Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 11 Mei 2012

Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 1 adalah lanjutan dari postingan sebelumnya yaitu

Dan berikut seri pertama Pendekar Sadis....

Pagi yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga amat indahnya, muncul
di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa keriangan dan kesegaran kepada semua yang berada
di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari
segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan
dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan,
pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara maupun
yang berjalan dan merayap di atas bumi.
Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di antara gumpalan-gumpalan awan yang
berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung
gembira, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian dan keseraman yang timbul
bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, melainkan hanya sementara saja. Demikian pula
sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam
yang membawa kegelapan.
Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah menilai bahwa yang siang itu baik
dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya,
kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa penilaian, maka
tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam
kegelapan dan kesunyian malam itu!
Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua mahluk, kecuali manusia!
Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan keakuannya. Manusia terlalu
mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Di waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan, manusia
mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini, dan di waktu menikmati peristiwa yang
menyenangkan, manusia menjadi mabuk dan lupa diri!
Di dalam hutan di lereng bukit pada pagi hari itu pemandangannya amatlah indahnya. Dari ujung daun-daun dan
rumput sampai kepada awan, semua seolah-olah tersenyum gembira bersama cahaya matahari pagi yang lembut dan
menghidupkan. Akan tetapi, seorang wanita yang berjalan mendaki lereng bukit itu, yang memanggul tubuh seorang
pria, berjalan sambil menangis sedih! Sungguh, di manapun juga di dunia ini, selalu terdapat manusia yang
merasa sengsara dan tenggelam dalam kedukaan.
Wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun usianya, berwajah serius dan
gagah. Biarpun dia memanggul tubuh seorang pria di pundaknya, namun langkahnya yang tegap dan ringan itu jelas
menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Memang sesungguhnya
demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya
karena kelihaiannya sendiri melainkan karena dia adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat
terkenal. Wanita ini bernama Lie Ciauw Si, cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah satu-satunya
cucu Cin-ling-pai yang menerima penggemblengan langsung dari mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong,
pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya karena
dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, biarpun harus diakui bahwa dia tidak atau belum menguasai
ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna seperti kakeknya.

Tubuh pria yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya pucat seperti mayat, di ujung
bibirnya nampak darah, napasnya tinggal satu-satu. Siapakah pria itu? Dia pun masih muda, bahkan masih amat
muda, kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan dan pakaiannya amat mewah,
seperti pakaian pria-pria bangsawan. Pria ini adalah suami Lie Ciauw Si! Dia adalah seorang Pangeran, bahkan
Pangeran dari dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari Puteri Khamila yang menjadi isteri Raja Sabutai,
seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu saja dia adalah seorang Pangeran kerajaan utara ini. Akan
tetapi, ayah kandungnya bukanlah Raja Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung, Kaisar Kerajaan Beng-tiauw
dan hal ini selain diketahui oleh Raja Sabutai, juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia
sehingga secara resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Namanya adalah Pangeran
Oguthai, yaitu sebagai Pangeran utara, atau Ceng Han Houw, sebagai Pangeran Kerajaan Beng-tiauw.

Ceng Han Houw ini adalah seorang Pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan suka sekali mempelajari
ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari orang-orang sakti sehingga
dalam hal ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya yang lihai itu! Kepandaiannya yang
hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan sombong, di samping ambisinya yang amat besar untuk menjadi
jagoan nomor satu di dunia, bahkan kaiau mungkin untuk merampas tahta Kerajam Beng-tiauw. Sikap inilah yang
telah menjatuhkannya! Di bawah Pimpinan Pangeran Hung Chih, yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para
pendekar yang sakti telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh dan terluka secara hebat sekali
ketika terjadi pertempuran. Juga semua pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua usahanya itu
mengalami kehancuran dan kegagalan. Pangeran Ceng Han Houw sudah kehilangan segala-galanya, kecuali isterinya
yang amat setia dan amat mencintanya itu. Isterinya inilah yang membawa tubuhnya yang terluka parah itu,
membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran di mana suaminya mengalami kegagalan, melarikannya siang
malam sampai pada pagi hari itu, dengan tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng bukit itu
sambil menangis.

Hampir dia tidak kuat melangkah lagi, namun dipaksanya karena dia harus dapat membawa suaminya yang sudah lebih
mendekati mati daripada hidup itu sampai ke puncak. Dia mendengar bahwa di puncak bukit itu tinggal seorang
pertapa yang pandai sekali mengobati orang, maka harapan satu-satunya hanyalah membawa suaminya menghadap
pertapa itu.

Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga. Dia telah melakukan perjalanan dua
hari dua malam, hanya berhenti untuk memberi minum, atau lebih tepat memasukkan air ke dalam perut suaminya,
karena suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tidak sadar. Dia sendiri selama itu hanya minum sedikit
air saja! Maka, ketika dia mendaki lereng bukit ini, kedua kakinya sudah gemetar dan dia harus menggigit bibir
dengan air mata menetes-netes untuk menguatkan dirinya. Betapapun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi,
langkahnya masib nampak ringan ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah
kelihatan dari bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat cahaya yang penuh harapan,
tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia berloncatan naik ke atas puncak.

Pondok itu kecil sederhana dan pintunya terbuka! Maka Ciauw Si yang sudah merasa betapa matanya berkunang dan
kepalanya pening, melangkah masuk. Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk bersila di dalam pondok. Dia
cepat melangkah maju dan sempat berkata lirih, "...mohon... mohon Locianpwe sudi... menolong suami saya..." dan
tergulinglah isteri setia ini bersama suami yang dipanggulnya, roboh ke depan kaki pria tua yang duduk bersila
itu.
"Siancai..., siancai...! Jarang di dunia ini ditemui wanita seperti dia ini...." Kakek itu berkata lembut, lalu
turun dari atas pembaringan dan dengan tidak mudah karena dia sudah tua dan tenaganya sudah lemah, dia
mengangkat suami isteri itu seorang demi seorang dan merebahkan mereka di atas pembaringan kayu sederhana. Dia
berdiri menggeleng kepala dan menarik napas panjang memandang kepada suami isteri yang tampan dan cantik lagi
muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan kelihatan amat menderita. Kemudian, dia menggulung lengan
bajunya, mendekati Han Houw dan dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung pria muda itu.
Wajah yang keriput itu nampak terkejut sekali.

"Aihhh... kacau dan remuk keadaan dalam tubuh orang muda ini! Hemm... tak tahu aku apakah aku akan dapat
mengobati... sungguh hebat, mengapa kekerasan saja yang timbul dari penumpukan kepandaian?"

Setelah memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggeleng kepala, dia lalu memeriksa keadaan Ciauw Si dan
mengangguk-angguk. "Terlampau lelah, terlampau duka dan gelisah, menderita kelaparan dan kehausan. Sungguh
wanita luar biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan..."

Karena maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw amat berbahaya, kakek itu
cepat-cepat mengambil akar yang masih segar, lalu mengirisnya tipis-tipis dan menggodoknya dalam periuk,
mencampurinya dengan beberapa macam daun dan bubukan buah kering. Sambil mengipasi api arang, dia bersenandung
mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan.
Siapakah kakek ini? Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang sudah lama bertapa di puncak bukit sunyi
itu, menjauhkan dunia ramai dan hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati. Hanya di waktu timbul wabah
yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari tempat pertapaannya untuk memerangi wabah itu.
Selain ini, juga setiap kali ada orang sakit datang kepadanya, dia selalu mengobatinya dan ternyata obatnya
amat manjur sehingga sebentar saja namanya terkenal di seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Karena
dia tidak pernah mau mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang diterimanya
dengan senyum saja.
Setelah godokan obat itu masak, dia lalu mendinginkannya di atas cawan dan dengan hati-hati dia lalu memasukkan
obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han Houw yang dalam keadaan setengah sadar meneguk obat itu
dengan susah payah. Tak lama kemudian Ciauw Si sadar dari pingsannya, mengeluh dan membuka mata. Melihat kakek
itu sedang menyuapi obat kepada suaminya, dia cepat bangkit duduk.
"Mengasolah dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan..."
"Tidak, Locianpwe, saya tidak apa-apa..." Ciauw Si memaksa diri turun dari pembaringan. Pada saat itu, Yok-sian
sudah selesai memindahkan air obat itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang kepada Ciauw Si sambil
tersenyum ramah.
"Engkau kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku masih mempunyai bubur,
di meja itu..."
Ciauw Si sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe, harap jangan memusingkan diri saya,
akan tetapi... bagaimanakah dengan dia...?" Dia menoleh ke arah suaminya yang masih rebah terlentang dengan
muka pucat seperti mayat.
Kakek itu memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus dan mengangkatnya bangun. "Jangan begitu, duduklah,
Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan tenang."
Ucapan yang halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu bangkit dan duduk di
atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja kecil penuh rempah-rempah dan obat-obatan.
"Harap Locianpwe katakan, bagaimana dia?" dia bertanya, sinar matanya penuh permohonan, mukanya yang pucat dan
penuh kekhawatiran itu menyedihkan sekali.
"Engkau adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan tidak lemah. Terus terang
saja, keadaannya amat parah, luka-lukanya di dalam tubuh amat hebat. Akan tetapi, tentu saja aku tidak berani
mendahului kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkannya atau tidak. Betapapun
juga, aku hendak mencobanya."
"Ah, terima kasih, Locianpwe, terima kasih..." Suara Clauw Si mengandung isak keharuan karena pengharapannya
timbul kembali. "Hanya Locianpwe yang dapat saya harapkan... hanya Locianpwe yang dapat menyembuhkannya..."
"Apamukah dia itu?"
"Dia suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam..."
"Dan kau terus-menerus memanggulnya selama itu? Ah, engkau harus makan dulu, nah, kaumakanlah bubur ini,
kemudian istirahatiah. Masih banyak waktu bagi kita untuk bicara."
Setelah mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun obat segar yang
diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu, diam-diam dia menduga-duga apa yang telah terjadi
dengan orang itu dan siapa adanya suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orang-orang sembarangan itu.
Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih suka menolong dan berhubungan dengan penduduk dusun yang sederhana
daripada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang memiliki kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai dan
saling membunuh itu, kebiasaan yang membuat dia merasa jijik sekali.
Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus sehat agar dia dapat
merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya. Setelah tiba di sini, melihat Hen Houw, dia
hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Hen Houw di sampingnya? Dia sudah terbuang
dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka! Terbayanglah dia betapa keluarga
Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiripun
menentang. Dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi
isteri Han Houw! Dan setelah dia merasa dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw
seoranglah yang dia miliki. Dan dia amat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak
atau tidak, jahat atau tidak.
Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si dan mulailah dia makan bubur dengan sekedar sayur
asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap, tenaganya pulih kembali
setelah dia mekan bubur dan minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok piring dan membersihkan meja den
ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak, agaknya karena pengaruh obat yang telah diminumkan
oleh kakek tadi, maka hatinya terasa lapang dan dia menanti kembalinya kakek ahli obat itu.
Setelah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun dan akar obat. Ciauw Si
menyongsongnya dan membantunya membawa rempah-rempah itu masuk pondok.
"Engkau sudah makan?"
Ciauw Si mengangguk. "Terima kasih Locianpwe."
Ketika Kakek itu memasuki pondok dan melihat pondoknya bersih dan rapi, dia tersenyum girang, lalu dia langsung
memeriksa keadaan Han Houw, "Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan ini ke atas tambir dan
jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh beruntung baginya bahwa tidak ada
hawa beracun mengeram dalam tubuhnya..."
"Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe..."
Kakek itu memandangnya dengan heran. "Apa maksudmu? Mengeluarkannya bagaimana?"
"Dengan pengerahan sin-kang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya..."
"Ah, engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya. Akan
tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk mencoba mengobatinya!"
"Mengapa, Locianpwe?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Terus terang saja, keadaannya amat parah, entah mengapa keadaannya sampai
seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan akan membahayakan, karena dia sudah
kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu. Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi
sedikit, mengandalkan kemanjuran obat dan perawatan alam yang sewajarnya. Entah berapa lama engkau harus
merawatnya, dan dengan cara demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh."
"Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe," kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena dia sendiri
maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat disembuhkan.
"Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu sehingga keadaannya sampai
sedemikian rupa?"
Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia lalu mengambil keputusan untuk menceritakan keadaan
dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah seorang luar biasa dan yang diharapkannya akan dapat
menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia harus menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada kakek ini.
"Locianpwe, saya adalah seorang anak yang durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu kandung dan keluarga
karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu kandung saya adalah puteri dari
mendiang ketua Cin-ling-pai..."
"Ahhh...! Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu. Pengakuanmu
sebagai anak durhaka menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik, lanjutkan ceritamu."
"Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini dan... kami menikah di luar persetujuan keluarga saya. Suami
saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran, dia roboh oleh
seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang gagalnya cita-citanya itu,
saya tidak peduli akan hal itu... dan terus terang saja, saya sendiri tidak setuju dengan semua yang telah
dilakukannya, akan tetapi... Locianpwe, saya... saya cinta padanya..." Dan Ciauw Si menunduk, menahan air
matanya. Dalam keadaan biasa, memang seolah-olah pantang bagi wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu
mudah menjatuhkan air mata.
Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kagum kepada kepala yang menunduk itu, juga terkandung
perasaan iba yang besar. "Bahagialah dia yang telah mendapatkan cinta kasih seorang wanita sepertimu cinta yang
tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara mengobatinya, obat-obat apa yang harus
kauberikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan
mungkin bertahun-tahun baru dia akan dapat sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang amat sulit,
anak yang baik, akan tetapi itu juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu."
Demikianlah, kakek itu lalu membuat ramu-ramuan obat-obatan dan dia mengajarkan kepada Ciauw Si tentang
obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali. Setelah menerima pengobatan
selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya dan bahaya yang mengancam nyawanya telah
lewat, dia telah tertolong sungguhpun keadaan tubuhnya masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari
pembaringan. Bekas Pangeran ini merasa amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk
ketika mendengar akan penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali
semua sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan mengalami
kesengsaraan sebagai akibat daripada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya betapa bodohnya dia,
betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang dijangkaunya.
Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada apa adanya
saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup
HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tidak akan maju!
Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau
begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah
sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?
Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih
menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih
menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau keinginan akan sesuatu yang dianggap
akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau
setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang
dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan
yang lebih tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan
mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai
sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti mendatangkan kesenangan? Memang,
mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan
kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi
atau cita-cita itu hanyalah merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti
yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan kesenangan
sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap
lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar
sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat
merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati
bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja.
Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau kita mau meneliti diri sendiri, segala
sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata "kemajuan" bagi kita
bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak
uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi
atau memiliki banyak uang? Kalau kita menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta
besar, maka jawabannya ternyata akan berbunyi : TIDAK!
Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan menyeleweng, karena demi
pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita
tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi,
apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan
menyenangkan itu.
Dan apakah artinya semua "kemajuan" lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih antar
manusia dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua "kemajuan" yang serba hebat, tenaga-tenaga yang
serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling membunuh. Mari kita
sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang
senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihatlah
kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah
negara ini berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita
boleh berbangga hati dan membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah "maju"? Betapa menyedihkan!
Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia lalu mencari sebuah rumah di dalam
sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa perhiasan yang menempel di tubuhnya, cukuplah baginya untuk
membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana, dan di situlah dia merawat suaminya sambil mempergunakan
tenaga petani mengusahakan tanahnya, cukup untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh
ketekunan.
Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, biarpun dia hidup sederhana, berpakaian
wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak segar dan kedua pipinya kemerahan
seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu bening berseri, murah senyum. Di sini, dia tidak
pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang
hanya memiliki sedikit kebutuhan hidup mereka secara wajar.
Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi sebagai seorang
ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian tubuhnya yang rusak sehingga
dia tidak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sin-kang seperti dahulu. Kepandaian, yaitu ilmu silatnya,
memang masih ada, akan tetapi apa artinya kalau sin-kangnya sudah lenyap dan tidak sedikit tenaga dalam yang
tidak ada artinya itu? Maka, dalam keadaan masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan,
dia mulai mencatatkan ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang didapatnya dari pelajaran kitab ciptaan
Bu Beng Hud-couw. Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong-sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga,
dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab itu, maka
dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu akan rahasianya, maka
orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya sendiri! Dengan tekun, sama tekunnya
dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab itu. Diapun, seperti isterinya, dapat mulai
merasakan ketenteraman hidup, ketenangan batin tinggal di tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung
dan sinar matahari.
Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke puncak dan ke
pondok kakek itu untuk minta nasihat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi sahabat-sahabat baik dan
Yok-sian diam-diam kagum akan pengetahuan bekas Pangeran itu yang cukup luas, karena memang Han Houw banyak
mempelajari kitab-kitab sejarah dan kesusastraan. Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek
ini juga memiliki keahlian untuk meramal, dia tertawa.
"Ah, kalau begitu, tolonglah engkau lihatkan garis nasibku, Locianpwe," katanya sambil bangkit duduk dan
menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu agar dia dapat duduk di pembaringan. Yok-sian tertawa
juga melihat kegembiraan wajah tampan dari Pangeran muda itu.
"Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng saja, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang belum tiba?"
"Aku pun hanya iseng-iseng mau tahu saja Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu meramal kalau
tidak mau melihat garis nasib orang?" kata Han Houw sambil menyodorkan tangan kirinya. Pada saat itu, Ciauw Si
masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk iseng-iseng melihat garis tangan suaminya dan dia
pun duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira. Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis
tangah Pangeran itu dan tak lama kemudian dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya
nampak serius ketika dia berkata, "Pangeran, dari garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran
akan sembuh dan selamat dari bahaya maut ini."
Suami isteri itu saling pandang dengan gembira dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar, "Ah, tanpa melihat
garis tangan sekalipun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya. Bukankah Locianpwe yang telah
mengobati dan menyelamatkan diriku?"
"Ah, jangan mencela dan memandang rendah!" Ciauw Si menegur suaminya. "Locianpwe, harap teruskan membaca garis
nasibnya."
Kakek itu terus menyusuri garis-garis telapak tangan Han How, kemudian, tanpa mempedulikan teguran Pangeran itu
tadi, dia berkata lagi, "Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera..."
Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Sejak Han Houw terluka, kedua
kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai
seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai seorang putera?
"Tapi... tapi..." katanya ragu.

"Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tidak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib, jelas
bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang terlebih penting lagi..." Kakek itu mengerutkan
alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw dan Ciauw Si ikut pula
merasa tegang.

"Ada apakah, Locianpwe?" tanya Ciauw Si khawatir.
"Inilah kebaikannya ilmu meramal," akhirnya kakek itu berkata, "manusia dapat berhati-hati menghadapi bintang
gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar mengancam kalau
Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan agar Pangeran dan isteri
mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan sekali-kali mendekati keluarga."
"Yang Locianpwe maksudkan, keluarga... yang mana?" Ciauw Si bertanya khawatir sedangkan Han Houw hanya
tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini.
"Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu datang melalui keluarga. Maka
sebaiknya kalau ji-wi (kalian) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu dan hubungan
keluarga."
Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Clauw Si. Akan tetapi Han
Houw tidak mempedulikannya, sungguhpun untuk waktu itu dia sama sekali tidak berkeinginan untuk berhubungan
dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya? Ayah kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya,
kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak.
Sedangkan ayah tirinya, Raja Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia
merasa malu untuk berjumpa dengan siapapun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini.
Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik manis itu
merawat suaminya. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin membaik dan kedua kakinyapun
mulai dapat digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati kebenaran karena Han Houw yang tadinya mengira
akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia telah
sembuh sama sekali! Dia telah sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami normal, dan
dapat berjalan, bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguhpun tenaga sin-kangnya telah banyak hilang sehingga
biarpun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu saja dia
telah kehilangan kelihaiannya. Bahkan dengan sisa tenaga sin-kang yang tidak berapa kuat itu, dia tidak lagi
mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dipelajarinya dahulu dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Tentu saja
Pangeran ini menjadi kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang mencintanya itu menghiburnya dan mereka
berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang sunyi itu.
Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan bahwa Ciauw Si
mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian dengan lahirnya seorang anak
laki-laki yang sehat dan mungil! Akan tetapi, kegembiraan bagi suami isteri itu disuramkan dengan peristiwa
kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan
tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka Han Houw dan Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai
penolong mereka, lalu merawat dan mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka.
Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia dan
mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan bahwa dia amat
cerdik disamping memiliki wajah yang sangat tampan sekali. Dengan adanya Thian Sin, suami isteri itu merasa
terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, sudah cukup berbahagia hidup bertiga di dusun
itu, mempunyai para tetangga orang-orang dusun yang amat jujur dan bersahaja hidupnya, hidup sehat dekat dengan
alam, jauh dari keributan karena ulah manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan,
memperebutkan uang, kedudukan dan nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka.
Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa dan tahu-tahu delapan tahun telah lewat sejak Thian Sin
terlahir ke dalam dunia. Setelah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini memiliki wajah yang amat
tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga nampak manis seperti wajah seorang anak perempuan! Akan tetapi
wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak
kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya sendiri. Biarpun dia sendiri sudah kehilangan sin-kangnya,
namun tentu saja Han Houw tahu bagaimana caranya mendidik dan melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang
amat disayangnya. Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima
tahun. Bukan hanya ilmu silat bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah
bundanya menghendaki agar putera mereka kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, akan tetapi juga seorang
ahli dalam kesusastraan, patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan keluarga Cin-ling-pai!
Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu telah mendengar penuturan orang
tuanya bahwa ayahnya sebetulnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw, seorang pangeran kerajaan
besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya adalah Permaisuri Khamila di utara. Dan ibunya
adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan.
Penuturan ini tentu saja menanamkan sesuatu dalam batin Thian Sin, dan semenjak mendengar tentang keturunan
ini, dia merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat daripada semua anak di dalam
dusun itu. Dia tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu
rahasia yang membuatnya merasa amat bangga! Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap seorang
pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang lemah tertindas den
harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak sewenang-wenang, harus pula selalu
merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong.
Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman rumah itu. Seorang
hwesio yang berpakaian sederhana berwarna kuning, memegang tongkat dan sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih
belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya, berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan dan
bundar, sepasang matanya mengeluarkan sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak
dibuat-buat. Melihat hwesio itu memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan
memandang tajam. Dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, namun pengetahuannya telah
cukup banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang dikehendaki oleh
pendeta itu. Apalagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana yang singgah di dusun
untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup.
"Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan lewat di tempat
ini?" tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam. Hwesio itu tertarik sekali. Dia tahu
bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa, maka dia tersenyum ramah dan
memandang penuh kagum.
"Benar, dugaanmu, sahabat kecil."
"Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?" Dia memandang ke arah mangkok kosong di tangan
kanan hwesio itu.

"Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini adalah rumah
paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan untuk mendapatkan sekedar
makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini."

"Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu kepada ibu untuk menyediakan
makanan."
"Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, kalau engkau suka mengisi mangkokku
ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng," Dia lalu menyerahkan mangkok putih itu kepada Thian Sin.
Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE.
Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur.
"Anak baik... Anak baik..." Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di dalam sebuah
dusun sederhana seperti itu dia dapat bertemu dengan seorang anak laki-laki yang demikian cerdik dan pandai
membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa sukanya kepada anak itu.
Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia cepat
berkata, "Ibu...! Ibu...! Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!"
Ciauw Si tersenyum. Nyonya yang usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih nampak muda dan cantik
segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan berkat keadaan batin yang tenteram dan bahagia. Dia tersenyum
memandang puteranya penuh kasih sayang. "Aihh, Sin-cu (Anak Sin), kenapa engkau ribut-ribut? Apa anehnya sih
dengan kedatangan seorang hwesio minta sedekah? Engkau kelihatan tegang dan terengah-engah. Tenanglah,
menghadapi apa pun juga, apalagi hanya seorang hwesio minta sumbangan."
"Tapi dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya bahwa dia tentu seorang
hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat huruf apa yang tertulis di sini!" Dia memperilhatkan
mangkok putih itu kepada ibunya.
Ciauw Si masih tersenyum ketika menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap, dan mukanya
berubah penuh keheranan ketika dia membaca huruf LIE yang tertulis pada mangkok itu.
"Dia she Lie? Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie?" Ciauw Si termangu-mangu, akan tetapi
dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam masakan sayur tanpa daging. Ketika Thian
Sin membawa mangkok yang sudah terisi makanan itu keluar, Ciauw Si tak dapat menahan keinginan tahunya dan dia
mengikuti dari belakang.
Hwesio itu bangkit berdiri sambil tersenyum ramah ketika dia melihat Thian Sin datang membawa mangkoknya yang
telah terisi, akan tetapi ketika dia melihat nyonya muda yang berjalan di belakang anak itu, dia memandang
terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. Demikian pula, ketika Ciauw Si melihat wajah hwesio itu, wajahnya
seketika berubah pucat dan matanya terbelalak. Sejenak mereka berdua berdiri bengong saling pandang, kemudian
wajah hwesio itu tersenyum kembali, agaknya hanya sedetik saja dia terangsang oleh rasa kaget.
"Omitohud... semoga Sang Buddha memberkahi kita semua... bukankah engkau... Ciauw Si, adikku...?"
"Seng-koko...!" Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki hwesio itu sambil
sesenggukan. "Seng-ko... bagaimana... bagaimana engkau bisa menjadi begini...?" Ciauw Si menangis sesenggukan
sambil mengangkat muka memandang.
"Kehendak Tuhan... kehendak Tuhanpun jadilah..." kata hwesio itu yang kemudian berdoa. "Berkah Sang Buddha Yang
Maha Murah sajalah yang mempertemukan kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia puteramu...?"
Thian Sin juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil menangis dan menyebut
Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan lari menghampiri, ikut berlutut di dekat ibunya.
"Ibu, apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng? Kenapa dia seorang hwesio?" anak itu sudah bertanya dengan heran.
Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak ibunya yang bernama Lie Seng, seorang pendekar perkasa.
enar, anakku, dia ini adalah Toapekmu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin, anakku..."
"Ceng...?" Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya. Tentu saja dia merasa terheran-heran. karena
selama ini dia mengasingkan diri dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, tekun mempelajari agama sehingga dia
tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan adiknya ini.
Hwesio itu yang dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok Beng Lama yang
sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, Cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Dibandingkan
dengan adik kandungnya itu, keadaannya lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang menimpa kehidupannya membuat dia
putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio! Seperti juga adiknya, dia saling mencinta dengan
seorang dara yang tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai. Tidak dapat menyalahkan sikap keluarga
Cin-ling-pai memang karena dara yang dicintanya itu, yang bernama Sun Eng, adalah seorang gadis yang pernah
melakukan penyelewengan besar, pernah menyerahkan diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang
hidung belang. Biarpun kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni, yang tidak mau
mengingat lagi hal-hal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi
berdua bersama Sun Eng dan hidup sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya!
Kemudian, Sun Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai yang
difitnah dan menjadi buronan pemerintah. Sun Eng merayu dan berhasil memikat hati Pangeran Ceng Han Houw yang
ketika itu masih mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian perbuatan Sun Eng ini diketahui oleh Han Houw
dan akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa oleh anak buah Pangeran Ceng Han Houw!
Lie Seng hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi keluarga Cin-ling-pai,
hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang hwesio tua yang berhasil mendatangkan penerangan dalam
hatinya dan dia pun lalu meninggalkan dunia ramai, ikut bersama hwesio tua itu mempelajari kebatinan dan agama
di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula.
Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil Thian-to-tang di bukit
kecil sebelah selatan kota raja, dia tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Saking tekunnya mempelajari
agama, setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu meninggal dunia, dialah yang dipilih menjadi ketua Kuil
Thian-to-tang itu dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para hwesio lainnya, Hong San Hwesio sering
kali mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan pelajaran agama mendatangkan penerangan kepada banyak orang,
di samping itu juga tekun berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang orang-orang lain
saja. Maka pada hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan belaka.


Mendengar pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya memiliki she Ceng, Ciauw Si lalu bangkit,
menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan tamu. "Mari kita duduk dan bicara dengan leluasa, koko."
Lie Seng atau lebih tepat kita sebut Hong San Hwesio sudah memperoleh kembali ketenangannya ketika dia duduk
berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul puteranya. Dia menatap wajah adiknya dan melihat wajah adiknya yang
cantik segar dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia memuji syukur dan merasa ikut berbahagia.
"Seng-ko, bagaimana tiba-tiba engkau menjadi hwesio? Kukira engkau telah... di mana adanya Sun Eng?"
Mulut itu masih tersenyum dan memang kini peristiwa yang dulu pernah membuat hatinya berdarah itu kini tidak
lagi membekas. "Dia telah bebas dari kesengsaraan, dia telah meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan dan
kesengsaraan ini." jawabnya lembut.
"Ahhh...!" Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba. "Dan... sejak itu... engkau lalu
menjadi hwesio?"
"Ya, sejak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, dendam, kebencian, permusuhan, maka aku
mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang bersih dan diterangi oleh sinar cinta kasih. Dan engkau
sendiri, bagaimana tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi? Aku girang sekali melihat bahwa engkau hidup
berbahagia."
Adik itu memandang kepada kakaknya dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah berseri itu, dia pun tidak
lagi merasa berduka dan kini wajahnya malah berseri. "Memang aku hidup berbahagia, koko! Lihat, ini
keponakanmu, Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh daripada segala macam kekerasan dan
permusuhan."
Hong Sian Hwesio meraih pundak anak itu dan memangkunya sambil mengelus kepalanya. "Anak baik... anakmu ini
baik sekali..." dia memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu. Thian Sin hanya tersenyum dan memandang kepada
wajah Toapek-nya dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang
pendekar perkasa itu kini telah menjadi seorang hwesio!
"Si-moi, anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi..."
"Ceng Han Houw adalah suamiku, koko." jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah kakaknya. Dia tidak akan heran
kalau melihat wajah itu terkejut, akan tetapi kini dia malah agak heran akan tetapi juga lega melihat betapa
wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang saja, sungguhpun ada sinar keheranan pada pandang mata yang lembut
itu.
"Ya, aku telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak kita. Dan... koko...
perjodohan antara kami juga tiada bedanya dengan perjodohanmu dengan Sun Eng, aku mengalami penderitaan batin
yang hebat, hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan tetapi semua itu telah berlalu dan kini kami
hidup bahagia, sungguhpun putus dengan keluarga." Kemudian Ciauw Si lalu menceritakaan semua pengalamannya
kepada kakaknya, dengan singkat namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan
Pangeran Ceng Han Houw karena dianggapnya suaminya itu benar dan kaisar yang lalim dan telah memusuhi keluarga
Cin-ling-pai. Kemudian betapa fihak Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan suaminya dan
sebagai akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas kalau tidak bertemu dengan
mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara teliti selama dua tahun.
"Pengalaman yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap sebagai mimpi buruk
saja dan kini kami hidup bertiga penuh bahagia di tempat sunyi ini."

Hong San Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang hebat sekali perubahan yang terjadi dalam batin
hwesio ini. Adik kandungnya kini telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw, padahal Pangeran itulah yang
menyebabkan kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan tetapi, mendengar semua itu, batinnya tenang
saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau kebencian terhadap Pangeran Ceng Han Houw!

"Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Sekarang, di mana adanya
suamimu?"

"Dia sedang mencangkul di sawah tadi." kata Ciauw Si.

Hong San Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang demikian tinggi kedudukannya dahulu, kini mencangkul di sawah.
Betapa aneh dan lucu kedengarannya.
"Itu ayah pulang...!" Thian Sin turun dari atas pangkuan Toapek-nya dan menuding keluar, menyambut ayahnya yang
datang memanggul cangkul.

"Eh, ada tamu? Siapa tamunya? Seorang hwesio...?" Ceng Han Houw yang kini sama sekali tidak kelihatan seperti
seorang pangeran melainkan seperti seorang petani yang tampan dan gagah itu bertanya sambil memandang ke dalam
dengan heran.
Ketika dia memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua tangannya memberi
hormat. "Selamat bertemu, Pangeran," katanya hormat.
"Eh, siapakah... suhu...?" Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkejut disebut pangeran oleh hwesio
itu.

"Dia ini adalah kakakku Lie Seng," Ciauw Si yang merasa gembira dengan pertemuan ini setelah keharuan mereda,
cepat memperkenalkan.
"Lie Seng...?" Ceng Han Houw terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak keheranan. "Pendekar
Cin-ling-pai itu...?"
"Omitohud... bukan pendekar melainkan seorang hwesio yang mengemis sedekah," kata Hong San Hwesio sambil
menjura.

Tiba-tiba Ceng Han Houw tertawa bergelak, suara ketawa yang bebas dan wajar saking gelinya. "Ha-ha-ha-ha,
betapa dunia ini telah berubah banyak! Pendekar Cin-ling-pai Lie Seng yang gagah perkasa kini telah menjadi
seorang hwesio peminta-minta sedekah! Dan aku, seorang pangeran, lihat, kini menjadi petani miskin sederhana.
Ha-ha-ha-ha!"
Mereka saling pandang dan melihat betapa pangeran itu bicara sewajarnya dan sejujurnya, sama sekali tidak ada
tanda-tanda mengejek, Hong San Hwesio juga tertawa sehingga suasana pertemuan itu menjadi semakin gembira.
"Mari, duduklah, Lie-toako... eh, apakah aku harus menyebut suhu? Bagaimana ini?" tanya Han Houw bingung.
"Biar dia menjadi hwesio seratus kalipun, dia tetap kakakku Lie Seng. Di dunia ini aku hanya mempunyai seorang
kakak, apakah itu pun akan diambil dariku? Tidak, engkau panggil saja dia Toako."
"Bolehkah itu, Lie-toako?" tanya Han Houw.
Hong San Hwesio tersenyum. "Apakah artinya nama? Pinceng boleh disebut apapun, dan karena engkau adalah
Moihu-ku (adik iparku) maka tentu saja engkau boleh menyebut pinceng Toako."
Tentu saja Ciauw Si melarang kakaknya makan makanan dari mangkok tadi dan sebagai gantinya dia lalu
mengeluarkan masakan-masakan tanpa daging, kemudian mereka makan bersama sambil bercakap-cakap dengan penuh
kegembiraan. Thian Sin kelihatan amat sayang kepada Pekhu-nya, demikian pula Lie Seng juga sayang sekali kepada
Thian Sin yang dipujinya sebagai seorang anak yang bertulang baik sekali.
Sehabis makan, mereka duduk di ruangan depan. "Koko, engkau harus bermalam di sini, tinggal di sini barang
seminggu!" kata Ciauw Si dengan suara menuntut.

"Ya, tinggallah di sini, Toako, dan anggap saja seperti di rumah sendiri." kata Han Houw.

"Terima kasih, aku akan tinggal di sini barang beberapa hari sebelum melanjutkan perjalananku. Kalian tentu
tahu bahwa seorang hwesio memiliki tugas untuk menyebarkan pelajaran agama dan memberi penerangan kepada yang
sedang kegelapan. Selain itu, Kuil Thian-to-tang masih membutuhkan bimbinganku." Hong San Hwesio menolak halus.
Akhirnya Ciauw Si terpaksa mengalah dan tidak dapat memaksa kakaknya untuk tinggal terlalu lama di situ dan
mereka berjanji bahwa kakak itu akan tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya.
"Seng-koko, engkau belum menceritakan tadi tentang bagaimana matinya Sun Eng," tiba-tiba Ciauw Si bertanya.
"Sun Eng siapa...?" Ceng Han Houw bertanya, suaranya lirih dan dia menahan perasaan kagetnya, lalu memandang
kepada Hong San Hwesio.
Hwesio ini menarik napas panjang, kemudian balas memandang kepada wajah pangeran itu, akan tetapi pandang
matanya tetap lembut dan tenang. "Si-moi, dia sudah mati, sudah terbebas daripada kekejaman dunia, kiranya
tidak perlu dibicarakan lagi. Dia tewas dalam usahanya yang amat baik, dan pinceng sudah lupa lagi bagaimana
dia mati."
Jantung dalam dada Han Houw berdebar keras sekali. Dia yakin bahwa kakak kandung isterinya ini tahu apa yang
telah terjadi dengan diri Sun Eng, siapa pula yang menyebabkan kematian wanita itu, akan tetapi pendekar yang
telah menjadi hwesio ini benar-benar tidak menaruh dendam, bahkan tidak nampak sedikit pun rasa penasaran dalam pandang matanya!
"Sun Eng itu... masih apakah dengan Lie-toako?" Dia memberanikan diri bertanya kepada isterinya.
Dengan suara terharu Ciauw Si berkata. "Dia adalah isterinya yang amat dicintai Seng-koko dan amat mencintanya,
keduanya saling mencinta bahkan Seng-ko tidak mempedulikan larangan semua keluarganya. Seperti keadaan kita..."
Wajah pangeran itu menjadi agak pucat ketika dia memandang kepada Lie Seng atau Hong San Hwesio. Isterinya
malah! Cepat dia bangkil berdiri dan menjura dengan penuh keharuan dan penuh penyesalan, namun dengan sikap
yang jujur dan suara gemetar, "Lie-toako, aku... aku ikut menyesal sekali atas malapetaka yang menimpa
dirimu..."
Lie Seng atau Hong San Hwesio itu bangkit berdiri, tersenyum dan merangkap kedua tangan depan dada. "Omitohud,
kehendak Tuhan tak mungkin dapat dielakkan. Yang sudah lewat tidak baik untuk dibicarakan. Batin harus kosong
dari segala kenangan karena kenangan hanya mendatangkan kekeruhan. Semoga Thian memberkahi kita semua!"
Pelarian dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka juga merupakan pelarian.
Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti
api dalam sekam. Api duka itu masih belum padam, hanya tertutup dan masih membara di sebelah dalam.
Sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul lagi sehingga kita
terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa kita harus lari dari kenyataan? Kalau timbul duka
atau takut atau kesengsaraan yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri sendiri
lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajeri segala sesuatu tentang kehidupan manusia
di dunia ini!
Hong San Hwesio tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya dan kehadirannya selama tiga hari itu amat
membahagiakan hati keluarga itu. Dia memberi tahu pula di mana dia menjadi hwesio kepala dari sebuah kuil dekat
kota raja. Setelah lewat tiga hari dia pun berpamit untuk melanjutkan perjalanan dan dia meninggalkan dusun itu
diantar oleh Han Houw, Ciauw Si dan Thian Sin sampai ke pinggir dusun.

***

Dua tahun telah lewat lagi dan kini Thian Sin telah berusia sepuluh tahun. Semakin besar, anak ini menjadi
semakin mengerti keadaan dan sering kali dia bertanya kepada ayah dan ibunya mengapa dia tidak diajak menghadap
nenek-neneknya.
"Kata ibu, nenek masih hidup, baik ibu dari ibu maupun ibu dari ayah. Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan
nenekku? Kenapa pula aku tidak boleh bertemu dengan keluarga ayah dan ibu?"
Mendengar puteranya merengek itu, Ceng Han Houw tak dapat menahan lagi hatinya. Selama ini, dia sudah
menahan-nahan keinginannya untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya itu
dan ingin melihat bagaimana keadaan ibunya. Maka dia lalu mengajak isterinya untuk pergi berkunjung kepada Ratu
Khamila, ibu kandungnya.
"Akan tetapi, bukankah kita sudah mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengan keluarga kita dan
hidup menyendiri di sini?"
Han Houw menarik napas panjang, "Memang benar, isteriku, dan betapapun rinduku kepada ibuku, aku kiranya masih
akan dapat bertahan. Akan tetapi kita harus kasihan kepada anak kita. Dan betapa akan senangnya dia bertemu
dengan ibuku, juga betapa akan bahagianya hati ibu kalau melihat cucunya."
Ciauw Si mengerutkan alisnya. "Tapi... tapi... mendiang Yok-sian..."
"Ah, isteriku, aku percaya akan ramalan itu kalau kita pergi ke kota raja, di mana banyak orang memusuhiku.
Akan tetapi kalau mengunjungi ibu kandungku di utara, apakah bahayanya? Pula, ibuku sangat sayang kepadaku, dan
mempunyai kekuasaan besar di sana, bahkan Raja Sabutai sendiri tidak berani bertindak sembarangan, maka
siapakah yang akan berani mengganggu kita?"
Biarpun merasa ragu, namun melihat suaminya kelihatan begitu rindu kepada ibu kandungnya, dan melihat pula
Thian Sin yang sudah mendengar akan maksud kepergian itu menjadi sangat gembira, akhirnya Ciauw Si mengalah dan
menyetujui. Bukan main gembiranya Han Houw memperoleh persetujuan isterinya. Dia seolah-olah menjadi seperti
kanak-kanak yang dijanjikan hadiah besar, demikian girangnya sehingga berhari-hari dalam persiapan itu dia
nampak luar biasa gembiranya. Demikian pun Thian Sin yang terbawa oleh kegembiraan ayahnya, kelihatan penuh
semangat. Melihat keadaan suami dan puteranya ini, tentu saja Ciauw Si menjadi semakin tidak tega dan
demikianlah, pada suatu hari mereka bertiga berangkat menuju ke utara!
Mereka tidak mau mengambil jalan melalui Lembah Naga, pertama karena hal itu akan makan waktu lebih lama dan
jaraknya menjadi lebih jauh, juga terutama sekali karena suami isteri itu tidak mau mendekati lagi Lembah Naga,
tempat yang hanya akan menimbulkan kenangan pahit saja bagi mereka. Mereka langsung menuju ke kerajaan kecil
yang dikuasai ayah tirinya, yang sering berpindah tempat dan kini berada di sebelah timur Huhehot.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan amat menarik bagi Thian Sin, tanpa ada halangan sesuatu berkat
kepandaian suami isteri itu, biarpun Han Houw kini tidaklah sehebat dulu, mereka tibalah di kerajaan kecil itu
yang lebih tepat merupakan sekelompok besar suku-suku campuran di utara yang dulu dipimpin oleh Raja Sabutai
yang terkenal perkasa. Mereka disambut oleh Permaisuri Khamila dengan banjir air mata, dan Pangeran Oguthai
atau Ceng Han Houw bersama isteri dan puteranya segera diajak masuk ke dalam istana kecil Sang Permaisuri. Di
situ Han Houw mendengar bahwa Raja Sabutai telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya kini diangkat seorang
adik misannya Raja Sabutai yang bernama Agahai, terhitung paman dari Han Houw yang sejak mudanya telah menjadi
pembantu Raja Sabutai yang paling setia.
Puteri Khamila merangkul puteranya sambil menangis dan dalam tangisnya ini samar-samar dia menyesalkan
kepergian puteranya karena kalau tidak, tentu puteranya ini yang kini menggantikan Raja Sabutai, bukan Agahai!
Puteri Khamila yang cantik dan agung itu kini ternyata amat lemah dan sering sakit, terutama sekali karena
memikiran puteranya yang tadinya disangka telah tewas karena gagal dalam pemberontakannya.
Raja Agahai yang maklum akan kelihaian Han Houw menerimanya dengan ramah, bahkan dengan sikap manis menawarkan
kedudukan tinggi kepada Han Houw kalau saja dia mau tinggal di situ dan membantu raja.
"Kami membutuhkan bantuanmu, Pangeran," antara lain raja ini berkata, "karena kita harus dapat menundukkan
kembali suku-suku dan kelompok-kelompok kecil di utara sebelum mereka itu dikuasai oleh suku Mongol. Kita harus
menjadi bangsa yang besar dan mengembalikan kejayaan mendiang ayahmu."
Akan tetapi Han Houw menghaturkan terima kasih dan tidak menerima penawaran ini, karena dia sudah berjanji
kepada isterinya bahwa mereka datang itu hanya untuk menengok Puteri Khamila, dan sama sekali tidak akan
mencampuri urusan kerajaan lagi.
Han Houw dan isterinya tinggal di tempat itu selama hampir sebulan. Kemudian mereka berpamit dan diantar oleh
tangisan Puteri Khamila, mereka meninggalkan kerajaan kecil itu dengan membawa bekal yang diberikan oleh Raja
Agahai, bahkan mereka diberi tiga ekor kuda yang amat baik untuk melakukan perjalanan pulang. Perjalanan itu
amat berkesan dalam hati Thian Sin dan diam-diam dia merasa bangga dapat melihat sendiri bahwa ayahnya adalah
seorang pangeran, bahwa dia adalah keturunan darah bangsawan, tidak seperti anak-anak dalam dusunnya. Akan
tetapi, terpengaruh oleh pendidikan ayah bundanya, kebanggaan ini hanya disimpannya di dalam hati saja sehingga
pada lahirnya, anak ini tidak menyombongkan keadaan keturunannya.
Ciauw Si merasa girang sekali melihat bahwa suaminya sudah benar-benar insyaf dan sudah benar-benar tidak
mempunyai ambisi lagi seperti dulu. Hal ini dapat dibuktikannya dengan sikap suaminya ketika diminta oleh Raja
Agahai untuk tinggal di sana dan membantu raja itu. Akan tetapi, nyonya muda ini dan sekeluarganya sama sekali
tidak tahu bahwa ada bahaya besar yang mengancam mereka dan sedang diatur oleh orang-orang yang tidak suka
kepada mereka. Tanpa mereka sangka sama sekali, Raja Agahai merasa khawatir sekali melihat munculnya Han Houw.
Tadinya dia sendiri mengira bahwa pangeran itu telah tewas ketika gagal dalam pemberontakannya di Lembah Naga.
Kini, tahu-tahu pangeran itu muncul dan dia maklum betapa lihainya keponakannya itu. Apalagi melihat sikap
Puteri Khamila yang agaknya ingin sekali melihat puteranya itu menggantikan kedudukan raja, maka diam-diam raja
ini mengatur rencananya untuk melenyapkan bahaya bagi kedudukannya ini. Dia amat khawatir kalau-kalau Pangeran
Oguthai akan merebut kedudukannya, maka sebelum pangeran itu bergerak, dia harus bergerak lebih dulu. Beginilah
kalau orang sudah terikat kepada sesuatu yang dianggap merupakan sumber kenikmatan dan kesenangan hidupnya.
Selalu merasa khawatir dan berprasangka terhadap orang lain, khawatir kalau-kalau kedudukannya itu akan lenyap.
Dan dipertahankannya sesuatu itu, kalau perlu tidak segan-segan dia membinasakan orang lain yang dianggap
sebagai penghalang. Dari sinilah timbulnya segala perbuatan kejam dan jahat. Raja Agahai mengirim berita kepada
Kaisar Beng-tiauw bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang hendak memberontak itu masih hidup dan memberitahukan
tempat sembunyinya. Bahkan kemudian bersekutu dengan Kaisar untuk sama-sama mengirimkan orang-orang pandai dan
pasukan untuk menangkap atau membinasakan pemberontak yang berbahaya itu!
Demikianlah, kurang lebih tiga bulan kemudian semenjak Han Houw dan anak isterinya mengunjungi Puteri Khamila,
pada suatu hari di dusun lereng bukit itu nampak ada dua orang kakek mendaki lereng dan memandang ke kanan kiri
ke arah rumah para penduduk dusun. Kedatangan dua orang itu menarik perhatian karena memang dusun itu agak
terpencil dan jarang dikunjungi orang luar, akan tetapi karena kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun
itu kelihatan juga tidak luar biasa, maka para penghuni dusun tidak menaruh perhatian.
Akhirnya dua orang kakek itu memasuki sebuah warung, satu-satunya warung makanan yang terdapat di dusun itu.
Pemilik warung dengan sikap hormat mempersilakan mereka duduk. Mereka duduk, melepaskan topi lebar yang dipakai
melindungi kepala dari terik matahari siang itu dan mereka menggunakan topi itu untuk mengipasi leher sambil
membuka kancing baju bagian atas. Hari itu memang agak panas, apalagi kalau orang melakukan perjalanan mendaki
bukit itu. Mereka memesan arak dingin. Sambil menghidangkan arak kasar, pemilik warung itu bertanya, "Agaknya
ji-wi baru datang dari tempat jauh?"
Dua orang kakek itu saling pandang dan bersikap tak acuh. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus,
berjenggot panjang dan sepasang matanya agak juling, membuat wajah itu nampak lucu akan tetapi juga
menyeramkan, sungguhpun dia bersikap lemah lembut, sikap yang nampak dibuat-buat karena sepasang mata yang
juling itu bergerak liar dan sama sekali tidak lembut sinarnya. Adapun kakek ke dua yang usianya sebaya,
bertubuh tinggi besar dan suaranya besar lantang, nampak kokoh kuat biarpun dia berusaha menutupi keadaannya
itu dengan pakaian longgar dan sikap yang lemah lembut.
"Kami memang telah melakukan perjalanan jauh," jawab Si Mata juling.
Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun memasuki warung. Melihat anak ini, pemilik warung
tersenyum dan menyambutnya dengan ramah, "Thian Sin, sepagi ini kau sudah datang ke sini?" tegurnya ramah.
Anak itu memang Thian Sin adanya, putera Han Houw dan Ciauw Si. Semua orang dusun mengenalnya dan sayang
kepadanya. Biarpun anak ini tahu benar bahwa dia masih keturunan kaisar dan raja, dan bahwa orang-orang dusun
itu tidak berhak memanggil namanya saja seperti itu, namun dia tidak pernah menolak dan membiarkan semua orang
memanggil namanya begitu saja, seperti terhadap anak-anak lain. Juga ayah bundanya tidak pernah merasa
keberatan karena memang ayahnya menyembunyikan keadaan dirinya dan tidak ada seorang pun tahu bahwa ayahnya
adalah seorang pangeran! Bahkan nama ayahnya pun tidak ada yang tahu, dan ayahnya hanya dikenal sebagai
"Ceng-siauwya" atau tuan muda Ceng karena semua orang dapat menduga bahwa ayahnya itu bukanlah seorang petani
biasa saja.
"Paman A-coan, saya disuruh ibu untuk membeli tao-co, karena ibu telah kehabisan tao-co." katanya sambil
menyerahkan panci kecil.

"Baik-baik, kau masuklah ke dapur dan minta tao-co yang paling baik dari A-sam." kata pemilik warung sambil
tersenyum ramah.
Sementara itu, kakek yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman itu tanpa mempedulikan anak itu lalu
bertanya, "Eh, A-coan, kami ingin bertanya sesuatu kepadamu."
Mendengar nada suara itu agak sombong, Si Pemilik Warung menengok dengan alis berkerut. Tidak biasa penghuni
dusun mendengar nada suara yang sombong seperti itu, apalagi dari orang asing yang baru saja mendengar namanya
disebut oleh Thian Sin tadi.
"Hemm, bertanya tentang apakah?" jawabnya dengan sederhana dan memang pemilik warung ini, seperti para penghuni
lain di dusun itu, tidak biasa berbasa-basi sehingga cara bicara mereka pun kasar sungguh pun kekasaran itu
berdasarkan kejujuran, bukan kesombongan.
"Di dusun ini tinggal seorang pangeran pemberontak! Di manakah rumahnya?"
Pemilik warung itu terkejut sekali, akan tetapi juga terheran-heran. Dia tidak melihat betapa Thian Sin sudah
keluar dari dalam membawa panci berisi tao-co, dan anak itu memandang dengan mata terbelalak dan jantung
berdebar. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang dimaksudkan orang itu. Hanya ayahnyalah pangeran di dusun itu,
akan tetapi mengapa disebut pemberontak?
"A-coan, demi keselamatanmu, kau berterus terang sajalah, di mana rumah pangeran pemberontak itu?" kata Kakek
Mata Juling dengan suara meninggi.
A-coan, pemilik warung itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian dengan mata penuh keheranan dan
penasaran. "Apakah ji-wi sudah gila?" tanyanya dengan marah, "dalam dusun kami ini, mana ada seorang pangeran,
pemberontak pula? Yang ada hanyalah petani-petani yang bersih dan jujur. Harap ji-wi tidak mengada-ada yang
bukan-bukan!"
Tiba-tiba Si Mata Juling yang kelihatan lemah lembut itu menggebrak meja.
"Krakk!" Ujung meja segi empat itu terbuat dari papan tebal, pecah dan patah terkena hantaman telapak
tangannya. Kemudian, sekali bergerak, Si Mata Juling itu sudah meloncat dari atas bangkunya dan di lain saat,
dia telah mencengkeram punggung baju pemilik warung itu dan mengangkatnya ke atas, matanya yang juling itu
melotot dan menjadi makin juling.
"Kau berani mengatakan kami gila? Eh, tukang warung dusun, jaga hati-hati mulutmu, atau ingin kuhancurkan
sepert ujung meja itu?" Si Mata Juling mengancam dan tukang warung itu tentu saja menjadi ketakutan. Mula-mula
dia hendak melawan, akan tetapi ketika dia tahu betapa tubuhnya tak mampu bergerak dan cengkeraman itu kuat
sekali, maklumlah dia bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang yang amat lihai.
"Maaf... maafkan saya..." katanya gugup.
"Katakan dulu di mana pangeran itu tinggal, baru aku akan memaafkan kamu!" Si Mata Juling berkata dengan suara
penuh ancaman, tangan kanannya mencengkeram tubuh itu ke atas dan tangan kirinya menampar dua kali dari kanan
kiri.
"Plak! Plak!" Dan kedua pipi pemilik warung yang sial itu menjadi bengkak, bibirnya pecah berdarah. "Hayo
katakan!"
Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin sudah menerjang ke depan, memukul ke
arah perut Si Mata Juling itu. Si Mata Juling terkejut bukan main karena pukulan itu tak boleh dipandang
ringan, melainkan pukulan yang cukup keras dan mungkin saja dapat mendatangkan rasa nyeri kalau tidak luka
dalam! Maka dia pun cepat melepaskan tubuh A-coan dan menangkis pukulan anak itu.
"Dukk!" Tubuh Thian Sin terdorong ke samping, akan tetapi kakek bermata juling itu terkejut karena dia merasa
lengannya tergetar, tanda bahwa pukulan bocah itu mengandung tenaga dalam!
"Eh, bocah setan, siapa kau?" bentaknya.
"Manusia kejam, sembarangan memukuli orang yang tidak bersalah!" Thian Sin berkata, wajahnya yang tampan itu
berubah merah, matanya yang bening indah itu bersinar-sinar. "Pangeran yang kalian tanyakan itu adalah ayahku!
Kalian mau apa?"
Dua orang kakek itu saling pandang dan nampak girang, juga terkejut. Anak itu masih kecil, paling banyak
sepuluh tahun usianya, dan tubuhnya sedang, bahkan agak kurus, kulit mukanya halus seperti kulit muka anak
perempuan, nampaknya lemah lembut dan tidak mempunyai tenaga, akan tetapi pukulannya tadi mengandung hawa
sin-kang!
Siapakah dua orang kakek itu? Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga di perbatasan.
Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti untuk
pergi menyelidiki dusun di mana kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw. Maka berangkatlah dua
orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa.
Mereka adalah tentara-tentara yang kasar dan sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan
kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng
Han Houw yang mereka hendak selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali. Di dusun itu mereka
bersikap kasar, karena mereka memandang rendah kepada pangeran yang katanya pemberontak itu. Kini mendengar
pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan
juga kaget.
SebetuInya dua orang perwira tinggi ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk
itu. Dan mereka itu pun telah memiliki kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk
memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan merekapun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku.
Kini, menghadapi anak itu, sikap mereka lain.
"Eh, bocah lancang, jangan main-main kau!" kata Si Tinggi Besar muka hitam. "Kami tidak mau salah tangkap. Coba
katakan, siapa she ayahmu?"
"Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari
Ayahku?"
Dua orang itu girang bukan main. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!" Sungguh
Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran
Ceng Han Houw. Sebetulnya tugas mereka hanya menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu,
sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa
lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya. Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa
ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, maka mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat
menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima hadiah
banyak.
Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian Sin yang berusia sepuluh
tahun itu menjadi marah. "Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!" Dia lalu menerjang ke depan memukul
kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Diantara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling
kuat dan sukar dicari bandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan
menang. Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah memiliki kepandaian tinggi
dan tenaga besar, maka betapapun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak
memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya.
"Plakk!" Lengan tangan Thian Sin yang kecil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan besar-besar itu. Namun,
dengan kecepatan luar biasa Thian Sin menggunakan sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari
tangan yang memegangnya. Cepat sekali pukulan ini dan Si Tinggi Besar berteriak kaget, tangannya kesemutan
karena yang terkena pukulan adalah tepat di sambungan siku bawah dan tentu saja pegangannya terlepas ketika
anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan memutar ke belakang!
"Bocah setan!" Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main dan sambil mengembangkan kedua lengannya
yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah Thian Sin dengan cepat. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika
tubrukannya itu luput, mengenai tempat kosong karena anak itu telah menggeser ke tempat lain secara cepat dan
aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil
mengelak dengan baiknya. Dengan kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin
hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan
amat gesitnya. Namun anak itu sukar sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya bergerak-gerak
aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai
sasaran. Tidaklah aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah yang dinamakan
langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya.
Melihat kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan mencegat. Kalau saja Thian
Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari
apa yang telah dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini. Akan tetapi, betapa baiknya langkah
Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk mengatur langkah-langkah dengan cukup sempurna untuk
orang dewasa, maka tentu saja langkah-langkahnya kurang lebar dan kini dicegat oleh Si Mata Juling, akhirnya
dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si Mata Juling!
"He-he-heh, kau hendak lagi ke mana, anak pemberontak?" Si Mata Juling mengejek dengan bangga karena akhirnya
dia dapat berhasil menangkap bocah itu. "Hayo ajak kami ke rumah orang tuamu!"
Biarpun dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri, namun Thian Sin
menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu membentak, "Aku tidak sudi!"
"Eh, bocah setan! Apa kau sudah bosan hidup?" Si Mata Juling mengancam dan memperkuat cengkeramannya.
"Siapa takut mampus?" Thian Sin juga membentak.
Melihat ini, A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di depan Si Mata Juling dan berkata dengan suara
memohon, "Harap ji-wi tidak mengganggu dia... kalau ji-wi ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang
mengantar..."
"Paman A-coan!" Thian Sin membentak, akan tetapi Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata
dengan suara penuh ancaman.
"Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!" Dan dia mengerahkan sedikit tenaga, membuat pemilik
warung itu meringis kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya.
"Baik... baik... tidak bohong... tidak bohong..."
Dua orang kakek itu lalu keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh A-coan sambil memegang
lengannya, sedangkan Si Mata Juling masih mengangkat Thian Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya,
seperti orang membawa seekor kucing saja. A-coan menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua
penghuni dusun yang melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lalu mengikuti mereka dari jauh, tidak
tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong
A-coan dan Thian Sin, akan tetapi ada pula yang mencegah niat ini melihat betapa pemilik warung dan anak itu
sudah berada dalam kekuasaan dua orang kakek asing itu sehingga kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang
tawanan itu akan celaka. Maka mereka hanya mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu sama sekali tidak
peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari belakang dengan pandang mata marah, karena tentu saja mereka
sama sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu.
Ketika rombongan yang diikuti banyak orang ini tiba di pekarangan rumah Han Houw, nampak seorang wanita cantik
keluar dari rumah itu dan seketika dia terbelalak kaget melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek
bermata juling dan dicengkeram pundaknya. Wanita itu bukan lain adalah Lie Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan
marah sekali melihat ini. Dua orang kakek itu memandang rendah kepada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah
masuk sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi. Mereka berhenti dan Si Tinggi
Besar menghardik A-coan, "Inikah rumah pangeran pemberontak itu?"
"Saya... saya tidak tahu pangeran mana... tapi inilah rumah orang tua anak itu..." A-coan berkata dan dia lalu
didorong pergi oleh Si Tinggi Besar sehingga tubuhnya terbanting dan terguling-guling sampai jauh. Sambil
merintih pemilik warung ini lalu tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni
dusun yang kini berdiri nonton di luar pekarangan.
Tiba-tiba nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang mengejutkan semua orang
dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah
kepala Si Mata Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan dahsyatnya!
Bukan main kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia menggunakan tangan kanan untuk melindungi
kepalanya. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin yang melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat betapa
tangan kanan kakek itu tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya.
"Dukkk!" Sepatu kecil itu dengan tepatnya menghantam hidung yang agak pesek itu dengan cukup keras.
"Auhhh...!" Si Mata Juling terkejut, cengkeramannya terlepas dan Thian Sin sudah meloncat turun dan cepat lari
ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena
hidungnya berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat menubruk ke arah nyonya
cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke
depan.
"Ngekk!" Cepat sekali gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak sempat mengelak dan
perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung sepatu Ciauw Si.
"Aduhhh...!" Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas.
Kini dua orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur dari hidungnya sedangkan
Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang tertendang. Mereka marah dan malu bukan main.
"Sratt! sratt!" Keduanya menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw Si
sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu tidak terluka, hatinya lega dan
kemarahannya mereda.
"Ibu, mereka ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!" Thian Sin berkata sambil menuding ke arah
dua orang kakek itu.
Ciauw Si terkejut. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat, pikirnya, sehingga pemberontakan suaminya yang terjadi
lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut orang. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang. "Kau
mundurlah," bisiknya dan kini dia menghadapi dua orang kakek itut memandang tajam penuh selidik, akan tetapi
tetap saja dia tidak merasa kenal dengan mereka.
"Siapakah kalian? Dan apa keperluan kalian datang ke sini?" dia bertanya kepada dua orang yang sudah memegang
golok dengan sikap mengancam itu.
Akan tetapi dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagaimanapun juga, mereka masih
terlalu memandang ringan kepada nyonya muda yang cantik itu. Mereka telah dibikin malu di depan banyak orang,
yaitu para penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan, maka mereka menjadi penasaran dan marah,
sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab. Sebaliknya mereka malah mengeluarkan suara gerengan
seperti dua ekor biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan golok diputar
dan dibacokkan! Para penghuni dusun tentu saja memandang dengan muka pucat. Biarpun mereka semua dapat menduga
bahwa tetangga mereka itu bukan orang-orang dusun sembarangan, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya
cantik itu pandai ilmu silat. Tadi mereka melihat betapa nyonya itu dapat "terbang" seperti burung, akan tetapi
kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti itu, mereka merasa ngeri dan
mengkhawatirkan keselamatan wanita itu. Sementara itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat
lari memanggil ayahnya yang dia tahu berada di ladang!
Para penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa nyonya cantik itu dengan
mudahnya mengelak dari sambaran dua batang golok yang merupakan dua gulung sinar putih itu. Ke manapun golok
membacok, selalu hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlampau gesit dan ringan sehingga gerakannya
jauh lebih cepat daripada sambaran dua batang golok. Lie Ciauw Si adalah cucu luar dan juga murid mendiang
ketua Cin-ling-pai. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in-kun-hoat
yang delapan jurus, Thai-kek-sin-kun yang penuh dengan jurus-jurus sakti yang halus sekali itu, bahkan telah
menguasai ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai. Maka,
menghadapi serangan dua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan baginya. Dia membiarkan kedua orang lawannya
itu menyerang sepuasnya, setelah mengelak dan berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus,
tiba-tiba dia mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang penyerangnya. Gerakannya luar
biasa cepatnya sehingga tidak kelihatan oleh para penonton, bahkan dua orang itu sendiri tidak tahu apa yang
telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok di tangan itu terlepas dan
sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan kepala pening dan mata
berkunang-kunang!
"Isteriku, jangan bunuh orang...!"
Tiba-tiba terdengar suara mencegah dan Ciauw Si yang sudah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang
dan menengok. Kiranya Han Houw dan Thian Sin telah berada di situ. Han Houw mengerutkan alisnya ketika dia
memandang dua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu. Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun
yang berkumpul di luar pekarangannya, maka dihampirinya mereka.
"Harap saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di sini, hanya sedikit
kesalahpahaman."
Mereka semua amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong mereka, maka setelah
mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu.
Setelah semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih duduk di atas tanah,
tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu,
apalagi kini suaminya telah datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik dan fihak atasan telah
mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga yang sakti!
"Hemm, kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing keributan?"
Dua orang itu sudah mati kutunya dan tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling berlutut sambil mengangkat
kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut oleh temannya yang tinggi besar. "Harap paduka ampunkan
hamba berdua yang hanya utusan... apakah... apakah paduka Pangeran Ceng Han Houw...?"
"Hemm, kalau betul mengapa? Kalian mau apa?" tanya Han Houw sambil memandang tajam.
"Ampun... ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di sini... dan... ah,
hamba berdua telah lancang karena tidak mengira bahwa betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang
ajar... mohon ampun..."
Diam-diam Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng menyelidikinya? Dia mengerutkan alisnya. "Mengapa
kalian disuruh menyelidiki?"
"Hamba... hamba tidak tahu... hanya ada utusan dari kota raja yang memerintah kami berdua untuk menyelidiki..."
Han Houw merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua orang macam ini sama
sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut yang biasanya memang berlaku kejam dan
sewenang-wenang kepada sesamanya yang lebih rendah. Hanya orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita
ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang.
"Pergilah kalian!" katanya dan dua kali kakinya bergerak, tubuh dua orang itu telah terpental dan bergulingan
sampai keluar pintu pekarangan! Mereka cepat bangkit dan merangkak-rangkak, lalu menjura berkali-kali dan
melarikan diri dari tempat itu seperti seekor anjing dipukul!
Melihat ini, Thian Sin bertepuk tangan. "Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut ditendangi!"
Han Houw memegang lengan puteranya dan ditariknya masuk ke dalam rumah. "Thian Sin, ayah bundamu terpaksa saja
melakukan hal itu untuk membikin mereka jera dan takut, akan tetapi sesungguhnya kami tidak menyukai kekerasan
itu. Sudah cukup banyak kekerasan membuat kami hidup menderita dahulu, dan engkau, ingat baik-baik, jangan
sekali-kali menggunakan ilmu silat untuk melakukan kekerasan. Mengerti?" Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin
terkejut dan takut, maka dia pun mengangguk.
Pada malam hari itu, setelah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw mengajak isterinya
bercakap-cakap tentang peristiwa itu, "Aku khawatir akan terulang peristiwa belasan tahun yang lalu," kata
Ciauw Si sambil menarik napas panjang. "Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan menganggap kita sebagai
pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar
masih marah kepadamu? Apa yang menimbulkan bencana ini?"
Ceng Han Houw mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk menduga sebabnya. Lebih baik kita
bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga
dan kalau terpaksa kita harus tidur bergantian."
"Ya, dan terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita."
Akan tetapi malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka gelisah. Dan menjelang
pagi, ketika mereka masih duduk di atas pembaringan sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba pendengaran
mereka yang terlatih baik itu menangkap sesuatu. Bagaikan disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun
dari atas pembaringan, kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Ciauw
Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah, sedangkan Han Houw sudah melayang keluar
melalui jendela kamarnya.
Hati Ciauw Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tidur nyenak, dan dia duduk di situ,
mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia mendengar suara bising di luar, di arah ruangan depan seperti
ada orang bertempur, dia lalu cepat membangunkan puteranya.
Sebagai seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela diri yang tinggi
tingkatnya, begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan sudah sadar benar sepasang matanya menatap wajah ibunya
dan telinganya segera menangkap suara tidak wajar di luar itu.
"Apa yang terjadi, ibu? Apa yang terjadi di luar itu?"
"Sstt, kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan tetapi engkau tidak boleh
sendirian saja di sini." Ciauw Si lalu menggandeng tangan puteranya dan mereka lari keluar.
Sementara itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan gerakan ringan dia sudah
menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah
lampu yang cukup menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan cuaca di luar
rumah masih remang-remang dan kelabu.
Ketika dia memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan terdengar suara
mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat
ganas dan terdiri dari beberapa macam ular sendok, dan ada yang menyembunyikan ekornya. Han Houw maklum bahwa
ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena gigitannya, kalau tidak memperoleh obat penawar
yang tepat dan cepat, tentu nyawa akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau kaget, melainkan marah
sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu banyaknya ular berbisa kalau
tidak ada orang yang membawanya dan sengaja melepasnya di situ.
Ular-ular itu menerjangnya dari bawah. Han Houw mencabut pedang dan dengan beherapa kali gerakan pedangnya,
enam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biarpun Han Houw telah
kehilangan sebagian besar tenaga sin-kangnya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu lihai kalau hanya
menghadapi enam ekor ular saja, apalagi dia memegang sebatang pedang.
"Wirrr...! Siuuuuuttt...!" Han Houw memutar pedangnya. "Tringg! Tringg...!"
Beberapa batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak ronce-ronce hijau
bergoyang-goyang di ujung senjata kecil itu yang tidak ikut masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau
membentuk bunga itu, Han Houw terkejut dan berkata lantang, "Hemm, bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang,
keluarlah!"
Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dahulu pernah menjadi perkumpulan yang
amat terkenal dan amat ditakuti orang. Pernah merajalela sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah
perbatasan Tembok Besar. Perkumpulan ini dahulunya didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh
besar Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh di daerah perbatasan itu,
mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun paling hebat itu dan menjadi ahli racun. Ketika Jeng-hwa-pang masih
berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli
racun yang amat kejam.
Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Gan Song Kam, yaitu seorang
murid Jeng-hwa Sian-jin, diobrak-abrik oleh Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, perkumpulan itu
kehilangan pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw. Apalagi ketika ketuanya itu
tewas di tangan Ceng Han Houw maka perkumpulan itu dapat dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh
Jeng-hwa-pang masih menaruh dendam atas kehancuran perkumpulan mereka dan dendam ini ditujukan kepada Ceng Han
Houw.
Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini pernah mengakibatkan
munculnya seorang tosu bernama Tok-siang Sian-jin Ciu Hek Lam, yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau
murid utama dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya
kepada Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri.
Kini, melihat munculnya orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah melihat cara penyerangan
mereka dengan ular-ular berbisa disusul senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw terkejut
dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang.
Tiba-tiba terdengar suara gedebrugan keras dan dari pintu-pintu dan jendela berlompatan masuk tujuh orang yang
terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri sedangkan tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang
golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu sudah mengurung Han Houw
dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya
mata mereka saja mengintai dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan
seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas.
Han Houw terkejut juga menyaksikan ketangkasan dan kerapian gerakan mereka yang begitu teratur dan rapi, maka
tahulah bekas pangeran yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia
berhadapan dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa heran karena belum
pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan Jeng-hwa-pang.
"Siapa kalian?" dia membentak.
Seorang di antara mereka yang berada di depannya, menjawab dari balik perisainya, "Ha-ha-ha, Ceng Han Houw,
masih ingatkah engkau akan dosa-dosamu terhadap Jeng-hwa-pang? Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup
atau mati!" Setelah berkata demikian, tujuh orang itu lalu bergerak, berjalan atau setengah berlari
mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama dan saling susul.
Melihat ini, Han Houw menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan orang-orang
Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, dan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa
orang-orang Jeng-hwa-pang telah dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya
sendiri yang telah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja? Akan tetapi, mengapa? Bukankah pamannya itu
menyambutnya dengan baik ketika dia datang berkunjung? Hampir dia tak dapat percaya dan mengira bahwa
orang-orang ini hanya mempergunakan nama raja itu untuk menggertak saja. Akan tetapi karena mereka sudah
bergerak, dan dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik kalau dia berada di
tempat yang sempit, maka dia lalu menerjang ke kiri dengan maksud membobolkan kepungan itu dan dia dapat
meloncat keluar, ke pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk menghadapi
kepungan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja tujuh buah perisai membentuk benteng baja dan tujuh buah golok
menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke tengah ruangan di mana dia dikepung
ketat!
Pada saat itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Melihat suaminya dikepung oleh tujuh
orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan melihat bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan
itu, Ciauw Si terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya.
"Keparat, kalian datang mengantar nyawa!" bentak Ciauw Si dan dia pun menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya
bergerak dengan hebatnya, dan Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan
mata menerjang ke arah tujuh orang itu.
Melihat munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan selamat, Han Houw menjadi
tenang hatinya dan dia pun sudah menerjang dari dalam sambil memutar pedangnya!
Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sian-jin
Ciu Hek Lam. Mereka telah melatih diri dalam barisan Jit-seng-twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang)
dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan. Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan
di sebelah dalam, tidak peduli lawan itu seorang ataupun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan
juga dapat mengadakan perubahan-perubahan yang tidak terduga-duga lawan membuat lawan yang terkepung menjadi
sibuk dan bingung. Akan tetapi, mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang secara langsung monyerang
atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan! Dan lebih lagi, yang mereka kepung adalah Ceng
Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi sungguhpun tenaga sin-kangnya banyak
berkurang setelah dia menderita sakit dan oleh karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya. Dan lebih
lagi, karena di luar kepungan kini terdapat seorang wanita sakti yang mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari
ketua Cin-ling-pai, bahkan telah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja memiliki ilmu
kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggauta Jit-seng-twa-to-tin
itu.
Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur
barisan, akan tetapi menghadapi serangan-serangan dahsyat, dari dalam dan luar itu, terutama dari luar karena
Ciauw Si sudah mengamuk melihat suaminya dikepung, tujuh orang itu sibuk sekali.
"Crokkk... aughhh...!" Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher
pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika. Melihat ini, terkejutlah enam orang yang
lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas sungguhpun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan
tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka
dan dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua. Ciauw Si merobohkan seorang di antara mereka
tanpa menggunakan seluruh tenaga sehingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat.
Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah
tewas semua!
"Hayo cepat katakan yang sebenarnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang kami?" bentak Ciauw Si.
Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut
bukan main melihat orang itu telah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa
orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat. Dan dia tahu pula bahwa
racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya.
Ternyata orang yang terluka ini setelah melihat semua temannya tewas, lalu membunuh diri!
"Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau
mati!" kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya.
"Apa? Pamanmu sendiri?" Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk.
"Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!" katanya dan dia cepat memanggil para tetangga yang
menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam
rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur
bahwa suami isteri itu telah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah
itu.
"Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar," kata Han Houw setelah semua jenazah
selesai dikubur.
"Maksudmu?" Ciauw Si bertanya.
"Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata
menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepat dengan ramalan mendiang Yok-sian
bahwa tidak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya malapetaka."
"Tapi mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik."
"Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari
tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang
mengkhawatirkan aku akan memberontak lagi lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada
kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk
membunuhku."
"Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!" kata Ciauw Si. "Demikian pula tentu akan ada
lanjutan penyelidikan kaisar."
"Hemm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!" kata Han Houw dengan marah.
"Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayat. Akan tetapi kita harus
mengingat Thian Sian..."
Diingatkan akan hal ini, Han Houw termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk di situ dan
mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian.
"Aku pun tidak takut!" kata anak itu.
Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya. "Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin."
"Dia harus pergi dulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana...?" Han Houw berkata dan suaranya
terdengar penuh sesal karena baru sekarang dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak mempunyai
siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka merupakan keluarga yang sudah terputus
sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, bahkan keluarganya sendiri kini memusuhinya.
"Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko?" tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia
menepuk kepala sendiri.
"Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita
percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!"
"Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana," kata Ciauw Si.
"Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!" Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang.
"Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibu! Kami tahu apa yang baik untukmu!" bentak Han
Houw.
"Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?" Thian Sin merengek.
Ibunya sudah merangkulnya dan berkata dengan halus, "Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa
asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?"
"Siapa yang akan mati? Kita tidak akan mudah mati begitu saja!" Han Houw berkata keras. "Pendeknya, engkau
harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang banyak, kami tidak akan dapat
leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini."
Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh
tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua
harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk
mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu,
menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu. Sambil menangis Thian Sin berpamit dari ayah bundanya pada
pagi hari itu juga dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya. Setelah anak itu
pergi jauh dan tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul
suaminya sambil menangis.
Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, lalu mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah dan
duduk di ruangan dalam. "Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, malah kita harus bersyukur bahwa anak
kita terlepas dari ancaman bahaya."
"Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak
kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara maupun dari selatan?"
Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala. "Tidak!" Akan tetapi dia lalu menghampiri dan
merangkul isterinya yang kelihatan pucat. "Dengar baik-baik, isteriku sayang, bukan sekali-kali aku menolak
usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang
pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apalagi melarikan diri dari Raja Agahai
yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk
melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat
melarikan diri? Ke mana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya
hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih
baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini."
Ciauw Si tidak berkata apa-apa, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada
suaminya.
"Isteriku, engkau tidak seharusnya terancam bahaya bersamaku. Sudah terlalu banyak aku menyusahkan dirimu.
Sudah terlalu banyak engkau menderita karenaku. Dan baik Raja Agahai maupun kaisar tidak memusuhimu. Oleh
karena itu, engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku."
"Tidak!" Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras dan merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya. "Aku adalah
isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau dapat berkata demikian? Ah, apakah engkau masih ragu akan
kesetiaanku?"
Han Houw cepat memeluknya. "Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu,
melainkan aku... aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku... aku ingin agar engkau hidup
terus... demi anak kita..."
Ciauw Si balas merangkul. "Tidak! Aku harus berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita... di sana
sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya."
Han Houw mengenal kekerasan hati isterinya maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam keadaan terancam,
berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa
saling membutuhkan, dan ingin melindungi, menghibur. Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau saling
berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin baru saja. Lewat tengah hari
terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu. Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si maklum bahwa saat yang
mereka nanti-nantikan dengan hati gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah
tenang mereka berdua lalu keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap mengenakan pakaian yang ringkas
dengan pedang tergantung di pinggang.
Pasukan berkuda itu datang dari sebelah timur, memasuki pintu gerbang berbondong-bondong dan jumlah mereka
tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan
Kerajaan Beng-tiauw, dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi di
samping perwira ini terdapat dua orang kakek.
Mereka ini juga naik kuda di samping sang perwira, yang seorang bertubuh kurus sekali akan tetapi memiliki
sepasang mata yang tajam dan dia memegang sebatang tongkat, pakaiannya penuh tambalan seperti lajimnya pakaian
tokoh pengemis di dunia kang-ouw. Memang kakek kurus ini adalah Lo-thian Sin-kai, seorang tokoh besar dari
Hwa-i Kai-pang, sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh di kota raja. Orang ke dua adalah
seorang tokoh Hwa-i Kai-pang pula yang bernama Hek-bin Mo-kai, bermuka hitam sekali akan tetapi leher dan kedua
tangannya berkulit putih. Lo-thian Sin-kai berusia enam puluh tahun lebih sedangkan Hek-bin Mo-kai kurang lebih
sepuluh tahun lebih muda dari suhengnya.
Hwa-i Kai-pang dahulunya adalah sebuah perkumpulan yang pernah menentang pemerintah. Akan tetapi semenjak
Pangeran Hung Chih menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Hwa, pangeran yang telah menjadi kaisar ini lebih cerdik
daripada Kaisar Ceng Hwa, maka kaisar baru ini mendekati Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang)
sehingga kini tenaga tokoh-tokohnya yang berilmu tinggi dapat dipergunakan.
Melihat pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih itu, dan masih dibantu oleh dua orang pengemis tua yang
melihat pakaiannya saja sudah dikenal oleh Ceng Han Houw sebagai tokoh Hwa-i Kai-pang, maka pangeran dan
isterinya itu diam-diam terkejut sungguhpun mereka tidak menjadi gentar dan bahkan merasa marah sekali melihat
betapa kaisar telah mempergunakan pula orang-orang kang-ouw.
Sebelum mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan dari pintu gerbang sebelah barat
nampak debu mengepul disusul masuknya puluhan orang perajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang
lebih lima puluh orang perajurit itu merupakan perajurit-perajurit pilihan yang bertubuh besar dan berwajah
menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, dan dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar bermuka
penuh brewok. Akan tetapi yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat perwira
pasukan itu, seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka pucat dan bermata sipit. Dia mengenal kakek ini
yang bukan lain adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam
kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya. Mengertilah dia kini bahwa kakek
ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk
barisan perisai dan golok yang menyerangnya malam tadi. Kini semakin yakinlah dia akan tepatnya dugaannya.
Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang
sudah ada kerja sama antara Raja Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang
berkhianat.
"Kalian ini pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng, ada maksud apakah
datang mengunjungi dusun ini?" Terdengar suara Ceng Han Houw membentak lantang. Suara pangeran ini masih
mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng maupun tentara Raja Agahai sudah mengenal belaka siapa adanya
pangeran ini yang disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago nomor satu
yang tak terkalahkan di dunia ini! Menurut kabar, satu-satunya orang yang mampu mengalahkannya hanyalah
Pendekar Lembah Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Maka, tentu saja di dalam hati mereka merasa
gentar juga, apalagi karena mereka mendengar bahwa isteri pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main.
Akan tetapi, Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, juga Tok-ciang Sian-jin Ci Hek Lam, yang merasa dendam kepada
pangeran itu, kini melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Ceng Han Houw, engkau pemberontak hina, menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!" kata Lo-thian Sin-kai
dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya di depan dada.
"Ceng Han Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kaubayar, sekarang engkau telah menambah
hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!" Kata Tok-ciang
Sian-jin sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan melingkar-lingkar.
Cambuk itu terbuat dari baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak, merupakan senjata yang amat
ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini apalagi karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena
lecutan sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun yang sukar disembuhkan.
Sungguh merupakan senjata yang amat keji. Memang, Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli
dalam penggunaan racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan kabarnya obat
pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang Jeng-hwa-pang saja.
Ceng Han Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. "Hemm, kalian bukan datang sebagai
tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan
tukang-tukang pukul bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian? Kalau memang ada
kepandaian dan berani, kalian majulah!"
Mendengar tantangan ini, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi marah dan dia mengeluarkan teriakan nyaring
Lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu mematuk ke
arah ke dua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali!
Namun, biarpun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sin-kangnya, ilmu kepandaiannya masih lengkap dan
dia mengenal kedahsyatan serangan ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran
cambuk. Cambuk itu membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya meluncur dan
menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal inipun sudah diduga oleh Han Houw, maka diapun sudah mencabut
pedangnya dan menangkis.
"Tringgg...!" Terdengar suara nyaring ketika pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api berhamburan. Sinar api
ini seolah-olah menjadi isyarat bagi mereka semua, karena dengan suara gemuruh, para anggauta pasukan sudah
menyerang, didahului oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang itu yang
telah menerjang Lie Ciauw Si. Nyonya muda ini sudah mencabut Pek-kang-kiam dan nampak sinar putih
bergulung-gulung ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek tokoh Hwa-i
Kai-pang itu dan sekaligus membalas dengan dua kali tusukan yang berkelebat seperti kilat menyambar. Dua orang
kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu mainkan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat
Lima Teratai) yang menjadi andalan para tokoh Kai-pang. Akan tetapi, dengan gagah Ciauw Si lalu menghadapi
mereka dan mainkan Ilmu Silat Siang-bhok Kiam-sut yang menjadi ilmu kebanggaan Cin-ling-pai, semacam ilmu
pedang yang amat indah dipandang akan tetapi mengandung gerakan-gerakan yang amat berbahaya bagi lawan.
Seperti namanya, Siang-bhok Kiam (Pedang Kayu Harum) sebetulnya merupakan ilmu pedang yang dimainkan dengan
pedang kayu, merupakan ilmu tunggal yang hebat dari pendiri Cin-ling-pai, yaitu mendiang pendekar sakti Cia
Keng Hong, kakek dari Lie Ciauw Si. Dengan pedang kayunya yang berbau harum, terbuat dari semacam kayu cendana
yang aneh, ketua Cin-ling-pai membuat nama besar dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw. Kini, cucu perempuannya
mengamuk dengan ilmu Siang-bhok Kiam-sut, biarpun tidak selihai kakeknya yang berpedang kayu, namun ilmu pedang
ini membuat dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi terkejut dan seketika terdesak mundur. Akan tetapi, pasukan
yang berada di belakang meeka lalu maju mengepung, bersama pasukan Raja Agahai yang juga sudah maju mengeroyok.
Suami isteri itu lalu dikeroyok oleh hampir seratus orang dan pertempuran yang sesungguhnya berat sebelah, akan
tetapi juga mengerikan melihat betapa suami itu mengamuk seperti sepasang naga sakti. Ke manapun pedang mereka
berkelebat, robohlah seorang pengeroyok dan sebentar saja pekarangan di depan pondok itu telah banjir darah dan
mayat-mayat berserakan. Suara orang-orang mengeluh dan merintih karena luka parah memenuhi tempat itu dan
sepasang suami isteri itu sendiripun tidak terluput dari luka-luka yang terdapat pada hampir seluruh tubuh
mereka. Akan tetapi berkat permainan pedang mereka, mereka masih dapat bertahan terus dan hanya menderita
luka-luka ringan saja.
Andaikata Han Houw masih memiliki sepenuh tenaga sin-kangnya, kiranya kalau hanya dikeroyok hampir dua ratus
orang pasukan itu, dia dan isterinya akan dapat menghadapi mereka dan mungkin akan dapat membasmi habis mereka!
Akan tetapi sayang baginya, tenaga sin-kangnya sudah banyak hilang ketika dia sembuh dari sakit akibat luka
dalam yang amat parah sehingga kini tenaganya sudah tinggal sedikit. Biarpun ilmu silatnya masih lihai, akan
tetapi karena tenaga sin-kangnya lemah hal ini tentu saja mengakibatkan gerakannya kurang cepat dan kurang
mantap sehingga tingkatnya kini bahkan masih di bawah tingkat Ciauw Si.
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang amat tinggi ilmunya, bahkan dibanding
dengan Ciauw Si dia masih menang setingkat! Biarpun demikian, kalau dia bertanding melawan Han Houw sebelum
pangeran ini menderita luka, kiranya dia takkan mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus saja! Kini,
biarpun dia dibantu oleh pasukan, namun pertahanan Han Houw dengan ilmu silatnya yang aneh sedemikian rapatnya
sehingga sekian lamanya belum juga dia mampu merobohkan pangeran ini biarpun tubuh pangeran itu sudah menderita
banyak luka oleh pengeroyokan itu dan sudah hampir dua puluh orang roboh oleh pedang pangeran ini!
Di lain fihak, Ciauw Si juga mengamuk, bahkan lebih ganas daripada suaminya. Dia sudah merobohkan tiga puluh
orang lebih dan masih terus mengamuk. Akan tetapi, gerakannya makin menjadi lemah karena dia sudah menderita
banyak luka seperti suaminya dan sudah terlalu banyak mengeluarkan darah. Ketika dia menengok dan melihat
keadaan suaminya tidak lebih baik dari padanya, Ciauw Si mengeluh.
"Suamiku, jangan kautinggalkan aku...!" dia berseru lirih dan seruannya ini terdengar oleh Han Houw yang cepat
memutar pedangnya membuka jalan darah untuk dapat mendekati isterinya. Ciauw Si tahu akan usaha suaminya ini
maka dia pun memutar pedang dengan kuat dan berhasillah suami isteri itu kini menghadapi musuh sambil beradu
punggung, saling menjaga, dan memutar pedang di depan untuk menghalau hujan senjata dari depan, kanan kiri dan
atas. Suami isteri itu terus melawan dengan penuh semangat, sungguhpun keduanya sudah tahu dengan pasti bahwa
mereka tidak akan dapat lolos dan pasti akan roboh, namun mereka tidak mau menyerah sama sekali dan ingin
melawan sampai akhir.
"Ciauw Si... isteriku..." Han Houw merintih ketika pundaknya untuk kesekian kalinya tertusuk tombak lawan, dia
membabat dan seorang perajurit yang menusuknya itu roboh.
"Pangeran... suamiku..." Ciauw Si juga merintih dan kembali pahanya kena disambar tongkat sehingga rasanya
seperti patah tulangnya. Dia menusuk ke depan, dan ketika tongkat tokoh Hwa-i Kai-pang itu menangkis, dia
membalik dan robohlah seorang pengeroyok di sebelah kirinya, akan tetapi dia terguling karena kakinya yang kiri
tidak dapat dipakai berdiri lagi.
"Si-moi...!" Han Houw berseru dan dengan tangan kiri dia merangkul isterinya, tangan kanannya masih diputarnya
untuk melindungi mereka berdua. Ciauw Si menguatkan dirinya, dan dia pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis
ke kanan kiri dan ke atas.
Hebat bukan main pertahanan dua orang suami isteri itu, akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan luka-luka
mereka dari pundak sampai ke kaki itu terus mengucurkan darah segar dan membuat mereka merasa lemas sekali.
Kini mereka berdua tidak lagi dapat membalas serangan, tidak lagi dapat merobohkan lawan, hanya mampu menangkis
terus menerus. Akan tetapi tentu saja tenaga mereka makin lama makin lemah dan habis sehingga
tangkisan-tangkisan mereka tidak begitu kuat lagi dan mulailah mereka menerima bacokan atau tusukan senjata
tajam dan terpukul oleh tongkat beberapa kali. Akhirnya, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si tidak mampu
mempertahankan diri lagi. Wajah mereka pucat sekali karena darah mereka hampir habis bercucuran dari luka-luka
mereka dan akhirnya robohlah mereka saling rangkul, dengan pedang masih tergenggam di tangan dan nyawa sudah
melayang sebelum banyak senjata datang bagaikan hujan, karena mereka telah kehabisan darah! Suami isteri yang
luar biasa ini benar-benar telah melawan sampai titik darah terakhir.
Setelah berhasil membunuh suami isteri itu, para anggauta pasukan, baik pasukan Kerajaan Beng maupun pasukan
Raja Agahai, bersorak-sorai dan mulailah terjadi kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa
"pembersihan" seperti itu. Mereka memasuki rumah-rumah para penduduk dusun dan senjata mereka berpesta-pora
minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa! Karena Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu
sebagai seorang pemberontak, maka tentu saja para penduduk dusun yang berada di situ semua dianggap kaki tangan
pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan tak kenal kasihan terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh,
dan wanita-wanita mudanya mereka permainkan dan perkosa. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang
biasanya tenang dan tenteram itu.
Lewat tengah hari, pasukan-pasukan itu telah pergi meninggalkan dusun, membawa mayat-mayat dan teman-teman
mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka mengeroyok suami isteri itu. Dusun itu masih memperlihatkan
jejak kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda dusun itu berserakan, darah mengalir dan membanjir,
wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi
nasib keluarga mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan.
Akan tetapi akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak ada gunanya. Maka mulailah para
kakek, nenek dan wanita-wanita muda korban perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus
mayat-mayat itu sambil mencucurkan air mata. Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mereka rawat. Semua
peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu,
sehingga terpaksa sedapat mungkin para kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang ada,
amat sederhana dan tipis.
Pada keesokan harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti mati dan
bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek
tua yang tadinya diutus untuk mengantarnya. Ternyata anak itu setelah tiba di tengah jalan, tak dapat menahan
hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang menariknya.
Ketika melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi peti-peti mati yang berjajar
panjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah
peti-peti mati itu, satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak, "Ayaaah...! Ibuuu...!" Dan berlarilah dia
memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil.
"Ayaaaah...! Ibuuuuu...!" Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat di dalam rumah orang tuanya itu
berantakan dan nampak darah di sana-sini dan bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar lagi sambil
berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lalu berteriak kepada mereka dengan suara
parau, "Di mana ayah dan ibuku?"
Seorang wanita menjerit dan maju menubruknya. "Ayahmu... Ibu..." Dia tidak dapat melanjutkan, hanya menudingkan
telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah.
Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk, kemudian dengan
langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri, matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip
memandang kepada dua peti itu, bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh
ketidakpercayaan, "Ayahku... Ibuku... mereka... mereka tewas...?"
Ketika melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang mengerikan sekali karena
amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar hatinya yang seperti tersayat, dia menubruk ke depan dua buah peti
itu dan terguling, pingsan!
Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapapun, suatu hal yang
akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Oleh karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli
dia itu kaisar maupun pengemis, tak peduli dia itu pendeta maupun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian
merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka?
Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bilamana di situ terdapat ikatan
batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang enak, sehingga kita
tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak
menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita
akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apabila direnggut oleh kematian,
hati kita akan terobek dan menjadi perih. Sebagian besar daripada ratap tangis yang ditumpahkan orang dalam
peristiwa kematian, adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan orang yang
mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di
lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu
atau rasa senang di hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap
tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup.
Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapapun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di
sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan,
kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati.
Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati yang terjadi sebagai
rangkalan dari hidup adalah suatu proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya
matahari di senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita merasa
takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakutkan, penuh rahasia. Mengapa kita merasa
ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu?
Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat
kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela
berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar
apakah akan mendatangkan nikmat atau derita.
Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Semakin erat kita terikat secara
batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita
menghadapi perpisahan dengan semua itu. Bukan kematian yang menakutkan, melainkan perpisahan dengan segalanya
itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala
hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu!
Inilah yang membuat kita merasa tidak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan.
Tidak dapatkah kita "mati" selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini?
Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang
berupa kematian dan yang tak mungkin dielakkan itu. Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak
acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan
batiniah yang selalu berupa kesenangan itulah. Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari
apa yang kita miliki itulah yang mengikat.
Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah
mati kitapun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa
terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus semakin dalam lagi
ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat semakin kuat. Mengejar enak dan senang selama
hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di "sana"!
Akibat dari guncangan batin yang amat hebat dengan terjadinya peristiwa yang amat mengejutkan dan menyedihkan
hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali
dan dia menderita sakit demam. Dia dirawat oleh tetangga dan tiga hari kemudian, setelah menangis tersedu-sedu
di depan kuburan ayah bundanya, Thian Sin bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu.
"Ayah, ibu, kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!" katanya berkali-kali.
Setelah dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh mendiang ayah bundanya untuk
mengantarnya kepada pamannya yang menjadi hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak
berangkat melanjutkan perjalanan.
"Sebagai anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi menghadap Hong San
Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kaubawa serta," kata kakek Lai Sui yang sabar.
tetapi Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan kitab-kitab yang telah
diberikan ayahnya kepadanya, kitab-kitab tulisan ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena
tulisan itu dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan dipelajari orang lain,
sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian Sin.
"Rumah dan semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek." kata Thian Sin kepada Lai Sui. "boleh kaupakai dan kau
tinggali sampai aku kembali."
Maka berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang amat jauh dan sukar, melalui Tembok Besar dan
menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan
kota raja.
Akan tetapi karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak dusun yang tidak
membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau
gatal tangan mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek Lai Sui-lah yang
sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapapun juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin
yang sudah digembleng sejak kecil oleh ayah bundanya itu.
Akhirnya, tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil Thian-to-tang. Kuil itu
berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah.
Di ruangan depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan tenteram. Seorang hwesio
berusia tiga puluhan tahun yang sedang membersihkan pekarangan di sebelah kanan kuil, segera melepaskan sapunya
dan membungkuk-bungkuk menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang dikiranya tamu-tamu yang hendak datang
bersembahyang, walaupun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk bersembahyang.
"Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak bersembahyang?" tanya hwesio itu setelah merangkap kedua tangan di depan
dada tanda menghormati suaranya halus dan sopan. Melihat sikap ini saja Thian Sin sudah merasa tertarik dan
girang. Betapa bedanya dengan orang-orang yang dijumpainya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata memandang
rendah dan bersikap angkuh terhadap mereka berdua yang berpakaian seperti orang dusun miskin. Akan tetapi
hwesio ini menyambut mereka dengan wajah yang ramah dan sikap yang sopan, dan agaknya beginilah hwesio ini
menyambut semua tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya.
"Maaf, Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, melainkan mohon menghadap Hong San Hwesio, Ketua Kuil
Thian-to-tang," kata Lan Sui.
Kini hwesio itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu memandang kepada
Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia
menjawab. "Sayang sekali, Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi."
Lai Sui dan Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa diikuti irama ketukan genta kayu yang
dipukul. "Kalau begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa)," kata Lai Sui.
"Silakan duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya dia lalu duduk samadhi."
"Biarlah, Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, kami telah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya,
maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya bagi kami." jawab Lai Sui sambil tersenyum.
Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya.
Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil dan melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu
melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu.
"Omitohud...! Sepagi ini sudah datang tamu yang mencari pinceng?" kata Hong San Hwesio. "Entah dari mana
gerangan mereka?"
"Teecu juga tidak tahu, akan tetapi mereka kelihatan lelah sekali dan mengaku telah datang dari tempat yang
jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya."
"Omitohud...! Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang amat penting sekali. Cepat persilakan
mereka masuk, akan pinceng terima di sini saja." kata hwesio itu dengan serius. Dia menghargai tamu-tamu yang
datang dari tempat sedemikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali.
Tak lama kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini memberi hormat kepadanya dan
berlutut, Hong San Hwesio memandang penuh perhatian, dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah
anak laki-laki itu tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi di mana dia pernah berjumpa dengan anak ini.
"Paman, apakah paman lupa kepada saya? Saya Thian Sin yang malang menghadap paman memenuhi pesan ayah..." kata
Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya mengandung kedukaan besar.
Disebut paman oleh anak itu, Hong San Hwesio, terkejut, "Ah, kiranya engkau..." dia meragu.
"Dua tahun yang lalu paman mengunjungi kami..."
"Ah, benar, engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu? Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan siapakah Saudara
ini?"
Lai Sui memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu dan dengan suara terputus-putus karena duka dan
haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga anak itu telah tertimpa malapetaka, diserbu oleh
pasukan-pasukan dari kaisar dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun.
"Mereka telah merasa akan datangnya malapetaka, maka mereka telah mengutus saya untuk mengantar anak ini ke
sini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu di sini," Kakek itu mengakhiri ceritanya. "Dan ternyata surat ini
merupakan pesan terakhir mereka."
Tentu saja Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu. Sejenak dia terdiam,
alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu, lalu dia memejamkan kedua mata sejenak sambil berdoa untuk
kematian adik kandungnya dan adik iparnya itu. Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan memandang kepada
Thian Sin, keponakannya itu. Anak itu nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan jelas di
wajahnya terbayang kekerasan dan dendam yang hebat. Kembali dia menarik napas, lalu dibukanya sampul surat dari
adik iparnya itu. Dibacanya surat terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan
adik iparnya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat dan mendidik Thian Sin untuk sementara waktu
karena mereka berdua terancam bahaya. Minta kepadanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di
samping membimbing dan mengamati latihan silatnya.
Setelah membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang dan membisikkan
doa-doa. Ketika menulis surat itu, biarpun adiknya masih belum yakin akan kematiannya, namun adiknya itu
agaknya sudah merasa tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata, "Saudara Lai Sui,
engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik dan untuk itu, pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng
telah menerima surat dari mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai untuk
beistirahat."
Lai Sui cepat memberi hormat. "Terima kasih, suhu. Akan tetapi setelah saya menyerahkan surat dan anak ini,
perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami, karena selain dusun kami sedang tertimpa malapetaka
dan dalam keadaan berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya yang
ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja di sini, memenuhi pesan terakhir dari orang
tuamu, ya?"
Thian Sin mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di dekatnya, tidak menangis, akan tetapi jelas
dia merasa amat terharu. "Terima kasih, Lai-pek, engkau sungguh baik sekali dan aku tidak akan melupakan
kebaikanmu. Kau tolong... tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?"
"Tentu saja, Thian Sin, tentu saja, jangan khawatir... nah, selamat tinggal, anak baik. Suhu, terima kasih dan
saya akan berangkat pulang sekarang."
Lai Sui lalu meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang telah tertimpa malapetaka itu. Dia sendiri
karena tidak berkeluarga maka tidak mengalami kehancuran keluarganya. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah
akrab antara tetangga, seperti keluarga sendiri saja maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat maka dia ingin
lekas-lekas pulang.
Sementara itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat pada wajah keponakannya itu lalu berkata.
"Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang membunuh ayah bundamu?"
Anak itu mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, dan dia menggeleng kepalanya.
"Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami
adalah pasukan dari Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak akan saya selidiki siapa yang memimpin
penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan kematian ayah dan ibu!" Dari sepasang mata
anak itu memancar api dendam yang hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas
panjang.
"Omitohud...! Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tidak pernah berpikir dan bertanya mengapa ayah
bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?"
Ketika anak itu menggeleng kepala, Hong San Hwesio dengan suara lembut dan sabar lalu menceritakan secara
singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak
membimbing anak itu agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang
lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat
daripada perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau. Mendengar cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan
diam-diam dia terkejut juga. Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah memberontak
terhadap kaisar.
"Nah, sekarang engkau mengerti, Thian Sin. Tiada perbuatan tanpa akibat dan tiada akibat tanpa sebab. Yang
tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas,
dendam-mendendam! Kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba dari nafsu kekerasan belaka, menjadi
hamba-hamba dari nafsu dendam dan permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang kelak akan mendatangkan
akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab akibat ini dengan berdiam diri."
"Tapi... tapi... ayah bundaku dibunuh orang... mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?"
Hong San Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang berupa ajaran-ajaran Sang
Buddha, yang diucapkan satu-satu dan jelas terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin.
Tiada yang lebih panas dari pada nafsu tiada yang lebih ganas daripada kebencian tiada yang lebih menjerat daripada kebodohan tiada yang lebih enghanyutkan daripada keserakahan Kesalahan orang lain mudah nampak kesalahan diri sendiri sukar terlihat orang menyaring kesalahan orang lain
seperti menampi dedak namun kesalahannya sendiri disembunyikannya seperti penipu menyembunyikan dadu lemparannya terhadap penjudi lainnya
Setelah mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya, dan dia pun lalu membantah, "Akan tetapi, paman.
Mereka itu membunuh ayah bundaku, mereka itu melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau tidak kuberantas
perbuatan mereka itu, kalau tidak kubasmi orang-orang kejam seperti itu, bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang lain?"
Hong San Hwesio masih memejamkan kedua matanya, tersenyum dan berkata sambil merangkapkan kedua tangan.
"Omitohud... hatimu penuh dendam kebencian, tentu saja tidak mungkin dapat berpikir jernih. Nah,
kaudengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat suci." Hwesio itu tanpa membuka mata, dengan duduk
bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menyembah di depan dada, lalu bernyanyi, membacakan ayat-ayat
pertama dari Dhammapada.
Segala keadaan kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan didasarkan atas pilihan kita dan dibentuk oleh pikiran kita Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran jahat penderitaan akan mengikutinya
seperti roda gerobak mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya
Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran murni kebahagiaan akan mengikutinya seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkannya
Dia mencaci maki saya, memukul saya mengalahkan saya, merampok saya,
yang menyimpan pikiran ini kebencian takkan berakhir yang tidak mmyimpan pikiran ini dendam kebencian akan berakhir Karena kebencian tak dapat dipadamkan oleh kebencian kebencian hanya musnah oleh cinta kasih inilah suatu aturan yang abadi
Entah bagaimana, suara nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang memejamkan matanya itu terdengar
demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini seperti hanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila
seperti hwesio itu, memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan dan mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia
merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang
membara!
Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio delam ilmu kebatinan dan keagamaan dan
karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsafat
kehidupan menurut pelajaran agama itu.
Di samping setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, juga Thian Sin diberi pelajaran kesusastraan oleh Hong San
Hwesio, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu silat di bawah petunjuk pamannya yang dahulu sebelum
menjadi hwesio juga merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi.
Selain mempelajari ilmu silat, ilmu sastra dan keagamaan dari pamannya, juga dari beberapa orang hwesio yang
tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata
dia memiliki bakat yang kuat sekali.
Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja,
bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seolah-olah kebaikan
itu dapat dipelajari! Seolah-olah kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seolah-olah kesabaran itu dapat
dibuat! Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, kalau kita marah, kita dinasihati untuk bersabar.
Kita dinasihati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan
mengingat bahwa kemarahan itu tidak baik, kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajar untuk menjauhi
kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa untuk berpaling kepada
kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini,
penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak kita hayati
dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka,
dan setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu sudah pasti
mengandung pamrih. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut baik,
kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu mendatangkan senang di hati. Maka
"perbuatan baik" yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah
merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja.
Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu bisa saja
berupa kesenangan bagi lahir maupun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi
pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar memperoleh
buah dari perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.
Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang kita anggap sebagai
perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung
pamrih, biar pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekalipun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah
perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan
sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang
amat buruk. Untuk dapat terbebas daripada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan
kesabaran atau mengendalian diri, kemarahan dapat saja berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi
sesungguhnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut
ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat,
untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar lagi, ditutup lagi, maka kita pun
terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini!
Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa kita harus
menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan? Mengapa kita tidak berani
menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah? Mari kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul,
setiap kali kebencian, iri hati, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati,
kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan
pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat
bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang
sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja,
pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati,
dilakukan pada saat semua itu timbul!
Demikian pula dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk menekan dan
menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya berhasil, nampaknya dia telah kembali menjadi
seorang anak yang riang dan berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia
menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun, benarkah api dendamnya itu telah
padam? Hanya kenyataan yang akan menentukan dan menjawabnya.
***
Bangunan kuno yang sebenarnya amat indah itu dari luar nampak menyeramkan karena dikelilingi tumbuh-tumbuhan
yang besar dan lebat. Bangunan itu dinamakan orang Istana Lembah Naga! Lembah ini terletak di kaki Pegunungan
Khing-an-san, di dekat tikungan Sungai Luan-ho, termasuk daerah Mongol dan berada di luar Tembok Besar. Dahulu
sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai hadiah kepada pendekar sakti
Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal
keluarga mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam. Akan tetapi semenjak pendekar Cia Sin Liong bersama
isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana itu, keadaannya berubah sama sekali. Lembah yang
memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang berdatangan untuk tinggal di sekitar
lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan
pendekar itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang amat baik, bahkan yang melindungi para penghuni
dusun itu. Tidak mengherankan apabila keluarga ini dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu
menjadi semakin ramai.
Memang pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki lembah yang dahulu
dinamakan orang Padang Bangkai dan yang amat menyeramkan itu kini sebagian telah menjadi sawah ladang.
Tempat-tempat berbahaya yang mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar ketika
mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak pernah lagi mengambil korban.
Istana itu sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga tidak penuh lumut
seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu. Kini, ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan
sekali membantu pendekar ini untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu. Sungguh kini suasananya jauh
berbeda dibandingkan dengan dahulu ketika istana ini masih menjadi tempat tinggal sepasang kakek dan nenek
iblis yang terkenal dengan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai.
Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya tempat ini menjadi benteng
di mana terjadi keributan dan sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han Houw yang dibantu oleh
Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lain. Setelah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu diserahkan oleh
kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah
keadaannya dan sampai sekarang menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik datangnya para pelancong yang
melewati Tembok Besar. Bahkan karena dusun-dusun di sekitarnya semakin ramai dan di situ banyak menghasilkan
rempah-rempah dan bahan-bahan obat, hanyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam Tembok Besar
untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk dari kota di sebelah selatan dan pulangnya
mereka membawa rempah-rempah dan bahan-bahan obat.
Telah kurang lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana Lembah Naga itu dan
di dunia kang-ouw, tempat inipun terkenal sebagai istana tempat tinggal Pendekar Lembah Naga, demikianlah
orang-orang kang-ouw memberi julukan kepada Cia Sin Liong. Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu yang amat
dicintanya, pendekar ini telah memperoleh seorang putera yang mereka beri nama Cia Han Tiong dan yang kini
telah berusia sebelas tahun.
Semenjak kecil, Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari orang tuanya, bukan pemanjaan,
melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal di tempat yang selalu hening dan tenteram, di antara para
penduduk dusun yang hidupnya sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apabila keadaan
sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri anak itu. Cia Han Tiong yang mempunyai
ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan.
Wajahnya biasa saja, wajah yang tidak terlalu menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu, tidak terlalu
tampan sungguhpun tidak dapat dikatakan buruk. Hidungnya agak pesek, matanya sipit, akan tetapi wajah yang
biasa ini amat menyenangkan karena gerak-geriknya yang lembut, mulutnya yang selalu membayangkan keramahan dan
sepasang mata sipit itu memiliki sinar yang bening tajam, kalau dia bicara, suaranya tenang halus dan jelas,
dan apablia dia memandang wajah orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu,
sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya.
Sebagai putera seorang pendekar sakti, tentu saja semenjak kecil Han Tiong telah digembleng ilmu oleh ayahnya,
juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu
ini. Di samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia suka bercocok tanam,
merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan alam, di waktu pagi-pagi sekali
atau waktu senja, dia merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu riang, yang
nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walaupun dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak
bicara kalau tidak perlu sekali.
Bentuk tubuhnya juga sedang saja, sikapnya sederhana sungguhpun dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang taihiap,
seorang pendekar sakti yang disegani dan ditakuti lawan dan dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini
justeru membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan ke mana pun Han Tiong berada, orang-orang akan
menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira.
Setelah Han Tiong berusia sebelas tahun, timbul kekhawatiran di dalam hati Sin Liong. Biarpun selama ini
puteranya memperlihatkan sikap yang amat baik dan ternyata memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia
tahu bahwa puteranya itu kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup untuk
mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat
yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat
dahsyat itu tanpa memiliki dasar watak yang kuat. Betapa banyaknya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
silat tinggi lalu menyeleweng di dalam hidupnya, karena merasa memiliki sesuatu yang dapat diandalkan, memiliki
kekuasaan atas orang lain dan karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap sewenang-wenang. Kalau dia
membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa
lebih baik kalau puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau tidak diwariskan
kepada puteranya, lalu untuk apa? Apakah hendak dibawanya sampai mati?
Kekhawatiran dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Di dalam pengalaman hidupnya, pendekar ini
sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan
kejahatan dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun umpamanya.
Orang-orang yang tidak memiliki batin yang bersih amat mudah menyeleweng, apalagi orang-orang yang memiliki
kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam!
Memang demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukannya mendatangkan berkah dalam kehidupan, bahkan sebaliknya
mendatangkan malapetaka apabila tidak disertai dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan
memberi kekuasaan yang lebih besar kepada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu akan
dipergunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan dan dengan kekuasaannya itu
manusia akan membasmi manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk meraih kesenangan
pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di mana pun dalam dunia ini. Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan
batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada
di dalam tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa
mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang
lain.
"Lalu apakah yang dapat kita lakukan?" Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam setelah suaminya itu
mengeluarkan isi hatinya. "Di tempat seperti ini, mana ada orang yang akan mampu memberi pendidikan batin
kepada anak kita? Siapa yang dapat menolong kita...?"
"Aku ingat," tiba-tiba Sin Liong berkata, "ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali menjadi pendidik untuk
Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak."
"Siapa dia?" Bi Cu bertanya penuh gairah.
"Dia adalah saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai."
"Siapa sih?"
"Dia Kanda Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya sekarang adalah Hong San
Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja."
"Ah, bagus sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri."
"Memang sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama beberapa tahun. Engkau tahu,
aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang terlampau dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki
dasar kebatinan yang kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun, setelah dasarnya kuat, baru kita
bahwa dia pulang."
"Aku setuju, biarpun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita," kata isterinya.
"Bagus! Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga kita berangkat ke
selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan
hanya terpendam saja di tempat sunyi ini."
"Apakah kita langsung saja ke kuil Thian-to-tang?"
"Tidak, kesempatan ini kita pergunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun-tahun kita seperti
orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi dunia ramai, tidak pernah mengunjungi
keluarga. Maka sekali ini, sekalian membawa Han Tiong merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu
mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah itu baru kita mengantarnya ke
kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko."
Wajah yang manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus diakuinya bahwa selama berada di
Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa bahagia sekali di samping suaminya yang amat dicintanya, apalagi setelah
terlahir Han Tiong, dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni dusun-dusun yang jujur
dan bersahaja, amatlah menyenangkan. Belum pernah dia mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar
lembah. Akan tetapi begitu kini suaminya hendak mengajak dia dan putera mereka merantau, hatinya menjadi
gembira bukan main dan nyonya muda ini segera berkemas dan dengan girang dia memberi tahu kabar gembira itu
kepada Han Tiong yang menerima kabar itu dengan tenang-tenang saja, sungguhpun wajahnya menjadi berseri dan
matanya bersinar-sinar.
"Sudah lama aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu," katanya. "Benarkah kakek Cia Bun Houw adalah seorang
pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit? Dan bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar
di dunia?"
Pada saat itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia lalu duduk dan menjawab,
"Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang
pendekar yang tiada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi menembus awan
sekalipun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula
Cin-ling-pai, memang merupakan perkumpulan silat yang amat baik dan terkenal, akan tetapi tidak perlu dikatakan
paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa memandang terlalu tinggi diri sendiri amatlah berbahaya, anakku.
Hal itu akan mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain."
Anak itu mengangguk dan diam-diam, seperti biasa, dia mencatat semua kata-kata ayahnya itu di dalam hatinya dan
dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. "Ayah dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di
Cin-ling-pai, akan tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga mengunjungi
Paman Lie Seng di mana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah mereka itu, ayah?"
Memang selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai kepada puteranya, maka tidaklah
mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya tentang mereka itu. Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan
nama-nama itu kepada puteranya. "Bibimu Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan
ayah. Mereka adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di Su-couw. Telah
belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka, maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku ingin
mengajak ibumu dan engkau pergi mengunjungi mereka pula di Su-couw. Sedangkan Pamanmu Lie Seng itu sekarang
telah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja.
Diapun seorang pendekar yang berilmu tinggi di samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itu engkau
harus belajar darinya barang beberapa tahun, Han Tiong."
Menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan mereka dan diam-diam timbul
perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada adik-adiknya itu dan dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka
sekarang. Apakah mereka telah mempunyai anak? Ah, sungguh lucu rasanya membayangkan adik-adiknya itu mempunyai
anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan
gembiranya perjumpaannya dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti.
Akan tetapi pendekar ini tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini. Sudah hampir
tiga belas tahun dia tidak pernah bertemu dengan dua orang adik kandung lain ayah itu. Seperti telah
diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adiknya seibu berlainan ayah dan
mereka berdua telah menikah. Perjumpaan Sin Liong dengan dua orang adiknya ini adalah ketika dia hadir dalam
upacara pernikahan mereka.
Untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini, sebaiknya kita menengok keadaan
mereka di Su-couw. Seperti telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, mendiang Kui Hok Boan, yaitu
ayah tiri Sin Liong atau ayah kandung Kui Lan dan Kui Lin, bersama anak-anaknya itu pindah ke Su-couw atau
lebih tepat lagi di dalam keadaan tidak waras ingatannya dibawa pergi ke Su-couw oleh dua orang puteri
kembarnya itu. Kebetulan sekali, puteranya, atau kakak seayah berlainan ibu dari Lan dan Lin, yang bernama Beng
Sin, juga berada di Su-couw dan Kui Beng Sin ini, putera Kui Hok Boan dari wanita lain lagi, juga menikah
dengan seorang gadis Su-couw, bernama Ciook Siu Lan, putera seorang piauwsu dari Hek-eng-piauwkiok di Su-couw.
Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga.
Kui Lan telah menikah dengan Ciu Khai Sun, seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan bertubuh
tinggi besar seperti tokoh Si Jin Kui. Sedangkan Kui Lin, adik kembarnya, menikah dengan Na Tiong Pek yang
masih terhitung suheng dari Bi Cu di waktu mereka masih kecil, karena Bi Cu dirawat sejak kecil dan dididik
oleh ayah dari Na Tiong Pek ini.
Setelah menikah, Kui Lan ikut dengan suaminya, yaitu Ciu Khai Sun yang tetap tinggal di Su-couw, di rumah yang
diberikan pamannya kepadanya. Sedangkan Kui Lin ikut suaminya, Na Tiong Pek yang memiliki perusahaan piauwkiok
juga, yaitu Ui-eng-piauwkiok di Kun-ting, Propinsi Ho-pei. Maka berpisahlah dua orang wanita kembar itu ketika
mereka menikah.
Akan tetapi perpisahan itu tidak lama, hanya berjalan satu tahun. Hal ini adalah karena Ciu Khai Sun agak sukar
memperoleh pekerjaan yang cocok dengan kepandaiannya, yaitu kepandaian silat tinggi yang dilatihnya semenjak
dia masih kecil. Sedangkan di lain fihak, Na Tiong Pek membutuhkan bantuan orang pandai untuk memperkuat
perusahaan piauwkiok (ekspedisi, pengawal barang). Oleh karena itu, dalam pertemuan di antara mereka Na Tiong
Pek membujuk Ciu Khai Sun agar ipar ini suka membantunya. Dua orang wanita kembar itu ikut membujuk karena
sebagai saudara kembar, tentu saja mereka akan merasa lebih senang kalau dapat hidup bersama, atau setidaknya
tinggal di satu kota sehingga lebih mudah bagi mereka untuk saling berkunjung. Akhirnya, Ciu Khai Sun menerima
bujukan Na Tiong Pek ini, apalagi mengingat bahwa baginya, pekerjaan menjadi piauwsu tentu saja amat cocok,
sesuai dengan kepandaiannya.
Bukan main girangnya hati Na Tiong Pek setelah Khai Sun bekerja membantunya. Khai Sun adalah seorang murid
Siauw-lim-pai yang amat lihai, jauh lebih lihai daripada dia sendiri, oleh karena itu, masuknya Khai Sun di
Ui-eng-piauwkiok tentu saja memperkuat nama piauwkioknya dan dia tidak takut lagi perusahaannya akan mengalami
gangguan dari para penjahat karena ada jagoan yang boleh diandalkan. Maka selain memberi upah yang amat besar
kepada Khai Sun, dia juga bahkan menarik Khai Sun sebagai pesero, dan menyerahkan kekuasaan kepada Khai Sun
sebagai wakil ketua atau orang ke dua di dalam piauwkiok itu setelah dia sendiri.
Pada permulaannya, perpindahan Khai Sun ke Kun-ting itu berjalan lancar dan kedua keluarga ini merasa
berbahagia, terutama sekali Kui Lan dan Kui Lin. Setelah Kui Lan pindah ke Kun-ting dan tinggal di sebuah rumah
yang tidak jauh letaknya dari rumah adik kembarnya, mereka dapat saling berkunjung setiap hari dan tentu saja
bagi mereka berdua yang memiliki pertalian batin yang lebih kuat daripada saudara-saudara biasa, hal ini amat
membahagiakan.
Namun kehidupan manusia di dunia ini tidaklah kekal, dan kebahagiaan atau yang dianggap sebagai kebahagiaanpun
tidak kekal adanya, sungguhpun segala peristiwa itu merupakan akibat daripada ulah manusia itu sendiri. Khai
Sun yang merasa "ditolong" oleh adik iparnya itu, bekerja keras dan tidak mengenal lelah. Semua barang kiriman
yang berharga, apalagi yang melalui tempat-tempat berbahaya, dikawalnya sendiri dan beberapa kali rombongan
pengawal ini diganggu penjahat, namun gangguan dapat disapu bersih oleh Khai Sun yang gagah perkasa. Tentu saja
Na Tiong Pek menjadi girang bukan main dan amat berterima kasih, sehingga setiap kali Khai Sun pulang dari
perjalanan jauh mengawal barang berharga, tentu disambutnya dengan pesta kehormatan yang dirayakan oleh mereka
berempat bersama para pembantu piauwkiok yang penting-penting saja.
Dengan adanya Khai Sun, perusahaan itu memperoleh kemajuan pesat, memperoleh kepercayaan para bangsawari dan
hartawan yang mengirim barang atau melakukan perjalanan bersama keluarga mereka dan membutuhkan pengawalan yang
kuat. Tentu saja keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin besar sehingga dalam waktu setahun saja Khai
Sun sudah dapat membangun rumahnya dan hidup serba kecukupan. Pendeknya dua keluarga ini menjadi semakin
makmur.
Akan tetapi, hal yang buruk adalah bahwa dengan adanya Khai Sun, Tiong Pek menjadi keenakan dan malas! Dia
menyerahkan urusan-urusan penting kepada kakak ipar itu, dan dia sendiri bermalas-malasan dan dalam keadaan
makmur ini, timbullah pula penyakit yang memang sejak muda menggeram dalam sanubari Na Tiong Pek. Dia mulai
mengejar kesenangan, terutama sekali mencari hiburan antara wanita-wanita cantik dengan mempergunakan hartanya.
Memang sejak muda remaja dahulu, Na Tiong Pek memiliki kelemahan terhadap wajah cantik wanita. Kini, setelah
makmur dan banyak menganggur, mulailah dia mengumbar hawa nafsunya.
Hal ini lambat-laun diketahui oleh isterinya dan Kui Lin mulai merasa sakit hati dan marah. Dengan marah dia
menegur suaminya dan setiap kali ditegur oleh isterinya, Tiong Pek kelihatan jinak di rumah dan tidak berani
banyak keluar. Akan tetapi, diam-diam hatinya tersiksa dan nafsunya bergulung-gulung di dalam batin. Karena
halangan ini, maka mulailah dia menujukan pandang matanya yang ceriwis dan mata keranjang itu kepada Kui Lan!
Memang hampir setiap hari kedua orang saudara kembar ini saling mengunjungi, bahkan kalau Khai Sun sedang
melakukan tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan rumah, Kui Lan
kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya.
Wajah keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri Kui Lan yang tiada ada pada
diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi, tetap
saja bagi Tiong Pek, Kui Lan lebih menggairahkan! Memang beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang
tumbuh di kebun orang lain nampaknya lebih lezat daripada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar di taman
orang nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di taman sendiri. Isteri orang nampak lebih
menggairahkan daripada isteri sendiri! Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya.
Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa
yang sudah ada! Oleh karena inilah, semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai
apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum
dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih
bahagia, dan segala yang "lebih" lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat
menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan
dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan pangkal segala
macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum
dimilikinya itu membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apapun demi
memperoleh yang diidam-idamkannya.
Na Tiong Pek mulai dimabuk nafsunya sendiri. Dalam penglihatannya, segala gerak-gerik Kui Lan nampak luar biasa
manis dan cantiknya, seperti bidadari yang baru turun dari sorga saja! Dengan berbagai akal mulailah dia
mendekati Kui Lan, dengan sikap yang luar biasa manisnya, dengan pancingan-pancingan omongan. Namun, Kui Lan
adalah seorang wanita yang mencinta suaminya dan keras hati, dan tidak mudah ditundukkan oleh rayuan dan sikap
manis. Juga dia tidak mempunyai sangkaan buruk, mengira bahwa memang suami adik kembarnya itu seorang yang
manis budi dan ramah!
Dorongan nafsu berahi yang semakin diperkuat oleh khayal pikirannya, membayangkan betapa nikmat dan senangnya
kalau dia dapat berhasil memiliki tubuh Kui Lan, membuat Tiong Pek menjadi semakin nekat. Pada suatu hari, dia
melihat Kui Lan seorang diri di ruangan belakang, sedang menyulami kain yang akan dipergunakannya untuk alas
meja di rumahnya. Hawa pada siang hari itu agak panas dan isterinya, Kui Lin, sedang tidur siang di kamarnya.
Hawa yang panas dan ketekunannya menyulam membuat wajah Kui Lan yang menunduk dan memperhatikan sulamannya itu
kemerahan dan ada sedikit keringat membasahi dahi dan lehernya. Jari-jari tangannya yang mungil dan runcing itu
bergerak-gerak cekatan sekali menggerakkan jarum sulam dan saking asyiknya, wanita muda ini menggigit bibir
bawahnya. Kadang-kadang dia berhenti untuk menghapus peluh dari dahi dan lehernya, membuka sedikit belahan baju
di leher sehingga nampak Kulit lehernya yang putih mulus dan berkilat karena agak basah oleh keringat itu.
Dia sama sekali tidak sadar bahwa dari balik pintu, sepasang mata mengikuti gerak-geriknya dengan
berkilat-kilat penuh nafsu! Mata itu adalah milik Na Tiong Pek yang pada siang hari itu timbul kembali
gairahnya, apalagi melihat isterinya sedang tidur dan wanita yang membuatnya tergila-gila, yaitu kakak kembar
isterinya, sedang berada di ruangan itu sendirian saja! Kebetulan sekali Kui Lan memakai pakaian yang sama
dengan yang dipakai isterinya! Memang semenjak Kui Lan tinggal sekota, apalagi kalau kebetulan Kui Lan tinggal
di rumah Kui Lin selagi suaminya bertugas keluar kota, seperti hari ini, Kui Lan dan Kui Lin hampir selalu
mengenakan pakaian yang sama.
Inilah kesempatan baik bagiku, pikir Tiong Pek, untuk mempergunakan kesempatan itu, menyampaikan gairah
nafsunya dan juga untuk "menguji" hati Kui Lan! Telah diperhitungkan baik-baik apa yang hendak dilakukan, dan
semua kecerdikan dan akal ini timbul di waktu nafsu mendorongnya dan membuatnya menjadi buta akan segala hal,
karena dalam dorongan gairah nafsu, yang ada hanyalah melaksanakan dan memuaskan hasrat keinginannya itu saja!
Tentu saja dia tidak berani menggunakan kekerasan terhadap Kui Lan, pertama karena wanita ini memiliki
kepandaian silat yang cukup tinggi dan dia sendiri belum tentu akan dapat mengatasinya, apalagi kalau diingat
bahwa suami wanita ini lihai bukan main! Tidak, dia tidak akan begitu bodoh, pikirnya, dan mulailah dia
melaksanakan siasat cerdik yang diaturnya dengan cepat itu.
Dengan hati-hati sekali, dan berindap-indap, degup jantungnya terdengar memenuhi kedua telinganya karena
tegang, dia menghampiri wanita itu dari arah belakang, hati-hati sekali dia berjalan mengelilingi meja kursi
sampai akhirnya dia berdiri di belakang Kui Lan yang masih menyulam dan duduk di atas bangku itu. Tiong Pek
menahan napas, kemudian dengan tiba-tiba saja dia merangkul leher yang berkulit putih mulus itu, kedua tangan
merangkul pundak dan dia berbisik mesra, "Lin-mol, isteriku sayang... ah, betapa aku cinta padamu..."
Tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Kain yang disulamnya terlepas dan dia mengangkat muka, akan tetapi
sebelum dia sempat bicara, tahu-tahu Tiong Pek telah mencium mulutnya yang setengah terbuka, membuat dia tak
dapat mengeluarkan suara! Saking kagetnya, Kui Lan seperti menjadi kaku seketika, semangatnya melayang dan dia
hampir pingsan! Akan tetapi dia sadar kembali dan cepat dia mendorong dengan kedua tangannya kepada dada Tiong
Pek dan meloncat berdiri, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak.
"Aih, isteriku... aku... aku ingin sekali..." Tiong Pek bersandiwara, masih menikmati ciuman yang dicurinya dan
dilakukannya semesra-mesranya tadi.
"I-thio... ini aku... Kui Lan...!" Kui Lan akhirnya bisa berkata dan muka yang tadinya merah seperti udang
direbus itu berubah pucat sekali ketika dia teringat apa yang telah dilakukan oleh iparnya itu kepadanya tadi.
Tiong Pek pandai bersandiwara. Dia terbelalak, melangkah mundur tiga langkah, memandang penuh perhatian,
kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Kui Lan!
"Ahh... Lan-i... maafkan aku... ampunkan aku... ah, kusangka bahwa engkau adalah Lin-moi isteriku... ah,
sungguh aku menyesal sekali..."
Kedua kaki Kui Lan masih menggigil, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Betapapun juga,
dia telah dapat menguasai dirinya, maklum bahwa iparnya ini telah keliru sangka dan salah mengenal orang.
Memang sering kali iparnya ini keliru, kadang-kadang mengajaknya bicara sebagai isterinya! Dia tidak tahu bahwa
hal itu memang disengaja oleh Tiong Pek yang sesungguhnya dapat membedakan mereka dengan baik! Bahkan sepekan
yang lalu, pernah Tiong Pek bicara kepadanya sambil berbisik "Isteriku, terima kasih semalam tadi engkau
sungguh mesra..." dan tentu saja ucapan itu membuat Kui Lan menjadi merah mukanya dan cepat memperkenalkan
diri.
Semua kesalahan sangka dari Tiong Pek itu tentu saja membuat Kui Lan mengerti bahwa sekali inipun Tiong Pek
telah salah lihat, jadi tidak mungkin dia terlalu menyalahkannya! Kini melihat suami adiknya itu berlutut dan
minta ampun, lenyaplah kemarahannya, sungguhpun dia merasa betapa perbuatan tadi sungguh sudah keterlaluan
sekali dan akan terjadi geger kalau sampai terlihat oleh orang lain. Bayangkan saja andaikata Kui Lin atau
suaminya melihat dia dicium seperti itu oleh Tiong Pek!
"I-thio (sebutan untuk suami saudara perempuan), lain kali jangan engkau begitu ceroboh!" tegurnya.
"Maaf, I-i... maaf, ah, aku layak mampus! Mataku seperti telah buta... akan tetapi sudilah engkau memaafkan aku
dan tidak memberitahukan kebodohanku ini kepada orang lain..."
"Tentu saja... asal lain kali engkau jangan begitu ceroboh lagi, I-thio." Kata Kui Lan yang segera meninggalkan
laki-laki yang masih berlutut itu.
Pengalaman ini membuat gairah nafsu di dalam hati Tiong Pek semakin berkobar! Dianggapnya bahwa ketidakmarahan
Kui Lan itu sebagai tanda bahwa wanita itu diam-diam memang menyambut cintanya! Dan dia seperti masih terus
merasakan kelembutan bibir Kui Lan yang diciumnya tadi. Makin dibayangkan, makin mesra dan menyenangkan
pengalaman itu, makin mendesaknya untuk mendapatkan yang lebih daripada itu!
Demikianlah terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah. Dari pikiran! Pikiran mengunyah-ngunyah
pengalaman dalam kenangan memupuk dan bahkan membumbui dengan khayal sehingga pengalaman yang menyenangkan itu
dianggap semakin hebat lagi, mempunyai daya tarik yang amat kuat sehingga mendorong kita untuk mengulangnya.
Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbullah keinginan untuk
mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu. Pikiran
adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas. Pikiran yang membayangkan
kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan
hal-hal yang belum ada, dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat dan nikmat dan menyenangkan. Pikiran
menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang
membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah
kita bebas daripada pikiran yang mengenang-ngenang itu? Bukan berarti kita tidak harus mempergunakan pikiran.
Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita akan tetapi pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan
sebagainya. Namun, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki hati, merajuk
urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan akan bangkitlah segala nafsu-nafsu yang menguasai semua
tindakan kita.
Makin dibayangkan oleh Tiong Pek, makin hebatlah pengalaman tadi, mendorongnya untuk memperoleh yang lebih dari
itu! Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu-nafsu keinginan untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan, amatlah
kuatnya dan kadang-kadang membutakan mata kita, mata lahir maupun mata batin. Yang nampak hanya bayangan
kesenangan itu saja, yang amat menyilaukan. Apa lagi karena isterinya telah beberapa pekan ini sering kelihatan
tidak senang dan marah-marah kepadanya, berhubung dengan seringnya dia keluar rumah dan mengumbar kesenangan di
luar rumah.
Sementara itu, pengalaman tadi membuat Kui Lan menjadi tidak tenang. Ada kemarahan berkobar di dadanya, kalau
saja dia tidak yakin benar bahwa Tiong Pek memang salah mengenalnya dan mengira dia Kui Lin, tentu dia sudah
turun tangan dan agaknya mau rasanya dia membunuh pria itu! Mengingat akan ciuman yang begitu mesra, begitu
penuh nafsu, mukanya menjadi panas sekali rasanya. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia akan marah atau
menyatakan kemarahannya secara berterang? Tiong Pek tidak sengaja, jadi tidak bisa terlalu disalahkan. Dan
selain itu, Tiong Pek adalah penolongnya, penolong suaminya, telah berjasa dalam mengangkat kehidupan suaminya!
Dan juga, kalau sampai peristiwa yang terjadi tadi, peristiwa yang terjadi di luar kesengajaan dan hanya karena
kesalahan Tiong Pek mengenalnya saja, terdengar oleh Kui Lin, bukankah hal itu berarti bahwa dia akan
menyakitkan hati adik kembarnya itu? Dan mungkin sekali rumah tangga adiknya akan menjadi retak! Dia tahu bahwa
suaminya adalah seorang bijaksana dan andaikata suaminya mendengar akan hal itu, dengan hatinya yang terbuka
dan jujur itu tentu suaminya hanya akan tertawa dan menganggap hal itu amat lucu. Suaminya amat mencintanya dan
dia tahu bahwa cinta suaminya itu bersih, tanpa cemburu seperti cintanya kepada suaminya.
Betapapun juga, peristiwa itu membuat Kui Lan merasa tubuhnya lemas karena terjadi keguncangan dalam hatinya,
terjadi pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan maka sehabis makan malam bersama adik kembarnya, dia
terus saja memasuki kamarnya dengan dalih bahwa kepalanya terasa agak pening. Dia tidak ingin gejolak batinnya
akan nampak pada wajahnya dan Kui Lin yang amat peka perasaannya terhadap dia itu akan bertanya-tanya.
Andaikata dia pada siang harinya tidak sudah berjanji akan tidur di rumah adiknya ini, tentu dia akan pulang
saja. Akan tetapi, kalau mendadak menyatakan pulang padahal suaminya belum kembali dari perjalanan keluar kota,
tentu malah akan mendatangkan kecurigaan Kui Lin saja! Demikianlah, sore-sore dia telah memasuki kamarnya dan
kelelahan batin membuat dia bahkan cepat tidur pulas. Kalau Kui Lan dapat tidur nyenyak dengan mudahnya karena
batinnya lelah, sedangkan Kui Lin juga dapat tidur nyenyak karena tidak menyangka sesuatu, adalah Tiong Pek
yang gelisah dan tidak dapat tidur sama sekali di samping isterinya. Hati dan pikirannya penuh dengan bayangan
peristiwa siang tadi ketika dia mencium bibir Kui Lan! Dan memang sejak siang tadi dia sudah mengatur rencana!
Khai Sun sedang bertugas jauh, sedikitnya lima hari lagi baru akan pulang. Dan Kui Lan berada di situ, di dalam
kamar sendirian saja, dan melihat gelagatnya siang tadi, agaknya Kui Lan mudah memaafkannya dan tidak marah,
tentu wanita itu pun menderita kesepian dan akan menerimanya dengan girang walaupun di luarnya kelihatan marah!
Semua ini terbayang di benaknya sejak siang tadi dan diam-diam dia pun sudah mengatur rencana sebaik-baiknya.
Ketika dia melihat bahwa isterinya sudah tidur nyenyak, hal ini diketahuinya dari pernapasan yang halus sejak
tadi, dia lalu turun dari pembaringan dengan hati-hati sekali! Ketika itu sudah lewat tengah malam dan keadaan
sudah amat sunyi. Hawa yang masuk ke dalam kamar dari lubang-lubang di atas jendela mendatangkan hawa dingin
yang membuat Kui Lin tidur semakin nyenyak lagi.
Dengan berjingkat-jingkat akhirnya Na Tiong Pek dapat keluar dari kamarnya dan menghampiri kamar di mana Kui
Lan tidur sendirian. Sebetulnya kamar itu tidak berapa jauh letaknya dari kamar Kui Lin, akan tetapi karena
nafsu berahi sudah memuncak dan membikin mata buta, Tiong Pek tidak peduli akan semua kenyataan ini. Suasana
amat sunyi dan semua pelayan sudah tidur di bagian belakang. Dengan hati-hati dia menghampiri kamar Kui Lan dan
mendengarkan di dekat jendela kamar. Dia tahu bahwa pembaringan di dalam kamar itu berada di dekat jendela.
Dengan mencurahkan perhatiannya, dia dapat menangkap pernapasan halus dan tahulah dia bahwa wanita itupun telah
tidur. Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan dan nafsu, dia lalu mengeluarkan
tiga batang hio (dupa biting) dan dinyalakannya dupa-dupa itu, kemudian dupa-dupa yang bernyala itu dia
sisipkan di antara celah-celah jendela, dimasukkan ke dalam kamar sehingga kini tiga batang dupa itu melepaskan
asapnya yang harum ke dalam kamar. Tiong Pek memegangi ujung biting dupa itu di luar jendela sambil tersenyum
simpul dan matanya berkilat-kilat, bibirnya agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang sekali.
Sebetulnya, Tiong Pek bukanlah sebangsa penjahat yang suka mempergunakan asap pembius. Akan tetapi,
pekerjaannya sebagai piauwsu membuat dia banyak berkenalan dengan penjahat-penjahat dan dari seorang
Jai-hoa-cat yang juga seorang maling dia memperoleh hio-hio itu. Jai-hoa-cat (penjahat tukang memperkosa
wanita) itu mempergunakan asap hio untuk membius pemilik rumah yang akan dimalinginya, atau wanita dalam kamar
yang akan diperkosanya. Kini Tiong Pek, dalam keadaan buta oleh gejolak nafsu berahi, mempergunakan alat yang
keji ini untuk mengirim asap hio pembius ke dalam kamar Kui Lan! Dia membiarkan hio itu terbakar sampai habis
dan dengan girang dia mula-mula mendengar suara Kui Lan terbatuk-batuk, kemudian pernapasan wanita itu
terdengar semakin berat dan panjang, tanda bahwa wanita itu sudah terbius dan berada dalam keadaan pulas
benar-benar! Maka dia pun Lalu membuka jendela itu, dan menggunakan saputangan basah menutupi hidung dan
mulutnya, memasuki kamar dan menggunakan jubahnya untuk mengusir asap yang memenuhi kamar itu keluar.
Setelah asap yang mengandung bius itu terbang keluar dan kamar itu bersih kembali, dia menutupkan lagi daun
pintu dan dalam keadaan tergesa-gesa dan tegang, dia tidak menguncikan daun jendela, hanya merapatkannya saja.
Kamar itu gelap, hanya mendapatkan penerangan dari luar sehingga agak remang-remang. Dia melihat tubuh Kui Lan
rebah terlentang dan hatinya tidak dapat menahan lagi. Ditubruknya wanita itu dengan penuh gairah dan Kui Lan
tidak mampu bergerak melawan, bahkan dia berada dalam keadaan tidak sadar sehingga mudah bagi Na Tiong Pek
untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Peristiwa yang kotor dan menjijikkan terjadilah di dalam kamar itu,
menimpa diri Kui Lan yang berada dalam keadaan tidak sadar sama sekali akan apa yang terjadi pada dirinya.
Nafsu membuat manusia menjadi lupa segala, dan celakanya, makin dituruti nafsu itu, bukannya dia mereda, bahkan
menjadi semakin berkobar dan selalu menghendaki yang lebih lagi daripada yang telah didapatkannya! Na Tiong Pek
lupa diri sehingga sampai malam terganti pagi, dia masih berada di dalam kamar itu. Dia lupa bahwa dia telah
mengusir keluar asap bius sehingga kekuatan obat bius itu tidak bertambah dan kini mulailah Kui Lan bergerak
dan mengeluh, akan tetapi hal ini tidak menakutkan Tiong Pek yang mengira bahwa setelah kini dia berhasil
memiliki tubuh Kui Lan tentu wanita ini akan menyerahkan diri dengan suka rela! Maka dia pun masih memeluk
tubuh wanita itu.
Kui Lan membuka matanya dan mula-mula dia tidak sadar, mengira bahwa dia berada dalam pelukan suaminya. Akan
tetapi ketika dia melihat wajah pria yang merangkulnya itu di dalam cuaca yang remang-remang, dia menjerit dan
meronta, lalu bangkit duduk! Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal Na Tiong Pek dan melihat
betapa tubuhnya tidak berpakaian sama sekali, seperti juga tubuh Na Tiong Pek! Seketika tahulah dia apa yang
telah terjadi!
"Jahanam! Keparat hina-dina... ouhhh, engkau jahanam laknat...!" Kui Lan menjerit-jerit dan tanpa mempedulikan
dirinya yang masih telanjang bulat dia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat ke arah kepala dan dada
Na Tiong Pek! Mula-mula Na Tiong Pek tersenyum ketika melihat Kui Lan terbangun, akan tetapi betapa kagetnya,
melihat reaksi wanita ini.
"I-i... eh, Kui Lan... sssttt, jangan ribut... sudah terlanjur... aku... aku cinta padamu..."
"Jahanam...!" Kui Lan menyerang lagi ketika pria itu mengelak dan kini terjadilah perkelahian di dalam kamar
itu, perkelahian yang terjadi dengan seru antara dua orang yang sama sekali tidak berpakaian!
"Ssst, Kui Lan... kau akan mengejutkan semua orang... kita berpakaian dulu..." Tiong Pek membujuk dan mulai
merasa khawatir, akan tetapi Kui Lan terus menyerangnya sambil menangis.
"Dukk!" Sebuah tendangan kaki Kui Lan mengenai paha Tiong Pek dan pria ini terhuyung ke belakang dan terguling
ke atas pembaringan. Kui Lan mengejar, menubruk dengan kedua tangan menghantam sekuatnya.
"Bukk!" Hanya bantal dan kasur yang kena dihantamnya karena Tiong Pek sudah menggulingkan tubuhnya turun dari
pembaringan dan kini karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi, dia mencari jalan untuk melarikan
diri. Akan tetapi celakanya, Kui Lan terus menyerangnya dan agaknya Kui Lan juga tahu akan maksudnya, maka
wanita itu selalu mencegahnya melarikan diri melalui jendela atau pintu.
"Kui Lan... aduhhh, Kui Lan... sudah terlanjur... mengapa engkau mengamuk...?" Tiong Pek menjadi takut sekali.
"Brakkkkk...!" Tiba-tiba daun pintu terpental dan terbuka, dan tubuh Kui Lin sudah meloncat masuk. Wanita ini
membawa pedang dan wajahnya pucat karena dia tadi terkejut bukan main mendengar suara ribut-ribut dan cepat dia
mengambil pedang dan melihat bahwa suaminya tidak berada di sisinya, dia cepat lari keluar dan mendengar suara
perkelahian di dalam kamar encinya, dia cepat menerjang jendela dan memasuki kamar itu. Biarpun cuaca
remang-remang, namun Kui Lin dapat melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh
encinya yang juga bertelanjang bulat!
"Apa... apa yang terjadi...?" tanyanya dengan suara gemetar. "Enci Lan... apa yang telah terjadi...?" Dia
bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seolah-olah tidak percaya akan apa yang dilihatnya dan
diduganya.
Tiba-tiba Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya. "Hu-huu-huuuhh... dia... dia membiusku dan... dan...
menodaiku... hu-hu-huuuhh..."
Pengakuan ini seperti sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya
terbelalak memandang ke arah suaminya.
"Kau... kau... jahanam busuk...!" Dan Kui Lin sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah dada
suaminya!
"Eeiiiiitt... sabar dulu, Lin-moi...!" Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan isterinya. Akan tetapi
alasan apa yang dapat dikemukakannya? Dia tertangkap basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat!
"Sabar? Manusia berhati binatang, engkau telah merusak segala-galanya, engkau layak mampus!" Dan Kui Lin
kembali menerjang dengan pedangnya. Na Tiong Pek menyambar bangku dan menangkis, lalu terpaksa balas menyerang.
Melihat betapa pria yang telah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin, kemarahan Kui Lan memuncak dan
dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang
bertamu karena dia suka berlatih pedang dengan adik kembarnya. Kini tanpa kata-kata lagi dia pun membantu
adiknya menyerang Na Tiong Pek!
Tentu saja Tiong Pek menjadi bingung sekali dan karena bujukan-bujukannya dan permohonan ampunnya tidak
berhasil, diapun lalu melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dengan kecepatan kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil
menusuk lengannya, membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu, pedang Kui Lin menyambar dan
menusuk memasuki perutnya!
"Aduhhh...!" Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan menyambar dan
menusuk dada menembus jantung! Dia roboh terkapar dan darah bercucuran dari perut dan dadanya.
Melihat ini, dua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan melepaskan pedangnya dan
berbisik, "Ya Tuhan... kita... kita telah membunuhnya..."
Kui Lin bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata. "Dia sudah layak mampus! Enci Lan, cepat
berpakaian!" katanya. Baru teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia lalu
mengenakan pakaiannya, sedangkan Kui Lin dengan air mata bercucuran juga mulai mengenakan pakaian suaminya pada
mayat suaminya yang mandi darah.
Setelah selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang pucat dan basah, keduanya
lalu saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh.
Tiba-tiba Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya dengan mata terbelalak,
kemudian berkata dengan bisikan parau, "Aku layak mati..." Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai
dan menggunakan pedang itu untuk menggorok leher sendiri!
"Enci Lan...!" Kui Lin dengan cepat sekali sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas
pembaringan. "Apa yang akan kaulakukan ini?" bentaknya.
Kui Lan menangis. "Untuk apa aku hidup lagi...? Aku sudah ternoda... dan aku telah membunuh suamimu... aku
telah menghancurkan kebahagiaanmu... aku layak mati, jangan kauhalangi aku..." Kui Lan meronta, akan tetapi Kui
Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak membiarkan encinya melepaskan diri.
"Enci Lan, jangan... jangan kaulakukan itu..."
"Apa gunanya aku hidup? Dia... dia membiusku dengan asap harum... dan dalam keadaan tidak sadar dia... dia
menodaiku... Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana aku dapat menghadapi suamiku?"
"Enci Lan, apakah hanya dirimu sendiri saja yang kaupikirkan?" Tiba-tiba Kui Lin melepaskan rangkulannya.
"Engkau hendak membunuh diri sekarang setelah apa yang telah terjadi? Enak saja engkau, mau melarikan diri dan
kemudian membiarkan aku hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku? Dia akan mati dalam caci-maki
orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan terhormat, sebagai isteri yang setia dan
baik, dan aku? Aku akan hidup menjadi cemoohan kanan kiri? Enci Lan, sekejam itukah hatimu kepadaku? Apa
kaukira hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini? Dan aku pula yang telah kehilangan suami,
kehilangan rumah tangga, kehilangan kebahagiaan? Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri?
Nah, kalau memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang... hidup... merana dan menanggung semua
aib...!" Kui Lin menangis tersedu-sedu dan Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang adiknya. Baru dia sadar
bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh lebih hebat daripada dia!
"Lin-moi...!" Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi.
Sementara itu, di luar kamar mulai terdengar ribut-ribut karena para pelayan sudah terbangun mendengar suara
ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lalu merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik, "Enci, apa pun
yang terjadi sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?"
Kui Lan mengangguk pasrah.
"Kalau begitu, serahkan segala-galanya kepadaku," bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka daun pintu dan masih
dalam keadaan menangis. Juga Kui Lan hanya bisa menangis di belakang Kui Lin. Ketika para pelayan melihat
keadaan dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat majikan mereka
menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka terkejut sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis.
Sambil terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka didatangi penjahat. Penjahat
itu hendak mencuri dan memasuki kamar di mana Kui Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil
berteriak-teriak. Dia dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan.
"Akan tetapi penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak mampu
nmnangkapnya."
Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya dan seisi rumah lalu sibuk merawat
jenazah itu dan pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan
berkabung. Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang dan menanti pulangnya suaminya ini,
jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran dan kedukaan. Hanya karena adanya Kui Lin saja maka
wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, akan tetapi
Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau encinya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah
yang akan menghadapi suami encinya itu. Betapapun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu
merasa ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya. Dia telah ternoda,
tercemar dan kotor! Bukan itu saja, dia malah telah membunuh suami adiknya, dia telah menghancurkan kehidupan
adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi dan nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah
tidak akan ada habisnya sumber air matanya.
Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari,
sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan,
penyesalan, kesengsaraan yang tumpang-tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti
selingan kilat di waktu hujan gelap saja. Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya.
Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, bahkan yang kadang-kadang dalam
pengejaran itu tidak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain,
mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang
diharapkan atau dibayangkannya semula! Si miskin membayangkan bahwa kalau dia memiliki harta banyak, hidupnya
akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan
bahwa kalau dia memiliki kedudukan tinggi, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi
merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka menderita banyak kepusingan
karena kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang terkenal merasa
terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan tidak bahagia hidupnya
selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan ini akan terus
mengejarnya sampai liang kubur sekalipun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang
akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru
itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapyk dan
kita akan terus mencari yang lebih baru lagi! Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi
kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa
lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan lain kata-kata, hanya orang yang sudah tidak
menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa
ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak
terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan
menjadi seperti patung hidup.
Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang
berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu
Khai Sun. Ketika pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong
Pek telah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya
pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek.
Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis,
kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya
sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka
pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata.
"Siapa yang melakukan itu? Siapa...? Aku akan mencari pembunuhnya... hemm, aku akan mencari pembunuhnya sampai
dapat!"
Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia lalu
membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta
halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan.
"Ada... ada apakah...?" Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya. Tentu
saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa
isterinya kelihatan begini sengsara?
Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan
kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak
kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya. "I-thio... sebaiknya kita bicara di dalam
saja..." Setelah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya dan membawanya masuk ke
dalam. Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat, alisnya yang tebal hitam
itu berkerut dan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat
oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa.
Sementara itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya merupakan pembantu utama
ayahnya, seorang tokoh Ui-eng-piauwkiok yang setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian
untuk menyambut para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia menemani Ciu Khai
Sun mengawal barang yang amat berharga itu. Tentu saja dia pun merasa amat berduka karena Na Tiong Pek baginya
sudah seperti keponakannya sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang menyerbu
ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya
melawan penjahat itu tidak diganggu dan tidak ada pula barang berharga yang dilarikan. Akan tetapi, diapun tahu
bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tidak mungkin kalau ada penjahat yang menaruh dendam kepada Na
Tiong Pek. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti maling
dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya akan hal ini kepada
dua orang wanita kembar itu dan hanya diam-diam merasa penasaran sekali sungguhpun dia tidak berani menduga
yang bukan-bukan.
Dapat dibayangkan betapa heran dan juga kaget rasa hati Ciu Khai Sun ketika dia tiba di ruangan dalam, dia
melihat Kui Lin segera menutupkan semua pintu dan jendela, sedangkan isterinya, Kui Lan kembali menubruk
kakinya dan menangis tersedu-sedu. Setelah menutupkan semua pintu dan jendela, Kui Lin juga menangis dan duduk
di atas bangku tidak jauh dari situ.
Jantung pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat,
pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti isterinya bersikap seperti ini. Memang harus diakuinya bahwa
peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi
kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na Tiong
Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, dan lagi dia melihat keanehan dalam sikap Kui Lin
yang ikut pula bersama mereka ke ruangan itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka
berdua itu hendak menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar atau dilihat orang
lain!
"Lan-moi, ada apakah? Kau tenanglah dan ceritakan kepadaku." Akhirnya dia berkata sambil mengelus kepala
isterinya yang berlutut di depannya itu dan mencoba untuk membangunkan Kui Lan.
Akan tetapi Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan tangisnya makin
sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar suaranya tersendat-sendat, "Sun-koko... kau...
kaubunuhlah saja aku..."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini. Dia terbelalak, mengerutkan
alisnya dan merangkul isterinya yang masih berlutut. "Ahh... apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau...
berkata demikian, isteriku?"
"Koko... dia... dia itu..." Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan telunjuknya keluar dengan tangan menggigil,
"...akulah yang... membunuhnya..."
"Aihhh...?" Khai Sun merasa seperti disambar kilat kepalanya dan dia bangkit berdiri, mukanya pucat dan matanya
terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang menunduk itu.
Kui Lin cepat menghampiri encinya dan juga berlutut merangkul encinya lalu dengan air mata bercucuran dia
menengadah, berkata kepada suami encinya. "Bukan! Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami
berdua yang mengeroyoknya dan membunuhnya!"
Mendengar ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua tinjunya, memandangi
mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak penuh penasaran, "Apakah kalian sudah menjadi gila?
Kalian... kalian yang membunuh Na Tiong Pek? Apa artinya ini?"
Melihat keadaan pria yang tinggi besar dan gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin khawatir akan keselamatan
encinya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil terisak mienangis, "Bukan kami... melainkan dia yang gila...
dia layak mati... dia telah memperkosa Enci Lan...!"
"Ohhhhh...?" Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya dan dia terjatuh
duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan matanya menatap ke arah isterinya yang masih
sesenggukan di depannya. Tangan kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu. Ada perasaan marah
yang hebat sekali membakar hatinya, akan tetapi dia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya kepada siapa,
maka tanpa disadari tangannya mencengkeram dan meremas ujung meja yang terbuat daripada kayu yang keras itu.
Terdengar suara berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Agaknya
pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya.
Dengan mata nanar dia membuka tangannya dan memandang kepada tepung kayu di dalam genggaman itu, sedangkan dua
orang wanita itu masih menangis terisak-isak. Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat
berpikir apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya seperti terapung dalam mimpi, tidak menentu
apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya
itu, dia sadar kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seolah-olah hendak melepaskan semua ganjalan
hatinya melalui napas panjang itu.
Setelah tiga kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot hawa
murni, pikirannya menjadi terang dan tenang, dan terdengarlah suaranya yang parau dan berat, "Lan-moi, bangkit
dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku."
Akan tetapi Kui Lan tidak dapat mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, sehingga akhirnya Kui Lin yang
merangkulnya itu menariknya bangun sambil berkata dengan suara gemetar, "Enci Lan, duduklah... biar aku yang
akan menceritakan..."
Kui Lin membawa encinya duduk di atas bangku di depan Khai Sun, dan dia sendiri berdiri di samping encinya,
merangkulnya kemudian menggunakan lengan baju untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali,
matanya cekung tanda bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan hatin yang amat mendalam.
"I-thio Khai Sun, harap kaudengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena dia sama sekali tidak
berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah selayaknya dia tewas. Malam itu... dengan
mempergunakan asap pembius, dia membuat Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci
Lan sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan setelah kuketahui duduknya
perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan mengeroyoknya dan akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah
apa yang terjadi, I-thio, dan... untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami menceritakan bahwa dia
terbunuh oleh penjahat..."
Mendengar ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang tahu bahwa iparnya, Na
Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah
disangkanya bahwa orang itu akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isteri sendiri!
Melihat keadaan suaminya seperti orang kehilangan ingatan setelah mendengar penuturan itu, Kui Lan menjerit
lirih dan dia sudah menubruk kaki suaminya kembali sambil menangis. "Suamiku... kau...kaubunuhlah saja aku...
aku tidak dapat membunuh diri... karena... karena Lin-moi..." Dia menangis tersedu-sedu.
Khai Sun yang masih merasa pikirannya hampa dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa, memandang kepala
isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia bertanya. "Mengapa kau minta kubunuh?"
Kui Lan menengadah, memandang kepada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air mata. "Aku tidak pantas
hidup lagi di permukaan bumi ini... aku telah menjadi seorang perempuan ternoda dan kotor... aku tidak pantas
menjadi isterimu bahkan tidak pantas bertemu muka denganmu... dan aku... aku telah membunuh suami Lin-moi...
aku telah merusak hidup Lin-moi..."
"Tidak... tidak...!" Kui Lin berseru sambil terisak. "Enci Lan tidak bersalah, dia terbius dan tidak berdaya
melawan... dan tentang pembunuhan itu... kami berdua yang melakukannya dan memang dia sudah layak mati...!
Kalau Enci Lan hendak mengambil nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian
menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, akupun tidak sudi hidup lagi di dunia ini...!"
"Lin-moi...!"
"Enci Lan. Jangan kau kejam kepadaku!"
Dua orang wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai Sun menjadi semakin
terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah dapat membayangkan apa yang telah terjadi dan memang dia tidak marah
kepada isterinya, bahkan merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang adil, dan
bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam
menyesal kepada Na Tiong Pek mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu.
"Sudahlah, Lan-moi... aku... aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar... peristiwa ini tidak perlu sampai
terdengar orang lain." Dengan suara tenang pendekar itu menghibur isterinya.
Dengan mata merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. "Kau... kau tidak benci kepadaku?"
Khai Sun menggeleng kepala dan tersenyum duka. "Apakah aku sudah gila? Tidak, isteriku, aku tidak benci, bahkan
aku merasa amat kasihan kepadamu."
Kui Lan masih meragu. "Tapi... tapi aku... aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup Lin-moi..."
"Sudahlah, Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu amat bijaksana, dapat menerima kenyataan
pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk menyambut tamu yang datang berlayat."
"Benar, isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang luar," kata pula Khai Sun.
Mereka segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu yang datang berlayat. Di
antara para tamu itu terdapat pula Kui Beng Sin, kakak tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak
mendengar kematian Na Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu. Kui Beng Sin adalah putera Kui Hok
Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di Ho-nan. Ketika mendengar berita kematian Na Tiong Pek
yang menjadi adik iparnya, maka dia cepat berangkat ke Kun-ting dan tiba di situ sebelum Khai Sun kembali dari
perjalanannya mengawal barang.
Kurang lebih satu bulan setelah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu nampak sunyi dan masih dalam suasana
berkabung, sungguhpun pekerjaan Ui-eng-piauwkiok telah dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap
dibantu Souw Kiat Hui. Dan hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya.
Pada malam itu, sudah jauh malam dan suasana sudah sunyi sekali, terjadilah percakapan antara dua orang saudara
kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biarpun percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, namun
mereka lakukan dengan bisik-bisik sehingga andaikata ada orang berdiri di luar kamar itupun tidak akan dapat
menangkap jelas apa yang mereka bicarakan.
"Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, memalukan dan amat merendahkan
aku!"
"Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkan masak-masak karena aku bukan hanya sekedar
mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini sudah kupikirkan semenjak peristiwa itu terjadi dan merupakan
satu-satunya jalan bagiku untuk dapat hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu
bahwa dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan salah dalam hatiku terhadapmu sama
sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapapun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya
diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, tidak akan terjadi hal itu dan kehidupanmu
masih akan tetap bahagia, bukan? Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tidak akan dapat terhapus kecuali...
kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku."
"Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!"
"Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik kalau hidup sendiri, engkau
masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, adik kembarku dan
di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Dan kalau engkau sebagai janda muda, cantik,
berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagaimana kalau sampai
engkau terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal
benar, dia laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita... kita berdua akan
berbahagia di sampingnya, Lin-moi."
"Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu."
"Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tidak pernah berani mendekatinya,
tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan
menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia
tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku."
"Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apalagi aku sendiri, tanganku sendiri
yang bersamamu membunuh suamiku, kalau kemudian aku menjadi... eh, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti
bahwa aku seolah-olah sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?"
"Ah, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagaimana duduk persoalannya
dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikirain semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan
setelah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau
tidak..."
"Kalau tidak, mengapa, Enci?"
"Kalau engkau tidak mau... aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, melainkan agar kuketahui saja bahwa
aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami
selamanya dan dengan demikian menghapus rasa salah dalam hatiku."
"Enci Lan...!"
"Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan kalau engkau mau mempertimbangkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti
mengapa aku mengajukan usul ini."
"Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku... berilah aku waktu untuk mempertimbangkan, aku
bingung, Enci..."
"Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku."
Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung
dan kadang-kadang dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah Ciu Khai
Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini.
"Lan-moi, isteriku sayang, kenapa engkau selalu menjauhkan diri? Aku... aku rindu padamu, Lan-moi..." kata Ciu
Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan. Akan tetapi Kui Lan mengelak
dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di tepi pembaringan dan saling pandang. Khai Sun
dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata.
"Aku... rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu... aku akan selalu merasa kotor dan hina..."
"Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku sudah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku
sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap tidak pernah terjadi padamu dan..."
"Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan
selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau..."
"Kecuali apa, isteriku?"
"Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi..."
"Aahhh...! Sudah gilakah engkau?"
Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada
isterinya dengan mata terbelalak.
Kui Lan menggeleng kepalanya. "Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan masak-masak dan hanya jalan
itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi,
maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tidak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati
bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan
menyiksa batinku."
"Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu terlaksana? Bukankah itu malah berarti
engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa malapetaka itu?"
Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya. "Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat
bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke
dua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus
jika engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku."
"Tapi... tapi..."
"Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati."
"Tapi... Lin-i..."
"Hal ini telah kubicarakan dengan Lin-moi. Lin-moi telah menjadi seorang janda, muda, cantik dan berharta.
Diapun memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang pantas menjadi suaminya adalah
engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa
kembali, bahkan kalau menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini."
"Tapi, kaukira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat
mencintamu, setia kepadamu..."
"Aku tahu, akan tetapi Lin-moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah
saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat
juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua."
Dengan lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, kedua tangannya menutupi muka. Dia
bingung sekali dan menarik napas berulang kali. "Ahhh, betapa akan malu rasanya dalam hatiku terhadap mendiang
Na Tiong Pek! Seolah-olah aku mempergunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku
waktu... aku harus memikirkan hal ini secara mendalam..."
"Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi
terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian
berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku."
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang dipermainkan oleh nasib
sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek. Dan waktu telah berlalu dengan
cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu dan anak mereka
Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga dan hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk
mengunjungi Cin-ling-pai kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan untuk melanjutkan
mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio.
Marilah kita kembali mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di
bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri dan puteranya meninggalkan istana tua itu
untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, akan tetapi juga Sin Liong dan
Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah, selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak
melakukan perjalanan yang lama dan jauh, merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar
petualang yang suka merantau, maka kini mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang
amat menggembirakan.
Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang
kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan,
lebih memudahkan mereka untuk menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal
sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan. Ketika mereka menuruni bukit dan keluar
dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana,
namun dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu
bukanlah keluarga petani "biasa" karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali.
Cia Sin Liong adalah seorang pendekar besar di jaman itu, dan namanya sebagai Pendekar Lembah Naga amat
terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena semenjak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia
tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya
jarang ada yang pernah berjumpa. Maka, kalau ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana
dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu!
Akan tetapi justeru keadaan mereka seperti petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu dapat
dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena kalau
orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian.
Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan seenaknya dan kadang-kadang berhenti di
tempat-tempat indah, sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebetulnya hanya
merupakan satu di antara banyak gunung-gunung yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Akan tetapi
nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu.
Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti.
Pada waktu itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan
dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang
pendekar wanita yang berilmu tinggi bernama Yap In Hong.
Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih
nampak tegap dan tampan seperti orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya pria umur sekian
kalau tidak perutnya menggendut terlalu banyak makan gajih dan daging tentu menjadi kurus kering karena terlalu
banyak pikiran! Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekasnya sebagai seorang wanita cantik,
tubuhnya masing ramping dan padat kuat, sungguhpun rambutnya mulai terhias uban. Namun sepasang matanya masih
tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam!
Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, suami isteri pendekar sakti ini biarpun semenjak
muda telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru setelah mereka berusia tiga puluh tahun lebih
mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun
mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu
membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun. Baru pada pertemuan-pertemuan
terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan
demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera!
Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama
Cia Kong Liang.
Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi (baca cerita
Dewi Maut dan Pendekar Lembah Naga), yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia
Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu dan menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya,
menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu
tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya dan puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.
Setelah mereka bertiga tiba di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di
situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari
bawah sudah nampak tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada. Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang
tadinya boleh dibilang tidak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama
isterinya, bahkan mereka mempunyai banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar
menjadi terkenal kembali.
Begitu keluarga ini tiba di pintu gerbang, mereka telah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh
tegap-tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang
ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah.
Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu.
"Selamat datang di Cin-ling-pai," kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas
jaga di pagi hari itu. "Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?" Pertanyaan itu
singkat dan tegas, akan tetapi diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah. Melihat sikap
mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau
melihat sikap para muridnya seperti ini!
"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai," jawab Sin Liong dengan ramah pula.
Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu memandang penuh perhatian kepada
Sin Liong, sambil berkata. "Maaf, ketua kami tidak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya
kalau kami laporkan dulu siapa adanya saudara dan dari mana...?"
Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka
ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong
tersenyum, lalu berkata.
"Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami datang dari jauh, dari luar Tembok
Besar..."
"Kami datang dari Lembah Naga!" sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan
untuk memperkenalkan diri itu.
"Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kong-kongku!" kata pula Han Tiong yang juga tidak
sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat
terkenal itu.
Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika
mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu.
"Ah,... apakah... taihiap ini Cia Sin Liong...?"
Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata, "Benar, itulah namaku."
"Maaf... maaf... kami tidak mengenal... silakan masuk..." kata mereka dan beberapa orang di antara mereka sudah
lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang
kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua
mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat
kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga. Tak
pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biarpun gagah, akan tetapi
berpakaian sederhana dan juga bersikap amat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang
semua murid Cin-ling-pai bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti
diajarkan oleh ketua mereka. Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih
silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan
puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlari keluar untuk menyambut dan melihat.
Cia Bun Houw yang telah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong, dan
putera mereka! Cia Kong Liang yang telah berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai membuka jalan dan
berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut.
Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang biarpun masih nampak
gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya masih nampak cantik dan gagah,
sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang
memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut.
"Ayah...!" Sin Liong lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong. Mereka bertiga berlutut
di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula.
"Engkau tentu adikku Kong Liang! Ah, engkau sudah besar, tegap dan gagah!" kata Sin Liong ketika Kong Liang
memberi hormat kepadanya.
"Inikah putera kalian?" Yap In Hong berkata ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya.
"Ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus... sudah besar dan sehat pula!" kata ketua
Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil
tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua
Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai.
Ketika Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie
Seng yang kini telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, dia mengangguk-angguk. "Memang tepat
sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi
ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Aah, memang
benar engkau, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang
lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, karena ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan
mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat,
tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, memang
keponakanku Hong San Hwesio itu boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Aaah, aku girang sekali, karena keadaan
sekarang ini sungguh amat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam."
"Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlalu lama bersembunyi saja, tidak lagi mendengar bagaimana keadaan dunia
kang-ouw."
Ayahnya menarik napas panjang. "Aku sendiripun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan semua anak murid
Cin-ling-pai kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan,
sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas
oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka.
Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, sungguh
membuat aku merasa khawatir sekali."
"Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?" tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak
tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Adapun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In
Hong.
Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. "Banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru di dunia
kang-ouw. Hanya nama mereka saja yang baru akan tetapi sesungguhnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah
lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah
bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang seolah-olah merupakan raja-raja kecil di dalam dunia hitam."
"Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?"
"Aku tidak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar mereka itu berpengaruh sekali dan selain mempunyai
banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya
memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapapun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai
untuk tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka kalau sampai
terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja."
Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan
pendekar yang amat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti
gejolak kemarahan saja.
Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang pernah
didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya. Yang menjadi datuk di sebelah
barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai.
Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya memiliki ilmu silat yang luar biasa akan
tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi
raja kecil kaum sesat. Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat
yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si. Di
sebelah timur ada seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur, dia
dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan terkenal sekali dengan ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air.
Tokoh ini tinggal di tepi pantai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Adapun tokoh selatan, setelah
tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan)
yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan.
Itulah mereka yang kini merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu memiliki
kepandaian yang hebat, memiliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan
mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
"Ahh...! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!" kata Sin Liong terkejut.
"Yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di
wilayah masing-masing. Ahhh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka
tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?"
Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya
sudah penderitaan dan bahaya yang dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di
dalam dunia kang-ouw, apalagi kalau berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan
kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka.
Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati amat tertarik, bahkan dia mencatat di dalam
hatinya nama-nama dan tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi.
Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang
dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik seperti Han
Tiong. Bahkan dia lalu mengajak keponakannya itu untuk keluar dan mereka bermain di taman bunga di mana
terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat. Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu
lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang telah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Kemudian, sesuai
dengan watak yang ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya saling memuji dan merendahkan diri sendiri.
Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga meninggalkan
Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui lan yang menikah dengan Ciu Khai
Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, sedangkan Kui Lin yang menikah dengan Na
Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan
ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya.
Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah
pindah dari situ, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat
mengejutkan dari Si Gendut ini.
"Apa? Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?" Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget. "Siapa
yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?"
Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak berduka. "Sudah lama sekali
terjadinya, sudah ada kurang lebih sembilan tahun yang lalu."
Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari Su-couw ke Kun-ting untuk
membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh
kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi malapetaka itu.
"Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak tahu siapa yang telah datang malam-malam
ke rumah Na Tiong Pek dan membunuhnya itu." Lalu diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki
sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek di mana Kui Lan menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang
berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu dan kemudian datang Na Tiong Pek dan
Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua
orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri.
"Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya," kata Sin Liong.
"Merekapun mengatakan bahwa mereka tidak kenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apalagi cuaca dalam
kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarangpun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek
itu."
Sin Liong mengerutkan alisnya. "Tidak mengherankan kalau Tiong Pek, sebagai seorang piauwsu, mempunyai banyak
musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran kalau sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan
sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah ditinggal mati suaminya?" tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan
sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu.
Tiba-tiba sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di
situ terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. "Mari kita masuk
sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja."
Mendengar ini, Sin Liong merasa heran, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia lalu
mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan
mereka.
"Beng Sin, apakah yang hendak kaukatakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia."
Beng Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan
hal ini, Sin Liong. Akan tetapi engkau sebagai saudara seibu memang berhak untuk mendengar sejelasnya.
Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi ikut bersama Lan-moi dan suaminya yang melanjutkan
usaha piauwkiok itu. Setahun semenjak kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa
yang terjadi? Lin-moi... ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya."
"Ahhh...!" Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut. Terdapat keraguan di dalam hatinya, dan dia tidak
segera dapat mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin telah
menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang berhak untuk menikah lagi, sungguhpun hal
seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa
menjadi isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri?
"Hemm, lalu bagaimanakah kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?" tanya Sin Liong.
Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi. Semenjak aku mendengar
tentang hal itu, aku merasa... eh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan... agaknya karena itu pula
mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang."
"Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang," kata Sin Liong.
Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak
sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Hui-eng-piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu.
Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan
mendatangkan suasana tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian setelah
memperoleh persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann
isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Hui-eng-piauwkiok.
Dari jauh sudah nampak papan nama Hui-eng-piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah,
sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu.
Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu,
maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu.
Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah. Akan
tetapi dia tidak memperhatikan ini semua karena pandang matanya tertuju ke arah beranda depan rumah itu di mana
dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang
dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin! Tidak kelihatan orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami
dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, ada kemarahan terhadap
mereka, terutama terhadap Kui Lin!
Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu,
mereka bertiga menengok dan menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu.
Dan setelah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri.
"Liong-ko...!" Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat
duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan
kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada
kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata telah bercucuran di atas pipi mereka.
"Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!" kata Kui Lin.
"Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?" tanya Kui Lan.
Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata. "Cia-taihiap, sungguh aku
merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!"
Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang amat menghormat Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin
Liong, oleh karena itu, biarpun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap
(Pendekar Besar). Akan tetapi Sin Liong hanya mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin
sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kui
Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka
tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini.
Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan
lalu menarik tangan Sin Liong dan berkata, "Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan
urusan penting sekali."
"Duduklah, koko," kata pula Kui Lin.
"Cia-taihiap, silakan duduk," Ciu Khai Sun juga menyambung.
Biarpun dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula. "Aku telah mencari kalian ke Su-couw dan bertemu
dengan Beng Sin..." dia berkata, suaranya dingin.
Khai Sun dan dua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata, "Liong-koko, engkau
mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan? Apa yang kaudengar darinya?"
Sin Liong kini memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran, kemudian berkata, "Aku
hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari
pembunuh suaminya melainkan menikah lagi dengan suami encinya. Benarkah ini?"
Melihat sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat Sin Liong menjadi semakin
penasaran dan dia menggebrak meja.
"Brakk!" "
"Lin-moi, benarkah ini? Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?" Pendekar itu bangkit berdiri, mukanya
merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan. Kui Lan menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil
merangkul adiknya. Dua orang wanita kembar itu yang maklum akan kemarahan kakak mereka menangis dan seperti
hendak saling melindungi.
"Ciu Khai Sun, apa artinya ini? Engkau, yang memiliki kepandaian tinggi, melihat suami adik iparmu dibunuh
orang, mengapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu?
Apakah perbuatan macam itu patut dilakukan oleh seorang pendekar?" Pertanyaan ini penuh teguran dan penyesalan,
dan kini pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai Sun penuh kemarahan.
Akan tetapi tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi
tegap itu berdiri tegak, sepasang matanya menentang pandang mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan
berkata, "Cia-taihiap, biar akan kaubunuh sekalipun diriku ini, aku tidak akan mau bicara tentang hal ini.
Silakan taihiap bertanya kepada mereka sendiri."
Melihat sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari sikapnya, murid Siauw-lim-pai
ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan
menghormatnya, maka kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti itu
sikapnya!
"Liong-ko, jangan kausalahkan suami kami, dia sama sekali tidak bersalah dalam hal ini..." kata Kui Lan.
"Akulah yang bersalah, Liong-ko." kata Kui Lin.
"Tidak! Sama sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang bersalah dalam
urusan ini adalah Na Tiong Pek!"
Mendengar kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia mengerutkan alisnya dan menatap
wajah Kui Lan dengan tajam, kemudian menoleh kepada Kui Lin. Dua orang wanita itu kini tidak menangis lagi,
melainkan membalas pandangannya dengan tabah pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah!
"Apa pula ini? Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah mati? Bukannya
mencari siapa pembunuhnya, malah..."
"Tidak perlu lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!" tiba-tiba Kui Lin menjawab dan
jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak dan dia memandang wajah dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak
pucat, kemudian menjadi merah sekali.
"Kalian... kalian sudah gila...?" tanyanya gagap.
"Tidak, Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia membius Enci Lan dengan
asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami berdua mengeroyoknya dan membunuhnya!"
"Ohhh...!" Sin Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
Terbayang olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak memaksa Bi Cu untuk
dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata
keranjang dan kiranya watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk memperkosa kakak
iparnya sendiri!
"Mengertikah engkau sekarang, Liong-ko?" Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya, "Aku telah ternoda,
walaupun itu terjadi di luar kesadaranku, namun hampir saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu
bijaksana untuk memaafkan dan melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau menceritakan aib
itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh penjahat yang tidak dikenal. Kemudian, akulah yang
membujuk-bujuk Lin-moi untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tidak berpisah lagi, dan kami bertiga
hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko? Apakah engkau lebih suka melihat Lin-moi menjadi janda
kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang pria mata keranjang? Adakah yang lebih tepat daripada suamiku
untuk menjadi suaminya seperti sekarang ini?"
Sin Liong tidak mampu menjawab dan pada saat itu masuklah dua orang anak berlari-lari dari belakang, diikuti
oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu berusia kurang lebih lima enam tahun, yang laki-laki berusia
enam tahun dan yang perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja dan mirip
dengan Kui Lan dan Kui Lin!
Anak laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan, dan merangkul pangkuan wanita ini sedangkan anak perempuan
itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan agaknya mereka memang berlumba lari untuk menghampiri ibu
mereka. Melihat ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak perempuan itu
puteri Kui Lin.
"Mereka anak-anak kalian...?" Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua kemarahan lenyap sudah dari
suaranya.
Melihat sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, Khai Sun menjawab sambil tersenyum. "Yang tua melahirkan
yang muda, yang muda melahirkan yang tua." Tentu saja jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak
diketahui oleh dua orang anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah sangka,
anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin, sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan
merangkul Kui Lin itu justeru puteri Kui Lan!
"Hayo kalian memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!" kata dua orang wanita kembar itu
kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira sungguhpun masih ada bekas air mata pada pipi
mereka.
"Paman, saya Ciu Bun Hong memberi hormat!" kata anak lakl-laki itu dengan sikap gagah.
"Paman, saya Ciu Lian Hong memberi hormat!" sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan manja.
Sin Liong meraih keduanya dan merangkul mereka. "Anak-anak yang baik..." katanya terharu. Baru dia sadar bahwa
kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu
sama sekali tidak dapat disalahkan, demikian pula Ciu Khai Sun tak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya
ribut-ribut? Mereka berdua telah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh Siauw-lim-pai itu, dan
masing-masing telah mempunyai seorang anak.
Karena mereka masih akan bicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu menyuruh dua orang anak itu
bermain-main di luar. Mereka menjura dan keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka.
"Aku yang lebih dulu menyentuh ibu Lan!" kata anak laki-laki itu.
"Tidak, aku yang lebih dulu merangkul ibu Lin!" bantah adiknya.
Sin Liong tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing mempunyai dua orang ibu yang
sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini agaknya
sedikitpun tidak mempunyai rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi kebahagiaan
berdua!
"Liong-ko, kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?" Kui Lin bertanya.
"Mereka, isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen."
"Ah? Kenapa di losmen? Kenapa tidak diajak ke sini?" Kui Lin menegur.
Wajah Sin Liong menjadi merah. "Karena tadinya... eh, kupikir... tidak enaklah dengan adanya urusan... tapi
sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biar kuambil mereka."
Keluarga Ciu merasa girang sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan seorang putera mereka,
maka ketika Sin Liong meninggalkan rumah itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin sibuk
mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu.
Dengan hati lapang melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke losmen di mana anak isterinya
menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa
yang dihadapinya ketika dia tiba di losmen?
Anak isterinya sudah tidak ada di situ! Dan sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan wajah pucat dan
membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul panjang
yang ditulis dengan huruf-huruf merah!

PAK-SAW-KUI MENGUNDANG PENDEKAR LEMBAH NAGA UNTUK DATANG BERKUNJUNG!
Sin Liong terbelalak memandang sampul itu dan teringatlah dia akan percakapannya dengan ayah kandungnya yang
menceritakan tentang munculnya datuk-datuk kaum sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan
Pegunungan Utara) yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk itu
mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan anak isterinya?
Dengan sikap tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu dan suaranya berwibawa ketika dia bertanyap
"Ke mana perginya isteri dan puteraku? Apa yang terjadi dengan mereka? Hayo ceritakan yang sebenarnya!"
Pengurus losmen itu nampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat. "Maafkan kami semua, sicu..."
Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong
tidak berada di situ.
Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, yang ditinggal di losmen oleh Sin Liong sedang duduk di serambi depan losmen
itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu. Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang
kelihatan kasar dan melihat sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk ke
dalam kamar mereka. Tak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dan karena hatinya tertarik, Bi Cu
lalu mendengarkan dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit.
Suara keras membentak-bentak pengurus losmen. "Hayo cepat periksa dalam buku tamu, apakah ada tamu yang bernama
Cia Sin Liong?"
Tentu saja mendengar ini Bi Cu terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dia mendengar suara pengurus
losmen itu tergagap-gagap, "Ada... ada... tapi dia sedang keluar."
"Ke mana? Hayo katakan ke mana!"
"Tidak... tidak tahu..."
"Plak! Plak!" Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus losmen itu.
"Sungguh mati, dia keluar tanpa memberitahu ke mana... ampunkan saya... ampunkan saya..."
"Hemm, kalau tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?" bentak suara kasar tadi. Mendengar ini, Bi Cu tak
dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan diapun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di
mana terjadinya keributan itu. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar mencengkeram punggung baju pengurus
losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ bahkan menjauhkan diri dengan sikap
ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut
menyeringai seolah-olah menghadapi tontonan yang menyenangkan.
"Aku adalah isteri Cia Sin Liong! Siapa mencari suamiku?" bentak Bi Cu sambil melangkah maju. Saking marahnya,
nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya.
Orang tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke sudut. Orang tinggi
besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok
sehingga yang nampak hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi besar-besar
nampak ketika dia menyeringai.
"Bagus! Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?"
"Hemm, engkau orang kasar mangapa mencari suamiku?" bentak Bi Cu yang sudah marah sekali melihat orang ini
bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan telah menampar sampai muka orang itu matang biru.
"Ehem, suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?" tanya orang kasar itu dengan sikap yang amat memanaskan
hati Bi Cu, sementara itu sedikitnya delapan orang teman Si Kasar itu telah mengurungnya, dan baru dia melihat
bahwa Han Tiong juga berada di situ.
"Han Tiong, mundurlah!" Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan keluar lagi karena
tempat itu telah terkurung.
"Suamiku benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?" Bi Cu membentak.
"Ha-ha-ha, tuan besar kami mengundang Pendekar Lembah Naga, akan tetapi Sang Pendekar tidak ada, yang ada hanya
isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat
menyusulnya! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!" Setelah berkata demikian,
tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulur tangan hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah
dada Bi Cu, disambut suara tertawa ha-ha-he-he oleh para temannya.
"Keparat jahanam kau!" Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka yang menyeringai lebar
itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlalu cepat atau memang laki-laki itu memandang rendah, akan tetapi
tahu-tahu telapak tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu!
"Plakkk!" Orang itu terkejut, terhuyung dan mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak. Matanya melotot dan
dia meludah, ludah bercampur darah, karena bibirnya pecah.
"Serbu! Tangkap!" bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan yang keras ke arah Bi
Cu. Namun nyonya ini dengan mudah saja mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar masih cepat meloncat ke
belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai pusarnya tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Dan
mengamuklah Bi Cu, dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar. Akan tetapi tiba-tiba Han Tiong berteriak,
"Lepaskan aku!"
Bi Cu terkejut dan menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan ditangkap orang, dan kini
sebatang golok ditempelkan di leher anak itu. Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya.
"Mundur! Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!" bentak orang yang menangkap Han
Tiong.
"Hemm, apa maksud kalian?" bentak Bi Cu, sedikit pun tidak takut sungguhpun diam-diam dia mengkhawatirkan
puteranya. "Sedikit saja kauganggu dia, kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi
perut kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!"
Si Tinggi besar dan teman-temannya merasa jerih juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu, yang suaranya
terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Mereka percaya bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti
itu, tentu akan sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya kalau mereka sampai berani mengganggu puteranya.
"Toanio, kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk memastikan bahwa dia
akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara
halus maupun kasar. Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, kamipun tidak berani
bersikap kasar."
Bi Cu berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di situ ada Han Tiong, tentu
saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya
akan celaka. Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri saja
amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya, kalau dia menurut dan membiarkan dia dan puteranya dibawa, tentu
nanti Sin Liong akan dapat membebaskan mereka.
"Baik, kami ikut asal tidak dilakukan kekerasan!" katanya dengan tegas dan diapun lalu menghampiri puteranya.
Sambil menggandeng tangan Han Tiong, dia lalu keluar diiringkan oleh sembilan orang laki-laki itu dan ternyata
di luar telah menanti sebuah kereta. Bi Cu dan puteranya dipersilakan naik kereta yang lalu dibalapkan, diikuti
oleh mereka yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya.
Demikianlah keterangan yang diperoleh Sin Liong dari pengurus losmen yang masih biru-biru mukanya. Mendengar
penuturan ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat
di dalam sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari penulis surat yang
menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu.
"Di manakah rumah Pak-san-kui ini?" tanyanya kepada pengurus losmen.
Pengurus losmen itu menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di sini yang kutanyai tidak
ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan
orang-orang tadipun agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang dari utara."
Hati Sin Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya, Pak-san-kui adalah seorang
datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Kenapa kini anak
buahnya berada di Lok-yang dan bagaimana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ, dan mengirim
undangan dengan cara yang kasar seperti itu? Dia teringat kepada Ciu Khai Sun. Ah, tentu suami Kui Lan dan Kui
Lin itu akan dapat memecahkan teka-teki ini, dan memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari dan menemukan
isteri dan puteranya. Dia tahu bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena
isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia pasti akan dapat membuktikan
kebenaran keyakinan hati isterinya!
Setelah memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong lalu meninggalkan losmen
dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi
mereka memandang heran dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri dan
puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat wajah Sin Liong yang nampak muram.
"Liong-koko, mana dia? Mana isterimu dan puteramu?" tanya Kui Lin.
"Mari kita bicara di dalam," kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada wajahhya jelas membayangkan
kegelisahan.
Dengan hati penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama Sin Liong masuk ke
dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri
dan puteranya di losmen itu. "Inilah sampul undangan itu," katanya sebagai penutup dan memperlihatkan sampul
dengan tulisan merah itu kepada mereka.
"Sungguh kurang ajar!" seru Kui Lan.
"Mengundang dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?" seru Kui Lin.
Kedua orang nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin Liong, Ciu Khai Sun
menghadapi persoalan ini dengan tenang. Dia mengamati sampul itu dan alisnya berkerut. "Hemm... Pak-san-kui..."
"Engkau mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?" tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik ipar yang lebih tua empat
lima tahun darinya itu.
Ciu Khai Sun menggeleng kepala. "Aku tidak pernah bertemu dengan dia akan tetapi namanya amat terkenal di dunia
kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah mengganggu
pekerjaanku, dan dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali. Pengaruhnya amat
besar, kekayaannya juga besar sekali. Dia bergerak di kalangan atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan
pengaruhnya terasa sampai di kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main dan terkenal sebagai datuk
daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia
dapat bergerak sampai ke sini, dan bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?"
"Tai-goan tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu dari sana. Dia sudah
pasti berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di dalam kota," kata Sin Liong.
"Ah, benar! Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru saja datang, pindahan
dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat
boleh jadi sekali kalau dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota ini. Akan tetapi
entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota ini, Cia-taihiap?"
"Hal itu dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin itu? Aku akan menyelidiki
ke sana."
"Mari kuantar, taihiap. Aku akan membantumu!"
"Jangan, Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, amat tidak baik kalau sampai engkau tersangkut,
apalagi menentang seorang pembesar kota. Kau tunggulah saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak
isteriku."
Karena alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi tahu di mana letak rumah
tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima penjelasan, Sin Liong lalu berangkat untuk menyelidiki,
diantarkan oleh pandangan mata penuh kekhawatiran dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan dan Kui Lin.
Sin Liong memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa dia memasuki
pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan anak isterinya,
jangankan hanya gedung pembesar kejaksaan, biarpun istana kaisar sekalipun akan dimasuki kalau perlu!
Beberapa orang perajurit penjaga segera maju menghadangnya dan seorang di antara mereka menegurnya, "Hai, siapa
engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?"
Dengan sikap gagah Sin Liong berkata, "Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui! Katakanlah kepada
Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi undangannya!"
Enam orang perajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, maka
karena mereka pun datang dari Tai-goan, tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan merekapun tahu
bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Biarpun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka
mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga, maka mendengar
pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut.
"Tunggulah... tunggulah kami melapor..." kata mereka dan seorang di antara mereka segera lari masuk ke dalam.
Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah
anak isterinya berada di dalam gedung itu? Masih dalam keadaan selamat?
Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap
angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu dan menghampirinya dengan lagak memandang rendah dan tertawa-tawa.
Seorang di antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah,
seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan
pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang.
"Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?" tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi
bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang
berjongkok jauh di bawahnya.
Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja
melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di
istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini. Akan
tetapi diapun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang
pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak daripada si
pembesar itu sendiri!
Memang demikianlah keadaan kita manusia dalam dunia ini. Kita selain ingin merasa lebih tinggi daripada orang
lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah
timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu? Kita selalu menciptakan suatu
gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk
mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh kepada orang lain yang kita anggap lebih rendah. Kalau
kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang sedemikian tingginya karena kita melihat kenyataan kita
yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu menjadi bawahan, dan
kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah daripada atasan mereka. Oleh karena itu timbul
keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia
sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu. Setiap orang ingin
menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam "paling" lagi. Dan semua ini tentu
saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik
keluar menghadapi orang lain.
Gambaran diri ini pasti timbul kalau tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan
waspada setiap saat akan diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan
dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang
menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan
segala kekotoran itulah! Penglihatan yang jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran
sehingga kitapun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala
kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita.
Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk
dan berkata. "Benar, aku bernama Cia Sin Liong."
"Hemmmm..." Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. "Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah
Naga?"
Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban.
"Bagus, tuan besar kami memanggilmu, mari kauikuti kami untuk menghadap beliau!" setelah berkata demikian, Si
Cambang Bauk itu dengan empat orang temannya, lalu melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas
punggung kuda mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar.
"Pendekar Lembah Naga, mari kauikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha!" Si Cambang Bauk tertawa bergelak.
Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya dan mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu
sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar
membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka itu menuju ke barat, ke tepi kota di mana terdapat
sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar.
Mereka sengaja membalapkan kuda dan beberapa kali mereka menengok ke belakang, tertawa bergelak karena tidak
lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lalu membelok ke kiri di mana terdapat sebuah
taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka
memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan tidak melihat Sin
Liong maka mereka tertawa makin keras. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah
ketika mereka melihat seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal pria tu
bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak
dan bahkan dua di antara mereka menggosok-gogok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pria
itu tadi mereka tinggalkan dan mereka membalapkan kuda, tidak nampak pria itu menyusul atau melanggar mereka,
bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang
pandai menghilang? Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong mempergunakan gin-kang, berlari cepat
seperti terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka
tiba di jembatan itu.
"Nah, di mana adanya Pak-san-kui?" tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya.
"Ada... ada..., mari silakan masuk..." kata Si Cambang Bauk kini sikapnya ayak berbeda dan agak merendah karena
dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong
belaka. Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka
dan menjilat-jilat kalau bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih daripada
gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang
dianggapnya lebih rendah daripada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah
kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan penindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun
gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat.
Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang
mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara orang-orang bercakap-cakap dan
tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang
Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat, "Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!"
Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia
melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang
bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas. Isterinya
duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia, dan puteranya juga duduk dengan anteng, akan
tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia. "Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!"
Sin Liong melihat seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung,
pakaiannya seperti seorang hartawan, memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap, sikapnya ramah,
kuncirnya tebal dan panjang, kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas, memandang kepadanya sambil
tersenyum lebar.
Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, dapat dikenal dari pakaiannya, dan
dia sudah berusia lima puluhan tahun dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi
berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar
memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu.
Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria yang usianya kurang
lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat hormat dan pendiam, sesuai
dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi.
Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri
di sekitar tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya
ayahnya, si hartawan itu tertawa.
"Ha-ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, telah lama aku
mendengar nama besarmu, sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk..." Dia menunjuk ke arah bangku di
dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan dan Sin Liong lalu memasuki ruangan itu dengan sikap tenang,
kemudian diapun duduk di atas bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang dengan
isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya
isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-katapun, hanya dengan saling
bertukar pandang, dia sudah dapat mengetahui isi hati isterinya yang tercinta.
"Apakah wan-gwe (tuan kaya) yang mengundangku ke sini?" tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu,
meletakkannya di atas meja di hadapannya. Melihat sikap pendekar yang begitu tenang, sama sekali tidak memberi
hormat kepadanya dan kepada si pembesar, dan mendengar pendekar itu menyebutnya wan-gwe, kakek hartawan itu
tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu, dan ruangan itu seolah-olah tergetar hebat.
Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khi-kang yang kuat sekali! Teringatlah dia
akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, kabarnya tidak kalah tinggi
dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan diapun mengerti
Mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan
betapa bahaya mengancam di tempat itu.
"Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang
Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Telah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena
engkau telah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau
tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga bukan termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat
datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguhpun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali."
Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata, "Apa
yang locianpwe maksudkan?"
Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu
mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe melainkan locianpwe (sebutan untuk golongan tua yang gagah perkasa),
karena sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam persilatan! Dia
tidak tahu bahwa sebutan yang dipergunakan oleh Sin Liong itu bukanlah penjilatan, melainkan karena memang
sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati.
"Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?" Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah
mendengar nama itu, dia tertawa. "Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan memang
salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li itu masih terhitung bibi guru
luar dariku, sungguhpun di antara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku
merasa kagum kepadamu, Cia-sicu dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu.
Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa
sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul
itu, tentu saja aku mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan setelah tiba di sini, karena kebetulan sekali
akupun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu."
Diam-diam Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan
tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang inipun tidak luput daripada penyakit
sombong dan congkak sekali. Betapapun juga, harus diakui bahwa orang ini amat lihai dan mempunyai pengaruh yang
luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Kini tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya,
tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu.

"Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku, untuk kehormatan itu aku menghaturkan
terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di sini, apa yang locianpwe kehendaki?"
"Ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin bertemu dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik,
eh, siapa tadi namamu?" tanya kakek itu kepada Han Tiong.
"Namaku Cia Han Tiong," jawab anak itu.
"Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat."
Orang yang berpakaian pembesar itupun lalu berkata, "Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai
sahabat!"
Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali akan sikap orang. Apa artinya semua ini? Mula-mula dia diundang secara
kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, kemudian di sini diperlakukan dengan hormat!
"Terima kasih," katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama.
"Sudah kukatakan bahwa biarpun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku
sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar patut
menjadi sahabatku, Cia-sicu. Biarlah undangan ini dapat kauanggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu."
Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong. "Terima kasih. Locianpwe telah bersikap manis budi, kami
mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku."
"Cara aku mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!"
Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini dan dia harus berhati-hati terhadap orang ini yang
memiliki kecerdikan. "Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara
mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?"
"Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kaukira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang
kuperintahkan?"
"Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?" tanya Sin Liong, hatinya
dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang.
Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan seorang di acara para pengawal yang berdiri
di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Setelah mengisap-isap dan
tembakau itu mulai terbakar dan asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini menghembuskan
asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata, "Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!"
"Mengujiku?"
"Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini
ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu
amat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku."
Setelah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para
pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat
Pak-san-kui. Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan
karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapapun juga, maka dia pun cepat berkata, "Locianpwe,
kami bertiga telah menerima kehormatan dan kebaikan locianpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan
mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini."
Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kiri ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya. "Aha, Cia-sicu,
orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kita telah saling jumpa, tanpa
melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu, mereka
bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, boleh dibilang mewakili aku dalam segala hal, juga untuk mengenal
ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara kita dapat
lebih matang."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah tentu maksud tuan rumah dan tentu saja
dia sedikitpun tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapapun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan
tetapi, setelah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali
untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk
mengadu ilmu.
"Locianpwe, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah
bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku saja kalah," katanya sambil menjura. Melihat
ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah
diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia dan Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali, kalau
sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang
dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri? Dia sendiri tidak menghendaki puteranya menjadi jagoan yang
mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi dia lebih-lebih tidak menghendaki puteranya kelak menjadi
seorang yang rendah diri dan penakut tentunya!
"Locianpwe ini telah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya,
bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?" Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan
mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan yang disembunyikan dalam kata
"kebaikan" itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu.
"Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah diberi
tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan," sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya.
"Ha-ha-ha, Cia-sicu terlampau merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga mempunyai suami seperti
Cia-sicu. Nah, kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!" katanya sambil menggerakkan huncwenya dan
tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, kini bangkit
dari tempat duduk mereka, lalu memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali.
"Teecu bertiga mentaati perintah suhu." kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin
Liong.
"Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!"
Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi
orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan kini hanya mengutus murid-muridnya
untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya. Aku tidak boleh
terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Kalau dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu
datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya, akan tetapi kalau sebaliknya tidak dianggap sebagai saingan
berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan.
Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui. "Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku.
Sudah lama tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung." Dan diapun lalu menuju ke tengah ruangan yang
telah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya.
"Hemm, kalian hendak maju berbareng?" Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa
dia cukup jerih dan ragu.
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak
menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang." kata Pak-san-kui sambil mengepulkan
asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah kepada Sin Liong setelah melihat
sikap pendekar itu. Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tak
pernah mengenal takut, kini merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan
inilah yang dia tidak mengerti dan membuatnya penasaran. Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu
agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga! Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu
dengan alis berkerut.
Sementara itu, tiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian
ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka kelihatan tegap dan kokoh kuat, dengan sikap yang
pendiam membuat mereka berwibawa sekali. Setelah melemparkan jubah mereka ke sudut, lemparan yang disertai
tenaga sin-kang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang
tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong dan dengan
loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka telah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin
Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang
tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu.
Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan
memiliki kepandaian hebat itu, tentulah bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar.
Dia menghadapi sesuatu yang amat sukar, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, dan di lain
fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya
dapat menang dengan susah payah!
"Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!" bentak orang yang berada di sebelah kanan. Diam-diam Sin Liong kagum
juga karena melihat sikap ini, ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai
kegagahan dan tidak curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin.
Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka
cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, sedangkan kedudukan mereka
selalu menjadi pengepungan segi tiga lagi. Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja
tidaklah bergerak terlalu cepat, cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan
dengan tenaga secukupnya saja untuk mengimbangi mereka. Dan biarpun harus diakuinya bahwa tiga orang ini
memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali
bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya.
Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian
lihainya sekalipun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong telah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari
orang-orang yang berilmu tinggi. Dia telah "mengoper" tenaga sin-kang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang
menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh
dibilang dialah sekarang tokoh utamanya. Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya,
yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti
Thi-khi-i-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mujijat yang
dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu.
Akan tetapi, karena dia tidak ingin membangkitkan rasa penasaran di hati datuk sesat baru ini, Sin Liong
sengaja hanya mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja untuk mempertahankan diri. Bahkan dia membiarkan ketiga orang
pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga nampak dia terkurung dan terdesak hebat. Dia
mengelak dan menangkis dan tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang
dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat.
Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alisnya dan kembali dia merasa penasaran. Dia tentu saja mengenal
suaminya dan tahu bahwa kalau suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai
dua puluh jurus, apalagi sampai mendesak suaminya seperti itu! Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja
mengalah dan membiarkan dirinya didesak. Akan tetapi isteri yang amat mencinta suaminya ini tidak mau merusak
siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas. Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah
mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biarpun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti
jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa amat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya
terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena tiga orang lawannya menghujankan serangan
bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali.
Memang, dalam pandang orang lain kecuali Bi Cu yang sudah mengenal betul kelihaian suaminya, nampaknya Sin
Liong terdesak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang memiliki kepandaian tinggi itu juga dapat
dikelabuhi. Demikian baiknya Sin Liong menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tidak nampak
berpura-pura. Hal ini adalah karena sudah sedemikian matang ilmu silat Sin Liong sehingga dia dapat mainkan
gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya sehingga seorang yang bermata tajam seperti
Pak-san-kui, sungguhpun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu! Kakek itu mengepul-ngepulkan asap
huncwenya dan mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah
Naga yang dipuji-puji orang sampai ke kota raja! Dia sendiri memang tidak bermaksud untuk memusuhi pendekar
ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, hal itu akan
merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar
ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh
atau saingannya. Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar
itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya
itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa. Kalau yang disebut
Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat? Bantuannya tentu tidak berharga
pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut. Biarpun tiga orang muridnya
itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum
juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang-kadang nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Hebat juga
kalau begitu pendekar ini, pikirnya. Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh
jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan dan dia melakukan serangan yang hebat dan
bertubi-tubl ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat.
Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu
terhuyung-huyung dengan muka pucat karena mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong sedangkan pendekar
ini sendiripun terguling roboh!
"Ayah!" Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya, akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri lagi dan
merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit.
"Kepandaian murid-murid locianpwe amat hebat, aku mengaku kalah," katanya sambil menghampiri isterinya dan
begitu bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah
pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya!
Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin
Liong. Melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia tersenyum
kembali. Pendekar Lembah Naga itu menang sedikit dibanding tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau
harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai daripada pendekar yang
disohorkan sampai ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan dalam diri Sin Liong
kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya.
Maka diapun cepat menjura. "Ah, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan
sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apalagi sampai mengalahkan
mereka. Hebat. Sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dari menjadi sahabat sicu!"
Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus
berhati-hati menghadapi kakek seperti ini. Kelak, kalau ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana
kehebatan kepandaian kakek ini.
Sin Liong lalu minta diri, dan sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan
uang dan pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong
menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda
itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang. Maka
berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan
main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong.
Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu dan sebaliknya, Bi Cu tadinya masih kurang senang kepada
mereka karena kematian suhengnya, Na Tiong Pek dan menikahnya Kui Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, ketika
meninggalkan taman itu, Sin Liong menceritakan semuanya dan Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur
bahwa kini dua orang kakak beradik kembar itu telah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka. Juga Sin
Liong menceritakan alasannya mengapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat
mengerti, apalagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itupun dapat mengerti bahwa ayahnya sama
sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan bahkan
membenarkan ayahnya.
Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia telah
meninggalkan Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di
sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja.
"Omitohud... Thian Sin, mengapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam
belum tidur?"
Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah sinar bulan purnama malam itu, terkejut ketika
melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia lalu menjatuhan diri berlutut di depan hwesio itu.
"Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka oleh
perbuatan orang-orang jahat, maka aku ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai
celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu."
"Omitohud... pikiran yang sungguh menyeleweng daripada kebenaran. Hapus dan keringkan keringatmu dan masuklah
ke pondok, mari kita bicara, anakku."
Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya
karena tadi ketika dia berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tak lama kemudian dia
telah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan sedangkan Thian Sin juga duduk bersila
di atas lantai rendah yang dilapisi papan.
"Dengarlah baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang mencelakakan orang dan betapapun tinggi
kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi
daripada dirinya. Setiap orang manusia itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, di samping kelebihan
yang membuat dia menang atas diri lain orang terdapat kekurangan, yang akan menjatuhkannya. Celaka atau
tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan
ilmu silat atau kepandaian lainnya lagi. Kesemuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu dapat
saja menjadi alat, untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu
anugerah bagi manusia. Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja ilmu silat adalah ilmu olah raga yang menyehatkan
manusia lahir batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, melainkan ada hubungannya yang erat
dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia dapat melindungi
dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat
yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Selain itu dengan ilmu silat inipun manusia dapat
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan
sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sama sekaii jangan kauanggap bahwa ilmu silat harus
setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Kalau engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki
ilmu silat sedikitpun tidak mengapa."
"Tapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka? Seperti paman sendiri
yang menjadi kakak dari ibu, paman memiliki ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai
memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk
menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman."
"Omitohud... anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar mana penjahat! Yang menentukan kependekaran
seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku
hidupnya. Betapapun tinggi ilmu silatnya, kalau dia mempergunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar
kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi
seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada
kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan
untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas."
"Kalau mendiang ayah... apakah dia seorang pendekar, paman?" Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa
cahaya lilin dan di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh.
"Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di
dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar
kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak
segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tidak dapat dinamakan
seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau
harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Akan tetapi, ayahmu itu mempunyai
seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar dan sekarangpun dijuluki
orang Pendekar Lembah Naga."
Sepasang mata yang tadinya agak muram mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini
bersinar-sinar kembali. "Benarkah, paman? Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya
adik angkat ayah itu?"
"Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri
Cin-ling-pai..."
"Ahhh...!" Thian Sin berseru heran. "Ibu telah bercerita tentang kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari
ibu, dan ibu telah banyak bercerita tentang keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar
kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah
bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri
pula?"
"Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, diapun adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena pernah terjadi bentrok antara ayahmu dan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu."

"Bentrok? Antara saudara misan dan saudara angkat?"
"Omitohud... memang asap tak dapat dibungkus, rahasia tak perlu ditutup-tutup, dan sekali menceritakan yang
satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan,
yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justeru merupakan seorang pendekar
sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka..."
"Dan agaknya... agaknya... dia tentu lebih lihai daripada ayah!"
Kembali hwesio itu menarik napas panjang. "Begitulah, akan tetapi hanya sedikit selisihnya. Padahal,
sesungguhnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa.
Sayang ayahmu..."
"Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!" Tiba-tiba Thian Sin berkata, mengejutkan Hong San Hwesio, akan
tetapi lalu anak itu berkata lagi, "Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!"
"Hal itu bukan tidak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab
suci yang telah kuajarkan kepadamu, Thian Sin. Kelak, bukan tidak mungkin kau akan bertemu dengan dia."
Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi.
Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka setelah setengah tahun dia
tinggal di situ, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu. Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara,
dan tekun mempelajari kitab-kitab agama dan ilmu membaca dan menulis. Di waktu malam, sering kali dia meniup
sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar merdu dan seperti mengandung rintihan sehingga
diam-diam Hong San Hwesio kalau mendengar suara ini suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Thian Sin seperti biasa dengan rajin menyapu daun-daun pohon
membersihkan halaman kelenteng, merasa segar setelah tadi berlatih samadhi lalu mandi air dingin. Maka dia
menyapu sambil berdendang. Lagu-lagu banyak dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata
lagunya juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha, akan tetapi juga condong kepada Agama To.
"Kata-kata bijasana tidak berbunga kata-kata berbunga tidak bijaksana
sang budiman tidak melawan yang melawan tidak budiman
sang arif bijaksana tidak terpelajar yang terpelajar tidak arif bijaksana
Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun amat jelas terdengar satu-satu di pagi hari yang sunyi itu,
disambut suaara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon.
"Bagus sekali...!" Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang
laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh
lima tahun, mukanya bundar tampan, dan matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka.
"Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau
sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?"
Thian Sin mengira bahwa orang ini tentu seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan
bersih itu, diapun merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio, "Omitohud, dapat
mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka? Aku mempelajari kata-kata
nyayiannya, sambil mempelajari pula artinya."
"Bagus sekali, anak baik. Nah, apa artinya kalimat pertama : Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata
berbunga tidak bijaksana itu?"
Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit hanyak dia
sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat
suci jaman kuno. Dia mengerutkan alisnya dan wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli
pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti
seorang ahli sajak yang pandai.
"Kata-kata yang baik dan dapat dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk dan merayu melainkan jujur dan
sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tak dapat dipercaya
kebenarannya."
"Bagus, sekarang kalimat ke dua : Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?" Orang itu
mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini.
"Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan
pertentangan dan permusuhan, maka tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu
bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan."
Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang
penuh kagum. "Anak yang amat baik... lanjutkan... lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi :
Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?"
Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya. "Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan
sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagaimana artinya, paman yang baik?"
"Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan
pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka tidak membuat orang
menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang
batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif
bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?"
Thian Sin menggeleng kepala. "Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti."
"Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?"
"Namaku Thian Sin, she Ceng..."
"She Ceng?" Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali.
"Omitohud... selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru
mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna..."
"Lie Seng Koko...!" Tiba-tiba orang itu maju dan memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan
menegur Thian Sin.
"Apa? Siapa...? Omitohud...!" Dia merangkapkan kedua tangan depan dada dan memandang kepada orang itu dengan
mata bersinar-sinar dan wajah berseri, "Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang...!"
"Pendekar Lembah Naga...!" Thian Sin berseru dan kini dia memandang kepada Sin Liong dengan mata terbelalak.
Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu.
"Benar, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng
Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw..."
Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan "mendiang" itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan
hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin dan memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya,
hatinya terharu bukan main. "Thian Sin... anakku yang baik... keponakanku..." demikian bisiknya.
"Ayah, siapakah dia?" Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya.
Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari
keterangan lebih dulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu.
Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya
basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya, "Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia
Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapekmu."
Bi Cu dan Han Tiong cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu.
"Omitohud... betapa menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih etas
kunjungan kalian... mari silakah masuk, kita bicara di dalam."
Dengan amat ramahnya Hong San Hwesio menggandeng tangan Han Tiong dan mempersilakan Sin Liong dan isterinya
memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio termasuk Hong San Hwesio yang
menjadi ketua di situ. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata, "Engkaupun
ikut masuk, Thian Sin. Marilah!" Biarpun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang
sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan
diapun ikut masuk bersama-sama.
Setelah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu
bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang telah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin
berada di situ.
Hong San Hwesio menarik napas panjang. "Omitohud..., segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan
manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apapun untuk menolaknya. Segala
sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa..."
Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah
didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri.
Betapa suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh
pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya
itu bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk
mengantarkan Thian Sin ke kuilnya.
"Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini." Hwesio itu
mengakhiri penuturannya.
Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya, hatinya masih selalu
menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai
musuh, bahkan akhirnya, dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu amat keras dan ampuhnya.
Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu. Ketika dia berniat mengunjungi Lie
Seng, memang sudah ada niat di hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini tentang keadaan Lie Ciauw Si dan
tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu telah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak
tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera!
Akan tetapi kegirangan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa kakak angkatnya itu
akhirnya tewas pula, secara menyedihkan karena tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan
dari kerajaan!
"Akan tetapi mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?" Dia bertanya, suaranya mengandung
penyesalan dan kedukaan.
"Apakah kau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?" Bi Cu memperingatkan. Memang di dalam hati nyonya ini
terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apabila diingat betapa
selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong,
suaminya sekarang (baca kisah Pendekar Lembah Naga).
"Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada
penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupannya mulai tenteram dan berbahagia, setelah
dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?"
Untuk ini Bi Cu tidak mampu menjawab. Nyonya inipun merasa kasihan kalau dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia
tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang
mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam
pengeroyokan itu.
"Hemm, pinceng sendiripun tidak tahu mengapa demikian..." kata Hong San Hwesio sambil menghela napas.
"Aku... aku tahu..." Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak inipun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia
telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung!
Sin Liong merangkul pundak anak itu. "Anak baik, ceritakanlah kalau memang engkau tahu akan hal itu."
Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara
secara jujur. "Dulu ayah dan ibu pernah memberi tehu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli
obat dan peramal yang telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu
akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi
kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Kami disambut dengan baik oleh Raja
Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi,
kiranya setelah tahun yang lalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun
yang masih hidup, ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelaslah bahwa yang mencelakai ayah bunda
adalah Raja Agahai, karena hanya dia yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tidak akan dapat
lupa ketika orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus
oleh Raja Agahai." Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan kedua matanya dan ada air mata jatuh
berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia
berkata. "Aku takkan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti
dapat kucari satu demi satu!"
"Omitohud..., Thian Sin, ingatlah...!" Hong San Hwesio berkata dengan suara memperigatkan. Mendengar suara ini,
Thian Sin membuka kedua matanya, terbelalak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.
"Ah... paman... ampunkan saya...!"
Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedang Bi Cu juga memandang dengan
hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya telah menyeret Ciauw Si
sampai celaka dan ikut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam.
"Sudahlah, Thian Sin, tidak perlu diingat lagi hal-hal yang sudah lampau. Segala akibat tentu ada sebabnya,
maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa
orang budiman tidak melawan dan menggunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri,
dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka sebaiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han
Tiong!"
"Omitohud... itu baik sekali...!" kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main. Dia memang menaruh belas
kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan kalau Thian Sin dapat menjadi saudara angkat
putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw
telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang amat baik! "Setiap niat yang
tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan
tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya."
Biarpun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa
kasihan kepada Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di depan meja
sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka
telah menjadi saudara angkat dan akan hidup bela-membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara
sekandung. Pada waktu itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun dan Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, maka
Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik.
Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat
kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berduapun
berlutut di depan Hong San Hwesio yang cepat membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena girang
bahwa Thian Sin telah memperoleh "tempat" yang baik sebagai anak angkat Sin Liong.
"Twako, sebenarnya kedatangan kami ini mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan
Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati."
"Ah, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku," jawab pendeta itu dengan
gembira.
Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia dan isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera
dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu. "Twako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah
berbahaya dimiliki seseorang yang tidak memiliki kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami
melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi kepada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini
selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya.
Harap twako tidak menolak permintaan tolong kami ini."
"Omitohud... bagaimana kau dapat berkata demikian? Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa
terhormat dan girang sekali!"
Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga
tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana
Lembah Naga saja. Biarpun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan amat menenangkan
hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk
membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama
tiga tahun.
"Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran taopek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian
baru kami akan datang menjemput kalian." demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika
dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu. Dua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu sampai
keluar pekarangan kuil, bersama dengan Hong San Hwesio dan mereka berdua itu kelihatan tenang-tenang sampai
bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak. Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga
bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama
sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, wajahnya yang membayangkan kejujuran itu nampak tersenyum.
Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak
angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali.
Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera ia melihat
bahwa Han Tiong memiliki dasar yang jauh lebih kuat daripada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong
memang memiliki dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja. Sebaliknya Thian Sin lebih penuh
gairah, pikirannya selalu bekerja, dan perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima
guncangan-guncangan, apalagi di dasar batin Thian Sin telah tergores secara mendalam tentang kematian ayah
bundanya, yang merupakan dendam yang amat mendalam. Oleh karena itu, biarpun Thian Sin sudah lebih dulu
menerima bimbingannya selama setengah tahun, namun segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat.
"Kalian harus belajar samadhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan
memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan
dan membersihkan batin." Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersamadhi yang baik, duduk bersila dan
bersamadhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap
ke barat, di dalam cahaya matahari senja di waktu matahari sedang tenggelam.
Di dalam kamar samadhinya yang tenang Hong San Hwesio mulai melatih dua orang keponakannya itu duduk
bersamadhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar
itu. Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan kedua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan
terlentang di atas paha dekat lutut, dengan kedua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari
dan ketiga jari yang lain terbuka. Duduk dengan tenang, sedikitpun tidak bergerak, kedua mata terpejam dan bola
matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf dalam tubuh seolah-olah mengendur semua, pernapasan halus
panjang-panjang dan hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar
masuknya pernapasan yang halus panjang.
Selain pelajaran bersamadhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengajarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci,
memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha.
Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan.
Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari
dari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan
mereka, tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan
putera angkat Pendekar Lembah Naga? Karena terbawa oleh Thian Sin yang gembira, Han Tiong juga ikut-ikut
mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan
dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar.
Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling sayang. Thian Sin memang memiliki
watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguhpun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini
kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin
menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya
ini. Demikian pula Thian Sin, karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur, terbuka,
maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga
mau tidak mau, membuat dia tunduk dan penurut. Di samping kakaknya, dia merasa terlindung dan memperoleh
segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua, juga kasih sayang seorang sahabat dan
seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya.
Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan diapun merasa amal lega
dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa
biarpun Thian Sin amat taat kepadanya dan mempelajari soal-soal keagamaan dan kebatinan serta kesusasteraan
dengan amat tekun, namun di dasar hati anak ini terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya kadang-kadang. Kalau
sampai kelak dendam di dalam hati anak ini bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan
terjadi. Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat
keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi diapun melihat betapa Thian Sin amat sayang dan amat segan dan tunduk
kepada Han Tiong. Kelak, andaikata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu
bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke
dalam jalan yang benar.
Memang rukun sekali dua orang anak itu. Apapun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut oleh Thian Sin.
Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah nampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga
dalam gerakannya terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri. Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang
kepada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnyapun tenang
dan tegap, matang dan biarpun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti
batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang
lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan
yang aseli dan kokoh kuat.
Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam
usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala
tegak dan kedua kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang melihat dari
depan, baru nampak banyak perbedaan. Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya
halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berhentuk indah, sehingga dia tampan sekali,
terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang berjumpa dengannya. Sedangkan Han Tiong
merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walaupun tak dapat disebut buruk, hanya sinar
matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan, dan sikapnya serta gerak-geriknya juga amat tenang dan
membayangkan kekuatan luar biasa.
Akhirnya, lewat waktu tiga tahun itu. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa kalau tidak
diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu kini Han Tiong
telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun! Dan selama tiga tahun itu, mereka telah
digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio sehingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan
filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha maupun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Dan berkat
latihan-latihan ilmu silat yang mereka terus latih dengan tekun, juga karena mereka telah memiliki dasar ilmu
silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang
pemuda dewasa!
Ketika Sin Liong dan Bi Cu datang menjemput, suami isteri ini memandang dengan wajah berseri-seri kepada putera
mereka yang ternyata telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan halus gerak-geriknya, dengan wajah
yang menyinarkan kelembutan hati dan kebijaksanaan yang menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat dan
gembira namun tidak berlebihan. Betapa besar perbedaannya antara Han Tiong kini dan tiga tahun yang lalu. Kini
nampak begitu masak, seolah-olah telah menjadi seorang pemuda dewasa! Dan diam-diam timbul rasa iri di dasar
hati Bi Cu ketika dia melihat betapa pemuda yang berdiri di samping puteranya itu, Ceng Thian Sin, ternyata
telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Akan tetapi rasa iri ini segera ditutupnya dengan
sedikit kebanggaan ketika mengingat bahwa pemuda tanggung yang amat tampan dan ganteng itu adalah anak
angkatnya!
Sin Liong menghaturkan terima kasih kepada Hong San Hwesio atas bimbingannya kepada dua orang anak itu selama
tiga tahun, dan dalam kesempatan ini, Hong San Hwesio mengajak Sin Liong masuk untuk bicara empat mata saja.
Setelah mereka duduk berhadapan, Hong San Hwesio menghela napas dan berkata, "Adikku Sin Liong, sebelum engkau
menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi kepada kedua orang puteramu, sebaiknya kalau pinceng memberitahukan hal-hal
penting yang pinceng lihat dalam diri mereka."
Sin Liong merasa girang sekali. "Tentu saja, twako. Memang selama ini tentu twako yang lebih mengetahui
perkembangan batin mereka, dan adalah penting untuk mengetahui perkembangan itu dan dasar-dasar watak mereka."
"Tentang Han Tiong, tidak ada yang perlu diragukan. Dia boleh dipercaya sepenuhnya dan dia merupakan calon
pendekar yang sempurna. Hal ini bukan merupakan pujian kosong di depan ayahnya belaka, akan tetapi sesungguhnya
puteramu Han Tiong itu memiliki dasar watak dan batin yang amat kuat dan murni."
"Dan bagaimana dengan Thian Sin?" tanya Sin Liong khawatir karena dia dapat menduga bahwa dengan mengemukakan
kebaikan Han Tiong, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada diri Thian Sin.
"Itulah..., dia seorang anak yang baik sekali, penurut, rajin dan patuh. Juga dia amat peka, mudah sekali
mempelajari hal-hal yang baik, bahkan amat cerdas, bahkan lebih cerdas dibandingkan lengan Han Tiong. Justeru
kepekaannya inilah yang mengkhawatirkan, membuat dia mudah sekali dipengaruhi perasaan dan membuat dia mudah
berubah. Pinceng sudah mencoba untuk menanamkan dasar-dasar watak pendekar utama pada batinnya, akan tetapi
tetap saja pinceng khawatir kalau-kalau kelak ada sesuatu yang akan membongkar semua itu dan perasaan hatinya
yang akan menang. Dan kecerdikannya itu kadang-kadang terlalu luas sehingga sukarlah menyelami hatinya. Dia
pandai menyelimuti perasaannya, pandai menyimpan segala sesuatu, di waktu murung bisa saja dia berseri-seri dan
tersenyum-senyum, dan demikian sebaliknya sehingga kadang-kadang pinceng merasa terkejut juga. Nah, engkau
sudah mengenal kelebihan dan kekurangannya, maka harap kau waspada dan didiklah dia sebaik-baiknya."
Sin Liong tersenyum. Gejala-gejala seperti itu bagi seorang pemuda tanggung adalah hal wajar saja. Dia tidak
tahu bahwa pendeta itu telah memiliki kemampuan untuk memandang dengan lebih mendalam lagi! "Baiklah, twako.
Akan kuperhatikan dia."
"Dan selain itu... pinceng tidak pernah mencoba untuk mengetahui rahasianya, akan tetapi kalau tidak salah dia
menyimpan suatu rahasia, mungkin berupa kitab-kitab peninggalan ayahnya, entah kitab apa yang disimpannya
baik-baik dan tak pernah diperlihatkan kepada siapapun juga termasuk pinceng itu. Harap kauamati hal itu."
Sin Liong mengangguk-angguk dan di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa agaknya Ceng Han Houw telah
meninggalkan ilmu-ilmu mujijatnya yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu kepada putera
kandungnya itu.
Ketika dua orang pemuda tanggung itu hendak berangkat untuk ikut bersama pendekar itu dan isterinya ke Lembah
Naga, mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hong San Hwesio sambil menghaturkan terima kasih atas
segala bimbingan dan kebaikan hwesio itu. Hong San Hwesio menyentuh kepala mereka dan berdoa untuk mereka,
kemudian memberi wejangan-wejangan terakhir.
"Semoga dalam mempelajari ilmu silat di Lembah Naga, kalian akan selalu ingat bahwa semua ilmu ini kita
pelajari demi untuk membantu alam, demi untuk kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini, bukan hanya untuk
alat mengejar kesenangan diri sendiri belaka."
Berangkatlah Cia Sin Liong, isteri dan dua orang puteranya itu meninggalkan Kuil Thian-to-tang, meninggalkan
Hong San Hwesio yang berdiri di depan kuil memandang ke arah mereka dan merasakan betapa hatinya seperti
terbawa keluar dari tubuhnya mengikuti bayangan dua orang muda yang disayangnya itu.
Di sepanjang perjalanan, suami isteri itu dengan girang mendapat kenyataan betapa akrabnya hubungan antara dua
orang muda itu, dan diam-diam mereka berdua merasa girang bahwa jelas sekali betapa Thian Sin selain amat
sayang kepada kakak angkatnya, juga amat penurut. Diam-diam Sin Liong membandingkan keadaan dirinya dengan Ceng
Han Houw di masa lalu. Dia pun amat menyayang Ceng Han Houw, akan tetapi dia tidak bisa dibilang penurut. Dan
hal itu terjadi karena kesalahan Han Houw sendiri yang amat mementingkan diri sendiri sehingga untuk mengejar
cita-cita itu dia tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak patut. Tentu saja dia tidak mungkin mau
menuruti permintaan orang yang menyeleweng daripada kebenaran itu. Diam-diam dia berdoa semoga puteranya, Han
Tiong, tidak akan menyeleweng sehingga dapat menuntun adik angkatnya yang amat sayang dan taat kepadanya itu.
***
Thian Sin membuka mata lebar-lebar ketika dia bersama Han Tiong dan ayah ibu mereka memasuki daerah Lembah
Naga. Jadi inikah yang dinamakan Lembah Naga, pikirnya. Ada suatu keanehan di dalam hatinya. Mengapa dia merasa
seolah-olah dia tidak asing berada di tempat ini? Mengapa dia merasa seolah-olah dia sudah pernah, bahkan
sering, melihat tempat-tempat ini? Akan tetapi dia menyimpan saja keanehan ini dalam hatinya dan dia
mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Han Tiong menceritakan kepadanya tentang keadaan di daerah itu.
"Daerah ini dahulu dinamakan Rawa Bangkai, menurut cerita ayah dahulu di sini banyak sekali terdapat rawa-rawa
yang berbahaya, berisi lumpur-lumpur yang dapat membunuh siapa saja yang terperosok ke dalamnya karena
mempunyai daya sedot dan amat dalam. Akan tetapi semenjak di sini merupakan daerah terbuka bagi rakyat dari
seluruh penjuru, tempat ini sekarang berubah menjadi pedusunan. Lihat, mereka itu adalah penghuni dusun pertama
yang sudah melihat kedatangan kami. Ayah dan ibu amat dihormati di sini, karena kami membiarkan mereka tinggal
di daerah Lembah Naga tanpa dipungut pajak apa pun."
Dan memang sebenarnyalah. Dari dalam sebuah dusun pertama, berduyun-duyun keluar orang-orang, laki-laki dan
perempuan, tua muda dengan wajah riang gembira menyambut kedatangan rombongan itu. Thian Sin melihat bahwa
mereka adalah petani-petani yang bertubuh sehat dan berwajah gembira, bahkan agaknya berpakaian cukup rapi
sungguhpun sederhana dan bentuk tubuh serta wajah mereka cukup tampan dan manis, menandakan bahwa kehidupan
mereka tenteram dan mereka tidak kekurangan makan di tempat itu. Nampak olehnya beberapa orang anak-anak, yang
laki-laki juga kelihatan periang dan kuat sedangkan anak-anak wanitanya juga manis-manis dan lucu-lucu.
"Selamlat datang, Cia-kongcu!" Demikian semua orang menyambut Han Tiong. Mereka masih mengenal pemuda yang
telah pergi selama tiga tahun itu dan beberapa orang anak laki-laki sebaya Han Tiong sudah datang mendekat dan
tersenyum-senyum agak malu-malu. Han Tiong mengangkat tangan dan berseru ke kanan kiri. "Apa kabar?
Mudah-mudahan kalian baik-baik saja semua!"
Demikianlah, mereka melalui beberapa buah pedusunan yang hanya ditinggali oleh puluhan orang, dan semua
penghuni pedusunan itu menyambut dengan gembira, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah istana tua, Istana
Lembah Naga dan jantung Thian Sin berdebar keras!
Dia berdiri di depan istana kuno itu dan merasa seperti mimpi. Istana ini tidak asing baginya! Sering dia
bertemu dengan bangunan ini, dalam mimpi! Mimpikah dia ketika bertemu dengan bangunan ini, ataukah sekarang ini
dia sedang mimpi? Digosok-gosoknya matanya dan dia merasa terheran-heran!
"Ada apakah dengan matamu, Sin-te (adik Sin)?" tanya Han Tiong sambil menyentuh pundaknya.
Thian Sin menoleh dan tersenyum, menghentikan menggosok-gosok mata akan tetapi masih mengerling ke arah
bangunan itu dengan penuh keheranan. "Ah, tidak apa-apa, Tiong-ko, aku hanya kagum melihat bangunan ini begini
kokoh kuat dan... menyeramkan!"
"Thian Sin, bangunan ini pernah menjadi tempat tinggal Raja Sabutai, juga pernah menjadi tempat tinggal
mendiang ayahmu, sebelum engkau terlahir..."
Mendengar ucapan Sin Liong yang kelihatan terharu itu, Thian Sin mengangguk-angguk dan mengertilah dia sekarang
mengapa ada suatu pertalian batin antara dia dengan tempat ini. Kiranya tempat ini pernah menjadi tempat
tinggal ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tempat ini pun merupakan tempat di mana ayahnya jatuh, di
mana ayahnya melihat hancurnya semua cita-citanya, bahkan di mana ayahnya mengalami kekalahan mutlak, yaitu
dari Pendekar Lembah Naga yang sekarang menjadi ayah angkatnya itu!
Demikianlah, mulai hari itu Thian Sin tinggal di Istana Lembah Naga, dan dengan tekun dia bersama Han Tiong
mulai berlatih ilmu silat tinggi dibawah bimbingan Cia Sin Liong. Sin Liong menurunkan semua kepandaiannya
dengan sungguh hati, mengajarkan ilmu-ilmu silat yang dimilikinya, tentu saja disesuaikan dengan bakat kedua
anak itu.
Setelah mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada dua orang pemuda itu, Sin Liong dapat melihat bahwa bakat
pada Thian Sin sungguh amat menonjol! Dia terkejut dan kagum dan harus diakuinya bahwa Thian Sin ternyata lebih
menonjol dibandingkan dengan puteranya sendiri, sungguhpun puteranya juga seorang yang berbakat amat baik. Hal
ini karena Thian Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa sehingga anak ini mampu merangkai sendiri
gerakan-gerakan ilmu silat dan menambahkan kembangan-kembangan yang baik sekali. Akan tetapi diapun melihat
bahwa Han Tiong memiliki ketenangan dan kewaspadaan sehingga anak ini lebih matang dalam melatih ilmu, tidak
seperti Thian Sin yang ingin segera memperoleh kemajuan dan ingin segera mempelajari ilmu lain. Setiap satu
jurus gerakan silat tinggi tentu akan dilatih oleh Han Tiong secara tekun dan anak ini belum merasa puas kalau
belum mampu mainkan jurus itu dengan sempurna, tanpa mau menengok kepada jurus baru yang lain. Sebaliknya,
Thian Sin ingin cepat menguasai jurus ini untuk segera dapat mempelajari jurus lain. Dia seolah-olah seorang
yang rakus dan kelaparan, ingin mempelajari sebanyak-banyaknya. Sifat anak ini kadang-kadang membuat Sin Liong
termenung dan teringat betapa besar persamaan antara sifat anak ini dengan sifat mendiang ayahnya, Pangeran
Ceng Han Houw. Akan tetapi, agaknya, bekas gemblengan Hong San Hwesio masih nampak, anak itu kelihatan alim dan
halus budi, bahkan suka sekali membaca kitab, suka sekali bersajak sehingga dia amat sayang kepada Thian Sin.
Bi Cu sendiripun yang tadinya masih selalu membenci mendiang ayah anak itu, setelah melihat sikap Thian Sin,
tak lama kemudianpun merasa suka sekali dan menganggap Thian Sin sebagai anak sendiri.
Memang Thian Sin mempunyai pembawaan yang memikat dan dapat dengan mudah menundukkan hati orang. Apalagi
semakin dia besar, ketampanannya semakin menonjol. Semua penghuni dusun-dusun sekeliling Lembah Naga amat suka
kepadanya karena dia ramah sekali, berbeda dengan Han Tiong yang pendiam. Thian Sin selalu menegur dan menyapa
orang-orang dusun yang dijumpainya, mengajak mereka beramah-tamah dan suka bersendau-gurau, jenaka dan pandai
menyenangkan hati orang dengan kata-katanya. Dia lemah lembut dan memiliki daya tarik yang luar biasa. Apalagi
terhadap wanita! Semua wanita di dusun-dusun sekitar Lembah Naga mengenalnya dan sering membicarakannya dengan
hati penuh kagum. Apalagi para gadisnya. Boleh dibilang semua gadis di dusun-dusun sekitarnya tergila-gila
belaka kepada pemuda tanggung ini! Dan karena Thian Sin belum dewasa benar, para gadis itupun tidak malu-malu
untuk menegurnya dan mengajaknya bicara setiap kali bertemu dan ada kesempatan. Dan sikap para gadis ini pun
tidak menyembunyikan rasa suka mereka kepada Thian Sin sehingga terasa benar oleh pemuda tanggung ini.
Akan tetapi Thian Sin masih hijau, maka diapun menanggapi semua sikap memikat para wanita itu dengan halus,
bahkan agak malu-malu dan manja sehingga membuat para wanita itu semakin tergila-gila! Terhadap Thian Sin, para
wanita ini berani menggoda, mengajak bercanda. Sebaliknya menghadapi Cia-kongcu, yaitu Cia Han Tiong yang
pendiam dan serius, yang halus dan jujur, para gadis itu amat segan dan takut, tidak berani main-main. Bahkan
sikap terbuka dari mereka yang mengajak Thian Sin bercanda itupun lenyap apabila di situ ada Han Tiong. Han
Tiong mempunyai wibawa yang amat terasa oleh siapapun juga. Thian Sin sendiri merasakan wibawa ini dan terhadap
kakak angkatnya ini, Thian Sin merasa amat tunduk di samping rasa sayang dan kagum yang besar.
Juga dengan pemuda-pemuda tanggung dari dusun sekitarnya, baik Thian Sin maupun Han Tiong tidaklah asing. Hanya
bedanya, kalau pemuda-pemuda itu bersama dengan Han Tiong, pemuda pendiam ini bersikap membimbing dan menuntun
mereka untuk membebaskan mereka dari cara berpikir yang terlalu sederhana dan bodoh dari seorang anak desa,
memberi penerangan-penerangan sehingga dia dianggap sebagai seorang yang besar dan semua pemuda dusun
memandangnya seperti pemimpin yang patut dihormati dan disegani. Sebaliknya Thian Sin bergaul dengan mereka
seperti sahabat, bercanda dengan mereka, bermain-main dengan mereka. Sungguh pemuda tanggung ini amat pandai
bergaul dan dapat menarik hati siapapun juga!
Dan agaknya, berkat bimbingan selama tiga tahun dari Hong San Hwesio agaknya, pemuda tanggung ini telah dapat
melenyapkan atau menekan dendam sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya. Demikianlah nampaknya secara
lahiriah. Akan tetapi sesungguhnyakah dendam sudah lenyap dari dalam hati pemuda tampan ini?
Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat
lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau dengan jalan menekannya? Hal ini penting
sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja
satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan
daya upaya kita?
Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua
itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi
kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir maupun batin, maka timbullah kemarahan,
kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan
sebagainya.
Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu
tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan!
Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin
senang karena ingin bebas dari kemarahan itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa
bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marahpun aku
sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya.
Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk,
bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan
kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan
orang untuk membebaskan diri daripada kenyataan, yaitu amarah itu.
Bagaimana hasilnya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah
lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya
menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu
akan timbul kembali! Demikian pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan atau
hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan
tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak
bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah,
tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan
seterusnya selama kita hidup!
Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Di waktu timbul marah, timbul benci, timbul
iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa, kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung,
mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada,
penuh kesadaran akan semua itu? Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan, mengamatinya tanpa
ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya
kewaspdaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah! Segala
pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan
maka pengertian itu hanya menjadi pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang
pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau
ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh
perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.
Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada
si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan
mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika.
Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam
mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar!
Dalam pergaulan mereka dengan para muda di dusun-dusun, terutama dengan para gadisnya, Han Tiong bersikap
wajar, sopan dan tertib. Akan tetapi Thian Sin, pada usia yang lebih lima belas tahun, mulai merasa betapa
mudahnya dia tertarik oleh kemanisan seorang wanita. Namun, diapun maklum bahwa dia harus dapat mengekang nafsu
seperti yang telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan nafsu, pengendalian diri,
tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita!
Justeru pelajaran inilah yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita, antara kenyataan dan angan-angan
seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita
adalah agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya. Jadi sumber penyakitnya tidak diobati dan dilenyapkan,
hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka
tentu saja akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang selalu ingin senang dan
ingin menjauhi susah.
Dua tahun sudah mereka digembleng ilmu silat oleh Cia Sin Liong. Keduanya tekun sekali berlatih sehingga mereka
memperoleh kemajuan yang amat cepat, apalagi pengajarnya adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu.
Sebagai dasar, Sin Liong mengajarkan Thai-kek Sin-kun kepada mereka dan memang ilmu silat ini dapat menjadi
dasar yang amat baik untuk kemudian mempelajari ilmu-ilmu lain yang tinggi dan aneh.
Di samping ilmu silat, juga dua orang pemuda itu melanjutkan latihan mereka bersamadhi dengan duduk bersila
seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio, akan tetapi sekarang mereka bersamadhi bukan hanya untuk
menenteramkan batin, melainkan untuk melatih pernapasan dan untuk menghimpun tenaga sakti. Dan dianjurkan untuk
berlatih di tempat-tempat terbuka, di bawah cahaya matahari, terutama matahari pagi dan matahari senja.
"Pada saat-taat matahari mulai timbul dan matahari mulai tenggelam, matahari menyinarkan daya-daya kekuatan
yang mujijat dan kalian akan dapat menyerap tenaga-tenaga sakti dari sinarnya kalau melakukan samadhi di
saat-saat seperti itu," demikian antara lain Sin Liong berkata. Oleh karena itu, tidak jarang dua orang pemuda
itu melakukan siulian di tempat-tempat terbuka, di waktu mereka melakukan pekerjaan di sawah ladang dan selagi
istirahat dari pekerjaan itu tentu mereka pergunakan untuk melakukan siulian (samadhi). Ketika mereka dididik
oleh Hong San Hwesio mereka secara terpaksa hanya makan sayur-sayuran saja seperti juga para hwesio, akan
tetapi sekarang, di Istana Lembah Naga, mereka makan seperti orang biasa, juga makan daging. Dan dalam makanan
ini pun terdapat perbedaan antara keduanya. Thian Sin suka sekali makan daging, sebaliknya Han Tiong lebih suka
makan sayur dan buah-buahan, sungguhpun dia tidak berpantang daging. Juga kalau Thian Sin suka pula minum arak,
sungguhpun bukan pemabuk, maka Han Tiong tidak begitu suka dan hanya minum arak untuk menghangatkan tubuh saja.
Memang sudah nampak perbedaan besar antara dua orang muda ini. Thian Sin lebih peka terhadap kesenangan dan
kenikmatan, sedangkan Han Tiong lebih sederhana dan lebih bijaksana untuk tidak terlalu menyerah kepada
kehendak bersenang diri melainkan lebih memperhatikan tentang menjaga kesehatan dirinya.
Usia Han Tiong kini telah enam belas tahun dan Thian Sin berusia lima belas tahun. Usia menjelang dewasa bagi
para muda, dan bagi pria khususnya perubahan peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke dewasa ini ditandai oleh
perubahan dalam suara mereka. Dalam usia seperti ini pada umumnya berahi mulai mengusik batin seorang muda. Hal
ini adalah wajar, terdorong oleh pertumbuhan badan dan mulailah terdapat daya tarik yang memikat hati kalau
melihat lawan kelaminnya. Mulailah Thian Sin memandang ke arah gadis-gadis dusun dengan sinat mata lain, dengan
denyut jantung berbeda daripada biasanya. Sinar matanya penuh dengan keinginan tahu, mulai dapat melihat bahwa
pada diri gadis-gadis itu terdapat rahasia-rahasia yang amat menarik keinginan tahunya.
Perkembangan atau pertumbuhan naluri sex para muda adalah sesuatu yang amat wajar. Pertumbuhan jasmani dengan
sendirinya membentuk pula dorongan-dorongan ke arah gairah berahi sebagai suatu kewajaran karena segala sesuatu
yang ada, termasuk manusia, sudah memiliki kecondongan ke arah pertemuan lawan kelamin. Ini adalah hal yang
wajar, digerakkan oleh kekuasaan yang mengatur seluruh alam mayapada dengan segala isinya agar tidak sampai
habis binasa, agar ada perkembangbiakan di setiap jenis mahluk, termasuk manusia. Pertumbuhan ke arah
kedewasaan mulai menumbuhkan pula tuntutan jasmani ke arah pendekatan dengan lawan kelamin ini.
Thian Sin memiliki kepekaan dan juga memiliki gairah yang amat besar, oleh karena itu dialah yang lebih dulu
terlanda gairah berahi ini. Bermula dengan perasan senang untuk memandang wanita, terutama yang sebaya
dengannya. Dan keadaan sekelilingnyalah yang mengajarkan tentang hubungan kelamin kepadanya. Kini dia memandang
dengan sinar mata berbeda kalau dia melihat sepasang ayam melakukan hubungan kelamin, atau kalau dia, yang suka
bermain-main adu jengkerik dengan teman-temannya, yaitu anak-anak dusun sekitarnya, melihat jengkerik jantan
dan jangkerik betina melakukan hubungan kelamin. Kalau di waktu kecil, penglihatan ini tidak mendatangkan
sesuatu dalam perasaannya, hanya nampak sebagai suatu peristiwa wajar dalam mata kanak-kanak dan kemudian lewat
begitu saja dalam ingatannya tanpa membekas, setelah dia mulai dewasa kini penglihatan itu berubah menjadi
sesuatu yang aneh, yang mendatangkan perasaan mesra dan ingin tahu dalam hatinya, kemudian berhenti dalam
ingatannya untuk dibayang-bayangkan kembali dalam renungan!
Akan tetapi, teringat akan wejangan-wejangan Hong San Hwesio tentang berahi, Thian Sin lalu menahan dan menekan
dorongan-dorongan berahi ini. "Berahi merupakan satu di antara kekuatan-kekuatan yang mengandung tenaga sakti
dalam tubuh," demikian antara lain Hong San Hwesio memberi wejangan. "Kalau engkau dapat mengekangnya, maka hal
itu akan menjadi tenaga sakti dalam tubuhmu. Akan tetapi kalau dituruti, hal itu akan menghancurkan tenaga
sakti. Berahi itu adalah hawa sakti yang ingin keluar, oleh karena itu kendalikanlah, pertahankanlah sedapat
mungkin."
Wejangan seperti itu memang dianggap wajar dan benar karena sudah menjadi tradisi dan kepercayaan umum bagi
agamanya. Dan memang dapat dinyatakan bahwa dalam wejangan itu terdapat suatu kebenaran bahwa dorongan berahi
itu, yang wajar, yang bukan buatan pikiran yang membayang-bayangkan kenikmatan, adalah merupakan suatu dorongan
hawa sakti, bahkan pelepasannya tidak luput dari pengaruh kekuatan yang amat mujijat sehingga pelepasannya
merupakan sarana bagi perkembangbiakan semua mahluk hidup di dunia ini! Sungguh terdapat kemujijatan yang amat
ajaib dalam semua ini, terdapat sesuatu yang amat suci dan gaib dalam hubungan kelamin. Betapa kekuasaan yang
tak terbataslah mengatur semua itu dengan tertib dan indah. Hubungan itu adalah syarat mutlak untuk
perkembangbiakan manusia dan untuk menuntun manusia ke arah itu setelah mulai dewasa, maka terdapat
gairah-gairah berahi dan di dalam pelaksanaannya itu sendiri terkandung kenikmatan. Semua ini mendorong manusia
untuk condong melakukan hubungan kelamin dan dengan demikian terjaminlah berlangsungnya perkembangbiakan
manusia. Betapa mujijatnya! Kurang sedikit saja dalam ketertiban yang sudah diatur sempurna itu, timbul bahaya
kehancuran dan lenyaplah kemanusiaan! Andaikata tidak terdapat kenikmatan, maka manusia tentu tidak akan
terdorong melakukannya dan kelanjutan manusia tentu akan terancam karenanya. Dorongan itu bahkan sudah ada
dalam diri setiap orang, gairah berahi adalah pembawaan lahir, alamiah.
Manusia sendirilah yang merusak semua keindahan dan kesempurnaan ini, dengan jalan memelihara kesenangan dan
kenikmatannya sehingga hal yang suci itu, karena sesungguhnya hubungan kelamin merupakan hal yang suci, berubah
menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan dicari-cari hanya untuk diraih sebagai pelepas nafsu dan untuk
mencapai kepuasan belaka! Maka muncullah hal-hal yang hanya akan mendatangkan sengsara!
Kita memang selalu merusak keindahan dan ketertiban yang alamiah dan wajar. Setiap manusia sejak lahir sudah
mempunyai selera dan gairah untuk makan. Kekuasaan yang maha sempurna telah mengaturnya sehingga kalau tubuh
membutuhkan makan, timbul selera dan gairah dan perut sendiri memberontak minta diisi. Dengan demikian, proses
makan maupun kebutuhan lain dari tubuh seperti pernapasan dan sebagainya, merupakan hal wajar dan untuk memberi
dorongan kepada manusia untuk memenuhi tuntutan jasmani melalui perut ini, manusia telah diberi rasa enak di
waktu mengisi perut. Bukankah hal ini, seperti juga tuntutan berahi yang menjadi sarana pembiakan, merupakan
suatu kewajaran? Bukankah rasa enak dalam makan, rasa nikmat dalam hubungan kelamin, merupgkan mujijat dan
anugerah yang berlimpah? Namun sayang seperti juga dalam gairah berahi, dalam gairah makanpun juga kita tidak
lagi mementingkan kebutuhan jasmani atau kebutuhan perut, melainkan mementingkan rasa enak itulah! Kita
melupakan artinya yang hakiki, kita melupakan kepentingannya dan hanya mengejar rasa enak dalam makan, dan
mengejar rasa nikmat dalam hubungan sex. Dan seperti juga dalam hubungan kelamin yang terjadi karena pengejaran
kenikmatan belaka, maka dalam makan yang terjadi karena pengejaran keenakan belaka, bermunculanlah
akibat-akibat yang menyengsarakan!
Harus kita akui bahwa dalam pelaksanaan gairah itu memang terdapat rasa enak, terdapat rasa nikmat dan perasaan
nikmat itu adalah anugerah yang terbawa lahir oleh kita semua. Jadi, bukan berarti bahwa kita harus MENOLAK
makan enak atau menolak kenikmatan sex, sama sekali bukan. Keenakan, kelezatan atau kenikmatannya itu adalah
anugerah, kita berhak menikmatinya, dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah kalau sudah timbul
PENGEJARAN. Pengejaran kesenangan, pengejaran kenikmatan inilah yang menjadi sumber segala derita, segala
konflik dan kesengsaraan.
Thian Sin yang mulai merasakan dorongan-dordngan gairah nafsu berahi itu teringat akan wejangan Hong San
Hwesio, maka diapun cepat-cepat bersamadhi untuk menghalaunya, untuk menekannya di waktu gairah itu timbul.
Namun, begitu dia melakukan penekanan-penekanan itu, gairah berahi itu timbul semakin sering! Timbul lagi,
ditekan lagi, timbul lagi, ditekan lagi dan terjadilah lingkaran setan yang membuat pemuda itu gelisah. Dan
pada suatu malam, dalam mimpi, gairah berahi ini mendesak sedemikian kuatnya sehingga dia terbangun dengan
kaget dan dia menjadi semakin gelisah ketika melihat betapa celananya menjadi basah! Teringatlah dia akan semua
wejangan Hong San Hwesio tentang tenaga sakti dalam tubuh! Hong San Hwesio sudah memperingatkan bahwa setelah
menjelang dewasa, ada dorongan yang sukar dilawan untuk menyalurkan gairah itu dan dia menasihati dua orang
murid atau juga keponakan itu untuk mempertahankan sekuat tenaga agar jangan sampai mani keluar dari badan,
apalagi sengaja mengeluarkannya melalui permainan sendiri!
Semua itu telah diungkapkan oleh Hong San Hwesio dan memang ada baiknya bagi orang muda untuk mengetahui
seluk-beluk tentang sex ini. Banyak pemuda yang didorong oleh gairah seksuilnya, ditambah khayalan-khayalan
tentang hubungan sex yang dapat dilihatnya pada binatang-binatang yang melakukan hubungan sex atau didengarnya
dari teman-teman, atau dibacanya melalui buku-buku, maka banyak sekali yang melakukan permainan dengan dirinya
sendiri, baik mempermainkan batin dengan bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan tentang hubungan sex, maupun
mempermainkan alat kelamin dengan tangan sendiri dan lain-lain yang disebut onani.
Thian Sin sudah mendengar tentang itu dan karena Hong San Hwesio memperingatkan dia tentang bahayanya hal itu,
tentang kerugiannya, bahkan samar-samar hwesio itu mengatakan bahwa perbuatan itu jahat, maka begitu dia
terbangun dari mimpi dan melihat celananya basah, tahulah dia bahwa dia telah mengeluarkan mani dalam tidurnya,
melalui mimpinya! Bukan main gelisah hati Thian Sin. Setelah membersihkan diri dengan air dan berganti pakaian,
dia cepat-cepat duduk melakukan siulian untuk memulihkan tenaga sakti yang terbuang melalui pemancaran mani
itu.
Pada keesokan harinya, Han Tiong dapat melihat perubahan muka pada adik angkatnya. Wajah Thian Sin nampak lesu
dan dibayangi kegelisahan.
"Sin-te, apakah yang terjadi padamu? Engkau nampak begitu lesu dan muram?" tegurnya dengan halus dan penuh
perhatian.
Melihat wajah kakak angkatnya, mendengar teguran yang halus itu, seketika terhiburlah hati Thian Sin karena dia
seperti melihat uluran tangan yang hendak menolongnya.
"Tiong-ko, celaka sekali. Malam tadi... aku bermimpi dan... dan aku telah... celanaku basah..." Dia menerangkan
dengan gagap, sungguhpun biasanya dia tidak pernah ragu-ragu untuk menceritakan segalanya kepada kakak
angkatnya yang amat disuka dan dihormatinya itu.
Berkerut alis Han Tiong yang tebal hitam itu, sepasang matanya membayangkan kekhawatiran. Betapapun juga, sama
dengan Thian, dia amat memperhatikan semua nasihat dan wejangan Hong San Hwesio maka mendengar bahwa adik
angkatnya telah mimpi sehingga mengeluarkan mani yang dianggap sebagai tenaga sakti dalam tubuh, dia merasa
gelisah juga.
"Aih, Sin-te... bagaimana dapat terjadi itu? Apakah engkau terlalu memikir-mikirkan hal itu?"
Thian Sin mengangguk. "Kemarin aku bicara dengan beberapa orang teman di dusun. Seorang di antara mereka
menceritakan betapa dia pernah melihat kakaknya dan kakak isterinya melakukan hubungan kelamin. Dari cerita
itulah datangnya khayalan dan kenangan yang terbawa dalam mimpi, Tiong-ko. Bagaimana baiknya, Tiong-ko, aku
gelisah sekali. Semalam aku sudah melakukan samadhi, sampai pagi, akan tetapi aku tetap saja merasa gelisah..."
Han Tiong sendiri tidak pernah mengalami hal itu, maka diapun bingung. "Jangan gelisah, adikku. Mari kita minta
nasihat ayah."
"Ah, aku... aku takut, Tiong-ko..."
"Kenapa takut? Engkau tidak melakukan sesuatu yang salah, hal itu terjadi di luar kesadaranmu, dalam mimpi.
Orang yang melakukan sesuatu tanpa disengaja, tidak berbuat salah, jangan takut, biar aku yang bercerita kepada
ayah."
"Tapi aku... aku malu..."
"Mengapa harus malu? Hal itu telah terjadi, Sin-te, dan kalau hanya karena malu lalu diam-diam saja dalam
kegelisahan, hal itu lebih tidak baik lagi. Kalau kita bercerita kepada ayah dengan sejujurnya, tentu ayah akan
dapat menasihatkan bagaimana baiknya menghadapi hal seperti ini."
Setelah ditenangkan oleh Han Tiong, akhirnya maulah Thian Sin pergi menghadap ayah angkatnya dan Han Tiong yang
menceritakan kepada ayahnya tentang pengalaman Thian Sin semalam.
Thian Sin duduk sambil menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata ayah angkatnya itu, dan dia merasa
malu sekali.
Mendengar penurutan Han Tiong, Cia Sin Liong tersenyum maklum dan pendekar ini mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baik sekali bahwa engkau tidak menyembunyikan hal itu, Thian Sin. Akan tetapi, mengapa harus kakakmu yang
menceritakannya kepadaku, bukan engkau sendiri?"
Thian Sin mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya dan dengan lirih dia menjawab, "Aku... aku merasa
takut dan malu, Gi-hu (ayah angkat)."
Cia Sin Liong mengerutkan alisnya dan sikapnya sungguh-sungguh. "Justeru hal inilah yang berbahaya, yaitu
merasa dirimu bersalah sehingga engkau menjadi ketakutan dan malu. Mengapa engkau harus takut dan malu, Thian
Sin?"
Pertanyaan itu tentu saja mencengangkan hati kedua orang muda itu.
"Tapi... Gi-hu, menurut wejangan paman Hong San Hwesio, hal itu amat berbahaya bagi kami. Paman Hong San Hwesio
telah memesan dengan sungguh-sungguh agar kami jangan bermain-main dengan diri sendiri sehingga mengeluarkan
mani, bahkan menjaga agar jangan sampai mengeluarkan mani sama sekali karena hal itu akan menghilangkan tenaga
sakti dalam tubuh."
Cia Sin Liong mengangguk-angguk. "Memang tidak terlalu keliru pernyataan bahwa hal itu akan melemahkan, akan
tetapi bukan untuk seterusnya. Tenaga sakti yang keluar itu akan dapat pulih kembali. Memang hal itu tidak
baik, akan tetapi yang lebih tidak baik lagi, yang lebih berbahaya lagi adalah perasaan takut dan malu itulah.
Hal itu akan membuat engkau menjadi rendah diri, merasa berdosa dan selalu merasa malu menentang pandang mata
orang lain karena merasa seolah-olah orang-orang lain tahu belaka akan keadaan dirimu. Tidak, Thian Sin, jangan
engkau merasa takut dan malu! Hal yang seperti kaualami itu adalah hal yang lumrah dan banyak dialami oleh para
muda, oleh karena itu tenangkan hatimu.
Itu tidak merupakan hal yang terlalu hebat. Tentu saja akan lebih baik kalau sampai tidak terjadi dan kalau
engkau lebih mencurahkan perhatian kepada pelajaran-pelajaranmu, baik pelajaran silat atau pelajaran satera,
mengisi waktu dengan hal-hal yang berharga dan tidak terlalu membayang-bayangkan hal-hal yang dapat menimbulkan
natsu berahi, maka hal inipun takkan terjadi, atau tidak sering mengganggumu."
Bukan main lega rasa hati Thian Sin mendengar keterangan ayah angkatnya itu, akan tetapi dia pun merasa malu
karena pendekar itu menyambung. "Betapapun juga, kalau hal itu terlalu sering terjadi, amat tidak baik bagi
kemajuan latihan silatmu, dan juga hal itu menandakan suatu batin yang lemah."
Memang harus diakui, hal seperti yang dialami oleh Thian Sin itu, yaitu bermimpi dan menumpahkan mani di waktu
tidur, banyak dialami oleh pemuda-pemuda yang menanjak dewasa. Bahkan perbuatan onani pun banyak dilakukan oleh
pemuda-pemuda untuk memperoleh kepuasan seksuil tanpa harus berhubungan dengan wanita karena untuk hal itu
mereka belum berani melakukannya dan tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Dan betapa banyaknya pemuda
yang merasa tersiksa, diam-diam merasa seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang amat buruk dan berdosa,
namun hal itu telah menjadi, kebiasaan yang mencandu, yang sukar dilepaskannya, dia telah terikat oleh
rangsangan kenikmatan yang menuntut pengulang-ulangan, dan setiap kali habis melakukan hal itu timbul rasa
menyesal yang membuat dia akan merasa semakin rendah diri.
Tidak keliru pernyataan pendekar Cia Sin Liong bahwa rasa bersalah yang menimbulkan takut dan malu itu akan
menciptakan perasaan rendah diri dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada perbuatan onani itu sendiri! Oleh
karena itu, bagi para pemuda yang merasa mempunyai "penyakit" ini, waspadalah, buanglah jauh-jauh rasa rendah
diri yang timbul dari penyesalan, rasa takut, dan malu dan rasa berdosa itu. Akan tetapi di samping itu harus
waspada juga bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang timbul dari kebiasaan yang sudah mencandu, dan
bahwa perbuatan akibat kebiasaan itu memang amat tidak baik bagi kesehatan hati dan batin. Mengekang atau
menekannya tiada guna karena akan selalu timbul, makin dikekang makin kuat daya rangsangnya sehingga tak
tertahankan, lalu berbuat lagi, sehabis berbuat menyesal. Demikian selanjutnya.
Ini bukan berarti bahwa hal itu harus dibiarkan saja berlangsung. Sama sekali tidak, karena kalau sampai
berlarut-larut, akibatnya amat tidak baik bagi badan dan batin. Akan tetapi kalau kita mau menghadapi hal itu
setiap kali dia timbul! Setlap kali rangsangan untuk melakukan onani itu timbul, bahkan sebelum timbul, kita
membuka mata dengan waspada dan penuh kesadaran, tanpa ada keinginan untuk menekan, hanya mengamati saja dengan
penuh perhatian, mempelajarinya, menyelidikinya. Itu saja! Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan, bukan hanya
merupakan teori lapuk, melainkan dihayati dan dilaksanakan setiap kali dia timbul. Buka mata, amati dengan
penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Akan nampaklah bahwa pendorongnya bersumber kepada si aku yaitu pikiran
yang mengenangkan atau mengingat-ingat, membayang-bayangkan kembali kenikmatan-kenikmatan yang pernah
dirasakannya. Si aku yang ingin mengejar kenikmatan inilah yang menjadi pembujuk, pendorong sehingga
"pertahanan" yang kita bangun itu ambruk dan kita menyerah kepada kehendak si aku, yaitu nafsu ingin memuaskan
diri, ingin menikmati. Maka, apabila kita membuka mata memandang, penuh perhatian, tanpa adanya si aku, maka si
aku, yang mengejar kesenangan itu tidak ada, ying ada hanyalah kewaspadaan yang menimbulkan kesadaran dan
pengertian, dan lahirlah tindakan-tindakan spontan yang akan melenyapkan semua kebiasaan itu.
Mimpi tentang hubungan seks, maupu onani, keduanya adalah akibat daripada si aku atau pikiran yang mengenang
dan mengingat-ingat kembali kenikmatan. Kalau ingatan itu bertumpuk di bawah sadar, lalu timbul dalam mimpi.
Sedangkan onani dilakukan karena tidak dapat menahan dorongan gairah yang timbul dan mendesak.
Hubungan seks adalah sesuatu yang wajar, yang suci. Akan tetapi kalau terdorong oleh pikiran yang mengejar
kenikmatan, lalu terjadilah hal-hal yang tidak wajar. Pengamatan diri tanpa pamrih sesuatu akan melahirkan
kebijaksanaan mendisiplin diri, bukan disiplin paksaaan melainkan timbul dengan sendirinya sehingga hubungan
seks menjadi sesuatu yang indah, dilakukan tepat pada waktunya, tempatnya, keadaannya dan sebagainya.
Mendengar ucapan pendekar Cia Sin Liong, lenyaplah kekhawatiran Thian Sin. Akan tetapi berbareng dengan
terjadinya peristiwa itu, mulailah dia menjadi dewasa dan perhatiannya terhadap gadis-gadis sebayanya pun
semakin besar. Akan tetapi pemuda tanggung ini selalu dapat menahan nafsunya, sesuai dengan ajaran kebatinan
yang diterimanya dari Hong San Hwesio. Dengan demikian, rasa tertarik itu hanya dilampiaskan saja melalui
kerling memikat dan senyum manis setiap kali dia bertemu dengan gadis-gadis dusun. Tentu saja sikap Thian Sin
ini makin menarik para gadis itu dan segera pemuda tampan yang mereka sebut Ceng-kongcu ini menjadi bahan
percakapan mereka sehari-hari. Sikap Thian Sin ini terbalik sama sekali dibandingkan dengan sikap Han Tiong
yang pendiam, terbuka dan jujur. Pemuda ini "alim" bukan karena pengekangan batin, bukan karena paksaan akan
tetapi memang pikirannya bersih daripada bayangan-bayangan kesenangan berahi seperti yang digambarkan dalam
batin Thian Sin.
Pada suatu hari, lewat tengah hari yang panas dua orang pemuda itu berjalan di dalam hutan. Thian Sin memanggul
seekor kijang yang berhasil mereka robohkan dalam perburuan itu. Thian Sin-lah yang membujuk-bujuk kakak
angkatnya untuk berburu hari itu.
"Aku ingin sekali makan daging kijang, Tiong-ko. Dan kaupun tahu, ayah ibu suka sekali makan daging kijang
pula. Marilah temani aku berburu kijang."
Dibujuk-bujuk akhirnya Han Tiong yang amat menyayang adik angkatnya itupun setuju dan hampir sehari penuh
mereka berkeliaran di dalam hutan memburu kijang. Memang ada binatang-binatang hutan yang lain, akan tetapi
karena dari rumah tadi mereka sudah mempunyai niat berburu kijang, maka mereka tidak mengganggu
binatang-binatang lain. Akhirnya, setelah lewat tengah hari, mereka melihat seekor kijang muda yang gemuk.
Dengan ilmu berlari cepat, mereka mengejarnya dan akhirnya dapat merobohkan kijang itu dengan sambitan-sambitan
batu. Mereka merasa lelah dan haus karena hari itu panas sekali.
Ketika mereka melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih, mereka berhenti, melempar bangkai kijang itu ke
bawah sebatang pohon dan mereka lalu mencuci muka, tangan dan kaki sehingga terasa segar sekali. Rasa sejuk ini
membuat mereka ingin mengaso.
"Tempat ini sunyi, sejuk dan indah. Mari kita mengaso sambil berlatih siulian, Sin-te," kata Han Tiong. Adiknya
setuju dan mereka berdua lalu duduk bersila di antara semak-semak, di atas rumput yang hijau tebal. Bangkai
kijang itu mereka simpan pula di atas cabang pohon agar jangan diganggu binatang buas. Di balik semak-semak di
tepi danau itu mereka duduk bersila dan bersamadhi, berdampingan dan Thian Sin duduk di dekat danau, kakak
angkatnya di sebelah kirinya.
Karena badan lelah, kemudian terasa segar terkena air dingin dan tempat itu memang sejuk, dikipasi angin
semilir, maka kedua orang muda itu dapat bersamadhi dengan hening dan tenteramnya dan mereka sudah lupa akan
waktu. Tanpa mereka sadari, mereka telah duduk berjam-jam sampai matahari mulai condong jauh ke barat dan
sinarnya tidak panas lagi. Juga mereka tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar suara merdu beberapa orang
gadis dusun yang berjalan sambil bercanda menuju ke danau itu, membawa pakaian kotor dan para gadis itu mulai
mencuci pakaian di tepi danau, di atas batu yang menonjol di danau itu sambil bercakap-cakap. Karena dua orang
itu bersamadhi di balik semak-semak, dan karena biasanya tempat itu tidak pernah ada orangnya, maka empat orang
gadis itu sama sekali tidak pernah tahu bahwa tak jauh dari mereka terdapat dua orang muda tengah bersamadhi.
Setelah selesai mencuci pakaian, empat orang gadis itu lalu menanggalkan pakaian mereka untuk dicuci pula dan
mereka lalu mandi dengan telanjang bulat karena mereka biasanya melakukan hal itu di tempat sunyi ini tanpa ada
yang pernah mengganggu mereka. Mereka mandi sambil bercanda, bersiram-siraman, tertawa-tawa dan
bernyanyi-nyanyi. Semua suara itu tidak mengganggu Han Tiong yang masih tekun bersamadhi. Tidak nampak segaris
kerutpun di wajahnya karena dia tenggelam dalam keheningan yang syahdu. Akan tetapi, suara ketawa merdu
gadis-gadis itu agaknya mampu menembus keheningan yang tadinya memang dapat membuat Thian Sin bersamadhi dengah
hening dan pemuda itu kini mulai menggerakkan bola matanya dan bola matanyapun mulai bergerak-gerak. Kini
kesadarannya mendorong perhatian melalui telinganya, ditujukan ke arah suara itu dan jantungnya berdebar. Suara
gadis-gadis tertawa-tawa dan bersenda-gurau, dan suara percik air. Mendengar suara yang datang dari arah
kanannya itu, perlahan-lahan mata kanannya dibuka, sedangkan mata kirinya masih tetap terpejam. Dan mata kanan
itu terbelalak ketika dia melihat dari balik semak-semak betapa di sebelah kanan, tak jauh dari tempat dia
duduk, terdapat empat orang gadis dusun yang sedang bermain-main dalam air, sedang mandi dengan bertelanjang
bulat! Wajah Thian Sin menjadi merah dan dia harus mengatur pernapasannya agar tidak terengah-engah. Dia
membuka mata kiri melirik ke arah kakak angkatnya. Han Tiong masih bersamadhi dengan hening dan tekun,
sedikitpun tidak bergerak dengan pernapasan yang panjang dan halus. Cepat Thian Sin menutupkan lagi mata
kirinya dan kini hanya mata kanannya yang mengerling ke kanan, ke arah gadis-gadis yang sedang mandi itu.
Jantungnya berdebar semakin keras, apalagi ketika dia melihat bahwa di antara mereka terdapat Cu Ing! Gadis ini
merupakan kembang dusun di sebelah selatan Lembah Naga, seorang dara remaja yang manis sekali dan sudah
beberapa kali Thian Sin bertemu dengan dara manis ini yang menarik hatinya, lebih daripada dara-dara lainnya.
Kalau biasanya di waktu bertemu dengan Cu Ing, dara itu sudah tampak manis, kini dalam keadaan tanpa pakaian
sama sekali itu Cu Ing nampak lebih jelita lagi, dengan kulit tubuh yang putih kekuningan, dengan lekuk
lengkung tubuh yang menggairahkan. Setelah mata kanan Thio Sin meliar ke arah tubuh empat orang dara itu,
akhirnya pandang matanya berhenti dan terpesona kepada Cu Ing seorang dan dia hampir tak dapat menahan mulutnya
untuk berseru kecewa ketika empat orang dara itu menghentikan dan mengakhiri mandi mereka dan selelah
mengeringkan tubuh mereka lalu mengenakan pakaian bersih.
Karena merasa kurang leluasa mengikuti gerakan-gerakan mereka, Thian Sin kini mendoyongkan tubuhnya dan menguak
semak-semak agar dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara empat gadis itu
melihat gerakan ini. Mata dara itu terbelalak dan dia berseru. "Ada orang mengintai kita!"
Tiga orang kawannya cepat menengok ke arah tempat yang ditunjuk dara itu, dan mereka semua melihat Thian Sin!
Seperti empat ekor kijang melihat harimau, empat orang dara itu itu cepat-cepat menyambar pakaian dan cucian
mereka, lalu melarikan diri pontang-panting dari tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah mengenal siapa
pria yang tadi mengintai, sambil berlari mereka kadang-kadang menengok dan mereka tertawa-tawa dan
menjerit-jerit penuh rasa geli, ngeri dan juga senang!
Jeritan-jeritan ini menggugah Han Tiong dari samadhinya. Dia membuka mata dan melihat betapaa adik angkatnya
masih bersila dengan anteng, akan tetapi dari gerakan bola mata adiknya dia dapat menduga bahwa tentu adiknya
itu terganggu pula oleh suara jeritan-jeritan tadi.
"Sin-te, suara apakah yang menjerit tadi?" Dan Han Tiong memandang ke arah suara yang masih terdengar
lapa-lapat.
"He? Suara apa? Aku tidak tahu... ah, benar, itu masih terdengar suaranya, seperti suara wanita tertawa..."
kata Thian Sin, pandai sekali dia bergaya seperti orang yang tidak tahu apa-apa.
"Ah, senja telah mulai tiba. Tak terasa kita sudah lama juga beristirahat. Mari kita pulang!" kata Han Tiong,
tidak mempedulikan lagi suara ketawa itu. Adik angkatnya mengangguk sunyi, mengambil bangkai kijang dan
pulanglah dua orang muda itu. Akan tetapi di luar tahu Han Tiong, adik angkatnya berjalan memanggul bangkai
kijang sambil melamun, mengenangkan kembali penglihatan yang membuat jantungnya masih tetap berdebar dan tiap
kali dia membayangkan Cu Ing, dia tersenyum sendiri.
Semenjak terjadinya periatiwa itu, mulailah Thian Sin mendekati Cu Ing yang semakin menarik hatinya itu. Dara
dusun itu kelihatan manja dan kelihatan seperti jinak-jinak merpati, kalau didekati menjauh malu-malu dan kalau
dari jauh mengerling dan senyum-senyum memikat. Melihat keadaan dua orang muda remaja ini, teman-teman mereka,
yaitu para pemuda dan gadis dusun sering kali menggoda mereka. Cu Ing digoda teman-temannya dan hal ini semakin
menambah rasa cinta yang tumbuh di hatinya terhadap pemuda yang menjadi idaman semua gadis di sekitar Lembah
Naga itu. Di dalam hatinya timbul semacam kebanggaan besar karena bukankah Thian Sin terkenal sebagai pemuda
perkasa, murid majikan Istana Lembah Naga, bahkan masih keponakan pula, dan juga putera angkat, dan bukankah
pemuda ini terkenal amat tampan, gagah dan memikat hati setiap orang wanita? Sebaliknya, dara yang malu-malu
dan manja seperti merpati ini, makin lama makin mempesona hati Thian Sin sehingga timbullah rasa cinta asmara
dalam hatinya. Cinta pertama seorang pemuda yang pada waktu itu baru berusia enam belas tahun!
Bhe Cu Ing adalah seorang gadis yang manis, kembang dusunnya dan keadaannya lebih mampu dibandingkan dengan
keluarga gadis-gadis lain karena dia adalah anak tunggal dari Bhe Soan yang dianggap sebagai pemuka atau kepala
dari dusun kecil itu. Bhe Soan ini lebih berpengalaman daripada para penghuni dusun, selain mengenal huruf juga
sudah banyak merantau ke luar daerah, pandai bertani dan pandai pula mengatur kerukunan dusun kecil itu.
Keadaannya pun lebih mampu daripada para petani lain. Dara ini sendiri maklum bahwa dirinya sudah tidak bebas,
sejak kecil telah ditunangkan oleh ayahnya dengan pria lain. Akan tetapi karena dia belum pernah melihat
tunangannya itu, maka hal itu seolah-olah sudah dilupakannya, apalagi ketika dia bertemu dengan Thian Sin dan
melihat mata pemuda itu yang penuh kagum dan kemesraan jika ditujukan kepadanya! Dara berusia enam belas tahun
ini dengan sepenuhnya jatuh hati kepada Thian Sin, akan tetapi sebagai seorang gadis dusun, dia malu-malu dan
setiap kali bertemu dengan Thian Sin, dia tak berani langsung memandang. Hal ini terasa lebih lagi setelah
semua teman menggodanya sebagai kekasih Thian Sin! Ada rasa malu, rasa bangga, rasa girang yang dicobanya untuk
ditutupi dengan muka cemberut marah tapi bibir tersungging senyuman apabila teman-temannya menggodanya. Karena
rasa malu pulalah maka kedua fihak hampir tidak berani saling pandang, apalagi saling bertanya kalau ada
orang-orang lain. Thian Sin sendiri karena masih "hijau" maka rasa malu membuat dia yang biasanya pandai bicara
itu menjadi pendiam apabila bertemu gadis itu di depan banyak orang.
Sudah beberapa kali Thian Sin berusaha untuk dapat bicara berdua saja dengan Cu Ing akan tetapi gadis itu tidak
pernah bersendirian, selalu ada temannya sehingga sukarlah baginya untuk dapat bicara berdua. Karena sudah
tidak dapat menahan dorongan hatinya, maka Thian Sin menjadi nekat dan pada suatu hari, ketika Cu Ing dan
beberapa orang temannya pagi-pagi pergi ke danau kecil untuk mencuci pakaian, diam-diam Thian Sin membayangi
mereka. Dari tempat sembunyinya dia mengintai ketika mereka mencuci pakaian dan mandi, dengan hati-hati sekali
sehingga sekali ini tidak ada seorangpun di antara mereka yang dapat melihatnya.
"Hi-hi-hik, jangan-jangan ada orang laki-laki yang mengintai kita lagi!" terdengar seorang di antara
gadis-gadis itu berkata sambil terkekeh genit. Mendengar ini, semua gadis cepat-cepat menutupi tubuh sedapatnya
dengan kedua tangan dan mata mereka yang bening itu terbelalak memandang ke kanan kiri. Mereka tersenyum geli
ketika melihat bahwa tempat itu sunyi saja.
"He-he, Cu Ing sih lebih senang dilihat kalau yang melihat itu si dia!"
"Ih, jorok kau! Bukan aku saja yang terilhat, akan tetapi kalian bertiga juga!" bantah Cu Ing dan wajahnya
berubah merah sekali.
"Mana bisa? Aku berani bertaruh pandang matanya hanya ditujukan kepada Cu Ing seorang! Mana yang lain-lain
kelihatan?" goda seorang dara yang mempunyai sebuah tahi lalat besar di punggungnya.
"Cu Ing, kapan sih engkau menikah dengan Ceng-kongcu?" goda pula seorang lain.
Mendengar pertanyaan yang sifatnya kelakar akan tetapi setengah serius itu, alis yang kecil hitam melengkung
itu berkerut. "Aiihh, pertanyaan macam apa yang kaukatakan ini? Mana dia mau dengan gadis dusun macam aku?
Pula, mana ada fihak perempuan bicara tentang perjodohan?"
"Hi-hik, siapa tidak tahu bahwa dia sudah tergila-gila kepadamu?"
"Dan engkau tergila-gila kepadanya?"
"Siapa sih yang tidak tergila-gila kepada Kongcu itu?"
Mendengar kelakar teman-temannya, Cu Ing berkata, "Sudahlah, mari kita naik, aku akan pulang."
Gadis-gadis itu sambil tertawa-tawa, lalu mengenakan pakaian bersih. Wajah mereka nampak segar kemerahan
setelah mandi air yang dingin itu, terutama sekali, dalam pandangan Thian Sin, wajah Cu Ing nampak seperti
sekuntum bunga mawar hutan yang amat indah permai.
Ketika empat orang gadis itu sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam hutan menuju ke
dusun mereka, tiba-tiba Thian Sin muncul dari balik sebatang pohon besar dan dengan suara gemetar karena tegang
dia memandang kepada empat orang itu dan berkata, "Nona Cu Ing, aku ingin bicara denganmu..."
Empat orang gadis itu tadi terbelalak dan tercengang, kaget melihat munculnya pemuda yang tadi menjadi bahan
percakapan mereka itu secara tiba-tiba dari belakang pohon. Kini mendengar ucapannya, Cu Ing menundukkan
mukanya yang berubah merah sekali, sedangkan tiga orang temannya tersenyum-senyum. Seorang di antara mereka
lalu mengambil keranjang pakaian dari tangan Cu Ing sambil berkata, "Aku pergi dulu, hi-hik..."
"Hi-hi-hik..."
"Hi-hik..."
Tiga orang gadis itu terkekeh-kekeh dan berlari-lari kecil meninggalkan Cu Ing sambil membawakan cuciannya. Cu
Ing tadinya menunduk malu, akan tetapi melihat teman-temannya lari, diapun lalu melarikan diri.
"Nona Cu Ing..."
Akan tetapi panggilan itu agaknya membuat Cu Ing merasa semakin malu dan dia mempercepat larinya. Akan tetapi,
saking gugupnya, kakinya tersandung dan dia tentu sudah jatuh tertelungkup kalau saja Thian Sin tidak
cepat-cepat menyambar pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanan.
"Cu Ing, tunggulah sebentar, aku mau bicara denganmu..." kata Thian Sin dan agaknya kelembutan lengan dalam
pegangan tangan kanannya itu membuat dia lupa untuk melepaskannya! Cu Ing melihat dengan mata terbelalak kepada
tiga orang temannya yang sudah lari jauh dan suara mereka terkekeh genit masih terdengar sayup-sayup. Kemudian,
merasa betapa tangan kirinya digenggam orang, dia mencoba untuk menariknya. akan tetapi tidak terlepas. Dia
mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu agak lama, kemudian Cu Ing cepat-cepat membuang muka ke
samping sambil menunduk, mukanya merah sekali dan tubuhnya menggigil, mulutnya menahan senyum dan dia merasa
malu sekali!
"Cu Ing... mengapa kau lari dariku? Aku... aku ingin bicara denganmu, aku... aku ingin mengatakan bahwa aku
cinta padamu..." kata Thian Sin sambil masih memegangi pergelangan tangan kiri dara itu.
Sukar bagi Thian Sin untuk bicara, akan tetapi lebih sukar lagi bagi Cu Ing yang merasa betapa jantungnya
berdegup keras sekali, membuat seluruh tubuhnya gemetar dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi dia memaksa
diri. "Aihhh... kongcu... mana mungkin itu...?"
"Cu Ing, aku bersumpah... aku cinta padamu. Kauraba jantungku ini..." Dia membawa tangan itu menempel dadanya,
akan tetapi karena malu Cu Ing menggenggam tangannya.
"Kongcu... lepaskan aku... ah, aku malu... aku takut..." bisiknya.
"Cu Ing, mengapa mesti malu-malu kalau memang kita saling mencinta? Aku cinta padamu dan aku tahu babwa
engkaupun cinta padaku..."
"Bagaimana kongcu tahu...?" Dara itu mendesah lirih, sambil menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar
merah itu, dan kini, tanpa disadarinya sendiri, jari-jari tangannya membalas genggaman tangan Thian Sin.
"Tentu saja aku tahu... dari pandang matamu, dari senyummu..."
"Aku... aku takut, kongcu..."
"Takut apa? Takut kepada siapa? Ada aku di sini, siapa akan berani mengganggumu, Cu Ing? Aku bersumpah, kalau
ada yang berani mengganggu ujung rambutmu saja, aku akan mematahkan tangan orang yang mengganggumu itu!"
"Aihhh... kongcu..."
"Cu Ing, jangan kau merendahkan diri sebagai gadis dusun. Biar ada selaksa bidadari turun dari sorga, aku akan
tetap memilih engkau seorang. Jangan engkau menyangsikan cintaku terhadapmu, Cu Ing. Kau tadi bilang, bahwa
fihak perempuan tidak bicara tentang perjodohan, nah, sekarang akulah yang bicara..."
Sepasang mata itu terbelalak memandang ke arah Thian Sin. "Kongcu...! Jadi kau... kau tadi... kembali engkau
mengintai..." wajah yang manis itu menjadi semakin merah.
Thian Sin tersenyum dan mengangguk. "Aku ingin sekali melihatmu, ingin sekali bertemu dan bicara denganmu..."
"Ihh, kau nakal... kongcu!" Tadinya Cu Ing hendak marah, akan tetapi aneh, begitu dia melihat wajah tampan itu
tersenyum, semua kemarahannya lenyap begitu saja dan jantungnya berdebar tegang.
Thian Sin sendiri merasakan jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya gemetar ketika dia memegang kedua
tangan dara itu. Mereka berdiri berhadapan, saling berpegang tangan dan saling pandang, tidak tahu apa yang
harus dilakukan atau dikatakan. Hanya dua pasang mata mereka saja yang saling bicara dengan getaran-getaran
sinar yang mersa. Bahkan bicara tanpa kata melalui pandang mata ini saja membuat Cu Ing tidak dapat bertahan
terlalu lama karena dia sudah merasa malu sekali. Maka diapun lalu menundukkan mukanya, suaranya gemetar ketika
dia bicara.
"Kongcu... aku... aku mau pulang... teman-teman sudah pulang, nanti ayah marah kepadaku."
"Mari, kuantar kau pulang, Cu Ing..." kata pula Thian Sin dengan suara yang sama pula gemetarnya.
Mereka lalu berjalan sambil bergandeng tangan dan merasa betapa indahnya pagi hari itu. Cahaya matahari pagi
seperti menembus dada menyinari seluruh ruang hati mereka yang gembira. Kaki terasa ringan melangkah, tapi hati
terasa berat berpisah.
Setelah tiba di luar dusun tempat tinggal Cu Ing, Thian Sin menarik kedua tangan gadis itu dalam genggamannya,
didekatkan sampai menyentuh dadanya. Karena gerakan ini Cu Ing juga tertarik mendekat dan kembali dua pasang
mata saling pandang, agak berdekatan.
"Cu Ing, aku cinta padamu... katakanlah, apakah engkau juga cinta padaku?"
Cu Ing tidak kuasa mengeluarkan suara, maka sebagai jawabannya dia hanya mengangguk lemah, kemudian menarik
kedua tangannya dari genggaman pemuda itu dan lari memasuki dusun. Agaknya setelah dia terlepas dari pegangan
pemuda itu, timbul keberaniannya dan dia menoleh sambil tersenyum.
"Kongcu... besok... pagi-pagi aku ke danau...!" Lalu berlarilah dia dengan senyum masih menghias bibirnya yang
merah. Thian Sin juga tersenyum, mengikuti dara itu dengan pandang matanya, melihat betapa manisnya gadis itu
kelihatan dari belakang ketika berlari kecil dengan sikap malu-malu.
Mulai hari itu, resmilah di antara muda-mudi pedusunan di sekitar Lembah Naga bahwa Cu Ing adalah pacar Thian
Sin! Dan semenjak hari itu, sering Thian Sin mengadakan pertemuan berdua saja dengan Cu Ing, yaitu kalau Cu Ing
memperoleh kesempatan pergi ke danau untuk mencuci pakaian atau mandi. Akan tetapi karena Thian Sin sendiri
adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang masih hijau, maka di dalam pertemuan itu mereka berdua
hanya bercakap-cakap dengan lirih dan mesra, dan kemesraan yang terjadi di antara mereka hanya terbatas kepada
saling sentuh dan saling genggam tangan saja!
Akan tetapi, berahi merupakan pendorong yang kuat dan juga merupakan guru alamiah yang amat pandai. Apalagi
Thian Sin juga kadang-kadang mendengar percakapan dari teman-temannya apabila mereka bercanda dan mendengar
tentang kemesraan antara suami isteri. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan dan saling genggam tangan itu semakin
lama dilanjutkan dengan pencurahan kemesraan yang semakin berani dan akhirnya, pada suatu pagi ketika mereka
mengadakan pertemuan berdua saja di dalam hutan, Thian Sin merangkul leher Cu Ing dan mencium pipinya.
Mula-mula Cu Ing terkejut, akan tetapi darah remajanya bergolak dan beberapa kali pertemuan berikutnya, mereka
sudah berani saling peluk dan saling berciuman dengan mesra dan dengan sepenuh kasih sayang. Mereka tidak tahu
betapa ada sepasang mata yang mengintai mereka dari jauh, dengan sinar mata penuh iri hati!
Itulah sinar mata dari seorang gadis lain, seorang teman baik Cu Ing, yang diam-diam jatuh cinta pula kepada
Thian Sin, hal yang sama sekali tidak mengherankan karena hampir semua gadis di pedusunan itu tergila-gila
belaka kepada pemuda yang tampan, gagah dan ramah serta manis budi ini.
Thian Sin dan Cu Ing tidak tahu betapa gadis itu diam-diam pergi melapor kepada Paman Bhe, yaitu ayah kandung
Cu Ing. Keluarga ini memang sudah mendengar kabar angin tentang hubungan puteri mereka dengan Ceng-kongcu, akan
tetapi karena mereka itu merasa hormat dan segan kepada keluarga penghuni Istana Lembah Naga, mereka pura-pura
tidak mendengar berita itu dan mereka percaya bahwa hubungan itu hanyalah hubungan persahabatan belaka,
mengingat bahwa Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda yang sopan dan terhormat.
Akan tetapi, ketika mendengar laporan gadis itu betapa puteri mereka mengadakan pertemuan berdua saja dengan
Thian Sin, bahkan gadis itu melihat betapa mereka saling berpelukan dan berciuman, keluarga Bhe menjadi
terkejut dan marah sekali. Tak mereka sangka akan terjadi hal seperti itu, karena biasanya, setiap kali pergi
dari rumah untuk mencuci ke danau, Cu Ing selalu tentu disertai oleh beberapa orang teman, bahkan gadis yang
melapor itu sendiripun menemaninya.
Paman Bhe itu bergegas pergi mengunjungi Istana Lembah Naga setelah berganti pakaian yang pantas. Dengan wajah
mengandung kecemasan, namun sinar mata penuh penasaran dia lalu mohon bertemu dengan Cia-taihiap, demikian
sebutan Cia Sin Liong yang menjadi majikan istana itu.
Tidak aneh bagi keluarga Cia untuk menerima kunjungan seorang petani, karena memang dia selalu membuka hati dan
tangan untuk menerima mereka dan membantu semua kesulitan para petani itu. Akan tetapi ketika melihat wajah
yang serius dari tamunya itu, dia merasa heran dan juga tertarik.
"Bhe-twako, ada keperluan apakah engkau pagi-pagi datang berkunjung?" tanyanya dengan suara ramah.
Petani itu membungkuk dan memberi hormat dengan sikap sungkan, dibalas dengan penuh keheranan oleh tuan rumah.
Pada saat itu, Bi Cu keluar dari dalam dan melihat bahwa suaminya menerima seorang tamu yang dikenalnya sebagai
seorang petani dari sebuah dusun tak jauh dari Lembah Naga, nyonya muda inipun ikut pula menyambut. Dia tidak
tahu betapa kehadiran nyonya ini membuat petani Bhe merasa semakin sungkan dan takut-takut untuk mengeluarkan
isi hatinya.
"Bhe-twako, agaknya ada sesuatu yang amat penting yang ingin kausampaikan kepadaku. Hayo, katakanlah, kami siap
mendengarkan." Suara pendekar itu terdengar lembut dan ramah sekali sehingga berhasil mengusir rasa sungkan dan
takut di hati tamunya.
Petani Bhe menelan ludah beberapa kali, kemudian dia berkata. "Maafkan saya, Cia-taihiap, saya... saya datang
untuk bicara tentang... tentang... Ceng-kongcu..."
Sin Liong dan isterinya saling lirik, hati mereka merasa heran akan tetapi juga khawatir. "Tentang Thian Sin?
Apakah yang terjadi?" tanya Sin Liong.
Melihat sikap tamunya yang takut-takut, Bi Cu ikut bicara, "Ceritakanlah dengan tenang dan jangan takut."
Suaranya manis dan lembut sehingga kini petani itu merasa hilang takutnya.
"Harap taihiap berdua maafkan. Saya terpaksa melaporkan hal ini demi kebaikan kedua fihak. Begini, taihiap.
Seperti taihiap mungkin sudah mengetahui, saya mempunyai seorang anak perempuan bernama Cu Ing, yang sudah
menjelang dewasa. Semenjak kecil, anak saya itu telah kami tunangkan dengan putera keluarga Sung di dusun
selatan. Dengan demikian berarti bahwa anak perempuan kami ini telah menjadi calon isteri orang secara sah."
Sampai di sini, petani itu berhenti bicara, seolah-olah dia masih merasa berat untuk melanjutkannya.
"Bhe-twako, apa hubungannya penjelasanmu itu dengan Thian Sin?" Sin Liong mendesak dan ingin tahu sekali.
"Taihiap, sudah beberapa hari lamanya ini... terjalin hubungan yang akrab antara Cu Ing dan Ceng-kongcu..."
Kembali dia berhenti.
Sin Liong tersenyum, senyum untuk menutupi hatinya yang mulai merasa tidak enak, lalu katanya ramah, "Aih,
Bhe-twako, apa salahnya dengan itu? Antara kami dan twako pun terjalin hubungan akrab, bukan? Maka apa salahnya
kalau anak-anak kita juga menjadi sahabat yang baik?"
"Tentu saja, taihiap, kalau hanya hubungan akrab, tentu keluarga kami merasa amat terhormat dan berterima
kasih, akan tetapi..."
"Akan tetapi bagaimana?" Bi Cu mendesak.
"Mereka itu bukan hanya berhubungan seperti sahabat biasa, melainkan... menurut keterangan beberapa orang
saksi, mereka saling mengadakan pertemuan berdua, dan mereka itu bermesraan, berpacaran..."
"Berpacaran? Apa maksudmu?" Sin Liong bertanya kaget dan heran.
"Menurut keterangan mereka yang pernah memergoki dan melihatnya, mereka itu saling peluk, berciuman... saya
khawatir sekali, taihiap..."
"Huhhh!" Bi Cu mendengus.
"Hemmm...!" Sin Liong menggeram.
Suasana menjadi sunyi sekali. Petani Bhe itu menunduk, alisnya berkerut, hatinya gelisah. Sin Liong dan Bi Cu
juga menunduk, wajah mereka muram. Sampai lama keadaan menjadi sunyi, sunyi yang amat tidak menyenangkan hati
mereka. Kemudian Sin Liong menarik napas panjang.
"Lalu sekarang, apa yang bendak kaulakukan Bhe-twako?" tanya Sin Liong, suaranya tetap ramah dan halus,
sungguhpun kini bercampur nada prihatin.
"Kami merasa khawatir sekali, taihiap. Kalau saja anak kami belum mempunyai calon jodoh yang sah! Tentu
seandainya dia dapat berjodoh dengan Ceng-kongcu, kami sekeluarga akan merasa terhormat sekali, girang dan
bangga sekali. Akan tetapi anak kami telah bertunangan, maka tentu saja kalau hubungan itu dilanjutkan, selain
nama keluarga kami akan rusak, juga nama keluarga taihiap akan terbawa-bawa..."
"Kami dapat mengerti akan kekhawatiranmu itu, twako. Lalu apa yang hendak kaulakukan sekarang?"
"Satu-satunya jalan yang dapat kami lakukan adalah mengungsikan Cu Ing ke dusun selatan, ke rumah calon
mertuanya dan mendesak calon besan kami untuk segera melangsungkan pernikahan."
Sin Liong mengangguk-angguk tanda setuju. "Baik sekali, lakukanlah itu, Bhe-twako, dan tentang Thian Sin, kami
yang akan menasihatinya."
Wajah yang muram dari petani itu kini berseri dan dia bangkit sambil menjura berkali-kali kepada suami isteri
itu.
"Terima kasih, terima kasih... dan maafkanlah keluarga kami taihiap..."
"Ah, sebaliknya engkaulah yang harus memaafkan kami, Bhe-twako," jawab Sin Liong.
Setelah petani itu pergi, Sin Liong duduk kembali dan termenung. Juga Bi Cu duduk termenung. Sampai lama
keduanya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, kemudian nyonya menoleh, memandang suaminya dan melihat
suaminya duduk dengan wajah muram itu dia kemudian berkata lirih, "Salahkah dia...?"
Sin Liong sadar dari lamunannya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata bahwa isterinya itupun agaknya sama
dengan dia, melamun dan mengenang masa lalu, bukan hanya mengenai hubungan antara mereka sendiri, di waktu
masih muda remaja dahulu, akan tetapi juga hubungan-hubungan cinta antara tokoh-tokoh dalam keluarga
Cin-ling-pai yang banyak menimbulkan pertentangan.
"Siapa dapat menyalahkan orang jatuh cinta? Akan tetapi dia masih terlalu muda untuk itu dan dia harus tahu
bahwa gadis itu telah menjadi calon isteri orang lain."
Thian Sin lalu dipanggil. Pemuda ini belum tahu bahwa ayah Cu Ing telah datang mengadu kepada suami isteri
pendekar itu, maka dia datang menghadap paman atau ayah angkat itu dengan wajah berseri. Hubungannya dengan Cu
Ing mendatangkan cahaya baru pada wajahnya.
Melihat pemuda itu berjalan datang dengan wajah tampan berseri, diam-diam Sin Liong merasa sangat kagum dan
juga dia harus mengakui bahwa keponakannya ini amat tampan, tiada bedanya dengan mendiang Ceng Han Houw.
Teringatlah dia dahulu betapa hampir setiap orang wanita jatuh hati kepada pangeran itu, dan melihat ketampanan
Thian Sin, diapun tidak merasa heran kalau pemuda ini menjadi idaman para gadis di dusun sekitar tempat itu.
Dengan wajah berseri Thian Sin memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara halus dan sikap
menarik, "Selamat pagi, ayah dan ibu! Ayah memanggil saya, hendak mengutus apakah?" Memang semenjak dia
mengangkat persaudaraan dengan Han Tiong, pemuda ini menyebut paman dan bibinya itu ayah dan ibu, karena
setelah dia menjadi adik angkat Han Tiong, berarti dia telah merjadi anak angkat mereka pula. Sebutan ayah dan
ibu yang dilakukan oleh Thian Sin tanpa mereka meminta itu diterima oleh suami isteri ini yang memang menaruh
rasa kasihan dan sayang yang kepada pemuda itu.
"Thian Sin, di mana kakakmu Han Tiong?"
"Dia sedang membantu para paman bekerja di ladang. Apakah perlu saya panggil Tiong-ko ke sini, ayah?"
"Tidak usah. Kami memang hendak bicara denganmu. Kau duduklah, Thian Sin."
Mendengar suara yang singkat dan tegas itu Thian Sin merasa kaget juga, akan tetapi sesuai dengan ajaran ayah
angkatnya, dia bersikap tenang dan duduk dengan hormat menghadapi suami isteri itu.
"Thian Sin, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Cu Ing, puteri petani Bhe di kaki bukit itu?"
Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini mengejutken hati Thian
Sin. Akan tetapi dia ternyata telah mampu menguasai perasaannya, dan pada wajah yang tampan itu tidak nampak
sesuatu, kecuali sepasang mata yang tajam itu terbelalak dan menatap wajah Sin Liong seperti orang terheran.
"Tidak terjadi apa-apa antara dia dan saya, ayah." jawabnya, suaranya tenang dan halus sama sekali tidak
membayangkan kegelisahan sehingga diam-diam Sin Liong kagum sekali akan ketenangan putera angkatnya itu.
Bi Cu yang merasa kasihan melihat putera angkat ini karena dia tahu betapa sakitnya hati kalau diputuskan atau
dipisahkan dari orang yang dicinta, bertanya dengan suara lembut, "Thian Sin, apakah antara engkau dan Cu Ing
ada hubungan cinta?"
Ketika mendengar ayah angkatnya menyebut nama Cu Ing tadi, Thian Sin sudah menduga bahwa tentu orang tua itu
sudah tahu akan hubungannya dengan gadis itu, maka pertanyaan yang lebih langsung dan terbuka dari ibu
angkatnya ini tidak mengejutkan hatinya. Akan tetapi ada perasaan malu-malu menyelinap di dalam hati sehingga
tanpa disadarinya sendiri, biarpun sikapnya tenang, akan tetapi kedua pipinya yang berkulit halus putih seperti
pipi wanita itu menjadi kemerahan! Sejenak dia menatap wajah ibu angkatnya, kemudian dia menunduk dan
mengangguk.
"Benar, ibu," jawabnya lirih.
Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mereka sebetulnya tidak suka mencampuri urusan cinta antara seorang pemuda
dan seorang gadis, apalagi kalau pemuda itu anak angkat mereka sendiri. Akan tetapi terdapat ketidakwajaran
dalam hubungan, terpaksa Sin Liong mengeraskan hatinya dan suaranya terdengar tegas ketika dia bicara lagi.
"Thian Sin, tahukah engkau bahwa Bhe Cu Ing sejak kecil sudah dijodohkan dengan orang lain dan menjadi calon
isteri pria lain?"
Thian Sin terbelalak, mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Saya... saya tidak tahu sama sekali tentang
hal itu, ayah."
"Bagus!" Sin Liong mengangguk-angguk dan memang hatinya terasa lapang. Orang yang tidak tahu berarti tidak
sengaja dan perbuatan yang dilakukan tanpa kesengajaan tak dapat dibilang bersalah atau melanggar. "Nah, kalau
engkau tidak tahu, sekarang ketahuilah bahwa Bhe Cu Ing adalah calon isteri orang lain, sudah ditunangkan sejak
kecil dan oleh karena itu, mulai saat ini juga engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia!"
Thian Sin terkejut, memandang pendekar itu. "Akan tetapi, ayah..."
"Seorang pendekar tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar susila!" bentak Sin Liong dan pemuda itu
menundukkan mukanya yang berubah agak pucat.
"Thian Sin, engkau tidak ingin menjadi seorang pengacau urusan keluarga lain orang, bukan?" Bi Cu berkata
halus. "Cu Ing sudah bertunangan, berarti dia telah mempunyai jodoh yang sah, dia tidak bebas lagi."
"Seorang pendekar harus selalu tertib menjaga perbuatannya sendiri, harus selalu mempunyai garis kebijaksanaan,
tidak akan melanggar peraturan dan akan menjaga namanya dengan taruhan nyawa. Kalau engkau mendekati wanita
yang sudah mempunyai calon suami, berarti engkau telah melakukan suatu hal yang busuk dan namamu akan terseret
ke dalam lumpur kehinaan. Mengertikah engkau, Thian Sin?"
Thian Sin tidak mampu bicara lagi, hanya mengangguk-angguk dan dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri.
Setelah menerima peringatan dan nasihat-nasihat, dia lalu meninggalkan suami isteri itu dengan tubuh terasa
lemah lunglai, diikuti pandang mata suami isteri itu yang merasa kasihan kepadanya.
Thian Sin menjadi sedih dan bingung. Apalagi ketika pada keesokan harinya dia mendengar dari para muda di dusun
tempat tinggal Cu Ing bahwa gadis itu telah diajak pergi meninggalkan dusun oleh keluarganya, dan kabarnya akan
melangsungkan pernikahan dengan tunangannya di dusun sebelah selatan. Thian Sin merasa hatinya hancur. Patah
hati!
Peristiwa ini merupakan pukulan batin kedua bagi pemuda ini. Pertama, ketika dia melihat ayah bundanya
terbunuh, dan ketika dia menangis di depan peti-peti mati dan kuburan ayah bundanya. Rasa duka yang mengandung
dendam ini menggores kalbunya, akan tetapi setelah dia mempelajari ilmu kepada Hong San Hwesio, perasaan duka
dan dendam itu dapat ditekannya dengan pelajaran-pelajaran kebatinan yang diterimanya dari hwesio itu sehingga
hampir tak pernah terasa lagi. Akan tetapi, sekarang, setelah dia menerima pukulan batin untuk ke dua kalinya
yang cukup mendatangkan rasa nyeri dan memperbesar perasaan iba diri, maka luka lama itupun berdarah kembali!
Dan diapun tak dapat menahan guncangan batin ini dan jatuh sakit!
Sin Liong dan Bi Cu mengerti akan keadaan anak angkat ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa membiarkan anak itu
beristirahat dengan tenang akan menyembuhkannya, karena sesungguhnya jasmaninya tidak menderita sakit sesuatu,
hanya terpengaruh oleh tekanan batin dan kekecewaan belaka. Akan tetapi, Han Tiong merasa khawatir sekali dan
pemuda ini boleh dibilang siang malam menjaga adik angkatnya, merawatnya dengan penuh perhatian dan sikap kakak
angkat ini, sikap yang tidak dibuat-buat melainkan yang keluar dari kasih sayang murni, merupakan obat dan
penghibur yang manjur bagi Thian Sin karena pemuda ini dapat melihat bahwa ada orang lain yang masih
benar-benar amat menyayangnya, yaitu Han Tiong!
Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir selalu, atau sebagian besar, berakhir
dengan kedukaan! Kalau ada seorang muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang
amat kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan selera, akan kecantikan atau
ketampanan wajah, kecocokan watak masing-masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab.
Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling berdekatan karena kehadiran
masing-masing merupakan hal yang menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar
kelamin yang sudah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta
ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai,
ingin memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah demikian, mulailah bermunculan
perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya
amat suci itu.
Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin menguasai, itulah yang menimbulkan duka kalau
mereka berdua berhalangan menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut "cinta" mereka itu "gagal" di tengah
jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini mendatangkan patah hati yang berarti
kedukaan dan kesengsaraan. Apakah kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi
kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan? Dapat kita lihat kepahitan yang nyata di sekeliling
kita! Betapa banyaknya terjadi perceraian antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan
yang sudah mempunyai anak-anak! Perceraian yang timbul karena cemburu, karena penyelewengan, karena
percekcokan, pendeknya karena KEKECEWAAN masing-masing dalam hubungan antara mereka itu. Lalu ke manakah
larinya "cinta" yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya sumpah di antara mereka ketika
mereka masih saling "mencinta"? Seolah-olah cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat
sementara ini sesungguhnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas dasar "mengejar kesenangan"
sajalah yang akan gagal dalam pernikahan mereka, karena kesenangan yang dikejar itu selalu akan jalan bersama
dengan kesusahan, kepuasan dengan kekecewaan. Mengejar kesenangan berarti ingin selalu memperoleh kesenangan,
sehingga kalau dalam pernikahan itu muncul hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itupun gagal. Dan itu
masih kita beri kedok yang kita namakam "cinta"! Betapa menyedihkan dan betapa pahit kenyataan hidup ini.
Han Tiong bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Sungguhpun dia pendiam dan tidak ingin mencampuri urusan pribadi
adik angkatnya yang disayangnya, namun diapun dapat melihat kenyataan dan tahulah dia bahwa adiknya ini sakit
karena duka dan kecewa mendengar Cu Ing dibawa pergi dari dusunnya untuk dikawinkan dengan orang lain, yaitu
dengan tunangannya semenjak kecil. Ketika melihat keadaan adiknya sudah mendingan, pada suatu malam dia
menemani adiknya itu dan dengan halus dia bertanya sambil lalu.
"Sin-te, kuharap engkau sekarang sudah kuat dan dapat mengatasi perasaan kecewamu karena urusan itu."
Thian Sin tidak mengira bahwa Han Tiong tahu urusan hatinya, maka dia memandang kakak angkatnya itu dan
bertanya. "Urusan apa yang kaumaksudkan Tiong-ko?"
"Urusan apalagi kalau bukan yang membuatmu jatuh sakit ini?"
"Ahhh...!" Thian Sin diam saja dan menunduk, termenung.
"Sin-te, aku percaya bahwa engkau sungguh-sungguh mencinta gadis itu, bukan?"
Thian Sin memandang kepada wajah kakak angkatnya, penuh pertanyaan, kemudian dia menjawab, "Tentu saja,
Tiong-ko. Aku sangat... cinta padanya."
"Sin-te, aku sendiri pun tidak mengerti tentang cinta, akan tetapi kalau engkau mencinta orang, bukankah engkau
ingin melihat dia itu berbahagia?"
"Tentu saja."
"Dan menurut wejangan paman Hong San Hwesio, kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh melalui kebenaran."
"Betul."
"Nah, gadis kekasihmu itu telah bertunangan dengan orang lain sejak kecil, maka kalau dia meninggalkan calon
suaminya, berarti dia melakukan hal yang tidak benar. Kalau dia sekarang pergi menikah dengan tunangannya,
berarti dia benar dan tentu akan berbahagia. Dan kalau engkau memang cinta kepadanya, Sin-te, bukankah
engkaupun akan ikut merasa senang melihat atau mendengar dia hidup berbahagia?"
Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam urusan cinta, maka mendengar pendapat ini diapun
termenung dan bingung. Akhirnya dia hanya menarik napas panjang dan menjawab, "Aku sendiri tidak mengerti,
Tiong-ko. Hanya saja, perpisahan dengannya mendatangkan duka dan aku merasa kehilangan, merasa sunyi dan sedih sekali."
Akan tetapi, duka seperti juga suka, hanyalah merupakan permainan pikiran belaka dan sifatnya hanya sementara.
Suka maupun duka yang timbul dari kepuasan maupun kekecewaan sebagai akibat tercapainya atau tidak tercapainya
hal yang diingin-inginkan, akan lenyap ditelan waktu. Demikian pula dengan kedukaan yang menyerang hati Thian
Sin. Beberapa bulan lamanya dia nampak murung dan pendiam, akan tetapi lambat laun rasa duka itu pun makin
menipis dan akhirnya seperti lenyap tak berbekas dan dia menjadi seorang pemuda yang riang kembali, selalu berpakaian bersih dan cermat, rapi dan agak pesolek, selalu bersikap ramah dan periang terhadap siapapun juga.Melihat hal ini, hal yang sudah diduganya, diam-diam Sin Liong dan isterinya menjadi gembira kembali. Juga Han Tiong merasa lega melihat adiknya sudah sembuh kembali lahir batin. Akan tetapi, segala sesuatu yang menggores batin akan bertumpuk di bawah sadar, dan biarpun nampaknya dua peristiwa hebat itu, kematian orang tuanya dan kehilangan gadis pertama yang dicintanya, sudah lewat dan tidak berbekas, namun sakit hati dan dendam itu mengeram dan menyelinap di dalam tumpukan bawah sadar.

Sang waktu berjalan cepat sekali seperti meluncurnya anak panah. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan
kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun, sedangkan Thian Sin telah berusia
tujuh belas tahun. Han Tiong nampak semakin matang dan memang dia seorang pemuda yang serius, pendiam, tenang
dan penuh kesabaran, welas asih, dengan perasaan yang amat halus dan peka, mudah sekali merasa iba kepada
siapapun juga. Adapun Thian Sin juga menjadi seorang pemuda yang gerak-geriknya halus dan kini ketampanan
wajahnya semakin menonjol. Dia masih merupakan seorang pemuda yang riang, akan tetapi halus dan ramah. Dan
biarpun semua wanita muda di dusun-dusun sekeliling Lembah Naga semakin tergila-gila kepada pemuda yang mulai
dewasa dan yang amat ganteng ini, namun agaknya pengalamannya dengan Bhe Cu Ing membuat Thian Sin merasa jera
untuk berdekatan dengan wanita lagi. Namun hal ini bukan berarti bahwa di lubuk hatinya tidak ada rasa suka
terhadap wanita. Sama sekali bukan begitu karena pemuda ini makin besar makin tertarik kepada wanita dan
biarpun dia tidak lagi mau berhubungan dengan wanita, namun diam-diam dia sering melirik dan memandang penuh
perhatian dan terpesona. Mungkin hanya karena tidak ada yang dianggapnya secantik atau semanis Cu Ing sajalah
maka sampai sedemikian lamanya Thian Sin belum mendekati wanita lain.
Dalam hal ilmu silat, keduanya sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Sin Liong telah mengajarkan Thai-kek
Sin-kun, San-in Kun-hoat, juga Cin-ling-kun-hoat yang diciptakan oleh mendiang Cia Keng Hong pendiri
Cin-ling-pai bahkan mulai menurunkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat hebatnya itu. Memang pendekar ini belum
mengajarkan Thi-khi-i-beng dan juga ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw karena kedua ilmu
ini dianggap terlalu berbahaya untuk diturunkan secara ceroboh saja. Dia ingin agar dua orang muda itu
memperoleh kematangan lebih dulu dalam ilmu-ilmu yang telah diajarkannya, terutama memperoleh inti dari tenaga
sakti Thian-te Sin-ciang, baru dia akan memutuskan siapa yang akan pantas mempelajari Thi-khi-i-beng dan Hok-mo
Cap-sha-ciang.
Kedua orang pemuda itu sama-sama tekun mempelajari ilmu silat dan ternyata keduanya memiliki kelebihannya
sendiri-sendiri, sungguhpun keduanya tidak dapat dikatakan kurang atau lemah dalam suatu hal. Thian Sin amat
maju dalam ilmu sastera, pandai sekali bersajak dan mengutip ayat-ayat kuno, tulisannya indah sekali dan juga
suaranya merdu kalau dia membaca sajak. Selain kelebihan dalam hal sastera, juga dalam hal gerakan ilmu silat,
dia lebih cekatan dan lebih indah, lebih mudah menguasai perkembangan suatu gerakan dibandingkan dengan kakak
angkatnya. Di lain fihak, Han Tiong memiliki keunggulan dalam hal ketenangan, kematangan dasar gerakan silat,
juga di samping ini dia memiliki dasar sin-kang yang lebih kuat dan hal ini berkat ketekunan dan ketenangannya.
Dengan kelebihan masing-masing, kalau mereka berlatih silat dan saling serang dalam latihan, Han Tiong
kadang-kadang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan gerakan adik angkatnya yang selain cepat juga amat
bervariasi dan penuh gerak tipu itu, sedangan Thian Sin sendiri kewalahan kalau harus mengadu tenaga dengan
lengan kakaknya yang terisi penuh getaran hawa sakti yang amat kuatnya.
Pada suatu hari, keluarga Istana Lembah Naga itu mendengar berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa di sebuah
dusun tetangga, di ujung lembah yang termasuk daerah Lembah Naga, sejauh kurang lebih tiga puluh li dari Istana
Lembah Naga, terjadilah perampokan semalam! Harta benda yang tidak banyak dari penduduk dusun itu dirampok,
beberapa orang laki-laki dilukai dan lima orang gadis muda dilarikan perampok. Peristiwa seperti ini sebetulnya
tidaklah aneh terjadi di dusun-dusun pada jaman itu, akan tetapi yang amat mengejutkan hati para penghuni
Istana Lembah Naga adalah terjadi di daerah itu! Padahal, selama mereka menjadi penghuni istana itu, tidak
pernah mereka terjadi kejahatan apa pun juga, dan semua orang kang-ouw tahu belaka siapa penghuni Istana Lembah
Naga. Sekarang perampok dari manakah berani main gila dan mengganggu daerah yang termasuk daerah kekuasaan
Pendekar Lembah Naga dan keluarganya? Sungguh hal ini amat mengejutkan dan dianggap oleh Sin Liong bukan
sebagai perampok biasa, melainkan sebuah tantangan untuknya!
"Ayah, biarkan aku dan Sin-te mengejar mereka!" Han Tiong berkata dengan sikap tenang.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Diam-diam dia mengukur kepandaian dua orang puteranya itu dan yakin bahwa kalau
hanya menghadapi perampok-perampok saja, sudah dapat dipastikan Han Tiong dan Thian Sin dapat mengatasi mereka,
betapapun lihainya para perampok itu. Apalagi dia amat percaya akan ketenangan Han Tiong yang selalu waspada
dan tidak ceroboh. Di samping kepercayaannya yang penuh kepada puteranya dan putera angkatnya, juga inilah
kesempatan yang amat baik bagi dua orang muda itu untuk mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari siang
malam dengan penuh ketekunan.
"Baiklah, kalian berangkat dan selamatkan lima orang wanita yang diculik itu. Tidak usah kalian membawa senjata
untuk menghadapi perampok-perampok itu. Akan tetapi ingat, kalian tidak boleh sembarangan membunuh orang. Ada
dua kemungkinan pada para perampok itu. Mereka adalah perampok-perampok kecil yang memang belum mendengar nama
keluarga kita di sini atau memang mereka itu sengaja memancing-mancing permusuhan. Maka, waspadalah kalian.
Nah, berangkatlah sebelum mereka pergi jauh!"
Han Tiong dan Thian Sin lalu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke dusun di sebelah
selatan itu, di ujung lembah atau di kaki gunung. Thian Sin kelihatan gembira bukan main dan dia mengerahkan
ilmunya berlari cepat sampai Han Tiong menegurnya.
"Hati-hati, Sin-te, jangan menghamburkan terlalu banyak tenaga untuk berlari. Kita masih amat membutuhkan
tenaga kalau sudah berhadapan dengan mereka."
"Akan kuhajar mereka! Akan kuhajar bedebah-bedebah itu!" kata Thian Sin dan sepasang matanya bersinar aneh,
dingin dan membuat Han Tiong merasa kaget dan khawatir. Belum pernah dia melihat sepasang mata adik angkatnya
bersinar seperti itu selama ini, kecuali ketika adiknya ini sakit karena patah hati setahun lebih yang lalu.
Karena dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga ini mempergunakan ilmu berlari cepat, maka tidaklah
sukar bagi mereka untuk menyusul gerombolan perampok yang melarikan diri ke sebuah bukit yang penuh hutan itu.
Lewat tengah hari, Han Tiong dan Thian Sin sudah menyelinap ke dalam hutan lebat itu dan menemukan jejak
gerombolan yang memasuki hutan. Akhirnya di tengah-tengah hutan itu, mereka melihat belasan orang pria yang
bersikap kasar berada di luar sebuah pondok yang agaknya memang menjadi tempat perhentian atau persembunyian
para gerombolan itu. Orang-orang itu kelihatan lelah, ada yang tertidur pulas di bawah pohon, ada pula yang
duduk bersandar batang pohon, ada yang bercakap-cakap.
Han Tiong memberi isyarat kepada adiknya agar jangan sembrono turun tangan sebelum tahu jelas bahwa mereka
adalah gerombolan perampok yang mereka kejar, maka dengan hati-hati, mengandalkan gin-kang mereka yang membuat
tubuh mereka amat ringan, keduanya meloncat ke atas pohon dan dari sini berloncatan sampai ke atas wuwungan
pondok dan mereka mengintai dan mendengarkan ke sebelah dalam.
Pondok itu cukup luas dan di bagian belakang atau dalam, di mana terdapat sebuah kamar yang besar, nampak ada
lima orang gadis dusun yang berlutut di sudut, berhimpitan saling rangkul, kelihatan ketakutan seperti
sekelompok kelinci terkurung. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pendekar muda itu adalah seorang
dara yang berdiri tegak menghadapi seorang laki-laki setengah tua tinggi besar dan agaknya terjadi pertengaran
antara mereka berdua.
"Tidak, pendeknya, selama ada aku di sini, aku tidak mau melihat mereka diganggu oleh siapapun juga!" demikian
dara itu berkata, suaranya lantang dan nyaring, penuh kemarahan dan tantangan.
Han Tiong dan Thian Sin memandang dengan penuh perhatian kepada dua orang yang berdiri berhadapan dan
bertengkar itu. Dara itu masih amat muda. Paling banyak tujuh belas tahun usianya, berpakaian serba hijau,
pakaian yang kasar dan ringkas, yang ketat menutupi tuhuhnya yang padat dan langsing. Tubuh yang membayangkan
ketangkasan dan kekuatan. Wajahnya manis, dengan dagu meruncing dan hidung kecil mancung. Biarpun pada saat itu
dia sedang marah, namun kemanisan wajahnya tidak berkurang, bahkan nampak gagah dengan sepasang mata bersinar
sinar itu.
Di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek yang gagangnya dihias ronce biru. Rambutnya disanggul
sederhana ke atas, diikat dengan ikatan rambut sutera merah. Pendeknya, dara itu nampak gagah dan manis sekali.
Sedangkan pria itu, yang usianya mendekati lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu nampak
tegap kuat dan menyeramkan. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang-orang yang berada di luar pondok, agak
lebih rapi dan bersih, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Agaknya pria ini setengah mabuk
karena tangan kirinya masih membawa sebuah guci arak yang tinggal sedikit isinya, sepasang matanya yang lebar
agak kemerahan dan diapun memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sikap marah.
"Leng-ji, lupakah engkau dengan siapa kau berhadapan?" terdengar laki-laki itu membentak marah, suaranya parau
dan lantang.
"Aku berhadapan dengan ayah," jawab dara itu, sikapnya tetap menentang.
"Hemm, kau masih ingat aku ayahmu, dan bukan itu saja, bahkan aku juga gurumu! Dan sekarang kau berani menentangku?"
"Ayah, ingatlah akan apa yang ayah katakan dan janjikan kepadaku! Ayah melakukan kekacauan di dusun itu, lalu
menawan wanita-wanita itu hanya sebagai memenuhi tugas ayah sebagai anggauta Jeng-hwa-pang saja untuk memancing
keluar Pendekar Lembah Naga. Bukankah begitu? Akan tetapi di dusun itu ayah telah melakukan
pembunuhan-pembunuhan..."
"Bukan aku yang melakukannya!"
"Benar, anak buah ayah, akan tetapi mengapa ayah tidak melarang mereka? Kemudian penawanan lima orang wanita
ini yang ayah katakan sebagai memancing pendekar itu keluar dari istananya, akan tetapi mengapa sekarang
ayah... ayah hendak... melakukan kekejian...?"
"Ah, kau anak kecil tahu apa! Kau keluarlah dan tinggalkan aku bersama mereka!"
Akan tetapi dara itu dengan sikap tegas menggeleng kepalanya dan matanya memancarkan sinar penuh kemarahan.
"Tidak! Aku adalah seorang wanita, dan merekapun wanita! Kalau mereka dihina di depanku, sama saja dengan aku
yang terhina. Aku akan melindungi mereka dari gangguan siapapun juga, ayah. Kalau perlu aku rela mengorbankan
nyawaku. Yang kubela bukanlah perorangan, melainkan kehormatan wanita!"
"Ehh...? Kau berani...? Leng-ji, sudahlah. Aku tidak mau membiarkan hatiku marah kepadamu. Biarlah aku
mengalah, kauberikan seorang saja di antara mereka kepadaku, yang mana saja."
"Jangan, ayah. Pula, mengapa ayah menjadi begini? Mengapa Ayah mau melakukan hal yang jahat itu?" Di dalam
suara dara itu terkandung isak dan kedukaan.
"Hemm, kau anak tolol. Semenjak ibumu tiada, aku menderita. Berikanlah seorang saja di antara mereka untuk
menghibur hati ayahmu yang kesepian ini."
"Tidak akan kuberikan kepada siapapun juga selama aku masih hidup dan berada di sini!"
"Apa? Kau berani menentang ayahmu, gurumu?"
"Apa boleh buat! Biar ayah, atau guru, kalau tidak benar, harus ditentang!" Ucapan ini terdengar gagah sekali
dan membikin kagum dua orang muda yang berada di atas pondok sehingga mereka tertarik dan menjadi lengah.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di bawah pondok. "Mata-mata di atas pondok!"
"Musuh datang...!"
"Kepung! Tangkap!"
Han Tiong dan Thian Sin terkejut sekali dan ketika mereka memutar tubuh dan memandang, ternyata pondok itu
telah terkepung oleh kurang lebih dua puluh orang, bahkan tak lama kemudian kepala perampok yang tadinya
ribut-ribut mulut dengan gadisnya itupun sudah berada di luar pondok dan memandang ke atas.
"Sin-te, kita ketahuan. Mari hajar mereka, akan tetapi jangan kau menurunkan tangan kejam, jangan membunuh
orang."
"Baik, Tiong-ko!" Baru saja menjawab demikian, tubuh Thian Sin sudah melayang turun ke bawah, tepat di
tengah-tengah gerombolan itu dan pemuda inipun mulai mengamuk dengan hebatnya. Han Tiong juga cepat meloncat
turun dan menyerbu para pengeroyok itu, selalu berusaha agar dia berdekatan dengan adiknya dan dapat mengamati
sepak terjang adiknya itu. Dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia terkejut. Thian Sin mengamuk seperti
seekor naga, gerakannya cepat dan kuat dan dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan dua orang
pengeroyok dengan hantaman keras sehingga yang seorang roboh dengan tulang pundak remuk-remuk dan yang seorang
lagi dengan tulang lutut hancur! Sungguh ganas sekali bekas tangan pemuda ini dan wajahnya kelihatan beringas
dengan sinar mata berkilat sungguhpun mulutnya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan.
"Sin-te, jangan bunuh orang...!" Han Tiong merobohkan seorang perampok dan pemuda ini membatasi tenaganya
sehingga orang yang dirobohkannya itu tidak sampai terluka parah, mendekati adiknya.
Akan tetapi karena para pengeroyok itu menjadi marah melihat robohnya teman-teman mereka dan menggeroyok lebih
ketat, kakak beradik ini terpisah lagi dan terpaksa Hen Tiong mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri
sendiri. Dua orang muda itu tidak bersenjata, akan tetapi pengeroyokan belasan orang bersenjata itu sama sekali
tidak membuat mereka repot karena para pengeroyoknya itu adalah orang-orang kasar yang kebanyakan hanya
mengandalkan kekuatan tenaga kasar dan keras atau tajamnya senjata di tangen saja, biarpun mereka semua
rata-rata memiliki ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat dua orang pendekar
muda itu.
Sementara itu, kepala gerombolan yang tadi bertengkar dengan anaknya dan kini sudah keluar dari pondok, ketika
melihat kehebatan dua orang muda yang mengamuk dan merobohkan beberapa orang anak buahnya, menjadi marah
sekali. Dia mencabut golok besarnya dan membentak nyaring. "Dua bocah setan dari mana berani mengacau di sini?"
"Tiong-ko, biar kuhadapi dia!" kata Thian Sin dan pemuda ini sudah meloncat dan menyambut kepala gerombolan
itu. Melihat seorang di antara dua pemuda itu melompat ke depan, kepala gerombolan itu menyambut dengan bacokan
golok yang menyambar ke arah leher Thian Sin dengan cepat sekali, membentuk sinar dan mengeluarkan suara
berdesing mengerikan. Namun dengan mudah Thian Sin mengelak dengan menundukkan kepala dan berbareng kakinya
menyambar ke bawah mengarah pusar lawan.
"Ehhh...!" Kepala gerombolan itu terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang karena tendangan itu luar
biasa cepat datangnya. "Siapa kau?" bentaknya sambil melintangkan golok besarnya yang mengkilap, matanya
menatap Thian Sin dengan pandang mata terbelalak menyeramkan. Sementara itu Han Tiong masih terus menghadapi
pengeroyokan banyak orang.
"Perampok busuk! Engkau memancing penghuni Istana Lembah Naga untuk keluar? Nah, kami sudah datang!" kata Thian
Sin dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menerjang dengan pukulan-pukulan yang
amat kuat dan cepat, membuat kepala gerombolan itu cepat memutar golok untuk membabat lengan lawan dan balas
menyerang.
"Tangkap mereka, hidup atau mati!" bentak kepala gerombolan dan kembali mereka terpecah menjadi dua kelompok,
sebagian kecil membantu kepala gerombolan mengeroyok Thian Sin dan sebagian besar yang lain mengeroyok Han
Tiong.
Terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga itu telah
memiliki ilmu silat yang hebat, jauh terlampau tinggi bagi para pengeroyoknya. Jangankan baru dikeroyok belasan
orang-orang kasar itu, biar ditambah dua kali lipat lagipun mereka takkan mungkin dapat mengalahkan murid-murid
atau putera-putera Pendekar Lembah Naga ini. Kalau saja mereka berdua tidak menjaga kaki tangan agar jangan
sampai membunuh lawan, tentu pertempuran itu berakhir dengan cepat saja.
Mereka berdua merobohkan lawan, akan tetapi menjaga jangan sampai membunuh. Sebenarnya Han Tiong sajalah yang
sungguh melakukan ini, karena yang roboh oleh tamparan atau pukulan atau tendangan Thian Sin, biarpun tidak
tewas akan tetapi sudah setengah mati dan terluka parah. Melihat betapa kepala gerombolan yang memainkan
goloknya itu cukup tangguh dibandingkan dengan anak buahnya, dan tidak roboh ketika terkena tamparan pada
pangkal lengan kirinya, Thian Sin menjadi penasaran. Dia merobohkan dua orang pengeroyok dan menyambar ke
depan, ke arah kepala gerombolan itu. Si kepala gerombolan ini menyambut dengan goloknya, membacok kepala.
Ketika Thian Sin mengelak sambil miringkan tubuh, golok itu menyambar lagi dengan tusukan ke arah dadanya.
"Mampuslah!" bentak Kepala Gerombolan itu.
"Hemmm...!" Thian Sin mendengus dan cepat sekali kakinya bergeser, tubuhnya mengelak dan golok yang ditusukkan
dengan kuat-kuat itu meluncur lewat bersama lengan yang memegang gagang golok. Thian Sin tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini, cepat jari tangannya menyambar, menangkap pergelangan tangan kanan lawan, mengetuk urat besar
di siku membuat lengan itu seperti lumpuh dan secepat kilat dia membalikkan lengan itu sehingga goloknya
menyambar ke arah tubuh pemegangnya sendiri! Si Tinggi Besar ini terkejut dan berusaha menahan dengan lengan
kirinya, namun golok itu malah menyambar lengan kirinya, tak tertahankan lagi.
"Crokkkk! Aughhhh...!" Kepala rombongan itu menjerit, darah muncrat-muncrat dari lengan kirinya yang buntung di
bawah sikunya!
Melihat ini, para anak buah gerombolan menjadi gentar, apalagi dua orang muda itu mengamuk lebih hebat. Tanpa
ada yang menyuruh lagi, mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka.
Thian Sin sudah berdiri di dekat tubuh kepala gerombolan yang rebah miring dan menginjakkan kakinya ke dada
orang itu sambil membentak. "Hayo katakan siapa yang menyuruhmu!"
Kepala gerombolan mencoba menjawab, akan tetapi yang keluar hanya "Ti... tidak, tidak...!"
"Apa kau ingin kuinjak hancur dadamu?" Thian Sin membentak lagi dan menekan sedikit dengan kakinya.
"Aughhh... aduhh... ampun... kami disuruh... Jeng-hwa-pang..."
"Dan kau telah membunuhi orang dusun, menculik wanita-wanita? Kau layak mampus!"
"Sin-te, jangan!" Tiba-tiba Han Tiong telah tiba di situ karena semua penjahat telah melarikan diri. "Lepaskan
dia!"
Thian Sin memandang kakaknya, lalu mengangguk dan melepaskan injakan kakinya. Kepala gerombolan yang ditinggal
pergi sisa anak buahnya itu bangkit dan merangkak bangun, terengah-engah dan tangan kanannya memegangi lengan
kiri yang buntung.
"Nah, katakan kepada ketua Jeng-hwa-pang agar tidak main-main lagi di Lembah Naga. Kami keluarga Istana Lembah
Naga bukanlah orang-orang yang mencari permusuhan, akan tetapi juga tidak akan tinggal diam kalau melihat
orang-orang melakukan kekacauan dan kejahatan seperti yang kalian lakukan. Pergilah!" bentak Han Tiong dan
kepala gerombolan itu lalu pergi terhuyung-huyung.
Dua orang pemuda itu lalu memasuki pondok, akan tetapi Thian Sin yang masuk lebih dulu itu disambut dengan
sambaran pedang.
"Singgg...!"
"Hemm...!" Dia cepat mengelak dan sekali tangannya bergerak, dia telah menampar lengan kecil itu.
"Plak...! Aihh...!" Dara itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, lalu pedang yang melayang itu
disambar oleh tangan Thian Sin. Sambil menatap wajah yang manis dan yang terbelalak keheranan itu, Thian Sin
memegang pedang dengan dua tangan, kemudian dengan gerakan enak saja dia mematahkan pedang itu seperti
mematah-matahkan ranting yang kecil saja.
"Krekkk!" Pedang patah di tengah-tengah dan Thian Sin melemparkan pedang itu ke atas lantai.
"Ohhh...!" Dara itu mengeluh dan sepasang mata yang indah itu memandang penuh kagum kepada pemuda tampan yang
mematahkan pedangnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja itu. Tadi dia sudah mengintai melalui
celah-celah pintu dan menyaksikan betapa ada dua orang muda gagah perkasa yang mengaku datang dari Istana
Lembah Naga mengamuk dan merobohkan semua anggauta gerombolan, bahkan telah membuntungi lengan kiri ayahnya
dengan golok ayahnya sendiri. Hal itu saja tadi sudah membuat dia terheran-heran penuh kagum, akan tetapi
ketika dua orang pemuda itu memasuki pondok, teringat bahwa mereka itu adalah musuh-musuh, dia lalu menyerang
dengan pedangnya dan akibatnya, bukan saja serangan itu sia-sia belaka, bahkan pedangnya dipatahkan.
"Nona, kami bukan musuhmu, biarpun engkau puteri kepala gerombolan itu, akan tetapi kami melihat betapa dengan
gagah engkau melindungi tawanan-tawanan ini dari gangguan kepala gerombolan," kata Han Tiong dengan suara
halus.
"Hemm, sungguh mengherankan sekali. Engkau gagah perkasa dan baik, nona, akan tetapi ayahmu itu orang jahat..."
kata Thian Sin.
"Dia bukan ayahku!" Dara itu berkata dengan suara lantang.
"Eh, bukan? Bagus sekali kalau begitu!" kata Thian Sin tersenyum. "Akan tetapi kami mendengar nona menyebutnya
ayah."
Dara itu menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bengku dengan tubuh lemas. "Memang dia
bukan ayahku, bukan ayah kandungku. Ayah tiri yang kubenci sekali! Dia... ketika aku berusia sepuluh tahun, dia
membunuh ayah dan melarikan ibu dan aku. Ibu lalu menjadi isterinya. Dia memang baik kepadaku, mengajarku ilmu
silat, memperlakukan aku sebagai anak sendiri. Akan tetapi aku benci padanya! Aku menaruh dendam atas kematian
ayahku dan atas kekejamannya terhadap ibu yang kini telah meninggal dunia pula. Dan tadi, melihat dia hendak
memperkosa tawanan ini, aku semakin benci padanya!"
Kakak beradik itu saling lirik dan mereka merasa terharu. Kiranya demikian persoalannya dan mereka merasa
kasihan kepada dara ini. Apalagi Thian Sin. Dia merasa kasihan dan juga amat tertarik. Dara ini telah yatim
piatu, sama dengan dia! Hal ini saja sudah membuat dia merasa amat suka dan merasa senasib dengan dara itu.
"Nona tadi mengatakan bahwa semua perampokan ini hanya merupakan pancingan saja terhadap Pendekar Lembah
Naga... bagaimanakah sesungguhnya persoalannya, nona?"
"Ayah tiriku itu adalah seorang anggauta Jeng-hwa-pang dan dia diperintahkan oleh Jeng-hwa-pang untuk memancing
keluar Pendekar Lembah Naga dengan jalan mengganggu dusun itu. Ayah mengumpulkan kawan-kawannya dan akupun ikut
serta, bukan untuk ikut melakukan pekerjaan itu, melainkan untuk mengamati perbuatan ayah. Dan aku kecewa dan
menyesal bukan main melihat watak ayah tiriku yang sesungguhnya. Dia ganas dan kejam, bersama kawan-kawannya
melakukan perampokan bukan hanya untuk pancingan, melainkan dengan penuh nafsu dan memang pekerjaan itu agaknya
merupakan kesenangan mereka. Agar tidak dicurigai bahwa diam-diam aku menentang mereka, maka aku menawarkan
diri untuk menjadi penjaga lima orang gadis ini. Dan melihat niat ayah yang kejam, aku menentangnya. Ayah
sedang mabuk, kalau tidak, biasanya dia tidak berani atau enggan untuk berbantah dengan aku. Agaknya... agaknya
dia memang benar-benar sayang kepadaku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi punya ayah
macam dia! Aku tidak akan kembali kepadanya..." Dan sepasang mata yang jernih itu menjadi basah.
Thian Sin merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia lalu bertanya, "Kalau
sudah begini, lalu apa yang akan kaulakukan selanjutnya, nona?"
Dara itu memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang tergenang di pelupuk matanya.
"Aku akan mengantar kembali lima orang gadis ini ke dusun mereka..."
"Sesudah itu...?" Thian Sin mendesak.
"Sesudah itu... aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!"
"Apakah... apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?"
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini..."
Tiba-tiba seorang diantara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya. "Adik yang baik, engkau telah
menyelamatkan kami, marilah ikut dan tinggal bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami,
sebagai penolong, dan pelindung kami..." Empat orang gadis yang lain menyetujui dan membujuk-bujuk dara itu.
"Bagus sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku mendukungnya! Ketahuilah, nona, kami datang
dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku, Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau
kau mau tinggal di dusun itu... kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat."
Han Tiong memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri. Adiknya ini benar-benar
agaknya sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini, pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian
Sin sudah melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing.
Dara itu bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah dua orang pemuda gagah perkasa itu. "Ah, maafkan,
karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat. Aih, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu
naga yang sedang tidur! Ji-wi amat gagah perkasa dan baik, dan saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan berterima
kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggauta gerombolan pengacau."
Karena bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di dusun mereka. Para orang tua
lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih
kepada Hwi Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan menganggapnya sebagai pelindung dusun mulai saat
itu.
Cia Sin Liong dan isterinya merasa gembira dan bangga mendengar penuturan dua orang muda itu tentang hasil
tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa
kepala gerombolan itu putus sebelah lengannya.
"Memang dia seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau agak keterlaluan kalau membikin putus
lengannya, Thian Sin. Sebetulnya cukup dengan mematahkan tulang lengannya saja."
"Maaf, ayah, saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan golok, dan
mengingat betapa dia telah membunuh orang dusun, menculik wanita, maka..."
"Sudahlah, mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Yang amat menggemaskan adalah
Jeng-hwa-pang. Apa pula maksud mereka memancingku keluar dari sini? Mengapa mereka masih terus hendak mencari
permusuhan denganku?"
"Ayah, apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?" tanya Han Tiong.
"Aku tahu siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang ikut membunuh ayah bundaku!" tiba-tiba Thian Sin
berkata dengan suara mengandung kemarahan dan dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang
kepada anak angkatnya itu. Sejenak dua pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa
kembali dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong diam-diam merasa khawatir
karena mendapatkan kenyataan bahwa sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati
Thian Sin.
"Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu aku dan mendiang
ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka sampai sekarang mereka masih menaruh dendam. Betapapun
juga, mudah-mudahan setelah menerima hajaran kalian, mereka tidak berani lagi mengacau."
Sin Liong merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua orang muda itupun tidak
banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong
tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng kepada Thian
Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong! Dia menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak
kepada Thian Sin karena dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini. Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh Thian Sin
yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi-i-beng
adalah ilmu yang mengandung kelemasan dan ilmu itu diharapkannya akan dapat mengendalikan Thian Sin, memberinya
watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras. Maka, berlatihlah dua orang muda itu dengan amat tekunnya, dan
sesuai dengan pesan Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu tidak boleh
diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.
Akan tetapi di samping menurunkan dua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada masing-masing, diam-diam Sin
Liong juga mengajarkan cara untuk melindungi diri terhadap Thi-khi-i-beng kepada Han Tiong. Hal ini dilakukan
bukan karena dia pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak putera kandungnya ini dan merasa
perlu adanya orang yang dapat mengamati dan kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah
ilmu totok jalan darah yang memang diciptakannya sendiri khusus untuk melindungi diri terhadap penyedotan hawa
Thi-khi-i-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari Tunggal Sakti).
Mudah sekali diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali berkunjung ke dusun dan
mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka
makin lama makin erat, dan mudah diduga bahwa Hwi Lengpun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika berkenalan
dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga diapun jatuh cinta! Dan karena dia tidak bertepuk
tangan sebelah, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun,
di antara sawah ladang dan kadang-kadang ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat yang sunyi itu, keduanya
dengan leluasa saling menumpahkan rindu hati mereka dan kasih sayang mereka dengan bercumbu, namun selalu Thian
Sin dapat mempertahankan nafsu berahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas kepada cumbu-cumbuan dan peluk
cium belaka, tidak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam perjinaan hubungan kelamin.
Terobatlah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing dan kini seluruh orang muda di
dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar
baru, yaitu Hwi Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan berani mati
melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok. Sekali ini, tidak ada gadis-gadis yang dapat
melapor kepada siapapun, karena Hwi Leng adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini.
Pula, untuk menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang berani karena gadis itu
terkenal sebagai seorang yang lihai!
Han Tiong juga melihat perkembangan ini dan Han Tiong inilah yang membisikkan nasihat kepada adik angkatnya
agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan nafsunya. "Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat
menahan nafsu dan melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik gadis yang kaucinta.
Hati-hatilah engkau."
Thian Sin tersenyum dan mukanya berubah merah. "Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku selalu dapat menahan diri. Aku
cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan cinta kami dengan pelanggaran nafsu berahi."
Hemm, begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han Tiong akan tetapi dia tidak
ingin menyinggung perasaan adiknya. "Kalau begitu, apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng,
Sin-te?"
Ditanya demikian, Thian Sin kelihatan terkejut dan sejenak dia menatap wajah kakak angkatnya seperti orang
bodoh. Kemudian dia menggeleng-geleng kepala seperti orang bingung dan berkata, "Menikah? Ah, itu... itu...
entahlah, Tiong-ko, sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku."
"Aihhh, kau ini bagaimana, Sin-te? Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau tidak ada niatmu
untuk menjadi suaminya kelak?"
Kini sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia bertanya, "Tiong-ko, apakah
cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?"
"Cinta antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria dan wanita yang sudah
berpacaran, apalagi kalau tidak diakhiri dengan pernikahan?"
"Apakah tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?"
"Ah, pertanyaanmu aneh sekali, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan kita itu ada cinta antara
pria dan wanita yang tidak disudahi dengan pernikahan?"
"Aku ingin ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko."
"Hemm, kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu bisa terjadi. Akan tetapi wanita manakah yang
mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi? Mereka semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri,
menjadi ibu, terjamin dan terikat erat-erat!"
Semenjak percakapan itu, Thian Sin nampak sering kali termenung dan menarik napas panjang dan dia mulai agak
mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan
pernikahan selalu muncul dan menghantuinya. Dia tidak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah, dia masih
ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang, merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi
diapun senang sekali berdekatan dengan wanita cantik seperti Hwi Leng.
***
Petani tua itu datang dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana Lembah Naga pagi itu
sedang duduk di serambi depan, lengkap Cia Sin Liong, isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam
suasana gembira dan sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu mereka merayakan
hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh! Perayaan keluarga yang sederhana, tanpa dihadiri orang
luar. Dan inipun bukan kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apapun untuk peringatan genap usia
empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya. Bi Cu sejak pagi sekali telah bangun dan dibantu pelayan
telah masak-masak, maka pagi itu mereka sudah menghadapi sarapan besar dengan gembira.
Kedatangan petani tua itu tentu saja mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat menduga bahwa tentu terjadi
sesuatu yang hebat maka petani itu nampak demikian ketakutan. Dengan halus dia lalu mempersilakan orang itu
duduk dan bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu.
"Celaka, taihiap... dusun kami semalam didatangi lagi penjahat-penjahat!" kata petani itu dengan suara gemetar.
Keluarga itu terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata terbelalak.
"Ah, mereka masih berani datang lagi?" seru Han Tiong.
"Jahanam-jahanam itu menjemukan!" Thian Sin juga berseru.
"Lalu apa yang mereka lakukan? Perampokan dan pembunuhan lagi?" Cia Sin Liong bertanya penuh kekhawatiran.
"Hanya satu pembunuhan, taihiap... Nona Hwi Leng mereka bunuh..."
"Ahhh...!" Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia telah meloncat dan lari dari situ.
"Sin-te...!" Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata.
"Tiong-ji, biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu melakukan hal-hal yang
tidak semestinya."
"Baik, ayah." Dan pemuda inipun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang lari menuju ke arah dusun
di mana tinggal Loa Hwi Leng itu.
"Sekarang harap kauceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman," kata Sin Liong kepada kakek
petani yang mukanya keriputan itu.
Kakek itu dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam terdengar derap kaki
yang banyak. Karena sudah pernah mengalami gangguan para perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan
mendengar derap kaki banyak kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu dan
mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali tidak berani mengintai, hanya
berjubel dengan ketakutan di dalam kamar masing-masing.
"Saya memberanikan diri mengintai keluar dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan rumah di mana Nona Hwi Leng
tinggal." kata kakek itu melanjutkan. "Saya melihat Nona Leng keluar dari rumah itu, dengan pedang di tangan
dan dengan berani dia menegur para penunggang kuda yang jumlahnya belasan orang itu." Dia berhenti dan
kelihatan bingung dan ketakutan, sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri seolah-olah dia takut kalau-kalau di
tempat itu sewaktu-waktu akan muncul perampok-perampok.
"Lalu bagaimana, paman? Jangan takut, di sini aman," kata Sin Liong.
"Terjadi pertempuran, akan tetapi hanya sebentar dan tahu-tahu Nona Leng telah ditawan oleh mereka. Kemudian...
kemudian..." Kakek itu tak dapat melanjutkan ceritanya dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, seolah-olah
hendak menghindar dari penglihatan yang masih membayang di depan matanya.
Sir, Liong dan Bi Cu sudah dapat menduga. "Mereka itu membunuhnya?" tanya Sin Liong kepada petani itu.
"Bukan hanya dibunuh. Dia disiksa... saya tidak berani lagi melihatnya... dan kami semua tidak berani keluar
biarpun kaki kuda mereka itu sudah meninggalkan dusun. Baru pada keesokan harinya kami berani keluar dan
melihat... mayat Nona Leng tergantung di pohon tanpa pakaian, tubuhnya hancur disayat-sayat..."
"Keparat jahanam!" Bi Cu membentak dan bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal karena nyonya ini sudah menjadi
marah bukan main.
Sin Liong memegang lengan isterinya dan dengan pandang matanya dia menenangkan isterinya. Bi Cu yang mukanya
menjadi merah sekali itu menarik napas panjang menenangkan diri lalu duduk kembali.
"Paman, apakah paman mendengar apa yang diucapkan oleh para penjahat itu?"
"Mereka itu orang-orang kasar dan tertawa-tawa ketika menyiksa Nona Leng. Saya hanya mendengar suara Nona Leng
merintih, akan tetapi ada yang bersuara besar dan berkata : Engkau berani mengkhianati Jeng-hwa-pang? Hanya
itulah yang saya dengar..."
"Hemm, Jeng-hwa-pang lagi...!" Sin Liong berkata. "terima kasih atas laporanmu, paman."
Setelah petani tua itu pergi, Sin Liong lalu berkata kepada isterinya, "Jeng-hwa-pang tak boleh dipandang
ringan. Sebaiknya kalau aku melihat keadaan anak-anak kita."
Bi Cu mengangguk. Sebenarnya nyonya ini ingin sekali ikut untuk dapat mengamuk dan memberi hajaran kepada
Jeng-hwa-pang, akan tetapi karena kedua orang puteranya itu kini sudah memiliki kepandaian tinggi, lebih lihai
daripada dia sendiri, dan lebih lagi karena suaminya juga menyusul mereka, maka sebaiknya bagi dia untuk
menjaga dan menanti di rumah. Maka pergilah Sin Liong dengan cepat untuk menyusul dua orang puteranya.
Ketika Thian Sin yang berlari secepat terbang itu tiba di rumah yang ditinggali kekasihnya dan melihat peti
mati dengan hio mengepul di depan pintu bagaikan orang gila dia segera menjerit. "Hwi Leng...!" Dan dia segera
menghampiri peti mati. Semua orang terkejut, terharu dan juga takut melihat pemuda yang biasanya ramah dan
tersenyum-senyum itu kini kelihatan berwajah beringas dan pucat, matanya merah.
"Brakkk!" Sekali renggut, tutup peti mati itupun terbuka. Nampak wajah Hwi Leng yang pucat dan putih, namun
masih nampak cantik biarpun muka itu penuh luka tersayat-sayat kulitnya. Dari pipi sampai ke dagu dan leher
penuh dengan goresan senjata tajam dan tanpa membuka pakaiannya Thian Sin dapat menduga bahwa seluruh tubuh itu
tentu penuh dengan luka-luka goresan pedang.
"Hwi Leng...!" Dia menjerit, kemudian tubuhnya membalik dan matanya liar mencari-cari, kemudian dia memekik
mengerikan. "Bedebah kalian semua! Mampuslah orang-orang Jeng-hwa-pang!" Dan dia pun melesat dan lari cepat
sekali dari tempat itu.
Kurang lebih setengah jam kemudian Han Tiong tiba di rumah duka itu. Mendengar bahwa adiknya telah tiba di situ
dan sudah pergi dalam keadaan marah mengejar orang-orang Jeng-hwa-pang, Han Tiong merasa khawatir sekali,
diapun tidak lama berada di situ dan cepat dia pergi mengejar adiknya. Sekali ini Han Tiong berlari cepat
sekali, mengikuti jejak rombongan kuda orang Jeng-hwa-pang yang menuju ke selatan keluar dari daerah itu. Dia
merasa yakin bahwa adiknya tentu juga melakukan pengejaran mengikuti jejak itu.
Menjelang tengah hari, tibalah dia di sebuah lereng yang sunyi dan di atas padang rumput itu dia melihat bahwa
kekhawatirannya berbukti. Sampai di situlah jejak rombongan berkuda itu dan tak lama kemudian dia berdiri
sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, di mana terdapat mayat-mayat dua belas orang berserakan. Dua
belas orang itu tewas semua, dalam keadaan mengerikan dan kepala mereka pecah-pecah. Han Tiong dapat melihat
bekas pukulan Thian-te Sin-ciang adiknya dan wajahnya menjadi pucat, perasaannya diliputi kesedihan dan
perutnya terasa mual menyaksikan belasan orang yang tewas oleh tangan adiknya itu!
"Thian Sin...!" dia mengeluh dan dengan punggung tangan dia mengusap kedua matanya yang basah. Dia merasa
menyesal sekali mengapa dia tidak dapat menyusul lebih cepat sehingga dia dapat mencegah terjadinya
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Thian Sin.
Han Tiong lalu menggali lubang besar, hanya mempergunakan golok yang banyak terdapat di tempat itu. Golok,
pedang dan tombak malang melintang dan patah-patah. Dapat dibayangkannya betapa adiknya telah mengamuk bagaikan
seekor naga di tempat itu tadi. Belum lama terjadinya, karena darah yang membanjiri tempat itu masih basah.
Ingin dia cepat-cepat menyusul adiknya, akan tetapi mayat-mayat itu harus dikubur dulu. Tidak mungkin dia
membiarkan saja mayat-mayat itu, apalagi mayat-mayat yang terbunuh di tangan adiknya. Dengan khidmat dia lalu
mengangkat semua mayat dan memasukkannya ke dalam lubang besar yang dibuatnya, di lubuk hatinya dia menganggap
bahwa sikapnya ini setidaknya akan meringankan kekejaman adiknya, sebagai sekedar penebusan dosa yang dilakukan
adiknya. Kemudian dia menimbuni kuburan itu dengan tanah dan secepatnya dia melanjutkan pengejarannya.
Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia telah membunuh semua anggauta Jeng-hwa-pang. Ada
sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia
telah membikin terpental semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada dua tiga orang yang melakukan
perlawanan agak keras karena kepandaian mereka yang lumayan. Akan tetapi akhirnya mereka semua roboh dan dia
menjambak rambut mereka satu demi satu, dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak, "Siapa
yang menyiksa dan membunuh Hwi Leng?"
Akan tetapi mereka semua tidak mau mengaku dan satu demi satu dipukulnya kepala mereka itu dengan tamparan
Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan
tamparan maut itu, mulutnya selalu berkata. "Ini untuk Hwi Leng!" dan.... "prak!" sekali tampar saja kepala itu
tentu pecah!
Thian Sin berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan orang itu
berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya
itu memang benar merupakan penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanyalah
utusan-utusan belaka. Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang! Dan kini dia harus pergi ke sana, harus
mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, membunuh mereka semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng,
melainkan juga untuk ayah bundanya! Mengingat ini, membayangkan betapa dia akan menghancurleburkan
Jeng-hwa-pang, wajah Thian Sin yang agak pucat itu berseri dan mulutnya tersenyum, hatinya terasa ringan dan
senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah keinginannya yang selalu terpendam, yaitu
menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini! Tiba-tiba
muncul dalam benaknya wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua nasihat hwesio itu. Terdengar
pula olehnya, suara ayah angkatnya yang menasihatkan betapa buruknya dendam disimpan di hati.
"Tidak, aku tidak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!" demikian bibirnya bergerak dan dia mencari
alasan untuk membela diri dan mempertahankan keinginan hatinya. "Aku adalah anak pendekar, sejak kecil dididik
menjadi pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang, bukan hanya musuh-musuh
ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi,
selama itu pula aku akan berusaha membasmi mereka."
Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian
tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak
hati-hati sekali, teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini.
Menurut penuturan ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat, dan para anggautanya
adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai
perkumpulan yang ditakuti dan disegani. Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh
Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi. Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau)
dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar. Ketuanya, belasan tahun yang lalu adalah Gak Song Kam, murid
Jeng-hwa Sian-jin yang saking lihainya dan pandainya tentang racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan
tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Oleh karena itu
terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Dan Thian Sin sudah
mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan kini diapun tahu bahwa semua kekacauan yang
dilakukan Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka terhadap Cia Sin Liong. Maka
sekali ini tugasnya selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng, juga untuk
membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh menghadapi lawan yang dia tahu
kuat dan berbahaya itu.
Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa sudah terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu. Kini perkumpulan itu
dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sian-jin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang
tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya. Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sian-jin yang bernama
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa
diapun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya. Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang,
juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai
nama julukan Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model
tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki kepandaian yang hanya sedikit selisihnya dibandingkan
tingkat kepandaian Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam sendiri! Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid
seorang tokoh Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw,
maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, diam-diam
mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara.
Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam gua sebuah bukit tak
jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian
untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan
Jeng-hwa-pang itu. Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini
berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai
sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang
dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam gua. Hatinya dan pikirannya dingin
dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan. Kini dia
dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah. Dia akan membalas dendam kematian ayah
bundanya, kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran jernih dan dingin, dengan
perhitungan matang. Dia menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak
hanya menuruti perasaan dendam belaka.
Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya
seorang pemuda remaja yang amat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja
para penjaga sudah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.
"Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?" tanya kepala jaga
sambil memandang heran. Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan
dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan
lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi.
Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum dan Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap
seorang pelajar tulen. "Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya
memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini
merupakan markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?"
"Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?" Kepala jaga dan
kawan-kawannya mulai memandang dengan sinar mata curiga.. "Nama saya Thian Sin dan saya perlu bertemu dengan
para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah
lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang.
Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi
kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang amat penting
itu."
Para penjaga itu berkurang kecurigaan mereka dan kepala jaga memandang kepada pemuda remaja itu sambil
tersenyum. "Orang muda, memang Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi
tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Kalau ada urusan, sampaikan kepada kami dan
kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, katakanlah, urusan apa yang ingin kausampaikan kepada pimpinan
Jeng-hwa-pang?"
Thian Sin menggeleng kepala. "Maaf, twako. Urusan ini menyangkut dia pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan
saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali."
Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap
Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, apalagi karena pemuda remaja ini mengaku datang membawa berita
yang amat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancang
atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar
demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka kalau mereka mengganggu pemuda
ini.
"Baiklah," akhirnya kepala jaga berkata. "Kau tunggulah di sini dulu, biar kami melaporkannya kepada pimpinan.
Siapakah namamu tadi?"
"Nama saya Thian Sin..." Thian Sin tidak mau memperkenalkan she-nya yang sesungguhnya karena she Ceng tentu
akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya, yang amat dikenal oleh
mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya. Dia harus hati-hati, karena kalau dia memperkenalkan
diri begitu saja lalu dikeroyok, tipis harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan
Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya
amatlah mudah.
Sementara itu, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua
Jeng-hwa-pang karena dialah yang membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw
dan Cia Sin Liong itu, tengah duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang diandalkan,
yaitu Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu. Mereka sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka
utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng. Ketika ketua Jeng-hwa-pang
ini mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang
dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga,
dan mendengar tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng, dia menjadi
marah sekali.
Pasukan itu, ditambah oleh beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu
diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman, juga dengan perbuatan itu
pasukan itu diharapkan akan memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang.
Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus
itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali.
Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda "pelajar" yang ramah dan sopan bernama
Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu
saling pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja
mereka tidak memandang rendah kepada laporan adanya "pemuda pelajar" itu dan mereka merasa curiga. Akan tetapi
dengan tenang Ciu Hek Lam lalu memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu di mana dia
melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih
menguntungkan daripada menemui tamu di luar. Apalagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup
pantas kiranya untuk disambut di luar.
Tak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek
duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan
menjura dengan sikap hormat.
"Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan kalau saya datang mengganggu sam-wi," katanya dengan ramah dan sikap
sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang.
Diam-diam Thian Sin menyapu tiga orang kakek itu dengan pandang matanya. Dia melihat kakek yang duduk di kepala
meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang
mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia menduga bahwa
agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sian-jin
Ciu Hek Lam. Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim
Thian Seng-cu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, kurus dan mukanya hitam, sedangkan Gin Thian
Seng-cu, sutenya, berusia dua tiga tahun lebih muda, gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri.
Karena tamunya hanya seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sian-jin tidak bangkit dari tempat
duduknya, melainkan tersenyum dan berkata, "Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan
datang ingin bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan pimpinan
Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kausampaikan kepada kami?"
Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, akan tetapi wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya.
"Apakah saya berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang? Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga
orang tua gagah) yang terhormat?"
Karena pemuda itu memiliki wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sian-jin
mengelus jenggotnya dan menjawab sambil tersenyum.
"Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan
mereka ini adalah pembantu-pembantuku."
"Pinto adalah Kim Thian Seng-cu."
"Pinto Gin Thian Seng-cu."
Dua orang tosu itu juga amat tertarik dan suka kepada Thian Sin maka merekapun masing-masing memperkenalkan
diri.
"Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin bertemu dengan kami," Tok-ciang Sian-jin bertanya mendesak.
"Sam-wi Locianpwe, sudah lama sekali saya mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa
kagum bukan main dan baru hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri kebesaran
Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!"
"Ha-ha-ha, engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?" Gin Thian Seng-cu bertanya sambil
tertawa. "Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau
ingin belajar sastera... wah, siapa bisa mengajarmu?"
"Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?" Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena
dia merasa suka sekali kalau dapat mempunyai murid setampan ini.
"Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang adalah gudangnya jago silat yang lihai,
maka saya mencari ke sini."
"Ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Seng-cu tadi, engkau boleh menjadi anggauta
Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang akan melatihmu," kata Tok-ciang Sian-jin sambil mengelus jenggotnya. Bagi
seorang kakek seperti dia kini sudah agak jauh dari wanita dan dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang
pemuda yang setampan dan sehalus itu.
"Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan untuk berguru kepada orang
yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat."
Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena
timbul lagi kecurigaan hati mereka.
"Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?" tanya Tok-ciang Sian-jin atau Dewa Bertangan Racun itu.
"Saya sudah belajar dari banyak guru silat, akan tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya ingin
mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan saya
hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya."
Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk. "Bagus, memang engkau cerdik sekali. Biarlah kami juga ingin melihat
sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu kalau engkau belajar di sini." Tok-ciang itu
lalu bertepuk tangan memanggil.
Pengawal-pengawal datang dan dia lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang
murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan
nampak kuat, gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, makin tidak kentara
nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memperlihatkan
diri dengan bermacam lagak, baik melalui langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, maupun melalui
tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya
mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini," kata Tok-ciang sambil tersenyum dan
cara dia memanggil nama itu seolah-olah dia memanggil seorang murid saja.
Diam-diam Thian Sin girang karena dia ternyata telah dapat memperoleh kepercayaan ketua Jeng-hwa-pang ini
sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu lawan satu sehingga akan lebih
mudah baginya untuk dapat merobohkan tiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang.
"Baik, locianpwe," katanya dan diapun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu.
"Kau boleh robohkan dia, akan tetapi jangan menggunakan pukulan maut," pesan Tok-ciang kepada murid
Jeng-hwa-pang itu. Kemudian sambil tersenyum dia berkata kepada Thian Sin. "Orang muda she Thian, kalau engkau
sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau
memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!"
Murid Jeng-hwa-pang itu telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah sekali, dengan kedua kakinya memasang
kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kanan di depan pusar dan tangan kiri di depan dada. Otot-otot
lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan. Melihat ini,
Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, akan tetapi dia
berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan kaki kiri di
belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat.
Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring. "Haiiiiittt...!" dan tubuhnya sudah menyerang seperti
seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin
dan pemuda remaja ini pura-pura kewalahan dan terdesak, namun dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya
agak kacau dan terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan dapat mengenainya. Diapun sambil mengelak balas
memukul sembarangan saja dan tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya.
Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat. Ketika ketua Jeng-hwa-pang melihat
pemuda remaja itu sanggup menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biarpun kedudukan kakinya masih kurang
kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat
menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya.
Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin merasa cukup. Apalagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat
lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tidak bertahan, tentu dia sudah
terbangkis-bangkis. Maka, ketika lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia siap
sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.
"Haiiii... ekkk!" Bentakan orang tinggi tegap itu terhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan
Thian Sin, sedangkan pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya, membuat dia terdorong mundur
sampai lima langkah akan tetapi lawannya sudah berjongkok sambil mmyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya
yang menjadi mulas!
Terdengar Gin Thian Seng-cu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu
menekan-nekan perut sambil menyeringai, dia tidak dapat menahan geli hatinya dan diapun berkata, "Wah, usus
buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!" Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan
masih menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin.
"Bagus! Kau telah menang, kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!" kata Tok-ciang dengan girang.
Biarpun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat
ke empat tadi.
"Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan untuk berguru kalau saya sudah dikalahkan," kata Thian
Sin dengan sikap bandel, seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh.
"Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan?
Melawan murid tingkat ke empat tadipun engkau nyaris kalah dan hanya dengan susah payah dapat menang. Kalau
kami datangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah."
"Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru," jawab Thian Sin.
"Panggil saja murid tingkat ke tiga," Kim Thian Seng-cu memberi usul.
"Jangan," kata Tong-ciang "Murid tingkat tiga biarpun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu
berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan terlalu kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim
Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu
berguru di tempat ini."
Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja memiliki kepandaian yang
tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu.
Lim Seng dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu.
"Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya dan boleh merobohkannya, akan tetapi jangan
sampai dia terluka parah apalagi tewas. Ingat, dia ini calon sutemu yang termuda," kata Ketua Jeng-hwa-pang itu
kepada muridnya. Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya berkerut.
Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini? Akan tetapi melihat betapa pemuda
remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah,
mengertilah dia dan diapun tidak mau banyak cerewet lagi.
"Baik, suhu," Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu. "Orang muda,
kaujagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!" Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah
maju dan tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat, maka
tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang "berisi", bukan pemamer otot seperti
lawannya yang tadi. Cepat diapun mengelak sambil melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar
tampak bahwa diapun melawan dengan "sungguh-sungguh". Padahal, tentu saja diapun seperti tadi hanya main-main
saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu kelihatan seimbang!
Para murid Jeng-hwa-pang, semenjak paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan
dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara
mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau
bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun. Bahkan sampai murid tingkat duapun baru mempelajari
penggunaan luar ini karena tingkat sin-kang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun
dengan jalan merendam dan melatih tangan dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan
dengan pukulan yang mengandung hawa beracun. Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkat pertama, atau boleh
dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja diapun sudah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh
ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau). Ilmu pukulan ini lihai sekali, karena kedua tangan
sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan sampai tangan itu mengenai
sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan!
Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang amat lihai, dan karena dia
dipesan oleh suhunya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apalagi menewaskannya,
maka dia bersilat dengan hati-hati dan tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu.
Betapapqn lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apalagi dia tidak mengeluarkan seluruh
kepandaiannya. Andaikata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekalipun, mana mungkin dia melawan murid
tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga?
"Hyaaaat!" Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali,
tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah pusar. Serangan
ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin mengerti bahwa serangan yang hebat itu hanyalah
gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia
pura-pura tidak tahu akan hal itu dan melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan
melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng. Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget,
Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan
kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja inipun terpelanting. Sebelumnya Lim Seng
sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan
tetapi sungguh tak disangkanya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali
dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya, membuat dia
terhuyung dan berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke
belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak!
Melihat ini, Tok-ciang Sian-jin girang bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi muridnya itu
ternyata hebat dan lincah sekali! Tahulah dia sekarang bahwa dia telah memperoleh seorang calon murid yang baik
sekali, bukan hanya masih muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki bakat
yang amat menonjol dalam ilmu silat!
"Bagus...!" dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu berhasil mencium
pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari Jeng-hwa-pang itu terhuyung. Pujian ini
mengingatkan Thian Sin, maka dia pun menahan diri dan membiarkan lawan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi
sehingga dialah kini yang didesak. Dia teringat bahwa dia harus tidak tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini
agar dia tidak dicurigai dan akhirnya dia dapat berhadapan dengan musuh-musuh besarnya itu secara leluasa,
melalui pertandingan.
Terkena tendangan itu, biarpun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi membuat Lim Seng penasaran
sekali. Belum ada sepuluh jurus dan dia sudah terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi!
Dengan demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan tetapi juga keduanya telah
berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali! Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan
ilmu pukulannya yang beracun.
Agaknya Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh jurus, pemuda remaja
itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu! Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua
Jeng-hwa-pang ini sampai tidak ingat betapa anehnya melihat pemuda yang tadinya hanya mampu mengalahkan murid
ke empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai begitu lamanya! Begitu
gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng, menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu
silat paling tinggi yang pernah diajarkannya kepada murid ini, "Lim Seng, pergunakan jurus-jurus Hui-liong
Sin-kun!" Ilmu silat ini adalah ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong Sin-kun (Silat
Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini! Dan hati Lim Seng girang sekali
mendengarkan ucapan suhunya karena tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apalagi
karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia takut untuk melukai murid baru yang
agaknya disayang oleh gurunya itu. Akan tetapi kini gurunya sendiri yang memerintahkan, maka andaikata sampai
bocah itu terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia!
"Baik, suhu!" jawabnya dan tanpa membuang waktu lagi, diapun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan
penyerangan yang amat keras dan dahsyat sehingga setiap kali lengannya bergerak memukul, didahului oleh angin
pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang
ke langit!
Melihat ini, Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya terdesak hebat, bahkan
dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seolah-olah gerakan lawan membingungkannya. Ciu Hek Lam memandang
dengan mata terbelalak. Dia memang menyuruhnya menggunakan ilmu itu, bukan ingin mencelakai Thian Sin,
melainkan dia sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana tingkat murid baru
itu. Selain itu diam-diam diapun merasa heran dan penasaran sekali mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu
mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda remaja itu!
Kini pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng bergerak makin cepat pula
Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakan
tenaga, ternyata semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang amat
diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun, setelah lewat dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum
mampu mengalahkan Thian Sin! Sementara itu, melihat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, Thian
Sin mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Setelah dia tadi menghadapi serangan-serangan Lim
Seng, dia tahu bahwa kalau dia menghendaki, dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan! Dan dia
mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan gerakan lain untuk
menyembunyikan keaselian ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak mengenal ilmu
silatnya. Andaikata dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekalipun, belum tentu Tok-ciang mengenal ilmu
itu, apalagi kalau dicampur-campur seperti itu!
"Plak!" Pipi kanan Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan pipi itu
menjadi merah kehitaman. Tentu saja Lim Seng menjadi marah dan malu sedangkan Tok-ciang dan dua orang
pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat betapa yang ditampar itu tidak
roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu tidak besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa
Lim Seng sampai kena ditampar? Padahal melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim Sang masih menang cepat dan
menang kuat!
"Plakk!" Kembali tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini menjadi merah den
bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu,
sekali tamparan saja tentu kepala itu akan pecah! Betapapun juga, tamparan itu cukup memanaskan, terutama
sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya menjadi marah bukan main. Dengan
suara menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawan dengan mata melotot. Dia merasa malu sekali, apalagi
karena kini secara diam-diam tempat itu ternyata telah penuh oleh murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa
tertarik untuk menonton pertandingan itu. Dia dihina di depan gurunya juga di depan banyak murid Jeng-hwa-pang!
Maka dengan kemarahan meluap-luap, dia mehubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan pukulan Jeng-hwa-ciang!
Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena
kedua tangan itu mengandung racun bunga hijau yang amat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau warnanya
dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis menyambar ke arah kepala Thian Sin!
"Lim Seng, jangan bunuh dia!" Tok-ciang Sian-jin berseru kaget melihat muridnya itu menggunakan pukulan
beracun. Akan tetapi seruannya itu terlambat sudah karena pukulan telah dilakukan dengan amat dahsyatnya. Semua
orang menduga bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan
oleh ketua Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu.
"Desssss...!" Pemuda remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi Lim Seng sendiri terlempar ke belakang lalu
terbanting keras, mencoba untuk bangkit akan tetapi roboh lagi dan hanya dapat bangkit duduk dan mengeluh
panjang pendek sambil memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung pada
pergelangan tangannya. Agaknya keselio. Semua orang menjadi bengong, juga Tok-ciang terbelalak. Mana mungkin
ini? Jelas bahwa muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang, akan tetapi mengapa sekali tangkis saja muridnya
malah terlempar dan pergelangan tangannya terkelir atau terlepas sambungan tulangnya? Ilmu apa yang
dipergunakan oleh pemuda remaja itu dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa
beracun dari Jeng-hwa-ciang? Selagi dia terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun
sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur, dapat diduga bahwa mereka itu
merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan
tingkat kepandaian mereka walaupun tidak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak dan mereka berlima itu
terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur
dengan amat baiknya.
"Suhu, biarkanlah teecu berlima menghadapinya!" kata orang pertama dari mereka.
Tok-ciang Sian-jin memandang kepada Thian Sin dan bertanya, "Thian Sin, apakah engkau tidak terluka?"
Thian Sin melangkah maju dan menjura dengan hormatnya. "Saudara Lim tadi memang hebat dan sungguh baik hati
sekali suka mengalah."
"Thian Sin, engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tidak perlu diadakan percobaan lagi,"
kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, diam-diam merasa kagum sekali.
Thian Sin menggeleng kepala. "Maaf, locianpwe. Saya tidak biasa menarik kembali keputusan atau janji saya. Saya
tidak akan berguru kalau belum dikalahkan."
"Hemm, jadi kalau aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus lebih dulu mengalahkanmu?" Ketua Jeng-hwa-pang
itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya.
"Kalau locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya tunduk kepada locianpwe dan tidak
ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai guru."
"Heemm, engkau berhati baja. Bagaimana kalau aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan membunuhmu?"
"Kalau sudah begitu, apa yang perlu disesalkan? Barangkali nasib saya saja yang buruk."
Sementara itu, Lim Seng sudah dapat berdiri lagi dan dengan muka yang masih merah agak bengkak oleh
tamparan-tamparan tadi, dan ia masih memegangi pergelangan tangannya yang salah urat dia berkata, "Suhu, dia
itu mencurigakan sekali!"
Akan tetapi Tok-ciang Sian-jin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya, "Masuklah dan obati
tanganmu!"
"Suhu, biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!" kata pula pimpinan dari
Ngo-heng-tin.
Mendengar ini Tok-ciang Sian-jin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum percaya benar bahwa Thian
Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena menang tinggi ilmunya. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena
Lim Seng keliru mempergunakan tenaganya. Ngo-heng-tin adalah ilmu yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh lima
orang. Jauh lebih kuat dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri kalau melatih mereka dan
harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu, tidak begitu mudah untuk melumpuhkan tin atau
barisan itu. Maka dia yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian Sin akan
tidak berdaya dan sekali terkurung, tidak akan mampu melepaskan diri lagi tentu dapat diringkus dan dikalahkan.
"Thian Sin, sebelum menghadapi aku sendiri, coba kauhadapi Ngo-heng-tin dari lima orang muridku ini. Beranikah
engkau?"
"Kalau locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani? Saya datang untuk mencari guru yang pandai dan meyakinkan."
Tok-ciang mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepalanya menyuruh lima orang murid itu maju
menghadapi Thian Sin. Pemuda ini tahu bahwa menghadapi pengeroyokan lima orang bukan hal yang boleh dipandang
ringan, maka sudah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Lima orang anggauta
Ngo-heng-tin itupun sudah berloncatan ke depan dan dengan gerakan kaki lincah mereka sudah berdiri mengurung
Thian Sin dalam bentuk segi lima. Karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) maka mereka berlima itu
mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam dan mereka itu dapat bergerak serentak dan saling membantu
dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai dengan isarat yang diberikan Tok-ciang, mereka berlima tidak
mengeluarkan senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja ini.
Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi, setelah mereka mengurung, mereka lalu
mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian
Sin terkejut juga.
Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga mengalami
pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi terkejut dan merasa repot juga. Dia mengelak dan
berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke manapun dia meloncat, tetap saja lima
orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan.
Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan
orang,
"Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi
lenganku!"
Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggauta Jeng-hwa-pang yang pernah memimpin orang-orang untuk membuat
kekacauan di dusun daerah Lembah Naga. Ayah tiri Hwe Leng dan yang telah buntung lengan kirinya ketika melawan
Thian Sin itu! Semua anak buahnya telah ikut dengan rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng
dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut. Seperti kita ketahui,
seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini.
Karena tidak ikut dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam
kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya
berduka sekali. Ketika dia mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua
Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan
tertarik, lalu menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa
terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu maka diapun lalu berteriak.
Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya
berubah merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai
dara itu tewas.
"Ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!" Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu
dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggauta Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena
pemuda itu sekali berkelebat telah lenyap! Dan terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubuh Loa
Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin! Orang yang buntung
lengan kirinya ini berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing
ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah.
"Bunuh dia!" Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak menyangka bahwa pemuda remaja yang amat disuka
dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga. Dia kecewa sekali dan menjadi
marah!
Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tidak mau berpura-pura lagi, dengan tubuh Loa Song sebagai
"senjata" dia menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin!
Terdengar bunyi "prak-prak!" berkali-kali dan orang-orang di situ tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi
tubuh lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah! Kemudian Thian Sin
melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat dengan kepala tidak karuan rupanya karena kepala Loa
Song tadi telah dipakai oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut.
Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk karena
lima kali diadu dengan kepala lima orang!
Thian Sin kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan sikap angkuh. Suasana
menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi.
"Jeng-hwa-pang, dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah bahwa namaku
adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah Naga, melainkan juga untuk membalaskan kematian
ayahku, Pangeran Ceng Han Houw dan ibuku!"
Mendengar ini, seketika wajah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua pembantunya, Kim Thian
Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu sudah berdiri. "Bunuh dia! Kepung, jangan sampai lolos!" bentak Ketua
Jeng-hwa-pang itu.
Akan tetapi Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan seperti seekor harimau muda kelaparan,
menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan tamparan Thian-te Sin-ciang.
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan tenaganya, menggunakan hawa beracun dari
tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan
hanya dengan berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras. Diam-diam dia terkejut bukan
main. Pemuda remaja itu ternyata memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Untung Tok-ciang bahwa dari
kanan dan kirinya, kedua orang tosu Pek-lian-kauw yang menjadi pembantu-pembantunya telah menubruk ke depan dan
menyerang Thian Sin. Kim Thian Seng-cu telah menyerang dengan pedangnya, sedangan Gin Thian Seng-cu menyerang
dengan kebutan bajanya yang ampuh. Melihat serangan-serangan ini, Thian Sin meloncat ke belakang dan karena di
belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa bermacam-macam senjata, dia mengamuk.
Kilatan-kilatan senjata yang seperti hujan menimpanya, dielakkannya dengan cekatan, dan setiap serangan yang
dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan.
Demikian cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, tentu
tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia
menangkis golok atau pedang, lengan bajunya robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu Thian-te Sin-ciang,
kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang
patah atau terlempar jauh!
Melihat kelihaian pemuda itu, Tok-ciang lalu mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu pecut baja. Terdengar bunyi
ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya.
Pecut baja itu meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum akan bahaya maut
ini, maka diapun mengelak dan berusaha menangkap ujung pecut. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan
tangannya, Tok-ciang menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke depan dan
menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin. Pada saat yang hampir berbareng, Kim Thian Seng-cu sudah
menyerang pula dengan pedangnya dan disusul Gin Thian Seng-cu menyerang pula dengan kebutan bajanya. Melihat
betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk
lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu.
Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus
menghindarkan pengejaran tiga macam senjata itu. Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih
belum berpengalaman, dan apalagi pada saat itu dia bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang
digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapapun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum
yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat.
Sepasang matanya yang bagus itu mengeluarkan sinar dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri melihat
kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka
sedikitpun! Dan biarpun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai dapat melakukan
serangan balasan yang cukup hebat! Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu
silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, dan sebagai pembalasan, dia menggunakan pukulan
atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang
kakek yang menjadi lawannya.
Karena dikeroyok tiga, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang menyerang bagian lemah dari
tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir dan dia sudah disambut oleh tusukan atau bacokan
dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu. Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan
tamparan, dia merobohkan satu dua orang dalam waktu cepat, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan
tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam
waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya.
"Kurung dia dengan api!" teriaknya dan kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan tiap kali Thian
Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala! Tentu saja Thian
Sin tidak berani menyambut api karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia mendesak lagi ke tengah
dan menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian.
"Mampuslah!" Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke arah dada Thian Sin.
Melihat ini, Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mematahkan senjata itu.
Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat baik sehingga ketika ditangkis, ujungnya melentur dan
tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin. Dan pemuda
itu merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut baja itu tentu mengandung
racun dan cepat dia mengerahkan sin-kang seperti yang pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga. Memang
hebat sekali karena begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka, dari luka
kecil itu keluar darah dan semua racun yang dibawa ujung pecut dan mengotori luka itu terbawa keluar oleh
darah!
"Ha-ha-ha!" Tok-ciang Sian-jin tertawa bergelak karena dia merasa yakin bahwa luka dengan ujung pecut itu satu
kali saja sudah cukup dan dia merasa yakin bahwa dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh
karena racun yang terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu
pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung elang rajawali menyambar seekor ular.
Tok-ciang mengeluarkan seruan kaget, berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya. Thian Sin tidak berhasil
memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung
dan pemuda remaja itu dengan kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk. Terjadi tarik-menarik dan hampir
saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi. Akan tetapi pada saat itu, dua orang tokoh
Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri. Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan
tiba-tiba sehingga cambuk itu melecut ke arah muka pemlliknya. Baiknya Tok-ciang sudah melempar tubuh ke
samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban senjatanya sendiri. Dia meloncat bangun dan wajahnya berubah agak
pucat. Tak disangkanya pemuda itu sedemikian hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum
juga jatuh setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun?
Thian Sin kini sudah marah sekali. Biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut dengan mengeluarkan
racun itu seketika dari pundaknya, namun luka di pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri.
Ketika dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh sehingga pedang itu
lewat, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan Kim Thian Seng-cu sambil mengerahkan tenaga
Thi-khi-i-beng! Dia telah melanggar pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan
ilmu ini.
"Heiii...?" Kim Thian Seng-cu berteriak aneh ketika tiba-tiba dia merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya
mengalir keluar seperti air bah, tersedot melalui tangan pemuda remaja itu! Dia belum pernah mendengar, apalagi
merasakan hal seperti ini, maka dia terkejut bukan main. Gin Thian Seng-cu juga sudah menyerang dengan
kebutannya yang memukul ke arah punggung Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak.
"Prattt!" Kebutan itu mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Seng-cu karena
kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sin-kangnya juga membanjir keluar. Dia berusaha menarik
kebutannya, akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sin-kang yang mengalir
keluar dari tubuhnya! Dia mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Seng-cu, karena kakek inipun merasa betapa
pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dan semakin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat
pula tenaganya tersedot keluar.
Melihat ini, mula-mula Tok-ciang terkejut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu aneh yang kabarnya
dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi-i-beng yang dapat menyedot tenaga sin-kang lawan.
Teringat akan hal ini, dia cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak den
menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu! Melihat ini, tentu saja Thian Sin
terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya kebal terhadap tusukan pecut.
Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan sambil menundukkan mukanya dia berusaha menangkap ujung pecut,
akan tetapi Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya. Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika
mereka terlepas. Sudah ada tenaga sin-kang mereka yang memberobot keluar, membuat mereka merasa agak pening
kepala mereka. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, akan tetapi juga dengan
hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga
amat mengerikan hati mereka.
"Siapkan jala langit!" tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sian-jin berteriak sambil memperhebat serangannya, dibantu
oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu. Thian Sin tidak tahu apa maksud perintah itu, akan tetapi karena dia
diserang secara gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan perhatiannya dan
mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga orang musuhnya ini.
Dia tidak tahu bahwa di atas langit-langit itu telah dipasang jala yang tadinya tergulung dan tersembunyi dan
kini, dengan menarik beberapa tali-temali di bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih
terus mengamuk ketika tiba-tiba dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu, tiga orang lawannya
telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang
memegang obor bernyala dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan menyelimuti
dirinya. Thian Sin menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan tetapi
ternyata jala itu terbuat daripada benang-benang yang amat kuat, tidak dapat dibikin putus karena agak mulur
dan ulet bukan main. Selagi dia meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan
tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu terbawa naik pula! Thian Sin berusaha untuk melepaskan diri, namun
sia-sia belaka dan tubuhnya sudah tergantung ke udara, terselimut jala yang amat kuat itu sedangkan para
anggauta Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan mengejeknya.
Tok-ciang Sian-jin yang sudah menjadi amat marah melihat banyaknya anak buahnya yang tewas, menyambar sebatang
tombak dari tangan seorang murid dan dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah
tubuh yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan amat cepatnya dan tepat
mengenai punggung Thian Sin.
"Dukkk...!" Tombak itu seperti mengenai besi saja dan terpental, jatuh terbanting berkerontangan di atas
lantai. Semua orang terkejut. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan tombak itu tidak
ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi
dirinya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam
atau runcing.
"Hemm, ingin kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata sambil
tertawa. "Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi,
ha-ha!" Semua murid Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke dalam
ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung.
"Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin, apa yang hendak kaukatakan sekarang? Apakah engkau hendak minta ampun?" Tok-ciang
mengejek karena dia merasa marah sekali kalau melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di tempat itu.
Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar sekali, bukan hanya kerugian karena kematian
banyak anak murid, akan tetapi juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang.
"Kakek iblis terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan gunakan kecurangan,
lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Thian Sin memaki dan menantang.
"Lekas bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang berbahaya sekali!" kata Kim Thian Seng-cu, masih
teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu Thi-khi-i-beng tadi. Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah
itu terlalu lihai untuk dibiarkan hidup. Tok-ciang Sian-jin lalu mengambil sebatang obor dari tangan anak
buahnya dan melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan bernyala, makin lama
makin tinggi.
Thian Sin sudah merasakan hawa panas dari bawah, dan dia mengumpulkan hawa murni untuk mempertahankan diri
selama mungkin. Otaknya bekerja dan dia mengharapkan bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari jala itu. Kalau
jala itu lebih dulu terbakar daripada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat turun dan
mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan daripada tubuhnya terhadap api, dia akan mati, hal
yang bukan apa-apa karena dia akan menyusul ayah bundanya!
Biarpun api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas telah membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan
pakaiannya menjadi basah semua, dan asap membuat dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikitpun tidak
ada keluhan terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tertawa dan ejekan orang-orang Jeng-hwa-pang tidak
didengarnya lagi.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi kacau-balau. Thian Sin membuka
matanya dan memandang ke bawah. Timbul pula semangatnya ketika dia melihat Han Tiong mengamuk di antara
orang-orang Jeng-hwa-pang.
"Tiong-ko, lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!" teriak Thian Sin dengan girang.
Han Tiong memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang dan meloncat ke atas, pedangnya diayun
membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua
mengamuk. Thian Sin bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu disertai tenaga sepenuhnya dan setiap
orang yang kena pukulannya tentu roboh tak dapat bangun kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya
patah. Melihat sepak terjang adiknya ini, apalagi melihat bahwa dia situ telah berserakan mayat belasan orang
banyaknya, Han Tiong menjadi ngeri.
"Sin-te, jangan membunuh orang!" teriaknya lantang. Mendengar teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah,
suaranya halus akan tetapi juga penasaran.
"Koko, mereka hampir saja membunuhku!"
Mereka berdua menerjang sedemikian hebatnya sehingga para anak bua Jeng-hwa-pang terdesak keluar dari ruangan
itu. Juga Tok-ciang Sian-jin dan dua orang pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan
tubuh berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu berloncatan keluar mengejar.
"Sin-te, sudah terlampau banyak orang yang kaubunuh!" kembali Han Tiong menegur, suaranya kini terdengar tegas
dan penuh nada teguran.
"Baiklah, Tiong-ko...!"
Tok-ciang Sian-jin sudah maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, sedangkan Thian Sin kini dihadapi
oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw. Pertempuran terjadi di luar rumah dan amat serunya. Akan tetapi para anak
buah Jeng-hwa-pang tidak ada yang berani mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua
orang muda perkasa itu. Mereka sudah berusaha mempergunakan racun-racun, bahkan menaburkan bubuk beracun atas
perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena dua orang muda itu tidak roboh oleh
penyebaran bubuk racun itu. Senjata-senjata mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han
Tiong mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu kalang-kabut, mereka
hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian Sin yang sudah marah sekali kepada mereka.
"Plak! Plakk!" Untuk pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te Sin-ciang dan
mereka menjerit dan roboh terpelanting. Thian Sin mengejar dan dua kali kakinya menginjak. Terdengar bunyi
"krek-krek!" tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang iga dan tulang leher patah-patah!
"Sin-te...!" Han Tiong berteriak marah. Tok-ciang Sian-jin sendiri sudah terdesak hebat dan melihat betapa dua
orang pembantunya tewas dalam keadaan mengerikan itu, diapun lalu meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti
oleh para muridnya yang masih selamat.
"Tiong-ko, aku harus membunuh mereka. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat, dan kalau engkau tidak keburu
datang, aku tentu telah menjadi babi panggang!" kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat
pandang mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia menunduk.
Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak nampak seorangpun anggauta Jeng-hwa-pang.
Mereka semua telah lari dan meninggalkan mereka yang tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang
rebah, kebanyakan telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas panjang.
"Sin-te, berapa banyak orang yang telah kaubunuh? Rombongan yang kaubunuh di hutan itu! Dan sekarang di sini!
Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari Paman Hong San Hwesio? Lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa
kita tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!"
Thian Sin mengangkat muka memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua perbuatannya dan dia merasa
menyesal sekali. "Mereka... mereka membunuh ayahku... ibuku... dan mereka membunuh Hwi Leng! Ah... Tiong-ko,
mereka... mereka merenggut nyawa orang-orang yang kucinta... aku menjadi mata gelap, kaumaafkanlah aku,
Tiong-ko..." Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua tangan. Pemuda remaja ini menangis!
Han Tiong merasa terharu dan kasihan sekali. Dia amat sayang kepada adiknya ini dan diapun dapat merasakan
betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng, apalagi karena yang membunuh dara itu adalah
orang-orang Jeng-hwa-pang yang dahulu mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu. Betapapun juga,
ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan segalanya sudah terjadi, dan yang
terbunuh itu, bagaimanapun juga, harus diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena
mereka itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan jahat.
Didekatinya adiknya dan dirangkulnya. "Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya kuminta agar lain kali
engkau jangan terlalu membiarkan dirimu hanyut dalam arus kemarahan dan dendam yang membutakan mata."
Thian Sin terisak dan balas merangkul kakaknya. "Terima kasih, Tiong-ko, akan kuperhatikan nasihatmu. Harap...
harap kau... tidak melaporkannya kepada ayah... aku takut akan tegurannya..."
Han Tiong menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya. "Eh, engkau terluka? Parahkah
lukamu?"
Thian Sin tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggeleng kepala, "Terkena tusukan pecut baja ketua
Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi telah kukeluarkan dengan dorongan tenaga sin-kang."
"Baik kalau begitu, nah, mari kita urus mereka."
"Urus mereka? Siapa?"
Han Tiong menuding ke arah orang-orang yang menggeletak di sana-sini. "Urus mayat-mayat itu, dan urus mereka
yang terluka," katanya dengan nada suara agak dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh
rombongan Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan.
Thian Sin masih belum begitu mengerti, akan tetapi dia mengikuti kakaknya dan tanpa banyak cakap lagi dia
membantu kakaknya ketika Hen Tiong mulai membuat lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati
mereka yang terluka parah. Menjelang senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Di
sepanjang perjalanan, Thian Sin nampak berwajah muram sekali.
"Jangan khawatir, adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan itu."
Thian Sin menarik napas panjang. "Aku percaya sepenuhnya kepadamu, koko. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikan
pikiran... aku... aku tak dapat melupakan Hwi Leng..." Dan dia menarik napas panjang berulang-ulang. Diam-diam
Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau menghadapi wanita cantik? Dia tahu
bahwa adiknya telah merasa kehilangan dengan kematian Hwi Leng dan untuk kedua kalinya patah hati setelah
dahulu kehilangan Cu Ing. Setelah keduanya tiba di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu
mereka, Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua telah mengejar sampai ke sarang
Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu dan ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah
mereka.
"Engkau terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat."
Cia Sin Liong memeriksa luka itu. "Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus sekali. Eh, Thian Sin,
berapa banyak orang yang telah kaubunuh?"
Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin berubah, akan tetapi ditekannya perasaan hatinya.
"Saya... saya tidak tahu, ayah..., mereka mengeroyok dan saya membela diri sedapat saya..."
"Ayah, Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris dibakar hidup-hidup."
"Untung Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya dan kami berdua lalu mengamuk dan mengalahkan
mereka..."
Cia Sin Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah menyusul mereka dan
diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak
terjang Thian Sin dan Han Tiong dan dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan putera angkatnya
itu. Hatinya khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin dan diapun kagum melihat keberaniannya ketika telah
tertawan namun masih amat berani itu. Dan melihat betapa Han Tiong amat melindungi dan membela adiknya, maka
Cia Sin Liong diam saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin itu. Dia
hanya bertanya tentang pertempuran itu. Thian Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang pertempuran
itu, akan tetapi tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi-i-beng. Kepada Han
Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang penggunaan Thi-khi-i-beng dan untuk itu, Han Tiong
telah menegurnya. Terhadap kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu, bahkan
baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat hatinya tertekan kepada kakaknya.
Semenjak terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu berlatih silat di
bawah pengawasannya. Dia melihat betapa semenjak terjadinya peristiwa itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali
duduk termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan. Maka sebagai seorang yang sudah banyak
pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda yang romantis itu tentu mengalami patah hati yang agak parah karena
hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai pengobatan adalah menyuruhnya berlatih
sebanyak mungkin, latihan ilmu silat dan berlatih siulian untuk menghimpun sin-kang.
Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya yang sudah asyik
berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya
memakai celana dan sepatu. Tubuh mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang
pada otot-otot mereka. Sungguh amat menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih
silat. Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han Tiong demikian mantap,
tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin seperti gerakan
ombak samudera yang gelombang dan tak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang di tepi samudera
yang kokoh kuat. Namun keduanya memiliki daya kekuatan masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang
menonton dua orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku tangan.
Pada saat itu, sambil mengeluarkan pekik melengking, Thian Sin meloncat dan menyerang dengan tendangan yang
disusul dengan cengkeraman tangan kanan, seperti seekor harimau yang menubruk mangsanya. Namun Han Tiong dengan
tenangnya menangkis tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang dielakkannya dengan
merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar
lawan. Thian Sin juga dapat menangkis dan selanjuthya dua orang pemuda itu saling serang dengan hebatnya. Angin
pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia itu dan diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan
hati puas dan bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya melihat
bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang mendalam itu. Dia melihat bahwa tidak percuma
dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua ilmu silat yang mereka pelajari telah mendekati
kesempurnaan dan agaknya tidak berselisih jauh dengan dia sendiri. Tentu saja mereka itu masih belum memiliki
kematangan pendekar dan masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh
kang-ouw yang akan mampu menandingi mereka!
Tak lama kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan wanita yang cerdas
inipun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah tampan anak angkat mereka, maka diapun memberi isyarat
kepada suaminya dan mereka berdua meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam, di mana mereka
membicarakan keadaan Thian Sin.
"Dia agaknya tidak dapat melupakan gadis itu," kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di dalam kamar.
"Ah, dia amat lemah menghadapi wanita seperti mendiang ayahnya," kata Sin Liong.
"Dia amat mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga mudah melupakan.
Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing, akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia
jatuh hati kepada Hwi Leng. Aku yakin bahwa kalau dia bertemu dengan gadis lain yang dapat memikat hatinya,
diapun akan lupa kepada Hwi Leng." kata Bi Cu dengan hati tidak puas.
Sin Liong menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah biasa mempermainkan
wanita dan berganti-ganti pacar. "Pemuda seperti dia itu sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan."
Bi Cu mengerutkan alisnya. "Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan jodoh begitu saja? Tanpa
persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal itu tidak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan
menjadi sebuah perkawinan yang bahagia."
"Tentu saja harus atas persetujuannya. Ah, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi mempunyai seorang anak
perempuan? Siapa namanya? Ah, aku lupa lagi..."
"Namanya Ciu Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!" kata Bhe Bi Cu yang juga teringat,
bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang
mungil dan lembut.
"Aihh, masih kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun telah lewat, apa kau sudah
lupa? Tentu dia sudah belasan tahun usianya sekarang!"
"Benar, akan tetapi paling banyak hanya baru tiga belas tahun usianya, masih belum dewasa benar."
"Betapapun juga, usia belasan tahun tak dapat dinamakan anak-anak lagi dan kalau sudah berkenalan dengan anak
itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka..."
"Seorang di antara mereka?"
"Ya, bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan andaikata seorang di
antara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan
isterinya!"
"Hemm, lalu maksudmu bagaimana?"
"Tiong-ji dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik, hanya tinggal
mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau
mereka berdua itu kusuruh pergi melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar
ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan dengan anak-anak Lan-moi dan
Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?"
"Ah, dan membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, di mana banyak terdapat orang-orang jahat
yang lihai? Ingat, di dunia kang-ouw kini muncul raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang
lain-lain..." kata Bi Cu khawatir.
"Ah, justeru karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka perlu mereka untuk
meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukan anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kauingat ini.
Mereka sudah dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan."
Demikianlah, Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan rencananya dan tentu saja
Han Tiong dan Thian Sin menyambut rencana itu dengan kegembiraan. Mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke
kota raja malah! Mereka menerima benyak nasihat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar penuturan Sin
Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya
yang mungkin akan mereka jumpai di dalam perantauan.
"Ingat baik-baik," demikian antara lain pendekar itu memberi nasihat, "sebagai orang-orang yang membela
keadilan dan kebenaran, di mana kalian berada, kalian harus membela orang-orang lemah tertindas. Akan tetapi,
kalian tidak boleh mempergunakan ilmu untuk membunuh orang, betapapun jahat orang itu, karena perbuatan itu
akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan para penjahat itu sendiri. Kalian tentu saja dalam membela
orang-orang lemah harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan tetapi cukup kalau
kalian memberi ingat, baik dengan kasar maupun halus agar mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat
mungkin, hindarkan perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apalagi membunuhnya. Mengertikah
kalian?" Biarpun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan
terutama kepada Thian Sin. Dua orang muda itu mengangguk.
Setelah membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan Thian Sin meninggalkan
Lembah Naga. Hati mereka diliputi kegembiraan dan senanglah Han Tiong melihat betapa wajah adiknya yang
semenjak kematian Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan. Mereka
berangkat dengan hati lapang, seperti dua ekor burung yang baru terlepas dari sarang, diikuti pandang mata
Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan.
***
Melihat adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali Han Tiong ikut merasa gembira. Ketika mereka
mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai tiba dan mereka mengisi perut dengan roti kering yang mereka
bawa sebagai bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun, keduanya duduk di
dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap.
"Engkau senangkah melakukan perjalanan ini, Sin-te?"
"Tentu saja, apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa seperti seekor burung keluar dari
sarang terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?"
Han Tiong tersenyum. Kalau pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau karena adiknya itu
sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang
dialami adiknya itu.
"Selama beberapa pekan ini engkau di rumah nampak berduka dan kecewa. Apakah kematian Hwi Leng yang membuat
engkau menjadi demikian berduka, adikku?"
Thian Sin menggeleng kepala, membuat kakaknya terheran. "Hwi Leng sudah mati, hal itu tidak mungkin berubah
biar aku akan menangis air mata darah sekalipun. Aku hanya merasa menyesal melihat betapa semua pelajaran
tentang kebaikan yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio maupun dari ayah, atau dari kitab-kitab, ternyata
tidak ada gunanya sama sekali."
"Eh? Apa maksudmu?" Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan itu.
"Maksudku? Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik menurut semua pelajaran
itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri sendiri belaka."
"Hemm, aku masih belum mengerti."
"Coba engkau ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andaikata aku tidak mentaati semua pelajaran
Paman Hong San Hwesio, andaikata dahulu aku tidak bersikap alim, andaikata aku tidak menahan nafsu dan aku
mengajak Cu Ing pergi bersamaku, menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang
tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Demikian pula dengan Hwi Leng, andaikata dia kuajak hidup bersama,
tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati oleh penjahat-penjahat itu!"
"Ah, omongan apa yang kaukeluarkan ini, Sin-te?" Han Tiong memandang dengan sinar mata tajam dan sejenak mereka
saling bertentangan pandang mata, akan tetapi akhirnya Thian Sin menunduk.
"Maafkan aku, Tiong-ko."
Han Tiong menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga mengandung teguran halus,
"Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanya didasarkan
rugi untung, susah senang bagi dirimu sendiri belaka. Engkau kecewa karena Cu Ing dikawinkan dengan orang lain
sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal karena dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa
dirugikan. Sesungguhnya engkau tidak mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri,
ingin memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa kecewa dan menyesal."
Thian Sin kelihatan terkejut mendengar ucapan itu. "Apa... maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu bahwa aku
benar-benar mencinta mereka!"
Han Tiong menggeleng kepala. "Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus bersyukur bahwa gadis itu tidak
melakukan hal yang mendatangkan aib bagi keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang
telah dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan tentang Hwi Leng, dia matipun hanya sebagai akibat dari
keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang anggauta Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap
pengkhianat dan dibunuh. Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut
dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa kasihan kepada mereka, hal itu memang
sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari
sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka."
Thian Sin mengangguk-angguk. "Aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat menangkap kebenaran
kata-katamu. Memang, agaknya aku terlalu mementingkan diri sendiri saja."
"Bagus, adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Engkau agaknya terlalu peka,
terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih
berhati-hati, karena seorang pendekar tidak semestinya sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang mengandung
lebih banyak seginya yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya melemahkan hati seorang pendekar. Kita
harus dapat menanggulangi segala persoalan yang betapa pahitpun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran
yang selama ini kita terima?"
Thian Sin memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri. "Jangan khawatir, adikmu ini telah
melihat kesalahannya dan tidak akan mengulang kebodohannya lagi." Thian Sin lalu mengeluarkan suling dari
buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu terdengarlah alunan suara tiupan suling yang
merdu. Han Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu sehingga akhirnya dia tertidur
pulas di bawah pohon dekat api unggun.
Karena perjalanan itu melalui perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang perkumpulan Jeng-hwa-pang,
maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan
ketika mereka memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa perkampungan itu ditempati oleh sedikitnya tiga
puluh orang anggauta Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat munculnya dua orang pemuda ini, para anggauta
Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan.
"Harap kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!" Han Tiong berseru nyaring dan mereka yang mendengarnya
itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat dan sikap yang gentar mereka berhenti dan
menghampiri dua orang muda yang amat mereka takuti itu.
Han Tiong dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka. "Kami bukan datang sebagai musuh," kata Thian Sin.
"Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan di sini."
Tiba-tiba seorang di antara para anggauta Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke arah dua orang muda
itu dan semua orang yang berada di situ mengikuti contoh ini. Mereka semua berlutut.
"Ji-wi taihiap harap sudi memaafkan kami semua..." kata orang itu.
Han Tiong saling pandang dengan Thian Sin, dan tersenyum, "Bangkitlah, kalian tidak perlu berlutut. Kami datang
hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini.
Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?"
"Tidak, tidak, taihiap. Para pimpinan telah meninggalkan kami. Kami adalah anggauta-anggauta yang tidak
mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami kembali ke sini dan tinggal di sini." jawab orang pertama.
Kini dua orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik pondok-pondok itu. Tentu keluarga
orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka.
Kemudian orang itu menceritakan bahwa semenjak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh dua orapg pemuda
Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah
lari ke mana. Dan karena para anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka mereka
itu berturut-turut kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman kembali. Akan tetapi banyak juga di
antara anak buah Jeng-hwa-pang yang melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang mempunyai keluarga saja tidak
berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan.
Setelah mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Keadaan mereka cukup baik
dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meninggalkan banyak juga harta benda untuk mereka.
"Saudara-saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan kami
dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga memiliki anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai
tanggung jawab. Oleh karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup kalian,
menjauhi pekerjaan yang jahat dan jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang
lain.
Kalian dapat bekerja sebagai petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga
bekerja sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau kalian menjadi orang-orang
yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan
tetapi kalau kalian kembali kepada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak apabila kami lewat
di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar kalian dan mengusir kalian dari tempat ini."
Orang-orang itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan pesan pendekar muda
itu. Kemudian dua orang pemuda itu lalu meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan
baru itu karena mereka semua tentu tidak mau lagi mempergunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan
mereka menyeberangi Tembok Besar.
Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya, "Ada apakah, Sin-te?"
"Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat,
dan di depan kita karena mereka merasa takut, tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu. Akan tetapi
kelak, aku yakin bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apalagi kalau ada yang memimpin mereka."
"Hemm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?"
"Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok
mereka itu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat seperti mereka
itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!"
Han Tiong tersenyum, "Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan
penyelewengan dalam hidupnya? Lupakah engkau akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan
penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah seorang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya
yang sakit, melainkan batinnya. Nah, kalau kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita beri obat, bukan?
Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang
sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Betapapun juga, manusia adalah mahluk yang amat lemah, baik badan
maupun batinnya. Itulah sebabnya kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan membenci mereka."
"Mengasihani orang jahat?"
"Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit..."
"Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, harus pula kita kasihani penjahat itu?"
Dibantah seperti ini, Han Tiong tidak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu
bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian
kekasihnya. Tentu saja dia tidak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat daripada
perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk
diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat.
"Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang
ayah bundamu, maupun Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil berkecimpung di dunia kang-ouw dan
karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tidak ada yang harus menjadi penasaran. Andaikata
kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu
dijadikan dendam?"
"Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang
kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat."
Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka
diapun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tidak
menyenangkan itu dan melanjutkan perjalanan dengan gembira karena pemandangan di sepanjang perjalanan, melalui
bukit-bukit itu amat mempesonakan. Biarpun mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja pada tujuh
tahun yang lalu bersama Cia Sin Liong dan isterinya ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika
itu selain telah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Dan Han Tiong sendiri
yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah ketika dia baru berusia sebelas tabun. Oleh
karena perjalanan itu amat jauh, dan dia sama sekali sudah tidak lagi ingat jalannya, sebelum mereka berangkat,
Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui. Pertama-tama, mereka akan
memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong agar di kota
raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai,
juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka
diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke
timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun.
"Kalian boleh pergi merantau sampai satu tahun," demikianlah pesan Cia Sin Liong. "Waktu itu sudah lebih dari
cukup bagi kalian untuk mengunjungi tiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di
kota raja, yang penting mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di
Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama."
Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain
tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena sejak dahulu, pintu gerbang ini yang paling
sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu,
bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar
Tembok Besar. Dan tidaklah aneh karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga
penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain
yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah
terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri.
Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo
pada puluhan tahun yang lalu agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di
seberang lautan sehingga hubungan dagang dapat diperbesar, baik dengan negara-negara barat sampai ke India dan
Arabia, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampai ke Kepulauan Indoesia, yaitu Sumatera dan Jawa.
Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran dan kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw menarik pula minat orang-orang
kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah sejak
puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang.
Biarpun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, namun dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut,
bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak
menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah.
Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng
Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan
oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dihadiahi Istana Lembah Naga oleh
kaisar dan harta benda yang amat banyak. Hanya karena pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang
panglima, karena andaikata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Biarpun demikian,
pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apalagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua
orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar
jangan memperkenalkan diri sembarangan dan agar jangan sampai berhubungan dengan kerajaan.
Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiripun adalah seorang pemuda yang sederhana batinnya, tidak
suka akan nama besar dan kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari
kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu
hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati. Akan tetapi tidak demikian dengan
Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapapun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya
adalah saudara kaisar! Biarpun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapapun juga, dia adalah keponakan
yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama! Akan tetapi, di samping
ini, diapun tahu bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini pula, mengirim pasukan untuk
"menghukum" ayahnya sebagai pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa ayahnya menjadi
pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka
yang turun tangan membunuh ayah bundanya.
Biarpun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, namun keduanya memandang dengan wajah
berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar dan indah, jalan-jalan
raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan pakaian-pakaian
orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan
jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka
merasa kagum sekali.
"Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu," kata Han Tiong kepada adiknya.
"Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh,
kan? Lebih aman dan tidak menyolok," kata Thian Sin.
"Tidak, adikku. Justeru kalau bermalam di kuil tua atau sebagainya, lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk
bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena pakaian kita seperti
pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil
menggendong buntalan pakaian seperti ini, menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar, menyimpan buntalan
pakaian, baru kita jalan-jalan," jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui. Memang pemuda ini
selalu taat kepada Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu
benar dan tepat.
Di dalam hatinya, Thian Sin amat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu
dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dia yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga
dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama mempergunakan ilmu simpanan mereka, dia tidak akan menang melawan
kakaknya. Biarpun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di
antara dua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka saling menceritakan tentang ilmu-ilmu
simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu
bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi-i-beng dan Cap-sha-ciang atau lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang hanya
boleh diturunkan kepada satu orang saja. Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa diapun diberi
pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi-i-beng itu kepada adiknya. Hal inipun tidak
membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan
semestinya.
Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan setelah mandi dan berganti pakaian, mereka lalu pergi
keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal
mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik
perhatian karena mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin
di sore hari itu. Setelah berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan memasuki
sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih dan sedap.
Ketika mereka memasuki rumah makan itu, ternyata restoran itu mempunyai ruangan yang cukup luas, bahkan ada
ruangan lain di loteng dari mana para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin
mengajak kakaknya naik ke loteng.
Ternyata di ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula yang agaknya masih
menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan gorengan-gorengan, sedangkan beberapa orang muda duduk
di tepi loteng sambil minum-minum dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu
diarahkan kepada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat jalan itu.
Dua orang muda itu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang tamu yang menarik
perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun yang duduk di sudut ruangan seorang
diri, menghadapi seguci arak dan sebuah cawan dan beberapa piring gorengan dan dan kacang. Pemuda itu memakai
topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya, dia seperti seorang pemuda hartawan yang royal.
Wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pemuda itu, terutama
sekali perhatian Thian Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja. Thian Sin
adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai bertiup suling dan pandai bernyanyi. Ketika dia
berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seerang hwesio dia pernah pula belajar memainkan yang-kim, maka kini
melihat ada seorang pemuda tampan membawa yang-kim, dia tertarik sekali. Ada sesuatu yang menarik pada yang-kim
itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua
ujungnya berbentuk gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali!
Pemuda tampan yang berpakaian mewah itupun melirik ke arah dua orang pemuda remaja itu dan pandang matanya
sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak
menyembunyikan rasa kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin dan keduanya merasa
tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah,
melainkan oleh adanya alat musik yang-kim di atas meja itulah.
Seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka, akan tetapi begitu laki-laki tampan itu menggerakkan ibu jari
dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan
dengan sikap hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat menghampiri meja
pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk.
"Siangkoan-kongcu (tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagikah?" tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah
dan penuh hormat. Pemuda tampan itu sudah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas
bertulis itu kepada pelayan sambil berkata, nada suaranya halus seperti cara bicara seorang terpelajar.
"Sampaikan ini kepada pengurus restoran!"
Pelayan itu melirik ke atas kertas, kedua alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan
memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan
ruangan loteng itu, tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi akan
datangnya dua orang tamu baru ini.
"Hei, pelayan!" Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring sehingga pemuda mewah itu melirik
dan tersenyum. Pelayan itu cepat menghampiri dan membungkuk-bungkuk, sikapnya hormat.
"Kongcu memanggil saya?" tanyanya.
"Tentu saja, kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman." kata Thian Sin dan Han Tiong lalu
memesan beberapa macam masakan dan nasi dan air teh. Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum
sopan, kemudian setelah menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng.
Karena maklum bahwa pemuda mewah yang mempunyai yang-kim itu biarpun tidak langsung memandang kepada mereka
akan tetapi memperhatikan, Thian Sin dan Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar,
menanti datangnya pesanan makanan. Pada saat itu, semua tamu yang berada di loteng itu, tidak kurang dari
sepuluh orang banyaknya, semua pria, menoleh dan memandang ke arah tangga yang menghubungkan loteng itu dengan
tingkat bawah. Karena tertarik, Han Tiong dan Thian Sin juga mengerling ke arah tangga dan mereka melihat
seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah pula memasuki loteng itu dengan mulut terseyum-senyum
simpul amat manisnya. Wanita itu masih muda, takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, selain cantik
manis, juga bentuk tubuhnya padat dan menggairahkan menonjol di balik pakaian yang terbuat dari sutera halus
yang mewah. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan, dihias dengan pengikat rambut emas
permata berkilauan. Ketika tersenyum, sekilas nampak giginya yang putih berkilau, menyaingi hiasan rambutnya.
Semua pria yang berada di loteng itu memandang kagum dan melihat senyum mereka, agaknya mereka semua mengenal
wanita ini. Akan tetapi wanita itu menoleh ke arah pemuda yang mempunyai yang-kim, lalu berlari kecil
menghampiri lalu menjura dengan lemah lembut dan manis gayanya.
"Ah, maafkan kalau saya terlambat, kongcu." katanya dan dua orang wanita cantik berpakaian pelayan juga sudah
naik ke loteng, mengiringkan wanita cantik itu. "Kalian tunggu saja di bawah," kata wanita cantik itu kepada
dua orang pelayannya.
"Siang Hwa, kau baru datang? Duduklah. Engkau hanya terlambat sedikit, wajar bagi seorang wanita cantik, tentu
membutuhkan banyak waktu untuk berhias."
"Bukan begitu, Siangkoan-kongcu, akan tetapi ada seorang tamu yang hendak memaksa saya, padahal sudah diberi
tahu bahwa saya tidak sempat menerima tamu dan ada keperluan penting. Eh, mungkin dia mengikuti aku ke sini,
wah berabe orang itu...!"
Pemuda itu hanya tersenyum. "Duduklah, tenanglah. Nah, minumlah secawan arak untuk menenangkan hatimu."
Wanita muda itu menerima cawan arak dan meminumnya, kemudian tersenyum dan memandang kepada pemuda itu dengan
manis. "Kongcu aneh, kenapa tidak datang ke sana, melainkan menyuruh aku datang ke tempat umum begini?"
"Aku ingin engkau bernyanyi dengan iringan yang-kimku di tempat ini..." Mereka lalu bicara lirih-lirih sambil
kadang-kadang tersenyum. Semua orang kini tidak berani lagi memandang ke arah wanita itu setelah melihat betapa
wanita itu menjadi "tamu" atau sahabat dari pemuda yang mewah itu.
Thian Sin dan Han Tiong mencium bau harum ketika wanita itu lewat di dekat mereka pada saat menghampiri meja
pemuda tampan. Thian Sin memandang kagum. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik ini! Dan dia kagum
pula menyaksikan sikap pemuda tampan itu, demikian tenang, demikian penuh wibawa, akan tetapi juga halus dan
manis terhadap wanita itu. Sikap seorang laki-laki tulen! Han Tiong sudah tidak melihat lagi, akan tetapi Thian
Sin masih terus memandang ke arah meja mereka dan ketika pemuda mewah itu menoleh dan melihat dia memandang,
pemuda itu tersenyum lebar dan mengangguk sedikit. Menyaksikan keramahan ini, mau tidak mau Thian Sin juga
menggerakkan sedikit kepalanya sebagai balasan, lalu diapun memutar leher dan menghadapi kakaknya.
Pada saat itu, kembali semua orang menoleh ke arah tangga karena dari situ muncul serombongan pelayan memanggul
baki-baki terisi masakan-masakan. Ada empat orang pelayan membawa makanan dan diiringkan oleh pengurus restoran
itu sendiri, seorang laki-laki gemuk pendek yang mulutnya terus-menerus tersenyum lebar seolah-olah mukanya
pecah menjadi dua. Tadinya Thian Sin dan Han Tiong mengira bahwa tentu makanan yang banyak itu dipesan oleh
pemuda mewah itu untuk menjamu tamunya yang cantik. Akan tetapi betapa heran rasa hati mereka ketika para
pelayan itu, dipimpin oleh pengurus restoran, langsung menghampiri meja mereka dan mengatur semua hidangan itu,
lebih dari dua belas mangkok besar banyaknya, ke atas meja di depan mereka.
"Hei, apa artinya ini?" Thian Sin berseru.
"Maaf, kalian tentu telah salah menghidangkan pesanan ini. Semua ini bukan pesanan kami, tentu pesanan orang
lain." kata Han Tiong sambil bangkit berdiri.
Pengurus restoran itu menjura dan mulutnya menjadi semakin lebar seperti robek. "Memang benar makanan ini
dipesan oleh Siangkoan-kongcu di sana, akan tetapi untuk ji-wi kongcu (tuan muda berdua). Silakan!"
"Tapi... tapi... kami tidak mengenal dia," kata Han Tiong.
Pengurus restoran itu masih tetap tersenyum. "Itu tandanya Siangkoan-kongcu menghargai ji-wi dan mengajak ji-wi
untuk berkenalan. Beliau adalah seorang pemuda hartawan yang baik hati, mengenal semua pembesar di istana dan
terkenal amat royal, membagi uang seperti pasir saja." Setelah mengangguk dan membungkuk, pengurus restoran
itupun meninggalkan meja itu, diiringkan empat orang pelayan.
Han Tiong dan Thian Sin saling pandang, kemudian keduanya bangkit dan menghampiri meja pemuda mewah yang masih
nampak mengobrol dengan wanita cantik tadi, seolah-olah tidak melihat sedikit keributan tadi. Akan tetapi
ketika dua orang muda itu menghampiri mejanya, diapun cepat menoleh, lalu bangkit dan bersikap hormat,
tersenyum ramah.
"Kami tidak mengerti apa maksud Anda dengan pemberian hidangan itu!" kata Han Tiong, sikapnya halus dan sopan,
akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah orang. Melihat pandang mata ini, pemuda mewah itu
kelihatan agak gugup, akan tetapi dia menutupi kegugupannya dengan senyum lebar.
"Ah, saya tidak mempunyai niat buruk. Saya amat tertarik kepada ji-wi, dan melihat bahwa ji-wi bukan penduduk
sini, maka saya memberanikan diri berlaku lancang menjadi tuan rumah untuk menjamu ji-wi dengan hidangan
sekedarnya."
"Tapi... tapi kami tidak mengenal Anda..."
"Perkenalkanlah, saya bernama Siangkoan Wi Hong, seorang pendatang di kota raja yang seorang diri dan kesepian,
akan tetapi saya mengenal banyak orang di sini dan akan menyenangkan sekali kalau menambah kenalan saya dengan
ji-wi."
Melihat sikap yang demikian sopan, bicaranya lancar dan halus, Han Tiong tidak dapat menolak lagi. Thian Sin
yang sejak tadi mendengarkan saja kini berkata. "Akan tetapi, hidangan itu terlalu banyak untuk kami berdua.
Maka silakan Saudara Siangkoan untuk makan bersama dengan kami, juga kami tawarkan kepada nona..."
Orang yang bernama Siangkoan Wi Hong itu tersenyum dan mengangguk-angguk, memuji sikap Thian Sin yang ramah dan
juga tidak pemalu seperti Han Tiong.
"Terima kasih kalau memang ji-wi menghendaki, kami akan suka sekali. Bukankah demikian, Nona Siang Hwa?" Dia
menoleh kepada wanita itu yang juga sudah bangkit berdiri.
Nona itu menjura dengan tubuhnya yang padat menggairahkan, gerakannya amat lemah gemulai ketika membungkuk.
"Ahhh, saya merasa amat terhormat sekali..." katanya, suaranya merdu, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling
tajam.
Di dalam hatinya, Han Tiong kurang setuju dengan penawaran adiknya, akan tetapi karena sudah terlanjur, tentu
saja dia tidak dapat mengelak lagi. Entah bagaimana dia merasa kurang enak dan canggung menyaksikan sikap
wanita cantik itu yang begitu memikat sikapnya, sikap genit sungguhpun kegenitan ith halus sekali dan
nampaknya, melihat gerak-geriknya dan susunan kata-katanya, wanita itu juga seorang yang sopan terpelajar.
Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan yang segera disuruhnya memindahkan
bangku-bangkunya ke meja dua orang pemuda itu. Kini mereka berempat duduk menghadapi meja penuh hidangan dan
dengan cekatan Wi Hong menuangkan arak ke dalam cawan wanita itu dan dua orang pemuda yang menerimanya dengan
sungkan.
Baik Han Tiong maupun Thian Sin bukan peminum arak dan biarpun mereka biasa minum arak akan tetapi tidak begitu
suka. Akan tetapi, karena orang itu sebagai fihak tuan rumah sudah menuangkan arak, terpaksa mereka mengangkat
cawan dan meminumnya ketika Wi Hong berkata. "Silakan minum demi persahabatan kita!"
"Saya telah memperkenalkan nama saya, yaitu Siangkoan Wi Hong, dan dia ini adalah Siang Hwa, kembang di antara
kembangnya daerah hiburan di kota raja. Maka saya harap ji-wi sudi memperkenalkan nama agar lebih leluasa kita
bercakap-cakap."
Biarpun mereka belum berpengalaman, namun istilah "kembang daerah hiburan" itu mengejutkan Han Tiong dan Thian
Sin. Jadi wanita cantik ini adalah seorang pelacur? Ah, mereka berkenalan dengan seorang pelacur dan tentu
pemuda itu merupakan seorang pemuda hidung belang, dan duduk semeja dengan seorang pelacur!
"Nama saya Thian Sin," kata Thian Sin dengan cepat.
"Aih she Thian? Jarang saya bertemu dengan orang she Thian!" kata Wi Hong memuji, kemudian memandang kepada Han
Tiong. "Dan Anda?"
"Saya bernama Cia Han Tiong," jawabnya sederhana.
"She Cia? Ah, kalau Cia cukup banyak, bahkan terkenal karena bukankah keluarga Cin-ling-pai juga she Cia? Wah,
jangan-jangan Saudara Cia Han Tiong ini keluarga Cin-ling-pai? Aha, tentu saja bukan, karena kalau keluarga
Cin-ling-pai tentu langsung saja ke istana, bukan?"
"Kami berdua adalah kakak dan adik angkat." kata Han Tiong cepat, hanya asal dapat mengatakan sesuatu saja dan
dia tidak perlu menjawab benar atau tidaknya ucapan Wi Hong tadi.
Wi Hong kembali hendak mengisi cawan arak, akan tetapi Han Tiong menolaknya dan berkata, "Terima kasih... tapi
kami berdua jarang minum arak, bagi kami cukup teh saja."
"Aihhh, pemuda-pemuda yang terpelajar dan hidup bersih menjauhi arak, ya? Bagus, mari silakan makan." Wi Hong
ternyata pandai sekali bicara dan sikapnya amat ramah sehingga mereka mulai makan minum sambil bercakap-cakap,
atau lebih tepat lagi Wi Hong yang bercakap-cakap sedangkan dua orang muda itu hanya lebih banyak mendengarkan
saja.
"Saya sendiri bukan orang kota raja," antara lain Wi Hong bercerita memperkenalkan dirinya, "saya tinggal di
Tai-goan, akan tetapi saya sering pesiar di kota raja, di mana ayah mempunyai sebuah rumah, juga mempunyai
sebuah cabang toko di kota raja ini. Apakah ji-wi datang dari utara? Logat bicara ji-wi seperti orang utara..."
"Kami datang dari dusun, di utara kota raja..."
"Ah, agaknya pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian tahun ini, ya? Jangan khawatir kalau memang demikian,
saya mempunyai kenalan baik yang duduk sebagai anggauta panitia ujian..."
"Ah, sama sekali bukan!" kata Han Tiong dan mukanya menjadi agak merah. Dia dan Thian Sin disangka
pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian siucai (sasterawan)! "Kami hanya melancong saja, hendak pergi ke
rumah bibi kami di Lok-yang dan hanya singgah untuk melihat-lihat di kota raja ini."
"Ji-wi kongcu, harap jangan sungkan, makanlah daging dan sayurnya. Mari, jangan malu-malu!" Wanita itu dengan
gaya memikat lalu menggunakan sumpitnya untuk mengambilkan daging dan sayur dan diletakkan ke dalam mangkok
Thian Sin dan Han Tiong. Dua orang muda itu tersipu-sipu, akan tetapi tidak mampu menolak dan mengucapkan
terima kasih. Melihat sikap dua orang muda itu demikian malu-malu, Siangkoan Wi Hong tertawa.
"Ha-ha-ha, Thian-lote dan Cia-lote, harap jangan malu-malu. Dia ini adalah kembangnya daerah hiburan di kota
raja. Bahkan pembesar-pembesar tinggi, para pangeran pun merindukannya dan sering kali dia dipanggil ke istana
untuk memberi hiburan. Suara nyanyiannya seperti burung hong dan kalau dia menari, wah, seperti bidadari baru
turun dari sorga!"
"Ih, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Jangan terlalu tinggi mengangkatku, kongcu, kalau terlepas dan
jatuh, bisa remuk aku!" kata wanita itu sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang putih indah
dan sekilas nampak ujung lidah yang merah.
Thian Sin ikut tertawa. Senang hatinya karena wanita itu ternyata selain ramah, juga pandai bicara. Akan tetapi
Han Tiong beberapa kali menengok ke kanan kiri, memandang ke arah para tamu lain dengan hati kurang enak. Dia
merasa yakin bahwa tentu ada udang di balik batu, ada apa-apanya di balik undangan makan pemuda kaya dan royal
ini. Dan hatinya semakin merasa tidak enak melihat betapa pandang mata para tamu lain, hanya melalui kerlingan,
mengandung iri hati!
Tiba-tiba semua orang tertarik oleh bunyi gaduh kaki orang melangkah dengan kasar menaiki tangga yang menuju ke
loteng. "Tidak peduli dia bersama siapa, aku harus bertemu dengan dia!" Terdengar suara seorang laki-laki,
suara yang kasar dan mengandung kemarahan.
Mendengar suara ini, Siang Hwa kelihatan ketakutan dan wajahnya yang cantik manis itu berubah pucat. "Celaka,
Siangkoan-kongcu, dia benar-benar datang menyusul!" katanya kepada Siangkoan Wi Hong.
"Tenanglah, biar saja, hendak kulihat dia akan berbuat apa," kata Siangkoan Wi Hong dan melihat sikap pemuda
hartawan ini yang demikian tenang, diam-diam dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga itu merasa kagum juga.
Mereka menduga bahwa tentu pemuda yang mempunyai alat musik yang-kim ini agaknya pandai pula ilmu silat, maka
menghadapi ancaman orang dia kelihatan tenang saja. Apalagi kalau diingat bahwa alat musik itu bentuknya
seperti senjata, maka dua orang muda itu makin yakin akan dugaan mereka dan diam-diam mereka ingin sekali
melihat apa yang akan terjadi. Mereka tidak merasa khawatir karena yang akan menghadapi urusan keributan adalah
pemuda she Siangkoan itu, bukan mereka. Mereka sama sekali tidak mencari perkara, bahkan untuk menjaga agar
jangan sampai membikin orang lain merasa tidak senang, mereka telah menerima undangan makan dan suguhan orang
she Siangkoan itu, walaupun mereka merasa tidak enak sekali harus duduk makan semeja dengan seorang pelacur.
Mereka tadi membayangkan dengan hati kecut betapa akan sikap ayah dan ibu mereka kalau melihat mereka duduk
mengobrol dan makan semeja dengan seorang pelacur, pelacur yang menjadi kembang pelacur di kota raja!
Muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun, bermuka
bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya, dan rambutnya mengkilap licin terlalu
banyak minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru, tubuhnya tinggi tegap dan matanya yang besar itu
terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia agaknya terlalu banyak minum arak. Di belakangnya nampak dua
orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di
punggung dan sikap mereka serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketingglan hati. Semua
tamu menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentu akan terjadi keributan, apalagi ketika mereka
mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam bopeng ini.
Begitu laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda, dia terbelalak semakin
marah dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari
loteng itu, akan tetapi yang bernyali lebih besar tidak turun melainkan bersembunyi di balik meja-meja sambil
menonton.
"Heh, pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda Ji) dan melarikan diri
untuk pesta dengan orang-orang di sini? Engkau telah menghinaku, keparat!" Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak
dan telunjuknya yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan.
"Sudah... sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat..." Wanita itu coba untuk memberi alasan.
"Tidak sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta di sini, ya? Engkau pelacur hina, perempuan rendah!
Tidak tahukah engkau siapa aku? Berapa hargamu? Biar kepalamupun sanggup aku membelinya! Coba katakan, berapa
engkau disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!"
"Siauwya, harap maafkan aku..." Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis. "Biarlah besok saya menerima
kunjungan siauwya..."
"Apa? Kaukira hanya uang saja yang dapat kuberikan? Kaukira aku tidak dapat melakukan kekerasan? Siapa berani
menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut minta ampun dan ikut bersamaku. Sekarang juga, mengerti?
Kalau tidak..." Dia menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya dan tangan kanannya yang besar itu
diangkat lalu ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja itu.
"Brakkk!" Meja itu pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat dan mengenai muka
Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang
tertawa itu adalah Siangkoan Wi Hong.
Orang she Ji itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkan karena agak pedas terkena kuah
yang mengandung merica itu. Setelah dia dapat membuka mata, dia melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong.
"Bocah keparat! Kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak ingin kuhancurkan
kepalamu!" bentak pemuda muka bopeng itu kepada kongcu yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu.
"Hemm, aku masuk restoran ini dengan membayar, aku mengundang Siang Hwa pun tidak dengan paksa, mana bisa aku
disuruh keluar dengan paksa? Siapa sih engkau ini yang bersikap begini sombong? Tringgg...!" Orang she
Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan itulah bunyi "tring" sebagai penutup kata-katanya tadi.
Si Muka Bopeng menjadi semakin marah. "Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak mengenal tuan besarmu...?"
"Tringg...!" Yang-kim itu disentil kembali.
"Dengar baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu..."
"Tranggg..."
"Semua orang menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!"
"Cringgg...!"
Karena setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti bicara diselingi dengan bunyi
trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin
tidak dapat menahan ketawanya, akan tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada
pemuda she Siangkoan itu.
"Bocah kepar... anghhh...!" Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba pemuda she Siangkoan itu
menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, bakso yang
dijepit sumpit itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu sudah memasuki mulut Ji Lou Mu yang
sedang terbuka. Tentu saja Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi menyelonong
ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya.
"Aahhh... aukkk... kekkk...!" Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik. Seorang di antara dua
jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat.
"Blukk!" Dan bakso yang nakal itu meloncat keluar dari mengelinding di atas lantai.
"Hajar dia! Hantam dia...!" Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang jagoannya maju
seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu lawan. Akan tetapi baru saja dua orang jagoan
silat itu maju, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan sumpitnya dengan cepat dan dua potong daging basah
menyambar ke arah muka dua orang jago silat itu.
"Plok! Plok!" Begitu cepatnya daging ini menyambar sehingga dua orang jagoan itu tidak sempat mengelak lagi,
dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena mulut mereka tidak sedang terbuka, maka potongan
daging itu tidak masuk, hanya menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan
kuah kecap!
"Ha-ha-ha, anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?" Siangkoan Wi Hong kembali berkata sambil
tertawa, kemudian melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan yang kiri
mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah
muka Ji Lou Mu.
"Plak-plak-plak...! Aduhhh... auuw... aduhh...!" Ji Lou Mu adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan
bertenaga kuat, juga dia sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali
karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan seperti hujan batu atau peluru yang amat
keras dan kuat menghantami mukanya. Dia berjingkrak-jingkrak dan menutupi kedua mata dengan tangan, dan semua
gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga nampak semakin lucu.
Marahlah dua orang jagoan tukang pukul itu ketika mereka diserang dengan sepotong daging dan mereka merasa
terhina dan malu sekali. "Sing! Sing!" Mereka mencabut pedang mereka. Melihat ini, si kasar Ji Lou Mu juga
mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan mahal penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata
pada gagangnya. Melihat betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin bersikap enak-enak saja,
melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh mereka. Dua orang kakak beradik ini tadi telah melihat
gerakan Siangkoan Wi Hong dan tahulah mereka bahwa biarpun tiga orang kasar ini menggunakan pedang, tak perlu
dikhawatirkan keselamatan pemuda tampan itu yang mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Siang
Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir pingsan. Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan
tubuhnya yang hampir terguling, akan tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa terus merangkul
dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan dan pemuda ini cepat mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan
dengan halus dia melepaskan diri. Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika
dirangkul seperti itu!
"Ha-ha-ha!" Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi pada saat itu, Ji Lou Mu
telah menerjangnya bersama dua orang tukang pukulnya, pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika
menyerang, membuat para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan darah dan
mayat!
Dua orang pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi Hong tetap duduk di
atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit
itulah dia hendak menyambut serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han Tiong
dan diam-diam diapun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau perlu.
Tetapi tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim dan terdengarlah bunyi
trang-tring-trang-tring yang merdu sekali, berlagu merdu akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu
terkejut sekali karena mereka merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim itu!
Dan tiga orang kasar itu juga tiba-tiba menghentikan gerakan mereka, wajah mereka pucat karena mereka diserang
oleh suara itu dan pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, menotok ke arah
tangan yang memegang pedang. Terdengar suara berkerontangan ketika tiga batang pedang itu terlepas dari tangan
pemegangnya masing-masing dan jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong
menggerakkan kakinya, menginjak ke arah tiga batang pedang itu satu demi satu dan terdengarlah suara
"krek-krek-krek!" dan tiga batang pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Ji Lou Mu dan dua orang
pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama
sekali bukan tandingan mereka!
Akan tetapi Ji Lou Mu yang melihat bahwa di situ terdapat banyak orang, tidak mau mengalah begitu saja. "Kau
tunggulah saja di sini, pembalasanku akan segera datang!"
"Tring! Trang!" Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini terdengar suara ketawa di
sana-sini. Agaknya para tamu restoran itu merasa lega dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak
itu dapat dikalahkan.
Mendengar ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada dua orang pembantunya. "Mari pergi!"
Akan tetapi baru saja dia dan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba berkelebat bayangan
orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong sudah menghadang di depan mereka sambil tersenyum. "Mengapa kalian
tergesa-gesa amat? Kalau memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat kepergian kalian." Tangannya bergerak
cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu
terpelanting dan terguling-guling ke bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga
mengalami hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara ketawa para tamu yang
berada di atas loteng. Sambil merangkak, tiga orang itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur segera pergi
dari restoran itu.
Pemilik restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng dan menangis menjatuhkan diri di depan Siangkoan Wi Hong
yang duduk kembali di atas bangkunya. "Ah, Siangkoan-kongcu bagaimana ini... ah selamatkan kami dan restoran
kami..."
"Aih, engkau ini kenapa sih?" Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari cawannya.
"Kongcu tidak tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan pengawal istana! Wah,
celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan dibakar"
"Hemmm, aku tidak takut."
"Benar, kongcu tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan dihukum, dibunuh... ah,
tolonglah, kongcu!"
"Hemm, dia putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas) atau pasukan
Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?"
"Bukan, akan tetapi pasukan istana bagian luar."
"Hemm, yang dipimpin oleh Panglima Giam?"
"Benar, kongcu."
"Jangan khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menanti di sini sampai ayah si kerbau dungu itu
datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak dan daging kepada semua tamu yang berada di loteng ini, atas namaku yang
akan membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku atas bantuan moral
saudara-saudara!" katanya dengan ramah kepada semua tamu dan belasan orang itu menyambutnya dengan sorak
gembira.
"Siang Hwa, mari bernyanyilah!" Siangkoan Wi Hong mengajak pelacur cantik itu. Akan tetapi ternyata wanita itu
masih pucat sekali dan tubuhnya masih gemetar, mana mungkin dia dapat bernyanyi? Tentu suaranya akan menggigil
pula! Sementara itu Siangkoan Wi Hong sudah memainkan yang-kimnya dengan jari-jari tangan yang gapah sekali dan
terdengarlah nyanyian yang-kim yang merdu. Diam-diam Thian Sin merasa kagum sekali dan dia merasa menyesal
mengapa dia tidak membawa sulingnya, tentu dia akan meniup sulingnya untuk mengimbangi bunyi yang-kim itu.
"Hayo, Siang Hwa, apakah kau masih takut?" pemuda itu membujuk, akan tetapi wanita itu masih belum sadar
kembali dan masih ketakutan.
"Ha-ha-ha, penakut. Lihat, dua orang saudara muda ini tenang-tenang saja. Sungguh luar biasa mereka ini, patut dipuji dengan nyanyian," Dan sambil terus memainkan yang-kimnya, tiba-tiba pemuda itu sudah menyanyikan lagu yang dibuatnya pada saat itu juga! Dua anak burung baru keluar dari sarang mereka masih belum berpengalaman dan muda belia namun demikian tenang dan gagah perkasa pasti bukan anak burung biasa belaka setidaknya tentu anak burung garuda
Han Tiong dan Thian Sin terkejut dan juga kagum. Pemuda yang bernama Siangkoan Wi Hong ini tampan dan kaya,
royal dan pandai bergaul, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi mengagumkan, dan kini ternyata amat pandai
menggubah nyanyian seketika dan langsung menyanyikannya, dan nyanyian itu terisi pujian bagi mereka berdua,
namun sekaligus seperti telah mengenal rahasia mereka! Benar-benar seorang yang amat lihai dan karenanya amat
berbahaya.
Akan tetapi Thian Sin yang sejak tadi memang sudah kagum sekali, mendengar nyanyian ini, timbul kegembiraan
hatinya. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, bahkan diapun merupakan seorang
yang amat berbakat dan ahli membuat sajak, maka dia merasa digerakkan dan didorong oleh sikap yang
menggembirakan dari Siangkoan Wi Hong itu.
Bagaikan tak sadar dia lalu menjawab nyanyian itu dengan nyanyiannya, nyanyian sederhana saja sehingga mudah
diikuti oleh suara yang-kim, akan tetapi suaranya terdengar nyaring dan merdu, juga gagah, tidak kalah bagusnya
dari suara Siangkoan Wi Hong tadi!
Lemah lembut, ramah dan baik budi sebagai sahabat yang menarik hati
dengan sumpit menyuguhkan hidangan berarti dengan sumpit pandai membela diri dengan yak-kim pandai menghibur hati membuat sajak dan bernyanyi memuji sungguh seorang pendekar yang pantas dihargai Sepasang mata Siangkoan Wi Hong terbelalak dan dia bertepuk tangan memuji, lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya, "Sungguh hebat, Thian-lote! Sungguh hebat! Aku terima kalah!" Dan diapun minum arak secawan itu.
Sementara itu, melihat sikap mereka, Siang Hwa sudah pulih kembali keberaniannya dan tak lama kemudian
bernyanyilah wanita ini, diiringi suara yang-kim dan memang benarlah keterangan Siangkoan Wi Hong tadi. Wanita
ini selain cantik manis, juga memiliki suara nyanyian yang merdu sekali. Suasana di loteng restoran itu menjadi
gembira karena para tamu yang diberi hadiah suguhan arak dan daging gratis itu, kini disuguhi nyanyian merdu
lagi, sudah pada bertepuk tangan, mengiringi irama nyanyian karena merekapun sudah mulai mabuk. Hanya Han Tiong
yang nampak tenang dan serius, sungguhpun kegembiraan itu juga membuat wajahnya yang tampan membayangkan
kejujuran dan kebaikan hati itu berseri. Namun, pandang matanya terhadap Siangkoan Wi Hong kadang-kadang amat
tajam penuh selidik dan diapun merasa gembira melihat Thian Sin mengetuk-ngetukkan sumpit pada meja untuk
mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh Siang Hwa dengan indah sekali. Dia tahu bahwa agaknya adik angkatnya
itu menemukan "dunianya" karena belum pernah dia melihat adiknya segembira itu, sungguhpun adiknya itupun,
seperti juga dia, hanya minum sebanyak dua cawan arak saja dan sama sekali tidak mabuk seperti para tamu di
loteng itu, juga seperti Siangkoan Wi Hong yang agaknya juga sudah mabuk.
Sampai kurang lebih dua jam mereka bersenang-senang dan para pelayan restoran sibuk menambahkan daging dan arak
yang terus diminta. Tiba-tiba para pelayan berlarian dan para tamu yang duduk di tepi loteng dan menjenguk ke
bawah menjadi pucat. Biarpun sebagian besar dari mereka itu sudah mabuk, akan tetapi melihat orang-orang
berpakaian seragam dan naik kuda mengurung restoran itu, mereka tahu apa yang akan terjadi.
"Celaka, restoran itu dikurung pasukan! Wah, kita semua akan ditangkap!"
"Mungkin dibunuh!"
"Dituduh pemberontak!"
Siangkoan Wi Hong mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, suaranya nyaring dan tenang, "Saudara-saudara
semua, duduklah di tempat masing-masing dan jangan bergerak, jangan panik. Serahkan semua kepada aku orang she
Siangkoan, karena akulah yang bertanggung jawab. Jangah khawatir, tidak akan terjadi apa-apa. Kalau ada di
antara saudara yang sampai tewas dalam peristiwa ini, aku akan menebusnya dengan seribu tail perak yang akan
kuserahkan kepada keluarganya! Siang Hwa, bernyanyilah lagi..."
"Aku... aku tidak sanggup... kongcu..." Siang Hwa menggeleng kepala dan mukanya sudah pucat lagi, telinganya
dipasang baik-baik mendengarkan derap kaki kuda dan ringkik mereka di bawah loteng.
"Siangkoan-twako, biarlah aku yang bernyanyi," tiba-tiba Thian Sin berkata.
"Bagus!" Siangkoan Wi Hong memuji dan Thian Sin segera bernyanyi, nyanyian gembira.
Kaisar dan para pembesar berpesta-pora dalam kemewahan gedung istana
siapa berani mengganggunya? Kita rakyat biasa dengan hidangan eadanya
bergembira ria apa salahnya Eh, tahu-tahunya dikepung pasukan tentera
yang katanya pelindung rakyat jelata Hayaaaaa
Baru selesai dia bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara gaduh banyak kaki naik ke tangga dan muncullah seorang
komandan pasukan yang berusia lima puluh tahun lebih, bersikap galak, bertubuh tinggi kurus dengan pakaian
indah mengkilap, diikuti oleh belasan orang pasukan pengawal yang kesemuanya memakai pakaian seragam dan
masing-masing memegang sebatang pedang mengkilap di tangan kanan dan perisai di tangan kiri.
"Jangan bergerak semua yang berada di loteng!" komandan itu membentak dengan suara terlatih sehingga terdengar
mengandung wibawa. "Siapakah di antara kalian yang telah berani memukul Ji-siauwya?" Sepasang mata komandan itu
dengan tajam menyapu ruangan, jelas kemarahan hebat membayang di wajahnya yang kurus.
Sunyi di tempat itu setelah pertanyaan ini. Sunyi yang menegangkan dan Siang Hwa mulai tak dapat menahan
isaknya yang ditahan-tahan. Dengan tenang Siangkoan Wi Hong bangkit dari tempat duduknya, dan melangkah ke
depan menghadapi kapten pasukan itu sambil menjawab, "Akulah orangnya!"
Komandan itu memandang kepada pemuda itu seolah-olah pandang mata seekor singa yang hendak menerkam mangsanya.
Tangan kanannya sudah meraba gagang pedangnya dan kini anak buahnya sudah maju, siap membantu komandan mereka
kalau dipertntahkan.
"Hemmm, engkaukah Ji-cianbu (kapten Ji) yang memimpin pasukan ini? Lihat baik-baik, Cianbu, lupakah engkau
kepadaku? Bukankah seminggu yang lalu engkau juga hadir ketika Giam-ciangkun menjamuku sebagai tamunya? Aku
datang dari Tai-goan, lupakah engkau?"
Sementara mata yang tadinya marah itu makin terbelalak dan wajah itu berubah agak pucat setelah dia teringat
lagi dan tangan yang sudah meraba pedang itu menjadi lemas dan tergantung di sisi. Kemudian dia menjura. "Ah,
kiranya Siangkoan-kongcu! Ah, maaf... akan tetapi mengapa kongcu..."
"Hemm, puteramu yang tak tahu diri, Cianbu. Semua orang di sini menjadi saksi. Puteramu yang datang membikin
kacau dan menggangguku, menyerangku. Terpaksa aku menghajarnya." Suara pemuda itu kini penuh wibawa dan keren.
Tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu kini berubah menjadi penuh kekhawatiran dan kedukaan, dan suara yang
tadinya keren memerintah itu kini berubah penuh permohonan. "Siangkoan-kongcu, harap suka mengasihani kami...
kongcu tolonglah putera kami itu..."
"Hemm, kalau aku tidak mengampuni mereka, apakah kaukira mereka itu sekarang masih hidup?" kata Siangkoan Wi
Hong dengan sikap yang membayangkan ketinggian hati dan memandang rendah kepada kapten itu.
"Kongcu, sudah kuperiksakan tabib istana... katanya tidak ada harapan... keracunan hebat, tolonglah, kongcu,
kami hanya mempunyai seorang putera saja..."
Siangkoan Wi Hong menggerakkan hidungnya dengan sikap menghina. "Kalau sudah tahu puteranya hanya seorang,
kenapa tidak dididik sebaiknya menjadi orang yang berguna?" Dia membentak.
Perwira itu menjura dan mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata yang maksudnya mohon pertolongan. Siangkoan Wi
Hong mengangguk. "Baikiah!" Dia lalu merogoh saku jubahnya, melemparkan kantong berisi uang yang nyaring
bunyinya ke atas meja.
"Siang Hwa, kaubayar semua hidangan, dan sisanya untukmu."
Wanita itu mengambil kantung uang dan menjura. "Terima kasih, kongcu." katanya dengan suara merdu.
"Ji-wi lote, kuharap akan dapat bertemu lagi dengan kalian. Sungguh aku merasa gembira sekali dapat berkenalan
dengan kalian. Thian-lote, engkau sungguh hebat. Dalam hal bernyanyi dan bersajak, aku mengaku kalah. Sampai
jumpa pula." Dia lalu melangkah turun dari loteng dengan sikap dan lagak sembarangan, sambil mengangguk dengan
senyum ke kanan kiri kepada orang-orang yang memandangnya dengan penuh kagum. Yang-kim itu dipanggulnya seperti
seorang perajurit memanggul tombak, dan jari tangan kirinya yang memanggul itu mempermainkan kawat-kawat
yang-kim sehingga terdengar bunyi trang-tring nyaring.
Tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda dari tempat itu ketika perwira dan pasukannya itu
mengiringkan Siangkoan Wi Hong yang juga diberi seekor kuda pilihan. Barulah sekarang para tamu berisik
membicarakan pribadi pemuda yang amat hebat itu dan dari pembicaraan-pembicaraan ini tahulah Han Tiong dan
Thian Sin bahwa Siangkoan Wi Hong memang seorang pemuda yang kaya raya dan memiliki hubungan yang erat sekali
dengan para pembesar tingkat tinggi di kota raja. Oleh karena itu, tentu saja seorang perwira berpangkat cianbu
sama sekali tidak berani menentangnya, karena komandan tertinggi pasukan itu, yaitu atasan dari Ji-cianbu
sendiri adalah sahabat baik pemuda itu bahkan seminggu yang lalu Ji-cianbu melihat sendiri betapa atasannya
menjamu pemuda itu dengan penuh kehormatan. Siang Hwa membayar semua harga hidangan dan sisa uang itu dibawanya
pulang, diantar oleh dua orang pelayannya dengan naik kereta.
Han Tiong mengajak adiknya meninggalkan restoran dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin memuji-muji pemuda itu.
"Bukan main! Sungguh membuat aku kagum sekali. Orang she Siangkoan itu benar-benar hebat, seorang pendekar
tulen yang patut dikagumi!"
"Memang dia hebat, Sin-te, kaya raya, pengaruhnya besar, ilmu silatnya lihai dan dia pandai main yang-kim,
pandai bersajak dan bernyanyi. Akan tetapi sayang, hatinya kejam bukan main."
"Ehh...?" Thian Sin menoleh kepada kakaknya dengan pandang mata heran. "Kejam? Justeru sebaliknya. Dia baik
sekali, ramah dan suka menolong..."
"Itulah, adikku. Suka akan sesuatu atau tidak suka akan sesuatu secara berlebihan membuat kita kehilangan
kewaspadaan. Kalau engkau menyukai seseorang secara berlebihan, yang nampak dari orang itu hanya baiknya saja,
sebaliknya kalau engkau membenci orang secara berlebihan, yang nampak darinya hanya buruknya saja. Sebaliknya,
kalau kita bebas dari ikatan suka dan tidak suka, barulah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan. Tidak
tahulah engkau betapa dia tadi memberi pukulan-pukulan maut kepada tiga orang itu? Tepukan-tepukan yang membuat
tiga orang itu jatuh ke bawah tangga adalah pukulan yang akan membunuh tiga orang itu. Tidakkah perbuatan itu
ganas dan kejam sekali?"
Thian Sin mencoba membantahnya, "Tapi... mereka bertiga itu adalah orang-orang jahat yang menggunakan kekuasaan
untuk bertindak sewenang-wenang. Si Bopeng itu sombong sekali, dan dua orang yang lain adalah kaki tangannya,
mereka jahat, sudah layak dipukul!"
"Hemm, dan layak dibunuh pula?"
Thian Sin tidak menjawab. Dia memang benci sekali kepada mereka bertiga yang sombong dan sewenang-wenang itu,
akan tetapi tidak ada terdapat dalam pikirannya untuk membunuh mereka. Betapapun juga, dia tetap membela,
"Tiong-ko, hendaknya engkau bersikap adil. Coba andaikata Saudara Siangkoan itu tidak memiliki ilmu silat yang
tinggi, apakah bukan dia yang sudah menggeletak tanpa nyawa, menjadi korban keganasan orang she Ji itu?"
"Kalau memang terjadi demikian, tentu kita turun tangan melindunginya. Dan andaikata terjadi dia dibunuh oleh
mereka, tentu bukan dia yang kukatakan kejam, melainkan orang she Ji dan dua temannya."
"Tapi dia hanya membela diri, Tiong-ko!"
"Hemm, kau melihat jelas bahwa pukulan maut itu dilakukan bukan untuk membela diri. Dia dengan mudah dapat
mengalahkan mereka bertiga tanpa harus menurunkan tangan maut! Adikku, betapapun juga, kita harus berusaha
menyelamatkan nyawa orang itu. Mereka terkena pukulan sin-kang yang kuat, dan agaknya kita masih akan dapat
menolong mereka. Kita coba saja!"
"Ah, kita menolong orang jahat itu?"
"Bukan, adikku. Kita bukan menolong orang-orang jahat, bukan membantu orang-orang jahat, melainkan mencoba untuk menolong orang-orang yang diancam maut. Marilah!"
Terpaksa Thian Sin mengikuti kakaknya dan setelah bertanya-tanya, dengan mudah mereka dapat menemukan rumah
gedung dari Ji-cianbu, perwira pengawal istana itu. Teringat bahwa tadi orang she Siangkoan juga diajak pergi
oleh Ji-cianbu ke tempat ini, dan kini nampak banyak pengawal dengan kuda mereka menanti di depan gedung. Han
Tiong lalu mengajak adiknya mengambil jalan memutar, lalu menggunakan ilmu kepandaian mereka untuk meloncati
pagar tembok, memasuki taman dan dengan loncatan-loncatan tanpa menimbulkan suara mereka telah naik ke atas
wuwungan rumah dan mengintai ke dalam dari atas genteng.
Mereka melihat Siangkoan Wi Hong duduk berhadapan dengan Ji-cianbu di dalam ruangan yang luas dan di situ
terdapat tiga buah dipan di mana rebah terlentang tiga orang yang tadi membikin ribut di restoran. Wajah mereka
pucat agak kehijauan dan ketiganya mengeluh lirih dan bergerak lemah.
"Hemm, kenapa begini lama?" terdengar Siangkoan Wi Hong bertanya, suaranya mengandung ketidaksabaran.
Perwira itu bangkit dan menjura, dengan gugup, "Harap kongcu bersabar... tentu kongcu maklum betapa sulitnya
bagi kami untuk mengumpulkan uang lima puluh tail emas dengan pangkat dan gaji kecil seperti saya... sabarlah
karena tentu isteri saya sedang mencari pinjaman ke sana-sini..."
"Ha-ha-ha-ha, Ji-cianbu, tak perlu lagi engkau bersandiwara di depanku. Siapa yang tidak mengetahui keadaan
para pembesar di kota raja? Gajimu boleh jadi memang kecil dan tidak seberapa, seperti gaji para pembesar
lainnya, bahkan pembesar tinggi sekalipun berapa sih gajinya? Akan tetapi lihat gedung-gedung kalian, lihat isi
rumah kalian, lihat isi gudang kekayaan kalian! Kalau hanya mengandalkan gaji kalian, biar kalian bekerja
sampai tujuh turunan sekalipun tidak mungkin dapat mengumpulkan kekayaan sebesar itu. Lalu dari mana? Ha-ha-ha,
semua orang pun sudah tahu, hanya kalian saja orang-orang tolol yang mengira bahwa tidak ada orang tahu.
Sudahlah, cepat sediakan jumlah yang kuminta, itu masih terlalu murah untuk mengganti tiga nyawa. Kalau tidak,
aku akan pergi, karena aku masih mempunyai banyak urusan!"
"Baikiah, baiklah..." Ji-cianbu lalu bertepuk tangan dan ketika seorang pengawal masuk, dia berbisik, "Cepat,
minta kepada hujin untuk cepat datang membawa uang itu."
Siangkoan Wi Hong sudah mengentrang-ngentrang yang-kimnya, sikapnya acuh tak acuh dan kepada pemuda ini,
Ji-cianbu menjura dan bertanya, "Yakinkah benar kongcu bahwa kongcu akan dapat menyembuhkan anakku?"
"Cringgg!" Bunyi kawat paling kecil dari yang-kim itu demikian nyaringnya sehingga Ji-cianbu terkejut dan
melangkah mundur.
"Aku yang memukul, tentu saja aku dapat menyembuhkan!"
Tak lama kemudian muncullah seorang nyonya setengah tua tergopoh-gopoh membawa bungkusan uang kain kuning.
Ji-cianbu mengambil bungkusan ini dari tangan isterinya dan menyerahkannya kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda itu
menerimanya, sambil tersenyum dia membuka kantung dan melihat isinya yang ternyata uang-uang emas,
potongan-potongan besar yang berkilauan. Dia menimang-nimang dengan tangan seperti hendak memeriksa beratnya,
kemudian memasukkan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar. Setelah itu dia berkata. "Buka baju mereka!"
Ji-cianbu memanggil pengawal dan dia bersama dua orang pengawal lalu membuka baju Ji Lou Mu dan dua orang
tukang pukulnya. Ketika tubuh mereka dibalikkan, di punggung mereka nampak cap tangan menghitam, jelas sekali
seperti dilukis dengan tinta. Itulah bekas tangan Siangkoan Wi Hong ketika menepuk punggung mereka satu demi
satu itu!
Siangkoan Wi Hong menghadapi mereka, lalu dengan cepat jari-jari tangannya menotok beberapa jalan darah di
sekitar punggung, kemudian dia menempelkan telapak tangan kirinya ke punggung yang terluka. Tak lama kemudian,
nampak asap atau uap mengepul dari punggung yang ditempeli telapak tangan itu, seolah-olah dibakar! Ji Lou Mu
mengeluh dan mengerang kesakitan, dihardik oleh Siangkoan Wi Hong. "Pengecut, diamlah! Masa menderita nyeri
sedikit saja sudah merengek cengeng?" Dibentak seperti itu, Si Muka Bopeng terdiam dan menahan nyeri sampai
mukanya penuh keringat. Tak lama kemudian Siangkoan Wi Hong melepaskan tangannya dan ternyata tanda hitam itu
telah lenyap.
"Kau telan ini, sehari sekali, tiga hari berturut-turut," katanya sambil menyerahkan tiga butir pel hitam
kepada Ji Lou Mu yang menerimanya dan kini pemuda muka bopeng itu sudah mampu duduk dan menghaturkan terima
kasih.
Dengan sikap tak acuh Siangkoan Wi Hong mengobati pula dua orang tukang pukul itu. Mereka tidak berani mengeluh
walaupun jelas bahwa mereka menderita nyeri hebat. Akhirnya merekapun disembuhkan dan masing-masing diberi tiga
butir pel hitam.
"Nah, aku pergi sekarang. Biarlah ini menjadi pelajaran bagi puteramu agar lain kali jangan bersikap
sembarangan dan sewenang-wenang!" Setelah berkata demikian, diantar oleh Ji-cianbu yang membungkuk-bungkuk dan
berkali-kali menyatakan terima kasih, pemuda itu memanggul yang-kimnya dan keluar dari gedung itu. Dia menolak
ketika diberi kuda dan melangkah ke jalan raya lalu berjalan seenaknya pergi dari situ.
Sejak tadi, Han Tiong dan Thian Sin melihat semua peristiwa itu dan diam-diam Thian Sin merasa terkejut sekali.
Melihat betapa Siangkoan Wi Hong yang dikaguminya itu memeras minta uang emas sebelum mau mengobati Ji-kongcu
dan dua orang tukang pukulnya! Segera setelah Siangkoan Wi Hong pergi, merekapun diam-diam meloncat turun dari
atas genteng melalui bagian belakang gedung dan pergi dari tempat itu.
"Hemm, lima puluh tail emas...!" Han Tiong bersungut-sungut.
Thian Sin maklum bahwa kakaknya mencela perbuatan Siangkoan Wi Hong. Akan terapi sejak tadi memang ada dua hal
yang bertentangan berada dalam benaknya, yang pertama dia sendiri juga mencela perbuatan pemuda tampan itu yang
melakukan pemerasan, akan tetapi di lain fihak diapun merasa geli dan kagum karena perbuatan itu dapat
diartikan sebagai hukuman terhadap pembesar itu yang seperti hampir semua pembesar di jaman itu, merupakan
koruptor-koruptor besar yang memeras keringat rakyat dan harta milik negara.
"Akan tetapi, uang itu adalah uang hasil korupsi pembesar itu, Tiong-ko. Sudah layak kalau orang macam Ji-cianbu itu dihukum seperti itu."
Han Tiong menoleh dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut. "Sin-te, apakah dengan kata-kata itu
hendak kaumaksudkan bahwa engkau membenarkan perbuatan orang she Siangkoan itu."
"Tidak, koko. Dia melakukan pemerasan dan itu sama saja dengan perampokan akan tetapi aku setuju kalau
orang-orang seperti keluarga Ji itu diberi hajaran agar mereka itu dapat sadar dari perbuatan-perbuatan mereka
yang tidak baik."
Lega rasa hati Han Tiong mendengar jawaban adiknya itu. "Di kota raja ini banyak terdapat orang pandai, tepat
seperti yang diceritakan ayah. Baru orang she Siangkoan itu saja sudah memiliki kepandaian begitu hebat, belum
lagi tokoh-tokoh tuanya. Maka kita harus hati-hati, Sin-te, sedapat mungkin jangan sampai terlibat dengan
mereka seperti yang telah terjadi tadi."
Mereka melanjutkan perjalanan ke losmen di mana mereka menyewa kamar. "Betapapun juga, orang she Siangkoan itu
amat menarik hati, dan aku ingin sekali mendapat kesempatan untuk mencoba kepandaian silatnya."
"Hemm, kurasa dia itu merupakan lawan yang cukup tangguh. Lihat saja suara yang-kimnya. Kalau dia mau, dia
dapat menyerang lawan dengan suara yang-kimnya, itu saja sudah membuktikan bahwa dia memiliki khi-kang yang
kuat. Dan ketika dia meloncat dan menghadang tiga orang itu jelas nampak kelihatan gin-kangnya, kemudian ketika
dia mengobati mereka itu dia mampu menggunakan sin-kang untuk membakar racun pukulannya sendiri. Hemm, dia
seorang lawan tangguh sekali!"
"Justeru karena itulah aku ingin sekali mencobanya, Tiong-ko, akan tetapi sebagai sahabat, bukan sebagai
musuh."
Ketika mereka tiba di depan losmen, bukan pengurus atau pelayan losmen yang menyambut mereka di depan pintu,
melainkan Siangkoan Wi Hong! Sambil tersenyum ramah pemuda tampan itu berdiri menyambut mereka sambil menjura.
"Selamat malam, sahabat-sahabatku yang baik," kata pemuda itu dan terpaksa dua orang kakak beradik ini membalas
penghormatan orang dan diam-diam merasa heran bagaimana orang itu dapat mengetahui tempat mereka bermalam! Kini
setelah mereka berdiri berhadap-hadapan dengan Siangkoan Wi Hong, nampaklah betapa pemuda itu bertubuh agak
jangkung, lebih tinggi daripada mereka berdua.
"Siangkoan-twako, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami bermalam di losmen ini?" tanya Thian Sin, tak
dapat menyembunyikan rasa gembiranya bertemu dengan orang ini.
"Ha-ha-ha!" Deretan gigi yang teratur bagus itu berkilat ketika dia tertawa dan sinar lampu depan losmen
menimpanya. "Sudah kukatakan bahwa di kota raja ini aku mempunyai banyak sekali kenalan, maka apa sukarnya
mencari tahu di mana kalian bermalam!"
"Saudara Siangkoan Wi Hong, sesungguhnya keperluan apakah yang membuat anda bersusah payah datang ke sini dan
menanti kami berdua?" Han Tiong bertanya, sikapnya terbuka dan ramah, akan tetapi dari pandang matanya
memancarkan cahaya yang membuat Siangkoan Wi Hong merasa gugup.
Siangkoan Wi Hong menutupi kegugupannya dengan senyumnya yang manis, "Ah, setelah mendengar bahwa kalian
tinggal di sini, aku cepat-cepat datang ke sini untuk menawarkan kamar dalam rumahku kepada kalian. Sebagai
sahabat-sahabatku yang amat baik, tidak semestinya kalau Anda berdua tinggal di tempat ini. Marilah, ji-wi
lote, mari ikut bersamaku, aku mengundang ji-wi untuk tinggal di rumahku selama ji-wi berada di kota raja."
Dengan mengembangkan lengannya orang she Siangkoan itu berkata sambil tersenyum, sikapnya ramah dan
menyenangkan sekali sehingga Thian Sin sudah menoleh ke arah kakaknya dan memandang kakaknya dengan sinar mata
penuh persetujuan menerima undangan itu.
Akan tetapi Han Tiong sambil tersenyum berkata dan menjura. "Banyak terima kasih atas segala kebaikan loheng
(kakak). Akan tetapi kami tidak berani banyak mengganggu. Kami akan merasa lebih leluasa bermalam di kamar
losmen ini daripada di rumah Siangkoan-loheng, oleh karena itu harap loheng tidak kecewa dan tidak menganggap
kami kurang terima. Sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali untuk menerima banyak kebaikan darimu. Tidak,
Siangkoan-loheng, kami akan bermalam di sini saja dan sekali lagi terima kasih."
Di bawah sinar lampu losmen itu, Siangkoan Wi Hong menatap wajah Thian Sin dengan mata bersinar-sinar. Dia
melihat betapa Thian Sin melirik ke arah kakaknya dan menunduk, maka tahulah dia bahwa sang adik angkat itu
amat tunduk kepada sang kakak angkat. Diapun tersenyum. Dari sinar matanya, dia maklum bahwa orang seperti Han
Tiong yang memiliki sinar mata seperti naga itu adalah orang yang berhati teguh dan sekali mengeluarkan
kata-kata sudah pasti tidak akan mudah dibelokkan lagi. Maka diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan
membujuk seorang pemuda seperti Han Tiong dan diapun menjura.
"Baiklah, kalau ji-wi tidak mau tinggal di rumahku, harap ji-wi berjanji untuk sekali-kali singgah di rumahku
sebelum meninggalkan kota raja. Toko dan rumah ayah berada di sebelah kanan pasar, di seberang Jembatan Ayam
Putih. Asal ji-wi menanyakan rumah she Siangkoan setiap orangpun di sana akan dapat menunjukkan di mana adanya
rumah kami."
Han Tiong merasa bahwa dia keterlaluan kalau menolak undangan singgah ini, maka dia pun menjura dan berkata,
"Baiklah, Siangkoan-loheng, kami berjanji akan singgah sebelum kami melanjutkan perjalanan ke selatan.
Mudah-mudahan kami tidak terlalu mengganggu."
"Ha-ha-ha, Cia-lote terlalu sungkan. Nah, sampai jumpa!" Orang itu lalu pergi memanggul yang-kimnya, berjalan
melenggang seenaknya, diikuti pandang mata dua orang pemuda Lembah Naga itu.
Mereka memasuki kamar dan masih berkesan tentang pertemuan dengan Siangkoan Wi Hong yang tidak
disangka-sangkanya itu, "Orang itu sungguh aneh, dan mencurigakan sekali." kata Han Tiong.
"Aku girang dapat bertemu dengan dia dan kita sudah berjanji hendak singgah. Koko, kalau kita singgah di
rumahnya, kesempatan itu akan kupergunakan untuk mengajaknya mencoba ilmu silat."
"Tidak, Sin-te. Jangan kaulakukan hal itu. Ketahuilah bahwa orang seperti dia itu tentu amat terkenal di tempat
ini, apalagi kita tahu bahwa dia mempunyai kenalan banyak pembesar-pembesar istana. Kalau engkau sampai mengadu
ilmu dengan dia, sudah tentu engkau akan berusaha untuk menang dan sekali engkau menang darinya, apa kaukira
kita dapat lagi menyimpan rahasia kita? Tentu semua di kota raja akan tahu dan akan sukarlah menyimpan rahasia
bahwa kita datang dari Lembah Naga, apalagi kalau sampai diketahui bahwa engkau she Ceng..."
"Hemm, aku tidak takut!" kata Thian Sin penasaran. She-nya sama dengan she kaisar! Dan dia tidak takut
ditangkap atau dibunuh seperti yang terjadi pada ayahnya. Dia akan melakukan perlawanan!
"Siapa bilang engkau takut adikku? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik dan tidak sembarangan menuruti nafsu.
Apa sih perlunya mencoba orang seperti dia itu? Ingat, kita pergi merantau ini untuk meluaskan pengetahuan,
bukan untuk memancing terjadinya keributan, dan kukira engkau tidak akan suka untuk membikin pusing dan susah
kepadaku, bukan?"
Ditanya demikian, Thian Sin memegang lengan kakaknya "Ah, tentu saja tidak, Tiong-ko. Apa kaukita aku sudah
gila ingin menyusahkanmu? Maafkan aku, biarlah kucabut lagi keinginanku untuk mencoba Siangkoan Wi Hong kalau
memang engkau tidak menyetujuinya. Aku hanya akan melakukan sesuatu dengan persetujuanmu, Tiong-ko dan kau
tentu tahu akan hal ini."
Demikianlah, dengan hati lega melihat adiknya sudah "tenang" kembali itu, Han Tiong mengajak adiknya tidur.
Akan tetapi baru saja mereka akan pulas, pintu kamar mereka diketuk orang! Sebagai ahli silat tingkat tinggi,
sedikit suara itu sudah cukup membuat mereka sadar benar dan berloncatan turun dari tempat tidur. Dengan
hati-hati Han Tiong membuka pintu kamar dan dua orang pria sambil tertawa-tawa dan tubuh sempoyongan memasuki
kamar. Ketika melihat Han Tiong dan Thian Sin, dua orang itu saling pandang.
"Eh, kenapa begini? Mana dua orang nona manis itu? Heh-heh, sobat-sobat, lekas keluar, kalian menempati kamar
kami, dan ke mana perempuan-perempuan manis itu kalian sembunyikan?"
"Hayo keluar!" kata orang ke dua dan mereka mengambil sikap mengancam hendak mengusir Han Tiong dan Thian Sin
dengan kekerasan.
"Keparat mabuk!" Thian Sin membentak dan sudah hendak turun tangan, akan tetapi lengannya dipegang oleh Han
Tiong.
"Mereka ini mabuk, perlu apa dilayani?" katanya kepada adiknya. Kemudian dia melangkah maju menghadapi dua
orang itu. "Saudara-saudara salah masuk, ini adalah kamar kami, harap kalian suka keluar lagi." Berkata
demikian, Han Tiong dengan halus mendorong mereka keluar.
"Apa? Kau hendak memukul?" bentak seorang di antara mereka dan orang itu sudah mengayun tangan memukul ke arah
Han Tiong. Akan tetapi pemuda ini hanya mengelak sedikit dan dia terus mendorong mereka keluar dari kamar tanpa
membalas. Setelah keduanya tak dapat bertahan dan terdorong keluar, dia lalu menutupkan lagi pintu kamarnya.
Dua orang itu menggedor-gedor dari luar, akan tetapi Han Tiong diam saja dan dia melarang Thian Sin yang
marah-marah hendak menghajar mereka itu.
Akhirnya dua orang mabuk itu pergi juga. "Tiong-ko, engkau terlalu sabar!" Thian Sin mencela. Orang-orang mabuk
kurang ajar itu sepatutnya diberi hajaran biar kapok!
"Adikku yang baik, bukankah engkau tahu bahwa mereka itu mabuk dan tidak sadar? Kita yang tidak mabuk dan yang
sadar sepatutnya kalau mengalah."
"Tapi mereka memukulmu tadi!"
"Memang, dan itulah kalau orang mabuk. Kalau aku yang tidak mabuk balas memukul, habis lalu apa bedanya antara
dia yang mabuk dan aku yang tidak mabuk? Adikku, bukan berarti bahwa aku sabar, melainkan karena mana mungkin
aku marah terhadap orang mabuk?"
Mereka tidur lagi dan malam itu tidak terjadi hal-hal menarik. Pada keesokan harinya, mereka berdua melanjutkan
pesiar mereka untuk melihat-lihat kota raja yang amat ramai itu. Mereka pergi ke pasar dan Han Tiong bersama
adiknya membeli beberapa macam buah-buahan yang belum pernah mereka makan atau bahkan lihat sebelumnya. Dengan
kedua tangan membawa keranjang-keranjang terisi buah macam-macam, mereka berjalan kembali ke losmen.
Ketika mereka tiba di sebuah mulut gang yang sempit di dekat pasar, tiba-tiba saja seorang pemuda tinggi besar
menabrak Han Tiong. Karena tidak menyangka-nyangka, biarpun dia dapat mengatur kakinya sehingga tidak sampai
jatuh, namun dua buah keranjang terisi buah-buahan itu terbuka keranjangnya dan buah-buahan itu berceceran dan
menggelinding di atas tanah!
"He, di mana matamu?" bentak pemuda tinggi besar itu dan dari belakangnya datang lima orang pemuda lain, juga
bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar berlagak seperti jagoan-jagoan muda yang banyak terdapat di kota-kota
besar. Mereka dengan angkuh lalu menginjak-injak buah-buahan yang berserakan di jalan itu.
"Heiii, itu buah-buah kami...!" Thian Sin membentak marah, akan tetapi Han Tiong mengedipkan matanya kepada
adiknya, lalu dia menjura kepada Si Tinggi Besar yang menabraknya tadi.
"Harap kaumaafkan saya, sobat. Karena tempat ini sempit dan aku lengah, maka telah menabrakmu. Sudahlah,
kesalahanku itu ditebus dengan hilangnya semua buah-buah yang kubeli."
Si Tinggi Besar itu sejenak memandangnya, kemudian tertawa-tawa, diikuti oleh lima orang temannya. Mereka
mentertawakan Han Tiong, akan tetapi anehnya mereka tidak menghalang ketika Han Tiong mengajak adiknya pergi
cepat-cepat dari tempat itu, diikuti suara ketawa mereka.
"Ah, Tiong-ko, sungguh penasaran sekali!" Demikian Thian Sin mengeluh ketika mereka tiba kembali di kamar
losmen mereka. Pemuda ini masih merasa marah, mukanya merah dan kadang-kadang dia mengepal tinju tangannya.
"Apa maksudmu Sin-te?"
"Aku merasa malu bukan main harus lari terbirit-birit dari lima orang berandal tadi. Betapa ingin aku menghajar
mereka sampai jatuh bangun. Kenapa kita harus bersikap sedemikian pengecut dan membiarkan mereka menghina kita,
Tiong-ko? Apakah perbuatan kita itu tidak menimbulkan buah tertawaan dan sama sekali bukan selayaknya dilakukan
oleh seorang pendekar melainkan lebih patut menjadi sikap pengecut dan penakut?"
Han Tiong tersenyum tenang, memandang wajah adiknya dengan tajam lalu berkata, suaranya tenang dan tegas,
"Adikku yang baik, engkaupun tahu bahwa justeru seorang pendekar adalah orang yang tidak mudah marah menurutkan
perasaannya saja. Kalau kita menghadapi orang gila, apakah kita juga harus menjadi gila pula."
"Tapi mereka itu bukan gila, mereka itu orang-orang jahat!" Thian Sin membantah.
"Mereka itu gila, adikku. Kalau mereka itu menggunakan kekerasan, lalu kita menghadapi mereka dengan kekerasan
pula, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka gila dan kitapun akan menjadi gila pula. Mereka itu
adalah orang-orang gila karena mereka mencari dan memancing keributan tanpa urusan dan sebab, mereka itu
orang-orang sakit yaitu batin mereka yang sakit. Sebaliknya, kita yang waras ini, yang mampu menjauhkan diri
menghindari keributan, mengapa kita harus melayani mereka? Bukankah itu akan menjadi sama gilanya, sama
sakitnya, dan sama jahatnya?"
"Tapi, koko, sungguh penasaran sekali kalau kita, putera-putera dari Pendekar Lembah Naga, harus lari
terbirit-birit menghadapi tikus-tikus pasar itu!"
Han Tiong tersenyum lebar dan merangkul pundak adiknya. "Aihh, Sin-te, apakah masih kurang gemblengan yang
diberikan oleh Paman Lie Seng dan oleh ayah sendiri kepada kita? Kalau semua pendekar di dunia sudi melayani
pengacau-pengacau kecil seperti mereka tadi tentu keributan akan terjadi setiap hari dan para pendekar tidak
ada waktu lagi untuk menghadapi urusan-urusan besar. Mereka itu hanyalah orang-orang yang sengaja hendak
memancing keributan karena itulah kesenangan mereka. Kalau kita melayani, berarti kita ini malah membantu
kekacauan mereka. Sudahlah, anggap saja tadi itu sebagai latihan mental bagimu, adikku."
Akhirnya Thian Sin mau juga menerima semua alasan kakaknya dan diapun melihat kebenarannya. Memang
sesungguhnyalah, dia sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayah angkat atau juga pamannya, telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, sunggub tidak sepatutnya kalau kepandaian itu dipergunakan hanya untuk urusan yang
sedemikian remehnya. Justeru kalau dia terkena pancingan pemuda-pemuda berandalan tadi, hal itu hanya
menunjukkan bahwa dia bukanlah sebagai pendekar yang sudah "masak". Maka hatinyapun menjadi dingin dan tenang
kembali.
"Adikku, kota raja ini ternyata bukan merupakan tempat yang menyenangkan, dan ternyata penuh dengan orang-orang
jahat seperti pernah diceritakan oleh ayah. Betapa jauhnya perbedaan kehidupan di desa dan di kota. Di dusun
begitu aman tenteram dan kejahatan manusia tidak begitu menyolok, sebaliknya di kota raja ini suasananya
demikian panas, dan hampir tidak pernah aku melihat wajah-wajah yang membayangkan kedamalan hati. Lebih baik
kita melanjutkan perjalanan kita saja Sin-te. Tidak enak kalau terlalu lama berdiam di lempat seperti ini."
"Terserah kepadamu, Tiong-ko, akan tetapi jangan lupa bahwa kita telah berjanji untuk singgah di tempat
kediaman Siangkoan Wi Hong."
Han Tiong mengangguk dan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia tidak begitu suka kepada pemuda pesolek
yang berhati kejam itu, akan tetapi karena dia memang sudah menerima undangan, dan pula diapun tahu bahwa
adiknya ini diam-diam amat kagum dan suka kepada orang she Siangkoan itu. "Baik, Sin-te. Kita singgah sebentar
di rumahnya, kemudian melanjutkan perjalanan kita menuju ke Cin-ling-san."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi kedua orang pemuda itu telah meninggalkan losmen dan mereka lalu pergi mencari
rumah tinggal Siangkoan Wi Hong. Ternyata tidak sukar untuk mencari rumah gedung besar di samping toko itu,
karena memang nama Siangkoan Wi Hong telah terkenal di kota raja. Dan ternyata sepagi itu, Siangkoan Wi Hong
telah duduk di serambi depan sambil memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah
seperti biasanya. Hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik yang-kimnya itu. Agaknya alat ini tak
pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya demikianlah. Yang-kim ini merupakan senjata yang amat
diandalkan di samping merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat munculnya Han
Tiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan wajah gembira.
"Ah, selamat pagi, selamat pagi! Gembira sekali hatiku mendapat kunjungan kalian! Silakan duduk... eh, mari
kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil menikmati bunga-bunga indah." Dengan ramahnya Siangkoan Wi Hong
lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman bunga di sebelah kiri gedungnya dan mengajak mereka duduk di
pondok kecil terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam taman itu. Tanpa
diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda berdatangan membawa minuman.
Siangkoan Wi Hong memesan agar dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar dipanggilkan tiga orang nona
dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong
berkata, "Katakan kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang dan dua orang kawannya cepat datang ke
sini, sekarang juga!"
Dua orang pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah sebuah rumah pelacuran
tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan
dan hartawan-hartawan karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak mengira sama sekali
bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk melayani mereka!
Han Tiong dan Thian Sin menjadi sungkan dan malu-malu ketika para pelayan datang membawa hidangan yang amat
banyak dan bermacam-macam.
Sungguh luar biasa royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali bukan sarapan
pagi, melainkan lebih mewah daripada makan siang atau makan malam! Dan kedua orang pemuda ini menjadi semakin
tersipu malu ketika tak lama kemudian datang tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai
minyak wangi yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walaupun harus mereka akui bahwa
mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar, melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja
yang jinak-jinak merpati! Diam-diam Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran mengapa ada tiga orang dara muda
seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa sekali. Akan tetapi alisnya berkerut
ketika Siangkoan Wi Hong memperkenalkan mereka sebagai "bunga" pilihan dari Rumah Bunga Seruni! Biarpun dia
sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang telah dibacanya Han Tiong dan juga
Thian Sin dapat menduga bahwa tiga orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi seperti juga halnya
pelacur yang pernah menemani kongcu ini di rumah makan tempo hari. Maka, Han Tiong merasa kikuk dan malu sekali
dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan Thlan Sin juga nampak "alim", padahal di dalam hatinya dia merasa
gembira sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim!
Melihat betapa kikuknya sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi Hong bersikap
bijaksana dan dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya membiarkan mereka bermain yang-kim, suling
dan bernyanyi saja, tidak lagi memperkenankan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya.
"Siangkoan-loheng, bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu? Apa yang terjadi ketika engkau dipanggil oleh
Ji-cianbu dari rumah makan itu?" Thian Sin tak dapat menahan hatinya untuk memancing tuan rumah dengan
pertanyaan ini. Kakaknya menganggap pemuda ini curang, kejam dan jahat, akan tetapi dia sendiri merasa tertarik
dan menganggap pemuda ini amat gagah perkasa dan juga ramah menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana
pandangan Siangkoan Wi Hong sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan itu
mau mengakui semua perbuatannya.
Mendengar pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak lalu minum araknya.
Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat
menahan kegelian hatinya membayangkan kembali peristiwa yang lucu.
"Ha-ha-ha-ha, aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha, puas benar hatiku.
Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi hajaran keras. Kalian tahu apa yang telah
kulakukan? Aku telah memeras lima puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!"
Thian Sin saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak cahaya kemenangan,
seolah-olah pandang matanya berkata, "Lihat, bukankah dia ini gagah dan jujur?"
"Aku memang sengaja memukul anaknya, dan tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang mengancam keselamatan nyawa
mereka agar ayahnya datang dan memang benar dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar
lima puluh tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!"
"Mengapa loheng menganggap mereka busuk?" Thian Sin mendesak, memandang kagum.
"Tidakkah busuk mereka? Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang sombong dan kasar dan sudah
biasa dia bersikap sewenang-wenang kepada rakyat, memaksa wanita dan sebagainya. Dan ayahnya... hemm, coba
bayangkan, sebagai berpangkat kapten seperti dia mampu membayarku lima puluh tail emas secara tunai! Kalau
menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahunpun dia belum dapat menyimpan lima puluh tail
emas! Ayahnya tukang korup besar, pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai yang sewenang-wenang,
tidakkah pantas mereka itu dihajar?" Kembali Siangkoan Wi Hong tortawa dan Thian Sin mengerling ke arah
kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya yang tampan.
"Akan tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris tiga orang itu terbunuh..." Han
Tiong berkata mencela halus.
Siangkoan Wi Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar kata-kata ini, akan
tetapi kemudian dia tersenyum. "Saudara Cia Han Tiong tidak mengerti agaknya tentang jiwa pendekar! Pula,
andaikata tiga orang itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni kota raja?"
Han Tiong menunduk dan tidak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang memasuki pondok taman
itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah
orang itu memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata, "Maaf kalau saya mengganggu, kongcu. Akan
tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu."
"Hemm... Kang-thouw-kwi? Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat) dan suruh dia menanti di
sana. Aku akan datang segera!" kata Siangkoan Wi Hong.
Akan tetapi pada saat itu, Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar itu karena mereka
berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di
pasar! Thian Sin sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang lengannya dan
menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian
pergi keluar dari pondok.
Han Tiong kini memandang kepada tuan rumah dengan suara tenang namun tegas dia lalu berkata, "Saudara
Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata
dia adalah pembantumu. Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?"
Tentu saja mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli, kemudian Siangkoan Wi Hong
menjawab, "Memang benar, dia adalah pembantuku dan gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah
atas perintahku."
"Apa? Apa maksudmu dengan itu?" Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali.
"Tidak ada maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu adalah orang-orangku
yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang
pelajar yang bijaksana dan sabar sekali, bukan..."
Melihat tuan rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong menyambung, "Bukan dua orang pendekar seperti yang
kausangka?"
Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, melihat sikap
kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi.
Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Kiranya mereka gagal dan aku merasa bersalah
kepada ji-wi (anda berdua), maka maafkanlah. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin menonton adu pibu ataukah tidak?"

Anda sedang membaca artikel tentang Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 1 dan anda bisa menemukan artikel Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/kho-ping-hoo-pendekar-sadis-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Kho Ping Hoo : Pendekar Sadis 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/kho-ping-hoo-pendekar-sadis-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar