apa-apa dengan keluarga Tan kalian, selamanya aku
pun sangat mengindahkan kepribadian Ti-kong Taysu,
jika kalian hendak memecat aku sebagai pangcu, aku
rela mengundurkan diri, tapi mengapa kalian mengarang
dongeng palsu seperti itu untuk menista diriku.
Sebenarnya perbuatan jahat apakah yang pernah
kulakukan hingga kalian tega memperlakukan diriku
sekeji ini?”
Mendengar suara Kiau Hong itu agak serak, mau tak
mau timbul rasa terharu semua orang. Tapi demi
terdengar tulang tubuh Ti-kong Taysu bekertakan, semua
orang pun sadar jiwa padri itu sudah di tepi jurang, mati
atau hidupnya hanya bergantung di tangan Kiau Hong.
Suasana waktu itu menjadi sunyi senyap. Tiada
seorang pun berani buka suara. Sampai agak lama tibatiba
Tio-ci-sun tertawa dingin beberapa kali, katanya,
“Hehe, benar-benar menggelikan! Bangsa Han toh tidak
lebih terhormat dari bangsa lain, bangsa Cidan juga
belum tentu lebih rendah daripada binatang! Sudah
terang orang Cidan, tapi berkeras mengaku sebagai
bangsa Han, memangnya apa sih yang menarik? Sampai
ayah-bunda sendiri juga tidak sudi diakui, masakah
masih dapat disebut seorang laki-laki sejati, seorang
kesatria?”
1265
“Jadi engkau juga mengatakan aku orang Cidan?”
tanya Kiau Hong dengan melotot.
“Aku tidak tahu,” sahut Tio-ci-sun. “Cuma dalam
pertempuran di Gan-bun-koan itu, dengan jelas kulihat
jago Cidan itu baik air mukanya maupun perawakannya
memang sangat mirip engkau. Pertempuran itu boleh
dikatakan telah membuat nyaliku pecah, maka air muka
orang itu biarpun lewat seabad lagi juga tetap kuingat.”
Perlahan Kiau Hong melepaskan Ti-kong, ia tarik
kembali kakinya pula dan sekali mencukit, tubuh Tan Kisan
didepaknya pergi dengan enteng. Dan begitu jatuh
ke tanah, cepat Tan Ki-san meloncat bangun tanpa
terluka sedikit pun.
Waktu Kiau Hong pandang Ti-kong, ia lihat padri itu
bersikap tenang saja, sedikit pun tiada tanda palsu dan
licik. Maka tanyanya, “Kemudian bagaimana?”
“Kemudian engkau sendiri pun sudah tahu,” sahut Tikong.
“Ketika engkau berusia tujuh tahun, waktu memetik
buah-buahan di pegunungan Siau-sit-san, engkau
diserang serigala, untung engkau ditolong padri Siau-limsi.
Selanjutnya tiap-tiap hari padri itu datang padamu dan
memberi pelajaran ilmu silat, benar tidak?”
“Ya, kiranya kau pun tahu urusan ini,” sahut Kiau
Hong.
Maklum, pada waktu padri Siau-lim-si itu mengajarkan
ilmu silat padanya, lebih dulu ia telah berjanji takkan
memberitahukan kepada orang lain. Maka orang
1266
Kangouw cuma tahu dia adalah ahli waris Ong-pangcu
dari Kay-pang dan tiada yang tahu bahwa dia ada
hubungan dengan Siau-lim-si.
Maka Ti-kong melanjutkan lagi, “Tindakan padri Siaulim-
si itu sebenarnya juga atas permintaan Toako
Pemimpin kita untuk memberi ajaran padamu agar
engkau tidak sampai sesat jalan. Bahkan berhubung
dengan itu, aku, Toako Pemimpin dan Ong-pangcu
pernah saling berdebat. Aku berpendapat engkau lebih
baik bertani saja dan tidak belajar silat hingga terlibat
pula dalam suka-duka orang Kangouw. Tapi Toako
Pemimpin justru mengatakan kami telah berdosa kepada
ayah-bundamu, maka ingin mendidik dirimu hingga
menjadi seorang kesatria sejati.”
“Sebenarnya do ... dosa apa kalian itu?” kata Kiau
Hong. “Toh dalam pertempuran antara dua pihak, kalau
tidak membunuh tentu akan dibunuh?”
“Tentang itu kelak boleh kau baca sendiri ukiran
tulisan di dinding batu di luar Gan-bun-koan itu,” sahut Tikong.
“Akhirnya, waktu engkau berusia 14 tahun, engkau
lantas diterima menjadi murid Ong-pangcu. Dan
bagaimana kejadian selanjutnya, meski semuanya
memang berkat rezekimu sendiri yang besar serta
bakatmu yang baik hingga banyak mendapat kemajuan
yang luar biasa, namun kalau tiada perhatian Toako
Pemimpin dan Ong-pangcu yang setiap saat mengawasi
dirimu, mungkin tidaklah mudah bagimu untuk mencapai
tingkatan seperti sekarang ini.”
Diam-diam Kiau Hong merenungkan masa silam,
banyak sudah bahaya yang pernah dialaminya, tapi
1267
segala kesulitan itu selalu dapat dipecahkannya dengan
mudah tanpa mengalami kerugian yang berarti. Bahkan
banyak kesempatan baik selalu datang sendiri seakanakan
sengaja diantarkan kepadanya tanpa diminta.
Dahulu ia sangka hal itu adalah berkat rezeki sendiri
yang teramat besar, maka selalu beruntung. Tapi kini
demi mendengar cerita Ti-kong itu, ia menjadi ragu
apakah mungkin ada seorang pahlawan besar yang
diam-diam telah membantunya di luar tahunya? Ia
merasa bingung oleh cerita Ti-kong itu. Bila benar seperti
apa yang dikatakan maka dirinya adalah bangsa Cidan
dan bukan orang Han, begitu pula Ong-pangcu juga
bukan lagi gurunya yang berbudi, sebaliknya adalah
musuh yang membunuh ayah-bundanya.
Juga pahlawan yang diam-diam membantunya itu
bukan lagi sengaja hendak membantunya, tapi karena
orang merasa berdosa, maka berusaha menebus
kesalahannya itu. “Tidak, tidak! Bangsa Cidan terkenal
sangat buas dan kejam serta menjadi musuh bebuyutan
bangsa Han kita, mana boleh aku menjadi bangsa
Cidan?” demikian pikirnya.
Sementara itu Ti-kong telah menyambung, “Semula
Ong-pangcu masih waswas padamu, tapi kemudian demi
melihat pelajaran silatmu maju sangat pesat, tingkah
lakumu juga sangat mencocoki hatinya, terhadap dia kau
pun sangat menghormat dan mengindahkan, maka
lambat laun ia pun sayang padamu, lebih jauh sesudah
engkau banyak berjasa, namamu tambah disegani baik
di dalam maupun di luar Kay-pang, maka setiap orang
tahu bahwa jabatan ketua Kay-pang selanjutnya pasti
akan diserahkan padamu.
1268
“Namun Ong-pangcu sendiri masih ragu, yaitu
disebabkan engkau adalah keturunan Cidan. Beliau telah
menguji tiga soal padamu dan semuanya dapat kau
laksanakan dengan baik, habis itu dia mengharuskan
pula padamu melakukan tujuh tugas besar yang lain,
kemudian barulah dia menurunkan Pak-kau-pang-hoat
(ilmu pentung penggebuk anjing) padamu.
“Pada tahun diadakan Thay-san-tay-hwe, engkau
seorang diri telah mengalahkan delapan musuh Kay-
pang yang paling tangguh hingga nama Kay-pang
menjagoi dunia persilatan, maka tanpa ragu lagi akhirnya
beliau mengangkat dirimu sebagai pengganti pangcu.
Dan setahuku, selama beratus tahun ini, tiada seorang
pangcu yang mendapatkan jabatannya dengan
perjuangan sulit seperti engkau ini.”
“Aku hanya mengira Insu (guru berbudi) Ong-pangcu
sengaja menggembleng diriku, setelah menghadapi
berbagai kesulitan tentu aku akan lebih masak dalam
menghadapi tugasku kelak, tapi ternyata ....” sampai di
sini, sudah delapan bagian Kiau Hong percaya apa yang
dikatakan Ti-kong tadi.
“Dan hanya sekian saja yang kutahu,” kata Ti-kong.
“Setelah engkau menjabat pangcu, dari kabar yang
kuperoleh di Kangouw, semua orang mengatakan
engkau banyak melakukan amal kebaikan bagi rakyat
dan negara, Kay-pang juga bertambah maju di bawah
pimpinanmu, sudah tentu diam-diam aku bergirang
bagimu.
1269
“Apalagi kudengar beberapa kali engkau telah
menggagalkan muslihat musuh dan membunuh
beberapa jago Cidan, maka kekhawatiran kami semula
tentang ‘memiara harimau mendatangkan bencana’ itu
menjadi tiada beralasan lagi. Sebenarnya urusan dirimu
ini tidak perlu diungkat lagi, tapi entah siapa yang telah
menyiarkannya, hal ini rasanya takkan mendatangkan
manfaat baik bagi Kiau-pangcu sendiri maupun bagi Kay-
pang.”
Bab 26
“Banyak terima kasih atas uraian Ti-kong Taysu
sehingga kita semua dapat mengikuti duduknya perkara
dari awal,” kata Ci-tianglo. Lalu ia unjuk surat yang
dipegangnya tadi, “Dan surat ini adalah kiriman pendekar
Toako Pemimpin itu kepada Ong-pangcu, isinya
berusaha mencegah Ong-pangcu agar jangan
mengangkat engkau sebagai gantinya. Nah, silakan baca
sendiri, Kiau-pangcu.”
“Coba kulihat dulu, apakah surat itu asli atau bukan,”
kata Ti-kong tiba-tiba sambil menerima surat itu dari
tangan Ci-tianglo. Setelah membaca, katanya pula, “Ya,
memang betul adalah tulisan tangan Toako Pemimpin.”
Sembari berkata, diam-diam ia gunakan jari tangan
kiri untuk robek bagian yang ada tanda tangan penulis
surat itu, lalu dimasukkan ke mulut terus ditelan.
Tatkala itu hari sudah gelap, di tengah hutan hanya
remang-remang oleh cahaya bintang yang berkedip,
waktu Ti-kong merobek surat itu ia pura-pura kurang
jelas membacanya, maka surat itu diangkat ke atas, pada
saat itulah ia robek ujung surat dan ditelan.
1270
Sudah tentu Kiau Hong tidak menduga padri saleh itu
bisa berbuat selicik itu, sambil membentak terus saja
sebelah tangan menabok ke depan, dari jauh ia tepuk
hiat-to padri itu, berbareng tangan lain hendak merebut
surat itu. Namun tetap terlambat, sobekan kertas surat itu
sudah masuk ke perut Ti-kong.
“Kau ... kau berbuat apa?” bentak Kiau Hong dengan
gusar, menyusul ia menabok pula untuk membuka hiat-to
orang.
Ti-kong tersenyum, sahutnya, “Kiau-pangcu, jika
engkau sudah mengetahui asal usul dirimu sendiri, tentu
engkau akan membalas sakit hati ayah-bundamu.
Karena Ong-pangcu sudah meninggal, dia tidak perlu
dibicarakan lagi, tapi siapa Toako Pemimpin justru tidak
boleh diketahui olehmu. Dahulu pernah kuikut serta
menyerang kedua orang tuamu itu, maka segala dosa
dan kesalahan biar aku menanggungnya, hendak kau
bunuh atau digantung terserahlah padamu untuk
melakukannya sekarang.”
Melihat sikap padri yang sungguh-sungguh itu, wajah
tersenyum welas asih, meski berduka dan penasaran,
mau tak mau Kiau Hong menaruh hormat juga padanya,
maka katanya, “Hal ini benar atau tidak, saat ini aku
sendiri belum yakin. Hendak membunuhmu juga tidak
perlu terburu-buru pada saat demikian.”
Habis berkata, ia melirik sekejap pada Tio-ci-sun.
“Benar, termasuk juga aku,” kata Tio-ci-sun sambil
mengangkat pundak seakan-akan menghadapi urusan
1271
sepele saja, “utang itu aku pun mempunyai bagian,
kapan-kapan saja engkau suka, setiap saat engkau
boleh turun tangan.”
“Kiau-pangcu,” seru Tam-poh tiba-tiba, “setiap
tindakan harus dipikirkan masak-masak sebelumnya. Bila
sampai menimbulkan persengketaan antarbangsa, maka
setiap pahlawan di Tionggoan pasti akan memusuhimu.”
Kiau Hong hanya tertawa dingin, perasaannya sangat
kusut, ia tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya.
Ia coba membaca surat, isinya sebagai berikut:
Saudaraku Kiam-yan.
Setelah pembicaraan selama beberapa hari, maksud
mewariskan kedudukanmu ternyata tidak berubah.
Setelah beberapa hari kupikirkan, aku pun tetap tidak
menyetujui maksudmu itu. Kepandaian pemuda she Kiau
itu memang lain daripada yang lain, jasanya juga sangat
besar, berjiwa kesatria dan patriotik, bukan saja menjadi
tokoh kebanggaan Kay-pang, bahkan setiap kawan
persilatan sebangsa juga merasa kagum padanya.
Dengan tokoh sehebat itu untuk menggantikan
kedudukanmu, perkembangan Kay-pang kelak sudah
dapat diduga pasti akan membubung ....
Membaca sampai di sini, Kiau Hong merasa cianpwe
ini sangat menghargai dirinya, ia merasa sangat
berterima kasih, ia membaca lagi:
Namun pertarungan sengit di luar Gan-bun-koan
dahulu itu betapa menggetarkan sukma keadaan waktu
itu, sampai kini sehari pun tidak pernah kulupakan. Anak
1272
itu bukan bangsa kita, ayah bundanya terbinasa di
tangan kita. Takkan menjadi soal bila anak ini tidak tahu
asal usul sendiri, tetapi bila kelak ia tahu, bukan saja
Kay-pang akan musnah di tangannya, bahkan dunia
persilatan di Tionggoan juga akan mengalami
malapetaka. Orang yang berkepandaian setinggi anak ini
pada zaman ini sesungguhnya dapat dihitung dengan
jari.
Sebenarnya sebagai orang luar tidaklah pantas aku
ikut campur urusan Kay-pang kalian, tapi hubungan kita
lain daripada yang lain, urusan ini sangat luas pula
akibatnya. Maka sebelum ambil keputusan, haraplah
dipikirkan lebih masak lagi.
Tanda tangan penulis surat itu sudah tidak terbaca
lagi karena telah dirobek oleh Ti-kong tadi.
Melihat Kiau Hong termangu-mangu setelah
membaca surat itu, segera Ci-tianglo mengangsurkan
sehelai surat yang lain, katanya, “Dan ini adalah tulisan
Ong-pangcu, engkau tentu kenal tulisan tangannya.”
Setelah menerima surat itu, Kiau Hong melihat isinya
adalah:
Kepada Be-hupangcu, Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat
Tianglo dan para tianglo yang lain untuk dilaksanakan.
Apabila Kiau Hong bertindak mengkhianati bangsa
dan berhubungan dengan musuh, harus segera
membunuhnya dan jangan ayal. Cara bagaimana
pelaksanaannya terserah kepada kalian menurut
keadaan, siapa yang melaksanakan tugas ini dia berjasa
dan tidak bersalah.
1273
Tertanda Ong Kiam-thong.
Surat wasiat itu tertanggal tujuh bulan lima tahun
keenam Goan Hong. Kiau Hong coba menghitung,
ternyata hari itu persis adalah hari dirinya diangkat
menjadi Pangcu Kay-pang.
Kiau Hong kenal baik tulisan tangan gurunya yang
berbudi itu, maka tentang asal usul dirinya kini tidak perlu
disangsikan lagi. Terkenang dahulu betapa Insu
mencintai diriku bagai putra sendiri, siapa tahu pada hari
aku menjadi pangcu itu diam-diam beliau menulis juga
secarik surat wasiat ini. Saking pilunya air mata lantas
bercucuran dan menetes di atas surat wasiat tinggalan
Ong-pangcu itu hingga basah seketika.
Dalam pada itu Ci-tianglo berkata pula, “Harap
Pangcu jangan marah kepada kekurangajaran kami.
Adapun surat wasiat Ong-pangcu ini sebenarnya cuma
diketahui oleh Be-hupangcu seorang dan selama ini
disimpannya dengan rapi, tidak pernah ia katakan
kepada siapa pun. Selama beberapa tahun ini tindak
tanduk Pangcu cukup bijaksana dan terpuji, sekali-kali
tidak mungkin bersekongkol dengan musuh untuk
menindas bangsa Han.
“Tentang pesan tinggalan Ong-pangcu ini sudah tentu
tidak perlu dijalankan. Ketika Be-hupangcu mendadak
tewas barulah surat wasiat ini diketemukan Be-hujin.
Sebenarnya semua orang bercuriga Be-hupangcu
dibunuh oleh Buyung-kongcu dari Koh-soh, bila Pangcu
dapat membalaskan sakit hati Tay-goan, tentang asal
usul Pangcu mestinya tidak perlu diumumkan pula, demi
1274
untuk kepentingan umum, kupikir surat wasiat Ongpangcu
ini sebaiknya dibakar saja. Tapi ... tapi ....”
Sampai di sini ia berpaling ke arah Be-hujin, lalu
melanjutkan, “Pertama Be-hujin tidak mungkin
mengesampingkan sakit hati terbunuhnya Tay-goan
tanpa membalas. Kedua, Kiau-pangcu sengaja
melindungi bangsa lain, tindak tanduknya
membahayakan kesatuan Kay-pang kita ....”
“Aku membela orang asing? Dari mana bisa dikatakan
demikian?” tanya Kiau Hong bingung.
“Perkataan ‘Buyung’ adalah nama keluarga ‘asing’,”
sahut Ci-tianglo. “Buyung-si adalah keturunan bangsa
Sianbi, seperti bangsa Cidan, sama-sama merupakan
bangsa asing di luar perbatasan.”
“O, kiranya begitu, aku benar-benar tidak tahu,” kata
Kiau Hong.
“Dan ketiga, tentang Pangcu adalah keturunan Cidan,
anggota kita sudah banyak yang tahu sekarang,
kekacauan sudah terjadi, untuk menutupi juga tiada
faedahnya,” kata Ci-tianglo akhirnya.
Tiba-tiba Kiau Hong menengadah sambil menarik
napas panjang, tanda tanya yang sejak tadi mencekam
hatinya baru sekarang terjawab semua. Lalu katanya
kepada Coan Koan-jing, “Coan-thocu, jadi kau tahu aku
ini keturunan Cidan, makanya memberontak, begitu
bukan?”
“Benar,” jawab Koan-jing tegas.
1275
“Dan sebabnya Song, Ge, Tan, dan Go berempat
tianglo bersepakat melawan aku, apa juga disebabkan
hal ini?” tanya Kiau Hong pula.
“Benar,” sahut Koan-jing. “Cuma mereka masih ragu
dan belum berani bertindak, bahkan setiba waktunya,
mereka ketakutan malah.”
“Tentang asal usul diriku, dari mana kau mendapat
tahu?” desak Kiau Hong.
“Urusan ini menyangkut orang lain lagi, maafkan tak
dapat kuberi tahu,” sahut Koan-jing. “Maklum, kertas tak
dapat membungkus api, betapa pun engkau
merahasiakannya, akhirnya pasti juga akan ketahuan.”
Sesaat itu pikiran Kiau Hong bergolak hebat, sebentar
ia berpendapat, “Tentu mereka iri pada kedudukanku,
maka sengaja mengarang berbagai dongengan untuk
memfitnah diriku. Sekalipun aku seorang diri juga harus
melawan sampai detik penghabisan, tidak boleh
menyerah.”
Tapi lain saat terpikir pula, “Namun tulisan tangan
Insu itu tidak mungkin dipalsukan. Ti-kong Taysu juga
seorang padri berilmu, selamanya tiada dendam
permusuhan apa-apa denganku, guna apa dia ikut
mengatur tipu muslihat ini? Sedang Ci-tianglo adalah
tokoh yang paling tua, mana mungkin dia merencanakan
pengacauan pada pang sendiri. Begitu pula Tiat-binpoan-
koan Tan Cing, suami-istri Tam-si dan lain-lain
adalah tokoh-tokoh Bu-lim yang terhormat, Tio-ci-sun ini
meski angin-anginan, tapi juga bukan sembarangan
1276
orang, bila mereka pun bersatu pendapat, masakah hal
ini perlu disangsikan pula?”
Di lain pihak, demi mendengar ucapan Ci-tianglo tadi,
para anggota Kay-pang juga merasa bingung. Biasanya
Kiau Hong sangat berbudi kepada bawahannya, baik
ilmu silatnya maupun tindak tanduknya sangat dikagumi
mereka. Siapa duga sang pangcu justru adalah
keturunan Cidan.
Padahal permusuhan kerajaan Song dengan Cidan
semakin hebat, selama bertahun-tahun anggota Kay-
pang yang menjadi korban keganasan musuh itu entah
berapa jumlahnya, kini Kay-pang dikepalai seorang
keturunan musuh, hal ini benar-benar tak dapat
dipercaya oleh siapa pun dan dengan sendirinya tidak
boleh terjadi.
Tapi bicara memecat Kiau Hong keluar Kay-pang
secara terang-terangan, ternyata tiada seorang pun yang
sanggup buka suara.
Seketika itu suasana di tengah hutan menjadi hening,
yang terdengar cuma suara napas orang yang tertekan.
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang
nyaring menggema, “Para paman dan hadirin sekalian,
sungguh malang suamiku telah tewas, sebenarnya
siapakah pembunuhnya, sampai saat ini masih sukar
dikatakan. Tapi mengingat masa hidupnya tindak tanduk
suamiku cukup jujur dan prihatin, rasanya tidak pernah
bermusuhan dengan siapa-siapa, maka sesungguhnya
aku tidak mengerti siapakah gerangan yang begitu tega
mengambil jiwanya. Aku khawatir jangan-jangan pada diri
1277
suamiku terdapat sesuatu yang mahapenting dan ingin
diperoleh orang lain. Bukan mustahil orang lain khawatir
suamiku akan membongkar rahasianya dengan bukti
yang berada padanya itu, maka suamiku harus dibunuh
olehnya untuk menghilangkan saksi hidup.”
Yang bicara ini ternyata Be-hujin adanya, nyonya
janda Be Tay-goan.
Ucapannya cukup jelas, secara langsung ia telah
menuduh Kiau Hong adalah pembunuh Be Tay-goan dan
tujuan pembunuhan itu adalah untuk menghilangkan
bukti-bukti tentang Kiau Hong adalah keturunan Cidan.
Perlahan Kiau Hong berpaling, ia menatap tajam
wanita yang berperawakan kecil dan lemah gemulai
dengan pakaian berkabung itu, katanya, “Jadi engkau
mencurigai aku sebagai pembunuh Be-hupangcu?”
Be-hujin sejak tadi berdiri mungkur dengan
menunduk, kini mendadak mengangkat kepalanya dan
memandang Kiau Hong. Tertampak biji matanya yang
bening bersinar bagai batu permata berkelip di malam
gelap. Hati Kiau Hong tergetar.
“Aku hanya seorang perempuan yang tidak tahu apaapa,”
demikian Be-hujin berkata pula, “sebenarnya tidak
pantas tampil di depan umum seperti ini, apalagi kalau
secara serampangan menuduh kesalahan orang. Cuma
kematian suamiku sesungguhnya terlalu penasaran,
maka dengan sangat kumohon bantuan para paman
sudilah mengingat sesama saudara sendiri, sukalah
menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya untuk
membalas sakit hati suamiku itu.”
1278
Sembari berkata, terus saja ia berlutut dan ternyata
Kiau Hong yang disembah olehnya.
Selama hidup Kiau Hong suka mengalah kepada
kehalusan dan pantang mundur terhadap kekerasan.
Maka terhadap tindakan Be-hujin itu, ia menjadi tak
berdaya.
Nyonya janda itu tidak mengucapkan sesuatu kalimat
yang mengatakan Kiau Hong adalah pembunuhnya, tapi
setiap kalimat ditujukan kepadanya. Kini nyonya muda itu
menyembah pula kepadanya, biarpun gusar di dalam
hati, namun tidak dapat ia umbar lagi. Terpaksa ia balas
hormat dan berkata, “Harap Enso suka bangunlah!”
“Be-hujin,” tiba-tiba suara seorang wanita lain berseru
di pojok kiri sana, “ada suatu soal yang kusangsikan,
apakah boleh kutanya?”
Waktu semua orang memandang ke arah suara itu,
kiranya pembicara adalah seorang gadis jelita berbaju
hijau pupus, itulah Ong Giok-yan adanya.
“Soal apakah yang hendak nona tanyakan padaku?”
sahut Be-hujin.
“Tadi kudengar Hujin bilang surat wasiat Be-cianpwe
itu masih tertutup rapat dengan segel, begitu pula waktu
surat itu dibuka Ci-tianglo segalanya juga masih baikbaik.
Jika begitu, pada sebelum Ci-tianglo membuka
surat itu, seharusnya tiada seorang pun yang pernah
membaca surat itu, bukan?” demikian tanya Giok-yan.
1279
“Ya, benar,” sahut Be-hujin.
“Jika begitu, surat wasiat Ong-pangcu dan surat
pendekar pemimpin itu kecuali Be-cianpwe sendiri, orang
lain kan tiada yang tahu. Maka tuduhan Hujin tadi bahwa
ada orang ingin membunuh suamimu untuk
menghilangkan bukti, terang tidak masuk di akal,” ujar
Giok-yan.
“Siapakah nona? Mengapa ikut campur urusan dalam
Kay-pang kami?” tanya Be-hujin dengan aseran.
“Urusan dalam Kay-pang kalian dengan sendirinya
tidak boleh kuikut campur,” sahut Giok-yan. “Tapi kalian
hendak memfitnah Piaukoku, hal ini tidak boleh jadi.”
“Siapakah Piauko nona? Apakah Kiau-pangcu?” tanya
Be-hujin.
“Bukan,” sahut Giok-yan dengan tersenyum sambil
menggeleng kepala, “tapi Buyung-kongcu.”
“O, kiranya begitu,” kata Be-hujin, dan ia pun tidak
urus Giok-yan lagi melainkan terus berpaling kepada Cithoat
Tianglo dan berkata, “Pek-tianglo, menurut undangundang
pang kita, bila umpamanya tianglo melanggar
peraturan organisasi, bagaimana kiranya harus ditindak?”
“Tahu aturan tapi melanggarnya sendiri, hukumannya
ditambah sekali lebih berat,” sahut Cit-hoat Tianglo
tegas.
“Tapi bila kedudukan pelanggar itu lebih tinggi
daripada tianglo, lantas bagaimana?” desak Be-hujin.
1280
Pek Si-kia tahu ke mana kata-kata itu hendak
ditujukan, maka tanpa terasa ia memandang sekejap ke
arah Kiau Hong, lalu jawabnya, “Undang-undang pang
kita ditetapkan sejak leluhur kita dan tidak memedulikan
tinggi-rendahnya kedudukan si pelanggar, barang siapa
berdosa dia harus dihukum, sama berjasa, sama
hukuman, selamanya tidak pandang bulu.”
“Baiklah jika begitu,” ujar Be-hujin. “Tentang
kecurigaan nona itu memang beralasan, semula aku pun
berpikir begitu. Tapi sehari sebelum kuterima berita
kematian suamiku, tiba-tiba rumahku digerayangi orang
pada malam harinya.”
Semua orang terkejut oleh cerita itu, tanya mereka
beramai-ramai, “Digerayangi orang? Adakah sesuatu
yang dicuri? Melukai orang atau tidak?”
“Tiada seorang pun yang dilukai,” sahut Be-hujin.
“Maling itu telah memakai dupa penidur untuk membius
diriku bersama dua orang pelayanku. Lalu isi rumahku
diubrak-abrik dan kecurian belasan tahil perak. Esok
paginya lantas kuterima berita duka tentang tewasnya
suamiku, dengan sendirinya aku tiada waktu untuk
mengurusi peristiwa pencurian itu. Untunglah
sebelumnya suamiku telah menyimpan surat wasiat itu di
tempat yang sangat dirahasiakan sehingga tidak sampai
diketemukan dan dimusnahkan si pencuri.”
Jelas sekali uraian Be-hujin ini hendak menuduh Kiau
Hong sendiri atau paling tidak telah mengirim orang ke
rumah Be Tay-goan untuk mencuri dokumen penting itu.
Dan kalau berani mengincar surat wasiat itu dengan
1281
sendirinya sebelumnya tentu sudah tahu isi surat itu.
Maka tuduhannya tentang membunuh orang untuk
menghilangkan bukti boleh dikatakan cukup beralasan.
Tujuan Giok-yan adalah membela nama baik Buyung
Hok dan tidak ingin Kiau Hong tersangkut di dalamnya,
maka segera ia menyela pula, “Kalau kemalingan sedikit
barang atau uang juga kejadian yang biasa saja, cuma
secara kebetulan terjadi berbarengan dengan soal lain,
kenapa mesti diributkan?”
“Perkataan nona memang benar, semula aku pun
berpikir demikian,” sahut Be-hujin. “Tapi kemudian di
bawah jendela tempat maling itu masuk-keluar telah
kutemukan sesuatu benda, rupanya tinggalan maling itu
dalam keadaan tergesa-gesa. Dan begitu melihat benda
itu, aku kaget dan tahu urusannya tidaklah sembarangan
urusan.”
“Barang apakah itu? Mengapa bukan sembarangan
urusan?” tanya Song-tianglo.
Perlahan Be-hujin mengeluarkan sesuatu benda dari
dalam bungkusan, benda itu sepanjang belasan senti, ia
serahkan kepada Ci-tianglo dan berkata, “Mohon para
paman suka memberi keadilan!”
Habis menyerahkan benda itu kepada Ci-tianglo ia
mendeprok ke tanah dan menangis dengan sedih.
Waktu semua orang memandang ke arah Ci-tianglo,
orang tua itu sedang membuka benda itu dengan
perlahan, kiranya adalah sebuah kipas lempit. Dengan
1282
suara tertahan Ci-tianglo lantas membacakan syair di
atas kipas yang penuh semangat pahlawan itu.
Sungguh kejut Kiau Hong tidak kepalang demi
mendengar syair itu. Waktu ia perhatikan, ia lihat di balik
kipas itu terlukis gambar seorang pahlawan sedang
menyerbu keluar perbatasan untuk membunuh musuh.
Terang kipas itu adalah miliknya sendiri, syair itu ditulis
oleh gurunya yang berbudi, Ong Kiam-thong, dan lukisan
itu adalah buah tangan Ci-tianglo malah. Kipas itu
biasanya sangat disayangnya dan disimpannya dengan
baik-baik, mengapa kini bisa jatuh di rumah Be Taygoan?
Ketika Ci-tianglo membalik kipas itu dan melihat
lukisan karya sendiri, ia menghela napas panjang dan
bergumam, “Bukan bangsa sendiri, tentu pikirannya
berbeda. Wahai, Ong-pangcu, engkau benar-benar salah
besar dalam urusan ini!”
Mendadak mengetahui asal usul sendiri adalah
keturunan Cidan, hati Kiau Hong menjadi cemas tak
keruan. Padahal selama belasan tahun ini setiap hari
yang dipikir olehnya hanya cara bagaimana agar dapat
membasmi musuh dan lebih banyak membunuh kaum
penjajah, sekalipun biasanya ia sangat tenang, mau tak
mau ia menjadi bingung juga.
Tapi sesudah kipas lempit itu dikeluarkan dan Behujin
menuduh dirinya adalah pembunuh Be Tay-goan,
hal ini malah membuat hati Kiau Hong lebih tenang,
sesaat itu terkilas sesuatu pikiran bahwa ada orang telah
mencuri kipas lempitnya itu untuk memfitnah dirinya, hal
1283
ini betapa pun takkan berhasil. Maka tanpa ditanya
segera ia berkata, “Ci-tianglo, kipas ini adalah milikku!”
Orang Kay-pang yang berkedudukan sedikit tinggi
sama tahu bahwa kipas itu adalah milik sang pangcu,
hanya sebagian anak buah Kay-pang rendahan yang
tidak mengetahui hal itu, maka mereka sama terkesiap
demi mendengar pengakuan Kiau Hong itu.
Perasaan Ci-tianglo sendiri pun sangat terguncang, ia
bergumam, “Dalam segala urusan Ong-pangcu selalu
menganggap aku sebagai orang kepercayaannya, tapi
urusan ini ternyata tidak diberitahukan padaku.”
“Ci-tianglo, sebabnya Ong-pangcu tidak
memberitahukan padamu adalah demi kebaikanmu
sendiri,” tiba-tiba Be-hujin berkata.
“Apa? Demi kebaikanku?” Ci-tianglo menegas.
“Ya, buktinya Tay-goan, hanya dia yang tahu urusan
ini dan dia pun tertimpa bencana, maka ... maka bila
engkau juga tahu, pasti juga takkan terhindar dari
malapetaka,” ujar Be-hujin dengan sedih.
“Sekarang apa lagi yang akan kalian katakan?” tibatiba
Kiau Hong berseru dengan lantang, sinar matanya
menatap tajam dimulai dari Be-hujin terus Ci-tianglo, Pek
Si-kia, Thoan-kong Tianglo dan lain-lain. Tapi tiada
seorang pun berani buka suara lagi, semuanya diam.
Setelah menunggu sampai sekian lama tetap tiada
jawaban seorang pun, Kiau Hong lantas berkata pula,
“Tentang asal usulku sungguh harus disesalkan karena
1284
aku sendiri pun belum tahu dengan pasti. Tapi karena
sekian banyak kaum cianpwe berani menjadi saksi,
betapa pun aku tidak berani sembarangan menyangkal.
Maka jabatanku sebagai Pangcu Kay-pang ini
sepantasnya aku harus mengundurkan diri.”
Sembari berkata ia mengeluarkan sebatang pentung
bambu hijau mengilat. Itulah Pak-kau-pang atau pentung
penggebuk anjing, tanda pengenal pangcu yang sangat
diagungkan anggota Kay-pang.
Kedua tangan Kiau Hong angkat tinggi-tinggi pentung
bambu itu dan berseru, “Pentung ini kuterima dari Ongpangcu,
selama ini meski aku tiada berjasa apa-apa bagi
Kay-pang, namun syukur juga tidak pernah berbuat
sesuatu kesalahan besar. Hari ini aku meletakkan
jabatan, siapakah di antara para saudara yang bijaksana
mau menerima tanggung jawab jabatanku ini, silakan
maju menerima pentung ini.”
Menurut peraturan Kay-pang, tatkala pangcu baru
menerima jabatan harus dilakukan upacara penyerahan
Pak-kau-pang dari pangcu lama. Upacara ini tidak
dilakukan kalau pangcu lama meninggal dunia.
Padahal Kiau Hong sekarang masih muda, ilmu
silatnya dapat dibanggakan, betapa pun tiada orang
kedua di dalam Kay-pang yang dapat memadainya.
Sejak dia menjadi pangcu, biarpun ada juga oknumoknum
yang memusuhinya, tapi tiada seorang pun berani
mengincar jabatan pangcu. Apalagi sekarang Kiau Hong
berdiri gagah perkasa di situ, siapa yang berani maju
mencalonkan diri untuk menerima pentung bambu itu?
1285
Setelah tanya tiga kali dan tetap tiada seorang pun
yang menyahut, lalu Kiau Hong berkata lagi, “Karena
asal usulku masih belum terang, maka jabatan pangcu ini
betapa pun tidak berani kupegang lagi. Ci-tianglo, Thoankong
dan Cit-hoat Tianglo, Pak-kau-pang yang
merupakan pusaka utama Kay-pang kita ini silakan kalian
bertiga menjaganya bersama. Kelak bila pangcu baru
sudah ditetapkan, bolehlah kalian menyerahkan pentung
ini kepadanya.”
“Benar juga ucapanmu,” sahut Ci-tianglo terus hendak
menerima pentung bambu keramat itu.
“Nanti dulu!” mendadak Song-tianglo membentak.
Ci-tianglo tertegun dan urung menerima pentung itu,
tanyanya, “Apa yang hendak Song-hiante katakan?”
“Menurut penglihatanku, Kiau-pangcu bukan bangsa
Cidan,” ujar Song-tianglo.
“Dari mana kau tahu?” tanya Ci-tianglo.
“Kulihat dia tidak mirip,” sahut Song-tianglo.
“Mengapa tidak mirip,” desak Ci-tianglo.
“Umumnya bangsa Cidan sangat kejam dan ganas,
sebaliknya Kiau-pangcu seorang kesatria yang berbudi
luhur,” sahut Song-tianglo. “Tadi kami telah memberontak
padanya, tapi ia rela mengorbankan dirinya demi
keselamatan kami dan mengampuni dosa kami. Kalau
bangsa Cidan, tidak mungkin mau berbuat demikian.”
1286
“Sejak kecil ia telah mendapat didikan Ong-pangcu,
dengan sendirinya watak aslinya sebagai bangsa Cidan
yang jahat telah berubah,” ujar Ci-tianglo.
“Jika wataknya sudah berubah, itu berarti bukan
orang jahat lagi, kalau dia menjadi pangcu kita, masa
kurang pantas?” debat Song-tianglo. “Menurut
pendapatku tiada seorang pun di antara kita yang dapat
memadai kejantanan dan kebesaran jiwanya. Kalau ada
orang lain ingin menjadi pangcu, akulah orang she Song
yang pertama-tama akan membangkang.”
Sebenarnya banyak juga di antara anggota Kay-pang
yang mempunyai pikiran sama dengan Song-tianglo.
Karena itu, segera terdengarlah suara ramai yang
menyokong pendapat Song-tianglo itu. Beramai-ramai
mereka berseru, “Bukan mustahil ada orang hendak
memfitnah Kiau-pangcu, kita jangan mudah memercayai
omongan orang!”
“Ya, urusan yang sudah terjadi puluhan tahun yang
lalu, siapa yang mau percaya?”
“Jabatan pangcu yang penting ini tidak boleh
sembarangan diganti!”
“Aku sudah bertekad bulat berdiri di belakang Kiaupangcu,
orang lain yang menjadi pangcu, aku tidak mau
terima.”
“Ayo, siapa yang ingin ikut Kiau-pangcu, silakan
berdiri di sisiku sini,” seru Ge-tianglo tiba-tiba. Dengan
tangan kiri ia tarik Song-tianglo dan tangan kanan
1287
menyeret Ge-tianglo serentak mereka menyisih ke
sebelah timur.
Menyusul Tay-jin-hun-tho dan Tay-gi-hun-tho, ketiga
thocu itu pun menyusul ke sisi timur. Dan karena ketiga
thocu itu sudah memberi contoh, dengan sendirinya anak
buah ketiga Tho itu pun ikut berdiri ke sisi timur.
Sebaliknya Coan Koan-jing, Tan-tianglo, Thoan-kong
Tianglo dan para Thocu Tay-ti dan Tay-sin-hun-tho masih
tetap berdiri di tempat semula.
Dengan demikian anggota Kay-pang sekarang jadi
terpecah belah dan terbagi menjadi dua pihak, yang
berdiri di sisi timur kira-kira ada separuh, sebaliknya yang
tetap berdiri di tempat semula ada tiga bagian, sisanya
masih ragu entah mesti ikut pihak mana? Cit-hoat
Tianglo biasanya sangat tegas dalam tindak tanduknya,
tapi menghadapi persoalan pelik mau tak mau ia jadi
ragu juga.
“Para saudara,” demikian Coan Koan-jing buka suara,
“memang benar Kiau-pangcu adalah seorang kesatria,
seorang pintar dan perkasa, siapa pun tentu kagum
padanya. Namun kita adalah rakyat kerajaan Song, mana
boleh tunduk di bawah perintah seorang Cidan? Justru
semakin besar kepandaian Kiau Hong, semakin
berbahaya pula bagi kita.”
“Kentut, kentut makmu!” segera Ge-tianglo memaki.
“Kulihat tampangmu justru lebih mirip orang Cidan!”
1288
Namun Coan Koan-jing tidak menggubrisnya, serunya
pula, “Kita semua adalah pahlawan berjiwa patriot,
masakah terima diperbudak oleh bangsa asing!”
Perkataan Coan Koan-jing ini ternyata sangat besar
pengaruhnya, seketika ada belasan orang yang tadinya
ikut berdiri ke sisi timur segera kembali ke sisi barat.
Karena itu anggota Kay-pang di sisi timur itu menjadi
geger, ada yang memaki dan ada yang main tarik,
keadaan menjadi kacau, seketika terjadilah pertarungan
serabutan di antara berpuluh orang itu.
Para tianglo cepat membentak hendak menguasai
keadaan, tapi masing-masing tetap membela anak buah
sendiri-sendiri. Go-tianglo dan Tan-tianglo juga saling
memaki dan tampaknya akan terjadi juga pertarungan
sengit.
Syukur pada saat genting itulah Kiau Hong berseru
keras-keras, “Harap berhenti, saudara-saudara,
dengarkan perkataanku!”
Suaranya keras dan berwibawa membuat para
anggota Kay-pang sama melengak, mereka berhenti
serentak dan menoleh memandang Kiau Hong.
“Tentang jabatan pangcu ini, sudah pasti akan
kutinggalkan ....”
Belum selesai ucapan Kiau Hong itu, mendadak
Song-tianglo menyela, “Pangcu, engkau jangan putus
asa ....”
1289
“Aku tidak putus asa,” sahut Kiau Hong sambil
menggeleng. “Urusan lain mungkin aku bisa difitnah, tapi
bukti-bukti tulisan tangan guruku Ong-pangcu yang
berbudi itu tidak mungkin dapat dipalsukan orang lain.”
Lalu ia perkeras suaranya dan menyambung, “Kaypang
adalah pang terbesar di kalangan Kangouw,
namanya berkumandang ke segenap pelosok jagat ini,
siapa orang Bu-lim yang tidak merasa kagum padanya?
Bila sekarang terjadi saling membunuh, apakah takkan
dibuat tertawaan orang? Maka sebelum aku pergi, ada
sesuatu yang ingin kukatakan pada kalian, barang siapa
saling berhantam di antara sesama saudara pang kita,
maka dia itulah yang berdosa terbesar kepada pang kita.”
Dasar persaudaraan anggota Kay-pang memang
paling mengutamakan keluhuran budi antarkawan. Maka
mereka menjadi malu sendiri demi mendengar ucapan
Kiau Hong itu.
“Dan bagaimana kalau ada yang membunuh saudara
sesama pang kita?” tiba-tiba suara seorang wanita
bertanya. Ia bukan lain adalah Be-hujin.
“Membunuh orang harus ganti nyawa, lebih-lebih
membunuh sesama saudara pang, ia harus dikutuk
habis-habisan,” sahut Kiau Hong tanpa ragu.
“Baiklah jika begitu,” ujar Be-hujin.
“Orang she Kiau ini selamanya suka blakblakan,
selama hidup tidak pernah ada sesuatu rahasia bagi
orang lain,” seru Kiau Hong pula. “Tentang tewasnya Behupangcu
sebenarnya siapakah pembunuhnya, dan
1290
siapakah yang telah mencuri kipasku untuk memfitnah
diriku, pada akhirnya kelak pasti akan kubikin terang
urusan ini. Be-hujin, dengan kepandaianku orang she
Kiau ini, kalau ingin mengambil sesuatu benda ke tempat
tinggalmu, rasanya tidak sampai kembali dengan tangan
hampa, lebih-lebih tidak mungkin kehilangan sesuatu
barang sendiri. Jangankan kediamanmu cuma tinggal
dua-tiga orang kaum wanita, sekalipun di tengah istana
keraton atau di markas besar panglima jenderal, kalau
orang she Kiau ini ingin mengincar sesuatu barang,
rasanya dengan mudah juga akan dapat diperoleh.”
Ucapan Kiau Hong ini sangat perkasa dan bangga,
namun para anggota Kay-pang cukup kenal betapa tinggi
kepandaiannya, mereka merasa apa yang dikatakan itu
memang beralasan dan bukan bualan belaka. Begitu
pula Be-hujin lantas menunduk juga dan tidak berani
buka suara lagi.
Lalu Kiau Hong memberi hormat kepada semua orang
sekeliling, katanya pula, “Gunung tetap menghijau,
sungai tetap mengalir, para saudara-saudara, selamat
tinggal, sampai berjumpa pula kelak. Baiklah apakah aku
orang she Kiau ini bangsa Han maupun bangsa Cidan,
pendek kata selama hidupku ini pasti tidak akan
mencelakai jiwa seorang pun bangsa Han, apabila
melanggar sumpah ini, biarlah seperti golok ini.”
Habis berkata, mendadak tangan kirinya menjulur
cepat ke arah Tan Cing. Seketika Tan Cing merasa
tangannya bergetar, golok yang terpegang di tangannya
tak tertahan lagi, sedikit kendur cekalannya, golok itu
tahu-tahu sudah berpindah ke tangan Kiau Hong.
1291
Ketika jari Kiau Hong menjelentik sekali ke batang
golok itu, “trang”, kontan golok itu patah menjadi dua,
bagian ujung golok terpental beberapa meter jauhnya,
sedangkan tangkai golok masih terpegang di tangan Kiau
Hong.
“Maaf!” katanya kepada Tan Cing sambil membuang
tangkai golok itu dan bertindak pergi dengan cepat.
Di tengah rasa kaget para anggota Kay-pang yang
sedang saling pandang dengan bingung itu, menyusul
lantas ada orang berseru, “He, jangan pergi, Pangcu!” —
“Kembalilah Pangcu, Kay-pang kita masih membutuhkan
pimpinanmu!”
Tiba-tiba terdengar suara mendesir keras, dari udara
tampak jatuh sebatang pentung bambu, itulah Pak-kaupang
yang ditimpukkan kembali oleh Kiau Hong dari jauh.
Cepat Ci-tianglo ulur tangan hendak menangkap
pentung itu, tapi baru saja tangan menyentuh pentung
bambu sekonyong-konyong terasa lengan hingga bahu
dan seluruh tubuh tergetar seakan-akan kena aliran
listrik. Lekas-lekas ia lepas tangan, begitu keras
sambaran pentung itu hingga menancap tegak di tanah.
Para pengemis itu berseru kaget, seketika pikiran
mereka pun bimbang demi melihat pentung simbol
pangcu mereka itu.
“Toako, tunggu, aku ikut!” seru Toan Ki mendadak.
Mestinya ia bermaksud menyusul Kiau Hong, tapi baru
dua-tiga langkah, betapa pun ia merasa berat
meninggalkan Ong Giok-yan, tanpa merasa, ia menoleh.
1292
Dan sekali pandang itulah tidak dapat lagi ia tinggal
pergi. Otomatis timbul semacam rasa ikatan yang erat,
segera ia putar kembali ke hadapan Giok-yan dan
berkata, “Nona Ong, sekarang kalian hendak ke mana?”
“Piauko telah difitnah orang, boleh jadi ia sendiri
masih belum tahu, maka aku harus pergi
memberitahukan kepadanya,” sahut si gadis.
Kecut rasa hati Toan Ki oleh jawaban itu, namun
katanya juga, “Tapi kalian bertiga adalah nona muda
belia, di tengah perjalanan tentu kurang bebas, biarlah
aku mengantar kalian ke sana.”
Dan segera ia menambahkan lagi sebagai
penjelasan, “Aku pun sudah sering mendengar nama
kebesaran Buyung-kongcu, sesungguhnya aku memang
ingin sekali berkenalan dengan dia.”
Dalam pada itu terdengar Ci-tianglo telah berkata
kepada para pengemis, “Cara bagaimana kita harus
menuntut balas bagi Be-hupangcu, biarlah kita nanti
rundingkan secara saksama. Sekarang pang kita tidak
boleh tanpa pimpinan, sesudah Kiau ... Kiau Hong pergi,
pengganti jabatan pangcu ini adalah urusan mahapenting
yang tidak boleh ditunda. Mumpung kita telah berkumpul
semua di sini, marilah kita lantas merundingkannya
segera.”
Segera Song-tianglo menanggapi, “Menurut
pendapatku, marilah kita mencari kembali Kiau-pangcu
dan mohon dia suka berpikir panjang dan membatalkan
maksudnya mengundurkan diri ....”
1293
Belum habis ucapannya, kontan di sebelah sana ada
yang menyela, “Kiau Hong adalah bangsa Cidan, mana
boleh dia menjadi pemimpin kita? Hari ini kita mengingat
baik hubungan selama ini, lain kali kalau bertemu lagi
berarti ia musuh kita, harus kita adu jiwa dengan dia.”
“Hm, masa kau ada harganya buat mengadu jiwa
dengan Kiau-pangcu?” jengek Song-tianglo.
“Aku sendiri tentu tak mampu melawannya,” sahut
orang itu dengan gusar, “tapi apakah kita cuma satu
orang, kita dapat maju sepuluh orang sekaligus, sepuluh
orang tidak cukup, maju serentak seratus orang. Kay-
pang kita selamanya siap berjuang bagi nusa dan
bangsa, masakah jeri kepada seorang musuh?”
Karena ucapan yang gagah bersemangat ini, seketika
banyak anggota Kay-pang bersorak memuji.
Belum lenyap suara sorakan itu, tiba-tiba terdengar
suara seorang yang seram tajam berkata di arah baratlaut
sana, “Kay-pang telah berjanji dengan orang untuk
bertemu di Hui-san, tapi ingkar janji, tahu-tahu main
sembunyi di sini seperti kura-kura! Hehe, sungguh
menggelikan!”
Suara itu tajam menusuk telinga, tapi lafal katakatanya
tidak tepat, seperti suara orang pilek atau
bindeng hingga kedengarannya tidak menyedapkan.
Mendengar teguran suara itu, seketika berserulah
Cio-thocu dari Tay-gi-hun-tho dan Pui-thocu dari Tayyong-
hun-tho, “Haya, Ci-tianglo, memang kita telah
1294
ingkar janji dengan orang, maka sekarang musuh telah
mencari kemari:”
Segera Toan Ki teringat juga waktu bertemu dengan
Kiau Hong siang tadi, mendengar anak buah Kay-pang
melapor kepada sang toako bahwa mereka telah berjanji
untuk bertemu dengan orang di atas Hui-san tengah
malam ini. Kini rembulan telah mendoyong ke barat,
terang sudah jauh lewat tengah malam.
Anggota Kay-pang sendiri sebagian besar tidak tahu
adanya perjanjian itu, andaikan tahu juga mereka lebih
mementingkan peristiwa penting dalam pang sendiri dan
menyampingkan urusan perjanjian dengan orang itu. Kini
demi mendengar olok-olok pihak lawan baru mendadak
mereka sadar telah ingkar janji.
Segera Ci-tianglo bertanya, “Janji pertemuan apa?
Siapakah lawan?”
Ia sendiri memang sudah lama tidak ikut campur
urusan organisasi, maka sama sekali tidak mengetahui
apa-apa.
“Apakah Kiau-pangcu yang berjanji akan bertemu
dengan orang?” Cit-hoat Tianglo coba tanya Cio-thocu
dengan suara tertahan.
“Ya, cuma tadi Kiau-pangcu sudah mengirim utusan
ke Hui-san untuk minta kepada pihak lawan agar
menunda perjanjian ini sampai tujuh hari lagi,” tutur Ciothocu.
1295
Rupanya orang yang bersuara melengking tadi pun
sangat tajam telinganya, meski ucapan Cio-thocu itu
sangat perlahan, namun dapat didengarnya juga, segera
berkata pula, “Sekali sudah berjanji, masakah pakai
tunda segala? Biarpun tunda satu jam juga tidak boleh.”
“Hm, Kay-pang adalah organisasi terkemuka,
masakah takut kepada bangsa asing Se He seperti kalian
ini?” sahut Pek Si-kia dengan gusar. “Soalnya kami
sendiri urusan penting di dalam pang hingga tiada tempo
untuk menggubris pada kaum keroco seperti kalian ini.
Tentang menunda perjanjian adalah urusan biasa,
kenapa mesti diributkan?”
“Bluk”, mendadak dari balik pohon sana melayang
keluar seorang dan terbanting di tanah tanpa berkutik.
Waktu Pek Si-kia memerhatikan, ia lihat muka orang
sudah hancur tak keruan, leher sudah putus tergorok,
nyata sudah mati agak lama, segera ia pun dapat
mengenali korban itu adalah wakil Thocu Tay-sin-huntho.
Keruan Cio-thocu terkejut dan gusar, serunya, “Ciahengte
inilah yang diutus oleh Kiau-pangcu untuk
menyampaikan berita penundaan pertemuan dengan
musuh itu.”
“Ci-tianglo,” kata Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia, “Pangcu
tidak ada, harap engkau suka bertindak sementara
sebagai pimpinan.”
Ia tidak ingin musuh mengetahui Kay-pang sedang
menghadapi krisis, agar tidak diremehkan oleh musuh.
1296
Ci-tianglo dapat memahami maksud Pek Si-kia itu, ia
pikir kalau dirinya tidak tampil ke muka, memang tiada
orang kedua lagi yang cocok untuk memegang pimpinan.
Maka dengan suara lantang ia berseru, “Menurut
kelaziman pertengkaran di antara kedua negara, tidak
boleh membunuh utusan pihak lawan. Mengapa pihak
kalian membunuh utusan yang menyampaikan berita
penundaan perjanjian ini?
“Sikap orangmu ini terlalu angkuh, kata-katanya tidak
sopan, di hadapan Ciangkun kami juga tidak mau
berlutut, kalau tidak dibunuh, mau diapakan?” sahut
suara seram melengking itu.
Kata-kata ini seketika menimbulkan rasa gusar
anggota Kay-pang, beramai-ramai mereka lantas
mencaci maki keganasan musuh.
Ci-tianglo masih belum tahu macam apakah musuh,
tadi didengarnya Pek Si-kia bilang musuh itu bangsa Se
He, sedang orang itu mengatakan “ciangkun” (jenderal)
segala, hal ini semakin membingungkannya. Maka ia
berkata pula, “Mengapa kau main sembunyi-sembunyi,
kenapa tidak terang-terangan unjuk diri saja? Hm, ngacobelo,
jangan coba omong besar di sini!”
Tiba-tiba orang itu terbahak-bahak, laku berkata,
“Ciangkun, sekarang silakan keluarlah!”
Sekonyong-konyong terdengar suara trompet
berbunyi di tempat jauh, menyusul lamat-lamat terdengar
suara tindakan orang banyak dari tempat beberapa li
jauhnya.
1297
“Mereka itu orang macam apakah? Mengenai urusan
apa mereka memusuhi kita?” demikian Ci-tianglo tanya
Si-kia dengan bisik-bisik.
“Mereka itu bangsa Se He,” sahut Pek Si-kia dengan
perlahan, “di negeri mereka telah didirikan suatu lembaga
persilatan yang disebut ‘It-bin-tong’ (ruang kelas satu),
konon pendirinya adalah maharaja mereka untuk
mengundang jago-jago silat dari segenap pelosok,
mereka yang memenuhi undangan akan diberi gaji besar
dan mendapat kedudukan terhormat, kewajiban mereka
hanya mengajar ilmu silat kepada perwira negeri Se He.”
“Ehm, negeri Se He selama ini memupuk kekuatan
dan pergiat latihan silat, tujuannya bukankah akan
mengganggu kerajaan Song kita?” ujar Ci-tianglo.
“Memang begitulah tujuan mereka,” sahut Pek Si-kia
mengangguk. “Setiap orang yang dapat memasuki ‘It-bintong’
itu, katanya ilmu silatnya pasti golongan kelas satu.
Ketua It-bin-tong itu konon seorang ongya (pangeran)
dengan pangkat Ceng-tang-tay-ciangkun (jenderal besar
penggempur ke timur), namanya Helian Tiat-si. Paling
akhir ini dia pimpin jago-jagonya itu dan diutus ke kota
raja kita untuk menemui Hongsiang dan ibu suri. Padahal
maksud yang sesungguhnya adalah untuk memata-matai
kekuatan negeri kita.
“Di kota raja, Helian Tiat-si telah pamer kekuatan dan
bersikap sombong, ia menantang agar perwira kerajaan
Song kita coba-coba bertanding dengan jago-jago yang
dia bawa. Kita tahu tiada seorang jago kelas tinggi di
antara perwira pasukan kita itu, dengan sendirinya tidak
mungkin diajukan sebagai jago aduan. Untunglah So
1298
Tong-po, So-haksu telah mengusulkan suatu akal
kepada ibu suri agar tantangan orang Se He yang kurang
ajar itu dilakukan pada tahun depan di kota raja kita.”
“Ehm, akal ulur tempo yang bagus,” ujar Ci-tianglo
perlahan, “selama setahun ini kita dapat mengundang
jago-jago silat dari seluruh negeri untuk menghadapi
musuh pada tahun depan.”
“Malahan sebelum menginjak negeri kita, orang-orang
Se He ini sudah cukup mengetahui situasi dunia
persilatan kita,” tutur Pek Si-kia, “Mereka tahu pang kita
adalah salah satu saka guru dunia persilatan Tionggoan,
maka bermaksud sekaligus menghancurkan kita dahulu
untuk memupuk nama baik, dan tahun depan mereka
yakin akan mendapat kemenangan total pula.
“Bila rakyat kita sudah jeri dan ketakutan kepada
kepandaian bangsa Se He mereka, lalu mereka akan
mengerahkan pasukan tentaranya untuk menyerbu dan
dengan mudah akan dapat merebut negeri kita.”
Diam-diam Ci-tianglo terperanjat oleh rencana keji
musuh, bisiknya perlahan, “Ehm, tipu muslihat mereka ini
benar-benar sangat keji.”
“Dan begitu Helian Tiat-si meninggalkan kota raja
segera mereka mendatangi markas besar kita di
Lokyang,” tutur Pek Si-kia lebih jauh. “Kebetulan waktu
itu Kiau-pangcu bersama kami sekaligus telah menuju
Kanglam sini hendak menuntut balas bagi Be-hupangcu,
maka orang Se He telah menubruk tempat kosong. Dan
mereka benar-benar terlalu kurang ajar, mereka
menyusul ke Kanglam sini dan akhirnya mengadakan
1299
perjanjian dengan Kiau-pangcu untuk bertemu malam ini
di Hui-san.”
Ci-tianglo berpikir sejenak, lalu katanya dengan
berbisik, “Perhitungan mereka sungguh seenaknya,
pertama Kay-pang kita akan dihancurkan, boleh jadi
mereka akan maju setindak pula untuk menggempur
Siau-lim-si, lalu membasmi Hoa-san-pay dan aliran
persilatan lain di Tionggoan hingga kocar-kacir, dengan
demikian tahun depan kemenangan pasti di tangan
mereka.”
Dalam pada itu suara derapan kuda yang ramai tadi
sudah mendekat, mendadak terdengar trompet berbunyi
tiga kali, delapan ekor kuda tampak muncul dengan
terbagi menjadi dua barisan. Penunggang kuda itu
semuanya bertombak panjang, di atas tombak masingmasing
berkibar panji kecil. Ujung tombak bersinar
mengilap, lamat-lamat kelihatan keempat panji kecil di
sisi barat tersulam dua huruf “Se He”, sedangkan empat
panji kecil di sebelah lain tersulam dua huruf “Helian.”
Menyusul mana muncul delapan ekor kuda yang lain
dan berlari cepat ke tengah hutan. Empat
penunggangnya segera meniup trompet yang dibawa
dan empat orang lainnya menabuh genderang.
Diam-diam para pengemis berkerut kening, pikir
mereka, “Ini kan pasukan tentara di medan perang
terbuka, masa dipakai dalam pertemuan dengan kaum
persilatan?”
Setelah bunyi trompet dan genderang tadi, segera
muncul pula delapan busu (jago silat) negeri Se He.
1300
Di antara kedelapan orang itu, Ci-tianglo melihat
enam orang di antaranya adalah kakek-kakek yang
rambut dan jenggotnya sudah ubanan semua, badan
mereka pun kurus kering dan reyot.
Diam-diam Ci-tianglo membatin, “Agaknya inilah
tokoh-tokoh dari apa yang disebut It-bin-tong itu?
Segera kedelapan busu itu membagi diri ke sisi kanan
dan kiri, lalu seorang penunggang kuda masuk ke tengah
hutan situ dengan perlahan.
Penunggang kuda ini berjubah merah, berusia antara
34-35 tahun, hidungnya besar membetet, tampaknya
sangat tangkas dan cerdik. Di belakangnya mengikut
seorang laki-laki bertubuh sangat tinggi dan berhidung
besar.
Begitu masuk ke tengah hutan, segera laki-laki hidung
besar itu berseru, “Ceng-tang-tay-ciangkun dari Se He
tiba, silakan Pangcu dari Kay-pang maju menyambut.”
Dari suaranya yang melengking seram ini, jelas dia
inilah yang bicara tadi.
“Pangcu kami tidak berada di sini, sementara ini aku
yang mewakilkan jabatannya,” sahut Ci-tianglo. “Para
saudara dalam Kay-pang adalah orang Kangouw yang
kasar dan rendah, jika Ciangkun dari negeri Se He
hendak bertemu dengan kami secara terhormat, rasanya
kami tidak berani terima, lebih baik silakan Ciangkun
pergi bertemu dengan kaum ningrat kerajaan Song kita
saja dan tidak perlu menemui kaum jembel yang kerjanya
1301
cuma minta-minta ini. Sebaliknya kalau ingin bertemu
secara orang Bu-lim, Ciangkun datang dari jauh, dengan
sendirinya adalah tamu, maka silakan turun untuk
bicara.”
Ucapan Ci-tianglo ini sangat tegas, tidak merendah
juga tidak kaku, cukup menjaga harga diri pula. Maka
diam-diam para pengemis merasa kagum terhadap orang
tua itu.
“Jika Pangcu kalian tidak di sini, Ciangkun kami tidak
dapat bicara dengan kalian,” sahut laki-laki hidung besar
itu.
Tiba-tiba ia melihat Pak-kau-pang yang menancap di
tanah itu sangat menarik, segera ia berkata, “Eh, pentung
bambu hijau kemilau ini sangat bagus, biarlah kuambil
untuk dijadikan tangkai sapu!”
Dan begitu tangannya bergerak, segera ia ayun
cambuknya hendak membelit pentung bambu itu.
Keruan para pengemis menjadi gusar, beramai-ramai
mereka memaki, “Keparat!” — “Anjing buduk!” —
“Enyahlah kau, bangsat!”
Namun ujung cambuk orang itu tampaknya sudah
hampir melilit di batang pentung bambu itu, sekonyongkonyong
bayangan orang melesat maju secepat kilat,
tiba-tiba ia ulur tangan ke depan pentung bambu hingga
ujung cambuk kena melilit di tangannya. Dan sekali ia
tekuk lengannya, laki-laki hidung besar itu tidak kuat lagi
bertahan di atas kudanya, ia terseret turun dari kudanya
dan berdiri di tanah. Berbareng kedua orang sama
1302
menarik pula sekuatnya, “prak”, cambuk itu putus bagian
tengah.
Menyusul orang itu lantas mencabut pentung bambu
itu dan mengundurkan diri tanpa berkata. Waktu semua
orang memerhatikan, orang itu rada bungkuk, itulah
Thoan-kong Tianglo. Ia pendiam, tapi ilmu silatnya
sangat tinggi, bila Kay-pang menghadapi kesulitan, tanpa
bicara ia lantas turun tangan. Dan sekali gebrak tadi ia
berhasil menyeret laki-laki hidung besar itu turun dari
kudanya, pecutnya terbetot putus pula, hal ini boleh
dikatakan Thoan-kong Tianglo sudah menang satu
babak.
Ternyata laki-laki hidung besar itu sangat sabar,
biarpun kecundang, sedikit pun ia tidak unjuk sikap lesu,
bahkan ia berseru, “Hah, kaum pengemis memang pelit,
cuma sebatang bambu juga tidak boleh diambil orang.”
“Sebenarnya ada urusan apakah para tokoh dan
pahlawan Se He mengadakan janji pertemuan dengan
Kay-pang kami?” tanya Ci-tianglo kemudian.
“Sebab Ciangkun kami mendengar bahwa Kay-pang
mempunyai dua macam kepandaian istimewa, yang
semacam katanya bernama Pak-niau-pang-hoat dan
yang lain Hang-coa-cap-pek-ciang, sebab itulah kami
ingin coba-coba belajar kenal,” demikian sahut laki-laki
hidung besar.
Mendengar ejekan itu, seketika gusarlah para
pengemis. Kurang ajar benar pikir mereka, masakah
Pak-kau-pang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing)
sengaja dikatakan sebagai Pak-niau-pang-hoat (ilmu
1303
pentung penghajar kucing) dan Hang-liong-sip-pat-ciang
(18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) diubah menjadi
Hang-coa-cap-pek-ciang (18 jurus ilmu pukulan penakluk
ular), terang sengaja menghina, maka pertemuan
sekarang ini sudah pasti akan diakhiri dengan suatu
pertarungan yang menentukan mati dan hidup.
Di tengah caci maki para pengemis itu, sebaliknya
diam-diam Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat
Tianglo dan lain-lain merasa khawatir pula, pikir mereka,
“Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang ini
selamanya cuma pangcu yang mahir menggunakannya,
jika lawan sudah kenal kedua macam ilmu ini dan masih
berani menantang secara terang-terangan, rasanya
mereka pasti bukan sembarangan jago silat dan boleh
jadi akan susah dilawan.”
Maka Ci-tianglo lantas menjawab, “Kalian ingin belajar
kenal dengan Pak-niau-pang-hoat dan Hang-coa-cappek-
ciang kami, hal ini tidak sulit. Asal ada kucing buduk
dan ular belang kesasar ke sini, sudah pasti kaum
pengemis mampu menghajarnya. Dan saudara apakah
ingin belajar menjadi kucing atau ular, silakan pilih!”
“Hahaha, kalau dia ingin menjadi ular, itulah
kebetulan, kaum pengemis paling suka tangkap ular,
tanggung cek-gemol, datang satu tangkap satu, datang
sepuluh bekuk sepuluh, tidak terbukti, uang kembali!”
demikian Go-tianglo ikut menjawab dengan terbahakbahak.
Adu kepandaian kalah sebabak, adu mulut, mati kutu
pula, keruan laki-laki hidung besar itu menjadi runyam.
Dan selagi ia pikir apa yang hendak dikatakan pula,
1304
sekonyong-konyong di belakangnya seorang berteriak
dengan suaranya yang kasar dan keras, “Biar ular
maupun kucing, ayolah, siapa yang berani maju
bertempur dulu denganku?”
Sembari berkata orang itu terus menyelinap keluar
dari rombongannya dan berdiri tegak di tengah kalangan
dengan bertolak pinggang. Muka orang ini sangat jelek
dan menakutkan.
Semua orang terkesiap dan ragu menghadapi orang
yang bengis dan galak dengan mukanya yang jelek ini,
sebaliknya tiba-tiba terdengar Toan Ki lantas berseru,
“Hei, muridku, kiranya kau juga datang ke sini? Ayo,
ketemu Suhu mengapa tidak lekas menjura?”
Kiranya laki-laki muka jelek ini tak-lain-tak-bukan
adalah Lam-hay-gok-sin Gak-losam, si jahat ketiga dari
“Su-ok”.
Mendadak tampak Toan Ki juga berada di situ, Gaklosam
terkejut, ia merasa kikuk dan serbasalah, sahutnya
dengan gelagapan, “Engkau ....”
“Murid baik,” segera Toan Ki menyela, “Pangcu Kay-
pang adalah saudara-angkatku, orang-orang ini adalah
Supek dan Susiokmu pula, maka jangan kurang ajar,
lekas pulang saja.”
Mendadak Lam-hay-gok-sin mengerang keras hingga
pohon sama tergetar, ia memaki, “Keparat, jahanam,
haram jadah!”
“Kau memaki siapa haram jadah?” tegur Toan Ki.
1305
Seperti diketahui, Lam-hay-gok-sin ini meski kejam
dan ganas, tapi apa yang pernah ia ucapkan selamanya
pasti ditepati dan tidak dijilat kembali. Ia pernah
menyembah kepada Toan Ki dan mengaku guru
padanya, hal ini tidak pernah disangkalnya. Maka ia
lantas menjawab, “Aku suka memaki, peduli apa
denganmu? Aku kan tidak memaki engkau.”
“Ehm, dan mengapa ketemu Suhu tidak menjura dan
menyampaikan salam? Di manakah letak aturanmu,
hah?” tegur Toan Ki pula.
Dengan menahan gusar terpaksa Lam-hay-gok-sin
melangkah maju dan berlutut memberi hormat sambil
berkata, “Suhu, baik-baikkah engkau?”
Dan saking mengkalnya, begitu berdiri kembali terus
saja ia berlari pergi dengan cepat sambil mengerang
dengan suaranya yang keras dan mendengung-dengung.
Begitu keras suaranya bagaikan air bah yang surut
dengan cepat. Hanya dari suaranya ini saja setiap orang
akan tahu betapa tinggi lwekangnya, di antara tokohtokoh
Kay-pang hanya Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo
dan beberapa tertua lain yang mampu menandinginya.
Tapi seorang pelajar yang lemah sebagai Toan Ki itu
ternyata adalah gurunya, hal ini benar-benar membikin
mereka tidak habis heran.
Tertampak dari rombongan jago Se He melompat
pula seorang yang bertubuh tinggi bagai galah bambu,
gaya lompatnya ternyata cepat luar biasa, kedua tangan
masing-masing memegang sebatang senjata yang
1306
berbentuk aneh, panjangnya kira-kira satu meter,
ujungnya berbentuk lima jari buatan baja. Cakar baja itu
mengilat tersorot sinar rembulan.
Segera Toan Ki mengenali orang ini adalah In Tiongho
yang bergilir Kiong-hiong-kek-ok (terlalu ganas dan
mahajahat), yaitu orang keempat Thian-he-su-ok (empat
mahadurjana dunia). Diam-diam ia heran mengapa
keempat tokoh itu telah mengabdikan diri kepada
kerajaan Se He?
Waktu Toan Ki memandang pula ke arah rombongan
jago-jago Se He, benar juga lantas dilihatnya “Bu-ok-putcok”
(tiada kejahatan yang tak dilakukan) Yap Ji-nio
sedang berdiri di situ dengan tersenyum simpul
membopong seorang bayi. Hanya si jahat pertama “Okkoan-
boan-eng” (kejahatan sudah melebihi takaran) Yanking
Taycu yang tidak kelihatan.
Diam-diam Toan Ki bersyukur si jahat utama itu tidak
berada di situ, kalau cuma Ji-ok (si jahat kedua) dan Siok
(si jahat keempat) saja, tentu jago-jago Kay-pang
masih mampu melawannya.
Kiranya sesudah “Thian-he-su-ok” itu meninggalkan
negeri Tayli, dalam perjalanan mereka ke utara, mereka
bertemu dengan utusan It-bin-tong dari negeri Se He
yang ditugaskan mencari jago-jago kosen.
Dasar Su-ok itu memang terlalu iseng, terus saja
mereka menggabungkan diri ke dalam It-bin-tong. Betapa
tinggi ilmu silat mereka, dengan sendirinya hanya sedikit
demonstrasi saja mereka sudah lantas diterima sebagai
jago pilihan oleh Helian Tiat-si. Dalam perjalanan ke
1307
Tionggoan kali ini Helian Tiat-si telah membawa serta
keempat durjana itu dan menganggap mereka sebagai
tangan kanan-kirinya.
Begitulah sesudah In Tiong-ho melompat maju ke
tengah, segera ia berseru, “Ciangkun kami ingin belajar
kenal dengan kedua macam kungfu Kay-pang.
Sebenarnya pengemis seperti kalian ini mempunyai
kepandaian sejati atau cuma bualan belaka, ayolah,
silakan maju untuk coba-coba dengan aku!”
“Biarkan aku yang maju dulu,” tiba-tiba Ge-tianglo
berkata.
“Baiklah!” sahut Ci-tianglo. “Tapi ginkang orang ini
sangat hebat, Ge-heng harus hati-hati.”
Ge-tianglo mengiakan dan maju ke tengah kalangan
sambil menyeret tongkat bajanya yang panjang itu,
katanya, “Ilmu silat Kay-pang kami hanya digunakan
menurut keperluan saja, terhadap Bu-beng-siau-cut
(kaum keroco) macammu ini masakah perlu pakai Pakkau-
pang-hoat segala? Ini, rasakan dulu toyaku ini!”
Segera tongkatnya mengemplang ke atas kepala
lawan.
Badan Ge-tianglo itu gemuk buntak, jadi terbalik
daripada tubuh In Tiong-ho yang jangkung lencir. Tapi
tongkatnya yang sangat panjang itu masih dapat
digunakan menghantam dari atas ke bawah.
Dahulu guru Ge-tianglo waktu mengajarkan
permainan senjata panjang ini kepadanya, maksud
1308
tujuannya memang guna menambal perawakan yang
pendek itu, agar dengan tongkat panjang itu dapat
dipakai melawan musuh yang lebih tinggi.
Begitulah maka cepat In Tiong-ho berkelit ke
samping, “blang”, tongkat baja Ge-tianglo menghantam
tanah hingga debu pasir bertebaran, ujung tongkat
sampai ambles belasan senti ke dalam tanah. Betapa
hebat tenaganya sungguh mengejutkan.
In Tiong-ho insaf tenaganya jauh di bawah lawan,
maka ia tidak berani menangkis dari depan, tapi terus
melompat ke sini dan melesat ke sana, dengan ginkang
yang tinggi ia tempur Ge-tianglo dengan main kucingkucingan.
Ge-tianglo putar tongkatnya sedemikian kencang
hingga berwujud segulung kabut putih, tapi tetap tidak
dapat menyenggol badan In Tiong-ho.
Selagi Toan Ki terpesona menyaksikan pertarungan
itu, tiba-tiba suara seorang yang merdu berkata di tepi
telinganya, “Toan-toako, sebaiknya kita membantu
siapa?”
Waktu Toan Ki berpaling, ia lihat yang bicara itu
adalah Giok-yan, seketika hatinya terguncang, sahutnya,
“Membantu apa maksudmu?”
“Bukankah si jangkung itu adalah kawan muridmu?
Dan si pengemis pendek gemuk ini adalah anak buah
saudara angkatmu, pertarungan mereka makin lama
makin sengit, apakah kita mesti membantu atau menjadi
juru pisah saja?” sahut Giok-yan.
1309
“Muridku adalah seorang jahat, si jangkung ini lebihlebih
ganas, maka tidak perlu membantu dia,” sahut Toan
Ki.
“O!” kata Giok-yan berpikir sejenak. “Tapi para
pengemis itu telah mengusir Gihengmu dan tidak sudi
mengaku dia sebagai pangcu lagi, malahan
sembarangan menuduh Piaukoku, maka aku tidak suka
kepada mereka.”
Menurut jalan pikiran gadis itu, siapa yang tidak baik
kepada piaukonya, maka orang itu dianggapnya sebagai
orang paling jahat di dunia ini. Lalu ia menyambung pula,
“Si pengemis buntak ini memainkan Hok-mo-theng dari
aliran Ngo-tay-san, tapi karena badannya pendek, maka
jurus ‘Cin-ong-pian-ciok’ (Raja Cin mencambuk batu)
yang dimainkan itu kurang tepat. Asal si jangkung
menyerang bagian kakinya, pasti dia akan kewalahan.
Cuma si kurus itu tidak tahu, ia sangka si pendek tentu
sangat kuat kuda-kudanya, padahal tidak demikian.”
Meski suara Giok-yan ini sangat perlahan, tapi
kebanyakan jago yang hadir di situ adalah ahli lwekang
terkemuka, mereka dapat mendengar juga ucapan Giokyan
itu. Walaupun banyak juga di antaranya kenal asal
usul ilmu silat Ge-tianglo, tapi sekali pandang hendak
mengetahui di mana letak kelemahan tokoh Kay-pang itu
sebenarnya sedikit yang mampu. Dan memang benar
juga, demi mereka memerhatikan jurus serangan Getianglo
yang disebut Giok-yan tadi yang kelihatannya
sangat hebat, namun kuda-kuda kakinya memang kurang
kuat.
1310
Dengan sendirinya In Tiong-ho juga mendengar
komentar Giok-yan itu, ia melirik gadis itu dan memuji,
“Wah, cantik amat anak dara ini, lebih-lebih
pandangannya yang tajam, kalau mau ikut aku dan
menjadi istriku masih boleh juga.”
Sambil berkata, senjata cakar bajanya tidak pernah
kendur, ia turut petunjuk Giok-yan tadi dan beruntun tiga
kali menyerang bagian bawah Ge-tianglo.
Karena hal itu memang benar merupakan kelemahan
Ge-tianglo, maka jurus ketiga tak dapat ditangkisnya,
“cret”, pahanya tergurat cukup parah oleh cakar baja
musuh hingga darah bercucuran.
Dasar sifat Giok-yan memang masih kekanakkanakan
dan hijau, mendengar pujian In Tiong-ho akan
kecantikannya, ia merasa senang hingga kata-kata yang
bernada rendah itu tidak terpikir olehnya. Dengan
tersenyum ia malah menjawab, “Huh, tidak kenal malu.
Apamu yang dapat dipilih, aku tidak mau menjadi
istrimu.”
“Mengapa tidak mau?” tanya In Tiong-ho. “Ehm, tentu
kau sudah punya pacar bukan? Biarlah kubunuh dulu
buah hatimu itu, masakah kau takkan menjadi istriku
nanti?”
Perkataan terakhir ini benar-benar telah menusuk
perasaan Giok-yan, maka dengan muka merengut ia
tidak gubris orang lagi.
Selagi In Tiong-ho hendak menggoda dengan katakata
pula, tiba-tiba dari rombongan Kay-pang telah
1311
melompat keluar seorang kakek lain, itulah Go-tianglo
dengan senjatanya yang berupa kui-thau-to, golok yang
ujungnya berbentuk kepala setan. Tanpa bicara lagi Gotianglo
terus membabat ke kanan empat kali dan
menebas ke kiri empat kali, memotong ke atas empat kali
dan membacok ke bawah empat kali, 4 kali 4 sama
dengan 16 kali, daya serangannya sangat hebat.
Karena tidak kenal ilmu permainan golok lawan itu, In
Tiong-ho cuma dapat berkelit ke sini dan menghindar ke
sana dengan kelabakan.
Segera Giok-yan mengemukakan komentarnya lagi,
“Su-siang-liok-hap-to-hoat yang dimainkan Go-tianglo ini
di dalamnya membawa perubahan menurut perhitungan
pat-kwa, pastilah si jangkung itu tak kenal ilmu goloknya
ini. Entah apakah dia paham tidak permainan ‘Ho-coapat-
tah’ (delapan kali menghantam ular dan bangau),
kalau dapat, dengan mudah pasti Go-tianglo akan
dikalahkan pula.”
Mendengar gadis itu memberi petunjuk pula kepada
In Tiong-ho, para pengemis menjadi gusar dan sama
melotot padanya.
Dalam pada itu In Tiong-ho sudah mengubah
serangannya, kakinya yang panjang itu melangkah lebar,
cakar bajanya menyapu dari samping hingga mirip
seekor bangau sedang pentang sayap.
“Hihi, si jangkung itu telah tertipu olehku, boleh jadi
tangan kirinya akan segera tertebas kutung,” bisik Giokyan
pada Toan Ki dengan tertawa perlahan.
1312
“Apa betul?” sahut Toan Ki dengan heran.
Dan belum lagi Giok-yan menjawab, tertampak
serangan golok Go-tianglo sudah mulai kacau, gayanya
semakin lambat, tapi mendadak ia menyerang tiga kali
dengan cepat, di mana sinar golok berkelebat,
sekonyong-konyong In Tiong-ho menjerit kaget,
punggung tangan kirinya telah keserempet oleh golok
Go-tianglo hingga cakar bajanya jatuh ke tanah. Masih
untung juga baginya karena ginkangnya sangat lihai,
dengan cepat ia sempat melompat mundur hingga dapat
menghindarkan serangan-serangan susulan Go-tianglo
yang hebat.
Setelah mengalahkan musuh, segera Go-tianglo
mendekati Giok-yan, ia mengucap terima kasih kepada
nona itu.
Giok-yan tersenyum, katanya, “Sungguh ‘Ki-bun-samcay-
to’ yang hebat!”
Go-tianglo terkejut, tak tersangka olehnya bahwa
gadis itu ternyata kenal ilmu goloknya yang sebenarnya.
Kiranya sejak tadi Giok-yan sudah kenal ilmu golok
Go-tianglo itu adalah “Ki-bun-sam-cay-to,” tapi ia sengaja
bilang “Su-siang-liok-hap-to” untuk menyesatkan In
Tiong-ho, bahkan ia dapat melihat In Tiong-ho pasti
mahir menggunakan serangan “Ho-coa-pat-tah”, dengan
demikian ia sengaja pancing durjana itu masuk
perangkap hingga dicecar oleh serangan Go-tianglo,
sampai tangan kirinya hampir tertebas kutung.
1313
Itu orang yang berdiri di samping Helian Tiat-si dan
suaranya melengking seram tadi namanya Nurhai.
Walaupun mukanya tidak menarik, tapi orangnya sangat
cerdik dan banyak tipu akalnya, pengetahuannya juga
sangat luas.
Demi melihat mula-mula Giok-yan membantu In
Tiong-ho mengalahkan Ge-tianglo, kemudian gadis itu
bersuara pula dan membikin In Tiong-ho dilukai Gotianglo,
maka ia lantas berkata kepada Helian Tiat-si,
“Ciangkun, nona cilik bangsa Han ini sangat aneh, kalau
kita dapat menawannya ke It-bin-tong dan suruh dia
mengatakan segala apa yang dia ketahui, pasti akan
sangat besar manfaatnya bagi kita.”
“Ehm, bagus, bolehlah kau tawan dia,” sahut Helian
Tiat-si.
Nurhai garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal,
pikirnya, “Sifat Ciangkun benar-benar membikin runyam,
setiap kali aku mengusulkan sesuatu akal padanya,
selalu ia menjawab, ‘Ehm, bagus, kerjakanlah!’ Padahal
untuk melaksanakan sesuatu tugas tidaklah mudah,
apalagi nona cilik ini tampaknya berilmu silat sangat
tinggi dan sukar dijajaki, jangan-jangan aku sendiri akan
terjungkal dari dibikin malu di depan orang banyak.
Urusan hari ini sudah jelas harus membasmi habis kaum
pengemis ini, maka lebih baik aku mendahului turun
tangan saja.”
Sesudah ambil keputusan demikian, segera ia
melangkah maju, katanya, “Ci-tianglo, Ciangkun kami
cuma ingin belajar kenal Pak-kau-pang-hoat dan Hangliong-
sip-pat-ciang, jika kalian mahir, lekas unjukkan, bila
1314
tidak becus, kami tiada tempo buat banyak urusan, maka
sekarang juga kami mohon diri saja.”
“Hm, jago-jago It-bin-tong negeri kalian itu ternyata
juga cuma begini saja kualitasnya, untuk bisa belajar
kenal dengan Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-patciang
rasanya belum sesuai kalau hanya keroco-keroco
seperti ini saja,” sahut Ci-tianglo.
“Habis, cara bagaimana untuk bisa sesuai,” tanya
Nurhai.
“Lebih dulu harus dapat mengalahkan semua
pengemis-pengemis tak becus seperti kami ini, habis itu
barulah pimpinan Kay-pang sudi maju sendiri ....” belum
habis ucapannya, sekonyong-konyong ia terbatuk-batuk
hebat, menyusul matanya terasa sakit pedas dan tak
dapat dibuka, air mata pun bercucuran tak tertahankan.
Dalam kagetnya, tanpa pikir lagi ia terus melompat ke
atas.
Sebagai seorang Kangouw yang ulung, begitu merasa
matanya tidak beres, segera Ci-tianglo tahu musuh telah
main gila, dan begitu badannya terapung di udara, kedua
tangan siap menjaga diri sambil menahan napas, sedang
kaki kanan beruntun-runtun menerjang tiga kali.
Sama sekali Nurhai tidak menduga bahwa seorang
kakek-kakek yang sudah ubanan itu begitu tangkas dan
cepat, untung dirinya masih sempat berkelit, namun
hanya tempat-tempat berbahaya saja dapat dihindarkan,
sebaliknya pundaknya juga kena terdepak sekali oleh Citianglo
hingga ia sempoyongan dan cepat-cepat
melompat mundur.
1315
Dalam pada itu para anggota Kay-pang sudah lantas
berteriak-teriak, “Celaka! Musuh main gila!” — “Hei,
mataku kena apa ini?” — “Wah, mataku tak dapat
dibuka!” — Begitulah semuanya merasa mata sakit
pedas dan mengucurkan air mata.
Giok-yan, A Cu, dan A Pik juga mengalami kejadian
yang sama, mata mereka terasa panas dan susah
dibuka. Kiranya ini adalah semacam kabut beracun yang
tanpa warna dan tiada bau apa-apa yang disebarkan
orang-orang Se He. Racun kabut itu adalah buatan dari
kabut beracun yang terdapat di pegunungan Se He,
mereka isi di dalam botol, waktu menggunakan, lebih
dulu mereka minum obat penawarnya, lalu sumbat botol
dibuka dan kabut berbisa itu menguar keluar perlahanlahan.
Dengan begitu biarpun orang yang paling cerdik
juga takkan merasa, bila matanya sudah mulai sakit
pedas dan mengucurkan air mata, saat itu racun sudah
masuk kepala.
Maka terdengarlah suara gedebak-gedebuk dan
jeritan kaget yang riuh, para pengemis beruntun-runtun
terguling semua.
Di antara semua orang itu hanya Toan Ki yang tidak
roboh. Ia pernah makan Bong-koh-cu-hap, katak merah
yang bisa menguak seperti kerbau, binatang itu
antisegala racun, maka kabut berbisa itu pun tidak
mempan baginya.
Ia menjadi bingung ketika melihat para pengemis,
Giok-yan dan kedua dayangnya roboh semua dengan
keadaan mengenaskan. Ia lihat Ci-tianglo dengan mata
1316
merem masih menghantam dan menendang untuk
menjaga diri, tapi untuk kedua kalinya ketika melompat
lagi ke atas, mendadak tangan-kaki terasa kaku linu,
tanpa kuasa lagi orang tua itu terbanting jatuh.
Sambil membentak Nurhai segera pimpin jago-jago
Se He meringkus para pengemis. Ia sendiri lantas
mendekati Giok-yan dan hendak menarik tangan gadis
itu.
“Apa yang hendak kau lakukan?” bentak Toan Ki
mendadak. Dalam gugupnya jari telunjuk kanan terus
menuding hingga satu arus hawa murni terpancar kuat ke
depan, itulah “Lak-meh-sin-kiam” yang sakti dari keluarga
Toan di Tayli.
Nurhai tidak kenal betapa lihainya ilmu pedang tanpa
wujud itu, sama sekali ia tidak gubris dan masih ulur
tangan hendak memegang Giok-yan, sekonyongkonyong
“krek” sekali, tahu-tahu tulang tangan kanannya
patah dan menggantung ke bawah dengan lemas.
Saking kagetnya Nurhai menjerit dan berhenti.
Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk
merangkul pinggang Giok-yan terus dibawa lari dengan
ilmu langkah “Leng-po-wi-poh” yang aneh, ia mengisar ke
sini dan menyusur ke sana, dengan mudah saja ia tinggal
pergi.
Sekali Yap Ji-nio menyambitkan sebatang jarum
berbisa ke punggung Toan Ki, sambitan itu sangat pesat
menyambarnya dan sangat jitu pula, sebenarnya tidak
mungkin Toan Ki sanggup menghindarnya.
1317
Tapi karena ilmu langkahnya yang aneh itu, tiba-tiba
Toan Ki mengisar ke kanan dan tahu-tahu membelok ke
kiri, terkadang mundur pula, maka ketika jarum berbisa
Yap Ji-nio menyambar tiba, tahu-tahu Toan Ki sudah
berada beberapa meter jauhnya di samping sana.
Ada tiga busu pilihan dari Se He segera melompat
turun dari kuda mereka terus mengudak. Tapi tahu-tahu
Toan Ki mengisar mundur malah ke samping kuda yang
ditinggalkan mereka itu, lebih dulu ia taruh Giok-yan di
atas kuda dengan melintang, lalu ia sendiri mencemplak
dan dilarikan secepatnya ke tempat yang sepi.
Sekitar hutan itu sudah dijaga oleh jago-jago Se He,
ketika melihat Toan Ki melarikan diri dengan
menunggang kuda, segera mereka menghujani pemuda
itu dengan panah. Tapi hutan itu sangat lebat, di manamana
hanya pohon belaka, maka anak panah itu
menancap semua di batang pohon tanpa mengenai
sasarannya.
Dalam kegelapan Toan Ki terus melarikan kudanya, ia
tepuk-tepuk kuda itu dan berkata, “Kuda baik, kuda
manis, ayolah cepat, nanti kuberi minum arak!”
Sudah beberapa lama kuda itu mencongklang,
sementara itu musuh sudah ketinggalan jauh.
“Nona Ong, bagaimanakah keadaanmu?” tanya Toan
Ki.
“Aku keracunan, tenagaku hilang sama sekali,” sahut
Giok-yan.
1318
Toan Ki kaget mendengar nona itu keracunan, cepat
ia tanya pula, “Wah, berbahaya tidak? Cara bagaimana
agar bisa memperoleh obat penawarnya?”
“Entahlah, aku tidak tahu, lekas larikan kudamu lebih
cepat, carilah suatu tempat yang aman dan kita bisa
berunding nanti,” ujar Giok-yan.
“Ke mana menurut pendapatmu akan lebih aman?”
tanya Toan Ki.
“Ke Thay-oh saja!” sahut si gadis.
Toan Ki coba membedakan arah, agaknya Thay-oh
(telaga besar) itu berada di jurusan barat-laut, segera ia
larikan kuda ke sana.
Tiada satu jam kemudian, kuda yang dibebani dua
orang itu sudah terlalu lelah, menyusul turun hujan pula
rintik-rintik.
Selang tak lama, Toan Ki coba tanya, “Nona Ong,
bagaimana keadaanmu?”
Dapat menunggang kuda bersama gadis cantik,
sudah tentu rasa Toan Ki sangat senang, tapi ia khawatir
pula kalau racun yang mengenai Giok-yan itu teramat
jahat hingga membahayakan jiwanya. Maka sebentar ia
tersenyum dan lain saat khawatir.
Bab 27
Untung waktu itu adalah malam dan di tempat sepi
hingga tiada orang yang melihat sikapnya yang aneh itu,
kalau tidak, tentu orang akan menyangka dia sudah gila.
1319
Hujan itu semakin deras, Toan Ki menanggalkan
jubahnya untuk menutup badan Giok-yan. Tapi hanya
sebentar saja baju kedua orang telah sama-sama basah
kuyup lagi.
“Bagaimana keadaanmu, nona Ong?” kembali Toan
Ki menanya.
“Ai, basah dan dingin, sebaiknya cari suatu tempat
untuk berteduh,” sahut Giok-yan.
Segala apa yang dikatakan Giok-yan itu bagi
pendengaran Toan Ki adalah serupa titah sang ratu.
Sekarang gadis itu minta dicarikan tempat meneduh,
meski pemuda itu tahu keadaan masih berbahaya, setiap
waktu dapat disusul musuh, tapi mau tak mau ia terus
mengia. Tiba-tiba timbul pula semacam pikirannya yang
ketolol-tololan, “Orang yang selalu terbayang-bayang
dalam benak nona Ong hanya Buyung-kongcu seorang,
maka terang tiada harapan selama hidupku untuk
mempersunting si cantik. Hari ini aku sama-sama
menghadapi bahaya dengan dia, biarlah aku berusaha
sepenuh tenaga untuk melindunginya, bila akhirnya aku
mati baginya, mungkin di kemudian hari pada masa
tuanya secara kebetulan tentu dia akan terkenang juga
kepada aku si Toan Ki. Kelak setelah dia menikah
dengan Buyung Hok tentu akan punya putra-putri, dan
bila mereka sedang bicara di antara anak-cucu sendiri
atas kejadian-kejadian di masa lalu, mungkin juga ia
akan teringat kepada kejadian hari ini. Tatkala mana ia
sudah nenek-nenek yang ubanan, ketika bicara tentang
‘Toan-kongcu’, air matanya lantas bercucuran ....” —
1320
begitulah dalam melamunnya itu tanpa merasa matanya
menjadi memberambang sendiri.
Melihat pemuda itu termangu-mangu sambil
menengadah dan tidak lantas mencari tempat meneduh
seperti permintaannya tadi, segera Giok-yan menanya,
“Hei, kenapakah kau? Apakah susah diperoleh suatu
tempat berteduh?”
“Tatkala itu engkau tentu akan berkata pada anakmu
....”
“Anakku apa katamu?” tegur Giok-yan dengan heran
sebelum lanjut perkataan pemuda itu.
Keruan Toan Ki kaget dan sadar kembali dari
lamunannya, cepat ia menyahut dengan tertawa ewa,
“Ah, maaf, aku lagi melamun sendiri.”
Segera ia celingukan kian kemari untuk mencari
sesuatu tempat bernaung, tiba-tiba dilihatnya di arah
timur laut sana ada sebuah rumah gilingan, air sungai
kecil di samping rumah gilingan itu mengalir cepat hingga
roda gilingan itu berputar terdorong oleh arus air, nyata
gilingan itu sedang bekerja.
“Di sanalah kita dapat berteduh,” ujar Toan Ki. Segera
ia keprak kudanya ke arah sana, tidak lama, sampailah di
depan rumah gilingan itu.
Segera Toan Ki melompat turun dari kuda, demi
dilihatnya wajah Giok-yan pucat pasi, sungguh betapa
rasa kasih sayangnya pemuda itu. Dengan khawatir ia
1321
menanya pula, “Nona Ong, apakah perutmu sakit? Atau
barangkali kepalamu pusing? Badanmu panas?”
“Tidak, tidak apa-apa,” sahut Giok-yan sambil
menggeleng.
“Ai, entah racun apa yang digunakan orang Se He itu,
kalau aku dapat memperoleh obat penawarnya, tentu
segalanya akan beres,” ujar Toan Ki.
“Eh, mengapa engkau tidak memayang aku turun,
hujan begini derasnya?” tegur si gadis.
Dan baru Toan Ki ingat akan hal itu, dengan gugup ia
menjawab, “Eh, ya, ya, aku menjadi linglung ini.”
Giok-yan tersenyum, ia geli melihat kelakuan si
pemuda yang memang mirip orang linglung itu.
Melihat senyuman manis si gadis yang menggiurkan
itu, semangat Toan Ki seakan-akan kabur ke awangawang,
hampir ia lupa apa yang harus dilakukannya.
Segera ia membukakan dulu pintu rumah gilingan itu,
habis itu, ia putar balik hendak menurunkan Giok-yan
dari atas kuda. Tapi karena matanya tidak pernah
meninggalkan wajah si gadis yang ayu itu, ia menjadi
lupa daratan dan tidak ingat bahwa di depan titian rumah
gilingan itu ada sebuah selokan. Begitu ia melangkah
kembali, sebelah kakinya tepat kejeblos ke dalam
selokan.
“Hei, awas!” cepat Giok-yan memperingatkan.
1322
Namun sudah telat, Toan Ki sudah kehilangan
imbangan badan, disertai jeritan kagetnya, terus saja ia
ngusrup jatuh ke dalam pecomberan. Cepat ia
merangkak bangun pula, namun mukanya, tangannya,
dadanya, antero tubuhnya sudah basah kuyup dan kotor
oleh tanah lumpur, bahkan ada beberapa tetes air kotor
itu menciprat ke dalam mulutnya.
Keruan Toan Ki kelabakan dan meludah-ludah tiada
habis-habis, katanya kemudian, “Ah, maaf, kau ... kau tak
apa-apa, bukan?”
“Ai, akulah harus menanya engkau tidak apa-apa,
bukan? Mengapa malah aku yang ditanya?” sahut Giokyan.
“Sakit tidak kau? Apa terluka?”
Mendengar si gadis sudi memerhatikan keselamatan
dirinya, girang Toan Ki melebihi orang yang dapat
“buntut”. Cepat ia menjawab, “O, tidak, tidak apa-apa.
Sekalipun terbanting patah kakiku juga tidak apa-apa.”
Habis itu segera ia ulur tangan hendak memayang
Giok-yan turun dari kudanya, tapi demi tampak tangan
sendiri penuh lumpur, cepat ia tarik kembali lagi dan
berkata, “Nanti dulu, biar kucuci tangan dulu supaya tidak
bikin kotor padamu.”
“Ai, engkau ini benar-benar suka bertele-tele,” ujar
Giok-yan. “Sedangkan seluruh badanku juga sudah
basah kuyup, kenapa mesti takut pada sedikit lumpur
kotor itu?”
1323
Tapi Toan Ki toh masih mencuci dulu tangannya di
dalam air selokan itu, kemudian barulah menurunkan
Giok-yan.
Setelah mereka melangkah masuk ke rumah gilingan
itu, tertampaklah sebuah alu batu yang digerakkan roda
air sedang naik-turun menumbuk padi di dalam lumpang.
Tapi tidak tampak seorang pun yang menjaga di situ.
“Adakah orang di sini?” segera Toan Ki berseru.
Karena itu, mendadak terdengarlah seruan kaget dua
orang di onggok jerami di pojok rumah sana, menyusul
berdirilah seorang pemuda dan satu dara. Semuanya
baru berusia belasan tahun. Baju kedua muda-mudi itu
tampak kumal tak teratur, rambut mereka kusut dan
muka merah jengah, sikapnya sangat kikuk.
Kiranya kedua muda-mudi itu adalah sepasang
kekasih yang sedang bercumbu-cumbuan di situ. Si
gadis itu sebenarnya lagi menunggui lumpang padi,
kesempatan itu tidak disia-siakan oleh si pemuda,
apalagi hari hujan pula, mereka yakin takkan ada orang
datang ke situ, maka dengan bebas mereka sedang main
patgulipat. E-eh, siapa sangka mendadak datang Toan Ki
dan Giok-yan hingga mengganggu kesenangan mereka.
Maka Toan Ki lantas memberi kiongchiu sambil
menyapa, “Ah, maaf, maaf, banyak mengganggu. Kalian
sedang kerja apa, silakan terus, tidak usah mengurus
kami.”
“Kembali pelajar tolol seperti kau ini mengaco-belo
lagi,” omel Giok-yan. “Di hadapan kita masakah mereka
1324
bisa bebas bermesra-mesraan?” — Sebagai seorang
gadis, demi tampak kelakuan kedua muda-mudi itu,
seketika muka Giok-yan sudah lantas merah dan tidak
berani memandang mereka lagi.
Sebaliknya antero perhatian Toan Ki hanya
tercurahkan atas diri Giok-yan, maka sama sekali ia tidak
perhatikan apakah sebenarnya yang sedang dilakukan
kedua muda-mudi itu tadi.
Begitulah segera ia memayang Giok-yan berduduk ke
atas bangku yang berada di situ dan menanya,
“Badanmu basah kuyup semua. Bagaimana baiknya
sekarang?”
Tiba-Tiba pikiran Giok-yan tergerak, ia cabut sebuah
tusuk kondenya yang berhias dua butir mutiara dan
berkata kepada gadis petani tadi, “Cici, ini kuberi sebuah
tusuk konde emas kepadamu, harap engkau suka
meminjamkan seperangkat pakaian padaku.”
Sudah tentu gadis petani itu tidak kenal betapa
berharganya kedua butir mutiara besar itu, yang dia
ketahui hanya tusuk konde emas itu memang bernilai,
maka ia menjadi ragu-ragu akan tawaran Giok-yan itu,
sahutnya kemudian, “Biarlah aku mengambilkan pakaian
untukmu, tentang tusuk ... tusuk konde itu aku tidak
mau.” — Habis berkata ia terus naik ke atas loteng
rumah gilingan itu dengan sebuah tangga kayu di pinggir
situ.
“Cici, harap engkau kemari dulu,” pinta Giok-yan.
1325
Gadis petani itu sebenarnya sudah naik lima-enam
tingkat ke atas tangga itu, tapi ia menurut dan kembali ke
hadapan Giok-yan.
Segera Giok-yan serahkan tusuk konde emas itu ke
dalam tangan si gadis petani dan berkata, “Tusuk konde
ini paling sedikit bernilai seratus tahil perak, aku benarbenar
menghadiahkan kepadamu. Permintaanku ialah
sudilah Cici membawa aku untuk mengganti pakaian.”
Hati gadis petani itu sangat baik, dilihatnya pula Giokyan
sangat cantik menyenangkan, apalagi mendapat
persen sebuah tusuk konde berharga pula, keruan ia
sangat girang. Segera ia membawa Giok-yan ke atas
loteng untuk menukar pakaian.
Di atas loteng penuh tertaruh alat-alat pertanian serta
timbunan padi, banyak pula terdapat tampah, tenggok,
ayakan bambu dan sebagainya.
Sebenarnya gadis itu sedang tambal sulam pakaian
sambil menunggu lumpang padi, tapi kemudian datang si
pemuda kekasihnya itu, maka pekerjaan tangan itu
ditinggalkannya. Dan kini kebetulan pakaiannya dapat
diberikan kepada Giok-yan.
Dalam pada itu si pemuda desa tadi sedang
memandang Toan Ki dengan sikap canggung dan tidak
berani bersuara. Maka dengan tertawa Toan Ki lantas
menyapa, “Toako, she apakah engkau?”
“O, aku ... aku she Kim,” sahut pemuda desa itu.
1326
“Ehm, Kim-toako kiranya,” kata Toan Ki. Dan belum
lagi lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara derap
kuda yang dilarikan dengan sangat cepat sedang
mendatangi, dari suaranya itu dapat diduga ada belasan
orang banyaknya.
Toan Ki terkejut dan khawatir, cepat ia berbangkit dan
berseru, “He, nona Ong, musuh mengejar kemari!”
Dibantu oleh gadis petani tadi, saat itu Giok-yan baru
melepaskan baju dan diperas hingga kering serta sedang
mengelap badannya yang basah, ia pun sudah
mendengar derap kuda dan sedang khawatir. Tapi
karena dalam keadaan kepalang tanggung, maka ia tidak
dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu datangnya kuda-kuda itu ternyata
sangat cepat, tahu-tahu sudah sampai di depan rumah,
segera terdengar suara orang berseru, “He, itulah kuda
kita, kedua bocah itu tentu sembunyi di sini.”
Toan Ki dan Giok-yan menjadi khawatir, mereka
masing-masing berada di bawah dan atas loteng, diamdiam
mereka menyesal tadi kuda itu tidak dibawa masuk
sekalian ke dalam rumah.
Sejenak kemudian, terdengarlah suara gedubrakan
keras, daun pintu terpentang didobrak orang, menyusul
tiga-empat orang busu bangsa Se He lantas menerobos
masuk.
Yang dipikir Toan Ki hanya keselamatan Giok-yan,
tanpa pikir lagi ia terus berlari ke atas loteng. Waktu itu
Giok-yan masih belum sempat pakai baju, terpaksa ia
1327
gunakan pakaian yang basah itu untuk menutupi
dadanya.
Keruan Toan Ki kaget demi mengetahui keadaan
gadis itu, cepat ia berkata, “Ah, maaf, maaf, aku tidak
tahu!”
“Wah, bagaimana baiknya ini?” tanya Giok-yan
dengan gugup.
Dalam pada itu terdengar salah seorang busu di
bawah loteng sedang tanya Kim A-toa, yaitu si pemuda
desa, “Apakah anak dara itu berada di atas?”
“Buat apa engkau tanya anak gadis orang?” sahut
Kim A-toa dengan kaku.
“Blang,” tanpa bicara lagi busu itu hantam Kim A-toa
hingga pemuda desa itu terguling. Namun watak pemuda
itu ternyata sangat keras, segera ia mencaci maki.
“Kim-toako, jangan bertengkar dengan orang!”
demikian si gadis tani tadi berseru kepada kekasihnya
dengan khawatir, segera ia turun ke bawah loteng untuk
mencegahnya,
Siapa duga busu tadi lantas ayun golok hingga buah
kepala Kim A-toa terbelah menjadi dua. Saking kagetnya
sampai gadis tani itu pun jatuh terjungkal dari atas
tangga.
Segera busu yang lain membangunkannya dan
dipeluk sambil menggoda, “Ini dia si manis datang sendiri
padaku!”
1328
“Bret”, segera baju gadis itu dirobeknya.
Di luar dugaan, mendadak gadis itu mencakar muka
busu itu hingga seketika berwujud lima jalur luka dengan
darah bercucuran. Keruan busu itu menjadi murka, ia
menghantam sekuatnya dada si gadis hingga tulang
iganya remuk dan binasa seketika.
Ketika mendengar jeritan ngeri di bawah loteng, Toan
Ki menoleh dan melihat kedua muda-mudi itu sudah
terbinasa dengan mengenaskan, ia menjadi pedih dan
menyesal, “Gara-garaku hingga kalian ikut menjadi
korban!”
Dalam pada itu dilihatnya busu pertama tadi sedang
memanjat ke atas loteng. Cepat Toan Ki mendorong
tangga kayu itu ke depan. Karena tangga itu cuma
melekat di papan loteng, sekali didorong lantas roboh ke
sana.
Namun busu itu keburu melompat turun, ia pegang
tangga yang mendoyong itu dan dipasang kembali ke
atas loteng.
Dan baru Toan Ki hendak mendorong tangga pula,
tiba-tiba busu yang lain menyerangnya dengan sebatang
panah. Karena tidak pandai berkelit, “crat”, panah itu
menancap di pundak kirinya. Ketika Toan Ki kesakitan
dan memegang bahunya, kesempatan itu digunakan oleh
busu yang lain untuk memperbaiki tangga terus
melompat ke atas.
1329
Giok-yan sedang duduk di atas onggok padi di
samping Toan Ki, ia menyaksikan cara bagaimana busu
itu menghantam mati si gadis tani dan kini melompat ke
atas loteng, maka cepat katanya kepada Toan Ki, “Lekas
gunakan jari telunjukmu untuk menutuk ‘He-wan-hiat’
bagian perutnya.”
Waktu Toan Ki mempelajari It-yang-sin-kang, dan
Lak-meh-sin-kiam di Tayli, dalam hal hiat-to di tubuh
manusia telah dihafalkannya dengan baik. Kini demi
mendengar petunjuk Giok-yan itu, sementara itu sebelah
kaki busu itu sudah melangkah ke atas loteng, tanpa pikir
lagi ia menudingkan jari telunjuknya ke depan, ia tutuk
arah “He-wan-hiat” di perut orang.
Dalam keadaan melompat ke atas, dengan sendirinya
perut busu itu tidak terlindung, maka terdengarlah jeritan
sekali, busu itu terjungkal ke bawah dan terbanting mati.
Toan Ki sama sekali tidak menduga bahu tenaga
jarinya itu ternyata begitu sakti, ia sampai melenggong
sendiri.
Dalam pada itu tertampak seorang busu berewok
telah menyerbu ke atas loteng sambil putar senjatanya
yang berupa golok besar.
“Tutuk mana, tutuk mana?” tanya Toan Ki dengan
khawatir.
“Ai, celaka!” tiba-tiba Giok-yan mengeluh.
“Celaka apa?” tanya Toan Ki gugup.
1330
“Dia putar golok untuk melindungi tubuhnya, jika kau
gunakan jari untuk menutuk ‘Tan-tiong-hiat’ di dadanya,
sebelum jarimu mengenai sasarannya tentu tanganmu
sudah tertebas lebih dulu oleh goloknya,” ujar Giok-yan.
Namun keadaan sudah mendesak, baru selesai Giokyan
berkata, sementara busu itu sudah melangkah
sampai di ujung tangga. Oleh karena yang terpikir hanya
keselamatan Giok-yan, maka Toan Ki tidak pikir apakah
tangannya bakal terkutung oleh golok lawan atau tidak,
begitu jari telunjuk menuding, ia kerahkan tenaga murni,
ia tonjok “Tan-tiong-hiat” di dada musuh.
Waktu itu si busu sedang angkat golok hendak
membacok, mendadak ia menjerit lalu terjungkal ke
belakang dan terguling ke bawah loteng dengan dada
berlubang kecil, darah menyembur keluar bagai air
mancur.
Sungguh girang dan kejut pula Toan Ki dan Giok-yan,
sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa tenaga
tutukan itu bisa begitu lihai.
Harus diketahui bahwa lwekang yang dimiliki Toan Ki
sekarang boleh dikatakan tiada bandingannya lagi,
sedangkan “Lak-meh-sin-kiam” keturunan Toan-si di
Tayli merupakan kungfu kelas utama di Bu-lim, yang
masih kurang bagi Toan Ki hanya mengenai cara
menggunakannya, tapi dengan petunjuk Giok-yan, daya
serang yang dilontarkan itu bahkan lebih hebat daripada
jago kelas satu seperti Koh-eng Taysu, Ciumoti, Yan-king
Taycu dan lain-lain.
1331
Begitulah hanya sekejap saja dua orang sudah binasa
oleh tutukannya, busu yang lain menjadi jeri tidak berani
naik ke atas loteng lagi, mereka berkumpul di bawah
untuk berunding.
“Toan-kongcu, panah yang menancap di pundakmu
itu harus dicabut keluar,” kata Giok-yan.
Sungguh girang Toan Ki tak terkatakan karena
mendapat perhatian si cantik, segera ia cabut keluar
panah itu.
Padahal panah itu menancap beberapa senti
dalamnya, dengan mencabut begitu saja sebenarnya
sangat sakit, tapi saking senangnya ia menjadi lupa sakit.
Kemudian katanya, “Nona Ong, kembali mereka akan
menyerang lagi, cara bagaimana harus kulayani
mereka?”
Sembari berkata ia terus menoleh, tapi sekonyongkonyong
dilihatnya pakaian Giok-yan belum lagi teratur,
lekas ia berpaling kembali sambil minta maaf.
Muka Giok-yan merah jengah, celakanya untuk
berpakaian juga tidak kuat, sungguh ia kehilangan akal.
Tiba-tiba pikirannya tergerak, ia menyusup ke tengah
onggok padi, ia tarik ikatan padi hingga menutup sebatas
pundaknya, hanya kepalanya yang menongol keluar
tumpukan padi itu, lalu katanya dengan tertawa,
“Sudahlah sekarang, boleh kau berpaling ke sini.”
Tapi Toan Ki masih khawatir, perlahan ia menggeser
kepalanya, ia bersiap-siap bila pakaian si nona masih
belum rapi, secepatnya ia akan berpaling pula.
1332
Tak terduga baru saja ia menoleh separuh, sekilas
dilihatnya di luar jendela loteng sana ada seorang busu
bangsa Se He berdiri di atas pelana kuda dan sedang
melongok dan hendak melompat ke loteng. Cepat Toan
Ki berseru, “He, di situ ada musuh!”
“Coba kau sambit dia dengan panah tadi,” kata Giokyan.
Toan Ki menurut, segera ia timpuk panah yang dia
cabut dari bahu sendiri itu. Sudah tentu ia bukan ahli
menyambit panah, maka panah yang melayang keluar itu
paling sedikit selisih satu meter jauhnya daripada
sasarannya,
Busu itu sebenarnya tidak perlu berkelit. Tapi karena
tenaga sambitan Toan Ki sangat hebat hingga panah itu
bersuara mendenging. Busu itu terkejut dan cepat
mendekam di atas kudanya untuk menghindar.
Hanya sedikit gerakan busu itu sudah dapat dilihat
jelas oleh Giok-yan, segera katanya kepada Toan Ki,
“Dia adalah jago gulat dari Se He, tak perlu kau takut,
biarkan dia menyikap dirimu, lalu kau tabok batok
kepalanya, sekali tabok tentu akan menang.”
“O, gampang kalau begitu,” kata Toan Ki, perlahan ia
lantas mendekati jendela.
Dalam pada itu si busu sudah menjebol jendela dan
menyerbu ke atas loteng.
“Mau apa naik sini?” bentak Toan Ki.
1333
Busu itu tidak paham bahasa Han, maka ia hanya
melotot saja, begitu tangan terjulur, segera dada Toan Ki
kena dijambret. Gerakan busu itu amat cepat, sekali
dapat menjambret lawan, segera ia angkat badan Toan
Ki ke atas dengan maksud hendak membanting pemuda
itu.
Di luar dugaan, baru saja Toan Ki terangkat ke udara,
mendadak tangan pemuda itu menggaplok ke bawah dan
tepat mengenai batok kepalanya hingga pecah
berantakan.
Selama hidup Toan Ki tidak pernah melukai orang,
apalagi membunuh, tapi kini demi untuk membela Giokyan,
hanya sebentar saja sudah tiga nyawa melayang di
tangannya.
Keruan ia mengirik, semakin dipikir semakin takut,
cepat ia berteriak, “Aku tidak ingin membunuh orang lagi,
suruh aku membunuh lagi terang aku tidak tega, ayolah
lekas kalian enyah dari sini!”
Habis berkata, ia terus dorong mayat jago gulat Se He
itu ke bawah.
Jago-jago Se He yang mengejar kemari itu
seluruhnya ada 15 orang, kini telah mati tiga, sisanya
masih 12 orang. Di antara ke-12 orang ini ada empat
adalah jago pilihan It-bin-tong, sedang kedelapan orang
lainnya hanya jago tempur biasa saja.
1334
Keempat jago It-bin-tong itu dua antaranya adalah
bangsa Han, seorang bangsa Se-ek (asing barat) dan
seorang lagi bangsa Se He.
Keempat jago It-bin-tong itu merasa heran dan
bingung juga oleh kepandaian Toan Ki yang sebentar
lihai dan sebentar lagi lucu hingga sukar dijajaki. Mereka
menjadi tidak berani sembarangan menyerang lagi,
segera mereka berunding cara bagaimana baiknya.
Sebaliknya kedelapan busu biasa itu mempunyai
pendapat lain, mereka terus mengumpulkan jerami di
rumah gilingan itu dengan maksud akan membakarnya.
“Wah, celaka, mereka hendak menyalakan api!” kata
Giok-yan dengan khawatir.
“Ya, bagaimana baiknya kini?” sahut Toan Ki
kelabakan.
Ia lihat roda air raksasa rumah gilingan itu masih terus
berputar terdorong oleh arus air sungai, serupa
pikirannya yang juga berputar terus tanpa berdaya.
Dalam pada itu terdengar salah seorang jago bangsa
Han tadi sedang berseru, “Menurut perintah Ciangkun,
nona cilik itu sangat pintar, harus ditawannya hidup-hidup
dan jiwanya tidak boleh diganggu, maka kalian jangan
membakar dulu ....”
Lalu ia berteriak pula, “Hai, anak jadah dan nona cilik
itu, lekas kalian turun kemari dan menyerahkan diri, kalau
tidak, terpaksa kami menyalakan api biar kalian berdua
terbakar hidup-hidup bagai babi panggang.”
1335
Berulang ia berteriak tiga kali, tapi Toan Ki dan Giokyan
tetap tidak menggubris, segera orang itu menyalakan
api, ia menyulut segebung jerami dan diangkat tinggi ke
atas, lalu mengancam pula, “Kalian mau menyerah atau
tidak? Jika tidak, terpaksa aku mulai membakar.”
Sembari berkata, ia ayun obornya dengan gaya
hendak melempar ke onggok jerami.
Melihat keadaan sudah gawat, segera Toan Ki
berbisik kepada Giok-yan, “Biar kuturun untuk melabrak
mereka.”
Segera ia melangkah ke atas roda air yang sedang
berputar itu.
Roda air itu terbuat dari kayu, besarnya tidak
kepalang, bulat tengahnya paling sedikit ada tiga meter.
Begitu Toan Ki melangkah ke ujung gigi roda air itu,
tangannya lantas memegang ruji roda dan mengikuti
putaran roda untuk turun ke bawah.
Jago Se He berbangsa Han tadi masih berteriakteriak
menyuruh Toan Ki dan Giok-yan menyerahkan diri
saja, tak terduga diam-diam Toan Ki sudah turun dari
loteng sebelah sana, tanpa berkata lagi pemuda itu
lantas tudingkan jarinya dan menutuk punggung orang
itu.
Yang digunakan Toan Ki adalah gaya ilmu pedang
Siau-yang-kiam dari Lak-meh-sin-kiam yang lihai,
maksudnya sekaligus merobohkan musuh. Siapa tahu
serangan ini dilakukan secara membokong, lebih dulu ia
1336
sendiri sudah kebat-kebit, tenaga kurang dan semangat
tak ada, tenaga dalam dan hawa murni tak dapat
dikerahkan.
Hal ini disebabkan dia tidak paham dasar ilmu silat,
maka permainan Lak-meh-sin-kiam itu selalu tergantung
keadaan secara kebetulan saja. Sebaliknya sekarang ia
sengaja hendak menyerang, tapi justru tenaga murni
susah dikerahkan. Meski dia ulangi tutukannya beberapa
kali, namun hasilnya tetap nihil.
Ketika mendadak merasa punggungnya seperti
disenggol sesuatu dengan perlahan, dengan kaget orang
Han itu menoleh, maka dilihatnya Toan Ki yang
disangkanya masih di atas loteng itu kini sudah di
belakangnya sambil menuding ke arahnya.
Karena sudah menyaksikan cara Toan Ki
membinasakan ketiga orang tadi, ia sangka pemuda itu
tentu sedang main ilmu sihir apa lagi untuk menyerang
dirinya, maka dengan cepat ia melompat ke samping.
Dalam pada itu Toan Ki coba-coba menutuk pula
sekali, tapi tetap tiada sesuatu suara dan tenaga,
sebaliknya orang itu sudah lantas membentak, “Anak
kurang ajar, tanganmu tuding-tuding apa?”
Berbareng tangan kanannya terus mencengkeram
kepala Toan Ki.
Cepat Toan Ki mengkeret mundur sambil memegangi
ruji roda air, maka ia terangkat ke atas oleh roda itu
hingga cengkeraman orang salah hantam di atas gigi
1337
roda, “crat” remukan kayu bertebaran, satu sayap gigi
roda itu rompal kena cengkeramannya yang kuat itu.
“Jika kau tempur dia lagi, asal mengisar ke
belakangnya dan menyerang ‘Ci-yang-hiat’ di bagian
punggungnya, tentu dia akan celaka,” demikian Giok-yan
memberi petunjuk lagi. “Orang ini adalah murid Hou-jiaubun
(silat cakar harimau) di Cinlam, kepandaiannya
masih belum cukup masak untuk melindungi Ci-yanghiat.”
“Bagus jika begitu!” seru Toan Ki dengan girang.
Segera ia membonceng putaran roda air dan turun pula
ke ruangan rumah gilingan itu.
Tapi sekali ini mereka sudah berjaga lebih dulu,
belum lagi Toan Ki menginjak tanah, segera ada tiga
orang mendahului menyerbu maju hendak
menangkapnya.
“He, he, jangan, jangan! Cayhe hanya sendirian,
dengan sendirinya tak dapat melawan orang banyak, aku
cuma ingin menempur dia seorang saja,” seru Toan Ki
sambil goyang-goyang kedua tangannya. Berbareng ia
mengegos ke samping dengan langkah “Leng-po-wi-poh”
yang lincah, hanya beberapa kali menyelinap saja ia
sudah memutar sampai di belakang laki-laki tadi, segera
ia membentak, “Kena!”
Dan sekali ia menutuk, “crit”, cepat Ci-yang-hiat orang
itu tertutuk, tanpa bersuara orang itu terus roboh dan tak
berkutik lagi.
1338
Habis membunuh seorang, maksud Toan Ki hendak
membonceng roda air untuk naik ke atas loteng lagi,
namun sudah terlambat, tahu-tahu jalan mundurnya telah
dicegat oleh seorang jago Se He, bahkan goloknya terus
membacok ke arah Toan Ki.
“Ai, celaka!” seru Toan Ki. “Musuh telah memotong
jalan mundurku, kini aku terkepung di tengah, tamatlah
riwayatku!”
Berbareng ia terus melangkah ke kiri hingga bacokan
musuh mengenai tempat kosong.
Pada lain saat, ke-11 orang di dalam rumah gilingan
itu sudah mengepung rapat di sekeliling Toan Ki, senjata
mereka terus bekerja berbareng, lebih-lebih ketiga tokoh
It-bin-tong yang lihai itu, asal terkena pukulan atau
tendangannya, betapa pun jiwa Toan Ki pasti akan
melayang.
Keruan pemuda itu berkelit kian kemari dengan
kelabakan sambil berteriak-teriak, “Wah, celaka nona
Ong, sampai berjumpa pada jelmaan yang akan datang!
Aku sendiri tentu akan terbinasa, biarlah aku menantikan
engkau di pintu gerbang akhirat saja!”
Walaupun mulutnya berteriak-teriak, tapi langkahnya
tidak pernah kendur, jalannya sangat cepat dan gayanya
indah hingga Giok-yan yang mengikuti ilmu langkahnya
itu sampai termangu-mangu kesima.
“Hei, Toan-kongcu, apakah caramu melangkah itu
adalah ‘Leng-po-wi-poh’?
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar