Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 08 Mei 2012

Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 3

Apa yang diceritakan oleh Ouwyang Bu Sek memang tidaklah aneh, dan memang mungkin saja terjadi. Apapun yang diangan-angankan oleh pikiran memang dapat terujud, sungguhpun ujud itu bukan merupakan kenyataan melainkan hanya merupakan gambaran angan-angan belaka, merupakan pemantulan daripada khayal kita sendiri. Bukan bohong kalau ada orang yang mengatakan bahwa dia melihat setan, akan tetapi setan yang dilihatnya itu tentulah suatu ujud atau rupa yang telah diangankan sebelumnya, telah didengar dari dalam cerita, telah dikenal dari dongeng atau penuturan orang lain. Bukan hal aneh pula kalau seseorang dapat melihat atau bertemu dengan seorang tokoh dewa atau nabi, akan tetapi yang dilihat atau dijumpainya itu tentulah tokoh yang memang dipuja-pujanya, atau setidaknya yang berkesan di hatinya, dan sudah pasti merupakan tokoh yang pernah didengarnya, jadi telah dikenal pula penggambarannya sehingga telah terbentuk suatu gambaran khayal di dalam batinnya. Hal ini adalah jelas dan mudah dimengerti, bukan teori kosong belaka. Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau seorang tokoh aneh seperti Ouwyang Bu Sek dapat “bertemu” dengan seorang tokoh pujaannya yang disebutnya Bu Beng Hud-couw itu, sungguhpun Sin Liong atau orang lain tidak dapat melihatnya. Dan tidak aneh pula kalau dia dapat “bercakap-cakap” dengan tokoh bayangan itu. Bukankah sering kali kita dapat pula “bercakap-cakap” di dalam batin kita, seolah-olah ada dua, bahkan lebih banyak lagi fihak yang bercakap-cakap dan bahkan berbantahan?

Betapapun juga, Sin Liong beruntung berjumpa dengan kakek itu karena sesungguhnya kitab-kitab yang dilarikan oleh Ouwyang Bu Sek dalam kuil tua di Himalaya itu mengandung pelajaran-pelajaran ilmu yang amat tinggi, dan mulailah Sin Liong mempelajari isi kitab di bawah petunjuk dan bimbingan Ouwyang Bu Sek. Dan memang Sin Liong memiliki bakat yang baik sekali, terutama sekali karena dia memiliki dasar yang amat kuat setelah dia mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu dari pendekar sakti Cia Keng Hong.

Kota Yen-ping terletak di tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian. Karena tempat ini terletak di pegunungan yang subur dan sunyi, juga karena Sungai Min-kiang itu mengalir terus ke laut, maka tempat ini dipilih oleh para tokoh liok-lim dan kang-ouw sebagai tempat berkumpul dan pada hari itu di sebuah lereng di luar kota Yen-ping kelihatan ramai sekali dengan berkumpulnya banyak tokoh karena pada hari itu mereka mengadakan pemilihan seorang “bengcu” baru. Seorang bengcu adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin untuk menjaga keutuhan para tokoh kang-ouw, liok-lim, dan para partai yang banyak terdapat di selatan. Para tokoh dunia hitam yang juga disebut kaum sesat pada waktu itu adalah golongan hina atau rendah. Sebaliknya malah, mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang gagah berani yang hidup mengandalkan kekuatan sendiri. Bagi mereka ini, hukum berada di ujung senjata atau di dalam kepalan tangan mereka sendiri! Betapapun juga, mereka maklum bahwa tanpa adanya seorang bengcu yang berwibawa dan pandai, maka persatuan dan keutuhan tidak dapat dipertahankan dan mereka tentu akan mudah diserang atau dibasmi oleh fihak lain. Juga tanpa adanya seorang bengcu, maka pertikaian-pertikaian di antara mereka sendiri dapat berlarut-larut dan membahayakan ketahanan mereka sendiri. Dengan adanya bengcu, maka segala dapat didamaikan dan diselesaikan dengan baik yaitu urusan yang timbul di antara mereka sendiri yang menganggap sebagai orang-orang segolongan dan senasib.

Pemilihan bengcu tahun ini diselenggarakan atau dipelopori oleh perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu perkumpulan yang paling terkenal di daerah itu. Perkumpulan ini bergerak dalam bermacam lapangan, di antaranya membuka perusahaan ekspedisi, yaitu pengawal barang-barang kiriman, baik melalui darat, sungai maupun laut. Oleh karena itu, perkumpulan ini tentu saja berhubungan baik dengan golongan perampok dan bajak. Di samping itu, juga perkumpulan ini membuka bandar-bandar judi dan tempat-tempat pelacuran di kota-kota besar, maka selain perkumpulan ini terkenal dan kuat, juga berhasil mengumpulkan kekayaan yang lumayan besarnya. Dari namanya saja menunjukkan bahwa perkumpulan ini adalah perkumpulan orang-orang yang memiliki sin-ciang (tangan sakti) dan tiat-thouw (kepala besi), pendeknya orang-orang yang merupakan jagoan-jagoan. Dan sekali ini Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengambil prakasa melakukan pemilihan bengcu dan membiayainya oleh karena perkumpulan yang berpengaruh dan luas daerah operasinya ini merasa terancam kedudukan mereka oleh perkumpulan-perkumpulan lain yang mereka anggap suka menjilat kepada pemerintah. Kalau mereka mengambil prakasa, maka bengcu yang dipilih kelak tentu akan melindungi mereka.

Tempat yang dipilih untuk pertemuan besar antara tokoh-tokoh kaum sesat itu adalah puncak sebuah bukit yang datar dan dilindungi pohon-pohon dan tanahnya tertutup rumput segar seperti permadani hijau. Di tengah-tengah padang rumput di puncak bukit itu didirikan sebuah panggung yang cukup luas, terbuat dari papan-papan tebal di atas tiang-tiang batang pohon yang besar dan kokoh kuat. Karena pertemuan itu merupakan rapat umum, demi kepentingan umum, bukan undangan pribadi dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka perkumpulan itupun tidak menyediakan meja kursi dan para tokoh kang-ouw yang datang mengambil tempat duduk di sekitar lapangan itu. Ada yang duduk di atas batu dan akar pohon, di atas rumput, ada yang nongkrong berjongkok seenaknya, ada pula yang sambil rebah melepaskan lelah, ada yang bersila dalam samadhi dengan sikap yang lebih hendak menjual tampang daripada bersamadhi benar-benar, ada pula yang nongkrong di atas pohon. Bermacam-macam sikap orang-orang liok-lim yang kasar-kasar ini, tidak jarang pula yang sikapnya aneh-aneh. Lucunya, seperti hampir dapat kita saksikan sampai hari ini, kekasaran dan keanehan sikap itu tidaklah wajar, melainkan disengaja dan dibuat-buat karena pada dasarnya semua sikap itu terdorong oleh keinginan untuk menonjolkan diri agar menjadi perhatian orang lain! Betapa kita ini, orang-orang dewasa, orang-orang tua, masih saja seperti kanak-kanak, yaitu mempunyai kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian orang, ingin menonjolkan, ingin “lain daripada yang lain” sehingga muncullah sikap bermacam-macam. Ada pula di antara mereka yang datang hanya dengan mengenakan cawat saja, bertubuh kurus kering karena kurang makan atau berpuasa. Sepintas lalu orang akan merasa segan karena menganggap dia itu seorang pertapa sederhana yang menjauhkan diri dari segala urusan dunia! Akan tetapi, kehadirannya di situ saja membuktikan bahwa dia sama sekali tidaklah sederhana! Kesederhanaan cawat dan tubuh kurus itu tak lain tak bukan hanya merupakan suatu kesengajaan yang di “pasang” agar menarik perhatian belaka. Kesederhanaan yang berteriak lantang, “lihatlah aku ini, lihatlah kesederhanaanku! Hebat, bukan?”

Karena pada waktu itu keadaan kerajaan sedang kemelut, pergantian kaisar tua yang meninggal oleh kaisar muda mendatangkan keguncangan hebat, maka guncangan itu terasa sampai ke dunia hitam dan oleh karena itu pertemuan rapat yang diadakan untuk memilih bengcu ini mendapat perhatian amat besar, tidak hanya oleh golongan sesat, oleh partai-partai persilatan, akan tetapi juga oleh golongan pendekar.

Semenjak pagit para tokoh datang membanjiri tempat itu. Wakil-wakil partai persilatan, wakil-wakil perkumpulan dan golongan, juga perorangan, memenuhi tempat itu dan keadaan seperti pesta karena rombongan-rombongan itu membawa bendera dan tanda perkumpulan masing-masing. Juga terdapat kegembiraan besar karena dalam kesempatan inilah mereka dapat saling bertemu dan berkumpul, dan di antaranya banyak terdapat teman-teman lama yang tentu saja menjadi gembira karena dapat saling jumpa.

Di antara para wakil-wakil partai persilatan besar, terdapat seorang pemuda berusia delapan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, berkulit agak kecoklatan, sikapnya gagah sekali akan tetapi tarikan dagunya membayangkan ketinggian hati seorang jagoan muda yang memandang diri sendiri terlampau tinggi dan seolah-olah tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih lihai daripada dia! Ketika dia memperkenalkan diri, semua orang memandang kepadanya dengan agak segan karena pemuda itu memperkenalkan diri sebagai wakil dari Cin-ling-pai!

“Ahhh, taihiap adalah wakil dari Cin-ling-pai? Silakan duduk di tempat kehormatan...!” Demikianlah para penyambut dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang berkata dengan hormat dan sebutan “sicu” berubah menjadi “taihiap”. Demikian angkuhya pemuda itu lalu duduk di “tempat kehormatan” yang sebenarnya hanyalah bangku-bangku kayu biasa, hanya diletakkan di belakang panggung dan di tempat yong agak tinggi.

Sin Liong yang berada pula di situ, yang menyelinap di antara para tamu yang amat banyak dan tidak seorangpun memperhatikan pemuda tanggung berpakaian sederhana ini, merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah wakil Cin-ling-pai. Dia cepat menyusup di antara orang banyak dan duduk tidak jauh dari pemuda tampan gagah itu. Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda ini, padahal baru tiga tahun dia meninggalkan Cin-ling-san. Sin Liong kini telah berusia enam belas tahun, dan sudah tiga tahun dia berada di tempat tinggal Ouwyang Bu Sek. Hari itu dia diutus oleh suhengnya untuk mewakili suhengnya yang sudah tua dan malas pergi di tempat pertemuan itu. Karena dia hanya seorang pemuda tanggung berusia enam belas tahun yang tidak menarik perhatian, maka fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang tidak menyambutnya dan diapun menyusup di antara banyak tamu. Dia tentu hanya dianggap seorang pengikut dari sekian banyaknya rombongan yang datang.

Tentu saja Sin Liong tidak mengenal pemuda yang gagah itu. Pemuda itu bernama Kwee Siang Lee. Dia adalah putera dari seorang tokoh Cin-ling-pai yang terkenal pula. Ayahnya adalah Kwee Tiong, seorang anak murid Cin-ling-pai yang sudah memiliki tingkat lumayan, sedangkan ibunya adalah seorang wanita dari Tibet bernama Yalima, puteri seorang kepala dusun di Tibet yang melarikan diri untuk mencari Cia Bun Houw yang menjadi kekasihnya, akan tetapi kemudian karena Cia Bun Houw tidak lagi mencintanya lalu mendapatkan penggantinya dalam diri Kwee Tiong sehingga mereka berdua lalu menikah di Cin-ling-san (baca cerita Dewi Maut).

Kwee Siang Lee, pemuda yang berusia delapan belas tahun itu, adalah anak tunggal suami isteri ini, dan sejak kecil tentu saja Kwee Siang Lee telah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu yang khas dari Cin-ling-pai. Sebenarnya pemuda ini sama sekali bukanlah seorang wakil Cin-ling-pai yang diutus oleh perkumpulan itu. Seperti kita ketahui, semenjak kematian Cia Keng Hong sebagai ketua dan pendiri Cin-ling-pai, perkumpulan ini seolah-olah telah bubar dan hanya tinggal bekas-bekas anggautanya saja yang tinggal di sekitar Pegunungan Cin-ling-san atau bahkan banyak yang sudah pergi ke tempat lain yang jauh.

Ketika itu Kwee Siang Lee sedang melakukan perjalanan merantau dan ketika dia tiba di daerah itu dia mendengar akan pertemuan yang diadakan untuk melakukan pemilihan bengcu. Sebagai seorang pemuda yang berdarah panas dan menganggap bahwa perkumpulan Cin-ling-pai adalah perkumpulan terbesar dan bahwa kepandaiannya telah boleh diandalkan untuk mewakili perkumpulan kebanggaannya itu, maka dia ingin mengangkat nama Cin-ling-pai dan mewakili perkumpulan itu secara pribadi!

Setelah matahari naik tinggi, tempat itu sudah penuh dengan para pendatang. Tempat kehormatan yang berada di dekat panggung itupun sudah penuh dengan para tokoh besar di dunia persilatan bagian selatan. Tak lama kemudian, fihak penyelenggara pertemuan itu, yaitu dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maju ke atas panggung dan memberi hormat ke empat penjuru. Mereka berdua itu adalah Sin-ciang Gu Kok Ban yang tinggi kurus sebagai ketua pertama dan Tiat-thouw Tong Siok yang tinggi besar sebagai ketua ke dua atau wakil ketua dari perkumpulan itu.

Setelah menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada hadirin semua, dengan suara lantang Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata, “Seperti cu-wi (anda sekalian) ketahui, bengcu kita yang lalu adalah seorang tua yang kurang tegas dan kini telah meninggal dunia, maka perlulah bagi kita untuk mengangkat seorang bengcu baru. Setelah kita semua berkumpul, maka sebaiknya kita kini mengajukan calon masing-masing untuk pemilihan bengcu baru. Hendaknya cu-wi memilih seorang yang benar-benar cakap, berkepandaian tinggi, berwibawa dan berani untuk diajukan sebagai calon. Pertama-tama, kami dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang mengajukan calon kami, yaitu Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua dari perkumpulan kami sendiri!”

Orang tinggi besar berusia empat puluh tahun itu kini menjura ke empat penjuru, disambut tepuk sorak para anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang memenuhi tempat itu dan tentu saja mereka ini menjagoi calon mereka. Sin Liong memandang penuh perhatian. Wakil ketua dari perkumpulan itu bertubuh tinggi besar, mukanya penuh bopeng, dan kepalanya yang botak itu mengkilap agak kebiruan. Melihat julukannya, Tiat-thouw (Kepala Besi) dapat diduga bahwa kepala yang botak itu tentu ampuh sekali.

“Para calon dipersilakan naik untuk memperkenalkan diri,” kata pula Sin-ciang Gu Kok Ban yang memberi isyarat kepada Tong Siok untuk kembali ke tempat duduknya di fihak tuan rumah. Gu Kok Ban sendiri, seorang kakek berusia empat puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka pucat, masih berdiri di situ menanti datangnya calon-calon untuk diperkenalkan.

Tidak banyak tokoh yang berani muncul di atas panggung. Pemilihan bengcu bukanlah hal yang remeh dan hanya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sajalah yang patut menjadi bengcu. Kepandaian dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah terkenal sekali, maka majunya wakil ketua itu sebagai calon sudah merupakan hal yang membuat jerih para calon lain karena mereka merasa tidak akan mampu menandingi kepandaian Tiat-thouw Tong Siok! Akan tetapi tentu saja ada pula beberapa golongan yang merasa penasaran dan ingin kalau tokoh dari golongan masing-masing yang menjadi bengcu, segera mengajukan tokoh yang mereka pilih sebagai calon. Pertama-tama yang melayang ke atas panggung dengan gaya yang kasar adalah seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan. Dari pakaiannya jelas dapat dikenal bahwa dia adalah seorang pengemis tua yang memegang sebatang tongkat butut dan mukanya tertawa-tawa penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Kakek ini adalah seorang tokoh yang amat terkenal di selatan dan semua orang, termasuk Sin-ciang Tiat-thouw-pang sendiri menjadi tercengang karena mereka tidak menyangka bahwa kakek tokoh pengemis ini akan muncul menjadi calon bengcu! Padahal biasanya, kaum pengemis itu seperti “tahu diri” dan tidak pernah ada yang mencalonkan diri sebagai bengcu, sungguhpun pada setiap pemilihan mereka hadir dan mereka juga ikut menentukan pilihan. Akan tetapi baru sekarang mereka mengajukan seorang calon yang keluar dari golongan mereka sendiri. Kakek ini adalah Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan) yang biarpun tidak secara resmi menjadi “raja pengemis” namun telah diakui sebagai datuk yang ditaati oleh semua perkumpulan pengemis di daerah selatan.

Hadirnya Lam-thian Kai-ong sebagai calon bengcu benar-benar mencengangkan dan merupakan tanda bahwa kini fihak pengemis mulai menaruh perhatian akan kedudukan dan pengaruh dan hal ini ada hubungannya dengan kemelut yang terjadi di kota raja sebagai akibat dari penggantian kaisar.

Setelah Lam-thian Kai-ong diperkenalkan kepada hadirin sebagai calon ke dua, banyak tokoh yang tadinya berniat memasuki pemilihan ini diam-diam mengundurkan diri. Setelah orang-orang lihai seperti Tiat-thouw Tong Siok dan Lam-thian Kai-ong maju, siapakah yang akan berani menandingi mereka? Daripada kalah dan mendapat malu, lebih baik siang-siang mengundurkan diri! Maka, kini yang berani muncul menjadi wakil golongan masing-masing hanya tinggal lima orang saja!

Pertama adalah Tiat-thouw Tong Siok, wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi tuan rumah. Calon ke dua adalah Lam-thian Kai-ong yang mewakili golongan pengemis dan gelandangan. Ke tiga adalah seorang tosu tua bermuka putih yang bermata tajam dan bersikap angkuh. Tosu ini bernama Kim Lok Cin-jin, wakil ketua Pek-lian-kauw bersama belasan orang tokoh perkumpulan itu. Calon ke empat adalah seorang guru silat yang terkenal sekali dari kota Amoi, berkepandaian tinggi dan menerima murid-murid dengan bayaran mahal. Guru silat ini dipilih oleh golongan tukang pukul, guru silat, dan para piauwsu. Dia bernama Ouw Bian, dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, berusia lima puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan matanya lebar. Adapun calon ke lima yang dicalonkan oleh para maling tunggal dan dunia pelacuran, adalah seorang maling tunggal yang amat terkenal di dunia selatan. Dia seorang pria berusia empat puluh lima tahun, berwajah tampan, tubuhnya sedang saja akan tetapi pakaiannya selalu indah seperti pakaian seorang hartawan. Namanya adalah Bouw Song Khi dan orang ini selain terkenal sebagai seorang maling tunggal yang lihai dan ditakuti, juga dia terkenal sebagai seorang hidung belang yang biasa keluyuran di tempat-tempat pelacuran dan selain itu juga dia dikenal sebagai seorang yang suka mengganggu wanita, seorang jai-hwat-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang cabul, sungguhpun dia tidak pernah mau melakukan kejahatan-kejahatan itu di daerahnya sendiri, melainkan memilih daerah di luar kekuasaannya sehingga namanya disegani dan dihormati. Itulah sebabnya mengapa dia sampai dapat terpilih menjadi seorang calon bengcu.

Lima calon ini saja sudah terhitung banyak, karena andaikata pada saat itu muncul orang-orang seperti Lam-hai Sam-lo, kiranya beberapa orang di antara mereka akan mundur lagi! Para gerombolan yang termasuk golongan bajak sudah merasa tidak puas dan heran mengapa datuk-datuk mereka itu tidak muncul.

Melihat tidak ada orang lagi yang maju sebagai calon, Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua penyelenggara pemilihan bengcu lalu berseru nyaring kepada semua yang hadir. “Apakah tidak ada lagi saudara-saudara yang mengajukan calon bengcu kecuali lima orang ini saja?”

Memang pemilihan kali ini agak sepi. Pilihan bengcu pada beberapa tahun yang lalu diikuti oleh belasan orang calon! Hal ini adalah karena yang maju adalah orang-orang yang amat terkenal sehingga para calon yang merasa tidak mungkin dapat menandingi calon-calon yang terkenal ini sudah lebih dulu mundur untuk menghindarkan diri mendapat malu, kalah dalam perebutan itu. Lima orang yang tinggal ini adalah tokoh-tokoh yang biarpun sudah saling mengenal namun belum pernah menguji kepandaian masing-masing, maka mereka berani untuk maju.

Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara yang nyaring. “Aku maju sebagai seorang calon!”

Yang membuat semua orang terkejut dan memandang heran adalah karena mereka melihat bahwa yang berseru nyaring itu adalah seorang pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai utusan atau wakil dari Cin-ling-pai! Kini semua mata memandang kepada Kwee Siang Lee dengan penuh perhatian. Pemuda itu memang gagah dan tampan, sepasang matanya yang lebar dan bukan seperti kebanyakan orang itu amat tajam, menentang semua orang dengan penuh keberanian. Memang pemuda ini memiliki mata seperti mata ibunya, wanita Tibet itu. Memang pemuda ini mengesankan sekali. Usianya baru delapan belas tahun, wajahnya bersih tampan dengan rambut hitam lebat disisir rapi dan digelung ke atas dibungkus dengan kain berwarna merah. Bajunya berwarna biru, diikat dengan sabuk sutera kuning, dan celananya berwarna putih bersih. Biarpun pakaiannya tidak dapat disebut mewah, bahkan terbuat dari bahan sederhana, namun karena bersih dan yang memakainya seorang pemuda remaja yang tampan, maka kelihatan pantas dan rapi. Tubuhnya sedang saja, namun padat dan membayangkan tenaga muda yang kuat.

Semua orang yang hadir merasa terkejut dan heran karena mereka semua mendengar bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah partai yang besar dan termasuk partai dari golongan pendekar, partai bersih yang biasanya menjadi lawan dari golongan sesat atau golongan hitam. Kalau Cin-ling-pai hanya mengirim utusan sebagai peninjau saja, seperti partai-partai lain yang juga mengirim utusan seperti partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain itu, maka hal ini tidak mengherankan. Akan tetapi bagaimana Cin-ling-pai mengirim seorang wakil yang mencalonkan diri menjadi bengcu? Akan tetapi karena pemuda yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai itu sudah mengajukan diri sebagai calon bengcu, maka ketua Sin-ciang Toat-thouw-pang menjadi bingung juga. Dia tentu saja tidak berani menolak, apalagi ketika para wakil golongan bersih yang lain bertepuk tangan dan mengangguk-angguk tanda setuju. Tentu saja mereka ini merasa suka kalau bengcu terjatuh ke tangan seorang Cin-ling-pai yang terkenal menjadi pusat para pendekar.

Sejak tadi, Sin Liong memang sudah memperhatikan Kwee Siang Lee yang mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai. Kini, melihat pemuda tampan itu bahkan mengajukan diri sebagai wakil yang mencalonkan diri sebagai bengcu, tentu saja Sin Liong makin terheran-heran. Kehadirannya di tempat itu hanyalah karena dorongan suhengnya Ouwyang Bu Sek menyuruh dia menghadiri pemilihan bengcu hanya untuk meninjau dan mencari pengalaman saja. Kini, mendengar pemuda tampan itu mewakili Cin-ling-pai mengajukan diri sebagai calon bengcu, tentu saja dia amat tertarik karena dia menjunjung tinggi nama Cin-ling-pai sebagai partai dari kong-kongnya (kakeknya).

Selagi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu meragu dan tidak berani menolak, akan tetapi juga belum menerima Kwee Siang Lee sebagai calon bengcu yang ke enam, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Tidak pantas...!” Dan nampak bayangan orang meloncat ke atas panggung, langsung berdiri menghadapi Sin-ciang Gu Kok Ban ketua perkumpulan tuan rumah.

Semua orang memandang. Kiranya yang meloncat ke atas panggung itu adalah Kim Lok Cinjin, wakil ketua Pek-lian-kauw yang tadi sudah diangkat menjadi seorang di antara calon-calon bengcu. Kim Lok Cinjin ini adalah sute dari Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw di selatan. Dan sejak dahulu, Pek-lian-kauw memang membenci Cin-ling-pai yang dianggap menjadi musuh mereka. Oleh karena itu, Kim Lok Cinjin juga membenci Cin-ling-pai sehingga begitu melihat Cin-ling-pai diwakili seorang pemuda remaja yang mengajukan diri sebagai calon bengcu, hatinya sudah terasa panas dan dia cepat meloncat ke atas panggung sambil mencela.

Melihat tosu ini, Sin-ciang Gu Kok Ban menjura dan bertanya, “Apakah yang dimaksudkan oleh totiang?”

“Pangcu, kami menolak kalau bocah itu menjadi calon bengcu mewakili Cin-ling-pai!” bentaknya dengan nada keras dan menghina. “Semua calon bengcu yang berada di sini adalah orang-orang terhormat, yang menjadi calon karena diangkat oleh golongan masing-masing sebagai orang pilihan. Akan tetapi, siapakah yang mengangkat wakil Cin-ling-pai ini? Huh, siapakah yang tidak mendengar Cin-ling-pai itu perkumpulan macam apa? Mana mungkin ada kerja sama antara Cin-ling-pai dengan kita? Lihat saja buktinya. Cin-ling-pai mengirim wakilnya yang hanya seorang, itupun masih seorang bocah ingusan pula, dan kini bocah itu malah mengajukan diri sebagai calon bengcu! Bocah ingusan seperti itu menjadi bengcu? Ha-ha, bisa ditertawakan oleh cucu-cucu kita! Coba cu-wi (anda sekalian) pikir baik-baik, bukankah perbuatan Cin-ling-pai itu berarti memandang rendah dan menghina jagoan-jagoan selatan? Apa Cin-ling-pai mengira bahwa pemilihan bengcu di antara kita ini hanya permainan kanak-kanak belaka yang boleh dimasuki oleh bocah ingusan itu?”

“Tosu sombong...!” terdengar teriakan nyaring dan semua orang melihat pemuda Cin-ling-pai yang tampan itu tiba-tiba meloncat tinggi sekali dan tubuhnya lalu membuat poksai (salto) berjungkir balik tiga kali dengan gaya yang indah sekali, baru dia turun ke atas panggung tanpa menimbulkan suara tanda bahwa pemuda ini memiliki gin-kang yang sudah lumayan tingkatnya. Ketika Kwee Siang Lee meloncat, banyak orang bertepuk tangan memuji.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia mengerti pula bahwa loncatan dengan gaya jungkir balik seperti itu membutuhkan latihan dan juga membutuhkan tenaga gin-kang yang lumayan, akan tetapi dengan memamerkan kepandaian seperti itu di hadapan demikian banyaknya orang pandai sungguh merupakan suatu kebodohan dan menandakan bahwa pemuda Cin-ling-pai itu sungguh-sungguh berwatak angkuh, sombong dan tolol! Akan tetapi dia hanya melihat saja dan mencurahkan penuh perhatian untuk melihat perkembangannya.

Kwee Siang Lee sudah berdiri di depan tosu Pek-lian-kauw yang memandangnya dengan mulut bercibir, sedangkan ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah turun dari atas panggung. Ketua perkumpulan ini memang cerdik juga. Dia tahu siapa adanya tosu itu dan tosu itu tentu saja akan merupakan saingan berat bagi sutenya yang dia calonkan menjadi bengcu. Kalau sekarang tokoh Pek-lian-kauw ini ribut dengan wakil Cin-ling-pai yang ternyata memiliki gin-kang yang boleh juga itu, hal ini merupakan suatu keuntungan baginya. Dua orang calon bengcu yang datang dari perkumpulan besar sudah hendak ribut dan bermusuhan sebelum pemilihan dilakukan, hal itu baik sekali bagi fihaknya,
setidaknya akan mengurangi seorang saingan, fihak yang kalah. Maka diapun diam saja bahkan lalu menyingkir untuk memberi “kesempatan” kepada kedua fihak agar keributan itu makin berkobar. Dan semua orang yang hadir di situ adalah kaum sesat yang paling suka menyaksikan perkelahian dan pertumpahan darah, maka kini terdengar suara-suara yang memihak keduanya, seperti para penonton adu ayam yang hendak bertaruhan!



“Tosu bau, siapakah tidak mengenal nama Pek-lian-kauw di mana engkau tadi diperkenalkan sebagai wakil ketuanya? Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang biasa menipu rakyat, memeras, membohongi dengan agama palsu, dan memikat perempuan-perempuan untuk diperkosa! Dan kau masih berani menghina Cin-ling-pai? Jangan kira bahwa aku, biarpun hanya seorang anggauta muda Cin-ling-pai, takut menghadapimu!” Ucapan yang dilakukan dengan sikap gagah dan dengan suara lantang itu disambut tepuk tangan dari mereka yang memihak pemuda ini.

Kim Lok Cinjin tertawa mengejek. “Heh-heh, bocah ingusan! Baru memiliki kepandaian gin-kang macam itu saja sombongnya sudah demikian hebat sampai memuakkan perutku! Padahal gin-kang seperti itu hanya patut untuk dipamerkan dalam permainan komidi di pasar saja, untuk menarik perhatian orang agar menderma. Kami tadi bicara menurut aturan, bukan seperti engkau yang hanya pandai menyombongkan diri belaka. Kalau engkau ingin menjadi calon bengcu, siapakah yang mencalonkanmu? Kalau tidak ada, siapakah percaya bahwa engkau ini orang Cin-ling-pai? Jangan-jangan engkau ini bocah sinting hanya mengaku-aku saja wakil Cin-ling-pai! Hayo jawab, siapa yang mencalonkan engkau sebagai wakil Cin-ling-pai?”

Tiba-tiba terdengar suara melengking, “Aku yang mencalonkan dia!”

Tentu saja semua orang menengok ke bawah panggung, ke arah penonton dan melihat seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun mengacungkan jari telunjuknya. Bahkan wakil ketua Pek-lian-kauw dan Kwee Siang Lee yang berada di atas panggung juga menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Siang Lee memandang dengan terheran-heran karena dia sama sekali tidak mengenal pemuda remaja yang berpakaian sederhana itu.

“Aku mencalonkan dia sebagai wakil Cin-ling-pai menjadi calon bengcu! Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan yang maha besar, maka cukuplah dengan mengutus anggauta mudanya. Karena dia sudah ada yang mengangkatnya sebagai calon, maka sudah memenuhi syarat dan dia harus diterima menjadi seorang calon bengcu!” kata Sin Liong dan karena memang anak ini memiliki hawa sin-kang yang luar biasa kuatnya di dalam pusarnya, ketika dia berteriak suaranya melengking nyaring sekali.

Mereka yang berfihak kepada Kwee Siang Lee menyambut dengan sorakan gembira. Akan tetapi Kim Lok Cinjin mengangkat kedua tangan ke atas dan suaranya terdengar melengking tinggi mengatasi sorakan itu, “Kesaksian itu lebih tidak pantas lagi! Lihat siapa yang mengangkat bocah ini sebagai calon bengcu? Benar-benar kita semua dihina orang! Yang diajukan adalah bocah ingusan, akan tetapi yang mengajukan malah bocah yang masih menetek!” Mereka yang pro kakek ini tertawa dan bersorak mengejek.

“Pendeknya, bocah ingusan ini harus lebih dulu membuktikan bahwa dia adalah benar-benar wakil Cin-ling-pai dan buktinya hanyalah apabila dia memperlihatkan ilmu-ilmu aseli dari Cin-ling-pai. Mellhat usianya, andaikata benar dia murid Cin-ling-pai, tentu kepandaiannya masih rendah dan mentah, maka biarlah kami akan mengajukan jago tingkat empat saja untuk mengujinya. Kita semua dapat melihat apakah benar-benar dia memiliki ilmu Cin-ling-pai dan mampu mengalahkan jago tingkat ke empat dari Pek-lian-pai!”

Mendengar ini, Siang Lee menjadi marah bukan main. Wajahnya yang tampan menjadi merah sekali dan dan sudah ingin menerjang kakek Pek-lian-pai itu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Lok Cinjin sudah melompat turun den sebagai gantinya dari tempat kehormatan tadi melompatlah seorang kakek yang berpakaian sebagai petani, kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, namun gerakannya masih gesit, sepasang matanya liar. Memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang anggautanya terdiri dari banyak macam orang, terutama sekali para petani dan penduduk dusun. Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) adalah perkumpulan yang selain menyebarluaskan agama campuran dari Buddha dan Tao dicampur dengan mistik den sihir, juga mengandung cita-cita untuk menguasai kerajaan demi berkembangnya agama mereka. Untuk maksud itu, Pek-lian-kauw selalu menyusup ke dusun-dusun dan mempengaruhi rakyat kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau tokoh ke empat ini berpakaian sebagai seorang petani.

“Orang muda, coba perlihatkan jurus-jurus Cin-ling-pai kepadaku,” kata kakek petani itu. Tubuhnya yang kurus sudah memasang kuda-kuda dan sikapnya memandang rendah. Tokoh ke empat dari Pek-lian-kauw sudah terhitung seorang pandai kerena ilmu silatnya sudah mencapai tingkat pelatih bagi para anggauta muda, yaitu pelatih dasar-dasar ilmu silat Pek-lian-kauw.

Siang Lee yang berwatak keras dan memang dia seorang pemuda berdarah panas sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena marahnya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia membentak nyaring dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan yang amat keras.

Cin-ling-pai bukanlah partai sembarangan, melainkan sebuah partai perkumpulan yang dipimpin oleh seorang pendekar sakti, yaitu Cia Keng Hong. Seperti dapat kita ketahui dari cerita seri Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum), Cia Keng Hong telah menguasai banyak ilmu silat tinggi yang hebat den sukar dicari bandingnya di dunia persilatan. Setelah dia mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai, pendekar sakti ini telah menciptakan ilmu silat khusus untuk perkumpulannya, diambilnya dari ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dan para anak murid Cin-ling-pai digembleng dengan ilmu yang khas ini. Ilmu silat itu dinamakan Cin-ling-kun-hoat dan ilmu ini terdiri dari ilmu silat yang dapat dimainkan baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja. Hanya para anggauta Cap-it Ho-han yang merupakan sebelas orang murid utama sajalah yang diberi pelajaran ilmu-ilmu hebat seperti Siang-bhok Kiam-sut dan sebagian dari Thai-kek-sin-kun, akan tetapi murid-murid lain hanya digembleng dengan Cin-ling-kun-hoat saja yang sudah mcrupakan ilmu silat lengkap dan amat tangguh.

Siang Lee juga telah mempelajari Cin-ling-kun-hoat sampai tingkat yang cukup tinggi sehingga dia merupakan seorang ahli dalam mainkan ilmu silat itu dengan pedang maupun dengan tangan kosong. Maka, begitu menyerang, dia sudah menggunakan jurus Cin-ling-kun-hoat yang ampuh, tangan kanannya dikepal menyerang dengan jotosan ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan miring membacok ke arah ulu hati. Sebenarnya, serangan tangan kiri inilah yang merupakan inti jurus serangan ini, sedangkan yang kanan biarpun dilakukan dengan kuat sebenarnya bertugas sebagai pancingan dan menutupi serangan inti itu.

“Dukk...!” Kakek itu menangkis jotosan tangan kanan, dan terkejutlah dia ketika merasa ada angin dahsyat menyambar disusul bacokan tangan miring sebelah kiri.

“Plakkk!” Kembali dia berhasil menangkis, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan dadanya terasa sesak.

“Hehh...!” Dia membuang napas dan dengan marah kakek itu lalu menubruk ke depan dengan jurus Singa Mengejar Mustika. Tubrukan itu berbahaya sekali karena kakek itu mempergunakan kedua tangan dan kedua kaki untuk menyerang, setelah meloncat, kedua tangannya mencengkeram dan kedua kakinya menginjak dengan pengerahan tenaga.

Namun, Siang Lee mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang lalu dilanjutkan dengan loncatan ke samping sehingga tubrukan kakek itu yang dilanjutkan pula dengan tendangan kaki kiri tidak mengenai sasaran. Para penonton tertarik sekali dan suasana di sekeliling panggung menjadi riuh dengan suara penonton. Tentu saja hanya fihak anak buah Pek-lian-kauw saja yang menjagoi kakek petani itu, sedangkan selebihnya dari para penonton tidak berfihak, melainkan menjagoi karena penafsiran masing-masing akan kekuatan dua orang yang sedang bertanding itu. Dan mulailah mereka itu mengadakan taruhan. Akan tetapi karena gerakan Siang Lee amat sigap dan cepat, sedangkan sikap pemuda itupun angkuh dan angker, maka lebih banyak yang menjagoi pemuda ini.

Kalau di bawah panggung orang ramai bertaruhan, di atas panggung terjadi perkelahian yang makin lama makin seru. Kakek itu makin merasa penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh tingkat empat dari Pek-lian-kauw, dia dianggap sebagai tokoh besar dan juga pelatih yang amat pandai oleh ratusan orang anggauta Pek-lian-kauw, dan pula, melihat lawan yang baru belasan tahun usianya itu sedangkan dia sudah enam puluh tahun, tentu saja dia merasa menang segala-galanya, baik tenaga, ilmu silat, maupun pengalaman. Maka setelah pertandingan berlangaung hampir lima puluh jurus dan dia belum mampu mengalahkan pemuda itu, dia merasa penasaran bukan main. Di lain pihak, Siang Lee yang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri juga merasa penasaran sekali. Karena keduanya sudah marah, maka perkelahian itu kini bukan sekedar menguji kepandaian, melainkan perkelahian mati-matian untuk mencari kemenangan, kalau perlu dengan merobohkan dan membunuh lawan!

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau dan dia sudah menubruk lagi, serangannya sekali ini adalah serangan nekat untuk mengadu nyawa. Dia tidak memperdulikan lagi segi penjagaan diri, melainkan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatian untuk menyerang dalam nafsunya untuk menjatuhkan lawan dan memperoleh kemenangan. Tentu saja sikap seperti ini tidak benar sama sekali bagi seorang ahli silat yang menghadapi lawan pandai, yang seharusnya membagi kekuatan untuk menjaga diri, tidak semua dikerahkan untuk menyerang dan membiarkan diri terbuka.

Siang Lee terkejut juga menyaksikan serangan nekat itu. Memang hebat sekali serangan itu dan dia tahu bahwa kalau dia menangkis berarti keras lawan keras dan karena dia tahu pula bahwa tenaganya seimbang dengan tenaga lawan, maka hal itu amat berbahaya dan dapat membuat dia terluka, baik menang maupun kalah dalam adu tenaga itu. Maka dengan kecepatan kilat, menggunakan gin-kangnya yang diandalkan, dia melempar diri ke samping dan berhasil lolos melalui bawah lengan kiri lawan, akan tetapi pemuda ini masih sempat sambil mengelak itu mengayun tangan menyerang ke bawah pangkal lengan kiri itu.

“Dukkk...!” Tubuh kakek itu terpelanting, lambungnya kena ditonjok dan dia roboh, meringis sambil memegangi lambungnya yang kena pukul.

Pada saat itu terdengar gerengan keras dan seorang kakek yang seperti raksasa telah muncul di atas panggung. Kakek ini menyeramkan sekali, selain tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya menonjol di seluruh bagian tubuhnya, juga mukanya bengis, alisnya tebal, matanya lebar, kumis dan jenggotnya pendek namun lebat dan kaku seperti kawat. Bajunya berlengan pendek sampai di pundak, memperlihatkan sepasang lengan yang besar berotot, di kedua pergelangan tangannya nampak masing-masing seekor ular kecil melingkar seperti gelang.

Dua ekor ular itu sebetulnya adalah ular-ular aseli, hanya saja ular yang sudah mati dan diberi obat menjadi kaku dan keras. Di punggungnya nampak tersembul gagang golok besar, gagangnya berbentuk kepala harimau dan dandanan seperti itu menambah seram keadaan raksasa yang usianya sekitar lima puluh tahun ini.

“Sute, kau minggirlah!” bentaknya dengan suara kasar dan parau kepada kakek petani yang telah kena dipukul oleh Siang Lee tadi. Kakek petani itu meringis, mengangguk dan kembali ke tempatnya di mana dia lalu diberi sebutir obat oleh Kim Lok Cinjin yang segera ditelannya.

“Bocah sombong dari Cin-ling-pai! Engkau telah mengalahkan suteku, marilah engkau main-main sebentar denganku! Kalau engkau takut, biar aku mengampuni orang Cin-ling-pai, akan tetapi engkau harus berlutut dan memberi hormat kepadaku sembilan kali sambil minta ampun, kemudian menggelinding pergi dari tempat ini!” Suara kakek raksasa ini lantang dan ketika dia bicara, matanya melotot dan perutnya bergerak-gerak, kedua lengannya yang diayun-ayun itu mengeluarkan suara berkerotokan!

Melihat ini, Sin Liong terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa kalau pemuda murid Cin-ling-pai itu memaksa diri maju dia akan celaka di tangan raksasa itu. Dia melihat betapa selain raksasa itu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kakek petani tadi dan juga pemuda itu, raksasa ini memiliki sifat kejam dan besar sekali kemungkinan si pemuda akan terbunuh kalau dia berani melawan. Dan dia tahu pula bahwa dari sinar matanya, pemuda itu tentu malu untuk mundur, apalagi kini pemuda itu sudah membusungkan dada, amat bangga karena kemenangannya tadi, kemenangan yang amat tipis.

“Hemm... siapa takut...”

“Haii, nanti dulu! Penasaran ini! Melanggar peraturan dan merusak tata susila pemilihan bengcu!”

Teriakan ini nyaring sekali dan semua orang memandang, lalu terdengar suara tertawa di sana-sini ketika mereka melihat betapa yang berteriak itu adalah pemuda remaja yang tadi mengangkat Siang Lee sebagai calon bengcu, dan kini pemuda remaja itu sudah memanjat tiang penyangga panggung untuk naik ke atas, hal ini membuat orang merasa geli. Mereka semua adalah ahli-ahli silat dan untuk naik ke atas panggung yang hanya kurang lebih dua meter tingginya itu, tentu mereka akan menggunakan kepandaian meloncat. Akan tetapi pemuda remaja itu agaknya tidak pandai meloncat tinggi, maka memanjat seperti seekor monyet.

Akan tetapi karena teriakan itu nyaring sekali, Siang Lee tidak melanjutkan kata-katanya, dan si kakek raksasa juga menoleh, memandang ke arah Sin Liong yang kinisudah muncul kepalanya dan dengan susah payah kakinya mengait pinggir panggung, berdiri di depan Siang Lee untuk menghalangi pemuda itu berhadapan dengan kakek raksasa.

“Cu-wi (tuan-tuan sekalian) yang mulia adalah orang-orang gagah yang tentu mengenal peraturan!” Demikian Sin Liong berteriak sambil memandang keempat penjuru sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang dikembangkan seperti gaya seorang ahli pidato di depan rapat umum. “Saudara ini adalah seorang di antara para calon bengcu yang mewakili Cin-ling-pai. Tadi ada fihak yang meragukan dan ingin mengujinya apakah benar-benar dia tokoh Cin-ling-pai den cu-wi telah melihat sendiri bahwa dia keluar sebagai pemenang. Jelas bahwa dia adalah tokoh Cin-ling-pai den sebagai calon bengcu tentu saja tidak boleh bertanding dulu. Hal ini merugikannya karena kalau calon-calon lain masih segar bugar, dan tentu menjadi lelah. Kalau ada fihak yang hendak menantang Cin-ling-pai di sini, jangan ditujukan kepada calon bengcu, biarlah aku yang mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi fihak yang menantang Cin-ling-pai!”

Setelah berkata demikian, dengan cepat Sin Liong menghadapi Siang Lee, dan mengedip-ngedipkan matanya, lalu berkata dengan sikap hormat, “Taihiap, harap taihiap sudi duduk saja di tempat kehormatan, menanti sampai dimulainya sayembara perebutan kedudukan bengcu. Adapun badut-badut yang hendak mengacau, biarlah serahkan saja kepadaku.”

Jelas bahwa sikap dan kata-kata Sin Liong ini amat mengangkatnya tinggi sekali, maka tentu saja Siang Lee tidak hendak membantah. Dengan sikap bangga dan angkuh dia mengangguk kepada Sin Liong, sikapnya seperti kaum atasan memandang kepada bawahannya dan dia masih berkata, “Kau hati-hatilah!” lalu Siang Lee berlenggang menuju ke tempat duduknya semula. Tentu saja diam-diam Sin Liong merasa geli menyaksikan sikap pemuda yang kosong itu.

Sementara itu, selagi semua penonton terheran-heran menyaksikan pemuda remaja yang naik ke panggung saja harus memanjat itu kini hendak mewakili pemuda Cin-ling-pai menghadapi tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, kakek raksasa tadi juga bengong dan sejenak tak dapat berkata apa-apa. Akan tetapi setelah melihat Kwee Siang Lee, calon lawannya yang tadi telah mengalahkan sutenya itu mundur, dia menjadi marah sekali.

“He, bocah ingusan! Apa kau sudah gila? Mau apa engkau naik ke sini dan menyuruh lawanku mundur? Kalau dia tidak berani, dia harus berlutut dulu dan minta ampun...!”

Sin Liong menggerakkan tangan kanannya mencela. “Eeihhh! Siapa bilang dia tidak berani? Dia masih terlampau tinggi kedudukannya untuk melawanmu. Bikankah dia calon bengcu? Masih ada aku di sini, kenapa dia harus turun tangan sendiri?”

Kakek itu terbelalak. “Kau...? Kaumaksudkan bahwa engkau berani melawan aku? Ha-ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa geli karena merasa lucu, dan banyak orang yang hadir ikut pula tertawa.

“Kakek harimau, engkau menggereng seperti harimau dan mukamu juga seperti harimau, jangan tertawa dulu. Ketahuilah
bahwa Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang namanya setinggi langit. Pendirinya, pendekar sakti Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang tanpa tanding, kepandaiannya sudah mencapai langit. Ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai tidak ada keduanya di dunia ini. Dan aku mendapat berkah, pernah aku belajar sedikit ilmu dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, kalau ada yang menghina dan memandang rendah Cin-ling-pai, biarlah aku mewakili Cin-ling-pai untuk membuka mata orang yang menghina itu!”

Kakek itu tidak marah, bahkan tertawa makin keras karena dia menganggap bocah di depannya itu seperti badut sedang berlagak saja. “Eh, anak lucu, siapakah namamu?”

Melihat kakek itu bertanya sambil berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan dadanya dibusungkan, Sin Liong lalu meniru dengan berdiri tegak, kedua kaki dipentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata lantang. “Ah, kakek yang tidak lucu, siapakah namamu?”

Bagi orang yang pernah mengenal Sin Liong semenjak kecil sampai dia berada di Cin-ling-pai ikut kakeknya, tentu akan terheran-heran mengapa terjadi perubahan demikian besar pada diri anak ini. Semenjak kecil, sampai dia berada di Cin-ling-pai, anak ini berwatak pendiam dan serius, wajahnya lebib sering muram daripada cerah dan dia tidak pandai berkelakar. Akan tetapi, semenjak dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, terjadi perubahan pada wataknya yang pendiam itu, Ouwyang Bu Sek adalah seorang kakek yang pandai bicara, jenaka dan lucu, maka selain ilmu kepandaiannya, juga sifatnya ini agaknya menurun kepada Sin Liong. Akan tetapi, karena pada dasarnya Sin Liong pendiam, maka sifat itu hanya sewaktu-waktu saja timbul padanya, terutama apabila menghadapi saat berbahaya, dan sifat ini timbul sebagian besar sebagai siasat.

Tentu saja sikap ini memancing suara ketawa geli dari para hadiri sampai ada yang terkekeh-kekeh, terutama sekali mereka yang memang merasa tidak suka kepada Pek-lian-kauw. Melihat kakek yang menyeramkan itu dipermainkan dan diejek oleh seorang bocah ingusan yang baru berusia belasan tahun, benar-benar merupakan penglihatan yang lucu dan tentu saja memuaskan hati mereka yang anti Pek-lian-kauw.

Kakek itu terbelalak. Dia adalah seorang tokoh besar Pek-lian-kauw. Bahkan orang-orang kang-ouw yang pandaipun tidak berani sembarangan terhadap dia, banyak pula yang takut. Akan tetapi kenapa anak ini demikian beraninya? Akan tetapi kakek raksasa itu mempunyai dua dugaan, pertama, tentu saja anak ini sama sekali buta akan keadaan di dunia kang-ouw, dan karena tidak mengenal siapa maka berani bersikap seperti itu, dan ke dua, boleh jadi anak ini agak miring otaknya maka berani busikap demikian gila-gilaan!



“ENGKAU malah berani balas bertanya sebelum menjawab?” bentaknya.

“Tentu saja! Engkau adalah fihak yang mencari perkara, dan aku hanyalah fihak yang melayanimu, maka boleh dibilang engkau ini tamunya dan aku ini tuan rumahnya. Tidakkah sepatutnya kalau tuan rumah lebih dulu mengetahui nama si tamu baru memperkenalkan diri? Betul tidak, cu-wi yang mulia?” Dia menoleh ke bawah panggung.

“Betul...! Betul!” Tentu saja mereka yang menonton pertunjukan lucu itu menyetujui. Dalam keadaan seperti itu, selagi Sin Liong mendapatkan simpati karena kelucuan dan keberaniannya mempermainkan seorang tokoh besar yang ditakuti, tentu saja apapun yang dikatakan anak itu akan disetujui mereka.

Sin Liong kini menghadapi lagi kakek raksasa sambil tersenyum lebar. “Nah, kakek yang tidak lucu, kalau aku saja yang bicara tentu engkau tidak percaya, akan tetapi pendapat semua orang gagah yang terhormat itu, apakah engkau berani untuk melanggarnya? Nah, jawablah dulu, siapakah namamu!”

Kulit muka yang kasar dan agak hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena kakek itu sudah marah sekali dan mukanya menjadi kemerahan, matanya melotot dan anehnya, kalau sedang marah kakek ini terjadilah hal yang lucu di luar kesadarannya sendiri, yaitu cuping hidungnya yang kiri bergerak-gerak kembang kempis dengan keras sehingga kumisnya sebelah kiri juga ikut pula bergerak-gerak, seperti kumis kelinci! Melihat ini, Sin Liong merasa geli sekali dan diapun terkekeh-kekeh.

Kakek raksasa itu menjadi makin marah. “Anak bedebah! Mengapa engkau tertawa?”

“Heh-heh-ha-ha-ha, engkau lucu sekali! Aku menarik kembali omonganku tadi, kalau tadi aku menyebutmu kakek yang tidak lucu, sekarang aku menamakan engkau kakek yang lucu. Nah, kakek yang lucu, siapakah sih namamu? Jangan jual mahal, ah!”

Kembali banyak orang tertawa dan kakek itu kembali mendongkol. “Bocah sialan! Kaukira aku ini orang apa maka engkau berani main gila seperti ini? Dengar baik-baik agar terbawa mampus olehmu. Aku adalah tokoh tingkat tiga di Pek-lian-kauw, dan julukanku adalah Kiu-bwee-houw, namaku... ah, bocah macam engkau tidak pantas mengenal namaku. Biarlah arwahmu nanti ingat selalu bahwa engkau mampus di tangan Kiu-bwee-houw!” Kakek yang berjuluk Kiu-bwee-houw (Harimau Berekor Sembilan) ini bukan tidak ada sebabnya mengapa dia tidak mau memperkenalkan namanya kepada Sin Liong. Melihat anak itu lincah dalam bicara, pandai mempermainkan orang dan kelihatan nakal dan kurang ajar, maka kakek ini sengaja menyembunyikan namanya karena khawatir kalau namanya diperkenalkan, nama itu akan menjadi bulan-bulan dan olok-olok anak itu. Namanya adalah Toa Bhi dan dia she Bhe. Nama itu dapat pula diartikan Si Hidung Besar!

“Pantas... pantas...!” Sin Liong mengangguk-angguk. “Wajahmu seperti harimau, lagakmu seperti harimau, gerakanmu seperti harimau hendak menubruk, dan gagang golokmupun ukiran kepala harimau. Pantas julukanmu Harimau Ekor Sembilan, akan tetapi aku sama sekali tidak melihat ekormu! Apakah benar-benar ekormu ada sembilan? Coba kau perlihatkan kepadaku, kakek lucu!”

Tentu saja ucapan ini disambut oleh ketawa riuh rendah oleh para penonton dan Kiu-bwee-houw menjadi makin gemas. “Bocah yang sudah bosan hidup! Hayo kaukatakan siapa namamu agar kelak aku dapat memberitahukan kepada Cin-ling-pai bahwa engkau telah mampus di tanganku!”

“Uuuhhhh, tidak gampang, sobat. Namaku adalah Sin Liong!”

Kwee Siang Lee yang sejak tadi memperhatikan anak itu, diam-diam terkejut bukan main. Dia belum pernah bertemu dan berkenalan dengan Sin Liong, akan tetapi tentu saja dia pernah mendengar nama Sin Liong, nama anak yang katanya merupakan murid baru dan murid terakhir dari sucouwnya, yaitu Cia Keng Hong! Pernah dia mendengar betapa seorang anak kecil yang aneh diambil murid oleh sucouwnya itu, dan kabarnya anak itu dilarikan penjahat sakti ketika peti mati sucouwnya sedang dihormati dalam upacara berkabung oleh keluarga sucouwnya. Jadi inikah anak yang menjadi murid terakhir dari sucouwnya itu? Diam-diam dia terkejut bukan main. Anak yang usianya paling banyak enam belas tahun ini ternyata masih terhitung paman kakek gurunya! Karena kakeknya, mendiang Kwee Kin Ta, seorang di antara Cap-it Ho-han, adalah murid dari Cia Keng Hong, dan bocah yang menjadi murid bungsu dari Cia Keng Hong ini terhitung sute dari kakeknya sendiri. Keringat dingin keluar dari seluruh tubuh pemuda ini. Dia tadi telah bersikap keterlaluan! Dia telah dengan lancang mengangkat diri sendiri menjadi wakil Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, dia telah lancang mencalonkan diri sebagai calon bengcu sebagai wakil Cin-ling-pai pula! Padahal di situ ada pemuda ini yang masih terhitung susiok-kong atau paman kakek guru darinya!

“Sin Liong? Bocah sombong engkau ini tokoh tingkat berapakah dari Cin-ling-pai? Dengan nyali sebesar ini, agaknya engkau tentu seorang tokoh penting juga!” Kakek itu memancing untuk kelak memperolok Cin-ling-pai kalau dia sudah merobohkan, ah, bahkan membunuh bocah yang telah memanaskan perutnya itu.

“Tokoh tingkat berapa? Wah, orang macam aku ini di Cin-ling-pai dapat kau temui losinan banyaknya, sukar dihitung, dan belum masuk hitungan kelas sama sekali! Aku sepatutnya hanya menjadi jongos atau tukang sapu saja di sana!”

Makin mengkal rasa hati kakek raksasa itu. Dengan kata-kata itu, kembali bocah itu yang kelihatannya meremehkan diri, sebenarnya menyeret dia ke tempat rendah, karena bukankah bocah itu seolah mengatakan bahwa dia hanya patut bertanding melawan jongos atau tukang sapu dari Cin-ling-pai saja? Kalau dia belum terlanjur maju, tentu dia tidak akan sudi untuk melayani seorang kacung Cin-ling-pai! Akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, tidak ada jalan lain baginya untuk menebus penghinaan dan rasa malu itu dengan merobohkan atau membunuh anak ini secepat mungkin. Dia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan memang gerengannya itu dilakukan dengan pengerahan khi-kang, suara yang keluar dari dalam perut dan menggetarkan jantung para pendengarnya, terutama sekali Sin Liong yang berdiri di depannya. Kalau anak ini tidak memiliki kepandaian, tentu dia akan menjadi pucat, menggigil atau lumpuh seketika, seperti pengaruh gerengan harimau tulen terhadap manusia.

Akan tetapi, murid kakek sakti Ouwyang Bu Sek ini tentu saja cepat mengerahkan sin-kangnya sehingga gerengan itu baginya tidak lebih berbahaya daripada bunyi suara kucing saja. Dia tersenyum mengejek.

“Wah, julukanmu macan, gerenganmu seperti macam pula. Seekor macam muda dan kuat memang berbahaya, akan tetapi macam tua ompong macam engkau ini bukan menakutkan melainkan menggelikan. Aku berani bertaruh bahwa menghadapi seekor domba muda saja engkau tidak akan mampu merobohkannya. Eh, orang tua, percaya tidak engkau?”

Ditanya demikian, seperti orang tua latah raksasa itu menjawab, “Tidak percaya!” Akan tetapi dia segera sadar bahwa dia telah melayani pembicaraan anak itu maka dengan marah dia membentak, “Bersiaplah untuk mampus!”

“Mampus ya mampus, akan tetapi aku ingin melihat apakah macam ompong ini mampu membunuh seekor domba. Biar aku yang menjadi dombanya.”

“Biar engkau berubah menjadi anjing, kau akan tetap mampus di tanganku, bocah setan!”

“Eh, kau menantang anjing? Ingat, anjing lebih kuat daripada domba, lho! Kau tidak menyesal nanti kalau dikalahkan aniing? Biar aku menjadi anjing dulu!”

Dan seketika itu juga Sin Liong menjatuhkan diri merangkak-rangkak dengan kaki empat seperti seekor anjing. Selagi semua orang terheran-heran, tiba-tiba anak itu mengeluarkan gonggongan keras dan menyalak-nyalak, suaranya persis seekor anjing tulen! Orang-orang tertawa dan memuji karena andaikata tidak melihat anak itu, tentu mereka mengira bahwa memang anjing tulen yang menyalak-nyalak itu.

Hal ini sebenarnya tidaklah mengherankan. Karena semenjak bayi dipelihara oleh monyet-monyet liar, maka penangkapan dari pendengaran Sin Liong lebih peka daripada manusia biasa, dan dia lebih dapat menangkap “inti” dari suara binatang-binatang hutan. Yang ditirunya itu adalah suara yang dikenalnya benar, suara anjing hutan, maka dia dapat mengeluarkan bunyi yang persis dengan suara anjing tulen.

Melihat betapa pemuda remaja itu merangkak-rangkak, menyalak-nyalak dan menggoyang-goyang pinggul yang tidak ada ekornya, meledaklah suara ketawa mereka yang hadir dan disuguhi tontonan lucu ini. Hanya orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak bisa tertawa karena mereka itu ikut merasa gemas dan marah melihat betapa tokoh ke tiga dari Pek-lian-kauw itu dipermainkan oleh seorang bocah!

“Mampuslah!” Tiba-tiba tubuh tinggi besar itu menubruk. Tubrukan ini bukan tubrukan ngawur belaka yang didorong oleh nafsu amarah, melainkan tubrukan yang telah diperhitungkan masak-masak, yang hendak ditangkap adalah tengkuk dan pinggul Sin Liong. Sekali tertangkap, tentu tubuh anak itu akan dibanting sampai tulang-tulangnya remuk.

Akan tetapi, seperti gerakan seekor anjing tulen, Sin Liong meloncat dengan tekanan kaki dan tangannya sehingga tubrukan itu luput! Hal ini mengejutkan hati para tokoh Pek-lian-kauw. Mereka tahu bahwa Kui-bwee-houw tadi telah menggunakan jurus Harimau Menerkam Domba yang amat dahsyat, dan tubrukan pertama itu disusul dengan cengkeraman ke manapun lawan yang diserang itu mengelak. Akan tetapi, seperti seekor anjing, anak itu benar-benar telah melompat cepat ke samping lalu cepat pula memutar sehingga si raksasa sama sekali tidak mampu melanjutkan serangannya dan gagallah jurus pertama dari serangannya itu. Terpaksa dia membalik sambil memutar dan mengayun kaki kirinya. Itulah jurus Harimau Memutar Tubuh yang mirip dengan ilmu para tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis), yaitu ilmu yang amat diandalkan oleh mereka dan yang dinamakan Ilmu Silat Mengusir Anjing.

“Huk-huk-hukkk!” Sin Liong menyalak-nyalak dan melihat sambaran kaki itu, dia menggerakkan kepala dan kaki depan ke samping, kemudian dia menggigit ke arah betis yang lewat di depan mukanya.

“Brettt... aughh...!” Kakek itu mengguncang kakinya yang tergigit dan semua orang bersorak-sorai melihat pemuda cilik itu betul-betul menggigit betis lawan, persis seperti seekor anjing.

Celana si raksasa itu robek dan setelah diguncang-guncang kaki yang tergigit, terpaksa Sin Liong melepaskan gigitannya. “Monyet cilik, akan kubunuh kau!” Kiu-bwee-houw berteriak, mukanya merah dan matanya terbelalak liar.

Akan tetapi sebelum kakek ini menyerang lagi, Sin Liong sudah membuat gerakan meloncat ke atas dan berdiri dengan sikap seperti seekor monyet! “Aha, kebetulan sekali, engkau menyuruh aku menjadi monyet? Baiklah, dan mari kita lihat apakah macan ompong mampu mengalahkan monyet!” Lalu pemuda itu mengeluarkan suara aneh, suara monyet tulen. Dan cara dia berdiri dengan kedua pundak diangkat, mukanya dengan mulut agak meringis, kedua tangannya, memang mirip, bahkan persis monyet. Dan hal ini tentu saja lebih tidak aneh lagi karena Sin Liong sudah tahu benar bagaimana gerak-gerik seekor monyet. Bahkan dahulu, sebelum dia bertemu dengan ibu kandungnya, dia adalah seekor monyet cilik.

Melihat lagak ini, kembali suasana di bawah panggung riuh rendah karena lagak Sin Liong benar-benar lucu dan menarik hati. Juga timbul rasa kagum bukan main di dalam hati mereka. Jelas bahwa pemuda ini agaknya sama sekali tidak becus (mampu) bersilat, akan tetapi sudah berani melawah seorang tokoh besar seperti Kiu-bwee-thouw. Bukan hanya berani melawan, bahkan memperolok-oloknya sehebat itu.

Kembali Kiu-bwee-houw menggereng dan menyerang. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Sin Liong itu menyambar, meluncur ke depan seperti peluru meriam, mengarah kepala Sin Liong. Bagi pandangan Sin Liong yang nampak hanya bulatan besar mengerikan itu meluncur ke arah kedua matanya. Namun dia tidak menjadi gugup dan bergerak lincah sekali, gerakannya tidak lagi gerakan kuda-kuda ilmu silat melainkan gerakan monyet mengelak, dan pukulan itupun hanya mengenal angin saja.

“Aihh... macan ompong main tubruk dan cakar, tidak ada gunanya! Gigimu telah ompong semua, cakar kukumu telah puntul!” Sin Liong mengejek dan raksasa itu makin marah. Diserangnya Sin Liong secara bertubi-tubi, namun semua gerakan serangan itu sia-sia belaka karena “manusia monyet” itu dengan amat mudahnya berloncatan ke sana-sini, mengelak ke sana-sini. Sorak-sorai penonton menyambut pertandingan itu, pertandingan yang amat menarik di mana kakek raksasa itu sama sekali tidak pernah dapat menangkap atau memukul anak kecil yang kini bergerak-gerak persis monyet, mengeluarkan suara seperti monyet tulen pula.

Dapat dimengerti bahwa andaikata Sin Liong belum memiliki demikian banyak ilmu, pertama-tama ilmu silat tinggi yang diturunkan atau diwariskan oleh Cia Keng Hong kepadanya, kemudian gemblengan-gemblengan yang diberikan oleh kakek Ouwyang Bu Sek, dan kalau dia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya meniru monyet, sudah pasti dalam satu dua jurus saja dia akan celaka! Adalah karena pemuda ini telah mewarisi ilmu silat tinggi, maka dia dapat mempermainkan lawannya yang dalam tingkat ilmu silat masih jauh sekali di bawah tingkat anak luar biasa ini.

Tingkah yang lucu dan gerakan yang amat luar biasa gesitnya dari Sin Liong membuat pertandingan itu nampak ramai dan juga lucu. Ada kalanya ujung jari-jari tangan kakek itu hampir menyentuh tubuh Sin Liong, namun pemuda itu sudah dapat menghindarkannya dengan cepat dan dengan gerakan aneh. Tak terasa lagi lima puluh jurus telah lewat dan biarpun Sin Liong belum pernah balas menyerang, hanya pertama kali tadi dia menggigit robek celana lawan, namun kakek raksasa itupun belum pernah mampu menyentuh ujung baju pemuda yang perkasa yang lihai ini. Tiba-tiba ada angin menyambar ke depan. Angin ini kuat sekali dan memaksa Sin Liong yang mengenal pukulan ampuh cepat berjungkir balik, membuat poksai (salto) di udara sampai lima kali lalu turun dan memandang. Kiranya di tepi panggung telah berdiri Kim Lok Cinjin, kakek muka putih yang matanya kini makin beringas nampaknya.

“Bocah kurang ajar, engkau telah menipu kami! Engkau pasti bukan orang Cin-ling-pai, melainkan dari golongan lain. Melihat gerakan-gerakanmu yang liar, engkau sama sekali bukan murid Cin-ling-pai. Mengapa engkau berani membela Cin-ling-pai?” bentak Kim Lok Cinjin, sedangkan Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi nampak menghapus peluh dari muka dan lehernya, menggunakan ujung bajunya. Dia merasa lelah sekali.

“Sudah kukatakan tadi bahwa aku pernah mempelajari ilmu yang tiada bandingnya di dunia ini, ilmu dari Cin-ling-pai, akan tetapi aku bukan tokoh bukan murid. Aku hanya membela tokoh muda Cin-ling-pai tadi... eh, mana dia?” Sin Liong mencari-cari dengan pandang mata namun ternyata tempat duduk Kwee Siang Lee telah kosong! Kemudian ada seorang tamu menerangkan bahwa tidak lama setelah pertarungan di atas panggung dimulai, pemuda tampan dari Cin-ling-pai itu telah pergi secara diam-diam.

Sin Liong menarik napas panjang, napas yang melegakan dadanya. Dia memang mengkhawatirkan keselamatan pemuda lancang itu dan setelah kini pemuda itu pergi, hatinya gembira dan enak. Dia tersenyum kepada Kim Lok Cinjin, lalu berkata, “Aku memang tidak menggunakan jurus-jurus agung dan ampuh dari Cin-ling-pai tadi, dan sekarang, melihat betapa saudara Kwee Siang Lee tokoh Cin-ling-pai telah pergi tanpa pamit, agaknya enggan turun tangan menghadapi lawan-lawan yang terlampau rendah tingkat kepandaiannya, maka akupun tidak lagi membelanya dan karena Cin-ling-pai tidak mempunyai wakil di sini, maka akupun tidak lagi membela Cin-ling-pai atau membela siapapun juga. Dan hendaknya kalian ketahui bahwa kalau aku tadi tidak menggunakan jurus Cin-ling-pai adalah karena sekali aku mengeluarkan jurus dari Cin-ling-pai dalam satu jurus saja macan ompong itu tentu roboh.”

Terdengar seruan kaget dari semua penonton. Bahkan para tokoh besar yang duduk di panggung kehormatan mengerutkan kening. Anak ini boleh jadi lihai dan menyembunyikan kepandaian hebat, akan tetapi terlalu sembrono dan terlalu sombonglah kalau berani mengatakan bahwa dengan satu jurus dari Cin-ling-pai, orang macam Kiu-bwee-houw akan dapat dirobohkan!

“Bocah bermulut besar! Kalau dengan satu jurus dari Cin-ling-pai engkau mampu merobohkan murud pertamaku, Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi itu, biarlah pinto memberi hormat kepadamu!” teriak Kim Lok Cinjin marah dan kakek ini lalu mundur dan duduk kembali ke atas kursi kehormatan.

“Hemm, kakek lucu, beranikah engkau menyambut satu jurus seranganku menggunakan ilmu Cin-ling-pai?” Tiba-tiba Sin Liong menantang kepada Kiu-bwee-houw. Tentu saja semua orang tertawa lagi, akan tetapi suara ketawa mereka terkendalikan oleh perasaan sangsi dan khawatir karena siapapun orangnya tidak akan percaya bahwa bocah yang kelihatan tidak pandai limu silat, yang agaknya hanya memiliki kecepatan gerakan seperti monyet, dan tidak mempunyai tenaga besar, buktinya tadi tidak pernah menyerang dan tidak pernah menangkis, akan dapat merobohkan kakek raksasa itu dalam satu jurus saja! Jurus apa gerangan yang demikian hebat?

“Anak iblis! Suhu telah berjanji kalau aku roboh dalam satu jurus olehmu, beliau akan memberi hormat kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus?” Kiu-bwee-houw bertanya.

“Kalau tidak bisapun tidak mengapa, dan aku yang akan memberi hormat kepada gurumu dan kepadamu. Boleh saja, kan?”

“Seenak perutmu sendiri! Kalau engkau tidak berhasil merobohkan aku dalam satu jurus, engkau harus menjilati sepatu guruku sampai bersih, kemudian melanjutkan pertempuran ini sampai seorang di antara kita roboh.”

Hebat bukan main syarat itu, penghinaan yang sangat besar. Namun dengan sikap enak saja Sin Liong mengangguk. “Boleh, itu sudah adil sekali! Sekarang aku ingin engkau memilih, satu jurus dari ilmu yang manakah dari Cin-ling-pai yang harus kugunakan untuk merobohkan engkau? Ilmu-ilmu Cin-ling-pai amat banyak, ampuh dan luar biasa. Pilih saja yang mana. Mau San-in-kun-hoat, Siang-bhok Kiam-sut yang bisa dimainkan dengan pedang tangan, atau Thai-kek-sin-kun? Masih ada lagi ilmu-ilmu simpanan dari pendekar sakti Cia Keng Hong, di antaranya Sin-kun-hok-houw (Pukulan Sakti Menaklukkan Harimau) atau Ta-houw-ciang (Tangan Pemukul Harimau) dan masih banyak lagi pukulan-pukulan yang sengaja diciptakan untuk mengalahkan segala macam harimau, termasuk harimau tua yang ompong.”

Jelaslah bahwa ilmu-ilmu yang terakhir itu adalah isapan jempol saja dari Sin Liong, sengaja menggunakah nama harimau untuk mengejek lawan. Akan tetapi, disebutnya banyak ilmu itu, diam-diam Kiu-bwee-houw menjadi terkejut. Jangan-jangan anak ini memang benar ahli silat kelas satu! Dia merasa jerih juga mendengar nama ilmu-ilmu yang mengancam harimau itu. Maka dia memilih nama ilmu yang kedengarannya tidak begitu seram, yaitu Ilmu Silat San-in-kun-hoat (Silat Awan Gunung).

“Aku mendengar di antara semua ilmu silat dari Cin-ling-pai, yang paling hebat adalah ilmu Thi-khi-i-beng dan San-in-kun-hoat. Nah, kaupergunakan dua ilmu itu dan merobohkan aku dalam satu jurus!” Kakek ini tersenyum lebar mengejek. Dia sudah mendengar bahwa di dunia ini, yang menguasai ilmu Thi-khi-i-beng (Ilmu Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa) hanya dua orang, yaitu mendiang Cia Keng Hong dan Yap Kun Liong. Bahkan kabarnya, putera dari pendekar Cia Keng Hong itu sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi-i-beng, apalagi bocah ingusan ini! Kakek ini merasa cerdik menyebut nama ilmu itu, dan dia tidak gentar menghadapi Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu yang namanya saja lemah lembut itu, apalagi kalau hanya dipergunakan satu jurus saja.

Akan tetapi Sin Liong menjadi girang sekali. Ilmu San-in-kun-hoat adalah ilmu yang amat halus dan hebat, apalagi setelah dia digembleng oleh Ouwyang Bu Sek, ilmu silat ini telah dilatihnya secara luar biasa. Dan tentang Thi-khi-i-beng, tidak ada orang lain tahu kecuali kakeknya, bahwa dia telah menguasai sepenuhnya ilmu itu, bahkan tidak kalah kuat dibandingkan dengan kakeknya sendiri!

“Bagus, kau bersiaplah. Dalam satu jurus aku akan membanting tubuhmu yang gemuk itu ke atas papan panggung!” bentaknya.

Kakek raksasa itu menyeringai, lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya pada kaki dan tangannya, siap untuk menangkis atau mengelak dari jurus serangan yang akan dipergunakan oleh Sin Liong. Dia merasa yakin bahwa dia mampu mengelak, dan kalau gerakannya kurang cepat, dia boleh mengandalkan kedua tangannya untuk menangkis dan pengerahan tenaga sekuatnya itu tentu akan membuat bocah ini terpental. Demikianlah pikiran dan dia merasa yakin sekali akan kemenangannya.

“Cu-wi yang terhormat, harap suka menjadi saksi. Aku akan mempergunakan satu jurus saja dari ilmu silat sakti San-in-kun-hoat, yaitu jurus Pek-in-tui-san (Awan Putih Mendorong Gunung). Dengan tangan kiri aku akan menyerang ke arah kepalanya, kemudian disusul dengan cengkeraman tangan kananku untuk mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke atas lantai, aku menjadi awan putih dan dia menjadi gunungnya. Nah, harap suka melihat baik-baik!”

Tentu saja ucapan ini mengandung kesombongan besar sekali. Semua orang terkejut. Bagaimana bocah ini berani bersikap sedemikian sombong dan sembrono? Belum diberitahukan saja tentang jurus itu, agaknya tidak mungkin dia akan berhasil merobohkan Kiu-bwee-houw, apalagi setelah jurus itu dia perkenalkan, tentu mudah bagi lawan untuk menghadapinya. Benar-benar seorang bocah tolol yang besar mulut.

Kiu-bwee-houw juga merasa geli. “Ha-ha-ha! Keluarkanlah jurus kentut busukmu!” Dia mengejek.

“Sambutlah gerakan pertama jurus mautku!” Sin Liong mengerahkan tenaga sin-kang tangan kirinya sudah melayang ke arah kepala atau kedua mata lawan. Karena pukulannya ini dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat kuat, pula dilakukan cepat sekali, maka terkejutlah Kiu-bwee-houw dan dia tidak berani main-main lagi. Cepat dia menggerakkan tangan kanan dari sebelah luar dan ditangkapnya pergelangan tangan Sin Liong dengan jari-jari tangannya yang panjang dan kuat. Sekali tangkap, lengan anak itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi dan Kiu-bwee-houw sudah mulai tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha... hauhhh...!” Suara ketawa berubah menjadi kekagetan setengah mati ketika dia merasa, betapa hawa sin-kang yang dipergunakan tangan kanannya untuk menangkap pergelangan tangan kiri pemuda remaja itu kini melekat pada pergelangan tangan itu dan hawa sin-kangnya membanjir keluar, disedot oleh pergelangan tangan lawan!

“Thi... Thi-khi-i-beng...!” Keluhnya tergagap, namun sudah terlanjur. Makin dia mengerahkan sin-kang untuk melepaskan tangannya, makin hebat pula tenaga sin-kangnya membanjir keluar, demikian cepat dan kuatnya hawa murni itu keluar dari tubuhnya disedot oleh lawan sehingga sebentar saja mukanya menjadi pucat dan tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga.

“Kini gerakan ke dua dari jurus mautku!” teriak pula Sin Liong dan dengan tangan kanan dia mencengkeram ke arah ikat pinggang lawan, lalu diangkatnya tubuh raksasa itu dan sambil melepaskan daya sedot Thi-khi-i-beng, dibantingnya tubuh itu ke atas papan panggung.

“Brukkk!” Papan panggung jebol dan tubuh kakek raksasa itu amblas ke dalamnya sampai sepinggang! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh semua orang sehingga bantingan itu disusul oleh keheningan yang menegangkan. Semua orang seperti menahan napas menyaksikan peristiwa yang amat aneh ini dan tidak ada seorangpun yang tidak meragukan apa yang mereka lihat.

Akan tetapi ketika mereka melihat Kiu-bwee-houw meronta-ronta dan keluar dari dalam lubang papan sambil terengah-engah, keheningan itu segera pecah oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Pada saat itu, nampak bayangan putih berkelebat dan Kim Lok Cinjin menarik Kiu-bwee-houw dibawanya melayang ke tempat duduknya, setelah diperiksa dan ternyata tidak terluka apa-apa, wakil ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan ini melompat lagi ke tengah panggung menghadapi Sin Liong. Mereka berhadapan dan beberapa saat lamanya Kim Lok Cinjin memandang dengan penuh perhatian, mukanya yang putih itu agak merah dan matanya yang beringas menjadi makin galak. Dia merasa malu dan terhina sekali melihat betapa muridnya telah dipermainkan seorang pemuda setengah kanak-kanak, bukan hanya dipermainkan, bahkan dihina sekali karena dirobohkan dalam satu jurus saja. Dia tidak percaya bahwa bocah ini sedemikian lihainya sehingga mampu merobohkan muridnya dalam satu jurus. Tentu ada apa-apa dalam pertandingan tadi, atau memang muridnya yang tidak hati-hati.

Tadi Sin Liong penuh semangat naik ke atas panggung karena dia melihat betapa keselamatan Kwee Siang Lee, pemuda yang mengaku menjadi anak murid Cin-ling-pai itu, terancam bahaya. Kini, melihat betapa Siang Lee telah pergi tanpa pamit, maka dia kehilangan nafsunya untuk membikin ribut di atas panggung. Dia hanya mewakili suhengnya untuk menonton dan menerima pesan dari suhengnya agar ikut menjaga tertib dan adilnya pemilihan calon bengcu itu tanpa mengajukan diri sebagai calon bengcu. Demikianlah, melihat bahwa tidak ada lagi yang harus dilindunginya, Sin Liong mendapatkan kembali ketenangan dan watak aselinya yang pendiam dan tidak suka mencampuri urusan orang. Dia menjura dan suaranya halus penuh hormat ketika dia berkata, “Harap maafkan saya.”

Akan tetapi Kim Lok Cinjin sudah marah sekali. “Bocah sombong, kalau memang engkau mewakili Cin-ling-pai hendak menghina Pek-lian-kauw, hayo maju dan kaulawan pinto!”

Kembali Sin Liong menjura, “Saya tidak tahu apa-apa tentang permusuhan antara Cin-ling-pai dan Pek-lian-kauw, tadi saya hanya membela pemuda itu. Harap locianpwe tidak mendesak dan saya hendak menjadi penonton saja.” Setelah berkata demikian, Sin Liong sudah meloncat turun dari atas panggung.

Marahlah Kim Lok Cinjin. Dia adalah wakil ketua Pek-lian-kauw di selatan dan Kiu-bwee-houw adalah muridnya yang pertama, yang amat diandalkan oleh Pek-lian-kauw sebagai tokoh ke tiga, sesudah ketua dan dia sebagai wakil ketua. Mana dia dapat menghabiskan urusan itu begitu saja setelah Pek-lian-kauw mengalami penghinaan hebat dari bocah Cin-ling-pai?

“Bocah hina, hayo kau naik ke sini!” bentaknya dan kakek bermuka putih pucat itu menggerakkan tangannya ke bawah, ke arah Sin Liong yang sudah meloncat turun dari atas panggung.

“Syuuuuttt...!” Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Sin Liong. Itulah pukulan jarak jauh yang hanya mengandalkan angin pukulan saja, namun amat berbahaya melebihi pukulan tangan langsung.

“Hemmm, harap jangan mendesak, locianpwe!” Sin Liong mengibaskan tangannya dan pukulan itu dapat ditangkisnya! Tentu saja wakil ketua Pek-lian-kauw itu terkejut dan makin marah.

Akan tetapi sebelum dia menyerang lagi, nampak ada bayangan dua orang berkelebat naik ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Sin-ciang Gu Kok Ban, dan Tiat-thouw Tong Siok, dua oang pimpinan dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Mereka berdua sudah menjura kepada wakil ketua Pek-lian-kauw dan berkatalah Sin-ciang Gu Kok Ban.

“Harap totiang suka bersabar. Totiang sebagai calon bengcu tidak semestinya bertanding sebelum waktu sayembara dimulai, dan tidak semestinya kalau bertanding dengan seorang di antara penonton. Kecuali kalau pemuda ramaja itu diangkat menjadi calon pula, maka totiang akan dapat berhadapan dengan dia nanti secara sah.”

“Betul! Kami mencalonkan dia menjadi bengcu!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari para wakil peninjau rombongan Kun-lun-pai dan suara ini segera disusul pula oleh para wakil dari golongan-golongan bersih, dari Siauw-lim-pai dan dari beberapa orang kang-ouw yang tadinya hanya datang sebagai penonton saja. Melihat kelihaian bocah, apalagi mendengar bahwa bocah itu murid Cin-ling-pai, mereka ini merasa suka dan setuju kalau Sin Liong menjadi bengcu yang berarti bahwa golongan sesat atau dunia hitam dapat dikendalikan.

Akan tetapi Sin Liong cepat bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas. “Saya tidak ingin menjadi bengcu, saya hanya ingin menjadi penonton saja!”

Sin-ciang Gu Kok Ban lalu berkata lantang, “Kalau orang tidak mau menjadi calon bengcu, pun tidak dapat dipaksa. Harap totiang suka mundur dulu dan sebaiknya urusan pribadi dapat dikesampingkan dan diselesaikan sendiri setelah urusan pemilihan bengcu selesai. Setelah urusan beres, kalau totiang menghendaki apapun, biar dia bersayap mana bisa meloloskan diri dari totiang.”

Kim Lok Cinjin mengangguk dan dia merasa malu untuk mendesak seorang bocah. Dia menoleh ke arah Sin Liong, memandang tajam lalu berkata, “Engkau tunggulah saja!” Lalu dia kembali ke tempat duduk semula.

Kini dimulailah sayembara pemilihan bengcu dan oleh ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang diadakan undian untuk menentukan siapa yang harus maju lebih dulu untuk saling berhadapan. Ketika undian dibuka, ternyata yang mendapatkan nomor satu dan nomor dua adalah Lam-thian Kai-ong dan Ouw-kauwsu, yang menurut peraturan harus lebih dulu bertanding untuk menentukan kemenangan di antara keduanya agar si pemenang dapat maju ke babak berikutnya.

Dua orang jago itu kini sudah meloncat ke atas panggung dengan gaya masing-masing, disambut sorak-sorai oleh para penonton dan para rombongan yang memihak. Lam-thian Kai-ong, kakek berusia enam puluhan tahun itu memegang tongkat butut. Dia bertubuh tinggi kurus, mulutnya tersenyum-senyum, dan di dunia kang-ouw bagian selatan, nama Lam-thian Kai-ong ini sudah amat terkenal karena dia diakuinya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis). Hanya jarang ada tokoh yang mengenal sampai di mana tingkat ilmu kepandaiannya, karena sebagai golongan pengemis dan gelandangan, tentu saja Lam-thian Kai-ong ini biasanya mengundurkan diri di tempat sunyi dan jarang sekali bentrok dengan fihak lain. Memang, di dunia kang-ouw, golongan pengemis ini agak dijauhi oleh golongan lain, karena agaknya menurut perhitungan mereka, apa untungnya berselisih dengan para pengemis? Tidak ada apa-apa yang diperebutkan dan karena kehidupan para gelandangan itu amat sengsara, maka tentu membuat mereka menjadi orang-orang nekat yang sukar dilawan! Hanya kabar-kabar angin saja yang dibawa oleh para jembel itu yang mengatakan bahwa Raja Pengemis itu memiliki kesaktian yang luar biasa.

Adapun orang ke dua, Ouw Bian atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ouw-kauwsu, amat terkenal di antara para guru silat, para tukang pukul, dan para piauwsu (pengawal barang kiriman), sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan paling disegani di kota Amoi. Tubuhnya tinggi besar, matanya lebar dan dari gerak-geriknya sudah cukup menunjukkan bahwa guru silat ini memiliki tenaga yang besar. Biarpun dia tidak memegang senjata seperti calon lawannya yang memegang tongkat, namun orang dapat melihat bahwa ikat pinggangnya terbuat dari baja sehingga menimbulkan dugaan bahwa agaknya benda itulah senjata Ouw-kauwsu. Dan dugaan ini memang benar. Ikat pinggang itu dapat dimainkan seperti senjata pian yang lihai. “Kai-ong, apakah begitu maju engkau hendak menggunakan tongkatmu?” Ouw-kauwsu bertanya.

Raja Pengemis itu tersenyum. “Tidak, Ouw-kauwsu, aku cukup mengerti akan peraturan. Pertandingan diadakan dua kali, bukan? Pertama dengan tangan kosong dan kalau selama seratus jurus dengan tangan kosong ini belum ada yang menang atau kalah, barulah kedua calon boleh menggunakan senjata masing-masing. Benarkah begitu, pangcu?” tanyanya sambil menoleh ke arah Sin-ciang Gu Kok Ban.

Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu mengangguk. “Hanya senjata di tangan, bukan senjata rahasia! Penggunaan senjata rahasia tidak diperkenankan, kecuali kalau kedua calon saling menyetujui.”

“Ha-ha-ha, tongkat bututku ini sudah cukup untuk mengusir segala macam anjing, perlu apa menggunakan senjata rahasia? Nah, aku sudah siap, kauwsu yang baik.” Sambil berkata demikian, kakek pengemis itu melontarkan tongkat bututnya yang meluncur seperti anak panah dan menancap di ujung papan panggung, menggetar dan mengeluarkan bunyi. Tenaga lontaran ini saja sudah membuktikan betapa lihainya kakek itu sehinga tongkat bambu dapat menancap di papan kayu yang keras itu seperti sebatang anak panah saja.

Ouw Bian juga maklum akan kelihaian lawan pertamanya ini, maka dia sudah siap memasang kuda-kuda dengan kedua lengan disilangkan, jari-jari tangannya dibuka dan membentuk cakar harimau. Kauwsu ini memang terkenal sekali dengan ilmu silat gaya pesisir timur yang mengutamakan cengkeraman dan tangkapan, diseling totokan jari tangan yang amat lihai. Agaknya Lam-thian Kai-ong juga mengenal ilmu itu, maka dengan tenang diapun memasang kuda-kuda dengan sikap lembut untuk mengimbangi lawan yang hendak mempergunakan serangan berdasarkan kekuatan jari tangan dan kecepatan.

“Lihat serangan!” Ouw Bian mulai menyerang, kedua tangannya bergerak hampir berbareng, yang kiri mencakar ke arah kedua mata lawan sedangkan yang kanan menyusul dengan cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama sebagai serangan pembukaan ini cukup mengandung maut!

“Bagus!” Kai-ong berteriak dan dia memutar tubuhnya ke kanan, membalik dan setelah menghindarkan cakaran pada kedua matanya berhasil menangkis cengkeraman pada pusar, lalu dibarengi dengan kaki kirinya yang panjang itu meluncur dan menendang ke arah lutut lawan. Kakek jembel ini memang ahli sekali dalam mainkan kaki, baik untuk melangkah secara teratur dan mudah mengelak serangan lawan maupun untuk balas menyerang dengan tendangan kilat.

“Hemm... dukk!” Dengan tangan kanan dimiringkan, Ouw Bian berhasil menangkis tendangan itu lalu balas mencengkeram ke arah leher yang dapat pula dielakkan oleh Lam-thian Kai-ong. Kiranya kedua orang ini begitu bergebrak telah saling mempergunakan kecepatan untuk mencari kemenangan. Pertandingan berjalan makin cepat, sehingga akhirnya mereka yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya menjadi kabur pandang mata mereka dan tidak lagi dapat mengikuti gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan tubuh kedua orang itu berkelebatan dan kadang-kadang ruwet menjadi satu!

Hanya para tokoh yang berkepandaian tinggi, terutama mereka yang duduk sebagai calon bengcu masih dapat mengikuti gerakan mereka dan tahulah mereka ini bahwa kalau dibuat perbandingan, maka Lam-thian Kai-ong masih menang sedikit dalam hal kecepatan gerakan. Ouw-kauwsu juga maklum akan hal ini, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerengan keras dan gerakan kedua cakar tangannya menjadi makin kuat. Kiranya dia hendak mengatasi kekurangannya dalam ilmu gin-kang (meringankan tubuh) itu dengan kekuatannya yang ternyata memang menang sedikit dibandingkan dengan lawannya. Terjadilah serang-menyerang yang makin sengit. Semua serangan Ouw-kauwsu kebanyakan dielakkan dengan gesit oleh lawan, sebaliknya serangan balasan Kai-ong sengaja ditangkis oleh kauwsu itu dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

Para anak buah berbagai rombongan yang menonton menjadi gembira bukan main dan segera terjadi pemisahan menjadi dua kelompok yang mendorong jagoan masing-masing dengan sorakan dan anjuran. Bahkan banyak di antara mereka, terutama anak buah yang menganggap Ouw-kauwsu sebagai jagoannya, yaitu mereka yang tergolong tukang pukul dan tukang judi, sudah mulai ramai mengadakan taruhan. Sungguh mengherankan sekali karena dari fihak rombongan pengemis banyak pula yang menanggapi dan melayani taruhan dalam jumlah uang yang tidak kecil itu. Kiranya di antara pengemis-pengemis itu banyak yang mempunyai simpanan uang besar!

Tak terasa lagi, lima puluh jurus telah terlewat dan kedua orang yang sedang bertanding itu belum juga dapat merobohkan lawan. Kalaupun ada pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh lawan, namun kenanya tidak telak dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan, padahal, dalam pertandingan ini, yang berlaku dan yang dianggap kalah adalah kalau lawan roboh di atas papan atau terlempar keluar panggung.

Sebetulnya, kedua fihak sudah merasa penasaran sekali dan sudah gatal-gatal tangan mereka untuk mencabut senjata dan mengandalkan keahlian mereka dengan senjata itu untuk merebut kemenangan. Akan tetapi karena merekapun mengerti bahwa pertandingan mereka belum lewat seratus jurus, maka mereka kini terus saling serang dengan semakin seru.

Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dibarengi berkelebatnya bayangan orang tinggi besar ke atas panggung, “Kalian berdua menggelindinglah!” Dan sungguh luar biasa, dua orang kakek lihai yang sedang saling serang itu tiba-tiba terdorong dan terlempar ke kanan kiri dan terjatuh keluar panggung!

Semua orang memandang dan ternyata yang berdiri di atas panggung itu adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam bopeng dan tanpa daging seperti tengkorak. Tentu saja mereka semua mengenal, terutama sekali para bajak karena mereka sudah bersorak riuh rendah menyambut munculnya orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini! Kakek itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Tiga Kakek Laut Selatan yang amat lihai. Dalam segebrakan saja dia mampu melempar dua orang lihai yang sedang bertanding tadi dari atas panggung sudah membuktikan betapa lihainya raksasa muka tengkorak ini. Dan dia ini baru orang ke tiga! Belum yang ke dua dan yang pertama.

Karena calon bengcu sudah roboh dua orang, maka kini tinggal tiga orang lagi, yaitu Tiat-thouw Tong Siok sendiri sebagai tuan rumah, Kim Lok Cinjin wakil ketua Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi Si Maling Sakti. Hati tiga orang ini agak gentar karena memang mereka sudah mendengar akan kehebatan ilmu dari Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena belum pernah bentrok sehingga belum mengukur tenaga mereka, tiga orang sakti inipun merasa penasaran.

Sin-ciang Gu Kok Ban sebagai ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang menjadi penyelenggara dan tuan rumah, cepat meloncat naik ke atas panggung dan menjura kepada Hek-liong-ong Cu Bi Kun. “Kiranya Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang datang. Mengapa lo-enghiong melanggar peraturan pibu untuk memilih calon bengcu? Kalau lo-enghiong berminat memasuki sayembara, mengapa tadi tidak mendaftarkan diri?” Demikian dia menegur dengan halus.

“Sekarangpun kami mendaftarkan diri juga belum terlambat!” terdengar suara halus dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu telah berada di atas panggung pula. Semua orang mengenal mereka ini, karena yang pertama adalah Hai-liong-ong Phang Tek, kakek enam puluh lima tahun yang tinggi besar menyeramkan, wajahnya penuh brewok seperti Panglima Thio Hwi di jaman Sam-kok. Orang ke dua adalah adik kandungnya, Kim-liong-ong Phang Sun, berusia enam puluh tahun yang tubuhnya berbeda sekali dengan kakaknya karena dia ini bertubuh pendek kecil berkepala gundul lonjong dan dia tidak pernah pakai baju dan sepatu.

Melihat munculnya ketiga orang kakek sakti itu, hati Sin-ciang Gu Kok Ban menjadi makin gentar. Akan tetapi dia menyambut dengan hormat. “Kiranya Lam-hai Sam-lo yang terhormat telah hadir selengkapnya. Tentu saja locianpwe boleh mendaftarkan sebagai calon. Siapakah di antara locianpwe yang hendak memasuki sayembara?”

“Kami bertiga!”

“Tapi... tapi... setiap rombongan hanya diperbolehkan mengajukan seorang calon...”

“Ah, aturan mana itu? Sin-ciang Gu-pangcu, engkau dan semua yang hadir tahu belaka bahwa semenjak pemilihan beberapa tahun yang lalu, sesungguhnya kami yang berhak menjadi bengcu. Akan tetapi gara-gara pengacauan dari Ouwyang Bu Sek, maka terjadi keributan dan kami mengundurkan diri. Sekarang, dalam pemilihan ini, kami tidak mau gagal lagi. Kalau tadi kami agak terlambat adalah karena kami memang menanti munculnya setan cebol itu. Dia tidak berani muncul, maka kami segera datang dan apabila ada calon-calon lain, silakan naik dan asal dapat mengalahkan kami seorang demi seorang, baru dia atau mereka dapat diangkat menjadi calon.”

Sunyi senyap suasana di tempat itu setelah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini bicara. Sin-ciang Gu Kok Ban mengerutkan alisnya. Munculnya Lam-hai Sam-lo dengan sikapnya itu melanggar peraturan dan Sin-ciang Tiat-thouw-pang tentu akan kehilangan muka sebagai penyelenggara sayembara. Pula, dia mengenal siapa adanya Lam-hai Sam-lo, yang termasuk penjilat-penjilat pemerintah yang hendak mengejar kekuasaan dan kedudukan di daerah selatan. Kalau Lam-hai Sam-lo, yang menjadi Beng-cu, tentu para anggauta liok-lim dan kang-ouw akan tergencet.

Dengan muka merah ketua ini lalu menghadap tiga orang kakek itu dan dengan suara lantang berkata, “Tadinya ada lima calon, akan tetapi setelah dua di antara mereka sam-wi robohkan, tinggal tiga orang lagi, yaitu sute Tiat-thouw Tong Siok, Kim Lok Cinjin dari Pek-lian-kauw, dan Sin-to Bouw Song Khi.”

“Kim Lok Cinjin?” Tiba-tiba Hai-liong-ong Phang Tek berseru sambil memutar tubuh memandang ke arah tosu Pek-lian-kauw yang duduk di panggung kehormatan. “Benarkah itu? Sedangkan suhengnya, Kim Hwa Cinjin sendiri selalu mendukung kami sebagai calon bengcu!”

Pek-lian-kauw juga terkenal sebagai perkumpulan yang anti pemerintah pada waktu itu, dan dalam hal ini, Pek-lian-kauw lebih condong kepada Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang juga anti pemerintah. Wakil Pek-lian-kauw ini maklum pula bahwa Lam-hai Sam-lo adalah orang-orang yang berusaha mendekati pemerintah dan mencari kedudukan dengan menjilat-jilat, maka diapun enggan untuk mundur, sungguhpun dia tahu betapa suhengnya sendiri merasa jerih kepada tiga orang kakek sakti itu.

“Siancai... tidak disangka bahwa Lam-hai Sam-lo datang juga! Pinto telah terlanjur masuk sebagai calon bengcu, sebelum gagal dalam ujian mana mungkin mundur kembali?”

Akan tetapi kata-kata itu disambut cepat oleh suara yang halus ramah, suara Sin-to Bouw Khi “Seekor harimaupun akan mundur kalau melihat munculnya singa, maka biarlah aku yang bodoh menarik diriku sebagai calon bengcu dan aku kini menjadi pendukung saja dari seorang di antara Lam-hai Sam-lo untuk menjadi bengcu!”

Sikap inipun dapat dimengerti karena Si Maling Sakti ini memang pernah ditolong oleh Lam-hai Sam-lo, yaitu ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap oleh kepungan penjaga keamanan kota Amoi yang dipimpin oleh seorang pendekar, dan Lam-hai Sam-lo yang akhirnya menghubungi pembesar dan dapat mengeluarkannya dari tahanan. Di samping itu diapun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk mengalahkan tiga orang kakek sakti itu. “Terima kasih atas pengertianmu, Sinto!” kata Hai-liong-ong Phang Tek yang kembali menghadapi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, “Apakah masih ada calon yang lain, ataukan hanya kalian berdua saja?”

“Karena yang terhormat Sin-to Bouw Song Khi mengundurkan diri, maka yang tinggal hanya dua orang yaitu sute Tong Siok dan Kim Lok Cinjin,” jawab Sin-ciang Gu Kok Ban dengan suara kering tanda bahwa dia marah sekali.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Ji-wi suheng turunlah, biarlah mereka berhadapan dengan aku!” kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun di tinggi besar muka tengkorak. Dua orang saudaranya itu mengangguk dan dengan ringan mereka berdua meloncat turun dari atas panggung, berdiri di samping panggung dengan lagak angkuh.

Terdengar bentakan nyaring dan Kim Lok Cinjin sudah berada di atas panggung dan menjura kepada Sin-ciang Gu Kok Ban. “Karena Tong-sicu sebagai wakil Sin-ciang Tiat-thouw-pang merupakan tuan rumah, biarlah pinto yang lebih dulu maju.”

Kim Lok Cinjin adalah tokoh Pek-lian-kauw yang wataknya pemarah dan tadi baru saja dia mengalami penghinaan ketika muridnya dipermainkan oleh seorang bocah. Maka karena dia sedang marah munculnya Lam-hai Sam-lo yang tidak disukanya itu menambah kemarahannya. Dia maklum bahwa kepandaian tiga orang kakek itu luar biasa sekali, namun mengingat bahwa mereka itu adalah antek-antek pemerintah yang dibencinya, dan mengingat pula bahwa dia harus mempertahankan nama Pek-lian-kauw, maka dia menjadi nekat hendak melawan.

“Sudah lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan dengan seorang di antara mereka, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinto untuk mohon sedikit petunjuk,” katanya sambil menjura kepada si muka tengkorak itu.

“Ha-ha-ha, engkau terlalu merendah, totiang. Aku sudah mendengar bahwa tingkat kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu lihai sekali. Marilah kita main-main sebentar!” kata orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo.

Dua orang jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar dari Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai Putih) sedangkan lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni sudah memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo.

Mereka bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-lian-kauw itu mengambil kedudukan mempertahankan, suatu sikap yang berhati-hati dalam pertandingan, sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah mulai membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan naga, menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya.

Namun wakil Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan tubuhnya bergerak ke belakang, mengelak dan mengibaskan kedua tangannya keluar dan ke kiri kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya.

“Plak! Plak! Plak! Plak!” Empat kali mereka saling mengadu pergelangan tangan dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam adu tenaga sin-kang ini, dia masih kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin tidak menjadi gentar dan secepat kilat kedua kakinya mengirimkan tendangan berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan Siauw-cu-tui yang dilakukan secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian saling susul dan amatlah berbahaya bagi lawan karena setiap tendangan mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan. Menghadapi tendangan seperti itu, terpaksa Hek-liong-ong mengelak mundur dan akhirnya dia menggerakkan kedua tangan untuk mencengkeram dan menangkap kaki yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua Pek-lian-kauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena dicengkeram hancur.

Pertandingan berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga ada yang nampak akan memperoleh kemenangan. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh lebih tinggi, akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat dengan hati-hati dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum terkalahkan.

Hal ini membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya dia memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia belum mampu merebut kemenangan, bahkan melukai lawanpun belum. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata berkelebat, disusul muncratnya darah dan teriakan wakil ketua Pek-lian-kauw yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terobek oleh golok di tangan Hek-liong-ong. Kiranya Cu Bi Kun dengan kecepatan kilat tadi telah mencabut dan mempergunakan goloknya untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main golok besar itu, maka Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak dan pundaknya terkena bacokan golok sehinga terluka cukup parah.

“Memandang muka Kim Hwa, Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!” kata Cu Bi Kun sambil melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh. Dengan mata mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah katapun, wakil ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi dari situ sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh para anggauta Pek-lian-kauw yang berada di situ.

“Tidak adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya curang!” Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di tangannya dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong.

“Hemm, apa maksudmu?” bentak Hek-liong-ong marah.

“Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum pertandingan tangan kosong lewat seratus jurus amatlah tercela. Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di antara musuh!” tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan marah.

“Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau tentu tahu bahwa ilmu silat amatlah luasnya, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu sliat pasti terdapat bahaya terluka atau terbunuh. Sekarang, calon terakhir tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri sebelum terlambat.”

“Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu sungguh keterlaluan!” Tiat-thouw Tong Siok membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu.

“Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tidak perlu turut campur!” Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia mengkhawatirkan keselamatan sutenya.

Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah seorang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja?

“Biarlah, suheng. Ini sudah bukan urusan perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Kim Lok Cinjin telah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi. Marilah, Hek-liong-ong, kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!” Sambil berkata demikian, Tong Siok sudah menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang menyambutnya dengan tertawa besar.

Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apalagi dia. Baru lewat belasan jurus saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok dan orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar ketawa Hek-liong-ong mengeluarkan suara ketawa penuh kebanggaan. Dia memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan diapun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat,
tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh.

“Pergilah!” Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya yang melintang itu.

“Trang... krekkk!” Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong!

“Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!” kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak sombong sekali.

Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia berteriak nyaring, “Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!” Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya yang membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang kokohpun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu.

“Sute...!” Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak namun sudah terlambat karena sutenya itu sudah menyerang dengan cepat.

“Ha-ha-ha!” Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya.

“Dukkk...!” Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut dan tubuh Hek-liong-ong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena tiba-tiba kepala itu sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya.

“Sluppp...!” Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung! Ketika merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga kini tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta!

“Locianpwe, harap menaruh kasihan kepada sute!” teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang mengkhawatirkan keselamatan sutenya.

“Hemmmm, dia menghendaki nyawaku, mana begitu mudah?” Tiba-tiba Hek-liong-ong memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok dan terdengar suara “krekk!” dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi lemas!

Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian mengerikan di atas panggung itu menjadi makin tegang ketika mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran pemilihan bengcu itu. Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang. “Eh, kenapa main-main dengan perut orang?”

Begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, terdengar suara “plakk” dan tubuh Hek-liong-ong menggigil! Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa panas, akan tetapi tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala dan menyerang perut sehingga Hek-liong-ong terkejut bukan main, maklum bahwa pemuda remaja itu main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah dicabutnya lagi dari punggungnya. Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok dan akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut.

“Terima kasih...!” Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suhengnya. Pada saat itu, Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke atas panggung mereka itu menghadang Sin Liong dari depan dan belakang.

Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sutenya dan merasa lega bahwa sutenya itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka parah maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali.

“Siapa engkau, bocah setan?” bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin Liong dengan sikap mengancam.

“Hemm, Lam-hai Sam-lo memang jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak merebut kedudukan bengcu juga secara curang,” kata Sin Liong dengan marah.

“Ah, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?” teriak Hai-liong-ong Phang Tek yang lalu menoleh ke kanan kiri, lalu menantang, “Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!”

Sin Liong tersenyum, “Suheng sudah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo.”

“Keparat!” Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan kilat ke arah kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki gin-kang yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong!

Kini Sin Liong tidak berani lagi main-main seperti ketika dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw tadi, karena diapun maklum betapa lihainya tiga orang kakek pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya. Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng sepenuhnya.

“Plakk...! Aihhhhh...!” Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat dan sin-kangnya membanjir keluar keluar. Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari dan menyelidiki hal itu penuh keheranan. Kini, cepat dia menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah di dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi-i-beng!

“BOCAH SETAN! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?”

Tiba-tiba orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan mata melotot
penuh kebencian.

Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah karena kakeknya dimaki keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kim-liong-ong Phang Sun. Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun telah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi “subengnya” dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya. Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong telah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tidak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, biarpun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sesungguhnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!

“Aihhh!”

“Ohhh...!”

Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu. Marahlah mereka dan cepat mereka balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hai-liong-ong Phang Tek sudah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan telah mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong.

Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan Thi-khi-i-beng, yaitu dengan jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka diapun tidak lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu.

“Manusia-manusia curang!” bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan-pukulan itu. Dia membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat gerakan memutar itu mengakibatkan angin atau hawa pukulan melingkar dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang kuat!

Hai-liong-ong Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga sudah pulih kembali tenaganya, dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut mengurung.

“Bocah setan, hayo katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng?” bentak Hai-liong-ong Phang Tek.

Sin Liong yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan kepalanya dan menjawab lantang. “Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah orang yang kujunjung tinggi, kuhormati dan namanya akan kubela sampai akhir jaman dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk menyebut namanya!”

Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat membenci Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka dengan kakeknya. Seperti telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang Kayu Harum, pendekar sakti Cia Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah bernama Sie Biauw Eng, dan wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sie Biauw Eng sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja mereka membenci pendekar Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan menyelewengkan suci mereka sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam. Akan tetapi, mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai, apalagi ilmunya yang disebut Thi-khi-i-beng, dan juga karena merasa sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci. Akan tetapi kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi-i-beng itu, tentu saja mereka teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing dan mengepung serta mengeroyok Sin Liong dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat.

Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang mewarisi ilmu-ilmu yang demikian hebat seperti yang diwarisi oleh Sin Liong, apalagi dia telah secara langsung mengoper tenaga sin-kang dari Kok Beng Lama dan secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian telah mempelajari isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suhengnya, Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi, usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biarpun di dalam tubuhnya telah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang matang dalam latihan. Padahal, tiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran besar. Maka, biarpun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus menangkis tiga serangan lawan itu sehingga tiga orang kakek itu terhuyung ke belakang dengan kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang pada pinggiran papan panggung dan meloncat naik ke atas, berjungkir-balik beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung pula oleh tiga orang kakek itu.



Lam-hai Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan terdapat rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama hidup mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti pemuda remaja ini! Hai-liong-ong Phang Tek yang merupakan orang pertama yang paling lihai, tadi melihat betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu, membalik dan tongkatnya itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher lawan. Maklumlah dia bahwa entah secara bagaimana, anak ini telah memiliki sin-kang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat bergerak otomatis melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka dia bersikap hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya. Sementara itu, kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru tahu, seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan tolol tadi sebenarnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai Sam-lo sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!

Sin-ciang Gu Kok Ban yang cepat menolong sutenya dan menyambung pergelangan tangannya yang patah-patah dan memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh takjub. Dia tadipun tidak berdaya menyaksikan keadaan sutenya, dan dia tahu bahwa pemuda remaja yang luar biasa itu telah menyelamatkan nyawa sutenya. Akan tetapi, melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tidak berani mencampuri, sungguhpun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu dapat lolos.

Pertandingan di atas panggung itu benar-benar hebat bukan main dan semua orang menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga orang kakek itu kini sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Yang hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan fihak lawan, akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati mereka sehingga biarpun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali. Sementara itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain saling pandang dan juga mereka menonton dengan penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri karena selain tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal, juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dan pemuda remaja luar biasa yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Tadinya, orang-orang gagah, seperti para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang sudah bersiap-siap untuk menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang berjiwa pendekar, tentu saja mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika menyaksikan gerakan-gerakan Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali dan sama sekali tidak pantas kalau dibantu oleh mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan dengan kepandaian pemuda itu atau tiga orang pengeroyoknya.

“Hyaaaaattt... aihhh!” Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang Sun ini hebat bukan main. Orangnya sih kecil pendek saja, akan tetapi ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun menyambar ke arah Sin Liong seperti seekor naga terbang dan kedua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong.

Biarpun Sin Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari teori-teori dan latihan-latihan saja, belum pernah dia mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan, maka sekali ini, dia benar-benar diuji dan dituntut untuk membuktikan sampai di mana kemampuannya selama dia dilatih secara tekun dan tak mengenal lelah itu. Memang anak ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia memiliki keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biarpun kini menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup, bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis yang timbul dari kewaspadaannya.

“Hemmm...!” Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khi-kang yang menggetarkan dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya.

“Aihhhh...!” Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main. Kebutan tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri dan tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu terus meluncur ke arah pergelangan kakinya secara aneh. Dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu selama hidupnya dan biarpun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat karena totokan itu meluncur terus, agaknya takkan dapat dielakkannya lagi.

“Celaka!” teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu ternyata telah mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitab-kitab lama di bawah bimbingan suhengnya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Dari kitab-kitab yang menurut Ouwyang Bu Sek adalah pemberian seorang manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, Sin Liong telah dapat meringkas semua ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu Sek diberi nama Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang dapat berkembang secara luas sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia sehingga Ouwyang Bu Sek sendiripun tidak sanggup mempelajarinya!

Melihat adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dengan diancam oleh totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras sambil mengayun tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu, telah mengayun golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

“Wuuuutttt...!” Singggg...!” Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.

“Krekkk...! Takkk...!”

“Ahhhh...!”

“Heiii...!”

Kim-liong-ong dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari malapetaka, akan tetapi tubuh Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka pucat sekali dan Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sudah patah menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di tangannya dengan mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda remaja itu dan terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!

Kiranya, totokan jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te-sin-ciang, yaitu tenaga yang dia peroleh dari “pengoperan” Kok Beng Lama secara luar biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong mengenai lengannya, lengan itu penuh dengan tenaga Thian-te-sin-ciang, golok itu terpental dan membalik. Tenaga Thian-te-sin-ciang dari Kok Beng Lama memang merupakan tenaga sin-kang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam.

Tiga orang Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka kini merasa gentar sekali. Pada saat itu, terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring, “Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!”

Semua orang terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat bahwa tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian seragam, indah dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin pasukan dan banyak pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang yang berpangkat besar.

Beberapa orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara mereka terdapat seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, berusia kurang lebih delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik. Pemuda ini gagah sekali, pakaiannya amat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata amat indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya. Dengan sikap seorang ahli, dia memegang kendali kudanya yang meringkik-ringkik, mulutnya tersenyum dan matanya menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata yang tajam itu memandang ke atas panggung di mana Sin Liong masih berhadapan dengan Lam-hai Sam-lo.

“Sam-lo, apa yang kalian lakukan? Apa yang telah terjadi?” Tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya dan tiba-tiba
terkejut dan kagumlah semua orang karena pemuda tampan itu melayang dari atas kudanya seperti terbang saja, dengan gaya yang amat indah telah meloncat naik ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu yang luar biasa, akan tetapi kalau orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu melayang ke atas, hal itu benar-benar hebat sekali. Maka terdengarlah tepuk tangan memuji di sana-sini karena orang-orang merasa gembira sekali melihat betapa hari ini muncul banyak orang muda yang hebat.

Akan tetapi keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba mereka melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda tampan itu dengan sikap amat menghormat! Dan kagetlah mereka ketika mereka mendengar suara Hai-liong-ong Phang Tek berkata, “Mohon paduka sudi mengampuni hamba, pangeran. Pemilihan bengcu ternyata mendapat gangguan dari pemuda ini.”

Ributlah keadaan di situ ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda itu “pangeran”. Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara lantang. “Paduka yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang cepat memberi hormat!” Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran, berarti saudara dari kaisar, tentu saja semua orang terkejut dan cepat mereka semua menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke atas panggung di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut cara masing-masing seperti kebiasaan mereka menghormati seorang pangeran agung.

Pangeran itu tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling dengan bangga, melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak berlutut kepadanya, dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di sudut panggung itu! Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu pemilihan bengcu tadi! Pemuda itu adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut, hanya berdiri dan memangku kedua tangan memandang semua itu seperti orang yang sedang nonton pertunjukan wayang.

Pangeran itu mengangkat kedua tangan ke atas dan terdengar suaranya yang lantang, “Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan bangkit lagi. Eh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini? Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu?”

“Ampun, pangeran. Sebetulnya hamba bertiga telah dapat memenangkan kedudukan bengcu, akan tetapi anak ini... datang mengacau...!” Hai-liong-ong memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak.

Pangeran muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong dan sinar matanya yang tajam itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah seperti orang yang kurang percaya.

“Dia ini? Bocah ini mampu mengacau kalian bertiga?” Mulutnya tersenyum-senyum, manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi sinar matanya tajam seperti pedang. “Tadi kulihat dia berani menghadapi kalian bertiga. Bukan main...! Ingin aku mencobanya!” Pangeran muda itu melangkah menghampiri Sin Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja dan tiba-tiba pangeran itu membuka mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar sinar putih seperti perak dan itu adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke arah jalan darah di tubuh bagian depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke pusar!

Melihat betapa jarum-jarum itu hanya nampak sebagai sinar-sinar putih berkeredepan saja dan semua mengarah jalan-jalan darah yang amat berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba dan dilakukan dari jarak dekat ini. Hwesio dari Siauw-lim-pai dan tosu dari Kun-lun-pai menahan napas dan mengeluarkan keringat dingin karena mereka merasa yakin bahwa pemuda remaja itu, betapapun lihainya, tentu akan sukar meloloskan diri dari serangan hebat oleh pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi pula itu.

Namun, sejak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong sudah siap siaga dan waspada. Dia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu membuka mulut dan meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong sudah mengerahkan tenaga Thian-te-sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia membuat gerakan mencengkeram ke depan dan jarum-jarum itu telah dapat ditangkap dalam genggaman kedua tangannya!

“Ceng Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!” katanya dan dengan gerakan sembarangan dia melemparkan jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil memandang tajam wajah yang tampan itu.

“Ehh...?” Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan hanya karena melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya, melainkan karena mendengar teguran Sin Liong. “Kau... siapakah kau?” Kemudian pada wajahnya yang tampan itu nampak seri gembira, ketika dia mengenal Sin Liong.

“Ahhh...! Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini? Bukan main, kau hebat sekali!” Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi, “Sam-lo, dia ini sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja monyet..., ha-ha! Tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini!” Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng Han Houw lalu merangkul pundak Sin Liong!

Sebetulnya, tidak ada sedikitpun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk bersahabat atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata telah menjadi pangeran ini, akan tetapi karena sikap Han Houw benar-benar ramah kepadanya dan sama sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, diapun tentu saja merasa tidak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena Sin Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata.

“Ceng Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau menganggap aku sebagai sahabatmu.”

“Eh? Kau lupa lagikah? Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu, bukankah aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan kegagahanmu, dan aku suka bersahabat denganmu?”

Sin Liong ingat akan ucapan itu. “Akan tetapi, sucimu berdaya upaya dengan keras untuk membunuhku!”

“Ah, suci adalah suci, dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan? Kami adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran, adik kaisar! Kautunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu, akan tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!” Ceng Han Houw lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru, suaranya terdengar lantang, “Aku, Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan pemilihan bengcu selesai sampai di sini dan biarlah Lam-hai Sam-lo yang diangkat menjadi bengcu di selatan. Kalian semua orang-orang gagah segolongan harap tidak saling bermusuhan, bersatu padu dan tunduk kepada pimpinan. Pemerintah tentu akan menganggap kalian sebagai golongan baik-baik, dan segala urusan dapat diselesalkan oleh bengcu. Siapa berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap memberontak terhadap golongan kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap pemberontak dan pengacau oleh pemerintah dan akan dibasmi!”

Biarpun ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa, maka semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa mereka akan mentaati perintah ini! Apalagi pasukan yang mengawal pangeran itu kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan mereka. Biarpun di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak suka kepada pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di dalam hati saja dan tidak ada yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan karena hal itu berarti bunuh diri.

“Sam-lo, sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tidak perlu pengawal lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di mana saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!”

Komandan pasukan yang bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu cepat menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biarpun tidak sehebat kuda tunggangan pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan yang berada di situ.

“Pakailah kuda itu, Sin Liong, dan mari kita pergi. Aku ingin mengajakmu melakukan perjalanan dan bercakap-cakap!” kata Pangeran Ceng Han Houw. Sin Liong sendiri yang merasa bahwa dia tidak banyak mempunyai sahabat di tempat itu, tidak membantah, lalu dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota menuju ke utara.



“Sin Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!” Han Houw berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi dan pangeran itu lalu menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu dan membalapkan kudanya yang besar dan gagah.

Melihat kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan diapun membalapkan kudanya mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda inipun berpacu dengan cepatnya, akan tetapi karena betapapun juga kuda tunggangan Sin Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal jauh dan akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan.

Ketika akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda besar itu sudah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya dengan setengah lingkaran. Sin Liong membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas panggung tadi. Pada saat itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang masih duduk di atas kudanya dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan dengan pangeran itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada pangeran itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju ke tempat itu sambil memandang penuh perhatian. Dia tahu benar bahwa pangeran yang tampan dan gagah itu bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja oleh gerombolan itu, maka diapun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu akan celaka.

“Bunuh pembesar lalim!”

“Basmi penindas rakyat!”

Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi makin ribut dan mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu sudah lenyap dan kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak dan menjauhi mereka, akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi mereka telah mengepung dan mulai menyerang. Dari tempat agak jauh, Sin Liong memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan gin-kang yang indah dari Han Houw yang tadi mempergunakan ketika kudanya meringkik-ringkik itu telah meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena dia telah menyusup ke dalam pohon yang tinggi di atas mereka!

Sin Liong tak dapat menahan tawanya ketika dia melihat betapa tujuh orang itu celingukan ke sana-sini mencari-cari, dan tiba-tiba Han Houw tertawa berkata, “Hei, kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu untuk menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan melayang!”

Kiu-bwee-houw dan teman-temannya terkejut dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun dengan gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek. “Hayo kalian cepat berlumba, siapa yang lebih dulu dapat merobohkan aku!” Dia mengejek dan tujuh orang itu yang merasa penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh berlumba untuk merobohkan sang pangeran.

Sin Liong menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan indahnya namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Sin Liong mengerti bahwa pangeran itu mempergunakan langkah-langkah sakti yang amat lihai dan memang dugaannya benar, Ceng Han Houw telan mempergunakan Ilmu Langkah Pat-kwa-po dan dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok tujuh orang anggauta Pek-lian-kauw, biarpun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggipun jangan harap akan dapat menangkap atau menyerang pemuda bangsawan itu dengan mudah!

“Ha-ha, Sin Liong, kaulihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!” kata pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh orang berturut-turut. Tujuh orang Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak kembali karena mereka telah tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat lihai! Ngeri juga rasa hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh mereka demikian mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan itu!

“Salah kalian sendiri kalau tadi tidak bersembahyang untuk arwah kalian sehingga kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!” kata Ceng Han Houw sambil menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya, lalu menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apapun.

Wajah Sin Liong masih membayangkan kengerian dan alisnya masih berkerut. Dia menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran. “Kau... kau membunuh mereka?”

Mendengar suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum. “Mengapa tidak? Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil membunuh aku?”

Wajah Sin Liong berubah agak merah dan dia cemberut. “Tentu saja tidak. Akan tetapi perlukan mereka semua itu dibunuh begitu saja?”

Pangeran itu tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar lalu melepaskannya lagi. “Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apalagi hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan suka sekali kalau berhasil membunuhku. Soalnya hanyalah mereka atau aku, Sin Liong, dan dalam hal kematian, tentu saja aku memilih mereka yang mati daripada aku. Apa artinya tujuh orang pemberontak itu? Ha-ha, kalau engkau melihat betapa aku pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih anggauta pemberontak yang merencanakan pembunuhan terhadap kaisar. Aku kurung mereka di dalam kuil dan kubakar kuil itu. Tidak ada seorangpun yang lolos!”

“Betapa kejam!”

Pangeran itu tertawa. “Engkau belum mengerti benar apa itu yang kaunamakan kejam. Kalau saja sri baginda terjatuh ke tangan mereka, atau kalau aku tadi tidak mampu melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun tangan menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong, aku bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh ekor anjing scrigala. Anjing-anjing itu mati olehku, engkau menganggap sang harimau kejam, akan tetapi andaikata sang harimau yang habis dikeroyok dan digerogoti dagingnya oleh serigala-serigala itu, tentu engkau akan menganggap anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang pengalaman!”

Sin Liong tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan turun tangan menolong? Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini adalah sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya.

“Mereka memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukan dibunuh? Mengalahkan mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu.” dia mencoba untuk membantah.

“Ha-ha-ha, melepaskan mereka agar mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan menghadangku pula di tempat lain? Itu bodoh sekali Sin Liong! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara tentang pemberontak-pemberontak itu? Pek-lian-kauw memang merupakan segerombolan pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan.”

Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan meninggalkan hutan itu. Sin Liong agak heran mendengarkan pengakuan itu.

“Ah, kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah?”

Han Houw tertawa. “Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap merupakan tokoh kang-ouw, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak menentang pemerintah. Tentu saja pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh orang yang tidak menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk keperluan itu maka sri baginda mengutus aku pergi ke selatan.”

“Ah... jadi engkau adalah utusan sri baginda kaisar?”

Han Houw tersenyum dan mengangguk. “Tidak resmi benar. Aku sekalian ingin pesiar. Setelah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku menghubungi mereka dan akulah yang menjagoi mereka agar memasuki pemilihan bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan.”

Sin Liong mengangguk-angguk. “Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan itu?”

“Ha-ha-ha, kau cerdik!” Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya. “Aku jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke manapun aku pergi, orang menyembah-nyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan kaisar. Maka ketika aku bertemu dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo? Apakah engkau berambisi menjadi bengcu?”

“Karena Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo sendiri telah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah berkali-kali kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lalu ini, sebelum Cia Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu oleh Kim Hong Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Hebat memang pendekar itu. Aku merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu waktu aku harus mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk itu, tahun depan ayah mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat menjadi guruku.”

Sin Liong termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang sudah meninggal dunia, dan memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada di depannya! Akan tetapi Sin Liong mengusir perasaan tidak enak
di hatinya. Dia tidak memperdulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya bukan manusia baik-baik. Buktinya telah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan ingin sekali mengunjungi kuburan ibu kandungnya.

“Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!” Tiba-tiba dia berkata.

“Bagus, dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!”

“Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti menjadi sahabatmu, pangeran,” jawab Sin Liong dengan suara dingin.

“Eh? Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran? Aihh, apakah engkaupun akan ketularan penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku? Akan memuakkan sekali kalau begitu, Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau kau menyebutku twako saja, dan aku menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi kakak beradik, bukan, walaupun hanya kakak beradik angkat saja.”

Melihat sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus mengakui bahwa pangeran ini baik sekali kepadanya dan menarik hatinya, membuat dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Baiklah, Houw-ko.”

Wajah yang tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku betapa gagah dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah dan setampan ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh semut saja.

“Liong-te, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!” katanya sambil menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ. “Ke benteng? Mau apa pergi ke benteng?” tanyanya heran.

Han Houw tertawa. “Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan binatang-binatang lain. Senang sekali berburu ke sana, Liong-te. Kita berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan mungkin mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan?”

Sin Liong tersenyum dan bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk. “Baiklah.”

Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan tetapi ketika Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat daripada emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan kaisar, komandan itu menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat. Akan tetapi Han Houw yang tidak suka atau sudah bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anak-anak panah yang baik. Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi dan tak lama kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya, Han Houw dan Sin Liong cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti dalam mimpi karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang datang berkunjung!

Sambil tertawa-tawa Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan lebih dulu, menghentikan kuda itu dan membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul. Dengan busur di tangan kiri pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di sekeliling tempat itu.

“Mengapa, berhenti, Houw-ko?” Akhirnya dia bertanya.

“Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kaugantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan,” kata pangeran itu sambil tersenyum.

Sin Liong juga tersenyum. “Ah, biarlah engkau yang akan mempergunakan busur dan anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah memanah...”

“Ah, benarkah? Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa tidak dapat menggunakan anak panah?”

Sin Liong menggeleng kepala. “Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan? Tidak akan habis dan sia-sia saja.”

“Aihh, tanpa anak panah, mana mungkin engkau akan dapat merasakan nikmatnya panggang hati harimau dan merasakan kaki biruang? Dan anak panah bukan hanya senjata untuk memburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap orang laki-laki yang gagah. Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, engkau akan dapat menguasainya dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kauambil busurmu, dan perhatikan ini. Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikitpun tidak boleh bergoyang. Pandang mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak berdaun!”

Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali dan terdengar suara menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Tepat sekali bidikan itu dan diam-diam Sin Liong kagum sekali karena pangeran itu benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka diapun mulai belajar memanah dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw, dengan tenaga yang dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba beberapa kali.

Akan tetapi ketika senja telah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepas oleh Han Houw dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang daging dan hati kijang. Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apalagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw amatlah menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir merupakan anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan malam.

Ketika mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya lentang orang tuanya, Sin Liong menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat oleh monyet-monyet.

“Ah, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong?”

Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. “Kalau engkau menyangka demikian, mengapa engkau mengajak aku untuk bersahabat? Bukankah engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw? Kalau engkau menganggap aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?”

Pangeran itu menarik napas panjang. “Ah, engkau belum mengenal aku, adik yang baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena pendekar Cia Keng Hong sudah meninggal, akan tetapi aku tidak menaruh rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andaikata engkau benar putera Cia Bun Houwo hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apalagi aku suka dan tertarik kepadamu...”

“Aku bukan anaknya!” Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu.

Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa. Sudah tahu bahwa dia seorang pangeran, adik kaisar, anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat, apalagi menjilat. Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri.

“Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she Cia?” Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya.

“Aku tidak punya she!” jawaban ini seketika, timbul dari hati panas.

Kembali Han Houw tersenyum. “Baiklah, aku akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu menghadapi Lam-hai Sam-lo?”

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia tentu saja tidak mau menceritakan bahwa dia telah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan demikian sama saja dengan mengaku bahwa dia putera Cia Bun Houw. Dia tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi dengan berani, sungguhpun dia tidak ingin bermusuh dengan pangeran yang luar biasa dan amat disukanya ini, akan tetapi dia segan untuk mengaku putera pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang pria yang kejam, yang telah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya.

“Aku belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek,” jawabnya pendek.

“Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul sendiri, sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan dia dan berkenalan. Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan, dengan kakek aneh itu, Liong-te?”

Sin Liong menggeleng kepala. “Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu kepadaku.” Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing karena kakek itu hendak memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup.

“Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Eh, sungguh luar biasa anehnya!” Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya.

“Apanya yang luar biasa aneh?”

“Engkau! Kenapa kau menjadi sutenya? Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya? Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi sutenya! Siapakah guru kalian kalau begitu?”

Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala. “Houw-ko, aku minta kepadamu, harap kau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi sesungguhnya dialah guruku,
akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku adalah sutenya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami...”

“Bukan main...!” Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali. “Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang amat aneh pula, Liong-te. Engkau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan suboku yang katanya memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak mempunyai niat buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Setelah kauberi tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik.”

Sin Liong merasa tidak enak untuk menolak dan diapun tidak ingin mengecewakan hati pangeran yang amat baik terhadapnya ini. Pula, suhengnya tidak pernah melarang dia menyebut nama guru mereka, hanya yang tidak boleh dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu.

“Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya di Himalaya.”

Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terbelalak. “Gurumu... gurumu seorang dewa...? Bu Beng Hud-couw...? Tentu seorang dewa dan bagaimana suhengmu mengadakan hubungan dengan seorang dewa?”

“Ah, aku sendiri belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia mengadakan hubungan lewat getaran...”

“Getaran? Bagaimana maksudmu?”

“Entahlah, Houw-ko, aku sendiripun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap saat dapat dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak bicara tentang
suhu.”

Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum. “Aihhh...!” Akhirnya dia menarik napas panjang. “Betapa beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ah, kalau saja aku dapat berguru kepadanya.”

Pangeran itu tidak banyak bicara lagi, termenung memandang ke dalam api unggun, membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak memperdulikan lagi sahabatnya itu dan dia sudah merebahkan diri di atas rumput, terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya lelah dan perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas.

Biarpun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri telah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkalnya. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apapun karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu tiba-tiba dia merasa tubuhnya nyeri sekali dan seketika dia terbangun. Begitu matanya terbuka, dia melihat bahwa malam telah berganti pagi, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali!

Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang dan anak panah di atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang kakek yang segera dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa muka buruk seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara perebutan bengcu kemarin. Pada saat Sin Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran.

“Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tidak mampu bergerak, pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sulitlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia telah mewarisi Thi-khi-i-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba yakin sekarang tentu telah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek.”

“HEMM, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan, kitab-kitab apa yang kaumaksudkan itu dan mengapa engkau berkeras hendak membunuh dia?”

“Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan paduka tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba bertiga dan biarpun tahun ini dia tidak muncul, akan tetapi ada pemuda ini yang menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sutenya. Kitab-kitab pusaka yang dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu kabarnya adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat, ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.”

“Hemm..., Bu Beng Hud-couw?” Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada pemuda remaja itu.

“Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dulu, baru kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat menguasainya terlalu lama...”

Han Houw tersenyum dan kini sinar matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon, menimpa muka pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong dan sambil tersenyum dia berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan.

“Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini? Nyawamu berada di dalam tanganku!”

Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya lahir batin tercurah kepada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia pernah menerima pelajaran tentang Thai-kek-sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang amat rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan. Karena sulitnya ilmu ini, maka diapun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya. Oleh karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan karena tidak memperhatikannya, maka diapun menjawab sambil lalu dan suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadi pengkhianatan ini. “Houw-ko aku memang tahu bahwa engkau kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah daripada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau.”

“Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran? Kurang ajar, engkau layak mampus seratus kali!” Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong. Pada saat itu, Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata dan menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan.

“Crotttt...!” Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung!

Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan karena kaget, nyeri dan juga heran.

“Oughhhhh... pangeran... mengapa...?” Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya.

Rasa kaget dan heran yang amat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti, “Plong...!” dan Sin Liong mampu bergerak lagi. Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi, “Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau membunuh dia?”

Kini pangeran itu memandang dengan mata terbelalak. “Liong-te, kau... kau... dapat bergerak? Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?”

Sin Liong mengangguk. “Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi, Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu?”

Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh dengan kakinya.

Menjemukan dia ini! Dan engkau mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya.”

“Houw-ko, aku tahu bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula mengapa Hek-liong-ong membenciku dan hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah?”

“Dia layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, di waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah sababatku. Perbuatannya itu berarti tidak mengindahkan aku dan lancang, merupakan dosa tak berampun. Dan ke tiga, dia tidak boleh membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara seperguruanku.”

“Ehh...?” Sin Liong berseru heran.

“Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya itu, Liong-te? Sudahlah, kematian orang ini tidak perlu diributkan lagi, dia mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang atasan. Mari kita lanjutkan perjalanan.”

Mereka naik ke atas punggung kuda masing-masing. “Houw-ko, aku berhutang nyawa kepadamu.”

“Ah, jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau telah berhasil membebaskan totokan dan tanpa kubantupun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu.”

Sin Liong tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri dari totokan.

Pangeran itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Baginya seakan-akan membunuh Hek-liong-ong itu merupakan hal biasa saja dan diam-diam Sin Liong merasa makin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik hatinya dan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya. Dan dia melihat betapa Han Houw amat suka berburu, sampai tiga hari lamanya dia terpaksa menemani pangeran itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh banyak sekali binatang liar itu. Namun dia sendiri tidak ikut mempergunakan anak panahnya. Sin Liong terlalu mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja. Dia berduka melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara binatang-binatang yang sama sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya dengan anak panah lalu meninggalkan bangkainya begitu saja! Melihat Hek-liong-ong tewas dan mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tidak merasa terlalu menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal.

Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi dan pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia merupakan mahluk teragung, terpandai, dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang tidak akan dilakukan oleh mahluk lainnya. Kekejaman yang telah merupakan semacam “kebudayaan” atau yang sering kali dinamakan “olah raga” sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala mahluk. Manusia memburu dan mengejar mahluk-mahluk lain, binatang-binatang di dalam hutan, membunuh mereka, kadang-kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera daripada kebutuhan perut, akan tetapi lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk kesenangan belaka, setelah dibunuh binatang-binatang itu, bangkainya ditinggalkan begitu saja! Manusia menikmati kesenangan dari membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, karena kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga! Dan bukan manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung memang banyak yang memburu binatang, akan tetapi bukan untuk kesenangan membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup. Yang menganggap pembunuhan sebagai kebudayaan justeru adalah manusia-manusia
terpelajar, manusia-manusia kota yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk tentang kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri sendiri lahir batin!

Selama tiga hari, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira ria, mengejar harimau dan kijang, dan selama tiga hari itu, belasan ekor binatang telah menemui ajalnya, mati dan dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain. Memang ada di antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, akan tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas.

Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang ramai di tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-si. Seperti biasa kalau mereka tiba di kota atau pedusunan, Han Houw lalu mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia mengeluarkan kim-painya dan segera setelah orang mengenal kim-pai itu, Han Houw disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan. Tentu saja Sin Liong yang diperkenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, juga menerima penyambutan yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang-kadang pemuda remaja ini merasa canggung dan sungkan.



Pakaian-pakaian indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang itu untuk Han Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian yang pantas untuk dipakai seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan! Melihat sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata, “Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, sudah sepatutnya engkau menerima penghormatan dari siapapun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kaupakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, aku sebagai sahabat baikmu tentu akan merasa ikut malu, apalagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!”

“Adik angkat? Apa maksudmu, Houw-ko?” tanya Sin Liong ketika mereka berada di dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka.

“Engkau adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku? Aku ingin mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama, kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara.”

“Ahhh...!” Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya. Han Houw adalah seorang pangeran, adik dari kaisar! Dan pangeran ini hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia adalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan anak yang dirawat oleh monyet!

“Apakah engkau menolak, Liong-te?” pertanyaan itu diucapkan dengan suara demikian halus sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah.

“Aku... merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskan aku menjadi adik angkatmu, Houw-ko...?” katanya gagap.

Han Houw merangkulnya dan tertawa. “Pantas? Ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku, Liong-te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu di taman.”

Dan benar saja, ketika mereka memasuki taman, di situ telah diatur sebuah meja sembahyang yang lengkap dan mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan meriah. Kiranya pangeran itu telah memesan kepada Gu-taijin dan telah mengatur segala-galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong tidak akan menolak!

Sin Liong merasa kikuk sekali. Apalagi karena Gu-taijin sendiri, dan nyonya Gu, di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian indah, bersama dengan lima orang dara lain yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang kesemuanya cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan! Sin Liong merasa heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang usianya kurang lebih enam belas tahun dan cantik sekali, melayani Han Houw dengan manis budi dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia merasa kagum betapa Han Houw bersikap biasa dan tidak kikuk sama sekali terhadap pelayanan Gu-siocia dan lima orang pelayan cantik itu, padahal dia sendiri merasa canggung dan gugup, bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya agak gemetar menghadapi nona-nona cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian mereka membuat jantungnya berdegup tegang.

Sebelum sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping telinga Sin Liong dan bertanya, “Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam upacara pengangkatan saudara ini?”

Sin Liong menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk menggunakan nama Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu terpaksa dia harus menggunakan she dan dia tidak sudi menggunakan she ayah kandungnya yang dibencinya.

“She Liong...” jawabnya berbisik pula.

Pangeran itu mengangkat alisnya lalu mengangguk. “She ibumu...?”

Sin Liong mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena ayah kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak memakai she ibunya saja?

Ketika mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin Liong hanya menirukan kata-kata Han Houw. “Diterangi sinar bulan purnama, disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han Houw dan Liong Sin Liong, bersumpah mengangkat saudara satu sama lain dan kami berdua akan saling membela dan saling membantu sebagai kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami berdua.”

Setelah selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu lalu bangkit dan bersoja (mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata. “Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu.”

Han Houw balas mengangkat kedua tangan, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan wajah berseri. “Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!”

“Kionghi..., kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!” Gu-taijin berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan selamat kepada Han How.

“Kionghi...(selamat), Liong-kongcu!”

Pembesar itu memberi selamat kepada Sin Liong, diikuti pula oleh isterinya dan puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli.

Untuk menyambut kedatangan tamu agung itu dan untuk merayakan pengangkatan saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong. Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya dan puterinya, dilayani oleh gadis-gadis cantik. Juga dalam pesta ini Sin Liong melihat sikap Gu-siocia amat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah dan ibu dara itu agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk bermanis-manis dengan Han Houw. Yang membuat dia merasa jengah dan malu adalah sikap Han Houw yang sama sekali tidak kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu bermain mata dengan Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu. Han Houw tidak segan-segan untuk memuji kecantikan Gu-siocia, bahkan kalau ada kesempatan, tangan Han Houw secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu, dan beberapa kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul beberapa orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga gadis itu menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis dan melempar kerling genit sekali! Sin Liong memejamkan mata dan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya dia mengira bahwa mungkin pengaruh arak yang membuat Han Houw bersikap seperti itu, akan tetapi dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah seorang pemuda yang genit dan suka menggoda wanita!

Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia berpamit untuk mengundurkan diri.

“Ah, kau sudah mengantuk, Liong-te? Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian Gu-siocia menari. Bukankah kau pandai menari, siocia? Maukah menarikan beberapa tarian untuk kami?”

Ayah dan ibu gadis itu ikut membujuk dan karena agaknya memang sudah dipersiapkan sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah mengeluarkan alat-alat musik pi?pa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona mereka menari. Dan Gu-siocia dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia nampak lebih cantik menarik seperti jinak-jinak merpati, mulai menari. Di antara para pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi dan nona rumah menari makin bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali menari. Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun seperti tangkai pohon yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari, jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw!

Setelah nona itu selesai menari, Han Houw bertepuk tangan memuji. “Bagus sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!”

“Pangeran terlalu memuji...” kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya merdu seperti nyanyian dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di balik ujung-ujung lengan bajunya dari sutera halus. Sikapnya amat menarik dan lemah gemulai membangkitkan birahi.

“Houw-ko, maafkan, aku ingin beristirahat...” kata Sin Liong.

Han Houw tertawa lalu bangkit berdiri. “Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala kebaikanmu, Gu-taijin.”

“A-bwee, antarkan pangeran dan Liong-kongcu ke kamar mereka!” perintah sang ayah kepada anaknya. Dengan sikap manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara pelayan itu mengantarkan Han Houw dan Sin Liong. Setelah meninggalkan ruangan itu dan melalui lorong menuju ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw merangkul pinggang Gu-siocia yang ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan jerit dan tawa lirih, dan Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan rasanya.

Akan tetapi, ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya, yang terpisah dari kamar pangeran itu, sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang masih dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu.

“Liong-te, kaupilihlah. Siapa di antara mereka yang kaupilih untuk menemanimu?” Han Houw bertanya sambil tersenyum.

Wajah Sin Liong menjadi berubah dan matanya terbelalak. “A... apa...? Apa maksudmu...?” tanyanya gagap dan lima orang pelayan wanita itu tersenyum genit, sedangkan Gu-siocia hanya menundukkan muka dengan malu karena tangan pangeran yang merangkul pinggangnya itu dengan nakal meraba ke atas.

“Liong-te, mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kaupilih yang mana? Malam ini aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah kau ingin agar Gu-siocia menemanimu malam ini? Nah, kauambillah dia...!” Pangeran itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan. Dara itu menjerit kecil dan tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini tidak cepat menangkap pinggangnya. Akan tetapi cepat dilepaskan kembali pinggang ramping itu dan wajah Sin Liong menjadi agak pucat.

“Aku... aku... tidak...”

“Jangan malu-malu, Liong-te...”

“Pangeran, Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka saja...” Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu.

“Bagaimana, Liong-te?”

Kini Sin Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan suara tegas, “Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan tidak akan melakukannya malam ini. Aku hendak beristirahat, harap Houw-ko meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari sini.”

“Ha-ha-ha...! Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te? Ha-ha-ha, betapa engkau telah menyia-nyiakan hidupmu.” Pangeran itu tertawa-tawa, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya dan dengan sikap sungguh-sungguh dia menggiring mereka keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun pintu dan dia bersandar pada daun pintu itu dengan dada bergelombang. Suara ketawa Han Houw masih terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap Han Houw, kata-katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu hal yang asing sama sekali baginya. Biarpun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu Sek dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak pernah bicara tentang tata susila. Betapapun juga, ketika dia masih dekat dengan ibu kandungnya, kemudian setelah dia ikut Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar tentang pelajaran tata susila, bahkan dia memperoleh kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuno tentang sopan santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gu-siocia dan Pangeran Ceng Han Houw itu adalah perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas susila! Biarpun dia sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar dan darahnya bergejolak!

Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin hebatlah menyerangnya sehingga Sin Liong tidak dapat tidur. Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seolah-olah mendengar suara halus dan ketawa yang menimbulkan gairah hatinya, suara wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi, matanya selalu membayangkan wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw diselingi suara cekikian dari wanita-wanita itu. Semua ini makin mengganggu hatinya dan akhirnya Sin Liong tidak kuat bertahan lagi dalam kamarnya, lalu diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin malam menyejukkan tubuhnya, walaupun hatinya masih juga panas dan berdebar. Dicobanya untuk bersamadhi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang itu, namun usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita itu, makin jelas nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus mereka membujuk rayu.

Dari manakah datangnya gelora nafsu berahi dan bagaimana terjadinya? Mengapa demikian sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin sehingga amat menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk melaksanakan hasrat itu yang mencari pemuasan? Nafsu berahi, seperti nafsu apapun juga yang dapat meliputi batin, datang dari pikiran kita sendiri, datang dari ingatan atau kenangan. Memang ada naluri jasmaniah yang bergerak sesuai dengan kewajaran, yang
menggerakkan atau menyentuh berahi demi kepentingan perkembangan dan pembiakan, mendekatkan jantan dan betina, pria dan wanita satu sama lain berikut daya tarik masing-masing. Namun, hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh tidak sama dengan nafsu berahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam, karena nafsu berahi ini, seperti nafsu lain, digerakkan oleh pikiran. Pikiran mencatat sebagai ingatan hal-hal yang diangap atau dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, yang menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan kembali pengalaman atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat dan menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat menyenangkan itu. Pikiran menciptakan di aku yang ingin menikmati, ingin mengulang kesenangan dan menjauhkan penderitaan. Nafsu berahi tidak mungkin timbul tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang dianggap nikmat menyenangkan itu. Jadi, pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang, membayangkan, merupakan pupuk yang menyuburkan nafsu berahi.

Tentu saja tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan, dengan kemauan atau dengan pelarian. Memang dapat berhasil, akan tetapi hasil ini hanya sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-waktu, kemudian akan kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke dalam konflik yang terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya.

Biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua hal apabila nafsu berahi datang menyerang. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu membiarkan diri dibawa ke manapun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan, maka terjadilah perjinaan, permainan cinta dengan cara apapun juga demi pelampiasan nafsu kita yang pada tingkat terakhir hanya akan mendatangkan penyesalan dan kekecewaan belaka. Ke dua, setelah kita maklum bahwa pemuasannya hanya mendatangkan penyesalan, atau setelah kita yakin dari pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik dan sebagainya, kita lalu menolaknya, kita melarikan diri darinya, atau kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusirnya. Yang pertama akan membuat kita menjadi manusia hamba nafsu yang akhirnya membuat kita menjadi orang yang lemah lahir batin, sedangkan
yang ke dua akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari konflik yang terus menerus



Mengapa kita tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya, memandangnya, mengamati nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri, yang bukan lain adalah kita sendiri? Mengapa kita tidak mempelajari diri sendiri, apa yang terjadi dalam benak kita, dalam hati dan perasaan kita, yang berhubungan dengan nafsu itu? Mengapa kita hendak melarikan diri? Pelarian diri tidak mungkin sama sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu, yang sesungguhnya adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Siapa yang hendak lari itu? Siapa yang hendak mengusir nafsu itu? Yang mengusir adalah kita sendiri, yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin? Pikiran hendak mengusir akibat dari pikiran sendiri! Mengapa kita tidak pernah mencurahkan perhatian terhadap nafsu ketika ia timbul, memandangnya dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa pamrih sedikitpun untuk mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa menolak atau menerima kehadirannya, melainkan memandang saja, penuh perhatian dan kewaspadaan? Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan pengertian! Pengamatan tanpa pamrih inilah yang akan menimbulkan perubahan, bahkan melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya!

Demikian pula dengan halnya Sin Liong. Seperti juga orang lain, seperti kebanyakan di antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu yang mencekamnya, ingin mengusir nafsu itu karena dia menganggap bahwa nafsu yang menguasainya itu tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya. Memang akhirnya dia berhasil, akan tetapi dia merasa lelah lahir batin ketika lewat tengah malam dia kembali ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi melawan musuh yang amat kuat. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memang dia dapat juga tidur pulas, akan tetapi, di dalam tidurnya itu, sang nafsu berahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya dalam bentuk impian! Sin Liong bermimpi dan dalam mimpi itu dia bertemu dengan Gu-siocia, yang membujuk rayu dia, dan berbeda dengan kenyataannya di sore hari tadi, dalam mimpi itu dia menyambut dara itu dengan gembira, memeluk dan menciuminya. Dalam keasyikan bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah dirasakan sebelumnya, hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba kesadarannya melawan lagi dan Sin Liong terbangun. Tubuhnya penuh keringat dan celananya menjadi basah!

Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lalu. Keadaan sehari-hari yang menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita dan batin yang membutuhkan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang padat itu, mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi.

Sin Liong duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, akan tetapi dia merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya kini telah selesai dan beres. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini tidurnya pulas tanpa gangguan apapun.

Pada keesokan harinya, Ceng Han Houw muncul dengan wajah berseri dan kedua lengannya memeluk pinggang ramping dua orang di antara lima pelayan wanita yang kemarin melayaninya. Tidak nampak Gu-siocia di antara mereka.

Setelah melihat Sin Liong keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi karena pagi tadi Sin Liong sudah bangun dan mandi kemudian bertukar pakaian, pangeran itu mencium mulut dua orang itu bergantian, ciuman yang membuat Sin Liong berpaling membuang muka. “Ha-ha, kalian manis sekali dan akan kuingat kalian. Sekali waktu aku akan menyuruh utusan menjemput kalian menjadi selir-selirku. Nah, pergilah, sampaikan kepada Gu-taijin babwa kami akan berangkat pagi ini, agar disediakan dua ekor kuda yang terbaik.” Sambil tertawa pangeran itu mendorong dua orang dara pelayan yang tersenyum dengan muka berseri itu dan mereka pergi dari situ sambil berlari kecil, seperti dua ekor kupu-kupu yang indah beterbangan di atas bunga-bunga.

“Ha-ha, pilihanku tepat, Liong-te. Mereka berdua itu adalah gadis-gadis yang mulus dan manis, menyenangkan sekali. Kalau sudah ada kesempatan, aku tentu akan mengirim utusan untuk menjemput mereka.” Kemudian pangeran itu menatap wajah Sin Liong dengan alis berkerut. “Liong-te, kenapa kau begitu bodoh? Benarkah katamu malam tadi bahwa engkau belum pernah berdekatan dengan wanita?”

Sin Liong menggeleng kepala dan cepat dia berkata untuk mengalihkan percakapan dari dirinya. “Dan yang lain-lain... Gu-siocia itu, ke mana? Mengapa tidak bersamamu, Houw-ko?”

Pangeran itu tertawa. “Aku bukan orang bodoh, Liong-te, dan aku paling benci kepada wanita yang palsu.”

“Maksudmu?”

“Nona Gu itu sengaja hendak menyerahkan dirinya dalam pamrihnya menjadi selir seorang pangeran, bahkan orang tuanya juga mendorongnya. Aku tidak sudi dijebak seperti itu. Kalau dua orang dara pelayan itu lain lagi, mereka menyerahkan diri karena memang suka kepadaku. Sudahlah, engkau tentu tidak mengerti. Mari kita siap-siap untuk berangkat. Nah, itu Gu-taijin datang sendiri!”

Pembesar itu memberi hormat kepada Han Houw, akan tetapi biarpun sikapnya ramah-tamah dan sopan santun, Sin Liong melihat adanya kekecewaan membayang pada wajah pembesar ini. Dia tidak tahu benar apakah kekecewaan itu ada hubungannya dengan penolakan Han Houw terhadap puterinya!

Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu melanjutkan perjalanan, menunggang dua ekor kuda baru pilihan, keluar kota dan melanjutkan perjalanan ke utara.



Nama Raja Sabutai amat terkenal di seluruh Tiongkok dan di luar tembok besar. Bagi para suku bangsa pengembara, nama ini dikenal sebagai seorang raja besar yang pernah menaklukkan hampir seluruh bangsa pengembara, menyusun kekuatan yang amat besar terdiri dari suku-suku bangsa yang dipersatukan. Bagi kerajaan di Tiongkok, nama Raja Sabutai tidak kalah terkenalnya. Siapakah yang tidak mengenal raja liar yang pernah menawan mendiang Kaisar Ceng Tung bahkan kemudian pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar, bahkan jauh ke selatan dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja? Walaupun akhirnya pasukan liar yang dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur, namun namanya masih ditakuti dan banyak orang merasa seram dan ngeri kalau mengingat akan keganasan pasukan Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan.

Bukan hanya terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar dan terkenal di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat, akan tetapi nama Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di dunia kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai merupakan seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai sekali, yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena raja itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko. Bahkan di waktu mudanya, Sabutai pernah menggegerkan dunia persilatan dengan mengalahkan banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi di samping itu semua, diapun dikenal sebagai seorang raja yang royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw, dapat menghargai orang-orang kang-ouw sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati, terutama sekali oleh golongan hitam atau kaum sesat.

Inilah sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat untuk mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan yang dapat dipilih menjadi guru silat. Akan tetapi kebanyakan di antara mereka hanya datang ke tempat jauh itu karena tertarik dan ingin menonton. Setiap ada kesempatan di mana orang-orang yang berilmu tinggi datang dan saling berjumpa, pasti dunia kang-ouw menjadi gempar dan banyak orang datang hanya untuk berkenalan, nonton adu silat, dan meluaskan pengetahuan dan pengalaman.

Maka, pada waktu hari pemilihan guru silat itu makin mendekat, nampak setiap hari banyak orang menyeberangi tembok besar menuju ke utara, dan mereka ini tentu saja hanyalah orang-orang kang-ouw yang ingin mengunjungi tempat pemilihan guru silat itu, yaitu di Lembah Naga. Kalau bukan orang kang-ouw yang memiliki kepandaian dan sudah biasa melakukan perjalanan jauh yang sukar, tentu tidak berani melakukan perjalanan yang selain jauh juga melalui daerah-daerah berbahaya itu.

Sebagian besar dari para tokoh kang-ouw adalah orang-orang daerah utara, karena tokoh-tokoh kang-ouw daerah selatan, terutama sekali yang bukan tergolong sesat, tentu saja tidak sudi untuk membantu orang asing, apalagi bekerja kepada Raja Sabutai yang merupakan musuh rakyat dan negara. Kalau ada juga di antara mereka yang ikut datang, semata-mata mereka itu hanya tertarik dan ingin nonton adu kepandaian tingkat tinggi.

Ceng Han Houw dan Sin Liong melakukan perjalanan cepat dan jarang mereka berhenti, bahkan tidak pernah pula Han Houw bersenang-senang seperti yang dilakukannya ketika dia berada di rumah pembesar Gu, karena waktunya sudah amat mendesak dan dia khawatir kalau-kalau dia akan datang terlambat. Maka dia bersama Sin Liong membalapkan kuda, dan setiap berhenti di sebuah kota hanya untuk minta ganti kuda kepada pembesar setempat yang melayani pangeran ini dengan segala kehormatan.

Ketika mereka sudah melewati tembok besar, Sin Liong mengenal daerah liar yang mendebarkan hatinya. Teringatlah dia akan perjalanannya ketika keluar dari Lembah Naga, dibawa oleh Kim Hong Liu-nio sebagai tawanan, bersama dengan Han Houw ini, sampai dia dirampas oleh Tok-ong Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang, kemudian mulailah dia dengan perjalanannya ke selatan sampai akhirnya dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, atau lebih tepat lagi, menjadi sute dari kakek aneh itu karena dia bersama kakek itu menjadi murid dari guru mereka yang belum pernah dikenal oleh Sin Liong, yaitu kakek manusia dewa yang hanya dikenal namanya dari suhengnya itu, yaitu Bu Beng Hud-couw yang katanya bermukim di puncak Himalaya sebagai orang suci atau dewa!

Apalagi ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga, teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu kecil karena daerah ini amat dikenalnya. Akan tetapi kini semenjak dari Rawa Bangkai, telah nampak penjaga-penjaga yaitu perajurit-perajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang menjaga dengan tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian sebagai penghormatan kepada para tamu yang akan datang berkunjung berkenaan dengan adanya sayembara pemilihan guru silat. Maka, tidak seperti biasanya, kini para penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan, dengan tombak di tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai berkibar di mana-mana.

Ketika para penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw, yang mereka kenal sebagai Pangeran Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi hormat mereka berseru, “Hidup Pangeran Oguthai!”

Wajah para perajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh seri dan senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat menunggang kuda untuk mengabarkan kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw tersenyum dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak buah ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu.

Ketika para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan menyambutnya dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara yang dimengerti pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah ini, tiba-tiba Han Houw berkata lantang.

“Heiii... para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia ini adalah adik angkatku!”

Semua perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini dan mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil mohon maaf karena mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran Oguthai! Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk sekali dan membalas penghormatan mereka, dilihat oleh Han Houw yang tertawa bergelak melihat kekikukan Sin Liong.

Ketika melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang ke tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata, “Harap kaumaafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke Lembah Naga.”

Han Houw memandang heran. “Eh, kenapa begitu, Liong-te? Jauh-jauh kau sudah ikut bersamaku ke sini, dan setelah hampir memasuki Lembah Naga, engkau tidak mau melanjutkan? Kenapa sih?”

Sukar bagi Sin Liong untuk bicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak pernah dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio telah membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, kemudian Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li telah menyebabkan kematian kong-kongnya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang amat dihormat dan disayangnya itu. Sekarang, biarpun dia telah menjadi adik angkat Han Houw, biarpun kakak angkatnya itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin dia dapat bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka? Dan dia sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerang dua orang itu di depan Han Houw melainkan mencari kesempatan bertemu dengan mereka di luar tahu Han Houw agar dia boleh membuat perhitungan tanpa menyinggung perasaan kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus bicara terus terang kepada Han Houw.

“Maaf, Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal sebagai adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak suka akan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk kalau berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan penghuni hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah ini, Houw-ko.”

Han Houw mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia sudah mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan, maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya. Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai adik angkat, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu.

“Baiklah, Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena setelah selesai menyaksikan pemilihan, akupun harus kembali ke selatan, ke kota raja menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke selatan. Dan kita akan melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar.”

Girang sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang bijaksana sekali! “Terima kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu.”

“Eh, kenapa engkau tidak membawa kudamu? Bawalah, agar engkau tidak terlalu capai.”

Sin Liong tersenyum dan makin beratlah hatinya untuk menyinggung hati kakak angkatnya ini yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia mengangguk, lalu meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya, setelah dua kali menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum.

Sin Liong membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan, jalan melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar, menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu di tanah kuburan yang biasanya dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya kalau ada yang meninggal dunia. Dia hendak mencari kuburan ibu kandungnya! Dan karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, maka tentu saja dia tidak dapat berterus terang kepada Han Houw. Pula, dia khawatir kalau sampai bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li, dia tidak akan kuat menekan kemarahan hatinya.

Tidak sukar baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah makam yang tidak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu nisannya yang bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis oleh Kui Hok Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau nyonya Kui Hok Boan!

Sin Liong yang sudah mengikat kudanya pada sebatang pohon, kini berdiri di depan makam itu, makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang akan memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga? Makam itu penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar. Sampai lama Sin Liong berdiri termenung, memandangi rumput-rumput tebal itu dan terbayanglah walah ibu kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Dia tidak merasa berduka, tidak merasa terharu, hanya merasa marah sekali, marah dan dendam kepada Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Akan tetapi dia juga merasa tidak enak sekali kepada Ceng Han Houw yang begitu baik kepadanya, bahkan yang perah menyelamatkan dia dan mengorbankan nyawa anak buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk menyelamatkannya. Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu kandungnya dan kakeknya kepadanya, akan tetapi diapun hutang budi kepada Han Houw dan tidak semestinya kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu, dia harus bersabar, dia harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau bertiga saja dengan dua orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw!

“Ibu...!” Dia berbisik dan Sin Liong lalu mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh di atas makam sampai makam itu kelihatan bersih.

Setelah membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong lalu bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki hutan di mana dahulu dijadikan tempat bermain bersama para monyet besar. Begitu memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan pakaiannya dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu! Dan dia merasa malu sendiri duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat itu. Dia meloncat turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu.

“Nah, kau boleh bebas bermain-main di sini!” katanya. Kuda itu lari congklang dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong tertawa, lalu dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali dan buntalan di atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia berloncatan dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari teman-temannya!

Akan tetapi Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan monyet, mereka itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu melarikan diri ketika didekatinya. Mereka tidak mengenainya lagi! Ah, tentu saja, pikirnya. Ketika dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah seorang anak kecil dan kini dia sudah menjadi sesudah terlalu sering mendapat gangguan dari orang-orang dewasa, dari pemburu-pemburu, maka tentu saja mereka menganggap setiap orang manusia dewasa adalah musuh mereka.

Betapapun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang amat dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali dan dia merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia telah lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu selama tiga hari tiga malam! Dia tentu masih akan terus berkeliaran di situ, entah untuk berapa lamanya, makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang hutan, tidur di puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu setelah matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di sebelah utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon.

Sin Liong terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia bahwa itu adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah sedang menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw! Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam hutan-hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah terbawa oleh pangeran itu.

Sin Liong meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya, kemudian dia berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang terdengar dari jauh itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari jauh saja sudah nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di depan Istana Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang bertanding dengan hebat
dan serunya. Di depan istana itu nampak banyak kursi dan di situ duduk seorang laki-laki tinggi besar berpakaian indah dan mewah, mukanya penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa dan melihat Han Houw duduk di dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita berusia kurang lebih empat puluh tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa tentulah laki-laki gagah yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu tentulah ayah Han Houw, raja di daerah itu yang bernama Sabutai. Di sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya, dan di luar panggung terdapat banyak penonton yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi banyak terdapat orang-orang Han yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang kepalanya gundul, seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, akan tetapi banyak pula yang pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti ahli-ahli, dan guru-guru silat dan lain-lain. Mereka inilah yang bersorak-sorak, karena mereka ini adalah yang orang-orang kang-ouw yang paling suka menonton orang mengadu kepandaian silat, sedangkan pada saat itu, dua orang yang bertanding di atas panggung memiliki kepandaian tinggi yang seimbang sehingga pertandingan itu amat seru dan menegangkan.

Kini Sin Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton yang berjubelan itu, menjaga agar jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja dan Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya. Kini dia mulai memperhatikan dua orang yang masih bertanding di atas panggung itu. Seorang pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu. Pendeta Lama itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan memakai jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan mengandalkan tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian dahsyat sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga gesit dan bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar perahu mendapat angin. Gerakan kakinya mempunyai gaya yang gagah, seperti kaki rajawali yang sedang bertanding, berlompatan dan kadang-kadang kaki itu melakukan tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali pendeta Lama itu berdiri di atas ujung jari-jari kakinya sehingga tubuhya yang sudah jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.

Akan tetapi lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia memiliki gaya yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya banyak menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang, tosu itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan rajawali. Kedua kakinya melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya menyelinap ke sana sini menghindarkan semua serangan lawan, dan dia membalas serangan-serangan itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguhpun gerakannya lebih halus dan pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong maklum bahwa tosu itu adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki pukulan mengandung tenaga dalam yang berbahaya.

Karena sifat ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu kelihatan seru dan menarik sekali. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap sebagian penonton, yaitu sekelompok tosu dan sekelompok hwesio atau pendeta Lama yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang bertanding itu. Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap menantang! Tentu saja sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang bertentangan ini menambah tegang suasana dan tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan atau permusuhan antara pera hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu.

Sin Liong tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan ini. Pada waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di utara, bahkan raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, memiliki tentara yang cukup kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu maka dua golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran pelajaran agama masing-masing. Memang amat mengherankan sekali bagi orang yang mau melihat kenyataan, akan tetapi tak dapat disangkal bahwa hal ini seperti ini, yaitu persaingan antara agama, masih saja terjadi di mana-mana, di mana para penyebar agama saling berebutan daerah untuk menyebar pelajaran agama masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua agama itu sendiri adalah sejalan, yaitu menjauhkan kekerasan, menjauhkan permusuhan, menghilangkan kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia! Memang pada akhirnya, bukan agamanya yang menentukan, melainkan manusianya! Seperti juga segala sesuatu di dunia ini, baik benda-benda yang nampak maupun yang tidak nampak, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat maupun ilmu surat, semua hanya merupakan alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu tergantung kepada si manusia sendiri! Tak mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian melalui peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung tujuan dan bukalah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk tentu menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang buruk takkan mungkin menghasilkan buah yang baik. Akan tetapi sayang sekali, kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar panggung liu-tai itu, hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir tujuan, sama sekali lupa akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan mereka pada saat itu.

Pada waktu itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk meluaskan pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini terdiri orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang benar-benar beragama tak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari kesenangan untuk diri sendiri apalagi kalau dalam mengejar kesenangan itu harus mencelakakan orang lain. Oleh karena persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai mengadakan sayembara memilih guru untuk puteranya, golongan-golongan agama yang ingin meluaskan pengaruhnya ini melihat terbukanya kesempatan baik untuk menanamkan pengaruh mereka ke daerah ini, make mereka lalu datang den mengajukan jagoan masing-masing untuk merebutkan kedudukan itu. Tentu saja sebagai orang-orang beragama, mereka itu tidak lagi mementingkan kedudukan atau harta, melainkan ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai. Dan bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di panggung lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang selama ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran masing-masing. Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing pada masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw den Hud-kauw.

Sin Liong yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan memiliki dasar ilmu-ilmu silat tinggi, segera melihat bahwa pertandingan antara kedua orang itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang dikuasai nafsu ingin menang, kalau perlu dengan membunuh lawan, karena dia melihat betapa kedua fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan tenaga yang tidak dibatasi lagi. Maka dia merasa tak senang den tidak tertarik lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah pibu untuk mengadu kepandaian, melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam den kemarahan! Oleh karena itu, tidak seperti semua orang lain, yang mencurahkan perhatian ke atas panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti biasanya orang-orang kango-uw yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras dan seru makin baik bagi mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan pandang matanya menyapu ke kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari bermacam-macam orang itu.

Tiba-tiba perhatian Sin Liong tertarik akan sikap seorang laki-laki yang dianggapnya aneh. Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung, kecuali sebagian para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan tetapi dia melihat seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan. Laki-laki ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan sepasang matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia kurang lebih enam puluh tahun, jenggot dan kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan dia berdiri agak membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan gesit dia menyelinap pergi. Sin Liong cepat memperhatikan orang, itu karena dia melihat betapa orang itu mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu mengeluarkan sinar kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung racun!



BAGI seorang kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andaikata sikap orang ini tidak mencuri hati Sin Liong, pemuda inipun tentu akan menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan hatinya, maka diam-diam dia lalu membayangi orang itu dengan pandang matanya, bahkan kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton ketika dia melihat orang itu makin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga raja.

Jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan dan sinar hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw!

“Houw-ko, awas...!” Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan suara pertandingan di atas panggung dan para penonton. Teriakannya itu menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi.

Sin Liong meloncat ke atas melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia pegang tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu terbanting ke atas panggung di depan Han Houw.

“Dia inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun, Houw-ko!” kata Sin Liong.

Karena adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu berhenti dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata mereka ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk.

“Ha-ha, Liong-te, benarkah begitu? Kalau begitu biar dia yang makan racunnya sendiri!” Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu meluncur secepat kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu.

“Aughhh...!” Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun itu adalah racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau saja dia belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapapun juga, racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat.

“Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap?” Han Houw membentak.

“Huh, melihat anak panah beracun hijau siapa lagi orang ini kalau bukan anggauta Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)?” kata Raja Sabutai sambil mengelus jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya telah demikian lihainya sehingga mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk menyerangnya.

“Jeng-hwa-pang...?” Semua orang kang-ouw terkejut mendengar ini dan mereka memandang penuh perhatian.

Melihat bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah mengenalnya, maka orang berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak mengandung rasa hormat atau takut, “Benar, aku adalah anggauta Jeng-hwa-pang dan kedatanganku tidak ada urusannya dengan pemilihan guru silat, tidak ada hubungannya pula dengan kerajaan di sini. Aku datang untuk membalas dendam kepada wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan tetapi karena aku tidak melihatnya di sini, maka aku tujukan panahku kepada dia yang menjadi sute dari wanita iblis itu!” Laki-laki itu sambil menahan rasa nyeri menuding ke arah Ceng Han Houw.

“Ah, kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain ketuanya? Eh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang? Kenapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya, akan tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau?” Ceng Han Houw berseru sambil tersenyum mengejek.

“Aku sudah gagal oleh bocah setan itu!” Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke arah Sin Liong yang masih berdiri di pinggir. “Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus? Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau dan sucimu, kautunggu saja!”

“Heh-heh-heh, anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus?” Tiba-tiba muncul seorang nenek yang amat mengerikan. Entah dari mana munculnya nenek ini dan semua orang memandang kepada nenek yang sudah berdiri di atas panggung itu sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang itu sambil menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agaknya melengkung. Nenek ini sudah tua sekali, tentu ada seratus tahun usianya, punggungnya sudah bongkok dan tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti cakar burung dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang amat tua itu penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya merupakan garis melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak karena amat dalam dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang dalam itu ada biji matanya ataukah tidak. Kalau orang bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi apalagi di waktu malam, dia tentu akan lari lintang-pukang karena serem dan menganggapnya siluman atau iblis. Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada yang mengenal nenek itu, dan tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah seorang di antara dua musuh besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li!

“Subo baru datang? Silakan duduk!” Raja Sabutai segera berkata ketika melihat nenek itu.

Akan tetapi nenek itu tidak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli, “Heh-heh, anjing, mengapa tidak menggongong lagi? Apakah racun Jeng-hwa-tok itu kurang manjur? Nah, kaucoba rasakan racunku ini!” Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan kirinya telah menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan tongkat butut itu tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan.

Si baju hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat sekali karena pengaruh racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan tetapi rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang dideritanya saat ini, sunggub tidak ada artinya. Dia merasa betapa tiba-tiba saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa gatal yang makin menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke dalam, ke tulang-tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala, seolah-olah ada ribuan semut menggerogoti daging-daging dan tulang-tulangnya. Rasanya gatal, pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena seolah-olah segala macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di situ. Kiranya tidak ada orang yang akan sanggup
menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang terlalu hebat sehingga tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan, mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila! Mukanya sudah habis dicakarinya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan nyeri luar biasa itu, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk mencokel keluar kedua matanya!

Akhirnya, dengan suara pekik terakhir yang amat mengerikan, orang yang mukanya sudah tidak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, kemudian kaki tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati!

Menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan ini sang permaisuri, yaitu Puteri Khamila ibu Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat kepada para dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana Lembah Naga. Juga semua orang yang hadir merasa amat ngeri. Belum pernah mereka menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta itu.

Sin Liong sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Biarpun si baju hitam tadi adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, juga biarpun orang tadi berusaha untuk membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu mati di bawah siksaan Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dia yang telah membantu musuh besarnya dan kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi tanggung jawabnya.

Atas perintah raja, beberapa orang pengawal cepat turun tangan menyingkirkan mayat yang sudah tidak karuan mukanya itu dari atas panggung. Sementara itu, Hek-hiat Mo-li sudah berkata lantang kepada Raja Sabutai, suaranya masih nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ.

“Sri baginda, apa artinya ini? Saya mendengar bahwa sri baginda mengumpulkan orang-orang tak berguna ini untuk memilih seorang guru di antara mereka, guru yang akan melatih ilmu silat kepada putera paduka. Benarkah itu?”

Memang Raja Sabutai tidak memberi tahu akan sayembara itu kepada gurunya, Hek-hiat Mo-li. Nenek itu sudah tua, sudah setengah pikun dan wataknya aneh sekali, bahkan untuk mengajar Han Houw saja selama itu oleh nenek ini diserahkan kepada Kim Hong Liu-nio dan nenek itu tidak pernah melatih sendiri. Oleh karena itu, Raja Sabutai menganggap bahwa nenek itu telah terlalu tua dan tidak tepat lagi untuk mengajarkan limu kepada Han Houw, maka tanpa memberi tahu dia mengadakan sayembara ini. Dia sengaja tidak memberitahu karena takut kalau-kalau gurunya itu akan merasa tersinggung. Siapa kira, nenek yang dianggapnya pikun itu tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah panggung dan memperlihatkan kekejaman dan juga kelihaiannya di depan semua orang dan kini malah menegurnya di depan banyak orang dan menyebut para tamu kang-ouw itu sebagai orang tak berguna!

“Harap subo memaklumi,” katanya lirih karena dia merasa tidak senang untuk berdebat dengan gurunya di depan banyak orang. “Memang aku mengadakan sayembara memilih guru untuk mendidik Pangeran Oguthai, karena aku tidak ingin merepotkan kepada subo yang sepatutnya beristirahat dan tidak diganggu.”

“Jadi paduka menganggap saya sudah terlalu tua untuk menjadi guru pangeran? Hemmm, saya mengerti bahwa memang paduka berhak mencarikan guru yang lebih pandai deripada saya, akan tetapi hendak saya lihat apakah di antara tikus-tikus ini ada yang mampu menandingi saya. Heh, kalian dua orang tosu dan Lama yang tadi bertanding! Apakah kalian berdua berani maju bersama untuk menandingi aku?” Nenek itu menantang dan menudingkan tongkat bututnya kepada tosu dan pendeta Lama yang tadi bertanding seru dan belum ada ketentuan menang kalahnya lalu berhenti karena munculnya orang Jeng-hwa-pang.

Ditantang di depan begitu banyak orang, dua orang yang masih merasa penasaran itu tentu saja menjadi marah. Mereka merasa dihina oleh nenek kejam itu, maka karena mereka tidak mau saling mengalah dan disangka takut, keduanya seperti berlomba telah meloncat naik lagi ke atas panggung dari kanan kiri, menghadapi nenek tua renta yang berdiri terbongkok-bongkok itu. Mereka berdua tentu saja tidak berniat mengeroyok nenek itu, karena mereka adalah saingan-saingan untuk memperebutkan kedudukan guru pangeran. Akan tetapi karena nenek itu menyebut mereka berdua, maka mereka berloncatan naik untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak mengenal takut.

“Heh-heh-heh, alangkah lucunya!” Hek-hiat Mo-li tertawa, memandang kepada mereka dengan sikap merendahkan. “Orang-orang macam kalian ini hendak menjadi guru pangeran? Huh-huh, kebisaan apakah yang kalian miliki? Coba kalian tahan ini!” Dan tiba-tiba tubuh yang bongkok dan kelihatan kurus kering dan lemah sekali itu sudah bergerak, tongkatnya merupakan sinar hitam menyambar ke kanan kiri dan dalam waktu singkat sekali Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan totokan dengan tongkatnya, masing-masing tiga kali ke arah tosu dan Lama itu!

Tosu dan pendeta Lama itu terkejut bukan main karena totokan tongkat itu mendatangkan hawa panas menyengat dan biarpun sudah tua renta, ternyata nenek itu memiliki gerakan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, juga cepat sekali, maka merekapun cepat-cepat menghindarkan diri. Tosu itu menggunakan kelincahannya untuk mengelak, sedangkan pendeta Lama itu menggunakan kekuatannya untuk menangkis.

“Aduhhh...!”

“Akhhh...!”

Tosu itu terhuyung karena biarpun sudah amat cepat dia mengelak, tetap saja pundaknya keserempet tongkat, sedangkan Lama itupun terhuyung karena ketika lengannya menangkis, ada hawa panas yang amat hebat menerjangnya dari lengan menjalar ke pundak.

“Heh-heh-heh, hanya begini saja jagoan-jagoan yang hendak menjadi guru pangeran?” ejek nenek itu dan kini dia menyerang lagi dengan hebatnya. Memang tingkat kepandaian nenek ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kedua orang itu, maka biarpun mereka berdua berusaha sedapat mungkin untuk mengelak, akan tetapi lewat dua puluh jurus saja keduanya roboh terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tewas, tosu itu tertusuk ulu hatinya oleh ujung tongkat sedangkan Lama itu kena ditampar pelipisnya oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li yang mengandung tenaga sin-kang ampuh sekali.

Gegerlah keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul guru dari Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak memasuki sayembara pemilihan guru! Orang-orang kang-ouw itu menjadi penasaran, apalagi rombongan tosu dan pendeta Lama. Mereka semua telah memandang ke atas panggung, akan tetapi pasukan Raja Sabutai sudah menjaga dengan rapi dan teratur, menjaga kalau-kalau terjadi keributan dan pengeroyokan. Akan tetapi, nenek keriputan itu tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum mengerikan. Mulut ompong keriput itu tersenyum, tentu saja bukan seperti senyum lagi jadinya.

“Hayo, masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran? Naiklah, siapa yang mampu melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!” tantangnya.

Semua orang kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Tentu saja di antara mereka yang tadinya datang untuk mencoba-coba, kini mundur teratur. Siapa orangnya yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biarpun guru seorang pangeran? Apalagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu. Mereka merasa penasaran sekali Raja Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, jauh-jauh mereka datang dari balik tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan, akan tetapi setelah tiba di sini mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu akan begini jadinya, tentu saja mereka tidak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya untuk dihina! Sambil bersungut-sungut mereka memandang Raja Sabutai, biarpun mulut mereka tidak berani menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka mengandung protes.

“Heh-he-he-ha-ha, hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li? Majulah, majulah kalian pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!” Hek-hiat Mo-li seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayun tongkatnya dan berputaran seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali.

Raja Sabutai mengerutkan alisnya dan sudah bangkit berdiri untuk menegur subonya dan mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat kemarahan ayahnya sudah berkata, “Ayah, biarkanlah. Akupun tidak ingin mencari guru baru karena aku sudab memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan subo agar dia tidak marah-marah.”

Sementara itu, para tamu yang melihat sikap nenek itu, sebagian merasa jerih dan sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah mereka meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li terkekeh dan terus menantang-nantang, “Heh-heh, pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku? Heh-heh, agaknya tidak ada seorangpun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!”

Rombongan tosu dan rombongan Lama sudah mengangkat jenazah kawan masing-masing dan siap pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak memperdulikan ulah nenek gila di atas panggung.

“Hayo, siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tidak seorangpun di dunia ini yang berani melawanku?”

“Aku yang berani! Aku berani melawanmu!”

Semua orang yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda berdiri tegak menghadapi nenek gila itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong! Pemuda ini sejak tadi sudah terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, apalagi menyaksikan kekejamannya, kemudian melihat kesombongannya menantang-nantang semua orang itu, dia tidak tahan lagi dan di luar kesadarannya dia sudah meloncat ke depan nenek itu dari menyambut tantangannya. Bukan hanya para sisa tamu yang memandang dengan terkejut dan heran, juga Raja Sabutai, keluarga dan panglima-panglimanya terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung yang begitu berani mati menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang keranjingan itu.

“Liong-te, jangan...!” Han Houw juga terkejut sekali dan berteriak, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, nenek Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran.

“Heh-heh, mampuslah, bocah!” bentaknya dan tongkatnya sudah menyambar, disusul tamparan tangan kirinya. Dua serangan ini hebat sekali, keduanya mengandung hawa panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dan bahkan lebih hebat daripada ketika nenek tadi menyerang tosu dan Lama. Hal ini adalah karena nenek itu marah sekali ditantang oleh seorang bocah, suatu hal yang dianggap amat merendahkan dan menghinanya di depan orang banyak. Maka dia menyerang hebat, dengdn maksud untuk menghancurkan kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang dan berani menghinanya itu.

“Krekk...! Plakk...!”

Pertemuan dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah menjadi dua potong! Pada saat itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak memandang kepada tongkatnya yang patah.

“Subo... tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!”

Hek-hiat Mo-li tercengang. Dia merasa seperti mimpi. Ada bocah yang masih ingusan bukan saja telah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan mematahkan tongkatnya dan membuatnya terdorong mundur dan terhuyung, dadanya terasa sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sin-kang yang luar biasa kuatnya!

“Adik angkatmu...? Heh, adik angkat macam apa ini...!” Dia mengomel, akan tetapi nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata, entah pergi ke mana.

“Maaf, Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri...” Sin Liong berkata kepada Han Houw, tidak perduli akan pandang mata pangeran itu yang penuh kekaguman dan keheranan.

“Oguthai, siapakah dia itu?” Tiba-tiba terdengar suara keras dan ternyata Raja Sabutai telah berdiri di belakang pangeran itu.

“Ayah, ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku.”

“Adik angkat? Dia... dia hebat sekali...” Raja Sabutai memandang penuh keheranan dan kekaguman. Sebagai murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko, tentu saja dia mengenal pukulan subonya tadi. Melihat betapa pemuda tanggung ini tidak hanya kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat menangkis sehingga tongkat subonya patah dan subonya terdorong mundur, dia benar-benar merasa takjub sekali. Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini adalah adik angkat dari puteranya, dia makin terheran-heran.

“Memang hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suhengku.”

“Hee? Bagaimana ini?” Raja itu bertanya heran.

“Kami sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka diapun terhitung suhengku.”

“Ah, begus sekali!” raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung itu yang sudah kuat melawan subonya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan oleh puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. “Siapakah
gurumu itu?”

“Aku belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya, ayah. Namanya adalah Bu Beng Hud-couw...”

“Ahh...?” Raja Sabutai terbelalak dan memandang kepada puteranya seperti orang melihat setan di tengah hari. “Bu Beng Hud-couw? Akan tetapi... itu adalah nama tokoh dalam dongeng...”

“Akan tetapi buktinya, Liong-te telah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?” bantah Han Houw.

“Orang muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?” Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidakpercayaan.

Sin Liong menjura. “Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri baginda. Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan suhu.” Kemudian dia menoleh kepada Han Houw dan berkata, “Houw-ko, maafkan aku, kalau engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali dulu ke selatan.”

“Ah, kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te? Aku mau minta bantuanmu,” kata Han Houw sambil memegang lengan adik angkatnya.

“Bantuan apakah itu, Houw-ko?”

“Engkau tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran, maka keselamatanku terancam. Karena itu, aku sendiri akan mencarinya dan harap kau suka membantuku.”

“Hemm... kalau begitu baiklah.” kata Sin Liong tidak mampu menolak karena dia tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah kejinya dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa kegagalan utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan turun tangan sendiri.

Terpaksa malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw bertemu dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja Sabutai, terutama permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi telah menjadi pangeran Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa. Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh! Akan tetapi, lebih girang lagi hati Raja Sabutai mendengar bahwa putera mereka akan dapat berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian hebatnya, terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda.

Dua hari kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Ketika Raja Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw menolak dan mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua orang muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa Jeng-hwa-pang selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar.

Lega rasa hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan kenangan sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia merasa penasaran bahwa dia belum sempat untuk menemui Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai musuhnya yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang disayangnya itu. Dan diapun masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-nio, wanita iblis yang menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu kandungnya. Dia berjanji dalam hati bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri dari Han Houw, dia akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu.

***




Di sebuah rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan pesta pernikahan yang cukup sederhana, namun amat meriah karena banyaknya tamu yang berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar, karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong. Biarpun pendekar ini tidak pernah menonjolkan diri, tidak pernah memperlihatkan kepandaian silatnya yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun setiap orang mengenal belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong. Dalam cerita Petualang Asmara dan Dewi Maut, kita telah cukup lama berkenalan dengan Yap Kun Liong, mengikuti riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti juga riwayat hidup setiap manusia! Akhirnya, dengan berkah dan restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini berani menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya. Yap Kun Liong adalah seorang duda, ditinggal mati isterinya, sedangkan Cia Giok Keng adalah seorang janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan kematian isteri dan suami merekapun sama, yaitu dibunuh orang. Biarpun Yap Kun Liong tidak mendapatkan anak dari isterinya yang terbunuh, yaitu Pek Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai seorang puteri dari wanita lain sebelum dia menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang bernama Liem Hwi Sian (baca Petualang Asmara). Adapun Cia Giok Keng ditinggal mati suaminya dengan dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke dua adalah Lie Ciauw Si.

Pesta pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu? Pesta pernikahan yang selama ini telah ditunda sampai tiga tahun berhubung dengan perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng!



Antara dua orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlalu dewasa, timbul perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio Sun, yang menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei Lan kepada Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak antara kedua orang itu, Yap Kun Liong menerimanya dengan baik, akan tetapi terpaksa pesta pernikahan harus diundur sampai selesai perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu selama tiga tahun.

Sepasang pengantin itu memang sudah agak kasip. Usia Souw Kwi Beng sudah tiga puluh tiga tahun, sedangkan usia Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun! Akan tetapi, cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu keduanya sudah cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi.

Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih nampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan menyambut para tamu dengan wajah berseri gembira. Hati siapa yang tidak akan gembira menghadapi pesta pernikahan puterinya, untuk pertama kali? Dalam keadaan seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang memberi tahu kepadanya bahwa dia telah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu mulai mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia akan menjadi kakek, mempunyai cucu! Melihat pria ini menyambut tamu dengan senyum ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang mengira bahwa dia adalah seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu!

Di sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu dengan ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang sebetulnya sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sukar dipercaya kalau dia sudah berusia setengah abad lebih karena melihat wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya tentu jauh kurang dari empat puluh tahun. Biarpun Yap Mei Lan hanya anak tirinya, namun nyonya yang di waktu mudanya merupakan seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu ini menganggapnya sebagai seorang anak sendiri. Terjadi perubahan besar sekali setelah Cia Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong.

Suami isteri ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu sedangkan sang isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan disegani kawan. Maka, para tamu yang menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan memandang kagum kepada pasangan ini.

Di antara para penyambut, yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja, nampak terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang berbahagia ini, yang sesungguhnya baru beberapa tahun menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya, tidak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Pada waktu itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh enam tahun dan Yap In Hong berusia tiga puluh lima tahun dan keduanya adalah adik-adik kandung dari tuan dan nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung Cia Giok Keng, sedangkan Yap In Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong! Dalam hal ilmu kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan isterinya! Apalagi setelah kedua suami isteri ini berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka telah mencapai tingkat yang amat hebat dalam tenaga peninggalan dari Kok Beng Lama itu. Para tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu dengan sinar mata kagum.

Selain Cia Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio Sun yang merupakan adik kembar dari mempelai pria, dan Lie Seng, yaitu putera Cia Giok Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok Beng Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai, seperti sucinya yang kini duduk sebagai mempelai wanita.

Pendeknya, yang punya kerja dan yang menikah adalah keluarga pendekar-pendekar yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas satu! Maka tidaklah mengherankan apabila pesta perayaan itu biarpun sederhana namun menjadi meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar. Hanya ada satu hal yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam hati Cia Giok Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah diceritakan di bagian depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi menyusul pamannya, Cia Bun Houw yang kepergiannya mendukakan hati kong-kongnya. Dan semenjak dara itu pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak diketahui ke mana perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga itu.

Para tamu mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas dan kain beraneka warna, sebagian besar adalah warna merah yang diutamakan, dan meja-meja mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan wajah berseri seperti biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana gembira mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga tuan rumah, dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat itu.

Kini tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh. Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang diiringkan dua orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali. Melihat keadaan nyonya janda ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika mengenal siapa orangnya yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu kelihatan marah karena yang muncul sebagai tamu, diiringkan oleh dua orang pembantunya itu, bukan lain adalah seorang kakek yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi semua tambalannya terbuat dari kain baru, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih, bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit kaya muka tikus, kakek yang bukan lain adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i Kai-pang! Kakek yang dituduh sebagai pembunuh suami nyonya janda ini! Betapa beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini, pikir Lie Seng yang juga memandang penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kai-pang yang diikuti oleh dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu.

“Bedebah... kubunuh dia...” desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat menyentuh lengan janda muda ini.

“Enci... harap tenang dan sabarlah,” bisiknya. “Serahkan saja kepada ibu dan ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari baik ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari suciku.”

Souw Kwi Eng mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua titik air mata dengan cepat, kemudian menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, sungguhpun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh Yap Kun Liong dan isterinya.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan mulut tersenyum ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka saling bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling mencinta, yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat daripada pandang mata dan kata-kata biasa, mereka telah saling mengerti dan keduanya merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini. Mereka telah mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka tentang ketua pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang kakek ini berani datang?

Akan tetapi, Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan juga tajam pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap Kung Liong sudah mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk menghadiri perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik, “Apakah pangcu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?”

Kakek pengemis itu tersenyum dan memandang kagum. “Ah, Yap-taihiap memang hebat, saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu.”

“Silakan, pangcu, silakan...!” Yap Kun Liong lalu mendahului tamunya itu, bersama isterinya memasuki ruangan dalam. Dengan isyarat matanya Yap Kun Liong menyuruh isterinya dan Yap In Hong adiknya untuk mewakilinya menyambut tamu, kemudian dia bersama tamunya itu memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng, dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis tingkat dua sudah dipersilakan duduk di ruangan tamu, karena kalau mereka dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik perhatian orang.

Melihat wajah Souw Kwi Eng yang merah dan matanya yang memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kai-pang cepat menjura dan berkata kepada nyonya janda muda itu, “Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan kedukaanku tidak lebih kecil daripada yang kauderita. Kedatanganku ini untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya.”

“Duduklah, pangcu dan mari kita bicara dengan terbuka,” kata Yap Kun Liong mempersilakan semua orang duduk.

“Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk, dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini agar tidak menarik perhatian orang. Nah, harap taihiap sekalian suka mendengarkan penuturanku baik-baik.”

Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara Hwa-i Kai-pang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. “Seorang anggauta kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan kami minta pertanggungan jawabnya karena membunuh seorang anggauta kami tanpa sebab. Wanita iblis itu tidak mempertanggungjawabkan, bahkan merobohkan beberapa orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong Liu-nio.”

Lalu dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya, dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.

“Karena wanita itu bersembunyi di gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang agar saya suka datang ke gedung itu pada watu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang segera menyerang saya. Kemudian, sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah dan terjadi perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan dalam pertandingan itu, entah bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apalagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan mengapa Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya.”

“Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!” Tiba-tiba Souw Kwi Eng berseru. “Jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan.”

“Tenanglah, dan biarkan pangcu nmnjelaskan. Bagaimana selanjutnya, pangcu?” tanya Yap Kun Liong.

Kakek pengemis itu menarik napas panjang. “Sudah puluhan tahun saya malang melintang di dunia kang-ouw, biarpun menjadi pengemis akan tetapi belum pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga belum pernah menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Banyak memang saya membunuh orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apalagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang kini menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu.”

“Apa yang sesungguhnya terjadi?” Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.

“Semua adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi dalam gedung Lee-ciangkun, bahkan dia menjadi kekasih gelapnya. Celakanya, selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa kepada kaisar dan dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok pelayan-pelayan dan perajurit-perajurit pengawal, saya memperoleh keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya.”

“Tidak masuk akal,” Souw Kwi Eng membantah. “Suamiku tidak pernah mengenal wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?”

“Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar,” pengemis tua itu berkata, “tadinya sayapun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke manapun dia pergi selalu membawa salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan diapun pernah mengaku bahwa ketika dia membunuh anggauta kami she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukan Hwa-i Kai-pang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggauta kamipun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio.”

“Ah, keteranganmu memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!” Bun Houw berkata sambil mengepal tinjunya. “Kiranya nenek tua bangka itu memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan dia telah dibantu oleh Lee-ciangkun untuk melaksanakan hal itu, bahkan lalu melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu domba!”

Semua orang mengangguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. “Aku harus membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe...”

“Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!” kata Bun Houw marah.

“Dan pembesar Lee yang curang dan pengecut itupun harus diberi hukuman yang setimpal!” kata pula Lie Seng.

“Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan sukarlah untuk mengganggunya,” kata Hwa-i Sin-kai. “Kalau kita menyerang gedungnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal...”

“Ah, adik dari Panglima Lee Cin?” Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan Lembah Naga belasan tahun yang lalu itu.

“Lebih baik lagi kalau begitu,” Yap Kun Liong berkata, “biar kutemui Panglima Lee Cin yang kita mengenalnya sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio keluar.”

“Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis macam Kim Hong Liu-nio dan gurunya.” kata Bun Houw dan Yap Kun Liong mengangguk menyetujui karena diapun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak sekali orang, bahkan terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den kekhawatiran.

“Ada pasukon pemerintah datang untuk menangkap kita!” kata Cia Giok Keng kepada suaminya.

“Ah, apa sebabnya?”

“Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun How, dan In Hong!” jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.

“Kita serbu saja dan usir mereka!” kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.

Tiba-tiba terdengar suara lantang di luar, “Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!”

Yap Kun Liong mengerahkan khi-kangnya dan berseru dari dalam ruangan itu. “Apakah disamya kami hendak ditangkap?”

Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta.

Suasana menjadi sunyi sekali setelah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan penuh perhatian, semua mata memandang keluar dan hampir semua pandang mata membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu. Kemudian terdengar suara nyaring menjawab, sungguhpun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap Kun Liong tadi, namun suara inipun cukup nyaring melengking didorong oleh tenaga khi-kang yang kuat.

“Kami membawa perintah Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh bersekutu dengan para pemberotak Hwa-i Kai-pang dan Pek-lian-kauw. Oleh karena itu menyerahlah kalian bereimpat dengan baik-baik sebelum kami serbu!”

“Keparat!” Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar. Kakek ini marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dituduh sebagai pemberontak, disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup, akan tetapi mereka tidak pernah memberontak. Kini, mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kai-pang yang dicap pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja telah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dan diapun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Maka kemarahannya meluap dan dia sudah berlari keluar dan mengamuk, merobohkan beberapa orang perajurit dengan tongkatnya yang digerakkan secara lihai bukan main.

Gegerlah para perajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu adatah ketua Hwa-i Kai-pang dan dia adalah seorang tokoh yang terkenal memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang, lebih kena disambar tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu. Akan tetapi, komandan pasukan memberi aba-aba dan kakek inipun dikeroyok oleh banyak sekali perajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung. Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi perajurit roboh oleh amukan tongkatnya, akan tetapi kini para perajurit mempergunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah. Dihujani serangan tombak dan anak panah, walaupun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itupun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus kulit dagingnya. Kalau dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri mempergunakan gin-kangnya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam kepada Kim Hong Liu-nio karena perbuatan wanita itu dan Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu. Sekarang, setelah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, setelah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh Hwa-i Kai-pang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tidak ingin untuk lari menyelamatkan diri, melainkan mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.

Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya! Para tamu tidak ada yang berani ikut mencampuri, apalagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai yang dianggap pemberontak oleh permerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut.

Setelah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan kembali berteriak dengan nyaring, “Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah, terpaksa kami akan menyerbu!”

Yap Kun Liong dan keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, bahkan dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun berwibawa, “Siapakah yang memimpin pasukan ini?”

“Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini.”

“Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!” kata pula Yap Kun Liong.

Seorang pemuda maju dan mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, kemudian komandan yang bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung, kain bertuliskan perintah penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kalsar. Setelah melihat semua itu, Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat.

“Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu pernikahan anakku,” kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.

“Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!” jawab Ma-ciangkun.

“Ayah...!” Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya. “Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?” isaknya.

“Sttt, jangan, anakku. Lanjutkan pernikahan ini, jangan membikin rusak pesta pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian.”

Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka dinaikkan ke atas kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.

Yap Mei Lan menangis terisak-isak dan Souw Kwi Beng juga memandang isterinya dengan muka pucat. Lie Seng mendekati sucinya, menghibur dan berbisik. “Harap suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan nwnjaga dan menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci, yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku.”

Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, “Sute, terima kasih dan hati-hatilah.”

Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihunya (kakak ipar) yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan gelisah sekali, terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak. Karena suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur. Di sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami melakukan perjalanan, tentu dia sudah menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan empat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota raja.



Sebetulnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.

Telah diceritakan di bagian depan bahwa biarpun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang berhati dingin dan kejam, namun betapapun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.

Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah berpengalaman, pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun. Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi dia belum dapat menyerahkan dirinya karena ancaman subonya, Hek-hiat Mo-li bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri. Mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantunya untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti telah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Makin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia berpacaran dengan panglima itu, walaupun dia masih belum berani menyerahkan diri karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!

Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannnya ketika mereka saling berpelukan dan berciuman. Oleh karena itu, mana mungkin dim mampu menanti sampai semum musuh wanita itu habis? Akan berapa lamakah sampi wanita itu selesai membunuh musuh-musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu?

Maka, Lee Siang tidak dapat tahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang dapat meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan berahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing. Dan setelah keesokan harinya sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan, tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi lalat di dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya lagi karena tahi lalat buatan dari subonya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat seperti yang dikatakan oleh subonya bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!

Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibir. Dia merasa puas, dan gembira sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah, hangat dan luar biasa.

Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di depan pembaringan, tubuhnya hanya dibalut selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa nyeri oleh runcingnya pedang!

“Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?” tanyanya dengan mata terbelalak, memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, namun bahkan menonjolkan kecantikannya.

“Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Kita berdua harus mati sekarang, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri daripada mati di tangan orang lain!”

Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini. “Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta padamu, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, kenapa... kenapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah engkau akan cinta kasih kita semalam...?”

Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.

“Aku tahu... dan engkaupun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi justeru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka.”

“Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?” Lee Siang berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga mengeluarkan darah.

“KAULIHAT daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?”

Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang berada di dagu wanita itu, yang menambah kamanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini telah lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu tentang sumpahnya kepada subonya, dan tentang tanda perawan yang dibuat subonya, yaitu tahi lalat itu yang kini lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!

Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu menyerahkan diri. “Hong-moi, kasihku, sayangku, kaudengarkan aku. Aku mempunyai akal untuk menghadapi subomu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... aku minta... sukalah engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati...”

Lee Slang membuka seilmut yang menutupi tubuhnya membiarkan tubuhnya yang telanjang itu terbuka sama sekali dan dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap merayu.

“Ahhh...!” Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan dia menubruk, merangkul dan menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. “Ah, Lee-ko... Lee-ko... bagaimana aku dapat membunuhmu...?”

Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari cengkeraman maut. “Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah engkau sudah menceritakan bahwa subomu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Biarpun ilmu kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti yang kaukatakan, apa sukarnya untuk mengelabuhi pandang matanya? Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apalagi kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?” Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh hatinya dan nafsu berahinya sudah berkobar lagi.

Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, “Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang bodoh... ah, dadamu sampai terluka, berdarah...” Dia lalu mengecup darah di dada itu, menjilati luka kecil di dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.

Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh semangat kembali. Setiap saat dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga dan akhirnya tibalah saatnya Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara. Wanita itu harus pergi ke utara berkunjung kepada subonya dan suhengnya yang mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Ketika hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatirannya tentang tahi talat yang hilang itu.

Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang manis itu. “Ah, tidak ada bedanya seujung rambutpun, Hong-moi. Jangan khawatir, apalagi subomu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu.”

Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat!

Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorangpun yang tahu akan kepalsuan tahi lalat di dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini berkata, “Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng?”

“Harap subo suka bersabar, teecu tidak pernah berhenti berusaha,” kata Kim Hong Liu-nio dan saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu, dan diapun tidak perduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah subonya. Setelah memberi hormat kepada subonya dengan berlutut dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan untuk duduk di sudut. Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai memandangnya penuh perhatian, terutama memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang ketika dia melangkah tadi.

Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan bicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main.

Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang tajam, yang sudah banyak pengalaman memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, sudah dapat menduga bahwa sumoinya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li memanggilnya dengan wajah bengis.

“Kim Hong, lekas kaucuci titik hitam di dagumu itu!” bentak sang guru.

Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.

“Apa maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?”

“Hemm, masih hendak mengelabuhi gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?”

Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia telah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya berlutut, dan menangis!

“Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau melanggar sumpahmu?”

Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta dengan Panglima Lee Siang. “Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kai-pang, dan teecu bersama dia saling mencinta subo, dan... dan... teecu telah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan...”

“Perempuan hina!” Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio bahwa dia akan mati di tangan subonya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan bayangan Lee Siang di depan matanya.

Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil berkata, “Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!”

“Subo, tahan dulu!” Tiba-tiba terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai yang memasuki ruangan itu.

Nenek itu menoleh dan memandang Sabutal dengan wajah makin berkerut menyeramkan. “Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!”

Raja Sabutai tersenyum. “Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak dapat menahan gelora nafsunya? Memang dia telah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil, biarlah dosanya diampuni dan biar dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh diapun belum terlambat.”

Hek-hiat Mo-li mengomel. “Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini bukan perawan lagi, tentu aku kena dikelabuhi, maka biarlah aku setuju usulmu, sri baginda. Nah, kaudengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!”

Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika di Lembah Naga diadakan pemilihan guru silat, dia tidak hadir, dan itu pula sebabnya mengapa Hek-hiat Mo-li marah-marah ketika Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk pangeran. Kemarahannya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.

Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subonya dan suhengnya itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat orang pendekar itu.

“Ah, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko, lebih baik kau membunuh aku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, daripada di tangan subo atau suheng!” wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang. Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.

“Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat orang itu,” katanya.

Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia memperoleh akal yang sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula, kemudian dia mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang pembantunya dengan hadiah besar untuk pergi membawa pasukan dan menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng. Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su dan seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap empat orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena selain tidak ingin memberontak terhadap perintah kaisar, juga tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng.

Memang, kalau orang sudah tergila-gila apapun sanggup dilakukannya. Baik dia itu seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu. Demikian pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tidak pernah bermimpi bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekat. Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai matipun kiranya dia tidak akan berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, apalagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.

Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apalagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dua kang-ouw akan menjadi geger karenanya dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang. Namun, kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia kiamatpun takkan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita yang dicintanya, biar apapun terjadi, dia tidak takut bahkan matipun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.

Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman masing-masing, segera menyebarluaskan berita tentang penangkapan itu dan seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar. Kalau yang ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Betapa aneh dan janggalnya berita ini. Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh itu, dan tentu saja banyak para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang bersorak gembira karena pembasmian setiap orang pendekar penegak keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka.

***




Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu menyerah karena melihat “surat perintah” kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang amat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan memperkuat pengawalan itu. Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu.

Inilah sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan. Apalagi ketika pada suatu malam rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak menggunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang minta kepada kawan?kawan di dunia kang?ouw agar jangan melawan pemerintah. karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang adll di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.

Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi sahabat baik dari Lee Siang.

Kereta kerangkeng itu dimasukkan dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh selosin perajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu dirantai, sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya masih dijaga oleh selosin perajurit pilihan!

“Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin aku mematahkan semua ini dan mengamuk!” Cia Giok Keng berkata, muncul kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.



“Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan pengadilan, aku yakin kita akan dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat daripada bebas menggunakan kekerasan.”

“Aku heran sekali, mengapa kita berempat disuruh tangkap oleh kaisar?” Bun Houw berkata.

“Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos dan mengamuk. Biarpun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan sewenang-wenang, haruslah ditentang!” kata Yap In Hong.

“Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu,” kata Kun Liong kepada adiknya. “Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andaikata difitnah sekalipun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang. Kalau kita menggunakan kekerasan, hal itu bahkan memperkuat bukti bahwa kita memang suka memberontak. Sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Kalau kemudian ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk memberontak.”

Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan samadhi seperti biasa sehingga mereka tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling tindih. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan suara lirih, “sssttt...!” karena dia mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan merah dan dengan gerakan yang ringan sekali melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah, turun di luar ruangan itu.

Seorang wanita muda yang cantik manis, pakaiannya serba merah, pedangnya tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya yang cantik itu dihias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan senyum bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas!

Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal itu, tiba-tiba Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka melihat wanita itu.

“Mau apa kau ke sini?” Bun Houw membentak.

“Pergilah kau!” In Hong juga membentak. Suara kedua orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin heran lagi.

Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis. “Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu? Suhu dan subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo.”

“Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!” bentak In Hong.

“Kalau suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biariah teecu membujuk Ciong-taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik padanya dan teecu pasti dapat mempengaruhinya...”

“Sudahlah, kami bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!” kata Bun Houw.

“Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu...” gadis itu memohon.

“Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!” In Hong berseru marah sekali, mengepal tinjunya dan Kun Liong khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng.

“Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu,” kata Bun Houw.

“Suhu... subo...” wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.

Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa gadis itu telah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat, gerakannya lebih cepat daripada gadis tadi dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.

“Seng-ji...!” Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.

“Ooh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia berniat jahat atau mungkin juga hendak menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia pergi lagi sambil menangis.”

“Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami.” kata Bun Houw kepada Lie Seng, agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.

Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin datang penjaga baru dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, “Seng-ji, kautinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan lakukan itu terus, akan tetapi hati-hati jangan sampai ketahuan oleh fihak pengawal dan jangan melakukan apa-apa sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak menghendaki kekerasan.”

“Benar kata ayahmu, Seng-ji. Kaupergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami berempat sanggup menjaga diri.” kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya girang dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.

“Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka suguhnya. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini.” Setelah meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap seperti orang baru bangun tidur.

“Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?” Cia Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya tentang gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh adiknya itu.

“Akupun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya, Hong-moi?” kata Yap Kun Liong kepada adiknya. “Siapakah dia?”

Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandang mata ini terjalin saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya, “Sesungguhnya, kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, akan tetapi siapa sangka malam ini dia muncul, dan tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baiklah, akan kuceritakan semua tentang dia.” Pendekar ini lalu bercerita, dengan suara bisik-bisik agar jangan terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, dan hanya terdengar oleh mereka berempat saja. Beginilah ceritanya.

***




Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In Hong terpaksa meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka siap meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk mengambil seorang anak perempuen bernama Sun Eng.

Di dalam cerita Dewi Maut diceritakan bahwa Bun Houw pernah dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi. Sun Bian Ek ini sengaja mengganti nama karena dia menjadi orang buruan, berganti nama Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya sampai Kiam-mo Liok Sun akhirnya tewas di tangan musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada Bun Houw agar suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.

Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak melupakan janjinya dan bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi dan menemui anak perempuan yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.

Kemudian, setelah merantau sampai jauh den memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang sebuah kota yang cukup ramai tak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah mengubur diri jauh di timur.

Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri den mereka berdua secara bergantian mendidik den memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu. Sun Eng semenjak kecil memiliki watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga keriangan anak itu merupakan sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang merasa prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali mereka terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan sedemikian rupa sehingga Sun Eng menjadi manja sekali.

Makin besar, Sun Eng makin menjadi cantik dan pesolek, akan tetapi dalam kelincahannya terdapat sifat-sifat genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.

Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan subonya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.



Setelah berusia tujuh belas tahun, mulai nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya kalau sedang dilatihnya silat semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara. Bahkan kalau sedang berlatih silat di depannya, Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya dan pinggulnya, sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya sendiri dan memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!

Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subonya ini tidak ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subonya yang mengaku suami isteri ini tidur sekamar, apalagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan subonya tidak pernah menjenguk keluarga sehingga akhirnya subonya menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, tentang perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.

“Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum mendapat restu orang tua,” subonya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban pertanyaan mengapa suhu dan subonya belum juga mempunyai keturunan! Maka tahulah Sun Eng bahwa suhunya masih perjaka dan subonya masih perawan. Dia makin tertarik dan merasa kasihan kepada suhunya. Memang dia amat kagum dan cinta kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi makin berani kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya. Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak memperdulikan susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta berahi.

Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasanya, Sun Eng yang sudah tidak dapat menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya sendiri tentang adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu.

“Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar sekali, seperti air terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti air bah yang menjebol bendungannya!” kata seorang di antara wanita tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa penuh arti ketika Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, “Sayang, dia begitu tampan dan gagah, sayang seorang pria seperti dia tersia-sia.”

Malam itu Sun Eng gelisah di pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di telinganya dan dia membayangkan, betapa akan mesranya kalau gurunya memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila kepada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.

Betapa kaget rasa hati Bun Houw ketika dia merasakan sesuatu yang lembut menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah menempel di wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu, yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu berahi, adalah wajah cantik manis dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.

“Suhu... ah, suhu... aku cinta padamu...” Bisikan di antara napas terengah-engah ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran menjadi marah bukan main. Dia sudah menggerakkan tangan, akan tetapi kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan terus terbanting ke bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk.

Akan tetapi, Sun Eng tidak menjadi takut, bahkan kini dara itu cepat membuka pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan. “Suhu... suhu... lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini kepadamu...” Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang masib muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu berahi. Bun Houw memejamkan matanya dan seperti orang kehilangan dirinya sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk
pinggang ramping itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan diapun balas mencium bibir yang menantang itu.

Akan tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan, kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani muridnya itu, biarpun peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak pintu kamarnya!

Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu terdengar suara In Hong dari luar, “Houwko, ada apakah?”

Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya dan meloncat keluar dari jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu, “Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu mengira maling maka teecu hendak memberitahukan suhu, celakanya, dalam kagetnya suhu malah mengira teecu malingnya!”

Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In Hong akan menjadi curiga. “Ah, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak,” katanya.

“Sun Eng, hati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan sudah mendarah daging ilmu silat dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba.”

“Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing...”

“Hemm, betapapun, harus kuselidiki sendiri,” kata In Hong yang cepat melayang naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikitpun dia tidak menaruh curiga atas terjadinya peritiwa itu. Akan tetapi tentu saja Bun Houw tak dapat tidur memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia melihat bahaya yang amat besar mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Akan tetapi, melihat betapa suhunya tidak membuka rahasianya terhadap subonya, hal ini diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhunya “melindungi” dan bahwa diam-diam suhunya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya mundur malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani, bahkan di depan subonya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhunya. Tentu saja Bun Houw merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apalagi setelah dia mengerti bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata aneh penuh kecurigaan yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!

Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang mengira, bahkan berpendapat bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tidak terpisahkan dari cinta! Benarkah perkiraan atau pendapat demikian itu? Kalau kita tanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi perasaan cemburu itu sendiri apabila ia timbul, mengamatinya dengan penuh kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya dan mengerti dengan sepenuhnya akan susunan cemburu, bagaimana munculnya, apa sebabnya dan apa pula akibatnya. Karena hanya pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan waspada ini sajalah yang akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu. Dengan memandang kepada diri sendiri, kita bersama dapat melakukan penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan seperti itu tidak akan melenyapkan cemburu.

Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara, nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah dan dicengkeram kebencian sehingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu saja sebaiknya kalau kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.

Dari manakah timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih kalau mendatangkan kedukaan dan kebencuan! Cemburu muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang kita pergi, baik itu merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri, akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan kepada kita itu dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu. Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu, karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir milikKU diambil orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin senang sendiri, dan barang atau orang yang kita “cinta” itu menjadi sumber atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu diambil orang lain, kita menjadi sedih, marah atau cemburu namanya.

Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti aku ingin senang, aku ingin mengusai, justeru aku ingin senang dan aku ingin menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta kasih tidak mungkin dapat diikat. Kalau kita sayang kepada sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita menjaganya, agar dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu berarti bahwa kita kehilangan itu! Padahal, kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan?



Demikianlah, Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu, ketika dia melihat sikap muridnya yang terlalu manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap ganjalan hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata. Oleh karena itu, setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman naluri kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak peristiwa malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap tegas dia berkata, “Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun Eng yang demikian manis dan memikat kepadamu!”

Bukan main kagetnya hati Bun Houw mondengar ini, saking kagetnya karena hal yang mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. “Apa... apa yang kaumaksudkan, Hong-moi...?”

“Houw-ko, bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita? Engkaupun tahu akan sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa artinya itu?”

Kini Bun Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan setelah menarik napas panjang dia lalu berkata, “Aahhh, hal ini mengganguku dalam beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa gelisah karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara terus terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah besar dan melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi, yang tentu menimbulkan kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap engkau bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak itu yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri.”

Biarpun alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu murid itu jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi pada beberapa malam yang lalu, ketika Sun Eng memasuki kamarnya dan memperlihatkan sikap yang amat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa dia bahkan sudah membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu. Memang, pekerjaan yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia kekotoran dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itupun, berdaya upaya sekuat tenaga untuk membuka dan mengungkap rahasia kekotoran orang lain! Hanya dengan pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian akan kepalsuan yang menyesatkan ini.

Wajah In Hong menjadi merah, sinar matanya berkilat penuh api kemarahan ketika dia mendengarkan penuturan kekasihnya sampai selesai. “Hemm, bocah itu sungguh tak tahu diri dan tak tahu malu!” gumamnya.

“Memang dia telah melakukan hal yang tidak sopan sama sekali, Hong-moi. Akan tetapi kasihanilah dia, dia masih kanak-kanak dan perlu bimbingan dan nasihat kita. Kukira sebaiknya kalau dia mengerti bahwa engkau sudah tahu akan perbuatannya itu agar dia menjadi takut. Bagaimana kalau kita panggil dia dan kita bersama menasihatinya dan memarahinya agar dia sadar kembali dari kesesatannya itu?”

In Hong menarik napas panjang untuk menekan kepanasan hatinya, lalu dia mengangguk. “Kurasa sebaiknya demikian. Kalau dipikir mendalam, memang kitapun bersalah, koko. Kita bertanggung jawab. Ketika dia kita bawa, dia adalah seorang anak perempuan yang belum tahu apa-apa dan masih bersih. Kalau dia sekarang ternoda oleh pikiran penuh gejolak nafsu itu, adalah karena dia terlalu bhhyak bergaul dengan orang-orang luar yang menghambakan diri kepada nafsu. Dan ini tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab kita yang agaknya kurang keras terhadap Sun Eng.”

Bun Houw mengangguk. “Engkau benar, Hong-moi. Mudah-mudahan saja kita belum terlambat untuk mendidiknya kembali ke jalan benar agar kelak aku tidak usah merasa malu terhadap Kiam-mo Sun Bian Ek di alam baka.”

Maka dipanggillah Sun Eng. Ketika dara itu melihat wajah suhu dan subonya, wajahnya menjadi agak pucat. Dari sinar mata kedua orang gurunya yang seperti pengganti orang tuanya sendiri itu, tahulah dia bahwa ada hal yang amat panting terjadi dan dia dapat meraba apa adanya hal penting itu. Maka setelah memberi hormat, dia lalu duduk dan menundukkan mukanya.

Sejenak lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu, kemudian terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin akan tetapi juga mengandung rasa sayang, “Sun Eng, engkau adalah murid kami, dan juga seperti keluarga kami sendiri, oleh karena itu, mengingat bahwa engkau kini sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau kita bicara dari hati ke hati secara terbuka.”

Ucapan ini membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat meraba ke mana dia hendak dibawa oleh subonya dalam percakapan ini, maka dia hanya mengangguk, dan menjawab, “Baik, subo.”

“Sun Eng, aku telah tahu akan perbuatanmu beberapa malam yang lalu, terhadap suhumu.”

“Aihh...!” Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada wajah Bun Houw.

Pendekar ini mengangguk. “Aku menceritakan hal itu kepada subomu, Sun Eng, demi kebaikan kita bersama dan agar engkau mengerti benar betapa tidak benar dan tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu.”

Sun Eng mengeluh kecil dan menunduk kembali.

“Eng-ji, engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap suhumu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat sekali. Suhumu adalah gurumu yang menjadi pengganti ayah, atau seorang kakak yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu dari ketaatan dan kehormatan sebagai seorang murid terhadap guru, menjadi cinta berahi seorang wanita terhadap pria? Kau tahu bahwa suhumu adalah seorang pendekar yang tentu tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti itu! Pula, engkau adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau akan merendahkan diri sedemikian rupa? Di manakah kesopananmu? Apakah engkau sudah tidak mempunyai rasa malu lagi?” Suara In Hong meninggi terbawa oleh perasaan marahnya.

“Dan engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu kepadaku! Ah, hal itu lebih mencelakakan daripada kalau engkau menyerangku dengan pedang di tangan!” Bun Houw menambahkan.

Kepala itu terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran dan dengan terisak-isak Sun Eng berkata. “Harap suhu dan subo mengampunkan teecu, atau kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu dibunuh sekalipun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa perbuatan teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo. Sebenarnya, teecu kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo, dan teecu... teecu hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu...”

“Hemm, menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?” In Hong berkata.

“Ampun, subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan hanya mengorbankan badan... biar menyerahkan nyawa berkorban jiwapun teecu rela untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo...”

In Hong dan Bun Houw saling pandang kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang sudah menunduk dan menangis lagi.

“Sudahlah, kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak pantas kaulakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap suhumu, menjadi seperti dahulu, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang murid terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kauenyahkan dari hatimu. Mengerti?”

Sun Eng mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya, “...teccu salah... teecu salah...”

Melihat itu, Bun Houw merasa kasihan sekali. “Sun Eng, sadarlah bahwa aku dan subomu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak terhadap adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang sudah lalu biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus kembali ke jalan benar.”

Demikianlah, sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak hari itu, terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua orang gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu tidak dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka terselubung, dan senyum mereka dibuat-buat. Agaknya peristiwa itu telah menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid maupun dua orang gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin mendekatkan diri dan bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya. Dan di dalam hati Bun Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap murid mereka, membuat mereka bersikap tidak begitu memperdulikan lagi. Bahkan ketika mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan pemuda-pemuda yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda hartawan dan bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya kadang-kadang menegur dan menasihati, akhirnya juga diam saja. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa mereka membenci Sun Eng, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mengekang oleh gadis yang bukan keluarga mereka itu.

Beberapa bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut ketika menerima serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang pembesar yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng, untuk menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.

Auw-kongcu adalah seorang pemuda yang amat terkenal di kota itu sebagai pemuda mata keranjang, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu, mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor buruk watak ini, tentu saja Bun Houw dan Yap In Hong menjadi marah dan serta merta menolak pinangan itu. Apalagi In Hong! Pendekar wanita ini pada dua tahun yang lalu pernah menghajar Auw-kongcu, bahkan kalau tidak dicegah oleh Bun Houw tentu sudah membunuhnya karena Aw-kongcu berani main gila kepadanya, berani mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil ketika dia melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan kalau pendekar wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.

Para utusan itu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidaksenangan hatinya oleh penolakan itu. “Eng-ji, yang meminangmu adalah seorang pemuda yang tersohor jahat dan busuk namanya di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras,” kata In Hong.

“Terserah suhu dan subo,” jawab dara itu dengan singkat lalu meninggalkan kedua gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.

Bun Houw menarik napas panjang. “Aihh, untung dia bukan adik atau anak kita, kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main.”

“Betapapun juga, dia adalah murid kita dan sudah sepatutnya kita jaga agar jangan memperoleh suami yang brengsek,” kata In Hong.

Peristiwa penolakan pinangan Aw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan antara kedua orang guru dan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini makin menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia selalu cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu silat kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga daripada berlatih silat, setelah selesal membantu subonya di dapur.

Bahkan beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada diri murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal ini mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng. Demikianlah, pada suatu malam, ketika mereka menaruh perhatian, mereka mendengar jendela kamar murid mereka terbuka perlahan dan mereka melihat berkelebatnya bayangan murid mereka itu meninggalkan kamarnya, lalu meninggalkan rumah itu. In Hong dan Bun Houw cepat membayangi dari jauh dan dengan penuh keheranan mereka melihat murid mereka itu memasuki sebuah hutan kecil di pinggir kota. Ketika tiba di padang rumput yang diterangi bulan purnama, di situ mereka melihat seorang laki-laki telah menanti kedatangan Sun Eng dan begitu mereka bertemu, keduanya saling rangkul dan saling berciuman dengan penuh gelora nafsu!

“Ah, kau datang juga... betapa aku sudah khawatir kau tidak dapat datang,” terdengar pria itu berkata dan dengan hati mendongkol sekali Bun Houw dan In Hong mengenal bahwa pria itu bukan lain adalah Auw-kongcu!

“Aku tentu datang, kongcu, akupun rindu sekali padamu.”

“Ah, Eng-moi, engkau memang manis, sayang,” kata Auw-kongcu dan kini sepasang pendekar itu memandang dengan mata terbelatak ketika mereka melihat betapa murid mereka mandah saja dirangkul dan direbahkan di atas rumput, digumuli pemuda itu dan bahkan tertawa cekikikan ketika tangan pemuda itu meraba-raba lalu mulai membukai pakaiannya!

“Keparat!” In Hong memaki dan dia sudah meloncat ke depan, tubuhnya melayang seperti seekor burung garuda menyambar dan di lain saat tubuh Aw-kongcu sudah diangkat dan dibantingnya, seperti membanting seekor anjing saja. Auw-kongcu berteriak kaget dan kesakitan.

“Anjing hina-dina!” In Hong membentak lagi ketika melihat muridnya dengan pakaian setengah terbuka itu menatapnya dengan mata terbelalak. “Manusia she Auw keparat, engkau memang sudah layak dibunuh!”

Akan tetapi tiba-tiba Sun Eng menubruk dan dara ini sudah berdiri menghadang subonyap melindungi tubuh Aw-kongcu yang sudah merangkak bangun dengan muka ketakutan itu. Dengan muka merah sekali karena malu, akan tetapi sepasang matanya bersinar penuh keheranian Sun Eng menghadapi subo dan suhunyap lalu berkata dengan suara lantang.

“Subo tidak berhak membunuhnya! Subo tidak berhak memukulnya. Apa kesalahan Ang-kongcu terhadap subo maka subo menyerangnya?”

Hampir In Hong tidak percaya mendengar pertanyaan itu. “Tidak berhak...? Dan dia... dia dan kau...”

“Memang! Aku telah menyerahkan diriku kepadanya! Aku telah menjadi... isterinya. Sudah lima kali aku menyerahkan diriku kepada laki-laki yang kucinta. Apa hubungannya ini dengan subo?” teriak Sun Eng menantang dan In Hong merasa mukanya seperti ditampar oleh tangan yang tidak nampak, juga Bun Houw mengeluarkan seruan tertahan. Dara yang sejak kecil mereka pelihara, mereka didik dan mereka sayang itu kini berdiri tegak, menentang mereka bahkan bicara dengan kasar, ber-aku dan tidak lagi menyebut teecu (murid) untuk diri sendiri!

“Sun Eng! Kau... kau...” Saking marahnya, In Hong tak mampu melanjutkan kata-katanya, dan tangannya menyambar, mengirim pukulan maut ke arah kepala muridnya itu.

“Plakk!” Tangan Bun Houw menahan lengannya. “Sabarlah, Hong-moi, tak perlu kita menggunakan kekerasan.”

In Hong terengah-engah saking marahnya.

“Suhu dan subo harus mengerti bahwa kami sudah saling mencinta. Aku rela menyerahkan diri dan kehormatanku kepada orang yang kucinta, mengapa suhu dan subo hendak menghalangi kami? Bahkan suhu dan subo telah menolak pinangannya. Apakah suhu dan subo hendak mengulangi sikap dan perbuatan ayah suhu yang menolak dan tidak menyetujui perjodohan antara suhu dan subo yang saling mencinta?”

Ucapan-ucapan itu seperti ujung-ujung pedang berkarat yang menusuk hati sepasang pendekar itu. Wajah mereka menjadi pucat dan sejenak mereka tak mampu berkata-kata.

“Perbandinganmu tidak tepat, Sun Eng!” Bun Houw menahan kemarahannya. “Kalau engkau memilih pemuda yang tepat, kami tentu tidak akan mencampuri dan akan setuju saja. Akan tetapi, pilihanmu keliru. Yang kaupllih adalah pemuda yang berwatak busuk, seorang pemuda pemogoran, mata keranjang dan...”

“Suhu, selera orang memang tidak sama. Suhu mencinta subo dan tentu menganggap subo wanita yang paling baik di dunia ini, akan tetapi bagaimana pandangan ayah suhu yang tidak menyetujui subo menjadi isteri suhu? Tentu berbeda antara selera suhu dan ayah suhu, seperti juga selera antara aku dan suhu juga berbeda. Bagiku, Aw-kongcu adalah pria yang paling baik di dunia.” Mendengar ini, sambil meringis menahan takut dan kaget, pemuda itu menggandeng tangan Sun Eng yang tersenyum kepadanya.

“Hemm, pilihanmu yang kaulakukan dengan mata buta itupun bukan soal yang terlalu berat, akan tetapi engkau telah menyerahkan kehormatan diri di luar pernikahan sah, apakah hal itu patut dilakuken seorang gadis yang mengenal susila?” tanya In Hong dengan sepasang mata bersinar-sinar.

“Subo, kalau aku menyerahkan kehormatan diriku kepada orang yang kucinta, itu tandanya aku cinta padanya! Auw-kongcu menghendaki bukti dari cintaku, dan bukti yang paling utama adalah penyerahan diri dan kehormatan. Maka aku menyerahkan, karena memang aku cinta padanya. Kami saling mencinta, maka apalagi halangannya bagi kami untuk bermain cinta?”

“Bodoh! Orang macam dia mana bisa dipercaya? Engkau akan disia-siakan setelah engkau dinodainya, akan dibuang setelah habis manis dan tinggal sepahnya. Butakah engkau tidak melihat bahaya itu?” bentak In Hong.

“Memang pendirian subo demikian, maka sampai kinipun subo tidak rela menyerahkan diri kepada suhu. Itu tandanya subo kurang mencinta suhu. Akan tetapi aku mencinta dan percaya kepada Auw-koko..., koko, bukankah engkau tidak akan pernah menyia-nyiakan diriku, bukan?”

Auw-kongcu merangkul. “Tentu saja tidak, sayang, aku bersumpah...”



SUNGGUH kasihan sekali Sun Eng. Dara remaja yang telah dibutakan oleh nafsunya sendiri itu dengan mudah tunduk dan menyerah, percaya akan bujukan manis seorang pria. Dia tidak tahu bahwa pria macam Auw-kongcu ini hanya mengutamakan pemuasan birahi belaka. Bagi pria macam ini, seperti kebanyakan pria di dunia ini, cinta adalah hubungan kelamin, cinta adalah pemuasan nafsu berahi! Jadi cinta bagi mereka ini, bukti cinta adalah penyerahan diri seorang gadis kepadanya! Kalau tidak mau menyerahkan diri, berarti tidak cinta! Betapa banyaknya gadis-gadis yang menyerahkan diri sebelum resmi menjadi isteri, sehingga mengandung dan membawa akibat-akibat yang amat menyedihkan. Tentu saja ada pula pria yang bertanggung jawab, namun hal ini tidak banyak dan lebih banyak yang melarikan atau menjauhkan diri karena memang cintanya hanya terletak dalam pemuasaan nafstu berahi belaka. Dan gadis-gadis yang dungu itu tidak mau membuka mata melihat kenyataan bahwa dalam hubungan di luar nikah ini, yang terancam adalah si wanita. Terancam keadaan jasmani dan keadaan rohaninya, terancam lahir batinnya. Tentu saja hal ini ada hubungannya dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Karena itu, betapa pentingnya untuk mempelajari dengan sesungguhnya apa yang oleh kita dinamakan cinta itu! Cinta yang hanya mengejar pemuasan nafsu berahi belaka, adakah itu yang dinamakan cinta? Dan yang amat menyedihkan, betapapun kita selubungi dengan berbagai istilah muluk, namun pada dasarnya banyak di antara kita, juga para wanita, yang mempunyai anggapan bahwa hubungan kelamin adalah tanda cinta! Itu saja! Ini bukanlah berarti bahwa kita menentang hubungan kelamin, bukan berarti kita menganggap bahwa cinta menolak hubungan kelamin. Sama sekali bukan, dan kita TIDAK BERPENDAPAT APA-APA, hanya mengajak kita semua untuk menyelami, untuk menyelidiki secara mendalam akan apa yang dinamakan cinta oleh kita semua itu. Cinta kasih tidak bersifat merusak, baik merusak badan maupun batin. Maka setelah melakukan hubungan badan lalu meninggalkannya dan merusak batinnya, jelas bahwa di situ sama sekali tidak terkandung cinta kasih, dan sepenuhnya hanya terisi oleh nafsu berahi belaka. Mengapa orang-orang muda buta terhadap hal yang gamblang ini?

Demikian pula dengan halnya Sun Eng. Dia percaya sepenuhnya akan bujuk rayu Auw-kongcu, didorong oleh rangsangan dan dorongan nafsu birahinya sendiri, menyerahkan dirinya karena Auw-kongcu menuntut penyerahan diri sebagai bukti cintanya.

Bun Houw dan In Hopg merasa sedih bukan main, sedih dan marah. “Sun Eng, kelak engkau akan menyesal! Bedebah ini menipumu, biar kubunuh dia!”

“Jangan subo bergerak! Kalau subo hendak membunuhnya, bunuhlah dulu aku! Dan kalau subo membunuh kami berdua, itu hanya berarti bahwa subo merasa iri hati terhadap kami!” kata Sun Eng.

Sampai puyeng rasa kepala In Hong mendengar kalimat terakhir itu. Dia membelalakkan mata, wajahnya berubah beringas dan Bun Houw melihat sinar maut di dalan pandang mata kekasihnya. Cepat dia merangkulnya dan dengan marah dia berkata, “Sun Eng, mulai saat ini, detik ini, engkau bukan murid kami lagi dan kami bukan guru-gurumu lagi! Biarlah kelak akan kupertanggungjawabkan hal ini dengan roh ayahmu yang dahulu menitipkan engkau padaku. Mulai saat ini segala perbuatanmu adalah menjadi tanggung jawabmu sendiri. Marilah, Hong-moi!” kata Bun Houw dan dia setengah memaksa kekasihnya meninggalkan hutan itu.

Setelah tiba di luar hutan, tak tertahankan lagi In Hong menangis tersedu-sedu! Bun Houw merangkulnya dan In Hong menumpahkan semua rasa duka, penasaran dan marah itu melalui air matanya yang membasahi baju di dada Bun Houw. Bun Houw merangkul dan mengelus rambut kepala kekasihnya menguras semua perasaannya. Setelah tangis itu reda, In Hong mengangkat mukanya yang kini menjadi pucat dan basah air mata, memandang wajah Bun Houw.

“Houw-ko, aku tahu betapa sedih dan kecewa hatimu... ah, Houw-koko yang malang, betapa buruk nasib kita...”

Bun Houw menunduk dan dalam keadaan berduka membutuhkan hiburan itu mereka menemukan hiburan dalam diri masing-masing, dan tanpa mereka sengaja, kedua mulut itu bertemu dalam ciuman yang amat mendalam, penuh kemesraan, penuh permohonan untuk dihibur, untuk dilindungi, dan juga penuh kerinduan yang ditahan-tahan.

Malam itu bulan purnama, dan karena memang keduanya sudah bertahun-tahun menanggung rindu dendam yang amat mendalam, yang mereka jaga dengan segala kekuatan batin mereka, kini setelah mereka berpelukan dan berciuman di dalam cahaya bulan, dan mungkin pula karena peristiwa tadi, melihat murid mereka dan kekasihnya sating menumpahkan rasa cinta mereka melalui hubungan badan, maka pelukan mereka menjadi makin ketat dan ciuman mereka makin hangat.

Akhirnya In Hong terengah-engah melepaskan ciuman dan pelukannya, lalu terisak melarikan diri pulang ke rumah, diikuti oleh Bun Houw yang juga agak terengah napasnya dan panas dingin seluruh tubuhnya.

Mereka tiba di dalam rumah, di ruangan dalam. Pintu dua buah kamar masing-masing masih terbuka. Mereka saling pandang, lalu seperti ada daya tarik luar biasa, keduanya saling tubruk, saling rangkul dan saling berciuman lagi. Akhirnya, Bun Houw memondong kekasihnya itu melangkah menuju ke pintu kamarnya. Akan tetapi ketika tiba di depan pintunya, tiba-tiba In Hong meronta, melepaskan diri dan melangkah mundur. Mereka saling berpandangan dan dari pandang mata mereka itu terpancar suara hati yang lebih jelas daripada suara melalui kata-kata. Bun Houw menatap wajah yang cantik itu, melihat sinar mata kekasihnya yang harap-harap cemas dan bingung. Dia sadar lalu menunduk dan pada saat itu keduanya sudah mengeluarkan kata-kata yang sama dalam saat yang sama pula.



Maafkan aku...”

“Maafkan aku...”

Keduanya saling pandang lagi, merasa lega setelah saling minta maaf, kemudian Bun Houw memegang kedua pundak kekasihnya, memandang dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu berbisik, “Sudah terlalu lama kita menanggung derita... bagaimana kalau kita... eh, menengok ayah di Cin-ling-san...?” Tentu saja dengan ucapan ini Bun Houw membayangkan harapannya bahwa ayahnya kini sudah tidak marah lagi dan akan merestui perjodohan mereka setelah lewat sepuluh tahun lebih. Juga dia sudah merasa rindu kepada ibunya.

Akan tetapi In Hong mengerutkan alisnya. “Koko, selama ini, biarpun kita menanggung rindu dan tertekan derita batin, namun kita telah kuat bertahan. Kalau... kalau seandainya kita ke Cin-ling-san hanya untuk mendengar ayahmu
masih menentang kita, kehancuran hati yang lebih hebat tentu akan kita derita dan belum tentu kita kuat bertahan seperti sekarang. Mengapa tidak menanti saatnya yang baik dan kita menyerahkan diri saja kepada kehendak Tuhan?”

Bun Houw maklum betapa berat rasa hati kekasihnya itu untuk menghadap ayah bundanya setelah ditolak sebagai mantu! Dia hanya mengangguk, menarik napas, mencium dahi In Hong, kemudian membalikkan tubuh dan memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamarnya, diikuti oleh pandang mata In Hong. Wanita ini melinangkan air mata dan hatinya merasa kasihan sekali. Betapa besar keinginan hatinya untuk menghibur hati Bun Houw, untuk melayaninya, untuk menyenangkannya, untuk menyerahkan dirinya! Tiba-tiba dia teringat kepada Sun Eng dan dengan cepat diapun memasuki kamarnya, merasa ngeri akan bayangan pikirannya sendiri karena kini dia dapat merasakan apa yang diperbuat oleh Sun Eng di dalam hutan, tadi! Namun, dia mengerti benar bahwa hal itu adalah tidak benar, oleh karena itu, sampai bagaimanapun dia tidak akan melakukan apa yang diperbuat oleh Sun Eng!

Beberapa bulan semenjak peristiwa di dalam hutan itu yang mengakibatkan Sun Eng tidak pernah kembali lagi ke rumah kedua orang gurunya, meninggalkan semua barang dan pakaiannya karena kekasihnya yang kaya raya itu membelikan pakaian baru sebanyaknya untuknya. Bun Houw dan In Hong mendengar berita mengejutkan. Mereka mendengar bahwa Auw-kongcu kedapatan tewas di dalam hutan di mana dia dahulu mengadakan pertemuan dengan Sun Eng dan menurut berita itu, pemuda Auw ini tewas dalam keadaan mengerikan karena leher dan mukanya berlubang-lubang, berwarna kehijauan dan berbau wangi.

Tentu saja suami isteri ini terkejut bukan main karena luka-luka di leher dan muka seperti itu hanya dapat diakibatkan oleh senjata rahasia Siang-tok-swa (Pasir Beracun Wangi), yaitu senjata rahasia dari In Hong yang sudah diajarkan pula kepada Sun Eng! Mereka depat menduga bahwa tentu Sun Eng yang telah membunuh Auw-kongcu itu. Mereka menyelidiki dan tahulah mereka bahwa memang Sun Eng yang membunuh pemuda itu karena mereka mendengar keterangan bahwa Auw-kongcu tidak mau mengawini gadis itu.

Bun Houw dan In Hong hanya dapat merasa berduka dan kasihan kepada murid mereka itu, akan tetapi di samping perasaan duka dan kasihan, terdapat perasaan marah yang besar terhadap murid yang dengan perbuatannya berarti juga menodakan nama mereka yang menjadi gurunya. Biarpun mereka berdua sudah tidak mengakuinya sebagai murid, namun baru penggunaan Siang-tok-swa ini saja sudah merupakan bukti langsung bahwa gadis itu adalah murid mereka. Apalagi ketika mereka mendengar berita bahwa kini setelah terlepas dari Auw-kongcu, Sun Eng bergaul dengan segala macam pemuda bangsawan mata keranjang yang kaya raya dan hidup berfoya-foya, terkenal sebagai seorang gadis yang mempunyai banyak pacar, hati sepasang pendekar ini menjadi semakin marah. Mereka memutuskan untuk tidak memusingkan lagi soal Sun Eng dan mencoba untuk melupakan bekas murid itu dengan tak pernah membicarakannya satu sama lain dan juga mengambil keputusan untuk tidak menceritakan tentang diri gadis itu kepada siapapun juga.

Demikianlah, ketika Sun Eng tiba-tiba muncul di waktu sepasang pendekar ini bersama sepasang pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berada dalam penjara, dan gadis itu hendak menolong mereka, tentu saja Bun Houw dan In Hong menjadi marah dan mengusir bekas murid itu. Dan peristiwa itu tentu saja memaksa mereka berdua untuk menceritakan tentang diri bekas murid itu kepada Yap Kun Liong dan isterinya.

“Tidak disangka perempuan hina itu muncul di sini, sungguh hanya untuk membikin kami berdua malu dan penasaran!” kata In Hong dengan gemas, menutup penuturan Bun Houw yang kini telah menjadi suaminya.

Yap Kun Liong mendengarkan penuturan itu dan mengerutkan alisnya, berulang kali menarik napas panjang. “Ah, anak itu patut dikasihani...”

“Tapi, Liong-ko, dia tak berahlak, tak tahu malu, merusak nama kami!” In Hong berkata marah.

“Itulah, kalian hanya mengingat nama kalian saja, mengingat kepentingan kalian sendiri dan tidak pernah mengingat kebutuhan anak itu. Memang harus diakui bahwa anak itu lemah menghadapi nafsunya sendiri, akan tetapi jahatkah hal itu? Alaukah hal itu merupakan hal yang patut dikasihani dan tidak terlepas daripada pendidikan dan lingkungan? Kalian maslh terlalu muda untuk mendidik, mungkin dia terlalu dimanja. Dia tidak jahat, buktinya, biarpun kalian sudah membencinya, dia masih ingat budi, masih berani menempuh bahaya untuk menolong kalian. Hal ini saja membuktikan bahwa anak itu bukan orang yang tak ingat budi, bukan orang yang jahat. Dia hanya menjadi korban salah didik, salah asuhan sungguhpun kalian berdua tidak insyaf akan kesalahan kalian yang tidak disengaja.”

Mendengar ini, In Hong dan Bun Houw tidak membantah lagi karena mereka dapat melihat kebenaran dalam ucapan Yap Kun Liong itu. Akan tetapi tentu saja In Hong tidak dapat menerima kesalahannya secara rela dan diam-diam dia masih penasaran dan masih belum lenyap rasa bencinya kepada Sun Eng.



Sementara itu, di dalam gedung tempat tinggal Ciong-taijin, jaksa kota Po-teng di mana Ma-ciangkun bermalam, yaitu pembesar yang menjadi sahabat Lee-ciangkun, yang membantu Ma Kit Su dalam menjaga para tahanan itu, datang beberapa orang tamu. Kedatangan mereka itu secara rahasia, tidak diketahui orang lain kecuali tuan rumah yang menyambut mereka dengan penuh hormat.

Tamu ini adalah Lee Siang atau Lee-ciangkun dari kota raja, Kim Hong Liu-nio, dan nenek Hek-hiat Mo-li. Ciong-taijin sendiri sampai merasa ngeri dan serem ketika dia bertemu dengan nenek muka hitam yang amat tua itu, dan memandang dengan penuh curiga kepada nenek itu, kemudian memandang dengan sinar mata penuh tanda tanya kepada sahabatnya dari kota raja itu. Di samping tiga orang ini, masih ada belasan orang tinggi besar, dan mereka ini adalah orang-orang yang menjadi pengikut Hek-hiat Mo-li, datang dari utara dan merupakan jagoan-jagoan dari utara yang oleh Raja Sabutai diberikan kepada gurunya untuk membantunya menghadapi musuh-musuhnya. Belasan orang ini diterima oleh para pembantu Ciong-taijin di tempat tersendiri dan dijamu oleh mereka.

Bagaimanakah Hek-hiat Mo-li dapat muncul di Po-teng? Seperti kita ketahui, penangkapan atas diri empat orang pendekar itu adalah pelaksanaan siasat yang dilakukan oleh Lee Siang yang berdaya upaya untuk menyelamatkan kekasihnya dari ancaman hukuman mati oleh guru kekasihnya itu, yaitu waktu tiga bulan yang diberikan kepada Kim Hong Liu-nio untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, hidup atau mati. Maka setelah mereka mendengar berita bahwa siasat itu telah dilaksanakan dengan hasil baik, Kim Hong Liu-nio cepat menghadap gurunya dan melaporkan bahwa empat orang musuh besar itu telah ditawan dan kini sedang menuju ke kota raja.

“Mengingat lihainya mereka, sebaiknya kalau subo sendiri yang turun tangan membunuh mereka yang sudah ditawan dalam kerangkeng dan sedang dikawal menuju ke kota raja,” kata Kim Hong Liu-nio.

Nenek itu terkekeh girang. “Bagus, begitu baru engkau muridku yang baik!”

Raja Sabutai juga merasa girang dan raja ini lalu memilih tiga belas orang jagoan di antara para pengawal pribadinya dan memerintahkan mereka mengawal dan membantu gurunya yang hendak menewaskan musuh-musuh besar yang lihai itu. Dengan cepat berangkatlah mereka, menjemput Lee-ciangkun dan bersama-sama lalu menuju ke selatan untuk menyambut tawanan itu. Kebetulan mereka bertemu dengan rombongan tawanan yang sedang berhenti di Po-teng dan Lee Siang lalu langsung membawa rombongannya itu ke gedung Ciong-taijin dan mereka berempat lalu mengadakan perundingan rahasia.

“Ciong-taijin, empat orang tawanan itu adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Sri Baginda sendiri telah memberi perintah rahasia kepadaku bahwa mereka itu harus dapat dibunuh secepat mungkin, karena kalau mereka sampai lolos, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin pemberontak yang amat membahayakan keamanan negara. Mengingat akan lihainya mereka itu, maka kami menunjuk locianpwe ini untuk melaksanakan perintah rahasia kaisar itu, dibantu oleh murid beliau ini.” Dia memperkenalkan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio kepada Jaksa Ciong.

Karena menganggap bahwa nenek dan muridnya yang cantik itu adalah pelaksana-pelaksana dari perintah rahasia kaisar, maka tentu saja Ciong-taijin memandang kepada mereka dengan penuh hormat dan juga takut karena memang wajah dan sikap nenek itu amat menakutkan.

Sambil duduk di atas bangku dengan tegak dan kedua lengannya disilangkan di depan dada, mukanya seperti topeng yang sama sekali tidak pernah bergerak, nenek itu tanpa memandang kepada Ciong-taijin berkata dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh pembesar itu. Setelah berkata-kata agak lama, nenek itu diam dan muridnya yang cantik lalu berkata sambil memandang kepada tuan rumah.

“Ciong-taijin, guruku berkata bahwa untuk melaksanakan perintah kaisar membunuh empat orang itu tidaklah mudah kalau tidak memperoleh bantuan taijin. Maka subo mengusulkan untuk membakar penjara di mana empat orang itu terkurung. Hal ini untuk mencegah agar mereka jangan sampai lolos, karena kalau sampal lolos, tentu kaisar akan marah dan taijin juga ikut bertanggung jawab.”

Mendengar ini, wajah pembesar itu berubah pucat dan keringat dingin membasahi lehernya. “Akan tetapi... membakar penjara...? Lalu... bagaimana dengan para tahanan yang lain? Tentu akan jatuh korban, mereka akan terbakar hidup-hidup!”

Agaknya untuk mendengarkan omongan pembesar itu, Hek-hiat Mo-li tidak memerlukan terjemahan muridnya. Memang sesungguhnya dia pandai bicara dalam bahasa Han, akan tetapi dasar wataknya agaknya aneh, dia terlalu memandang rendah kepada para pembesar, dan tidak mau bicara secara langsung kepada pembesar Ciong itu. Kini mendengar ucapan Ciong-taijin, dia cepat bicara dalam bahasanya sendiri yang kemudian disalin pula oleh muridnya.

“Menurut subo, tidak mengapa kalau sampai jatuh beberapa orang korban karena bukankah mereka itu orang-orang berdosa yang layak mati? Juga, yang dibakar hanya sekeliling ruangan di mana empat orang tahanan itu berada, jadi tidak akan membakar seluruh penjara, maka, andaikata ada orang tahanan yang ikut tewas, kami rasa tidak akan begitu banyak jumlahnya.”

Akhirnya Ciong-taijin terpaksa menyetujui juga dan menyerahkan semua pelaksanaannya kepada Lee-ciangkun.

“Jangan khawatir, Ciong-taijin, saya yang bertanggungjawab akal hal ini!” kata Lee Siang dengan giroag, karena kini terbuka harapan besar baginya untuk dapat memiliki Kim Hong Liu-nio secara resmi dan keselamatan kekasihnya itu tidak akan terancam lagi.

Siang hari itu juga mereka sudah melakukan persiapan. Tanpa diketahui orang, secara rahasia, ruangan penjara di mana empat orang pendekar itu dikurung ditimbuni kayu-kayu dan bahan bakar lainnya, dan dari ruangan itu hanya ada satu jurusan saja terbuka, yaitu di pintu yang akan dijaga ketat oleh Hek-hiat Mo-li dan orang-orang Mongol yang sudah mempersiapkan segalanya untuk mencegah empat orang pendekar itu keluar dari tempat tahanan dan akhirnya dapat mati terbakar di sebelah dalam.

Tidak ada orang tahu bahwa diam-diam ada dua orang yang mengikuti semua kesibukan itu dari jauh. Dua orang yang melakukan kegiatan secara terpisah ini bukan lain adalah Sun Eng dan Lie Seng. Biarpun sudah diusir oleh suhu dan subonya, namun Sun Eng yang benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kedua orang gurunya itu tidak pergi benar-benar, melainkan berkeliaran di sekitar tempat itu, di kota dan akhirnya kembali lagi ke dekat penjara. Dia melihat kesibukan penuh rahasia itu, melihat pula belasan orang tinggi besar yang biarpun mengenakan pakaian penjaga penjara namun gerak-geriknya mencurigakan.

Selain mereka itu semua tinggi besar dan memiliki bentuk muka asing, juga gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Sun Eng merasa makin gelisah. Dia melihat seorang komandan jaga yang nampak lelah dan kurang tidur, siang hari itu keluar dari lingkungan penjara, meloncat ke atas kudanya dan agaknya hendak pulang, karena di pintu penjara dia memesan kepada para penjaga agar berhati-hati dan menyatakan bahwa dia hendak beristirahat dan pulang sebentar.

Ketika komandan jaga ini melarikan kudanya tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba seorang wanita muda menyeberang jalan dengan tak terduga-duga. Komandan itu terkejut sekali, berusaha menahan namun terlambat karena kaki depan kudanya sudah menerjang wanita itu yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah. Komandan itu menghentikan kudanya dan lari menghampiri. Wanita itu masih muda dan cantik sekali, dan kini terlentang pingsan, pakaiannya agak tersingkap sehingga memperlihatkan sebuah betis yang berkulit putih mulus!

Wanita itu mengeluh, lirih, merintih dengan mata masih terpejam, “Aauhhhh... tolonglah aku...”

Komandan itu menelan ludahnya. Melihat wanita itu mengeluh dan mengeliat, dia terpesona, kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu mengangkat tubuh yang setengah pingsan itu, lalu membawanya ke atas kuda dan melarikan kudanya, bukan pulang ke rumahnya melainkan menuju ke tepi kota di mana terdapat sebuah pondok kosong, pondok ini adalah pondok tempat dia bersenang-senang dengan kawan-kawannya, jauh dari rumah dan isterinya!
Ketika komandan itu membaringkan tubuh yang hangat dan menggairahkan ketika berada dalam pelukannya tadi di atas dipan, wanita itu kembali mengeluh dan mencoba untuk duduk. “Auuuhv kakiku...” keluhnya.

“Kenapa kakimu, nona? Sakitkah? Coba kuperiksa.” Komandan itu menghampiri dan duduk di atas pembaringan.

Nona itu tidak membantah dan melonjorkan kaki kirinya. Sang komandan yang mata keranjang itu lalu menyingkapkan celana kaki kiri, dan terus membukanya sampai ke lutut. Kembali dia mendan ludah melihat sebuah kaki yang bentuknya indah dan kulitnya putih halus dan hangat. Diusapnya kaki itu seperti orang memeriksa, akan tetapi usapannya itu makin kurang ajar, merupakan belaian dari tangannya yang gemetar.

“Aduh, sakit di situ... di bawah lutut...!” Wanita cantik itu mengeluh lagi.

Mengira bahwa lutut itu terkilir, sang komandan lalu mengurutnya dan menaruh obat, kemudian dibalutnya, “Tulangnya tidak patah, hanya terkilir, nona. Dalam waktu sehari saja akan sembuh kembali. Kau mengapa lari-lari menyeberang jalan sehingga tertabrak oleh kuda?”

Nona itu mengerling tajam lalu tersenyum malu-malu. “Aku... aku memang ingin melihatmu, ciangkun. Engkau begitu sering lewat dengan kudamu, dan aku... aku kagum melihat engkau begini gagah...”

Hampir komandan yang usianya sudah empat puluh tahun ini tidak percaya akan apa yang didengarnya. Matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. “Benarkah, nona? Dan setelah sekarang kita berhadapan, engkau mau apa?” tanyanya nakal, penuh pancingan dan bujukan, kemudian dia hendak merangkul.

Akan tetapi nona itu mencegahnya dengan kedua tangannya. “Ah, kakiku masih sakit sekali, ciangkun. Nanti kalau sudah sembuh, tentu boleh...”

“Boleh apa...?”

Wanita itu tersenyum malu, mengerling tajam seperti kilat, “Ihhh, engkau tentu mengerti sendiri. Sekarang, dipakai bergerak saja kakiku sakit, mari kita omong-omong saja dulu. Kalau tidak salah, ciangkun bekerja di penjara sana, bukan?”

“Benar, aku seorang di antara komandan penjara!” komandan itu menjawab bangga.

“Pantas pakaianmu begitu mentereng! Aku sudah menduga bahwa engkau tentu seorang perwira tinggi. Aku sering lewat dekat penjara hanya untuk dapat melihatmu, ciangkun.”

“He-he-he, benarkah?” Komandan itu menyeringai dan menelan ludah, lalu dia mendekatkan hidungnya untuk mencium. Wanita itu memalingkan mukanya, memberikan pipinya yang dikecup dengan bernafsu oleh sang komandan, “Engkau manis, he-he, engkau cantik manis!”

Wanita itu mendorong dada komandan itu dengan kedua tangannya, dengan gerakan halus, “Sabarlah, ciangkun, kakiku tak dapat digerakkan. Biarlah nanti... eh, beberapa hari ini aku melihat kesibukan di dalam penjara, ada apakah? Apakah ada hubungannya dengan kereta kerangkeng di mana terdapat empat orang penjahat itu?” Secara sambil lalu wanita itu bertanya.

“Ha-ha, rahasia manis, rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang penting macam aku ini. Tak boleh kuceritakan kepada siapapun...”

Wanita itu cemberut dan berusaha turun dari pembaringan, mukanya membayangkan kekecewaan dan kemarahan.

“Eh, engkau mau ke mana?”

“Biarlah aku pergi. Biarpun engkau gagah dan tampan menarik, akan tetapi engkau tidak percaya kepadaku! Aku begini percaya kepadamu, mau kaubawa ke pondok ini, akan tetapi engkau menganggap aku orang asing yang tak boleh dipercaya. Untuk apa persahabatan berat sebelah ini dilanjutkan? Biarkan aku pergi!” Wanita itu terpincang-pincang hendak pergi.

“Eh-eh, nanti dulu... sayang, jangan marah. Aku hanya main-main. Siapakah namamu, manis?”

“Namaku Ang Bwee Hwa.”

“Ang Bwee Hwa (Bunga Bwee Merah)? Heh-heh, nama yang bagus, sebagus orangnya. Dan aku bernama Ciok Kwan.”

“Apa artinya perkenalan ini kalau kau tidak percaya...”

“Siapa bilang tidak percaya? Aku percaya padamu seratus prosen, manis.”

“Kenapa kau tidak mau menceritakan rahasia orang tawanan itu?”

“Stt, jangan keras-keras, aku takut terdengar orang. Dengar, mereka itu orang-orang penting dan berbahaya sekali sehingga sri baginda kaisar sendiri berkenan mengeluarkan perintah rahasia untuk membunuh mereka di sini...”

“Ohhh...?” Wanita itu terkejut dan sang komandan tersenyum karena tidak heran melihat seorang wanita lemah terkejut mendengar tentang pembunuhan. “Mengapa?”

“Aku sendiri tidak tahu, hanya menurut perintah atasanku, kami harus siap, dan karena empat orang itu amat lihai, maka pelaksanaan pembunuhan itu dilakukan dengan membakar ruangan tahanan di mana mereka dikurung.”

“Ahhh...!” kembali wanita itu terkejut dan membelalakkan mata.

“Dan untuk menjaga agar mereka jangan lolos, kota raja telah mengirim jagoan yang mengerikan. Engkau akan takut kalau melihatnya, dia seorang nenek bermuka hitam seperti iblis, bersama seorang muridnya yang cantik sekali akan tetapi kabarnya murid itupun lihai bukan main. Selain itu, masih ada belasan orang jagoan yang mengawal dan membantu mereka.”

“Ihh, mengerikan sekali. Kapan pembakaran itu akan dilaksanakan?”

“Sekarang juga, setelah lewat senja ini, untung aku sudah bebas tugas, karena tugasku hanya menjaga sampai sore ini, lalu diganti oleh petugas-petugas dari kota raja itu... eh, ada apa?” Komandan itu terkejut karena tiba-tiba berubahlah sikap wanita cantik itu. Tadi kelihatan begitu lemah ketakutan dan menderita nyeri, akan tetapi kini wajah yang manis itu kelihatan keras dan pandang matanya berkilat.

Akan tetapi wanita cantik yang bukan lain adalah Sun Eng itu kini sudah meloncat turun dari pembaringan. Ketika komandan Ciok itu mengulurkan tangan hendak meraih, tiba-tiba Sun Eng menampar dengan tangan kirinya dengan kecepatan seperti kilat menyambar. Komandan Ciok menjerit satu kali dan roboh dengan kepala retak-retak dan tewas seketika!

Dengan jantung berdebar tegang penuh kegelisahan mendengar berita itu, Sun Eng lalu berlari secepatnya menuju
ke penjara. Senja telah mendatang dan cuaca mulai gelap. Dia khawatir kalau-kalau datangnya terlambat, maka dia mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat.

Sementara itu, di luar dan dalam penjara terjadi kesibukan-kesibukan ketika Kim Hong Liu-nio sendiri bersama Lee Siang menyusun pasukan untuk menjaga dan mengeroyok empat orang pendekar yang hendak dibunuh itu. Juga Hek-hiat Mo-li bersama tiga belas orang pembantunya telah siap di pintu depan. Lampu-1ampu sengaja belum dipasang oleh para penjaga sehingga keadaan di situ mulai gelap dan remang-remang. Para penjaga telah diganti dengan tenaga-tenaga baru yang pilihan.

Tiba-tiba di dalam kegelapan yang mulai menyelimuti bumi itu terdengar teriakan melengking, teriakan seorang wanita dengan suara yang dikeluarkan melalui tenaga khi-kang sehingga terdengar menembus cuaca remang-remang itu.

“Suhuuuu...! Suboooo...! Keluarlah cepat, penjara hendak dibakar! Suhu dan subo terjebak oleh musuh!”

Dan dari pintu depan penjara itu, muncul seorang wanita yang bukan lain adalah Sun Eng. Para penjaga menjadi gempar dan cepat mereka menerjang dan mengurung, akan tetapi dengan Siang-tok-swa, pasir beracun harum yang digenggamnya, Sun Eng menyambut mereka sehingga dua orang penjaga memekik dan roboh menutupi muka mereka. Berbareng dengan itu, Sun Eng sudah mengelebatkan pedangnya dan roboh pula dua orang penjaga lain. Keadaan menjadi makin geger, dan kini para penjaga mengurung rapat, belasan batang senjata ditujukan ke arah bayangan wanita yang mengamuk itu. Namun Sun Eng tidak menjadi gentar, pedangnya digerakkan dengan dahsyat dan yang nampak hanya sinarnya saja bergulung-gulung. Akhirnya, empat
orang pengeroyok kehilangan senjata mereka, ada yang patah, ada pula yang terlempar entah ke mana!

“Suhuuu! Subooo! Keluarlah sebelum terlambat!” teriak lagi Sun Eng sambil mengamuk dan amukannya membuat para pengeroyoknya menjadi gentar juga. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio menjadi marah.

“Dari mana datangnya bocah yang bosan hidup?” bentaknya dan dengan gerakan yang dahsyat dan cepat sekali murid Hek-hiat Mo-li ini sudah meloncat dan menyerang Sun Eng dengan tangan kirinya. Sebelum tangan kiri mengenai sasaran, telah menyambar hawa panas dan terdengar suara berkerincingnya gelang-gelang emas di pergelangan tangan itu.

Sun Eng terkejut menyaksikan serangan yang dia tahu amat ampuh ini, maka cepat ia mengelebatkan pedangnya menangkis ke arah pergelangan tangan yang bergelang itu untuk membacoknya buntung.

“Trikkk!” Sun Eng terkejut bukan main karena wanita cantik yang berpakaian indah itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika tangan itu bertemu dengan pedangnya, mucrat bunga api dan telapak tangannya terasa panas! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan tangguh yang tangannya terlindung benda kebal, maka dia sudah memutar pedangnya dah mengirim serangan bertubi-tubi ke arah lawan yang lihai itu.

Namun, dengan lincah dan ringannya, Kim Hong Liu-nio mengelak dan kadang-kadang menangkis dengan tangannya yang terlindung oleh sarung tangan tipis itu.

“Suhuuu! Subooo! Lekas keluar...!”

Akan tetapi Sun Eng menahan teriakannya karena pada saat itu ada sinar merah menyambar ke arah matanya. Dia cepat mengelak mundur dan mengelebatkan pedangnya, namun sinar merah itu tidak takut pada pedangnya dan ternyata itu adalah sehelai sabuk merah yang kini langsung menotok ke arah lehernya. Dia terkejut, miringkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya kena tertotok ujung sabuk yang biarpun kehilangan sasaran leher, namun masih amat kuat sehingga Sun Eng terhuyung ke belakang.

“Cepppp!” Pada saat itu, dari belakang menyambar tusukan tombak dan serangan ini yang dilakukan selagi tubuh Sun Eng terhuyung tak dapat ditangkis atau ditolak oleh dara itu yang hanya mampu membuang diri ke samping sehingga tetap saja belakang pundak kirinya tertusuk tombak. Darah mengucur keluar dan Sun Eng menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat, memutar pedang dan mengamuk. Akan tetapi sinar merah dari sabuk di tangan Kim Hong Liu-nio menahan semua gerakannya, membuatnya tidak berdaya dan kembali dia yang kini terdesak dan terkurung oleh para penjaga yang mendapat hati kembali melihat betapa Kim Hong Liu-nio dapat menguasai amukan wanita muda itu.



Betapapun lihainya Sun Eng yang telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, akan tetapi karena memang tingkatnya kalah tinggi oleh Kim Hong Liu-nio, apalagi karena dia sudah terluka dan dikeroyok oleh banyak penjaga, akhirnya kembali gadis itu terluka oleh bacokan golok yang merobek celana dan kulit paha kanannya, membuat gerakannya makin kacau dan pakaiannya penuh dengan darah. Namun, seperti singa betina dia mengamuk terus dan setiap ada kesempatan, tentu dia meneriaki suhu dan subonya untuk segera melarikan diri!

“Perempuan sial!” Kim Hong Liu-nio marah karena dia khawatir kalau-kalau empat orang tawanan itu benar-benar dapat meloloskan diri oleh teriakan-teriakan itu. Maka dia segera melengking nyaring dan tiba-tiba ada sinar api meluncur ke arah dahi Sun Eng. Itulah senjata rahasia berupa hio menyala yang amat hebat. Sun Eng terkejut dan membuang diri ke belakang, akan tetapi tiba-tiba kaki kirinya terlibat ujung sabuk merah dan di lain saat dia sudah roboh terjengkang karena sabuk itu ditarik oleh Kim Hong Liu-nio. Mellhat robohnya gadis ini, dua orang penjaga menubruk dengan golok mereka dan Sun Eng sudah tidak berdaya lagi untuk mengelak atau menangkis. Akan tetapi dia membuka mata lebar-lebar, menyambut maut dengan mata terbuka!

“Trang-trang...!” Pandang mata Sun Eng silau oleh berpijarnya bunga api dan dua orang penjaga itu bersama golok mereka terjengkang ke kanan kiri dan tubuhnya disambar orang yang memiliki tangan kiri kuat bukan main sehingga sekali tarik saja dia sudah bangkit berdiri kembali. Ketika dia melirik, ternyata yang menolongnya adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berwajah gagah. Pemuda itu bukan lain adalah Lie Seng!

Seperti kita ketahui, Lie Seng juga selalu membayangi keadaan ibunya, ayahnya dan dua orang paman dan bibinya itu, dan dia selalu mengamati keadaan penjara di mana keempat orang itu ditawan. Diapun terheran-heran melihat kesibukan para penjaga, tidak tahu apa yang akan terjadi. Ketika dia melihat ada wanita mengamuk dan dikeroyok, terutama ketika wanita itu berteriak-teriak menyebut suhu dan subo ke dalam, dia sama tidak mengerti dan tidak tahu siapa wanita itu, siapa pula yang disebut suhu dan subo. Tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa yang disebut suhu dan subo oleh wanita cantik itu adalah paman dan bibinya. Juga dia tidak tahu bahwa ayah tiri dan ibu kandungya tidak pernah mempunyai murid seperti ini, maka Lie Seng menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Akan tetapi dia merasa kagum akan kegagahan wanita itu dan baru setelah dia melihat gerakan wanita itu, dia terkejut. Dia mengenal dasar gerakan Thai-kek Sin-kun dalam langkah-langkah wanita itu dan hal ini berarti bahwa wanita ini memang masih ada hubungan perguruan dengan keluarganya! Maka melihat wanita itu terluka dan terancam bahaya maut, dia lalu meloncat turun tangan dan menolongnya, juga ingin tahu apa yang dimaksudkan oleh wanita itu ketika berteriak-teriak ke dalam.

Melihat munculnya seorang pemuda gagah perkasa yang sekali berkelebat dan sekali tangkis merobohkan dua orang pembantunya, Kim Hong Liu-nio menjadi marah bukan main.

“Tarr-tar-tar!” Tiga kali sinar merah sabuknya menyambar, melakukan totokan ke tiga jalan darah maut. Akan tetapi dengan tenangnya Lie Seng mengangkat lengan menangkis dan setiap kali ditangkis, sinar merah sabuk itu terpental, dan untuk yang terakhir kalinya hampir saja Lie Seng berhasil menangkap ujung sabuk, akan tetapi dengan sentakan halus ujung sabuk itu melejit dan terlepas lagi dari pegangan Lie Seng seperti seekor ular bernyawa saja! Keduanya menjadi terkejut dan maklum akan kelihaian masing-masing.

“Terima kasih, aku berhutang nyawa padamu!” kata Sun Eng dengan halus dan wanita ini sudah bangkit lagi dengan pedang di tangan, menyambut serbuan tiga orang pengeroyok dari samping. Lie Seng juga menggerakkan kaki dan tangan, merobohkan dua orang pengeroyok lain. Dua orang muda ini segera dikurung dan dikeroyok, akan tetapi Lie Seng menyambut mereka seenaknya dan masih sempat bertanya-tanya kepada wanita gagah yang ditolongnya itu.

“Siapa yang kausebut suhu dan subomu?”

“Cia Bun Houw dan Yap In Hong!”

Lie Seng terkejut. Kiranya wanita muda ini adalah murid paman bibinya! Dia sungguh merasa terheran-heran, akan tetapi karena dia tidak pernah mendengar tentang riwayat paman dan bibinya yang telah menghilang selama belasan tahun, maka diapun percaya akan hal ini.

“Apa artinya teriakanmu bahwa mereka terjebak dan tempat ini akan dibakar?”

“Memang mau dibakar. Lihat di sana itu mereka sudah mulai membakar. Celaka, lekas minta suhu dan subo keluar!” teriak Sun Eng.

Melihat ini, Lie Seng terkejut sekali. Benar saja, di sebelah kiri ruangan penjara di mana ibunya dan yang lain-lain dikurung itu mulai berkobar api yang amat besar, tanda bahwa api itu bukan sembarangan kebakaran, melainkan kebakaran yang diatur dan diberi bahan bakar dan minyak.

“Ibu...! Ayah...! Paman dan bibi...! Lekas keluar, ruangan itu dibakar orang!” Dia berteriak dan karena Lie Seng mengerahkan khi-kangnya, maka suaranya terdengar amat nyaring. Kini giliran Sun Eng yang kaget setengah mati mendengar bahwa pemuda ini masih keluarga dari empat orang pendekar yang ditawan, dan menyebut paman dan bibi kepada suhu dan subonya!

Sementara itu, di dalam ruangan penjara itu, Bun Houw dan In Hong sama sekali tidak memperdulikan teriakan-teriakan Sun Eng tadi. Bahkan ketika Yap Kun Liong menyatakan keheranan dan kecurigaannya, Bun Houw berkata, “Harap Liong-ko jangan menghiraukan anak durhaka itu.”

Ketika di luar terdengar ribut-ribut, empat orang pendekar ini hanya mendengarkan dan karena memang mereka tidak ingin memberontak, maka mereka diam saja. Biarpun ada golongan yang hendak menolong mereka lolos, mereka tidak akan mau meloloskan diri karena sebagai orang-orang gagah mereka hendak memperlihatkan kepada kaisar bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak seperti yang difitnahkan orang kepada mereka.

Akan tetapi, ketika mereka berempat mendengar suara Lie Seng itu, mereka terkejut sekali.

“Celaka, kita benar-benar terjebak. Jadi penangkapan ini benar-benar hanya tipuan belaka dari musuh-musuh yang menghendaki kematian kita!” kata Yap Kun Liong. “Hayo kita loloskan diri dan bantu Lie Seng yang agaknya terkepung!”

Mereka lalu mengerahkan sin-kang dan karena keempatnya adalah pendekar-pendekar sakti yang memiliki kepandaian tinggi, begitu mereka mengerahkan sin-kang dan menggerakkan kedua tangan, belenggu-belenggu di tangan mereka itu patah-patah semua dan terdengar suara pletak-pletok. Yap Kun Liong sedikit membantu isterinya karena di antara mereka berempat, hanya Cia Giok Keng yang tidak begitu kuat sin-kangnya. Setelah bebas dari belenggu, mereka berempat lalu menerjang pintu ruji baja itu dengan pengerahan tenaga. Karena pintu itu kuat bukan main, setelah empat kali menerjangnya, barulah pintu itu jebol.

“Awas senjata gelap!” Kun Liong berteriak dan mereka berempat cepat mengelak dan menangkis anak panah yang datang berhamburan seperti hujan. Mereka meloncat keluar dan melihat serombongan orang yang dipimpin Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Wanita cantik ini ternyata telah bergabung dengan subonya untuk membantu subonya membunuh empat orang musuh besar itu! Kini mengertilah empat orang pendekar itu mengapa mereka ditangkap. Kiranya semua itu adalah tipuan belaka dan di balik semua itu berdiri musuh besar mereka ini! Teringat mereka akan cerita dari mendiang Hwa-i Sin-kai dan mereka mengerti bahwa tentu fitnah ini dilaksanakan oleh Panglima Lee Siang yang tergila-gila kepada Kim Hong Liu-nio yang juga telah menjebak sampai tewasnya Tio Sun.

“Ah, kiranya engkau iblis betina yang mengatur semua ini!” In Hong berteriak marah ketika melihat musuh besarnya itu.

“Heh-heh-heh, senang sekali melihat kalian akan mampus semua di tanganku, heh-heh!” Hek-hiat Mo-li tertawa dan Kim Hong Liu-nio cepat mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Mongol. Tiga belas orang Mongol itu berbaris rapi dan menghadang sambil memasang kuda-kuda, tangan mereka memegang golok besar dan perisai. Sedangkan di belakang mereka masih berdiri puluhan orang perajurit yang dikerahkan oleh Panglima Lee untuk membantu kekasihnya.

Jelaslah bagi empat orang pendekar itu bahwa mereka tidak mungkin dapat lolos begitu saja dan jalan satu-satunya hanyalah membuka jalan berdarah. Di belakang mereka ruangan mulai terbakar, di depan mereka menjaga nenek iblis itu bersama muridnya dibantu begitu banyak perajurit.

Kembali Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba dan empat orang pendekar itu terpaksa harus bergerak cepat, mengelak dan menangkis karena kembali datang hujan anak panah. Kun Liong selalu melindungi isterinya, sedangkan Bun Houw dan In Hong tidak khawatir karena dengan Thian-te Sin-ciang mereka memperoleh kekebalan sehingga kedua lengan mereka berani menangkis anak-anak panah itu. Dan pada saat itu, Hek-hiat Mo-li, Kim Hong Liu-nio dan tiga belas orang Mongol itu sudah menerjang dengan hebatnya menyerang empat orang pendekar yang tidak bersenjata itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di mana empat orang pendekar itu mengamuk untuk menyelamatkan diri mereka.

Sementara itu, setelah Kim Hong Liu-nio kini membantu gurunya untuk menghadapi empat orang musuh mereka yang amat lihai, pimpinan para perajurit penjaga yang mengeroyok Lie Seng dan Sun Eng diambil alih oleh panglima Lee Siang sendiri. Panglima ini berteriak marah, “Kalian berani memberontak terhadap pasukan pemerintah? Hayo menyerah sebelum menerima hukuman berat!”

Akan tetapi Sun Eng yang juga marah sekali dan tidak memperdulikan luka-lukanya itu menerjangnya sambil berteriak, “Engkau hanya menggunakan nama pemerintah untuk menipu dan mencelakakan orang!” Pedang di tangan Sun Eng menusuk dengan cepat. Lee Siang menangkis dengan pedangnya, akan tetapi dengan putaran tangannya, begitu pedangnya tertangkis, wanita yang sudah luka-luka itu dapat meneruskan pedang yang tertangkis itu menjadi sabetan yang menyerempet pundak Lee Siang.

“Ahhh!” Lee Siang berteriak kesakitan dan bersama empat orang pengawalnya dia menubruk ke depan.

Lie Seng hendak melindungi Sun Eng, akan tetapi dia sendiri dikepung oleh banyak perajurit sehingga dia terpaksa mengamuk menggunakan kaki tangannya, melempar-lemparkan dan merobohkan banyak orang yang mengepungnya seperti serombongan semut.

Sebetulnya, tingkat kepandaian Sun Eng masih jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaiannya Lee Siang dan beberapa orang pengawalnya. Akan tetapi gadis ini sudah luka-luka dan banyak mengeluarkan darah maka gerakannya menjadi lemah dan tenaganya juga sudah banyak berkurang. Setelah dia berhasil membunuh dua orang pengeroyok pula, akhirnya dia terdesak hebat sekali. Lie Seng juga terkepung ketat dan sibuk menghadapi para pengeroyoknya. Melihat ini, Sun Eng segera berseru, “Taihiap, kau larilah cepat, biar aku mencegah mereka menghalagimu! Cepat sebelum terlambat!” Sun Eng mengerahkan tenaga terakhir untuk membuka jalan mendekati Lie Seng, tanpa memperdulikan luka baru di pangkal lengan kiri yang mengucurkan banyak darah. Melihat keadaan gadis itu yang pakaiannya telah berlepotan darah, bahkan dari luka-lukanya mengucur banyak darah dan mukanya pucat sekali, Lie Seng terkejut, kagum dan juga terharu.

“Kausuruh aku lari? Dan kau sendiri?” tanyanya sambil menendang roboh seorang pengeroyok.

“Aku...? Biarlah, aku girang dapat membalas budimu dan budi suhu serta subo! Kau larilah... selamat jalan...!” Sun Eng berkata dan karena bicara ini maka dia kurang waspada.

“Nona, awas...!” Lie Seng berteriak akan tetapi terlambat, tusukan pedang dari Lee Siang itu mengenai punggung Sun Eng. Gadis ini menggeliat miringkan tubuhnya, dan biarpun dengan jalan itu pedang lawan tidak menembus punggungnya, namun tetap saja punggungnya terluka parah dan dia roboh terguling.

“Keparat curang!” Lie Seng berteriak marah dan menjadi beringas, cepat menubruk ke depan dan melancarkan pukulan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah Lee Siang. Panglima ini mencoba untuk mengelak, namun dia kalah cepat dan pukulan itu menyambar pelipisnya. Terdengar suara keras karena kepala panglima ini retak-retak dan tubuhnya roboh ke atas tanah, tewas seketika! Lie Seng menyambar tubuh Sun Eng dan mengamuk, membuka jalan berdarah. Ketika dia melihat betapa empat orang pendekar dari dalam penjara sudah menerjang keluar, hatinya lega dan diapun lalu meloncat, merobohkan setiap orang penghalang, sambil memondong tubuh Sun Eng yang pingsan dan berlumuran darah itu, terus melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu. Dia merasa yakin bahwa orang-orang seperti ibunya, ayah tirinya, paman dan bibinya itu pasti akan dapat meloloskan diri dari kepungan musuh.

Dugaan Lie Seng memang tidak berlebihan. Tingkat ilmu kepandaian empat orang pendekar itu sudah tinggi sekali, terutama sekali Yap Kun Liong, Cia Bun Houw,dan Yap In Hong. Seorang demi seorang, ketiga belas orang Mongol yang diandalkan sebagai pembantu-pembantu Hek-hiat Mo-li sendiri bersama Kim Hong Liu-nio, terdesak mundur dan mundur terus, apalagi para pengawal penjaga, setiap kali empat orang pendekat itu bergerak, tentu ada yang terjungkal! Hal ini sama sekali tidak pernah dapat disangka oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, yang sudah merasa yakin akan dapat membunuh empat orang itu. Dan suasana menjadi geger ketika ruangan itu terbakar hebat. Akan tetapi, empat orang itu telah keluat dari ruangan dan kini mengamuk di depan penjara.

Terdengar jerit mengerikan dari mulut Kim Hong Liu-nio ketika dia melihat kekasihnya telah menggeletak tewas dengan kepala pecah! Dia menubruk kekasihhya dan menangis, tidak memperdulikan lagi kepada empat orang musuhnya. Mundurnya Kim Hong Liu-nio dari pertempuran ini membuat Hek-hiat Mo-li makin lemah dan akhirnya empat orang pendekar itu dapat meloloskan diri dari kepungan dan secepat kilat mereka lenyap dari tempat itu mempergunakan gin-kang dengan loncatan-loncatan jauh. Hek-hiat Mo-li menyumpah-nyumpah dan malam itu juga nenek ini pergi meninggalkan kota itu, kembali ke utara dengan wajah muram, diikuti muridnya yang menangis sepanjang jalan!

“Sudah, apa perlunya menangis lagi? Engkau kini sudah bukan perawan lagi, dan dia sudah mampus. Di dunia ini masih banyak laki-laki, mengapa kautangisi seorang laki-laki yang mampus?” Hek-hiat Mo-li membentak. Bentakan ini membuat Kim Hong Liu-nio menangis makin sedih sehingga gurunya menjadi makin marah dan meninggalkannya. Kim Hong Liu-nio mengikuti gurunya dengan terisak-isak, bersumpah dalam hati untuk mencari jalan membunuh keluarga pendekar yang telah menewaskan kekasihnya itu!

Dendam, sakit hati, kemarahan dan kebencian meracuni kehidupan manusia. Dari mana timbulnya dendam yang melahirkan kebencian ini? Dendam-mendendam hanya merupakan rangkaian akibat dari tindakan-tindakan kekerasan, permusuhan dan kebendan itu pasti selalu timbul karena pementingan diri sendiri, karena merasa bahwa kesenangan dirinya terganggu oleh orang atau golongan lain. Jadi jelaslah bahwa di mana ada pengagungan si aku, di sana pasti timbul tindakan kekerasan yang dianggap sebagai tindakan pembelaan si aku atau pengejaran cita-cita dan kesenangan untuk si aku. Mengejar kesenangan seperti yang dicita-citakan untuk diri sendiri tak dapat tidak menimbulkan tindakan kekerasan terhadap siapa saja yang dianggap merintangi tercapainya kesenangan yang dicita-citakan itu. Dan semua cita-cita adalah bayangan kesenangan yang diharapkan akan diperoleh, baik kesenangan untuk diri sendiri atau untuk keluargaNya, kelompokNya, bangsaNya dan lain-lain yang kesemuanya hanya merupakan perluasan dan pembesaran daripada si aku juga.

Dan bagaimana terjadinya si aku, baik dalam keadaan tipis maupun tebal, dalam batin kita? Si aku tercipta oleh pikiran yang menimbulkan pengalaman dan ingatan tentang yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, yang enak dan tidak enak. Pikiran mengenangkan pengalaman-pengalaman itu, membayangkan semua itu, sehingga timbullah keinginan untuk mengulang yang enak dan membuang yang tidak enak. Begitu pikiran bekerja mengenangkan itu semua, si akupun muncullah. Si aku sebagai pemikir, si aku sebagai yang ingin mengulang, si aku yang ingin menghindarkan yang tidak enak. Makin lama si aku ini makin menebal dan akhirnya manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri yang selalu ingin menikmati yang dianggapnya menyenangkan dan menjauhi yang dianggap tidak menyenangkan. Dan dalam pergulatan ini terjadilah konflik-konflik di dalam batin yang mencetus keluar menjadi konflik antara manusia karena masing-masing hendak memperebutkan kesenangan bagi dirinya sendiri, dan kalau perlu menyingkirkan orang lain yang menjadi penghalang, dengan kekerasan tentu saja!

Oleh karena kenyataan itu, maka timbullah pernyataan yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri, yaitu: Dapatkah kita terbebas dari pikiran yang selalu mengenangkan yang enak-enak dan yang tidak enak-enak sehingga tidak timbul si aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan dan karenanya menimbulkan konflik dan kekerasan? Pertanyaan ini penting sekali bagi kehidupan kita dan sudah selayaknya kalau diajukan oleh setiap orang manusia hidup kepada dirinya sendiri! Kalau sudah begitu, barulah hidup ini mempunyai arti, bukan hanya menjadi ajang kesengsaraan dan penderitaan yang timbul dari konfilk dan permusuhan setiap hari.

Melihat keadaan Sun Eng yang mandi darah, Lie Seng menjadi gelisah sekali. Dia melarikan Sun Eng yang pingsan itu jauh meninggalkan Po-teng dan memasuki daerah pegunungan yang sunyi, karena khawatir kalau-kalau ada pasukan yang mengejarnya, padahal dia membutuhkan tempat sunyi untuk dapat menolong gadis yang penuh luka. itu. Fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia menghentikan larinya dan dia berada di atas puncak bukit yang lengang, di padang rumput yang luas dengan pohon-pohon tua di sana-sini. Sinar matahari pagi menyinari wajah cantik manis yang pucat itu. Lie Seng cepat menurunkan tubuh itu ke atas tanah bertilamkan rumput hijau di bawah pohon besar, lalu memeriksa keadaan gadis itu. Tubuhnya penuh luka, di punggung, pundak dan paha. Cepat Lie Seng menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah yang masih menetes-netes. Kemudian dia pergi mencari sumber air yang bening, mengambil air dengan daun dan mencuci luka-luka yang parah itu, terutama di paha dan punggung. Untuk ini terpaksa dia merobek celana di bagian paha dan baju di punggung. Dia tidak lagi ingat bahwa matanya melihat kulit paha yang putih mulus dan kulit punggung yang halus, melainkan sibuk mencuci luka itu penuh perhatian. Untung bahwa luka-luka itu diakibatkan senjata yang tidak beracun, pikirnya. Dengan mencuci bagian-bagian terluka itu, tentu saja jari-jari tangannya menyentuh dan mengusap kulit halus mulus itu, namun hal ini sama sekali tidak disadari olehnya.

Memang demikianlah! Selama pikiran tidak mengenang dan membayangkan apa-apa, selama pikiran kosong tidak sibuk dengan ingatan-ingatan masa lalu, dengan bayangan-bayangan kenikmatan dan kesenangan, maka segala sesuatu adalah bersih dan wajar. Biarpun kita melihat manusia dengan kelamin lain dalam keadaan telanjang bulat umpamanya, kalau pikiran ini tidak diisi dengan bayangan-bayangan kotor, maka keadaan telanjang dari manusia lain itu sama sekali tidak menimbulkan apa-apa, seperti kalau kini melihat ketelanjangan seekor kucing saja. Akan tetapi, begitu pikiran kita terisi oleh bayangan-bayangan yang muncul dari kenangan, bayangan-bayangan yang dianggap menyenangkan, mendatangkan nikmat, maka mulailah nafsu bangkit, baik itu merupakan nafsu berahi, nafsu amarah, dan segala macam nafsu lagi. Jelas bahwa nafsu-nafsu itu diciptakan oleh pikiran yang mengenangkan segala yang enak-enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan sebaliknya. Jadi pikiran yang mengingat-ingat inilah sumber segala konflik batin yang akhirnya pasti akan tercetus keluar dan menjadi konflik lahir antara manusia.

Sun Eng mengeluh lirih kemudian merintih. Barulah lega hati Lie Seng karena hal ini menandakan bahwa dia telah berhasil menyelamatkan dara itu. Setelah menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan membalutnya, dia lalu mengangkat tubuh baglan atas dari Sun Eng dengan memangkunya dan memberinya minum air jernih.

“Aaahhh...!” Kembali Sun Eng mengeluh setelah minum beberapa teguk air dan dia membuka matanya. Melihat betapa dia dipangku oleh seorang pemuda tampan dan gagah, sepasang mata yang jeli itu terbelalak, akan tetapi dia segera teringat bahwa pemuda ini adalah pemuda perkasa yang telah membantunya menghadapi pengeroyokan pasukan ketika dia berusaha menyelamatkan suhu dan subonya. Sungguh aneh sekali. Mengapa pemuda ini memangkunya dan memandangnya demikian mesra?

“Apakah... apakah aku sudah mati?” dia bertanya dengan suara berbisik karena merasa tegang dan takut. Membayangkan bahwa dia sudah mati dalam usia semuda itu, hatinya merasa ngeri.

Sejak tadi, setelah berhasil mengobati dara itu sehingga siuman, Lie Seng mulai memperhatikan wajah gadis yang dipangkunya itu dan dia terpesona. Bagi dia, wajah itu sedemikian cantik jelitanya, sedemikian lembut dan mendatangkan perasaan iba dan suka. Rasanya belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis seperti ini, apalagi tadi dia melihat betapa gadis ini telah berusaha menyelamatkan keluarganya, dengan taruhan nyawa. Hal ini saja sudah membuat dia merasa herhutang budi, kagum dan suka. Dia seperti tenggelam ketika memandangi wajah dari gadis yang dirangkunya itu, maka ketika melihat mata dan bibir yang manis itu mengajukan pertanyaan seperti itu, dia tersenyum. Hatinya girang karena dia yakin bahwa gadis itu akan selamat.

“Jangan khawatir nona. Engkau telah terhindar dari bahaya dan luka-lukamu tentu akan sembuh.”

“Luka-luka...?” Sun Eng seperti baru teringat dan merasa terkejut. Tadi dia tidak merasa apa-apa, hanya lemas dan terasa demikian nikmat rebah di atas pangkuan pemuda itu yang merangkul pundak dan menyangga tubuhnya. Kini, diingatkan akan luka-luka, tiba-tiba dia tersentak dan ingin duduk, akan tetapi terasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali punggungnya. “Aduhhhh... punggungku...” Dia menggeliat.

Lie Seng cepat membantunya duduk. “Maaf, aku... aku lupa dan menyentuh punggungmu yang terluka. Sebaiknya engkau duduk di atas rumput ini. Nah, begitu lebih enak, bukan? Engkau menderita banyak luka, nona, terutama yang agak parah adalah luka-luka di paha, pundak dan punggung.”

Sun Eng meraba paha dan pundaknya, melihat betapa pakaiannya di bagian luka-luka itu robek dan lukanya telah diobati dan dibalut. Dia mengangkat muka memandang pemuda yang duduk di depannya itu dan tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, jantungnya berdebar tegang.

“Kau... kau yang mengobati luka-lukaku...?” tanyanya dan sepasang matanya memandang penuh selidik.

Lie Seng mengangguk. “Bisa berbahaya kalau tidak cepat dicuci dan diobati. Maafkan aku yang telah lancang...”

“Maafkan? Ahh, engkau telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, mengobatiku dan masih minta maaf? Engkau tentu seorang sagah perkasa yang sakti maka engkau dapat menyelamatkan aku dari kepungan begitu banyak lawan tangguh. Taihiap, aku berhutang nyawa padamu. Siapakah engkau?”

“Aku she Lie, bernama Seng. Engkau tidak perlu bersikap sungkan karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid dari Paman Cia Bun Houw. Dia adalah pamanku, karena dia adik kandung ibuku yang juga ikut tertawan bersama paman dan bibi. Maka, kalau engkau murid mereka, berarti kita masih ada hubungan dan bukan orang lain.”

“Ahhh...!” Sun Eng terbelalak dan wajahnya agak berubah, tidak lagi merah seperti tadi, melainkan agak kepucatan.

“Mengapa? Apakah luka-luka itu amat menyiksamu...?” Lie Scng mendekat dan pandang matanya penuh iba.

Melihat ini, Sun Eng menggeleng kepala menunduk dan memejamkan matanya, berusaha mengusir perasaan nyeri yang menikam hatinya. Teringat dia betapa suhu dan subonya amat membencinya, bahkan tidak sudi ketika dia berusaha menolong mereka. Dan pemuda perkasa yang telah menyelamatkan nyawanya ini, adalah keponakan suhunya! Dan hubungan antara dia dan kedua gurunya telah putus, kelak pemuda ini tentu akan mendengar tentang dia, suhu dan subonya tentu akan bercerita banyak tentang dia! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di jantungnya, serasa tertusuk pedang berkarat. Dan takkan ada harganya lagi dalam pandang mata pemuda ini. Pandang mata yang kini demikian penuh dengan kehalusan, iba dan mesra, tentu akan berubah menjadi jijik, marah dan benci.

Lie Seng memandang dengan alis berkerut, penuh dengan perasaan iba. Ingin dia menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu penanggungan rasa nyeri dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh paha dan punggung dara itu!

“Nona... eh, siapakah namamu?”

“Aku she Sun, namaku Eng.”

“Namamu bagus sekali. Sungguh aku merasa heran mengapa aku tidak pernah mendengar namamu dari paman dan bibi, nona Sun Eng...”

“Lie-taihiap, kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan dan menyebutku nona?”

“Engkaupun menyebutku taihiap (pendekar besar)...”

“Engkau memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut lain? Akan tetapi aku...”

“Engkau seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan berbakti sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi, juga untuk ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan.”

“Ahhh... jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan pendekar sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?”

Lie Seng mengangguk.

“Jadi engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang terkenal itu?”

Kembali Lie Seng mengangguk.

“Ah, dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ah, dan aku tentu lebih tua darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun...” Sun Eng seperti mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.

“Kita sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu.”

“Nah, apa kataku? Aku lebih tua, sepatutnya menyebutku cici kepadaku.”

Melihat wajah yang cantik itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng tersenyum, bangkit berdiri dan menjura. “Baiklah, cici Sun Eng. Mulai sekarang aku menyebutmu cici yang baik, dan aku...”

“Engkau tetap Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang amat besar dan agung, sebaliknya aku...”

“Engkau seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan dirimu. Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat bertemu kelak.”

“AH, jangan...!” Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biarpun dia harus menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas. “Jangan tegur mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap, engkau tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan aku sekarang juga, taihiap...” Dan wanita itu tak dapat menahan kedukaan hatinya lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa bencinya suhu dan subonya kepadanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang wanita yang sudah rusak akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan dengan seorang pemuda seperti Lie Seng ini, pemuda yang amat menarik hatinya, yang amat mengagumkan hatinya.

“Eh, cici Sun Eng... kenapa engkau? Apa artinya semua ucapanmu itu?” Lie Seng tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

“Tidak perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak berharga... kau pEngilah, tinggalkan aku seorang diri...”

Melihat dara itu menangis mengguguk dan berdiri dengan kedua tangan menyembunyikan mukanya, pundaknya tEnguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua lengan dara itu.

“Enci Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini...? Aku tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka seperti ini.”

“Kalau begitu... biarlah aku... aku yang pEngi, taihiap.” Dara itu lalu membalikkan tububnya dan mencoba untuk meloncat pEngi. Akan tetapi dia mengaduh dan tEnguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk lari lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau tidak cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.

“Enci Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau sengaja hendak menghancurkan hatiku? Apakah salahku maka engkau hendak pEngi begitu saja?”

Gadis itu menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda itu. Setelah dia dapat menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu, merighapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata, “Ah, engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk berkenalan atau bercakap-cakap denganmu sekalipun...”

“Siapa bilang demikian? Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani mengatakan demikian kepadamu!” Lie Seng mengepal tinju, penasaran. “Aku kasihan kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku? Dan mengapa?”

“Engkau tidak tahu, taihiap... ah, lebih baik kita berpisah seperti ini, sekarang sebelum engkaupun membenciku.
Aku... aku takkan dapat tahan lagi. Semua orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku, aku lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum engkau membenciku pula.”

“Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apapun yang terjadi denganmu, aku tidak mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau? Aku cinta padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!” Pemuda itu berkata penuh semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis ini.

Ucapan pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget dan meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan. Akan tetapi Lie Seng tidak mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan membiarkan kepalanya didekap pada dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian dahinya dan tiba-tiba dia meronta.

“Tidak... tidak pantas itu...!” Dia meronta sekuatnya dan Lie Seng melepaskan pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.

“Maaf... kaumaafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri dan berlaku tidak sopan padamu, maafkan aku.”

“Bukan itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan tidak pantaslah bagiku untuk menerima cintamu, untuk kauperlakukan sebaik ini. Aku tidak pantas kaucinta, aku... aku...”

“Jangan berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta padamu, mengapa tidak pantas? Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!” Pemuda itu nampak terkejut. “Apakah... aku hendak maksudkan bahwa engkau telah... bersuami?” Tentu saja ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi pucat seketika. Gadis itu bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukan seorang gadis yang masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami! Celaka kalau begitu! Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak patut!

Akan tetapi hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya. “Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak kaudengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku, taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan kuat mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan selalu ingat bahwa betapapun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia masih ada orang yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap...”

“Sun Eng...!” Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia telah merangkul gadis itu. “Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Ceritakanlah kepadaku semuanya, dan jangan takut!”

“Tidak... tidak mungkin... engkau akan membenciku...!”

“Enci Eng, kauanggap aku ini orang apakah? Aku cinta padamu karena engkau, karena keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimanapun tentang dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kauderita ini.”

Beberapa lama Sun Eng memejamkan mata dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia menarik napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu. “Baiklah, memang agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap. Biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir dalam hidupku, tEngantung dari anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk, siap menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku kalau engkaupun membenciku. Nah, kaudengarkan baik-baik, taihiap.” Dara itu dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di depannya. Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra dan lembut karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang amat pahit.

Sun Eng menarik napas panjang berulang kali, agaknya untuk mencari kekuatan dari hawa udara sejuk yang disedotnya. Dia mengambil keputusan untuk menceritakan segala-segalanya tentang dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia tidak ingin kelak pemuda yang mengagumkan hatinya ini akan menemukan sesuatu yang belum diceritakannya. Pendeknya dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang luar biasa ini, tanpa mempunyai rahasia sedikitpun juga. Tinggal terserah kepada pemuda itu, apakah cintanya masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci setelah mendengar ceritanya. Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak akan menyalahkan Lie Seng, sungguhpun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup menghadapi pukulan batin ini.

“Lie-taihiap, mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek, berjuluk Kiam-mo dan dia dulu sebagai seorang perampok besar, kemudian sampai dia meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah rumah perjudian di kota Kiang-shi.” Dara itu berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu setelah terus terang menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu. Akan tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung kesungguhan dan penuh pengertian, dan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang dan kemesraan yang ditujukan kepadanya, membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan jantungnya berdegup kencang.

“Mendiang ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika beliau masih muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah membantunya mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama ayah, maka ayahku itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu.”

“Hemm, ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia,” Lie Seng memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di hati Sun Eng akan tetapi bahkan memberatkan perasaannya karena dia harus menceritakan keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat bangga!

“Sebelum meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak suhu suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pEngi merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang seperti anak mereka sendiri.” Kembali dara itu berhenti dan menarik napas panjang, wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka sekali.

Lie Seng mengargguk-angguk. “Sudah sepatutnya itu karena engkau adalah seorang anak dan murid yang amat baik dan berbakti.”

“Jauh daripada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia kurang lebih delapan belas tahun... suhu dan subo mengusirku dan tidak mau lagi mau mengaku sebagai murid...”

Ucapan ini benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Dia menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa...? Mengapa begitu? Apa yang terjadi...?”

Sun Eng menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan takut. Ya, dia amat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu? Beranikah dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya ini, memperlihatkan segala kebusukannya? Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh pria hebat ini? Tidak ada jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan taruhan nyawa! Akan tetapi tetap saja dia tidak kuasa untuk mengangkat muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia melanjutkan ceritanya.

“Aku... aku telah jatuh cinta kepada suhu!”

“Ahhh...!” Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki wajah yang menunduk.

“Ya, aku telah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhuku sendiri! Ah, mau aku rasanya mati kalau mengingat itu semua. Kaudengar baik-baik, taihiap. Pada suatu malam aku memasuki kamar suhu di mana suhu yang gagah perkasa dan budiman itu tentu saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus saja kepada muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!”

Hening sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk, tidak berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bEngerak, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya. Dan Lie Seng duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tidak merasa marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.

Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang lain sehingga dia tidak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat tetap selalu, melainkan berubah setiap saat. Orang yang melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit itu tidak selamanya sakit, tentu bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu. Oleh karena itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang terjeblos dalam lumpur! Setiap orangpun tentu akan melihat pada dirinya sendiri bahwa diapun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walaupun pada suatu waktu dia bEngelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau waspada membuka mata, memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka mata hatinya dan akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam kehidupan ini.

Lie Seng membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung. Terlalu hebat berita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan yang dicintanya itu.

“Taihiap...” Terdengar suara Sun Eng yang kini sudah memandang kepadanya dengan sinar mata penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia tahu atau menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali mendengar akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. “Taihiap, sudah kukatakan bahwa aku tidak berharga...”

Lie Seng menggeleng kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih lembut dan penuh kasih mesra. “Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga? Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya hal itu? Seorang seperti dia tentu dengan mudah akan menjatuhkan hati gadis yang manapun juga, maka kalau engkau jatuh cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan.”

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ah, untuk itu saja, untuk kata-kata itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki pria ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak menyalahkannya, bahkan menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal pria ini menyatakan cinta kepadanya! Akan tetapi, rasa bahagia ini segera berubah menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia masih harus menceritakan terus, dan makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan itu tEnganti oleh malapetaka melihat pria ini nanti membencinya, muak kepadanya setelah mendengarkan semua penuturannya. Ah, betapa ingin dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau kalau bumi di depan kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah daripada harus menceritakan kesemuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat jalan lain baginya.

Lie Seng tidak tega menyaksikan gadis itu seperti tersiksa, seperti cacing terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam batin dara itu terjadi pertentangan hebat.

“Enci Eng, sudahlah. Kalau engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, akupun tidak ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapapun juga, pandanganku terhadap dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu.”

Mendengar ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes dari sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa agungnya. Pria seperti ini boleh dia agungkan, boleh dia sembah-sembah dan boleh dipakai untuk menyandarkan dirinya selama hidup! Akan tetapi dia ragu-ragu. Lie Seng belum mendengar semuanya dan kalau sudah mendengar semuanya tentu akan berbalik muka. Akan tetapi lebih baik begitu daripada kelak terjadi hal yang sama. Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang dia sudah merasa bersalah.

“Dengarkan, taihiap, dengarkan baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan tetapi hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo marah dan membenciku, maka aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di dunia ini. Setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke luar... aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda laknat...” Melihat muka yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan sekali. Dia memang sudah menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini tentu gelap dan penuh kepahitan.

“Sudahlah, enci Eng...”

Akan tetapi, karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah, Sun Eng ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu. “Pemuda itu menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka mengenal pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita hanya merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan melampiaskan nafsu-nafau berahinya...”

“Cukup, enci Eng...”

“Akan tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu...”

Lie Seng menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya membayangkan semua peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang dicintanya ini dan dia tidak ingin mendengar lagi. Akan tetapi Sun Eng sudah merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata, dan mata itu bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut, menantang kiamat.

“Benar seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan diriku. Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat itu!”

“Sun Eng...” Lie Seng mengeluh.

“Dan setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau, pindah dari pelukan satu kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan cinta kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun, yang kutemui hanya pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuhku belaka, hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang mereka...”

“Cukup...!” Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Mengerikan sekali wajahnya, pucat dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita kenyerian hebat.

Lemah lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya. Kini dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah kepada Lie Seng. “Perempuan macam ini engkau cinta? Ah, taihiap, sudah kukatakan aku tidak berharga, aku tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang sudah kaudengar semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau mengakui muridnya ini, bahkan tidak sudi menerima ketika aku datang hendak menolong mereka. Dan kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga memukulku, taihiap. Aku akan rela dan puas mati di tanganmu...”

Sejenak Lie Seng berdiri seperti patung, tegak dan tidak bEngerak, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri sendiri memeriksa hatinya sendiri. Heran! Dia memang menyesal sekali, berduka sekali, akan tetapi dia makin kasihan kepada wanita ini, makin mencintanya! Dia merasa berkewajiban untuk melindunginya, untuk menghiburnya, untuk membantunya melupakan semua peristiwa yang pahit itu! Cinta memang aneh sekali! Akan tetapi, barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau di situ tidak ternoda oleh cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tidak mengenal baik buruk, cinta bukanlah sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan bersih-bersih. Cinta adalah cinta, di atas baik buruk!

Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bEngerak, tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.

Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan diapun hanya merintih dan merasa seperti tenggelam dalam lautan yang tak berdasar ketika merasa betapa pemuda itu menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.

“Sun Eng... aku cinta padamu... apapun yang terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu...”

Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan cinta. Namun, sekali ini, dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya gemetar, setengah pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum tahu apa-apa!

Terasa olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar di antara mereka, perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan melepaskan diri.

“Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!” Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.

“Aku cinta padamu, enci Eng...”

“Demi Tuhan, terkutuklah aku kalau tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku percaya dan engkau telah mengangkatku dari jurang maut, engkau telah mendatangkan cahaya terang dalam hidupku yahg gelap gulita. Dan demi Langit dan Bumi, akupun cinta padamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu berahi... aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta kasih yang murni dan hanya mendapatkan cinta nafsu. Sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu berahi. Taihiap, berilah waktu kepadaku, kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi akupun tidak ingin engkau tEngesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau telah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan jangan memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir sampai masak benar untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati daripada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, biarlah kita berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat ini, dan kita akan sama-sama melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di antara kita. Nah, jangan bantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini...” Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda itu!

Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati di saat itu. Akan tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng. Hampir dia mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi diapun harus mengingat perasaan gadis itu. Apakah gadis itu ragu-ragu akan cintanya? Apakah gadis itu tidak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri? Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?

“Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!” Dia berteriak ke arah bayangan gadis yang sudah pergi jauh itu. Dia tidak mendengar jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.

Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian dia menghampiri sebatang pohon besar dan menggunakan jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.


Bertemu dan berpisah bagai mimpi
Lie dan Sun membuat janji suci
akan bertemu di awal musim semi!




Setelah puas dengan coret-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya, paman dan bibinya. Akan tetapi biarpun dia percaya bahwa mereka tentu dapat lolos, ada kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang dugaan ini tepat. Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biarpun istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula mengapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan, namun pembunuhan terhadap panglima itu dan perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan tewasnya banyak pengawal, cukup menggegerkan. Apalagi Kim Hong Liu-nio yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar empat “pemberontak” yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan dan pengejaran pemerintah!



Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok yang memisahkan Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Tembok itu merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia, selain amat kokoh kuat, tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu.

Daerah seperti itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi gerombolan-gerombolan jahat. Dan di antara gerombolan-gerombolan penjahat di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besarg adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani menggunakan julukan Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Pek-lian-kauw yang terkenal. Akan tetapi semenjak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya dan perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tidak cepat-cepat melarikan diri.

Akan tetapi semenjak itu, Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan kini dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga. Bouw Song Khi ini berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, dan seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, sungguhpun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suhengnya itu.

Karena Jeng-hwa-pang merupakan perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk. Kini, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil pemungutan “pajak jalan” dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup, belum lagi sumbangan-sumbangan paksa dari para penghuni di luar tembok besar atau dari rombongan yang lewat.

Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suhengnya itu, karena suhengnya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak untuk dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya tinggal di tempat itu menjaga keamanan Jeng-hwa-pang dan kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya.

Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal di luar tembok besar dahulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi semacam penyakit sehingga kini persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau melayaninya itu mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa! Sungguh keji sekali penyakit macam ini! Orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejat moralnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan dan kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suhengnya kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah dan pada suatu malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini sudah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di situ, setelah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikitpun karena telah ditotoknya, kemudian gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.

Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sutenya, sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan dusun itu hanya merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya sebagai hal remeh.

Demikianlah, tanpa ada gangguan apapun Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lalu membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk melayaninya makan minum dengan gembira. Biarpun dia telah memerintahkan beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut maka dia mau duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya.

Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya diapun akan merasa jemu karena biarpun gadis itu manis, namun dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan oleh suhengnya di tempat itu untuknya wanita-wanita yang berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh. Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya! Maka dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya.

Pada saat Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, dua orang muda nampak memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang itu. Dua orang pemuda yang berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya, seolah-olah mereka itu tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han How, dan Sin Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang yang telah berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringkan seorangpun pengawal. Setelah di luar daerah yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki dan akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan tenang.

Tentu saja kedatangan dua orang muda ini segera ketahuan dan gegerlah Jeng-hwa-pang. Dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggauta Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka meliwati pintu gerbang. Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang. Namun, para anggauta Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa yang datang itu hanya dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya walaupun mereka telah dikurung banyak orang.

“Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah kalian sudah bosan hidup?” bentak seorang di antara mereka.

Marahlah Han Houw mendengar ini. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, diapun seorang pangeran yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-manapun dia dihormati. Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang dan dengan suara lantang dia berkata.

“Huh, kalian ini tikus-tikus busuk kecil tidak berharga bicara dengan kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!”

Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anggauta Jeng-hwa-pang menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal, yang terkenal pemarah dan terkenal pula memiliki tenaga besar seperti kerbau, melangkah ke depan, menghampiri Ceng Han Houw dan membentak. “Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!” Dia sudah mengulurkan tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw!

Pemuda ini berdiri tegak, sedikitpun tidak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba si kumis tebal itu memekik keras dan roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah. Anak panah itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk menyerangnya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang amat berbahaya, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.

Semua anggauta Jeng-hwa-pang terbelalak, apalagi ketika mengenal anak panah itu. Anak panah itu adalah anak panah Jeng-hwa-pang yang hanya dipergunakan oleh orang-orang yang sudah memiliki kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda ini mempergunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara mereka!

“Siapa dia...?”

“Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!”

Ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang turun tangan karena selain kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga anak panah itu membuat mereka ragu-ragu.

“Lekas suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh anak panah ini!” Han Houw kembali membentak, suaranya nyaring sekali dan penuh wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini nampak jerih menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu lemah lembut!

“Pemuda sombong, aku telah berada di sini!” Tiba-tiba terdengar suara keren dan semua anggauta Jeng-hwa-pang merasa lega, lalu bersibak dan memberi jalan masuk kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh seorang anggauta Jeng-hwa-pang. Secara terpaksa dan penasaran, marah kepada si pengganggu, terpaksa
Bouw Song Khi meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu karena dia belum habis makan minum ketika dipanggil oleh suhengnya untuk diajak menanggulangi pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang. Ketika dua orang tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua orang pemuda remaja, tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran sekali, apalagi melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan tewas.

Han Houw dan Sin Liong cepat membalikkan tubuh memandang. Sin Liong segera mengenal laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dia pernah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini, ketika dia dilempar ke dalam lubang ular! Akan tetapi begitu dia melihat kakek berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua Jeng-hwa-pang itu dia terkejut dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang di antara para calon pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di selatan! Dia mengenal Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan atau sahabat dari Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri belum pernah bentrok dengan orang ini, dia dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal ini lihai sekali.

Juga Si Maling Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah menggegerkan pemilihan bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah berubah. Apalagi diapun mengenal Ceng Han Houw, utusan kaisar yang amat ditaati oleh Lam-hai Sam-lo dan biarpun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan pemuda bangsawan itu, namun diapun sudah merasa jerih.

Tidak demikian halnya dengan suhengnya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa kepada dua orang pemuda remaja itu, biarpun keduanya pernah dia jumpai. Melihat betapa seorang anggautanya tewas, dia sudah marah sekali.

“Siapakah kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggauta kami?” bentaknya sambil melangkah maju.

Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu. “Gak Song Kam, buka matamu yang lamur itu lebar-lebar! Aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau? Dan buka matamu, lihat anak panah siapa ini? Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus dan ini, anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, harus kautukar dengan kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini?” Han Houw menoleh kepada Sin Liong.

“Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam lubang ular itu, pangcu!” kata Sin Liong.

Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu makin merah. Kini Gak Song Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak. “Pasukan Api, maju!” teriaknya.

Tiba-tiba nampak sinar terang dan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, namun bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat apinya besar sehingga apinya berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat dipergunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek. Cara mereka memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu, makin lama makin menyempit dan mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan teratur pula dan berbareng sehingga nampak indah karena mereka itu seolah-olah sedang mainkan tari obor.

“Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!” kata Sin Liong yang dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.

Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu betapa lihainya Sin Liong, maka diapun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia mundur dan berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara angkatnya bilamana keadaan memerlukannya.

Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membuat pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang malam gelap, nampak cahaya-cahaya dua belas obor itu saling berkejaran dan asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api obor.

“Sam-kak-tin...!” terdengar seorang di antara mereka membentak. Dengan teratur sekali dua belas orang itu bergerak dan terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi!

Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu amat teratur, dilakukan secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang, dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan mata, seolah-olah ada lautan api bergelombang hendak menelan Sin Liong!

Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi bagaikan seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya dan pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut. Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali. Dengan penuh kewaspadaan dia menghadapi semua serangan itu dan cepat mempergunakan gerakan ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari kakeknya, maka Sin Liong dapat menghindarkan diri dari setiap sambaran sinar api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuahpun obor mengenai tubuhnya!

Gak Song Kam dan sutenya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam merasa panasaran sekali.

“Ngo-heng-tin...!” Dia berseru nyaring dan dua belas orang itu bergerak otomatis, empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung dan membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang berjumlah sepuluh orang dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan.

Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng dan merupakan kerja sama yang amat baik dan rapi.

“Ehhh...?” Sin Liong terkejut sekali karena biarpun dia masih mempergunakan langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor sampai terhuyung ke belakang. Maklum akan kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Di antara kepungan obor-obor itu yang menyambar-nyambar, dia berloncatan dan kini mengerahkan gin-kang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang mainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat.

Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Biarpun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.

“Pat-kwa-tin...!” Gak Song Kam berteriak marah. Kini pasukan itu membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) dan menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya siap menggantikan anggauta pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai daripada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!

“Celaka...!” pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar. Mulailah Sin Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri, terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong karena dia amat terdesak tadi. Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka kembali dia lalu menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain. Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong dapat merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya dua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!

“Ha-ha-ha, hanya begitu sajakah barisanmu? Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jeng-hwa-pang? Dengan kepandaian serendah itu sudah berani menentang kami? Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, mundurlah!” kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.

Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jerih terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa sekali, dan yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi. Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan. Lebih baik melawan pangeran ini daripada menghadapi pemuda perkasa yang luar biasa itu. Memang sesungguhnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suhengnya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.

“Wuuuut, ting-tinggg...!” Senjata rantainya bergerak mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini, Ceng Han Houw tersenyum dan dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.

“Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga anggauta Jeng-hwa-pang?” tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggauta Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu.

Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong segera berkata, “Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan mendukung Lam-hai Sam-lo!”

“Pemuda sombong, lihat senjata!” Bouw Song Khi membentak karena dia tidak ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat daripada baja dan panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas mengeluarkan suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.

“Wuuuttt!” Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah dan sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan.

Bouw Song Khi menyondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput, rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan sudah membuat gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu. Gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan.

Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka diapun lalu memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

“Cring...!”

Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu seperti ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju dan cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai. Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya dan keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.

Namun Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai daripada lawannya. Dan memang dugaannya ini tepat. Kini, Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, sudah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantainya berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya. Bagi penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak karena dia hanya berloncatan ke sana-sini dan menggerakkan kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. Kakak angkatnya itu kembali telah memperilhatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, namun semua sambaran rantai itu luput dan mengenai tempat kosong selalu.

Makin lama makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak pernah berhasil, juga mulai dia merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini benar-benar amat lihai. Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan tangan kirinya menangkis rantai yang datang menyambar! Dengan tangan kosong dia berani menangkis rantai! Hal ini mengejutkan hati Sin Liong den menggirangkan hati Bouw Song Khi. Rantai itu terbuat daripada baja murni den digerakkan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Batu karangpun akan hancur terkena hantaman ujung rantai, apalagi tangan yang terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur berantakan!

“Plakk!” Tangan itu menangkis ujung rantai dan rantai itu membalik, hampir menghantam muka Bouw Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikitpun tidak! Bouw Song Khi menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang sehebat itu. Dan Sin Liong kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak angkatnya itu telah mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li! Nenek iblis ini, bersama mendiang Pek-hiat Mo-ko, telah menciptakan ilmu kekebalan yang ajaib, yang membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang bagaimana ampuhnya, bahkan kedua tangan mereka mampu menangkis senjata-senjata pusaka. Dalam cerita Dewi Maut, para pendekarpun sampai kewalahan menghadapi kekebalan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sampai kemudian sepasang pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong mengetahui rahasia kelemahan mereka yang dibuka oleh Khamila, ratu dari Raja Sabutai, yaitu kelemahan kakek dan nenek iblis itu berada pada telapak kaki mereka den akhirnya sepasang pendekar itu berhasil menewaskan Pek-hiat Mo-ko dan melukai Hek-hiat Mo-li. Kini, ternyata ilmu yang luar biasa itu telah diturunkan pula kepada Ceng Han Houw den hanya pangeran ini sendiri yang tahu rahasia kelemahannya sendiri!

Setelah menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja dia menghadapi scrangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan rantai itu dengan tubuhnya! Makin pucat wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu adalah bubuk beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh jai-hwa-cat ini untuk membius wanita yang diculiknya.

Akan tetapi, perbuatannya inilah yang mendatangkan malapetaka baginya. Kalau tadinya Han Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggap tidak ada sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan racun, pangeran muda ini menjadi marah. Dia meloncat untuk menghindari dan tiba-tiba dari mulutnya menyambar sinar putih sedemikian cepat dan tidak terduga sehingga biarpun Bouw Song Khi berusaha menghindar, tetap saja mata kirinya menerima sambaran pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu. Bouw Song Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya mendekap matanya karena terasa kenyerian yang sampai menyusup ke dalam jantungnya. Han Houw menggerakkan pedangnya yang sejak tadi hanya dipakai menangkis saja. Pedang itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat dari tubuh lawan yang terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi.

Melihat ini, Gak Song Kam menjadi kaget bukan main, juga amat marah. Dia berteriak mengeluarkan aba-aba bagi semua anak buahnya untuk maju mengeroyok, sedangkan dia sendiri lalu mengerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang mengandung racun amat jahat, menerjang ke depan, disambut oleh Sin Liong! Han Houw mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini lalu menggerakkan pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.

“Ha-ha-ha, kalian orang-orang Jeng-hwa-pang sungguh tak tahu diri dan sudah selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar Lembah Naga! Kami adalah Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan hari ini Jeng-hwa-pang akan terbasmi habis oleh kami!” Diam-diam Sin Liong terkejut mendengar suara yang amat congkak ini, dan dia merasa ngeri melihat betapa Han Houw mengamuk dengan pedangnya, merobohkan para anggauta Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput saja. Tentu saja para anggauta Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai itu. Sambil tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar susul-menyusul.

MELIHAT keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir sekali. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya yang ditujukan untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai sasaran, dia makin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya. Ketua Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dahulupun ketika Jeng-hwa-pang diserbu oleh Kim Hong Liu-nio dan dia tahu bahwa baginya tidak ada harapan untuk menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong. Kini, ternyata dua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan wanita iblis itu, bahkan sutenya telah tewas dan anak buahnya banyak yang tewas dan kini sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang berpakaian indah dan memakai sorban berhiaskan batu permata itu!

“Heiiiiikkkkk!” Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan begitu kedua tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku hitam dan dari pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik paku-paku dan jarum-jarum itu semua mengandung racun yang amat ampuh dan menyambar dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!

Untung bahwa pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti Cia Keng Hong dan Ouwyang Bu Sek, sehingga dia telah memiliki kematangan dan ketenangan batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu amat tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan cukup membahayakan karena senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat jahat. Namun Sin Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli racun, maka diapun secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik dan terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan alat peledak yang mengeluarkan asap hitam tebal. Sambil tersenyum lega dia lalu meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu dirinya untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong Liu-nio menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya, menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong mempergunakan gin-kangnya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, kemudian dia berkelebat menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan diri.

“Jangan harap akan dapat lari lagi seperti dulu, pangcu!” Sin Liong berkata dan dia merasa muak akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apabila keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua yang tidak memperdulikan keadaan anak buahnya.

Akan tetapi melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam yang semakin panik itu menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan nekat karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak
mungkin lagi dia menyelamatkan diri.

Melihat serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan tubuhnya dan dari samping lengannya mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu. Gak Song Kam mengeluh, pedangnya terlepas dan dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya Sin Liong telah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan telah terpelanting dan roboh pingsan. Memang sama sekali tidak terkandung niat di hati Sin Liong untuk membunuh orang, maka diapun tidak melanjutkan serangan dan hanya memandang kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.

“Ha-ha, bagus. Liong-te, engkati telah berhasil merobohkannya!” Terdengar soara Han Houw bersorak dan Sin Liong melibat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat, lalu sinar pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih pingsan.

“Houw-ko, jangan...!” teriaknya, akan tetapi dia memejamkan mata melihat darah muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu telah memegang kepala yang buntung itu pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!

Semenjak tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik. Melihat betapa pasukan obor roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute dari ketua mereka oleh Han Houw yang kemudian mengamuk dan merobohkan banyak kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu. Akan tetapi, begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kepalanya dijambak dan diangkat oleh pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah Jeng-hwa-pang itu lalu melarikan diri dari tempat itu!

Han Houw tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke arah anak buah yang melarikan diri.

“Trakkkk!” Dengan tepat kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah yang sedang lari, maka robohlah orang itu dengan kepala retak!

Ceng Han Houw lalu mengambil obor yang banyak dilempar di atas tanah oleh para anak buah Jeng-hwa-pang, kemudian dia membakari rumah-rumah yang berada di situ. Dalam waktu singkat saja, sarang Jeng-hwa-pang menjadi lautan api! Para wanita yang tadinya bersembunyi di dalam, kini berlari-larian keluar dalam keadaan panik, ditertawakan oleh Han Houw yang menganggap keributan itu sebagai tontonan yang lucu.

“Tolooooonggg...! Ayah... ibu... tolonggg...!”

Suara jerit wanita yang keluar dari sebuah diantara bangunan itu menarik perhatian Sin Liong dan dia cepat mendekati rumah terbakar dati mana terdengar jerit wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan kiranya dia telah didahului oleh Han Houw yang sudah menerjang daun pintu rumah itu dan melompat ke sebelah dalam.

Hati Sin Liong merasa kagum dan girang. Betapapun garang dan ganasnya sikap pangeran itu terhadep musuh-musuhnya, namum di dalam dadanya terdapat watak pendekar juga yang siap menolong orang yang patut ditolong, seperti wanita yang menjerit-jerit itu.

Tak lama kemudian, di antara berkobarnya api yang mulai memakan daun pintu rumah itu, nampak Han Houw meloncat keluar sambil memondong tubuh seorang wanita muda yang manis dan kelihatan ketakutan.

Sambil tersenyum Han Houw berhenti di depan Sin Liong, menggunakan jari tangan kiri mencolek dagu gadis manis itu sambil borkata, “Dia ini perawan dusun yang diculik Bouw Song Khi dan belum sumpat diganggu! Liong-te, tugas kita sudah selesai dan aku mau bersenang-senang. Banyak wanita cantik berlarian di sana, kau boleh pilih sesukamu. Aku cukup dengan perawan dusun ini, ha-ha!” Pangeran itu lalu lari sambil memondong gadis itu.

Sin Liong bardiri dengan alis berkerut. Dilihatnya gadis itu meronta-ronta, menangis dalam pondongan Han Houw, namun tentu saja tidak berdaya dalam pondongan lengan pangeran yang kuat itu.

“Houw-ko..., lepaskan dia...!” Tiba-tiba Sin Liong berseru dan berlari mengejar. Dia tidak ingin melihat kakak angkatnya melakukan hal yang amat jahat itu! Kalau gadis itu mau melayani kakak angkatnya, dia tidak perduli, seperti yang dilihatnya ketika kakak angkatnya dilayani oleh wanita-wanita cantik dalam rumah-rumah pembesar yang mereka lewati dahulu. Akan tetapi, gadis dusun itu meronta dan menangis, dan dia tidak ingin melihat kakak angkatnya itu menjadi seorang penjahat yang memaksa wanita.

Akan tetapi, hanya terdengar suara ketawa dan pangeran itu berlari terus memasuki hutan di mana mereka meninggalkan kuda mereka. Sin Liong mengejar terus, dan ketika dia melihat pangeran itu melanjutkan larinya dengan naik kuda sambil memeluk tubuh perawan dusun yang ditelungkupkan melintang di atas punggung kuda, diapun lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar. Terjadilah kejar-kejaran di malam hari itu dan Han Houw tertawa-tawa sambil membalapkan kudanya, terus dikejar oleh Sin Liong.

“Houw-ko, lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela melayanimu, mengapa engkau memaksa seorang gadis yang tidak mau?” berkali-kali Sin Liong berteriak dan membujuk. Melihat ada orang mengejar dan agaknya hendak menolongnya, gadis, itu berteriak minta tolong, akan tetapi Han Houw terus melarikannya sambil tertawa-tawa. Agaknya pangeran itu merasa gembira dengan permainan ini dan karena kudanya memang jauh lebih baik daripada kuda yang ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu belum juga mampu menyusulnya.

Kejar-kejaran itu berlangsung sampai pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa bukan main harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw dan terguncang-guncang. Dia sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi. Dan kini timbul kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap adik angkatnya itu main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin Liong mengejar terus, dia mulai merasa terganggu dan marah.

Setelah tiba di lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda yang sudah megap-megap kelelahan itu.

“Houw-ko, berhentilah dulu, aku mau bicara...!” Terdengar teriakan Sin Liong di belakangnya, Han Houw menoleh dan melihat adik angkatnya itu sudah mengejar dekat, dia mengerutkan alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di atas rumput, hanya merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah dan sakit-sakit, tidak mampu bangkit.

Han Houw melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun dari atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling berhadapan, dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.

“Sin Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kauambillah dia! Kauminta baik-baikpun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku semalam suntuk!”

Sin Liong menarik napas panjang. “Houw-ko, maafkanlah aku kalau aku mengganggu kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar Houw-ko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu.”

“Melakukan perbuatan jahat? Apa maksudmu?” Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku den sinar matanya memancarkan kemarahan.

Sin Liong memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkannya dan masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya?

“Houw-ko, jelas bahwa engkau melarikan gadis itu dan hendak memperkosanya, memaksanya, dan engkau masih bertanya apa maksudku?” dia berkata dengan suara bernada teguran.

Kini Han Houw memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah itu menjadi merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan kedua tangannya bertolak pinggang. “Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku demikian? Kaukira aku ini laki-laki macam apa? Sungguh engkau menghinaku dan tak mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!” Tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan hebatnya!

“Ehhh...!” Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak lalu meloncat ke belakang. Akan tetapi, Han Houw yang sudah melanjutkan serangannya dengan tendangan berantai, tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua kakinya bergerak seperti angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan cepatnya.

“Plak-plakk!” Sin Liong mengelak dan terpaksa menangkis karena mengelak terus akan berbahaya. Akan tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena dia tidak ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini. “Houw-ko, jangan...!”

“Sin Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut? Sudah berani menghina tidak berani menanggung akibatnya?” bentak Han Houw dan dia terus menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin “menguji” adik angkatnya ini.

Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan oleh Han Houw, bahkan pemuda bangsawan ini juga mengerahkan sin-kangnya yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin Liong terdesak hebat sekali. Ketika dia mengelak dan mengatur langkah untuk menghindarkan diri tanpa membalas, tetap saja pundaknya kena sambaran pukulan Han Houw.

“Desss...!” Tubuh Sin Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya karena ada tenaga Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai terluka atau patah tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat dia meringis. Han Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu menubruknya dengan susulan pukulan yang amat keras.

Dalam keadaan bergulingan itu, Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka diapun mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.

“Dukkk...!” Tubuh Han Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han Houw kagum sekali dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi oleh sucinya dan juga oleh subonya, akan tetapi selain ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti sucinya, yaitu waspada dan mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah menangkap dan mencatat ilmu-ilmu asing.

Maka ketika dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat semua gerakan adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh sucinya pula, dia ingin “mencuri” ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia kecele. Ketika dia menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin Liong, adik angkatnya itu hanya mengelak atau menangkis saja, sama sekali tidak membalas menyerang sehingga dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap gerakan. Apalagi, gerakan Sin Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan silat lagi, melainkan gerak otomatis melindungi diri dari bahaya.

Memang demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki seseorang, makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang hanya bertugas sebagai hiasan belaka. Sin Liong yang digembleng orang-orang sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu mendarah daging dan menjadi satu dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap gerakannya, biar tidak sedang berkelahi sekalipun, telah mengandung unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu, begitu dia diserang, dia sudah bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan secara otomatis dan gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan. Setiap jurus yang dimainkannya hanya “keluar” intinya belaka, yang disesuaikan dan dimanfaatkan dengan datangnya setiap bahaya. Oleh karena itu, maka Han Houw yang memperhatikan dan hendak mempelajarinya, hanya melihat gerakan sederhana tanpa tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan diri dari semua serangan Han Houw yang amat berbahaya tadi, Sin Liong telah mempergunakan ilmu silat yang tinggi, di antaranya jurus-jurus dari San-in-kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan dia menggerakkan pula hawa sakti dari tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama, yaitu Thian-te Sin-ciang.



Tidaklah aneh bahwa semua serangan Han Houw dapat dihindarkan oleh Sin Liong karena anak itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang amat tinggi itu. Akan tetapi Han Houw menjadi makin penasaran.

“Sin Liong, coba kausambut serangan pedangku!” Dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang.

“Houw-ko... mengapa kau... hendak membunuhku?” Sin Liong berseru kaget, akan tetapi pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya.

Tentu saja Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur dengan cepat ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya ini? Sudah gilakah? Karena serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, Sin Liong secara otomatis menggerakkan tangan kanan dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang yang membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah pedang lalu mencengkeramnya.

“Plakk!” Pedang itu kena dicengkeram dan tangan kirinya lalu menangkap pergelangan tangan Han Houw.

“Ihhhhh...!” Han Houw berseru dan kaget bukan main karena merasa betapa tenaga sin-kangnya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik angkatnya itu. Tahulah dia bahwa Sin Liong telah mempergunakan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dan dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu berani menyambut pedang dengan tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tidak kalah ampuhnya dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya sendiri.

Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kagetnya karena tenaga sin-kangnya tersedot keluar, tangan kirinya bergerak dan jari-jari tangan itu menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang tentu saja tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan Sin Liong yang terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, melangkah mundur sambil mengelak dengan miringkan kepalanya.

Akan tetapi Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas, dia menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke arah pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan tangan sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam. Itulah pukulan beracun semacam Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan uap hitam. Bau uapnya itu saja sudah cukup untuk merobohkan atau membuat pening lawan, apalagi pukulannya sendiri! Diserang seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan dia harus mengakui bahwa Han Houw merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan kalau dia tidak segera mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan celaka di tangan kakak angkatnya. Maka dia meloncat ke belakang dan ketika kakaknya mendesak, dia merendahkan tubuhnya, kedua tangannya bergerak aneh, mendorong ke depan.

“Eihhh... brukkkk!” Tubuh Han Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi pening! Dia hanya dapat bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncang-guncang kepalanya karena bumi seperti terputar di sekelilingnya.

“Houw-ko, maafkan aku...!” Sin Liong cepat menghampiri.

Han Houw mengangkat muka memandang dan menarik napas panjang. Dia tidak membantah ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit berdiri. Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum, “Liong-te, bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan jurus dari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw?”

Sin Liong mengangguk. “Dari kitabnya karena aku belum diajar secara langsung.” Sin Liong mengingatkan.

“Ah, bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apalagi kalau diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan berguru kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali.”

“Maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu?” Sin Liong bertanya, nadanya menegur.

Han Houw memandangnya lalu tersenyum. “Aku ingin mengujimu, adikku. Dan pula, mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan? Kau menuduhku hendak memaksa dan memperkosa wanita!”

Sin Liong menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, mata terbelalak dan kelihatan takut sekali. Sejak tadi dia tidak berani bergerak, hanya duduk dan melihat perkelahian itu.

“Akan tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu?”

Han Houw menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar. “Kaukira aku ini orang apa? Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku? Memperkosa wanita? Ah, apa perlunya? Semua wanita akan suka sekali melayaniku, mengapa harus memperkosa? Betapa hina dan rendahnya!”

“Tapi... tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak...” Sin Liong berkata bingung.

“Ha-ha-ha, karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku sama dengan si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kaulihat saja, adikku, dan coba buktikan apakah aku memperkosa wanita atau bukan?” Setelah berkata demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia menghampiri gadis yang masih duduk di atas rumput. Melihat pemuda tampan bertopi indah itu menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa orang yang semalam melarikannya itu ternyata adalah seorang pemuda yang demikian tampan dan gagahnya! Sama sekali tidak disangkanya hal ini maka dia terheran-heran, juga hatinya ragu-ragu dan masih takut-takut.



Han Houw tersenyum manis dan memang wajah panggran ini amat tampan dan sikapnya halus serta gagah. Dia meng gunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata kepada gadis dusun itu. “Nona, aku telah menolongmu dari rumah terbakar, membebaskanmu dari tangan penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah meronta-ronta dan menarigis semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukan-bukan?” Suara itu halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa takutnya.

“Maafkan saya... saya tidak tahu dan mengira... kawanan penjahat yang melarikan saya...”

“Hemm, anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang jahat? Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau tidak pernah mendengar tentang Pangeran Oguthai?”

Dara itu terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub.

“Pangeran... pangeran...”

“Akulah Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!”

“Ahhh... ampunkan hamba, pangeran...” Dan gadis dusun itu segera menjatuhkan diri berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran itu. Han Houw tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang dengan penuh perhatian. “Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan wajahmu yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu.”

Gadis itu bangun dan masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan bertambah manis. “Ah, terima kasih, pangeran...” Sikapnya berubah sama sekali, kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis sekali!

“Manis, engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau suka melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak?”

Wajah yang berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk kelihatan malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggeleng kepala karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.

“Bagus!” kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu. Ketika berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis. “Sekarang, untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu...” Pangeran itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik.

Gadis dusun itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya metirik ke arah Sin Liong dan akhirnya, tiba-tiba dia menahan ketawa dan merangkulkan kedua lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong! Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya makin kenas ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.

“Ha-ha, adikku yang baik, kautunggulah di situ sebentar!” kata Han Houw yang masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari tempat itu!

Sin Liong mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak, lalu dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi dan dia lalu menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu dan dia menggigit bibirnya.

Ceng Han Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti dibisikkan oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu dengan kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau dibandingkan dengan bujukan? Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan ketampanan yang akhirnya toh sama juga! Dia tahu benar bahwa Han Houw tidak melakukan perbuatan itu karena cintanya kepada gadis yang sama sekali tidak dikenalnya itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti yang sering dilakukannya dengan wanita-wanita muda suguhan para pembesar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda mata keranjang, seorang laki-laki yang gila perempuan, hamba dari nafsu berahinya sendiri! Betapapun juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan Han Houw tadipun hanya untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya memang terdapat rasa suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan penuh keraguan. Haruskah dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu? Ataukah seharusnya dia cepat meninggalkannya?

Kesenangan atau kenikmatan, yaitu perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah yang dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi sumber kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu peristiwa apapun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga. Akan tetapi kalau pikiran kita mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kegenangan, muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan.

Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia merasa benar dalam pengejarannya masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar dan akan mendatangkan kebahagiaan hidup. Seorang saterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam kehidupan. Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi.

Semua pengejaran itu, biar diselimuti dengan nama apapun, yang rendah atau yang tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja! Segala sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang dianggap akan mendatangkan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar! Dan karena pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda, tergantung dari keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanyalah merupakan perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya itu takkan lengkap! Si pengejar uang, biarpun berhasil menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Demikianlah, pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain dan tidak akan ada habisnya sebelum kita mati! Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini, selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri yang takkan mungkin pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya ketidakpuasan, dan hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apapun juga akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang amat penting bagi kita semua, yaitu : Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apapun? Bukan berarti kita lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak perdulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya! Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita benar-benar hidup! Kita benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayal dan bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada! Sesungguhnya, kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang ada setiap saat ini, tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu, bukan pula bayangan khayal masa depan. Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa mengejar kesenangan dalam bentuk apapun? Kalau sudah begitu, mungkin akan nampak oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin, dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam senyum seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam sinar matahari, dalam awan berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!

“Liong-te, apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita?”

Suara ini mengejutkan Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya berseri dan lengan kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang berdiri dengan muka merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri penuh kegembiraan.

Sin Liong sebentar memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa jijik terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka, mencari kudanya.

“Manis, kaupulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu,” terdengar Han Houw berkata.

Gadis itu mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan gadis itu diam. Dari sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman, kemudian gadis itu pergi dengan muka tunduk. Dan tak lama kemudian Han Houw juga sudah meloncat ke atas kudanya.

“Ha-ha, Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!”

“Aku juga akan kembali ke selatan!” Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.

“Aku juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita akan mencari suhu Bu Beng Hud-couw bersama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, di sana aku akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita telah selesai dan Jeng-hwa-pang telah kita basmi.”

Sin Liong tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tidak enak. Dia masih marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira, menceritakan tentang daerah yang mereka lewati. Sebagai putera raja, tentu saja dia banyak mempelajari tentang daerah-daerah di luar tembok besar dan dengan bangga dia menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai sudah menjelajahi seluruh daerah itu dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua daerah di luar tembok besar. Karena sikap ramah dan ceritanya menarik, mau tak mau Sin Liong mendengarkan dengan hati tertarik dan sikap kakak angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa marah dari dalam hatinya. Pangeran ini memang mata keranjang dan suka bermain gila dengan wanita, pikirnya, akan tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa biarpun pangeran ini mempergunakan kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, namun si wanita sendirilah yang salah. Dia melihat kenyataan bahwa wanita itu memang lemah, mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan dirinya. Kalau wanita itu berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri secara sedemikian mudah dan murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa kalau dia bertemu dengan wanita seperti itu, dia akan melindunginya dan kalau perlu dia akan menentang kakak angkatnya!

Beberapa kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan begitu baik, begitu ramah, dan seolah-olah pengalaman dengan wanita tadi, perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam sekejap mata saja!

“Houw-ko...”

“Ada apakah, Liong-te?” Han Houw menoleh dan tersenyum.

“Siapakah nama perempuan tadi?”

Han Houw terbelalak, senyumnya melebar. “Ahhh...? Mana aku tahu?”

Sin Liong mengerutkan alisnya, keheranannya membesar. “Tidak tahu namanya?” Amat sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum diketahui namanya!

“Ha-ha, Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya? Di dunia ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah karena bangga melayani kita. Kalau kita memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat.”

“Tapi... tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kaujanjikan dia suruh menanti di dusunnya...”

Kembali pangeran itu tertawa bergelak. “Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh penggantiku. Eh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada wanita?”

Sin Liong mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar keterangan kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan wanita sedemikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya dan kembali wajahnya menjadi merah.

“Aku bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tidak akan melakukan perbuatan seperti yang kaulakukan itu, Houw-ko!” katanya tegas dan dia menyuruh kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar.

Kota Ceng-lun adalah sebuah kota di tepi Sungai Luan yang berada di sebelah utara Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan kota ini pernah diduduki pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja ini memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biarpun kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi suku bangsa inipun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang amat kuat dan yang merupakah bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu daripada bahaya yang datang dari tembok besar.

Inilah sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin Liong tiba di kota Ceng-lun, dan para pembesar setempat mengenal pangeran ini, dua orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apalagi ketika Ceng Han Houw membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan dapat memperlihatkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru, maka semua orang makin menyembah-nyembahnya!

Kembali Sin Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu bersikap congkak dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para pembesar seperti anak buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu malah kelihatan senang dan menjilat-jilat! Lebih lagi ketika mereka berdua dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan minum oleh sekumpulan gadis-gadis cantik. Sin Liong merasa sungkan, malu dan juga muak. Sejak kecil dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana namun kebebasannya mendatangkan rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka kini, keadaan yang mewah dan dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu, tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang.

Bagi Sin Liong yang berjiwa bebas, kebebasan yang diperolehnya karena keadaan hidupnya di waktu kecil, tentu saja nampak tidak menyenangkan dan merepotkan malah, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan yang jelas kelihatan amat palsu olehnya itu. Memang, kalau kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu “demi kesopanan”. Sopankah sikap yang dibuat-buat itu? Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu “disesuaikan” dalam pertemuan itu dan kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, dengan keluarga kita dan sebagainya! Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan kalau kita namakan kebudayaan, peradaban itu hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu! Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai seorang sopan, sebagai seorang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tidak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka! Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, kalau sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali! Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan kalau hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka barulah akan benar-benar ada hubungan itu! Sebaliknya, hubungan seperti adanya sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.

Ketika Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi tergopoh-gopoh dia lalu mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara. Barulah para pembesar itu tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu?

Malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Biarpun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.

“Houw-ko, akupun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kaulanjutkan sendiri pesta ini,” katanya sambil bangkit sendiri.

Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. “Ha-ha-ha, engkau sudah ingin tidur? Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!”

Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka diapun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk. Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau, saling pandang, tersenyum lalu merekapun membayanginya dari jauh. Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biarpun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali dan sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh. Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap amat genit.

“Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?” Sin Liong sudah bangkit duduk dan menegur dengan gugup. Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu amat genit dan tadi ketika melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak.

Empat orang itu tertawa cekikikan mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Seorang di antara mereka berkata dengan sikap genit. “Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apapun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu...”

Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.

“Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko...”

“Ahhh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu...”

“Eh, mengapa?” Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya daripada melayani Han Houw.

“Hik-hik, karena... semua orangpun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen...”

Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar keras ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.

“Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas...”

“Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah...”

“Kongcu hendak minum apa?”

“Aku yang akan mengipasimu, kongcu...”

Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. “Aku... aku... mau mencari hawa sejuk...” katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu.

Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini amat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka
lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlumba untuk mencari pemuda itu.

Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa geli.

Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi tegang sekali, Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian telaga kecil itu amat indahnya. Bulan malam itu bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya sehingga bulan seperti tenggelam di dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya. Dia bergidik, biarpun tubuhnya terasa gerah. Sin Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu samadhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu. Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri dalam air, di bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu “menyedot dan menghimpun hawa Im” dengan sebaiknya. Apalagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah mengejarnya!

Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorangpun kecuali dirinya, Sin Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya dan dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya mencapai perutnya dan ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke leher. Mulailah Sin Liong bersamadhi dan mengatur napas menurut pelajaran dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu! Dia segera merasa betapa hawa yang amat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya, bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya siap menolak hawa Im yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak menolak, melainkan menghimpun dan menerima. Mula-mula memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu makin berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia terbelalak memandang ke tepi telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi telah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan, melainkan berikut pula pakaian dalam sehingga mereka itu semua berbugil!

“Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?”

“Mari kugosokkan punggungmu, kongcu.”

“Kongcu, kauajari aku renang, hi-hik!”

Tiga orang sudah terjun dan sambil tertawa-tawa, menghampiri dan mengurung Sin Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.

Empat orang wanita itu makin geli tertawa ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani bergerak? Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang! Akan tetapi berdiam saja di situ juga tidak mungkin. Empat orang wanita itu telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.

“Jangan... pergilah kalian... pergilah...” Dia berkata gagap, akan tetapi empat orang itu makin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka dan melakukan gerakan-gerakan memikat di depan Sin Liong sehingga pemuda ini memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.

“Aihh, kongcu, mengapa malu-malu?”

“Malu-malu kucing, hi-hik...”

“Kongcu, berilah cium padaku...”

Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka kedua matanya dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.

“Aduhhh...!”

“Ah, mataku...”

Empat orang wanita itu menjerit dan menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka memejamkan mata karena percikan air itu seperti jarum-jarum saja menusuki muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat kemudian sunyi. Ketika akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!

Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, “Ah, kalian sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil menundukkannya? Tolol!” Dan dengan gemas pangeran inipun pergi dari situ, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa “kalah” dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apapun juga. Dan kalau dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, diapun tidak akan mau kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal dan kecewa.

Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal membuat empat orang wanita itu terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka lihat dan pada saat dia melarlkan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa penasaran sekali karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah yang berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu! Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya kalau dia melanjutkan perjalanan bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidakcocokan dalam banyak hal di antara mereka, biarpun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran itu. Karena dia merasa marah oleh perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu. Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja!



Sin Liong melakukan perjalanan jauh yang susah payah menuju ke selatan. Alangkah jauh bedanya dengan ketika dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di kota-kota besar, disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang bersih dan mewah. Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang melelahkan, bahkan sering kali kurang makan dan terpaksa dia makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang miskin!

Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya. Akan tetapi, setelah dia tiba di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini? Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan! Kalau dia berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini, bagaimana dia bisa mendapatkan makan? Mengemis? Dia tidak sampai hati untuk mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja apakah?

Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pagi hari itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu sungguh amat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar, hampir tak tertahankan lagi.

Sin Liong adalah seorang pemuda yang berwajah tampan. Pakaiannyapun adalah pakaian yang tadinya amat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang menyambut Han Houw. Biarpun sudah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya merupakan pakaian mahal. Oleh karena itu, melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan pesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang pengemis.

“Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda?” Akhirnya majikan rumah makan itu berdiri di depan pintunya dan bertanya.

Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, “Ah, aku... lapar sekali...”

Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu sudah minta-minta.

“Kalau lapar, boleh membeli makanan,” pancingnya.

Sin Liong makin gelisah. “Aku... aku tidak punya uang...”

Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan teliti dari atas sampai ke bawah. “Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak punya uang?”

Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. “Lopek, kalau engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau bekerja apa saja untukmu!”

Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemm, orang muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.

“Kau mau menjadi pelayan?”

“Aku mau!”

“Apakah engkau bisa?”

“Aku dapat mempelajarinya.”

“Siapa narnamu, orang muda?”

“Namaku... panggil saja A-sin!”

“Di mana rumahmu?”

“Lopek, harap percaya kepadaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tidak punya rumah, dan akupun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan makan.”

Sikap tegas dan gagah ini meenarik hati majikan rumah makan itu. “Sudah berapa hari engkau tidak makan?”

“Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali.”

“Masuklah!”

Sin Liong masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Setelah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang, “Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!”

Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula, dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena pemuda itu rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan. Wajahnya yang tampan dan usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang dan dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan luar dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak tentang dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.

Sampai berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran. Selama itu, dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorangpun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu dan dia selalu menjauhkan diri dari urusan yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.

Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, biarpun yang dilakukan tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekalipun. Dengan jalan inilah dia mendengar pula tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah! Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapapun juga, seorang diantara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu memasuki benaknya sungguhpun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah seorang yang tidak baik, yang menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya!

Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pik-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada hari tanggal itu orang-orang melakukan sembabyang Tiong-ciu. Seperti biasa, banyak penduduk di luar kota raja pada hari besar itu berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kuih-kuih tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri ikut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu meramaikan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tidak sedikit.

Empat orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja sudah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.

“Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Kausambutlah tamu-tamu kita ini!” teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya.



Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya dan dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya. Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andaikata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan seorang diantara pemudanya, akan tetapi tidak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu. Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya? Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Dan pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis. Jantung di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!

“Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?” dia bertanya dengan sikap hormat dan biasa seperti kalau dia melayani para tamu lainnya.

Empat pasang mata memandangnya dan Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.

“Eh, aku pernah melihatmu!” Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong. Sin Liong terkejut dan cepat memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya. “Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barangkali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat saya.”

“Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini,” kata Beng Sin. “Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!”

“Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas,” kata Lan Lan.

“Aku juga,” sambung Lin Lin.

“Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!” Siong Bu mencela sambil tertawa.

“Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat akan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang
pokok, sedangkan berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, baru belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu?”

Lan Lan dan Lin Lin tertawa. “Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau takkan menang!”

Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masak anak-kanak, ketika dia masih berada disamping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!

Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur dan diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan sejak kapan mereka pindah dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.

Akan tetapi, setelah empat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh dan terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.

“Eh, kau kenapa, A-sin?” tanyanya, akan tetapi melihat A-sin menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya. A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak suruhan orang memanggil tabib, Sin Liong “siuman” kembali dan berkata lemah.

“Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin... asal saya diperbolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh...”

Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya mempergunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapapun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak.

Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itupun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka inipun “berpesta” karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang. Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, diapun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan. Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan betas kasihan orang. Dia kadang-kadang bergidik membayangkan dirinya sampai terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.

Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet! Dan dia melihat betapa para pengemis yang menjadi “langganan” restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu! Biarpun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat dan tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk “mengerjakan” Beng Sin dan tiga orang temannya!

Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba di rombongan Beng Sin, tiba-tiba saja gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!

“Eh, eh... hati-hatilah, nona...”

Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguhpun keranjang sayurannya terlempar dan sayurnya berantakan. Beberapa orang
pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.

Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar telah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin! Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya dan dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Sin Liong dapat melihat hal ini dengan jelas, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu. Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang
mata yang bening dan bersinar-sinar, seolah-olah sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak. Apalagi karena diapun tidak ingin memperkenaikan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak dalam pasar bersama teman-temannya dan tak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.

“Keparat! Berani benar mengganggu kami?” Beng Sin mencak-mencak dan mengepal tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak tahu kepada siapa dia harus marah-marah. Akhirnya empat orang muda itu meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.

Setelah mengetahui di mana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, memiliki banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!

Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.

Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring di bagian belakang restoran itu, dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang. “Heh, bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu? Berikan kepada kami...!”

Mendengar suara ini, Sin Liong menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasanya mereka pergunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tidak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga tiga orang pengemis muda itu tertegun dan memandang heran.

“Bung A-sin, kenapa kaubuang?” Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka.

Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, “Perlu apa kalian mencari sisa makanan? Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal?”

Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya, “Eh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu? Kami tidak mengerti.”

“Hemm, perlukah kalian berpura-pura lagi? Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi?”

Tiga orang itu mengerutkan alis. “Saudara A-sin, apa maksudmu?”

Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. “Sudahlah! Kaukira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar? Tak tahu malu!”

Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan kepada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang. Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan rasa iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!

Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu, tidak pernah dia lalai utnuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio! Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar-dengar berita di antara para tamu restoran dan dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!

Tiba-tiba Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya. Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng. Ketika sinar bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini? Apakah selain mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling? Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia kagum juga menyaksikan gerakan yang tetap dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tingginya. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.

Sin Liong juga menoleh karena pada saat itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang laki-laki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut. Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.

Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan siap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut! Namun, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanya untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai, maka diapun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.



“Uhhh...!” A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu sudah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali.

“Hemmm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!” hardiknya dengan suara menggeram, Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli. Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu? Apakah gadis itu miring otaknya? Dan dia makin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.

“Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!” A-tong mengeluh, dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!

“Hemm... aku dapat ampunkan kau akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu?”

Diam-diam Sin Liong makin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia!

“Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun...”

“Plak!” Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh. Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan di lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas!

Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadinya dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis inipun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar! Hening sejenak setelah daun jendela terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja ketika menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing!

Gadis ini mau apa setelah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya? Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti ketika memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa? Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api. Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba, dengan gerakan cepat juga, gadis itu sudah meloncat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi kepada A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.

“Heh, A-sin bangun kau!” terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!

Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya dicengkeram makin kuat.

“Diam jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!” bentak gadis itu.

“Eh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu pria, akan tetapi... kenapa ada Giam-lo-ong wanita...?” Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur dan kelihatan manis nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.

“Kau ngaco-belo apa? Siapa Giam-lo-ong?” Gadis itu juga menjadi heran dan membentak lirih.

“Kau bukan Giam-lo-ong? Mengapa mau mencabut nyawaku?” Sin Liong bersikap ketolol-tololan.

“Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kaulihat baik-baik ini!” Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat sebuah sapu dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lalu mengambil dan dengan sekali tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itupun patah dan dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.

“Eh, eh... apa dosanya sapu itu? Kenapa kaupatahkan gagangnya? Wah, celaka, kaubikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!”

Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena gagang sapunya patah!

“Goblok! Kau bernama A-sin?”

“Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku? Apa kau babu baru di sini?”

“Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti? Dan kau harus taat kepadaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!”

“Wahhh... kau galak... mengerikan...” Sin Liong bangkit duduk dan meraba lehernya.

“Nah, kau takut padaku, bukan?”

Sin Liong menggeleng kepala.

“Apa?” Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka serem, akan tetapi akibatnya menjadi tambah manis dan jauh daripada mengerikan. “Kau tidak takut padaku?”

Sin Liong menggeleng kepala. “Ketiapa mesti takut?”

“Karena aku menakutkan!”

“Tidak, kau tidak menakutkan sama sekali...”

“Aku ingin kau takut!”

“Wah, kau ini aneh. Eh, nona cilik...”

“Aku tidak cilik lagi!”

“Baiklah, nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit?”

“Ehhh? Menggigit...? Wah, kau mau kurang ajar, ya? Porno, ya?”

“Lhoh! Mengapa kurang ajar? Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin aku takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan?”

“Gila kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu?” bentak gadis itu jengkel.

“Ya menggigit apaku, boleh kaupilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis, kau tidak menakutkan, sih!”

Gadis itu kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan oleh Sin Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari tangannya, kemudian didepan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya penuh keheranan.

Dengan puas dan bangga, sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu besar itu, gadis itu mendengus, “Huh, sekarang kau takut padaku? Lihat kekuatan tanganku!”

“Eh, apakah kau main sulap? Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang di depan restoran, tentu banyak orang suka membayar...”

“Sulap hidungmu!” Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya A-sin ini!

Sin Liong yang sudah bangkit duduk itupun pura-pura marah. “Dengar kau,nona cilik... eh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku? Anak perempuan masuk kamar anak laki-laki! Cih, tak tahu malu!”

“Dengarkan kau, bocah tolol! Buka telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah pimpinan anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali tampar aku akan dapat membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, kalau kau berani berkata kepada siapapun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu seperti ini... crokkk!” Gadis itu menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja dan... papan kayu meja itu tembus berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil itu!

Sin Liong pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia memang kagum juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan keberaniannya dan juga sikapnya yang membela kawan.

“Nah, kau mengerti? Jangan bilang siapapun juga atau aku akan kembali!”

“Siapakah namamu, nona?”

Gadis yang sudah hendak pergi itu membalik lagi dan memandang dengan sepasang matanya yang bening dan tajam, “Mau apa kau tanya-tanya namaku segala?”

“Lhoh, nona sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengenal nona. Bukankah kita sudah saling mengenal dan sudah sepatutnya aku mengenal namamu?”

Diam-diam gadis itu merasa jengkel akan tetapi juga geli menyaksikan ketololan ini. Betapapun juga, dia merasa kagum akan keberanian bocah tolol yang wajahnya tampan ini!

“Semua anak miskin di sini mengenal Kim-gan Yan-cu!” Setelah berkata demikian, dia meloncat keluar dari jendela dan keadaan di situ menjadi sunyi kembali.

Sin Liong masih termenung, duduk di atas pembaringannya. “Kim-gan Yan-cu (Walet Mata Emas)?” Dan dia makin geli. Anak perempuan itu hebat! Sayang semuda itu sudah menjadi kepala jembel, kepala copet dan agaknya menjadi jagoan penjahat! Semalam dia tidak dapat tidur lagi. Wajah anak perempuan itu terus terbayang olehnya dan dia merasa seperti telah mengenal gadis itu semenjak lama sekali. Wajah itu tidak asing sama sekali! Sinar mata itu!

Sin Liong masih mengantuk karena kurang tidur ketika pada keesokan harinya dia sudah harus bekerja lagi melayani tamu-tamu yang datang untuk sarapan pagi. Tiba-tiba muncul beberapa orang perajurit berkuda yang berhenti di depan restoran dan dengan suara galak memerintahkan majikan restoran untuk bersiap-siap melayani seorang pembesar yang ingin sarapan di restoran itu. Majikan restoran menjadi gugup dan segera mengerahkan anak buahnya untuk membersihkan meja-meja dan siap melayani pembesar dengan para pengikutnya, yang menurut para perajurit pengawal yang datang terlebih dahulu adalah seorang pembesar dari luar kota raja yang datang berkunjung ke kota raja.

Majikan restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih dan dia sendiripun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kunjungan seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan peristiwa besar dan menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu dapat mengakibatkan berbagai kemungkinan, yang baik maupun yang buruk!

Tak lama kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah seorang laki~laki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan para pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan penuh kehormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, termasuk Sin Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap hormat.

“Eh, Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?”

Sin Liong terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya.

Kiranya pembesar yang memasuki restoran dan diiringkan banyak pembantu dan pengawal itu bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang! Tentu saja pembesar Gu ini mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung pembesar ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han Houw!

“Siapa... eh, paduka... salah lihat...” Dia berkata gagap.

Akan tetapi Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. “Aihh, Liong-kongcu harap jangan main-main! Biarpun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu. Kalau tidak, tentu pangeran akan marah kepada saya. Kongcu adalah tuan muda Liong Sin Liong, mengapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini? Apakah kongcu menyamar sebagai pelayan...? Ha-ha-ha...!”

“Bukan... bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini...”

“Ha-ha, saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar seperti rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan yang sama. Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri kesempatan kepada saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya ingin mohon pertolongan kongcu...” Pembesar itu mendekatkan mulutnya. “Mengenai puteriku...”

“Tidak... bukan... aku bukan...” Sin Liong bingung sekali, apalagi ketika melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Baru pagi tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada “setan penjaga kebun” menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong mimpi, sedangkan A-sin yang mendengar itu hanya tertawa saja.

Dan kini, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat kepada A-sin seolah-olah pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang amat tinggi kedudukannya. Apalagi pembesar itu juga menyebut-nyebut pangeran!

“Ah? Liong-kongcu menyimpan rahasia? Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam saja...”

“Harap taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan, bukan orang lain...”

“Hemm, benarkah itu?” Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. “Akulah yang akan dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!”

Bukan main kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena wanita itu bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya. Seorang wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung ke atas seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan tetapi kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio! Melihat musuh besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja Sin Liong menjadi terkejut bukan main, girang dan juga gugup karena dia berada di dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya kalau dia bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh kepercayaan istana!

Akan tetapi, menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal keadaan dirinya lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim Hong Liu-nio sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting) telah meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya wanita itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya secara keji. Dan dupan ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong kemarahan Kim Hong Liu-nio bangkit karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun Houw. Sakit hatinya karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia segera menurunkan tangan kejam, menyerang kedua mata Sin Liong dengan senjata rahasia hionya yang telah banyak merobohkan korban manusia itu.

Diserang sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan lagi kepandaiannya. Dia melihat jelas dua batang hio yang menyambarnya itu, maka dia cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sin-kang dia berhasil memukul patah dua batang hio itu. Dia tidak mungkin mengelak karena kalau hal ini dilakukan, dua batang hio itu tentu mengambil korban, yaitu mengenai orang-orang yang berada di sebelah belakangnya. Maka terpaksa dia memperlihatkan kehebatannya dan dua batang hio itu ditangkisnya runtuh. Hal ini amat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada tokoh di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau ada yang berani mencobanyapun tentu akan celaka karena hionya itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat sehingga kalau ditangkis akan dapat melesat dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh begitu bertemu dengan tangan Sin Liong!

Marahlah Kim Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek Cia Keng Hong, maka diapun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang hebat dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk cepat membunuhnya, karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi.

“Hyaaaaattt...!” Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga mengejutkan semua orang, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena jantung mereka tergetar dan membuat kedua kaki mereka lumpuh ketika mereka mendengar suara melengking tinggi itu. Dan terasa angin menyambar ketika wanita itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan maut dengan tangan kirinya yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka menghantam ke arah dada Sin Liong. Sebelum tangan itu tiba, lebih dulu telah terasa angin pukulan dahsyat yang berhawa panas datang menyambar.

“Ehhh...!” Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu maka diapun cepat mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya tangan itu ke depan menyambut pukulan lawan.

“Plakkk!” Kedua telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio tergetar hebat dan tenaga sin-kangnya memberobot keluar tersedot melalui telapak tangan pemuda remaja itu.

“Eiiihhhhh...!” Kim Hong Liu-nio menjerit dan tangan kanannya menyambar dengan totokan ke arah kedua mata Sin Liong! Wanita ini mengenal Thi-khi-i-beng maka dia merasa ngeri dan cepat mengeluarkan serangan yang dapat menolong dirinya dari ilmu sedot yang hebat itu. Ketika Sin Liong menggerakkan tangan kanan menangkis, maka wanita itu secepat kilat menarik tangan kirinya yang tersedot melekat pada tangan lawan sambil mengerahkan sin-kangnya dan terlepaslah tangannya. Dia menjadi marah bukan main.

“Tarrr...!” Sabuk sutera merahnya telah menyerang, meluncur ke arah leher Sin Liong. Akan tetapi Sin Liong maklum bahwa dia berada dalam bahaya setelah kini semua orang tahu keadaan dirinya yang sebenarnya. Dia cepat mengerahkan tenaga lemas untuk menangkis sabuk.

“Pratti!” Ujung sabuk merah itu membelenggu pergelangan tangannya. Akan tetapi Sin Liong mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang, mengebutkan dengan telapak tangannya ke arah muka lawan.

“Ihhh...!” Kim Hong Liu-nio kembali menjerit dan dia mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terdorong angin pukulan Thian-te Sin-ciang yang ampuh dan dia terhuyung, sedangkan pergelangan tangan lawan yang terbelit sabuk sudah
terlepas pula. Kesempatan selagi lawannya terhuyung ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk meloncat keluar restoran dan menyelinap di antara penonton yang memenuhi tempat itu karena tertarik oleh kedatangan pembesar, kemudian oleh keributan yang terjadi di restoran itu.

“Tangkap dia! Dia itu putera pemberontak Cia Bun Houw...!” Kim Hong Liu-nio berteriak sambil mengejar. Akan tetapi dia terhalang oleh banyak orang, dan melihat para pasukan melakukan pengejaran, wanita ini dengan cemberut lalu masuk kembali ke dalam restoran di mana dia disambut oleh Gu-taijin yang masih terheran-heran.

Sementara itu, melihat dirinya dikejar-kejar pasukan yang makin lama makin banyak jumlahnya, Sin Liong terus melarikan diri. Dia menjadi bingung. Kalau dia dikabarkan sebagai anak pemberontak yang melarikan diri, tentu sukar baginya untuk keluar dari kota raja ini. Tentu pintu-pintu gerbang yang kuat itu telah terjaga dengan ketat, dan ke manapun dia bersembunyi, tentu dia akan terus dicari oleh para perajurit. Mana mungkin dia dapat melawan pasukan yang banyak jumlahnya? Dan diapun tidak mempunyai ingatan untuk melawan pemerintah. Dalam gugupnya dia segera membelok dan masuk ke dalam pasar ketika larinya melewati tempat ini. Dari belakang terdengar hiruk-pikuk para perajurit yang mengejarnya. Pasar itu menjadi geger ketika para perajurit memasukinya dan orang-orang berlarian ke mana-mana ketika mendengar betapa para perajurit itu mengejar-ngejar seorang pemberontak! Makin ribut dan terkejutlah orang-orang itu ketika mendengar bahwa yang dikejar-kejar dan dianggap seorang sebagai pemberontak yang buron itu adalah seorang pelayan rumah makan bernama A-sin!

Ketika Sin Liong sedang kebingungan, berdiri di antara orang-orang pasar yang menyelinap ke sana-sini itu, tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang pengemis muda yang berbisik, “A-sin... cepat, kau ikut...!”

Melihat bahwa pemuda pengemis itu adalah seorang di antara “langganannya”, Sin Liong yang sedang kebingungan itu mengangguk dan cepat dia mengikuti pengemis muda itu menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik itu. Dia dibawa ke bagian belakang pasar, di tempat pengumpulan sampah dan di situ dia melihat empat orang pengemis muda lainnya bersama seorang gadis. Melihat gadis ini, jantungnya berdebar tegang karena dia segera mengenal yang semalam memasuki kamarnya! Gadis itu masih memakai baju biru, entah baju yang semalam entah memang bajunya semua berwarna biru, akan tetapi sepasang matanya tetap bening dan bersinar tajam, pantas kalau dijuluki Walet Mata Emas! Melihat dia, gadis itu tersenyum mengejek.

“Aihh, kiranya si pelayan restoran yang tolol ini seorang pelarian pemberontak?”

“Aku... aku bukan...”

“Ahh, sikapmu yang tolot itu hanya kedok saja. Lekas kau sembunyi ke sini, itu para perajurit sudah datang!” Gadis itu dengan cekatan sudah menyambar tangan Sin Liong dan mendorong pemuda itu ke tempat sampah, kemudian dia bersama teman-temannya lalu menimbuni tubuh Sin Liong yang duduk di atas tanah itu dengan sampah! Baunya bukan main dan terpaksa Sin Liong mengerahkan tenaganya agar jangan muntah-muntah dan juga agar jangan sesak napas. Dia tidak dapat melihat keluar, akan tetapi dia dapat mendengar suara para perajurit yang tiba di situ.

“He! Apakah kalian melihat pemberontak yang lari ke sini?” terdengar bentakan nyaring.

“He! He! Engkau bicara dengan orang atau setan? Begitukah pendidikan sopan santun yang kauterima ketika menjadi perajurit, menyapa orang hanya dengan he-he saja?” tiba-tiba terdengar suara gadis itu marah.

“Apa...? Kalian ini sekumpulan pengemis...” suara pertama menghardik.

“Ah, jangan ceroboh, Ciong-ko, dia ini adalah Kim-gan Yan-cu...!” terdengar suara orang ke dua, agaknya seorang perajurit lain yang mengenal gadis itu.

“Ahhh... maafkan aku, nona. Aku tidak tahu...” kata suara pertama.

Terdengar gadis yang berjuluk Walet Mata Emas itu mengomel. “Hemm, setelah mengenal orang baru bersikap sopan, itu namanya sopan palsu. Biarpun kami orang miskin, apakah para perajurit berhak untuk memandang rendah dan menghina kami? Kalau tidak mampu bertanya dengan sopan, kamipun tidak mampu menjawab!”

“Kim-gan Yan-cu, maafkan kawan kami ini. Dia perajurit baru, pindahan dari luar kota raja. Kami sedang bingung dan sibuk, mengejar-ngejar seorang buronan, seorang pemberontak yang amat berbahaya. Biasanya engkau dan kawan-kawanmu tak pernah mengganggu, bahkan sering kali membantu kami mengamankan daerah-daerah. Maka kini kami mohon bantuanmu dan kawan-kawanmu untuk mencari buronan itu. Dia seorang muda, namanya A-sin, tadinya bekerja sebagai pelayan restoran.”

“Hemm, kami tidak melihat dia sekarang.”

“Kalau kalian melihatnya, harap suka membantu kami menangkapnya, dan harap kalian menyuruh kawan-kawan kalian yang banyak untuk ikut mencarinya.”

“Baik, baik...!”

Tak lama kemudian, para perajurit itu sudah pergi dan Sin Liong disuruh keluar dari tumpukan sampah. Dia merasa heran sekali. Ternyata para perajurit itu tidak hanya mengenal gadis ini, bahkan kelihatan takut dan menghormatinya! Maka diapun cepat menjura. “Terima kasih atas pertolongan kalian...”

“Pertolongan apa! Engkau masih terancam bahaya. Hayo kerjakan dia!” perintah gadis itu.

Empat orang pengemis muda itu lalu beramai-ramai mengenakan pakaian butut kepada Sin Liong dan dengan arang dan lumpur mereka menyulap wajah Sin Liong menjadi wajah yang kotor, wajah seorang pengemis yang terlantar. Sin Liong tidak sempat menolak karena dia tahu bahwa mereka itu bermaksud baik terhadap dirinya.

“Nah, kau diam saja, pura-pura sakit dan kelaparan. Jangan mengeluarkan suara, kecuali rintihan dan keluhan kalau bertemu perajurit,” kata gadis itu dan Sin Liong yang masih keheranan itu hanya mengangguk. Dia benar-benar merasa canggung sekali berhadapan dengan gadis yang ternyata amat berwibawa ini dan merasa makin canggung lagi ketika empat orang itu menggotongnya, seperti menggotong seekor kerbau yang akan disembelih! Dan gadis itu berjalan di depan!

Beberapa kali mereka bertemu dengan pasukan dan seperti dipesankan oleh gadis itu, setiap kali ada pasukan berhenti dan memandang kepadanya, dia mengeluh. “Ini seorang pengemis kelaparan dari luar daerah. Mengotori kota raja saja, dan kami hendak mengirim dia kembali ke tempatnya, biar kalau sampai matipun mati di tempatnya sendiri, tidak di kota raja!” demikian gadis itu menerangkan setiap kali ada pertanyaan dari para perajurit yang masih sibuk mencari-cari Sin Liong itu. Akhirnya, dengan mudah para pengemis muda itu menggotong Sin Liong keluar dari pintu gerbang selatan. Agaknya mereka itu amat dipercaya oleh para penjaga pintu gerbang, apalagi keterangan gadis lincah itu agaknya tidak pernah diragukan orang.

Setelah keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan dan para pengemis yang menggotong tubuh Sin Liong itu sudah tiba jauh dan tidak nampak lagi oleh para penjaga, Sin Liong lalu diturunkan.

“Nah, sekarang kita harus berlari cepat. Hayo ikut dengan kami, A-sin!” kata gadis baju biru itu. Sin Liong hanya mengangguk saja dan dia ikut berlari bersama gadis itu dan empat orang pengemis muda, menuju ke sebuah hutan kecil di lereng bukit yang nampak dari situ.

Ternyata di tengah hutan itu terdapat sebuah kuil rusak yang kosong dan ke tempat inilah mereka menuju. Agaknya gadis itu dan kawan-kawannya sudah biasa di tempat ini karena mereka langsung masuk dan membersihkan sebuah ruangan yang masih belum begitu bobrok dan dapat dipergunakan untuk tempat bersembunyi yang teduh dan terlindung dari panas atau hujan. Memang demikianlah, tempat-tempat seperti kuil kosong, kolong-kolong jembatan, emper-emper toko merupakan tempat-tempat yang tidak asing bagi kaum gelandangan seperti mereka itu, yang tidak mempunyai rumah atau keluarga.

Setelah membersihkan ruangan itu dibantu oleh empat orang pengemis muda yang agaknya menjadi anak buah gadis itu, mereka lalu berunding. “Kalian harus cepat kembali ke kota raja dan menyelidiki keadaan. Kalau ada bahaya mengancam, lekas beri tahu kami di sini. Aku terpaksa harus melindungi si lemah ini!” kata gadis berbaju biru itu kepada empat orang anak buahnya yang menyatakan setuju. Mereka segera berangkat meninggalkan Sin Liong berdua gadis itu.

Diam-diam Sin Liong merasa kagum menyaksikan kesigapan dara itu, kesederhanaannya, kecerdikannya, dan juga wibawanya. Gadis itu tentu paling banyak lima belas atau enam belas tahun usinya, namun telah dapat memimpin pengemis-pengemis muda yang kelihatan begitu taat kepadanya!

Setelah empat orang pengemis muda itu pergi, gadis baju biru itu keluar dari dalam kuil. Tanpa diperintah, Sin Liong mengikutinya dan ketika gadis itu duduk di atas sebuah bangku batu rendah yang berada di belakang kuil rusak, Sin Liong hanya berdiri memandang, sinar matanya masih membayangkan kekaguman dan juga keheranan karena kembali ada perasaan mengganggunya bahwa dia pernah bertemu dengan gadis ini! Wajah gadis ini tidak asing baginya! Akan tetapi biarpun dia payah mengingat-ingat, dia merasa belum pernah berkenalan dengan seorang gadis pengemis, apalagi pemimpin pengemis!

Tiba-tiba gadis itu menoleh dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat sebentar. Gadis itu cemberut. “Ada apa engkau memandangku seperti itu? Engkau berani mengandung pikiran kurang sopan? Kugampar mukamu nanti!”

Sin Liong menjadi gugup dan mukanya menjadi merah, seperti telah dipukul saja. Dia cepat menundukkan mukanya dan tidak berani memandang. Terdengar gadis itu tertawa kecil.

“Hik-hik, aku hanya main-main. Kau mengapa begini pemalu? Eh, A-sin, sungguh tidak kusangka bahwa engkau ternyata bukan sembarang orang, melainkan seorang penting yang menyembunyikan diri dan menyamar sebagai pelayan! Hebat! Semuda ini engkau sudah dijadikan buruan pemerintah. Wah, engkau pasti orang penting yang menyamar. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau dikejar-kejar perajurit kerajaan?”

Sin Liong tidak ingin diketahui sebabnya dia dikejar-kejar para perajurit. Dia dikejar perajurit karena hasutan Kim Hong Liu-nio bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw dan dia sama sekali tidak suka mengaku sebagai putera pendekar itu. Akan tetapi, para pengemis muda pembantu gadis itu pergi menyelidiki ke kota raja. Mereka itu tentu akan mendengar pula bahwa dia menjadi buronan karena putera pendekar Cia Bun Houw. Setelah berpikir sejenak dia menemukan akal.

“Ahh, aku adalah orang biasa dan bekeria sebagai pelayan untuk mencari sesuap nasi. Akan tetapi sungguh sial, mungkin karena persamaan wajah, aku dituduh sebagai anak pemberontak dan dikejar-kejar. Kalau tidak ada engkau yang menolongku, tentu aku telah ditangkap dan dihukum mati.”

Gadis itu bangkit berdiri, menghadapi Sin Liong dan sepasang matanya yang jeli itu dengan penuh selidik mengamati Sin Liong, dari rambut sampai ke kaki, kemudian dia cemberut, menggeleng kepalanya. “Tidak, engkau bukan seorang pelayan restoran biasa! Engkau tidak setolol yang ingin kauperliliatkan. Aku lebih percaya kalau engkau benar-benar seorang penting yang menyamar pelayan daripada seorang pelayan tulen dari dusun yang buta huruf dan tolol. Dan... wajahmu ini tidak asing bagiku! Benar, aku pasti sudah pernah melihatmu. Hayo kau mengaku sajalah!”

Sin Liong terkejut dan dia kembali memandang. Mereka berpandangan dan makin terasa oleh mereka bahwa mereka memang pernah saling jumpa, dan betapa wajah itu tidak asing sama sekali. Kini, setelah tidak berada dalam keadaan tegang, mereka dapat memperhatikan wajah masing-masing. Akan tetapi tetap saja Sin Liong tidak ingat pernah berkenalan dengan seorang gadis pemimpin pengemis, sebaliknya gadis itu agaknya juga tidak ingat pernah bertemu dengan seorang pelayan atau buronan pemberontak.

“Nona, siapakah namamu?” akhirnya Sin Liong bertanya karena dia yakin kalau dia mengetahui nama gadis ini tentu dia akan teringat.

Kembali sinar mata gadis itu memperlihatkan perasaan tidak senang dan curiga. “Mau apa kau tanya-tanya nama orang!” bentaknya curiga, menduga bahwa pemuda ini, seperti pemuda-pemuda lain berwatak ceriwis.

Galak benar bocah ini, pikir Sin Liong. Akan tetapi karena gadis ini telah menolongnya, dia tetap bersikap sabar. “Terus terang saja, nona, akupun merasa seperti pernah bertemu denganmu. Kalau aku mengetahui namamu, mungkin saia aku akan teringat lagi dan kenal padamu.”

“Hemm, engkau sudah mendengar bahwa namaku dikenal sebagai Kim-gan Yan-cu!” kata nona itu dan mendengar nama julukan ini, mau tidak mau Sin Liong memperhatikan mata gadis itu dan memang pantaslah kalau gadis itu dijuluki Kim-gan (Si Walet Emas) karena sepasang mata itu memang amat indahnya!

“Aku tidak mengenal julukan itu.”

“Hemm, kalau tidak mengenal sudah saja!” Gadis itu mendengus marah karena hatinya merasa tidak senang mendengar ada orang yang tidak mengenal “nama besarnya”. Ketika mendengus marah, dia menggerakkan kepalanya sehingga rambut yang dikucir menjadi dua itu pindah ke depan pundak dan gerakan itu membuat lehemya tersibak. Nampak kulit tengkuk leher yang amat mulus, akan tetapi bukan kemulusan kulit itu yang membuat Sin Liong terbelalak, melainkan setitik tahi lalat di kulit tengkuk yang putih mulus itu. Tahi lalat itu! Kini dia teringat dan matanya terbelalak memandang kepada gadis itu. Tahi lalat itu membuat sepasang mata yang tajam dan jeli, hidung kecil mancung dan mulut dengan sepasang bibir mungil itu menjadi sama sekali tidak asing lagi baginya.

“Bi Cu...!” suara ini hanya terdengar sebagai bisikan saja keluar dari mulut Sin Liong yang masih menatap wajah itu tanpa berkedip.

Kini gadis itu yang kelihatan kaget bukan main. Selama ini tidak ada orang yang mengenal namanya, dan dia hanya memperkenalkan nama dengan julukannya itu. “Eh, bagaimana kau bisa mengenal namaku? Kau... kau siapa...?” bentaknya, heran, kaget dan curiga.

Mendengar ini, yakiniah hati Sin Liong dan tiba-tiba dia merasa sekali, teringat akan malapetaka yang menimpa keluarga Na yang amat baik kepadanya itu. “Bi Cu, lupakah engkau kepadaku? Aku Sin Liong...!”

Sepasang mata itu terbelalak lebar, amat indahnya. “Sin Liong...? Ah, tentu saja...! Akan tetapi siapa sangka engkau menjadi pelayan restoran dan seorang buronan pasukan pemerintah pula?” Gadis itu juga teringat akan masa lalu, maka menjadi terharu dan juga gembira sekali. “Sin Liong...!”

Mereka saling berpegang tangan, lalu keduanya berloncatan menari-nari dengan gembira seperti dua orang anak kecil bermain-main. Kegembiraan meluap di dalam hati mereka karena mereka berdua sama sekali tidak pernah mengira akan dapat saling berjumpa setelah malapetaka itu menimpa mereka dalam rumah keluarga Na Ceng Han atau Na-piauwsu.

Akhirnya keduanya ingat bahwa mereka telah bersikap seperti anak kecil. Dengan muka berubah merah Bi Cu melepaskan pegangan tangannya, lalu terengah-engah duduk di atas bangku batu tadi. Wajahnya berseri dan merah sekali, akan tetapi matanya basah air mata.

“Aihh... siapa kira dapat bertemu denganmu lagi, Sin Liong,” Katanya dan dia terhenti karena lehernya seperti tercekik oleh rasa haru.

Sin Liong tersenyum. Bukan main gembira rasa hatinya, Bi Cu yang dulu seorang anak perempuan pendiam itu kini telah menjadi seorang gadis remaja yang lincah, cantik dan cerdik. Teringat akan waktu dulu, dia tertawa dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah gadis itu. “Dan siapa sangka akan dapat bertemu engkau yang kini telah menjadi ratu pengemis? Engkau dahulu begitu pendiam dan pemalu dan sekarang...”

Kegembiraan Sin Liong menular kepada Bi Cu yang kini memang berwatak lincah itu. Dia membuat gerakan lucu dan bersungut-sungut, tangan kirinya terbentang. “Dan sekarang kau hendak mengatakan bahwa aku cerewet dan tak tahu malu?”

“Ihh, tentu saja tidak!” Sin Liong tersenyum. “Engkau menjadi seorang gadis lincah, cerdas dan berani, sungguh mengagumkan sekali, Bi Cu! Sungguh mati, mana mungkin aku dapat mengenalmu lagi?”

“Tapi toh engkau tadi mengenalku lebih dulu!”

“Atas bantuan tahi lalatmu.”

“Eh?” Bi Cu meloncat bangun dan berdiri menghadapi Sin Liong, menatap wajah pemuda itu dengan tajam. “Tahi lalat?”

“Ya, tahi lalat di tengkukmu. Tadi tampak ketika engkau memindahkan kuncirmu ke depan. Engkau mempunyai tahi lalat kecil di tengkuk, apakah engkau tak dapat melihatnya?”

“Hik-hik, tolol engkau. Apa kaukira aku sudah menjadi siluman yang mempunyai mata di belakang kepala? Mana bisa melihat tahi lalat di tengkuk sendiri!”

Sin Liong juga tertawa. “Akan tetapi, sejak dahulu engkau sudah mempunyai tahi lalat itu, apakah kau lupa betapa tahi lalatmu itu dijadikan bahan godaan oleh... Tiong Pek?”

“Ohhh...!” Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Bi Cu dan dia duduk kembali di atas bangku, termenung!

Tanpa ragu-ragu Sin Liong juga duduk di atas bangku itu setelah Bi Cu menggeser ke pinggir. Mereka duduk berdampingan, seperti dulu di waktu mereka baru berusia dua belas tahun. Sin Liong maklum bahwa tentu gadis ini mengalami banyak sekali hal luar biasa, maka dia sampai menjadi seorang pemimpin kaum jembel di pasar kota raja itu.

“Bi Cu, bagaimana engkau dapat berada di sini dan menjadi pemimpin para pengemis muda itu? Bukankah dahulu engkau masih bersama Tiong Pek dan tinggal di Kun-ting?”

Bi Cu bertopang dagu, mukanya masih muram dan bibirnya cemberut, seolah-olah saat itu dia terkenang akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, kemudian dia melirik ke arah muka Sin Liong dan bertanya, “Engkau sendiri, setelah dulu dibawa pergi oleh wanita itu, bagaimana tahu-tahu muncul di kota raja sebagai pelayan restoran yang kemudian dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah?”

Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. “Ah, engkau benar-benar telah berubah banyak sekali, Bi Cu. Engkau dulu pemalu dan pendiam, kini engkau demikian lincah dan pandai bicara. Belum menjawab pertanyaan orang, engkau sudah menyerang kembali dengan pertanyaanmu.”

“Sudah sepatutnya dan selayaknya seorang pria mengalah terhadap wanita, bukan? Nah, kauceritakan pengalamanmu.”

“Seperti engkau ketahui, ketika keluarga paman Na diserbu penjahat dan engkau bersama aku dan Tiong Pek melawan para penjahat, muncul wanita iblis itu dan aku lalu dibawanya pergi...”

“MANUSIA IBLIS? Kaumaksudkan wanita cantik gagah perkasa yang telah berhasil membunuh semua penjahat keji yang telah menewaskan suhu sekeluarganya itu? Mengapa kau menyebut wanita gagah itu iblis?”

“Engkau tidak tahu, Bi Cu. Memang dia, entah mengapa, telah membunuh penjahat-penjahat yang membasmi keluarga paman Na, dan memang agaknya ada kegagahan tersembunyi dalam dirinya, akan tetapi wanita itu adalah seorang manusia iblis yang amat kejam sekali. Namanya Kim Hong Liu-nio, ah, engkau tidak tahu betapa kejamnya. Aku nyaris tewas disiksa olehnya, untung aku dapat... eh, membebaskan diri, ditolong oleh seorang kakek.” Sin Liong tidak ingin menceritakan tentang kakek Cia Keng Hong yang sesungguhnya adalah kakeknya sendiri itu. Juga dia tidak ingin menceritakan bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dia ingin dikenal oleh Bi Cu sebagai Sin Liong yang dahulu ketika mereka bersama-sama belajar di bawah bimbingan Na-piauwsu yang baik hati.

“Nona... nona Kim-gan Yan-cu...!”

Sin Liong dan Bi Cu cepat menengok dan mereka melihat dua orang pengemis muda yang tadi membantu datang dengan muka pucat dan penuh keringat, napas mereka terengah-engah. Semua pengemis muda yang menjadi anak buah Bi Cu memang diharuskan menyebut nona oleh gadis itu. Melihat keadaan dua orang pembantunya yang dia tahu tidak mudah ketakutan itu, Bi Cu maklum bahwa tentu terjadi hal-hal yang hebat.

“Hem, A-sam dan A-khun, ada apakah?” tanyanya dengan alis berkerut sambil bangkit berdiri. Sin Liong sudah berdiri, memandang penuh perhatian.

A-khun memandang kepada Sin Liong dengan terbelalak, sedangkan A-sam setelah menoleh ke arah Sin Liong berkata, “Nona, kita telah tertipu... dia... dia ini benar-benar orang yang menyamar..., kabarnya dia... dia ini seorang yang berkedudukan tinggi, masih saudara dengan seorang pangeran, akan tetapi juga kabarnya dia dicari karena dia keluarga pemberontak... wah, celaka, nona, sekarang ada pasukan kerajaan sedang menuju ke sini untuk menangkap dia, dan juga untuk menangkap nona sendiri...!”

“Biar mereka menangkap aku!” Sin Liong berkata penasaran. “Akan tetapi mengapa mereka hendak menangkap Kim-gan Yan-cu?”

“Ya, mengapa mereka bendak menangkap aku, A-sam?”

“Karena nona diketahui telah menolong dia melarikan diri. Cepat, nona, itu, sudah terdengar bunyi derap kuda mereka!”

Benar saja dari jauh terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Sin Liong tidak merasa gentar, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, sementara itu, A-sam dan A-khun sudah menyelinap dan melarikan diri di antara semak-semak belukar.

“Bi Cu, cepat mari ikut aku pergi!”

Dia menggandeng tangan gadis itu dan mengajak lari. Bi Cu yang biasanya menjadi pemimpin, kini menurut saja karena dia masih terlampau kaget dan bingung. Dikejar pasukan pemerintah bukan merupakan hal yang remeh, pikirnya.

“Ke mana kita akan pergi, Sin Liong?”

Mereka sudah tiba di luar hutan bagian belakang atau bagian selatan dan derap kaki kuda tidak terdengar lagi. Agaknya pasukan yang mengejar mereka itu sedang mencari-cari dan berkeliaran di dalam hutan karena memang hutan belukar itu tidak memungkinkan mereka melarikan kuda cepat-cepat tanpa mengetahui ke arah mana mereka harus mengejar.

“Bi Cu, aku menyesal sekali bahwa engkau terseret oleh kesialanku. Akan tetapi, aku sudah mempunyai tempat yang baik sekali untuk melarikan diri. Mari kati ikut bersamaku ke dalam dusun di mana tinggal keluarga Kui...!”

“Siapa itu keluarga Kui?” Bi Cu bertanya sambil terus melangkah mengikuti Sin Liong. Mereka tidak lari lagi, hanya berjalan cepat menyusup-nyusup di antara batu-batu besar, pohon-pohon dan semak-semak.

“Sin Liong, engkau ini aneh sekali. Benarkah engkau menjadi saudara seorang pangeran? Dan benarkah engkau keluarga pemberontak?” Di tengah perjalanan itu Bi Cu bertanya, suaranya penuh keheranan.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu Gu-taijin yang mengabar-ngabarkan keadaan dirinya sebagai saudara Pangeran Ceng Han How, dan tentu Kim Hong Liu-nio yang mengabarkan bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw! Dia tetap tidak ingin bercerita tentang Cia Bun Houw kepada siapapun juga, apalagi kepada Bi Cu, hanya kenyataan tentang hubungannya dengan Han Houw tentu tidak mungkin untuk dirahasiakannya lagi.

“Baik, kuceritakan semua kepadamu, Bi Cu. Pertama-tama tentang keluarga Kui yang akan kita datangi dan di mana kita akan berlindung dan bersembunyi. Dia... Kui Hok Boan itu adalah ayah tiriku...”

“Ahh...!” Bi Cu menoleh dan memandang wajah Sin Liong dengan tertarik. Selama Sin Liong berada di rumah gurunya atau paman Na Ceng Han, belum pernah anak ini menceritakan keadaan keluarganya yang dirahasiakan. “Dan ibumu masih ada...?”

Sin Liong menggeleng kepala. “Ibu telah meninggal dunia. Beberapa hari yang lalu aku melihat keluarga Kui di kota raja, bahkan melihat mereka berbelanja di pasar kemudian melihat betapa engkau dan kawan-kawanmu mengganggu mereka dan mencopet barang-barang mereka...”

“Ah, kaumaksudkan... pemuda gendut itu?”

“Dia itu keponakan dari Kiu Hok Boan. Dua orang gadis...”

“Dua gadis kembar yang cantik manis itu?”

“Ya, mereka adalah saudara-saudara tiriku.”

Bi Cu mengangguk-angguk, kemudian dia kelihatan meragu. “Kalau si gendut dan yang lain-lain itu mengenali aku, tentu mereka curiga dan mana bisa aku tinggal di tempat orang yang pernah kuganggu?”

“Tidak, Bi Cu. Mereka tidak mungkin mengenailmu. Pula, ada hal lain yang amat perlu bagimu. Kui Hok Boan pernah tinggal lama di utara, dan mungkin dia pernah mendengar tentang ayahmu yang tinggal di utara.”

“Ahh...! Bagus sekali kalau begitu, Sin Liong. Sekarang ceritakan tentang pangeran itu.”

Dengan hati-hati Sin Liong menceritakan tentang Ceng Han Houw, betapa dia bertemu dengan pangeran ini dan sang pangeran suka kepadanya sehingga mengangkatnya sebagai saudara. Akan tetapi dia tetap tidak menceritakan tentang kepandaiannya, bahkan tidak menyinggung tentang kelihaian Ceng Han Houw. Biarpun demikian, Bi Cu tidak mendesak lebih lanjut karena dara ini sudah merasa terlalu heran mendengar betapa Sin Liong menjadi saudara angkat seorang pangeran!

“Sungguh hebat pengalamanmu, Sin Liong. Akan tetapi engkau yang menjadi saudara angkat pangeran, mengapa lalu tinggal di restoran sebagai pelayan?”

“Aku tidak suka akan cara hidup mewah pangeran itu, disanjung-sanjung dan dihormati orang, dijilat-jilat secara berlebihan. Aku lebih suka menjadi orang biasa, bebas melakukan apa-apa tanpa diperhatikan orang.”

“Lalu apa sebabnya engkau yang menjadi saudara angkat pangeran dituduh pemberontak dan dikejar-kejar pasukan? Bukankah engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah saudara angkat pangeran dan pasukan itu tidak akan berani mengganggumu?”

Sin Liong menarik napas panjang. Bi Cu terlalu cerdik untuk menerima ceritanya yang tidak lengkap itu. Kalau dia tidak hati-hati, dia tentu akan terpaksa membuka rahasianya bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, diapun amat cerdik dan cepat dia mengambil keputusan untuk membuka sedikit rahasia pribadinya untuk tetap menutupi rahasia lain.

“Ah, semua itu adalah gara-gara wanita iblis itu, Bi Cu.”

“Eh? Kaumaksudkan... wanita cantik yang berjuluk Kim Hong Liu-nio itu?”

“Benar.”

“Oya, kau pernah diculiknya dan kau bilang nyaris tewas disiksanya, tentu ada apa-apa antara dia dan engkau.”

“Memang benar, dan karena itu pula aku berada di kota raja, menyamar sebagai pelayan rumah makan. Aku memang sedang menyelidikinya. Siapa kira dia telah melihat aku lebih dulu dan mengabarkan bahwa aku adalah pemberontak maka aku dikejar-kejar pasukan.”

“Mau apa engkau menyelidiki wanita itu?”

“Karena dia musuh besarku. Dialah yang telah membunuh ibu kandungku.”

“Ahh...!” Bi Cu sampai menghentikan langkahnya saking kagetnya. Sebelum mendengar ini, dia selalu mengenangkan wanita yang telah membunuh para penyerbu dan para pembunuh keluarga Na itu dengan hati penuh kagum dan dia selalu menganggap wanita itu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman, sungguhpun dia tidak mengerti mengapa pendekar wanita itu melarikan Sin Liong. Kini, dia mendengar bahwa wanita itu dianggap iblis oleh Sin Liong dan ternyata wanita itulah yang telah membunuh ibu kandung Sin Liong! Pemuda itu terpaksa berhenti pula. Sampai lama mereka hanya saling pandang.

“Dan ayah kandungmu, Sin Liong?”

Pemuda itu menggeleng kepala. “Sudah mati!”

“Kasihan engkau, sudah yatim piatu.”

“Sama dengan engkau, Bi Cu.”

“Dan engkau menyelidiki wanita itu untuk apa?”

“Untuk apa? Kalau engkau kelak mengetahui siapa pembunuh ayahmu, apa yang akan kaulakukan, Bi Cu?”

“Membunuhnya!”

“Demikian juga aku.”

“Tapi, wanita itu demikian lihainya! Apa kau mampu menandinginya?”

“Demi membalas kematian ibuku, akan kucoba.”

“Tapi... apakah engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu silat?”

“Hanya dari Na-piauwsu.”

“Ah, dengan kepandaiantnu seperti itu, mana mampu engkau menandingi wanita itu? Akan tetapi, biar aku membantumu, Sin Liong?”

“Terima kasih, agaknya engkau sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, Bi Cu.”

“Cukup lumayan, biarpun aku tidak berani memastikan apakah aku akan mampu menandingi Kim Hong Liu-nio yang kelihatannya amat lihai itu. Sekarang dengarlah ceritaku tentang pengalaman semenjak kita saling berpisah, Sin Liong.”

Dengan sikapnya yang polos, gerak-gerik yang lincah dan amat menarik bagi Sin Liong, gerak bibir yang manis dan gerak mata yang menunjukkan kecerdikan, dara remaja itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih lima tahun ini.

***




Seperti telah kita ketahui, kurang lebih lima tahun yang lalu keluarga Na Ceng Han di kota Kun-ting telah diserbu oleh musuh-musuhnya yaitu piauwsu dari Gin-to-piauwkiok bernama Ciok Khun yang dibantu oleh Lu Seng Ok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang murtad dan telah diusir dari perkumpulan itu, dibantu oleh lima orang anak buah Ciok Khun. Penyerbuan hebat ini mengakibatkan matinya Na Ceng Han dan isterinya dan beberapa orang anggauta Ui-eng-piauwkiok yang dipimpin oleh Na-piauwsu itu. Bahkan putera Na-piauwsu, Na Tiong Pek, bersama Bhe Bi Cu dan Sin Liong nyaris tewas pula oleh para penyerbu itu. Akan tetapi muncul Kim Hong Liu-nio yang timbul watak gagahnya melihat tiga orang anak-anak bertanding mati-matian melawan para penyerbu itu sehingga wanita sakti ini turun tangan membunuh Ciok Khun dan enam orang pembantunya, kemudian Kim Hong Liu-nio mengenal Sin Liong dan menculiknya lalu membawanya pergi.

Gegerlah kota Kun-ting dengan terjadinya peristiwa ini Tiong Pek dan Bi Cu hanya dapat menangisi jenazah Na-piauwsu dan isterinya. Kemudian muncul para anggauta Ui-eng-piauwkiok yang segera mengurus mayat-mayat itu. Ui-eng-piauwkiok berkabung dan untung bagi Tiong Pek dan Bi Cu bahwa para anggauta piauwkiok itu cukup setia dan telah mengurus kedua jenazah itu sebaiknya sampai selesai dimakamkan.

Bahkan setelah selesai pemakaman itu, para tokoh Ui-eng-piauwkiok yang menjadi pembantu-pembantu utama dari mendiang Na Ceng Han, mengadakan rapat dan kemudian diambil keputusan untuk melanjutkan Ui-eng-piauwkiok yang sudah terkenal dan dipercaya oleh para pedagang. Sebagai pengganti Na Ceng Han diangkat Na Tiong Pek. Akan tetapi karena anak itu baru berusia tiga belas tahun, dan ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat diandalkan menjadi piauwkiok, maka pengangkatan pemimpin ini hanya untuk mempertahankan nama Na-piauwsu saja dan juga rumah keluarga. Na itu dipakai sebagai pusat, sedangkan yang memimpin adalah para pembantu-pembantu utama mendiang Na-piauwsu itulah. Mereka bahkan melanjutkan pelajaran Na Tiong Pek dan melatih ilmu silat kepada pemuda remaja ini.

Bi Cu tetap tinggal di rumah Tiong Pek. Akan tetapi gadis cilik ini merasa kesepian dan kehilangan, dan merasa tidak senang lagi tinggal di rumah besar itu. Apalagi ketika nampak gejala-gejala betapa Tiong Pek makin tergila-gila kepadanya. Beberapa kali pemuda ini menyatakan bahwa mereka adalah calon suami isteri! Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di dalam taman bunga yang sedang indah-indahnya karena semua bunga sedang mekar di tengah-tengah musim bunga itu, kembali Tiong Pek menyatakan persoalan itu.

“Sumoi, marilah duduk dekat denganku di sini.” Dia menepuk papan bangku di sebelahnya.

Bi Cu mengerutkan alisnya dan menjawab, “Di sinipun sama saja, suheng.” Dia sendiri duduk di atas bangku batu kecil tak jauh dari tempat duduk Tiong Pek.

“Ke sinilah, sumoi, aku mau bicara penting sekali.”

“Di sinipun aku sudah dapat mendengarmu, suheng. Mau bicara apakah?” Diam-diam dara kecil ini merasa khawatir karena selama satu tahun semenjak tewasnya Na-piauwsu dan isterinya, sering kali dia harus menolak kalau Tiong Pek ingin memperlihatkan perasaannya dengan menyentuhnya atau memegang lengannya atau mengeluarkan kata-kata manis merayu!



“Sumoi, kenapa engkau selalu bersikap dingin dan malu-malu terhadap aku? Bukankah kita ini sudah menjadi calon suami isteri? Kita tinggal menanti beberapa tahun lagi sampai kita cukup dewasa dan kita akan menikah, menjadi suami isteri.”

Bosan sudah Bi Cu mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. “Suheng, engkau selalu bicara tentang itu. Sudah kukatakan bahwa aku masih terlalu kecil, usiaku baru dua belas tahun, untuk bicara soal pernikahan!”

“Akan tetapi kita telah saling bertunangan!”

“Sejak kapankah kita bertunangan?”

“Eh, semua orang tahu belaka bahwa ayah dan ibuku menghendaki begitu. Semua paman di Ui-eng-piauwkiok juga sudah mendengar sendiri pernyataan mendiang ayahku kepada mereka, yaitu bahwa engkau telah dipilihnya untuk menjadi jodohku.”

Bi Cu yang biasanya pendiam itu menjadi khawatir dan bingung. Dia tahu bahwa dia berhutang budi kepada keluarga Na, semenjak kecil dia telah hidup di dalam lingkungan keluarga itu, diperlakukan dengan baik sekali, seperti anggauta sendiri. Mendiang ayah dan ibu Tiong Pek amat baik kepadanya, bahkan dia harus mengakui pula bahwa Tiong Pek sendiri selalu bersikap manis dan baik kepadanya. Agaknya, pengangkatan dirinya sebagai calon isteri Tiong Pek merupakan hal yang wajar, bahkan sudah semestinya, dan tentu akan disetujui oleh semua tokoh Ui-eng-piauwkiok dan mereka tentu menganggap bahwa nasibnya amat baik! Akan tetapi, dia sendiri merasa tidak suka! Bukan dia tidak suka kepada Tiong Pek yang amat baik kepadanya, akan tetapi dia sama sekali belum memikirkan soal pernikahan! Apalagi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya yang kabarnya dibunuh orang tanpa dia mengetahui siapa pembunuhnya!

“Akan tetapi, suheng, hal itu belum resmi, jadi tidak semestinya kalau kau mengatakan bahwa kita telah bertunangan.”

Sikap dari Bi Cu ini mengecewakan hati Tiong Pek. Pemuda ini memang sejak masa kanak-kanak sudah merasa suka sekali kepada Bi Cu dan menjelang dewasa dia makin mencinta sumoinya ini. Melihat sikap Bi Cu, dia merasa kecewa dan juga khawatir, maka pada keesokan harinya dia lalu minta bantuan paman-pamannya.

“Seperti paman sekalian tentu mengetahui, mendiang ayah dan ibu sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan aku dengan Bi Cu, dan karena mereka berdua meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan, maka keinginan hati mereka itu bagiku merupakan pesan dan wasiat terakhir. Dan mengingat bahwa kami berdua sudah makin besar dan menjelang dewasa, maka aku minta kepada paman agar suka mengatur persembahyangan dan meresmikan pertunangan kami di depan arwah ayah ibu agar mereka dapat tenang di alam baka.”

Para tokoh Ui-eng-piauwkiok itu terdiri dari lima orang, dipimpin oleh pembantu utama mendiang Na-piauwsu yang bernama Louw Kiat Hui, seorang laki-laki tinggi besar, berwatak jujur dan bermata lebar. Louw Kiat Hui memang masih terhitung sute sendiri dari mendiang Na Ceng Han, yaitu ketika mereka berdua berguru kepada seorang guru silat kenamaan di selatan. Jadi orang she Louw ini masih terhitung susiok dari Tiong Pek. Mendengar ucapan keponakannya ini, Louw Kiat Hui mengangguk-angguk dengan girang.

“Memang kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Tiong Pek. Dan kalau demikian permintaanmu, memang sebaiknya pertunangan itu diresmikan dan dilakukan sembahyang besar-besaran dan mengundang tamu-tamu sebagai saksi.”

“Terserah kepada Louw-susiok untuk mengaturnya,” jawab Tiong Pek dengan girang.

Louw Kiat Hui adalah seorang gagah yang jujur dan berpandangan luas. “Perjodohan adalah pertalian hidup antara dua orang manusia,” katanya dengan wajah serius, “oleh karena itu, yang pertama kali tersangkut dan mempunyai kepentingan adalah dua orang yang akan mengikatkan diri dalam pertalian perjodohan itulah. Oleh karena itu, sebelum kita mengambil langkah-langkah selanjutnya, sudah selayaknya kalau kita mendengar dulu pendapat yang bersangkutan, yaitu Bi Cu.”

Bi Cu segera dipanggil dan gadis kecil itu menghadap dengan hati menduga-duga, karena dia melihat lima orang penting dari Ui-eng-piauwkiok itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan bibir tersenyum, sedangkan Tiong Pek sudah lebih dulu berada di situ.

“Ada apakah Louw-susiok memanggilku?” tanyanya. Bi Cu, seperti juga Tiong Pek, kini dipimpin oleh Louw Kiat Hui dalam pelajaran ilmu silat dan diapun menyebut susiok kepada tokoh yang kini menggantikan kedudukan mendiang Na-piauwsu memimpin perusahaan itu.

“Duduklah, Bi Cu. Kita akan mengajakmu bicara tentang perjodohanmu dengan Tiong Pek seperti telah berkali-kali dinyatakan oleh mendiang Na-suheng dan isterinya.”

Bi Cu mengerling kepada Tiong Pek dan dia dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja diatur oleh suhengnya itu dalam usahanya untuk meresmikan pertunangan mereka. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah, hatinya terasa panas dan timbul semacam perlawanan, alisnya berkerut.

“Apakah yang susiok maksudkan? Aku tidak mengerti,” jawabnya lirih sambil menunduk.

Lima orang pimpinan Ui-eng-piauwkiok itu tersenyum, dan saling pandang. Menggelikan dan juga mengharukan melihat seorang dara remaja menundukkan muka kemalu-maluan kalau diajak bicara tentang perjodohan!

“Begini, Bi Cu. Semenjak engkau dan Tiong Pek masih kecil, mendiang Na-suheng dan isterinya sudah sering kali menyatakan bahwa kalian berdua akan saling dijodohkan, akan tetapi sayang, sebelum niat itu dilaksanakan, mereka telah lebih dulu meninggalkan kita. Sekarang, karena kalian berdua sudah menjelang dewasa, kami merasa sudah menjadi kewajiban kami untuk melaksanakan cita-cita mereka berdua itu, dan agar arwah mereka tenang di alam baka, maka kami bermaksud untuk mengadakan sembahyang dan meresmikan pertunanganmu dengan Tiong Pek, disaksikan oleh sahabat-sahabat dan para undangan. Dan sebelum itu, kami sengaja memanggilmu untuk memberi tahu dan mendengar bagaimana pendapatmu tentang maksud kami itu, Bi Cu.”

Gadis kecil itu masih menundukkan mukanya dan semua orang memandang kepadanya, menduga bahwa seperti kebiasaan para gadis pada umumnya yang ditanya tentang pernikahan, dia tentu akan menjawab “terserah kepada susiok”, atau hanya mengangguk tanpa kata, atau juga lari memasuki kamarnya. Semua itu akan menjadi tanda bahwa Bi Cu sudah setuju!

Akan tetapi, terkejut dan heranlah semua orang di situ ketika mereka melihat Bi Cu menggeleng kepalanya, mengangkat mukanya yang merah dan menjawab dengan suara gemetar, “Tidak, susiok, aku masih terlalu kecil untuk bicara tentang perjodohan. Aku belum memikirkan perjodohan dan tidak mau bicara tentang itu.” Dia menundukkan mukanya kembali.

Louw Kiat Hui saling berpandangan dengan teman-temannya, dan mengerling kepada Tiong Pek yang hanya duduk diam sambil menundukkan mukanya pula. Kemudian orang tinggi besar ini memandang kepada Bi Cu yang menunduk itu dan berkata, suaranya lantang dan mendesak.

“Bi Cu, mengapa engkau menolak? Apakah engkau tidak setuju dijodohkan dengan Tiong Pek? Apakah engkau hendak menentang pesan terakhir dari Na-suheng dan isterinya?” Di dalam hatinya, Louw Kiat Hui merasa penasaran karena dia tahu benar betapa gadis ini telah menerima budi berlimpah-limpah dari keluarga Na, dan bahwa Tiong Pek adalah seorang pemuda cukup tampan, gagah dan berharta sehingga tidak pantaslah kalau gadis ini menolaknya.

Gadis yang baru berusia dua belas tahun itu mengangkat mukanya dan kini nampak mukanya agak pucat dan kedua matanya basah. Akan tetapi suaranya cukup tegas ketika terdengar dia berkata, “Susiok sekalian agaknya hanya mengingat keluarga sefihak saja, mengingat akan pesan dari suhu, yaitu ayah dari suheng. Agaknya sama sekali susiok sekalian tidak pernah mengingat keluargaku, tidak mengingat orang tuaku sendiri sehingga aku diharuskan memutuskan sendiri tentang perjodohanku.”

Louw Kiat Hui terkejut. Kembali dia saling berpandangan dengan para temannya, kemudian dia berkata dengan suara lembut, “Ah, Bi Cu, jangan engkau beranggapan seperti itu. Andaikata kami tahu bahwa engkau masih mempunyai orang tua, sudah tentu kami tidak akan berani lancang dan tentu kami akan minta pendapat orang tuamu. Akan tetapi, kita semua tahu bahwa ibumu telah tiada, sedangkan ayahmu...”

“Ayah dibunuh orang, dan sampai sekarang aku belum tahu di mana kuburnya! Pantaskah aku sebagai anak tunggalnya kini memutuskan sendiri perjodohan tanpa memperdulikan keadaan ayah? Tidak, susiok, sebelum aku tahu siapa pembunuh ayah, dan sebelum aku dapat bersembahyang di depan makam ayah kandungku, aku tidak mungkin bisa memutuskan tentang ikatan jodoh ini.” Setelah berkata demikian, sambil menangis Bi Cu bangkit berdiri kemudian lari memasuki kamarnya di mana dia membanting dirinya menelungkup dan menangis di atas pembaringan.

“Sudahlah, susiok. Dia memang benar. Kita kurang memperhatikan hal itu. Biarlah pertunangan resmi diundurkan dulu, betapapun juga kami toh sudah dapat dibilang bertunangan, biarpun belum resmi. Dan sebaiknya kalau susiok sekalian mencoba untuk menyelidiki tentang kematian ayah kandung sumoi di utara,” kata Tiong Pek yang merasa terharu juga melihat sikap Bi Cu yang dicintanya.

Akan tetapi, para piauwsu yang sibuk dengan pekerjaan itu, mana mempunyai kesempatan untuk menyelidiki tentang kematian ayah Bi Cu jauh di utara, di luar tembok besar? Memang sekali-kali pernah mereka ini mengawal barang atau orang sampai keluar tembok besar, akan tetapi tidak sejauh tempat yang pernah menjadi tempat tinggal Bhe Coan, ayah kandung dari Bhe Bi Cu itu. Dan kalau mendiang Na-piauwsu sendiri pernah menyelidiki ke sana dan tidak berhasil mengetahui siapa pembunuh Bhe Coan, apa pula yang bisa mereka lakukan?

Setelah terjadi peristiwa itu, Bi Cu makin merasa gelisah dan tidak kerasan berada di rumah Tiong Pek. Dia merasa betapa dia telah berhutang budi kepada keluarga Na, betapa pemuda itu memang amat baik kepadanya. Inilah yang menyebabkan dia makin gelisah. Tiong Pek amat baik kepadanya dan dia tidak ingin menghancurkan hati pemuda itu, akan tetapi diapun tidak mungkin dapat membalas cinta Tiong Pek. Setiap hari Bi Cu termenung duka, apalagi setelah lewat berbulan-bulan, belum juga ada berita tentang hasil usaha Louw Kiat Hui dan para paman yang lain mencari atau menyelidiki tentang pembunuh ayahnya. Sementara itu, sikap Tiong Pek makin hari makin mendesak dan makin mesra, pandang mata pemuda itu seperti hendak menembus hatinya dan senyum yang merayu itu mendatangkan rasa iba dalam hatinya. Akhirnya Bi Cu tidak kuat menahan lagi dan pada suatu malam, dengan bekal beberapa potong pakaian, larilah dia meninggalkan rumah Tiong Pek untuk pergi ke utara dan melakukan penyelidikan sendiri!

Pada keesokan harinya, Tiong Pek dan para tokoh Ui-eng-piauwkiok menjadi geger melihat kepergian Bi Cu yang tidak meninggalkan pesan apapun. Mereka menjadi bingung dan segera melakukan pengejaran ke utara karena mereka dapat menduga bahwa tentu gadis kecil itu nekat pergi ke utara untuk menyelidiki tentang pembunuh ayah kandungnya.

Dugaan semua tokoh Ui-eng-piauwkiok ternyata tepat. Setelah melakukan pengejaran selama sehari penuh, akhirnya pada malam harinya Louw Kiat Hui dan empat orang temannya, bersama Tiong Pek sendiri, telah dapat menyusul Bi Cu yang beristirahat di rumah seorang petani di dusun sebelah selatan kota raja. Mudah saja mencari jejak seorang gadis kecil yang melakukan perjalanan seorang diri pada waktu itu.

Bi Cu terkejut dan menangis ketika lima orang pamannya itu bersama Tiong Pek muncul.

“Mari kita pulang ke Kun-ting, Bi Cu,” kata Louw Kiat Hui dengan sikap halus tanpa banyak kata-kata teguran.

“Tidak, aku tidak mau...!” Bi Cu menangis. “Aku hendak pergi mencari pembunuh ayah. Tinggalkan aku sendiri!”

Tiong Pek menghampiri Bi Cu dan memegangi tangannya. “Sumoi, mengapa engkau hendak meninggalkan aku? Apakah kesalahanku kepadamu?”

“Tidak, suheng, engkau tidak bersalah, kalian semua tidak bersalah. Akulah yang bersalah, akan tetapi... blarkan aku pergi, biarkan aku mencari sendiri pembunuh ayahku, jahgan memaksa aku kembali ke Kun-ting.”

Louw Kiat Hui memandang gadis yang menangis terisak-isak itu. “Bi Cu, engkau harus ikut kami kembali ke Kun-ting dan marilah di sana kita bicara.”

Mendengar ucapan Louw Kiat Hui agak mendesak karena orang tinggi besar ini memang sudah tidak sabar lagi melihat Bi Cu menangis dan memang diam-diam diapun merasa penasaran dan marah melihat gadis kecil itu nekat melarikan diri tanpa pamit, Bi Cu mengangkat mukanya memandang.

“Louw-susiok, mengapa susiok hendak memaksa aku kembali ke sana? Aku tidak mau kembali! Apakah susiok demikian jahat...?”

Louw Kiat Hui memandang tajam kepada murid keponakan itu. “Bi Cu!” Suaranya terdengar tegas dan menunjukkan kemarahan, “Omongan apa yang kaukeluarkan ini? Kalau kami membiarkan engkau pergi, melakukan perjalanan berbahaya seorang diri, sehingga akhirnya engkau pasti celaka, maka barulah kami benar-benar jahat! Sebaliknya, kalau engkau memaksa hendak pergi minggat begitu saja meninggalkan rumah di mana engkau dibesarkan dan dirawat penuh kasih sayang, maka engkau adalah seorang anak yang tak mengenal budi dan jahat!”

Bi Cu adalah seorang anak yang wataknya pendiam dan keras. Mendengar ucapan itu dia lalu membantah, “Dan kalau aku akan dipaksa menikah hanya untuk membalas budi, apa itu namanya, paman?”

Sejenak Louw Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali suaranya halus, “Sudahlah. Mari kita semua pulang ke Kun-ting dan segala sesuatu dapat dibicarakan dengan tenang di sana.”

Louw Kiat Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik rumah dusun itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia mengajak Bi Cu untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga! Tindakan Louw Kiat Hui ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia harus melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu bahwa kalau dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah pasti gadis kecil ini akan mengalami malapetaka di tengah jalan. Ilmu silat yang dikuasai gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri.

Karena lelah, maka akhirnya mereka bermalam di sebuah kuil di tengah perjalanan. Kuil itu adalah kuil seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan kamar. Untuk mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui sendiri bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran, sedangkan Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah pembaringan di kamar sebelah.

Malam itu sunyi sekali. Semua penghuni dusun di mana kuil itu berdiri sudah tidur karena waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para piauwsu juga sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri dan seorang piauwsu lain yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu. Di sebelah dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis perlahan karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu!

Tiba-tiba kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil disusul menyambarnya sebuah batu kecil yang tepat mengenai lampu yang tergantung di luar kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat Hui cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya.

“Siapa di situ?” bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia meloncat ke arah suara batuk tadi. Akan tetapi pada saat itu dia merasa ada angin menyambar dan ada orang berkelebat di dekatnya. Nampak bayangan remang-remang karena cuaca yang gelap dan yang hanya mendapat penerangan dari lampu yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati orang she Louw ini ketika melihat betapa bayangan itu telah mendorong daun pintu dan memasuki kamar Bi Cu!

“Heiii... tahan...!” Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika dari dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu!

“Lepaskan dia!” bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya.

“Plakk! Tranggg...!” Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar.

“Berhenti! Siapa engkau berani menculik orang?” teriak Louw Kiat Hui sambil mengejar. Bayangan itu membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas muka orang karena cuaca yang gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia tidak berani lancang mempergunakan pedangnya.

Akan tetapi bayangan itu tidak mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan gerakan sembarangan.

“Plakk! Ahhh...!” Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu membuat lengan kirinya seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, membabatkan pedang ke arah kedua kaki lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah lambung. Namun, dengan lincah dan mudahnya, bayangan itu mengelak terus sampai lima jurus. Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu sedemikian kuatnya sehingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum piauwsu ini mampu mengelak, dia sudah roboh tertotok. Para piauwsu lain terbangun oleh suara gaduh, akan tetapi selagi mereka hendak mengeroyok, bayangan itu telah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan malam sambil membawa pergi tubuh Bi Cu!

Gegerlah para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama para piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang lemah itupun tidak dapat memberi keterangan. Louw Kiat Hui dan teman-temannya lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka mencari di sekitar tempat itu, namun, jangankan menemukan jejak orang itu, bahkan keterangan tentang orang itupun tidak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak tahu siapakah bayangan yang sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan tongkat!

Louw Kiat Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali. Mereka terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan biarpun para piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan Bi Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Siapakah yang menculik Bi Cu? Mari kita ikuti pengalamannya semenjak malam dia lenyap dari kuil itu. Ketika itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara gaduh dan pintu kamarnya jebol. Dia hanya melihat bayangan orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, bayangan orang itu telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata, “Mari kau ikut bersamaku melarikan diri dari mereka, anak yang baik.”

Bayangan itu lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tidak mampu bergerak lagi. Dia merasa bingung harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Kalau menyerah, dia belum tahu siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh kata-kata yang sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para piauwsu itu. Apalagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia makin bingung dan khawatir. Akan tetapi ketika dia dibawa pergi dengan berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, tahulah Bi Cu bahwa pembawanya adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi kini dia sudah melihat orang itu, seorang kakek tua yang berpakaian aneh, bajunya penuh tambalan seperti baju pengemis, namun tambalan-tambalan itu berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus dan mukanya seperti tikus!

Setelah terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu dah memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke kota raja.

“Nah, engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa mereka dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku tahu bahwa engkau tidak suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka paksa untuk ikut dengan mereka?”

Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya. “Aku hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarang, karena itu aku berduka dan menangis, kek.” Dia menutup penuturannya.

Kakek itu tersenyum. “Ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dulu dariku, kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?”

Bi Cu tadi telah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri teecu!” katanya.

Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun.

“Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i Kai-pang di daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kai-pang mempunyai suatu peraturan yang melarang menerima anggauta wanita. Oleh karena itu, biarpun engkau ini muridku, namun engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan Hwa-i Kai-pang. Mengertikah engkau, Bi Cu?”

“Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!”

Hwa-i Sin-kai tertawa lagi. “Dan mulai saat ini engkau tidak boleh memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng-piawkiok itu tentu akan mencarimu. Maka kalau sampai ada yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadipun untuk menolongmu, aku mempergunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka.”

“Kalau tidak, memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?”

“Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan setelah menjadi muridku engkau kelak tentu akan memiliki kegesitan, maka biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet), jadi mulai sekarang engkau terpaksa memperkenalkan nama, pakailah nama Kim-gan Yan-cu.”

Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan di situ dia digembleng ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu dia dikenal di antara para anggauta Hwa-i Kai-pang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka. Biarpun Bi Cu tidak menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, namun dia dikenal oleh semua anggauta dan disuka oleh para anggauta muda, apalagi karena dia dikagumi sebagai murid sang ketua dan memang Bi Cu berbakat sehingga ilmu silatnya maju dengan pesatnya. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam dari Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas sekali.

Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu.

***




“Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan pengemis itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di pasar itu, Bi Cu?” Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita.

“Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kai-pang bubar!”

“Eh? Bubar? Mengapa?”

“Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas.”

“Suhumu, kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?”

“Dikeroyok pasukan pemerintah. Ketika itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan.”

“Ahhh...?” Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri ayah kandungnya itu.

“Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sewenang-wenang, masa suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kai-pang bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggauta Hwa-i Kai-pang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami menolongmu mati-matian.”

Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja inipun mengalami hal-hal yang amat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia tersenyum memandang wajah yang manis itu. “Aih, kiranya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!”



“Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau dibandingkan dengan dahulu ketika kita masih sama-sama belajar kepada Na-piauwsu, tentu saja aku telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Akan tetapi setelah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah.”

“Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat aku datang dari Lembah Naga dan aku mengenal daerah di utara.”

Bi Cu tersenyum. “Dan akupun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi musuh besarmu.”

Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya kita saling bantu. Kita bersama-sama mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua orang-orang yatim piatu memang sudah selayaknya saling bantu.”

“Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu.”

“Dan akupun girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun di mana tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap.”

Mereka lalu mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai di sini Bi Cu termangu-mangu.

“Sin Liong, kau masuklah saja dulu,” bisiknya. “Aku merasa malu, karena kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka...”

“Ah, mereka tidak akan tahu...”

“Kau masuklah dulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru engkau panggil aku. Kau boleh beritahukan dulu kepada mereka tentang kehadiranku...”

Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah kalau datang-datang dia membawa teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andaikata mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiripun tidak akan mau tinggal di situ!

“Baik, kautunggu di sini sebentar,” katanya dan dia lalu melangkah masuk. Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan serambi depan juga kelihatan sunyi tidak nampak adanya seorangpun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggauta keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lalu mengambil jalan memutar, melewati samping rumah di mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.

Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 3 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kho-ping-hoo-pendekar-lembah_9696.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Kho Ping Hoo : Pendekar Lembah Naga 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/05/cersil-kho-ping-hoo-pendekar-lembah_9696.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar