"Budi kebaikan yang kaunyatakan itu mana berani
kuterima?"
Kiau Hong berpaling kepada A Cu dan
mengumumkan dengan suara lantang, "Sejak kini aku
bernama Siau Hong dan bukan Kiau Honglagi."
"Ya, Siau-toaya," sahut A Cu.
Waktu itu, nama keluarga kerajaan Liau adalah Yalu
dan permaisurinya selalu dipilih dari keluarga Siau.
Sebab itu turun temurun keluarga Siau sangat
berpengaruh di negara Liau. Kini mendadak Siau Hong
mengetahui dirinya adalah keturunan keluarga
bangsawan Cidan (suku bangsa negari Liau), seketika
tak keruan rasa hatinya.
"Siau-tayhiap, tulisan di dinding batu di luar Gan-bunkoan
itu tentu sudah kaulihat bukan?" kata Ti-kong
kemudian.
"Tidak," sahut Siau Hong sambil menggeleng. "Setiba
di sana, tulisan itu sudah dihapus orang, hanya tinggal
bekas yang tak terbaca lagi."
"Urusan sudah terjadi, huruf di dinding batu itu pun
sudah dihapus, tapi belasan jiwa yang sudah menjadi
1638
korban apakah dapat dihidupkan kembali?" kata Ti-kong
sambil menghela napas. Lalu ia keluarkan secarik kertas
kuning yang sangat lebar, katanya pula, "Siau-sicu, inilah
cetakan tulisan di atas dinding itu."
Tergetar tubuh Siau Hong. Cepat ia terima kertas
kuning itu dan dibentang, ia lihat di atas kertas itu banyak
terdapat huruf cetak yang aneh, satu huruf pun tak
dikenalnya. Ia tahu itu pasti huruf Cidan yang ditulis
mendiang ayahnya sebelum terjun ke jurang, tak tertahan
lagi air matanya bercucuran, katanya kemudian, "Mohon
Taisu suka menjelaskan artinya."
"Sesudah mencetak tulisan di dinding ini, kemudian
kami tanya kepada beberapa orang yang paham huruf
Cidan, menurut keterangan mereka, bunyinya adalah :
'Hong-ji genap berusia setahun, bersama istriku kami
berkunjung ke rumah ibu mertua, di tengah jalan
mendadak kepergok bandit dari selatan. Karena
sergapan tiba-tiba itu, istriku tercinta terbunuh oleh
musuh, sungguh aku pun tidak ingin hidup di dunia ini.
Tapi guruku yang berbudi adalah bangsa Han di selatan,
di hadapan guru aku telah bersumpah takkan membunuh
orang Han, siapa duga hari ini sekaligus kubunuh
belasan orang, aku telah melanggar sumpahku dan
bersedih atas kematia istri pula, di alam baka aku pun
tiada muka untuk bertemu dengan Insu (guru berbudi)
lagi. Sekian pesan terakhir dari Siau Wan-San."
Selesai mendengar uraian Ti-kong itu, dengan penuh
hormat Siau Hong melempit kembali kertas cetak itu,
katanya, "Ini adalah surat wasiat ayah-ku, mohon Taisu
suka memberikannya padaku."
"Memang sepantasnya diserahkan padamu," sahut Tikong.
Sungguh pedih dan kusut sekali perasaan Siau Hong
pada saat itu. Ia dapat menahan betapa rasa duka dan
1639
sesal sang ayah pada waktu itu, sebabnya beliau terjun
ke jurang bukan melulu karena berduka atas
terbunuhnya ibunda, tapi juga disebabkan beliau meresa
melanggar sumpah sendiri karena telah membunuh
orang Han sebanyak itu, maka beliau rela membunuh diri
untuk menebus dosanya.
Dalam pada itu Ti-kong berkata pula, "Semula kami
menyangka ayahmu yang memimpin jago Cidan dan
menyerbu Siau-lim-si, tapi sesudah membaca tulisan itu
barulah kami tahu telag terjadi salah paham yang besar,
Jika ayahmu bertekad membunuh diri, rasanya tidak
mungkin beliau menulis hal yang tdak benar ini untuk
membohongi orang lain. Dan jika beliau bertujuan
menyerbu Siau-lim-si, mengapa membawa seorang istri
yang tidak paham ilmu silat dan membawa anaknya yang
masih bayi? Sesudah peristiwa itu, ketika kami
menyelidiki sumber berita tentang musuh akan menyerbu
Siau-lim-si segala kiranya kabar berita itu berasal dari
seorang pembual besar, orang itu sengaja hendak
mengoda Toako pemimpin kami untuk olok-olok padanya
apabila beliau dibikin kecele."
"Oh, kiranya cuma untuk berkelakar saja, dan
bagaimana dengan pembual itu?" tanya Siau Hong.
"Sesudah Toako pemimpin tahu duduknya perkara,
sudah tentu beliau sangat marah, tapi pembual itu sudah
lari entah kemana perginya, sejak itu tidak diketahui
bayangannya lagi. Setelah berpuluh tahun mungkin
sekarang orang-nya sudah mampus," kata Ti-Kong.
"Banyak terima kasih atas keterangan Taius hingga
aku dapat mengetahui seluk-beluk iradan aku ini," kata
Siau Hong. "Tapi ingin kutanya pula suatu hal padamu."
"Apa yang Siau-sicu ingin tanya?"
"Toako pemimpin yang kaukatakan itu sebenarnya
gerangan siapakah?"
1640
"Telah kudengar bahwa untuk mencari tahu hal itu
Siau-sicu telah membunuh Tam-kong, Tam-poh dan Tioci-
sun. kemudian antero keluarga Tan-Cing beserta
kediamannya telah kaumusnahkan, sudah kuduga
lambat atau cepat Siau-sicu pasti akan datang kemari,
maka silahkan Sicu menunggu sebentar, akan
kupertunjukkan sesuatu padamu."
"Habis berkata ia lantas berbangkit dan menuju ke
ruangan belakang. Selang tak lama, Koh-teh Hwesio
datang pada Siau Hong dan berkata, "Suhu menyilakan
kalian masuk ke kamar dalam."
Segera Siau Hong dan A Cu ikut padri itu melalui
sebuah jalanan serambi yang panjang akhirnya tibalah di
depan sebuah pavilliun, Koh-teh mendorong pintu dan
berkata, "Silahkan masuk."
Waktu Siau Hong melangkah ke dalam rumah itu, ia
lihat Ti-kong duduk bersila di atas tikar. Padri saleh itu
tidak menyapa, hanya tersenyum dan tiba-tiba
menjulurkan jari tangan untuk menulis di lantai.
Kamar itu rupanya tidak pernah dibersihkan maka
debu kotoran memenuhi lantai. Tertampak Ti-kong
menulis delapan baris huruf di situ. Habis menulis
dengan tersenyum Ti-kong lantas pejamkan mata.
Waktu Siau membaca tulisan di lantai itu, ia jadi
termenung-menung. Kiranya tulisan TI-kong itu adalah
sabda Budha yang menasehatkan manusia supaya
anggap segala apa di dunia fana ini cuma khayal belaka,
sebab akhirnya segala apa akan sirna menjadi abu.
"Sangkut paut apa dengan persoalan yang
kutanyakan padanya tadi?" demikian Siau Hong merasa
bingung, maka kembali ia tanya, "Taisu, sebenarnya
siapakah gerangan Toako pemimpin itu, sudilah
memberitahu?"
Tapi meski ia ulangi lagi pertanyaannya, Ti-kong tetap
1641
tersenyum tanpa menjawab. Waktu Siau Hong
mengawasi, ia jadi terkejut. Ia lihat air muka padri itu
meski masih tersenyum, tapi sudah kaku tanpa bergerak
lagi.
"Taisu! Taisu!" berulang Siau Hong berseru, tetapi
padri itu tetap tidak bergerak sedikitpun. Waktu ia periksa
pernapasannya, ternyata sejak tadi sudah berhenti. Jadi
sejak tadi padri itu sudah wafat.
Dengan rasa pedih Siau Hong menjura beberapa kali
sebagai tanda penghormatan terakhir, lalu mengajak A
Cu untuk meninggalkan biara itu dengan lesu.
Sesudah belasan li jauhnya, berkatalah Siau Hong, "A
Cu, hakikatnya aku tidak bermaksud membikin susah
pada Ti-kong Taysu, mengapa dia berlaku nekat begitu?
Menurut pendapatmu, dari mana dia mengetahui kita
akan datang ke biaranya?"
"Kukira ... kukira atas perbuatan Tai-ok-jin itu pula,"
sahut A Cu.
"Aku pun berpikir begitu," kata Siau Hong. "Tentu Taiok-
jin itu mendahului memberi kabar kepada Ti-kong
Taisu bahwa aku akan menuntut balas padanya. Karena
merasa takkan mampu lolos dari tanganku, maka Ti-kong
Taisu jadi nekat dan menghabiskan nyawa sendiri."
"Begitulah mereka hanya saling pandang belaka
tanpa berdaya lagi.
"Siau-toaya," tiba-tiba A Cu membuka suara,"ada
sesuatu pendapatku yang kurang wajar, jika kukatakan,
harap engkau jangan marah."
"Kenapa kamu jadi sungkan padaku? Sudah tentu aku
takkan marah," ujar Siau Hong.
"Kukira sabda Budha yang ditulis Ti-kong itu pun ada
benarnya," demikian tutur A Cu. "Peduli apa dia orang
Han atau Cidan, apa benar atau khayal, segala budi atau
sakit hati, kaya atau miskin,semuanya itu akhirnya akan
1642
sirna. Padahal apakah engkau bangsa Han atau orang
Cidan, apa sih bedanya? Penghidupan merana di
kalangan kangouw juga sudah membosankan, tidaklah
lebih baik kita pergi saja ke luar Gan-bun-koan untuk
berburu dan mengangon domba, segala suka-duka
penghidupan Bu-lim di Tionggoan jangan dipeduli lagi."
"Ya, penghidupan yang selalu menyerempet bahaya
di ujung senjata memang sudah membosankan aku,"
sahut Kiau Hong dengan menghela napas. "Di luar
perbatasan, di gurun yang luas, di padang rumput yang
menghijau, di sanalah jauh lebih aman dan tentram. A
Cu, jika aku tinggal jauh di luar perbatasan sana, sudilah
engkau menjenguk aku di sana?"
"Bukankah kukatakan berburu dan angon domba,
engkau berburu dan aku yang angon domba," sahut A
Cu dengan suara perlahan dan muka merah sambil
menunduk.
Meski Siau Hong adalah seorang laki-laki gagah
kasar, tapi maksud yang dikandung dalam ucapan A Cu
itu dapat ditangkapnya juga. Ia tahu si gadis menyatakan
bersedia hidup berdampingan dengan dirinya di gurun
luas sana dan takkan kembali ke Tionggoan lagi.
Waktu Siau Hong menolong gadis itu dulu hanya
didorong oleh rasa kagum kepada Buyung Hok sebagai
sesama ksatria. Kemudian setelah jauh-jauh A Cu
menyusulnya ke Gan-bun-Koan, lalu berangkat bersama
ke Thai-san dan Thian-tai pula, dalam perjalanan jauh itu
setiap hari hdup berdekatan, di situlah baru Siau Hong
merasakan betapa halus budi si gadis jelita ini, kini
mendengar A Cu mengutarakan isi hatinya secara terus
terang pula, perasaan Siau Hong terguncang hebat, ia
pegang tangan nona itu dan berkata, "A Cu, engkau
sangat baik padaku, apa kamu tidak mencela diriku
sebagai keturuna Cidan yang rendah?"
1643
"Cidan juga manusia, kenapa mesti dibeda-bedakan,"
sahut A Cu, "Aku senang menjadi orang Cidan, ini timbul
dari hatiku yang sungguh-sungguh sedikitpun tidak
dipaksakan."
Sungguh girang Siau Hong tidak kepalang mendadak
ia pegang tubuh A Cu terus dilemparkan ke atas, ketika
jatu ke bawah lagi, dengan perlahan ia tangkap badan si
gadis dan diletakkan ke tanah, dengan tersenyum mesra
ia pandang A Cu lekat-lekat dan berseru, "Dapatkan
seorang teman sepaham, puaslah hidupku ini. A Cu
selanjutnya kamu akan ikut aku berburu dan
mengembala, kamu takkan menyesal?"
"Biarpun apa yang akan terjadi, tidak nanti aku
menyesal" sahut A Cu tegas, "Sekalipun akan menderita
dan tersiksa juga aku akan merasa senang.
"Aku dapat hidup seperti sekarang ini, sungguh
jangankan disuruh menjadi Pangcu Kai-pang lagi,
sekalipun diangkat menjadi raja Song juga aku tidak
mau, " kata Siau Hong. "Baiklah A Cu, sekarang juga kita
berangkat ke Sin-yang untuk mencari Be-hujin, apakah ia
mau menerangkan atau tidak, dia adalah orang terakhir
yang akan kita cari, sesudah tanya dia segera kita keluar
perbatasan utara untuk melewatkan penghidupan
sebagai pemburu dan penggembala."
"Siau-toaya ....."
"Selanjutnya jangan kaupanggil Toaya apa segala,
panggil Toako saja!"
Wajah A Cu menjadi merah, sahutnya, "Mana ...
mana aku ada harganya memanggil demikian padamu?"
"Kausudi tidak?" tanya Siau Hong.
"Sudi, seribu kali sudi, cuma tidak berani."
"Cobalah kaupanggil sekali."
"Ya, Toa .... Toako?" demikian A Cu memanggil
dengan lirih.
1644
"Hahahahaha!" Siau Hong terbahak-bahak senang.
"Sejak kini aku tidak lagi sebatang kara, bukan lagi
keturunan asing yang dipandang rendah dan hina oleh
orang lain, paling tidak di dunia ini masih ada seorang
yang ... yang ...."
Seketika ia menjadi bingung apa yang baru
diucapkannya.
Maka A Cu lantas menyambung, "Masih ada seprang
yang menghormatimu, yang mengagumimu, yang
berterima kasih padamu dan selama hidup ini, bahkan
sepanjang masa bersedia hidup di sampingmu, derita
sama dipikul susah sama dirasa."
Sungguh Siau Hong sangat terharu, terutama ucapan
A Cu tentang "derita sama dipikul dan susah sama
dirasa" itu, memang sudah jelas bahwa banyak sekali
rintangan dan penderitaan pada waktu yang akan
datang, tapi gadus itu toh rela menghadapinya tanpa
menyesal, saking terharunya sampai air mata Siau Hong
bercucuran.
Tempat kediaman wakil Pangcu Kai-pang yaitu Be
Tai-goan, terletak di Sin-yang, propinsi Holam. Sudah
tentu perjalanan dari Thian-tai ke Sinyang itu memakan
tempo cukup lama pula. Tapi sejak adanya ikatan jiwa
antara mereka yang mesra, sepanjang jalan mereka tidak
masgul lagi, dalam pandangan mereka pemandangan di
mana-mana menjadi tambah indah permai dan
memabukkan.
Sebenarnya A Cu tidak gemar minum arak, tapi demi
untuk membikin senang Siau Hong, terkadang ia
paksakan diri mengiringi minum satu dua cawan. Dan
mukanya yang kemerah-merahan itu semakin
menambah kecantikannya yang mengiurkan.
Suatu hari tibalah mereka di kota Kong ciu, dari situ
ke Sin-yang hanya diperlukan kira-kira dua hari saja.
1645
"Toako," kata A Cu, "menurut pendapatmu, cara
bagaimana kita harus menanyai Be-hujin?"
Siau Hong menjadi ragu oleh pertanyaan itu. Ia masih
ingat sikap Be-hujin itu sangat benci padanya karena
yakin suaminya telah dibunuh olehnya. Sedangkan
terhadap seorang janda yang tidak mahir ilmu silat, kalau
pakai cara paksaan dan gertakan, terang cara ini tidak
sesuai dengan kedudukan dirinya sebagai ksatria
terkemuka.
Sesudah pikir sejenak, akhirnya ia menjawab,"Kukira
kita harus memohonnya secara baik-baik agar dia dapat
memahami duduknya perkara dan tidak mendakwa aku
sebagai pembunuh suaminya. Eh, A Cu, kamu saja yang
bicara padanya, Kau pandai bicara, sama-sama wanita
pula, segala sesuatu akan lebih mudah dirundingkan."
"Sebenarnya aku ada suatu akal, entah Toako setuju
tidak?" sahut A Cu dengan tersenyum.
"Akal apa? Coba katakan," tanya Siau Hong.
"Engkau adalah laki-laki sejati dan seorang ksatria,
dengan sendirinya tidak dapat memaksa pengakuan
seorang janda, biarlah aku yang membujuk dan menipu
dia, bagaimana pendapatmu?"
"Jika dia dapat dibujuk hingga mengaku, itulah paling
baik." kata Siau Hong dengan girang. "A Cu, engkau
tahu, siang dan malam yang kuharapkan adalah
selekasnya dapat kubunuh dengan tanganku sendiri atas
pembunuh ayahku itu. Hm, sebabnya aku merana seperti
sekarang ini dan bermusuhan dengan para ksatria
sejagat bahkan para jago Tionggoan itu bertekad harus
membunuh diriku, semua ini adalah akibat perbuatan Taiok-
jin itu. Jika aku tidak mencincang dia hingga hancur
luluh, cara bagaimana aku bisa hidup tentram untuk
berburu dan mengangon domba denganmu?"
Makin bicara makin keras dan tegas suaranya suatu
1646
tanda betapa berguncangnya perasaan Siau Hong.
Paling akhir ini sebenarnya pikirannya tidak murung lagi
seperti dulu, tapi rasa dendamnya kepada Tai-ok-jin itu
tidak menjadi berkurang sedikut pun.
"Sudah tentu aku paham perasaanmu," sahut A Cu.
"Begitu keji cara Tai-ok-jin itu membikin susah padamu,
bahkan aku pun ingin membacoknya beberapa kali untuk
bantu melampiaskan rasa dendammu. Kelak kalau kita
dapat menawan dia, kita harus mengadakan juga suatu
Eng-Hiong-tai-hwe, kita akan mengundang seluruh
ksatria di jagat ini, di hadapan mereka itulah kita akan
menjelaskan duduknya perkara dan membongkar
tuduhan tak benar atas dirimu selama ini, dengan
demikian nama baikmu dapat dipulihkan."
"Tidak perlu begitu," sahut Siay Hong dengan
menghela napas. "Sudah terlalu banyak orang yang
kubunuh di Cip-hiau-ceng tempo hari, permusuhanku
dengan para ksatria sudah terlalu mendalam, aku tidak
ingin mohon orang lain memahami urusanku lagi. Yang
kuharap asal urusan ini bisa dibikin terang, hatiku bisa
tentram, lalu kita akan hidup di padang luas di utara
sana, selama hidup kita akan berkawankan domba dan
tidak perlu bertemu dengan para ksatria dan pahlawanpahlawan
lagi."
"Jika benar dapat terlaksana seperti harapanmu,
itulah jauh melebihi apa yang kuinginkan," kata A Cu
dengan tersenyum. "Toako, aku ingin menyamar sebagai
seorang untuk membujuk Be-hujin agar mau mengatakan
nama Tai-ok-jin yang kita cari."
"Bagus, bagus! Kenapa aku lupa pada kepandaianmu
ini," seru Siau Hong dengan girang. "Kauingin menamar
sebagai siapa?"
"Itulah yang ingin kutanya padamu," sahut A Cu.
"Pada masa hidup Be-hupangcu, di antara orang Kai-
1647
pang siapakah yang paling rapat berhubungan dengan
dia? Jika aku menyamar sebagai orang itu, mengingat
sebagai sahabat karib mendiang suaminya, tentu Behujin
akan bicara terus terang."
"Tentang kawan yang berhubungan erat dengan Behupangcu
antara lain ialah Ong-thocu, Coan Koan-jing
dan ada pula Tan-tianglo. Ya, Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia
juga sangat akrab dengan dia."
A Cu tidak tanya lagi, ia termenung-menung
membayangkan wajah dan gerak gerik orang yang
disebut itu.
"Watak Be-hupangcu sangat pendiam, berbeda
denganku yang suka minum arak dan gemar bicara.
Sebab itulah jarang dia bergaul dengan aku. Sebaliknya
Coan Koan-jing, Pek Si-kia dan lain-lain itu wataknya
lebih cocok dengan dia, maka mereka sering berada
bersama untuk saling tukar pikiran tentang ilmu silat."
"Siapakah Ong-thocu yang kaukatakan itu, tidak
kukenal," demikian A Cu berkata. "Sedang Tan-tianglo itu
suka tangkap ular dan piara kelabang, melihat binatang
berbisa begitu aku jadi takut, maka sukar untuk menyaru
sebagai dia. Perawakan Coan Koan-jing tinggi besar,
untuk menyaru dia tidaklah mudah, kalau tinggal terlalu
lama di hadapan Be-hujin, mungkin rahasia kita akan
ketahuan. Maka paling baik kukira menyamar sebagai
Pek-tianglo saja. Pernah beberapa kali ia bicara
denganku di Cip-hian-ceng, untuk menyaru sebagai dia
adalah paling gampang."
"Pada waktu kamu terluka, bukankah Pek-tianglo
sangat baik kepadamu, dia yang paksa Sih-sin-ih
mengobatimu, dan sekarang kamu malah menyamar
sebagai dia untuk menipu orang, apakah tidak terasa
kurang pantas?"
"Setelah menyamar sebagai Pek-tianglo, aku cuma
1648
berbuat baik dan tidak berbuat jaha, dengan demikian
nama baiknya takkan tercemar," ujar A Cu dengan
tertawa.
Begitulah ia lantas menyamar sebagai Pek Si-kia, ia
mendandani Siau Hong pula sebagai seorang anggota
Kai-pang berkantung enam dan terhitung sebagai
"ajudan" Pek-tianglo, cuma Siau Hong dilarang banyak
bicara agar tidak diketahui Be-hujin yang cerdik dan
cermat itu.
Mereka melanjutkan perjalanan ke Sin-yang,
sepanjang jalan tampak banyak anggota Kai-pang yang
berlalu-lalang dan sering mengajak bicara dengan
mereka dengan kode Kai-pang untuk tanya gerak-gerik
tokoh pimpinan Kai-pang, lalu mereka sengaja
memberitahukan kedatangan "Pek-tianglo" di Sin-yang,
agar Be-hujin mendapat kabar lebih dulu. Dengan
demikian, penyamaran A Cu akan lebih aman dan Behujin
pun tidak curiga.
Kediaman Be Tai-goan itu terletak di pedusunan
sebelah barat Sin-yang, kira-kira lebih 30 li dari kota.
Sesudah tanya keterangan pada anggota Kai-pang
segera Siau Hong mengajak A Cu ke rumah Be-hujin itu.
Mereka sengaja berjalan lambat untuk membuang
waktu, menjelang petang baru mereka tiba di sana.
Maklum, jika siang hari tentu penyamaran A Cu akan
lebih mudah diketahui orang, bila malam, segala sesuatu
menjadi samar-samar dan sukar diketahui.
Sampai di luar rumah keluarga Be, tertampak sebuah
sungai kecil mengitari tiga petak rumah penting yang
mungil, di samping rumah terdapat beberapa pohon
Yangliu, di depan rumah ada tanah lapang culup lega.
Siau Hong kenal aliran ilmu silat Be Tai-goan, melihat
keadaan lapangan itu, tahulah dia bekas wakilnya itu
pasti sering berlatih silat di lapangan itu. Tapi kini yang
1649
satu sudah di alam baka, ia menjadi pilu mengingat itu.
Dan baru dia hendak mengetuk pintu, mendadak
terdengar suara keriut pntu dibuka, dari dalam rumah
muncul seorang perempuan berbaju putih mulus, yaitu
pakaian berkabung, terang itulah Be-hujin adanya.
Be-hujin mengerling sekejap ke arah Siau Hong, lalu
memberi hormat kepada A Cu dan menyapa," Sungguh
tidak dinyana Pek-tianglo sudi berkunjung ke tempatku
ini, silahkan masuk setadar dulu."
"Ada sesuatu urusan ingin kurundingkan dengan
Hujin, makanya tanpa diundang tahu-tahu dah datang,
harap Hujin suka memaafkan," sahut A Cu.
Air muka Be-hujin seperti senyum tapi tak senyum,
malahan di antara senyum tak senyum itu tampak
menahan rasa sedih, sungguh sangat serasi dengan
dandanannya yang putih berkabung itu.
Sesudah dekat, Siau Hong dapat melihat jelas usia
Be-hujin antara 35-36 tahun, raut mukanya agak lonjong,
tapi sangat cantik. Setelah masuk di dalam rumah,
tertampak ruang tamu itu sangat sederhana dan agak
sempit, di tengah sebuah meja dengan empat kursi,
perabot lain tiada lagi.
Segera seorang pelayan tua menyuguhkan teh lalu
Be-hujin menanyakan nama Siau Hong, maka A Cu
sembarangan menjawab dengan sebuah nama palsu.
Kemudian Be-hujin bertanya lagi," Atas kunjungan
Pek-tianglo ini, entah ada petnjuk apakah?"
"Ci-tianglo telah meninggal di Wi-hui, tentu Hujin
sudah tahu?" tanya A Cu.
Sekonyong-konyong Be-hujin mendongak dengan
sorot mata yang terheran-heran, lalu sahutnya, "Ya,
sudah tentu kutahu."
Dan A Cu segera berkata lagi, "Kita sama mencurigai
Kiau Hong yang membunuh Ci-tianglo itu, kemudian
1650
Tam-kong dan Tam-poh, Tio-ci-sun dan Tiat-bin-poankoan
Tan Cing juga menjadi korban keganasan musuh.
Belum lama ini ketika aku menjalankan tugas
pemeriksaan seorang anak murid Pang kita yang
melanggar disiplin di daerah Kanglam, di sanapun
kudapat kabar bahwa Ti-kong Taisu di Thian-tai-san juga
mendadak wafat."
"Ap .. apakah itu pun perbuatan keparat Kiau Hong
itu?" seru Be-hujin dengan badan agak gemetar dan
suara terputus-putus.
"Tapi tiada sesuatu tanda mencurigakan yang
ditemukan di kuil Ti-kong Tais itu," tutur A Cu.
"Mengingat bahwa langkah selanjutnya mungkin Hujin
yang akan menjadi sasarannya, maka lekas aku
memburu kemari untuk menyarankan pada Hujin agar
suka berpindah tempat dulu untuk sementara waktu agar
tidak dicelakai durjana Kiau Hong itu."
Begitulah ia sengaja membesar-besarkan kesalahan
Kiau Hong dengan harapan nyonya janda itu tidak
menaruh curiga padanya.
Maka Be-hujin menjawab dengan sedih, "Sejak Taigoan
tewas memangnya tiada berguna juga kuhidup di
dunia ini, jika orang she Kiau itu hendak membunuh
diriku, itulah yang kuharapkan malah."
"Eh, mana boleh nyonya bicara begitu? Sakit hati Behiante
belum terbalas, pembunuhnya belum lagi
tertangkap, padamu masih terbeban tanggung jawab
yang tidak ringan, mana boleh Hujin putus asa," ujar A
Cu. "Ehm, di manakah letak tempat perabuan Behianpwe
aku ingin memberi hormat kepadanya."
"Terima kasuh," kata Be-hujin. Lalu ia membawa
kedua orang ke ruangan belakang.
Sesudah A Cu memberi hormat, kemudian Siau Hong
juga menjura di hadapan perabuan bekas wakilnya itu
1651
sambil diam-diam berdoa, "Be-toako, semoga arwahmu
melindungi aku supaya istrimu suka mengatakan padaku
tentang nama penjahat yang sebenarnya itu, dengan
demikian akan kubalaskan sakit hatimu."
Dalam pada itu Be-hujin juga berlutut di samping
untuk membalas hormat sambil bercucuran air matanya.
Selesai menjura, waktu Siau Hong berdiri kembali, ia
lihat ruangan berkabung itu banyak terpasang "lian"
berduka cita sumbangan dari Ci-tianglo, Pek-tianglo dan
lain lain, tapi Lian yang dikirim olehnya ternyata tidak
dipasang di siitu. Tirai putih di ruang berkabung itu sudah
mulai berdebu hingga makin menambah kehampaan
suasana. Pikir Siau Hong, "Be-hujin tidak punya anak
setiap hari cuma didampingi seorang pelayan tua,
penghidupannya yang sunyi ini, benar-benar
menyedihkan juga."
Sementara itu A Cu sedang menghibur Be-hujin
dengan macam-macam perkataan, katanya kalau nyonya
janda itu ada kesulitan apa apa boleh memberitahukan
kepadanya dan lain-lain pesan lagi dengan lagak orang
tua.
Diam-diam Siau Hong memuji cara anak dara itu
menjalankan peranan dengan sangat mirip sekali.
Sesudah Pangcu dalam Pang diusir. Hupangcu
meninggal juga. Ci-tianglo telah dibunuh orang, Thoankong
Tianglo juga telah terbunuh, sisanya yang masih
hidup hanya kedudukan Pek-tianglo yang paling tinggi.
Kini A Cu bicara dengan lagak pejabat Pangcu, nadanya
memang cocok juga.
Begitulah muka Be-hujin telah mengucapkan terima
kasih, tapi sikapnya tetap dingin saja.
Diam-diam Siau Hong kuatir bagi janda muda itu.
Hidup dalam keadaan sunyi dan sedih, wanita yang
berwatak keras seperti itu bukan mustahi akan
1652
mengambil pikiran pendek dengan membunuh diri untuk
menyusul sang suami di alam baka.
Kemudian Be-hujin membawa kedua tamunya ke
ruangan depan lagi, tidak lama daharan malam pun
disuguhkan secara sederhana, yaitu terdiri dari sayurmayur
belaka dan tiada daging, pula tanpa arak.
A Cu melirik sekejap pada Siau Hong, maksudnya
malam ini terpaksa engkau tidak minum arak lagi. Tapi
Siau Hong tidak ambil pusing, terus saja ia dahar
seadanya.
Habis dahar, berkatalah Be-hujin,"Pek-tianglo datang
dari jauh, seharusnya kami menyilakan para tamu
bermalam dulu, cuma tempat tinggal seorang janda, tidak
enak untuk memberi menginap orang, entah Pek-tianglo
apakah masih ada pesan lain?"
Dengan ucapannya itu, terang secara halus ia
menyilakan tetamunya lekas pergi.
Maka A Cu menjawab, "Kedatanganku ini tiada lain
ialah ingin mengusulkan agar Hujin suka menyingkir dulu
dari sini, entah bagaimana keputusan Hujin?"
Be-hujin menghela napas, katanya, "Kiau Hong sudah
membunuh suamiku, jika aku dibunuh pula, aku akan
lebih cepat menyusul Tai-goan di alam baka. Meski aku
hanya seorang wanita lemah, tidak nanti aku takut mati."
"Jadi tegasnya Hujin sudah bertekad takkan
meninggalkan tempat ini?" tanya A Cu.
"Banyak terima kasih atas maksud baik Pek-tianglo,
memang begitulah keputusanku," sahut Be-hujin.
A Cu menghela napas gegetun, katanya kemudian,"
Sebenarnya aku harus tinggal beberapa hari di sekitar
sini sekedar menjaga keselamatan Hujin. Walaupun
benar aku bukan tandingan keparat Kiau Hong itu, tapi
pada saat genting paling tidak akan bertambah seorang
pembantu. Cuma di tengah jalan tadi kembali akui
1653
mendapat sesuatu berita yang sangat rahasia."
"O, tentunya sangat penting." ujar Be-hujin.
Pada umumnya kaum wanita paling suka mencari
tahu sesuatu, biarpun urusan itu tiada sangkut-paut
dengan diri sendiri sedapatnya ingin tahu juga, apalagi
kalau urusan itu dikatakan sangat penting dan penuh
rahasia. Tapi aneh, sikap Be-hujin ternyata dingin saja
tanpa tertarik oleh obrolan A Cu itu.
Diam-diam Siau Hong merasa heran oleh sikap janda
itu. Dalam pada itu A Cu telah memberi tanda kepadanya
dan berkata, "Kamu keluar dulu, tunggu di luar saja, ada
urusan rahasia yang ingin kubicarakan dengan Hujin."
Siau Hong mengangguk, segera ia bertindak keluar.
Diam diam ia memuji kecerdikan A Cu.
Maklum, jika kita ingin tahu rahasia orang lain, maka
lebih dulu perlu memberitahukan sesuatu yang penting
juga padanya, dengan demikian pihak sana akan
menaruh kepercayaan padamu.
Pada umumnya, seorang yang mengetahui sesuatu
rahasia, biasanya sukar disuruh tutup mulut, sebab ia
akan merasa bangga jika dapat memberitahukan rahasia
itu kepada orang ketiga, asalkan kamu dapat
menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang dapat
dipercaya, maka besar kemungkinan kamu akan
diberitahu rahasia itu.
Begitu pula letak kecerdikan A Cu. Ia sengaja
menyingkirkan Siau Hong untuk mendapatkan
kepercayaan Be-hujin sebagai tanda bahwa rahasia yang
dia ketahui itu benar-benar sangat penting, sebab
pengikutnya yang dipercaya pun tidak boleh ikut
mendengarkan.
Tapi setiba di luar rumah, segera Siau Hong mengitar
pula ke sisi rumah, ia mendekam di bawah jendela ruang
tamu itu untuk mendengarkan siapakah nama musuh
1654
besarnya itu jika sebentar Be-hujin kena dipancing oleh A
Cu.
Tapi sampai sekian lamanya keadaan dalam ruangan
ternyata sepi-sepi saja. Siau Hong mendekam di luar
jendela dengan sendirinya tidak mengetahui keadaan di
dalam. Dan sesudah sejenak kemudian, barulah
terdengar Be-hujin membuka mata dengan menghela
napas perlahan, "Untuk apa kaudatang kemari lagi?"
Siau Hong mnenjadi heran apa maksud pertanyaan
itu. Baru sekali ini A Cu datang ke situ dengan
menyamar, mengapa ditegur "untuk apa datang lagi?"
Ia dengar A Cu sedang menjawab, "Aku benar-benar
mendapat kabar bahwa Kiau Hong bermaksud
mencelakaimu, maka jauh-jauh sengaja datang kemari
untuk memberitahukan padamu."
"Oh, te ...terima kasih atas maksud baik Pek-tianglo,"
sahut Be-hujin.
"Be-hujin," demikian tiba-tiba A Cu menahan
suaranya, "sejak Be-hiante meninggal, banyak diantara
para Tianglo kita ingin memperingati jasa-jasanya
dahulu, maka ada maksud mengundang engkau sudi
menjabat kedudukan Tianglo di dalam Pang kita."
Ucapan A Cu itu bernada sungguh-sungguh,
sebaiknya diam-diam Siau Hong merasa geli. Tapi mautak-
mau ia pun memuji kepintaran A Cu. Tak peduli Behujin
akan terima atau tidak atas tawaran itu, paling
sedikit janda muda itu akan dibikin senang dulu hatinya.
Maka terdengar Be-hujin menjawab, "Ah, aku
mempunyai kepandaian apa sehingga ada harganya
diangkat menjadi Tianglo Pang kita? Padahal aku pun
tidak menjadi anggota Kai-pang, apa kedudukan 'Tianglo'
itu tidak selisih terlalu jauh dengan diriku?"
"Tapi aku bersama Song-tianglo, Go-tianglo dan lain-
lain mendukung dengan sepenuh tenaga dan soal ini
1655
mungkin segera akan menjadi kenyataan," kata A Cu.
"Selain itu, aku mendapat pula suatu berita maha
penting, yaitu ada sangkut-pautnya dengan terbunuhnya
Be-hiante."
"Oh, ya?" sahut Be-hujin dengan nada tetap dingin.
"Tempo hari waktu melawat Ci-tianglo di kota Wi-hui,
aku bertemu dengan Tio-ci-sun, dia memberitahukan
sesuatu padaku bahwa dia mengetahui siapa pembunuh
Be-hiante."
Mendadak terdengar suara nyaring pecahnya cangkir
jatuh, Be-hujin berseru kaget, lalu berkata, "Engkau ber
... berkelakar?"
Suaranya kedengaran sangat marah, tapi juga ada
gugup dan kuatir.
"Sungguh, begitulah Tio-ci-sun katakan padaku, "
demikian A Cu menegaskan. "Dia mengetahui pembunuh
Be-hiante yang sebenarnya."
"Omong kosong, omong kosong! Dari mana dia tahu?
Engkau ngaco belo belaka!" seru Be-hujin dengan suara
gemetar.
"Tapi memang benar begitu, Hujin jangan kuatir,
dengarkan yang jelas," demikian A Cu menjawab pula.
"Kata Tio-ci-sun : 'Pada hari Tiongchiu tahun lalu .... "
Belum selesai ucapannya, kembali terdengar Be-hujin
menjerit kaget sekali, menyusul orangnya lantas jatuh
pingsan.
"Be-hujin, Be-hujin!" cepat A Cu berusaha
menyadarkannya dengan memijat Jin-tiong-hiat, yaitu
tempat di bawah hidung dan di atas bibir nyonya janda
itu.
Maka perlahan Be-hujin siuman kembali, katanya
segera, "Ken ... kenapa engkau menakut-nakuti aku?"
"Bukan menakut-nakutimu, tapi benar-benar Tio-ci-sn
berkata begitu padaku," sahut A Cu. "Cuma sayang dia
1656
sudah mati sekarang, kalau tidak tentu dapat dijadikan
saksi. Dia menceritakan bahwa pada hari Tiongchiu
tahun yang lalu, Kiau Hong, Tam-kong, Tam-poh dan ada
lagi pembunuh Be-hiante itu, meraka bersama-sama
merayakan hari Tiongchiu di rumahj 'Toako pemimpin'
itu."
"Apa benar dia mengatakan begitu?" terdengar Behujin
menarik napas lega.
"Memang begitu," sahut A Cu. "Semula aku juga tidak
percaya, maka telah kutanya Tam-kong, tapi kakek itu
hanya mendelik dan tidak mau mengatakan, sebaliknya
Tam-poh lantas membenarkan keterangan Tio-ci-sun itu,
sebab dia sendirilah yang mengatakan kejadian itu
kepada Tio-ci-sun. Pantas saja Tam-kong marah, sebab
sang istri dianggap suka memberitahukan segala apa
kepada Tio-ci-sun?"
"Oh, lalu bagaimana?" tanya Be-hujin.
"Lalu urusan menjadi mudah diselidiki bukan?" sahut
A Cu. "Yang berkumpul di rumah 'Toako pemimpin' itu
terbatas dari beberapa orang saja. Cuma sayang Tamkong
dan Tam-poh sudah mati, Kiau Hong adalah musuh
kita, tidak mungkin dia mau mengatakan, maka terpaksa
kita harus tanya sendiri kepada Toako pemimpin itu."
"Ehm, boleh juga, memang harus kautanya padanya."
ujar Be-hujin.
"Tapi, sesungguhnya juga mentertawakan sebab
siapa gerangan Toako pemimpin itu, di mana tempat
tinggalnya, aku sendiri pun tidak tahu."
"Hm, kaubicara berputar-putar, ternyata tujuanmu
adalah ingin memancing nama Toako pemimpin itu." kata
Be-hujin.
"Ya, jika kurang bebas, tak usah hujin katakan
padaku. Hujin sendiri boleh menyelidiki dulu hingga
terang, lalu kita akan bikin perhitungan pada pembunuh
1657
itu," sahut A Cu.
Siau Hong tahu siasat A Cu itu adalah 'mundur dulu
untuk kemudian mendesak maju'. Pura-pura tidak
menaruh perhatian agar tidak menimbulkan curiga Behujin,
tapi di dalam hati sebenarnya sangat gelisah.
Maka terdengar Be-hujin menjawab dengan dingin,
"Tentang nama Toako pemimpin itu seharusnya
dirahasiakan agar tidak diketahui Kiau Hong, tapi Pektianglo
adalah orang sendiri, buat apa aku
membohongimu? Dia adalah .... "
Tapi sampai di sini, ia tidak melanjutkan lagi.
Keruan Siau Hong sangat tertarik oleh ucapan terakhir
itu, ia sedang pasang kuping dengan menahan napas
hingga debaran jantung sendiripun kedengaran. Tapi
sampai sekian lama Be-hujin tidak menyebut nama
"Toako pemimpin" itu.
Agak lama kemudian, dengan menghela napas
pelahan barulah Be-hujin membuka suara pula,
"Kedudukan Toako pemimpin itu sangat agung,
pengaruhnya besar, sekali dia memberi perintah akan
dapat mengerahlan berpuluh ribu tenaga. Dia ... dia
paling suka membela kawan, jika kautanya dia tentang
nama pembunuh Tai-goan, betapa pun takkan dia
katakan."
Walaupun mendongkol karena Be-hujin tetap
merahasiakan nama Toako pemimpin itu, tapi diam-diam
Siau Hong dapat merasa lega, pikirnya ,"Bagaimanapun
juga perjalananku ini tidak sia-sia lagi. Biarpun nyonya
Be tidak mengatakan nama orang itu, tapi dengan
keterangan 'berkedudukan agung, berpengaruh besar,
sekali perintah dapat mengerahkan berpuluh ribu
tenaga', dari sini dapat kuraba siapa gerangannya. Tokoh
hebat seperti itu di dalam Bu-lim tentu dapat dihitung
dengan jari."
1658
Sedang Siau Hong mengingat-ingat siapa gerangan
tokoh yang dimaksudkan itu, sementara itu terdengar A
Cu berkata, "Dalam Bu-lim sekarang tokoh yang sekali
perintah dapat mengerahkan berpuluh ribu tenaga,
antara lain Pangcu dari Kai-pang memang mempunyai
wibawa sebesar itu, begitu pula Ciangbun Hongtiang dari
Siau-lim-pai mungkin juga dapat, dan .... dan ....."
"sudahlah, engkau tidak perlu menerka secara
ngawur, biarlah kutunjukkan lebih jelas lagi," kata Behujin.
"Coba arahkan terkaanmu ke jurusan barat daya."
"Barat daya? Masakah di daerah sana ada manusia
tokoh besar? agaknya tidak ada." demikian A Cu
bergumam sendiri.
Tiba-tiba Be-hujin mengulur jarinya. "plok", mendadak
kertas jendela kena ditoblosnya hingga pecah, tempat
toblosan jari itu tepat di atas kepala Siau Hong, keruan ia
terkejut dan lekas-lekas mengkeret ke bawah.
Maka terdengar Be-hujin sedang berkata, "Aku tidak
paham ilmu silat, tapi Pek-tianglo, tentu tahu, siapakah di
dunia ini yang paling mahir menggunakan ilmu
demikian?"
"Ilmu demikian, ilmu Tiam-hiat dengan jari?" A Cu
menegas, "Ah, kukira yang paling lihai antara lain adalah
Kim-kong-ci dari Siau-lim-pay, Toat-hun-ci dari keluarga
The di Jongcu juga sangat hebat, dan masih ada pula ..."
Diam-diam Siau Hong berteriak-teriak di dalam hati,
"Salah, salah! Dalam hal ilmu Tiam-hiat, di jagad ini tiada
yang dapat menandingi It-yang-ci keluarga Toan di Taili,
apalaagi nyonya itu sudah menandaskan letaknya di
daerah barat daya."
Benar juga lantas terdengar Be-hujin berkata,
"Pengalaman Pek-tianglo sangat luas, tapi mengapa soal
kecil ini tidak kauingat lagi? Apa barangkali karena terlalu
letih menempuh perjalanan jauh atau karena otakmu
1659
tiba-tiba menjadi puntul hingga It-yang-ci yang maha
tersohor dari keluarga Toan juga terlupa?"
Ucapan nyonya itu bernada olok-olok, tapi A Cu
menjawab, "It-yang-ci keluarga Toan sudah tentu kutahu,
tapi keluarga Toan selamanya merajai daerah Taili,
sudah lama tiada hubungan dengan dunia persilatan di
Tionggoan. Jika dikatakan Toako pemimpin itu ada
sangkut-paut dengan keluarga Toan, kukira ada
kesalahan dalam pemberitaan orang."
"Meski keluarga Toan adalah raja Taili, tapi anggota
keluarga mereka kan tidak cuma satu orang saja," sahut
Be-hujin. "Dan orang yang tidak menjadi raja dapat pula
sering datang ke Tionggoan sini. Inilah jika kauingin tahu,
Toako pemimpin itu tak lain tak bukan adalah adik
baginda raja Taili sekarang, she Toan bernama Cing-sun.
bergelar Tin-lam-0ng dengan jabatan sebagai Po-kek-taiciangkun.
Sebagaimana diketahui, Siau Hong dan A Cu kenal
baik dengan Toan Ki dan tahu pula pemuda itu berasal
dari Taili. Tapi "Toan" adalah keluarga raja Taili, yaitu
sama halnya kerajaan Song she Tio, keluarga kerajaan
Se He she Li, keluarga kerajaan Liau she Yaliu, banyak
sekali di antara rakyat jelata memiliki she kerajaan itu.
Sedangkan Toan Ki sendiri tidak pernah menyatakan
dirinya adalah anak raja, dengan sendirinya Siau Hong
dan A Cu tidak pernah menduga pemuda itu adalah
keturunan raja.
Tapi nama Toan-cing-beng dan Toan Cing-sun sangat
tenar sekali di dunia persilatan, demi mendengar Be-hujin
menyebut nama "Toan Cing-sun" tadi, seketika badan
Siau Hong tergetar. Diam-diam ia pun merasa bersyukur
bahwa usahanya selama beberapa bulan ini ternyata
tidak sia-sia belaka, akhirnya dapat juga mengetahui
nama orang yang dicarinya itu.
1660
Dalam pada itu A Cu lagi berkata, "Kedudukan Toanongya
itu sangat agung, kenapa dia ikut campur bunuh
membunuh di antara orang kangouw?"
"Bunuh membunuh dalam pertarungan biasa di
kalangan kangouw sudah tentu Toako pemimpin itu tidak
sudi ikut campur, tapi jika menyangkut mati hidup negeri
Taili mereka, apakah dia mau tinggal diam?" ujar Behujin.
"Sudah tentu dia akan ikut campur," kata A Cu.
"Menurut cerita Ci-tianglo dahulu, katanya kerajaan
Song kita adalah penghalang di depan negeri Taili, bila
orang Cidan berhasil mencaplok Song, langkah
berikutnya adalah Taili yang akan ditelan pula, " demikian
Be-hujin bercerita. "Sebab itulah sebagai dua negara
yang berdampingan laksana antara gigi dan bibir, sudah
tentu negeri Taili tak ingin Song kita musnah di tangan
orang Cidan."
"Ya, benar juga," sahut A Cu.
lalu Be-hujin melanjutkan, "Menurut cerita Ci-tianglo,
waktu itu kebetulan Toan-ongya sedang bertamu di
markas pusat Kai-pang, tengah Ong-pangcu menjamu
Toan-ongya, tiba-tiba mendapat kabar bahwa jago Cidan
akan menyerbu Siau-lim-si untuk merampok kitab pusaka
biara bersejarah itu. Tanpa pikir lagi Toako pemimpin
lantas mengerahkan para ksatria, menuju Gan-bun-koan
untuk mencegat kedatangan musuh. Padahal tindakan ini
lebih tepat dikatakan demi keselamatan negeri Taili
sendiri. Konon ilmu silat Toan-ongya itu sangat tinggi,
orangnya sangat baik budi pula. Kedudukannya sangat
diagungkan di negeri Taili, dia berani membuang uang
seperti membuang sampah, asal ada orang membuka
mulut padanya, biarpun beratus atau beribu tahil perak
juga tidak menjadi soal baginya. Coba, orang yang royal
seperti dia, kalau bukan dia yang diangkat menjadi Toako
1661
pemimpin dari jago-jago silat Tionggoa, habis siapa
lagi?"
"Kiranya Toako pemimpin itu tak-lain-tak-bukan
adalah Tin-lam-ong dari negeri Taili, dan semua orang
sampai mati juga tak mau mengaku, kiranya demi untuk
membela dia," kata A Cu.
"Pek-tianglo, rahasia ini jangan sekali-kali kau katakan
lagi kepada orang ketiga, hubungan Toan-ongya dengan
Kai-pang kita adalah lain daripada yang lain, jika rahasia
ini tersiar tidak sedikit bahayanya," demikian pinta Behujin.
"Ya, sudah tentu takkan kubocorkan rahasia ini,"
sahut A Cu.
"Pek-tianglo, paling baik engkau bersumpah agar aku
tidak ragu," kata janda muda itu.
"Baiklah," jawab A Cu tanpa pikir. "Bila Pek Si-kia
memberitahukan pada orang lain tentang rahasia 'Toako
pemimpin' itu adalah Toan Cing-sun, biarlah Pek Si-kia
mengalami nasib dicencang tubuhnya, badan Pek Si-kia
akan hancur dan nama busuk, selamanya Pek Si-kia
akan dikutuk oleh sesama kawan Bu-lim."
Demikianlah kelicikan A Cu. Sumpahnya itu
kedengarannya sangat berat, tapi sebenarnya sangat
licin. Setiap kata ia uruk semua dosa atas diri Pek Si-kia,
orang yang akan dicencang hingga luluh adalah Pek Sikia,
yang akan busuk namanya dan dikutuk adalah Pek
Si-kia dan tiada sangkut paut apa-apa dengan A Cu.
Namun Be-hujin ternyata sangat puas mendengar
sumpah itu.
Lalu A Cu berkata pula,"Jika nantu aku bertemu
dengan Tin-lam-ong dari Taili itu, aku akan berusaha
memancing dia menceritakan siapa-siapa lagi yang ikut
hadir di rumahnya waktu merayakan hari Tiongciu tahun
yang lalu, dari siru tentu aku dapat mengetahui siapa
1662
pembunuh Be-hiante yang sebenarnya."
Dengan terharu lalu Be-hujin mengucapkan terima
kasihnya.
"Harap Hujin menjaga diri baik-baik, Caihe ingin
mohon diri saja," demikian A Cu lantas pamit.
"Siulicu baru menjadi janda, maafkan kalau tidak
dapat mengantar jauh-jauh," ujar Be-hujin.
"Ah, Hujin jangan sungkan," sahut A Cu sambil
mengundurkan diri. Sampai di luar, ia lihat Siau Hong
sudah menanti di kejauhan. Mereka hanya saling
pandang sekejap, tanpa berkata lagi mereka lantas
menuju ke arah datangnya tadi.
"Suasana sunyi senyap, rembulan sabit remangremang
menyinari jalan ranya Sin-yang itu. Siau Hong
jalan berendeng dengan A Cu. Sesudah belasan li
jauhnya, dengan menghela napas kemudian Siau Hong
berkata, "Terima kasih, A Cu."
Tapi A Cu cuma tersenyum tawar saja, tanpa
menjawab. Meski muka A Cu penuh keriput karena
dalam penyamarannya sekbagai Pek Si-kia, tapi dari
sorot matanya Siau Hong dapat menyelami perasaan A
Cu yang menanggung rasa kuatir, ragu dan cemas.
Segera Siau Hong tanya, "Usaha kita telah berhasil
dengan baik, mengapa engkau malah murung?"
"Kupikir keluarga Toan di Taili itu, bukanlah
sembarangan orang, jika engkau pergi ke sana seorang
diri untuk menuntut balas, sungguh besar sekali
resikonya bagimu," demikian sahut A Cu.
"O, kiranya kamu merasa kuatir bagiku," ujar Siau
Hong. "Tapi tak perlu kaukuatirkan, sama sekali aku
takkan bertindak secara gegabah. Seperti apa yang
dikatakan Be-hujin, andaikan tiga tahun atau lima tahun
belum berhasil membalas dendam, biarlah aku menanti
hingga delapan tahun atau sepuluh tahun. Pada akhirnya
1663
pasti akan datang suatu hari, di mana aku akan
mencacah badan Toan Cing-sun untuk umpan anjing
liar."
Bicara sampai di sini, tak tertahan lagi ia mengertak
gigi dengan penuh rasa dendam kesumat.
"Toako, betapapun engkau harus bertindak secara
hati-hati," kata A Cu.
"Sudah tentu, jiwaku tidak menjadi soal, tapi sakit hati
ayah bundaku kalau tidak terbalas, matipun aku takkan
tentran," sahut Siau Hong. Perlahan ia pegang tangan A
Cu yang halus itu, lalu sambungnya,"A Cu, jika aku
terbinasa di tangan Toan Cing-sun, lalu siapakah yang
akan mengawalmu berburu dan mengembala domba di
luar Gan-bun-koan?"
"Ai, aku justru sangat takut, aku merasa dalam urusan
ini ada sesuatu yang tidak beres," sahut A Cu. "Be-hujin
... Be-hujin yang berwujud cantik molek itu, entah
mengapa, asal dipandang dia lantas timbul rasa takut
dan jemu dalam diriku."
"Janda muda itu sangat pintar dan cerdik, karena kau
kuatir penyamaranmu diketahui, dengan sendirinya
kautakut padanya." ujar Siau Hong.
Dan sesudah mereka sampai di hotel dalam kota Sinyang,
segera Siau Hong minta pelayan membawakan
arak, ia minum sepuasnya tanpa batas sambil memeras
otak bagaimana jalan paling baik untuk menuntut balas.
Demi teringat keluarga Toan di Taili, dengan
sendirinya ia lantas teringat pula kepada saudara
angkatnya yang baru, Toan Ki. Tiba-tiba ia terkesiap,
dengan termangu-mangu ia angkat mangkuk araknya
tanpa meminumnya, air mukanya seketika berubah
hebat.
Melihat itu, A Cu mengira sang Toako telah melihat
sesuatu apa, ia coba memandang sekitar situ, tapi tiada
1664
sesuatu yang mencurigakan. Segera ia tanya dengan
perlahan," Toako, ada apakah?"
Karena itu, Siau Hong kaget dan sadar dari
lamunannya, sahutnya tergagap-gagap," Oh. ti ... tiada
apa-apa."
Lalu ia angkat mangkuk araknya dan sekaligus
ditenggaknya hingga habis. Tapi mendadak Siau Hong
keselak dan terbatuk-batuk hingga arak yang sudah
masuk kerongkongan itu tersembur keluar, baju bagian
dada menjadi basah lepek.
Padahal biasanya kekuatan minum arak Siau Hong
boleh dikatakan tanpa takaran, betapa tinggi lwekangnya
sungguh tiada taranya. Tapi kini minum semangkuk arak
saja sudah lantas terselak, hal ini benar-benar sangat
luar biasa.
Diam-diam A Cu merasa kuatir, tapi iapun tidak suka
banyak bertanya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pada
waktu minum tadi mendadak Siau Hong teringat pada
saat mengadu minum dengan Toan Ki di kota Bu-sik
tempo hari, di mana Toan Ki telah menggunakan Khikang
yang maha hebat dari "Lak-meh-sin-kiam" untuk
memeras air arak yang diminumnya itu hingga mengucur
keluar lagi melalu jari tangan. Ilmu sakti semacam itu
saja Siau Hong sendiri harus mengaku kalah, apalagi
Toan Ki diketahuinya sama sekali tak mahir ilmu silat dan
lwekangnya toh sudah begitu lihai.
Kini musuh besarnya, yaitu Toan Cing-sun adalah
seorag tokoh terkemuka dari keluarga Toan di Taili, kalau
dibandingkan Toan Ki, tidak perlu diragukan lagi pasti
berpuluh kali lebih lihai.
Dan jika begitu, dendam kesumat ayah-bunda itu
apakah dapat dibalasnya?
Dengan sendirinya Siau Hong tidak tahu bahwa
dapatnya Toan Ki memiliki tenaga dalam sehebat itu,
1665
hanya secara kebetulan saja karena dia telah makan
katak merah hingga timbul tenaga sakti Cu-hap-sin-kang
dalam badannya. Kalau melulu bicaraa tentang tenaga
dalam. memang entah berpuluh kali Toan Ki lebih kuat
daripada ayahnya. Tapi dala, hal "Lak-meh-sin-kiam," di
dunia ini, selain Toan Ki hakikatnya tiada orang kedua
lagi yang mampu memainkannya secara lengkap.
Walaupun A Cu tidak tahu persis apa yang sedang
dipikirkan sang Toako, tapi ia dapat menduga pasti
mengenai urusan membalas dendam. Maka hiburnya,
"Toako, soal menuntut balas tidak perlu terlalu tergesagesa.
Kita harus menyiapkan rencanya untuk kemudian
bertindak. Andaikan jumlah musuh lebih banyak daripada
kita, kalau kita tak bisa menang dengan kekuatan,
apakah kita tak dapat mengalahkan mereka dengan
akal?"
Siau Hong menjadi girang, teringat olehnya gadis itu
sangat cerdik dan banyak tipu akalnya, sungguh
merupakan seorang pembantu terpercaya.
Segera ia menuang arak pula semangkuk penug dan
ditenggaknya habis, lalu katanya, "Ya, benar. Tak bisa
menang dengan kekuatan, biarlah kita melawannya
dengan akal. Sakit hati ayah bunda setinggi langit,
dendam kesumat ini harus kubalas, maka tentang
peraturan dan etika kangouw tak perlu lagi digubris,
segala cara keji pun boleh dipakai."
"Toako, selain dendam ayah-ibu kandungmu, ada
pula sakit hati pembunuhan ayah-bunda angkat dan
dendam kesumat gurum Hian-koh Taisu," kata A Cu.
"Benar!" seru Siau Hong mendadak sambil
mengebrak meja. "Sakit hati berganda itu masakah cuma
sekali urus dapat selesai?"
"Toako, dahulu waktu engkau belajar silat dengan
padri saleh dari Siau-lim-su itu, mungkin karena usiamu
1666
masih terlalu muda hingga lwekang yang paling hebat
dari Siau-lim-si itu tidak lengkap kaupelajari. Coba kalau
engkau mempelajarinya, betapa lihai It-yang-ci dari
keluarga Toan di Taili juga bukan tandingan 'Ih-kin-keng'
ciptaan Dharma Cosu dari Siau-lim-si." demikian kara A
Cu. "Aku pernah dengar cerita Buyung-loya tentang
berbagai aliran ilmu silat di dunia ini, beliau mengatakan
ilmu silat andalan keluarga Toan di Taili yang paling lihai
bukanlah It-yang-ci, tapi semacam ilmu yang disebut Lakmeh-
sin-kiam."
"Benar," kata Siau Hong sambil berkerut kening.
"Buyung-cianpwe itu adalah orang kosen Bu-lim, setiap
pandangannya memang tepat sekali. Sebabnya aku
merasa sedih tadi justru sedang memikirkan Lak-mehsin-
kiam yang lihai itu."
"Dahulu waktu Buyung-loya membicarakan ilmu silat
di dunia ini dengan Kongcu, selalu aku berdiri di samping
untuk melayani mereka, dengan sendirinya aku dapat
mendengar sedikit-banyak apa yang mereka
percakapkan." demikian A Cu menutur lebih
jauh."Menurut Buyung-loya, ke-72 macam ilmu silat Siaulim-
si yang terkenal itu sebenarnya cuma ciasa saja,
selain dapat memainkan, bahkan beliau dapat
mematahkan setiap ilmu silat itu!"
"ai, sungguh Cianpwe yang hebat, sungguh menyesal
aku tidak dapat berkenalan dengan beliau," kata Siau
Hong dengan gegetun.
Maka A Cu menyambung pula ceritanya,
"Waktu itu Buyung-kongcu telah menjawab, 'Ayah,
Kohbo (bibi) dari keluarga Ong dan Piaumoay justru suka
mengagulkan pengetahuan mereka yang luas dalam hal
ilmu silat di jagat ini, tapi kalau cuma luas
pengetahuannya tanpa mempelajari dengan mahir, apa
gunanya?'dan Buyung-loya menjawab, "Bicara tentang
1667
mahir tidak gampang soalnya? Padahal ilmu silat sejati
Siau-lim-pai terletak pada kitab Ih-kin-keng, asal kitab itu
dapat dibaca dan dilatih hingga sempurna, maka segala
ilmu silat yang biasa jika dimainkan pasti akan berubah
menjadi maha sakti dan tiada terkatakan daya gunanya!"
"Siau Hong mengangguk-angguk tanda sependapat
dengan cerita itu. Memang, asal dasarnya tak terkatakan.
Itulah makanya tempo hari ia menolong A Cu tanpa
memikirkan sebab dan akibatnya.
Maka A Cu berkata pula, "Tatkala mana Buyung-loya
telah menguraikan kitab Ih-kin-keng dari Siau-lim-pai
secara jelas kepada Kongcu. Kata beliau, 'Ih-kin-keng
dari Dharma Cosu itu meski tidak pernah kulihat, tapi
kalau dilihat secara ilmiah dalam ilmu silat, sebabnya
Siau-lim-pai dapat tersohor sebenarnya adalah jasa Ihkin-
keng itu. Ke-72 macam ilmu silat yang hebat itu meski
masing-masing ada kebagusan sendiri-sendiri, tapi kalau
melulu mengandalkan ke-72 macam ilmu itu rasanya
masih belum cukup untuk memimpin dunia persilatan dan
dipuja sebagai pusat ilmu silat dunia.
"Walaupun demikian, Loya lantas memberi petua
kepada Kongcu agar jangan dumeh ilmu silat warisan
leluhur sendiri sangat hebat, lalu memandang enteng
anak murid Siau-lim-pai. Dengan memiliki Ih-kin-keng,
bukan mustahil dalam Siau-lim-si itu terdapat padri yang
berbakat kuat hingga dapat memahami isi kitab pusaka
itu.
"Pandangan Buyung-siansing itu memang benar dan
sangat tepat," ujar Siau Hong.
"Dan sesudah Loya meninggal dunia, terkadang
Kongcu suka membicarakan pesan Loya, katanya
selama hidup beliau boleh dibilang sudah pernah melihat
segala macam ilmu silat di dunia ini, cuma sayang 'Lakmeh-
sin-kiam-keng' dari keluarga Toan di Taili dan 'Ih-
1668
kin-keng' dari Siau-lim-pai, hanya dua macam kitab itulah
yang belum pernah dilihatnya.
"Dalam pembicaraan Loya kedua kitab ilmu silat itu
telah disinggung bersama, maka dapat diduga, jika ingin
melawan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan di Taili,
agaknya orang harus menggunakan Ih-kin-keng dari
Siau-lim-pai itu. Maka bila orang dapat mencuri Ih-kinkeng
yang disimpan di Po-te-ih dalam Siau-lim-si itu, lalu
melatihnya selama beberapa tahun, maka terhadap Lakmeh-
sin-kiam atau Chit-meh-im-to apa segala kuyakin
tidak perlu takut lagi."
"Bicara sampai di sini, wajah A Cu menampilkan sikap
senyum tak senyum yang aneh.
Mendadak Siau Hong melonjak, teringat sesuatu
olehnya, serunya dengan tertawa, "Hah, kiranya engkau
... engkau setan cilik ini ...."
"Toako," sahut A Cu dengan tertawa, "dengan
mencuri kitab ini sebenarnya maksudku akan
kupersembahkan kepada Buyung-kongcu, dan sesudah
dibacanya akan kubakar di depan makam Loya untuk
memenuhi harapannya yang belum tercapai pada masa
hidupnya. Tapi kini, sudah tentu kupersembahkan kitab
ini kepadamu."
Habis berkata, terus saja ia mengeluarkan satu
bungkusan kecil dan diserahkan pada Siau Hong.
Seperti diketahui, malam itu dengan mata kepala
sendiri Siau Hong menyaksikan A Cu menyamar menjadi
Ti-jing Hwesio dan berhasil mencuri sesuatu dari balik
cermin perunggu di ruang Po-te-ih di Siau-lim-si itu,
sungguh tak tersangka bahwa barang curian it adalah Ihkin-
keng yang merupakan Lwekang-pit-kip atau kitap
pusaka berlatih lwekang yang paling hebat dari Siau-limpai.
Waktu A Cu tertawan di Cip-hian-ceng, karena dia
1669
adalah kaum wanita, para ksatria tidak menggeledah
badannya, dengan sendirinya Hian-cit dan Hian-lan Taisu
dari Siau-lim-si itu mimpipun tidak menyangka bahwa
kitab pusaka biara mereka justru berada pada gadis itu.
Begitulah maka Siau Hong geleng-geleng kepala,
katanya, "Kamu telah menyerempet bahaya dan akhirnya
berhasil mencuri kitab ini, jika maksud tujuanmu
sebenarnya hendak dipersembahkan kepada Buyungkongcu,
mana boleh sekarang aku menerimanya?"
"Toako," kata A Cu, "Engkau salah!"
Siau Hong menjadi heran, sahutnya,"Mengapa aku
salah?"
"Habis kitab ini kucuri bukan atas perintah Buyungkongcu,
tapi adalah maksud yang timbul dari pikiranku
sendiri. Sekarang ingin kuserahkan kitab ini kepada siapa
saja kan tiada yang dapat melarang aku? Apalagi jika
kitab ini sudah kaubaca, kita masih dapat menyerahkan
pula kepada Buyung-kongcu. Dendam kesumat ayahbundamu
harus dibalas, maka segala jalan baik yang
terang-terangan, maupun yang sembunyi, baik yang keji
maupun yang kotor juga harus kita tempuh, mengapa
soal pinjam lihat satu jilid kitab seperti ini mesti main
sungkan?"
Ucapan A Cu benar-benar telah menggugah
semangat Siau Hong, dengan sungguh-sungguh ia
memberi hormat kepada si gadis, katanya, "Memang
benar teguran Hianmoay, demi urusan besar masakah
mesti pikirkan soal kecil?"
A Cu tertawa, sahutnya, "Apalagi engkau sendiri
asalnya juga anak murip Siau-lim-pai, dengan memakai
ilmu Siau-lim-pai untuk membalas sakit hati Hian-koh
Taisu justru suatu tindakan yang tepat dan masuk diakal,
masakah keliru perbuatan kita ini?"
Sungguh girang dan terima kasih Siau Hong tak
1670
terhingga. Segera ia membuka buntalan kertas minyak
tadi, ia lihat isinya adalah satu jilid buku kecil berwarna
kuning. Di atas kulit buku tertulis beberapa huruf aneh
yang tak dikenalnya.
Diam-diam Siau Hong mengeluh. Ia coba membalik
halaman pertama kitab itu, ia lihat di situ penuh tertulis
huruf yang mencang-mencong ada yang melingkarlingkar,
ada yang serabutan seperti cakar ayam, satu
huruf pun tak dikenalnya.
"Ai, kiranya tulisan Hindu kuno, sialan!" demikian seru
A Cu. "Waktu aku menyaru sebagai Ti-jing Hwesio, di
sana aku dapat menyelidiki dengan jelas, bahwa kitab
asli Ih-kin-keng tersimpan di suatu tempat rahasia di
ruang Po-te-ih. Dan hasilnya apa yang kucuri ini memang
benar adalah kitab dalam naskah aslinya, tahu begini,
lebih baik aku mencari kitab salinannya saja dalam
bahasa kita. Ai, pantas saja padri-padri itu tidak begitu
pusing karena kitab pusaka mereka dicuri, kiranya
disebabkan kitab ini tiada seorangpun diantara mereka
yang dapat membacanya ...."
Sambil berkata, berulang-ulang ia menghela napas
dengan menyesal dan lesu.
Siau Hong menuangi mangkuknya pula hingga penuh,
lalu katanya, "Hianmoay, urusan ini tidak perlu dipikirkan
lagi ...."
"Hai, ada akal!" mendadak A Cu berseru sambil
melonjak girang. "Aku yakin ada seorang yang kenal
tulisan Hindu kuno ini. Ialah seorang Hoanceng (padri
asing), kepandaian padri itu pun sangat hebat."
"Lalu ia ceritakan kejadian Toan Ki ditawan oleh
Cumoti, yaitu padri sakti negeri Turfan, dan
mengondolnya ke Koh soh hendak mencari Buyungsiangsing,
tapi tak bertemu.
Cerita ini baru pertama kali didengar Siau Hong,
1671
keruan ia sangat heran bahwa ada seorang padri asing
yang begitu lihai. Cuma ia pun ragu, sebab ilmu silat A
Cu sendiri tidak terlalu tinggi, untuk menilai kepandaian
orang lain mungkin tidak tepat menurut kenyataannya,
apalagi Cumoti itu juga tidak pernah bergebrak sungguh
dengan jago kelas satu di hadapan A Cu, maka cerita itu
tidak terlalu dalam berkesan di dalam hati Siau Hong, ia
pikir sesudah padri itu tidak menemukan orang yang
dicarinya, mungkin kini sudah pulang ke Turfan.
Segera ia bungkus kembali kitab Ih-kin-keng itu dan
diserahkan kepada A Cu.
"Simpanlah di tempatmu kan sama saja? Masakah di
antara kita masih ada perbedaan antara punyamu dan
punyaku?" ujar A Cu.
Siau Hong tersenyum, lalu ia masukkan bungkusan itu
ke dalam bajunya. Segera ia tenggak habis lagi
semangkuk araknya.
Dan selagi ia hendak minum pula, tiba-tiba terdengar
suara ramai orang bertindak di luar pintu, mendadak
muncul seorang laki-laki tegap yang sekujur badannya
berlumuran darah, tangannya membawa sebatang kapak
besar sambil mengabat-abitkan senjata itu ke udara
dengan serabutan.
Laki-laki tegap itu penuh berewok, sikapnya gagah
dan tangkas, tapi sinar matanya tampak buram,
kelakuannya seperti orang kurang waras, terang seorang
gila.
Siau Hong melihat kapak yang dibawa orang itu
buatan dari baja murni, mantap sekali bobotnya, tapi
ketika diputar orang itu, bukan saja gerak-geriknya
sangat teratur, bahkan serangannya tangkas dan
penjagaannya rapat, terang bukanlah sembarangan
orang gila.
Banyak tokoh Tiongoan yang dikenal Siau Hong, tapi
1672
laki-laki ini ternyata tidak dikenalnya, pikirnya,"Poh-hoat
(ilmu permainan kapak) orang ini terang sangat hebat
tapi mengapa tidak pernah kudengar ada seorang jago
selihai ini?"
Dalam pada itu laki-laki itu memainkan kapaknya
semakin kencang sambil berteriak-teriak, "Lekas, lekas
memberi lapor kepada Cukong, katakan musuh sudah
datang!"
Karena dia mengabit-abitkan kapaknya di tengah
jalan, dengan sendirinya orang yang ingin lewat menjadi
takut. Dari sikap orang yang cemas dan kuatir itu, Siau
Hong menduga laki-laki itu pasti mengalami sesuatu
kejadian yang menakutkan, dari permainan kapaknya itu
dapat dilihat pula tenaganya mulai lemah, tapi laki-laki itu
masih terus bertahan sekuatnya sambil berteriak-teriak
pula, "Cu-hiante, lekas mundur, tak usah urus diriku,
lekas memberi kabar kepada Cukong(majikan) lebih
penting!"
"Orang ini membela majikannya dengan setia, nyata
seorang laki-laki yang harus dipuji, caranya memainkan
kapaknya ini sangat memakan tenaga, luka dalam yang
akan dideritanya tentu sangat parah." demikian pikir Siau
Hong. Segera ia melangkah keluar kedai dan mendekati
laki-laki itu, katanya ,"Lauhia (saudara), apakah suka
kuajak minum barang secawan dulu?"
Tapi laki-laki itu menjawabnya dengan mata mendelik,
mendadak ia berteriak. "Tai-ok-jin, jangan kaulukai
Cukongku!"
Berbareng itu kapaknya terus membacok ke atas
kepala Siau Hong.
Keruan orang-orang yang menonton di pinggir jalan
sama berteriak kaget.
"Siau Hong juga terkesiap ketika mendengar kata
"Tai-ok-jin". Pikirnya, "Aku dan A Cu justru ingin mencari
1673
Tai-ok-jin untuk menuntut balas, kiranya musuh laki-laki
ini pun Tai-ok-jin. Meski Tai-ok-jin yang dimaksudkan
belum tentu orang yang sama daripada Tai-ok-jin yang
hendak kami cari itu, tapi betapapun biarlah kutolong
dulu orang ini."
Karena itu, bukannya dia mundur untuk
menghindarkan serangan laki-laki gila itu, sebaliknya ia
mendesak maju terus menutuk hiat-to di iga orang.
Tak tersangka, meski pikiran laki-laki itu kurang
waras, tapi ilmu silatnya ternyata sangat hebat. Kapak
yang luput mengenai sasarannya tadi terus diayun naik
ke atas untuk menjojoh perut Siau Hong.
Coba kalau ilmu silat Siau Hong tidak jauh lebih tinggi
daripada laki-laki itu, pasti serangan ini akan melukainya.
Maka cepat Siau Hong ulur tangan kirinya dan tahu-tahu
orang itu kena dipegang olehnya terus ditariknya.
Tarikan itu mengandung tenaga dalam yang sangat
kuat, memangnya laki-laki itu sudah dalam keadaan
payah, dengan sendirinya ia tidak tahan. Badan tergetar
dan mendadak ia menubruk ke arah Siau Hong. Rupanya
ia menjadi nekat dan bermaksud gugur bersama dengan
lawan.
Tapi tangan Siau Hong sangat panjang dan kuat,
sekali ia rangkul, tepat laki-laki itu kena disikapnya,
sedikit ia kerahkan tenaga, orang itu tidak bisa berkutik
lagi.
Jilid 35
Dalam pada itu di tepi jalan sudah banyak berkerumun
penonton, demi menyaksikan Siau Hong dapat
menaklukkan orang gila itu, serentak mereka bersorak
memuji.
Lalu sambil merangkul dan setengah mennyeret Siau
1674
Hong membawa laki-laki itu ke dalam kedai arak serta
dipaksanya berduduk, katanya, "Silahkan minum arak
dulu, saudara!"
Sambil berkata, ia terus menuangkan semangkuk
arak dan disodorkan ke hadapan laki-laki itu.
Dengan mata tak berkedip laki-laki itu melototii Siau
Hong hingga lama, akhirnya ia bertanya,"Engkau ini
orang ... orang baik atau orang jahat?"
Pertanyaan itu membikin Siau Hong melengak hingga
susah untuk menjawabnya. Syukur A Cu lantas
menyambut dengan tertawa,"Sudah tentu dia orang baik.
Aku pun orang baik dan engkau juga orang baik. Kita
adalah kawan, marilah kita pergi untuk menghajar Tai-okjin."
Orang itu tampak bingung sebentar. ia pandang Siau
Hong dan pandang A cu pula, seperti percaya dan
seperti tidak, selang sejenak baru ia berkata pula, "Dan
ke manakah Tai-ok-jin itu?"
"Kita adalah kawan, mari kita pergi menghajar Tai-okjin,"
kata A Cu pula.
Mendadak laki-laki itu berbangkit dan berseru,"Tidak,
tidak! Tai-ok-jin itu terlampau lihai, lekas beritahukan
kepada Cukong agar beliau cepat mencari jalan untuk
menghindarinya. Biar aku merintangi Tai-ok-jin dan lekas
kau pergi memberi kabar kepada Cukong."
Habis berkata, segera ia pegang kapaknya pula dan
hendak melangkah pergi.
Namun Siau Hong lantas tahan pundak orang,
katanya," Sabar dulu, saudara. Tai-ok-jin belum datang.
Jangan kuatir. Siapakah Cukongmu? dia berada di
mana?"
Tapi mendadak orang itu berteriak malah,"Marilah
Tai-ok-jin, ayo boleh kita coba-coba, biar Locu
menempurmu 300 jurus, jangan harap kamu mampu
1675
mencelakai majikanku!"
Siau Hong dan A Cu kewalahan, mereka saling
pandang dan tak berdaya.
Sejenak kemudian, tiba-tiba A Cu berseru, "Ai, celaka,
kita harus lekas memberi kabar kepada Cukong. Tapi di
manakah Cukong berada sekarang? ke manakah
perginya, jangan sampai Tai-ok-jin dapat mencarinya."
"Ya, benar, lekas kauberi kabar padanya!" seru lakilaki
itu. "CUkong sedang pergi ke rumah keluarga Wi di
Hong-tiok-lim di Siau-keng-oh. Ayolah lekas pergi ke
sana dan memberi kabar padanya.
Lalu berulang-ulang ia mendesak pula dengan penuh
rasa kuatir.
Wah, Siau-keng-oh? Itu jarak yang tidak dekar,"
demikian mendadak si pelayan kedai arak menimbrung.
Mendengar bahwa ada suatu tempat yang benar
bernama "Siau-keng-oh" (danau cermin kecil), segera
Siau Hong bertanya, "Di manakah letak tempat itu?
Berapa jauhnya dari sini?"
"Kalau tanya orang lain mungkin tak tahu, kebetulan
tuan bertemu aku, maka untunglah bagi tuan, sebab aku
berasal dari daerah Siau-keng-oh, sungguh sangat
kebetulan.
Kuatir si pelayan bicara bertele-tele lagi, segera Siau
Hong menggebrak meja dan membentak,"Lekas katakan,
jangan melantur!"
Sebenarnya si pelayan bermaksud mencari persen
dengan keterangannya yang akan diberitakan itu, tapi
karena digertak Siau Hong, ia jadi tidak berani jual mahal
lagi, segera ia menutur,"Siau-keng-oh terletak di arah
barat laut, dari sini tuan harus lurus ke jurusan barat,
kira-kira tujuh li jauhnya, jika di tepi jalan tuan melihat
empat pohon liu besar berjajar, dari situ tuan harus
membelok ke utara, setelah 10 li lagi, di mana terdapat
1676
satu jembatan batu, tapi jangan tuan menyeberangi
jembatan ini jika tuan tidak ingin kesasar, sebaliknya tuan
harus ambil jalan menyeberang melalu sebuah jembatan
kayu disebelah kanannya. Lewat jembatan kayu kecil itu,
sebentar belok ke kiri dan sebentar putar ke kanan,
pendek kata, jalan terus mengikuti jalan batu itu, kira-kira
20 li pula, akhirnya tuan akan melihat sebuah danau
yang airnya sangat bening laksana kaca, itulah yand
disebut Siau-keng-oh. Itu pula tempat yang tuan hendak
cari."
Sungguh dongkol sekali Siau Hong oleh cara menutur
si pelayan yang bertele-tele itu, tapi dengan sabar ia
berusaha menunggu sampai selesainya penuturan
pelayan itu, lalu ia sodorkan beberapa mata uang
kepadanya sebagai persen jual omongnya itu.
Dalam pada itu orang tadi masih terus mendesak,
"Ayolah, lekas sampaikan kabar kepada Cukong, jika
terlambat mungkin tidak keburu lagi. Tai-ok-jin itu teramat
lihai."
"Siapakah Cukongmu itu?" tanya Siau Hong.
"Cukong ... Cukong, ah, tempat perginya itu tidak
boleh kuberitahukan kepada siapa pun, maka janganlah
kaupergi ke sana," kata orang itu.
"Kamu she apa?" seru Siau Hong mendadak.
"Aku she Siau," sahut orang itu.
Siau Hong menjadi curiga, "Aneh, mengapa ia pun
she Siau? Jangan-jangan dia bohong dan sengaja
hendak mengolok-olok padaku? Apakah dia sengaja
hendak memancing aku pergi ke Siau-keng-oh?"
Tapi segera terpikir pula olehnya," Jika dia sengaja
memancing aku ke sana atas perintah Tai-ok-jin, itulah
sangat kebetulan, memang aku sendiri juga lagi hendak
mencarinya. Biarpun Siau-keng-oh itu merupakan sarang
harimau atau kubangan naga juga aku tidak gentar."
1677
Setelah ambil keputusan itu, segera ia berkata kepada
A Cu, "Marilah pergi ke Siau-keng-oh, jika majikan
saudara ini berada di sana, tentu kita dapat mencarinya."
Lalu ia berpaling kepada orang itu, katanya,"Saudara
tentu sudah sangat lelah, silahkan mengaso dulu di sini,
biarlah aku mewakilkanmu mengirim kabar kepada
majikanmu bahwa sebentar lagi Ta-ok-jin itu akan
datang."
"Ya, terima kasih, banyak terima kasih! Aku harus
pergi merintangi Tai-ok-jin itu agar dia tak bisa datang ke
sana," kata orang itu, lalu ia berdiri dan bermaksud putar
kapaknya lagi. Tapi rupanya ia sudah kehabisan tenaga,
biarpun kapak itu masih dapat dipegangnya dengan
kencang, tapi sudah tidak kuat lagi untuk
mengangkatnya.
"Sudahlah, lebih baik saudara mengaso saja di sini,"
ujar Siau Hong. Lalu ia membereskan rekening
minumnya, bersama A Cu segera ia menuju ke barat
menurut petunjuk si pelayan tadi.
Antara tujuh-delapan li jauhnya, benar juga di tepi
jalan terdapat beberapa pohon liu yang rindang. Di
bawah salah satu pohon itu duduk seorang petani. Petani
itu duduk bersandar pohon, kedua kakinya terendam di
dalam lumpur sawah di tepi jalan.
Pemandangan seperti itu sebenarnya adalah sangat
umum di pedesaan, tapi muka petani itu ternyata
berlepotan darah, pundaknya memanggul sebatang
cangkul yang bentuknya sangat aneh, mata cangkul itu
tajam sekali, setiap orang yang melihatnya pasti segera
akan tahu cangkul itu adalah sejenis senjata yang sangat
lihai.
ketika Siau Hong mendekatinya, didengarnya
pernapasan petani itu terengah-engah, itulah tanda
orang terluka dalam yang parah.
1678
Tanpa pikir Siau Hong terus tanya, "Numpang tanya
Toako ini, kami diminta oleh seorang kawan yang
bersenjata kapak agar mengirim berita ke Siau-keng-oh,
apakah betul ini jalan menuju ke Siau-keng-oh?"
Petani itu mendongak, tiba-tiba ia balas tanya
malah,"Sobat berkapak itu mati atau hidup sekarang?"
"Ia hanya kehabisan tenaga, rasanya tidak berbahaya
bagi jiwanya." sahut Siau Hong.
Petani itu menghela napas lega dan mengucapkan
syukur, lalu katanya, "Harap kalian membelok ke utara
sana, budi pertolongan kalian ini takkan kulupakan."
Mendengar tutur kata orang bukan sembarangan
petani desa, segera Siau Hong tanya pula,"Siapakah she
saudara? Apakah kawan saudara orang berkapak itu?"
"Aku she Tang," sahut petani itu. "Silakan tuan lekas
menuju ke Siau-keng-oh, Tai-ok-jin itu sudah lewat sejak
tadi, sungguh memalukan kalau diceritakan, ternyata aku
tidak sanggup merintanginya."
Melihat orang terluka parah, Siau Hong pikir apa yang
dikatakan itu pasti tidak dusta, apalagi dilihatnya petani
she Tang itu sangat sederhana dan tulus sikapnya, mautak-
mau menimbulkan rasa suka Siau Hong,
Katanya,"Tang-toako, lukamu tidak enteng, dengan
senjata apakah Tai-ok-jin itu melukaimu?"
"Dengan sebatang pentung bambu," sahut petani itu.
"Pentung bambu? apakah Pak-kau-pang yang biasa
kugunakan itu?" demikian pikir Siau Hong dengan
terkesiap.
Ia lihat darah mengucur terus dari dada petani itu, ia
coba menyingkap baju orang dan memeriksanya,
ternyata dada orang terluka satu lubang sebesar jari dan
cukup dalam. Jika betul lobang luka itu kena dijojoh oleh
pentung bambu maka terang pentung bambu itu jauh
lebih kecil daripada Pak-kau-pang.
1679
Segera Siau Hong menutuk beberapa hiat-to di sekitar
luka petani itu untuk mencegah darah keluar lebih
banyak dan menghilangkan rasa sakit. Sedang A Cu
lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia buka kotak
itu dan mengorek sedikit salep dari kotak itu untuk
dipoleskan pada luka orang. Katanya kepada Siau Hong,
"Obat ini adalah pemberian Tam kong tempo hari, waktu
engkau terluka, mestinya akan kububuhkan obat muzijat
ini pada lukamu, tapi waktu itu aku tak dapat
menemukanmu."
Sementara itu si petani telah berkata pula, "Atas budi
kebaikan tuan-tuan, sungguh aku merasa terima kasih
tidak terhingga. Sekarang mohon tuan-tuan suka lekas
menyampaikan berita itu kepada majikanku di Siau-kengoh."
"Sebenarnya siapakah nama majikanmu, bagaimana
mukanya?" tanya Siau Hong.
"Asal tuan-tuan sampai di tepi Siau-keng-oh tentu
akan melihat di barat danau itu ada hutan bambu, itulah
Hong-tiok-lim (hutan bambu persegi), bambu yang
tumbuh di situ berbentuk persegi semua, di tengah timba
bambu itu ada beberapa petak rumah bambu dan tuan
boleh berseru di luar rumah itu,"Thian-he-te-it-ok-jin
(orang jahat nomor satu di dunia) telah datang, lekas
sembunyi dan menghindarinya!" dengan demikian sudah
cukuplah dan tuan tidak perlu masuk ke rumah itu.
Adapun tentang nama majikanku biarlah kelak akan
kuberitahu," demikian tutur petani ini.
Diam-diam Siau Hong heran, tapi iapun tahu banyak
antangan orang kangouw yang tidak suka diketahui
orang luar. Tapi dengan demikian Siau Hong menjadi
tidak ragu-ragu lagi, pikirnya, "Jika orang sengaja hendak
memancing aku ke sana, apa yang dikatakan pasti akan
dikarang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan rasa
1680
curigaku. Tapi orang ini bertutur setengah-setengah dan
tidak mau bicara terus terang, hal ini menandakan dia
tidak bermaksud jahat."
Karena pikiran itu, segera Siau Hong menyatakan
baik akan melaksanakan permintaan orang. Maka petani
itu lantas meronta bangun dan berlutut di depan Siau
Hong.
"Sudahlah, sekali berkenalan kita lantas cocok satu
sama lain, tidak perlu Tang-heng banyak adat," ujar Siau
Hong sambil membangunkan orang. Berbareng tangan
yang lain ia terus mengusap muka sendiri hingga hilang
samarannya,ia perkenalkan diri pada petani itu dengan
wajah yang asli, katanya "Caihe adalah Siau Hong, orang
Cidan, sampai berjumpa pula kelak."
Dan tanpa menunggu jawaban orang lagi segera ia
gandeng tangan A Cu dan melanjutkan perjalanan ke
arah utara.
"Apakah kita tidak perlu menyaru lagi?" tanya A Cu di
tengah jalan.
"Ya, entah mengapa aku menjadi sangat suka kepada
laki-laki tulus yang berbentuk orang desa itu, jika aku
berniat berkawan dengan dia, dengan sendirinya tidak
pantas aku berkenalan dengan dia dengan muka palsu,"
sahut Siau Hong.
"Baiklah jika begitu, aku pun akan kembali dalam
pakaian wanita saja," kata A Cu.
Segera ia menuju ke tepi sungai, cepat ia cuci
mukanya, lalu tanggalkan kopiahnya, maka tertampaklah
rambutnya yang hitam pekat, bila jubahnya yang longgar
itu dicopot pula maka tertampaklah pakaian wanita yang
memang sudah dipakainya bagian dalam.
Sesudah hampir 10 li lagi, dari jauh mereka melihat
sebuah jembatan batu melintang di antara ke dua tepi
sungai. Sesudah dekat, tertampaklah di tengah jembatan
1681
itu berjongkok seorang Su-sing (pelajar/sastrawan).
Orang itu lagi membentang sehelai kertas putih yang
sangat lebar di tengah jembatan, di samping kertas
terdapat pula sebuah hi (tempat tinta) yang besar, di atas
hi sudah penuh tergosok tinta hitam. Su-sing itu sedang
angkat pit (pensil Tionghoa) dan menggores-gores di
atas kertas.
Siau Hong dan A Cu merasa heran, masakah ada
orang membawa kertas, pit dan hi begitu untuk menulis
di atas jembatan yang terletak di tempat sunyi begini, kan
lebih enak menulis di rumah saja?
Dan sesudah didekati barulah diketahui bahwa Susing
itu bukan sedang menulis, tapi lagi melukis. Yang
dilukis adalaha pemandangan alam di sekitar jembatan
itu. Dia berjongkok di tengah jembatan dan menghadap
ke arah Siau Hong dan A cu tapi yang paling aneh
adalah lukisan yang digoresnya itu justru menghapad
pula ke arah Siau Hong dan A Cu, jadi cara melukis Susing
itu terbalik, goresannya menuju ke arah yang
berlawanan daripada pelukisnya.
Siau Hong sendiri tidak paham seni lukis, sedang A
Cu sudah biasa melihat lukisan indah di rumah Buyungkongcu,
aka "lukisan terbalik" karya Su-sing itu
dianggapnya tiada sesuatu yang luar biasa, hanya
caranya melukis secara terbalik itulah yang rada janggal.
Dan selagi A Cu bermaksud maju menyapa, tiba-tiba
Siau Hong menjawilnya dan mengajaknya ke arah
sebuah jembatan kayu di sebelah kanan sana.
"Kalian sudah melihat caraku melukis dengan terbalik,
mengapa sedikitpun tidak gubris? Apakah barangkali
kepandainku ini sama sekalu tiada harganya untuk
dipandang kalian?" demikian tiba-tiba Su sing itu
bersuara.
"Kata Khonghucu, kursi yang tak tegak tak diduduki,
1682
daging yang tak baik tak dimakan. Seorang laki-laki sejati
tidak nanti melihat lukisan terbalik," demikian A Cu
menjawabnya dengan tertawa.
Su-sing itu terbahak, segera ia lempit kertasnya dan
berkata, "Hah, benar juga ucapanmu, Silahkan lewatlah!"
Siau Hong dapat menduga maksud tujuan Su-sing itu,
ia membentang kertas lebar di tengah jembatan,
perlunya agar orang lain tertarik, pertama tujuannya
adalah mengulur waktu, kedua, untuk memancing dan
sengaja menyasarkan orang melalu jembatan batu itu,
padahal jalan yang tepat harus melalui jembatan kayu
seperti petunjuk si pelayan kedai arak itu.
Maka berkatalah Siau Hong, "Kami hendak pergi ke
Siau-keng-oh, jika melalui jembatan batu ini, tentu kamu
akan kesasar."
"Kesasar sih tidak, paling-paling cuma berjalan putar
lebih jauh 50-60 li saja, akhirnya toh akan sampai juga di
sana, maka lebih baik kalian melalui jembatan batu ini
saja, jalannya lebih lebar dan lebih enak ditempuh,"
demikian kata Su-sing itu.
"Ada jalan yang lebih dekat, buat apa mesti
mengambil jalan yang jauh?" ujar Siau Hong.
"Ingin cepat akhirnya malah lambat, masakah kalian
tidak kenal pepatah ini?" ujar Su-sing itu dengan tertawa.
Tapi A Cu dapat melihat kelakuan Su-sing itu sengaja
hendak menghambat kepergian dirinya bersama Siau
Hong ke Siau-keng-oh, maka ia tidak mau masuk
perangkap, ia tidak gubris ocehan orang lagi terus
melangkah ke jembatan kayu itu bersama Siau Hong.
Di luar dugaan, baru mereka sampai di tengah-tengah
jembatan kayu itu, mendadak kaki mereka terasa
menginjak tempat lunak, terdengar suara "kreak"
beberapa kali, jembatan kayu itu mendadak patah bagian
tengah hingga Siau Hong dan A Cu terjeblos ke dalam
1683
sungai.
Untung Siau Hong cukup sigap, cepat tangan kiriya
merangkul pinggang A Cu, berbareng kaki kanan
menutul papan jembatan kayu, dengan tenaga enjotan
itulah laksana burung saja ia melayang ke depan hingga
mencapai tepi sungai di seberang sana. Menyusul
sebelah tangan yang lain menyampuk ke belakan untuk
menjaga kalau diserang musuh.
Tapi Su-sing itu cuma terbahak-bahak saja, katanya,
"Kepandaian hebat, sungguh hebat! Kalian berdua buruburu
hendak pergi ke Siau-keng-oh, sebenarnya ada
urusan apakah?" dari suara tertawa orang dapat Siau
Hong dengar mengandung rasa kuatir, diam-diam Siau
Hong bersangsi jangan-jangan Su-sing itu adalah
begundal Tai-ok-jin, maka ia tak menjawabnya lagi, tapi
terus bertindak pergi bersama A Cu.
Tidak jauh, tiba-tiba dari belakang ada suara tindakan
orang yang cepat, waktu ia menoleh, dilihatnya Su-sing
itu lagi menyusulnya, segera Siau Hong putar tubuh dan
menegurnya dengan wajah kurang senang,"Sebenarnya
saudara mau apa?"
"Caihe juga akan pergi ke Siau-keng-oh, kebetulan
satu jurusan dengan kalian," sahut Su-sing itu.
"Bagus jika begitu," kata Siau Hong. Dengan tangan
kiri ia pegang pinggang A Cu, sekali melangkah, tahutahu
sudah belasan meter jauhnya gadis itu dibawa
melayang ke depan, begitu enteng dan gesit hingga mirip
orang main ski cepatnya.
Cepat Su-sing itu lantas menguber, tati tetap tak bisa
menyusul, jaraknya makin jauh tertinggal di belakang.
Melihat kepandaian Su-sing itu cuma biasa saja,
maka Siau Hong tidak ambil perhatian lagi, ia masih terus
berjalan secepat angin, meski dengan menggondol A Cu,
tapi kecepatannya tidak menjadi berkurang. Kira-kira satu
1684
tanakan nasi lamanya, Su-sing itu sudah ketinggalan
hingga hilang dari pandangan mata.
Jalanan itu ternyata sangat sempit, terkadang cuma
cukup dilalui seorang saja, malahan sepanjang jalan
banyak tumbuh rumput alang-alang yang terkadang
sebatas pinggang hingga jalan itu susah dikenali, untung
sebelumnya mereka telah diberi keterangan oleh si
pelayan kedai arak hingga tidak sampai kesasar. Kirakira
setengah jam kemusian, sampailah mereka di tepi
sebuah danau, air danau itu tenang dan jernih, pantas
namanya disebut Siau-kong-oh atau danau cermin kecil.
Dan selagi Siau Hong hendak mencari di mana letak
Hong-tiok-lim yang dicari itu, tiba-tiba terdengar di antara
semak-semak bunga sebelah kiri danau sana ada suara
tertawa orang terkikik-kik, menyusul sebutir batu kecil
tampak melayang keluar.
Siau Hong coba memandang ke arah sambaran batu
itu, maka terlihat di tepi danau sedang duduk seorang
nelayan yang memakai caping dan sedang mengail ikan.
Saat itu pancingnya sedang diangkat ke atas karena
dapat mengail seekor ikan besar, tapi batu itu tepat
menyambar tiba dan mengenai tali pancingnya, "crit",
tiba-tiba tali pancing putus menjadi dua dan ikan yang
mestinya sudah terkail itu tercemplung kembali ke dalam
danau.
Diam-diam Siau Hong terkejut,"Cara sambitan orang
itu sangat aneh sekali. Tali pancing adalah benda lemas
dan sukar ditimpuk, kau ditimpuk dengan pisau atau
panah mungkin masih dapat memutusnya, tapi batu
adalah benda tumpul dan tali pancing itu dapat ditimpuk
putus juga olehnya, terang kepandaian menimpuk
senjata rahasia yang lemas dan aneh ini pasti bukan
berasal dari daerah Tiongoan.
Ia yakin ilmu silat penimpuk batu itu tidak terlalu tinggi,
1685
tapi dari kepandaian menimpuk yang tergolong Sia-pai itu
(aliran jahat) ia menduga besar kemungkinan orang
adalah anak murid atau begundal Tai-ok-jin itu. Cuma
kalau didengar dari suara tertawa tadi agaknya dia
seorang gadis.
Dalam pada itu si nelayan rupanya juga terkejut ketika
tali pancingnya putus tertimpuk batu. Serunya segera,
"Siapa yang berkelakar dengan orang she Leng, silakan
unjuk diri saja!"
Di antara suara kresek tersibaknya semak-semak
bunga, maka menongol keluarlah seorang anak dara
berpakaian ungu mulus, usianya kurang lebih 15-16
tahun, lebih muda satu dua tahun daripada A Cu, kedua
matanya hitam besar, sekilas pandang Siau Hong
merasa anak dara ini ada beberapa bagian mirip A Cu.
Sekilas pandang di situ juga ada seorang dara jelita,
yaitu A Cu, segera gadis cilik itu tidak gubris si nelayan
lagi, tapi terus berlari-lari sambil melompat-lompat hingga
menerbitkan suara gemerincing dan menghampiri A Cu.
Sesudah dekat ia tarik tangan A Cu dan berkata dengan
tertawa,"Wah, Cici ini sangat cantik, aku suka padamu!"
Ternyata ucapannya rada pelo, lafalnya kurang tepat,
mirip orang asing baru belajar bicara dalam bahasa
Tiongkok.
Melihat gadis yang lincah itu, A Cu menjadi suka juga
padanya. Ia lihat kaki dan tangan anak dara itu memakai
sepasang gelang emas dan perak, gelang itu pakai
kelaningan kecil, maka menerbitkan suara gemerincing
nyaring bila gadis itu bergerak.
Maka berkatalah A Cu, "Kausendirilah yang cantik,
aku pun sangat suka padamu."
Dalam pada itu si nelayan sebenarnya akan marah,
tapi demi tahu orang yang menggodanya itu adalah
seorang anak dara yang lincah dan menyenangkan, rasa
1686
gusarnya menjadi hilang sirna, katanya,"Ai, nona cilik ini
benar-benar terlalu nekat. Caramu menimpuk tali pancing
tadi juga sangat hebat."
"Apanya yang menarik permainan mancing ikan?
Bagiku sunnguh tak sabar untuk menunggu ikan makan
umpan, jika kauingin makan ikan, kenapa tidak gunakan
kayu pancing untuk menusuk ikan di dalam air itu?"
demikian kata si gadis cilik.
Habis berkata, terus saja ia ambil pancing si nelayan
dan sekenanya ditusukkan ke dalam danau, benar juga
ketika tangkai pancing itu diangkat, tahu-tahu ujung
tangkai sudah menancap seekor ikan yang masih
berkelojotan sambil meneteskan darah segar.
Berulang-ulang gadis itu kerjakan pancing-nya pula
naik-turun hingga sekejap saja lima-enam ekor ikan yang
tersunduk tangkai pancing, jadi mirid sujen sate ikan.
Diam-diam Siau Hong heran dan terkejut oleh gerak
tangan anak dara yang aneh dan indah itu, meski
gerakan ini rasanya belum cukup kuat untuk dipakai
dalam pertempuran, tapi suatu tanda kepandaian gadis
itu sebenarnya memang lain daripada yang lain.
Sesudah menyunduk sate ikan, kemudian gadis itu
buang ikan-ikan tangkapannya itu ke tengah danau pula.
Melihat itu, si nelayan agak kurang senang, katanya,
"Seorang nona cilik muda belia, tapi tingkah lakumu
sudah begini kejam, kalau ikan itu kautangkap lalu
dimakan sih masuk akal, tapi sudah ditangkap dan
dibunuh, lalu dibuang begitu saja, membunuh secara
sewenang-wenang begini sungguh tidak pantas.
"Aku justru ingin membunuh secara sewenangwenang,
kaumau apa?" demikian gadis itu menjawab
dengan tertawa. Habis itu, terus saja ia menelikung
tangkai pancing si nelayan, maksudnya hendak
mematahkannya menjadi dua.
1687
Tak terduga gagang pancing itu ternyata buatan dari
logam yang ringan tapi uler, maka sukar untuk
dipatahkan.
"Hm, kauingin mematahkan gagang pancing-ku,
masakah begitu mudah?" demikian si nelayan
menjengek.
"he, siapakah itu?" tiba-tiba gadis itu berseru sambil
menuding ke arah sana.
Dengan sendirinya si nelayan menoleh. Dan ketika
tidak melihat apa-apa, segera ia sadar telah tertipu.
Cepat ia berpaling kembali, namun sudah terlambat,
tertampak gagang pancing yang merupakan senjata
andalannya itu telah dilemparkan ke tengah danau oleh
anak dara itu, "plung", pancing itu tenggelam ke dasar
sungai dan lenyap tanpa bekas.
Keruan nelayan itu menjadi gusar, bentaknya
murka,"Budak liar dari mana, berani main gila di sini?"
Berbareng tangannya lantas mencengkeram bahu si
gadus.
"Auuh, tolong! tolong!" demikian anak dara itu
berteriak-teriak sambil tertawa. Berbareng ia terus
sembunyi di belakang Siau Hong.
Segera si nelayan menubruk maju hendak
menangkap si gadis, gerakannya ternyata cepat luar
biasa.
Tapi sekilas Siau Hong melihat tangan anak dara itu
telah bertambah semacam benda putih tembus pandang
mirip kain plastik, begitu tipis benda itu hingga hampirhampir
tidak kelihatan.
Ketika si nelayan menubruk ke arahnya, entah
mengapa mendadak kakinya keserimpet, tahu-tahu
nelayan itu jauh tersungkur, lalu meringkuk bagai udang.
Kiranya benda putih tipis yang dipegang anak dara itu
adalah semacam jaring ikan yang dibuat dari benang
1688
maha lembut, meski halus benang itu dan bening pula
hingga tembus pandang tapi kekuatannya sangat ulet
dan dapat mulur mengkeret, asal kena jaring sesuatu,
segera jaring mengkeret sendiri. Maka sekali nelayan itu
masuk jaring, semakin ia meronta, semakin kencang
jaring itu mengkeret, hanya dalam sekejap saja nelayan
itu tak bisa berkutik lagi. Dengan marah-marah ia
mendamprat, "Budak setan, main gila apa-apaan ini,
kamu berani menjebak aku dengan ilmu sihir?"
Diam-diam Siau Hong terkejut juga menyaksikan itu.
Ia tahu si gadis tidak main ilmu sihir segala, tapi jaring
aneh itu memang rada-rada berbau sihir.
Dalam pada itu si nelayan masih terus mencaci maki.
Akhirnya si gadis berkata dengan tertawa, "Jika kaumaki
lagi, segera akan kupukul bokongmu !"
Keruan si nelayan melengak. Ia adalah tokoh yang
sudah ternama, apabila benar-benar gadis itu menghajar
bokongnya, kan bisa runyam.
Syukur pada saat itu juga, tiba-tiba dari barat danau
sana ada suara orang berseru, "Leng-hiante, ada apakah
di situ?"
Maka tertampaklah dari jalan kecil di tepi danau sana
muncul seorang dengan cepat.
Siau Hong dapat melihat orang itu bermuka lebar,
sikapnya gagah berwibawa, dandanannya sederhana,
tapi cukup ganteng, usianya lebih 40 tapi kurang dari 50
tahun.
Sesudah dekat dan demi melihat si nelayan tertawan
orang, ia heran dan tanya, "Kenapa kau, Leng-hiante?"
Nona itu menggunakan ilmu ... ilmu sihir ...." demikian
si nelayan menutur dengan tak lancar.
Orang setengah umur itu memandang ke arah A Cu.
Tapi si dara nakal tadi lantas berseru dengan tertawa,
"Bukan dia, tapi aku inilah!"
1689
"O," dengus orang setengah umur itu, lalu ia angkat
tubuh si nelayan yang besar itu dengan enteng seperti
mengangkat anak kecil, dengan teliti ia periksa jaring tipis
yang membungkus tubuh nelayan itu. Ia coba
menariknya, tapi jaring itu sangat ulet, semakin ditarik
semakin erat malah, betapapun tak bisa dibuka.
Dengan tertawa anak dara nakal berkata pula,"Asal
dia mau menyebut tiga kali 'aku takluk padamu, nona!'
habis itu segera akan kulepaskan dia."
"Tiada manfaatnya kaubikin susah Leng-hiante,
akibatnya tentu tidak baik bagimu," ujar laki-laki setengah
umur itu.
"Apa benar?" sahut si dara cilik. "Aku justru ingin tahu
akibat jeleknya, semakin tidak baik akibatnya, semakin
senang aku."
Mendadak orang setengah umur itu mengulur tangan
terus hendak memegang bahu si gadis. Tapi dengan
cepat sekali gadis itu sempat menyurut mundur, lalu ia
bermaksud menggeser pergi.
Di luar dugaan gerak orang setengah umur itu jauh
lebih cepat daripada dia, sekali tangan membalik, tahutahu
bahu si gadis sudah terpegang.
Dengan mendakkan tubuh dan miringkan pundak ana
dara itu bermaksud melepaskan pegangan orang . Tapi
cengkeraman orang setengah umur itu terlalu kuat dan
kencang, menyusul ada arus hangat mengalir dari tangan
masuk ke tubuh si gadis.
"Lekas lepaskan tanganmu!" bentak dara nakal itu,
berbareng tinjunya terus menjotos. Tapi baru tangannya
terangkat sedikit, mendadak lengan terasa lemas,
akhirnya kepalan pun menjulai turun.
Selama hidup anak dara itu tidak pernah ketemu
musuh selihai ini, keruan ia ketakutan dan berteriakteriak,
"Kamumain ilmu sihir apa? Lekas lepaskan aku,
1690
lepas!"
"Asal kau omong tiga kali 'Aku takluk tuan', lalu
bebaskan saudaraku dari kurungan jaringmu dan segera
kamu akan kulepas," demikian kata orang setengah umur
itu dengan tersenyum.
"Kauberani menganggu nonamu ini, akibatnya takkan
menguntungkanmu," ujar si dara.
"Semakin buruk akibatnya, semakin senang aku!"
demikian orang itu menirukan lagu si gadis tadi.
Sekuatnya anak dara itu meronta-ronta, tapi tidak
dapat melepaskan diri. Akhirnya ia berkata dengan
tertawa, "Huh, tidak malu, menirukan perkataanku!
Baiklah, aku takluk padamu, tuan!"
Maka dengan tersenyum orang itu lantas melepaskan
bahu si gadis yang dipegangnya, katanya, "Sekarang
lekas lepaskan jaringmu itu!"
"Itu sangat gampang," ujar si gadis dengan tertawa.
Segera ia mendekati si nelayan, ia berjongkok untuk
melepaskan ikatan jaring itu tapi menyusul tangan kiri
mengayun perlahan di bawah lengan baju kanan,
sekonyong-konyong secomot sinar hijau menyambar
cepat ke arah si orang setengah umur.
A Cu menjerit kaget. Ia tahu sinar hijau itu adalah
sejenis Am gi atau senjata gelap yang berbisa. Cara
serang anak dara itu sangat licik, jaraknya dengan orang
setengah umur itupun sangat dekat, maka pastilah
serangan itu akan kena sasarannya.
Sebaliknya Siau Hong cuma menonton dengan
tersenyum saja. Ketika laki-laki setengah umur itu
menaklukkan si dara, dari tenaga dalamnya yang kuat itu
dapat diketahui oleh Siau Hong bahwa orang itu pasti
seorang tokoh sakti, kalau cuma serangan Am-gi yang
sepele itu sudah tentu takkan mampu mengapa-apakan
orang itu.
1691
Benar juga, segera terlihat orang itu sedikit
mengebaskan lengan bajunya, serangkum tenaga tak
kelihatan lantas menolak ke deapan, senjata rahasia si
anak dara yang berupa jarum halus berbisa itu kontan
tersampuk ke samping dan jatuh semua ke danau.
Dari warna jarum yang berwarna-warni itu, terang
itulah Am-gi berbisa yang sangat jahat, sungguh tak
terduga olehnya bahwa baru sekali bertemu dengan
nona cilik itu, sebelumnya tiada permusuhan atau sakit
hati apa-apa, tapi anak dara itu tidak segan turun tangan
keji. Keruan laki-laki setengah umur itu menjadu gusar, ia
pikir dara cilik yang masih hijau itu harus diberi hajaran
biar tahu adat.
Maka lengan bajunya yang lain menyusul mengebas
pula, kebasan itu membawa tenaga dalam yang kuat,
keruan dara cilik itu tidak tahan, tubuh ikut "tertiup" ke
atas, "plung", tanpa ampun lagi ia terlempar ke tengah
danau.
Segera laki-laki setengah umur itu melompat ke atas
sampan yang tertambat di bawah pohon ia dayung
sampan ke tengah danau, maksudnya bila kepala dara
cilik itu menongol keluar permukaan air, segera ia akan
jambak rambutnya untuk diangkat ke atas,
Akan tetapi, tunggu punya tunggu, tetap gadis itu
tidak menongol. Setelah menjerit sekali tadi anak dara itu
terus kecemplung ke dalam danau dan menghilang tanpa
bekas.
Umumnya seseorang kalau kecemplung ke dalam air,
sesudah kenyang minum dan perutnya gembung,
akhirnya orang itu pasti akan muncul ke permukaan air.
Dan jika perut orang itu sudah penuh terisi air barulah
orang itu akan tenggelam ke dasar danau.
Tapi aneh, sekarang anak dara itu tidak terjadi seperti
lazimnya, sekali dia tercebur, lalu menghilang tanpa
1692
muncul lagi. Sesudah ditunggu agak lama tetap tidak
kelihatan batang hidungnya.
Mau-tak-mau orang setengah umur itu menjadi gugup.
Mestinya tiada maksud hendak membunuh si dara nakal
itu, tujuannya cuma hendak memberi hajaran sedikit
kepada anak dara yang ringan tangan dan keji itu. Dan
kini bila dara itu terlanjur mati kelelap, sungguh ia sangat
menyesal.
Sebenarnya si nelayan adalah tokoh yang mahir
selulup, mestinya ia dapat menyelam ke dasar danau
untuk menolong si anak dara, tapi sayang ia masih
terbungkus oleh jaring ikan itu, sedikitpun tak bisa
berkutik. Sedangkan Siau Hong dan A Cu tidak pandai
berenang sehingga tidak berdaya.
Maka terdengarlah orang setengah umur itu berteriakteriak,"
A Sing, A Sing! Lekas keluar sini!"
"Ada urusan apa? Aku tak mau keluar!" demikian
terdengar sahutan seorang wanita dari hutan bambu
yang jauh berada di tepi danau sana.
Dari suara itu Siau Hong dapat menarik kesimpulan,
"Suara wanita itu genit merayu, tapi bersifat keras hati
pula. Meungkin seorang wanita jahil pula hingga akan
menjadi tiga serangkai dengan A Cu dan si dara nakal
yang tercemplung ke danau tadi."
Dalam pada itu si orang setengah umur lagi berseru
pula, "Lekas kemari, A Sing! Ada orang mati kelelep,
lekas menolongnya!"
"Apa bukan kamu yang mati kelelap!" sahut wanita itu.
"Jangan bergurau, A Sing. Jika aku mati kelelap,
masakah aku masih bisa bicara" kata orang itu. "Ayolah,
lekas kemari untuk menolong orang!"
"Jika kamu mati kelelap barulah aku akan keluar
untuk menolong," sahut wanita yang tak kelihatan itu.
"Dan kalau orang lain yang kelelap, biarkanlah, nanti aku
1693
menonton keramaian saja!"
"Ayolah, kau mau kemari atau tidak?" seru laki-laki itu
dengan tak sabar, ia banting-banting kaki di atas
sampan, suatu tanda sangat gugup.
Maka terdengar wanita itu lagi menjawab,"Jika orang
laki-laki, aku akan menolongnya, kalau perempuan, tidak
mau aku menolongnya!"
Sambil bicara, suaranya terdengar makin dekat,
hanya sekejap saja orangnya sudah sampai di tepi
danau.
Ketika Siau Hong dan A Cu memandang ke sana,
terlihatlah wanita itu berbaju terang warna hijau muda,
usianya antara 35-36 tahun, kata bundar besar dan
lincah, wajah cantik molek, mulut mengulum senyum tak
senyum.
Dari suaranya tadi sebenarnya Siau Hong menduga
orang paling banyak baru berumu 20-an tahun. Tak
terduga dia seorang nyonya muda yang sudah tidak
muda lagi.
Melihat dandanannya yang serba ringkas itu dapat
diduga ketika mendengar seruan si lelaki setengah umur
agar suka menolong orang kelelap, lalu dia berganti
pakaian sembari memberi jawaban kepada laki-laki itu
dan dalam waktu singkat selesailah ganti pakaian
renang.
Laki-laki setengah umur itu merasa girang melihat
yang diundang sudah muncul, katanya cepta, "A Sing,
lekas kemari, akulah yang melemparkannya ke danau
tanpa sengaja, tak tersangka ia terus tenggelam."
"Coba terangkan dulu. Dia pria atau wanita? Jika pria
akan kutolong, kalau wanita, persetan!" demikian wanita
itu bertanya.
Siau Hong dang A Cu jadi heran, pikir mereka,
"lazimnya, mestinya dia menolak menolong kaum pria
1694
karena tidak pantas bersentuhan badan antara kedua
jenis yang berlainan. Tapi sekarang ia justru ingin
sebaliknya, hanya mau menolong kaum pria dan tidak
sudi menolong sesama kaumnya?"
Maka terdengar laki-laki setengah umur menjawab tak
sabar,"Ai, kamu ini memang suka mengada-ada. Dia
hanya seorang dara cilik belasan tahun, jangan kaupikir
yang tidak-tidak."
"Huh, apa bedanya bagimu dara cilik belasan tahun
atau nenek-nenek reyot? Asal ada semuanya akan
kauterima dengan tutup mata!"
demikian jengek wanita cantik itu. Tapi ia menjadi
merah jengah setelah mengetahui di situ masih ada dua
orang yang tak dikenalnya, yaitu Siau Hong dan A Cu.
Ternyata laki-laki setengah umur itu tidak marah oleh
olok-olok wanita itu, sebaiknya ia memberi hormat di atas
samana dan memohon," Sudahlah, A Sing, lekas
kautolong dia, apa yang kauinginkan, pasti akan kuturut."
"Apa benar segala apa kaumau menurut padaku?"
tanya si wanita cantik.
"Sudah tentu," sahut orang itu. "Ai, sudah sekian lama
nona cilik itu tenggelam, tentu jiwanya sudah melayang
...."
"Kalau kuminta kautinggal di sini untuk selamanya,
apakah kaupun menurut?" demikian si wanita cantik
bertanya pula.
Laki-laki setengah umur itu menjadi serba susah,
sahutnya tergagap, "tentang ini ... ini ...."
"Nah, apa kataku?" ujar si wanita cantik, "hanya mulut
saja yang manis, baru saja omong, sekarang sudah
mungkir. Memang selamanya engkau tidak pernah
menuruti permintaanku ini."
Bicara sampai di sini, suaranya kedengaran rada
tersendat.
1695
Siau Hong saling pandang sekejap dengan A Cu,
mereka merasa sangat heran atas kelakuan laki-laki
setengah umur dan wanita cantik itu. Usia kedua orang
sudah tidak muda lagi, tapi tingkah laku dan cara
bicaranya mirip sepasang kekasih yang sedang memadu
cinta.
Tapi tingkah mereka juga tidak serupa suami istri,
lebih-lebih si wanita cantik, di hadapan orang luar cara
bicaranya sedikit pun tidak pantang,, bahkan pada saat
bicara mengenai keselamatan jiwa seseorang dia justru
bicara hal-hal yang tiada sangkut paut dengan urusan
menolong jiwa orang itu.
Begitulah akhirnya laki-laki setengah umur itu
menghela napas, katanya sambil mendayung sampan ke
tepi danau, "Sudahlah, tidak perlu menolongnya lagi.
Nona cilik itu menyerang aku dengan Am-gi berbisa, jika
mati juga pantas, marilah kita pulang saja!"
"Mengapa tidak menolongnya?" mendadak wanita
cantik itu membantah, "Aku justru ingin menolongnya.
Kaubilang diserang Am-gi berbisa olehnya? Itulah bagus,
kenapa kamu tidak mampus kena senjatanya itu?
Sayang, sungguh sayang!"
Ia tertawa ngikik sekali, tiba-tiba ia melompat tinggi ke
udara, lalu terjun ke dalam danau.
Kepandaian wanita cantik itu dalam hal berenang
ternyata sangat hebat, "plung", hanya menerbitkan suara
perlahan saja waktu tubuhnya menyelam ke bawah
air,bahkan membuih pun tidak. Hanya sekejap saja
lantas terdengar suara air tersiak, "byuuur", wanita cantik
itu telah menongol ke permukaan air dengan tangan
menyanggah tubuh si dara cilik berbaju ungu tadi.
Laki-laki setengah umur itu sangat girang, katanya di
dalam hati. "Dia memang suka menggoda padaku. Aku
gugup dan ingin lekas menolong dara itu, dia justru tidak
1696
mau menolong dengan macam-macam alasan. Sesudah
aku bilang tidak perlu menolongnya lagi, dia lantas terjun
ke air dan menolongnya."
Maka cepat ia mendayung sampannya memapak ke
tengah danau.
Sesudah dekat, segera laki-laki setengah umur itu
mengulur tangan hendak menyambut badan si gadis baju
ungu yang tak brkutik itu, kedua mata anak dara itu
tampak tertutup rapat, bahkan napasnya seperti sudah
berhenti, dengan sendirinya hal ini membikin laki-laki itu
rada menyesal.
Mendadak wanita cantik itu membentak, "Tarik
tanganmu, jangan kausentuh dia. Kamu ini mata
keranjang, tak dapat diercaya!"
"Ngaco balo!" laki-laki itu pura-pura marah. "Selama
hidupku ini tidak pernah mata keranjang."
Mendadak wanita cantik itu mengikik tawa, sambil
mengangkat si dara baju ungu ia lompat ke atas sampan,
lalu katanya, "Ya, memang selamanya kamu tidak mata
keranjang, tapi lebih suka .... Ai ..."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya karena mendadak
diketahuinya denyut jantung anak dara itu sudah terhenti,
napasnya dengan sendirinya juga sudah putus. Cuma
perut anak dara itu tidak kelihatan gembung, agaknya
tidak banyak air danau yang diminumnya.
Wanita cantik itu sangat mahir berenang, ia menduga
dalam waktu singkat itu tidak mungkin orang mati
terbenam, siapa duga badan anak dara itu terlalu lemah
dan ternyata sudah meninggal.
Wanita itu jadi menyesal, cepat ia gendong anak dara
itu dan melompat ke daratan sambil berseru, "Cepat, kita
harus mencari akal untuk menyelamatkan jiwanya!"
Lalu ia mendahului berlari ke hutan bambu sana
dengan membawa anak dara itu.
1697
Segera laki-laki setengah umur tadi mengangkat si
nelayan yang masih terbungkus di dalam jaring dan
bertanya kepada Siau Hong, "Siapakan nama saudara
yang terhormat? Entah ada keperluan apa berkunjung
kemari?"
Melihat sikap orang yang agung berwibawa,
menghadapi kematian si dara baju ungu yang
mengenaskan itu ternyata dapat berlaku tenang sekali,
mau-tak-mau Siau Hong merasa kagum juga. Maka
jawabnya, "Caihe Siau Hong, orang Cidan. Karena
dipesan oleh dua orang sahabat, maka ingin
menyampaikan sesuatu berita ke sini."
Sebenarnya nama Kiau Hong boleh dikatakan tiada
seorang pun yang tak kenal di kalangan kangouw. Tapi
sejak ia ganti nama menjadi Siau Hong, selalu ia
memperkenalkan pula asal-usulnya sebagai orang Cidan
secara blak-blakan.
Biarpun nama Siau Hong rupanya tidak dikenal oleh
laki-laki setengah umur itu, tapi ketika mendengar kata
"orang Cidan", sedikitpun ia tidak merasa heran, ia hanya
tanya lagi, "Siapakah kedua sobat yang minta tolong
kepada Siau-heng itu? Entah berita apa yang Siau-heng
bawa?"
"Kedua sobat itu yang seorang memakai kapak, yang
lain berdandan sebagai petani dan membawa cangkul
serta mengaku she Tang, kedua sobat itu terluka semua
....."
Mendengar kedua orang itu terluka, laki-laki setengah
umur itu terkejut dan cepat menyela, "Hah, bagaimana
luka mereka? Di manakah mereka berada sekarang?
Siau-heng, kedua orang itu adalah kawan sehidup
sematiku, mohon engkau suka memberi keterangan agar
aku dapat ... dapat segera pergi menolong mereka."
Melihat orang sedemikian setia kawan, Siau Hong
1698
merasa kagum, sahutnya, "Luka kedua sobat itu cukup
parah, tapi tidak membahayakan jiwa mereka, kini
mereka berada di kota sana...."
Belum selesai penuturan Siau Hong, segera orang itu
memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, lalu si
nelayan diangkatnya terus dibawa lari ke arah datangnya
Siau Hong tadi.
Pada saat itulah tiba-tiba dari hutan bambu sana
terdengar suara seruan si wanita cantik tadi, "Lekas
kemari, lekas! Lihatlah ini, ai, lihatlah apa ... apa ini!"
Dari suaranya dapat diketahui hatinya sangat
terguncang dan kuatir.
Maka mendadak laki-laki setengah umur itu berhenti,
ia ragu-ragu, tiba-tiba terlihat dari depan seorang
mendatangi secepat terbang sambil berteriak-teriak,
"Cukong, Cukong, ada orang membikin onar ke sini?"
Waktu Siau Hong perhatikan, kiranya pendatang itu
adalah si Su-sing yang melukis secara terbalik di
jembatan batu itu. Pikirnya, "Semula kusangka dia
sengaja merintangi aku, tak tahunya dia adalah kawan si
lelaki gila berkapak dan si petani yang terluka itu. Dan
'Cukong' yang mereka sebut itu kiranya laki-laki setengah
umur ini."
Dalam pada itu si Su-sing juga sudah melihat Siau
Hong dan A Cu berada di situ, bahkan berdiri di samping
sang "Cukong", ia melengak.
Ketika sudah dekat dan melihat si nelayan tertawan di
dalam jaring ikan, ia terkejut dan gusar pula, segera ia
tanya, "Ada ... ada apakah?"
Sementara itu terdengar seruan si wanita cantik di
tengah hutan bambu sana semakin kuatir, "Hai, mengapa
kamu masih belum kemari? Ai....."
Mau-tak-mau laki-laki setengah umur itu ikut kuatir
juga, cepat katanya,"Biar kupergi melihatnya!"
1699
Sambil mengangkat si nelayan, terus saja ia berlari ke
hutan bambu sana.
Dari langkahnya yang enteng dan gesit, cepatnya
melebihi kuda lari, nyata ilmu silatnya pasti lain daripada
yang lain. Siau Hong jadi tertarik, dengan sebelah tangan
menahan pinggang A Cu, terus saja ia lari sejajar dengan
orang itu dengan sama cepatnya.
Orang itu memandang sekejap ke arah Siau Hong
dengan penuh rasa kagum. Sebenarnya ia tidak
perbolehkan orang luar masuk ke hutan bambu itu, tapi
demi nampak kepandaian Siau Hong tinggi sekali, mautak-
mau timbul rasa sukanya sebagai sesama ksatria,
biarpun belum kenal, namun sudah timbul niatnya buat
bersahabat, maka ia tidak pandang Siau Hong sebagai
orang asing lagi.
Sebaliknya Siau Hong dan A Cu sudah tentu tidak
tahu bahwa hutan bambu itu sebenarnya dilarang
dimasuki sembarangan orang. Mereka cuma tertarik oleh
suara teriakan si wanita cantik yang penuh rasa kuatir itu,
mereka menduga pasti terjadi sesuatu, maka mereka ikut
ke situ.
Hanya sebentar saja mereka sudah memasuki hutan
bambu itu. Benar juga bambu yang tumbuh di situ
bentuknya tidak bulat, tapi persegi. Kira-kira belasan
meter masuk ke dalam hutan itu, tertampaklah tiga petak
rumah kecil mungil dan indah.
Ketika mendengar suara tindakan orang, segera
wanita cantik itu memapak keluar sambil berseru,"Coba
... coba lihatlah apakah ini?"
Ternyata yang diunjukkan itu adalah sebuah mainan
kalung emas.
Siau Hong tahu mainan kalung begitu adalah barang
perhiasan kaum wanita yang sangat umum misalnya A
Cu juga mempunyai sebuah yang serupa, yaitu yang
1700
tempo hari akan dijual guna biaya perjalanan, tapi tidak
jadi dijual dan kini malahan terpakai di leher A Cu.
Di luar dugaan, mendadak air muka si lelaki setengah
umur berubah hebat demi melihat mainan kalung itu,
serunya dengan suara gemetar, 'Da ...darimana
kaudapatkan barang ini?"
"Terpakai di lehernya dan kuambilnya," demikian
sahut si wanita cantik dengan suara tersendat, "Dulu
telah kugores tanda pada lengan mereka, coba kau...
kaulihat sendiri sana!"
Cepat laki-laki setengah umur itu berlari masuk ke
dalam rumah. Mendadak A Cu juga menyelinap masuk
ke sana hingga mendahului si wanita cantik malah. Siau
Hong lantas menyusul juga di belakang si wanita cantik
itu.
Sesudah di dalam rumah, tertampaklah sebuah kamar
tidur kaum wanita yang terpajang sangat rajin dan resik.
Di antara rajin dan resik itu tersiar pula ada semacam
bau yang aneh, cuma Siau Hong tidak sempat
memikirkan lagi, ia lihat di atas dipan membujur si dara
baju ungu tadi dalam keadaan tak berkutik lagi. Nyatanya
orangnya sudah mati sejak tadi.
Dalam pada itu, si lelaki setengah umur telah
menggulung lengan baju anak dara itu untuk periksa
lengannya, sesudah melihat segera ia tutup kembali
lengan bajunya.
Siau Hong berdiri di belakang laki-laki itu, maka ia
tidak tahu tanda apa sebenarnya yang terdapat di lengan
anak dara itu. Hanya dilihatnya punggung laki-laki
setengah umur itu rada tergetar, suatu tanda
perasaannya sangat terguncang.
Pada lain saat si wanita cantik lantas jambret dada
baju si lelaki setengah umur sambil menangis dan
berteriak-teriak,"Lihatlah itu, putrimu sendiri telah
1701
kaubunuh pula, kamu tidak membesarkan dia, tapi malah
membunuhnya, kau ...sungguh seorang ayah yang
kejam!"
Keruan Siau Hong terheran-heran, pikirnya, "Aneh,
ternyata anak dara itu adalah putri mereka? Ah, tahulah
aku. Tentunya sesudah anak dara itu dilahirkan, lalu
dititipkan pada orang lain dan mainan kalung dan tanda
di lengan itu adalah tanda pengenal yang mereka
tinggalkan pada anak dara itu."
Mendadak Siau Hong melihat air mata A Cu
bercucuran, badab pun sempoyongan sambil
berpegangan tepi tempat tidur. Keruan ia terkejut, cepat
ia memburu maju untuk memayang A Cu. Sekilas
dilihatnya bola mata si anak dara yang sudah mati itu
bergerak sekali.
Sebenarnya mata anak dara itu terpejam rapat, tapi
biji matanya bergerak tetap kelihatan dari luar kelopak
mata. Namun Siau Hong sedang kuatirkan keadaan A
Cu, segera ia tanya, "Ada apa A Cu?"
Cepat A Cu berdiri tegak kembali, ia mengusap air
mata dan menjawab dengan senyum ewa, "Ah, tidak
apa-apa. Aku merasa sedih melihat ke ...kematian nona
yang mengenaskan ini."
Siau Hong merasa lega oleh keterangan itu. Sedang
si wanita cantik masih menangis sambil berkata, "Denyut
jantungnya sudah berhenti, napasnya juga sudah putus,
tak bisa tertolong lagi!"
Tapi diam-diam Siau Hong sangsi, ia coba
mengerahkan tenaga dalam dan disalurkan kepada anak
dara itu melalui urat nadi yang dipegangnya, menyusul ia
lantas kendurkan tekanan tenaganya. Benar juga terasa
olehnya dari badan anak dara itu tiimbul semacam
tenaga tolakan, nyata anak dara itu juga mengerahkan
tenaga dalam untuk menjaga diri.
1702
Maka tertawalah Siau Hong dengan terbahak-bahak,
katanya, "Nona senakal ini sungguh jarang ada di dunia
ini!"
Si wanita cantik menjadi gusar, semprotnya,"
Siapakah engkau ini? Aku kematian anak, tapi kamu
sembarangan mengoceh di sini. Ayo lekas enyah dari
sini!"
"Engkau kematian anak, bagaimana jika kuhidupkan
dia kembali?" ujar Siau Hong dengan tertawa. Dan sekali
tangannya bergerak, terus saja ia tutuk hiat-to bagian
pinggang anak dara itu.
Hiat-to yang diarah itu adalah 'keng-bun-hiat' yang
merupakan tempat halus yang bisa membuat orang
merasa geli. Karena tak tahan, anak dara itu lantas
mengikik tawa sambil melompat bangun dari tempat
tidurnya. Berbareng ia menjulur tangan kiri untuk pegang
pundak Siau Hong.
Orang mati bisa hidup kembali, keruan hal ini
membuat orang merasa heran. Serta merta si wanita
cantik bersorak gembira sambil pentang kedua tangan
hendak memeluk si anak dara.
Di luar dugaan, mendadak Siau Hong kipatkan tangan
si anak dara yang hendak memegang pundaknya tadi,
berbareng ia menampar pipinya hingga anak dara itu
sempoyongan, tapi Siau Hong lantas mengulur tangan
yang lain untuk menariknya sambil berkata dengan
tertawa dingin,"Hm, anak sekecil ini mengapa
sedemikian kejinya?"
"Hah, kenapa kaupukul anakku?" seru si wanita
cantik. Coba kalau tidak mengingat Siau Hong telah
menghidupkan putrinya, boleh jadi ia sudah
melabraknya.
Siau Hong lantas puntir tangan si dara yang
dipegangnya itu dan berkata, "Coba lihat!"
1703
Ketika semua orang memandang tangan anak dara
itu, ternyata yang digenggamnya adalah sebatang jarum
halus berwarna hijau mengkilap, sekali lihat saja orang
segera tahu itu adalah senjata rahasia berbisa.
Kiranya dengan pura-pura hendak memegang pundak
Siau Hong tadi diam-diam ia hendak menusuk bekas
Pangcu itu dengan jarum berbisa.
Untung Siau Hong cukup sigap dan jeli hingga tidak
dikerjai nona itu.
Dalam pada itu si nona sedang meraba-raba pipinya
yang merah bengap karena tamparan Siau Hong tadi.
Sudah tentu pukulan Siau Hong cuma perlahan saja,
kalau keras, mungkin kepalanya sudah pecah.
Karena tangannya terpegang Siau Hong hingga
tertangkap bukti, untuk melepaskan diri juga tak bisa
karena badan terasa lemas lantaran urat nadi tangan
terpencet Siau Hong. Tapi nona itu lantas main air mata,
ia mewek-mewek dan akhirnya menangis sambil
berseru,"O, kenapa engkau memukul aku, memukul anak
kecil!"
"Ai, sudahlah, jangan menangis!" demikian kata si
lelaki setengah umur. "Orang cuma memukulmu dengan
perlahan dan kamu lantas menangis, habis sedikit-sedikit
kauserang orang dengan am-gi berbisa, memang kamu
harus diberi hajaran."
"Jarum Pek-lian-ciam ini toh bukan am-gi paling lihai,
aku masih punya am-gi lain yang lebih hebat," kata si
anak dara sambil menangis.
"Ya, mengapa tidak kaugunakan Bu=hong-hun (bubuk
tak berwujud) atau Hu-kut-san(puyer pembusuk tulang)
atau kek-lok-ji (duri maha gembira) atau Coan-simting(
paku penembus hati)?" ujar Siau Hong dengan
menjengek.
"Dari mana kautahu?" mendadak anak dara itu
1704
berhenti menangis dan bertanya dengan heran.
"Sudah tentu aku tahu," sahut Siau Hong, "Aku tahu
juga gurumu adalah Sing-siok-hai-Lomo(Iblis dari Singsiok-
hai), maka kutahu pula macam-macam am gi
berbisa yang kaupakai itu."
Mendengar ucapan SIau Hong itu, semua orang
terkejut.
Iblis tua Sing-siok-hai adalah tokoh persilatan dari siapai
atau aliran jahat yang disegani setiap orang. Yang
menghormat padanya menyebutnya sebagai "Lojin" atau
si kakek, tapi yang tidak suka lantas menyebutnya
sebagai "Lomo" atau si Iblis tua.
Iblis itu tidak peduli benar atau salah, segala
kejahatan dapat diperbuatnya, dan justru ilmu silatnya
teramat tinggi hingga orang lain tidak berani mengapaapakan
dia. Sukur dia jarang datang ke daerah
Tionggoan hingga tidak banyak bencana yang
ditimbulkan olehnya.
"A Ci, mengapa kamu dapat mengangkat guru pada
Sing-siok-hai Lojin?" tanya si lelaki setengah umur.
Tiba-tiba mata si dara baju ungu terbelalak lebar
sambil mengamat-amat orang itu, tanyanya
kemudian,"Darimana kaukenal namaku?"
Laki-laki setengah umur itu menghela napas,
sahutnya, "Masakah percakapan kami tadi tidak
kaudengar?"
Nona itu menggeleng kepala, katanya ,"Sekali aku
pura-pura mati, maka pancaindraku menjadi mace
semuanya hingga tidak melihat dan tidak mendengar
lagi."
"Itu Ku-lok-kang(ilmu kura-kura mengeram) dari Singsiok
Lojin," kata Siau Hong sambil melepaskan tangan si
dara yang dipegangnya itu.
"Huh, sok tahu," A Ci atau si ungu melotot padanya.
1705
Lalu si wanita cantik memegangi A Ci dan mengamatamatinya
dengan tertawa, sungguh rasa girangnya tak
terkatakan.
Siau Hong tahu mereka adalah ibu dan anak,
sebaliknya A Ci yaitu si anak dara berbaju ungu belum
lagi tahu.
"Mengapa kamu pura-pura mati hingga membikin
kuatir kami," kata si lelaki setengah umur tadi.
"Habis, siapa suruh kaulemparkan aku ke danau?"
sahut A Ci dengan sangat senang, "Huh, engkau ini
bukan manusia baik-baik."
Laki-laki itu berpaling sekejap kepada Siau Hong
dengan air muka yang serba kikuk, katanya dengan
tersenyum getir, "Ai, nakal, sungguh nakal!"
Siau Hong tahu pasti banyak yang hendak
dibicarakan di antara ayah-bunda dan anak yang telah
bertemu kembali itu, maka ia menarik A Cu keluar hutan
bambu. Di sana dilihatnya kedua mata A Cu merah
bendul, badan gemetar terus, cepat tanyanya dengan
kuatir,"He, apa kamu tidak enak badan, A Cu?"
Segera ia pegang nadi tangan si gadis dan terasa
denyutnya sangat cepat, suatu tanda hatinya terguncang.
A Cu menggeleng kepala sambil menyatakan tidak
apa-apa. Kedua orang menikmati sebentar bambu yang
berbentuk persegi dan indah itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara tindakan orang
yang cepat, ada tiga orang tampak berlari ke arah sini,
satu di antaranya memiliki ginkang yang hebat sekali.
Tergerak hati Siau Hong, "Jangan-jangan Tai-ok-jin itu
sudah datang?"
Segera ia keluar hutan bambu, ia lihat ketiga orang itu
berlari datang menyusur jalan kecil di tepi danau, dan di
antaranya masing-masing memanggul seorang lagi.
Seorang lagi bertubuh pendek kecil dan jalannya secepat
1706
terbang seakan-akan kaki tidak menyentuh tanah. Begitu
cepat larinya hingga sering ia berhenti dulu untuk
menunggu kedua kawannya yang tertinggal di belakang.
Sesudah dekat, dapatlah Siau Hong melihat kedua
orang yang dipanggul itu adalah si lelaki gila berkapak
yang dilihatnya di kota itu, sedang seorang lagi adalah si
petani yang membawa cangkul.
Terdengar orang yang pendek kecil itu berteriak-
teriak,"Cukong! cukong! Tai-ok-jin telah datang, mari
lekas kita pergi saja!"
Baru dua kali ia berseru, tertampak si lelaki setengah
umur tadi sudah keluar dari hutan bambu sambil
menggandeng si wanita cantik dan si anak dara yang
bernama A Ci itu.
Muka mereka tampak ada bekas air mata. Cepat lakilaki
itu melepaskan kedua orang yang digandengnya
terus memburu ke samping orang-orang yang terluka itu,
ia periksa urat nadi mereka, ketika mengetahui tidak
membahayakan jiwa mereka, ia menampilkan rasa lega,
lalu katanya,"Ketiga saudara tentu lelah, untung luka
Siau dan Tang-hiante tidak gawat, maka legalah hatiku."
Segera ketiga orang yang baru datang itu memberi
hormat. Diam-diam Siau Hong heran,"Dari ilmu silat dan
lagak mereka, terang mereka bukanlah sembarangan
tokoh, tapi mengapa terhadap laki-laki setengah umur ini
mereka begini menghormat, sungguh sukar dimengerti."
Dalam pada itu orang yang pendek kecil tadi telah
berkata,"Lapor Cukong, dengan memakai sedikit siasat
Tai-ok-jin dapat hamba merintangi untuk sementara. Tapi
mungkin dia sudah melampaui rintangan itu, harap
Cukong lekas pergi dari sini saja."
"Sungguh tidak beruntung keluarga kami terdapat
keturunan durhaka seperti dia itu," demikian kata laki-laki
setengah umur. "Jika sekarang sudah kepergok di sini,
1707
jalan lain tidak ada lagi kecuali menghadapinya."
"Soal menghadapi musuh dan membasmi kejahatan
adalah tugas kewajiban hamba sekalian. Cukong harus
mengutamakan kepentingan negara dan lekas pulang ke
Taili agar Hongsiang tidak merasa kuatir." kata seorang
di antaranya yang bermata besar dan beralis tebal.
Siau Hong terkesiap mendengar pembicaraan itu,
pikirnya, "Aneh, mengapa pakai sebutan 'hamba' dan
'Cukong', lalu suruh dia lekas pulang Taili apa segala?
Masakah laki-laki setengah umur ini adalah orang dari
keluarga Toan di Taili?"
Begitulah diam-diam hati Siau Hong berdebar-debar,
ia membatin,"Jangan-jangan sudah ditakdirkan bahwa
keparat Toan Cing-sun ini secara kebetulan kepergok
olehku sekarang?"
Sedang Siau Hong merasa sangsi, tiba-tiba dari jauh
terdengar orang bersuit panjang nyaring, menyusul
terdengar seorang yang mirip gesekan benda logam
berkata,"Anak kura-kura she Toan, sekarang kamu tak
bisa lari lagi, boleh kauterima nasib saja dan mungkin
Locu menaruh belas kasihan dan jiwamu akan
kuampuni!"
Lalu suara seorang wanita menangapi,"Mengampuni
jiwanya atau tidak bukan hakmu, masakah Lotoa sendiri
tak bisa mengambil keputusan?"
"Ya, biarkan anak kura-kura she Toan itu tahu gelagat
dulu daripada berlagak gagah." ujar seorang lagi dengan
suara melengking aneh, tapi nadanya kurang tenaga
seakan-akan orang yang baru sembuh dari sakit berat
atau masih terluka dalam.
Siau Hong bertambah curiga mendengar laki-laki
setengah umur itu berulang-ulang disebut she Toan oleh
para pendatang itu. Tiba-tiba terasa sebuah tangan yang
kecil halus menggenggam tangannya, waktu ia melirik,
1708
kiranya A Cu, wajah gadis itu tampak pucat lesu, tangan
dingin pula. Segera ia tanya dengan perlaha,"A Cu, apa
kamu tidak enak badan?"
"Tidak, tapi ... tapi aku sangat takut, Toako," sahut A
Cu dengan tak lancar.
Siau Hong tersenyum, katanya, "Berada di samping
Toakomu ini, masakah perlu merasa takut kepada siapa
pun?"
Lalu ia merotkan mulut ke arah laki-laki setengah
umur tadi dan membisiki A Cu,"Orang ini agaknya
anggota keluarga Toan dari Taili."
A Cu tidak menjawab, tidak membenarkan juga tidak
membantah, hanya bibirnya tampak sedikit gemetar.
Dalam pada itu seorang yang berperawakan sedang
di antara ketiga orang yang baru datang tadi
berkata,"Cukong, urusan hari ini janganlah gegabah, jika
terjadi apa-apa atas diri Cukong, bagaimana kami ada
muka untuk menghadap Hongsiang kelak, maka tekad
kami adalah membunuh diri."
Kiranya laki-laki setengah umur itu memang benar
adalah adik baginda raja Taili, Toan Cing-sun bergelar
Tin-lam-ong. Oleh karena waktu mudanya ia memang
seorang "Arjuna", seorang romantis, maka di mana-mana
ia main roman dengan kaum wanita.
Dasar perawakannya gagah, tampang cakap,
pangeran pula, dengan sendirinya di mana-mana banyak
wanita cantik yang kepincut padanya. Pula sebagai
pangeran, soal punya empat istri atau lima selir adalah
soal lumrah.
Keluarga Toan mereka berasal dari kalangan Bu-lim
di Tionggoan, walupun kemudian menjadi raja di Taili,
tapi penghidupan mereka masih menurunkan ajaran
leluhur dan tidak berani terlalu mewah dan berlebihlebihan.
Di tambah lagi istri kawin Toan Cing-sun yaitu Si
1709
Pek-hong yang suka cemburu, bagaimanapun ia
keberatan kalau Toan Cing-sun mengambil istri kedua.
Tapi karena pangeran bangor itu masih suka main gila
dengan wanita lain, saking jengkelnya Si Pek-hong cukur
rambut menjadi Nikoh dengan gelar Yan-toan-siancu
(baca jilid 3).
Memang banyak juga kekasih Toan Cing-sun seperti
Cin Ang-bun yaitu ibu Bok Wan-jing. A Po istri Ciong
Ban-siu dan Wi Sing-tiok, ibu A Ci yang tinggal di hutan
bambu ini, semuanya adalah bekas gula-gulanya dan
mempunyai kisah roman sendiri sendiri.
Kedatangan Toan Cing-sun kali ini tujuan adalah
Siau-lim-si, tapi kesempatan ini telah dipergunakan untuk
menyambangi Wi Sing-tiok yang tinggal mengasingkan
diri di Siau-keng-oh yang indah ini.
Selama beberapa hari ini kedua kekasih lama sedang
tenggelam dalam lautan madu yang memabukkan, sama
sekali tak terduga oleh mereka bahwa putri kandung
mereka mendadak bisa pulang dan berkumpul kembali
dengan mereka. Dan selagi mereka merasa senang,
mendadak diketahui pula musuh besar sedang
mencarinya.
Tatkala Toan Cing-sun mengeram di tempat tinggal
Wi Sing-tiok, jago-jago pengawal yang dia bawa yaitu
Sam-kong, Su-un, tiga kong (gelar pahlawan) dan empat
jago terpendam masing masing berjaga di sekeliling
Siau-keng-oh.
Tak terkira musuh terlalu lihai, Jai-sin-khek Siau Toksing,
si tukang kayu dan Tiam-jong-san-long Tang Sukui,
si petani berturut-turut dilukai musuh besar itu.
Sedangkan Pit-bi-seng Cu Tan-sin, si sastrawan, salah
sangka Siau Hong sebagai musuh dan berusaha
menyesatkannya di jembatang batu itu, tapi gagal. Dan
Bo-sian-tio-toh Leng Jian-li si nelayan atau si tukang
1710
mancing malahan kena ditawan oleh jaring A Ci.
Ketiga orang tersebut belakangan itu adalah Taili
Sam-kong, yaitu Su-khonh Po Thian-sik, Su-ma Hoan
Hoa dan Su-to Hoa Hik-kim.
'Tiatia, hadiah apa yang akan kauberikan padaku?"
sahut A Ci dengan tertawa.
Cing-sun berkerut kening, katanya, "Kamu tidak
menurut, kusuruh ibu menghajarmu. Kau berani
menggoda Leng-sioksiok, ayo lekas minta maaf?"
"Jika begitu, engkau telah melemparkanku ke danau
hingga aku mesti pura-pura mati, kenapa engkau tidak
minta maaf juga padaku? Biar akupun minta ibu
menghajarmu!" sahut A Ci.
Diam-diam Pa Thian-sik dan lain-lain terkesiap,
karena muncul pula seorang putri TIn-lam-ong yang
nakal dan bandel, sedikitpun tidak kenal aturan kepada
orang tua. Walaupun nona cilik itu bukan putri Tin-lamong
yang resmi, tapi jelek-jelek adalah putri pangeran,
jika digoda olehnya seperti Leng Jian-li, wah, terpaksa
menganggap diri sendiri yang sial.
Sedang Cing-sun hendak omong pula, tiba-tiba Wi
Sing-tiok, si wanita cantik membuka suara,"A Ci
mestikaku, ayolah lekas, lepaskan Leng-sioksiok, nanti
ibu memberi hadiah bagus padamu."
"Berikan dula hadiahnya, akan kulihat apakah baik
atau tidak?" sahut A Ci sambil menyodorkan tangannya.
Sungguh Siau Hong sangat mendongkol melihat
kenakalan anak dara itu. Ia menghormati Leng Jian-li
sebagai seorang gagah, segera ia angkat tubuh si tukang
mancing itu dan berkata,"Leng-heng, jaring ini akan
kendur bila terkena air, biarlah kurendam sebentar ke
dalam air."
"Lagi-lagi kaucampur tangan urusan orang!" seru A Ci
dengan gusar. Tapi tadi dia telah ditampar sekali oleh
1711
Siau Hong, ia sudah kapok dan tak berani merintangi.
Segera Siau Hong membawa Leng Jian-li ke tepi
dananu, ia rendam sebentar di dalam air, benar juga
jaring dari benang halus itu lantas kendur dan mulur.
Maka dapatlah Siau Hong membuka jaring ikan itu untuk
membebaskan Leng Jian-li.
"Banyak terima kasih atas pertolongamu, Siau-heng,"
kata Leng Jian-li dengan suara perlahan.
"Bocah itu terlalu nakal, tapi tadi sudah kugampar dia
sekali untuk melampiaskan rasa dongkol Leng-heng,"
ujar Siau Hong dengan tersenyum.
Leng Jian-li hanya geleng-geleng kepala saja dengan
lesu.
Segera Siau Hong menggulung jaring halus itu, ia
kepal jaring itu hingga menjadi bola sebesar cangkir.
"Kembalikan padaku!" tiba-tiba A Ci mendekatinya
hendak meminta kembali jaring itu.
Tapi ketika Siau Hong mengangkat tangannya purapura
hendak menghajarnya, A Ci menjadi ketakutan dan
melompat mundur. Ia jawil ujung baju Toan Cing-sun dan
merengek-rengek,"Ayah, dia merampas jaringku,
mintakan kembali!"
Melihat tindak-tanduk Siau Hong agak aneh, Cing-sun
yakin orang tiada maksud jahat, tapi hanya sekadar
memberi hukuman saja kepada A Ci. Tidak mungkin
seorang tokoh demikian ingin mengangkangi barang
anak kecil.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Pa Thian-sik
berserum,"Selamat datang, In-heng! Sungguh aneh,ilmu
silat orang lain makin dilatih makin tinggi, mengapa Inheng
justru terbalik, makin berlatih makin mundur?
Ayolah turun kemari!"
Habis berkata, terus saja ia menghantam pohon di
sampingnya, "krek", ranting pohon terhantam patah,
1712
berbareng dengan jatuhnya ranting kayu itu ikut
melompat turun pula seorang yang sangat tinggi, tapi
kurus kering, itulah dia "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho,
satu di antara Su-ok yang maha jahat itu.
Waktu di Cip-hian-ceng tempo hari In Tiong-ho kena
dihantam sekali oleh Siau Hong dan jiwanya hampir
melayang, untung luka itu dapat disembuhkannya, tapi
lwekangnya jauh mundur daripada dulu. Tempo hari
ketika dia bertanding ginkang dengan Pa Thian-sik di
Taili, kepandaian kedua orang boleh dikatakan
seimbang, tapi kini demi mendengar suara gerakan
lawan itu, segera Pa Thian-sik tahu kepandaian lawan itu
benyak lebih mundur daripada dulu.
Ketika mendadak nampak Siau Hong juga berada di
situ, In Tiong-ho terkejut, cepat ia putar balik memapak
ketiga orang yang sedang mendatang dari jalan kecil di
tepi danau sana.
Ketiga orang itu yang berada paling kiri berkapala
batok dan berpakaian cokak, itulah "Hiong-sin-ok-sat"
alias Lam-hai-gok-sin. Yang sebelah kanan membopong
seorang bayi, itulah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio. Dan
orang yang berada di tengah, berjubah hijau dan
memakai dua batang tonkat bambu hitam gelap,
mukanya kaku seperti mayat hidup, itulah dia kapala Su
ok bergelar "Ok-koan-boan-eng" Toan Yan-khing adanya.
Su-ok jarang datang ke Tionggoan, lebih-lebih Toan
Yan-khing, dia jarang tampil ke muka umum, maka Siau
Hong tidak kenal padanya. Tapi Toan Cing-sun pernah
bertemu dengan Su-ok di Taili, ia tahu Yap Ji-nio dan
Gal-losam meski cukup lihai, namun masih dapat
dilawan, sebaliknya Toan Yan-khing inilah yang lain
daripada yang lain, sudah mahir It-yang-ci dari keluarga
Toan, berhasil melatih pula ilmu Sia-pai yang sangat
lihai, tempo hari sampai Ui-bi-ceng dan Po-ting-to Toan
1713
Cing-beng juga kewalahan melawannya. Dengan
sendirinya Toan Cing-sun insaf dirinya bukan tandingan
Yan-khing Taicu itu.
Seperti telah diceritakan bahwa Toan Yan-khing
sebenarnya adalah putra mahkota raja Taili yang dulu.
Ayahnya yaitu Toan Lim-gi dengan gelar Siang-tel-te,
telah dibunuh oleh menteri dorna, dalam keadaan kacau
Yan-khing Taicu telah menghilang. Maka tahta kerajaan
Taili akhirnya terturun sampai di tangan Toan Cing-beng.
Kini munculnya Yan-khing Taicu justru ingin menagih
kembali tahta ayah bagindanya itu. Ia tahu Toan Cingsun
adalah adik baginda raja Taili sekarang, raja Taili
sekarang tidak punya keturunan, tahta tentu akan
diteruskan oleh Toan Cing-sun, kalau sekarang Toan
Cing-sun dapat dibunuh lebih dulu, itu berarti sudah
hilang suatu rintangan bagi maksud tujuannya.
Sebab itulah, demi didengarnya Toan Cing-sun
datang ke Tionggoan, ia terus mencari dan menguntitnya
hingga sampai di Siau-keng-oh. Di tengah jalan Siau
Tok-sing dan Teng Su-Kui tidak berhasil merintangi
kedatangan Yan-khing Taicu itu, bahkan mereka dilukai,
yang satu terkena Liap-hun-tai-hoat hingga hilang
ingatan dan yang lain dada terjojoh oleh tongkat bambu
hingga berlubang.
Begitulah maka Su-ma Hoan Hoa yang banyak tipu
akalnya itu segera memberi usul,"Cukong,Toan Yankhing
itu bermaksud jahat atas dirir Cukong, demi
kepentingan negara, hendaklah CUkong lekas pulang ke
Thian-liong-si untuk mengundang para padri saleh di
sana guna melawan durjana ini!."
Dengan usul ini, maksudnya minta Toan Cing-sun
suka pulang ke Taili, di samping itu jika Yan-khing berada
di di dekat situ, ia sengaja perkeras ucapannya itu agar
1714
musuh merasa sangsi jangan-jangan para padri yang
lihai dari Thian-liong-si juga berada di situ.
Jilid 36
Namun Toan Cing-sun tahu urusan hari ini sangatlah
berbahaya, di antara jago-jago Tayli yang ada di situ
sekarang ia sendirilah yang paling kuat, jika ia
meninggalkan kawan-kawan lain untuk menyelamatkan
diri sendiri, lalu kemanakah mukanya akan ditaruh kelak?
Apa lagi dihadapan kekasih dan putrinya, mana bole dia
merendahkan pamor sendiri? Maka dengan tersenyum ia
menjawab kedatangan Su-ok itu, "Ha-ha ha ha, urusan
keluarga Toan kami ternyata mesti diselsaikan di wilayah
Song, sungguh aneh urusan ini."
"He, Toan Cing-sun, setiap kali aku bertemu
denganmu, selalu kamu lagi berkumpul dengan
beberapa perempuan cantik. Wah, rejekimu dalam hal
perempuan sungguh luar biasa baiknya.: demikian Yap
Ji-ni menyapa dengan tertawa.
Sebaliknya Lam-hai-gok-sin terus memaki, "Anak
kura-kura ini tentu sudah kelewat puas main perempuan,
biarlah sekarang Locu mengacipnya menjadi dua
potong!"
Habis berkata, segera ia keluarkan "Gok-cuipcian"
atau kacip congor buaya, dan menerjang maju ke arah
Toan Cing-Sun.
Dengan jelas Siau Hong dengar Yap Ji-nio menyebut
orang setengah umur itu sebagai Toan Cing-sun, sedang
1715
yang ditegurpun tidak menyangkal, hal ini ternyata cocok
seperti dugaan Siau Hong, maka dengan perasaan
terguncang ia berpaling dan berkata kepada A
Cu,"Ternyata benar dia adanya."
"Apakah ... apakah engkau akan mengerubnya dan
menyerangnya tatkala dia terancam bahaya lain?" tanya
A Cu dengan suara gemetar.
Namun perasaan Siau Hong saat it sangat kusut, ia
murka dan girang pula, sahutnya dengan dingin, "Sakit
hati ayah-bunda, dendam Suhu dan ayah-ibu angkatku,
serta rasa penasaranku yang difitnah, hm, semua itu
masakah boleh kutinggal diam, masakah aku masih perlu
bicara tentang kejujuran dan keadilan serta peraturan
kangou apa segala dengan dia?"
Ucapan itu sangat perlhan, tapi penuh rasa dendam
kesumat dan kebulatan tekad yang tak terpatahkan.
Dalam pada itu demi nampak Lam-hai-gok sin sudah
mulai menerjang maju,. segera Hoan Hoa mengatur
siasat, bisiknya perlahan kepada kawan-kawannya, "Hoa
toako, Cu-hiante, silahkan kalian keroyok orang dogol ini!
Harus menyerang serentak dan menggempur sekuatnya,
lekas, membereskan dia lebih baik, kaki tangan musuh
dipreteli dulu, habis itu mush utamanya akan mudah
dilawan."
Hoa Hik-Kin dan Cu Tan-sin mengiakan bersama,
cepat mereka memapak maju. Meski kepandaian mereka
masing-masing cukup kuat untuk menandingi Lam-huigok-
sin, pula agak kurang terhormat main keroyok, tapi
demi mendengar penjelasan Hoan Hoa tadi, mereka
1716
merasa siasat itu cukup beralasan. Toan Yan khing
terlalu tangghu untuk dilawan, jika mesti satu lawan satu,
tiada seorangpun di antara mnreka yang mampu
melawannya, jika nanti serentak mreka mengerbutnya,
boleh jadi keadaan masih bisa dikuasai.
Maka dengan senjata cangkul baja segera
Hoa Hik-kin mendahului menyerang disusul oleh Cu
Tan-sin dengan Pit bajanya terus mengerubuti Lam-haigok-
sin.
Lalu Hoan Hoa berkata pula, "Sekarang Pa-hiante
boleh membereskan kenalanmu yang lama itu, aku dan
Leng-hiante akan melawan perempuan itu."
Sekali Pa Thian-sik mengiakan, terus saja ia
menuburuk ke arah in Tiong ho. Sedangkan Hoan Hoa
dan Leng Jian-li juga serentak melompat maju.
Senjata andalah Leng Jian-li sebenarnya adalah
gagang pancing yang telah dilempar ke danau oleh ACi.
Kini ia sambar pacul Tang Su-koi sebagai gantinya.
Melihat manunya mush-mush itu Yap Jipnio
tersenyum, sekali lihat gerakan lawan, segera ia tahu
Hoan Hoa adalah lawan tangguh. Ia tidak berani ayal, ia
lemparkan bayi yang digendungnya iut ke tanah, ketika
tangannya menjulur ke depat lagi, tahu-tahu ia sudah
memegang sebatang bolok yang lebar dan tipis, tadinya
golok itu entah disimpan di mana, tahu-tahu sudah
diloloskan keluar.
1717
Di luar dugaan, mendadak Leng Jian-li menggertak
keras, tapi bukannya menerjang, di mana Yap Jinio
sebaliknya menyerbu Toan Yang Khing.
Keruan Hoan Hoa kaget, cepat seru..
"Leng hiante bukan ke sana tapi ke sini, kemarilah!"
Namun Leng Jian-li seperti tidak mendengar lagi,
bahkan paculnya diangkat terus menyerepang pinggang
Toan Yan-khing.
Toan Yang-khing cuma tersenyum dingin saja, sama
sekali ia tidak berkelit, sebaliknya tongkat bambu sebelah
kiri terus menutuk kemuka lawan malah.
Tampaknya tutukan tongkat itu seperti dilakukan
seenaknya saja, tapi waktnunya da jitunya ternyata
diperhitungkan dengan tepat, yaitu sedetik lebih dulu
sebelum pacul Leng Jian-li mengenai sasarannya.
jadimenyerang belakangan tapi tiba lebih dulu, lihainya
sungguh tak terkatakan.
Serangan yang berbahaya itu sebenarnya mua tak
mau Leng Jian-li harus menghindarkannya. Siapa dugu
serangan Toan Yan-khing itu sedikitpun tidak digubris
oleh Leng Jian-li sebaliknya ia ayunkan paculnya
semakin kuat dan tetap menghantam ke pinggan lawan.
Keruan Toan Yan-khing terkejut, pikirnya
1718
Jangan-jangan ini orang gila?" Sudah tentu ia tidak
mau terluka bersama Leng Jian-li, bila tongkatnya dapat
mampuskan dia, pinggan sendiri juga pasti akan terluka
parah. Maka cepat ia tutuk tongkat akanan ke tanah,
tubuh terus menapung ke atas.
Melihat lawan meloncat ke atas, segera pacul Leng
Jian-li itu menyodok ke perut Toan Yan-khing.
Sebenarnya kepandaian Leng Jian-ji adalah kegesitan
dan kelincahan, sudah tentu pacul itu bukan senjata yang
cocok baginya. malahan sekarang ia bertemput dengan
nekat dan ngawur, setiap serangan selalu mengincar
tempat mematikan di tubh Toan Yan-kihing, sedangkan
keselamatan diri sendiri sama sekali tak terpiki olehnya.
Menghadapi orang nekat dan kalap demikian biarpun
ilmu silat Toan Yangkhing sangat tinggi terpaksa
terdesak mundur juga berulang-ulang. Namun demikian
tetap Leng Jian-li tak bisa mengenai sasaranya,
sebaliknya dalam sekeja saja di tanah rumput di tepi
danau ini sudah penuh tetesan darah.
Kiranya waktu Toan Yang-khing menghindar atau
melompat mundur, setiap kali tongkatnya pasti kena
menjotoh tubuh Leng Jian-li, di mana tongkatnya sampai,
di bagian tubuh Leng Jian-li lantas berlubang. Tapi Leng
Jian0li sudah tak merasakan sakit lagi, ia mainkan
paculnya semakin kencang dan menyerang semakin
kalap.
Akhirnya Toan Cing-sun menjadi kuatir, cepat ia
berseru, "Leng-hiante, lekas mundur, biar kutempur
pengganas ini!"
1719
Segera ia sambar sebatang pedang dari tangan
kekasihnya dan menerjang maju untuk mengeroyok Toan
Yan-khing.
" Mundurlah Cukung!" seru Leng Jian-li
Sudah tentu Cing-sun tak mau menurut, kontan
pedangnya menusuk ke dada Toan Yan khing.
Mendadak Yan-khing Taicu menahan tubuh dengan
tongkat kanan, tongkat kiri leibh dulu dipakai menangkis
pacul Leng jian-li menyusul pada kesempatan ia terus
menutuk muka Toan Cing-sun.
Tapi Cing-sun cuku tenang, ia tidak kalap seperti
Leng Jian li, sedikit menggeser ke samping tehrindarlah
serangan Yan-khing Taicu itu.
Mendadak Leng Jian-li mengerung bagai harimau
ketaton, sekonyong-konyong pacul membalik dan
menyerang Toan Cing-sun malah. Keruan Cing-sun
kaget, hampir jidatnya kena genjot pacul, sama sekali tak
tersangka olehnya bahwa kawan yang sangat setia itu
mendadak bisa menyerangnya.
Melihat kekalapan Leng Jian-li, Hoan Hoa, Cu Tan-sia
dan lain lain menjadi kuatir, mereka berteriak-teriak,
"Leng-hiante, lekas mundur untuk mengaso dulu!"
Tapi Leng Jian-li masih terus menggerung-gerung
seperti orang gila dan merangsang ke arah Toan Yangkhing.
Sementara itu Hoan Hoa dan kawan-kawannya di
satu pihak dan Yap Ji-nio, Lam-hai-sok-sia dilain pihak
sudah sama berhenti bertempur untuk menyaksikan
1720
pertarungan Toan Yan-khing dan Leng Jian-li demi
nampak yang tesebut belakangan ini seperti orang
kurang waras pikirannya.
"Leng-toako, silakan mundur dulu" demikian Cu Tan-
sin memburu maju untuk menarik Leng Jian li, tapi malah
kena dijotos sekali oleh saudara angkat itu hingga hidung
dan mata matang biru.
Menghadapi lawan kalap begitu sesungguhnya juga
buka keinginan Toan Yan-khing. Sementara itu mereka
sudah begebrak hampir 30 jurus, sudah belasan luka
tongkat Toan Yan-khing menikam bada Long Jian-li.Tapi
Leng Jian-li masih terus berteriak-teriak dan menpurnya
dengan nekat.
Cu Tan-sin tahu bila diteruskan akhirnya Leng Jian-li
pasti tak terluput dari binasa, dengan air mata berlinanglinang
segera ia bermaksud menerjang maju untuk
membantu.
Tapi belum lagi ia bertindak, sekonyong-konyong
termapak Leng Jian-li menimpukan paculnya ke arah
mush dengan sekuatnya. Tapi sekali Toan Yan-khing
mencungkil dengan tongkatnya batang pacul itu, dengan
enteng sekali pacul itu melayng jauh ke sana. Itulah ilmu
"Si nio-poat-jian-king" atau empat tahil menyampuk
seribu kati, ilmu sakti yang mengagumkan.
Dan belum lagi pacul itu jatuh ke tanah, mendadak
Leng Jian-li ikut menubruk ke arah Toan Yan-khing. Tapi
Tan-khing Taicu menyambutnya dengan tersenyum,
tongkat terus menikam ke dada lawan itu.
1721
"Celaka!" seru Toan Cing-sun, Hoan Hoa dan lain-
lain, berbareng mereka memburu maju buat membantu.
Tapi tusukan tongkat Yan-khing Taicu itu cepat luar
biasa, "bles", dada Leng Jian-li tertikam dengan tepat,
bahkan terus tembus ke punggung. Dan begitu tongkat
berhasil menusuk kesasaranya, tongkat Yan-khing yang
lain lantas menutul tanah hingga tubuhnya melayang
mundur beberapa meter jauhnya.
Seketika dada dan punggung Leng Jian-li
menyemburkan darah segar, ia masih hendak memburu
musuh, tapi baru selangkah ia tahu maksud ada tenanga
sudah habis. Segera ia berpaling dan berkata kepada
Toan Cing-sun, "Cukong, Leng Jian-li lebih suka mati
daripada dihina, selama hidupku ini dapatlah
kupertanggung jawabkan kepada keluarga Toan dari
Tayli."
"Leng-hiante," sahut Cing-sun dengan air mata
melelh, "akulah yang tak bisa mengajar anak sehingga
membikin susah padamu, sungguh aku merasa malu tak
terhingga."
Lalu Leng Jian-li berkata kepada Cu Tan-sin dengan
tersenyum, "Cu-hiante, biarlah kakakmu ini mangkat
dulu. Engkau...kau..."
Sampai di sini mendadak ia tidak dapat meneruskan
lagi, napasnya lantas putus dan meninggal, tapi
tubuhnya tetap tegak tak mau roboh.
Mendengar ucapan "lebih suka mati daripada dihina"
itu, tahulah semua orang sebabnya dia menempur Toan
1722
Yan Khing dengan kalap adalah karena merasa terhina
oleh perbuatan A Ci yang telah meringkusnya dengan
jaring ikan, maka ia menjadi nekat, lebih suka gugur di
meda pertempuran daripada menananggung malu yang
tidak mungkin dibalasnya mengingat anak dara itu
adalah putri junjungannya walaupun tidak resmi.
Cu Tan-sin, Tang Su kui dan Siau Tiok-sing menangis
sedih, meski luak mereka belum sembuh, dengan nekat
mereka pun ingin mengadu jiwa dengan Toan Yan khing.
"Huh, ilmu silatnya tidak tinggi, tapi main hantam
begitu hingga jiwanya melayang, sunggun seorang maha
tolol.: demiian tiba-tiba suara seorang wanita berolokolok.
Ternyata yang bicara adalah A Ci. Memangnya Toan
Cing-sun dan lain-lain lagi berduka, keruan mereka
menjadi gusar oleh ucapan anak dara itu. Hoan Hoa dan
lain-lain melototi A Ci dengan gusar, cuma mengingat
anak dara itu adalah putri majikan, maka mereka tidak
berani umbar kemurkaan padanya. Sebaliknya Toan
Cing-sun menjadi gemas juga, terus saja ia ayun tangan
menggampar muka anak dara yang binar itu.
Syukur Wi Sing-tiok keburu menagkiskan tamparan itu
sambil mengomel. "Sudah belasan tahun tidak urus
orang, baru bertemu sekarang lantas tega
menghajarnya?"
Selama ini Toan Cing-sun memang merasa berdosa
terhadap Wi Sing-tiok, makanya segala apa ia suka
menurut pada apa yang dikatakan kekasih itu, dengan
sendirinya lebih0lebih tidak mau cecok dihadapan orang
1723
luar, maka tangan yang sudah hampir beradu dengan
tangan Wi Sing-tiok itu cepat ditarik kembali, lalu
dampratnya kepada A Ci, "Kamu telah bikin mati orang,
kau tahu tidak?"
Tapi A Ci menjawab dengan mendengus, "Huh,
semua orang menyebutmu sebagai 'Cu kong', itu berati
pula aku adalah majikan kecil mereka, kalau cuma
membunuh seorang du orang budak apa artinya?"
Pada jaman itu memang ikatan peraturan feodal
sangat menyolok. Kaum budak atau bawahan tidak
mungkin membangkang kepada majikan atau atasan,
biarpun disuruh mati juga harus mati.
Leng Jian-li dan kawan-kawannya adalah petugas
kerajaan Tayli, dengan sendirinya mereka sangat
menghormat kepada keluarga Toan. Tapi keluarga Toan
berasal dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, selamanya
mereka taat pada peraturan kangouw yang belaku.
Biarpun Hoan Hoa, Leng Jian li dan kawan-kawannya
menghamba kepada keluarga Toan, tapi selamanya
Toan Cing-beng dan Cing sun memandangnya sebagai
saudara sendiri, apalagi A Ci cuma putri Cing-sunyang
tidak resmi alias anak haram.
Sungguh duka dan pedih sekali Toan Cing-sun oleh
kematian Long Jian-li dan kenakalan putrinya itu, ia
merasa malu terhadap saudara-saudara angkatnya itu..
Tanpa pikir lagi ia jinjing pedangnya terus melompat
maju, katanya sambil menuding Toan Yan-khing, "Jika
kauingin membunuh aku, marilah silahkan. Keluarga
Toan kita mengutamakan kebajikan dan keadilan, kalau
1724
membunuh secara sewenang-wenang, biarpun dapat
merebut negara juga takkan tahan lama."
Diam-diam Siau Hong tertawa dingin, "Hm, manis
betul ucapanmu, dalam saat demikian masih pura-pura
menjadi jantan?"
Dalam pada itu Toan Yan-khing sudah melompat
maju ke depat. Cing-sun dan menyambut, "Kauingin
menempur aku denga satu lawan satu dan tidak perlu
mengikut campurkan orang lain, bukan?"
"Betul, " sahut Cing-sun. "boleh kaubunuh aku, lalu
kembali ke Tayli untuk membunuh kakak baginda. Tapi
apakah cita-citamu ini bisa terlaksana atau tidak
bergantung pada peruntunganmu. Adapun anggota
keluargaku dan para bawahnku tiada sangkut-paut apaapa
dengan percecokan kita ini."
"Tidak, anggota keluargamu harus kubasmi habis dan
bawahanmu boleh kuampuni." sahut Yan0khing taicu
dengan menjengek. "Dahulu kalian berdua tidak dibunuh
oleh ayah baginda, makanya terjadi perrebutan tahta
seperti sekarang."
Habis bicara, tongkatnya terus menunuk ke muka
Toan Cing-sun Cing-sun pernah mendengar cerita
tentang ilmu silat Yan-khing Taicu sangat lihat, ilmu
silatnya dari aliran baik berasal dari keluarga Toan
sendiri, sedangkan kepandaian dari Sia-pai yang aneh
dan hebat itu tak diketahui dari mana asalnya.
Maka Cing-sun tidak berani gegabah, ia melompat ke
kiri, ia memberi hormat kepada Leng Jian-li yang sudah
1725
tidak bernyawa lagi tapi masih berdiri tegak itu dan
berkata, "Leng hiante,Hari ini kita bahu membahu untuk
menghalau musuh,"
Lalu ia berpaling dan berkata kepada Hoan Hoa,
"Hoan suma, jika aku mati, harap kuburkan aku sejajar
dengan Leng-hiante tanpa membedakan antara majikan
dan hamba."
"Hehehe, masih berlagak sbagai ksatria, apa kah
ingin orang lain kagum padamu lalu jual nyawa
padamu?" demikian Yan-khing Taicu menjengetk.
Tanpa bicara lagi pedang Cing sun menusuk ke depat
dengan gerakan "ki-li-toan-kim" atau tajamnya sanggup
memotong emas, yaitu satu jurus pembukaan dari "Toan
keh kiam" (ilmu pedang keluarga Toan).
Sudah tentu Yan-khing Taicu kenal tipu serangan itu,
segera ia pun balas menyerang dengan tongkatnya
dalam gaya permainan pedang. Sekali gebrak, yang
dikeluarkan kedua orang itu sama-sama ilmu silat ajaran
leluhur mereka.
Memang Toan Yan-khing tertekad akan membunuh
Toan Cing sun dengan "Toan keh kiam" saja, sebab citacitanya
adalah ingin merebut tahta kerajaan Tayli, jika di
hadapan Sam kong dan Su-un yang ikut hadir sekarang
ia gunakan ilmu silat dari Sia pai untuk membunuh Toan
Cing-sun, pasti para pembesar dan ksatria Tayli takkan
takluk padanya, tapi kalau dapat mengalahkan dia
dengan "Toan-keh kiam" dari leluhur sendiri, maka
sejumlah kepandainnya dengan kedudukannya nanti dan
1726
tiada seorangpun yang punya alasan untuk menolaknya
sebagai ahliwariskkerjaan Tayli yang tepat.
"Cing-sun merasa lega demi nampak lawan cuma
memainkan ilmu silat keluarga sendiri, dengan tenang
dan penuh perhatian ia mainkan pedangnya dengan
rapat. Para penonton yang hadir di situ adalah tokohtokoh
pilihan semua, mereka sama kagum melihat
kepandaian Toan Cing-sun yang hebat itu.
Sebaliknya kedua tongkat bambu hitam yang dipakai
Yan-khing Taicu itu juga sangat aneh keras bagai baja,
sedikitpun tidak rusak jika kebentur dengan pedang Toan
Cing-sun. Kedua orang sama-sama menggunakan
"Toan-keh-kiam hoat" dari leluhur mereka, dengan
sendirinya sukar untuk menentukan kalah menang dalam
waktu singkat.
Diam-diam Siau Hong pikir, "Inilahsuatu kesempatan
yang paling bagus, selama ini akau kuatirkan kelihaian
itpyang-ci dan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan, kini
kebetulan keparat Toan Cing-sun ini menghadapi musuh
tangguh, bukan mustahil sebentar lagi Lak-meh-sin-kiam
itu akan dikeluarkannya, ingin kulihat sampai di mana
kehebatan ilmu pedang itu."
Sesudah belasan jurus, Siau Hong melihat
pertarungan kedua orang itu bertambah sengit. Tongkat
bambu Yan-khing Taicu kelihatannya enteng sekali, tapi
lambat laun berubah menjadi antap sekali gerakannya
sehingga pedang Toan Cing-sun setiap kali kebentur,
jarak pentalnya menjaditambah jauh pula.
1727
Sebagai seorang ahli permainan Pak-kau-pang, diamdiam
Siau Hong kagun. "Ini dia, kepandaian asli telah
dikeluarkan, tongkat bambu yang enteng begini dapat
dimainkan sebagai toya baja yang antap, nyata memang
bukan sembarangan jago silat"
Sebaliknya Toan Cing-sun sudah mulain kewalahan,
setiap kali ia menangkis serangan lawan, slalu terasa
ditindih tenaga sehebat bukit hingga napas menjadi tak
lancar. Padahal ilmu silat keluarga Toan paling
mengutamakan lwekang, sekali pernapasan kurang
lancar, itulah tanda bakal keok.
Tapi Cingpsun tidak menjadi gugup, ia sudah tidak
pikirkan mati hidupnya lagi, ia merasa selama hidup ini
sudah kenyang merasakan hidup bahagia, kalau kini
tewas di tepi Siau-keng-oh juga tidak penasaran. Apalagi
seorang kekasih seperti Wi Sing-tiok sedang mengikuti
pertempurannya dengan penuh perhatian, biarpun mati
juga rela pikirnya.
Kiranya memang begitulah jiwa "hidung belang" Toan
Cing-sun, di mana mana dia mempunyai gendak, di
mana-mana ia main cinta, dan setiap kali berada
bersama dengan kekasinya selalu ia unjuk cinta sehidup
semati, biarpun korban jiwa seketika itu bagi sang
kekasih juga dia rela, tapi kalau sudah berpisah, semua
itu lantas dibuatnya ke awang-awang dan tak terpikir lagi
olehnya.
Begitulah Toan Yan-khing masih terus perhebat daya
tekannya, sampai lebih 60 jurus, tatkala Toan-keh-kiamhoat
hampir selesai dimainkan. ia lihat ujung hidung Toan
1728
Cing-sun sedikit berkeringat, tapi tenaga masih cukup
dan napas masih panjang teratur.
Padahal diketahuinya Toan Cing-sun itu suka main
perempuan, tenaga dalamnya ternyata sangat kuat,
dengan sendirinya ia tidak berani gegabah. Ia kerahkan
tenaga lebih hebat hingga setiap kali tongkat menyerang
selalu membawa suara mencicit perlahan, dan setiap kali
Cing-sun menangkis, selalu ia tergetar dan menggeliat.
Melihat itu, Hoan Hoa dan lain lain tahu majikan
mereka sudah mulai tak tahan, sekali mereka saling
memberi isyarat, serentak mereka siap untuk
mengerubut maju.
"hihihi, sungguh menggelikan!" demikian tiba-tiba
suara seorang gadis cilik mengikik tawa. "Keluarga Toan
dari Tayli terkenal sebagai kaum pahlawan dan ksatria
sejati, kalau main kerubut, apakah hal ini takkan dibuat
tertawaan orang?"
Hoan Hoa dan lain-lain melengak, mereka tahu itulah
suara A Ci. Karuan mereka melongo. Sudah terang
orang yang lagi terancam bahaya adalah ayah si gadis,
hal ini sudah diketahuinya, mengapa ia malah berolokolok
dan menyindir ayah sendiri?
Wi Sing-tiok menjadi gusar juga, omelnya "A Ci, kamu
anak kecil tahu apa" Ayahmu adalah Tin-lam ong dari
negri Tayli, orang yang bergebrak dengan dia itu adalah
penghianat dari keluarganya, jika kawan-kawan yang
merupakan pengabdi negeri Tayli ini ikut turun tangan
membasmi orang durhaka itu, masakan hal ini dapat
main kerubut segala?"
1729
Lalu ia berseru kepada Hoan Hoa dan lain-lain.
"Ayolah kawan-kawan, terhadap durjana penghkhianat
itu masakan perlu bicara tentang peraturan kangouw?"
Tapi A Ci berkata pula dengan tertawa, "Ucapanmu
agak aneh juga, ibu. Jika ayahku adalah seorang ksatria
sejati segera juga aku akan mengakui dia. Tapi bila dia
seorang manusia rendah dan pengecut, buat apa aku
mempunyai ayah begitu?"
Suara A Ci itu cukup keras dan nyaring hingga dapat
didengar oleh siapapun juga. Karuan Hoan Hoa dan lain-
lain merasa serba salah dan ragu apakah mesti maju
membatu atau tidak?
Meski Toan Cing-sun itu seorang bangor tapi dia
sangat sayang juga kepadasebutan "Eng-hiong-ho-han"
atau pahlawan dan kesatria. Dia sering kali membela diri
dengan alasan "kaum pahlawan juga tidak terhindar dari
godaan wanita". Sebagai contoh ia kemukakan seperti
Han-ko-co Lau Pang yang tegoda oleh Jik-hujin dan Li
Si-bin dengan Bu-cek-thian yang terkenal dalam serjarah
itu. Tetapi dalam hal perbuatan rendah secara pengecut
sekali-kali tidak nanti dilakukannya.
Maka ketika mendengar ucapan A Ci tadi, ia segera
berseru, "Mati atau hidup, menang atau kalah, kenapa
mesti dipkirkan? Jangan kalian ikut maju, siapa saja yang
maju membantu aku berarti memusih aku Toan Cingsun."
Ia bicara sambil bertempur, sudah tentu tenaga
dalamnya agak berkurang. Tapi Toan Yan-khing tidak
1730
mau mengambil keuntungan itu, ia tidak mendesak,
sebaliknya mundur dulu membiarkan lawannya bicara.
Tentu saja Hoan Hoa dan lain-lain bertambah kuatir,
melihat sikap Toan Yan-khing yang tenang itu, jelas
musuh itu sudah yakin pasti akan menang, maka tidak
perlu menyerang waktu perhatian lawan terpencar.
"Silahkan mulai lagi?" kata Cing-sun kemudian
dengan tersenyum, lengan bajunya terus mengebas dan
menyusul pedang menusuk.
"A Ci, lihatlah betapa lihainya ilmu pedang ayahmu
itu, kalau dia mau membinasakan mayat hidup itu, apa
susahnya?" demikian kata Wi Sing-tiok.
"Kalau ayah dapat mengalahkan dia, itulah paling
baik," sahut Aci. "Tapi aku justru kuatir ibu hanya keras di
mulut dan lemas di hati. Lahirnya gagah perwira, tapi
dalam batin ketakutan setengah mati."
Ucapan itu tepat kena dilubuk hati Wi Sing-Tiok.
Keruan ia melotot kepada putrinya yang nakal itu,
pikirnya, "Budak ini benar-benar keterlaluan cara
bicaranya."
Dalam pada itu tertampak pedang Cing-sun beruntu
menyerang tiga kali, tapi tenaga tolakan Yan-khing Taicu
juga tambah kuat, setiap serangan lawan selalu didesak
kembali.
Ketika serangan keempat dilontarkan Toan Cin-sun
dengan tipu "Kim-ma-thing-kong" (kuda emas melayang
di udara_, pedangnya menyabet dari samping. Tapi
1731
tongkat kiri Yan Khing Taicu lantas menutuk ke depan
dengan tipu "Pik-khe po-hian" (ayam jago berkeluruk di
pagi hari) Begitu pedang dan tongkat beradu, seketika
melengket menjadi satu hingga sukar dipisahkan.
Dengan cepat Yan-khing Taicu mengerahkan tenaga
dengan maksud mementalkan pedang lawa, tapi gagal
selalu, mendadak tenggorokannya mengeluarkan suara
"krak-krok" seperti orang sakit genget, tiba-tiba tongkat
kanan menahan tanah dan tubuh lantas terapung ke
atas, sedang ujung tongkat kiri masih tetap melengket di
ujung pedang Toan Cing-sun.
Keadaan sekarang mejadi yang satu berdiri tegak di
tanah dan yang lain terapung diudara sambil bergerakgerak
kian kemari. Semua orang bersuara kuatir sebab
tahu pertarungan ke dua orang itu sudah meningkat
hingga mengadu tenaga dalam yang menentukan.
Cing-sun berdiri di tanah, sebenarnya lebih
menguntungankan karena dapat bertahan lebih kuat.
Akan tetapi Toan Yan khing terapung di atas hingga
seluruh berat badannya menekan kebatang pedang
lawan.
Selang sejenak, maka tertampak pedang yang
panjang itu muai melengkung, makin lama main
melengkung hingga mirip gendewa. Seblaiknya tongkat
bambu yang mestinya lebih lemas daripada pedang itu
masih tetap lempeng, tetap lurus seperti tombak. Kini
jelas kelihatan unggul atau asor tenaga dalam kedua
orang itu.
1732
Melihat pedang Toan Cing-sun semakin melengkung,
asal melengkung lagi sedikit mungkin akan patah, diamdiam
Siau Hong membatin, "Sampai saat ini mengapa
kedua orang masih belum mengeluarkan "Lak-meh-sinkiam"
yang paling hebat itu, apa barangkali Toan Cingsun
tahu Lak-meh-sin-kiam sendiri tak lebih kuat dari
lawan, maka tidak berani mengeluarkannya? Kalau
melihat gelagatnya, tenaganya sendiri hampir habis
agaknya dia tiada mempunyai kepandaian lain yang lebih
lihai lagi."
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa di antara tokoh
keluarga Toan dari Tayli, Toan Cing-sun hanya tegolong
jago kelas dua saja. Putranya yaitu Toan Ki, mahir Lakmeh-
sin-kiam sebaliknya Cing-sun sendiri It-meh (satu
nadi) saja tak bisa, apa lagi Lak meh. (enam nadi).
Melihat pedang sendiri yang melengkut itu hampir
menjadi bulat dan setiap saat dapat patah terpaksa Cingsun
harus mencari jalan lain, ia tarik napas panjangpanjang,
mendadak jari telunjuk kanan menutuk ke depat
dengan ilmu it yang ci.
Tapi dalam hal It yang ci ia jauh dibandingkan kakak
bagindanya, yaitu Toan Cing-beng. tenaga tutukannya itu
tak dapat mencapai lebih dari dua meter. Padahal
sekarang jaraknya dengan Toan Yan-khing itu karena
disambung oleh senjata maka jarak mereka kini lebih tiga
meter jauhnya dengan sendirinya tutukan it yang ci itu tak
dapat melukai lawan. Sebab itulah tutukan Cing-sun tidak
diarahkan kepada Yan-khing Taicu, tapi ditujukan kepada
tongkatnya.
1733
Mau tak mau siau Hong berkerut kening juga,
pikirnya, "Agaknya orang ini tidak paham Lak meh sin
kiam, kalau dibandingkan adik angkat she Toan itu masih
kalah jauh. Tutukannya ini hanya ilmu tiam hiat yang
sangat hebat, tapi apa gunanya menghadapi musuh dari
jarak jaun?"
Tertampak sesudah tutukan Toan Cing-sun itu
tongkat bambu Toan Yan-khing lantas tergegar sedikit,
lalu pedang Cing-sun melurus sedikit juga. Dan begitu
beruntuk Cing-sun menutuk tiga kali hingga pedangnnya
juga melurs tiga kali, lambat laun pedangnya sudah
hampir pulih lagi seperti semula.
Saat itulah A Ci mengoceh pula, "Lihatlah, ibu, ayah
memakai pedang, sekarang menggunakan jari pula, tapi
tetap tak dapat mengalahkan lawa, bila tongkat lawan
yang laind ipkai menyerang pula, masakah ayah punya
tangan ketiga untuk menangkisnya?"
Memangnya Wi Sing tiok lagi kuatir, anak dara itu
tambah mengoceh tak keruan. Tentu saja ia sangat
mendongkol dan ingin menjewernya. Tapi belum lagi ia
menahut, tiba-tiba dilihatnya tongkat kanan Toan Yanking
benar-benar telah bergerak, "crit", tahu-tahu tongkat
itu menutuk ke arah jari telunjuk kiri Cing-sun.
Tutukan tongkat Toan Yankhing itu, baik caranya
maupun tenaganya diakukan dengan tepat seperti
tutukan it-yang-ci, bedanya cuma tongkat dipakai sebagai
pengganti jari.
Sudah tentu serangan itu kontan disambut Toan Cingsun,
tapi begitu tenaga jari kebentrok dengan tenaga
1734
tongkat lawan, seketika lengan terasa linu, cepat ia tarik
tangan dengan maksud mengerahkan tenaga untuk
menutuk lebih keras lagi.
Di luar dugaan mendadak bayangan tongkat lawan
yang hitam sudah berkelebat lebih dulu, tutukan kedua
Toan Yan-khing sudah tiba pula. Keruan Cing-sun
terkejut, sungguh tak tersangka olehnya begini cepat
pihak lawan mengumpulkan tenaga dalamnya bagaikan
dapat dilakukan sesuka hati, nyata dalam hal it-yang-ci
lawan jauh lebih kuat. Tanpa pikir cepat ia balas
menutuk, cuma sudah terlambat sedetik hingga tubuhnya
tergeliat sedikit.
Sesudah sekian lama mengadu tenaga dalam
rupanya Toan Yan-khing tidak mau membuang waktu
lagi sebab kuatir kawan-kawan Cing-sun akan ikut
mengerubut maju, maka serangannya kini berubah
gencar, hanya sekejap saja ia sudah menutuk sembilan
kali dengan tongkatnya.
Dengan sendirinya Cing-sun bertahan sekuat tenaga.
tapi sampai tutukan kesembilan, tenaganya sudah mulai
paya. "Cus", tongkat hitam lawan kena menikam pundak
kirinya. Sekali tubuhnya sempoyongan, "pletak", tahutahu
pedangan tangan kanan ikut patah.
Kesempatanitu tidak disia-siakan Toan Yan khing,
sambil mengeluarkan suara "krakkrok" yang aneh dari
kerongkongannya tongkat sebelah kanan secepat kilat
menutuk batok kepala Toan Cing-sun.
Dengan tekad harus mematikan Cing-sun maka
tutukan terakhir ini menggunakan antero tenaga Toan
1735
Yan-khing yang ada, maka di mana tongkatnya
menyambar lantas terdengar suara mendesing keras.
Tampaknya jiwa Toan Cing-sun segera akan
melayang oleh tutukan itu segera Hoan Hoa, P Thian-sik
dan Hoa Hik-kin bertiga menerjang maju sekaligus.
Tayli Sam-kong ini adalah tokoh-tokoh persilatan
pilihan, melihat Toan Cing-sun terancam bahaya, untuk
menolongnya terang tidak keburu
...
lagi, maka mereka pakai siasat "Wi-gui-hiu-tio"
(mengepung negeri Gui untuk menolong negri Tio).
Yang mereka serang adalah tiga tempat berbahaya
ditubuh Toan Yan khing, dengan deikian kepala Su-ok itu
akan terpaksa membatalkan serangannya kepada Toan
Cing sun jika ia sendiri tidak ingin disikat oleh Tayli Sam
kong itu.
Tak tersangka sebellumnya Toan Yan khing sudah
memperhitungka akan kemungkinan itu. Ia menduga
pada saat genting pasti kamberat negri Taiili itu akan
mengerubut maju, maka dengan tongkat kiri yang diputar
dengan penuh tenaga dalam itu ia jaga rapt
tempat=tempat berbaha di seluruh tubuhnya. Maka pada
waktu Hoan Hoa bertiga menerjang maju, sedikit pun
Toan Yankhing tidak menghindar, hanya tongkat kirinya
menangkis untuk menahan serangan ketiga lawan itu,
sedang tongkat kanan tetap menutuk batok kepala Toan
Cing-sun
1736
Keruan yang paling kuatir adalah Wi Sing-tiok, sampai
ia menjerit ketika menyaksikan sang kekasih sudah pasti
akan terbinasa di bawah tongkat musuh. Jika kekasih itu
mati, sungguh iapun tidak ingin hidup lagi. Maka tanpa
pikir ia pun menerjang maju.
Ketika ujung tongkat Toan-Yan-khing tinggal satu dua
senti dari "Pek-hwe hiat" di batok kepala Cing-sun yang
diarah itu, sekonyong-konyong tubuh Toan Cing-sun
mencelat ke samping dengan demikian tutukan itu
mengenai tempat kosong.
Sementara Hoan Hoa bertiga juga telah dipaksa
mundur oleh tongkat Toan Yan-khing Pa Thian sih yang
gerak-geriknya lebih cepat dan gesit, sekalian ia tarik
mundur Wi Sing tiok agar tidak mati konyol di bawah
tongkat musuh.
Sudah tentu kaget Toan Yan-khing tak terkatakan
ketika tutukannya tadi luput mengenai sasarannya.
Ketika diperhatika, terlihatlah seornag laki-laki tinggi
besar memegang tengkuk Toan Cing-sun tadi,
sekonyong-konyong orang itu tarik Cing-sun ke samping
secara paksa.
Ilmu sakti ini benar-benar sukar dibayangkan
betapapun lihat kepandaian Toan Yan khing juga merasa
tidak sanggup berbuat seperti laki-laki itu. Tapi dasar
mukanya memang kaku, biarpun sangat tekejut toh
kelihatnnya tenang-tenang saja, hanya dari hidungnya
terdengar suara mendengus sekali.
Dan siapa lagi laki-laki yang menolong Toan Cing sun
itu kalau bukan Siau Hong.
1737
Sejak tadi ia mengikuti pertarungan kedua orang she
Toan itu dengan penuh perhatian. Ketika dilihatnya Toan
Cing-sun akan binasa oleh tongkat Toan Yan-khing, itu
berarti dendam kesumat sendiri akan kandas dan tak
terbalas.
Padahal untuk mana ia sudah bersumpah akan
menuntut balas sakit hati itu, selama ini pun tidak sedikit
jerih payahnya dalam usaha mencari musuh itu, kini
orangnya sudah diketemukan, sudah tentu ia tidak dapat
membiarkan musuh itu dibunuh oleh orang lain. Sebab
itulah ia turun tangan untuk menarik Toan Cing-sun ke
samping.
Tapi Toan Yan-khing sangat cerdik, sebelum Siau
Hong melepaskan Toan Cing=sun, segera kedua tongkat
menyerang pula secara membadai yang diarah selalu
tempat mematikan di tubuh Toan Cing-sun.
Namun sambil mengangkat Toan Cing-sun, Siau
Hong dapat mengelak ke sana dan menghindari ke sini
dengan lincah, beruntun Toan Yan-khing menyerang 27
kali, tapi selalu dapat dihindarkan Siau Hong dengan
tepat, bahkan ujung baju Cing sun saja tidak tersenggol.
Sungguh kejut Yan-khing tak terkatakan, ia tahu
bukan tandingan Siau Hong, sekali bersuit aneh,
mendadak ia melayang sejauh beberapa meter, tanpa
terlihat mulutnya bergerak, taip terdengar ia bersuara,
"Siapakah saudar? Mengapa sengaja mengacau
urusanku?"
1738
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar