Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 08 Mei 2012

Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 4

Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dan keluarga itu, terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan halus dan nyaring dan dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin Liong dengan ganasnya!

Diserang secara tiba-tiba itu Sin Liong tidak menjadi gugup dan dengan beberapa kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan pedang itu.

“Eh... oh... nanti dulu...!” serunya.

“Maling hina, engkau sudah bosan hidup!” bentak seorang di antara sepasang dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Sin Liong!

“Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!” bentak dara ke dua dan diapun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua kaki Sin Liong!

“Eittt... tahan dulu...!” Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke belakang menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung pedang itu berhenti di depan hidunngnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Biarpun gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, namun tentu saja gerakan ini dengan mudah dapai membebaskan dia dari serangan yang tiba-tiba itu.

“Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!” teriaknya ketika melihat mereka menyerang lagi sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari, namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua.

Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, dua orang dara kembar itu makin marah.

“Kurang ajar kau!” bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong. Diam-diam Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan mengandung tenaga sin-kang yang lumayan. Diapun tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia ingin menguji lebih jauh sampai di mana tingkat kepandaian dua orang adik kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, namun tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekalipun.

Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang rating kayu sebesar lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu.

“Trakk! Trakkk!” Dua batang pedang itu terpukul mundur dan ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat dua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri!

“Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!” bentak Bi Cu.

Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak, “Sin Liong...?”

“Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong...” kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu.

Dua orang gadis itu terbelalak, lalu melemparkan pedang dan mereka berlari menghampiri pemuda itu. “Liong koko...!” Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang.

“Lan-moi dan Lin-moi, kalian telah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!”

Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu di tangannya yang tadi dipergunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai.

“Liong-ko, siapakah dia?” tanya Lan Lan.

Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu maka cepat-cepat dia memperkenalkan. “Bi Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoiku.”

“Ahhh...!” Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara kembar itu tersenyum demikian manisnya.

“Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!” Lan Lan menegur, “Kenapa tidak langsung masuk dari pintu depan?”

Sin Liong tersenyum. “Aku memang ingin membikin kaget kalian. Bagaimana keadaan kalian sekeluarga?”

“Ayah pasti akan girang mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!” kata Lin Lin yang mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak.

“Ayah. Liong-koko telah pulang...!”

Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan ketika dia menggandeng tangan Lan Lan mengikuti Lin Lin dan Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biarpun seperti juga dia, Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai siapa-siapa.

Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, semenjak pindah dari Lembah Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di dusun itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai. Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang didapatkannya di Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota raja itu dan mempunyai sawah yang luas sekali. Dia hidup dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin. Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan tetapi tidak pernah menikah kembali dan di antara selir-selirnya tidak ada yang mempunyai anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia. Maka, tentu saja dia tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong. Betapapun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong, akan tetapi sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apabila memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandangnya.

Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing telah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang tampan dan membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Maka dia bersikap hati-hati sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri.

“Ahhh, anak Sin Liong, ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini?” tegurnya ramah.

“Saya merantau sampai jauh, paman, dan akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja sebagai pelayan rumah makan,” jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok Boan agaknya juga tidak perduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin Liong dengan penuh perhatian.

“Ah, bagus kalau begitu! Dan sekarang engkau datang ke sini, apakah hanya ingin berkunjung ataukah ada keperluan lain? Dan siapakah nona ini?” Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya.

“Saya datang untuk minta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui,” Sin Liong berkata, “Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.”

Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali dan juga terheran. “Duduklah kalian berdua, dan ceritakan semuanya kepadaku, Sin Liong.”

Sin Liong dan Bi Cu duduk berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.

Karena memang mengharapkan perlindungan dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat namun jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tidak menyinggung tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan telah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya karena Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.

“Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba muncul iblis betina musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak. Saya melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu ini yang menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan di sini sampai keadaan menjadi aman.”

Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu. Mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam hatinya, apalagi mendengar bahwa Sin Liong kini dianggap pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar dan sampai ke situ, apalagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentu dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi, pada wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu.

“Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!” tiba-tiba Lan Lan berkata.

“Benar, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di sini!” sambung Lin Lin.

Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia makin merasa tidak enak untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu dan sekandung, biarpun berlainan ayah.

“Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar ke sini.”

“Kita akan lawan bersama!” terlak Lan Lan. “Apalagi di sini ada enci Bi Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai sekali, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang kami!”

Bi Cu tersenyum dan dia tidak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang dianggapnya amat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah dan gerak-geriknya sehingga biarpun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah di leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih pendiam.

Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan makin tertarik kepada Bi Cu dan dia memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari sepasang matanya tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.

“Ah, kiranya nona memiliki kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya, siapakah guru nona?” Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.

Bi Cu hanya memandang sejenak lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia meragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah tirinya, dan ketidak terusterangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu cepat menerangkan, “Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai.”

“Ahhh...!” Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kai-pang yang tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu? Apalagi setelah perkumpulan itu dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!

“Hwa-i Kai-pangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu...” Dia tidak melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.

Bi Cu yang merasa bahwa dia tidak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong memang tidak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak berlindung di sini? Maka dia mengangguk. “Benar, paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi semua itu adalah fitnah, Hwa-i Kai-pang yang telah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan akupun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kai-pang, bahkan bukan menjadi anggautanya biarpun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu.”

SELAMA Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini telah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang kagum. “Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan binasa.”

“Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami. Kamipun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat melanjutkan per­jalanan kami menuju ke utara.”

“Apa? Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?” Hok Boan bertanya kaget.

Sin Liong menggeleng kepala. “Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san...” Sin Liong berhenti dan memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu, yang menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut dan heran mendengar disebutnya nama dusun itu.

“Pek-hwa-cung...?” Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.

“Benar, paman, dan Bi Cu ingin ber­tanya sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara.”

Ucapan ini memberi kesempatan ke­pada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar karena kaget mendengar nama dusun yang mendatang­kan kembali kenang-kenarigan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia ter­senyum kembali dengan sikap tenang, me­noleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu ber­tanya, suaranya biasa lagi.

“Nona, apakah yang hendak kautanya­kan kepadaku? Memang banyak juga aku mengenal tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cun tidak asing bagiku.”

Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan berhasil memperoleh ke­terangan tentang ayahnya dari orang ini.

“Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin me­ngetahui apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?”

Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, namun kini dia sudah siap menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan sungguhpun dia hampir ter­lonjak saking kagetnya. Diam-diam Sin Liong yang sejak tadi mengawasi ayah tirinya itu, merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan itu, namun dia diam saja.

“Bhe Coan...?” Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang amat dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.

“Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!” Bi Cu yang sedang dilanda ketegangan dan harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan melengkapi keterangannya cepat-cepat sambil memandang wajah Hok Boan penuh perhatian dan pengharapan.

“Ah, Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang? Tentu saja aku mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia...”

Wajah Bi Cu girang sekali. “Memang dia telah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada paman...”

“Ayahmu...? Ah, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?” Hampir saja Kui Hok Boan kelepasan bicara karena memang dia dahulu pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkan kepada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu adalah seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia tidak tahu pula malapetaka yang menimpa keluarga Na itu.

“Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia.” Sepasang mata yang jernih itu meman­dang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batin­nya.Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang bertamu ke rumah pandai besi atau ahli pembuat pedang yang ter­kenal itu untuk memesan sebatang pe­dang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur tertarik dan mem­persilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya. Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan yang ter­kenal mata keranjang itu tak dapat me­lewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu mengadakan hubungan perjinaan di dalam rumah Bhe Coan sendiri! Akhirnya, se­telah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjina di dalam kamarnya itu. Kemarahan yang meluap-luap membuat Bhe Coan menusuk­kan pedang yang baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan. Hok Boan meng­elak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan menggunakan kepandaiannya untuk mem­bunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapapun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!

“Bagaimana, paman Kui? Maukah paman menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku itu?” Bi Cu mengulangi pertanyaannya ketika dia melihat tuan rumah duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.

“Ohh? Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang...” Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah dalam. Melihat sikap tuan rumah yang seperti tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa heran sekali. Dia melihat seolah-olah ayah tirinya menjadi gugup dan bingung ketika ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justerubertanya kepadanya tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak, dan rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya. Dia menduga-duga sampai berapa jauh dara itu tahu tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.

Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya yang memang cekatan dan pandai menulls itu bergerak cepat menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.

“Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan di kamar tamu!” perintahnya kepada pelayan wanita yang cepat datang memenuhi panggilannya. “Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!”

Pelayan itu cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.

“Eh, Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Kenapa aku tidak melihat mereka?” tanya Sin Liong.

“Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan pulang,” jawab yang ditanya.

Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa heran, akan tetapi mereka segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke situ untuk mengambil guci arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.

“Ayah memanggil kami?” tanya Lan Lan.

“Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan kembali cepat.”

“Tapi, ayah, di sini ada Liong-koko. Kenapa ayah tidak menyuruh pelayan saja, atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?” Lan Lan membantah.

“Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan membantah!” bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. “Kalian naik kuda saja agar cepat!”

“Biar aku yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi Cu,” kata Lin Lin.

“Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku masih ingin bicara banyak dengan mereka.”

Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah jenaka akan tetapi karena pendiam ini dia lebih cerdas.

“Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?”

Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. “Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar dugaanmu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa aku hari ini akan berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat sebulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!”

Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kembali ke ruangan tamu di mana Sin Liong dan Bi Cu menanti dengan tuan rumah pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.

“Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini,” bisik Bi Cu.

“Sstt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andaikata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, namun jelas kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku.” Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena diapun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah.Mereka segera diam ketika mendengar langkah kaki, dan muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah. “Maaf, karena ada keperluan lain, maka agak lama aku meninggalkan kalian di sini,” katanya.

“Paman, di manakah adik Lan dan Lin?” Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.

“Ah, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin,” jawab Hok Boan yang memang sudah siap menghadapi pertanyaan itu, Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.

“Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku bertemu dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini,” Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu. Dara remaja ini segera menerima pedang, menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik. Tiba-tiba keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seolah-olah dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu pernah dipergunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat mengusai guncangan batinnya, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.

Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada encinya agar berhenti.

“Ada apakah?” Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.

“Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak,” kata si adik yang biasanya pendiam itu.

“Aihh, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tidak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andaikata ada yang berani mengganggu kita, kitapun tidak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani meng­ganggu kita!” Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya.

Lin Lin menggeleng kepala. “Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatir­kan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko.”

Lan Lan membelalakkan mata dengan heran. “Eh, apa maksudmu, Lin Lin?”

“Surat yang kaubawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan berada di dalam rumah kita. Sekarang ayah me­ngirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan.”

“Kau mencurigai ayah?”

“Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah tidak baik, akan tetapi akupun tahu betapa ayah tidak suka ke­pada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir, enci.”

Lan Lan juga menjadi bimbang. Di­ambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya. “Habis, bagaimana?” tanyanya bingung.

“Kita buka dan baca dulu isinya!”

“Ahh...!” Lan Lan meragu. “Surat ini bersampul dan tertutup rapat...”

“Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini.” Lin Lin mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan sudah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu dan membaca isinya.

“Engkau benar, adikku. Biarpun per­buatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat.”

Mereka berdua lalu turun dari pung­gung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka mem­baca isi surat dalam sampul.

Kwan-ciangkun yang terhormat

Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pem­berontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!

Hormat saya.

yang setia kepada negara,

Kui Hok Boan

Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. “Celaka, kiranya dugaanmu benar, Lin-moi!” seru Lan Lan dengan gemas. “Ayah telah mengkhianati mereka! Ah, sungguh celaka!”

Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata, “Kita harus menggunakan akal, enci.”

“Bagalmana akalnya? Ah, betapa jahatnya ayah...!”

“Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu ter­dorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena tidak sukanya kepada Liong-koko. Betapapun juga, kita harus menolong Liong-ko.”

“Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itupun bukan berarti menolong Liong-ko terbebas dari ancam­an bahaya.”

“Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu harus kita sampaikan kepada alamat­nya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau saja melanjutkan perjalanan ke kota raja untuk menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang.”

“Bagus! Akan tetapi bagaimana kalau ayah curiga dan marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?”

“Jangan khawatir, hal itu dapat ku­atur. Pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lam­bat saja, makin lambat makin baik, enci Lan. Atau, engkau dapat menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa tidak enak malam-malam datang berkunjung ke rumah Kwan-ciang­kun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat me­nyelamatkan diri.”

Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. “Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing.”

“Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci,” kata Lin Lin. Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lalu meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka ber­pisah jalan. Lan Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat akan tetapi Lin Lin membalap.

Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biarpun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, namun perbuatan itu kejam dan jahat. Betapapun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Mengapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasatpenangkapan terhadap Sin Liong itu? Pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tak terasa lagi kedua mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat. Kenyataan ini membuat dia makin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang yang ga­gah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu, dan membuat hatinya makin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.

“Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku akan memenggal batang lehermu!” teriaknya dan dia mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang kejam terhadap Sin Liong. Malam itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya karena komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Sudah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, dan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.Kwan-ciangkun sendiri yang me­nyambut kedatangannya dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.

“Eh, nona Kui Lin...”

“Aku Kui Lan, ciangkun.”

“Ah, ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan antara kalian berdua.” Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. “Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar ayahmu?”

“Aku datang sendirian saja, ciangkun. Dan aku disuruh oleh ayah untuk meng­antarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun.”

“Ah, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona.”

“Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan me­nanti di rumah.”

“Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barangkali membutuhkan balas­an.”

Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar. “Ah, kiranya urusan yang amat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja...”

“Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja.”

“Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan kepada ayahmu bahwa aku telah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!” Perwira itu kelihatan gugup dan tergesa-gesa. Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapayang dimaksudkan “dia” oleh perwira itu, dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotel­nya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya.Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pe­ngawal istana. Dia bersahabat dengan she Kui ini adalah orang yang terkaya di dusunnya, dan selain itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang memiliki ilmu silat tinggi. Persahabatan antara mereka itu mendatangkan keuntungan timbal balik. Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia mendapat­kan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat maupun ilmu surat, sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, bahkan dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu. Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal istana ka­rena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang “dalam” apabila terjadi sesuatu atau apabila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa.Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun mempercaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi, putera dari pemberontak terkenal Cia Bun How, berarti dia akan membuat jasa yang besar. Cepat dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong. Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.

Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, segera berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu, dengan menunggang kuda. Orang-orang di sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, setiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan.

Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.

Selagi mereka bercakap-cakap, muncul­lah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk. “Ah, harap paman tidak usah repot-repot,” kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.

“Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe.”

Melihat dua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata, “Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras.” Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, kemudian dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu. Setelah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.

“Kau suka minum arak?” tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggeleng kepalanya.

“Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?” kata Bi Cu tersenyum. “Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum.”

Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu di atas meja. “Aku sendiripun tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar.”

Mereka makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Biarpun matanya tidak dapat menembus daun pintu, namun pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sin-kangnya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu. Mula-mula dia mengira bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia makin merasa curiga. Kalau pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu? Dan orang itu memiliki kepandaian tinggi, ketika mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan ketika kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Dan pernapasan ini cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang.Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Kiranya orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri! Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya nampak kecewa. “Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?” Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.

“Terima kasih, aku sudah makan cukup,” kata Bi Cu sedangkan Sin Liong masih melanjutkan makannya.

Kui Hok Boan duduk. “Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan?”

“Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak,” jawab Sin Liong sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.

“Aahh, kalau terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan amat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!” Kui Hok Boan menuangkan secawan arak di dalam cawan depan dara remaja itu. Bi Cu merasa bingung, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.

“Aku tidak biasa minum arak, paman, kalau hanya secawan saja bolehlah,” jawabnya dan dia lalu mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan se­dikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itupun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.

“Secawan tadi adalah selamat datang, kini secawan arak penghormatanku ke­pada mendiang suhumu belum kauminum.” Dia menuangkan lagi secawan.

Bi Cu tersenyum. “Ah, paman terlalu mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman ber­janji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas.”

“Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe.”

Bi Cu menerima secawan arak itu dan minum lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega ketika dara remaja itu menghabiskan dua cawan tanpa ada terjadi sesuatu yang mencuriga­kan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu kini mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.

“Dan untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang amat menggembirakan ini, aku ingin menyampaikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!” Kui Hok Boan lalu menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sin-kang Thi-khi-i-beng, dengan hawa yang amat kuat dari Thi-khi-i-beng dia dapat menekan dan me­nguasai hawa asing itu di dalam perutnya schingga hawa itu tidak menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.

Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia me­nutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.

“Ah, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah diperslapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkaupun agaknya perlu mengaso.”

Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu diapun pura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu. Sungguh tidak wajar kalau Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Kini dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.

Begitu tiba di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu terus lari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa. “Ah, kasihan, dia sudah amat lelah,” katanya sambil menutupkan daun pintunya. “Kaupun tentu amat lelah, Sin Liong.”

Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu. “Aku mengaso juga, paman,” katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu. Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh. Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentu demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi-i-beng. Dia lalu menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu dan tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan diapun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.

Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak dapat menang­kap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang bicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda. Akan tetapi, sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan ter­dengarlah bunyi langkah seorang diantara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong ter­guncang dan dia makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?

Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Ada suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudi­an, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar! Sin Liong tetap diam saja, menanti sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan ber­kelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, diapun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!

“Siapa kau...?”

“Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!” bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.

“Eh, adik Lin...? Mengapa kau...?”

“Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!” suara itu terisak dan ditahannya.

“Hemm, dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini?” Sin Liong berbisik masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.

“...ayah...”

Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya di dalam gelap remang-remang itu. “Dan kalian disuruh ke kota raja melaporkan kehadiran kami...?” Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya. “Kenapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?”

Lin Lin menjadi tidak sabar atas sikap Sin Liong yang tidak cepat-cepat pergi melarikan diri itu. “Dengar, Liong-ko,” bisiknya sambil mendekat. “Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciang­kun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlam­bat!”

“Bi Cu... ah, kamipun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius...”

“Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku...” Lin Lin tidak melanjutkan kata-katanya.

Sin Liong merangkulnya dan mencium pipinya. “Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi...” Dia melepaskan rangkulannya. “Aku akan pergi sekarang juga, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya.” Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.

“Liong-ko...!” Lin Lin berbisik.

Sin Liong menoleh.“Kau... harap kaumaafkan ayahku...!”

“Hemmm...!” Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.

“Demi aku, demi enci Lan...!”

Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. “Baik­lah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini.”

“Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biar kupancing mereka agar melepaskan per­hatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang.”

“Baik, Lin-moi, dan terima kasih.”

“Tapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu? Bagaimana kalau engkau dikejar-kejar dan tertawan?” Suara Lin Lin ter­dengar penuh kegelisahan.

“Serahkan saja kepadaku...!” Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin. Dara itu lalu menyelinap melalui jalan memutar sedangkan Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, ma­ka dia mendekam di tempat gelap, men­dengarkan. Tak lama kemudian dia men­dengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.

“Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang? Mana Lan-moi?”

“Aku... aku pulang lebih dulu, perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan seorang diri...” terdengar suara Lin Lin menjawab. “Mengapa engkau belum tidur, Sin-ko? Mana ayah?”

“Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga...”

“Lin-moi, kenapa engkau pulang malam-malam? Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota raja?” terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bah­wa laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin. Betapa inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan ke­adaan dirinya yang terancam, apalagi Bi Cu yang mungkin masih tidur nyenyak karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap menghampiri jen­dela kamar Bi Cu. Mudah saja baginya membuka daun jendela tanpa mengeluar­kan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti kamarnya tadi, namun matanya yang tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas pembaringan dengan pakai­an masih lengkap seperti ketika makan minum tadi. Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak. Dia mengguncangnya beberapa kali, namun Bi Cu seperti dalam keadaan pingsan saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu memanggul tubuh Bi Cu di pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam kamar melalui jendela!

Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda dan para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia meloncat ke atas genteng tanpa menimbulkan sedikitpun suara, dan berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu. Karena dia tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melalui kota raja, maka dia mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja di mana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara.Biarpun Sin Liong telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia dapat mempergunakan gin-kangnya untuk berlari cepat sekali, namun malam itu gelap hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apalagi dia harus memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Betapapun juga, karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorangpun da­lam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari sarangnya!

Pada keesokan harinya pagi-pagi se­kali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang “tamu” itu. Hatinya lega melihat betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula menjaga di situ!

“Eh, engkau sudah pulang? Mana Lan Lan?”

“Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan ke kota raja.”

“Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu?” tanya ayah ini sambil me­mandang wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena se­malam suntuk Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. “Mengapa engkau tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?”

“Sekarang sudah sembuh, ayah dan aku memang ikut berjaga bersama Bu-ko dan Sin-ko.”

Ayah itu termenung dan mengerutkan alisnya. “Kenapa Lan Lan belum juga pulang? Kalau dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama pasukan...”

“Mungkin enci Lan lelah dan ber­malam di kota raja, ayah,” kata Lin Lin dan Hok Boan mengangguk. Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega. Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia. Tentu saja dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapapun juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka makin cepat perkara ini selesai, makin baiklah.Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu me­ngetuk daun pintu kamar itu. “Liong-ji...! Sin Liong...! Tuk-tuk-tukk! Sin Liong...!”

Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil me­nyeringai, lalu berkata kepada para pen­jaga itu, “Dia masih tidur nyenyak!”

Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang ter­tutup pintunya itu.

“Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini jangan lengah sampai pasukan da­tang,” kata Kui Hok Boan dengan hati lega. “Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaik­nya kau makan pagi dulu, baru mengaso.”

“Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti kalau sudah lelah, aku akan pergi mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan.”

Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapapun juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau per­lu, sebelum pasukan datang, dan mereka itu akan melarikan diri, dia dapat meng­gunakan kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka. Sungguhpun kalau dapat, jangan dia yang melakukan pe­nangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlalu kentara dia memusuhi mereka itu.

Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat menyambut kedatangan puterinya ini dan langsung bertanya, “Bagaimana?”Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata mengandung kemarahan.

“Ayah sungguh keterlaluan!” tiba-tiba Lan Lan berkata.

“Bagaimana ayah sampai dapat bertindak sekejam itu?” kata pula Lin Lin yang kini berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi ketika pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah mereka.

“Eh, eh, mengapa kalian ini? Apa maksud kalian?” Kui Hok Boan membentak, pura-pura tidak mengerti.

“Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud ayah?” kata Lin Lin.

“Ahh... bukankah kalian sudah kuberi tahu? Agar Kwan-ciangkun tidak datang ke sini dan...”

“Ayah tidak perlu membohongi kami!” teriak Lan Lan marah. “Ayah melaporkan kehadiran Liong-koko dan menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!”Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk. “Ah, kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan? Itu lebihbaik lagi. Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan perbuatan yang amat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dan Bi Cu adalah keturunan dan murid pemberontak dan menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap.”

“Ayah sungguh kejam! Betapapun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!” Lan Lan berseru.

“Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!” Lin Lin menyambung.

“Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan, dan engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini...”

“Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!” potong Lan Lan dengan berani.

“Dan aku telah membebaskan Liong-ko!” sambung Lin Lin.

Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat kedua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, lebih terkejut lagi melihat Hok Bean mendobrak pintu kamar Sin Liong.“Krakkkk!” Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke kamar Bi Cu, dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itupun telah kosong.

“Keparat...!” Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya.“Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!” bentaknya marah.Akan tetapi dua orang dara itu menentang pandang, mata ayah mereka dengan berani, kemudian Lan Lan berkata lantang, “Kami tidak ingin melihat ayah melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kami berdua lalu berpisah, membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku menyampaikan surat ke Kwan-ciangun...”

“Dan aku kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi melarikan enci Bi Cu!” sambung Lin Lin.Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu. “Keparat! Kalian anak-anak durhaka!” bentaknya dan tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.

“Plak! Plak!”

Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.

“Ayah boleh membunuh kami!” teriak Lan Lan sambil bangun kembali.

“Lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat kejam!” teriak Pula Lin Lin.

“Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri? Kalian sudah bosan hidup?” Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap. Dia sudah melangkah maju lagi, siap untuk menghajar.Akan tetapi pada saat itu, dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.

“Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman mewakili mereka...” kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan gerak-gerik dan suara yang lucu sungguhpun dia tidak bermaksud untuk melucu.

“Saya mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir, sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!” Kwan Siong Bu penuh semangat.Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan disusul kata-kata nyaring, “Wah, sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!”

Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka tadi tidak mendengar suara apapun. Dari mana datangnya dua orang ini, dan bagaimana me­reka bisa masuk tanpa menimbulkan sua­ra sedikitpun. Yang seorang adalah pe­muda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikap­nya amat berwibawa dan angkuh. Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita, pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.

Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio, sedangkan pemuda tampan gagah itu adalah Pange­ran Ceng Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mung­kin mereka dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu? Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap, dua orang dara kembar ini me­ngeluarkan teriakan nyaring dan seperti menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah melencat ke depan sambil mencabut pedang mereka dan serentak mereka menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.

“Lan dan Lin, jangan...!” Kui Hok Boan berseru kaget, akan tetapi dua orang anak perempuan itu tidak memperdulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulupun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalas kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biarpun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.

“Iblis betina keji!” bentak Lan Lan.

“Kau harus menebus kematian ibu!” bentak Lin Lin.

“Ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!” Ceng Han Houw tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang sucinya.

“Hemm, pergilah kalian!” bentak Kim Hong Liu-nio, kedua tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah pedang dan dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya dan terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!

“Berani kau merobohkan mereka!” bentak Kwan Siong Bu marah.

“Engkau wanita kejam!” bentak pula Tee Beng Sin.

Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di tangannya. “Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!” bentak Kui Hok Boan dan dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak jadi melanjutkan serangan mereka.Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit lagi dan biarpun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong.

“Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!” kembali Kui Hok Boan membentak, akan tetapi dua orang dara itu sama sekali tidak memperdulikannya, melainkan terus menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.

“Heiiitttt!!” Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu.

“Hiaaaaattt!” Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.

“Hemm, menjemukan kalian!” bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki miringkan tubuhnya.

“Plak! Plak!” Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.

“Kalian ini bocah-bocah lancang be­rani menyerangku? Nah, bersiaplah untuk mati!”

“Kouwnio... harap ampunkan mereka...!” Kui Hok Boan meratap! Laki-laki ini memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan dia tidak akan mampu menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.Kim Hong Liu-nio menoleh dan ter­senyum mengejek, “Orang she Kui, eng­kau hendak membela mereka? Majulah!”

“Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami...”

Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kem­bar itu tidak memperdulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.“Plakk!” Sebuah tangan menangkis tamparannya. “Aih, suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini menarik sekali, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andaikata diberitahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku.”

Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh ke­dua orang dara kembar itu setelah di­cegah oleh sutenya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.

“Hee, Kui-sicu, mana buronan-buronan itu?” begitu memasuki ruangan, Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. “Ah, kiranya paduka sudah mendahului ke sini, pangeran?” Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian mem­beri hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata, “Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tidak perlu mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!”

Melihat munculnya sahabatnya ini, legalah hati Kui Hok Boan. “Wah, celaka, Kwan-ciangkun, kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri semalam!”

“Ahhh...?” Kwan-ciangkun berseru kaget.“Ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!” kata Han Houw.

“Orang she Kui, ke mana larinya mereka?”

Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok Boan gelagapan.“Mereka... saya kernarin bicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa mereka pasti melarikan diri ke utara.”

“Kalau lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!” bantah Kwan-ciangkun.

“Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Kenapa engkau begitu bodoh? Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya dua orang buronan itu lari, Kwan-ciangkun?” Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.

Perwira she Kwan itu kelihatan bi­ngung, mukanya berubah merah dan sikap­nya gugup. “Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... eh, mereka itu tidak lari ke utara, pangeran.”

“Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh se­kali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bah­wa Sin Liong amat cerdik. Coba bayang­kan seandainya engkau menjadi dia. Eng­kau tahu bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh adik tiri yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang akan kauambil? Melarikan diri ke utara sudah pasti tidak mungkin melalui selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena eng­kau tahu bahwa pasukan tentu akan me­lakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kauambil? melalui timur ber­arti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan melalui barat berarti melalui daerah pegupungan dan hutan-hutan.”

Wajah Kwan-ciangkun berseri. “Ah, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke barat!”

Pangeran Ceng Han Houw juga ter­tawa mengejek. “Kalau begitu, mengapa engkau tidak lekas mengejarnya?”Perwira itu memberi hormat. “Terima kasih, pangeran!” lalu dia mengeluarkan aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah barat.

Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu ber­kata dengan suara dingin, “Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan diri­mu, dulu dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya.”

“Akan tetapi, kouwnio, saya telah berusaha menghubungi Kwan-ciangkun untuk menangkap mereka...” Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.

“Dan siapa yang memberi tahu me­reka sehingga lolos? Dua orang puterimu, bukan? Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang kepada mereka, maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!”Wajah Kui Hok Boan makin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!”

Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia belaka, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apalagi setelah melihat betapa Kwan-ciangkun tadi amat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua orang itu!“Ampunkan hamba... ampunkan hamba...” ratapnya.Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar, melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan. “Jangan membunuh ayah kami!” bentak Lan Lan.

“Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!” bentak Lin Lin. Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah mereka.Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat sebaliknya dua orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah merah. Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji. “Ha-ha, sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat mempunyai dua orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, betapa cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!”

Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu, memandang mereka penuh kagum. “Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?” “Akan kami bela sampai mati!” jawab Lan Lan tegas sambil meniandang pangeran itu dengan mata bersinar penuh ke­tekadan.

“Hemm, kalian hebat! Daripada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut bersamaku menjadi ke­kasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?”

“Tidak sudi!” bentak Lin Lin marah.

“Lebih baik kami mati!” teriak pula Lan Lan.

Han Houw menoleh kepada sucinya yang memandang dengan wajah dingin saja. “Lihat, suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, bagaikan bunga belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!” Kemudian pangeran ini kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin. “Engkau belum tahu aku siapa dan biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian, kalian boleh membelanya!” Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memuKui Kui Hok Boan.Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin ce­pat menerjangnya dan menyerang dengan pedang mereka, bukan hanya untuk men­cegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.

Akan tetapi, dengan amat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu sambil tertawa-ta­wa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan mereka sudah nekat untuk mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah merasa sa­kit bukan main, bukan hanya sakit ka­rena melihat penghinaan-penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap amat pengecut dan memalukan itu. Me­lihat ayahnya berlutut dan meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan rasa jijik dan malu, maka mereka nekat ­maju menentang dua orang itu biarpun mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu, memiliki kepandaian yang amat lihai. Kini, melihat pangeran itu ber­maksud kurang ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerang­nya dengan nekat dan mati-matian, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula! Betapapun mereka me­nyerang dengan ganasnya, tidak pernah ujung pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncat­an ke sana-sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau mempermainkan dua ekor kelinci sebelum diterkamnya!

“Ha-ha-ha, cukuplah, kalian benar-benar mempunyai semangat berkobar-kobar, kelak akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!” kata pangeran itu. Akan tetapi ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati se­pasang dara kembar itu, dan sambil ber­seru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada pangeran itu de­ngan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba dua tangan pangeran itu bergerak mendahului.

“Tuk! Tukk!” Jari tangan kanan kiri telah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi. Ketika mereka hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lalu melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka kena dicium!

“Lepaskan mereka!” Siong Bu me­loncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.

“Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!” bentak Kui Hok Boan yang masih berlutut dan dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, mundur kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!

“Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan eng­kau, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan me­nyerahkan dua orang puterimu ini kepada­ku. Antarkan saja ke istana, cari aku, Pangeran Ceng Han Houw. Mengertikah engkau?”

Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk. “Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!” Dan me­mang orang she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri pangeran, tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!

“Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!” Han Houw berkata dan sekali berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok Boan, lalu berkelebat pula dan le­nyap! Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik me­lihat kelihaian dua orang yang seperti iblis itu.Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka. “Baik sekali nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran”Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan mata terbelalak, seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap serendah itu. Merekamengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis! Kui Hok Boan mengira bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.“Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi dan Lin-moi dan cepat pergi dari sini!” tiba-tiba Kwan Siong Bu ber­kata.

Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran. “Eh, kenapa?”

“Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan ke­dua adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi korban!”

“Eh, eh, apakah kalian sudah menjadi gila? Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri atau setidaknya selir-selir pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah di dalam istana, dan aku... aku akan disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui kedua anak kembarku itu!”

Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat. “Akan tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!” Siong Bu berseru.

“Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!” sambung Beng Sin.

Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut. “Hal ini bukan urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku, kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian kira kalian akan dapat menang melawan pa­ngeran dan sucinya itu? Mereka adalah orang-orang sakti, selain sakti juga ber­kedudukan tinggi di istana! Menjadi mu­suh pangeran jelas celaka, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertua­nya, hemmm, bahkan kalian sendiri akan ikut terangkat derajat kalian! Pergilah!”Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia sekeluarga berubah men­jadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya! Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!Akan tetapi, bayangan-bayangan mu­luk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat dua orang puterinya tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu telah kosong dan dua orang puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah sambil membawa beberapa potong pakaian dan uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak. Lan Lan dan Lin Lin telah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tidak sudi diserahkan oleh ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan mencari Sin Liong karena daripada ikut ayah mereka yang berwatak pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri mereka!

Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik seperti kebakaran jenggot! Bukan saja dia kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari pihak pangeran itu dan sucinya ka­lau sampai dia tidak dapat menemukan kembali dua orang puteri mereka.

“Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu me­larikan diri? Hayo kalian pergi cari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum berhasil menemukan mereka!” bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu.Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua dara kembar itu dan agar lebih cepat bisa berhasil, mereka ber­pencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram membayangkan kedukaan, ke­kecewaan dan kekhawatiran.

Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan per­tentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sen­diri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti “demi kebahagiaan anak”, demi kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan “demi aku” yang berarti pe­ngejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapapun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang semua itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan.Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan kalau dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya? Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya maupun tidak, bertindak seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut dia, tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia menjadi marah dan membenci anaknya! Inikah cinta kasih? Yang setiap saat berubah menjadi benci kalau keinginannya dibantah? Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa ikut bahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan ikut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.

Orang bisa saja, dan semua ini adalah lihainya sang pikiran, lihainya si aku, menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal, orang yang merasa bahwa dia telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itulah, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang dikejar. Dan semua bentuk kesenang­an, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan. Orang tua yang bijaksana tidak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukan­lah berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak perduli kepada si anak. Sebaliknya malah. Cinta kasih selalu diikuti perhati­an yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau ada keinginan di sini, satu-satunya keinginan hanyalah melihat anak­nya menjadi seorang manusia yang baha­gia, benar dan bajik, di samping pelajar­an-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan di dunia ramai. Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu.

“Eh, di manakah aku...?” Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa dirinya berada dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta. Sin Liong melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam telah berganti pagi biarpun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah men­ciptakan sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.

“Di mana kita...? Dan kenapa kau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?”Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh tuntutan.

“Ah, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu sampai ke sini, dikejar-kejar orang!” Sin Liong pura-pura meng­omel dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.

“Semalam suntuk dikejar-kejar orang? Dan aku terus kaupondong? Aih, sungguh luar biasa sekali! Kenapa aku tidak ter­bangun? Padahal, biasanya biarpun aku sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja cukup membangunkan aku, apalagi sampai dipondong dan dibawa lari semalam suntuk! Aneh sekali!” Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya. “Dan aku masih merasa pening...”

“Tidak aneh karena engkau telah men­jadi korban minuman yang mengandung obat bius.”

“Aku? Dibius? Ah, Sin Liong, apakah yang telah terjadi? Bukankah kita tadi­nya menjadi tamu dari ayah tirimu... ah, kini ingat aku! Apakah kaumaksudkan arakitu mengandung obat bius?” Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar demikian tajamnya seolah-olah dapat me­nembus dada Sin Liong.Sin Liong menarik napas panjang, ter­ingat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia me­larikan diri, dua hal ini selalu terbayang dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya, akan tetapi puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!

“Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius, maka setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak semalam suntuk sehingga engkau bahkan tidak merasa bahwa engkau ku­bawa lari sepanjang malam.”

“Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak terbius?”

Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat me­nyembunyikan kepandaiannya? Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam! “Ah, akupun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka, aku cepat menelan pel penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan selama itu kusimpan dalam saku baju. Pel itu menawar racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu.”

“Ah, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti itu, engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang ter­bius, melainkan engkau.”

“Eh? Kenapa begitu?”

“Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat me­lindungimu kalau ada bahaya mengancam? Dalam keadaan seperti itu yang lebih kuat berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam.”Sin Liong tersenyum. “Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu.”

“Sudahlah, buktinya engkau juga dapat menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu.”

Sin Liong memijit-mijit lengannya. “Seperti hampir patah rasanya!” Akan tetapi sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondong­nya semalam itu, biarpun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.

“Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu baik dan ramah...” Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul!Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sulit dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. “Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberitahukan tentang adanya kita di rumahnya.”

“Ah, sungguh jahat!” teriak Bi Cu. “Sungguh sikap manisnya itu hanya se­bagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau bisa tahu akan pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak?” Gadis itu memandang penuh perhatian kepada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.

“Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan pasukan kerajaan, Bi Cu. Semalam, tanpa diketahui orang, Lin-moi memasuki ka­marku lewat jendela dan dia mencerita­kan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka kepada seorang perwira di kota raja. Karena curiga mereka berdua mem­buka surat itu di tengah jalan dan tahu­lah mereka bahwa surat itu berisi pem­beritahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membang­kang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu pagi hari ini baru akan diserahkan, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, mendengar penuturan Lin-moi, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang me­mancing perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar.”

“Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu benar manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?”Sin Liong menggeleng kepala. “Aku sendiripun tidak mengerti, semalam sun­tuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku.”

“Aihh, aku tahu! Tentu saja begitu...” Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.

“Apa yang kau tahu? Bagaimana?”

“Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya se­orang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, melainkan mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik.”

Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang karena ucapan Bi Cu itusekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.

“Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!” tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandalan Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.

“Mana mungkin itu, Bi Cu? Sekarangpun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah me­nerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini.”

“Ohh! Kalau begitu, bagaimana baik­nya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana?”

“Aku sengaja mengambil jalan pe­gunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku lari menuju ke barat dan se­telah tiba di sini, kita menyusuri pe­gunungan ini membelok ke utara. Kita pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk me­nyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja.”

“Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong,” Bi Cu memegang lengan pemuda itu. “Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!”

“Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Aku tentu akan ditertawakan orang, sebagai seorang laki-laki digendong seorang wanita.” Sin Liong menjawab. “Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan.”

Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka. Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun me­reka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh perikemanusiaan itu. Akan tetapi, Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justeru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkanjejak yang jelas sekali! Para pemburu mereka tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapapun juga tentang mereka berdua!

Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, mereka telah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena, pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak sebuahpun perahu di sekitar tempat itu dan dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.

“Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?” Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.

“Aih, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil kalau menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun la­manya, sungai ini tentu sudah ada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang, muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang meng­ambil jalan sampai di sini.”Bi Cu makin cemberut. “Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiripun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!”

“Heran mengapa ada perahu di sini?” Sin Liong menoleh ke kanan kiri.

“Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini? Ikan-ikanpun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu telah ditarik ke darat oleh para ne­layan agar jangan diseret pergi oleh air bah.”

“Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan.”

“Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan.”

“Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?”

“Tentu saja!”

“Wah, engkau ini gadis si segala bisa!”

“Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?”

Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutanpun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggeleng kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan me­naksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.

“Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini?”

“Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tidak akan mampu menyebe­ranginya, Sin Liong. Lebih baik kita men­cari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu.” Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke timur itu. Setelah mata­hari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan agar jangan terseret oleh banjir, dan setiap perahu dicancang pada sebatang pohon. Giranglah hati mereka berdua melihat ini dan dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri sebuah rumah yang berada di barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun rumah dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit ter­tahan.

“Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!” teriak seorang anggauta pasukan.

“Tangkap mereka!” bentak seorang perwira.

“Bi Cu, lari...!” Sin Liong berseru, menggandeng tangan gadis itu dan melarikan diri menjauhi dusun.Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih kuat daripada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk menyelamatkan diri mereka berdua.“Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!” katanya dan memang kini terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi para anggauta pasukan itu. Kini Bi Cu yang berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai.

Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata, “Tapi... tapi... mana mungkin kita berenang di air yang deras itu...?”

“Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo cepat!” Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai! Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki tangan melawan arus dan berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi pada saat itu, beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas punggung kuda mereka, memegang busur dan anak panah, lalu mereka menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak panah yang menyambar tepat ke arah mereka, dapat diruntuhkannya dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.

“Ah... eh... jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!” kata Bi Cu sambil terengah-engah dan menarik Sin Liong makin ke tengah.

Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sh, Liong merasakan hal ini dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar daripada bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja ketika ditarik oleh Bi Cu? Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya? Kalau dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu melarikan diri dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya.

Namun, kini telah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.

“Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!” baru sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai.

Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat, bergulingan dan gelagapan!

Sin Liong timbul kembali dan melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai. Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah melakukan serangan, karena pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim Hong Liu-nio!

“Sin Liong... ah... hauppp...!” Bi Cu meraih-raih dan akhirnya mereka dapat saling berpegangan.

“Jangan pergunakan anak panah! Tangkap mereka hidup-hidup!” terdengar Han Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula, “Liong-te, mengapa membunuh diri? Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kautangkaplah tali ini!”Han Houw melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong. “Tidak... jangan pegang... mereka akan membunmu...!” Bi Cu membantah dan merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali. Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulung­nya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya “Liong-te, kautangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!”Tali itu dilemparkan dengan amat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang cepat menangkapnya.

“Jangan, Sin Liong...!” “Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia itu kakak angkatku, lebih baik kita di darat dari­pada mati konyol di air. Di darat, se­tidaknya kita dapat membela diri.” Lalu ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras ini, “Apakah engkau takut meng­hadapi mereka di darat?”

“Aku? Takut?” Bi Cu membentak. “Hayo kita mendarat!”

Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, dan tangannya yang se­belah lagi memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Tali itu kini ditarik oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu masih terbanting-banting dan terguling-guling. Setelah mereka tiba dalam jarak tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat te­naga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan me­layang ke atas bersama Bi Cu yang sa­ling berpegang tangan dengan dia!Sin Liong berjungkir balik ketika tu­run ke atas tanah, akan tetapi dia me­lihat betapa Bi Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang dengan cekatan tadi telah menyambut tubuh dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu dan ditelikungnya ke belakang.

“Houw-ko... apa yang kaulakukan itu...?” bentaknya. Para anggauta pasukan segera mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw membentak mereka, menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang dengan senyum dingin, agaknya wanita ini membiarkan saja segala yang dilakukan oleh sutenya yang juga merupakan junjungannya.

“Pangeran, sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!” katanya perlahan sambil memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran dalam istana Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di tempat umum.

Sambil tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu. “Eh, suci, apa kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta? Siapa yang berani membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te? Bukankah kita telah bersumpah sebagai kakak beradik?”

“Memang benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan sikap seorang kakak angkat yang baik. Hayo kaulepaskan Bi Cu.”

“Nona ini? Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta padanya, Liong-te...”

“Jangan bicara yang tidak-tidak!” Sin Liong cepat memotong dan wajahnya berubah merah sekali, sedangkan Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya, akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat baginya.

“Ha-ha, engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang, dingin beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar hatimu, engkau akan berkobar seperti lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku terpaksa menawan dia ini agar engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan. Kalau engkau menyerah baik-baik, aku tidak akan mengganggu dia ini.”Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia memang suka kepada Han Houw dan dia percaya kepada pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai watak aneh luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama seperti kalau membunuh ayam saja.

“Kau berjanji akan membebaskan dia?”

“Aku berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang patut.”

“Permintaanmu yang patut?” Sin Liong tersenyum mengejek.

“Benar-benar patut dan sudah semesti­nya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan tetapi agar tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, kalau engkau melawan, nona ini akan kubunuh lebih dulu!”

Kim Hong Liu-nio tersenyum meng­ejek. “Merobohkan setan cilik ini apa sukarnya, pangeran?” Setelah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong dan tangan kirinya bergerak cepat sekali. Kalau Sin Liong mau, tentu saja dia akan dapat mengelak atau menangkis, akan tetapi dia melihat sinar mata dari Han Houw dan dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul bahwa sekali dia melawan, sekali pukul saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu! Maka dia menyimpan tenaganya dan membiarkan dirinya di­totok. Begitu jari tangan Kim Hong Liu-nio mengenai tubuhnya, robohlah Sin Liong dalam keadaan lumpuh, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.

“Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu baik-baik, juga nona ini!” Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan diapun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw. Para perajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong dua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu. Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan di atas sebuah bangku ruang­an luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak seorang hakim yang hendak mengadili seorang pesakitan. Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas, bahkan melepaskan baju bulunya dan memakai pakaiah biasa dari sutera tipis sehingga dia nampak lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu me­mandang kepada Sin Liong dan memberi isyarat dengan tangan agar para peng­awal yang menjaga di ruangan itu pergi semua. Tanpa diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak dan pergi meninggal­kan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungan­nya itu ingin bicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu min­ta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Biarpun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sutenya ini, apa­lagi di depan para perajurit atau orang-orang lain.

Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Kalau dia meng­hendaki, agaknya dia akan mampu mem­bebaskan diri dari totokan itu, apalagi dari belenggu yang baginya tidak banyak berarti itu. Akan tetapi Sin Liong bukan­lah orang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu ter­ancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagai­mana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu? Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan!

Han Houw kini tertawa dengan sikap­nya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas sehingga wajahnya makin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa. “Ha-ha, sungguh tak kusangka kita akan saling berhadapan seperti ini, engkau terbelenggu seperti seorang musuh! Rasanya seperti mimpi saja, atau seperti main sandiwara!” Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu.

“Hemm, aku sendiri juga merasa heran, Houw-ko, mengapa engkau melakukan hal seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan bersumpah menjadi kakak dan adik angkat,” kata Sin Liong dengan suara dan sikap dingin.

Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan kedua lengannya. “Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te? Aku selalu baik kepadamu, akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau malah pergi moninggalkan aku tanpa pamit! Kemudian engkau merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur? Bukan itu saja, malah keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga tentu saja engkau sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu ikut terseret! Dan setelah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah, katakan salah siapa semua ini?”Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak perlu untuk menanggapi. “Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua?” Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan.

“Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai kakak angkatmu, aku berhak mengetahui apakah dia itu pantas menjadi calon iparku? Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu? Ah, apakah tidak ada wanita lain di dunia ini, Liong-te? Biarpun dia cantik manis, akan tetapi...”

“Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kaubebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik.”

“Ha-ha-ha, engkau cinta kepadanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan seorang di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena hendak kutukar dengan sesuatu darimu.”

“Lekas kaukatakan, apa kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw?” Sin Liong membentak marah.Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. “Liong-te, apakah engkau telah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara? Seorang gagah ti­dak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!”

“Baikiah, Houw-ko, nah, lekas kata­kan, apakah kehendakmu sebenarnya?”

“Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus suka sa­ma dinikmati, dan duka sama dipikul. Bukankah begitu? Nah, aku amat tertarik akan kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka menceritakan semua rahasia ke­pandaianmu itu, karena menurut peng­akuanmu, engkau adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat itu? Kuharap engkau bersikap jujur!” Sin Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.

“Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu?”

“Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kaucinta.” Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tidak perlu untuk berbantah tentang hal itu. “Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk memegang janjimu.” Ketika dulu melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suhengnya itu, dan bahwa dia tidak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tidak memberi penjelasan selanjutnya tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik, dan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw yang belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta penjelasan.

“Seperti sudah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku, akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah kuceritakan kepadamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu.”

“Hemm...!” Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang memang pernah didengarnya ini. “Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi daripada dia. Sebagai sutenya, apalagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te.”Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pange­ran ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. “Baiklah, Houw-ko. Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu akan kuceritakan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek mempunyai sim­panan kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku telah mempelajari kitab-kitab itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya.”

“Ahhh...! Begitukah?” teriak Han Houw dengan girang. “Di mana adanya kitab-kitab itu?”

“Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng.”

“Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta kitab-kitab lain dari suhunya yang luar biasa itu! Liong-te, sekarang engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya agar dia suka mencrimaku sebagai muridnya atau sutenya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!”

Sin Liong terkejut bukan main dan menggeleng kepalanya. “Hal itu tidak mungkin, Houw-ko!”

Wajah yang tampan itu menjadi muram. “Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak angkatmu sendiri? Engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini?”

“Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu.”

“Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!”

“Houw-ko, mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sam­pai suheng marah kepadaku?”

“Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah? Dan engkau akan membantuku sampai berhasil, sampai mau menerimaku dan memintakan limu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!”

“Eh, maksudmu?” Sin Liong meman­dang tajam melihat sikap keras dan sua­ra penuh ancaman itu.“Mari kaulihat sendiri!” Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawa­nya masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangan­nya. Dara itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan se­tengah lumpuh karena tertotok dan hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, sedangkan kedua pergelangan ta­ngannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, se­dangkan sepatunya telah dicopot dari ke­dua kakinya. “Houw-ko, apa yang hendak kaulaku­kan ini?” Sin Liong bertanya dengan wajah mengandung kekhawatiran.Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah terlentang. “Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan?”

“Maksudmu?” Sin Liong membentak.

“Berjanjilah bahwa engkau akan mem­bantuku sampai aku diterima oleh Ouw­yang Bu Sek!”

“Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak mungkin dapat kulakukan!” kata Sin Liong memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia me­nolak.

“Kalau engkau menolak, terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan matamu!”

Sin Liong terbelalak. “Tidak, tidak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak percaya, hanya gertak kosong belaka!”

“Gertak kosong, ya? Nah, kau boleh lihat!” Pangeran itu dengan senyum lalu melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah terlentang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kemudi­an setelah dekat, dengan cepat tangannya meraih ke arah dada Bi Cu. Dara ini menjerit dan menggulingkan tubuhnya. Biarpun tubuhnya masih setengah lumpuh, namun rasa takut mendatangkan tenaga tambahan dan tubuhnya dapat bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini mengenai leher bajunya.

“Breeetttt...!” Sekali renggut saja baju Bi Cu terobek berikut pakaian dalamnya sehingga nampak punggungnya yang telanjang, putih mulus.

“Jangan...! Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!” Sin Liong berseru dan sekali renggut, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula kedua kakinya.Akan tetapi, Han Houw sudah menubruk Bi Cu dan menaruh cengkeraman tangannya ke arah ubun-ubun kepala dara itu. “Kau maju, dia mati!” katanya tenang. Diam-diam pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus dapat membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya.Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak. “Aku sudah berjanji kepadamu maka kaulepaskan gadis itu, Houw-ko!”

“Tidak, kau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya.”

“Baiklah, aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya dan sekarang kaulepaskan dia.”

“Demi nama baik ayah dan ibu kandungmu!” Pangeran itu menyambung.

Sin Liong merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya! “Baik, demi nama baik ayah dan ibu kandungku!”Han Houw tertawa girang dan turun dari atas pembaringan. “Terima kasih, Liong-te. Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!”

“Dan sekarang, kaubebaskan dia!”

Han Houw bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal. “Carikan pakaian untuk nona ini. Cepat!”

Lima orang pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian mereka telah datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka keluar lagi.

“Nah, kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-te. Aku menanti di luar.”Setelah berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar, sengaja menutupkan daun pintu, membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi Cu di dalam kamar itu.Bi Cu tadi mendengarkan semua percakapan itu akan tetapi dia tidak tahu betapa Sin Liong telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa betapa Sin Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia merasa jalan betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong menekan punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh.

“Apa yang kaujanjikan tadi, Sin Liong?” Bi Cu berbisik ketika dia sudah terlepas dari ikatan dan kini memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya bajunya saja yang dipakainya, ka­rena celananya sendiri tidak terobek. Dia tidak perduli betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya dengan baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat.

“Tidak apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh dari tempat ini.”

“Dan kau?”

“Aku tidak dapat ikut pergi.”

“Kalau begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami malapetaka, kita se­nasib, mana mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan me­ninggalkan engkau di tangan mereka yang jahat? Tidak, kita harus lari berdua, atau mati berdua. Mari kau ikut lari bersama­ku!” Bi Cu menengok ke arah jendela dan memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari.

“Engkau tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini terkurung oleh pasukan. Engkau harus ambil jalan dari pintu, dan pergi biasa. Mereka tidak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku.”

“Tapi...” Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri pasukan yang berbaris rapi dan ketat, dengan senjata di tangan.

“Ihhh...!” Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela. “Kau benar, banyak pasukan menjaga di sana.”

“Sudahlah, Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini sekarang, berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka.”

“Tapi...” Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda itu. “Kapan kita dapat saling jumpa kembali...?”

Sin Liong tersenyum. “Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, kau pergilah dan hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, jangan mencari permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai sekali. Mari kuantar kau keluar.”

Mereka lalu melangkah keluar, dan ternyata Han Houw telah menanti di luar. Melihat pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan kedua pipinya menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut. “Nona, harap kaumaafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah aku tetap menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku...”

“Houw ko! Hentikan ucapan seperti itu!” Sin Liong berseru marah. Pangeran itu hanya tersenyum dan mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi Cu melihat bahwa di situ banyak sekali perajurit yang telah mengepung rumah sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar. “Nah, pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan,” kata Sin Liong sambil melirik ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping.

“Tapi... tapi engkau...” Bi Cu berkata lirih.

“Jangan hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan.”

“Ha-ha-ha, perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta, betapa mengharukan!” kata Han Houw.Hampir saja Sin Liong lupa diri dan kedua tangannya sudah terkepal. Dia mendengar gerakan di sebelah kiri dan tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio sudah siap untuk menerjang apabila dia menyerang sang pangeran.

“Houw-ko, engkau harus berjanji dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimanapun aku tidak akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!”Melihat sikap pemuda ini dan mendengar suaranya yang keras dan mengandung ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan penuh lagak, “Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak buahku tidak akan mengganggu nona ini.” Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua perajurit. Barulah lega hati Sin Liong mendengar ini.

“Nah, pergilah, Bi Cu.”

Nona itu nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian dia mengangguk dan berlari dari situ melalui jalan di mana berbaris pasukan di kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok, melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandang matanya, dan di sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang lihai itu. Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lenyap dari pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa lega. Yang penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas, barulah hatinya lega.

“Nah, kapan kita berangkat ke selatan?” tanyanya kepada Han Houw.

“Besok pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding dengan suci.”

Sin Liong tidak perduli lagi dan memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari jalan bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia telah berjanji dan dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suhengnya itu.Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan tenang dan tenteram, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguhpun dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi kaisar yang baik. Memang, semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Namun, setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana hidup para puteri, mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana, telah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Hom, memperoleh kekuasaan istimewa untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap kaisar tanpa dipanggil!

Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela telah menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Namun, seperti yang telah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di tangan Lie Seng!

Semenjak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar terhadap keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya ka­rena dia diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian kekasihnya. Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tum­buh di dalam hatinya. Kalau dahulu ber­sikap dingin dan benci pria, semenjak dia menyerahkan dirinya kepada Lee Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pen­curahan kasih sayang seorang pria, se­sudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya ternyata telah berubah sama sekali. Sikap dan pandang matanya terhadap kaum pria telah mengalami perubahan besar, ter­utama terhadap pria-pria muda dan tam­pan, dan di dalam sinar mata itu ter­kandung gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, mem­buatnya selalu kehausan, haus akan belai­an dan kasih sayang seorang pria! Pada­hal, melihat kenyataan betapa kalau tadinya wanita ini hanya merupakan se­orang dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, kini telah menjadi seorang wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang amat besar, hidup terhormat dan mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu orang condong me­ngatakan bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Namun nyatanya tidaklah demikian keadaannya! Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman da­hulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukang nama besar, dan lain-lain nilai yang di­anggap menyenangkan jasmani dan pe­rasaan belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang telah diterima bahwa orang yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut “maju”, “mulia”, senang, bahagia dan sebagainya. Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan kini sudah maju, sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan se­bagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda, telah menjadi kaya, atau disebut pula telah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpul­an sosial, budaya, politik, agama sekali­pun, disebut “maju” kalau gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda!

Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia kalau sudah berhasil me­ngumpulkan banyak harta benda? Ber­bahagiakah manusia kalau sudah memiliki kedudukan tinggi? Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh ke­kuasaan besar atas manusia-manusia lain, kalau sudah tenar namanya, dan sebagai­nya lagi itu? Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak membuta mengikuti dan menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian! Memang harus diakui bahwa semua ke­muliaan duniawi itu, harta benda, nama besar, kedudukan, kekuasaan, dapat mendatangkan kesenangan, namun, setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula, semua itu kalau dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan! Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya menyenangkan nampaknya saja bagi yang belum memilikinya. Namun bagi yang memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Kalau yangbelum memilikinya hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya yang telah bosan dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi susahnya. Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, akan tetapi akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, dan yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memilikinya sajalah yang akan dapat kehilangan!

Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya? Tentu saja tidak! Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan! Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita! Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga biarpun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tidak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita. Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar di dalam hati sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbuilah duka!

Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pessimis, atau menjadi pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apapun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka.

Kita bisa saja menjadi seorang ber­harta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin. Dapatkah kita membebaskan diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa penghayatan dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu!

Kim Hong Liu-nio memang cerdik. Dia tahu bahwa dia telah memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, maka diapun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah rangsangan nafsu yang dibangkit­kan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan. Dia dapat menahah diri dan menanti saat yang baik. Kemudian, setelah dia melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu!

Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, terutama sekali kaisar, memang pada umumnya tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai

penghibur kaum pria, sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber kebanggaan. Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi bini muda yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan daripada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan! Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, amat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi bini-bini mudanya, menjadi pelayan-pelayan yang setiap waktu dapat saja memperpanjang deretan bini muda!

Terutama sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita di jaman itu, menjadi selir kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang dara! Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar dan kehidupan di istana itu kepada puteri-puterinya semenjak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan yang tak mungkin mereka dapat rasakan, seperti kesenangan-kesenangan dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja, makin dewasa anak-anak perempuan itu, makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang amat mulia itu. Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah mengalirnya perkembangan kehidupan sex yang kemudian menjadi kitab-kitab ilmu sanggama yang tersebar luas sampai ke seluruh dunia!

Kaisar Ceng Hwa pun tidak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga mudah saja dia diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan kepadanya oleh para pejilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri, mendatangkan guru-guru yang bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal-hal itu dalam praktek kepada sang kaisar muda. Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat da­lam sejarah. Demikianlah, tidak meng­herankan apabila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar ratusan atau ribuan tahun sebelum­nya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu berahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi harem­nya, untuk secara bergilir atau berke­lompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman maupun di dalam kamar tidurnya.

Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, wanita ini di­laporkan oleh pengawal kepada kaisar yang sedang bersenang-senang di dalam taman dan ditemani oleh lima orang se­lirnya yang paling disukanya. Kaisar itu duduk di tepi kolam ikan, memberi ma­kan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang lagi memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali.Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat memberi tahu kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki ta­man, dan dia melepaskan rangkulannya kepada dua orang selirnya, bahkan mem­beri isyarat kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka. Lima orang selir itu mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka merekapun duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar!

Biasanya kaisar memandang Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang ga­gah perkasa dan menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim Hong Liu-nio se­bagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, melainkan sebagai se­orang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik kecantikannya.Akan tetapi ketika itu dia belum begitu “matang” dalam penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu. Maka kini, ketika melihat Kim Hong Liu-nio me­masuki pintu taman dan melangkah meng­hampiri tempat itu, sepasang matanya yang sudah terbiasa menilai wanita, kini memandang penuh perhatian dan penilai­an! Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya me­nurun ke leher, ke arah dada yang mem­busung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang mem­besar, kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan kemesraan. Kaisar muda itu tertegun dan kagum! Kiranya Kim Hong Liu-nio ini bukanlah seorang yang seperti yang digambarkan semula, seorang wanita penyembelih mu­suh yang kejam dan berdarah dingin, melainkan di samping itu juga seorang wanita cantik yang memiliki kecantikan, kelembutan dan kehangatan dengan ben­tuk tubuh yang menggairahkan! Begitu menghadap, Kim Hong Liu-nio lalu mem­beri hormat, berlutut dan berkata, “Per­kenankanlah hamba membicarakan sesuatu dengan paduka tanpa didengar oleh orang lain.”

Kaisar Ceng Hwa tersenyum dan matanya tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh wanita yang berlutut di depannya itu. Nampak leher yang berkulit putih mulus dan berbentuk panjang se­perti leher angsa yang jenjang. Lalu dia memberi isyarat kepada para selirnya untuk meninggalkan taman. Para selir itu tidak berani membantah, dengan sikap hormat mereka lalu meninggalkan taman, berlari-lari kecil dengan langkah seperti penari-penari yang lemah gemulai, meninggalkan bau semerbak harum.



Kini mereka tinggal berdua saja. Para pengawal hanya menjaga di sebelah luar taman, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengganggu kaisar.



“Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini, lihiap. Apa yang hendak kaubicarakan?” Kaisar berkata halus.



“Ampunkan hamba yang berani minta untuk bicara empat mata dengan paduka, akan tetapi karena yang hamba hendak bicarakan ini mengenai para pemberontak yang amat berbahaya, maka amat tidak baik kalau sampai terdengar orang lain. Hamba hendak membicarakan tentang empat orang pemberontak yang berhasil lolos itu, sri baginda, yaitu pemberontak Cia Bun Houw, Cia Giok Keng, Yap Kun Liong, dan Yap In Hong.”



“Oohh, tentang mereka?” Kaisar yang muda itu tidak begitu tertarik. Tentu saja dia sudah mendengar tentang adanya para pemberontak yang kabarnya telah melawan pasukan kerajaan, mem­bunuh banyak pasukan termasuk Panglima Lee Siang. Akan tetapi dia yang setiap harinya hanya bersenang-senang, mana sempat memikirkan soal pemberontakan kecil yang lebih patut disebut pengacau-pengacau itu saja? Kalau yang membe­rontak itu merupakan pasukan besar, tentu saja persoalannya menjadi lain. Dia lebih tertarik memandang ke arah dada yang menonjolkan dua bukit tertutup baju sutera dari wanita di depannya itu, dan ketika wanita itu bicara sambil menengadah, dia melihat wajah cantik dengan bibir yang amat manis bergerak-gerak terbuka, kadang-kadang sedikit memperlihatkan sebelah dalam mulut kecil yang merah. Hatinya tergerak dan darahnya bergolak.



Kim Hong Liu-nio dapat melihat keadaan kaisar yang muda dan tampan itu. Wanita ini melihat kesempatan baik sekali dan dia lalu menangis dalam keadaaan masih berlutut dan tanpa dapat dilihat kaisar saking cepatnya, dia telah melonggarkan bagian atas tubuhnya sehingga kaisar yang duduk itu dapat melihat dari atas melalui celah baju itu sedikit bagian dari dadanya, lereng dua buah bukit yang membusung. “Ah, kenapa kau menangis, lihiap?” Kaisar itu terkejut juga karena sama sekali tak pernah dia dapat membayangkan bahwa wanita yang gagah perkasa ini dapat menangis! Makin kelihataniah sifat kewanitaan pendekar wanita ini, apalagi melihat celah baju bagian atas itu.



“Hamba... hamba teringat akan kematian tunangan hamba, Panglima Lee Siang di tangan para pemberontak itu, sri baginda... maafkan hamba... hamba merasa berduka karena kini hamba menderita kesepian yang menyesak di dada...”



Kaisar Ceng Hwa memang sudah mendengar dari para pengawal penyelidik akan adanya hubungan antara wanita perkasa ini dengan Panglima Lee Siang, dia tahu bahwa “ada main” antara mereka berdua, akan tetapi mendengar pengakuan wanita itu, dia pura-pura kaget dan bertanya, “Ah, jadi engkau telah menjadi isteri mendiang Lee-ciangkun?”



Wajah Kim Hong Liu-nio menjadi kemerahan, terutama sekali kedua pipinya. Sama sekali bukan karena malu atau jengah, melainkan karena pengerahan sin-kangnya yang mendorong darah lebih banyak naik ke mukanya dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki kepandaian tinggi. “Belum, sri baginda... hamba belum menikah, akan tetapi dia telah menjanjikan hal itu kepada hamba...” Biarpun matanya masih agak basah air mata, namun dia tersenyum malu-malu dan sepasang mata itu mengerling tajam.



Melihat ini, kaisar muda itu makin tertarik. “Sudahlah, jangan kau menangis, lihiap, dan kau ke sinilah, duduklah di sini agar lebih enak kita bicara.”



Jantung Kim Hong Liu-nio berdebar keras, bukan karena takut melainkan karena tegang gembira melihat ada tanda­-tanda usahanya menarik perhatian kaisar itu berhasil agaknya!



“Hamba... hamba mana berani...?”



“Aku yang memerintahkan, mengapa tidak berani? Ke sinilah!”



“Ba... baik, sri baginda...” Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri, memberi hormat dan dengan kedua kaki jelas nampak gemetar dia melangkah maju ke depan kaisar, sampai dekat sekali. Kaisar lalu memegang tangan wanita itu dan menariknya duduk di atas bangku bertilamkan kasur dan beledu lembut itu. Kaisar merasa betapa tangan itu selain gemetar, juga amat hangat dan me­ngeluarkan getaran yang amat terasa sampai ke seluruh lengannya. Dia makin tertarik, apalagi mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu.



“Hemmm, engkau sungguh cantik, lihiap...” bisik kaisar.



“Aihhh... sri baginda...” Kim Hong Liu-nio mengeluh dan menunduk, nampak takut-takut seperti seekor kelinci dalam dekapan harimau. Kaisar makin tertarik, dia meraih dan merangkul, kemudian memaksa wanita itu menoleh kepadanya dan mencium mulut Kim Hong Liu-nio. Beberapa lamanya kaisar menciumnya, kemudian kaisar melepaskan ciumannya dan terbelalak. Belum pernah selama dia mengenal wanita dia merasakan ciuman sehebat itu! Bukan saja wanita ini membalas ciumannya dengan penuh api menggelora, juga dia merasakan getaran yang menggoncangkan jantungnya.

Tanpa banyak cakap lagi, sri baginda kaisar bangkit dan menggandeng tangan wanita itu, diajak meninggalkan taman dan langsung masuk ke dalam kamar. Para selir yang melihat ini saling pan­dang dan diam-diam merekapun merasa heran mengapa kaisar kini bersikap demikian mesra dengan pendekar wanita itu! Namun, tentu saja tidak ada seorang di antara mereka berani membuka mulut, bahkan lalu berlutut membiarkan mereka berdua lewat, dan para pengawal yang terdiri dari orang-orang kebiri karena mereka adalah pengawal-pengawal di bagian keputren itu juga menunduk saja dengan sikap tegak.



Mulai saat itu, kaisar yang muda itu mengangkat Kim Hong Liu-nio sebagai kekasihnya yang baru dan dari wanita ini dia memperoleh pengalaman yang amat hebat dan belum pernah dia dapatkan dari wanita lain. Memang, dengan tenaga sin-kangnya yang amat kuat, mudah bagi Kim Hong Liu-nio untuk mempermainkan kaisar muda itu sehingga menjadi tergila-gila kepadanya, biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun dan jauh lebih tua dibandingkan dengan para selir yang usia­nya belum ada dua puluh tahun itu. Dan semenjak hari itu, Kim Hong Liu-nio memperoleh ijin dari kaisar, untuk memimpin pasukan-pasukan pilihan untuk mengejar-ngejar dan mencari musuh-musuhnya, yaitu keluarga Cia dan Yap yang menjadi buronan itu. Bahkan dia menyebar mata-mata untuk menyelidiki di mana mereka itu bersembunyi.



Untuk memperkuat dirinya karena dia tahu bahwa musuh-musuhnya itu memiliki kepandaian tinggi, Kim Hong Liu-nio mendatangkan gurunya, Hek-hiat Mo-li, yang menanti di kota raja dan siap untuk turun tangan apabila tempat sembunyi para pemberontak itu sudah dapat ditemukan.



Memang kekuasaan inilah yang diinginkan oleh Kim Hong Liu-nio. Dia tidak berambisi untuk memikat kaisar untuk selamanya. Dia tahu bahwa kaisar masih amat muda dan dia sendiri sudah jauh lebih tua sehingga tidak mungkin dia akan dapat terus mempertahankan kaisar dalam pelukannya. Maka setelah dia berbasil memperoleh kepercayaan kaisar dan diberi kekuasaan mempergunakan pasukan untuk menghadapi para musuh yang dicap pemberontak itu, dia sudah puas dan hanya kadang-kadang saja dia memenuhi panggilan kaisar dan melayaninya. Namun wanita ini lebih banyak pergi keluar kota raja sehingga akhirnya kaisar kembali kepada para selirnya yang muda-muda dan hal ini tentu saja menggirangkan hati para selir muda itu.



Di dalam keluarga kaisar terdapat seorang pangeran, kakak tiri dari kaisar muda itu. Pangeran ini sudah berusia hampir tiga puluh tahun, bernama Pangeran Hung Chih dan dia amat populer di antara para menteri-menteri tua yang setia. Pangeran ini merupakan calon kaisar ke dua setelah Ceng Hwa, dan memang dibandingkan dengan kaisar muda itu, dia lebih menaruh perhatian terhadap pemerintahan. Pangeran Hung Chih inilah yang didukung oleh para menteri tua yang merasa tidak setuju ketika pemerintah memusuhi keluarga Cia di Cin-ling-pai. Mereka tahu bahwa keluarga itu sejak dahulu adalah keluarga pendekar-pendekar yang setia kepada kaisar. Mereka tahu pula bahwa keluarga itu dimusuhi gara-gara Kim Hong Liu-nio yang berhasil memikat kaisar, padahal wanita itu adalah seorang kepercayaan raja liar Sabutai! Dengan jujur dan halus Pangeran Hung Chih sendiri yang mendekati kaisar yang menjadi adik tirinya itu dan memperingatkan kaisar agar tidak terlalu memberi kebebasan kepada Kim Hong Liu-nio yang mungkin saja menjadi mata-mata Raja Sabutai dan yang kelak hanya akan merugikan kerajaan sendiri.



“Ah, dia adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah, bahkan pernah menyelamatkan nyawaku, mana mungkin dia mempunyai niat buruk? Pula, dia minta pasukan untuk menangkap para pemberontak yang telah melawan pasukan kerajaan dan telah membunuh Lee-ciangkun, bukankah hal itu baik sekali?” demikian antara lain kaisar membantah dan Pangeran Hung Chih tidak berani mendesak. Betapapun juga, peringatan dari pangeran ini telah membuat kaisar lebih berhati-hati dan kini jarang dia memanggil wanita itu untuk melayani dia bermain asmara.



***






Pagi yang cerah indah di lereng Bukit Bwee-hoa-san. Bukit ini, sesuai dengan namanya, penuh dengan bunga Bwee yang sedang mekar karena musim semi menjelang tiba. Memang amat sedap dipandang dan terasa nyaman di hati melihat bunga-bunga mekar di lereng yang subur dan berhawa sejuk itu, dengan ratusan ekor kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga, menggelepar-geleparkan sayap yang beraneka warna itu dengan sibuknya. Di antara kupu-kupu yang memiliki warna bermacam-macam ini nampak pula beberapa ekor lebah yang gerakannya gesit sekali terbang menyusup di antara daun-daun dan bunga sibuk mencari atau mengumpulkan madu.



Terdapat dua buah pondok kecil di lereng yang sunyi itu, agak terlindung oleh pohon-pohon besar di tepi hutan. Dua pondok kecil inilah yang menjadi tempat tinggal sementara, atau tempat bersembunyi dari dua pasang suami isteri kakak beradik, yaitu Yap Kun Liong bersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong! Semenjak mereka melarikan diri dari penjara kota Po-teng di mana mereka ditawan, empat orang pendekar ini melarikan diri dan tinggal berpindah-pindah dari satu ke lain tempat sembunyi karena mereka maklum bahwa mereka terus dikejar-kejar pasukan pemerintah. Akhirnya, mereka tiba di lereng Bukit Bwee-hoa-san ini dan bersembunyi di tempat sunyi ini. Sudah dua bulan mereka tinggal di tempat ini, dan mereka, terutama sekali Yap In Hong, merasa khawatir dengan keadaan mereka sebagai buronan itu karena kini nyonya muda ini telah mengandung lima bulan! Seperti telah diceritakan di bagian depan, biarpun sudah belasan tahun dia melarikan diri bersama Cia Bun Houw dan sudah dianggap isteri pendekar itu, namun karena belum mendapat restu dari orang tua, kedua orang pendekar ini selalu tinggal terpisah, yaitu tidak pernah berkumpul sebadan seperti layaknya suami isteri. Kemudian, setelah lewat belasan tahun menahan derita ini, mereka menghadap ketua Cin-ling-pai ayah Cia Bun Houw dan memperoleh restu dari kakek Cia Keng Hong yang telah menginsyafi kesalahannya dan merasa menyesal bahwa dia dengan kekerasan hatinya telah menyiksa batin puteranya sendiri dan mantunya. Barulah mereka menjadi suami ister! dalam arti yang sebenarnya, dan baru sekarang Yap In Hong mengandung untuk pertama kalinya. Namun, dalam keadaan mengandung dia kini harus menjadi buronan, gara-gara fitnah yang dijatuhkan oleh Lee Siang yang ingin memenuhi permintaan Kim Hong Liu-nio, kekasihnya!

Pada pagi hari yang cerah itu, seperti biasa pendekar Yap Kun Liong dan pendekar Cia Bun Houw sedang bekerja di ladang sayur mereka tak jauh dari kedua pondok mereka itu. Untuk menghindarkan banyak hubungan dengan orang lain, kedua orang pendekar ini menanam sayur-sayur sendiri untuk kebutuhan makan se­hari-hari mereka, sehingga mereka tidak perlu sering berbelanja ke bawah bukit, dan cukup hanya sebulan sekali saja ber­belanja beras, bumbu, teh dan beberapa keperluan lain. Untuk lauk pauk cukup dengan tanaman sayur mereka sendiri dan daging binatang yang dapat mereka tangkap di dalam hutan-hutan di sekitar tempat itu. Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, na­mun masih nampak muda dan gagah pe­nuh semangat, sedangkan pendekar Cia Bun Houw yang berusia tiga puluh enam tahun itu kelihatan sehat gagah, walau­pun ada bayangan kekhawatiran mem­bayang di wajahnya yang tampan. Tentu saja pendekar ini merasa gelisah kalau mengingat akan keadaan isterinya yang mengandung pertama sudah harus menjadi buronan seperti itu.



Suara derap kaki kuda tunggal me­mecahkan kesunyian pagi hari yang ten­teram itu. Dua orang pendekar itu ter­kejut, menunda cangkul masing-masing, saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah suara datangnya derap kaki kuda itu. Nampaklah oleh mereka seorang laki-laki berpakaian petani membalapkan kuda menuju ke situ, melalui sebuah lorong atau jalan setapak dengan cepat. Tentu saja dua orang pendekar ini menjadi curiga karena walaupun orang itu berpakaian petani, namun cara orang itu duduk di atas kuda membuktikan bahwa orang itu adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuh orang itu yang duduk tegak jelas mengandung ke­kuatan terlatih. Maka begitu penunggang kuda itu melewati tempat kerja mereka dan terus membalap menuju ke arah pondok, dua orang pendekar inipun me­ninggalkan cangkul mereka di atas ladang, kemudlan berlari mengejar. Tentu saja mereka tidak begitu khawatir karena isteri mereka bukanlah orang-orang le­mah, apalagi yang datang berkunjung se­cara mencurigakan ini hanya satu orang saja.



Baru saja penunggang kuda itu meloncat turun dari kudanya di depan dua buah pondok itu, dia sudah berteriak dengan suara lantang. “Cia-taihiap! Yap-taihiap! Harap lekas keluar!”



Yang keluar adalah Cia Giok Keng dan Yap In Hong, dua orang pendekar wanita itu yang tadi sudah mendengar suara derap kaki kuda dan sudah siap­-siap. Dan pada saat itu juga, Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong juga sudah berada di situ.



“Siapakah engkau dan mau apa?” Yap Kun Liong berkata dengan suara halus namun penuh wibawa.



Orang itu sejenak memandang kepada dua orang pendekar ini. Dia belum pernah bertemu muka dengan mereka, namun dia sudah memperoleh gambaran jelas tentang wajah kedua orang pende­kar itu, maka kini dia mengenal mereka dan cepat menjura dengan hormat.



“Harap ji-wi taihiap sudi memaafkan saya kalau saya mengganggu dan me­ngejutkan ji-wi. Kedatangan saya ini membawa berita penting, yaitu bahwa dalam hari ini juga akan ada pasukan yang menyerbu ke sini, maka harap ji-wi taihiap dan ji-wi lihiap dapat bersiap-siap untuk meninggalkan tempat ini.”



Sekali menggerakkan tubuh dan tangan, Cia Bun Houw telah mencengkeram leher baju orang itu tanpa orang itu mampu mengelak lagi. Tentu saja Bun Houw menggunakan gerakan ini untuk menguji dan dia tahu bahwa orang ini tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, karena reaksinya ketika dia bergerak jauh kurang dan amat terlambat. Maka dia lalu menghardik dengan suara meng­ancam untuk menibikin takut orang itu agar jangan membohong. “Siapa engkau?”



Orang itu kellhatan tenang saja dan ini sudah membuktikan bahwa dia tidak mempunyai iktikad buruk. “Nama saya Lie Tek.” jawabnya cepat.



“Mengapa engkau datang memperingatkan kami dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?” tanya Bun Houw lagi tanpa melepaskan cengkeramannya.



“Harap Cia-taihiap tidak salah sangka. Biarpun belum pernah bertemu dengan ji-wi taihiap, namun kami semua telah memperoleh gambaran cukup jelas tentang ji-wi. Saya adalah seorang di antara banyak mata-mata yang disebar oleh Pangeran Hung Chih untuk membantu ji-wi taihiap dari pengejaran pasukan yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio dan sekarang saya datang untuk memberi peringatan kepada ji-wi karena sudah pasti hari ini pasukan itu akan datang menyerbu karena tempat ini telah mere­ka ketahui.”



Cia Bun Houw melepaskan cengkeram­annya, dan dengan tenang Yap Kun Liong lalu minta kepada orang yang mengaku bernama Lie Tek itu untuk menceritakan selengkapnya tentang mereka yang meng­aku mata-mata yang disebar oleh Pange­ran Hung Chih. Lie Tek, mata-mata itu, lalu menceritakan secara singkat tentang diri Pangeran Hung Chih. Ternyata pange­ran yang tidak setuju dengan sikap kai­sar mengenal keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak, ketika melihat betapa Kim Hong Liu-nio berhasil me­rayu kaisar dan memperoleh kekuasaan untuk mengerahkan pasukan mencari para pendekar yang buron itu dan diperkenankan menumpasnya, diam-diam telah be­runding dengan para menteri tua dan akhirnya mereka mengambil keputusan untuk secara diam-diam membantu para pendekar itu agar jangan sampai ter­dapat oleh para pengejarnya.

“Pangeran Hung Chih dan para menteri tua yakin akan kesetiaan keluarga Cia dan Yap, oleh karena itu beliau berusaha melindungi, sungguhpun tentu saja tidak berani secara berterang, kare­na Kim Hong Liu-nio memperoleh dukungan dari sri baginda sendiri.” Demikian Lie Tek mengakhiri penuturannya secara singkat. Empat orang pendekar yang mendengarkan menjadi terharu dan diam-diam mereka mencatat nama Pangeran Hung Chih sebagai seorang pangeran yang bersahabat.



“Kalau begitu, kami berterima kasih sekali dan maafkan sikapku, Lie-twako,” kata Cia Bun Houw.



Mata-mata itu menjura dan berkata, “Saya telah menyampaikan tugas, harap ji-wi berdua dan lihiap berdua suka cepat meninggalkan tempat ini sebelum terlambat, dan sayapun tidak berani lama-lama tinggal di sini. Saya mohon diri, ji-wi taihiap!” Cia Bun Houw dan Yap Kun Liong membalas penghormatan itu. Lie Tek lalu meloncat ke atas punggung kudanya, kemudian membalapkan kuda itu menuju lereng melalui arah yang berlawanan dengan ketika dia datang di­ikuti pandang mata keempat orang pendekar itu yang masih bersikap tenang.



Empat orang pendekar ini tidak tahu bahwa ketika Lie Tek tiba di sebuah tikungan di balik bukit, tiba-tiba muncul

belasan orang mata-mata musuh, yaitu mata-mata dari pasukan Kim Hong Liu-nio. Dia ditangkap dan tidak mungkin dapat melawan menghadapi belasan orang itu. Dia disiksa agar mengaku, namun Lie Tek tetap menutup mulutnya sampai akhirnya dia mati dalam siksaan! Kemuthan para mata-mata ini cepat mengirim berita kepada Kim Hong Liu-nio yang mengerahkan seratus orang lebih pasukan untuk mengepung dan menyerbu!



***






Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu karena melihat kakeknya berduka saja dan dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kong-kongnya.



Pada waktu itu, Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil. Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya. Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia telah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya di mana gerangan adanya pen­dekar Cia Bun Houw, sungguhpun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.



Pada suatu hari, secara kebetulan Ciauw Si yang tiba di kota Yen-ping, berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian, dia tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan dia melihat empat orang sedang ribut mulut. Dia tidak me­ngenal empat orang itut namun amat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka, se­dangkan di situ terdapat dua kelompok orang-orang yang menonton, kesemuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agak­nya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.

Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam sampai ke bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring. Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka ini adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan), tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, akan tetapi orang ini seperti telah diceritakan di bagian depan, telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Dan seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh ter­besar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!

Adapun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi ke­marahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang telah terjadi bentrok antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan me­ngalah. Akan tetapi mengapakah kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini?



Biarpun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam dunia kang-ouw, maka diam-diam iapun mendengarkan dengan penuh perhatian. Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya daripada suhengnya. Dengan mata terbelalak lebar dan kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak, “Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?”



Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata, “Eh-eh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan

mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kamipun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa setiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksirkan dan keputusan kami inilah peraturan baru!”



Sebelum sutenya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata, “Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tenti kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu.”



“Pangcu,” kata Hai-liong-ong Phang Tek. “Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban.”



“Habis, kalau kami tidak mampu membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?” bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.



“Heh-heh-heh!” Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. “Kalau kalian tidak mau bayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!”



“Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa!” Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.



“Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian ke neraka!” kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.



Kim-liong-ong Phang Sun sudah me­nerjang si muka bopeng Tong Siok. Ka­kek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuh­nya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan. Ciauw Si yang me­nonton terkejut sekali karena dia me­ngenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri me­nangkis.



“Ting-ting-cringgg...!” Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, diapun mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir! Betapapun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tidak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot dan harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.



“Cinggg-cinggg... wuuuutttt...!” Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saia menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang. Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat! Akan tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!­

“Ehhh... ehhhh...!” Kim-liong-ong Phang Sun terkejut bukan main karena semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali dan dengan kecepatan kilat sudah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.



Ternyata Ciauw Si begitu menerjang telah mempergunakan jurus Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang ampuh. San-in-kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, namun setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan. Tadi Ciauw Si telah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in-ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi terkejut bukan main.



Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena memang dia maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka diapun lalu menerjang lagi sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghujankan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun! Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main ka­rena dara cantik ini benar-benar me­miliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia men­duga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali mem­peroleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjangnya lagi dengan tongkat besi. Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini dan dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang memperguna­kan gelang emasnya untuk menangkis. Kedua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis karena kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang keji, yaitu pukulan-pukulan beracun! Betapapun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang ber­gulung-gulung seperti seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek­-kang-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat daripada baja putih, pemberian dari kakeknya.



Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya ter­desak. Dia mengeluarkan teriakan nya­ring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup dan kakinya kena ditendang, membuat dia terguling. De­ngan girang Hai-liong-ong menubruk de­ngan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.



“Tranggg!” Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah sinar putih yang diikuti pedang Pek-kang-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan mem­balas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, kini dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut.



Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru sekali di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!



Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo. Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jerih terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.



Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu, dan kalau dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus, “Lam-hai Sam-lo, kalian bikin

ribut lagi? Mundurlah!”



Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur kemudian menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.



“Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!” kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.

Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk men­cari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suhengnya itu untuk dapat ber­guru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetul­an melihat perkelahian itu.

Biarpun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan me­mandang kepada Lie Ciauw Si yang ber­diri dengan pedang Pek-kang-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keri­ngat yang membasahi dahi dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas dahinya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang seperti orang terkena pesona, penuh kagum. Ciauw Si sendiri terkejut melihat muncul­nya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran ketika melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengena­kan topi bulu indah dan berpakaian me­wah itu. Akan tetapi ketika melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya ber­debar dan cepat menundukkan mukanya. Begitu dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.



“Hemm, Ji-lo, apalagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang.”



“Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka.” kata pula Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.



Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat. “Benarkan ji-wi sengaja melaku­kan pengacauan dan menentang bengcu?”



“Sama sekali tidak, pangeran!” jawab Gu Kok Ban tegas. “Biasanya, semenjak dahulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami sudah minta kelonggaran, akan tetapi mereka malah marah dan mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untung ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka.”



“Hemm, benarkah itu, Ji-lo?” bentak pangeran.



“Mereka... mereka sengaja tidak mau taat...” Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.



“Hemm, seorang pemimpin barulah dapat disebut baik, kalau dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?”



“Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tertib...”



“Diam! Kalian tidak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan disetujui oleh semua anggauta dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?”



“Hamba... hamba mengerti!” jawab Hai-liong-ong.



“Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf

kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!”



Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.



“Juga kepada nona itu!” kata pula Han Houw.



Dua orang kakek itu menjadi merah mukanya. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.



“Sekarang pergilah dan tunggu perin­tahku,” kata Han How. Dua orang kakek itu mengangguk, memberi hormat lagi dan tanpa sepatahpun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh ma­jikannya. Melihat ini semua, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pa­ngeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang memiliki kepandaian hebat sekali, setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, ber­sikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya. Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat pandang mata pemuda bangsawan ini seolah-olah menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali. Biarpun dia telah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-glia kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!



Kini Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudLan berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban, “Aih, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai.”



“Maaf, pangeran, sesungguhnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah me­ngenalnya dan baru sekarang kami ber­temu dengan lihiap ini yang datang-datang terus menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya.”



“Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pende­kar wanita yang gagah perkasa dan budi­man!” Han Houw memuji, sikapnya seper­ti orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun. Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu makin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi, “Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?”



Dengan jantung berdebar karena me­rasa amat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang amat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suara­nya halus, “Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah kalau aku lancang men­campuri urusan orang-orang lain yang sama sekali tidak kukenal. Kalau aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi.” Ciauw Si semenjak kecil ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan­ santun, dan wataknya terbuka dan jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di depan seorang pangeran, dia masih bersikap demikian bersahaja dan seolah-olah tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya. Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang besar dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itupun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.

DENGAN wajah berseri Han Houw berseru, “Ah, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!”



“Dan kami berdua bersama seluruh anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap,” kata Gu Kok Ban sambil menjura, kemudian dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang telah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam. Mula-mula Ciauw Si menolak.



“Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku.”



“Aih, Lie-siocia, mengapa begitu sung­kan? Setelah pertemuan yang amat ke­betulan ini, agaknya kita telah ditakdir­kan untuk menjadi sahabat, apalagi meng­ingat bahwa baru saja nona telah me­nyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan bicara di dalam untuk mempererat persahabatan,” kata Han Houw.



Ciauw Si tersenyum dan tidak mam­pu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya untuk mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.



“Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku ada­lah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya yang melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!” Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tidak mau menyinggung perasaannya. Kemudian dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu.



Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu memperdulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.



“Kalau boleh kami mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh amat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tidak dapat mengenalnya,” kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.



“Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut,” jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bah­wa gadis ini memang tidak ingin memperkenalkan perguruannya. Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.



“Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya termasuk se­orang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi.”



Mereka makan minum dan seperti biasa, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja ba­han percakapan bagi pangeran yang me­mang cerdik ini, apalagi karena hatinya memang amat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik. Secara memutar dan tidak langsung, se­olah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini me­nyatakan betapa dia amat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya besar sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya bahwa dia masih belum menemukan se­orang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.



“Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku,” katanya sambil ter­senyum dan menggerakkan pundak seolah-olah dia “terpaksa” oleh keadaan itu, “akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal aku sejak kecil paling suka akan kegagahan!”



“Ilmu kepandaian silat dari Pangeran Ceng Han Houw amat tinggi, lihiap,” kata Tong Siok, bukan untuk menjilat melainkan berkata dengan sejujurnya karena diapun sudah tahu bahwa pange­ran ini memiliki kepandaian yang amat lihai.



Mendengar ini, makin kagumlah hati Ciauw Si. Hebat pemuda bangsawan ini, pikirnya. Begitu tampan dan ganteng, gagah perkasa, berkedudukan tinggi, ma­nis budi bahasanya pandai bergaul dan tidak sombong, dapat menguasai orang-orang kang-ouw yang gagah dan lihai, dan ternyata malah memiliki kepandaian yang tinggi pula! Jarang menjumpai seorang pria seperti ini memang!

Agaknya Han Houw dapat menyelami isi pikiran gadis itu melalui sinar mata mereka yang saling bertemu. Kini Ciauw Si lebih berani menentang pandang mata pangeran itu, dan beberapa kali dia me­rasa betapa pandang mata yang bersinar tajam itu penuh arti ketika bertemu de­ngan pandang matanya. Juga sang pange­ran merasa betapa gadis itu tidak meng­elak lagi kini, bahkan berusaha untuk menyatakan perasaan melalui sinar mata dan senyum bibirnya yang indah itu. Maka bangkitlah Han Houw, menjura ke arah Ciauw Si dan berkatalah pangeran ini dengan suaranya yang halus dan kata-katanya yang teratur seperti layaknya seorang pangeran yang berpendidikan tinggi.

“Lie-slocia, sudah semenjak jaman dahulu para pendekar selalu mengutama­kan perkenalan melalui ilmu silat yang menjadi kebanggaannya dan yang dilatih­nya semenjak kecil. Kini, biarpun kita telah saling berkenalan, namun rasanya masih belum puas hati ini kalau aku belum mengenal ilmu kepandaian nona secara langsung. Maka, berilah kehormatan dan kebahagiaan kepadaku untuk me­ngenal ilmu silatmu, nona!” Ini merupa­kan tantangan untuk adu ilmu, tantangan yang amat halus dan sopan. Wajah Ciauw Si kembali menjadi kemerahan. Dia cepat membalas penghormatan pangeran itu, berdiri dengan sikap lemah gemulai.



“Ah, mana aku berani, pangeran? Kepandaianku biasa saja, sebaliknya pa­ngeran tentu memiliki kepandaian yang amat hebat, karena dengan kedudukan pangeran yang begitu tinggi, apa sukarnya mencari guru yang amat pandai! Pula, ilmu pukulan adalah permainan berbahaya, maka aku khawatir kalau-kalau tangan kita yang tidak bermata akan mendatangkan malapetaka.”



Ini bukan penolakan mutlak, bukan pula tanda takut, bahkan mengandung kekhawatiran kalau sampai mencelakakan pangeran itu. Han Houw tersenyum, “Nona, jangan mengira aku tidak tahu bahwa nona sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga di setiap ujung jarl nona seakan-akan telah bermata, mana mungkin melukai orang kalau tidak dikehendaki oleh nona sendiri? Marilah, harap nona tidak sungkan karena sungguh aku ingin sekali menyaksikan kelihaian nona.”



“Kamipun berharap agar lihiap sudi membuka mata kami dengan ilmu lihiap yang tinggi dan agar pertemuan ini ma­kin menggembirakan,” kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban memuji. Diam-diam ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inipun ingin sekali menyaksikan sendiri kelihaian sang pangeran yang hanya pernah didengarnya saja.



Karena memang pada dasarnya Ciauw Si ingin menguji kepandaian silat dari pangeran yang amat menarik hatinya ini, akhirnya setelah semua orang, kecuali Sin Liong, membujuknya, dia lalu berkata, “Baiklah, pangeran, akan tetapi kuharap pangeran suka menaruh kasihan dan ja­ngan menurunkan tangan besi.”



“Ha-ha-ha, nona bisa saja merendah. Akulah yang mohon kemurahan nona agar jangan sampai aku roboh mengukur tanah dalam beberapa jurus saja. Nah, silakan, nona.”



Han Houw sudah menjauhkan diri dari meja kursi, berdiri di tengah ruangan yang lebar itu menanti Ciauw Si. Dua orang ketua itu memandang penuh per­hatian, sedangkan Sin Liong yang tidak merasa tertarik karena dia sudah me­ngenal betul watak pangeran yang mata keranjang dan pandai merayu wanita itu merasa jemu dan juga tidak senang, me­lanjutkan makan minum dan nampaknya tidak mengacuhkan pertandingan adu ilmu itu.



“Mulailah, pangeran,” Ciauw Si ber­kata setelah berhadapan dengan pangeran itu, memasang kuda-kuda dengan gagah­nya dan tersenyum manis, matanya me­nyambarkan kerling maut yang mem­buat jantung Han Houw makin terguncang. Sungguh mengherankan memang kekuasa­an cinta asmara. Sekali Ciauw Si ter­pikat, secara otomatis muncullah sifat-sifat kewanitaan yang penuh pikatan dalam dirinya, terbawa oleh naluri kewanitaannya! Padahal biasanya, gadis pendekar ini lebih dikenal sebagai seorang wanita yang keras dan agak dingin menghadapi kaum pria, bahkan mudah marah kalau mendengar mulut pria me­ngeluarkan kata-kata yang sifatnya meng­goda, atau melihat pandang mata yang penuh kagum ditujukan kepadanya. Kini, dia memasang kuda-kuda dengan gerakan indah dan mempersilakan lawannya sam­bil tersenyum manis!



“Ah, engkau terlampau sungkan, Lie-siocia. Biarlah aku bergerak lebih dulu, maafkan,” Tiba-tiba Han Houw lalu bergerak maju dan mengirim serangan yang cukup cepat dan dia menggunakan tenaga sin-kangnya yang kuat. Memang pangeran ini ingin sekali menguji sendiri kepandai­an dara yang telah menjatuhkan hatinya ini.



“Hiaattt...!” Dia menyusulkan serangan sehingga secara bertubi-tubi pangeran ini telah mengirim empat kali pukulan yang susul menyusul, amat cepat dan angin pukulan sampai terasa oleh mereka yang duduk di depan meja. Dua orang ketua itu terkejut bukan main karena serangan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa nama besar pangeran muda ini bukanlah nama kosong belaka.



“Haaaiiitttt...!” Ciauw Si bergerak dengan amat indah, langkah-langkahnya teratur dan tubuhnya seperti menari-nari ketika dia mengelak secara beruntun dengan amat mudahnya, seolah-olah serangan yang amat cepat dan bertenaga itu bukan apa-apa baginya, dan dia masih sempat melempar kerling dan senyum. Akan tetapi pada saat itu, Sin Liong tertegun di atas kursinya. Dia mengenal ilmu sliat yang dimainkan oleh gadis itu! Itulah langkah-langkah Thai-kek-sin-kun! Tidak salah lagi! Thai-kek-sin-kun yang dimainkan dengan amat baiknya oleh gadis itu. Mudah diduga bahwa tentu gadis itu menerima pelajaran Thai-kek-sin-kun dari tangan pertama! Ada hubungan apakah antara gadis ini dengan mendiang kakeknya, atau dengan ayah kandungnya? Mulailah Sin Liong tertarik sekali dan kini diapun mengikuti jalannya pertandingan itu dengan penuh perhatian.



Diam-diam Ceng Han Houw juga gi­rang dan kagum sekali. Tepat dugaannya. Nona ini bukanlah seorang gadis kang-ouw biasa, bukan seorang ahli silat biasa. Jelas bahwa ilmu silatnya bersumber dari ilmu silat yang tinggi sekali! Makin hebatlah dia melancarkan serangannya. Akan tetapi semua serangan Han Houw dapat dielakkan atau ditangkis dengan baiknya oleh gadis itu! Bahkan ketika pangeran itu sengaja mengerahkan tenaga dan mengadu lengan untuk menguji tenaga lawan, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa tenaga sin-kang pula! Makin kagumlah hati tertarik pula dia. Benar-benar seorang dara yang jarang terdapat, seorang gadis pilihan!

Di lain fihak, Ciauw Si juga terkejut dan kagum bukan main. Biarpun dia mengenal ilmu silat pangeran ini sebagai ilmu silat tingkat tinggi yang bersumber dari ilmu silat golongan sesat, namun harus diakuinya bahwa ilmu silat yang dimiliki pangeran itu amat hebat, dan tenaga sin-kangnya juga amat kuat! Kiranya pangeran ini benar-benar seorang yang lihai! Karena ingin memamerkan kepandaiannya, gadis itu tiba-tiba mengubah gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya berputaran seperti gasing dan dengan gerakan ini dia menyerang lawan!



“Ehhh...!” Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan terpaksa dia main mundur dan bersikap waspada, dan karena tubuh gadis itu berpusing sedemikian cepatnya sambil keempat kaki tangannya kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba, Han Houw tidak dapat mengandalkan kelincah­an tubuh mengelak, melainkan menjaga diri dengan tangkisan-tangkisan cepat. Kembali Sin Liong menahan napas. Itulah In-keng-hong-wi (Awan Mencipta Angin dan Hujan), jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat! Jelaslah bahwa gadis ini memang ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, tidak salah lagi! Dengan jurus yang hebat ini, Pangeran Han Houw ter­desak dan pangeran ini cepat mengguna­kan langkah-langkah Pat-kwa-po dan barulah dia berhasil menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu.



“Hebat...!” serunya kagum ketika nona itu menghentikan serangannya dengan jurus luar biasa itu dan tiba-tiba Ceng Han Houw melakukan dorongan kedua tangannya ke depan. Melihat betapa dahsyatnya serangan ini, dan terutama karena ingin menguji tenaga lawan, juga ada dorongan dari hatinya untuk mengadu telapak tangan dengan pangeran yang makin menarik hatinya itu, Ciauw Si cepat mendorongkan kedua tangannya pula.



“Plakk!” Dua pasang telapak tangan saling bertemu dan untuk beberapa detik lamanya mereka saling dorong. Ciauw Si merasa betapa kuatnya lawan dan dia hampir tidak dapat menahan ketika tiba-tiba pangeran itu mengurangi tenaganya sehingga kekuatan mereka berimbang.



Tentu saja Ciauw Si merasakan hal ini dan kini mereka merasakan betapa ada getaran-getaran halus menjalar melalui kedua telapak tangan mereka yang saling melekat, getaran yang aneh dan terus menjalar sampai ke jantung dan membuat pipi mereka berwarna merah sekali dan kedua mata mereka saling pandang seperti tidak mau berpisah lagi. Pandang mata yang mengandung kemesraan, dan getaran dari sentuhan telapak tangan itu berubah hangat dan nikmat, mendatangkan rasa malu kepada Ciauw Si yang cepat menarik kedua tangannya sambil berseru, “Aku mengaku kalah...”



Ceng Han Houw tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh nona terlalu merendah! Selama hidupku belum pernah aku Pangeran Ceng Han Houw bertemu dengan seorang yang demikian lihai seperti nona. Sungguh aku merasa takluk dan kagum sekali, Lie-siocia!”



“Pangeran terlalu memuji...” Ciauw Si tersipu malu, akan tetapi hatinya hanya dia yang tahu, girang dan bangga bukan main!



Mereka melanjutkan makan minum dan Sin Liong hanya mendengarkan saja ketika Han Houw dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang memuji-muji Ciauw Si. Akan tetapi kini diapun mulai memperhatikan nona itu karena dia amat tertarik melihat ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai dimainkan secara demikian baiknya oleh nona ini. Dia teringat akan cucu perempuan yang meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari Cia Bun Houw, ayahnya! Gadis inilah cucu kakeknya itu, keponakan dari ayah kandungnya? Agaknya, melihat ilmu silatnya, tidak akan salah lagi kalau gadis ini menerima semua ilmu yang dimainkannya tadi dari kakeknya secara langsung, melihat betapa sempurna dan baiknya dia memainkannya. Sayang bahwa dia dulu tidak begitu memperhatikan sehingga sama sekali 1upa akan nama cucu kakeknya atau saudara misannya itu ketika kakeknya menyebutkan nama itu secara sambil lalu. Benarkah nona Lie Ciauw Si ini keponakan ayah kandungnya? Akan tetapi, karena dia sendiri hendak menyembunyikan hubungan keluarga dengan fihak Cin-ling-pai, maka diapun diam saja, hanya dia berkeputusan untuk memperhatikan gadis ini dan melindunginya dari marabahaya!



“Eh, Liong-te, kenapa sejak tadi kau diam saja? Apakah engkau tidak kagum melihat ilmu kepandaian Lie-siocia yang demikian hebatnya?”



Sin Liong terkejut dan mukanya berubah merah ketika semua orang, juga nona cantik itu memandang kepadanya.



“Lie-siocia, engkau tidak tahu bahwa adik angkatku ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkatku sendiri!” kata pula sang pangeran sambil tertawa kepada Ciauw Si.



Mendengar ini, terkejutlah Ciauw Si. Dia tadi sudah melihat pemuda remaja yang tampan dan pendiam itu, dan sama sekali tidak memperhatikannya. Akan tetapi sekarang pangeran itu menyatakan bahwa adik angkat pangeran ini memiliki kepandaian lebih tinggi lagi! Padahal pangeran itu sendiri sudah memiliki kepandaian hebat! Maka gadis ini memandang dengan kaget dan penuh keheranan kepada Sin Liong, kemudian dia berkata, “Ah, pengertianku dalam ilmu silat masih amat dangkal...”



Mendengar ini, Sin Liong merasa kasihan kepada nona ini. Seorang nona yang gagah perkasa, namun di balik pandang mata yang membayangkan kekerasan hati itu terkandung keramahan dan agaknya nona ini telah terdidik baik untuk merendahkan diri, maka dia cepat bangkit berdiri dan menjura. “Ilmu silat Lie-lihiap sungguh amat tinggi sekali! Sungph aku merasa kagum.”



Ciauw Si balas menjura dah mengucapkan terima kasih atas pujian itu. Kemudian atas bujukan fihak tuan rumah yang diperkuat oleh Pangeran Ceng Han Houw, akhirnya Ciauw Si merasa sungkan untuk menolak ketika dia dipersilakan untuk tinggal selama beberapa hari di situ. Selain fihak tuan rumah amat ramah dan baik kepadanya, juga adanya pangeran itu di situ merupakan daya tarik yang amat kuat karena diam-diam gadis ini ingin berkenalan lebih akrab dengan Han Houw. Sementara itu, diam-diam Sin Liong selalu mengamati dan menjaga agar dara itu jangan sampai diganggu siapapun juga.

“Nona Lie Ciauw Si, aku tidak perlu menyembunyikan perasaanku kepadamu lagi, aku jatuh cinta kepadamu, nona.”



Hening sekali dalam taman itu mengikuti ucapan Han Houw ini. Mereka duduk berdampingan di atas bangku panjang dalam taman di belakang rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Semenjak tadi mereka duduk dalam taman bercakap-cakap dan setelah tinggal dua hari di situ, Ciauw Si sudah menjadi sahabat baik Han Houw. Mereka makin saling tertarik dan akhirnya, pada senja itu, ketika mereka duduk bercakap-cakap dalam taman, Han Houw dengan terus terang menyatakan cintanya!



Mendengar ucapan itu, Ciauw Si mengangkat muka memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia kini telah dapat menguasai rasa malu dan sungkan terhadap pangeran yang selalu ramah dan manis budi kepadanya itu, dan mendengar pengakuan hati ini, dia ingin sekali meyakinkan dirinya bahwa pangeran itu bicara dari lubuk hatinya.



“Jangan kau ragu-ragu, nona, aku sungguh telah jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali bertemu, aku kagum melihat kepandaian, kagum melihat kegagahanmu, dan kagum melihat kecantikanmu. Aku cinta padamu dan aku ingin dapat hidup bersamamu sebagai suami isteri.”



Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, namun Han Houw telah memiliki banyak pengalaman dengan wanita, maka mengaku cinta secara terang-terangan seperti itu bukan merupakan hal yang aneh baginya dan dapat dilakukannya dengan tenang-tenang saja! Tidak demikian dengan Ciauw Si. Walaupun usianya sudah dua puluh empat tahun, namun pengalaman ini merupakan yang pertama kali dalam hidupnya!



“Pangeran, sesungguhnyakah apa yang kauucapkan itu?” akhirnya terdengar Ciauw Si bertanya, suaranya halus tergetar karena hatinya merasa terharu. Pangeran itu memegang tangan Ciauw Si dan kembali dari pertemuan antara kedua tangan itu terdapat getaran halus yang langsung keluar dari perasaan hati mereka.



“Ciauw Si, apakah engkau tidak percaya kepadaku? Pandanglah mataku dan engkau tentu dapat menjenguk hatiku melalui mataku. Sungguh mati, selama hidupku baru sekali ini aku jatuh cinta, sungguhpun telah banyak wanita diberikan kepadaku sebagai selir. Belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti sekali ini, Ciauw Si. Aku cinta padamu, perlukah aku bersumpah?”



“Mungkinkah itu? Engkau adalah seorang pangeran yang berkedudukan tinggi sekali, sedangkan aku... aku hanyalah seorang gadis...”



“Yang cantik manis, yang gagah perkasa, yang budiman, dan aku percaya dan yakin bahwa engkau adalah keturunan keluarga yang amat gagah perkasa!” sambung pangeran itu dan dengan penuh perasaan dia menggenggam tangan yang kecil hangat itu. Namun Ciauw Si dengan lembut menarik tangannya dari genggaman sang pangeran, kemudian menunduk dan alisnya berkerut.



“Tapi, pangeran... hendaknya kau­ ingat baik-baik bahwa aku tentu jauh lebih... tua dari padamu! Ingat, usiaku sekarang telah dua puluh empat tahun dan engkau tentu paling banyak dua puluh... dan...”



Akan tetapi Han Houw sudah merangkulnya dan membiarkan Ciauw Si terisak menangis di pundaknya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mulutnya berbisik mesra dekat telinga Ciauw Si.



“Ciauw Si... mengapa engkau meragukan semua itu? Cinta kasih tidak mengenal usia, tidak mengenal kedudukan, bukan? Aku cinta padamu, berikut keadaanmu, kedudukanmu, usiamu. Aku mencinta engkau, karena engkau adalah engkau! Nah, masih ragukah engkau, Ciauw Si? Aku akan mengawinimu, bukan hanya menjadi selirku, aku akan mengambilmu sebagai isteri!”



“Tapi... tapi...”



Tiba-tiba Han Houw memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya halus ke belakang sehingga mereka kini saling berhadapan, beradu pandang. “Dengar baik-baik, Ciauw Si! Aku cinta kepadamu, dan tidak ada hal-hal yang akan dapat menahan cintaku kepadamu, kecuali satu, yaitu kalau engkau tidak dapat menerimanya! Akan tetapi, dari sikapmu, dari pandang matamu, dari suaramu, aku yakin bahwa engkaupun cinta kepadaku, bukankah benar dugaanku, Ciauw Si?”



Sejenak mereka saling memandang dan perlahan-lahan ada dua butir air mata mengalir turun di atas kedua pipi yang agak pucat itu. Ciauw Si mengangguk, dan bibirnya berbisik lirih, “Aku... aku cinta padamu, pangeran...”

Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, tidak dapat karena dengan cepat dan dibarengi seruan tertahan saking gembiranya Han Houw sudah menarik tubuh gadis itu dalam dekapannya, kemudian dia mencium bibir gadis itu dengan sepenuh hatinya!



Ciauw Si tersentak kaget. Selamanya baru sekarang dia mengalami ini dan kekagetan membuat tubuhnya menegang kaku, akan tetapi ketika dia merasakan ciuman mesra dari pria yang telah menjatuhkan hatinya itu, dia menjadi terharu dan diapun balas merangkul dan mem­biarkan dirinya hanyut dalam kemesraan yang timbul karena ciuman mesra itu. Seperti dalam keadaan mimpi atau se­tengah sadar, Ciauw Si menyerah saja dipeluk, dibelai, diciumi seluruh mukanya dan dia tenggelam ke dalam kemesraan yang membuatnya seperti mabuk. Setelah gelombang kegairahan yang menggelora itu agak mereda, Ciauw Si merebahkan kepala di atas dada pangeran itu dalam keadaan lemas seperti kehabisan tenaga. Dia mendengarkan suara jantung pange­ran itu berdentaman keras di dekat te­linganya dan dia merasa berbahagia se­kali, perasaan yang selama hidupnya baru sekarang dirasakannya. Jari-jari tangan yang membelai rambutnya itu amat me­sra, membuatnya memejamkan mata dengan hati merasa tenteram dan damai.



“Yakinkah engkau kini akan cinta kasih antara kita berdua, Ciauw Si? Le­nyapkah sudah keraguanmu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwaku, dan bahwa engkaupun mencintaku?”



“... aku yakin... demi Tuhan, aku yakin dan bahagia... aku tidak ragu-ragu lagi, pangeran...” bisik gadis itu dengan suara menggetar dan bibir tersenyum penuh kebahagiaan. Ciuman-ciuman tadi masih membuatnya pening, namun kepeningan yang penuh nikmat, seperti orang mabuk arak yang baik.



“Kekasihku... calon isteriku yang baik, kalau begitu, marilah kau ikut bersamaku kekamarku, akan kubuktikan kepadamu cinta kasihku yang mendalam, Ciauw Si...”



Akan tetapi, begitu mendengar kata-kata ini, secepat kilat Ciauw Si menarik tubuhnya dari pelukan pangeran itu, meloncat ke belakang dan memandang dengan mata berkilat kepada pangeran itu.



“Kau... kau...”



Pangeran Ceng Han Houw terkejut bukan main melihat perubahan pada diri kekasihnya ini. “Ciauw Si, mengapa kau? Kau kelihatan marah, kenapa?”



“Pangeran, seperti itukah cintamu?”



“Eh...? Kenapa? Apa salahku kepadamu, Ciauw Si?”



Wajah itu menjadi merah dan suaranya terdengar kaku dan dingin, “Hemm, engkau masih bertanya lagi? Engkau... mengajakku ke kamarmu! Patutkah itu? Begitu kotor dan rendah cintamu?”



Kini pangeran itu yang terbelalak. “Ahhh? Bagaimana ini? Apa salahnya bagi kita yang saling mencinta untuk menumpahkan dan membuktikan cinta kasih antara kita di dalam kamar? Apa kotornya dan apa rendahnya hal itu, Ciauw Si? Sungguh aku tidak mengerti...”



“Hemm, jangan pura-pura tidak mengerti, pangeran! Kaukira aku semacam perempuan yang mudah saja kaurayu kemudian kaubujuk untuk menyerahkan kehormatanku? Aku bukan perempuan murah seperti itu!”



“Eh, eh... nanti dulu, Ciauw Si, mengapa engkau berpandangan demikian? Aku cinta padamu... dan kalau aku mengajakmu ke kamarku, itu adalah karena cintaku kepadamu, sama sekali bukan dengan maksud tidak baik. Apa salahnya kalau kita mengadakan hubungan, setelah kita saling mencinta?”



Kini Ciauw Si yang menjadi bingung. Benar-benarkah pangeran itu tidak menganggap hal seperti itu kotor, rendah dan menghina wanita? “Pangeran, seorang wanita yang sopan dan bersih sampai mati tidak akan mau menyerahkan kehormatannya kepada pria manapun, kecuali kepada suaminya yang telah resmi menjadi suaminya!”



“Ahhh...!” Kini wajah pangeran itu berseri. “Ah, maafkan aku, Ciauw Si! Engkau benar, sungguh aku sampai lupa

diri. Hal ini adalah karena setiap kali orang menyerahkan wanita untuk menjadi selirku, tidak pernah ada upacara apa-apa. Maka akupun menjadi terbiasa dan bebas! Aku girang, aku bangga bahwa engkau berbeda dengan mereka! Tentu saja! Dan aku bersumpah tidak akan menjamahmu lagi sebelum kita menjadi pengantin! Kaumaafkanlah aku, Ciauw Si, bukan maksudku untuk menghinamu, sungguh mati, bukan...”



Perlahan-lahan muka yang merah padam itu mulai menjadi normal kembali dan kemarahannya mereda, akhirnya wa­nita itu lalu duduk lagi di samping pa­ngeran dan memegang tangannya. “Kau­lah yang harus memaafkan aku, pangeran. Aku tadi terkejut sekali maka aku menjadi marah ah, engkau memang mengejutkan aku dengan ajakan itu. Syukur engkau tidak berniat buruk, engkau tidak sengaja... percayalah, setelah kita resmi menjadi suami isteri, aku bersedia menyerahkan segala-galanya kepadamu dengan tulus ikhlas dan rela, pangeran.”



Sang pangeran merangkul dan kembali Ciauw Si merebahkan kepalanya di atas dada pangeran itu. Perasaannya nyaman sekali, makin besar kebahagiaannya bahwa pangeran ini sungguh-sungguh amat mencinta padanya, bukan sekedar hendak mempermainkannya!

Mereka berdua tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, sepasang mata selalu mengintai dan mata ini adalah mata Sin Liong! Pemuda inipun selalu mendengarkan percakapan mereka. Dia mengalami ketegangan tadi, namum akhirnya dia merasa lega dan dia merasa heran mengapa pangeran itu sekali ini benar-benar jatuh cinta dan tidak mempunyai niat buruk terhadap dara itu. Diapun tidak meng­intai lebih jauh karena tahu bahwa gadis itu tidak memerlukan perlindungannya lagi. Maka pergilah dia dari tempat sem­bunyinya.



“Ciauw Si, sungguh sikapmu tadi juga amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatiku, akan tetapi akhirnya aku malah merasa bangga sekali! Engkau adalah gadis idamanku, cantik, gagah perkasa, budiman, dan juga bukan wanita murahan! Ah, sungguh aneh sekali. Kita saling mencinta seperti ini namun aku belum pernah mendengar riwayat dirimu! Ciauw Si, ceritakanlah tentang keluargamu agar aku tahu kepada siapa aku harus meminangmu kelak.”



Dengan hati terasa nyaman gadis itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa ibunya telah menjadi janda dan bahwa ibunya adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia sendiri dididik ilmu silat oleh ketua Cin-ling-pai yaitu kakeknya. Bahwa dia pergi meninggalkan Cin-ling-pai untuk mencari pamannya, yaitu Cia Bun Houw yang amat dirindukan kakeknya.



Dapat dibayangkan betapa kaget hati Pangeran Ceng Han Houw mendengar bahwa gadis yang dicintanya itu adalah keponakan dari pendekar Cia Bun Houw, dan puteri dari pendekar wanita Cia Giok Keng yang pada saat itu sedang menjadi buronan! Akan tetapi hatinya terasa lega karena betapapun juga, se­cara pribadi dia sama sekali tidak mempunyai permusuhan apapun dengan para pendekar itu. Yang memusuhi para pen­dekar she Cia dan Yap adalah Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, gurunya dan kakak seperguruannya, akan tetapi dia sendiri secara pribadi sama sekali tidak pernah bermusuhan dengan mereka. Apalagi, gadis ini biarpun masih keluarga dari pendekar itu, nyatanya she Lie, bukan she Yap atau she Cia atau Tio! Maka tenanglah hatinya, bahkan dia me­rangkul dan berkata dengan suara penuh kebanggaan.



“Aihh! Kiranya engkau adalah cucu ketua Cin-ling-pai, bahkan muridnya! Pantas saja ilmu kepandaianmu demikian hebat, kekasihku,” Dan dia mencium Ciauw Si yang merasa girang akan pujian itu.



Biarpun melakukan hubungan kelamin merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si sebelum dia menikah, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan men­ciuminya. Betapapun juga, harus diakui­nya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang men­dorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini. Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka meninggalkan taman itu. Sambil me­langkah perlahan-lahan, pangeran itu ber­tanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.



“Aku telah terlalu lama meninggalkan Cin-ling-pai,” jawab Ciauw Si. “Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran.”



Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!



“Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, kalau engkau membutuhkan bantuanku, atau kalau hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatkut dan memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung.” Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!



Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan mereka lalu memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.



Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.

Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu. Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu telah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat me­mikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.



Kun Liong yang mengingat akan ke­adaan adiknya yang sedang mengandung, lalu menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dulu me­larikan diri ke utara, sedangkan dia sen­diri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.

“Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya?” bantah Kun Liong. “Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apalagi Hong-moi se­dang mengandung, tidak baik untuk menggunakan tenaga melakukan pertempuran.”



“Apa yang dikatakan oleh Liong-ko sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi,” sambung Bun Houw. “Apalagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung dalam hati kita untuk menentang pemerintah, apalagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kamipun tentu akan melarikan diri.”



“Akan tetapi ke mana kami harus pergi?” Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih benemangat itu membantah. In Hong yang di dalam hatinya juga ti­dak setuju, namun karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tidak mung­kin baginya untuk dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.



“Kauajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara bersembunyi di sana, kami akan menyusul kalian secepatnya,” kata Kun Liong tergesa-gesa karena suara bising kini makin mendekat. “Jangan lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa.”



Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan pasukan yang naik ke bukit dari selatan.



Biarpun sedang mengandung, namun karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya, tanpa pengerahan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san. Akan tetapi ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu cepat sekali telah muncul puluhan orang perajurit, bahkan agaknya tidak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira sudah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar wanita itu!



Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita biarpun dalam keadaan sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para perajurit itu tersenyum dan menyeringai girang ketika menerima perintah yang dianggapnya amat ringan dan menyenangkan itu. Mereka seperti segerombolan serigala yang hendak berebut dulu menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu menggerakkan kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit berdiri lagi!



Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa dua orang wanita ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian tinggi! Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah pertempuran yang hebat karena betapapun juga, dua orang itu tidak mau menyerah begitu saja. Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga sin-kang terlalu kuat. Andaikata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apalagi ada Cia Giok Keng yang membantunya. Kini, mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan bertubi-tubi, biarpun tidak mudah pula bagi para perajurit itu untuk dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.



“In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!” kata Cia Giok Keng.



“Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!” In Hong berkata.



Tiba-tiba Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan melengking tinggi, “Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan diri!” Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini telah mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu telah mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam. Memang kedua orang nyonya ini telah menerima pesan berkali-kali dari suami-suami mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, maka tidak boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasan. Maka ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.



Menghadapi ancaman itu, tentu saja para perajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kinipun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan ketat.

“Lebih baik kalian menyerah saja daripada harus menghadapi kekerasan!” bentak seorang perwira.



“Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu,” In Hong yang sudah marah itupun membentak.



Empat orang perajurit menyeringai dan dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka itu menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh Yap In Hong tadi. Gegerlah para perajurit dan mereka itu segera menerjang dengan senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.



Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar kepungan. “Ibu, jangan takut, aku datang membantumu!”



“Ciauw Si...!” Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan ketika dia mengenal suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu. Dan kepungan itu mulai bobol dan rusak oleh mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini marah sekali melihat ibunya terkepung, dan dia melempar-lemparkan para perajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!



Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya, dan biarpun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, namun nyonya ini sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.



Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para perajurit yang tadinya memang sudah gentar menghadapi dua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi kalang kabut.



“Ibu... bibi... lari...!” Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu. Mereka lalu melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di belakang sambil menahan para perajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para perajurit.



Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung oleh banyak sekali perajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah dan memang mereka sengaja mengamuk untuk menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran kepada isteri-isteri mereka. Mereka melihat seorang nenek muka hitam dan seorang wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!



Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi marah, akan tetapi juga terkejut dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru. “Bun Houw, lari...!” Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua melarikan diri ke barat.



Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa heran melihat bahwa dua orang wanita isteri dua orang pendekar tidak nampak. Tak mungkin dua orang wanita itu bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi. Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk melakukan pengejaran. Dia maklum akan kelihaian dua orang pendekar itu, maka biarpun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantu­an pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio menyangka bahwa tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak guru­nya untuk melakukan pengejaran.



Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, me­lainkan untuk memancing mereka itu mengejar agar isteri-isteri mereka sem­pat melarikan diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-isteri mereka itu kini se­dang menghadapi pengeroyokan para pe­rajurit yang oleh Kim Hong Liu-nio me­mang sudah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling bukit itu! Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tidak berlari terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti da­tangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu, setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lan­tang berwibawa.



“Berhenti kalian! Sebagai perajurit-perajurit kerajaan, apakan kalian lupa bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak? Mendiang ayahku, Cia

Keng Hong, bahkan adalah sahabat baik mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan kami pasti pada suatu hari akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!”

Melihat sikap pendekar itu yang amat gagah dan mendengar ucapan itu, para perajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-ling-pai, kelihatan gentar, dan mereka benar saja berhenti bergerak hanya berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.



Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing sudah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong.



Kun Liong yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu melihat si nenek menangkis pukulannya dengan tangan kiri, sengala dia mengadukan lengannya dan seketika dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Memang ilmu ini tidak boleh sembarangan dipergunakan, namun menghadapi seorang tokoh besar selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.



“Dukk!” Dua lengan bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan tenaga menyedot.



“Iihhh-heh-heh-heh!” Hek-hiat Mo-li terkekeh dan tiba-tiba Kun Liong merasa betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu telah berhenti sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang hitam dan mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke arah nadi pergelangan tangannya! Inilah serangan berbahaya sekali dan terpaksa dia menyimpan tenaga Thi-khi-i-beng dan menarik kembali lengannya! Ternyata Ilmu Thi-khi-i-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan licik oleh nenek itu, yaitu dengan menyimpan sin-kang dan menyerang tempat berbahaya yang berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Dan memang selama ini, nenek itu telah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi-i-beng yang ditakuti!



Setelah tahu bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek ini, Yap Kun Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu silat aneh yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong!



Terdengar nenek itu berkali-kali berseru “ah” dan “oh” karena heran dan bingungnya menghadapi ilmu silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di dunia kang-ouw, merupakan ilmu silat tunggal dari Kun Liong. Namun, nenek itupun hebat bukan main. Biarpun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun Liong, namun diapun selalu dapat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh pendekar itu. Keanehan ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan satu dua kali pukulan, namun semua pukulan yang mengandung hawa sin-kang amat kuat itu tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa.



Sementara itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga amat seru dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw masih lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sin-kang. Pendekar ini maklum bahwa lawannya amat lihai dan mahir ilmu silat bermacam-macam, sehingga kalau hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukar baginya untuk memperoleh kemenangan. Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat dan memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim Hong Liu-nio tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali tidak berani mengadu lengan.



Kalau dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan bahwa Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong itupun akan celaka kalau dikeroyok dua! Kim Hong Liu-nio dapat melihat kenyataan ini, maka dia lalu berteriak memerintahkan pasukan untuk ikut mengeroyok! Majulah seratus lebih perajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun Liong dan Bun Houw.



“Bun Houw, mari kita pergi!” Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka maklum bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apalagi karena mereka tidak ingin membunuh para perajurit itu. Keduanya lalu mengirim serangan yang dahsyat ke arah dua orang wanita itu, memaksa mereka itu mundur dan menggunakan kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala para pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi dari tempat itu memasuki hutan. Pasukan itu mengejar sambil berteriak-teriak, namun sekali ini dua orang pendekar itu memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu berlari cepat, pasukan itu tidak mungkin dapat menyusul mereka, sedangkan guru dan murid yang kalau mau dapat menyusul itupun merasa jerih untuk menghadapi mereka berdua saja.

Dengan jalan memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar inipun melakukan perjalanan secepatnya untuk menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan, puteri dari pendekar Yap Kun Liong.

“Suheng, aku sutemu Sin Liong datang menghadap!”



Sudah tiga kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan guha-guha besar itu bersama Han Houw, dan belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin Liong mengajak Ceng Han Houw mendaki puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan guha-guha puncak itu yang menjadi tempat tinggal suhengnya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun, sampai tiga kali dia berteriak, suhengnya itu tidak pernah menjawab atau muncul.



“Jangan-jangan suhengmu itu tidak berada di sini, sedang pergi,” kata Han Houw dengan suara bernada kecewa.



“Dia pasti ada, Houw-ko, tadi aku melihat bayangannya berkelebat ketika kita tiba di puncak.”



“Kalau begitu, mengapa dia tidak keluar?” Han Houw bertanya heran, tidak enak dan juga kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu sedangkan dia tidak.



Sin Liong kembali menghadap ke guha, mengerahkan khi-kang dan berseru dengan amat nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru, “Suheng Ouwyang Bu Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting sekali!”



Setelah gema suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di atas, biarpun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas, seolah-olah turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga dengan kekuatan khi-kang pemilik ilmu itu dapat mengirim suaranya dari manapun.



“Sute, mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini?”



Biarpun suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suhengnya itu memang bersembunyi di dalam guha di depannya. Maka dia menjura ke arah guha itu dan berkata, “Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan kakak angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara dengan baik.”



“Kalau aku tidak mau keluar kau mau apa?”



Sin Liong tidak merasa heran dengan anehnya watak suhengnya itu. Diapun tahu bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia berkata, “Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu Sek bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!”



Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda itu telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan main. Kakek itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar sekali botak dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi, melainkan wajah seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana dan kedua kakinya telanjang. Dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin Liong sambil bertolak pinggang dan berkata penuh teguran, “Kalau engkau hendak mengatakan aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Heh, satu kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku harus ingat budi itu terus?”



“Maaf, suheng, bukan maksudku begitu. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan bicara denganmu,” kata Sin Liong sungguh-sungguh. Memang ucapannya tadi hanya dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini, dan dia telah berhasil.



“Ho-ho, sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku? Ha-ha, bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek buruk macam aku ini!” Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.



“Tidak, suheng, aku tidak rindu kepadamu,” jawab Sin Liong sejujurnya karena akan percuma saja membohongi suhengnya ini. “Akan tetapi aku datang karena aku perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng.”



Kini kakek itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling itu memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah sekali, yang berdiri sambil menjura kepadanya, yang mempunyai sepasang mata amat tajam dan dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa pemuda remaja ini tentu memiliki kepandaian yang lumayan.



“Hemmm, aku tidak suka kepadanya, dia terlalu tampan... hemm, dan dia she Ceng lagi, seperti she bangsawan istana raja! Mau apa kaubawa dia berjumpa denganku?”



“Suheng, karena dia ini adalah kakak angkatku, maka dengan sendirinya diapun terhitung sutemu sendiri. Houw-ko ingin sekali belajar ilmu yang tinggi di bawah pimpinan suheng.”



“Wah, aku tidak mau menerima murid, apalagi setampan ini!”



“Bukan murid suheng, melainkan sutemu! Dia ingin belajar ilmu dari suhu kita.”



“Ah, mana bisa itu?, Sute, kenapa kauceritakan tentang suhu...?”

“Ingat, suheng, dia ini kakak angkatku, bukan orang lain. Dan percayalah, dia ini seorang yang bercita-cita besar, lebih besar daripada cita-citaku. Dia ingin menjadi orang terpandai di kolong langit, ingin menjadi jagoan nomor satu!”



“Uwah, mana bisa? Orang yang halus seperti ini mana tahan uji? Mana tahan derita? Aku tidak mau...!”



Semenjak tadi Han Houw diam saja bukan karena dia tidak bisa bicara, melainkan karena dia mengikuti setiap gerak-gerik kakek itu dan mendengarkan setiap omongan, dan pangeran yang amat cerdik ini sudah dapat menduga akan kelemahan dari kakek aneh ini, maka kini dialah yang berkata, “Locianpwe, menilai orang lain jangan melihat keadaan luarnya saja. Melihat keadaan luar locianpwe ini, siapa orangnya yang akan dapat menilai bahwa locianpwe memiliki ilmu kepandaian hebat? Demikian pula dengan aku, biarpun aku kelihatan begini, jangan dikira bahwa aku tidak tahan uji! Dan adikku Sin Liong ini sudah berjanji akan membawaku kepada locianpwe untuk diterima sebagai murid atau sute, terserah. Kalau sampai hal itu tidak terlaksana, apakah bukan berarti bahwa locianpwe menjadi suheng dari orang yang tidak dapat memegang janji?”



Sejenak kakek itu tertegun, kemudian membanting kakinya yang kecil. “Wah-wah, kakak angkatmu ini malah lebih pintar lagi bicaranya daripada engkau, sute! Dan lagaknya seperti dia ini seorang bangsawan tinggi saja! Apa artinya bagiku menjadi guru atau suheng dari seorang bangsawan kecil?”



Han Houw sudah dapat menduga isi hati kakek ini yang ternyata diam-diam merupakan seorang yang agaknya amat mengagungkan kedudukan tinggi, maka tanpa meragu lagi dia berkata, “Locianwe, harap jangan memandang rendah kepadaku! Aku memang seorang bangsawan tinggi karena aku adalah seorang pangeran, adik kaisar yang sekarang ini!”



Benar saja. Kakek itu undur dua langkah dan memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda tampan itu, kemudian menoleh kepada Sin Liong dengan mata mengandung penuh pertanyaan. Sin Liong mengangguk dan berkata, “Memang benar apa yang dikatakannya itu, suheng.”



Sejenak kakek itu melongo, kemudian dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Han Houw, suaranya kasar seolah-olah dia tidak tahu bahwa pemuda ini seorang pangeran!



“Hei, apa kamu bisa berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah, kaki di atas dan kedua lengan bersedakap?”



Han Houw tersenyum mengejek. Matanya yang cerdik dapat menangkap kepura-puraan kakek itu yang agaknya tidak menghargai kedudukannya akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek itu amat terkesan, dan kini hendak mengujinya. “Apa sih sukarnya begitu saja?” katanya dan dia memilih sebuah batu halus di depan guha, kemudian sekali menggerakkan kakinya, dia sudah jungkir balik, dengan kepala yang bertopi itu di atas batu, dan kakinya di atas, kedua lengannya bersedakap.



“Hemm, jangan turunkan kaki sebelum kuperintahkan!” kata Ouwyang Bu Sek, kemudian dia menggandeng tangan Sin Liong. “Hayo sute, aku mau bicara denganmu!” Keduanya lalu memasuki guha dan tidak nampak lagi, juga tidak terdengar suara mereka. Namun Han Houw yang berkemauan keras untuk memperoleh ilmu-ilmu tinggi sehingga akan terpenuhi cita-citanya menjadi jagoan nomor satu di dunia, tetap dalam keadaan jungkir balik, bahkan memejamkan matanya untuk memusatkan perhatian dan mematikan semua panca inderanya!



Ouwyang Bu Sek mengajak Sin Liong ke dalam guha dan di sini dengan suara berbisik agar jangan sampai terdengar oleh Han Houw, kakek cebol ini berkata kepada Sin Liong, “Hayo ceritakan siapa dia sebetulnya dan mengapa engkau bersusah payah membujukku untuk menerimanya sebagai murid, sute!”



Walaupun kadang-kadang dia merasa tidak cocok dengan watak Han Houw yang curang dan kejam, namun sesungguhnya Sin Liong merasa suka sekali kepada pangeran itu, apalagi mengingat bahwa mereka telah bersumpah mengangkat saudara. Maka sedikitpun juga dia tidak ingin menjerumuskan Han Houw ke dalam malapetaka dan sekarangpun dia maslh ingin melindunginya, biarpun apa yang pernah dilakukan oleh Han Houw terhadap Bi Cu untuk memaksanya. Oleh karena itulah ketika ditanya oleh suhengnya ini, dia masih hendak menutupi pemaksaan yang dilakukan oleh Han Houw dengan cara mengancam Bi Cu tempo hari.



“Kami telah saling bersumpah mengangkat saudara, suheng, dan seperti telah diceritakannya tadi, dia adalah adik tiri seayah dengan sri baginda kaisar yang sekarang. Dia amat disayang oleh kaisar dan memiliki kedudukan tinggi sekali di istana. Dia bercita-cita tinggi, ingin memiliki ilmu silat yang paling lihai, ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia.”



Wajah kakek itu berseri. “Engkau tidak membohongi aku, bukan sute? Aku sudah tua sekali, aku sudah tidak kuat lagi mengajarkan ilmu-ilmuku kepada seorang murld, engkaupun tahu akan hal ini, mengapa engkau memaksa dia berguru kepadaku di sini?”



“Aku bersumpah bahwa apa yang kuceritakan kepadamu tidak bohong, suheng. Dan akupun tidak mengharapkan engkau berpayah-payah mengajarnya sendiri. Bagaimana kalau suheng mengajarkan ilmu-ilmu dari suhu kepadanya? Dia sudah kuceritakan tentang suhu Bu Beng Hud-couw, dan dia ingin sekali menjadi murid beliau.”



Kakek itu nampak terkejut. “Hemm, ah, kau lancang, sute. Tidak mudah menjadi murid suhu, harus kulihat dulu orang itu...”



“Terserah kepada suheng, aku hanya telah berjanji membawanya ke sini dan mempertemukannya dengan suheng dan agar suheng menerimanya.”

“Nanti dulu..., bagaimana wataknya? Apakah dia seorang yang mengenal budi?”

SIN LIONG berpikir sejenak lalu tanpa ragu-ragu ia mengangguk. Dia mengenal watak pangeran itu. Memang Han Houw mengenal budi, sungguhpun agaknya juga tidak akan mudah melupakan kesalahan orang kepadanya. Pendeknya, pendendam dan pembayar budi yang kuat!

“Jangan khawatir, suheng. Dia seorang pangeran yang mengerti akan kedudukannya, dan dia tidak akan melupakan orang yang telah menolongnya.”

Memang benar dugaan Sin Liong ini. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa biarpun Han Houw suka membalas budi yang dilimpahkan kepadanya, namun dia lebih pendendam dan takkan pernah melupakan kesalahan orang kepadanya.

Watak seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan cepat-cepat menolak dan membantah kalau kita dikatakan berwatak seperti Pangeran Ceng Han Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata memandang diri sendiri dengan sejujurnya? Bukankah kita ini merupakan orang-orang yang ingin membalas budi orang lain namun di samping itu ingin pula membalas perbuatan orang lain terhadap kita yang kita anggap jahat dan merugikan? Kita condong untuk membalas kebaikan orang dengan kebaikan yang lebih besar lagi, menghadapi keramahan orang dengan keramahan yang lebih besar lagi, namun kitapun ingin membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau kita diberi sejengkal kita ingin membalas sedepa, kalau kita dicubit kita ingin balas memukul. Tidakkah semua ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu? Karena aku lebih dibaiki orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik lagi dari dia, dari siapapun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang terbaik! Sebaliknya kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan gangguan yang lebih kejam lagi agar hati yang mendendam, hati ialah si aku itu pula, menjadi puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak mau kalah baik, tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut lebih kejam, melainkan lebih berani!

Inilah sebabnya mengapa di antara suami isteri, di antara saudara, di antara sahabat baik, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali kebaikan dari isteri, suami, saudara atau sahabat akan lenyap tanpa bekas oleh adanya satu kali saja kesalahan! Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa yang tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk!

Kalau setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada hakekatnya adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka perbuatan yang berpusat pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan pertentangan! Ini sudah jelas! Setelah kita membuka mata memandang dengan waspada dan kita dapat melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti berarti bertindak, apakah kita tidak dapat bebas dari pe­nilaian baik buruk yang menimbulkan tindakan yang mengandung pertentangan ini?

Setelah dia merasa yakin akan keada­an Ceng Han Houw, Ouwyang Bu Sek lalu mengajak Sin Liong keluar. “Kau boleh pergi sekarang, sute, kalau engkau mau meninggalkan bocah itu di sini, terserah. Akan tetapi kalau ternyata dia tidak ada gunanya, dia akan kulemparkan ke dalam jurang!” kata kakek itu dengan lantang karena memang disengaja agar dapat didengar oleh Han Houw yang ternyata masih berdiri dengan jungkir balik di atas batu yang rata dan licin itu.

“Didik dia baik-baik, suheng, ingat, dia itu kakak angkatku. Katakan kepada Houw-ko bahwa kelak kami akan dapat saling jumpa lagi. Selamat tinggal, su­heng.”

“Selamat jalan, sute.”

Han Houw mendengar ini semua akan tetapi dia diam saja, tidak membuka kedua matanya. Dia maklum bahwa ka­kek cebol itu sedang mengujinya, maka diapun ingin memperlihatkan bahwa dia adalah seorang calon murid yang baik! Bagi seorang yang belum pernah berlatih ilmu silat tinggi, berdiri berjungkir balik seperti itu tentu saja merupakan siksaan, bahkan tidak mungkin dapat bertahan sampai lama. Akan tetapi, Han Houw adalah murid Hek-hiat Mo-li, sudah me­miliki kepandaian yang cukup tinggi, sehingga berdiri jungkir balik seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak saja baginya. Dia mendengar semua per­cakapan antara adik angkatnya dan kakek itu setelah mereka keluar dari dalam guha, dan mendengar langkah kaki Sin Liong pergi dari situ. Kemudian dia men­dengar kakek itu pergi pula meninggalkan tempat itu sehingga keadaan di sekeliling tempat itu sunyi sekali.

Han Houw masih tetap berdiri jungkir balik. Sejam, dua jam, tiga, empat, lima jam! Celaka, pikirnya. Kalau hanya berjungkir balik seperti itu sampai beberapa jam saja dia masih kuat, akan tetapi kalau dilanjutkan tanpa ada ketentuan kapan kembalinya kakek itu, benar-benar merupakan siksaan hebat. Celaka! Dia merasa serba salah! Kalau terus berjungkir balik seperti itu, setelah lewat lima jam, kepalanya mulai pening dan terutama sekali lehernya mulai terasa pegal-pegal dan lelah. Akan tetapi kalau menyudahi jungkir balik itu dan menurunkan kaki, tentu akan kesalahan oleh kakek cebol tadi. Ini merupakan ujian! Bukankah kakek cebol tadi mengatakan bahwa dia tidak boleh menurunkan kedua kakinya sebelum diperintah oleh si kakek itu? Dan sekarang kakek itu tidak pernah muncul! Agaknya hendak menyiksanya atau mempermainkan, atau menjebaknya. Kalau dia menurunkan kaki, tentu si kakek itu akan muncul dan menyatakan dia tidak memenuhi syarat sebagai murid! Celaka, kakek cebol itu sungguh sadis!

Han Houw mempertahankan diri, memejamkan mata dan menutup panca inderanya untuk melakukan ujian itu sekuatnya. Kembali waktu merayap lewat dengan amat melelahkan. Hari sudah menjadi gelap! Biarpun dia tidak membuka mata, namun dia dapat merasakan perbedaan antara terang dan gelap dari balik pelupuk matanya. Hari sudah menjadi gelap dan kakek itu masih juga belum datang membebaskannya! Bukan main hebatnya penderitaan yang dirasakan Han Houw pada saat-saat itu. Dan malam terus merayap tanpa ada perubahan pada dirinya. Dia merasa betapa kepalanya sudah menjadi besar, sebesar gantang, sebesar kepala kakek cebol itu! Bermacam warna menari-nari di depan matanya. Kedua pundak dan lehernya seperti sudah berubah menjadi batu, kaku dan tidak dapat merasakan apa-apa lagi!

Celaka, akan matikah dia? Namun, Han Houw adalah seorang pemuda yang keras hati dan penuh semangat, apalagi dalam mengejar ilmu yang dicita-citakannya ini. Dia berkeras tidak akan menyerah sebelum tubuhnya yang menyerah dan roboh dengan sendirinya! Maka dikeraskanlah hatinya dan dia terus berjungkir balik seperti itu sampai semalam suntuk lewat!

Menjelang pagi, dengan hati penuh dendam Han Houw sudah membayangkan kakek itu sebagai iblis jahat yang sengaja menyiksanya. Berbagai umpat dan caci dan kutuk memenuhi benaknya, dilontarkan kepada penyiksanya. Namun mulutnya tetap terkatup dan kedua matanya terpejam. Setelah matanya yang terpejam kembali melihat cahaya di luar pelupuk matanya, telinganya mendengar langkah kaki dan tahulah dia bahwa kaki telanjang kakek botak cebol itulah yang mendekatinya lalu terdengar suara kakek itu mengomel.

“Masih bertahan juga? Hemm, menjemukan benar anak ini? Aku masih belum memerintahkanmu menurunkan kaki, akan tetapi coba sekarang kautaati perintahku. Nah, kautahan pernapasanmu setelah menyedot sebanyak mungkin hawa. Nah, dorongkan hawa itu ke pusar, kemudian tarik naik ke kepala, ya... ya... teruskan lagi...!”

“Brukkkk!” Tubuh Han Houw terguling seperti sebatang balok, kepalanya terasa nyeri bukan main, terputar-putar rasanya dan matanya berkunang-kunang, seluruh tubuhnya bagian atas nyeri semua!

“Ha-ha-ha, heh-heh-heh, engkau kena kuakali! Ha-ha, bagaimana rasanya? Sakit? Hayo katakan, apakah engkau masih ingin belajar dari aku? Akan kuajarkan lain ilmu yang lebih menyakitkan lagi! Hayo katakan, masih terus ingin belajar?”

Han Houw memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir kepeningan yang membuat kepalanya seperti dipukuli palu besar, dan dadanya sesak. Namun dia mempertahankan, bahkan menekan semua ini, lalu dia bangkit duduk dan menjawab, “Aku masih ingin belajar dari locianpwe, biar sampai matipun aku tidak gentar!”

Diam-diam Ouwyang Bu Sek merasa heran dan juga girang. Tadinya dia tidak percaya bahwa seorang pangeran akan dapat bertahan menghadapi siksaan seperti itu. Akan tetapi ternyata anak ini keras hati, tidak kalah dibandingkan dengan Sin Liong!

“Engkau benar-bener ingin belajar?” tanyanya, mulai merasa kalah.

“Benar, locianpwe.”

“Dan engkau mau membayarku dengan selaksa tail perak?”

“Hal itu mudah dilaksanakan.”

“Bagaimana kalau membayarku dengan kedudukan yang tinggi di kota raja?”

“Kedudukan yang tinggi sudah sepantasnya bagi locianpwe yang berilmu tinggi. Kalau dikehendaki, tentu dapat kulaksanakan pula.”

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan merasa sudah cukup menguji. Memang dia telah menguji pangeran ini dan andaikata pangeran itu tidak memuaskan hatinya, bukan hal tidak mungkin kalau dia melaksanakan kata-katanya di depan Sin Liong kemarin, yaitu melemparkan pemuda ini ke dalam jurang! Akan tetapi, sikap Han Houw yang demikian keras hati, tahan uji, dan juga janji-janji yang diberikan oleh pangeran ini kepadanya, membuat hatinya puas sekali. Dia membandingkan pemuda ini dengan Sin Liong dan menganggap bahwa pangeran ini malah lebih baik, lebih berguna baginya, daripada sutenya itu! Kakek ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa ter­dapat perbedaan besar sekali antara Sin Liong dan Han Houw. Sin Liong memiliki kesederhanaan wajar dan juga memiliki kejujuran, sebaliknya, pangeran ini ang­kuh dan tidak pernah mau kalah oleh siapapun juga, di samping itu, juga di sudut hatinya terkandung kekejaman dan kebuasan, namun semua itu ditutup oleh sikapnya yang ramah dan ini membukti­kan betapa cerdik dan berbahaya dia. Di lubuk hatinya, Han Houw merasa sakit hati dan benci sekali kepada kakek ini yang bukan hanya telah mempermainkan­nya, bahkan telah menyakitinya dan me­nyiksanya. Namung kebenciannya itu sedikitpun tidak nampak pada wajahnya yang tampan!

“Heh-heh-heh, baik, baik! Engkau akan menjadi muridku, pangeran. Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian tangannya ber­gerak dan Han Houw merasa betapa leher dan punggungnya tertotok dan ke­sehatannya pulih kembali, peningnya le­nyap, bahkan dia merasakan sesuatu kenyamanan yang aneh pada tubuhnya.

“Tubuhku terasa nyaman sekali, locianpwe!”

“Tentu saja, heh-heh. Apa kaukira jungkir balik hampir sehari semalam itu tidak ada gunanya?”

Han Houw merasa tidak puas ketika kakek itu menyatakan bahwa dia akan menjadi muridnya. Bukan itulah yang dikehendakinya. Dia harus dapat menjadi murid guru mereka, yaitu Bu Beng Hud-­couw! Akan tetapi Han Houw amat cer­dik, maka dia tidak menyatakan hal ini secara berterang, takut kalau-kalau ka­kek itu menjadi tidak senang hatinya.

“Locianpwe, aku adalah seorang pangeran dan kakak dari Liong-te, akan tetapi ilmu silatku kalah jauh dibandingkan dengan dia. Mana mungkin aku dapat memenuhi cita-citaku sebagai jagoan silat nomor satu di dunia ini kalau oleh adik angkatku sendiri saja aku masih kalah lihai!”

“Ha-ha-ha! Heh-heh! Tentu saja engkau tidak menang melawan sute, sedangkan aku sendiripun tidak akan mampu mengalahkannya!”

Han Houw mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya dan seperti bicara kepada diri sendiri, “Aihhh, pantas... pantas... Liong-te kadang-kadang besar kepala dan menyombongkan kepandaiannya! Kiranya dia demikian lihai sehingga locianpwe sendiri yang menjadi suhengnya masih kalah lihai olehnya! Sungguh penasaran dan sukar dipercaya bagaimana seorang suheng yang menurut Liong-te bahkan telah membimbingnya dapat dikalahkan oleh sute sendiri yang dibimbingnya ini!”

“Aha, mana kau tahu, pangeran? Benar aku yang telah membimbingnya, akan tetapi kalau aku menjadi murid suhu hanya berhasil menafsirkan isi kitab-kitab suhu saja, sebaliknya sute telah melatih ilmu-ilmu yang amat sukar itu.”

“Maksud locianpwe, gurunya dan guru locianpwe yang bernama Bu Beng Hud-couw?”

“Ha, engkau sudah tahu?”

“Liong-te pernah menceritakan kepadaku, bahkan Liong-te yang merasa paling pandai itu menyombongkan diri mengatakan bahwa setelah dia mempelajari semua kitab dari Bu Beng Hud-couw, jangankan hanya locianpwe yang menjadi suhengnya, biar Bu Beng Hud-couw sendiri tidak akan mampu menandinginya!”

“Omong kosong! Sombong dia!” kakek itu membentak marah dan diam-diam Han Houw merasa girang bahwa dia mulai berhasil membakar hati kakek aneh ini.

“Dan buktinya locianpwe mengaku sendiri tidak mampu menandinginya!”

“Memang benar karena aku tidak mempelajari ilmu-ilmu itu, akan tetapi akulah yang membimbingnya, dan mana mungkin dia dapat menandingi suhu? Berani benar dia bicara seperti itu!”

“Jalan satu-satunya bagi locianpwe adalah mempelajari sendiri kitab-kitab itu kemudian menunjukkan bahwa locianpwe sebagai suhengnya tidak benar kalah oleh sutenya!”

Kakek itu menarik napas panjang, lalu duduk di atas tanah, kelihatan makin pendek dan sepasang matanya makin menjuling, wajahnya kelihatan berduka.

“Tidak mungkin... aku telah terlalu tua untuk mempelajari...”

“Kalau begitu, Liong-te akan tetap menyombongkan diri ke mana-mana, mengabarkan kepada seluruh dunia kang-ouw bahwa suhengnya yang sakti, yang amat terkenal bernama Ouwyang Bu Sek itu, juga suhunya yang maha sakti Bu Beng Hud-couw tidak akan mampu menandinginya.”

“Tidak boleh... ini sama sekali tidak boleh dan harus dicegah!” Kakek yang sudah panas hatinya itu kini meloncat dan berjingkrak seperti cacing terkena abu panas, mukanya kemerahan dan dia sudah menjadi marah sekali.

“Sebaiknya dilaporkan saja kepada locianpwe Bu Beng Hud-couw.” Han Houw memancing karena dia ingin sekali dapat bertemu dengan manusia dewa yang ilmu-ilmunya telah dipelajari oleh adik angkatnya itu.

“Tidak bisa... tidak mungkin... beliau tidak mungkin mau mengurus keramaian dunia... ah, tidak mungkin itu.”

“Kalau begitug masih ada lain jalan untuk menundukkan kesombongan Liong-te dan mencuci bersih nama baik locianpwe dan nama baik Bu Beng Hud-couw.”

“Eh? Kau ada jalan, pangeran? Bagaimana?”

“Biarlah aku yang mempelajari ilmu-ilmu dari locianpwe Bu Beng Hud-couw, dan akulah yang akan mewakili locianpwe dan Bu Beng Hud-couw untuk mengalahkan dia!”

Wajah kakek itu berseri, akan tetapi hanya sebentar. “Hemm, kitab-kitab itu sudah kubakar..., sungguhpun masih ada kitab-kitab yang belum pernah dipelajari orang, akan tetapi... ah, kurasa tidaklah mudah mempelajari kitab-kitab itu... dan sute Sin Liong memang lihai sekali...”

“Ilmu apakah yang telah dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw?”

“Hanya tiga belas jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, akan tetapi ilmu ini hebat bukan main dan sukar dikalahkan.”

“Bukankah locianpwe yang membim­bingnya? Tentu locianpwe dapat meng­ajarkan kepadaku, dan aku akan berlatih sebaik mungkin agar dapat mengatasi Liong-te.”

Kembali kakek itu menggeleng kepala­nya. “Tidak mungkin... sudah kubakar kitab-kitab itu dan aku tidak hafal se­mua isinya, hanya sebagian saja dan ten­tu tidak cukup untuk dilatih sempurna dan tidak akan dapat mengalahkan dia.”

Akan tetapi Han Houw tidak putus asa. Dia tahu bahwa kakek di depannya ini lihai bukan main, mungkin lebih lihai daripada sucinya atau subonya, akan tetapi kalau dia hanya menerima bim­bingan dari kakek ini tentu tidak akan dapat mengalahkan Sin Liong! Dia harus mempelaiari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!

“Locianpwe, bagaimana kalau aku mempelajari kitab-kitab yang lain, itu?”

“Wah, sukar sekali... sukar sekali... baru menafsirkan isinya saja aku sendiri sudah pening. Tulisan-tulisan kuno itu sukar sekali dan aku...”

“Harap locianpwe tidak memandang rendah kepadaku. Semenjak kecil aku hidup di istana yang penuh dengan simpanan tulisan-tulisan kuno dan aku sudah banyak mempelajari isinya. Barangkali aku dapat membantu locianpwe, kemudi­an aku melatih ilmu-ilmu itu di bawah bimbingan locianpwe.”

Kakek itu berseru girang. “Benarkah? Wah, kalau begitu engkau lebih hebat dari Sin Liong, pangeran! Hayo, kita melakukan upacara pengangkatan guru dan engkau menjadi suteku pula, jangan banyak membuang waktu!”

Bukan main girangnya hati Han Houw. Dia telah berhasil! Maka dengan taat dia lalu mengikuti kakek itu memasuki sebuah guha besar yang gelap. Guha ini berbeda dengan guha di mana dahulu kakek itu membawa Sin Liong masuk. Memang, dia selalu memindah-mindahkan kitab-kitab pusaka yang disembunyikan­nya, “Berlututlah, sute, dan ikuti kata-kataku.”

Han Houw berlutut di samping kakek itu, menghadap ke dalam guha. Dia mencoba untuk menembus kegelapan itu dengan matanya, namun dia tidak melihat apa-apa, hanya melihat dinding batu yang gelap. Namun, tiba-tiba dia merasa bulu tengkuknya meremang dan dia merasa seram, seolah-olah ada hawa aneh berada di dalam guha itu, dan cepat-cepat diapun mengikuti kakak seperguruan yang aneh ini memberi hormat dengan berlutut delapan kali dan menirukan kata-kata sumpah yang diucapkan oleh Ouwyang Bu Sek.

“Teecu (murid) bersumpah untuk mempelaiari ilmu-ilmu dari kitab-kitab pusaka suhu Bu Beng Hud-couw dengan tekun dan mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menjunjung tinggi nama suhu, dan tidak akan menurunkan kepada siapapun tanpa ijin dari suhu.” Demikianlah Han Houw mengucapkan sumpah tanpa dia mengerti isinya. Apa artinya “menjunjung tinggi nama suhu” itu? Dan kalau dia tidak akan pernah bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, bagaimana mungkin dia bisa memperolch ijin suhu itu kalau hendak menurunkan ilmu-ilmu itu kepada orang lain? Akan tetapi dia tidak perduli akan ini semua karena hatinya berdebar girang karena usahanya sudah hampir berhasil.

Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah peti hitam setelah dia melumuri tangan, muka dan leher juga kakinya, pendeknya semua bagian tubuh yang nampak, juga tubub Han Houw yang tidak tertutup pakaian, dengan bubuk putih, “Racun yang dioleskan pada peti ini dapat membunuh seketika kalau tersentuh tangan yang tidak memakai obat penawar ini, pangeran,” kata kakek itu dan Han Houw bergidik ngeri. Diam-diam dia memperhatikan bahwa biarpun dia telah bersumpah menjadi murid Bu Beng Hud-couw, berarti dia telah menjadi sute dari kakek ini, Ouwyang Bu Sek masih tetap menyebutnya “pangeran”, hal ini berarti bahwa kakek ini tetap menghargainya dan tentu mempunyai pamrih dalam cara sebutan yang menjilat itu!

Ouwyang Bu Sek membuka tutup peti dan muncullah seekor ular merah. Han Houw mengenal jenis ular yang amat berbisa. Ular macam ini jarang ada, dan di daerah utara memang kadang-kadang muncul ular seperti ini, namun kemunculannya tentu selalu menggemparkan karena banyaklah manusia atau binatang lain yang jauh lebih besar, mati berserakan di mana ular itu muncul!

“Kim-coa-ko, tenanglah, aku hendak mengambil tiga kitab terakhir itu.” kata Ouwyang Bu Sek dan ular itu setelah “berdiri” dan menggerak-gerakkan kepalanya, lalu melingkar lagi seperti tidur. Ouwyang Bu Sek mengambil tiga buah kitab kuno yang lapuk dari dalam peti, kemudian dia menutupkan kembali petinya. Peti itu telah diberinya lubang kecil di belakangnya sehingga ular itu sewaktu-waktu dapat keluar kalau lapar, untuk mencari makanan. Akan tetapi, biarpun peti itu sudah kosong, dia tidak mau membuangnya, membiarkan peti itu di situ agar kelak kalau ada orang yang hendak mencuri kitab, hanya akan menemukan peti kosong yang mengandung racun, ditambah lagi penjaganya yang berbahaya itu!

Mereka lalu keluar membawa tiga buah kitab itu, “Pangeran, tiga buah kitab inilah yang masih belum selesai kuterjemahkan. Kalau engkau mampu membantuku, kemudian kaulatih isinya, hemm, engkau tentu akan mendapatkan ilmu aneh yang tidak kalah oleh Hok-mo Cap-sha-ciang yang dikuasai oleh sute Sin Liong.”

Han Houw menyembunyikan kegirangan hatinya. “Akan kucoba, suheng. Akan tetapi, apakah hanyalah ini sisa kitab dari suhu? Bukankah peti itu besar sekali dan baru sebuah kitab saja yang diambil untuk Liong-te?”

“Bukan hanya sebuah, melainkan sute Sin Liong juga mempelajari sampai tiga buah kitab. Sedangkan kitab-kitab lain... ah, yang tiga ini saja sudah cukup, pangeran. Terlalu banyak, kita tidak akan mempunyai waktu, selain melatihnya, juga harus mentafsirkannya. Ini saja kalau sudah kaukuasai dengan baik, agaknya akan sukar engkau mencari orang yang akan mampu menandingimu.”

“Akan tetapi, tentu masih ada kitab-kitab lain itu, bukan suheng? Kita adalah saudara seperguruan, tentu suheng percaya kepadaku, bukan?”

“Tentu saja! Ada kitab-kitab itu, kusimpan baik-baik agar jangan sampai diambil oleh orang yang tidak berhak. Jangan khawatir, kalau memang kelak engkau masih ada waktu, engkau dapat saja menambah ilmumu dari kitab-kitab yang lain itu, pangeran.”

Han Houw tidak berani mendesak lagi, takut kalau-kalau kakek itu curiga dan menjadi tidak suka kepadanya. Dia membuka-buka lembaran kitab-kitab itu dan mulai hari itu, bersama Ouwyang Bu Sek, Han Houw mulai membantu subengnya itu menyelesalkan penterjemahan. Dan memang Han Houw tidak membobong atau membual ketika dia mengatakan bahwa dia sanggup membantu tadi. Bahasa yang dipergunakan dalam kitab itu adalah bahasa kuno, dan bahasa suku pedalaman di utara masih dekat dengan bahasa ini sehingga Han Houw yang sejak kecil banyak mempelajari bahasa-bahasaku di utara, benar saja dapat membantu banyak sehingga menggirangkan hati Ouwyang Bu Sek.

Mulailah Pangeran Ceng Han Houw mempelajari ilmu-ilmu silat aneh-aneh dari tiga buah kitab itu di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek. Pangeran ini amat tekun. Memang dia keras hati dan besar keinginannya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, di samping memang dia berbakat baik sehingga makin sukalah Ouwyang Bu Sek kepada pangeran ini. Hampir tidak ada waktu terluang begitu saja oleh Han Houw, selalu diisinya dengan berlatih silat menurut kitab itu atau berlatih sin-kang menurut petunjuk kitab pula. Secara kebetulan sekali, di dalam kitab itu terdapat pelajaran semacam yoga dari India yang mengharuskan dia berjungkir balik seperti yang dilakukannya pada hari pertama ketika diuji oleh Ouwyang Bu Sek, maka kini sering kali pemuda bangsawan ini berdiri dengan kaki di atas kepala di bawah, kadang-kadang dia sanggup berlatih seperti ini sampai tiga hari tiga malam! Kemajuan yang diperolehnya pesat sekali.





Harap-harap cemas memenuhi hati Lie Seng ketika pemuda itu memasuki hutan itu. Sudah diperhitungkannya benar-benar, bahkan semenjak hari itu setahun yang lalu, dia boleh dibilang setiap saat menghitung hari. Dia tidak akan salah hitung. Hari itu adalah genap setahun dari janjinya dengan Sun Eng untuk saling berjumpa di hutan itu! Tidak akan keliru hitungannya, akan tetapi bagaimana kalau wanita itu lupa akan hari itu, keliru hitung, atau lebih celaka lagi kalau... telah lupa kepadanya? Ah, tidak mungkin! Dia yakin akan cinta kasih dalam hati Sun Eng terhadap dirinya. Dan dia lebih yakin lagi akan cinta kasih dalam hatinya terhadap gadis itu. Dia sadar bahwa Sun Eng bukanlah seorang gadis lagi, melainkan seorang wanita yang sudah banyak melakukan penyeleweng dalam hidupnya sehingga sudah mengalami banyak penderitaan batin.

Kenyataan ini bukan membuat muak atau membenci, sebaliknya malah, makin diingat akan semua penderitaan yang dialami gadis itu, makin besar rasa belas kasih dalam hatinya terhadap Sun Eng, dan belas kasih ini agaknya memperdalam cintanya. Dia harus melindungi Sun Eng, harus menunturinya dan menunjukkan bahwa hidup bukanlah seburuk yang pernah dialaminya, bahwa tidak semua pria yang mendekatinya hanya mengaku cinta semata-mata untuk menikmati tubuhnya belaka!

Pagi hari itu cerah, bahkan sinar matahari pagi yang berkilauan berhasil menerobos masuk ke dalam hutan, melalui celah-celah daun pohon. Pagi yang cerah, secerah hati yang penuh harapan itu, penuh keyakinan dan penuh cinta! Dengan langkah ringan Lie Seng menuju ke tempat di mana setahun yang lalu dia bertemu dan mencurahkan kasih sayang dengan Sun Eng, kemudian membuat janji untuk saling bertemu pula di situ setahun kemudian. Ini adalah kehendak Sun Eng, gadis yang merasa rendah diri itu, yang masih juga belum percaya betul bahwa orang seperti Lie Seng dapat mencinta gadis yang pernah tnenyeleweng seperti Sun Eng! Ah, kerendahan hati ini amat mengharukan hati Lie Seng. Itu saja sudah merupakan tanda betapa Sun Eng telah menyesali semua perbuatannya dan orang yang telah menyesali semua perbuatannya jauh lebih baik daripada orang yang selalu membanggakan perbuatannya sebagai orang yang bersih! Sun Eng minta waktu setahun untuk menguji perasaan kasih sayang di antara mereka, pertama karena merasa rendah diri, ke dua mungkin untuk menguji Lie Seng setelah berulang kali dia dikecewakan oleh kaum pria.

Akan tetapi kecerahan pagi itu tetap saja tidak dapat mengusir bayang-bayang hitam gelap yang diciptakan oleh pohonpohon yang rindang daunnya. Bayang-bayang panjang yang rebah ke barat. Bayangan-bayangan gelap berupa kecemasan juga mengganggu kegembiraan hati Lie Seng. Dia cemas dan gelisah membayangkan bagaimana kalau Sun Eng sampai tidak datang! Ke mana dia harus mencari gadis itu? Dia cemas sekali membayangkan ini dan kakinya yang melangkah terasa amat berat.

Akhirnya tibalah dia di depan pohon. Dia tidak pernah melupakan pohon itu dan huruf-huruf yang setahun lalu diukirnya pada batang pohon itu masih ada! Akan tetapi, Sun Eng tidak ada! Dia memandang ke sekeliling, lalu duduk di atas akar pohon itu. Mungkin dia datang terlalu pagi! Dan hatinya mulai cemas. Mengapa dia begitu bodoh ketika dulu mereka saling janji? Mengapa yang dijanjikan hanya harinya saja, dan jamnya tidak dijanjikan? Bagaimana kalau Sun Eng baru akan datang pada sore hari nanti? Tidak apa! Dia akan menanti, biar sampai sore, sampai malam sekalipun! Dia sudah bertahan menanti selama setahun, dan apa artinya ditambah sehari atau dua hari?

Lie Seng duduk termenung di bawah pohon itu. Dia merenungi perjalanan hidupnya, terutama sekali tentang cintanya dengan Sun Eng. Usianya kini sudah dua puluh tujuh tahun, sudah cukup dewasa. Namun, selama ini belum pernah dia jatuh cinta kepada seorang wanita. Hatinya selalu merasa dingin terhadap wanita, dan dia seolah-olah merasa ngeri kalau memikirkan pernikahan. Mungkin karena dia melihat begitu banyak ke­pahitan terjadi dalam kehidupan rumah tangga, banyak peristiwa menyedihkan yang terjadi akibat cinta dan pernikahan. Dia melihat atau mendengar tentang kehidupan paman Yap Kun Liong, tentang kehidupan ibunya sendiri yang kini men­jadi isteri paman Yap Kun Liong, melihat akibat cinta kasih dari pamannya yang lain, adik kandung ibunya, yaitu Cia Bun Houw. Banyak sudah dia mendengar tentang kegagalan cinta dan rumah tang­ga dan mungkin hal-hal inilah yang men­datangkan kesan mendalam sehingga dia merasa ngeri untuk jatuh cinta dan me­nikah. Akan tetapi sungguh luar biasa, begitu dia bertemu dengan Sun Eng se­ketika dia jatuh cinta! Bahkan setelah mendengar penuturan gadis itu tentang riwayat Sun Eng yang tidak harum, cinta­nya bahkan makin mendalam!

Bagi orang yang sedang menantikan sesuatu, waktu berjalan melebihi lambat­nya seekor siput merayap. Terlalu lama waktu merayap, seakan-akan tidak pernah maju! Memang demikianlah anehnya wak­tu. Kalau dilupakan, dia meluncur seperti pesatnya anak panah dilepas dari busur, sebaiknya kalau diperhatikan, dia me­rayap amat lambat! Tentu saja bukan sang waktu yang bertingkah seperti ini, melainkan pikiran! Pikiran selalu mgng­inginkan hal-hal yang lain daripada apa yang ada, sehingga apa yang ada itu selalu nampak tidak menyenangkan, se­lalu berlawanan dengan apa yang dikehen­daki agar waktu segera berlalu dan dia dapat bertemu dengan yang dinantikannya itu secepat mungkin, dan tentu saja, ke­nyataan yang ada amat berlawanan de­ngan keinginannya sehingga terasa amat menyiksa. Konflik batin memang selalu menyiksa diri!

Lie Seng merasa amat tersiksa. Sam­pai siang dia menanti, waktu merayap terus dan yang dinanti-nantinya belum juga muncul! Dia sampai lupa akan wak­tu, tidak sadar bahwa hari telah siang, hanya dia merasakan betapa lamanya sudah dia menanti. Serasa sudah bertahun-tahun! Waktu dari pagi sampai siang itu dirasakannya malah lebih menyiksa, lebih lama daripada waktu setahun yang telah lalu! Namun, dia masih terus menanti di bawah pohon itu. Bayang-bayang pohon yang tadinya panjang rebah ke barat itu kini menjadi semakin pendek, sampai kemudian hanya berada di bawah pohon, tanda bahwa matahari telah berada di atas benar. Perlahan-lahan, bayangan pohon itu menggeser ke timur dan mataharipun mulai turun ke barat. Sebentar lagi, senjapun tibalah!

Lie Seng tak sabar lagi. Jangan-jangan Sun Eng lupa, atau salah hitung! Mungkin baru besok dia datang! Jangan-jangan... tiba-tiba Lie Seng menjadi pucat dan cepat dia menggoyang kepalanya membantahnya sendiri. Tidak, tidak ada apa-apa yang buruk terjadi atas diri wanita yang dikasihinya itu. Atau mungkin sengaja tidak mau datang? Bermacam bayangan pikiran inilah yang menyiksa batin Lie Seng, membuatnya semakin gelisah dan akhirnya dia tidak kuat bertahan lagi. Dia bangkit berdiri, dan mulailah dia berjalan-jalan, mula-mula hanya di bawah pohon, mengelingi batang pohon, kemudian makin menjauh seolah-olah dia hendak mencari Sun Eng diantara semak-semak dan pohon-pohon.

Tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Cepat Lie Seng meloncat ke arah suara itu dan bukan main kagetnya ketika dia melihat seorang wanita duduk di atas rumput di balik semak-semak sambil menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya, terisak-isak.

“Eng-moi...!” Dia meloncat, menubruk dan merangkul. Akan tetapi Sun Eng terus menangis, bahkan kini mengguguk dalam rangkulan pemuda itu. “Eng-moi, ada apakah? Apa yang terjadi? Kenapa kau di sini dan bersembunyi, dan menangis?”

Akan tetapi Sun Eng tak mampu menjawab, tangisnya mengguguk membuatnya tidak mungkin bicara, hanya kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu dan dia menyusupkan muka di dada yang bidang itu. Lie Seng mengelus rambut itu, membiarkan Sun Eng menangis karena diapun maklum bahwa dalam keadaan seperti itu tak mungkin bagi gadis itu untuk bicara. Akhirnya Sun Eng mulai dapat menguasai hatinya, tangisnya mereda.

Lie Seng mengangkat muka yang basah itu, lalu menggunakan saputangan mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian dia mencium dahi yang halus putih itu dengan sepenuh hatinya. Hati yang lega seperti bunga kering tertimpa tetesan embun setelah dia bertemu dengan orang yang dinanti-nantinya sejak pagi tadi dengan gelisah.

“Nah, sekarang hentikanlah tangismu dan ceritakan mengapa engkau bersembunyi di sini dan mengapa engkau menangis?”

“Aku... aku tidak berani keluar...” jawabnya di sela isak.

“Eh, kenapa? Sejak kapan engkau berada di sini, Eng-moi?”

“Sejak kemarin pagi!”

“Hhh?” Lie Seng terkejut sekali. “Akan tetapi... salahkah hitunganku? Setahun sejak dahulu itu adalah hari ini! Salahkah aku...?”

“Tidak, memang hari ini, koko. Akan tetapi aku... aku tidak dapat menahan lagi, aku ingin cepat-cepat ke sini...”

“Lalu mengapa engkau bersembunyi di sini? Apakah engkau tidak melihat aku datang pagi tadi di bawah pohon kita itu?”

Gadis itu mengangguk dan sesenggukan. “Aku... aku melihatmu... aku takut untuk keluar, ah, kauampunkan aku, koko...”

Lie Seng memandang dengan mata terbelalak dan mulut tersenyum. “Betapa anehnya engkau ini, Sun Eng! Engkau datang lebih pagi sehari karena engkau ingin cepat-cepat ke sini, bertemu dengan aku, kemudian setelah aku datang engkau malah sembunyi! Apa artinya ini?”

“Entah, koko, aku... selama setahun ini... setiap hari aku rindu kepadamu, ingin sekali aku cepat-cepat bertemu denganmu...”

“Eng-moi kekasihku..., percayalah bahwa akupun demikian...” Lie Seng mendekap kepala gadis itu penuh kasih sayang. Sejenak mereka berdekapan tanpa mengeluarkan kata-kata, demikian ketat mereka saling dekap sampai keduanya dapat saling merasakan denyut jantung masing-masing.

“Akan tetapi... begitu melihatmu... ah, aku takut, koko. Engkau demikian mencintaku, engkau memenuhi janji, engkau datang dan melihat betapa engkau menanti di sana dengan wajah berseri, wajah yang kurindukan selama ini... aku makin merasa betapa aku terlalu rendah untukmu, koko, bahwa engkau tidak patut menjadi...” Sun Eng tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulutnya sudah ditutup oleh bibir Lie Seng yang menciumnya dan mata pemuda ini menjadi basah. Sun Eng meronta lembut, akan tetapi kemudian dia merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan membalas ciuman itu dengan penuh penyerahan dan kasih sayang, juga dengan air mata bercucuran!

Akhirnya mereka memisahkan muka mereka, saling pandang melalui air mata, dan Lie Seng mendekap lagi, berbisik di dekat telinga gadis itu. “Eng-moi, jangan kauulangi lagi ucapan seperti itu. Aku cinta padamu, engkau adalah seorang wanita yang paling mulia di dunia ini untukku! Jangan kau selalu merendahkan diri, kita lupakan saja segala hal yang telah lalu, maukah engkau?”

Sun Eng mengangguk, mengangguk berkali-kali di atas pundak pemuda yang mendekapnya itu, air matanya bercucuran membasahi pundak Lie Seng. Hampir dia tidak percaya bahwa hidupnya menjadi begini bahagia, bahwa ada pria yang dapat mencintanya seperti ini! Hampir dia tidak percaya bahwa semua ini bukan mimpi belaka!

“Koko...”

“Ya...?”

“Aku bersumpah...”

“Tak perlu bersumpah...”

“Aku bersumpah bahwa aku akan setia selama hidupku kepadamu, bahwa baru sekali ini aku jatuh cinta dalam arti yang sedalam-dalamnya kepada seorang pria, yaitu engkau, dan hidupku selanjutnya hanyalah untukmu, koko, untuk mem­bahagiakanmu, mengawanimu, membantu­mu...”

“Cukup, moi-moi, aku percaya pada­mu, kita saling mencinta, mengapa eng­kau harus bersumpah seperti itu?”

“Karena aku berhutang budi kepada­mu, koko.”

“Ah, menyelamatkanmu ketika engkau terluka merupakan kewajiban, tidak layak disebut budi...”

“Bukan itu, koko. Pertolongan seperti itu memang sudah wajar di antara orang-orang kang-ouw, apalagi seorang pende­kar sepertimu. Akan tetapi maksudku budi yang lebih mulia lagi, yaitu bahwa... engkau telah sudi mencintaku, koko...”

“Hushh...! Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku, mana ada hutang budi segala? Kalau engkau hutang budi, akupun hutang budi kepadamu. Nah, kita saling hutang, sudah lunas, bukan?”

“Tidak, belum lunas, sampai matipun belum lunas, kita harus saling membayar selama kita hidup.”

“Kau benar...”

Mereka kembali saling pandang dan sekali ini, atas kehendak berdua karena dorongan hati yang penuh gelora asmara, muka mereka saling mendekat sampai bibir mereka saling bertemu dalam kecup cium yang mesra dan dengan sepenuh perasaan kasih mereka. Dunia seakan-akan berhenti berputar dan mereka ber­dua seperti tenggelam dalam lautan ma­du asmara, mabuk dan lupa segala, se­olah-olah di dunia ini hanya ada mereka berdua dan cinta kasih mereka. Akhirnya, karena senja mulai gelap, Lie Seng menarik kekasihnya bangkit berdiri, menggandeng tangannya dan berkata, “Mari, Eng-moi, mari kita sahkan ikatan jodoh kita.”

“Mau... mau kaubawa ke mana aku ini...?” Sun Eng bertanya khawatir, namun hatinya ikhlas mau diajak ke manapun oleh kekasihnya.

“Kepada keluargaku! Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka sebagai calon isteriku agar kita memperoleh doa restu mereka.”

Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pucat sekali. “Tapi... suhu dan subo...”

Lie Seng mencium kening di antara kedua mata yang menakutkan itu. “Eng-moi, setelah engkau menjadi calon jodoh­ku, setelah aku mencintamu dengan se­penuh jiwaku, apalagi yang engkau kha­watirkan? Katakanlah bahwa engkau pernah bersalah dalam pandangan paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, akan tetapi semua itu adalah hal yang telah lalu, dan sekarang setelah kita saling mencinta dan telah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri, tidak ada se­orangpun di dunia ini yang boleh men­celamu! Siapa yang mencelamu akan berhadapan dengan aku, Eng-moi, karena engkau dan aku tidak akan terpisahkan lagi selama masih hidup!”

“Ah, koko...” Sun Eng merangkul dan sesenggukan, merasa terharu sekali akan tetapi juga bahagia.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka keluar dari hutan yang mulai gelap itu. Dalam perjalanan, Sun Eng menyatakan kekhawatirannya karena ibu dari kekasihnya itu termasuk seorang di antara mereka dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah. “Ke mana kita harus mencari ibumu?”

“Ibu dan ayah tiriku, juga paman Cia Bun Houw dan isterinya, telah menyembunyikan diri di Bwee-hoa-san. Aku pernah pergi ke sana, akan tptapi aku belum bicara tentang dirimu, karena kupikir belum tiba saatnya sebelum ada ketentuan antara kita seperti yang kita janjikan akan diandalkan dalam pertemuan kita hari ini. Akan tetapi, kurasa amat berbahaya kalau kita ke sana. Tempat itu harus dirahasiakan, dan mengunjungi mereka di sana amat berbahaya, apalagi kita berdua telah dikenal pula oleh fihak musuh.”

“Siapakah fihak musuh itu, koko? Dan kenapa suhu dan subo ditangkap dan di­tuduh pemberontak?”

“Hemm, ini adalah fitnah, merupakan siasat dari musuh keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai. Sudah kuselidiki dan ternyata yang melakukan siasat ini adalah musuh-musuh lama dari keluarga Cin-ling-pai.”

“Siapakah mereka?”

“Hek-hiat Mo-li dari utara. Dia pernah sakit hati terhadap keluarga Cin-ling-pai, terutama kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, juga kepada mendiang Tio Sun yang telah dapat ter­bunuh. Pula, Hek-hiat Mo-li dibantu oleh muridnya yang lihai, bernama Kim Hong Liu-nio. Bahkan kematian kong-kong Cia Keng Hong juga setelah dia diserang oleh guru dan murid itu sehingga mengalami luka.”

“Ah, jahat benar mereka. Bagaimana kalau kita langsung mencari mereka dan membasmi guru dan murid itu? Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku, koko!” kata Sun Eng dengan sikap gagah.

Lie Seng tersenyum pahit, “Aih, Eng-moi, gampang saja engkau bicara. Ke­pandaian Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio itu amat tinggi, dan agaknya yang akan dapat menanggulangi mereka itu hanyalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali seperti paman Yap Kun Liong. Kalau hanya kita berdua, walaupun aku tidak takut, namun melawan mereka sama halnya dengan membunuh diri tanpa guna. Tidak, kita harus lebih dulu menyelesaikan urusan kita di depan keluargaku, dan mengingat bahwa pernah ada sesuatu yang kurang enak antara engkau dan paman Bun Houw serta bibi In Hong, maka sebaiknya kalau kita pergi menemui suciku dan minta dia yang menjadi penengah agar lebih mudah bagiku untuk menghadapi mereka tanpa ada kesalahpahaman antara keluarga.”

“Sucimu? Siapakah dia itu, koko?”

“Dia adalah suci Yap Mei Lan, puteri dari paman Yap Kun Liong. Dia telah menikah setahun yang lalu dengan Souw Kwi Beng dan kini tinggal di Yen-tai. Dia itu suciku, akan tetapi juga dapat disebut saudara tiri, karena ayah kandungnya, Yap Kun Liong, kini telah menjadi suami dari ibu kandungku. Nah, dengan perantaraan dia, maka agaknya akan lebih mudah menyelesaikan urusan kita di depan ibu. Yang penting bagiku adalah ibu kandungku. Kalau beliau sudah setuju dengan perjodohan antara kita, orang lain perduli apa? Kalau setuju syu­kur, kalau tidakpun tidak apa-apa!”

Bukan main besar dan lapang rasa hati Sun Eng mendengar ucapan kekasih­nya ini dan dia menaruh kepercayaan penuh, menyerahkan jiwa raganya ke tangan pria yang amat dicintanya dan dikaguminya ini. Mereka bermalam di da­lam sebuah rumah penginapan kecil da­lam dusun di depan, dan diam-diam Lie Seng makin kagum ketika melihat ke­kasihnya itu berkeras minta agar mereka menggunakan dua buah kamar. Biarpun dengan latar belakang riwayat seperti itu, ternyata kini Sun Eng benar-benar telah insyaf dan tidak mau menjadi bu­dak nafsu berahi, pandai menjaga diri dan pandai pula memasang batas-batas di antara mereka, biarpun dia sudah pasrah dan rela kepada Lie Seng yang dicinta­nya.

“Percayalah, koko, aku berkeras me­lakukan ini demi engkau. Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pria yang merusak kepercayaan kita masing-masing. Pelanggaran yang terjadi karena tidak kuat menahan nafsu berahinya me­nunjukkan tipisnya cinta.” Demikian kata­nya dan Lie Seng merasa terharu sekali, berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan menjamah kekasihnya, sebelum mereka menikah dengan resmi!

Pada suatu hari mereka memasuki kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung. Mereka bermalam di kota ini, berbelanja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju ke timur, ke kota Yen-tai yang berada di tepi Lautan Po-hai. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota Cin-an, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan ketika mereka menoleh, nampik pasukan besar menunggang kuda keluar dari pintu gerbang itu, dipimpin oleh seorang panglima tua yang gagah di­dampingi oleh seorang kakek tinggi besar dan seorang kakek pendek kecil yang juga masing-masing menunggang seekor kuda yang besar. Lie Seng dan Sun Eng cepat minggir dan memalingkan muka. Mereka sudah dikenal, biarpun hanya sepintas lalu, oleh pasukan yang dahulu menangkap dua pasang suami isteri pen­dekar, maka Lie Seng kini tidak ingin dikenal dan memalingkan muka. Akan tetapi, tiba-tiba pasukan itu berhenti di dekat mereka, bahkan panglima dan dua orang kakek itu sudah meloncat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka!

Berdebar jantung Lie Seng. Dia mem­beri isyarat dengan kerling mata kepada Sun Eng agar kekasihnya itu bersiap-siap namun agar jangan membuka mulut dan membiarkan dia yang bicara kalau datang pertanyaan. Dan ketika dia akhirnya terpaksa membalikkan tubuhnya ka­rena komandan pasukan dan dua orang kakek itu telah berdiri dekat, Lie Seng terkejut sekali, kekejutan yang ditekannya dan tidak diperlihatkan pada wajah­nya. Dia mengenal komandan itu, se­orang komandan tua, seorang panglima pasukan pengawal kaisar, pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan pengawal baju sulam emas, dan komandan itu bernama Lee Cin, seorang komandan yang gagah perkasa dan lihai, juga dulu sering bekerja sama dengan keluarga Cin-ling-pai! Ko­mandan itu kini sudah tua, sedikitnya tentu enam puluh lima tahun usianya, namun masih nampak gagah dan gerak-geriknya halus dan sabar.

Lie Seng pura-pura tidak mengenalnya dan dia hanya berdiri dengan hormat, seolah-olah tidak tahu atau tidak mengerti bahwa mereka itu berhenti untuk menemuinya! Akhirnya, setelah memandang dengan tajam beberapa saat lamanya, terdengar komandan itu berkata dengan suara halus, “Harap ji-wi (anda berdua) suka menyerah saja untuk kami tangkap!”

Barulah Lie Seng tahu bahwa memang dia dan Sun Eng yang diincar, maka dia mengangkat muka, tidak pura-pura lagi walaupun dia tidak mau memperkenalkan diri. “Apakah kesalahan kami berdua maka hendak ditangkap? Kami tidak merasa melakukan kejahatan apapun!”

Komadan Lee Cin tersenyum getir, “Lie Seng taihiap, jangan mengira bahwa kamipun senang menerima tugas ini. Taihiap adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa, dan ibu kandung taihiap, Cia Giok Keng, merupakan se­orang di antara para buronan. Semenjak taihiap berdua muncul di Cin-an, gerak-gerik ji-wi telah diawasi.”

“Tapi... tapi kami berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa!” bantah Lie Seng.

“Biarlah hal itu pengadilan kelak yang akan memutuskan. Kami hanya mentaati perintah dan amat tidak baik kalau tai­hiap menambah dosa keluarga dengan membangkang pula. Menyerahlah ji-wi!” bujuk Lee Cin yang benar-benar merasa canggung sekali bahwa dia kini harus mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai, padahal semenjak dahulu keluarga itu amat berjasa kepada kerajaan dan sering kali dia bekerja sama menghadapi pem­berontak dengan para pendekar Cin-ling-pai itu (baca cerita Dewi Maut).

“Baik, aku menyerah, akan tetapi nona ini tidak ada sangkut-pautnya, maka kuminta agar dia dibebaskan!”

“Koko, tidak...! Aku tidak mau kita saling berpisah!” teriak Sun Eng dengan mata terbelalak.

“Perintah yang diberikan kepada kami adalah menangkap kalian berdua tidak dapat ditawar-tawar lagi!” Kata pula Lee Cin yang mulai hilang sabar karena sebetulnya dia amat tidak menyukai tugas ini, akan tetapi dia tadi telah bersikap terlalu manis terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak ini, sehingga dia merasa tidak enak dan malu kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek ini adalah dua orang tokoh dari selatan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Ceng Han Houw untuk membantu kerajaan menangkap para pemberontak buronan. Mereka ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dua orang “bengcu” atau pemimpin kaum kang-ouw di selatan yang bernama Hai-liong Phang Tek yang tinggi besar dan Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek. Karena membawa surat pribadi dari Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dua orang kakek ini diterima dengan hormat oleh komandan di kota raja, dan kini dibantukan kepada Panglima Lee Cin yang diserahi tugas menangkap para pem­berontak buronan membantu Kim Hong Liu-nio. Panglima ini selain merupakan kakak kandung dari mendiang Panglima Lee Siang yang tewas oleh para pembe­rontak, juga dianggap mengenal baik wajah-wajah para keluarga pemberontak, maka dianggap tepat untuk memimpin pasukan membantu Kim Hong Liu-nio, kini ditemani oleh dua orang kakek lihai itu.

Dan memang Lee Cin mengenal me­reka semua bahkan Lie Seng yang jarang dijumpainya karena pemuda ini lama pergi menjadi murid Kok Beng Lama, dikenalnya, apalagi setelah dia men­dengar bahwa adik kandungnya itu tewas di tangan seorang pemuda lihai yang diduganya tentu Lie Seng adanya.

Lie Seng merasa bimbang. Dia tidak takut ditangkap, akan tetapi dia meng­khawatirkan keselamatan Sun Eng! Tiba-tiba kakek pendek kecil yang tubuh bagian atasnya tertutup jubah perajurit lebar akan tetapi di balik baju yang tidak dikancingkan ini ternyata telanjang sama sekali, kakinya juga telanjang, terkekeh aneh dan kedua tangannya menyambar ke arah beberapa orang perajurit, tahu-tahu dia telah merampas empat batang tom­bak yang dilemparkannya ke depan.

“Cep-cep-cep-cep!” Empat batang tombak itu meluncur seperti anak panah ke arah Lie Seng dan Sun Eng, akan tetapi ternyata tidak menyerang tubuh mereka, melainkan menancap sampai lenyap setenganya di empat penjuru, mengurung dua orang muda itu! Benar-benar demonstrasi yang mengejutkan, membayangkan kekuatan sin-kang yang hebat dan juga kepandaian tinggi karena empat batang tombak itu dilontarkan berbareng akan tetapi mengenai sasaran empat macam sekaligus!

Panglima Lee Cin berkata, suaranya berwibawa, “Sebaiknya ji-wi menyerah saja. Kami tahu bahwa taihiap seorang yang lihai sekali, akan tetapi kami sudah siap-siap dan dua orang locianpwe inipun memiliki kepandaian tinggi. Daripada kami harus...”

“Eng-moi, larilah, biar kutahan mereka!” tiba-tiba Lie Seng berteriak dan dia sudah menerjang ke depan, menangkap dua orang perajurit dan melemparkan mereka ke arah dua orang kakek tinggi besar dan pendek kecil itu. Dua orang kakek ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh dua orang perajurit malang itu terlempar dan terbanting tanpa bangkit kembali!

“Mati hidup di sampingmu, koko!” teriak Sun Eng pula dan dengan sigapnya diapun menerjang ke depan merobohkan dua orang perajurit lain dengan pukulan dan tendangan kakinya. Gegerlah para perajurit mengeroyok, akan tetapi Lee Cin berseru menyuruh mereka mundur.

“Biarkan ji-wi locianpwe menangkap mereka!” teriaknya dan ini merupakan permintaan pula kepada dua orang kakek itu untuk membantu.

Dengan lagak angkuh, Hai-liong-ong Phang Tek menghadapi Lie Seng, sedang­kan Kim-liong-ong Phang Sun cengar-cengir menghadapi Sun Eng. “Nona manis, mari kita main-main sejenak!”

Sun Eng marah sekali. Dia tidak mengenal si kecil pendek ini, dan melihat bahwa tubuh kakek ini seperti tubuh kanak-kanak saja, dia agak memandang rendah. Tubuhnya menerjang ke depan dan tubuh itu menjadi bayangan merah karena pakaiannya yang berwarna merah, didahului oleh sinar pedangnya yang membuat ke leher, seolah-olah dengan satu sabetan saja dia hendak membuntungi leher kecil dari Kim-liong-ong Phang Sun!

“Cringgg!” Sun Eng terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika bertemu dengan gelang di lengan kiri kakek itu!

“Awas, Eng-moi!” Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini me­loncat ke kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kakek pendek yang menampar ke arah kepala Sun Eng.

“Dukk!” Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim­-liong-ong juga terpental ke belakang!

“Eh, kau boleh juga...!” Kakek kecil pendek ini berseru.

“Serahkan dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!”

Setelah berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan dan menyerang Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang tenaga kakek ini besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara angin mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga bermain-main. Melihat itu, Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus menghadapi kakek kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong. Tanpa dia menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan, menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirih ke arah kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang Sun. Kakek kecil pendek ini sengaja tidak mau cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan menusuk mata, mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati sasaran! Repotlah Sun Eng harus mempertahankan diri dan akhirnya dengan langkah-langkah Thai-kek-sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan mempertahankan diri walaupun sama sekali tidak sempat lagi membalas karena memang tingkat kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini.

Selagi dua orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba terdengar teriakan tinggi melengking dan nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar putih diputar cepat! “Tahan! Atas nama Pangerang Ceng Han Houw, mundurlah kalian!”

Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah mereka ketika mengenal nona muda yang pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang tempo hari!

“Eh, kau mau apa? Mengantar nyawa?”

“Hemm, nyawa kalian yang berada di tanganku!” bentak Lie Ciauw Si, dara itu.

“Si-moi...!” Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi Ciauw Si menghampiri Panglima Lee Cin.

“Ciangkun, apakah engkau komandan pasukan ini?”

“Benar, nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu ketua Cin-ling-pai...?” Kini dia mengenalnya dan merasa heran.

“Benar, dan demi nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan engkau membawa pasukanmu dan dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang telah memperoleh kekuasaan dari Pangeran Ceng Han Houw?” Sambil berkata demikian, Ciauw Si memindahkan pedang Pek-kang-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan kanan, memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya. Cincin bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang diperolehnya dari kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenal cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura.

“Maafkan kami, kami mentaati perintah,” katanya lalu dia memberi aba-aba kepada para perajurit untuk mundur. Semua perajurit, biarpun terheran-heran, tentu saja tidak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee Cin.

Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, ialah Phang Tek dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat penasaran berkata, “Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai dan menangkap mereka...!”

Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat itu, Lee Cin berkata, “Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang terhadap kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?”

“Tapi... tapi gadis itu...”

“Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan beliau!” Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai? Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang dikejar-kejar, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja untuk membantu Kim Hong Liu-nio menangkap para pemberontak dan buronan ini, maka dengan sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu menjadi buronan pula. Akan tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han Houw? Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi.

Sementara itu, setelah para pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.

“Koko...!”

Pemuda dan pemudi itu berlari saling menghampiri lalu saling berangkulan. Suasana menjadi amat mengharukan ketika kakak beradik ini berangkulan ketat tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak dapat menahan air matanya yang mengalir turun.

“Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!”

“Ah, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!”

Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar walaupun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga membasahi bulu mata pemuda perkasa itu.

“Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!”

“Dan engkaupun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga sakti!”

“Ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!”

“Koko, siapakah enci yang manis itu?”

Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewa­sa, dia tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia meng­gapai Sun Eng dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si. “Eng-mol, ini adalah adik kandungku, seperti pernah kucerita­kan kepadamu. Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon sosomu (kakak iparmu)!”

“Aihhh...!” Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak iparnya itu. “Engkau sungguh cantik, so-so...!”

“Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut so-so. Kami belum menikah!” kata Sun Eng tertawa.

“Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu so-so. Seng-koko, engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar perkasa setelah engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu semenjak engkau meninggalkan kami, koko!”

Mereka bertiga lalu duduk di atas rumput dan berceritalah Lie Seng tentang semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar ke­pada Kok Beng Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau asal-usul Sun Eng, bahkan dia tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari paman mereka Cia Bun How.

“Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku hanya bisa ikut merasa gelisah ketika tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Ke mana saja engkau pergi?”

CIAUW SI menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali ketika mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan pasukan kerajaan, mendengar bahwa kong-kongnya telah tewas dan bahwa ibunya, ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang buronan, dianggap pemberontak oleh kerajaan. Dengan singkat diapun menceritakan semua pengalamannya, dan Lie Seng merasa girang sekali mendengar bahwa adiknya ini telah menyelamatkan ibu kandungnya dan isteri pamannya yang sedang mengandung.

“Dan ke mana sekarang perginya ibu dan bibi In Hong?” tanyanya. “Apakah mereka bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?”

Ciauw Si menggeleng kepalanya. “Memang tadinya ibu dan bibi Hong her­maksud untuk pergi mengungsi ke sana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu akan amat membabayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu dan bibi Hong ke tem­pat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping.”

“Di Yen-ping? Siapakah dia?”

“Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelaniatkan dia dan kurasa tempat itu aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tem­pat bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan.”

“Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?” Sampai sekarang sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman.

“Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi ke Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Dan di sana aku bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping, dan kini mereka semua berkumpul di sana.”

“Kau sekarang ini sedang hendak ke sana, Si-moi?”

“Tadinya aku hendak pergi ke kota raja...”

“Kau? Ke kota raja? Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah ke kota raja? Apakah mencari celaka?”

“Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw...”

“Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang me­nyelamatkan kami tadi? Eh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cin­cin pangeran itu?”

Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat dia menekan perasaannya yang terguncang. “Aku bertemu dengan dia di selatan dan kami telah menjadi sahabat baik. Dia memberikan cincin ini kepada­ku sebagai tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja. Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi.”

“Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?”

“Aku dapat menduga niat yang bijak­sana dari adik Ciauw Si,” tiba-tiba Sun Eng ikut bicara. “Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang demikian tinggi kedudukannya, yang memiliki cin­cin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?”

Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada kakaknya dan berkata, “Wah, calon so-so rupanya jauh lebih cerdik daripada engkau, Seng-ko! Memang duga­annya itu tepat sekali!”

Lie Seng tersenyum bangga. “Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?” Mereka tertawa gembira.

“Karena pertemuan ini, biarlah ku­antar kalian ke Yen-ping lebih dulu men­jumpai ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci Eng.”

Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling pandang penuh keraguan, apalagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan wajah berubah agak pucat.

“Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan...” Sun Eng tidak melanjutkan kata-katanya.

“Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi,” sambung Ciauw Si.

Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba Lie Seng berkata penuh semangat, “Mari kita pergi! Memang aku ingin se­kali bertemu dengan ibu dan membicara­kan urusan perjodohanku!” Dengan kata-kata ini dia memandang kepada Sun Eng dan seolah-olah berjanji dengan pandang matanya bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul kalau calon isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Melihat sinar mata calon suaminya ini, Sun Eng menunduk dan mengangguk. Maka berangkatlah mereka bertiga menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut. Sun Eng tidak banyak bicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri, lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu dan subonya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala penyelewengannya yang amat memalukan. Akan tetapi kalau dia menoleh kepada Lie Seng, dan calon suaminya itupun menoleh kepadanya, dia memperoleh sandaran yang kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang lain tidak masuk hitungan lagi! Kalau sudah begini, kuatlah hatinya dan dia sanggup menghadapi apapun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguhpun telah mendengar semua pe­nuturannya tentang penyelewengan di masa lampau.

Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini telah bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan yang terpaksa harus menyembunyikan diri di dalam sebuah di antara rumah-rumah di pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berempat jarang keluar dari rumah, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu a­gung oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang ketua inipun merasa amat gelisah dengan ada­nya empat orang pendekar sakti itu yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Akan tetapi karena mereka merasa ber­hutang budi kepada Ciauw Si, apalagi karena mereka memang merasa kagum kepada para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, mereka berdua menerima me­reka dengan penuh kehormatan dan me­nyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya muda yang me­ngandung itu melahirkan.

Kandungan Yap In Hong telah delapan bulan dan mereka berempat itu selalu menyembunyikan diri, tidak pernah ber­hubungan dengan orang luar kecuali ha­nya dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para ang­gauta perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi merekapun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu.

Ketika Ciauw Si datang kembali ber­sama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu menyambut dengan girang. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat kepada Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng se­bagai kakak kandungnya dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat kepada mere­ka. Kemudian, tiga orang muda ini lang­sung memasuki rumah yang menjadi tem­pat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu.

Empat orang itu telah duduk di ruang­an lebar dan mereka sudah merasa gi­rang sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Ketika tiga orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si menghampiri ibu mereka de­ngan girang, dan Sun Eng yang masuk pula dengan wajah pucat, lalu menjatuh­kan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil berkata lirih, “Suhu... subo...!”

Suami isteri ini terbelalak memandang ketika mereka mengenal Sun Eng. Ber­ubahlah wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain, apalagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini, dan siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat persembunyian dan di depan para keluarga!

“Mau apa kau ke sini?” bentak Bun Houw.

“Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!” bentak In Hong pula sambil bangkit berdiri. Suami isteri itu dengan wajah merah dan sepasang mata menyinarkan cahaya kemerahan sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih berlutut.

Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng me­loncat dan dia sudah berdiri di depan Sun Eng, melindungi dara itu dan meng­hadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar.

“Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dulu...!” katanya sambil mengangkat kedua tangannya.

“Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!” bentak Bun Houw yang semakin marah melihat keponakan­nya hendak melindungi gadis yang di­anggap telah mencemarkan nama baiknya itu!

Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang. “Paman dan bibi, siapapun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apalagi hendak menghajarnya! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu membunuh aku!”

Cia Bun Houw dan Yap In Hong ter­kejut setengah mati mendengar ini. Mereka berdua terbelalak memandang wajah Lie Seng, dan Cia Bun Houw ber­seru, “Apa yang kaukatakan ini, Lie Seng? Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami yang murtad dan...”

“Aku tahu, paman. Akan tetapi hen­daknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia ini adalah calon isteriku yang tercinta!”

“Apa...?” Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng.

Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, sudah hangkit pula dan bertanya dengan gelisah, “Apakah artinya semua ini?”

“Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!”

“Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada ibu...”

“Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan perempuan hina...”

“Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!” bentak Lie Seng dengan marah.

Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong cepat bangkit berdiri dan menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus namun berwibawa dia berkata, “Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu, mari kita bicara baik-baik,” sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu. Giok Keng mengangguk lalu dia menoleh kepada Ciauw Si sambil berkata, “Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si.”

Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya itu, dan sebagai seorang gadis dia agaknya tidak diperbolehkan ikut mendengarkan perkara yang hendak dibicarakan, maka diapun mengangguk dan bangkit, hendak meninggalkan ruangan itu.

“Si-moi, jangan pergi!” Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah. Memang dia sudah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng akan mendatangkan keributan dalam keluarganya, apalagi guru-guru kekasihnya berada di situ pula, dan akan terjadi dan keadaan betapa pahitpun yang akan dihadapinya. 1151 moig engkau sudah dewasal dan engkaupun anggauta keluarga kita, maka blarlah engkau ikut mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan blarlah nasib perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!”

Mendengar ucapan kakaknya dan me­lihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa khawatir sekali. Suasana menjadi hening sekali setelah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini, hening yang amat menegang­kan hati. Sejenak mereka semua hanya saling pandang, terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-guncangan hebat.

Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah ini sebagai calon isterinya dia girang, akan tetapi ketika mendengar bah­wa wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang.

“Seng-ji, apakah artinya semua ini?” Akhirnya dia bertanya dengan suara ge­metar dan biarpun pertanyaan ini diaju­kannya kepada puteranya, namun pandang matanya diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut.

“Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh enam tahun lebih, dan sekarang aku datang memperkenalkan calon isteriku kepada ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling mengikat janji untuk menjadi suami isteri.”

Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka.

“Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor...”

“Murid durhaka!” In Hong membentak Sun Erg. “Berani engkau memikat hati keponakan kami? Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan engkau berani merayu mendekatinya?”

Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih, “Subo... teecu sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng...”

“Heh?” Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak. “Benarkah itu, Seng-ji? Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?”

Lie Seng mengangguk gagah. “Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak perduli! Aku cinta padanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal lalu! Kami saling mencinta dan apapun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri!”

“Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang dia untuk menikah dengan perempuan rendah ini!”

Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apalagi melihat sikap adiknya dari puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya sayu. “Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu yang murtad, maka sebaiknya kauceritakan kembali agar dia mendengar sendiri bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu.” Suara nyonya ini cemas agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi calon isterinya itu.

Sun Eng menangis. Lie Seng mendekatinya dan merangkulnya sambil berlutut pula. “Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu...” bisiknya.

“Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi...” dia sesenggukan.

“Houw-te, lekas ceritakan agar urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji mendengarnya sendiri!” kata Cia Giok Keng.

Bun Houw masih merasa tidak enak dan dia memandang kepada Lie Seng, lalu berkatalah dia kepada keponakannya itu, “Seng-ji, engkau tentu tahu bukan sekali-kali kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami malah melakukan ini demi kebahagiaanmu. Kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya.”

“Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain? Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak perduli dan kalau engkau mau menceritakan hal itu kepada siapapun juga, terserah, karena hal itu tidak akan merubah cintaku kepadanya.” Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seolah-olah untuk memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini.

Kembali Bun Houw meragu. Betapa­pun juga dia merasa sayang kepada ke­ponakannya dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apalagi orang itu adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah men­ceritakan tentang Sun Eng secara singkat kepada cicinya dan kepada Yap Kun Liong, dan sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang ke­busukan orang lain.

Mellhat keraguan adiknya, Giok Keng berkata, “Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar dia mengerti!”

Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lalu berkata, suaranya lirih, “Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi muridku, dan dia... perempuen cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk menggodaku... secara tak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan lagi, dia telah menyerahkan diri kepada banyak orang, seperti seperti pelacur saja...” Dia berhenti sebentar, “aku pernah menceritakan ini kepada ibumu...”

“Cukup!” Cia Giok Keng membentak “Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?” Dia mengharapkan puteranya itu akan insyaf, akan tetapi betapa gelisahnya melihat puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu!

“Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku...”

“Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?”

“Ibu, kami saling mencinta...”

“Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak boleh menikah dengan seorang pelacur!”

“Ibu...!”

“Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!” Cia Giok Keng maju dengan kedua tangan dikepalkan.

“Tidak, enci, biar aku yang meng­hajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia berani menggoda puteramu!” kata In Hong yang juga bergerak maju ke depan, siap untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap telah menimbulkan banyak sengketa ini dan dia merasa bahwa sebagai bekas guru dia harus bertanggung jawab. Akan tetapi Lie Seng bangkit ber­diri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.

“Siapapun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus membunuh aku lebih dulu!” bentak­nya.

Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan marah. “Seng-ji, butakah engkau? Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh rayuan seorang pelacur!”

“Ibu! Itukah perbuatan yang mem­bahagiakan? Tidak, ibu malah akan meng­hancurkan kebahagiaanku. Kalau ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!”

Wajah Cia Giok Keng makin pucat dan kata-kata itu seolah-olah merupakan pukulan sehingga dia mengeluh dan terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya dan berbisik, “Kau tenanglah...”

“Lie Seng!” Bun Houw membentak keponakannya. “Begitukah sikap seorang gagah? Engkau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?”

“Paman, cukup segala omong kosong ini!” Lie Seng membentak, mukanya merah, matanya liar. “Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari keluarga kita? Lupakah paman betapa mendiang kong-kong juga pernah melarang paman menikah dengan bibi In Hong? Dan bagaimana sikap paman sendiri? Paman rela meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang mengapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil, menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?”

“Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela meninggalkan keluarga...”

“Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita paling baik di dunia! Akupun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik di dunia karena aku mencintanya dan siapapun tidak boleh mengganggunya, seperti paman dahulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi, biarlah aku pergi saja!”

“Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia hidupnya? Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau akan melakukan keputusan yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang wanita yang hina sebagai isterimu! Maka aku melarang. Ibu mana yang benar-benar mencinta anaknya tidak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya? Menurut cerita pamanmu tadi, wanita itu tidak patut menjadi colon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja secara tidak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga telah hidup sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku mempunyai mantu seperti itu?”

“Tapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu? Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku, sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak sama dengan Eng-moi sekarang!”

“Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui...” Giok Keng makin pucat dan dia tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya.

“Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih baik memilih hidup bersama dengan Eng-moi daripada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi yang jauh dari orang yang kucinta!” Lie Seng lalu bangkit berdiri sambil merangkul pinggang kekasihnya, “Eng-moi, mari kita pergi!”

Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan. Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang dihadapinya dan diam-diam dia merasa amat terharu atas sikap Lie Song yang benar-benar telah membelanya seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng.

“Seng-ji... ah, Seng-ji...!” Cia Giok Keng menjerit don ibu yang terguncang batinnya ini menjadi lemas. Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang dan mengurut punggung dan tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali.

Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan alis berkerut dan mata bersinar tajam dia berkata, “Seng-ji, aku tidak ingin melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat karena ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi sendiri!”

Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis. “Paman Cia Bun Houw, engkau dahulu tidak takut akan ancaman mendiang kong-kong, apa kaukira aku kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku? Kalau engkau mau bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon isteriku!”

Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak berkelebat bayangan dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya. “Paman, jangan...!” seru dara ini. Melihat keponakannya yang perempuan ini juga membela Lie Seng, Bun Houw tertegun dan bingun.

“Houw-ko...!” Tiba-tiba terdengar keluhan panjang. Bun Houw terkejut dan cepat menengok, dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan keliatan limbung.

“Hong-moi...!” Bun Houw meloncat mendekati isterinya dan merangkul. “Kau... kau kenapa, Hong-moi...?”

“Aku... perutku...ah, sakit...!”

Cia Giok Keng cepat menghampiri. “Bawa dia masuk... jangan-jangan dia akan melahirkan...!”

Bun Houw terkejut dan cepat memondong isterinya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Sementara itu Lie Seng sudah menggandeng tangan Sun Eng dan mengajaknya lari pergi dari tempat itu.

“Seng-ji...!” Cia Giok Keng berseru, kemudian menangis dalam rangkulan suaminya ketika puteranya itu tidak mau menoleh dan berlari terus di samping kekasihnya. Ciauw Si lalu mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya, diapun menangis menyaksikan kedukaan ibunya. Dara ini sejak tadi mendengarkan semua peristiwa itu dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Diam-diam dia teringat kepada Pangeran Ceng Han Houw dan hatinya terasa ngeri. Betapapun juga, ibunya telah dituduh pemberontak dan menjadi orang buruan pemerintah, maka sedikit banyak ibunya tentu membenci para pangeran dan keluarga kaisar. Kalau dia kelak menghadap ibunya bersama Pangeran Ceng Han Houw dan memperkenalkannya sebagai calon suaminya, dia ngeri membayangkan apa yang akan menjadi sikap ibunya.

Demikianlah, pertemuan keluarga yang tadinya diharapkan akan mendatangkan rasa gembira bahagia itu berubah menjadi suasana yang amat menyedihkan. Peristiwa semacam ini akan selalu terjadi apabila manusia terlalu mementingkan diri sendiri masing-masing. Betapa banyaknya orang-orang tua yang berkeras dengan sikap mereka yang menolak pilihan calon isteri atau suami dari anak mereka. Tentu saja mereka ini, orang-orang tua ini, merasa yakin bahwa sikap mereka itu terdorong oleh perasaan ingin membahagiakan anak, seperti juga Cia Giok Keng yang merasa yakin bahwa puteranya akan celaka, akan cemar, akan sengsara apabila melanjutkan perjodohannya dengan Sun Eng yang dianggap tidak patut menjadi isteri puteranya! Namun, sesungguhnya, di dasar lubuk hati orang-orang tua seperti ini terdapat perasaan mementingkan diri sendiri yang amat besar! DIA lah yang akan merasa sengsara, kecewa dan tidak puas kalau perjodohan itu dilanjutkan, DIA lah yangakan merasa terhina, tercemar, dan malu!

Sesungguhnya, perjodohan adalah urusan antara dua orang yang hendak menjalaninya, urusan dua orang yang terikat oleh rasa kasih sayang, dan orang lain sama sekali tidak berhak mencampurinya! Orang-orang tua yang bliaksana, yang benar-benar mencinta anaknya, tidak akan mementingkan perasaan hatinya sendiri, tidak akan menuruti seleranya sendiri saja. Namun bukan berarti bahwa orang tua harus tidak peduli, bersikap masa bodoh, bukan demikian. Orang tua sudah selayaknya kalau memperingatkan anaknya agar anaknya jangan salah pilih, agar anaknya itu memilih dengan dasar cinta kasihnya, bukan hanya dorongan nafsu berahi yang tertarik oleh lahiriah belaka. Namun, semua ini dilakukan demi si anak, bukan demi kepentingan perasaan sendiri dan lepas daripada selera sendiri. Dan semua keputusan terakhir haruslah diberikan kepada si anak yang hendak menjalani perjodohan itu! Si anaklah yang memilih calon jodohnya, si anak sendiri pula yang kelak langsung menghadapi segala akibatnya!

Kita sudah condong untuk menganggap bahwa orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidup itu adalah orang yang selamanya tidak akan baik! Kita begitu pendendam terhadap orang lain, sebaliknya begitu murah hati kepada diri sendiri sehingga semua kesalahan sendiri akan mudah saja dimaafkan dan bahkan dibela dengan berbagai alasan! Kesalahan diri sendiri berarti kesalahan keluarga sendiri pula, yang bisa dikembangkan menjadi kelompok sendiri, teman sendiri, sekaum, sesuku, sebangsa dan sebagainya. Semua itu bersumber kepada pemusatan kepada si aku. Mengapa kita tidak ingat bahwa setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti pernah melakukan kesalahan, termasuk diri kita sendiri? Kenapa kita tidak mau membuka, mata melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah suatu gerakan terus menerus, sehingga kita tidak mungkin bisa menilai kehidupan seseorang dari satu peristiwa atau satu perbuatan saja? Orang-orang tua yang terlalu mementingkan dirinya sendiri tidak merasakan ini, dan mereka itu beranggapan bahwa mereka menoleh atau memilih calon jodoh anaknya demi untuk kebahagiaan anaknya! Betapa piciknya anggapan seperti ini!

Orang-orang tua yang beranggapan seperti itu agaknya menganggap kehidupan anaknya itu sebagai sesuatu yang mati, sesuatu yang tidak berubah-ubah lagi, sesuatu yang sudah dapat dirumuskan dan dipastikan! Maka mereka ini merasa dapat menentukan bahwa kalau anaknya berjodoh dengan orang ini kelak akan hidup sengsara dan kalau berjodoh dengan orang itu barulah akan berbahagia! Betapa picik dan dangkalnya pendapat seperti ini!

Perjodohan, seperti urusan apapun juga di mana terdapat hubungan antar manusia, seperti persahabatan dan sebagainya, sudahlah tepat dan benar di mana ada landasan cinta kasih! Dan cinta kasih sama sekali bukanlah pementingan diri sendiri! Bahkan di mana ada keinginan menyenangkan diri sendiri, di situ tidak mungkin ada cinta kasih, yang ada hanyalah cinta kepada diri sendiri untuk mencari kesenangan, dan segala sesuatu di luar dirinya hanya akan diperalat untuk mencapai kesenangan diri sendiri itulah! Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa orang tua hanya akan memejamkan mata saja. Tidak, orang tua haruslah mengamati dan memperingatkan, menunjukkan apablia anaknya memilih dengan membuta, apabila anaknya hanya terbuai oleh nafsu berahi semata, terbuai oleh kemilaunya emas atau kedudukan atau keelokan rupa belaka. Namun, apabila orang tua melihat cinta kasih yang menghubungkan anaknya dengan orang yang dipilihnya, maka orang tua yang bijaksana akan menyetujui tanpa memasukkan pendapat-pendapatnya sendiri tentang pilihan anaknya itu!

Beberapa hari kemudian setelah terjadinya peristiwa yang menimbulkan kedukaan di antara keluarga pendekar itu, Yap In Hong melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Dan atas usul para pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yang lama-lama merasa khawatir juga kalau-kalau akan ketahuan dan akan dianggap menyembunyikan buruan pemerintah, juga atas persetujuan para pendekar yang maklum bahwa mereka menaruh perkumpulan itu di tempat yang berbahaya, mereka lalu pindah dan tinggal di sebuah lereng bukit di seberang Sungai Min-kiang. Di lereng sunyi itu didirikan dua buah rumah kecil, di tepi sebuah dusun yang menjadi tempat tinggal para petani yang merangkap pula sebagai nelayan-nelayan Sungai Min-kiang, dan di situlah mereka tinggal.

Lie Ciauw Si membantu ibunya dan pamannya pindah, dan sepekan kemudian setelah mereka pindah, dia berpamit untuk mengulang lagi perjalanamya yang tertunda karena pertemuannya dengan Lie Seng, yaitu ke kota raja. Dia akan mencari Phngeran Ceng Han Houw untuk minta pertolongan pangeran itu, agar ibu dan pamannya sekeluarga dapat dibebaskan dari tuduhan memberontak.

Tinggal mondok di rumah orang lain, betapapun baiknya orang yang mempunyai rumah itu, memang merupakan hal yang amat tidak enak. Apalagi bagi suami isteri, dua pasang pendekar itu. Bahkan makin baik pemilik rumah, makin sungkanlah hati mereka. Oleh karena itu, setelah kini pindah dan tinggal di dalam dusun kecil di lereng bukit itu, Yap Kun Liong yang tinggal serumah dengan isterinya, dan Cia Bun Houw yang tinggal dalam rumah lain bersama isterinya dan anaknya, merasa gembira dan tenteram. Dua orang pendekar sakti itu berpakaian seperti para petani, bahkan mereka juga bertani, bahkan kadang-kadang juga ikut pula mencari ikan seperti para penduduk dusun itu.

Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa musuh besar mereka tidak pernah mengenal lelah dalam mencari jejak mereka. Kim Hong Liu-nio, wanita yang tadinya memusuhi keluarga Cin-ling-pai terutama orang-orang she Yap dan Cia hanya karena tugasnya sebagai murid dari Hek-hiat Mo-li, dan dia menganggap para pendekar Cin-ling-pal itu sebagai musuh-musuh gurunya yang harus dibasminya. Akan tetapi sekarang, wanita cantik ini mencari-cari musuh-musuhnya bukan hanya demi membalas sakit hati gurunya, melainkan terutama sekali karena dendam pribadinya atas kematian kekasihnya, yaitu mendiang Panglima Lee Siang. Setelah dia mempergunakan kecantikannya dan berhasil memikat hati kaisar sehingga dia selain menjadi wanita gagah penyelamat kaisar juga kini menjadi wanita cantik penghibur kaisar, dia memperoleh kekuasaan memimpin pasukan besar untuk mencari musuh-musuh yang telah berhasil dicapnya sebagai pemberontak dan buronan itu.

Kim Hong Liu-nio tidak pernah berhenti mencari dan menyebar mata-matanya dan akhirnya tahulah dia di mana tempat sembunyi para musuhnya yang amat dibencinya itu! Yap In Hong, ibu muda yang baru satu bulan melahirkan, dengan wajah berseri pulang dari pasar. Wajahnya cantik jelita dan gilang-gemilang seperti biasanya wanita muda yang menyusui anaknya dan belum lama melahirkan. Memang ada cahaya yang aneh selalu nampak pada wajah wanita yang mulai mengandung tua dan sampai dia melahirkan dan menyusui bayinya, cahaya berseri yang membuat wajahnya cantik menarik dan gemilang. In Hong baru saja kembali dari pasar. Dia tadi berangkat pagi sekali membawa hash ikan yang diperoleh suaminya semalam bersama para nelayan lain. Memang kadang-kadang dialah yang membawa ikan hasil tangkapan suaminya itu ke pasar, untuk dijual dan dibelikan bahan-bahan atau bumbu-bumbu masak lainnya. Hidup sebagai seorang dusun, yang bebas dan tenang ini, benar-benar amat disukainya, dirasakannya begitu aman dan jauh sengketa, tidak seperti kehidupan wanita kang-ouw yang selalu harus menggunakan kekerasan karena dunianya adalah dunia kekerasan. Begitu ringan langkah In Hong, seringan hatinya yang riang sekali di pagi hari itu sehingga hampir dia bernyanyi-nyanyi kalau saja dia tidak merasa malu karena kadang-kadang dia bertemu dengan penduduk dusun yang pergi ke ladang. Ketika dia tiba di luar dusun, dari jauh dia melihat seorang wanita yang berjalan perlahan dengan tenang. Dari jauh saja In Hong sudah merasa tertarik dan terheran. Dia dapat melihat bahwa wanita itu memakai pa­kaian yang indah, jelas bukan seorang wanita dusun. Sama sekali bukan, karena dari jauh saja sudah kelihatan betapa rambut wanita itu digelung indah dan di rambut itu nampak kilauan permata dan kedua lengannya juga memakai gelang emas yang berkilauan.

Setelah mereka saling berhadapan, barulah hati In Hong terkejut bukan main! Dari jauh tadi dia tidak mengenal wanita cantik ini, akan tetapi setelah dekat, melihat pedang yang tergantung di pinggang ramping itu, melihat kayu salib tergantung di punggung, barulah dia teringat bahwa wanita ini adalah musuh besar keluarga Cin-ling-pai Kim Hong Liu-nio!

Juga Kim Hong Liu-nio terkejut bu­kan main setelah dia berhadapan dengan In Hong, karena diapun tidak mengira bahwa wanita dusun yang cantik dan kelihatan riang itu bukan lain adalah Yap In Hong, seorang di antara musuh-musuhnya yang paling lihai! Baru satu kali dia bertemu dengan pendekar wanita gagah perkasa ini, maka tadi diapun tidak me­ngenal In Honf, apalagi karena pendekar itu memakai pakaian seorang wanita dusun. Begitu mengenal musuh besar ini, giranglah hati Kim Hong Liu-nio. Memang dia memperoleh berita dari seorang di antara para penyelidik yang disebarnya di seluruh daerah bahwa empat orang musuh besar yang telah dicapnya sebagai pelarian dan buronan pemberontak itu berada di dusun itu. Mendapat berita ini dia langsung pergi sendiri mengadakan pe­nyelidikan. Sungguh tak disangkanya bah­wa dia akan bertemu dengan Yap In Hong di luar dusun. Tadinya dia sudah merasa putus asa karena tidak ada se­orangpun penduduk dusun yang sederhana itu yang mengenal nama-nama pendekar yang dicarinya itu. Hal ini adalah karena memang dua pasang suami isteri pen­dekar itu menggunakan nama palsu dan memang kehidupan mereka sebagai petani-petani dan nelayan-nelayan biasa, sama sekali tidak seperti pendekar.

“Bagus, kiranya para pemberontak bersembunyi di sini!” katanya sambil tersenyum mengejek. Kim Hong Liu-nio adalah seorang wanita yang tinggi sekali ilmu silatnya, bahkan dia sudah mewarisi hampir semua kepandaian subonya, maka bertemu dengan hanya seorang saja di antara musuh-musuhnya, dia tidak merasa gentar. Apalagi dia memang telah mempersiapkan pasukan yang setiap waktu akan dapat membantunya, yang kini sudah memasang barisan pendam di sekitar tempat itu, sudah mengurung dusun itu dengan ketat!

Kekagetan hati In Hong juga hanya sebentar saja. Mendengar ucapan Kim Hong Liu-nio, dia sudah menjadi marah sekali. Tentu saja dia tidak takut menghadapi musuh ini. Yap In Hong adalah seorang pendekar wanita yang sakti, yang sukar dicari tandingannya. Biarpun semenjak dia mengalami guncangan batin akibat kemunculan Lie Seng yang hendak memperisteri Sun Eng, muridnya yang murtad itu kemudian dia melahirkan anak agak di bawah waktu, membuat kesehatannya terganggu dan dia belum boleh terlalu banyak mengerahkan tenaga, namun dia sama sekali tidak menjadi jerih.

“Iblis betina, kalau engkau tidak menemukan kami akhirnya akulah yang akan mencarimu untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri!”

Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek dan kedua tangannya yang kecil dan yang memakai sarung tangan tipis, yang tidak kentara karena warnanya sama dengan kulitnya itu bergerak perlahan mengeluarkan beberapa batang hio. Sekali jari yang kecil-kecil itu memegang tangkai hio dan kedua tangannya bergerak, terdengar benturan dua buah gelangnya, terdengar nyaring dan nampak api bernyala dan... seperti main sulap saja, hio-hio di tangannya itu telah terbakar ujungnya dan terciumlah bau harum! In Hong tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, akan tetapi dia tidak merasa heran. Sebagai seorang pendekar wanita yang sudah banyak menjelajah di dunia kang-ouw, dia sudah banyak melihat hal-hal yang aneh. Biarpun dia tidak tahu bagaimana akal musuh itu membakar hio, namun dia mengerti bahwa tentu ada cara tertentu dan dia tidak perlu merasa heran. Memang benarlah dugaannya, dan di ujung hio-hio yang istimewa itu memang telah dipasangi obat bakar. Sekali terkena sentuhan benda keras, ujung-ujung hio itu akan terbakar.

Semua ini dilakukan oleh Kim Hong Liu-nio untuk mengikat perhatian lawan, karena tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar terang meluncur seperti kembang-kembang api ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh In Hong! Inilah keistimewaan Kim Hong Liu-nio, dan itulah bahayanya hio-hio itu. Pertama-tama dia bermain sulap dengan pembakaran hio sehingga calon korbannya menjadi lengah karena perhatiannya tertarik kepada sulapan itu sehingga kalau tiba-tiba diserang dengan sambitan hio-hio itu lawan terkejut dan sukar menyelamatkan diri. Namun, In Hong bukanlah seorang pendekar biasa. Dari tadipun dia sama sekali tidak merasa heran, maka dia masih terus bersikap waspada dan kedua matanya dapat menangkap dengan mudah sekali gerakan tangan lawan dan luncuran hio-hio itu. Memang serangan itu berbahaya sekali, maka In Hong juga tidak berani bersikap lambat. Dia tidak berani pula menangkis karena dia belum mengenal sifat hio-hio yang dipergunakan oleh lawan sebagai senjata-senjata rahasia itu. Maka dia sudah mengenjotkan kakinya ke atas tanah dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan hio-hio itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio masih menyambitkan sisa-sisa hio mengejar tubuh In Hong sehingga kini pendekar wanita itu terpaksa harus melayang lagi ke bawah dengan kepala lebih dulu dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menyampok dan menggunakan hawa pukulannya membuat hio-hio itu runtuh ke atas tanah. Di lain saat In Hong sudan turun lagi ke atas tanah dengan sikap tenang, namun wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, tanda bahwa gerakan-gerakan tadi membuat tubuhnya yang belum sehat benar itu menjadi lelah. Dia marah sekali melihat kesombongan dan kecurangan wanita iblis itu, maka kini tiba-tiba tangannya bergerak dan sinar hijau yang mendatangkan hawa dingin sudah melesat dan menyambar ke arah muka dan dada lawannya. Kim Hong Liu-nio juga cepat meloncat ke kiri untuk menghindarkan dirinya dan wanita ini tersenyum lebar. Dia dapat melihat dengan pandang matanya yang tajam itu betapa wajah lawannya pucat dam napasnya memburu, juga serangan dengan Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi) itu dilakukan tidak dengan tenaga sepenuhnya. Tahulah dia bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri gemilang ini sebenarnya sedang dalam keadaan tidak sehat benar. Maka diapun cepat menubruk maju. Dia harus dapat membunuh wanita musuh besar gurunya dan juga musuh pribadinya ini sebelum yang lain-lain muncul!

“Cring-cringgg...!” Gelang-gelang yang menghias pergelangan tangan Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara nyaring dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan bersilang. Telapak tangan yang putih halus itu perlahan-lahan berubah kemerahan, dan makin lama makin menghitam ketika wanita itu mulai melancarkan pukulan-pukulan dengan tamparan-tamparan tangan terbuka. Terdengar suara angin bersuitan tanda bahwa tamparan-tamparan itu mengandung tenaga dahsyat dan melihat warna kedua telapak tangan itu, In Hong maklum bahwa lawannya telah menyerangnya dengan pukulan beracun! Namun dia tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia menggeser kaki, membiarkan tamparan-tamparan itu lewat dan yang terlalu dekat lalu ditangkisnya dengan gerakan tangan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang.

“Plak-plak-plakk!”

Pertemuan dua pasang tangan yang sama kecil dan halus kulitnya itu merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat yang mengakibatkan tubuh Kim Hong Liu-nio terdorong ke belakang. Namun In Hong merasa betapa kulit tangan yang bertemu dengan lawan itu panas dan nyeri sehingga perasaan nyeri ini nampak pada wajahnya yang pucat, atau nampak pada bibirnya yang bergerak. Hal ini dapat dilihat oleh Kim Hong Liu-nio. Wanita ini tertawa merdu dan kembali menubruk dengan pukulan-pukulan yang lebih hebat lagi.

In Hong kembali mengelak dan kini diapun membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Sebenarnya, kalau saja In Hong tidak sedang dalam keadaan lemah, Kim Hong Liu-nio tentu akan menghadapi lawan luar biasa kuatnya karena nyonya muda ini bahkan pernah mengalahkan subonya, Hek-hiat Mo-li. Biarpun Kim Hong Liu-nio telah mewarisi ilmu kepandaian nenek bermuka hitam itu, namun dasar ilmu silatnya dari golongan sesat itu tidak mungkin dapat mengatasi dasar ilmu silat In Hong yang kuat dan murni. Akan tetapi, ibu muda itu sedang lemah, dan kini Kim Hong Liu-nio telah memperoleh kemajuan pesat karena dia selalu menggembleng diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi, maka perkelahian ini membuat In Hong cepat merasa lelah dan gerakan-gerakannya kurang kokoh. Beberapa kali ibu muda ini terhuyung kalau mereka saling mengadu tenaga dengan pertemuan tangan.

“Plak! Plakk!” Kembali dua tangan mereka bertemu dua kali dan akibatnya, In Hong yang terhuyung. Kalau dalam pertemuan pertama kali tadi Kim Hong Liu-nio yang terhuyung, kini keadaan menjadi membalik, tanda bahwa ibu muda itu makin berkurang tenaganya atau tidak berani mengerahkan seluruh tenaga karena begitu dia mengerahkan tenaga, perutnya terasa sakit dan kepalanya pening.

“Hik-hik, mampuslah engkau!” Kim Hong Liu-nio yang melihat lawan terhuyung lalu menerjang, mengirim tamparan cepat ke arah kepala lawan. Melihat ini, kembali In Hong menangkis sambil mundur dan dia tidak tahu bahwa di belakangnya terdapat sebuah batu. Maka kakinya menginjak permukaan batu licin dan diapun tergelincir dan jatuh! Terdengar suara ketawa merdu dan wanita iblis itu sudah menubruk dan menghan­tamkan kakinya ke arah kepala In Hong! Namun ibu muda yang sudah dalam keadaan berbahaya ini, cepat menggulingkan tubuhnya sehingga terluput dari injakan kaki lawan. Kim Hong Liu-nio merasa penasaran, meloncat dan menendang sambil terus mengejar ke mana tubuh lawan bergulingan. Setiap kali In Hong hendak meloncat bangun, dia menghantam dengan kedua tangannya yang ditangkis oleh In Hong dan kembali ibu muda ini terguling. Keadaan Yap In Hong sungguh terancam bahaya maut!

Namun pada saat itu nampak bayang­an putih berkelebat dan tiba-tiba muncul­lah pendekar Cia Bun Houw di tempat itu. Dapat dibayangkan betapa marahnya pendekar ini melihat isterinya yang dia tahu masih belum sehat benar itu di­desak hebat oleh wanita yang dikenalnya sebagai musuh besar keluarganya.

“Hong-moi, mundurlah dan serahkan iblis ini kepadaku!” bentaknya dan sekali dia meloncat, dia sudah berada di depan Kim Hong Liu-nio dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya. Hebat bukan main pukulan yang datang ini, mengandung tenaga dahsyat sekali. Kim Hong Liu-nio terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi pukulan aneh itu terus mengejarnya schingga terpaksa dia menangkis.

“Dukkk!” Tubuhnya tergetar dan Kim Hong Liu-nio terpaksa meloncat ke belakang untuk mematahkan tenaga dahsyat yang mendorongnya secara hebat itu. Hatinya merasa menyesal sekali. Mengapa dia tidak cepat-cepat menewaskan Yap In Hong tadi? Harus diakuinya bahwa dia tadi sengaja hendak mempermainkan nyonya itu lebih dulu untuk memuaskan hatinya. Kalau dia tadi menghendaki, tentu sudah dapat membunuh musuh besar itu. Kini muncul suami wanita itu, Cia Bun Houw yang memiliki kepandaian hebat sekali sehingga kini dialah yang terancam bahaya.

“Siluman betina, engkaulah biang keladi kematian ayah! Bersiaplah untuk mati di tanganku!” kata Bun Houw yang tidak mau memberi kesempatan kepada lawan, kini pendekar itu sudah menyerang lagi dengan pukulan-pukulan dahsyat yang membuat Kim Hong Liu-nio terdesak hebat. Wanita itu sama menyesal tidak sem­pat untuk melarikan diri, karena pende­kar itu sudah menerjangnya dan me­ngirim pukulan bertubi-tubi, setiap pukul­an merupakan serangan maut yang hebat sekali sehingga diam-diam Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main. Dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata memiliki kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendiri saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini? Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya! Maka diapun menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaga, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tidak kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.

Sementara itu, ketika melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas me­ngumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga agar di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk me­mulihkan tenaganya. Karena dia memang belum pernah terkena pukulan yang lang­sung, maka dia tidak menderita luka dan sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali. Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Timbul perasaan ma­rah di hatinya. Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, mempergunakan kesempat­an selagi dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan dan menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.

“Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dulu kepada iblis betina ini!” katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja. Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apalagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.

“Bukk!” Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dedanya sesak, tubuhnya terjengkang! Namun dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, maka dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.

Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, akan tetapi kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya.

“Plakkk!” Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan kini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan mempergunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diripun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat!

Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio menyilangkan kedua tangannya, mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu terdengar teriakan, “Jangan bunuh dia...!” Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!

Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Setelah suhengnya menerima pangeran itu, Sin Liong lalu meninggalkannya dan pemuda ini lalu mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio. Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu kini memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.

Ketika dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong. Pertama-tama, melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Ketika itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga betapapun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongan­nya dahulu itu! Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, sungguhpun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandung­nya dan pembunuh kakeknya itu di ta­ngannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya meng­apa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu.

Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!

Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang men­jadi musuh keluarganya itu.

“Dukk!” Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.

“Desss!” Kembali Sin Liong menang­kis dan sekali ini pertemuan tenaga an­tara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan me­larikan diri!

Bukan main marahnya hati Bun Houw ketika dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san.

“Engkau...?” bentaknya. “Engkau melindungi iblis itu...?”

“Aku tidak ingin orang lain membunuhnya...” jawab Sin Liong. Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tidak tahu diri, yang kini malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai!

“Bocah keparat, kau harus dihajar!” bentaknya dan dim sudah mengirim pukul­an ke arah dada Sin Liong.

“Desss...!” Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.

“Houw-ko, jangan...!” In Hong berseru kaget, karena diapun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebenarnya masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.

Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sehuah bola penuh hawa saja yang dapat dipukul sampai terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar maupun di dalam. Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini telah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!

Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya bukan kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tidak akan membunuh dan yang dipukulnya bukan tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu. Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikitpun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang lagi dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.

“Dukk!” Sin Liong sekali ini menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak mengira bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!

“Bocah setan...!” Dia memaki dan menyerang lagi. Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis.

“Aku tidak ingin berkelahi denganmu!” katanya berkali-kali sambil terus mengelak den menangkis, main mundur. Bun Houw makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!

Pada saat itu, datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian. “Tahan, jangan berkelahi...!” Yap Kun Liong berseru ketika dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid ayah mertuanya. Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangan ketika melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa heran melihat betapa Bun Houw yang sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tidak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat!

KARENA penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biarpun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Dan pada saat itu, terdengar suara gemuruh dan datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu lalu menyerbu, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.

“Larilah kalian! Lekas, larilah!” tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lalu berlari ke depan, menyambut datangnya para perajurit yang menyerbu!

Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya merobohkan empat orang perajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang perajurit, diputar-putarnya lalu dilemparkan kepada para perajurit yang datang seperti air bah menyerang itu.

“Mari kita pergi cepat!” Yap Kun Liong berkata dan empat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak dapat menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki gin-kang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subonya. Sementara itu, Sin Liong mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia sudah terlalu banyak merobohkan perajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.

“Engkau hendak lari ke mana?” Kim Hong Liu-nio menubruk dan menggunakan kedua tangannya menyerang.

“Plak! Plak!” Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting dan para perwira itu cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak sempat lagi untuk melanjutkan serangannya kepada wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.

Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu melindunginya dan bahkan menyelamatkannya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw. Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera sendiri dari pendekar Cia Bun Houw? Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri? Dan yang lebih aneh lagi, setelah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi empat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan? Sunguh anak yang amat luar biasa sekali!

“Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!” Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu.

Sementara itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Mereka sudah dapat membebaskan diri dari pengejaran, dan kini mereka berjalan biasa karena In Hong masih terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.

“Sungguh aku tidak mengerti anak itu!” Kata Bun Houw sambil menggeleng kepalanya. “Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita.”

Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat mainkan Thai-kek­-sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang dipergunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te.”

“Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!”

Ucapan Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan di jaman itu sukarlah mencari tokoh yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw bicara dengan serius.

“Betapapun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan,” kata Yap In Hong.

Empat orang ini lalu pergi menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dahulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena terdapat di antara mereka Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong.

Biarpun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan dalam hati empat orang pendekar ini, namun diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus lari lagi dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pastikan untuk mengejar mereka?

Sin Liong dianggap sebagai anak selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw ma­sih selalu berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka biarpun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan me­lawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya.

Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini kembali mulai membayangi Kim Hong Liu-nio untuk mencari kesempatan menjumpai wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melin­dunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Mari kita mengikuti perjalanan Ceng Han Houw, pange­ran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung.

Seperti telah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, dengan bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek dan diangkat menjadi sutenya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulls kitab-kitab pelajar­an ilmu silat tinggi itu.

Dengan amat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek men­terjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mujijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw telah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersamadhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah guha besar yang kosong. Setelah dia mulai melatih, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tidak lagi mampu membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi.

“Suheng,” pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal akan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab aseli itu, “aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?”

Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang tubuhya seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit “Heh-heh-heh-heh, sute, engkau ini lucu sekali! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!”

Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apalagi karena sikap suhengnya yang sama sekali tidak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia makin benci. Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biarpun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek, dan karena kecerdikannya, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suhengnya ini.

“Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andaikata kita tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau.”

“Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau.”

“Harap suheng sudi memberi petunjuk, aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau.”

“Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita kalau memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu?”

“Agar hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu tentang pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu.”

“Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!”

Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang amat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jerih, tidak membuat dia mundur. ”Aku akan menghadapi bahaya itu kalau suheng sudi memberi petunjuk.”

“Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?”

Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. “Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga menyalahkan suheng.”

Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sutenya, lalu berkata, “Kalau engkau sampai bisa bertemu dengan suhu, hal itu sungguh amat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu.”

Mendengar ini, tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main dan makin besar keinginan hatinya untuk dapat bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. “Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng kalau aku sampai dapat bertemu dengan suhu.”

“Dengarlah baik-baik, sute. Untuk dapat bertemu dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan sederhana, kakinya telanjang dan beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersamadhilah menurut petunjuk dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus sampai beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam guha, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute.” Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sutenya.

Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki guha kecil mana dia biasa berlatih samadhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman di mana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhunya karena suhengnya sama sekali tidak dapat memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek. Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersamadhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada.

Karena sudah biasa berlatih samadhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw sudah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang. Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali, hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seolah-olah merupakan sesuatu yang sambung-menyambung dan membubung ke atas, merupakan tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya. Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama makin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersamadhi seperti itu. Dia tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersamadhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!

Tiba-tiba tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya menurut penuturan Ouwyang Bu Sek! Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suhengnya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus.

“Suhu, teecu mohon petunjuk...!” Dia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran.

Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, ke­lihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin.

Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun tidak lagi nampak kakek itu, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya. Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dipat mengerti hal-hal itu dengan jelas­nya!

Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukanlah dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orangpun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun. Orang yang mengosongkan pikirannya dengan jalan mengulang-ulang sesuatu yang disebutnya dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri sehingga dirinya dalam keadaan “kosong” sungguhpun kekosongan yang dipaksakan. Dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan kalau benar-benar muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pemantulan dari dalam batinnya sendiri. Orang yang ­memuja Sang Buddha mungkin saja bertemu dengan bayangan yang sesungguhnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran di dalam batin. Bayangan apapun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan maupun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti. Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau dari khayalnya sendiri tentang setan. Demikian pula, seseorang yang mengaku pernah “bertemu” dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Namun kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!

Setelah merasa “bertemu” dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal inipun tidak aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, kini amat jelas dan mudah baginya. Tentu saja dia menghubungkan ini dengan “kemunculan” bayangan suhunya yang, secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa “bayangan” Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan “bayangan” yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing.

Keinginan akan sesuatu, betapapun “sesuatu” itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan maupun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik. Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang picik. Semenjak kecil sampai tua, kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanyalah obyek dari keinginan-keinginan kita, kalau masih muda tentu keinginannya ditujukan kepada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa. Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin dipenuhi keinginan ini, pada­hal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nya­ta maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan kha­yal kita sendiri belaka dan kita tidak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!

Seorang tua akan mengatakan, “Aku tidak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak butuh apa-apa lagi!” kata-katanya demikian, akan tetapi sebenarnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja. Kalau dulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, sekarang yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan “yang lebih tinggi”. Hasilnyapun akan sama saja! Di waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan kesera­kahan yang tak kunjung habis, sekarang­pun dia akan bertemu dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!

Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu : Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada? Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat akan semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan di pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik­ apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel! Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak nampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu dan hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?

Semenjak “pengalamannya” yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu “memanggil” datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu. Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, namun dengan latihan-latihan siulian dan penghimpunan tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat daripada sebelum dia tekun belajar di dalam guha itu!

Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputuon untuk keluar dari tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat karena banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suhengnya Ouwyang Bu Sek.

Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Guha-guha yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak me­nampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati. Han Houw menggunakan ta­ngannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam guha yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat te­rang itu sehingga menjadi silau. Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suhengnya. Han Houw merasa jengkel. Tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam guha.

“Cuiiittt...!” Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.

“Byarrrr...!” Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya. Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, akan tetapi juga angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang mempergunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.

“Desss...!” Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya, dan batu besar itu terlempar sampai jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang, sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu.

Han Houw merasa girang dan bangga bukan main, dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam samadhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab dan tubuhnya melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah. Dia merasa seolah-olah telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di depan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu! Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghidapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini! Tiba-tiba dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.

“Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkaupun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawanya mengandung kekuatan khi-kang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak. Mengerikan sekali pada saat itu wajah yang tampan ini, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak­-gerak tertiup angin.

Tiba-tiba wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu! Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aselinya. Ini berarti bahwa seluruh ke­pandaiannya berada di tangan suhengnya! Kalau ada orang lain yang kelak mem­pelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya agar tidak ada orang lain yang akan dapat menge­tahui rahasia dari ilmu-ilmunya. Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab ter­jemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicenkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin ketika Han Houw me­lemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andaikata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya. Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lalu me­lompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni pun­cak tertinggi itu untuk kembali ke pun­cak di mana suhengnya tinggal.

“Suheng...!” Han Houw berteriak dan suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru.

“Suheng Ouwyang Bu Sek...!” Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.

Tak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu tordengar dekat sekali, “Aku datang, sute...!”

Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menanti sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tak lama kemudian, berbareng dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di depan Han Houw. Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sutenya, melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mujijat di dalam diri sutenya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya, “Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?”

Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suhengnya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata, “Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aselinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Kuharap suheng suka memperlihatkan kitab aselinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng.”

Kakek itu terkekeh girang. “Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku sudah melihat perubahan besar atas dirimu, sute. Akan tetapi kalau memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan...”

“Aku tidak mau membuatmu lelah, suheng. Biarlah aku yang mengamblinya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu.”

“Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapapun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut...”

Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tidak nampak perubahan se­suatu. Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suhengnya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cu­kup bagi kakek itu untuk menaruh curiga kepada sutenya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, copat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh ke­nyataan bahwa dia dapat mengikuti su­hengnya itu dengan amat mudahnya, ber­loncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah guha yang berada di lereng. Di depan guha besar sekali, kakek itu berhenti dan ber­kata, “Di dalam guha inilah kusembunyikan kitab-kitab itu.”

“Biar aku yang mengambilnya, su­heng!”

“Ihh, jangan! Berbahaya sekali. Kau­tunggu di sini, biar aku yang mengambil­nya.” Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam guha. Han Houw menanti di luar guha sambil me­nahan senyum. Perduli amat dia, malah kebetulan kalau kakek itu yang meng­ambilkan untuknya, pikirnya.

Tak lama kemudian nampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika kakek itu dari tempat gelap memandang wajah sutenya dan melihat sinar mata sutenya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut. Pada saat itu, terdengarlah suara orang dari jauh, “Ouw­yang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!”

“Celaka, ada orang datang! Kita tun­da dulu urusan kita ini!” kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam guha yang gelap. Han Houw membalikkan tubuhnya dengan cepat memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi belum nampak orang yang datang. Dia merasa ada angin menyambar dari dalam guha dan cepat dia menoleh. Kiranya suhengnya sudah berada di sampingnya.

“Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!” kata Ouwyang Bu Sek. Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi menemui suhengnya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suhengnya menuju kembali ke puncak, ke tempat pertapaan suhengnya, di mana banyak terdapat guha-guha itu.

Mereka tidak menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, “Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang telah menghadap!”

Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, “Aku telah menanti di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!”

Dari bawah puncak nampaklah bayangan dua orang berlari naik, dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping. Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang inipun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa betapapun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan dengan melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.

Melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di depannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata, “Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan.”

Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, “Kalian berdua berdirilah!”

Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, “Semalam locianpwe telah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami telah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami?”

Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis ketika dia membentak, “Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sejak dahulu sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!”

Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling pandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar, “Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apalagi bersikap tidak jujur!”

“Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?”

Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.

“Kami... kami tidak tahu...” Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.

“Ha-ha-ha, berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, sejak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?” Kakek itu berkata mengejek.

Dua orang itu terkejut dan keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran muda itupun memandang kepada mereka dengan sinar mata yang dimikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan kepada sang pangeran itu.

“Tidak, mereka bukan pemberontak buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!”

“Hemm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?” kakek itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.

Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, “Ouwyang locianpwe, kami bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan menentukan? Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?”

Mata yang lebar itu makin terbelalak. “Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?” Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya, kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.

Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia telah memperoleh akal, maka dengan wajah terang dia lalu menjawab, “Ouwyang locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai sahabat-sahabat baik semenjak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu, nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Setelah kami menerima budi Lie-lihiap yang menyelamatkan kami tentu saja kami menganggap keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami.” Tentu saja ucapan itu ditujukan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta kasih mesra antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.

Akan tetapi, Ouwyang Bu Sek membanting kakinya yang telanjang. “Kalian bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Sebaliknya, aku memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!”

“Ouwyang locianpwe...”

“Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?”

“Kami tidak tahu, locianpwe, bahkan andaikata kami tahu juga, kami tidak mengatakan kepada siapapun juga. Kami bukanlah pengkhianat-pengkhianat yang suka membikin celaka orang-orang gagah, apalagi kami telah berhutang budi. Lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!” jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. “Setan! Kalau begitu kalian sudah bosan hidup!” Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela diri. Biarpun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu amat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos siang-kiam dari sarung pedangnya, melintangkan sepasang pedang itu di depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan sikap gagah.

“Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh orang yang tidak melawan!” Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan.

Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang dihantamkan ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya mendatangkan angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keraspun akan hancur tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak kelimis.

“Takkkk!” Toya besi itu terpental, seolah-olah mengenai bola baja yang jauh lebih keras daripada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas.

Tong Siok terkejut dan juga penasaran, toyanya diputar cepat dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya selalu membuat toya itu sendiri terpental!

“Heh-heh, terima kasih untuk pijatan-pijaten itu, memang tubuhku beberapa hari ini pegal-pegal minta dipijati!” Ouwyang Bu Sek berkata.

Pada saat toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah menerjang dengan siang-kiamnya. Nampak sinar berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah leher dan pinggang.

“Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pokaianku!” Ouwyang Bu Sek berseru, dan tiba-tiba tubuhhya mencelat ke atas terbebas dari guntingan sepasang pedang itu, kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang ludah.

“Cuhh! Cuhhh!” Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali. Biarpun Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dan keduanya merupakan orang-orang pandai yang ditakuti karena memang mereka telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek! Biarpun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang-kadang berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana-sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawan itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka terpental dan setlap tamparan harus mereka elakkan karena tidak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!

Setelah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, “Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Bersiaplah untuk mampus!”

Tiba-tiba tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka.

“Plakkk! Wuuuttt... cring-cringgg!” Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula sepasang siang-kiam itu! Dengan lagak seperti anak kecil main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar suara nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong dan dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Sedangkan toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat.

“Heh-heh, kalian masih belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu?” tanya Si Cebol yang amat lihai ini. Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengar Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.

“Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!”

“Kami lebih baik mati daripada mengkhianati mereka!” sambung Tong Siok. Biarpun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir.

“Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!” Ouwyang Bu Sek sudah mengepal kedua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.

“Tidak ada pilihan lain bagi kami!” kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

“Keparat, kalau begitu mampuslah!”

Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan main. Gu Kok Ban dan Tong Siok sudah siap-siap untuk membela diri mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, bahkan terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang.

“Suheng, jangan bunuh mereka!” teriak pemuda ini sambil berdiri di antara mereka, bertolak pinggang menghadapi kakek cebol itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sutenya itu. Sutenya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk dapat menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya!

“Sute! Biarpun engkau seorang pangeran, engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!” bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sutenya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.

“Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!” jawab Han Houw dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan sinar aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. “Aku adalah seorang pangeran, maka tidak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapapun, termasuk engkau!”

“Eh, sute...!” Ouwyang Bu Sek hampir tidak percaya sutenya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, “Ingatlah, justeru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!”

“Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasihatmu!”

“Sute! Bagaimana engkau berani blcara seperti itu terhadap aku? Aku suhengmu, juga aku pembimbingmu...”

“Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!” bentak Han Houw.

Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apalagi yang menghinanya itu adalah sutenya, bahkan seperti juga muridnya sendiri!

“Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang telah kaupelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!” bentak Ouwyang Bu Sek dan seperti seekor katak melompat, dia telah menyerang Han Houw. Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak daun pohon yang rontok, sedangkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seolah-olah menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu.

Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri setelah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi “pagar” hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannyap mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan.

“Dess...!” Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting dan tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat cepat melompat bangun lagi, dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek yang juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain mampu menahan serangannya, bahkan telah membuatnya terpelanting, tanda bahwa pemuda ltu telah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!

Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali seperti udang direbus, dan sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah dan sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.

“Sekarang aku akan membunuhmu!” bentaknya dan suaranya yang agak parau saking marahnya itu mengandung getaran yang membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil. Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan kini bahkan berani menentang suhengnya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tidak berani lancang mencampuri, apalagi mereka tahu sekarang bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, maka bantuan merekapun tidak akan banyak gunanya. Oleh karena itu, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu telah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak da membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.

“Blarrrrr...!” Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh kedua orang ketua itu bahwa batu besar itu hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu! Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!

Kini Ouwyang Bu Sek menjadi semakin marah. Banyak batu-batu dilontarkan, ditendang ke arah sutenya, namun dengan sikap tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu dengan tendangan atau hantaman kedua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan. Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali karena dia hanya menggunakan ujung-ujung jarinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat, seperti seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, namun selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan diapun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan.

“Buk! Bukk!” Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada, akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu! Padahal, Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi. Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suhengnya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan.

Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat melihat pukulannya tidak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya.

Han Houw mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan kedua kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu tidak mempunyai nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), karena dia menganggap dirinya lebih lihai daripada naga! Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka diapun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud agar ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersamadhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.

Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suhengnya itu selama lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek, akan tetapi semua pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak membuat lawannya roboh, bahkan agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh! Maka dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini tiba-tiba meloncat jauh ke belakang sambil berseru, “Tua bangka, kalau engkau berani hayo kaukejar aku!”

OUWYANG BU SEK sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia tidak mampu merobohkan sutenya ini! Sungguh hal yang amat mengejutkan dan memalukan, apalagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang!

Rusaklah nama besarnya, apalagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentu dia akan ditertawakan untuk ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sutenya sendiri itu! Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali sehingga sebentar saja mereka sudah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di sebelah barat.

Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa tertarik sekali, tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanyapun lalu lari mengejar karena mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu.

Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka melihat pangeran itu telah bertanding lagi dengan amat seru dan hebatnya melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu telah berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek. Itulah ilmu silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan main. Setelah dalam keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki dan tangan pangeran itu jauh lebih besar daripada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biarpun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting.

Perkelahian itu seru bukan main. Terdengar kakek tua renta itu sudah terengah-engah karena dia merasa lelah sekali. Betapapun juga, dia harus mengakui bahwa sutenya ini memiliki ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui teorinya belaka, sedangkan dia sama sekali tidak pernah ikut melatihnya sehingga ketika sekarang sutenya mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya tahannya banyak berkurang, terutama sekali napasnya. Dia sudah mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sutenya itu masih segar dan serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini terkena pukul­annya sehingga pemuda itupun menderita luka-luka yang biarpun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya makin lemah. Setiap pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek yang terlindung kekebalan hebat itu, sebalik­nya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita, maka kalau di­lanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suhengnya sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu lengah. Setelah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak kakek itu mendekati jurang. Setelah memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua Sin-ciang Tiat-touw-pang yang nonton sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka menutupi kedua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak.

Dan tiba-tiba tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.

“Blukkk!” Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang.

“Hukkkk... crotttt...!” Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu, Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suhengnya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Biarpun dari tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi­ bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.

Han Houw menarik napas lega dan baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang amat seru itu tadi.

“Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!”

“Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi.”

Han Houw membalikkan tubuhnya me­mandang. Dua orang ketua itu telah berlutut menghadapnya dengan sikap hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggapnya sebagai manusia sakti sukar dicari tandingannya, bahkan Lam-hai Sam-lo sendiripun pernah kalah oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju.

“Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian.”

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak mengira, bahkan hampir tidak dapat per­caya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini telah berhasil memiliki ilmu kepandaian sehebat itu sehingga mampu mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.

Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, “Bagaimana kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si? Di manakah dia sekarang?”

Berseri wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu. “Sudah lama hamba tidak berjumpa dengan Lie-lihiap, pange­ran. Akan tetapi yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan meng­hadap paduka,” kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.

Senang hati Han Houw mendengar ini, kemudian dia bertanya, “Dan benarkah seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian?”

Terkejut hati dua orang itu men­dengar pertanyaan ini, akan tetapi ketika mereka memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak kelihatan marah sehingga hati me­reka menjadi besar kembali.

“Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu lalu pindah.”

“Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pem­berontak-pemberontak yang menjadi buru­an pemerintah?”

Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, kemudian dia menghadapi pangeran itu sambil berkata cepat, “Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya mereka itu bukan pemberontak, pangeran. Justeru untuk inilah maka Lie-lihiap pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijak­sanaan paduka untuk menolong empat orang pendekar itu agar terbebas dari tuduhan memberontak. Mereka itu hanya difitnah, karera semua orang kang-ouw­pun tahu belaka betapa semenjak dahulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang ga­gah yang selalu membantu pemerintah membasmi para pemberontak.”

Disebutnya nama Lie Ciauw Si mem­buat wajah Han Houw kembali nampak berseri sehingga melegakan hati dua orang itu. Kini dengan halus Han Houw bertanya, “Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?”

Kembali Gu Kok Ban memandang khawatir. “Pangeran... seorang di antara mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap...”

Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. “Aku tahu, dan aku­pun bertanya untuk pergi menemui me­reka dengan baik-baik dan mengusahakan kebebasan untuk mereka...”

“Ah, terima kasih, pangeran...!” Mereka berdua berkata dengan girang sekali.

“Katakanlah, di mana adanya mereka kini?”

“Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba dan pindah ke dalam sebuah dusun di lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana, sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa melarikan diri lagi...” ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka.

“Ke mana mereka melarikan diri? Di mana mereka sekarang?”

“Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik, yaitu para anggauta yang hamba suruh mencari keterangan, hamba...”

“Suheng...!” Tiba-tiba terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya, memandang kepada pange­ran itu dengan keraguan yang mulai tim­bul.

Han Houw mengerutkan alisnya, dan menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar berkilat. “Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tidak percaya kepadaku? Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!”

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya, kini tidak perduli lagi akan pandangan mata sutenya yang masih merasa khawatir itu. “Menurut keterangan para penyelidik, mereka melarikan diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou...” Tiba-tiba sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.

“Desss...!” Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.

Wajah Tong Siok menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, “Manusia iblis berhati keji! Ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suhengku, dan hatimu palsu. Manusia macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!”

Han Houw tersenyum. “Engkaulah yang akan pergi ke neraka!” katanya sambil melangkah maju hendak memukul. Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat dan dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan kepala lebih dulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau.

Serudukan kepalanya ini tidak boleh dipandang ringan, karena ini merupakan serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan batu!

Namun, Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar, bahkan tidak mengelak, melainkan berdiri tegak sambil tersenyum mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang menyeruduk ke arah perutnya itu.

“Desss...!” terdengar suara keras seperti benda keras pecah dan tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu terlempar ke belakang, langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke dasar jurang, dia telah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu.

Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa menyesal telah mem­bunuh tiga orang itu. Pertama, dia harus membunuh Ouwyang Bu Sek untuk me­nguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke dua, dia harus mem­bunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka ini telah menyaksikan betapa dia telah membunuh suheng sendiri sehingga kelak mereka dapat menyebar berita yang amat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah. Mereka itu patut dihukum!

Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu telah tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw lalu membalikkan tubuh­hya, meninggalkan puncak bukit itu me­nuju ke guha di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain itu.

Guha yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalam­nya terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani me­masukinya. Namun dengan kepandaiannya yang tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah masuk dan dengan hati-hati dia menggerakkan kedua kaki­nya, perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang gelap. Kalau suhengnya dapat memasuki guha itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia tidak?

Tiba-tiba dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri dan secepat kilat dia menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri dan mengerahkan sin-kang di tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan telah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia telah menginjak alat rahasia yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja yang berani masuk guha dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu!

Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus dari celah terbuka di atas guha. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti hitam di sudut ruangan guha itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang, namun dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan waspada dia melangkah terus mendekati tempat peti itu terletak.

Han Houw lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa peti itu ke luar guha. Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung dia tadi telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sin-kangnya, kalau tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus karena hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu.

“Sssssttt...!” Sinar merah menyambar dan seekor ular merah telah meloncat keluar dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, sekali kerahkan tenaga pada kedua jari itu terdengar suara “krekk” dan tulang leher ular itupun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang telah dibukanya.

“Jahanam!” Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong! Dia merasa tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam guha, mencari-cari. Namun guha itu kosong tidak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam guha. Namun hasilnya nihil, tidak ada apapun di dalam guha itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai berkeping-keping, namun juga se­lain ular merah yang kini telah mati, peti itu tidak berisi apa-apa lagi.

“Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!” Dia memaki-maki dan mencari-cari ke­luar masuk semua guha di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah ki­tab kuno itu ternyata hilang! Tentu di­sembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat, akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya kitab-kitab itu?

Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak nampak oleh mereka, Han Houw mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek dan akibatnya mereka bertiga tewas semua atau mati sampyuh. Lebih baik begitu, pikirnya dan diam-diam dia meninggalkan puncak pe­gunungan itu.



Kuil di puncak bukit itu amat besar, dikelilingi pagar tembok tebal yang berlapis-lapis seperti benteng saja kuatnya. Memang, kuil Siauw-lim-si adalah sebuah kuil yang amat besar dan kokoh kuat lagi kuno sekali. Kuil Siauw-lim-si amat terkenal semenjak jaman dahulu karena inilah yang menampung para pendeta Buddha dari See-thian (India), dan kuil ini pula yang menyebarluaskan pelajaran Agama Buddha ke seluruh Tiongkok. Selain sebagai tempat perkumpulannya para tokoh Buddha dan menjadi pusat keagamaan itu, juga Siauw-lim-si mempunyai nama yang amat terkenal sebagai perkumpulan agama yang menghasilkan banyak sekali ahli-ahli silat yang pandai, dan nama Siauw-lim-pai (partai Siauw­-lim) amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai gudang ilmu silat dan para pendekar Siauw-lim-pai memiliki ilmu silat murni yang amat kuat dan disegani.

Bahkan sumber dari segala ilmu silat, menurut dongeng dari mulut ke mulut, berasal dari kuil Siauw-lim-si, yaitu ketika Tat Mo Couwsu, seorang pendeta Agama Buddha menciptakan gerakan-gerakan yang semula hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh namun kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan ilmu bela diri yang amat hebat. Sumber ilmu menggerakkan tubuh sebagai seni bela diri ini kemudian berkembang luas sekali, mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan keadaan setempat dan tumbuhlah bermacam-macam ilmu silat yang sebetulnya bersumber satu. Namun, yang dianggap paling aseli sampai sekarang adalah ilmu silat yang diajarkan oleh Siauw-lim-pai sehingga nama ini selalu didengung-dengungkan sebagai gudangnya ahli silat yang paling kuat.

Memang patutlah Kuil Siauw-lim-si itu kalau dikabarkan sebagai tempat orang-orang pandai. Bangunannya kuno dan kokoh kuat sehingga menimbulkan suasana keramat dan angker. Apalagi karena sebagai pusat keagamaan di kuil itu setiap hari diadakan upacara-upacara keagamaan dan hio mengepul terus setiap saat sehingga dari jarak jauh saja sudah tercium bau harum dupa, maka suasana menjadi semakin agung dan mendatangkan perasaan hormat akan sesuatu yang penuh rahasia bagi manusia.

Tidak pernah sunyi kuil besar itu. Kalau tidak suara orang membaca doa atau membaca ayat-ayat suci dari kitab, tentu ada nyanyi-nyanyian pujian. Ini di bagian kuilnya. Sedangkan di bagian belakang atau samping kanan kiri, selalu terdengar bentakan-bentakan orang yang berlatih silat! Kompleks kuil itu memang luas sekali. Kuilnya sendiri berada di tengah depan sebagai bangunan induk, akan tetapi di kanan kiri dan belakang terdapat bangunan-bangunan kecil lainnya yang menjadi tempat tinggal para hwesio dan para murid Siauw-lim-pai. Tidak kurang dari lima puluh orang pendeta dant murid-murid Siauw-lim-pai yang se­tiap hari berada di tempat itu. Sedang­kan murid-murid Siauw-lim-pai yang su­dah keluar dari tempat penggemblengan ini dan tersebar di seluruh negeri berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang. Ada yang mengepalai kuil-kuil kecil, ada yang menjadi pendeta-pendeta pengembara untuk menyebarkan keagamaan, ada pula yang menjadi orang-orang biasa, pedagang, sasterawan, buruh-buruh kasar, petani atau nelayan. Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang tidak masuk menjadi hwesio dan tidak bertugas me­ngembangkan agama, melainkan terikat oleh peraturan Siauw-lim-pai yang meng­haruskan para murid itu untuk hidup sebagai orang-orang gagah yang men­junjung tinggi nama baik Siauw-lim-pai dan dilarang keras mempergunakan ke­pandaiannya yang didapatkan dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan. Dan memang pada waktu itu jarang sekali menemukan seorang murid Siauw-lim-pai menjadi penjahat. Kalau sampai terdengar seorang murid Siauw-lim-pai menyeleweng, maka perguruan ini sudah pasti akan mengutus murid yang lebih pandai untuk menangkap dan menghukum, kalau perlu membunuh murid yang me­nyeleweng. Sedikitnya, seorang murid yang menyeleweng tentu akan dikeluar­kan dari perguruan itu, tidak diakui se­bagai murid lagi dan kalau ketahuan mempergunakan ilmu dari Siauw-lim-pai untuk melakukan kejahatan, tentu akan ditentang dan dimusuhi.

Karena peraturan yang keras inilah maka nama Siauw-lim-pai amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Namanya tetap bersih, bahkan dalam pergolakan-pergolakan antara golongan-golongan yang memperebutkan kekuasaan di kota raja, Siauw-lim-pai selalu men­jauhkan diri dan tidak mau tersangkut.

Pagi hari itu cerah sekali. Matahari berseri di angkasa timur, melimpahkan cahaya kehidupan ke permukaan bumi. Di pagi hari seindah itu nampak wajah para hwesio yang serius namun berseri, seolah-olah mereka ini dapat merasakan ke­cerahan pagi yang sehat itu. Beberapa orang hwesio hilir-mudik melakukan tugas pekerjaan masing-masing di kuil, ada yang membersihkan semua perabot dan alat sembahyang, ada yang membersihkan lantai, menyapu halaman depan, pekarang­an, menyirami bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam di sekitar bangunan, ada yang sibuk menimba air dari sumber di bawah puncak dan me­mikul air itu ke dalam kuil melalui pintu samping agar tidak membasahi lantai kuil, ada pula hwesio-hwesio tingkatan tua yang sepagi itu sudah melakukan upacara sembahyang, ada pula yang membaca kitab dengan suara yang meng­getar penuh penghambaan diri, akan tetapi ada pula yang sedang bersamadhi di sebelah dalam, mengheningkan cipta, sama sekali tidak bergerak seolah-olah telah menjadi arca seperti yang banyak terdapat di dalam kuil. Di samping kesibukan yang tenang dan tenteram ini, terdengar pula suara murid-murid yang sedang berlatih silat, bertelanjang dada membiarkan sinar matahari memandikan tubuh mereka karena cahaya itu amat berguna bagi kesehatan tubuh mereka. Ada yang bergerak silat dengan pengerahan tenaga sehingga otot-otot tubuh mereka menggembung dan nampak kuat bukan main penuh kejantanan, ada pula yang gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari dan agaknya sama sekali tidak mengandung tenaga. Memang Siauw-lim-pai ini gudang ilmu silat, dari ilmu silat yang sifatnya keras sampai yang sifatnya lunak, dan ilmu-ilmu silat yang gerakannya diilhami oleh gerakan binatang-binatang buas.

Setiap pagi para anak murid tingkat terendah tentu berkumpul di taman itu, di mana terdapat lapangan yang luas dan memang diadakan untuk tempat berlatih silat di bawah sinar matahari. Di sebelah dalam terdapat pula ruangan belajar silat, yaitu di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan di sini diajarkan jurus-jurus yang lebih tinggi dan di lian-bu-thia ini lengkap pula terdapat senjata-senjata yang delapan belas macam banyaknya.

Pagi hari itu, seperti biasa, sudah mulai nampak beberapa orang tamu yang datang melakukan sembahyang. Bermacam-macam keperluan pribadi masing-masing yang datang bersembahyang. Ada yang bermaksud untuk minta sesuatu, agar sesuatu yang mereka citakan akan segera terkabul, di antaranya, ingin mempunyai anak, ingin segera memperoleh jodoh, ingin agar dagangannya laris, ingin agar mendapatkan kenaikan pangkat, ingin agar ujiannya lulus, dan sebagainya. Ada pula yang datang dengan wajah berseri untuk membayar kaul seperti yang dijanjikan. Banyak di antara mereka para peminta-minta ini yang dalam permintaannya selalu diberikuti janji-janji kepada yang mereka minta, janji-janji bahwa kalau sampai permintaan mereka berhasil, mereka akan melakukan ini atau itu, pendeknya melakukan sesuatu untuk menyenangkan yang diminta, sebagai semacam imbalan!

Memang demikianlah keadaan hidup kita semenjak kuno dahulu sampai pada jaman modern sekarang ini! Segala macam hubungan kita dengan apapun dan dengan siapapun, selalu didasari jual beli, rugi untung seperti itulah! Tidak ada lagi sinar cinta kasih di dalam batin kita, yang ada hanyalah perhitungan jual beli seperti itu. Kita bersikap baik kepada sesama manusia hanya dengan dasar jual beli pula, kita baik sebagai pemberian sesuatu untuk memperoleh kebaikan pula yang lebih besar daripada yang kita berikan sehingga hal itu akan menguntungkan! Kita menyembah seseorang atau sesuatu yang kita anggap lebih tinggi hanya dengan dasar keuntungan ini pula! Kita menyembah-nyembah sesuatu yang baik atau yang kita anggap baik kepada kita, dan kita mengutuk atau membenci sesuatu yang kita anggap tidak baik kepada kita! Inilah kenyataannya dalam kehidupan kita yang serba palsu ini. Sinar matahari itu memberkati dan menghidupkan bagi siapanpun juga, tanpa memilih apakah yang menerima itu baik atau buruk, tinggi atau rendah, agung atau hina! Juga sinar matahari itu mendatangkan panas terhadap siapapun juga, dari raja sampai pengemis tanpa pandang bulu! Akan tetapi, kita kehilangan sinar cinta kasih itu! Kita hanya suka dan cinta kepada orang-orang tertentu saja, yang menyenangkan kita, yang kita anggap baik kepada kita. Sebaliknya kita membenci kepada orang-orang tertentu yang kita anggap merugikan lahir atau batin kepada kita.

Di antara para tamu yang memasuki kuil dengan membawa alat-alat sembahyang, terdapat seorang pemuda tampan. Pakaiannya sudah kumal, tanda bahwa lama dia tidak berganti pakaian, namun jelas nampak bahwa pakaian itu adalah pakaian yang mahal dan indah, juga topinya dan jubahnya yang terbuat dari kulit binatang berbulu itu menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang hartawan. Tidak seperti para tamu lainnya, pemuda ini tidak membawa apa-apa, bertangan kosong saja dan dia memasuki halaman kuil dengan langkah-langkah tenang dan sikap yang agung, bahkan dia tidak perdulian terhadap orang-orang lain yang memasuki halaman itu.

Pemuda ini adalah Ceng Han Houw. Mau apa pangeran ini muncul di Kuil Siauw-lim-si? Setelah Ceng Han Houw berhasil membunuh Ouwyang Bu Sek dan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, memang tadinya dia hendak cepat-cepat pergi ke kota raja kembali ke istana yang sudah terlalu lama ditinggalkannya itu, apalagi dia sudah merasa rindu sekali kepada Lie Ciauw Si dan hendak mencari dara yang dicintainya itu. Akan tetapi, di samping itu timbul keinginannya untuk mulai memperkenalkan diri kepada dunia kang-ouw bahwa dialah satu-satunya jagoan tanpa tanding di dunia ini! Dia ingin menguji kepandaian para tokoh kang-ouw dan hatinya belum puas kalau dia tidak dapat merobohkan mereka semua satu demi satu sehingga akhirnya dunia akan mengakui bahwa dialah juaranya! Dan untuk menguji diri sendiri, juga sebagai langkah pertama, yang paling tepat adalah mendatangi Siauw-lim-pai dan menantang ketuanya untuk mengadu ilmu silat! Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan mercu suar bagi dunia persilatan, maka menjatuhkan Siauw-lim-pai tentu akan membuat namanya terkenal dan dunia persilatan akan geger karenanya. Jadi kedatangannya pagi hari ini, bersama dengan para tamu yang hendak bersem­bahyang ke kuil itu, adalah untuk mencari dan menantang ketua Siauw-lim-pai untuk mengadu ilmu!

Melihat pemuda ini keadaannya lain daripada para tamu yang sudah biasa bersembahyang, tidak membawa apa-apa, dan kelihatan mencari-cari dengan pan­dang matanya, seorang hwesio tinggi kurus yang bertugas melayani para tamu cepat menghampirinya dan memberi hor­mat sambil bertanya, “Apakah kongcu hendak bersembahyang ataukah ada ke­perluan lain?”

Han Houw memandang wajah hwesio ini dan melihat bahwa pada wajah itu terdapat ketenangan besar. Dia merasa kagum. Hwesio ini tentu kedudukannya rendah saja namun ada ketenangan yang mengagumkun pada dirinya. Maka diapun cepat membalas penghormatan itu dan berkata, “Saya datang bukan untuk bersembahyang, melainkan untuk minta bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai.”

Hwesio yang usianya tiga puluh tahun itu kelihatan tercengang. Jarang ada orang datang dengan maksud bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai, apalagi yang datang hanya seorang pemuda seperti ini, bukan seorang tokoh kang-ouw yang ter­kenal. Dia memandang penuh sangsi, akan tetapi akhirnya menjawab juga, “Kongcu, tidak mudah untuk dapat bertemu dengan ketua, untuk itu kongcu harus mendaftar­kan diri dan menyebutkan nama, tempat tinggal dan maksud kedatangan kongcu.”

Han Houw mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. Kadang-kadang dia lupa bahwa tidak semua orang tahu bahwa dia adalah seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi sehingga sikap seorang yang kurang menghormatinya mendatangkan perasaan tidak senang di dalam hatinya. Ingin dia mem­bentak dan memaki hwesio itu, akan tetapi dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, bahwa dia telah memasuki guha naga dan harimau, maka dia harus bersikap hati-hati.

“Hwesio, katakanlah bahwa aku Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja ingin bertemu dengan ketua Siauw-lim-pai.”

Biarpun ucapan ini dikeluarken dengan suara haluss namun seketika wajah hwesio itu menjadi pucat, ketenangannya membuat sejenak dia hanya melongo memandangi tamu itu dari kepala sampai ke kaki, agaknya sukar baginya untuk percaya, akan tetapi juga timbul semacam perasaan gelisah dan takut kalau-kalau pemuda ini benar-benar seorang pangeran dan dia telah bersikap kurang selayaknya! Kalau benar pangeran, meng­apa datang sendirian tanpa pengawal dan pakaiannya sudah agak kotor begitu? Mungkin dalam penyamaran, pikir hwesio itu dan karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap, maka dia hanya memberi hormat dengan membungkuk dan berkata dengan suara ragu-ragu.

“Baiklah, akan pinceng laporkan ke dalam... silakan duduk menanti di ruang tamu...”

Han Houw mengangguk, mengikuti hwesio itu pergi memasuki ruang tamu, lalu duduk di atas sebuah bangku menanti kembalinya hwesio tadi yang ber­gegas pergi untuk melaporkan kedatangan pemuda yang mengaku pangeran itu.

Han Houw memandangi tulisan-tulisan dengan huruf-huruf indah, dan gagah, juga lukisan-lukisan yang menghias dinding ruangan tamu itu. Di istana kaisar dia sudah melihat banyak lukisan dan tulisan indah, namun baru sekarang dia melihat lukisan dan tulisan dan suasana yang kesemuanya membayangkan kegagahan dan juga kedamaian seperti di ruangan tamu itu. Diam-diam dia kagum. Tidak bohonglah suara di dunia kang-ouw yang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya ilmu silat, sastera dan agama. Makin besar keinginan hatinya untuk menundukkan ketua Siauw-lim-pai, karena sekali dia berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai, namanya tentu akan menjulang tinggi sekali!

Akan tetapi terlalu lama hwesio tadi pergi. Kesabaran Han Houw hampir habis. Dia tidak tahu betapa berita tentang kedatangannya itu menimbulkan kehebohan di sebelah dalam kuil, di antara para pimpinan Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai adalah Thian Khi Hwesio, seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih. Akan tetapi kakek ini tidak banyak mencampuri urusan dari kuil karena dia sibuk mengembangkan agama Buddha dengan jalan merantau, mendatangi kuil-kuil Siauw-lim-si di seluruh negeri, selain untuk mengamati perkembangan agama juga untuk melihat sendiri agar tidak ada anak murid Siauw-lim-si yang menyelewengkan pelajaran. Dan urusan di kuil, baik mengenai agama maupun mengenai pelajaran sastera, silat dan hubungan dengan orang luar, diserahkan kepada tiga orang murid utamanya.

Yang pertama adalah Thian Sun Hwesio, yang bertubuh gemuk seperti patung Ji-lai-hud, dengan muka yang bulat lebar, sepasang mata yang lebih banyak menunduk setengah terpejam, gerak-gerik yang halus pendiam. Sesuai dengan sifatnya, Thian Sun Hwesio ini mewakili suhunya untuk mengepalai bagian keagamaan, selain menjadi ketua kuil juga dialah yang menjadi guru besar pelajaran agama. Yang ke dua adalah Thian Bi Hwesio, berusia lima puluh tahun, beberapa tahun lebih muda dibandingkan Thian Sun Hwesio, dan hwesio ini bertubuh menyeramkan, tinggi besar dan berkulit hitam, nampak kokoh kuat seperti batu karang, dengan mata yang lebar memandang tajam, sikapnya kaku dan kata-katanya parau nyaring, wataknya jujur dan penuh disiplin. Hwesio inilah yang diserahi tugas mengajar ilmu silat kepada para murid. Adapun hwesio ke tiga adalah Thian Bun Hwesio, berusia lima puluh tahun pula, bertubuh tinggi kurus, sikapnya ramah sekali dan gerak-geriknya halus. Hwesio ini mengepalai bagian pelajaran sastera dan dia pula yang bertugas menerima tamu dan berhubungan dengan orang luar.

Sebagai murid-murid utama dari Thian Khi Hwesio, tentu saja ilmu kepandaian silat dari tiga orang hwesio ini sudah tinggi dan mereka itu memiliki keistimewaan masing-masing. Di samping tiga orang hwesio sebagai murid utama ini tentu saja masih terdapat belasan orang hwesio pandai yang setingkat lebih rendah daripada mereka bertiga, namun bagi orang luar, setiap orang hwesio Siauw-lim-si, dari tukang kebun sampai tukang membersihkan lantai, rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.

Ketika hwesio yang tadi menerima Han Houw melapor ke dalam, para hwesio yang tadinya seperti biasa dalam keadaan tenang itu menjadi panik. Siapa orangnya tidak menjadi panik kalau mendengar bahwa pangeran istana kerajaan menjadi tamu secara begitu tiba-tiba? Seorang pangeran adalah seorang yang amat tinggi kedudukannya, tidak boleh disamakan dengan pembesar-pembesar biasa setempat. Maka para hwesio itu langsung melapor kepada Thian Bun Hwesio. Hwesio tinggi kurus ini juga terkejut dan karena Thian Sun Hwesio pada saat itu sedang bersamadhi dan tidak boleh diganggu, maka Thian Bun Hwesio lalu mengajak suhengnya, Thian Bi Hwesio yang tinggi besar untuk menemaninya menyambut tamu agung itu.

Han Houw sudah hampir bilang sabar dan dia merasa jengkel juga ketika akhirnya pintu sebelah dalam itu terbuka dan muncul dua orang hwesio tua dari dalam. Dia tinggal duduk saja dengan sikap angkuh, matanya yang mencorong memandang kepada dua orang hwesio itu. Thian Bun Hwesio dan Thian Bi Hwesio juga memandang dan diam-diam mereka terkejut melihat mata yang mencorong dari pemuda itu. Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi tentu saja mereka mengerti apa artinya sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu dan mereka terheran-heran, juga menduga-duga. Mungkinkah ada seorang pangeran istana yang memiliki sin-kang sedemikian kuatnya sehingga kekuatan itu sampai nampak pada sepasang matanya yang mencorong seper­ti mata naga? Ataukah hanya kebetulan saja?

Dua orang hwesio itu lalu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, dan dengan suara halus dan muka ramah Thian Bun Hwesio lalu berkata, “Harap paduka sudi memaafkan pinceng sekalian karena tidak tahu akan kunjungan yang terhormat ini, maka pinceng terlambat menyambut dan tidak ada persiapan. Tentu saja pinceng sekalian merasa ter­kejut dan heran mendengar kunjungan seorang pangeran yang mulia tanpa pe­ngiring dan berita terlebih dahulu.” Da­lam kata-kata ini terkandung pertanyaan-pertanyaan karena keganjilan kunjungan itu.

Han Houw juga mengerti akan ke­anehan kunjungannya sebagai seorang pangeran ini, akan tetapi dia tidak perduli dan dia langsung bertanya, “Siapakah di antara ji-wi locianpwe ini yang men­jadi ketua Siauw-lim-pai? Aku hanya ingin bertemu dan bicara kepadanya.”

Dua orang hwesio itu saling lirik. Pemuda ini menyebut mereka “locianpwe”, sebutan yang biasanya hanya dilakukan di kalangan persilatan sebagai tanda meng­hormat orang yang tingkat tinggi, orana-orang biasa tentu akan menyebut mereka “losuhu” saja, sebutan bagi para pendeta. Hal ini tentu saja makin mem­bingungkan dan menimbulkan banyak dugaan. Apakah pangeran ini seorang ahli silat? Melihat sepasang matanya yang mencorong dan melihat sebutan itu, sa­ngat boleh jadi.

Thian Bun Hwesio menjura dengan penuh hormat. “Harap paduka sudi memaafkan kami, pada saat ini, suhu kami tidak berada di sini.”

“Bukankah ketua Siauw-lim-pai bernama Thian Khi Hwesio? Ke manakah beliau pergi?”

Tidak mengherankan kalau orang mengenal nama ketua Siauw-lim-pai atau guru mereka. Akan tetapi pemuda yang mengaku pangeran ini berkeras hendak menemui guru mereka, inilah yang mengherankan. Akan tetapi, benarkah pemuda ini seorang pangeran? Hal ini harus dibuktikannya lebih dulu.

“Suhu Thian Khi Hwesio sedang meng­adakan perjalanan ke selatan, akan tetapi setahu kami, suhu tidak pernah berurusan dengan fihak istana kerajaan. Oleh karena itu, kalau memang ada urusan dari istana, kiranya paduka dapat mengurusnya de­ngan pinceng sebagai murid dan sebagai wakilnya. Pinceng Thian Bun Hwesio dan ini suheng Thian Bi Hwesio adalah murid-murid beliau yang sudah diberi wewenang untuk mewakili beliau mengurus segala sesuatu atas nama Siauw-lim-pai. Tidak tahu ada urusan penting apakah seorang pangeran kerajaan saperti paduka sampai datang mencari suhu?”

Ucapan yang panjang lebar itu jelas berbau kecurigaan namun dia tidak per­duli. Dengan nada suara dingin dia ber­kata, “Aku Pangeran Ceng Han Houw adalah adik Kaisar Ceng Hwa. Ji-wi locianpwe mau percaya atau tidak ter­serah. Akan tetapi kedatanganku ini tidak membawa urusan kerajaan, melainkan urusan pribadi dengan ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio.”

Lega rasa hati Thian Bun Hwesio mendengar ini. Tadinya dia khawatir kalau-kalau ada urusan dengan pemerintah dan ini tentu akan melibatkan Siauw-lim-pai dalam urusan yang amat tidak enak. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini datang untuk urusan pribadi dan melihat keadaan dan sikapnya, sangat boleh jadi kalau pangeran ini hendak minta belajar silat dari ketua Siauw-lim-pai! Tentu itulah kehendaknya, karena memang tidak jarang ada putera-putera bangsawan, bahkan dari istana, yang datang untuk mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Sikapnya menjadi makin ramah karena kelapangan hatinya.

Pada saat itu, seorang hwesio yang memang tadi telah dipesan, datang membawa cangkir-cangkir teh yang dihidangkannya ke atas meja. Thian Bun Hwesio dengan ramah mempersilakan tamunya minum. Kemudian dia berkata dengan wajah berseri, “Kalau paduka mempunyai urusan pribadi, dapat paduka sampaikan kepada pinceng. Andaikata ada suhu di sinipun, tentu pelaksanaannya akan suhu berikan kepada pinceng. Ada keperluan apakah gerangan yang membuat paduka jauh-jauh datang ke Siauw-lim-si kami?”

Mendengar ini, Han Houw yang telah minum teh yang dihidangkan itu, kini memandang kepada mereka berdua penuh perhatian, terutama Thian Bi Hwesio yang bertubuh tinggi besar dan bersikap keren dan pendiam itu. Kemudian dia mengajukan pertanyaan yang membuat dua orang hwesio itu terkejut, “Apakah ji-wi locianpwe yang mewakili ketua Siauw-lim-pai merupakan murid-murid utama?”

Thian Bun Hwesio hanya mengangguk.

“Ah, kalau begitu tentu ji-wi memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara semua murid Siauw-lim-pai?”

Thian Bun Hwesio tersenyum. “Ah, orang-orang lemah seperti kami ini mana berani mengatakan memiliki kepandaian tinggi? Siauw-lim-pai amat luas dan me­miliki ribuan orang murid yang tersebar di seluruh negeri dan sukar untuk mengukur siapa yang lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan suhu sendiri tentu tidak berani menganggap diri terpandai di antara para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi kalau di kuil ini, tentu saja suhu yang paling pandai dan pinceng sekalian adalah murid-murid utamanya.”

“Bagus sekali! Kalau begitu ji-wi locianpwe yang merupakan orang ter­pandai di sini sesudah ketua Siauw-lim-pai!” Han Houw berkata girang. Kenyata­an ini menggirangkan hatinya yang tadi kecewa mendengar bahwa ketua Siauw-lim-pai sedang pergi. Setidaknya kalau dia sudah dapat menghadapi murid-murid utama Siauw-lim-pai, sudah cukuplah sebagai langkah-langkah pertama menuju kepada sebutan Jagoan Nomor Satu di dunia!

Thian Bi Hwesio juga menyangka bahwa pangeran ini tentu ingin belajar silat, maka kini dialah yang bicara de­ngan suaranya yang nyaring, parau dan jujur, “Pangeran, ketahuilah bahwa pin­ceng yang mewakili suhu di sini untuk memimpin para murid belajar ilmu silat. Kalau paduka berniat hendak belajar...”

Wajah Han Houw berseri dan mulutnya tersenyum, lalu dia bangkit berdiri. “Bagus sekali, Thian Bi Hwesio! Tadinya aku bermaksud belajar dari Thian Khi Hwesio ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi karena beliau sedang berada di luar, maka biarlah aku mempelajari beberapa jurus pukulan dari Ji-wi locianpwe. Mari­lah, locianpwe!”

Menyaksikan kegembiraan pemuda itu, dua prang hwesio itu tersenyum lebar. Pemuda ini begitu penuh semangat untuk belajar! Dan seketika itu juga minta diajari, seolah-olah ilmu silat itu adalah ilmu yang dapat seketika lalu bisa! Akan tetapi karena merekapun menduga bahwa tentu pemuda bangsawan ini sedikit banyak sudah mengenal ilmu silat, maka Thian Bi Hwesio lalu berkata. “Baik, ma­rilah kita ke lian-bu-thia, pangeran.”

Ketika mereka memasuki ruangan belajar silat yang luas itu, di situ ter­dapat belasan orang hwesio dan murid Siauw-lim-pai yang muda-muda sedang berlatih silat. Ada pula yang sedang berlatih sendirian, berdua, ada pula yang sedang melatih otot-otot mereka dengan mengangkat benda-benda berat dan se­bagainya. Tubuh atas mereka yang tidak berbaju itu mengkilap oleh keringat. Melihat datangnya dua orang guru mereka bersama seorang pemuda tampan, mereka semua segera memberi hormat dan berdiri di pinggir, menghentikan latihan mereka. Dari hwesio penyambut tamu tadi sudah tersiar berita akan datangnya tamu agung, seorang pangeran, maka kini se­mua mata ditujukan kepada Han Houw dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga bahwa agaknya pemuda inilah yang disebut oleh hwesio penerima tamu tadi.

Melihat lian-bu-thia yang lengkap dengan semua alat berlatih silat berikut rak senjata di mana terdapat semua bentuk senjata-senjata kaum persilatan, dinding-dinding yang dihias gambar-gambar tubuh manusia dengan keterangan tentang letak tulang-tulang, otot-otot dan syaraf, Han Houw memandang dengan kagum. Memang luas dan lengkap sekali lian-bu-thia ini, patut menjadi tempat berlatih silat perkumpulan yang demikian besar dan ternama.

Dengan tangannya, Thian Bi Hwesio memberi isyarat kepada para murid untuk duduk di pinggir dan mereka se­mua lalu duduk bersila di dekat dinding dengan rapi, siap untuk melihat seperti sikap mereka kalau hendak diberi kuliah tentang ilmu silat oleh guru mereka. Juga Thian Bun Hwesio sambil tersenyum memandang dan hwesio ini duduk di atas sebuah bangku di sudut ruangan, ingin melihat bagaimana suhengnya akan mem­beri petunjuk kepada pangeran yang aneh ini.

Mereka saling berdiri berhadapan, Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Bi Hwesio, murid ke dua dari Thian Khi Hwesio. Pangeran itu yang bertubuh cu­kup jangkung tegap, nampak kecil ber­hadapan dengan hwesio berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu.

“Pangeran, pernahkah paduka belajar ilmu silat?” tanyanya dengan suara nya­ring akan tetapi sikapnya hormat. Pange­ran itu mengangguk.

“Untuk dapat memberi petunjuk kepada paduka dalam ilmu silat, maka lebih dulu pinceng harus melihat sampai di mana tingkat yang paduka miliki, apakah kedudukan kaki pada pelajaran yang lalu sudah benar. Karena ilmu silat Siauw-lim-pai haruslah murni dan tidak boleh dikacaukan dengan dasar-dasar dari ilmu silat lain, barulah ilmu itu dapat dilatih dengan sebaiknya. Oleh karena itu, harap paduka suka memperlihatkan gerak ilmu silat yang pernah paduka pelajari.”

Han Houw tersenyum, “Locianpwe, tidak enaklah kalau bersilat sendirian saja dan menjadi tontonan, karena ilmu silatku amat buruk, sebaiknya kalau lo­cianpwe memberi pelajaran satu dua jurus kepadaku.” Itulah merupakan tantangan, biarpun nadanya minta diberi pelajaran.

Thian Bi Hwesio masih tersenyum. “Biarlah seorang murid pinceng yang terbaik menemani paduka, dari gerakan padukapun pinceng dapat menilai tingkat...”

“Jangan, locianpwe. Tadinya aku hendak minta pelajaran langsung dari Thian Khi Hwesio, untuk minta beliau menguji kepandaianku, akan tetapi karena beliau tidak ada, harap locianpwe saja yang menguji. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat Siauw-lim-pai, melainkan untuk minta ketua Siauw-lim-pai menguji ilmu silatku, locianpwe.”

Kini barulah Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio, juga para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ, terkejut bukan main. Kiranya pemuda tampan yang mengaku pangeran ini bukan ingin belajar silat dari Siauw-lim-pai, melainkan bendak minta Siauw-lim-pai menguji kepandaiannya, atau dengan lain kata, pemuda itu hendak menguji kepandaian ketua Siauw-lim-pai!

“Ah, harap paduka tidak main-main, pangeran. Paduka adalah seorang pangeran yang harus kami hormati, sedangkan ilmu silat adalah ilmu pukulan yang tidak bermata, maka kalau sampai kesalahan tangan melukai paduka, tentu akan menimbulkan penyesalan hebat!”

Han Houw tertawa dan bertolak pinggang. “Ha-ha-ha, locianpwe, jangan menganggap aku sebagai anak kecil yang takut terluka. Pula, apakah lodanpwe mengira bahwa aku akan dapat mudah kaukalahkan begitu saja? Kalau aku menganggap bahwa kepandaianku belum cukup, apakah aku berani datang ke Siauw-lim-pai?”

Ucapan yang mulai tekebur ini mengejutkan semua orang dan kedua alis dari Thian Bi Hwesio berkerut. Dia salah menduga. Pemuda yang mengaku pangeran ini kiranya seorang pemuda yang tinggi hati dan yang agaknya terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga berani berlagak demikian sombongnya. Hendak mengajak mengadu kepandaian dengan dia! Bahkan dengan suhunya! Gila benar!

“Pangeran,” katanya dengan nada suara serius dan matanya yang lebar itu memandang tajam, “hendaknya pangeran tidak mencari perkara, dan pinceng minta paduka menghentikan main-main ini. Kami tidak bersedia melayani permintaan paduka untuk main-main dalam ilmu silat. Ilmu silat Siauw-lim-pai bukan di­maksudkan untuk alat memukul orang atau menyombongkan diri!”

Han Houw memandang hwesio itu dan tersenyum mengejek. “Apakah dengan lain kata locianpwe hendak menyatakan bahwa locianpwe tidak berani menerima tantanganku untuk saling menguji ke­pandaian atau pibu?”

Tantangan itu sudah terang-terangan sekarang! Seorang hwesio muda, tidak lebih dari tiga puluh tahun usianya, yang bertelanjang baju, sudah meloncat ke de­pan. Dia ini merupakan murid pertama dari Thian Bi Hwesio dan wataknya ke­ras jujur seperti gurunya. Matanya lebar bundar.

“Suhu, biarlah teecu mewakili suhu untuk bermain-main sebentar dengan pangeran! Kalau sampai kesalahan tangan, biarlah teecu yang menderita hukuman, bukan suhu!”

Murid ini agaknya maklum mengapa gurunya segan menyambut tantangan pemuda itu. Kalau gurunya menerima berarti membahayakan Siauw-lim-pai, karena kalau sampai suhunya melukai pangeran itu, bukankah fihak kerajaan akan marah dan sakit hati? Maka, gurunya meragu. Akan tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan lebih lama lagi mendengar gurunya disebut takut menghadapi pangeran muda yang sombong itu.

“Baiklah, kau berhati-hatilah, jangan kesalahan pukul,” kata Thian Bi Hwesio sambil mengangguk, lalu melangkah pergi menuju ke bangku di samping sutenya. Di situ mereka berdua berbisik-bisik dengan alis berkerut, merasa khawatir melihat seorang pangeran agaknya sengaja hendak mendatangkan keributan.

Hwesio bermata lebar itu kini menghadapi Han Houw sambil tersenyum menyeringai dan berkata, “Pangeran, hamba­lah yang mewakili suhu Thian Bi Hwesio untuk menerima tantangan pibu paduka. Nah, paduka mulailah!” Sambil berkata demikian, hwesio ini sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Kedua kakinya terpentang lebar, dengan kedua lutut ditekuk membentuk segi yang lurus, dengan tubuh tegak dan mata tajam memandang kepada musuh, kedua tangan ditekuk dengan jari-jari terbuka membentuk cakar di bawah dan atas pusar. Gagah sekali kuda-kuda ini dan memang hwesio itu telah membuka gerakan dengan kuda-kuda ilmu silat harimau. Akan tetapi Han Houw yang merasa kecewa dan juga diam-diam marah karena Thian Bi Hwesio memandang rendah kepadanya itu, hanya tersenyum.

“Hwesio, percuma saja kalau engkau yang maju. Dalam beberapa jurus saja engkau akan roboh!” Dia lalu menghampiri hwwsio itu dan dengan sembarangan tangannya bergerak menampar sambil berkata, “Nah, kauterimalah ini!”

Semua orang menahan napas menyaksikan kelancangan ini. Gerakan pemuda tampan itu sama sekali bukan gerakan silat, melainkan cara menyerang yang amat lemah dan bodoh. Dengan kepandaian macam itu pemuda bangsawan ini berani menantang Thian Bi Hwesio, bahkan tadinya mencari Thian Khi Hwesio!

Hwesio itu tentu saja bergerak cepat. Dia masih ingat bahwa pemuda ini seorang pangeran, maka dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai agar Siauw-lim-pai tidak sampai mendapat kesukaran, maka melihat tamparan itu, dia lalu mengelak cepat dan tiba-tiba tangan kirinya meluncur dari bawah, bukan lagi merupakan gerakan cakar harimau karena dia sudah merubahnya menjadi totokan dengan dua jari ke arah jalan darah di bawah lengan tangan Han Houw yang menampar. Dia ingin dalam segebrakan saja menotok lumpuh pangeran itu, dengan demikian mengalahkannya tanpa melukai.

“Tukkk!” Totokan itu tepat mengenai jalan darah di dekat ketiak Han Houw, akan tetapi hwesio itu terkejut bukan main ketika kedua jarinya bertemu dengan kulit yang kerasnya seperti baja dan kini tahu-tahu tangan Han Houw sudah menampar lagi ke arah lehernya. Hwesio itu cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis dari kanan kiri, dengan jalan menggunting! Akan tetapi dengan sikap tidak perduli, Han Houw melanjutkan tamparannya dan kedua lengan lawan itu dengan keras menggunting lengannya dari kanan kiri. Anehnya, kedua lengan hwesio itu terpental dan tangan Han Houw masih terus saja meluncur ke depan karena tangkisan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Plakk!” Tengkuk hwesio itu kena ditampar perlahan saja, dan hwesio itu mengeluh kemudian kaki Han Houw bergerak menendang dan tubuh hwesio yang sudah lemas itu terlempar ke arah Thian Bi Hwesio! Hwesio tinggi besar ini cepat berdiri dan menerima tubuh muridnya. Cepat dia memeriksanya dan kagetlah dia melihat betapa muridnya itu telah pingsan tertepuk jalan darahnya secara lihai sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu ternyata seorang yang lihai dan hanya berpura-pura saja tolol. Diapun tahu bahwa muridnya, yang terhitung pandai, dikalahkan dalam dua gebrakan saja bukan oleh ilmu silat, melainkan oleh tenaga dalam yang berselisih jauh. Jelas bahwa melihat kehebatan tenaga sin-kang pemuda itu, muridnya sama sekali bukan tandingannya dan tahulah dia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh.

“Sute, waspada...” bisiknya kepada Thian Bu Hwesio dan dia sendiri dengan sekali lompat sudah tiba di depan Han Houw.

“Ah, kiranya paduka adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat!” Thian Bi Hwesio berkata. “Maafkan pinceng yang tidak mengetahuinya. Tidak tahu dari perguruan manakah paduka dan apa sebabnya paduka mengajak adu kepandaian dengan kami orang-orang Siauw-lim-pai yang tidak pernah menggunakan kepandaian untuk menghina fihak lain?”

“Hemm, Thian Bi Hwesio! Aku tidak terikat oleh partai manapun dan akupun tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi karena mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan gudang ahli-ahli silat, maka aku ingin sekali membuktikan. Alangkah akan kecewa hatiku kalau melihat bahwa ahli silat Siauw-lim-pai hanya seperti si lancang tadi! Maka aku ingin sekali mengadu ilmu dengan Thian Khi Hwesio atau setidaknya dengan orang terpandai di sini. Aku ingin melihat siapa di antara kita yang boleh disebut orang terpandai di dunia persilatan! Kalau locianpwe yang mewakili Thian Khi Hwesio tidak berani menghadapiku, akupun tidak akan me­maksa, akan tetapi kalau tidak berani, Siauw-lim-pai harus menyatakan secara tertulis dan mengakui saya sebagai jago­an nomor satu di dunia!”

Dua orang hwesio tua itu sampai ter­belalak mendengar ucapan yang bernada tinggi hati dan sombong luar biasa itu! Mana ada ahli silat di dunia ini yang berani mengaku sebagai jagoan nomor satu di dunia? Akibatnya akan hebat dan tentu seluruh kang-ouw akan bangkit menentangnya! Di dunia persilatan ber­laku istilah bahwa setinggi-tingginya pun­cak Gunung Thai-san, masih ada langit yang lebih tinggi lagi! Semenjak dahulu, belum pernah ada atau jarang sekali ada orang yang sedemikian sombongnya hendak mengangkat dirinya sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia, apalagi oleh seorang pemuda seperti ini!

Thian Bi Hwesio adalah seorang hwe­sio yang jujur dan kasar, maka men­dengar ucapan bernada sombong itu wa­jahnya menjadi semakin hitam. Dengan mata melotot dia lalu berkata, “Pangeran, tidak mungkin bagi kami untuk membuat pernyataan apapun, dan memang Siauw-lim-pai tidak pernah takut menghadapi apapun dan siapapun. Kami telah me­nolak ajakan pibu dari pangeran hanya untuk mencegah terjadinya hal-hal tidak baik menimpa paduka akan tetapi kalau paduka memaksa, kami sebagai wakil suhu tentu saja tidak akan takut.”

“Bagus, itu baru suara seorang gagah! Nah, Thian Bi Hwesio, marilah kita main-main beberapa jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai!” Han Houw berkata girang dan dia sudah memasang kuda-kuda. Melihat kepandaian murid hwesio ini tadi, dia agak memandang rendah dan mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmunya yang pernah dipelajarinya dari subonya melalui sucinya.

Melihat bentuk kuda-kuda pemuda itu, Thian Bi Hwesio makin berhati-hati. Kuda-kuda itu aneh, dengan kaki kiri diluruskan ke depan dan kaki kanan ditekuk hampir berjongkok, dan kedua lengan bersilang di depan muka, yang satu terkepal yang satu lagi terbuka.

“Silakan, pangeran!” katanya sambil memasang kuda-kuda dan hwesio ini yang tidak berani memandang rendah sudah bergerak dan memainkan Ilmu Silat Lo-han-kun. Dia tidak mau mempergunakan ilmu yang kasar, melainkan ilmu yang halus seperti Lo-han-kun akan tetapi mengerahkan tenaganya sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan mengerikan ketika dia mengerahkan kedua lengan yang besar berotot itu.

Han Houw girang sekali. Dia tahu bahwa hwesio ini cukup tangguh, dan makin tangguh lawan, makin gembiralah dia karena lawan itu ada harganya untuk dikalahkan. Karena dia sebagai tamu dan fihak tuan rumah sudah mempersilakan, tanpa sungkan lagi Han Houw lalu menggeser kakinya dengan ilmu langkah ajaib Pat-kwa-po, kemudian tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah perut lawan dari bawah!

“Hiaaattt...!”

“Wuuuuttt... ah!” Hwesio itu berseru dan menggunakan lengan menangkis ke bawah dengan pengerahan tenaga karena dia hendak membuat pemuda itu kesakitan dengan mengadu lengan. Akan tetapi, biarpun dia tidak gentar untuk mengadu tenaga, Han Houw cepat menarik tangannya dan tubuhnya sudah berputar dengan langkah-langkah ajaib itu, kini dia bangkit berdiri dan tangan kirinya menampar.

“Wuuuuutttt...!”

“Ehhh...!” Thian Bi Hwesio terkejut bukan main melihat tamparan ini. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal tamparan yang mengandung hawa beracun. Dan memang Han Houw telah mengerahkan tenaga dan menampar dengan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang ampuh, ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li.

Hwesio tinggi besar itu mengebutkan ujung lengan bajunya menyambut tamparan ini dengan totokan ujung lengan baju ke arah pergelangan tangan Han Houw. Pemuda inipun cepat menarik tangannya dan menyerang lagi dengan tonjokan ke arah dada, dibarengi tamparan ke dua ke arah pelipis lawan. Gerakannya cepat bukan main dan langkah-langkah kakinya amat indah, juga amat cepat dan tidak terduga sebelumnya. Namun, Thian Bi Hwesio dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu dengan jalan mengebutkan ujung lengan baju, bahkan balas menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman kuat yang memaksa Han Houw untuk melangkah mundur dan memutar.

KINI baru tahulah semua murid Siauw-lim-pai bahwa pemuda yang mengaku diri sebagai pangeran itu benar-benar lihai bukan main! Dan jelas bahwa Ilmu Silat Lo-han-kun yang dimainkan sedemikian baiknya oleh Thian Bi Hwesio itu sama sekali tidak dapat mendesaknya! Pemuda itu mempergunakan langkah-langkah ajaib, langkah-langkah yang membentuk segi delapan dan yang selalu dapat membawa dirinya terhindar dari desakan Ilmu Silat Lo-han-kun, dan pemuda itupun membalas dengan pukulan-pukulan, tamparan-tamparan dan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya sehingga untuk menyelamatkan diri dari semua itu, agaknya Thian Bi Hwesio harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya!

Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Han Houw kagum sekali. Hwesio ini selain memlliki tenaga yang amat kuat, juga ilmu silatnya demikian bersih dan sempurna, demikian kokoh kuat sehingga dia tidak melihat adanya lubang sedikit­pun untuk dapat memasukkan serangan­nya! Biarpun dia sendiri selalu dapat menghindarkan diri, namun sebaliknya diapun tidak mampu mendesak lawannya! Jelaslah baginya bathwa kalau dia hanya mengandalkan ilmu-ilmunya yang dia pelajari dari subonya saja, dia tidak akan mampu mengalahkan tokoh Siauw-lim-pai yang amat tangguh ini. Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dalam guha menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat! Beberapa kali Thian Bi Hwesio berteriak kaget ketika pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, me­ngerahkan tenaganya, namun pukulan ke tiga yang datangnya amat lambat, terlalu lambat malah itu mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan bajunya robek. Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah mendesak dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis dan juga mendorongkan kedua telapak tangannya, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lalu meloncat bangun di dekat sutenya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian dalam tubuhnya!

Bukan main kagetnya Thian Bu Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan oleh pemuda itu. Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin lama makin kagum dan heran terhadap pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai itu dan hampir dia tidak percaya melihat betapa suhengnya benar-benar kalah oleh pemuda itu! Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebagai seorang tokoh besar Siauw-lim­-pai, hwesio ini tidak menuruti rasa penasaran di hatinya dan tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang kepala bagian pelajaran silat, tentu saja suhengnya yang baru saja kalah itu lebih kuat daipadanya, akan tetapi Thian Bun Hwesio ini memiliki suatu keistimewaan yang melebihi suhengnya, yaitu dalam hal ilmu gin-kang atau meringankan tubuh.

Setelah memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah setelah dia mem­pergunakan ilmu yang dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dengan ilmunya yang he­bat itu, dia telah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja! Padahal ilmu-ilmunya itu belum dilatihnya secara matang. Makin besarlah kepercayaannya kepada diri sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah dia meman­dang diri sendiri sehingga menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong dan tinggi hati ini yang membuat dia tertawa dan memandang kepada Thian Bun Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk juga mengalahkan hwesio ini! Dia merasa belum puas kalau hanya mengalahkan seorang hwesio saja, apalagi dia tadi telah mempergunakan waktu seratus jurus lebih karena tadinya dia mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua hwesio di situ bahwa dia mampu merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dan dia merasa yakin akan dapat melakukan hal ini kalau dia langsung memperguna­kan ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka dia kini tertawa. “Ha-ha-ha, locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!”

Mendengar ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah mukanya dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka sudah kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, dan hal ini bagi mereka tidak menjadikan rasa penasaran karena mereka sudah digembleng lahir batin dan tahu bahwa kalah menang dalam adu silat adalah lumrah dan merekapun tidak berpendapat bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia persilatan. Akan tetapi, mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru) mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang dalam hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dengan suhu mereka, bahkan mereka maklum bahwa susiok mereka ini memlliki kelebihan dalam gin-kang. Maka pernyataan pemuda bangsawan itu akan merobohkannya dalam waktu kurang sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu penghinaan yang keterlaluan.

“Pangeran, harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini dan suka duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat ini dan tidak mengganggu kami.” Dengan sikap sopan dan lemah lembut Thian Bun Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat.

“Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tidak mau melayaniku untuk saling menyelami kepandaian masing-masing, akupun tidak memaksa, hanya kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku lebih tinggi daripada ilmu silat Siauw-lim-pai!”

Berkerut alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia menggeleng-geleng kepalanya. “Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap seperti ini? Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu mengenai tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak berada di sini, dan pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti itu.”

“Kalau tidak berani, majulah agar aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu, locianpwe,” Mulutnya saja menyebut lo­cianpwe atau orang tua yang gagah dan dihormati, akan tetapi sikap pangeran itu sungguh memandang ringan sekali. Hal ini terasa oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi, maka dia lalu menarik napas panjang.

“Agaknya paduka belum puas kalau belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah. Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!”

Setelah berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke arah Han Houw.

“Uhhh...!” Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pendeta itu memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi Han Houw sudah dapat menghindarkan diri dengan jalan merendahkan tubuhnya dan balas mengirim pukulan dari bawah. Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan berjungkir balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian dia sudah menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang panjang lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata yang menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw. Namun, dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kemudian secara tiba-tiba pemuda ini berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat hebat itu. Thian Bun Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biarpun dia sudah berusaha mengelak secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu masih mengenai pahanya dan saat itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah membasahi celana!

“Omitohud...!” Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain yang menerima tubuh Thian Bun Hwesio denigah sebelah tangannya, lalu menurunkan tubuh Thian Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan memeriksa lukanya yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung hawa beracun itu.

Han Houw memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio itu bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, namun sepasang mata yang bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya be­berapa tahun lebih tua daripada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali.

“Omitohud...! Dari laporan anak murid, pinceng mendengar bahwa paduka adalah Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankan pinceng menghaturkan maaf sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka.”

Han Houw tersenyum. Dua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan hormat kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya sebagai sikap takut terhadap­nya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah ke­pada Siauw-lim-pai. Setelah dia mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan guru mereka­pun dia tentu akan menang. Dia meman­dang hwesio tua yang menyebut sute kepada kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya.

“Siapakah locianpwe?”

“Omitohud, paduka masih begini muda dan berkedudukan begitu tinggi akan tetapi paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua, dan telah memiliki tingkat kepandaian yang demikian tinggi! Pinceng adalah Thian Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di kuil ini. Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya kepada paduka.”

“Hemm, Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukah pula untuk menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau mencari permusuhan. Akan tetapi, sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku patut menjadi jagoan nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk kuuji kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau sebagai murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku.”

“Omitohud, mana pinceng berani begitu lancang? Pendeta-pendeta tua yang bodoh seperti pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang? Pinceng hanya dapat membaca liam-keng dan kalau paduka minta petunjuk tentang prikemanusiaan dan kehidupan, bolehlah pinceng memberinya sedapat pinceng. Akan tetapi ilmu silat? Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang.”

“Hemm, Thian Sun Hwesio, tidak perlu locianpwe seperti anda ini menyembunyikan kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai? Aku telah menguji kepandaian kedua orang sutemu yang ternyata tidak berapa tinggi, maka kini aku minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu kepandaian melawanku.”

“Pinceng tidak berani.”

“Kalau tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!”

“Ah, untuk membuat itupun pinceng mana berani? Sebaiknya kelak kalau suhu sudah pulang saja paduka datang lagi dan bicara sendiri kepada suhu. Tentang kepandaian silat, di dunia ini siapakah yang dapat menentukan atau mengukur?”

“Thian Sun Hwesio, bicaramu ber­cabang! Kalau memang ada kepandaian, hayo keluarkan untuk kutandingi!”

“Omitohud... harap paduka pangeran jangan salah artikan. Pinceng tidak pernah mempelajari ilmu untuk berkelahi, melainkan hanya belajar sedikit ilmu untuk menjaga kesehatan.”

“Hemm, kalau begitu coba locianpwe memperlihatkan ilmu untuk menjaga ke­sehatan itu!” Han Houw mendesak dan menantang. Hwesio ini tentu merupakan tokoh nomor satu di kuil ini sesudah ketuanya yang sedang pergi, maka hati­nya belum puas kalau dia belum me­ngalahkan hwesio ini.

Thian Sun Hwesio tersenyum ramah, lalu dia menghampiri sebuah sapu yang bersandar di sudut ruangan itu. “Begini­lah pinceng menjaga kesehatan, yaitu dengan pekerjaan yang bermanfaat, misalnya menyapu lantai.” Sambil berkata demikian, Thian Sun Hwesio menggerak­kan sapu tua itu dengan sekali ayun. Han Houw terkejut bukan main karena dia merasakan adanya sambaran angin yang berputar-putar dan semua debu dan ko­toran di dalam ruangan itu ikut berputar­an seperti terbawa angin puyuh dan se­mua kotoran dan debu terkumpul di suatu sudut ruangan itu. Dengan sekali ayun saja kakek itu telah dapat “me­nyapu” lantai ruangan itu sampai bersih, dan angin yang berputar-putar keluar dari ayunan sapunya tadi saja menunjuk­kan betapa kuatnya tenaga sin-kang dari Thian Sun Hwesio! Hwesio ini benar-benar tak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengah dua orang hwesio pertama tadi, dan dia harus berpikir sepuluh kali lebih dulu untuk dapat memastikan bahwa dia akan menang melawan kakek ini!

“Bagus sekali! Kekuatanmu demikian hebatnya, Thian Sun Hwesio, marilah kita bertanding mengadu ilmu beberapa jurus!” tantangnya dan dia sudah melangkah maju lalu memasang kuda-kuda.

Akan tetapi hwesio itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Omitohud, pinceng sudah menyatakan bahwa pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat untuk berkelahi. Biar pinceng dipukul matipun pinceng tidak berani melawan dengan kekerasan. Pinceng hanya bisa menyapu lantai seperti tadi, tidak bisa berkelahi,” jawab pendeta itu.

Han Houw mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi diapun tahu bahwa amat tidak baik kalau dia menyerang orang yang tidak akan mau melawan. Selain hal itu amat tidak baik, terutama bagi namanya yang diharapkan akan dapat disebut jagoan nomor satu di dunia, juga dia tidak sudi dan tidak tertarik. Maka dia menarik napas panjang, dan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya, dia lalu menghampiri sapu yang sudah disandarkan di pojok tadi. Dipegangnya gagang sapu dari kayu itu, ditimang-timangnya, kemudian digerak-gerakkan seperti orang menyapu, lalu diletakkannya kembali menyandar dinding.

“Jelas aku tidak akan mampu menandingi kepandaianmu menyapu lantai, Thian Sun Hwesio! Maafkan aku!” Han Houw berkata sambil mengangguk dan membalikkan tubuhnya, pergi dari situ, diikuti oleh penghormatan Thian Sun Hwesio yang menjura dan merangkap kedua tahgan di depan dada.

Setelah Han Houw pergi jauh, hwesio muda murid Thian Bi Hwesio yang tadi kalahkan oleh Han Houw berkata, “Omitohud... baiknya ada supek yang membuat dia jerih dan pergi. Kepandaian supek amat hebat sehingga pemuda sombong itu mundur tanpa berani mendesak!”

Thian Sun Hwesio mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Pangeran itu benar-benar hebat luar biasa dan dunia kang-ouw tentu akan geger dengan kemunculannya, bukan hanya karena ilmunya amat tinggi, akan tetapi terutama sekali karena dia seorang pangeran. Kau­ kira dia takut? Kauperiksa sapu itu baik-baik.”

Mendengar ini, hwesio yang bertubuh tinggi besar itu lalu memandang heran, dan dihampirinya sapu yang dipegang oleb Han Houw. Kelihatannya sapu itu tidak apa-apa, akan tetapi begitu jari tangan pendeta itu menyentuhnya, sapu yang kelihatan tadi masih utuh itu tiba-tiba hancur berantakan! Tentu saja hwe­sio itu terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget sambil melompat ke bela­kang.

“Nah, kalian lihat betapa lihai dan berbahayanya tangan pangeran itu. Pin­ceng sendiripun belum tentu akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya yang mengandung keajaiban. Sute berdua apakah tadi mengenal gerakan-gerakannya, dan dari golongan manakah ilmu silat­nya?” tanya hwesio ini kepada dua orang sutenya.

Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwe­sio saling pandang, kemudian menggeleng kepala dengan pandang mata terheran. “Gerakannya amat aneh dan selama hidup belum pernah pinceng melihat dasar ilmu silat seperti itu,” kata Thian Bi Hwesio.

“Terutama gerakan-gerakannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu,” sambung Thian Bun Hwesio. “Seperti didasari gerakan yoga dari India, akan tetapi tentu bercampur dengan ilmu kaum sesat.”

Setelah kemunculan Han Houw yang seperti badai mengamuk mendatangkan kekalutan di dalam kuil itu, suasananya menjadi sunyi dan tenteram setelah pemuda itu pergi dan para hwesio me­lanjutkan tugas masing-masing, sungguh­pun badai yang baru saja mengamuk itu mendatangkan kesan di dalam hati me­reka dan menimbulkan kekhawatiran.

Sementara itu, Han Houw pergi dengan hati yang puas. Betapapun juga, dia telah mengalahkan dua orang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, dan hal ini saja tentu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi di dunia kang-ouw! Dia lalu melanjutkan perjalanannya ke utara, ke kota raja akan tetapi di setiap kota dia tentu berhenti, mencari tokoh-tokoh kang-ouw untuk diajak mengadu ilmu silat! Banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw yang dirobohkannya, sebagian besar dikalahkannya dengan ilmu silatnya yang memang amat tinggi itu, akan tetapi ada pula sebagian tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak berani melawan sungguh-sungguh ketika tahu bahwa pemuda yang lihai itu adalah Pangeran Ceng Han Houw, adik dari kaisar! Mereka lebib baik mengalah daripada harus melukai atau salah-salah dapat membunuh seorang pangeran karena hal ini akan menimbul­kan akibat yang amat hebat sekali! Maka, kemenangan demi kemenangan diraih oleh Han Houw yang menjadi semakin angkuh dan merasa bahwa sesungguhnya dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Dan tentu saja, sepak terjangnya itu tersiar luas di dunia kang-ouw ketika berita bahwa di dunia persilatan muncul seorang jago muda yang amat lihai, yaitu Pange­ran Ceng Han Houw. Bahkan tersiar pula berita bahwa selain banyak orang kang-ouw di selatan yang sudah kalah oleh pangeran ini, juga tokoh-tokoh Siauw-lim-pai roboh pula oleh jagoan muda ini! Berita ini tentu saja disiarkan oleh Han Houw sendiri dan para tokoh kang-ouw menjadi semakin ribut dan kagum!



Pemuda itu menghempaskan dirinya di atas rumput hijau di bawah pohon besar yang teduh. Dia mengeluh panjang, lalu mengambil sehelai saputangan lebar dan menyusuti keringatnya di muka dan lehernya, membuka kancing bajunya bagian atas untuk merogoh dada dengan saputa­ngannya yang kini menjadi basah kuyup. Diperasnya saputangan itu sehingga air keringat mengucur dan diusapnya lagi mukanya yang kemerahan. Dia mengeluh lagi. Sinar matahari amat teriknya di waktu siang hari itu, lewat tengah hari. Dan keteduhan di bawah pohon besar itu amat nyaman. Sehabis tertimpa panas matahari setengah harian lalu duduk ber­teduh di tempat itu, di tepi hutan, benar-benar menimbulkan rasa nyaman. Apalagi ketika ada angin berhembus lembut, membuat muka, leher dan dada yang kini terbuka sedikit itu tertiup angin, bukah main nikmatnya. Kulit yang tadinya gatal-gatal panas itu ditiup angin terasa sejuk nyaman dan pemuda itupun menguap. Kedua matanya mulai letih dan mengantuk.

“Aihhh... Lan-moi dan Lin-moi, benar-benar membikin sengsara orang...!” keluhnya dan dia pun merebahkan tubuhnya yang gemuk itu di atas rumput, berbantal lengan kiri sedangkan lengan kanannya memegangi golok pada gagang­nya, golok besar yang diletakkannya di atas rumput di samping tubuhnya yang besar. Tak lama kemudian diapun men­dengkurlah, tidur dengan nyenyaknya!

Pemuda itu bukan lain adalah Tee ­Beng Sin, keponakan Kui Hok Boan yang tinggal di dusuw Pek-jun dekat kota raja. Pemuda bertubuh gendut berwajah lucu ini seperti kita ketahui telah meninggal­kan dusun Pek-jun bersama Kwan Siong Bu, seorang keponakan lain dari Kui Hok Boan, untuk mencari jejak Lan Lan dan Lin Lin yang melarikan diri karena mereka hendak diberikan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Seperti telah dicerita­kan di bagian depan dari cerita ini, Beng Sin dan Siong Bu bersimpang jalan dan mereka tidak diperkenankan pulang oleh Kui Hok Boan sebelum menemukan dua orang gadis kembar yang minggat itu.

Sudah berbulan-bulan, kurang lebih enam bulan lamanya, Beng Sin mencari-cari kedua orang adik seperguruan atau adik misan itu, dan akhirnya dia memperoleh jejak mereka di daerah ini. Dia mencari terus dan siang hari itu, saking lelah dan sedihnya dia jatuh pulas di tepi hutan lebat!

Betapa hati pemuda gendut ini tidak akan berduka? Dia sudah setengah tahun meninggalkan rumah dan tidak berani pulang karena belum juga berhasil me­nemukan kembali Lan Lan dan Lin Lin. Dia amat suka kepada dua orang gadis kembar itu, mencinta mereka seperti adik-adik kandung sendiri, maka biarpun dia tidak dipesan oleh Kui Hok Boanpun, agaknya dia tidak mau pulang sebelum dapat bertemu dengan mereka. Kalau dia membayangkan nasib dua orang dara kembar itu, dia merasa kasihan sekali. Diam-diam dia menyesalkan sikap dan tindakan pamannya yang begitu tega untuk menyerahkan dua orang puterinya kepada pangeran tanpa persetujuan kedua orang dara itu! Memang menurut pendapat umum, diambil selir oleh seorang pangeran merupakan suatu kehormatan besar bagi seorang gadis, dan Beng Sin tentu saja terseret pula oleh anggapan umum ini, akan tetapi pemuda gendut ini tetap berpendirian bahwa betapa baikpun nasib dua orang dara itu telah dipilih oleh pangeran, namun karena urusan itu mengenai nasib kehidupan dua orang dara itu, maka tentu harus mendapat persejuan dari mereka sendiri.

Saking kesalnya dan juga saking lelahnya, Beng Sin tidur pulas di bawah pohon dengan nyenyaknya sampai dia mendengkur! Tiba-tiba dia tersentak kaget dan sebagai seorang pemuda yang semenjak kecil belajar silat, begitu terbangun dia sudah meloncat dengan golok di tangan dan waspada, celingukan ke kanan kiri. Sungguh menyeramkan melihat pemuda yang gendut dan nampak tubuhnya kokoh kuat itu berdiri tegak dengan sebatang golok yang besarnya bukan main itu di tangan kanan, golok besar sekali yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Beng Sin memandang ke kanan kiri dengan alis berkerut. Biarpun dia tadi tidur pulas, tak salah lagi, te­linganya menangkap jeritan nyaring yang membuatnya tersentak kaget. Akan te­tapi mengapa keadaan di situ sunyi saja dan dia tidak melihat atau mendengar apa-apa? Apakah dia mimpi? Tak mung­kin.

“Tolongggg... ohh, tolonggg...!”

Beng Sin terperanjat, lalu meloncat dan lari ke arah suara itu, yaitu ke dalam hutan. Dia harus membabat semak-semak belukar dengan goloknya, menyusup-nyusup dan mukanya terasa gatal-gatal karena melanggar ranting-ranting semak-semak. Akan tetapi dia berlari terus dan akhirnya tibalah dia di tengah hutan. Nampak sebuah kereta tua yang ditarik oleh dua ekor kuda kurus di tengah hutan itu, di atas jalan hutan yang kasar. Lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar sambil tertawa-tawa sedang menarik-narik seorang gadis cantik sedangkan seorang wanita setengah tua menangis dan berusaha mencegah lima orang laki-laki itu.

“Keparat!” Beng Sin membentak dan cepat dia meloncat ke dekat kereta itu.

Lima orang laki-laki kasar itu ter­kejut mendengar bentakan Beng Sin. Mereka menoleh dan melihat munculnya seorang pemuda gendut yang memegang golok yang bukan kepalang besarnya, mereka lalu melepaskan gadis itu dan mencabut senjata masing-masing dengan sikap mengancam.

“Jangan takut, nona, aku akan mem­basmi mereka!” kata Beng Sin dengan sikap gagah dan dia mendekati gadis dengan ibunya itu yang dengan tubuh gemetar lalu berlindung di belakangnya.

Lima orang perampok kasar itu di­pimpin oleh seorang pria setengah tua yang rambutnya riap-riapan dan mukanya bercambang bauk, matanya lebar dan sikapnya amat menakutkan, membayang­kan keganasan dan keliaran. Bajunya terbuat dari kulit harimau yang mem­perlihatkan sebelah pundak dan sebagian dari dada kanannya yang tegap. Tangan kanannya memegang sebuah penggada yang besar sekali, besar dan berat, se­imbang dengan besar dan beratnya golok di tangan Beng Sin. Empat orang anak buahnya berdiri di belakangnya, masing-masing memegang senjata mereka, ada yang golok, ada yang pedang atau tom­bak pendek.

Dengan marah Beng Sin bertolak pinggang dan melintangkan golok besarnya di depan tubuhnya. “Hemm, kalian perampok-perampok laknat berani mengganggu wanita baik-baik di siang hari, ya? Setelah bertemu dengan tuan mudamu, kalian tentu tak dapat diberi ampun lagi!”

Kepala perampok itu adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Ketika dia meliha tubuh Beng Sin yang gendut dan besar, bahkan lebih besar daripada tubuhnya sendiri, dan melihat pemuda itu memegang sebatang golok yang amat besar dan agaknya tidak kalah berat dibandingkan dengan penggadanya, dia terbelalak dan kelihatannya agak jerih.

“Kawan...” katanya sambil mengedip-ngedipkan mata seperti memberi isyarat rahasia. “Kita... kita bagi-bagi rata saja, dah! Berikan barang-barangnya kepada kami dan kau boleh mendapatkan orangnya.”

Sejenak Beng Sin melongo, tidak mengerti. Akan tetapi kemudian dia mencak-mencak dan membanting-banting kaki kanannya. Celaka, pikirnya. Dia tentu disangka sebangsa pencoleng oleh kepala perampok itu! Ingin dia menghadapi cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Benarkah wajahnya seperti wajah pencoleng?

“Bangsat keparat jahanam laknat bermulut busuk!” Dia memaki-maki saking jengkelnya. Tangan kiri yang tadinya bertolak pinggang itu kini menuding ke hidungnya sendiri. “Buka lebar-lebar mata bangsatmu! Kaukira aku ini orang apa? Aku adalah seorang pendekar muda, tahu? Bagi-bagi nenek moyangmu itu! Hayo kalian pergi, kalau tidak, golokku yang sudah haus darah penjahat ini yang akan bicara!”

“Wah, pendekarnya kok gendut amat...!” Terdengar seorang anak buah pe­rampok berkata lirih.

“Agaknya kurang latihan, sikat saja, twako!” kata orang ke dua.

Didorong oleh anak buahnya, kepala perampok itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan penggada itu diputar-putar di atas kepala sampai mengeluarkan sua­ra berdesir-desir.

“Taihiap hati-hati...!” bisik gadis itu dan Beng Sin yang tadinya merasa gentar juga melihat penggada yang besar itu, tiba-tiba membusungkan dadanya yang memang sudah besar dan lebar itu. Dia disebut “talhiap”. Dia pendekar besar! Ha! Untuk sebutan itu ingin rasanya dia menari-nari dan bermain silat mendemonstrasikan kemahirannya mempermainkan golok besarnya! Timbul pula keberanian dan kegagahannya, dan dia lalu meng­gerakkan golok sehingga nampak sinar berkelebat.

“Kalian mau melawan? Bosan, hidup, ya? Nah, sambut ini!” Dia lalu mem­bacokkan golok besarnya itu ke depan.

Kepala rampok yang lebih biasa menalukkan korban dengan gertakan dari­pada tindakan ini, cepat menangkis. Biasanya, orang sudah bertekuk lutut minta ampun kalau dia sudah memutar peng­gadanya, akan tetapi pemuda gendut ini tidak takut!

“Tranggg...!” Penggada itu terpental dan terlepas dari pegangan si kepala perampok! Beng Sin tersenyum-senyum, biarpun senyumnya menjadi agak kecut karena dia harus menahan rasa nyeri pada lengannya yang menjadi kesemutan karena getaran pertemuan senjata tadi.

“Nah, ambil senjatamu, jahanam!” katanya dengan lagak gagah, sambil ber­tolak pinggang lagi.

Tentu saja peristiwa ini mengagetkan semua perampok itu. Kepala perampok itu memiliki tenaga besar sekali. Penggada itu dapat menghancurkan batu karang sekali gempur dan dapat menumbangkan sebatang pohon sekali hantam. Akan tetapi kini bertemu dengan golok pemuda gendut itu, ruyung atau penggadanya itu terlepas dan lengannya terasa lumpuh! Tentu saja nyalinya terbang seketika dan dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti oleh empat orang anak buahnya.

Memang mereka itu hanyalah perampok-perampok kasar yang biasanya mengandalkan gertakan saja, sama sekali tidak memiliki kepandaian berarti. Betapapun juga, kalau mereka itu bukan pengecut dan mengeroyok Beng Sin, tentu pemuda ini akan repot juga!

Bukan main lega hati Beng Sin. Dia tertawa dan mengamang-amangkan goloknya ke atas. “Tikus-tikus busuk! Kalau lain kali bertemu denganku, jangan harap golokku akan mengampuni kalian!”

Gadis itu bersama ibunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Sin. “Taihiap, terima kasih atas pertolonganmu...” gadis yang manis itu berkata, juga ibunya menghaturkan terima kasih.

Beng Sin menjadi sibuk juga. Dengan tangan kirinya di menyentuh pundak gadis itu untuk membangunkannya, akan tetapi begitu jari tangannya menyentuh kulit daging yang hangat lunak, dia menggigil dan menariknya kembali. “Maaf... eh, nona dan bibi... harap bangkit dan mari kuantar kalian...”

Ibu dan anak gadisnya itu lalu bangkit dan celingukan.

“Apa yang kalian cari?” tanya Beng Sin ketika melihat mereka celingukan seperti itu.

“Kusir kami... tadi ketika perampok­-perampok muncul, dia lari entah ke mana...”

Beng Sin lalu berteriak nyaring, “Heiii! Kusir kereta! Keluarlah, perampok sudah pergi semua!”

Tak lama kemudian terdengar suara menjawab dan si kusir yang bertubuh kurus tinggi itu muncul dengan tubuh gemetar, muka pucat. Beng Sin merasa geli sekali, apalagi melihat betapa celana kusir itu basah. Entah basah terkena air ketika bersembunyi, entah basah ngompol saking takutnya. “Hayo lekas naik dan antar nona dan bibi ini pulang. Aku akan mengawal mereka!” kata Beng Sin dengan gagah.

Gadis dan ibunya itu lalu masuk ke dalam kereta, dan Beng Sin juga masuk ke dalamnya, duduk berhadapan dengan gadis dan ibunya itu. Kusir kereta segera menjalankan kuda dan kereta itupun membalap keluar dari dalam hutan secepatnya. Di sepanjang perjalanan ini, ibu si gadis yang kini menjadi malu-malu dan bahkan jarang berani menatap wajah pemuda gendut yang dengan gagah perkasa telah menolongnya itu, menceritakan siapa adanya mereka.

Suami wanita itu adalah seorang piauwsu, yaitu pengawal kiriman barang-barang atau orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. Ciook-piauwsu ini be­kerja pada piauwkiok (perusahaan peng­awalan) yang bernama Hek-eng-piauwkiok di kota Su-couw di Ho-nan.

“Kami ibu dan anak baru saja pulang dari menengok keluarga ke dusun, taihiap. Biasanya perjalanan ke dusun lewat hutan ini aman saja, tidak nyana hari ini kami mengalami gangguan penjahat. Untung ada taihiap yang menolong kami. Karena biasanya aman, maka suami saya tidak mengantar.”

“Kalau ayah mengawal, penjahat-penjahat itu tentu sudah dibunuhnya!” kata gadis itu yang oleh ibunya diperkenalkan dengan nama Ciook Sui Lan.

“Eh... nona Ciook adalah puteri seorang piauwsu yang pandai, kenapa tadi tidak melawan penjahat-pejahat itu?” tanya Beng Sin.

Nona itu menunduk, tersenyum dan mengerling wajah pemuda gendut itu, membuat hati Beng Sin berdebar tidak karuan!

“Ayah melarangku belajar silat, katanya tidak pantas bagi seorang wanita...” jawab gadis itu malu-malu.

“Dan memang benar, aku sendiripun melarangnya, taihiap. Lebih baik seorang wanita mempelajari ilmu-ilmu yang halus, menulis, membuat sajak, menjahit, menari, bernyanyi dan memasak. Lebih berguna kalau kelak menjadi isteri orang.”

“Ihhh, ibu...!” Siu Lan berkata sambil menunduk, mukanya menjadi merah sekali.

“Tentu... tentu paman Ciook lihai sekali ilmu silatnya,” Beng Sin berkata dan diapun merasa sungkan dan tidak enak ketika ibu itu menyebut-nyebut tentang wanita menjadi isteri orang!

Wanita itu menarik napas panjang. “Sejak muda, suamiku paling senang de­ngan ilmu silat. Dia seorang kasar, tai­hiap, akan tetapi dalam ilmu silat, dia cukup terkenal dan di Hek-eng-piauwkiok dia menjadi piauwsu yang diandalkan oleh majikan piauwkiok.”

Ketika mereka tiba di rumah keluarga Ciook yang cukup besar, mereka di­sambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah dan bermata tajam. Dia ini bukan lain adalah Ciook-piauwsu sendiri. Betapa kaget hati piauw­su ini ketika mendengar penuturan isteri dan puterinya bahwa kereta mereka di­hadang perampok dan bahwa puterinya hampir saja celaka kalau tidak ditolong oleh pemuda gendut yang terus mengawal mereka sampai tiba di rumah.

“Ah, sicu muncul seperti dituntun tangan Thian! Betapa besar rasa terima kasih kami kepadamu, sicu!” Piauwsu itu cepat memberi hormat kepada pemuda itu.

Beng Sin cepat membalas dengan menjura. “Aih, lo-enghiong, aku telah mendengar bahwa engkau juga seorang ahli silat yang pandai. Antara sesama orang yang suka menentang kejahatan, bantu-membantu adalah wajar. Mana bisa bicara tentang budi?”

Piauwsu itu menjadi kagum dan tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang berwatak gagah dan jujur. Beng Sin lalu dipersilakan masuk dan mereka ber­kenalan. Ketika Beng Sin minta diri dan berpamit, piauwsu itu dan isterinya me­nahan-nahannya.

“Tee-sicu telah menyelamatkan keluargaku, berarti telah menjaidi seperti ke­luarga atau sahabat baik kami sendiri, mengapa begitu tergesa-gesa? Sicu akan mengecewakan hati kami sekeluarga ka­lau tidak mau tinggal di sini untuk be­berapa hari lamanya, sekedar memberi kesempatan kepada kami untuk menyata­kan rasa terima kasih kami,” Ciook-piauwsu berkata dan karena dibujuk-bujuk, akhirnya Beng Sin merasa tidak enak juga dan akhirnya dia menyetujui. Pada sore harinya, ketika Beng Sin dan tuan rumah bercakap-cakap di kebun belakang, Ciook-piauwsu bertanya dari mana pemuda itu mempelajari ilmu silat dari golongan apa. “Saya belajar dari paman saya sendiri, lo-enghiong. Saya telah yatim piatu, ayah saya telah tiada dan ibu saya telah masuk menjadi nikouw dan tidak berurusan lagi dengan dunia, dan sejak kecil saya dirawat dan dididik oleh paman saya yang bernama Kui Hok Boan. Karena paman saya pernah menjadi murid Go-bi-pai, maka saya kira ilmu silat yang diajarkan kepada saya tentu dari aliran Go-bi-pai.”

Wajah Ciook-piauwsu berseri. “Ahh, kalau begitu kita orang sendiri!” Dia berseru girang. “Ketahullah, sicu. Aku sendiripun adalah seorang murid Go-bi-pai!”

“Kalau begitu, lo-enghiong mengenal paman saya?”

Piauwsu itu menggeleng kepala. “Murid Go-bi-pai ribuan orang banyaknya dan berpencar di mana-mana. Menurut penuturanmu, pamanmu datang dari utara dan aku tinggal di selatan, biarpun antara kami memiliki sumber ilmu silat yang sama, namun tentu diajarkan oleh guru-guru yang lain. Sicu, kalau boleh, aku ingin melihat ilmu sliatmu. Harap kauperlihatkan ilmu golokmu, barangkali saja kita dapat saling memberi petunjuk karena sealiran.”

Dengan girang Beng Sin lalu bersilat. Goloknya yang besar dan berat itu diputar sampai mengeluarkan suara berdesing dan nampak gulungan sinar yang besar menyambar-nyambar. Setelah selesai, piauwsu itu mengangguk-angguk. “Ilmu golokmu sudah cukup baik, akan tetapi sayang...”

“Bagaimana, lo-enghiong?”

“Masih banyak kekurangannya karena agaknya tercampur dengan ilmu dari sumber lain sehingga agak lemah, terutama sekali di bagian penyerangan. Ilmu golok Go-bi-pai yang aseli banyak menggunakan penyerangan dari bawah yang amat lihai dan berbahaya bagi lawan. Coba kaulihat, akan tetapi golokmu terlampau berat untukku, sicu, biarlah aku memakai golok biasa dan kaulihatlah baik-baik.”

Ciook-piauwsu lalu bersilat dengan sebatang golok biasa dan gerakannya memang dikenal oleh Beng Sin sebagai ilmu golok Go-bi-pai, akan tetapi ter­dapat perbedaan-perbedaan dan terutama sekali ketika kakek setengah tua itu bersilat makin cepat, gerakannya berbeda dan kini dia melihat berkali-kali piauwsu itu bergulingan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah dengan amat cepat­nya. Melihat ini, Beng Sin kagum sekali. Kiranya benar ucapan Siu Lan dan ibunya bahwa piauwsu ini memang benar memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga kalau piauwsu ini mengawal anak isteri­nya, tentu lima orang perampok itu akan ketemu batunya!

“Lo-enghiong, saya mohon petunjuk!” katanya setelah piauwsu itu menghenti­kan permainan silatnya.

Ciook-piauwsu berdiri sambil tertawa dan mengangguk-angguk, “Boleh, boleh... akan tetapi untuk itu sicu harus tinggal di sini selama beberapa hari.”

Tentu saja Beng Sin setuju dan menghaturkan terima kasih. Mulai hari itu pemuda gendut ini menerima petunjuk-petunjuk dalam ilmu golek Go-bi-pai dari Ciook-piauwsu. Kalau dibuat perbandingan, belum tentu Kui Hok Boan kalah oleh Ciook-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu golok Go-bi-pai, memang ilmu yang dimiliki Kui Hok Boan kalah murni. Kui Hok Boan adalah murid Go-bi-pai, murid mendiang Kauw Kong Hwesio, akan tetapi dia telah memperdalam ilmu silatnya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga ilmu golok yang diajarkannya kepada Beng Sin sudah tidak aseli lagi. Sebaliknya, Ciook-piauwsu adalah murid Go-bi-pai yang tidak mencampurkan ilmu golok itu dengan ilmu lain, dan selain itu, memang dia paling suka dengan senjata ini sehingga dalam hal memainkan golok dia lebih mahir.

Selama kurang lebih sepuluh hari Beng Sin tinggal di situ, setiap hari de­ngan tekun menerima petunjuk-petunjuk sehingga kepandaiannya dalam hal main golok dalam ilmu golok Go-bi-pai menjadi lebih matang dan dia kini mampu melakukan jurus-jurus bergulingan yang amat lihai itu. Akan tetapi di samping itu, juga hubungannya dengan keluarga itu menjadi semakin akrab.

Pada hari ke sebelas, ketika Beng Sin bermohon diri dari tuan rumahg Ciook-piauwsu mengajaknya duduk bercakap-cakap di ruangan belakang dan piauwsu yang selama beberapa hari sangat mem­perhatikan Beng Sin dan merasa suka kepada pemuda gendut yang ramah dan jujur ini, berkata, “Tee-sicu, ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan kepada sicu, harap sicu tldak menjadi kecil hati.”

“Ah, lo-enghiong telah begitu baik kepada saya, seperti seorang guru saya, mengapa masih begitu sungkan? Kalau ada sesuatu, tanyakanlah saja tanpa ragu-ragu.”

“Begini, sicu. Hal ini sudah saya bi­carakan dengan isteri dan puteri kami, dan kami ingin sekali tahu apakah sicu sudah berkeluarga? Maksud saya, apakah sudah menikah?”

Pertanyaan ini membuat Beng Sin yang jujur terbelalak heran dan cepat dia menggelengkan kepala.

“Dan sudah bertunangan ataukah belum?”

“Belum, lo-enghiong... akan tetapi kenapa...?”

“Bagus! Ketahuilah, sicu, setelah berkenalan dengan sicu, apalagi mengingat betapa sicu telah menyelamatkan puteri kami dari bahaya, kami mengambil keputusan untuk menyerahkan puteri kami kepada sicu, yaitu kami ingin mengikatkan perjodohan antara puteri kami dengan sicu... harapan kami agar sicu tidak menolak maksud baik kami ini.”

Tentu saja Beng Sin menjadi kaget dan bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Mukanya yang gemuk menjadi kemerahan karena memang sesungguhnya dia sama sekali belum berpikir tentang perjodohan, sungguhpun diam-diam dia merasa telah “jatuh cinta” kepada Lin Lin, adik misannya itu.

“Ini... ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan pula... tentu saya harus bertanya dulu kepada paman saya sebelum memberi keputusan...” katanya gagap.

Piauwsu itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan bahwa pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang jejaka tulen sehingga hatinya menjadi semakin suka. “Tentu saja, sicu. Aku akan mendatangi pamanmu itu sewaktu-waktu untuk minta persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi dusun Pek-jun untuk bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah setuju. Kecuali kalau sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan bodoh...”

“Ah, tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang cantik dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa karena terus terang saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman saya sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya sekarang inipun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan saya itu. Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil. Saya telah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil menemukan kedua orang adik misan saya itu.”

“Ahh!” Ciook-piauwsu nampak terkejut, “Kalau saya boleh tahu, apakah yang terjadi, sicu? Siapa tahu saya dapat membantumu.”

Dengan singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-moinya (adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauw­su ini yang dianggap sebagai guru sen­diri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak, hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri karena tidak mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai dapat.



Mendengar cerita ini, Ciook-piauwsu terheran-heran. “Diangkat selir oleh pangeran adik kaisar! Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka melarikan diri... eh, kau bilang mereka itu adalah saudara kembar? Ahh, betapa kebetulan sekali!” Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah berseri. “Aku... aku tahu di mana adanya mereka! Ah, kenapa tidak sejak dulu engkau menceritakan padaku, sicu? Mari, mari kau ikut aku!”

Bukan main kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa piauwsu int justeru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin!

“Benarkan engkau tahu, lo-enghiong? Di mana mereka?”

“Agaknya tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng-piauwkiok memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka itulah adik-adikmu itu! Tak salah lagi. Merekapun pandai ilmu sliat. Majikanku melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!”

Bergegas mereka pergi ke rumah ketua Hek-eng-piauwkiok yang bernama Ciang Lok, seorang piauwsu kawakan yang tidak mempunyai keturunan dan yang pada beberapa bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi anak-anak angkatnya. Setelah tiba di situ, mereka disambut oleh Ciang Lok sendiri.

Begitu bertemu, Ciook-piauwsu cepat memberi hormat dan berkatag “Ciang-twako, di mana adanya dua orang anak angkatmu itu? Kalau tidak salah, mereka itu adalah adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!”

Mendengar itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin, “Apakah engkau mengenal seorang pemuda bernama Kwan Siong Bo?”

“Tentu saja!” Beng Sin menjawab. “Dia adalah kakak misanku pula, juga masih kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang saya cari, itu!”

Piauwsu berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, dan kembali menarik napas panjang. “Harap kali­an suka duduk dan dengarkan ceritaku. Agaknya kedatanganmu terlambat, orang muda.”

Tentu saja Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciook-piauwsu dan dengan hati tegang dia bertanya, “Terlambat bagaimana, lo-enghiong?”

“Baru tiga hari yang lalu datang se­orang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu, dan ternyata dua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan. Kemudian mereka berpamit kare­na dua orang anak angkatku itu terpaksa harus pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Tentu saja aku, biarpun dengan hati amat berat, tidak berhak untuk melarang mereka.”

Wajah Beng Sin berseri. “Ah, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong. Syukurlah kalau mereka sudah pulang bersama Kwan-twako. Dan saya sebagai kakak misannya menghaturkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang telah menolong mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan memelihara mereka selama ini!” Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. Tuan rumah itu balas menghormat.

“Hemm, engkau baik sekalig sicu, jauh lebih baik daripada kakak misanmu itu yang kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena hatiku akan merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka pulang.”

Beng Sin bergegas pamit dan kembali bersama Ciook-piauwsu. Dia lalu menge­masi pakaiannya dan berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada Ciook-piauw­su untuk membicarakan hal usul per­jodohan itu kepada pamannya. Juga da­lam kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciook dan kepada Siu Lan yang nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja!

Dengan menunggang kuda pemberian Ciook-piauwsu, Beng Sin melakukan per­jalanan cepat menuju pulang ke utara. Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu di­temani oteh Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang tertinggal selama tiga hari itu sukar untuk dapat menyusul mereka.

Akhirnya, setelah melakukan perjalan­an cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di pekarangan rumah pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kuda­nya yang mandi keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia sendiri sudah berlari memasuki rumah pamannya.

Rumah itu sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandangnya dengan kaget karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang, “Di mana tuan besar? Di mana kedua orang siocia?” Berkali-kali dia bertanya dan para pelayan hanya menggeleng kepala.

Beng Sin tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu. Akhirnya dia melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan bela­jar silat) yang luas, agaknya habis ber­latih silat karena pedang telanjang masih di tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya dan ter­senyum lebar ketika melihat masuknya Beng Sin.

“Ha, kau baru datang Sin-te (adik Sin)? Ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-moi dan Lin-moi dan membawa me­reka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu di mana mereka itu? Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal mereka itu pergi...”

“Aku sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu dari engkau tiba di Su-couw, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau telah berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang penting. Tapi di mana mereka sekarang? Dan di mana paman?”

Kembali Siong Bu tertawa dan pe­muda ini nampak girang bukan main. “Duduklah, Sin-te, duduklah di sini. Kita bernasib baik sekarang! Ah, kita akan bisa menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar tanpa melalui ujian apapun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong kita. Paman juga girang bukah main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota raja untuk menemui pa­ngeran!”

Berubah wajah Beng Sin, alisnya ber­kerut dan jantungnya berdebar tegang. “Apa...? Apa maksudmu, Bu-ko? Di mana Lan-moi dan Lin-moi?”

Melihat ini, Siong Bu memandang dengan heran. “Tentu saja mereka berada di istana Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te? Kita disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserah­kan kepada pangeran, karena kalau tidak, kita sekeluarga tentu akan celaka. Dan begitu berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka tentu saja menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran dan beliau girang sekali, langsung membawa mereka ke istana dan men­janjikan kepadaku bahwa keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi! Bu­kan hanya kemuliaan di istana atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi! Diam-diam pangeran menjanjikan sesuatu yang lebih hebat lagi!” Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan wajah­nya berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali.

Beng Sin diam-diam merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran. Dia tahu bahwa kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi mengapa sekarang be­gitu girang menyerahkan dara yang di­cintanya itu kepada pangeran? Dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya, “Hemmm, sesuatu apakah yang dijanjikannya itu?”

Dalam kegembiraannya, Siok Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu dingin sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Sambil tersenyum dia menjawab, “Ah, hal ini hanya kuberi tahu kepadamu, Sin-te, tentu pamam tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang dijanjikan oleh pangeran itu? Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha, tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!”

“Plakkk!”

“Hei, gilakah engkau?” Siong Bu meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya dan menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan ke­ras sekali itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena dia tidak pernah menyangka sama sekali bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan taat kepadanya itu tiba-tiba menyerang­nya seperti itu.

“Bu-ko, sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!” Beng Sin membentak marah. Memang sejak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai seorang yang nakal, disangkanya bahwa Siong Bu yang amat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa kira, dengan keji sekali Siong Bu malah menyerahkan dua orang dara kembar itu kepada pangeran dan merasa girang akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan begitu tak tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kalau kelak pangeran sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan ke­padanya! Memang sejak kecil dia takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah. Akan tetapi sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apalagi demi membela Kui Lan dan terutama Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut melawan Siong Bu. Apalagi Siong Bu, siapapun akan dilawan­nya demi untuk membela dara kembar itu.

“Sin-te, apakah engkau sudah gila? Kau berani menamparku?” Siong Bu me­mandang marah.

“Bu-ko, hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira engkau mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa kira, engkau malah menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke kandang serigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau jahat!”

“Keparat! Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak menjadi pemberotak menentang pangeran? Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!” bentak Siong Bu sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanannya digerakkan di depan mukanya.

“Hemm, boleh kaucoba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk dan hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kautimpakan atas diri Lan-moi dan Lin-moi!”

“Beng Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!” bentak Siong Bu makin marah.

Beng Sin melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung golok besar itu dan dengan tenang berseru, “Majulah, manusia busuk!”

Pada saat itu, terdengar teriakan dari pintu! “Tahan! Jangan berkelahi!” Suara itu adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua orang pemuda itu saling berhadapan de­ngan senjata di tangan, dan kelihatannya bukan seperti sedang berlatih silat seper­ti biasa karena wajah mereka tegang dan kelihatan marah.

Akan tetapi, begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok dengan dia mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan berkata, “Paman, bocah ini hendak memberontak!” Dan pedangnya sudah menyambar-nyambar ganas. Beng Sin cepat mengelak dan menangkis dengan penuh kewaspadaan karena diapun maklum betapa kakak misan atau juga suhengnya ini pandai sekali bermain pedang.

“Jangan berkelahi!” bentak pula Kui Hok Boan akan tetapi dua orang muda itu sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah membenci sekali karena tahu betapa dua orang dara itu seolah-olah disuguhkan begitu saja oleh Siong Bu kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa sengsara dan sedihnya hati dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka sukar ditolong lagi karena sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu. Maka segala kedukaan, penyesalan dan kemarahannya dia timpakan kepada Siong Bu yang di­anggap sebagai biang keladinya. Siong Bu yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga menyerang dengan ganas sekali dan biarpun pamannya sudah berteriak agar mereka jangan berkelahi, dia masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apalagi karena di fihak Beng Sin juga sudah terus menyerangnya dengan nekat.

Kui Hok Boan sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru saja kembali dari kota raja dan bertemu dengan Pangeran Ceng Han How, diterima sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Biarpun dia sudah mohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan me­reka, akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua orang puterinya itu telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan begitu saja ke­luar dari istana.

“Harap engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup dalam kemuliaan dan kemewahan,” kata Ceng Han Houw sambil tersenyum, kemudian Kui Hok Boan dipersilakan untuk bermalam di dalam istana.

Biarpun dia memperoleh kamar yang amat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan merasa gelisah. Sebagai seorang ayah, betapapun juga dia mengkhawatir­kan keadaan dua orang puteri yang di­cintanya. Semenjak Lan Lan dan Lin Lin minggat, selama berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan setelah kini dua orang puterinya itu ditemukan oleh Siong Bu, dia belum sempat bertemu karena mereka telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw oleh Siong Bu. Dia me­rasa rindu sekaii dan ingin melihat wajah dua orang puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan baginya. Diam-diam dia mulai menyesal. Biarpun dia akan men­dapatkan hadiah dan mendapat kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mere­ka itu benar-benar hidup berbahagia?

Karena itu, biarpun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan merasa tidak betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah berpamit dan pulang ke rumahnya di dusun Pek-jun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua orang ke­ponakan itu sedang saling berhadapan kemudian berkelahi mati-matian. Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat bertindak cepat sehingga dia hanya ber­teriak-teriak melarang mereka berkelahi, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa, bahkan sama sekali tidak turun tangan melerai mereka.

Tiba-tiba Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri bergulingan di lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling dari Go-bi-pai aseli yang tidak sempat dia pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat mainkan jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini?

Juga Siong Bu terkejut sekali dan beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu, golok Beng Sin menyambar.

“Cappp!”

“UGHHH!” Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek.

“Heiiiii...!” Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan Beng Sin yang memegang golok, Beng Sin yang berdiri terbelalak memandang kepada kakak misannya yang roboh sambil mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak dan goloknya terlepas ketika tangannya ditendang oleh pamannya.

“Siong Bu...!” Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu.

Siong Bu merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perut yang mau keluar. “Paman... aduhhh... mati aku, paman...” Dia merintih dan menangis.

“Siong Bu... ah, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kaulakukan ini? Apa yang telah kalian lakukan ini?”

Hok Boan menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya merangkul leher Siong Bu. “Kalian adalah saudara-saudara seayah, kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, dan sekarang kalian saling serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!”

Beng Sin terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Diapun berlutut dan memandang ayahnya dengan bingung.

“Paman... ayahku... bagaimana ini...?” dia tergagap.

“Siong Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, seorang janda... dan akulah ayah kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... dan kau sekarang membunuh saudara tirimu, seayah...!” Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis terisak-isak karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai.

Beng Sin memegang tangan yang lemas itu. “Bu-ko, maafkan aku... aku tidak tahu, bahwa... kita... kita masih seayah...” katanya seperti berbisik.

Siong Bu membuka matanya, terse­nyum. Agaknya kini rasa nyeri sudah meninggalkannya. “Aku... aku... yang salah...!” Dia memejamkan matanya dan napasnya putus!

Kui Hok Boan menangis dan men­jambak-jambak rambutnya. Kini Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada ayah­nya itu dengan sepasang mata berapi-api. Setelah kini dia mendengar bahwa paman atau juga gurunya ini ternyata adalah ayah kandungnya sendiri, hatinya merasa makin sedih dan menyesal. Ayah macam apa yang dimilikinya ini? Anak-anak sendiri, dia dan Siong Bu tidak diakui sebagai anak, dirahasiakan! Kemu­dian, Lan Lan dan Lin Lin, dara kembar yang menjadi puteri kandungnya sendiri, juga secara keji telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw. Dan teringat dia betapa penakut dan pengecut sikap ayahnya ini ketika muncul musuh-musuh yang tangguh, yaitu Kim Hong Liu-nio dan Pangeran Ceng Han Houw. Kini, mengingat akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, melihat pula akibatnya yang mem­buat dia sampai membunuh Siong Bu, yang ternyata malah saudaranya sendiri, saudara seayah, Beng Sin merasa me­nyesal dan semua penyesalan itu ditim­pakannya kepada ayahnya yang kini ter­isak-isak di tempat itu seperti seorang anak kecil yang tidak diberi permen!

“Kau... kau manusia busuk, manusia tak berperasaan, engkau telah menjual puteri sendiri kepada pangeran! Engkau manusia terkutuk!” Setelah berkata demikian, Beng Sin memungut goloknya dan lari meninggalkan tempat itu, tidak memperdulikan suara ayahnya yang berteriak-teriak memanggilnya.

“Beng Sin...! Beng Sin anakku, kembalilah...!”

Hok Boan bangkit berdiri, hendak lari mengejar, akan tetapi teringat kepada Siong Bu, lalu kembali dan menjatuhkan diri berlutut lagi, lalu menangis, me­ratapi nasibnya yang buruk. Dua orang puterinya diambil pangeran, Siong Bu tewas, dan Beng Sin melarikan diri! Dia ditinggal seorang diri saja di dunia ini! Para pelayan yang mendengar ribut-ribut dan datang ke lian-bu-thia itu terkejut dan segera mundur kembali dengan ngeri melihat majikan mereka meratapi mayat tuan muda yang mandi darah!

Betapa sebagian besar dari kita ini selalu bersikap seperti Kui Hok Boan! Kita selalu menyesali nasib, menyalahkan segala peristiwa yang kita anggap buruk kepada sang “nasib”. Mengapa kita begitu buta, tidak pernah mau membuka mata untuk memandang dan melihat kenyataan bahwa semua sebab dari segala “nasib” berada pada diri kita sendiri? Kitalah sumber segala penyakit, kitalah sumber segala duka, sumber segala kesengsaraan! Dan hal ini baru dapat nampak kalau kita memandang diri sendiri setiap saat tanpa membenarkan atau menyalahkan, tanpa pendapat atau kesimpulan, tanpa pamrih!

Segala peristiwa yang terjadi adalah serangkaian yang sambung-menyambung, seperti lingkaran setan dan semua pendapat dan penilaian merupakan hasil pekerjaan dari pikiran kita sendiri. Pikiran membentuk sang aku yang selalu ingin senang, ingin enak, ingin baik, ingin benar!

Kita membenci seseorang. Mengapa! Demikian pikiran bekerja. Karena orang itu jahat, karena orang itu merugikan aku, baik merugikan secara lahiriah maupun batiniah. Pendeknya, orang itu merugikan aku, tidak menyenangkan aku, maka aku membencinya. Kebencian ini adalah buatan pikiran yang menilai dengan dasar untung rugi bagi sang aku, dan kebencian ini menimbulkan scrangkaian perbuatan kekerasan, seperti memaki orang itu atau memukulnya dan sebagainya, pendeknya untuk melampiaskan dendam dan kebencian kita terhadap orang itu.

Apakah perbuatan ini dapat menghilangkan kebencian tadi? Tidak sama sekali tentunya, bahkan perbuatan ini akan menimbulkan serangkaian akibat-akibat lain yang berupa kekerasan-kekerasan. Ada kalanya, kita merasa menyesal karena kita ingat, baik melalui orang lain ataupun diri sendiri, bahwa kebencian adalah tidak baik. Kini kita membalik pandangan kita kepada diri sendiri. Tadinya, kita menujukan pandangan kita kepada orang lain, pandangan dengan penuh penilaian pikiran, pertimbangan untung rugi sehingga menimbulkan kebencian. Kini, setelah kita memandang kepada diri sendiri, kita memandang pula dengan penilaian pikiran. Ada kalanya pikiran menganggap bahwa kebencian ini tidak baik, dan harus disingkirkan, dilenyapkan. Di lain saat pikiran membela diri sendiri, perbuatannya sendiri, menganggap bahwa kebencian kita itu tepat dan benar karena memang orang itu jahat dan layak dibenci, dan sebagainya. Jelaslah, bahwa yang menimbang, yang menilai ini, juga masih si pikiran atau sang aku itu tadi. Yang menilai ini tidak ada bedanya dengan yang menilai orang yang dianggap jahat tadi, yang menilai kebencian baik atau buruk inipun adalah sang kebencian itu sendiri, tiada bedanya dengan si pikiran itulah. Dengan demikian, pikiran kadang-kadang berubah menjadi ini dan menjadi itu, namun kesemuanya itu merupakan lingkaran setan yang masih terjadi dalam lingkungan pikiran. Dengan demikian, kebencian itu akan tetap ada, bahkan makin diperkuat, makin diperbesar karena dipupuk oleh pikiran sendiri yang menilai-nilai.

Dapatkah kita memandang tanpa penilaian? Baik memandang kepada orang yang kita lalu nilai sebagai jahat itu, maupun memandang kepada kebencian kita yang kita nilai pula sebagai benar atau salah itu? Kalau kita dapat memandang tanpa ada sesuatu yang memandang, tanpa ada sesuatu yang menilai, melainkan memandang dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa ada yang waspada atau sadar, karena kalau ada berarti akan timbul pula penilaian-penilaian, maka dengan sendirinya kebencian itupun akan kehilangan tenaganya, akan lenyap dengan sendirinya karena tidak ada lagi pemupukan. Kita sadar bahwa ada kebencian dalam hati kita, akan tetapi kita tidak menilai, tidak membenarkan atau menyalahkan, kita pandang saja! Kita dalam hal ini, adalah sang pikiran itu, dan kebencian adalah sang pikiran itu pula. Biarkan pikiran memandang pikiran sendiri, tanpa ada kesatuan lain yang menilai atau menimbang, tanpa ada sesuatu yang membenarkan atau menyalahkan.

Kui Hok Boan terguncang batinnya oleh semua peristiwa itu, terhimpit oleh penyesalan, kedukaan, ketakutan dan akhirnya semua pelayan melihat orang yang dianggap pandai, baik dalam kesusasteraan maupun dalam ilmu silat, juga kaya raya ini, menangis dan tertawa, menjambak-jambak rambut sendiri dan bersikap seperti orang yang miring otaknya atau gila!



Dengan muka merah karena marah, Beng Sin terus lari meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan banyak hal memenuhi pikirannya. Kui Lin ternyata adalah adiknya sendiri, adik tiri seayah! Dia merasa heran sekali mengapa Kui Hok Boan, paman yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu merahasiakan bahwa dia dan Siong Bu adalah anak­ anak kandungnya sendiri. Tentu ada rahasia di balik semua ini! Dan dia harus dapat mengetahui rahasia itu. Dia harus dapat bertemu dengan ibu kandungnya. Bukankah ibu kandungnya telah menjadi nikouw? Pernah Kui Hok Boan yang ketika itu sebagai pamannya, menjawab pertanyaan tentang ibunya, yaitu bahwa ibunya kini telah menjadi nikouw dalam Kelenteng Kwan-im-bio di tepi Sungai Fen-ho di kaki Pegunungan Lu-liang-san, di luar sebuah dusun bernama Kwan-si­-men. Dia akan mencari ibunya, untuk bertanya tentang riwayat ibunya agar tabu siapa sebetulnya Kui Hok Boan yang mengaku sebagai ayah kandungnya itu! Dan setelah itu, barang kali, dia akan pergi ke selatan, mencari keluarga Ciook yang telah berlaku baik kepadanya dan yang mengusulkan perjodohan antara dia dan Ciook Siu Lan.

Pemuda gendut yang pergi tanpa membawa pakaian, hanya membawa golok dan sisa bekal uang yang masih ada padanya, melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san yang ter­letak di barat daya. Perjalanan yang amat sukar, melalui daerah-daerah yang liar, pegunungan dan hutan-hutan lebat, namun pemuda yang sudah merasa bahwa kini dia hidup seorang diri itu dengan tabah menempuh segala kesukaran itu, mengandalkan golok besarnya, melanjut­kan perjalanannya tanpa mengenal lelah.

Setelah melakukan perjalanan ber­pekan-pekan lamanya, akhirnya dia sampai juga di daerah kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pegunungan itu nampak dengan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi menembus awan, nampak seperti raksasa tidur yang angker dan menyeramkan.

Senja itu indah sekali. Matahari telah bersembunyi di balik puncak Lu-liang-san, akan tetapi cahayanya masih mem­bakar langit di barat, menciptakan warna-warna yang sukar dilukiskan dengan kata-kata karena indahnya. Ada warna merah yang aneh, merah bercampur kuning dan biru, dan di bagian agak ke utara nampak awan bergumpal-gumpal dengan bentuk-bentuk yang beraneka macam, bentuk-bentuk yang luar biasa anehnya dan yang tak mungkin ada yang sama. Awan-awan itu bergerak perlahan dan setiap saat berubah bentuk, akan tetapi di sisi agak ke selatan nampak lautan hitam dari awan yang kokoh dan tak pernah bergerak nampaknya, seolah-olah selamanya takkan berubah. Puncak-puncak gunung mulai kelihatan kehitaman dan pohon-pohon juga kelihatannya mulai tenang dan siap untuk mengundurkan diri ke dalam kegelapan malam di mana mereka akan beristirahat dalam kegelapan dan kesunyian. Melihat keadaan di sekeillingnya pada saat itu, yang menciptakan ketenangan dan keheningan, sejenak Beng Sin lupa akan diri sendiri, lupa bahwa dia ada dan merasa betapa dia telah dilebur menjadi satu dengan segala yang nampak itu.

Akan tetapi, begitu pikirannya masuk memecahkan keheningan itu, lenyaplah keheningan dan datanglah iba diri karena dia merasa betapa dia hidup seorang diri dan betapa dia terpencil dan sunyi seperti sebatang pohon pek di kejauhan yang tumbuh terpencil di tepi sebuah jurang. Maka datanglah kedukaan. Tak lama kemudian, ketika kegelapan mulai menyelubungi bumi, pemuda itu sudah duduk bersandar pada sebatang pohon. Didekatnya bernyala api unggun dan dia termenung memandang api yang bergerak-gerak, satu-satunya yang nampak hidup di saat itu, dengan lidah-lidah api merah kekuningan yang seperti menari-nari dengan gembira. Akan tetapi, api yang indah bercahaya itupun akhirnya akan padam dan lenyap, yang tinggal hanyalah abu dan asap yang kemudianpun akan menghilang tanpa bekas.

Pada keesokan harinya, Beng Sin mulai mencari keterangan. Akan tetapi para petani dan penghuni gunung yang ditemuinya, tidak seorangpun di antara mereka yang mengenal nama dusun Kwan-si-men atau Kuil Kwan-im-bio. Mereka hanya tahu di mana letaknya Sungai Fen-ho dan akhirnya Beng Sin mencari sungai ini. Setelah bertemu dengan sungai ini, dia mulai menyusuri sungai itu karena dia yakin bahwa dengan cara ini akhirnya dia akan bertemu dengan dusun yang dimaksudkan karena bukankah dusun itu terletak di tepi Sungai Fen-ho, di kaki Pegunungan Lu-liang-san?

Perhitungannya itu ternyata tepat karena beberapa hari kemudian, dari seorang nelayan, dia mendengar bahwa dusun Kwan-si-men terletak di depan, hanya belasan li lagi jauhnya dan bahwa memang di luar dusun itu terdapat se­buah kuil yaitu kuil di mana dipuja De­wi Kwan Im maka dinamakan Kwan-im-bio. Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Beng Sin dan dia mem­percepat langkahnya menuju ke dusun itu.

Kuil itu kecil saja, merupakan be­berapa buah bangunan kecil dengan ba­ngunan pusat di depan, yang dipergunakan sebagai tempat sembahyang. Hala­mannya cukup luas dan melihat halaman yang bersih itu menunjukkan bahwa kuil itu terurus baik-baik dan setiap hari halaman itu tentu disapu. Dari jauh su­dah terdengar suara ketukan kayu yang mengiringi suara wanita berdoa. Setelah dekat orang akan melihat asap hio mengepul, dan makin dekat lagi orang akan mencium bau harum dupa.

Biarpun para pengurus Kwan-im-bio adalah wanita-wanita yang telah menjadi nikouw, namun pengunjungnya tidak ter­batas golongan wanita saja. Oleh karena itu, munculnya Beng Sin di kuil itu tidak membuat heran para nikouw yang me­layani para pengunjung yang hendak bersembahyang. Hanya keadaan pakaian dan sikap pemuda itulah yang mendatangkan rasa heran. Biasanya, para pengunjung kuil itu hanya terdiri dari orang-orang dusun, petani-petani yang minta berkah agar hasil sawah ladang mereka baik, dan para nelayan yang juga minta berkah agar hasil penangkapan ikan mereka baik. Ada juga orang kota yang kadang-kadang datang, yaitu mereka yang mendengar berita dari bibir ke bibir bahwa kuil itu terkenal murah hati dan suka me­menuhi atau mengabulkan doa-doa dan permintaan mereka yang datang ber­sembayang. Akan tetapi pemuda ini se­lain jelas bukan petani atau pemuda nelayan, melainkan orang kota yang agak­nya datang dari jauh, melihat pakaiannya yang agak kotor dan dapat diduga bahwa pemuda ini seorang ahli silat, melihat dari golok besar mengerikan tergantung di punggung. Para nikouw itu adalah orang-orang yang hidup dengan bersih, yang menjauhi segala macam kekerasan, apalagi yang mereka puja adalah Dewi Kwan Im yang terkenal sebagai Dewi Welas Asih, maka tentu saja melihat seorang pemuda gendut yang membawa-bawa golok besar yang berkilauan saking tajamnya itu, mereka merasa ngeri!

Seorang nikouw tua cepat maju meng­hampiri dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan jari-jari terbuka dan dimiringkan. “Omitohud..., agaknya sicu mempunyai kepentingan sehingga jauh-jauh datang mengunjungi kuil ini. Apakah sicu hendak bersembahyang kepada Hud-couw?”

Beng Sin cepat memberi hormat dan berkata sejujurnya, “Maaf kalau saya mengganggu, akan tetapi kedatangan saya bukan untuk bersembahyang, melainkan untuk mencari seorang nikouw...”

Wajah halus nikouw itu kelihatan meragu dan pandang matanya penuh se­lidik, kemudian dia menarik napas pan­jang dan berkata, “Harap sicu maafkan. Para nikouw di sini adalah orang-orang yang telah mengundurkan diri dari dunia ramai, berarti sudah tidak mempunyai keluarga dan handai-taulan lagi, seluruh hidupnya telah diserahkan untuk meng­abdi kepada Kwan Im Hud-couw dan ke­pada prikemanusiaan, tidak terikat lagi oleh ikatan keluarga atau sahabat.”

“Saya tahu, akan tetapi yang saya cari adalah... ibu kandung saya sendiri yang menjadi nikouw di sini...”

Kembali nikouw tua itu menarik na­pas panjang. “Yang dimaksud keluarga juga termasuk anak, sicu, maka semua nikouw yang berada di sini sudah tidak ada ikatan lagi dengan dunia, tidak ada ikatan dengan keluarga, termasuk anak. Maka, kalau sicu bukan bermaksud untuk sembahyang, pinni mohon agar sicu suka meninggalkan kuil ini dan harap jangan mengganggu ketenteraman kehidupan para nikouw.”

Beng Sin mengerutkan alisnya. Dia sudah melakukan perjalanan jauh dan su­sah payah akan tetapi setelah tiba di tempat yang dicarinya, dia disuruh pergi begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya, bahkan untuk sekedar mendapat keterangan apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati!

“Hemm, beginikah yang dinamakan prikemanusiaan dan mengabdi prikemanu­siaan?” Dia berkata penasaran. “Agaknya para pendeta hanya mementingkan diri para pendeta sendiri, akan tetapi sama sekali tidak memperdulikan perasaan hati orang-orang biasa! Apakah suthai tidak merasakan betapa rindu hati seorang anak terhadap ibu kandungnya? Apakah suthai hendak membiarkan seorang anak menjadi kecewa dan berduka karena tidak diperbolehkan berjumpa dengan ibu kandungnya yang selamanya belum pernah dikenalnya karena sejak kecil telah di­pisahkan? Bukankah itu merupakan per­buatan yang amat kejam, bertentang dengan sifat welas asih dari Kwan Im Hud-couw sendiri?”

Nikouw tua itu menarik napas pan­jang. “Ahhh, sicu tidak tahu tentang belas kasih! Belas kasih adalah cinta kasih, dan cinta kasih tidak lagi mem­beda-bedakan antara anak atau orang lain, tidak lagi mementingkan diri pribagi, tidak ada lagi iba diri. Kami para nikouw memandang semua orang seperti anak sendiri, seperti diri sendiri, dan pemisah-misahan antara anak dan orang lain itu hanya mendatangkan ikatan be­laka dan mengembalikan kami kepada asal semula, yaitu dunia yang penuh dengan ikatan-ikatan. Harap sicu me­maklumi keadaan kami dan sudilah sicu meninggalkan kami, dan tidak lagi meng­anggap bahwa ada ibu kandung di tempat ini. Tempat ini tiada bedanya dengan tanah kuburan dan yang tinggal hanya namanya saja. Cukuplah, sicu, semoga Hud-couw memberkahimu.” Setelah berkata demikian, nikouw itu menjura dan pergi meninggalkan Beng Sin yang masih berdiri termangu-mangu di tempat itu.

Akhirnya dia tahu bahwa berdebatpun tidak akan ada gunanya, dan untuk memaksapun selain dia tidak berani dan tidak mau, juga apa hasilnya? Dia tidak akan dapat mengetahui yang mana ibu kandungnya. Dia tidak mungkin dapat bertemu dengan ibu kandungnya kecuali kalau ibu itu sendiri yang memperkenalkan diri.

Dengan kedua kaki lemas Beng Sin keluar dari kuil itu dan akhirnya dia menjatuhkan diri di bawah pohon tak jauh dari kuil. Baru sekarang terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya lemas dan lelah sekali. Tadinya dia masih penuh semangat dan bayangan kegembiraan bertemu dengan ibu kandungnya membuat dia lupa akan segala kesengsaraan perjalanan jauh itu. Akan tetapi setelah kini dia kehilangan harapan dan semangat, lemaslah dia dan terasalah semua kelelahannya. Mengingat akan semua itu, kalau saja dia tidak memiliki kekerasan hati ingin rasanya dia menangis!

Selagi dia duduk dengan muka pucat dan berulang kali menarik napas panjang, hatinya penuh kekecewaan dan kedukaan, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya, “Sicu, bukankah engkau she Tee bernama Beng Sin?”

Beng Sin terkejut dan melompat berdiri, lalu membalikkan tubuhnya. Dilihatnya seorang nikouw yang agak gemuk berdiri di depannya, seorang nikouw yang usianya kurang lebih tiga puluh lima lebih, masih nampak muda karena wajahnya terang dan bibirnya selalu mengandung senyuman biarpun sepasang matanya lembut sekali. Sejenak mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian. Jantung Beng Sin berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia ragu-ragu dan dengan lirih dia bertanya sambil menjura.

“Benar sekali, bagaimana suthai mengetahuinya?”

“Tentu saja aku tahu, karena wajahmu dan tubuhmu persis sekali, seperti kembar saja kalau dibandingkan dengan pamanmu yang tiada,” jawab nikouw itu.

Beng Sin menatap wajah nikouw itu, melihat betapa bibir dan pelupuk mata nikouw itu gemetar, biarpun pandang matanya tetap lunak dan lembut.

“Suthai... siapakah...?”

“Pinni Thian Sin Nikouw, seorang anggauta kuil ini...”

“Suthai... suthai mengenal Tee Cu Hwa yang saya cari-cari...?” Beng Sin bertanya dan sepasang matanya menatap tajam.

Nikouw itu mengangguk dan matanya berkejap dua kali, alisnya agak berkerut “Tee Cui Hwa telah mati, tidak ada lagi di dunia ini... apa yang kaukehendaki?”

Beng Sin tidak terkejut mendengar in akan tetapi dia menatap wajah itu makin tajam, wajah yang mendatangkan rasa anch dalam hatinya, seolah-olah dia selama hidupnya pernah mengenal wajah ini.

“Saya... saya hanya ingin mengetahui apakah benar saya adalah anak kan­dung dari Kui Hok Boan, dan agaknya hanya ibu kandung saya yang dapat menceritakannya kepada saya. Maka saya harap ibu... saya harap suthai sudi membebaskan saya dari kegelisahan dan keraguan ini, sudi menceritakan kepada saya tentang riwayat ibu kandung saya dan juga ayah kandung saya!”

Sepasang mata itu terpejam rapat-rapat seolah-olah hendak mencegah meng­alirnya air mata dan menekan perasaan haru yang menghimpit, akan tetapi keti­ka kedua mata itu dibuka, biarpun tidak ada air mata mengalir tetap saja kedua mata itu basah.

“Benar, Kui Hok Boan adalah ayah kandungmu. Akan tetapi perlukah sicu mengetahui riwayat yang tidak baik itu? Perlukah segala kekotoran dibongkar kembali? Tidak ada manfaatnya bagimu, sicu.”

“Tidak, saya harus mengetahuinya! Lebih tidak baik lagi kalau kekotoran itu dirahasiakan dan ditutup-tutupi karena saya telah mencium baunya yang busuk! Demi Tuhan, demi segala dewa, demi Kwan Im Pouwsat, harap suthai suka menaruh kasihan kepada saya, seorang yang ayah bundanya masih hidup dan se­gar-bugar, akan tetapi yang merasa telah menjadi yatim piatu, karena baik ayah­nya maupun ibunya sudah lama sekali tidak memperdulikan lagi kepada saya!”

“Sicu! Jangan kaukeluarkan kata-kata seperti itu,” Nikouw itu menunduk, dan dengan halus dia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua titik air mata yang turun dari kedua matanya. “Sicu tidak tahu betapa men­diang Tee Cui Hwa menderita dengan hebat, menderita lahir batin, jauh lebih hebat daripada perasaan yang sicu derita sekarang ini.”

“Akan tetapi saya sebagai anak kan­dung ibu dan ayah, berhak sepenuhnya untuk mengetahui riwayat mereka, suthai!” Beng Sin mendesak.

“Baiklah, baiklah, mari kita masuk ke ruangan tamu di kuil, nanti pinni cerita­kan semua kepadamu, sicu.” Setelah ber­kata demikian, nikouw itu lalu berjalan menuju ke kuil dengan kepala tunduk, diikuti oleh Beng Sin dari belakang. Nikouw yang mengaku bernama Thian Sin Nikouw itu memasuki ruangan tamu kuil dari pintu samping, kemudian dia duduk sambil mempersilakan pemuda itu duduk di depannya. Sejenak mereka yang duduk saling berhadapan itu saling pandang dan akhirnya nikouw itu menarik napas panjang.

“Omitohud... sama sekali bukan maksud pinni untuk membongkar kebusukan orang, akan tetapi memang benar seperti ucapan sicu tadi, sebagai putera mereka, sicu berhak mendengar dan mengetahui kesemuanya itu.” Dia berhenti sejenak, memejamkan mata seolah-olah sedang berdoa mohon pengampunan kepada Dewi Kwan Im Pouwsat yang dipujanya atas kelancangannya membongkar kebusukan orang. Kemudian dia membuka matanya yang menjadi jernih dan tenang, lalu berceritalah dia dengan suara datar dan halus tanpa disertai ketegangan atau keharuan hati, seolah-olah hanya mulutnya saja yang bergerak akan tetapi hatinya tidak ikut bicara.

Belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, gadis Tee Cui Hwa yang berusia tujuh belas tahun hi­dup berdua saja dengan Tee Kang, yaitu kakaknya yang berusia dua puluh lima tahun. Kakak beradik ini sudah yatim piatu, dan mereka hanya hidup berdua saja dari hasil pekerjaan Tee Kang sebagai seorang penjaga keamanan sebuah rumah judi yang besar. Tee Kang adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat lumayan, maka dia dapat bekerja sebagai penjaga ke­amanan rumah perjudian itu. Biarpun hidup sederhana, namun kakak beradik ini tidak kekurangan dan mereka hidup sa­ling menyayangi karena hanya berdua saja mereka di dunia ini. Pada suatu hari, Tee Kang pulang membawa seorang tamu. Tamu ini adalah sahabatnya yang bernama Kui Hok Boan, seorang pemuda yang tampan dan menarik sekali, pandai dalam ilmu sastera dan ilmu silat, akan tetapi pemuda ini juga menjadi langganan setia dari rumah perjudian itu sehingga kenal dengan Tee Kang. Tee Kang yang diam-diam hendak mencarikan jodoh untuk adik perempuannya, tertarik me­lihat teman ini dan dia membayangkan betapa akan bahagianya adiknya dan dia kalau Kui Hok Boan yang disebut Kui-siucai ini dapat berjodoh dengan Cui Hwa!

Setelah Kui Hok Boan bertemu de­ngan Cui Hwa, pemuda tampan ini se­gera tertarik, bukan oleh kecantikan Cui Hwa karena sesungguhnya gadis itu bukan tergolong gadis yang terlalu cantik sung­guhpun wajahnya bersih dan tubuhnya montok. Akan tetapi memang Kui-siucai adalah seorang pemuda mata keranjang dan hidung belang, hanya semua watak ini tertutup oleh sikapnya yang halus sebagai sasterawan sehingga Tee Kang terkelabui dan mengira bahwa pemuda itu adalah seorang yang baik budi! Me­lihat seorang gadis bagi Kui Hok Boan tiada bedanya dengan melihat seekor daging segar bagi seekor serigala kelapar­an, maka tentu saja dia diam-diam sudah mengilar! Hubungannya dengan Tee Kang menjadi makin erat sehingga akhirnya kadang-kadang Kui Hok Boan sampai bermalam di rumah kakak beradik itu.

Pada suatu sore, ketika Tee Kang pulang dari tempat kerjanya, dia terkejut melihat adiknya menangis di dalam ka­marnya. Ketika ditanya, Tee Cui Hwa mengaku bahwa siang tadi, ketika Tee Kang sedang bekerja, Kui Hok Boan da­tang dan memaksanya menuruti kehendak­nya. Dia menolak, karena mereka belum menikah, akan tetapi Kui Hok Boan me­maksa dan dengan kejam telah mem­perkosanya! Mendengar ini, Tee Kang menjadi marah bukan main. Memang benar dia ingin sekali agar adiknya men­jadi isteri Kui Hok Boan, akan tetapi tidak secara dipaksa dan diperkosa! Maka dia cepat pergi lagi mencari Kui Hok Boan dan setelah bertemu, dia minta pertanggungan jawab Kui Hok Boan untuk segera mengawini adiknya.

Akan tetapi, Kui Hok Boan menolak, bahkan menantangnya. Tee Kang menjadi marah sekali dan mereka lalu berkelahi. Akan tetapi akhirnya Tee Kang roboh dan tewas di tangan Kui Hok Boan yang lebih lihai.

Nikouw itu menghentikan ceritanya dan memejamkan kedua matanya. “Demi­kianlah, sicu, pamanmu itu tewas di tangan pria yang jahat itu...”

“Dan ibuku? Apa jadinya dengan dia?” Beng Sin mendesak, mukanya menjadi merah karena diam-diam dia marah se­kali kepada Kui Hok Boan.

“Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang dapat dijadikan pelindungnya, satu-satunya keluarganya di dunia ini. Orang she Kui itu lalu datang dan me­maksanya ikut pergi, memperkosanya dan mempermainkan sesuka hati sampai dia mengandung, lalu ditinggal pergi...”

“Keparat jahanam Kui Hok Boan!” Beng Sin berseru sambil mengepal tinjunya.

“Omitohud... semoga Pouwsat menerangi batinmu, sicu. Tidak boleh memaki dan mengutuk orang yang menjadi ayah kandungmu sendiri.”

“Lalu bagaimapa dengan ibuku, su­thai?”

“Dia melahirkan engkau, sicu... kemudian setelah menitipkan atau mem­berikanmu kepada sebuah keluarga dusun yang baik hati, dia lalu masuk menjadi nikouw...”

“Dan orang bernama Kui Hok Boan itu lalu mengambilku dan mengakuinya sebagai keponakannya!”

Nikouw itu mengangguk. “Pinni men­dengar bahwa sicu telah diambilnya dan tadinya hati pinni ikut merasa gembira karena agaknya ayah kandung itu ingat kepada anaknya sendiri...”

“Tapi dia tetap jahat! Dan ibu... ibuku adalah engkau, suthai...! Ibu...!” Beng Sin lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki nikouw itu.

Nikouw itu bangkit berdiri, memejamkan mata dan merangkap kedua tangan di depan dada. “Tidak...! Ibumu, Tee Cui Hwa telah mati bagimu dan bagi dunia, sicu. Pinni adalah Thian Sin Nikouw...”

“Ibu... tidak kasihankah engkau kepadaku, anakmu?” Beng Sin meratap, masih berlutut.

“Pinni kasihan kepadamu seperti ke­pada semua orang yang menderita, sicu. Pouwsat tidak memilih-milih orang dalam belas kasihan beliau! Ibumu telah mati dan pinni adalah seorang nikouw...” Nikouw itu menyentuh kedua pundak Beng Sin, sejenak kedua tangannya me­nyentuh mesra dan jari-jari tangan itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian seperti ada tenaga baru yang menghilang­kan getaran itu, lalu dia membangkitkan Beng Sin. “Bangkitlah dan jangan me­nuruti hati yang lemah, sicu.”

Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada nikouw itu dengan mata basah. “Baiklah, suthai, akan tetapi tentu suthai sudi untuk menggantikan kedudukan ibu­ku dan memberi kepastian dan pendapat suthai tentang perjodohanku.”

“Perjodohan? Sicu hendak menikah? Ah, baik sekali itu, tentu saja pinni me­rasa bersyukur dan akan pinni doakan selalu kepada Pouwsat agar hidupmu penuh dengan kebahagiaan, sicu, tidak seperti kehidupan ibumu dahulu!”

Beng Sin lalu menceritakan tentang usul yang diajukan keluarga Ciook kepadanya, dan menceritakan pula semua peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Kui Hok Bean, betapa dia hendak mem­bela dua orang gadis kembar yang ternyata masih adik-adik tirinya sendiri seayah itu, dan betapa dalam perkelahian dia telah membunuh kakak tirinya.

Nikouw itu mendengarkan dengan alis berkerut. Kemudian dia berkata setelah pemuda itu menghabiskan ceritanya, “Sicu, biarlah pinni mewakili ibumu dan menasihatimu. Sebaiknya engkau jangan kembali lagi kepada ayah kandungmu yang ternyata sampai sekarang masih belum juga insaf dari kesesatannya itu. Sebaiknya, mulai sekarang sicu tidak mendekatinya agar tidak timbul segala urusan yang tidak baik dan pergilah eng­kau kepada keluarga Ciook itu, terimalah usul mereka untuk menjodohkan sicu dengan gadis she Ciook itu. Pinni akan selalu berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu, sicu. Nah, sekarang ter­paksa pinni mempersilahkan sicu pergi.”

Beng Sin merasa girang sekali mendengar betapa nikouw ini, yang dia yakin adalah ibu kandungnya, telah menyetujui perjodohannya, dia merasa girang dan terharu sekali, maka dia lalu kembali menjatuhkan diri berlutut, “Ibu... suthai... terima kasih atas segala nasihatmu... kelak pada suatu hari... aku akan mengajak isteriku untuk datang menghadap ibu...!”

Sejenak nikouw itu berdiri seperti patung, dua matanya menjadi basah dan cepat-cepat dia mengusapnya dnegan ujung lengan bajunya, lalu dia tersenyum, “Bangkitlah, Beng Sin! Pouwsat akan selalu melindungimu, nak. Dan selamat jalan, doa restuku selalu menyertaimu!” Dan dia lalu membalikkan tubuh, mengucapkan doa sambil pergi dari ruangan tamu itu.

Beng Sin juga bangkit berdiri lalu melangkah keluar dari kuil, hatinya kini terasa lapang. Dia dapat memaklumi akan sikap ibu kandungnya. Dapat dia membayangkan betapa sengsara ibu kan­dungnya ketika diperkosa oleh Kui Hok Boan, dipermainkan bahkan dipisahkan dari kakak kandungnya yang terbunuh, kemudian, setelah mengandung lalu ditinggalkan oleh pria yang jahat itu. Dan pria itu adalah ayah kandungnya sendiri! Betapa benci hatinya terhadap orang itu, ingin dia kembali ke dusun Pek-jun dan membunuh Kui Hok Boan, atau terbunuh olehnya! Akan tetapi dia teringat akan semua kata-kata nikouw itu, ibu kandungnya, dan semua kebenciannya itupun dilupakannya. Memang tidak benar kalau dia akan memusuhi, apalagi membunuh ayah kandungnya sendiri. Kalau begitu, maka dia akan menjadi seorang manusia durhaka dan keji, bahkan mungkin lebih keji daripada ayah kandungnya itu sendiri! Maka, memang tepat nasihat ibunya, lebih baik dia tidak lagi mendekati manusia itu, dan menerima saja usul Ciook-piauwsu yang gagah dan baik budi itu untuk menjadi suami Ciook Sui Lan yang manis dan halus budi pula. Maka berangkatlah Beng Sin langsung menuju ke Su-couw dan dia melihat cahaya hidup baru membentang luas di depannya.



***




Apakah sesungguhnya yang terjadi pada diri Kui Lan dan Kui Lin, dua orang dara kembar puteri dari Kui Hok Boan itu? Seperti telah kita ketahui, dua orang dara kembar yang tidak sudi dijadikan selir pangeran seperti yang telah dijanjikan oleh ayah mereka kepada Pangeran Ceng Han Houw, diam-diam melarikan diri dan mereka pergi ke selatan, tidak tahu harus pergi ke mana, pokoknya meninggalkan ayah mereka yang membuat mereka merasa penasaran itu. Hampir mereka tidak percaya betapa ayah mereka itu seolah-olah hendak menjual mereka kepada pangeran yang sombong itu! Sukar mereka dapat menerima kenyataan betapa ayah mereka itu mempuhyai watak yang demikian pengecut dan palsu! Begitu kejam dan jahatnya pula telah membius Sin Liong dan Bi Cu untuk menyerahkan mereka kepada pangeran yang mengejar-ngejar Sin Liong! Padahal, Sin Liong adalah saudara mereka, anak ibu kandung mereka pula!

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya keadaan dua orang gadis remaja yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan sejauh itu, tanpa tujuan pula. Untung mereka sejak kecil telah mempelajari ilmu silat sehingga mereka memiliki tubuh yang kuat dan tahan menderita, di samping ini mereka membawa semua perhiasan mereka sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal untuk keperluan makan dan lain-lain di sepanjang perjalanan.

Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu senja Lan Lan dan Lin Lin tiba di tepi Sungai Hoang-ho. Ketika melihat sebuah perahu besar, mereka berseru memanggil tukang perahu untuk ikut menyeberang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu itu adalah milik bajak sungai! Maka ketika mereka ikut dalam perahu itu dan perahu sudah bergerak ke tengah, mereka berdua dikurung bajak! Terjadilah perkelahian seru dan andaikata pada saat itu tidak sedang lewat perahu yang ditumpangi oleh Ciang Lok atau Ciang-piauwsu, ketua dari Hek-eng-piauwkiok, entah bagaimana nasib sepasang dara kembar itu. Ciang-piauwsu menyelamatkannya dan para bajak itu takut dan segan terhadap piauwsu ini, maka mereka melepaskan Lan Lan dan Lin Lin. Ciang-piauwsu yang merasa kagum kepada dua orang dara kembar, juga karena dia sendiri tidak mempunyai anak, ketika mendengar bahwa dua orang dara itu terlunta-lunta tanpa keluarga, segera mengajak mereka ke Su-couw dan mereka berdua itu dianggapnya anak sendiri. Isterinyapun suka sekali kepada Lan Lan dan Lin Lin.

Seperti telah diceritakan, dua bulan setelah mereka itu tinggal di rumah Ciang-piauwsu, pada suatu hari muncullah Kwan Siong Bu yang dapat menemukan jejak mereka setelah pemuda ini juga dihadang bajak sungai, menundukkan bajak dan mendengar keterangan dari bajak bahwa dua orang dara kembar itu pergi ikut Ciang-piauwsu di kota Su-couw.

Kedatangan Siong Bu disambut oleh Lan Lan dan Lin Lin dengan gembira. Apalagi ketika dua orang gadis itu mendengar dari Siong Bu bahwa ayah mereka telah berubah pendirian, menyuruh Siong Bu mencari dan mengajak mereka pulang. Siong Bu bercetita bahwa ayah mereka merasa menyesal dan kini hendak mengajak dua orang puterinya itu untuk pindah secara diam-diam agar jauh dari jangkauan Pangeran Ceng Han Houw. Lan Lan dan Lin Lin girang sekali dan mereka berhasil terbujuk dan ikut pergi bersama Siong Bu. Tentu saja pemuda yang cerdik ini telah membohong. Dia tahu bahwa kalau dia berterus terang, dua orang dara itu tidak akan mau ikut pulang, dan diapun tidak mungkin dapat memaksa mereka.

Setelah berhasil membujuk dua orang dara kembar itu, mereka bertiga lalu diberi tiga ekor kuda yang baik oleh Ciang-piauwsu dan berangkatlah mereka meninggalkan kota Su-couw menuju ke kota raja, diantar dengan pandang mata duka oleh Ciang Lok dan isterinya yang merasa seperti kehilangan anak sendiri.

Setelah tiba di kota sebelah selatan kota raja, mereka bertiga bermalam dalam sebuah rumah penginapan. Lan Lan dan Lin Lin menggunakan sebuah kamar dan Siong Bu berada di kamar lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siong Bu untuk keluar dan kebetulan sekali dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw baru tiba dari selatan dan berada di kota itu. Maka cepat-cepat dia menemui pangeran ini dan memberi tahu tentang dua orang dara kembar yang baru saja dapat digiringnya kembali untuk diserahkan kepada sang pangeran!

Pada waktu itu, memang Han Houw baru saja kembali dari selatan. Tadinya dia merasa heran dan tidak mengenal pemuda yang mohon menghadap padanya di gedung pembesar setempat, akan tetapi ketika Siong Bu memperkenalkan diri sebagai keponakan Kui Hok Boan, dia segera teringat. Alis tebal pangeran ini berkerut karena dia ternyata sudah lupa lagi bahwa dia mempunyai urusan dengan keluarga Kui itu.

“Hemm, Kwan Siong Bu, sekarang aku ingat, engkau adalah keponakan orang she Kui itu. Dan ada perlu apakah engkau mengganggu waktuku?”

Melihat sikap angkuh dan ucapan yang mengandung nada tidak senang ini, Siong Bu menjadi ketakutan. Dia cepat mem­beri hormat sambil berkata, “Harap pa­duka maafkan kalau hamba mengganggu, kedatangan hamba ini adalah untuk me­nyerahkan kedua orang adik misan hamba yaitu Lan-moi dan Lin-moi, dua orang dara kembar itu.”

“Dua orang gadis kembar? Ahhh...! Benar! Mereka yang manis-manis itu!” Wajah pangeran itu berseri dan hati Siong Bu seketika merasa lega. “Di mana mereka? Apakah sudah kaubawa ke sini?”

“Itulah sebabnya hamba memberanikan diri menghadap paduka, pangeran. Kalau tidak paduka sendiri turun tangan, akan sukarlah bagi hamba untuk dapat meng­haturkan mereka kepada paduka.” Kemu­dian dengan singkat namun jelas Siong Bu lalu menceritakan kepada Han Houw akan semua yang telah terjadi, yaitu bahwa dua orang adik misannya itu telah melarikan diri dan betapa dengan susah payah akhirnya dia dapat menemukan mereka dan membujuk mereka sampai tiba di kota ini.

“Hamba telah berhasil membujuk me­reka sampai ke sini, dan kalau paduka tidak segera menguasai mereka, kalau sampai mereka lari lagi, akan sukarlah untuk menangkap mereka kembali. Mere­ka adalah dua orang dara yang berhati keras, pangeran. Hamba kini menyerah­kan mereka kepada paduka dengan penuh kerelaan hati.”

Wajah yang berseri itu nampak makin gembira, akan tetapi suaranya yang ter­dengar secara tiba-tiba itu mengejutkan Siong Bu. “Kwan Siong Bu, apa maksud­mu begini baik engkau hendak menyerah­kan dua orang adik misanmu kepadaku?”

Akan tetapi Siong Bu segera dapat menguasai kekagetan hatinya. “Tidak ada lain maksud hati kecuali hendak berbakti kepada paduka, pangeran. Hamba hanya mengharapkan kemurahan hati paduka untuk keluarga kami.”

Han Houw mengangguk-angguk, mak­lum bahwa dia berhadapan dengan pe­muda yang gila kedudukan dan pahala! Akan tetapi, pemuda semacam ini me­mang amat berguna bagi orang-orang besar seperti dia, kareha pemuda atau orang yang gila akan kedudukan akan dapat mudah menjadi hamba-hamba yang setia. “Bagus, mari antar aku kepada mereka!”

Dengan girang Siong Bu lalu mengantar Han Houw ke rumah penginapan di mana dua orang adik misannya sedang tidur. Ketika kereta yang membawa pangeran dan Siong Bu tiba di depan rumah penginapan, dan melihat pangeran itu turun, semua orang yang berada di depan cepat berlutut menghaturkan hormat karena mereka mengenal siapa adanya pemuda tampan yang berpakaian indah itu.

Siong Bu langsung membawa sang pangeran sampai ke depan pintu kamar dua orang dara kembar itu, kemudian dia mengetuk pintu. “Lan-moi! Lin-moi!”

Setelah beberapa kali mengetuk, terdengar jawaban Lin Lin dari dalam. Dua orang dara itu telah melakukan perjalanan jauh dan mereka lelah sekali maka tadi telah tidur nyanyak. Mereka kini terkejut mendengar ketukan pada pintu kamar mereka.

“Siapa di luar?” tanya Lin Lin.

“Aku, Lin-moi. Bukalah pintu kamarnya, aku mau bicara, penting sekali!” kata Siong Bu mendesak dan Han Houw sudah tersenyum gembira ketika mendengar suara gadis yang merdu dari dalam kamar itu.

“Tunggu sebentar, Bu-ko!” terdengar Lin Lin berkata. Dua orang dara ini terkejut dan menduga tentu ada bahaya, maka mereka cepat turun dari tempat tidur dan tergesa-gesa mengenakan pakaian mereka, pakaian ringkas dan memakai sepatu, siap untuk segera pergi kalau keadaan memaksa. Setelah selesai, barulah Lin Lin dan Lan Lan menghampiri pintu kamar dan membukanya.

“Lan-moi dan Lin-moi, ini pangeran sudah datang menyambut kalian!” kata Siong Bu sambil moloncat ke belakang, membiarkan Han Houw memasuki pintu kamar itu. Dua orang dara itu torkejut bukan main dan mereka mundur kembali ke dalam kamar dengan mata terbelalak dan muka pucat, menatap wajah pangeran yang tampan dan tersenyum-senyum itu. Han Houw melangkah masuk dengan gayanya.

“Selamat malam dan selamat berjumpa kembali, dua orang nona kembar yang manis. Ah, kini kalian nampak semakin manis saja. Keretaku telah menanti di luar, marilah kalian kuantar pulang...”

“Pu... pulang...?” Kui Lan bertanya, penuh harap. Benarkah pangeran hendak mengantar mereka pulang ke dusun Pek-jun?

“Ha-ha, tentu saja. Pulang ke istanaku sayang, dan kita akan bersenang-senang, pesta menyambut kedatangan kalian berdua, nona-nona manis.”

“Tidak sudi!” Tiba-tiba Kui Lin membentak dan dia sudah mencabut pedangnya, diikuti pula oleh Lan Lan. Seperti dua ekor singa betina, dua orang dara kembar ini dengan pedang di tangan sudah menghadapi sang pangeran, sedikitpun tidak gentar dan mereka memandang penuh kebencian. Melihat sikap mereka ini, Han Houw menjadi semakin gembira dan kagum! Belum pernah ada wanita berani atau mau menolak cintanya, akan tetapi dua orang dara kembar ini menentangnya dengan penuh kegagahan, dan hal ini merupakan permainkan baru baginya!

“Ha-ha-ha, kalian masih sama gagahnya seperti dulu. Bahkan lebih gagah! Akan tetapi, enam bulan yang lalu kalian bukan lawanku, apalagi sekarang setelah aku menjadi jagoan nomor satu di dunia! Ha-ha, kalian boleh menyerangku sesuka hati kalian, nona-nona manis!”

“Hemm, kedudukanmu saja tinggi, engkau seorang pangeran, akan tetapi watakmu rendah, engkau hendak memaksa gadis-gadis yang tidak sudi menjadi permainanmu!”

“Lebih baik mati!” Lin Lin membentak dan dia sudah menerjang maju dan menyerang dengan pedangnya, diikuti oleh lan Lan. Dua orang dara itu menggerakkan pedang mereka dengan ganas dan kini gerakan mereka memang lebih hebat daripada enam bulan yang lalu. Hal ini adalah karena mereka selama dua bulan telah menerima pelajaran ilmu pedang dari Ciang Lok, ketua Hek-eng-piauwkiok. Akan tetapi tentu saja berhadapan de­ngan Han Houw, mereka itu tidak ada artinya. Han Houw hanya tersenyum-senyum saja menghadapi serangan mereka dan begitu tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dua orang dara itu melongo dan memandang pedang mereka yang telah pindah ke dalam kedua tanga Han Houw! Kiranya pangeran yang amat lihai itu tadi telah memapaki serangan mereka dengan dorongan kedua tangan yang mendatangkan hawa pukulan kuat, membuat tangan mereka yang memegang pedang tertahan, kemudian dalam satu detik itu, tangan kanan dan kiri dari pangeran itu telah berhasil merebut pedang!

Akan tetapi hanya sejenak saja dua orang dara kembar itu tertegun, karena di lain saat mereka telah menyerbu lagi dengan nekat, menggunakan kepalan tangan mereka!

Terdengar suara bak-bik-buk ketika empat buah kepalan kecil itu menghujankan pukulan ke tubuh Han Houw, akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum saja, bahkan lalu berkata, “Lain kali kalau memijiti tubuhku bukan begini caranya, sayang!”

Tentu saja dua orang dara itu ter­kejut dan makin marah. Kini mereka menyerang ke arah kedua mata pangeran itu! Han Houw melangkah mundur dan dua kali tangannya bergerak dan dua orang dara itu terkulai lemas karena sudah kena ditotoknya. “Kwan Siong Bu! Bawa mereka ini ke dalam kereta!” pe­rintah Han Houw.

Siong Bu masuk dan dia melihat betapa kedua orang piauw-moinya itu sudah rebah di atas lantai dengan lemah lunglai. Dia lalu memanggul tubuh dua orang adik misannya itu dan membawa mereka ke dalam kereta. Pangeran Ceng Han Houw mengikutinya dari belakang dan setelah mereka masuk ke dalam, kereta lalu dijalankan menuju ke istana di mana Han Houw tinggal kalau dia berada di kota raja. Semua orang yang melihat peristiwa ini hanya tertawa dan menganggapnya lucu sekali bahwa ada dua orang dara yang diambil oleh pangeran bersikap demikian aneh dan berani menentang, juga berita tentang kebolehan pangeran itu menundukkan dua orang gadis itu segera tersiar di mana-mana dan orang-orang memuji kelihaian pangeran itu

Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 4 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kho-ping-hoo-pendekar-lembah_2163.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kho-ping-hoo-pendekar-lembah_2163.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar