belakang suara seorang wanita yang nyaring merdu
berkata, “Kiau-toaya, jika engkau memukul terus,
sebentar gunung ini tentu akan kau bikin gugur !”
Kiau Hong melengak oleh teguran itu. Waktu ia
menoleh, ia lihat di balik batu sana, di bawah sebatang
pohon berdiri seorang gadis jelita dengan mengulum
senyum. Siapa lagi dia kalau bukan si A Cu.
Heran dan girang juga Kiau Hong, cepat ia mendekati
dan menyapa dengan tertawa, “Hei, A Cu kamu selamat
dan tidak apa-apa ?”
Tapi karena dia habis marah-marah, maka tertawanya
itu dengan sendirinya rada dipaksakan dan kurang wajar.
“Kiau-toaya, engkau sendiri juga baik-baik, bukan ?”
sahut A Cu. Ia pandang Kiau Hong sejenak, mendadak ia
menubruk ke dalam pelukan bekas Pangcu itu sambil
meratap, “O, Kiau-toaya, aku sudah……sudah
menunggu lima hari lima malam di sini, kukuatir engkau
takkan datang, tapi sekarang ter……ternyata datang
juga. Dan syukurlah engkau ternyata selamat tak kurang
suatu apa pun.”
Meski ucapan A Cu itu terputus-putus, tapi penuh
rasa girang dan lega, dengan sendirinya Kiau Hong
dapat merasakan betapa gadis itu memperhatikan
keselamatannya, hatinya tergerak segera bertanya,
“Mengapa kau tunggu aku di sini selama lima hari lima
malam? Dan dari……dari mana kau tahu aku akan
datang kemari ?”
Perlahan A Cu mendongak, tiba-tiba ia ingat dirinya
berada di dalam pelukan seorang laki-laki, wajahnya
menjadi merah, cepat ia melepaskan dari dan melangkah
mundur, ia merasa malu dirinya tadi telah lupa daratan
dan tanpa sadar menyusup dalam pelukan orang.
Mendadak ia membalik tubuh dengan kepala menunduk.
1584
“He, kenapakah A Cu ?” tanya Kiau Hong bingung.
Namun A Cu tidak menjawab, ia merasa hati
berdebar-debar. Selang sejenak, ia berpaling sedikit
sambil melirik, tapi lantas membalik ke sana lagi dengan
malu-malu.
Melihat sikap si gadis yang aneh itu, Kiau Hong lantas
tanya, “A Cu, adakah sesuatu yang akan kau katakan?
Jika ada, katakanlah terus terang. Kita pernah samasama
menghadapi kesukaran dan merupakan kawan
sehidup semati, apa yang kau pantangkan lagi ?”
Muka A Cu merah jengah lagi, sahutnya lirih,
“Ti…tidak !”
Perlahan Kiau Hong pegang pundak gadis itu dan
diputar ke arah matahari, maka jelas terlihat wajah gadis
itu meski masih pucat dan agak kurus, tapi air muka yang
kepucat-pucatan itu bersemu merah pula dan bukan lagi
muka pucat pasi waktu terluka parah tempo hari. Segera
Kiau Hong pegang tangan A Cu untuk memeriksa
nadinya.
Ketika pergelangan tangan A Cu tersentuh jari Kiau
Hong, tanpa terasa badan gadis itu tergetar bagai kena
aliran listrik.
Kiau Hong menjadi heran, ia tanya, “Kenapa? Apa
badanmu kurang enak ?”
Kembali wajah A Cu merah dadu, sahutnya cepat, “O,
ti…tidak, tak apa-apa !”
Sesudah Kiau Hong periksa nadi A Cu, ia merasa
denyut nadi itu tenang dan kuat, sedikitpun tiada tanda
luar biasa, maka katanya, “Kepandaian Sih-sin-ih benarbenar
sakti, pengobatannya selalu ‘ces-pleng’, sungguh
tidak bernama kosong.”
“Ya, beruntung sobatmu Pek Si-kia Tianglo telah
mengancam tabib sakti itu dengan golok di dada, karena
terpaksa, barulah ia mengobati aku.” tutur A Cu.
1585
“Dan sesudah kau sembuh, ternyata mereka mau
juga membebaskanmu.” ujar Kiau Hong.
“Huh, masakah mereka begitu baik ?” jengek A Cu
dengan tertawa. “Justru mereka selalu merecoki aku,
baru kesehatanku sedikit pulih, setiap hari paling sedikit
ada belasan orang yang mengajukan macam-macam
pertanyaan dan gertakan padaku. Meraka tanya Kiautoaya
pernah hubungan apa dengan aku? Ada yang
tanya siapakah gerangan laki-laki berbaju hitam yang
menolongmu itu? Dan ke manakah engkau digondol?
Sudah tentu aku tidak tahu, maka aku menjawab dengan
sejujurnya. Tapi mereka tidak percaya padaku dan
mengancam takkan memberi makan, akan menyiksa
padaku dan lain-lain gertakan lagi. Terpaksa aku
mengarang pengakuan yang tidak betul, aku sengaja
bilang laki-laki berbaju hitam itu datang dari Kun-lun-san,
lain hari kukatakan dia datang dari pulau di Tanghai dan
macam-macam dongengan lain yang lucu.”
Bercerita sampai di sini, ia jadi teringat pada para
ksatria Tionggoan yang dibohongi dan dipermainkan
olehnya itu, saking gelinya ia tertawa cekikikan.
“Dan mereka percaya tidak pada obrolanmu ?” tanya
Kiau Hong ikut geli.
“Ada yang percaya, ada yang tidak, dan ada yang
setengah percaya dan setengah tidak.” sahut A Cu. “Ku
yakin di antara mereka tiada seorangpun yang kenal
dengan tokoh berbaju hitam itu, maka aku sengaja
mengarang cerita yang aneh dan khayal, biar mereka
curiga dan ketakutan serta selalu kebat-kebit.”
“Padahal siapakah tuan penolong berbaju hitam itu,
sampai kini aku sendiri pun tidak kenal,” ujar Kiau Hong.
“Coba bila kudengar dongenganmu itu, mungkin aku pun
percaya.”
1586
“Eh, jadi engkau sendiri pun tidak kenal dia? Habis,
mengapa beliau sudi menyerempet bahaya untuk
menolongmu ?” tanya A Cu heran. “Tapi memang
begitulah perbuatan seorang pendekar sejati, seorang
ksatria yang suka menolong sesamanya.”
“Ai, entah cara bagaimana harus kubalas budi tuan
penolong itu dan entah bagaimana pula harus kutuntut
balas pada musuh yang belum kukenal,” kata Kiau Hong
dengan penuh menyesal. “Apalagi aku pun belum tahu
apakah aku bangsa Han atau Cidan, juga tidak tahu
perbuatanku sendiri selama hidup ini betul atau salah? O,
Kiau Hong wahai, Kiau Hong! Percumalah kau jadi
manusia !”
Melihat Kiau Hong sangat sedih, tanpa terasa A Cu
memegang tangan bekas Pangcu itu, hibur nya dengan
suara lembut, “Kiau -toaya, buat apa mencari susah
sendiri? Segala kejadian pada akhirnya tentu akan
terang. Asal engkau merasa tidak berdosa, segala
perbuatanmu dapat dipertanggung jawabkan kepada
siapapun juga, maka engkau tidak perlu gentar lagi.”
“Benar, aku justru merasa berdosa, makanya sedih,”
sahut Kiau Hong. “Tempo hari aku telah bersumpah
takkan membunuh seorang pun bangsa Han, tetapi
sekarang……”
“Engkau terpaksa membela diri, kalau tidak balas
menyerang, tentu engkau sendiri sudah binasa dikeroyok
mereka,” ujar A Cu.
Sebagai seorang laki-laki yang bisa berpikir panjang,
cepat juga Kiau Hong kesampingkan tekanan batinnya
itu. Katanya kemudian, “Menurut Ti-kong Taysu dan
orang yang mengaku bernama Tio-ci-sun itu katanya
pada dinding batu ini ada tulisannya, entah mengapa
sekarang telah dihapus orang ?”
1587
“Ya, memang sudah kuduga engkau pasti akan
memeriksa tulisan di dinding ini, makanya aku
menantimu di sini sesudah lolos dari bahaya,” kata A Cu.
“Cara bagaimana kau lolos dari bahaya, apakah
ditolong pula oleh Pek Si-kia ?” tanya Kiau Hong.
“Bukan,” sahut A Cu dengan tersenyum, “Bukankah
engkau masih ingat aku pernah menyamar sebagai
hwesio untuk mengelabui padri Siau-lim-si ?”
“Ya, kepandaianmu yang nakal itu memang hebat,
“sahut Kiau Hong.
“Dan setelah lukaku agak sembuh, menurut Sih-sin-ih,
katanya tidak perlu diobati lagi, cukup tetirah beberapa
hari lagi tentu akan sehat kembali. Dalam pada itu
dongeng yang kukarang untuk menipu mereka itu makin
lama makin banyak dan macam-macam hingga aku
sendiri pun bosan, pula merasa kuatir atas dirimu, maka
pada suatu malam, kembali aku menyaru sebagai
seorang tokoh untuk meloloskan diri.”
“Kamu menyaru lagi? Menyaru siapa ?” tanya Kiau
Hong.
“Aku menyaru sebagai Sih-sin-ih,” sahut A Cu.
“Menyaru sebagai Sih-sin-ih? Dapat menyaru dengan
percis ?” Kiau Hong menegas dengan terheran-heran.
“Tentu saja dapat,” sahut A Cu. “Setiap hari aku
bertemu dan paling sering pula bicara dengan dia, maka
sikapnya dan gerak-geriknya sangat apal bagiku. Lagi
pula hanya dia seorang yang paling sering berada
bersamaku. Malam itu aku pura-pura pingsan, segera ia
memeriksa nadiku, kesempatan itu kugunakan untuk
pencet urat nadinya secara mendadak sehingga dia tidak
berani berkutik dan mau-tak-mau pasrah nasib padaku.”
Diam-diam Kiau Hong geli di dalam hati, sungguh sial
tabib sakti itu, yang dipikirkan oleh tabib itu hanya
1588
mengobati orang, sudah tentu tak diduganya bahwa
budak setan ini bisa main gila padanya.
“Begitulah aku lantas tutuk jalan darahnya,” demikian
A Cu menyambung. “Tapi ilmu tutukanku kurang pandai,
kukuatir dalam waktu singkat dia akan bergerak lagi,
maka kutambahi dia dengan ringkusan kain sobekan
seprei, kaki tangan nya kuikat dan mulutnya kusumbat,
lalu kugusur dia ke atas ranjang sesudah kucopot dulu
baju dan sepatunya. Kututupi dia dengan selimut hingga
kalau dipandang dari luar tentu orang akan menyangka
aku yang tidur di situ tanpa curiga. Kemudian kupakai
baju dan sepatu serta kopiahnya. Aku coret mukaku
dengan garis-garis keriput hingga mirip tabib sakti itu,
yang masih kurang hanya tinggal jenggotnya saja.”
“Kurang jenggot ?” Kiau Hong menegas. “Ehm,
jenggotnya yang panjang dan sudah mulai ubanan itu
agak sulit dipalsukan.”
“Tak bisa memalsu, terpaksa aku memakai yang asli,”
ujar A Cu.
“Pakai yang asli ?” Kiau Hong menegas dengan
heran.
“Ya, kupakai yang asli. Kuambil pisau dari peti obat
dan mencukur jenggotnya, lalu kutempelkan jenggot
pinjaman itu di mukaku, dengan demikian jenggot si tabib
sakti itu kupindahkan tanpa memalsunya. Sudah tentu
tabib itu keki setengah mati, tapi apa yang bisa dia
perbuat? Ia mengobati aku karena terpaksa, aku
mencukur jenggotnya juga tak dapat dikatakan
membalas susu dengan air tuba. Apalagi sesudah
kucukur jenggotnya, ia menjadi jauh lebih muda
tampaknya dan lebih tampan dari biasanya.”
Bercerita sampai sini, tertawalah kedua orang dengan
geli.
1589
“Dan sesudah menyaru sebagai Sih-sin-ih, dengan
lagak tuan besar aku lantas keluar dari Cip-hian-ceng
dan dengan sendirinya tiada seorang pun berani
menegur padaku. Malahan kuperintahkan orang-orang di
situ menyediakan kuda dan sangu seperlunya, lalu
kuangkat kaki,” demikian A Cu meneruskan. “Sesudah
jauh dari Cip-hian-ceng, segera kububut bersih jenggot
tempelan itu dan berubah menjadi laki-laki muda. Orang-
orang di Cip-hian-ceng itu baru akan mengetahui
lolosnya diriku pada esok paginya. Tapi sepanjang jalan
aku menyamar orang lain lagi secara berganti-ganti
hingga takkan dapat mereka temukan.”
“Bagus, sungguh bagus !” sorak Kiau Hong sambil
bertepuk tangan. Tapi mendadak ia ingat pernah melihat
bayangan belakang diri sendiri dalam cermin perunggu di
ruang po-te-ih di Siau-lim-si tempo hari, tatkala itu ia
terkesiap, lamat-lamat ia merasakan ada sesuatu yang
kurang beres. Kini demi mendengar cerita A Cu tentang
menyaru orang lain untuk menipu, kembali ia merasakan
ketidak beresan seperti dulu itu, maka segera ia berkata,
“A Cu, coba kau putar tubuhmu !”
Sudah tentu A Cu bingung akan maksud Kiau Hong,
tapi ia menurut juga dan memutar tubuh.
Kiau Hong termenung sejenak memandangi belakang
tubuh gadis itu. Tiba-tiba ia lepaskan baju luar sendiri
dan dikenakan pada badan A Cu.
Dengan muka kemerah-merahan A Cu menoleh, ia
pandang bekas pangcu itu dengan sorot mata yang
lembut dan melekat, katanya lirih, “Aku tidak dingin.”
Tapi setelah memandangi bentuk tubuh A Cu dengan
mengenakan bajunya itu, mendadak Kiau Hong menjadi
terang seluk beluk ketidak beresan yang mencengkam
perasaannya itu. Sekali tangannya bergerak, cepat ia
pegang tangan si gadis sambil bertanya dengan suara
1590
bengis, “Hah, kiranya kau inilah! Kau lakukan atas
suruhan siapa? Lekas mengaku terus terang!”
Keruan A Cu kaget, tanyanya dengan gelagapan,
“Kiau…Kiau-toaya, ada…ada apa ?”
“Kau pernah menyaru sebagai diriku dan pernah
memalsukan aku bukan ?” tanya Kiau Hong.
Baru sekarang ia ingat pada kejadian tempo hari
waktu ia terburu-buru hendak pergi menolong kawan
Kay-pang yang ditawan orang Sehe, di tengah jalan ia
pernah melihat bayangan belakang seseorang. Tatkala
itu ia tidak menaruh perhatian apa-apa, kemudian
sesudah melihat bayangan belakang sendiri pada cermin
perunggu di Siau-lim-si, barulah ia ingat bentuk tubuh
belakang yang pernah dilihatnya itu mirip sekali dengan
dirinya.
Padahal waktu dia tiba di tempat yang dituju lebih
dulu orang-orang Kay-pang sudah bebas dari bahaya
dan semua orang mengucapkan terima kasih atas
pertolongannya yang pada hakikatnya bukan dia yang
melakukannya. Tatkala itu ia pun merasa bingung dan
menduga pasti ada seorang lain yang telah memalsukan
dirinya.
Kini setelah melihat bangun tubuh A Cu sesudah
mengenakan bajunya itu, sesudah dicek satu sama lain,
mengertilah Kiau Hong akan duduknya perkara, terang
gadis inilah yang telah memalsukan dirinya dan tidak
mungkin orang lain.
A Cu ternyata tidak heran dan kuatir lagi, sebaliknya
ia mengaku terus terang dengan tertawa, “Ya, baiklah,
aku mengaku pernah menyamar sebagai engkau.”
Lalu ia pun ceritakan pengalamannya menyaru
sebagai Kiau Hong untuk menolong anggota Kay-pang
dengan obat penawar racun itu.
1591
“Apa tujuanmu menyaru diriku untuk menolong orang
Kay-pang ?” bentak Kiau Hong dengan bengis sambil
melepaskan tangannya.
A Cu terkesiap, sahutnya cepat, “Aku tidak
bermaksud apa-apa, hanya untuk kelakar saja. Kupikir
mereka memperlakukan engkau kurang baik, sebaliknya
engkau malah menolong mereka, tentu mereka akan
merasa malu dan berterima kasih. Ai, siapa duga ketika
di Cip-hian-ceng mereka tetap begitu kejam padamu,
sama sekali tidak ingat budi kebaikanmu masa lalu.”
Air muka Kiau Hong makin kereng, mendadak ia
tanya pula dengan menggertak gigi, “Habis, mengapa
kau palsukan aku pula untuk membunuh ayah bundaku
dan membinasakan Suhu ku di Siau-lim-si ?”
Seketika A Cu melonjak kaget, serunya, “Hah, mana
bisa jadi? Siapa bilang aku memalsukan dirimu untuk
membunuh ayah bunda dan gurumu ?”
“Suhuku kena serangan musuh hingga terluka dalam,
begitu melihat diriku beliau lantas menuduh aku yang
turun tangan keji itu, masakah bukan perbuatanmu ?”
kata Kiau Hong. Sampai di sini sebelah tangannya
perlahan diangkat dengan nafsu membunuh, asal
jawaban A Cu kurang memuaskan, seketika gadis itu
akan binasa di bawah gaplokannya.
Melihat sikap Kiau Hong yang kereng itu, A Cu
merasa takut, tanpa terasa ia mundur dua tindak. Dan ia
mundur lagi beberapa tindak, tentu gadis itu akan
terjerumus ke dalam jurang di belakangnya itu.
“Jangan bergerak, berdiri di situ !” cepat Kiau Hong
membentak.
Saking ketakutannya hingga air mata A Cu
bercucuran, sahutnya dengan gemetar,
“Aku…aku…tid…tidak membunuh ayah bundamu dan
tidak…tidak membinasakan Suhumu. Masakah aku
1592
mampu membunuh…membunuh gurumu yang
berkepandaian tinggi itu ?”
Ucapan terakhir itu ternyata sangat tepat hingga hati
Kiau Hong terketuk. Gurunya, Hian-koh Taysu, tewas
oleh semacam ilmu pukulan dahsyat dari Lwekang yang
tinggi, hal ini mana tidak mungkin dapat dilakukan A Cu
yang berkepandaian tak seberapa tinggi ini.
Segera ia sadar telah salah menuduh A Cu. Secepat
kilat tangannya menyambar ke depan, ia tarik tangan
gadis itu ke dekat dinding batu agar gadis itu tidak
terpeleset ke bawah jurang. Lalu katanya, “Ya, benar,
bukan kamu yang membunuh suhuku !”
Baru sekarang A Cu bisa tertawa, ia tepuk dada
sendiri tanda lega, katanya, “Ai, hampir aku mati
ketakutan. Mengapa engkau begini sembrono, jika aku
mempunyai kepandaian membunuh gurumu, masakah
aku tidak membantumu menghajar orang-orang di Ciphian-
ceng itu ?”
Melihat gadis itu Cuma mengomel sekadarnya saja,
Kiau Hong merasa menyesal, katanya pula, “Akhir-akhir
ini pikiranku memang sedang kusut dan suka
sembarangan omong, harap nona jangan marah
padaku.”
“Jika aku marah, sejak tadi aku tak sudi bicara
padamu lagi,” sahut A Cu tertawa.
Untuk sejenak Kiau Hong termangu-mangu, tiba-tiba
tanyanya pula, “A Cu, kepandaianmu menyamar itu
dipelajari dari siapa? Apakah gurumu masih mempunyai
murid lain lagi ?”
“Tiada yang mengajar padaku,” sahut A Cu. “Sejak
kecil aku suka menirukan gerak-gerik orang lain, semakin
meniru semakin pintar, mengapa harus belajar pada guru
segala ?”
1593
“Inilah aneh sekali, ternyata di dunia ini masih ada
seorang lain lagi yang sangat mirip diriku hingga Suhu
salah sangka sebagai diriku yang sebenarnya,” ujar Kiau
hong dengan menyesal.
“Jika ada titik terang demikian, urusan menjadi mudah
diselidiki,” kata A Cu. “Marilah kita pergi mencari orang
itu untuk memaksanya mengaku duduknya perkara.”
“Benar,” sahut Kiau Hong. “Tapi, dunia seluas ini, ke
mana dapat mencari orang itu ?”
Ia coba memperhatikan tulisan pada dinding yang
sudah terhapus itu guna mencari sesuatu tanda yang
mungkin berguna, tapi meski sudah dipandang dari sini
dan diperiksa dari sana, tetap tiada sehuruf pun yang
dikenalnya. Katanya kemudian, “A Cu untuk mengetahui
apa yang ditulis di dinding ini, aku bermaksud mencari Tikong
Taysu untuk minta keterangan padanya. Sebelum
membikin terang urusan ini, sungguh aku tidak enak
makan dan tidak nyenyak tidur.”
“Tapi mungkin dia tidak mau menerangkan padamu,”
ujar A Cu.
Jilid 33
“Ya, memang besar kemungkinan dia tak mau
mengatakan, tapi akan kupaksa secara keras atau halus
agar dia mengaku, sebelum dia menjelaskan tidak nanti
aku mau sudahi urusan ini,” kata Kiau Hong.
“Tapi Ti-kong Taysu itu tampaknya sangat keras
wataknya dan tidak gentar mati, biarpun kita pancing
dengan halus maupun paksa secara kasar, mungkin
takkan membuatnya mengaku. Kukira lebih baik….”
“Ya, memang lebih baik kita pergi mencari Tio-cin-sun
saja,” sela Kiau Hong. “Tio-cin-sun itu besar
1594
kemungkinan juga takkan mengaku biarpun mati, tapi
aku sudah mempunyai akal untuk menghadapinya.”
Sampai di sini, ia pandang arah jurang di sebelahnya,
lalu katanya pula, “A Cu, aku ingin turun ke bawah jurang
itu.”
Keruan A Cu terperanjat, ia melongok sekejap ke
jurang yang tertutup kabut tebal itu, kemudian berkata,
“Ai, mana boleh jadi! Jangan kau turun ke sana. Apa sih
yang ingin kau lakukan ?”
“Sebenarnya aku bangsa Han atau orang Cidan, hal
ini yang selalu menekan perasaanku, maka ingin kuturun
ke sana untuk memeriksa mayat orang Cidan itu.”
“Sudah lebih 30 tahun orang itu terjun ke jurang itu
mungkin yang tertinggal sekarang hanya tulang belulang
belaka, apa yang dapat kau…periksa ?”
“Aku justru ingin melihat tulang belulangnya. Kupikir
jika…jika benar dia adalah ayahku sendiri maka harus
kukumpulkan tulang jenazahnya untuk dikebumikan
sebagaimana mestinya.”
“Ai, mana bisa, mana mungkin !” seru A Cu
melengking. “Engkau adalah ksatria berbudi, mana
mungkin keturunan orang Cidan yang buas dan kejam ?”
“Sudahlah, harap kau tunggu sehari saja di sini, bila
besok pada waktu yang sama aku belum naik kembali,
maka bolehlah kau tinggal pergi saja.”
Keruan A Cu kuatir, sekonyong-konyong ia menagis
dan berseru, “Jangan, Kiau-toaya, jangan engkau turun
ke bawah jurang !”
Tapi watak Kiau Hong sangat keras, apa yang
menjadi ketetapan hatinya tidak mungkin mengubahnya.
Dengan tersenyum ia menjawab, “Dikeroyok jago-jago
sebanyak itu di Cip-hian-ceng pun aku tak terbinasa,
masakan jurang yang tiada artinya ini dapat merenggut
jiwaku ?”
1595
Habis berkata, ia pandang sekitar jurang itu untuk
mencari sesuatu tempat berpijak yang sekedar dapat
dipakai sebagai batu loncatan ke bawah.
Pada saat itulah tiba-tiba dari jurusan timur laut sana
sayup-sayup terdengar suara derap kuda lari yang ramai
menuju ke arah selatan. Dari suaranya dapat ditaksir
sedikitnya ada lebih 20 penunggang kuda.
Cepat Kiau Hong lari melintasi bukit sana dan
memandang jauh ke arah datangnya suara itu. Maka
jelas tertampak olehnya 20-an penunggang kuda itu
berpakaian seragam kuning, semuanya adalah prajurit
kerajaan Song.
Setelah mengetahui siapa pendatang itu, sebenarnya
Kiau Hong tidak taruh perhatian apa-apa. Tapi tempat dia
dan A Cu berada itu justru adalah jalan penting yang
pasti akan dilalui oleh orang-orang dari luar perbatasan
yang akan memasuki Gan-bun-koan sebagai mana
dahulu jago silat Tionggoan telah memilih tempat ini
untuk mencegat orang Cidan.
Kiau Hong pikir dari pada nanti kepergok prajurit Song
itu hingga mungkin akan menimbulkan kerewelan, lebih
baik menghindari saja. Maka cepat ia kembali ketempat
semula dan mengajak A Cu bersembunyi di balik sebuah
batu karang raksasa. Bisiknya pada si gadis,
“Rombongan prajurit Song !”
Tidak lama, prajurit Song itu telah muncul di atas bukit
situ. Dari belakang batu Kiau Hong dapat melihat perwira
yang memimpin pasukan itu, terkenanglah olehnya cerita
Ti-kong Taysu tentang peristiwa penghadangan di bukit
ini dahulu. Suasana bukit karang itu masih tenang seperti
dulu, tapi jago silat dari kedua pihak sudah banyak yang
jatuh menjadi korban dan tinggal tulang belulang belaka.
1596
Tengah Kiau Hong termenung, tiba-tiba di dengarnya
suara jerit tangis anak kecil. Ia terkejut seakan-akan di
alam mimpi.
“Dari manakah suara tangisan anak kecil itu ?”
pikirnya heran.
Tiba-tiba terdengar pula beberapa kali suara jeritan
tajam kaum wanita. Waktu itu ia melongok ke depan,
jelas terlihat olehnya di antara prajurit-prajurit Song itu
terdapat tawanan wanita dan anak-anak. Wanita dan
anak-anak itu mengenakan baju kaum gembala orang
Cidan. Banyak di antara prajurit Song itu main raba dan
main comot pada tawanan wanita mereka, tingkah laku
mereka itu rendah dan memuakkan. Ada di antara wanita
itu melawan perlakuan tidak senonoh itu, tapi segera
mereka dipersen dengan gamparan dan hajaran kejam
oleh prajurit dan perwira Song.
Kiau Hong terheran-heran dan tidak mengerti apa
yang telah terjadi itu.
Pasukan Song itu sebentar saja sudah lalu dan
menuju ke arah Gan-bun-koan.
“Kiau-toaya, apa yang akan dikerjakan mereka itu ?”
tanya A Cu.
Kiau Hong menggeleng kepala tanpa menjawab,
hanya dalam hati ia membatin, “Mengapa pasukan
penjaga perbatasan sedemikian bejat kelakukannya ?”
Dalam pada itu A Cu telah berkata pula, “Huh, prajurit
seperti itu pada hakikatnya lebih mirip kawanan bandit !”
Tengah bicara, dari arah tadi kembali muncul lagi satu
regu pasukan Song yang lain sambil menggiring beratus
ekor ternak sebangsa domba dan sapi, di samping itu
ada pula belasan wanita Cidan.
Terdengar seorang perwira di antaranya sedang
berkata, “Operasi kita ini tidak banyak membawa hasil,
entah Tai-swe (komandan) bakal marah atau tidak ?”
1597
Maka perwira yang lain menjawab, “Tidak banyak
ternak musuh yang dapat kita rampas, tapi beberapa
orang di antara tawanan wanita ini parasnya cukup
lumayan dan dapat menghibur Tai-swe, dengan demikian
tentu beliau takkan marah.”
“Cuma belasan orang perempuan hasil ‘panenan’ kita
kali ini hingga tidak cukup memenuhi ‘jatah’ orang
banyak, biarlah besok kita berusaha lagi mencari
tambahan lain,” demikian perwira yang pertama tadi.
“Tidak gampang lagi, pak !” demikian timbrung
seorang prajurit. “Setelah mengalami kejadian tadi,
kawanan anjing Cidan itu tentu sudah lari sejauhjauhnya.
Untuk bisa ‘panen’ lagi sedikitnya tunggu
beberapa bulan pula.”
Mendengar sampai sini, dada Kiau Hong sudah
hampir meledak. Sungguh kelakuan prajurit itu jauh lebih
jahat daripada kawanan bandit yang paling kejam
sekalipun.
Sekonyong-konyong terdengar suara orok di dalam
pelukan seorang wanita menjerit-jerit. Maka wanita Cidan
itu mengipatkan tangan seorang perwira yang sedang
menggerayangi tubuhnya untuk menimang orok dalam
pelukannya itu.
Perwira itu menjadi marah. Mendadak ia jambret orok
dalam pangkuan ibundanya terus dibanting ke tanah.
Menyusul ia larikan kudanya ke depan hingga bayi itu
terinjak kuda, seketika perut pecah dan usus keluar.
Saking ketakutan wanita Cidan itu sampai tak dapat
menangis lagi. Sebaliknya prajurit Song yang lain sama
tertawa malah dan sebentar saja lantas berlalu.
Selama hidup Kiau Hong sudah banyak menyaksikan
keganasan orang, tapi perbuatan membunuh anak kecil
secara keji tanpa kenal kasihan sedikitpun baru sekarang
dilihatnya. Sungguh gusarnya tak terkatakan, tapi dasar
1598
dia memang cukup sabar, sedapatnya ia tenangkan diri
untuk melihat bagaimana kelanjutannya.
Sebentar kemudian, kembali muncul lagi belasan
prajurit yang lain. Prajurit-prajurit ini berkuda dan
bertombak. Pada ujung tombak masing-masing tampak
menyunduk sebuah kepala manusia dengan darah masih
bertetes-tetes. Di belakang kuda mereka menyeret lima
orang laki-laki Cidan yang terikat tali panjang.
Dari dandanan orang-orang Cidan itu Kiau Hong
dapat menarik kesimpulan mereka adalah kaum gembala
biasa. Dua di antaranya berusia sangat tua, tiga lagi
adalah pemuda tanggung. Maka tahulah Kiau Hong
duduknya perkara. Prajurit-prajurit Song ini telah
mendatangi tempat orang-orang Cidan untuk merampok
dan membunuh, penggembala Cidan yang muda dan
kuat sudah sama melarikan diri, hanya tertinggal kaum
wanita, anak-anak dan orang tua yang ditawan.
Ia dengar seorang perwira di antaranya sedang
berkata dengan tertawa, “Kita dapat memenggal 14 buah
kepala dan menawan hidup lima anjing Cidan, jasa ini
dibilang besar memang kurang besar, dikatakan kecil
juga tidak kecil, untuk naik pangkat setingkat dan
mendapat hadiah seratus tahil perak rasanya tidak perlu
disangsikanlagi.”
“He, Lau Tio,” tiba-tiba seorang kawanan
menimbrung, “Kira-kira lima puluh li di sebalah barat
sana ada suatu tempat pemukiman orang Cidan, apa kau
berani mengaduk ke sana ?”
“Kenapa tidak berani ?” sahut Lau Tio yang ditegur
itu, “Memangnya kau kira aku baru datang kemari, maka
tidak berani? Hm, justru karena aku orang baru, maka
perlu lebih banyak mengumpulkan jasa.”
Tengah bicara, sementara itu rombongan mereka
sudah sampai di dekat batu karang tempat sembunyi
1599
Kiau Hong berdua itu. Ketika melihat di tengah jalan situ
terdapat sosok mayat anak bayi, seketika salah seorang
tua Cidan itu menjerit keras-keras.
Meski Kiau Hong tidak paham bahasa Cidan, tapi
dapat juga menyelami betapa pedih dan gusar suara itu.
Boleh jadi bayi yang diinjak kuda itu adalah anak
keluarganya.
Mendadak prajurit yang menyeretnya dengan tali itu
menarik sekuatnya agar orang itu berjalan cepat. Tapi
orang tua Cidan itu menjadi murka, tiba-tiba ia menubruk
ke arah prajurit itu.
Keruan prajurit itu terkejut, cepat ia ayun goloknya
untuk membacok. Tapi orang Cidan itu lantas menarik
sekuatnya hingga prajurit itu terseret jatuh ke bawah
kuda. Menyusul orang Cidan terus mengigit leher prajurit
itu dengan kalap.
Pada saat itulah seorang perwira pasukan Song ayun
golok panjangnya dari atas hingga punggung orang tua
Cidan itu terbacok. Dengan demikian dapatlah prajurit
tadi meronta bangun, saking gemasnya prajurit itu terus
membacok beberapa kali lagi atas tubuh orang Cidan itu.
Tiba-tiba orang tua itu putar tubuh ke arah utara, ia
lepas baju atasnya dan membusungkan dada, mendadak
ia menggerung keras, suaranya sedih memilukan
bagaikan lolong srigala.
Seketika air muka prajurit Song itu berubah ketakutan.
Diam-diam Kiau Hong juga terkesip. Tiba-tiba merasa
olehnya seolah-olah ada ikatan batin dengan orang tua
Cidan itu. Suara lolong srigala tatkala mendekati ajalnya
itu pernah juga ingin disuarakan olehnya dahulu, yaitu
pada waktu dirinya berulang-ulang terluka di Cip-hianceng
dan merasa ajalnya sudah hampir tiba, Cuma
teringat teriakan yang menyamai binatang itu
sesungguhnya akan merosotkan pamornya sebagai
1600
ksatria yang terpuja selama ini, maka sedapat mungkin
telah ditahannya. Tapi bila kemudian tak tertolong oleh
laki-laki berbaju hitam, boleh jadi pada saat akan binasa
toh lolong srigala itu akan disuarakan juga olehnya.
Begitulah demi mendengar suara melolong itu,
otomatis timbul semacam rasa persaudaraan dalam
benak Kiau Hong. Tanpa pikir lagi segera ia melompat
keluar dari belakang batu, sekali pegang satu orang,
prajurit Song itu satu per satu dilemparkannya ke bawah
jurang.
Dalam hal menindas rakyat jelata prajurit-prajurit itu
memang tangkas dan gagah berani, tapi menghadapi
Kiau Hong mereka jadi mirip tikus ketemu kucing. Hanya
sekejap saja mereka sudah disapu bersih ke dalam
jurang.
Saking nafsunya sampai kuda tunggangan prajuritprajurit
itu pun didepak ke dalam jurang oleh Kiau Hong.
Maka riuh ramailah suara jeritan manusia dan ringkik
kuda yang bercampur aduk.
Tapi hanya sebentar saja suara itu lantas lenyap,
suasana kembali hening lagi.
Melihat betapa tangkasnya Kiau Hong, seketika A Cu
dan keempat orang Cidan yang lain sama termangumangu
terkesima.
Habis membasmi habis kawanan prajurit penindas itu,
Kiau Hong terus bersuit panjang hingga suaranya
menggetar lembah pegunungan. Ia lihat orang tua Cidan
yang terluka parah itu masih tetap berdiri tegak, diamdiam
ia kagum pada keperwiraannya, segera ia
mendekatinya. Ia lihat dada orang tua itu terbuka dan
tepat menghadap keutara ternyata orangnya sudah tak
bernapas lagi.
1601
Tiba-tiba Kiau Hong berseru kaget demi melihat dada
orang Cidan itu, ia menyurut mundur beberapa tindak
dengan sempoyongan seakan akan roboh.
Keruan A Cu kuatir, cepat serunya, “Kiau-toaya,
ada…ada apa ?”
Segera terdengar suara “bret-bret” beberap akali,
mendadak Kiau Hong merobek baju sendiri hingga
tertampak simbar didada yang hitam pekat.
Waktu A Cu mengawasi, ia lihat pada dada Kiau Hong
bercacah sebuah gambar kepala serigala yang pentang
mulut dan kelihatan siungnya bentuk kepala serigala itu
sangat menakutkan. Ketika A Cu memandang si orang
tua Cidan, di lihatnya pada dadanya juga bercacahkan
gambar kepala serigala yang percis dengan gambar di
dada Kiau Hong itu. Pasa saat lain, tiba-tiba terdengar
keempat orang Cidan pun berseru serentak.
Segera mereka merubungi Kiau Hong sambil bicara
dalam bahasa Cidan dan berulang-ulang menuding
gambar kepala serigala di dada Kiau Hong.
Sudah tentu Kiau Hong tidak paham maksud mereka.
Cacahan gambar kepala serigala di dadanya sejak kecil
sudah ada. Pernah ia tanya kepada suami-istri Kiau
Sam-hoai tentang gambar cacah itu, tapi kedua orang tua
itu Cuma mengatakan untuk hiasan saja agar indah
dipandang lebih dari itu tak mau menerangkan lagi.
Pada jaman Pak Song (dinasti Song utara) itu soal
mencacah gambar di badan (tatto) adalah sangat umum,
bahkan ada yang sekujur badan penuh dicacah beraneka
ragam gambar yang aneh-aneh. Malahan banyak di
antara anggota Kai-pang juga mempunyai gambar cacah
di lengan, dada, punggung dan bagian tubuh lain,
makanya selama itu Kiau Hong tidak pernah curiga apaapa.
Tapi kini demi melihat di dada orang tua Cidan itu
pun tercacah gambar kepala serigala seperti di dadanya
1602
sendiri, sedangkan keempat orang Cidan yang lain terus
mengoceh tiada hentinya padanya sambil menunjuk
gambar cacah itu, bahkan mendadak laki-laki tua itu pun
membuka bajunya hingga kelihatan didadanya jug
aterdapat gambar cacah kepala serigala yang sama.
Sesaat itu teranglah duduknya perkara bagi Kiau
Hong, kini ia yakin benar-benar dirinya memang betul
adalah orang Cidan. Gambar kepala serigala di dada itu
tentulah tanda kelompok suku mereka, mungkin sejak
bayi sudah harus di cacah gambar seperti itu.
Padahal sejak kecil Kiau Hong sangat benci pada
orang Cidan dan tahu suku bangsa itu suku mengganas
secara kejam dan tidak pegang janji, masakah sekarang
ia harus mengaku diri sendiri sebagai bangsa yang
dipandangnya serendah binatang itu, sungguh kesalnya
tidak kepalang, jiwanya benar-benar tertekan sekali. Ia
termangu-mangu sejenak, sekonyong-konyong ia
berteriak terus berlari ke arah lereng bukit bagai orang
gila.
“Kiau-toaya, Kiau-toaya !” cepat A Cu berseru dan
menyusulnya.
Sesudah belasan li A Cu mengejar barulah ia lihat
Kiau Hong duduk di bawah sebuah pohon rindang sambil
mendekap kepala sendiri, air mukanya tampak muram,
otot hijau di kening sampai menonjol besar-besar, suatu
tanda betapa pedih perasaan bekas Pangcu itu.
A Cu mendekatinya dan duduk sejajar dengan dia.
Namun Kiau Hong lantas menyurutkan tubuh dan
berkata, “Aku adalah bangsa asing yang kotor dan
rendah sebagai babi dan anjing, sejak kini lebih baik
jangan kau temui aku lagi.”
Seperti juga bangsa Han yang lain, sebenarnya A Cu
sangat benci pada orang Cidan. Tapi dalam
1603
pandangannya Kiau Hong adalah tokoh yang dipujanya
melebihi malaikat dewata, jangankan cuma manusia
Cidan, sekalipun setan iblis atau binatang buas juga
takkan ditinggalnya pergi. Pikir gadis itu, “Saat ini
perasaannya lagi sedih, sedapatnya aku harus
menghiburnya.”
Maka katanya dengan tertawa, “Di antara bangsa Han
juga ada orang baik dan orang jahat begitu pula dalam
bangsa Cidan tentu juga ada yang baik dan ada yang
jahat. Kiau-toaya, harap janganlah kau pikirkan urusan
ini. Jiwa A Cu ini engkaulah yang menyelamatkan,
biarpun engkau orang Han ataupun orang Cidan, sama
sekali tiada perbedaannya lagi bagi A Cu.”
“Aku tidak perlu belas kasihanmu,” sahut Kiau Hong
dengan dingin. “Di dalam hati tentu kau pandang rendah
padaku, maka kamu tidak perlu pura-pura bermulut
manis. Aku menolong jiwamu juga bukan timbul dari
maksudku yang sebenarnya, hanya terdorong oleh nafsu
ingin menang saja. Maka tentang peristiwa itu biarlah ku
hapus untuk selamanya dan bolehlah kau pergi saja.”
A Cu jadi kuatir, sesudah mengetahui dirinya adalah
bangsa Cidan, boleh jadi Kiau Hong akan terus pulang
ke utara dan untuk selamanya tak akan menginjak
selangkah pun negeri Tiongkok demikian pikirnya.
Saking tak tahan oleh gelora kalbunya, terus saja ia
berkata, “Kiau-toaya, bila engkau tega meninggalkan aku
tanpa peduli lagi, segera aku akan terjun ke dalam jurang
itu. Selamanya A Cu berani berkata berani berbuat, tentu
engkau anggap dirimu adalah ksatria gagah perwira
bangsa Cidan, maka memandang hina pada kaum budak
yang rendah seperti diriku, biarlah lebih baik aku mati
saja.”
Kiau Hong jadi terharu oleh ucapan A Cu yang tulus
itu. Tadinya ia mengira setiap orang pasti akan menjauhi
1604
bangsa kejam sebagai dirinya ini, tak sangka A Cu
ternyata tidak pandang bulu, tetap menghargai dirinya
tanpa ada kecualinya. Segera ia pegang tangan gadis itu
dan berkata dengan suara lembut, “A Cu, kamu adalah
pelayan Buyung-kongcu dan bukan budakku, masakah
aku memandang hina padamu ?”
“Huh, aku tidak perlu belas kasihanmu! Di dalam hati
tentu kau pandang rendah padaku, tidak perlu pura-pura
bermulut manis !” demikian A Cu menirukan lagu Kiau
Hong tadi dengan sorot mata yang menggoda.
Tak tertahankan lagi Kiau Hong terbahak-bahak, pada
saat susah bisa terhibur oleh seorang gadis jelita sebagai
A Cu yang pandai bicara dan pintar berkelakar, sudah
tentu rasa kesalnya lantas banyak berkurang.
“Kiau-toaya,” tiba-tiba A Cu berkata pula dengan
kereng, “Aku memang pelayan Buyung-kongcu, tapi itu
tidak berarti aku telah menjual diriku padanya. Soalnya
karena keluarga kami suatu waktu mendapat kesulitan,
ada seorang musuh yang lihai mendatangi ayah buat
menuntut balas dendam. Ayahku merasa tak dapat
melawan musuh itu, maka aku lantas dititipkan pada
Buyung-loya, yaitu ayah Buyung-kongcu sekarang,
katanya untuk dijadikan budaknya, tapi sebenarnya lebih
tepat dikatakan untuk menyelamatkan diriku di rumah
keluarga Buyung. Maka selanjutnya akan kulayanimu
dan menjadi dayangmu, pasti Buyung-kongcu takkan
marah.”
“Tidak, tidak! Mana boleh jadi !” seru Kiau Hong
sambil goyang kedua tangannya. “Aku adalah bangsa
Cidan, masakah punya budak apa segala? Kamu sudah
biasa tinggal di tengah keluarga mampu di daerah
Kanglam, apa faedahnya ikut aku terlunta-lunta dan
menderita? Lihatlah laki-laki kasar seperti aku ini apa ada
harganya untuk mendapat pelayananmu ?”
1605
A Cu tertawa manis, sahutnya, “Baik begitu saja,
anggaplah aku sebagai budak tawananmu, bila engkau
senang, engkau boleh tertawa padaku, jika tidak suka,
boleh engkau hajar diriku. Nah, jadi bukan ?”
“Hah, mungkin sekali hantam dapat kuhancurkan
tubuhmu,” ujar Kiau Hong.
“Ya jangan keras-keras, dong! Pelahan saja,” sahut A
Cu.
Kiau Hong terbahak, katanya, “Pelahan? Kan lebih
baik tidak menghajar saja, pula aku pun tidak
menginginkan budak apa segala.”
“Engkau adalah ksatria Cidan, kalau menawan
beberapa wanita Han untuk dijadikan budak, apa
salahnya ?” ujar A Cu. “Bukankah prajurit Song itu juga
banyak menawan orang Cidan ?”
Kiau Hong terdiam tanpa menjawab.
Melihat bekas Pangcu itu berkerut kening, sorot
matanya sayu, A Cu menjadi kuatir salah omong hingga
membuatnya kurang senang.
Syukurlah tidak antara lama Kiau Hong membuka
suara pula dengan pelahan, “Selama ini kusangka orang
Cidan adalah bangsa yang paling kejam dan ganas, tapi
dengan mata kepalaku tadi kulihat kawanan prajurit Song
juga mengganas pada orang Cidan, bahkan kaum wanita
dan anak-anak juga tidak terhindar dari siksaan mereka.
A Cu, aku adalah orang……orang Cidan, sejak kini aku
tidak merasa malu lagi sebagai bangsa Cidan dan takkan
bangga sebagai bangsa Han. Ayah bundaku dibunuh
tanpa berdosa, maka aku harus menuntut balas sakit hati
itu.”
A Cu menganggu. Tapi diam-diam ia merasa takut,
terbayang-bayang olehnya “menuntut balas” yang
ditegaskan oleh Kiau Hong itu pasti akan mengakibatkan
banjir darah di kalangan Bu-lim.
1606
“Dahulu ibuku dibunuh mereka,” demikian Kiau Hong
berkata pula sambil menunjuk jurang, “Saking berduka
ayahku lantas terjun juga ke dalam jurang itu. Tapi
mendadak beliau tidak tega aku ikut mati bersama
mereka, maka aku dilemparkan ke atas selagi ayah
masih terapung di udara, dengan demikian barulah aku
dapat hidup sampai hari ini. A Cu, hal ini menandakan
betapa cintanya ayahku kepadaku, bukan ?”
Dengan air mata meleleh A Cu mengiakan.
“Dan sakit hati sedalam lautan itu masakan tidak
kutuntut balas ?” kata Kiau Hong. “Dahulu aku tidak tahu
hingga mengaku musuh sebagai kawan, jika sekarang
aku tidak menuntut balas, apakah aku ada harganya
untuk hidup lebih lama di dunia ini? Itu ‘Toako pemimpin’
yang mereka sebut itu entah siapa sebenarnya? Pada
surat yang ditulisnya kepada Ong-pangcu terdapat
namanya, tapi Ti-kong Taysu sengaja menyobek bagian
yang tertulis nama itu dan ditelan ke dalam perut. Terang
‘Toako pemimpin’ masih hidup dengan baik, kalau tidak,
mestinya mereka tidak perlu merahasiakan dia.”
Begitulah ia bertanya dan menjawab sendiri untuk
meraba seluk-beluk perkara itu. Kemudian katanya lagi,
“Toako pemimpin itu dapat memimpin para ksatria
Tionggoan, dengan sendirinya dia seorang tokoh yang
berilmu silat sangat tinggi dan sangat dihormati. Dalam
suratnya ia sebut Ong-pangcu sebagai ‘Laute’ (saudara),
maka dapat diduga usianya sudah lanjut kini, sedikitnya
sudah lebih 60 tahun, boleh jadi di antara 70 tahun
malah. Untuk mencari seorang tokoh seperti itu
sebenarnya tidak susah. Ehm, orang yang pernah
membaca surat itu di antara lain adalah Ti-kong Taysu,
Ci-tianglo dari Kay-pang, Be-hujin, Tiat-bin-poan-koan
Tan Cing. Dan masih ada pula Tio-cit-sun, sudah tentu ia
pun tahu siapa gerangan Toako pemimpin itu. Hm,
1607
aku……aku harus membunuhnya, menghabisi pula
antero keluarganya, dari tua sampai muda, satu pun tidak
boleh diberi ampun !”
A Cu bergidik mendengar nada yang seram itu. Tapi
ia tidak berani menimbrung demi melihat sikap gagah
berwibawa Kiau Hong pada saat itu.
Kiau Hong melanjutkan lagi, “Ti-kong Taysu suka
berkelana, Tio-ci-sun juga tiada tempat tinggal yang
tetap, untuk mencari kedua orang tua itu tidaklah mudah,
maka marilah A Cu, lebih baik kita pergi mencari Ci-tinglo
saja.”
Sungguh girang A Cu tidak kepalang demi mendengar
ucapan “kita” itu, sebab itu berarti dirinya juga diajak
serta. Diam-diam ia berkata di dalam hati, “Biarpun ke
ujung langit juga aku akan ikut serta padamu.”
Segera mereka putar balik ke selatan, setelah
melintasi Gan-bun-koan, melalui lereng bukit, tibalah
mereka di suatu kota kecil, mereka mendapatkan sebuah
hotel. Tanpa disuruh segera A Cu pesan pelayan
membawakan 20 kati arak.
Pelayan hotel memang sedang curiga karena melihat
kedua orang tidak mirip sebagai suami istri, dibilang
saudara juga tidak sama, kini demi mendengar
permintaan 20 kati arak lagi, keruan tambah heran
hingga terkesima memandangi A Cu berdua.
Pelayan itu sangat terkejut ketika mendadak Kiau
Hong melotot padanya, cepat ia lari pergi sambil
menggerutu, “Masakah minta arak 20 kati? Apa
barangkali akan digunakan untuk mandi?”
Kemudian A Cu berkata pada Kiau Hong dengan
tertawa, “Kiau-toaya, keberangkatan kita untuk mencari
Ci-tianglo ini, kukira dua hari lagi jejak kita tentu akan
diketahui orang. Dan kalau sepanjang jalan kita mesti
bertempur, meski menarik juga permainan ini, mungkin
1608
lebih dulu Ci-tianglo akan melarikan diri dan sembunyi,
dan untuk mencarinya tentu susah.”
“Habis, menurut pendapatmu bagaimana kita harus
bertindak ?” tanya Kiau Hong. “Apa kita mengaso pada
siang hari dan berjalan waktu malam hari ?”
“Untuk mengelabui mereka sebenarnya tidak sulit,”
ujar A Cu dengan tersenyum. “Cuma entah Kiau-toaya
yang namanya disegani di seluruh jagat ini sudi
menyamar atau tidak ?”
“Aku bukan bangsa Han lagi, memangnya pakaian
orang Han ini aku tidak ingin pakai lagi,” sahut Kiau Hong
dengan tertawa. “Lalu, aku harus menyamar sebagai
siapa, A Cu ?”
“Perawakanmu tinggi besar, mudah menarik perhatian
orang, sebaiknya menyaru seorang yang berwajah biasa
tanpa sesuatu tanda orang Kangouw yang menarik.
Dengan demikian perjalanan kita tentu akan aman.”
“Bagus, bagus! Habis minum arak segera kita mulai
menyamar ?” seru Kiau Hong dengan senang.
Setelah menghabiskan 20 kati arak, segera A Cu
membelikan tepung kanji, pensil, tinta dan lain-lain yang
diperlukan. Setalah “bersolek”, lenyaplah banyak ciri-ciri
khas di muka Kiau Hong. Waktu A Cu menambahi pula
bibir Kiau Hong dengan selapis kumis yang tipis, ketika
bercermin, sampai Kiau Hong pun pangling pada diri
sendiri.
Menyusul A Cu juga menyamar sebagai laki-laki
setengah umur dan berkata, “Lahirmu sekarang sudah
berubah sama sekali, tapi suaramu dan kegemaranmu
akan minum arak mudah dikenali orang.”
“Ehm, aku akan sedikit bicara dan sedikit minum,”
sahut Kiau Hong.
1609
Benar juga perjalanan selanjutnya jarang Kiau Hong
buka mulut, setiap kali dahar cuma minum dua-tiga kati
arak saja sekedar menghilangkan rasa dahaga.
Suatu hari, sampailah mereka di Sam-ka-tin, propinsi
Soasai selatan, tengah Kiau Hong dan A Cu asik makan
bakmi di suatu kedai, tiba-tiba mereka dengar
percakapan dua orang pengemis di luar kedai. Kata
yang seorang, “Kematian Ci-tianglo benar-benar sangat
mengenaskan, besar kemungkinan bangsat Kiau Hong
itu yang membunuhnya.”
Keruan Kiau Hong terperanjat. “Jadi Ci-tianglo telah
mati ?” demikian batinnya. Ia saling pandang sekejap
dengan A Cu.
Dalam pada itu pengemis yang lain telah mendesis
pada kawannya sambil memperingatkan dengan katakata
rahasia Kay-pang agar jangan sembarangan bicara,
sebab mungkin di situ terdapat begundal bangsat she
Kiau, kita harus lekas menyusul ke Wi-hui di Holam, di
sana para Tianglo kita akan mengadakan sembahyang
bagi arwah Ci-tianglo dan akan berunding cara
bagaimana untuk menangkap Kiau Hong.
Mendengar itu, dengan cepat Kiau Hong dan A Cu
habiskan bakmi mereka dan meninggalkan Sam-ka-tin
itu. Kata Kiau Hong, “Marilah kita pergi ke Wi-hui, bisa
jadi di sana kita dapat memperoleh sesuatu kabar.”
“Ya, sudah tentu kita harus ke sana,” sahut A Cu.
“Tapi engkau harus hati-hati Kiau -toaya, ingat bahwa
orang-orang yang akan hadir di sana hampir semuanya
adalah bekas anak buahmu yang sangat kenal gerakgerikmu,
maka jangan sampai engkau dapat dikenali.”
“Aku tahu,” sahut Kiau Hong mengangguk. Segera
mereka putar ke arah timur, menuju kota Wi-hui.
Esok paginya sampailah mereka di kota itu. Ternyata
di dalam kota sudah penuh kawanan pengemis anggota
1610
Kay-pang. Ada yang nongkrong di kedai arak, yang
potong anjing dan sembelih babi di gang yang sepi, ada
pula yang minta-minta sepanjang jalan, kalau tak diberi
lantas main paksa dan mencaci-maki.
Pedih hati Kiau Hong menyaksikan kelakuan anak
buah Kai-pang yang dihormat sebagai Pang terbesar di
Kangouw itu, sejak ditinggalkan olehnya ternyata sudah
berubah sedemikian buruk disiplinnya. Walaupun
sekarang Kai-pang telah menjadi lawan dan bukan
kawan baginya, tapi mengingat jerih payah sendiri dahulu
waktu membina kesatuan Kay-pang yang jaya itu, mautak
mau Kiau Hong merasa menyesal juga.
Tempat layon Ci-tianglo itu terletak di sebuah taman
bobrok di barat kota. Sesudah membeli lilin, dupa dan
lain-lain keperluan, segera Kiau Hong dan A Cu menuju
ke sana. Mereka mengikuti banyak orang untuk
sembahyang di depan layon Ci-tianglo.
Di atas meja sembahyang itu penuh berlumuran
darah, itu adalah peraturan Kay-pang yang
menandaskan bahwa orang yang meninggal itu mati
dibunuh musuh, maka saudara Pang harus menuntut
balas baginya.
Di tengah ruangan sembahyang itu orang ramai
membicarakan dan mencaci maki Kiau Hong, tapi tiada
yang tahu bahwa yang dicaci-maki itu justru berada di
situ.
Melihat orang yang jaga layon itu adalah tokoh-tokoh
terkemuka Kay-pang, Kiau Hong kuatir akan dikenali,
maka selekasnya ia mohon diri bersama A Cu. Sambil
berjalan keluar, diam-diam ia membatin, “Dengan
matinya Ci-tianglo, orang yang kenal siapa gerangan
Toako pemimpin di dunia ini menjadi berkurang pula satu
orang.”
1611
Pada saat itulah tiba-tiba di ujung jalan sana
berkelebat bayangan orang, dari perawakannya
tertampak jelas adalah seorang wanita yang tinggi besar.
Dengan kejelian mata Kiau Hong, segera orang itu dapat
dikenalnya sebagai Tam-poh, si nenek Tam. Pikirnya,
“Hah, sangat kebetulan. Tentu ia pun datang untuk
melayat kematian Ci-tianglo, aku justru lagi ingin cari
dia.”
Pada saat lain kembali ada lagi seorang melayang ke
sana dengan ginkang yang tinggi, tertanya orang kedua
ini adalah Tio-ci-sun.
Kiau Hong menjadi heran, “Ada urusan apa kedua
orang ini main sembunyi-sembunyi seperti maling kuatir
kepergok ?”
Ia pun tahu kedua orang itu adalah saudara
seperguruan dan pernah saling cinta, bahkan cinta
asmara itu sampai tua juga belum lenyap, jangan-jangan
sekarang mereka hendak mengadakan pertemuan gelap
dan main patpat-gulipat.
Sebenarnya Kiau Hong tidak suka mencari tahu
urusan pribadi orang lain, tapi mengingat Tio-ci-sun dan
Tam-poh itu adalah orang yang mengetahui siapakah
Toako pemimpin yang dimaksud itu, jika ada sesuatu ciri
rahasia mereka terpegang olehnya, bisa jadi hal itu akan
dapat dipakai sebagai alat penekan agar mereka mau
menceritakan apa yang mereka ketahui tentang Toako
pimimpin. Maka ia lantas membisiki A Cu agar pulang
dulu dan menunggu di hotel.
A Cu mengangguk. Segera Kiau Hong mengejar ke
jurusan larinya Tio-ci-sun. Ia lihat kakek aneh itu
sebentar-sebentar sembunyi di pojok jalan sana dan lain
saat mengumpet di balik pohon, kelakuannya penuh
rahasia dan kuatir dipergoki orang, jurusan yang dituju
adalah timur kota.
1612
Kiau Hong terus menguntit dari jauh dan selama itu
tak diketahui oleh Tio-ci-sun. Dari jauh tertampak kakek
itu lari sampai di tepi sungai, lalu menyusup ke dalam
sebuah perahu beratap.
Cepat Kiau Hong memburu ke sana, dengan
beberapa kali lompatan saja ia dapat menyusul sampai di
samping perahu, dengan pelahan ia melompat ke atas
atap perahu dan menempelkan telinganya untuk
mendengarkan.
Didengarnya suara Tam-poh sedang berkata, “Suko,
usia kita sudah selanjut ini, hubungan masa muda dahulu
sudah terlambat untuk desesalkan, buat apa mesti
diungkat-ungkit lagi ?”
“Hidupku ini sudah kukorbankan bagimu, maksudku
mengajakmu ke sini tiada keinginan lain, Siau Koan,
hanya kumohon sudilah kau nyanyikan lagi beberapa
lagu waktu dahulu itu,” demikian pinta Tio-ci-sun.
“Ai, engkau ini sungguh ketolol-tololan,” ujar Tam-poh,
“Ketika kita sama-sama datang di Wu-hai ini, suamiku
telah melihat mau juga, hatinya sudah merasa kurang
senang. Wataknya juga suka curiga, maka hendaknya
jangan kau ganggu diriku lagi.”
“Takut apa ?” sahut Tio-ci-sun. “Perbuatan kita cukup
terang dan dapat dipertanggung jawabkan, kita Cuma
omong-omong kejadian dahulu apa salahnya ?”
“Tapi, ai, nyanyian masa dahulu itu……”
Melihat Tam-poh sudah goyah pikirannya, segera Tioci-
sun memohon dengan sangat lagi, katanya, “Siau
Koan, pertemuan kita hari ini entah sampai kapan baru
dapat terjadi pula. Mungkin juga usiaku sudah tidak
panjang lagi, tiada banyak kesempatan untuk
mendengarkan nyanyianmu.”
1613
“Suko, janganlah berkata demikian. Jika engkau
berkeras ingin mendengar, bolehlah aku menyanyi satu
lagu.”
“Bagus, bagus !” sorak Tio-ci-sun dengan gembira.
Lali terdengar Tam-poh mulai tarik suara, “Terkenang
dahulu kakanda lalu di atas jembatan, dinda asik
mencuci pakaian di tepi sungai……”
Baru sekian dinyanyikan, mendadak terdengar suara
gedubrakan, pintu rumah perahu itu didobrak orang
hingga terpentang, menyusul seorang laki-laki menerjang
ke dalam. Itulah dia Kiau Hong. Cuma ia sudah
menyamar, maka Tio-ci-sun dan Tam-poh tidak
mengenalnya lagi.
Dan karena pendatang itu bukan Tam-kong, legalah
hati kedua kakek dan nenek itu, segera mereka
membentak, “Siapa Kau ?”
Dengan sorot mata dingin menghina Kiau Hong
memandang mereka, sahutnya, “Yang satu adalah lelaki
bangor dan suka memikat wanita bersuami, yang lain
adalah perempuan jalang tak kenal malu yang berani
mendurhakai suami sendiri dan bergendak dengan lakilaki
lain……”
Belum habis ucapannya, serentak Tam-poh dan Tioci-
sun menyerang dari kanan dan kiri. Namun sedikit
Kiau Hong mengengos, tangan membalik terus
mencengkram pergelangan tangan Tam-poh, berbareng
sikunya juga menyikut, ia mendahului menyerang iga kiri
Tio-ci-sun.
Sebagai jago kelas satu dalam Bu-lim, Tio-ci-sun dan
Tam-poh mengira dalam sejurus saja pasti dapat
membekuk lawannya. Siapa duga laki-laki yang tidak ada
sesuatu tanda luar biasa itu ternyata memiliki kepandaian
yang sukar diukur, hanya sejurus saja pihak terserang
telah berubah menjadi pihak penyerang.
1614
Ruangan perahu sebenarnya sangat sempit, tapi bagi
Kiau Hong keadaan itu tidak menjadi halangan, ia
menghantam dan menyerang dengan gesit dalam
ruangan sempit itu sama lincahnya seperti di tempat luas.
Sampai jurus ketujuh, tahu-tahu pinggang Tio-ci-sun
tertutuk. Keruan Tam-poh terkejut, dan sedikit ayal
punggung lantas kena digaplok juga oleh Kiau Hong
hingga keduanya roboh terkulai.
“Nah, kalian boleh mengaso sebentar di sini, di dalam
kota sedang berkumpul para ksatria biarlah kupergi
mengundang mereka untuk menimbang atas perbuatan
kalian ini,” demikian kata Kiau Hong.
Tentu saja Tio-ci-sun dan Tam-poh sangat kuatir,
mereka coba mengerahkan Lwekang untuk melepaskan
tutukan musuh, tapi ternyata tak bisa berkutik sama
sekali, bahkan satu jari pun sukar bergerak.
Sebenarnya usia mereka sudah lanjut, pertemuan
gelap yang mereka adakan ini bukan karena dirangsang
oleh nafsu berahi, tapi cuma sekedar omong-omong
untuk mengenang cinta kasih masa lalu saja, sama sekali
tidak melampau batas-batas kesopanan.
Tapi tatkala itu adalah dinasti Song yang sangat
mengutamakan tata tertib kesopanan, pelanggaran
mengenai urusan perempuan adalah sesuatu yang tak
bisa diampuni pada masa itu. Kalau sekarang mereka
mengaku mengadakan pertemuan gelap dalam perahu
hanya sekedar omong-omong dan nyanyi-nyanyi
mengenang masa lalu, sudah tentu tiada seorang pun
yang mau percaya. Terutama Tam-kong sudah tentu
akan kehilangan muka.
Maka cepat Tam-poh berseru, “Kami tidak berbuat
sesuatu kesalahan apa padamu, jika tuan dapat berlaku
murah hati pada kami, tentu aku akan……akan
membalas kebaikanmu ini.”
1615
“Membalas kebaikan sih tidak perlu,” sahut Kiau
Hong. “Aku hanya ingin tanya satu soal padamu, cukup
asal kau jawab tiga huruf saja dengan sebenarnya,
segera akan kubebaskan kalian, kejadian sekarang pun
takkan kukatakan pada siapa pun juga.”
“Asal aku tahu, tentu akan kukatakan,” sahut Tampoh.
“Begini, pernah ada orang mengirim surat kepada
Ong-pangcu dari Kay-pang untuk membicarakan
persoalan Kiau Hong, pengirim surat itu disebut sebagai
‘Toako pemimpin’. Nah, siapakah dia itu ?”
“Siau Koan, jangan kau katakan, jangan katakan !”
cepat Tio-ci-sun berteriak.
Dengan mata mendelik Kiau Hong pandang kakek itu,
katanya, “Jadi kamu lebih suka badan hancur dan nama
buruk daripada menerangkan ?”
“Locu tidak gentar mati. Toako pemimpin yang
berbudi padaku itu tidak nanti kujual padamu,” sahut Tioci-
sun dengan angkuh.
“Tapi Siau Koan juga akan ikut menjadi korban, apa
kamu tidak pikirkan dia lagi ?” tanya Kiau Hong.
“Jika kejadian ini diketahui Tam-kong, segera akan
kubunuh diri di hadapannya untuk menebus dosaku,”
sahut Tio-ci-sun.
Terpaksa Kiau Hong mengalihkan pembicaraannya
kepada Tam-poh, “Tapi Toako pemimpin itu belum tentu
ada budi padamu, bolehlah kamu yang menerangkan,
dengan demikian kita akan sama-sama baik, kehormatan
Tam-kong juga dapat dijaga, jiwa Sukomu pun dapat
diselamatkan.”
Diam-diam Tam-poh merasa seram oleh ancaman itu,
segera katanya, “Baik akan kukatakan padamu. Orang itu
bernama……”
1616
“Siau Koan, jangan kau katakan padanya,” seru Tioci-
sun dengan suara melengking kuatir. “O, Siau Koan,
kumohon dengan sangat, janganlah kau katakan
padanya. Orang ini besar kemungkinan adalah begundal
Kiau Hong, sekali kamu mengaku, pasti jiwa Twako
pemimpin akan terancam.”
“Aku sendiri inilah Kiau Hong, jika kalian tidak mau
mengaku, celakalah kalian !” kata Kiau Hong.
Keruan Tio-ci-sun terperanjat, sahutnya, “Pantas,
maka ilmu silatmu sedemikian tinggi. Siau Koan, selama
hidup ini tidak pernah kumohon sesuatu apa padamu,
maka sekarang ini adalah satu-satunya permintaanku,
janganlah kau katakan nama Toako pemimpin padanya.
Betapa pun permintaanku ini harus kau terima.”
Teringat selama berpuluh tahun ini betapa bekas
kekasihnya itu mencintai dan merindukan dirinya,
selamanya memang tidak pernah memohon sesuatu
apapun padanya kini demi untuk membela keselamatan
Toako pemimpin yang berbudi itu ia rela berkorban jiwa
pula, maka bagaimanapun juga dirinya tidak boleh
mengecewakan perbuatannya yang gagah perkasa ini.
Maka Tam-poh lantas menjawab, “Kiau Hong apakah
kamu akan berbuat jahat atau berlaku bajik, semuanya
terserah padamu. Kami berdua asal tidak merasa
berdosa, apa yang mesti kami takutkan? Maka apa yang
ingin kau ketahui, maafkan, tidak bisa kuberitahu.”
“Terima kasih, Siau Koan, terima kasih !” seru Tio-cisun
dengan girang.
Melihat jawaban si nenek yang tegas itu, Kiau Hong
tahu percuma juga memaksanya. Ia mendengus sekali,
tiba-tiba ia cabut sebuah tusuk kundai dari rambut Tampoh,
lalu melompat ke gili-gili dan pulang ke kota Wi-hui
untuk mencari tempat tinggal Tam-kong, si kakek Tam.
1617
Karena dalam penyamaran, dengan sendirinya tiada
seorang pun yang kenal Kiau Hong. Sedangkan “Ji-kuikhek-
tiam”, yaitu nama hotel tempat Tam-kong dan Tampoh
menginap juga bukan tempat yang dirahasiakan,
maka dengan mudah saja Kiau Hong dapat mengetahui
letak hotel itu.
Sampai di hotel itu, ia lihat Tam-kong sedang mondarmandir
di dalam kamar dengan menggendong tangan,
sikapnya sangat gelisah dan air mukanya bersengut.
Tanpa bicara apa-apa Kiau Hong mendekati kakek itu
dan sodorkan tangannya, maka tertampaklah tusuk
kundai milik Tam-poh itu.
Tam-kong memang lagi murung dan merasa tidak
tentram sejak melihat Tio-ci-sun juga datang di kota Wihui,
sementara itu istrinya menghilang setengah harian,
ia sedang kuatir dan curiga. Kini mendadak nampak
tusuk kundai milik sang istri itu, ia terkejut dan girang,
cepat ia tanya, “Siapa saudara? Apakah kamu disuruh
istriku ke sini. Ada urusan apakah ?”
Sembari bicara ia terus ambil tusuk kundai di tangan
Kiau Hong itu.
Kiau Hong membiarkan tusuk kundai diambil si kakek,
lalu katanya, “Istrimu telah ditawan orang, jiwanya
terancam.”
Keruan Tam-kong terperanjat, cepat tanyanya, “Ilmu
silat istriku sangat hebat, masakah begitu gampang
ditawan orang ?”
“Kiau Hong yang menawannya !”
“Hah, Kiau Hong ?” seru Tam-kong. Kalau orang lain
boleh jadi ia tidak percaya, tapi bekas Pangcu itu cukup
dikenalnya, maka tidak heran istrinya dapat ditawan
dengan mudah. “Jika demikian, sulitlah urusan ini. Dan
di……di manakah istriku sekarang ?”
1618
“Apakah kau inginkan hidupnya istrimu, itulah sangat
mudah. Dan jika inginkan dia mati, itu pun sangat
gampang !” kata Kiau Hong.
Sifat Tam-kong sangat pendiam dan sabar, meski
dalam hati sebenarnya sangat gugup, tapi lahirnya tetap
tenang-tenang saja. Ia tanya malah, “Apa maksudmu,
coba katakan !”
“Ada suatu pertanyaan ingin kutanya Tam-kong, asal
kau jawab terus terang, maka istrimu segera akan pulang
dengan selamat tanpa terganggu seujung rambut pun,”
kata Kiau Hong. “Tapi bila Tam-kong tidak mau
menerangkan, terpaksa istrimu akan dibunuh, mayatnya
akan dikubur satu liang dengan mayat Tio-ci-sun.”
Sampai disini Tam-kong tidak dapat tahan
perasaannya lagi, bentaknya murka dan menghantam
muka Kiau Hong. Tapi sedikit Kiau Hong mengengos ke
samping, serangan Tam-kong itu lantas luput.
Diam-diam kakek itu terkejut, padahal pukulan
geledek itu adalah ilmu andalannya, tapi dengan
gampang lawan dapat menghindar. Ia tidak berani ayal
lagi, telapak tangan kanan mengisar ke samping, telapak
tangan kiri lantas menghantam pula.
Melihat ruangan kamar hotel itu kurang luas untuk
menghindar lagi agak susah, terpaksa Kiau Hong
menangkis. “Plok”, hantaman Tam-kong itu, tepat
mengenai tangan Kiau Hong, tapi sama sekali Kiau Hong
tidak bergeming, sebaliknya tangan terus terjulur ke
depan dan meraih ke bawah hingga pundak Tam-kong
terpegang.
Seketika Tam-kong merasa pundaknya seperti
dibebani beribu kati beratnya, begitu antap sehingga
tulang punggung seakan-akan patah, hampir ia bertekuk
lutut saking tak tahan. Tapi sekuatnya ia menegak,
1619
betapa pun ia tidak sudi menyerah, tapi akhirnya lemas
juga kakinya, “bluk”, terpaksa ia tekuk lutut ke bawah.
Hal ini bukan dia menyerah dan minta ampun, tapi
disebabkan tenaga tidak kuat menahan, maklum,
kekuatan tulang manusia ada batasnya, pada saat ruas
tulang sudah tertekan sedemikian rupa, tanpa kuasa lagi
ia berlutut ke bawah, jalan lain tidak ada.
Kiau Hong memang sengaja hendak mematahkan
keangkuhan kakek itu, maka ia tetap tindih pundaknya
hingga akhirnya punggung ikut membungkuk seakanakan
orang hendak menjura. Tapi Tam-kong benar-benar
sangat kepala batu, mati-matian ia masih terus bertahan,
ia kerahkan segenap tenaganya untuk melawan dan
bertahan sekuatnya.
Sekonyong-konyong Kiau Hong melepaskan
tangannya. Saat itu Tam-kong yang ditekan ke bawah itu
lagi bertahan sekuatnya ke atas dan karena mendadak
Kiau Hong lepas tangan, tanpa kuasa lagi Tam-kong
menjembul ke atas setinggi beberapa meter, “blang”,
kepalanya menubruk belandar rumah, hampir belandar
itu patah tertumbuk olehnya.
Ketika jatuh kembali dari atas, sebelum kedua kakinya
menyentuh tanah, lebih dulu Kiau Hong sudah ulur
tangan kanan untuk mencengkram dadanya. Perawakan
Tam-kong yang pendek kecil, sebaliknya tangan Kiau
Hong panjang dan kuat, betapapun Tam-kong hendak
menghantam dan menendang, selalu tak bisa mengenai
sasarannya apalagi kedua kaki terapung di udara,
percuma saja ia berilmu silat tinggi, sedikit pun tidak bisa
digunakan.
Dalam gugupnya, seketika Tam-kong jadi sadar,
bentaknya, “Kamu inilah Kiau Hong !”
“Memang !” sahut Kiau Hong.
1620
“Keparat, meng……mengapa kau sangkut pautkan
istriku dengan Tio-ci-sun ?” bentak Tam-kong pula
dengan gusar karena tadi Kiau Hong menyatakan akan
membunuh Tam-poh dan akan menguburnya bersama
Tio-ci-sun.
“Habis, istrimu sendiri yang suka menyangkut-pautkan
dia, peduli apa dengan aku ?” sahut Kiau Hong. “Apakah
kau ingin tahu saat ini Tam-poh berada di mana? Ingin
tahu dia sedang menyanyi dan bercumbu dengan siapa
?”
Mendengar ini, sudah tentu Tam-kong dapat
menduga sang istri bersama Tio-ci-sun, dengan
sendirinya ia sangat ingin tahu keadaan itu, maka cepat
sahutnya, “Di mana dia? Harap bawa aku ke sana.”
“Kebaikan apa yang kau berikan padaku? Mengapa
harus kubawa ke sana ?” jengek Kiau Hong.
Tam-kong ingat apa yang dikatakan Kiau Hong tadi,
segera tanyanya, “Kau bilang ingin tanya sesuatu
padaku, soal apakah itu ?”
“Tempo hari waktu berkumpul di tengah hutan di luar
kota Bu-sik, Ci-tianglo membawa sepucuk surat yang
dikirim orang kepada mendiang Ong-pangcu dari Kay-
pang, siapakah penulis surat itu ?”
Seketika Tam-kong tergetar, tapi saat itu ia diangkat
oleh Kiau Hong dan terkatung di udara, asal Kiau Hong
mengerahkan tenaga dalamnya, kontan jiwanya bisa
melayang. Tapi sedikitpun kakek itu tidak gentar,
sahutnya tegas, “Orang itu adalah pembunuh ayah
bundamu, sama sekali tidak boleh kukatakan namanya,
kalau kukatakan, tentu kamu akan menuntut balas
padanya dan itu berarti aku yang bikin susah dia.”
“Jika kamu tidak mengaku, jiwamu sendiri segera
akan melayang lebih dulu,” ancam Kiau Hong.
1621
“Hahahaha !” tiba-tiba Tam-kong bergelak tertawa.
“Memangnya kau anggap aku ini manusia pengecut
hingga perlu menjual kawan untuk mencari hidup sendiri
?”
Melihat ketegasan kakek itu, mau-tak-mau Kiau Hong
kagum juga akan jiwa ksatrianya. Coba kalau urusan lain,
tentu ia tidak sudi mendesak lebih jauh, namun kini
urusannya menyangkut sakit hati ayah bundanya,
terpaksa ia tanya pula, “Kau sendiri tidak gentar mati, tapi
apa jiwa istrimu tidak kau sayangkan lagi? Nama baik
Tam-kong dan Tam-poh segera akan tersapu runtuh
selamanya dan ditertawai ksatria sejagat apakah hal ini
tak kau pikirkan ?”
Pada umumnya orang Bu-lim paling sayang pada
nama baik atau kehormatan. Tapi sikap Tam-kong
sekarang sangat tegas, sahutnya, “Asal tindak-tandukku
dapat kupertanggung jawabkan, mengapa kukuatir
dipandang rendah dan ditertawai orang ?”
“Tapi bagaimana dengan istrimu? Bagaimana dengan
Tio-ci-sun ?” tanya Kiau Hong.
Seketika air muka Tam-kong berubah merah padam,
dengan mata mendelik ia pandang Kiau Hong.
Tanpa bicara lagi Kiau Hong taruh kakek itu ke tanah,
lalu melangkah ke luar. Dengan bungkam Tam-kong
lantas ikut di belakangnya.
Begitulah mereka lantas keluar kota Wi-hui. Banyak
juga kawan Kangouw yang diketemukan di tengah jalan,
mereka sama memberi hormat kepada Tam-kong yang
dijawabnya dengan tawar saja.
Tidak lama, sampailah mereka di tepi sungai tempat
berlabuh perahu itu. Sekali lompat, Kiau Hong melayang
ke haluan perahu, ia tuding ke dalam perahu dan
berkata, “Nah, boleh kau periksa sendiri !”
1622
Segera Tam-kong ikut melompat ke atas perahu dan
melongok ke dalam, ia lihat sang istri meringkuk di pojok
ruangan saling bersandaran dengan Tio-ci-sun. Sungguh
gusar Tam-kong tak tertahan lagi, kontan ia menghantam
kepala Tio-ci-sun.
“Prak”, badan Tio-ci-sun bergerak sekali, tidak
menangkis juga tidak berkelit. Begitu tangan Tam-kong
menyentuh kepala Tio-ci-sun segera ia merasakan
keadaan agak aneh, cepat ia meraba pipi sang istri,
ternyata sudah dingin, sudah lama sang istri meninggal.
Badan Tam-kong mengigil, ia masih belum percaya,
ia coba periksa pernapasan hidung sang istri dan
memang benar sudah tidak bernapas lagi. Begitu pula
keadaan Tio-ci-sun ketika diperiksa.
Tam-kong tertegun sejenak dengan rasa duka dan
gusar tak terhingga, mendadak ia putar rubuh dan
melotot pada Kiau Hong dengan mata membara.
Kiau Hong sendiri juga terheran-heran ketika
mengetahui Tam-poh dan Tio-ci-sun sudah mati dalam
waktu singkat setelah ditinggal pergi tadi. Padahal ia
cuma menutuk hiat-to kedua orang itu, mengapa
mendadak kedua jago kelas tinggi itu bisa mati begitu
saja.
Segera ia tarik jenazah Tio-ci-sun untuk di periksa,
tapi ia tidak melihat sesuatu luka senjata dan noda
darah. Ia coba buka baju dada orang maka tertampaklah
dada Tio-ci-sun ada satu bagian berwarna matang biru,
itulah tanda terkena pukulan berat. Dan yang paling aneh
adalah bekas telapak tangan yang memukul itu ternyata
mirip dengan tangan Kiau Hong sendiri.
Sementara itu Tam-kong juga telah putar jenazah
Tam-poh ke hadapannya, lalu juga diperiksa dada sang
istri, ternyata luka yang diderita itu serupa dengan Tio-cisun.
Sungguh pedih Tam-kong tak terkeatakan, hendak
1623
menangis juga tiada air mata. Dengan suara geram ia
maki Kiau Hong, “Kau manusia berhati binatang, kamu
demikian keji !”
Dalam heran dan kejutnya Kiau Hong tidak sanggup
menjawab. Dalam benaknya timbul macam-macam
pikiran, “Siapakah gerangan yang menyerang sehebat ini
kepada Tam-poh dan Tio-ci-sun? Tenaga dan
kepandaian penyerang itu luar biasa, jangan-jangan
perbuatan musuhku yang tak terkenal itu pula? Tapi dari
mana ia tahu kedua orang ini berada di dalam perahu ini
?”
Saking berduka atas kematian istrinya itu, tanpa
bicara lagi Tam-kong kerahkan antero tenaganya dan
menghantam Kiau Hong dengan kedua tangan. Tapi
sedikit Kiau Hong berkelit, terdengarlah suara
gedubrakan yang gemuruh, atap perahu itu rompal
sebagian kena pukulannya.
Tiba-tiba Kiau Hong menjulur tangan kanan ke depan
dan tahu-tahu pundak Tam-kong kena terpegang,
katanya, “Tam-kong, aku tidak membunuh istrimu, kau
percaya tidak ?”
“Jika bukan kamu, habis siapa lagi ?” sahut Tam-kong
dengan gemas.
“Saat ini jiwamu tergantung di tanganku, jika aku mau
membunuhmu, sungguh terlalu mudah bagiku, untuk apa
aku bohong padamu ?” ujar Kiau Hong.
“Tujuanmu ingin mengetahui siapa pembunuh orang
tuamu, biar ilmu silat orang she Tam ini jauh di bawahmu
juga tidak nanti dibodohi oleh mu.”
“Baiklah, asal kau katakan nama orang yang
membunuh orang tuaku, aku berjanji akan menuntut
balas sakit hati istrimu ini,” bujuk Kiau Hong.
Tapi mendadak Tam-kong bergelak tertawa pedih,
berulang-ulang ia mengerahkan tenaga dengan maksud
1624
melepaskan cengkraman Kiau Hong. Tapi tangan Kiau
Hong yang menahan pelahan di pundaknya itu dapat
bergerak menurut keadaan, lebih keras Tam-kong
meronta, lebih berat pula tekanannya hingga selama itu
tetap Tam-kong tak sanggup melepaskan diri.
Sampai akhirnya Tam-kong menjadi nekat. Mendadak
ia gigit lidah sendiri, sekumur darah segar lantas
disemburkan ke arah Kiau Hong. Terpaksa Kiau Hong
lepas tangan untuk menghindar. Kesempatan itu segera
digunakan oleh Tam-kong untuk berlari ke sana, sekali
depak ia tendang mayat Tio-ci-sun ke pinggir, lalu ia
rangkul jenazah sang istri, pada saat lain, tahu-tahu
kepala nya terkulai, kakek itu pun menghembuskan
napas yang terakhir.
Menyaksikan adegan mengerikan itu, mau-tak-mau
terharu dan menyesal juga Kiau Hong. Meski kedua
suami-istri she Tam dan Tio-ci-sun itu tidak dibunuh
olehnya, tapi sebab musabab kematiannya adalah
karena gara-gara Kiau Hong. Jika dia mau
menghilangkan jenazah untuk menghapus jejak,
sebenarnya cukup ia banting kaki sekerasnya hingga
dasar perahu itu berlubang, maka perahu itu akan
tenggelam ke sungai dan hilanglah segala bukti peristiwa
menyedihkan itu. Tapi Kiau Hong pikir, “Jika aku
menghapuskan jenazah-jenazah ini tentu akan kentara
seakan-akan aku yang bersalah dan ketakutan.”
Segera ia meninggalkan perahu itu, ia coba berusaha
menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan di sekitar
situ, tapi tiada sesuatu apa yang dilihatnya. Buru-buru ia
kembali ke hotel.
Sejak tadi A Cu sudah menunggu di luar pintu,
melihat Kiau Hong pulang tanpa kurang apa-apa, gadis
itu sangat girang. Tapi demi nempak Kiau Hong agak
lesu, ia lantas tahu pasti penguntitan Kiau Hong atas
1625
Tam-poh dan Tio-ci-sun itu tidak mendatangkan sesuatu
hasil yang baik. Dengan suara lembut ia tanya,
“Bagaimana ?”
“Sudah mati semua,” sahut Kiau Hong singkat.
“Hah, mati semua? Tam-poh dan Tio-ci-sun ?” A Cu
menegas dengan kaget.
“Ya, ditambah lagi Tam-kong menjadi tiga,” kata Kiau
Hong.
Mengira Kiau Hong yang membunuh ketiga
korbannya itu, meski merasa tidak tentram, tapi A Cu
tidak berani menegur, hanya katanya, “Tio-ci-sun itu ikut
serta dalam pembunuhan ayahmu, adalah setimpal jika
dia terima ganjarannya.”
“Tapi bukan aku yang membunuhnya,” kata Kiau
Hong sambil menggeleng. Lalu ia hitung-hitung dengan
jari dan menyambung. “Kini orang yang mengetahui
nama biang keladi daripada durjana pembunuh ayahku
itu hanya tinggal tiga orang saja di dunia ini. A Cu,
berbuat sesuatu harus dilakukan dengan cepat, kita
jangan didahului musuh lagi hingga selalu kita
ketinggalan.”
“Benar,” sahut A Cu. “Be-hujin sudah terlampau benci
padamu, betapapun tidak mungkin dia mau mengaku,
apalagi tidak pantas jika kita mesti paksa pengakuan
seorang janda. Marilah kita berangkat ke tempat orang
she Tan di Soatang saja.”
Lalu ia berseru, “Pelayan, pelayan! Selesaikan
rekening kami.”
Sungguh Kiau Hong sangat terharu, dengan sorot
mata kasih sayang ia pandang gadis itu, katanya, “A Cu,
selama beberapa hari ini sudah terlalu melelahkanmu,
biarlah kita berangkat besok saja.”
“Tidak, kita harus berangkat malam ini juga agar tidak
didahului musuh,” ujar A Cu.
1626
Terima kasih Kiau Hong tak terhingga, maka
menggangguklah dia.
Malam itu juga mereka lantas keluar kota Wi-hui,
sepanjang jalan terdengar orang ramai membicarakan
“iblis Cidan Kiau Hong” mengganas lagi dengan
membunuh Tam-kong suami-istri dan Tio-ci-sun. Waktu
bicara orang-orang itu suka celingukan kian kemari
seakan-akan kuatir mendadak Kiau Hong berada di situ
hingga jiwanya bisa celaka. Tak terduga bahwa memang
benar Kiau Hong berada di sisi mereka, jika ia mau
membunuh boleh dikatakan tidak sukar sedikit pun.
Begitulah Kiau Hong dan A Cu terus melanjutkan
perjalanan siang dan malam tanpa berhenti dengan
menunggang kuda dan secara berganti-ganti binatang
tunggangan itu.
Tiga hari kemudian, Kiau Hong tahu A Cu pasti
sangat lelah walaupun tidak diucapkan gadis itu. Maka ia
ganti kuda dengan menumpang kereta, dalam kereta
kuda mereka dapat mengaso untuk beberap ajam
lamanya, sesudah tenaga pulih, segera menunggang
kuda pula dan dilarikan secepatnya.
“Sekali ini biar bagaimana pun kita harus dapat
mendahului Tai-ok-jin itu,” ujar A Cu dengan girang.
Kiau Hong tidak menjawab, tapi diam-diam hatinya
merasa pedih. “Tai-ok-jin” (manusia paling jahat), yaitu
sebutan A Cu dan Kiau Hong kepada pembunuh yang
sampai kini belum dikenal itu, setiap kali selalu
mendahului usaha penyelidikannya, dan jika sekali ini
lagi-lagi Tiat-bin-boan-koan Tan Cing juga terbunuh,
mungkin penyelidikan selanjutnya akan tambah sulit dan
sakit hati sedalam lautan itu akan sukar terbalas.
Setiba di kota Thai-an di Soatang, rumah tinggal Tan
Cing itu ternyata sangat terkenal, sekali tanya saja lantas
tahu, yaitu di timur kota.
1627
Tatkala itu sudah magrib, sampailah mereka di luar
pintu timur kota. Tidak jauh pula, sekonyong-konyong
tampak asap mengepul bergulung-gulung dan api
menjilat-jilat tinggi, entah tempat mana yang kebakaran.
Menyusul terdengar riuh ramai suara gembreng dan
kentongan bertalu-talu disertai teriakan orang,
“Kebakaran! Kebakaran !”
Kiau Hong tidak menaruh perhatian apa-apa, ia tetap
melarikan kuda ke depan bersama A Cu dan akhirnya
dekat juga dengan tempat kebakaran itu.
“Lekas padamkan api, lekas! Itulah rumah keluarga
Tiat-bin-boan-koan !” demikian terdengar seruan orang.
Keruan Kiau Hong dan A Cu terkejut. Mereka
berhentikan kuda dan saling pandang sekejap, mereka
sama berpikir, “Jangan-jangan didahului lagi oleh Tai-okjin
itu ?”
“Keluarga Tan tentu banyak penghuninya, kalau
rumahnya terbakar, orangnya belum tentu ikut terbakar,”
demikian A Cu coba menghibur.
“Tahu begini, tempo hari seharusnya jangan kubunuh
Tan Pek-san dan Tan Tiong-san,” ujar Kiau Hong dengan
menyesal.
Sejak kedua saudara she Tan itu dibunuh Kiau Hong,
permusuhan kedua pihak boleh dikatakan tak dapat
didamaikan lagi. Walaupun kedatangannya ke Thai-an ini
tiada maksud membunuh orang pula, tapi pihak Tan Cing
pasti tidak mau menyudahi permusuhan itu, maka ia
sudah siap untuk menempur mereka. Siapa duga baru
sampai di tempat tujuan, pihak yang dicari itu sudah
mengalami musibah.
Kebakaran itu ternyata sangat hebat, sebentar saja
sudah berwujud lautan api. Sementara itu penduduk di
sekitar beramai ramai sudah datang hendak
memadamkan kebakaran itu, ada yang membawa ember
1628
dan menyiramkan air, ada yang menghamburkan pasir.
Untung juga di sekeliling Tan-keh-ceng (perkampungan
keluarga Tan) itu ada sungai yang cukup dalam, sekitar
itu juga tiada rumah penduduk lain, maka api tidak
sampai menjalar. Secara gotong-royong penduduk
berusaha memadamkan api dengan perkasa.
Kiau Hong dan A Cu turun dari kuda serta mendekati
tempat kebakaran itu untuk menonton. Terdengar suara
seorang laki-laki di sebelah mereka sedang berkata,
“Sungguh sayang, Tan-loya yang baik hati mengapa
tertimpa bencana begini, sudah terbakar rumahnya,
anggota keluarganya sebanyak lebih 30 jiwa tiada
seorang pun yang berhasil menyelamatkan diri ?”
“Tentu musuh yang membakar rumah dan menutup
pintu supaya tiada yang bisa lolos,” demikian sahut
seorang. “Padahal anak kecil umur tiga keluarga Tan
juga pandai silat, mustahil tiada seorang pun yang
berhasil menyelamatkan diri ?”
“Kabarnya Tan-toaya dan Tan-jiya telah dibunuh
orang jahat bernama Kiau Hong di Holam, jangan-jangan
yang membakar rumahnya sekarang juga Tai-ok-jin itu
lagi ?” ujar laki-laki yang duluan.
Bila Kiau Hong bicara dengan A Cu, musuh yang tak
dikenal itupun disebutnya sebagai “Tai-ok-jin”, kini
mendengar kedua orang desa itu pun menyinggung “Taiok-
jin”, tanpa terasa mereka saling pandang sekejap.
Dalam pada itu terdengar orang tadi lagi menjawab,
“Ya, pasti perbuatan Kiau Hong keparat itu!”
Sampai di sini, tiba-tiba ia tahan suaranya dan
berbisik, “pasti Tai-ok-jin itu ada begundalnya menyerbu
ke Tan-keh-ceng hingga keluarga Tan terbunuh semua.
Ai, di mana letak keadilan ini.”
“Kiau Hong itu terlalu banyak berbuat kejahatan, pada
akhirnya dia pasti akan diganjar secara setimpal dan
1629
matinya pasti akan lebih mengenaskan daripada Tanloya
yang baik budi itu,” demikian laki-laki yang satu
menanggapi.
Mendengar mereka mengutuk Kiau Hong, A Cu jadi
mendongkol. Mendadak ia tepuk lebar kudanya hingga
binatang itu kaget dan berjingkrak, sekali kaki kuda
mendepak, tepat punggung orang yang ceriwis itu
tertendang, sambil menjerit, tanpa ampun lagi orang itu
jatuh terguling.
“Kalian sedari tadi mengoceh apa ?” damprat A Cu.
Meski terdepak kuda, tapi demi ingat “Tai-ok-jin” Kiau
Hong banyak begundalnya, orang itu jadi ketakutan dan
tidak berani bersuara lagi cepat ia menyingkir pergi.
Kiau Hong tersenyum pedih, ia dapat merasakan
betapa jelek kesan dirinya dalam pandangan khalayak
ramai terbukti dari percakapan kedua orang desa itu. Ia
coba pindah ke sebelah lain dari tempat kebakaran, di
sana juga orang ramai membicarakan keluarga Tan yang
berjumlah lebih dari 30 jiwa itu tiada seorang pun yang
selamat. Dari bau sangit yang terendus Kiau Hong dari
gumpalan asap kebakaran itu, ia tahu apa yang
dikatakan orang-orang itu tentu tidak salah, segenap
anggota keluarga Tan memang benar telah terkubur di
tengah lautan api.
“Tai-ok-jin itu benar-benar sangat keji, tidak cukup
membunuh Tan Cing dan putra-putranya, bahkan antero
keluarganya juga dibunuh, dan mengapa mesti
membakar pula rumahnya ?” kata A Cu dengan suara
pelahan.
“Ini namanya membabat rumput harus sampai akarakarnya,”
sahut Kiau Hong. “Andaikan aku, pasti juga
akan kubakar rumahnya.”
“Mengapa ?” tanya A Cu terkesiap.
1630
“Bukankah waktu di tengah hutan tempo hari Tan
Cing pernah mengucapkan apa-apa yang telah kau
dengar juga. Ia menyatakan, ‘Di rumahku juga tersimpan
beberapa pucuk surat dari Toako pemimpin ini, sesudah
kucocokan gaya tulisannya nyata memang betul adalah
tulisan tangannya’.”
“Ya, Tai-ok-jin itu kuatir surat di rumah Tan Cing itu
akan kau temukan dan mendapat tahu nama Toako
pemimpin itu, makanya ia sengaja membakar rumah Tan
Cing agar surat-surat itu hilang tak berbekas lagi,” kata A
Cu dengan gegetun.
Dalam pada itu penduduk yang datang menolong
kebakaran itu semakin banyak, tapi api sedang
mengamuk dengan dahsyatnya, siraman air beremberember
itu ternyata tidak berguna sama sekali.
Di antara penonton itu banyak yang menyesalkan
kebakaran itu di samping mencaci maki keganasan Kiau
Hong yang dituduh yang membakar. Caci maki orang
desa sudah tentu kasar dan kotor, A Cu menjadi kuatir
jangan-jangan Kiau Hong tidak tahan oleh caci maki
yang ngawur itu dan mendadak mengamuk sehingga
orang-orang desa akan menjadi korban.
Tapi demi diliriknya, ia lihat bekas Pangcu itu
menampilkan air muka yang sangat aneh, seperti
berduka dan seperti menyesal pula, tapi yang paling
kentara adalah rasa kasihan, orang desa itu dianggapnya
terlalu bodoh, dan tiada harganya untuk dilabrak.
Akhirnya dengan menghela napas, berkatalah Kiau
Hong, “Marilah kita pergi ke Thian-tai-san !”
Dengan keputusannya akan pergi ke Thian-tai-san, itu
menandakan ia sesungguhnya sangat terpaksa. Benar
Ti-kong Taysu dari Thian-tai-san itu dahulu pernah ikut
serta dalam pembunuhan ayah bundanya, tapi selama
20 tahun terakhir ini padri saleh itu telah banyak berbuat
1631
kebajikan bagi sesamanya, jauh ia pergi ke negeri lain
untuk mengumpulkan obat-obatan guna menyembuhkan
penyakit malaria yang diderita rakyat jelata di wilayah
propinsi daerah selatan seperti Hokkian, Ciatkang,
Kuitang dan Kuisai, hingga banyak jiwa orang tertolong
olehnya, sebaliknya padri itu sendiri jatuh sakit payah,
sesudah sembuh ilmu silatnya jadi punah.
Perbuatan menolong sesamanya tanpa memikirkan
kepentingan sendiri itu sungguh sangat sihormati oleh
kawanan Kangouw dan sama menyebutnya sebagai
‘Budha hidup penolong manusia’. Maka sesungguhnya
kalau tidak terpaksa, tidak nanti Kiau Hong mau
membikin susah padri saleh itu.
Begitulah mereka lantas meninggalkan Thai-an dan
menuju ke selatan. Sekali ini Kiau Hong tidak mau buruburu
menempuh perjalanan lagi, ia pikir kalau terburuburu,
boleh jadi setiba di Thian-tai-san, mungkin yang
tertampak kembali adalah mayat Ti-kong Taysu, bisa jadi
kuilnya juga terbakar menjadi puing.
Maka ia sengaja menempuh perjalanan seenaknya,
dengan demikian mungkin jiwa Ti-kong Taysu dapat
diselamatkan malah. Apalagi jejak padri itu pun tidak
menentu, biasanya suka mengembara, bukan mustahil
waktu itu orangnya tidak berada di kuilnya di Thian-taisan.
Pegunungan Thian-tai-san si Ciatkang timur,
sepanjang jalan Kiau Hong berlaku seperti pelancong
saja sambil mempercakapkan peristiwa menarik di
kalangan Kangouw dengan A Cu.
Suatu hari, tibalah mereka di Tinkang. Kedua orang
lantas pesiar ke Kim-san-si yang terkenal itu. Sambil
memandangi air sungai yang berdebur-debur mengalir ke
timur itu, mendadak Kiau Hong ingat sesuatu, katanya,
1632
“Itu ‘Toako pemimpin’ bukan mustahil adalah orang yang
sama dengan ‘Tai-ok-jin’ itu.”
“Ya, mengapa sebegitu jauh kita tidak pikir ke situ ?”
ujar A Cu seperti orang yang baru sadar.
“Tapi, bisa jadi memang terdiri dari dua orang yang
berlainan,” kata Kiau Hong pula. “Namun kedua orang itu
tentu mempunyai hubungan yang sangat erat. Kalau
tidak, masakah Tai-ok-jin itu berusaha mati-matian
hendak menutupi siapakah gerangan Toako pemimpin itu
?”
“Kiau-toaya,” sahut A Cu. “aku jadi ingat juga waktu
kalian membicarakan peristiwa masa lalu itu, janganjangan……,”
Berkata sampai di sini, tanpa terasa suaranya menjadi
agak gemetar.
“Jangan-jangan Tai-ok-jin itu juga berada di dalam
hutan itu, demikiankah maksudmu ?” tukas Kiau Hong.
“Benar,” sahut A Cu, “di sanalah Tiat-bin-boan-koan
mengatakan bahwa di rumahnya tersimpan surat yang
pernah diterimanya dari Toako pemimpin itu dan
sekarang rumahnya terbakar menjadi puing……Ai, aku
jadi takut bila ingat hal itu.”
Dengan badan agak gemetar ia menggelendot di
samping Kiau Hong.
“Dan masih ada sesuatu pula yang aneh.” Kata Kiau
Hong.
“Tentang apa ?” tanya A Cu.
Sambil memandang perahu layar di tengah sungai,
berkatalah Kiau Hong, “Kepintaran dan kecerdikan Taiok-
jin itu jauh di atas diriku, bicara tentang ilmu silat juga
mungkin tidak dibawahku, jika dia mau mencabut
nyawaku sebenarnya sangat mudah. Tapi mengapa ia
takut bila kutahu nama musuhku itu ?”
1633
A Cu merasa apa yang dibahas Kiau Hong itu cukup
beralasan, sambil memegang tangan bekas Pangcu itu,
katanya, “Kiau-toaya, kukira sesudah Tai-ok-jin itu
membunuh ayah bundamu, tentunya ia merasa menyesal
sekali, maka tidak tega membikin celaka dirimu lagi.
Sudah tentu ia pun tidak ingin engkau manuntut balas
padanya hingga jiwanya akan melayang di tanganmu.”
Kiau Hong mengangguk. “Ya, besar kemungkinan
demikianlah !” katanya dengan tersenyum. “Dan bila dia
tidak tega mencelakaiku, dengan sendirinya juga tidak
mau mengganggu dirimu, maka kamu jangan takut lagi.”
Sejenak kemudian, ia menghela napas dan berkata
pula, “Percumalah aku mengaku sebagai Engkiong
(ksatria), tapi kini dipermainkan orang sedemikian tanpa
dapat berbuat apa-apa.”
Begitulah, sesudah menyebrang sungai Tiang-kang,
tidak lama mereka menyebrangi Ci-tong-kang pula,
akhirnya sampai di Thian-tai-koan, kota di kaki
pegunungan Thian-tai.
Mereka mendapatkan sebuah hotel untuk menginap.
Esok paginya ketika mereka ingin tanya pelayan tentang
jalan menuju ke Thian-tai-san, tiba-tiba masuk tergesagesa
seorang pegawai kantor hotel dan memberitahu,
“Kiau-toaya, ada seorang Suhu dari Siang-koan-sian-si di
Thian-tai-san ingin bertemu denganmu.”
Sudah tentu Kiau Hong terkejut, padahal waktu
menginap di hotel ini ia mengaku she Koan, maka cepat
ia tanya, “Mengapa kau panggil Kiau-toaya padaku ?”
“Suhu dari Thian-tai-san itu menjelaskan bangun
tubuh dan wajah Kiau-toaya, terang tidak salah lagi,”
sahut pegawai hotel.
Kiau Hong saling pandang dengan A Cu, keduanya
sama heran. Padahal mereka menyamar lagi, tidak
1634
serupa pula dengan seperti waktu di Thai-an, tapi setiba
di Thai-tai-koan segera dikenali orang.
Terpaksa Kiau Hong berkata, “Baiklah, silahkan dia
masuk.”
Sesudah pegawai hotel itu keluar, tidak lama
kemudian ia bawa datang padri berumur 30-an dan
berbadan gemuk. Sesudah memberi hormat kepada Kiau
Hong, padri itu lantas berkata, “Guruku Ti-kong Taysu
adanya, Siauceng Koh-teh disuruh mengundang Kiautoaya
dan Wi-kohnio sudilah mampir ke kuil kami.”
Sahut Koh-teh Hwesio, “Menurut pesan Suhu katanya
di hotel sini tinggal seorang Kiau-enghiong, dan seorang
Wi-kohnio, maka Siauceng disuruh memapak kemari.
Kiranya tuan sendirilah Kiau-toaya, entah Wi-kohnio itu
berada di mana ?”
Jilid 34
Kiranya A Cu sudah menyaru lagi sebagai laki-laki
setengah umur, dengan sendirinya Koh-teh Hwesio tidak
tahu dan menyangka nona Wi yang dicari itu tidak berada
di situ.
Segera Kiau Hong tanya pula, "Semalam kami baru
tiba di sini, entah darimana gurumu mendapat tahu?
Apakah beliau dapat meramal apa yang belum terjadi?"
Belum lagi Koh-teh menjawab, pengurus hotel tadi
lantas menyela, "Ti-kong Taisu dari Thian-tai-san adalah
seorang padri sakti, jangankan Kiau toaya baru tiba
kemarin, sekalipun apa yang akan terjadi 500 tahun yang
akan datang juga dapat dihitungnya."
Kiau Hong tahu Ti-kong Taisu itu sangat dipuja oleh
rakyat setempat bagaikan malaikat dewata, maka ia pun
tidak tanya lagi, katanya,"Baiklah, segera Wi-kohnio akan
menyusul, silahkan kaubawa kami berangkat lebih dulu."
1635
Koh-teh Hwesio mengiakan dan segera mendahului
keluar. ketika Kiau Hong hendak membayar rekening
hotel, namun pengurus telah mencegah, "Jika kalian
adalah tetamu padri sakti Thian-tai-san, betapapun uang
hotel ini tidak daat kami terima."
Terpakasa Kiau Hong membatalkan niatnya itu, diamdiam
ia kagum atas nama baik Ti-kong Taisu yang
dihormati dan sangat dicintai rakyat setempat itu, maka
tentang tersangkutnya dalam peristiwa pembunuhan
orang tuaku biarlah kuhapus sama sekali dan takkan
kubalas dendam padanya. Asal dia memberitahukan
nama Tai-ok-jin itu kepadaku sudah puaslah hatiku,
demikian Kiau Hong mengambil keputusan.
Begitulah mereka lantas berangkat ke Thian-tai-san
mengikuti Koh-teh Hwesio.
Pemandang Thian-tai-san sangat indah permai, cuma
jalan pegunungan itu sangat terjal dan berliku-liku hingga
sukar ditempuh. Dari belakang Kiau Hong melihat cara
berjalan Koh-teh Hwesio itu sangat cepat dan tangkas,
tapi kentara sekali tidak mahir ilmu silat.
Namun begitu ia tahu hati manusia kebanyakan palsu,
ia tidak menjadi lengah karena itu, Diam0diam pikirnya,
"sekali lawan sudah tahu jejakku, mustahil dia tidak
mengatur penjagaan yang kuat? Meski Ti-kong Taisu
adalah padri saleh yang terpuja, tapi orang lain di
sekitarnya belum tentu sepikiran dengan dia."
Jalan pegunungan itu makin lama makin sulit
ditempuh, tapi senantiasa Kiau Hong pasang mata
telinga untuk menjaga kalau-kalau disergap musuh.
Tak tersangka sepanjang jalan ternyata aman tentram
saja, akhirnya sampai juga diluar Siang-koan-si. Kuil itu
sangat terkenal di kalangan Kang-ouw, tapi wujudnya
ternyata sebuah kelenteng kecil saja, bahkan
keadaannya sudah tak begitu terawat.
1636
Sampai di luar kuil, tanpa melapor dulu atau diadakan
penyambutan segala, Koh-teh terus mendorong pintu kuil
sambil berseru, "Suhu, Kiau-toaya suda tiba!"
Maka terdengarlah suara Ti-Kong menyahut,
"Selamat datang! Sediakan teh untuk tamu agung kita!"
Sembari bicara, padri itu lantas menyambut keluar.
Sebelum bertemu dengan Ti-kong, selalu Kiau Hong
merasa kuatir akan didahului lagi oleh Tai-ok-jin hingga
Ti-kong terbunuh, tapi demi melihat padri itu baik-baik
saja, barulah Kiau Hong merasa lega. Segera mereka
mengusap muka masing-masing hingga wajah asli
mereka pulih kembali untuk menemu Ti-Kong, lebih
dahulu Kiau Hong memberi hormat.
"Siancai! Siancai!" demikian Ti-kong bersabda, "Kiasicu,
sebenarnya engkau she Siau, apakah engkau
sendiri sudah tahu?"
Seketika Kiau Hong tergetar, meski kini sudah
diketahui dirinya adalah orang Cidan, tapi apa she
ayahnya sebegitu jauh masih gelap baginya. Kini untuk
pertama kalinya mendengar Ti-Kong menyatakan dia she
"Siau", tanpa terasa keringat dingin lantas mengucur.
Ia tahu bahwa rahasia asal-usul sendiri sekarang
tersingkap sedikit mulai sedikit, segera ia membungkuk
tubuh dengan hormat dan menjawab, "Cayhe terlalu
bodoh, kedatangan ini justru ingin minta petunjuk kepada
Taisu."
Ti-Kong mengangguk, katanya, "Silahkan kalian
duduk!"
Dan sesudah mereka mengambil tempat duduk
masing-masing, Koh-teh Hwesio lantas menyuguhkan
teh. Ketika melihat wajah kedua orang sudah berubah,
bahkan A Cu berubah menjadi wanita, Koh-teh jadi
terheran-heran. Tapi di hadapan sang guru terpaksa ia
tidak berani bertanya.
1637
"Tentang asal-usulmu," demikian Ti-kong memulai,
"menurut ukiran di dinding batu yang ditinggalkan
ayahmu itu, beliau mengaku she Siau dan bernama Wansan.
Dalam tulisannya itu beliau menyebut engkau
sebagai anak 'Hong'. Karena itu kami mempertahankan
nama aslimu, cuma she-mu telah kami ganti mengikuti
she Kiau Sam-hoat yang membesarkanmy itu."
Seketika air mata Kiau Hong bercucuran, tiba-tiba ia
berdiri dan berkata, "Baru sekarang kutahu nama
ayahku, atas budi kebaikan Taisu, terimalah hormatku
ini!"
Habis berkata, terus saja ia menjura.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar