersebar di mana-mana dan nama Pek-liong-pang amat terkenal sebagai pusat orang-orang gagah. Selain menerima ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga Cia Sun menjadi murid dari Go-bi Sian-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang juga disebut See-thian Lama. Adapun isteri dari Cia Sun juga seorang wanita sakti yang bernama Tan Siang Wi di waktu mudanya ia terkenal dengan julukan Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)!


Tentu saja sebagai puteri dan anak tunggal dari ayah ibu pendekar, gadis yang mengaku bernama Ling Ling itu telah digembleng sejak kecil dan kini telah mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari ayah ibunya. Dan sebagai seorang yang berangkat dewasa dalam gemblengan ilmu silat, menghadapi tantangan seperti sekarang, ia merasa gembira sekali. Ingin ia mencoba sampai di mana kehebatan Cin-ling-pai yang demikian disohorkan, dan ia pun ingin menguji kemampuan diri sendiri.


"Boleh kalian pasang barisan tiga lapis, aku ingin memasukinya!" katanya gembira, sedikit pun tidak memperlihatkan kemarahan karena di dalam hatinya pun tidak terdapat permusuhan terhadap Cin-ling-pai, melainkan kegembiraan untuk menguji kepandaian. Ayahnya sendiri memiliki hubungan yang amat dekat dengan Cin-ling-pai, bagaimana mungkin ia akan memusuhinya? Menurut ayahnya Cin-ling-pai masih merupakan perguruan yang menjadi sumber ilmu yang dimiliki kakeknya, bahkan ayah dan ibunya ketika melangsungkan pernikahan, dilakukan di Cin-ling-san ini, bersamaan waktunya dengan pernikahan antara putera Ketua Cin-ling-pai sendiri, yaitu paman Cia Hui Song dan Bibi Ceng Sui Cin yang belum pernah dijumpainya.


Mendengar ucapan itu dan melihat sikap Ling Ling seperti mentertawakan dan memandang rendah, para murid Cin-ling-pai menjadi penasaran. Seorang murid kepala cepat mengumpulkan teman-temannya dan pasukan tiga lapis itu pun disusunlah. Pasukan pertama terdiri dari lima orang dan mereka sudah membentuk barisan menghadapi gadis itu di luar pintu gerbang.


Ling Ling memandang penuh perhatian. Lima orang itu adalah murid yang lebih muda, berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan mereka berdiri di depannya, membentuk setengah lingkaran sehingga ia dihadapi lawan dar depan dan kanan kiri. Akan tetapi, walaupun lima orang itu membawa pedang di punggung masing-masing, mereka tidak mencabut pedang dan agaknya hendak menghadapinya dengan tangan kosong. Mereka bersikap gagah dan nampak kuat dan terlatih, bermata tajam dan tak seorang pun di antara mereka yang memperlihatkan sikap tidak sopan atau mata jalang seperti yang sering kali dilihatnya membayang pada mata laki-laki yang dijumpainya dalam perjalanannya. Juga semenjak ia meninggalkan rumah kediaman orang tuanya di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja sampai ke Pegunungan Cin-ling-san, sudah seringkali ia digoda laki-laki tidak sopan sehingga beberapa kali ia harus turun tangan menghajar mereka.


Lima orang itu berdiri setengah mengepungnya dengan pasangan kuda-kuda yang kokoh kuat, dengan kedua kaki terpentang lebar, kuda-kuda Menunggang Kuda, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.


"Aku akan menerobos masuk!" Tiba-tiba Ling Ling berseru dan ia pun melangkah maju, seolah-olah tidak peduli akan adanya lima orang yang menghadang di depannya. Ia ingin tahu apa reaksi mereka dan bagaimana cara mereka menyerang atau menghalanginya.

Akan tetapi belun juga ia mendekati orang yang menghadang di depannya, dari kiri datang serangan. Orang yang berdiri paling ujung sebelah kirinya telah mencengkeram ke arah pundaknya. Ia mengenal gerakan itu sebagai jurus Awan Berarak Tertiup Angin dari Ilmu Silat San-in Kun-hwat, maka dengan mudahnya ia mengelak dengan menggeser kaki ke kanan, bermaksud menerobos di antara orang ke dua dan ke tiga di depan arah kanannya. Akan tetapi, dari kanan datang pula serangan sebagai susulan serangan pertama tadi dan ia pun mengenal pukulan ke arah lambungnya itu, karena itu adalah jurus Awan Gunung Turun ke Bumi. Seperti serangan pertama, serangan ke dua ini pun dilakukan dengan cepat dan kuat. Akan tetapi Ling Ling ingin menguji tenaganya, maka sekali ini ia tidak mengelak, membiarkan kepalan lawan menyambar ke arah lambungnya, kemudian secara tiba-tiba dan cepat sekali, lengan kanannya bergerak ke bawah menangkis.


"Dukkk!" Tangkisan itu perlahan saja, akan tetapi Ling Ling telah mengerahkan sinkangnya dan lengan lawan itu pun terpental dan orangnya meringis kesakitan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ling Ling untuk menerobos ke depan. Kini, lima orang itu mulai mengeroyoknya dengan cepat, menggunakan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan untuk mencegah gadis itu menerobos barisan mereka. Dan tiba-tiba Ling Ling bergerak cepat sekali, mengelak dan rnenangkis dan terus menerobos. Lima orang itu terkejut melihat gadis itu hendak lolos ke dalam. Mereka menubruk dari kanan kiri, dan tiba-tiba Ling Ling mengeluarkan bentakan halus, kedua tangannya mendorong ke kanan kiri dan lima orang itu pun terpelanting seperti terdorong angin yang amat kuat. Tentu saja mereka tidak mampu lagi mencegah gadis itu meloncat memasuki pintu gerbang!


Akan tetapi kini ia berhadapan dengan tujuh orang yang sudah siap menantinya di belakang pintu gerbang! Dan tujuh orang itu kini bergerak mengepungnya, membuat lingkaran sambil terus melangkah maju, masing-masing dalam jarak dua meter darinya. Seperti pada barisan pertama, tujuh orang ini membawa pedang di punggung, namun mereka tidak mencabut pedang hanya bergerak membuat langkah-langkah maju mengelilinginya dengan sikap penuh kewaspadaan. Ling Ling dapat menduga bahwa tentu para anggauta barisan ke dua ini memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada barisan pertama, dan jumlah mereka juga lebih banyak. Ia seorang gadis yang cerdik dan biarpun ia tidak bergerak, matanya melirik ke kanan kiri mencari bagian yang lemah. Namun, tujuh orang itu membuat langkah-langkah yang rapi dan teratur, dan kedudukan tangan mereka siap siaga dan saling melindungi.


Setelah membuat perhitungan, Ling Ling membalikkan tubuhnya menghadap ke luar pintu gerbang dan ia pun mengeluarkan suara bentakan, lalu menyerang dua orang yang berada di depannya. Dua orang itu mengelak dan menangkis, dua orang lain di kanan kiri mereka siap membalas serangan. Akan tetapi Ling Ling sudah memperhitungkan ini dan tiba-tiba sekati ia membatik lagi dan kini menyerang bagian yang tadi berada di belakangnya sambil membentak nyaring.



“Biarkan aku masuk!" Kedua tangannya menampar dua orang untuk membuka jalan. Dua orang itu terkejut, tak menyangka bahwa gadis itu akan membalik dan mengirim serangan sedemikian cepatnya. Ketika mereka hendak menangkis, kedua tangan gadis itu berubah gerakannya, yang kiri menusukkan dua jari ke arah mata, yang kanan menyerang lawan ke dua dengan tusukan ke arah dada dengan tangan miring. Dua serangan yang amat berbahaya bagi dua orang lawannya, sehingga mereka itu dengan kaget melangkah mundur menghindarkan diri dari serangan, sambil memutar lengan ke depan bagian tubuh yang diserang untuk melindungi. Kesempatan ini yang sudah diperhitungkan Ling Ling dan ia pun cepat menerobos di antara dua orang yang melangkah mundur itu. Dan ia pun sudah berada di luar lingkaran!


Akan tetapi, betapa herannya ketika ia memandang, ternyata ia telah dikepung pula dan lingkaran tujuh orang itu pun kembali sudah menge1ilinginya. Kiranya, lingkaran itu dapat bergerak dengan teratur sekali sehingga begitu ia menerobos keluar, lingkaran itu telah bergerak cepat membuat lingkaran lain sehingga ia tetap saja berada dalam kepungan tujuh orang. Kini, tujuh orang itu melakukan serangan dan bukan main hebatnya! Mereka bergerak menyerang susul-menyusul, bukan secara kacau melainkan dengan teratur sekali dan serangan susulan orang berikutnya merupakan lanjutan dari serangan orang pertama!


Orang pertama menghantam dari atas, turun ke arah kepalanya, ketika Ling Ling menangkis dari samping, orang ke dua menyerang ke lambung, ke bawah lengan kanannya yang terbuka untuk menangkis tadi dan pada saat ia mengelak, orang ke tiga sudah menendang ke arah lututnya dan begitu ia meloncat ke atas menghindar, orang ke empat menyambutnya dengan tusukan jari tangan ke arah jalan darah di punggung! Serangan itu susul-menyusul dan bertubi-tubi datangnya. Terpaksa Ling Ling menggerakkan tubuh dengan kelincahannya, menangkis kanan kiri sambil berlompatan menghindar, menyelinap di antara sambaran banyak kaki tangan tujuh orang lawannya. Dan setiap kali ia menerobos keluar, ia hanya memasuki lain lingkaran yang dibuat mereka secara otomatis.


Ling Ling terus menangkis dan mengelak sambil memutar otaknya. Kalau ia menghendaki, tentu saja dia dapat bertindak dengan kekerasan, merobohkan mereka. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal itu karena ia tidak ingin melukai murid-murid Cin-ling-pai yang kalau diingat hubungan antara ayahnya dan Cin-ling-pai, para murid ini masih terhitung saudara-saudaranya seperguruan pula. Baru melihat gerakan silat mereka saja sudah menjadi bukti bahwa ia dan mereka sealiran, memiliki dasar gerakan yang sama. Kalau tadi ia membuat lima orang dari pasukan pertama terpelanting, ia pun tidak melukai mereka dan hanya mempergunakan angin pukulannya saja membuat mereka terpelanting. Akan tetapi, ia tidak akan mampu merobohkan tujuh orang ini dengan cara seperti tadi karena mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pasukan pertama.


Tiba-tiba, setelah mendapatkan akal, Ling Ling mencabut pedangnya yang selalu tersembunyi di balik buntalan pakaian yang digendongnya dan dengan pedang itu, ia lalu membuat gerakan ke bawah menyerang ke sekelilingnya dengan babatan pedang! Tentu saja semua lawan menjadi terkejut dan untuk menyelamatkan kaki, mereka itu membuat gerakan mundur, memperlebar 1ingkaran. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan Ling Ling, kini tujuh orang itu pun sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka kini menyerang lagi seperti tadi, walaupun dalam lingkaran yang lebih lebar, menggunakan pedang secara susul-menyusul, menyerang gadis itu. Inilah peraturan dari pasukan Cin-1ing-pai yarig gagah. Mereka akan mengepung seorang dengan tangan kosong dan baru kalau orang itu mempergunakan senjata, mereka akan mencabut senjata mereka pula.


Tentu saja Ling Ling menjadi semakin repot! Tadinya, ia ingin para pengepungnya itu melonggarkan kepungan agar ia dapat menerobos keluar tanpa dapat terkepung lagi. Siapa kira, penggunaan pedang olehnya seperti memancing mereka mempergunakan pedang pula, dan kini ia dikeroyok dengan serangan-serangan pedang yang tentu saja lebih berbahaya daripada serangan kaki tangan mereka tadi. Akan tetapi kegembiraannya timbul karena kini ia dapat menguji dirinya dalam menghadapi pengeroyokan bersenjata. Ia memutar pedangnya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung yang amat rapat menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan lawan tertangkis begitu bertemu dengan gulungan sinar pedangnya. Akan tetapi, dengan sendirinya ia pun tidak sempat lagi untuk balas menyerang, apalagi karena ia tidak ingin melukai lawan dengan pedangnya, berbeda dengan tujuh orang itu yang menyerang dengan sungguh-sungguh dan kalau gadis itu tidak cepat dapat menangkis, tentu nyawanya terancam bahaya.


Tiba-tiba sekali, Ling Ling mengeluarkan jerit melengking tinggi yang menggetarkan jantung tujuh orang pengeroyoknya dan pada saat tujuh orang murid Cin-ling-pai itu terkejut dan mereka mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh lengkingan itu, tubuh gadis ini telah melayang tinggi dan berhasil keluar dari kepungan tujuh orang itu ketika ia melayang turun ke arah dalam, di pekarangan rumah induk perkampungan.


Akan tetapi begitu kedua kakinya sudah menginjak tanah, tahu-tahu ia telah dikepung oleh sembilan orang laki-laki yang sikapnya tenang akan tetapi berwibawa dan mereka telah membentuk barisan segi tiga yang mengepungnya. Di depannya bediri berjajar empat orang, di kanan kiri masing-masing dua orang dan di belakangnya satu orang. Mereka tidak membuat gerakan langkah seperti barisan kedua tadi. Teringat akan pengeroyokan dengan pedang, cepat ia menyimpan pedangnya karena menghadapi pengeroyokan dengan senjata ternyata lebih berbahaya baginya. Inilah pasukan ke tiga, pikirnya. Ia harus berhati-hati karena dari sikap mereka saja dapat diduga bahwa mereka tentulah murid-murid pilihan dari Cin-ling-pai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Usia mereka pun tentu lebih dari tiga puluh tahun. Maka, Ling Ling menjura dengan sikap hormat.



Harap Cu-wi (Anda Sekalian) berbaik hati dan membiarkan aku masuk dan mengharap Ketua Cin-ling-pai."


"Nona, engkau masuk dengan kekerasan dan sudah dapat melampaui dua pasukan. Untuk dapat menghadap Pangcu (Ketua), engkau harus dapat lolos dari kepungan kami." kata seorang di antara mereka dengan suara tenang dan sikap yang sungguh-sungguh, sedikit pun mereka ini tidak memandang rendah kepada Ling Ling walaupun ia hanya seorang gadis remaja.


Ling Ling menarik napas panjang. "Apa boleh buat, terpaksa aku bersikap kurang ajar. Bukan aku takut, melainkan aku tidak ingin membikin ribut, akan tetapi kalian yang menghalangiku menghadap Ketua Cin-ling-pai!"


Setelah berkata demikian, ia menerjang di antara dua orang yang berada di depannya, untuk menerobos keluar dari kepungan. Akan tetapi, dua orang itu menyambutnya dengan tangkisan dan cengkeraman.


"Duk! Duk!" Kedua lengan Ling Ling bertemu dengan lengan dua orang lawan itu dan ia merasa betapa mereka itu memiliki sinkang yang kuat juga dan gerakan mereka dengan kedua tangan menyerang dan menangkis satu ke atas satu ke bawah membuat ia mengenal ilmu silat yang mereka pergunakan.


"Thian-te Sin-ciang ….!" katanya dan ia pun menerjang lagi dengan gembira, mempergunakan Thian-te Sin-ciang dan karena memang gadis ini memiliki simpanan tenaga sinkang yang amat kuat, maka terjangannya membuat dua orang pengepung lain terdesak mundur. Akan tetapi, segera teman-temannya sudah menerjang dari kanan kiri, membuat Ling Ling terpaksa menyambut mereka dengan kelincahan gerakannya. Kini, sembilan orang itu menyerangnya bergantian dan biarpun gerakan mereka nampak lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat.


"Thai-kek Sin-kun ….!" Ling Ling berseru pula ketika mengenal gerakan mereka.


Pada saat itu, dari dalam rumah muncul Cia Hui Song, Ketua Cin-ling-pai. Dia tertarik mendengar betapa gadis itu mengenal ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, apalagi ketika melihat bahwa gadis itu masih demikian muda dan ilmu silatnya demikian lihai.


"Tahan …..!" serunya dan mendengar suara ketua mereka, sembilan orang murid itu cepat berlompatan mundur dan berdiri di kanan kiri dengan sikap hormat.


Ling Ling mengangkat muka memandang. Laki-laki yang berdiri di depannya itu berusia empat puluh tahun lebih, tampan dan gagah, pakaiannya sederhana dan sepasang matanya amat tajam dan mencorong seperti mata ayahnya sendiri. Timbul perasaan hormat dalam hati Ling Ling karena dia dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan tokoh penting di Cin-ling-pai yang mampu membuat pasukan sembilan orang itu demikian taat. Ia pun lalu menjura dan berkata dengan suara sopan.


"Maafkan saya yang tidak sengaja hendak membikin ribut di Cin-ling-pai, akan tetapi saya mohon dapat bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai."


Cia Hui Song tersenyum. "Anak yang baik, akulah Ketua Cin-ling-pai.”


Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya. “Akan tetapi Ayah... Ayah bilang bahwa Ketua Cin-ling-pai sudah tua... ah, kalau begitu, apakah Ketua Cin-ling-pai sekarang bukan Kakek Cia Kong Liang lagi?”

Hui Song semakin tertarik. “Cia Kong Liang adalah Ayahku yang sudah mengundurkan diri dan aku sebagai penggantinya…”


“Kalau begitu engkau tentu Paman Cia Hui Song!” Ling Ling berseru girang.


“Dan engkau tentu puteri Cia Sun, dan namamu... Cia... eh, siapa aku lupa lagi…”


“Cia Ling, panggilan sehari-hari Ling Ling!”


“Benar, engkau masih kecil sekali ketika aku berkunjung ke rumah orang tuamu. Aih, engkau sudah begini besar dan lihai. Ling Ling, mari masuk dan kita bicara di dalam.” ajak Hui Song dengan girang sekali. Gadis itu pun tersenyum, mengangguk dan melirik ke arah para murid Cin-ling-pai, lalu bersoja memberi horrnat.


"Kuharap kalian suka memaafkan aku!"


Para murid itu pun tersenyum dan membalas penghormatannya. "Nona masih begini muda sudah lihai bukan main!" kata seorang di antara mereka memuji.


Ling Ling lalu mengikuti Hui Song masuk ke dalam ruangan tamu. Mereka duduk berhadapan dan seorang Cin-ling-pai yang hari itu bertugas di dalam segera menyuguhkan air teh.


"Paman Cia Hui Song, di manakah adanya Kakek Cia Kong Liang dan di mana pula keluarga Paman?"


"Ayahku semenjak mengundurkan diri, lebih banyak bertapa di dalam kamarnya dan keluargaku... ah, nanti dulu, Ling Ling, engkau jangan menyebut aku paman. Apakah Ayahmu tidak pernah menceritakan tentang silsilah keluarga kita? Ayahmu itu masih terhitung keponakanku, maka seharusnya engkau menyebut kakek kepadaku."


Ling Ling mengangguk. "Pernah Ayah bercerita, akan tetapi saya sudah lupa lagi. Usia paman sebaya dengan Ayah, sudah sepantasnya kalau disebut Paman."



Cia Hui Song adalah seorang yang berbeda sekali sikap dan wataknya dibandingkan ayahnya, Cia Kong Liang yang selalu memegang teguh peraturan tradisi dan kuno. Mendengar kata-kata gadis remaja itu, dia pun tersenyum.


"Baik-baik saja kalau engkau hendak menyebut Paman, akan tetapi ketahuilah bahwa Ayahmu itu masih terhitung keponakanku dan silsilahnya seperti berikut. Kakekku, yaitu Cia Bun Houw, di masa mudanya telah mempunyai seorang putera, yaitu yang bernama Cia Sin Liong yang kemudian berjuluk Pendekar Lembah Naga. Setelah agak tua, beliau mempunyai seorang putera lagi, yaitu Cia Kong Liang, Ayahku. Uwa Cia Sin Liong mempunyai seorang putera, yaitu Kakak Cia Han Tiong yang hanya tiga tahun lebih muda dari Ayahku. Ayah mempunyai putera aku, maka Kakak Cia Han Tiong, yaitu Kakekmu, adalah kakak sepupuku. Dengan demikian, Ayahmu, Cia Sun, terhitung keponakanku dan engkau adalah cucu keponakanku!"


Ling Ling mengangguk-angguk. "Sekarang saya ingat, Paman... eh, Cek-kong (Kakek Paman) …."

Melihat kekikukan gadis itu, Hui Song tertawa. "Sudahlah, engkau mau menyebut apa pun terserah. Paman pun baik saja bagiku."


"Akan janggal rasanya kalau saya menyebut kakek dan terima kasih kalau saya boleh menyebut Paman. Paman, di mana adanya Bibi? Bukankah Bibi bernama Ceng Sui Cin dan memiliki ilmu kepandaian lihai sekali? Menurut cerita Ayah, Bibi adalah puteri dari Pendekar Sadis! Dan kata Ayah, Paman mempunyai pula seorang puteri yang hanya sedikit lebih tua dari saya. Di mana mereka, Paman?"


Di dalam hatinya Hui Song mengeluh, akan tetapi tidak nampak perubahan pada wajahnya. "Mereka sedang pergi berkunIjung ke Pulau Teratai Merah, ke rumah mertuaku. Yang berada di rumah sekarang adalah Bibi mudamu dan anak kami. Tunggulah, kupanggilkan mereka."


Hui Song keluar sebentar dari kamar itu dan tak lama kemudian dia pun sudah kembali bersama seorang wanita yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, yang menggendong seorang anak laki-laki kecil berusia dua tahun. Diam-diam Ling Ling merasa heran, akan tetapi sebagai seorang gadis yang tahu sopan-santun, ia tidak banyak bertanya, melainkan memberi hormat ketika diperkenalkan kepada wanita muda yang menjadi isteri muda pamannya itu. Dengan ramah Siok Bi Nio, isteri ke dua dari Hui Song, menerima penghormatan Ling Ling dan mempersilakannya duduk lagi. Mereka lalu bercakap-cakap, di mana Ling Ling menceritakan bahwa ia datang atas perintah ayahnya, Cia Sun, yaitu menyuruh puterinya untuk melakukan perjalanan meluaskan pengalaman dan pergi berkunjung ke Cin-ling -pai.


"Saya mohon maaf kalau kedatangan saya ini mengganggu dan merepotkan Paman Cia Hui Song dan Bibi." Katanya menutup ceritanya. Hui Song merasa senang melihat kesopanan gadis ini.


“Ah, tidak sama sekali, Ling Ling. Kami merasa gembira sekali menerima kunjunganmu, tanda bahwa Ayahmu masih ingat kepadaku dan engkau boleh tinggal di sini selama yang engkau kehendaki dan anggaplah di sini sebagai rumahmu sendiri. Tentang peristiwa tadi, tidak mengapalah. Memang baru saja muncul seorang wanita yang agaknya membawa niat yang kurang baik, maka penjagaan diperketat dan engkau dicurigai. Akan tetapi, kulihat ilmu kepandaianmu sungguh hebat, engkau dengan mudah mampu melampaui dua lapisan pasukan penjaga. Ayahmu tidak menyia-nyiakan kepandaiannya dan telah mendidikmu dengan baik sekali."


"Ah, Paman terlalu memuji." Kata Ling Ling dengan muka agak merah, "Saya masih harus banyak belajar dan mengharapkan petunjuk Paman selama saya berada di sini." Kembali diam-diam Hui Song memuji dalam hatinya. Puteri Cia Sun ini sungguh seorang gadis yang pandai membawa diri, sopan dan rendah hati, kelihatan sudah matang dan berpemandangan luas walaupun usianya masih demikian muda.


Hui Song lalu menanyakan keadaan Cia Sun yang dijawab oleh gadis itu bahwa ayahnya dan ibunya dalam keadaan sehat. "Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan bertani. Selain menggarap sawah ladang sendiri yang cukup luas dan mempergunakan banyak tenaga petani, juga Ayah suka membeli hasil pertanian dan menjualnya ke kota." Antara lain Ling Ling bercerita. Keluarga ayahnya memang selama ini hidup di dusun Ciang-si-bun dengan aman dan tenteram, dalam keadaan sederhana saja namun cukup makan pakai, bahkan keluarga ayahnya terkenal sebagai dermawan yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk yang miskin dan kekurangan. Sudah beberapa kali, di waktu musibah karena musim kering terlampau panjang atau musim hujan terlampau berat sehingga terjadi banjir, keluarga Cia ini tanpa ragu-ragu menguras semua tumpukan dan cadangan gandum dan beras di gudang mereka untuk membantu penduduk agar tidak sampai kelaparan. Karena itu, nama keluarga Cia ini terkenal sekali di sekitar daerah Ciang-si-bun, bahkan sampai jauh ke luar daerah itu. Apalagi, semua orang tahu belaka bahwa keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dan puteri itu, kesemuanya merupakan pendekar-pendekar silat yang amat lihai sehingga daerah itu pun aman, tidak ada penjahat yang berani memperlihatkan aksinya.


Setelah menceritakan keadaan orang tuanya, Ling Ling lalu berkata, "Paman Cia Hui Song, saya ingin sekali menghadap Kakek Cia Kong Liang. Di manakah dia dan bolehkah saya menghadap untuk memberi hormat?"


Cia Kong Liang selain masih terhitung paman kakek buyutnya, juga sukong (kakek guru) karena ibunya, Tan Siang Wi, adalah murid dari kakek itu. Mendengar permintaan Ling Ling, wajah Hui Song berseri. Seorang gadis yang amat pandai membawa diri, pikirnya.

"Kakekmu itu kini lebih suka berada di dalam kamarnya, setiap hari hanya bersamadhi saja, tidak lagi mau mencampuri urusan dunia. Akan tetapi, dia tentu akan senang sekali melihatmu, puteri Cia Sun yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat lihai. Mari kuantar engkau menemuinya."



Kamar di mana Kakek Cia Kong Liang melewatkan sebagian besar waktunya untuk samadhi itu cukup luas, dengan dua buah jendela besar menghadap ke taman sehingga hawanya segar dan cukup menerima sinar matahari. Tidak banyak perabot kamar di situ, kecuali sebuah dipan dan dua buah kursi dengan meja kecil, juga sebuah rak kecil penuh dengan kitab-kitab kuno. Ketika Hui Song membawa Ling Ling masuk, kakek itu sedang duduk di atas kursi menghadapi sebuah kitab yang terbuka dan dibacanya, di atas meja. Dia menoleh ketika melihat puteranya masuk, dan mengerutkan alisnya ketika melihat seorang gadis. Tadinya, dengan penuh harap dia menyangka gadis itu Kui Hong, cucunya yang amat disayangnya dan sudah lama dirindukannya, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan cucunya, dia memandang dengan heran mengapa puteranya mengajak seorang gadis asing memasuki kamarnya.


Akan tetapi Ling Ling sudah menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kakek itu sambil berkata, "Sukong, teecu Cia Ling menghaturkan hormat."


Mendengar gadis itu menyebut sukong kepadanya, dan mengaku memiliki she (marga) Cia pula, kakek itu menjadi semakin heran. Dia bangkit berdiri, memandang kepada gadis itu, kemudian kepada puteranya yang berdiri dengan hormat, lalu bertanya, "Hui Song, siapakah gadis ini?"


"Ayah, dia bernama Cia Ling dan disebut Ling Ling, puteri dari Cia Sun dan Sumoi Tan Siang Wi."


Wajah kakek itu yang penuh dengan garis-garis penderitaan hidup dan yang dibayangi ketenangan mendalam, kini tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya berseri, sepasang matanya bersinar-sinar dan pada mulutnya membayang senyum gembira. Dia memandang kepada gadis itu.


"Aha, kiranya engkau puteri mereka! Bangkitlah, Cucuku, dan duduklah di kursi ini. Engkau juga duduklah, Hui Song, dan ceritakan keadaan orang tuamu, Ling Ling."

Gadis itu pun bangkit setelah memberi hormat lagi, dan duduk di atas kursi dengan sikap sopan akan tetapi tidak malu-malu. Juga Hui Song duduk di kursi ke dua, bersama Ling Ling menghadap ke arah kakek itu yang kmi duduk bersila di atas dipan.

Dengan suara halus namun jelas, Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya, mengulang kembali apa yang sudah diceritakannya tadi kepada Cia Hui Song. Kakek itu mendengarkan dengan gembira dan beberapa kali mengangguk-angguk ketika mendengar akan kebiasaan keluarga itu yang suka mengulurkan tangan membantu para penduduk dusun. Dia mengenal benar watak Cia Sun yang amat baik hati, dan girang bahwa muridnya yang disayangnya, Tan siang Wi, setelah menjadi isteri Cia Sun ternyata dapat merobah wataknya. Baru akhir-akhir ini dia menyadari betapa muridnya itu berwatak keras, angkuh dan tidak mau kalah. Untunglah Siang Wi mendapatkan seorang suami seperti Cia Sun yang sabar dan halus, pandai membimbingnya. Setelah gadis itu selesai bercerita, kakek itu bertanya. "Tentu engkau menerima latihan-latihan ilmu silat dari Ayah bundamu, bukan? Kalau belum cukup kepandaianmu, tidak mungkin orang tuamu menyuruh engkau seorang gadis yang belum dewasa benar melakukan perjalanan seorang diri."


"Sukong, teecu masih bodoh dan berpengetahuan dangkal, mohon banyak petunjuk dari Paman Cia Hui Song dan Sukong selama teecu berada di sini."


"Ayah, Ling Ling telah mendapatkan pendidikan ilmu silat yang cukup hebat sehingga ia mampu melewati lapisan pasukan penjaga dengan amat mudahnva. Hanya sebentar saja ia dapat lolos dari kepungan barisan pertama dan ke dua tanpa melukai seorang pun, dan agaknya lapisan ke tiga pun tentu akan dapat dilaluinya dengan baik. Ia hebat, Ayah dan sungguh tidak mengecewakan menjadi puteri Cia Sun dan Tan Siang Wi!” kata Hui Song dengan bangga.


Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi kembali alisnya berkerut. “Hui Song, bagaimanakah sampai lapisan penjaga mengeroyok cucuku Cia Ling ini?”


Hui Song tersenyum. “Harap Ayah ketahui bahwa pagi tadi, sebelum Ling Ling tiba, di sini muncul seorang pengunjung yang aneh. Saya sama seklai tidak mengenalnya. Ia seorang wanita muda yang emmaksa hendak bertemu dengan Ayah. Karena belum mengenalnya, terpaksa saya menolaknya dan tanpa memperkenalkan diri atau memberitahukan kepentingannya, ia pergi begitu saja. Ketika masuk, ia pun melompati para penjaga yang menghadangnya, sikapnya mencurigakan sekali. Oleh karena itu, penjagaan diperketat dan ketika Ling Ling muncul, tentu saja ia di curigai dan dihalangi. Untung saya keluar dan mengenal gerakan-gerakannya.”


“Bagus sekali, aku ikut bangga dengan kepandaianmu, Ling Ling. Akan tetapi, siapakah wanita muda yang mencariku itu?”


“Entahlah, saya belum pernah melihatnya dan sikapnya sungguh mencurigakan, dan melihat gerakannya, agaknya ia memiliki ilmu ginkang yang luar biasa sekali, Ayah. Saya merasa curiga melihat sikapnya, mungkin ia mempunyai niat yang buruk terhadap Ayah, oleh karena itu, saya menyuruh para murid melakukan penjagaan dengan ketat.”

“Hemm, sudah setua ini, sudah mengundurkan diri, masih saja ada yang mencari dengan niat buruk. Mungkin itu merupakan buah dari pohon yang kutanam dahulu. Kalau ia datang lagi, biarlah kauberitahu aku, aku akan menemuinya,” kata kakek itu setelah menarik napas panjang, wajahnya membayangkan penyesalan.


Malam itu Ling Ling tinggal di kamar yang dahulu ditinggali Kui Hong. Ling Ling melamund an biarpun Hui Song tidak bercerita banyak tentang bibinya, Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong, hanya mengatakan bahwa ibu dan anak itu sedang pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, ke tempat Pendekar Sadis, ayah bibinya itu, namun ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari itu telah terjadi dalam keluarga pamannya ini. Kalau ia bertanya tentang bibinya atau tentang puterinya, selalu pamannya memberi jawaban singkat dan menyimpang. Bahkan tidak menjawab ketika ia bertanya kapan mereka kembali! Juga isteri muda pamannya itu selalu nampak gelisah dan tidak enak kalau mendengar ia bertanya tentang mereka. Apakah yang telah terjadi dalam keluarga pamannya?



Selagi ia termenung di dalam kamarnya, tiba-tiba ia rnendengar suara wanita berkata keras di sebelah luar, arah ruangan dalam di mana dipergunakan sebagai ruangan duduk oleh keluarga itu. Ia tertarik sekali dan setelah membereskan pakaiannya, ia pun keluar dari dalam kamarnya, menuju ke ruangan itu. Dan ia melihat dan mendengar hal-hal yang sejak tadi menjadi renungannya. Ia berhenti di balik pintu dan memandang ke dalam.

Nampak Cia Hui Song berdiri di situ, di sampingnya duduk Kakek Cia Kong Liang. Pamannya itu berdiri sambil menundukkan mukanya, dan kakek Cia Kong Uang duduk dengan lemas dan mukanya agak pucat, berulang kali menarik napas panjang. Dan di depan mereka berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong marah, seorang gadis yang berwajah manis dan cantik sedang marah-marah dan menegur dua orang itu dengan suara lantang!


"Ayah mau menang sendiri, mau enak sendiri saja! Apa kesalahan Ibu maka Ayah menyakiti hatinya dan menikah lagi, sehingga Ibu terpaksa meninggalkan tempat ini dan terlunta-lunta pulang ke Pulau Teratai Merah? Ibu menderita batin karena perbuatan Ayah itu, Ayah telah menghina Ibu, menyakiti hati Ibu dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga kita, berarti menghancurkan kebahagiaanku sendiri! Aku minta pertanggungan-jawab dari Ayah!"


Wajah Cia Hui Song sebentar merah sebentar pucat, kadang-kadang dia mengangkat muka memandang gadis itu, kemudian menunduk kembali dan agaknya sukar baginya untuk melakukan atau mengatakan sesuatu di bawah serangan kata-kata puterinya itu. Kakek Cia Kong Liang yang sejak tadi juga nampak sedih sekali, mencoba untuk membela puteranya.


"Kui Hong, cucuku yang baik, jangan engkau bersikap seperti itu terhadap Ayahmu sendiri! Dia tidak bersalah….”


"Aku tahu, kalau Ayah tidak bersalah, ini berarti Kong-kong yang bersalah! Ya, aku tahu bahwa Ayah menikah lagi karena dia dipaksa oleh Kong-kong! Kong-kong hanya mau menang sendiri saja, ingin cucu laki-laki alasannya! Apakah seorang cucu perempuan seperti aku ini tidak ada harganya? Kong-kong dan Ayah hanya ingin senang sendiri, di atas penderitaan Ibuku! Juga di atas penderitaan batinku! Kong-kong dan Ayah sungguh berdosa besar, melakukan kejahatan terhadap Ibuku dan aku. Akan tetapi aku datang ini bukan untuk membela diri sendiri, melainkan membela Ibuku! Ia telah menjadi sengsara, menderita karena perbuatan kalian! Karena itu, aku datang utuk menuntut pertanggungan jawab dari Kong-kong, terutama dari Ayah! Ayah adalah seorang laki-laki jantan, seorang pendekar, seorang Ketua Cin-ling-pai, pantaskah melakukan perbuatan seperti itu, menyakiti hati Ibuku, isterinya sendiri?"


Mendengar semua ini, melihat wajah kedua orang laki-laki itu pucat dan bingung, Ling Ling merasa penasaran sekali. Ia kini tahu siapa adanya gadis cantik itu. Tentulah Cia Kui Hong, puteri pamannya yang dikatakan pergi bersama ibunya berkunjung ke Pulau Teratai Merah itu. Kiranya bukan pergi berkunjung, melainkan Bibi Ceng Sui Cin pergi bersama Kui Hong ini karena pamannya Cia Hui Song menikah lagi dengan Bibi Siok Bi Nio! Kalau begitu, melihat usia Cia Kui Bu yang kini sudah dua tahun, tentu ibu dan anak itu telah pergi sedikitnya tiga tahun dari Cin-ling-san! Kini gadis itu agaknya pulang hanya untuk marah-marah dan menegur ayahnya dan kakeknya, dengan kata-kata keras yang dianggap oleh Ling Ling sudah melampaui batas. Mukanya menjadi merah mendengar semua ucapan Kui Hong yang mencela ayah sendiri dan kakek sendiri itu. Ling Ling lalu melangkah memasuki ruangan itu.


"Maaf, engkau tentu Enci Cia Kui Hong," katanya lembut dan mendengar ini gadis itu ternyata memang Cia Kui Hong, membalikkan tubuhnya menghadapi Ling Ling. Sebelum ia membuka mulut, Ling Ling sudah mendahului dan melanjutkan kata-katanya yang dikeluarkan dengan nada lembut dan sikap sabar dan ramah, mulutnya dihias senyuman.


"Enci Cia Kui Hong, aku mohon padamu, ingatlah siapa yang berada di depanmu, siapa yang kaucela dengan kata-kata keras itu. Enci, mereka itu adalah Ayah kandungmu sendiri dan Kakekmu sendiri. Engkau akan menyesal sendiri kelak, Enci, ingatlah bahwa tidak semestinya kita bersikap seperti itu terhadap Ayah sendiri dan Kakek sendiri. Segala persoalan dapat dirundingkan dengan hati dan kepala dingin, dengan kata-kata yang halus dan penuh damai ……"


Sejak tadi alis Kui Hong sudah berkerut dan sinar matanya menyambar-nyambar marah. Sikap dan ucapan gadis yang tidak dikenalnya itu dianggap membela dan membenarkan ayah dan kakeknya, dan menyalahkannya! Tentu saia hal ini membuat hatinya menjadi semakin panas. Bagaimanapun juga, ia masih belum berani untuk menggunakan kekerasan menyerang ayahnya sendiri atau kakeknya. Akan tetapi gadis ini tidak dikenalnya dan berani menyalahkannya, maka semua kemarahannya kini ditumpahkan kepada gadis itu.


"Berani engkau mencampuri urusan antara aku dan Ayahku sendiri? Siapakah engkau begini lancang?" bentaknya sambil melangkah maju mendekati Ling Ling bagaikan seekor singa betina yang marah. Namun Ling Ling tetap tenang menghadapinya.


"Enci, aku adalah Cia Ling, Ayahku adalah Cia Sun dan Ibuku Tan Siang Wi. Aku baru datang siang tadi dari dusun Ciang-si-bun, tempat tinggal kami untuk berkunjung kepada keluarga Cin-ling-pai dan …”


"Cukup! Kaukira karena itu engkau berhak mencampuri urusanku? Engkau manusia lancang patut dihajar!" bentak Kui Hong. Semua rasa penasaran dan kemarahan yang membakar dirinya, yang membuat ia ingrn sekali menyerang orang dan ditahan-tahannya karena ia tadi berhadapan dengan ayahnya dan kakeknya, kini ditumpahkan kepada Ling Ling dan ia pun menerjang maju menyerang gadisitu!


Tentu saja Ling Ling cepat mengelak dan menangkis ketika melihat betapa Kui Hong menyerangnya dengan gerakan dahsyat sekali. Melihat ini, Cia Kong Liang diam saja dan menyerahkan saja urusan ini kepada puteranya, akan tetapi Cia Hui Song juga tidak segera melerai. Pendekar ini adalah seorang yang suka sekali akan ilmu silat, dan biarpun hatinya seperti ditusuk-tusuk oleh sikap puterinya tadi, bagaimanapun juga dia merasa gembira melihat munculnya Kui Hong dan kini dia ingin melihat sampai di mana pula kelihaian Ling Ling puteri Cia Sun! Maka dia pun diam saja, walaupun dengan penuh perhatian dia mengikuti setiap gerak perkelahian itu sambil berjaga-jaga agar jangan sampai seorang di antara mereka terluka parah



Mula-mula Ling Ling, yang sama sekali tidak menghendaki adanya perkelahian di antara mereka, hanya membela diri saja dengan elakan dan tangkisan. Akan tetapi, ia terkejut sekali menghadapi serangan-serangan yang makin lama semakin dahsyat dan berbahaya. Apalagi karena di pihak Kui Hong, gadis ini merasa penasaran bukan main ketika beberapa kali serangannya dapat dihindarkan lawan dengan gesitnya. Penasaran mendatangkan kemarahan dan Kui Hong memperhebat serangannya dengan jurus-jurus pilihan. Harus diketahui bahwa Kui Hong telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah selama beberapa tahun ini sehingga ia menjadi lihai bukan main. Dibandingkan dengan tingkat Ling Ling, ia jauh lebih lihai, bahkan kini ia tidak kalah lihai dibandingkan ibunya sendiri. Maka, ketika ia mendesak dengan jurus-jurus pilihan, Ling Ling menjadi repot dan terpaksa gadis ini pun selain mengelak, juga membalas untuk menghindarkan dirinya dari desakan.


Terjadilah perkelahian yang seru. Dua orang gadis yang sama gesitnya, kini saling serang dengan hebat di ruangan yang 1uas itu,hanya ditonton oleh Cia Hui Song dan Cia Kong Liang. Tidak ada murid Cin-ling-pai yang berani ikut menonton. sejak tadi, mereka tidak berani mendekat. Ketika Kui Hong muncul di depan pintu gerbang, para murid sudah terkejut dan girang bukan main. Mereka menyapa dengan hormat dan manis, bahkan segera memberitahukan ke dalam bahwa "Nona Kui Hong" telah pulang.



Mendengar ini, maka Cia Hui Song dan Cia Kong Liang keluar pula dari kamar mereka sehingga mereka bertemu dengan Kui Hong yang sudah memasuki ruangan itu. Tak seorang pun murid atau pelayan di situ berani mendekat, apalagi mendengar terlakan-teriakan Kui Hong yang marah-marah tadi. Mereka takkan muncul tanpa dipanggil.


Akhirnya ling Ling harus mengakui kelihaian Kui Hong. setelah dua puluh lima jurus, mulailah ia terdesak hebat oleh jurus-jurus aneh yang dipergunakan Kui Hong dalam penyerangannya, yaitu jurus-jurus yang dipelajarinya dari Pulau Teratai Merah. Gadis ini tentu akan roboh dan mungkin terluka hebat kalau perkelahian itu dilanjutkan. Melihat ini, diam-diam Hui Song terkejut, juga bangga akan kelihaian puterinya. Dia pun dapat menduga bahwa tentu puterinya itu menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka dia pun cepat meloncat ke depan dan menengahi perkelahian itu.


"Sudah cukup, kalian tidak boleh berkelahi lagi!"


Melihat pamannya maju melerai, tentu saja Ling Ling cepat mundur. Akan tetapi Kui Hong menjadi semakin penasaran. Ia berdiri menghadapi ayahnya dengan mata mencorong.

"Hemm, agaknya Ayah bahkan hendak membela orang luar dan memusuhi aku?"


Cia Hui Song menarik napas panjang. Dia merasa berduka sekali mellnat sikap puterinya ini, puteri yang amat dicintanya dan dia dapat mengerti akan sakit hati yang diderita dalam batin puterinya. Dia tidak menyalahkan sikap itu, melainkan menyesali nasib sendiri. Sejenak dia memandang wajah puterinya dan terbayanglah semua kebahagiaan dan kemesraan bersama dengan ibu gadis ini, terbayanglah dia betapa sayangnya ketika dia membelai dan menimang gadis ini di waktu kecilnya dahulu, betapa tekunnya dia melatih silat kepada Kui Hong. Anak yang amat mungil dan amat sayang kepada ayahnya pula. Dan sekarang? Anak ini berdiri bagaikan seekor singa kelaparan, dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kebencian kepadanya. Tak terasa lagi, sepasang mata pendekar ini terasa panas dan menjadi basah.


“Kui Hong, engkau tentu sudah tahu mengapa Ibumu meninggalkan aku. Karena aku menikah lagi. Dan engkau tentu tahu pula mengapa aku menikah. Karena Kakekmu menghendaki aku mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Kui Hong, di dalam kehidupan ini ada suatu kewajiban yang amat penting, yang harus dilaksanakan laki-laki, yaitu memenuhi harapan utama seorang ayah. Ayahku menghendaki aku mempunyai keturunan laki-laki penyambung nama keturunan, hal itu adalah wajar. Hidup memang kadang-kadang pahit, dan seorang gagah harus berani mengorbankan diri sendiri demi kebaktiannya kepada orang tua. Kini, aku telah memenuhi kewajibanku, aku telah memperoleh seorang anak laki-laki seperti yang diharapkan Ayahku. Kewajibanku terhadap Ayahku telah kuselesaikan dengan baik. Aku menikah lagi bukan karena bosan kepada Ibumu. Ah, aku mencinta Ibumu, Kui Hong, juga mencintamu, dan engkau dan Ibumu tentu saja tahu akan hal itu. Kalau engkau masih merasa penasaran, biarlah kutebus dengan nyawaku agar kalian puas. Nah, engkau bunuh saja aku kalau engkau anggap Ayahmu ini orang yang tidak pantas hidup di dunia ini!”


Hebat bukan main kata-kata yang dikeluarkan oleh mulut Cia Hui Song ini, seorang pendekar besar dan seorang ketua Cin-ling-pai, dan semua ucapannya itu sudah menunjukkan betapa tersiksa rasa hatinya menghadapi tuntutan puterinya. Ling Ling sampai menangis mendengar ucpan itu, dan Kakek Cia Kong Liang menjadi pucat wajahnya, diam-diam menyesal mengapa permintaannya yang sudah sepatutnya itu untuk memperoleh penyambung nama keluarga, ternyata mendatangkan akibat yang demikian pahit.


Kui Hong berdiri terbelalak, wajahnya yang tadinya merah berubah pucat, jantungnya seperti ditusuk-tusuk ketika didengarnya ucapan ayahnya itu, kata demi kata seperti meremas batinnya. Apalagi melihat Ling Ling menangis, tak dapat ditahannya lagi ia lalu lari ke depan dan menubruk ayahnya sambil menjerit. “Ayaaaahhh…..!” Dan menangislah gadis ini sesenggukan di dada ayahnya dengan pencurahan seluruh rasa rindunya. Cia Hui Song juga merangkul dan menciumi puterinya itu dengan air mata bercucuran! Selama hidupnya, baru kali ii menangis demikian sedihnya.


Cia Kong Liang merasa terharu juga, akan tetapi girang melihat betapa kekerasan hati cucunya sudah dapat mencair. Dia membiarkan ayah dan anak itu bertangisan sejenak, kemudian dia pun berbatuk-batuk dan berkata. “Ayahmu benar, cucuku Kui Hong. Dia hanya ingin menyenangkan hati Ayahnya. Akulah yang bersalah, kalau saja keinginan seorang kakek tua memperoleh cucu laki-laki penyambung nama keturunan dapat disalahkan. Kalau saja Ibumu tidak terlalu menurutkan kekerasan hatinya, kalau saja ia dapat menerima kenyataan hidup ini, tentu ia tidak akan pergi dan tidak terjadi kerekan dalam keluarga kita. Ah, betapa dalam usia tuaku ini aku selalu menyesali sebab daripada perbuatan-perbuatanku sendiri.”



Kui Hong melepaskan rangkulannya pada ayahnya, lalu ia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakeknya. Ia teringat betapa orang tua ini sejak ia masih kecil, amat menyayangnya dan setelah kini ia sadar akan segala hal yang terjadi, ia pun dapat melihat betapa ibunya juga terlalu keras hati. Ia pun merasa menyesal atas sikapnya terhadap kakeknya tadi.


“Kong-kong, maafkanlah aku, Kong-kong. Aku telah bersikap kurang ajar terhadap Kong-kong.”

“Sudahlah, Cucuku yang manis. Bangkitlah, bukan kesalahanmu, melainkan Kakekmu ini yang bersalah, terlalu menuruti keinginannya sendiri.”


Pada saat itu terdengar suara halus, “Bagus sekali, baru sekarang kakek tua Cia Kong Liang dapat melihat kesalahannya yang telah mendatangkan korban pada banyak orang!”

Semua orang terkejut dan memandang gadis yang tiba-tiba sajamuncul dari ambang pintu itu. Hui Song segera mengenal gadis itu, gadis yang pagi tadi datang minta bertemu dengan ayahnya! Gadis itu memang Kok Hui Lian! Sudah sejak tadi ia mengintai ke dalam ruangan itu. Dengan ilmu ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat, gadis ini berhasil meloncati pagar tembok tanpa diketahui oleh para anak murid Cin-ling-pai yang berjaga. Para murid itu memang agak lengah karena kedatangan Kui Hong yang membuat mereka merasa gembira dan mereka beramai-ramai membicarakan kemunculan Kui Hong yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita. Setelah berhasil memasuki gedung itu, Hui Lian menyelinap dan mencari kamar Cia Kong Liang, akan tetapi ia mendengar ribut-ribut di dalam ruangan itu maka ia oun mengintai dan melihat segala yang terjadi di situ. Melihat betapa cucu sendiri mencela ayah dan kakeknya, diam-diam ia merasa gembira dan menonton saja. Andaikata tadi Kui Hong kalah oleh Ling Ling, tentu ia akan turun tangan membantu Kui Hong yang memusuhi ayah dan kakek sendiri. Akan tetapi Kui Hong menang dan ia pun hanya mengintai saja. Tak disangkanya bahwa kemudian Kui Hong luluh oleh sikap ayahnya dan melihat ini, Hui Lian merasa tiba saatnya untuk keluar.

“Nona datang lagi, secara menggelap, apa kehendakmu, Nona?” tanga Cia Hui Song, siap untuk bertindak.


Hui Lian tersenyum mengejek kepada Cia Kong Liang, akan tetapi ia menjura kepada Hui Song sambil berkata, “Harap Cia Pangcu (Ketua Cia) tidak mencampuri urusanku ini, karena aku hanya berurusan dengan Kakek Cia Kong Liang seorang.”


“Tapi dia adalah Ayahku!” bantah Hui Song.


“Hui Song, biarkan Nona ini bicara denganku dan jangan mencampuri,” kata Cia Kong Liang dan dia sudah bangkit berdiri lalu melangkah maju menghadapi wanita muda yang baru datang ini. Biarpun usianya sudah enampuluh delapan tahun, namun ketika dia berdiri di depan Hui Lian, tubuhnya masih tegap dan tegak, nampak gagah berwibawa. Namun, sepasang matanya tidaklah angkuh dan keras lagi seperti dahulu, kini matanya bersinar lembut dan mulutnya yang dulu membayangkan kekerasan hatinya. Kini membayangkan kesabaran.


“Nona, akulah Cia Kong Liang. Siapakah Nona dan urusan apakah Nona berkeras hendak bertemu denganku?”


Sejenak Hui Lian mengamati kakek itu. melihat sikap dan ketegakan tubuhnya, masih ada bayangan ketinggian hati kakek itu, pikirnya, akan tetapi sinar matanya lembut dan suaranya halus ramah. Apalagi kalau diingat bahwa kakek ini adalah pendekar Cia Hui Song yang kini telah menjadi ketua Cin-ling-pai, timbul keraguan dalam hatinya untuk menganggap bahwa kakek ini seorang kejam yang telah menyebabkan buntungnya sebelah lengan dai suhengnya, Ciang Su Kiat. Teringat suhengnya yang buntung, kembali perasaan marah dan penasaran memenuhi hati Hui Lian dan sinar matanya kembali mencorong ketika ia memandang wajah kakek itu.


“Hemm, kiranya engkau Kakek Cia Kong Liang yang berhati kejam itu! Aku adalah adik seperguruan dari Suheng Ciang Su Kiat danaku datang untuk menegur kelakuanmu yang jahat dan kejam terhadap suheng sehingga dia terpaksa hidup sebagai seorang manusia cacat, kehilangan sebelah lengannya! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang ketua perkumpulan besar Cin-ling-pai, yang mengaku gagah dan pendekar perkasa, dapat bertindak sekejam itu, tanpa perkemanusiaan, membikin buntung lengan muridnya sendiri! Aku datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi juga mewakili Suheng Ciang Su Kiat minta pertanggung jawab atas perbuatan kejam itu!”


Semua orang terkejut mendengar ini dan memandang kepada Kakek Cia Kong Liang. Kakek ini tidak kelihatan heran, hanya menarik napas panjang karena ia merasa sedih diingatkan tentang peristiwa yang terjadi selama kurang lebih dua puluh tahun itu. Selama ini, setelah wataknya berubah, tak pernah dia berhenti menyesali perbuatannya yang didasari kekerasan hatinya, terutama buntungnya lengan Ciang Su Kiat. Setelah dia sadar, barulah dia dapat membayangkan betapa kerasnya sikapnya pada waktu itu. Ciang Su Kiat adalah seorang murid Cin-ling-pai yang baik dan berbakat. Pada suatu hari, ayah dari Ciang Su Kiat mencuri perhiasan untuk dijual dan untuk mengobati isteri dan anak bungsunya yang sakit keras. Dia ditangkap dan disiksa oleh seorang pembesar, Coan Tihu, sehingga orang tua itu menemui ajalnya. Ciang Su Kiat mengamuk dan menyerbu gedung tihu untuk membunuh Coan Tihu, akan tetapi usahanya tidak berhasil dan dia dikeroyok para pengawal, melarikan diri dan menjadi buronan. Karena dia dikenal sebagai murid Cin-ling-pai maka tentu saja Coan Tihu lalu menegur pimpinan Cin-ling-pai dan menuntut diserahkannya Ciang Su Kiat. Ketika itu, sebagai Ketua Cin-ling-pai Cia Kong Liang bersikap keras dan tegas hendak menangkap dan menyerahkan Ciang Su Kiat kepada pembesar itu, tanpa mempedulikan alasan mengapa murid itu mengamuk. Su Kiat mencela peraturan Cin-ling-pai, dan di depan ketua yang juga menjadi gurunya itu, dia membuntungi lengan kirinya sendiri! Biarpun sudah demikian, tetap saja Cia Kong Liang hendak menyerahkannya kepada Coan Tihu! Karena putus asa, hampir saja Su Kiat membunuh diri. Akan tetapi pada saat itu, muncul Hui Song yang mencegah perbuatannya, bahkan Hui Song mengajak Su Kiat pergi ke gedung Coan Tihu, disana dia meninggalkan buntungan lengannya, kemudian Su Kiat disuruh melarikan diri oleh Hui Song



Teringat akan semua ini, penyesalan besar muncul di dalam hati Kakek Cia Kong Liang. Setelah menarik napas panjang, Cia Kong Liang memandang wajah gadis itu dan terdengar dia berkata dengan suara halus. “Nona, tidak kusangkal bahwa kami pernah bersikap terlalu keras terhadap Ciang Su Kiat sehingga ia membuntungi lengannya sendiri. Percayalah bahwa selama ini aku telah merasa tersiksa oleh penyesalan. Akan tetapi, hal itu sudah terjadi dan disesalkan bagaimanapun juga, tidak ada artinya lagi. Kalau Nona merasa penasaran dan datang untuk memberi hukuman sebagai pembalasan ata kesengsaraan yang diderita oleh Ciang Su Kiat, nah, silakan!”


“Nanti dulu!” Tiba-tiba terdengar Cia Kui Hong membentak marah dan ia pun sudah meloncat ke depan kakeknya, melindungi kakeknya dari Hui Lian dan ia memandang kepada Hui Liandengan alis berkerut dan mata berkliat. “Enak saja engkau datang menjual lagak dan hendak menghina Kakekku! Engkau tadi bilang bahwa engkau datang untuk membela Suhengmu, nah, sekarang aku berada disini untuk membela Kong-kongku! Engkau yang datang tanpa diundang, seperti maling mencari keributan, sambutlah seranganku ini!” Kui Hong sudah mencabut pedangnya dan sudah menyerang dengan dahsyatnya!



Hui Lian terkejut melihat serangan ini dan ia pun cepat kebelakang sambil mencabut pedang dari punggungnya. Sinar berkilat ketika pedang Kiok-hwa-kiam tercabut dan tertimpa sinar lampu dan lentera yang tergantung di ruangan itu. Kui Hong sudah menerjang lagi dan menyerang dengan pedangnya, gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang cukup kuat. Hui Lian maklim akan kelihaian lawan maka ia pun menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring ketika sepasang pedang bertemu dan nampak api berpijar. Dengan kaget sekali Kui Hong merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan, maka tahulah ia bahwa lawan ini memang lihai bukan main.


Cia Kong Liang dan Cia Hui Song terkejut melihat betapa Kui Hong menyerang gadis itu, akan tetapi diam-diam mereka pun ingin sekali melihat sampai dimana kelihaian gadis yang mengaku sumoi dari Ciang Su Kiat itu, maka mereka mendiamkannya saja. Dan mereka pun terkejut. Terjadilah perkelahian pedang yang amat hebat dan biarpun kini Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, namun gadis itu ternyata memiliki gerakan yang aneh dan hebat bukan main. Hui Song yang diam-diam memperhatikannya, merasa heran sekali karena dia yang sudah banyak pengalaman tetap tidak pernah melihat ilmu pedang seperti yang dimainkan oleh Hui Lian. Hal ini tidaklah aneh karena ilmu pedang itu adalah In-liong Kiam-sut, ilmu pedang peninggalan dari In Liong Nio Nio, seorang di antara Delapan Dewa! Yang membuat Kui Hong mulai terdesak dan kewalahan adalah kehebatan ginkang dari Hui Lian. Gadis ini dapat bergerak demikian ringan dan cepatnya, seperti seekor burung saja sehingga Kui Hong merasa kalah cepat padahal ia sudah menerima gemblengan dalam hal ilmu meringankan tubuh ini dari neneknya, yaitu Toan Kim Hong!


Tiba-tiba terdengar seruan keras. “Enci Hong, aku membantumu!” Dan kini Ling Ling juga sudah meloncat ke dalam kalangan pertempuran, dengan pedang di tangan gadis ini pun membantu Kui Hong menghadapi Hui Lian. Makin hebatlah perkelahian itu dan diam-diam Hui Song dan ayahnya merasa kagum bukan main karena biarpun dikeroyok dua, ternyata gadis itu sama sekali tidak terdesak dan bahkan beberapa kali sinar pedangnya mengancam Ling Ling dan Kui Hong.


Kakek Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Perkelahian itu demikian seru dan hebat. Tentu seorang di antara mereka akan terluka parah kalau dilanjutkan. Kalau sampai terjadi Ling Ling atau Kui Hong terluka, bahkan tewas, dia akan menyesal karena hal itu terjadi gara-gara dia! membayangkan hal ini Cia Kong Liang cepat meloncat ke depan sambil berseru nyaring. “Cukup, hentikan perkelahian itu! Kui Hong, Ling Ling, mundurlah kalian!”


Dua orang gadis itu terpaksa berloncatan ke belakang dan kini Cia Kong Liang menghadapi Hui Lian yang masih memegang pedangnya. Diam-diam gadis ini merasa kagum. Dua orang gadis muda itu sungguh lihai dan biarpun ia mampu menandingi mereka, akan tetapi agaknya tidak terlalu mudah baginya untuk menundukkan mereka. Belum lagi maju pendekar Cia Hui Song! Kalau keluarga itu maju, ia dapat celaka!


“Nona,” kata kakek itu kepada Hui Lian. “Urusan antara aku dan Ciang Su Kiat yang sekarang kauwakili adalah urusan pribadi, aku tidak ingin keluargaku tersangkut. Karena itu, kalau engkau masih penasaran dan hendak menyelesaikan perkara ini dengan kekerasan, nah, akulah yang harus kauserang, bukan cucu-cucuku. Majulah dan lawanlah aku, Nona!” Nada suara Cia Kong Liang halus, namun menantang karena memang dia sengaja menantang agar gadis itu menyerang dia saja, walaupun dia maklum bahwa dia tidak akan menang dan tentu dia akan tewas di tangan gadis yang lihai ini. Dia rela menebus dengan nyawanya sebagai pembayar hutang.


Hui Lian memang sudah marah sekali. Dendamnya karena penderitaan suhengnya amat besar. Ia ingin melakukan sesuatu untuk suhengnya itu, ia memegangi pedangnya lebih erat lagi.


“Kakek Cia, keluarkan senjatamu!” bentaknya.


Cia Kong Liang tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Nona, sudah lama aku membersihkan batinku dari kekrasan, oleh karena itu, sudah pantang bagiku untuk membiarkan tangan ini memegang pendag. Kalau engkau hendak menyerangku, pergunakan pedangmu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja.”


Hati yang sedang dikeruhkan amarah membuat orang tidak waspada dan selalu salah terima akan maksud orang lain. Demikian pula dengan Hui Lian. Mendengar ucapan itu, ia sudah paham, menganggap bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, menantangnya dengan tangan kosong! Maka mukanya menjadi semakin merah.


“Bagus! Kakek sombong, jangan salahkan pedangku ini!” Dania pun menerjang dan menusukkan pedangnya. Bukan main kaget hati Hui Lian ketika melihat betapa orang yang ditusuknya itu sama sekali tidak mengelak, menerima saja tusukan pedangnyayang meluncur ke arah dada! Cepat ia hendak menarik tangannya, namun terlambat karena pedang itu sudah meluncur terlalu cepat.



Pada saat itu nampak bayangan orang berkelebat, cepat sekali dan lengan kanan Hui Lian ditangkis orang sehingga tusukannya itu meleset dan tidak mengenai sasaran. Ketika Hui Lian meloncat ke belakang dan memandang, ia terkejut bukan main melihat suhengnya, Ciang Su Kiat, telah berdiri disitu dan kiranya suhengnya yang tadi menangkis dan menggagalkan serangannya.


“Sumoi, sarungkan kembali pedangmu!” kata Su Kiat dengan halus dan melihat sinar mata suhengnya yang mengandung penyesalan, Hui Lian cepat menyarungkan pedangnya kembali. Su Kiat lalu memegang tangan sumoinya dan ditariknya sumoinya itu diajaknya berlutut di depan kaki Cia Kong Liang!


“Locianpwe, sayalah yang memohonkan maaf bagi kelancangan Sumoi Kok Hui Lian. Kalau Locianpwe hendak menghukumnya, hukumlah saya sebagai penggantinya……”

Melihat bekas muridnya ini, hati kakek itu diliputi keharuan. Ternyata muridnya ini telah berubah sama sekali. Kini telah berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya demikian matang, demikian berwibawa namun suaranya halus dan tenang. Dia lalu membungkuk dan memegang kedua pundak Ciang Su Kiat sambil berkata.


“Su Kiat, bangkitlah, dan engkau juga, Nona. Su Kiat, sudahlah, jangan membuat aku merasa semakin sedih dan menyesal. Sungguh, aku sudah merasa menyesal sekali karena sikap dan perbuatanku di msa lalu. Bahkan untuk menebus kesalahanku itu, aku tadi rela mati di ujung pedang Sumoimu yang lihai ini.”


“Locianpwe, sama sekali tidak ada penyesalan. Yang sudah terjadi adalah peristiwa yang lalu, dan sudah dihendaki Thian. Bahkan saya telah merasakan berkah dan hikmat peristiwa itu. Sumoi terburu nafsu dan karena itu saya mohon maaf dan kami mohon diri. Mari, Sumoi, kita pergi.” Sambil memegang tangan sumoinya, Su Kiat mengajaknya pergi dan sekali meloncat tubuh mereka berkelebat dan lenyap di tengah kegelapan malam! Semua orang tertegun dan kagum bukan main.


“Bukan main!” kakek Cia Kong Liang memuji. “Su Kiat kini telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya….”


Hui Song lalu menepuk pahanya sendiri. “Aihhh… sekarang aku teringat! Gadis itu tentulah puteri Kok Taijin!”


Kui Hong yang juga kagum terhadap wanita muda yang lihai bukan main itu segera bertanya. “Ayah, siapakah itu Kok Taijin?”


“Dia adalah bekas gubernur San-hai-koan, seorang pembesar yang setia kepada pemerintah dan menjadi korban pemberontakan.” Hui Song lalu menceritakan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu, terjadi pemberontakan dari persekutuan orang jahat dan San-hai-koan di serbu pemberontak. Rumah Gubernur Kok diserbu penjahat dan keluarga itu tewas semua, kecuali seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang berhasil di selamatkan Hui Song. Akan tetapi, ketika dia melarikan anak perempuan itu, ditengah perjalanan dia dihadang oleh tokoh-tokoh sesat yang membantu pemberontakan, karena dikeroyok tiga orang sakti, terpaksa Hui Song melepaskan anak perempuan itu. Pada saat anak perempuan itu terancam bahaya karena di tangkap seorang di antara para datuk sesat, muncullah Ciang Su Kiat yang menyelamatkan dan membawa lari anak perempuan puteri Gubernur Kok itu.


“Nah, demikianlah. Tadi aku seperti merasa pernah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa lagi. Kiranya ia anak perempuan dahulu itu sekarang telah menjadi Sumoi dari Suheng Ciang Su Kiat! Bukan main, memang mereka berdua telah memiliki kepandaian yang amat hebat!”


Kakek Cia Kong Liang kembali ke dalam kamarnya untuk bersamadhi dengan prihatin. Peristiwa tadi menggugah semua kenangan dan mendatangkan penyesalan yang lebih menekan hatinya. Sementara itu, Hui Song mengajak puterinya dan Ling Ling untuk bercakap-cakap, terutama sekali Kui Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya dan keadaan ibunya yang berada di Pulau Teratai Merah. Juga antara Kui Hong dan Ling Ling segera terjalin hubungan yang akrab dan cocok. Dalam percakapan ini, Hui Song menyatakan bahwa dia akan segera mengunjungi tempat mertuanya di Pulau Teratai Merah, dan minta maaf kepada kedua orang mertuanya, juga kepada isterinya, dengan harapan mudah-mudahan setelah lewat tiga tahun lebih, kini isterinya itu sudah dingin hatinya, mau memaafkannya dan mau kembali ke Cin-ling-san.


**

Sementara itu, di malam yang hanya diterangi bintang-bintang di langit itu, Ciang Su Kiat berjalan bersama Kok Hui Lian, menuruni Pegunungan Cin-ling-san. Mereka tidak bicara sejak meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai, dan setelah tiba di kaki gunung, barulah Su Kiat mengajak sumoinya memasuki sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Malam tadi pun dia bermalam di kuil itu. Mereka membuat api unggun dan baru sekarang mereka berkesempatan untuk saling pandang dibawah sinar penerangan api unggun. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Su Kiat menarik napas panjang. Hatinya yang penuh kerinduan terhadap sumoinya itu terobatilah setelah melihat sumoinya dalam keadaan sehat selamat.


“Sumoi, aku girang melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamay,” katanya, sederhana.

“Suheng, engkau pun kelihatan sehat. Sungguh tak kusangka akan dapat bertemu denganmu di tempat ini, Suheng.”


“Sumoi, kenapa engkau menyerbu Cin-ling-pai….?”


Wanita itu menatap wajah suhengnya dengan pandang mata penuh selidik, akan tetapi tidak nampak kemarahan pada wajah suhengnya itu.


“Suheng, harap maafkan aku…”


“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi, akan tetapi aku sungguh ingin sekali mengetahui mengapa engkau pergi ke Cin-ling-pai dan dengan nekat melakukan penyerangan terhadap bekas Guruku?”



Sejenak mereka saling tatap di bawah sinar api unggun, kemudian Hui Lian menunduk. “Suheng, salahkah aku? sudah sejak dahulu, setiap kali aku memandang lengan kirimu, hatiku seperti ditusuk rasanya dan tendapat perasaan dendam yang makin menebal terhadap orang yang menyebabkan lenganmu buntung. Karena itu, sejak dahulu aku sudah mempunyai niat untuk pada suatu hari mencari ketua Cin-ling-pai dan membalaskan dendam atas penderitaanmu.”


Su Kiat tersenyum. “Sumoi, kita harus dapat menerima segala peristiwa dengan hati terbuka karena di dalam setiap peristiwa terdapat hikmatnya yang amat besar. Kalau saja tidak terjadi peristiwa di Cin-ling-pai itu, kalau saja lenganku tidak buntung, sekarang aku tentu masih menjadi seorang murid Cin-ling-pai. Aku tidak akan mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dan yang lebih dari segalanya, aku tentu tidak akan bertemu dengan engkau, Sumoi.”


“Dan aku mungkin mati di tangan penjahat itu ketika pendekar Cia Hui Song dikeroyok,” sambung Hui Lian.


“Nah, karena itu, tidak ada gunanya kita mendendam, apalagi bekas Guruku nampaknya sudah demikian menyesal dan menderita batin. Akan tetapi, yang membuat aku penasaran, kenapa engkau…. engkau begini nekat dan bersusah payah, menempuh bahaya pula, hendak membelaku, Sumoi?”


Kembali mereka saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian Hui Lian menarik napas panjang. “Karena … aku merasa berhutang budi kepadamu, Suheng, aku…. aku tidak mampu membalasnya dan aku ingin melakukan sesuatu yang besar untuk sekedar membalas budimu yang bertumpuk.”


“Hemm, aku tidak merasa melepas budi, Sumoi. Aku…. sudah girang sekali melihat engkau selamat, aku…. aku selalu ingin melihat engkau dalam keadaan sehat dan berbahagia, Sumoi.”


Mereka diam, kehabisan bahan percakapan. Entah mengapa, sebelum bertemu, mereka saling merasa rindu sekali, akan tetapi begitu bertemu, mereka merasa canggung dan salah tingkah. Karena keduanya diam, suasana menjadi hening sekali dan keduanya merenung sambil memandangi api unggun yang menari-nari. Kemudian, Hui Lian melirik dan memperhatikan wajah suhengnya dari samping, dan nampak olehnya betapa kurusnya wajah itu, dengan garis-garis muka yang membayangkan penderitaan batin. Ia merasa kasihan sekali.


“Suheng, engkau… engkau kenapakah?”


Su Kiat menoleh dan mereka berpandangan. “Mengapa? Tidak apa-apa, Sumoi.”


“Tidak sakitkah, sehat sajakah engkau Suheng?”


“Tidak, aku tidak sakit dan sehat-sehat saja.”


“Akan tetapi, engkau begini kurus, Suheng. Sungguh baru nampak sekarang olehku betapa kurusnya engkau, dan pandang matamu begitu sayu seperti orang bersedih.”

Su Kiat memandang wajah sumoinya dengan alis berkerut, terjadi perang di dalam batinnya antara mengaku atau tidak. Akhirnya dia menggigit bibirnya dan memberanikan atinya karena dia tahu bahwa solanya sekarang adalah sekarang mengaku atau selamanya tidak akan ada kesempatan lagi!

“Sumoi, terus terang saja, memang ada kesedihan di dalam hatiku. Aku merasa kesepian sekali, Sumoi, sejak engkau pergi… bukan, bahkan sejak engkau menikah untuk pertama kalinya itu. Aku kesepian dan kehilangan, akan tetapi semua itu masih dapat kuhibur dengan membayangkan engkau hidup berbahagia bersama suamimu. Akan tetapi sungguh celaka, kenyataannya tidak demikian. Engkau menderita, engkau gagal, bahkan dua kali pernikahanmu berakhir dengan kegagalan. Melihat engkau tidak berbahagia, melihat engkau menderita, aku merasa betapa hancur hatiku, Sumoi. Aku berduka, aku bersedih, mungkin lebih sedih daripada perasaanmu sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia selalu, Sumoi, aku …. aku……”


Sejak tadi, Hui Lian memandang dengan mata terbelalak, kemudian perlahan-lahan ada air menetes turun, dibiarkanny saja, wajahnya menjadi pucat.


“Tapi…. tapi kenapa, Suheng….? Kenapa engkau begitu memprihatinkan keadaanku….? Mengapa…..?” tanyanya, suaranya menggetar dalam bisikan bercampur isak tertahan.


“Karena…. karena….. demi Tuhan, biar aku berterus terang! Karena aku cinta padamu, Sumoi, sejak dahulu, sejak kita berada di dalam jurang….”


“Suheng…..!” Hui Lian menjerit dan menubruk kaki suhengnya menangis dengan mengguguk seperti anak kecil, merangkul kaki suhengnya.


Su Kiat terkejut sekali. Dirangkulnya Hui Lian, ditariknya supaya jangan berlutut merangkul kakinya, dan gadis itu lalu menubruknya dan menangis di atas dadanya! Tidak ada kata-kata yang keluar, karena setiap kali membuka mulut, yang keluar hanyalah “Suheng…” dan isak tangis.


“Sumoi… maafkan aku, ah, aku lancing mulut, tidak sepatutnya aku menyinggung perasaan hatimu, Sumoi…”


“Suheng, diam….!” Tiba-tiba wanita muda itu membentak sehingga menegjutkan suhengnya. Kini Hui Lian dapat menekan perasaannya dan ia pun kini mengangkat muka, memandang kepada suhengnya melalui genangan air mata. “Kenapa Suheng begitu rendah hati? Aih, Suheng…. Suheng…. kenapa tidak dari dulu engkau katakan itu? sudah sejak dahulu aku menanti-nanti keluarnya ucapan itu dari mulutmu!”


“Sumoi….?” Su Kiat berseru, kaget dan heran.


“Suheng, engkaulah satu-satunya orang yang kumiliki. Engkau menjadi pengganti orang tuaku, Guruku, saudaraku, sahabatku…. engkaulah segala-galanya bagiku. Tentu saja aku tidak berani mengharapkan yang lebih daripada semua budi yang telah kaulimpahkan kepadaku. Kemudian engkau minta aku menikah. Aku mencoba untuk membantah, akan tetapi engkau mendesak sehingga aku tidak berani lagi menolak. Aku mengira engkau tidak cinta kepadaku, Suheng. Dan aku… ah, aku bodoh… baru-baru ini saja aku tahu benar bahwa di dunia ini tidak mungkin ada orang lain yang akan kucinta lebih daripada perasaan cintaku padamu….”



“Sumoi….!” Mereka berangkulan dan kembali Hui Lian menangis di dada suhengnya. “Sumoi, mana aku berani? Aku jauh lebih tua darimu, dan aku seorang laki-laki yang cacat, buntung lenganku. Aku merasa rendah diri, dan baru sekarang… setelah engkau menjadi janda dua kali, setelah aku melihat pembelaanmu di Cin-ling-pai, aku memberanikan diri mengaku cintaku….”


“Suheng… ah, peluklah aku, Suheng, peluklah aku yang kuat, dan jangan kau lepaskan aku lagi… tanpa engkau, aku tidak berani hidup di dunia yang kejam ini….”


“Tidak, Sumoi, demi Tuhan, mulai sekarang aku tidak akan melepaskanmu lagi. Engkau milikku dan aku milikmu, aku akan mempertahankan engkau dengan taruhan nyawaku. Engkau calon isteriku…”


“Dang engkau suamiku… sampai aku mati, Suheng…”


Sungguh mesra dan mengharukan pertemuan antara dua hati yang sesungguhnya sudah saling cinta sejak dahulu. Kini segalanya terbuka bagi mereka, dan mereka merasa seolah-olah baru bangkit dari kematian untuk menyongsong sinar matahari pagi yang cerah dan penuh kebahagiaan. Mereka bercakap-cakap dengan mesra, seperti sepasang pengantin baru, membicarakan masa depan mereka dan rencana mereka. Mereka akan mencari pendeta dalam kuil yang mau menikahkan mereka, kemudian mereka akan hidup sebagai suami siteri dengan lembaran baru, di tempat yang jauh dari segala pertikaian dunia, membentuk rumah tangga, kalau mungkin melahirkan anak-anak. Alangkah indahnya semua itu!


Rumah tangga atau keluarga yang dibentuk oleh seorang pira dan seorang wanita yang menjadi suami isteri bukanlah hal yang remeh, bahkan amatlah rumit. Laki-laki dan wanita condong untuk saling tertarik atau yang diistilahkan sebagai “jatuh cinta” karena tertarik oleh keindahan wajah dan tubuh. Modal wajah tampan dan cantik, tubuh yang menarik sama sekali tidak dapat menjamin keutuhan dan keakraban antara suami isteri. Ketampanan dan kecantikan hanyalah merupakan warna bagian luar saja, dan dapat membosankan. Sebaliknya, untuk dapat hidup bersama selama puluhan tahun, bahkan sampai mati, antara seorang wanita dan seorang pria, modal yang utama adalah kecocokan dan keserasian watak. Dengan kecocokan watak ini maka perasaan yang dinamakan cinta itu makin terpupuk dan tersiram, tumbuh dengan sehat dan segarnya. Akan tetapi kalau watak dan selera bertentangan, akan tak tampak lagi ketampanan dan kecantikan, dan yang nampak hanyalah bagian-bagian yang buruk saja.


Pernikahan Hui Lian dengan suaminya yang pertama, yaitu Tee Sun, terjadi atas anjuran Ciang Su Kiat dan Hui Lian mau menjadi isteri Tee Sun hanya untuk mentaati permintaan suhengnya. Ternyata kemudian terdapat ketidakcocokan antara suami isteri ini, karena Tee Sun amat pencemburu dan memang tidak ada rasa cinta dalam hati Hui Lian terhadap suami pertama itu. Kemudian terjadi perceraian dan pernikahannya yang kedua, dengan Su Ta Touw, terjadi karena Hui Lian silau oleh bujuk rayu dari suami ke dua itu yang memang seorang perayu dan penakluk wanita. Pernikahan kedua hanya terdorong oleh nafsu ini tidak bertahan lama, karena setelah Su Ta Touw merasa bosan, nampaklah belangnya dan kembali terjadi perceraian. Kemudian Hui Lian merana dan barulah terasa benar olehnya betapa sesungguhnya dia memuja dan mencinta Su Kiat, suhengnya sendiri! Dan mereka berdua ini, yang sudah hidup bersama mengalami segala macam kesengsaraan berdua, mengalami suka duka berdua bahkan menghadapi maut yang mengerikan, memliki cinta yang didasari persamaan selera dan watak. Maka ketika dua hati itu bertemu, lengkaplah sudah pertemuan cinta antara mereka dan dengan penuh bahagia mereka menyongsong hari depan yang nampak cerah!


**

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Pek Han Siong, yang ketika kecilnya dianggap sebagai Sin Tong (Anak Ajaib) dan dijadikan perebutan karena oleh para Pendeta Lama di Tibet dia dicalonkan menjadi seorang Dalai Lama! Seperti kita ketahui, Pek Han Siong yang meninggalkan perguruan, berhasil bertemu dengan keluarga Pek di Kong-goan. Ketika dia mendengar bahwa adik kandungnya, Pek Eng, meninggalkan rumah karena hendak mencari dia, juga sebagai pernyataan tidak suka karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song dari Kang-jiu-pang.


Setelah melakukan pengelidikan dan mencari-cari, akhirnya Han Siong berhasil menemukan jejak adiknya itu yang menuju ke selatan. Dia sudah minta keterangan yang selengkapnya tentang adiknya itu dari keluarganya, dan sudah mempunyai gambaran bahwa adiknya itu seorang gadis berusia kurang lebih tujuh belas tahun, bertubuh tinggi ramping dengan kaki panjang. Wajahnya hitam manis, matanya agak sipit dan hidungnya yang kecil mancung itu agak berjungkat ujungnya, bibirnya merah dan ada lesung pipit di sebelah kiri mulutnya. Adiknya itu lincah jenaka, manja, pandai bicara, hatinya lembut dan suka mengenakan pakaian suku bangsa Yi, yaitu pakaian adat dan memakai topi sorban yang di hias bulu burung. Dari cirri-ciri inilah dia mendapatkan jejak adiknya yang menuju ke selatan.


Pada suatu hari tibalah dia di kota Kui-yang, di Propinsi Kui-couw. Dia mengharapkan untuk dapat memperoleh berita tentang adiknya di kota ini. Hari telah siang ketika dia memasuki kota itu dankarena sejak kemarin malam dia bekum makan apa-apa dan perutnya terasa lapar, dia lalu masuk ke sebuah rumah makan ketika kebetulan lewat di depannya. Tidak ada pelayan yang menyambutnya, akan tetapi Han Siong tidak peduli, dan dia pun masuk ke sebuah ruangan rumah makan yang sudah setengahnya diisi tamu. Tidak kurang dari tiga meja penuh tamu, setiap meja delapan orang dan sikap mereka itu kasar, dengan bercanda mereka makan minum, bicara keras dan tertawa bergelak.


Han Siong memillih meja kosong di sudut dan setelah duduk, barulah seorang pelayan menghampirinya. Pelayan ini sudah tua, dengan tubuh kurus dan muka membayangkan ketakutan, kain lap di pundak, dia menghampiri Han Siong dan terbongkok-bongkok, berkata dengan suara setengah berbisik.


“Kongcu, rumah makan kami sedang dipakai pesta, kalau Kongcu ingin makan, saya sarankan sebaiknya Kongcu pergi ke rumah makan lain di ujung jalan ini.”



Han Siong mengerutkan alisnya memandang pelayan itu. baginya tidak menjadi persoalan kalau restoran ini tidak menerima tamu, akan tetapi dia melihat betapa wajah itu membayangkan ketakutan dan mata pelayan itu melirik-lirik ke arah tiga buah meja penuh tamu itu. Dia dapat menduga bahwa tentu pelayan ini tidak berani menerima tamu baru karena takut kepadaorang-orang kasar yang sedang berpesta pora itu.

“Akan tetapi, Paman, kalau engkau menerima mereka itu sebagai tamu, kenapa hendak menolak kehadiranku?”


“Sama sekali tidak menolak, Kongcu, hanya saran… ah, sudahlah, Kongcu hendak memesan apakah?”


“Nasi, tiga macam masak sayur, tidak pakai daging atau kalau pakai juga, sedikit saja. Aku lebih suka makan sayur daripada daging. Dan air teh.”


“Arak?” tanya pelayan itu yang memandang heran.


Han Siong menggeleng kepalanya. Dia lama hidup di dalam kuil dan karena itu, dia tidak doyan arak dan tidak begitu suka makan daging. Pelayan itu meninggalkan Han Siong sambil menggeleng kepala dan mengomel perlahan.


Sementara itu, munculnya Han Siong di situ menarik perhatian beberapa orang tapu yang berpesta pora. Mereka adalah jagoan-jagoand an tukang-tukang pukul kota Kui-yang dan sekitarnya. Pada siang hari itu, seorang kepala jagoan she Ciok yang bertempat tinggal di Kui-yang, amat terkenal sebagai seorang jagoan yang lihai, sedang mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke empat puluh. Pesta diadakan di rumah makan itu dan dia mengundang teman-temannya, dari dalam dan luar kota sehingga dua puluh orang lebih tukang pukul dan jagoan berkumpul di situ dan berpesta pora. Melihat mereka itu, tak seorang pun berani memasuki rumah makan. Para tamu yang datang begitu melihat mereka, segera keluar lagi dan tidak berani makan di situ. Hal ini diketahui oleh mereka dan mereka pun menjadi bangga. Akan tetapi, kemudian muncul seorang pemuda sederhana yang berani masuk ke rumah makan itu bahkan tidak menghiraukan anjuran pelayan agar pergi makan ke lain restoran saja. Keberanian pemuda ini membuat beberapa orang tamu merasa tidak senang dan menganggap bahwa pemuda itu tidak memandang kepada mereka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa pemuda itu hanya memesan nasi, sayur tanpa daging dan air teh, membuat mereka memandang rendah dan menganggap pemuda ini tentu seorang pendatang dari luar kota yang miskin dan tidak mengenal mereka.


Di antara mereka yang merasa tidak senang dengan kehadiran Han Siong, terdapat dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar dan melihat otot-otot melingkar-lingkar pada lengan dan leher mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat. Mereka ini bernama Giam Hok dan Giam Kui, pembantu-pembantu yang dapat di andalkan dari kepala jagoan Ciok. Setelah kakak beradik ini saling berbisik sambil tersenyum-senyum, mereka lalu menghampiri meja Han Siong. Pelayan yang datang menghidangkan masakan dan air teh yang dipesan Han Siong, ketika melihat mereka datang, cepat-cepat pergi meninggalkan meja Han Siong dengan muka pucat.


Tentu saja Han Siong tahu akan sikap dua orang yang kini melangkah menghampirinya dengan lagak sombong itu. Dia pun sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga untuk membela diri, namun pada lahirnya, dia bersikap biasa saja, bahkan pura-pura tidak melihat mereka dan mulai makan nasi dengan sayurnya.


Kini kakak beradik itu sudah tiba di meja Han Siong dan dengan sikap congkak sekali mereka mengangkat kaki kanan dan diletakkan kaki itu di atas kursi di dekat meja Han Siong. Mereka tertawa-tawa dan kini semua tamu yang sedang berpesta pora itu memandang sambil tertawa, mengharapkan pertunjukan yang lucu dan menggembirakan. Perlakuan kasar dan sewenang-wenang terhadap orang lain bai mereka merupakan makanan sehari-hari dan melihat orang lain menderita oleh perlakuan mereka merupakan suatu kegembiraan. Melihat ulah kedua orang pembantunya, kepala jagoan Ciok hanya tersenyum saja sambil minum arak lagi yang sudah terlalu banyak memasuki perutnya yang gendut.


“Heii, lihat anak dusun ini! Makanannya seperti makanan kambing! Sayur-sayuran melulu!” kata Giam Hok yang hidungnya pesek.


“Ha-ha-ha, lihat minumnya juga air teh. Eh, kambing, engkau tentu suka sekali kalau disiram air dingin seperti kambing kehujanan, ha-ha!” kata pula Giam Kui yang pergi ke sudut di mana terdapat seember besar terisi air. Air ini disediakan di situ untuk mencuci tangan para tamu dan kini Giam Kui mengangkat ember itu. Melihat ulah adiknya, Giam Hok yang tahu apa maksudnya, sambil tertawa-tawa lalu membantu adiknya mengangkat ember besar berisi air kotor itu. Han Siong masih makan, akan tetapi kini dia memandang kepada dua orang kakak beradik yang menggotong ember kayu berisi air itu, sikapnya tetap tenang akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan amat berpengaruh dankuat sekali.


Giam Hok dan Giam Kui mengangkat ember besar itu sambil tertawa-tawa, melangkah maju dan kemudian dengan pengerahan tenaga, mereka menggerakkan ember itu dan semua isinya mengguyur ke arah meja… kepala jagoan Ciok! Tentu saja, orang-orang yang tadinya menonton sambil tertawa-tawa, seketika menjadi geger dan menyumpah-nyumpah. Air kotor dari bak itu bukan hanya menyiram semua hidangan yang berada di atas meja pertama itu, akan tetapi juga mengguyur muka dan pakaian sebagian dari mereka! Semua orang berloncatan dibarengi makian-makian dan Ciok sendiri lalu meloncat bangkit dengan pakaian agak basah dan dia pun memaki.


“Apakah kalian sudah menjadi gila?” bentak Ciok dengan marah sekali.


Juga para jagoan lain menjadi marah, akan tetapi juga terheran-heran bagaimana dua orang kakak beradik itu berani melakukan kekurangajaran seperti itu terhadap mereka. Dan dua orang itu pun kini terbelalak dengan muka pucat ketika melihat kenyataan yang tidak masuk akal itu. Ternyata mereka telah menyiram isi air bak itu ke meja pimpinan mereka, padahal tadi sudah jelas bahwa mereka mengguyurkan air itu kepada bocah dusun yang sedang makan minum seorang diri di meja sudut itu. Mereka kini memutar tubuh memandang kepada pemuda itu yang masih enak-enak makan, seolah-olah tidak pernah tahu akan terjadinya peristiwa di meja lain itu!



“Tapi… tapi…. Ciok-toako, tadi kami mengguyur air itu ke meja bocah dusun itu!” kata Giam Hok sambil menudingkan telunjuknya ke arah Han Siong. Juga Giam Kui merasa heran dan juga ngeri membayangkan akibat perbuatan dia dan kakaknya. Dengan geram dia lalu melangkah menghampiri Han Siong dan melihat ini, Giam Hok juga cepat melangkah lebar menghampiri Han Siong.


“Bocah dusun ini yang membikin gara-gara, kita harus menghajarnya sampai mampus!” kata Giam Kui.


“Benar, dia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah terjadi!” kata pula Giam Hok. Orang she Ciok yang tadinya marah-marah, kini memandang dengan heran. Dia pun tidak percaya bahwa dua orang kakak beradik yang menjadi pembantu-pembantunya itu sedemikian nekatnya untuk melakukan penghinaan kepadanya dan kepada teman-teman lain, menyiramkan seember air kotor kepada mereka seperti itu. Tentu ada apa-apa yang aneh dalam hal ini, pikirnya. Maka, seperti yang lain, dia pun kini memandang ke arah dua orang kakak beradik yang menghampiri pemuda itu dengan sikap mengancam dan pandang mata beringas sekali. Tentu pemuda dusun itu akan mereka hajar sampai mati, pikir mereka.


Akan tetapi agaknya pemuda itu tidak peduli, melanjutkan makan, hanya menoleh ke arah mereka berdua sejenak. Dan terjadilah keanehan ke dua yang oleh para jagoan itu dianggap tidak masuk akal. Giam Hok dan Giam Kui mulai menerjang dan memukul, akan tetapi sama sekali bukan kepada pemuda itu, melainkan saling menyerang sendiri! Kakak beradik itu berkelahi mati-matian, saling gebuk dan saling tending.


“Keparat, kuhancurkan kepalamu!” bentak Giam Hok dan dia menjotos ke arah kepala Giam Kui yang cepat mengelak, akan tetapi tetap saja menyerempet pipinya. Dia terpelantinig dan pipinya bengkak. Marahlah Giam Kui.


“Jahanam, kupecahkan dadamu!” Dan dia pun balas menonjok ke arah dada kakaknya sendiri. Giam Hok menangkis, akan tetapi sebuah tendangan adiknya mengenai perutnya yang membuat dia terjungkal memegangi perut yang mendadak terasa mulas itu. Dia marah dan kembali mereka saling serang, saling pukul dan saling tending. Tentu saja kepala jagoan dan para tamunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Bagaimana mungkin ini? Pemuda itu masih enak-enak makan dan kakak beradik itu sudah saling hantam mati-matian.


“Giam Hok! Giam Kui! Apakah kalian sudah gila? Hentikan perkelahian itu!” bentak Ciok sambil meloncat dekat. Dua orang kakak beradik itu kini sudah saling cengkeram dan saling jambak. Tiba-tiba mereka sadar dan masing-masing mengeluarkan seruan heran ketika mendapatkan kenyataan bahwa mereka telah saling serang!


“Kui-te (Adik Kui), kenapa engkau menyerang aku?” bentak Giam Hok.


“Tapi… tapi…. bagaimana ini bisa terjadi? Aku tadi memukuli petani busuk itu!”


“Aku juga! Apa yang telah terjadi….?” Keduanya terbelalak dan kini menoleh kepada Han Siong yang sudah menyelesaikan makannya dan kini dengan sikap tenang bangkit dari duduknya menghadapi mereka.


Kepala jagoan Ciok adalah seorang yang berpengalaman di dunia persilatan. Kini dia mengerti apa yang telah terjadi. Pemuda yang tidak makan daging itu tentulah seorang ahli sihir! Seperti orang-orang Pek-lian-kauw!


“Celaka, kalian telah dipermainkan dengan sihir!” teriaknya.


Kedua orang kakak beradik itu marah sekali. “Bunuh tukang sihir!” bentak mereka dan dua puluh lebih orang yang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul itu kini serentak maju mengepung dan menyerang Han Siong yang berdiri dengan tenang. Dan kembali terjadi hal yang luar biasa anehnya, dan sekali ini, para pelayan rumah makan yang bersembunyi di balik pintu dan tiang, menjadi penonton yang keheranan melihat betapa para tukang pukul itu kini saling berkelahi dengan mati-matian! Sedangkan pemuda itu masih tetap berdiri di sudut, sama sekali tidak di ganggu dan nampaknya tenang saja.


Bahkan kini Han Siong menghampiri meja kasir dan melihat semua pelayan bersembunyi, dia tersenyum. “Mengapa kalian sembunyi? Hayo hitung berapa yang harus kubayar.”


Karena kini Han Siong tidak lagi memperhatikan kepada para tukang pukul, dan tidak lagi mengerahkan kekuatan sihirnya, maka Ciok lebih dulu sadar dan dia terkejut melihat semua tamunya saling hantam.


“Tahan…! Kita berkelahi antara teman sendiri!” Bentakan ini menyadarkan mereka dan semua orang kini menghentikan perkelahian, mengusap-usap bagian tubuh yang terpukul dalam perkelahian kacau-balau tadi dankini mereka semua memandang ke arah Han Siong yang sudah membayar harga makanan yang dipesannya tadi.


Han Siong menghadapi mereka dan melihat sikap Ciok, dia pun dapat menduga bahwa orang yang perutnya gendut dan kepalanya botak inilah agaknya yang menjadi pimpinan gerombolan orang kasar itu. “Sobat, engkau dan teman-temanmu telah merusak meja kursi dan mangkok piring, maka sudah sepatutnya kalau kalian mengganti kerugian yang diderita oleh pemilik rumah makan ini.”



Ciok Cun, kepala jagoan itu, yang sudah menyadari bahwa pemuda ini yang telah mempermainkan mereka semua, kini melangkah maju. Mukanya merah sekali karena dia marah. “Bocah setan! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Engkau telah mempermainkan kami, akan tetapi aku tidak takut dan aku harus menghajarmu sendiri!” Orang yang perutnya gendut dan kepalanya botak ini sudah melangkah maju dan mengayun tangannya untuk menampar ke arah muka Han Siong yang sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan hanya memandang dengan matanya yang mencorong.


“Plakkk!” Pipi itu kena di tampar dan menjadi matang biru. Pipi Ciok Cun! Dia mengaduh-aduh dan mengusap pipinya yang ditamparnya tadi. Semua orang melihat betapa Ciok Cun menampar dengan kuatnya, akan tetapi anehnya, yang ditampar bukan muka pemuda itu, melainkan mukanya sendiri! Agaknya hal ini masih belum membuat kepala jagoan itu menjadi jera, dia menyerang lagi dengan hantaman ke arah dada lawan.


“Bukkk!” Ciok Cun terbatuk-batuk saking kerasnya pukulan tangan kananya menghantam dada sendiri. Dia masih nekat, beberapa kali masih menyerang akan tetapi selalu yang dipukul adalah tubuhnya sendiri dan ketika dia menyerang ke arah kepala, kepalan kirinya menghantam kepala sendiri dan dia pun roboh! Dia mencoba bangun, menggoyang-goyangkan kepalanya yang menjadi pening dan sepasang matanya menjadi juling karena segala sesuatu di sekelilingnya nampak berputaran!


Han Siong masih menghadapi mereka dan kini terdengar dia berkata, “Harap kalian sadar bahwa kalianlah yang mencari penyakit, suka mengganggu orang lain. Aku sekali ini mengampuni kalian asal saja kalian mau memberitahukan kepadaku tentang diri seorang gadis yang mungkin baru-baru ini lewat di kota ini. Dia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, hitam manis, tinggi ramping, lesung pipit di sebelah kiri mulutnya, pakaiannya seperti pakaian wanita suku bangsa Yi, memakai topi sorbannn terhiasa bulu burung, namanya Pek Eng. Apakah di antara kalian ada yang mengetahuinya?”


Kini Ciok Cun sudah bangkit kembali dan mendengar pertanyaan Han Siong itu, dia tertawa mengejek. “Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau mencari gadis itu? Bocah setan, biar aku tahi sekalipun, takkan kuberitahukan kepadamu! Engkau telah menghina kami dengan ilmu iblismu, dan mengapa tak kaupergunakan ilmu iblismu untuk menemukan gadis itu? ha-ha-ha!” Karena tidak berdaya membalas kepada pemuda yang memiliki ilmu sihir itu, Ciok Cun mentertawakannya, dan teman-temannya yang juga tadi sudah kebagian, ada yang bengkak-bengkak ada yang babak belur karena saling hantam sendiri, kini membantu kepala jagoan itu mentertawakan Han Siong!


Pemuda sudah merasa girang sekali mendengar bahwa orang gendut botak didepannya ini tahu tentang adiknya. Maka dia pun cepat mengerahlan kekuatan sihirnya. “Baiklah, kalian tertawalah sepuasnya, kalau sudah puas dan ingin bercerita tentang gadis itu, bilang saja padaku. Aku masih sabar Menunggu.” Dia pun duduk kembali dan terjadilah keanehan lagi. Ciok Cun dan teman-temannya masih tertawa-tawa, akan tetapi kini suara ketawa mereka itu makin menjadi-jadi, bergelak bahkan berkakakan. Dan biarpun mulut mereka terbuka mengeluarkan suara ketawa, namun ada sesuatu pada pandang mata mereka. Mata itu terbelalak dan membayangkan rasa kaget dan ketakutan, namun suara ketawa mereka semakin hebat saja. Mereka bahkan kini terpingkal-pingkal, memegangi perut mereka dan ada pula yang sudah jatuh bergulingan ke atas lantai sambin masih terus tertawa.


Melihat keadaan ini, seorang pelayan merasa geli dan dia pun tak dapat menahan ketawanya. Akan tetapi sekali dia tertawa, dia pun hanyut dn terus tertawa terpingkal-pingkla pula, sampi terguling dari atas bangkunya! Melihat ini, kawan-kawan mereka terkejut dan mereka tidak berani tertawa. Agakknya telah terjangkit penyakit aneh di tempat itu, penyakit tertawa!


Ciok Cun maklum bahwa ini bukan sewajarnya. Dia berusaha menahan diri, akan tetapi semakin ditahan, semakin kuatlah dorongan untuk tertawa sehingga akhirnya dia pun terjungkal dan bergulingan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh dan Ciok Cun merasa betapa napasnya sesak, perutnya sakit dan kepalanya pening, namun dia terus tertwa. Barulah dia ketakutan, apalagi melihat betapa di antara teman-temannya ada yang sudah jatuh pingsan! Dia lalu merangkak ke arah Han Siong, dan sambil bertiarap dan terus tertawa, dia berkata, “Orang…. ha-ha, orang muda…. heh-heh-heh… aku… aku menyerah… ha-ha-ha… aku mau memberi tahu…. Hoah-ha-ha… mengenai gadis itu…. ha-ha-ha!”


Han Siong sudah merasa cukup memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu dan dia memang membutuhkan keterangan tentang adiknya, maka dia pun segera menyimpan kekuatan sihirnya yang mnggelitik batin mereka sehingga mereka tertawa-tawa tanpa dapat dihentikan itu. begitu dia menarik kembali kekuatannya semua orang yang tadinya tertawa-tawa sampai ada yang bergulingan di lantai dengan napas hampir putus, tiba-tiba saja berhenti tertawa. Suasana menjadi anehdn sunyi setelah tadi terdengar suara ketawa riuh rendah dan mereka hanya saling pandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan napas terengah-engah, keringat bercucuran. Kini Ciok Cun menjadi jerih dan maklumlah dia dan kawan-kawannya takkan mampu menandingi pemuda yang luar biasa ini. Dia pun bangkit dan memberi hormat kepada Han Siong, diturut oleh kawan-kawannya.


“Harap Kongcu (Tuan Muda) suka memaafkan kami yang tidak mengenal orang pandai dan telah berani main-main.” Katanya.


“Sudahlah, semua yang terjadi adalah akibat ulah kalian sendiri, mudh-mudahan menjadi pelajaran agar lain kali kalian tidak bersikap sewenang-wenang mengganggu orang lain. Nah, yang kuminta sekarang adalah keteranganmu tentang gadis yang kutanyakan tadi. Betulkah engkau pernah melihatnya dan tahu di mana ia berada?”


Melihat sikap Han Siong yang halus walaupun jelas pemuda itu telah mengalahkan mereka. Ciok Cun menjadi semakin tunduk dan dia tidak lagi berani main-main. Selain itu, juga dia melihat kesempatan untuk membalas kekalahannya terhadap pemuda itu melalui orang-orang yang jauh lebih lihai.


“Kami memang melihat gadis yang Kongcu maksudkan itu. Bukankah dia seorang gadis suku bangsa Yi, pakai topi sorban terhias bulu burung, berusia kurang lebih tujuh belas tahun, hitam manis, dengan lesung pipit di sebelah kiri mulutnya, jenaka, galak dan berani, juga memiliki ilmu silat yang tinggi, katanya dari Pek-sim-pang?”


“Benar sekali!” kata Han Siong gembira karena jelas bahwa yang dimaksudkan orang ini tentulah adik kandungnya itu!


“Kurang lebih dua pekan yang lalu ia berada di kota ini, akan tetapi ia bentrok dengan orang-orangnya Lam-hai giam-lo dan ia ditawan lalu diajak pergi ke selatan!”



Tentu saja berita ini mengejutkan Han Siong. “Lam-hai Giam-lo?” pikirnya dalam hati dan teringatlah dia akan hwesio tua bermuka kuda yang gagu dan tuli di kuil Siauw-lim-pai itu! Penjahat besar, datuk kaum sesat yang amat lihai sehingga kalau saja tidak ada kedua orang gurunya yang menjadi orang-orang hukuman di kuil itu, tentu semua hwesio di kuil itu akan tewas olehnya! Lam-hai Giam-lo setelah dikalahkan kedua orang gurunya lalu melarikan diri dan kini adik kandungnya tertawan dan dibawa pergi orang-orangnya yang menjadi anak buah Lam-hai Giam-lo? Tentu saja dia terkejut dan merasa khawatir sekali.


“Kemana ia dibawa dan di mana tinggalnya Lam-hai Giam-lo?” tanyanya dengan suara dan sikap tenang.


Kini Ciok Cun memandang wajah pemuda itu seperti orang yang keheranan. Pemuda ini memiliki ilmu tinggi dan aneh, akan tetapi tidak tahu di mana tempat tinggalnya Lam-hai Giam-lo! Akan tetapi dia tidak berani mencela atau mentertawakan. “Lam-hai Giam-lo berada di daerah pegunungan di Propinsi Yunan, di Lembah Yang-ce-kiang. Semua orang di daerah itu mengenal namanya dan tahu di mana tokoh itu tinggal.”


Han Siong mengangguk. “Baik, terima kasih atas petunjukmu. Akan tetapi sekali lagi, kuharap kalian sadar bahwa mengganggu orang lain mengandalkan kekerasan dan kekuasaan hanya akan mencelakakan diri sendiri. Nah, selamat tinggal!” Dia lalu membayar harga makanan dan keluar dari restoran itu, diikuti pandang mata mereka yang tadi telah merasakan kelihaiannya.


**

Mari kita ikuti perjalanan Pek Eng yang sedang di cari jejaknya oleh Han Siong. Seperti kita ketahui, gadis ini meninggalkan rumah orang tuanya tanpa pamit dan hanya meninggalkan surat bahwa ia hendak pergi mencari kakak kandungnya, Pek Han Siong. Sesungguhnya, bukan untuk mencari kakaknya penyebabb utama dari kepergiannya tanpa minta ijin orang tua itu. Ia merasa penasaran dan marah karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song. Ia sama sekali tidak mencita pemuda she Song walaupun harus diakuinya bahwa Song Bu Hok adalah seorang pemuda yang gagah sekali, juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, putera Ketua Kang-jiu-pang yang amat terkenal pula. Ia tidak menganggap bahwa pilihan orang tuanya itu keliru karena memang sudah sepatutnya kalau ia berjodoh dengan Song Bu Hok, keduanya putera ketua perkumpulan besar dan di antara orang tua mereka terdapat pertalian persahabatan yang erat. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mencinta Song Bu Hok. Hal ini terutama sekali dirasakannya setelah ia bertemu dengan Hay Hay! Ia amat tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda yang ugal-ugalan itu, bukan karena ia pernah mencium Hay Hay karena ia mengira pemuda itu kakaknya, bukan pula karena tingkat kepandaian pemuda itu sedemikian tingginya sehingga ia merasa kagum. Atau mungkin juga ada sebagian dari kedua kenyataan itu yang memperkuat perasaan cintanya. Akan tetapi yang jelas, ia tidak lagi dapat melupakan Ha Hay!


Itulah sebabnya maka ia menjadi nekat untuk pergi tanpa pamit dan ingin mencari kakaknya kepada siapa ia akan membuka semua isi hatinya dan mengharapkan kakak kandungnya itu akan mau membelanya. Ia membawa bekal uang secukupnya, beberapa stel pakaian lengkap yang dibuntalnya dalam sebuah bungkusan kain tebal, tidak lupa membawa sebatang pedang dan dengan pakaian sebagai seorang gadis suku bangsa Yi, ia pun melakukan perjalanan menuju ke selatan.


Tidak aneh kalau di sepanjang perjalanannya, Pek Eng menjadi perhatian banyak orang, terutama sekali para pria yang melihatnya melakukan perjalanan seorang diri. Gadis ini cantik manis dan biarpun kulitnya agak gelap. Teruatam sekali mata yang agak sipit itu bersinar tajam, dan hidungnya dapat mempesona hati seorang pria dengan bentuknya yang mungil, ujungnya agak naik sedikit. Bibirnya merah basah dan pipi kirinya terdapat sebuah lesung pipit yang nampak jelas kalau tersenyum. Bentuk tubuhnya yang tinggi ramping dengan kaki panjang juga memiliki daya tarik tersendiri, dengan lekuk-lengkung tubuh gadis yang mulai dewasa. Dari pandang mata dan bibir yang selalu di hias senyum itu dapat diketahui bahwa gadis ini lincah, jenaka dan gembira, akan tetapi juga memiliki ketabahan besar. Orang-orang yang melihat betapa gadis ini membawa pedang di punggungnya, agak segan untuk mengganggu dan biarpun ada pula pria yang merasa dirinya kuat dan sudah biasa mengganggu wanita mencoba untuk bersikap kurang ajar, namun Pek Eng dapat mengatasinya bahkan telah merobohkan beberapa orang pengganggu.


Pada suatu hari tibalah ia di kota Kui-yang. Seperti yang selalu dilakukan semenjak ia meninggalkan rumah, setiap kali ada kesempatan ia bertanya-tanya kepada orang tentang dua orang pemuda, yaitu Pek han Siong dan Hay Hay! Ia sendiri tidak tahu apa yang ia katakana atau ia lakukan kalau ia berhasil menemukan Hay Hay. Akan tetapi ia ingin sekali bertemu kembali dengan pemuda itu. Di kota Kui-yang, Pek Eng juga bertanya-tanya ketika ia berjalan-jalan dan melihat-lihat keadaan kota itu di waktu senja, setelah ia mendapatkan sebuah kamar di rumah penginapan. Ia hanya meninggalkan buntalan pakaiannya saja di kamar, dan semua uangnya ia bawa, demikian pula pedangnya.

Perhatian Pek Eng tertarik sekali melihat sebuah rumah makan besar yang dikelilingi pagar tembok tebal dan tinggi, dan di depan pintu gerbangnya terdapat papan yang bertuliskan huruf-huruf besar berbunyi “HUI-HOUW BU-KOAN” (Perguruan Silat Macan Terbang). Apalagi ketika dari pintu gerbang yang terbuka itu ia dapat melihat belasan orang sedang berlatih gerakan silat, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar. Belasan orang itu, seperti pelatihnya, hanya mengenakan celana sampai ke bawah lutut dan tubuh bagian atasnya telanjang, memperlihatkan tubuh yang kokoh kuat penuh otot-otot melingka-lingkar. Ah, perguruan silat, pikir Pek Eng. Mungkin di antara mereka itu ada yang mengenal kakaknya atau Hay Hay. Bukankah kakaknya, seperti yang diharapkan oleh keluarganya, memiliki ilmu silat tinggi dan Hay Hay tidak perlu diragukan lagi adalah seorang yang sakti? Orang-orang seperti kakaknya atau Hay Hay memang sepatutnya dikenal oleh golongan persilatan.


Dengan pikiran ini, tanpa ragu lagi Pek Eng lalu memasuki pintu gerbang yang terbuka dan tibalah ia dipelataran depan, di mana belasan orang itu sedang melatih gerakan pukulan sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring. Ketika belasan orang yang rata-rata masih muda, berusia antara duapuluh sampai tiga puluh tahun itu melihat betapa tiba-tiba muncul seorang dara yang manis dari depan pintu, tentu saja mereka semua memandang dengan kagum dan gerakan mereka kacau, juga bentakan-bentakan itu tergagap dan tidak nyaring lagi, bahkan kini sebagian dari mereka menghentikan gerakan silat mereka dan berdiri bengong memandang ke arah Pek Eng, dengan senyum-senyum ceriwis! Melihat keadaan para murid itu, pelatihnya terheran dan dia pun menengok. Pelatih itu sudah lebih tua, kurang lebih empat puluh tahun usianya dan dia pun terkejut ketika melihat seorang gadis berdiri di situ, gadis yang tidak di kenal dan cantik manis



“Aih, pantas kalian menjadi kacau. Kiranya ada seorang bidadari muncul di sini!” kata Si Pelatih yang ternyata lebih ceriwis lagi sikapnya dari para murid itu. Bahkan kini dengan langkah lebar dia menghampiri Pek Eng dan berdiri di depan Pek Eng. Karena pealtih itu berdiri terlalu dekat sehingga bau apak dan tidak enak dari tubuh setengah telanjang berkeringat itu menyerang hidung Pek Eng, gadis ini mundur dua langkah dan hidungnya yang mungil bergerak-gerak lucu.


“Hai, Nona manis, siapakah engkau dan apa keperluanmu masuk ke tempat latihan kami ini?” tegur Si Pelatih, menyeringai lebar seperti merasa lucu melihat pedang yang tergantung di punggung gadis pengunjung itu.

“Hati-hati, Toako. Lihat pedang di punggungnya itu! Jangan-jangan ia seorang pendekar pedang yang lihai sekali!” terdengar suara seorang diantara para murid, akan tetapi karena nada suaranya jelas mengandung ejekan, semua orang tertawa dan pekatih yang di sebut Toako (kakak) itu pun tertawa bergelak.


Melihat mereka berlagak dan memandang rendah kepadanya, sepasang alis Pek Eng berkerut dan ia sudah merasa menyesal memasuki tempat ini. Tak disangkanya bahwa mereka itu bukanlah calon-calon pendekar seperti para murid di Pek-sim-pang, melainkan sekelompok laki-laki yang ugal-ugalan dan bahkan kurang ajar terhadap wanita yang sama sekali belum mereka kenal.


“Ha-ha-ha!” Pelatih itu tertawa lebar. “Nona manis, benarkah engkau seorang pendekar pedang seperti kata ia tadi? Apakah kedatanganmu ini hendak memperlihatkan kepandaianmu atau hendak menguji kami?”


Karena sudah terlanjur masuk, Pek Eng yang tidak mau melayani kekurangajaran mereka, langsung saja bertanya. “Aku tertarik melihat papan nama Hui-houw Bu-koan di luar dan aku masuk untuk bertanya apakah di antara kalian ada yang mengenal dua orang pemuda yang bernama Pek Han Siong dan Hay Hay?”


Pelatih itu dan para anak buahnya sebenarnya tidak pernah mendengar dua buah nama yang disebut Pek Eng itu,, akan tetapi pura-pura sudah mengenalnya. “Aahh, kiranya engkau mencari mereka?”


Bukan main girangnya hati Pek Eng. Tak disangkanya bahwa orang itu mengenal kakaknya dan Hay Hay. “Benar, tahukah engku di mana mereka?”


Pelatih itu mengangguk-angguk. “Tentu saja aku tahu, akan tetapi sebelum aku memberitahukan kepadamu, engkau harus memenuhi syarat yang kuajukan.”


Pek Eng mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik. “Syarat? Syarat apa itu?”


Pelatih itu tertawa. “Ha-ha-ha, syaratnya engkau harus maju dan main-main dengan aku sebentar. Kalau engkau menang, tentu akan segera kuberitahukan di mana mereka, akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus menemani aku pelesir selama tiga hari tiga malam, baru engkau akan aku pertemukan dengan mereka. Bagaimana?”


Semua laki-laki yang berlatih silat, tersenyum-senyum mendengar ini, dan semua mata memandang kepada Pek Eng secara kurang ajar sekali. Hati Pek Eng sudah menjadi panas dan kini ia meragukan kebenaran pengakuan pelatih itu bahwa dia tahu di mana adanya dua orang pemuda yang dicarinya. Tentu hanya untuk mencari alasan agar dapat mempermainkannya, pikirnya dengan hati panas dan marah. Akan tetapi, ia tetap tersenyum, bahkan menangguk-angguk. Andaikata ia kalah, ia pun masih mempunyai akal untuk menghindarkan diri dari kekurangajaran orang ini, pikirnya. Akan tetapi melihat gerakan mereka tadi, ia yakin bahwa ia akan mampu mengalahkan orang tinggi besar ini, bahkan tidak merasa gentar untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang yang tingkat kepandaiannya masih rendah dan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka.

“Baik, akan tetapi kalau engkau kalah kemudian tidak dapat membawa aku kepada mereka, akan kuhancurkan mulutmu yang lancang itu!” katanya, tetap tenang dan mulutnya dihias senyum, sama sekali tidak kelihatan marah.



“Toako, biar aku menangkap gadis ini untukmu!” tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara anak buah itu dan orang ini, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, sudah meloncat maju ke depan Pek Eng dan langsung saja dia menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis itu. Kesempatan yang amat baik, pikir pemuda itu. Dia akan dapat memeluk gadis manis ini, bahkan mungkin dapat mencuri satu dua kali ciuman sebelum menyerahkannya kepada pelatihnya. Tangan kanannya menyambar hendak memukul leher, sedangkan tangan kirinya secara kurang ajar sekali hendak mencengkeram ke arah dada!


Pek Eng melihat gerakan serangan yang kurang ajar akan tetapi juga amat lambat dan lemah baginya itu. ia menggerakkan kakinya memutar tubuh setengah lingkaran, membiarkan cengkeraman ke arah dada itu lewat, sedangkan tangan kanannya sendiri bergerak ke atas, menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang hendak merangkulnya, kemudian cepat sekali ia menekuk lengan kanannya dan dengan tepat sekali siku kanannya menghantam muka orang itu.


“Crottt!” Ujung siku tepat menghantam hidung pemuda muka pucat itu dan tulang hidung itu patah, hidungnya menjadi hitam membengkak dan darah pun bercucuran keluar. Pek Eng mengangkat kakinya ketika pemuda itu tersentak ke belakang dan perutnya maju ke muka, dan lututnya sudah menghantam perut lawan.


“Ngekkkk!: Dan pemuda itu pun terjengkang, kedua tangannya sibuk memegangi hidung dan perut karena dalam keadaan hampir pingsan dia tidak dapat membandingkan mana yang lebih nyeri hidung remuk dan perut mulas itu. Dengan suara bindeng dia mengaduh-aduh sambil berlutut membungkuk-bungkuk



Pelatih itu marah. Sambil berseru keras dia pun menubruk ke depan. Namun Pek Eng tidak mau membuang banyak waktu lagi. Disambutnya serangan lawan itu dengan tamparan dari samping yang tepat mengenai pelipis pelatih tinggi besar itu.


“Plakkk!” Tubuh yang tinggi besar itu terputar karena dia merasa seolah-olah disambar petir, kepalanya nyeri, pandang matanya berkunang dan dia pun meloncat-loncat seperti monyet menari-nari di atas papan yang panas. Pek Eng menyusulkan dua kali gerakan kaki, ujung sepatunya menyentuh sambungan lutut dan orang tinggi besar itu pun terpelanting roboh. Kini, belasan orang murid itu maju mengeroyok Pek Eng, bahkan di antara mereka ada yang membawa senjata golok, pedang dan toya. Namun, mereka itu tidak ada artinya bagi Pek Eng. Gadis perkasa ini bergerak cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar di antara sekelompok capung saja. Belasan orang itu pun satu demi satu roboh terpelanting roboh sambil mengaduh-aduh!


Pada saat itu, dari pintu tengah muncullah seorang kakek dan seorang nenek. Mereka terkejut sekali melihat betapa ada seorang dara muda merobohkan belasan orang anak murid Hui-houw Bu-koan. Kakek itu lalu memutar tubuhnya, dan berseru ke arah dalam rumah.

“Ciok Kauwsu (Guru Silat Ciok), keluarlah!”


Kini muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, perutnya gendut dan kepalanya botak, matanya seperti mata burung elang, tajam dan lincah melirik ke sana-sini, dan sinarnya mengandung kelicikan. Laki-laki ini adalah Ciok Cun, pemilik Hui-houw Bu-koan, juga seorang kepala jagoan yang terkenal di kota Kui-yang dan sekitarnya. Hampir tidak ada orang berani menentang kepala jagoan ini, karena selain dia lihai, banyak anak buahnya, dan seluruh jagoan dan tukang pukul di daerah itu tunduk belaka kepadanya, juga dia terkenal mempunyai hubungan baik dan erat dengan para pembesar setempat. Dia pandai mengambil hati dan mendekati para pejabat yang berwenang dengan cara mengirim hadiah-hadiah barang berharga kepada mereka.


Pada waktu peristiwa keributan di pekarangan luar terjadi, Ciok Cun sedang menerima tamu yang agaknya amat penting karena tamu kakek dan nenek itu diterima di ruangan paling dalam dan mereka bertiga bicara dalam ruangan tertutup bahkan tak seorang pun pelayan atau murid boleh masuk tanpa di panggil. Dan tepat ketika dua orang tamu itu hendak pergi, mereka melihat kesibukan di luar, di mana belasan orang anak buah Hui-houw Bu-koan telah roboh berserakan oleh seorang gadis muda!


Tentu saja Ciok Cun terkejut dan marah bukan main melihat betapa belasan orang muridnya di hajar orang, apalagi pembantunya yang tinggi besar, yang merupakan murid tingkat atas, agaknya sudah tidak mampu bangkit, kedua kakinya seperti lumpuh dan sebelah mukanya matang biru!


“Heii, siapakah engkau anak perempuan yang datang mengacau? Aku adalah Ciok Cun, Kauwsu (guru silat) dan pemilik bu-koan (tempat belajar silat) ini! Siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di sini?” Sebagai seorang yang berpengalaman, tentu saja Ciok Cun dapat menduga bahwa gadis ini biarpun masih muda, tentu memiliki kepandaian tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin belasan orang murid itu roboh semua sedangkan gadis itu agaknya kusut pakaiannya pun tidak!


Mendengar pengakuan Ciok Cun, Pek Eng memandang tajam. Kalau anak buahnya mengenal kakaknya dan Hay hay, tentu gurunya lebih mengenal mereka lagi. Maka ia pun menjura ke arah laki-laki gendut botak itu.


“Harap suka maafkan aku, Ciok Kauwsu. Aku bernama Pek Eng dan tadinya aku sama sekali tidak pernah mengira akan berkelahi dengan anak buahmu di tempat ini. Aku kebetulan lewat dan tertarik bahwa di sini adalah sebuah perguruan silat, aku lalu masuk dan kepada mereka ini aku menanyakan nama dua orang pemuda, apakah mereka mengenalnya. Kemudian, orang tinggi besar ini memberitahu bahwa dia mengenal mereka dan akan memberitahukan di mana adanya mereka asal aku mampu mengalahkan dia. Kami bertanding dan semua anak buahmu maju mengeroyokku dan… beginilah jadinya.” Pek Eng menggerakkan kedua tangannya ke arah mereka yang masih mengaduh-aduh dan sukar untuk bangkit berdiri.


Ciok Cun sendiri belum pernah mendengar dua nama itu, maka dia pun memandang kepada muridnya yang menjadi pelatih murid-murid tingkat rendahan dan bertanya, “Benarkah engkau mengenal dua orang yang di cari Nona ini?”


Si Tinggi Kurus terpaksa mengaku. “Kami tidak mengenal mereka, kami hanya membohongi Nona ini untuk main-main saja….”


Mendengar ini, Pek Eng merasa mendongkol bukan main. Dengan alis berkerut dia menyapu bekas lawan yang banyak itu dengan pandang matanya, kemudian ia mengomel. “Kalau kalian tidak tahu, kenapa harus pura-pura tahu? Kalau tadi kalian bilang tidak tahu, tidak perlu terjadi keributan ini. Sudahlah, kalau kalian tidak mengenal mereka, barangkali engkau sendiri mengenal mereka, Ciok Kauwsu dan kalau engkau dapat menunjukkan kepadaku di mana mereka, aku sungguh akan berterima kasih sekali.”



Ciok Cun sudah merasa mendongkol melihat betapa para muridnya di hajar, akan tetapi karena dia maklum betapa lihainya gadis muda ini, diapun bertanya. “Siapakah mereka?”

“Yang seorang bernama Pek Han Siong, dan yang kedua dikenal dengan nama Hay Hay.”

Ciok Cun mengerutkan alisnya mengingat-ingat, akan tetapi dia sendiri belum pernah bertemu dengan dua orang yang namanya seperti itu, maka dia pun menggeleng kepala. “Aku tidak mengenal mereka.”


Pek Eng kecewa. “Kalau begitu, biar aku pergi saja dan sekali lagi maafkanlah aku!” Setelah berkata demikian, Pek Eng membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari pekarangan itu, keluar melalui pintu gerbang.


“Nona, tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar bentakan orang dan Pek Eng membalikkan tubuhnya dan kini ia berhadapan dengan kakek dan nenek itu. melihat betapa kakek itu menghampirinya, maklumlah Pek Eng bahwa yang mengeluarkan suara menahannya tadi adalah kakek itu. Ia memperhatikan mereka sekarang. Kakek itu usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan pandang matanya mencorong tajam. Ada pun nenek itu hanya beberapa tahun lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, namun masih nampak cantik dan pesolek karena pipi dan bibirnya masih memakai pemerah kulit, bahkan mukanya yang bentuknya cantik itu dipulas bedak yang cukup tebal. Karena mereka adalah orang-orang tua. Pek Eng menghadapi mereka dengan sikap tenang dan hormat.



Engkaukah yang menahan aku pergi tadi, Paman Tua? Ada urusan apakah?” tanyanya sambil memandang kepada kakek itu.


“Benarkah yang kaucari itu adalah Pek Han Siong dan Hay Hay?” tanya kakek itu.

“Benar, apakah engkau mengenal mereka?”


Kakek itu saling pandang dengan Si Nenek dan mereka pun mengangguk, bahkan kakek itu berseru. “Mengenal mereka? Ah, mengenal baik sekali!”


Pek Eng memandang dengan penuh curiga. “Sekarang aku tidak akan mudah percaya kalau ada orang mengaku kenal dengan mereka, karena tadi pun aku sudah dibohoni orang,” katanya sambil melirik ke arah pelatih silat tadi.


“Akan tetapi aku tidak berbohong!” kata pula kakek itu. “Bukankah yang bernama Hay Hay itu seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun, lincah dan gembira, tubuhnya sedang dan dadanya bidang, matanya bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, dia memiliki ilmu silat yang amat lihai dan juga pandai sihir? Dan bukankah yang bernama Pek Han Siong itu adalah putera Ketua Pek-sim-pang, dan dahulu ketika kecil di sebut Sin-tong (Anak Ajaib)?”


Pek Eng hampir bersorak kegirangan. Wajahnya seketika berubah, berseri-seri dan sinar matanya penuh harapan di tujukan kepada orang tua itu. “Aih, benar sekali, Paman. Benar sekali, aku adalah adik dari Pek Han Siong!”


“Bagus!” tiba-tiba nenek itu yang sejak tadi hanya memandang wajah Pek Eng dengan penuh perhatian, kini membentak. “Nah, sekarang katakana di mana adanya Pek Han Siong itu!” Nenek itu bersikap mengancam sehingga diam-diam Pek Eng terkejut, juga merasa heran dan kecewa. Sialan, pikirnya. Ia tadi sudah kegirangan karena kakek dan nenek itu mengenal kakaknya dan Hay Hay, akan tetapi siapa kira mereka malah bertanya kepadanya di mana adanya kakaknya!


“Hemm, jadi kalian kakek dan nenek ini mengenal kakakku akan tetapi tidak tahu dimana dia berada? Kalau begitu, kalian pun tidak ada gunanya bagiku. Selatam tinggal!” Setelah berkata demikian, Pek Eng yang tidak mau lebih lama lagi tinggal di tempat itu, bergerak cepat hendak lari keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu nenek itu telah menghadang di ambang pintu gerbang, ke dua tangannya di palangkan seolah-oleh hendak melarang dan mencegah ia keluar! Diam-diam Pek Eng terkejut. Dari gerakan itu tadi saja ia sudah tahu bahwa nenek itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Ia menoleh dan kakek itu pun menghampirinya. Ia telah di kepung depan dan belakang oleh kakek dan nenek itu.


Pek Eng mengambil keputusan cepat. Ia harus keluar dari situ sebelum di kepung oleh lebih banyak orang lagi. Maka tiba-tiba, tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek yang menghadang di ambang pintu. Kedua tangannya mendorong dengan maksud untuk mendorong nenek itu kesamping agar ia dapat menerobos keluar! Akan tetapi, nenek itu tidak mengelak, melainka menyambut dorongan kedua tangan gadis itu dengan kedua tangannya sendiri. Dua tenaga bertemu dan akibatnya, tubuh Pek Eng terdorong mundur kembali ke dalam pekarangan! Gadis itu terkejut, merasa betapa kuatnya tenaga dorongan nenek itu.


“Engkau tidak boleh pergi sebelum menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong!” kata kakek itu dan tiba-tiba saja tubuh kakek itu meloncat tinggi dan dari atas dia menuburk dengan kedua tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar kelinci! Melihat ini, Pek Eng mengelak dengan loncatan ke samping sambil siap untuk membalas, akan tetapi, lengan kakek tinggi besar itu mengejarnya dari atas. Terpaksa Pek Eng menangkis dengan lengan kirinya dan membarengi dengan pukulan tangan kanan ke arah leher kakek itu.


“Dukk!” Pukulan itu mengenai leher yang terasa keras seperti baja, akan tetapi cengkeraman tangan kakek itu sudah dapat menangkap pundak Pek Eng dan gadis itu lalu roboh dengan kaki tangan terasa lemas kehilangan tenaga. Ternyata jalan darahnya telah dapat dicengkeram dan ia pun tidak mampu bangkit lagi.


Biarpun kaki tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi, namun Pek Eng yang roboh telentang itu memandang kepada kakek itu dengan kedua mata melotot, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut.


Nenek itu sekali loncat sudah di dekat Pek Eng. “Hayo cepat katakana di mana adanya Pek Han Siong. Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan menyiksamu dengan jarum beracun!”


Sementara itu, Ciok Cun yang sejak tadi menjadi penonton bersama anak buahnya, terbelalak kagum melihat betapa kakek dan nenek itu, dalam beberapa gebrakan saja telah mampu menangkap agdis gadis yang amat lihai itu!


“Hebat… hebat sekali… kepandaian Ji-wi sungguh seperti dewa!” Dia memuji. “Ah, tak dapat aku membayangkan betapa tinggi tingkat kepandaian Locianpwe Lam-hai Giam-lo, melihat betapa utusannya saja seperti Ji-wi memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!”

Nenek itu mendengus tak menjawab dan kakek itu berkata, “Tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo tak dapat di ukur, karena itu, jangan engkau main-main, Ciok-kauwsu dan engkau harus mentaati semua yang telah diperintahkan.”

“Kami taat… tentu saja kami taat, apalagi setelah Locianpwe itu demikian royal memberi pengganti biaya kami melalui kedatangan Ji-wi.”



Nenek itu kini mengeluarkan sebatang jarum hitam dari kantung kecil di pinggangnya dan memeprlihatkan kepada Pek Eng. “Nona, kaulihat jarum ini. Karena benda inilah maka aku dijuluki orang kang-ouw sebagai Tok-ciam (Jarum Beracun). Jarum ini bukan hanya dapat membunuh, akan tetapi juga mampu mendatangkan siksaan yang amat hebat. Kalau engkau tidak mau menunjukkan kepada kami di mana adanya Sin-tong, engkau akan mednerita siksaan yang akan membuat engkau rindu akan kematian yang tak kunjung tiba. Lihat!” Kebetulan seekor anjing lewat tak jauh dari mereka. Sekali menggerakkan tangannya, jarum itu meluncur dan terdengar anjing itu berkuik lalu roboh dn selanjutnya anjing itu melolong-lolong berkelojotan. Jarum itu mengenai kaki depan kanan dan kini jelas nampak betapa kaki yang terkena jarum itu membengkak dan menghitam dan agaknya mendatangkan rasa nyeri yang amat hebat melihat betapa anjing itu melolong-lolong amat menyedihkan. Diam-diam Pek Eng merasangeri juga melihat kekejaman itu dan maklum bahwa ancaman nenek itu bukanlah gertak kosong belaka. Ia maklim bahwa nenek dan kakek itu lihai bukan main dan ia tidak akan mampu mengalahkan mereka, maka kalau oa nekat melawan pun takkan ada gunanya. Diam-diam ia menduga-duga siapa adanya kakek dan nenek yang amat lihai ini dan siapa pula pimpinan mereka yang tadi di sebut berjuluk lAm-hai Giam-lo.


Kalau saja Pek Eng mengenal kakek dan nenek itu, tentu ia akan menjadi semakin kaget dan ngeri. Kakek dan nenek itu adalah suami isteri yang terkenal sebagai Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan)! Kita telah mengenalnya sebagai datuk-datuk sesat yang amat kejam dan lihai. Kakek itu bernama Siangkoan Leng dan nenek itu adalah isterinya yang bernama Ma Kim Li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, suami isteri ini menculik bayi dari keluarga Pek dan mengira bahwa bayi yang bukan lain adalah Hay Hay itu sebagai Sin-tong (Anak Ajaib). Mereka kecelik karena ternya bayi keluarga Pek yang mereka culikitu bukan Sin-tong. Suami isteri ini sekarang telah bergabung dengan para datuk sesat lainnya, menjadi pembantu-pembantu yang diandalkan oleh Lam-hai Giam-lo, kakek sakti yang ingin menghimpun para datuk sesat dan memperkuat kembali golongan hitam.


Untuk memperkuat kedudukannya dan memperluas pengaruhnya. Lam-hai Giam-lo mengutus para pembantunya untuk mempengaruhi kaum sesat di daerah selatan, mengajak mereka untuk bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo dan untuk keperluan itu, Lam-hai Giam-lo tidak sayang untuk menyebarkan uang secara royal sekali. Suami isteri itu kini berada di Kui-yang juga dalam rangka membujuk Ciok Cun yang dianggap sebagai kepala jagoan di kota itu untuk mengumpulkan kawan-kawannya dan bergabung di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.


“Nah, bagaimana, Nona?” kata Ma Kim Li sambil tersnyum dingin. “Engkau memilih selamat dan menunjukkan kepada kami di mana adanya kakakmu, atau engkau ingin melolong-lolong seperti anjing itu dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak?”


“Hemm, nenek yang berhati kejam! Kaukira aku seorang gila yang tak dapat memilih mana yang menguntungkan? Tentu saja aku memilih yang pertama. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin dibebaskan dari totokan ini, dan ingin mengenal siapa adanya kalian berdua.”


Girang sekali hati suami isteri itu mendengar kesanggupan ini. Kalau mereka dapat menguasai Sin-tong dan menyerahkannya kepada Lam-hai Giam-lo, tentu mereka akan berjasa besar. Pemuda yang dulu diperebutkan itu tentu masih berharga sekali bagi para pendeta Lama di Tibet yang tentu akan suka menukarnya dengan emas permata yang banyak terdapat di negeri penuh rahasia itu.


Siangkoan Leng tentu saja tidak merasa khawatir gadis itu akan melarikan diri. Di bawah pengamatan dia dan isterinya, gadis itu tidak akan mampu melarikan diri. Maka dia pun melangkah maju dan dengan beberapa kali totokan pada pundak, dia sudah membebaskan Pek Eng. Gadis itu bangkit berdiri dan memijit-mijit pundaknya yang terasa nyeri dan kaku, kemudian memandang suami isteri itu sambil tersenyum.


“Terima kasih, kalian sungguh merupakan kakek dan nenek yang amat lihai dan membuat aku merasa kagum. Siapakah sebenarnya kalian?”


“Namaku Siangkoan Leng dan ini isteriku Ma Kim Li. Kami berdua di dunia kang-ouw di kenal sebagai Lam-hai Siang-mo,” kata Siangkoan Leng, diam-diam dia pun kagum karena gadis itu, biarpun masih muda dan berada dalam kekuasaan atau tawanan mereka masih saja bersikap demikian tenangnya dan sedikit pun tidak memperlihatkan kekhawatiran.

“Sekarang katakanlah di mana kakakmu itu!” Ma Kim Li kembali mendesak.


Sejak tadi Pek Eng sudah memutar otak mencari akal untuk menjawab desakan ini dan ia lalu memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa rikuh untuk bicara. Ia lalu memandang wajah nenek itu dan berkata dengan suara lirih.


“Sudah tepatkah kalau kita bicara tentang itu di depan banyak orang?”


Suami isteri itu sadar bahwa mereka maish berada di antara Ciok Cun dan anak buahnya. Ma Kim Li lalu memegang tangan Pek Eng dan berkata kepada suaminya. “Mari kita berangkat!”


Dengan diantar oleh Ciok Cun sampai ke depan pintu gerbang, suami isteri itu keluar dan ternyata kini beberapa orang anak buah Ciok Cun telah mengeluarkan sebuah kereta berkuda dua yang tadinya di simpan di sebelah rumah, dan Ma Kim Li lalu mengajak Pek Eng masuk ke dalam kereta. Siangkoan Leng duduk di depan dan menjadi kusir. Kereta bergerak meninggalkan rumah itu, bahkan segera keluar dari pintu gerbang kota Kui-yang sebelah selatan.


Kereta berhenti di tempat sunyi di luar kota itu dan kembali suami isteri itu mendesak kepada Pek eng. “Hayo, katakan sekarang dimana adanya kakakmu Pek Han Siong itu!”



Pek Eng tersenyum memandang kepada mereka. “Kalian ini adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga melihat usia kalian tentu telah memiliki banyak pengalaman, akan tetapi bagaimana dapat mengajukan pertanyaan yang demikian bodoh?”

“Apa kaubilang?” Siangkoan Leng membentak, heran melihat keberanian anak perempuan itu yang dalam keadaan tertawan bahkan berani mengatakan mereka bodoh!

“Hati-hati dengan mulutmu atau jarumku akan menyiksamu!” nenek itu pun mengancam.

Akan tetapi Pek Eng yang cerdik itu hanya tersenyum menghadapi kemarahan mereka. Ia sudah memperhitungkan benar semua sikap dan kata-katanya. Ia maklum bahwa dua orang ini merupakan orang-orang yang dahulu memperebutkan kakaknya sebagai Sin-tong, seperti yang sering di dengar dari orang tuanya. Mereka ingin sekali menemukan kakaknya, mereka hanya mengenal kakaknya dari namanya saja dan tidak tahu di mana kakaknya berada.


“Lam-hai Siang-mo,” katanya dengan sikap seperti bicara dengan orang-orang yang setingkat saja. “Aku tidak bermaksud menghina kalian, akan tetapi kalian sendiri melihat bawha aku datang ke persilatan Macan Terbang itu untuk menanyakan mereka kalau-kalau mereka melihat kakakku Pek Han Siong. Jelas bahwa aku datang untuk mencari Kakakku, dan sekarang kalian memaksa aku mengaku di mana adanya Kakakku itu. Bukankah itu pertanyaan yang amat bodoh? Kalau aku mencari-cari Kakakku, jelas bahwa aku tidak tahu di mana saat ini dia berada.”


Kakek dan nenek itu saling pandang sejenak. “Hemm, ceritakan bagaimana engkau berpisah dari Kakakmu itu agar kami dapat membantumu mencarinya!” kata Siangkoan Leng.

Pek Eng memang sudah mempersiapkan diri sejak tadi. “Aku dan Kakakku itu sedang melakukan perjalanan pesiar ke selatan. Ketika kami tiba di luar kota Kui-yang, muncul tiga orang pendeta berkepala gundul yang hendak menangkap Kakakku. Karena tiga orang pendeta itu lihai sekali, Kakakku menyuruh aku menyingkir. Mereka lalu berkelahi dengan seru dan berkejar-kejaran. Ketika aku mengejar, ternyata aku tertinggal jauh dan mereka semua telah menghilang. Aku lalu mencari-cari sampai ke kota Kui-yang dan bertanya di Hui-houw Bu-koan.” Ia berhenti sebentar kemudian bertanya. “Apakah kalian mengenal Kakakku itu? Apa perlunya kalian hendak bertemu dengan dia?”


Suami isteri itu saling pandang. “Apakah tiga orang pendeta berkepala gundul itu mengenakan jubah mantel lebar berwarna merah dan kotak-kotak?” tanya Siangkoan Leng.

“Benar sekali!” jawab Pek Eng yang teringat akan para pendeta Lama yang pernah menyerbu rumah keluarganya.


Kembali suami isteri itu saling pandang. “Mereka adalah para pendeta Lama dari Tibet!” kata Ma Kim Li dengan hati khawatir, takut kalau-kalau ia dan suaminya kalah dulu oleh para pendeta itu. “Apakah Kakakmu itu kalah lalu ditangkao dan di bawa pergi?”

“Tidak mungkin Kakakku kalah!” Pek Eng berteriak seperti orang marah. “Tiga orang pendeta itu yang lari dan dikejar-kejar Kakakku. Sayang ginkang mereka terlampau tinggi sehingga aku tertinggal jauh, dan kehilangan mereka.” Ketika dua orang itu saling pandang, ia melanjutkan. “Akan tetapi aku yakin bahwa Kakakku tentu akan mengalahkan mereka dan dia akan mencari aku sampai dapat.”


“Lihai sekalikah Pek Han Siong itu?” Ma Kim Li bertanya.


“Kakakku? Wah, ilmu kepandaiannya seperti dewa! Karena itu, kalau kalian mengenalnya, harap jangan mengganggu aku agar dia tidak menjadi marah.”


“Kami tidak menggangumu,” kata Siangkoan Leng sambil tersenyum mengejek. “Sudah lama kami ingin bertemu dengan Kakakmu, ada urusan penting yang ingin kami bicarakan dengan dia.”


“Wah kalau begitu, biarlah aku yang akan memberitahukan dia kalau kami sudah saling bertemu. Katakan saja kemana dia harus pergi mencari kalian, bukankah itu mudah sekali?” Berkata demikian Pek Eng tersenyum manis sekali kepada mereka. Ia sengaja tersenyum untuk membuat dua orang itu lengah karena pada saat itu, ia mendengar derap kaki kuda menuju ke arah kereta yang dihentikan di tepi jalan itu. Siapa pun adanya para pemunggang kuda itu, ia akan mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan harapan para penunggang kuda itu akan membantunya kalau melihat seorang gadis diserang dan dikejar kakek dan nenek itu.


Pek Eng sama sekali tidak tahu bahwa sepasang iblis itu bukan tidak mendengar derap kaki kuda, bahkan mereka dapat menduga siapa adanya para penunggang kuda itu tanpa menengok. Tempat ini memang menjadi tempat yang sudah menjanjikan untuk menanti datangnya dua orang kawan mereka!


Ketika dua orang penunggang kuda sudah tiga dekat dengan kereta itu, dan sepasang suami isteri itu nampaknya masih termenung mendengar perkataan Pek Eng tadi, tiba-tiba gadis itu meloncat ke luar dari dalam kereta! Ia melihat bahwa dua orang penunggang kuda itu berpakaian hitam-hitam dan ia bermaksud untuk merampas seekor kuda mereka agar ia dapat melarikan diri menunggang kuda. Dengan beberapa kali lompatan saja ia telah tiba dekat dengan dua orang penunggang kuda iru.


“Tangkap gadis itu!” terdengar suara Siangkoan Leng berseru di belakangnya.


Mendengar ini dua orang yang berpakaian serba hitam itu meloncat turun dari kudanya. Pek Eng melihat bahwa mereka adalah dua orang kakek dan nenek juga, akan tetapi keadaan mereka membuat ia merasa terkejut dan ngeri. Kakek berpakaian hitam itu tinggi kurus dan biarpun mukanya nampak tampan akan tetapi muka itu seperti kedok mati saja. Juga nenek berpakaian hitam yang cantik itu mukanya seperti mayat. Pakaian hitam mereka membuat kepucatan wajah mereka semakin nyata dan Pek Eng merasa bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi, karena ia tahu bahwa melawan dua orang kakek nenek yang berada di kereta ia takkan menang, maka ia lalu nekat dan cepat ia menubruk ke depan dan menerjang nenek pakaian hitam itu. Kalau ia dapat merampas seekor kuda, ia akan melarikan diri, pikirnya dan diantara kakek dan nenek berpakaian hitam itu, ia memilih Si Nenek. Serangannya cepat sekali dan ia mengerahkan kedua tangannya ke arah dada nenek itu.



Pek Eng tidak mengenal kedua orang itu dan kalau ia mengenal mereka tentu ia tidak akan nekat menyerang nenek itu. Kakek dan nenek itu bukan lain adalah suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Dalam hal ilmu kepandaian silat, sepasang iblis ini tidak kalah lihainya dibandingkan Lam-hai Siang-mo!


Melihat serangan gadis itu dan mendengar teriakan Siangkoan Leng, nenek yang bukan lain adalah Tong Ci Ki itu cepat menyambutnya. Ia pun menangkis dengan dorongan kedua tangannya dengan gerakan memutar dan akibatnya, tubuh Pek Eng terpelanting dan terpaksa ia mundur kembali sambil terhuyung karena ia harus mempertahankan diri agar tidak sampai jatuh! Kagetlah Pek Eng dan dengan mata terbalalak ia memandang kepada kakek dan nenek yang berdiri di depannya itu, Kwee Siong, kakek berpakaian hitam itu, mengeluarkan suara mendengus akan tetapi wajahnya sama sekali tidak bergerak.

Pek Eng membalikkan tubuhnya dan ia melihat Lam-hai Siang-mo sudah keluar dari kereta dan kini juga berdiri menghadangnya. Ia telah di kepung dua pasang kakek dan nenek yang amat lihai itu! Pikirannya bekerja cepat dan ia pun tersenyum menghadapi Siangkoan Leng dan Ma Kim Li.


“Apa lagi perlunya kalian menahan aku? Sudah kuceritakan dengan terus terang bahwa kau tidak tahu di mana adanya Kakakku Pek Han Siong, akan tetapi aku akan mencarinya dan akan kusampaikan kepadanya bahwa kalian mencarinya karena urusan penting. Kenapa kalian masih belum mau melepaskan aku, dan siapa pula kakek dan nenek ini yang juga menghalangi aku pergi?”


Mendengar disebutnya nama Pek Han Siong, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan itu terkejut, dan juga girang sekali.


“Ah, Nona kecil. Kakakkmu bernama Pek Han Siong, apakah Sin-tong putera Ketua Pek-sim-pang?” tanya Kwee Siong.


Diam-diam Pek Eng merasa semakin heran. Agaknya dua orang yang baru datang ini pun tertarik sekali mendengar nama kakaknya! Apakah mereka juga trmasuk orang yang dahulu pernah memperebutkan Sin-tong, kakaknya yang dianggap anak ajaib oleh para pendeta Lama di Tibet itu?


Ia membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Siong dan Tong Ci Ki. “Benar.” Katanya, “Apakah kalian juga ingin bertemu dengan Kakak Pek Han Siong?”


“Orang she Kwee!” terdengar Siangkoan Leng berseru. “Ingat, ia adalah tawanan kami!”

Mendengar ucapan itu, Pek Eng mendapat akal dan ia pun melangkah maju mendekati kakek dan nenek yang baru datang. “Bohong! Aku bukan tawanannya, buktinya sekarang aku bebas, dan akulah yang menentukan dengan siapa Kakakku dapat bertemu. Kakakku adalah seorang gagah perkasa yang sakti, oleh karena itu tidak dapat bertemu dengan orang sembarangan. Siapa diantara kalian yang lebih lihai, barulah pantas kupertemukan dengan Kakakku!”


Perlu diingat bahwa dua pasang suami isteri ini sejak belasan tahun yang lalu prnah bermusuhan. Dengan mati-matian mereka memperebutkan Sin-tong yang dianggap akan mendatangkan keuntungan besar. Biarpun kemudian mereka bersatu dan bekerja sama, namun kini mereka dihadapkan pada perebutan kembali.


“Hemm, Lam-hai Siang-mo selalu tamak!” kata Tong Ci Ki marah. “Kalian mendengar sendiri kata-kata adik dari Sin-tong ini. Kamilah yang lebih pantas bertemu dengan kakaknya!”

“Tong Ci Ki perempuan iblis bermuka mayat! Engkau lebih percaya kepada bocah ini dan berani menghina kami?” bentak Ma Kim Li dengan marah. “Gadis itu kami yang tangkap, ia milik kami dan kalian tidak boleh mencampuri!”


“Enak saja engkau membuka mulut, Ma Kim Li. Perlu diselidiki lebih dulu siapa diantara kita yang lebih patut bertemu dengan Sin-tong, seperti yang diucapkan gadis itu.”

“Benar begitu!” Pek Eng berseru, “Lam-hai Siang-mo memang pengecut, beraninya hanya kepada aku, seorang yang masih amat muda, sekali berhadapan dengan pasangan yang lebih lihai, nyali mereka mengecil dan mereka hanya berani mengandalkan lebarnya mulut saja!”


Lam-hai Siang-mo marah sekali mendengar ucapan itu. mereka berdua mengeluarkan gerengan seperti dua ekor binatang buas, kemudian mereka menerjang ke depan untuk menyerang dan membunuh Pek Eng. Gadis itu cepat meloncat dan menyelinap ke belakang Kwee Siong dan Tong Ci Ki dan suami isteri ini maju menyambut serangan Lam-hai Siang-mo!


“Lam-hai Siang-mo, gadis ini berada dalam lindungan kami!” kata Kwee Siong.

“Bagus! Kalian hendak merampas tawanan kami!” bentak Siangkoan Leng dan dua pasang suami isteri itu sudah saling terjang dan saling serang dengan hebatnya. Tingkat kepandaian mereka memang tidak banyak selisihnya, maka segera terjadi perkelahian yang seru sekali, yang membuat debu mengepul tinggi dan empat ekor kuda meringkik ketakutan.

Melihat betapa siasatnya mengadu domba berhasil dengan baik, Pek Eng lalu melompat dan melarikan diri. Ia tidak berani mempergunakan kuda, karena selain hal ini memakan banyak waktu dan akan lebih mudah mereka lihat, juga di situ masih terdapat tiga ekor kuda lainnya sehingga mereka tetap saja akan dapat mengejarnya dengan berkuda.

Akan tetapi perasaan girang di hati Pek Eng hanya sebentar saja. Belum ada satu li ia melarikan diri, tiba-tiba empat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua pasang suami isteri yang tadinya saling serang itu telah berdiri di depannya! Hal ini amat mengejutkan hati Pek Eng dan dengan mata terbelalak ia memandang mereka, lalu berkata gagap. “Eh… lalu bagaimana hasilnya? Siapa diantara kalian yang… menang….?”



Empat orang itu cemberut! Untuk mereka tadi menyadari bahwa mereka telah diadu domba ketika mereka melihat betapa gadis itu melarikan diri. Betapa mereka telah dibodohi oleh seorang gadis muda!


“Bocah setan! Kalau tidak mengingat bahwa engkau adik Sin-tong, sekarang juga engkau sudah kusiksa dan kucabut nyawamu!” bentak Ma Kim Li, marah sekali.


Pek Eng adalah seorang gadis yang tidak saja tabah, akan tetapi juga cerdik sekali. Kini ia yakin bahwa empat orang itu tidak akan membunuhnya, maka ia pun tersenyum dan berkata, “Kalau kalian hendak membunuh pun, aku tidak menyesal. Mati di tangan empat orang kakek nenek yang amat lihai, tidak menjadi penasaran. Akan tetapi, kalian yang akan menyesal karena tanpa aku, jangan harap dapat bertemu dengan Sin-tong!”


“Sudahlah, Lam-hai Siang-mo, tidak perlu banyak cakap dengan bocah setan ini. Kita bawa saja ia menghadap Lam-hai Giam-lo!” kata Tong Ci Ki.


“Menghadap Lam-hai Giam-lo?” Pek Eng berseru dengan wajah menunjukkan kegembiraan. “Bagus sekali! Semenjak mendengar namanya, aku sudah ingin sekali bertemu dengan orang tua itu. Agaknya hanya dia seoranglah yang cukup berharga untuk bertemu dengan Kakakku!” Ia lalu melangkah untuk kembali ke kereta sambil berkata, “Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”


Empat orang itu saling pandang, tak tahu harus berbuat apa terhadap gadis ini. Kalau saja bukan adik Sin-tong, tentu mereka sudah membunuhnya. Perlu apa susah-susah membawanya menghadap Lam-hai Giam-lo? Akan tetapi, kalau mereka mempersembahkan gadis ini kepada Lam-hai Giam-lo, tentu pimpinan itu akan girang sekali dan mereka akan mendapat pujian dan dianggap berjasa. Kini, tidak perlu lagi mempergunakan kekerasan karena kalau gadis ini mengadukan perlakuan yang tidak patut terhadap dirinya kepada Lam-hai Giam-lo, siapa tahu orang tua itu akan marah kepada mereka dan hal ini sungguh mengerikan.


Demikianlah, Pek Eng tertolong dan terbebas dari siksaan dan perlakuan kasar oleh sikapnya yang penuh ketabahan dan kecerdikan itu. Ia duduk di dalam kereta bersama Ma Kim Li karena Siangkoan Leng mengusiri kereta, sedangkan kakek dan nenek berpakaian hitam itu mengawasi di belakang kereta, di atas kuda mereka.


**
Sungai Yang-ce merupakan sungai ke dua sesudah Huang-go yang mengalir jauh dari barat ke timur, melalui puluhan ribu li dan makin lama menjadi semakin lebar. Air sungai Yang-ce membuat lembah Yang-ce, apalagi di bagian timur, menjadi daerah yang subur sekali. Akan tetapi air sungai itu pula yang kadang-kadang mengamuk dengan hebat, membanjiri sawah ladang dan perkampungan merenggut banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak pertanian.


Di dataran tinggi Yunan, di antara bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya, Sungai Yang-ce mengalir dengan tenang dan indahnya. Airnya masih belum begitu keruh, juga belum terlalu banyak, melalui celah-celah antara bukit, kadang-kadang melalui jurang-jurang yang amat curam.


Di lereng sebuah bukit di Lembah Yang-ce inilah tinggal Lam-hai Giam-lo yang terkenal sebagai seorang di antara datuk-datuk besar kaum sesat. Seperti telah kita ketahui di bagian depan kisah ini. Lam-hai Giam-lo pernah terpaksa harus melarikan diri dan bersembunyi, menyamar sebagai seorang hwesio di dalam kuil Siauw-lim-si karena dia dikejar-kejar dua orang musuhnya yang amat ditakuti, yaitu Ciang Su Kiat Si Pendekar Buntung lengan kirinya dan Kok Hui Lian. Kedua orang yang pernah nyaris dibunuhnya itu kemudian muncul dengan kepandaian yang mengejutkan dan beberapa kali hampir saja Lam-hai Giam-lo tewas di tangan mereka. Namun, penyamarannya di kuil itu ketahuan oleh sepasang pendekar Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu sehingga terpaksa dia melarikan diri lagi.


Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, dan memiliki banyak sahabat di dunia golongan hitam. Maka dia pun cepat dapat berhubungan bahkan menarik kaum sesat untuk bersekutu dengan dia. Setelah mengumpulkan banyak harta dari hasi pencurian-pencurian yang dilakukannya sendiri di dalam gedung-gedung para bangsawan di kota raja, Lam-hai Giam-lo lalu tinggal di lembah Yang-ce-kiang ini, di mana dia membangun sebuah rumah besar dan hidup sebagai seorang hartawan dan juga pimpinan golongan hitam. Banyak sudah orang-orang golongan sesat yang berkepandaian tinggi bergabung dengannya, bahkan menjadi pembantu-pembantunya. Di antara mereka itu terdapat suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, suami isteri Lam-hai Siang-mo, bahkan juga Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi yang amat lihai telah menjadi pembantunya pula. Kemudian bahkan Sim Ki Liong yang pernah menyelundup menjadi murid Pendekar Sadis, dibawa oleh Ji Sun Bi dan menggabungkan diri dengan Lam-hai Giam-lo, menjadi tangan kanannya yang dipercaya! Belum lagi datuk-datuk lain, termasuk tokoh-tokoh perkumpulan Pek-lian-kauw. Pengaruh Lam-hai Giam-lo semakin luas bahkan dia mulai mempengaruhi para pembesar di daerah selatan karena setelah menjadi seorang yang menuntut di sebut “bengcu” (pemimpin rakyat), kakek ini bercita-cita untuk menentang kekuasaan kerajaan!


Keinginan manusia untuk memperbesar dirinya menambah semua kemuliaan dan kesenangan dirinya, merupakan penyakit yang tak pernah sembuh sampai manusia mati. Keinginan untuk menjadi lebih daripada keadaan sekarang, merupakan nafsu yang menghanyutkan, makin dituruti semakin membesar dan semakin tamak. Seperti orang kehausan minum-minuman yang terlampau manis, makin banyak minum menjadi semakin haus. Sekali membiarkan nafsu mencengkeram batin, nafsu keinginan memperoleh segala yang belum dimilikinya, maka penyakit itu akan mendarah daging dan terus mencengkeramnya sampai akhir hayat! Kecuali kalau ada kesadaran yang timbul dari pengamatan waspada sehingga kita melihat akan kenyataan diri sendiri, dan kesadaran ini akan secara seketika membuang jauh-jauh nafsu keinginan atau penyakit itu. Bukan berarti kita lalu menjadi mati semangat atau lumpuh, bukan berarti menjadi bosa hidup dan seperti patung atau seperti pohon saja, menerima segala sesuatu tanpa ikhtiar. Ikhtiar untuk memelihara diri adalah wajib, menjaga diri, menempatkan diri, sebaiknya, mencari kebutuhan hidup ini, sandang pangan sewajarnya. Menikmati kesenangan hidup adalah hak kita, karena kita diperlengkapi alat-alat yang sempurna untuk menikmati hidup melalui panca indrya kita. Akan tetapi, ini bukan berarti kita mengejar kesenangan itu, bukan berarti kita dicengkeram penyakit nafsu keinginan mengejar segala keadaan yang belum kita miliki.


Nafsu keinginan mengejar kesenangan ini dapat saja bersembunyi di balik kata-kata yang muluk dan indah, misalnya gagasan-gagasan, cita-cita, harapan-harapan yang dapat saja kita pulas sehingga warnanya menjadi putih dan menamakannya cita-cita mulia, ide-ide sempurna, dan sebagainya. Namun, kesemuanya itu tidak ada bedanya dengan ambisi, keinginan untuk mencapai suatu keadaan atau memperoleh sesuatu yang kita anggap akan lebih menyenangkan daripada yang ada sekarang ini! Penyakit ini, yaitu nafsu keinginan mengejar sesuatu, dapat saja menimbulkan penyelewengan-penyelewengan. Kalau yang dikejar itu kesenangan melalui uang, maka dapat menimbulkan pencurian, penipuan, kecurangan, korupsi dan sebagainya lagi. Kalau yang dikejar itu pahala batiniah, maka akan muncul kemunafikan, kepura-puraan. Kalau yang dikejar itu kedudukan, akan timbul persaingan. Kalau yang di kejar itu kesenangan melalui sex, akan timbul pelacuran, perkosaan, perjinaan dan sebagainya.



Gejala yang nampak pada orang yang dihinggapi penyakit itu adlaah kekecewaan yang terus menerus karena dia tidak akan pernah merasa puas. Kepuasan yang dirasakannya hanyalah sekelumit, selewatnya seperti angin lalu saja karena kepuasan sekelumit itu segera sirna lagi di buru penyakit yang ingin mengejar labih lagi. Orang yang berpenyakit seperti ini akan selalu mengejar yang tidak ada, sehingga tidak akan mampu menikmati apa yang ada. Pandang mata batinnya tak pernah ditujukan untuk mengamati keindahan apa yang ada, melainkan menerawang selalu ke arah bayangan apa yang dinginkannya, yang selalu membesar, membengkak, dan menjauh. Berbahagialah orang yang bebas dari penyakit ini, dan hidup di saat ini, menikmati apa yang ada dengan segala kewajarannya.


Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong, seorang diantara datuk yang terkenal dengan sebutan Empat Setan, kini bercita-cita untuk menjadi pimpinan golongan sesat, membangun dunia hitam kembali seperti yang pernah dilakukan Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan) yang kemudian kekuasaannya di rebut oleh Raja Iblis dan Ratu Iblis (baca Asmara Berdarah). Dia ingin mengikuti jejak Empat Setan, yaitu empat orang datuk sesat di empat penjuru, dan dengan kekuatan baru dari kaum sesat ini dia bercita-cita untuk bersekutu dengan para pemberontak, menjatuhkan kaisar dan cita-citanya yang paling muluk adalah mengangkat dirinya sebagai kaisar baru

Untuk memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, Lam-hai Giam-lo mengutus para datuk yang menjadi pembantunya untuk membujuk tokoh-tokoh dunia kang-ouw agar suka datang menggabungkan diri atau setidaknya mengakui kepemimpinannya. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk menarik hati para tokoh itu, seperti yang dilakukan oleh dua pasang suami isteri iblis dari selatan dengan hasil baik.

Para utusan lainnya belum kembali ketika Sepasang Iblis Laut Selatan dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan tiba bersama Pek Eng di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo. Pek Eng diam-diam memperhatikan keadaan rumah besar itu dan sekelilingnya. Rumah itu berdiri di lereng bukit, di tepi Sungai Yang-ce-kiang dengan aman karena berada jauh di atas sungai itu sehingga tidak khawatir dilanda banjir. Rumah besar itu berdiri sendiri tanpa tetangga, di tengah hutan dan pemandangan di daerah itu sungguh indah. Ketika dengan halus namun memerintah para penawannya menyuruh ia turun dan mengikuti mereka memasuki beranda rumah, Pek Eng melihat betapa rumah itu dilengkapi dengan perabot-perabot rumah yang serba mewah, dan ketika mereka memasuki pintu gerbang depan tadi, ia melihat belasan orang penjaga yang nampaknya galak dan kuat, akan tetapi yang segera memberi hormat ketika dua pasang suami isteri iblis itu masuk. Kini, di beranda depan mereka disambut oleh lima orang gadis pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik. Dian-diam Pek Eng merasa kagum dan heran. Melihat para penjaga itu, perabot rumah yang mewah, dan para pelayan ini, sepantasnya orang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo adalah seorang bangsawan tinggi, seorang pembesar tinggi atau seorang yang kaya raya!

“Ngo-wi, (Anda Berlima) diminta untuk menanti Bengcu di kamar tunggu.”

Kata seorang di antara lima gadis pelayan itu. Lam-hai Giam-lo memang cerdik. Diam menyuruh semua pelayan dan anak buahnya untuk menyebut bengcu (pemimpin rakyat) kepadanya agar sebutan ini melekat pada dirinya dan siap pun akan menganggap dia seorang pemimpin besar rakyat yang kelak tentu saja pantas kalau menjadi kaisar apabila gerakannya berhasil. Dua pasang suami isteri iblis itu tidak merasa heran mendengar ucapan gadis pelayan itu, akan tetapi Pek Eng merasa kagum. Hebat juga orang yang menjadi pimpinan itu, lebih dahulu sudah mengetahui akan kedatangan mereka berlima. Ia tidak tahu bahwa memang Lam-hai Giam-lo memasang banyak sekali mata-mata dan penyelidik sehingga begitu memasuki daerah itu, mereka berlima telah diketahui orang dan telah dilaporkan kepada Lam-hai Giam-lo bahwa dua pasang suami isteri iblis yang menjadi pembantu-pembantunya itu datang berkunjung bersama seorang gadis yang tidak dikenal.

Ruangan tamu itu luas sekali. Terdapat banyak kursi di situ, mepet di dinding yang dihiasi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Di sudut ruangan itu terdapat pot-pot tanaman yang menyegarkan. Ruangan tamu itu tentu akan dapat menampung ratusan orang tamu.

Dua orang pelayan wanita keluar membawa arak dan air teh, dihidangkan di atas meja depan lima orang tamu yang menunggu itu. Dari gerakan mereka yagn cekatan dan gesit, Pek Eng dapat menduga bahwa para pelayan itu tentu memiliki ilmu silat yang cukup baik. Mereka menghidangkan minuman tanpa kata, lalu pergi lagi meninggalkan ruangan yang kembali menjadi sunyi. Tak lama kemudian, muncul seorang pelayan lain di pintu tembusan dan berseru dengan suaranya yang halus.

“Bengcu datang!”

Dan dengan sikap hormat pelayan itu berdiri di samping sambil membungkuk.

Dua pasang suami isteri bengkit berdiri dan melihat ini, tanpa disuruh lagi Pek Eng juga bangkit berdiri. Bukan sekedar ikut menghormat, akan tetapi terutama sekali untuk dapat melihat dengan jelas bagaimana keadaan orang yang agaknya amat penting dan berkuasa itu.

Ketika Lam-hai Giam-lo muncul di pintu tembusan itu, Pek Eng memandang penuh perhatian dan ia tidak dapat menahan ketawanya karena hatinya merasa geli sekali, seperti digelitik. Orang yang disebut Malaikat Elmaut Laut Selatan itu, yang demikian ditakuti dan dihormati oleh orang-orang sakti seperti dua pasang suami isteri iblis ini, yang memiliki rumah besar seperti istana pembesar tinggi, ternyata hanyalah seorang kakek yang lucu sekali. Usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun, mukanya lucu seperti muka kuda, dan matanya sipit seperti terpejam telinganya berdaun lebar dan tubuhnya tinggi kurus, ditambah lagi ketika melangkah, kakinya agak terpincang! Melihat bentuk wajah dan tubuhnya orang ini lebih pantas menjadi seorang pengemis yang cacat tubuhnya. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, berkembang-kembang, dan kepalanya yang rambut hanya sedikit itu memaki sebuah topi sutera yagn berhias bulu burung amat indahnya.

Melihat gadis yang tidak dikenalnya itu tertawa walaupun ditahannya, Lam hai Giam-lo yang sudah berjalan menghampiri itu tiba-tiba menggerakkan tangan kanannya dan… lengan itu mulur dan sekali jari tangannya bergerak, dia sudah menangkap leher baju Pek Eng di bagian tengkuk dan gadis itu tiba-tiba merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas! Pek Eng yang tadinya tertawa geli itu terkejut bukan main. Orang yang wajahnya seperti kuda itu dapat menangkapnya semudah itu, hanya ibu jari dan jari telunjuk menjepit leher bajunya di tengkuk dan mengangkatnya, padahal orang itu berdiri dalam jarak dua meter darinya. Lengan itu dapat mulur panjang!

“Mengapa engkau tertawa?”

Terdengar suara Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang sudah terkejut itu menjadi semakin ngeri mendengar suara kakek ini seperti ringkik kuda, pecah dan parau!

Pek Eng memang cerdik. Walaupun ia terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika tubuhnya yang diangkat itu kini didekatkan sehingga ia dapat memandang wajah aneh itu dari jarak dekat, namun ia dapat menekan rasa takutnya dan ia malah tesenyum.

“Kakek yang baik, engkaukah bengcu yang dijuluki Lam-hai Giam-lo? Ketika dua pasang suami isteri iblis itu membawaku ke sini dan mendengar namamu, aku merasa takut setengah mati, mengira bahwa sesuai dengan julukanmu, engkau tentulah seorang kakek yang bertubuh raksasa dan berwajah menakutkan dan kejam sekali. Akan tetapi, apa yang kulihat? Engkau sama sekali tidak menakutkan, tidak kelihatan kejam, bahkan kelihatan berhati baik walaupun berbeda dengan orang-orang biasa, aku tertawa karena hatiku lega.”

Mendegar ini Lam-hai Giam-lo tersenyum dan lenyaplah sinar mencorong dari matanya. Kalau saja Pek Eng keliru bicara sedikit saja, tentu sekali banting gadis itu akan tewas seketika! Lengan itu mulur kembali dan Pek Eng mendapatkan dirinya diturunkan di tempat tadi, diantara dua pasang suami istri yang masih berdiri dengan ikap hormat itu.

“Siapa yang membawa gadis ini ke sini dan siapa ia?”Suaranya yang parau dan pecah itu pendek-pendek saja namun mengandung wibawa menakutkan.

Kini Siangkoan Leng yang menjawab dan sungguh aneh sekali terdengar oleh Pek Eng karena suara kakek yang amat lihai ini terdengar agak gemetar dan sikapnya seperti orang yang ketakutan.

“Kami berdua yang membawanya ke sini. Harap Bengcu ketahui bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong, dan ia bernama Pek Eng….”

“Aku tidak mengenai dan tidak peduli akan nama-nama itu!”

Lam-hai Giam-lo memotong singkat dan ketus. Memang, beberapa tahun yang lalu dia adalah seorang laki-laki yang memiliki kelemahan terhadap wania muda dan cantik, akan tetapi sekarang, setelah dia memiliki ambisi yang lebih tinggi dan setiap hari dikelilingi para pelayan wanita yang muda dan cantik dan setiap saat siap untuk melayani dan menyenangkan hatinya, dia tidak tertarik kepada Pek Eng wapaupun gadis ini cukup muda dan cukup cantik manis.

Mendenganr ucapan ini dan melihat sikap pemimpin mereka yang nampak kurang senang, Siangkoan Leng menjadi semakin geliasah. Isterinya, Ma Kim Li lalu menyambung untuk membantu suaminya. “Bengcu, tadinya kami juga hendak membunuh gadis ini, akan tetapi kami dicegah oleh suami isteri Guha Iblis, dan mereka menganjurkan agar gadis ini kami haturkan kepada Bengcu.”

Dengan matanya yang sipit akan tetapi kadang-kadang dari garis yang sempit itu keluar sinar mencorong seperti mata kucing di kegelapan, Lam-hai Giam-lo kini memandang kepada suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Tanpa bertanya pun sikapnya sudah jelas, minta penjelasan dari meraka.

Tong Ci Ki mewakili suaminya berkata, “Harap Bengcu tidak mendengarkan ucapan Ma Kim Li yang hendak menimpakan kesalahan kepada kami. Adalah menjadi keinginan kami berempat bahwa gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, gadis ini dihadapkan kepada Bengcu, walaupun yang menangkapnya adalah Lam-hai Siang-mo. Kami mengira bahwa Bengcu tentu akan tertarik, mengingat bahwa gadis ini adalah adik dari Pek Han Siong yang terkenal sebagai Sintog yang pernah diperebutkan, bahkan dicari oleh para pendeta Lama di Tibet.”

Lam-hai Giam-lo mengerukan alisnya dan sepasang matanya agak melebar sehingga makin nampak biji mata yang mengeluarkan sinar kehijauan itu, “Kita bukan anak-anak kecil yang mempercayai ketahyulan para pendeta Lama. Kita memiliki cita-cita yang lebih tinggi! Aku tidak peduli dengan segala macam Sintong!”

“Bagus sekali!” Tiba-tiba Pek Eng berseru sambil mengangkat kedua tangan ke atas. “Sudah kuduga bahwa Bengcu adalah seorang yang bijaksana, pandai dan tidak tahyul atau bodoh seperti dua pasang suami isteri iblis ini! Kakakku Pek Han Siong adalah orang biasa, bagaimana disebut Sin-tong? Sin-tong atau orang-orang besar lainnya adalah orang-orang yang diciptakan Tuhan untuk menjadi lain daripada orang biasa, maka tentu juga memiliki kelainan dalam bentuknya. Akan tetapi Kakakku orang biasa saja pemuda biasa yang tida bedanya dengan orang lain. Berbeda dengan Bengcu misalnya Bengcu telah diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang lain dari pada manusia umumnya, oleh karena itu dapat menjadi Bengcu, bahkan pantas untuk menjadi kaisar sekalipun!” Gadis ini memang asal bicara saja untuk menyenangkan hati pemimpin kaum sesat yang mengerikan itu, juga agar kakek itu tidak tertarik kepada kakaknya. Ia pun kagum sekali akan kepandaian Lam-hai Giam-lo yang luar biasa. Walaupun belum melihat seluruh kepandaiannya, baru melihat cara kakek itu tadi menangkapnya saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memang sakti bukan main. Juga sikap empat orang datuk itu membuktikan bahwa Bengcu itu amat ditakuti, maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Mendadak saja timbul suatu keinginan di hati Pek Eng. Kalau saja ia dapat menjadi murid kakek sakti ini!

Ucapan yang hanya ngawur itu ternyata amat mengena di hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat terkesan ketika mendengar bahwa gadis itu menganggap dia seorang manusia luar biasa, yang secara istimewa diciptakan Tuhan untuk menjadi kaisar!

“Nona kecil, siapakah namamu tadi?” Tiba-tiba Bengcu itu bertanya, suaranya terdengar ramah sehingga dua pasang suami isteri itu terkejut, heran dan juga merasa lega. Suara itu menunjukkan bahwa pemimpin mereka itu tidak merah lagi.

“Bengcu, namaku adalah Pek Eng.”

Pek Eng, keberanianmu menyenangkan hatiku. Sekarang engkau telah berada di sini, sebelum engkau kubebaskan dan boleh pergi, engkau dapat mengajukan sebuah permintaan kepadaku, tentu akan kupenuhi.”

Mendengar ini, dua pasang suami isteri itu terkejut dan heran. Mereka memang merasa lega, akan tetapi terheran-heran karena belum pernah mereka melihat Lam-hai Giam-lo begini ramah dan pemurah terhadap seorang yang sama sekali asing, kecuali terhadap para pembantunya.

Pertanyaan yang tidak diduga-duga oleh Pek Eng itu membuat gadis ini merasa terkejut dan heran pula. Akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi ia pun lalu menjawab, “Bengcu, aku percaya sepenuh hatiku bahwa seorang yang hebat seperti engkau ini, seorang Bengcu yang berkedudukan tinggi….”

“…… juga seorang calon kaisar …..” kata bengcu itu dengan gembira.

Tanpa memperlihatkan keheranannya karena ia kini mengerti bahwa kebaikan sikap bengcu itu adalah karena kata-katanya tadi, maka ia pun melanjutkan,

“…..ya, sebagai seorang calon kaisar, tentu engkau akan memegang teguh kata-kata yang sudah dikeluarkan. Bengcu, ada sebuah permintaanku yang kuajaukan kepadamu, yaitu, aku minta agar engkau menerima aku menjadi muridmu!”

Kembali dua pasang suami isteri iblis itu terkejut melihat keberanian anak perempuan itu. Sudah diberi kebebasan sudah untung sekali anak ini, pikir mereka. Masa masih minta lagi agar diterima sebagai murid? Mereka tahu bahwa bengcu itu tidak pernah menerima murid.

Kini sepasang mata yang sipit itu membuka dan mulut yang bentuknya maju ke depan seperti mulut kuda itu pun mengeluarkan suara ketawa yang mirip bunyi ringkik seekor kuda. “Heih-he-he! Engkau memang anak yang pintar sekali, Eng Eng! Mulai sekarang, engkau adalah muridku dan engkau tidak akan kecewa karena akan kuturunkan ilmu-ilmu pilihan untuk kaupelajari, bahkan engkau kuanggap sebagai puteriku sendiri!”

“Teriam kasiha tas kebaikan hati Bengcu!” kata Pek Eng dan ia pun cepat memberi hormat.

“Ha-ha-ha, peruntungan bagus sekali, Nona!” kata Siangkoan Leng, gembira juga karena pemimpin itu tidak jadi marah kepadanya.

“Engkau membuat kami merasa iri, Nona.” Kata pula Kwee Sing. “Akan tetapi kenapa engkau tidak menyebut Suhu atau Ayah kepada Bengcu?”

Dengan sikap bersungguh-sungguh Pek Eng berkata, “Bengcu akan merasa lebih senang kalau dipanggil Bengcu, karena memang dia seorang pimimpin besar rakyat yang kelak akan menjadi kaisar. Kalau kupanggil Ayah, aku sendiri masih mempunyai seorang Ayah kandung, jadi seolah-olah membangdingkan dia sederajat dengan orang lain. Kalau Suhu, kiranya tidak patut seorang calon kaisar disebut Suhu! Bukankah begitu, Bengcu?”

Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk dan kembali dia berkata kepada dua pasang suami isteri itu. “Kalian berempat boleh memberi laporan sekarang. Dan engkau, Eng Eng, engkau duduk di sini di samping Ayah!”

Dua pasang suami isteri iblis itu lalu membari laporan tentang hasil tugas mereka dan Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk gembira ketika mendengar betapa meraka berhasil membujuk orang-orang kang-ouw untuk mengakuinya sebagai bengcu. Setelah mereka selesai dengan laporan mereka, dia pun berkata,

“Kalian tunggu di sini. Yang lain-lain belum pulang dari tugas, dan pada pertengahan bulan nanti, di waktu bulan purnama, akan berkunjung orang-orang penting. Buatlah persiapan untuk sebuah pesta besar dan kalau mereka datang semua, sedikitnya akan hadir lima belas orang. Mari, Eng Eng, mari ikut aku ke kebun belakang, aku sudah ingin sekali menguji kepandaianmu agar aku tahu sampai di mana tingkatmu.”

Gadis itu mengikuti kakek itu dengan hati girang. Tak disangkanya bahwa nasibnya berubah demikian baiknya. Setelah menjadi tawanan Lam-hai Siang-mo yang nyaris membunuhnya dan dibawa kepada datuk besar pemimpin para tokoh sesat yang amat lihai, ia tidak diganggu, tidak dibunuh bahkan diangkat menajadi murid dan anak angkat!

Kebun itu luas sekali, ditanami pohon-pohon buah, sayur-sayuran, dan juga sebagaian dijadikan taman bunga. Di tengah kebun itu terdapat petak rumput yang luas dan memang enak sekali dipakai untuk berlatih silat. Setelah tiba di situ, Lam-hai Giam-lo duduk bersila di atas batu hitam yang bentuknya seperti piring, dan berkata, “Nah, sekarang perlihatkan kepandaianmu!”

“Bengcu, aku hanya mempelajari ilmu silat yang dangkal saja, harap jangan diketawai dan suka memberi petunjuk!” kata Pek Eng, sikapnya tetap lincah namun menghormat tidak berlebihan, nampak sikapnya itu akrab seolah-olah memang sudah bertahuntahun ia menajdi murid dan anak angkat iblis itu.

Pek Eng lalu bersilat dan ia mengeluarkan semua kepandaiannya, mengerahkan tenaganya sehingga tubuhnya berkelabatan cepat sekali, pukulan dan tendangan kakinya mengeluarkan suara angin menyambar-nyambar. Setelah ia selesai bersilat tangan kosong, lalu ia mengambil ranting dan mempergunakannya sebagai pedang, bersilat pedang.

Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk,

”Hemm, ilmu silatmu sudah lumayan, akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat para pembantuku. Aku akan menurunkan beberapa ilmu silat pilihanku saja dan kalau engkau sudah menguasai ilmu-ilmu itu, kiranya para pembantuku sendiri akan sukar untuk mengalahkanmu.”

“Bengcu, menghadapi seorang diantara dua pasang suami isteri itu saja aku tidak mampu berbuat banyak!”

“Heh-heh, tentu saja dalam keadaanmu sekarang. Akan tetapi, tunggu paling lama setahun saja engkau sudah akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka. Eng Eng, sekarang ceritakan, megapa engkau meninggalkan rumah orang tuamu sampai engkau tertawan oleh Lam-hai Siang-mo?”

Ditanya demikian secara tiba-tiba Pek Eng terkejut. Akan tetapi ia tidak mejadi gugup, bahkan tiba-tiba saja ia mampu memaksa perasaanya sehingga kedua matanya menjadi basah denga air mata! Tidak sukar baginya untuk membuat hatinya berduka. Bagitu ia mengingat akan keputusan orang tuanya bahwa ia dijodohkan dengan Song Bu Hok, hatinya seperti ditusuk dan air mata pun amat mudah keluar membasahai matanya.

“Eh engkau menangis?” tanya Lam-hai Giam-lo.

Pertanyaan ini mendorong keluar air mata Pek Eng semakin banyak lagi dan sekali ini ia benar menangis, bukan bersandiwara lagi karena ia teringat betapa usahanya mencari Pek Han Siong dan juga Hay Hay mengalami kegagalan dan ia teringat akan pertunangan yang tidak disetujuinya itu sehingga ia tidak ingin kembali ke rumah orang tuanya.

“Bengcu,” katanya setelah ia dapat menahan tangisnya, memandang kepada kakek itu dengan mata agak kemerahan dan kedua pipi basah. Kini, setelah ia merasa menjadi murid kakek itu, wajah yang bentuknya aneh menakutkan itu tidak lagi kelihatan menyeramkan.

“Sesungguhnya, aku meninggalkan rumah orang tuaku tanpa pamit.”

Kakek itu tertawa, agaknya senang mendengar ulah muridnya. Bagi dia, sikap ugal-ugalan itu malah menarik dan menyenangkan!

“Kenapa engkau minggat?”

“Aku dipaksa untuk dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusukai, orang tuaku telah menerima lamaran keluarga Song. Aku lalu lari meninggalkan rumah untuk mencari Kakak kandungku yang bernama Pek Han Siong.”

“Di mana adanya Kakamu itu?”

Pek Eng sudah merasa menyesal menyebut nama kakanya. Kalau sampai gurunya ini tertarik pula kepada Singtong, jangan-jangan kakaknya akan terancam bahaya. “Aku tidak tahu, Bengcu. Aku mencarinya dengan ngawur saja. Akan tetapi ….” Ia teringat akan suatu kesempatan yang baik dan juga untuk mengalihkan percakapan, “….maukah Bengcu mendatangi keluarga Song itu dan membatalkan perjodohan itu? Sebagai guru dan Ayah angkatku, tentu Bengcu barhak mengurus diriku dan membatalkan ikatan jodoh itu!”

“Di mana tinggalnya keluarga Song itu?”

“Ayah pemuda itu adalah Ketua Kan-jiu-pang di Cin-an, bernama Song Un Tek dan pemuda itu bernama Song Bu Hok. Bengcu, marilah kita ke sana dan kaubatalkan ikatan jodoh itu!”

Lan-hai Giam-lo tersenyum menyeringai dan suarau ringgkik kuda itu menunjukkan bahwa dia tertawa. “Tidak perlu aku sendiri yang ke sana. Cin-an tidak dekat dan kalau aku yang pergi ke sana, akan makan waktu lama dan pekerjaan di sini dapat terbengkelai…..”

“Aih, kalau begitu Bengcu hanya pura-pura saja suka kepadaku, mengangkatku sebagai murid dan bahkan anak!” Pek Eng berkata sambil cemberut dan memperlihatkan muka kecewa.“Heh-heh, bukan begitu, muridku yang baik! Aku sendiri tidak dapat pergi ke Cin-an, akan tetapi apa sih sukarnya membatalkan ikatan perdojohan yang tidak kausukai itu? Pembantuku cukup banyak, dan Kang-jiu-pang, kalau mau selamat, harus mentaati perintahku. Jangan khawatir, muridku, anakku, ikatan perjodohan itu batal sudah, heh-heh!”

capan Lam-hai Giam-lo ini bukan sekedar membual belaka, karena pada hari itu juga dia mengutus Lam-hai Sing-mo, suami isteri yang menjadi orang-orang kepercayaanya itu untuk pergi ke Cian-an, berkunjng ke perkumpulan Kang-jiu-pang dan menemui ketuanya untuk membatalkan ikatan jodoh antara Pek Eng dan Song Bu Hok.

Giranglah hati Pek Eng karena ia percaya bahwa suami isteri iblis yang amat lihai itu tentu akan mampu memaksa keluarga Song untuk membatalkan atau memutuskan ikatan jodoh yang tidak dikehendakinya itu. Ia pun semakin suka kepada gurunya dan mulailah ia melatih diri dengan tekun di bawah bimbingan Lam-hai Giam-lo. Gadis ini pandai sekali mambawa diri sehingga Lam-hai Giam-lo yang tidak pernah mempunyai isteri atau anak itu menjadi semakin sayang dan menganggap Pek Eng seperti anaknya sendiri.

Pertengahan bulan itu tiba dengan cepatnya dan suami isteri Guha Iblis Panai Selatan yang bertugas jaga di luar, segera melihat munculnya para rekannya yaitu tokoh-tokoh yang membantu gerakan Lam-hai Giam-lo. Berturut-turut datang Min-son Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, Sim Ki Liong yang kini selalu berdua denga Ji Sun Bi, dan beberapa orang tosu Pek-lian-kauw. Kemudian, bermunculan pula para tamu yang dinanti-nanti oleh Lam-hai Giam-lo.

Karena waktu yang ditentukan masih kurang sehari lagi, maka ramailah keadaan di tempat itu. Para tamu memperoleh kamar-kamar tamu yang banyak terdapat di rumah besar itu dan dalam hal melayani para tamu itu, Lam-hai Giam-lo bersikap royal sekali. Bukan hanya hidangan yang lezat dikirimkan kepada mereka di kamar masing-masing, akan tetapi segala kebutuhan para tamu dipenuhi, dan mereka itu dilayani seperti tamu-tamu agung saja sehingga para tamu itu merasa puas dan gembira. Malam harinya disediakan hiburan berupa pertunjukan tarian dan nyanyian yang berlangsung sampai jauh malam.

Pek Eng yang kini menjadi murid, bahkan anak angkat Lam-hai Giam-lo, tidak ikut menyambut para tamu, bahkan tidak mencampuri kesibukan para pembantu gurunya itu. Ia bersumbunyi saja di kamarnya karena merasa tidak suka melihat sikap para pembantu gurunya, dan ketika ia diperkenalkan kepada semua pembantu gurunya, dan ketika diperkenalkan kepada Sim Ki Liong, diam-diam ia terkejut dan merasa heran bagaimana seorang pemuda yang kelihatan demikian tampan, halus dan sama sekali tidak mencerminkan watak jahat, dapat menjadi pembantu gurunya yang mengepalai para tokoh sesat. Pek Eng tahu bahwa ia hidup di antara para datuk sesat, bahwa gurunya adalah seorang tokoh besar golongan hitam. Namun ia tidak mempedulikan hal ini. Ia berada di situ hanya ingin mempelajari ilmu silat tinggi dari Lam-hai Giam-lo dan ia tidak akan mau mencampuri urusan persekutuan yang sedang dikerjakan oleh gurunya dan para pembantunya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali muncullah Lam-hai Sing-mo, di sambut oleh Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam, berempat saja. Lam-hai Siang-mo, suami isteri iblis itu lalu menceritakan pelaksanaan tugas mereka pergi berkunjung ke Cin-an, mencari perkumpulan Kang-jiu-pang yang diketuai oleh Song Un Tek untuk membatalkan ikatan tali perjodohan antara Pek Eng dan puteranya, Song Bu Hok.

Kedatangan Lam-hai Siang-mo disambut oleh keluarga itu dengan heran karena mereka belum pernah bertemu dengan suami isteri iblis itu walaupun tentu saja mereka pernah mendengar nama besar mereka. Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang keluar bersama adiknya, Song Un Sui dan puteranya Song Bu Hok, diikuti pula oleh dua puluh orang lebih anggota Kang-jiu-pang. Dengan heran Song Un Tek menyambut suami isteri itu yang tadi memperkenalkan diri kepada penjaga dan minta agar Ketua Kan-jiu-pang keluar untuk bicara dengan mereka.

Biarpun dia seorang ketua perkumpulan yang cukup terkenal, Song Un Tek yang sudah mendengar bahwa yang datang adalah suami isteri yang amat terkenal di dunia kang-ouw, segera memberi hormat kepada mereka.

“Kami merasa terhormat sekali menerima kunjugan Ji-wi (Anda Berdua) yang nama besarnya sudah kami dengar akan tetapi, mari silakan masuk ke dalam dan duduk di ruangan tamu agar kita dapat bicara dengan enak.”

Suami isteri itu tidak membalas penghormatan tuan rumah dan dengan sikap dingin dan angkuh Singkoan Leng berkata. “Tidak usah masuk, di sinipun dapat kita bicara!”

Melihat sikap ini, keluarga Song sudah merasa tidak suka, juga para anggota Kang-jiu-pang menganggap bahwa dua orang tamu ini kasar dan tidak menghargai sopan santun sebagai tamu. Akan tetapi, Song-pangcu masih bersabar hati.

“Terserah kepada Ji-wi kalau hendak bicara di sini saja. Nah, keperluan apakah yang Ji-wi bawa sehingga memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?”

“Song-pangcu.” Kata pula Songkoan Leng sambil memandang tajam,

“Benarkah engkau mempunyai seorang putera yang bernama Song Bu Hok, kalau benar demikian, man dia?”

Melihat sikap kedua orang tamu ini yang sama sekali tidak menghormati ayahnya, Song Bu Hok berseru galak,

“Akulah Song Bu Hok, kalian mau apa mencariku?”

Siangkoan Leng dan Ma Kim Li menoleh dan kini Siangkoan Leng tersenyum mengejek.

“Ah, kiranya engkau! Song-pangcu, apakah engkau masih sayang kepada puteramu?”

Kembali dia menghadapai Ketua Kang-jiu-pang yang mengerukan alisnya denga heran, akan tetapi juga khawatir karena melihat sikap dua orang tamunya, jelas bahwa mereka datang tidak membawa niat yang baik.

“Sesungguhnya, apakah yang Ji-wi maksudkan? Kami tidak merasa mempunyai urusan dengan Ji-wi. Harap memberitahukan apa keperluan Jiwi datang berkunjung ini.” Kata Song-pangcu, masih bersikap hormat walaupun dia waspada terhadap kedua orang tamunya.

“Song-pangcu tidak merasa mempunyai urusan dengan kami, akan tetapi kami mempunyai urusan dengan keluargamu. Kami datang unuk bicra tentang ikatan perjodohan antara puteramu Song Bu Hok dengan Nona Pek Eng. Benarkah ada ikatan perdojohan itu?”

“Benar, akan tetapi ada apakah?”

Song Un Tek bertanya heran.

Singkoan Leng tersenyum.

“Bagus! Kami datang untuk minta kepada keluarga Song agar membatalkan atau memutuskan tali perjodohan itu!”

“Ahhh….!” Seruan ini keluar dari mulut keluarga Song, juga dari beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang yang merasa terkejut sekali. Wajah Song Un Tek, menjadi merah karena kemarahan membakar hati mereka. Keraguan memenuhi hati Song-pangcu ketika dia bertanya.

“Apakah Ji-wi menjadi utusan dari keluarga Pek?”

Siangkoan Leng menggeleng kepalanya. “Kami adalah utusan dari Bengcu kami, yaitu Lam-hai Giam-lo!”

Makin kagetlah Song Un Tek dan Song Un Sui mendengar ini karena mereka sudah mendengar akan nama Lam-hai Giam-lo yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persilatan di bagian selatan.

“Apakah hubungan antara Lam-hai Giam-lo dengan perjodohan putera kami?” kini Song Un Sui yang galak bertanya dengan nada suara yang keras.

“Tidak ada hubungannya dengan perjodohan anakmu, akan tetapi Bengcu kami tidak menghendaki Nona Pek Eng berjodoh dengan Song Bu Hok!”

“Akan tetapi, kami sudah menjalin ikatan perjodohan itu dengan keluarga Pek ….!”

“Tidak peduli! Sekarang Nona Pek telah menjadi murid dan anak angkat Bengcu, dan Bengcu menghendaki agar pertalian ini batalkan dan diputuskan!”

Marahlah Song Un Sui. “Hemm, Ji-wi sungguh terlalu. Kalau kami tidak mau membatalkan, bagaimana?”

“Uuhhh! Siap berani menentang perintah Bengcu akan kuhajar!” Tiba-tiba Ma Kim Li sudah meloncat dan menerjang Song Un Sui dengan gerakan yang amat cepat. Song Un Sui yang bertubuh gendut itu, menangkis kedua tangan lawan yang mencengkeram ke arah kepala dan dadanya, sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

“Dukk!” Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, tubuh yang bulat seperti bola itu terjengkang dan bergulingan. Melihat ini, Song Un Tek menjadi marah dan dia pun maju menyerang Siangkoan Leng, sedangkan Song Bu Hok menyerang Ma Kim Li. Para anggauta Kang Jiu-pang tanpa diperintah lagi juga sudah mencabut senjata mereka dan maju mengeroyok. Suami isteri itu mengamuk, dikeroyok oleh dua puluh orang lebih, namun mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan tangan kosong suami isteri itu berani menangkis senjata tajam, menampar, dan kedua kaki mereka bergerak cepat menendang, dan akibatnya, dalam waktu yagn tidak terlalu lama, semua murid Kang-jiu-pang terlmbaprke kanan kiri dan hanya mengaduh-ngaduh, tidak dapat bangkit lagi! Tinggal Song Un Tek yang melawan Singkoan Leng, sedangkan Ma Kim Li dikeroyok oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok. Sesuai dengan nama perkumpulan yang dipimpinnya, Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja), tiga orang kelaurga Song ini hanya mengandalkan kekuatan kedua tangan mereka saja untuk menghadapai dua orang suami isteri yagn amat lihai itu. Namun, hanya Ma Kim Li yang dapat ditahan oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok, dengan pengeroyokan paman dan keponakan ini, Ma Kim Li bahkan agak terdesak. Akan tetapi di lain pihak, Song Un Tek tersedak hebat oleh Singkoan Leng karena memang tingkat kepandaiannya kalah jauh.

Tiba-tiba Ma Kim Li mengeluarkan lengking panjang dan sinar hitam kecil meluncur dari tangannya, disusul teriakan Song Bu Hok yang terpelanting roboh. Kiranya wanita ini, setelah merasa terdesak, lalu mempergunakan senjatanya yang paling diandalkan, yaitu

Jarum beracun! Memang hebat dan berbahaya sekali jarum beracun in dan sekali lepas, sebatang jarum sudah menembus baju pemuda itu dan mengenai pundaknya, membuat dia seketika roboh dan pingsan! Song Un Sui terkejut dan kesempatan selagi dia menengok ke arah keponakannya yang roboh dipergunakan oleh Ma Kim Li untuk menghantam dadanya dan Si Gendut bulat ini pun terpelanting roboh. Hampir pada saat itu juga, Song Un Tek juga roboh oleh tendangan kaki Singkoan Leng!

Kini tidak seorang pun dari Kang-jiu-pang dapat melawan lagi. Song Un Tek dan Song Un Sui hanya dapat bangkit duduk dan mereka berdua memandang dengan mata melotot kapada Lam-hai Siang-mo. Ma Kim Li mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan melemparkannya kepada Song Un Tek sambil berkata.

“Hanya obatku ini yang mampu mengembalikan nyawa anakmu, Pangcu. Kami hanya memberi peringatan kalau kalian masih membangkan terhadap perintah Bengcu kami dan tidak memutuskan ikatan perdojohann itu, lain kali aku datang mengambil nyawa kalian sekeluarga!” Setelah berkata demikian, suami isteri itu lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Demikianlah laporan Lam-hai Siang-mo kepad aLam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang mendengarkan dengan hati gembira. Ia percaya bahwa tentu keluarga Song itu segera membatalkan pertalian jodoh itu. Kalau saja ia tidak memesan kepada gurunya yang kemudian melanjutkan pesanan itu melalui perintahnya kepada Lam-hai Sing-mo, tentu keluarga Song sudah dibunuh dan dibasmi oleh suami isteri iblis itu! Ia memang sudah memesan kepada gurunya bahwa ia hanya menginginkan agar pertalian jodoh itu dibatalkan, dan tidak menghendaki terjadi pembunuhan atas diri keluarga Song.

Ruangan yang luas itu telah menampung pra tamu yang sudah berdatangan sejak kemarin. Ada empat belas orang jumlah tamu yang datang memenuhi undangan Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan datuk-datuk golonga hitam yang sudah terkenal di dunai persilatan. Selain empat belas orang tamu ini, hadir pula di situ para pembantu Lam-hai Giam-lo yang didandalkan, yaitu Lam-hai Song-mo, sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi dan tidak ketinggalan pula Sim Ki Liongyagn kini bahkan dianggap pembantu terpandai oleh Lam-hai Giam-lo. Tentu saja di antara para tamu itu terdapat tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang sudah lebih dulu bersekutu denga Lam-hai Giam-lo.

Setelah membuka rapat dan mengucapkan selamat datang, Lam-hai Giam lo lebih dahulu minta pendapat para temunya yagn dihormati itu apakah mereka setuju kalau dia menjadi bengcu dan memimpin mereka semua dalam suatu kelompok yagn kuat. Sebagaian besar yang sudah mengenai dan tahu akan kelihaian Lam-hai Giam-lo menyatakan setuju, akan tetapi ada beberapa orang yang merasa sangsi.

Seorang di antara mereka bangkit berdiri. “Nanti dulu, Lam-hai Giam-lo, sebelum kami dapa meneriammu sebagai Bengcu, lebih dulu aku ingin sekali mengetahui mengapa engkau mempersatukan kita semua dan mengangkat dirimu menjadi pemimpin.”

Beberapa orang yang masih sangsi tadi mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan ini dan Lam-hai Giam-lo melihat pula hal ini. Biarpun hatinya merasa tak senang, namun melihat bahwa ada beberapa orang tokoh yang masih sangsi, dia pun bersikap ramah. Dia memandang kepada orang yang mengajukan pertanyaan tadi. Orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bertubuh tinggai kurus. Akan tetapi yang amat mencolok adalah pakaiannya karena pakaian itu putih polos seperti pakaian orang yang sedang berkabung. Akan tetapi semua orang yang hadir tahu belaka bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Dia bernama Kim San, Ketua dari Kui-kok-pang. Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) adalah perkumpulan golongan hitam amat terkenal yang berada di Kui-san-kok, yaitu Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san. Dia melanjutkan pekerjaan kedua orang gurunya yaitu kakek dan nenek Kui-kok Siang-mo (Sepasang Iblis dari Kui-kok) yang mendirikan Kui-kok-pang. Seperti diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, kakek dan nenek iblis ini tewas di tangan Ratu Iblis, dan kakek dan nenek itu adalah dua orang tokoh yang dikenal dalam gabungan tokoh Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis)

Seperti juga mendiang kedua orang gurunya, selain berpakaian serba putih, juga Kim San atau Kui-kok-pangcu (Ketua Kui-kok-pang) ini memiliki wajah yang putih pucat seperti wajah mayat. Namun hal ini bukan menjadi tanda bahwa dia mengidap penyakit, melainkan karena dia telah menguasai ilmu sin-kang yang luar biasa, yang membuat wajahnya menjadi pucat dan putih.

“Keraguan Kui-kok-pangcu dan pertanyaan itu memang panas karena agaknya engkau belum mengerti akan maksud dia. Hendaknya para saudara yang juga masih bersangsi, mendengarkan baik-baik.

Keadaan pemerintah kini kuat dan para pendekar menyembunyikan diri. Hal ini hanya menunjukkan bahwa golongan kita kini amatlah lemahnya dan dianggap tidak ada saja oleh para pendekar sombong. Bukankah ini amat merendahkan martabat kita yang terkenal sebagai golongan hitam? Kita pernah mengalami masa jaya ketika Empat Setan memimpin dunia hitam, dibantu oleh Tiga Belas Iblis. Kemudian muncul Raja dan Ratu Iblis yang mengambil alih kekuasaan, akan tetapi malah membawa kita ke dalam kehancuran.”

Kui-kok-pangcu mengangguk-angguk. Kedua orang gurunya pun tewas di tangan Ratu Iblis.

“Kalian semua tentu tahu bahwa Empat Setan terdiri dari mendiang Guruku Lam Kwi Ong, mendiang Susiok (Paman Guru) See Kwi Ong dan masih ada lagi dua orang yaitu Susiok Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang susiok ini sekarang entah berada di mana, kalau belum menginggal dunia tentu juga sudah amat tua sehingga tidak dapat diharapkan lagi. Nah, tinggal aku seorang yang menjadi penerus Empat Setani! Kini, banyak tersebut murid-murid Tiga Belas Iblis, di antaranya bahkan engkau sendiri, Kui-kok-pangcu, adalah murid dari mendiang Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dua orang tokoh Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis), sekarang kalau bukan aku yang memimpin, habis siapa lagi? Dan kalau bukan kita bersama yagn bangkit untuk memperoleh kembali kejayaan masa dulu, siapa lagi,?”

Pek Eng juga hadir, sejak tadi hanya duduk saja di belakang kursi Lam-hai Giam-lo dan tidak bicara, hanya mendengarkan saja dan ia merasa kagum kepada gurunya yang demikian berwibawa dan ditakuti para tokoh yang aneh-aneh ini. Hatinya lega dan girang bukan main mendengar laporan Lam-hai Siang-mo tadi bahwa ikatan jodoh antara ia dan Song Bu Hok telah dibikin putus! Ia tahu bahwa tentu orang tuanya akan marah sekali, akan tetapi hal itu akan dihadapinya kelak. Yagn penting, pihak keluarga Song sudah menerima pembatalan itu. Ia telah bebas kini!

Mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo, Kui-kok-pangcu Kom San mengangguk-angguk setuju. Akan tetapi, laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yagn bertubuh cebol, hanya setinggai leher Pek Eng, kepalanya kecil akan tetapi tubuhnya besar dan nampak kokoh kuat, kini bangkit berdiri. Suaranya juga kecil seperti kepalanya ketika dia berkata lantang seperti tikus menjerit-jerit.

“Akan tetapi, apa maksudnya diadakan persekutuan ini? Apakah semua pekerjaan kita, perampokan, pencurian, pembajakan, penguasaan tempat perjudian dan pelacuran, semua itu harus dilakukan beramai-ramai? Tanpa tujuan yang jelas, tentu saja aku merasa ragu-ragu untuk menggabungkan diri. Harus dilihat dulu apakah penggabungan ini akan menguntungkan kita ataukah sebaliknya.”

“Tentu saja menguntungkan!” kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang orang cebol itu. Si Cebol ini pun bukan orang sembarangan karena dia terkenal dengan nama julukannya yang menyeramkan, He-hiat Moko (Iblis Berdarah Hitam)! Belasan tahun yang lalu orang mengenal nama besar Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, cucu keponakan murid dari iblis betina Hek-hiat Mo-li yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu. Daa kini keturunan terakhir yang mewarisi ilmu kepandaian mereka adalah Hek-hiat Mo-ko inilah. Akan tetapi jangan menganggap ringan tubuhnya yang cebol, karena orang ini telah mampu menguasai ilmu mujijat sehingga mengakibatkan darahnya benar-benar berwarna hitam, sesuai dengan julukannya.

“Tentu saja menguntungkan, Hek-hiat Mo-ko.” Kemballi Lam-hai Giam-lo mengulang kata-katanya. “Kita masih masing-masing mengurus pekerjaan sendiri tanpa saling mengganggu, bahkan dengan adanya penggabungan ini, kita dapat saling bantu kalau menghadapi kesulitan. Juga kita dapat menampung dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu untuk membantu saudara kita yang sedang dilanda kekurangan. Kalau kita bersatu dan memperlihatkan sikap tegas, memiliki kekuatan besar, tentu pemerintah tidak akan berani menekan kita, dan para pendekar pun tidak akan mampu berbuat seenaknya terhadap kita.”

“Heh-heh-heh!” Hek-hiat Mo-ko terkekeh”

“Semua orang kana selalu mengatakan kekurangan. Apakah kekayaanmu akan cukup untuk membantu mereka semua, Lam-hai Gian-lo? Dan yang dibutuhkan akan amat besar untuk membantu saudara-saudara kita yang kekurangan!”

“Jangan khawatir!”

Kata Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti ringkik kuda, “Sumbangan akan mengalir dari mereka yang merasa diuntungkan oleh persekutuan ini, dan pula, di sini hadir seorang tamu agung yang memiliki kekayaan cukup besar untuk menjadi tulang punggung kita dalam hal memperkuat dana. Perkenalkan, saudara sekalian, inilah Saudara Kulana, tamu agung kita itu!”

Seorang di antara para tamu yang tadi hanya duduk diam saja, kini bangkit berdiri. Dia seorang laki-laki yang usianya empat puluh tahun lebih, pakaiannya aneh namun indah, dengan kepala dibungkus kain kepala warna-warni, dihias emas permata yang berupa burung merak indah sekali. Tubuhnya sedang saja, namun sikapnya berwibawa seperti sikap seorang bangsawan tinggi dan wajahnya cukup anggun. Dia memang seorang bangsawan tinggi dari Birma dan karena kepandaiannya yang tinggi, dia pernah berjasa besar dan berkat kemampuannyalah maka berkali-kali tentara dari Tiongkok dapat dicegah menguasai Birma. Akan tetapi, akhirnya Kulana yang masih berpangkat pangeran, memiliki ambisi untuk merebut tahta kerajaan. Dia ketahuan dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negerinya membawa harta kekayaan berupa emas permata yang tak ternilai saking banyaknya. Sejak tadi, Kulana hanya mendengarkan saja, karna tetapi matanya sering kali menyambar ke arah gadis manis yang duduk di belakang Lam-hai Giam-lo pandang mata penuh kagum dan gairah seorang laki-laki mata keranjang.Kini Kulana bangkit dan membungkuk ke kanan kiri, lalu bekata, dengan suara agak asing namun cukup jelas, “Aku telah mendengar semua dan apa yang dikatakan oleh Bengcu Lam-hai Giam-lo memang benar. dia patut menjadi Bengcu kita dan aku sanggup membantu. Bukan hanya bersekutu untuk menjadikan kedudukan kita kuat. Bahkan lebih dari itu. Kita dapat mendirikan suatu pemerintahan tandingan untuk menentang pemerintah yang selalu menekan kita. Kalau perlu, dahsyatnya udah masak kita rebut tahta kerajaan. Kita, semua anggauta persekutuan kita, yang akan duduk di kursi-kursi pemerintahan, menguasai seluruh negeri dan mengadakan peraturan-peraturan baru! Akan tetapi, aku harus lebih dulu melihat bukti kesetiaan kalian, baru aku mau membantu.”

Semua orang terkejut, terbelalak memandang kepada orang asing itu. Demikian tinggi dan besar cita-citanya! Merampas tahta kerajaan dan mereka semua menadi pembesar-pembesar tinggi! Macam-macam bayangan memasuki pikiran mereka. Ada yang membayangkan dia kelak menjadi menteri pajak, ada yang ingin menjadi menteri keuangan, tentu saja dengan harta yang belimpahan, ada yang ingin menjadi menteri pengadilan agar dia dapat menghukum mereka yang tak disukainya sesuka hati. Pendeknya ucapan Kulana tadi membuat mereka mengkhayal yang muluk-muluk dan otomatis mereka mengangguk-angguk dan merasa tertarik. Akan tetapi Kim San, Ketua Kui-kok-pang, masih merasa penasaran dan dia pun bangkit berdiri.

“Saudara Kulana boleh jadi seorang yang berpengetahuan luas dan kaya raya, akan tetapi kami semua hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silat. Bagaimana mungkin dapat terjalin kerja sama antara engkau dan kami?” Ucapan ini jelas menyatakan keraguan Ketua Kui-kok-pang itu terhadap diri Kulana yang hanya kaya saja akan tetapi kelihatan seperti orang yang lemah.

Mendegar ucapan ini, Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara ketawanya yang menyeramkan, persis suara kuda meringkik, “Hyeh-heh-heh! Kim-pangcu, engkau belum mengenal siapa adanya Saudara Kulana….”

Tiba-tiba dia menghentikan ucapannya karena terjadi kegaduhan di pintu masuk. Terdengar seruan-seruan dan nampak dua orang anggauta keamanan yang berjaga di depan pintu terlempar masuk ke kanan kiri dan seorang gadis melangkah masuk dengan tenangnya. Kiranya dua orang penjaga itu tadi hendak mencegah ia masuk dan sekali mendorong, gadis itu telah membuat mereka terpental dan bangkit dan memandang dengan kaget dan heran. Lam-hai Giam-lo sendiri mengerutkan alisnya dan memandang marah melihat adanya seorang gadis muda begitu berani untuk menggangu rapat penting itu.

“Bengcu … lapor …. Ia … ia memaksa untuk masuk biarpun sudah kami cegah dan halangi.” Kata seorang di antara dua penjaga yang didorong roboh tadi.

“Hemm, Nona yang lancang, siapakah engkau?” bentak Lam-hai Giam-lo, akan tetapi dia pun masih merasa sungkan untuk turun tangan mengingat bahwa dia seorang bengcu dan pengganggu itu hanya seorang gadis muda yang usianya belum ada dua puluh tahun.

“Bengcu, biar aku yang menghajarnya!”

Pek Eng yang merasa marah juga melihat pengacau itu yang sama sekali tidak menghormati gurunya, sekali bergerak telah meloncat ke depan gadis itu. Gadis itu hanya melirik saja kepada Pek Eng, akan tetapi agaknya merasa heran menemukan seorang gadis seperti Pek Eng di antara para datuk sesat itu.

“Hemm, anak kecil, siapa engkau? Jangan mencampuri urusan ini dan pergilah.” Kata gadis itu, sikapnya tenang dan memandang rendah. Pek Eng yang galak itu semakin penasaran karena disebut anak kecil.

“Namaku Pek Eng dan aku adalah murid Bengcu Lam-hai Giam-lo! Engkaulah yang harus minggat dari sini dan jangan membikin kacau. Hayo katakan siap engkau dan apa maksudmu menerobos masuk seperti ini!”

Gadis itu pun masih muda, sebaya Pek Eng, kulitnya putih mulus, rambutnya yang panjang itu digelung menjadi dua, tubuhnya ramping. Wajahnya cantik sekali; dengan muka bulat telur, mata tajam, hidung kecil mancung, bibirnya merah membasah dan setitik tahi lalat di dagunya menambah kemanisannya.

“Hemm, siapa adanya aku tidak perlu diketahui orang! Adapun kedatanganku ini tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Aku hanya minta agar suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan yang bernama Kwee Siong dan Tong Ci Ki, juga suami Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, Cepat maju ke ini!”

Mendengar nama mereka disebut, dua pasang suami isteri iblis itu menjadi marah dan mereka pun bangkit dari tempat duduk mereka.

“Kami adalah Lam-hai Siang-mo!” bentak Ma Kim Li.

“Kami sepasang suami iteri Guha Iblis Pantai Selatan, engkau mau apa menyebut nama kami?” bentak pual Tong Ci Ki.

Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian, atau seperti yang dianggapnya sendiri, Cu Bi Lian karena sejak kecil ia dijadikan anak angkat oleh suami isteri Cu Pak Sin. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika terjadi perkelahian anara dua kakek Iblis Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi melawan dua pasang suami isteri itu yang dibantu banyak anak buahnya, dua orang kakek itu mengamuk dan karena orang kampung dapat diajak oleh dua pasang suami isteri itu mengeroyok, maka banyak orang kampung, termasuk pula Cu Pak Sin dan isterinya, tewas di tangan dua orang kakek itu mengatakan bahwa mereka membunuh Cu Pak Sin karena orang itu ikut berpihak kepada dua pasang suami isteri iblis.

Dengan demikian, kematian Cu Pak Sin dan isterinay adalah akibat dari ulah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guah Iblis Pantai Selatan. Inilah sebabnya mengapa Bi Lian mencari dua pasang suami isteri ini untuk membalas kemataian ayah ibunya, yang sesungguhnya bukanlah ayah ibu kandungnya. Ketika ia bertemu dengan Hay Hay, ia mendengar bahwa dua pasang suami isteri yang dianggapnya musuh besar itu berada di daerah selatan, maka ia pun mencari-cari dan akhirnya mendengar bahwa ia dapat menemukan mereka di tempat ini.

Ketika tadi ia tiba di depan pintu gerbang dan melihat banyak orang berjaga dengan ketat, ia tidak mau menimbulkan keributan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, ia dapat melompati pagar tembok tanpa diketahui penjaga. Akan tetapi ketika ia tiba di depan pintu tempat diadakannya rapat dan hendak masuk, dua orang penjaga menghadangnya dan terpaksa ia mendorong mereka sampai terpelanting ke dalam ruangan itu.

Ketika dua pasang suami isteri itu bangkit memperkenalkan diri, Bi Lian memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam. “Bagus, akhirnya dapat juga kutemukan kalain!”

“Hemm, setelah bertemu, engkau mau apakah?” bentak Siakoan Leng marah karena dia melihat betapa gadis muda itu sama sekali tidak menghormati mereka, bahkan memandang rendah.

“Masih kau tanya lagi mau apa? Mau membunuh kalain berempat tentu saja!” jawab Bi Lian.

“Bocah lancang mulut!” Ma Kim Li membentak dan ia pun meloncat ke depan dan langsung menyerang Bi Lian. Si Jarum Beracun ini meloncat ke atas dan menerkam dengan kedua tangan membentuk cakar. Suaminya, dan pasangan suami iseri yang lain hanya menonton saja karena mereka percaya bahwa Ma Kim Li tentu cukup tangguh untuk menghajar gadis muda itu. Agaknya memalukan kalau mereka harus maju mengeroyok seorang anak yang sepantasnya menjadi anak, bahkan cucu mereka.

Namun Bi Lian menghadapi serangan dahsyat ini dengan tenang saja. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kirinya dengan jari tangan terbuka, mendorong sambil mengeluarkan bentakan nyaring.
”Haiiik!” Dan akibatnya, tubuh Ma Kim Li yang masih terapung di udara itu, terdorong ke belakang dan terbanting ke atas lantai! Tentu saja Siankoan Leng terkejut bukan main dan tubuhnya sudah melayang ke atas, lalu dia menubruk ke arah kepala Bi Lian dengan serangan dahsyat dan mematikan karena yang diserangya adalah ubun-ubun kepala gadis itu.

Menghadapi serangan dahsyat yang jauh lebih berbahaya daripada serangan Ma Kim Li ini, Bi Lian menggeser kakinya ke kiri, kemudian tubuhnya membalik ke kanan dan kedua tanggannya mendorong. Dari posisi diserang, ia kini bahkan menjadi penyerang dari samping dan Siangkona Leng masih mencoba menangkis ke arah kanannya dari mana dorongan itu datang. Akan tetapi seperti juga apa yang dialami Ma Kim Li tadi, tubuhnya terdorong ke kiri dan terbanting jatuh ke atas lantai! Melihat ini, Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang tadinya sudah siap menyerang, menjadi terkejut dan meragu. Tak disangka oleh mereka bahwa gadis muda yagn muncul dan menyatakan hendak membunuh mereka berempat itu demikian lihainya!

“Biar aku yang menghadapi gadis ini!”

Tiba-tiba terdengar suara Kim San, dan Ketua Kui-kok-pang ini sudah meloncat ke depan Bi Lian.

“Akan tetapi kami yang ia cari, Kim-pangcu!” kata Kwee Siong.

“Sudahlah, kalian berempat adalah pihak tuan rumah, tidak enak kalau aku sebagai tamu mendiamkan saja ada orang membikin kacau di sini. Hei, Nona Muda, siapa engkau dan mengapa pula engkau datang-datang hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?” Sebagai Ketua Kui-kok-pang, Kim San sudah mempunyai banyak pengalaman, akan tetapi dia merasa heran melihat gerakan gadis itu tadi ketika merobohkan Lam-hai Siang-mo sedemikian mudahnya walaupun suami isteri itu tidak sampai terluka parah. Akan tetapi dia pun maklum bahwa di dunia para pendekar banyak bermunculan pendekar-pendekar muda yang tidak dikenalnya.

Bi Lian memandang orang tinggi kurus yang mukanya pucat seperti mayat hidup itu, tersenyum mengejek dan menjawab. “Mayat hidup, aku tidak mempunyai urusan dengan kamu, oleh karena itu aku tidak mau memperkenalkan namaku. Sebaliknya, siapakah engkau ini yang begini lancang berani mencampuri urusan pribadiku?”

Ketua Kui-kok-pang itu memiliki watak yang tinggai hati dan melihat seorang gadis muda seperti Bi Lian, tentu saja dia memandang rendah. Biarpun gadis itu tadi telah merobohkan Lam-hai Siang-mo, dia menganggap bahwa hal itu terjadi karena suami isteri itu kurang hati-hati dan terburu nafsu, juga karena tingkat kepandaian meraka memang belum mencapai tingkat tinggai seperti dia. Kini, mendengar pertanyaan Bi Lian, dia berkata dengan mulut menyeringai.

“Ha-ha, engkau ini gadis muda agaknya baru saja keluar dari sarang dan belum banyak mengenai tokoh dunia! Aku bernama Kim San dan akulah Ketua Kui-kok-pang! Sebaiknya engkau batalkan saja niatmu itu dan ikut bersamaku ke Hong-san, menjadi anggauta Kui-kok-pang dan engkau akan hidup senang.”

“Kui-kok-pangce, kalau boleh aku menasihatimu, jangan engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Minggirlah dan biarkan mereka berempat maju, atau engkau akan menyesal nanti!” kata Bi Lian dengan sinar mata tajam seperti kilat menyambar.

“Ha-ha, engkau memang anak bandel dan sombong. Nah, rasakan tanganku!” Kim San yang maklum bahwa gadis ini tidak mungkin dapat ditundukkan dengan halus, sudah menerjang ke depan. Gerakannya aneh, kaku seperti gerakan mayat setiap kali menggerakan kaki tangan, ada hawa panas menyambar.

Melihat lawan menggunakan tangan kanan menyerangya dengan cengkeraman ke arah leher dan tangan kiri yang sudah siap di atas kepala, Bi Lian menggeser kakinya ke belakang. Akan tetapi cepat sekali tangan kiri yang tadi mengancam di atas kepala itu menyambar turun, mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Bi Lian. Gerakan itu cepat sekali dan juga kaki mayat hidup itu sudah bergeser dan juga kaki mayat hidup itu sudah bergeser ke depan mengejarnya. Melihat keanehan dan kecepatan gerakan lawan tahulah Bi Lian bahwa lawan memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Lam-hai Sing-mo. Ia pun lalu mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengangkat tangan untuk menangkis ke atas. Dari telapak tangannya nampak uap mengepul!”

“Dukkk ….!” Kedua telapak tangan itu bertemu, keduanya mengandung hawa panas dan mereka berdua terdorong mundur dua langkah. Ternyata tenaga mereka seimbang dan tentu saja melihat kenyataan ini, Ketua Ku-kok-pang terkejut dan heran bukan main. Dia memiliki sin-kang yang amat kuat, bagaimana mungkin seorang gadis semuda itu mampu menahan tenaganya itu, bahkan dalam adu tenaga tadi sempat membuat dia terdorong sampai dua langkah? Dengan hati-hati dia pun kini menerjang lagi, lebih cepat dan lebih dahsyat daripada tadi.

Bi Lian sudah mengukur tenaga lawan, maka kini ia tahu bahwa dengan mengadalkan tenaga, sukar baginya untuk menang. Ia pun lalu mengerahkan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari Pak-kwi-ong. Begitu ia mengelak dan bergerak cepat, lawannya mengeluarkan seruan kaget. Tentu saja Kim San kaget setengah mati kalau melihat betapa gadis itu tiba-tiba lenyap dari depannya dan hanya nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu telah membalas serangannya dari arah kirinya. Dia pun menangkis dan berusaha mendesak lawan dengan serangan bertubi-tubi. Namun, Bi Lian dapat pula mengelak dengan mudahnya, kemudian mempergunakan kegesitannya untuk menyelinap dan membalas dari berbagai jurusan. Menghadapi kecepatan gerakan gadis itu, Kim San merasa bingung juga. Dia megeluarkan suara menggereng dan mengamuk, namun serangan-serangannya itu hampir dapat dikatakna ngawur saja karena yang diserang hanyalah tempat kosong. Memang sukar bagi Ketua Kui-kok-pang itu menghadapi lawan yang memiliki gerakan jauh lebih cepat darinya. Dia hanya melihat bayangan berkelebatan dan menyerang bayangan itu dengan ngawur. Sebaliknya, setiap kali Bi Lian menyerang dari sudut yang sama sekali tidak diduganya, Kim San menjadi repot dan terdesak hebat.

Setelah lewat tiga puluh jurus, Ketua Kui-kok-pang itu menjadi pening juga. Gadis itu bergerak amat lincahnya, berputar-putar sekeliling dirinya, membuat Kim San terpaksa ikut berputaran dan hal ini membuatnya menjadi pusing dan ketika ujung kaki Bi Lian menyentuh sambugan lutunya, disusul tamparan pada pundak, Ketua Kui-kok-pang itu tidak dapat mempertahankan dirinya lagi dan dia pun roboh! Khawatir kalau lawannya terus menyerang yang akan membahayakan nyawanya, terpaksa Ketua Kui-kok-pang ini mengulingkan tubuhnya, bergulingan terus sampai ke tempat duduk para tamu baru dia meloncat berdiri, akan tetapi roboh lagi karena kaki yang tertendang itu masih setengah lumpuh! Dan ternyata gadis itu hanya berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengejarnya.

“Siangkoan Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki, kalian berempat majulah untuk meneriam kematian, dan tidak perlu melibatkan orang lain yang tidak mempunyai urusan denganku.” Kata Bi Lian menantang empat orang itu. Lam-hai Siang-mo tadi roboh akan tetapi tidak terluka dan kini meraka berempat itu saling pandang, timbul keberanian karena ditantang berempat maju bersama.

“Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?” bentak Kwee Siong, kemarahan menutupi kegelisahannya.

“Biarlah kalain berempat mendengar agar tidak mati penasaran. Tentu kalian beremat masih ingat ketika kalian bersama anak buah kalian mengeroyok Pak-kwi-ong dan Tung-hek- kwi. Kalian menghasut orang-orang dusun itu untuk ukut mengeroyok sehingga banyak orang dusun tewas, di antaranya adalah Ayah Bundaku! Nah, kini kalian harus menebus kematian Ayah Ibuku itu dengan nyawa kalian!”

Tentu saja empat orang itu masih ingat akan peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu itu, mereka pernah memusuhi dua orang kakek iblis itu yang dahulu meninggalkan mereka memperolah Sing-tong. Bahkan dalam pengeroyokan itu pun mereka gagal, banyak anak buah mereka tewas di tangan dua orang kakek sakti itu.

Sebelum meraka membantah atau menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara itu seperti tikus terjepit, mencicit tinggi. Hek-hiat Mo-ko itu, telah maju menghadapi Bi Lian. Sejenak ia berdiri berhadapan dengan Bi Lian, memandang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan berkali-kali mengeluarkan suara memuji. Hek-hiat Mo-ko ini, biar pun cebol, memang terkenal pula mata keranjang dan cabul. Sejak tadi dia sudah tertarik sekali dengan kemunculan Bi Lian yang demikian jelita, manis dan gagah perkasa pula. Dia memandang kagum. Seorang gadis muda dan cantik mampu mengalahkan Kui-kok-pangcu, sungguh bukan main hebatnya dan pantas untuk menjadi isterinya! Dia memang belum mempunyai seorang isteri yang sah.

Melihat munculnya Si Cebol yang memandangnya seperti hendak menelannya dengan sinar matanya, Bi Lian mengerutkan alisnya. “Manusia sepotong siapakah engkau dan mau apa memandangku samabil cengar-cengir seperti tikus?” Bi Lian sengaja memakainya tikus mengingat suara ketawanya yang seperti bunyi tikus mencicit tadi.

Biarpun dimaki, Hek-hiat Mo-ko tidak marah, bahkan tertawa mencicit lalu menjawab. “Manis, engkau sungguh cantik jelita dan engakau patut sekali menjadi isteriku! Aku, biarpun begini, masih belum mempunyai isteri dan aku adalah Hek-hiat Mo-ko. Marilah, Nona manis, hentikan kemarahanmu dan kita menyongsong hidup baru penuh kenikmatan dan …”

“Tutup mencongmu yang kotor” Bi Lian membentak dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang orang cebol itu. Marahlah gadis ini sehingga serangannya ganas dan juga amat cepat.

Namun, sebelum menghadapi gadis itu, Hek-hiat Mo-ko sudah mempelajari gerakan Bi Lian dan jagoan ini maklum bahwa gadis itu selain memiliki tenaga sin-kang yang dapat menandingi kekuatan Kui-kok-pangcu, juga memiliki gin-kang atau kecepatan gerakan yang luar biasa, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar. Kaena itu, dia sudah bersiap-siap siaga dan begitu gadis itu bergerak cepat, dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya dan kini kedua telapak tangannya berubah hitam dan tercium bau amis yang memuakkan! Bi Lian terkejut dan melangkah mundur menjauhi, akan tetapi Hek-hiat Mo-ko sudah menyerang dengan cepat, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam dada dan muka. Bi Lian mengelak dan meloncat ke samping, akan tetapi ada hawa busuk yang memuakkan menyambar sehingga hampir saja ia muntah, bau itu membuatnya pusing sekali dan tahulah ia bahwa lawan ini tentu memiliki ilmu pukulan beracun yang amat jahat! Ia pun lalu mempercepat gerakannya dan kini ia berkelebtan mengelilingi lawan, selalu mengelak dan menjauhi kedua tangan yagn hitam itu, dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan.

Hek-hiat Mo-ko memiliki tingkat ilmu kepandaian yang masih lebih tinggi dari Kui-kok-pangcu. Biarpun gadis itu berkelebatan di sekelilingnya dan mengirim balasan serangan yang mendadak, namun dirinya dengan kedua tangan hitam itu. Karena Bi Lian tidak berani terlalu dekat, takut kalau menjadi pening dan roboh oleh bau yagn busuk, dan karena Hek-hit Mo-ko pandai melindungi dirinya, maka perkelahian itu berlangsung cukup llama. Bagi Hek-hiat Mo-ko sendiri, tidak mudah untuk dapat merobohkan lawan karena gerakan gedis itu memang terlampau cepat baginya, bagaikan menyerang bayang-bayang saja.

Setelah lewat hampir lima puluh jurus, tiba-tiba Hek-hiat Mo-ko mengeluarkan suara mencicit tinggi dan kini dari mulutnya juga keluar uap menghitam yagn baunya lebih busuk lagi. Bi Lian terkejut ketika disambar oleh hawa busuk yagn keluar dari kedua tangan dan dari mulut. Lawan itu sengaja meniupkan hawa busuk itu, mengarah mukanya sehingga repotlah gadis itu menyelamatkan diri dengan mengandalkan kelincahannya. Maklum bahwa ia terancam bahaya, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara melengking yang bukan saja mengejutkan lawann, bahkan mengejutkan seluruh tamu yang hadir karena lengkingan itu mengandung getaran yagn mengguncangkan jantung mereka. Cepat meraka mengerahkan sing-kang untuk melindungi tubuh bagian dalam. Tidak mengherankan kalau suara ini menggetarkan jantung karena gadis itu telah mengerahkan tenaga khikang yagn disebut Pek-houw Ho-kang (Suara Gerengan Harimau Putih) yagn dipelajarinya dari Tung-hek-kwi).

Yang paling hebat menderita karena gerengan ini adalah Hek-hiat Mo-ko sendiri yang diserang secara lagnsung! Seketika tubuhnya terhuyung dan cepat dia meloncat ke belakang ketiak Bi Lian menampar mukanya. Akan tetapi, kagetlah hati iblis ini ketika dia melihat tangan gadis itu tetap saja mengejarnya dan tak dapt dihindarkan lagi, dalam keadaan terhuyung oleh pengaruh suara, tangan gadis yang terus mengejarnya itu berhasil manampar pipinya. Lengan tangan itu dapat mulur dan terus mengejar sehingga tamparannya tepat mengenai sasaran.

“Plakk!”

Pipi itu menjadi matang biru karena tamparan yang keras dan Hek-hiat Mo-ko menyumpah-nyumpah sambil meludahkan dua buah gigi yang copot! Pada saat suara lengkingan gadis itu terhenti, terdengarlah suara melengking yang jauh lengkingan yagn dikeluarkan Bil Lian akan tetapi lebih parau.

“Hebat … habat ….!” Tiba-tiba saja Kulana, bangsawan Birma yang tadi hanya menonton sambil tersenyum dan matanya memandang kagum kepada Bi Lian, kini sudah berada di depan adis itu. Bi Lian memandang penuh perhatian dan dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang asing, dapat dilihat dari pakaiannya dan sorban di kepalanya.

“Pergilah engkau, orang asing! Aku tidak mempunyai urusan denganmu!” Bil Lian membentak. Hatinya marah bukan main karena tidak disangkanya, di tempat itu setelah berhasil menemukan empat orang musuh besarnya, ternyata terdapat banyak sekali orang pandai yang membela empat orang musuhnya itu.

Akan tetapi, orang asing yang anggun dan berwibawa itu hanya tersenyum, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar aneh yagn membuat Bi Lian merasa ngeri. “Nona, tidak baik menurutkan perasaan amarah. Mengapa kita tidak bersahabat saja dan bicara dengan baik-baik? Namaku Kulana, Nona, dan aku pernah menjadi seorang pangeran Kerajaan Birma, seorang bagsawan yang tidak suka akna kekerasan. Nona yang baik, bolehkah aku tahu siapa nama Nona yang terhormat?”

Terjadi keanehan pada diri Bi Lian. Tiba-tiba saja semua kemarahannya lenyap dan ia menjadi lemas, tertarik oleh sikap manis itu dan seperti di luar ksadarannya sendiri ia pun membalas penghormatan Kulan yang membungkuk kepadanya dan menjawab dengan uara halus.

“Aku bernama Cu Bi Lian.”

“Cu Bi Lian, sebuah nama yang indah dan sungguh pantas kalau nama itu dirobah menjadi Nyonya Kulan. Tidakah kau juga berpendapat demikian, Nona Bi Lian?”

Terkejut hari Bi Lian mendenagr ucapan yagn halus namun jelas bermaksud tidak sopan itu, akan tetapi lebih terkejut lagi ketika ia mendapatkan dirinya sendiri mengangguk membenarkan! Seketika ia pun dapat menduga bahwa ada kekuatan aneh yang memaksanya bersikap lunak,maka ia pun cepat mengeluarkan suara melengking, mengerahkan khi-kangnya dan kekuatan sihir yang dilakukan Kulan dan yang sudah mempengaruhi dirinya tadi seketika membuya! Kulan adalah seorang yagn pandai sihir, terutama dalam hal menguasai segala macam ular. Kekuatan sihirnya yagn tadi membuat Bi Lian menjadi lembut dan lemah, akan tetapi setelah kekuatan itu buyar oleh lengkingan Bi Lian, gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi telah memperlihatkan sikap yang tidak sewajarnya! Marahlah ia karena sudah yakin bahwa orang Birma di depannya ini tadi mempergunakan sihir.

“Tak perlu banyak cakap, minggirlah!” bentaknya dan ia pun menerjang ke depan, mendorong dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Serangan ini hebat sekali dan angin besar menyambar ke arah Kulan. Akan tetapi, orang ini tenang-tenang saja, merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya sampai hampir berjongkok dan dia pun mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan Bi Lian.

“Desss …!” Hebat sekali pertemuan tenaga ini karena Bi Lian mengerahkan sebagian besar tenaganya dan akibatnya, tubuh Kulan bergoyang-goyang akan tetapi Bi Lian terpaksa mundur dua langkah! Diam-diam gadis ini terkekut sekali. Tak disangkanya orang asing ini bahkan lebih kuat daripada semua lawannya tadi. Juga Kim San Ketua Kui-kok-pang yang tadi memandang rendah orang Birma itu, kini terbelalak kagum dan mukanya berubah merah. Baru dia tahu bahwa orang Birma itu selain kaya raya, juga ternyata memiliki ilmu kepandaian yang agaknya jauh lebih tinggi daripadanya.

Maklum akan kekuatan lawan, Bi Lian kini menerjang maju dan mengerahkan gin-kangnya yang istimewa sekali. Namun, lawannya bergerak degnan tenang sekali, bahkan gerakannya nampak lambat, namun anehnya, Bi Lian tidak melihat lowongan yang dapat diserang dan setiap kali ia menyerang, selalu dapat dielakkan atau bertemu dengan tangkisan. Bagaimanpun juga, karena kecepaan gadis itu, Kulan juga tidak berdaya, tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang melainkan hanya melindungi dirinya dengan ilmu ilat bertahan yang amat kokoh kuat dan rapat sekali. Akan tetapi, tiba-tiba Kulan mengeluarkan kata-kata aneh yang tidak dimengerti oleh Bi Lian, lalau disambung ucapan yang amat halus dan berwibawa.

“Nona, tidakkah engkau sudah lelah sekali? Mengasolah dan jangan memaksa diri mengerahkan kekuatan, aku tidak ingin menyusahkanmu….”

Sungguh aneh sekali, tiba-tiba saja Bi Lian merasa betapa tubuhnya lelah bukan main, matanya mengantuk dan ia membayangkan betapa akan nikmatnya kalau ia boleh mengaso! Akan tetapi, begitu gerakannya betapa akan nikmatnya kalau ia boleh mengaso! Akan tetapi, begitu gerakannya melambat, tiba-tiba saja jari tangan Kulan, berhasil menyentuh dadanya. Ia terkejut dan mengeluarkan suara lengkingan panjang dan buyarlah semua pengaruh yagn membuatnya lelah dan mengantuk tadi. Wajah gadis itu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Orang asing itu secara kurang ajar telah menyentuh buah dadanya!

Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring menyambut lengkingan yagn dikeluarkan Bi Lian dan tiba-tiba saja di situ muncul dua orang kakek yang sudah tua sekali. Seorang kakek yang perutnya gendut sekali sehingga tubuhnya seperti bola saja, kulitnya kuning mulus dan kepalanya botak. Bajunya di bagian dada terbuka, meperlihatkan dada dan sebagaian perutnya yang gendut. Dia nampak lebih dulu, tersenyum-senyum, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Dia sungguh seperti seorang bayi montok yang besar! Orang ke dua, juga kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, sebaliknya bertubuh tinggi besar menyeramkan, mukanya penuh brewok, kulitnya hitam seperti arang. Dia tidak tersenyum seperti kakek gendut, melainkan dengan sikap angker memandang ke arah Kulan, kemudian, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tangannya mencengkeram ke arah orang Birma itu! Kulana terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tangan itu terus mulur dan berhasil mencengkeram leher bajunya bagian belakang dan Kulana merasa tubuhnya terangkat naik! Orang Birma ini cukup lihai, mak dia pun menyerang dengan totokan jari tangannya ke arah siku lengan yang mencengkeram leher bajunya. Totokan ini kuat sekali. Hal ini agaknya disadari oleh kakek tinggi besar yagn segera mengayun tubuh itu dan melepaskan pegangannya. Tubuh Kulana melayang ke atas dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja dia tidak cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuh itu berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia sudah jatuh dengan empuk, duduk kembali di ats kursinya yang tadi.

“Hemmm….!” Kakek tinggi besar mengangguk-angguk, tanda bahwa di mengagumi kepandaian orang Birma itu.

Sementara itu, melihat munculnya dua orang kakek ini, sebagian besar di antara mereka terkejut bukan main. Mereka mengenal dua orang kakek itu. Yang gundut bundar adalah Pak-kwi-ong, datuk sesat dari Utara, sedangkan orang tinggi besar berkulit hitam adalah Tung-hek-kwi, datuk sesat dari Timur. Meraka inilah Lam-hai Giam-lo sebagai susiok (paman guru) karena meraka adalah dua orang di antara Empat Setan, adapaun dua yang lain, Lam-kwi-ong Datuk Selatan guru Lam-hai Giam-lo, dan See-kwi-ong datuk Barat, keduanya sudah lama meninggal dunia. Melihat munculnya kedua orang suionya itu, Lam-hai Giam-lo juga terkejut akan tetapi juga merasa girang. Cepat dia melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu.

“Susiok Pak-kwi-ong dan Susiok Tung-hek-kwi, teecu (murid) Kin Cung menghaturkan hormat dan selamat datang!” Suaranya yang seperti tingkik kuda itu terdengar merendah, tidak seperti biasanya yagn selalu terdengar angkuh. Kini semua orang terkejut. Mereka yang belum pernah bertemu dengan dua orang kakek itu, tentu saja pernah mendengar nama mereka sebagai dua orang di antara Empat Setan, datuk sesat yang tinggi tingkatnya. Mereka sudah merasa sungkan dan hormat kepada Lam-hai Giam-lo dan kini mereka melihat betapa bengcu itu begitu merendahkan diri terhadap dua orang kakek itu.

Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi memandang kepada oang yang berlutut di depan mereka itu, dan Pak-kwi-ong terkekeh. “Heh-heh-heh, sungguh lucu. Aku tidak pernah mengenal orang bernam Kin Cung. Engkau bagaimana, Setan Hitam (Hek Kwi), apakah engkau mempunyai seorang keponakan seperti kuda ini?”

Tung-hek-kwi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.

“Susiok, teecu adalah murid mendiang Suhu Lam Kwi Ong.” Kata Lam-hai Giam-lo cepat-cepat.

Kembali dua orang kakek tua renta itu memandang kepadanya, sekali ini lebih memperhatiakn. “Aha, kiranya engkau yang berjuluk Lam-hai Giam-lo itukah? Tanya Pak-kwi-ong.

“Benar, Susiok.”

“Dan engkau mengumpulkan orang-orang pandai di sini untuk apakah?” tanya pula Pak-kwi-ong sambil memandang kepada orang-orang yang duduk di tempat itu.

“Kebetulan sekali. Susiok. Kami sedang mengadakan rapat untuk membentuk suatu persekutuan antara golongan sendiri, untuk melanjutkan sepak terjang Suhu dan Susiok bertiga, mengangkat kembali derajat golongan kita, dan teecu mereka pilih sebagai Bengcu.”

Dua orang kakek itu saling pandang dan bahkan Tung-hek-kwi yang selalu nampak galak itu mengangguk-angguk dan sinar matanya kelihatan senang. Pak-kwi-ong merasa gembira sekali mendengar itu. “Bagus sekali! Ah, senang hatiku mendengar ini, Lam-hai Giam-lo”

“Harap Ji-wi Susiok sudi mengambil tempat duduk dan ….”

“Shu berdua ini bagaiman sih!” Tiba-tiba Bi Lian mencela kedua orang gurunya, berdiri di tanah antara mereka dan bertolak pinggang. “Aku sudah menemukan pembunuh-pembunuh orang tuaku. Lihat merekalah orangnya. Dua pasang suami isteri iblis, Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Tadi akan kubunuh, akan tetapi orang-orang di sana membela mereka dan Suhu kini beramah tamah dengan mereka!”

Mendengar teguran murid yang disayangnya itu, Tung-hek-kwi mengerukan alisnya dan matanya terbelalak, mendelik mencari-cari. “Mana orangnya yang berani mengganggumu, biar kuhancurkan kepalanya!” Semua orang menjadi gentar melihat sikap raksasa tua hitam itu. Akan tetapi Pak-kwi-ong tertawa dan suaranya terdengar lantang.

“Ha-ha-heh-heh. Setan Hitam, jangan begitu! Kita berda di antara orang-orang sendiri! Lihat betapa keponakan kita berusaha membangun kembali kukuasaan golongan kita yang sudah runtuh. Apa yang dialami murid kita hanyalah merupakan kesalahpahaman belaka. Akan tetapi, mengadu ilmu merupakan cara berkenalan yang amat biak!”

“Suhu …..!” Bi Lian merajuk.

“Sssst, Bi Lian. Dengarlah baik-baik.” Kata kakek gendut itu. “Lam-hai Giam-lo ini adalah murid Lam-kwi-ong, saudara tuaku. Dia masih terhitung Suhengmu sendiri dan kita berada di antara teman-teman sendiri.”

“Akan tetapi dua pasang suami isteri itu….”

“Sudahlah. Mereka pun teman-teman dan orang-orang sendiri. Memang pernah mereka itu tidak tahu diri berani menentang kami berdua, akan tetapi mereka pun sudah merasakan pahitnya. Nak, urusan sudah habis sampai di sini saja.”

“Tapi orang tuaku …..”

“Mereka tewas karena suatu pertepuran di mana mereka berada di tengahnya, anggap saja kecelakaan!” kata pula Pak Kwi Ong.

Lam-hai Giam-lo lalu menjura kepada Bi Lian. “Kiranya Nona ini adalah Sumoiku sendiri? Aih, Sumoi. Akulah yang memintakan maaf atas sikap teman-teman kita ini karena belum mengenalmu. Kalau aku tahu bahwa engkau murid kedua Sesiokku, mana kami berani bersikap kurang ajar?”

Lam-hai Sing-mo dan suami istri Guha Iblis Pantai Selatan juga merupakan orang-orang yang cerdik. Mereka tadi sudah ketakutan sekali melihat munculnya dua orang kakek itu, akan tetapi mendengar ucapan Pak Kwi Ong, lalu melihat sikap Lam-hai Giam-lo, mereka berempat segera maju dan menjura kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi.

“Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah) memang benar. kami orang-orang bodoh telah melakukan kesalahan di masa lampau, dan sudah kami tebus dengan kematian banyak teman, harap Ji-wi sudi melupakan hal itu. Dan Nona Cu, kami bersumpah tidak pernah membunuh orang tuamu.”

Bi Lian menjadi bingung. Memang empat orang ini tidak membunuh orang tuanya, yang membunuh adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang sudah menjadi gurunya. Kematian orang tuanya memang terjadi karena adanya perkelahian antara mereka dan orang tuanya tewas di tangan kedua orang gurunya. Akan tetapi, kedua orang gurunya tidak sengaja membunuh orang tuanya karena urusan pribadi. Orang tuanya hanya terbawa saja dan menjadi korban. Ia menjadi bingung dan ketika tangannya ditarik oleh Pak Kwi Ong, ia pun menurut saja.

Lam-hai Giam-lo sibuk memperkenalkan para tamunya kepada dua orang kakek itu yang duduk di tempat kehormatan. Para tamu itu satu demi satu memberi hormat kepada Pak Kwi Ong dan Tng Hek Kwi sebagai orang dari tingkatan lebih tua, diterimam oleh dua orang kakek itu dengan gembira karena mengingatkan mereka akan masa dahulu ketika mereka masih menjadi datuk yang dihormati dan disegani seluruh tokoh kang-ouw. Bi Lian yang duduk di sebelah Pak Kwi Ong, diam saja, hanya memperhatikan mereka yang diperkenalkan satu demi satu. Ketiak Kulana yang lihai itu diperkenalkan, ia memandang penuh perhatian, akan tetapi ia menunduk ketika pria itu memandangnya denga sinar mata yang haus.

”Dan ini adalah murid teecu, namanya Pek Eng.” Kata Lam-hai Giam-lo memperkenalkan muridnya sebagai orang terakhir. Pek Eng berlutut memberi hormat kepada susiok-couwnya, kakek paman guru itu. Ketiak diperkenalkan kepada Bi Lian, dua orang gadi itu saling pandang. Pek Eng memandang dengan kagum karena tadi ia udah menyaksikan betapa lihainya gadis cantik itu yang mampu menandingi tokoh-tokoh lihai, sebaliknya Bi Lian memandang Pek Eng denga alis berkerut. Diam-diam menyayangkan bahwa seorang gadis seperti Pek Eng berada di antara orang-orang seperti itu. Akan tetapi, pikiran ini ditekannya sendiri ketika ia teringat bahwa ia dendiri pun menjadi murid dua orang datuk sesat!

Kulana minta bicara empat mata dengan Lam-hai Gaim-lo dan mereka berdua masuk ke kamar sebelah sedangkan dua orang kakek tua renta itu dijamu dengan hidangan-hidangan yang lezat dan arak yang harum. Bi Lian juga ikut makan, akan tetapi hanya makan sedikit, tidak selahap kedua orang gurunya.

Kulana lalu keluar dan dia pun minta diri, pamit hendak pulang lebih dulu. Kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang duduk semeja denga Bi Lian, dia memberi hormat dan berkata. “Saya mohon sudi kiranya kedua Locianpwe dan juga Nona Cu mengadakan waktu untuk berkunjung ke rumah saya.” Bi Lian cemberut saja sedangkan dua orang gurunya mengangguk-angguk. Orang Birma itu pun pergi, membuat para tamu lainnya diam-diam merasa bingung. Pertemuan itu sedang berlangsung, hanya terganggu kemunculan Bi Lian dan dua orang gurunya, pembicaraan mereka belum selesai, akan tetapi mengapa orang Birma yang menjadi orang penting dalam persekutuan ini telah pulang terlebih dahulu?

Setelah mengajak para tamunya makan minum bersama dua orang paman gurunya, Lam-hai Giam-lo melanjutkan pembicaraan mereka yang terputus tadi. Lebih dulu dia menerangkan kepada dua orang kakek itu tentang apa yang beru saja mereka bicarakan, tentang persekutuan antara golongan yang mereka bentuk.“Untuk memudahkan mengatur persekutuan ini, kawan-kawan mengangkat teecu menjadi Bengcu.” Demikian Lam-hai Giam-lo menghentikan keterangannya. Ilmu kepandaian tinggi seperti dua pasang suami isteri itu, Min-san Mo-ko, Ji-Sun Bi, bahkan Saudara Sim Ki Liong ini yang biarpun masih muda akan tetapi telah memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat di antara mereka, menjadi pembantu-pembantu teecu. Juga para tokoh Pek-lian-kauw menjadi pembantu-pembantu luar yang boleh diandalkan karena selain memiliki banyak orang pandai, juga memiliki anak buah yang banyak dan kuat. Para saudara yang hari ini menjadi tamu adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari berbagai penjuru, dan mereka sudah menyatakan setuju. Adapaun Saudara Kulana tadi, adalah seorang yang amat pandai, baik ilmu silat maupun ilmu perangnya, selain itu juga amat kaya raya, dan dia pun menyatakan persetujuannya. Karena itu, setelah Ji-wi Susiok datang, kami mohon sudilah Ji-wi suka menjadi penasihat kami.”

--306—

Apalai Bi Lian, karena ia yang telah memiliki tingkat yang tinggi dapat mengenal ilmu silat indah dan kuat, juga yang mengandung tenaga sin-kang, yang dahsyat! Setelah memainkan San-in Kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang selama belasan jurus, tiba-tiba saja Ki Liong mengubah geraknnya dan kini dia memainkan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Sungguh jauh bedanya dengan ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung) tadi yang lambat dan mantap, kini Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dimainkan dengan pengerahan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berkelebatan dan berputaran seolah-olah dia menyerang dari delapan penjuru! Angin pun bertiup dan mengeluarkan suara riuh. Ketika pemuda itu mengerahkan Ilmu Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) maka dari kedua telapak tangan ketika dia mendorong, keluarlah uap putih menyambar-nyambar.

Bi Lian makin kaget dan kagum. Bukan main, pikirnnya. Pemuda ini ternyata tidak membual dan menghadapi seorang pemuda yang memiliki tingkat ilmu silat seperti itu, ia sendiri merasa sangsi apakah ia akan mampu menandinginya!

Pek Eng juga kagum sekali dan gadis ini bertepuk tangan memuji. “Hebat sekali ilmu silatmu, Sim-kongcu!” katanya. Ia ikut menyebut “kong-cu” karena gurunya, Lam-hai Giam-lo dan juga para pembantunya juga menyebut koncu kepada pemuda itu. Mendengar sebutan ini, Bi Lian mengerutkan alisnya dan Ki Liong juga merasa betapa sebutan itu terlalu menghormat untuknya.

“Aih, Nona Pek Eng, mengapa menyebut aku kongcu? Namaku Sim Ki Liong, dan aku lebih tua darimu. Bagaimana kalau menyebut aku kaka saja?” katanya.

Pek Eng tersenyum gembira. “Engkau sendiri menyebut aku Nona! Kalau aku menyebut Toako kepadamu, engkau pun harus menyebut aku adik!”

Ki Liong tersenyum, merasa bahwa dia telah mendapat kemenangan, dapat membuat Pek Eng bersikap ramah kepadanya. “Baiklah, Eng-moi (Adik Eng), dan jangan engkau terlalu memujiku, jangan-jangan kepalaku akan kemasukan angin dan mengembung lalu meledak oleh pujianmua!”

Mendengar ucapan ini, Pek Eng tertawa dan Bi Lian juga tersenyum. Bagaimanapun juga, pemuda ini amat menyenangkan memang, menarik hati sekali. Sopan, ramah, dan pandai membawa diri, halus dan rendah hati.

“Saudara Sim Ki Liong, engkau adalah murid pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi kenapa engkau bersekutu dengan orang-orang seperti…. Kita, dari golongan hitam?”

Ditanya demikian, Sim Ki Liong terkejut, akan tetapi hal ini tidak diperlihatkannya dan dengan cerdik dia pun menjawab. “Nona Cu Bi Lian, agaknya pertanyaan seperti itu dapat juga ditujukan kepadamu atau kepada Eng-Mpi, buakn? Kita masing-maisng memiliki alasan probadi untuk mengambil jalan hidup kita. Dan aku bersekutu dengan Lam-hai Giam-lo Bengcu karena selain aku mengagumi kepandaiannya, juga karena aku bermusuhan dengan seorang di antara para pendekar sehingga tak mungkin bagiku bergabung dengan mereka.”

Percakapan sudah mulai akrab, akan tetapi tiba-tiba muncul Ji Sun Bi di tempat itu, melihat betapa Ki Liong bercakap-cakap dengan dua orang gadis cantik itu dengan sikap demikian akrabnya, tentu saja Ji Sun Bi merasa tidak senang dan cemburu. Ki Liong adalah kekasih barunya yang amat dicintainya karena pemuda itu adalah seorang jantan yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi darinya sehingga dapat mendatangkan kepuasan yang tak terbatas padanya. Kini melihat betapa kekasihnya itu bercakap-cakap dengan dua orang gadis muda yang cantik jelita, dalam suasan demikian akrabnya, tentu saja ia merasa khawatir dan cemburu.

“Sim-kongcu, teman-teman menunggu untuk merundingkan hal yang penting sekali. Marilah!” katanya tanpa memandang kepada dua orang gadis itu. Biarpun ia cemburu dan marah, namun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan sikap tidak senang kepada dua orang gadis itu. Yang seorang adalah murid bengcu, sedangkan yang ke dua adalah sumoi bengcu, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Melihat munculnya Ji Sun Bi dan mendengar ucapan itu, Ki Liong tidak ingin wanita itu membuat ribut, maka dia pun menjura dengan sikap hormat kepada Pek Eng dan Bi Lian.

“Eng-moi, Nona Cu, maafkan aku. Agaknya mereka itu ingin merundingkan sesuatu yang penting dengan aku. Sampai lain kau!” Sambil tersenyum manis dia pun pergi meninggalkan dua orang gadis itu, bersama Ji Sun Bi yang menunggunya.

Setelah pemuda itu pergi, Pek Eng manrik napas panjang. “Aihh, dia seorang pemuda yang hebat….”
Bi Lian menjebi. “Huh, berhati-hatilah terhadap seorang pria yang begitu halus budi dan manis tutur sapanya. Orang seperti itu pandai merayu dan siapa tahu hatinya palsu.”

Pek Eng menarik napas panjang lago. “Bagaiamanapun juga, dia sungguh pandai, dan sikapnya rendah hati, hemm, mengingatkan aku kepada Hay-ko…”

“Eh? Siapa itu Hay-ko (Kakak Hay)?”

Bi Lian bertanya.

“Hay-ko ya Hay-ko, namanya Hay Hay…”

“Hay Hay….? Tentu saja Bi Lian terkejut karena pemuda yang bernama Ha Hay itu pernah membuat ia tak dapat tidur karena selalu tekenang kepadanya.

“Ya, namanya Hay dan shenya kalau tidak salah, she Tang. Akan tetapi dia selalu mengaku bernama Hay Hay, tak pernah menyebutkan shenya. Apakah engkau pernah mengenalnya, Enci Lian?”

Bi Lian menggeleng kepala. “Tidak, mengapa?”

“Ah, sudah lama aku mencarinya. Juga mencari kakakku yang bernama Pek Han Siong, akan tetapi tak berhasil menemukan mereka dan akhirnya malah aku ditawan oleh Lam-hai Sing-mo dan akhirnya malah aku dibawa oleh Lam-hai Siang-mo dan dibawa kesini. Untung Bengcu baik dan mau menerimaku sebagai muridnya, Enci.”

Bi Lian mengerutkan alisnya. Nasib gadis ini mirip dengan nasib dirinya. Tanpa disengaja terjatuh ke tangan golongan sesat. Ia senidir kini menjadi murid dua orang datuk sesat yang paling tingi kedudukannya! Padahal dahulu, ia hanya puteri suami isteri dusun dan sudah mempunyai dua orang guru, yaitu sepasang suami isteri yang bertapa di dalam Kuil Siauw-lim-si dan kabarnya merupakan sepasang pendekar sakti. Ia masih ingat akan nama dua orang gurunya itu, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan anehnya, ia pernah bertemu dengan Hay Hay, juga gadis ini. Akan tetapi, pertemuannya itu tidak perlu ia beritahukan Pek Eng.

“Kakakmu itu, ke mana perginya,Adik Eng?”

Pek Eng menarik napas panjang. Begitu bertemu dengan Bi Lian, ia sudah tertarik, kagum dan suka sekali. Gasi ini demikian lihainya sehingga mampu mengalahkan hampir semua pembantu gurunya. Entah berapa kali lipat tingkat kepandaiannya sendiri!

“Aih, Kakakku itu semenjak kecilnya sudah dihebohkan orang, Enci Lian. Ketika baru terlahir, meurut penuturan orang tuaku, dia telah diperebutkan oleh orang-orang sakti di seluruh dunia….”

“Ehhh…..?

“Benar, Enci Lian. Kakakku itu sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan, sudah diramalkan oleh para pendeta La-ma di Tibet sebagai Sing-tong, seorang calon Dali Lam Agung! Ketika dia terlahir, maka dia diperebutkan!”

“Ahh! Kiranya dia…?”

“Engkau tahu, Enci?”

“Pernah aku mendengar dari kedua orang Guruku. Lalu, sekarang dia berada di mana, Eng-moi?”
”Entahlah. Aku sedang mencarinya. Ketika aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusuka, aku lalu lari untuk mencari kakakku itu, dan mencari Hay-ko yang amat baik kepadaku.”

Bi Lian menarik napas panjang. “Pengalamanmu sungguh aneh, Adik Eng. Mudah-mudahan engkau akan dapat bertemu dengan Kakakkmu atau dengan orang yang bernama Hay Hay itu. Oya, hubungan apakah antara engkau dan Hay Hay itu?” Pandang mata Bi Lian penuh selidik, dan ia merasa betapa hatinya tidak enak. Mengapa ia merasa cemburu?

“Dia pernah datang ke rumah kami, Enci, untuk mempertanyakan dirinya. Ketahuilah bahwa di waktu masih bayi, pernahh Kakakku disembunyikan oleh Kakek Buyut karena tahut dicuri oleh pra pendeta Lam dan sebagai gantinya, Hay Hay itulah yang dipelihara orang tuaku. Akan tetapi ketika masih bayi, dia pun diculik orang! Nah, setelah dewasa, dia datang untuk bertanya kepada keluarga kami, siapa dirinya yang sebenarnya. Wah, dia lihai bukan main, Enci. Ilmunya… wah, selangit deh!”

makin tak enak rasa hati Bi Lian mendengar betapa gadis ini memuji-muji Hay Hay.

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Dia menghadapi para pendeta Lama yang menyerbu kami dan dia mempermainkan para pendeta Lama itu seperti anak kecil saja. Dan aku… aku telah mencium pipinya…”

“Ihh!” Hampir saja tangan Bi Lian menampar pipi Pek Eng, akan tetapi ditahannya dan sebaliknya ia memandang dengan mata terbelalak dan muka merah.

“Engkau tak tahu malu, mengaku begitu!” bentaknya

Pek Eng tersenyum. “Jangan salah sangka, Enci. Tadinya, karena dia mengaku sebagai Pek Han Siong di depan para pendeta Lam itu, tentu saja aku mengira dia kakak … kandungku yang sudah lama kurindukan, maka saking girangnya aku mencium pipinya. Eh, ternyata kemudian dia bukan kakakku. Hati siapa tidak menjadi marah dan jengkel, juga malu?”

Mendengar ini, mau tidak mau Bi Lian tersenyum, akan tetapi tetap saja ia merasa tidak senang.

Pada saat itu muncul Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kemunculan mereka mengejutkan Pek Eng karena tahu-tahu mereka telah berada di situ dan ia pun baru tahu mereka muncul ketika Bi Lian membalikkan tubuh menegur meraka.

“Suhu berdua mencari aku?” tanya Bi Lian sambil menoleh dan baru Pek Eng melihat mereka. Bergidik dara ini melihat dua orang aneh itu. Si Gendut Bulat kepala botak itu menyeringai terus, sedangkan raksasa tinggi besar brewok hitam itu cemberut terus. Mereka seperti bukan manusia melainkan iblis-iblis jahat. Gurunya sendiri, Si Muka Kuda, tidaklah begitu menyeramkan seperit dua orang guru dari Bi Lian ini.

“Bi Lian, mari ikut dengan kami. Kita memnuhi undangan Kulana, hendak kita lihat orang macam apa adanya dia.” Kata Pak Kwi Ong.

Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah merasakan kelihaian Kulana dan ia curiga kepada orang itu. Akan tetapi dua orang gurunya pasti akan mampu menghadapi meraka, dan ia pun ingin mengenal lebih dekat orang macam apa sebenarnya tokoh Birma yang aneh itu. Ia mengangguk dan meninggalkan Pek Eng, mengikuti kedua orang kakek itu keluar dari taman. Sekali berkelebat tiga orang guru dan murid itu pun lenyap dan Pek Eng menjadi bengong, kagum bukan main. Ia berjanji pada diri sendiri akan belajar dengan giat dari Lam-hai Giam-lo agar memiliki ilmu kepandaian setinggi Bi Lian.

***

Bukit itu tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling selatan. Tertutup sebagian oleh awan dan puncaknya penuh hutan sehingga tidak nampak dari jauh adanya sebuah bangunan yang amat indah dengan atapnya meruncing ke atas seperti kuil di Birma. Atap itu sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, kalau hari cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah nangunan yang menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri sari selatan.

Baru tiba di lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Oang dan Tung Hek Kwi sudah merasa kagum. Juga Bi Lian kagum sekali. Bangunan itu megah dan indah. Apalagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga buah joli, mempersilahkan tiga orang tamu agung itu naik joli dan digotong naik seperti orang-orang bangsawan. Pak Kwi dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya.

Mereka digotong melalui pintu gerbang yang dijaga ketat dengan orang-orang berseragam dan bersenjata tombak. Kemudian, ketika tiga orang tamu agung itu digotong memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka. Tirai joli disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulau, mengiringkan tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran serba mewah dan kaki tangan dan kepalanya terhias emas permata!

“Selamat datang di istana kami!” kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung ketika mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan.

Bi Lian turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah taman yang teratur dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah memnuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah.

“Ha-ha-ha, mimpikak aku? Seperti berada di dalam istana saja!” kata Pak Kwi Ong ketika mereka bertiga dipersilakan masuk.

Di sebelah dalamnya lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik berbunyi terus dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, belasan orang banyaknya, mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula. Hawa di ruangan itu pun sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang terbuka menembus ke sebuah taman lain di mana terdapat air mancur.

“Selamat datang di istana kami, dan semoga para dewa melindungi perjalanan San-wi (Anda Bertiga).” Kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang sudah penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh gadis-gadis cantik berpakaian setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya.

Pak Kwi Ong, Tung Hek Kwi, dan Bi Lian minum anggur itu dan ternyata keluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas.

“Sebelum kita bicara, mari kita makan dulu dan kami mengharapkan puas dengan hidanga kami yang seadanya.”

Ternyata “yang seadanya” itu amat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya! Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satu pun dari tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih yang menarik seleranya saja dan harus diakuinya bahwa selamanya belum pernah ia makan hidangan yang demikain lezatnya!

Setelah mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat keadaan di dalam istananya. Bahkan semua kamar dibuka satu demi satu. Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh dengan senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan kamar harta di mana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata. Dua orang kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, meraka berdua otomatis akan menjadi orang-orang mulia!

Setelah mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya dan bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa. “Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinagan kami terhadap Nona Cu Bi Lian. Kami harap, setelah Sam-wi melihat sendiri keadaan kami, dapat memberi jawaban yang pasti.”

Terkejutalah Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan ia memandang kepada tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya.

Dua orang kakek itu saling pandang dan Pak Kwi Ong tertawa lebar sampai perutnya bergerak-gerak. “Ha-ha-ha, sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!” Dia menyebut pangeran begitu saja tanpa ragu lagi. “Dan tentu saja pinangan itu kami terima dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?”



Tung Hek Kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada muridnya.

“Bagiku sih terserah kepada Bi Lian.”

“Aih, sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?” tanya Bi Lian penasaran.

“Begini, muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan dia mengajukan pinangan melalui Suhengmu, Lam-hai Giam-lo, untuk mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya, karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu saja kami setuju, dan engkau pun tentu setuju, bukan?”

Bi Lian mengerutkan alisnya dan teringatlah ia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi ia tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak mencintai pria yang pongan ini, sedikit pun tidak suka walaupun ia kagum akan keliahaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong agaknya setuju benar, dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, ia pun tidak berani menolak begitu sasja.

“Suhu, pernikahan adalah suatu urusan besar bagi seorang wanita, yang akan menentukan keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah kupikirkan dulu hal ini dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan memberi jawaban.”Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini. Dia tersenyum dan memandang kagum. “Nona Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar tidak menyesal di kemudian hari.”

Mereka bertiga lalu meninggalkan istana itu atas desakan Bi Lian dan setiba mereka di dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, Bi Lian menghentikan langkahnya.

“Suhu berdua sungguh terlalu!” tiba-tiba ia berkata sambil memandang mereka denga muka merah.

”Wah, apa maksudmu, Bi Lian?” tanya Pak Kwi Ong tertawa.

“Terutama Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku ini bukan boneka, aku seorang manusia yang berhak menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?”

“Bi Lian, apa katamu itu?” Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini membentak Bi Lian. “Engkau muridku, maka engkau harus mentaati aku, dan sekalai ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!”

“Tidak, Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya.”

“Tidak, engkau harus mau!” bentak Pak Kwi Ong.

“Hemmm, kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!” Bi Lian berkata nyaring.

“Aku tidak sudi!”

“Aku akan memaksamau.”

“Aku akan melawan!”

“Murid murtad!” Pak Kwi Ong marah sekali dan secepat kilat menyambar dia sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan uap tebal. Akan tetapi Bi Lian udah siap siaga dan ai pun mengelak. Ketika Pak Kwi Ong mendesak, tiba-tiga Tung Hek Kwi menggerakkan tangannya menangkis.

“Dukk!” Keduanya terpental ke belakang. Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali.

“Setan Hitam, engkau berani membelanya?”

“Tentu saja ! Muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu aku!”

“Ia harus kawin dengan Kulana!”

“Tidak, ia boleh menentukan pilihannya sendiri!”

“Keparat!”

“Bedabah!”

Dua orang kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun itu kini saling hantam dan saling serang dengan hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi akan tetapi tenaga mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-pukulan mereka merupakan pukulan maut dan kini mereka sudah dipengeruhi amarah yang membuat mereka keduanya seperti buta. Bi Lian menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap di antara keduanya dan ia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil.

Belum sampai tiga puluh jurus dua orang datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, keduanya sudah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan.

“Dess…!” keduanya terjengkang dan roboh terkulai, tak mampu bangkit kembali dengan napas empas-empis!

“Suhu….!” Bi Lian berlutut di antara keduanya, mejadi bingung juga melihat betapa kedua orang gurunya itu sam-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu. Keduanya telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Setelah melihat keadan kedua orang tua itu, barulah ia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya selama ini dan tak terasa lagi Bi Lian menangis!

Pak Kwi Ong mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walaupun sudah mega-me-gap. “Kau… kau harus menjadi isteri Kulana… ahhh….”

“Tidak… kau boleh menolak…”

Dua orang kakek itu, dalam keadaan sekarat, masih saja mempertahankan pendirian mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi karena nyawa mereka telah melayang!

“Suhu…!” Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini.

Bi Lian mendengar gerakan banyak orang. Ia melompat bangun dan berhadapan dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Juga di situ sudah berdiri pula Lam-hai Giam-lo dan dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo!

“Nona Cu, sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah ikut bersamaku dan kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang Gurumu.” Kata Kulana dengan suara halus dan sikap peramah sekali.

Mendengar kata-kata yang dimikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis.

“Guruku…. Kedua Guruku…. Mereka telah meninggal dunia…”

“Hal itu tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan biarkan aku membimbingmu…” kata pula Kulana dengan sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu.

Mendadak ia pun teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang ini, maka teringat pulalah ia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Ia pun meronta dan melepaskan tangannya, melompat menjauh.

“Tidak, jangan sentuh aku!” teriaknya.

Di dalam hatinya, memang Bi Lian tidak pernah dekat tau suka kepada kaum sesat, bahkan sering kali ia menyesal melihat betapa dua orang gurunya adalah datuk-datuk sesat. Selama ini, biarpun ia bersikap keras dan ganas, namun belum pernah ia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim Sina-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya melainkan karena kekerasan hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat. Kalau ia masih mau diajak bergaul dengan dunia hitam, hanyalah karena terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, setelah kedua orang gurunya meninggal dunia, ia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu ia meloncat, ia kini berdiri dengan sikap menentang semua orang yang kini memandangnya.

“Nona Cu,” kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah lembut dan sikapnya ramah. “Kedua orang Gurumu menerima aku sebagai calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan mengurus jenazah kedua orang Gurumu, dan akulah yang akan melindungimu, membahagiakanmu…”

“Cukup!” Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khi-kangnya untuk melawan pengaruh suara halus itu. “Justeru karena ulahmu itu, justeru karena karena pinanganmu, kedua Guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah yang telah membunuh meraka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan nyawamu!”

Berkata demikian, Bi Lian udah meloncat ke depan dan menyerang Kulana denga hebatnya. Kedua tangaan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena ia mengerahkan tenaga sin-kang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang. Hampir saja pelipis kiri Kulana terkena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu sambil berjungkir balik dan pada saat itu Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian. Wajahnya nampak tidak senang dan alisnya berkerut.

“Sumoi, sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, kenapa engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat, setelah kedua orang Susiok meninggal dunia, akulah yang menjadi pengganti mereka, sebagai pelindungmu dan aku yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu itu dan berksikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!”

Akan tetapi, sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena ia dapat menduga bahwa tentu usul orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Juga, kedua orang gurunya bahkan melarang ia membunuh dua pasang suami isteri yang sejak dahulu dianggap sebagai biangkeladi kematian ayah ibunya. Sambil bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata, suaranya lantang karena ia masih mengerahkan kekuatan ho-kang yang dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana. Suaranya melengking nyaring.

“Lam-hai Giam-lo! Sejak dahulu, tidak ada hubungan apa pun di antara kita! Kalau aku mau menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan kedua orang Guruku. Akan tetapi, mereka kini telah tewas di sini, gara-gara ulah orang bernama Kulana ini, jangan engkau mencampuri, karena kau bukanlah bawahanmu, dan engkau pun bukan pemimpinku!”

“Bocah sombong! Aku adalah Bengcu!” bentak Lam-hai Gam-lo, marah sekali karena merasa dipandang rendah.

“Sudahlah, Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!” kata Kulana dan orang ini pun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian. Gadis ini mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi Kulana berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya greekan Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu.

“Akan kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!” katanya.

Dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu, Bi Lian menjadi repot juga. Baru tingkat kepandaian Kulana seorang saja, kiranya tidak mudah baginya untuk mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya denga kukuatan sihir. Apalagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, setingkat dengan gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja ia takkan menang. Kini dua orang lihai itu mengeroyoknya, biarpun tidak bermaksud merobohkannya melainkan hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun, dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya. Para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo menonton perkelahian itu dengan penuh kagum. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahai dan mereka itu sam sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa terdesak. Mereka pun tidak berani membantu karena bukankah yang turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana?

“Cu Bi Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?” tiba-tiba Lam-hai Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing. Memang hebat ilmu kepandaian Lam-hai Giam-lo ini. Begitu dia membuat gerakan berpusing, Bi Lian merasa seolah-olah tubuhnya tersedot dan terseret oleh arus air berpusing dan ia pun terhuyung, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya.

“Heiiiittt….!” Bi Lian memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Ia berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan tentu ia akan tertawakan kalau saja pada saat itu berseru halu.

“Dua orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tidak tahu malu seklai!” Dan tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi Lian yang bergulingan itu. Begitu pemuda itu mengembangkan kedua lengannya dan membuat gerakan seperti mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan cepat memandang penuh perhatian.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya sedang saja dan pakaiannya amat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya berkulit puth, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, matanya gak sipit dan bersinar lembut, sikapnya tenang sekali dan dibawah jubahnya yang panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang.

Melihat ada seorang pemuda yang asing dan berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan main. Terutama sekali Lam-hai Giam-lo yang merasa betapa kekuasaanya di situ di tentang orang asing, seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi.

“Keparat, apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?” bentaknya sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu.

Pemuda itu bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia berkata, “Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!”

Kulana juga marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu silatnya dan sambil memandang wajah pemuda itu, tiba-tiba dia maju dan membentak. “Orang muda, aku adalah junjunganmu! Berlututlah engkau!” Seruan ini berwibawa sekali mengandung kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar.

Akan tetapi, pemuda ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum dan menghampiri Bi Lian yang kedua kakinya masih gemetar.

“Nona, sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor di antara orang-orang busuk ini.” Suara itu dimikian lembut dan biarpun Bi Lian belum mengenai siapa adanya pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda itu. Lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu!

Untuk beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan pergi, seolah-olah tidak percaya. Kemudian Kulanan dan Lam-hai Giam-lo sadar dan keduanya bergerak hendak mengejar.

“Jangan pergi….!” Lam-hai Giam-lo berteriak.

“Berhenti!” Kualana juga membentak.

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapai seranga mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua tangannya ke arah meraka yang mengejar dan mulutnya mengeluarkan seruan yang menggeledek.

“Diam kaliaan!”

Luar biasa sekali kekuatan yang terkandung dalam bentakan ini. Dua orang sakti itu seketika terhenti dan diam seperti patung, bahkan terbelalak seperti orang kaget. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu pun diam tak bergerak seperti menjadi patung. Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah yang mengalir di tubuhnya terhenti dan ia pun tidak mampu bergerak akan tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya.

“Nona, mari kita pergi!” Dan ia pun dapat menggerakkan kaki dan mereka lalu melarikan diri dari tempat itu. Beru setelah mereka jauh menuruni lereng, terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu telah sadar dan agaknya melakukan pengejaran.

Pemuda itu maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka dia pun lalu mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka memasuki hutan yang liar dan gelap diatas sebuah bukit. Setelah tidak lagi terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar.

Karena tadi mereka terus berlarian, apalagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua orang lawan tangguh, gadis itu merasa lelah dan ia pun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga. Pemuda itu pun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, di atas batu dan hanya memandang dengan kagum. Latihan pernapasan gadis itu adalah latihan ilmu yang biasa dilakukan golongan hitam, namun diam-diam dia kagum karena dari cara gadis itu berlatih pernapasan, dia tahu bahwa gadis itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Akhirnya Bi Lian membuka matanya dan begitu ia sadar akan keadaan dirinya, pandang matanya mencari-cari dan ia pun melihat pemuda itu duduk agak jauh di atas batu dan memperhatikannya. Ia pun cepat meloncat berdiri dan teringatlah ia betapa pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya secara aneh sekali. Ia masih bingung memikirkan bagaimana pemuda itu dapat membawanya lolos dari tangan orang-orang yang demikian lihainya seperti Lam-hai Giam-lo, Kulana dan anak buah mereka. Melihat gadis itu menghampirinya, pemuda itu tetap duduk dan tersenyum lembut.

“Engkau siapakah? Dan bagaimana engkau dapat meloloskan aku dari cengkeraman mereka?” tanya Bi Lian.

“Duduklah, Nona dan mari kita bicara.” Jawab pemuda itu. Bi Lian lalu duduk di atas batu di dekat pemuda itu. Tempat itu terlindung pohon besar dan sekeliling mereka penuh dengan pohon dan semak belukar. Mereka berada di dalam sebuah hutan yang amat lebat dan liat.

Setelah gadis itu duduk, pemuda itu pun berkata dengan halus. “Sesungguhnya, hanya kebetulan saja kita bertemu. Aku memang sedang melakukan penyelidikan di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo untuk mencari seseorang. Ketika aku melihat engkau dikeroyok oleh dua orang itu, tentu saja aku merasa penasaran dan menegur mereka. Untunglah bahwa kita masih dapat lolos, karena kalau terlambat, entah apa yang akan terjadi. Mereka adalah orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi engkau sendiri, seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bagaimana sampai dapat terperangkap di sana, Nona?”

Bi Lian mengerutkan alisnya. Menurutkan wataknya yang keras, ia dapat marah mendengar pertanyaan ini. Pemuda ini ia tanya belum menjawab, belum memperkenalkan keadaan dirinya, sudah balas bertanya, seolah-olah tidak percaya kepadanya. Akan tetapi, ia menahan diri dan menahan kemarahannya karena bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa ia berhutang budi kepada pemuda ini.“Hemm, agaknya karena engkau telah menolongku, maka akulah yang harus memperkenalkan diri lebih dulu. Begitukah?” Suaranya jelas mengandung nada ketus dan alisnya berkerut, sepasang matanya yang amat tajam itu seperti sepasang pedang menusuk.

Pemuda itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. “Maaf, bukan maksudku, Nona. Aku memang sungguh merasa tertarik dan heran sekali melihat seorang gadis seperti Nona berani menentang orang-orang seperti mereka itu, karena itulah aku tadi bertanya. Baiklah kalau Nona ingin mengetahui, namaku adalah Pek Han Siong….”

“Aihhh….!!” Bi Lian terbelalak.

Han Siong tersenyum. “Ada apa lagi Nona? Kenapa namaku mengejutkanmu?”

“Jadi engkau inikah Pek Han Siong … engkau… Sing-tong itu? Kakak kandung Pek Eng?”

kini pemuda itu yang terbelalak dan bahkan meloncat turun dari atas batu yang dudukinya. “Engkau tahu semuanya, Nona?”

Pemuda itu memang Pek Han Siong.

Seperti kita ketahui, pemuda ini mencari jejak Pek Eng, adik kandungnya yang melarikan diri, minggat dari rumah keluarga Pek karena tidak suka dijodohkan dengan keluarga Song dari Kang-jiu-oang. Dia menemukan jejak adiknya itu dan mendengar bahwa adiknya di tawan oleh kaki tangan Lam-hai Giam-lo dan dibawa ke selatan, ke Pegunungan Yunan. Maka dia pun melakukan perjalanan ke sana dan mencari-cari di Pegunungan Yunan sampai akhirnya pada hari itu dia dapat menemukan tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan melihat Bi Lian dikeroyok dua orang lihai itu.

Bi Lian merasa gembira bukan main mendengar bahwa pemuda ini adalah kakak Pek Eng, gadis yang disukainya, gadis yang menjadi tawanan Lam-hai Giam-lo dan kemudian bahkan diambil menjadi murid dan anak angkat. Kiranya Pek Eng tidak bohong, kakankya itu hebat!

“Sungguh kebetulan sekali!” katanya gembira. “Aku mendengar tentang dirimu dari Adik Eng yang baru saja kukenal. Ia juga berada di sana, kini ia menjadi murid bahkan anak angkat Lam-hai Giang-lo.”

“Hehh…??” Tentu saja Han Sion terkejut dan heran bukan main mendengar keterangan itu. “Bagaimana pula ini? Apa saja yang telah terjadi dan engkau… siapakah engkau ini, Nona?”

“Aku Cu Bi Lian…”

Bi Lian berhenti bicara karena ia melihat betapa wajah pemuda itu berubah matanya terbelalak dan muka pemuda itu menjadi agak pucat. “Kau… kau kenapa kah?”

“… Cu… Bi… Lian…?” Perlahan-lahan Han Siong mengulang nama ini matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik.

“Benar. memangnya kenapa?” Bi Lian balas bertanya.

Han Siong menelan ludah sebelum menjawab, “Tidak apa-apa… rasanya aku seperti pernah mengenal nama itu… katanya agak gugup. Tentu saja dia mengenalnya. Cu Bi Lian, atau Singkoan Bi Lian, puteri dari suhu dan subonya! Inilah gadis itu, yang harus dicarinya, bahkan yang oleh suhu dan subonya telah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya! Inilah tunangannya. Siapa orangnya tidak menjadi tegang hatinya dihadapkan pada kenyataan yang begini, tiba-tiba dan tidak disangka-sangka?

“Ah, tidak mungkin. Baru sekarang kita saling bertemu.” Jawab Bi Lian.

Han Siong masih memandang bengong. Bertemu dengan gadis itu, berhadapan, sadar sepenuhnya bahwa inilah gadis yang diperuntukkan dirinya, yang oleh ayah ibu kandung gadis ini sendiri ditunangkan kepadanya, membuat jantungnya berdebat. Dia menatap penuh perhatian dan harus diakuinya bahwa Bi Lian adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan gagah perkasa. Tubuhnya demikian padat dan ramping, penuh daya kekuatan tersembunyi. Rambutnya panjang dan hita, dikuncir tebal dan digelung di atas kepala. Matanya demikian tajam dan indah, bagaikan sepasang bintang dengan hidung kecil mancung dan mulutnya demikian manis, dengan bibir yang merah basah. Mukanya bulat telur dan tahi lalat di dagu itu. Manis bukan main! Gadis ini puteri suhu dan subonya, akan tetapi diserahkan kepada keluarga Cu sehingga gadis itu tidak tahu bahwa ia sebenarnya She Siangkoan. Menurut suhu dan subonya gadis ini ketika kecil pernah mendapat latihan ilmu dari suhu dan subonya, kemudian gadis itu lenyap. Bagaimana kini Bi Lian dapat menjadi seorang yang sedemikian lihainya?

“Heii! Kenapa engkau memandangku seperti itu?? Bi Lian menegur. Ia memang galak dan paling tidak suka kalau melihat pria memandangnya dengan sinar mata yang mengandung kekaguman, karena biasanya hal ini dianggap sebagai kekurangajaran.

“Ah, tidak, aku…. aku teringat kepada Adikku…”

“Adik Eng? Ia masi berada di sama. Tentu ia tidak tahu bahwa kakaknya telah muncul, bahkan menjadi lawan dari gurunya sendiri.”

“Aku sungguh masih merasa bingung mendengar betapa Adikku menjadi murid dan bahkan anak angkat orang seperti Lam-hai Giam-lo, dan juga heran melihat engkau berada di antara mereka, Nona.”

“Menurut cerita Adikmu, ia mencarimu akan tetapi bertemu dengan anak buah Lam-hai Giam-lo lalu di tawan, akan tetapi ia dapat membujuk Giam-lo sehingga ia diterima menjadi murid dan gurunya itu bahkan telah membatalkan ikatan perjodohannya dengan keluarga Kang-jiu-pang. Mengenai diriku, ah, panjang ceritanya dan baru saja kedua orang Guruku tewas di sana karena saling serang sendiri, gara-gara Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang berhasil membujuk Guruku agar aku mau menjadi calon isteri Kulana.”

Han Siong terkejut. Dua orang guru gadis ini tewas karena saling serang sendiri? Orang-orang macam apakah guru-guru gadis ini? “Siapakah guru-gurumu, Nona?” tanyanya, teringat kepada suhu dan subonya.

“Guruku adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi…”

Kembali Han Siong terkejut setengah mati. Dua nama itu adalah nama dua orang datuk sesat yang merupakan iblis-iblis, bahkan mereka adalah dua orang diantara Empat Setan yang tersohor itu. Pantas gadis ini lihai bukan main. Ngeri dia membayangkan bahwa puteri suhu dan subonya itu, yang telah dijodohkan dengannya, telah menjadi murid dua orang datuk sesat itu.

Melihat sikap Han Siong terkejut, Bi Lian tersenyum mengejek. “Memang aku murid mereka. Guru adalah dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat seperti iblis! Lalu mengapa? Apa kaukira aku juga lalu menjadi jahat?”

“Ah, sama sekali tidak, Nona. Akan tetapi… kalau aku tidak salah dengar bukankah ada hubungan antara Lam-hai Giam-lo dan kedua orang tua itu?”

“Benar, kedua orang Guruku masih Susiok dari Lam-hai Giam-lo.”

“Kalau begitu Nonan masih Sumoi dari Giam-lo.”

”Begitu maunya, akan tetapi akau tidak merasa menjadi Sumoinya. Apalagi setelah kedua orang Guruku tewas. Dia yang menjadi gara-gara, dia dan Kulana, si keparat! Aku harus membalas kematian dua orang Guruku kepada meraka berdua!”

Tiba-tiba Han Siong memberi isarat kepada gadis itu yang agaknya juga sudah melihat berkelebatnya bayangan orang di kejauhan. Keduanya sudah menyelinap dan lenyap bersembunyi di balik batang pohon besar sambil mengintai bayangan itu bergerak cepat sekali dan tak lama kemudian mereka berdua melihat seorang laki-laki telah berada di situ. Melihat orang ini, Bi Lian marah sekali dan ia pun sudah melompat keluar dari balik pohon sambil membentak.

“Kulana jahanam, engkau datang mengantar nyawa!”

Bi Lian meloncat keluar dan langsung menyerang dengan tusukan kedua jari tangan kiri ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan kananya mencengkeram ke arah lambung. Serangan ini cepat dan kuat, dahsyat bukan main karena dilakukan dalam keadaan marah dan penuh dendam. Han Siong terkejut melihat serangan itu dan hampir saja dia turun tangan mencegah kalau saja dia tidak melihat bahwa orang yang diserangnya itu pun bukan orang sembarangan. Laki-laki itu juga terkejut karena tidak menyangka bahwa di tempat itu dia akan diserang seorang gadis yang dimikian laihainya, apalagi serangan itu merupakan serangan maut. Namun, dia bersikap tengan dan sigap sekali. Dengan kecepatan seorang ahli, tubuhnya sudah merendah sehingga tusukan ke arah pelipis itu luput, sedangkan cengkeraman tangan kanan Bi Lian ke arah lambungnya ditangkis dengan gerakan memutar.

“Dukk!” Dua lengan bertemu dan akibatnya, kedua orang itu terdorong mundur dan merasa betapa lengan mereka masing-masing tergetar hebat, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat berimbang.

Bi Lian semakin marah, ia memang sudah tahu akan kelihaian Kulana, maka ia pun sudah siap untuk menyerang mati-matian. Akan tetapi pada saat itu terdengat Han Siong berseru kepadanya.

“Nona, tahan dulu, jangan serang dia!”

Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia tidak mengharapkan bantuan Han Siong, akan tetapi ia pun tidak ingin pemuda itu mencegah niatnya. “Hemm, Pek Han Siong, engkau mau apa sih sebenarnya!” ia membentak.

“Nona Cu, lihat baik-baik. Dia ini bukanlah Kulana!”

Barulah Bi Lian terkejut dan ia memandang penuh perhatian. Hemm, pemuda itu ada apakah? Jelas orang ini Kulana, mengapa berkata bahwa dia bukan Kulanan? Bi Lian mengatami orang itu. Wajahnya yang anggun berwibawa, pakaiannya yang seperti pakaian bangsawan, mewah dan indah denga kain kepala warna-warni dihias burungn merak emas permata, pandang matanya yang lembut namun mencorong dan sikapnya yang tenang dan halus. Siapa lagi kalau bukan Kulana?

Mulana tersenyum dan balas menjura.

“Akan tetapi Ji-wi belum mengenal betul siapa aku ini. Mungkin Ji-wi sudah mengenal Kulana. Ketahuilah bahwa aku bernama Mulana dan aku adalah saudara kembarnya dari Kulana. Tadinya kehidupan kami di Birma dapat dikata amat baik, kedudukan kami berdua terhormat sebagai penasehat raja, dan terutama sekali Kulana membuat jasa besar ketika terjadi penyerbuan paukan Tiongkok dengan mengatur barisan pertahanan yang berhasil memukul mundur musuh. Akan tetapi, dia masih belum puas dan dia melakukan usaha untuk merampas kedudukan raja. Ketika ketahuan, dia melarikan diri dan aku sebagai saudara kembarnya, terpaksa ikut pula menjadi buruan. Karena kami berdua dalam hal pemberontakan itu tidak cocok, maka kami saling berpisah dan tidak lagi saling mencampuri urusan pribadi. Aku lalu hidup di bukit ini bersama isteriku yang akan saya perkenalkan nanti kepada Ji-wi. Nah, sekarang harap Ji-wi suka memperkenalkan diri sebagai tamu-tamu yang kami hormati!.”

Bi Lian memperkenalkan diri, “Namaku Cu Bi Lian dan aku menjadi tamu dari Lam-hai Giam-lo, akan tetapi karena Kulana meminangku untuk mejadi isterinya dan aku menolak, maka terjadi bentrokan.” Ia tidak menceritakan lebih jauh lagi karena ia sendiri tentu saja masih meragukan apakah saudara kembar dari Kulanan ini benar-benar tidak akan membantu saudaranya. “Aku dikeroyok dan mendapat bantauan Saudara Pek Han Siong ini, dan kami berhasil melarian diri sampai bertemu denganmu, Saudara Mulana. Kiranya tidak ada lagi yang dapat kuceritakan.”

“Apa yang diceritakan Nona Cu memang benar, Saudara Mualana. Aku pun sedang mencari seorang adik kandungku yang jejaknya menuju ke tampat tinggal Lam-hai Giam-lo dan kebetulan aku melihat Nona Cu dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka aku turun tangan membantunay dan kami melarikan diri ke dalam hutan itu.”

Mulana mengangguk-angguk. “Kalian adalah dua orang muda yang luar biasa sekali dan aku senang dapat menjamu kalian sebagai tamu-tamu agung. Dua orang semuda kalian sudah berani bertentangan dengan Kulana dan Lam-hai Giam-lo, sungguh luar biasa sekali! Nah, kita sudah berkenalan, sekarang kita mulai berpesta dan sebaiknya kalau kuperkenalkan kepda isteriku yagn tercinta!” Setelah berkata demikian, Mulana mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan ternyata itu adalah sebuah terompet kecil yang segera ditiupnya. Berbeda dengan suara tiupan ketika dia memberitahukan akan kedatangannya kepada para pengawalnya, kini benda itu mengeluarkan suara seperti seekor binatang yang mengeluh penuh duka, suaranya berat dan lirih, akan tetapi bergaung sampai jauh.

Semua pelayan yang sedang sibuk diruangan itu, begitu mendengar suara ini, kelihatan kikuk sekali dan meraka pun banyak yang terdiam. Tak lama kemudian, nampak ada orang muncul dari pintu dalam, diiringkan oleh lima orang gadis pelayan. Ketika Bi Lian dan Han Siong mengangkat muka memandang keduanya terpesona, bahkan Bi Lian sampai terbelalak memandang wanita yang demikian cantik jelitanya, yang keluar dari dalam dengan langkah halus seperti seorang bidadari melayang –layang saja, diikuti oleh lima orang pelayan.

Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, akan tetapi memiliki kecantikan yang amat hebat. Wajahnya demikian halus dengan raut yang demikian sempurna, cantik dan agung walaupun wajah itu terlalu pucat dan coba ditutupi dengan bedak tipis. Wajah itu pantasnya menjadi wajah seorang puteri agung di istana kaisar. Pakaiannya, gelung rambutnya, gerak-geriknya, semua menunjukkan dengan jelas bahwa ia bukan seorang wanita biasa, melainkan seorang wanita bangsawan agung yang memiliki gerak-gerik yang serba teratur. Kedua kaki yang tertutup gaun panjang itu tidak nampak melangkah sehingga kelihatannya ia melayang ketiak menghampiri meja perjamuan itu dengan sikap agung, tidak menengok ke kanan kiri, dengan dada terangkat dan kepala tegak, menuju ke arah kursi di samping Mulana yang kosong. Diam-diam Han Siong merasakan sesuatu yang aneh. Wanita itu memang cantik sekali, terlalu cantik di tempat yang seperti itu, akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata itu yang tidak wajar, seperti mata seorang yang tidak bersemangat lagi, seperti mata seorang yang berada di bawah pengaruh sihir! Juga dia melihat sinar duka yang teramat mendalam pada pandang mata itu sehingga diam-diam Han Siong mencurahkan perhatiannya dan timbul keinginan tahunya untuk menylidiki, rahasia aneh apa yang ada pada wanita itu.

Sambutan Mulana kepada isterinya itu pun luar biasa. Ketika wanita itu tiba dekat, dia pun bangkit dari tempat duduknya dan dengan senyum lebar dia menyongsong kedatangannya, membungkuk sambil berkata dalam bahasa yang dimengerti oleh dua orang tamunya. “Selamat malam, isteriku yang cantik jelita. Malam ini engkau semakin cantik saja.

Silakan duduk dan mari kuperkenalkan kepada dua orang tamu kita yang terhormat.”

Sikap Mulana itu seperti dibuat-buat dan Han Siong melihat pancaran yang mencorong aneh dan kejam dari pandang mata tuan rumah itu, yang membuatnya heran sekali. Wanita itu pun menekuk sebelah kakinya dengan sikap yang manis dan lembut sekali ketika diperkenalkan kepada Bi Lian. Kemudian ia mengambil tempat duduk di ata kursi sebelah suaminya dan ketika sinar api lampu dan lilin beraneka warna menimpa mukanya, dian-diam Bi Lian menahan napas saking kagumnya. Wanita ini memang hebat, cantik jelita dan pakaiannya, dari setiap untaian rambut hitam yang dilingkar-lingkar sampai kepada hiasan kuku dari emas, setiap lipatan pakaiannya yang indah, semua memperlihatkan keindahan dan keayuan seorang wanita yang lembut.

Kini para pelayan sibuk mengeluarkan hidangan. Bagaikan sekelompok kupu-kupu saja, gadis-gadis pelayan yang manis-manis itu seperit menari-nari, pergi datang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dan terciumlah bau yang sedap, yang membuat perut Bi Lian dan Han Siong yang memang sudah lapar itu mengeluarkan bunyi!

Wajah itu selain cantik juga agung, dengan bentuk wajah yang bulat telur dan kulit mukanya demikian halus dan biapun nampk pucat, namun kehalusannya sungguh jarang dimiliki wanita lain. Rambutnya hitam dan panjang tebal, digelung dengan model gelung puteri bangsawan, mengkilap karena bersih dan diminyaki, dengan anak rambut melingkar-lingkar di sekitar dahi dan pelipis. Alisnya hitam panjang melengkung seperti gambar, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, lebar dan jeli akan tetapi sinarnya redup seperti bulan terhalang awan tipis. Hidungnya mancung dengan cuping yang tipis dan hidup, mulutnya mengandung tantangan berahi yang panas, kedua pipinya kemerahan oleh bedak dan yanci sedangkan kulit lehernya demikian tipis dan halus mulus.

Setelah hidangan lengkap dikeluarkan di atas meja, tiba-tiba Mulana bertepuk tangan dan berkata halus kepada seorang pengawal. “Ambilkan cawan kehormatan dari Tuan Puteri!”

Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu terbelalak dan Bi Lian, juga Han Siong, melihat betapa wanita cantk itu dengan kaget menoleh kepada suaminya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, bibir gemetar dan kedua mata itu tiba-tiba menjadi agak basah, lalu terdengar suaranya. “Perlukah….?” Akan tetapi lalu disambung dengan bisikan-bisikan dalam bahasa Birma yang tidak dimengerti oleh dua orang tamu itu. Akan tetapi, dari sikap dan nada suaranya, Han Siong dapat menduga bahwa Sang Puteri itu mengajukan protes. Namun anehnya, Mulana sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan memperkuat perintahnya dengan gerakan tangan sehingga kepala pengawal yang tadinya nampak ragu-ragu itu lalu melangkah cepat memasuki ruanga lain yang bersambung dengan ruangan itu.

Bi Lian dan Han Siong saling pandang dan mereka merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Keluarga tuan rumah ini memang aneh dan penuh rahasia yang menegangkan. Ketika kepala pengawal itu muncul kembali, mereka memandang dan keduanya harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaan mereka ketika kepala pengawal itu membawa sebuah benda yang membuat mereka terbelalak.. kepala pengawal itu meletakkan benda itu di atas meja, di sebelah kiri Sang Puteri yang memandang benda itu dengan mata sayu dan basah. Benda itu adalah sebuha tengkorak! Kepala manusia yang tinggal tulangnya saja, akan tetapi terawat baik, bahkan lubang kedua mata dan hidung ditutup denga emas, dan hanya tinggal rongga mulut saja yang terbuka ternganga dan agaknya tengkorak itu kini dipergunakan sebagai sebuah cawan! Cawan yang mengerikan sekali!

“Isi cawan dengan anggur harum untuk menghormati tamu!” Tiba-tiba Mulana berkata dan suaranya terkandung nada gembira sekali seolah-olah dia menikmati perintahnya itu.

Para gadis pelayan lalu membawa guci anggur yang terbuat dari perak dan emas, yang dengan gerak tubuh yang lemah gemulai mereka lalu mengisi cawan arak di depan Bi Lian, Han Siong dan Mulana. Mulana sendiri mengambil guci arak dari tangan pelayannya dan menuangkan anggur ke dalam cawan tengkorak dekat isterinya, melalui mulut tengkorak yang ternganga itu! Kemudian Mulana mengangkat cawan araknya sampai bangkit berdiri.

“Isteriku, mari kita memberi selamat kepada Tuan Pek Han Siong dan Nona Cu Bi Lian yang menjadi tamu agung kita, dengan minum anggur ini! Ji-wi, selamat datang di rumah kami!”

Bi Lian dan Han Siong melongo, memandang kepada nyonya rumah yang juga bangkit berdiri dan nyonya yang cantik itu mengangkat tengkorak itu dengan kedua tangan, diikuti pandang mata suaminya, ia lalu bersama suaminya, minum anggur dari… mulut tengkorak. Bi Lian bergidik ngeri. Nyonya cantik itu kelihatannya seperti berciuman denga tengkorak itu, beradu mulut, dan penglihatan ini sungguh amat menegangkan dan mengerikan hatinya. Juga Han Siong tergetar perasaanya dan jantungnya masih berdebar ketika mereka berempat duduk kembali. Nyonya itu dengan hati-hati meletakkan tengkorak yang sudah kosong itu ke depannya.

“Mari, mari kita menikmati hidangan, Ji-wi. Isteriku, tenailah dua orang tamu kita makan minum!” dengan sikap gembira sekali Mulana lalumengajak isterinya dan dua orang tamunya makan hidangan yang serba mewah itu. Isterinya, dengan sikap lembut, pandang mata tak pernah ditujukan kepada tamunya ataupun suaminya, seperti seorang dalam mimpi, makan denga cara yang sopan sekali.

“Ha, makan minum baru enak kalau diselingi cerita menarik. Pek-taihiap dan Cu-lihiap, bagaimana kalau aku menceritakan sebuah dongeng dari negeriku, dongeng yang amat indah dan menarik kepada Ji-wi?”

Bi Lian dan Han Siong saling pandang. Tuan rumah ini tiba-tiba saja menyebut merekaTai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita), dan hendak mendongeng. Sebagai tamu, tentu daja mereka hanya dapat menyetujui dan mengangguk. Biarpun tempat itu indah dan hidangan yang disuguhkan serba mewah dan lezat, namun pengalaman melihat nyonya rumah minum anggur dari cawan tengkorak itu membuat mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan makan malam itu agar mereka dapat segera mengundurkan diri, bahkan mereka mengambil keputusan di dalam hati masing-masing untuk segera pergi meninggalkan tempat itu pada keesokan harinya.

“Di negara kami, di Birma, terdapat seorang puteri yang teramat cantik.” Mulana mulai dengan dongengnya. “Demikian cantiknya puteri itu sehingga banyak pria tergila-gila, di antaranya seorang pria bangsawan tergila-gila dan mengorbankan segalanya untuk dapat mempersunting puteri jelita itu. Di antara banyak sekali saingan, pria itu berhasil dan dapat dibayangkan betapa berbahagia rasa hatinya ketika akhirnya di berhasil memperisteri puteri jelita itu.”

Mulana berhenti sebentar dan menarik napas panjang. Lalu menengadah, seolah-olah dia membayangkan peristiwa yang didongengkannya itu. Bi Lian dan Han Siong mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Bi Lian melirik ke arah nyonya rumah, wanit aitu seperti acuh saja, masih melanjutkan makan dengan mempergunakan sumpitnya, mengambil potongan daging kecil-kecil dan memasukkannya dengan sopan ke dalam mulutnya yang kecil, mengunyahnya perlahan tenpa membuka bibir.

“Semua pria di negeri Birma merasa iri dan cemburu, bahkan Sang Raja sendiri pun merasa iri hati. Akan tetapi puteri jelita itu memilih pria yang berbahagia itu dan tak perlu diceritakan lagi betapa besar perasaan cinta kasih pria itu kepada isterinya. Dia mau mengorbankan apa saja, dia siap utuk mencuim bekas kaki isterinya, menyembah segala benda yang pernah dijamah isterinya itu. Dan melayani sendiri isterinya seperti budak yang paling hina. Dia setiap minum mempergunakan sandal isterinya itu, setiap hari menulis sajak pujian untuknya menghujaninya dengan segala kemesraan, dengan segala pernyataan cinta yang mungkin dilakukan seorang pria terhadap wanita. Pria itu memujanya, mencintanya, bahkan siap mengorbankan nyawa setiap saat kalau dibutuhkan oleh wanita itu.”

Kembali Mulana berhenti dan dua orang tamunya kini memandangnya penuh perhatian, mulai tertarik sekali. Memang Mulana pandai bercerita dan dia memiliki daya tarik yang mempesona.

“Akan tetapi, ah, sungguh kasihan sekalai pria itu! Betapa pun besar cintanya, segala pengorbanan yang diberikan, bahkan dia telah mengusir semua selirnya, tak pernah lagi mau melirik wanita lain, menyerahkan seluruh kedudukannya, hartanya, kesehatannya, segala-galanya. Namun… isteri tercinta itu tetap saja dingin terhadapnya.”

Bi Lian menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak merah. Diam-diam ia marah. Tuan rumah ini sungguh tidak mengenal batas, mengapa menceritakan hal seperti itu kepadanya? Kalau dilanjutkan cerita yang tidak sepantasnya, tentu ia akan menegurnya!

Agaknya Mulanan maklum akan isi hatinya. “Maafkan aku, Nona Cu. Maaf, bukan masksudku untuk menceritakan hal yang tidak pantas! Akan tetapi, semua ini untuk menyatakan betapa semua cinta dan pengorbanan pria itu sia-sia belaka. Hebatnya, biarpun puteri yang telah menjadi isterinya itu bersikap dingin, pria itu masih tetap memujanya. Dengan pria itu masih tetap memujanya. Dengan sabar dia merayu, dia membujuk, dengan hati-hati, dengan halus untuk membangkitkan perasaan cinta di hati isterinya, walaupun sedikit pun dia sudah akan menerimanya dengan perasaan amat berbahagia. Namun, sia-sia… puteri itu tetap dingin dan selalu memperlihatkan sikap tidak suka berdekatan…”

“Hemm, cerita itu semakin tidak menarik.” Kata Bi Lian.

“Dongeng yang menyedihkan.” Kata pula Han Siong sambil tersenyum kepada tuan rumah, untuk menghibur karena dia merasa tidak enak melihat sikap Bi Lian yang demikian jujur mencela dongeng tuan rumah.

Mulana tersenyum dan wajahnya yagn tampan nampak berduka, senyumnya pahit sekali. “Memang menyedihkan, dan mungkin tidak menarik bagi Nona Cu, jug abagi wanita pada umumnya. Akan tetapi amat menyedihkan bagi seorang pria. Cinta kasih seorang pria, mendambakan balasa, walaupun sedikit saja, melalui sentuhan halus, melalui senyum, melalui pandang mata mesra, melalui senyum melalui pandang mata mesra, melalui apa saja, pria yagn merindukan kaish sayang isterinya itu, selama bertahun-tahun, hanya mampu berharap, berharap, dan berharap….! Dan pada suatu malalm, dunia kiamat baginya!” Dan tiba-tiba saja Mulana menangis!

Han siong dan Bi Lioan terkejut bukan main. Mereka saling pandang, dan kemudian memandang kepada tuan rumah yang menutupi muka dengan kedua tangannya dan terisak menangis. Ketika mereka melirik ke rah nyonya rumah, wanita cantik itu masih terus makan ketika sepasang matanya melirik ke arah suaminya, Bi Lian menangkap sinar mata yang mengandung ejekan dan hinaan!

Ingin sekali Han Siong bertanya, apa yang telah terjadi dengan pria yang mendambakan cinta isterinya itu, akan tetapi dia menahan diri dan bersabar, menanti sampai Mulana menghentikan tangisnya. Pria itu menurunkan kedua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menghapus air mata yagn membasahi mukanya, lalu tersenyum, senyum paksaan. “Maafkan aku. setia kali menceritakan hal itu, aku selalu tak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatiku. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, malam itu memang terjadi sesuatu yang membuat pria itu merasa dunia kiamat baginya!”

“Apa yang terjadi?” Pek Han Siong tak dapat menahan lagi keinginan tahuannya.

“Apa yang terjadi?” Pek-taihiap, tidakkah engkau dapat menduganya? Puteri yang cantik jelita itu, isteri yang teramat dicinta suaminya itu, yang suka menjilati telapak kakinya untuk menyatakan cintanya, wanita yang secantik bidadari itu, yang kecantikannya tanpa cacat cela, pada suatu malam jahanam itu… ketika pria yang menjadi suaminya itu terbangun dan tidak melihatnya tidur di pembaringa lalu mencarinya ke belakang, wanita itu, yang selalu dingin terhadap suaminya, yang tak pernah satukali pun membelai/suaminya, bahkan tak pernah menyentuhnya dengan gairah, wanita itu… di dalam taman, di atas rumput begitu saja, di tempat terbuka, tanpa pakaian sama sekali, tak bermalu sedikitpun juga, bagaikan seekor binatang jalang yang panas dan penuh nafsu berahi, sambil mengerang seperti binatang dan dengan nafsu menggebu seperti kemasukan iblis, perempuan itu bergelut dan bermain cinta dengan tukang kebun!

“Ahhh…!” Seruan ini keluar dari mulut Bi Lian dan Han Siong hampir berbareng karena mereka sungguh terkejut bukan main.

“Ha, kalian tentu kaget! Siapa orangnya yagn tidak kaget! Dan pria itu, suami itu… dia bukan hanya kaget, akan tetapi dunia seperti kiamat baginya. Wanita yang dipujanya seperti dewi itu, yang didambakan cintanya, menyerahkan diri sebulatnya, lahir batin, kepada seorang laki-laki lain! Bukan pangeran bukan bangsawan, bukan hartawan, melainkan seorang tukang kebun biasa! Seorang hamba yang hina dina dan rendah, dan kotor! Apa yang selalu dijauhkannya dari suaminya yang mencintanya, yang memujanya, pada malam hari itu, mungkin juga malam-malam sebelumnya, telah diberikan sepenuhnya kepada seekor anjing!”setelah berkata demikain, Mulana memandang kepada isterinya, dengan sinar mata mengerikan, penuh penyesalan, penuh duka, penuh kebencian, akan tetapi juga penuh kasih sayang!

“Cukup!” Tiba-tiba wanita cantik jelita yang menjadi isteri Mulana itu berseru, suaranya seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya, dan muka yang amat cantik itu menjadi kemerahan. “Setelah semua dendam yang kaucurahkan, kenapa engkau malam ini melanggar janji dan menceritakan kepada orang lain. Mulana?”

“Aku terpaksa, Yasmina, aku tidak dapat bertahan lagi untuk menyimpannya sendiri. Dan dua orang ini bukan orang sembarangan, mereka adalah pendekar-pendekar yang telah berani menentang Kulana! Mereka patut mendengarkannya!”

“Bagus, engkau melanggar janji, aku pun tak perlu setia terhadap janji. Hai dua orang muda, dengarkan baik-baik. Akulah Yasmina, akulah isteri yang diceritakannya itu, wanita itu. Dialah yang membuat aku seperti itu. Mulana menganggap aku bukan seperti manusia, memujaku seperti benda keramat, seperti boneka kaca, melimpahkan semua cintanya seperti terhadap seorang dewi di kahyangan. Aku seorang perempuan, dari darah daging! Aku ingin diperlakukan sebagai seorang manusia, sebagai seorang perempuan darah daging yang haus akan belaian dan kasih sayang nyata seorang jantan! Dan aku menyerahkan diri, sepenuhnya, sepuas hatiku kepadanya! Dan aku puas. Aku menyesal, akan tetapi aku puas. Dan Mulana, dia memenggal leher tukang kebuh itu, membuat kepalanya menjadi tengkorak ini dan kau harus selalu minum anggur dari dalam tengkoraknya, melalui mulutnya! Aku menerima semua pelampiasan dendam ini, untuk menebug dosaku. Dan dia setiap malam bermain cinta dengan para gadis pelayan yang cantik dan muda, di depan mataku, untuk membalas dendam. Aku hanya mentertawakannya dalam hati. Bagaimanapun juga, dia tak dapat disamakan dengan tukang kebunku itu! Tidak ada seperempatnya! Dan dia berjanji takkan membuka rahasia itu. Akan tetapi malam ini, dia melanggar janjinya…!” Wanita itu, Yasmina, kini mengangkat tengkorak yang sudah diisi anggur baru, kemudian mencium mulut tengkorak itu. “Engkau, tukang kebunku yang setia, engkau selama ini menemaniku, engkau kehilangan nyawa karena aku, sekarang tiba saatnya engkau menjemputku. Bawalah aku ke sana…” dan wanita itu lalu menggigit sebuah di antara gigi tengkorak itu, minum anggur dari dalamnya dan ia pun terkulai di atas meja. Tengkorak itu terlepas dan jatuh bergulingan di atas lantai, seperti hidup, sampai berhenti di dekat kaku Mulana.

“Yasmina…!” Mulana menendang tengkorak itu dan meloncat ke dekat isterinya. Dia mengangkat muka isterinya, mungkin sudah lama dipersiapkan wanita itu menyimpan racun di bawah sepotong gigi tengkorak yang tadi digigitnya, dan minum racun itu bersama anggur!

“Yasmina…!” Mulana mengguncang-guncang isterinya, didukungya, dipondongnya dan dia pun menangis sambil kebingungan.

Melihat ini, Bi Liang bangkit dan memandang kepada Pek Han Siong. Alisnya berkerut dan gadis ini merasa betapa batinnya terguncang hebat oleh peristiwa yang terjadi antara suami isteri aneh itu.

“Mari kita pergi, aku menjadi muak dan mual!” katanya.

Pek Han Siong sendiri juga terguncang hebat perasaanya. Apalagi yang terjadi antara Mulana dan Yasmina itu terlalu hebat, sampai wajahnya menjadi berubah agak pucat. Ngeri dia membayangkan malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa sepasang suami isteri yang seperti mereka itu. Kaya raya, bangsawan tinggi, keduanya tampan dan cantik!”

“Mari!” katanya dan keduanya lalu meninggalkan ruangan itu tanpa pamit lagi karena tuan rumah tidak mungkin dapat diajak bicara. Dia sudah menjadi seperti gila, memondong mayat isterinya itu ke sana-sini, sambil menangis dan menciumi muka yang kebiruan itu. Pelayan yang berda di situ seperti berubah menjadi patung, terbelalak pucat tidak ada yang berani bergerak. Bahkan ketika Bi Lian dan Han Siong pergi meninggalkan perkampungan itu, tidak seorang pun penjaga mencoba untuk menghalangi mereka.

Ketika dua orang mud aitu tiba diluar perkampungan, tiba-tiba nampak api besar bernyala di belakang mereka dan sayup-sayup terdengarlah tangis-tangis dan teriakan Mulana memanggil-manggil nama isterinya. Agaknya Mulana telah menjadi gila dan telah membakar istanaya sendiri! Pria itu sesungguhnya amat mencinta isterinya akan tetapi dibikin gila oleh cemburu!

“Kasihan…!” Pek Han Siong yang berhenti dan memandang ke belakang mengeluh.

“Siapa yang kasihan?” Barulah Han Siong teringat bahwa Bi Lian berada di situ dantadi suara hatinya dikeluarkan melalui mulut.

“Kedua-duanya…” jawab Han Siong. Mereka melanjutkan perjalanan, berjalan perlahan menuruni bukit itu. “Engkau benar, Saudara Pek. Kasihan keduanya. Keduanya telah bersalah dan keduanya patut dikasihani karena nasib mereka sungguh buruk sekali. Tak sangka orang-orang seperti mereka…” kata Bi Lian, kemudian disambungnya, lirih. “Cinta memang aneh…”

“Ya, cinta memang aneh…” Han Siong juga menggumam lalu keduanya tenggelam dalam lamunan, kata-kata mereka itu berdengung di telinga mereka. Kata-kata itu seperti menunjukkan bahwa mereka mengerti atau setidaknya pernah mengalami cinta! Sampai lama mereka melangkah, termenung, saling menduga, lalu tiba-tiba Bi Lian bertanya.

“Saudara Pek, pernahkah engkau jatuh cinta?”

Han Siong terkejut, memandang gadis itu, menggeleng kepala. “Belum, dan engkau?”

“Aku juga belum pernah.”

“Kalau begitu, bagaiman engkau dapat mengatakan bahwa cinta itu aneh?”

”Dan engkau pun membenarkan begitu saja.” Dan keduanya saling pandang, lalu tertawa geli.

“Lihat saja mereka itu. Mulana dan Yasmina, bukankah mereka itu menjadi seperti orang gila karena cinta? Itulah yang membuat aku mengatakan cinta memang aneh tadi.” Kata Bi Lian membela diri.

”Tapi itu bukan cinta, Nona Cu. Mulana tidak mencinta isterinya dengan sesungguhnya, atau cintanya berlandaskan sebanggaan karena di telah berhasil memenangkan puteri itu dalam perebutan. Dia memperlakukan Yasmina sebagai barang pusaka, dikeramatkan, disanjung, dipuja, dibanggakan dan dipamerkan! Dan cinta Yasmina juga hanya cinta nafsu. Karena itu keduanya lalu menyeleweng, dan baru terasa cinta itu setelah terlambat. Mulana lebih mementingkan kebanggaan dirinya dan Yasmina lebih mementingkan nafsu berahinya, dan keduanya merana…”Aihh, agaknya engkau seorang yang ahli dalam seni mencinta, Saudara Pek!” kata Bi Lian.

Wajah Han Siong berubah merah. “Sama sekali tidak, hanya aku melihat hal-hal yang aneh sekali dalam cinta ini. Ada suatu peristiwa yang tidak kalah anehnya, juga amat mengharukan antara dua orang yang saling mencinta. Akan tetapi biarlah lain kali saja kuceritakan kepadamu, Nona Cu.”


”Siapakah mereka?” Bi Lian tertairk.

“Mereka… adalah kedua orang guruku, Suhu dan Suboku…”

“Ih, tentu menarik sekali. Ceritakan, Saudara Pek.”

”Lain kali sajalah. Mari kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Nah, di sana ada sungai kecil, bagaiman kalau kita melewatkan malam di tepi sungai itu?”

Mereka lalu mencari teapi sungai yang landai dan di situ terdapat banyak batu kali yang besar dan bersih. Mereka lalu mengumpulkan kayu kering, lalu membuat api unggun sambil duduk di atas batu kali yang besar, halus dan rata. Enak memang tempat itu. Sebelum pergi, mereka tadi sedah memasuki kamar masing-masing untuk membawa perbekalan mereka, tanpa ada yang mengganggu mereka.

“Sekarang mengaso dan tidurlah, Nona. Biar aku yang berjaga di sini.” Kata Pek Han Siong.

“Aku tidak mengantuk, Saudara Pek. Lebih baik kita bercakap-cakap. Pertemuan antara kita sungguh aneh sekali. Engkau muncul begitu saja ketika aku terancam bahaya, dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai. Kemudian kita bertemu dengan Mulana dan isterinya yang lebih aneh lagi. Apalagi mendengar bahwa engkau adalah kakak kandung Adik Pek Eng yang baru saja kukenal dengan baik, bahwa engkau adalah Sing-tong yang sudah amat lama kukenal namanya sebagai Anak Ajaib. Saudara Pek, ceritakanlah tentang keadaan dirimu, keluargamu. Begitu aku bertemu dengan adikmu, Pek Eng, aku sudah merasa suka sekali padanya.”

Han Siong menarik napas panjang. “Tidak ada sesuatu yang menarik tentang diriku, Nona. Akan tetapi, sesungguhnya adalah suatu hal yang amat penting, amat menarik tentang dirimu, Nona. Ketahuilah, sesungguhnya, ketika engkau memperkenalkan namamu, aku… aku telah menjadi terkejut sekali karena aku mengenal namamu dengan baik sekali, Nona Cu.”

Bi Lian memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Pantas ketika mendengar namaku engkau kelihatan kaget. Di mana engkau pernah mendengar namaku, Saudara Pek Han Siong?”

Han Siog mengambil keputusan untuk berterus terang. Kalau dia tidak mengaku, kelak tentu gadis ini akan merasa tersinggung dan marah karena dia pura-pura tidak mengenalnya. Padahal, dialah yang mendapat tugas dari suhu dan subonya untuk mencari puteri meraka ini. Akan tetapi, tentu saja tak mungkin dia berani mengaku tentang ikatan jodoh itu, bahkan aganya tidak bijaksan kalau dia membuka rahasia bahwa gadis ini bukan she Cu melainkan she Siangkoan. Dengan hati-hati dia lalu menjawab

“Sebelumnya, ingin aku mendengar pengakuanmu, bukankah dahulu engkau tinggal di sebuah dusun di Ching-hai selatan, di Pegunungan Heng-tuan-san, tak jauh dari sebuah kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-shu?"

Bi Lian memandang dengan sinar mata berseri. "Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu akan hal itu, Saudara Pek? Ketika itu aku tinggal di sebuah dusun, bersama kedua orang tuaku. Akan tetapi datanglah malapetaka di dusun itu. Terjadi pertempuran antara para tokoh sesat dan banyak orang dusun tewas pula dalam pertempuran itu, termasuk kedua orang tuaku! Ayah Ibuku tewas dan aku terjatuh ke dalam tangan kedua orang Guruku itu, ialah mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Ketika itu, aku berusia sebelas tahun dan mulai saat itu, aku menjadi murid mereka dan diajak merantau sampai jauh. Akan tetapi, sekali lagi, bagaimana engkau bisa tahu akan keadaan diriku di dusun itu?"

"Ada satu hal lagi, Nona, harap kaujawab dengan sejujurnya. Sebelum engkau ikut dengan kedua orang Gurumu itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, sebelum terjadi pertempuran antara tokoh sesat di dusunmu itu, yang mengakibatkan kematian Ayah Bundamu, sebelum itu, pernahkan engkau belajar ilmu silat?"

Bi lian kembali memandang tajam, penuh selidik dan ia mengingat-ingat. Masih teringat benar olehnya betapa ada dua orang yang selalu datang di malam hari, ketika ia masih kecil dan kedua orang itu secara bergiliran, laki-laki dan wanita, memberi petunjuk kepadanya akan dasar ilmu silat. Kedua orang itu dianggapnya sebagai guru-gurunya, disebutnya suhu dan subo dan mereka itu demikian sayang kepadanya. Terutama sekali subonya, kadang-kadang subonya itu mernperlihatkan kasih sayang kepadanya secara mesra. Ia suka digedongnya dan ditimangnya, dan diciuminya! Kini terbayanglah wajah mereka itu. Subonya seorang wanita yang teramat cantik, mukanya agak pucat dan pendiam, namun pandang matanya kepadanya penuh dengan kemesraan dan kasih sayang. Masih ingat ia betapa subonya itu selalu mengenakan sabuk sutera putih, sikapnya lemah-lembut sekali. Adapun suhunya seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, juga pendiam namun ramah dan baik sekali kepadanya, memberi petunjuk dengan tekun dan sabar. Yang tak mungkin dapat dilupakan dari suhunya itu adalah bahwa lengan kiri suhunya itu buntung sebatas siku. Lengan baju kirinya itu sebatas siku kosong. Hanya itulah yang teringat olehnya tentang suhu dan subonya, dan kini ia diingatkan dan ditanya oleh Pek Han Siong tentang kedua orang yang sudah hampir terlupa olehnya itu.

"Ya-ya-ya, aku tentu saja masih ingat kepada mereka. Suhu dan Subo yang demikian baik kepadaku! Ah, mereka suka datang secara bergilir di waktu malam, kata mereka itu, mereka tinggal di sebuah kuil Siauw-lim-si dan mereka membimbingku dengan dasar-dasar ilmu silat."

Girang sekali rasa hati Han Siong mendengar ini dan dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang. "Nona Cu, tahukah engkau siapa nama mereka itu?"

"Suhu dan Subo?" Gadis itu menggeleng kepala. "Tahuku hanya Suhu dan Subo. Mereka tak pernah memperkenalkan nama, juga Ayah dan Ibu yang agaknya amat menghormati mereka, tidak pernah menceritakan siapa nama mereka, hanya menyuruh agar aku patuh dan mentaati mereka sebagai Guru-guruku. Eh, Saudara Pek, apakah engkau kenal dengan Suhu dan Subo itu?"

Han Siong mengangguk, sejenak dia termenung memandang ke arah api unggun sedangkan gadis itu mengamati wajahnya penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengalihkan pandang matanya dan dua pasang sinar mata itu saling bertaut sampai beberapa lamanya, kemudian Han Siong berkata dengan sikap tenang.

"Aku mengenal mereka dengan baik, Nona, karena mereka itu adalah juga Guru-guruku! Suhu bernama Siangkoan Ci Kang, dan Subo bernama Toan Hui Cu."

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan diam-diam Han Siong memandang kagum. Gadis ini demikian mirip subonya! Akan tetapi jauh lebih cantik karena kalau subonya itu pendiam, gadis ini bermata tajam, sikapnya lincah, manis dan tahi lalat di dagu itu sungguh luar biasa manisnya, juga memiliki pembawaan yang gagah perkasa seperti suhunya!

“Aihhh..., kalau begitu engkau……. "

"Aku adalah…… saudara seperguruan denganmu, Sumoi."

"Engkau Suhengku! Ah, akan tetapi, aku baru mempelajari dasar-dasar gerakan ilmu silat saja dari Suhu dan Subo, dan aku selanjutnya digembleng oleh kedua orang Guruku, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi!"

"Mereka itu merampasmu dari Suhu dan Subo.”

"Tapi... tapi ilmu silat kita berbeda jauh, dan engkau... begitu lihai. Kalau begitu, Suhu dan Subo itu lihai bukan main, bahkan melebihi kedua orang Guruku yang sudah tewas!" Bi Lian kagum bukan main.

Han Siong menggeleng kepalanya. "Belum tentu, Sumoi. Kedua orang Gurumu itu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah amat tinggi ilmunya, walaupun Suhu dan Subo juga merupakan orang-orang sakti. Ilmu silat kita memang berbeda, akan tetapi aku tidak berani mengatakan bahwa aku lebih lihai darimu. Kulihat engkau lihai bukan main, hanya karena engkau dipengaruhi sihir oleh Kulana, maka engkau hampir celaka."

"Dan engkau dapat melenyapkan pengaruh sihir! Kalau begitu, selain ilmu silat, Suhu dan Subo juga mengajarkan ilmu sihir kepadamu, Suheng, sehingga engkau mampu melawan Kulana?"

Han Siong menggeleng kepala. "Tidak, biarpun Suhu dan Subo lihai, namun bukan rnereka yang mengajarkan i1mu sihir kepadaku. Sumoi, ketahuilah, ketika engkau rnemperkenalkan namamu, aku menjadi demikian gembira sampai merasa takut mengaku kepadamu. Baru sekarang aku mengaku karena sesungguhnya, Suhu dan Subo telah memberi tugas kepadaku untuk mencari engkau sampai dapat kutemukan!"

Bi Lian tersenyum memandang. Di bawah sinar api unggun, wajah pemuda ini nampak aneh dan menarik sekali, dan ia merasa betapa jantungnya berdebar. Entah karena senang mendapat kenyataan bahwa pemuda lihai ini suhengnya, atau mengapa ia sendiri tidak dapat mengerti. Yang jelas, diingatkan keadaannya ketika kecil mendatangkan kenangan yang aneh, ada pahitnya dan ada pula manisnya. Dan ia sama sekali tidak mengira bahwa suhu dan subonya yang dulu itu, ternyata masih ingat kepadanya, bahkan mengutus muridnya yang lihai ini untuk mencarinya sampai dapat!

"Dan ternyata engkau berhasil Suheng. Kita telah dapat saling bertemu, lalu apa yang akan kaulakukan terhadap aku, atau... apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Han Siong juga tersenyum. Gadis ini memiiliki pembawaan yang lincah gembira. "Kita saling bertemu, bahkan bersama telah menghadapi pengeroyokan lawan lihai, dan baru saja tadi mengalami hal yang amat aneh dan mengguncangkan batin. Tentu saja aku ingin menyampaikan pesan Suhu dan Subo bahwa... bahwa... engkau diminta untuk berkunjung kepada mereka, Sumoi. Mereka sangat rindu kepadamu dan merasa khawatir ketika mendengar bahwa engkau lenyap dari dalam dusun itu. Akan tetapi, sebelum itu, aku ingin mencari dulu adikku Pek Eng, untuk kuajak keluar dari tempat berbahaya itu."

"Engkau benar sekali, Suheng. Aku pun tadinya merasa heran dan juga tidak rela melihat seorang gadis seperti Eng-moi itu berada di antara mereka. Apalagi ia menjadi murid bahkan anak angkat seorang sejahat Lam-hai Giam-lo! Ada dua hal yang mendorong Adikmu menjadi muridnya. Pertama, karena tadinya ia tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo dan dengan kecerdikannya, Adikmu itu telah dapat menundukkan hati Giam-lo sehingga kakek iblis itu suka kepadanya dan bahkan mengambilnya sebagai murid dan anak angkat. Dan yang ke dua, Adikmu itu memang ingin mempelajari ilmu silat tinggi setelah ia minggat dari rumahnya karena tidak sudi dijodohkan dengan pemuda yang tidak dicintanya. Akan tetapi kalau bertemu denganmu, dan tahu bahwa engkaulah kakak kandungnya yang selama ini dicarinya, aku yakin engkau akan dapat membujuknya keluar dari sana. Aku pun hendak kembali ke sana, Suheng. Ada dua hal yang ingin kulakukan di sana."

"Apakah dua hal itu kalau aku boleh tahu, Sumoi?"

"Pertama, aku harus membalaskan kematian Ayah Ibuku, dan ke dua, akupun tidak akan tinggal diam saja karena kedua orang Guruku sampai tewas di sana. Kulana harus bertanggung jawab karena ulah dia yang melamarku yang menjadi penyebab kematian kedua orang Guruku itu."

"Dan siapakah yang telah menewaskan Ayah Ibumu di dusun?"

"Ayah Ibuku tewas di tangan... mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi….”

"Aih??" Han Siong berseru kaget. "Lalu kepada siapa……"

"Begini, Suheng. Pada waktu itu kedua orang Guruku itu dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, dan anak buah mereka. Mereka itu bahkan menghasut orang dusun agar memusuhi Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang tua ini mengamuk dan membunuh banyak musuh, termasuk banyak orang dusun. Dengan demikian, biarpun orang tuaku tewas di tangan kedua orang Guruku itu, akan tetapi kedua orang Guruku itu tidak mempunyai permusuhan dengan orang tuaku. Yang bersalah adalah dua pasang suami isteri itulah yang menghasut penduduk untuk ikut mengeroyok dua orang tua itu. Nah, kuanggap bahwa merekalah yang telah menjerumuskan Ayah Ibuku sehingga menjadi korban.”

Han Siong mengerutkan alisnya, teringat dia akan semua nasihat suhu dan subonya, juga semua wejangan dari gurunya yang ke dua, yaitu Ban Hok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Setelah menarik napas panjang, semua nasihat dan petuah yang pernah didengarnya itu pun meluncur lewat mulutnya tanpa dapat ditahan dan bahkan di luar kesadarannya sendiri.

"Sumoi, dendam merupakan suatu penyakit yang amat merugikan diri sendiri dan dari dendam timbullah perbuatan-perbuatan kejam dan bahkan jahat. Apalagi dendam terhadap kematian. Semua orang di dunia ini pada saatnya tentu akan mati, Sumoi dan jangan dikira bahwa ada orang lain yang dapat menentukan kematian seseorang, walaupun orang itu bisa saja menjadi sebab daripada kematian orang lain. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu pasang suami isteri seperti Lam-hal Siang-mo atau seribu orang seperti mendiang guru-gurumu itu, tak mungkin orang tuamu di dusun dapat tewas! Juga kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu orang Kulana takkan mungkin dapat menyebabkan kedua orang gurumu saling serang sehingga akhirnya keduanya tewas! Tidak Sumoi, mendendam sungguh merupakan suatu penyakit yang keliru. Kematian berada

"Suheng…… !" Bi Lian berseru kaget dan heran karena baru sekarang ia mendengar pendapat seperti itu.

Han Siong tersenyum. "Untuk mengambil nyawa orang, Thian mempergunakan banyak macam cara, Sumoi. Ada yang melalui penyakit, melalui kecelakaan, melalui bencana alam dan sebagainya. Apakah kita juga harus mendendam kepada penyakit kalau keluarga kita mati karena penyakit? Mendendam kepada api kalau mati karena api, dan mendendam kepada air kalau seandainya mati tenggelam?"

"Tapi, Suheng! Apakah kita harus berdiam diri saja melihat orang-orang melakukan kejahatan seperti dua pasang suami isteri iblis itu, melihat seorang seperti Kulana yang mengandalkan pengaruh dan kekayaan hendak memaksakan kehendaknya?"

"Wah, i tu lain lagi, Sumoi. Bukan persoalan dendam lagi, melainkan sikap seorang pendekar yang harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran. Kalau engkau hendak menentang Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya karena engkau tahu benar bahwa mereka itu adalah sekelompok orang sesat yang hanya hendak mengancam kedamaian hidup orang lain, itulah panggilan jiwa kependekaranmu dan aku akan menemanimu ke sana. Sekarang, kita beristirahat lebih dulu, besok pagi-pagi kita melakukan penyelidikan ke sana. Akan tetapi ingat, bebas dari dendam, Sumoi."

Bi Lian tersenyum dan mengang:guk. "Bebas dari dendam, Suheng." Ia masih tersenyum ketika akhirnya dapat tidur pulas sedangkan Pek Han Siong duduk

Bersila dekat api unggun, mengumpulka hawa murni dan berjaga karena dia tahu bahwa di tempat itu, dia tidak boleh lengah.

***

Kita biarkan dulu Pek Han Siong dan Cu Bi Lian yang sedang beristirahat di tepi anak sungai itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Hay Hay yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.

Seperti kita ketahui, Hay Hay berjumpa dengan Kok Hui Lian, dan dengan janda muda yang selain cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keharuman, dan teramat lihai ilmu silatnya itu, hampir saja terjadi hubungan badan yang terdorong oleh berahi. Untung bahwa Hay Hay memiliki batin yang amat kuat walaupun dia sudah hampir lupa dan buta oleh gejolaknya nafsu. Mereka berdua dapat menguasai diri kembali, tidak terjadi suaiu pelanggaran walaupun mereka telah bermesraan. Setelah mereka saling berpisah, Hay Hay tidak pernah dapat melupakan wanita itu, seorang wanita yang memenuhi segala keindahan yang dapat dibayangkan pria mengenai diri seorang wanita.

Kini dia masih mempunyai sebuah tugas, yaitu mengembalikan pusaka batu giok milik Kwan-taijin, yaitu Jaksa Kwan yang terkenal adil dan dimusuhi kaum sesat itu. Batu giok mustika itu dirampas oleh Min-san Mo-ko dari tangan Jaksa Kwan ketika pembesar ini ditawan, akan tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, para penjahat dapat diusir dani batu giok mustika dapat dirampas kembali. Bahkan tanpa disengaja, dengan batu giok itu luka-luka beracun mereka berdua dapat disembuhkan. Ketika berpisah, Hui Lian minta kepada Hay Hay untuk mehgembalikan batu giok mustika itu kepada Jaksa Kwan yang tinggal di kota Siang-tan.

Setelah berpisah dari Hui Lian, ada memang perasaan kehilangan dan kesepian di dalam hati Hay Hay. Namun, dia menghadapinya dengan senyum, mentertawakan diri sendiri dan perasaan kehilangan dan kesepian itu pun lenyap bagaikan tertiup angin pagi yang sejuk. Dia tahu benar mengapa ada perasaan kehilangan itu menyelinap di dalam hatinya. Itulah tuntutan nafsu badani, ikatan batin yang selalu menghendaki adanya kesenangan. Kalau ada sesuatu yang menye nangkan batin kita, baik yang menyenangkan itu orang lain, atau benda, atau bahkan gagasan saja, maka kita selalu menghendaki agar kesenangan itu tidak terpisah lagi dari diri kita. Pikiran kita selalu haus akan kesenangan, ingin mengulang kembali segala hal yang menyenangkan dan karena itulah, terjadi ikatan di dalam batin terhadap kesenangan-kesenangan itu. Dan sekarang. batin terikat, maka apabila saatnya tiba kesenangan itu harus berpisah dari kita, timbullah rasa kehilangan, kesepian, kecewa dan duka.

Hay Hay sering merenungkan kenyataan hidup ini, membuatnya waspada dan dapat melihat kenyataan dan kepalsuan di dalam kehidupan secara gamblang. Badan lahiriah memang harus mempunyai, demi kebutuhan badan sendiri, demi kehidupan badan sebagai anggautamasyarakat, memiliki keluarga, sahabat, benda-benda, ilmu pengetahuan, kepandain dan sebagainya lagi. Namun, batin haruslah bebas tidak memiliki apa-apa. Sekali batin ikut memlliki apa yang dipunyai badan, maka timbullah ikatan batin dan ikatan batin inilah penyebab timbulnya duka dan kesengsaraan batin. Batin harus kosong, bebas dan berdiri sendiri, tidak bersandar atau bergantung, juga tidak disandari atau digantungi. Pengamatan penuh kewaspadaan ini membuat Hay Hay sudah gembira kembali ketika dia melanjutkan perjalanannya, menuju ke kota Siang-tan karena dia ingin lebih dulu berkunjung ke tempat tinggal Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu giok mustika milik pembesar itu.

Kota Siang-tan di Propinsi Hunan merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Di sinilah tinggal Kwan-taijin, jaksa yang terkenal jujur dan keras memegang tegaknya hukum dan pembesar ini tidak pernah mau memaafkan perbuatan jahat, menghukum banyak sekali penjahat besar sehingga dia amat dibenci oleh para penjahat. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika Kwan-tajjin bersama keluarganya melewatkan waktu libur di Telaga Tung-ting, hampir saja dia tewas di tangan para tokoh sesat yang mendendam kepadanya. Para penyerang itu adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai sehingga Kwan-taijin sampai berhasil ditangkap. Namun, berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, pembesar itu dapat diselamatkan dan diantar pulang bersama keluarganya oleh Hay Hay. Batu giok mustika terampas penjahat dan akhirnya Hay Hay dan Hui Lian dapat merampasnya kembali. Kini, setelah Hay Hay berpisah dari Hui Lian,

Dia harus kembali lagi ke Siang-tan untuk mengembalikan benda yang amat berharga itu kepada pemiliknya.

Kedatangan Hay Hay disambut dengan gembira dan ramah oleh Kwan-taijin. Melalui penjagaan yang ketat, akhirnya dia bertemu dengan pembesar itu di kamar tamu.

"Aih, kiranya Tai-hiap yang datang berkunjung!" kata pembesar itu menyongsong kedatangan Hay Hay yang merasa canggung melihat betapa pembesar yang amat terkenal itu menyebutnya Tai-hiap (Pendekar Besar). Dia membalas penghormatan tuan rumah dan Kwan-taijin segera menggandengnya, diajaknya masuk ke sebelah dalam dan barulah nampak oleh Hay Hay bahwa di dalam ruang yang besar itu terdapat seorang lain yang sedang duduk. Dia memperhatikan. Orang laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan melihat cara dia berpakaian, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang pembesar tinggi. Wajahnya halus dan ramah, sepasang matanya membayangkan suatu kecerdikan dan mulut yang selalu tersenyum itu penuh kebijaksanaan. Agaknya, ketika pengawal melaporkan tentang kunjungannya, Jaksa Kwan sedang duduk bercakap-cakap dengan pembesar ini.

"Kebetulan sekali, kami baru menerima kunjungan Yang-taijin dan kami bahkan sedang bicara tentang dirimu,Tai-hiap. Mari silakan masuk dan kuperkenalkan kepada Yang-taijin!"

Hay Hay melangkah masuk dengan sikap hormat, tahu bahwa tentu orang itu pun seorang bangsawan tinggi walaupun sikapnya ramah dan sederhana. Ada kewibawaan besar terpancar dari pandang mata orang itu.

Anda sedang membaca artikel tentang Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 4 dan anda bisa menemukan artikel Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kph-pendekar-mata-keranjang-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kph-pendekar-mata-keranjang-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar