Manusia berkerudung emas itu segera mendengus dingin. "Hmm,
sekalipun tak dapat dikatakan juga harus dikatakan, tidak
berani diucapkan juga harus diucapkan, sedang soal takut
masuk
pengadilan, soal ini tak usah kuatir, kami tak bermaksud untuk
mengadukan persoalan ini ke pengadilan !"
Wong Peng ci segera memperlihatkan wajah berseri, serunya dengan
segera:
"Benarkah ucapanmu itu? jadi kita tak usah masuk pengadilan?"
Manusia berkerudung emas itu manggut-manggut menyatakan
suara hatinya. Setelah itu, Wong Peng-ji baru berkata lagi: "Aku adalah
seorang saudagar kain, mempunyai sekereta kain
serta tiga empat tahil uang perak, kemarin lantaran aku ingin cepatcepat
sampai di kota untuk berdagang..."
"Bicarakan saja hal-hal yang penting!" tukas manusia berkerudung emas
itu tak sabar.
Wong Peng-ci berlagak tertegun, kemudian baru katanya; "Yang
penting? semuanya itu toh penting..." Manusia berkerudung emas itu
segera mendengus dingin,
tukasnya lebih jauh. "Soal-soal yang tak ada gunanya lebih baik tak
usah disinggung,
katakan darimana kau bisa mengetahui nama mereka" Wong Peng ci
mengerdipkan matanya berulang kali kemudian
berkata: "Aku toh sedang membicarakannya? Lantaran ingin buru buru
sampai dikota maka aku jadi kemalaman dihutan, dalam keadaan begitu
terpaksa aku harus mencari hutan untuk beristirahat, siapa tahu pada
saat itulah aku telah berjumpa dengan suatu peristiwa aneh."
"Baru saja aku masuk ke dalam hutan dan menyembunyikan keretaku,
mendadak muncul dua orang manusia..."
Ketika berbicara sampai disini, sengaja Wong Peng ci memandang
sekejap ke arah manusia berbaju emas itu, kemudian baru katanya lebih
jauh:
"Aaah benar, mereka mengenakan pakaian seperti apa yang kau
kenakan sekarang, tapi tidak mengenakan kain kerudung hitam, waktu
itu mereka berdua sedang duduk tak jauh dari diriku dan lagi
berbincang-bincang."
"Ternyata mereka telah berjumpa dengan musuh bebuyutannya dan
dibilang tenaga dalamnya kena dipunahkan, aku tidak mengerti apa
yang dinamakan tenaga dalamnya kena dipunahkan, tapi dapat
kudengar kalau apa yang mereka bicarakan pasti bukan suatu kejadian
baik."
"Kemudian merekapun membicarakan soal apa yang mesti dilakukan,
dibicarakan pula mereka bakal dibunuh oleh orang yang disebutnya tua
bangka Lok-hun-pay, akhirnya karena aku kurang berhati-hati, jejakku
kena diketahui mereka."
"Aku takut mampus, tapi mereka tidak galak, hanya bertanya apa yang
sedang kulakukan, akupun mengaku terus terang, setelah berunding
sebentar akhirnya mereka berdua mengajak aku untuk menukar
sekereta kain kita dan seluruh pakaianku dengan kedua belah lencana
emas tersebut."
"Bagaimana selanjutnya ? Apa saja yang mereka katakan?" tukas
manusia berkerudung itu.
"Beberapa tahil uang perakku juga mereka ambil sebagai gantinya aku
memperoleh pakaian emas milik mereka..."
"Tutup mulut, kau ingin membohongi siapa?" tukas manusia
berkerudung emas itu mendadak.
Wong Peng ci menjadi tertegun, lalu dengan wajah bersungguhsungguh.
"Aku tidak berbohong, semua perkataanku kuutarakan dengan
sejujur-jujurnya."
Kembali manusia berkerudung emas itu mendengus dingin. "Hanya
berdasarkan mereka mengatakan kalau lencana emas itu
adalah emas murni, maka kau bersedia untuk menukarnya?" Wong
Peng-ci segera mencibirkan bibirnya sembari berseru: "Aaah... kau
anggap aku tak mampu untuk membedakan mana
emas asli dan mana yang palsu? Hmm!" Ucapan tersekat tepat sekali,
kontan saja manusia berkerudung
emas itu dibikin terbungkam dalam seribu bahasa. Wong Peng ci
memang amat cerdas, dia sudah mengerti kalau
manusia berkerudung emas itu tak lain seperti juga dirinya, salah satu
dari sembilan orang pengganti Lok hun pay.
Kecuali pemegang Lok hun pay pribadi, di antara kesembilan orang
penggantinya itu boleh dibilang tiada yang saling mengenal, berada
dalam keadaan seperti ini perkataan apapun bisa dia utarakan, toh
semua perkataanya tiada yang menyaksikan."
Akhimya Wong Peng ci bilang setelah dia berhasil menukar
barang-barang tersebut, ditengah jalan dia baru teringat kalau sekereta
kain citanya ditambah kedua lembar pakaian nya tidak bernilai setengah
lencana emas itu.
Oleh karena dia kurang enak dalam hatinya, maka secara diam- diam
dia balik kembali untuk melakukan pengintaian.
Kebetulan dia menyaksikan salah seorang diantara kedua orang ita
sedang membunuh seorang rekannya kemudian mendorongnya
ke-dalam kereta, dia menjadi ketakutan setengah mati dan malam itu
juga dia kabur menuju kekota tersebut.
Tentu saja manusia berkerudung emas itu tidak percaya dengan begitu
saja, tapi semua perkataan dari Wong Peng ci masuk diakal, apalagi
sekarang ini manusia berbaju emas itu sudah tahu kalau Gui Sam tong
dan Cu san poo telah kehilangan ilmu silatnya, sekalipun tak percaya
mau tak mau juga harus percaya juga.
Ketika manusia berkerudung emas itu menanyakan tempat kejadiannya,
tanpa keraguan Wong Peng ci segera menerangkan tempat kejadian
tersebut, tapi ketika manusia berkerudung emas itu mengajak Wong
Peng ci untuk pergi kesana, sampai mati pun Wong Peng ci enggan ikut.
Alasan yang di pakai Wong Peng ci masuk diakal, dia bilang hari sudah
gelap, tiba disitu tepat tengah malam, dia takut.
Diapun berkata, kalau ingin pergi saja boleh, tapi besok setelah terang
tanah.
Terpaksa manusia berkerudung emas itu meluluskan permintaannya,
karena masih ada orang yang menantikan laporannya.
Maka manusia berkerudung emas itu pun memperingatkan kepada Wong
Peng ci agar jangan mencoba-coba untuk melarikan diri, bila kabur
berarti mati, kemudian dia bilang besok pagi akan datang mencarinya
lagi untuk mengunjungi tempat kejadian tersebut.
Wong Peng ci segera meluluskan tetapi dia minta kembali lencana
emasnya itu.
Tentu saja manusia berkerudung emas itu tak dapat menyerahkan
lencana emas tersebut kepadanya, tapi dia bersikeras menuntut kembali
lencana itu.
Sikap seperti ini dibawakan dengan amat persis, hal mana membuat
manusia berkerudung emas itu percaya dengan ucapannya maka dia pun
memberi sepuluh tahil perak kepadanya untuk digunakan, bahkan
berjanji puIa, bila apa yang terbukti besok memang suatu kenyataan dia
jamin ada lima puluh tahil emas sebagai hadiah.
Akhirnya dengan terpaksa Wong Peng ci menerima permintaannya itu.
Maka manusia berkerudung emas itupun membuka jendela dan
melompat keluar dari sana.
Ketika Wong Peng ci melihat manusia berbaju emas itu telah pergi, dia
segera menghembuskan napas panjang, tapi dia percaya manu sia
berkerudung emas itu tentu belum pergi jauh saat itu dia pasti sedang
mengawasi gerak-gerik nya secara diam-diam.
Setelah memutar biji matanya sebentar, satu ingatan cerdik segera
melintas dalam benaknya, cepat dia berseru memanggil pelayan.
Jilid 25
-ooo0dw0ooo-
WAKTU itu merupakan saat-saat yang paling sibuk, setelah memanggil
setengah harian lamanya sipelayan baru muncul.
Mula-mula Wong Peng ci menanyakan tantang emas yang ditukarkan,
setelah pelayan itu menerangkan kalau lelah mendapat enam belas tahil
delapan mata uang dan sekarang disimpan dimeja kasir, sambil
manggut-manggut Wong Peng ci lantas memesan makanan.
Wong Peng ci seperti sudah tak sabar lagi, dia segera berpesan kepada
pelayan:
"Dengarkan baik-baik, aku memesan setengah kati arak wangi, arak
paling wangi, seekor ayam panggang, tiga macam sayur, satu kuah,
kuahnya minta agak tawar, jangan diberi terlalu banyak garam."
Pelayan itu mengiakan dan siap berlalu, tapi Wong Peng ci kembali
menarik pelayan itu.
Dengan termangu-mangu pelayan tersebut memandang kearah
tamunya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sambil tertawa Wong Peng ci lalu berbisik.
"Apakah disini terdapat pipi licin?"
Yang dimaksudkan sebagai "pipi licin" tak lain adalah perempuan
pelacur yang kerjanya jual beli badan.
Pelayan tersebut sudah seringkali melakukan pekerjaan seperti ini,
sambil tertawa segera sahutnya:
"Tentu saja ada, cuma sekarang..." "Carikan pipi licin yang paling
cakep, tapi wataknya harus baik,
tahu diri dan sekarang temani aku minum arak lebih dulu!" Pelayan itu
mengiakan dan segera berlalu. Tak lama kemudian, pipi licin itu datang
duluan, masih cukup
cakep, cuma dandanannya agak menyolok. Manusia berkerudung emas
yang menyembunyikan diri dibalik
kegelapan baru benar-benar merasa lega hati setelah menyaksikan
kejadian itu, ia segera berlalu.
Sayurpun segera dihidangkan, Wong Peng ci dan pelacur itu segera
berpesta pora.
Wong Peng ci bersantap dengan cepat, daIam waktu singkat dia sudah
makan sampai kenyang, kemudian dia suruh pelacur itu makan seorang
diri, sedang dia mengatakan ada sedikit urusan kecil yang hendak
diselesaikan dulu maka serta merta dia pun ngeloyor keluar dari
ruangan tersebut.
Dia tak berani kabur melalui pintu besar, jubah berwarna emasnya juga
tak berani dikenakan, sampai uang yang disimpan dikasirpun tidak
diambil, dengan memanjat dinding belakang dia segera kabur
menyelamatkan diri...
Dibalik ruang kuil yang separuh ambruk tampak kilatan cahaya lentera.
Seorang manusia berkerudung emas duduk diatas meja altar yang
separuh ambruk.
Disebelah kirinya berdiri dua orang manusia berkerudung
emas.
Sedang didepan manusia berkerudung emas yang duduk itu masih
berdiri pula seorang manusia berkerudung emas lainnya.
Ketika jumlahnya dihitung, ternyata semuanya berjumlah enam orang.
Manusia berkerudung emas yang duduk itu sedang menegur manusia
berkerudung emas yang berada dihadapannya dengan suara dalam:
"Bagaimana? orangnya sudah lenyap?" Manusia berbaju emas itu
hanya menundukkan kepalanya dan
membungkam seribu bahasa. Orang yang duduk ditengah itu kembali
menghela napas
panjang, katanya lebih lanjut: "Kau berhasil menemukan kembali kedua
buah lencana emas ini.
sebetulnya merupakan suatu pahala yang besar, tapi sekarang jasamu
itu harus dilenyapkan oleh kelalaianmu, sungguh patut disayangkan, aku
berani menjamin manusia keparat itu sudah pasti adalah Wong Peng ci!"
Sesudah mendengar perkataan itu. rasa takut yang semula mencekam
perasaan manusia berbaju emas yang berada ditengah itu menjadi
lenyap tak berbekas, dengan cepat dia mendongakkan kepalanya lagi.
Kemudlan dengan suara agak emosi, serunya: "Hamba sudah banyak
berhutang budi dari majikan, soal jasa
atau tidak bukan masalah, tapi kelalaian yang hamba lakukan kali ini
benar-benar..."
"Benar, makin diperkirakan hamba merasa semakin penasaran!"
katanya cepat.
Manusia berbaju emas yang duduk itu tidak segera menjawab, agaknya
dia sedang merenungkan kembali alasan dari sipembicara itu.
Selang berapa saat kemudian, manusia berbaju emas yang duduk itu
baru manggut2, katanya:
"Aku memahami alasanmu mengatakan penasaran, persoalan ini aku
akan mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya!"
"Maksud hamba, bukan dikarnakan jasaku kali ini dibilang impas maka
aku lantas meneriakkan kata penasaran." kata orang berbaju emas
yang berada ditengah lebih jauh, "yang paling penting adalah peristiwa
yang kita hadapi sekarang benar-benar merupakan suatu peristiwa
yang membuat kita apa boleh buat."
"Tiada kejadian yang begitu kebetulan didunia ini, apalagi dalam
peristiwa kali ini sebenarnya kau masih bisa mendesak posisi Wong
Peng ci.."
"Coba kalau hamba mengetahui dia, mana mungkin aku akan
melepaskannya dengan begitu saja?"
Manusia berbaju emas yang duduk itu segera mendengus dingin.
"Hmm, lebih baik salah membunuh seratus orang dari pada
melepaskan satu orang, dari sinilah kata-kata tersebut terungkapkan!"
Manusia berbaju emas yang berdiri itu tak berkata lagi, kepalanya segera
ditundukkan rendah-rendah.
Setelah berhenti sejenak, orang berbaju emas yang duduk itu kembali
berkata lebih jauh.
"Aku rasa Wong Peng ci pasti belum kabur kelewat jauh, apalagi tenaga
dalamnya telah punah sekarang, bila kalian segera melakukan
pengejaran sekarang juga, aku percaya dia tak akan dapat kabur terlalu
jauh, sebelum fajar menyingsing bisa jadi dia telah tertangkap kembali,
kemudian kita masih harus mengejar orang she Sun tersebut!"
Manusia berbaju emas yang berdiri itu mengiakan, katanya: "Hamba
masih tetap curiga atas hilangnya kepandaian silat yang
dimiliki Wong Peng ci!"
Orang yang duduk itu segera tertawa, dengan cepat dia mengelengkan
kepalanya berulang kali.
"Tak usah dicurigai lagi, kepandaian silat yg dimilikinya benar- benar
telah punah!"
Baru saja orang berbaju emas yang berdiri itu akan melanjutkan
pertanyaannya orang yang duduk itu telah menukas:
"Andaikata tenaga dalamnya masih utuh, buat apa dia mesti menukar
lencana kepala macan kumbang menjadi persediaan uang? Dia lebih
lebih tak mungkin akan mencari gunting sebagai alat pembantunya
apalagi diapun tak bakal tidur seperti orang mati!"
Orang berbaju emas yang berdiri itu tidak menjawab, sekarang ia hanya
mengangguk berulang kali, mengulapkan tangannya, manusia berbaju
emas yang berdiri serta empat orang manusia berkerudung emas lainnya
segera memberi hormat, kemudian dengan kecepatan luar biasa mereka
keluar dari kuil dan menuju kekota dan sekitarnya untuk melakukan
pengejaran terhadap Wong Peng ci.
Waktu menunjukkan kentongan ke dua, Pada kentongan kedua, di
dalam kuil diluar kota terjadi peristiwa seperti diatas,
Pada kentongan ketiga, didalam kamar yang disewa Wong Pong ci
dalam rumah penginapan telah terjadi pula suatu peristiwa.
Wong Peng ci yang bernyali besar tapi cerdik itu ternyata tidak kabur
terlalu jauh, dia telah balik kembali kedalam kamar penginapannya.
Dengan suatu gaya amat santai dia membuka pintu kamarnya,
kemudian menguncinya dari dalam.
Dalam kamar ada cahaya lentera, tak bisa disangsikan lagi, sipelacur
masih berada disitu.
Betul juga, tatkala Wong Peng ci mendorong pintu dan berjalan masuk,
pelacur itu segera menyambut kedatangannya.
Sambil tertawa Wong Peng ci segera membimbing pelacur itu untuk
duduk, kemudian baru ujarnya:
"Jangan terlalu sungkan, sudah kenyangkah kau?" "Tadi ada orang
mencari tuan..." kata pelacur itu dengan suara
aleman. Wong Peng ci manggut-manggut, selanya: "Aku tahu, ada
orang ingin meminjam uang, dia masih hutang
dan belum dibayar, sudah berapa kali berhutang terus- tadi aku memang
sengaja keluar untuk menghindarinya, andaikata dia datang lagi nanti,
bilang saja kalau aku pulang"
"Tuan, apakah kau tak memanggil pelayan untuk membereskan
barang-barang disini?"
Kembali Wong Peng ci menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tak
menjadi soal, biar diberesi besok saja" Pelacur itu mengerling
sekejap kearah Wong Peng ci, kemudian
katanya lagi: "Tuan, apakah kau tidak suruh dia menyiapkan air untuk
membersihkan badan?" Wong Peng ci segera tertawa, "Coba kau tebak,
barusan apa
yang telah ku lakukan? Haaahhh... haaah... haaahh..." Seraya berkata
Wong Peng ci segera mengunci pintu dan
melangkah masuk kedalam. Sambil berjalan diapun berkata: "Bila kau
hendak masuk nanti, jangan lupa memadamkan
lentera!" Pelacur itu tidak mengiakan tapi segera memadamkan lampu
lentera yang menerangi tempat itu. Matahari sudah berada diatas
awang-awang, sehari kembali
sudah lewat.
Tiada orang yang datang mencari Wong Peng ci lagi, tampaknya ke lima
orang manusia berkerudung emas itu tak berhasil menemukan jejak
Wong Peng ci semalam sehingga terpaksa mengalihkan perhatiannya
untuk mengejar Sun Tiong lo.
Ketika Wong Peng ci bangun dari tidurnya, segala sesuatunya telah
dipersiapkan pelacur itu, ternyata diapun menghadiahkan dua tahil
perak untuk pelacur itu bahkan berpesan kepadanya agar malam nanti
datang untuk melayani dia.
Kota tersebut tidak begitu kecil, tapi bukan suatu kota yang besar, jadi
penghasilan seorang pelacur dua tahil semalam bukankah suatu yang
bisa terjadi, mustahil jika malam nanti dia tidak datang lagi.
Sepeninggal pelacur itu, Wong Peng ci segera memanggil pelayan untuk
meminta uang yang dititipkan di kasir, kemudian dia suruh pelayan
membelikan pakaian yang cocok dua stel dan membeli sepatu.
Setelah itu dia berpesan kepada pelayan, seandainya ada orang yang
bertanya tentang dia, katakan kalau semalam telah pergi, sebagai
penutup mulutnya dia menghadiahkan dua tiga hun perak untuk
pelayan tersebut....
Selesai bersantap siang, Wong Peng-ci lantas tidur siang sampai pintu
kamarnya diketuk orang.
Ternyata hari sudah gelap kembali, dengan mata masih mengantuk
Wong Peng ci bangun untuk membukakan pintu.
Pintu dibuka, pelayan datang menghantarkan pakaiannya, setelah Wong
Peng ci menerima pakaian dan sepatu, pelayan itu telah mengundurkan
diri dan pintu kamar siap ditutup, mendadak terjadilah suatu peristiwa
yang sama sekali diluar dugaan.
Ada dua orang yang berpakaian orang dusun sedang mengikuti
dibelakang pelayan lain berjalan ke dalam penginapan dan melewati
ruangan tersebut, secara kebetulan mereka melihat diri Wong Peng ci.
Salah seorang diantara kedua orang itu hendak bersembunyi tapi yang
lain segera menarik tangannya, kemudian setelah memperhatikan Wong
Peng ci sekejap, sambil tertawa dingin dia membuka pintu dan masuk
kedalam ruangan.
Mendengar suara pintu dibuka, Wong Peng ci segera berpaling, dengan
cepat diapun berdiri bodoh.
Ternyata dua dua orang itu tak lain adalah Gui Sam tong dan Cu San
poo...
Wong Peng ci memang tak malu disebut orang pintar, sambil tertawa
segera katanya kepada sipelayan.
"Siau ji ko, kedua orang ini adalah sahabat ku, cepat siapkan air untuk
mencuci muka cepat-cepat..."
Kemudian setelah berhenti sejenak dan memperhatikan wajah Gui Sam
tong dan Cu San poo, katanya lebih jauh:
"Selain itu belikan dua stel pakaian dan dua pasang sepatu, nih ambil
uangnya."
Seraya berkata dia mengeluarkan uang dan diserahkan kepada pelayan
tersebut.
Pelayan itu hendak menerima uang tersebut tapi Cu San poo segera
mencegah lalu berkata:
"Tak usah membuang uang dengan percuma, ambilkan saja air untuk
cuci muka serta air teh."
Sepeninggalan pelayan itu, Cu San poo segera menutup kembali pintu
kamar tersebut.
"Saudara Cu, saudara Gui. silahkan duduk!" kata Wong Peng ci
kemudian dengan sikap hormat.
Cu San poo segera tertawa seram. "Heeh... heehh... heeehh....
benar-benar tidak ketemu dikuil
ketemu dinirwana, maaf!"
Sembari berkata dia lantas memberi tanda kepada Gui Sam tong,
kemudian dengan langkah lebar berjalan masuk kedalam ruangan.
Setelah duduk, siapapun tidak buka suara, agaknya ada sesuatu yang
sedang dinantikan.
Benar juga, menanti pelayan sudah menghantar air untuk mencuci muka
serta air teh, Cu San poo baru berkata:
"Bagi orang yang bermusuhan, rasanya jalan didunia ini terlalu sempit,
Wong Peng ci, kau tidak merasa terlalu kebetulan bukan?"
Wong Peng ci tidak menjawab pertanyaan ini, sambil menuding ke arah
pintu halaman katanya:
"Aku akan pergi mengunci pintu dulu, ada persoalan kita bicarakan
belakangan."
"Silakan" kata Cu ^an poo sambil tertawa, "toh akupun tidak kuatir kau
bisa Iari!"
Wong Petig ci tidak menjawab dia pergi menutup pintu halaman lebih
dulu kemudian baru balik kembali kedalam kamar.
Dengan pandangan dingin Cu San poo memperhatikan semua
gerak-gerik dari Wong peng-ci itu, lalu katanya sambil tertawa dingin:
"Hutang piutang diantara kita tentunya sudah sepantasnya untuk
dibereskan bukan?"
"Terserah" sahut Wong Peng ci acuh tak acuh, "asal saudara Cu merasa
hal itu penting, mau dihitung mari kita hitung!"
"Saudara Cu, ada persoalan lebih baik dibicarakan, ada persoalan lebih
baik dibicarakan..." buru-buru Gui Sam tong mencegah.
Cu San poo sudah mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka
ujarnya kepada Gui Sam tong sambil tertawa:
"Tak usah kuatir Gui tua, andaikata bocah keparat ini masih memiliki
ilmu silatnya, bayangkan saja, masa dia akan bersikap begitu sungkan
terhadap kita?"
Mendengar perkataan itu, Gui Sam-tong segera menjadi paham
kembali, dengan cepat dia melompat bangun seraya berseru:
"Haa., haa haa ha... Wong Peng ci, kau juga akan menjumpai keadaan
seperti ini!"
Sambil berkata dia siap maju ke depan untuk turun tangan, tapi
perbuatan mana segera dihalangi Cu San poo.
Setelah berhasil menghalangi Cui Sam tong, Cu San poo kembali
berpaling kearah Wong-Peng ci dan berkata sambil tertawa:
"Bagaimana, kembalikan dulu lencana berkepala harimau ku itu!
"Benar" sambung Gui Sam tong, "masih-ada lencana kepala
macan kumbang ku.." Tak menanti Gui Sam tong menyelesaikan kata
katanya, dengan
cepat Wong Peng ci menukas: "Maaf, Kedua buah lencana emas itu
sudah diminta kembali oleh pemiliknya!"
Begitu mendengar ucapan tersebut, Gui Sam tong dan Cui San poo jadi
amat terperanjat
Secara ringkas Wong Peng-ci lantas mengulangi kembali kejadian yang
dialaminya semalam, kemudian ia menambahkan.
"Mau percaya atau tidak terserah pada kalian berdua, sekarang keadaan
kita adalah sama, entah siapa saja, bila berjumpa lagi dengan si setan
pengejar nyawa niscaya jiwanya bakal melayang sekalipun tidak
mampus sekarang akhirnya juga bakal mampus."
"Bila kalian berdua tak bisa memandang hal ini lebih terbuka, dan
bersikeras hendak membunuhku lebih dulu, akupun tak berdaya
apa-apa, cuma... tentu saja aku tak akan menyerah dengan begitu saja
untuk menerima kematian, dengan segala kemampuan yang dimiliki aku
pasti akan beradu jiwa."
"Bila sampai beradu jiwa, kemungkinan besar kita bertiga akan sama
sama terluka, sekalipun aku mati, cepat atau lambat kalian berdua juga
bakal terjatuh ketangan si "loji", nah saat itu kematian kalian pasti akan
bertambah mengerikan !"
Cu San-poo berpikir sebentar, kemudian katanya. "Ucapanmu itu
memang tak salah, tapi dendam sakit hati atas
perbuatanmu yang telah memunahkan kepandaian silatku." "Lebih baik
kita tak usah menyinggung soal itu, waktunya sudah
berbeda." tukas Wong Peng-ci cepat. "Hm, bagaimana bedanya ?"
dengus Cu San-Poo. Sambil tertawa Wong Peng ci berkata: "Waktu itu
saudara Gui hadir di arena dan bisa menjadi saksi,
ketika itu kau bersikeras hendak membunuh saudara Gui, maka hal ini
memaksa saudara Gui harus bertarung mati-matian melawan dirimu,
ketika dia hampir kehabisan tenaga, aku baru turun tangan."
"Benar, kau toh yang turun tangan lebih dulu!" tukas Cu San poo lagi.
"Dapatkah aku berpeluk tangan belaka ? Saat itu kau mengangkat
pedangmu tinggi-tinggi sedang saudara Gui sudah tak berdaya lagi untuk
menghindarkan diri, jika aku tidak turun tangan, saudara Gui pasti sudah
mati seda ri tadi, apakah sekarang dia masih dapat duduk enak-enak
disini..?"
Cu San poo segera terbungkam dibuatnya, sedangkan Gui Sam tong
manggut-manggut seraya berkata:
"Cu tua, apa yang dia katakan memang merupakan suatu kenyataan !"
Saat itu, Cu San poo teringat lagi akan satu hal, dia segera menegur
lebih jauh:
"Sekalipun benar, mengapa pula kau memunahkan kepandaian yang
kumilikinya?"
Wong Peng ci tertawa lebar. "Waktu itu kau adalah utusan khusus
dari Lencana Lok hun pay,
apakah aku dapat mengampuni dirimu?" serunya.
"Ya, betul Cu tua, waktunya memang berbeda, hal ini tak bisa salahkan
dia." sekali lagi Gui Sam tong menyambung.
Kontan saja Cu San poo dibikin terbungkam dalam seribu bahasa, tapi
ingatan lain dengan cepat melintas dalam benaknya, kepada Gui Sam
tong katanya:
"Gui tua, bagaimana pula dengan perbuatannya yang telah
memunahkan kepandaian silatmu?"
Gui Sam tong berpikir sebentar, kemudian merasa pertanyaan itu
benar, maka serunya kepada Wong Peng ci dengar gusar:
"Coba kau katakan, mengapa kau berbuat begini?" Wong Peng ci
masih tetap tertawa. "Mengapa kau harus bertanya kepadaku?
Sebelum saudara Cu
munculkan diri, kau begitu berhasrat untuk membunuh aku, untung aku
tak sampai mati seandainya kau yang dihadapkan pada keadaan seperti
itu, apa pula yang hendak kau lakukan?"
Membayangkan ucapan tersebut, kontan saja Gui sam tong dibikin
terbungkam.
Wong Peng ci segera mengalihkan kembali pembicaraannya, ia berkata
lebih jauh:
"Lagipula bila aku tidak menolongmu, kau sudah mati diujung pedang
saudara Cu. pada hal kau sebelumnya hendak membunuhku, dan aku
malah menolong dirimu, apakah perbuatanku ini salah?"
Gui Sam kui segera berputar otak dengan keras, tapi pikir punya pikir ia
tak berhasil menemukan suatu kata yang tepat untuk membantah
perkataan dari Wong Peng ci.
Cu San-poo tahu kalau mereka memang kekurangan alasan untuk
bertindak, terpaksa mewakili Gui Sam tong katanya:
"Kalau memang begitu, mengapa pula kau bersikeras untuk
memunahkan ilmu silat dari Gui tua?"
"Soal ini gampang sekali, jalan darahku sudah ditotok orang dan tenaga
dalamku pasti akan punah. andaikata aku tidak buru-buru memunahkan
dulu kepandaian silat yang dimiliki saudara Gui, hal mana berarti saudara
Gui akan tetap memiliki kepandaian sepenuhnya, andaikata dia tetap
bertekad untuk membunuhku, apa pula yang harus kulakukan?"
"Mana mungkin aku akan membunuh dirimu lagi?" bantah Gui Sam tong
dengan cepat.
Wong Peng-ci segera menghela napas panjang. "Aaaii... sekarang,
tentu saja aku percaya kalau kau tak akan
membunuhku lagi, tapi waktu itu aku mana berani berpikiran demikian?
Apalagi berbicara soal kepandaian, aku pun berkepandaian paling
rendah..?"
Cu San-poo tidak berbicara lagi, Gui Sam tong juga tidak mengatakan
apa-apa.
Wong Peng ci segera menghela napas panjang, katanya lebih jauh:
"Berbicara pulang pergi, kesemuanya ini adalah akibat ulah dari Lok
hun pay si tua bangka itu!"
Gui Sam tong manggut-manggut, dia menganggap jawaban tersebut
memang paling tepat.
Kemudian terdengar Wong peng ci berkata lebih jauh: "Selama
banyak tahun ini, kita selalu keluar masuk antara hidup
dan mati, kita selalu jual nyawa baginya, tapi sejak awal sampai akhir,
entah betul atau salah, dia selalu mengirimkan orang untuk mengawasi
gerak gerikmu."
"Andaikata peristiwanya seperti apa yang kita alami sekarang, selain
muncul penyakitnya juga kepandaian kita tak sanggup menandingi
orang, apa pula yang bisa kita katakan? Tapi dia tak ambil perduli dan
tanpa pandang bulu segera memerintahkan untuk melakukan
pembunuhan lebih dahulu."
"Seandainya majikan yang bijaksana, maka andaikata mengalami
peristiwa semacam ini, dia pasti akan menghibur dan mengajukkan kita
agar jangan putus asa, saat itu kami pasti akan semakin berterima kasih
kepadanya, bila bertemu urusan lain, dapatkah kita menampik untuk
tidak menjual nyawa kepadanya?"
Ucapan mana segera disambut oleh Gui Sam tong dan Cu San poo
dengan helaan nafas dan anggukan kepala.
Setelah berhenti sejenak. Dengan bersungguh hati Wong Peng ci
berkata lebih jauh.
"Sekarang, nasib yang kita alami sama, sekalipun ilmu silat yang kita
miliki masih utuh juga belum bisa meloloskan diri dari cengkeraman
maut Lok hun pay, apalagi sekarang kita sudah menjadi manusia biasa
yang tak berkepandaian apa-apa."
"Tentang tindakanmu yang memunahkan kepandaian silat kalian berdua,
aku mengaku hal itu merupakan suatu kesalahan, entah hukuman
macam apapun yang hendak kalian berdua jatuhkan kepadaku, akan
kuterima hukuman tersebut dengan senyuman"
Dengan cepat Cu San poo menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Sudahlah" dia berkata, "yang sudah lewat biarkan lewat!" Gui Sam
tong lebih mantap lagi sikapnya, dia segera berseru
dengan lantang: "Wong Iote, tak usah menyinggung soal ini siapa yang
menyinggung dia adalah telur busuk." Begitulah, tiga orang persilatan
yang kehilangan ilmu silatnya,
dari musuh kini berubah menjadi teman. Pertama-tama Wong Peng-ci
memanggil si pelayan lebih dulu
untuk memesan sayur dan arak. Begitu sayur dan arak telah
dihidangkan Wong Peng-ci baru
berpesan kepada pelayan agar pelacur yang semalam dijanjikan tak
usah datang lagi.
Untuk hal ini, Gui sam tong dan Cu San poo sempat menggoda Wong
Peng ci habis-habisan. Akhirnya ketiga orang itu melanjutkan
perjanjiannya sambil membicarakan hal-hal yang santai.
Mula-mula Wong Peng ci yang bertanya dulu kepada Cu San poo dan
Gui Sam-tong apa rencana mereka selanjutnya.
Dengan kening berkerut Gui Sam tong menjawab: "Aku dan Cu tua
sebetulnya berniat untuk pulang sejenak!" "Pulang?" dengan nada
tercengang dan setengah tidak percaya
Wong Peng ci berseru. Cu San poo tertawa getir. "Kalau tidak pulang
mana mungkin? Aku dan Cu tua kan tak
punya sepeser uangpun!." Menyinggung soal uang, Wong Peng ci
menjadi berdiri bodoh. Betul saat ini dia masih mempunyai belasan tahil
perak,
andaikata untuk hidup berhemat mungkin dia sendiri masih bisa hidup
setengah tahunan, tapi jika untuk beaya hidup tiga orang, dua bulan
sudah akan ludas.
Lok hun pay tak pernah lupa memberikan uang kepada mereka, entah
perak, entah emas. mereka bertiga paling tidak masing- masing
memiliki tiga lima ratus tahil, kalau di jumlahkan benar- benar
merupakan sejumlah harta kekayaan yang tidak kecil.
Tapi Lok hun pay memang sangat lihay, seluruh uang perak dan uang
emas yang di miliki seseorang, kecuali tiga lima tahil yang boleh dibawa
dalam saku, sisanya harus tetap disimpan dalam lemari diatas gunung.
Bila sedang bertugas luar, semua biaya menjadi beban Lok hun pay dan
telah diatur dengan sempurna, tak pernah mereka risaukan tentang
soal ini, tak nyana mereka harus mengalami nasib seperti hari ini, boleh
dibilang peristiwa tersebut merupakan suatu kejadian yang tak pernah
mereka bayangkan sebelumnya.
Wong Peng ci berpikir sejenak, kemudian katanya: "Benar, kita
memang harus pulang ke gunung mumpung loji
tidak berada di rumah..." "Aku dan lo Gui pun berpendapat demikian,
justru karena itulah
aku baru berani pulang!" sela Cu San poo. "Dari sembilan orang
pengganti Loji, sekarang tinggal enam
orang, padahal ilmu silat yang dimiliki Sun Tiong lo masih berada jauh
diatas kepandaian loji, karena itu kuduga pada saat ini loji tak akan
punya waktu untuk pulang gunung.
"Cuma kepandaian silat yang kita miliki sekarang telah punah, kalau di
hari biasa tentu saja kita tak usah menguatirkan soal apa- apa, tapi
sekarang, bila rahasia kita sampai ketahuan, sekalipun otot kawat
balong besi, mungkin kita cuma bisa pergi tak akan dapat kembali lagi!"
"Tak usah kuatir" sela Gui Sam-tong sambil tertawa cekikikan, "aku
sudah mempunyai persiapan yang matang."
Maka apa yang pernah diungkapkan kepada Cu San-poo, sekali lagi
diutarakan kepada rekannya.
Jalan pemikiran Wong Peng ci memang lebih tajam dari pada
rekan-rekannya, mendengar rencana tersebut dia segera bertepuk
tangan sambil memuji:
"Bagus sekali, itu berarti kita boleh segera berangkat pulang" Setelah
berhenti sejenak, kembali dia menambahkan: "Cuma untuk
berhati-hatinya, lebih baik kita bertindak dengan
suatu penyusunan rencana yang matang!" Cu San poo pun merasa hal
ini tepat sekali, maka mereka bertiga
segera berunding kembali untuk menyusun rencana baru.
-ooo0dw0oooTEMPAT
ini bukan Bukit pemakan manusia, tapi mirip sekali dengan
Bukit Pemakan manusia.
Karena tempat untuk naik gunung sama sekali berbeda dengan tempat
yang dahulu pernah dilalui Sun Tiong lo, Bau ji serta Hou cu,
seakan-akan antara bukit yang satu dengan bukit yang lain sebetulnya
adalah dua bukit yang berbeda.
Cuma yang kebetulan sama adalah setengah hari setelah melewati jalan
masuk bukit dan membeloki sebuah tebing, pemandangan yang dijumpai
persis sama dengan keadaan dibukit pemakan manusia dulu, yakni
barisan lentera yang pernah dijumpai Sun Tiong lo dulu.
Tapi sekarang hari masih terang benderang tentu saja tidak di jumpai
barisan lentera.
Sekilas pandangan, diujung jalan sana pun terdapat sebuah
perkampungan seperti perkampungan keluarga Beng milik Beng Liau
huan, yang dimaksudkan sama tentu saja dipandang dari luarnya.
Sedangkan mengenai bagian dalamnya apakah sama atau tidak, hal ini
kurang begitu jelas.
Dibawah cahaya matahari yang terang benderang, tampak tiga orang
manusia berkerudung emas berjalan masuk ke atas bukit.
Dibawah sebatang pohon besar mereka segera berhenti, Salah
seorang diantaranya segera mengambil segulung tali kecil
yang diujungnya berkait kemudian dia berjalan ke belakang pohon di
mana disisi pohon tersebut terdapat sebuah gua yang dalam.
Orang itu segera melepaskan tali senarnya ke dalam lubang yang
dalam itu dengan kait nya menghadap ke bawah.
Tampak dia menggerakkan tangannya be berapa kali, kemudian sambil
menggetarkan tangannya dia menarik kembali senarnya keatas.
Tak lama kemudian dia telah berhasil menarik keluar sebuah bungkusan
kecil yang terbuat dari kertas minyak tebal dari balik lubang tersebut.
Ketika buntalan itu terbuka, ternyata didalamnya terdapat dua buah
lencana Lok hun pay berkepala naga.
Dari lencana emas tersebut, kita dapat segera menduga siapa gerangan
ketiga orang manusia berkerudung emas itu.
Mereka tak lain adalah Gui Sam tong, Cu San-poo dan Wong Peng ci.
Dari dulu memang sudah terkenal sepatah pepatah kuno yang
mengatakan begini: Manusia mati karena harta, burung mati karena
makanan.
Sepandai-pandainya seseorang, siapakah manusia didunia ini yang tidak
menyukai harta ?
Kepandaian silat yang dimiliki Wong Peng ci, Cu San poo dan Gui Sam
tong telah punah sama sekali, tapi mereka toh menyaru kembali
kedudukannya semula, dengan perbandingan sepuluh lawan satu
mereka berusaha untuk mengambil kembali tabungan mereka selama
banyak tahun ini.
Seandainya kepandaian silat yang mereka miliki masih utuh, dengan
mengandalkan kepandaian tersebut mereka masih bisa merampok atau
mencuri rumah-rumah orang kaya, mereka pun tak usah merisaukan
kehidupan dikemudian hari.
Tapi sekarang mereka tak punya apa-apa lagi, sebab itu terpaksa
mereka harus datang menyerempet bahaya.
Setelah lencana emas berhasil diperoleh, Gui Sam tong segera
menyembunyikannya ke dalam saku, kemudian setelah menyimpan
kembali pancingan dan senarnya, bersama Wong Peng ci dan Cu San
poo, mereka melanjutkan perjalanannya naik gunung.
Mereka baru berhenti lagi setibanya ditempat yang bisa melihat jelas
perkampungan.
Gui San tong segera menuju kedepan sebuah batu, merogoh kebalik
batu itu dan membunyikan keleningan.
Tidak lama kemudian muncullah dua orang lelaki berkerudung hitam.
Ketika Gui Sam tong itu mengangkat tinggi-tinggi lencana emasnya, dua
orang lelaki berkerudung itu segera menunggu perintah dengan sikap
yang hormat.
Dengan suara angker dan dalam, Gui Sam-tong segera memerintahkan
pada mereka untuk menyiapkan tiga ekor kuda cepat, menyiapkan seribu
tahil emas murni yang di simpan kedalam tiga buah peti besi dan segera
mengirim ke mulut gunung.
Dua orang lelaki berkerudung itu mengiakan dan segera berlalu, maka
mereka bertiga lantas membalikkan badan dan berjalan balik melalui
jalan semula, tapi hatinya berdebar keras kuatir menjumpai hal-hal
yang sama sekali di-luar dugaan...
Belum lagi mereka bertiga berjalan keluar dari daerah pegunungan,
mendadak dari arah belakang berkumandang suara derap kaki kuda.
Dengan perasaan berdebar bercampur cemas ke tiga orang itu
melanjutkan langkahnya dengan sangat berhati-hati, mereka tak berani
menunjukkan sikap yang gelisah atau cemas.
Tak selang berapa saat kemudian, derap kaki kuda itu berhenti di
belakang mereka, dalam keadaan begini terpaksa ke tiga orang itu
membalikkan badannya.
Ternyata orang yang menghantar emas, kini telah bertambah dengan
seorang lagi.
Orang yang muncul bersama mereka itu adalah seorang manusia
berbaju putih, berkaos putih, sepatu putih dan berkain kerudung putih
pula.
Orang berbaju putih itu menunggang kuda berwarna putih, gayanya
benar-benar sangat angker.
Orang berbaju putih itu yang pertama-tama melompat turun dari
kudanya, sesudah menjura kepada ke tiga orang itu, diapun berkata.
"Karena mendengar kabar yang mengatakan kehadiran lencana naga,
aku sengaja datang untuk memberi sambutan."
"Apakah kau hendak memeriksa lencana ini" kata Gui Sam tong sambil
mengeluarkan lencana naga tersebut.
"Aku tak berani" jawab orang berbaju putih itu sambil menggoyangkan
tangannya berulang kali.
Kemudian setelah berhenti sebentar, sorot matanya dialihkan ke atas
lencana tersebut, lalu setelah mengawasinya berapa saat, kembali dia
berkata:
"Harap uang emasnya di periksa !" Sambil berkata, orang berbaju
putih itu mengulapkan tangannya. Dua orang lelaki kekar berbaju
hitam segera munculkan diri
sambil membawa tiga buah peti besi, peti itu dibuka ditepi jalan lalu di
persembahkan ke hadapan Gui Sam tong untuk diperiksa isinya.
Gui Sam tong segera memeriksa isi peti tersebut dengan seksama,
kemudian manggut-manggut tanda setuju.
Lelaki berbaju hitam itu segera mengunci kembali peti besi mana dan
diletakkan keatas punggung tiga ekor punggung kuda yang kosong,
kemudian setelah menjura mereka segera mengundurkan diri ke
samping.
Gui Sam tong segera memberi tanda kepada Cu dan Wong berdua
seraya berseru:
"Silahkan saudara berdua, waktu yang tersedia amat terbatas mungkin
kita tak sempat memburu ke situ !"
Wong peng ci dan Cu San poo segera memberi tanggapan dan cepat
naik keatas pelana.
Sementara itu, si manusia berkerudung putih itu cuma berdiri
mengawasi dari sisi arena, walaupun paras mukanya ditutupi oleh kain
kerudung, akan tetapi Gui Sam tong tahu, sudah pasti manusia
berkerudung putih itu sedang mengawasi mereka bertiga, dengan
penuh perhatian.
Sebab itu Gui Sam tong merasakan hatinya kebat-kebit tak teruan, dia
kuatir Cu San-poo dan Wong Peng ci menunjukkan suatu pertanda yang
akan merugikan lawan.
Untung saja Wong Peng-ci dan Cu San poo bertindak hati-hati, ketika
naik kuda gerak gerik mereka nampak amat santai.
-ooo0dw0ooo- TAPI, setelah Wong Peng ci dan Cu San-poo naik
keatas kuda
dan Gui Sam tong hendak naik keatas pelana kudanya, mendadak
manusia berkerudung putih itu berkata kepada Gui Sam tong, "Aku
ingin turun gunung bersama-sama kalian bertiga."
Gui Sam tong berpaling, masih melanjutkan gerakannya naik keatas
kuda, dia bertanya.
"Mau ke mana ?" "Ada urusan yang maha penting hendak di
sampaikan kepada
majikan." "ltu berarti harus menuju ke selat Wu-shia dan tiap hari
menempuh tiga ratus li berarti dua hari kemudian baru bisa berjumpa
dengan majikan, soal-soal lainnya tentu kau bisa melakukannya bukan"
kata Gui Sam tong dingin.
"Benar !" jawab manusia berkerudung putih itu dengan hormat.
Sesudah berhenti sejenak, dengan suara rendah kembali dia
berkata. "Tolong tanya tujuan dari kepergian kalian
bertiga..."
Belum habis dia berbicara, Gui Sam tong telah membentak dengan
suara nyaring:
"Kau benar-benar ingin bertanya?" "Aku tidak berani." buru-buru
manusia berkerudung putih itu
memberikan penjelasan, "aku hanya ingin..." "Majikan tak nanti akan
menanyakan persoalan ini kepadamu"
tukas Gui Sam tong sambil mendengus, "bila kau berani menyinggung
persoalan ini, kuanjurkan kepadamu sepanjang jalan lebih baik pikirkan
dulu jawabnya yang tepat, dari pada... hmmm... hmm..!"
Nada ucapan semacam itu memang amat cocok dengan kedudukan yang
dipangkunya sekarang.
Oleh karena itu, manusia berkerudung putih itu tak berani menanggapi
lebih lanjut.
Sekali lagi Gui Sam tong mendengus dingin, katanya lebih jauh:
"Jangan kau anggap setelah mengenakan pakaian berwarna
putih, maka kau dapat melindungi segala sesuatunya!" Berbicara sampai
duitu, dia tertawa dingin tiada hentinya,
kemudian sambil menarik tali les kuda, dia berjalan lebih dahulu dari
situ.
Wong Pengci dan Cu Sam poo berdua pun menyesuaikan diri dengan
kedudukannya sekarang tak mengucapkan sepatah katapun, mengikuti
dibelakang Gui Sam tong, mereka menjalankan kudanya pelan-pelan,
meninggalkan tempat tersebut.
Setelah Gui Sam tong bertiga pergi jauh, tiba-tiba manusia berkerudung
putih itu berpaling kearah dua orang lelaki kekar yang berada
dibelakang sambil berpesan.
"Pulanglah dulu kalian berdua, segala sesuatunya harus berhati- hati,
lepaskan si "awan kelabu", katakan ada urusan hendak di laporkan
kepada majikan, katakan pula aku telah turun gunung, tak lama
kemudian akan memberikan laporannya sendiri !"
Kedua orang lelaki kekar itu mengiakan dengan hormat, manusia
berkerudung putih itupun segera mencemplak kudanya dan berlalu dari
tempat itu.
-ooo0dw0ooo- BEBERAPA sosok bayangan manusia tampak
berkumpul dibawah
setitik cahaya lampu yang redup: Sun Tiong lo bersama Hou ji. Bau ji
dan nona Kim sedang
berunding bagaimana caranya untuk mengatur kehidupan Beng
Liau-huan dan pelayannya selanjutnya.
Hou ji tahu kalau masalahnya sulit, maka dia berkata lebih dulu.
"Persoalan ini tidak mudah untuk diselesaikan"-katanya. "apa lagi
sepasang kaki Beng cengcu telah cacad, selain gerak-geriknya kurang
leluasa, untuk mcnghindarkan diri dari pengejaran lawan pun tidak
mudah untuk menyembunyikan diri"
"Bukan cuma terbatas akan dua hal itu saja" kata Sun Tiong lo sambil
menghembuskan napas panjang, "yang lebih penting lagi, ada kalanya
kami tak bisa membagi orang untuk memperhatikan mereka berdua,
tapi kitapun tak bisa berpeluk tangan belaka tanpa mengurus keadaan
mereka."
"Mengapa tidak kita cari kan suatu akal untuk mencari tempat
pondokan yang aman kedua orang itu?" tanya nona Kim.
"Justru persoalan itulah yang hendak kita rundingkan pada malam ini!"
seru Sun Tiong Io. Bau ji berpikir sejenak, kemudian:
"Tapi kita harus mencarikan tempat pemondokan dimana barulah aman
dari segala gangguan apapun?"
Hou ji mengerutkan dahinya kencang-kencang, dia sedang termenung
sambil memikirkan persoalan ini dengan serius:
Nona Kim tak perlu repot-repot untuk memutar otak, karena dia baru
terjun ke dalam dunia persilatan, tiada tempat baik yang bisa dia
usulkan kepada orang.
Sun Tiong lo sendiripun kehabisan akal untuk mencarikan suatu tempat
yang aman bagi Bong Liauhuan dan pelayannya, sebab itu dia duduk
dengan kening berkerut.
Tiba-tiba Hou ji berseru, serunya cepat: "Aaaaa, aku berhasil
menemukan suatu tempat yang aman untuk
mereka berdua." "Dimana?" seru Sun Tiong lo girang. "Tempat itu
adalah tempat yang hendak kita tuju sekarang." "0ooh. .. maksudmu
dua belas puncak dari bukit Wu san?" "Bukan." dengan cepat Hou ji
menggelengkan kepalanya,
"maksudku keluar kota Seng tok" "Kau maksudkan markas besar
perkumpulan pengemis di hutan
bambu Ci tiok lim ?" seru Sun Tiong lo lagi dengan perasaan girang. Hou
ji segera tertawa. "Siau liong, bagaimani pendapatmu tentang tempat
yang
kuusulkan itu? Cukup aman bukan?" Sun Tiong lo segera
manggut-manggut "Yaa, tempat itu memang
merupakan tempat yang paling cocok, cuma suhu dia orang tua tidak
berada di dalam markas besar."
Hou ji segera tertawa terkekeh. "Haaahhh... haaah... terpaksa kita
mesti setengah menggertak
dan setengah memaksa!" "Apa yang kau maksudkan sebagai setengah
menggertak dan
setengah memaksa itu?" tanya nona Kim dengan wajah tertegun.
Kembali Hou ji tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku sudah dicoret namanya oleh suhu dari perkumpulan kaum
pengemis, tapi aku percaya suhu tak akan mengabarkan kejadian ini
pada seluruh anggota perguruan lainnya, oleh karena itu aku masih bisa
memanfaatkan tingkat kedudukanku dalam perkumpulan untuk
menyelesaikan persoalan ini...."
"Cuma dengan kedudukanku sekarang, masih selisih sedikit bila ingin
menitipkan seseorang kedalam perkumpulan oleh karena itu aku
terpaksa harus mengatakan kalau hal ini merupakan perintah suhu,
nah, cara semacam ini bukankah cocok sekali kalau dikatakan sebagai
setengah menggertak, setengah memaksa?"
Selesai mendengarkan keterangan tersebut, semua orang tidak bisa
menahan rasa gelinya lagi dan tertawa terbahak-bahak.
Maka semua orangpun mengambil keputusan untuk tak memperdulikan
lagi pengejaran musuh di sepanjang jalan.
Selesai berunding masing-masing orang kembali kekamarnya
masing-masing untuk beristirahat sebagai persiapan keesokan harinya
melanjutkan perjalanan.
Merekapun menerangkan pula hal ini kepada Beng Liau huan berdua
agar mereka bersiap.
Sewaktu mereka bersama-sama merundingkan persoalan itu tadi, Beng
Liau huan dan pelayannya pun sedang merundingkan pula masalah
tersebut.
Waktu itu Beng Liau huan setengah berbaring diatas pembaringan
sedangkan Beng Seng duduk disisinya.
Setelah menyerahkan cawan air tehnya kepada Beng Seng, Beng Liau
huan menghela napas panjang, kemudian berkata:
"Aku sungguh merasa menyesal mengapa mengikuti mereka
meninggalkan bukit pemakan manusia !"
"Loya, terlalu banyak yang kau pikirkan?"
Dengan cepat Beng Liau huan menggeleng.
"Sewaktu aku ingin meninggalkan bukit tempo hari, maksudku ingin
cepat-cepat membalas dendam atas sakit hati yang telah menimpa
diriku, tapi setelah meninggalkan Bukit pe makan manusia, aku baru
tahu bahwa langkah ku akan semakin sulit bahkan setiap detik setiap
saat harus memohon perlindungan orang lain."
"Selama budak berada disini, apa lagi yang loya risaukan?" hibur Beng
Seng cepat, Beng Liau huan tertawa getir.
"Kau sendiripun lemah tak bertenaga, kekuatan untuk membunuh seekor
ayam pun tidak dimiliki, apalagi usiamu pun sudah menanjak semakin
tua, sebaliknya Sun kongcu bersaudara dan Hou hiap tersebut
masing-masing mempunyai dendam berdarah yang harus dibalas, jika
kini bertambah lagi dengan kita berdua, sesungguhnya kehadiran kita
hanya akan merepotkan mereka saja, aaaaii..."
Beng Seng tidak berbicara, dia tak dapat membantah apa yang
dikatakan merupakan suatu kenyataan, Yaa, bila kenyataan telah
berada didepan mata, apa pula yang bisa dikatakan?
Tak selang berapa saat kemudian, kembali Beng Liau huan berkata:
"Beng Seng, kita harus mencari akal yang baik untuk mengatasi
masalah yang amat pelik ini!"
Beng Seng manggut-manggut. "Budak akan menuruti perkataanmu !"
Setelah berpikir sebentar, Beng Liau huan berkata. "Aku
memutuskan untuk berangkat malam ini juga, tinggalkan saja sepucuk
surat pemberitahuan pada mereka!"
Beng Seng kembali tertawa getir. "Loya... seandainya di tengah jalan
bersua lagi dengan musuh
besar kita, maka..."
Beng Liau huan segera menghela napas dan tukasnya: "Persoalan sendiri
harus dihadapi dan diatasi oleh kemampuan sendiri, tidak sepantasnya
btia kita mesti merepotkan orang lain!"
"Walau ucapan mana betul, tapi kita berdua sudah tua dan sama sekali
tak berdaya..."
Beng Liau huan menyapu sekejap wajahnya Beng Seng, dan menukas
cepat:
"Keputusan aku telah bulat, Cepat siapkan kertas dan pena!" Beng
Seng berpikir sebentar dan tidak berbicara lagi, dia lantas
mempersiapkan kertas dan pena. Ketika Sun Tionglo menemukan surat
tersebut dan selesai
membacanya, dia menggelengkan kepalanya berulang kali. Hou ji dan
nona Kim serta Bauji pun hanya bisa tertawa getir
tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiada jalan lain lagi bagi mereka,
kecuali melanjutkan perjalanan
sambil berusaha menemukan kembali jejak Beng Liau huan berdua.
Maka selesai membayar rekening penginapan Sun Tiong lo dan
nona Kim berangkat dalam satu rombongan yang lain, seorang
berangkat ketimur, yang lain berangkat kebarat dengan tujuan
menemukan jejak Beng Liau-huan berdua.
Mereka berjanji selewatnya malam hari nanti, mereka akan bersua
kembali di kota bukit tersebut.
Tempat mereka berpisah tidak lain adalah didepan rumah penginapan
kecil tersebut.
-ooo0dw0ooo- SETELAH mempunyai bekal beribu uang emas murni
dan tiga
ekor kuda, Wong Peng ci, Cu San poo dan Gui Sam tong pun memiliki
keberanian yang baru untuk melanjutkan hidup baru
mereka, sambil membusungkan dada dan semangat yang tinggi mereka
lanjutkan perjalanan kedepan.
Pepatah mengatakan Manusia adalah besi, nasi adalah baja, hal ini
melukiskan kalau manusia harus makan sampai kenyang.
Kini, manusia adalah kantung kulit uang adalah semangat setelah ada
uang, kantung kulit baru menggelembung besar, semangatpun
berkobar.
Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah menempuh perjalanan
sejauh lima puluh li lebih sebelum akhirnya turun didalam sebuah hutan
untuk beristirahat.
Setelah beristirahat merekapun lantas merundingkan pula masa depan
mereka.
Pertama-tama Wong Peng ci yang berkata lebih dahulu, ujarnya:
"Saudara berdua, bagaimana dengan kita selanjutnya." Persoalan
apakah yang dimaksudkan? Meski tidak dijelaskan
secara terang-terangan, akan tetapi Gui Sam-tong dan Cu San-poo
mengetahui dengan amat jelas.
"Aku rasa pertama-tama kita harus mencari rumah penginapan lebih
dulu, kemudian baru membicarakan persoalan lainnya !" sela Cu
San-poo dengan cepat.
"Tidak, yang penting sekarang adalah mencari tahu lebih dulu, apakah
ada orang yang mengintil perjalanan kita kali ini!" sela Gui Sam tong
dengan wajah serius.
Wong Peng ci segera tertawa. "Tentu saja ada, itu mah peraturan !"
Kata "tentu saja" tersebut, kontan saja mengejutkan Gui Sam
tong dan Cu San poo sehingga nyaris tubuh mereka menggigil keras.
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Inilah peraturan yang telah ditemukan oleh Lok hun loji, orang yang
melakukan penguntitan tak nanti berani turun tangan keji terhadap kita
sebelum dia berhasil mendapatkan bukti yang nyata, akan tetapi untuk
memperoleh data yang selengkapnya hal ini jelas membutuhkan waktu
cukup lama !"
"Dimanakah letak alasannya ? Aku ingin mengetahui alasannya yang
tepat."
"Hal ini harus kembali pada tugas yang pernah kupangku ketika baru
saja naik gunung tempo dulu."
Pelan pelan Wong Peng-ci berkata. "Ketahuilah, loji memiliki empat ekor
burung merpati yang bukan cuma kenal jalan, bahkan dalam satu hari
bisa terbang sejauh seribu li."
"Aku percaya si bocah keparat berbaju putih itu pasti sudah menaruh
perasaan curiga terhadap kita, cuma dia tak berani turun tangan secara
gegabah, itu berarti dia telah melepaskan burung merpati untuk
mengadakan kontak langsung dengan loji !"
"Kau mengatakan si bocah berbaju putih itu sudah menaruh curiga
terhadap kita, apa bukti nya ?" tanya Cu San poo dengan cepat.
"Betul." Gui Sam-tong menyela pula dengan cepat, "apa bukti mu
sehingga berani mengatakan begitu ?"
"Kita telah melupakan akan suatu hal, dan kelupaan kita tersebut telah
membongkar rahasia kita."
"Ooh !" Gui Sam-tong berseru tertahan, "Kita sudah kelupaan untuk apa
?"
Wong Peng-ci segera tertawa. "Kita bertiga tidak seharusnya
munculkan diri secara bersamasama
diatas bukit: Mendengar perkataan itu. Cu San poo menjadi
tertegun dan tak
sanggup berbicara Iagi.
Sedang Gui Sam tong berpikir sebentar, kemudian mengangguk
berulang kali.
"Benar, hal ini memang tidak cocok dengan peraturan yang berlaku
selama ini!" katanya.
Dengan cepat Wong Peng ci menggeleng, katanya lagi: "Persoalan ini
tidak ditetapkan dalam peraturan manapun,
sebetulnya tiga orang munculkan diri bersama samapun bukan suatu
masalah besar, persoalannya adalah kita seharusnya melakukan suatu
pekerjaan yang lebih banyak daripada apa yang telah kau lakukan, tapi
sayang kita telah bertindak agak teledor."
Pada saat itulah Cu San poo menyela: "Betul, mengapa kita tiga orang
pengganti berbaju emas harus turun tangan sendiri hanya dikarenakan
urusan uang emas sebesar berapa ribu tahil emas, padahal biasanya
untuk tugas-tugas semacam itu kita hanya mengutus orang untuk
melaksanakannya. Tak heran kalau bangsat muda berbaju putih itu
menjadi curiga, ya, kalau begitu sudah pasti dia telah menguntil kita !"
"Kalau memang begitu, kita harus segera meninggalkan tempat ini
selekasnya!" seru Gui Sam tong sambil melompat bangun secara
tiba-tiba.
Kembali Wong Peng ci tertawa sambil rentangkan tangannya untuk
menghalangi kepergian orang itu, serunya:
"Mau pergi ? Pergi ke mana ?" "Perduli kemana saja, pokoknya pergi
makin jauh meninggalkan
tanah pegunungan ini semakin baik !" Kembali Wong Peng-ci
menggelengkan kepalanya berulang kali. "Percuma, kita tak mungkin
bisa menangkan kecepatan terbang
dari burung-burung merpati tersebut !" "Sekalipun begitu, tapi kita toh
tak bisa berpeluk tangan belaka
untuk menanti kematian"
"Sekarang pergi berarti kemungkinan mati buat kita akan semakin
besar."
"Mengapa begitu ?" tanya Gui Sam-tong. "Sebab orang yang
menguntit kita sekarang bukan cuma
kepandaian silatnya lihay, dia pasti seorang yang amat cerdas, kita
berhenti dia pasti berhenti, kita jalan dia pun ikut jalan. Oleh karena itu
bagaimanapun jauhnya kita pergi, hal itu sama sekali tak berguna,
begitu beritanya telah datang dan loji menitahkan untuk melakukan
pembunuhan, tak sampai sepertanak nasi kemudian, kita semua pasti
akaa menemui celaka di tangannya..."
”Itulah sebabnya kita harus cepat-cepat menyingkir dari sini, makin jauh
semakin baik!" tukas Cu San poo dengan cepat.
Kembali Wong Pengci menggelengkan kepalanya berulang kali. "Soal
pergi tentu saja kita akan pergi, tapi sebelum berangkat
kita harus berunding dulu dengan sebaik-baiknya!" "Soal apa lagi yang
perlu dirundingkan ?" Sambil tertawa Wong Pengci berkata kepada Gui
Sam tong: "Duduklah lebih dulu saudara Gui, mari kita duduk sambil
berbincang-bincang." Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Gui
Sam tong harus
duduk kembali ke atas tanah. Dengan merendahkan nada suaranya,
Wong Pengci segera
berkata: "Menurut dugaanku, orang yang menguntit kita sekarang
kemungkinan benar adalah si bocah keparat berbaju putih itu..."
"Perduli siapakah dia, yang pasti dia bakal merenggut nyawa kita
bertiga..." tukas Cti San poo dengan kening berkerut. Wong Pengci
memandang sekejap ke arah Cu San poo, kemudian
berkata lagi:
"Saudara Cu tak usah gelisah, maksud siaute orang yang menguntit
perjalanan kita sekarang cuma satu orang!"
Gui Sam tong masih saja belum memahami apa arti dari pembicaraan
itu, katanya pula:
"Berbicara menurut keadaan yang sedang kita hadapi sekarang hanya
seorang saja sudah cukup untuk merenggut nyawa kita semua!"
"Saudara Gui" kata Wong Peng-ci sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali, "Siau-te bukannya tidak mengerti akan teori tersebut,
maksud siaute adalah ingin memberitahukan kepada kalian berdua
bahwa orang yang menguntit kita sekarang cuma sorang, padahal kita
sekarang bertiga..."
Setelah mendengarkan pembicaraan tersebut sampai disitu, dengan
cepat Cu San poo dapat memahami maksudnya, dengan cepat dia
menukas:
"Jadi maksudmu, kita akan memisahkan diri untuk melarikan diri ketiga
penjuru yang berbeda ?"
Dengan cepat Wong Peng ci mengangguk. "Benar, benar, sebentar
bila rasa lelah kita sudah hilang kita
masing-masing naik kuda dan menempuh perjalanan yang berbeda, Aku
percaya bocah keparat berbaju putih itu pasti akan dibikin tertegun
ditempat persembunyiannya dan tak tahu apa yang mesti dilakukan!"
Gui Sam-tong berpikir sebentar, kemudian mengangguk, "Yaa, cara ini
memang sebuah cara yang bagus sekali." katanya.
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi: "Tapi, kita harus
berjumpa lagi dimana ?" Sebelum Cu San poo sempat menjawab,
Wong Peng-ci telah
berkata lebih dahulu: "Bagaimana kalau kita bersua lagi
kota Kim leng?"
"Kurang cocok." tukas Cu San poo cepat, "menurut apa yang kuketahui
loji mempunyai tempat persembunyian didalam kota Kim leng, Iebih
baik jangan kesitu!"
Gui Sam tong berpikir pula sejenak, kemudian katanya: "Kalau bisa
tempat itu bukan suatu tempat yang terlalu
diperhatikan orang, tapi tempat itupun jangan kelewat terpencil dari
keramaian."
"Ehmm,,." Wong Peng ci mengangguk, "sekarang Sun Tiong lo sekalian
sedang pergi ke selat Wu shia, itu berarti loji sekalian pasti melewati
pula jalanan tersebut, kita harus mengambil arah yang berlawanan
bagaimana kalau kota Si ciu saja?"
Dengan cepat Cu San poo dan Gui Sam tong menyatakan
persetujuannya dengan cepat.
"Apakah kalian berdua mengenal daerah kota si ciu?" tanya Wong Peng
ci lagi.
Gui Sam tong segera menggeleng, sedangkan Cu San poo juga tidak
mengucapkan apa-apa.
Sambil berkata Wong Peng ci kembali ber-kata: "Dijalan raya sebelah
selatan kota Si ciu terdapat sebuah rumah
penginapan yang memakai merek Ki bok, kita bersua lagi ditempat itu
saja, siapa yang sampai duluan harus menunggu sampai yang lain
datang, setuju..."
Dengan cepat Cu San poo menggeleng. "Bagaimanapun kita harus
meninggalkan suatu batas waktu
tertentu, jadi kitapun tak usah saling menunggu terus menerus."
"Betul" sambung Gui Sam poo pula, "bagaimanapun juga kita toh
tak bisa menunggu sepanjang masa disitu?" Wong Peng ci termenung
dan berpikir sejenak, kemudian
katanya:
"Kalau begitu begini saja, terhitung mulai besok, seratus hari kemudian
merupakan hari yang terakhir kalinya, setelah lewat seratus hari maka
orang yang sampai duluan tak usah menunggu lebih jauh!"
Cu San poo serta Gui Sam tong segera menyetujui dan memutuskannya
seperti apa yang dikatakan.
Menyusul kemudian Wong Peng ci berkata lagi dengan suara setengah
berbisik:
"Kita harus naik kuda dan keluar dari hutan bersama-sama, kemudian
berpisah secara tiba-tiba tanpa menghentikan kuda barang sedetik pun
nah saudara Gui, jangan lupa kau berikan perintah untuk menyebutkan
batas waktu dan tempat pertemuan buat kami berdua, agar bocah
keparat itu bisa dikelabuhi!"
"Tapi apakah bocah keparat berbaju putih itu bisa terkecoh?" tanya Gui
Sam tong sambil tertawa.
"Tentu saja, agar keparat itu salah wesel dan harus melakukan
perjalanan dengan sia sia..."
"Baiklah, aku sudah mempunyai perhitungan kalian tak usah kuatir."
kata Gui Sam tong tertawa.
Begitu persoalan telah diputuskan dan waktu istirahat sudah dirasakan
cukup, mereka bertiga segera naik kuda dan melanjutkan perjalanan
lebih jauh.
Setelah keluar dari hutan, Gui Sam tong segera menurunkan
perintahnya dengan lantang:
"Saudara berdua bila urusan selesai, jangan lupa untuk segera
berkumpul ke kota Seng tok karena masih ada urusan penting lainnya
yang harus segera diselesaikan jangan melanggar batas waktu yang
telah ditetapkan. Nah aku akan berangkat lebih dulu, kita bersua
kembali di kota Seng tok !"
Wong Peng ci dan Cu San poo mengiakan dengan hormat, kemudian
mereka bertiga segera berpisah untuk melakukan perjalanan dengan
melalui arah yang berbeda.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 26
TAK LAMA setelah mereka berpisah, seekor kuda putih dengan seorang
manusia berkerudung putih munculkan diri dari tempat persembunyian
memandang bayangan tubuh Wong Peng ci, Cu San poo dan Gui Sam
tong yang berpisah menuju ketiga sasaran yang berbeda, dia
menggelengkan kepalanya berulang kali.
Tak selang berapa saat kemudian, orang berbaju putih itu segera
bergumam:
"Perduli amat, asal aku menguntil orang yang memegang lencana naga
tersebut, rasanya tak mungkin bisa salah lagi!"
Bergumam sampai disitu, orang berbaju putih tersebut segera
mencemplak kudanya dan mengejar di belakang Gui Sam tong.
Belum lama setelah bayangan tubuh manusia berbaju putih itu lenyap
dari pandangan raata, dari tempat kejauhan nampak Wong Pengci telah
memutar kuda dan berjalan balik.
Memandang ke arah jalanan yang ditempuh oleh Gui Sam-tong, dia
menghela napas panjang.
Menyusul kemudian, dengan nada menyesal bercampur minta maaf dia
bergumam lagi:
"Saudara Gui, jangan salahkan aku, siapa suruh kau adaiah orang yang
membawa lencana perintah ?"
Bergumam sampai disitu, Wong Peng ci segera melarikan kudanya
berganti haluan, kali ini dia mengambil jalan kecil menuju ke arah lima
propinsi di utara sungai besar.
Cu San poo sendiripun dapat memahami persoalan tersebut setelah
menempuh perjalanan sekian waktu, selain merasa terperanjat akan
siasat busuk dari Wong Peng ci, diam-diam dia bersyukur atas nasibnya
yang terhitung masih mujur.
Oleh karena itu dia lantas menduga kalau janji Wong peng ci untuk
bersua lagi di kota Si ciu tak lebih hanya janji kosong belaka, oleh
karena itu Cu San poo pun segera berganti haluan pula, bukannya
berangkat ke kota Si ciu, kali ini dia membalikkan kudanya menuju ke
arah So khong.
-ooo0dw0ooo- DALAM rumah penginapan kecil, mereka yang keluar
rumah
untuk mencari jejak Beng Liau huan dan pelayannya telah balik semua
dan berkumpul kembali.
Mereka semua hanya menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas,
karena usaha pencarian mereka hanya sia-sia belaka.
Dalam keadaan apa boleh buat, kecuali diam-diam berdoa untuk
keselamatan Beng Liau huan dan pelayannya, mereka tak berdaya
apa-apa lagi.
Maka tanpa sangsi mereka segera melanjutkan perjalanan semula.
Tujuan mereka adalah selat Wu shia, karena Sun Tiong lo bertekad
hendak menemukan Su Nio.
Berbicara tentang Su Nio, siapapun tidak mengetahui dia telah
bersembunyi di mana, jangan dibilang Sun Tiong lo sekalian, sekali pun
Mou Tin hong sendiripun tak berhasil menemukan kabar berita tentang
dirinya.
Dia dan Kong It hong yang telah kehilangan ilmu silatnya telah lenyap
tidak berbekas semenjak meninggalkan bukit pemakan
manusia, dia pernah mengatakan tempat persembunyiannya tak
mungkin bisa ditemukan orang.
Nyatanya siapapun tak berhasil menemukan kemanakah dia telah
pergi.
-ooo0dw0ooo- RUMAH penginapan Kui peng dijalan raya sebelah
barat kota
Seng tok merupakan tempat berkumpulnya Sun Tiong lo sekalian
Mereka memborong lima buah kamar kelas satu dihalaman sebelah
timur.
Sun Tiong lo menghela napas panjang, dia merasa kecewa sekali.
Nona Kim yang berada di sampingnya cepat menghibur. "Engkoh Lo,
kita tidak usah cemas, marilah kita memikirkan cara
yang lain." "Aku tidak gelisah atau cemas" sahut Sun-Tiong lo sambil
tertawa
getir, "cuma kecewa saja." "Kalau dilihat keadaan perkampungan yang
porak poranda dan
tinggal puing-puing yang berserakan, tampaknya paling tidak sudah
ada berapa tahun tak berpenghuni lagi."
Sun Tiong lo manggut-manggut. "Bukan cuma beberapa tahun saja,
mungkin sudah mencapai
belasan tahun lamanya." Nona Kim segera tersenyum. "Walaupun
perkampungan itu sudah hancur lama sekali, akan
tetapi tidak sia-sia juga perjalanan kita kali ini." katanya. Hou ji dan
Bau ji tidak habis mengerti dengan maksud ucapannya
itu, dengan hampir berbareng mereka berseru: "Sepotong berita saja
tak ada, mengapa kau mengatakan kalau
perjalan kali ini tidak sia-sia belaka?"
"Kalau berbicara soal Su Nio, tentu saja perjalanan kita kali ini adalah
suatu perjalanan sia-sia belaka, tapi kalau berbicara soal berpesiar ke
selat Wu shia serta menikmati keindahan alam yang ada disekelilingnya,
maka kita perjalanan kita kali ini tak bisa dibilang suatu perjalanan yang
sia-sia belaka."
Sun Tiong lo yang berada disisinya segera memandang sekejap wajah
nona Kim, lalu berkata:
"Adik Kim, siapa sih yang berniat lagi untuk menikmati keindahan alam
disana?" nona Kim sama sekali tidak menanggapi ucapan mana, kembali
dia berkata:
"Harus diperhatikan kemurungan dan kekesalan apalagi keresahan tak
ada manfaatnya terhadap persoalan yang dihadapi!"
Sun Tiong lo tidak menanggapi ucapan itu, sebaliknya Bau ji segera
menimbrung.
"Nona, kami tak punya kegembiraan sebesar itu untuk turut
mendengarkan obrolanmu itu!"
"Baik!" seru nona Kim kemudian dengan dingin, "kalau begitu silahkan
kalian menikmati keresahan tersebut siapa tahu dari resah akan
menjumpai suatu cara yang bagus untuk mengatasi persoalan yang
sedang dihadapi..."
Ucapan mana kontan saja memancing gelak tertawa dari semua orang
yang hadir.
Selesai tertawa, Hou ji lantas berseru lebih duluan: "Siau liong, aku
rasa apa yang di ucapkan nona ini memang
masuk akal juga, sekarang kita sedang berada di propinsi Szchuan,
dengan Cing shia dan Go bi sudah tak jauh lagi, bila dapat menikmati
pemandangan alam, sesungguhnya hal itupun merupakan suatu
kegembiraan manusia yang tak bisa dibayar dengan uang berapa
banyakpun !"
Bau ji hanya tertawa belaka, dia tidak turut memberikan komentar
apa-apa.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Sun Tiong lo, segera
sahutnya:
"Benar, ada kalanya Thian bisa memberi bantuan yang besar bagi orang
yang tidak berniat, hayo berangkat, mumpung hari masih pagi mari kita
berangkat sekarang juga, mula-mula menengok ke Wu lalu mencari
Siu."
"Ya, Cingshia merupakan bukit yang memedihkan hati di dunia ini.
Indah bukit Gobi merupakan bukit yang paiing indah di kolong langit.
Jangan dilihat berbicara soal usia maka kecuali Nona Kim maka usia Sun
Tiong lo paling muda, tapi bila sudah menghadapi persoalan entah
persoalan apa saja, asalkan Sun Tiong lo telah berbicara maka delapan
sampai sembilan puluh persen keputusan segera diambil.
Begitulah, keputusan setelah diambil berangkatlah mereka menuju ke
bukit Cing shia lebih dulu.
-ooo0dw0ooo- GUI SAM TONG mencemplak kudanya dengan
kencang menuju
ke kota Seng tok di propinsi Szuchuan. Dia sudah tahu kalau manusia
berkerudung putih itu masih saja
menguntil dibelakangnya bagaikan sukma gentayangan saja. Setelah itu
diapun menjadi paham apa sebab nya Wong Peng ci
mengusulkan agar perjalanan dilanjutkan dengan berpisah saja. Tentu
saja Gui Sam tong juga mengerti apa sebab Cu San poo
menyetujui usul tersebut. Kali ini dialah yang menyaru sebagai
pemegang lencana naga,
sedangkan Wong Peng ci dan Cu San poo tak lebih hanya mengiringi
belaka, bila perjalanan dilanjutkan dengan memisahkan
diri, otomatis manusia berkerudung putih itu akan menguntil dia
seorang.
Walaupun Cu San poo telah memahami maksud tujuan dari Wong Peng
ci ketika mengajukan usul tersebut akan tetapi berhubung dia bisa
menggunakan kesempatan tersebut untuk menghindarkan diri pula dari
pengejaran dan lolos dengan selamat, sudah barang tentu usul yang
sangat baik itu tidak ditolaknya mentah-mentah.
Mereka itu, sekarang tinggal dia seorang yang terjebak dalam keadaan
yang sangat berbahaya, cepat atau lambat kemungkinan besar dia
bakal di tangkap lawan.
Berpikir dari sini, teringat mula akan janji Wong peng ci untuk bersua
lagi dikota Si ciu, dia yakin seyakin yakinnya kalau apa yang diucapkan
orang she Wong itu cuma tipu muslihat belaka.
Tiba-tiba saja Gui Sam tong merasakan dirinya sangat menggelikan tapi
diapun segera merasakan dirinya merupakan seorang manusia yang
patut dikasihani.
Lencana naga tersebut sebetulnya sengaja dia persiapkan dimasa lalu
dengan maksud akan dipergunakan bila ia menghadapi ancaman bahaya
maut, sekarang lencana itu telah di pergunakan, tapi hal itu justru
membahayakan keselamatan jiwa sendiri, apakah hal ini tak
mengenaskan bila dipikirkan kembali ?
Dalam perjalanan yang ditempuh amat cepat, tanpa terasa Gui Sam
tong telah berhasil memahami banyak persoalan.
Setelah memahami persoalan persoalan tersebut, walaupun dia merasa
agak gemas dan benci terhadap Wong Peng-ci dan Cu San poo, tapi
nasi telah menjadi bubur, apa gunanya merasa gemas dan menyesal?
Oleh karena itu, jalan pemikirannya segera dialihkan kembali ke
masalah lain.
Kuda dilarikan kencang-kencang, sementara itu pikiran Gui Sam tong
pun berputar tak hentinya.
Pelbagai kemungkinan melintas satu persatu didalam benaknya,
diam-diam ia tertawa.
Sejak berjalan seorang diri keributan, ia menyadari kalau dirinya tertipu
sampai dia berhasil menemukan cara yang baik untuk mengatasi
masalah itu, kudanya dibiarkan berlarian terus tiada hentinya.
Menjelang malam tiba, sampailah dia disebuah kota kecil yang tak
seberapa besar.
Diapun mencari tempat penginapan turun dari kuda, membersihkan
badan, beristirahat dan bersantap.
Orang berkerudung putih itupun berbuat seperti dia, mencari
penginapan turun dari kuda, membersihkan badan, beristirahat dan
bersantap.
Rumah penginapannya sama, cuma saja Gui Sam tong tinggal di
halaman ruangan sebelah barat, sedangkan manusia berkerudung putih
itu tinggal di sebuah kamar yang kecil dibagian depan.
Setelah masuk ke halaman barat, minta air teh, arak dan nasi, Gui Sam
tong tak terasa muncul kembali.
Sedangkan manusia berkerudung putih memeriksa dahulu jalan mundur
di sekitar rumah penginapan itu, kemudian baru mencari kamar.
Rumah penginapan itu tidak mempunyai pintu belakang, manusia
berkerudung putih tidak kuatir Gui Sam-tong melarikan diri dengan
meninggalkan kudanya, atau paling tidak hal ini akan dilakukan bila
sudah lewat tengah malam nanti.
Sekarang, hari baru saja menjadi gelap, merasa tak perlu menguatirkan
hal itu, sebaliknya Gui Sam tong ketika itu juga dia menyusun
rencananya untuk berusaha meloloskan diri dari pengejaran lawan.
Dengan cepat dia selesai bersantap, kemudian memanggil si pelayan
untuk merundingkan persoalan ini.
Satu dua tahil emas murni sudah cukup membuat seorang pelayan
berganti nama marga, apalagi uang emas murni yang berada didalam
peti besi Gui Sam-tong rata-rata sebesar sepuluh tahil tiap kepingnya,
dengan sepuluh tahil uang emas sudah cukup membuat pelayan itu
untuk menganggap Gui Sam-tong sebagai bapaknya, tentu saja apa
yang diminta Gui Sam tong segera dipenuhi tanpa berpikir panjang.
Tak lama kemudian pelayan itu telah kembali, sementara manusia
berkerudung putih itu hendak menuju kebilik barat untuk melakukan
pemeriksaan tiba tiba dia mendengar Gui Sam tong sedang berteriak
keras:
"Pelayan, cepat siapkan kudaku !" Begitu mendengar kata
"menyiapkan kuda", manusia
berkerudung putih itupun meminta kepada pelayan untuk menyiapkan
kudanya pula.
Tapi kuda milik Gui Sam tong telah dipersiapkan lebih dulu, tahu- tahu
dia sudah melompat naik ke atas kuda dan melarikannya
kencang-kencang...
Walaupun kuda tersebut telah melakukan perjalanan seharian penuh,
kalau diperhitungkan waktu beristirahat dan makan rumput hanya
sebentar saja, namun lari kudanya sekarang ternyata masih tetap
tangguh dan perkasa.
Sementara itu kuda putih milik manusia berkerudung putih itupun telah
dipersiapkan pula.
Selesai membayar rekening, dia melompat naik ke atas kuda dan
melarikannya kencang-kencang.
Kuda putih itu boleh dibilang terhitung kuda pilihan yang jempolan, bila
dibandingkan dengan kuda milik Gui sam tong maka kehebatannya satu
kali lipat, sebab itu dia sama sekali tidak mempersoalkan apakah
kudanya lelah atau tidak.
Setelah melarikannya beberapa saat, dia telah berhasil menyaksikan kuda
dan manusia yang sedang bergerak cepat di depan sana.
Dalam waktu singkat belasan li sudah dilewatkan tanpa terasa.
Mendadak peristiwa yang sama sekali tak terduga telah
berlangsung, kuda putih yang ditungganginya itu mendadak meringkis
tiada hentinya.
Kemudian kuda itu berhenti berlari sekali pun dipecuti keras keras,
ternyata kuda itu tak mau melangkah maju barang selangkahpun.
Dalam pada itu orang yang berada di depannya lenyap tak berbekas
dibalik kegelapan sana.
Dalam keadaan seperti ini, manusia berkerudung putih itu segera
menduga, apa gerangan yang telah terjadi.
Cepat dia melompat turun dari kudanya dan memeriksa keempat kaki
kuda tersebut.
Begitu diperiksa, manusia berkerudung putih itu hampir saja semaput
saking gusarnya. Ternyata terdapat dua batang bambu tajam yang telah
menancap kedalam telapak kaki kuda tersebut.
Tak heran kalau kuda tersebut bisa lari cepat pada mulanya, tapi lama
kelamaan larinya makin pelan sebelum akhirnya sama sekali terhenti,
rupanya ada bambu yang telah menancap sampai begitu dalam,
Dengan perasaan mendongkol manusia berkerudung putih itu segera
mencabut keluar bambu tersebut, tapi kuda putihnya telah berubah
menjadi kuda pincang, jangankan suruh dia berlari kencang, sekalipun
dituntun balikpun jalannya pincang dan sempoyongan.
Dengan begitu manusia berkerudung putih tersebut tak bisa melanjutkan
perjalanan lagi, untuk kembali ke kota semula percuma, setelah berpikir
sebentar akhirnya dia meneruskan
perjalanannya kedepan dengan selangkah demi selangkah, puluhan li
kemudian ia baru sampai di kota kecil terdepan.
Kalau dia berjalan kedepan, maka mimpipun dia tak menyangka kalau
Gui Sam tong justru berjalan kearah yang berlawanan.
Bukan cuma melakukan perjalanan yang berlawanan saja, bahkan waktu
itu dia sudah berada dua puluh li lebih dari tempat semuIa.
Ternyata "Gui Sam tong" yang memancing kepergian si manusia
berkerudung putih untuk mengejarnya itu tak lain adalah hasil
penyaruan dari si pelayan.
Setelah pelayan itu mengenakan pakaian, sepatu dan menunggang kuda
milik Gui Sam tong, dia segera kabur meninggalkan rumah penginapan
itu dan melarikan kudanya cepat cepat menjauhi kota tersebut.
Sebelum bertindak, tak lupa secara diam diam ia membuat suatu
"kejutan" dengan mengerjai kuda milik manusia berkerudung putih itu.
Kemudian dikala manusia berkerudung putih itu melompat naik ke atas
kudanya untuk melakukan pengejaran, Gui Sam-tong dengan
mengenakan pakaian milik si pelayan dan menunggang kuda lain yang
telah dipersiapkan dengan tenangnya meninggalkan rumah penginapan
itu untuk menyelamatkan diri.
Perjalanan yang ditempuh Gui Sam tong adalah jalan kecil yang menuju
kearah berlawanan, tak heran kalau kabar beritanya segera terputus
dan lenyap tak berbekas.
Menanti si orang berkerudung putih itu berganti kuda di dusun terdepan
dan melanjutkan pengejarannya, dia menjadi bodoh.
Bagaikan uap yang naik ke angkasa saja, kabar berita Gui Sam- tong
lenyap tak berbekas.
Bagaimanapun si manusia berkerudung putih itu mencari berita, ternyata
tak seorang manusiapun yang melihat ada seorang manusia berbaju
emas melalui jalanan itu.
Berada dalam keadaan begini, dia lantas menyadari apa gerangan yang
telah terjadi, buru-buru dia mencemplak kudanya dan kembali ke rumah
penginapan semula.
Waktu itu, si pelayan telah pulang kembali, dia hafal dengan jalanan
disekitar situ, setelah berputar satu lingkaran dia telah balik kembali ke
rumah penginapan.
Kuda dan segala pakaian milik Gui Sam tong telah dilenyapkan jejaknya
oleh si pelayan atas petunjuk dari Gui Sam tong, dalam keadaan begitu
mana mungkin ia bisa menemukan jejaknya ?
Apalagi kuda telah disimpan ke tempat lain, pakaian telah dibakar dan
peti besi kosong ditanam kedalam tanah, bayangkan saja mana
mungkin benda-benda itu dapat ditemukan lagi?
Tak heran kalau manusia berkerudung putih itu sama sekali tidak
berhasil menemukan berita apa-apa, meski dia telah berusaha untuk
mengorek berita dari pelayan rumah penginapan itu.
Atas petunjuk dari Gui Sam tong, pelayan itu menjawab begini.
"Ooh, kedua orang teman tamu itu sudah sampai duluan disini,
merekapun berdiam dibilik sebelah barat." Setelah mendengar ucapan
tersebut, mau tak mau manusia
berbaju putih itu harus mempercayai juga. Ia tak menyangka bakal
mengalami nasib sial, ibaratnya "perahu
yang karam di pecomberan" rasa gemasnya benar-benar telah merasuk
sampai ketulang sumsum. Kalau hanya soal itu saja masih mendingan
yang lebih runyam lagi adalah ia begitu yakin dengan kemampuannya,
sehingga belum apa-apa dia telah mengirim kabar itu ketangan Lok hun
pay melalui burung merpati, sekarang bagaimanakah pertanggungan
jawabnya?
Sejelek-jeleknya menantu, akhirnya akan bersua juga dengan sang
mertua, bagaimana pun runyamnya keadaan akhirnya harus diatasi juga,
masih untung dia mempunyai tulang punggung, sehingga tidak akan
sampai terjadi peristiwa yang akan menimbulkan kerugian besar baginya.
-ooo0dw0ooo- SAMBIL menuding ke arah puncak tebing dikejauhan
sana, Sun
Tiong lo berkata: "Mirip tidak adik Kim?" "Yaa... mirip sekali, sungguh
aneh sekali!" kata nona Kim sambil
menghela napas. Sun Tiong lo tertawa. "Apakah ingin naik keatas?
Konon di atas tebing Kim pian gay
terdapat dewanya." "Seandainya benar benar ada dewanya, dan lagi
bersedia
membantumu apakah kau ingin naik kesitu?" tiba-tiba nona Kim
bertanya:
Tanpa berpikir panjang lagi Sun Tiong lo menggelengkan kepala.
"Tidak, aku tak ingin pergi!" "Kenapa tak ingin pergi?" nona Kim
tertawa manis, "apakah tak
pernah kau dengar, bila seorang bisa belajar ilmu gaib hingga tingkat ke
sembilan, maka dia bisa naik ke langit?"
Sun Tiong lo segera tertawa tergelak. "Haahh, .haaahh....haaahh..."
ucapan itu hanya merupakan suatu
sindiran terhadap orang yang kelewat kemaruk harta sehingga
mementingkan diri sendiri, masa kau bisa menganggapnya serius?"
Nona Kim segera mengerling sekejap kearahnya, kemudian ujarnya lebih
jauh:
"Aku tidak ambil peduli terhadap persoalan-persoalan semacam itu, aku
cuma ingin bertanya kepadamu, mau ikut ke situ atau tidak?"
"Selama dendam sakit hati belum terbalas, apa gunanya bertapa
menjadi dewa ?" kata Sun Tiong lo kemudian dengan wajah serius.
Nona Kim segera menundukkan kepalanya rendah-rendah, dia
terbungkam dalam seribu bahasa.
Mereka yang terlibat akan keblinger, mereka yang menonton akan lebih
jelas, tiba tiba Hou ji berkata:
"Nona aku berani menjamin bila Siau Liong berhasil menuntut balas,
dan bila nona mengajukan lagi pertanyaan yang sama, maka jawaban
yang diberikan olehnya pasti akan sangat mencocoki hati nona !"
Ucapan mana kontan saja membuat Sun Tiong lo menjadi memahami
sesuatu, dengan cepat dia menundukkan kepalanya.
Semuanya berjumlah empat orang yang berada di situ, diantara mereka
Houji paling jarang berbicara, tapi sekarang ada dua orang yang
sedang termenung.
Houji merasa tanggung jawab mereka sangat berat, maka sesudah
berhenti sejenak kembali sambungnya lebih jauh:
"Kalau ingin naik ke atas tebing Kimnian gay lebih baik baik besok pagi
saja, sekarang hari sudah malam, udara diatas pegunungan amat dingin,
berbicara sebenarnya, kita harus mencari tempat pemondokan lebih dulu,
seusai bersantap barulah melanjutkan perjalanan lagi"
Walaupun nona Kim berjiwa sempit, tapi dia tahu tadi Sun Tiong lo
masih belum memahami pertanyaannya dan tak bisa disalahkan.
Oleh karena itu, untuk memecahkan keheningan yang mencekam
tempat itu, katanya kepada Houji sambil tertawa:
"Kalau engkou Hou mah yang diurusi melulu makanan, memangnya kau
kuatir tak mendapat makanan ?"
"Omong cosong, kalau harimau berada di bukit terpencil mana dia
pernah kuatir kekurangan makanan ?" seru Hou ji sambil menirukan
gaya seekor harimau.
"Masa kau ingin makan orang ?" Nona Kim tertawa. Houji segera
tertawa terbahak-bahak. "Haaahh... haaahh... haaahh... haaah...
sekarang andaikata hadir
Lok hun pay di depan mata, masa kau hendak mencegah aku untuk
melahapnya?"
Nona Kim segera tertawa cekikikan, Sun-Tiong lo ikut tersenyum, cuma
Bau ji seorang yang tidak tertawa maupun bicara.
Hou ji memandang sekejap wajah Bau ji lalu katanya: "Toate,
menurut pendapatku kita akan mencari tempat
pemondokan dimana?" Setelah ditanya, mau tak mau Bau ji harus
menjawab: "Lebih baik mencari toan atau kuil..." "Jangan... jangan,
lebih baik kita mencari rumah penduduk biasa
saja,"seru Hou jie sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. Bau ji
berpaling dan memandang sekejap kearah Hou ji,
tanyanya: "Ada alasannya?" Hou ji mengangguk. "Tentu saja, kuil
pendeta atau tokoan cuma dihuni kaum
beragama saja, hidangan yang tersedia pun cuma sawi putih dan tahu,
padahal kalau harimau naik gunung, dia enggan makan sayur- sayuran,
masa sepanjang hidup aku mesti berpantang makanan berjiwa terus?
Hayo berangkat."
Begitu mengatakan berangkat, dia segera berjalan lebih dahulu di
paling depan.
Bukit Cing shia, bagi Hou ji boleh dibilang merupakan jalanan yang
sering kali dilewatinya dan hapal sekali."
Dulu, dia pernah mengikuti Ku Gwat cong berkunjung ke situ, bahkan
kunjungan itu berlangsung berulang-ulang.
Di bawah tebing Kim pian gay terdapat beberapa rumah pemburu,
diantara mereka hampir sebagian besar merupakan teman karib Ku
Gwat cong, tentu saja dengan Hou ji pun boleh dibilang kenalan lama.
Setelah membeloki tikungan bukit, lembah Cui kok telah berada didepan
mata, pemandangan alam disitu amat indah dan mempesonakan hati
setiap orang yang memandangnya.
Di situ berdiri tiga-lima buah rumah gubuk. diantaranya tumbuh
pepohonan cui pak yang tinggi dan lebat, betul-betul suatu tempat
tinggal yang menawan hati.
Ketika tiba didepan sebuah rumah yang berpagar bambu, Hou ji
berhenti secara mendadak.
Kemudian kepada rekan-rekannya dia berkata: "Majikan dari rumah
ini she Si, sudah berapa generasi berdiam
disini, menurut keterangan dari guruku si pengemis tua, banyak- banyak
tahun berselang keluarga Si adalah suatu keluarga persilatan yang amat
termasyur."
"Mungkin disuatu saat telah terjadi peristiwa hingga akhirnya
mengundurkan diri dari keramaian dunia dan hidup mengasingkan diri
diatas bukit ini, Tak usah kuatir, kujamin kalian bakal mendapat
hidangan dan arak yang lezat, cuma kalau berbicara haraplah sedikit
berhati-hati."
"Apa yang harus diperhatikan ?" tanya nona Kim cepat. "Jangan
membicarakan soal budi dan dendam didalam dunia
persilatan." kata Hou-ji serius Nona Kim segera mengiakan. sedangkan
Sun Tiong lo serta Bau ji tidak mengatakan sepatah katapun.
Selamanya, Bau ji jarang berbicara, sedang Sun Tiong lo cukup
mengetahui keadaan, karena itu Hou ji merasa amat berlega hati.
Maka diapun mendekati pagar bambu dan mengetuk pelan, dia seperti
kuatir menganggu tuan rumah disitu.
Tak lama kemudian, muncul seorang kakek berambut putih yang
muncul dan balik rumah pelan-pelan dia berjalan ke depan dan
membukakan pintu pagar.
Houji segera menjura kearah kakek berambut putih itu sembari berkata:
"Aku datang dari rimba bambu merah, dulu pernah mengikuti guruku
Ku..."
Belum habis dia berkata, kakek berambut putih itu sudah menuding ke
ruangan dalam, kemudian membalikkan badan dan masuk kembali
kedalam ruangan.
HOU-JI memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian:
"Begitu tuan rumahnya, begitu pula pelayannya, masa untuk
mendehem saja seperti enggan." Sun Tiong lo hanya tersenyum belaka,
sedang kan Bau-ji sama
sekali tidak memperlihatkan perubahan apa apa. Hanya nona Kim yang
berkerut kening, dalam perjalanan
perdananya dalam dunia persilatan, dia menjumpai banyak peristiwa
yang dirasakan amat menarik hati, tapi banyak pula yang dianggapnya
sebagai suatu peristiwa yang membingungkan hati.
Dalam pada itu Hou-ji telah berjalan masuk ke dalam ruangan rumah
gubuk itu.
Sun Tiong lo segera membalikkan badan dan merapatkan kembali pintu
pagar bambu.
Kali ini Hou ji tidak mengetuk pintu, dia mendorong pintu depan dan
pintu itu segera terbuka.
Walaupun pintunya sudah terbuka, namun didalam ruangan tidak
nampak sesosok bayangan manusia pun.
Hou ji berhenti diatas undak-undakan batu, kemudian serunya kearah
dalam ruangan:
"Apakah Si loya-cu berada di dalam ?" Tiada orang yang menyahut.
Hou-ji segera memperkeras suaranya dan berteriak sekali lagi.
Namun, belum juga kedengaran suara jawaban. Hou-ji berpikir
sebentar, kemudian dia pun berjalan masuk ke
dalam ruangan. Baru masuk kedalam ruangan, mendadak ia seperti
mengendus
suatu bau khas yang sangat aneh, bau tersebut seperti amat tak sedap.
Biasanya kaum wanita memang berdaya pencium lebih tajam, begitu
melangkah ke dalam ruangan, nona Kim segera menutupi hidung dan
mulutnya dengan sapu tangan, keningnya segera berkerut dan
wajahnya menunjukkan perasaan muak.
Bau-ji masih saja berdiri dengan wajah sedingin es, dia membungkam
dan tak mengucap kan sepatah katapun.
Sun Tiong lo segera berkerut kening, dia maju ke ruangan sebelah kiri
dan menyingkap horden yang menutupi pintu itu.
Begitu horden disingkap, bau busuk yang berhembus keluar kembali
serasa menusuk hidung.
Tapi ruangan itu kosong melompong tak nampak sesosok bayangan
manusia pun.
Hou ji segera berlarian menuju ke ruangan sebelah kanan, ternyata di
dalam ruangan sebelah kanan pun tak nampak sesosok bayangan
manusia pun, Hou ji segera mencoba untuk menghirup udara, ternyata
bau busuk itu paling ringan dari sebelah kanan.
Dengan cepat Sun Tiong lo berbisik kepada Hou ji: "Cepat pergi ke
belakang untuk melakukan pemeriksaan berhatihatilah..."
Hou ji mengangguk, dia segera berjalan ke luar dari ruangan
menuju ke belakang, sambil berjalan diam-diam hawa murninya
dihimpun untuk bersiap siaga menjaga segala kemungkinan yang tak di
inginkan.
Aneh, ternyata dihalaman belakang pun tak nampak sesosok bayangan
manusiapun.
"Aaah, ada yang kurang bores!" demikian ia berpikir setelah
memandang sekejap suasana dihalaman belakang.
Orang yang lain tak usah dibicarakan, yang pasti kakek berambut putih
itu baru saja menuju kehalaman belakang padahal dihalaman belakang
sana selain dapur tidak nampak bangunan rumah yang lain, kemana
perginya si kakek berambut putih itu?
Sementara itu Sun Tiong lo dan nona Kim serta Bau ji telah menuju
kehalaman belakang sana menyaksikan kejadian itu, dia merasa tak
habis mengerti sehingga untuk sesaat agak tertegun.
Nona Kim memeriksa sebentar sekitar tempat itu, kemudian sambil
menuding bangunan dapur dihalaman belakang katanya:
"Coba kita periksa keadaan didalam sana!" Hou ji mengangguk dengan
langkah lebar ia berjalan menuju kearah dapur.
Sun Tiong lo sekalian segera mengikuti dari belakangnya. Di dalam
dapur pun tidak nampak sesosok bayangan manusia
pun, tetapi kukusan di atas tungku mungepulkan hawa panas, sekilas
pandangan di ketahui kalau dalam kukusan itu sedang menanak atau
memasak suatu makanan.
Sambil menggelengkan kepalanya Hou ji segera berkata kepada Sun
Tiong lo:
"Mungkin Si Lo ya cu tidak berada dirumah sedangkan si kakek
berambut putih itu hanya kebetulan saja memasuki ruangan, lalu ada
urusan dan keluar lewat pintu depan, cuma kita tak sempat melihatnya
saja.
"Mustahil" kata Sun Tiong lo dengan wajah serius, "depan pintu sudah
aku tutup, tak akan mungkin ada orang yang keluar!"
"Oooh... lantas kakek tua itu..." "Sewaktu enghou Hou dan suhu
datang kemarin pernahkah kau
melihat kakek itu?" kembali Sun Tiong lo menukas. Hou ji segera
menggelengkan kepalanya berulang kali. "Belum pernah ku jumpai."
"Kalau begitu, pasti ada persoalan yang tak beres dibalik
peristiwa ini" dengan cepat Sun Tiong lo berseru. Sementara
pembicaraan berlangsung, Sun Tiong lo telah berjalan
kesisi kukusan tersebut dan membuka penutupnya. Bau ji hanya berdiri
diluar dapur tak masuk, Nona Kim berdiri
disamping Sun Tiong lo, tapi begitu penutup kukusan itu terbuka,
kebetulan penutup itu menutupi pandangan mata Nona Kim.
Sebab itu si nona segera bertanya: "Apakah ada makanan yang
enak?" Sambil berkata gadis itu siap mengintip kedalam kukusan.
Siapa tahu dengan cepat Sun Tiong lo telah menutup kembali
penutup kukusan itu sambil berseru: "Aaaah....isinya bukan makanan
yang enak!" Hou ji kebetulan berdiri disamping tunggul sewaktu Sun
Tiong lo
membuka penutup kukusan tersebut, ia dapat melihat dengan jelas isi
kukusan itu, paras mukanya kontan berubah hebat, seperti tersambar
geledek disiang hari bolong, paras mukanya kontan saia berubah hebat.
Nona Kim menjadi curiga setelah melihat hal itu, mendadak dia
menyambar penutup ku kusan tersebut dan menyingkapnya.
Sun Tiong lo menjadi kaget, sewaktu hendak menghalangi perbuatan
itu, sayang keadaan ter lambat, dia segera tahu keadaan bakal runyam.
Betul juga... nona Kim segera menjerit lengking, penutup kukusan
tersebut segera di buang ke atas tanah.
Sementara paras mukanya berubah menjadi pucat pias seperti mayat,
kemudian roboh tak sadarkan diri ke atas tanah.
Untung saja Sun Tiong lo berdiri disampingnya, buru-baru dia
menyambar tubuh gadis itu dan membopongnya keluar dari dalam
dapur.
Teriakan aneh itu kontan saja membuat Bau ji yang selama ini jarang
berbicara turut masuk ke dalam dapur dan melongok ke dalam kukusan
itu, apa yang kemudian terlihat kontan membuat paras mukanya
berubah hebat.
Sementara itu, Sun Tiong lo telah membangunkan nona Kim
memayangnya untuk duduk diatas sebuah kursi, wajahnya amat serius
dan keren, kepada Hou ji dia bertanya:
"Apakah tuan rumah?" Setelah menutup kembali kukusan tersebut,
Hou ji ikut Sun Tiong
lo melangkah keluar dari ruangan dapur, ketika mendengar perkataan itu
segera sahutnya:
"Dia adalah tuan rumah dari rumah ini!" Sambil menggeretakan gigi
Sun Tiong lo segera berkata: "Engkoh Hou dan toako melindungi adik
Kim aku akan pergi
untuk melihat keadaan!" "Aku juga ikut!" kata Bau ji dengan kening
berkerut: "Jangan" cegah Sun Tiong lo sambil menghaIangi jalan
perginya,
"biasanya menyerang persilatan yang membunuh orang
dengan
cara yang keji semacam ini adalah manusia-manusia dari golongan
sesat yang tak bisa diampuni lagi dosanya, siaute harap toako dan
engkoh Hou bisa bersatu, jangan berpisah-pisah untuk menghindari
segala perubahan yang tidak diinginkan"
Bau ji tak membantah, pun tidak mengucap kan sepatah
katapun,sementara itu Hou ji telah berkata lagi:
"Kau tidak kenal dengan tuan rumah tempat ini, seandainya.." Belum
habis dia berkata, Sun Tionglo telah menukas dengan
cepat: "Berbicara menurut kenyataan, tuan rumah tempat ini hanya
bakal berakibat dua macam, satu sudah melarikan diri dan musuh
sedang mengejar dengan ketat, kedua adalah sudah di sekap dan
dipaksa untuk berbicara."
"Dari mana kau bisa tahu?" tukas Hou ji. "Bila antara pihak lawan
dengan tuan rumah tempat ini tidak
menurut dendam yang kelewat dalam atau ingin mencari semacam
barang? atau mengetahui suatu persoalan, tak mungkin dia bisa
mempergunakan cara yang begini keji untuk menyiksa putra dari tuan
rumah!"
Hou ji berpikir sebentar, lalu berkara: "Perkataanmu memang benar
juga, tapi urusan dalam dunia
persilatan..." Untuk kedua kalinya Sun Tiong lo menukas: "Yang
dimaksudkan sebagai dua kemungkinan kalau dibicarakan
sesungguhnya hanya satu, yaitu tuan rumah tempat ini mungkin sudah
mendapatkan peringatan atau kabar berita, sehingga saat ini dia sudah
berada disuatu tempat yang aman!"
Bau ji memandang saudaranya sekejap, ke mudian ikut berkata:
"Benar!" Setelah berhenti sejak, sambungnya lebih jauh.
"Tapi kau tidak kenal paras muka tuan rumah yang sebenarnya, hal
ini...."
Sun Tiong lo segera lersenyum. rToako, putra tuan rumah telah
terbunuh, diapun mati dalam
keadaan yang begini menge naskan, bila dia tak tahu, saat inipun tak
akan muncul, bila tahu, tapi belum juga munculkan diri untuk membalas
dendam, mungkin sekali pun kau pergunakan cara apapun jangan harap
bisa memancingnya keluar..."
"Benar" seru Hou ji sambil bertepuk tangan "kalau begitu pergilah tapi
harus segera kembali kemari."
Sun Tiong lo mengiakan, dia membalikkan badan dan berlalu dari situ...
"Tunggu sebentar, kita pergi bersama-sama saja!" tiba tiba Nona Kim
menukas.
Sun Tiong lo segera berkerut kening, "Adik Kim, kau baru saja dibikin
terkejut"
"Yaa... kejadian itu memang kelewat mendadak dan sama sekali diluar
dugaan" kata Nona Kim setelah mengerling sekejap ke arah si anak
muda itu.
"Tapi sekarang, adik Kim sudah tidak ketakuan lagi bukan?" kata sang
pemuda tertawa. Nona Kim menundukkan kepalanya, "Kalau dibiarkan
tinggal disini, aku malah merasa semakin tidak tenang.."
"Betul, tempat ini memang suatu tempat yang baik" timbrung Hou ji
pula, "sudah sepantasnya kita mencari tempat yang lain"
Sun Tiong lo segera tersenyum, "Engkoh Hou, apakah kau masih ingin
makan daging?"
Cepat Hou ji menggelengkan kepalanya berulang kali. "Setelah
melihat makhluk dalam sangkar, selanjutnya aku malah
tidak tertarik untuk makan daging!"
"Baiklah" ucap Sun Tiong lo setelah memandang sekejap sekeliling
tempat itu, "mari kita mencari tempat yang lain saja, aku enggan
mencampuri begitu banyak pcrsoalan!"
Nona Kim dan Houji menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu,"
mereka memandang ke arah Sun Tiong lo sambil bersiap-siap membuka
suara.
Buru buru Sun Tiong lo memberi tanda kepada mereka, dua orang itu
mengerti maksudnya dan tidak berbicara lagi.
Bau ji seperti lagi memikirkan sesuatu, dia tidak bertanya, juga tidak
memperdulikan perkataan dari Sun Tiong lo.
Begitulah, ke empat orang itu segera berangkat meninggalkan tempat
itu untuk mencari tempat pemondokan lain.
Sekeliling keluarga Si tidak nampak rumah penduduk lain, mereka harus
berjalan setengah tombak jauhnya sebelum menjumpai tetangga
terdekat, mereka berempat pun segera berjalan mendekati.
Hou ji maju kedepan dan mengetuk piutu, dari dalam kedengaran orang
menyahut.
Rumah orang itu tidak terbuat dari gubuk dengan pagar bambu,
melainkan dinding batu dan rumah kayu.
Begitu pintu dibuka, seorang lelaki kekar segera menampakkan diri dari
balik ruangan.
Lelaki itu hidup sebagai seorang pemburu, dan nampaknya memang
cocok sekali dengan perawakan tubuhnya.
Hou ji segera menjura kepada lelaki kekar itu, kemudian ujarnya.
"Kami berempat begitu kesemsem dengan pemandangan alam
dibukit Cing shia sehingga lupa membawa rangsum dan air, kini kami
sudah tersesat di tengah bukit Cing shia, mau maju tak bisa, mau
mundurpun tak dapat..."
"Kalian hendak mencari tempat pondokan?" lelaki itu menukas
langsung.
Hou ji segera tertawa. "Benar, benar, bilamana mungkin kami
memang berharap untuk
mencari tempat pondokan" Tiba-tiba lelaki kekar itu menarik muka
sambil berseru: "Maaf..." Begitu selesai berkata... "Blammm!" dia
menutup kembali pintu
rumahnya rapat-rapat. Hou ji menjadi amat tertegun, diapun merasa
amat mendongkol
sebetulnya dia bermaksud untuk mengetuk pintu lagi. Sun Tiong lo yang
berada disampingnya segera menghibur: "Sudah, sudahlah, kebanyakan
rakyat disekitar tempat ini
memang kekurangan makanan, untuk mengisi perut sendiri saja sudah
sukar, apalagi menjamu orang lain, engkoh Hou coba kau lihat,
dikejauhan sana nampak ada dinding merah, bukankah tempat itu lebih
cocok untuk pemondokan?"
Sembari berkata, dia lantas memberi tanda kepada Hou ji. Hou ji
mengerti maksudnya, tapi dia berlagak sangat mendongkol
kembali omelnya: "Huuh... kita toh minta secara baik-baik, bersedia
atau tidak
terserah dia, tapi caranya tidak begitu kasar seperti memandang hina
orang saja.... moga moga suatu hari diapun mengalami nasib yang
sama seperti apa yang kualami sekarang ini!"
Selesai berkata mereka lantas meninggalkan rumah itu dan berangkat
menuju kedinding merah yang nampak dikejauhan tersebut.
Setelah mereka pergi jauh, pintu gerbang rumah itu dibuka untuk
kedua kalinya.
Ada sepasang mata yang mengintip keluar dan mengawasi bayang
punggung orang-orang itu sampai lama kemudian ia baru menutup
kembali pintu rumahnya.
-ooo0dw0ooo- "BAGAlMANA, semuanya telah beres?" "Tak usah
kuatir loya cu, tak bakal salah!" Orang yang bertanya adalah sikakek
tua berambut putih yang
pernah munculkan diri di gedung rumah milik keluarga si tadi.
Sedangkan yang menjawab adalah lelaki kekar yang menutup
piatu sambil mengucapkan kata Maaf tadi, tempatnya tak lain adalah
rumah kayu berdinding batu itu.
Kakek berambut putih itu sudah tidak menunjukkan gerak gerik
ketuaannya lagi, diantara kerdipan matanya tampak cahaya tajam
memancarkan keluar, sedangkan lelaki kekar itu pun bukan seorang
pemburu, gerak-geriknya enteng dan cekatan, jelas memiliki kepandaian
silat yang luar biasa.
Kakek itu berdiri luar pintu rumah sambil memandang sekejap sekeliling
tempat itu, kemudian ujarnya:
"Aku selalu beranggapan kalau keempat orang ini sangat mencurigakan
sekali"
Waktu itu, lelaki kekar tadi sedang mendorong pintu berjalan keluar,
segera sahutnya:
"Loya cu, mengapa kau mesti banyak curiga, bocah keparat yang
bernama engkoh Hou bukankah pernah bilang datang dari Ci tiok lim?
Padahal hutan bambu merah adalah..."
"Hutan bambu merah adalah markas besarnya kaum pengemis, masa
aku tidak tahu?" tukas sikakek.
Lelaki kekar itu kembali tertawa.
"Betul, orang itu seharusnya memiliki sedikit kepandaian silat!" katanya
kemudian.
"Hmm, kentut busuk, pernahkah kau menyaksikan ada anggota Kay
pang yang berbadan seperti itu?"
Agak tertegun lelaki kekar itu, lalu sahutnya: "Hmm, betul .. memang
tidak mirip!"
"Apalagi kecuali Ban tieng gan, dari perkumpulau lain tak pernah ada
pengemis perempuan, apalagi keempat muda mudi itu gagah dan
perkasa, mereka amat mencurigakan sekali, benar-benar amat
mencurigakan sekali!" kata kakek berambut putih itu lagi.
Lelaki kekar tadi berpikir sebentar, kemudian lebih lanjut. "Tapi
perempuan itu jatuh semaput setelah menyaksikan batok
kepala yang dikukus tadi." "Hm, itu kan karena kejadiannya diluar
dugaan" dengus si kakek,
"bagaimana coba bila kau yang menghadapi kejadian itu?" Si lelaki
kekar itu tidak berbicara lagi, ia hanya melirik sekejap
kearah kakek tersebut. Sungguh lihay tenaga dalam yang dimiliki kakek
berambut putih
itu, kembali dia mendengus dingin. "Hmm, tak usah melirik kepadaku
lagi, cepat pergi menyambut
orang...!" Lelaki kekar iiu mengiakan, "Tapi Loya cu... sekarang masih
pagi...." "Aaah... kau tahu apa?" tukas si kakek sambit membentak,
"kalau
aku menyuruh kau pergi, lebih baik pergi saja dengan cepat, kalau
sampai terlambat dan orang sudah datang lebih duluan, bisa berabe
jadinya, cepat pergi dan pulang sebelum kentongan ketiga, aku harus
berganti dandanan lagi !"
"Baik" lelaki kekar itn tertawa cekikikan, "sebelum tengah malam,
tanggung aku dan ji-siok sudah pulang kemari !"
"Ehmm, bawa serta garpu pemburu itu, buli-buli arak dan sepanjang
jalan jangan menunjukkan sikap yang berlebihan, bila berjumpa dengan
orang yang mencurigakan, jangan lupa kalau kau adalah seorang
pemburu, tanggung kau bisa mengelabuhi dia untuk sementara."
Kembali lelaki kekar itu mengiakan, dia segera kembali ke dalam kamar
dan sewaktu ke luar benar benar membawa garpu pemburu dan
buli-buli arak, kemudian sambil membuka pintu dan melangkah pergi,
dia membawakan lagu gunung dengan lantang.
Dengan cepat kakek berambut putih itu menutup pintu kamarnya lagi
dan masuk kedalam sementara itu kentongan pertama sudah tiba,
langit sangat gelap, sampai lama kemudian kakek berambut putih itu
baru memasang lampu penerangan.
Waktu itu, Sun Tiong lo sekalian tidak mencari tempat pemondokan di
dalam kuil tersebut.
Mereka hanya berpesiar dalam kuil itu kemudian berangkat
meninggalkan tempat itu.
Ketika kentongan pertama tiba, mereka sudah sampai kembali
dirumahnya keluarga Si dengan berjalan memutar.
Tindakan tersebut pada hakekatnya sama sekali diluar dugaan siapa
saja...
Nona Kim telah berganti dengan pakaian ringkas dan menggembol
pedang, ia tak dapat melupakan kejadian yang dialaminya dalam dapur
siang harinya tadi, oleh karena itu dia selalu menghindari dapur dengan
memilih berjaga di halaman depan.
Bau ji dan Hou ji berada dihalaman belakang, satu disudut sebelah kiri,
yang lain dibalik dinding sebelah kanan.
Sun Tiong lo duduk seorang diri di ruangan tengah, menutup pintu dan
menunggu orang datang.
Kentongan kedua sudah lewat, suasana di empat penjuru sekeliling
tempat itu masih sepi.
Menjelang kentongan ketiga, suasaaa masih tetap sunyi senyap tak
kedengaran sedikit suarapun.
Sewaktu berunding tentang tugas mereka pada malam ini, kecuali Sun
Tiong lo yang bersikeras mengatakan kalau malam nanti pasti ada orang
datang, tiga orang lainnya tidak setuju dengan cara penantian semacam
ini."
Tapi Sun Tiong lo memiliki alasan yang cukup kuat, diapun mempunyai
alasan untuk menyelidiki persoalan itu sampai jelas sehingga tidak
menyia-nyiakan perjalanan mereka kali ini, karenanya mereka pun
akhirnya datang juga kesitu.
Nona Kim yang bersembunyi disudut dinding halaman muka sudah tidak
sabar lagi menanti, baru dia akan bergerak, mendadak dari sisi
telinganya berkumandang suara bisikan dari Sun Tiong lo yang
disampaikan dengan ilmu menyampaikan suara:
"Ada orang datang, adik Kim, cepat ke belakang dan beri kabar kepada
toako!"
Nona Kim tidak berpikir panjang lagi, diam-diam ia menyelinap ke
belakang halaman.
Padahal, Sun Tiong lo bisa memberi kabar kepada nona Kim, sudah
barang tentu diapun dapat memberi kabar kepada Hau-ji dan Bau ji,
mengapa pula dia mesti menyuruh nona Kim pergi kebelakang?
Alasannya dia tak ingin nona Kim menghadapi musuh paling dulu.
Baru saja nona Kim menyampaikan kabar ke belakang, tiga sosok
bayangan manusia telah melompat masuk ke halaman tengah.
Salah seorang diantaranya melompat naik ke atas atap rumah dan
memeriksa sekeliling tempat itu.
Sayang sekali tindakannya kelewat lambat, waktu itu nona Kim, Hou-jt
dan Bau ji telah menyembunyikan diri disuatu sudut tempat
kegelapan, gerombolan hitam tidak mirip manusia, bukan bunga pun
tidak mirip semak belukar.
Oleh sebab itu setelah memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, orang
tadi melayang turun kembali ke halaman tengah dan bergabung dengan
dua orang lainnya.
Tiga orang itu tidak menuju ke halaman belakang, juge tidak masuk
kedalam ruangan, mereka hanya duduk-duduk di undak- undakan batu
di halaman depan, suatu kejadian yang aneh sekali.
Setelah duduk, salah seorang diantaranya baru berkata: "Yu toako,
menurut dugaanmu apakah Si lo ji bakal pulang pada
malam ini ?" Yu toako termenung sebentar, kemudian mengangguk.
"Ehm, tak salah lagi Chin jite, konon hidup di rumahnya Him loji
cukup bahagia." "Oh, nampaknya Him loji pun turut datang" Yu toako
segera tertawa terkekeh-kekeh. "Tentu saja, tanpa Him loji, apakah Si
loji dapat menemukan
pembunuh sebenarnya dimasa lalu !" "Ooh, kalau begitu, anjing cilik
dari keluarga Si sudah kau
bereskan hidupnya ?" seru Chin jite terkekeh-kekeh. Yu toako pun
tertawa terkekeh kekeh juga. "Siapa suruh mereka mencari kematian
buat diri sendiri, kalau
bukan lantaran dia, mana mungkin Si loji bisa tahu kalau Him loji
tinggaI di bukit Go bi ? iapun mustahil akan pergi mencari Him loji
untuk melihat surat lama tersebut !"
"Apakah toako tidak berhasil merampas surat itu ?" "Hm, hampir
semua bilik dan ruangan ini telah kubongkar,
namun tidak kutemukan bayangannya!" seru Yu toako gemas.
"Sepantasnya kau siksa anjing cilik dari keluarga Si itu agar mengaku !"
bisik Chin jite.
"Hah. binatang cilik ini jauh lebih atos tulangnya daripada si tua bangka
itu sendiri."
Chin jite tidak berbicara lagi, sebab waktu itu orang yang lain telah
berkata:
"Ji siok, kau tidak tahu, benda kecil itu luar biasa sekali, Toa nian dan Ji
nian telah mampus semua ditangannya, Siau Chin cu pun membawa
luka, itulah sebabnya loya cu menjadi naik pitam sehingga..."
Belum habis dia berkata, mendadak Yu toako berbisik lirih: "Ssar,
jangan keras-keras ada orang datang, mari kita segera
mengundurkan diri ke dalam ruangan." Sambil berkata ketiga sosok
bayangan hitam itu sudah
mengundurkan diri ke dalam ruangan, Sewaktu masuk mereka hanya
berpikir untuk cepat-cepat menutup pintu, lalu mengintip lewat celah
celah pintu dan jendela, mereka sama sekali tidak melihat akan Sun
Tiong lo yang duduk di kursi besar ditengah ruangan tersebut.
Saat itulah terdengar angin berhembus lewat dihadapan depan telah
bertambah dengan dua sosok bayangan manusia.
Mereka adalah dua orang kakek yang semuanya mengenakan jubah
panjang.
Salah seorang diantaranya terdengar berkata. "Hiante, pandai amat
kau mencari tempat yang begini baik, bukit
Cing shia memang jauh lebih indah daripada bukit Gobi!" Tak usah
dibilang lagi, kakek yang disebut sebagai hiante itu
adalah tuan rumah tempat itu Si Bong-im.
Sambil tertawa Si Bong-im menjawab: "Aah, rumah gubuk pagar
bambu, mana bisa dibandingkan dengan rumah gedung yang di tempati
toako ?"
Sang toako, Him Bun jui adalah seorang jagoan lihay yang amat
termasyur namanya dalam dunia persilaian dimasa lalu.
Sambil tertawa kepada Si Bong-im, katanya waktu itu: "lh-heng
sudah terbiasa dimanjakan oleh anak cucuku, tidak
seperti hiante yang hidup senang ditempat yang terpencil seperti ini."
Si Bong im tertawa. "Toako harap tunggu sebentar, biar siaute
memasang lampu
lebih dulu sebelum masuk." "Hiante, bukankah kau pernah bilang jika
Phu ji ada di rumah ?"
kata Hioa Bun hui sambil mengulapkan tangannya. "Ah, bocah cilik tidak
biasa hidup di bukit, mungkin saja dia
sedang turun gunung." "Ooh... kalau tak ada orang yang menjaga
rumah, masa dia akan
tega meninggalkan rumah dengan begitu saja ?" Si Bong im segera
tertawa.
"Kebaikan dari orang yang berdiam di bukit adalah disini tiada
pencoleng dan perampok, sekalipun rumah ditinggalkan kosong juga
tak menjadi soal."
"Oooh, kalau begitu mari bersama-sama masuk kedalam ruangan." kata
Him Buo hui.
Dalam pada itu, tiga orang yang bersembunyi didalam ruangan telah
mengeluarkan sesuatu benda secara diam-diam.
Seorang berjalan kearah pintu, sedangkan dua orang lainnya berdiri
disisi kanan dan kiri pintu.
Benda yang berada ditangan mereka ditujukan kearah pintu ruangan,
tampaknya asal pintu tersebut dibuka orang, maka mereka
akan turun tangan bersama-sama untuk membunuh Si Bong im dan
Him Bun hui.
Dalam pada itu, dua orang kakek yang berada diluar ruangan telah
menaiki anak tangga sambil berbincang-bincang...
Mendadak dari dalam ruangan bergema suara bentakan nyaring.
"Saudara berdua, harap cepat mundur!" Begiru bentakan
tersebut diutarakan, dua orang kakek yang ada diluar, saking kagetnya
mereka sampai bergetar keras. Tiba-tiba Chin Jite membalikan badannya
sambil mengayunkan benda yang berada dalam genggamannya itu ke
arah orang yang memberi peringatan.
Tentu saja orang yang memberi peringatan itu adalah Sun Tiong Io...
Benda yang berada ditangan Chin Ji itu teramat bahaya, "Klik!" diiringi
suara nyaring menyemburlah segulung air kearah depan. Waktu itu,
bukan saja Sun Tiong lo sudah memperhitungkan jalan mundurnya
secara tepat, bahkan diapun ada maksud uituk mempergunakan senjata
lawan untuk melukai musuhnya itu.
Maka sewaktu air tadi menyembur keluar, Sun Tiong lo segera
mendengus dingin, kemudian mengayunkan telapak tangannya
melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
Berbicara soal tenaga dalam, kemampuan yang dimiliki orang ini
memang luar biasa sekali.
Mendadak pancuran air itu membalik ke belakang dan senjata makan
tuan, mengenaskan sekali keadaan dan Chin ji-te.
Bukan cuma Chin ji, termasuk juga pemuda yang berada ditengah
ruanganpun turut tersemprot air tersebut.
Terdengar kedua orang itu menjerit lengking seperti babi yang
disembelih, sepasang tangan mereka memegangi wajah dan tubuh
masing-masing sambil berlarian keluar ruangan, kemudian roboh
tergeletak di atas tanah.
Yu lotoa cukup licik, menggunakan kesempatan itu dia menyelinap
kesamping dan menyembunyikan diri ke tempat kegelapan disebelah kiri
ruangan...
Baru saja dia hendak menyingkap tirai untuk kabur ke dalam, Sun
Tionglo telah meng ayunkan jari tangannya menotok jalan darahnya,
lalu setelah menyandarkan tubuh Yu lotoa disisi pintu, pelan pelan dia
melangkah keluar dari ruangan.
Sementara itu Hou ji, Bau ji dan nona Kim juga sudah memburu
kedalam ruangan setelah mendengar suara kegaduhan disana.
Hou ji kenal dengan Si Bong im juga kenal dengan Hou ji, dalam
beberapa patah kata saja semua persoalan telah dibuat jelas.
Setelah menyulut lampu dan memeriksa akan orang yang terluka di
halaman tengah, nona Kim baru menjerit kaget.
Di halaman tengah sudah tak ada orangnya lagi, yang masih tersisa
cuma separuh badan bagian bawah dari kedua orang itu.
Semua orang melangkah masuk kedalam ruangan dan menyulut lampu,
pertam-atama Sun Tiong lo merampas tabung hitam sepanjang berapa
depa itu dari tangan Yu lotoa lalu secara berhati- hati sekali
meletakkannya di tempat kejauhan.
Setelah itu dia baru mambalikkan badan Yu Iotoa sehingga semua orang
dapat melihat jelas paras mukanya.
Sun Tiong lo manggut-manggut, ternyata dugaannya tak salah, Yu lotoa
memang si kakek berambut putih yang pernah dijumpai di rumah
keluarga Si kemarin, kemudian setelah membukakan pintu lenyap tak
berbekas.
Rupanya orang ini selain kenal dengan Him Sun bui dan Si Bong im,
bahkan merekapun bersahabat karib.
Si Bong im memandang sekejap ke arah Him Sun hui, kemudian
katanya:
"Aaaah, dia... dia adalah..."
"Hiante, tak usah dilihat lagi" kata Him Bun hui seperti memahami akan
sesuatu, "kalau begitu surat palsu yang kita terima tahun dulu adalah
hasil perbuatannya, tak heran kalau ia pergi tanpa pamit sewaktu tinggal
dibukit Go bi tempo hari!"
Si Bong-im menghela napas panjang, "Aaaai... toako, sewaktu kita
bertiga masih berkelana didalam dunia persilatan, setiap orang
menghormati kita sebagai Sam gi (tiga setia kawan), mimpipun tak
disangka, losam... dia... dia..."
Him Bun-hui memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, lalu kepada Si
Bong im katanya: "Hiante, persoalan lain dibicarakan nanti saja, malam
ini, seandainya tak ada dua orang sahabat muda ini, mungkin kita
berdua sudah tewas pada saat ini."
Merah padam selembar wajah Si Bong im setelah mendengar perkataan
itu, buru-buru dia menjura kepada Sun Tiong lo sambil berkata:
"Lohu sudah berusia lanjut, kali ini harus menerima budi pertolongan
pula darimu, aku kuatir budi kebaikan ini..."
Dengan amat hormat Sun Tiong lo menjura. kemudian tukasnya:
"Boanpwe bertindak demikian bukan dikarenakan cianpwe, aku
hanya berbuat apa yang harus kuperbuat saja!" Dengan hormat Si Bong
im mempersilahkan ke empat orang
tamunya untuk masuk, setelah duduk dia berkata lagi: "Sauhiap
berilmu silat sangat lihay, dapat kah kau bebaskan jalan
darah Yu Wi sau agar kami bisa mengajukan beberapa pertanyaan
kepadanya?"
Sun Tionglo tertawa, dia segera menyentilkan jari tangannya
membebaskan jalan darah Yu Wi-san yang tertotok, katanya kemudian:
”Orang ini licik dan berhati buas, kini boanpwe telah membebaskan jalan
darah bisunya, bila ada persoalan boleh kau
ajukan, tapi untuk menjaga agar ia tidak berbuat licik, lebih baik kita
jangan membiarkan dia sembarangan bergerak dulu"
Si Bong-im dan Him Bun hui saling berpandangan sekejap, wajahnya
menunjukkan rasa kaget bercampur tercengang.
Menyusul kemudian. Si Bong im berkata kepada Yu Wi san: "Lo sam,
apa yang hendak kau ucapkan sekarang?" Ketika Yu Wi san
mendengar Si Bong im masih memanggilnya
sebagai Losam, ia nampak agak tertegun, tapi setelah mendengar jelas
kalau apa yang di dengar tak keliru, dia menghela napas panjang dan
memejamkan matanya rapat-rapat.
Him Bun hui yang berada disampingnya segera membentak dengan
penuh kegusaran:
"Yu Wi-san, kesetiaan kawan kita bertiga dimasa lampau sempat
membuat orang cemburu, siapa yang tidak kagum dan siapa yang tidak
iri dengan kita ? Tapi kau... aai. sebetulnya aku dan jite telah melakukan
perbuatan apa yang menyalahi dirimu sehingga kau turun tangan sekeji
itu kepada kami ?"
Yu Wi-san tak dapat bergerak, namun mulut hidung dan matanya masih
bisa digunakan dengan leluasa, tapi nampaknya dia merasa amat
menyesal, sehingga apa yang dilakukan hanya memejamkan matanya
belaka tanpa membantah atau bersuara.
Si Bong im turut menghela napas panjang. "Losam," katanya pula.
"walaupun kau bersikap demikian terhadap diriku dan Him toako,
namun aku masih tetap mengingat hubungan persahabatan kita dimasa
Ialu, aku bersedia melepaskan kau pergi dari sini, cuma..."
Belum habis dia berkata, nona Kim telah menukas, "Tidak bisa, orang
ini harus mati !" Begitu ucapan tersebut diutarakan, Him Bun hui dan Si
Bong ini menjadi tertegun.
Si Bong im memandangi sekejap ke arah nona Kim, lalu tanyanya
sambil tersenyum.
"Nona, apakah sam hiante ku ini telah berbuat kesalahan kepada
nona?"
Cepat nona Kim menggeleng. "Tidak, pada hakekatnya aku tidak
kenal dengan orang ini." "Kalau begitu lohu ingin memohonkan
ampun baginya." Siapa tahu belum habis ia berkata, sekali lagi nona
Kim
menggelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya:
-ooo0dw0ooo-
Jilid 27
"TIDAK BISA, DIA HARUS MATI !" Makin lama Si Bong-im dan Him
Bun bui dibikin kebingungan
sampai berdiri bodoh, belum sempat berbicara, nona Kim sudah
menyambung lebih jauh:
"Si tayhiap, coba kau periksalah sendiri ke dapur.,. " "Adik Kim, tutup
mulut!" buru buru Sun Tiohg lo berseru. Nona Kim segera
menghentikan pembicaraannya yang belum
selesai, tapi perasaan uring-uringan masih membekas diatas wajahnya.
Si Bong im dan Him Bun hui adalah dua orang manusia berpengalaman,
mereka segera berpandangan sekejap, lalu beranjak menuju ke ruangan
belakang...
Terpaksa Sun Tiong lo harus merentangkan tangannya untuk
menghalang kepergian mereka, serunya:
"Cianpwe berdua, harap berhenti dulu!" Mendengar ucapan itu, Him
Bun bui dan Si Bong im sama-sama menghentikan langkahnya sambil
menengok ke arah Sun Tiong lo.
Sun Tiong lo segera menghembuskan napas panjang, kepada Si Bong
im katanya:
"Boanpwe belum pernah bertemu dengan putramu, tapi Hou suheng
kenal dengan putramu itu."
"Betul" tukas Si Bong im sambil manggut-manggut, "hou hiap memang
pernah mengikuti Ku ciangbunjin datang kemari, dia memang kenal
dengan putraku..."
Berbicara sampai disitu mendadak ia berhenti seperti menyadari akan
sesuatu dia melirik sekejap kearah Hou ji, kemudian ujarnya lagi:
"Jangan-jangan putraku sudah tertimpa musibah?" Saat itu Him Bun
hui juga menyadari akan kemungkinan
tersebut, tanpa terasa dia melotot ke wajah Yu Wi san dengan penuh
kegusaran.
Sun Tiong lo tak dapat tidak menjawab, terpaksa katanya: "Berkat
petunjuk dari Hou hong boanpwe..."
Ketika Him Bun bui melihat Sun Tiong lo sukar berbicara, kemudian
dilihatnya Hou ji yang hendak berbicara selalu mengurungkan niatnya, ia
sadar apa yang telah terjadi.
Dengan cepat dihampirinya Yu Wi san, kemudian bentaknya
keras-keras:
"Yu losam, katakan saja dengan sepatah kata, bagaimana dengan putra
lo ji?"
Yu Wi san memandang sekejap kearah Him Bnn hui dan Si Bong im, lalu
sahutnya setelah menghela nafas rendah: "Siaute tahu salah!"
Dari ucapan mana dapat disimpulkan Si Phu benar benar telah tewas
ditangannya.
Paras muka Si Bong im berubah sangat hebat, tubuhnya mundur
dengan sempoyongan hampir saja dia roboh keatas tanah.
Buru-buru Hou ji membimbing bangun Si Bong im dan mendudukkannya
diatas kursi, sedangkan Him Bun hui merasa agak
marah sekali, dia tak tahan dan segera mengayunkan tangannya
memerseni Yu Wi san dengan sebuah tempelengan...
Melihat itu Si Bong im menggelengkan kepalanya berulang kali dan
memberi tanda kepada Him Bun bui agar jangan turun tangan lagi.
Kemudian sambil tertawa getir dia menengok ke arah Yu Wi san, lama
kemudian, dengan air mata bercucuran ia berkata:
"Losam, mengapa kau berbuat demikian ? Mengapa? " "Selain itu,
mengapa pula kau menulis surat palsu dimasa silam
sehingga merusak kebahagiaan hidup Si jite, dimana selain tidak
dimaklumi oleh rekan-rekannya, dia pun terdesak untuk menyepi di
bukit Cing shia, katakanlah mengapa?" sambung Him Bun hui.
Yu Wi sen menangis tersedu-sedu, katanya, "Siaute tahu salah, siaute
tahu salah, sekali melangkah akibatnya menyesal sepanjang masa,
waktu itu aku tak boleh menganggap Tin kun mencintaiku sehingga aku
menulis surat palsu itu, sekarang gara-gara ingin merampas kembali
surat palsu itu, akupun telah salah membunuh keponakan Phu, aku...
aku tahu salah"
"Losam, tahukah kau bahwa Phu ji bukan anak kandungku?" kata Si
Bong im dengan sedih, "dia adalah darah daging Tin kun, kau... kau
kau memang pantas mati!"
Betapa terkejutnya Yu Wi san sesudah mendengar perkataan itu,
segera teriaknya:
"Apa? Kau bilang apa?" "Si Phu bukan putra kandungku, dia adalah
darah daging Tin
kun, ketika Tin kun sedang sakit dan tak sadarkan diri, ia telah diperkosa
orang, akibatnya lahirlah bocah itu. Seandainya bukan lantaran peristiwa
yang memedihkan hati itu, dengan sepucuk surat palsumu, jangan
harap Tin kun dapat pergi tanpa pamit justru karena aku seorang yang
mengetahui persoalannya, maka dia meninggalkan surat memohon
kepadaku untuk baik baik merawat Phu ji, kini..."
Belum habis dia berkata, tiba-tiba Yu Wi san menjerit sedih, kemudian
serunya sambil meraung keras:
"Ooob Thian! Ooh Thian! Kau terlalu berat menjatuhkan hukumun
kepadaku, terlampau berat! Aku... aku.... aku telah membunuh putraku
dengan tanganku sendiri, aku..."
Dl tengah isak tangisnya yang meraung meraung itu, mendadak ia
berseru kepada Sun-Tiong lo:
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Dari pembicaraan yang berlangsung
barusan Sun Tiong lo sudah
dapat menduga garis besar duduknya persoalan, dia lantas turun
tangan membebaskan Yu Wi san dari pengaruh totok.
Yu Wi sau tidak berkata apa-apa lagi, dia pun tidak berjalan lewat pintu,
melainkan menumbukkan seluruh badannya kedinding belakang.
"Blaaamm!" diiringi suara keras, dinding belakang kena ditumbuk oleh
Yu Wi san sehingga muncul sebuah lubang besar.
Yu Wi san langsung menerjang kedalam dapur, Si Bong im dan Him Ban
hui yang sebenarnya ingin turut menengok kebelakang kena dihadang
oleh Sun Tiong lo, kata pemuda itu dengan wajah serius:
"Saudara berdua, biarkanlah dia pergi!" Dengan air mata bercucuran
Si Bong im berkata: "Walaupun Phu
ji bukan dilahirkan olehku tapi..." "Cianpwe. dapatkah kau menahan rasa
sedihmu sambil
menantikan perkembangan selanjutnya?" tukas Sun Tiong lo. Si Bong im
tidak berbicara, dia hanya menghentikan langkahnya. Dalam pada itu,
Yu Wi san telah mengambil batok kepala
manusia tadi dari dalam kukusan dan sambil sebentar tertawa, sebentar
menangis, tanpa menggubris orang lain lagi, dia lari keluar dan melesat
kedepan dengan kecepatan luar biasa.
Him Bun hui dan Si Bong im berniat untuk mengejar, tapi segera
dihadang kembali oleh Sun Tiong lo dan Hou ji.
Setelah semua orang masuk kembali kedalam ruangan dan saling
memberi hormat lagi, baru duduk persoalan itu dibicarakan.
Seperti apa yang diduga Sun Tiong lo. ketiga orang sahabat karib itu
mempunyai seorang teman perempuan yang bernama Tin kun, kala itu
sigadis pun merupakan seorang perempuan yang amat tenar.
Sebetulnya Tin kun mencintai Si Bong im, namun tanpa sepengetahuan
gadis itu, secara diam-diam Yu Wi san pun jatuh hati padanya.
Suatu hari, Tin kun jatuh sakit, waktu itu Him Bun hui dan si Bong im
tidak mendampinginya, Yu Wi san yang mendapat tahu kejadian tersebut
segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mencampuri obat
yang hendak diberikan kepada gadis itu dengan obat perangsang.
Dalam keadaan tak sadar, Tin kun telah digagahi secara brutal oleh Yu
wi san.
Setelah sembuh dari sakit, Tin kun masih tetap melakukan perjalanan
dalam dunia persilatan ia sama sekali tidak menyadari jika kesuciannya
telah digagahi orang, pertama karena setelah kejadian ia tidak
merasakan perubahan apa-apa, kedua dalam sakitnya dia pun tak
sampai menduga ke situ...
Ditambah pula meski waktu itu kaum wanita yang berkelana dalam
dunia persilatan terhitung amat bebas, namun masalah kehormatan
seorang gadis tetap merupakan rahasia pribadi, karena itu walaupun
pada bulan selanjutnya ia merasakan perubahan pada dirinya, si nona
manis belum menyadari duduknya persoalan.
Yu wi san sendiri meski berbuat agak keji didalam tindakannya, padahal
diapun berbuat demikian karena perasaan cintanya yang kelewat
mendalam, dia berharap nasi bisa dibikin jadi bubur lebih dulu,
kemudian karena terlanjur si nona bersedia kawin dengannya.
Siapa tahu Tin kun tidak menyadari akan musibah yang menimpa dirinya,
sedangkan Yu wi san pun tak berani mengakui perbuatannya sesudah
kejadian, maka hal itu pun menjadi sebuah teka-teki besar.
Tiga bulan setelah musibah yang menimpa Tin kun, Si Bong im berhasil
menemukan perubahan dalam tubuh gadis itu.
Si Bong im yang amat menaruh hati terhadap gadis pujaannya ini, tentu
saja merasa bersedih hati setelah kejadian tersebut, namun ia sama
sekali tidak mempunyai niat memandang rendah gadis tersebut, malah
dengan suatu kata rahasia dia memberi kisikan kepada Tin
bahwasannya dia telah kejangkitan penyakit aneh.
Si Bong im memang tak tahu kejadian yang sebenarnya, dia mengira
Tin kun mempunyai kesulitan sendiri yang malu dikatakan, menanti
penyakitnya di periksa tabib dan mendapat tahu jika dia sedang
berbadan dua, gadis itu baru malu bercampur sedih.
Tin kun segera bertekad hendak menghabisi nyawa sendiri untuk
membuktikau kebersihan sendiri, sampai detik itulah Si Bong im baru
tahu kalau Tin kun benar-benar tidak mengetahui akan kejadian
tersebut, meninjau dari hal ini dia lantas berkesimpulan kalau gadis itu
telah dinodai orang sewaktu jatuh sakit dulu.
Tapi nasi telah menjadi bubur, apalagi Si Bong im sudah amat
mencintai gadis itu, karena kuatir ia bunuh diri, maka dengan tulus hati
dia meminang kepadanya untuk menjadi isterinya.
Tin kun amat terharu oleh kebenaran cinta orang, akhirnya pinangan
tersebut diterima.
Setelah berunding, akhirnya mereka minta ke pada Him Bun-hui untuk
menikahkan mereka berdua. Dalam keadaan demikian, sebetulnya Yu Wi
san ingin menjelaskan yang sebenarnya, sayang ia tidak menemukan
kesempatan baik, hingga rasa sedih itu cuma disimpan dalam hati.
Waktu itu, Yu Wi-san pun belum tahu kalau Tin kun telah berbadan dua,
dia telah menyesal Si Bong im telah merampas cintanya.
Sesudah perkawinan sepasang suami isteri ini tidur berpisah karena
waktu itu kandungan Tin kun telah mencapai usia lima bulan, mereka
berencana setelah melahirkan nanti, mereka baru hidup sebagai suami
isteri yang sebenarnya.
Empat bulan kemudian, Tin kun melahirkan seorang putera yang
dinamakan Phu, dan sejak itu pula suami isteri berdua biiru tidur
seranjang.
Yu Wi san amat mendendam atas kejadian tersebut, untuk merusak
kehidupan berkeluarga rekannya, dia lantas mencatut nama Si Bong im
dan meniru tulisan rekannya itu untuk membuat surat palsu, kemudian
menggunakan kesempatan dikala Si Bong im sedang bepergian, dia
masukkan surat itu kedalam kantong senjata rahasia Tin kun dengan
harapan bila surat mana ditemukan, maka Tin kun akan pergi dengan
marah.
Siapa tahu setelah kawin, Tin kun be nar benar hidup sebagai seorang
isteri yang baik, ia sudah membuang jauh-jauh ingatan untuk berkelana
sehingga kantong senjata rahasianya tak pernah dijamah.
Peristiwa ini membuat Yu Wi-san amat gelisah. Malam itu Si Bong-im
pulang dengan aman keluarganya tetap
hidup dengan damai. Sampai keesokan harinya, ketika Tin-kun
menjemur pakaiannya,
dia baru menemukan surat tersebut, selesai membaca surat mana, pada
sorenya Tin kun pun meninggalkan surat dan minggat meninggalkan
suami dan putranya.
Sejak itu Tin kun lenyap dari dunia persilatan, meskipun Si Bong im
telah berkelana kemana-mana untuk mencarinya namun tidak berhasil
menemukan jejaknya, dalam keadaan putus asa, akhirnya dia pun
menetap di bukit Cing shia.
Untung saja ada Phu ji yang menemaninya sehingga meski hidup di
bukit namun mereka bisa hidup dengan penuh kedamaian.
Ketika Phu ji dewasa, ia mulai belajar silat kebetulan Him Bunhui pun
berhasil mendapatkan alamat mereka dan berkunjung kesitu, dalam
pengembaraan mana dapat diketahui kalau Yu Wi san sedang bertemu
di Go Bi-san ketika tahun itu Si Bong-im mengundurkan diri dari
keramaian dunia.
Dari pembicaraan itu juga Him Bun bui mendapat tahu semua peristiwa
yang telah menimpa rekannya.
Ketika surat palsu itu diperlihatkan Si Bong im kepada rekannya, Him
Bunhui segera mengenali tulisan itu sebagai tulisan Yu Wisan, sebab
dahulu mereka berdua sering berhubungan surat.
Tatkala Yu Wi san mendengar kalau rahasia kebrutalannya konangan, ia
menjadi panik secara diam-diam ia lantas menghubungi kawanan jagoan
lihay dari golongan hitam untuk melakukan pembantaian terhadap si Phu.
Siapa tahu orang yang dibunuhnya ternyata adalah putra kandungnya
sendiri.
Sekarang, walaupun persoalan telah jelas, namun Si Bong im merasa
amat sedih.
Sejak isterinya Tin kun hilang, dia tak pernah kawin lagi, kini dalam usia
tuanya harus kehilangan putranya pula, bisa dibayangkan betapa sepi
dan sedihnya dia.
Betul bukit Cing-shia sangat indah, namun tempat itu penuh kenangan
duka, Him Ban-bui harus membujuk setengah memaksa untuk mengajak
rekannya ini menetap di bukit Go- bi untuk sementara.
Begitulah, keesokan harinya merekapun berangkat meninggalkan bukit
Cing shia.
Sun Tiong lo serta Bau ji, Hou ji dan nona Kim pada dasarnya memang
bukan berniat pesiar, apalagi setelah peristiwa tersebut,
mereka semakin tak bernapsu lagi untuk berpesiar, maka mereka pun
merundingkan rencana selanjutnya.
-ooo0dw0ooo- KETIKA nona Kim sudah kembali kekamar untuk
beristirahat, Sun
Tiong lo, Hou ji dan Bau ji kembali memanggil pelayan agar
menyediakan sayur dan arak baru, kemudian diruang depan mereka
rundingkan persoalan tersebut.
Mereka sudah balik kembali ke kota Seng-tok, tinggal dirumah
penginapan paling besar dikota itu dan memborong seluruh halaman
belakang yang terdiri dari dua ruangan dengan lima kamar.
Ketika sayur dan arak dihidangkan hampir semuanya merupakan
hidangan lezat yang ternama.
Setelah pelayan mengundurkan diri, Sun Tiong lo yang banyak urusan
duduk termenung seorang diri, Bau ji pun sedang mumikirkan persoalan
sendiri.
Hou ji yang memandang sikap mereka segera berseru! "Cukup,
cukup, jangan berpikir yang bukan bukan lagi, mari kita
rundingkan bersama hen dak kemanakah kita pergi" "Ada satu hal,
sudah lama sekali kusimpan didalam hati," kata
Sun Tiong lo dengan kening berkerut. "Persoalan apa?" Hou ji menukas.
Dengan kening tetap berkerut Sun Tiong lo berkata: "Masih ingat kitab
kecil yang dihadiahkan suhu kepada kita
sebelum kita berpisah dulu?" "Tentu saja masih ingat" Sun Tiong lo
memandang sekejap kearah kakaknya, kemudian
katanya lebih lanjut: "Suhu pernah berkata" engkoh Hou, kau berasal
dari keluarga Sun!"
Hou ji menggut-manggut. "Betul, tapi sebelum aku berhasil
menemukan suatu bukti yang
nyata, aku lebih suka dipanggil Hou ji" Sun Tiong lo menghela napas
panjang. "Aaaaai... dalam kitab kecil itu pertama-tama dicantumkan
kata
yang berbunyi: Bila ingin mengetahui asal usul, harus melewati Bukit
pemakan manusia lebih dulu, akhirnya kita menuruti kitab tersebut dan
sudah memasuki Bukit pemakan manusia!"
"Namun kita gagal untuk mengetahui semua duduk persoalan yang
sebenarnya..." sambung Hou ji sambil menunduk.
Cepat Sun Tiong lo menggeleng. "Tak bisa dikatakan begitu, paling
tidak kita sudah mempunyai
sebuah gambaran kini..." "Gambaran? Gambaran apa?" "Asal-usul Mou
Tin hong yang sesungguhnya !" "Hmm, sembilan puluh persen keparat
tua itu adalah pemilik
lencana Lok hun pay!" sela Bau ji sambil mendengus. Suu Tiong lo
memandang sekejap ke arah Bau ji lalu katanya: "Mana buktinya? Di
dalam persoalan semacam ini, kita di tuntut
untuk menemukan bukti nya." Sekali lagi Bau ji mendengus, tapi ia
tidak berbicara apa-apa. Sun Tiong lo memandang sekejap lagi ke-arah
Bau ji, lalu baru
ujarnya kepada Hou ji: "Menurut catatan di dalam kitab tersebut,
setelah meninggalkan
Buktt pemakan manusia seharusnya kita menyebrangi sungai air merah
tetapi sekarang..."
"Aku belum lupa." tukas Hou ji, "Cuma dimanakah letaknya sungai Ang
sui hoo tersebut?"
"Ucapanmu memang betuI" Sun Tiong lo manggut-manggut,
"sepanjang perjalanan, aku telah memperhatikan tempat sekeliling sini
dengan seksama, tapi belum pernah ada orang yang mendengar nama
Ang sui hoo tersebut, setiap sungai atau telaga yang kita seberangi,
tiada yg cocok namanya dengan nama tersebut"
Seperti lagi menggumam Hou ji berkata lirih: "perkampungan keluarga
Mo sih sudah ditemukan letaknya di bawah kaki bukit Wu- san. tapi
perkampungan itu sudah berubah menjadi puing-puing yang berserakan,
jangankan manusia, setanpun tak kelihatan satupun, apalagi manusia
yang bernama Mo-kiau jiu!"
Sun Tiong lo menghembuskan nafas panjang, "Aaaai, tampaknya Sun
nio....." Belum habis dia berkata, Bau ji yang berada di sisinya telah
menimbrung secara tiba-tiba:
"Apakah tempat yang dinamakan Ang sui hoo mesti sebuah sungai?"
Sun Tiong lo menjadi tertegun sesudah mendengar perkataan itu, Hou
ji turut termangu.
Menyusul kemudian Sun Tiong lo seperti menyadari akan sesuatu, dia
lantas berkata lagi: "Betul, ucapan toako memang tepat sekali, selama
ini kita selalu menganggap Ang Sui hoo sebagai sebuah sungai, tidak
heran kalau kita gagal menemukan tempat tersebut meski telah dicari
kesana kemari."
Walaupun Hou ji menganggap perkataan itu benar juga, tapi sepanjang
perjalanan, bukan cuma tiada sungai yang bernama demikian, sekalipun
tempat seperti itu pun belum pernah didengar.
Maka dia menggelengkan kepalanya, dan berkata: "Mungkin saja
nama tersebut adalah nama sebuah tempat,
tetapi..." "Aku mengerti dengan maksud hati engkoh Hou." tukas Sun
Tiong lo, "cuma sepanjang perjalanan kemari, kita pun tak pernah
mendengar nama tempat yang mempergunakan nama Ang Sui hoo,
padahal kita telah salah jalan..."
"Salah jalan? Aku rasa tidak!" Hou ji seperti tidak mengerti. Sun
Tiong lo tertawa. "Sejak meninggalkan bukit Pemakan manusia kita
sudah salah
jalan, kalau ditinjau dari tulisan "kemudian menyeberangi Ang-sui hoo"
yang dicantumkan dalam halaman ke dua kitab tersebut, dapat ditarik
kesimpulan kalau jarak Ang sui hoo dengan Bukit pemakan manusia
sebetulnya tidak terlampau jauh..?
Tiba-tiba Hou ji seperti berhasil menemukan penyakit dibalik ucapan
tersebut, sambil mengulapkan tangannya dia berseru:
"Tunggu sebentar, menurut catatan dalam kitab tersebut, Ang sui hoo
yang dicantumkan sudah pasti adalah sebuah sungai!"
"Darimana kau bisa tahu?" Hou ji tidak merasa puas. "Bukankah
dalam kitab tersebut tercantum jelas kata yang
berbunyi demikian: "Kemudian menyeberangi Ang sui hoo?" kalau toh
dipergunakan kata "menyeberangi" dus berarti tempat itu adalah sebuah
sungai, ini menurut pandanganku"
Bau ji tidak melanjutkan kata katanya, sedangkan Sun Tiong lo juga tak
dapat membantah perkataan dari Hou ji tersebut.
Maka Hou ji pun berkata lebih lanjut: "Apa yang dikatakan Siau liong
juga masuk diakal, setelah kami meninggalkan Bukit pemakan manusia,
yang kita perhatikan waktu itu hanya berusaha melindungi keselamatan
Beng lo cengcu sambil secara diam-diam memancing kemunculan
Lencana Lok hun pay, tak heran kalau kita salah jalan.Justru karena
salah jalan, maka kita tak melewati sungai Ang sui ho tersebut pasti tak
jauh letaknya dari Bukit pemakan manusia!"
"Kalau begitu kita harus balik lagi?" tanya Bau ji dengan suara dingin
dan hambar.
Sun Tiong lo termenung dan berpikir sebentar kemudian sahutnya:
"Tidak perlu, bagaimanapun juga kita toh sudah mengadakan janji satu
tahun dengan Moo Tin hong untuk kembali sekali tiap tahun, sekarang
kita laksanakan tempat lain dahulu, yakni berkunjung ke bukit Go bi
san!"
Setelah keputusan diambil, merekapun kembali ke kamar sendiri untuk
beristirahat
-ooo0dw0ooo- DALAM sebuah rumah penduduk, selisih satu jalan
dari rumah
penginapan yang didiami Sun Tiong lo sekalian, ditengah malam buta
tersebut telah kedatangan seorang tamu tak di kenal.
Orang itu berbaju putih berkerudung putih, dia tak lain adalah manusia
berbaju putih yang kena ditipu oleh Gui Sam tong.
Dia tidak mengetuk pintu, melainkan langsung melayang masuk ke
dalam...
Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, empat bilah pedang segera
mengancam berapa inci diatas tubuhnya dan muka belakang kiri dan
kanan, ancaman tersebut berasal dari empat manusia berbaju putih,
dandanan maupun pakaian yang dipakai persis seperti apa yang
dikenakan.
Ia tidak buka suara, tapi pelan-pelan melepaskan pedang yang
digembolnya dan diletakkan ke atas lantai.
Pada saat itulah dari dalam ruangan terdengar seseorang menegur
dengan suara lantang. "Siapa di situ ?"
"Hamba, Gin ih lak yu ( enam sobat berbaju perak)!" jawab orang itu
dengan hormat.
Suara orang dalam ruangan itu agak emosi:
"Masuk, sisanya segera mengundurkan diri."
Empat manusia berbaju putih berkerudung putih yang berada disitu
segera menarik kembali pedang mereka, lalu setelah saling berjabatan
tangan mereka baru membubarkan diri.
Dia pun membungkukkan badannya sambil memungut pedang, lalu
dengan langkah lebar menaiki anak tangga.
Diatas tangga, diluar ruang tengah, dia menggantungkan pedangnya,
kemudian pelan pelan melangkah masuk ke dalam.
Tempat itu merupakan sebuah ruangan yang amat istimewa, dilihat dari
luar, tempat itu sepantasnya merupakan sebuah rumah yang terdiri dari
dua ruangan, tapi setelah masuk baru ditemukan sebuah ruangan yang
sangat besar.
Ruang besar sebetulnya merupakan suatu yang biasa, mengapa bisa
dibilang istimewa ?
Setelah mendorong pintu ruangan dan meski dia sudah masuk ke
dalam ruangan, tapi boleh dibilang ia masih berada diluar ruangan
tersebut.
Kiranya dibalik pintu ruangan itu masih terdapat lagi pintu ruangan ke
dua...
Oleh karena itu ruangan yang dari luar nampaknya kecil, sesungguhnya
merupakan sebuah ruangan gedung yang besar, jadllah suatu "gedung
didalam gedung" yang sangat istimewa.
Sesudah melewati pintu pertama, belum lagi dua langkah, dia harus
memasuki lagi pintu kedua.
Diantara dua buah pintu tersebut, terbentang sebuah serambi panjang
didalam ruangan.
Berhubung serambi tersebut mempunyai dua jendela dan satu pintu
sebagai sumber datang nya sinar, maka suasana disitu terang
benderang, akan tetapi ruangan tengah yang sesungguhnya justeru
tertutup rapat sekali, tanpa daun jendela tanpa pintu.
Disamping itu, pintu pada lapisan keduapun tampaknya bukan terbuat
dari bahan kayu.
Waktu itu si manusia berkerudung putih tadi sedang berdiri ditengah
serambi didalam ruangan tersebut.
Baru saja dia berdiri tegak, pintu pertama di belakang tubuhnya telah
menutup sendiri secara otomatis berbareng itu juga pintu lapis an
kedua membuka dengan sendirinya kesam ping hingga muncul sebuah
liang pintu.
Dengan kepala tertunduk Manusia berkerudung putih itu berjalan
masuk ke dalam.
"Kraaakk . .. !" begitu dia melangkah masuk, pintu yang berada di
belakangnya kembali merapat dengan sendirinya.
Sampai sekarang, Manusia berkerudung putih itu belum mendongakkan
kepalanya atau menggerakkan tubuhnya, dari sini bisa disimpulkan selain
setia dan tunduk seratus persen terhadap majikannya, dia pun menaruh
perasaan takut.
Ia tak berani mendongakkan kepalanya, tentu saja tak tahu pula segala
sesuatu didalam ruangan tersebut, termasuk dekorasi, bentuk serta
manusia-manusia siapa saja yang hadir di situ.
Dalam keheningan itulah, terdengar seseorang berseru dengan suara
rendah dan berat:
"Tentunya kau belum menerima surat pemberitahuan lohu lewat
burung merpati bukan?"
"Hamba tak becus, kena ditipu mentah-mentah oleh penghianat karena
itu hamba tak menerima surat lewat burung merpati." sahut Manusia
berkerundung putih itu dengan hormat.
"Angkat kepalamu!" suara rendah dan berat itu memerintahkan.
Manusia berkerudung putih itu menerima perintah dan
mengangkat kepalanya, sekarang dia sudah dapat melihat sekeliling
tempat itu dengan amat jelas.
Ternyata ruangan tengah yang begitu lebar berada dalam keadaan
kosong melompong, boleh dibilang tiada perabot apapun yang berada
disitu.
Hanya pada bagian dekat dinding sana, terdapat sebuah meja baca
yang sangat antik.
Di atas meja, disudut kanan terletak sejilid kitab kuno, sedangkan di
sebelah kiri terletak alat menulis.
Di tengah ruangan duduk seseorang, orang itu duduk diatas sebuah
kasur lunak dan memakai baju berwarna keemasan.
Tentu saja orang itu adalah Manusia berkerudung berbaju emas, hanya
tidak nampak paras mukanya.
Selain itu, disana tiada tempat duduk yang lain, juga tidak nampak
orang lain.
Dalam ruangan tersebut, kecuali pintu otomatis yang dilewati manusia
berkerudung putih sewaktu masuk tadi, pada hakekatnya tidak terdapat
pintu lain, juga tidak kelihatan jendela.
Manusia berkerudung putih itu menengadah atau tidak menengadah
sesungguhnya tak jauh berbeda.
Sebab dia mengenakan kain kerudung muka, bahkan kain kerudung itu
terbuat dari bahan kaos yang dirajut dari atas kepala sampai leher dan
atas dada, pada hakekatnya mulut dan hidung orang itu sama sekali
tidak terlihat.
Manusia berbaju emas itu menyuruhnya mendongakkan kepala, mungkin
hal ini merupakan suatu kebiasaan belaka tanpa diembeli
maksud-maksud lainnya, sedang ia menuruti perintah dengan
mendongakkan kepalapun, hal ini merupakan suatu kebiasaan juga
Ketika manusia berkerudung berbaju emas itu menyuruhnya
mendongakkan kepalanya tadi, seperti ada suatu persoalan dia
mengiakan tapi justeru karena mendengar suara mana, ia malahan
merasakan hatinya jadi tenang sekali
Menyusul kemudian, manusia berbaju emas itu berkata dengan suara
dingin:
"Padahal setelah lohu menerima surat pemberitahuanmu tempo hari,
akupun tidak mengirim surat apa-apa lagi kepadamu, tentu saja kaupun
tak akan menerima surat pemberitahuan apa-apa lagi."
"Di kolong langit jarang sekali kujumpai manusia bodoh seperti kau,
orang lain tidak mengerti hal mana masuk diakal, tapi kau sebagai salah
seorang dari Gin ih lak yu (enam sahabat berbaju perak), masa
kebiasaan lohu seperti inipun tidak kau pahami ?"
Manusia berkerudung putih itu menundukkan kepalanya rendahrendah.
"Hamba mempunyai suatu keluhan" katanya. "Oh, kau pun
mempunyai keluhan ?" kata manusia berkerudung
berbaju emas itu sambil tertawa dingin. "bagus sekali, cepat katakan !"
"Lencana emas kepala naga Liong-tau kim-pay leng merupakan Kim leng
yang paling berkuasa milik majikan, walaupun hamba merasa agak
keheranan mengapa lencana yang paling tinggi itu bisa diserahkan
kepada utusan berbaju emas untuk melakukan perintah, namun hamba
tak berani membangkang peraturan apalagi mengajukan pertanyaan.
"Cuma, hambapun telah melakukan persiapan yang aman, bahkan
menulis surat lewat burung merpati untuk menceritakan hal ikhwal yang
sebenarnya, selain itu akupun melakukan penguntilan sepanjang jalan
terhadap jejak lawan, hamba hanya memohon majikan menyampaikan
petunjuk."
"Apakah kau menyalahkan lohu tidak menurunkan perintah, sehingga
kau mengalami kegagalan tersebut ?"
"Hamba tidak berani" manusia berkerudung putih itu menjawab dengan
sikap menghormat "tapi yang pasti pihak lawan telah memiliki lencana
Liong tau kim leng, hamba bisa berbuat apa lagi ?"
Manusia berkerudung emas itu termenung dan berpikir sebentar
kemudian bentaknya : "Sudah kau periksa lencana Liong tau kim leng
tersebut ?"
Berbicara dari kedudukan manusia berkerudung putih itu, tentu saja dia
tak berani memeriksa lencana naga Liong tau kim leng tersebut dari
tangan Gui Sam-tong, namun untuk mempertahankan kehidupannya,
terpaksa dia harus berbohong,
”Hamba tak berani memeriksa lencana naga tersebut, tapi
menggunakan kesempatan dikala lawan mengangkat tinggi tinggi
lencana naga itu, hamba dapat memperhatikannya dengan jelas sekali,
dan hampa jumpai lencana naga Liong tau kim pay tersebut adalah
lencana yang asli, lencana sesungguhnya !"
Manusia berkerudung emas itu mendengus gusar. "Hm, lencana
Liong leng semuanya hanya berjumlah tiga buah,
ambil dan perhatikan baik-baik !" Seraya berkata, manusia berkerudung
emas itu menggetarkan
lengan kanannya. "Traaang, traaacg, traaang !" diiringi suara nyaring,
tiga buah
lencana emas tahu-tahu sudah tergeletak tak jauh dimana manusia
berkerudung putih itu berdiri.
-ooo0dw0ooo- Mula pertama manusia berkerudung putih itu
mundur setengah
langkah lebih dulu dengan sikap hormat dari hadapan lencana emas
tersebut, kemudian baru maju dan membungkukkan badan untuk
mencabut keluar lencana emas itu lalu per satu, semuanya diperiksa
dengan seksama.
Setelah diamati sekian lama, ia baru maju kedepan dengan hormat, lalu
meletakkan ketiga buah lencana emas tadi keatas meja, kemudian
sesudah mundur beberapa langkah katanya:
"Hamba telah memeriksanya." "Sekarang, tentunya
kau sudah mengerti bukan?"
"Hamba tidak berani berbohong, lencana emas yang dibawa manusia
utusan berbaju emas persis seperti ketiga buah lencana emas kepala
naga milik majikan, termasuk pula gambaran dan ukir- ukirannya, tak
sedikitpun yang berbeda."
"Apa kau bilang? Coba ulangi sekali lagi!" teriak manusia berkerudung
emas itu sambil melompat bangun.
"Lencana emas yang diperlihatkan lawan kepada hamba, persis seperti
lencana milik majikan."
"Kau bilang termasuk ukiran dan besar kecilnya?" bentak Manusia
berkerudung emas itu keras-keras.
"Benar, hamba memang berkata demikian." "Tak bakal salah ?"
bentak Manusia berkerudung emas itu sambil
menatapnya lekat-lekat. "Yaa, tak bakal salah!" kembali manusia
berkerudung putih itu
menegaskan dengan suara datar. Manusia berkerudung emas itu segera
mendengus. "Hmmm, dari sembilan orang penggantiku, hanya tiga
orang
yang telah berhianat kepada lohu, mereka adalah Wongpengci, Gui
Sam tong dan Cu San poo !
"Sekarang lohu telah memperoleh kabar yang mengatakan bahwa ilmu
silat yang mereka miliki telah punah, mereka tak ubahnya seperti
manusia biasa, apalagi dicocokan dengan waktu yang kau cantumkan
dalam surat kilatmu, sesungguhnya ketika itu kepandaian silat mereka
telah punah tak berbekas."
"Dengan kepandaian serta ketajaman mata mu sekarang, nyatanya kau
sama sekali tidak mengetahui kalau tiga orang yang berdiri di
hadapanmu wakiu itu hanya tiga orang manusia biasa saja... Hmmm,
bagaimana penjelasannya tentang hal ini ?"
Manusia berkerudung putih itu menundukkan kepalanya rendahrendah,
tapi dengan amat cepat dia menjawab lagi:
"Harap majikan maklum, berada dalam keadaan seperti ini jangankan
hamba, sekalipun orang yang berkepandaian lebih tinggi dengan
ketajaman mata yang lebih hebat pun, jangan harap bisa
mengetahuinya !"
"Oooh... benarkah ada kejadian seperti ini?" seru manusia berkerudung
emas itu sambil menggebrak meja.
"Tentu saja, punah atau tidaknya tenaga dalam yang dimiliki seseorang
hanya bisa diketahui dari sorot mata sepasang keningnya, tapi mereka
semua mengenakan kain kerudung emas yang menutupi hampir seluruh
kepandaiannya..."
Tidak sampai orang itu menyelesaikan kata-katanya, manusia
berkerudung emas itu sudah membentak lebih dulu dengan suara
dalam:
"Tutup mulut, tak usah berbicara lagi !" Manusia berkerudung putih
itu benar-benar tidak berani banyak
berbicara lagi. Tiba-tiba manusia berkerudung emas itu menekan suatu
pojokan
dekat meja bajanya, sebuah pintu rahasia segera muncul disisi belakang
ruangan besar tersebut
Menyusul kemudian muncul seorang manusia berkerudung putih dari
balik pintu, setelah memberi hormat katanya:
"Hamba menanti perintah?" "Bagaimana dengan pekerjaan dari Mo
loji sekarang?" tanya
manusia berkerudung emas itu dengan suara dingin. "Belum selesai
seluruhnya!" Manusia berkerudung emas itu segera tertawa dingin.
"Kalau begitu gusur dia masuk kemari lebih dulu!" perintahnya. Manusia
berbaju putih itu mengiakan, dia lantas membalikkan
badan dan berjalan keluar dari situ.
Tak lama kemudian dia telah muncul kembali sambil membawa seorang
kakek yang nampaknya kurus dan amat lemah, kakek itu langsung
digusur ketengah ruangan.
Manusia berkerudung emas itu mengulapkan tangannya, manusia
berbaju putih yang menggusur kakek ceking tersebut segera
mengundurkan diri lagi dari situ.
Untuk kesekian kalinya, manusia berkerudung emas itu menekan meja
bacanya, pintu yang semula terbuka itu segera menutup kembali secara
otomatis.
Dalam pada itu, kakek kurus mendongakkan kepalanya dan memandang
sekejap ke arah manusia berbaju emas dan manusia berkerudung putih
itu dengan sorot matanya yang sayu tak bersinar, lalu mendengus dan
duduk di atas lantai.
Manusia berkerudung emas itu meninggalkan meja bukunya dan
berjalan kehadapan sikakek kemudian perintahnya.
"Berdiri!" Kakek kurus itu sama sekali tak menggubris, dia pun tidak
mengucapkan sepatah kata. Dengan geramnya manusia berkerudung itu
mengayunkan
tangannya ke atas siap melancarkan serangan. Tetapi kakek kurus itu
sama sekali tidak takut, dia malah
memandang tangan yang terangkat itu dengan sinis, setelah itu tertawa
terkekeh-kekeh dengan suara yang aneh dan sangat menggidik hati.
Aneh sekali, menghadapi sikap kakek kurus tersebut, manusia
berkerudung emas itu tiba-tiba menurunkan kembali tangannya.
"Lohu tak akan memberikan keuntungan seenak ini kepadamu, apalagi
membunuhmu dalam sekali pukulan!" katanya.
Dengan susah payah kakek kurus itu berhasil menghentikan gelak
tawanya, dia pun berkata lagi:
"Lohu mengerti, oleh karenanya lebih baik kau jangan menggunakan
permainan semacam itu kepadaku."
Manusia berkerudung emas itu menggertak giginya sampai berbunyi
keras, agaknya dia gemas sekali terhadap kakek tersebut.
Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali, kemudian
ujarnya sambil tertawa:
"Tidak ada gunanya berbuat garang seperti itu, gemas pun percuma,
kecuali jika kau mempunyai keberanian untuk membunuhku!"
Dengan gemasnya manusia berkerudung emas itu menghadiahkan sebuah
tempelengan keatas wajah kakek itu, bentaknya keras.
"Kau takut aku tak akan membunuhmu ?" Setelah berhenti sejenak,
kembali ujarnya: "Lohu mempunyai
persoalan ingin bertanya kepadamu, tapi sebelumnya kuperingatkan
kepadamu, lebih baik jawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya,
kalau tidak, jangan salahkan bila aku membuatmu mati tak bisa hidup
pun tak dapat."
Kakek kurus itu sama sekali tidak gentar atau takut dibuatnya, dia cuma
tertawa seram tiada hentinya.
Sepatah demi sepatah manusia berkerudung emas itu berkata lagi
penuh kewibawaan:
"Dalam perkumpulan lohu, semuanya terdapat empat macam lencana
emas, dan lencana tersebut hanya kau seorang yang bisa menempanya,
sekarang berbicaralah terus terang, kecuali bagi lohu. kau masih pernah
menempakan lencana emas semacam itu untuk siapa ?"
Kakek itu mengerdipkan matanya berulang kali, tapi tidak menjawab.
"Hayo bicara" bentak manusia berkerudung emas itu lagi penuh
kegusaran, "lebih baik jangan mencari kesulitan buat diri sendiri !"
"Jangan terburu napsu lebih dulu" kata kakek itu dengan amat
tenangnya, sedikitpun tidak panik, "terburu napsu pun tak ada gunanya,
sebab menghadapi persoalan seperti ini paling tidak kau mesti memberi
waktu kepada lohu untuk memikirkannya lebih dulu."
Manusia berkerudung emas itu mendengus dingin. "Hmmm, pernah
menempa atau tidak hanya kau seorang yang
mengerti, buat apa mesti banyak dipikirkan lagi ?" Tiba-tiba kakek tua
itu bertanya: "Ketika berada di jalan raya
Sam-siang, pernahkah kau membunuh seorang pemuda berbaju hijau ?"
Manusia berkerudung emas itu nampak tertegun, dia nampak
termenung sampai lama sekali tanpa menjawab pertanyaan itu.
Kakek itupun tidak bertanya lebih jauh, dia turut membungkam diri
dalam seribu bahasa.
Selang berapa saat kemudian, manusia berkerudung emas itu baru
berkata lagi.
"Peristiwa ini terjadi di tahun kapan?" Kakek tersebut segera tertawa
terkekeh "Masa perbuatan yang kau lakukan sendiripun masih harus
dipikirkan lagi, apakah kau juga lupa di tahun kapankah peristiwa
tersebut telah terjadi...?"
Seperti memahami akan sesuatu, dengan gemas manusia berkerudung
emas itu berseru: "Mo loji, kau janganlah berbuat keterlaluan!"
Mo loji segera tertawa terkekeh kekeh, "Kau sendiri yang terburu
napsu, masa memberi waktu buat lohu berpikir sejenak pun tidak nanti
menanti."
Manusia berkerudung emas itu berusaha keras untuk mengendalikan
kobaran hawa amarah dalam dadanya, ia berseru:
"Sekarang, apakah kau sudah teringat kembali?"
"Ehmm, sudah kuingat kembali!"
"Kau pernah menempa lencana semacam itu buat siapa?" buru- buru
manusia berkerudung emas itu bertanya.
Mo loji sama sekali tidak gugup, katanya: "Aku hanya pernah menempa
lencana emas itu saja."
Belum habis dia berkata, mendadak Manu sia berkerudung emas itu
mencengkeram tubuh Mo loji dan mengangkatnya ketengah udara-Mo
loji sama sekali tidak meronta, dia se olah-olah merasa bahwa hal
tersebut sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya.
Sambil menggoncang-goncangkan tubuh Mo loji, Manusia berkerudung
emas itu mambentak lagi:
"Kau berani membohongi aku? Aku..." "Jangan panik." tukas Mo loji,
"Coba beri tahu kepadaku apa
yang telah terjadi ?" "Ada orang menggunakan lencana emas kepala
naga Liong tau
kim pay yang sama menggunakan perintah terhadap anak buah kita !"
Kakek itu berlagak seperti terkejut, kemudian serunya, "Aah, masa
sudah terjadi peristiwa semacam ini ? Cepat, cepat, cepat lepaskan aku
bawa kemari lencana emas kepala naga yang palsu dan yang asli
kepadaku, akan kucoba untuk mengetahui perbuatan siapakah itu?"
"Huh, seandainya lencana yang palsu itu sudah berada ditanganku, buat
apa aku mesti bertanya kepada kau si tua bangka ?"
"Wah, wah, ucapan macam apaan itu ?" seru si kakek sambil
menggeleng berulang kali. "sudah tahu kalau lencana emas itu palsu,
bukan saja kalian masih bersedia menuruti perintah orang, bahkan
setelah itu sama sekali tidak mendapatkan buktinya, kalian memang
goblok semua ! Tak ada gunanya sama sekali."
Manusia adalah makluk aneh, mendengar ucapan tersebut, manusia
berbaju emas itu segera menurunkan kakek Mo dari cengkeramannya,
lalu berpaling kearah manusia berkerudung putih itu dan mendengus
dingin.
Manusia berkerudung putih itu menjadi ketakutan setengah mati,
buru-buru katanya kepada Mo loji:
"Bajingan tua, bila kau tak mengerti wibawa dari lencana emas itu, lebih
baik jangan sembarangan berbicara !"
Kakek Mo segera tertawa terkekeh-kekeh. "Heh, heh, heh, lencana
emas kepala naga itu hasil penempaan
lohu . masa lohu tak memahami kewibawaan lencana mana ?” Hmm!
itulah dia." sambung manusia berkerudung putih itu cepat,
"setelah kau ketahui kewibaan dari lencana emas itu, tentunya bisa kau
pahami pula betapa besarnya lencana mana, pihak yang menerima
perintah dari lencana itu apa berani membangkang perintah? Apakah
bisa minta lencana itu untuk dibuktikan keasliannya ? Mengapa kau
mengatakan tak becus. tak berguna segala-galanya...?"
"Betul-betul tak becus, betul-betul tak berguna." kembali Mo loji
bergumam.
Setelah berhenti sejenak, dia berpaling ke arah manusia berbaju emas
itu dan melanjutkan:
"Siapa yang menerima lencana emas itu ? Suruh dia kemari, aku
hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya !"
Ternyata manusia berkerudung putih itu bertindak cukup cerdik, tidak
menunggu manusia berbaju emas itu memberikan perintahnya, ia telah
menyahut:
"Akulah orang yang menerima perintah lewat lencana emas kepala naga
itu !"
Mo loji yang mendengar perkataan itu segera tertawa kepada manusia
berkerudung putih itu, namun tidak mengucapkan sepatah katapun.
Sebentar manusia berbaju emas itu menoleh kearah kakek itu, sebentar
lagi menengok ke arah anak buahnya, tanpa terasa dia bertanya.
"Mo loji, bukankah kau mengatakan ada beberapa pertanyaan akan kau
ajukan padanya?"
Mo loji menggelengkan kepalanya berulang kali. "Sudahlah, manusia
kalau sudah pernah bertemu pasti ada
perasaan, banyak bertanya malahan membangkitkan rasa sedih dihati
saja."
"Kami bukan teman, bila kau ada perkataan lebih baik tanyalah secara
langsung dihadapan majikan !" sahut manusia berkerudung putih.
Mo loji mengerling sekejap kearah manusia berkerudung putih itu, lalu
menegaskan.
"Sungguhkah perkataanmu itu?" "Siapa yang sedang senda gurau
denganmu?" sahut manusia
berkerudung putih itu sambil memperlihatkan ketegasannya. Setelah
berhenti sejenak, nada pembicaraannya berubah,
kembali dia berkata. "Cuma, seandainya kau tak berhasil membuktikan
ketidak ada
gunaanku. hati-hatilah!" "Hm, rupanya kau mengenal baik lencana
emas kepala naga itu?"
Mo-loji mendengus. "Selama ini aku selalu melindungi lencana naga itu,
aku pun
sudah beberapa kali melaksanakan tugas dari majikan atas perintah
lencana emas itu, sudah barang tentu lencana itu sangat kukenal!"
"Dan kau tidak melihat kalau lencana itu palsu?" Mo loji
tertawa.
"Pada dasarnya lencana emas itu memang tidak palsu!" "Ooooh...
dari mana kau tahu kalau lencana emas itu tidak
palsu...?" Di atas lencana emas itu terdapat ukiran naga diatas awan,
lima
cakarnya terpentang lebar, tebal tipisnya juga sama kepala naga dan
tanduk naga dipermukaan sebaliknya juga tak berbeda, tentu saja aku
tahu kalau lencana itu tidak palsu!"
"Sebelum kau si loji digusur kemari, semua persoalan telah aku laporkan
kepada majikan, aku berpendapat sudah pasti kaulah yang bermain
setan dimasa lalu, siapa tahu kalau kau pernah membuatkan lencana
emas kepala naga lagi kepada orang lain, hingga kini..."
"Cukup" kata Mo loji sambil mengulapkan tangannya, "aku mengatakan
kau tidak becus, kini kau berlagak Tie Pat kay berbicara soal senjata
ingin membungkamkan mulutku tetapi tak menjadi soal, pepatah bilang:
Emas murni tak takut di bakar.
"Sebenarnya aku ada niat menganggap kau sebagai sahabat dengan
mengurangi pembicaraan yang tak berguna dan melepaskan sebuah
jalan kehidupan bagimu, tetapi kalau toh kau sendiri yang kepingin
mampus, aku tak bisa berbuat lain kecuali bicara sejujurnya..."
Manusia berkerudung putih itu menjadi amat gelisah, cepat-cepat dia
berkata:
"Aku merasa tak pernah berbuat kesalahan, katakan saja apa yang
hendak kau utarakan!"
Tampaknya Mo loji dibikin naik darah, kepada manusia berkerudung
emas itu dia segera berseru:
"Anak buahmu ini telah berhianat..." Berbicara sampai disitu
mendadak kakek itu menghentikan
pembicaraannya.
Tentu saja manusia berbaju emas itu enggan berdiam diri, dia segera
mendesak lebih lanjut:
"Lanjutkan perkataanmu itu, lanjutkan perkataanmu itu!" Sewaktu
mendengar kata "Berhianat", manusia berkerudung
putih itu mau tak mau merasakan juga hatinya tercekat, dia menuding
Mo loji dan saking mendongkolnya sampai tak mampu mengucapkan
sepatah kata pun.
Lama kemudian ia baru berseru: "Loji.. . . liangsim .... liangsim mu
kau..." Dalam pada itu, manusia berkerudung emas itu telah
berpaling
kembali kearah Mo loji, kemudian ujarnya dengan lembut: "Mo loji,
katakan apa yang hendak kau ucapkan!" Dalam hati kecilnya Mo loji
merasa geli sekali, dia ingin tertawa
tergelak kalau bisa pikirnya: "Haaaahh... haaah... haaaahh... kau
keparat muda, pandai saat
merayu orang, Mo loji, Mo loji, tiada hentinya, kau anggap aku bakal
taruh dimana? Kau.,.kau jangan memfitnah orang seenaknya sendiri."
Mendadak manusia berbaju emas itu membalikkan badannya, lalu
bentaknya kepada manusia berkerudung putih itu:
"Tutup mulutmu Yu Seng, bila kau berani mengucapkan sepatah kata
lagi, hati-hati kalau kujatuhkan hukuman kepadamu sebagai seorang
penghianat...!"
Manusia berkerudung putih itu berdiri tertegun ditempat dia cukup
memahami peraturan dari majikannya, sekarang majikannya sudah
menyebut namanya secara langsung, itu berarti malaikat elmaut sudah
muncul dihadapan matanya, „aku bakal tertipu lagi seperti dulu? Hmm,
maaf! Tertipu hanya satu kali, locu tak bakal bersikap bodoh lagi!"
Pikir sih pikir. jawaban tetap harus diberikan maka Mo loji berlagak
murung, mula-mula dia menghela nafas lebih dulu, kemudian setelah
memandang wajah Manusia berbaju emas itu dengan pandangan
kasihan dan beriba hati ia baru menjawab:
"Tempo hari aku seperti pernah mendengar kau berkata, orang yang
mengenakan baju warna perak merupakan orang yang berkedudukan
paling tinggi dibawah perintahmu, ilmu silat, yang dimiliki juga paling
bagus, kau menyebut mereka sebagai Gin ih lak yu (enam sahabat
berbaju perak), bukankah begitu?"
"Betul!" sahut manusia berbaju emas itu. ”Tentunya mereka sudah
seringkali mempertaruhkan jiwa
raganya bagi kepentinganmu bukan?" kata Mo loji lagi sambil menghela
napas panjang.
Kembali manusia berbaju emas itu mengiakan tanpa banyak bicara lagi.
Mo Loji menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya kemudian:
"Menurut pendapatku lebih baik persoalan ini disudahi sampai disini saja
!"
"Tidak bisa !" seru manusia berkerudung emas itu cepat, tentu saja dia
enggan menyudahi masalah tersebut sampai disitu saja. "persoalan ini
harus dibikin jelas dan tuntas !"
Mo Loji memandang sekejap ke arah manusia berkerudung putih itu,
lalu berkata lagi:
"Sobat, jangan salahkan aku si orang tua, keadaan sekarang ibaratnya
anak panah yang sudah berada di atas busur, mau tak mau harus
dilepaskan juga."
Manusia berkerudung putih itu seperti hendak mengucapkan sesuatu,
tapi niat tersebut kemudian diurungkan, dia hanya mendengus dingin.
Kepada manusia berkerudung emas itu, Mo Loji berkata :
"Apakah dalam sakumu masih terdapat lencana emas kepala naga?"
Manusia berkerudung emas itu membalikkan badan menghampiri meja
baca, lalu menyerahkan ke tiga buah lencana emas kepala naga itu
kepada Mo loji...
Setelah menyambut lencana emas itu, Mo Loji segera bertanya kepada
manusia berkerudung putih itu.
"Kau bilang selama banyak tahun ini kau selalu mewakili majikan
melakukan banyak perintah dengan membawa lencana naga, karena
pekerjaan yang berulang-ulang maka kau menganggap lencana naga
tersebut sudah amat kau kenal baik?"
"Hmmm, buat apa kau mesti banyak bertanya?" sahut manusia
berkerudung putih itu mendongkol.
Mo Loji sama sekali tidak gusar, katanya lagi: "Dapatkah kau
menjawab pertanyaan yang kuajukan?" Berada dalam keadaan
seperti ini, tak mung kin bagi manusia
berkerudung putih itu untuk membungkam terus, sahutnya: "Benar,
aku memang sangat mengenal lencana naga itu" "Ehmm, barusan kau
bilang lencana emas yang kau saksikan itu
persis seperti ke tiga buah lencana emas yang berada dihadapanmu
sekarang, baik dalam soal ukiran naganya, ke lima cakarnya serta tebal
tipisnya, bukan begitu?"
" T e p a t s e k a l i " ma n u s i a b e r k e r u d u n g p u t i h i t u
ma n g g u t -ma n g g u t . Mo L o j i s e g e r a t e r t awa , i a
s e r a h k a n l e n c a n a ema s i t u k e p a d a
manusia berbaju emas lalu berkata: "Coba kau serahkan lagi ke tiga
buah lencana emas kepala naga
yang tulen itu kepadanya agar diperhatikan lebih seksama." Agak
tertegun manusia berkerudung emas itu setelah mendengar
ucapan tersebut, serunya tertahan:
"Apakan lencana emas itu masih ada..." Tidak sampai manusia
berbaju emas itu menyelesaikan katakatanya,
Mo Loji telah menukas lagi: "Coba kau berikan kepadanya agar
diperiksa" Dengan wajah masih termangu manusia berkerudung emas
itu
melemparkan kembali ke tiga buah lencana emas kepala naganya ke
hadapan manusia berkerudung putih itu.
Manusia berkerudung putih itu memungut kembali lencana naga itu dari
atas tanah, se telah dipandang sekejap, ujarnya:
"Lencana naga tersebut persis sama dengan ke tiga buah lencana emas
ini!"
"Sobat, sobat Yu" ujar Mo loji sambil ter-tawa, "coba kau perhatikan lagi
ke tiga buah lencana naga ini, pertama-tama harap kau perhatikan dulu
pada permukaan lencana tersebut dan carilah ke lima cakar dari naga
emas tersebut !"
"Hmm, sudah ketemukan" dengus manusia berkerudung putih itu. ia
menundukkan kepalanya dan memperhatikan lencana emas yang
pertama, kemudian sambil mengangkat lencana tadi, katanya:
"lni dia, aku telah menemukan kelima cakar nya!" "Coba kau terima
lencana naga emas yang telah ia temukan
kelima cakarnya itu!" perintah Mo loji kepada manusia berkerudung
emas tersebut.
Anehnya maausia berkerudung emas itu amat menuruti perkataannya,
dia sambut lencana emas tersebut dan diperhatikan sendiri dengan
seksama.
Benar juga, ia temukan lima buah cakar pada lencana emas tersebut.
"Coba cari lagi pada lencana berikutnya !" perintah Mo loji kemudian
kepada manusia berkerudung putih itu.
Padahal manusia berkerudung putih iiu sama sekali tidak menganggur
begitu berhasil menemukan kelima cakar naga pada lencana yang
pertama, ia segera memperhatikan lencana berikutnya.
Akan tetapi, walaupun ia sudah perhatikan lencana ke dua tersebut
sekian lama, akan tetapi lima cakar naga itu belum juga ditemukan.
Rupanya pada lencana emas ini dia hanya menemukan empat buah
cakar naga belaka.
Manusia berkerudung putih itu menjadi termangu dan berdiri bodoh,
sedemikian tertegun nya sampai tak sanggup mengucapkan sepatah
katapun.
Sebelum dia sempat selesai menghitung, Mo loji telah berkata lagi:
"Coba kau periksa pula lencana emas yang ke tiga !" Lagi lagi
manusia berkerudung putih itu tak berhasil menemukan
kelima cakar naga itu, sebab pada lencana naga yang ketiga dia hanya
menemukan tiga buah cakar naga.
Tampaknya manusia berkerudung emas itu telah menyaksikan gelagat
tidak beres, dia segera bertanya kepada manusia berkerudung putih itu:
"Yu Seng, cepat memberi laporan padaku." Paras muka Yu Seng
berubah sangat hebat, nada suarapun turut
berubah pula, ia menjawab, "Jumlah cakar naga kedua lencana naga
emas tersebut berbeda satu sama lainnya, yang satu berjumlah empat
buah, yang lain hanya berjumlah tiga buah!"
Mendengar itu Mo loji tertawa terbahak. "Hah... haah... haah... tak usah
dibandingkan dengan lencana yang pertama lagi, cukup
memperbandingkan kedua lencana yang berada ditanganmu itu, coba
bandingkan dengan seksama, apakah tebal tipisnya juga sama ?"
Yu Seng memperbandingkan kedua buah lencana itu, kemudian
menggelengkan kepalanya berulang kali, dengan suara yang begitu
rendah sehingga hampir saja sukar didengar ia menyahut.
"Tiii . . . tidak sama!" Mendadak Mo loji menghela napas panjang.
"Aai, sekarang kau boleh mengakui kalau lencana naga emas
yang kau jumpai itu adalah lencana palsu bukan?" katanya. Yu Seng tak
dapat berbicara lapi, dia menundukkan kepalanya
rendah-rendah. Pada saat itulah Mo loji baru berpaling kembali ke arah
manusia
berkerudung emas itu, lalu berkata dingin: "Persoalan yang kau ajukan
telah selesai ku jawab, sekarang aku
hendak meninggalkan ruangan ini !" Sementara itu, manusia
berkerudung emas itu sudah tertawa
dingin tiada hentinya, dia menyahut: "Mo tua, kau jangan buru-buru
mengundurkan diri lebih dulu,
bisa kujatuhi hukuman kepadanya lebih dulu, kemudian aku hendak
mengajakmu merundingkan sesuatu !"
Mo Loji hanya miringkan sedikit kepalanya, dia tidak berbicara apa-apa
lagi, Tiba tiba Yu Seng menimbrung. "Apa yang hamba ucapkan adalah
kata yang sesungguhnya, sama sekali tidak bernadakan..."
"Bawa ke mari ke dua lencana emas kepala naga itu." tukas manusia
berkerudung emas itu dengan dingin.
Yu Seng mengiakan, dia segera mengangsurkan lencana emas tersebut
ke depan.
"Letakkan keatas meja!" kembali manusia berbaju emas itu menuding ke
meja bacanya.
Sekali lagi Yu Seng mengiakan, dia letakkan kedua buah lencana naga
emas itu keatas meja.
Sewaktu meletakkannya disitu, sorot matanya sempat menyaksikan
tonjolan sebesar berapa inci yang berada diujung meja baca tersebut,
dengan cepat ia menjadi mengerti, rupanya disitulah letak alat rahasia
yang mengendalikan kedua belah pintu baja diruang depan maupun
ruangan belakang tempat itu.
Baru saja lencana tersebut diletakkan dimeja, sambil tertawa manusia
berkerudung emas itu telah berkata lagi:
"Yu Seng, apa lagi yang hendak kau katakan sekarang ?" "Hamba
sama sekali tidak berbohong" kata Yu Seng sembari
menjura, "aku hanya mengakui kurang hati-hati sehingga khilaf dan
salah melihat lencana emas tersebut."
"Aku tidak mengajukan pertanyaan soal-soal seperti itu." bentak
Manusia berkerudung emas itu dengan gusar, "aku hanya bertanya
kepadamu, apakah ingin menyampaikan kata-kata terakhirmu ?"
Mendengar perkataan tersebut. Yu Seng menjadi terperanjat sekali,
serunya tertahan:
"Majikan hendak menjatuhkan hukuman mati kepada hamba ?"
"Heeeh, heeeh, heehh, kenapa ? Memangnya aku tidak boleh
menjatuhkan hukuman tersebut kepadamu ?" Dengan dorongan emosi
yang meluap, Yu Seng berseru: "Hamba sebagai salah seorang dari
Gin-ih lak-yu. selama banyak
tahun telah mempertaruhkan jiwa ragaku demi kepentingan majikan
kali ini meski ada orang yang datang dengan membawa lencana emas,
namun kesalahan tersebut bukan terletak pada diri hamba."
"Lantas kesalahan itu berada di tangan siapa?" sela manusia
berkerundung emas itu dingin.
"Maaf atas kelancangan hamba, kesalahan tersebut sesungguhnya terletak
pada diri majikan sendiri, majikan menitahkan setiap orang menutupi raut
wajah masing-masing dengan kerudung, kemudian melarang
masing-masing anggota saling mengenal, kami tidak mengetahui nama
rekan-rekan yang
lain, kecuali perintah yang diturunkan majikan. Setelah melihat
kemunculan lencana emas tersebut, sebagai Iencana naga emas yang
berkekuasaan paling tinggi tentu hamba tak berani membangkang
menurut peraturan, kecuali menuruti perintah, tiada pilihan lain buat
hamba untuk berbuat Kali ini, justeru lantaran hamba merasa curiga
sekali, maka sengaja kukirim surat lewat burung merpati untuk
melaporkan kejadian ini sambil meminta petunjuk, bahkan kukuntil jejak
lawan tapi jejak lawan telah hilang, seharusnya perbuatan hamba ini
dinilai sebagai jasa, bukan suatu dosa yang besar."
"Tapi nyatanya sekarang, bukan saja majikan tidak menilai budi dan
kesetiaan hamba selama banyak tahun, bahkan malahan sebaliknya
hendak menjatuhkan hukuman mati kepada hamba kenyataan ini
sungguh membuat hatiku tak puas."
Manusia berkerudung emas itu hanya duduk tenang sambil
mendengarkan perkataan anak buahnya, begitu Yu Seng telah selesai
berkata dia baru berkata:
"Sudah selesai perkataanmu?" Sekarang Yu Seng sudah tahu kalau
ia tak bakal lolos dari hukum
keji majikannya, maka timbul niatnya untuk beradu jiwa, dengan suara
lantang ia lantas berseru:
"Belum selesai, masih banyak perkataan yang hendak kuutarakan
keluar."
"Bagus sekali." manusia berkerudung emas itu tertawa seram,
"heeeehh... heeeehh... heeeeh... kalau begitu berbicaralah sepuasnya!"
Yu Seng menggertak gigi kencang-kencang, katanya kemudian dengan
suara dalam.
"Kau tidak bijaksana, membunuh anak buah sendiri dengan
semena-mena, pada suatu ketika anak buahmu pasti akan berhianat dan
meninggalkan dirimu seorang diri!"
Waktu itu dia berdiri disisi meja baca, begitu selesai berkata telapak
tangan kanannya segera dihimpun tenaga, setelah itu sekuat tenaga
dihantamkan ke arah dua buah tonjolan yang berada diujung meja baca
tersebut...
Yu Seng sebagai salah seorang dari Gin-ih lak-yu dibawah pimpinan Lok
hun pay benar-benar memiliki kepandaian yang sempurna, tenaga
dalamnya pun terhitung pilihan dalam dunia persilatan, serangan yang di
lancarkan olehnya sekarang paling tidak bisa menghancur lumatkan
ujung meja baca itu...
Pada umumnya, meja baca yang di hantam dengan pukulan penuh pasti
akan hancur berantakan, tapi nyatanya suatu keajaiban telah terjadi
pada hari ini, hanya satu ujung saja dari meja baca itu yang melesak ke
dalam tanah.
Ternyata meja baca yang antik dan berwarna merah itu sesungguhnya
bukan terbuat dari bahan kayu, melainkan terbuat dari selembar besi
baja yang kuat sekali.
Menggunakan baja sebagai meja baca, sudah barang tentu kejadian ini
sama sekali di luar dugaan Yu Seng, itulah sebabnya serangan yang
dilancarkan Yu Seng dengan sepenuh tenaga itu bukan saja gagal
menghancurkan me ja tersebut, malah sebaliknya tangan kanannya
menjadi terluka.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 28
SAKING sakitnya air mata sampai bercucuran membasahi pipi Yu Seng,
dia mengobat-abitkan tangannya tiada hentinya.
Sekalipun tangan kanan Yu Seng sudah terluka, namun kedua buah
pintu rahasia diruang depan maupun ruangan belakang itupun segera
terbuka Iebar, apa lagi karena tombol kendali pintu rahasia itu sudah
melesak kedalam tanah akibatnya pintu-pintu rahasia tersebut tak dapat
menutup rapat kembali.
Tindakan anak buahnya itu sama sekali di luar dugaan manusia
berkerudung emas itu, tanpa terasa dia turut tertegun.
Dalam tertegunnya itu, nampak lima dari Gin ih lak yu telah menyerbu
masuk kedalam ruangan.
Dalam pada itu, Yu Seng telah melepaskan iain kerudung mukanya yang
berwarna putih, kepada kelima orang rekannya dia berseru dengan
wajah amat sedih.
"Siaute Yu Seng, bersama saudara sekalian disebut Gin-ih lak-yu, hari ini
tanpa kesalahan apapun majikan bersikeras hendak menghukum mati
siaute, atas hukumannya itu siaute tidak akan memberi perlawanan, tapi
sebelum hukuman dilaksanakan terlebih dahulu aku harus menerangkan
keadaan yang sebenarnya !"
Namun baru saja dia menyelesaikan perkataannya manusia berkerudung
emas itu telah menuding ke arah lima orang jagonya sembari berbisik:
"Yu Seng berniat menghianat, bukti nyata sudah berada didepan mata,
kalianpun tak usah banyak bertanya, segera mundur dari sini."
Menghadapi kejadian semacam ini, ke lima orang jago itu menjadi serba
salah, mau mundur tak bisa, maju juga tak berani hingga akibatnya
untuk sementara waktu menjadi ragu.
Menggunakan kesempatan inilah Mo Loji segera berseru kepada kelima
orang jago itu:
"Saudara berlima, menurut penglihatanku, lebih baik kalian berlima turut
perintah dan segera mengundurkan diri dari sini, lebih baik jangan
mencari penyakit sendiri hingga mempengaruhi mangkuk nasi
masing-masing..."
Lima sahabat berbaju perak itu menundukkan kepalanya rendahrendah
kemudian nampak salah seorang diantararya maju dua langkah
kedepan dan ujarnya kepada manusia berkerudung emas itu.
"Majikan, bolehkah hamba mengucapkan sepatah dua patah kata?"
Manusia berkerudung emas itu mendengus dingin, sambil menuding
pintu rahasia bagian belakang, serunya:
"Lohu perintahkan kepada kalian agar segera mengundurkan diri dari
sini...!"
Saat itulah Yu Seng tertawa getir dia berkata lagi: "Saudara berlima,
lebih baik kalian pergi saja dari sini, daripada
ia jadi malu dan naik darah sehingga kalian semua dibunuh pula, cuma
sebelum saudara berlima meninggalkan tempat ini, terlebih dahulu
siaute mempunyai sebuah permintaan !"
Kelima orang manusia berbaju perak itu tidak menanggapi atau
mengucapkan sepatah katapun, akan tetapi merekapun tidak pergi
meninggalkan tempat iiu, dari sini dapat terbukti bahwa mereka tidak
leluasa untuk menjawab pertanyaan rekannya, akan tetapi mereka pun
bersedia mendengarkan permintaan Yu Seng.
Mo Loji yang menyaksikan ada kesempatan kembali menghasut mereka
dengan perkataan, katanya.
"Semenjak dalam dunia persilatan muncul lencana Lok hun pay, hampir
seluruh jagad telah dibikin bergetar dalam dunia persilatan tak ada
orang yang berani melawan, bila kalian tidak segera mengundurkan diri
lagi, hati-hatilah dengan keselamatan kalian sendiri !"
Manusia berbaju perak yang ketanggor batu nya dari Lok hun pay tadi
segera mencela:
"Mo Kiau jiu, persoalan ini adalah kami dengan majikan, lebih baik tutup
saja bacotmu itu !"
Ternyata Mo Loji adalah Mo Kiau jiu yang dicari Sun Tiong lo sekalian
namun tak berhasil ditemukan rupanya dia berada disitu, tak heran
kalau perkampungan keluarga Mo telah punah menjadi puing-puing
yang berserakan.
Mo Kiau jiu sudah menduga kalau perselisihan tersebut sukar dibereskan
dengan baik, padahal selama ini dia sulit mendapat kesempatan untuk
pergi meninggalkan tempai itu, tak heran kalau ia merasa gembira sekali
sesudah mendengar perkataan itu.
Sekalipun demikian, diluaran wajahnya dia berlagak seperti mendongkol
katanya:
"Baik, aku si orang tua memang enggan mencari banyak urusan, aku
hendak pergi dari sini, pergi meninggalkan tempat ini, aku tak mau
melihat kejadian disini lagi. Orang bilang: Kalau mata tidak melihat, hati
tak akan murung, lebih baik aku pergi saja dari sini"
Selesai berkata, dia lantas membalikkan badannya dan pura-pura
hendak berlalu dari situ dengan mendongkol.
Walaupun orangnya sudah sampai dibelakang, namun perasaan dan
telinganya belum mening galkan ruangan itu.
Tak lama kemudian, dari dalam ruangan berkumandang datang suara
jeritan ngeri yang memilukan hati.
Menyusul kemudian suasana berubah menjadi hening, sepi, tak
kedengaran sedikit suarapun. Mo Ioji yang mendengar suara itu,
diam-diam mengangguk pikirnya:
"Lok-hun pay wahai lok hun pay, keluargaku telah kau bantai, putri
kesayanganku telah kau nodai, perkampunganku telah kau bakar, kau
anggap sekarang aku sudi menjadi kerbau atau kuda yang menuruti
perintahmu ?"
"Kini... haah... haaah... dari sembilan orang penggantimu, sudah ada
tiga orang yang berkhianat, sedangkan Gin-ih-Iak yu yang paling dekat
denganmu pun mulai sekarang sudah berhati cabang, tampaknya aku
mesti berhati-hati sedikit, siapa tahu dia masih dapat menyaksikan
dengan mata kepala sendiri datangnya hari pembalasan baginya. Benar,
aku harus berhati-hati, aku harus hidup lebih lanjut"
Sementara dia masih melamun, lima orang berbaju perak itu sudah
meninggalkan ruangan tengah, dari enam sahabat, kini
tinggal lima orang, sebab salah seorang diantara mereka, Yu Seng,
telah mati dihajar oleh manusia berkerudung emas itu sehingga isi
perutnya hancur lebur.
Mayatnya di gotong ke lima orang rekannya untuk dikebumikan di
belakang sana.
Ke lima orang manusia berbaju perak itu masih mengenakan kain
kerudung putih menutupi raut wajah aslinya, namun dilihat dari
sepasang tangan mereka yang gemetar keras serta dadanya yang naik
turun, dapat disimpulkan kalau mereka merasa sedih campur gusar.
Mo Loji segera memutar biji matanya, lalu maju menyongsong
kedatangan mereka, katanya:
"ToIong tanya saudara berlima, apakah majikan masih berada didalam
ruangan ?"
Ke lima manusia berbaju perak itu tidak menjawab, mereka hanya
menggelengkan kepala sambil menghela napas.
Dalam helaan napas itulah, dari balik ruangan terdengar Lok-hun pay
sedang berseru:
"Kiau-jiu. kemari kau !" Diam-diam Mo Loji merasa geli, dari sebutan
Mo tua, kini dia
telah memanggilnya sebagai "Kiau-jiu" lagi seperti dulu. Tertawa tinggal
tertawa, namun orangnya harus menyahut dan
melangkah masuk kedalam ruangan. Sementara itu Lok hun pay telah
berdiri di depan pintu rahasia
bagian muka, sambil menuding kearah meja baca itu, katanya: "Aku
ada urusan dan hendak segera kuselesaikan, besok pagi
baru aku kembali, perbaiki meja ini!" Selesai berkata dia lantas berlalu
dari situ dengan langkah lebar.. "Tidak bisa, tidak bisa..." Buru-buru
Moo Kiau jiu berseru dengan
cepat.
Mendadak Lok hun pay menghentikan langkahnya sembari membalikan
badan lalu berseru.
"Jika kau berani mengatakan tidak bisa lagi, hati-hati kukuliti tubuhmu!"
"Mengapa tak tahu aturan begitu." seru Mo-Kiau jiu setengah
merengek, "jalan darahku telah kau totok, sehingga tenaga dalamku tak
berfungsi lagi, padahal meja ini terbuat dari baja, tolong tanya
bagaimana caraku untuk memperbaikinya?"
Lok hun pay berpikir sebentar lalu berjalan mendekati Mo Kiau
jiu.katanya kemudian.
"Baik, aku akan menepuk bebas jalan darahmu, cuma kau jangan
mencoba-coba bermain gila, kalau tidak percaya silahkan saja dicoba,
saat itu tanggung ada orang yang akan mewakili aku menyiksamu
hingga matipun tak bisa hiduppun tak dapat!"
Seraya berkata, ia benar-benar menepuk bebas jalan darah diatas
badan Mo Kiau jiu.
Mo Kiau jiu sama sekali tidak mengucapkan terima kasih, malah sambil
menuding meja baca itu katanya.
"Besok tengah hari meja ini baru bisa selesai kuperbaiki!" Lok hun
pay segera mendengus dingin. "Hmm, bila aku pulang besok pagi,
meja ini harus selesai
diperbaiki kalau tidak jangan harap kau bisa hidup terus didunia ini!" Mo
Kiau jiu segera tertawa. "Bila kau membunuh aku, siapa pula yang akan
melakukan
pekerjaan tersebut untukmu?" Lok-hun-pay tertawa seram. "Heeeh,
heeeh, heeeh, paling banter akan kulakukan sendiri.
mengerti ?"
Mo Kiau jiu merasakan hatinya terkesiap, tapi sebuah akal baru segera
muncul kembali sahutnya kemudian:
"Baik, baik, baik, cuma harus ada orang membantu pekerjaanku ini."
"Hal itu adalah urusanmu sendiri, kau boleh menyuruh siapa saja
membantu pekerjaanmu itu."
Mo Kiau-jiu menjadi gembira sekali, ujarnya kemudian. "Kalau begitu
kau tak usah kuatir, sebelum fajar besok, meja ini
pasti sudah selesai ku perbaiki !" Lok-hun pay mendengus dingin, dia
membalikkan badan dan
berlalu dari situ dengan langkah lebar. Memandang hingga bayangan
panggung Lok hun pay lenyap dari
pandangan mata. diam-diam Mo Kiau jiu tertawa dingin, ia pun kembali
ke ruang belakang.
Pertama-tama dia kembali dulu ke kamar tinggalnya untuk mengambil
alat perkakas.
Padahal dia sedang memikirkan suatu persoalan yang amat besar
sekali.
Tempat ini merupakan sarang rahasia dari Lok bun pay dalam kota
Seng tok, jago-jago yang berada di sini pun tinggal lima orang sahabat
berbaju perak dan tiga orang pengganti berbaju emas.
Selain itu, delapan orang pelayan berbaju hitam yang berada disana
masih belum terhitung seorang jagoan.
Dengan kemampuan yang dimiliki Mo Kiau jiu sekarang, apabila ia
harus bertarung satu lawan satu dengan ketiga orang pengganti
berbaju emas, ia tak akan merasa takut, bahkan dia berkeyakinan
dalam seratus gebrakan saja, pihak lawan pasti dapat dirobohkan.
Tapi jika dia harus bertarung melawan lima sahabat berbaju perak,
maka ia akan ketinggalan jauh.
Bila harus bertarung satu lawan satu, dalam lima puluh gebrakan saja,
salah seorang dari lima orang sahabat tersebut sudah sanggup untuk
membinasakan dia.
Sekarang jalan darahnya yang ditotok sudah dibebaskan, dalam hal ini
belum ada seorang manusia pun yang tahu, andaikata dia hendak
melarikan diri maka inilah kesempatan yang paling baik baginya.
Tatkala ia berpikir lebih mendalam lagi, tanpa terasa Mo Kiau jiu
tertawa bangga.
Bila tangan seseorang liehay, hatinya pasti tak akan bodoh, manusia
bodoh tak bisa melakukan perbuatan yang liehay, Mo Kiau jiu
termasyhur karena hasil karyanya yang liehay dan luar biasa,
kepandaiannya disebut nomor wahid dikolong langit, tentu saja tidak
gampang untuk membohonginya.
Sesudah memahami persoalan yang sedang dipikirkan olehnya, dia pun
membawa perkakasnya pergi menjadi Gin ih ngo yu.
Waktu itu Gin ih ngo yu baru saja mengubur jenazah Yu Seng
dihalaman belakang sana, mereka semua dalam keadaan sedih sekali.
Mereka duduk termenung dalam ruangan tengah siapapun seperti
enggan berbicara.
Pintu dibuka dan Mo Kiau jiu melangkah masuk ke dalam ruangan
tersebut.
Salah seorang Gin ih ngo yu segera melompat bangun, lalu bentaknya
keras-keras.
"Enyah, enyah dari sini!" Mo Kiau jiu tidak menggubris seruannya
dengan berlagak sok
rahasia dia merentangkan tangannya seraya berkata:
"Barusan saja majikan pergi!"
Gin ih ngo yu tidak bersuara, seakan-akan mereka beranggapan
"kepergiannya adalah urusannya."
Sekali lagi Mo Kiau jiu berkata. "Sebelum pergi majikan telah
berpesan agar kalian berlima
membantuku memperbaiki meja baca itu!" Mendengar ucapan mana,
salah seorang manusia berbaju perak
itu segera melompat bangun lalu serunya: "Locu lagi mangkel tahu?
Lebih baik kau cepat-cepat enyah dari
hadapan kami!" Sambil merendahkan suaranya Mo Kiau jiu berbisik:
"Aku cukup memahami perasaan kalian cuma persoalan itu
terpaksa, dengarkanlah nasehatku, sekarang paling baik bersikaplah
sedikit gembira, mari ikut aku memperbaiki meja di ruang depan sana !"
Orang berbaju perak yang sudah berdiri itu mendadak menerjang ke
muka lalu menghantam bahu Mo Kiau jiu.
Mereka semua tahu kalau jalan darah Mo Kiau jiu tertotok dan sama
sekali tak berkekuatan untuk melawan, mereka pun tahu kalau Mo Kiau
jiu sedang membuatkan suatu benda yang amat penting artinya bagi
Lok hun pay, tentu saja mereka tak berani turun tangan kelewat berat
hingga meIukai dirinya, walaupun dibilang tidak berat namun
seandainya terhajar diatas bahu Mo kiau jiu, niscaya orang itu akan
terpelanting.
Siapa tahu Mo Kiau jiu segera membalikkan pergelangan tangannya dan
berbalik mencengkeram urat nadi berbaju perak itu, kemudian
tangannya mendorong dan melemparkan tubuh manusia berbaju perak
itu sehingga mundur beberapa langkah.
Menyaksikan kejadian ini lima orang manusia berbaju perak itu menjadi
tertegun dan berdiri bodoh.
Mo Kiau jiu tidak memberi kesempatan kepada orang untuk berbicara,
dengan suara rendah katanya lagi serius:
"Barusan saja majikan menepuk bebas jalan darahku, sekarang
tentunya kalian sudah mengerti bukan, meskipun diluarnya majikan
bilang hendak pergi, padahal apa yang sebenarnya dia lakukan?"
"Turutilah nasehatku, aku seperti juga kalian, dalam hati ada persoalan
namun tak berani diutarakan keluar, agar orang lain jangan menaruh
curiga kepada kalian sekarang apa salahnya kalau kau membantu diriku
memperbaiki meja baca itu?"
Kelima manusia berbaju perak itu segera memahami apa yang telah
terjadi, serentak mereka bangkit berdiri dan manggut- manggut ke arah
Mo Kiau jiu.
Sambil tertawa Mo Kiau jiu lantas berkata dengan suara rendah:
"Selanjutnya bila ingin merundingkan sesuatu, jangan lupa untuk
mengirim orang untuk berjaga-jaga." Berbicara sampai disitu, dia lantas
menggotong-perkakasnya dan
berlalu dari sana lebih dulu. Ke lima orang manusia berbaju perak itu
mengikuti
dibelakangnya, bersama-sama pergi ke ruang tengah. Maka dalam
ruangan itupun terdengar suara ting, tang, ting,
tang tiada hentinya, mereka telah mulai bekerja. Apa yang diduga Mo
Kiau jiu ternyata tepat sekali, secara diamdiam
Lok hun pay telah kembali ke situ. Dengan tenaga dalam yang
dimilikinya, tentu saja dia tak usah
kuatir ditemukan jejaknya oleh ke lima orang manusia berbaju perak
itu, tatkala dilihatnya kelima orang itu sedang membantu Mo Kiau jiu
bekerja, diam-diam ia tertawa bangga.
Setelah membunuh Yu Seng tadi, sebetulnya ia merasa kuatir, dia takut
kelima orang manusia berbaju perak itu bekerja sama dan bersama-sama
memberontak, sekalipun kepandaiannya lihay, namun terasa agak rikuh
juga bila harus bertarung melawan anak buahnya.
Tapi sekarang dia sudah berlega hati, bahkan memperoleh suatu kesan
yang salah.
Dia salah mengerti pembunuhan sadis dan kekuatan besar yang
dimilikinya bisa mendatangkan hasil disaat dan kepada siapa saja,
bahkan tak seorang manusia pun berani melawan.
Padahal, bencana besar sudah berada di depan mata, hanya saja orang
lain sedang menunggu datangnya kesempatan baik.
-ooo0dw0ooo- PADA halaman keempat dari kitab kecil, ditangan
Sun Tiong lo,
terlukiskan. "Kunjungi He he koancu di kuil Tong thian koan, kota Gak
yang
propinsi Sam siang." Kota Gak yang di propinsi Sam siang merupakan
suatu tempat
yang sangat termashur, Ioteng Gak yang to merupakan tempat yang
sangat ternama dikolong langit.
Sun Tiong Io serombongan berempat telah berangkat menuju ke kota
Gak yang.
Setelah menempuh perjalanan sekian waktu, mereka telah memasuki
daerah kota Gak yang. Malam itu, mereka pun menginap disebuah
rumah penginapan dikota kecil Siang can tin sepuluh li diluar kota Gak
yang.
Sepanjang jalan mereka tidak banyak berpikir, kini setelah tiba ditempat
tujuan dan menginap dirumah penginapan dengan sikap yang amat
santai mereka mencari tahu letak kuil Tong thian koan.
Siapa tahu, begitu pertanyaan diajukan, mereka berempat menjadi
tertegun dan berdiri bodoh.
Menurut pemilik penginapan itu, Tong thian koan dari kota Gak yang
merupakan kuil yang amat termashur sekali karena kemegahannya,
sayang sekali dua puluh tahun berselang,
kebakaran hebat telah memusnahkan kuil tersebut, Kuil Tong thian koan
tidak terletak didalam kota Gak yang, melainkan dua li disebelah ti mur
"Ou cian ihi" dekat telaga Tong ting ou.
Terlalu banyak kuil kenamaan yang tertimpa bencana banjir atau
kebakaran selama ini, tapi kebanyakan dibangun kembali jauh lebih
megah dari yang dulu, biasanya orang yang berziarah pun semakin
banyak.
Tapi semenjak terbakar dua puluh tahun berselang, kuil Tong thian
koan tak pernah dibangun lagi"
Tentu saja Sua Tiong lo keheranan, diapun bertanya apa sebabnya tidak
dibangun lagi? Alhasil dia telah menemukan jawaban yang justru
merupakan kebalikannya.
Menurut pemberitahuan pemilik penginapan itu: Terbakarnya kuil Tong
thian koin bukannya tanpa sebab, juga bukan lantaran bencana tapi
kalau dibilang api dari langit, maka ucapan mana tepat sekali.
Perkataan dari pemilik penginapan ini sudah barang tentu
mencengangkan hati orang dan membuat orang tidak habis mengerti.
Namun waktu Sun Tiong lo mendesak lebih jauh, pemilik penginapan itu
hanya tertawa tidak menjawab.
Maka Sun Tiong lo dan Hou ji pun mempunyai suatu pendapat baru,
sembilan puluh persen kuil Tong thian koan pasti merupakan kuil Sam
cing koan yang tidak benar jalannya, mereka bertekad untuk
menyelidiki persoalan itu sampai jelas.
Keesokan harinya untuk menyelidiki latar belakang dari kuil Tong Thian
koan, Sun Tiong lo telah menyusun rencana matang, karena Bau ji tak
suka banyak berbicara maka ia diminta menemani nona Kim bermain
sampan di telaga.
Sedangkan dia dan Hou ji bertugas menyelidiki persoalan tersebut.
Dalam soal selidik menyelidiki, kepandaian Hou ji jauh lebih
mengungguli kemampuan Sun Tiong lo.
Untuk menyelidiki peristiwa yang telah terjadi pada dua puluh tahun
berselang, mereka harus mencari keterangan dari rakyat yang berusia
lanjut, tapi orang yang berusia lanjut pengalamannya pasti lebih
banyak, cara mereka berbicarapun lebih berhati-hati dan tahu diri.
Oleh karena itu Hou ji memilih orang tua dari keluarga miskin yang
gemar berbicara untuk melakukan penyelidikannya.
Tengah hari itu mereka tidak memasuki rumah makan kenamaan, tapi
justru memasuki warung makan sederhana yang penuh dengan rakyat
dari golongan bawah.
Dengan susah payah mereka berhasil pula berkenalan dengan seorang
sahabat yang telah berusia agak lanjut.
Dengan keahlian Hou ji dalam pergaulan, tak sampai berapa cawan arak
masuk perut, mereka telah bersahabat karib.
Suatu ketika Hou ji menyumpit sepotong daging dan mengunyahnya
dengan pelan, seakan-akan ia ingat akan sesuatu mendadak ujarnya:
"Saudaraku, selesai bersantap nanti bagaimana kalau kita berkunjung ke
kuil Tong thian koan?"
"Tentu saja" sahut Sun Tiong-lo cepat, "dengan susah payah kita telah
berkunjung ke kota Gak yang, tentu saja kita harus berpesiar ke kuil
kenamaan tersebut"
Kakek kenalan mereka itu she Nyoo bernama Nyoo Ci gan, pada
dasarnya dia adalah seorang yang gemar berbicara, barhati hangat dan
cepat berbicara, apa yang dibicarakan biasanya pasti akan dibicarakan
hingga selesai.
Oleh karena itu orang-orang yang isengpun merubah namanya dari "Ci
gan" menjadi "It-yan" yang artinya begitu ia buka mulut maka semuanya
akan diutarakan sampai habis. Tatkala dia
mendengar kalau Hou-ji dan Sun Tiong lo hendak berpesiar ke kuil
Tong thian koan, ia meletakkan sumpitnya sembari bertanya: "Lote
sekalian hendak berpesiar kekuil Tong thian koan?"
Hou ji manggut manggut "BetuI, kami dengar orang bilang, didalam
kuil Tong thian koan
terdapat seorang He he-koancu yang berhasil mencapai setengah dewa,
konon ia liehay dan luar biasa.."
Nyoo It yan tak kuasa menahan rasa gelinya dia segera tertawa.
"Siapa yang mengatakan hal tersebut kepada kalian?" Begitu ia buka
suara, ternyata memang mulutnya seperti tak bisa
direm lagi, tak menanti sampai Hou-ji dan Sun Tiong lo menjawab, ia
sudah menggebrak meja sambil melanjutkan!
"Orang yang berkata demikian pada hakekatnya merupakan telur busuk
ngaco belo belaka!"
Hou ji dan Sun Tiong lo saling berpandangan sekejap, mereka berlagak
seolah-olah tercengang oleh ucapan itu.
Setelah mendengus, kembali Nyoo It yan melanjutkan: "Pada dua
tiga puluh tahun berselang, kuil Tong thian koan
memang boleh di bilang termasuk kuil paling ternama dan paling besar
diwilayah Sam siang dan sekitarnya, tapi kini, huuuh, sudah hancur
ludas tak ada wujud!"
"Aah... bagaimana mungkin bisa begitu??" Hou ji berseru tertahan.
"Kenapa tidak bisa? Dua puluh tahun berselang, Thian telah melepaskan
api membakar kuil Tong thian koan, walaupun tak bisa dikatakan sudah
terbakar ludas namun yang tersisa pun tak seberapa..."
"Peristiwa ini pernah pula kami dengar, tapi bukankah kemudian telah
dibangun lagi?" seru Sun Tiong lo cepat.
Mendengar kata "di bangun kembali", tidak tahan Nyoo It yan segera
tertawa terbahak-bahak.
"Hah... haaaah... haaah .. .. di bangun kembali? Lote sekalian, jangan
harap kuil itu dapat dibangun kembali!"
"Eeeh, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Hou Ji berseru tertahan
Nyoo It yan mengalihkan sinar matanya memandang sekejap
sekeliling ruangan warung itu, lalu sambil merendahkan suaranya ia
berbisik.
"Tempat ini terdapat banyak orang, kurang leluasa bagi lohan untuk
berbicara secara blak-blakan, bila lote berdua ingin mengetahui keadaan
yang sesungguhnya, seusai bersantap dulu, bagaimana kalau kita
berbicara di warung teh tepi telaga sana ?"
Mendengar perkataan itu, diam-diam Sun Tiong-lo dan Hou-ji merasa
girang, tentu saja mereka mengiakan cepat.
Seusai bersantap mereka berjalan menuju ke warung teh ditepi telaga,
Nyoo It-yan memilih sebuah tempat yang sepi dan terpencil, begitu air
teh dihidangkan sambil minum teh wangi, ia mulai membuka
pembicaraan.
"Lote berdua benar-benar sudah ditipu orang habis-habisan. masih
untung baru sekarang kalian mencari tahu kabar berita kuil Tong thian
koan, coba kalau peristiwa itu berlangsung pada delapan sembilan tahun
berselang, hm, hm, bisa jadi memancing datangnya kesulitan bagi kalian
sendiri !"
Hanya disebabkan mencari tahu letak suatu tempat apalagi tempat itu
adalah kuil kenamaan, ternyata bisa berakibat datangnya kesulitan,
kejadian seaneh ini pada hakekatnya belum pernah terdengar kenyataan
tersebut membuat Hou ji dan Sun Tiong-lo semakin berambisi untuk
mengetahui duduk persoalannya sampai jelas.
Dengan merendahkan suaranya Nyoo It-yan berkata "Lote berdua,
tahukah kau kuil Tong-thian-koan itu merupakan tempat macam apa?"
"Bukiinkah sebuah Too-koan ?" tanya Sun Tiong lo tertegun. Sesudah
mengiakan Nyoo It yan manggut-manggut. "Betul, Too koan tersebut
meski sebuah Too koan, namun
Tookoan ini berbeda sekali dengan Tookoan biasa !" Sun Tionglo dibikin
makin kebingungan, ia tak mengerti arti dari
ucapan Nyo It-yan itu. Hou-ji berusia lebih besar, pengalamannya juga
lebih banyak,
tergerak hatinya setelah mendengar perkataan itu. "Lotiang, apakah
Tong-thian-koan adalah kuilnya kaum wanita ?"
serunya tiba-tiba. Nyoo It-yan segera bertepuk tangan sambil tertawa.
"Tepat sekali, kuil itu memang sebuah kuil dari Li too-koh." Sun Tioag lo
baru mengerti sekarang, tanpa serasa dia melirik
sekejap kearah Hou-ji. Setelah menepuk setegukan air teh, Nyoo It yan
mulai
menuturkan kejadian masa lampau... Dua puluhan tahun berselang,
nama kuil Tong thian-koan sudah
amat tersohor dikolong langit. Bangunan Tong thian-koan sendiri
mencapai ratusan bau luasnya
dengan bangunan yang berlapis-lapis, indah dan megah. Koancu dari
kuil Tong-thian koan itu bernama Sang sang koancu,
dia mempunyai sepuluh orang murid yang semuanya menggunakan
hurup "lm" sebagai nama akhirnya.
Menurut urutan, mereka adalah: Hui Im, Cuan-im, Hong-im, Pek im.
Seng im, Cuim, Cing im, Siong im dan Toan im.
Dengan kekuatan sebelas orang saja, tentu saja mereka tak mungkin
bisa merawat kuil yang begitu megah dan besar.
Oleh sebab itu bocah-bocah perempuan dari keluarga miskin yang
berada tiga sampai lima puluh li disekitar tempat itu menjadi
orang-orang yang bisa dimanfaatkan tenaganya untuk mengurusi kuil
tersebut.
"Kuil Tong-thian koan mempunyai harta kekayaan yang amat besar,
mereka menanam sayur dan gadis gadis dari keluarga miskin itulah
yang mengurusi kesemuanya.
Sang-sang Koancu berusia paling banter tiga puluh tahunan, namun
wajahnya yang cantik mungil amat menarik hati orang, seandainya dia
bukan seorang pendeta, niscaya ia boleh dibilang sebagai seorang
perempuan cantik.
Sepuluh orang muridnya, selain tidak berdandan dan bergincu,
sesungguhnya mereka terhitung perempuan-perempuan cantik, jubah
pendeta mereka yang berwarna biru sama sekali tidak mengurangi
kecantikan serta keanggunan mereka.
San-san Koancu berusia tidak besar, namun kepandaiannya luar biasa
sekali, terutama ilmu pertabibannya yang mendapat warisan orang
kuno, hal mana membuat nama kuil Tong-thian-koan makin lama
semakin termasyur di mana-mana.
Koancu mengkhususkan diri dalam penyakit perempuan setiap penyakit
perempuan yang diperiksa olehnya, tak ada yang belum sembuh setelah
meminum obatnya tiga kali.
Kota Gak yang terletak ditepi telaga Tong ting-ou, sejak dulu kala sudah
menjadi tempat kaum pembesar dan kaum hartawan berekreasi,
terutama mereka yang sudah pensiun, kebanyakan lantas pindah kesana
dan menetap di sini sampai akhir hayatnya.
Sejak ilmu pertabiban Sang-sang Koancu yang lihay tersiar keluar, kuil
Tong-thian-koan menjadi termasyur dan banyak pengunjung untuk
meminta pengobatan.
Akhirnya Sang sang Koancu menyuruh orang membantunya memberi
pengobatan, selama pekerjaan itu berlangsung, ia tak pernah memungut
balas jasa, akibatnya banyak keluarga hartawan pembesar yang bergilir
mudik dalam kuil itu.
Akhirnya karena pengunjung yang meluap, mau tak mau Sang- .cang
koancu harus menurunkan sebuah peraturan, yaitu kecuali beberapa
keluarga kaya dan orang-orang yang sangat di kenal olehnya, ia tak
akan turun tangan sendiri.
Setiap pagi sampai malam, ruang tunggu kuil Tong-thian-koan selalu
penuh dengan pasien, bahkan untuk pesan tempatpun harus di lakukan
sepuluh hari sebelumnya.
Perlu diketahui, Sang-sang koancu bekerja untuk amal, hingga selama
ini tak pernah terjadi penyakit sekecil apapun.
Tapi suatu hari telah muncul sebuah penyakit, penyakit itu bukan
muncul dari pihak Tong-thian-koan, melainkan muncul dari selembar
surat pengumuman yang dikeluarkan pihak kota Gak-yang, bicara soal
surat pengumuman tersebut, maka kita harus berbicara dulu tempat
posisi atau letak dari kuil Tong thian koan tersebut.
Pintu gerbang dari kuil Tong thian koan terletak berhadapan dengan
sebuah muara telaga, pintu depan bukan jalan raya, jadi untuk menuju
pintu gerbang kuil Tong thian koan baik hendak pergi kekota Gak yang
maupun menuju ke kebalikannya, orang harus berjalan berapa li dulu
dari jalan raya, tidak heran kalau orang yang berlalu lalang disitu tidak
banyak jumlahnya.
Jalan yang membentang disebelah kiri pintu gerbang Tong thian koan
dapat langsung berhubungan dengan jalan raya menuju kekota Gak
yang.
Sebaliknya jalanan yang membentang disebelah kanan pintu gerbang
menghubungkan perkampungan keluarga Li yang berada tiga li-dari situ,
bila berjalan sejauh dua li lagi maka orang akan tiba diperkampungan
keluarga Ong.
Penduduk perkampungan keluarga Li dan perkampungan keluarga Ong
berjumlah ribuan keluarga, kebanyakan mereka berdagang kecil-kecilan
atau menanam sayur dan menangkap ikan, oleh sebab itu setiap hari
mereka harus berangkat ke kota Gak yang untuk berjualan dan sore
pulang kerumah.
Sebenarnya penduduk perkampungan keluarga Li dan penduduk
perkampungan keluarga Ong bisa melalui jalan raya, jalan raya terletak
di belakang Tong thian-koan, tapi lebih jauh tiga empat li, sebaliknya
jika melalui jalan setapak yang melewati pintu gerbang kuil Tong-thian
koan maka mereka akan lebih dekat empat li.
Untuk mengejar waktu pasar, tentu saja rakyat memilih jalanan kecil
yang melalui depan kuil Tong thian koan.
Bila sedang musim dingin, keadaan masih mendingan, tapi kalau sudah
musim panas maka akan timbul hal-hal yang kurang serasi.
Rakyat desa biasanya tidak berpendidikan, setiap kali sesudah pulang
dari pasar dan melalui telaga di muka kuil Tong thian koan, dari sepuluh
orang ada delapan sampai sembilan orang yang turun ke air untuk
membersihkan badan.
Jalan pemikiran orang desa selamanya memang sederhana, untuk turun
ke air, mereka hanya mencari tempat yang tak ada orangnya dan lantas
terjun, begitu berada di air maka segala sesuatunya terlupakan.
Akibatnya seringkali keluarga pembesar atau hartawan kaya yang
kebetulan lewat dimuka kuil Tong thian koan menjadi tersipu-sipu di
buatnya karena sering melihat rakyat berada dalam keadaan bugil
sedang mandi di telaga.
Itulah sebabnya, suatu hari pihak kota praja Gak yang memasang dua
buah papan pengumuman yang didirikan satu dikiri dan yang lain di
kanan pintu gerbang Tong thian koan hingga mencapai ujung dinding
pekarangan bangunan tersebut.
Isi pengumuman sederhana
"Mulai hari ini, terkecuali bocah lelaki dan kaum wanita, dilarang melalui
jalan ini!"
Begitu pengumuman dikeluarkan rakyat desa keluarga Li dan keluarga
Ong merasa sangat tidak puas.
Tidak puas tinggal tidak puas, namun yang jelas tak ada orang yang
berani mencari gara-gara dengan pihak penguasa, selain menggerutu,
terpaksa setiap hari mereka harus berjalan tujuh delapan li lebih jauh.
Cuma saja setelah pengumuman itu muncul pengunjung yang datang
kekuil Tong thian koan lebih berkurang, lebih-lebih mereka tak bisa
melihat lagi kaum lelaki yang berbugil.
Tak lama sesudah pengumuman itu dipasang wali-kota Gak yang pun
diganti.
Wali-kota baru ini she Gan bernama Wan-sim, konon tayya ini berhati
lurus dan bijaksana, semua perhatiannya hanya dicurahkan pada
kesejahteraan penduduk Gak yang.
Sejak hari pertama memangku jabatan, ia sudah beranggapan bahwa
pengumuman tersebut tidak sesuai namun berhubung pejabat lama baru
pergi, untuk memberi muka ia merasa enggan untuk langsung merubah.
Kendati begitu begitu ia telah menyelidiki duduknya persoalan itu dari
para anak buahnya dan mengetahui alasannya.
Ia pernah memberi pernyataan bahwasanya pengumuman tersebut
terlalu merugikan orang desa.
Menurut pendapatnya alasan yang dipakai kurang cocok, sebab dengan
alasan apapun tak seharusnya melarang orang melalui jalanan yang
lebih dekat dan pendek.
Menurut pejibat baru ini, asal isi pengumuman dirubah menjadi Barang
siapa diketahui mandi telanjang dalam telaga akan dijatuhi hukuman
berat, seharusnya masalah tersebut sudah dapat diatasi.
Tak selang berapa saat kemudian, pendapatnya itu telah disebar
luaskan oleh anak buahnya keseluruh pelosok kota.
Suatu pagi, ketika ia berada diruang sidang telah menerima belasan
lembar surat undangan, surat-surat undangan tersebut kalau bukan dari
saudagar kaya, tentu hartawan berpengaruh, atau kalau bukan berasal
dari bekas-bekas pejabat lama.
Akhirnya terjadi suatu dialog langsung antara pejabat baru dengan
tamu-tamunya, ternyata kedatangan mereka hanya dikarenakan soal
pengumuman tersebut.
Bahkan mereka semua bersepakat agar pengumuman lama tetap
dipertahankan dan jangan di rubah.
Gan tay ya segera menerangkan sudut pandangannya meski pendapat
mana tak bisa diterima pihak lawan, kendatipun demikian Tay-ya
mempunyai kekuasaan sebagai seorang Tay ya, ia telah bermaksud
untuk melaksanakan keputusan menurut pendapatnya itu dalam
beberapa hari mendatang.
Belumlah keputusan mana dilaksanakan mendadak Gan Tay ya diundang
oleh atasannya untuk mengadakan pertemuan, dalam pertemuan mana
atasannya kembali menandaskan bahwa pengumuman itu tak boleh
dirubah, bahkan secara diam diam disertai pula dengan semacam
pemecatan.
Walaupun Gik Tay ya tak senang hati, namun berhubung atasan ada
perintah, ia tak bisa membangkang, apalagi dia belum terbiasa dengan
pekerjaan tersebut, maka diapun tidak bersikeras dengan pendapatnya
lagi.
Belum lama setelah peristiwa itu, suatu senja dikali Gan ya sedang
berbincang bincang dengan dua orang anak buahnya dikamar baca, Lim
Tiong kepala opas kota telah datang menghadap dengan langkah
tergesa-gesa, sambil mengetuk pintu terdengar ia berkata.
"Lapor Tay ya, diluar ada seorang penduduk desa ingin bertemu dengan
tayjin, konon dia mempunyai masalah besar yang amat penting artinya
hendak dilaporkan kepada tay ya !"
Gan wan sim adalah seorang pembesar jujur, seorang pembesar
bijaksana, dia segera mengundang penduduk desa itu agar menghadap.
Begitu masuk kedalam ruangan, penduduk desa siap menjatuhkan diri
berlutut.
Gan Wan Sim segera menitahkan kepada Lim Tiong agar
membangunkan penduduk desa itu, kemudian diperhatikannya wajah
penduduk itu dengan seksama, diam-diam dia lantas mengangguk,
orang itu mempunyai wajah yang sangat jujur.
MenyusuI kemudian, Gan Wan sim lantas berkata pada penduduk desa
itu sambil tertawa.
"Tempat ini adalah kamar bacaku, bukan ruang sidang, maka kaupun
tak usah melakukan penghormatan besar, silahkan duduk !"
Lim Tong segera menyiapkan sebuah bangku batu untuk penduduk itu.
Tentu saja orang itu tak berani duduk, sikapnya menunjukkan perasaan
yaa takut yaa menghormat.
Dengan ramah Gan Wan sim berkata lagi: "Duduk sajalah, mari kita
berbicara secara baik-baik, siapa namamu...?"
"Hamba she Li bernama Li Hong, orang-orang memanggil siaujin
sebagai Li Lo si (si jujur Li)"
"Li Hong, kau bilang ada urusan besar yang sangat penting hendak
dilaporkan kepadaku, persoalan apakah itu?"
Li Hong memandang dua orang tamu yang ada disana, lalu memandang
pula ke arah Li Tiong, setelah itu ujarnya.
"Tay ya, persoalan ini tak boleh di dengar orang lain"
Dilihat dari ucapan tersebut, sudah cukup membuktikan kejujuran dan
kepolosan Li Hong.
Dua orang anggota pejabat itu segera mohon diri dari sana hingga kini
tinggal Li Hong dan Gan tayjin berdua.
Setelah Gan tayjin bertanya lagi, Li Hong baru berkata sambil tertawa
bodoh.
"Tay ya, konon kau adalah seorang pembesar bijaksana, pandai
bekerja, tapi . .. . tayya sudah banyak hari kau memangku jabatan,
mengapa kau masih membiarkan pengumuman itu menempel di tepi
jalan ?"
Gan tayya segera memahami apa yang di maksudkan, sahutnya sambil
tertawa pula:
"Li Hong, kau maksudkan surat pengumuman yang ditempelkan di
depan kuil Tong thian koan itu ?"
Li Hong manggut-manggut, maka Gan tayya pun memberikan
penjelasannya dengan gamblang.
Siapa tahu, dengan wajah serius Li Hong berkata lagi: "Tayya, tahun
ini siaujin berusia lima puluh delapan tahun, sudah
banyak kejadian yang kujumpai, terus terang saja tayya, semenjak
surat pengumuman itu dipasang, hamba tak pernah menganggur lagi.
"Setiap kentongan ke dua, hamba selalu memanjat ke atas sebatang
pohon besar di muka kuil Tong thian koan, selama sebulan lebih, sudah
banyak kejadian aneh yang telah hamba saksikan..."
Menyinggung soal kejadian aneh, paras muka Gan Wan sim segera
berubah hebat.
Selang berapa saat kemudian, dengan sorot mata yang tajam dan
wajah berwibawa dia berseru:
"Li Hong, kejadian aneh macam apa itu ?"
"Thay-ya. setiap tengah malam, pasti ada kereta yang tiba didepan
pintu kuil, serombongan gadis muncul dari dalam kuil dan menggotong
masuk barang barang yang diangkut lewat pedati tersebut..."
"ltu mah kejadian umum, bukan terhitung suatu peristiwa yang sangat
aneh." kata Gan Wan sim dengan kening berkerut.
Li Hong tidak menanggapi perkataan itu, sebaliknya berkata lagi:
"Tay-ya harap kau dengarkan dulu baik-baik, siaujin maksudkan
ada serombongan gadis yang sedang mengangkut "barang" Gan
Wan-sim tertawa.
DaIam sebuah kuil tookoan yang dihuni kaum rahib, memang seringkali
menggunakan tenaga perempuan untuk mengangkuti barang, masa
mereka akan mencari kaum lelaki untuk membantu pekerjaannya ?"
Li Hong turut tertawa, tertawa dari seorang yang jujur, katanya
kembali:
"Soal ini hamba sudah tahu, apalagi kuil Tong thian koan mempunyai
banyak pekerjaan bercocok tanam yang di garap anak- anak gadis
keluarga miskin yg tinggal disekitar tempat itu..."
""Yaa, betu!, buat apa kau mesti merasa heran bila kaum wanita pun
mengangkat barang?"
Li Hong kembali tidak menjawab pertanyaan tersebut, katanya:
"Siaujin telah bilang, waktu itu siaujin memanjat sebatang pohon
besar yang tumbuh berapa kaki didepan pintu gerbang Tong thian koan
dekat tepi telaga, segala sesuatunya dapat terlihat jelas.
"Tayya, setiap kereta mereka lewat dan barang barang dalam pedati
diangkut turun, me ngikuti hembusan angin aku pun turut mengendus
bau yang sangat aneh langsung menyusup kelubang hidung hamba !"
"Bau aneh apakah itu !" tanya Gan Wan sim dengan kening berkerut.
"Ada bau arak, ada bau daging, ada bau amisnya ikan laut serta
udang..." sahut Li Hong setengah berbisik.
Gak Wan siu memandang Li Hong sekejap, lalu berkata: "Li Hong,
dari beberapa macam bau itu kau telah berhasil
membuktikan apa ?" Li Hong segera menggeleng: "Siaujin hanya
melaporkan apa yang telah hamba saksikan
kepada tayya !" -ooo0dw0ooo- DENGAN wajah serius Gan Wan sim
berkata "Li Hong, kuil kecil, too-koan, kuil hweesio semuanya adalah
tempat para pendeta hidup mengasingkan diri, namun sebagai pendeta
bukan diharuskan mereka tak makam barang berjiwa, aku percaya kau
pasti memahami perkataanku ini !"
Kembali Li Hong tidak menjawab apakah dia memahami atau tidak,
sebaliknya melanjutkan.
"Bahkan ada kalanya datang tandu, ada kala nya datang kereta, yang
turun semuanya adalah kaum wanita, nona, mereka semua disambut
para Tokoh masuk ke dalam kuil..."
Gan Wan sim enggan bersilat lidah kelewat lama dengan Li Hong,
kembali tukasnya dengan suara dalam.
Lalu sekalian masuk kuil, tentu saja di sambut para tokoh, kejadian ini
lumrah dan tak aneh !"
Berbicara sampai disitu, Gan Wan sim segera mengulapkan tangannya
sambil menambahkan.
"Bila kau tak ada urusan yang lain, sekarang boleh segera pulang saja."
"Tidak tay ya" kata Li Hong menggeleng, "apa yang siaujin katakan tak
lebih baru seperduanya saja !"
Sekali lagi G,in Wan sim berkerut kening, dia ingin memanggil Lim
Tiong untuk menggusur keluar Li Hong, tapi sebagai pejabat yang baik
ia berusaha menahan hawa amarahnya.
Li Hong memang terlalu jujur, ia tak dapat menilai perubahan wajah
orang, terutama perubahan pada mimik muka tayya tersebut, itulah
sebabnya tanpa ragu dia melanjutkan kem bali pertanyaan yang belum
selesai:
"Sikap, tindak tanduk maupun cara berbicara para tokoh tersebut
sewaktu menyambut-kedatangan perempuan perempuan terhormat itu
benar-benar amat tak sedap di pandang, sama sekali tidak mirip
seorang pertapa yang suci bersih, lebih lebih tidak mirip dengan
keluarga dari orang-orang yang berpendidikan tinggi."
Perkataan tersebut kelewat serius, juga terasa punya isi yang gawat
artinya.
Oleh karena itu Gan Wan sim segera mengiakan Kembali Li Hong
mendengus dingin dengan nada sinis, katanya
lebih lanjut: "Siaujin mempunyai seorang ponakan yang tak becus,
dahulu
seringkali terjerumus dalam rumah rumah pelacuran, terhadap sahabat
mudanya ia seringkali menceritakan adegan adegan porno dalam
rumah-rumah pelacuran itu."
"Tutup mulut" mendadak Gan Wan sim itu membentak gusar,
"Perumpamaanmu itu sungguh amat keterlaluan!"
Li Hong nampak agak tertegun lalu ujarnya: "Tayya, seandainya
perkataan siaujin keterlaluan tayya mau
memenggal kepalaku juga boleh, mau mencincang juga boleh, tapi yang
kuminta bila tayya tidak percaya, besok malam silahkan tayya memanjat
pohon sendiri dan mendengarkan suara hiruk pikuk disitu.."
Gan Wan-sim tertawa geli, dan suara tertawa inipun segera memotong
ucapan Li Hong yang belum selesai.
Agaknya Li Hong telah menyadari kekeliruannya dalam berbicara tadi,
seorang wali kota masa disuruh memanjat pohon hanya untuk melihat
dan mendengarkan sekelompok tokoh bergurau cabul dengan
sekawanan tamu pria, tentu saja peristiwa ini merupakan suatu lelucon
terbesar di dunia ini...
Namun Gan Wan-sim tidak menukas pembicaraan dari Li Hong, sebab
ditinjau dari ucapan mana, ia sudah dapat membuktikan kalau Li Hong
adalah seorang desa yang seratus persen polos dan jujur.
Sementara itu Li Hong telah mengalihkan pokok pembicaraan kesoal
lain, katanya lagi.
"Tayya, tahukah kau, nona-nona serta nyonya nyonya itu pun telah
menganggap kuil Tong thian-koan sebagai rumah kediamannya, setelah
tinggal disana mereka lantas enggan untuk pulang ke rumah lagi."
Gan Wan sim sebagai seorang pembesar yang jujur dan bijaksana, tentu
saja harus meneliti setiap persoalan secermat mungkin, sudah barang
tentu dia tak bisa menerima laporan dengan begitu saja tanpa
melakukan pemeriksaan sendiri.
Maka dia pun manggut manggut seraya berkata: Tentang soal ini
aku memang sudah tahu, hal ini dikarenakan
koancu kuil Tong thian koan memiliki ilmu pertabiban yang sangat
liehay, lantaran pasiennya kelewat banyak maka untuk menunggu
sampai gilirannya terpaksa mereka harus tinggal di kuil itu sambil
menunggu pengobatan."
Mendengar ucapan mana, Li Hong segera tertawa terbahak bahak.
"Haaahhh. . , haaahhh . . . haaahhh ,. . tahu kah Tayya berapa banyak
orang yang tinggal di kuil itu ?"
Gan Wan sim agak tertegun, ia menggeIeng. "Berhubung masalah itu
menyangkut soal kaum wanita, maka
aku merasa kurang leluasa untuk melakukan penyelidikan cuma
menurut keadaan pada umumnya, kalau ada delapan atau sepuluh
orang yang mohon menginap disitu untuk memperoleh pengobatan, aku
rasa hal ini masih belum terhitung seberapa."
Dengan wajah serius Li Hoog segera berkata "Delapan, sepuluh orang?
Tayya, jika kau dapat mengambil keputusan dan tindakan. kirimlah
pasukan tentara dan kepunglah kuil Tong thian koan, siaujin jamin
sudah pasti kau akan berhasil menemukan seratus orang lebih !"
Mendengar laporan itu, paras muka Gan Wan sim berubah hebat, dia
menjadi tak tenang lagi untuk duduk disana.
Kembali Li Hong berkata: "Tayya, bagaimana lihaynya seorang tabib,
mustahil dalam sehari
semalam tanpa makan tanpa tidur ia bisa memeriksa pesien sebanyak
seratus orang lebih, tayyi, apakah kau tidak merasa kalau peristiwa ini
sangat aneh dan mencurigakan.
Tanpa terasa Gan Wan sim manggut-manggut. Kini, perkataan dari
Li Hong makin gawat, "Tayya, sudah siaujin katakan tadi, setiap hari
pada kentongan
kedua, hamba pasti naik keatas pohon untuk mengintip kedalam kuil,
bukan saja kusaksikan kejadian kejadian aneh tersebut, bahkan akupun
berhasil menemukan suatu persoalan yang istimewa!"
"Ooooh, persolan istimewa apakah itu?" "Setiap manusia yang
makan biji bijian sudah pasti akan jatuh
sakit tetapi dua puluh li disekitar tempat ini termasuk perempuan
perempuan yang tinggal dikota Gak yang, justru menderita suatu
penyakit luar biasa!"
Gan Wan sim tidak memahami ucapannya itu, maka dia bertanya:
"Menderita penyakit yang luar biasa? Apa maksudmu?" Li Hong
terttwa terkekeh, lalu ujarnya: "Perempuan yang tinggal disekitar
tempat ini, dari umur empat
lima belas tahun ke-bawah dan empat puluh tujuh delapan tahun keatas
sama sekali tidak menderita sakit apa-apa, justru yang terkena penyakit
adalah perempuan perempuan yang berusia delapan-sembilan belas
tahun sampai tiga puluh delapan sembilan tahun, coba bayangkan tayya,
bukankah penyakit yang mereka derita itu luar biasa sekali ?"
Gan Wan sim segera memahami apa yang dimaksudkan, mendadak ia
beranjak sambil berkata:
"Li Hong, kau bilang didalam kuil sekarang berdiam seratus orang
perempuan?"
"Yaa, mungkin lebih banyak, jeias tak bakal lebih kurang..." "Kau
mengatakan didalam kuil itu tertimbun arak dan minuman
berjiwa dalam jumlah besar?" kembali Gan Wan sim bertanya. Li Hong
mengangguk. "Menjawab pertanyaan tayya, siaujin jamin makanan yang
mereka timbun cukup untuk menjamu seratus orang lebih dan cukup
untuk mengisi perut mereka selama setengah tahun, bahkan mungkin
juga lebih!"
Sepasang alis mata Gan Wan sim berkenyit makin kencang, katanya
kemudian:
"Menurut apa yang kuketahui, Tong thian koan hanya terdiri dari dua
buah ruangan penerima tamu tanpa ruangan lain, kau adalah penduduk
dari dusun keluarga Li, jaraknya dengan Tong thian koan sangat dekat,
benarkah apa yang kukatakan tadi?"
Li Hong manggut-manggut, "Benar" semasa kecil dulu siaujin pernah
mengikuti ibuku berkunjung ke kuil Tong thian koan, gedung penerima
tamu memang terdapat dua buah dengan masing masing gedung
mempunyai sepuluh kamar, hal ini tak mungkin bisa salah.
Agaknya Gan Wan sim sudah mempunyai pertimbangan sendiri dia
bertanya lagi:
"Kapankah suasana kuil itu paling sepi?" "Selewatnya tengah
malam, suasana hening, sepi tak kedengaran
sedikit suarapun!" jawab Li Hong tanpa berpikir panjang. "Kau berada
diatas pohon, apakah suasana dalam kuil dapat
terlihat jelas ...?" "Yaa, sebagian besar memang dapat terlihat jelas!" Li"
Hong
manggut-manggut. "Ketika para tamu memasuki ruang penerima tamu,
apakah kau
pun dapat melihat dengan jelas?" Gan Wan sim bertanya dengan
sangat berhati-hati dan cermat.
Tanpa berpikir panjang Li Hong menyahut "Yang bisa siaujin lihat
adalah ruangan sebelah barat- cuma kejadian ini aneh sekali, pada
hakekatnya dalam ruangan sebelah barat, tidak nampak seorang
manusiapun setitik cahaya lampu pun tak ada, seolah-olah mereka
bukan tinggal didalam sana!"
Semakin memahami duduknya persoalan, Gan Wan sim merasa
semakin yakin dengan ja lan pemikirannya.
Setelah termenung sampai lama sekali, ia baru berkata kepada Li
Hong:
"Aku percaya setiap perkataan yang kau ucapkan itu jujur dan
merupakan kenyataan."
"Jika siaujin berani berbohong hanya setengah patah kata saja, silahkan
tayya menjatuh kan hukuman yang setimpal kepada hamba!" tukas
orang itu cepat.
"Baik, mulai sekarang kau adalah tamu kami segera kutitahkan orang
untuk membereskan sebuah kamar untuk kau tempati, namun kau
dilarang meninggalkan gedung ini, walau hanya selangkahpun
sanggupkah kau laksanakan hal ini?"
"Siaujin sanggup, siaujin bersedia ditampilkan sebagai saksi!" jawab Li
Hong dengan suara lantang.
Maka Gan Wan sim segera berseru dengan lantang: "Gan Sun, Gan
Sun." Gan Sun, pengurus rumah tangga gedung keluarga Gan
segera
mengiakan sambil muncul didalam ruangan. Sambil menunjuk kearah Li
Hong, Gan Wan sim berkata: "Bereskan kamar untuk dia tinggal, sehari
tiga kali makan
perintahkan orang untuk menghantar ke kamarnya, suruh Siau suo- ji
menemaninya, tanpa perintahku, ia dilarang meninggalkan gedung ini
barang setapakpun !"
Gan Sun mengiakan, bersama Li Hong dia berlalu. Gan Wan sim
segera memanggil Lim Tiong dan menitahkan
kepadanya untuk mengundang panglima pertahanan kota, disamping itu
diapun berpesan agar segera datangkan cuma Panglima pertahanan kota
seorang.
Panglima pertahanan kota segera datang, semestinya pangkat panglima
ini tidak lebih rendah daripada pangkat seorang wali kota, tapi
berhubung walikota berkuasa mengatur tata keamanan dalam kota,
maka kedudukan panglima pertahanan kota jadi lebih rendah sedikit
daripada pangkat seorang wali kota.
Sementara itu waktu baru menunjukkan kentongan ke dua. Panglima
pertahanan kota dan Gan ya segera melangsungkan
rapat rahasia selama sepertanak nasi lamanya, kemudian panglima itu
buru-buru memohon diri.
Menyusul kemudian Gan Wan sim menitahkan kepada Lim Tiong untuk
mempersiapkan tiga peleton pasukan opas yang bersenjata lengkap
dengan masing-masing membawa sebuah obor, cuma obor itu dilarang
dipasang sebelum ada perintah.
Kemudian dipimpin langsung oleh Gan Wan sim, berangkatlah
rombongan yang terdiri dari dua puluh enam orang itu menyelinap
dibalik kegelapan.
"Pintu gerbang kota yang sebenarnya telah tertutup, kini dibuka secara
diam-diam.
Panglima pertahanan kota dengan membawa tiga ratus prajurit
bersenjata lengkap sementara itu sudah berkumpul dilapangan depan
pintu gerbang kota menunggu perintah.
Begitu mereka bersua, kedua belah pihak saling menganggukan kepala,
kemudian dengan memimpin pasukan masing-masing bergerak keluar
kota.
Setelah keluar kota, secara diam-diam mereka menyusup ke arah kuil
Tong thian koan.
Sebelum itu Gan Wan sim telan mengirim anak buahnya untuk menjaga
setiap jalan besar dan lorong kecil yang bakal dilalui pasukan inti, atas
perintah wali kita, tiap orang dilarang melalui jaIanan tersebut sebelum
mendapat izin langsung dari wali kota.
Begitulah dalam waktu singkat pasukan besar itu sudah mengepung kuil
Tong thian koan rapat-rapat, tiga ratus prajurit berdiri tiap dua langkah
seorang, segenap kuil itu boleh di bilang sudah terkurung rapat.
Saat itulah Gan Wan sim baru menurunkan perintah untuk memasang
obor dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Lalu di perintahkan untuk mengetuk pintu gerbang kuil Tong thian koan,
tapi sampai lama sekali belum juga adb yang membukakan pintu.
Kenyataan yang terbentang di depan mata ini semakin meyakinkan Gan
Wan sim kalau kuil Tong thian koan telah berubah menjadi tempat
mesum.
Akhirnya Lim Tong mendapat perintah untuk melompati dinding kuil dan
membuka pintu gerbang dari dalam.
Gan Wan-sim kembali menitahkan anak buahnya tiga orang membentuk
satu regu melakukan penggeledahan terhadap seluruh ruangan dalam
kuil, termasuk juga ruang tamu sebelah timur dan ruangan sebelah
barat.
Ui Siu pi panglima pertahanan kota yang sesungguhnya kurang
menyetujui tindakan Gan Wan-sim sewaktu berunding di kantor tadi,
mau tak mau harus merubah pendiriannya setelah menyaksikan kejadian
ini, tanpa terasa katanya kepada Gan Wan sim.
"Gan tayjin, tampaknya kuil ini memang sedikit agak aneh" Gan
Wan-sim tersenyum, "Seandainya dugaan siaute tak
keliru..." Berbicara sampai disini, dia lantas menuding ke arah
semua.opas dan tentara pemerintah yang ada disitu sambil melanjutkan.
"Mereka tak akan berhasil menemukan seorang manusiapun!" Ui
Siu-pi jadi tertegun, "Bukankah tayjin pernah berkata, disini
terdapat seratus orang perempuan...?" Gan wan sim
manggut-manggut. "Benar, siaute memang berkata
demikian" "Lantas mengapa kita tak berhasil menemukan seorang
manusia
pun?" tanya Ui Siu pi ke heranan. Padahal semua jawaban akan segera
terungkap, harap Ui tayjin
suka menanti sebentar lagi." Benar juga, tak selang berapa saat
kemudian semua orang yang
ditugaskan melakukan penggeledahan datang melaporkan bahwa
mereka tidak berhasil menemukan seorang manusiapun.
Dengan suara dalam Gan Wan sim menitahkan. "Kini dengan dua
orang membentuk satu regu menyebarkan diri
di seputar ruangan dan gedung penerima tamu sambil menantikan
terjadinya perubahan selanjutnya.
Semua opas dan tentara pemerintah menyahut dan melaksanakan tugas
masing masing.
Kepada Gan Wan sim, Ui Siu pi kembali berkata: "Gan tayjin,
sebenarnya kejadian aneh apakah yang telah terjadi
ditempat ini?" "Sederhana sekali." jawab Gan wan sim serius, "dalam
kuil Tong
thian koan pasti terdapat lorong rahasia yang menghubungkan ruangan
bawah tanah, semua tokoh serta perempuan yang berjumlah seratus
orang lebih itu kini bersembunyi semua di ruang rahasia bawah tanah!"
setelah mendengar ucapan itu, Ui Siu pi baru menjadi mengerti, katanya:
"Apakah tayjin hendak menjalankan siasat "menjaga pohon menanti
kelinci?"
"Tidak, yang akan siaute lakukan adalah memukul rumput mengejutkan
sang ular!"
Sambil berkata dia lantas memberi tanda agar Lim Tiong maju
kedepan...
Setelah Lim Tiong mendekat, dengan suara lirih Gan Wan sim
berpesan:
"Kau segera naik keloteng bagian genta dan bunyikan sendiri genta kuil
ini!"
Lim Tiong mendapat perintah dan berlalu, tak selang berapa saat
kemudian suara genta telah dibunyikan bertalu-talu.
Sambil manggut-manggut berulang kali," Ui Siu-pi bergumam tiada
hentinya:
"Betul, memang siasat "memukul rumput me gejutkan ular" yang
sangat mujarab !"
Begitu suara genta berhenti berbunyi dari ruangan sebelah kanan telab
datang berita.
Dua orang yang bertugas menjaga di ruangan sebelah kanan adalah
seorang opas yang bernama Si Seng dengan seorang pengawal dari Ui
Siu pi yang bernama Ui Ci-sin.
Tak lama setelah suara genta dibunyikan, patung malaikat yang berada
diruangan sebelah kanan mendadak bergeser ke samping, lalu
muncullah sebuah pintu rahasia yang amat besar dan cukup lebar, pintu
itu cukup untuk di lalui tiga orang yang jalan berjajar.
Sebenarnya Ui Ci sin akan segera bertindak tapi Si Seng si opas
kenamaan itu segera mencegah rekannya bertindak.
Sementara Ui Ci sin masih dibuat keheranan, Si Seng telah berbisik:
"Jangan lupa dengan jaring yang baru saja kita siapkan, mengapa tidak
menunggu saja sampai dia masuk perangkap sendiri ?"
Ui Ci sin segera menjadi sadar kembaii, diapun manggut- manggut
tiada hentinya.
Tak selang berapa saat kemudian, tampak dua orang To koh munculkan
diri dari balik pintu rahasia.
Baru saja mereka menuruni altar dimana patung malaikat tersebut
berada, Si Seng dan Ui Ci sin telah bertindak cepat dengan
membekuknya dan tanpa ditanya lagi langsung di seret ke ruang tengah.
Sementara itu dalam ruang tengah telah di persiapkan sidang darurat
yang di pimpin Wali kota.
Begitu ke dua orang To koh tersebut di gusur masuk ke dalam ruangan,
Si Seng segera memberi laporan:
"Dibelakang patung malaikat ruang sebelah kanan terdapat pintu
rahasia menuju ke ruang bawah tanah, hamba dan Ui Ci-sin berhasil
membekuk mereka ketika mereka munculkan diri karena mendengar
suara genta."
Gan Wan sin segera mengulapkan tangannya menitankan Si Seng agar
menyingkir ke samping, kemudian tanyanya kepada dua orang To koh
tersebut:
"Siapa nama kalian ?" Belum sempat kedua orang Too koh itu
menjawab, dari ruang
sebelah kiri telah berhasil pula membekuk dua orang too koh lainnya.
Ketika ditanyakan ternyata keadaannya tidak jauh berbeda dengan
keadaan di ruang sebelah kanan.
Secara ketat Gan Wan sirn mengajukan serangkaian pertanyaan dia
baru tahu kalau ke empat orang To koh itu adalah Hui im, pek im" Cing
im dan Toan-im.
Ketika Gan Wan-sim menanyakan tentang usia mereka. baru diketahui
bahwa Hui im berusia dua puluh tujuh tahun, Pek im dua puluh empat
tahun, Cing im baru berumur dua puluh tahun, sedang Toan im yang
paling kecil baru berusia tujuh belas tahun.
Gan Wan-sim adalah seorang pembesar yang teliti, dia mulai menyusun
rencana dan pertanyaan untuk mengungkap latar belakang peristiwa itu,
pertama-tama ia bertanya kepada Hui im:
"Sejak kapan kau menjadi pendeta ?" "Pinto mendapat suami yang
tak jujur, akhir nya karena kecewa
dan hambar terhadap kehidupan keduniawian, pinto baru menjadi
pendeta."
Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Pek im, maka Pek im
pun menjawab:
"Pinto pernah dijual orang ke dalam rumah pelacuran, akhirnya setelah
berhasil melepaskan diri, pinto jadi pendeta"
Sewaktu pertanyaan itu ditujukan kepada Cing im, ternyata pendeta ini
sudah mencukur rambut semenjak kecil.
Jawaban dari Toan im pun sama.
Saat itulah Gan Wan sim baru berbisik kepada Ui Siu pi yang duduk
disampingnya.
"Ui tayjin, apakah kau berhasil menemukan sesuatu yang
mencurigakan..?"
Ui Sin-pi juga sudah lama berkecimpungan dalam bidang ini mendengar
pertanyaan itu ia segera manggut-manggut.
"Pernyataan dari Cing im dan Toan im sudah cukup dijadikan bukti yang
nyata."
Dengan serius Gan Wan sim manggut-manggut, dia lantas bertanya
kepada Cing-im dan Toan-im:
"Apakah kalian sudah menjadi pendeta di kuil Tong thian-koan
semenjak masih kecil?"
Cing-im, Toan im segera mengiakan. Tatkala Gan Wan-sim
menanyakan usia sewaktu mereka menjadi
pendeta, Cing-im mengaku berusia dua belas, sedang Toan im sebelas
tahun.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 29
KETIKA ditanyakan sesudah menjadi pendeta apakah mereka pernah
pergi jauh dari kuil Tong thian koan, atau mengalami suatu peristiwa
lain, kedua orang itu mengatakan tidak.
Maka semua pengakuan itu dicatat kemudian memerintahkan mereka
memberi tanda tangan.
Sewaktu Gan Wan sim bertanya kepada Hui im, dia telah bertemu
dengan tandingannya, Sambil menatap wajah Hui im, Gan Wan sim
berkata:
"Kami mempunyai bukti yang nyata menunjukkan bahwa tempat ini
bukan sebuah to koan yang bersih..."
Belum habis dia berkata, Hui im telah menukas: "Tayya, pertama
pinto hendak memberitahukan kepada tayya
bahwa tempat ini adalah kuil tempat tinggal para rahib, tapi
kenyataannya ditengah malam buta Tay ya telah membawa ratusan
orang lelaki menyerbu kemari dengan melewati dinding pekarangan,
pinto rasa cukup didalam hal ini Tay-ya sudah tak mampu memberikan
penjelasan kepada semua penduduk kota."
"Kini Tay ya berulang kali menuduh kuil kami sebagai kuil yang tidak
bersih, sebenarnya persoalan ini sederhana sekali, asal tay ya punya
bukti, silahkan saja diperlihatkan kepada pinto !"
"Hm, dengan mengandalkan kedudukanmu, kau masih belum berhak
untuk meminta bukti dari kami, sekarang aku ingin bertanya kepadamu,
Sang sang koancu, ketua kalian kini berada dalam kuil !"
"Koancti tidak berada dalam kuil !" "Dia berada dimana?" seru Gan
Wan sim sambil menggebrak
meja. "Senja tadi, dia telah diundang kegedung gubernur Lau !" jawab
Hui im angkuh. Gubernur Lau adalah pembesar yang berpangkat tinggi
di
propinsi Sam-siang, kini Hui im telah menggunakan nama pembesar
tersebut untuk menakut-nakuti walikota Gak yang.
Seorang walikota yang berjabatan kecil tentu saja tak akan mungkin
berani mencari gara-gara dengan atasannya kendatipun dia bernyali
besar, sebab hal ini ibaratnya sebutir telur yang hendak diadu dengan
sebutir batu cadas.
Siapa tahu Gan Wan sim memang seorang pembesar yang berbeda
dengan kebanyakan pembesar lainnya, selama kebenaran tetap ada
kendatipun harus berkonfrontasi dengan kaisar pun dia berani.
Maka setelah mendengar nama "gubernur Lau" disinggung, dia hanya
tertawa hambar, lalu ujarnya kepada Lim Tiong yang berada di sisinya:
"Lim Tiong, segera membawa kartu namaku dan berkunjung ke gedung
Lau tayjin, katakan kepadanya kalau ada urusan penting hendak
dibicarakan diharapkan ia segera datang bersama Sang- sang koancu!"
Lim Tiong menerima perintah dan membalikkan badan siap berlalu dari
situ, namun belum lagi melangkah berapa tindak, Hui im, teIah berkata
lagi:
"Aku masih ingat, Pek tayjin dikota selatan juga telah mengundangnya,
Chin lo siangya di kota timur juga mengutus orang kemari, maka kini
koancu berada dirumah siapa, sulit rasanya untuk dikatakan !"
Gan Wan-sin tertawa terbahak-bahak, kepada Lim Tiong serunya:
"Kemarilah kau !" Lim Tiong mengiakan, dia segera berjalan
mendekati. Sambil menuding kearah Hui-im, Gan Wan sim berkata:
"Gusur dia kesudut luar ruangan kuil, perintahkan delapan orang
prajurit menjaganya dengan golok terhunus, sebelum mendapat
perintah dariku, jika ia berani banyak bicara lagi, Segera cincang
tubuhnya berkeping-keping !"
Agak tertegun Ui Ci-sin setelah mendengar perkataan itu, buru- buru
cegahnya:
"Tayjin, aku rasa hal ini kurang sesuai !" Gan Wan-sin tidak memberi
banyak penjelasan, dia mengulapkan
tangannya dan Lim Tiong menggusur pergi Hui im dari situ. Selang
berapa saat kemudian, Gan Wan sim baru berkata kepada
Pek im:
"Dengarkan baik-baik, kini aku sudah mengetahui penyakit kalian. jika
kau bersedia bicara jujur, aku akan menghapus dosamu serta
mengembalikan kedudukanmu sebagai perempuan baik-baik.
"Tapi, jika kau berani bicara sembarangan atau menipu, Aku percaya
kau belum pernah merasakan bagaimana enaknya dipantek diatas
lempengan besi yang membara, apalagi kau bisa dihukum seumur hidup
sehingga hidupmu sengsara, mengerti ?"
Pek im menjadi ketakutan setengah mati, buru-buru dia mengiakan
berulang kali.
Pada saat itulah Hui im yang berada di sudut luar kuil berteriak keras:
"Pek im, tutup mulut, jangan bicara apa apa. d!a tak akan mampu
berbuat apa apa terhadap kita, jika kau sampai berbicara, bukan cuma
kami saja yang bakal celaka, orang-orang itu..."
"Lim Tiong, cincang tubuhnya !" bentak Gan Wan sim ke arah luar,
Menyusul perintah itu dari luar ruangan kedengaran suara bacokan
golok yang bertubi-tubi disertai jeritan jeritan ngeri dari Hui im yang
menyayatkan hati, sampai lama kemudian suasana baru berubah
kembali menjadi hening.
Menyusul kemudian, Lim Tiong dengan membawa sebilah golok yang
penuh berpelepotan darah berjalan masuk ke ruang dalam dengan
langkah lebar, sambil berlutut dia mengangkat tinggi-tinggi goloknya
sambil berseru.
"Hukuman telah dilaksanakan, silakan tayya memeriksa golok hukuman
!" Gan Wan sim menyahut, lalu sambil menuding ke arah Pek im
katanya:
"Sekarang gusur juga dia, bacok sampai mampus !" Lim Tiong
segera menarik pula Pek im ke luar dari ruangan, Ui
Ci-sin yang menyaksikan kejadian itu segera berubah muka. Tanpa
pengakuan, tanpa bukti, jangankan cuma seorang
walikota, sekalipun seorang Bubernur pun tak boleh
membunuh
orang tanpa sebab, apalagi membunuh secara sewenang- wenangnya.
Tapi Gan Wan-sim sedikitpun tidak takut, hal ini benar- benar
merupakan suatu kejadian yang aneh.
Gan tayjin tidak takut, Pek-im justeru takutnya setengah mati, ia duduk
diatas lantai tak mau berkutik. Lim Tiong mendengus dingin, ia segera
mencengkeram bahunya dan berseru "Hmm, kau tak bisa seenaknya
sendiri, ayo jalan !"
Dengan gugup Pek-im segera berteriak keras. "Pinto bersedia untuk
mengaku !" Maka semua pertanyaan yang diajukan segera dijawab
cepat, tak
selang berapa saat kemudian pengakuan dari Pek-im, Cing-im dan Toan
im telah dicatat, ditanda tangani pula oleh Oi Siu-pi sebagai saksi.
Selesai pengakuan, Pek-im sekalian bertiga diperintahkan untuk digusur
pergi, sedang Gan Wan sim yang kuatir Ui Siu pi merasa tak tenang,
segera berkata sambil tersenyum.
"Harap Ui tayjin jangan kuatir, Hui im sebenarnya tidak mati !" Ui Siu
pi menjadi tertegun. "Aaah, bagaimana mungkin? Darah yang
bercucuran dan suara
jeritan yang memilukan hati itu.. "Semuanya cuma pura pura !" tukas
Gan Wan sim. Ui Siu pi segera tertawa, mau tak mau dia harus
mengagumi
kecerdasan pembesar itu. Setelah urusan diluar selesai, dibawah
komando Gan Wan sim
dan mengikuti apa yang diakui Pek im, tiga buah pintu rahasia yang
menghubungkan ruangan bawah tanah segera dipentang lebar- lebar,
lalu duapuluh orang opas dan empat puluh orang tentara pemerintah
bersama-sama menyerbu ke dalam...
Keadaan dibawah tanah sana benar-benar membuat orang menghela
napas panjang.
Ternyata disitu terdapat puluhan buah kamar yang indah dengan
sebuah dapur besar dan ruang penyimpanan bahan makanan yang
besar.
Begitu masuk keruang bawah tanah, sudah terdengar suara tetabuhan
yang merdu merayu.
Para prajurit dan opas segera melakukan penggeledahan kamar demi
kamar, sebuah pemandangan anehpun segera ditemukan.
Dari dalam ruangan pertama ditemukan beberapa orang perempuan
berparas cantik.
Ada diantaranya sedang menyulam, ada yg sedang bermain catur, ada
pula yang sedang minum teh sambil berbincang-bincang.
Setelah dilakukan penggeledahan terhadap separuh bagian dan
bangunan tersebut, kendatipun tak ditemukan hal-hal yang kotor, tapi
terbukti sudah kalau perempuan perempuan itu adalah perempuan sehat
yang tidak menderita penyakit apa-apa.
Sejak penggeledahan dilakukan, para wanita itu sudah dibikin kaget,
apalagi setelah Gan Wan-sin menurunkan perintah yang melarang setiap
wanita yang ditemukan dslam kamar di larang keluar, bahkan
ditempatkan penjagaan secara ketat, suasana makin bertambah
gempar.
Akhirnya dalam sebuah kamar yang indah ditemukan Sang-sang koancu
sedang bergembira dengan dua orang perempuan, menurut Iaporan
Sang sang koancu berada dalam keadaan bugil.
Yang dimaksudkan bugil disini bukan telanjang bulat, melainkan tubuh
bagian luarnya di tutup dengan jubah pendeta yang longgar, tapi jubah
itu tidak dikancing, sedang dibalik jubah tanpa busana barang
secuilpun, seorang rahib ternyata berada dalam keadaan begitu, tentu
saja hal tersebut merupakan suatu berita besar yang cukup
menggemparkan.
Ketika gudang rangsum diperiksa, seperti apa yang dilaporkan Li Hong,
daging dan sayur serta beras dan arak yang disimpan disitu cukup
untuk menghidupi ratusan orang dalam setengah tahun.
Dari sebuah regu kecil yang melakukan penggeledahan, dilaporkan pula
secara rahasia bahwa mereka bukan saja menemukan benda yang tidak
seharusnya ditemukan dalam kuil Sang sang-koan, bahkan dikeluarga
biasapun jarang sekali ditemukan.
Sepintas lalu, benda itu mirip kain pembalut wanita. Padahal bukan
begitu, benda itu tak lain adalah benda rahasia yang seringkali dipakai
para dara ketika menghadapi malam pertamanya.
Tanpa menggubris tempat itu kotor atau tidak, dalam ruangan dimana
Sangsang koancu ditemukan itulah Gan Wan sim membuka sidang.
Belum lagi Gau Wan sim membuka suara, Sang-sang koancu sudah
tertawa dingin tiada hentinya sambil berseru:
"Bagus bagus sekali, besar amat nyalimu !" Gan Wan sim memperbaiki
tempat duduknya.
Baru saja akan menegur, tiba-tiba datanglah kabar buruk. seorang
datang memberi laporan, sepuluh orang datang memberi
laporan, suara orang yang memberi laporan semakin lama semakin
banyak, suasanapun makin hiruk pikuk
Dari awal sampai akhir isi laporannya sama semua, yakni ada orang
bunuh diri.
Begitu mendengar ada orang bunuh diri, Gan Wan sim mulai merasa tak
tenteram.
Peristiwa bunuh diri berlangsung secara beruntun. ketika akhirnya
diperiksa dengan jelas dalam sekejap mata inilah sudah ada tiga puluh
empat orang perempuan dengan menggunakan pelbagai cara yang
berbeda, bunuh diri dalam kamar tahanan mereka.
Paras muka Ui Siu-pi seketika berubah menjadi pucat pias karena
terperanjat.
Paras muka Gan Wan sim pun turut berubah. Bahkan keringat sudah
mulai membasahi jidatnya.
Sesungguhnya hal ini merupakan keteledorannya, ia tak pernah berpikir
sampai kesitu, menanti perintah diturunkan untuk mengawasi
perempuan-perempuan itu lebih ketat, kembali ada tiga orang menemui
ajalnya. Dengan demikian seluruhnya ada tiga puluh tujuh orang
perempuan yang melakukan bunuh diri di dalam ruang bawah tanah kuil
Tong thian-koan.
Ketika suasana kacau itu sudah mulai mereka, dengan lantangnya
Sang-sang koancu menuntut kepada Gan Wan sim untuk mengembalikan
baju dalam serta kaos kakinya.
Sementara Gan Wan sim masih mempertimbangkan apakah akan
mengembalikan atau tidak, sambil tertawa dingin Sangsang koancu
telah berkata lagi:
"Gan tayjin. lebih baik kembalikan saja kepadaku, kecuali kalau kau pun
ingin membawa aku menghadiri sidang pengadilan !"
Setelah berhenti sejenak, sambil tertawa dingin kembali ujarnya:
"Andaikata sampai terjadi kejadian semacam ini, heehhh...
heeehhh... aku kuatir hal mana tak akan memberikan manfaat apaapa
untuk Gan tayjin pribadi."
Gan Wan-sim adalah seorang pembesar yang tidak takut menghadapi
ancaman maupun gertak sambel, namun sebagai seorang pembesar
bijaksana, tentu saja ia tak dapat menyeret Sang-sang koancu
menghadap kesidang dalam keadaan bugil.
Maka Gan Wan-sim menitahkan anak buah nya untuk mengembalikan
pakaian dalam serta kaos kaki Sang-sang koancu dan membiarkan ia
mengenakannya kembali.
Sementara itu semua benda bukti yang kotor itu sudah dikumpulkan dan
diletakkan didalam kamar tidur Sang-sang koancu.
Gan Wi,n-sim dan Ui Siu-pi juga telah mempersiapkan sidang untuk
melakukan pemeriksaan.
Sambil menuding kearah barang bukti yang berserakan diatas meja,
Gan Wan-sim berkata:
"Sang-sang, kuanjurkan kepadamu untuk membicarakan secara jujur
saja, darimana datang-nya barang-barang itu ?"
Sang-sang koancu mendengus dingin. "Hmm, tayya ! Usiaku sudah
cukup dewasa, kalau dibilang aku
tidak mengetahui benda apakah itu, setiap orang tak akan percaya, tapi
kalau ditanyakan darimana datangnya benda-benda itu, hal mana harus
ditanyakan ke pada Tay-ya sendiri!"
"Apa maksud perkataanmu itu ?" bentak Gan Wan sim dengan gusar.
Seakan akan tak pernah terjadi sesuatu apapun, jawab Sang seng
koancu dengan tenang:
"Benda benda semacam ini hanya akan ditemukan bagi perempuan yang
akan menginjak dewasa atau dalam malam pengantin mereka."
"Tong thian-kau merupakan tempat pertapaan para rahib, tolong tanya
tayya, darimana pun koancu bisa tahu darimana datangnya
barang-barang kotor yang memuakkan itu ?"
Gan Wan-sim segera menggebrak meja sam bil membentak: "Paling
tidak ada belasan orang yang membuktikan kalau bendabenda
tersebut berhasil ditemukan ditempat ini !" "Siapakah saksinya
?" tanya Sang sang koan cu dingin. "Para opas dan tentara pemerintah
yang menemukan bendabenda
tersebut..!" Sang-sang koancu tidak menjawab pertanyaan itu,
sebaliknya
berkata secara tiba-tiba: "Tay-ya, tahukah kau penghasilan kuil ini
besar sekali, jemaah
yang memasang hio disini tak terhitung banyaknya, paling
tidak,
setiap tahun kami bisa memperoleh lima ribu tahil perak sebagai uang
dupa."
Sambil mendengus dingin Gan Wan sim menukas: "Sekalipun kau
menghadiahkan semua kuil Tong thian koan ini
kepadaku pun jangan harap bisa memperoleh pelayanan yang lebih
baik dariku, apa lagi aku paling benci dengan segala macam bentuk
suap!"
Sang-sang koancu segera menggelengkan kepala berulang kali. "Tay
ya, kau keliru" ujarnya, "sudah jelas kau tahu, aku tak
mungkin akan menyerahkan penghasilan kuil kami kepadamu, maka
sekarang kau membawa orang datang mencelakai diriku ditengah
malam buta begini!"
Gan Wan sim jadi naik darah, serunya kepada Lim Tong dengan suara
dalam:
"Lim Tiong, hadiahkan tempelengan kepada nya!" Dua puluh kali
tempelengan keras seharusnya akan membuat
mulut Sang sang koancu berdarah tapi kenyataannya rahib itu masih
tetap tenang saja, seolah-olah sama sekali tidak merasakan akan hal itu,
bahkan mengeluh sedikitpun tidak!
Kejadian ini benar-benar aneh sekali! Setelah kena ditempeleng,
tentu saja Sang sang koancu tak akan
menyudahi persoalan sampai disitu saja, sambil menyeringai seram
katanya.
"Orang she Gan, bagus sekali tempelengan mu itu! Kini aku berada di
bawah kekuasaanmu hingga tak bisa banyak berkutik, tapi ingat saja,
cepat atau lambat suatu ketika aku pasti akan memberikan pembalasan
yang cukup setimpal kepadamu.
"Bila hari semacam itu telah tiba, hmm orang she Gan, kecuali kau
benar-benar bisa mem buktikan kalau kuil kami adalah sebuah kuil yang
cabul, kalau tidak, dua puluh kali tempelengan pada hari
ini ditambah dengan beberapa kali rentennya pasti akan kutuntut
kembali!"
Walaupun Ui Siu pi adalah seorang panglima perang, ia tak tahan juga
menyaksikan kejadian seperti ini, segera bentaknya:
"Didalam operasi yang dilancarkan kali ini aku dan Gan sian leng belum
pernah berpisah barang setengah langkahpun, percuma saja segala
siasat busuk mu itu, aku berani bertindak sebagai saksi untuk
membuktikan kenyataan dari kesemuanya itu!"
Sang sang koancu sama sekali tidak ambil perduli, katanya dengan
hambar:
"Siu pi tayjin kau tak usah kuatir, dalam surat pengaduanku nanti pasti
akan mencantum-kan pula namamu!"
Ui Siu pi tertawa dingin. "Siapa benar siapa salah, mana yang hitam
mana yang putih
semuanya sudah tertera jelas kau bisa berbuat apa lagi?" Sang sang
koancu mendengus dingin, lalu mengucapkan kata
kata yang cukup menggetarkan sukma: "Siapa benar siapa salah bisa
mempengaruhi apa? Benda kotor
itu kalian yang temukan, siapa bilang hitam dan putih tak dapat di
bedakan? Asal bisa ditemukan bukti, itulah bukti nya, Dan bukti yang
jelas sekarang tayjin berdua adalah orang lelaki!"
Setelah berhenti sejenak kembali lanjutnya: "Asalkan kalian bisa
menemukan orang lelaki di dalam kuil Tong
thian koan ini, sekalipun hanya satu orang, aku akan segera
menyerahkan diri, tapi bila tak berhasil ditemukan hmm, hmmm!"
Gan Wan sim dan Ui Siu pi menjadi tertegun, terpaksa mereka turunkan
perintah untuk sekali lagi melakukan penggeledahan
Seluruh ruang bawah di geledah, segenap ruangan kuil Tong thian koan
di periksa tetapi laporan yang datang berulang kali
semuanya mengatakan tidak ada, bahkan seorang bocah lelaki pun tak
pernah ditemukan.
Sang sang koancu segera tertawa, senyuman licik yang penuh dengan
kekejian.
Kemudian dengan sikap seakan akan tidak pernah terjadi sesuatu
apapun, dia berkata:
"Tiga puluh tujuh orang gadis telah melakukan bunuh diri karena malu,
marah dan juga merasakan gemas lantaran dimalam buta ada
serombongan orang Ielaki menyerbu masuk ke-dalam kamarnya,
kejadian ini merupakan kenyataan fakta.
"Kenyataan ini tak mungkin bisa di pungkiri lagi, sekalipun bisa di
pungkiri belum tentu keluarga sang korban mau menyudahi persoalan
sampai disini saja, hmm, hanya sebuah kota kecil saja penjagaan
keamanannya sudah begitu rapih, ingin aku lihat sampai di manakah
tanggung jawab kalian terhadap peristiwa berdarah ini?"
Berbicara menurut keadaan yang sebetulnya jangankan tiga puluh tujuli
lembar nyawa, sekalipun ada selembar nyawa yang melayangpun
panglima keamanan kota harus memikul tanggung jawab yang berat itu.
Maka penggeledahan dilaksanakan segera. Hingga fajar menyingsing,
mereka tak berhasil mendapatkan suatu apapun.
Dalam keadaan demikian, perasaan hatinya Gan Wan sim mulai tak
tenteram, sedangkan Ui Siu pi merasakan hatinya selalu murung dan
kesal.
Para perempuan yang belum mati itu segera diperiksa dengan seksama,
mereka disuruh menulis namanya termasuk nama suami
masing-masing, usia dan tempat tinggal.
Dari pemeriksaan yang dilakukan kali ini, Gan Wan sim kembali
mendapatkan hal-hal yang membuat hatinya makin yakin.
Dia lantas menitahkan orang untuk mendatangkan peti mati, guna
membereskan layon ketiga puluh tujuh orang gadis yang bunuh diri dan
menjajarkan peti mati mereka diruang samping pengadilan, sementara
Sang sang koan cu sekalian digusur kedalam pengadilan.
Tatkala peristiwa ini tersiar keluar, siang nya hampir semua keluarga
hartawan kaya, saudagar kaya dan pembesar tingkat tinggi berdatangan
ke ruang pengadilan.
Keluarga ketiga puluh tujuh orang gadis yang bunuh diri pun datang
menuntut keadilan sambil mencari tahu duduk persoalan yang
sebenarnya.
Sambil menekan kobaran amarah dalam hatinya, Gan Wan-sim
menghadapi semua persoalan dengan sewajarnya dan makin
meyakinkan pandangan dalam hatinya.
Yang paling jelas mencurigakan dalam peristiwa ini adalah kematian dari
ketiga puluh tujuh orang gadis itu, menurut keterangan yang berhasil di
kumpulkan, disebutkan bahwa ke tiga puluh tujuh orang gadis itu masih
berstatus perawan.
Gan Wan-sim segera mencari dukun beranak dan memerintahkan
kepada mereka untuk melakukan pemeriksaan terhadap gadis-gadis
yang mati bunuh diri itu.
Alhasil diketahui bahwa semua gadis yang bunuh diri itu sudah berada
dalam keadaan tidak perawan lagi.
Setelah bukti berada di depan mata, Gan Wan-sim semakin memahami
lagi sebab-sebab kematian gadis-gadis tersebut.
Ketika seratus orang perempuan lainnya di teliti kembali, ternyata
diantara mereka tak seorangpun berstatus gadis, jadi peristiwa ini
makin menjadi jelas.
Seorang perempuan yang sudah tidak perawan lagi memang sukar
dibuktikan apakah ia ternoda atau tidak, sebaliknya kalau gadis perawan
yang ternoda maka hal itu dapat terbukti dalam sekali periksa saja.
Namun, bagaimanapun lengkapnya bukti-bukti tersebut, bila tanpa bukti
yang paling penting yakni orang lelaki, peristiwa ini bisa mengakibatkan
Gan Wan sim dan Ui Sia pi kehilangan batok kepalanya.
Barang-barang kotor sudah ditemukan. Jumlah rangsum yang
ditemukan sudah mencurigakan Status perempuan perempuan itupun
sudah jelas. Bahkan didalam kuil Tong-thian-koan telah ditemukan
ruang
bawah tanah yang sama sekali diluar dugaan setiap orang. Tatkala Gan
Wan sim menerangkan pelbagai persoalan ini
kepada para keluarga hartawan dan saudagar kaya itu, pertanyaannya
memang menghasilkan pengaruh yang besar, membuat orang orang itu
tak bisa berkutik dan ber bicara banyak.
Tapi tanpa ada pengakuan dari Sang sang koancu dan tidak berhasil
ditemukannya seorang yang ditangkap oleh Gan Wan sim pun tak bisa
membaurkan masalahnya menjadi berlarut-larut.
Sementara itu, peristiwa tersebut telah menggusarkan panglima perang
yang ditempatkan di kota itu.
Tat heran kalau pembesar ini menjadi naik darah, karena selirnya yang
ketiga merupakan salah seorang yang ditangkap oleh Gan Wan sim.
Ia lantas menghadap gubernur dan menekankan kepadanya untuk
segera menyelesaikan peristiwa ini.
Tatkala peristiwa itu telah berlangsung, Gubernur telah mengundang Gan
Wan sim untuk menghadap serta mencari keterangan tentang peristiwa
itu maka tentu saja Gubentur tidak ingin mencari penyakit dengan
mencampuri masalah itu.
Kini Tiga puluh tujuh lembar nyawa sudah melayang, bila Gan Wan sim
salah bertindak, hal ini bisa berakibat sang wati kota dipenggal
kepalanya sebagai orang yang pintar tentu saja dia tak ingin mencari
penyakit buat diri sendiri.
Maka ketika sang panglima perang memerintahkan kepadanya untuk
membereskan persoalan ini, dengan cepat dia menjawab.
"Peristiwa ini sudah ditangani oleh wali kota dan lagi batas waktu pun
sudah ditetapkan untuk segera menyelesaikan masalahnya, menurut
pendapat hamba, keliru besar jika masalah ini diserah terimakan kepada
orang lain"
Dengan perasaan tak senang panglima perang itu berseru: "Aku
tidak memahami perkataan itu!" "Harap tayjin mengerti, Gan Wan
sim diangkat langsung oleh Sri
Baginda, ia telah di beri wewenang untuk bertindak sekehendak
hatinya, jika bukan begini, tak mungkin ia begitu bernyali berani
mendatangi kuil Tong thian koan.
"Sekarang ia dan Ui Siu pi sedang berusaha melakukan pemeriksaan
meski berakhir tiga puluh tujuh orang gadis bunuh diri, namun aku pikir
dia pasti mempunyai persiapan yang cukup matang sebelum berani
bertindak memikul resiko yang besar ini.
"Andaikata persoalan pada akhirnya menjadi terang dan terbukti Tong
thian koan tak terlibat dalam perbuatan mesum, aku pikir ... Gan Wan
sim harus bertanggung jawab atas kematian ketiga puluh tujuh jiwa itu
dan aku rasa dia tak akan lolos dari kematian."
"Sebaliknya bila pada akhirnya terbukti jika dalam kuil Tong thian koan
terdapat pendeta gadungan, di tambah barang bukti sudah lengkap,
maka bukan saja tiga puluh tujuh orang yang sudah mati itu memang
sudah sepantasnya mati, keluarga mereka pun harus ikut bertanggung
jawab atas peristiwa ini."
"Coba bayangkan saja betapa besar dan seriusnya masalah ini, kini Gan
Wan sim sedang menangani masalah itu, bagaimana akhirnya sudah
pasti akan terungkap, karerna itu kuharap tayjin suka bersabar diri dan
tunggulah keputusan akhir dari masalah itu."
Karena merasa perkataan itu masuk diakal maka dengan perasaan apa
boleh buat dia harus memohonkan diripun, sebelum pergi ia
memerintahkan orang untuk menyampaikan pesan nya
kepada Gan Wan sim bahwa peristiwa itu harus sudah diselesaikan
dalam sepuluh hari.
Dalam surat balasannya Gan Wan-sim minta waktu selama sebulan,
karena tak bisa menampik akhirnya panglima perang itu mengabulkan
tapi di tambah, waktu yang diberikan tak bisa diundur lagi walau sehari
pun.
Sejak saat itulah Gan Wan-sim melakukan sidang dan penyelidikan yang
seksama siang malam tiada hentinya.
Setiap hari para keluarga kaum saudagar dan hartawan kaya hadir di
sidang dan mengikuti pemeriksaan tersebut dengan seksama.
Setengah bulan kemudian, berita yang tersiar ditempat luaran mulai
tidak menguntungkan posisi Gan Wan-sim.
Karena menurut hasil penyelidikan sebelas orang murid dari Tong thian
koan semuanya berkelamin perempuan.
Sejak peristiwa itu meletuk hingga saat ini mereka belum berhasil
menemukan seorang lelaki pun.
Maka berita yang tersiar makin santar, orang bilang apa yang dikatakan
Sang-sang koancu bisa jadi benar, tentu Gan Wan-sim dan Ui Siu-pi
kemaruk harta, karena itu mereka sengaja berkomplot untuk merusak
nama baik Tong-thian koan.
Orang bilang, dari pada difitnah lebih baik mati saja, itulah sebabnya
tiap hari Gan Wan sim dan Ui Siu pi harus menekan batin sambil
bermuram durja.
Akhirnya dalam keadaan apa boleh buat, mereka mengundang Li Hong
dan melakukan pemeriksaan secara diam-diam.
Jika tidak melakukan pemeriksaan masih mendingan, begitu pemeriksaan
dilakukan, hampir meledak dada kedua orang pembesar ini saking
mendongkolnya.
Menurut Li Hong. ia berkata begini, "Waktu itu siaujin berkata bahwa di
dalam kuil disimpan arak dan daging yang cukup di santap
seratus orang selama setengah tahun, dalam hal ini, kini sudah terbukti.
Kedua, siaujin pernah pula bilang bila kuil Tong tong thian koan
diperiksa, maka paling tidak akan ditemukan ratusan orang perempuan
yang berdiam disitu, dan kini ucapan siaujin pun sudah terbukti siaujin
tokh tidak berbohong barang sepatah katapun.
"Yang telah kukatakan tadi merupakan laporanku, tapi siaujin toh tak
pernah memberi laporan kalau dalam kuil Tong thian koan bersembunyi
orang laki-laki, maka perkembangan sampai keadaan sekarang ini bukan
tanggung jawab siaujin."
Benar, Li Hong memang berkata demikian, namun siapapun yang
mendapat laporan tersebut sudah pasti akan menghubungkan peristiwa
itu dengan persoalan lainnya.
Kini persoalannya sudah berkembang menjadi makin besar, bahkan
sudah jatuh korban tiga puluh tujuh orang tewas karena bunuh diri.
Waktu masalahnya ditanyakan lagi kepada Li Hong, dia justru mencuci
tangan bersih-bersih, dapat dibayangkan siapa yang sanggup menahan
diri ?"
Gan Wan sim masih dapat menahan diri, namun Ui Sio-pi tak sanggup
mengendalikan diri lagi, sambil menuding Li Hong, serunya dengan
suara dalam dan berat.
"Rakyat celaka, rakyat celaka, kau hanya mendatangkan bencana buat
kami..."
Sambil tertawa getir Gan Wan sim segera mencegah, katanya: ”Ui
tayjin, percuma menghukum dia, malam itu dia memang
cuma berkata begitu, semuanya ini harus salahkan kecerobohanku
sendiri,tapi Ui tayjin toh membuktikan sendiri bahwa semua penyelidikan
kita sekarang tak ada yang salah !"
Dengan mendongkol Ui Sio-pi mendepak-depakkan kakinya berulang
kali, serunya:
"Gan tayjin, persoalannya memang mencurigakan... aaah, tidak, sudah
pasti ada hal hal yang tidak beres, akan tetapi jika tak berhasil
menemukan pembunuhnya, toh urusan ini bakal berakhir dengan
kematian kita berdua."
Sekali lagi Gan Wan sim tertawa getir, namun dia tidak menjawab
separah katapun.
Sementara itu Li Hong yang berada di bawah telah bertanya lagi.
"Tolong tanya tayjin berdua, apa yang disebut pembunuhnya?"
"Kami hendak mencari lelaki yang membuat perbuatan terkutuk
ini!" kata Gan Wan sim dengan kening berkerut. Li Hong tertawa. "Aneh
benar, adakah apakah koancu itu bukan seorang lelaki?" Sebelum Gan
Wan sim menjawab, Ui Siu pi telah membentak
dengan suara dalam: "Andaikata dia adalah seorang lelaki, buat apa
pada malam ini
kami bertanya kepadamu?" "Tapi, koancu itu jelas adalah seorang
lelaki?" kata Li Hong
dengan wajah tercengang. Sementara itu Gan Wan sim sudah dapat
menangkap kata dibalik
kata dari kakek tersebut maka diapun berkata: "Dari mana kau bisa
tahu ?" Li Hong segera tertawa terkekeh kekeh. "Hee... heeh... heeeh...
tayjin, seperti aku seorang yang begini
bodoh, aku berani menghadap pembesar ? Dan lagi mana mungkin aku
bisa begitu menganggurnya hingga bersedia memanjat pohon sambil
menahan rasa kedinginan."
"Berbicara sebenarnya aku berbuat demikian karena ada alasan
tertentu, ada seorang loyacu berambut dan berjenggot putih yang
pada suatu hari datang mencari siaujin, dia bertanya kepada siaujin
apakah ingin menerima seribu tahil perak.
"Seperti tayjin ketahui, Siaujin hidup miskin dan sengsara, tentu saja
siaujin bersedia setelah mendengar ada seribu tahil perak bisa di dapat,
namun siaujin tak berani melakukan perbuatan tidak halal yang
melanggar hukum, maka sebelumnya siaujin tanyakan masalah ini
sejelas-jeIasnya.
"Begitu aku bertanya, Ioya-cu itu baru memberitahukan kepada siaujin,
agar sejak hari itu setiap kentongan pertama harus memanjat pohon,
setengah bulan kemudian siaujin harus melaporkan apa yang hamba
saksikan itu kepada Gan tayya."
"Loya-cu itu untuk memberitahukan pula sebuah rahasia kepada siaujin,
katanya suatu ketika tayya pasti akan kesal oleh peristiwa ini karena
ingin cepat cepat menemukan si penjahat tersebut.
"Jika hari semacam itu telah tiba, loya-cu itu kembali berkata, tayya
tentu akan teringat siaujin dan melakukan pemeriksaan lagi, pada saat
itulah dia menyuruh siaujin minta hadiah seribu tahil perak dulu kepada
tayya sebelum mengemukakan rahasianya !"
Seribu tahil perak, bukan suatu jumlah yang kecil artinya. Tapi Ui
Siu-pi tanpa menunggu pendapat dari Gan Wan-sim
segera berseru lantang: "Baik, baik, cepat katakan apa rahasianya?"
Gan Wan sim jauh lebih pandai menahan diri, segera serunya
keluar ruangan: "Litn Tiong, masuk kemari!" Lim Tiong menyahut dan
melangkah masuk. Gan Wan-sin segera memerintahkan kepadanya:
"Coba kau pergi ke Ciaya sana dan tanyakan, apakah dalam
gudang masih tersedia seribu tahil perak, andaikata ada,
segera
bawa kemari, kalau tak ada, segera cari akal untuk menyelesaikan,
cepat !"
Sewaktu Lim Tiong hendak pergi, Li Hong berseru sambil mengulapkan
tangannya.
"Lim tayjin, harap tunggu sebentar." Lim Tiong tertegun dan
memandang kearah Li Hong, sementara
itu, Li Hong telah berkata kepada Gan Wan sin: "Tayjin, siaujin tahu
kalau tayjin adalah seorang pembesar yang
bersih, uang yang di simpan dalam gudang baru dipakai jika ada urusan
besar, aku hanya berharap tayjin suka mengingat saja akan seribu tail
perakku itu kau tak usah membayar kontan saat ini juga."
Gan Wan sim tertawa, ia mengulapkan tangan memberi tanda pada Lim
Tiong bila disini tak ada urusan lagi dan boleh segera mengundurkan
diri dari situ.
Setelah Lim Tiong berlalu dengan wajah termangu-mangu, Gan Wan sin
baru berkata lagi kepada Li Hong:
"Baik, sekarang urusan sudah selesai kujamin pasti ada seribu tahil
perak sebagai imba lan untukmu!"
"Kalau begitu bagus sekali." Li Hong tertawa, "tolong tanya tayya, hari
ini tanggal berapa?"
"Tanggal sembilan belas." Li Hong segera menghitung sebentar
dengan jari tangannya lalu
berkata: "Pada tanggal dua puluh sembilan tengah hari nanti, harap
tayya
suka melangsungkan sidang terbuka, pintu gerbang pengadilan boleh
dibuka lebar-lebar, setiap rakyat boleh mengikuti jalannya sidang,
terutama keluarga dari saudagar dan hartawan kaya, mereka lebih lebih
harus hadir.
"Sampai waktunya, siaujin akan membongkar rahasia itu di depan
umum, tanggung si-biang keladi dalam peristiwa ini akan terungkap
jelas!"
"Apakah sekarang belum dapat diutarakan lebih dulu?" desak Ui Siu-pi
dengan gelisah.
Li Hong segera memperlihatkan wajah serba salah. Gan Wan sim
yang menyaksikan hal itu, segera ujarnya sambil
tertawa. "Baik, kalau begitu pulanglah dulu, pada tanggal dua puluh
sembilan nanti aku akan memohon bantuanmu lagi" Maka persoalan itu
pun diputuskan demikian Gan Wan sim
segera memenuhi janjinya pula dengan pihak Gubernur. Selama
beberapa hari ini, para keluarga mereka yang mati pun
telah membeli peti mati yang berkwalitet baik untuk mengurusi lelayon
keluarganya yang bunuh diri.
Namun sebelum perkara itu diputuskan, peti mati masih harus tetap
berada diruang sidang dan tak boleh di kubur dulu.
BegituIah, pada tanggal dua puluh sembilan suasana disekitar gedung
pengadilan kota Gak yang menjadi sangat ramai, pengunjung yang
memenuhi gedung dan seputar gedung berlimpah ruah.
Gan Wan sin segera menurunkan perintah untuk membuka segenap
pintu pengadilan lebar-lebar.
Sebelum tengah hari, Gan toa loya bersiap siap untuk membuka sidang.
Sebelumnya harus berbasa-basi dulu dengan mempersilahkan atasannya
untuk memimpin sidang tersebut.
Sebagai orang yang berhati licik, tentu saja sang Gubernur enggan
menerima tanggung jawab itu, maka buru-buru dia menampik
Saat itulah Gan Wan sim baru berseru dengan lantang: "Sidang
dibuka !" Setelah membuka sidang, sekali lagi Gan Wan sim berseru.
"Pengawal, persembahkan pedang Sio hong kiam !" Begitu
mendengar nama pedang itu, serentak suasana didalam
ruang sidang menjadi gempar. Mereka tak menyangka kalau pedang Sio
hong kiam milik Sri
Baginda berada disitu. Tak heran kalau Gan Wan sini begitu bernyali
untuk menangani
kasus sebesar ini. Begitu pedang Sio hong kiam dipersembahkan, segera
turun
perintah untuk menghadapkan kesebelas tokoh itu. Rahib tua
Sang-sang koancu juga dihadapkan ke depan sidang
dan berlutut disisi kiri, sedangkan Hui im sekalian sepuluh orang rahib
muda berlutut disebeah kanan ruangan.
Lalu bergema lagi suara bentakan nyaring. "Persilahkan Li Hong
masuk keruang sidang." "Li Hong? siapakah Li Hong?" Semua orang
mulai berbisik-bisik membicarakan persoalan itu,
suasana menjadi gempar dan gaduh. Bentakan nyaring kembali
menggelegar di dalam ruangan: "Atas perintah tayya, diharapkan
suasana di dalam sidang
tenang, bila ada yang berani membuat kegaduhan iagi, akan dihukum
sebagai pengacau sidang.."
Seketika suasana menjadi hening, hening sekali. Pada saat itulah Li
Hong muncul di ruang sidang dengan langkah
pelan. "Dipersilahkan duduk menanti di ruangan sebelah
kanan."
Perintah ini keluar dari mulut Gan tayya sendiri, suatu penghormatan
yang amat besar.
Maka beratus pasang mata manusia pun bersama-sama dialihkan ke
wajah Li Hong.
Sikap Li Hong ternyata lebih hebat, dia memejamkan matanya
rapat-rapat dan sama sekali tak acuh terhadap suasana disekitarnya,
Pemeriksaan segera di mulai, Gan Wan sin memerintahkan orang untuk
membacakan pengakuan mereka, kemudian diperintahkan pula tiga
orang dukun beranak maju.
Ketiga orang dukun beranak itu satu berasal dari kota Gak-yang, satu
dari gedung Gak-yanghu sedang yang lain berasal dari gedung
panglima perang propinsi sam siang.
Ketika semua pengakuan mereka dibuktikan dengan jelas, maka Gan
wan-sim pun berkata kepada semua hadirin yang berada disitu.
"Pengakuan dari Pek im berkisar sekitar di bangunnya ruang bawah
tanah di kuil Tong-thian-koan, dahulu sudah ditanyakan berapa kali dan
kini tak usah ditanyakan lagi, sekarang coba lihat pengakuan dari Cingin
dan Toan in."
"Mereka berdua mengaku menjadi pendeta sejak kecil, menjadi pendeta
di kuil Tong thian koan dan selamanya tak pernah meninggalkan tempat
itu, pengakuan tersebut diberikan sewaktu mereka diperiksa.
"Kini aku berharap apakah diantara saudara sekalian yang hadir disini
merasa keberatan atau mempunyai pandangan lain terhadap
pengakuan mereka itu ? Kalau ada harap segera di utarakan !"
Tiada yang menjawab, keadaan tetap hening. Maka Gan Wan sin
mendesak ke dua orang too koh itu lebih
jauh: "Apakah pengakuan kalian semuanya jujur?"
Toan in dan Cing in bersumpah kalau pengakuan mereka sejujurnya dan
tidak bohong. Sambil tertawa Gan Wan-sim lantas berpaling ke arah ke
tiga orang dukun beranak itu sambil berkata:
"Kalian harus memberi jawaban yang sejelasnya! Nah, sekarang
bacalah hasil pemeriksaan kalian."
Ke tiga orang dukun beranak itu masing-masing membacakan laporan
hasil penyelidikan mereka, yang aneh adalah Cing-in dan Toan in yang
berulang kali menyatakan dirinya masih gadis perawan itu terbukti
sudah tidak perawan lagi.
Sebelum laporan itu dibacakan, semua orang masih belum memahami
apa maksud dan tujuan Gan Wan-sin dengan pertanyaan pertanyaannya
ini.
Tapi sekarang mereka sudah mengerti, ternyata begitulah yang
diharapkan....
Berpikir, sejak kecil Toan in dan Cing in sudah menjadi pendeta, tapi
kenyataannya kini mereka sudah tidak gadis lagi, apa yang telah terjadi
dengan mereka berdua ?
Tanpa orang lain memberi penjelasan, tiap orang dapat memahami
betapa rumit soal itu.
Tapi Sang sang koancu segera berseru sambil tertawa dingin. "Gan
Tayya, bolehkah aku berbicara sepatah dua patah kata.?" "Hmm,
silahkan!" jawab Gan Wan sim sambil mendengus. "Sang sang
sebagai seorang hongtiang selalu mendidik anak
muridku agar berbuat kebajikan dari kebaikan, sekali pun kini terbukti
bahwa mereka berdua sudah melakukan suatu perbuatan yang
memalukan namun hal itu merupakan urusan pribadi mereka berdua,
apa sangkut pautnya dengan perkara yang sedang disidangkan kali ini.?"
Ucapan ini ada benarnya juga, bila seorang anak gadis sudah menginjak
dewasa, siapa tahu kalau diluar pengetahuan guru mereka, kedua orang
itu sudah melakukan suatu perbuatan?
Anak gadis dari keluarga biasa yang punya orang tua saja tak bisa
selalu mengawasi anak gadisnya, apa lagi seorang guru?
Dengan suara dalam Gan Wan sim segera membentak: "Tajam amat
mulutmu itu, tentunya kau pun sudah mendengar
sendiri bukan, mereka mengaku belum pernah meninggalkan kuil
Tong-thian-koan barang selangkahpun !"
"Ucapan mereka belum tentu benar semuanya !" kata Sang sang
koancu sambil tertawa.
Sementara Gan Wan sim mendengus, Sang-sang koancu telah berkata
lagi sambil tertawa.
"Dewasa ini seharusnya tayya berupaya dalam masalah yang pokok, bila
kau dapat menemukan seorang lelaki dalam kuil kami, bukankah semua
masalah akan menjadi jelas dengan sendirinya ? sedangkan pinto pun
tidak usah banyak berbicara lagi, bukankah hal itu jauh lebih
menguntungkan dirimu ?"
Gan wan sin tidak menggubris perkataan-nya itu, sebaliknya sambil
berpaling ke arah hadirin diruangan, ujarnya:
"Ada suatu berita yang mungkin akan merisaukan hati kalian bila sudah
ku umumkan nanti, setelah kurahasiakan sampai kini, rasanya mau tak
mau hal mana terpaksa harus kuumumkan."
"Menurut penyelidikan, tiga puluh tujuh orang gadis yang bunuh diri itu
semuanya masih berstatus gadis perawan dan belum pernah menikah.
"Akan tetapi, setelah diperiksa dengan seksama oleh tiga orang dukun
beranak, ternyata ditemukan suatu rahasia yang amat mengenaskan,
penemuan tersebut sama halnya dengan keadaan Cing-in dan Toan in,
yakni mereka semua sudah tidak perawan lagi !"
Begitu laporan tersebut diutarakan kembali suasana dalam ruangan
menjadi gempar.
Gubernur Lau segera bangkit berdiri sambil berseru:
"Tayjin, sebelum melontarkan tuduhan-tuduhan berikutnya, aku harap
kan suka memperlihatkan dulu bukti-buktinya."
"Lotayjin menginginkan bukti macam apa ?" tanya Gan Wan sim
dengan suaranya dingin.
"Seperti apa yang dikatakan Sang sang koan cu, sewaktu melakukan
penggeledahan terhadap kuil, apakah kau berhasil menemukan orang
lelaki di dalam kuil tersebut ?"
"Tidak !" Gan Wan sin menggeleng, Lau tayjin segera mendengus
dingin, "Hmm, jika tiada orang lelaki disitu, aku rasa belum tentu segala
sesuatunya berlangsung seperti apa yang kau tuduhkan tadi!"
"Bila tanpa bukti, hari ini ku tak berani merepotkan kehadiran tayjin ke
sidang ini !"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia memandang sekejap ke arah Li
Hong, kemudian melanjutkan:
"Cuma aku telah menjanjikan sejumlah hadiah kepada si pelapor
tersebut karena itu seandainya perkara bisa dibikin terang pada hari ini,
mungkin kalian harus membayar sejumlah denda !"
"Bila biang keladinya berhasil ditangkap hukuman mecam apapun akan
kami terima, aku rasa bukan cuma keluarga yang terlibat dalam perkara
ini saja yang mesti bertanggung jawab, lohu sekalian pun akan turut
bertanggung jawab pula"
"Kalau begitu bagus sekali" seru Gan Wan sim sambil tertawa.
Setelah berhenti sejenak, ia berpaling ke-arah Li Hong yang
sedang memejamkan mata sambil acuh tak acuh itu seraya berseru. "Li
Hong, sudah hampir tengah hari, waktu telah tiba!" Begitu mendengar
waktu sudah tiba, Li Hong segera membuka
sepasang matanya lebar-lebar. Tapi begitu sepasang matanya
terpentang lebar Gan Wan sim
segera menjadi terperanjat, ternyata orang itu telah berubah,
sorot
matanya seakan-akan sepasang rembulan yang bersinar tajam,
benar-benar menggidikkan hati siapapun jua yang memandangnya.
Dengan langkah Iebar ia beranjak dari tempat duduknya dan langsung
menuju ke hadapan Sang sang koancu.
Mula-mula dia saling bertatapan muka dulu dengan Sang sang koancu,
akhirnya menakutkan sekali ternyata Sang-sang koancu menundukkan
kepalanya rendah-rendah, bahkan sepasang pipinya yang berwarna
merah kini berubah menjadi pucat pias.
Dengan tangan kanannya Li Hong memegang kepala Sang sang
koancu, lalu ujarnya dlngin:
"Hei, manusia tak tahu diri, gara-gara mencari kau. lohu telah berkelana
selama puluhan tahun lamanya mengarungi ujung langit, inilah saatmu
untuk mempertanggung jawabkan diri, lohu tak bisa membiarkan kau
berbuat jahat terus!"
Kalau terhadap Gan Wan sin, Sang sang koan cu selalu memperlihatkan
sikap angkuh dan keras kepala, tapi setelah mendengar beberapa patah
kata dari Li Hong itu sekujur tubuhnya gemetar amat keras, sehingga hal
ini sangat mengherankan semua orang yang melihatnya."
Pada saat inilah Li Hong kembali berkata! "Apakah kau hendak
menyuruh lohu repot repot lagi?" Air mata bercucuran membasahi
wajah Sang sang koancu,
serunya lirih: "Kau orang tua adalah..." "Lohu adalah "orang asing" yang
memberi ilmu silat
kepadamu..." sahut Li Hong dengan suara dalam. Sekali lagi sekujur
badan Sang sang koancu gemetar keras. "Kasihanilah boanpwe, setelah
bertahun-tahun melatih diri
dengan susah payah, sekarang baru nampak hasilnya, kau orang tua..."
"Gara-gara perasaan kasihan lohu kepadamu, hampir saja menerbitkan
bencana, buat apa kau mesti banyak berbicara Iagi!" tukas Li Hong
ketus.
"Ampunilah aku kali ini, aku bersumpah akan segera mengundurkan diri."
"Mengampunimu ?" bentak Li Hong gusar, "hmm, kepada siapa ke tiga
puluh tujuh orang nona yang mati penasaran itu harus mengadu ?
Kepada siapa pula gadis-gadis yang bernasib jelek itu mesti
mengadukan nasib mereka yang malang ?"
Agaknya Sang-sang koancu menyadari kalau rengekannya tak berguna,
mendadak ia membentak keras:
"Setan tua, belum tentu kau mampu mengendalikan aku !" kata
Sang-sang koancu kemudian.
"Haaah, haaah, haaah, kalau begitu cobalah sendiri !" Li Hong tertawa
berbahak-bahak.
Seraya berkata dia lantas mengerahkan tenaga dalamnya ke telapak
tangan kanannya dan menekannya ke bawah.
Sang sang koancu segera mengayunkan pula sepasang lengannya dan
menghajar tubuh Li Hong dengan menggunakan rantai yang
membelenggu tubuhnya.
Bersamaan itu juga badannya berputar kencang lalu melompat bangun
dari atas tanah.
Li Hong mendengus dingin, tangan kanannya menyambar ke muka
mencengkeram rantai itu kemudian digetarkan ke depan.
Siapa sangka Sang-sang koancu sudah menduga sampai kesitu, sepasang
lengannya direntangkan ke arah samping dan rantai tersebut hancur
berantakan menjadi berkeping-keping dan rontok ke tanah, kontan saja
kejadian ini membuat paniknya rakyat yang kebetulan mengikuti jalannya
persidangan, jeritan kaget berkumandang dari sana sini.
Siapa sangka gerakan tubuh Li Hong jauh lebih cepat dari pada gerakan
Sang sang koan cu, tahu-tahu dia sudah berkelebat lewat dan
menyelinap ke belakang punggung Sang sang koan cu, tangan
kanannya menyambar kedepan dan menekan jalan darah Pay sim hiat
ditubuh lawan.
"Masih tak mau berlutut untuk menyerah?" bentaknya dengan suara
menggeledek.
Berbareng dengan bentakan tersebut, Sang-sang koancu segera
terjatuh kembali ke tanah dan tak berkutik lagi.
Di bawah tatapan mata semua orang, raut wajah Sang sang koancu
tampak berubah menjadi hijau keabu abuan.
Tubuhnya yang terjatuh ketanahpun terkulai lemas dan tidak berkutik
lagi, keadaannya tak berbeda dengan seekor babi.
Saat itulah Li Hong baru berkata kepada Gan Wan sim: ”Siau bin
(rakyat kecil) mohon kepada tayjin agar memeriksa
kelamin orang ini dihadapan umum!" Gan Wan sim segera menurunkan
perintah, agar adilnya maka
dipilih tiga orang untuk secara bergilir melakukan pemeriksaan. Alhasil
pemeriksaan tersebut segera menggemparkan hadirin.
ternyata Sang sang koancu adalah seorang lelaki tulen. Li Hong segera
minta sidang dilangsungkan secara tertutup,
maka kecuali mereka yang bersangkutan, seluruh hadirin dipersilahkan
ke luar dari ruang sidang dan pintu ditutup rapat2.
Pada saat inilah Li Hong baru berkata kepada para saudagar kaya dan
pembesar yang ada.
"Nah, saudara sekalian, apa yang hendak kalian katakan sekarang?"
Sejak Sang-sang koancu terbukti sebagai lelaki tulen, para saudagar
hartawan dan pembesar yang ada disitu dibikin tersipusipu
kemaluan, seandainya disitu ada lubang, mungkin mereka sudah
menerobos ke dalamnya untuk menyembunyikan diri.
setelah mendengus dingin, kembali Li Hong berkata: "Saudara
sekalian kini urusan sudah jelas, tapi soal urusan kalian
pribadi lohu tak mungkin bisa membantu lagi" Mula-mula semua orang
tertegun dan tidak tahu apa yang
dimaksudkan. tapi setelah memahami maksudnya, kontan peluh dingin
jatuh bercucuran wajah berubah hebat, mereka bersama- sama
memandang kearah Li Hong dengan wajah merengek.
Li Hong mendengus dingin, ujarnya lebih jauh. "Gak yang adalah
kota besar, setelah terjadi peristiwa semacam
ini, dan tiga puluh orang menjadi korban. apalagi ada beribu-ribu orang
rakyat menjadi saksi, sekalipun Gan loya berusaha menolong, rasanya
hal inipun mustahil bisa terlaksana.
"Lohu berani memastikan, kejadian hari ini pasti akan dilaporkan
kepada Sri Baginda, bila hal ini sampai terjadi sudah bisa dipastikan
kalian semua akan dituntut menurut hukum.
"Sejak dulu sampai sekarang, perzinahan dan perkosaan merupakan
dosa yang tak terampuni, apalagi jika ada lelaki yang menyaru sebagai
perempuan melakukan perbuatan mesum.
"Sesunggunnya masalah ini bisa diselesaikan secara damai dan tenang
tanpa keributan, seandainya kalian tahu diri, tapi atas ulah dan desakan
kalian sendiri akhirnya Gan tayjin dipaksa untuk melakukan persidangan
secara terbuka, kini urusan telah berkembang jadi begini, lohu rasa tiada
jalan lain kecuali..."
"Kecuali bagaimana sianseng ?" tanya para hartawan tanpa terasa.
Li Hong memandang sekejap ke arah Gan Wan-sim, kemudian baru
berkata lebih jauh:
"Kini sang gubernur berada disini, kecuali Gubernur bersedia untuk
menanggung masalah ini"
Sang Gubernur Gak-yang menjadi berdiri bodoh, dia masih mempunyai
masa depan yang baik, tentu saja tak berani menanggung masalah yang
begitu besarnya.
Apabila Gan tayjin juga yang mengambil keputusan, tapi idenya
sebagian besar masih keluar dari benak Li Hong.
Dengan pedang Siang-hong kiam, Sang sang koancu menjalani
hukuman mati penggal kepala.
Kuil Tong thian koan ditutup dan di bakar. Sedang para keluarga
hartawan dan pembesar yang tersangkut
dalam peristiwa ini di hukum denda sekian laksa tahil perak. Uang
denda yang terkumpul kemudian di bagikan kepada fakir
miskin dan rakyat kecil yang sedang tertimpa bencana. Sementara
keluarga yang menjadi korban boleh membawa
pulang jenasah keluarganya untuk dikubur. Setelah itu atas prakarsa
Gan tayjin, gubernur Gak-yang dan
panglima keamanan kota-peristiwa tersebut diakhiri sampai disitu dan
tidak dilaporkan ke atasan.
Tentu saja di perkampungan keluarga Li terdapat seorang kakek baik
hati yang bernama Li Hong, cuma Li Hong itu bukan Li Hong ini, Gan-ya
yang mendapat tahu akan hal ini segera menghadiahkan pula sejumlah
uang untuk Li Hong asli yang miskin tapi jujur itu.
Inilah cerita tentang kuil Tong thian koan. berhubung masalahnya
menyangkut nama baik keluarga hartawan dan orang- orang terkemuka
maka orang dari luar daerah sulit untuk mendapatkan cerita yang
sesungguhnya.
Kisah cerita yang aneh inipun membuat Sun Tiong lo dan Hou ji
mendapatkan suatu berita yang berharga, tapi merekapun mendapat
pelajaran yang berharga pula dalam kehidupan bermasyarakat.
Kakek yang suka bercerita itu akhirnya berpamitan dan pergi setelah
meneguk sepoci air teh.
Sun Tionglo dan Hou jipun mulai berunding. Dengan kening berkerut
Sun Tionglo berkata "Engkoh Hou, kuil Tong thian koan mempunyai
sejarah yang begitu kotor dan mesum, Sang sang koancu juga telah
dihukum mati, tapi mengapa dalam kitab catatan, kita justeru harus
berkunjung kesitu ? Mengapa?"
Hou ji berpikir sejenak, lalu menjawab. "Sejak kecil aku sudah
mengikuti suhu, terhadap ucapan dan
tindak tanduk suhu boleh dibilang aku memahami amat jelas, kalau
dilihat dari segala sesuatu yang ada dalam kitab kecil ini, aku berhasil
menemukan suatu persoalan"
"Oooh, persoalan apa ?" Houji berpikir sejenak lagi, kemudian baru
menjawab. "Aku kuatir kitab kecil itupun belum sempat dibaca
suhu." "Hei, apa maksud dari perkataannya ini ?" seru Sun Tiong lo
agak
tertegun. Hou ji menggeleng. "Akupun tahu kalau ucapan ini tak bisa
diterima, tapi hal ini
merupakan suatu kenyataan, aku yakin kitab kecil itu adalah pemberian
orang lain untukku lewat tangan suhu!"
"Mengapa kau mempunyai pandangan semacam ini?" tanya Sun Tiong
lo keheranan.
Hou-ji tertawa. "Sebab isi kitab tersebut sama sekali bertentangan
dengan sikap
maupun cara kerja suhu di hari-hari biasa." "Ooooh, .. . bagaimana
bedanya ?" Kembali Hou-ji tertawa. "Orang yang menulis kitab kecil ini
adalah seorang cianpwe yang
berhati cermat, teliti dan berakal panjang, padahal bukan
demikian
cara kerja suhu, bagi suhu apa yang dipikirkan waktu itu segera
dilakukan pada saat itu juga."
Apalagi sejak kitab kecil itu menyuruh kita mulai dari Buklt Pemakan
manusia, disitu kita sudah menemukan suatu penemuan aneh, seperti
misalnya kau dan Bau te bisa bersua, Beng cengcu bisa memperoleh
kembali kebebasannya.
"Tapi perkampungan keluarga Mo di selat Wu shia..." tukas Sun
Tionglo.
Kembali Hou-ji memotong ucapan rekannya yang belum selesai,
katanya cepat:
"Hal itu disebabkan kita tidak berkunjung ke Ang-sui-hoo lebih dulu
atau bila kita bicara mundur setapak, paiing tidak kita sudah tahu kalau
perkampungan keluarga Mo sudah punah, sudah punah semenjak
dahulu kala."
Dengan perasaan apa boleh buat Sun Tiong lo tertawa: "Tapi
sekarang, kita harus mencari He-he koancu di kuil Tongtbian-
koan, bagaimana pula penjelasannya?" Hou-ji melirik sekejap ke
arah Sun Tionglo kemudian berseru: "Tentu suja harus dicari ! Kita
harus berkunjung ke kuil Tongthian-
koan, siapa tahu kalau disana sudah ada sesuatu perubahan yang
dapat membuat kita menjadi jelas ?"
"Baik, aku akan menuruti perkataanmu mari kita berangkat !" Tapi
Hou-ji kembali menggeleng. "Kita harus balik ke penginapan dulu,
bagai manapun jua
persoalan ini tak bisa dirahasiakan kepada adik Bau maupun nona." Maka
merekapun membayar rekening dan kembali ke
penginapan. -ooo0dw0oooEMPAT
sosok bayangan hitam bagaikan burung malam meluncur masuk
kedalam sebuah kuil yang sudah hancur.
Ketika bayangan manusia itu terhenti sejenak, maka dapat dikenal
mereka adalah Sun -Tiong lo, Houji, Bau ji dan nona.
Mereka berhenti sejenak, lalu terdengar Sun Tiong lo berkata sambil
menuding kedua sisinya:
"Toako dan Hou ji menggeledah kiri kanan ruangan, sementara siaute
dan adik Kim akan berjalan terus."
Mereka segera memisahkan diri menjadi tiga bagian dan melakukan
pemeriksaan.
Kuil Tong thian koan mencakup suatu batas wilayah yang luas, setelah
kebakaran besar yang memusnakan bangunan tersebut, kendatipun
harus menahan hujan dan angin, namun sisa-sisa bangunan masih tetap
berdiri kokoh, terutama sekali di tengah malam buta begini, bukan suatu
pekerjaan yang mudah untuk menemukan seseorang atau beberapa
orang yang menyembunyikan diri disitu.
Padahal merekapun tak berani memastikan adakah seseorang disana,
hanya menurut catatan dalam kitab tersebut, mereka diharuskan
mencari orang yang bernama "He he koancu" itulah sebabnya mereka
datang kesana untuk melakukan pencarian.
Orang yang bertugas melakukan pemeriksaan disebelah kiri adalah Hou
ji, dia sedang bergerak kedepan sambil menghimpun segenap tenaga
dalam yang dimiIikinya.
Sambil berjalan ia menengok keempat penjuru, andaikata disana ada
orang, jangan harap orang itu bisa lolos dari pengawasannya.
Yang ada disebelah kanan adalah Bau ji, dia pun maju selangkah demi
salangkah dengan tindakan berat, sorot matanya memandang ke sekitar
itu tanpa berkedip, sekilas pandangan sikapnya seperti gegabah dan
tekebur, padahal dalam kenyataan dia sedang melakukan pemeriksaan
dengan mengandalkan ilmu tenaga dalamnya yang tinggi.
Sedangkan Sun Tionglo dan nona Kim yang ada disebelah tengan, kini
jalan bersanding.
Nona Kim berada di kanan sedangkan Sun Tiong lo berada di sebelah
kiri...
Tangan kanannya bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu,
mereka bersama-sama menjelajahi puing-puing yang berserakan itu.
Mendadak... seperti dari tengah udara, seperti juga dari bawah tanah,
tidak! Tepatnya dari empat arah delapan penjuru berkumandang datang
suara gelak tertawa, suara tertawa itu menyeramkan sekali, gelak
tertawa aneh yang cukup menggetarkan hati siapa saja.
Gelak tertawa itu bagaikan muncul dari mulut seseorang, akan tetapi
terpancar datang dari empat arah delapan penjuru.
Empat orang yang ada di kiri, kanan, tengah serentak menghentikan
langkahnya bersama-sama.
Hou-ji, berkerut kening, secara diam-diam dia mencabut keluar senjata
pentungan Jit sat ciang mo pang andalannya untuk bersiap siaga
menghadapi segala kemungkinan yang tak di inginkan.
Bau ji tetap berada dengan sikap dingin kaku dan menyeramkan,
pelan-pelan diapun meloloskan pedangnya dari dalam sarung.
Nona Kim mengetahui banyak tapi memiliki kepandaian paling sedikit,
kini dia sudah dibikin amat menderita oleh gelak tertawa yang amat tak
sedap itu.
Sambil berusaha menahan diri, diam-diam bisiknya lirih: "Engkoh Lo,
gelak tertawa ini mengandung hawa Im-sat yang
jahat tapi lihay, bisa melukai orang tanpa disadari !"
Sun Tiong lo manggut-manggut. -ooo0dw0oooJilid
30
"PENGETAHUANMU betul betul sangat luas, tapi..." Nona Kim
mengerti apa kelanjutas dari kata "tapi" tersebut,
dengan cepat dia menukas: "Selanjutnya kau harus mengajarkan
kepada ku!" "Tenang" Sun Tiong lo tertawa-tawa, "persoalan lain jangan
dibicarakan dulu, sekarang kita mesti menghadapi dulu orang tersebut!"
Seusai berkata Sun Tiong lo berpikir sejenak kemudian serunya kearah
sebelah kanan:
"Kami telah merasakan kelihayan ilmu Im Sat soh huo (hawa dingin
pembetot sukma) saudara, kini bersediakah saudara untuk turun dari
loteng genta dan berbincang sebentar dengan kami ?"
Loteng genta ? Benar, memang loteng genta, tempo hari ketika Gan
Wan sim
menitahkan untuk membakar habis bangunan kuil To koan yang penuh
maksiat tersebut, hanya untuk bangunan loteng genta disudut kejauhan
sana yang lolos dari amukan api.
Cuma dalam kuil Tong thian koan yang sudah punah ini, masih terdapat
banyak sekali tempat tempat strategis yang bisa di gunakan untuk
menyembunyikan diri, apalagi pihak lawan pun belum tentu benar-benar
menyembunyikan diri diloteng genta tersebut, seandainya tidak,
bukankah hal ini akan...
Tapi tak perlu kuatir, Sun Tiong lo memang tidak salah mengatakan
tempat persembunyian tersebut.
Ketika Sun Tiong lo baru saja mengakhiri perkataannya, dari kejauhan
sana tampak ada sesosok bayangan aneh yang meluncur keluar dari
loteng genta dan membumbung keangkasa mencapai ketinggian lima
kaki.
Padahal loteng genta tersebut ada enam kaki tingginya, ditambah
ketinggian yang dicapai bayangan tersebut, berarti jaraknya dari
permukaan tanah mencapai duabelas kaki lebih.
Kemudian, bayangan aneh itu nampak berhenti sejenak ditengah udara
dan meluncur datang.
Jarak antara bangunan loteng genta hingga ke tempat Sun Tiong-lo
sekalian berada sekarang paling tidak mencapai dua puluh kaki lebih,
dalam jarak sejauh ini seandainya bukan malaikat atau seseorang yang
berhasil melatih diri hingga mencapai taraf "pedang dan tubuh bersatu
padu" sulit rasanya untuk mencpai tempat sejauh itu dengan sekali
lompatan saja.
Tapi dalam kenyataan hal mana bisa dilakukan orang tersebut menjadi
suatu kenyataan.
Ditengah kegelapan malam, Sun Tiong-lo sekalian tidak sempat melihat
jelas gerakan tubuh apakah yang dipergunakan bayangat manusia
tersebut, tanya nampak bayangan aneh meluncur sejauh sepuluh kaki
lebih dengan gerakan mendatar, lalu baru menukik ke bawah.
Setelah menukik ke bawah, gerak luncur nya bertambah cepat,
bagaikan sambaran kilat cepatnya tahu-tahu orang itu sudah tiba di
depan mata. Orang itu melayang turun hanya berapa kaki saja di
hadapan Sun Tiong lo, kemudian tidak bergerak lagi:
Sementara itu Bau-ji dan Hou-ji sudah berkumpul menjadi satu dengan
Sun Tiong-lo tapi setelah menyaksikan kelihayan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki orang itu, tak urung hatinya merasa terkesiap juga
dibuatnya.
Namun Sun Tiong-lo sendiri sama sekali tidak menunjukkan perasaan
kaget, bahkan se baliknya dia malah tertawa hambar.
Senyuman mana dengan cepat menggusarkan pihak lawan, mendadak
orang itu menegur:
"Lohu sudah turun !"
Yang dimaksudkan sudah turun, mungkin ia hendak menegur kepada
Sun Tiong lo, setelah aku turun, mau apa kau?
Sun Tiong lo tidak menjawab dulu pertanyaan tersebut, dia
menghimpun tenaganya dalam nya dulu dan mengawasi pihak lawan
dengan seksama.
Ternyata manusia aneh yang baru saja meluncur turun dari atas loteng
genta dan meluncur datang dari jarak dua puluh kaki itu tak berkain
kerudung muka, dia mempunyai seraut wajah yang hitam pekat,
sedemikian hitamnya mirip pantat kuali yang sudah lama tidak
dipergunakan lagi.
Alis matanya pendek lagi kasar, ada sebagian yang telah beruban,
agaknya ia sudah berusia lanjut.
Selembar mulutnya yang tipis tapi datar memperlihatkan kalau dia suka
bicara.
Sepasang matanya yang cekung kedalam sedang mengawasi wajah Sun
Tiong lo tanpa berkedip.
Ia memakai pakaian ringkas tani bukan terbuat dari bahan kain,
melainkan terbuat dari bahan kulit kelas satu, diatas sepasang bahunya
terlihat dua batang gelang baja besar yang dijahit disitu secara aneh,
entah apa kegunaannya.
Senjata yang dipakai orang itu lebih aneh lagi, dilihat sepintas lalu mirip
sekali dengan dua batang pena baja yang di gulung menjadi satu.
Berhubung Sun Tiong-lo cuma membungkam tanpa bergerak dan
hanya mengawasinya tanpa berkedip, tanpa terasa iapun menegur lagi:
"Bagaimana? Sudah puas kalau melihat ?"
"Ya, sudah puas." jawab Sun Tionglo "Lantas
mau apa kau sekarang ?"
"Heeeh, heeeh, heeeh, aku tak mau apa-apa." setelah berhenti sejenak,
dengan nada berubah dia balik bertanya lagi kepada orang itu.
"Dan kau. apa yang kau inginkan ?" Orang itu mendengus dingin
berulang kali "Lohu ingin bertanya kepada kalian, ditengah malam
buta begini,
ada urusan apa kalian berkunjung kemari ?" "Aneh, kau sendiri ? Mau
apa kau berada di kuil ini ?" Sun Tiong
lo balik bertanya dengan mata melotot. Orang itu makin naik darah,
teriaknya. "Lohu sedang menegurmu, maka kau harus menjawab lebih
dahulu!" Bau-ji tidak sabaran, mendadak tegurnya: "Siapa yang harus
menjawab pertanyaanmu itu ? Hmmm !" "Bagus sekali, kalau begitu
kalian tak usah pergi dari sini lagi" "Oooh . .. masa kau mampu ?"
jengek Hou ji. "baru pertama kali
ini kudengar ancaman macam begitu, sayang selama hidup kami tidak
percaya dengan tahayul, bila kau memang merasa berkemampuan untuk
menahan kami di sini, ayolah, coba tahan kami di sini!"
Dengan sorot mata yang gusar tapi memandang hina, orang itu
mengawasi Sun Tiong lo sekejap, lalu katanya lagi:
"Sesungguhnya siapa sih diantara kalian yang menjadi pemimpinnya ?"
Tampaknya Hou-ji memang ada maksud untuk membuat lawannya
gusar, cepat dia menjawab:
"Siapa pun berhak menjadi pemimpin, dan siapapun berhak mengambil
keputusan kalau ingin berbicara, ayo katakan saja terus terang!"
Orang itu mengalihkan kembali sorot mata nya ke wajah Sun Tiong-lo.
kemudian ujarnya.
"Lohu rasa, kemungkinan besar kau lebih tahu diri daripada mereka,
kini..."
"Belum tentu" tukas Sun Tiong lo sambil tertawa dingin. "Mungkin aku
jauh lebih sukar untuk diajak berbicara."
Orang itu menggigit bibirnya kencang-kencang dan tidak berbicara lagi,
pelan-pelan dia mengembangkan pena bajanya.
Pelan-pelan orang itu menggerakkan sepasang pena bajanya kekiri dan
kekanan. Hingga sekarang baru terlihat jelas letak keanehan dari
sepasang senjatanya itu, ternyata benda tersebut bukan pena,
melainkan sepasang Thi pit-ki (panji pena baja).
Pena baja itu panjangnya tiga depa, sedang panji yang terbentang
berbentuk segi tiga.
Anehnya, panji tersebut memancarkan cahaya hitam yang aneh dan
gemerlapan, sudah jelas bukan terbuat dari kain.
Setelah orang itu mengembangkan panji pena bajanya, meski gusar,
namun ia masih tak ingin turun tangan dengan segera, maka sesudah
tertawa seram berulang kali, dia menuding ke arah Sun Tiong lo dengan
panji pena baja ditangan kanannya seraya berkata:
"Sudah banyak tahun lohu tak bertempur melawan orang, tapi bila lohu
di paksa untuk turun tangan juga, lohu akan bersikap seperti dulu, tak
akan kubiarkan seorang korbanpun berada dalam keadaan hidup."
Sebelum Sun Tiong lo menjawab, Hou ji te lah menyala. "Kalau
begitu kita justru amat berlawanan setiap hari aku selalu
bertarung melawan orang setiap hari pula kudengar orang lain hendak
membunuhku tapi aku masih terus hidup hingga sekarang !"
Orang itu mendengus dingin. "Hmm, tapi orang
orang itu kan bukan lohu!"
Hou ji balas mendengus. "Hmm, tetapi nyatanya kau toh tidak lebih
hebat dari pada
mereka!" ejeknya. "Baik!" seru orang itu kemudian dengan kening
berkerut, "kalian
sendiri yang mencari penyakit, jangan salahkan lohu lagi, sebelum
bertarung, ayo sebutkan dulu siapa namamu?"
Sambil berkata, dia mengalihkan panji pena bajanya ke arah Hou ji dan
meneruskan.
"Mulai dari kau, siapa namamu dan murid nya siapa?" Hou ji segera
terkekeh. "Yang datang tanpa permisi tentu tak bermaksud baik,
lobih baik
kau saja yang menyebutkan namanya lebih dulu, siapa namamu?"
Saking gusarnya, orang itu sampai menggertak giginya keraskeras,
jelas kemarahannya sudah mencapai pada puncaknya. Sun Tiong
lo segera menimbrung sambil tertawa: "Aku she Sun, dia adalah
saudaraku dan yang ini adalah
suhengku, orang menyebutnya Hou-ji, sedang nona ini adalah sahabat
kami sementara soal perguruan kami..."
Berbicara sampai disitu, kembali Sun Tiong lo berhenti sampai ditengah
jalan.
"Kau murid siapa?" tanpa terasa orang itu mendesak lebih jauh. Sun
Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya
sambil tersenyum. "Kalau dibicarakan mungkin saja kau tak percaya,
Mengapa tidak
bertarung saja agar kau bisa melihat sendiri kami adalah murid siapa?"
"Kau anggap lohu tak mampu membedakan nya ?" bentak oraag itu
semakin naik darah.
Sun Tiong lo masih tetap tersenyum.
"Padahal soal bisa mengetahui asal perguruan kami atau tidak bukanlah
suatu masalah besar. apalagi kita memang pada dasarnya tidak saling
mengenal, kita pun tak punya dendam sakit hati apa- apa. buat apa
musti saling bergebrak?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata orang itu, dia lantas berseru
lantang:
"Sudah lohu katakan telah banyak tahun aku tak pernah bertarung
melawan orang lain, sekarang asal kalian bersedia menerangkan maksud
kedatangan kamu semua, kalian boleh segera pergi meninggalkan
tempat ini?"
Kembali Sun Tiong lo menggeleng, ucapnya dengan wajah serius:
"Maksud kedatangan kami sih boleh saja diberitahukan kepadamn, tapi
kalau suruh kami pergi. Ehm. nanti dulu."
Agak tertegun orang itu oleh ucapan tersebut serunya kemudian:
"Ooh...jadi kalian enggan pergi? Hmm.. hmm aku lihat kalian
harus pergi dari sini." Kembali Sun Tiong lo tertawa hambar. "Kalau
kutinjau dari semua perkataan yang barusan kau ucapkan.
dapat kutarik kesimpulan bahwa kau agak takut ada orang tetap tinggal
di sini. bukankah begitu?"
Mendadak dia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, sambil
menuding ke arah orang itu bentaknya lagi.
"Sebetulnya kau mempunyai rahasia apa yang takut diketahui orang
lain...?"
Orang itu berpekik aneh dan tidak menjawab, mendadak tubuhnya
bergerak ke muka menghampiri Sun Tiong lo, panji pena baja di tangan
kirinya segera dikembangkan kemudian dengan jurus Ciu-bong sau lok
(angin musim menggugurkan daun) menghantam dada Iawan.
Sun Tiong lo tertawa dingin, tampak tubuh nya berputar kencang dan
tahu-tahu sudah menyelinap ke belakang punggung orang itu, selain
cepat, keanehannya pun sukar diduga.
Gagal dengan serangannya dan kehilangan jejak musuh secara
tiba-tiba, paras muka orang itu berubah hebat.
Dalam pada itu Sun Tiong lo telah berkata kepada Bau ji sekalian.
"Toako, suheng dan adik Kim, harap mundur agak jauh, biar
siaute yang mencoba lebib dulu beberapa jurus serangan dari sahabat
ini, bila siaute sudah tak sanggup nanti, toako baru turun tangan
menggantikan aku bersedia bukan?"
Apa maksud yang sebenarnya dari ucapan Sun Tiong lo itu, tentu saja
Hou-ji. Bau-ji dan nona Kim tahu dengan pasti, hal mana
memperingatkan kepada mereka bahwa mereka bukan tandingan dari
orang ini, paling baik jika mengundurkan diri lebih dulu mencari tempat
yang aman.
-ooo0dw0ooo- HOU JI segera saling berpandangan sekejap dengan
Bau ji dan
nona Kim, kemudian bersama-sama mengundurkan diri sejauh dua kaki
lebih.
Tampaknya orang itu kurang memahami arti yang sesungguhnya dari
ucapan Sun Tiong lo itu, dia menganggap apa yang dikatakan itu
merupakan kenyataan.
Teorinya memang amat sederhana, Bauji adalah kakaknya sedang Hou ji
adalah suheng nya. tentunya seorang kakak lebih tangguh daripada si
adik, seorang sute tak akan memadahi kepandaian suheng. itulah
sebabnya orang itu menjadi amat terperanjat.
Sejak dari kegagalannya melancarkan serangan dan tiba-tiba kehilangan
jejak lawan tadi, dia sudah tahu kalau Sun Tiong lo memiliki kepandaian
silat yang amat lihay apalagi disitu masih hadir
kakak dan kakak seperguruannya, bukankah menang kalah sudah jelas
tertera didepan mata..?
Cuma saja orang ini bandel sifatnya semenjak terjun kedalam dunia
persilatan dulu, walaupun ia sudah menduga kalau beberapa orang
pemuda itu sukar dihadapi, akan tetapi ia tak menunjukan perasaan
takut barang sedikit pun jua.
Sementara itu, orang tadi sudah mengalihkan sorot matanya ke wajah
Sun Tiong lo dan menatapnya lekat-lekat.
Sun Tiong lo belum meloloskan pedangnya, dia malah berkata sambil
tersenyum:
"Sobat, apakah kita harus menyelesaikan persoalan dengan
menggunakan kekerasan?"
Orang itu mendengus dingin. Hmm... masih terlampau pagi kau
ucapkan kata kata seperti itu,
boleh saja kalau enggan bertarung, tapi kalian harus menerangkan
kepadaku apa maksud dan tujuannya kedatangan kalian!"
"Padahal sekalipun dibicarakan pun tak mengapa, kami datang hendak
mencari seseorang" kata Sun Tiong lo dengan kening berkerut.
"Oooh, mencari siapa?" "Mencari seseorang yang bergelarkan Hehe
Koancu..." Tidak sampai Sun Tiong lo menyelesaikan perkataannya,
mendadak dia menggulung kembali panji pena bajanya dan memandang
sekejap ke arah Sun Tiong lo sekalian, kemudian membalikkan badan
dan berlalu dari tempat itu.
Sikap maupun tindak tanduk orang itu kontan saja membuat Sun Tiong
lo tertegun serunya cepat:
"Sahabat, tunggu dulu, aku masih ada persoalan yang hendak
dibicarakan denganmu!"
Orang itu tidak berhenti, dia hanya berpaling seraya
menjawab:
"Tiada persoalan lagi buat kita untuk dibicarakan, mari, ikutlah aku."
"Mari, Mau kemana ?" sambung Hou-ji dari samping. Kini orang itu
tidak berpaling lagi, sambil melanjutkan
perjalanannya kedepan, sahutnya. "Kalau ingin mencari He-he, ikutilah
diriku." Hou-ji tertegun, ia memandang ke wajah Sun Tiong lo seperti
menanyakan pendapatnya. Mendadak orang itu berpaling lagi seraya
berseru: "Bila nyali kalian kurang besar, tidak usah turut aku !" Selesai
berbicara kali ini, dia mempercepat langkahnya berlalu
dari situ. Sementara itu Sun Tiong-lo sudah mengambil keputusan cepat
dalam detik itu, diam-diam bisiknya kepada Hou-ji: "Kau harus berhati
hati terhadap kemungkin siasat busuk lawan,
suheng dan toako boleh tetap menemani adik Kim, biar diriku saja akan
pergi dengan seorang diri, akan tetapi ingat. kalian jangan sampai
saling berpisah satu sama lainnya mengerti ?"
Hou-ji seperti hendak mengucapkan sesuatu, Nona Kim juga ingin
berbicara, tapi Sun Tiong lo telah berkelebat lewat dan meluncur ke
depan, lalu bersama-sama orang itu berlalu dari situ:
Bau-ji hanya berkerut kening menyaksikan kejadian mana, sesudah
termenung sejenak men dadak dia ikut berlalu.
"Eeh. mengapa kau?" Hou-ji segera menegur "Aku akan menyusul ji-te !"
jawab Bou-ji Hou ji memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian
bisiknya lirih:
"Toa te, kau harus tahu maksud siau liong suruh kita tetap berada
di-sini, sudah jelas dia mengetahui kalau kita bukan tandingan dari
orang itu, maka dia sengaja mengatur demikian demi keselamatan kita,
sebelum berlalu tadi, diapun telah berpesan agar
kita jangan saIing berpisah, hal ini menunjukkan kalau dia sangat kuatir
bila ada kemungkinan orang akan menyerang kita menggunakan
kesempatan tersebut, bila toate bersikeras hendak menyusulnya,
bukankah hal ini hanya ada ruginya tiada untungnya ?"
Bau ji mendengus dingin. "Hm, mungkin ucapan itu benar, tapi
bukankah kita bisa pergi
bersama ke sana ?" Hou ji tak bisa berbicara lagi, dia segera
terbungkam dalam
seribu bahasa. Nona Kim sendiri memang amat menguatirkan
keselamatan Sun
Tiong lo, sesungguhnya dia memang segan tinggal terus disana, melihat
Hou ji tidak menjawab, dia lantas berlalu lebih dulu
Begitu si nona berangkat, Bau ji menyusul dibelakangnya, dalam
keadaan seperti ini Hou ji harus mengikutinya pula dari belakang.
Tempat pertempuran mereka dengan pihak lawan berlangsung bekas
ruang tengah, kini mereka berjalan menuju kearah depan dimana Sun
Tiong lo tadi berlalu, tak selang berapa saat kemudian sampailah
mereka di depan loteng genta.
Loteng genta itu tingginya mencapai tiga kaki lebih, namun suasananya
sunyi senyap tak kelihatan seorang manusiapun.
Hou-ji tak ingin Bau ji dan nona Kim menjumpai mara bahaya, cepat
cepat dia berseru. "Harap kalian tunggu sebentar, biar aku yang naik
untuk melihat keadaan disitu!"
Baru selesai berkata Bau ji dan Nona Kim telah bersama-sama
mengenjotkan tubuhnya menerjang keatas loteng genta tersebut.
Bau ji berhasil mencapai ketinggian empat kaki dan mencapai sisi
jendela loteng tingkat ke tiga.
Nona Kim lebih rendah kepandaiannya, dia hanya berhasil mencapai tepi
jendela loteng tingkat dua.
Hou ji tidak ikut naik, dia tetap berdiri tertegun ditempat
semuIa,sebenarnya dia memang berhasrat untuk naik keatas. tapi kuatir
ada orang menyergap Bau ji atau Nona Kim secara tiba-tiba, terpaksa dia
mengurungkan niatnya tersebut dan hanya mengangkat kepalanya
memandang ke arah Bau jin dan nona Kim dengan kesiap siagaan penuh.
Bau ji yang pertama-tama mencapai loteng genteng lebih dulu disusul
oleh nona Kim.
Diatas loteng genta, kecuali genta tembaga yang amat besar penuh
karatan itu, tak nampak sesosok bayangan manusiapun, kayu besar
pemukul gentanya pun telan dilapisi debu yang tebal.
Tali besar dibawah kayu pemukul genta masih nampak utuh, namun
ketika ditarik Bau ji ternyata tali tersebut hancur berantakan menjadi
debu, rupanya sudah lama hancur.
Hou ji yang ada dibawah nampak sangat gelisah, tiba-tiba dia berteriak
keras:
"Toate, apa yang berhasil kau jumpai disana." "Setanpun tak
nampak!" jawab Bau ji cepat, selesai berkata, dia
segera lompat turun ke bawah. Baru saja dia melayang turun, nona Kim
telah menemukan
sesuatu, tiba-tiba teriaknya ke bawah: "Engkoh Lo sedang bertarung
dengan orang didalam hutan
bambu sebelah diri !" Sambil berseru dia meluncur turun dari loteng
genta dan
langsung melompati dinding pekarangan yang sudah runtuh. Hou ji kan
Bau ji tak berani berayal, dengan cepat mereka
menyusul dari belakang. Benar juga, diluar hutan bambu nampak ada
tiga orang sedang
mengerubuti Sun Tiong lo.
Anehnya orang yang mereka jumpai semula ini malah tak nampak
batang hidungnya lagi.
Nona Kim sampai disitu lebih duluan, tanpa mengucapkan sepatah
katapun dia meloloskan pedangnya sambil maju menyerang.
Bau ji dan Hou ji turut menyusul ke situ, serentak merekapun turun
tangan membantu.
Siapa tahu Sun Tiong lo berseru dengan gelisah. "Adik Kim, jangan
urusi aku, cepat ke dalam hutan bambu dan
menolong sahabat yang kita jumpai tadi !" Nona Kim tertegun. Hou-ji
dan Bau-ji turut termangu sehabis
mendengar seruan mana. Terdengar Sun Tiooglo berkata lebih jauh
dengan perasaan
gelisah: "Apakah Hou-ko tak bisa melihat bahwa aku sedang menahan
ketiga orang ini, sementara sahabat yang membawa jalan itu sedang
menyerempet bahaya sekarang ? Dalam hutan bambu sana terdapat
musuh tangguh, cepat kalian bantu dia !"
Hou ji termenung sambil berpikir sejenak, kemudian ujarnya kepada Bau
ji dan nona Kim:
"Mari kita seorang lawan itu, suruh Siau liong saja yang menolong
sahabat tersebut, bagaimana menurut kalian ?"
Belum habis perkataan itu diutarakan Bau ji dan nona Kim sudah
melompat kedepan dan masing masing memapaki seorang musuh.
Maka sambil tertawa terbahak-bahak Hou ji juga terjun kearena dan
menghadapi seorang yang lain.
Sambil tertawa Sun Tiong lo berseru kepada Houji: "Engkoh Hou,
jangan kau lukai mereka, cukup asal mereka kena
terhadang hingga memberi kesempatan kepada orang-orang
itu
melakukan pengajaran aku akan menuju ke hutan bambu memberi
bantuan, sebentar akan balik kemari!"
Selesai berkata, dia lantas melompat ke depan dan menerobos masuk
ke dalam hutan bambu.
Hou ji, Bau ji dan nona Kim masing-masing menghadapi seorang lawan,
yang aneh ternyata pihak lawan malah menarik kembali serangannya
sambil menghentikan gerakan.
Setelah gerak serangan mereka berhenti, ke dua belah pihak dapat
melihat jelas raut wajah masing-masing pihak.
Ternyata ketiga orang itu adalah tosu-tosu perempuan yang berbaju
abu-abu.
Di masa lalu, kuil Tong thian koan merupakan kuil kaum rahib, kini
duapuluh tahun sudah lewat, ternyata dari balik puing-puing yang
berserakan muncul kembali sekian banyak rahib perempuan dapat
disimpulkan kalau kejadian dibalik kesemuanya itu luar biasa sekali.
Hou-ji berpengalaman sangat luas, melihat musuh berhenti menyerang,
dia lantas menduga bakal terjadinya perubahan lain,
Maka setelah melihat jelas wajah lawannya, dengan cepat ujarnya
kepada Bau ji dan nona Kim:
"Jangan lupa dengan pesan Siau-liong, turun tangan dan hadang jalan
pergi lawan !"
Sementara pembicaraan berlangsung, berhubung Hou ji telah
mempersiapkan senjata Jit sat ciang mo pangnya semenjak tadi, diapun
segan berganti dengan senjata lain, sambil mengayunkan senjatanya
dia maju melancarkan serangan.
Nona Kim tak mau ketinggalan, dia pun mengayunkan pedangnya
membacok salah seorang tokoh tersebut.
Bau ji berkerut kening, menurut sifatnya, dia paling segan bertarung
melawan para kaum wanita.
Tapi situasi yang terbentang didepan mata dewasa ini memaksanya
harus menghadang gerak maju musuhnya, maka dengan suara dingin
diapun menegur:
"Lebih baik berdiri saja disitu dengan tenang, bilamana kau
membangkang, terpaksa aku harus turun tangan !"
Tokoh yang berdiri saling berhadapan dengan Bau-ji adalah Tokoh yang
berusia paling besar diantara mereka bertiga, kira-kira berusia dua
puluh tujuh delapan tarunan, dialah pemimpin dari ketiga orang
tersebut.
Sudah cukup lama dia berkelana dalam dunia persilatan, pengalamannya
amat luas, begitu mendengar ucapan Bauji, ia lantas mendapatkan
sebuah akal bagus.
Maka sambil tersenyum ujarnya kepada Bau ji, "Ooh, baiklah... aku
tidak bergerak, kaupun tak usah bergerak !"
Bauji hanya membungkam diri dalam seribu bahasa, sepatah katapun
tidak menjawab.
"Mengapa sih kau bersikap demikian ?" kembali tokoh itu bertanya
sambil tersenyum.
Dengan tak sabar Bau ji mendengus. "Aku paliag segan bertarung
melawan kaum wanita !" Tokoh itu seakan-akan baru memahami
ucapan mana, sorot
matanya segera dialihkan sekejap ke sekeliling tempat itu, kemudian
katanya.
"Aku mengira kau takut dengan kaum wanita." sesudah berhenti
sejenak, sambungnya lagi lebih jauh.
"Tapi beginipun ada baiknya juga, cuma kalau toh kita tak usah
bertarung, rasanya tak usah pula berdiri termangu terus disini, duduk
diatas batu disebelah situ boleh bukan ?"
Diluar hutan bambu merupakan sisi dinding pekarangan bekas kuil,
banyak puing berserakan disitu, diantaranya terdapat pula
beberapa bongkahan batu besar yang berada berapa kaki saja di
hadapannya, batu itulah yang ditunjuk tokoh tersebut.
Tanpa memandang sekejap matapun Bau ji menggeleng. "Tidak
boleh !" Disinilah letak keanehan Bau-ji, mungkin disini pula letak
daya
tarik orang ini. Tokoh tersebut telah salah menduga, dia mengira Bau ji
kalau
bukan seorang keparat yang sombong dan tekebur tentulah manusia
yang lemas badannya bila bertemu kaum wanita, di anggapnya hal
mana gampang sekali untuk dihadapi.
Siapa sangka Bau ji sama sekali tiada perasaan sayang dengan kaum
wanita, lunak tak bisa dikeraspun tak dapat.
Gagal dengan siasat pertama, muncul siasat lain dalam benak tokoh
tersebut, kembali ujarnya.
"Pinni bergelar Lok soat, siapa namamu saudara cilik ?" Kini ia
berusia dua puluh tujuh tahun, mengambil gelar sebagai
Lok-soat (menjelang senja), boleh dibilang suatu sebutan yang tepat
sekali.
Sewaktu mengajukan pertanyaan tarsebut kepada Ban-ji, alis matanya
melentik sementara matanya mengerling genit.
Seandainya berganti orang lain, mungkin akan timbul pelbagai pikiran
yang bukan-bukan. Tapi Bau ji tetap tangguh dan kokoh bagaikan batu
karang.
Dengan suara dingin dia berseru. "Masih ada sebuah persoalan lagi
hendak ku beritahukan
kepadamu yaitu lebih baik jangan banyak bincang dihadapanku !"
Dengan demikian siasat yang di susun Lok-soat tokoh kembali
menemui kegagalan total, lantas mukanya kontan berubah berulang
kali.
Setelah termenung berapa saat, akhirnya di putuskan untuk mengambil
tindakan yang menyerempet bahaya.
Dia bermaksud hendak turun tangan melancarkan sergapan di saat
Bau-ji sedang tak siap nanti, lalu menjadikannya sebagai sandera.
Tentu saja ia tak bermaksud membunuh Bau ji, dia hanya ingin menawan
pemuda itu dan menjadikannya sebagai sandera, bila rencana tersebut
berhasil, bukan saja dapat memaksa pihak lawan untuk menghentikan
serangannya, bahkan diapun dapat melanjutkan rencananya semula.
Oleh sebab itu dia berlagak seakan-akan apa boleh buat dan menghela
napas panjang, Bau-ji tidak perdulikan lagi, sementara sorot matanya
dialihkan ke wajah ke empat orang yang sedang bertarung, lagaknya
seperti tertarik sekali oleh pertarungan yang sedang berlangsung.
Tentu saja Bau ji mengalihkan juga sorot matanya ke arah Hou ji dan
nona Kim, terutama memperhatikan jurus serangan yang di gunakan ke
dua belah pihak.
Hou ji dengan tongkat jit sat pangnya menghadapi tokoh yang jauh
tidak berimbang kekuatannya, sedangkan Nona Kim dengan
mengandalkan pedangnya mengeluarkan jurus-jurus paling tangguh
untuk meneter lawannya habis-habisan, oleh karena itu pertarungan
berjalan se-imbang, untuk menang memang susah tapi untuk kalah pun
tak mungkin.
Dari sini, Bau ji segera memahami apa sebab nya Sun Tiong-lo merasa
murung tadi.
Kalau dibicarakan dari kepandaian silat yang dimiliki kedua orang tokoh
tersebut untuk menarik kesimpulan atas kepandaian silat yang dimiliki
Lok soat, tokoh yang tak bertarung itu. meski selisih berapa jauh,
namun bisa di simpulkan kepandaian mereka tidak lihay.
Padahal ilmu silat yang dimiliki Sun Tiong lo tadi lihay, sekali pun
semestinya kendatipun dia bertarung satu lawan tiga, untuk meraih
kemenangan bukan suatu yang menyulitkan baginya.
Tapi kenyataannya tadi mereka hanya bertarung seimbang, hal ini
berarti pemuda itu mempunyai alasan yang tertentu.
Sekarang Bau-ji sudah mengerti, alasannya tak akan terlepas dari dua
hal.
Pertama, tiga orang tokoh ini tahu kalau Sun Tiong lo tidak ingin
membunuh mereka, maka mereka menyerang Sun Tiong lo habishabisan
dengan waktu agar pemuda itu terkurung dan rekannya yang
berada dalam hutan bambu akan menarik hasil.
Alasan yang lain adalah S'm Tiong lo tak dapat membiarkan ketiga orang
tokoh itu pergi, namun diapun segan membunuh mereka, terpaksa ia
harus bertarung terus sambil menunggu kesempatan.
Terlepas dari alasan manakah yang menjadi dasar pertimbangannya,
persoalan pokoknya hanya satu yakni ia tak dapat membunuh mereka.
Sedang mengenai alasan kenapa mereka tak boleh dibunuh, Bau ji tidak
habis mengerti.
Sorot mata Bau ji tiada hentinya dialihkan ketengah arena menyaksikan
ke empat orang itu bertarung, banyak persoalan muncul dan
berkecamuk dalam benaknya waktu itu, keadaan tersebut tentu saja tak
terlepas dari pengamatan Lok soat yang memang sudah mengamatinya
semenjak tadi, diam diam tokoh tersebut girang sekali.
Dengan cepat dia mengambil keputusan di dalam hati, dia harus
menunggu kesempatan baik untuk segera bertindak.
Kini kesempatan yang dinantikan telah tiba, dia hendak mencari saat
yang paling menguntungkan untuk turun tangan.
Pertama-tama dia memperhitungkan lebih dahulu, jaraknya dengan Bau
ji.
Jaraknya hanya lima depa, berarti bila dia bisa maju selangkah lagi
maka sasarannya akan tercapai.
Dalam selisih jarak. posisinya lebih menguntungkan bagi pihaknya, dan
diapun percaya dengan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya,
kendatipun pihak lawan sudah melakukan persiapan pun belum tentu
bisa lolos dari ancamannya,
Kalau toh selisih jaraknya sudah beres, sekarang persoalannya tinggal
menunggu tibanya kesempatan yang terbaik.
Secara diam-diam ia melirik sekejap lagi ke arah Bauji, tampaknya Bau ji
masih memusatkan segenap perhatiannya memperhatikan jalannya
pertarungan antara keempat orang itu dan sikapnya tiada persiapan
sama sekali, dia jadi amat lega, karena kesempatan semacam itu
menguntungkan sekali baginya.
Sekarang, Lok Soat tinggal mempertimbangkan dengan cara apakah dia
harus turun tangan.
Kalau serangannya kelewat enteng, dia khawatir akan menjumpai
kegagalan, tetapi jika berat, dia pun kuatir terjadi hal-hal yang sama
sekali tidak di inginkan...
Kejadian ini memang sangatlah aneh, pada umumnya dua belah pihak
yang saling berhadapan selalu berusaha untuk turun tangan seberat
mungkin dan setepat mungkin, tapi sekarang, mengapa Lok soat justru
terlalu banyak mempertimbangkan diri sebelum turun?
Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menotok jalan darah lemas
ditubuh Bau ji, totokan tersebut harus dilepaskan kuat-kuat, karena
meski kuat-kuat, serangan tersebut tak akan menimbulkan ancaman
bahaya apapun. Tapi, letak jalan darah lemas dalam posisi berdiri Bau ji
sekarang, rasanya jauh iebih sulit dicapai daripada menotok jalan darah
Tay yang hiatnya yang sama sekali tak terlindung itu.
Namun, jalan darah Tay yang hiat merupakan salah satu diantara jalan
darah kematian lainnya, bila tertotoknya kelewat keras bisa jadi akan
berakibat kematian, dia tak ingin berbuat demikian, maka
otaknya lantas berputar mencari akal untuk mencapai sasaran jalan
darah lemas lawan secara jitu.
Maka ia sengaja membungkukkan badan sambil memijit pahanya,
pertama kalau kakinya sudah kaku karena kelewat lama berdiri.
Semua gerak-gerik to-koh tersebut dapat terlihat semua oleh Bau ji
dengan nyata, dia segera melengos.
Tokoh itu mendengus marah kemudian membalikkan badannya, sikap
seperti itu mengartikan kalau dia mendongkol sekali pada Bauji.
Tapi Bau ji memang benar-benar tidak mengerti kasihan kepada kaum
wanita, dia tetap berpaling kearah lain tanpa menggubris keluhan
tersebut.
Keadaan mana justru amat cocok dengan apa yang diharapkan Lok
soat, waktu itu dia telah bersiap sedia melancarkan serangan kilat untuk
merobohkan musuhnya.
Baru saja Bau ji berpaling, tahu-tahu ia telah menerjang ke muka.
Tangannya bergerak cepat menyambar ke-depan, secara telak dia hajar
jalan darah lemas ditubuh Bau ji.
Agaknya Bau ji sama sekali tidak mempersiapkan diri sendiri baik- baik,
begitu tertotok, tubuhnya segera roboh.
Tampaknya Lok soat telah mempersiapkan diri lebih jauh, meski dia
berhasil menotok jalan darah Bauji, namun di saat tubuh anak muda
tersebut bergoncang keras dan hampir roboh ke tanah, secepat kilat dia
menyambar tubuh Bau ji dan memeluknya erat- erat.
Kepada Hou ji dan nona Kim, bentaknya. "Berhenti kalian, kalau
tidak akan kubunuh rekanmu ini !" Sambii berkata, Lok-hoat
mengayunkan telapak tangan kanannya
siap dihajarkan keatas batok kepala Bau ji.
Ketika mendengar teriakan tadi, dua orang tokoh tersebut yang
mula-mula melompat ke luar lebih dulu dari arena pertarungan
Hou-ji dan nona Kim terpaksa harus menarik pula serangan
masing-masing dengan perasaan apa boleh buat.
Sambil tertawa Lok soat berkata kepada dua orang tokoh tersebut:
"Hei, mengapa kalian tidak segera pergi ?" Mendengar itu, kedua
tokoh tersebut mengiakan dan siap berlalu,
tapi pada saat itulah kejadian aneh telah berlangsung didepan mata.
Mendadak terdengar Lok soat menjerit kesakitan, menyusul
kemudian keadaanpun berubah. Kalau semula yang membopong tubuh
Bau ji maka sekarang Bau
ji lah yang sedang mencengkeram pergelangan tangan Lok soat sambil
tertawa dingin tiada hentinya, dan sementara jalan darah lemas di
tubuh Lok soat kena tertotok, saking sakitnya dia hanya bisa berdiri
terbelalak dengan mulut melongo, tubuhnya sama sekali tak bisa
bergerak.
Hou ji hanya melirik sekejap keadaan di sekelilingnya, kemudian secepat
kilat menerjang kemuka, tokoh yang sedang bertarung melawan dirinya
tadi masih berdiri tertegun oleh perubahan yang sama sekali tak terduga
itu, akibatnya secara mudah iapun berhasil di tawannya hidup-hidup.
Dengan cepat Hou ji menotok jalan darah tokoh ini, kemudian bersama
nona Kim dia menggencet tokoh yang ketiga dan mengurungnya dari
muka dan dari belakang juga.
Tokoh itu menarik napas panjang, dia tahu keadaan tak menguntungkan
sekalipun melawan toh akhirnya bakal keok juga.
Lok soat yang jalan darahnya tertotok masih dapat melihat dan
mendengar semua kejadian dihadapannya, menyaksikan akhir dari
perubahan situasi tersebut, saking gemasnya dia hanya bisa
menggigit bibir kencang-kencang, yaaa, apa lagi yang bisa dia lakukan
sekarang?
Sementara itu Bau ji sedang berkata kepada Lok soat sambil
mendengus dingin:
"Inilah pelajaran yang paling cocok bagimu, lain kali jangan mencoba
untuk mencelakai orang lain secara menggelap lagi!"
Hou ji tertawa: "Toa-te!" katanya pula, "aku mengira kau masih juga
seperti
dahulu, ternyata..." "Sejak kecil aku sudah terbiasa menyaksikan
kejadian-kejadian
memalukan seperti ini, aku tak bakal termakan oleh tipu muslihat
semacam itu lagi." tukas Bau ji cepat.
Kembali Hou ji tertawa, kepada nona Kim katanya: "Nona. totoklah
jalan darah lawanmu, kemudian kita harus
masuk kedalam hutan bambu itu!" Nona Kim mengangguk berulang
kali, dengan cepat dia menotok
jalan darah Iawannya. Mereka bertiga menyeret ketiga orang tokoh
tersebut kedalam
hutan bambu dan membaringkan ditanah, kemudian secara diam- diam
menyusup masuk kedalam hutan bambu itu guna melakukan
pemeriksaan yang seksama.
Makin masuk, mereka menelusuri hutan bambu itu semakin ke dalam...
Hutan bambu itu mana luas lebat lagi, namun sama sekali tak terdengar
suara bentrokan senjata ataupun suara teriakan apapun.
Ketika menelusuri lebih kedalam, mendadak pemandangan di
hadapannya lebih terbuka lebar.
Mereka belum berjalan keluar dari hutan bambu tersebut, tapi seperti
telah sampai di-suatu tempat lain.
Tiga kaki dihadapan mereka sebuah pekarangan yang berpagar bambu.
Bambu itu bukan tumbuh secara alam, melainkan diatur oleh tangan
manusia sehingga selain tumbuh rapat dan lebar, terciptalah suatu
penyekat alam yang tingginya mencapai lima kaki.
Bambu tersebut berlapis lima, sitiap batang berselisih lima inci, sehingga
sewaktu bammi itu makin tinggi, daun dan rantingnya harus dibuat
bersih hingga bentuknya jadi lurus ke atas.
Menghadapi lapisan pagar bambu yang tingginya lima kaki dengan tebal
berapa kaki tersebut, Hou ji bertiga berdiri tertegun dengan mata
terbelalak lebar.
Bau ji tampak berpikir sebentar, kemudian ujarnya: "Mari kita
menelusuri pagar bambu ini, coba kita cari dimanakah
letak pintu masuknya!" Dengan mempercepat langkah masing-masing
ke tiga orang itu
berjalan menelusuri ikutan bambu. Setelah satu keliling mereka lalui,
nyatanya sebuah pintu masuk
pun tidak di temukan. Tapi mereka sudah tahu sekarang bahwa pagar
bambu itu
mencapai setengah hektar lebih, mana besar lebarnya bukan kepalang.
Bambu yang mencapai lima lapis dengan ketinggian lima kaki itu
membuat pemandangan dibalik situ tertutup sama sekali, kendatipun kau
berilmu tinggi jangan harap bisa melihat jelas keadaan disana, bahkan
semut pun kecuali menerobos lewat tanah, jangan harap bisa mencapai
ke sana.
Kalau semut bisa lewat tanah, orangpun harus melewati tempat atas.
Dengan kening berkerut Bau ji berkata: "Tiada cara lain, terpaksa kita
harus melompat lewat atas."
Houji manggutkan kepaIa. "Ucapanmu memang benar, cuma kita
mesti memikirkan lebih
jauh !" Dengan tak sabar Bau ji berkata pula "Apalagi yang harus
dipikirkan ?" matanya nona Kim melirik sekejap ke arah Bau ji,
kemudian ikut menimbrung.
"Hei. bila sudah bertemu kesuIitan, mengapa sih terhadap siapa pun
kau tak punya kesabaran barang sedikitpun juga ?" tanyanya pula.
Bauji mendengus dingin. "Hmm, memang beginilah diriku !"
sahutnya. "Hai, tapi aku justeru merasa tidak Ieluasa menyaksikan
tampang
semacam dirimu." Bau ji tertawa dingin dan kemudian katanya.
"Gampang sekali, bila kurang leluasa untuk memandang, tak
usah memandang lagi !" Dengan hati yang sangat mendongkol
bercampur marah nona
Kim melengos kearah lain, kemudian tidak menggubris Bau ji lagi. Hou ji
ying menyaksikan kejadian itu segera berkerut kening,
katanya: "Toa te, aku tahu kalau kau terburu nafsu, tapi jangan lupa,
demikian pula dengan kami." Bau ji tetap membungkam, baginya hal ini
menunjukkan kalau
dia mengakui telah salah berbicara. Maka Hou ji berkata lagi: "Toa te,
menurut pendapatmu, apa yang terdapat dibalik pagar
bambu tersebut?" "Aku rasa pastilah sebuah halaman dengan gedung
yang megah"
"Mungkinkah Siau liong dan teman yang membawanya kemari sudah
berada disana?"
"Pasti berada disitu!" jawab Bau ji tanpa berpikir lagi. "Darimana kau
bisa tahu?" tanya nona Kim. "Jangankan dia" kata Bau ji ketus,
"sekali pun aku, bila sampai di
sini dan menyaksikan keadaan disekitar tempat ini, sudah pasti aku
akan masuk kedalam untuk melihat keadaan."
"Baiklah" tukas Hou-ji mendadak, "anggap saja Siau-liong dan penunjuk
jalan itu sudah berada didalam sekarang, dan anggap pula mereka
masuk kedalam dengan melompati pagar bambu yang tinggi itu."
"Tentu saja, disekitar pagar bamhu ini tiada pintu, kalau bukan lewar
atas mesti lewat mana ?"
"Kelewat cepat mengambil keputusan" nona Kim mendengus, "aku tak
percaya kalau disini tak ada pintunya."
Bau ji melirik sekejap keirah nona Kim, kemudian berkata lagi: "Jika
disini ada pintu masuknya, hal tersebut lebih baik lagi,
bagaimana jika kau saja yang membawa jalan ?" "Tampaknya kau selalu
memusuhi diriku!" bentak nona Kim
dengan amat gusarnya. "Aku tidak memusuhimu, aku hanya berbicara
sejujurnya, karena
kau tidak percaya bahwa disini tak ada pintunya." "Aku ingin bertanya
padamu dibalik pagar bambu situ entah ada
gedungnya atau lainnya, sudah pasti ada manusianya bukan?" Kali ini
Bau ji mengangguk "Aku rasa hal ini tak bakal salah:" "Kalau kubilang
orang yang ada didalam sana pasti sekomplotan
dengan ketiga orang tokoh yeng berhasil kita bekuk itu, percayakah
kau akan kebenaran ini?"
Bau ji berpikir sejenak, lalu sahutnya : "Kemungkinan selalu ada,
bahkan kemungkinan sekali!"
Nona Kim segera tertawa dingin. "Aku berani memastikan, ketiga orang
tokoh tersebut pasti seringkali masuk keluar dari balik pagar bambu
ini!"
"Seandainya mereka ada sangkut pautnya, tentu ssja hal ini mungkin
saja terjadi." jawab Bau ji sesudah berpikir sejenak.
Mendadak nona Kim merubah pokok pembicaraannya, sambil menuding
pagar bambu itu katanya lagi:
"Pagar bambu ini tingginya lima kaki, berbicara menurut kepandaian silat
di dirimu apalagi setelah menyaksikan betapa lebarnya tempat yang
tertutup pagar bambu ini, dapatkah kau melompat pagar tersebut dalam
sekali lompatan ?"
Bau ji angkat kepalanya memandang ke tempat ketinggian lalu
jawabnya:
"Aku percaya dapat, tentu saja harus mengerahkan segenap tenaga
yang kumiliki !"
"Benar, bila berbicara soa ketinggian lima kaki, seharusnya tak usah
menggunakan tenaga yang kelewat besar pun bisa melaluinya, tapi
berhubung keadaan posisinya tidak menguntungkan, maka orang harus
mengerahkan segenap tenaga untuk bisa melampaui pagar bambu itu !"
"Sesungguhnya teori ini amat sederhana dan mudah diterima dengan
akal, buat apa sih kau berbicara melulu tiada hentinya ?" kembali Bauji
menukas dengan habis sabar.
Nona Kim tidak ambil perduli, kembali katanya: "Berbicara dengan
tenaga dalam yang kau miliki, bagaimana
kalau dibandingkan dengan ke tiga orang tokoh tersebut ?" "Apa
maksudmu mengajukan pertanyaan semacam itu?" Bau ji
bertanya deagan perasaan tak habis dimengerti.
"Tentu saja ada alasannya, jawab saja semua pertanyaan yang
kuajukan kepadamu!"
"Bila kau menanyakan tinggi rendahnya kepandaian masing- masing
pihak, bukankah pertanyaanmu ini amat berlebihan?"
Nona Kim mendengus. "Bila kau mengakui bahwa tenaga dirimu jauh
lebih hebat dari
pada mereka, berarti harus kau akui pula bahwa dibalik pagar bambu
tersebut sudah pasti ada pintunya!"
Bau ji segera memahami apa yang dimaksudkan, dia manggutmanggut.
"Perkataanmu ini memang bisa masuk diakal tapi bila rahasia pintu
tersebut tidak berhasil ditemukan, apa boleh buat?"
Agak mereda juga hawa amarah nona Kim setelah mendengar
perkataan dari Bau ji, katanya, kemudian:
"Nah, begitu baru benar, bila ada pintunya berarti tak sulit buat kita
untuk menemukannya!"
Menyaksikau keributan diantara kedua orang itu, Bau-ji segera tertawa,
katanya kemudian:
"Sudah cukup, mari kita rundingkan secara baik-baik sekarang,
bagaimana cara yang terbaik untuk melampaui perintang tersebut ?"
"Tentu saja harus melalui atas sana." Bau-ji tetap menuding ke tempat
atas situ.
"Aku rasa jalan atas bukan suatu jalan yang gampang untuk dilalui."
Ketika Houji menyaksikan Bau ji menunjukkan kembali sikap tak
sabarnya, dengan cepat dia menimbrung:
"Betul, aku rasa diatas sana sudah pasti telah disiapkan alat jebakan
untuk menahan kita"
"Sekalipun demikian, kita tetap harus mencobanya lebih dulu !" Bau-ji
tetap bersikeras.
"Dicoba sih tentu saja dicoba, tapi kita harus bertindak dengan
ditunjang oleh suatu rencana yang matang, aku rasa kita mesti
menyediakan bambu panjang lebih dulu, harus kita coba bagaimana
reaksinya bila pagar bambu mana dilalui."
"Benar, cara ini memang sangat bagus!" nona Kim manggut- manggut.
Baru saja dia selesai berkata, Bau ji telah mengayunkan pedang
mustikanya membabat sebatang bambu yang ada, cahaya pedang
berkelebatan lewat, tahu-tahu sebatang bambu sudah terjatuh ketanah,
dia mengambil bambu tadi dan dilemparkan kearah pagar bambu yang
ada.
Bambu itu terjatuh dan bersandar diatas pagar bambu itu, setelah
terhenti sejenak lalu terjatuh kembali ketanah.
Dari ujung pagar bambu itu sama sekali tak kedengaran sedikit
suarapun, juga tak nampak ada sesuatu benda yang meluncur datang.
Bau ji segera berkata: "Nah, sekarang sudah dicoba, agaknya sama
sekali tiada alat
jebakan apapun!" Seraya berkata dia mencabut kembali pedangnya dari
atas tanah. Kali ini dia mengayunkan pedangnya dengan menghimpun
tiga
bagian hawa murninya cahaya tajam berkilauan tahu-tahu dia sudah
menyambar keatas lapisan bambu yang berada dipaling depan.
Kalau tadi, bambu tersebut segera patah begitu tersentuh mata
pedang, maka bambu yang dibacok sekarang ternyata terbuat dari baja
murni, yang kena terbabat kini tak lebih cuma selapis kulitnya belaka.
Nona Kim yang pertama-tama menjeri kaget lebih dulu, dia segera
melakukan pemeriksaan, lalu serunya:
"Oooh rupanya begitu." sekarang Hou-ji dan Bau ji sudah dapat melihat
jelas keadaan yang sebenarnya rupanya kelima lapis bambu yang
dijajarkan sebagai pagar bukan semuanya terdiri dari bambu asli
melainkan terbuat dari besi yang dicat persis seperti warna bambu.
Dengan ditemukannya hal tersebut, suasana yang meliputi sekeliling
tempat itupun bertambah misterius.
Bau ji tidak bersikeras hendak melompat melalui atas lagi, dia segera
mengurungkan niatnya itu kendatipun dia tahu belum tentu diatas tiang
besi tersebut terdapat alat jebakan. Kalau dibilang mencari pintu?
Kelewat sulit, apalagi terlalu banyak membuang waktu.
Nona Kim mulai berpikir, mendadak ia mendapatkan suatu ide bagus,
dengan cepai ide mana dirundingkan dengan Hou ji dan Bau ji yang
ternyata disetujui pula.
Secara beruntun mereka membabat enam batang bambu, lalu disusun
menjadi sebuah tangga bambu yang kuat sekali, tingginya mencapai
enam kaki dan disadarkan diatas tiang besi tersebut.
Setibanya diatas, mereka baru dapat menyaksikan betapa liehaynya alat
jebakan yang terpasang disitu.
Rupanya diatas pagar besi tadi dipasang serenteng jaring tembaga
berkait yang amat kuat tak heran kalau tidak terjadi sesuatu gejala apa
pun ketika dicoba dengan bambu tadi, sebab bambu bertubuh licin
hingga tak mungkin bisa terkait.
Diantara jaring berkail tersebut dipasang serentetan kelening emas, bila
ada orang terkail maka keleningan tersebut akan segera berbunyi keras,
tentu saja hal ini akan menyebabkan pihak tuan rumah menyadari akan
datangnya tamu tak diundang dan melakukan penyergapan.
Jika hanya jaring kail belaka, hal tersebut masih mendingan, justru
tepat diseberang jaring berkail tersebut telah dipasang busurbusur
berpegas tinggi yang siap menghamburkan puluhan batang anak
panah.
Bila seseorang menyentuh jaring maka dia akan ditawan oleh kail
tersebut, untuk melepaskan kail mana, tubuh orang itu akan bergoncang
yang menyebabkan keleningan ber bunyi, dan kaitan yang di potong
lepas akan menyebabkan anak panah tersebut telah dipersiapkan
sedemikian juga, bila orang masuk jaring, sebelum dia sempat
meloloskan diri dari semua kaitan, dia tentu akan terhajar oleh anak
panah dan mati lebih dulu disiiu, Apa lagi jika dilihat posisinya, mustahil
orang bisa meloloskan diri.
Untung saja mereka bertindak cukup hati-hati, untung saja nona Kim
mempunyai ide untuk membuat anak tangga, coba kalau mereka
menerjang pagar besi itu secara gagah, niscaya tubuh mereka sudah
dilubangi oleh anak panah.
Setelah menyaksikan jelas semua keadaan, Hou-ji segera berbisik:
"Hati-hati keadaan dibawah sana !" Di bawah sana merupakan
sebuah tanah lapang berumput
rendah, rumput itu berminyak dan nampak sangat indah. Dibelakang
tanah berumput itu merupakan sebuah bangunan
loteng yang terbuat dan batu tidak kelewat besar tapi mungil dan
sangat menawan hati.
Ditmjau dari bangunannya yang indah, bisa diketahui kalau bangunan
tersebut dirancang oleh arsitek kenamaan.
Bagian dasar bangunan berloteng itu membentuk tonjolan ke atas,
lotengnya sendiri cuma separuh, atap dan bangunan berbentuk kerucut,
bangunan seperti ini selain model baru indah, lagi kuat.
Dengan wajah termangu-mangu Hou-ji berkata, "Tampaknya pada
rumput itu tidak nampak sesuatu yang mencurigakan, tapi bangunan
batu itu justeru sangat aneh."
"Turun saja, tapi mesti berhati-hati !" kata Bau ji. Mereka bertiga
manggut-manggut, lalu dipimpin oleh Bau ji, dia
melejit lebih dulu kebawah, kemudian serunya: "Aku akan turun lebih
dulu, kalian harus perhatikan baik-baik
tempat berpijakku nanti" Dengan selamat dia berhasil mencapai tanah,
ternyata disitu
memang tiada jebakan. Maka Hou ji dan nona Kim segera menyusul
pula melompat turun
kebawah sana. Kini, pandangan nona Kim terhadap Bau ji telah
berubah, semula
dia menganggap dia kaku, dingin dan kejam, tapi sekarang dia baru
tahu kalau pandangan tersebut keliru besar.
Oleh karena itu ketika Bau ji hendak mendekati bangunan berloteng itu,
ia segera berseru.
"Tunggu sebentar, biar aku yang berjalan lebih dulu!" "Mengapa ?"
tanya Bau ji dengan kening berkerut. Sambil menuding kearah
bangunan loteng itu, nona itu
menjawab, "Aku cukup mengenali bangunan loteng semacam ini !"
Sementara Bau ji masih tertegun, Hou ji yang pintar telah
menimbrung dari samping: "Apakah didalam bukit pemakan manusia
juga terdapat
bangunan semacam ini ?" "Betul" sahut si nona sambil tertawa "hanya
sayang kalian belum
pernah berkunjung ke tempat itu !" Sambil tertawa Hou ji lantas berkata
kepa da Bau ji: "Baiklah, kalau begitu kami tak akan mengurus lagi,
mulai
sekarang kami berdua hanya akan mengikuti dirimu."
Nona Kim tidak banyak berbicara lagi, ia segera beranjak melanjutkan
perjalanannya ke depan.
Sewaktu tiba di depan bangunan berloteng itu, terutama bagian yang
menonjol keluar, Nona Kim segera berhenti.
Kemudian sambil menuding bagian tersebut, katanya: "Aku berani
bertaruh, bangunan berloteng ini tidak mempunyai
pintu maupun jendela." Betul juga, sewaktu Bau ji dan Hou-ji mencoba
untuk memeriksa
sekeliling tempat itu, mereka memang tidak menemukan pintu atau
daun jendela barang sebuah pun.
Namun disitu memang ada persediaan untuk pintu dan jendela, seperti
kosen untuk pintu dan kosen untuk jendela.
Hanya saja dibalik kosen dan pintu tadi tertutup batu besar, kalau
bangunan loteng itu berwarna hitam maka pintu batu itu berwarna putih
begitu pula dengan jendelanya, oleh karena itu kalau dipandang dari
kejauhan nampaknya saja ada pintu dan jendela, tapi setelah dekat
tidak demikian keadaannya.
Setelah melihat jelas keadaan tersebut, Hou ji berkata sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali:
"Lagi lagi alat jebakan, kalau begitu pintu dan jendela tersebut tentu
digerakkan secara otomatis !"
Dengan cepat Bau-ji menggelengkan kepalanya pula seraya berkata.
"Aku paling benci dengan permainan semacam ini, licik, pengecut, dan
tidak nampak gagah !"
Nona Kim segera tertawa cekikikan sesudah mendengar ucapan
tersebut, katanya kemudian:
"Sejak dulu sampai sekarang, entah dalam dunia persilatan entah dalam
masyarakat biasa. selain kekuatan orangpun mengadu
kecerdasan dan seringkali kecerdasan jauh lebih unggul daripada
kekerasan, kita harus mengakui akan hal ini !"
Bau-ji tidak puas, serunya sambil mendengus. "Tapi permainan ini
mencerminkan kelicikan, keburukan dan
kemunafikan seseorang, sebagai seorang Kuncu, tidak pantas bila kita
melakukan perbuatan seperti itu !"
"Tapi orang kuno Thio Liang adalah seorang Kuncu juga, toh dia lebih
mengandalkan kecerdasan otaknya dari pada menggunakan kekerasan?
Buktinya seluruh negeri bisa dikuasainya dengan aman ?"
Sekali lagi Bau ji mendengus. "Pokoknya aku paling segan
menyaksikan perbuatan semacam ini
!" Hou ji ikut menghela napas panjang, katanya kemudian: "Toa-te,
dunia persilatan adalah suatu tempat yang sangat
berbahaya, dan pelbagai akal muslihat, pelbagai kelicikan dan
kemunafikan manusia akan kau jumpai disitu, kau harus mempelajari
kepandaian semacam ini, bukan berarti kita harus memperaktekkan
setelah mempelajarinya, dengan kita pelajari hal itu berarti kita akan
tahu, setelah tahu kita akan mengerti caranya! kalau sudah bisa maka
tiada bahaya maut yang tak bisa kita hadapi."
"Yaa, betul, ucapan ini memang amat tepat." seru nona Kim cepat.
Setelah melirik sekejap kearah Bau ji kata nya lagi: "Sekarang kita
akan segera masuk kedalam, harap kalian suka
lebih berhati-hati lagi!" Sementara pembicaraan berlangsung, nona Kim
berjalan menuju
kearah tempat yang seharusnya merupakan pintu, tapi sekarang hanya
berupa suatu tanah berbatu yang berwarna putih saja.
Setelah mendekati dengan seksama dan teliti sekali, gadis itu mulai
memeriksa keadaan di sekelilingnya.
Terhadap alat-alat jebakan semacam itu, boleh dibilang Hou ji dan Bau jie
merasa awam, sedikit pun tidak mengerti, terpaksa mereka hanya berdiri
saja dibelakang si nona sambil memperhatikannya bertindak.
Dalam waktu yang amat singkat itu, rupanya nona Kim berhasil
mendapatkan sesuatu, dia lantas berpaling ke arah Hou ji dan Bau ji
lalu ujarnya:
"Harap kalian menyingkir dulu ke samping, seringkaii bila pintu terbuka
maka ada senjata rahasia yang akan memancar keluar..!"
Mendengar perkataan itu, Hou ji dan Bau ji segera mengundurkan diri
dari situ, sementara nona Kim segera menutul undakan batu kedua yang
menonjol keluar itu dengan ujung kaki.
Batu hijau yang kena ditendang oleh nona Kim dengan ujung kakinya
tersebut segera mengeluarkan bunyi pelan, tapi berbareng dengan
bergemanya suara tadi, batu cadas berwarna putih itupun bergerak naik
ke atas dengan menimbulkan suara gemuruh keras.
Hou ji dan Bau ji saling berpandangan sekejap, kemudian katanya
sambil tertawa:
"Tampaknya sederhana, padahal kalau tidak mengerti kunci kunci
rahasianya, kita hanya bisa menunggu diluar dengan perasaan gelisah
sama sekali tak mampu berbuat apa-apa lagi"
Andaikata orang itu tanpa sengaja menginjak undak-undakan batu itu ?"
tanya Bau ji dengan kening berkerut.
Pertanyaan ini seakan-akan ditujukan kepada Hou ji, padahal yang
benar ia sedang bertanya kepada nona Kim.
Maka nona Kim segera menjawab: "Misalkan saja alat rahasia yang
mengendalikan buka tutupnya
pintu disini terletak di atas undak-undakan batu itu, maka
besar
kemungkinan akan terjadi pula hal-hal yang tak diduga, cuma hal ini
bukan berarti bisa meloloskan diri dari kurungan."
"Ooooh. bagaimanakah penjelasanmu tentang perkataan ini ?" Nona
Kim tertawa, sambil menuding kearah pintu yang telah
terbuka lebar itu katanya: "Penjelasannya sederhana sekali, itu lihat,
sekarang apakah kita
akan masuk ke dalam atau tidak ?" "Tentu saja akan masuk !" sahut
Bau ji tidak mengerti. Kembali nona Kim tertawa. "Seandainya pintu itu
dibuka tanpa sengaja karena kau telah
menginjak batu undakan itu?" Tanpa berpikir panjang lagi Bau ji
menjawab. "Aku pun tetap
akan masuk !" katanya. Nona Kim manggut-manggut. "Nah itulah dia,
bila kita sudah berada di dalam dan tampaklah
pintu itu menutup kembali secara otomatis, bukankah kita akan
terancam bakal terkurung didalam sana?"
Bau-ji segera terbungkam oleh perkataan itu, sepatah katapun tak
mampu diutarakan.
Sedang Hou-ji berkata pula sambil tertawa. "Kalau begitu, dibalik
terbukanya pintu tersebut masih tersimpan
rencana buruk lainnya?" Nona Kim segera manggut-manggut. "Tepat
sekali ucapanmu itu" Setelah berhenti sejenak, ujarnya
lagi, "Siapa yang membawa korek api atau obor?" Bau ji menggeleng,
selamanya dia tak pernah mempersiapkan
benda-benda semacam itu. "Nona, hanya aku yang mempunyai
benda-benda semacam itu" sahut Hou ji cepat.
"Bisa bertahan berapa lama ?" tanya si nona sambil tertawa.
Bau ji berpikir sebentar, kemudian sahutnya: "Semuanya aku hanya
memiliki dua batang, boleh dibilang dua macam, pokoknya cukup untuk
dipakai."
"Ooooohh, apakah kau membawa botol api suci milik perkumpulan
pengemis..?"
Hou ji tertegun. "Nona, darimana kau bisa mengetahui tentang api
suci tersebut
?" Nona Kim tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya berkata
lagi! "Harap kalian berdua suka lebih waspada lagi, menurut
dugaanku, setelah dia masuk kedalam maka pintu itu akan menutup
dengan sendirinya, berarti suasana dalam lotengpun akan berubah
menjadi gelap gulita, disaat seperti inilah biasanya alat perangkap akan
mulai bekerja."
"Oleh sebab itu sebelum masuk kedalam pintu, kita harus memasang api
lebih dulu, dan kalian harus berkumpul agak dekat, namun juga masih
memperhatikan selisih jarak untuk maju dan mundur, daripada bingung
setelah menghadapi keadaan yang tak diinginkan."
Bau ji dan Hou ji mengangguk sedang Hou ji segera mengambil sesuatu
benda dari dalam sakunya.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 31
BENDA itu berupa botol porselen yang berwarna tembaga, tingginya dua
setengah inci, persis seperti sebuah buli-buli kecil, sedang bagian
dasarnya gendut dan lebar nya kurang lebih tiga inci.
Menyusul kemudian Hou ji memegang tongkat jit sat pangnya dan
memutar pelan, ternyata tongkat itu segera terpotong menjadi
dua bagian, dari dari dalam tongkatnya itu dia menjemput keluar seikat
rumput kering sebesar ibu jari.
Bau-ji tidak tahu apa kegunaan dari botol porselen itu, dia segera
bertanya:
"Apa sih kegunaan dari permainan ini?" Sementara itu Hou-ji telah
membuka penutup botol itu dan
memasukkan rumput kering tadi kedalam botol, kemudian sahutnya.
"lnilah botol api suci yang dimaksudkan nona Kim tadi, mustika
dari perkumpulan pengemis!" "Oooh... lantas apa isi botol kecil itu ?"
"Minyak hitam ?" gumam Houji sambil tertawa. "Minyak hitam ?"
gumam Bau-ji semakin kebingungan. Kembali Hou ji tertawa. "Minyak
hitam hanya dihasilkan di Say pak, tidak gampang untuk
mendapatkannya, berhubung warnanya hitam gelap maka minyak itu
dinamakan minyak hitam, minyak itu tidak banyak jumlahnya tapi mahal
sekali harganya.
Dengan perasaan ingin tahu Bauji bertanya: "Dengan minyak hitam
sebotol kecil ini, berapa lama daya
tahannya...?" "Jangan kau lihat minyak hitam ini hanya sebotol kecil,
kalau
dipergunakan maka dia memberi penerangan selama enam jam lebih!"
Bau-ji seperti sudah melupakan maksud kedatangannya kesana, ia
segera berseru.
"Dapatkah kau mengambilnya sedikit untuk kulihat ?" "Mengapa
tidak?" sahut Hou ji tertawa. Maka Houji menarik
keluar sumbu lampunya dari dalam botol dan menuang keluar sedikit
minyak hitam ketangannya.
Tergerak juga hati nona Kim setelah menyaksikan kejadian itu,
diam-diam ia berpikir.
"Heran, selamanya Bau ji jarang tertawa se karang, mengapa dia
tertawa bahkan nampak berseri setelah mengendus minyak hitam
tersebut. "Mengapa bisa demikian? Mengapa ?"
Sebenarnya nona Kim ingin bertanya sampai jelas, tapi setelah bergaul
selama beberapa waktu dengannya, gadis itu cukup mengetahui watak
dari Bau ji itu, akhirnya dia menahan diri dan urung mengajukan
pertanyaan tersebut.
Hou ji pun merasakan sikap yang aneh dari Bau ji, tak tahan dia lantas
bertanya.
"Hal apa yang membuatmu kegirangan ?" Bau ji mempunyai banyak
persamaan dengan watak Sun Tiong
lo, apa yang tak ingin dia ucapkan, jangan harap orang lain bisa
mengetahuinya, maka dia menggelengkan kepalanya dan tidak
menjawab pertanyaan tersebut.
Hou ji pun tidak bertanya lagi, dia memasukkan kembali sumbu lampu
itu kedalam botol kecil.
Nona Kim segera berbisik lirih. "Pasanglah lentera itu, kita akan segera
masuk ke dalam."
Hou ji mengangguk, dia mengeluarkan api dan memasang lentera
tersebut, cahaya api segera memancar dari atas lentera kecil yang
berisikan minyak hitam tersebut.
Jangan dilihat botolnya kecil, setelah disulut ternyata kobaran apinya
mencapai beberapa inci, segulung asap hitam yang tebal dan agak
berbau membumbung ke udara.
Sementara itu Nona Kim telah berkata lagi. "Hati hati kalau berjalan,
harap kalian mengikuti di belakangku !" Seraya berkata dia lantas
berjalan lebih dahulu memasuki loteng
berbatu tersebut.
Bau-ji dan Hou ji jalan beriring mengikuti dibelakang nona Kim.
Ternyata apa yang diduga nona Kim memang sangat tepat,
begitu mereka masuk kedalam, pintu batu itupun menutup kembali
secara otomatis.
Begitu pintu tertutup rapat, masih untung mereka telah menyiapkan
lentera sehingga tak usah gelagapan dibuatnya, walaupun cahaya
lentera tersebut tidak terlalu besar, akan tetapi mereka dapat melihat
keadaan disekeliling tempat itu dengan amat jelas.
Tempat itu merupakan sebuah ruangan tengah, dekorasinya amat indah
dan megah.
Disamping ruangan terdapat anak tangga terbuat dari batu yang
berhubungan dengan loteng tingkat atas.
Dibagian tengah terdapat empat buah pilar raksasa yang berfungsi untuk
menunjang bangunan bagian atas. Kecuali anak tangga menuju keatas
loteng, dalam ruangan itu tidak nampak jendela mau pun pintu.
Sambil menuding ke arah anak tangga, Bau ji segera berkata:
"Tampaknya kita harus naik ke atas sana !" Hou ji mengiakan:
dia siap melangkah maju ke depan. Tapi nona Kim segera mengulapkan
tangannya sambil berseru: "Tunggu sejenak, naik ke loteng sih harus
naik, tunggu sejenak
lagi toh tak ada salahnya. Belum habis dia berkata, Bau ji telah
menukas kembali: "Kalau toh harus naik ke atas sedang dalam ruangan
ini kita tak
akan menemukan apa-apa mengapa tidak sekarang juga naik ke atas ?"
"Apakah kau tidak merasakan beberapa persoalan aneh ditempat ini?"
kata si nona dingin.
"Persoalan aneh apa?" seru,Bau ji sambil berkerut kening.
"Pertama, dalam ruang tengah bangunan ini tidak terdapat pibtu lain,
ke dua disini pun tidak terdengar suara dari engkoh Lo serta sahabat
yang membawa jalan..."
"Betul" tukas Hou ji cepat, "disini memang tak ada pintu lain, tapi
mungkin saja bangunannya memang begitu, sebaliknya Siau-liongsudah
lama sekali masuk kemari, kalau dibilang tiada suara apapun
darinya, aku rasa hal ini sedikit tak beres !"
"Mungkin saja dia sedang berada dalam salah satu ruangan diatas
loteng dan bertarung dengan orang itu, karena pintu tertutup rapat
maka tiada suara apapun yang kedengaran dari sini." kata Bau ji sambil
berkerut kening.
Nona Kim memandang sekejap ke arah Bau ji, kemudian ujarnya:
"Kemungkinan tersebut memang ada, cuma sebelum kita membuktikan
kalau dugaan kita itu benar, paling baik bila kita bersikap lebih
berhati-hati, daripada terjebak oleh siasat busuk orang dan terperangkap
kedalam alat jebakan mereka."
"Hm, aku tak percaya kalau mereka mempunyai kepandaian sehebat
ini." ujar Bau ji.
"Kau tak percaya ? Hmramm, sekarang saja kau sudah terkurung di
tempat ini."
"Omong kosong, manusiapun tak kujumpai." "Bila kau tak percaya,
mengapa tak kau perhatikan disekeliling
tempatmu berdiri sekarang, bila orang lain tidak munculkan diri,
sanggupkah kau menemukan orang itu atau ke luar dari loteng ini
dalam keadaan selamat?"
Mendengar ucapan tersebar tanpa terasa Bau ji berpaling dan
memandang pintu batu di belakangnya.
"Tentu saja dapat" dia berseru, "kita toh bisa melalui pintu.." Sambil
menggeleng Bau ji segera menukas. "Toa-te, tak mungkin, pintu
ra":saia ini beratnya mencapai
puluhan laksa kati, sedang kitapun tidak memiliki senjata
mestika
yang bisa memotong batu, bagaimana mungkin kita dapat keluar dari
sini dengan mudah..."
"Tapi nona kan mengerti bagaimana caranya untuk membuka pintu
rahasia tersebut?" seru Bau ji sambil menuding kearah si nona.
Nona Kim segera tertawa. "Betul, seandainya tiada aku?" Bau ji
segera terbungkam, saking mendongkolnya dia tak
membuka suara lagi. Kembali nona Kim tertawa, kepada Houji ujarnya.
"Sebelum menang kita harus mencegah jangan sampai kalah,
mari kita mencari jalan mundurnya lebih dulu!" "Baik, aku akan
menuruti perkataanmu saja." kata Hou ji sambil
tertawa cekikikan, "bagaimana pun juga, sesampainya ditempat ini aku
dan Toa te sama halnya dengan memasuki barisan yang
membingungkan, mana pintu, mana jendela, kami sama sekali tak
mengerti, kalau tak menuruti perkataanmu apa lagi yang bisa kami
lakukan?"
Nona Kim tidak menjawab, dia mulai memeriksa semua dinding dan
dekorasi yang ada didalam ruangan tersebut
Akhirnya, sorot matanya berhenti pada menyandar tangan ditepi anak
tangga batu itu.
Setelah memperhatikannya sejenak, dengan suara rendah dia berbisik:
"Harap kalian mundur dulu beberapa langkah!" Hou ji segera
menarik tangan Bau ji dan bersama-sama mundur
sejauh tiga langkah. Nona Kim berjalan mendekati anak tangga batu
itu, sekali lagi dia
perhatikan penyandar tangan tadi.
Kedua tiang itu berbentuk segi empat, ujungnya diukir sedemikian rupa
hingga berbentuk bulat.
Setelah diperhatikan sekian lama, akhirnya nona Kim tertawa,
mendadak dia menekan bulatan kayu itu kesebelah kiri.
Apa yang diduga memang benar, ketika bulatan sebelah kiri itu
tertekan, benda itu segera bergerak turun kebawah.
Tapi setelah bergerak turun, ternyata disana tidak nampak terjadinya
suatu perubahan.
Nona Kim seperti amat berpengalaman dengan keadaan semacam itu,
kali ini tangannya berputar ke sebelah kiri.
Dengan digerakkannya bulatan kayu itu ke-kiri, kali ini bergema lah
suara gemerincingan yang sangat keras.
Ketika memandang lagi kearah pintu batu yang tertutup rapat tadi,
diiringi suara gemuruh yang amat keras, pintu tadi pelan-pelan bergeser
naik keatas.
Tidak menunggu sampai pintu itu benar-benar terbuka, nona Kim telah
memutar bilik tombol tadi ketempat asalnya.
Sambil tertawa cekikikan Hou ji berkata: "Bagus sekali, sekarang kita
tak usah kuatir tersekap didalam bangunan loteng ini lagi."
Bau ji tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi dia merasa kagum
sekali dengan kecerdasan gadis tersebut.
"Benar, tentu saja tempat ini adalah sebuah loteng batu" sambung nona
Kim, "tapi seandainya kita sampai tersekap disini, tanpa makanan tanpa
air minum, loteng ini pada hakekatnya akan berubah menjadi sebuah
peti mati raksasa."
Hou-ji tertawa, dia segera mengalihkan pembicaraan kesoal lain,
katanya:
"Apakah sekarang kita boleh naik keloteng?" Nona Kim tidak
menjawab. tapi dia sudah beranjak menaiki anak
tangga tersebut.
Gadis itu bertindak sangat berhati-hati, setiap naik satu undakan, dia
selalu mencoka untuk menutulnya beberapa kali dengan ujung kaki,
setelah yakin kalau tiada serangan apapun dia baru berani melangkah
keatas.
Hou ji dan Bau ji tetap berjalan dibelakang gadis itu dan maju keatas
selangkah demi selangkah.
Trap batu itu semuanya berjumlah dua puluh empat buah, ternyata
mereka dapat mencapai kertas dengan selamat.
Pada bagian yang terakhir dari undak-undakan batu itu merupakan
sebuah pintu, nona Kim kembali berhenti.
MuIa mula dia memeriksa dulu sekeliling pintu dengan seksama, berapa
waktu kemudian baru ujarnya sambil tersenyum.
"Coba kalian perhatikan, pintu inipun terbuat dari baja asli !" Hou ji
mendongakkan kepalanya sambil turut memperhatikan,
betul juga disini melintang selapis baja yang tebalnya tiga inci, lapisan
baja tersebut tertanam dibalik dinding hingga hanya terlihat sebuah
garis tapi yang sangat sempit, warna dinding dengan warna baja hampir
sama satu sama lainnya.
Hanya orang yang teliti saja akan menemukan perbedaan tersebut.
Sementara itu nona Kim telah berkata lagi: "Coba kau perhatikan
lapisan dinding sebelah kanan, bukankah disitupun terdapat dinding
tempat obor? Aku tebak disitulah letak kunci yang mengendalikan buka
tutupnya pintu baja tersebut!"
Seraya berkata dia lantas berjalan kearah pintu tadi diikuti oleh Hou ji
dan Bau ji.
Nona Kim bertindak sangat hati-hati, ia merasa harus mencoba dulu
sebelum segalanya dilanjutkan maka ia berhenti dibawah dinding baja
tersebut kemudian mulai memutar tempat obor tersebut.
Apa yang diduga memang benar, ketika tempat obor diputar, tiba-tiba
saja pintu baja itu bergeser kebawah dengan menimbulkan suara
gemuruh yang amat keras.
Menyaksikan kesemuanya ini, Bau ji merasa semakin kagum lagi, tanpa
terasa serunya:
"Sungguh tak kusangka, sungguh tak kusangka, seandainya tiada
nona.."
Belum habis ucapan tersebut diutarakan, entah dari mana datangnya
suara, mendadak bergema suara gelak tawa yang amat merdu,
menyusul berhentinya gelak tertawa tadi, terdengar pula seseorang
berseru dengan suara lantang:
"Betul, tanpa nona ini kalian tak akan sampai diatas lotengku ini. tapi
seandainya tak ada dia, kalianpun tak akan terkurung ditempat ini."
Selesai berkata, kembali suara tertawa nyaring bergema memecahkan
keheningan.
Ketika mendengar ucapan tadi, nona Kim yang kebetulan masih
menggenggam tempat obor tadi buru buru memutar kembali tempat
tersebut kearah semula.
Tempat obor itu memang sudah balik keasalnya semula, tapi pintu besi
yang sudah terlanjur turun kebawah itu tak pernah membuka kembali.
Suara gelak tertawa telah berhenti, lalu suara orang itupun bergema lagi
diudara:
"Percuma, sekalipun kau memutar tempat obor itu sampai rusak juga
tak mungkin bisa membuka pintu baja itu lagi, teorinya gampang sekali,
tempat obor tersebut hanya merupakan alat rahasia untuk menutup
pintu baja belaka.
"Sedang mengenai dimanakah letak tombol rahasia untuk membuka
pintu baja tersebut, bila kau merasa mengerti, silahkan saja untuk
mencoba mencarinya, bagaimanapun juga sekarang kau
toh tak dapat turun ke bawah, waktu yang tersedia untukmu masih
banyak sekali !"
Setelah ucapan itu berhenti, tak pernah terdengar suara lainnya lagi.
Selembar wajah nona Kim segera berubah menjadi merah padam, ia
merasa malu juga menyesal.
Kali ini, Bau-ji yang menghiburnya, dia berkata begini: "Nona asal
kita dapat sampai di loteng ini dengan selamat, hal
tersebut sudah lebih dari cukup, sebelum jite berhasil kutemukan, soal
pintu pintu bisa terbuka atau tidak bukan menjadi masalah, oleh sebab
itu kau pun tak usah merasa cemas !"
"Benar nona." sambung Hou-ji pula. "kini soal pintu baja itu bisa
terbuka atau tidak, tiada keuntungan atau kerugian apapun untuk kita
semua.
Nona Kim segera menarik kembali tangannya dan menundukkan
kepalanya rendah-rendah.
Terdengar Hou-ji berkata lagi: "Semua ucapanku adalah kata-kata
yang sejujurnya, barusan
yang dikatakan Toa-te juga betul, kita sekarang sedang mencari
Siau-liong, cuma Toa te seperti sudah melupakan akan satu hal."
"Soal apa?" Hou ji tertawa. "Ketika kita berhasil menemukan Siau
liong nanti, paling tidak
budak ingusan yang tekebur dan mentertawakan kitabarusan juga
berkesempatan untuk melarikan diri.
"Tapi sekarang dia membelenggu diri sendiri, selama pintu baja belum
terbuka, aku percaya diapun tak akan bisa kabur dari bangunan ini, bila
ia sampai membuka pintu baja tersebut, maka kita akan segera turut
keluar juga dari sini.
Nona Kim segera tertawa geli setelah mendengar perkataan Hou ji
tersebut, serunya kemudian:
"Sudahlah, bagaimanapun juga hal ini gara-gara keteledoranku sehingga
mengurung kita semua disini, apa yang dikatakan orang memang betul,
dan tombol yang mengendalikan buka tutupnya pintu juga akan kucari
terus, aku percaya tombol itu pasti dapat kutemukan!"
Baru selesai dia berkata, suara gelak tertawa tadi telah berkumandang
lagi.
"Hahahahahaha... kau sedang mimpi, tomboI untuk membuka dan
menutup pintu tersebut berada disisiku, kau jangan harap bisa
menemukannya kembali !"
Tampaknya nona Kim sudah dibuat mendongkol oleh perkataan itu, dia
segera berteriak keras:
"Beranikah kau bertaruh denganku, aku pasti dapat menemukan tombol
rahasia tersebut?"
"Baik, mau bertaruh apa ? Katakan saja ?" Tanpa berpikir panjang
nona Kim menyahut: "Kita bertaruh tentang mati hidupmu !" Orang
dalam kegelapan itu segera tertawa terbahak-bahak. "Hahahahaha....
padahal kematianmu sudah berada didepan
mata, tapi untuk adilnya, aku akan mengabulkan permintaanmu itu !"
"Hmm, tak usah tekebur dulu, dalam sepuluh bagian, ada sembilan
bagian kematian ada dipihak mu !"
"Berbicara tanpa bukti apa gunanya, kau cari saja lebih dulu !"
"Jangan lupa, aku masih mempunyai tiga orang sandera yang
bisa digunakan untuk mengancammu !"
Setelah perkataan tersebut diutarakan, suasana untuk sesaat menjadi
hening, tak kedengaran suara jawaban.
Lama kemudian, orang yang berada dibalik kegelapan itu baru berkata
lagi: "Kau sudah apakan mereka ?"
Nona Kim tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ujarnya |lagi:
"Mana orang yang hendak kami cari?" Tiba-tiba orang yang berada
dalam kegelapan itu tertawa
terbahak-bahak, kemudian ujarnya: "Haaahh... haaaahh... haaahhh...
hampir saja aku tertipu oleh
akal melihatmu sekarang keadaan kita menjadi berimbang, aku pun tidak
mempunyai cukup waktu lagi untuk bertanya jawab denganmu, bila kau
memang punya kepandaian ayolah cari dulu tombol rahasia tersebut...!"
"Tampaknya jite benar-benar sudah terperangkap!" kata Bau ji
kemudian dengan kening berkerut.
"Hhmmm, tak bakal salah lagi. kalau tidak, siapakah yang mampu
menandingi kehebatan Siau-liong ?"
Sementara itu nona Kim telah mengulapkan tangannya sambil
meloloskan pedang, kemudian dengan ujung pedangnya dia
menggurat-gurat permukaan tanah.
Ketika Hou-ji dan Bau-ji memperhatikan lagi dengan seksama. ternyata
nona Kim sedang menulis beberapa tulisan diatas tanah.
ia sedang menulis begini: "Aku sengaja mengajaknya bertanya
jawab, tujuanku adalah
untuk mencari tahu tempat persembunyian mereka. ia bisa masuk
berarti pasti ada pintunya, pintu itu dapat dibuka dan ditutup semuanya
sendiri, berarti tombol rahasia itu pasti berada didalam sana.
"Sekarang kita harus menemukan letak tombol rahasia tersebut lebih
dahulu, asal sudah di temukan, kemudian dengan suatu serangan secara
mendadak kita serang orang itu. Asal orang tersebut dapat dibekuk.
maka segala sesuatunya akan berubah menjadi aman kembali"
Hou ji dan Bau ji segera manggut-manggut. Maka nona Kim menulis
lagi: "Sekarang kita tak usah bicara dulu, jangan memberi
kesempatan
kepadanya untuk mempersiapkan diri!" Untuk kedua kalinya Bau ji dan
Hou ji mengangguk. Dengan cepat nona Kim menghapus tulisan itu,
kemudian baru
berkata. "Sekarang kita maju terus saja ke dalam, bagaimanapun juga
kita
kan tak bisa keluar dari sini !" "Benar" sahut Hou ji, "siapa tahu dengan
cara demikian kita akan
berhasil menemukan Siau liong." Nona Kim mengiakan, mendadak
pedangnya berkelebat lewat
tempat obor yang terbuat dari besi itu sudah dibacoknya sampai kutung
menjadi dua bagian.
Ketika tempat obor itu terjatuh ke tanah, Hou-ji dan Bau-ji
bersama-sama mengacungkan ibu jarinya sambil memuji.
Tempat obor itu bukan alat rahasia untuk membuka pintu besi, dengan
di rusaknya benda itu maka hanya keuntungannya saja dari pada
kerugiannya.
Sebenarnya tindakan nona Kim memapas tempat obor itu hanya suatu
tindakan emosi, siapa tahu justru karena perbuatannya itu, hal mana
telah mendatangkan kegunaan yang luar biasa dalam perubahan
dikemudian hari yang sama sekali tak terduga itu.
BegituIah setelah membacok tempat obor tersebut, pelan-pelan dia
melanjutkan langkahnya ke depan.
Disudut sebelah kanan dari lorong rahasia itu kembali ditemukan
sebuah pintu, pintu tersebut berada dalam keadaan tertutup.
Nona Kim hanya tertawa saja, sama sakali tak memandang sebelah
matapun ke arah pintu tersebut.
Hou ji menuding ke arah pintu itu. sementara sorot matanya menatap
wajah nona Kim lekat-lekat.
Maksudnya ia lagi bertanya, apakah disini? Nona Kim rnenggeleng, ia
menuding kearah dinding sebelah kiri. Hou-ji jadi tertegun, disebelah
kanan lorong semuanya terdapat
dua buah pintu sedang di sebelah kiri hanya berupa dinding, pada
hakekatnya tidak ditemukan bayangan pintu disitu.
Lantas apa yang dituding nona Kim ? Sementara ia masih keheranan
kembali nona Kim menuding
keatas langit langit dinding batu itu. Bau ji dan Hou ji segera
mendongakkan ke palanya, dengan
cepat mereka menjadi mengerti. Diatas langit-langit itu terdapat
puluhan lubang kecil, tampaknya
memang disiapkan sebagai tempat penyalur suara. Rupanya asal suara
tadi itu. Kini di sebelah kanan ada pintu, berarti orang yang mereka cari
ada didalam sana, tapi seandainya memang begitu, bukankah hal ini
berarti sedang memberitahukan kepada lawan nya?
Antara dinding kiri dinding kanan boleh di bilang masing-masing
menempati separuh bagian, lorong itu terletak dibagian tengah,
bangunan macam apapun tak mungkin kalau hanya membangun
ruangan disebelah kanan sementara sebelah kiri hanya berupa dinding
belaka.
Dari sini dapat diduga kalau disebelah kiri inilah ruang rahasia terletak
sebenarnya.
Tapi disitu tiada pintu, bagaimana caranya untuk masuk kedalam sana?
Nona Kim mengawasi lagi dinding kiri itu dengan seksama dan akhirnya
tertawa.
Hou ji dan Bau ji yang melihat keadaan tersebut segera mengerti kalau
nona Kim telah berhasil menemukan sesuatu.
Benar juga, Nona Kim segera menuding ke-depan dan menyuruh kedua
orang itu memperhatikan, kiranya disana terdapat sebuah batu tonjolan
berbentuk bintang sebesar mata uang, seandainya tidak di perhatikan
dengan seksama atau ada orang yang memperingatkan. sukar untuk
menemukan tempat itu.
Nona Kim segera menghimpun tenaga dalamnya dan melejit ketengah
udara, diantara kilatan cahaya tajam yang menyilaukan mata pedang
tersebut telah menutul diatas tonjolan batu karang itu.
Begitu tersentuh, batu yang menonjol keluar tadi segera melesat ke
dalam, sementara dinding disebelah kiri pun membelah dua bagian.
Begitu pintu rahasia terbuka, nona Kim dan Hou ji dan juga Bau ji
segera menyelinap masuk kedalam.
Tetapi baru saja mereka masuk, mendadak terdengar suara Sun Tiong
lo berteriak dari daiam ruangan itu.
"Cepat mundur, cepat..." Sekalipun teriakan itu diutarakan cepat,
sayang toh tetap
terlambat, mendadak pintu rahasia ini sudah menutup kembali dan
mengurung mereka didalamnya
Seketika itu juga, suara tertawa merdu tadi telah berkumandang lagi
memecahkan keheningan, menyusul kemudian perempuan itu berseru.
"Sekarang kalian baru terjebak, aku sudah menduga kalau kau adalah
seorang dayang yang cerdik dan berakal panjang, nah sekarang kalian
boleh berkumpul menjadi satu, sepanjang hidup jangan harap bisa
keluar lagi dari sini."
Dengan meminjam cahaya lentera yang ber ada ditangan Hou-ji, segala
sesuatunya dapat terlihat jelas, tempat itu merupakan sebuah ruangan
batu yang sempit dan memanjang, di dalam ruangan itu tidak terlihat
benda apapun kosong melompong.
Ruang yang sempit memanjang ini tinggi satu kaki enam depa, cukup
tinggi untuk ukuran sebuah ruangan.
Dari sekeliling ruangan tersebut, disana hanya terdapat sebuah daun
jendela yang berbentuk aneh, jendela tersebut berada diatas dinding
sebelah barat, letaknya tinggi sekali.
Daun jendela mempunyai lebar dua depa dan panjang lima inci, hingga
berbentuk memanjang.
Tapi dibagian yang lain hanya terdapat sebuah lubang kecil sebesar dua
inci saja.
Dilihat dari ukuran tebal jendela ini, paling tidak dindingnya mencapai
tiga depa lebih. Waktu itu, Sun Tiong-lo baru saja bangun berdiri dari
sudut ruangan itu, sekulum senyuman getir menghiasi ujung bibirnya.
"Kau tidak apa-apa bukan ?" nona Kim segera memburu kemuka.
Tidak apa-apa." merupakan kata yang sukar dicernakan, namun
Sus Tiong-lo mengerti, nona Kim sedang bertanya kepadanya apakah
menderita sesuatu luka akibat musibah yang menimpanya.
Sun Tiong-Io sesera menggeleng, digenggam nya tangan nona Kim lalu
bisiknya.
"Tidak apa-apa, aku hanya tertipu !" Houji dan Bau-jl tidak bersuara,
tapi mereka nampak gembira sekali atas pertemuan tersebut.
Sun Tiong lo memandang sekejap api lentera ditangan Hou-ji, kemudian
ujarnya:
"Engkoh Hou, padamkan saja lenteramu itu, kita mesti menghemat, bila
mana diperlukan saja kita baru mempergunakannya lagi !"
Hou-ji mengiakan, dia segera memadamkan lentera tersebut. Dalam
keheningan ditengah kegelapan, mendadak dari atas
dinding itu berkumandang lagi suara teguran yang amat dingin. "Lebih
baik dipasang saja, toh lebih baik kalian saling
berpandangan lebih lama lagi sebelum berpisah untuk selamanya". Sun
Tiong lo tertawa, kearah jendela itu dia berseru: "Kau jangan
keburu bangga, sudah kukatakan tadi aku pasti dapat keluar dari sini!"
Orang dibalik dinding itu segera tertawa. "Heeehhh.. heeehh...
heehhh... kalau kau dapat berbuat
demikian, hal ini lebih baik lagi, sampai waktunya pasti akan kusiapkan
meja perjamuan untuk menghilangkan rasa kaget kalian !"
Seusai mengucapkan perkataan itu kembali ia tertawa terkekehkekeh,
kemudian tak kedengaran suara apa-apa lagi.
Sementara itu lampu sudah padam suasana dalam ruang sempit
berubah menjadi gelap gulita, sukar melihat kelima jari tangan sendiri
nona Kim masih tetap bersandar dalam pelukan Sun Tiong-lo dia seperti
sudah melupakan keadaan disekelilingnya.
Begitu orang yang berada diruang sebelah berhenti berbicara, suasana
pun kembali menjadi hening.
Sesaat kemudian, Sun Tiong lo baru berkata: "Didalam ruang sempit
ini tak ada kursi, silahkan kalian duduk
dibawah lantai saja !" Maka sambil meraba dalam kegelapan, mereka
duduk bersandar
diatas dinding. Setelah duduk, Hou-ji segera bertanya: "Siau liong,
mana sahabat yang membawa jalan bagimu tadi?"
Sun Tiong lo tidak menjawab, tapi dari dinding sebelah kedengaran
seseorang menjawab:
"Lobu berada disini, ada sesuatu persoalan?" Hou ji berseru tertahan
lalu duduk bodoh, tetapi sebentar
kemudian menyadari apakah gerangan yang terjadi. Menyusul
kemudian Hau ji berkata kepada Sun Tiong lo: "Jadi
kau sudah di tipu oleh si-tua bangka keparat itu?" "Buat apa dibicarakan
lagi!" sahut Sun Tiong-lo sambil tertawa
getir. Sementar itu orang yang berada diruang sebelah telah
mendehem berulang kali dan kemudian katanya lebih jauh: "Tak ada
salahnya toh untuk di ceritakan, bila tak menderita
kerugian bagaimana mungkin bisa lebih berpengalaman. Lain kali kau
pasti akan lebih tahu diri!"
Sun Tiong lo tertawa terbahak-bahak, terhadap jendela itu teriaknya
lantang:
"Haahh, haah, haaah, kau jangan keburu merasa bangga dulu, aku
sudah bilang, suatu ketika aku pasti dapat keluar dari sini !"
"Hmm, tentu saja kalian bisa keluar dari sini, setelah kalian mampus
karena kelaparan dan kehausan, tentu saja lohu tak akan membiarkan
tubuh kalian membusuk disitu, akhirnya kamu semua pasti akan
digotong keluar !"
"Baiklah, toh waktunya bakal sampai juga, tunggu saja sampai tanggal
mainnya !"
"Betul, kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti !" Sun Tiong-lo masih
ingin berbicara lagi, tapi Hou-ji sudah
menarik ujung bajunya sambil berbisik: "Tak usah didebat lagi
Siau-liong, tak ada gunanya sebagai
seorang manusia, kita memang seharusnya berbicara menurut
keadaan yang sedang kita hadapi, kenyataannya kita sekarang memang
tak dapat keluar dari tempat ini."
Belum selesai dia berkata, orang yang berada di ruangan sebelah telah
menimbrung.
"Nah, begitu baru betul, sebagai manusia kita harus pasrah pada
nasib."
Sejak kecil Sun Tiong lo dan Hou-ji sudah hidup bersama, dia cukup
mengetahui watak dari saudaranya itu, dengan cepat dia memahami
Hou-ji bisa berkata demikian pasti ada tujuannya, maka diapun tidak
banyak bicara lagi.
Nona Kim tidak mengetahui akan hal itu, dia berseru lagi: "Darimana
dia bisa tahu kalau kami tak mungkin bisa keluar dari
tempat ini ?" Bau-jipun tidak sependapat, sambungnya cepat: "Hou-ji
katakatamu
itu membuat aku benar-benar merasa tak sabar." Dengan ilmu
menyampaikan suara Sun Tiong lo segera berbisik
kepada nona Klm dan Bau-ji: "Engkoh Hou mempunyai suatu maksud
tertentu, lebih baik
kalian mendengarkan saja tanpa komentar. Nona Kim yang bersandar
ditubuh Sun Tiong lo segera manggutmanggu!
dan tak bicara lagi. Bau-ji pun tidak banyak bicara lagi.
Sementara itu Hou ji telah bergumam lagi seorang diri: "Apa yang ku
ucapkan adalah kata-kata yang sejujurnya,
bayangkan saja dinding ruangan ini mencapai tiga depa lebih, kuat,
tebal dan tiada berpiatu, jangankan melarikan diri, mau keluar dari sini
saja sulit, kalau dibilang masih ada harapan untuk meloloskan diri,
bukankah hal ini sama artinya dengan membohongi diri sendiri?"
Orang yang berada diruang sebelah segera bertepuk tangan sambil
bersorak gembira:
"Tepat sekali! Kau memang lagi berbicara sejujurnya!" Menggunakan
kesempatan itu, Hou ji segera berkata kepada
orang yang berada diruang samping itu: "Sobat yang berada dikamar
sebelah, bagaimana kalau kita
berbincang-bincang sebentar?" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeeh... heeeh... heeeh... bagus sekali, akupun sedang merasa
menganggur, berbincang-bincang memang tak ada salahnya." "Aku
percaya kau mempunyai pandangan yang sama dengan
aku..." ucap Hou ji lagi. "Aaah, belum tentu" tukas orang yang berada
diruang sebelah
cepat, "soal itu mah tergantung pada masalah apa yang sedang
dihadapi."
"Yang kumaksudkan adalah persoalan tak mungkinnya bagi kami untuk
meloloskan diri dari sini!"
"BetuI, dalam hal ini aku memang mengagumi sekali atas kesadaranmu
menghadapi kenyataan."
Hou ji segera menghela napas panjang. "Aaai... terus terangnya
saja, siapa pun ingin dapat kabur dari
sini, pasti akan kuusahakan suatu akal untuk membinasakan dirimu,
percayakah kau?"
Sekali lagi orang yang bcrcda diruang sebe lah tertawa seram.
"Heeh... heeh... heeh... aku percaya kalau semua perkataanmu
itu adalah kenyataan dan sejujurnya." Sesudah tertawa getir, kembali
Hou-ji menghela napas panjang,
katanya lebih jauh:
"Tapi akupun cukup tahu diri, untuk melarikan diri jelas sudah tak ada
harapan lagi, oleh sebab itu aku bersedia untuk membicarakan hal ini
denganmu. siapa tahu diantara kita dapat lebih saling memahami..."
"Oooh... jadi menurut anggapanmu, lohu masih membutuhkan
peringatan darimu ?"
"Sepantasnya kalau dibilang kaulah yang harus lebih memahami
keadaan kami"
Orang diruang sebelah tertawa, tertawa amat sombong. "Haah...
haah... haah... kalau di bilang begitu baru betul, sayang
sekali aku tak bisa lebih memahami kalian." "Tentu saja, dan lagi hal
inipun tak bisa menyalahkan kau. cuma
ada sementara persoalan kalau dibicarakan dari sudut pandanganmu
sekarang, sudah sepantasnya kalau kau suruh kami lebih mengerti."
"Oooo ... apa yang kau maksudkan?" "Kami sudah pasrah pada
nasib dan tak akan menyusun rencana
untuk melarikan diri lagi, kau sudah bilang kalau mati keputusan, kami
bakal mati kelaparan, tapi sebelum mati, aku ingin mengetahui lebih dulu
sebenarnya apa alasannya sehingga kami harus menerima kematian
dalam keadaan seperti ini ?"
Tampaknya orang yang berada diruang sebelah itu tertegun, lama
kemudian ia baru berkata:
"Jadi kau sedang bertanya, mengapa lohu berusaha untuk mengurung
kalian disini ?"
"Tentu saja, aku harus memahami kesemuanya itu lebih dulu sebelum
mati !"
"Baik. lohu akan menerangkan hal ini kepada kalian." Tapi secara
tiba-tiba ia tidak melanjutkan kembali kata-katanya,
sebab dari ruang samping berkumandang suara pembicaraan
seseorang yang amat merdu, sekalipun suaranya lembut dan manja,
tapi nadanya sangat gelisah.
Hou ji sekalian dengan cepat dapat mendengar pembicaraan tadi
dengan amat jelas...
-ooo0dw0ooo- APA yang mereka dengar ? Pada saat ituIah,
terdengar perempuan itu sedang berseru
dengan nada gelisah: "Aduh celaka, kitapun tak dapat meninggal kan
loteng ini !" Dengan perasaan terkejut orang yang berada di ruang
sebelah
menegur: "Bagaimana mungkin ? sebenarnya apa yang telah terjadi ?"
"Tempat obor didepan pintu besi telah dikutungi orang sehingga
rantai yang mengendalikan pintu gerbang mengendor lalu terlepas, roda
bergiginya jadi tak bisa digerakkan lagi, bagaimanapun aku berdaya
upaya, namun pintu tersebut tak pernah dapat kubuka lagi"
Setelah mendengar perkataan itu, orang yang berada di ruang sebelah
baru ikut gelisah, ia segera membentak gusar:
"Bagaimana mungkin tempat obor itu bisa kutung ? Siapa yang
melakukan perbuatan ini?"
Baru saja nona Kim akan berseru, suara perempuan di kamar sebelah
telah berseru keras:
"Sudah pasti budak ingusan itu, dia mengerti tentang ilmu alat
jebakan..."
Dengan marah orang dikamar sebelah mendengus, kemudian katanya:
"Bunyikan keleningan emas dan perintahkan orang untuk membuka
pintu besi ini dari luar!"
"Tak mungkin, mereka semua telah ditawan, lencana keleningan emas
tak ada gunanya lagi."
Lelaki dikamar sebelah menjadi tertegun, kemudian sambil
mendepak-depakkan kakinya berulang kali ke tanah, makinya:
"Kau toh berjaga dibagian luar, seharusnya persoalan semacam ini kau
perhatikan baik baik, goblok !"
"Bagaimana kau menyalahkan aku ? Seandai nya bukan idee mu,
bagaimana mungkin mereka bisa masuk kemari, coba kalau kita gunakan
keleningan emas untuk memerintahkan mereka menghadapi orang-orang
itu, sudah pasti urusan telah beres, hmmm !"
Baru selesai perkataan itu diutarakan, mendadak berkumandang suara
tamparan nyaring.
"Plaaak...!" Menyusul kemudian terdengar jeritan mengaduh dari
perempuan
itu, tampaknya dia kena di tampar. Betul juga, setelah suara tamparan
dan suara mengaduh
tersebut, suara perempuan yang semula lembut dan merdu itu berubah
menjadi dingin dan menyeramkan.
"Kau berani menghantam aku ? Hmm... soh bun ki (panji pencabut
nyawa), bagus sekali perbuatanmu tapi kau ingat, selamanya jangan
melupakan peristiwa hari ini !"
Hou-ji yang mendengar ucapan itu, segera berbisik kepada Sun Tiong
lo dengan suara terkejut:
"Siau-liong, ternyata tua bangka yang menunjukkan jalan kepadamu itu
adalah Soh hun ki..."
Belum habis dia berkata, Sun Tionglo sudah menukas sambil berbisik
pula.
"Aku sudah tahu sejak tadi, bila ada persoalan kita bicarakan nanti saja"
Sementara itu suasana di kamar sebelah telah terjadi perubahan yang
besar.
Mungkin si Panji pencabut nyawa juga menyadari kalau tamparannya
barusan telah menanamkan bibit bencana, mungkin dia masih
mempunyai tujuan lain, maka dengan suara yang lebih lembut katanya
lagi:
"He-he, jangan marah, aku hanya khilaf dan mata gelap tadi.."
Ternyata dia memanggil perempuan itu sebagai He he, kontan
saja Sun Tiong-lo sekalian merasakan hatinya tergerak, ternyata di
alamat lama kuil Tong thian koan benar-benar terdapat seseorang yang
bernama He-he.
Baru saja si Panji pencabut nyawa menyelesaikan kata-katanya, He-he
sudah menukas.
"Karena khilaf karena mata gelap... apa lantaran begitu kau boleh
menampar wajahku? Jika tiap kali khilaf tiap kali aku ditampar, bisa
mampus aku akhirnya, jangan kau anggap aku bocah kecil yang mudah
ditipu!"
"Aku bersumpah, lain kali tak akan mengulangi lagi kejadian ini !" Panji
pencabut nyawa berjanji.
He he mendengus dingin. "Hmm... sumpahmu tak akan lebih
berharga daripada janji-janji
gombal dari kaum lonte" "Sudah, sudahlah, cukup sampai disini saja."
kembali Panji
pencabut nyawa menghibur. "dewasa ini kita harus mencari akal untuk
membuka pintu gerbang baja itu..."
Tampaknya He-he mengalah juga, dia menyahut: "Baiklah, kau boleh
berusaha mencari akal. Loteng ini adalah
bangunanmu sendiri, segala peralatan dan alat jebakan merupakan
ciptaanmu, mungkin kau mempunyai cara untuk memecahkan hal ini!"
Dengan perasaan apa boleh buat si Panji pencabut nyawa mengiakan,
katanya:
"Aaai... tak ada cara lain yang bisa dipikikirkan lagi, "tapi baiklah, aku
akan pergi memeriksanya..."
Kemudian terdengar suara langkah kaki manusia yang sedang menekan
tombol dan terbukanya pintu batu, setelah itu suasana amat hening.
Selang beberapa saat, baru kedengaran serentetan suara bergeraknya
alat-alat rahasia.
Sesudah bergemanya suara alat rahasia untuk kedua kalinya, sampai
Iama sekali suasana hening.
"Hou ji peristiwa ini nampaknya aneh sekaIi." bisik Sun Tiong lo
tiba-tiba.
Nona Kim segera tertawa cekikikan tukasnya. "Sedikitpun tidak aneh,
akulah yang memapas kutung tempat
obor tersebut." Dengan tangan kirinya Sun Tiong lo memeluk tubuh
nona Kim,
kemudian sambil berpaling ia berbisik: "Kau kira, bukan soal tempat
obor yang kumaksudkan." Sebenarnya nona Kim bersandar pada bahu
Sun Tiong lo dengan
kepala tertunduk, setelah mendengar perkataan jadi tanpa terasa dia
mendongakkan kepalanya sambil buka suara.
Tapi belum sempat sepatah katapun diucapkan, suasana kembali
menjadi hening, bahkan bening sekali.
Ternyata telah terjadi suatu "kontak" yang terjadi tanpa sengaja, ketika
nona Kim mendongakkan kepalanya dan Sun Tiong-lo menunduk, kedua
bibir mereka segera saling membentur satu sama lainnya, bayangkan
saja bagaimana mungkin gadis itu dapat melanjutkan perkataannya ?
Bjkan cuma gadis itu saja yang tak dapat berbicara Sun Tiong-lo
sendiripun merasakan kepalanya seperti dihantam dengan sebuah martil
yang sangat berat, kecuali seluruh badannya terasa panas telinganya
mendengung nyaring, dia tidak teringat apa-apa lagi...
Oleh sebab itu pertanyaan yang kemudian di ajukan Hou ji secara
beruntun tak satupun yang memperoleh jawaban.
Lama kelamaan Hou ji menjadi keheranan dia segera menyikut Sun
Tiong lo kemudian menegur:
"Hei Siau liong sebenarnya apa yang terjadi dengan dirimu ?" Sikut
mana segera menyadarkan kembali Sun Tiong lo dari
suasana yang syahdu. Seandainya ruangan sempit itu tidak kebetulan
berada dalam
keadaan gelap guIita, mungkin mereka semua dapat menyaksikan
paras mukanya yang telah berubah menjadi merah padam.
Diam-diam Sun Tiong lo menghembuskan napas panjang, setelah
berhasil menenangkan hatinya dia berkata:
"Aku sedang memikirkan suatu persoalan!" Kemudian setelah
berhenti sejenak, kembali ujarnya: "Barusan, apa yang kau
katakan?" Agaknya pada waktu itu Hou ji sudah memahami rahasia
dibalik
keheningan tadi, ia segera tertawa. "Bukan aku yang telah
mengucapkan sesuatu, sedang akupun
telah membalas pertanyaannya." "Ooh... aku tidak mendengar apa
yang telah dia katakan?" Sementara itu He he koancu di ruang sebelah
telah berkata lagi
sambil tertawa aneh. "Aku sedang bertanya kepadamu, bersediakah
kalian untuk
meloloskan diri dari ruangan yang sempit itu?"
"Oooh, aku rasa tak akan segampang itu bukan?" ucap Sun Tiong lo
dengan cepat.
He-he koancu tertawa. "Kalau berbicara bagiku, soal ini mah cuma
soal menggerakkan
sebelah tangan saja." Sun Tiong lo berkerut kening tanpa menjawab,
tentu saja orang
lain tak dapat menyaksikan kerutan dahinya itu. Berhubung Sun Tiong
lo tidak bersuara, maka He-he koancu
menyambung lebih jauh: "Bagaimana? Masa sesukar itukah bagimu
untuk menjawab
pertanyaan yang kuajykan?" "Aku telah menjawabnya!" sahut Sun Tiong
lo dingin. He he koancu masih tefap berkata sambil tertawa. "Aku pun
sudah bilang, bagiku soal itu mah cuma soal
menggerakan tangan sebelah!" "Kalau memang masalahnya cuma
menggerakan tangan sebelah,
untuk apa kau bertanya lagi kepadaku?" "Walaupun masalahnya cuma
soal menggerakkan tangan, hal
itupun tergantung soal bersediakah tanganku ini untuk bergerak" "Toh
tiada orang yang memaksamu?" jengek Sun Tiong lo sambil
tertawa dingin. Mendadak He he koancu mengalihkan pokok
pembicaraan kesoal
lain ujarnya: "Dari Soh ki, kudengar kalian datang kemari untuk
mencariku
benarkah demikian?" "Ehmm, benar..." "Oooh, sungguh mengherankan
kitakan tidak saling mengenal,
ada urusan apa kalian datang mencariku?"
Sun Tiong lo tak dapat menjawab pertanyaan itu, sebab dalam catatan
kitab kecil tersebut hanya dicantumkan bahwa mereka harus datang ke
kuil Tong thian koan dikota Gak-yang untuk mencari He- he koancu,
sedang soal setelah bertemu lantas harus berbuat apa dalam kitab itu
tak pernah disinggung, bagaimana mungkin dia dapat menjawab
pertanyaan orang ?"
Hou ji dan Sun Tiong lo sama pahamnya akan keadaan seperti ini tapi
dia lebih pandai menghadapi persoalan seperti ini daripada Sun
Ti-ong-Io maka segera timbrungnya.
"Maaf, hal ini hanya bisa dibicarakan setelah bertemu sendiri dengan He
he koancu pribadi !"
Tergerak juga hati He-he koancu, katanya kemudian. "AkuIah He
he..." "Siapa tahu kau adalah Sang-sang?" timbrung Hou ji cepat. He
he koancu segera tertawa, tertawa terkekeh-kekeh dengan
jalangnya. "Haah... haah... haah... kalian beberapa orang kongcu kecil
memang sangat menarik." Bau ji yang tak pernah berbicara selama ini
segera membentak
dengan mendongkol. "Tutup mulutmu, tiada orang yang suka
mendengar ucapan
semacam itu..." Ternyata He-he koancu tidak menjadi gusar oleh
dampratan
tersebut malah sebaliknya sambil tertawa jalang serunya: "Jangan kau
anggap saat ini aku tidak dapat melihatmu, tapi
dalam hatiku sudah ada perhitungan yang matang, aku tak bisa
menduga kau pastilah seorang bocah muda yang tak pernah
memandang sebelah matapun terhadap orang lain, bukan begitu ?"
Bau-ji mendengus dingin namun ia tidak banyak berbicara.
Tiba-tiba He-he koancu menghela nafas panjang, kemudian ujarnya lagi:
"Bocah muda, janganlah bersikap kaku dan bermuram durja terus
menerus, kau harus tahu, Mi lek Hud bun mendapat simpatik orang
banyak karena dia selalu tersenyum terhadap siapapun !"
Dalam kegelapan, Bau ji hanya menundukkan kepalanya rendahrendah.
Dia tak dapat menjawab, sebab orang yang tak di kenal dengan
ucapan yang tak terduga itu mendatangkan suatu perasaan aneh dalam
hati kecilnya.
Benar, orang yang mengucapkan perkataan ini mungkin manusia rendah,
mungkin cabul dan jalang, mungkin juga karena mempunyai suatu
maksud tertentu, tapi apa yang diucapkan barusan merupakan suatu
perkataan yang amat betul dan masuk diakal.
Orang yang sering tersenyum, orang yang tersenyum ramah dalam
keadaan apapun seakan akan kesulitan selamanya menjauhi dia, apa
yang dilakukan dan dikerjakan pun kebanyakan seperti mengalami
keberhasilan.
Menangis sedih, mengaduh merengek belum tentu akan melumerkan
hati orang yang keras seperti baja.
Tapi berbeda dengan senyuman, bila orang bertanya sambil tersenyum
jarang ada orang menampik.
Menurut watak Bauji yang keras, jangan lagi ucapan mana berasal dari
mulut seorang perempuan yang dianggapnya rendah dan tak ada
harganya, sekalipun orang yang dihormati pun belum tentu ucapan
mana akan diterima dengan begitu saja.
Tapi keadaan pada hari ini berbeda, ini dikarenakan suasana yang gelap
gulita.
Kadangkala kegelapan dapat mendatangkan kejahatan dan kesesatan,
tapi kadangkala juga dapat membuat orang tidak kehilangan rasa harga
dirinya.
Oleh sebab itu bukan saja Bau-ji tidak mendamprat He-he koancu,
malah sebaliknya justru meningkatkan kewaspadaannya terhadap diri
sendiri...
Sementara Bau-ji sedang menyadari akan kesalahannya itu, He he
koancu telah berkata lagi kepada Sun Tiong lo:
"Si Panji pencabut nyawa telah berkata kepadaku, diantara kalian yang
hadir disini sekarang agaknya kepandaian silatmu yang terhitung paling
tinggi, oleh sebab itu sekarang aku hanya ingin berbicara dengan kau
seorang."
"Kau maksudkan siapa ?" tukas Hou-ji. He-he koancu tertawa. "Yang
pasti bukan kau, lebih baik kurangi saja niatmu untuk
berbicara !" Sun Tiong lo segera mendengus, katanya: "Andaikata aku
yang kau maksudkan, maka kau berarti telah
salah melihat dan salah mendengar !" He he koancu tertawa cekikikan
"Tak usah kuatir, aku tak bakal
salah." "Darimana kan bisa tahu ?" Dengan nada serius He-he koancu
menjawab "Dengan
kepandaian silat yang dimiliki si Panji pencabut nyawa, selamanya dia
tak pernah takut kepada siapapun tapi kali ini dia lebih suka
memancingmu masuk perangkap daripada menghadapimu dengan
kekerasan, ini lah suatu tanda bukti yang paling baik."
"Itulah disebabkan dia melihat langit dari dalam sumur, pengetahuannya
kelewat cetek" dengus Sun Tiong-Io.
"Ooooh... dia sudah termasyhur selama empat puluh tahun lebih
didalam dunia persilatan, sepanjang hidupnya sudah banyak musuh
tangguh yang pernah di jumpai, bila dia adalah katak dalam sumur,
lantas manusia macam apa pula dirimu ini ?"
Sun Tiong lo terbungkam oleh ucapan iiu, lambat laun dia merasa agak
ngeri bercampur kagum juga terhadap perempuan ini, diam- diam ia
mengakui akan kebenaran ucapannya.
Dalam soal pengetahuan dan pengalaman Hou ji masih jauh melebihi
kemampuan Sun-Tiong lo dan Bau ji, dari perkataan He he- koancu
barusan dia sudah menangkap suatu titik kelemahan maka sambil
mendengus dingin ujarnya:
"Lebih baik kau tak usah menggunakan cara yang demikian rendah
untuk menjebak kita, akulah pemimpin dari rombongan ini."
Sekali lagi He he koancu tertawa cekikikan "Kau tidak merasa malu
dengan perkataan demikian rendah itu?"
"He he, menggunakan cara dan pembicaraan semacam ini untuk
menjebak kami, caramu itu sungguh membuat aku merasa amat geli!"
Kembali He he koancu tertawa-tawa. "Buat aku sih apa yang
kukatakan, apa yang kupunyai aku
katakan apa yang kupunyai aku katakan aku lebih suka blak blakan!"
"Setan alas tahu, terus terang kuberitahukan kepadamu, sewaktu kami
menghadapi si Panji pencabut nyawa tadi, suteku menganggap
membunuh ayam tak perlu memakai golok penjagal sapi, maka dialah
yang maju untuk menghadapinya."
"Tapi pertarungan itu tak jadi dilangsungkan, karena itu kami suheng te
sekalian tidak pernah memperlihatkan jurus serangan apapun, atas
dasar apa kau mengatakan kepandaian silat suteku yang paling tinggi?"
"Hmm, aku mengerti akan maksud hatimu, tentunya kau sudah tahu
bukan kalau suteku ini paling jujur dan mudah tertipu, maka kaupun
beralasan demikian dengan maksud menjebaknya, terus terang
kukatakan, kami tidak akan termakan oleh siasatmu itu!"
Untuk beberapa saat lamanya He he koancu terbungkam dalam seribu
bahasa, tentu saja dia tidak sanggup berkata apa apa lagi.
Hou ji tidak melepaskan kesempatan itu, setelah tertawa dingin kembali
ujarnya:
"Katakan sekarang, sebenarnya apa yang kau inginkan?" Ternyata
He he koancu cukup lihay juga, setelah berpikir, dia
segera mendapat siasat lain, katanya lagi: "Aku masih tetap mengulangi
ucapanku lagi, inginkah kalian
meninggalkan ruang sempit ini" "Kalau ingin meninggalkan tempat ini
bagaimana ? Kalau tak
ingin meninggalkan tempat ini lantas kenapa ?" Bila tak ingin
meninggalkan tempat ini, tentu saja kita tak usah
membicarakan persoalan ini lagi" kata He he koancu, "sebaliknya jika
ingin meninggalkan tempat ini, asal kau bersedia menjawab tiga
pertanyaanku dan menyanggupi satu keinginanku maka aku..."
Hou ji lebih pintar sambil tertawa dia segera menyela. "Coba kau
terangkan dulu syarat tersebut, kemudian baru kau
ajukan ketiga buah pertanyaanmu, setelah kupertimbangkan masakmasak
barulah akan kami beritahukan kepadamu apakah kami ingin
meninggalkan ruang sempit ini atau tidak ?"
"Kau memang pintar sekali" He he koancu segera tertawa cekikikan
dengan merdunya, sesudah berhenti sejenak, kembali dia menyambung:
Cuma soal inipun tak mengapa, bicara lebih dulu yaa bicara lebih dulu."
"Kalau begitu katakanlah!" desak Hou ji. Tampaknya He he koancu
sudah mempunyai suatu persiapan
matang, segera ia berkata: "Pertanyaanku yang pertama, aku ingin tahu
apa maksud
kedatangan kalian kemari?"
"Baik, pertanyaan yang ke dua?" sambung Hou ji cepat. He he
koancu termenung sambil berpikir sejenak, kemudian dia
baru berkata: "Siapakah di antara kalian yang merupakan jagoan
dengam ilmu
silat yang paling tinggi?" Hou ji segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaa....haaa... haaa... pertanyaan yang kau ajukan itu makin
lama semakin menarik, apa pertanyaanmu yang ketiga?" "Sekarang, ke
tiga orang anggota perguruanku itu berada dimana
?" "Nah, sekarang kau boleh mengajukan syarat yang kau inginkan
itu...!" seru Hou-ji dingin. "Syaratku amat sederhana, kalian harus
berjanji kepadaku, mulai
sekarang tak boleh datang lagi ke kuil Tong-ibian koan, tentu saja
termasuk juga loteng batu ini, bahkan..."
"Cukup, cukup, syaratmu yang terakhir serta apa yang kau tanyakan
pada hakekatnya cuma perkataan yang sama sekali tak berguna." tukas
Hou ji cepat.
"Bagaimana tak bergunanya ?" tanya He-he koancu dengan suara
dalam.
"MeninggaIkan ruang sempit ini bukan berarti dapat meninggalkan
bangunan loteng batu ini, tidak dapat meninggalkan bangunan loteng ini
berarti tetap terkurung disini dan tidak mungkin bisa keIuar..."
"Benar" sela He he koancu, "tapi aku percaya, kalian pasti dapat
mencarikan akal untuk meloloskan diri dari kurungan ini !"
Mendadak Hou ji mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya:
"Kau sudah berbicara setengah harian lamanya, pertanyaan dan
syaratpun telah diajukan, tapi aku justru merasa heran apakah kau
berani membuka pintu batu dari ruang sempit ini tanpa minta
persetujuan lebih dulu dari Soh-bun ki?"
He be koancu segera mendengus dingin, "Hmmm, tentu saja berani, dia
itu manusia macam apa?"
Hou ji segera tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya lagi: "Heeh..
heeeh.....hreeh... kalau begitu, kau sudah bertekad
hendak menghianatinya?" Sekali lagi He he koancu mendengus dingin,
"Hmm, tak bisa di
bilang siapa menghianati siapa, antara aku dengan dia bisa bekerja
sama karena masing-masing telah memenuhi syarat yang diminta!"
"Ooooh... jadi kerja sama kalian sekarang sudah pecah?" "Benar, tapi
dia sendiri yang memaksakan hal ini, bukan aku
yang sengaja berniat mengingkari janji." "Apakah dikarenakan ia
berubah pikiran secara tiba-tiba..." "Persoalan itu toh tiada sangkut
pautnya dengan kalian ? Lebih
baik tak usah banyak bertanya !" tukas He-he koancu cepat. Hou ji
segera tertawa. "Bagaimana juga aku harus tahu." serunya. "sekarang,
bila dia
datang kembali, bukankah kau.!" "Hmm, dia tak bakal balik lagi !"
dengus He-he koancu cepat. Hou ji meski sudah tahu kalau dugaannya
benar, tapi ia toh
mencoba untuk menyelidik kembali. "Kau ini sebetulnya ingin
membohongi siapa ?" "Aku tak perlu membohongi dirimu!" jawab
He-he koancu dengan
suara dingin, "sekarang dia sudah berada didalam lorong menuju ke
anak tangga ruang bawah, tadi aku telah menggerakkan alat rahasianya
dan mengurung dia didalam lorong rahasia tersebut!"
Kembali Hou-ji mengalihkan pokok pembicaraannya ke soal lain,
ujarnya kembali:
"Dalam hal ini aku sudah tahu, kalau tidak, bagaimana mungkin kau
begitu bernyali untuk mengajak kami membicarakan pertukaran
syarat!"
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba nada pembicaraannya berubah
menjadi sangat berat dan dalam, kembali ujarnya:
"Sekarang sudah sepantasnya kalau kita membuka pintu dan jendela
selebar lebarnya untuk berbicara secara terus terang, koancu aku tak
percaya kalau sekarang dirimu masih mempunyai pilihan lain !"
Tampaknya He-he koancu seperti dibikin agak kebingungan oleh
perkataan tersebut, se telah berpikir sebentar dia baru menjawab.
"Aku tidak mengerti apa maksud dari pertanyaanmu ini !" Houji
segera tertawa. "Pertama-tama aku hendak bertanya kepada..." He
he koancu segera tertawa cekikikan, tukasnya mendadak. "Eeeh,
tunggu, tunggu dulu, aku toh bukan seorang anak kecil!" "Disini kan
tiada orang menganggap kau sebagai seorang anak
kecil ?" Houji mendehem. "Tapi apa yang kutanyakan belum lagi kalian
jawab, kalian sudah
bertanya kepadaku bukankah hal ini sama halnya dengan menganggap
diriku seperti kanak-kanak, sok ditipu orang tua belaka?"
"Oooh... kau keliru, apa yang hendak kutanyakan kepadamu sama sekali
tak ada hubungannya dengan apa yang kau tanyakan!"
"Apa iya? sungguh membuat orang sukar untuk mempercayainya!"
Houji tidak menanggapi perkataan tersebut, kembali dia berkata:
"Yang ingin kutanyakan adalah sampai kapan kau baru akan
melepaskan orang yang kau sekap dalam lorong rahasia
tersebut?"
"Jangan lupa, diantara kalian berdua masih terikat syarat untuk bekerja
sama."
"Aku tidak melupakan hal tersebut, cuma semuanya itu sudah berlalu."
"Tetapi siapa yang akan memberi jaminan untukmu. Orang itu berhati
keras, berjiwa sempit, cepat mendendam dan berhati keji,
sebodoh-bodohnya aku, tak nanti akan sedemikian bodohnya sehingga
melepaskan dia masuk kemari dan membuat perhitungan dengan
diriku!"
"Ooh, kalau begitu kau sudah menyimpulkan bahwa sekalipun kau
melepaskannya masuk dia tak bakal akan mempercayai dirimu lagi dan
pasti akan membuat perhitungan dengan kau?"
"Ini merupakan kenyataan, cuma bila kalian tak mau percaya, akupun
tak dapat berbuat apa2."
"Kau berharap kami percaya?" Dengan tak sabar He-he koancu
berseru: "Bila kau masih ingin
membicarakan perkataan yang sama sekali tiada gunanya ini, toh lebih
baik kita sama-sama membungkam diri saja..."
Hou ji tertawa tergelak. "Haaahh... haaahh... haaahh...betul, akupun
beranggapan kita
tak usah membicarakan persoalan tersebut lebih jauh, tapi aku harus
memberitahukan kepadamu, apa yang kita bicarakan tadi sesungguhnya
bukan tiada gunanya sama sekali!"
He he mendengus, kali ini dia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Kembali Hou ji berkata sambil tertawa. "Sejak awal tadi sudah
kukatakan kalau kau tak punya pilihan
lain, sekarang tentunya kau sudah mengerti bukan ?" Sekali lagi He he
koancu mendengus, namun dia masih tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
Sambil tertawa kembali Hou ji berkata: "Koancu, kau sendiri sudah
mengakui Soh bun ki adalah seorang
yang berhati keras, berjiwa sempit dan lagi amat kejam dan tidak
mengenal ampun, dengan sebab itu kini kaupun sudah tidak memiliki
jalan lagi untuk meninggalkan tempat itu."
"Untuk berlalu dari sini tak mungkin, mau berbaikan lagi dengannya juga
mustahil, sekarang kecuali bekerja sama dengan kami, aku tak tahu
apakah kau masih memiliki pilihan lain lagi ?"
Setelah terjadi tanya jawab secara keseluruhan, melalui suatu
perputaran situasi yang yang drastis, kini antara kepala dan ekornya
telah saling berjumpa dan terwujudlah suatu lingkaran setan yang sulit
untuk ditembusi.
Kini He-he koancu mulai mengerti, tapi dia benar-benar sudah didesak
oleh keadaan sehingga berada dalam keadaan apa boleh buat.
Sebagai seorang yang menganggap posisinya lebih menguntungkan sudah
tentu dia tak mau di dikte lawan, sebab itu dia mulai memutar otak
mencari jalan keluar.
Sebaliknya Hou-ji masih saja mendesaknya selangkah demi selangkah
menghampiri ke hadapannya.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 32
SEMENTARA itu kembali dia telah berkata: "Tapi kau jangan salah
paham, kami tidak mempunyai rencana
apapun, lebih-Iebih tak ingin menunggangi kesulitan orang untuk
menuruti kemauan kami oleh sebab itu bila kita berniat kerja sama, kau
harus membicarakannya secara blak-blakan tanpa diembeli dengan
segala macam syarat."
Pernyataan terakhir yang diutarakan itu segera membuat He he koancu
menjadi lebih tenang.
Dari gusar diapun menjadi gembira, ujarnya kemudian sambil tertawa
merdu.
"Anggap saja perkataanmu itu memang masuk diakal, cuma aku tetap
harus tahu sebenarnya apa maksud kalian datang kemari? Dan
bagaimana ceritanya sehingga bisa sampai disini?"
"Demi suksesnya kerja sama kita, aku memang perlu memberitahukan
persoalan ini kepadamu, cuma setelah kuutarakan nanti, aku yakin bukan
saja kau tak parcaya, bahkan bisa jadi akan menegur kami dengan nada
gusar !"
"Aku rasa hal tersebut hanya aku sendiri yang bisa memutuskan!"
Hou ji menarik napas panjang, ia tidak berseru kearah jendela kecil itu
melainkan berkata kepada Sun Tiong lo:
"Siau liong, lebih baik kau saja yang menerangkan persoalan ini kepada
koancu."
Selama ini Sun Tiong lo membungkam terus dalam seribu bahata,
dalam keadaan demikian terpaksa dia berkata.
"Koancu,apa yang diucapkan hou suhengku memang benar..."
"Bagaimana kalau biar kau sendiri saja yang memutuskan?" tukas
He he koancu. "Baik, kalau begitu apa yang aku ketahui akan
kuberitahukan
semua kepadamu, percaya atau tidak terserah kepada dirimu sendiri!"
Sampai disitu kembali dia berhenti bicara, lalu menghela napas
panjang.
Cepat He he koancu mendesak lebih jauh: "Ayo katakanlah karena
apa kalian kemari? Siapa yang memberi
petunjuk pada kalian?"
"Beberapa bulan berselang, kami suheng-te meninggalkan guru kami,
sewaktu hendak berpisah suhu kami telah menyerahkan sejilid kitab
kecil yang di dalamnya tercantumkan tempat-tempat yang harus kami
kunjungi.
"Tempat-tempat tersebut ada yang di sebut tempatnya saja, ada pula
yang disebutkan nama berikut nama orangnya tapi yang tidak
dicantumkan dalam kitab itu adalah apa yang harus kami lakukan
setelah sampai disitu."
"Maka kami suheng te berdua pun mengikuti catatan yang ada dalam
kitab kecil itu, satu persatu mengunjungi tempat-tempat tersebut, kini
kamipun sampai di Gak yang dan mencari ketempat ini!"
"Jadi kalau begitu kalian sendiripun tidak mengetahui mau apa datang
kemari ?"
"Yaa. hal ini merupakan kenyataan !" Sampai lama sekali He-he
koancu membungkam dalam seribu
bahasa, dia sedang memeras otak untuk menelaah kebenaran dari
ucapan tersebut.
Selang berapa saat kemudian, He he koancu baru berkata lagi sesudah
menghela nafas panjang.
"Baik, aku percaya ucapan kalian itu !" Diam-diam Hou ji merasa
keheranan, sebab seandainya dia yang mendengar perkataan semacam
itu dari orang lain, Hou ji percaya, dia tak akan mempercayainya dengan
begitu saja.
Tapi sekarang, He he koancu justru mempercayainya, bukankah hal ini
merupakan suatu kejadian sangat aneh.
Seharusnya setelah He he koancu menaruh rasa percaya, Hou ji dapat
berlega hati, dan tak usah membicarakan persoalan itu lagi, siapa tahu
dalam keadaan keheranan justru Hou ji malah bertanya.
"Koancu, kau percaya ?"
"Benar, aku percaya," kata Hehe koancu cepat. Diam-diam Hou ji
berkerut kening, balasannya kemudian:
"Terhadap siapa saja ucapan tersebut diutarakan, orang tak akan
mempercayainya dengan begitu saja, tapi kau ternyata percaya seratus
persen, kenyataan ini membuatku merasa amat keheranan, oleh sebab
itu aku ingin bertanya kepadamu dimanakah letak alasannya?"
"Ada tiga alasan yang membuatku percaya kalau ucapan tersebut
merupakan kenyataan !"
"Aaaan, malah ada tiga alasan ? Aneh!" Hou ji benar benar dibikin
berdiri bodoh.
He he koancu segera tertawa. "Alasan pertama adalah Sun siaute ini
berbicara jujur, bersikap
terbuka dan ucapannya tidak mencerminkan keraguan, sehingga bagi
kedengaranku ucapan mana benar-benar muncul dari suara hatinya."
"Oooh, seandainya aku yang berbicara ?" Kembali He he koancu
tertawa.
"Kalau kau berbeda, kalau didengar dari nada pembicaraanmu itu jelas
kedengaran kalau kau berpengalaman dan merupakan seorang jagoan
kawakan, biasanya orang yang sudah berpengalaman akan berbicara
sangat dipIomatis dan ucapan yang diplomatis tak bisa dipercaya
dengan begitu saja...!"
Hou ji tertawa tergelak gelak, "Waaah. .. perkataanmu itu tak ubahnya
merupakan makian yang sama sekali tidak meninggalkan bekas !"
Hehe koancu tertawa terkekeh kekeh, "Heeh... heeh... heehh... kedua
ucapan semacam itu jangankan orang dewasa, anak-anakpun tak bisa
dibohongi. tentu saja tak bisa dipercaya pula."
"Tapi hal ini merupakan kenyataan, apakah bisa dijadikan alasan
pula..."
"Jangan terburu nafsu, dengarkan dahulu alasanku yang ke tiga dan
kau pasti akan mengerti sendiri !"
"Baik, baik, akan kudengar alasanmu yang ke tiga itu" "Ketiga bila
dia ingin membohongi aku, bisa saja mengemukakan
beribu-ribu macam alasan, toh aku tak bisa membuktikan
kebohongannya itu, mengapa cerita yang di pilih justru berita yang tak
akan dipercaya oleh siapapun ?"
Hou-ji menjadi paham, dia bertepuk tangan sambil bersorak keras
keras.
"Betu", koancu, aku amat mengagumi dirimu" Tapi He-he koancu
segera menghela napas panjang
lagi,"walaupun ucapanku berkata demikian, namun dalam kenyataan
justru telah ada perubahannya !"
Pada saat itu Sun Tiong lo berkata lagi. "Harap koancu jangan
banyak berpikir, aku berani menjamin
sejak kini tiada orang dari perguruan kami yang akan datang kemari
lagi. apalagi guruku, dia tak akan datang kemari."
"Soal ini aku mengerti" tukas He he koancu, tapi bila berita ini sampai
bocor di tempat luaran, sejak kini sudah pasti orang lain akan
berbondong-bondong datang kemari."
Sun Tionglo berpikir sebentar, lalu ujarnya: "Koancu, bila apa yang
kau kehendaki bukan suatu perbuatan
yang tak halal, kami semua bersedia untuk membantu dirimu." He he
koancu tertawa getir. "Dalam peristiwa ini sukar untuk dirumus-kan
apakah soal
tersebut halal atau tidak halal !" "Dapatkah diutarakan ?" tanya Sun
Tiong lo. He he koancu kembali termenung beberapa saat lamanya,
kemudian dia berkata.
"Lebih baik kita jangan bertanya jawab dengan dinding itu sebagai
dinding penyakit, silahkan masuk kemari saja !"
Selesai berkata, terdengar suara gemerincingan pelan, lalu dinding yang
lebarnya tiga depa itu segera merekah dan muncullah sebuah pintu
rahasia.
Maka mereka pun berkumpul menjadi satu didalam ruangan batu yang
ditempati He he koancu.
Sementara itu, He he koancu telah mengambil korek api dan menyulut
sebuah lentera.
Begitu cahaya memancar ke empat penjuru, maka kedua belah
pihakpun bisa saling berpandangan dengan jelas.
Hehe koancu mengenakan sebuah jubah berwarna hijau, berusia tiga
puluh lima enam tahunan dan berwajah cantik, walaupun sebagai
seorang tokoh yang tak pernah memakai bedak maupun gincu, namun
tidak menutupi raut wajahnya yang cantik dan menawan hati itu.
Nona Kim memperhatikan tokoh itu paling seksama, demikian juga
dengan He he koancu, dia memperhatikan nona Kim paling teliti.
Menyusul kemndian, sorot mata nona Kim mulai menyapu sekejap
sekeliling ruangan, dengan cepat dia menemukan kalau dalam ruangan
itulah terletak seluruh pusat peralatan alat rahasia dalam loteng batu ini,
tanpa terasa dia berjalan masuk dan mulai memperhatikan setiap bagian
ruangan dengan seksama.
Tampaknya He he koancu sudah bertekad untuk bekerja sama dengan
mereka, maka dia mengikuti dibelakangnya sambil memberi petunjuk
kesana kemari menjelaskan letak alat-alat rahasia tersebut.
Dalam ruangan batu itu selain tersedia tempat duduk yang berjumlah
cukup banyak. bahkan terdapat pula selembar pembaringan.
Ketlka sorot mata Hou ji memandang sekejap ke arah pembaringan
gading itu, paras mu ka He he koancu segera berubah menjadi merah
lantaran jengah.
Setelah mengambil tempat duduk, Sun Tiong lo segera berkata.
"Koancu, dapatkah kau menjelaskan alasan mu sehingga harus
berjaga ditempat ini?" He he koncu menghela napas panjang. "Aaai...
boleh saja, cuma persoalan ini harus dikisahkan mulai
sejak awal." Sun Tiong lo tersenyum. "Tidak menjadi soal, toh
bagaimanapun juga tak mungkin kita
bisa keluar dari sini dalam waktu singkat." Di dalam peristiwa ini, aku
minta maaf kepada saudara saudara
sekalian!" kata Hehe koancu dengan kepala tertunduk. Dengan cepat
Sun Tiong lo menggeleng, "tindak tanduk
seseorang dikala sedang bermusuhan tak bisa dijadikan patokan untuk
suatu sifat manusia, apa lagi orang lebih mementingkan diri sendiri, kau
tak bisa disalahkan."
He he koancu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap
kearah Sun Tiong lo lalu ujarnya: "Bila kau telah berkata demikian,
akupun merasa lebih baik..."
"Koancu, kalau persoalan harus dikisahkan sejak awal, lebih baik
persoalan yang tak berguna tak usah di bicarakan lagi." tukas nona Kim
dengan cepat, "karena bila selesai berkisah kita harus segera
mengambil keputusan dan cepat-cepat melepaskan diri dari tempat ini."
"Ceritera ini harus dimulai sejak dua puluh tahun berselang, ketika kuil
Tong thian koan masih jaya-jayanya..."
"Koancu" tukas Sun Tiong lo "persoalan yang menyangkut tindak
tanduknya Sang sang koan-cu, sudah kami ketahui semua dengan
jelas"
"Oooh, kalau begitu kita bisa menghemat waktu, Sang-sang adalah
kakak seperguruanku, diapun merupakan murid murtad dari perguruan
kami, setelah menghianati perguruan, dia lantas melakukan kejahatan
dikuil Tong thian koan."
"Perguruanmu adalah..." sekali lagi Sun Tiong lo menukas dengan cepat.
Hehe koancu menundukan kepalanya rendah-rendah, kemudian
menyahut dengan suara lirih:
"Kami berasal dari kuil Hian biao koan di San say. Hun hoo!" Sun
Tiong io sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau
tercengang katanya kemudian: "Kalau begitu gurumu adalah Im Cing
cing, ketua dari Hian biau
koan..?" He-he koancu mengangguk. "Benar, aku tidak mengira kalau
kau bisa mengetahui gelar dari
guru kami." Sun Tiong Io tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya
berkata
lebih jauh: "Sang-sang bukan cuma menghianati perguruan saja,
mungkin
diapun telah mencuri dan melarikan kitab Hua kue keng milik guru mu
bukan?"
Paras muka He he koancu berubah hebat, dengan perasaan terperanjat
serunya: "Darimana kau bisa tahu?"
Sun Tiong lo masih belum menjawab pertanyaannya, dia hanya berkata
lebih jauh:
"Sejak suhengmu dilenyapkan dari muka b mi, berita tentangkitab itupun
turut lenyap tak berbekas sedang koancu beranggapan kitab ini masih
tersimpan disalah satu tempat disekitar
tempat ini, maka kau sengaja membangun loteng batu ini guna
mempermudah pencarian bukankah demikian?"
Sekali lagi He he koancu menghela napas panjang. "Aaai, benar,
memang demikian keadaannya, cuma loteng batu
ini bukan aku yang mendirikan." "Kalau begiiu, loteng ini didirikan oleh
Soh hun ki?" tanya Hou ji
dengan cepat. "Benar, namun menurut apa yang kuketahui diapun
mendapat
perintah dari seseorang!" "Oooh..." Hou ji segera memandang sekejap
ke arah Sun Tiong
lo, kemudian melanjutkan. "Siau liong, kalau begitu memang beralasan
sekali ke kemari !" Ucapan semacam itu memang cuma dipahami oleh
Sun Tiong lo
dan Hou ji berdua saja. He he koancu segera menangkap sesuatu yang
tak beres, cepat
cepat dia bertanya: "ToIong tanya, kalian telah berhasil menemukan
teori apakah
yang dirasakan benar?" "Soal ini tiada sangkut pautnya dengan koancu,
itu urusan pribadi
dari kami sendiri!" kata Sun Tiong lo cepat. "Oooooh..." Karena urusan
menyangkut tentang masalah pribadi orang.
sudah barang tentu He ho koancu tak perlu banyak bertanya lagi.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, Hou ji bertanya
kembali kepada He he koancu. "Koancu, tahukah kau Soh bun ki
mendengarkan perintah siapa
?" He he koancu segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kami kurang tahu, sebab Soh hun ki memegang rahasia ini
rapat-rapat..!"
Mendengar perkataan tersebut, sekali lagi Hou ji dan Sun Tiong lo
saling berpandangan sekejap dengan penuh pengertian.
Nona Kim ingin mengetahui apa sebabnya, tapi perasaan tersebut hanya
disimpan didalam hati saja, berhadapan muka dengan He he koancu,
sudah pasti Sun Tiong lo dan Hou ji tak akan sudi berbicara, sedang
diapun tak usah banyak bertanya lagi.
Sementara itu, Sun Tiong lo telah berkata kepada He he koancu:
"Tolong tanya Koancu, apakah kau telah memperoleh suatu
penemuan tentang kitab pusaka tersebut ?" He he koaneu mengangguk
"Ya, ada aku sudah mengetahui
tempat penyimpanannya dan sedang berusaha untuk mendapatkannya !"
Dengan kening berkerut Sun Tiong-lo berkata kembali: "Ditinjau dari
bangunan loteng batu ini, tentunya sudah dibangun
banyak tahun bukan ?" "Yaa, sudah mencapai delapan tahun !" "Oooh
sudah berapa tahun koancu kemari?" "Sudah sepuluh tahun lamanya !"
"Sepuluh tahun lamanya pencarian dilakukan namun tidak
berhasil menemukan apa-apa, baru belakangan ini diketahui tempat
penyimpanan kitab pusaka tersebut, benar-benar suatu kejadian yang
sangat aneh sekali!"
"Apakah hal inipun merupakan suatu kejadian yang aneh?" tanya He-he
koancu sambil menatap wajah Sun Tiong lo.
Sun Tiong-lo tertawa.
"Tolong tanya, semenjak kapankah tempat penyimpanan kitab itu baru
kau ketahui ? Ehmmm, maksudku aku ingin tahu waktu yang bisa
dipercaya serta orang yang memberi petunjuk kepadamu ?"
"Lima hari berselang, Soh bun-ki yang mengatakan hal itu kepadaku..!"
Sekali lagi Sun liong lo dan Houji saling berpandangan muka kali ini
nona Kim juga memahami sebab musababnya:
Begitu Hou ji mendapat persetujuan dari Sun Tiong-lo, dia lantas
berkata.
"Koancu, mungkinkah untuk mengisahkan kembali peristiwa yang
terjadi pada waktu itu?"
He-he koaucu berpikir sejenak, kemudian menjawab: "Peristiwa ini
terjadi pada suatu senja lima hari berselang, tibatiba
saja Soh bun-ki muncuI di kuil dan mengatakan baru saja bertemu
dengan seorang temannya dan membicarakan tentang kitab pusaka
tersebut."
"Waktu itu aku malah sempat menegurnya, mengapa dia melanggar
persetujuan yang di buat oleh kedua belah pihak dengan membicarakan
masalah yang begitu penting kepada pihak ketiga tanpa memperoleh
persetujuan lebih dahulu dariku ?"
"Dia menjawab, sahabatnya ini berarti sama pula dengan dia pribadi,
konon dia bisa menemukan diriku pun hal tersebut atas usaha dari
sahabatnya itu."
"Apakah atas dasar hal ini maka koancu lantas menaruh curiga kalau
dia sebetulnya sedang mendapat perintah dari seseorang?" sela Sun
Tiong lo kemudian.
He-he koancu mengangguk. -oo0dw0oo"
EHMM, lantas menurut Soh bun-ki, kitab pusaka tersebut disimpan
dimana?" tanya Sun Tiong lo kemudian.
He-he kongcu menjadi ragu untuk menjawab, untuk sesaat lamanya dia
menjadi terbungkam dalam seribu bahasa.
Hou ji yang menyaksikan kejadian itu segera menimbrung : "Tak
usah kuatir koancu, kami tak bakal akan berebut kitab
pusaka denganmu !" He-he koancu segera tertawa jengah. "Didalam
ruangan bawah tanah kuil Tong thian koan, bekas
kamar tidur dari suheng kami." Sun Tiong-lo segera tertawa. "Ada
suatu persoalan aku perlu memperingatkan kepada koancu,
tempat penyimpanan kitab tersebut belum tentu bisa dipercaya dengan
begitu saja."
"Aku mengerti" He-he koancu tersenyum, "tapi aku mempercayainya
seratus persen !"
"Aku jadi bingung rasanya..." Sekali lagi He-he koancu tertawa,
"Menurut keadaan pada
umumnya, karena ruang bawah tanah sudah terbakar dan rata dengan
tanah, kuil Tong-thian koan juga ber ubah menjadi puing- puing yang
berserakan, maka disimpannya kitab pusaka itu dalam ruang bawah
tanah merupakan suatu pemberitahuan yang tak bisa dipercayai dengan
begitu saja."
"Apakah kau tidak menganggapnya hal ini merupakan suatu dugaan
saja ?" He he koancu menggeleng.
"Tidak, aku yakin dia telah menunjukkan tempat yang benar I" "Tapi
aku tetap tidak mempercayainya dengan begitu saja" seru
Sun Tiong-lo sambil menggeleng.
"Dengarkan dulu penjelasanku semasa guruku masih hidup dulu, kitab
pusaka itu selalu di simpan dalam sebuah kotak kecil yang di sebut
kotak Hong mo keng-tong, kotak kecil semacam itu hanya ada sebuah
saja didunia ini.
"Pada senja hari lima hari berselang, Soh hun ki datang dan mengatakan
kalau sahabat-nya merupakan juga sahabat karib mendiang suhengku
dulu, ia pernah menyaksikan kotak kecil itu disimpan dikamar tidurnya
dibawah tanah..."
"Apakab persoalan yang menyangkut tentang kotak kecil itu tak pernah
diketahui lagi oleh orang lain?" sela Sun Tiong-lo lagi.
"Kecuali mendiang guruku, mendiang suheng ku dan aku, orang lain
tiada yang tahu bahkan aku berani memastikan mendiang suhengku
juga tak mungkin akan memberitahukan persoalan tersebut kepada
orang lain, sedang aku sendiripun tak pernah membocorkan rahasia ini
kepada siapa saja.."
Dengan cepat Hou ji dapat menangkap penyakit dari perkataan ini,
selanya cepat:
"Kalau memang demikian, dari mana pula sahabat Soh bun ki itu bisa
mengetahui tentang persoalan kotak kecil itu?"
"Benar" sambung nona Kim pula "darimana orang itu bisa dapat tahu?"
"Soh bun ki telah menerangkan dengan jelas sekali, dia bilang
sahabatnya itu selalu berada bersama mendiang suhengku bila
suhengku sedang berwujud sebagai seorang perempuan selama
setengah bulan lamanya."
"Suatu hari, mendiang suhengku mengambil obat-obatan dari dalam
kotak kecil itu dan secara kebetulan terlihat olehnya, dia pernah
bertanya kepadanya apa isi kotak tersebut, tapi mendiang suhengkku
tak pernah mengatakan kepadanya."
"Ketika sahabat suhengku mengatakan kepada Soh bun ki tempo hari,
dia pun hanya mengatakan kalau di pikirkan kembali sekarang sudah
pasti kitab pusaka itu berada di dalam kotak tersebut, oleh
karenanya setelah kupikirkan kembali persoalan ini, aku berkesimpulan
kalau ucapan itu benar adanya."
Sun Tiong lo segera memahami maksud pembicaraan orang, dia lantas
berkata:
"Oooh, ruang bawah tanah itu sudah rata dengan tanah, aku rasa
banyak waktu yang di butuhkan untuk melakukan kesemuanya itu"
He he koancu berkerut kening. "Betul, paling tidak membutuhkan
waktu selama setengah bulan
untuk melakukan kesemua nya itu" "Bukan cuma setengah bulan saja,
paling tidak pun
membutuhkan limapuluh orang pekerja untuk melaksanakannya !"
sambung Hou ji dengan cepat.
"Soal jumlah pekerja mah bukan persoalan persoalannya sekarang
adalah bagaimanakah caranya !"
"Betul" kata Sun Tiong lo sambil tertawa. "pekerjaan semacam ini
memang tak mungkin bisa dilakukan tanpa suatu persiapan serta
perencanaan yang baik !"
He he koancu menghela nafas panjang. "Aaai, siapa bilang tidak,
Tong thian koan adalah tempat
terlarang, bagaimana mungkin kita bisa membawa begitu banyak
pekerja untuk menggali reruntuhan kuil Tong thian koan? Tindakan itu
bisa akan menyulitkan orang."
"Soh hun ki pasti mempunyai cara, bukan?" tanya Sun Tiong lo
tiba-tiba.
He he koancu segera menggeleng palanya, "Dia mengatakan kepadaku,
kalau pekerjaan itu tidak mungkin bisa dilakukan orang lain, mesti diri
sendiri yang melakukan, dengan demikian aku pikir bisa sampai dua
bulan lama nya untuk membuat jalan tembus sampai ke-ruangan bawah
tanah sana!"
Sun Tiong lo manggut-manggut. "Yaa, apa lagi sekarang, bisa semakin
sukar"
"Tentu." He he koancu tertawa getir. Setelah berhenti sejenak,
menyusul kemudian dia menghela nafas panjang.
Tiba tiba Hou ji bertanya : "Koncu, pengetahnanku sangat minim,
bolehkah aku bertanya
kitab macam apa sih yang sedang kau cari itu ?" Merah jengah selembar
wajah He he koan cu, dia segera
menundukkan kepalanya rendah rendah tanpa mengucapkan sepatah
kata pun.
Walaupun nona Kim juga tidak mengetahui kitab pusaka macam apakah
Hua-kut-keng ter-sebut, akan tetapi setelah menyaksikan sikap He-he
koancu yang menundukkan kepala dengan wajah memerah, dia segala
dapat menduga sampai tujuh delapan bagian.
Pada saat itulah, Sun Tiong lo bertanya dengan wajah serius:
"Koancu setelah kitab pusaka tersebut berhasil kau dapatkan,
apa yang hendak kau lakukan dengan kitab tersebut ?" "Kaliau toh
sudah mengetahui kitab pusaka macam apakah-itu"
kata Hehe koancu sambil mengangkat kepalanya dan berkata serius,
"buat apa sih menggoda aku ?"
"Koancu, aku harap kau suka menjawab dahulu pertanyaanku itu !"
"Aku hanya bisa memberitahukan kepada kalian, aku tak akan
pergunakan hasil kepandaian dari kitab pusaka tersebut untuk
melakukan kejahatan, seperti juga mendiang guru-ku, aku hanya
mempelajari, mendalami tapi tidak akan mempergunakannya!"
"Sungguh?" tanya Sun Tiong lo serius. He he
koancu menjawab dengan serius pula. "Buat
apa kubohongi kalian!"
"Kalau memang begitu, aku rasa paling baik kalau koancu segera
kembali ke kuil Hian biau koan di Hun hoo begitu meninggalkan loteng
ini, tidak usah mencari kitab pusaka itu lagi.
He-he koancu agak tertegun, kemudian katanya: "Hal ini tak
mungkin bisa kulakukan, aku harus menemukan kitab
pusaka tersebut sampai dapat!" Kembali Sun Tiong lo menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Aku kuatir selama hidupmu kini tak nanti bisa
menemukan
kembali kitab pusaka tersebut." "Hmm, jadi kalian ingin menghalangi
niatku ini?" He he koancu
mendengus dingin. "Andaikata kitab pusaka itu berada didalam ruang
bawah tanah,
tentu saja kami akan berusaha keras untuk mencegah niat koancu
tersebut, namun sekarang aku rasa sudah tiada kepentingan untuk
berbuat demikian...!"
"Aku tidak mengerti apa maksud dari perkataanmu itu?" sekali lagi He
he koancu mengerutkan dahinya rapat-rapat.
Sun Tiong lo segera tersenyum. "Berbicara terus terangnya saja,
kitab itu sudah tak berada dalam
ruang bawah tanah lagi." He-he koancu ikut tertawa. "Percuma,
bagaimanapun juga kau hendak berbicara, aku tak
akan meneteskan air mata sebelum melihat peti mati !" "Ehmmm, kalau
begitu terpaksa aku hanya bisa memberitahukan
suatu kenyataan kepadamu, sedang tentang kau mau percaya atau tidak,
soal tersebut tiada sangkut pautnya dengan diriku, seandainya kau ingin
berusaha keras untuk menggali tanah hingga tembus ke ruang bawah
tanah tersebut, juga tiada orang yang akan menentang usahamu itu!"
"Sampai waktunya apakah kalian tak akan menghalangi niatku itu?"
Sun Tiong-lo menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan
menghalangi, terserah kemauan koancu apakah
mau menggali seluruh reruntuhan tersebut atau tidak !" Dengan
demikian, mau tak mau He-he koancu merasa agak
percaya juga dibuatnya. Setelah melalui suatu pemikiran yang amat
mendalami akhirnya
dia bertanya lagi: "Atas dasar apakah kau berani memastikan kalau
kitab pusaka
tersebut sudah tidak berada disitu lagi ?" Sun Tiong-lo tidak menjawab
pertanyaan itu, sebaliknya malah
bertanya kembali. "Apakah kau sudah mengetahui jelas kisah tentang
terbunuhnya
suhengmu itu ?" "Tentu saja jelas, apakah peristiwa itu ada sangkut
pautnya
dengan kitab pusaka ini ?" Sun Tiong-lo tertawa, ia tidak menjawab
pertanyaan tersebut
sebaliknya dia bertanya: "Apakah kau masih ingat dengan orang-orang
tersebut ?" Mendengar ucapan mana, tiba-tiba saja paras muka He he
koancu berubah jadi aneh sekali. Lewat beberapa lama kemudian, dia
baru manggut-manggut. "Aku masih ingat, dia adalah sahabat karib
guruku !" Apakah kau juga tahu, kalau dialah yang telah memberi
petunjuk
kepada Gan tayjin untuk menangkap suhengmu?" Sekali lagi He he
koancu mengangguk "Yaa, tahu, mendiang
guruku sudah pernah berkata, bila mendiang suhengku masih saja
melakukan perbuatan jahat, cepat atau lambat, pada suatu ketika
pasti akan membangkitkan amarah orang tua itu dan menghukum mati
dia"
"Ehmm, setelah orang asing itu memberi petunjuk kepada Gan tayjin
guna membekuk suhengmu, toh sebenarrya dia bisa secara langsung
membongkar rahasia "manusia siluman" dari suhengmu, tapi apa
sebabnya dia sengaja mengundurkan kejadian itu menjadi satu bulan
lamanya ? tahukan kau apa sebabnya demikian ?"
Mendengar pertanyaan tersebut, He-he koancu segera menjadi paham
kembali apa yang dimaksudkan, segera serunya:
"Apakah disebabkan oleh karena kitab pusaka tersebut ?" Sun Tiong
lo segera tertawa, "Kecuali disebabkan persoalan itu,
aku tak bisa menduga alasan apakah yang membuatnya berbuat
demikian !"
Tampaknya He he koancu mengenai sangat siapakah "manusia asing"
itu, sehabis mendengarkan perkataan dari Sun Tiong lo, dia lantas
termenung beberapa saat lamanya untuk mengambil suatu keputusan.
Akhirnya dia menghela napas panjang. "Aaaaai, tampaknya kau
berhasil menebak jitu semua persoalan
tersebut." Sun Tiong lo tersenyum. "Seandainya kita berhasil
meloloskan diri dari kurungan tempat
ini, dan kau masih bersedia membuang tenaga dan waktu untuk
menggali tanah pada reruntuhan kuil Toug-thian-koan tersebut dengan
tujuan mencari kitab pusaka, aku dan sahabatku pasti tak akan
menghalangi niatmu itu ."
"Aku telah mempercayai perkataanmu ini, kaupun tak usah membuang
waktu lagi untuk menyindir aku." seru He he koancu dengan kening
berkerut.
Sun Tionglo memandang sekejap ke arah He be koancu, lalu katanya
lebih jauh:
"Segala sesuatunya ini terserah pada koancu sendiri, cuma ada satu hal
aku bersedia menerangkannya lebih lanjut, soal terdapatnya kitab pusaka
dibawah ruangan rahasia dalam kuil Tong thian koan ini sudah bukan
merupakan rahasia lagi."
"Oleh sebab itu aku yakin, dikemudian hari masih terdapat banyak sekali
orang-orang yang tidak mengetahui latar belakang yang sebenarnya
dari persoalan ini untuk mencari kitab pusaka disitu, dan besar
kemungkinannya koancu yang akan merasakan akibat dari kejadian ini."
"Mengapa ?" tanya He-he koancu tertegun. "Gampang sekali,
sebenarnya kitab pusaka itu merupakan benda
mestika dari partai kalian, sedang koancu pun sudah sepuluh tahun
lamanya berdiam ditempat ini, bila koancu mengatakan kepada mereka
bahwa kau tidak berhasil mendapatkannya, dapatkah mereka
mempercayai perkataanmu itu?"
Paras muka He-he koancu berubah hebat, setelah berpikir sebentar dia
lantas berkata.
"Tapi hanya satu orang yang mengetahui kalau aku berada ditempat ini,
dan orang itu adalah Soh-bun-ki !"
"Mungkin koancu sudah lupa, masih ada majikan dari Soh-bun- ki..."
sambung Hou-ji.
"Tapi mereka toh mengetahui bahwa aku tidak berhasil mendapatkan
apa-apa?"
Sun Tionglo tertawa. "Jadi Koancu beranggapan mereka dapat
berbicara dengan
sejujurnya kepada orang lain?" "Tapi, mereka kan tidak mempunyai
alasan untuk berbicara
bohong...?" "Untuk membunuh saja mereka tidak membutuhkan
alasan, apa
Iagi kalau cuma persoalan itu saja!"
"Lantas... lantas bagaimanakah baiknya?" Sementara itu nona Kim
yang membungkam terus telah
menyambung dengan suara dingin: "Lebih baik tak usah kau risaukan
oleh persoalan yang bakal
terjadi dikemudian hari, sekarang dapatkah kita keluar dari sini masih
merupakan suatu persoalan besar!"
Hehe koancu memandang sekejap kearah nona Kim, kemudian ujarnya
cepat:
"Nona, tampaknya kau memahami sekali persoalan tentang alat alat
rahasia, silahkan kau periksa..."
"Apakah kau sendiri tidak memahami?" jengek nona Kim sambil tertawa
dingin!
He he koancu segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Terus
terang saja kukatakan kepadamu nona, orang yang
membangun loteng ini adalah Soh hun-ki, orang yang memasang alat
rahasia serta alat jebakan lainnya juga dia, dia hanya memberi sedikit
petunjuk saja kepadaku".
"Selamra delapan tahun lamanya, apakah kau belum berhasil meraba
alat alat tersebut hingga jelas ?"
He he koancu mengangguk. "Benar, tapi aku tidak mengerti
permainan semacam ini, aku
hanya mengetahui letak alat-alat rahasia untuk membuka dan menutup
semua alat jebakan disini dan sekarang aku malah dibikin kebingungan
setengah mati oleh benda-benda tersebut."
"Baik, kalau begitu biar kuteliti dengan seksama!" sela nona Kim
dengan cepat.
Maka nona Kim berjalan menuju kedepan pusat alat rahasia tersebut,
tempat itu merupakan sebuah dinding batu yang penuh dengan alat
tombol, sedang disudut sana terdapat pula banyak roda bergerigi.
Setelah mengamatinya berapa waktu, nona Kim menggelengkan
kepalanya sambil tertawa getir.
"Aku tak mampu memikirkannya !" Hou ji segera berjalan
menghampirinya, lalu bertanya: "Apakah kesemuanya ini ada
hubungannya dengan putusnya
tempat obor didinding sebelah depan sana ?" Nona Kim mengangguk.
"Ehmm, cuma kalau berbicara menurut cara pemasangan alat
alat rahasia disini, setelah tempat obor itu patah, tidak semestinya
semua peralatan disini menjadi macet akibatnya"
Sun Tiong-lo yang berdiri disini sebelah kanan nona Kim segera
bertanya:
"Lantas apa yang menyebabkan terjadinya semua kemacetan ini?"
Nona Kim segera menarik keluar sepotong rantai tipis, kemudian
sahutnya:
"Penyakit itu timbul dari akibat rantai ini!" Semua orang tidak
memahami permainan semacam itu. maka
siapa pun tak dapat mengetahui dimanakah letak penyakit tersebut.
Sementara itu nona Kim telah berkata lebih jauh: "Mungkin ketika
membangun bangunan loteng ini, Soh hun ki
bersikap kelewat keras dan kasar terhadap para pekerja, maka oleh si
pekerja tersebut bahan yang digunakan untuk membangun bangunan ini
pun dilakukan permainan kotor."
"Seharusnya rantai baja yang kecil dan lembut tapi kuat dan keras, akan
tetapi rantai yang berada ditanganku sekarang justru dari kwalitet
rendah, sedangkan dalam soal panjangnyapun lebih pendek satu inci
lebih.."
Dengan perasaan tidak habis mengerti He he koancu segera bertanya:
"Apa sangkut pautnya antara seinci lebih pendek dengan macetnya alat
rahasia ini ?"
Nona Kim mendengus. "Sesungguhnya bagian yang masuk ke dalam
dinding pada
bagian tempat obor tersebut merupakan sebuah lubang yang bisa
bergerak, di atas lubang hidup itu terdapat sebuah gelang kecil, gelang
tersebut kegunaannya adalah untuk mengikat rantai baja ini,
seandainya rantai ini sampai patah, seharusnya rantai yang berada
dibagian dalam dinding tidak seharusnya turut patah juga.
"Oleh sebab itu seharusnya bila rantai tersebut putus maka kecuali pintu
besi tersebut hanya bisa ditarik untuk dibuka dan tak mungkin bisa
ditutup kembali, sama sekali tidak mempengaruhi bagian lainnya, sebab
segala sesuatunya sama sekali tidak mengalami perubahan apa-apa.
Akan tetapi para pekerja yang membangun loteng ini sudah bermain
gila, Dengan diam-diam memasang rantai berkwalitet jelek yang
sengaja di potong satu inci lebih pendek untuk mengendalikan tempat
tersebut, bahkan sewaktu dipasang sengaja ditarik kuat-kuat lebih
dahulu untuk menahan gelang dalam lubang hidup secara paksa.
"Di tambah lagi rantainya bermutu jelek, di tegangkan kelewat batas
lagi, tak heran kalau rantai dalam dinding itu jadi patah tengah setelah
tempat obor dibagian muka kupotong jadi dua, dengan putusnya rantai
tersebut di bagian tengah, maka rantai yang seharusnya di tahan pada
gelang hidup otomatis menjadi kendor sama sekali"
"Oooh, jadi lantaran rantai tersebut putus sehingga roda bergigi
menjadi terletak maka pintu baja itu menjadi sukar untuk dibuka
kembali?" k-ata Sun Tiong lo mengerti.
"Yaa memang demikianlah keadaan yang sudah terjadi.
Dengan kepala tertunduk Sun Tiong lo berjalan menuju kesamping, dia
seperti lagi memikirkan akan satu hal.
Sedangkan He he koancu dengan sinar mata penuh pengharapan
memandang wajah nona Kim, kemudian tanyanya:
"Apakah ada sesuatu cara yang bisa dipikir kan?" Nona Kim segera
menggeleng. "Rantai yang putus itu justru mengendalikan roda
bergigi yang
tertanam di balik batu ini, padahal bergeraknya roda bergigi itu karena
terkendali oleh gerak gesekan rantai, kini rantainya sudah putus."
"Adik Kim. apakah kedua buah roda bergigi ini berputar dalam bentuk
saling bergesekan?" tiba tiba Sun Tiong lo bertanya.
"Tentu saja bentuknya saling bergesekan karena putaran roda kedua
turut berputar!"
"Seandainya kita dapat menggeserkan roda yang pertama..." Nona
kim memandang kearah Sun Tiong lo kemudian tertawa
cekikikan. Setelah ucapan tersebut diutarakan Sun Tiong lo baru
merasa
kalau telah salah bicara, apa lagi ditertawakan nona Kim, dia segera
memahami sebab musababnya, tanpa terasa pemuda itu turut tertawa
dengan wajah tersipu-sipu.
Keadaan ini sudah barang tentu membingungkan orang-orang lainnya,
kecuali Bau-ji yang selama ini membungkam terus dalam seribu bahasa,
Hou ji yang pertama-tama tidak tahan, sambil menggelengkan
kepalanya dia segera menegur:
"Siau liong, sebenarnya apa yang telah terjadi ?" Sun Tiong lo tidak
tahu bagaimana harus menjawab, untuk
berapa saat dia hanya ber diri tertegun. Nona Kim yang ada
disampingnya segera membantu pemuda itu
untuk melepaskan diri dari kesulitan katanya:
"Persoalan ini hanya persoalan yang dipahami olehku dan engkoh Lo,
apakah kau ingin mengetahuinya?"
Ucapan tersebut benar-benar sangat lihay, kontan paras muka Hou ji
merah padam.
Agaknya Sun Tiong lo ada niat untuk menyingkirkan pemikiran semua
orang ke masalah lain, dia lantas berkata:
"Adik Kim, tampaknya kita baru akan berhasil bila rantai tersebut dapat
kita sambung kembali?"
Nona Kim segera menggeleng. "Sekali pun mempunyai rantai yang
cukup panjang, tak mungkin
hal ini bisa dilakukan." "Mengapa?" tanya He he koancu mulai merasa
gelisah sekali. "Kesempatan bukannya tak ada, cuma terlalu kecil, kita
hanya
akan berhasil jika rantai tersebut bisa kita lewatkan pada lubang
diantara dua roda bergigi, padahal siapa yang mampu melakukan hal
seperti ini?"
"Ehmm, apalagi kita memang tak menyiapkan rantai besi yang
diperlukan untuk itu."
Mendadak He he koancu menunjuk kearah rantai yang telah putus itu.
lalu bertanya:
"Apakah rantai tersebut tak bisa digunakan lagi?" Nona Kim
mendengus dingin, "Hmm, rantai tersebut kurang
panjang." "Mungkinkah disambung dengan benda lain, seperti misalkan
saja..." Sebelum ucapan tersebut selesai di utarakan nona Kim telah
menyodorkan rantai tersebut kepadanya sambil berkata: "Kalau begitu
silahkan kau saja yang mencoba untuk
mengerjakannya..."
P a r a s ma k a He h e k o a n c u s ema k i n meme r a h r a n t a i
t e r s e b u t s u d a h p u t u s s ama s e k a l i , t i a d a t emp a t u n t u k
b e r p e g a n g a n l a g i , s i a p a k a h y a o g mamp u u n t u k
me n y amb u n g r a n t a i s ema c am i n i ? Ap a l a g i h a r u s
me l ewa t k a n r a n t a i t e r s e b u t d i a n t a r a d u a b u a h r o d a
bMeelrihgaitg kia?la u tiada cara lain yang bisa digunakan He he koancu segera
menghela napas.
"Aaaai, kalau begitu kita hanya bisa duduk di sini sambil menunggu
datangnya saat kematian !"
Bau ji yang selama ini membungkam terus, mendadak menimbrung:
"Sebenarnya memang sudah tiada harapan lagi, apa gunanya mesti
membuang tenaga dengan percuma?"
Semua orang memandang sekejap ke arah Bau ji, kemudian
menundukkan kepalanya dan tidak berbicara lagi.
Selang sesaat kemudian, mendadak nona Kim seperti teringat akan
sesuatu, kepada He-he koancu segera ujarnya.
"Kau mengatakan bahwa tempat ini merupakan pusat segala alat
rahasia...?
He he koancu mengiakan dan tidak menjawab, Kembali Nona Kim
berkata, "Tanukah kau dimanakah letak peta pembangunan loteng batu
ini ?"
He he koancu segera berjalan menuju ke meja di sebelah kiri, dari
dalam laci dia mengeluarkan sebuah peta.
Nona Kim segera membentangkan peta tersebut dan diperiksa dengan
lebih seksama.
Sun Tiong-lo mendekati nona Kim, kemudian tegurnya: "Adik Kim,
apakah kau berhasil menemukan sesuatu?" Nona Kim
menggoyang-goyangkan tangannya pertanda agar dia
jangan mengusik dirinya lebih dulu.
Sun Tiong-lo segera tertawa, dia lantas berdiri disamping nona itu dan
tidak berbicara lagi.
Kembali beberapa saat lewat, tampaknya nona Kim telah berhasil
mendapatkan sesuatu, dia lantas manggut-manggut.
"Bagaimana sekarang ?" bisik Sun Tiong-lo kemudian. Nona Kim
tertawa, tanpa terasa dia menggenggam tangan kiri
Sun Tiong-lo dengan mesra kemudian berpaling dan tertawa manis,
katanya kemudian:
"Jangan kau salahkan sikapku tadi..." Sun Tiong-lo pun tersenyum
sahutnya. "Masa aku bakal menyalahkan dirimu ?"
Sesudah berhenti sejenak, katanya lagi: "Bagaimana ? Apakah sudah
mendapatkan sesuatu hasil ?"
Sambil menuding kearah dinding bangunan yang tertera dalam peta
tersebut, nona Kim berkata.
"Engkoh Lo, coba kau perhatikan dinding ini." Sun Tiong lo
memperhatikan lama sekali, kemudian baru berkata: "Kalau menurut
peta tersebut, tampaknya dinding yang dimaksud
adalah dinding luar dari ruangan ini ?" "Betul, memang dinding luar dari
ruang ini" Dalam pada itu, He he koancu dan Hou ji telah berjalan
mendekati pula... Terdengar Sun Tiong-lo sedang bertanya, "Adik Kim,
bagaimana
dengan dinding itu?" "Berbubung dibalik dinding ini merupakan pusat
segala peralatan
alat rahasia disini, maka dindingnya dibuat dengan tebal yang luar
biasa, coba kau perhatikan ditempat yang lain tebal dinding hanya tiga
depa, sedangkan tebal dinding disebelah sini justru mencapai lima depa
Iebih !"
Sun Tiong-lo mengiakan, namun dia masih belum mengerti apa yang
dimaksudkan oleh dadis itu dan apa kemauan dari nona tersebut.
Kembali nona Kim berkata: "Oleh sebab itulah, dinding yang paling
mudah dijebolkan..." Sebelum dia menyelesaikan perkataannya, He
he koancu sudah
menimbrung lebih dulu: "Nona, masa dinding setebal lima depa lebih
gampang dljebolkan
daripada dinding setebal tiga depa?" "Yaa, benar, memang lebih
gampang sekali" He he koancu segera menggelengkan kepala nya
berulang kali,
ditatapnya nona Kim dengan sorot mata yang aneh, kemudian ujarnya.
"Nona aku tidak memahami teorimu itu." Tampaknya nona Kim
memang ada maksud untuk menggoda He
he koancu, katanya lagi: "Darimana kau bisa mengatakan kalau didunia
ini tiada teori
semacam ini?" He he koancu tertawa getir. "Nona, dalam situasi dan
keadaan seperti ini, maaf kalau aku tak
punya gairah untuk berdebat dengan kau!" Nona Kim segera tertawa
cekikikan, sambil menuding dinding
sebelah luar dia berkata: "Koancu, aku hanya menggodamu saja.."
"Dalam keadaan seperti ini, kau masih bisa menggoda orang
nona benar benar berjiwa eksentrik!" sekali lagi He he koancu tertawa
getir.
Belum sempat nona Kim menjawab, Sun Tiong lo telah buka suara lebih
dulu, katanya: "Koancu, aku percaya nona Kim pasti mempunyai cara
untuk meloloskan diri dari kurungan ini, kalau
tidak, jangankan koancu, dia sendiripun tak akan bergairah untuk
bergurau!"
Dengan senyum tak senyum nona Kim segera mengerling sekejap ke
arah Sun Tiong lo, kemudian serunya:
"Tampaknya maksud hatiku dapat kau tebak semua?" "Hanya
terbatas dalam soal ini saja." jawab Sun Tiong lo sambil
tertawa dan menggelengkan kepalanya berulang kali. Mendengar ucapan
tersebut, kembali nona Kim merasakan
hatinya menjadi hangat, kerlingan pun berubah menjadi pandangan
yang penuh kemesraan.
Menyusul kemudian dia berkata lagi kepada He-he koancu: "Koancu,
meenrut apa yarg tertera didalam peta ini, dibagian
dalam dari dinding ini merupakan tempat dari seluruh roda bergigi yang
mengendalikan alat rahasia dalam gedung ini, apakah dugaanku ini tiada
yang salah ?"
He-he koancu segera menggeleng. "Tiada kesalahan lagi, Soh-bun-ki
sendiripun berkata demikian
kepadaku !" Nona Kim kembali tertawa. "Dalam peta ini sudah tertera
jelas sekali, roda gigi yang besar
maupun yang kecil semuanya berjumlah dua puluh lima buah !" He-he
koancu memandang sekejap ke arah peta itu, lalu berkata. "Jikalau
dalam peta tersebut sudah dicantum kan demikian, aku
rasa tidak bakal salah lagi" "Yang paling besar roda bergigi itu persis
mempunyai garis
tengah selebar satu depa, sedangkan yang kecil tiga inci, rantainya
terdiri dari dua puluh dua helai dan itulah posisi yang selengkapnya dan
seluruh peralatan rahasia tersebut!"
"Aku sudah bilang, hal ini tak bakal salah lagi, tapi apa sangkut pautnya
dengan usaha kita meloloskan diri dari kurungan ini?"
"Kalau ditinjau dari apa yang dilukiskan dalam peta tentang alat rahasia
yang tersedia tampaknya antara gigi roda bagian atas dan gigi roda
bagian bawah harus saling menggesek sebelum alat rahasia yang
dikehendaki bisa digerakkan, itulah sebabnya pula meski ada salah satu
rantai yang putus, tak akan mengakibatkan yang lain terpengaruh."
"Sudah barang tentu, jika alat rahasia yang satu berpengaruh dengan
alat rahasia yang lain bukankah segala alat rahasia tersebut sudah
macet total sedari tadi?"
"Benar, selain daripada itu rantaipun tak boleh saling bergesek, kalau
tidak maka rantai tersebut lama kelamaan bakal aus dan gampang
putus dibagian tengah, bila rantai sampai patah tentu saja alat
rahasianya bakal macet semua."
He he koancu melirik sekejap kearah nona Kim, lalu ujarnya. "ltulah
teori yang paling gampang, buat apa kau terangkan
kembali kepadaku?" Tiba-tiba nona Kim tertawa. "ltulah sebabnya
mengapa dinding ruangan disebelah sini harus
lima depa tebalnya." "Betul, jika tidak tebal berarti tak mungkin bisa
memuat
peralatan seperti itu." "Tepat sekali" nona Kim tertawa lagi, menurut
catatan dalam
peta, seandainya tiada lubang kosong selebar tiga depa, maka semua
peralatan rahasia tersebut tak mungkin bisa termuat!"
"Kenyataannya memang demikian!" Paras muka nona Kim segera
berubah menjadi sangat serius,
sambil menuding kearah dinding dinding lainnya, dia berkata lebih jauh.
"Dinding bagian lain dalam ruangan ini terbuat dari dinding setebal tiga
depa, bila tiada golok mestika atau senjata mestika
serta kepandaian silat yang luar biasa, mustahil dinding setebal itu bisa
dijebolkan dengan begitu saja, sebaliknya dinding yang setebal lima
depa itu, oleh sebab sudah diambil tiga depa untuk isi peralatan rahasia,
berarti dindingnya cuma tinggal sisa dua depa untuk kedua belah sisi, itu
berarti dinding itu..."
Belum selesai dia berkata, He he koancu telah menukas dengan cepat:
"Benar, kau benar benar sekali"
Nona Kim tertawa. "Kini kau tidak menuduh aku sedang menggoda
dirimu lagi bukan
?" tegurnya. Paras muka He he koancu berubah semakia memerah.
"Aaiih, mana aku berani menyalahkan nona." Setelah berhenti sejenak,
dia melanjutkan. "Cuma walaupun dinding tersebut hanya setebal satu
depa saja,
toh sulit juga untuk menghancurkannya ?" "Kedengarannya ucapanmu
memang betul cuma kalau bertemu
dengan seseorang yang berilmu silat tinggi, dinding setebal sedepa
bukan sesuatu yang menyulitkan bukankah demikia?"
"Belum tentu!" tukas He-he koancu sambil menggeleng. "Oooh,
bagaimana tidak tentunya ?" "Nona tidak tahu, seluruh bangunan
disini terbuat dari batu
cadas bukan dipakai batu yang biasa..." Sebelum ucapan mana selesai,
nona Kim kembali telah menukas: "Aku tahu, batu yang digunakan
adalah batu aneh yang disebut
Kim seng-hek si (batu hitam bintang emas) kerasnya seperti baja dan
tak mungkin bisa dihancurkan dengan mengandalkan tenaga pukulan
biasa !"
He-he koancu mengangguk. "Benar, oleh sebab itu walaupun tebalnya
hanya satu depa saja, sulit rasanya..."
Pada saat itulah, mendadak nona Kim menuding ke arah Sun Tionglo
seraya berkata.
"Engkoh Lo, sanggupkah kau menjebolkan dinding batu itu ?" Sun
Tiong lo berpikir sejenak, lalu sahutnya. "Mungkin saja bisa, namun
aku sendiripun tidak mempunyai
keyakinan yang benar." Nona Kim berkerut kening, lalu tersenyum,
"Seharusnya kau
merasa yakin!" Sun Tiong-lo menjadi tertegun setelah mendengar
ucapan tersebut, katanya cepat.
"Adik Kim, apa maksudmu berkata demikian? Nona Kim segera
tertawa cekikikan. "Aku yakin kau pasti bisa,
mengerti ?" Sun Tiong lo kembali berkerut kening, kemudian
memandang
kearah nona Kim dengan sorot mata yang sangat aneh. Tiba-tiba nona
Kim menunjukkan suatu gerakan tangan yang
sangat aneh, Sun Tiong-lo segera memahami apa yang dimaksudkan
dengan cepat dia mendekati dinding tersebut dan mengayunkan tangan
kanannya, semua kapur yang berada diatas dinding mana segera tersapu
rontok hingga bersih.
Begitu kapur itu beterbangan seluruh ruangan menjadi kabur
pemandangannya.
Tapi dinding itu justru muncul kembali cahaya pada wujud aslinya yang
berwarna hitam.
Diatas dinding berwarna hitam, muncul cahaya bintang yang berkerlipan
seperti cahaya emas.
Antara satu dengan satu kelihatan sekali celah-celahnya yang tidak
begitu rapat.
Setelah menyaksikan kesemuanya itu, sambil tertawa Sun Tiong- lo
segera berkata kepada semua orang:
"Harap kalian semua mundur sedikit kebelakang, akan kucoba sampai
dimanakah kekuatan dari dinding ini !"
Setelah semua orang mengundurkan diri dari situ, Sun Tiong-lo
menghimpun tenaga dalamnya kedalam telapak tangan kanan, setelah
itu sambil membentak keras dia melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke
depan...
Serangan itu nampaknya seperti pukulan dengan raksasa, padahal disaat
telapak tangannya hampir menempel dengan dinding pukulan segera
dirubah menjadi sebuah dorongan.
Ooo0dw0ooO Sekalipun hanya sebuah dorongan yang amat pelan,
namun
kekuatannya sama sekali tidak menjadi kurang. Pada saat Sun Tiong lo
mulai menarik kembali telapak
tangannya, dinding tersebut mulai bergoncang keras. Menyusul
kemudian seluruh ruangan ikut bergoncang keras dan
akhirnya.... "blamm!" dinding itu roboh dan tampaklah alat rahasia
yang berada didalamnya.
Hou ji sekalian sudah mengetahui tentang tenaga dalam dari Sun Tiong
lo maka paras muka mereka sama sekali tidak berubah, tapi tidak
demikian halnya dengan He he koancu, paras mukanya segera berubah
hebat, di lapisi oleh rasa terkejut yang hebat.
Ambruknya dinding ruangan itu dengan cepat memendam pula
sebagian dari peralatan rahasia tersebut.
Pada saat itulah Sun Tiong lo berpaling ke arah He he koancu sambil
bertanya:
"Koancu, berapa jaraknya dari tempat ini dengan permukaan tanah ?"
?"
"Kurang lebih tiga kaki !" "Apakah bagian bawah dari loteng ini
merupakan tanah kosong
Sekali Iagi He-he koancu mengangguk. "Benar, sekeliling bangunan
loteng ini merupakan tanah kosong" Sun Tiong-lo segera tersenyum.
"Baik, silahkan saudara sekalian mundur ke belakang, akan
kugempur lapisan dinding batu ini sekali lagi!" Sementara pembicaraan
berlangsung Sun Tiong lo telah
mengayun kembali telapak tangan kanannya, segulung tenaga pukulan
yang maha dahsyat segera menggulung ke depan.
Dinding tersebut segera tergempur sehingga hancur berantakan, suara
gemuruh yang ditimbulkan membuat seluruh bangunan loteng itu
bergoncang keras.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar