Sedetikpun Kau-hun-sam-niocu tak pernah melupakan
kekalahannya di kuil rusak itu. Sekali gebrak, ia sudah lantas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gunakan ilmu pusaka ajaran Song-sat yang disebut im-yangtoh-
hun-cap-jit-si atau tujuhbelas jurus lwekang im-yang
perampas jiwa.
Sementara melampiaskan kebenciannya, Siau Ihpun tak
segan-segan mengeluarkan kepandaian simpanannya. Dibantu
oleh gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dia
mainkan ilmu pedang lui-im-kiam-hwat atau ilmu pedang
suara halilintar.
Dahulu dengan ilmu pedang itulah, si Dewa Tertawa Bok
Tong menggemparkan dunia persilatan.
Di tengah lembah dari pegunungan yang sunyi senyap,
pada saat itu terdengar gemuruh angin menyambar-nyambar,
sinar pedang berkilat-kilat dan warna pelangi berkibar-kibar.
Sesaat diseling dengan benturan pukulan tangan dan sesaat
pula dengan gemerincing senjata beradu.
Tan Wan yang melihatnya sampai melongo, karena seumur
hidup belum pernah dia menyaksikan suatu per¬tempuran
yang segempar itu.
Dalam beberapa detik kemudian, pertempuran sudah
berjalan sampai seratusan jurus.
Tampaknya Kau-hun-sam-niocu men¬jadi tak sabaran lagi.
Bersuit keras, ia merangsek maju. Tangan kanan membalikkan
toh-hun-tay menabas pundak, dua buah jari tangan kirinya,
secepat kilat menusuk ke arah mata lawan!
Siau Ih menarik ke belakang tubuhnya, lalu menusuk ke
arah lengan Li Thing-thing. Kemudian sang pundak digeliatkan
memutar tubuh, dia hindari sabetan toh-hun-tay, lalu tangan
kiri menghantam dada lawan dengan jurus hun-toan-bu-san
(awan menutup gunung Busan).
Li Thing-thing tarik pulang tangannya sembari kempiskan
dada. Ujung tumitnya diinjakkan ke tanah, lalu gunakan ginkang
istimewa hong-ji-liu-si (angin meniup tangkai pohon liu).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagaikan segumpal kapas, tubuhnya seperti tak bertulang,
ikut sambaran angin pukulan lawan melayang sampai
setombak jauhnya. Begitu sang kaki menginjak tanah, ia terus
ngacir pergi.
Perbuatan itu telah menyebabkan Siau Ih melongo tak
habis mengerti. Tapi berkat kecerdasan otaknya, sekilas dia
teringat akan si lelaki brewok yang belum munculkan diri itu.
Pikirnya: „Menilik perangai Li Thing-thing yang begitu
temberang ganas, tentu tak nanti ia mau menyudahi urusan
pembalasan sakit hati yang belum selesai itu. Namun karena
ia ngacir, terang tentu akan menggunakan siasat.”
Hanya sayangnya, sekalipun sudah mempunyai dugaan
begitu, namun Siau Ih tak dapat lepaskan diri dari pengaruh
kesombongannya. Menganggap sepi gerak gerik musuh, dia
tertawa mengejek: „Bukankah kau hendak meregut jiwaku
tadi? Mengapa belum ketahuan kalah menang, kau sudah
lantas mau angkat kaki?”
Habis berkata, dia terus hendak ayunkan kaki mengejar.
Melihat itu Tan Wan yang sudah banyak pengalamannya,
buru-buru meneriaki dengan gugup: „Siau-heng, hati-hatilah
akan tipu muslihat wanita busuk itu!”
“Harap saudara jangan kuatir. Raja kera Sun Go-kong
mempunyai ilmu merobah diri menjadi tujuhpuluh dua macam,
tapi toh akhirnya tak dapat lolos dari tangan Ji Lay Hud!"
sahut Siau Ih dengan tertawa sembari cepatkan
pengejarannya.
Tapi karena kuatir akan keselamatan sang kawan. Tan Wan
cepat-cepat turun dari kudanya, lalu ikut menyusul.
Begitulah ketiga orang itu, kejar mengejar dengan pesatnya
dan tahu-tahu sudah melintasi dua buah lamping puncak.
Tiba-tiba disebelah muka, tampak sebuah hutan yang lebat.
Tiba di muka hutan itu, Li Thing-thing berhenti sebentar untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpaling ke belakang dan perdengarkan sebuah tertawa
dingin. Habis itu, ia menyelinap ke dalam hutan.
Siau Ih tertawa mengejeknya.
„Li Thing-thing, masakah kau dapat menembus langit.
Menyusup kebumi?"
Bagaikan seekor burung garuda, dia kibaskan lengan baju
dan melayang ke arah hutan. Tiga tombak di atas udara,
tangan kirinya menghantam ke bawah. Pohon-pohon dalam
hutan itu tersiak daunnya dan masuklah Siau Ih menurun ke
dalam hutan.
„Celaka!” Tan Wan yang berada jauh di belakang sana,
mengeluh terkejut. Dengan gerak yan-cu-sam-jo-cui atau
Burung Walet Tiga Kali Menyiak Air, dia berloncatan beberapa
kali. Tiba di muka hutan, dia lintangkan toya kiu-hap-kim-sipang
untuk melindungi diri dan menerobos masuk.
Tapi untuk kekagetannya, ternyata di dalam hutan itu
sunyi-sunyi saja keadaannya. Dengan gugup, dia menerjang
ke muka. Di luar hutan yang disebelah sana, adalah sebuah
karang yang menjulang tinggi, ditengah-tengahnya terdapat
sebuah jalanan kecil yang amat sempit, kira-kiranya hanya
setombak lebarnya.
Siau Ih ternyata tengah berdiri tegak disitu, sembari
lintangkan pedang di dada dia memandang tak berkesiap ke
atas dinding karang.
Bergegas-gegas Tan Wan menghampiri dan berseru
perlahan-lahan: „Siau-heng ………”
Siau Ih berpaling, sahutnya: „Wanita busuk itu memikat
aku kemari, tentulah memasang tipu muslihat."
Menyapukan pandangan keempat penjuru, dia tertawa
jumawa, serunya: „Sekalipun memasang gunung golok pohon
pedang, tak nanti dapat mengapa-apakan diriku.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan langkah tegap, dia perlahan-lahan maju ke muka.
Sampai pada saat itu, Tan Wan sudah mengetahui bahwa
sahabatnya itu memiliki sifat congkak, jadi mencegah tiada
berguna. Apa boleh buat, terpaksa dia mengikutinya.
Kira-kira beberapa puluh tombak jauhnya, tibalah mereka
ditengah-tengah jalanan sempit itu.
Tiba-tiba di ujung sana, tampak ada sesosok bayangan
hijau berkelebat. Itulah si Kau-hun-sam-niocu Li Thing-thing.
Nyatanya ia siap memegat si anak muda.
Siau Ih berhenti, tegurnya: „Apa maksudmu main
bersembunyi macam begini itu?"
Tertawalah Kau-hun-sam-niocu dengan sinis, sahutnya:
„Siau Ih, tempat inilah bakal menjadi tempat kuburmu!"
Habis berkata, jarinya dimasukkan ke dalam mulut dan
bersuitlah ia dengan lengking yang memecahkan telinga
membelah bumi. Sebuah suitan lain, terdengar menyambut
dari arah gunung disebelah kanan.
Siau Ih mendongak. Ha, itulah lelaki brewok berpakaian
merah. Dengan tiba-tiba kini dia muncul ditepi karang.
Tangannya mengayun dan lima buah sinar merah melayang di
belakang Siau Ih.
„Bum,” terdengarlah letusan dahsyat. Hutan lebat yang
penuh dengan pohon-pohon itu, segera berobah menjadi
lautan api.
Sudah tentu Siau Ih terkejut sekali. Cepat-cepat dia
menarik Tan Wan maju menyerang ke muka.
Tapi baru kedua pemuda itu loncat maju, Kau-hun-samniocu
sudah kedengaran tertawa dingin.
„Kembali!” mulut berteriak, tangan menimpukkan dua buah
gulung asap hijau.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tahu bahwa asap hijau itu mengandung pasir beracun,
Siau Ih tak berani membenturnya. Memperingatkan Tan Wan,
dia menyurut ke belakang sembari putar pedang untuk
membuyarkan asap itu. Kemudian memasukkan pedang ke
dalam sarungnya, dia dorongkan sepasang tangannya ke
muka melancarkan angin lwekang.
Memang dalam keadaan terjepit, di belakang ada lautan api
di muka diserang pasir beracun, tiada lain jalan lagi baginya
kecuali harus lekas-lekas menerjang. Dengan keputusan itu,
diam-diam dia sudah kerahkan lwekang kian-goan-sin-kong ke
seluruh tubuh.
Selagi kedua anak muda itu bahu membahu siap-siap
hendak menerjang dari jebakan musuh, tiba-tiba dari atas
karang berpuluh-puluh biji senjata rahasia thiat-yan (seriti
besi) melayang berhamburan. Tersambar angin, mulut thiatyan
itu menyemburkan letikan api. Thiat-yan-thiat-yan itu
berputar-putar di udara, lalu meluncur turun.
Thiat-yan atau burung-burungan seriti yang terbuat dari
besi itu, tampaknya seperti hidup. Bukan melainkan dapat
terbang seperti burung hidup, pun api yang disemburkan dari
mulutnya itu, benar-benar seperti burung seriti yang
menyemburkan ludah.
Dinding karang yang menjulang tinggi itu, pun berkilat-kilat
membara. Hanya dalam sekejap mata saja, dan kedua buah
batu besar yang terletak di atasnya itu, berobah menjadi
tembok api.
Untuk memperlengkapi kedahsyatannya, Kau-hun-samniocu
Li Thing-thing ayunkan kedua tangannya, beberapa kali
menimpukkan asap hijau. Saat itu, keadaan lembah situ
seperti berobah menjadi sebuah neraka. Asap membubung
tinggi, api berkobar menjilat-jilat.
Beberapa kali Siau Ih dan Tan Wan, coba menerjang
keluar. tapi selalu terhadang dengan taburan asap hijau yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membawa angin lwekang. Apalagi mereka harus menjaga dari
serangan thiat-yan.
Dengan terlindung oleh lwekang kian-goan-sin-kong, Siau
Ih kerjakan kedua tangannya untuk menghantam kian kemari.
Benar, setiap kali kawanan thiat-yan itu dapat dihancurkan,
namun kelompok pertama belum habis dihancurkan,
gelombang kedua sudah datang lagi.
Menghancurkan thiat-yan, menolak asap beracun dan
memperhatikan keselamatan Tan Wan, benar-benar telah
membuat Siau Ih kalang kabut.
„Bocah liar, kini baru kau tahu bagaimana kelihayan
nonamu,” teriak Kau-hun-sam-niocu dengan lengking
kegirangan.
Benar Siau Ih telah menduga bahwa wanita jahat itu tentu
akan menggunakan tipu muslihat untuk menjebaknya ke
tempat itu, namun setitikpun Siau Ih tak mengira bahwa
muslihat itu ternyata sedemikian ganasnya. Seketika
amarahnya, meluap-luap.
„Perempuan busuk, jika tubuhmu belum kucingcang,
rasanya belum puas hatiku," serunya dengan kalap.
„Coba saja kalau kau masih dapat hidup nanti!" sahut Kauhun-
sam-niocu tertawa mengejek. Dan kembali dia timpukkan
asap hijau.
Siau Ih menggerung keras. Tangan kiri didorongkan ke
muka menghalau taburan asap hijau, tangan kanan bergerak
menghantam untuk menghancurkan serbuan thiat-yan.
Dan menggunakan sejenak keluangan itu, secepat kilat dia
merogoh keluar bumbung jarum kiu-tiap-ting-seng-ciam. Dia
siap sedia akan menggunakan setiap kesempatan untuk
menghancurkan Kau-hun-sam-niocu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat Siau Ih bergerak maju beberapa langkah, dengan
tertawa dingin, kembali si lelaki muka brewok lepaskan
berpuluh-puluh thiat-yan.
Siau Ih dan Tan Wan, saling merapat satu sama lain.
Walaupun pada saat itu, Tan Wan sudah mandi keringat,
namun dia terpaksa tak berani mengasoh. Toya kiu-hap-kimsi-
pang diputarnya dengan gencar.
Sekonyong-konyong terdengarlah sebuah jeritan seram dan
entah apa sebabnya, lelaki brewok yang melepaskan thiat-yan
dari atas karang itu, melayang ke bawah.
Siau Ih yang sudah benci sekali kepada orang itu, cepat
hantamkan tangan kiri. Beberapa biji thiat-yan yang melayang
tiba, segera hancur berantakan keempat penjuru. Menyusul
tangan kanan diangkat ke atas, serangkum jarum kiu-tiam
menyambar ke arah lelaki brewok itu.
18. Penyelamat Tak Terduga
„Auuuuh,” mulut orang itu menjerit keras dan „bum” ……
kepalanya jatuh membentur karang, batok kepala hancur,
benak berhamburan dan putuslah jiwanya. Sembilan batang
jarum yang dilepas Siau Ih tadi, semua tepat mengenai
sasarannya.
Berbareng pada saat itu, dari atas karang sama terdengar
sebuah suitan nyaring. Menyusul sesosok tubuh warna kelabu
melayang turun.
Begitu menginjak bumi, orang itu kebutkan lengan bajunya
yang gerombyongan. Berpuluh-puluh thiat-yan yang
memenuhi udara itu, seketika menjadi hancur berantakan.
Siau Ih terkesiap dan mengawasi orang itu. Ternyata dia itu
adalah iman tua yang bertubuh kecil kurus. Sebatang pedang
menyelip di belakang bahunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Menilik kesaktian orang ini, nyata setingkat dengan ayah,”
diam-diam Siau Ih membatin. Tapi baru dia memikir begitu,
didengarnya imam tua itu berseru pelahan: „Mengapa tak
lekas ikut aku keluar!"
Tanpa berayal lagi, Siau Ih segera tarik lengan Tan Wan
dan ikut imam yang ‘turun dari langit’ itu menerobos keluar ke
mulut lembah.
Melihat perobahan secara mendadak itu, bukan main kejut
Kau-hun-sam-niocu. Cepat dia kerjakan kedua tangannya
untuk menghamburkan asap beracun ke arah ketiga orang itu.
"Bangsa kurcaci yang tak tahu diri!" seru imam tua itu
dengan tertawa dingin. Lengan jubahnya dikebutkan perlahanlahan
dan seketika itu serangkum angin halus yang
mengandung tenaga lwekang kuat, menyambar ke udara.
Amboi! Asap hijau yang membawa pasir beracun itu, baru
sampai ditengah jalan sudah bergulung-gulung balik kepada
alamat pengirimnya.
Sudah tentu kejut dan takut Kau-hun-sam-niocu tak terkira.
Kaki menekan tubuh loncat ke samping sampai dua tombak.
Dengan cara begitu, barulah ia dapat terhindar dari
gelombang serangan asap beracun.
Dalam pada itu, si imam tua teruskan langkahnya
memimpin Siau Ih dan Tan Wan keluar ke mulut lembah.
Kaget dan ketakutan setengah mati sekalipun Li Thingthing
menyaksikan kesaktian si imam tua itu, namun ia tetap
seorang hantu perempuan yang ganas. Sudah tentu ia tak
mau begitu gampang saja melepaskan korbannya.
„Dahulu kita belum pernah mendendam, sekarangpun tidak
bermusuhan. Tapi mengapa kau mengadu biru urusanku?"
teriaknya dengan geram kepada imam tak dikenal itu.
Sepasang biji mata yang aneh dari imam itu, sejenak
mengicup, kemudian tertawa dingin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Dendam permusuhan apa kau kandung terhadap kedua
anak muda itu, hingga kau sampai perlu pinjam senjata huithian-
hwat-yan dari murid Gan-li Cinjin Kho Goan-thang dan
menggunakan ceng-lin-tok-sat dari pihak Song-sat untuk
membinasakannya? Kalau pinto tak mengingat prikasih
kemanusiaan, terhadap manusia yang suka berbuat jahat dan
ganas tak mengindahkan kaum angkatan tua seperti dirimu
itu, tentu tadi-tadi sudah kubelah tubuhmu!"
Hui-thian-hwat-yan artinya senjata rahasia Burungburungan
seriti dari baja yang dapat beterbangan di udara
dan menyemburkan api. Sedang Gan-li Cinjin Kho Goan-thang
adalah salah seorang tokoh yang termasuk dalam golongan
sepuluh Datuk. Ceng-lin-tok-sat ialah senjata rahasia pasir
beracun yang mengandung phosporus. Senjata rahasia ini
menjadi milik kedua Song-sat.
Bahwa si imam tua itu dapat mengetahui asal usul dirinya
dan kawannya si lelaki brewok itu, telah membuat Kau-hunsam-
niocu terkejut bukan kepalang. Matanya berkilat-kilat,
memandang si imam tua itu dari ujung kaki sampai ke atas
kepala.
„Turut perkataanmu yang begitu besar, rasanya kau tentu
berani memberitahukan nama. Nonamu kepingin minta
pengajaran nanti.” Li Thing-thing tertawa dingin.
Tertawalah si imam tua dengan lebarnya.
„Huh, sungguh seorang budak yang tak kenal tingginya
langit dalamnya laut. Jangankan kau, sedangkan sepasang
suami isteri Li Ho itupun kalau bertemu dengan pinto, tentu
juga menaruh perindahan!”
Berkata sampai disini, wajah imam itu tiba-tiba berobah
gelap dan dengan nada berat, berkatalah dia: „Mengingat
dirimu tergolong angkatan lebih muda, kali ini pinto tak mau
membikin susah. Nanti bila kau pulang ke gunungmu,
sampaikan saja pada suhumu bahwa Goan Goan Cu dari biara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siang-ceng-kiong di gunung Mosan, masih tetap teringat akan
hutangnya dahulu. Dalam lima tahun nanti, tentu akan datang
menagih hutang ke Thian-san. Cukup sampai sekian saja,
ayuh, enyah sana!"
Berbareng dengan kata-kata ‘enyah’ diucapkan, sepasang
lengan bajunya tampak dikebutkan ke arah Kau-hun-samniocu.
Lambat sekalipun tampaknya gerakan itu, namun bagi
Li Thing-thing serasa sudah didorong oleh sebuah tenaga
halus yang sedahsyat gunung roboh.
Sewaktu mendengarkan si imam memperkenalkan diri,
Kau-hun-sam-niocu sudah serasa copot nyalinya. Ia insaf,
sekalipun menumplak seluruh kepandaiannya, tak nanti ia
dapat melawan imam itu. Kalau masih bersitegang leher ia
tentu akan mendapat malu saja.
Maka begitu angin kebutan itu baru menyentuh tubuh,
secepat agak membungkukkan tubuh, sepasang kakinya
menjejak bumi dan serentak mencelatlah ia ke samping
beberapa meter.
„Goan Goan Cu, meskipun namamu tercantum dalam
sepuluh Datuk, namun selama hayat masih dikandung badan,
nonamu ini tentu akan mengadakan pembalasan untuk hinaan
hari ini,” serunya dengan lengking suara yang tajam menusuk
telinga.
Wajah Goan Goan Cu serentak berobah. Sepasang alis
menyungkat menambah keangkeran mimiknya. Sepasang
lengan perlahan-lahan di angkat ke atas, begitu tiba di muka
dada, tiba-tiba mulutnya menghela napas panjang.
Entah apa sebabnya, sepasang tangannya itu diturunkan
kembali. Dalam pada itu, dengan beberapa ayunan tubuh,
Kau-hun-sam-niocu sudah menghilang diantara hutan lebat.
Kejadian yang tak tersangka-sangka itu, telah membuat
Siau Ih bukan kepalang kejutnya. Serambut dibelah tujuhpun
dia tak mengira, bahwa orang yang telah membebaskannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari kesukaran itu bukan lain ialah Ay-to-jin Goan Goan Cu, itu
kepala biara Siang Cing Kiong yang sudah menghilang hampir
duapuluhan tahun lamanya.
Tokoh yang mempunyai ikatan dengannya dan untuk
menyelesaikan itu dia (Siau Ih) siang malam mengharap-harap
dapat menjumpahi, kini secara tak disangka-sangka telah
muncul dihadapannya.
Begitu goncang perasaan Siau Ih, hingga sampai sekian
jenak dia tak dapat mengucap apa-apa. Kalbunya penuh
dengan beraneka ragam perasaan, budi, dendam, penasaran
…….
Adalah Tan Wan yang memperhatikan kerut wajah Siau Ih
kala itu, juga merasa heran. Pikirnya: „Aneh, dia itu. Terlepas
dari bahaya, seharusnya bergirang, tapi mengapa dia tampak
bergolak-golak warna mukanya ……”
Saat itu Goan Goan Cu sudah berputar tubuh. Wajahnya
yang kurus perok tapi mengandung perbawa itu, menampilkan
senyum ke arah kedua anak muda itu.
„Siapakah nama kalian ini dan menjadi anak murid siapa?
Mengapa sampai mengikat permusuhan dengan anak murid si
Li Ho!" tegurnya dengan nada ramah.
Berhadapan dengan seorang koay-hiap (tokoh aneh) yang
mempunyai kedudukan tinggi dalam dunia persilatan, saat itu
mulut Tan Wan serasa terkancing. Tubuhnya agak mengisar,
lalu pelahan-lahan menarik lengan Siau Ih. Pikirnya biarlah
sang kawan itu yang me¬nyahutnya saja.
Tetapi ternyata Siau Ih pada saat itu seperti orang limbung.
Bagai patung tak bernyawa, dia terlongong-longong
memandang jauh ke sebelah muka.
Mata Goan Goan Cu yang tajam segera melihat keadaan
itu. Senyum yang menghias wajahnya tadi, serentak hilang
berganti dengan kerut yang kurang senang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tan Wan terkejut. Kuatir kalau terbit salah paham yang
dapat menimbulkan ‘salah urus’, buru-buru dia melangkah
maju lalu membungkukkan tubuh selaku memberi hormat.
„Wanpwe Tan Wan dan ini sahabat Siau Ih …….”
Belum lagi dia dapat menyelesaikan kata-katanya, Siau Ih
sudah lantas tampil ke muka. Dengan mata berkilat dan wajah
menampil duka-marah, berserulah dia dengan nada getar:
„Idzinkanlah wanpwe lebih dahulu menghaturkan dosa dan
terima kasih atas pertolongan locianpwe!" Serta merta dia
membungkukkan tubuh hingga mengenai tanah.
Sikap anak muda itu telah membuat Goan Goan Cu
terkesiap. Ujarnya dengan heran: „Pinto baru pertama kali ini
berjumpa, pertolongan apa yang telah kuberikan? Tapi menilik
sahabat kecil tadi mengatakan hendak menghaturkan dosa,
tentu masih ada keterangan selanjutnya lagi.”
Siau Ih mendongak tertawa panjang.
„Locianpwe sungguh bijaksana!" serunya dengan nyaring.
Keheranan Goan Goan Cu makin menjadi-jadi.
„Kalau benar begitu, pinto bersedia mendengarkan,”
serunya dengan alis menjungkat.
Wajah Siau Ih membesi. Tiba-tiba menyurut mundur tiga
langkah, tangan kanan cepat sudah melolos pedang Thiancoat-
kiam.
Kemudian melintangkannya ke muka dada, berserulah dia
dengan nada berat: „Sebagai seorang sakti dunia yang
namanya tergolong dalam sepuluh Datuk, tentulah locianpwe
dapat mengenal pedang wanpwe ini!"
Merasa heran dengan ucapan anak muda itu, sepasang
mata Goan Goan Cu yang aneh itu berkilat memandang ke
arah pedang yang dicekal si anak muda. Selekas
pandangannya tertumbuk akan pedang yang memancarkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sinar hijau bening laksana air telaga namun memancarkan
perbawa yang menyeramkan itu, serentak tersurutlah Goan
Goan Cu ke belakang.
„Pernah apa kau dengan si Dewa Tertawa Bok Tong?"
tegurnya dengan wajah kaget.
Tubuh lurus, kepala tegak, menyahutlah Siau Ih: „Itulah
engkong wanpwe ………."
Goan Goan Cu, seorang imam yang sudah kuat semadhinya
hingga tak mudah terpengaruh perasaannya itu, namun mau
tak mau menjadi tersirap darahnya juga. Sepasang matanya
yang aneh itu, namun mau tak mau menjadi tersirap darahnya
juga. Sepasang matanya yang aneh itu, terbeliak.
„Jadi kau ……..”
„Wanpwe adalah Siau Ih!" tukas Siau Ih dengan melantang.
Ucapan itu telah membuat Goan Goan Cu menggigil
persendiannya. Menatap lekat-lekat, dia mengawasi anak
muda itu dari bawah sampai ke atas.
„Pernah apa kau dengan Siau Hong?" serunya beberapa
saat kemudian.
Seketika wajah Siau Ih mengerut duka dan gusar. Balas
mengawasi ke arah Goan Goan Cu, dia menyahut dengan
nyaring tetap: „Orang yang locianpwe katakan itu, adalah
mendiang ayahku!"
Tubuh Goan Goan Cu tampak tergetar, wajahnya berobah
sekali. Mundur lagi beberapa langkah, sepasang matanya tak
berkesip memandang ke arah si anak muda. Jelas walaupun
anak muda itu berusaha keras untuk berlaku tenang, namun
sepasang matanya tak kuasa menyembunyikan rasa kedukaan
dan kemarahannya.
Tan Wan yang melihat tegas keadaan kedua orang yang
bersikap aneh itu, menjadi bingung tak keruan sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kala itu sudah menjelang petang, cuaca mulai gelap.
Lautan api yang mengganas di dalam lembah itu masih terasa
panas membara.
Walaupun tertingkah oleh cahaya api marong, wajah Goan
Goan Cu masih tetap memucat. Perobahan yang mendadak
itu, telah menggoncangkan sanubarinya.
Siau Hong, murid kesayangan yang menjadi ahliwarisnya
itu, kini sudah mempunyai keturunan. Kematian Siau Hong
benar tersebab surat fitnah, namun adanya Siau Ih di dunia
ini, suatu bukti yang cukup berbicara.
Shin-tok Lan dan Siau Hong nyata sudah melanggar
kesusilaan.
Telah bertahun-tahun lamanya dia menyelidiki perkara itu
dan memang muridnya itu telah dicelakai orang, tapi siapa
yang melakukan, tetap belum jelas. Tuduhan berat memang
terjatuh pada diri Siao-sat-sin Li Hun-liong, tapi dikarenakan
belum ada bukti-bukti yang kuat, jadi diapun tak mau
sembarangan bertindak.
Tempo berjalan dengan cepatnya. Belasan tahun telah
lampau dan dunia persilatanpun sudah mulai melupakan hal
itu.
Namun selama peristiwa fitnah itu belum dibikin terang,
Goan Goan Cu tetap tak tenteram hatinya. Memandang ke
arah pemuda yang tegak dengan wajah penuh dendam duka
itu, pikirannya kembali terbayang akan adegan yang tragis di
biara tua di gunung Hoasan dahulu itu.
Sementara sang mata beralih memandang ke arah lautan
api di dalam selat lembah di belakangnya sana, tanpa terasa
mulutnya mengingau: „Anak murid Gan Li telah binasa secara
mengenaskan, lalu dihanguskan oleh api pula, ini ……..”
Wajah Goan Goan Cu tiba-tiba membayangkan kedukaan
hebat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mengira imam itu terkenang akan sang ayah (Siau Hong),
Siau Ih pun seperti tersajat hatinya. Air mata yang tadi
sedapat kuasa ditahannya, kini berketes-ketes turun
membasahi leher bajunya.
Tiba-tiba terdengarlah suara "bum" yang keras, serangkum
angin panas meniup datang. Goan Goan Cu, Siau Ih dan Tan
Wan terkejut lalu loncat mundur.
Hutan yang tumbuh di belakang lembah itu telah dimakan
api. Sebatang demi sebatang, pohon-pohon sama berdebumdebum
jatuh. Asap bergulung-gulung tinggi membawa bunga
api yang berhamburan di udara.
Pemandangan itu telah menggugah lamunan Goan Goan
Cu, siapa lalu mendongak dan tertawa nyaring. Sebuah
tertawa yang melengking menembus ke atas awan.
Siau Ih tercekat dan cepat-cepat beraling ke arah Goan
Goan Cu. Didapatinya wajah imam tua itu membesi dan mata
berkilat-kilat tengah memandang kepadanya.
Suatu pandangan yang berarti hingga Siau Ih menyurut
setengah langkah lalu palingkan pedang ke muka dada.
„Apakah locianpwe hendak memberi pelajaran padaku?"
tanya Siau Ih.
Suatu pertanyaan yang sederhana, namun dalam telinga
Goan Goan Cu berlainan rasanya.
Sejenak agak tertegun, wajah Goan Goan Cu kembali gelap
dan dengan nada berat berseru: „Hal yang paling dijunjung
tinggi oleh kaum persilatan, ialah hubungan antara suhu dan
murid. Siau Hong adalah ahliwaris pinto satu-satunya. Kaupun
tadi membahasakan cianpwe padaku. Tapi kata-katamu itu
amat menusuk!"
Wajah Siau Ih pun berobah keras, sahutnya: „Apa yang
cianpwe ucapkan itu memang benar. Tapi rasanya wanpwe
sudah banyak menerima wejangan akan hal itu. Mendiang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ayahku karena menjunjung ajaran itu, telah bunuh diri dengan
penasaran. Kemudian akibatnya, almarhum mamaku pun mati
mereras, wanpwe hidup sebatang kara. Kesemuanya itu,
adalah gara-gara dalil ‘hubungan suhu dan murid’ itu.
Karenanya, pandangan wanpwe mengenai ajaran itu, amat
berbeda. Cianpwe adalah seorang sakti dikolong jagad,
tentulah dapat memberi kuliah ajaran padaku!"
Rendah bahasanya, namun telinga Goan Goan Cu seperti
ditusuk-tusuk jarum. Wajah berobah, sejenak dia diam
terpaku. Pada lain saat, tiba-tiba dia kedengaran menghela
napas.
„Sudahlah! Walaupun kau tak menghormat pinto, tapi rasa
kesayangan itu tak dapat kehilangan sumbernya. Apalagi kau
bukan segolonganku, jadi tak dapat mempersalahkanmu.
Bagaimanapun perkembangannya nanti, pinto tetap berusaha
ke arah kebaikan!"
Siau Ih membungkukkan tubuh, berseru lantang: ,,Atas
budi kecintaan cianpwe, wanpwe menjunjung tinggi. Apabila
nantinya memang ternyata mendiang ayahku itu berdosa,
wanpwe rela memikulnya!"
Goan Goan Cu tertawa rawan, ujarnya: „Hukum keadilan
itu hanyalah berlaku pada manusia yang masih hidup. Semoga
Tuhan meridhoi agar perkara dendam penasaran ini dapat
diselesaikan sebagaimana mestinya. Hitam putihnya, kelak
pasti akan ketahuan. Rasanya sang waktupun tak lama lagi
…….”
Berkata sampai disini, tiba-tiba Goan Goan Cu terhenti, lalu
bertanya: „Menilik kau mengambil jalan sini, rasanya tentu
akan menuju ke Tiam-jong-san, bukan?"
Siau Ih mengiakan.
„Bila menghadap kakekmu nanti, sampaikan padanya,
jangan lupa peristiwa di Siang Ceng Kiong tempo hari. Pinto
takkan mengecewakan orang dan tak mau dibikin kecewa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang. Tak lama lagi, pinto tentu akan menemuinya untuk
mengakhiri segala budi dendam. Nah, cukup sekian, mudahmudahan
kita masing-masing selalu selamat!"
Tanpa menunggu penyahutan Siau Ih, sekali kibaskan
lengan baju, ketua biara Siang Ceng Kiong itu sudah ayunkan
tubuh menghilang dalam kegelapan.
Siau Ih terlongong-longong dilamun berbagai perasaan.
Meniupnya angin malam, telah membuat Tan Wan yang
sedari tadi terlongong mengawasi saja, menjadi tersadar. Jelas
baginya kini, bahwa antara Siau Ih dengan Goan Goan Cu
tadi, terdapat hubungan budi dan dendam yang berliku-liku.
Kini terhadap pribadi dan keperwiraan penolongnya (Siau Ih)
itu, dia makin mengindahkan sekali.
„Siau-heng, Goan Goan Totiang sudah pergi!" bisiknya
seraya menghampiri dan menepuk bahu anak muda itu.
Siau Ih menghela napas dalam. Pelahan-lahan dia
palingkan kepala: „Bertahun-tahun diharap, sekali bertemu,
hanya menambah kedukaan saja …….”
„Segala apa harus diterima dengan lapang hati, jangan
keliwat dipikir susah-susah," Tan Wan menghiburnya.
„Untuk urusan lainnya, memang tepat begitu. Tapi
terhadap dendam ayah bunda, bagaimana aku dapat
melupakan?" Siau Ih menghela napas.
„Sejak Siau-heng menolong jiwaku, sampai sekarang
apabila kulihat Siau-heng termenung, walaupun aku turut
prihatin tapi tak berani membuka mulut. Tadi setelah Goan
Goan Cu muncul, barulah sedikit banyak siaote mengetahui
keadaan Siau-heng. Yang dikata sahabat sejati itu, adalah
susah-senang dibagi bersama. Oleh karena Siau-heng sudah
sudi menerima penghambaan siaote, maka sudilah kiranya
juga membagi kesusahan hati pada siaote!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat kesungguhan hati pemuda itu, tergeraklah hati Siau
Ih. Kemudian diapun tak segan lagi menuturkan riwajat
hidupnya dan sakit hati ayah bundanya yang kini belum juga
dapat terhimpas itu.
„Adanya aku hendak pergi ke Tiam-jong-san itu, pertama
hendak menyambangi kuburan mamaku dan kedua kalinya
hendak menghadap pada engkong guna minta petunjuk untuk
menyelidiki jejak musuh," katanya.
Tan Wan tampak merenung sejenak, lalu bertanya: „Tadi
Goan Goan Totiang pun mengatakan bahwa engkong Siauheng
itu tinggal di Tiam-jong-san. Apakah beliau itu bukannya
tokoh terkemuka dari sepuluh Datuk Shin-tok locianpwe itu?"
Siau Ih mengiakan.
Tan Wan menyatakan kegirangannya dapat ikut serta
menghadap tokoh yang amat dikaguminya itu.
Siau Ih menerangkan bahwa dia sendiripun baru pertama
kali itu hendak menyumpai engkongnya. Kemudian ajak
kawannya itu segera meneruskan perjalanan. Sembari
berjalan, dapatlah pembicaraan itu disambung lagi.
Tapi Tan Wan segera mengingatkan bahwa kuda mereka
masih berada dalam lembah sana.
Tampak bagaimana selat lembah itu masih menyala api dan
banyak ular-ular berbisa yang berserabutan lari
menyelamatkan diri.
Siau Ih menghela napas: „Rasanya kuda kita tak dapat
tertolong lagi, apa boleh buat, kita tinggalkan sajalah!”
Begitulah dengan gunakan ilmu berjalan cepatnya,
keduanya segera lari melintasi pegunungan Lou-san itu.
Sekeluarnya dari pegunungan itu, haripun sudah menjelang
terang tanah, petani sudah mulai turun ke sawah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk jangan membuat orang kaget, terpaksa Siau Ih dan
Tan Wan berjalan biasa. Kira-kira berjalan belasan
disepanjang jalan besar, tibalah keduanya disebuah kota kecil.
Sekalipun terletak ditempat yang mencil, kota pedalaman
itu cukup ramai. Keduanya mencari hotel. Setelah dahar dan
membeli dua ekor kuda lengkap dengan rangsum kering,
sorenya mereka lanjutkan perjalanan lagi.
Dalam perjalanan itu mereka cukup menikmati
pemandangan alam yang menghibur hati. Dan singkatnya
saja, setelah belasan hari menempuh perjalanan, gunung
Tiam-jong-san yang membujur seluas tigaratusan li ditengah
propinsi Hunlam, sudah tampak di depan mata.
Kedua anak muda itu keprak kudanya cepat-cepat.
Menjelang petang, tibalah mereka di kota Tay-li-koan. Disini
mereka menginap semalam.
Keesokan harinya, karena tak leluasa mendaki gunung
dengan berkuda, kedua ekor kuda mereka titipkan di hotel.
Oleh karena ingin lekas-lekas menyambangi kuburan ibunya,
maka begitu berada di luar kota yang sepi, Siau Ih segera
gunakan ilmu berlari cepat.
Kota Tay-li-koan tak berapa jauh dari Tiam-jong-san, maka
tak berapa lama kemudian, mereka sudah berada dikaki
gunung itu. Sewaktu mendaki ke atas, ternyata gunung itu
menjulang tinggi dengan megahnya, alam pemandangan
indah permai berhiaskan hutan belantara yang lebat.
Si Dewa Tertawa telah memberikan keterangan jelas letak
tempat kediaman si Rase Kumala, tapi karena terburu-buru
dan berat merasakan akan berpisah, Siau Ih sudah tak
menanyakan jelas. Kini dihadapi dengan keadaan pegunungan
yang membentang luas, penuh dengan hutan belantara itu,
dia terpaksa tertegun.
Waktu Tan Wan menyusul datang, dia lantas menanyakan
apa sebab sang kawan berhenti disitu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Ah, waktu turun gunung aku sudah tak menanyakan jelas
letak lembah Liu-hun-hiap kepada engkong luar. Untuk
mencari sebuah tempat pada gunung seluas begini, mungkin
tiga hari tiga malam belum tentu bertemu!” kata Siau Ih.
Tan Wan menyatakan bahwa sesuai dengan namanya,
tentulah si Rase Kumala itu berdiam disebuah lembah yang
terpencil. Asal dicari tentu ketemu.
Siau Ih mengiakan dan segera ajak kawannya menyusup ke
daerah pedalaman gunung. Namun setelah tiba jauh
dipedalaman, tetap mereka belum menemukan lembah itu.
Untuk melepaskan kekesalan hatinya, Siau Ih bersuit panjang.
Nadanya berkumandang jauh diempat penjuru. Jauh
memandang ke barisan puncak dan saluran air yang
membentang malang melintang. Siau Ih menghela napas
panjang.
„Sejauh mata memandang hanya barisan gunung yang
tampak, ah, dimanakah rumahku ………?”
Tan Wan ikut berduka dan menghiburi sang kawan.
Begitulah kedua anak muda itu, sesaat sama tegak terpaku
di atas sebuah karang buntu. Jauh disebelah bawah,
terbentang jurang yang cu¬ram.
Tiba-tiba terkilas sesuatu pada pikiran Tan Wan.
„Siau-heng, telah siaote katakan tadi bahwa karena tempat
kediaman Shin-tok locianpwe itu disebut lembah, tentulah
disitu terdapat gunung dan air. Tempat kita ini sebuah karang
yang tinggi, dan di bawahnya terdapat aliran air, janganjangan
inilah Liu-hun-hiap!"
Namun Siau Ih hanya tersenyum getir dan menyatakan
bahwa Liu-hun-hiap adalah sebuah tempat kedewaan yang
indah, bukan serawan seperti ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Tan Wan tetap membantahnya. Tempat kediaman
tokoh seperti si Rase Kumala, tentulah memilih yang sepi dan
tenteram.
„Apa yang Tan-heng katakan itu memang benar. Namun
sungai jurang itu amat lebar sekali, sekalipun engkong
memiliki kepandaian sakti, rasanya sukar juga untuk
melompatinya ……”
„Tempat ini benar berbahaya, tapi sangat luas. Kalau kita
menyelidiki, mungkin ada sesuatu jalan," tukas Tan Wan
seraya menarik lengan Siau Ih diajak berjalan kesebelah kiri.
Setelah berjalan entah berapa lama, tiba-tiba Tan Wan
berseru: „Siau-heng, tu lihatlah!”
Dengan berdebar-debar Siau Ih memandang ke muka.
Pada tepi karang yang terpisah lima tombak jauhnya, tampak
ada seutas rantai besi yang sebesar telur itik. Rantai itu
menyambung sampai ke karang sebelah sana. Kedua ujung
rantai itu, dipaku pada karang.
Rantai itu tergantung di atas sungai jurang, bergontaian
kian kemari. Girang Siau Ih bukan kepalang.
Ternyata rantai itu basah dengan embun, jadi licin sekali.
Kembali Siau Ih mengerut alis berkata: „Kedua tepi karang
ini terpisah begitu jauh dan rantai ini amat licinnya. Sekali
terlepas, orang pasti akan jadi tahi-udang di dalam jurang
…...”
Siau Ih terhening, memandang terkesiap pada Tan Wan.
Yang tersebut belakangan ini mengerti apa yang dipikirkan
Siau Ih. Dia tersenyum: „Harap Siau-heng jangan kuatirkan
diri siaote. Suhuku bergelar sin-seng-bu-ing (malaekat tanpa
bayangan). Siaote mendapat julukan Liok-ci-sin-bi. Bi adalah
sejenis kera, jadi amat tangkas. Jalan yang tampak berbahaya
itu, rasanya takkan mempersulit siaote!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih tertawa dan minta maaf, lalu menyatakan hendak
menyeberang lebih dahulu. Sekali loncat sampai tiga tombak
tingginya, dia melayang turun di atas jembatan rantai itu.
Begitu ujung kaki menginjak rantai, dengan bantuan
gerakan sepasang lengan, dia melayang turun di atas rantai.
Empat lima kali loncatan, dapatlah dia diseberang karang
sana.
Itulah ilmu ginkang it-wi-tok-kiang atau sebatang rumput
alang-alang menyeberang sungai.
Diam-diam Tan Wan memuji dan malu dihati sendiri. Dia
tak berani berbuat semacam itu dan menggunakan cara lain.
Dengan sepasang tangan memegang rantai, dia merayap
ke muka. Sekalipun begitu, cukup cepat juga jalannya, persis
seperti laku kera bergelantungan.
Begitu tiba didekat tepi sana, sekali gunakan jurus ki-lunto-
hoan atau roda berputar terbalik, dia ayunkan tubuh loncat
ke atas karang. Keringatnya berketes-ketes turun di dahi,
dadanya berkembang kempis.
„Hai, Tan-heng, caramu melintasi itu sungguh
mendebarkan sekali," kata Siau Ih.
Tan Wan mengusap keringatnya, lalu menyambut dengan
masih tersengal-sengal: „Ah, siaote tak mengira kalau rantai
itu begitu licinnya. Ketika tiba ditengah, hampir saja aku
terlepas jatuh ke bawah.”
Selanjutnya jalanan yang mereka tempuh ialah šebuah
jalan kecil. Sekira tigapuluhan tombak jauhnya, pada karang di
sebelah atas, tampak seutas jalan kecil, jadi nyata jalan kecil
itu menyusur ke atas panjang sekali.
Tiba-tiba dari karang yang tak seberapa jauh disebelah atas
sana, terdengar sebuah suara nyaring: „Besar sekali nyalimu
berani mengaduk ke Liu-hun-hiap!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar itu Siau Ih amat girang. Belum lagi dia
menyahut, sesosok bayangan sudah muncul beberapa meter
disebelah mukanya.
Seorang pemuda kira-kira berumur 26-27 tahun tegak
berdiri menghadang. Pemuda itu mengenakan baju dan celana
pendek warna hijau, alis tebal mata bundar. Dadanya lebar
kokoh, tegak bercekak pinggang.
Siau Ih buru-buru menghampiri maju dan memberi hormat,
serunya: „Mohon saudara sudi menyampaikan, bahwa anak
piatu dari orang she Siau hendak mohon menghadap."
Diambilnya sepucuk surat pemberian si Dewa Tertawa serta
batu Kumala yang pernah diberikan Siau Hong kepada Shintok
Lan selaku panjar kawin tempo dahulu. Kedua benda itu
diberikan kepada pemuda tadi.
Pemuda itu terkejut juga mendengar kata-kata ‘anak piatu
dari orang she Siau’ tadi. Dan demi melihat kedua barang
yang diangsurkan Siau Ih, dia makin terkesiap memandang
Siau Ih.
Akhirnya berselang beberapa jenak kemudian, barulah
pemuda itu menyambuti surat dan kumala, katanya sambil
mengangguk: „Sudah duapuluhan tahun majikanku tak pernah
menerima barang seorang tamu, tetapi .......
Dia terhening sejenak, memandang Siau Ih lalu berkata
pula: „Harap tuan berdua tunggu sebentar, aku hendak
melaporkan dulu!"
Dengan tangkasnya, orang itu sudah lantas lari pergi.
Siau Ih dan Tan Wan kagum melihat kegesitan pemuda itu.
Sepeminum teh lamanya, pemuda itu masih belum kembali.
Siau Ih gelisah dan baru saja dia hendak mengatakan sesuatu
pada Tan Wan, tiba-tiba pemuda baju hijau sudah muncul.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Majikanku mempersilahkan tuan berdua datang
bersamaku,” kata pemuda itu sembari terus berjalan lebih
dahulu.
Siau Ih dan Tan Wan dengan girang segera mengikut.
Ternyata jalan kecil itu amatlah panjangnya. Seratusan
tombak jauhnya masih belum habis, bahkan jalan itu makin
lama makin sempit dan suasananyapun makin lelap sunyi.
Menampak bahwa pada kedua tepi karang yang menjulang
tinggi itu tiada tumbuh barang sebatang rumputpun, diamdiam
Siau Ih heran. Teringat dia bagaimana tempo hari si
Dewa Tertawa mengatakan bahwa alam pemandangan di
lembah Liu-hun-hiap itu indah laksana tempat dewa.
Tiba-tiba pemuda penunjuk jalan itu membiluk disebuah
tikungan diikuti Siau Ih dan Tan Wan dengan tergopoh-gopoh.
Baru kedua pemuda itu membiluk dan mengawasi ke muka,
dilihatnya pemuda penunjuk jalan tadi sudah berdiri sambil
bersenyum di muka pintu sebuah pondok.
Ketika menghampiri datang, Siau Ih dan Tan Wan baru
mengetahui bahwa pintunya itu terbuat dari batu, lebarnya
lebih dari setombak. Pintu itu didirikan menyandar pada
karang. Di atas pintu itu terukir beberapa lukisan burung dan
bunga. Ukirannya amat indah, tampak seperti hidup. Di
pinggir pintu itu terdapat ukiran sajak:
Tempat keramat kediaman dewa di Tiam-jong-san.
Liu-hun-hiap tempat bahagia yang menembus nirwana.
Siau Ih dan Tan Wan, mempunyai kesan yang sama.
Sekalipun huruf-huruf itu hanya empat, ah, namun cukup
menggambar betapa tinggi angkuh sang penulisnya.
---ooo0dw0ooo---
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
19. Si Rase Kumala
Ketika pemuda penunjuk jalan itu menekan dengan jarinya,
kedua buah daun pintu batu yang berat itu terbuka pelahanlahan.
Begitu masuk, Siau Ih dan Tan Wan segera tertumbuk
dengan cahaya terang.
Sebuah padang yang subur dengan rumput dan bunga
beraneka warna, terbentang dihadapan. Angin mendesir,
bunga berlomba-lomba mengadu kecantikan, batang bambu
berbaris dengan daunnya yang rindang. Di bawah tempat
yang teduh, samar-samar tertampak sebuah pondok.
Sampai pada detik itu, barulah Siau Ih percaya apa yang
diucapkan si Dewa Tertawa dahulu. Keindahan selat Liu-hunhiap
itu benar-benar seperti sebuah lukisan.
Siau Ih yakin itulah Kam-jui-suan, pondok tempat
pertapaan enkongnya Iuar si Rase Kumala Shin-tok Kek.
Membayangkan bagaimana sebentar lagi dia bakal berjumpa
dengan engkongnya yang belum pernah dilihatnya itu, hati
Siau Ih berdebar keras.
Sepintas terbayanglah dia akan makam almarhum
mamanya. Sesaat tertegun, dia termangu-mangu seperti
terpaku di tanah.
Juga Tan Wan pun tak luput dari kegoncangan hati. Betapa
tidak? Sejenak lagi dia bakal berhadapan muka dengan tokoh
termasyhur yang memiliki kepandaian sakti dan berperangai
aneh. Bagaimana sikap tokoh yang menggetarkan dunia
persilatan itu?
Tampak kedua pemuda itu tertegun mengandung
kesangsian, tertawalah penunjuk jalan tadi, serunya:
„Majikanku tengah menunggu, harap kalian berdua ikut
padaku.”
Teguran itu telah membuat Siau lh berdua tersadar, buruburu
dia menghaturkan terima kasih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah mereka bertiga berjalan pula dengan
cepatnya. Setelah melalui padang bunga yang semerbak,
mereka segera tiba di muka sebuah pondok yang bersih.
Pondok itu terdiri dari lima buah ruangan besar kecil,
sederhana tapi cukup terawat resik. Pada pintu yang tertutup
tirai, di atasnya tergantung sebuah papan besar bertuliskan
tiga buah huruf
"Kam Jui Sian"
Di kedua samping pintu terdapat sepasang sajak dari
bambu, berbunyi demikian:
Bebas dari kemilikan, lepas tiada terikat, adalah laksana
salju cair di api air tertimpa matahari.
Pandangan mata yang lepas, hati nan bebas, setiap waktu
dapat menikmatl bayangan langit dipermukaan air.
Melihat itu, diam-diam Siau Ih membatin bahwa sekalipun
engkongnya itu tinggal mengasingkan diri, namun merasa
bebas lepas dari urusan duniawi. Menandakan bahwa si Rase
Kumala itu seorang pemuja keindahan hidup bebas.
Tiba di muka pondok, tiba-tiba tirai itu tersingkap dan
muncullah pula seorang pemuda bercelana pendek warna
hijau memberi hormat kepada Siau Ih berdua, ujarnya:
„Majikan kami mempersilahkan kongcu berdua masuk."
Pemuda pertama yang menjadi penunjuk jalan tadipun
segera menjajari kawannya yang baru muncul itu, tegak
berdiri di kanan kiri pintu sambil menyingkap tirai.
Setelah mengucap terima masih, Siau Ih ajak Tan Wan
melangkah masuk. Di dalam ruangan itu, terdapat sepasang
pintu angin terbuat dari batu marmer putih berlukiskan
pemandangan alam.
Dibalik pintu angin itu, terdapat sebuah ruangan yang
indah. Meja kursi di itu, terbuat daripada batu kumala hijau.
Beberapa buah lukisan pelukis ternama, menghias dinding.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebuah tempat perapian dan tempat alat minum dan lain-lain
benda yang antik (kuno). Ruangan itu dipisahkan menjadi dua
oleh sebuah tirai berukirkan lukisan bunga.
Siau Ih dan Tan Wan masuk ke dalam lagi. Ruangan disitu
lebih menyengsamkan lagi. Sebuah meja yang terbuat dari
jalinan akar pohon yang berumur seratusan tahun, dengan di
atasnya terdapat sebuah alat khim dan empat sudut kamarnya
berjajar beberapa pohon bunga yang aneh. Sederhana
sekalipun hiasannya, namun ruangan yang cukup sedang
besarnya itu, menjadi sebuah tempat yang tenteram suci.
Di dekat dinding terbentang sebuah tempat duduk dari
kayu mahoni yang bertutupkan selembar tikar dari anyaman
jenggot naga. Disitu tengah duduk seorang yang berwajah
agung. Dilihat dandanannya, dia itu mirip dengan orang
terpelajar, usianya disekitar empatpuluhan tahun. Dia tengah
memegang sepucuk surat dan sebuah kumala, wajahnya
merenung dalam.
Walaupun belum pernah bertemu muka, tapi sepintas
pandang dapatlah Siau Ih menduga bahwa orang itu tentu
engkongnya sendiri. Melangkah maju ke muka tempat duduk,
dia menjurah memberi hormat, ujarnya: „Cucu luar Siau Ih,
mengunjuk hormat pada engkong!"
Memang orang terpelajar itu bukan lain ialah orang tua
yang telah kehilangan puterinya, kemudian mengasingkan diri
me¬yakinkan sin-kang (ilmu sakti), si Rase Kumala Shin-tok
Kek. Pelahan-lahan tampak tokoh itu mengangkat kepala
sepasang matanya yang memancarkan sinar penuh perbawa,
agak dibukanya.
Lebih dahulu memandang ke arah Tan Wan yang tengah
berlutut disamping pintu, baru kemudian mengalihkan
pandangannya ke arah Siau Ih, lalu berkata dengan nada
berat: „Angkatlah kepalamu ke muka!"
Siau Ih mengiakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demi dia mendongak, tampak si Rase Kumala
memandangnya lekat-lekat, dari ujung kaki sampai ke atas
kepala. Rupanya dia tengah mencari sesuatu pada anak muda
itu.
Beberapa jenak kemudian, dia tiba-tiba ulurkan tangannya
kanan yang halus mengelus-elus kepala Siau Ih. Ujarnya
dengan didahului helaan napas: „Anak mengganti ayah, itu
sudah sewajarnya. Kau mirip benar dengan Siau Hong."
Berkata sampai disini, sepasang alisnya yang melengkung
bagai batang pedang itu tampak agak menyungkat, lalu
katanya pula: „Apa maksudmu datang kemari?”
Beberapa butir air mata menitik dari pelapuk Siau Ih,
sahutnya dengan sayu: „Menghadap pada engkong, menebar
bunga dikuburan mama dan masih lagi …… dendam ayah
bunda yang harus dihimpaskan. Atas titah kakek Dewa
Tertawa, Ih-ji disuruh menghadap kepada engkong untuk
mohon petunjuk."
Mendengar kata itu, wajah si Rase Kumala agak berobah,
menampilkan rasa benci. Dengan menganggukkan kepala dia
berkata: „Puluhan tahun tetap tak melupakan, menandakan
bahwa kau mempunyai rasa bakti terhadap orang tua. Hanya
saja …..... sejak berpisah tempo dahulu, mengapa dia si Bok
Tong itu menyembunyikan diri. Pula, mengapa baru hari ini
dia mengatakan tentang dirimu."
Tak kurang rawannya, Siau Ih menjawab: „Kata kakek
karena peristiwa mamaku itulah maka dia malu menemui
engkong ……”
Belum lagi dia selesaikan kata-katanya, si Rase Kumala
sudah menukasnya dengan sebuah tertawa nyaring. Nada
ketawanya melengking menyusur atap.
Puas tertawa, berkatalah dia dengan nada geram: „Jika
benar dia mempunyai perasaan begitu, mengapa tak dulu-dulu
membunuh diri saja?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar si Dewa Tertawa itu bukan orang tuanya sendiri,
namun karena diasuh dan dirawat berpuluh tahun, rasanya
kecintaan Siau Ih terhadap orang tua itu sudah sangat
mendalam. Mendengar engkongnya seperti menyesali
perbuatan si Dewa Tertawa. Siau Ih tidak puas.
„Apa yang terjadi tempo dahulu, baik jangan diungkat lagi.
Taruh kata beliau benar bersalah karena lalai melindungi
ibuku, tapi beliau orang tua itu sudah menebus dosanya.
Belasan tahun mengasing diri di pegunungan sepi, rela
melepas kewajibannya sebagai orang persilatan, rela pula
memikul beban sukar untuk merawat dan mengasuh seorang
anak piatu. Perbuatan itu rasanya sudah cukup untuk
membayar kedosaannya. Apalagi, masih beliau mengantarkan
jenazah mamaku ke Tiam-jong-san dan bersedia untuk
menerima hukuman. Mengapa beliau tak dulu-dulu
mengemukakan perihal diri Ih-ji, rasanya engkong tentu
maklum sendiri. Maafkan, Ih-ji hendak kelepasan omong.
Manusia itu bukan dewa, bagaimanapun juga sesekali tentu
takkan terluput dari kesalahan, engkong kau ………..”
Baru berkata sampai disini, tiba-tiba si Rase Kumala
memberi isyarat supaya Siau Ih berhenti bicara. Wajah tokoh
aneh ltu menampilkan kekerenan.
Siau Ih terkesima.
Sekonyong-konyong mata si Rase Kumala menyapu ke arah
Tan Wan. Mulutnya tampak bergerak-gerak seperti hendak
mengatakan sesuatu.
Tan Wan yang sejak masuk di ruangan itu terus berlutut di
belakang Siau Ih, kini buru-buru mengisut ke muka lalu
menganggukkan kepalanya berkata: „Wan-pwe Tan Wan
dengan hormat datang menghadap."
Siau Ih heran juga terhadap sikap engkongnya yang aneh
itu. Kuatir kalau terbit salah paham, buru-buru dia memberi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penjelasan. Mendengar itu tampaknya si Rase Kumala berobah
tenang lalu menyuruh kedua pemuda itu berdiri.
Siau Ih dan Tan Wan lalu mengambil tempat duduk
disebelah itu.
Kembali si Rase Ktunala menatap ke arah Tan Wan dan
menanyakan siapakah suhu dari anak muda itu.
Dengan sikap menghormat sekali, Tan Wan menuturkan
asal usul dirinya.
Si Rase Kumala tampak mengangguk, ujarnya: „Melihat
sikapmu dan tulang-tulangmu amat bagus, rasanya dapat
digembleng. Asal dapat melatih diri dengan disiplin keras, hari
depanmu pasti gemilang."
Siau Ih longgar perasaannya dan turut bergirang atas rejeki
sang kawan yang di ‘sir’ (disukai) oleh engkongnya itu.
Sedangkan Tan Wan sudah lantas berbangkit dan menyatakan
kesediaannya dengan tetap: „Wanpwe dengan penuh ketaatan
sedia menerima kebaikan cianpwe dan berjanji akan belajar
sungguh-sungguh. Kelak wanpwe tentu tak bakal
mengecewakan kebaikan cianpwe itu."
Si Rase Kumala bersenyum dan menyuruhnya duduk
kembali. Kemudian dengan wajah bersungguh dia berkata
kepada Siau Ih: „Kata-kata pembelaanmu untuk si Bok Tong
tadi, meskipun kedengarannya penuh dengan ikatan budi, tapi
mengandung sifat menentang!"
Sudah tentu kejut Siau Ih yang baru saja bergirang itu,
bukan kepalang. Buru-buru dia tundukkan kepala menyahut:
„Apa yang Ih-ji ucapkan tadi adalah keluar dari setulus hatiku.
Apabila engkong menganggap hal itu menentang, Ih-ji rela
terima kesalahan."
Sejenak menatap si anak muda, tiba-tiba wajah si Rase
Kumala menampil seri senyum, katanya: „Kau bersedia
menerima kesalahan, tapi tentunya kau tak mengetahui
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
adalah aku mempersalahkan kau atau tidak! Kukira kau tentu
sudah banyak mendengar tentang sepak terjang engkongmu
ini dahulu. Mungkin orang menganggap aku ini seorang yang
berhati dingin berwatak aneh tak mengenal budi kecintaan.
Tapi pada hakekatnya tidak begitu halnya. Benar setiap
tindakanku itu sepintas pandang hanya seperti menuruti
kepuasan hatiku saja. Namun sebenarnya setiap apa yang
kulakukan itu, telah kupertimbangkan masak-masak.
Kuadakan garis tajam mana budi mana dendam, tak nanti
kulalaikan cengli (nalar). Dan, ketahuilah bahwa aku ini
seorang yang paling menjunjung ikatan rasa kecintaan.
Ucapanmu tadi memang bersifat pembelaan, tapi keluar dari
hati sanubarimu. Manusia tetap takkan melupakan ikatan
kebaikan.”
Sampai disini, barulah membuktikan sendiri bahwa
engkongnya itu benar-benar seorang biasa dengan watak
yang luar biasa Kini tak berani lagi dia membantahnya.
Saat itu, mendadak si Rase Kumala angkat tangannya
memukul tiga kali dan masukkan kedua pemuda bercelana
pendek tadi.
„Inilah cucuku luar Siau Ih dan ini sahabatnya Tan Wan,"
katanya sembari menuding pada Siau Ih dan Tan Wan. Kedua
pemuda bercelana pendek itu tersipu-sipu memberi hormat
dan menyebut kongcu (tuan muda) pada Siau Ih berdua.
Kemudian si Rase Kumala memperkenalkan kedua
orangnya itu kepada Siau Ih berdua.
„Dia bernama Liong-ji." katanya sambil menunjuk kepada
pemuda berparas cakap, Liong-ji artinya si Naga.
Kemudian menuding ke arah pemuda yang bermata bundar
besar, beralis tebal dia berkata: „Dia bernama Hou-ji (si
Harimau). Sejak kecil mereka berdua ikut padaku. Karena
tiada berorang tua dan tiada mempunyai she, maka ikut aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
she Shin-tok. Kamu berdua boleh membahasakan Liong-ko
dan Hou-ko pada mereka!"
Berhenti sejenak merenung, berkata pula si Rase Kumala:
„Menyambangi kuburan orang tua, adalah kewajiban anak.
Nah, kini boleh kusuruh Liong-ji dan Hou-ji membawamu
kesana."
Berkata sampai disini, nada si Rase Kumala mengunjuk rasa
kekeluargaan.
Siau Ih berlinang-linang air matanya. Antara engkong
dengan cucu, telah terdapat perpaduan kalbu.
Tan Wan pun ikut terharu. Untuk menyimpangkan suasana
haru itu, dia buru-buru ajak Siau Ih untuk lekas-lekas ikut
pada si Liong dan si Hou.
Kira-kira sepeminum teh lamanya berjalan melalui
beberapa tikungan di belakang pondok Kam Jui Sian, tibalah
mereka berempat di sebuah hutan bunga. Dibilang hutan
bunga karena lapangan yang cukup luasnya itu penuh
ditumbuhi ratusan batang pohon tinggi yang tengah berbunga.
Warnanya biru muda, besarnya hampir menyerupai
mangkuk, sungguh suatu jenis bunga yang aneh. Bergontaian
dihembus angin, bunga itu menebarkan bau yang harum.
Ditengah hutan bunga itu, terdapat sebuah bungalow
(Pagoda kecil) yang terbuat dari batu marmar hijau, berpayon
atap biru. Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou berbenti di muka
hutan.
Sementara dengan sepintas pandang, tahulah Siau Ih
bahwa bangunan indah itu tentulah makam ibunya. Tanpa
terasa air mata bercucuran membasahi kedua belah pipinya.
Setelah puas melepaskan kedukaannya, barulah dia
melangkah masuk menghampiri bangunan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar juga ditengah ruangan itu, terdapat sebuah makam
dari batu marmar hijau. Di muka makam, terdapat sebuah
batu nisan bertuliskan:
‘Makam puteriku tercinta Lan-ji'
Tak dapat lagi Siau Ih membendung air matanya yang
membanjir turun. Segera dia masuk dan bertekuk lutut
menangis tersedu-sedu. Ratap tangis dihutan bunga nan sunyi
senyap itu, telah menimbulkan suatu suasana haru rawan.
Tan Wan, Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou ikut-ikutan
menetes air mata.
Puas menangis, Siau Ih mencabut pedang thiat-coat-kiam.
Melintangkannya di dada, dia segera mengikrarkan
sumpahnya untuk membalas dendam ayah bunda.
Habis bersumpah, digunakannya pedang itu pada jari
tengah. Beberapa titik darah menetes di muka batu nisan.
Kemudian setelah bersujud dengan khidmatnya, barulah dia
berdiri.
Tan Wan segera memberi hormat.
Begitulah setelah agak lama mengelu-elu makam mendiang
ibunya, barulah Siau Ih dan kawan-kawan kembali ke pondok.
Karena berjumpa dengan cucu satu-satunya, waktu makan
siang, si Rase Kumala sengaja datang menemani. Untuk
pertama kali sejak kehilangan puteri kesayangannya, barulah
saat itu dia merasa gembira, namun pada lahirnya dia tetap
tenang.
Selama makan itu, disuruhnya Siau Ih menuturkan masa
kecilnya serta pengalamannya selama turun gunung itu.
Diam-diam si Rase Kumala puas akan pengorbanan si Dewa
Tertawa mendidik anak itu. Tapi demi mendengar sampai di
bagian Siau Ih bertemu dengan Goan Goan Cu, si Rase
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kumala menyela dengan kejutnya: „Masakah ia mandah saja
menerima kata-katamu yang menusuk hati itu?"
Merenung sejenak, Siau Ih menerangkan bahwa disaat
hendak pergi, kepala biara Siang Ceng Kiong itu titip omongan
padanya, kelak dia tetap akan menyelesaikan peristiwa di
Siang Ceng Kiong tempo dahulu.
Mendengar itu, si Rase Kumala tertawa dingin, ujarnya:
„Kematian mendiang ayahmu itu, terang dicelakai orang. Tapi
siapa durjana itu, hingga kini masih belum ketahuan. Justru
inilah yang menjadikan kita, angkatan tua, merasa malu. Kini
sudah berselang puluhan tahun, namun dia (Goan Goan Cu)
masih berlagak tinggi. Yang nyata biar bagaimana juga, dia
tak terluput dari kesalahan telah menghukum murid secara
sewenang-wenang. Selebihnya, apa yang diucapkan itu
hanyalah sebagai pelabi (alasan) menutup malunya saja.''
Sebenarnya saat itu, demi melihat wajah engkongnya
menampilkan dendam kemarahan, Siau Ih sudah lantas mau
minta petunjuk untuk rencana melakukan pembalasan.
Tapi kala itu, si Rase Kumala mempunyai pikiran lain.
Ditatapnya anak muda itu lekat-lekat.
„Ibumu adalah anak perempuanku tunggal, sementara kau
adalah satu-satunya darah dagingnya. Harapanku ialah
hendak menjadikan kau seorang manusia gemblengan. Kaum
muda di kalangan persilatan, walaupun lebih dahulu belajar
ilmu silat, tapi sekali-kali tak boleh meninggalkan ilmu sastera.
Kedua hal itu, harus dituntut bersama barulah dapat dikata
sempurna jasmaniah dan rokhaniah. Yang dibilang ilmu, ialah
ilmu silat dan ilmu sastera itu. Untuk mencapai kedua hal itu,
pertama-tama harus melatih watak pribadi. Hanya saja
membentuk kepribadian itu laksana menempa emas. Beratus
kali menempanya, barulah dapat sempurna.”
„Kau memiliki kecerdasan dan berbakat bagus. Apalagi
sejak kecil telah mendapat warisan seluruh kepandaian si Bok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tong. Ibarat pisau, makin tajam makin berbahaya kalau salah
yang menggunakan, kaupun demikian juga. Setelah memiliki
ilmu silat yang tinggi, haruslah membentuk kepribadian yang
kuat. Oleh karena itu, sejak hari ini kusuruh kau tinggal di
pondok Chui-hun-lou yang berada di belakang selat ini. Tiap
hari akan kuberimu pelajaran surat. Kuberi batas waktu satu
tahun, kalau selama itu kau mematuhi apa yang telah
kutetapkan itu, kelak seluruh kepandaianku akan kuberikan
semua padamu. Kemudian kauboleh turun gunung melakukan
pembalasan. Tapi ingat, selama setahun itu, kau hanya
diperbolehkan bergerak seluas sepuluh tombak di muka
pondok itu. Apabila berani melanggar, akan menerima
hukuman berat."
Siau Ih tak menyana sama sekali bahwa engkongnya
mengemukakan hal seperti itu. Benar engkongnya itu
mempunyai maksud baik, tapi dalam kebatinan Siau Ih
mengeluh. Masakah untuk membalas sakit hati orang tuanya,
dia harus belajar sastera sampai satu tahun lamanya.
Namun demi memperhatikan wajah sang engkong
mengerut keren, dia bercekat dalam hati. Tanpa terasa, dia
tundukkan kepala dan menelan kembali kata-kata yang
sedianya hendak diajukan.
Si Rase Kumala bukan bintang cemerlang dari sepuluh
Datuk, kalau dia tak dapat membaca hati cucunya itu.
„Apakah kau merasa enggan?" tanyanya dengan berat.
Dalam kejutnya Siau Ih buru-buru mendongak dan
menyahut lantang: „Ih-ji tak berani menentang, hanya ……..”
Dia berhenti sejenak, tapi ketika hendak melanjutkan lagi
dilihatnya wajah si Rase Kumala berobah membesi, sepasang
matanya membeliak. Dengan isyarat tangan, tokoh itu segera
menukas: „Karena tiada keberatan, baik jangan banyak
omong lagi!”
Habis itu, segera dia panggil Shin-tok Liong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Bawalah adikmu Ih ini ke Jui-hun-lou sana. Selama satu
tahun, baik mengenai pelajaran yang kutetapkan dan makan
pakainya, kaulah yang mengurus. Tapi dia dilarang keluar
seluas sepuluh tombak dari pondoknya. Apabila berani
melanggar, aku akan minta pertanggungan jawab padamu,"
katanya.
Shin-tok Liong terkesiap. Dengan penuh keheranan dia
melirik ke arah Siau Ih, tapi baru saja dia berniat membuka
mulut, si Rase Kumala sudah mengisyaratkan supaya dia lekas
kerjakan apa yang diperintahnya itu.
Dengan agak mendongkol, Siau Ih berbangkit, katanya:
„Titah engkong itu, Ih-ji tak berani membantah, tapi …….”
„Apa isi hatimu, aku cukup mengerti. Benar sakit hati orang
tua itu, harus diutamakan. Tetapi ketahuilah, bahwa kematian
ayahmu itu mempunyai sebab-akibat yang berliku-liku. Dan
lagi orang orang yang tersangkut, bukan tokoh sembarangan.
Sekali terjadi penyelesaian, tentu akan menimbulkan
kegoncangan besar yang belum pernah terjadi di dunia
persilatan. Pun pihak lawan itu dapat menyimpan rahasia itu
sebaik-baiknya. Untuk menjaga gengsi, aku tak berani
bergerak sembarangan. Harus mempunyai rencana yang
cermat, baru boleh bertindak. Selamanya aku tak mau berbuat
kalau belum mempunyai pegangan yang meyakinkan. Tentang
bagaimana sifat seluk-beluknya itu, kelak kau pasti
mengetahui sendiri. Pendek kata, pasti tak membuatmu
kecewa ……."
Tiba-tiba dengan bergelora, Siau Ih menyela: „Pihak lawan
yang engkong maksudkan itu, tentulah durjana yang
mencelakai ayah. Menurut gejala pada masa terjadinya
peristiwa itu, apakah Siao-sat-sin Li Hun-liong tiada
tersangkut?"
Dengan penuh perhatian, Siau Ih menunggu jawaban yang
positif dari engkongnya. Tapi di luar dugaan, si Rase Kumala
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tertawa dingin, serunya: „Bukti apa yang kau dapat
kemukakan bahwa Li Hun-liong yang melakukan hal itu?"
Pertanyaan itu telah membuat Siau Ih bungkam dalam
seribu bahasa. Sesaat kemudian kembali si Rase Kumala
menghela napas panjang.
„Aku tak mau main menyangka saja, tapi harus memiliki
bukti yang kuat, baru dapat menuduh positif. Kedua song-sat
itu bukan tokoh picisan, tentu mereka tak begitu saja mandah
melihat puteranya dicelakai orang. Dan taruh kata memang
berbukti anak itu yang berbuat, juga harus diselesaikan
dengan pertandingan jiwa. Belasan tahun aku menyikap diri
ditempat yang sepi sini, bukan berarti sudah melupakan
dendam itu. Sedianya tiga tahun lagi, aku hendak turun
gunung untuk yang kedua kalinya guna menghabiskan
dendaman itu. Kini sekall pun rencana itu masih belum
berobah, namun pelakunya terpaksa harus diganti. Tugas
berat itu, kini akan kuletakkan padamu. Ah, banyak bicara
kurang bermanfaat, kuharap kau dapat melatih diri baik-baik.”
Betapapun rongga dada Siau Ih penuh dengan seribu satu
pertanyaan, namun sikap engkongnya itu telah membuatnya
tak dapat berbuat apa-apa lagi. Setelah memberi hormat, dia
tinggalkan ruangan itu. Tiba di muka pintu, dia tertegun
sebentar memandang ke arah Tan Wan, kemudian berjalan
keluar mengikut Shin-tok Liong.
Tan Wan tergerak hatinya. Segera dia berbangkit dan
mengajukan permintaan pada si Rase Kumala agar diijinkan
mengawani Siau Ih.
Si Rase Kumala tak mau lekas-lekas menjawab, melainkan
menatap tajam-tajam ke arah pemuda itu.
„Tak usah, biar dia seorang diri saja. Dengan begitu,
mungkin dia akan lebih berhasil melatih diri. Ih-ji amat cerdas,
tapi kurang toleransinya. Benar setingkat lebih atas dengan
pemuda kebanyakan, tapi masih jauh sempurna dari pikiran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang bijak. Karena digembleng Bok Tong, dia tentu tergolong
jago kelas satu. Justeru inilah yang mempertebal sifat
kecongkakannya. Congkak mudah menjurus keganasan,
mudah menuruti kemauannya sendiri.”
„Hal itu telah kualami sendiri. Selama bertahun-tahun
menyepi ini, pikiranku makin sadar. Oleh karena itu, banyaklah
sudah terjadi perobahan pada watak perangaiku. Apa yang
telah berhasil kucapai itu, hendak kuajarkan pada orang lain.
Mungkin kau mengira bahwa aku keliwat tawar terhadap Ih-ji,
tapi pada, hakekatnya tidak demikian. Ingatlah akan
peribahasa yang mengatakan behwa, kalau tak digosok batu
kumala itu takkan jadi barang berharga. Apa yang kelak
dicapainya, pasti amat berguna baginya."
„Wanpwe tak berani menduga yang tidak-tidak," buru-buru
Tan Wan menyatakan.
„Ah, kau tentu belum yakin benar," tukas si Rase Kumala.
Diterka isi hatinya, wajah Tan Wan menjadi merah padam.
Dia tundukkan kepala tak berani bercuit.
Si Rase Kumala tertawa.
„Tak usah kau resahkan hal itu. Memang bagi siapa yang
sudah mempunyai penerangan batin, tentu mengerti ceng-li
(logika). Buktinya, Liong-ji sama sekali tak kaget mendengar
perintahku tadi. Setelah sadar akan maknanya, tentulah orang
tak menganggap aku buta perasaan," kata si Rase Kumala.
Rasa mengindahkan terhadap tokoh termasyhur dari
kalangan sepuluh Datuk itu, makin besar dalam hati Tan Wan.
Serta merta dia menghaturkan maaf terhadap si Rase Kumala.
„Manusia tak luput dari kesalahan. Yang penting, ialah
dapat memperbaiki kesalahan itu. Kau mempunyai tulang
bagus. Sementara akupun belum mendapatkan calon
ahliwaris. Puteriku satu-satunya, siang-siang sudah menutup
mata. Darah keturunanku yang semena-menanya hanyalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih seorang. Oleh karena itu, kubermaksud hendak
menggernblengmu!”
Mungkin pada saat itu, Tan Wan merasa dirinya sebagai
seorang yang paling berbahagia di atas bumi. Mengapa tidak?
Bagi orang persilatan, ilmu pelajaran silat merupakan benda
yang paling dihargakan. Bakal diangkat menjadi pewaris dari
tokoh semacam si Rase Kumala, siapa orangnya yang tidak
kegirangan setengah mati!
Namun Tan Wan bukan seorang yang mudah melupakan
budi. Terhadap suhunya yang dulu, dia belum berhasil
membalaskan sakit hati. Kalau dia sekarang berguru pada lain
orang, bukankah akan meninggalkan budi kebaikan gurunya
yang lama?
Tapi kalau saat itu dia menampik kebaikan si Rase Kumala,
mungkin dia akan menyesal seumur bidup. Ah, serba sulit. Tan
Wan tundukkan kepala tiada memberi pernyataan apa-apa.
Si Rase Kumala cukup mengetahui apa yang diresahkan
anak muda itu. Mengangguk dia dengan tersenyum simpul,
serunya: „Bukankah kau mengenangkan mendiang suhumu?”
Dengan suara rawan Tan Wan mengiakan.
„Minum air, mengenangkan sumbernya, berarti tak
melupakan asal-usulnya. Itulah suatu pertanda yang baik bagi
seorang murid. Sekali aku hendak menjadikan kau, tetap akan
menjadikan sampai sempurna. Begini sajalah. Anggap saja
kau ini menjadi anak angkat dari almarhum puteriku Shin-tok
Lan, dengan begitu berarti kau tak berguru pada lain
perguruan, sedang rencanaku pun tetap berjalan. Mengenai
upacara, kita nanti pilih hari baik!”
Tersipu-sipu Tan Wan berlutut dihadapan si Rase Kumala
untuk menghaturkan terima kasihnya. Girangnya bukan
kepalang. Si Rase Kumala segera suruh Shin-tok Liong
menyediakan tempat tinggal bagi Tan Wan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah lembah Liu-hun-hiap yang belasan tahun hidup
cialam ketenangan, pada hari itu diliputi oleh suasana
kegirangan. Tan Wan tinggal di muka lembah, sementara Siau
Ih dibagian belakang pondok Jui-hun-lau.
---oo0dw0oo--
20. Kekecewaan Terhadap Engkong
Tempo berjalan amat cepat sekali. Rasanya hanya dalam
beberapa kejap saja dan sang musim rontok sudah
menyerahkan tugasnya pada musim dingin. Namun musim
dingin itupun tak kuasa mengganggu pemandangan indah
permai dari lembah Liu-hun-hiap.
Memang Siau Ih bergirang atas rejeki Tan Wan yang
diterima menjadi murid engkongnya itu. Tapi dia sendiri
sebaliknya merasa sebal memikirkan nasibnya.
Bagi seorang pemuda yang biasanya hidup dalam alam
kebebasan, tentu merasa jemu disekap dalam sebuah tahanan
berupa pondok Jui-hun-lou itu. Lebih-lebih pelajaran yang
diberikan oleh engkongnya itu, adalah terdiri dari pelajaran
kitab kerokhanian yang sukar ditelaah.
Ditambah pula Shin-tok Liong yang diwajibkan mengurus
kepentingannya itu, bersikap dingin sekali. Kecuali tiap hari
membersihkan ruangan pondok, menyediakan makanan dan
mengantarkan bahan pelajaran dari si Rase Kumala,
sepatahpun Shin-tok Liong itu tak mau ngajak Siau Ih bicara.
Bermula Siau Ih masih mengharap pemuda itu dapat diajak
bercakap-cakap barang sebentar untuk melepas kesepian, tapi
tiap kali dia membuka mulut, tentu Shin-tok Liong cepat-cepat
menyahut masih ada lain kerjaan atau dinanti oleh majikannya
si Rase Kumala. Lama kelamaan Siau Ih merasa bahwa
pemuda itu memang sengaja hendak menyingkir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah tentu dalam hal itu, karena di perintah oleh
engkongnya. Akhirnya Siau Ih pun tak mau menegur sapa lagi
kepada Shin-tok Liong. Dengan begitu rasa kesepiannya pun
makin besar.
Alam disekeliling pondok itu, sebenarnya indah bagaikan
sebuah lukisan. Tapi karena tiap hari memandangnya, jadi
diapun merasa bosan.
Baru dua tiga bulan berjalan, Siau Ih sudah merasa seperti
dua tiga tahun lamanya. Kesunyian itu hampir saja
membuatnya kalap. Beberapa kali dia mengandung pikiran
untuk menerobos kebagian depan dari lembah bahkan
meloloskan diri sekali, namun setiap kali terbayang akan
wajah engkongnya yang berwibawa itu, hatinya menjadi
gentar.
Berulang kali dia coba menekan perasaannya, namun sang
hati tetap berontak saja menginginkan kebebasan.
Pada hari itu, Siau Ih tengah berdiri di muka pondoknya.
Diam-diam dia memperhitungkan bahwa waktunya berjanji
bertemu dengan si Dewa Tertawa di gunung Ban-ke-san
sudah hampir tiba. Suatu hal yang membuatnya makin resah
gelisah.
Berjam-jam lamanya dia mondar-mandir dalam pondok
mencari pikiran. Benar dia menaruh perindahan besar
terhadap pribadi engkongnya itu, namun kecintaannya
terhadap si Dewa Tertawa sudah membekas dalam.
Ah, alangkah baiknya kalau ayah angkatnya di Dewa
Tertawa itu dapat berkunjung dipondok Jui-hun-lou itu.
Akhirnya dia mengambil putusan hendak menghadap engkong
untuk mengajukan suatu permohonan.
Dengan keputusan itu, barulah hatinya dapat tenang
kembali. Dihampirinya meja tulis lalu menulis beberapa patah
perkataan di atas secarik kertas. Tulisan itu berbunyi begini:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Rambut putih bertebaran, bersandar dipintu menjelang
harapan. Pulang sudah anakku yang mengembara? Ah,
diempat penjuru masih tetap tenang."
Dimasukkannya surat itu dalam sampul. Kebetulan saat
itupun Shin-tok Liong datang mengantar makanan siang.
Buru-buru dia menyambuti kiriman itu sembari menghaturkan
terima kasih atas jerih payah orang.
Teguran itu telah membuat Shin-tok Liong terkesiap karena
sudah sebulan lebih Siau Ih tak berbicara padanya. Biasanya
pemuda itu (Siau Ih) bermuram durja, mengapa hari ini dia
tampak berseri wajahnya?
„Siaote hendak minta bantuan, entah apakah Liong-koko
sudi membantu?"
Kembali Shin-tok Liong terkesiap. Pertolongan apa yang
diminta oleh pemuda itu? Tak berani gegabah menyanggupi,
Shin-tok Liong hanya memandang ke arah Siau Ih sembari
mendengus.
„Apa yang siaote hendak mohon itu, bukanlah suatu yang
sukar, melainkan hendak minta Liong koko menyampaikan
surat ini kepada engkong," buru-buru Siau Ih menjelaskan.
Shin-tok Liong menghela napas longgar, lalu menyahut:
„Ah, tak jadi apa, tentu kukerjakan.
Begitulah setelah Siau Ih menerimakan suratnya, Shin-tok-
Liong pun segera berlalu. Sesore itu, Siau Ih menunggu
dengan hati berdebar. Biasanya menjelang magrib tentu Shintok
Liong datang menghantar makanan, tapi anehnya kala itu
dia tak kunjung muncul.
Siau Ih makin gelisah. Untunglah tak lama kemudian
tampak sesosok bayangan berkelebat tiba di muka pondok.
Baru Siau Ih hendak turun dari loteng, atau Shin-tok Liong
sudah muncul dihadapannya.
„Liong koko, apa kabar?” tanyanya dengan tergesa-gesa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan tertawa Shin-tok Liong mengeluarkan sepucuk
sampul dan diberikan kepada Siau Ih. Hati anak muda itu
makin berdebar keras. Begitu menerima sampul, dia tak mau
lekas-lekas membuka melainkan menatap lekat pada Shin-tok
Liong.
Rupanya Shin-tok Liong mengerti apa yang dimaukan
pemuda itu. Buru-buru dia menerangkan bahwa dia tak
mengetahui apa isi surat dari majikannya itu.
Dengan berdebar-debar, Siau Ih membuka sampul.
Selembar surat warna biru muda, bertuliskan perkataan
sebagai berikut:
„Selama tiga bulan kau belajar, ternyata tidak mendapat
suatu apa. Setiap hari pikiranmu melamun, apakah sebabnya?
Telah kusuruh Hou-ji mencari Bok Tong, dalam waktu singkat
tentu akan dapat bertemu padamu. Jangan keliwat dipikirkan.
Adanya kusuruh kau belajar, ialah supaya kau dapat
melatih watak pribadian, otak terang pikiran tenang. Jangan
suka melamun, jangan meraikirkan yang tidak-tidak. Disitulah
kau baru dapat berhasil.
Demikianlah permintaanku. Camkan benar-benar."
Walaupun bakal berjumpa dengan ayahnya angkat si Dewa
Tertawa, namun Siau Ih masih belum puas karena dendam
ayah bundanya belum diketahui bilamana akan diusahakan.
„Kutahu bahwa engkong bermaksud baik terhadap diriku
tapi mengapa soal itu tidak dijalankan saja setelah nanti
pembalasan sakit hati ayah bunda itu selesai? Dengan cara
begini, apakah engkong itu tidak keliwat dingin terhadap
diriku?" ujarnya dengan geram.
Shin-tok Liong menaruh simpati terhadap pemuda itu,
namun karena sudah diperintah oleh majikannya, diapun tak
dapat berbuat apa-apa. Beberapa saat kemudian, dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tinggalkan pondok itu lagi. Lama Siau Ih berdiri tertegun
seorang diri.
Tiba-tiba dia mendapat pikiran, ujarnya sendiri: „Dendam
ayah bunda adalah suatu kewajiban besar. Dengan
memerintahkan begini, entah bilamana engkong dapat
menyelesaikan pembalasan sakit hati itu. Dari pembicaraannya
tempo hari, nyata engkong juga menaruh dendam terhadap
kedua Song-sat itu. Juga dalam penyelidikan masa itu, terang
Siao-sat-sin Li Hun-liong itu tak terlepas dari dakwaan.
Engkong menghendaki bukti yang kuat baru mau bertindak.
Ah, mengapa aku tak mau nyerempet bahaya sedikit,
tinggalkan tempat ini untuk melakukan penyelidikan. Asal
berhasil menemukan bukti, biar engkong memarahi, tapi
rasanya aku sudah dapat menunaikan kewajibanku sebagai
anak terhadap orang tua …….”
Namun pada lain kilas, dia berpikir sendiri: „Rencana tadi
memang bagus, tapi bagaimana caraku untuk menerobos dari
pintu batu selat Liu-hun-hiap itu? Bukankah pintu itu dijaga
oleh Liong koko ……”
Kembali Siau Ih gelisah hatinya. Beberapa kali dia naik
turun loteng memikirkan daya yang sempurna, namun sia-sia
jua. Baru ketika menjelang jauh malam, dia mendapat
ketetapan hati.
„Dalam surat tadi engkong mengatakan kalau Hou koko
tengah menuju ke Ban-ke-san, jadi yang menjaga pintu selat
hanyalah Liong koko seorang. Tadi kuperhatikan dia agak
menaruh simpati padaku, ah, asal aku dapat mengomonginya
……….”
Memikir sampai disini, kembali hatinya bergoncang keras.
Teori sih bagus, tapi bagaimana kenyataannya nanti,
wallahualam.
Keesokan harinya, dia menunggu kedatangan Shin-tok
Liong dengan penuh harapan. Begitu pemuda itu mengantar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
makanan, Siau Ih segera menuturkan hasratnya. Begitu
meluap rangsangan hatinya itu, hingga tak kuasa lagi dia
menahan kucuran air matanya.
Shin-tok Liong seorang pemuda yang cerdas dan mendapat
gemblengan dari si Rase Kumala. Tapi dikarenakan dia tak
pernah turun gunung, jadi hatinya masih jujur, tak kenal akan
kepalsuan dunia. Tergerak hatinya melihat penderitaan Siau
Ih. Diam-diam diapun menganggap perbuatan majikannya (si
Rase Kumala) itu kelewat bengis terhadap cucunya sendiri.
Setelah merenung beberapa saat, akhirnya dipandangnya
wajah anak muda yang basah dengan air mata itu.
„Baiklah, biar bagaimana aku sedia membantu hiante.
Segala kesalahan, aku yang menanggung. Tapi Hou-te sudah
mencari Bok-lo-sian-ong dan tak lama lagi, beliau tentu sudah
tiba kemari. Kalau hiante pergi terlalu lama, tentu akan dibuat
pikiran oleh kedua cianpwe itu," kata Shin-tok Liong dengan
nada tetap.
Mendengar itu serta merta Siau Ih memberi hormat selaku
terima kasihnya.
„Ih hiante, ketahuilah apa sebabnya aku suka memberi
bantuan padamu. Pertama, aku ketarik akan rasa baktimu
terhadap orang tua. Kedua, semasa hidupnya bibi Lan itu
memperlakukan kami baik sekali. Adalah demi untuk
kepentingan mendiang, aku hendak membalas budi. Ai, bila
kau hendak berangkat?"
„Kupikir malam nanti juga,” sahut Siau Ih.
Shin-tok Liong mengiakan dan menyatakan supaya anak
muda itu berhati-hati dan lekas-lekas pulang kembali. Setelah
itu, dia ngeloyor pergi lagi.
Saking girang mendapat kesanggupan itu, Siau Ih sampai
mengucurkan air mata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitulah ketika malam tiba, dengan melalui jendela, dia
loncat turun terus lari keluar menuju ke mulut lembah. Ketika
tiba didekat pondok Kiam Jui Suan, dilihatnya ruangan pondok
itu masih terang lampunya, lapat-lapat kedengaran suara sang
engkong menerangkan suatu pelajaran pada Tan Wan.
Siau Ih tak berani berayal, pun jeri untuk menerbitkan
sesuatu suara yang menimbulkan kecurigaan engkongnya.
Dengan berindap-indap, dia menyusup ke dalam semak-semak
pohon bunga.
Dengan jalan cara begitu, setengah jam lamanya barulah
dia dapat tiba dimulut lembah. Pintu batu yang berdaun dua
itu, ternyata tampak terbuka sedikit, tapi cukup untuk
dimasuki tubuh orang. Betapa girang dan rasa syukurnya
terhadap bantuan Shin-tok Liong, sukar dilukis. Tanpa berayal
lagi, dia segera menyusup keluar.
Berada di luar, dia sejenak berhenti untuk menghela napas
longgar. Kemudian lalu gunakan ilmu berlari cepat, berlarian
disepanjang jalanan sempit menuju jembatan rantai besi yang
menghubung lembah itu dengan dunia luar.
Sekeluarnya dari lembah yang berbahaya itu, pertamatama
dia menuju ke kota Tay-li-seng untuk mengambil kuda
yang dititipkan dirumah penginapan tempo hari. Untuk
kegirangannya, kedua ekor kuda itu masih ada bahkan
tambah gemuk dan segar. Setelah memberi uang pengganti
ongkos perawatan pada jongos, dia segera mencongklang
menuju ke selatan.
Walau hatinya amat lapang karena dapat menghirup alam
yang bebas lagi, namun pikirannya masih tetap tertindih.
Dengan berbagai jalan, dia coba mendekati beberapa
kalangan persilatan, tetapi tetap tak berhasil mendapatkan
keterangan siapakah pembunuh ayahnya itu.
Satu-satunya hasil yang diperolehnya selama dalam
perjalanan tanpa arah tujuan itu, ialah pengalaman. Kini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terbukalah matanya, bahwa dunia persilatan itu penuh
pergolakan, tak setenang seperti yang disangkanya.
Orang tak boleh hanya mengandalkan akan ilmu silat saja,
tapi juga kecerdasan. Jadi mengapa sebuah partai persilatan
besar macam Thiat-sian-pang beberapa kali kalah dengan dia,
adalah hanya karena kebetulan saja.
Kesal memikirkan usahanya yang sia-sia, teringat dia akan
saudaranya angkat Liong Go. Dalam hal pengalaman, dia
mengaku kalah dengan pemuda itu. Maka dia mengambil
keputusan akan minta bantuannya. Segera dia menuju ke
propinsi Hok-Kian.
Begitulah setelah mengadakan perjalanan selama sepuluh
hari, menjelang magrib dia tiba di sebuah kota kecil
dikabupaten Jiok-kiang-koan. Kalau melanjutkan perjalanan ke
arah tempat penyeberangan sungai Jiok-kiang, terang tengah
malam baru sampai, maka lebih baik dia bermalam di kota
kecil itu saja.
Kota kecil yang dapat disamakan dengan desa itu, hanya
terdiri dari dua-tigapuluh perusahaan yang sederhana. Disitu
hanya terdapat sebuah rumah penginapan yang kamarnya
diperuntukkan tidur beberapa orang.
Sebenarnya Siau Ih enggan untuk menginap disitu, tapi apa
boleh buat, toh dia tak perlu tidur. Hidangan disitupun hanya
terdiri dari ayam goreng dan telur rebus saja.
Selagi dia menikmati hidangannya, tiba-tiba dia melihat ada
seorang tua diantara umur limapuluhan tahun tengah
memandang ke arahnya. Orang itu duduk tak berapa jauh dari
tempatnya. Didapatinya orang tua itu masih sehat gagah,
teristimewa sepasang matanya berkilat-kilat macam orang
yang berisi (ahli silat).
„Mengapa dia memandang begitu rupa padaku?” Siau Ih
bertanya dalam hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Justru dia baru berpikiran begitu, orang tua itu sudah
bersenyum dan menegur: „Saudara tentu bukan orang sini,
bukan?"
Siau Ih terkesiap, sahutnya: „Benar, cayhe berasal dari
Siamsay. Tapi rasanya lotiang sendiri juga dari lain daerah."
Orang tua itu mengiakan dan menerangkan bahwa dia
berasal dari Khay-hong. Kemudian dengan masih memandang
lekat-lekat pada Siau Ih, dia menanyakan apa keperluan
pemuda itu datang kesitu.
Pertanyaan itu telah menimbulkan rasa kecurigaan Siau Ih,
namun dengan tak mengunjukkan perasaannya, dia
mengatakan kalau hanya akan tinggal semalam, karena sudah
kemalaman.
Orang tua itu mengangguk, ujarnya: „Menilik sikap saudara
ini, tentulah bukan orang sembarangan, rasanya pasti tak
senang menginap ditempat semacaam ini. Kalau tak buat
celahan, sukalah menginap dirumah losiu saja!"
Kecurigaan Siam Ih makin menjadi. Namun karena dia
memang gemar akan petualangan, dia menerima tawaran itu.
Orang tua itu minta dikenalkan namanya.
„Aku Siau Ih dan siapakah nama yang mulia dari lotiang?”
sahut Siau Ih.
Orang tua itu bernama Song Jin-kiat, kemudian dia segera
ajak Siau Ih pulang kerumahnya. Siau Ih tak mau main
sungkan, suatu hal yang membuat orang tua itu girang,
membayari rekening makan Siau Ih dan terus ajak pemuda itu
menuju ke arah barat.
Setelah membelok beberapa kali, tibalah mereka disebuah
perkampungan yang bersih. Disitu terdapat sebuah gedung
dengan halamannya yang luas sekali. Si orang tua
mengatakan bahwa itulah rumahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih rnakin curiga, pikirnya: „Seorang yang memiliki
rumah halaman yang begitu luas dan bagus, mengapa
keluyuran ke tempat rumah makan murah?”
Tiba digedung itu, dari pintunya yang bercat hitam, segera
muncul dua orang budak yang menyambuti kuda sang tamu.
Dengan mengulum senyum, Song Jin-kiat ajak Siau Ih masuk
ke dalam. Segera disuruhnya menyediakan hidangan.
Sewaktu dahar, secara berbelakar Jin-kiat berkata;
„Saudara Siau, kau pasti merasa heran segala apa sudah
tersedia dirumah, tapi aku masih keluyuran dirumah makan
sekotor itu. Ini tak lain, karena setempo aku sudah bosan
dengan hidangan dirumah dan sesekali kepingin jajan-jajan."
Keterangan itu makin menambah kecurigaan Siau Ih. Orang
apakah gerangan tuan rumah itu dan apakah maksudnya dia
mengundangnya kesitu? Diperhatikannya bagaimana Song Jinkiat
itu kerap kali menatapnya lekat-lekat, namun dia purapura
tak mengetahui.
Sebaliknya Song Jin-kiat pun tahu apa yang dikandung
tetamunya itu. Ujarnya dengan tertawa: ,,Saudara Siau,
meskipun kita baru berkenalan, tapi sudah seperti sahabat
lama. Losiu hendak memperkenalkan isteri dan anakku, agar
kelak, persahabatan kita dapat lebih erat."
Tanpa menunggu jawahan orang, Song Jin-kiat segera
suruh bujang untuk memanggil isteri dan anaknya.
„Aneh benar, dia baru berkenalan, mengapa bersikap
begitu?” Siau Ih menimbang dalam hati.
Pada lain saat, masuklah seorang wanita yang bersolek
secara menyolok sekali. Usianya diantara tigapuluhan tahun.
Sikapnya agak genit, lebih-lebih sinar matanya mengunjuk
bahwa ia itu seorang perempuan yang cabul.
Di belakangnya mengikut seorang pemuda diantara umur
duapuluhan tahun. Walaupun parasnya cakap, tapi sikapnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak simpatik. Kepalanya menunduk, wajahnya kurang
senang.
Begitu melangkah masuk dan melihat Siau Ih, nyonyah
rumah itu segera berobah wajahnya. Belum lagi Siau Ih habis
herannya, tiba-tiba terdengar Song Jin-kiat tertawa sinis. Siau
Ih makin terkesiap.
„Saudara Siau, kuperkenalkan, inilah isteriku Tian-si!”
Wanita itu sudah dapat menguasai perasaan kagetnya, lalu
bersenyum kepada Siau Ih selaku memberi hormat. Pemuda
itu buru-buru membalas hormat.
„Dan ini puteraku Song Wan," kata tuan rumah seraya
menunjuk kepada pemuda murung tadi.
Aneh benar Song Wan itu. Walaupun Siau Ih memberi
hormat padanya, tapi dia seolah-olah tak melihatnya, sampai
kelopak, matanya yang sejak tadi ditutup, pun tak dibukanya.
Sudah tentu Siau Ih merasa heran.
„Ai, anakku itu memang jarang bergaul, jadi kurang tahu
adat, harap dimaafkan," kata Song Jin-kiat.
Siau Ih betul-betul berhadapan dengan rumah tangga gila.
Ayah dan anak tidak akrab, suami isteri tidak sepadan. Disitu
tentu terselip sesuatu. Dan puncak keanehannya, ialah
mengapa orang she Song itu mengundangnya bermalam
disitu.
Song Jin-kiat segera perintah bujangnya untuk mengganti
hidangan dengan arak. Secara luar biasa ramahnya, dia
berkali-kali menuang arak kecawan Siau Ih. Namun pemuda
itu sudah mulai curiga dan tak mau minum terlalu banyak.
Menjelang tengah malam, akhirnya Siau Ih menyatakan tak
kuat lagi minum dan ingin beristirahat. Tuan rumah sendirilah
yang mengantarkannya kekamar tulis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berada seorang diri, Siau Ih dapatkan kamarnya itu
walaupun sebuah kamar tulis, namun hiasan disitu tak karuan
juntrungannya. Siau Ih membuat penilaian terhadap diri tuan
rumah.
Kalau dia itu seorang durjana, wajah dan gerak-geriknya
tentu tak sedemikian ramah dan baik. Namun kalau dikata Jinkiat
itu seorang terpelajar, sikapnya agak kasar blak-blakan
seperti orang persilatan. Tetapi orang persilatan yang jujur,
juga tak begitu aneh gerak-geriknya. Pusing Siau Ih
memikirkannya.
Waktu sudah mengunjuk pukul dua malam, namun Siau Ih
masih belum dapat tidur. Tiba-tiba di atas genteng
ruangannya, terdengar derap kaki yang enteng sekali. Buruburu
lilin dipadamkan, diambilnya pedang, terus loncat keluar
dari jendela.
Di luar suasana amat gelap. Langit tiada berembulan hanya
diterangi oleh ribuan bintang. Sekalipun begitu, mata Siau Ih
yang celi segera dapat melihat bahwa kira-kira sepemanah
jauhnya terdapat sesosok tubuh menyusup masuk ke dalam
halaman. Tapa berayal lagi, dia segera memburu.
Rupanya bayangan itu sudah paham seluk beluk gedung
itu. Langsung dia menuju ke sebuah ruangan. Dari
gerakannya, Siau Ih mengetahui bahwa orang itu tinggi
ilmunya ginkang. Tapi dilihat dari gerak geriknya, terang kalau
bukan orang baik-baik.
Dengan gunakan ginkang pat-poh-kam-sian, Siau Ih cepat
sudah menyusul masuk, namun orang tadi sudah lenyap.
Didapatinya halaman disitu, diatur dengan indah.
Diantara ruangan-ruangan yang dibangun pada tembok,
terdapat ada yang masih memancarkan penerangan. Dan
menyusul, terdengar gelak tertawa halus dari ruangan itu.
Sekali loncat, Siau Ih segera menghampiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendapat warisan pelajaran dari si Dewa Tertawa, sudah
tentu ginkang Siau Ih amat tinggi. Sekalipun malam amat
sunyi, namun sedikitpun dia tak mengeluarkan suara apa-apa.
Loncat ke atas genteng, dia segera kaitkan sepasang kaki ke
atas serambi lalu bergelantungan melongok ke dalam
ruangan.
Dari cahaya lilin besar yang menerangi, nyata ruangan itu
merupakan sebuah kamar yang indah hiasannya. Didekat
dinding terdapat sebuah ranjang kayu bercat merah.
Di atas ranjang duduk seorang wanita yang berpakaian
amat tipis. Sementara di muka ranjang, berdiri seorang lelaki
mengenakan pakaian ringkas warna hitam.
---ooo0dw0ooo---
21. Tersangka Pemetik Bunga
Walaupun orang itu menghadap kesebelah sana, namun
dari potongan tubuhnya, dapatlah Siau Ih menentukan kalau
dia itu tentu seorang gagah. Wanita itu bukan lain ialah isteri
Song Jin-kiat yang masih muda itu. Nyata wanita itu sedang
mengadakan pertemuan dengan seorang gendaknya
(kekasih).
Dengan tingkah genit dan aleman sekali, wanita itu
memijat lengan si orang berpakaian hitam, ujarnya: „Gila
benar, waktu aku bertemu padamu tengah berbincangbincang
dengan si tua bangka tadi, hampir saja aku menjerit
kaget. Kalau lain kali kau berbuat begitu lagi, aku tak mau
kenal padamu lagi.”
„Aku bercakap-cakap dengan dia? Ai, kau ini bagaimana
to?” sahut orang itu dengan herannya.
Tian-si tertawa mengikik, serunia: „Kau seperti kura di
dalam perahu (pura-pura tidak tahu). Masakah mataku buta
……..!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya lelaki itu sudah tak tahan lagi melihat tingkah laku
jantung hatinya yang genit. Segera dia memeluk wanita itu
dan merayunya. Adegan itu telah menimbulkan amarah Siau
Ih. Segera dia ambil putusan untuk menyikat manusia
binatang itu.
Tapi belum lagi dia sempat bergerak, atau di ruangan itu
segera terdengar orang tertawa keras, lalu disusul dengan
hamun makian: „Orang she Siau, waktu makan malam lohu
sudah mengetahui kedokmu. Sekarang jangan banyak cincong
lagi, ayuh keluar terima kematian!"
Kejut Siau Ih bukan kepalang. Berpaling ke arah datangnya
suara itu, nyata yang meriaki itu ialah Song Jin-kiat. Orang tua
itu tegak berdiri ditengah halaman sembari mencekal
sepasang senjata tun-kang-tian-hiat-kwat atau senjata
penutuk jalan darah terbuat dari baja murni.
Sebenarnya Siau Ih sudah tak dapat mengendalikan
kemarahannya, tapi serta merasa ada sesuatu yang kurang
beres, terpaksa dia bersabar untuk melihat perkembangan.
Sebagai sambutan dari makian Song Jin-kiat tadi, dari
dalam kamar Tian-si terdengar suara ketawa sinis, menyusul si
orang berpakaian hitam sudah loncat keluar kehalaman.
Tanpa banyak ini itu lagi, Jin-kiat segera menyambutnya
dengan tusukkan ji-liong-hi-cu ke arah kedua mata lawan.
Dengan perdengarkan ketawa mengejek, orang itu
berputar diri untuk menghindar. Dan adalah karena dia
berputar tubuh, maka Siau Ih segera dapat melihat
tampangnya. Astagafirullah ……
„Mengapa dikolong dunia ini terdapat orang yang berwajah
mirip dengan aku!" Siau Ih mengeluh kaget.
Pada saat itu, Song Jin-kiat susuli pula serangannya ke arah
pundak orang, namun dengan sekali gerak, kembali orang itu
dapat memaksa tuan rumah menusuk angin. Jin-kiat makin
naik pitam. Sembari menurunkan tubuh, dia maju menusuk ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dada lawan dengan jurus kim-cia-than-hay atau jarum emas
menyusup ke laut.
Kali ini si orang berpakaian hitam mulai naik darah. Begitu
menyurut mundur, dia sudah melolos sebuah jwan-pian yang
berkilat keemasan. Sebelum Jim-kiat sempat melancarkan
serangan yang keempat, dia sudah mendahului menyabet
jwan-pian ke arah kepalanya.
Jin-kiat tak berani menangkis. Kaki kiri mengisar ke
samping, tangan kanan mendorong ruyung lawan, disusul
tangan kiri menutuk jalan darah ciang-thay-hiat di dada.
Namun si orang berbaju hitampun tidak lemah. Tertawa
dingin, tubuhnya berputar ke kiri. Begitu tusukan lawan di
bawah ketiaknya, dia kirim sabetan ruyung ke muka orang.
Sudah tentu Jin-kiat kaget sejengah mati. Syukur dia dapat
loncat ke belakang. Sekalipun begitu, sabetan ruyung yang
mengenai badannya itu, cukup membuatnya meringis.
Song Jin-kiat jeri terhadap kelihayan lawan yang mahir ilmu
lwekang, namun dalam keadaan marah, dia tak mau pikirkan
ini itu lagi.
„Aku atau kau!" serunya sembari menyerbu lagi.
Orang itu hanya tertawa dingin. Ternyata selain ilmunya
tinggi, pencuri isteri orang itupun amat ganas. Jin-kiat sangat
bernafsu lekas-lekas membunuhnya, tapi sebaliknya, setelah
lewat jurus yang ke tigapuluh, dia malah menjadi kalang
kabut.
„He, he, setan tua, sebelum fajar, akan kukirim kau
keakhirat!" bangsat itu tertawa mengejek dan lalu robah
gerakannya. Ruyung diputar seru, hingga Jin-kiat seperti
terkurung dalam beberapa lapisan bayangan.
Jin-kiat makin payah. Kekalahannya sudah tinggal soal
waktu saja. Tubuhnya berhias beberapa luka berdarah. Isteri
diganggu, suami akan dibunuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam marahnya, Jin-kiat menjadi kalap: „Bangsat, aku
hendak mengadu jiwa padamu!"
Saat itu si orang berpakaian hitam tengah melancarkan
serangan suan-hong-soh-swat, untuk menghantam
pundaknya. Namun tak mau menghindar, Jin-kiat malah
melangkah maju. Dengan kalap dia tusukkan sepasang
senjatanya kelambung lawan.
Kenekadan itu telah membuat si orang berpakaian hitam
terkejut. Buru-buru dia sedot dadanya ke belakang, namun tak
urung pakaiannya rowak dan di bawah lambungnya tertusuk
sampai lima dim lukanya. Hal itu membuatnya marah besar.
Dengan menggerung keras, dia merangsek keras. „Trang,”
tahu-tahu sepasang tun-kong-tiam-hiat-kwat kepunyaan Jinkiat,
telah melayang terlepas ke atas udara. Kim-liong-joantha
atau naga mas menyusup ke pagoda, adalah jurus susulan
yang dilancarkan si orang berpakaian hitam untuk memberesi
Jin-kiat.
Tapi belum lagi ruyung mengenai ubun-ubun kepala Jinkiat,
tiba-tiba terdengar suara bentakan: „Tahan!"
Sebenarnya saat itu Jin-kiat sudah tak berdaya kecuali
menjerit seram, tapi demi ruyung agak kendor jalannya,
cepat-cepat dia buang tubuhnya ke belakang untuk
menghindar. Sedangkan si orang berpakaian hitampun segera
berputar ke arah datangnya suara gangguan tadi.
Di bawah talang, tampak berdiri seorang pemuda yang
berpakaian hijau. Pada tangan kanan pemuda itu mencekal
sebatang pedang berkilat-kilat, sedang tangan kirinya
menjinjing sesosok tubuh wanita.
Wanita itu bukan lain ialah Tian-si, isteri Jin-kiat yang
serong itu. Dari wajahnya yang pucat dan tangan terkulai,
nyata wanita itu sudah tak bernyawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang pemuda itu ialah Siau Ih adanya. Dan demi
tampak bagaimana wajahnya yang keren itu, ialah
menampilkan hawa pembunuhan, si orang berpakaian hitam
menjadi terkesiap.
Lebih-lebih ketika didapatinya bahwa pemuda itu mirip
sekali dengan dia. Tapi kekagetan itu segera berobah menjadi
kemarahan besar, demi tampak siapa wanita itu.
„Siapa kau ini?" bentaknya dengan keras.
„Alcu adalah malaekat pencabut nyawa!” sahut Siau Ih
dengan tertawa dingin. „Ia menunggumu di akhirat."
Dengan marahnya si orang berpakaian hitam melejit ke
muka. Ruyung dihantamkan dalam jurus jin-hong-soh-lok-yap,
sembari tangan kirinya menyambar tubuh Tian-si dari cekalan
Siau Ih.
Siau Ih mendengus. Tubuh mengisar, tangan mengangkat
mayat Tian-si untuk menangkis ruyung, serunya: „Kau tak
menghormat kedatanganku, akupun akan mengembalikan
kebaikanmu itu!"
Pedang Thian-coat-kiam ditusukkan ketenggorokan orang.
Sedemikian cepat serangannya itu, hingga membuat si orang
berpakaian hitam menjadi terbeliak kaget. Buru-buru dia
surutkan kepala terus loncat mundur.
Dia cepat, tapi Siau Ih lebih gesit. Karena ternyata sebagian
kulit kepala orang itu telah terpapas dengan Thian-coat-kiam.
„Bangsat, itu baru sedikit hajaran, yang lihay nanti akan
segera menyusul!” seru Siau Ih.
Kaget, getar dan marah memenuhi dada si orang
berpakaian hitam yang berdiri tegak seperti patung itu.
Sebaliknya kini Jin-kiat baru terbuka matanya. Dia insyaf
akan kekeliruannya menduga Siau Ih sebagai pemuda lacur.
Siapa tahu pemuda itulah yang telah menolong jiwanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Saudara Siau, maafkan segala kekhilafanku, kini yang
perlu jangan lepaskan bangsat itu!” seru Jin-kiat.
„Jangan kuatir, Song toako. Kalau tak dapat melenyapkan
bebodoran ini aku malu melihat matahari!" sahut Siau Ih.
Orang berpakaian hitam itu tertawa nyaring, serunya
dengan geram: „Aku si Wajah Kumala Tio Gun, selalu
menghimpas segala dendam. Kau berani mengadu biru, tentu
akan kucincang menjadi bakso!"
„Bagus, aku yang menjadi bakso atau kau yang mnejadi
frikadel!" sahut Siau Ih sembari lemparkan mayat Tian-si,
kemudian melangkah maju.
Jerih akan ketangkasan si anak muda tadi, si Wajah Kumala
setapak semi setapak melangkah mundur. Siau Ih tertawa
sinis, serunya: „Kemana saja kegaranganmu tadi. Mengapa
main mundur saja?"
Ejekan itu telah membangkit kemarahan si Wajah Kumala.
„Baik, lihat saja nanti siapa yang jantan?"
Ruyung terus diangkatnya dan dihantamkan ke arah kepala
Siau Ih. Pemuda itu mundur selangkah, serunya dengan
tawar: „Bangsat cabul, meskipun dosamu tak berampun, tapi
aku tetap suka mengalah sampai lima jurus!"
Tio Gun menjawabnya dengan serangan kedua yang
ditujukan ke arah perut orang, tapi dengan sebuah loncatan
kembali Siau Ih dapat menghindar. Serangan kedua luput, si
Wajah Kumala teruskan dengan sebuah tutukan ke pantat
lawan.
Sebenarnya Siau Ih akan menangkap hidup-hidup bangsat
itu, untuk diserahkan pada Song Jin-kiat, agar dirinya bersih
dari tuduhan. Tapi demi melibat keganasan penjahat itu, nafsu
pembunuhannya berkobar.
Untuk menghindari dari kejaran ruyung, Siau Ih pijakan
kaki kiri ke atas kaki kanan dan dengan meninjau tenaga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pijakan itu, dia melambung lagi setinggi tiga tombak. Disitu
dia berjumpalitan. Dengan kaki di atas kepala di bawah, dia
melorot turun sembari putar pedangnya untuk membacok Tio
Gun.
Serangannya tak tercapai, tahu-tahu Tio Gun merasa
kepalanya tersambar hawa dingin. Hendak menghindar, sudah
tak buru. Benar, bangsat pengrusak wanita itu berkepandaian
tinggi, tapi hari itu dia ketemu dengan batunya.
Satu-satunya jalan ialah berlaku nekad. Dengan kerahkan
seluruh lwekangnya ke arah tangan, dia putar jwan-pian
gencar sekali untuk menangkis.
„Trang, trang,” menyusul dengan gemerincing beradunya
senjata tajam, Siau Ihpun sudah melayang turun ke bumi.
Sedang si Wajah Kumala pun tak kurang cekatnya, sudah
loncat ke samping. Benar dengan begitu dia terhindar dari
maut, tapi jwan-piannya sudah kutung menjadi dua.
Siau Ih lintangkan pedang ke dada. Menatap ke arah Tio
Gun, dia berseru sambil tertawa sinis: „Dapat menghindari
seranganku jun-u-lian-bian, nyata kau mempunyai modal juga.
Tapi karena tadi telah kujanjikan pada malaekat maut untuk
mengantarkan kau, jadi pertempuran ini masih harus
dilanjutkan lagi!"
Han-hoa-tho-lui atau bunga memantulkan kuntum, Siau Ih
sudah lantas maju menusuk ke dada orang. Dengan gebrakan
pertama tadi, tahulah Siau Ih bahwa si Wajah Kumala itu tak
boleh dibuat main-main. Oleh karenanya dalam serangan
berikutnya, dia menyerang dengan sungguh-sungguh.
Sebaliknya karena jwan-pian sudah kutung, semangat si
Wajah Kumala pun menjadi kuncup. Apalagi demi pemuda
lawannya maju pula dengan serangan yang dahsyat, dia tak
berani adu kekerasan lagi. Tapi baru dia loncat menghindar ke
samping, Siau Ih mengejarkan pedangnya dengan jurus hui-siing-
hong yang disapukan ke arah perut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kembali si Wajah Kumala terbirit-birit menghindar. Namun
laksana bayangan, Siau Ih memburu terus dengan serangan
yang gencar. Jarak mereka amat dekat, jadi si Wajah Kumala
sudah tak dapat lari lagi.
Tapi pada saat itu, sekonyong-konyong wajah Tio Gun
membesi dan perdengarkan tertawa sinis. Sesaat pedang Siau
Ih hampir mengenai, secepat itu si Wajah Kumala sudah
lantas gerakkan tangannya kiri. Serangkum hujan sinar perak
segera menabur ke arah tubuh Siau Ih.
Siau Ih kaget bukan kepalang, cepat dia tarik pulang
pedang dan menyurut ke belakang. Sembari kerahkan
lwekang untuk menutup seluruh jalan darah ditubuhnya, dia
putar thian-coat-kiam gencar-gencar untuk menangkis
serangan senjata gelap dari lawan. Benar tiada sebuah senjata
gelap lawan yang mengenai tubuhnya namun tak urung dia
menjadi keripuhan juga.
Sejak turun gunung, kecuali berhadapan dengan wanita
cabul Li Thing-thing yang lihay, baru pertama kali ini dia
dibikin kelabakan oleh seorang musuh. Amarahnya berkobar,
nafsu membunuh orang menyala-nyala.
Didahului oleh sebuah suitan yang melengking, Siau Ih
loncat ke atas untuk menghantam musuh. Tepat pada saat itu,
si Wajah Kumala pun loncat maju untuk melancarkan dua
buah serangan, jwan-pian ditutukkan ke arah pergelangan
tangan lawan, sementara tangan kiri menghantam sekeraskerasnya.
Siau Ih kisarkan lengannya kanan untuk menghindari
tutukan pian, lalu tangannya kiri maju menangkis. „Plak,”
terdengar dua buah tangan beradu keras. Dengan
berjumpalitan, Siau Ih turun ke bumi. Sedangkan si Wajah
Kumala menjadi jungkir balik beberapa kali baru dapat berdiri
tegak lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini baru terbukalah mata penjahat cabul itu, bahwa selain
memiliki pedang pusaka pemuda lawannya itu juga memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi. Seketika semangatnya padam,
nyalinya runtuh dan keinginan untuk melarikan diri segera
timbul.
Tapi belum lagi dia dapat melaksanakan rencananya, Siau
Ih sudah merangsang maju lagi. Apa boleh buat, terpaksa dia
melayani. Hanya saja pertempuran kali ini memasuki babak
baru.
Mengetahui berhadapan dengan penjahat yang tangguh,
Siau Ih terpaksa keluarkan ilmu pedang lui-im-kiam-hwat dan
gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dua buah
ilmu ajaran si Dewa Tertawa yang pernah menggemparkan
dunia persilatan. Seketika itu juga, dua tombak sekeliling
tempat itu, seperti dipenuhi oleh sinar pedang.
Si Wajah Kumala yang sudah jeri, kini makin ketakutan.
Untung jwan-piannya itu masih dapat digunakan. Satusatunya
harapannya ialah akan mencari kesempatan untuk
lolos. Halaman kecil yang berada di belakang gedung Song
Jin-kiat itu, ternyata menjadi berisik sekali dengan deru
sambaran pedang Thian-coat-kiam.
Sesuai dengan namanya lui-im-kiam-hwat atau ilmu pedang
halilintar menyambar, maka halaman itu menjadi bising
dengan suara dahsyat. Song Jin-kiat yang menyaksikan
permainan itu, menjadi melongo kaget.
Sampai pada jurus yang ke limapuluh, rasanya si Wajah
Kumala sudah mengeluarkan habis seluruh kepandaiannya
untuk melayani, namun dia seperti masih dikurung oleh empat
buah bayangan Siau Ih yang merangsang dari empat jurusan.
Beberapa lubang tusukan pedang, telah membuat pakaiannya
hitam itu rompang-ramping.
Diam-diam dia mengeluh. Kalau berjalan duapuluhan jurus
lagi dia tak mampu keluar dari kepungan si pemuda, dia pasti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bakal celaka. Apa boleh buat, dia terpaksa merobah caranya
bertempur, dari menyerang menjadi bertahan.
„Hai, belum lama bertempur mengapa kau jadi lembek?”
seru Siau Ih yang tahu akan keadaan lawan. Dan habis itu, dia
perhebat serangannya.
„Hem, karena rencanaku sudah dlketahui, lebih baik aku
mengadu jiwa pikir si Wajah Kumala. Tiba-tiba permainannya
berganti, dari bertahan menjadi menyerang.
„Bagus, ini baru menarik. Tapi bagaimanapun juga, jangan
harap kau dapat kabur!" Siau Ih tertawa mengejek.
Tio Gun tak mau adu lidah, dia seolah-olah menulikan
telinga mendengar ejekan perruda itu. Untuk menumpahkan
kemarahannya, dia pusatkan perhatian untuk menyerang
bagian-bagian yang fatal (mematikan) dari lawan.
Sebaliknya Siau Ih makin gembira untuk mengoloknya.
Dengan mendengus, dia putar pedangnya bukan untuk
menusuk tubuh lawan tapi hendak mencari jwan-pian saja.
Sudah tentu si Wajah Kumala menjadi kelabakan setengah
mati. Dia tak berani beradu dengan pedang pusaka thian-coatkiam,
tapi kalau dia menyingkirkan jwan-pian, pedang itu
tentu menyusup maju untuk menusuk tubuhnya. Ai, runyam
ini. Maka tak mengherankanlah, belum sampai duapuluh jurus,
si Wajah Kumala sudah mandi keringat dingin.
Kini pikiran untuk meloloskan diri, sudah lenyap dari otak
Tio Gun. Benar-benar kali ini dia bertemu dengan batunya.
Pemuda lawannya itu, tangguh, cerdas dan ganas.
„Aku hendak mengadu jiwa padamu!” akhirnya dia berseru
dengan kalap terus menghantamkan ruyung ke arah kepala
lawan.
Siau Ih tertawa, dengan jurus thay-kong-tiau-hi dia
tangkiskan pedangnya. „Trang,” letikan bunga api
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berhamburan dan jwan-pian si Wajah Kumala kembali
terpapas kutung beberapa centi.
Sekalipun demikian, orang itu masih terus maju
merangsang. Karena kekalapannya itu, untuk beberapa saat
Siau Ih terpaksa bertahan sembari sesekali lancarkan
serangan.
Berjalan sepuluhan jurus lagi, terdengarlah berulang kali
senjata beradu dan makin lama jwan-pian Tio Gun makin
pandak. Akhirnya sebatang ruyung yang panjang hampir tiga
meter itu, kini hanya tinggal beberapa centi saja. Tiba-tiba
Siau Ih tarik pulang pedang dan melintangkannya ke muka
dada.
„Bangsat cabul, kini tibalah saatnya kau harus
menyerahkan jiwamu!" serunya dengan seram.
Keadaan si Wajah Kumala pada saat itu, tak keruan
macamnya. Rambut kusut masai, pakaiannya compangcamping,
wajahnya pucat, sepasang matanya melotot buas. Si
Wajah Kumala sudah berobah menjadi si wajah sengsara.
Dengan tenangnya, Siau Ih melangkah maju. Terpisah
antara dua meter, dia ajukan pedang ke muka untuk menusuk
dada Tio Gun. Sekonyong-konyong si Wajah Kumala
menghindar ke samping, berbareng itu tangannya kanan
menaburkan senjata gelap ke arah Siau Ih.
Sebenarnya itu bukan senjata rahasia, melainkan sisa
ruyung yang sudah tinggal remuk tangkainya. Oleh karena
tahu bahwa dia tak nanti dapat lolos, maka dia mengambil
putusan untuk gugur bersama.
Maka waktu Siau Ih menarik pulang pedangnya tadi, diamdiam
dia sudah himpun lwekangnya. Dan begitu Siau Ih maju
menyerang, dia segera menyambutnya dengan sebuah
sambitan dahsyat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kesalahan Siau Ih terletak karena terlalu congkak,
meremehkan lawan yang dikiranya sudah tak berdaya itu.
Jaraknya begitu dekat, dan kutungan jwan-pian itu berjumlah
banyak.
Dalam kagetnya, Siau Ih coba berusaha menghindar, tapi
sudah terlambat. Syukur masih dapat gerakkan tangan kiri
untuk melindungi tubuh, namun sekalipun begitu tak urung
pundaknya termakan juga oleh beberapa kutungan besi.
Sakitnya sampai menusuk ke tulang. Saking gusarnya, dia
membabat sekuat-kuatnya dan kutunglah lengan kiri si Wajah
Kumala.
Pundak Siau Ih terkena sambitan besi dan lengan si Wajah
Kumala terpapas kutung itu, terjadi dalam waktu yang
bersamaan. Rupanya si Wajah Kumala itu seorang jago yang
keras hatinya.
Dengan menahan sakit, begitu melihat Siau Ih agak
tertegun, dia terus loncat mundur dan lari tunggang langgang.
Sudah tentu Siau Ih tak menduga akan terjadi hal itu. Waktu
dia tersadar, si wajah Kumala pun sudah tak ketahuan
bayangannya.
Saat itu Song Jin-kiat datang menghampiri menghaturkan
maaf, tapi Siau Ih memberi isyarat supaya dia jangan bicara
dulu. Setelah menyarungkan pedang, diperiksalah lukanya
tadi.
„Astaga, Siau-kongcu terluka?" seru Jin-kiat dengan kaget.
Siau Ih tak mau menyahut. Hatinya penuh kemengkalan.
Pertama karena dituduh sebagai tukang pengrusak rumah
tangga, kedua untuk pertama kali itu dia terluka dalam
pertempuran dan ketiga karena lawan dapat melarikan diri.
Setelah didapatinya luka dipundaknya itu tak berat, maka
setelah dibalut dengan kain, ia memberi hormat pada tuan
rumah lalu loncat ke halaman luar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Song Jin-kiat melongo melihat kelakuan pemuda itu. Buruburu
dia mengejar, tapi ketika tiba di halaman luar, ternyata
Siau Ih sudah mencongklangkan kudanya tanpa pamit.
Jin-kiat tahu bagaimana perasaan anak muda itu. Diamdiam
dia menyesal tak terhingga. Namun karena pemuda itu
sudah pergi, terpaksa dia masuk kembali ke dalam gedung.
Malam di daerah Kwitang itu, walaupun terletak di daerah
selatan, namun pada malam itu amat dingin hawanya. Siau Ih
tak menghiraukannya, tengah malam buta dia terus berkuda
menuju ke Jiok-kiang. Dia tak mau masuk kota hanya mencari
sebuah rumah makan di luar kota.
Habis beristirahat sejenak, dia mengitari kota, langsung
menuju ke gunung Tay-tong-san. Oleh karena hanya
seratusan li jaraknya, jadi menjelang sore dia sudah
menampak gunung itu menjulang dengan megahnya.
Kala tiba dikaki gunung, haripun sudah magrib. Puncak
gunung itu sudah berselimutkan awan hitam. Baru dia hendak
mulai mendaki, tiba-tiba dia berpikir: „Benar pegunungan ini
tak seberapa luasnya, tapi puncak Pao-gwat-san itu tentu
berada ditempat yang sepi. Daripada berjeri payah mencari,
lebih baik cari tempat bermalam di sekitar daerah sini saja.
Pagi-pagi mencari rasanya lebih leluasa."
Walaupun di pegunungan itu amat gelap, namun dengan
memiliki lwekang tinggi dapatlah Siau Ih berjalan dengan
leluasa. Belum jauh masuk ke daerah pegunungan, dia segera
memilih sebuah hutan yang terletak di tepi jalan untuk
beristirahat.
Singkatnya saja malam itu tak terjadi suatu apa dan
keesokan harinya, mulailah dia melanjutkan pendakiannya.
Pegunungan Tay-tong-san termasyhur sebagai gunung
yang indah dan megah didaerah Kwitang. Batu-batunya yang
aneh beraneka warna mendaki, Siau Ih mengharap mudahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mudahan dapat bertemu dengan seseorang untuk ditanyai
keterangan letak puncak Pao-gwat-san itu.
Namun entah sudah berapa lamping gunung dan tikungan
yang dilaluinya, tetap dia belum bersua dengan orang.
Haripun sudah hampir siang. Diam-diam Siau Ih menjadi
heran, jangan-jangan dia tersesat.
Dia berhenti sejenak untuk memandang kesekeliling tempat
itu. Jalanan disebelah muka, makin menaik dan makin
berbahaya. Satu-satunya hal yang diperolehnya, ialah ditepi
jalanan gunung masih terdapat bekas reruntuh bangunan
rumah.
Pikirnya: „Kalau begitu aku tak tersesat. Yang nyata,
sebelum aku tiba, disini tentu terjadi sesuatu peristiwa
sehingga orang-orang yang mendiami tempat ini sama pindah.
Entah apakah peristiwa itu, ya?”
Sekilas dia tiba pada dugaan, jangan-jangan jalanan itu
akan langsung menuju kedesa Pao-gwat-chung. Ah, biar
bagaimana lebih baik dia lanjutkan mendaki terus.
Dibeberapa tempat, kembali dia melihat bekas-bekas
runtuhan bangunan rumah, namun anehnya tempat
disekeliling itu tetap tiada kelihatan barang seorang pendu-duk
Diam-diam dia menjadi kuatir juga. Untunglah saat itu, jauh
disebelah muka sana, dilihatnya ada asap mengepul. Girang
Siau Ih bukan kepalang.
---ooo0dw0ooo---
22. Penilaian Para Tokoh Tua
Jalanan ke atas makin sukar, berkuda tidak dapat,
menggunakan ilmu ginkang pun tak leluasa. Jadi terpaksa dia
berjalan sembari menuntun kudanya. Dengan demikian
menjelang tengah hari, barulah dia dapat mencapai tempat
berasap itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Disitu ternyata adalah sebuah dataran karang yang luasnya
beberapa puluh tombak, serta tingginya beberatus tombak.
Ditengah-tengahnya terdapat sebuah jalanan kecil tiba cukup
untuk dijangkah seseorang. Dikanan kiri jalan itu, berdiri
sebaris kira-kira beberapa belas rumah kayu. Diserambi muka
rumah itu, tampak ada beberapa orang lelaki berpakaian hijau
sedang membakar daging.
Derap kaki kuda Siau Ih itu, telah membuat terkejut
mereka. Jelas kelihatan bagaimana kejut wajah mereka demi
melihat kedatangan anak muda itu. Mereka saling
berpandangan. Sementara pada saat itu, Siau Ih pun sudah
tiba dihadapan mereka. Dengan memberi hormat, dia
bertanyakan jalanan.
Tiba-tiba seorang lelaki tampil ke muka. Setelah
memandang lekat-lekat ke arah Siau Ih, dia bertanya dengan
keren: „Pegunungan ini amat luas, entah tempat manakah
yang saudara cari itu?”
„Pao-gwat-chung,” sahut Siau Ih.
Mendengar itu si orarg lelaki menyurut mundur setengah
langkah. Untuk beberapa saat dia mengawasi Siau Ih baru
kemudian membuka mulut pelahan-lahan: „Pao-gwat-chung
tak berapa jauh dari sini. Tapi entah siapakah nama saudara
ini dan siapakah yang hendak saudara cari itu?“
Hormat sekalipun nadanya, tapi sebenarnya tidak pantas.
Siau Ih tenang-tenang saja. Dia duga orang-orang itu tentu
ada hubungannya dengan Pao-gwat-chung.
„Tentulah saudara. mempunyai hubungan dengan desa
Pao-gwat-san itu. Aku bernama Siau Ih, kawan karib dari
Liong-siao chungcu, harap saudara. membawa aku kesana,”
sahutnya dengan ramah.
Memang kawanan orang lelaki itu adalah penduduk Paogwat-
chung. Mendengar keterangan Siau Ih, orang tadi
tampak tenang wajahnya. Dia menyatakan bahwa setiap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tetamu yang berkunjung harus menunggu dulu sebentar guna
dilaporkan.
Habis itu, dia menyalakan semacam benda. Benda itu
meletus dan memancarkan asap warna biru ke udara.
Anehnya sekalipun ditiup angin, asap itu tetap membubung
tinggi.
Tak lama kemudian, dari mulut jalanan kecil itu muncul
seorang anak muda sekira berumur enam-tujuhbelas tahun.
„Ji-yanko tolong laporkan pada siao-chungcu, ada seorang
Siau kongcu datang berkunjung,” kata si orang lelaki tadi.
Anak muda memberi hormat, lalu dengan tangkas sekali
pergi. Memang sejak turun gunung, banyak sekali Siau Ih
menjumpahi pengalaman-pengalaman yang aneh-aneh, tapi
tingkah laku yang disaksikan saat itu, barulah untuk pertama
kali itu dia mengalaminya.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, dari arah jalanan
disebelah sana terdengar sebuah suara nyaring: „Maaf, aku
terlambat menyambut kedatangan siaote!"
Sesosok tubuh melesat dan muncullah Liong Go, saudara
angkat tunggal hati dari Siau Ih. Siau Ih tersipu-sipu memberi
hormat dan minta maaf karena tak memberi kabar lebih
dahulu.
Liong Go menyatakan kegirangannya dapat bertemu lagi
dengan pemuda itu. Dari dandanan Siau Ih, tahulah Liong Go
bahwa pemuda itu tentu habis menempuh perjalanan jauh.
Buru-buru dia ajak Siau Ih naik ke atas.
Selama berjalan menyusur jalanan kecil yang menaik ke
atas itu, Siau Ih dapatkan bahwa jalanan itu setengahnya
memang dibuat oleh orang. Batu karang yang melingkungi di
kedua samping, menjulang tinggi sampai ratusan meter. Pun
disamping kecilnya, jalanan itu berliku-liku sukar didaki.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih menduga, rupanya jalanan itu memang sengaja
dibuat begitu untuk menjaga kedatangan musuh. Dalam pada
kagum terhadap tokoh Liong Bu-ki (engkong Liong Go) yang
telah merencanakan penjagaan sedemikian rapinya, pun Siau
Ih mempunyai perasaan lain terhadap jago tua itu.
Sewaktu Thiat-san-sian Liong Bu-ki masih belum
mengundurkan diri dari medan persilatan, kepandaiannya
termasyhur amat sakti hingga dapat digolongkan dengan
kesepuluh Datuk. Terutama tokoh itu terkenal dengan sepak
terjangnya budiman dan bijaksana dalam memperlakukan
kawan dan lawan. Tapi setelah mengundurkan diri, tokoh itu
lebih suka menuntut penghidupan yang aman tenteram.
Siau Ih membandingkan keadaan Pao-gwat-san itu dengan
selat Liu-hun-hiap. Thiat-san-sian Liong Bu-ki yang begitu
cermat menjaga musuh dan si Rase Kumahle yang lepas
bebas segala-galanya. Suatu perbedaan yang amat menyolok
sekali. Diam-diam dia makin menghargai pribadi engkongnya
itu.
Saat itu Liong Go mulai kendorkan langkahnya. Ternyata
pemandangan disekeliling tempat itu, jauh berbeda dari tadi.
Kecuali penuh dengan liku-liku dan persimpangan yang ruwet
seperti jaring laba-laba, pun jalanan itu sepintas pandang
seperti tak dapat dijalani orang.
Tengah Siau Ih tertegun, Liong Go berpaling kebelakang
dan tersenyum: „Hante, mulut jalanan sudah tak jauh, ini
adalah jalanan yang terakhir dari Kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian
(sembilan liku delapan tikungan), memang amat rumit."
„Hebat benar susunan jalan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian
itu. Kalau tiada toako yang menunjukkan, siaote pasti
tersesat," sahut Siau Ih.
Menerangkan Liong Go lebih jauh: „Jalanan pelik ini tanpa
disengaja telah diketemukan engkong. Bermula beliau tak
menaruh perhatian. Setelah mengundurkan diri, baru dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
teringat tempat ini. Untuk menjaga pembalasan kaum
penjahat yang binasa ditangannya, maka engkong telah
pindahkan seluruh keluarganya kemari. Tempat ini ternyata
sangat mencil sekali, hingga kecuali beberapa kenalannya
yang akrab, tiada seorangpun yang mengetahui tempat
peristirahatan engkong di Pao-gwat-san sini ……..”
Menutur sampai disini, Liong Go berhenti sejenak,
wajahnya menampil kedukaan. Suatu hal yang tak lepas dari
pandangan Siau Ih, siapa lalu buru-buru berkata: „Sekalipun
toako tak mengatakan, siaotepun sudah mengetahui."
„Apa? Hiante sudah mengetahui?” tanya Liong Go.
„Sekalipun tak tahu jelas, tapi sewaktu memasuki gunung
ini, siaote telah melihat beberapa runtuhan rumah. Kedua kali,
selama dalam pendakian itu, siaote tak pernah berjumpa
dengan barang seorangpun jua. Siaote menduga tentu terjadi
sesuatu peristiwa kalau tiada bencana alam, pasti perbuatan
orang. Tapi menilik bekas-bekas runtuhan itu, teranglah bukan
bencana alam. Sewaktu bertemu dengan beberapa saudara
tadi, wajah mereka agak cemas, jadi siaote menduga pasti
telah terjadi sesuatu …...”
Siau Ih berhenti sejenak, lalu melanjutkan pula: „oleh
karena siaote sudah seperti saudara kandung, maka haraplah
toako memberitahukan sejelasnya."
Liong Go menghaturkan terima kasih, ujarnya: „Meskipun
hiante tak mau menerangkan siapa gurumu, namun aku telah
mengetahui bagaimana kepandaian hiante itu. Mendapat
seorang pembantu seperti hiante, rasanya aku seperti
menerima kunjungan malaekat dari langit."
Siau Ih kemalu-maluan.
„Ai, hiante tak usah sungkan, kita toh sudah seperti
saudara sendiri. Peristiwa yang kuhadapi itu, sebenarnya tak
hebat, namun karena engkong amat berhati-hati, jadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tampaknya seperti peristiwa besar. Dan kejadian itu, rasanya
pun tak asing bagi hiante," kata Liong Go.
„Benarkah itu?” Siau Ih menegas, kemudian bertanya pula:
„Apakah dia si Kiau Hoan?"
Liong Go menyahut bahwa disitu bukan tempatnya untuk
bicara, ia ajak Siau Ih membelok ke jalanan di sebelah kanan.
Selama itu, Siau Ih selalu memperhatikan keadaan
disekelilingnya, namun pada akhirnya dia merasa pusing tak
ingat lagi akan belat-belit jalanan yang dilaluinya tadi.
Baru saat itu dia mengakui bahwa jalanan kiu-jiok-pat-poait-
sian-thian itu benar-benar merupakan pertahanan yang
kokoh.
Tiba diujung jalan, mereka berhenti. Liong Go memandang
ke arah dinding karang yang penuh dengan batu-batu yang
menonjol itu. Kemudian dia ulurkan tangan menekan pada
sebuah batu.
Seketika terdengar bunyi batu roboh yang amat gemuruh.
Tapi tiada tampak perobahan apa-apa. Waktu Siau Ih masih
dalam keheranan Liong Go berputar ke belakang dan
menepuk bahunya: „Hiante, jalanan keluar, berada diujung
sana, mari ikut aku!"
Siau Ih mengikut Liong Go yang melangkah ke arah jalanan
di sebelah muka. Setelah tujuh-delapan kali berbelok-belok,
tibalah mereka diujung buntu. Disitu terdapat cahaya
penerangan. Membelok keujung karang, tak jauh disebelah
muka tampak ada sebuah pintu batu yang kecil. Di atasnya
terdapat tumbuhan rotan.
Sekeluarnya dari pintu itu, Siau Ih baru dapat menghela
napas longgar. Masa itu adalah dalam musim dingin, tapi hari
itu amat cerahnya, langit bersih dari gangguan awan.
Liong Go menerangkan bahwa sebenarnya jalanan kiu-jiokpat-
poa-it-sian-thian itu taklah begitu mengherankan. Asal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah biasa tentu mudah berhilir mudik. Setelah itu dia
menghampiri ke sebuah rumpun rotan dan menekannya
pelahan-lahan.
Seketika terdengar suara gemuruh pula dan pintu besi
itupun tertutup sendiri. Kemudian menunjuk pada sebuah
hutan yang luas dtsebelah muka, Liong Go menerangkan
bahwa di belakang hutan itulah terdapat pondoknya.
Memandang ke arah hutan itu, kembali Siau Ih kagum.
Selain lebat, pun setiap pohon yang tumbuh dihutan itu
besarnya rata-rata sepemeluk tangan orang. Waktu
diperhatikan lebih lanjut, nyatalah barisan pohon itu seperti
diatur menurut bentuk suatu barisan perang. Kembali dia
menanyakan hal itu kepada Liong Go.
„Sepertinya hal dengan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian, pun
hutan itu memang diatur oleh engkong. Dimana letak
keindahannya, akupun tak dapat menerangkan dengan jelas.
Kita hanya dapat menurut petanya saja."
Siau Ih tak habisnya memuji kelihayan Thiat-san-sian Liong
Bu-ki.
Untuk itu Liong Go hanya menghela napas, ujarnya:
„Memang harus diakui bahwa engkong itu selain seorang yang
berbakatpun memiliki pengalaman yang luas. Mendiang
ayahkupun keturunan darahnya, cerdas dan tangkas. Sayang
beliau sudah keburu menutup mata dalam usia muda.
Sebaliknya aku ini, tiada berguna. Belasan tahun engkong
mendidik, namun aku tetap begini saja, sungguh memalukan."
Siau Ih menghiburnya dengan mengatakan bahwa
toakonya itu terlalu merendah hati. Memang kaum muda tak
terluput dari kecongkakan, tapi kalau dibandingkan dengan
tokoh-tokoh angkatan tua, mereka masih belum menempil.
Pokok asal giat, kesempurnaan itu pasti akan dapat dicapai.
Diam-diam Liong Go merasa heran melihat perobahan
saudaranya angkat itu. Bgaimana seorang pemuda yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tempo hari begitu sombong congkak, kini ternyata dapat
mengucapkan beberapa falsafat yang tinggi.
Dalam pembicaraan selanjutnya, Siau Ih minta agar
diperkenalkan engkong Liong Go. Saking asyiknya mereka
ber¬cakap-cakap itu, tahu-tahu sudah memasuki hutan itu.
Kiranya sepeminum teh lamanya, mereka keluar dari hutan
itu. Di sebelah luar hutan itu, terbentang sebuah tanah lapang
yang amat luas. Empat penjuru dikelilingi oleh puncak gunung
yang menjulang tinggi.
Di kaki gunung itu, masih ada dua buah rentetan rumah
kayu. Di depan rumah itu kelihatan beberapa orang lelaki
berpakaian ringkas. Mereka tampak bicara dengan berisik,
entah apa yang dipercakapkannya itu. Yang nyata wajah
mereka itu mengunjuk ketegangan. Oleh karena barisan
rumah itu diatur sedemikian rupa, jadi tengah-tengahnya
seperti merupakan sebuah pintu masuk.
Ketika Liong Go dan Siau Ih tiba, orang-orang itu sama
berhenti bicara dan memberi hormat pada Liong Go. Liong Go
hanya ganda tertawa membalas salam.
Memasuki pintu alam itu, Siau Ih disuguhi oleh suatu
pemandangan yang mempesonakan. Sebuah tanah lapang
yang penuh ditumbuhi rumput hijau dan beraneka bunga.
Hutan bambu, tumbuh di sana-sini.
Di bawah naungan barisan gunung, tampak beberapa
rumah. Alam pemandangan disitu, mempunyai selera
keindahan lain dari alam di Tiam-jong-san. Siau Ih terhibur
hatinya.
„Pemandangan disini, benar-benar merupakan sebuah
taman sorga di luar dunia," pujinya.
Liong Go hanya tertawa saja dan mengucapkan beberapa
kata merendah. Yang satu memuji yang lain merendah. Kedua
pemuda itu bercakap-cakap dengan gembira sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Liong Go teringat bahwa Siau Ih tentunya belum
makan siang. Waktu berjalan ditengah-tengah padang bunga
itu, Liong Go menunjuk ke arah sebuah hutan bambu,
katanya: „Itulah pondok Soh-yap-suan, tempat peristirahatan
engkong."
Memang disana terdapat beberapa puluh batang bambu
yang rindang daunnya. Di belakangnya, ada beberapa petak
rumah. Kala itu tampak ada seorang anak berpakaian putih,
tengah masuk ke dalam pondok sembari membawa sebuah
ikat pinggang kumala. Tiba-tiba Liong Go berhenti, dia seperti
teringat sesuatu.
„Ai, aku benar-benar linglung, hampir lupa memberitahukan
siaote. Beberapa hari yang lalu seorang sahabat lama dari
engkong telah datang kemari dan tinggal disini beberapa hari.
Locianpwe itu selama ini tinggal di luar lautan, jarang
berkunjung ke daratan Tiong-goan. Entah apa sebabnya,
mendadak dia datang kemari beserta beberapa orang anak
muridnya. Rupanya dia mempunyai urusan penting. Orang tua
itu beradat aneh, sombongnya bukan main. Kecuali dengan
engkong dan satu dua tokoh persilatan, dia tak mempunyai
kenalan lain lagi. Siaote pasti tahu siapa dia, ialah salah satu
tokoh dari sepuluh Datuk yang bernama Gan-li Cinjin Kho
Goan-thong. Sejak beliau datang kemari, kerjanya tak lain
hanya bercakap-cakap sepanjang hari dengan engkong. Nanti
apabila hiante menghadap engkong, tentu akan berjumpa
juga dengan orang tua itu."
Mendengar nama orang itu, Siau Ih menjadi terkesiap. Si
orang lelaki berpakaian merah yang membantu Li Thing-thing
untuk mencelakai dirinya di lembah gunung Tay-lo-san itu,
adalah murid dari Gan-li Cinjin Kho Goan-thong. Tanpa
disadari, timbullah rasa dendam pada wajah Siau Ih. Melihat
itu diam-diam Liong Go terkejut.
„Celaka, jangan-jangan Siau-hiante ini pernah bentrok
dengan Kho Cinjin itu,” pikir Liong Go. Dia makin mengeluh,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demi teringat akan sepak terjang pemuda itu jika menuntut
balas terhadap seseorang musuh.
„Harap toako jangan kuatir, siaote pasti takkan berbuat
kurang hormat,” kata Siau Ih menghibur toakonya.
Sabar nada ucapan itu kedengarannya, namun tak urung
Liong Go berjengit juga. Dia kenal bagaimana watak Siau Ih
itu. Entah bagaimana kini pemuda itu dapat mengendalikan
diri begitu rupa. Tapi demi dia memperhatikan kesungguhan
wajah saudaranya angkat itu, diam-diam iapun memuji sikap
anak muda itu.
Pada lain saat, keduanya segera menuju kepondok Sohyap-
suan. Tiba di muka pondok itu, Liong Go minta Siau Ih
menunggu di luar dulu, biar dia masuk melapor. Tak berapa
lama kemudian, Liong Go keluar dan mengundang Siau Ih
masuk.
„Kho Cinjin juga berada di dalam,” bisik Liong Go.
Siau Ih tahu juga kemana jatuhnya perkataan Liong Go
yang terakhir itu. Segera dia menyahut dengan tersenyum:
„Toako jangan kuatir. Kalau berhadapan dengan seorang
cianpwe, biar bagaimana juga, siote pasti tak berani berlaku
kurang adat."
Demikian kedua pemuda itu segera melangkah masuk.
Pondok Soh-yap-suan hanya terdiri dari dua buah ruangan
yang bersih. Ruang maka penuh berhiaskan buku-buku dan
lukisan-lukisan. Seorang kacung segera menyingkap tirai dari
mempersilahkan kedua pemuda itu masuk.
Di atas sebuah dipan yang berdiri dekat dinding, tampaklah
duduk dua orang tua. Yang seorang bertubuh tinggal besar,
berwajah bersih. Sedang satunya seorang iman tua bertubuh
kecil kurus. Jubahnya berwarna merah, wajahnya amat
congkak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tahulah Siau Ih bahwa yang duduk bersila itu tentu tokoh
termasyhur masa silam, Thiat-san-sian Liong Bu-ki. Sementara
imam tua itu, pasti tokoh yang dikatakan Liong Go, yakni Ganli
Cinjin Kho Goan-thong yang tinggal di pulau Cip-peng-to.
Dengan khidmat, Siau Ih menjurah memberi hormat,
serunya: „Wanpwe Siau Ih menghaturkan hormat pada
cianpwe!”
Memang orang tua yang duduk bersila itu, ialah Liong Buki.
Pelahan-lahan kedua matanya dipentang dan disapukan ke
arah pemuda itu. Wajahnya menampil seri senyum dan
dengan suara ramah dia berkata: „Usah banyak peradatan,
inilah Kho Cinjin."
Kesan mengenai peristiwa di gunung Tay-lo-san itu, masih
segar dalam ingatan Siau Ih, namun dia tak mau dikata
kurang hormat terhadap Kho Goan-thong. Buru-buru dia
menjurah ke arah Cinjin itu selaku menghaturkan hormat,
namun mulutnya tak mengatakan sepatah perkataan apa-apa.
Gan-li Cinjin Kho Goan-thong, menempati tingkatan atas di
dunia persilatan, tambahan pula orangnya pun berhati tinggi
(sombong). Melihat pemuda itu memberi hormat dengan
membisu, marahlah dia. Dengan nada dingin, dia mendengus:
„Kau dan aku tak mempunyai hubungan apa-apa, pinto tak
berani menerima penghormatan yang besar!”
Siau Ih tertawa dingin, lalu menyurut ke belakang. Liong
Bu-ki terkejut melihat sikap kedua orang tua dan pemuda itu.
Sedang Liong Go pun menjadi tak enak.
Saat itu, si kacung membawakan dua buah dingklik, maka
Liong Bu-ki pun menyuruh kedua pemuda itu duduk.
„Tempo hari ketika dimakam Gak-ong, kalau tiada bantuan
hiantit, Go-ji tentu celaka, untuk hal itu losiu amat berterima
kasih,” ujar Thiat-san-sian Liong Bu-ki.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Orang yang sudah angkat saudara, adalah sudah jamak
bantu membantu, Locianpwe begitu sungkan, wanpwe
sungguh malu dihati," Siau Ih tersipu berbangkit menyahut.
„Ah, losiu tak menyukai peradatan, harap hiantit duduk
saja,” kata tuan rumah. Kemudian jago tua itu berpaling ke
arah Gan-li Cinjin yang duduk disebelahnya, berkata: „Menilik
anak itu memiliki bakat tulang yang bagus dan pribadi yang
kuat, apabila dia dapat melatih diri, kelak pasti akan berhasil.
Sayang dia mempunyai watak ganas, hingga tentu sering
mengalami kesulitan. Entah bagaimana pendapat to-heng?”
Dengan wajah yang masih tetap membeku, Kho Goan
Thong menyahut dingin: „Dikolong dunia yang lebar ini,
banyak sekali tunas-tunas yang bagus. Oleh karena sering
mendapat kesulitan, maka harapan untuk berhasil tentu amat
kecil. Orang macam begitu, tak boleh diharap."
Sebagai sahabat lama, Thiat-sian-san Liong Bu-ki cukup
kenal akan perangai Gan-li Cinjin itu. Dia tahu karena Siau Ih
kurang menghormat, maka Gan-li Cinjin sudah memberi
penilaian begitu.
Sebagai tuan rumah, dia tak mau berdebat panjang lebar.
Dengan tertawa tawar, kembali dia berpaling ke arah Siau Ih.
Dia mulai mananyai anak muda itu mengenai bermacammacam
hal di dunia persilatan.
Digembleng oleh tokoh si Dewa Tertawa, Siau Ih berangkat
dewasa menjadi seorang pemuda yang lihay dalam ilmu silat
dan ilmu sastera. Apalagi setelah ‘dikurung’ selama berbulanbulan
di Tiam-jong-san, dia telah mendapat latihan rokhani
yang cukup baik dari engkongnya. Semua pertanyaan tuan
rumah, telah dijawabnya dengan lancar dan hormat.
Sebaliknya Liong Bu-ki yang sudah lama mengasingkan diri,
sudah tentu ketinggalan zaman. Benar ia mendengar di dunia
persilatan banyak muncul jago-jago muda yang lihay, tapi
selama itu belum pernah dia menyaksikan sendiri. Kini setelah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berhadapan muka dengan Siau Ih, kesannya terhadap
pemuda itu amat memuaskan sekali.
Selain memiliki kepandaian silat yang tinggi, nyata pemuda
itu mempunyai kepribadian yang menonjol. Apa yang di
katakan Liong Go tempo hari kepadanya (Liong Bu-ki) itu,
bukan saja benar malah melebihi kenyataan.
Diam-diam jago tua itu kagum di dalam hati. Bahkan Gan-li
Cinjin Kho Goan-thong yang muring-muring itu, diam-diampun
juga terperanjat.
Saking gembiranya, Liong Bu-ki terus menerus menghujani
pertanyaan pada anak muda itu. Pertanyaannya pun makin
lama makin sulit, hingga Siau Ih harus menggunakan waktu
untuk menjawab.
Melihat engkongnya penuju dengan Siau Ih, Liong Go amat
gembira. Tapi diam-diam dia berdebar-debar juga
mendengarkan ujian lisan yang berat itu. Syukur saudaranya
angkat itu dapat menjawab semua pertanyaan.
Dalam pada itu, Siau Ih sendiri diam-diam mengeluh. Tak
tahu dia, bila tuan rumah akan menyudahi pertanyaannya.
Lebih berdebar lagi dia, bila nanti jago tua itu bertanya
tentang nama suhunya.
Maka sembari menjawab bermacam pertanyaan itu, diamdiam
Siau Ih memutar otak bagaimana nanti dapat
menghindari pertanyaan yang menyangkut diri suhunya. Ah,
susah sekali kiranya.
Untuk kegirangannya, saat itu Liong Bu-ki hentikan
pertanyaannya, dengan wajah berseri gembira tokoh itu
berpaling ke arah sahabatnya Gan-li Cinjin, ujarnya: „Memang
benar ucapan bahwa 'ombak disungai Tiang-kang itu yang di
belakang mendorong yang di muka'. Setiap zaman tentu
melahirkan tunas-tunas baru. Kini baru losiu dapat merasakan
sendiri kebenaran ucapan itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berhenti sejenak, Thiat-san-sian kembali berkata:
„Pengetahuan anak itu cukup luas, walaupun kurang
pengalaman, tapi dalam usia seperti itu, kiranya sudah boleh
dipuji. Entah bagaimana ilmunya silat, tapi kurasa tentu
suhunya itu bukan tokoh sembarangan. Asal dia giat berlatih
diri, kelak pasti akan sangat gemilang. Apakah to-heng berani
bertaruh dengan aku?"
Sepasang mata Gan-li Cinjin berkilat-kilat, menantang
dingin ke arah Siau Ih, dia mendengus, ujarnya: „Kata-kata
'sangat' itu amat luas artinya. Sedang kata 'gemilang' itu, dari
dulu sampai sekarang tiada seorang yang berani mengakui.
Misalnya, kita berdua ini, nama kita sampai sekarangpun
masih belum punah, tapi adakah kita berani menganggap diri
kita ini 'sangat gemilang'? Sekalipun si Rase Kumala Shin-tok
Kek yang begitu congkak, rasanya juga tak berani menepuk
dada begitu. Maka apa yang Liong-heng ucapkan tadi, pinto
belum dapat menyetujui. Tentang bertaruh, maafkan, pinto
kurang tertarik.”
Thiat-san-sian hanya ganda tertawa, bantahnya: „Uraian
to-heng itu memang benar, tapi menurut pendapat losiu,
kedua kata tadi bukannya tak mungkin. Benar karena hidup
manusia itu amat terbatas, tak dapat sempurna segalagalanya.
Namun dalam bidang-bidang yang tertentu, tentu
mungkinlah mencapai prestasi yang tinggi. Pameo 'ombak
sungai Tiang-kang yang di belakang mendorong yang di
muka', tetap tak berkurang kebenarannya. Siapakah yang
berani memastikan bahwa angkatan muda itu takkan dapat
melebihi angkatan tua?”
Wajah Kho Goan-thong yang sudah keren itu, makin gelap.
Pada lain saat tampak dia berbangkit, katanya: „Ah, tiada
berguna untuk berdebat tentang urusan kecil itu. Pinto hendak
mengasoh dulu."
Habis itu, dia lantas melangkah keluar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thiat-san-sian menggeleng dan menghela napas melihat
kelakuan sobatnya itu.
Siau Ihpun terperanjat hatinya. Diam-diam dia menduga,
kepergian Gan-li Cinjin itu tentu akan mempercepat datangnya
kesulitan. Ah, lebih baik dia juga akan minta diri saja. Cepat
dia mengutik Liong Go yang duduk di sampingnya.
Liong Go mengerti maksud saudaranya angkat, maka
dengan alasan Siau Ih sejak pagi belum makan, dia minta diri
pada engkongnya. Engkongnya mengiakan dan bahkan
menyesali Liong Go yang tak memperhatikan kepentingan
sahabatnya itu.
Siau Ih menghaturkan terima kasih atas kebaikan budi
orang tua itu. Setelah keluar dari ruangan itu, dapatlah Siau Ih
menghela napas longgar.
„Pondok kecil itu, adalah tempat tinggalku. Biar kusuruh
mereka siapkan beberapa hidangan. Nanti malam kita
lewatkan dengan mengobrol lagi,” kata Liong Go sambil
menunjuk ke arah beberapa petak rumah yang berada di
bawah kaki sebuah puncak yang tinggi.
Setiba di muka pondok itu, penjaga pintunya ternyata
adalah si anak muda yang dijumpai Siau Ih ketika bertanya
jalan pada beberapa orang disebelah bawah sana.
„Ji-yan, ayuh haturkan hormat pada Siau kongcu!" seru
Liong Go. Anak itupun menurut perintah.
Waktu masuk ke dalam ruangan, ternyata disitu selain
dirawat bersih pun penuh berhias dengan lukisan-lukisan yang
menarik. Sungguh sebuah tempat yang amat sesuai untuk
belajar. Siau Ih memuji kebersihan dan keindahan pondok itu.
Tak lama kemudian, hidanganpun segera disuguhkan.
Ternyata masakannya amat lezat dan arakpun arak pilihan.
Habis dahar, Liong Go lalu perintah Ji-yan pindahkan tempat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
duduk di muka jendela. Begitu sembari menikmati arak wangi,
kedua pemuda itu mengobrol ke barat ke timur.
„Toako, tadi semakin berhadapan dengan locianpwe,
sebenarnya aku hanya kepingin lekas-lekas undurkan diri,
bukan karena lapar," kata Siau Ih.
„Mengapa?” tanya Liong Go.
Siau Ih menghela napas, ujarnya: „Bukannya maksud
siaote hendak berlaku kurang hormat terhadap orang tua,
tetapi karena kuatir dalam pertanyaan itu nanti, locianpwe
akan menanyakan asal-usul dan suhu siaote. Siaote
menyembunyi kedua hal itu, bukan karena bermaksud jahat
tapi karena sakit hati ayah bunda belum terhimpas. Hal ini
harap toako berlapang dada memaafkan."
"Rahasia pribadi yang tak boleh diceritakan pada lain
orang, rasanya setiap orang tentu mempunyai. Tapi sekiranya
siaote percaya, aku suka sekali untuk membagi kedukaan
siaote itu."
Sampai disini, Siau Ih tak dapat menghindar lagi. Begitulah
dia segera menuturkan riwajat hidupnya dengan jelas.
Ketika menuturkan tentang peristiwa yang dialami ayah
bundanya, dia tak kuasa menahan air matanya lagi. Liong Go
pun turut bersedih atas kemalangan nasib anak muda itu.
Sampai sekian saat, mereka diam membisu.
„Membalas sakit hati orang tua, adalah tugas kewajiban
seorang putera. Tapi sebaiknya jangan kita bertindak secara
gegabah. Coba hiante pikirkan, peristiwa itu sudah berselang
puluhan tahun lamanya, namun tetap belum jelas. Bahkan
beberapa cianpwe yang berkepandaian tinggi turut
menyelidiki, pun tetap sia-sia. Jadi nyatalah urusan itu amat
pelik sekali. Maka dapat dipastikan, apabila salah urus,
peristiwa itu pasti akan menimbulkan kegoncangan besar
dalam dunia persilatan. Menurut pendapatku, lebih baik hiante
berlaku hati-hati dan menurut petunjuk yang diberikan oleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedua locianpwe itu. Percayalah, bahwa sakit hati itu pasti
akan ada akhirnya.”
23. Arti Persaudaraan …….
Siau Ih menghaturkan terima kasih atas nasehat itu. Selang
berapa jenak kemudian, Siau Ih menerangkan rencana
perjalanannya.
Pertama dia akan tinggal beberapa hari di Pao-gwat-san
itu, lalu menuju ke Lo-hu-san untuk menjenguk Lo Hui-yan,
setelah itu baru pulang ke Tiam-jong-san menerima
dampratan engkongnya.
Mendengar Siau Ih hendak pergi ke Lo-hu-san, Liong Go
bercekat, ujarnya: „Rencana hiante itu bagus sekali, tapi
sebaiknya perjalanan ke Lo-hu-san itu ditiadakan sajalah!"
Siau Ih ganda bersenyum, katanya: „Meskipun Peh-hoakiong
itu suatu daerah terlarang bagi kaum lelaki, tapi kita
bertiga sudah saling angkat saudara, jadi rasanya lebih dari
pantas kalau siaote menyambanginya. Apalagi ketika hendak
pulang, adik Yan pernah memberitahukan siaote, bahwa asal
lebih dahulu mencari pada seorang petani she Kau, siaote
pasti akan dapat berjumpa pada adik Yan. Jadi tak perlu siaote
masuk ke daerah Peh-hoa-kiong, harap toako jangan kuatir.”
Liong Go tahu bahwa antara kedua muda-mudi itu sudah
terjalin suatu ikatan asmara yang berkesan, jadi diapun
merasa tak enak untuk mencegahnya.
Setelah meneguk habis araknya, Siau Ih mengingatkan
akan keterangan Liong Go tempo mendaki ke atas gunung tadi
pagi, bahwa Pao-gwat-san dalam beberapa hari belakangan
ini, terjadi suatu peristiwa.
„Ah, kejadian itu boleh dianggap akulah yang menjadi garagaranya
saja, ceritanya amat panjang. Sembari minumTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
minum, akan kututurkan hal itu pelahan-lahan,” sahut Liong
Go.
Setelah menghabiskan araknya, mulailah Liong Go
menutur: „Sepulangnya ke gunung, segera kuceritakan pada
engkong tentang munculnya kembali si Jin-mo Kiau Hoan dan
pertempuran dimakam Gak-ong itu. Engkong menerangkan,
bahwa Manusia Iblis itu tentu akan melakukan pembalasan
kepada beliau atas kekalahannya tempo hari. Dalam waktu
setahun, Kiau Hoan tentu melakukan pembalasan."
Liong Go berhenti sejenak menghirup arak, lalu
melanjutkan pula: „Bermula aku kurang percaya atas
keterangan engkong itu. Pertama letak Pao-gwat-san sini
amat pelik, kedua kali rakyat disini jarang turun gunung jadi
tak mudah dimata-matai orang. Tapi kenyataan, memang
tepat sekali dugaan engkong itu. Kira-kira setengah bulan lalu,
daerah sini telah kemasukan seorang kaum persilatan. Dua
buah keluarga pemburu yang menghuni disekitar tempat ini,
telah dibunuh dan dibakar rumahnya.”
„Engkong segera menentukan bahwa yang melakukan
keganasan itu, pasti si Jin-mo. Karena tak mau menunjukkan
letak Pao-gwat-san, maka Manusia Iblis tentu membasmi
kedua keluarga pemburu itu. Engkong sangat memikirkan
kepentingan beberapa keluarga pemburu yang tersebar
tinggal disekitar daerah gunung sini. Agar jangan sampai
mereka diganas si Jin-mo, engkong menyuruh mereka sama
pindah kemari. Selanjutnya engkong telah mengambil putusan
untuk menghadapi durjana itu secara terang-terangan.
Seorang yang pernah diberi ampun tapi ternyata tak dapat
insyaf, sudah seharusnya dibasmi.”
„Benar juga pada suatu hari muncullah Manusia Iblis itu.
Tapi dia belum bertindak apa-apa, melainkan sesumbar di
muka jalanan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian, bahwa dalam
waktu sepuluh hari, dia akan datang untuk menghancurkan
Pao-gwat-chung. Untuk menghadapi ancaman itu, maka telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kusiapkan penjagaan yang rapi. Tiga hari kemudian, datang
Kho Cinjin, namun engkong tak mau menceritakan hal itu
kepadanya, karena beliau tak mau lain orang terlibat dalam
urusan itu. Menurut perhitungan, besok pagi itu sudah genap
sepuluh hari, apabila terjadi suatu apa, kuharap hiante jangan
turut campur.”
Siau Ih tenang-tenang meneguk cawannya, kemudian
membuka mulut: „Apakah toako masih ingat tentang asal-usul
diri siaote dan bagaimana suhu telah menggembleng siaote
itu?”
Liong Go terkesiap dan mengiakan.
„Bagus, bagaimanakah sepak terjang ayah angkatku si
Dewa Tertawa itu pada masa dahulu?" tanya Siau Ih.
„Beliau adalah seorang tokoh yang gigih memperjoangkan
keadilan dan kebenaran. Angkatan muda dalam dunia
persilatan sangat mengagungkannya,” sahut Liong Go.
„Jadi pada hakekatnya, ayahku angkat itu memang tak mau
berpeluk tangan terhadap sesuatu yang tak adil. Sejak kecil
siaote digemblengnya, sudah tentu perangai siaote pun tak
terlepas dari ………..”
„Hiante ……..,” tukas Liong Go.
„Toako, orang bijaksana bicara dengan otaknya, masakah
toako tak kenal pribadiku. Apalagi aku pernah bentrok dengan
iblis itu.”
Kembali Liong Go mencegahnya, namun dengan wajah
bersungguh Siau Ih menegaskan: „Pertempuran di makam
Gak-ong itu termasuk tugas kaum persilatan dalam rangka
membasmi kejahatan. Segala resiko, biarlah siaote yang
tanggung. Benar locianpwe (Liong Bu-ki) tak mau menerima
bantuanku, tapi urusan itu siaote sendiri yang bertanggung
jawab, tak nanti menyusahkan toako.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masih Liong Go hendak memberi penjelasan untuk
menasehatinya, tapi Siau Ih segera menyimpangkan
pembicaraan: „Toako, sudahlah jangan plkirkan hal itu, mari
kita rayakan pertemuan kita ini dengan minum dan mengobrol
puas-puas.”
Liong Go terpaksa menerima cawan yang diangsurkan
pemuda itu dan meneguknya habis.
Kemudian Siau Ih menceritakan panjang lebar tentang
pengalamannya selama ini, Bagaimana dia menolong Tan
Wan, bertempur dengan Li Thing-thing, menje¬nguk si Rase
Kumala dan disekap selama tiga bulan di Tiam-jong-san dan
lain-lain.
Tapi ada sebuah hal yang dirahasiakan ialah tentang
pertempuran di gunung Tay-lo-san, dimana anak murid Gan-li
Cinjin telah binasa. Bukan karena dia takut terhadap Kho
Goan-thong, tapi karena dia tak mau Liong Go terlibat di
dalamnya.
Hanya saja sewaktu dia menceritakan tentang
pertempurannya dengan si Wajah Kemala Tio Gun. Liong Go
tampak terperanjat.
„Tio Gun itu kecuali berkepandaian tinggi, juga wajahnya
mirip sekali dengan siaote. Karena hal itulah maka siaote
hampir disangka orang sebagai tukang pengrusak wanita.
Sayang walaupun Siaote berhasil mengutungi sebelah
tangannya, bangsat itu dapat meloloskan diri."
Liong Go menerangkan bahwa sebenarnya si Wajah Kumala
itu bernama Tio Giok-gun, anak murid dari Ngo Siu-wan
Totiang. ketua Bu-tong-pay.
„Orangnya sih cerdas dan berkepandaian tinggi, hanya
sayang gemar paras cantik. Sebenarnya Ngo Siu-wan Totiang
hendak menghukumnya berat, tapi mengingat hubungan suhu
dan murid, dia tak tega dan hanya mengusirnya dari
perguruan. Sejak itu, dia pun berganti nama dengan Tio Gun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan menurutkan kemauan hatinya. Nah, jelas sudah bahwa
rumah perguruan baik belum tentu menghasilkan anak murid
baik. Baik buruk itu tergantung dari dasar sanubarinya.”
Siau Ih menanyakan kalau-kalau Liong Go kenal dengan
orang itu.
Liong Go menggeleng kepala, ujarnya: „Aku tidak kenal
padanya, melainkan dengan sutenya Kin-kiong-hoan Sun Kianhin,
aku memang kenal baik. Adalah dari Sun Kian-hin, aku
mengetahui riwayat si Wajah Kumala itu."
Demikian Kedua pemuda itu mengobrol sampai jauh
malam. Tahu-tahu langit sudah muiai terang tanah. Keduanya
segera berpisah untuk beristirahat dikamar masing-masing.
Siangnya setelah habis makan, Liong Go ajak Siau Ih
berjalan-jalan diperkampungan itu. Kecuali beberapa petak
rumah pondok Soh-yap-suan, Thing-hong-simo-cu dan Khimkwat,
desa Pao-gwat-chung itu seluruhnya adalah tanah
lapang yang penuh ditumbuhi bunga-bunga.
Memang propinsi Kwitang di daerah selatan, dalam empat
musim selalu menghidangkan pemandangan alam yang
permai. Siau Ih tak putu-putusnya memuji.
„Ah, hiante terlalu memuji, masakah Pao-gwat-san menang
dengan Tiam-jong-san dengan selat Liu-hun-hiap yang
keramat dan suci itu?” sahut Liong Go.
„Indah sih indah, tapi disini lebih bebas".
„Ah, memang di rumah sendiri itu ibarat kuda lepas, kalau
tak dikekang tentu membawa maunya sendiri."
Mendengar ucapan Liong Go itu, Siau Ih agak terkesiap,
katanya: „Siaote telah mengetahui kesalahan siaote. Rindu
akan toako, telah terpenuhi. Nanti setelah mengunjungi Lo-husan,
siaote tentu segera pulang ke Tiam-jong-san untuk
menerima dampratan dan menunggu kesempatan melakukan
pembalasan dendam yang tak kunjung datang itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Liong Go mengangguk, serunya dengan sungguh: „Tahu
kesalahan dan dapat merobahnya, itulah orang yang
bijaksana. Dan tak pernah melupakan dendam orang tua,
itulah orang yang berbakti.”
„Memang benar. Tapi kalau berlarut terlalu lama, mungkin
bukti-bukti peristiwa itu makin hilang. Kalau sampai demikian,
siaote hidup pun menanggung penasaran, mati juga tak ada
muka bertemu dengan kedua ayah bunda."
Liong Go menghiburnya: „Segala apa tak dapat lepas dari
hukum alam. Siapa menanam pasti akan memetik buahnya.
Misalnya, si Jin-mo itu. Tanpa diharap diapun muncul sendiri
kemari untuk mempertanggung-jawabkan kedosaannya. Harap
hiante jangan putus asa."
„Dalam, kamus hidup siaote, tak terdapat kata putus asa
itu. Setiap perbuatan yang benar, tentu siaote lakukan sampai
selesai. Mengenai hukum alam, uraiannya memang begitu,
namun prakteknya belum tentu bahwa perbuatan baik itu
tentu mendapat buah baik. Seperti si Jin-mo yang telah diberi
kemurahan oleh Locianpwe, sebaliknya malah memberi
kesempatan pada durjana itu untuk melanjutkan
kejahatannya. Kesimpulannya, baik buruknya hasil yang kita
petik itu, tergantung juga bagaimana tempatnya kita
menanam ……”
Liong Go agak terbeliak.
„Juga nasib seperti yang di alami oleh kedua almarhum
ayahbundaku itu. Apa salah mereka terhadap orang lain?
Hanya karena mereka dilahirkan sebagai sejoli rupawan dan
budiman, maka telah menimbulkan iri hati orang. Dari iri hati
orang lalu mencelakai mereka. Menurut hukum alam,
bagaimana hendak menjelaskan? Pada hakekatnya, dunia itu
memang tidak adil,” Siau Ih melanjutkan pula.
Kembali dia berhenti sejenak, lalu berkata pula: „Memiliki
hati welas asih dan menjalankan kebaikan, memang suatu hal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang mulia. Namun kalau tidak menyesuaikan dengan waktu
dan tempat, akibatnya akan runyam sendiri."
Liong Go merenung beberapa detik, baru dia mengiakan.
Dia memuji kematangan pikiran hiantenya itu.
Siau Ih mengucapkan kata-kata merendah, lalu katanya:
„Ai, toako, karena mengobrol kita baru berjalan beberapa
puluh langkah saja. Kalau begini gelagatnya, mungkin dalam
tiga hari, siaote tak dapat menjelajahi Pao-gwat-chung ini
sampai habis."
Liong Go tersadar dan buru-buru ajak hiantenya itu
lanjutkan perjalanan lagi.
Tapi belum berapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba
terdengar lengking orang tertawa.
„Suheng, alangkah indahnya bunga ini!" seru seorang
nona.
„Sumoay, tanpa ijin yang empunya, jangan gegabah
memetiknya," sahut seorang pemuda.
Membantah si gadis tadi: „Berapakah harganya setangkai
bunga, masakah si pemilik begitu sekaker?”
Rupanya kedua muda mudi itu tengah berbantah.
Siau Ih segera menanyakan mereka kepada Liong Go.
„Rasanya tentu puteri kesayangan Kho Cinjin yang bernama
Cek-i-liong-li Kho Wan-ji ……,” baru Liong Go berbisik sampai
disini, dari semak disebelah muka, berkelebat keluar seorang
gadis berbaju wungu, beserta seorang imam muda.
Nona itu berumur duapuluhan tahun dipunggung menyelip
sebatang pedang. Sedang imam itu berjubah merah.
Menampak Liong Go, nona itu menghampiri. Dengan
bersenyum-senyum ia mununjuk ke arah bunga yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
disunting dirambutnya, serunya: „Liong toako, kupetik
setangkai bungamu, apakah kau keberatan?”
Biasanya Liong Go amat sayang terhadap pohon-pohon
bunganya. Dia sendiri yang menanam dan merawat bungabunga
itu. Orang dilarang memetiknya. Dengan hobby itu,
hatinya terhibur. Sebenarnya dia kurang senang, namun
dipaksakan juga bibirnya bersenyum.
„Jika nona Yan suka, setangkai bunga tak menjadi soal!"
Nona baju ungu itu, adalah puteri tunggal dari Gan-li Cinjin
Kho Goan-thong. Kho Goan-thong mulai menjadi orang
pertapaan, ketika sudah dalam pertengahan umur.
Tigapuluh tahun berselang, dia ajak seluruh keluarga dan
anak muridnya ke pulau Cip-peng-to. Disitu dia mendirikan
istana-biara Li-cu-kiong.
Meskipun dia mempunyai banyak selir, tapi ketika berusia
lanjut baru dia memperoleh seorang puteri. Maka dapat
dibayangkan betapa kasih sayangnya terhadap sang buah hati
itu.
Inilah yang menjadikan Yan-ji, seorang nona yang manja.
Karena sejak kecil tak pernah meninggalkan pulau
kediamannya, maka terhadap tata cara pergaulan, ia tak
mengerti.
Waktu ayahnya pergi kedaratan Tiong-goan ia berkeras
mau ikut. Direngeki puterinya, Kho Goan-thong terpaksa
meluluskan.
Mengingat puterinya sudah dewasa, maka baik jugalah
kiranya tambah pengalaman dan sekalian barangkali dia (Kho
Goan-thong) dapat mencarikan anak mantu yang sesuai
dengan puterinya itu.
Wan-ji amat gembira mendapat bunga itu. Berpaling ke
arah si imam muda, berkatalah ia dengan rasa bangga: „NgoTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
suheng, bagaimana, kan sudah kukatakan bahwa Liong toako
tak nanti begitu pelit."
Si imam muda tak mau menyahuti ejekan sumoaynya,
melainkan sepasang matanya berkilat-kilat menatap Liong Go,
kemudian hidungnya mendengus dingin.
Sudah tentu Liong Go terkesiap, pikirnya: „Jangan-jangan
dia tak senang padaku karena bunga itu."
Karena memikirkan hal itu, mau tak mau wajah Liong Go
agak berobah. Sedang si imam mudapun tampak membesi
mukanya.
Kesemuanya itu tak lepas dari pandangan Siau Ih. Dia tahu
bahwa antara kedua orang itu diam-diam telah terbit ganjelan.
Buru-buru dia menyela: „Toako, mengapa tak mengenalkan
siaote?"
Sebagai seorang terpelajar, Liong Go malu di dalam hati
karena telah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang
menyenangkan tadi. Segera dia tertawa terbahak-bahak,
serunya: „Kedua pihak adalah tetamu-tetamu yang mulia,
sukar aku menjadi tuan rumah."
Kemudian menunjuk kepada si nona, dia berkata: „Inilah
puteri kesayangan dari salah seorang tokoh sepuluh Datuk
Gan-li Cinjin Kho Goan-thong Totiang, nona Kho Wan-ji.
Sedang Totiang ini adalah Hwat-poan-koan Lu Wi, murid
pilihan dari Kho Cinjin. Dan ini adalah Siau Ih, adik angkatku,
harap ……..”
Belum lagi Liong Go menghabiskan kata-katanya, Siau Ih
sudah segera tampil ke muka memberi hormat pada Wan-ji:
„Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan nona dan
Totiang."
Wan-ji balas memberi hormat. Menatap si anak muda,
diam-diam ia membatin: „Seorang anak muda yang gagah dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tampan, hanya sayang sepasang alisnya memancarkan hawa
pembunuhan."
Dilihati begitu rupa, Siau Ih tak senang. Apalagi dia sudah
mempunyai purbasangka terhadap anak murid Gan-li Cinjin.
Namun sedapat mungkin, dia mengendalikan perasaannya.
Hwat-poan-koan Lu Wi terpaksa membalas hormat juga.
Melihat itu, diam-diam Liong Go malu hati terhadap Siau Ih.
Masakah hanya karena setangkai bunga, dia hampir saja
kehilangan harga sebagai tuan rumah.
Tiba-tiba kedengaran Wan-ji tertawa, ujarnya: „Sewaktu di
pulau Cip-peng-to, ayah telah menceritakan bahwa alam
pemandangan di gunung Pao-goat-san sini indah bagai
lukisan. Dan memang kenyataannya begitu. Hanya saja ayah
pernah memesan bahwa setiap jengkal tanah di Pao-gwatchung
sini penuh dengan perkakas rahasia, kalau tidak diantar
tuan rumah tentu akan celaka. Oleh karena itu, sejak tiba
disini, aku tak berani keluar-keluar. Kini apakah Liong toako
senggang dan suka membawa aku berjalan-jalan!"
Sebenarnya karena masih menguatirkan kedatangan Jinmo.
Liong Go tiada mempunyai kegembiraan. Tapi untuk
jangan dikatakan kurang ramah, terpaksa dia menyahut:
„Sebagai tuan rumah, sudah sewajibnya aku menemani
keinginan nona. Hanya saja diperdesaan sini, tiada apa-apa
yang menarik, kecuali beberapa pohon dan beberapa
bangunan yang didirikan engkong. Apabila nona Wan sudah
menyaksikan, tentu akan kecewa."
„Ai, Liong toako terlalu merendah," sahut Wan-ji, kemudian
katanya kepada Lu Wi, „Ngo-suheng, mumpung tuan rumah
mempunyai kegembiraan, apalagi ada Siau-siaohiap, ayuh kita
puaskan mata."
Hwat-poan-koan Lu Wi memandang Liong Go dengan
dingin. Dia hanya mengangguk tak mau menyahut apa-apa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun rupanya Wan-ji tak merasa akan sikap aneh dari
suhengnya itu. Dengan riangnya, segera dia ajak Liong Go
berangkat.
Sekonyong-konyong terdengarlah suitan pelahan, tapi
nadanya amat penuh hingga berkumandang sampai lama.
Liong Go dan Siau Ih terbeliak.
Sebaliknya sepasang mata yang bersorot aneh dari Lu Wi
tadi, segera menatap kepada Wan-ji.
„Suhu memanggil, mungkin akan memberi perintah,"
serunya. „Ah, kesempatan bagus ini tersia-sia lagi,” gerutu
Wan-ji dengan kurang puas.
„Asal nona Yan suka, lain hari masih dapat kuantar,” buruburu
Liong Go membujuknya.
Wan-ji mengangguk. Entah sengaja entah tidak, kembali
matanya melirik kepada Siau Ih. Setelah tertegun sejenak,
baru ia melangkah ke arah pondok Khim-kwat. Hwat-poankoan
Lu Wi mengikutinya.
Setelah mereka pergi, kedengaran Liong Go menghela
napas, ujarnya : „Urusan dunia ini memang sukar diduga,
lebih-lebih kaum wanita. Menilik naga-naganya, nona tadi
rupanya ada hati pada hiante. Kalau benar begitu, urusan
pribadi hiante bakal tambah banyak lagi."
Siau Ih ganda tertawa, tiba-tiba dia berkata dengan nada
sungguh: „Benar bunga yang jatuh itu ada artinya, tapi belum
tentu air yang mengalir itu mempunyai maksud (kiasannya:
bertepuk sebelah tangan). Godaan kejahatan tak mempan
pada siaote, apalagi soal cinta, tidaklah semudah itu.”
Begitulah kedua pemuda itu lanjutkan langkah. Tanpa
terasa haripun sudah mulai petang.
Habis makan malam, kembali Liong Go ajak Siau Ih duduk
diserambi muka minum arak. Sebenarnya Liong Go itu seorang
pemuda yang mempunyai didikan tinggi. Tapi dikarenakan hari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu adalah hari penghabisan dari janji Jin-mo, jadi tak urung
dia tampak gelisah juga.
Tanpa terasa waktu sudah hampir tengah malam. Suasana
di Pao-gwat-chung itu makin lelap. Langit bertabur bintang,
angin malam membawakan bau bunga, membuat tempat itu
seperti tempat dewata.
Sebaliknya Liong Go merasa, justeru dalam ketenangan
itulah, alamat akan datangnya bahaya.
Siau Ih tak dapat menyelami perasaan toakonya. Belum
pernah dia merasakan ketenangan yang seperti saat itu, maka
enak-enak saja dia menikmati araknya. Akhirnya dia terpaksa
tak tega melihat kegelisahan Liong Go.
„Dimisalkan si Jin-mo datang, itu adalah suatu kejadian
jamak dalam dunia persilatan. Mengapa toako begitu gelisah?
Kewibawaan tui-hun-cap-sa-san, tak mengizinkan perasaan
semacam itu,” dia membatin.
Pada lain saat, dia menduga mungkin Jin-mo Kiau Hoan itu
akan datang dengan konco-konconya yang banyak. Sekalipun
ada Gan-li Cinjin dan anak muridnya, dikuatirkan engkong
Liong Go itu tak mau meminta bantuannya. Ah, biar
bagaimana, dia (Siau Ih) akan berusaha untuk membantu
sekuat mungkin.
„Toako kemarin malam telah memberi nasehat tentang
keperwiraan pada siaote, tapi mengapa kini toako sendiri
begitu gelisah? Ai, biarlah siaote menghaturkan secawan arak
pada toako, sekedar untuk penenang hati."
Liong Go tersipu-sipu malu, dan lalu mengangkat cawan
meminumnya. Siau Ih menuangkan lagi arak ke dalam cawan
Liong Go, ujarnya: „Ai, tak usah toako likat-likat …….”
Baru dia mengucap begitu, tiba-tiba dari kejauhan
terdengar suara letusan. Siau Ih cepat loncat untuk
mengambil pedangnya yang digantungkan ditembok, tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketika melihat Liong Go, ternyata toakonya itu sudah lari
keluar.
Cepat Siau Ih memanggil Ji-yan dan suruh anak itu
mengikutnya. Begitu loncat keluar halaman, dilihatnya
dijalanan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian sana, asap me¬ngepul
mengantar ledakan batu yang muncrat ke udara. Memang
Siau Ih menduga bahwa si Manusia Iblis Kiau Hoan tentu
datang, tapi dia tak menyangka sama sekali bahwa musuh
begitu ganasnya.
Liong Go tak tampak sama sekali.
Setelah memanggil Ji-yan, dengan gunakan gerak yan-cusam-
jo-khi, dia berloncatan menuju ke mulut jalanan itu.
Makin dekat, letusan itu makin keras bunyinya. Dari udara
berhamburan pecahan batu sebesar mangkok.
Pada lain saat, letusan itu membawa juga jeritan orang
yang mengerikan. Terang itulah tentu para keluarga pemburu
yang mengungsi di Pao-gwat-chung.
Dengan amarah yang meluap-luap, Siau Ih berlari keras
dan sebentar saja dia sudah tiba dimulut jalanan. Beberapa
jenak kemudian, Ji-yan pun menyusul datang.
Saat itu, Siau Ih melihat Thiat-san-sian Liong Bu-ki bersama
Gan-li Cinjin Kho Goan-thong berjajar berdiri kira-kira
seratusan langkah dari mulut jalanan. Di belakangnya tampak
Cek-i-liong-li Kho Wan-ji, Hwat-poan-koan Lu Wi dan Liong
Go.
Siau Ih tarik tangan Ji-yan. Sekali loncat sampai satu
tombak tingginya, lebih dulu dia lemparkan Ji-yan ke muka.
Begitu anak itu tiba disebelah kedua jago tua tadi, Siau Ihpun
sudah menyusul tiba.
Namun belum lagi dia sempat memberi hormat, kedua
tokoh itu sudah membentaknya: „Mundur!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menyusul dengan mementang kedua tangan, maka
memancarlah suatu tenaga lembek yang luar biasa beratnya,
mendorong Siau Ih berlima mundur.
Kemudian pada lain saat, terdengarlah letusan dahsyat.
Dua buah puncak bukit batu yang berada di sebelah muka,
telah meledak menghamburkan beribu-ribu pecahan batu.
Dalam hujan batu itu, tiba-tiba melesat datang lima buah
bayangan.
Yang paling muka, ialah Jin-mo Kiau Hoan. Dia tetap
mengenakan pakaian warna kuning, pundaknya memanggul
sepasang senjata oh-kim-song-cat, senjata yang mirip pedang
bukan pedang, gaetan bukan gaetan. Wajahnya yang tirus
pucat, be-ringas haus darah.
Di belakangnya tampak seorang tua berwajah merah,
brewok, hidung dan mata seperti kukuk beluk, membawa
senjata tongkat besi ciang-mo-thiat-jo. Kawannya yang dua
lagi, berumur kira-kira tigapuluhan tahun, wajahnya buasbuas.
Mereka berdiri pada jarak satu tombak jauhnya. Reaksi
Kiau Hoan waktu melihat Gan-li Cinjin Kho Goan-thong berada
disitu, ialah terperanjat.
„Bukanlah saudara ini kepala pulau Cip-peng-to yang
pernah menginjak Tiong-goan?" tegurnya.
Benar Gan-li Cinjin sudah berpuluh tahun tinggal di luar
lautan sehingga seolah-olah terputus hubungannya dengan
kaum persilatan. Tapi warna jubahnya yang merah membara
itu, memang sangat istimewa sekali sehingga mudah dikenal
orang.
Mendengar teguran orang, dengan sikap dan nada yang
dingin, dia menyahut: „Jika sudah tahu pinto berada disini,
mengapa tak lekas-lekas pergi …….”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manusia Iblis Kiau Hoan cepat menukasnya dengan sebuah
tertawa yang seram: „Kemasyhuran nama sepuluh Datuk
berkumandang sampai diseluruh pelosok, namun tak dapat
menggertak orang she Kiau ini. Pulau Cip-peng-to boleh kau
kuasai, tapi di daratan Tiong-goan sini, lain halnya!"
Seorang tokoh yang congkak macam Gan-li Cinjin mana
mau menelan sindiran begitu. Amarahnya meluap, terus
membentak garang. „Manusia yang tak kenal tingginya langit.
Kalau tak kuhajar, tentu kau belum tahu kelihayan pinto!”
Habis berkata, dia kibaskan lengan baju kanan. Serangkum
hawa panas telah menyambar ke arah Kiau Hoan. Cepat
Manusia Iblis ini surutkan dada, lalu loncat ke samping.
Serunya: „Sekarang masih terlalu pagi, aku masih belum
membereskan hutang lama. Nanti setelah itu selesai, baru
akan kuminta pelajaran!"
Gagah ucapannya itu, namun sebenarnya di dalam hati dia
sudah gentar. Ci-yang-sin-kang (lwekang positif) yang
diyakinkan Gan-li Cinjin itu, adalah penakluk dari him-hankong-
lat (lwekang negatif) kepunyaan Kiau Hoan. Sayang
Gan-li Cinjin tak mengetahui kelemahan itu, sebaliknya Liong
Go dan Siau Ih terang gamblang.
Thiat-san-sian Liong Bu-ki sudah menyala amarahnya.
Sebenarnya tokoh itu tak mengingat lagi permusuhannya
dengan si Manusia Iblis. Dia yakin jalanan kiu-jiok-pat-poa-itsan-
thian dan hutan yang tersusun seperti barisan itu, cukup
buat menahan Kiau Hoan dan kawan-kawan menyerbu masuk.
Ditambah oleh perangai Liong Bu-ki yang berhati angkuh itu,
dia melarang Liong Go untuk menceritakan hal permusuhan
itu kepada lain orang.
Tapi di luar dugaan, dengan menggunakan senjata ganas
pik-li-cu, dapatlah Kiau Hoan menghancurkan benteng
pertahanan Pao-gwat-chung. Rombongan keluarga pemburu
yang mengungsi disitu, telah menjadi korban dan para
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tetamupun menjadi kaget. Suatu hal yang telah membuat
Liong Bu-ki marah seperti orang kemasukan setan.
„Balas membalas dendam, adalah hal yang jamak bagi
kaum persilatan. Tapi mengapa kau telah mengganas juga
keluarga pengungsi yang tak berdosa itu?" tegurnya dengan
marah.
Kiau Hoan si Manusia Iblis mendongak tertawa memanjang.
Habis tertawa, mukanya yang tirus pucat itu segera membesi,
serunya: „Dendam puluhan tahun itu, tiada sedetikpun
kulupakan. Yang tadi hanyalah selaku bunganya (rente) saja!"
„Dahulu karena kasihan, telah kuberi hidup. Siapa tahu hal
itu malah menimbulkan bencana bagi rakyat. Sekarang kalau
kau dapat terlepas, aku bersumpah tak mau jadi orang," seru
Liong Bu-ki dengan geramnya.
„Kalau dapat melaksanakan, itulah bagus. Hanya
dikuatirkan jiwamu hanya tinggal beberapa jam saja,” Kiau
Hoan membalas dengan tertawa seram.
Sejak melihat cecongor si Kiau Hoan, sebenarnya Siau Ih
sudah tak sabar lagi. Tapi karena ada para cianpwe jadi dia
tak berani melancangi.
Tapi demi melihat sikap Kiau Hoan yang begitu
congkaknya, dia sudah tak kuat menahan hatinya lagi. Tampil
ke muka, dia segera memberi hormat kepada Liong Bu-ki:
„Maafkan, kelancangan wanpwe."
Habis itu, tanpa menunggu jawaban orang, dia segera
membalik diri menghadapi Kiau Hoan.
„Tua bangka yang tak tahu malu. Masih ingatkah kau akan
hadiahku di Ki-he-nia dulu?" tanyanya dengan tajam.
24. Pertempuran Sadis …….
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat si anak muda, kembali Kiau Hoan bercekat.
Keluhnya: „Berpuluh tahun kusiksa diri meyakinkan thou-kutim-
kang yang tiada lawannya di dunia, kecuali hanya ilmu
lwekang gan-li-ci dan kian-wan-sin-kang. Justeru kedua ilmu
itu, kini sama muncul keluar. Entah angin apa yang membawa
Kho Goan-thong muncul kembali ke Tiong-goan setelah absen
selama duapuluhan tahun itu? Ah, rasanya pembalasan sakit
hatiku malam ini, akan gagal ……”
Sebenarnya dia sudah putus asa, namun bagaimanapun
juga, tak rela dia menghapus begitu saja dendam yang
dikandungnya selama bertahun-tahun itu. Diam-diam dia telah
mengambil ketetapan.
Dengan tertawa dingin, dia tak mau menyahuti ejekan Siau
Ih, melainkan berpaling ke arah si tua berwajah merah dan
kedua orang yang berwajah bengis.
„Inilah yang dibilang, penasaran selalu berbalas. Budak itu
ialah musuh kaum kita!" katanya dengan tertawa tajam.
Kedua orang berwajah bengis itu segera tampil ke muka.
Serempak mereka bertanya: „Apakah kau ini Siau Ih?”
„Benar. Siapa kalian ini?” sahut Siau Ih dengan tertawa
congkak.
Kedengaran Kiau Hoan tertawa mengejek dan mewakili
menyahut: „Budak yang belum hilang bau pupukmu. Masakah
tokoh termasyhur Cian-chiu-wi-tho Go Ki dan Kui-chiu-sianseng
Ko Ling, kau tidak kenal. Nah, telah kuberitahukan
padamu supaya kau tak mati penasaran!”
Siau Ih belum lama turun gunung, pun Gan-li Cinjin sudah
lama tak menginjak Tiong-goan, jadi mereka dingin-dingin
saja mendengar nama kedua tokoh itu. Tetapi Liong Go
tergetar hatinya.
Cian-chiu-wi-tho atau si Dewa Tangan Seribu Go Ki dan
Kui-chiu-sian-seng atau si Tangan Setan Ko Leng itu, adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
algojo-algojo di dunia persilatan. Muncul lenyapnya tiada
berketentuan, ganasnya bukan kepalang.
Mereka sudah bertahun-tahun tak kelihatan, kini tahu-tahu
sudah masuk menjadi anggauta Thiat-sian-pang.
„Burung yang sama bulunya, tentu berkumpul bersama.
Orang-orang yang menjadi koncomu, mana ada bangsa yang
baik!" sahut Siau Ih dengan ejeknya.
Mendengar itu, si Tangan Setan Ko Leng sudah segera
bersuit nyaring terus loncat menerkam bahu Siau Ih. Siau Ih
yang tak menyangka sama sekali, sudah tentu menjadi kaget.
„Menilik jari-jarinya berwarna hitam, tentulah mengandung
racun. Kalau sampai menjamah tubuhku, pasti celaka aku …”
Secepat kilat, Siau Ih segera bertindak. Lwekang kian-wansin-
kang disalurkan ke seluruh tubuh untuk menutup semua
jalan darah. Setelah itu dia rubuhkan badannya ke belakang
sedikit, lalu taburkan kedua tangannya ke atas dalam gerakan
hong-jit-ing-hun atau menyongsong matahari menyambut
awan.
Si Tangan Setan tertawa mengekeh, serunya: „Di bawah
telapak tanganku, tiada pernah orang masih dapat bernapas.
Kau mau lari, heh?“
Bagaikan setan menjulurkan tangan, dia robah
cengkeramannya itu menjadi gerak menekan. Bagaimanapun
lihaynya anak itu, tentu akan tertindih binasa juga. Demikian
pikirnya.
Tapi di luar dugaannya, ternyata dorongan anak muda itu
telah mengeluarkan tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Begitu
saling berbentur, dia terguncang keras. Bahu Siau Ih
berguncang dan menyurut mundur sampai empat tindak.
Bagaimana dengan si Tangan Setan? Dia terhuyung-huyung
sampai sepuluh langkah baru dapat berdiri tegak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu, kini sama
jelas. Benar kesudahannya dua-duanya sama menderita, tapi
lain penilaiannya. Yang satu memang memandang remeh,
sedang yang lain karena tergesa-gesa melindungi diri.
Yang satu jago kawakan yang terkenal, yang lain seorang
anak muda yang baru turun dari gunung. Baik kawan maupun
lawan, sama terperanjat kagum melihat kehebatan lwekang
Siau Ih.
Siau Ih kala itu tampak beringas. Rambutnya agak kusut,
wajah merah padam, sepasang alisnya menjungkat ke atas.
Tiba-tiba dia tertawa nyaring, serunya: „Setiap budi, tentu
berbalas. Nah, kaupun harus menerima sebuah pukulankul!” -
Tangan menghantam dan melancarlah suatu tenaga yang
panas membara ke arah si Tangan Setan yang berdiri pada
jarak duapuluhan tindak itu.
Benar wajah si Tangan Setan Ko Leng masih sedingin
setan, tapi kemarahannya telah menyalur ke sepasang
matanya yang berkilat-kilat buas. Melihat lawan menghantam,
dia mendengus lalu undurkan kakinya setengah langkah dan
balikkan kedua tangannya untuk menyambut.
„Bum,” kedua-duanya sama tersurut sampai tiga langkah!
„Buyung, pernah apa kau dengan si Dewan Tertawa Bok
Tong?" tiba-tiba si Tangan Setan bertanya.
„Pernah apaku, tiada sangkut pautnya dengan kau!" sahut
Siau Ih tertawa dingin.
Selain terkenal sebagai algojo ganas, dulu si Tangan Setan
itu amat doyan paras cantik. Dalam beberapa tahun saja,
entah sudah berapa banyak jago kalangan putih dan hitam
serta wanita yang menjadi korbannya.
Pada masa tokoh-tokoh sepuluh Datuk itu berturut-turut
mengundurkan diri. Pemimpin-pemimpin angkatan tua dari
partai Bu-tong, Siau-lim, dan lain-lain aliran suci, telah sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cuci tangan tak mau campur urusan dunia lagi. Dengan
kepandaiannya yang hebat itu, Ko Leng telah
bersimaharajalela semau-maunya. Tapi segala kejahatan itu
tentu akan berbalas.
Pada suatu hari bertemulah dia dengan si Dewa Tertawa
Bok Tong, tokoh luar biasa yang gemar membasmi kejahatan
itu. Si Dewa Tertawa tak mau melepaskan serigala buas itu.
Si Tangan Setan kalah dan coba melarikan diri tapi tetap
dikejar mati-matian oleh Bok Tong. Akhirnya ketika kecandak
di puncak gunung Hong-san, dia telah dipukul jatuh ke dalam
lembah oleh si Dewa Tertawa.
Sejak itu, si Tangan Setan tiada kabar beritanya lagi.
Orang-orang menyangkanya sudah mati.
Tapi diluar dugaan, dari binasa sebaliknya di dasar lembah
itu dia bahkan bertemu dengan keberuntungan besar. Disitu
tinggallah seorang jago tua jahat yang karena cacad
bersembunyi ditempat itu sampai beberapa tahun. Si Tangan
Setan Ko Leng diterima menjadi murid.
Ketika untuk yang kedua kalinya muncul lagi di dunia
persilatan, Ko Leng sudah menjadi makin lihay. Tapi untuk
kekecewaannya, si Dewa Tertawa sudah tak ketahuan
rimbanya.
Kala itu kebetulan Seng-si-poan Sut Cu-ping yang sangat
bernafsu untuk merajai dunia persilatan, mulai mendirikan
partai Thiat-sian-pang. Dengan perantaraan si Manusia Iblis
Kiau Hoan, Ko Leng masuk ke dalam partai itu. Dia diangkat
menjadi pemimpin gwa-sam-tong dengan pangkat hiang-cu.
Dengan menggunakan jaringan mata-mata Thiat-sian-pang
yang amat luasnya, dia coba menyirapi kabar berita musuhnya
besar itu. Namun tetap sia-sia. Karena itu, dendamnya
terhadap si Dewa Tertawa makin meluap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kali ini dia memenuhi undangan Kiau Hoan yang katanya
akan mencari musuh Thiat-sian-pang. Dia tak mengira kalau di
Pao-gwat-chung itu, akan berhadapan dengan Siau Ih.
Ditilik dari sikapnya, terang anak muda itu bukan anak
murid Gan-li Cinjin. Tuduhannya lalu jatuh pada si Dewa
Tertawa. Tapi jawaban yang diberikan anak muda itu, telah
membuatnya marah besar.
"Bagus, karena kau hendak mewakili si tua Bok Tong, maka
akupun segera akan menyempurnakan dirimu!" serunya
mengekeh seram. Menyusul tangannya diangkat ke atas, dia
segera bersuit nyaring terus menerkam Siau Ih.
Pada saat itu, dari pembicaraan yang ditangkapnya tahulah
Siau Ih bahwa si Tangan Setan itu mempunyai dendam
permusuhan dengan ayahnya angkat. Namun dia tak sempat
berpikir macam-macam, karena harus menghindar dari
serangan orang.
„Buyung, mau lari kemana kau?" seru Ko Leng melengking
marah. Dengan gerakan yang tangkas, dia segera berputar
tubuh menghadang si anak muda, terus dorongkan sepasang
tangannya menghantam.
Siau Ih bersikap tenang. Begitu angin pukulan lawan
hampir mengenai bajunya, tiba-tiba dia tertawa mengejek:
„Kau kira tuanmu muda ini jeri pada cecongormu yang mirip
iblis itu?"
Dengan ucapan itu, dia sudah separoh miringkan tubuh
untuk hantamkan tangan kiri ke arah lengan orang, dua buah
jari tangan kanan menusuk jalan darah ciang-thay-hiat di
bawah tetek si iblis. Cara menangkis sembari menyerang itu
dilakukan dengan cepat sekali. Ko Leng terpaksa tarik pulang
serangan dan mundur dulu, baru kemudian maju lagi.
Demikianlah keduanya serang menyerang dengan jurusjurus
yang indah dan berbahaya. Tangan Setan Ko Leng
sangat bernafsu sekali untuk menghancurkan anak muda
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lawannya itu, karenanya jurus-jurus yang dilancarkan itu serba
gencar dan ganas. Tubuhnya seolah-olah terpecah menjadi
empat untuk mengurung Siau Ih dari segala jurusan.
Sepintas pandang, Siau Ih tampaknya seperti terbungkus
oleh bayang-bayang si Tangan Setan. Tapi benarkah itu?
Begitu bergebrak Siau Ih sudah merasa bahwa sekalipun ia
tak sampai kalah, pun untuk merebut kemenangan juga sukar.
Cepat dia keluarkan ilmu istimewa ajaran si Dewa Tertawa
yakni ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh.
Setelah kedudukannya stabil, barulah dia keluarkan ilmu
tun-yang-sip-pat-ciat untuk bertahan sembari menyerang.
Maka betapa gencar serangan lawan, dengan lenggangnya
dapatlah dia melayani. Sewaktu mencuri lubang kesempatan,
segera dia balas menyerang. Musuh menyerang empat-lima
kali, baru dia membalas satu kali.
Yang satu bernafsu, yang satu tenang. Sekejap saja
pertempuran sudah berjalan limapuluhan jurus. Ko Leng
sudah menumpahkan seluruh kepandaiannya, namun ujung
baju si anak muda itupun saja, tak mampu dia menjamahnya.
Rombongan orang-orang dari kedua pihak yang menyaksikan
pertandingan itu, sama terpikat perhatiannya.
Bermula Thiat-san-sian Liong Bu-ki mengawasi dengan
perasaan kuatir terhadap Siau Ih, tapi demi pertempuran
sudah berlangsung tigapuluhan jurus, wajahnya berseri
senyum dan mengangguk-angguk. Nyata dia puas dengan
permainan anak muda itu.
Sampaipun Gan-li Cinjin Kho Goan-thong yang bermula tak
menyukai anak muda itu, kinipun agak terkesiap juga. Hwatpoan-
koan Lu Wi tetap berwajah dingin, sementara Liong Go
amat tegang.
Tapi mungkin ketegangan Liong Go itu, masih kalah besar
dengan Cek-i-liong-li Kho Wan-ji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebesar itu, belum pernah ia menyaksikan pertempuran
yang sedemikian serunya, apalagi disitu tersangkut seorang
pemuda yang ia kagumi. Maka taklah mengherankan kalau
gadis dari pulau Cip-peng-to itu sampai mengucurkan keringat
dingin.
Tanpa disadari, tangannya merabah pedang. Begitu si anak
muda dalam bahaya, begitu ia segera akan menolong. Sayang
isi hati nona itu belum diketahui Siau Ih.
Sementara pada pihak musuh, Kiau Hoan lah yang paling
gelisah. Dialah yang mengajak si Tangan Setan kesitu.
Harapan bahwa malam itu dia bakal dapat menghimpaskan
sakit hatinya, ternyata makin pudar.
Si Tangan Setan Ko Leng yang diharap dapat memberi
bantuan besar itu, ternyata tak dapat berbuat apa-apa
ter¬hadap Siau Ih. Dan yang paling menggetarkan hatinya,
ialah hadirnya Gan-li Cinjin Kho Goan-thong disitu. Bagaimana
kegelisahannya, dapat sudah dibayangkan!
Saat itu keadaan digelanggang pertempuran makin tegang
meruncing. Siau Ih yang melakukan siasat bertahan kini
berganti dengan siasat menyerang. Dengan serangannya
gencar dan luar biasa anehnya itu, dapatlah dia memaksa Ko
Leng mundur beberapa kali.
Ko Leng makin kalap. Dengan bersuit nyaring, dia
keluarkan seluruh kebiasaannya agar jangan sampai kalah
angin. Kini keras lawan keras, cepat tanding gesit. Barang
siapa ayal sedikit saja, pasti akan rubuh mandi darah.
Sekonyong-konyong Thiat-san-sian Liong Bu-ki meringkik
tertawa. Kemudian katanya kepada si Manusia Iblis Kiau Hoan:
„Yang mempunyai kepentingan dalam pertemuan malam ini,
ialah aku dan kau. Tapi kalau kita hanya menonton saja,
bukankah ganjil namanya? Apalagi para keluarga pemburu
yang tak berdosa itu, telah binasa ditanganmu. Lo-siu akan
minta keadilan padamu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Liong loji," sahut Kiau Hoan tertawa nyaring, „telah
kukatakan tadi bahwa kematian beberapa orang pemburu itu
hanyalah sekedar bunga dari hutangmu pada beberapa tahun
yang lalu. Sekarang aku hendak menagih induk hutang itu!” –
Mundur selangkah, dia sudah siapkan sepasang oh-kim-cat
ditangan.
Liong Bu-ki tertawa lalu menebarkan sebuah kipas dan
melangkah maju. Melihat kipas itu, wajah Kiau Hoan berobah,
serunya: „Liong loji, mengapa tak kau keluarkan kipasmu tuihun-
thiat-san yang termasyhur itu?"
Kembali Thiat-san-sian tertawa lebar, sahutnya: „Kipas
pusaka itu, telah kuberikan pada cucuku, maka losiu hanya
menggunakan kipas biasa saja, untuk menghadapimu!"
Pada lain saat, jago tua itu mengerut, lalu berkata dengan
nada dalam: „Tapi walaupun kipas ini hanya terbuat dari
bambu biasa, tetap dia akan menjadi senjata ampuh
pembasmi kawanan iblis!"
Kiau Hoan tak mau adu lidah lagi. Dengan tertawa sinis, dia
enjot tubuhnya sampai satu setengah tombak tingginya. Disitu
dia pentang sepasang oh-kim-cat. Setelah dimainkan dalam
jurus thian-mo-gong-wu, sembari bersuit nyaring, dia
meluncur menghantam kepala lawan.
Liong Bu-ki pun bersuit nyaring dan enjot tubuhnya ke
atas. Lengan baju kiri dibalikkan dalam gerak jun-hong-hud-liu
sehingga menerbitkan deru angin lwekang yang dahsyat,
menyusul dalam jurus gui-seng-tiam-goan, kipasnya
ditusukkan kejalan darah thian-tho-hiat Kiau Hoan.
Cara bertempur semacam itu, sungguh belum pernah
terjadi. Sehingga saking kagetnya, Kiau Hoan buru-buru
menangkiskan senjatanya dan sekali tubuhnya bergoyang
dalam gerak kek-cu-toa-hoan-sin atau burung dara berbalik
badan, dia buang tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Tapi
baru sang kaki menginjak tanah, Thiat-san-sian sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meluncur datang dengan kebutkan kipasnya ke arah dada.
Gebrak kedua itupun dilangsungkan secara sengit.
Cian-chiu-wi-tho Go Ki yang sejak tadi berdiam diri, saat itu
tiba-tiba tertawa dan berkata kepada Gan-li Cinjin: „Ibarat
masuk ke gunung harta, tak boleh kita pulang dengan tangan
kosong. Go Ki pun ingin melayakni seorang ko-jin yang
termasyhur.”
Kemudian berpaling ke arah kedua kawannya, dia berseru:
„Mengapa Te tongcu berdua tak mau melemaskan urat
bermain-main dengan beberapa anak itu? Lebih enak bergerak
daripada kedinginan."
Rupanya enak sekali orang she Go itu bicara dan bertindak.
Habis berkata dia lantas mencabut tongkat besi ciang-mothiat-
ngo dan tanpa menunggu penyahutan orang lagi, dia
segera menyerang Gan-li Cinjin. Memang Go Ki sama halnya
dengan Ko Leng, juga seorang algojo kenamaan di dunia
persilatan.
Bedanya kalau dia berwajah jujur, tapi Ko Leng buruk
seperti setan, jadi orang menilai Ko Leng lebih ganas dari dia.
Tapi sebenarnya tidak demikian. Dia lebih licin dan ganas
serta tinggi kepandaiannya dari si Tangan Setan itu.
Pemimpin Thiat-sian-pang si Seng-si-poan Sut Cu-peng
telah mengangkatnya sebagai salah seorang dari ketiga
hiangcu. Sebagai hiangcu dari Loan-tong, dia amat dihormati
dan ditakuti oleh anak buah Thit-sian-pang.
Inilah yang menjadikan dia congkak tak kepalang. Maka
sekali tampil, dia segera menantang Gan-li Cinjin.
Sebenarnya Gan-li Cinjin tak tahu menahu tentang si
Manusia iblis akan menuntut balas itu. Baru setelah kedua
pihak saling berhadapan, dia jelas soalnya.
Melihat kesombongan Kiau Hoan, dia sudah tak sabar lagi.
Manusia seperti Kiau Hoan itu harus dllenyapkan saja dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera. Sudah tentu kemarahannya itu seperti disiram minyak
demi dia ditantang Go Ki.
„Bangsat, kau cari mampus!” serunya dengan murka.
Begitu tongkat si Go Ki tiba, cepat dia kebutkan lengan
bajunya kiri untuk menampar senjata itu, menyusul dia
kibaskan tangan kanan menyampok ke arah lawan.
Berbareng pada saat itu, kedua orang yang dipanggil Tetongcu
itupun sudah mencabut senjata dan mencari lawan.
Senjata mereka ialah sebatang cap-sa-ciat-ko-lo-pian (ruyung
limabelas buah ruas tengkorak).
Yang satu menyerang Liong Go dan Ji-yan, yang satu
menyerbu Kho Wan-ji dan Lu Wi. Pikir mereka, keempat anak
muda itu dengan beberapa belas jurus saja, tentu akan sudah
dapat diringkus.
Apa lacur? Dugaan mereka itu salah besar. Selain Ji-yan,
ketiga orang muda itu bukan daging empuk, melainkan jagojago
kelas satu juga. Satu lawan satu saja belum tentu
menang, apalagi mereka cari penyakit sendiri, satu orang cari
dua musuh.
Kedua orang, she Te itu, adalah kakak beradik. Yang tua
bernama Te Cik, adiknya bernama Te Tong. Mereka menjadi
tongcu Thiat-sian-pang untuk wilayah Kwitang.
Demikianlah segera terjadi pertempuran yang seru. Desa
Pao-gwat-chung yang tenang tenteram, saat itu berobah
menjadi medan pertumpahan darah yang dahsyat. Batu-batu
pecah berhamburan, rumput-rumput siak-beriak beterbangan.
Sekarang mari kita ikuti pertempuran itu partai demi partai.
Pertama partai Wan-ji. Nona ini telah mewarisi seluruh
kepandaian ayahnya, namun karena belum pernah berkelana,
jadi belum pernah juga bertempur dengan orang, lebih-lebih
dalam pertempuran sedahsyat saat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnya ketika melihat Siau Ih turun kegelanggang, ia
sudah gatal tangannya. Kini tahu-tahu Te Cik datang mencari
penyakit. Begitu ruyung tengkorak lawan melayang ke arah
kepalanya, nona itu segera melolos pedang lalu dengan kihwat-
so-thian dia tusukkan ujung pedang ke arah ruas kelima
ruyung tengkorak.
„Tring,” tahu-tahu ruyung tengkorak itu mental kembali.
Cara menolak, serangan yang digunakan Wan-ji itu sungguh
amat berbahaya namun indah bukan buatan. Tepat waktunya
tepat pula sasarannya.
Mendapat hati, Wan-ji tambah bersemangat. Dia teruskan
pedangnya menusuk dada orang.
Te Cik terkejut melihat gaya serangan si nona yang tangkas
ganas itu. Buru-buru kibaskan ruyung untuk menghantam
batang pedang, berbareng itu tubuhnya mengisar kekiri,
menyusul tangannya kiri menjotos Hwat-poan-koan Lu Wi.
Sebenarnya kepandaian Te Cik itu tidak berlebih-lebihan,
tapi dia mempunyai pengalaman luas. Tahu sudah dia bahwa
serangannya itu hanya tipis kemungkinnya untuk berhasil,
namun tetap dia mencobanya juga.
Dia insyaf bahwa nona yang menjadi lawannya itu, jauh
lebih lihay dari dirinya. Apalagi disamping itu ada Lu Wi. Kuatir
dirinya akan terjepit dari muka belakang, dia lekas-lekas turun
tangan dulu.
Dengan menutup kemungkinan serangan dari Lu Wi, dia
harap akan dapat kesempatan leluasa untuk mundur. Memang
bagus juga rencana Te Cik itu. Tapi siapa duga. Justeru jalan
mundur yang direncanakan itu, bakal menjadi jalan
kebinasaannya.
Sebenarnya waktu sempat melirik ke arah partai Te Cik
dengan Wan-ji itu, Lu Wi menjadi lega hatinya. Te Cik hanya
begitu saja kepandaiannya, Wan-ji pasti dapat mengatasi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebagai salah seorang dari kelima poan-koan (hakim) di
istana-biara Li¬cu-kiong, dia tak mau mengerojok seorang
lawan yang lebih rendah kepandaiannya. Tapi demi Te Cik
secara menggelap menyerangnya, Lu Wi menjadi marah
besar.
„Kawanan tikus yang tak tahu diri, kau minta lekas-lekas
mampus ya?" serunya dengan sinis. Begitu pukulan Te Cik
hampir tiba, secepat kilat dia menyurut mundur, tapi tak
kurang cepatnya pula pada lain saat dia sudah maju lagi terus
menerkam.
„Cela ……!" belum sempat mulut Te Cik melanjutkan katakatanya,
meh-bun-hiat di lengan kirinya sudah kena
dicengkeram. Separoh tubuhnya segera terasa mati,
kekuatannya lumpuh.
Justeru pada saat itu Wan-ji datang membabat. Betapa dia
hendak menghindar, namun tak dapat berkutik lagi. Mulut
menjerit seram, tubuhnya segera terpapas kutung ……..
Telah diterangkan tadi, bahwa sebenarnya Lu Wi malu
untuk main kerojok. Tapi ternyata sang sumoay terlampau
cepat gerakannya.
Belum sempat dia berseru mencegahnya, tubuh Te Cik
sudah kutung. Karena kuatir kecipratan darah, buru-buru dia
lemparkan separoh tubuh Te Cik yang sudah kutung itu.
Suatu pemandangan ngeri, segera terjadi di udara. Tubuh
orang yang tinggal separoh, dengan tangan masih mencekali
sebatang ruyung, melayang di udara sembari menghamburkan
hujan darah yang berbau amis.
Secara kebetulan, kutungan tubuh itu jatuh ke tengah
gelanggang, melayang ke arah si Tangan Setan Ko Leng.
Sampai pada saat itu, Ko Leng sudah bertempur tigaratusan
jurus dengan Siau Ih. Dia sudah keluarkan seluruh
kepandaian, namun tetap belum dapat mengapa-apakan anak
muda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Dalam sepuluh jurus lagi kalau belum menang, biar mati
bersama-sama, aku tetap akan mengadu jiwa,” diam-diam dia
sudah mengambil ketetapan.
Baru dia berpiklr begitu, tiba-tiba dia dikejutkan dengan
jeritan seram dari Te Cik tadi. Dan belum lagi kejutnya itu
hilang, tahu-tahu ada sesosok tubuh kutung yang berbau amis
melayang ke arahnya.
Sejak berkelana di dunia persilatan, tangan Ko Leng itu
sudah penuh berlepotan darah korban-korbannya. Boleh
dikata membunuh itu, sudah menjadi air mandinya
(kebiasaannya). Tapi melihat pemandangan ngeri seperti saat
itu, benar-benar baru sekali itu saja.
Dalam kagetnya, dia menyurut mundur lalu menghantam.
„Bum,” separoh tubuh mayat Te Cik itu terlempar dan jatuh
ke tanah kira-kira tiga tombak jauhnya.
Dan karena menghantam itu, Ko Leng agak ayal sedikit.
Kesempatan itu tak disia-siakan Siau Ih. Dengan bersuit
panjang, Siau Ih segera lancarkan tiga buah serangan
ber¬turut-turut.
Tepat pada saat Ko Leng terancam dalam hujan pukulan, di
partai sana si Manusia Iblis Kiau Hoan dan Cian-chiu-wi-tho Go
Ki, pun karena terkejut menjadi kacau juga. Kini mereka
berdua hanya dapat membela diri, tak mampu balas
menyerang lagi.
Lebih mengenaskan adalah si Te Tong. Dia bukan
tandingan Liong Go. Apalagi karena terpengaruh dengan
kematian kakaknya yang begitu mengenaskan, dia makin
gugup.
Sekali lambat sedikit, Ji-yan segera menusuknya. Seperti
diguyur air dingin, dengan gelagapan dia kisarkan tubuh untuk
menghindar, tapi pada saat itu, kipas tui-hun-san dari Liong
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Go sudah tiba. Karena cepatnya Liong Go menyerang, Te
Tong tiada kesempatan untuk menghindar lagi.
Dalam keputusan asa, dia hendak berlaku nekad mengadu
jiwa. Tapi baru hendak mengayunkan ruyungnya, tiba-tiba
dadanya terasa sakit sekali hingga putuslah jantungnya.
Kematian kedua saudara Te itu, telah berlangsung dalam
beberapa gebrak saja. Dan kini Liong Go berempat nganggur
lagi. Mereka berdiri di empat penjuru, menyaksikan
pertempuran.
Karena kelabakan dirangsang oleh serangan Siau Ih yang
gencar, Ko Leng menjadi meluap amarahnya. Saat itu, Siau Ih
tengah gunakan tangan kanan menghantam kepalanya (Ko
Leng).
„Nah ini suatu kesempatan bagus,” demikian Ko Leng
berpikir. Demikian dia menggerung keras, tangan kiri
ditabaskan kepergelangan siku, tangan kanan dibalikkan ke
atas untuk mencengkeram tangan Siau Ih.
Dengan serangan itu, dia yakin si anak muda tentu akan
menghindar mundur, dengan demikian dapatlah dia balas
mendesak.
Tapi apa yang terjadi? Di luar dugaan, Siau Ih tak mau
menghindar.
Tiba-tiba dia turunkan tangan kanan tadi, berbareng itu
tangan kiri menjulur ke muka menyusup ditengah-tengah sela
kedua lengan Ko Leng, lalu secepat kilat dipentangkan.
Sungguh suatu gerak tangkisan yang amat berbahaya.
Ko Leng tersadar apa yang bakal terjadi, namun sudah
terlambat karena sepasang lengannya sudah kena disiakkan
kekanan kiri, hingga bagian dadanya tak terlindung lagi.
Sudah tentu kejutnya bukan main.
Baru hendak gerakkan tangan untuk menutupi lubang itu,
Siau Ih sudah tertawa mengejeknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Setan kejam, lekas serahkan jiwamu!” serunya, sembari
rapatkan sepasang tinju. Dengan gerak liat-ciok-gui-pay atau
batu pecah nisan terbuka, secepat kilat dia menjotos ke dada
lawan.
„Aukkk …..,” mulut menjerit, darah menyembur dan
bagaikan layang-layang putus tali, tubuh si Tangan Setan Ko
Leng telah terlempar sampai setombak jauhnya. Algojo yang
sudah banyak berhutang darah manusia itu, kini harus
menebus dosanya dengan mati remuk dalam!
Sebaliknya saking kesima dapat membinasakan seorang
musuh yang lebih kuat dari dirinya, Siau Ih menjadi
terlongong-longong. Setelah mendengar teriak pujian dari
keempat kawannya, barulah dia tersadar. Dengan tersenyum
membalas pujian mereka, dia berpaling ke belakang untuk
melihat pertempuran di partai lain.
Ternyata kedua partai itu masih bertempur seru. Tapi yang
nyata, Kiau Hoan dan Go Ki sudah di bawah angin,
kekalahannya tinggal tunggu waktu saja. Go Ki yang tadi
berani menantang Gan-li Cinjin, kini menjadi kelabakan.
Sebenarnya diapun berkepandaian tinggi. Dalam dunia
perbegalan (penyamun), dia menduduki kelas yang tertinggi.
Dengan tongkat besi ciang-mo-thiat-ngo itu, dia pernah
menjatuhkan keempat paderi hu-hwat dari Siau-lim-si dan tiga
tokoh Cinjin dari Bu-tong-pay yang terkemuka semua.
Kemenangan itulah yang menjadikan dirinya makin
congkak. Begitu besar dia menilai dirinya sendiri sebagai jago
yang tiada terlawan, sehingga dia bernafsu keras untuk
menjajal tokoh-tokoh dari sepuluh Datuk. Maka dia tak mau
menyia-nyiakan kesempatan bagus dapat bertemu dengan
salah seorang tokoh sepuluh Datuk yang sudah lama dicari
tapi belum pernah dijumpainya itu.
Tapi begitu merasakan tangan Gan-li Cinjin, dia segera
mengucurkan keringat dingin. Nyata tokoh dari sepuluh Datuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu, beberapa tingkat lebih lihay dari dia. Untung Gan-li Cinjin
hanya menggunakan tangan kosong, sehingga dia masih
dapat bertahan. Coba Gan-li memakai pedang, jangan harap
dia dapat bernyawa.
Pada partai lainnya, keadaan Kiau Hoan masih mendingan.
Tapi dikarenakan kegoncangan hatinya melihat Ko Leng mati,
diapun menjadi terdesak lawan. Tanpa ajak-ajakan, Kiau Hoan
dan Go Ki mempunyai rencana yang sama. Daripada mati
konyol, lebih baik ngacir lebih dulu.
25. Pria Mati, Bila Masuk
„Tidak berhasil membalas sakit hati, pun Pao-gwat-chung
tetap akan kuhancurkan!" Kiau Hoan membulatkan tekadnya.
Selagi dia berpikir begitu, disana Gan-li Cinjin telah
tutukkan dua buah jarinya ke arah jalan darah ciang-thay-hiat
Go Ki. Namun seperti tak merasa apa-apa, Go Ki kerahkan
tongkatnya untuk menghantam kepala Gan-li.
Tokoh dari pulau Cip-peng-to itu tertawa dingin. Dia tahu
lawan akan mengayak mati sama-sama. Begitu bahunya
tergetar, dia segera nyelonong ke samping.
Inilah memang yang dikehendaki Go Ki. Begitu Gan-li
hendak menyerang, dia (Go Ki) sudah mendahului enjot
tubuhnya ke atas udara. Sekali berputaran, dia sudah
melayang turun empat tombak jauhnya, terus hendak
melarikan diri.
„Mau lari kemana kau?" seru Gan-li setelah mengetahui
dirinya diselomoti. Malah berbareng dengan seruannya itu,
orangnya pun sudah terbang mengejar, sembari kebutkebutkan
lengan jubahnya. Beberapa bintik sinar biru macam
ular hidup segera melayang ke arah punggung Go Ki.
Saat itu Kiau Hoan pun lancarkan beberapa serangan hebat
untuk mendesak Liong Bu-ki. Dan begitu lawan mundur, dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terus enjot kakinya. Begitu di atas udara, matanya segera
tertumbuk akan beberapa sinar biru yang berkelip-kelip tadi.
Kejutnya bukan kepalang.
„Go hiangcu, awas, senjata rahasia coa-yan-cian Kho Goanthong,
lekas membungkuk ……..”
Belum habis Kiau Hoan memberi peringatan, disana Go Ki
sudah menjerit ngeri.
„Nah, rasakanlah coa-yan-cian yang akan membakar
dirimu, pengecut!" Gan-li Cinjin tertawa sinis.
Memang Cian-ciu-wi-tho Go Ki telah terkena dua batang
panah dipundaknya. Begitu menyentuh daging, coa-yan-cian
itu mengeluarkan suara letikan pelahan, lalu memancarkan
bintik-bintik sinar biru macam kunang-kunang. Memang dari
kejauhan tubuh Go Ki tampak bergemerlapan seperti berhias
bintang, tapi sakitnya bukan kepalang.
Kelihayan dari senjata panah coa-yan-cian itu, begitu
mengenai tubuh, lantas pecah membiak. Ya, hanya dalam
beberapa kejap saja, tubuh Go Ki sudah dijalari sinar kunangkunang.
Pakaiannya luar dalam, sudah habis terbakar. Hidup Go Ki
penuh berlumuran darah, tapi akhirnya diapun harus
menerima kematian yang mengerikan. Dengan mengerangerang
kesakitan, dia segera bergelundungan ke tanah untuk
memadamkan api itu.
Tapi api itu memang luar biasa anehnya. Waktu
dipadamkan makin membakar dan Go Ki pun makin merintihrintih
memilukan hati.
Orang-orang yang menyaksikan, sama bercekat kaget.
Dunia persilatan menyohorkan sebagai raja api, namun
kecuali Siau Ih yang pernah merasakan serangan hui-thianhwat-
yan (burung walet berapi) dari murid Gan-li Cinjin,
sekalipun Thiat-san-sian Liong Bu-ki yang menjadi sahabatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpuluh tahun serta puterinya sendiri (Kho Wan-ji), semua
belum pernah menyaksikan kelihayan senjata panah yang
ganas itu.
Saking ngerinya, Wan-ji menjadi pucat dan terus lari
menubruk sang ayah: „Ayah ……”
Gan-li memeluk puterinya. Meskipun maksudnya hendak
menghibur, tapi wajahnya yang dingin itu tetap menampilkan
kemarahan.
Melihat sang kawan mengalami nasib ngeri, nyali Kiau Hoan
menjadi copot. Dia harus lekas-lekas bertindak untuk lolos.
Secepat mengambil keputusan, segera dia enjot tubuh
melayang melampaui kepala Liong Bu-ki lalu melayang turun
ke padang bunga. Jadi dia tak mengambil jalan turun gunung,
sebaliknya malah kembali masuk ke Pao-gwat-chung lagi.
Cepat dia merogoh kedalam bajunya. Tapi baru dia hendak
berpaling untuk menimpukkannya, terlintas sesuatu pada
pikirannya: „Ah, kalau seranganku ini gagal, berarti
membuang kesempatan untuk lolos. Lebih baik kuteruskan
rencana semula, menghancur leburkan desa ini!"
Ketika sekalian orang menyadari, Kiau Hoan sudah berada
sepuluh tombak jauhnya. Dengan menggerung keras, Liong
Bu-ki cepat mengejar. Tapi secepat itu pula dia segera melihat
si Manusia Iblis berulang-ulang mengayunkan tangan,
menaburkan berpuluh-puluh sinar ungu sebesar biji kacang ke
seluruh pelosok.
„Celaka!" teriak Liong Bu-ki dengan gusarnya.
„Bum, bum,” desa Pao-gwat-chung yang sunyi tenteram
itu, segera berobah hiruk pikuk dengan berpuluh letusan
petasan. Menyusul, dahan-dahan pohon mencelat kian kemari,
batu-batu meledak berhamburan. Bumi Pao-gwat-tihung
seolah-olah ditimpah gempa yang dahsyat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan menerjang ke daerah ledakan yang amat
berbahaya itu, Kiau Hoan lari ke arah desa lain yang terletak
disebelah atas lagi, dari situ terus turun meloloskan diri.
Ketika letusan-letusan itu sirap, desa Pao-gwat-chung yang
indah seperti lukisan, sudah berobah menjadi tumpukan
puing. Yang masih tampak hanyalah beberapa batang pohon
bunga. Pondok-pondok dan barisan pohon telah hancur lebur.
Saking gusarnya, mata Liong Bu-ki sampai melotot.
Beberapa saat kemudian barulah dia dapat berkata: „Berpuluh
tahun losiu mengasingkan diri di tempat yang terpencil, toh
akhirnya tetap dikejar musuh juga. Daripada begitu, lebih baik
losiu buang sampah losiu dahulu saja dan terjun kembali ke
dunia persilatan untuk membasmi kawanan manusia jahat!"
Karena masygulnya, Liong Go dan Ji-yan, diam kesima.
Pun Gan-li Cinjin turut marah melihat perbuatan Kiau Hoan
tadi, ujarnya: „Tak kira setelah berpuluh tahun berada di luar
lautan, ternyata di Tiong-goan masih tetap banyak urusan.
Kemungkinan dalam mencari murid pinto nanti, pinto akan
berhadapan juga dengan jago-jago lihay dari kalangan hijau
(begal)!"
Mendengar itu, Siau Ih terkesiap. Dia tahu murid yang
dimaksudkan Gan-li Cinjin itu, ialah orang berbaju merah
kawan Li Thing-thing yang telah dibinasakan di gunung Taylo-
san itu.
"Aku yang membinasakan, harus aku sendiri yang
menanggung jawabkan. Rasanya tak perlu takut. Pertama, dia
ternyata galang-gulung dengan seorana wanita cabul macam
Li Thing-thing. Kedua kalinya, dialah yang lebih dulu
menggunakan tipu keji untuk menyerang dan yang ketiga
kalinya, ada Goan Goan Totiang yang menjadi saksi," diamdiam
Siau Ih berpikir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Habis itu, dia terus hendak tampil ke muka memberi
pengakuan kepada Gan-li Cinjin. Tapi tiba-tiba terlintas
sesuatu pada pikirannya.
„Ah, tetapi dahulu ayahku pernah menceritakan bahwa
Gan-li Cinjin itu sering-sering membawa maunya sendiri. Kalau
karena malu dia lantas marah, bukankah akan runyam nanti?
Kiranya baik kutangguhkan saja sampai lain kali apabila
waktunya sudah mengizinkan."
Kata-kata yang sudah disiapkan dibibir tadi, ditelannya
kembali. Wajah Siau Ih pun kembali pulih tenang.
Kesemuanya itu berlangsung dalam waktu yang singkat,
hingga orang-orang tiada mengetahuinya, kecuali Liong Go.
Liong Go cukup kenal watak saudaranya angkat itu. Dia
terkejut melihat perobahan wajah Siau Ih tadi dan diam-diam
menduga anak itu tentu mengetahui persoalan murid Gan-li
Cinjin.
Tanpa disadari, Liong Go menatap tajam-tajam ke arah
Siau Ih. Anak muda itupun rupanya merasa. Wajahnya
bersemu merah. lalu cepat-cepat mmeberi isyarat mata
kepada Liong Go agar jangan membuka mulut.
Liong Go makin cenderung akan dugaannya tadi. Diamdiam
dia heran melihat sikap Siau Ih, pikirnya: „Biasanya Siau
hiante itu tiada kenal takut, tapi mengapa kini dia berlaku
aneh? Jangan-jangan apa dia yang dipihak salah?”
Tapi pada lain kilas, Liong Go membantah pikirannya
sendiri. Dia kenal siapa Siau Ih itu, seorang pemuda yang
diamuk oleh rasa dendam membalas sakit hati orang tua,
namun belum pernah berlaku jahat pada lain urusan. Sampai
sekian saat, Liong Go tak dapat menemukan jawaban.
Pada saat itu, kedengaran Thiat-san-sian Liong Bu-ki
menyatakan sesalnya kepada Gan-li Cinjin: „Sebenarnya aku
sudah mengetahui hal itu, tapi memang sengaja aku tak
memberitahukan to-heng karena tak ingin mengganggu toTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
heng. Tapi ternyata urusan telah berlarut begini. Gubuk
musnah, tak punya tempat untuk melayani tetamu. Sungguh
menyesal sekali."
Saking hendak menghiburnya, wajah Gan-li sampai
menampil kerut tawa yang aneh, ujarnya: „Liong-heng, kita
bukan kenalan baru melainkan sahahat karib yang sudah
berpuluh tahun. Jangan begitu sungkan. Karena turut
mengalami, sudah tentu pinto campur tangan juga. Pintopun
turut menyesal tempat istirahat yang Liong-heng bangun
bertahun-tahun itu, dalam beberapa kejap saja menjadi
musnah."
Gan-li tampak berhenti sejenak. Pada lain saat air mukanya
berobah keren lagi, katanya pula: „Urusan pinto hendak
mencari murid murtad itu, tak dapat dipertangguhkan lamalama
lagi. Mungkin pinto akan agak lama tinggal di daerah
Tiong-goan. Oleh karena Liong-heng telah memutuskan
hendak aktif dalam masyarakat persilatan lagi, tentulah lain
hari kita bakal berjumpa lagi. Sekarang haripun sudah
menjelang terang, oleh karena kita masih mempunyai urusan
sendiri-sendiri, dengan ini pinto hendak minta diri."
Tanpa menunggu jawaban tuan rumah, Cinjin itu
anggukkan kepala memberi hormat lalu melesat pergi. Hwatpoan-
koan Lu Wi dan Cek-i-liong-li Kho Wan-ji tersipu-sipu
memberi hormat kepada tuan rumah, lalu mengikut jejak
suhunya. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah lenyap
dari pemandangan.
Sewaktu hendak angkat kaki tadi, Kho Wan-ji mencuri
kesempatan sejenak untuk memanahkan lirikan mata ke arah
Siau Ih. Suatu lirikan yang mengandung arti dalam. Namun
pemuda yang berhati baja itu, tiada mempunyai kesan suatu
apa.
Kepergian sang sahabat secara begitu mendadak itu, telah
membuat Liong Bu-ki makin berduka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berselang beberapa saat kemudian, dia berpaling ke arah
Siau Ih, ujarnya: „Losiu pun pernah berpuluh tahun
berkecimpung dalam gelombang dunia persilatan. Pasang
surutnya derita kesulitan, pernah losiu alami juga. Tapi tidak
seperti hari ini. Usia losiu makin loyo, sehingga tak mampu
melindungi rumah tangga, ah benar-benar memalukan."
Dengan tegas Siau Ih menyahut: „Tombak yang
diserangkan secara terang-terangan mudah dihindari, tapi
panah gelap sukar dijaga. Perbuatan pengecut dari kawanan
manusia jahat, memang sering berhasil menjatuhkan kaum
kesatria. Locianpwe, mengapa kau anggap dirimu tiada
berguna?”
„Walaupun sisa hidup losiu tinggal tak berapa lama, tapi
selama hayat masih dikandung badan, losiu tentu akan
menghaturkan si Kiau Hoan itu," dengan mata berkilat-kilat
Liong Bu-ki mengikrarkan tekadnya. Setelah itu sikapnya
berobah tenang kembali.
„Hian-tit, menilik pribadi dan kecerdasanmu, hari depanmu
tentu amat gemilang. Hanya sayang pada sepasang alismu itu
mencerminkan hawa pembunuhan, jadi kau tentu banyak
menghadapi kesulitan-kesulitan. Namun kalau tiada digosok,
berlian itu takkan menampakkan wajahnya yang gemilang.
Manusia kalau tak digembleng, takkan sempurna. Asal teguh
iman, pantang surut menghadapi segala coba derita, semua
tujuan pasti berhasil. Losiu tiada mempunyai suatu apa yang
berharga untuk kuberikan padamu. Hanya dengan sedikit
ucapan itulah, Losiu persembahkan pada hiantit."
Serta merta Siau Ih menjurah dan menghaturkan terima
kasih. Ujarnya: „Karena locianpwe masih mempunyai banyak
urusan, wanpwe tak berani mengganggu lebih lama dan
dengan inipun hendak mohon diri.”
„Dalam keadaan begini, losiu terpaksa tak dapat menahan
hiantit. Begitu urusan disini selesai, losiu pun hendak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkelana. Kelak apabila hiantit bertemu dengan engkongmu,
toiong sampaikan salam losiu padanya!"
Kembali Siau Ih haturkan terima kasih. Kemudian setelah
memberi selamat tinggal pada Liong Go, dia segera ayunkan
langkah.
Ketika tiba di padang bunga, tampak olehnya mayat Cianchiu-
wi-tho Go Ki sudah terbakar menjadi abu. Juga jalanan
kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian itu, sudah rusak porak poranda.
Dua deret rumah kayu yang berada dipinggir karang, pun
sudah lenyap.
Berpuluh-puluh sosok mayat malang melintang, ada yang
pecah kepa¬lanya, ada yang jebol dadanya dan ada yang
sudah tak keruan tubuhnya. Benar Siau Ih satu waktu juga
berbuat ganas, tapi pemandangan yang disaksikan pada saat
itu, benar-benar membuatnya bergidik.
Sekeluarnya dimulut gunung, mataharipun sudah terbit.
Walaupun dijalan itu tiada tampak orang berjalan, namun dia
tak mau gunakan ilmu berjalan cepat.
♠♠♠♠♠
Dini hari dijalanan yang menuju ke gunung Lou-hu-san,
tampak seorang pemuda cakap tengah naik kuda dengan
pelahan-lahan.
Alam pemandangan disepanjang jalan ke Lou-hu-san itu,
terkenal cantik. Walaupun Lou-hu-san di propinsi Kwitang itu
termasuk daerah beriklim sedang, namun dikala pagi hari,
hawanya pun cukup dingin.
Tampak pemuda yang berpakaian warna biru itu, tak terlalu
menghiraukan alam sekelilingnya, karena tengah sibuk kelelap
dalam lamunannya pribadi. Hal itu kelihatan dari perobahan
mimik wajahnya yang sebentar mengerut dahi, sebentar
mengilas senyum dan sebentar pula memangu muka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siapakah gerangan pemuda itu, kiranya pembaca tentu
sudah dapat memaklumi sendiri.
Banar, memang dialah Siau Ih yang hendak melaksanakan
hasratnya menuju ke Lou-hu-san. Menurutkan suara hatinya,
dia ingin mengadakan pertemuan empat mata dulu dengan
juwita Lo Hui-yan, sebelum kembali ke ‘tahanan’ di Tiam-jongsan.
Kejadian singkat yang di alaminya di Pao-gwat-san itu,
telah menyadarkan pikirannya. Hanya dengan kesabaran
derita dan gemblengan lahir batin, barulah dia akan berhasil
membalaskan sakit hati orang tuanya.
Kaum muda banyak yang dihinggapi bercita-cita muluk,
melamun yang indah-indah, Siau Ih pun tak terkecuali. Dia
mempunyai lamunan sendiri akan hari depannya.
Menuntut balas, menjalankan dharma kebajikan,
mempersunting juwita idamannya, mendirikan mahligai
penghidupan yang bahagia.
Demikian lamunan yang menyelubungi lubuk pikiran anak
muda itu. Rangsangan hati itu, memerlukan tempat untuk
menyalurkan dan Lo Hui-yan adalah tempatnya yang sesuai.
Biara Peh-hoa-kiong di gunung Lou-hu-san adalah sebuah
biara wanita yang terkenal keras peraturannya. Di bawah
pimpinan ketiga perawan suci Hun-si-sam-sian yang berilmu
tinggi, daerah itu merupakan daerah terlarang bagi kaum pria.
Mereka melarang anak murid Peh-hoa-kiong menikah. Lo
Hui-yan menjadi murid kesayangan Hun-si sam-sian, jadi
diapun tunduk dengan peraturan itu.
Siau Ih telah membayangkan kesukaran-kesukaran itu,
namun dia datang dengan membawa keyakinan. Kisah roman
dikolam gunung Ki-he-nia, tetap menggores dalam kalbunya.
„Manusia tetap insan yang berperasaan ……."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kata-kata Lo Hui-yan itu amat membesarkan semangat
Siau Ih. Namun bila teringat akan peraturan keras dari Pehhoa-
kiong, mau tak mau dia menjadi gelisah juga. Makin dekat
ke Lou-hu-san makin keras debar hatinya.
Derap kaki kudanya makin lambat dan akhirnya berhenti.
Siau Ih termangu-mangu lama sekali. Akhirnya dia tersadar.
Mengapa takut akan bayang-bayang sendiri? Asal Hui-yan
setuju, segala rintangan pasti akan dapat diatasi.
Semangatnya bangun kembali dan bersuitlah dia dengan
kerasnya laksana seekor ajam jago menunjuk kejantanannya.
Kuda mencongklang pula dengan pesatnya.
Lou-hu-san termasuk salah satu dari sepuluh gunung besar
di Tiongkok, yang puncaknya dapat menembus ke nirwana.
Demikian menurut anggapan kaum paderi agama Buddha itu.
Nama aseli dari gunung itu sebenarnya adalah Lo-san.
Menurut kitab Goan-ho-ci, sebelah bagian barat dari
gunung itu terus membentang ke laut. Karena bagian atas
gunung yang masuk laut itu penuh ditumbuhi hutan alangalang,
jadi tampaknya seperti terapung di laut. Itulah
sebabnya maka dinamakan Lo-hu-san (hu artinya terapung).
Menjelang sore, tibalah Siau Ih di kaki gunung tersebut.
Dilihatnya dibeberapa tempat dari kaki gunung itu terdapat
beberapa petak rumah petani.
Sekilas teringatlah dia akan pesan Hui-yan tempo hari,
supaya jika datang ke Lo-hu-san, lebih dulu mencari petani
she Kau. Nona itu telah memberikan kalung kiu-hong-giok-hu
padanya. Akhirnya dia memutuskan untuk menurut petunjuk
nona itu.
Kala itu hari sudah petang. Belasan petak rumah petani itu
sudah menyalakan lampu. Pada pintu dari salah sebuah
rumah, terdapat dua larik lian (poster) menyambut
kedatangan musim semi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Ah, setiap keluarga tengah bersuka ria merayakan Tahun
Baru, hanya aku sendiri ……. ai!" sesaat dia mengeluh, tapi
pada lain kilas dia buang pikiran itu, lalu mengetuk pintu itu.
Seorang petani berumur empatpuluhan tahun, muncul
menyambut. Demi melihat orang itu terbeliak kaget, buru-buru
Siau Ih memberi hormat dan menyatakan maksud kedatangan
mencari petani she Kau itu. Belum lagi Siau Ih habis bicara,
petani itu sudah goyang-goyang tangan seraya menunjuk
telinganya.
Bermula Siau Ih terkesiap, tapi segera dia mengetahui apa
sebabnya. Petani itu orang Kwitang, jadi tak mengerti logat
bahasa daerah utara.
Siau Ih tak keputusan akal, segera dia mencorat-coret
ditanah. Tapi petani itupun hanya menunjuk matanya sembari
tersenyum menggelengkan kepala. Siau Ih terpaksa pamitan.
Dari satu ke lain rumah, dia sudah mendatangi enam-tujuh
keluarga, namun hasilnya sama saja. Mereka tak dapat
sambung bicara pun buta huruf. Diam dia mengeluh.
Syukur akhirnya dia bertemu juga dengan sebuah keluarga
petani yang berasal dari lain daerah.
Menurut keterangan orang itu, petani Kau itu tidak tetap
tinggal disitu. Kebanyakan dia pergi ke lain daerah dan hanya
dua-tiga kali saja pulang menjenguk rumah. Dua bulan yang
lalu, orang itu pergi hingga kini belum pulang lagi.
Siau Ih tertegun kecewa.
„Jauh-jauh kongcu datang kemari, tentulah mempunyai
urusan penting. Sayang Kau-loya tak ada, sekalipun begitu,
aku bersedia melakukan perintah kongcu," kata tuan rumah
demi melihat sikap anak muda itu.
Siau Ih menjadi lega. Setelah menghaturkan terima kasih,
menerangkan bahwa maksudnya mencari orang she Kau itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ialah hendak minta tolong supaya menyampaikan suatu berita
ke Peh-hoa-kiong.
Demi mendengar itu, pucatlah seketika wajah petani itu.
Serunya sembari geleng-geleng kepala: „Maaf, kongcu, aku
tak dapat melakukannya."
„Mengapa …….?”
„Peh-hoa-kiong di Hiang-swat-hay adalah tempat pertapaan
dari Hun-si-sam-sian, merupakan daerah terlarang bagi kaum
lelaki. Berpuluh tahun lamanya, tiada orang yang berani
melanggar. Memang pernah ada beberapa orang yang cobacoba
kesana, tapi tiada seorangpun yang kembali. Kau-loya
pun hanya membelikan barang-barang keperluan dari
beberapa anak murid Peh-hoa-kiong, namun tak berani masuk
kesitu. Mengingat kongcu orang persilatan, tentulah
memaklumi kesukaranku dan sudi memaafkan.”
Siau Ih mendengarkan keterangan itu dengan merenung.
Akhirnya dia tak mau memaksa hanya menanyakan letak
jalanan menuju ke Peh-hoa-kiong itu.
Tapi untuk keherannya, kembali orang itu mengunjuk
wajah gelisah. Akhirnya terpaksa orang itu memberi
keterangan.
„Hiang-swat-hay Peh-hoa-kiong terpisah hanya seratusan li
dari sini. Tempatnya mudah dicari, asal berjumpa dengan
sebuah puncak indah. Peh-hoa-kiong berada di dalam
lembahnya. Pada waktu ini lembah Hiang-swat-hay sedang
musim bunga bwe, baunya se-merbak sampai sepuluhan li,
jadi mudah dicarinya. Hanya saja, kuharap kongcu suka
berhati-hati memasuki daerah terlarang itu."
Siau Ih menghaturkan terima kasih dan minta tolong titip
kuda, karena malam itu juga dia segera hendak berangkat.
„Maaf, kongcu, sebenarnya aku suka sekali menolong
orang. Tapi dikarenakan kongcu hendak menuju ke Peh-hoaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kiong jadi aku kurang leluasa. Kiranya kongcu tentu dapat
memaklumi kesulitanku ini," kata orang itu.
Siau Ih hanya tersenyum dan segera berlalu. Tak lama
masuk ke daerah gunung, lebih dulu dia ambil buntelan yang
menggamblok dipunggung kuda, kemudian baru dia tepuk
pantat binatang itu. Meringkik keras, kuda itu mencongklang
lepas masuk kedalam hutan.
Kini bebaslah Siau Ih gunakan ilmu mengentengi tubuhnya,
menyusup ke dalam pegunungan.
Kira-kira berlari seratusan li jauhnya, tiba-tiba hidungnya
tersampok dengan angin harum. Dia cepat berhenti dan
memandang ke sekeliling. Benar juga tak berapa jauhnya
disebelah muka, sebuah puncak menonjol dalam bungkusan
kabut.
Keadaan puncak itu, tepat seperti yang dilukiskan petani
tadi. Bau wangi tadi, mengunjuk bahwa daerah terlarang bagi
kaum lelaki, sudah berada di depan mata.
„Adik Yan, beratnya hatiku hendak bertemu padamu,
terpaksa aku melanggar larangan suhumu," demikian dia
berkata seorang diri, lalu lari turun ke lembah.
Tak lama kemudian, tibalah dia di sebuah mulut lembah
yang sempit. Itulah batas dari daerah terlarang Peh-hoakiong.
Setelah menenangkan hatinya yang berdebur keras,
barulah dia melangkah pelahan-lahan.
Makin masuk, hawa wangi itu makin keras. Kira-kira
sepeminum teh lamanya, tiba-tiba disebelah muka tampak ada
penerangan remang-remang.
Peh-hoa-kiong makin dekat dan jantung Siau Ih makin
berdetak keras. Kalau sampai urusan pribadinya itu menjadi
onar besar, apakah dia takkan menjadi malu pada ayah dan
engkongnya luar?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memikir akan akibat itu, keringat mengucur deras pada
dahinya. Kaki serasa berat untuk melangkah. Akhirnya setelah
meragu sekian saat, dia mendapat ketetapan hati.
„Cinta suci pantang mundur menghadapi segala rintangan.
Dan pula seorang lelaki harus berani memikul resiko atas
setiap perbuatannya …….”
Begitu jalanan itu habis, dia segera berhadapan dengan
sebuah hutan pohon bwe. Setiap batang pohon itu, hampir
dua tombak tingginya, daunnya rindang, bunganya penuh
meratai setiap ranting.
Karena pohon bwe disitu berpuluh ribu jumlahnya, jadi
hutan itu laksanakan merupakan lautan bunga bwe. Itulah
sebabnya maka lembah itu dinamakan Hiang-swat-hay atau
lautan salju wangi. Di depan hutan itu, terpancang sebuah
papan batu kumala yang berukiran tiga buah huruf
„Hiang-swat-hay”
Walaupun sudah larut malam, tapi karena langit cerah jadi
dapatlah Siau Ih memandang ke muka.
Jauh diujung hutan itu, samar-samar tampak suatu
bangunan yang dindingnya berwarna merah, atapnya hijau.
Tak salah lagi, itulah biara Peh-hoa-kiong.
26. Ujian Dari Para Wanita
Kuatir terjadi apa-apa, lebih dulu Siau Ih salurkan lwekang
kian-gun-sin-kong melindungi tubuh, baru dia masuk ke dalam
hutan. Tapi sampai diujung penghabisan ternyata tak terjadi
suatu apa. Diam-diam dia heran sendiri, mengapa tempat itu
tak dijaga sama sekali.
Ujung hutan itu merupakan sebuah tanah lapang seluas
sepuluhan hektar, ditaburi dengan pasir halus. Berpuluh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tombak disebelah muka, tampak sebuah gedung mewah,
dindingnya merah atapnya hijau.
Pintunya yang lebar bercat merah. Dikanan kiri, terdapat
ciok-say (singa batu). Di atas pintu itu tergantung sebuah
papan besar yang bertuliskan tiga huruf emas
„Peh-hoa-kiong”
(istana seratus bunga).
Kala itu Peh-hoa-kiong sudah diterangi lampu, namun
keadaannya sunyi sekali. Kini tibalah Siau Ih ditempat tujuan
terakhir. Tanpa banyak ragu-ragu lagi, dia segera loncat ke
atas pintu gerbang, dari itu melayang turun ke dalam. Lampu
yang terang benderang dalam biara, telah membuatnya
terkesiap.
Belum lagi dia mendapat kembali ketenangannya, tiba-tiba
terdengar suara seruan yang dingin: „Siapakah yang bernyali
besar berani masuk ke Peh-hoa-kiong ini? Lekas beritahukan
nama perguruanmu, kalau memang tak sengaja, bisa diberi
ampun. Tapi kalau membandel, akan dihukum berat!”
Sekalipun sudah mengetahui apa yang akan terjadi, namun
hati Siau Ih bercekat juga. Dan belum lagi dia sempat
menyahut, angin berkesiur mengantar munculnya empat gadis
dari empat jurusan.
Mereka sama berpakaian warna hitam. Kesebatannya mirip
dengan asap bergulung. Dan yang lebih mengesankan, adalah
kecantikan mereka yang amat menonjol itu.
Waktu menghampiri lebih dekat, nyata keempat nona itu
memakai pakaian seragam hitam, rambut terurai kepundak
dan pinggang masing-masing menyelip pedang. Kini mereka
sama berdiri berjajar memandang Siau Ih sambil meraba
pedang.
Sepintas pandang tahulah Siau Ih bahwa mereka berempat
itu adalah dari apa yang disebut kiu-hong atau sembilan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
burung cenderawasih, yakni sembilan murid kesayangan dari
Hun-si-sam-sian. Lo Hui-yan tak tampak diantara mereka.
Dalam keadaan begitu, Siau Ih tak dapat mengumpet lagi.
Dengan memberi hormat, dia menyahut: „Siau Ih murid Liuhun-
yan Tiam-jong-san, hendak mohon menghadap pada
Hun-si bertiga cianpwe!”
Wajah keempat dara itu terbeliak kaget, tapi pada lain kilas
mereka menguasai perobahan mukanya pula.
Siau Ih pun berlaku tenang sedapat mungkin. Dia tahu
bahwa sekalipun nama Liu-hun-yap itu telah meredakan
kemarahan mereka, namun ketegangan suasana sewaktuwaktu
dapat pecah menjadi pertempuran.
„Sebagai murid dari Tiam-jong-san, tentulah saudara
mengetahui peraturan Peh-hoa-kiong. Tapi mengapa tengah
malam buta datang kemari?” kedengaran dara yang berdiri
paling kiri sendiri berseru dengan dingin.
„Musim rontok tahun lalu karena bertempur dengan tiga
penjahat di muka makam Gak-ong, aku telah berkenalan dan
mengangkat saudara dengan salah seorang dari kiu-hong Pehhoa-
kiong. Karena sudah berbulan-bulan tak bertemu, aku
amat merindukannya. Kumerasa perbuatanku datang kemari
pada tengah malam ini tidak pantas, maka dengan hormat
kumohon Hun-si cianpwe bertiga sudi memberi maaf sebesarbesarnya!”
Keempat dara itu memang mengetahui bahwa pemuda
yang tampan garang itu tentu anak murid dari perguruan
terkenal. Tapi setitikpun mereka tak mengira kalau anak muda
itu berani bicara secara blak-blakan begitu.
Habis tertegun, dara tadi bertanya dengan, tertawa dingin:
„Saudara mengaku kenal dengan salah seorang dari kiu-hong.
tapi entah yang manakah?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Lo Hui-yan!" tanpa tedeng aling-aling lagi Siau Ih cepat
menjawab.
Dara itu tertawa sinis, serunya: „Apa buktinya?”
Wajah Siau Ih bertebar merah, tapi cepat berganti dengan
sikap keangkuhan
„Maaf, walaupun aku ini masih muda dan dangkal
pengetahuan, tapi tetap taat akan peraturan perguruan yang
melarang bersikap sombong menghina orang …….”
Sembari berkata itu dia merogoh keluar sebuah lencana
kumala putih. Kiu-hong-giok-hu atau pertandaan anggauta
kiu-hong diperlihatkannya.
Serunya: „Karena nona juga termasuk kiu-hong dari Pehhoa-
kiong, tentulah kenal akan benda itu. Adik Yan telah
memberikan barang ini kepadaku selaku tanda sehidup semati
……” — dia berhenti sejenak.
Dengan wajah mengulum senyum kenangan yang
romantis, dia tertawa pula, katanya: „Maka sebelum kembali
ke Tiam-jong-san, aku terpaksa menempuh bahaya, malammalam
masuk ke daerah terlarang ini, dengan harapan akan
dapat bertemu sebentar dengan adik Yan."
Sampai disini wajah Siau Ih berobah sungguh, ujarnya:
„Walaupun aku telah melanggar peraturan, tapi sekali-kali tak
mengandung maksud jahat, demi kehormatanku harap nona
suka mempercayai keteranganku ini."
Biasanya orang yang pernah masuk didaerah terlarang Pehhoa-
kiong adalah kaum persilatan bebodoran. Maka betapa
kejut keempat nona itu bahwa pemuda yang dihadapan
mereka itu adalah murid dari si Rase Kumala Shin-tok Kek,
bintang cemerlang dari sepuluh Datuk. Dan lebih kaget pula
mereka sewaktu mendengar bahwa Siau Ih hendak berjumpa
dengan Lo Hui-yan, yakni suci (kakak perguruan) mereka yang
kelima.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bermula mereka masih belum percaya, tapi kalung kumala
kiu-hong-giok-hu itu menjadi saksi kuat. Memang go-suci
mereka, Lo Hui-yan, ketika diijinkan turun gunung melakukan
pembalasan sakit hati, pernah ditolong orang. Tapi keempat
gadis itu tak mengira bahwa penolong suci mereka itu,
ternyata seorang pemuda tampan yang gagah perwira.
Keempat kiu-hong itu saling berpandangan satu sama lain,
tak tahu mereka bagaimana harus berbuat. Sekonyongkonyong
terdengar suara lonceng mengalun dengan gencar.
Seketika berobahlah muka keempat dara itu. Cepat mereka
menyingkir ke samping menjadi dua rombongan.
„Suhu telah mengetahui, harap berhati-hati!” kata gadis
tadi kepada Siau Ih.
„Apakah ketiga Hun-si cianpwe akan kemari?" tanya Siau
Ih.
Gadis itu mengangguk dengan wajah muram. Jantung Siau
Ih berdebur keras, tapi dia segera tetapkan hatinya dan tegak
berdiri menanti apa yang akan terjadi.
Saat itu dari arah ruangan besar terdengar bunyi musik,
kemudian ruangan itu menjadi terang benderang. Enambelas
dara cantik keluar membawa alat-alat musik.
Begitu tiba ditangga, mereka lalu pecah diri menjadi dua
rombongan, berdiri dikedua samping. Menyusul muncul lagi
lima gadis berpakaian serba hitam dan mengenakan pedang.
Dandanan mereka itu persis seperti keempat dara yang
menemui Siau Ih tadi.
Hati Siau Ih berguncang keras. Kelima gadis itu tentulah
anggauta kiu-hong Peh-hoa-kiong, jadi Hui-yan tentu berada
diantara mereka. Siau Ih memandang mereka dengan tak
terkesiap. Benar juga gadis nomor satu pada deretan sebetah
kiri, adalah Lo Hui-yan!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hati Siau Ih merangsang dan tak dapat dikuasai lagi
mulutnya berseru: „Adik Yan ……..”
Hui-yan pun mengetahui siapa pemuda itu, seketika
wajahnya berobah kaget, jantungnya serasa berhenti
berdetak. Sehelai rambut dibelah tujuhpun ia tak mengira,
bahwa orang yang berani masuk ke Peh-hoa-kiong itu,
ternyata pemuda yang menjadi kenangan kalbunya.
Hui-yan dapat menerka apa maksud kedatangan Siau Ih
itu, diam-diam ia merasa bahagia. Tapi demi teringat akan
peraturan Peh-hoa-kiong dan hukuman-hukuman ngeri yang
dijatuhkan pada mereka yang berani melanggar, hatinya
menjadi gelisah cemas.
Seruan Siau Ih yang diucapkan dengan mesra itu, telah
menggemparkan suasana di ruangan itu.
Di biara Peh-hoa-kiong yang menjadi daerah terlarang bagi
kaum lelaki, telah terjadi adegan romantis. Hal ini benar-benar
seperti halilintar berbunyi ditengah siang hari.
Getaran kalbu, telah membuat kedua muda mudi itu kelelap
dalam saling pandang yang girang-girang cemas. Lupa
mereka, bahwa kala itu mereka sedang berada ditengahtengah
suasana yang tegang meruncing.
Tiba-tiba terdengarlah suatu seruan lirih yang amat
berpe¬ngaruh: „Yan-ji, kemarilah!"
Seruan itu telah membuat Siau Ih gelagapan. Memandang
ke arah datangnya suara, entah kapan munculnya, diambang
pintu ruangan besar itu tampak tegak berdiri tiga orang wanita
setengah tua yang tampaknya masih cantik.
Mereka mengenakan pakaian indah war¬na wungu muda,
kuning telur dan biru muda. Rambutnya disanggul tinggi,
wajahnya tirus, masing-masing menyelip pedang dipinggang
dan mencekal hud-tim (kebut pertapaan).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang apa yang diduga Siau Ih itu benar. Ketiga wanita
cantik pertengahan umur itu, adalah pemimpin dari biara suci
Peh-hoa-kiong, tiga saudara she Hun yang masing-masing
bernama Ko-shia-siancu Hun Yak-lun. Hui-yong-siancu Hun
Yak-cian dan Leng-bok-siancu Hun Yak-hwa.
Ketiga kakak beradik itu terkenal dengan sebutan Hun-sisam-
sian atau tiga dewi she Hun. Karena ilmu silatnya tinggi,
mereka digolongkan dalam anggauta ke sepuluh Datuk.
Dengun wajah yang sedingin es, Hun-si-sam-sian tampak
meram-meram melek, seolah-olah tak mengacuhkan pemuda
yang berada dihadapannya itu.
Sebaliknya saat itu tubuh Hui-yan kelihatan gemetar,
sedang semua anak murid Peh-hoa-kiong yang berada dalam
ruangan itu, sama tundukkan kepala tak berani bercuit.
Suasana yang hening tegang itu, menggelisahkan Siau Ih
juga.
Kisah kematian ayahnya yang tragis itu, terbayang pula
dipelupuk matanya. „Kejadian yang menyedihkan itu, tak
boleh terulang lagi di depan mataku ……..”
Dengan tekad demikian, ia bersedia menolong Hui-yan dari
malapetaka. Tapi baru dia hendak melangkah maju, Hui-yan
sudah mendahului naik ke atas tangga terus menjatuhkan diri
berlutut dihadapan ketiga suhunya itu.
„Ah, celaka ……” keluh Siau Ih dalam hati. Namun dia tak
dapat berbuat apa-apa karena terpancang oleh peraturanperaturan
disini. Hanya saja dia telah membulatkan tekadnya,
kalau Hun-si-sam-sian bertindak seperti Goan Goan Cu
terhadap mendiang ayahnya dahulu, dia tentu akan turun
tangan juga.
Setelah mengambil ketetapan, darahnya yang bergolakgolak
membakar tubuhnya tadi, agak menjadi sirap tenang
pula. Tahu sudah dia bahwa urusan dalam perguruan, orang
luar tak boleh turut campur, tapi pelajaran dari nasib ayahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu, telah merobah pandangannya terhadap segala peraturan
perguruan yang tak adil.
„Yan-ji, kenalkah kau pada orang itu?” kedengaran wanita
baju wungu yang berdiri ditengah kedua saudaranya,
membuka mata dan bertanya dengan dingin. Sambil berkata
itu, ia menunjukkan hud-tim ke arah Siau Ih, namun mata
tetap memandang lekat pada Hui-yan.
Siau Ih merasa tersinggung dengan sikap yang menghina
itu, namun dia coba tindas perasaannya.
Hui-yan amat gelisah. Siau Ih adalah penolongnya yang
telah mengembalikan jiwanya. Lebih dari itu, anak muda itu
ternyata telah mencuri hatinya. Hati anak muda manakah
yang takkan terkenang pada saat-saat pertemuannya dengan
sang jantung hati?
Tapi sebagai seorang murid, iapun tak lupa akan budi besar
dari sang suhu yang telah mendidik selama belasan tahun.
Lebih tak dapat melupakan pula ia akan peraturan yang
bengis dari perguruannya itu.
Merenung sejenak, dengan menggigit gigi, ia menyahut:
„Ya, tecu kenal padanya!”
„Hem ………“ dengus si dewi baju wungu mengangguk,
„tuturkan perkenalan kalian dengan terus terang!"
Hui-yan makin gemetar, mendongakkan kepala ia menjerit
pilu: „Suhu …….” Hanya begitu sang mulut dapat mengucap
karena tersumbat beserta air matanya yang membanjir.
„Kau hendak melanggar perintah suhu?" tetap Sam-sian itu
berseru dengan nada bengis.
„Tecu tak berani,” seru Hui-yan dengan gemetar.
Sam-sian itu mendengus.
„Kalau begitu, mengapa tak lekas-lekas bercerita? Kalau
kau tak bersalah, mengingat selama belasan tahun ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kelakuanmu tak tercela, tentu akan mendapat keringanan.
Tapi jika tidak begitu, jangan persalahkan aku berhati kejam!”
berkata Sam-sian itu dengan nada membesi dan sejenak
menyapukan matanya yang berkilat-kilat ke arah Siau Ih.
Kesempatan terbuka bagi Hui-yan. Asal ia dapat mengatur
ceritanya begitu rupa tentu akan bebas. Tapi dia bukan
seorang nona yang temaha hidup, dan suka berbohong.
Bagaimanapun juga tak dapat ia melupakan pemuda yang
sudah menolong jiwa, mengangkat saudara dan mencuri
hatinya itu. Setiap manusia tentu ingin hidup, tapi apa guna
kehidupan itu kalau tak dapat berdampingan dengan orang
yang dicintainya?
Akhirnya setelah terjadi pertarungan hebat dalam batin,
antara kebaktian terhadap budi suhu dan kecintaan terhadap
pemuda yang menolong jiwanya, ia memilih yang tersebut
belakang. Mati karena cinta, adalah bahagia.
Hui-yan pelahan-lahan mendongak, disingkapnya
rambutnya yang terurai lalu mengusap air matanya. Kemudian
dengan nada tenang, ia menuturkan pengalamannya.
Bagaimana ia bertempur dengan Teng Hiong dimakam Gakong
dan dilukainya, kemudian ditolong Siau Ih terus dibawa ke
gunung Ki-he-nia untuk berobat pada To Kong-ong. Setelah
sembuh, ia mengangkat saudara dengan Siau Ih selaku tanda
terima kasihnya, dan untuk menghindari tuduhan orang yang
bukan-bukan.
„Sungguh tak nyana, sampai akhirnya ……” berkata sampai
disini Hui-yan terhenti sejenak, wajahnya agak menyuram.
Rupanya dia tengah berusaha untuk menguasai perasaannya.
„Hal itu mungkin disebabkan karena manusia itu
mempunyai perasaan, bukan macam pepohonan. Akhirnya
tecu terjerumus dalam perangkap asmara. Namun tecu masih
tetap mengindahkan peraturan perguruan. Setelah
menimbang masak-masak, akhirnya tecu ambil putusan untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kembali ke Peh-hoa-kiong sebelum perangkap itu makin erat
menjerat. Namun menurut suara nurani, tecu telah
mengabaikan peraturan perguruan dan memberikannya giokhu
selaku tanda mata. Demikian penuturan tecu yang
sejujurnya."
Menurut irama nada Hui-yan yang bercerita, kerut wajah
Sam-sian baju wungu itupun turut terlihat makin gelap. Habis
mendengar seluruh cerita, alis Sam-sian itu menjungkat naik,
wajahnya menampil amarah.
„Jadi kau akui telah mengadakan hubungan kasih dengan
dia?!"
Gemetar tubuh Hui-yan mendengar pertanyaan suhunya
itu. Dengan suara berat dia mengiakan.
„Yan-ji, coba kau ucapkan bagian yang terakhir dari
sepuluh pantangan Peh-hoa-kiong?" Sam-sian berseru murka.
Seketika wajah Hui-yan berobah ngeri, tapi pada lain jenak,
sudah tenang kembali dan bahkan tampak tenang sekali.
Dengan nyaring dan tegas, ia mulai mengucapkan kalimat
itu: „Barang siapa anak murid kami, mengadakan hubungan
cinta dengan orang, akan menerima hukuman dipunahkan
kepandaian lebih dulu, kemudian disuruh menghabisi jiwanya
sendiri."
„Kau mengaku berdosa?" tanya Sam-sian baju wungu.
„Tecu mengaku berdosa."
Sam-sian mengangukkan kepala, ujarnya pula: „Apa kau
masih ada lain perkataan lagi?"
„Tecu hanya mempunyai dua buah harapan. Pertama, tecu
amat kecewa karena belum dapat membalas budi suhu.
Kedua, setelah tecu nanti meninggal, sukalah suhu memberi
kebebasan pada Siau Ih gi-heng itu. Tecu merasa sangat
berterima kasih sekali," kata Hui-yan dengan rawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sam-sian baju wungu mendengus dingin, berkata: „Sebagai
suhu, aku meluluskan permintaanmu itu."
Hui-yan tertawa pilu lalu menghaturkan terima kasih.
Berputar ke arah sam-sian baju biru dan Sam-sian baju
kuning, ia berdatang sembah: „Tecu menghaturkan selamat
tinggal pada susiok berdua.”
Mau tak mau, Hun-si-sam-sian yang berwajah dingin itu,
menampil kerut haru juga. Namun dengan cepatnya mereka
dapat menguasai perobahan mimiknya.
„Kini sebagai suhu aku hendak menjalankan hukuman
perguruan," sesaat kemudian berkatalah Sam-sian baju wungu
sembari gerakkan pelahan-lahan hud-timnya ke arah Hui-yan
yang masih berlutut dihadapannya.
Siau Ih terperanjat. Dia harus bertindak cepat. Sebat sekali
ia sudah melesat ke muka ditengah Hui-yan dan Hun-si-samsian.
Menjurah memberi hormat, dia berkata: „Apakah wanpwe
boleh menghaturkan sepatah kata?” - Dalam pada itu, diamdiam
dia sudah ke¬rahkan tenaga dalam untuk mendorong
pelahan-lahan kebut hud-tim sampai dua-tiga dim ke samping.
Karena tak bersiaga, Sam-sian baju wungu itu sampai
menyurut setengah tindak. Seketika meluaplah amarahnya.
Sepasang matanya berkilat-kilat.
„Jadi kau hendak mencampuri urusan Peh-hoa-kiong, Ya?”
tanyanya dengan bengis.
Tindakan Siau Ih itu bukan melainkan membuat semua
orang terkejut, sampaipun Hui-yan sendiri terperanjat sekali.
Sebalik nya Siau Ih tetap tenang saja.
„Wanpwe tak berani," sahutnya dengan pelahan.
„Habis apa maksudmu tadi?" seru Sam-sian makin naik
pitam. „Wanpwe hanya hendak mengucap sepatah kata."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Katakanlah!" Sam-sian itu tertawa dingin.
„Wanpwe Siau Ih adalah anak murid dari Lan-chui-suan
lembah Liu-hun-hiap Tiam-jong-san …….”
„Siaocu, jangan tekebur," tukas Sam-sian dengan marah
besar, „Shin-tok Kek belum pernah menerima murid
seorangpun jua. Apa buktinya kau mengaku muridnya? Hem,
kau kira kami bertiga tak pernah turun gunung, ya? Bilang
terus terang, mungkin ada keringanan, tapi jika tidak,
bangkaimu tentu tak ada tempat berkubur!"
Menghadapi Sam-sian pemimpin biara Peh-hoa-kiong yang
tengah marah besar itu, Siau Ih bersikap tenang saja. Sembari
mengulum senyum. dia berkata: „Sukakah kiranya cianpwe
lebih dahulu memberitahukan gelaran yang mulia?”
„Aku Hun Yak-lun! murid siapakah kau ini sebenarnya?"
Kini wajah Siau Ih berobah bersungguh, ujarnya: „Apa yang
Cianpwe katakan tadi memang benar. Lan-chui-suan belum
pernah menerima murid. Tetapi engkau hanya tahu satu, tidak
mengerti dua."
Memang Sam-sian baju wungu itu adalah Ko-shia-siancu
Hun Yak-lun, sedang yang berdiri dikanan kirinya adalah Huyong-
siancu Hun Yak-ciau dan Leng-boh-siancu Hun Yak-hwa.
Penyahutan Siau Ih tadi telah membuat ketiga Sam-sian itu
terperanjat. Hampir saja mereka, tak dapat menguasai
kemurkaannya lagi.
Bagaimana dengan Siau Ih? Sebenarnya walaupun lahirnya
tampak tenang, tetapi batin Siau Ih juga tegang sekali.
Sesaat kemudian, Siau Ih menyambung perkataannya lagi:
„Pemilik Lan-chui-suan itu, adalah engkongku luar!”
Wajah ketiga Sam-sian itu berobah seketika.
„Kalau begitu, kau ini anaknya Siau Hong dan Shin-tok
Lan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pertanyaan itu bagaikan sembilu menusuk hati Siau Ih.
Seperti tak bertulang, lehernya mengulai tunduk dan
menyahut dengan pilu: „Benar."
Ko-sia-siancu merenung sejenak. Tiba-tiba wajahnya
berobah membesi dan mulutnya berseru bengis: „Sebagai
keturunan dari tokoh kenamaan tentunya kau tahu akan
peraturan Pek-hoa-kiong. Dengan nekad melanggar peraturan
itu, apakah kau memang hendak menghina?”
Siau Ih bercekat. Dia insyaf betapa berbahayanya ucapan
Ko-shia-siancu itu. Sekali dia memberi penjelasan keliru, tentu
akan menerbitkan onar besar.
„Dampratan cianpwe itu, wanpwe terima dengan ikhlas.
Tapi hendaknya cianpwe jangan salah paham. Kedatangan
wanpwe kemari ini, semata-mata hanya ingin bertemu dengan
adik Yan, sebelum wanpwe kembali pulang lagi ke Tiam-jongsan.
Walaupun wanpwe mengakui adanya ikatan-hati dengan
adik Yan, namun selama itu wanpwe selalu memegang teguh
batas-batas kesopanan. Mengenai hubungan wanpwe dengan
adik Yan itu, engkong wanpwe pun sudah mengetahui.
Berdasarkan jalan yang wanpwe tempuh itu selalu suci lurus,
wanpwe baru berani datang kemari. Tapi apabila cianpwe tak
dapat memaafkan perbuatan wanpwe itu, wanpwe pun rela
menerima hukuman.”
Siau Ih telah menggubah kata-katanya sedemikian rupa,
tidak sombong tidak merendah dan tetap sopan. Sampai Koshia-
siancu tanpa terasa anggukkan kepala selaku memuji
akan penyahutan anak muda itu. Namun pada lain kejap,
wajah siancu itu sudah berobah menjadi dingin lagi.
„Jadi kau maksudkan, engkongmu luar itu amat
memanjakan dirimu bukan?” tanyanya.
„Harap cianpwe jangan salah menafsir. Kedatangan
wanpwe kemari ini adalah dari kehendak wanpwe sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Hem,” tukas Ko-shia-siancu, „meskipun watak dari Lanchui-
suan itu aneh sekali, tapi sejauh itu belum pernah
mem¬bikin susah orang atau bertindak sembarangan.” - Koshia-
siancu berhenti sejenak, sepasang matanya yang bagus
berkilat-kilat memancar ke arah Siau Ih.
„Watak kaum persilatan selalu menjunjung budi kebaikan.
Kaum Peh-hoa-kiong pantang bohong. Aku bertiga saudara
memang benar dahulu pernah menerima budi pertolongan
dari engkongmu, budi itu sampai sekarang belum terbalas
…..,” berkata sampai disini Ko-shia-siancu segera berpaling, ke
arah kedua saudaranya: „Ji-moay, sam-moay ……….”
Hu-yong-siancu Hun Yak-ciau dan Leng-boh-siancu Hun
Yak-hwa yang sejak tadi belum buka suara, kini cepat-cepat
menyahut: „Setiap budi, memang harus dibalas. Bagaimana
hendak memutuskan, terserah saja pada cici. Hanya saja,
sejak berpuluh tahun peraturan Peh-hoa-kiong itu selalu
dipegang teguh, kiranya cici tentu dapat menimbang dengan
bijaksana.”
27. Pasrah Dengan Nasib .....
Mendengar itu, wajah Ko-shia-siancu agak muram. Setelah
merenung sekian jenak, baru dia berkata pula kepada Siau Ih:
„Memang, setiap budi harus dibalas. Tapi muka Peh-hoa-kiong
pun harus diselamatkan. Kini aku hendak memberi
kelonggaran padamu untuk memilih salah satu dari syarat
yang kuajukan ini.”
„Wanpwe menunggu dengan hormat,” kata Siau Ih.
Ko-shia-siancu tertawa dingin, ujarnya: „Syarat pertama,
tinggalkan pedangmu disini dan kau boleh bebas pulang. Yang
kedua, kalau kau mampu memecahkan barisan pedang kiukiu-
kui-goan-kiam-tin dari Peh-hoa-kiong, bukan saja
kesalahan masuk kesini hebas, pun kedosaan murid murtad
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Hui-yan) yang berani melanggar peraturan perguruan itu,
takkan ditarik panjang lagi!"
Siau Ih bersenyum, tanyanya: .,Kalau wanpwe tak dapat
memecahkan barisan pedang itu ……..”
„Kalau begitu, akupun takkan mengambil jiwamu,
melainkan akan menyimpan kau dan muridku murtad itu
dalam penjara terpisah, kemudian mengundang engkongmu
kemari. Terlebih dulu nanti akan kujalankan hukuman pada
muridku itu, baru kuserahkan kau pada engkongmu!”
Siau Ih tertawa memanjang.
„Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin adalah ilmu pusaka Lo-hu-san
yang menggetarkan dunia persilatan. Kalaupun wanpwe tidak
becus, namun ingin juga mencobanya. Wanpwe suka
menerima syarat yang kedua itu.”
Melihat sikap meremehkan dari anak muda itu, Ko-shiasiancu
terkesiap dan suruh dia menimbang lagi masak-masak.
Masih Siau Ih tertawa getir, sahutnya dengan tegas:
„Dengan mengesampingkan soal mati-hidup, barulah wanpwe
berani berkunjung kemari. Jadi apa yang wanpwe pilih tadi,
sudah terpikir masak-masak. Hanya wanpwe mohon, sukalah
cianpwe mengampuni jiwa adik Yan. Sekalipun tubuh wanpwe
nanti mati tercincang, wanpwe takkan penasaran lagi.”
„Baik, kalau memang niatmu sudah tetap, akupun tak mau
banyak omong lagi,” kata Ko-shia-siancu, lalu memanggil
salah seorang dari rombongan delapan gadis kiu-hong.
Begitu gadis itu datang menghadap, Ko-shia-siancu
memberi perintah supaya membawa Hui-yan kekamar tahanan
Hui-lo lebih dahulu, baru kelak akan diputuskan hukumannya.
Nona itu mengiakan dan Ko-shia-siancu memesannya supaya
ia lekas-lekas datang kembali ke ruangan itu.
Begitu gadis itu menghampiri, Hui-yan sudah cepat
berbangkit. Dengan air mata bercucuran, kembali dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memohon kepada suhunya: „Suhu, tecu rela menerima
hukuman perguruan. Hanya saja sekali lagi tecu mohon suhu
suka bermurah hati kepada giheng Siau Ih.”
Ko-shia-siancu bersikap dingin saja atas permintaan
muridnya itu. Hui-yan menjadi putus asa, dengan air mata
bercucuran dia memandang sejenak ke arah Siau Ih.
Kemudian dengan menahan isak tangis, ia segera berjalan
masuk ke pintu samping. Leng-ji cepat-cepat mengikutinya.
Menampak pemandangan yang memilukan itu, semangat
Siau Ih menyala-nyala. Biar bagaimana ia hendak tumplak
seluruh kepandaiannya untuk menghadapi ujian malam itu.
Tak berapa lama, Leng-ji muncul pula. Ko-shia-siancu
menatap tajam-tajam ke arah Siau Ih, kemudian memberi
isyarat dengan tepukan pelahan. Rombongan gadis pemusik
yang ternyata menjadi murid angkatan ketiga dari Peh-hoakiong,
segera bubar masuk ke dalam pintu samping.
Sementara ke delapan dara kiu-hong yang termasuk murid
angkatan kedua, dengan dipimpin oleh Leng-ji segera melolos
pedang dan mengatur diri dalam formasi barisan. Segala
sesuatu berlangsung dengan rapi dan cepat.
Melihat itu, Siau Ih tersenyum, ujarnya: „Sesuai dengan
namanya, kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin seharusnya dilakukan oleh
sembilan orang, mengapa kini hanya delapan orang. Adakah
cianpwe memang tak ber¬sungguh-sungguh hendak memberi
ajaran pada wanpwe?”
Ko-shia-siancu mendengus dengan wajah murka, serunya:
„Aku bertiga saudara, tak sudi bertempur dengan kaum hopwe
(angkatan muda). Itu berarti kemurahan besar bagimu.
Apakah kau masih kurang puas?”
„Wanpwe tak berani kurang hormat dan menghaturkan
terima kasih," sahut Siau Ih. Kemudian sebat sekali dia sudah
melolos pedang Thian-coat-kiam yang bentuknya seperti ekor
burung seriti itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Maafkan atas kekurang ajaran wanpwe ini," serunya
sembari enjot sang kaki melambung sampai setombak lebih
tingginya. Dengan gerak ui-liong-coan-sin (naga kuning
membalik badan), dia melayang turun ditengah-tengah
barisan.
Gerakannya yang indah, telah membuat ketiga Sam-sian
mengangguk-angguk memuji. Siau Ih sendiri tegang hatinya,
tapi dia coba berlaku tenang dengan menghias senyum.
Saat itu, Leng-ji pun sudah pindahkan pedang ke tangan
kanan, lalu melintangkan ke muka dada, sedang dua buah jari
tangannya kiri menjepit ujung pedang. Itulah cara memberi
hormat dengan pedang.
„Sik Leng-ji menjalankan titah suhu, harap Siau-siaohiap
siap sedia,” serunya.
Siau Ih cepat membalas hormat dan menyilahkan pona itu
memulai lebih dulu. Leng-ji pun tak mau banyak bicara. Begitu
ia gerakkan pedang, maka ketujuh dara dari Lo-hu-san segera
mulai bergerak bergantian tempat untuk mengepung Siau Ih.
Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin dari Peh-hoa-kiong dan ngoheng-
pat-kwa-kiam-tin dari biara Sing-ceng-kiong, merupakan
dua buah barisan pedang yang sangat dimalui dunia
persilatan. Hanya saja menurut penilaian, kiu-kiu-kui-goankiam-
tin lebih unggul setingkat.
Gerakan itu terdiri dari sembilan perobahan dari satu
sampai sembilan kemudian balik kembali ke satu, maka
dinamakan kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin (sembilan kali lalu
kembali pada permulaan).
Tapi oleh karena Hui-yan tak ikut, jadi barisan itu hanya
bergerak sampai pada perobahan ke delapan saja.
Siau Ih dengan tenang, menunggu dengan penuh
perhatian. Ke delapan dara itu masing-masing menjulurkan
pedangnya sedikit ke muka, diimbangi oleh tangan kiri yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diangkat hingga sampai ke alis, lalu bergerak-gerak pindah
tempat dengan rapi.
Sebelumnya Siau Ih sudah terisi oleh rasa jeri terhadap
kebesaran nama Hun-si-sam-sian, namun beratnya hendak
membela orang yang dicintai, dia bersedia bertempur matimatian
juga.
Kala itu sudah hampir jam tiga malam, bintang-bintang
hampir memudar. Cepat dia ambil keputusan untuk lekas
turun tangan. Leng-ji adalah kepala dari barisan itu.
Untuk menghancurkan barisan itu, haruslah pokoknya yang
digempur. Justeru pada saat itu, Leng-ji sedang berputaran
dihadapannya. Kesempatan itu tak boleh disia-siakan. Dengan
bersuit nyaring, dia segera maju menyerangnya.
Siau Ih gunakan tujuh bagian tenaganya, dan serangannya
dengan jurus hui-poh-liu-cwan (air terjun mencurahkan
sumber) mengandung perobahannya sukar diduga. Rasanya
Leng-ji tentu sukar menghindar.
Tapi pada detik itu, Leng-ji sudah bergerak beralih tempat.
Siau Ih tertawa, memutar tubuh dia robah hantaman menjadi
tutukan ke arah jalan darah dipundak si nona. Dia yakin,
betapapun lihay dan tangkasnya nona itu, tentu tak mampu
mengelak.
Tapi selagi dia diam-diam bergirang, tahu-tahu dua dara
yang berada disamping kanan dan kiri, saat itu sama berputar
datang. Tahu-tahu Siau Ih rasakan dua buah benda dingin
menusuk dari kedua sampingnya.
Terpaksa Siau Ih tak dapat mengejar Leng-ji. Begitu kedua
pedang kedua nona itu tiba, dia ajukan tubuh ke muka.
Pada saat itu, dilihatnya Leng-ji sudah maju mengganti lain
tempat rekannya, selagi tempat Leng-ji itu masih luang, Siau
Ih terus menyelonong maju. Pikirnya hendak menerobos
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keluar barisan. Biarpun tidak menang, asal bisa menerobos
keluar, berarti diapun tak kalah.
Tapi ternyata lain teori lain kenyataannya. Baru Siau ih tiba
dilubang barisan itu, sekonyong-konyong Leng-ji berputar
tubuh terus, membabatkan pedangnya kepinggang Siau Ih.
Menurut teori seharusnya Leng-ji bergerak maju kedepan
mengganti tempat yang ditinggalkan rekannya, tapi
kenyataannya dia berputar balik untuk menghantam. Inilah
yang menyebabkan Siau Ih kaget setengah mati. Oleh karena
tubuhnya dienjot ke atas, jadi dia tak sempat untuk
menghindar lagi.
Syukur dia masih dapat memikirkan sebuah jalan lolos.
Dengan mengertak gigi kegeraman, dia injakkan kaki kanan ke
punggung kaki kiri, berbareng itu tangannya kiripun
menghantam kebawah.
Dua buah tenaga pinjaman itu cukup membuat tubuhnya
melambung sampai setombak tingginya, dari itu dia
berjumpalitan ke belakang untuk kembali melayang …… ke
dalam barisan!
Sudah maksudnya lolos menjadi gagal, dia kalang kabut
jungkir balik dan tak urungpun bajunya sebelah bawah robek
tergurat ujung pedang si nona.
Barisan pedang kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin, tetap bergerak
dengan Leng-ji sebagai porosnya. Sejak turun gunung dan
mengalami pertempuran beberapa kali, baru pertama kali itu
Siau Ih pontang panting begitu macam. Sudah tentu dia
menjadi naik darah. Saking marahnya, matanya menjadi
merah seperti banteng buas.
Tiba-tiba dia bersuit nyaring, kini dia gunakan pedang
pusakanya untuk membuka serangan. Dara yang kebetulan
bergilir di depan Siau Ih, jeri melihat sinar pedang si anak
muda yang berkilat luar biasa itu. Ia tak berani menangkis,
melainkan menghindar ke samping. Siau Ih tertawa dingin, dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membayangi dan memburu dengan tiga buah serangan
berturut-turut. Dara yang diincarnya itu, seketika menjadi
terkurung dalam hujan sinar pedang.
Dari sekian ratus jago persilatan, hanya terpilih sepuluh
yang digolongkan sebagai sepuluh Datuk. Dan Hun-si-samsian,
termasuk dalam daftar ke sepuluh datuk itu. Jadi sampai
dimana kepandaian dari pemimpin Peh-hoa-kiong itu, dapat
dimaklumi.
Kesembilan dara kiu-hong itu, sejak kecil dilatih sendiri oleh
Hun-si-sam-sian. Dengan Siau Ih, kesembilan nona itu
seimbang kepandaiannya. Jadi barisan yang dimainkan
menjadi pat-kwa-kiam-tin oleh kedelapan dara itu, mana
dapat ditembus dengan mudah.
Waktu salah seorang rekannya terancam, Leng-ji berteriak
memberi komando. Ketujuh dara kiu-hong itu serempak
memutar pedangnya terus menusuk punggung, pinggang,
bahu dan lain-lain bagian fatal (mematikan) dari tubuh Siau
Ih.
Anak muda itu bersuit keras, pedang dibalikkan menabas
dalam jurus to-sia-sing-bo atau mencurahkan terbalik bintang
bima sakti, berbareng itu tangan kiri menjotos lurus ke muka.
Serangkum hawa panas, tetap menyerang nona yang terlolos
dari serangannya pedang tadi. Sekaligus, dia menyerang dua
lawan.
Sinar berkilat, logam bergemerincing dan jeritan seram
terdengar. Siau Ih terkejut karena tak tahu apa yang telah
terjadi. Begitu dia sempat memperhatikan keadaan lawan,
ternyata barisan pat-kwa-kiam-tin itu sudah berobah. Delapan
dara dari kawanan kiu-hong, ternyata tinggal enam orang dan
barisan pat-kwa pun berobah bentuknya menjadi liok-hap. Apa
yang terjadi?
Beberapa meter dari tempatnya, Siau Ih melihat dua orang
dara berhenti bergerak. Yang satu kesima melihati pedangnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kutung separoh, yang satu terkapar di tanah dengan wajah
pucat. Siau Ih sendiri menjadi terperanjat. Pada lain saat dara
yang pedangnya kutung itu segera menghampiri ke tempat
rekannya yang rubuh lalu mengangkatnya terus dibawa masuk
ke belakang ruangan.
„Seorang pedangnya kutung, seorang lagi terluka berat,
rasanya urusan malam ini akan menjadi berlarut-larut hebat.
Tapi biar bagaimana, aku tetap akan berjuang
mempertaruhkan nasib kita berdua,” diam-diam Siau Ih
berkata dalam hati. Malah setelah mempunyai ketetapan itu,
hatinya makin tenang.
Selagi dia siap hendak menggempur barisan liok-hap-kiamtin,
tiba-tiba disebelah tangga atas sana kedengaran Ko-shiasiancu
Hun Yak-lun berseru: „Siau Ih, tadi kau mengaku
putera Siau Hong, tapi ternyata permainanmu pedang itu
adalah ajaran Siau-sian-ong Bok Tong, mengapa?”
Berhenti sejenak, Sam-sian itu melanjutkan pula: „Jika kau
mengira Peh-hoa-kiong gampang dipermainkan, itu berarti
hari kematianmu sudah tiba!"
Dengan adanya kesudahan pertempuran tadi, Sam-sian
menuduh Siau Ih bohong dan hendak menghina kaum Pehhoa-
kiong, maka dia tinjau lagi keputusannya tadi. Sebaliknya
diberi keringanan, kini Siau Ih hendak diperberat
hukumannya.
Tapi sebaliknya Siau Ih merasa tersinggung dengan ucapan
Sam-sian itu. Sahutnya dengan rawan-rawan mendongkol:
„Apa yang cianpwe tanyakan itu memang benar. Kepandaian
wanpwe ini memang berasal ajaran dari ayahku angkat Bok
Tong. Hal itu disebabkan karena nasib wanpwe yang malang,
tapi maaf, wanpwe tak dapat menuturkan soalnya. Hanya
saja, sekalipun berumur muda wanpwe tak pernah menghina
orang, lebih-lebih terhadap kaum cianpwe.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ko-shia-siancu memperhatikan wajah pemuda itu. Katanya:
„Baik Siau-sian-ong Bok Tong maupun si Rase Kumala Shintok
Kek keduanya adalah tokoh-tokoh istimewa. Kau sebagai
muridnya, seharusnya berlaku jujur …..”
Kembali Ko-shia-siancu melirik ke arah Siau Ih. Oleh karena
tadi telah berlaku kurang hati-hati, Siau Ih menjadi makin tak
tenteram hatinya. Serta merta dia memberi hormat
menghaturkan maaf atas kesembronoannya tadi.
„Dalam pertempuran, memang sukar terhindar dari terluka
atau terbunuh. Asal sebelum besok pagi kau dapat
membobolkan barisan itu, aku tak nanti mengingkari janji,”
kata Ko-shia-Siancu.
Kala itu hari hampir menjelang fajar. Nasib Hui-yan dan dia
sendiri, tergantung dari apa yang akan terjadi dalam satu dua
jam saja. Maka secepat menghaturkan terima kasih, Siau Ih
terus berputar tubuh menghadapi keenam dara dan
mempersilahkan mereka memulai.
Leng-ji pun tak mau banyak cakap. Cepat dia memberi
isyarat agar kawan-kawannya mulai bergerak dalam barisan
liok-hap-kiam-tin. Pertempuran kali ini berbeda dengan yang
tadi. Melihat keganasan si anak muda, keenam dara itu
hendak melakukan pembalasan.
Siau Ih sendiripun sudah merasa keterlaluan, dia menyesal
dan tak mau berbuat ganas lagi. Dengan demikian, Siau Ih
sudah kalah moril.
Sewaktu memperhatikan gerak gerik keenam dara itu, Siau
Ih dapatkan apa yang disebut liok-hap-kiam-tin itu terdiri dari
dua lapisan. Lapisan dalam terdiri dari tiga orang, lapisan
luarpun tiga orang. Mereka merupakan sebuah lingkaran yang
mengepung anak muda itu rapat-rapat, ibarat air hujanpun tak
nanti dapat menerobos masuk ke dalam barisan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Diam-diam dia mengeluh dan putus asa. Namun karena dia
masih berdarah panas dan berwatak congkak, jadi tetap tak
mau menyerah.
Setelah sekian saat memperhatikan dan mempelajari
barisan itu, diam-diam dia membatin: „Mereka terus menerus
mengitari aku saja tapi tak mau menyerang. Jangan-jangan
barisan ini serupa dengan barisan ngo-heng-pat-kwa-tin dari
Siang-ceng-kiong. Musuh diam, merekapun diam, tapi begitu
musuh mulai bergerak, mereka terus mendahului bergerak
dulu untuk menindas ……..”
Berpikir begitu, dia teringat sewaktu dahulu engkongnya
luar (si Rase Kumala) menghancurkan barisan ngo-heng-patkwa-
kiam-tin. Akhirnya dia ambil putusan lebih baik
mencobanya saja.
Kaki kanan agak dipijakkan keras-keras ke tanah, diantar
oleh gerakan tangan kiri, tubuhnya condong ke muka
menutukkan pedangnya ke arah Leng-ji yang saat itu
kebetulan bergerak dihadapannya. Bagaimana reaksinya?
Ternyata apa yang diduga Siau Ih tadi, memang benar.
Begitu ujung Siau Ih hampir kena, Leng-ji cepat menghindar
ke samping, sedang dalam pada itu dua orang dara lainnya
sudah lantas menusuk ke arah Siau Ih.
Serangan Siau Ih tadi hanyalah hendak memancing saja,
jadi posisinya tetap tak berobah. Cukup dengan turunkan
sedikit pundaknya, dia kelit pedang yang menyerang atas,
sementara untuk pedang yang menyerang bawah, cepat-cepat
dia balikkan pedangnya untuk menangkis. Gerakan berkelit
sembari menangkis itu teramat sebatnya. Dia percaya lawan
tentu akan kocar-kacir.
Tapi ternyata kedua dara penyerangnya itu sudah
menyelinap keluar. Leng-ji dan kedua dara itu termasuk
lingkaran dalam, begitu mereka bergeser keluar, maka ketiga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dara dari lingkaran luar, cepat masuk menggantikan tempat
Leng-ji bertiga.
Jadi antara barisan dalam dan barisan luar itu, ternyata
bergantian tempat. Malah begitu mengganti ke dalam, ketiga
dara itu berbareng menyerangkan pedangnya.
Lain engkong lain cucunya. Dahulu si Rase Kumala dengan
kepandaiannya yang tinggi dan kegesitannya yang luar biasa,
dapat menerobos dan mengocar-ngacirkan barisan ngo-hengpat-
kwa-tin, tapi Siau Ih tidak mampu. Hal ini disebabkan
karena anak muda itu masih kalah jauh dengan engkongnya.
Pergantian tempat yang berlangsung cepat dan tepat itu,
telah membuat Siau Ih kelabakan. Kalau tak mengandalkan
gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dia tentu
sudah terluka.
Kebagusan barisan liok-hap-kiam-tin terletak disitu. Begitu
diserang, barisan itu akan memberi reaksi yang cepat. Makin
diserang, barisan itu makin hidup dan makin hebat
perbawanya.
Bagaikan kupu-kupu menyusup diantara pohon bunga,
keenam dara itu berkeliaran terbang berputar-putar
mengepung Siau Ih. Bertubi-tubi bacokan pedang menghujani
anak muda itu.
Bermula Siau Ih masih dapat membela diri dengan
permainan pedang yang disaluri dengan lwekang kian-goansin-
kong. Tapi dengan berjalannya sang waktu, dia menjadi
keripuhan juga. Keringat mulai membasahi tubuh, napas
tersengal-sengal dan kaki tangan mulai lambat gerakannya.
Kini dia sudah menyadari keadaannya. Harapan menang
sudah ludas, yang ada hanyalah kekalahan yang akan
menyebabkan engkong luarnya turut dapat malu juga. Dalam
keputusan asanya, dia menjadi kalap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hong-lui-kiau-ki (angin geledek saling berhantam), honggan-
soh-i (burung meliwis pentang sayap), ban-hwat-kui-cong
(seribu ilmu kembali ke asal), tiga buah serangan pedang
sekali gus dilancarkan, dibarengi dengan tiga kali pukulan
tangan kiri. Hujan sinar pedang dan samberan angin lwekang,
menderu-deru dengan dahsyatnya.
Sebenarnya dua dara yang kebetulan berada di belakang
Siau Ih, sudah menusuk punggungnya. Tapi demi dilihatnya
anak muda itu tak mau menghiraukan jiwanya lagi karena
sudah kalap, kedua dara itupun menjadi terkesiap sendiri.
Memang cara Siau Ih bertempur itu, sudah mata gelap.
Kalau punggungnya tertusuk, tiga dara yang diserangnya
itupun tentu terancam jiwanya.
Melihat sang tikus sudah masuk keperangkap, Leng-ji
bersuit. Kelima kawannya cepat hentikan serangan dan
mundur setombak jauhnya. Sudah tentu Siau Ih menjadi
kaget.
„Mengapa mereka ………?”
Belum habis dia menimang dalam hati, atau keenam kiuhong
itu dengan tiba-tiba maju menyerang lagi. Siau Ih
menjadi kelabakan lagi. Dia diserang dari enam jurusan.
Betapa dia hendak menanggulangi, namun tenaganya tak
mengizinkan.
Setelah dikocok selama hampir sejam itu, tenaganya seperti
diperas habis-habisan. Baru tiga jurus saja, dia sudah rasakan
lengannya kanan linu.
“Trang,” tanpa dikuasainya lagi, Thian-coat-kiam terpukul
jatuh ke tanah. Bagaikan kumbang mengerumuni bunga,
pedang keenam dara itu sudah lantas menempel di dada, kaki,
lambung kanan kiri, kepala dan punggung Siau Ih. Dalam
keadaan demikian, Siau Ih benar-benar mati kutunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk pertama kali sejak turun gunung, baru inilah dia
mengalami kekalahan yang getir. Dan kekalahan itu telah
membuyarkan seluruh harapannya. Dia menghela napas,
sedih dan kecewa.
Melihat keenam kiu-hong itu masih tetap memagarinya
dengan ujung pedang, meluaplah kemarahannya.
„Kesatria boleh dibunuh, tak boleh dihina. Karena
berkepandaian rendah, aku menyerah kalah, tapi mengapa
nona sekalian tetap menghina begitu macam?"
Leng-ji merah mukanya. Dipungutnya pedang Thian-coatkiam
di tanah, kemudian memberi isyarat kepada kawankawannya
supaya menyingkir ke samping.
Siau Ih tertawa getir. Setelah membersihkan pakaiannya
dari debu dia memberi hormat kepada Sam-sian: „Wanpwe
Siau Ih siap menerima hukuman."
Atas sikap jujur dari anak muda itu, ketiga Sam-sian itu
diam-diam memuji. Kata Ko-shia-siancu: „Menang atau kalah,
adalah lumrah. Bahwa semuda itu usiamu, kau dapat bertahan
sampai lama dalam kepungan barisan kiu-kiu-kui-goan-kiamcu,
itu sudah cukup baik. Asal kau dapat memelihara, kelak
tentu berhasil.”
Sian-cu itu berhenti sejenak, lalu menyambung lagi: „Kini
akan kusuruh Leng-ji membawamu ke pondok yang-thaysuan.
Setelah engkongmu datang dan sehabis kuberi hukuman
pada muridku murtad itu, baru kuserahkan kau pada
engkongmu. Leng-ji, antarkan Siau-siaohiap ini ke belakang
gunung sana!"
Rasa hati Siau Ih seperti ditusuk-tusuk jarum, namun
sebagai jago yang keok, dia tak dapat berbuat apa-apa.
Setelah memberi hormat kepada ketiga siancu, dia lalu ikut
Leng-ji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kala itu hari mulai terang tanah. Bunga-bunga bwe dihutan
Hiang-swat-hay mulai bangun menghias diri. Burung berkicau
menyambut datangnya sang pagi. Seluruh penghuni gunung
Lo-hu-san kembali bersuka ria, kecuali dua buah hati dari
sepasang kekasih tengah dilanda kesedihan ……..
♠♠♠♠♠
Gunung Tiam-jong-san tengah bermandikan cahaya
keemasan dari matahari yang mulai silam ke dalam laut. Di
jalan besar kota Tay-li-seng, tampak mencongklang seorang
penunggang kuda.
Begitu berada ditengah kota, kuda itu dihentikan. Kudanya
tinggi besar berbulu hijau gelap, tapi penunggangnya seorang
pemuda yang bertubuh kecil langsing. Serasi dengan warna
bulu pemuda itu mengenakan serba hijau, baju, celana, ikat
kepala sampai sepatunya.
Sehelai kain yang menutup hidung sampai kemulutnya.
juga berwarna hijau. Sepasang matanya bening, dinaungi oleh
sepasang alis rembulan tanggal muda. Pedang yang terselip
dipinggangnya, diikat oleh sepotong sabuk warna hijau pula.
Kuda dan penunggangnya yang serba hijau itu, mudah
menarik perhatian orang. Dari pakaian si penunggang yang
penuh debu dan keringat yang membasahi tubuh kuda,
menyatakan bahwa mereka habis datang dari perjalanan jauh.
Penunggang kuda asing itu cepat menjadi sasaran
perhatian orang-orang dijalan itu. Namun penunggang kuda
itu rupanya tak mengacuhkan. Kudanya dijalankan pelahanlahan,
sembari memandang kesana-sini.
Tak berapa lama, pemuda berkuda tiba di muka sebuah
hotel. Dia turun dari tunggangannya terus menghampiri
masuk.
„Mari, tuan, hotel ini terawat bersih, pasti Tuan puas," seru
kawanan jongos yang tersipu-sipu menyambut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda baju hijau itu segera serahkan kudanya pada
jongos, kemudian melangkah masuk. Tiba di ruangan tengah,
pemuda itu dapatkan keadaan disitu amat ramai. Tetamutetamu
tengah mengepung hidangan malam yang disiapkan
sampai beberapa belas meja.
„Tuan, di ruangan belakang masih tersedia kamar kosong.
Kalau tuan merasa keberisikan, silahkan pakai yang disana.
Sebentar segera kami siapkan hidangan malam untuk Tuan”
cepat-cepat jongos itu menawari demi melihat si pemuda
kerutkan alis.
28. Ujian Terhadap Pendekar Wanita
Pemuda itu mengangguk. Begitulah setelah melalui
beberapa serambi, tibalah mereka disebuah pintu bundar.
Sekali dorong, pintu itu terbuka.
Di belakang pintu itu, ternyata terdapat sebuah kebun.
Walaupun tidak teratur indah, namun cukup menyenangkan,
ada beberapa pohon bunga. Diujung kiri kebun itu, terdapat
tiga buah kamar yang bersih.
„Bung, malam ini aku nginap disini!" setelah memeriksa
salah sebuah kamar, pemuda itu menyatakan setujunya. Nada
suaranya melengking nyaring.
Siao-ji (jongos) terkesiap heran, justeru saat itu si pemuda
sudah menyingkap kain kerudung mulutnya. Sebuah wajah
yang cakap berseri-seri, dihias dengan mata dan alis yang
indah.
Kembali jongos itu tertegun, pikirnya: „Ditilik dari wajah
dan nada suaranya, jangan-jangan tetamu ini seorang nona
yang menyaru jadi lelaki …….”
Gerak gerik Siao-ji diketahui juga oleh pemuda itu. Buruburu
dia menyuruh jongos itu pergi ambilkan air dan hidangan
malam. Malah untuk menggertaknya, pemuda itu merabah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangkai pedangnya. Keruan saja jongos itu menjadi ketakutan
dan buru-buru memberi hormat hendak menyediakan
permintaannya itu.
Tak berapa lama, jongos kembali dengan sebaskom air
panas dan seperangkat hidangan. Setelah selesai cuci muka
dan makan, pemuda itu padamkan lampu lalu duduk
bersemadhi di atas tempat tidur.
Ketika kentongan terdengar dipukul empat kali, tiba-tiba
pemuda itu berbangkit. Memanggul pedang dibahu,
meletakkan sepotong perak di atas meja, lalu mendorong
pintu terus loncat ke atas wuwungan rumah.
Dari itu dia lari keluar hotel. Dengan gunakan ilmu ginkang,
dia keluar kota dan berlarian dijalan yang menuju ke gunung
Tiam-jong-san.
♠♠♠♠♠
Begitu tiba dikaki gunung, pemuda itu berhenti sejenak
memandang kebesaran gunung Tiam-jong-san yang
membujur sampai ratusan li luasnya itu. Puas merenung,
pemuda itu tancap gas pula lari masuk ke daerah gunung.
Karena waktu itu masih dinihari, jadi jalanan di gunung itu
masih sepi orang, dengan begitu dapatlah dia gunakan ilmu
berlari cepat dengan leluasa.
Sekalipun begitu karena tak paham akan jalanan disitu, jadi
hampir tengah hari barulah sampai dibalik gunung. Tempat
tujuannya masih belum tercapai. Pemuda itu menjadi gelisah
tampaknya.
Sekilas mendapat pikiran, dia terus mendaki sebuah puncak
dan memandang ke sekeliling penjuru. Tiam-jong-san dengan
puncak-puncaknya yang hijau meluas, seolah-olah tiada
bertepi. Bingung dia dibuatnya, hendak bertanya orang,
terang tak mungkin. Kecuali siur angin membuai pohon, tiada
lain makhluk yang tampak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Di daerah gunung yang begini luasnya, kalau aku
membabi buta saja, mungkin sepuluh hari juga tak dapat
mencari tempat itu ……..”
Sesaat berpikir begitu, tiba-tiba dia teringat sesuatu:
„Karena bernama kiap (selat), tentu ada gunung dan air. Dan
konon kabarnya Lan-chui-suan itu indah seperti lukisan.
Mengapa aku tak mencari tempat semacam itu ……..”
Kini dia berganti haluan, tak mau cari jalan besar, tetapi
jalanan gunung yang kecil sempit. Lebih dari sejam dia
menyusur masuk ke daerah pedalaman, namun bayangan Liuhun-
kiap tetap belum tampak.
Kala itu dia sudah berada di ujung puncak karang buntu.
Disebelah belakang karang itu, terbentang jurang yang curam
sekali. Sambil menghapus keringat, pemuda itu memandang
ke bawah jurang dengan rasa putus asa.
„Jalanan ini putus sampai disini. Tiam-jong-san mempunyai
berpuluh puncak, tapi Liu-hun-hiap tiada jejaknya sama sekali.
Kalau sampai tak berhasil, bagaimana harus mengatakan pada
suhu ……. dan pula ……. bagaimana menyelesaikan persoalan
itu …….?”
Pemuda itu makin resah. Tiba-tiba dari karang sebelah
muka yang terputus oleh jurang itu, terdengar suara
nyanyian:
Bilakah bulan purnama tiba, hendak kupersembahkan arak,
Adakah istana dilangit, masih tetap senantiasa semarak?
Ingin kunaik angin pulang
Tapi kukuatir tangga langit terlampau tinggi
Wahai rembulan, sinarmu mengarungi
Istana maupun gubuk tanpa diskriminasi
Mengapa dikau selalu tak berwajah penuh?
Nada nyanyian itu melengking tinggi, bernapaskan gagah
perwira. Pemuda baju hijau itu terpikat pikirannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suara nyanyian itu makin lama makin dekat dan muncullah
seseorang dari semak belukar. Usianya lebih kurang duapuluh
tujuh tahun, bertubuh kekar dada lebar, alis tebal mata
bundar.
Dia mengenakan baju dan celana pendek dari kain kasar,
hingga potongan tubuhnya makin tegas. Mencekal sebatang
bambu, pemuda itu berjalan pelahan-lahan sembari membuka
suara.
Tampak ada orang untuk bertanya, pemuda baju hijau itu
cepat enjot tubuhnya maju ketepi karang, lalu angkat
tangannya tinggi-tinggi sembari berteriak keras: „Hai, saudara!
Harap berhenti dulu, aku hendak mohon tanya.”
Pemuda baju pendek itu berhenti, lalu balas berseru dari
tempatnya yang jauh: „Apakah saudara kesasar?”
„Bukan, aku memang sengaja datang dari jauh. Saudara
tentu tinggal disini, bolehkah aku bertanya satu dua hal?"
Rupanya pemuda pakaian pendek itu menjadi curiga.
Bagaimana pun juga, nada suara pemuda baju hijau itu tetap
kecil, sikapnya bukan seperti orang lelaki. Dan yang paling
menarik perhatian, dia menyanggul pedang. Namun pemuda
baju pendek itu tak mau mengentarakan keheranannya.
„Benar, aku memang orang sini. Saudara hendak
menanyakan apa?" serunya dengan tersenyum.
Pemuda baju hijau itu girang sekali, teriaknya: „Yang
hendak kucari ialah Liu-hun-hiap. Kalau saudara suka
menunjukkan, akan kuberi hadiah besar."
Walaupun keduanya terpisah oleh sebuah jurang selebar
belasan tombak, tapi dapat tukar pembicaraan dengan jelas.
„Liu-hun-hiap adalah tempat pertapaan Shin-tok lo-sin-sian.
Menilik saudara membekal pedang, tentulah seorang pendekar
silat," kata pemuda baju pendek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda baju hijau itu kemerah-merahan mukanya. Buruburu
dia merendah: „Gelar pendekar silat itu, terlampau tinggi
bagiku. Aku hanyalah murid Peh-hoa-kiong di Lo-hu-san yang
mendapat perintah suhu untuk menghadap Shin-tok sianseng.
Karena tak paham jalanan, jadi hampir setengah harian aku
tak dapat menemukan tempat tinggalnya. Sukalah saudara
memberi bantuan!"
Memang pemuda baju hijau itu bukan lain adalah Sik Lengji,
pemimpin dara kiu-hong dari Peh-hoa-kiong. Dia
diperintahkan suhunya untuk membawa surat kepada Shin-tok
Kek. Kebetulan pula pemuda baju pendek itu, adalah Shin-tok
Hou, coba tidak, pasti Leng-ji akan pulang dengan tangan
kosong.
Shin-tok Hou tahu bagaimana hubungan antara Siau Ih
dengan Lo Hui-yan. Dia sudah kuatir akan kepergian Siau Ih
ke Peh-hoa-kiong yang merupakan daerah terlarang bagi
kaum laki-laki itu. Bahwa kini ada seorang anak murid Pehhoa-
kiong datang ke Tiam-jong-san, tentulah membawa berita
tentang Siau Ih.
„Kalau kau membawa berita buruk tentang Ih-te (adik Ih),
biar nanti aku digegeri suhu, lebih dulu hendak kusuruh kau
minum pil pahit," demikian dia mengambil putusan, terus
menyambut: „Dapat membantu orang lain, adalah suatu
kebahagiaan. Apalagi hanya menunjukkan jalan …….”
Berkata sampai disitu, tahu-tahu dia sudah melambung
tinggi sampai dua tombak, terus meluncur miring ke bawah
jurang.
Sudah tentu kejut Leng-ji tak terhingga. Pertama ternyata
pemuda baju pendek itu mempunyai kepandaian hebat dan
kedua karena jurang itu tiada tempat berpijak. Sekali jatuh,
pasti akan remuk binasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun matanya yang tajam segera melihat bahwa
sepuluhan tombak jauhnya ternyata terdapat seutas rantai
besi yang menghubungkan kedua tepi karang.
Tepat pada saat itu, Shin-tok Hou melayang turun ke atas
rantai. Begitu sang kaki diinjakkan, kembali dia melambung
lagi ke udara. Sebelum Leng-ji hilang kejutnya, tahu-tahu
Shin-tok Hou sudah tiba dihadapannya.
„Nona adalah tetamu dari jauh, aku mewajibkan diri
sebagai tuan rumah," kata Shin-tok Hou sembari tersenyum
menampak kekagetan wajah Leng-ji.
„Siapa kau ini?”
„Lebih baik nona jangan menanyakan," sahut Shin-tok Hou
Leng-ji marah. Maju beberapa tindak, dia cabut pedangnya
dan membentak keras: „Bilang, siapa kau ini? Kalau tetap
membandel, jangan salahkan nonamu tak tahu adat!"
Kini Shin-tok Hou tampak bersungguh, jawabnya: „Karena
nona memaksa, baiklah, aku adalah Shin-tok Hou salah
seorang siang-thong (sepasang kacung) dari pemilik Lan-chuisuan!"
Kejut Leng-ji lebih hebat dari tadi, hingga ia sampai tak
dapat berkata-kata.
„Dari tempat ribuan li nona datang kemari, apakah karena
perihal Siau Ih?” kini Shin-tok Hou yang ganti bertanya.
Leng-ji terkejut gelagapan. Namun melihat sikap dingin dari
anak muda itu, ya amat mendongkol. Tak kurang dinginnya
menyahut: „Benar, Sik Leng-ji datang kemari karena untuk hal
itu. Tolong saudara sampalkan pada Shin-tok sianseng bahwa
Sik Leng-ji hendak mohon menghadap."
Dugaannya benar, Shin-tok Hou menjadi terperanjat.
Pikirnya: „Jadi nyata Ih-te sudah pergi ke Lo-hu-san. Dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nada ucapan nona ini, terang Ih-te menemui kesulitan,
rasanya dia tentu ditawan di Lo-hu-san."
Memikir begitu, amarahnya meluap. Menatap lekat-lekat ke
arah Leng-ji, dia tertawa dingin, ujarnya: „Liu-hun-hiap sudah
berada di depan mata. Hanya saja pertapaan Lan-chui-suan
juga mengadakan pantangan keras seperti halnya dengan
biara Peh-hoa-kiong, yakni setiap kaum wanita yang hendak
datang ke Liu-hun-hiap harus lebih dahulu diuji dengan
tigaratus jurus, kalau gagal, boleh pulang saja …………”
Dia berhenti sejenak untuk mengawasi wajah si nona yang
merah padam dirangsang kemarahannya itu. Habis itu, dia
tertawa meneruskan pula: „Karena nona mendapat perintah
suhu, tentu tak suka pulang tangan hampa. Apalagi ilmu
kepandatan Lo-hu-san, menggetarkan dunia persilatan.
Nonapun sudah melolos pedang jadi jangan pelit memberi
pelajaran."
Habis berkata, kontan saja Shin-tok Hou putar batang
bambunya dalam gerak han-tong-hud-liu ke arah kepala Lengji.
Serangan kilat itu, membuat Leng-ji terkejut, terus
menyurut mundur.
Namun Shin-tok Hou teruskan menutuk bahu kiri si nona
dengan gerak han-hoa-tho-lui.
Belum lagi kaki Leng-ji berdiri jejak, ujung bambu sudah
tiba, keruan saja ia menjadi geregetan. Pundak agak
diegoskan, ia barengi menabas bambu lawan.
Untuk itu, Shin-tok Hou turunkan bambunya ke bawah
untuk diteruskan menyapu pinggang.
Leng-ji keripuhan. Setiap serangannya, selalu dapat
ditindas malah mendapat serangan balasan secara cepat.
Terpaksa dengan mendongkol, ia main mundur. Cepat sekali,
mereka sudah bertempur belasan jurus.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Timbul keangkuhan Leng-ji, kalau ia tak mampu mengatasi
pemuda itu, keharuman nama Peh-hoa-kiong, pasti akan
jatuh. Saat itu kebetulan ujung bambu si anak muda menusuk
ke arah tenggorokannya.
Dia menunggunya dengan tenang. Begitu hampir tiba,
secepat kilat dia miringkan kepala sembari ayunkan pedang
membacok lengan kanan Shin-tok Hou.
Kini gilirannya Shin-tok Hou yang kelabakan. Dia tak
menyangka si nona akan gunakan gerakan yang amat
berbahaya begitu. Terpaksa dia enjot tubuhnya loncat
mundur.
Tapi Leng-ji tak mau memberi hati. Serangan pertama
berhasil dia mencecernya lagi dengan lima buah serangan
berturut-turut. Keadan berganti, sekarang Shin-tok Hou yang
main mundur.
Memang sebagai kepala dari kiu-hong, Leng-ji telah
menerima warisan kepandaian dari Hun-si-sam-sian. Untuk
memberantas kesombongan lawan dan demi menjaga pamor
perguruannya, Leng-ji keluarkan ilmu pedang it-goan-kiamhwat,
yakni ilmu kebanggaan Peh-hoa-kiong yang termasyhur.
Memang lihay sekali ilmu pedang itu. Sesaat tubuh Shin-tok
Hou seperti dilibat oleh sinar pedang.
Walaupun hanya menjadi kacung pelayan dari Si Rase
Kumala, namun sejak kecil Shin-tok Hou mendapat
gemblengan ilmu silat dari tokoh lihay itu. Dibanding dengan
Siau Ih, sebenarnya dia lebih lihay. Sekalipun hanya mencekal
sepotong bambu, tapi kehebatannya tak berkurang.
Ditepi karang jurang yang curam, terjadilah pertempuran
dari dua jago muda yang lihay. Kepandaian mereka terpaut
tak seberapa. Gesit lawan cepat, tangkas tanding lincah.
Hanya dalam beberapa kejap saja, keduanya sudah bertempur
sampai seratusan jurus lebih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terbatas oleh keadaan jasmaniah, dalam hal ilmu lwekang
wanita agak kalah dengan kaum pria. Apalagi dasar
kepandaian Leng-ji memang setingkat lebih rendah dari Shintok
Hou.
Makin lama dara dari Peh-hoa-kiong itu makin lelah,
keringat mengalir deras, napas terengah-engah. Namun
sekalipun kekalahan sudah terbayang di depan mata, Leng-ji
tak mau menyerah mentah-mentah. Ia robah taktik, dari
menyerang menjadi bertahan.
Sebaliknya Shin-tok Hou makin gagah. Sejak kecil
mendapat gemblengan dari si Rase Kumala, dia memiliki
pancaindera yang tajam sekali. Tahu si nona sudah hampir
menyerah, dia segera, keluarkan ilmu pukulan ji-i-san-chiu.
Sebuah ilmu pukulan terdiri dari seratusdelapan jurus yang
menggetar dunia persilatan. Seketika itu, Leng-ji terkurung
oleh hujan jari. Kekalahan Leng-ji makin jelas.
„Dari pada membikin jatuh pamor perguruan, lebih baik aku
gugur bersama dia," demikian Leng-ji membulatkan tekadnya.
Kini ia menjadi tenang. Saat itu ujung bambu menusuk
tiba, sedang tangan kiri Shin-tok Hou pun bergerak
menghantam pundaknya. Ia cepat laksanakan rencananya.
Untuk tutukan bambu, ia goyangkan pundaknya
menghindar. Tapi untuk hantaman tangan si anak muda, ia
malah memapaki maju sembari membacokkan pedangnya.
Biar ia menerima pukulan, tapi dada lawanpun tentu akan
pecah.
Shin-tok Hou terkejut sekali. Buru-buru dia tarik pulang
tangan kiri, tubuhnya cepat dimiringkan ke samping.
“Siut,” pedang Leng-ji hanya terpisah satu dim menyambar
di atas pundaknya. Karena tabasannya luput, Leng-ji menjorok
ke muka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam posisi miring tadi, secepat kilat Shin-tok Hou
gunakan jurus oh-yang-kiau-hun atau telentang memandang
awan, ujung bambu cepat dibalikkan untuk menghantam
pedang.
Seketika itu Leng-ji rasakan pedangnya seperti ditekuk oleh
suatu tenaga kuat. Baru ia mengeluh celaka, tahu-tahu
telinganya dipekakkan oleh suara benda yang mengiang
nyaring, „tring …….”
Pedang Leng-ji yang terbuat dari baja murni, telah putus
menjadi dua! Saking kagetnya, Leng-ji sampai loncat ke
belakang.
Shin-tok Hou tak mau mengejar, melainkan berseru dengan
senyum tawa: "Maafkanlah, nona. Biar kulaporkan pada suhu
kedatangan nona ini."
Wajah pemimpin kiu-hong itu pucat lesi, matanya memerah
darah. Ucapan pemuda itu, amat menusuk sekali. Serentak
pedang dibanting ke tanah, ia berteriak geram: „Aku akan
mengadu jiwa padamu!"
Teriakan itu ditutup dengan loncatan menghantam.
„Kalau nona belum puas, Sin-tok Hou terpaksa melayani,"
seru Shin-tok Hou sambil tertawa dan menghindar ke
samping.
Karena sudah kalap, Leng-ji gunakan ilmu pukulan istimewa
ciptaan Hun-si-sam-sian, yakni can-hoa-chiu. Setiap pukulan
dan hantaman selalu dipusatkan ke arah bagian yang fatal
(mematikan) dari tubuh si anak muda.
Sampai tigapuluh jurus, ia merangsang dengan hebat
seolah-olah seperti hendak menelan lawan.
Namun walaupun terkurung, Shin-tok Hou tetap dapat
menghadapi dengan tepat. Hanya saja kini, anak muda itu tak
berani bersikap sombong lagi. Dia bertempur dengan hati-hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pertempuran sengit itu berlangsung dari tengah hari
sampai lohor. Dua-duanya tampak mulai tele-tele. Wajah Shintok
Hou merah padam, dahinya berketesan keringat.
Leng-ji pucat lesi, napasnya senin kemis. Pelahan-lahan ia
mulai terdesak mundur hingga sampai ke tepi jurang.
Sekonyong-konyong Shin-tok Hou menggerung keras.
Dengan gerak ngo-ting-gui-san, dia dorongkan kedua
tangannya ke arah lawan.
Leng-ji ibarat sebuah pelita yang kehabisan minyak, iapun
buru-buru mendorongkan sepasang tangannya ke muka. Ia
sudah nekad, sehingga lupa pada kenyataan. Kalau kedua
hantaman itu saling berbentur, akibatnya sudah dapat
diperhitungkan. Kalau tidak terluka parah, nona itu pasti akan
terlempar jatuh dalam jurang ……..
Dalam saat yang tegang meruncing itu, tiba-tiba dari arah
karang diseberang sana, terdengar seorang berseru nyaring:
„Hou-te, tahan!"
Shin-tok Hou memberi reaksi cepat. Tangan kiri ditarik,
tangan kanan dibuat melindungi dada lalu loncat mundur.
Selagi Leng-ji kesima, sesosok tubuh melayang ke arah
karang itu. Ia hanya melihat yang datang itu baik potongan
pakaian, maupun perawakan dan usianya, hampir sama
dengan Shin-tok Hou. Tapi siapa dianya itu, Leng-ji tak
sempat memperhatikan lebih lanjut karena ia merasa
tubuhnya seperti melayang-layang hendak rubuh.
Diperas habis tenaganya, geram pedih memikirkan
tugasnya yang belum selesai itu, telah membuatnya ngenas
lahir dan batin. Sedikit saja tubuhnya yang lemah gemelai itu
terhuyung, tak ampun lagi ia tentu terlempar jatuh ke dalam
jurang ……..
„Aku Shin-tok Liong, menghaturkan maaf atas
kesembronoan adikku tadi. Kedatangan nona kemari, aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah mengetahui. Liu-hun-hiap berada disebelah karang itu.
Tapi karena nona lelah, lebih baik beristirahat dulu, nanti
kuantarkan kesana." kata pemuda yang baru datang itu.
Leng-ji tersadar. Waktu membuka mata, dilihatnya Shin-tok
Liong dan Shin-tok Hou loncat menghampiri. Betapa malu dan
geramnya, sukar dilukis. Hanya mengingat tugas yang
diberikan suhunya belum selesai, terpaksa ia menekan
perasaannya.
Untuk menghadapi tokoh dari selat Liu-hun-hiap yang
tersohor aneh sifatnya itu, ia harus mengumpulkan tenaga.
Demikianlah segera ia duduk bersila menyalurkan napas.
Ketika membuka mata, ternyata matahari sudah condong
kebarat.
Dengan semangat segar, ia berbangkit. Dikala memberesi
pakaiannya yang kucal, matanya tertumbuk akan kutungan
pedangnya yang berserakan di tanah.
Seketika ia tertawa pilu, namun pada lain saat ia keraskan
hati, terus ayunkan langkah menuju ke jembatan rantai.
Setelah agak meragu sebentar, ia segera enjot tubuhnya ke
muka. Dengan gunakan ginkang yan-cu-sam-jo-cui atau
burung seriti tiga kali menyentuh air, ia berloncatan di atas
rantai besi dan loncat ke tepi karang diseberang.
Begitulah setelah melalui jalanan kecil, kira-kira sepeminum
teh lamanya, tibalah ia disebuah pintu batu yang atasnya
terdapat plakat nama Liu-hun-hiap dan Shin-tok Liong sudah
menunggu disitu.
„Tuanku mempersilahkan nona masuk," katanya sembari
tersenyum. Sekali mendorong pelahan-lahan, pintu itu
terbuka. Dia persilahkan si nona masuk.
Begitu masuk, Leng-ji rasakan matanya amat sedap
menampak pemandangan alam disitu. Indah bagai lukisan,
demikian satu-satunya komentar dalam hatinya. Diantara
rindangnya pohon-pohon bunga, tampak sebuah pondok.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Tuanku tengah menunggu. Harap nona ikut,” kata Shintok
Liong sembari cepatkan langkahnya.
Leng-ji pun mengikutinya. Setelah melintasi padang bunga,
tibalah mereka di muka sebuah pondok. Pemandangan
pertama yang mengejutkan hati Leng-ji ialah Shin-tok Hou
saat itu tampak sedang berlutut menghadap tembok.
„Karena melanggar peraturan, adikku telah dihukum,” buruburu
Shin-tok Liong memberi penjelasan.
Diam-diam Leng-ji memuji kebijaksanaan Shin-tok Kek
yang disohorkan sebagai orang yang berwatak aneh kaku itu.
Otomatis, amarahnya tadi banyak berkurang, sebagai gantinya
kini timbul rasa menghormat pada tuan rumah.
Tiba-tiba tirai bambu yang menutupi pintu pondok itu
tersingkap. Seorang pemuda bertubuh kokoh kekar, muncul
keluar. Dia mempersilahkan Leng-ji masuk.
Bahwa dalam beberapa detik lagi bakal berhadapan dengan
seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi, mau tak mau
hati Leng-ji berdebar keras. Debar hatinya itu berobah
menjadi semacam kecemasan demi membayangkan
bagaimana nanti sikap tuan rumah apabila menerima surat
dari suhunya.
Melangkah masuk, ia dapatkan ternyata pondok itu tak
seberapa besar, namun dirawat resik sekali. Disebuah dipan
pendek yang bertutupkan tikar sulaman lukisan kepala naga,
duduk dua orang.
Yang kiri usianya antara empatpuluhan tahun. Wajahnya
agung, mengenakan kain kepala dan pakaian sebagai orang
pelajar. Yang sebelah kanan, adalah seorang tua gemuk
pendek. berwajah merah. Rambut dan jenggotnya sudah
sama putih, seri wajahnya riang tertawa.
Leng-ji agak tertegun, lalu menjurah memberi hormat
kepada orang pelajar itu, ujarnya: „Wanpwe Sik Leng-ji anak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
murid Hun-si-sam-sian dari biara Peh-hoa-kiong. mohon
menghadap pada Shin-tok sianseng.”
Memang tokoh pertengahan umur yang dandanannya
seperti orang pelajar itu, bukan lain ialah si Rase Kumala Shintok
Kek. Tenang-tenang saja dia sapukan mata ke arah Lengji.
Sejenak bersenyum, berkatalah dia dengan nada ramah:
„Lohu sudah keliwat lama mengasingkan diri, tentang
peradatan tak terlalu mempersoalkan, harap nona duduk."
29. Taruhan Tokoh Sepuluh Datuk
Leng-ji menghaturkan terima kasih, tapi bukannya duduk,
ia mengisar kekanan dan memberi hormat kepada orang tua
gemuk pendek, ujarnya: „Kalau wanpwe tak salah, bukankah
lo-jin-ke ini Siau-sian-ong Bok locianpwe yang termasyhur
suka berkelana menyebarkan kebajikan?”
Si tua gemuk itu mendongak tertawa, sahutnya: „Dara,
caramu berlaku begitu menghormat itu, telah membuat lohu
tak enak dihati sendiri. Lekaslah duduk, biar enak yang
bicara.”
Tahu bahwa kaum cianpwe yang berilmu tinggi biasanya
memang tak suka banyak peradatan, Leng-ji pun tak mau
sungkan lagi, lalu duduk di sebuah dingklik.
Ia merogoh keluar sepucuk sampul besar lalu
menghaturkannya dengan kedua tangan kepada si Rase
Kumala. „Suhu menitahkan wanpwe supaya menghaturkan
surat ini kepada locianpwe."
Setelah menerima dan membukanya, wajah si Rase Kumala
tampak berobah, tapi pada lain jenak kembali sudah tenang
lagi. Sehabis membaca, lalu diberikan kepada Siau-sian-ong (si
Dewa Tertawa).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berpaling kembali kepada Leng-ji dia berkata: „Karena lama
tak campur urusan dunia, adat lohu menjadi malas, jadi tak
usah membuat surat balasan. Cukup nona sampaikan pada
gurumu bahwa dua bulan lagi pada malam purnama, lohu
akan berkunjung ke Lo-hu-san guna menyelesaikan urusan
cucuku yang kurang ajar itu."
„Atas nama suhu, wanpwe menghaturkan terima kasih dan
mohon diri," sahut Leng-ji sembari berbangkit memberi
hormat.
Si Rase Kumala mengangguk sambil tertawa. Tiba di muka
pintu. tiba-tiba Leng-ji teringat sesuatu. Kembali dia berputar
tubuh dan memberi hormat kepada si Rase Kumala.
„Wanpwe hendak mengajukan sedikit permohonan, entah
apakah locianpwe sudi meluluskan?"
Si Rase Kumala tercengang, kemudian tertawa: „Asal lohu
mampu melakukan, tentu dengan segala senang hati akan
nerimanya."
Memandang keluar pintu, Leng-ji berkata: „Dalam
bentrokan dengan Shin-tok siaohiap tadi, wanpwe pun juga
bersalah, apalagi Shin-tok siaohiap cukup mengalah. Wanpwe
mohon locianpwe suka memberi keringanan pada Shin-tok
siaohiap itu.”
Shin-tok Kek tertawa, ujarnya: ,,Nona cukup berbudi,
terima kasih. Tapi karena hal itu menyangkut peraturan
pondok pertapaanku, jadi terpaksa tak dapat meluluskan.''
Dalam keramahannya itu, nada si Rase Kuinala
mengandung kewibawaan yang mengesankan. Leng-ji tak
berani banyak omong lagi, terus memberi hormat dan pergi.
Secepat bayangan nona itu hilang dari pemandangan,
wajah si Rase Kumala pun berganti menjadi keren.
„Lo-koay, bagaimana kau hendak mengurus soal ini,” seru
si Dewa Tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dingin-dingin saja si Rase Kumala menyahut: „Bok loji,
jangan membakar hatiku. Kalau Ih-ji sampai kesalahan,
kaupun tak terlepas dari pertanggungan jawab. Sekalipun
anak itu berbuat salah, juga kita berdua yang berhak
mengajar, bukan lain orang.”
Berhenti sejenak, tokoh itu melanjutkan kata-katanya:
„Soal percintaan dalam kalangan muda-mudi, adalah sudah
jamak. Kali ini lohu hendak campur tangan membuat suatu
penyelesaian yang memuaskan bagi mereka.”
Sudah puluhan tahun si Dewa Tertawa galang-gulung
dengan Shin-tok Kek, jadi sudah cukup paham isi hatinya.
„Apa yang peribahasa mengatakan itu memang benar,
'sungai dan gunung mudah dipindah, tapi watak orang sukar
dirobah'. Menilik naga-naganya, Peh-hoa-kiong tentu akan
kocar-kacir ……..” diam-diam si Dewa Tertawa itu membatin.
♠♠♠♠♠
Tempo berjalan laksana anak panah cepatnya. Tahu-tahu
kini sudah masuk bulan ketiga. Tiga hari yang lalu, si Dewa
Tertawa sudah tinggalkan Tiam-jong-san. Dia berjanji akan
bertemu lagi di Lo-hu-san untuk mendampingi si Rase Kumala
menghadapi Hun-si-sam-sian.
Batas janjinya dengan Peh-hoa-kiong sudah tiba, Shin-tok
Kek pun segera berkemas. Tan Wan disuruh jaga rumah,
sedang dia lalu naik tandu yang digotong oleh Shin-tok Liong
dan Shin-tok Hou berdua.
Memang apa yang diramalkan si Dewa Tertawa itu tepat.
Kepergian si Rase Kumala ke Lo-hu-san itu berarti datangnya
bencana bagi Peh-hoa-kiong.
Malam purnama pada permulaan musim panas. Di muka
hutan pohon bwe Hiang-swat-hay yang terletak disebelah
dalam dari gunung Lo-hu-san, tampak ada sebuah tandu yang
dipanggul oleh dua pemuda gagah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu berhenti, keluarlah seorang pelajar setengah umur.
Wajahnya putih beseri, sepasang matanya berkilat-kilat tajam
amat berpengaruh. Kain kepala yang berhias batu kumala
cemerlang dan pakaian sutera berwarna kelabu perak, serasi
sekali dengan potongan tubuhnya yang tinggi langsing.
Sikapnya agung berwibawa.
Dia memberi isyarat supaya kedua pemuda tadi
mengundurkan diri, lalu melangkah masuk ke dalam daerah
hutan bwe. Dia berkeliaran memandang kian kemari, seolaholah
mencari sesuatu. Tapi sekeliling itu tetap sunyi senyap
saja. Suatu hal yang membuatnya mengerut dahi keheranan.
„Klik …….” tiba-tiba terdengar angin berkesiur meniup jatuh
sekelompok bunga bwe. Bunga itu bertebaran jatuh ke bawah,
Tiba-tiba orang pelajar itu berputar tubuh, menyusul dengan
gerak hong-kek-hong-hui, dia enjot tubuhnya ke atas sebuah
pohon besar yang tumbuh disebelah kiri.
Baru tubuhnya melambung di udara, dari semak daun
pohon itu terdengar gelak tertawa macam naga meringkik.
„Brak,” semak daun menyingkap dan sesosok tubuh melayang
turun ke bawah.
Si orang pelajar yang tengah melayang naik tadi, terpaksa
ditengah jalan berhenti berjumpalitan, lalu meluncur turun ke
arah orang tadi, serunya: „Bok loji, kalau main sembunyi
jangan salahkan Shin-tok Kek tak kenal ampun."
Begitu menginjak tanah, bayangan tadi terus melesat ke
samping dan tertawa gelak-gelak: „Lo-koay, kau benar-benar
lihay!"
Setelah saling berhadapan, kedua orang itu sama bergelakgelak.
Kini jelaslah siapa-apa mereka itu. Yang bersembunyi
dibalik daun pohon tadi, ternyata ialah si Dewa Tertawa Bok
Tong, tokoh Sepuluh Datuk yang selalu bersikap riang.
Sementara si orang pelajar yang naik tandu tadi, bukan lain
ialah si Rase Kumala Shin-tok Kek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kuatir akan keselamatan Siau Ih, maka si Dewa Tertawa
minta diri pada Shin-tok Kek lebih dulu dan berjanji akan
berjumpa di Hiang-swat-hay. Sebagai tokoh kenamaan, si
Dewa Tertawa sungkan untuk datang ke Peh-hoa-kiong
sebelum tiba waktunya perjanjian.
Namun secara diam-diam, dia dapat menyelundup ke
dalam tahanan yang-thay-suan untuk menjenguk Siau Ih dan
menghiburinya.
Begitulah setelah malam purnama tiba, si Dewa Tertawa
bersembunyi dihutan bwe menunggu kedatangan si Rase
Kumala. Tapi dasarnya suka berolok-olok, waktu sang sahabat
datang, diapun sengaja main sembunyi.
Kedua tokoh itu lain wataknya, yang satu bersungguhsungguh
dan yang lain suka berolok-olok. Namun dalam
menghadapi musuh, keduanya mempunyai persamaan sikap
yakni bersungguh-sungguh. Begitulah sembari masuk ke
dalam hutan, si Dewa Tertawa menceritakan pengalamannya
kepada sang sahabat.
„Malam-malam masuk ke Peh-hoa-kiong, memang tidak
pantas. Tapi Hun Yak-lun kakak beradik itupun tidak
seharusnya memperlakukan seorang anak begitu rupa,
membekuk dulu baru memberitahukan orang tuanya. Cara
membunuh orang masih pula hendak membeset kulitnya
macam itu, tidak sesuai dengan jalan yang harus ditempuh
oleh kaum tiangcia (angkatan tua)." habis mendengar
penuturan, si Rase Kumala menyatakan pikirannya.
Sebaliknya si Dewa Tertawa mempunyai pendapat sendiri,
kata nya: „Ih-ji sejak kecil kuasuh dan kudidik seperti anakku
sendiri. Memang aku merasa sedih atas terjadinya hal itu,
namun kalau dipandang dari sudut peraturan, aku tak berani
terlalu memihak padanya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Shin-tok Kek terkesiap berpaling menatap tajam-tajam ke
arah si Dewa Tertawa. „Bok loji, apa artinya perkataanmu
itu?” tanyanya.
Kembali sepasang alis si Dewa Tertawa menjungkat ke
atas. ujarnya: „Negara mempunyai undang-undang, rumah
tangga mempunyai peraturan. Sudah sejak berpuluh-puluh
tahun Peh-hoa-kiong merupakan daerah terlarang bagi kaum
lelaki dan melarang anak muridnya menikah. Peraturan itu
dipegang teguh. Ih-ji berani mati melanggar peraturan itu.
Kalau dia tak mempunyai hubungan apa-apa dengan kau,
mungkin jiwanya sudah melayang."
Si Rase Kumala tertawa dingin.
„Setiap memecahkan persoalan, Shin-tok Kek selalu tak
mengabaikan perasaan dan nalar (cengli). Soal perkawinan
adalah sudah menjadi kodrat alam. Peraturan Peh-hoa-kiong
itu, berjiwa melanggar hukum alam. Dan kalau mengingat
peristiwa dulu, perlakuan Hun-si-sam-sian terhadap Ih-ji itu,
juga melupakan budi perasaan," kata Shin-tok Kek.
Sejenak berhenti lalu melanjutkan pula: „Bok loji, aku tak
suka dengan segala peraturan mati. Aku hanya menjunjung
logika (nalar) yang nyata. Lepas dari persoalan Ih-ji, aku akan
menggunakan kesempatan kali ini untuk mencicipi ilmu
kesaktian dari Peh-hoa-kiong yang termasyhur itu."
Lepas bebas si Rase Kumala menyatakan perasaan hatinya,
hingga dalam suasana yang sunyi senyap itu, kedengaran
makin nyaring.
Si Dewa Tertawa menjadi tegang juga perasaannya.
Sebenarnya dia mengharap urusan itu dapat diselesaikan
secara damai.
Tetapi mengingat akan perangai sahabatnya itu, dia kuatir
kalau mencegah malah akan menambah minyak dalam api.
Membayangkan akibatnya nanti, wajah si Dewa Tertawa yang
biasanya berseri girang itu, menjadi lesu muram.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini mereka berdua sudah melintasi hutan bwe dan
melangkah kedataran luas dimana biara Peh-hoa-kiong berdiri
dengan tegaknya. Suasana biara itu sunyi senyap, pintunya
tertutup rapat-rapat.
„Perjanjian sudah tiba saatnya, mengapa tak tampak suatu
apa?” Si Rase Kumala tertawa dingin sembari menghampiri ke
pintu, „apa boleh buat, terpaksa harus mengetuk pintu."
Sampai ditangga yang menjurus kepintu, tetap tak ada
perobahan. Si Rase Kumala hentikan langkah dan berseru
lantang-lantang: „Apakah benar-benar tuan rumah tak mau
menyambut kedatangan Shin-tok Kek ini?"
Sembari berkata begitu, sepasang tangannya didorongkan
kemuka. Pintu yang letaknya masih jauh itu kedengaran
berbunyi keretekan dan terpentang lebar.
Ruangan biara itu ternyata terang-benderang, tapi tiada
seorangpun yang kelihatan. Si Rase Kumala tertegun tapi
lantas tertawa dan berpaling ke arah Bok Tong: „Rupanya kita
berdua terpaksa masuk sendiri!''
Si Dewa Tertawa mengerut kening, pikirnya: „Biarpun Hunsi-
sam-sian berwatak aneh, tapi terhadap kita berdua, tak
seharusnya dia berbuat begini. Entah apa maksudnya!''
Dalam pada itu, Shin-tok Kek sudah naik ke atas tangga
dan masuk ke dalam pintu. Terpaksa si Dewa Tertawa
mengikuti. Di belakang pintu terdapat sebuah halaman luas
yang lantainya terbuat dari batu marmar hijau mengkilap.
Sebuah ruangan besar yang megah, berdiri ditengah
halaman itu. Sepintas pandang, ruangan itu seolah-olah
bermandikan cahaya lampu.
Dengan langkah tenang, si Rase Kumala masuk pelahanlahan
sembari sapukan matanya ke sekeliling penjuru. Seri
wajahnya setitik pun tak menampilkan perasaan marahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suatu hal yang membuat kagum si Dewa Tertawa, disamping
cemas akan nasib Peh-hoa-kiong.
„Dari tempat jauh Shin-tok Kek datang kemari, apakah tuan
rumah baik-baik saja?” ke arah ruang besar si Rase Kumala
berseru nyaring.
Sesosok tubuh muncul dari ruangan dalam. Itulah Sik Lengji.
„Suhu mempersilahkan dan menyuruh wanpwe mengantar
sianseng,” kata nona itu dengan menghaturkan hormat
kepada kedua tetamunya.
Si Rase hanya mengulum senyum seraya memberi isyarat
tangan. Tapi begitu Leng-ji dan kedua tetamunya tiba di muka
ruangan besar, Hun-si-sam-sian dengan rombongan anak
muridnya sudah keluar menyongsong.
Setelah memberi hormat, Ko-shia-siancu Hun Yak-lun
berkata: „Sianseng adalah tetamu-tetamu terhormat, tapi
karena Peh-hoa-kiong tak pernah menerima kunjungan kaum
lelaki, jadi tadi telah tak menyambut sebagaimana mestinya,
harap sianseng memaafkan!”
Si Rase Kumala balas memberi hormat, kemudian sambil
tertawa panjang dan menyahut: „Pun sebaliknya kami berdua
minta maaf atas kelancangan masuk ke dalam biara suci ini.”
Wajah Ko-shia-siancu Hun Yak-lun agak merah.
„Adalah kesalahan kami bertiga saudara yang kurang
sopan, bukan pihak sianseng, yang perlu minta maaf. Apalagi
tempo dahulu ibu kami pernah menerima budi kebaikan
siangseng …….”
„Sudahlah, urusan lama jangan diungkat lagi. Shin-tok Kek
sudah lama melupakannya. Hanya sampai disini mata si Rase
Kumala menyapu kesekeliling ruangan, lalu melanjutkan
berkata: „Cucuku yang tak tahu adat itu, berada dimana?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sikap si Rase Kumala yang sombong angkuh itu,
sebenarnya sudah membangkitkan amarah Hun-si-sam-sian.
Namun dengan penuh toleransi, Hun Yak-lun menjawab
dengan tenangnya: „Kini Siau saohiap tengah beristirahat
dipondok Yang-thay-suan.”
„Yang-thay-suan adalah sebuah tempat yang suci. Sungguh
aneh, mengapa seorang anak yang melanggar peraturan,
diberi tempat disitu?” habis berkata begitu, Shin-tok Kek
berpaling dan menanyakan pendapat si Dewa Tertawa.
Belum si Dewa Tertawa menyahut, Ko-shia-siancu sudah
mendahului berkata dengan nada bersungguh: „Dikatakan
bahwa kalau hanya dipelihara tanpa dididik, itulah kesalahan
orang tua. Tapi kalau mendidik tak keras, itulah kelalaian
guru. Terhadap kaum angkatan muda, asal tak berbuat
kejahatan, Peh-hoa-kiong takkan menghukum keterlaluan
……..”
„Dengan begitu, tanggung jawab seluruhnya terletak
dibahu orang tua, bukan?” tukas si Rase Kumala tertawa
dingin.
„Benar!" sahut Ko-shia-siancu tak kurang tawar.
Si Rase Kumala kembali tertawa dingin, ujarnya pula:
„Apakah hal itu cukup adil?”
Betapapun berkobarnya amarah Ko-shia-siaucu kala itu,
namun mengingat mendiang ibunya pernah menerima budi
kebaikan dari si Rase Kumala, terpaksa ia kendalikan diri.
Hanya wajahnya segera tampak membeku dingin dan
menyahut tegas: „Bagi yang memegang teguh aturan, tentu
tak merasa diperlakukan tak adil.”
Tertawalah si Rase Kumala, sanggahnya: „Sepanjang
melakukan perbuatan, Shin-tok Kek selalu bertindak secara
terang. Entah dalam hal apa dianggap menyalahi peraturan
itu? Aku dan Bok Lo-ji sengaja datang memenuhi undangan
siancu untuk menerima koreksi.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sikap dan nada si Rase Kumala yang makin jumawa itu,
membuat Ko-shia-siancu makin mendidih hatinya. Dengan
wajah geram, ia berkata: „Karena sianseng menanyakan,
kamipun harus menjawab. Untuk urusan malam ini, kami
bertiga saudara hanya akan mengutarakan tiga buah
permintaan. Tentang memberi koreksi, kami sungguh tak
berani.”
„Ah, untung hanya tiga buah permintaan. Biarlah Shin-tok
Kek menunggu dengan hormat,” tertawa si Rase Kumala
dengan angkuh.
Sejenak melirik dengan gusar kepada sang tetamu,
berkatalah Ko-shia-siancu: „Pertama, mengeluarkan murid
murtad itu dari perguruan.”
„Itukan urusan siancu sendiri, Shin-tok Kek tak berhak
campur tangan,” cepat-cepat si Rase Kumala memberi ulasan.
Ko-shia-siancu tak mau menghiraukan. Katanya pula: „yang
kedua, kami serahkan Siau Ih pada sianseng supaya diberi
didikan.
Si Rase Kumala mendengus dingin.
Sejenak sapukan mata ke arah Shin-tok Kek dan si Dewa
Tertawa, berkata pula Ko-shia-siancu dengan nada yang
lemah lembut mengandung tantangan: „Dan yang ketiga,
karena Siau Ih berani tengah malam memasuki daerah
terlarang seluas sepuluh li, dengan begitu melanggar
peraturan Peh-hoa-kiong yang sudah beratus tahun itu, kami
akan minta peradilan dari sianseng berdua!"
Si Dewa Tertawa yang mengharapkan perdamaian, sudah
tentu menjadi kaget. Tapi tidak demikian dengan si Rase
Kumala.
„Mengapa daerah Hiang-swat-hay seluas sepuluh li,
menjadi daerah terlarang? Hal apakah yang menjadi larangan
Peh-hoa-kiong selama seratusan tahun itu? Ingin sekali ShinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tok Kek mendengar penjelasan!” tenang dan tegas si Rase
Kumala memberi reaksi.
„Peh-hoa-kiong menjadi daerah terlarang bagi kaum lelaki,
anak murid Peh-hoa-kiong dilarang kawin, setiap kaum
persilatan tentu sudah mengetahui. Mana bisa seorang tokoh
macam si Rase Kumala tak tahu! Jadi terang kalau tokoh itu
‘sudah bersuluh menjemput api' atau sudah tahu masih
bertanya pula.”
„Siau Ih mengadakan hubungan rahasia dengan muridku
yang murtad. menjadi bukti bahwa dia telah melanggar
peraturan yang sudah menjadi tradisi ratusan tahun dari Pehhoa-
kiong!" sahut Ko-shia-siancu dengan suara tajam.
Pecah mulut si Rase Kumala tertawa gelak-gelak. „Oh,
kiranya begitu ………” katanya lalu serentak mengganti wajah
tertawa menjadi kereng angkuh: „Sudah sembilanpuluh tahun
Shin-tok Kek melihat matahari, selama itu tak mau bertindak
dalam hal bertentangan de-ngan hukum alam. Perkawinan
antara pemuda dan pemudi, asal tidak melanggar garis-garis
kesopanan, adalah sesuai dengan kodrat alam. Mengapa harus
mengadakan larangan terhadap sesuatu yang menjadi kodrat
manusia ……..”
Berkata sampai disini kembali Shin-tok Kek tertawa nyaring
pula dan berkata: „Lohu memang gemar mengurus segala
macam urusan, apalagi mengenai urusan cucu sendiri. Oleh
karena hal itu bukannya suatu kejahatan, mengapa tak mau
bantu menyelesaikan? Lohu hendak mewakili cucu lohu itu,
untuk mengajukan permohonan kepada siancu agar sudi
menjadikan pernikahan itu.”
Saking murkanya, sepasang alis Ko-shia-siancu menjungkat
naik, wajahnya pucat seperti kertas.
„Pemilik pertapaan Lan-chui-suan meskipun amat
dimuliakan dunia persilatan, tapi Peh-hoa-kiong pun bukan
sebuah tempat yang mudah dihina. Atas budi yang sianseng
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
limpahkan kepada mendiang ibu kami, biarlah lebih dahulu
kami bertiga saudara memberi hormat selaku terima kasih
kami. Setelah itu, barulah kita bereskan persoalan ini."
Diikuti oleh kedua saudaranya, Ko-shia-siancu segera
mundur tiga langkah, lalu memberi hormat setinggi-tingginya
kepada Shin-tok Kek.
Pun Shin-tok Kek menarik pulang keangkuhannya dan
membalas hormat, ujarnya: „Bunga merah maupun teratai
putih, semua berdaun hijau. Kaum persilatan pun semuanya
sekeluarga. Bahwa dahulu telah memberi bantuan, itulah
sudah menjadi kewajiban kita, bagaimana lohu berani
menerima pernyataan terima kasih siancu? Tapi untuk rasa
berbakti yang siancu bertiga unjukkan itu, Shin-tok Kek amat
memuji.”
Sehabis memberi hormat, tiba-tiba wajah Ko-shia-siancu
berobah muram lagi, katanya: „Sudah lama kami mengagumi
akan kesaktian Shin-tok sianseng dan Bok tayhiap yang
menggetarkan dunia persilatan. Bahwa hari ini dapat bertemu
muka, sungguh suatu keberuntungan besar. Rasanya tiada
lain jalan yang dapat ditempuh lagi untuk menyelesaikan
urusan ini, selain dengan cara kaum persilatan. Berdua pihak
mengeluarkan kepandaiannya untuk menemukan kebenaran!"
Kembali keangkuhan si Rase Kumala bangkit yang
diutarakan dengan tertawanya. „Siancu serba tangkas dalam
perkataan dan perbuatan. Shin-tok Kek sungguh kagum.
Urusan malam ini, lohu hanya mengiringkan saja kehendak
siancu itu.”
„Pertempuran malam ini, cukup dilakukan dalam tiga
babak. Tentang bagaimana caranya, karena sianseng sebagai
tetamu, Hun Yak-lun dengan segala senang hati akan menurut
saja.”
Si Rase Kumala berhamburan gelak, serunya: „Seumur
hidup lohu tak mau minta murah (menindas) orang. Terhadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pihak Siang Ceng Kiong dan Goan Goan Cu, pun tak
terkecuali. Bok loji pun bukan bangsa tikus yang temaha
menang secara murah. Karenanya kami kembalikan saja acara
pertandingan ini kepada pilihan siancu saja."
Tiba-tiba si Dewa Tertawa yang sejak tadi diam saja kini
buka suara: „Kalian dan aku, bukan bangsa anak kecil lagi
yang mudah dipengaruhi oleh luapan perasaan. Dahulu aku si
Dewa Tertawa memang terkenal sebagai orang yang
berangasan, tapi dengan bertambahnya usia, sifat
keberangasanku itu hilang ditelan masa. Kini aku lebih
mengutamakan cara damai. Meskipun aku tersangkut juga,
tapi masih kuharapkan penyelesaian secara damai ini, bukan
berarti, bahwa aku Bok Tong takut perkara. Kalau sudah
terlanjur, sekalipun tubuh hancur lebur, aku tetap pantang
mundur!"
Ko-shia-siancu mengangguk, serunya: „Sungguh pantas
dipuji bahwa Bok tayhiap mempunyai pandangan yang begitu
bijak. Kami bertiga berpuluh tahun menyekap diri di Lo-husan.
Anak murid kamipun jarang turun gunung. Dengan
sendirinya kami tak suka setori dengan orang. Bahwa kali ini
Shin-tok sianseng sudi berkunjung kemari, sudah tentu kami
akan menyambut dengan hormat dan pula kami jamin Siau Ih
tentu tak kurang suatu apa.”
Baru si Dewa Tertawa hendak menjawab, si Rase Kumala
sudah memberi isyarat tangan dan mendahului: „Apa yang
Shin-tok Kek ucapkan, belum pernah ditarik kembali. Hanya
dengan ngukur kepandaian, kita putuskan soal ini dengan adil.
Ketetapan ini tak perlu dirobah lagi. Dengan tak menghiraukan
kerendahan diri, Shin-tok Kek tetap akan mengajukan
peminangan itu kepada siancu guna cucuku itu."
Sampai disini, si Dewa Tertawa menjadi putus asa. Urusan
tak kena didamaikan lagi.
„Dahulu sam-coat (tiga datuk) bertemu di Siang Ceng Kiong
dan kini ngo-coat (lima datuk) berjumpa di Peh-hoa-kiong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sungguh dunia persilatan akan tambah kaya dengan cerita
yang menarik," demikian Ko-shia-siancu tertawa tawar.
Duapuluh tahun berselang, untuk menolong Goan Goan Cu,
Bing King Siangjin rela menerima sebuah pukulan dari si Rase
Kumala. Peristiwa itu masih tetap mengganjel dihati si Rase
Kumala. Bahwa Ko-shia-siancu mengungkat hal itu, perasaan
si Rase Kumala menjadi tertusuk. Dari malu, dia menjadi
murka.
„Memang bayangan masa yang lampau tetap memancar
sampai sekarang. Sayang Bing King Hweshio tak ketahuan
rimbanya, kalau tidak, dapatlah Shin-tok Kek menyelesaikan
urusan itu sama sekali, agar tidak selalu mengganjel dihati,"
Shin-tok Kek tertawa angkuh.
„Ah, sudahlah, waktu amat berharga. Silahkan menyebut
acaranya, Shin-tok Kek akan menyambut dengan patuh,"
katanya pula.
Betapapun kemarahan Ko-shia-siancu atas permintaan
yang kurang ajar dan sikap yang sombong dari Shin-tok Kek
itu, namun ia tak berani terlalu mengumbar perasaan. Ia tahu
siapa si Rase Kumala itu.
Akhirnya setelah merenung sebentar, Ko-shia-siancu
berkata: „Kita berdua bukan bangsa anak kecil, jadi harus bisa
bertindak secara tepat ringkas. Acara pertama, kita adu ginkang
dan ilmu pukulan di hutan bwe sana. Kemudian, adu
ilmu pedang sebagai acara nomor dua, selanjutnya yang
penghabisan ialah memecah sebuah barisan Peh-hoa-kiong.
Entah apakah Shin-tok sianseng dan Bok tayhiap setuju
dengan acara sederhana itu?”
Si Rase Kumala yang cerdas segera dapat menangkap
kemana tujuan tuan rumah. Tetap mengunjuk senyum
keangkuhan, dia menyatakan persetujuannya: „Baik, memang
tak perlu kita tawar menawar. Hanya konon kabarnya selain
barisan kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin, Peh-hoa-kiong masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memiliki sebuah barisan sakti it-sam-goan-kiam-tin yang amat
dirahasiakan Shin-tok Kek hendak memakai sebatang pit untuk
menerimanya, entah apakah Sam-sian sudi memberi
pelajaran."
„Karena siangseng menghendakinya, kami bertiga pasti
suka menghaturkan ……..” kata Ko-shia-siancu sambil berhenti
sebentar untuk melonggarkan kesesakan napasnya. Kemudian
katanya pula: „Apabila Peh-hoa-kiong beruntung
memenangkan dua dari tiga pertandingan itu, harap Shin-tok
sianseng dan Bok tayhiap sudi membawa pulang Siau Ih dan
diberi didikan yang lebih keras. Selangkahpun dia dilarang
menginjak daerah Lo-hu-san lagi!“
Shin-tok Kek tertawa lebar, sahutnya dengan serentak:
„Kalau Shin-tok Kek kalah, bukan saja cucuku yang kurang
adat itu akan kuserahkan bagaimana siancu hendak
menghukumnya, pun aku dan Bok loji akan meninggalkan
dunia persilatan untuk selama-lamanya. Tapi ………” - dia
berhenti sesaat. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap
Hun-si-sam-sian. Lalu meneruskan berkata: „Tapi kalau Pehhoa-
kiong tak dapat mengalahkan kami berdua,
bagaimanakah putusannya!"
„Tradisi larangan Pek-hoa-kiong yang sudah beratus tahun
itu, akan hapus sejak itu!" sahut Ko-shia-siancu dengan tak
kurang tegasnya.
„Baik, kita sudah sama-sama sepakat, silahkan!" kata si
Rase Kumala sembari terus menarik si Dewa Tertawa diajak
keluar.
Hun-si-sam-sian dengan diiringkan oleh anak murid
angkatan kedua dan ketiga, segera mengikuti. Mereka kini
saling berhadapan di tanah lapang.
„Dalam acara pertama, pihak siancu hendak mengajukan
siapa?" tanya si Rase Kumala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebagai penyahutan, Leng-boh-siancu Hun Yak-hwa tampil
ke muka. Setelah memberi hormat kepada Shin-tok Kek, tanpa
melakukan gerakan apa-apa, tahu-tahu tubuhnya melambung
ke udara melayang ke puncak sebatang pohon bwe.
Gerakannya sedemikian halus, hingga setitik debu pun tak
tergoyang.
Sejak dalam pertukaran bicara tadi, Leng-boh-siancu Hun
Yak-hoa tak mengambil bagian. Begitu pertandingan dimulai,
tahu-tahu dia sudah tampil yang pertama. Mau tak mau si
Rase Kumala dan si Dewa Tertawa terkejut juga.
„Menilik kenyataannya, Hun-si-sam-sian memang pantas
termasuk golongan sepuluh Datuk,” diam-diam si Rase Kumala
membatin. Tapi sebagai seorang yang berhati tinggi, sudah
tentu dia tak mau unjuk kelemahan.
30. Akhirnya ........
Segera dia hendak melangkah, tapi sudah didahului oleh si
Dewa Tertawa yang maju sembari tertawa gelak-gelak:
„Biasanya acara yang menarik tentu berada dibelakang. Lokoay,
biarlah aku yang maju pertama."
Si Rase Kumala tahu kalau sahabatnya memandang ringan
lawan.
Hun-si-sam-sian bukan musuh yang empuk. Acara yang
belakangan tentu lebih dahsyat, karena itu dia (si Dewa
Tertawa) suka menyediakan diri lebih dulu supaya si Rase
Kumala dapat memelihara tenaga.
„Bok loji, mengingat persahabatan kita yang begitu lama,
baiklah, kau boleh jual tingkah,” sahut si Rase Kumala dengan
tersenyum.
Bok Tong tertawa keras, sekali mengibaskan lengan baju,
dia melayang ke atas dahan pohon. Leng-boh-siancu tenang
menantinya. Begitu kaki lawan menginjak dahan, segera ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kebutkan kedua lengan bajunya. Serangkum hawa yang
mengandung tenaga negatif lunak, menyambar dada si Dewa
Tertawa.
Menurut peraturan dunia persilatan, dalam setiap
pertempuran, kecuali berhadapan dengan musuh besar atau
memang memandang rendah lawan, orang tentu akan saling
memberi salam. Jadi nyata Leng-boh-siancu tadi sudah
melanggar peraturan itu.
Namun si Dewa Tertawa tak mengacuhkan. Berbareng
tertawa keras, dia luruskan kedua tangannya ke muka dada
lalu dibalikkan untuk menangkis.
Sama sekali Leng-boh-siancu tak mau adu lwekang dalam
gebrak pertama, maka ia hanya gunakan seperempat bagian
tenaganya untuk menjajaki lawan. Tapi si Dewa Tertawapun
sudah mengetahui hal itu, jadi diapun tak sungguh-sungguh
menangkis. Maka begitu kedua tenaga itu saling berbentur,
kedua tokoh itu sama-sama mundur.
Pertempuran di atas pohon yang besarnya hanya
menyamai jari tangan, jauh bedanya dengan di atas tanah. Di
atas ranting, memerlukan kepandaian gin-kang yang tinggi.
Demikian kedua tokoh itu saling berlincahan dengan
gesitnya, tukar menukar pukulan lwekang dan baku hantam
yang dahsyat. Leng-boh-siancu Hun Yak-hoa gunakan ilmu
pusaka Peh-hoa-kiong yang termasyhur, yakni can-hoa-chiu.
Sementara si Dewa Tertawa keluarkan ilmu tun-yang sip-patciat
yang sakti.
Yang tampak di bawah cahaya rembulan, hanyalah dua
bayangan hijau dan kuning saling bersilang rapat-rapat. Dalam
sekejap saja, mereka sudah bertempur lebih dari limapuluh
jurus.
Hebatnya pertempuran itu telah membuat Shin-tok Kek dan
kedua siancu menjadi ketar-ketir. Sedikit berayal saja, salah
seorang yang bertempur itu tentu akan terjungkal luka parah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pertempuran kini sudah menginjak seratus jurus.
Berhadapan dengan musuh berat, Leng-boh-siancu keluarkan
seluruh kebiasaannya. Tapi ternyata sampai sekian lama
masih belum berhasil, hingga membuatnya gelisah.
Kebetulan saat itu, si Dewa Tertawa maju merapat sembari
dorongkan tangan kanannya kemuka. Untuk itu ia tak mau
menghindar. Begitu tangan si Dewa Tertawa hampir
mengenai, ia cepat mendongak ke belakang sembari tabaskan
tangan kiri kesiku tangan lawan. Menyusul ia berputar
menggeliat sambil kerjakan dua buah jari tangannya kanan
untuk menutuk pundak si Dewa Tertawa.
Kejut Bok Tong bukan kepalang. Tak kira dia bahwa dalam
saat-saat menghadapi kekalahan, Leng-boh-siancu sudah
gunakan jurus-jurus yang sedemikian berbahayanya. Jarak
mereka begitu rapat, untuk menghindar terang tak mungkin.
Dalam gugupnya, si Dewa Tertawa buru-buru kerahkan
lwekang ke arah pundaknya untuk menerima tutukan. Tapi
dalam pada itu, dia menggerung keras dan menjotos dada
lawan, huk …………
Oleh karena sebagian besar lwekangnya dipusatkan ke
pundak, jotosan si Dewa Tertawa tadi tak begitu dahsyat.
Sekalipun begitu, hasilnya tetap mengerikan.
Dalam teriakan kejut dari orang-orang yang menyaksikan
dibawah, Leng-boh-siancu dan si Dewa Tertawa sama-sama
terpelanting jatuh. Si Rase Kumala dan Hu-yong-siancu
serempak sama loncat menyanggapi.
Si Dewa Tertawa tampak meramkan mata, wajahnya
menampil kesakitan. Setelah didudukkan di tanah, si Rase
Kumala lalu memeriksa pundaknya. Disitu terdapat tanda
matang biru, lengannya kiri kaku tak dapat digerakkan, tapi
hanya luka luar saja.
Suatu hal yang membuat si Rase Kumala menjadi lega, lalu
menutuk jalan darah dilengan itu dan memberinya minum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebutir pil. Setelah itu disuruhnya si Dewa Tertawa beristirahat
memulangkan napas.
Bagaimana dengan Leng-boh-siancu? Ternyata Hun Yakhoa
itu terluka berat, wajahnya pucat seperti kertas dan
orangnya pun tak sadarkan diri lagi. Ko-shia-siancu cepat
menutup jalan darahnya, lalu suruh muridnya menggotong ke
dalam Peh-hoa-kiong.
Kini dengan wajah merah padam, Hu-yong-siancu Hun Yakciau
menghadapi si Rase Kumla, ujarnya. „Dalam babak
pertama, kedua belah pihak sama-sama menderita luka, jadi
seri. Konon lama sekali sebatang cui-giok-ji-i dari Shin-tok
sianseng itu amat termasyhur kesaktiannya. Hun Yak-ciau
yang bodoh ini, senang sekali menerima pelajaran dari
sianseng!"
Si Rase Kumala tertawa ewa, sahutnya: „Ah, siancu keliwat
me rendah. Ilmu pedang it-goan-kiam-hwat dari Peh-hoakiong,
juga teramat saktinya. Sebaiknya jangan membuang
waktu lagi, silahkan siancu menghunus pedang!"
Hanya dengan sebuah tertawa dingin, Hu-yong-siancu
sudah lantas siapkan pedang dan si Rase Kumala pun juga
sudah mencabut senjatanya cui-giok-ji-i yang termasyhur. Huyong-
siancu berlaku sangat hati-hati. Ia membuka
serangannya dengan jurus kiau-li-jin-ciam, dari samping
menusuk dada lawan.
Bermula heran juga si Rase Kumala mengapa siancu itu tak
gunakan ilmu pedang it-goan-kiam-hwat. Tapi sekilas
pikirannya yang cerdas segera dapat menangkap maksud
orang. Dia tegak berdiri diam saja, tak menangkis atau
menghindar.
Hu-yong-siancu menjadi kelabakan sendiri. Adanya dia tadi
gunakan jurus biasa, ialah karena hendak memancing. Begitu
lawan bergerak menyerang, ia segera akan keluarkan ilmu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pedang it-goan-kiam-hwat. Tapi nyatanya, si Rase Kumala
telah mengetahui siasat itu.
Dalam malunya, Hu-yong-siancu teruskan serangannya itu
menjadi sebuah tusukan yang sesungguhnya. Begitu ujung
pedang hampir tiba, kedengaran si Rase Kumala tertawa
mengejek: „Karena siancu berlaku pelit, Shin-tok Kek terpaksa
meminta."
Tubuh agak dimiringkan, cui-giok-ji-i dibalikkan untuk
menangkis pedang. Hu-yong-sian-cu mundur lalu maju pula
menyerang. It-goan-kiam-hwat mulai dikembangkan.
Tubuhnya seperti menjadi satu dengan pedang, baik
menyerang maupun menjaga diri selalu dalam gerakan yang
indah dahsyat. Lebih-lebih ia salurkan lwekang ke batang
pedang.
Si Rase Kumala tak berani berayal. Diapun keluarkan ilmu
ji-i-san-chiu. Ilmu itu terdiri dari seratusdelapan jurus, khusus
mendasarkan delapan pokok kegunaan, yakni menggempur,
membentur, menutuk, memukul, melibat, mengunci,
mengacip dan membetot.
Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah saling serang
menyerang sampai duaratusan jurus lebih. Saat itu Hu-yongsiancu
mencecer lawan dengan tiga buah serangan keras
berturut-turut. Udara penuh dengan hamburan sinar pedang
yang menyilaukan.
Tokoh angkuh si Rase Kumala mendongak tertawa
panjang, lalu berseru lantang-lantang: „Peristiwa lampau di
Siong Ceng Kiong itu. Shin-tok Kek tetap tak melupakan, kini
terpaksa kucobanya!"
Sekonyong-konyong tubuh tokoh itu melambung ke udara.
Bagaikan sinar pelangi, cui-giok-ji-i melayang ke dalam
gulungan sinar pedang. „Tring, tring,” dua sosok tubuh samasama
loncat kejurusan yang berlawanan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu mereka menginjak tanah, dapatlah diketahui
keadaannya. Si Rase Kumala tetap tegak berdiri mengulum
senyum. Hu-yong-siancu termangu-mangu berdiri dengan
wajah pucat. Pedangnya tinggal separoh bagian saja!
„Shin-tok Kek meminta maaf dan ingin menerima
pengajaran pula untuk kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin dan samgoan-
kiam-tin!" kata si Rase Kumala.
Benar Ko-shia-siancu sudah mendengar kesohoran nama si
Rase Kumala, tapi sedikitpun tak terbayang dalam pikirannya
bahwa kepandaian orang itu sedemikian saktinya. Namun
sebagai pemimpin dari sebuah biara termasyhur, tak mau
kentarakan goncangan hatinya.
Dengan wajah membeku, ia berkata kepada sang tetamu:
„Kalau dalam babak terakhir ini, Peh-hoa-kiong kalah pula,
kami akan mentaati perjanjian tadi!"
Segera ia pelahan-lahan lambaikan tangan. Kedelapan Lohu-
pat-hong yang berdiri di belakangnya, segera tampil ke
muka. Dengan menghunus pedang, mereka pencar diri dalam
delapan jurusan mengepung si Rase Kumala. Ko-shia-siancu
sendiri yang memegang ko¬mando.
Wajah si Rase Kumala tetap tenang, tapi diam-diam dia
merasa tegang juga dalam hatinya. Demi dilihatnya barisan
sudah tersusun selesai, dia segera mempersilahkan. Ko-shiasian-
cu tak mau menyahut. Dengan wajah membesi ia
kebutkan pedang dan mulailah barisan kiu-kiu-kui-goan-kiamtin
itu bergerak.
Si Rase Kumala memperhatikan bagaimana Ko-shia-siancu
dan kedelapan muridnya itu bergerak-gerak dalam formasi
kiu-kiong, saling bergantian mengisi setiap pos yang
ditinggalkan.
„Menilik keadaan barisan itu, kalau tak menyerang secara
kilat, tentu sukar membobolkan,” pikirnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Secepat kilat dia ambil putusan untuk menggunakan cara
seperti ketika membobolkan ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin dari
Siang Ceng Kiong dahulu. Begitulah dia segera bertindak.
Lengan baju kiri di kebutkan untuk melancarkan angin konggi,
menyusul cui-giok-ji-i menutuk salah seorang kiu-hong
yang berada disebelah mukanya.
Memang kiu-kiu-kui-goan-tin bukan olah-olah indahnya.
Begitu ujung cui-giok-ji-i hampir mengenai, kiu-hong itu
melejit ke muka, sedang kiu-hong yang di belakangnya
serentak sudah maju menggantikan posnya seraya menusuk si
Rase Kumala.
Si Rase Kumala tertawa. Tangannya kanan yang hendak
ditusuk pedang itu diturunkan, tubuh mundur pundak berputar
menyongsongkan jarinya untuk mengejar kiu-hong yang
sudah berpindah tempat tadi. Seketika nona itu terjungkal.
Dalam kejutnya, Ko-shia-siancu cepat lambaikan
pedangnya dan barisan berobah seketika. Tapi perobahan itu
kalah cepat dengan si Rase Kumala yang mendapat angin
lebih dulu. Menurutkan gerakan perobahan dari barisan itu, si
Rase Kumala berlincahan kekanan kiri untuk bolang-balingkan
cui-giok-ji-i dan tutukan jarinya.
Barisan menjadi kacau balau. Dari formasi kiu-kiong
(sembilan istana) menjadi pat-kwa, dari pat-kwa menjadi chitsiu,
chit-siu menjadi liok-hap, lalu ngo-heng dan su-chiu ……..
Setiap barisan itu berobah tentu jatuh korban seorang kiuhong.
Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin yang bermula terdiri dari
sembilan dara kiu-hong, dalam sekejap mata saja sudah
tinggal dua. Pada lain saat ketika si Rase Kumala bersuit
keras, tubuhnya melambung ke udara lalu melayang turun
sembari kembangkan ‘payung’ sinar hijau kemilau dari cuigiok-
ji-i.
Hanya dengusan tertahan yang terdengar dan kedua
anggauta kiu-hong yang menjadi sisa barisan itupun rubuh ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanah tertutuk pingsan. Si Rase Kumala melayang turun
setombak jauhnya.
„It-goan-kiam-hwat telah kuterima. Apabila tak keberatan,
Shin-tok Kek sedia menerima lagi pelajaran sam-goan-kiamtin,”
ujarnya dengan tersenyum.
Ko-shia-siancu menghela napas panjang. Tiba-tiba pedang
komandonya dibanting ke tanah, serunya: „Sudahlah,
kemasyhuran nama Shin-tok sianseng memang bukan pujian
kosong. Sejak ini Peh-hoa-kiong akan menghapuskan
larangannya dan terserah bagalmana kau akan
menghukumnya!”
Mendengar itu si Rase Kumala menganggukkan kepala.
Keangkuhan wajahnya tadi tiba-tiba lenyap. Dengan wajah
bersungguh, dia berkata: „Shin-tok Kek tiada lain permintaan
kecuali urusan peminangan tadi."
Ko-shia-siancu hanya menyeringai, sahutnya: „Jenderal
yang kalah perang, tak boleh menyombongkan kegagahan.
Karena urusan sudah sampai disini, tiada berguna untuk
bersitegang leher lagi, hanya saja ……..” - pemimpin Peh-hoakiong
itu tertegun sebentar, kemudian dia panggil dua orang
anak muridnya dan perintahkan mereka untuk mengambil Siau
Ih dan Lo Hui-yan.
Tak berapa lama, kembalilah mereka bersama
‘tawanannya’. Demi melihat kedelapan dara kiu-hong malang
melintang di tanah, Siau Ih sudah terkejut. Kemudian waktu
melihat wajah engkongnya luar membesi, dia makin bercekat.
Akhirnya ketika mengetahui ayah angkatnya duduk bersila
memulangkan napas, tahulah dia bahwa si Dewa Tertawa
tentu terluka. Inilah yang paling mengoyak perasaannya.
Kecintaannya terhadap sang ayah angkat yang telah
merawatnya sejak kecil telah membuat matanya mengucurkan
air mata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si Rase Kumala menghela napas, ujarnya: „Gihu-mu hanya
terluka luar saja, tidak membahayakan!”
Mendengar itu, Siau Ih seperti tersadar dari mimpinya.
Serta merta dia menubruk kaki sang engkong. Berbareng saat
itu, Lo Hui-yan pun berlutut dihadapan Ko-shia-siancu.
Kedengaran si Rase Kumala mendamprat Siau Ih: „Secara
diam-diam minggat dari Chui-hun-lou, sudah seharusnya
dihajar, apalagi kau berani mati datang kemari. Nanti setelah
pulang kerumah, tentu akan kuhukum seberat-beratnya!"
„Engkong, Ih-ji mengaku salah,” sahut Siau Ih.
Si Rase Kumala mendengus, lalu berkata pula:
„Persoalanmu dengan Lo Hui-yan, kini telah mendapat
perkenan siancu, mengapa kau tak lekas-lekas menghaturkan
terima kasih pada siancu!"
Mendengar hal itu, hati Siau Ih bergoncang keras. Dengan
berdebar-debar dia menghampiri kehadapan Ko-shia-siancu
lalu memberi hormat dengan khidmat.
„Wanpwe menghaturkan beribu terima kasih atas
kemurahan hati tiang-cia!”
Ko-shia-siancu kerutkan kening, ujarnya dengan nada
berat: „Siau Ih, apakah benar-benar kau mencintai Yan-ji?”
Siau Ih terbeliak kaget. Heran dia mengapa Ko-sia-siancu
masih menyangsikan dirinya. Bukankah kedatangannya
didaerah terlarang Peh-hoa-kiong itu, cukup menjadi bukti
yang berbicara? Ah, mungkin Ko-shia-siancu amat menyintai
muridnya itu dan memikirkan ke-pentingannya, demikian
rabahan Siau Ih.
„Demi kehormatan wanpwe," sahutnya dengan tegas.
„Betapapun asal-usulnya Yan-ji?”
Siau Ih memberikan janjinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ko-shia-siancu mendengus, lalu mengelah napas panjang.
Habis itu ia mengeluarkan sebuah sampul kecil warna kuning.
„Shin-tok sianseng, memang urusan di dunia ini seringkali
berlaku aneh. Kita manusia tak boleh mengingkari kuasa alam.
Patahnya tradisi Peh-hoa-kiong pada malam ini, dirayakan
dengan suatu kejadian aneh ……..” Ko-shia-siancu seraya
berhenti meramkan mata. Kemudian ia melanjutkan pula:
„Permintaan sianseng telah terlaksana. Siau Ih pun sudah
memberikan janjinya. Sejak kini Yan-ji menjadi miliknya. Aku
tak dapat berbuat apa-apa, karena hal itu sudah kemauan
nasib. Surat ini merupakan sumber daripada permainan nasib
yang kukatakan itu.
Si Rase Kumala menyambuti surat itu dan membukanya.
Wajahnya tampak berobah merah, lalu pucat dan kemudian
menjadi tenang lagi. Dia menghela napas, matanya jauh
memandang kepuncak Lo-hu-san yang tertutup awan ……..
Ko-shia-siancu meramkan mata merenung, Siau Ih
terlongong-¬longong heran memandang sikap sang engkong
yang aneh namun dia tak berani menanyakan. Suasana
menjadi hening senyap.
Akhirnya, berkatalah si Rase Kumala: „Shin-tok Kek merasa
berhutang terima kasih atas ucapan siancu tadi. Memang
manusia, lebih-lebih orang persilatan, selalu dirundung dengan
budi dendam, balas membalas, kejar mengejar kemasyhuran
nama kosong. Seperti Shin-tok Kek yang berwatak aneh dan
angkuh ini, akhirnya mendapat pengajaran pahit juga. Anak
perempuan mati mereras, cucu diasuh orang akhirnya harus
menghadapi kenyataan yang menusuk ……….”
Sampai disini si Rase Kumala berhenti sejenak. Setelah
mengatur napasnya yang agak getar itu, dia menatap Siau Ih,
ujarnya:
„Ih-ji, memang segala sesuatu sudah tergaris oleh nasib.
Janji sudah kau ikrarkan, sebagai laki-laki kau harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menepatinya. Ujian ini memang berat, tapi kau harus
menghadapi kenyataan itu dengan hati terbuka …….”
Siau Ih seperti orang yang mendaki gunung kabut, tak tahu
dia kemana jatuhnya perkataan sang engkong itu. Apakah
gerangan isi surat itu, mengapa sang engkong menyebutnyebut
tentang janji, kenyataan dan nasib? Tak tahu dia
bagaimana harus menyahut ucapan engkongnya itu.
„Ih-ji, bacalah surat ini!" tiba-tiba si Rase Kumala berseru
seraya mengangsurkan surat itu.
Siau Ih tersipu-sipu menyambutnya. Demi membacanya,
kepalanya serasa pening, bumi yang dipijaknya seperti
amblong …….
Hui-yan puteriku,
Bila kau membuka surat ini, mungkin sudah belasan tahun
aku menyusul ayahmu di alam baka. Jangan kau sesali kedua
ayah bundamu yang telah tinggalkan kau sebatang kara.
Lebih-lebih jangan kau kutuk perbuatan ayahmu yang berbuat
salah karena dipaksa oleh keadaan kita. Setelah kau jelas akan
duduk perkaranya, lakukan dua macam tugas yang berat:
membalas dendam dan budi! Beginilah kisahnya :
Ayahmu dan aku bermula hidup sebagai petani yang
sederhana tapi berbahagia. Sampai akhirnya sewaktu kau
lahir, barulah terjadi perobahan besar. Desa kita terserang
paceklik dan terpaksa ayahmu ajak aku pindah ke kota
mengadu nasib. Disitu kita berjualan kecil-kecilan dan hasilnya
pun lumayan. Selama di kota, ayahmu mempunyai banyak
kawan, sampai akhirnya dia terjerumus dalam kalangan
perjudian. Dagangan kita makin habis, ayahmu pun makin
kelelap, galang-gulung dengan orang jahat, menjadi
gundalnya seorang kongcu kaya bernama Teng Hiong.
Pada suatu hari kongcu yang bermata keranjang itu, telah
melihat sepasang muda mudi yang menginap dihotel. Dia
amat penuju sekali dengan nona yang cantik itu. Hanya saja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena nona dan pemuda itu berkepandaian tinggi, jadi dia
jeri. Namun dia tak mau melepaskan nafsunya yang keji.
Dengan menjanjikan upah besar, dia suruh ayahmu
mencelakai mereka. Dengan menyogok jongos, berhasillah
ayahmu menyaru jadi jongos hotel itu. Sewaktu kedua anak
muda itu berada dikamarnya, ayahmu telah berhasil
meniupkan asap yang mengandung bius. Tapi dikarenakan
ayahmu takut kepergok, baru sedikit dia lantas buru-buru
pergi keluar.
Keesokan harinya, ayahmu dipanggil oleh orang she Teng
itu, tapi bukannya diberi upah uang melainkan diperseni
pukulan yang menyebabkan ayahmu muntah darah dan
meninggal beberapa hari kemudian.
Ayahmu menceritakan padaku bahwa si Teng Hiong begitu
marah karena maksudnya tak tercapai. Waktu malamnya Teng
Hiong datang ke hotel, ternyata didapatinya kedua anak muda
itu tidak pingsan melainkan tengah menangis. Si nona yang
ternyata bernama Shin-tok Lan menangis sesenggukan, si
pemuda yang bernama Siau Hong pun menghela napas
panjang lebar menyesali dirinya. Obat itu karena kurang
banyak, tidak dapat membuat mereka pingsan tapi
merangsang nafsu birahi mereka. Buah yang diinginkan telah
kedahuluan orang, menyebabkan si Teng Hiong marah besar.
Kematian ayahmu telah mengundang bermacam
malapetaka. Begundal-begundalnya Teng Hiong berani
mempermainkan diriku. Malu dan gusar, akhirnya aku
mengambil putusan pendek, bunuh diri. Kudengar biara Pehhoa-
kiong adalah biara suci dari kaum nikoh (rahib) yang
berilmu tinggi. Kesana kubawamu. Setelah kuletakkan kau di
depan pintu biara, aku lantas menggantung diri. Semoga
siancu sudi menerima perhambaanmu itu. Kau masih
mempunyai seorang paman di gunung Hong-hong-san. Kelak
kalau Tuhan melindungimu, sambangilah dia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yan-ji, begitulah nasib sedih yang menimpah ayah
bundamu. Ingat betul, nama musuh besarmu itu. Lakukahlah
pembalasan. Dari alam baka aku dan ayahmu akan
memohonkan restu kepadamu! Sedapat mungkin, berusahalah
keras mencari anak keturunan pemuda Siau itu untuk
menghaturkan maaf.
Yan-ji, puteri kesayanganku. Jangan menangis, kuatkan
hatimu dan teguhkan imanmu.
Bundamu yang bemasib malang,
Liu-si.
Tanpa terasa, surat di tangan Siau Ih itu terlepas dibawa
angin. Hui-yan cepat memungutnya. Demi membacanya,
iapun rubuh tak ingat diri. Siau Ih tersadar dari limbungnya.
Tanpa likat-likat lagi, dia segera menolongnya.
„Ih-ji, Yan-ji!” mendadak si Dewa Tertawa kedengaran
berseru demi tahu persoalannya, kesemua-semuanya adalah
sudah suratan takdir. Tinggi rendahnya martabat manusia,
dinilai dari kebesaran hatinya. Dendam orang tua, sang anak
tak ikut memikul dosa. Orang tua Hui-yan sudah mengakui
kesalahannya, seharusnya kau dapat berlapang hati
memaafkan, apalagi mereka sudah menutup mata, lebih-lebih
kau bakal menjadi menantunya. Lupakan persoalan lama dan
mulailah hidup baru. Tugas kalian masih banyak dan berat.
Lihat itu, selama rakyat masih selalu ditindas oleh hartawanhartawan
jahat, selama keadilan dan kebenaran masih
dikuasai oleh kaum persilatan ganas, selama itu dharma tugas
kita kaum persilatan, pantang berhenti. Kita dari angkatan tua
akan lekas undurkan diri dan menyerahkan beban suci itu
kepada kalian semua.”
Siau Ih terbuka pikirannya. Dia melirik ke arah Hui-yan
dengan pandangan penuh seri harapan hari depan yang
gemilang. Hui-yan tersipu-sipu tundukkan kepala. Si Rase
Kumala kedengaran menghela napas. Tapi bahwasanya dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak membuat sanggahan (protes) suatu apa, berarti secara
diam-diam dia dapat menerima pandangan si Dewa Tertawa
tadi. Wajah dingin dari Ko-shia-siancu mengulas senyum.
Entah senyum simpati entah mengejek. Keadaan menjadi
hening sejenak.
„Siancu telah banyak memberi bantuan, terimalah hormat
dan terima kasih Shin-tok Kek!" akhirnya Shin-tok Kek
menghadap ke arah Ko-shia-siancu seraya menjura.
Tanpa menunggu penyahutan orang, dia segera bersuit
keras memanggil Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou. Disuruhnya
mereka membawa si Dewa Tertawa ke dalam tandu.
Demikianlah dengan membawa Siau Ih dan Hui-yan,
rombongan si Rase Kumala segera tinggalkan Lo-hu-san.
Dalam sebuah kesempatan di tengah perjalanan, Siau Ih
menanyakan kepada sang engkong tentang surat kaleng yang
diterima Goan Goan Cu itu.
"Kemungkinan bukan Teng Hiong atau Li Hun-liong yang
membuat. Mungkin dalam keadaan yang tak diinsyafi. Teng
Hiong telah membocorkan hal itu kepada lain orang. Menilik
bahwa banyak anak-anak muda yang mengiri atas
keberuntungan ayahmu yang berhasil menawan hati
mamamu, maka kemungkinan besar tentu ada yang
melakukan fitnah keji itu," menerangkan si Rase Kumala.
Begitulah bertahun-tahun sepasang suami isteri Siau Ih -
Hui-yan itu mendapat gemblengan lahir batin oleh si Rase
Kumala dan si Dewa Tertawa. Dengan Tan Wan, Shin-tok
Liong dan Shin-tok Hou, Siau Ih, Hui-yan merupakan
pendekar-pendekar Tiam-jong-san yang banyak melakukan
kebaikan dan membasmi kejahatan. Akhirnya Thiat-sian-pang
dapat diobrak-abrik, termasuk si Manusia Iblis Kiau Hoan pun
dilenyapkan.
- TAMAT -
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar