Pendekar Negeri Tayli 9

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 20 Juli 2012

Hati Toan Ki agak kebat-kebit, sedapat mungkin ia
melengos ke arah lain dan tidak berani saling pandang
dengan kenalan-kenalan lama itu.

Maka terdengarlah Helian Tiat-si mulai berkata,
“Sudah lama kami mendengar nama besar ‘Koh-soh
Buyung’ yang terkenal dengan filsafatnya ‘Ih-pi-ci-to,
hoan-si-pi-sin’. Untung hari ini dapatlah berjumpa,
sungguh kami merasa sangat bahagia.”

Sembari berkata ia terus merangkap tangannya untuk
memberi hormat kepada Toan Ki.

Lekas-lekas Toan Ki membalas hormat dan
menjawab, “Nama kebesaran Helian-ciangkun sudah
lama kami kagumi, terutama para kesatria yang
terhimpun di dalam It-bin-tong di negeri Se He. Jikalau
kedatangan kami ini agak gegabah, harap sukalah
dimaafkan.”

Dasarnya Toan Ki memang seorang pelajar yang
lemah lembut, maka cara bicaranya pun menjadi ramah
tamah, sedikit pun tidak mencurigakan.

“Orang Bu-lim suka berkata ‘Pak Kiau Hong, Lam
Buyung’ (di utara ada Kiau Hong dan di selatan ada
Buyung), katanya kesatria Tionggoan kalian berdua inilah
yang tiada bandingannya, maka sungguh berbahagia
sekali hari ini kalian sudi berkunjung ke sini. Silakan
masuk, silakan!”

Dengan tabahkan hati A Cu dan Toan Ki ikut Helian
Tiat-si ke dalam kuil itu. Diam-diam Toan Ki berpikir,
“Dari sikap dan kata-kata jenderal Se He ini, agaknya ia

1408




lebih segan terhadap Buyung-kongcu daripada Kiautoako.
Apakah disebabkan pribadi dan ilmu silat Buyung
Hok itu memang benar lebih hebat daripada Kiau-toako?
Tapi kukira belum tentu.”

Selagi Toan Ki tenggelam dalam lamunannya, tibatiba
terdengar suara seruan orang yang melengking
tajam, “Haha, belum tentu, belum tentu!”

Toan Ki terkejut, ia menoleh dan melihat yang
bersuara itu adalah Lam-hay-gok-sin. Si jahat ketiga itu
sedang mengincar ke arahnya dengan matanya yang
kecil bagai kacang itu sambil goyang-goyang kepala.

“Wah, celaka, jangan-jangan dia mengenali diriku?”
demikian diam-diam Toan Ki berdebar-debar.

Terdengar Lam-hay-gok-sin sedang berkata pula,
“Melihat potongannya ini, bobotnya paling banyak 50
kati, masakah tahan sekali genjot? Eh, aku ingin tanya
padamu. Orang bilang engkau suka ‘Ih-pi-ci-to, hoan-sipi-
sin’, tapi aku Gak-loji justru tidak percaya. Aku pun
tidak perlu engkau bergerak tangan, cukup asal dapat
kau katakan kepandaian khas apa yang menjadi andalan
Gak-loji ini? Dengan ilmu apa kau mampu menggunakan
cara Locu untuk digunakan atas diri Locu ini?”

Sambil bicara, Lam-hay-gok-sin pakai bertolak
pinggang segala, sikapnya sombong dan kasar.
Sebenarnya Helian Tiat-si hendak mencegahnya, tapi
demi dipikir bahwa nama Buyung Hok sangat tersohor,
apakah kepandaiannya sesuai dengan namanya,
mengapa tidak membiarkan Lam-hay-gok-sin yang

1409




angin-anginan itu coba mengujinya. Sebab itulah ia diam
saja dan tidak merintangi.

Tengah bicara, sementara itu mereka sudah berada di
ruangan besar. Helian Tiat-si menyilakan Toan Ki duduk
di tempat utama, tapi pemuda itu malah mengalah
kepada A Cu.

Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar
lagi, segera ia berteriak, “Hai, Buyung-siaucu, coba
katakan sekarang, kepandaian apa yang menjadi
kemahiranku?”

Toan Ki tersenyum, pikirnya, “Kalau orang lain yang
tanya demikian padaku tentu aku akan melongo dan tak
dapat menjawab, tapi sekarang engkau yang tanya,
itulah sangat kebetulan sekali.”

Maka dengan tenang buka kipas dan mengebas
perlahan sambil menjawab, “Lam-hay-gok-sin Gaklosam,
julukanmu pakai ‘buaya’, dan kelakuanmu
memang mirip buaya. Boleh jadi kedudukanmu dalam
urut-urutan Su-ok segera akan merosot menjadi Losi (si
keempat). Tentang kepandaianmu yang masih hijau itu,
masakah perlu tanya padaku? Mungkin anak kemarin
juga tahu. Semua orang tahu kau telah menyembah
pada Toan-kongcu dari Tayli sebagai guru dan sedikit
pun kau belum mendapat ajaran ilmu sakti apa-apa dari
dia. Kepandaianmu cetek, yang sok kau agulkan
sekarang tidak lain cuma Gok-bwe-pian dan Gok-cui-cian
(ruyung ekor buaya dan gunting congor buaya) saja.”

Sekaligus Toan Ki dapat menyebutkan senjata
andalan orang, yaitu Gok-bwe-pian dan Gok-cui-cian,

1410




bukan saja Lam-hay-gok-sin melengak tidak habis
kejutnya, bahkan Yap Ji-nio dan In Tiong-ho juga tidak
terkatakan herannya.

Maklum, kedua macam senjata itu baru saja berhasil
diyakinkan Lam-hay-gok-sin dan selama ini belum
pernah dipertunjukkan di depan umum. Hanya tempo hari
waktu bergebrak dengan In Tiong-ho di Tayli pernah
digunakannya satu kali, tatkala mana kecuali Bok Wanjing
boleh dikatakan tiada orang luar lagi yang
melihatnya. Siapa duga kemudian Bok Wan-jing telah
menceritakan kejadian itu kepada Toan Ki, sedangkan
Buyung Hok yang ada di depannya sekarang justru
adalah samaran Toan Ki.

Begitulah Lam-hay-gok-sin coba mengamat-amati
Toan Ki dengan kepala miring ke kanan dan ke kiri.
Biarpun wataknya sangat jahat, tapi dia juga punya
perasaan kagum kepada kaum kesatria yang gagah
perkasa. Lewat sejenak, tanpa ragu lagi ia acungkan
jempolnya dan memuji, “Bagus! Memang hebat kau!”

“Terima kasih,” sahut Toan Ki dengan tertawa.

Tapi segera Lam-hay-gok-sin mendapatkan akal lain,
tiba-tiba ia berkata pula, “Buyung-kongcu, tidaklah
mengherankan jika engkau dapat memainkan ilmu
silatku. Tapi kalau guruku berada di sini, tentu engkau
tidak paham ilmu kepandaiannya.”

“Kutahu kau adalah murid capcai, gurumu tidak cuma
seorang saja, coba katakan gurumu yang mana dan ilmu
kepandaian apa yang dia miliki?” sahut Toan Ki dengan
senyum ejek.

1411




Lam-hay-gok-sin tidak marah atas olok-olok itu,
sebaliknya ia menyahut dengan berseri-seri, “Guruku
yang pertama sudah lama meninggal, maka tidak perlu
dibicarakan. Namun guruku yang baru saja kuangkat,
ilmu kepandaiannya sungguh luar biar, melulu semacam
ilmu langkahnya yang disebut ‘Leng-po-wi-poh’ saja
kuyakin tiada seorang pun yang paham, termasuk pula
engkau.”

Toan Ki pura-pura termenung sejenak, lalu berkata,
“Maksudmu ‘Leng-po-wi-poh’? Ehm, itu memang ilmu
silat yang luar biasa. Dengan kepandaiannya yang sakti
itu Toan-kongcu sudi menerima dirimu sebagai murid,
sungguh hal ini sangat meragukan aku.”

“Buat apa aku bohong padamu?” kata Lam-hay-goksin
cepat. “Banyak hadirin yang berada di sini dapat
menjadi saksi, beliau sendiri memanggil aku sebagai
murid.”

Diam-diam Toan Ki tertawa geli. Kalau semula si jahat
ini ngotot tidak mau menyembah dan mengaku guru
padanya, sekarang si jahat ini inilah khawatir dirinya tidak
mau mengakui dia sebagai murid. Maka katanya
kemudian, “Jika begitu, tentu kau sudah berhasil
meyakinkan ilmu khas gurumu itu, bukan?”

Lam-hay-gok-sin menggeleng kepalanya bagaikan
kelontong goyang cepatnya, sahutnya, “Tidak, tidak!
Jangankan meyakinkan, belajar saja belum pernah. Tapi
bila engkau mengaku paham segala macam ilmu silat di
dunia ini, asal engkau mahir berjalan tiga langkah ‘Lengpo-
wi-poh’ saja, aku Gak-loji lantas menyerah padamu.”

1412




“Leng-po-wi-poh meski sulit, namun pernah juga
kupelajari beberapa langkah di antaranya,” sahut Toan
Ki. “Nah, Gak-losam, boleh coba-coba menangkap
diriku.”

Sembari berkata terus saja ia terbangkit dan berdiri di
tengah ruangan.

Para jago Se He itu tiada seorang pun yang pernah
melihat ilmu silat macam apakah “Leng-po-wi-poh” itu.
Tapi karena Lam-hay-gok-sin memuji ilmu sakti itu
setinggi langit, maka mereka pun ingin melihatnya untuk
menambah pengalaman. Segera mereka menyingkir ke
pinggir ruangan dan membiarkan Toan Ki
mempertunjukkan kepandaiannya itu.

Tanpa bicara lagi Lam-hay-gok-sin terus menubruk
maju sambil mengerang, tangan kiri menjulur ke depan,
mendadak tangan kanan mencengkeram dari bawah
tangan kiri. Namun cepat sekali Toan Ki menggeser ke
samping dua langkah dan mundur satu tindak, dengan
enteng sebagai daun teratai tertiup angin, dengan gaya
yang indah ia dapat menghindarkan serangan lawan itu.

“Crat”, karena tidak sempat menahan serangannya,
kelima kuku jari kanan Lam-hay-gok-sin menancap di
atas pilar kayu di tengah ruangan itu.

Melihat begitu hebat tenaga si jahat ketiga itu,
seketika semua orang terkesiap. Seharusnya mereka
bersorak memuji, tapi saking kejutnya sampai mereka
lupa bersorak.

1413




Sekali menyerang tidak kena, suara erangan Lam-
hay-gok-sin semakin keras. Mendadak ia meloncat ke
atas, bagaikan elang menyambar anak ayam, ia
menubruk ke bawah.

Namun Toan Ki sama sekali tidak ambil pusing akan
tingkah musuh, biarpun orang berjungkir balik juga ia
tidak peduli, ia tetap jalan berlenggang kian kemari
menurut ilmu langkah yang telah dipelajarinya dengan
baik itu.

Semakin serang Lam-hay-gok-sin semakin kalap,
suara erangannya juga bertambah keras laksana
binatang buas.

Melihat wajah orang yang memang jelek ditambah
beringas seperti sekarang, Toan Ki mulai jeri, ia tidak
berani memandang muka orang, bahkan ia terus
keluarkan saputangan untuk menutupi matanya dan
berkata, “Biarpun kedua mataku tertutup juga tidak nanti
kau mampu menangkap diriku.”

Benar juga, biar bagaimanapun cara Lam-hay-gok-sin
menubruk dan menyeruduk, selalu ia menubruk tempat
kosong dan menangkap angin. Terkadang tangannya
cuma selisih beberapa senti saja dari tubuh Toan Ki,
namun toh tetap susah untuk menjamah pemuda itu.

Kalau penonton sampai berdebar-debar dan menahan
napas, adalah sebaliknya Toan Ki malah enak-enak dan
tetap berjalan dengan berlenggang kangkung. Dan
tatkala Lam-hay-gok-sin semakin kalap dan menubruk
serabutan, terpaksa Toan Ki harus mempercepat juga

1414




langkahnya, ia tidak dapat berlenggang lagi, tapi
terpaksa main serampang 12 dengan irama cepat.

Mau tak mau A Cu ikut berdebar-debar menyaksikan
permainan kucing-kucingan di tengah ruangan itu, ia
khawatir jangan-jangan pada suatu saat Toan Ki akan
meleng hingga kena ditangkap Lam-hay-gok-sin, hal ini
berarti akan bikin runyam mereka. Maka cepat ia
keraskan suaranya dan membentak, “Lam-hay-gok-sin,
apakah kau belum kapok dan hendak menguber Buyungkongcu?
Bagaimana Leng-po-wi-poh itu dibandingkan
dengan gurumu?”

Lam-hay-gok-sin melengak, ia tertegun di tempatnya
bagai balon gembos, mau tak mau ia memuji, “Bagus,
bagus! Memang hebat! Mungkin guruku juga tidak
mampu melangkah seperti engkau dengan mata tertutup.
Baik, memang Koh-soh Buyung tidak bernama kosong,
aku Lam-hay-gok-sin mengaku kalah padamu.”

Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk
menanggalkan tutup matanya serta kembali ke tempat
duduknya. Maka bergemuruhlah sorak-sorai orang
banyak.

Kemudian Helian Tiat-si menyilakan kedua tamunya
minum, katanya, “Atas kunjungan kedua kesatria besar,
entah ada keperluan apakah?”

“Karena beberapa saudara kami entah sebab apa
berbuat salah kepada Ciangkun, maka Ciangkun telah
mengirim jago pilihan dan menangkap mereka ke sini,
sebab itulah dengan memberanikan diri ingin kumohon
Ciangkun suka membebaskan mereka,” sahut A Cu.

1415




Sudah tentu ucapan A Cu itu sengaja dipakai untuk
menyindir orang Se He yang telah menangkap orang
dengan cara rendah dan memalukan.

Namun Helian Tiat-si tidak risi sedikit pun, dengan
tersenyum ia berkata, “Memang benar. Tapi setelah
menyaksikan demonstrasi Buyung-kongcu yang hebat
barusan, nyata memang bukan nama kosong belaka.
Kiau-pangcu mempunyai nama kebesaran sejajar
dengan Buyung-kongcu, hendaklah juga suka unjuk
sejurus-dua supaya kami bisa kagum benar-benar,
dengan begitu pula agar ada alasan untuk
membebaskan para kesatria dari pang kalian.”

Keruan A Cu agak gugup, pikirnya, “Untuk menyaru
sebagai Kiau-pangcu dan menirukan lagak lagunya tidak
susah bagiku. Tapi bila aku disuruh menirukan ilmu
silatnya yang hebat itu, bukankah segera rahasia
penyamaranku ini akan terbongkar?”

Selagi dia hendak mencari alasan untuk menutupi
rasa serbasusahnya itu, tiba-tiba terasa tangan dan kaki
lemas linu, bahkan gerak jari pun tak bisa. Keadaan
demikian persis seperti terkena kabut berbisa semalam.

Keruan ia khawatir, keluhnya dalam hati, “Wah,
celaka, sungguh tidak nyana bahwa jahanam orang Se
He ini akan menggunakan akal licik pula, bagaimana
baiknya sekarang?”

Di lain pihak Toan Ki yang kebal terhadap segala
macam racun sedikit pun tidak merasa terjadi hal-hal
yang ganjil itu. Cuma tiba-tiba dilihatnya A Cu lemas

1416




lunglai di tempat duduknya, segera ia tahu gadis itu tentu
terkena kabut racun lagi, maka cepat ia mengeluarkan
botol berbau busuk itu, ia buka sumbat botol dan
disodorkan ke ujung hidung A Cu.

Segera A Cu menyedotnya beberapa kali, karena
keracunan belum lama, segera ia dapat bergerak
kembali. Ia pegang botol yang diangsurkan Toan Ki itu
dan mencium pula dengan rasa heran mengapa musuh
tidak turun tangan untuk menangkapnya?

Waktu ia perhatikan orang-orang Se He itu, ia lihat
mereka pun menggeletak semua di atas kursi tanpa
berkutik, hanya biji mata mereka yang tertampak
terbelalak lebar seperti terheran-heran.

“Aneh, mengapa orang-orang ini keracunan sendiri,
benar-benar senjata makan tuan,” demikian ujar Toan Ki.

Segera A Cu mendekati Helian Tiat-si, ia coba
dorong-dorong panglima Se He itu, tapi Helian Tiat-si
benar-benar lemas lunglai, tidak salah lagi memang
keracunan. Tapi badan lemas kan mulut masih dapat
bicara, segera ia membentak, “Hai, siapakah yang
mengeluarkan kabut wangi ini? Lekas ambilkan obat
penawar, cepat!”

Meski sudah beberapa kali ia membentak, tapi anak
buahnya tetap diam saja dengan lemas, semuanya
berkata, “Lapor Ciangkun, hamba sekalian juga tak dapat
berkutik.”

1417




“Pasti ada pengkhianat, kalau tidak, masakah lawan
tahu cara penggunaan kabut wangi kita yang rumit itu,”
kata Nurhai.

“Siapa pengkhianatnya, siapa? Lekas cari dan
cencang dia hingga hancur lebur,” teriak Helian Tiat-si
dengan murka.

“Ya, paling penting sekarang harus mendapatkan obat
penawar kita,” sahut Nurhai. Ia melirik dan melihat A Cu
memegang sebuah botol kecil, segera katanya, “Kiaupangcu,
sudilah engkau enduskan obat penawar itu
kepada kami, nanti Ciangkun kami pasti akan membalas
jasamu ini.”

“Aku harus menolong saudara-saudara pang kami,
siapa ingin kepada balas jasa apa segala dari Ciangkun
kalian?” sahut A Cu dengan tertawa.

Terpaksa Nurhai berkata kepada Toan Ki, “Buyungkongcu,
di bajuku juga ada sebuah botol, tolonglah
keluarkan untuk dicium kami.”

Toan Ki tidak menolak, ia merogoh baju Nurhai dan
benar juga dikeluarkannya sebuah botol kecil. Katanya
kemudian dengan tertawa, “Obat penawar memang
perlu, tapi takkan kuberikan kepadamu.”

Habis berkata, ia terus menuju ke ruangan belakang
bersama A Cu. Maka tertampaklah di serambi timur sana
penuh berjubel orang, semuanya adalah anggota Kay-
pang yang tertawan. Dan begitu A Cu masuk ke situ,
segera Go-tianglo berseru, “Aha, kiranya engkau yang
datang, Kiau-pangcu, lekas tolong kami!”

1418




Segera A Cu mengenduskan obat penawar itu kepada
Go-tianglo dan berkata, “Ini adalah obat penawar, boleh
dienduskan kepada para saudara untuk memunahkan
racun mereka.”

Go-tianglo sangat girang, setelah kaki-tangannya
dapat bergerak, segera ia bergantian memunahkan racun
Song-tianglo. Di sebelah sana Toan Ki juga telah
menyembuhkan racun Ci-tianglo dan begitu seterusnya.

“Kawan-kawan kita terlalu banyak, kalau satu per satu
dipunahkan racunnya seperti tentu akan maka waktu
terlalu lama,” ujar A Cu. “Go-tianglo, cobalah geledah
orang-orang Se He itu, carilah obat penawar serupa ini.”

Go-tianglo mengiakan dan segera berlari ke ruangan
depan untuk menggeledah obat. Maka terdengarlah
suara makian dan teriakan disertai suara “plak-plok”
berulang-ulang.

Nyata sembari menggeledah obat, Go-tianglo tidak
lupa memberi persen gamparan kepada orang-orang Se
He itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya.

Tidak lama kemudian, kembalilah Go-tianglo dengan
membawa lima-enam buah botol porselen kecil, katanya
dengan tertawa, “Yang kupilih adalah musuh yang
berpakaian perlente, kedudukan mereka tentu lebih tinggi
dan benar juga mereka membawa obat penawar seperti
ini. Hahaha, baru sekarang mereka tahu rasa!”

“Tahu rasa apa?” tanya Toan Ki heran.

1419




“Setiap orang mereka telah kupersen dua kali
tamparan, yang memiliki obat penawar sengaja
kugampar lebih keras,” tutur Go-tianglo dengan tertawa.
Dan tiba-tiba ia merasa belum pernah kenal Toan Ki
dalam samaran itu, segera ia tanya, “Siapakah nama
terhormat saudara ini? Terima kasih banyak atas budi
pertolonganmu.”

“Cayhe she Buyung,” sahut Toan Ki. “Maafkan
kedatangan kami agak terlambat sehingga kalian tersiksa
sekian lamanya.”

Mendengar orang mengaku she “Buyung”, maka
tahulah orang-orang Kay-pang tentu pemuda inilah “Kohsoh
Buyung” yang terkenal itu.

“Ai, kita benar-benar sudah buta semua sehingga
sembarangan mendakwa Buyung-kongcu telah
membunuh Be-hupangcu, hari ini kalau bukan Buyungkongcu
dan Kiau-pangcu yang menolong kita, tentu kita
akan celaka di tangan anjing-anjing Se He yang jahat
itu,” demikian seru Song-tianglo.

“Ya, orang tua tentu suka mengampuni kesalahan
kaum hamba, Kiau-pangcu, mohon engkau sudi kembali
menjadi pangcu kita saja,” segera Go-tianglo ikut
berkata.

“Huh, Kiau-ya dan Buyung-kongcu ternyata benar
bersahabat baik,” tiba-tiba Coan Koan-jing menjengek
dengan dingin. Ia belum mengendus obat penawar,
maka tubuhnya masih belum bisa berkutik.

1420




Ia sebut Kiau Hong sebagai “Kiau-ya” (tuan Kiau) dan
tidak menyebutnya sebagai “Kiau-pangcu”, itu berarti ia
tidak mengakui dia lagi sebagai pangcu. Sebaliknya ia
bilang Kiau Hong ternyata bersahabat dengan Buyungkongcu,
kata-kata itu pun sangat licin.

Sebab, hendaklah diketahui bahwa orang-orang Kay-
pang sama mencurigai Kiau Hong sebagai pembunuh Be
Tay-goan secara tidak langsung, yaitu dengan meminjam
tangan Buyung Hok. Padahal Kiau Hong selalu
menyangkal kenal Buyung Hok. Sebaliknya sekarang
kedua orang ini sama-sama datang ke Thian-leng-si,
dilihat dari sikap mereka berdua yang akrab itu pastilah
mereka bukan kenalan baru saja.

Bab 29

A Cu merasa kurang enak bila tinggal lama-lama di
situ mengingat orang-orang itu adalah kawan Kiau Hong,
kalau pemalsuannya ketahuan, tentu urusan bisa
runyam. Maka cepat katanya, “Urusan pang kita boleh
dirundingkan nanti saja, sekarang aku akan pergi melihat
kawanan anjing Se He itu.”

Habis berkata, dengan langkah lebar ia lantas kembali
ke ruangan depan dengan diikuti Toan Ki.

Di sana mereka mendengar Helian Tiat-si sedang
mencaci maki, “Lekas suruh periksa siapakah bangsat
orang Se He itu, berani dia main gila pada Ciangkunmu
ini. Bila kita sudah pulang nanti pasti akan kusikat bersih
antero anggota keluarganya tua-muda maupun lakiperempuan.
Bangsat, orang Se He malah membantu
bangsa lain, mencuri kabut wangi kita untuk merobohkan
bangsa sendiri.”

1421




Toan Ki melengak, ia heran orang Se He mana yang
dimakinya itu.

Dalam pada itu Nurhai cuma mengiakan belaka dan
tidak berani menimbrung. Terdengar Helian Tiat-si lagi
memaki pula, “Bangsat keparat, coba lihat, apa yang dia
tulis itu bukankah sindiran terang-terangan kepada kita?”

Waktu Toan Ki dan A Cu mendongaki terlihatlah di
dinding ruangan itu ada dua baris tulisan, masing-masing
baris terdiri dari empat huruf, bunyinya, “Ih-pi-ci-to, hoansi-
pi-sin”.

Toan Ki sampai bersuara heran, bukankah itu istilah
khas Buyung Hok yang disamarnya sekarang? Melihat
tinta tulisan yang belum lagi kering itu, terang penulisnya
belum lama perginya.

Melihat pemuda itu agak gugup, lekas A Cu
memperingatkannya, “Toan-kongcu, jangan lupa bahwa
engkau sekarang adalah Buyung-kongcu. Aku sendiri
tidak dapat memastikan apakah tulisan itu benar buah
tangan kongcu kami atau bukan, sebab beliau memang
mahir menulis dalam berbagai macam gaya yang indah.”

Dalam pada itu terdengar Nurhai sedang tertawa
dingin dan berkata, “Hehe, benar-benar kepandaian yang
lihai, baru hari ini dapat kami saksikan sendiri ‘Ih-pi-ci-to,
hoan-si-pi-sin’.”

Namun begitu, dalam hati sebenarnya ia sangat
khawatir entah cara bagaimana orang Kay-pang hendak
memperlakukan mereka, sebab waktu orang-orang Kay-

1422




pang tertawan, mereka telah menyiksa kawanan
pengemis itu dengan macam-macam cara, kalau
sekarang pengemis-pengemis itu pun membalas ‘Ih-pi-cito,
hoan-si-pi-sin’, kan bisa celaka mereka?

Sebenarnya Toan Ki agak cemburu kepada Buyung
Hok, tapi kini demi merasa pasti tokoh muda itu telah
merobohkan orang-orang Se He itu, mau tak mau ia rada
kagum juga.

“Urusan sudah beres, marilah kita tinggal pergi saja,”
tiba-tiba A Cu membisikinya ketika melihat orang-orang
Kay-pang sudah banyak yang dapat bergerak dan
datang ke ruangan depan itu. Segera ia berseru, “Para
Tianglo, aku masih ada urusan lain yang harus
diselesaikan bersama Buyung-kongcu, sampai berjumpa
lagi pada lain hari.”

“Nanti dulu, Pangcu, nanti dulu!” cepat Go-tianglo
menahannya.

Namun A Cu tidak berani tinggal lebih lama lagi di
situ, bahkan jalannya bertambah cepat bersama Toan Ki.
Umumnya anggota-anggota Kay-pang sangat segan
kepada sang pangcu, maka tiada seorang pun berani
menahan mereka.

Setelah beberapa li jauhnya, dengan tertawa
berkatalah A Cu, “Toan-kongcu, benar-benar sangat
kebetulan sekali, muridmu yang jelek seperti siluman itu
justru ingin menjajal kepandaianmu Leng-po-wi-poh,
bahkan memuji engkau lebih lihai daripada gurunya.
Hahaha, sungguh lucu!”

1423




Lalu katanya pula, “Dan aneh juga, entah siapakah
gerangan yang diam-diam menyebarkan kabut racun itu?
Orang-orang Se He itu mencaci maki, katanya ada
pengkhianat, kukira bukan mustahil memang benar
perbuatan seorang Se He.”

Mendadak Toan Ki teringat akan seorang, cepat
katanya, “He, jangan-jangan perbuatan Li Yan-cong?
Yaitu jago Se He yang kutemukan di rumah penggilingan
itu?”

Karena A Cu tidak pernah melihat Li Yan-cong, maka
ia tidak berani memberi pendapat, katanya, “Marilah kita
bicarakan dengan Ong-kohnio saja dan minta
pendapatnya.”

Tadinya Toan Ki sangsi penulis di dinding itu adalah
Buyung Hok sendiri, dan kalau benar, tentu Buyung Hok
berada di sekitar sini, bahkan mungkin sudah berjumpa
dengan Giok-yan, hal ini membuatnya sangat masygul.
Tapi kini demi teringat orang itu boleh jadi adalah Li Yancong
seketika lega hatinya dan dapat bicara dengan
bergurau lagi.

Tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara derap kuda
dari depan, seorang penunggang kuda sedang datang
dengan cepat. Waktu Toan Ki memerhatikan, segera ia
mengenali orang itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong.

“Itulah dia Kiau-toako!” serunya dengan girang terus
hendak memapak maju.

Namun A Cu lantas menahannya, “Jangan bersuara,
nanti sandiwara kita terbongkar!”

1424




Habis berkata, ia sendiri lantas berdiri mungkur.

Tidak lama kemudian, Kiau Hong sudah mendekat
dan memandang Toan Ki dan A Cu.

Karena dicegah A Cu tadi, barulah Toan Ki ingat
mereka sedang menyamar sebagai orang lain. A Cu
justru menyaru sebagai Kiau-toako itu, kalau dilihat orang
yang asli, tentu urusan bisa runyam. Maka waktu Kiau
Hong sudah dekat, Toan Ki juga tidak berani
memandang padanya, sebaliknya ia melengos ke
samping.

Kiranya setelah Kiau Hong membebaskan A Cu dan A
Pik dari cengkeraman musuh, ia menjadi khawatir ketika
mengetahui orang-orang Kay-pang juga ditawan oleh
orang-orang Se He. Ia telah mencari kian kemari,
akhirnya dapat diketemukan juga kedua hwesio cilik dari
Thian-leng-si itu. Sesudah menanyakan tempatnya,
segera ia memburu ke kuil itu.

Ketika dilihatnya wajah Toan Ki yang gagah dan
ganteng dalam samarannya sebagai Buyung Hok itu,
diam-diam Kiau Hong berpendapat, “Kongcu ini benarbenar
tampannya seperti saudaraku Toan Ki itu.

Sedangkan A Cu yang berdiri mungkur itu tidak
diperhatikannya, karena mengkhawatirkan keselamatan
orang-orang Kay-pang, segera ia mencambuk kudanya
melanjutkan perjalanan ke depan dengan cepat.

Setiba di Thian-leng-si, ia lihat belasan anggota Kay-
pang sedang menggelandang orang-orang Se He satu

1425




per satu keluar dari kuil itu. Sudah tentu Kiau Hong
sangat girang dan bangga. Memang orang-orang Kay-
pang adalah kesatria yang gagah perkasa, betapa pun
dapat mengubah kekalahan menjadi kemenangan.

Sebaliknya demi melihat sang pangcu yang sudah
pergi telah kembali lagi, para anggota Kay-pang
berbondong-bondong lantas menyambutnya, “Pangcu,
cara bagaimana para tawanan ini harus diatur, harap
engkau suka memberi petunjuk.”

“Aku sudah bukan anggota Kay-pang lagi, maka
jangan kalian sebut aku sebagai pangcu,” sahut Kiau
Hong. “Kalian baik-baik saja dan tidak kurang apa-apa,
bukan?”

Sementara itu Ci-tianglo dan lain-lain sudah
mendapat laporan dan menyambut keluar.

Go-tianglo adalah orang tulus, terus saja ia menyapa,
“Pangcu, begitu engkau meninggalkan kami, seketika
kami masuk perangkap musuh. Untung engkau datang
tepat pada waktunya bersama Buyung-kongcu sehingga
Kay-pang tidak sampai terjungkal habis-habisan. Jika
engkau tidak kembali memegang tampuk pimpinan, pasti
pang kita akan kacau-balau tak keruan.”

“Buyung-kongcu apa maksudmu?” tanya Kiau Hong
dengan heran.

“Ah, orang-orang seperti Coan Koan-jing itu cuma
mengaco-belo, jangan engkau peduli,” ujar Go-tianglo.
“Untuk mencari sahabat apa susahnya? Aku percaya

1426




engkau juga baru hari ini berkenalan dengan Buyungkongcu.”


“Buyung-kongcu? Apakah maksudmu Buyung Hok?”
Kiau Hong menegas. “Tapi selamanya aku tidak pernah
kenal dia.”

Seketika Ci, Song, Ge, Tan, dan Go-tianglo saling
pandang dengan bingung. Pikir mereka, “Bukankah baru
saja dia datang bersama Buyung-kongcu hingga kita
tertolong, mengapa sekarang dia menyatakan tidak kenal
Buyung-kongcu?”

Go-tianglo pikir sejenak, tiba-tiba ia seperti mengerti
duduknya perkara, serunya, “Aha, tahulah aku! Pemuda
tampan tadi itu mengaku she Buyung, tapi dia bukanlah
Buyung Hok. Memangnya di dunia ini cuma ada seratusdua
ratus orang she Buyung? Kenapa mesti heran?”

“Tapi dia menulis tanda pengenal yang khas di
dinding itu, kalau bukan Buyung Hok lantas siapa lagi?”
ujar Ci-tianglo.

“Memang pasti dia, habis siapa lagi?” tiba-tiba suara
seorang melengking aneh menimbrung. “Bocah itu
serbapandai dalam berbagai ilmu silat, bahkan setiap
macam kepandaiannya lebih lihai daripada pemilik
asalnya. Kalau dia bukan Buyung Hok, siapa yang
mampu berbuat demikian? Sudah tentu dia, pasti dia!”

Waktu semua orang memandang ke arah suara itu
tertampak mata orang itu kecil sempit dan penuh
berewok, itulah dia Lam-hay-gok-sin.

1427




“Jadi Buyung Hok tadi telah datang kemari?” demikian
Kiau Hong menegas dengan heran.

“Kentut anjingmu!” maki Lam-hay-gok-sin mendadak.
“Tadi kau sendiri datang bersama Buyung-siaucu itu, dan
entah dengan ilmu sihir apa kalian telah membikin kami
tidak dapat berkutik, tapi sekarang kau malah berlagak
pilon? Ayo, lekas lepaskan Locu, kalau tidak, hm, hm ....”

Meski dia “hm, hm” segala, tapi apa yang dapat dia
perbuat?

Maka berkatalah Kiau Hong, “Tampaknya engkau
juga seorang tokoh pilihan dalam Bu-lim, tapi mengapa
sembarangan ngoceh tak keruan? Bilakah aku datang
kemari? Apalagi bersama Buyung-kongcu, haha, lucu,
sungguh lucu!”

“Bagus kau, Kiau Hong! Sia-sia engkau jadi pemimpin
Kay-pang, tapi di siang hari bolong kau berani coba
membohongi orang!” teriak Lam-hay-gok-sin dengan
marah. “Nah, para sobat, katakanlah, bukankah tadi Kiau
Hong sudah pernah datang ke sini? Bukankah Ciangkun
kami telah menyilakan dia duduk dan minum bersama?”

“Memang benar,” sahut orang-orang Se He serentak.
“Malahan waktu Buyung Hok mempertunjukkan
kepandaian ‘Leng-po-wi-poh’, Kiau Hong sendiri memberi
sorak pujian tiada habis-habis, katanya ‘Pak Kiau Hong
dan Lam Buyung’ apa segala, masakah hal itu dapat
dipalsukan?”

Diam-diam Go-tianglo juga menjawil Kiau Hong dan
membisikinya, “Pangcu, orang terang tidak perlu berbuat

1428




gelap, kejadian tadi betapa pun memang tak dapat
disangkal.”

Sudah tentu Kiau Hong merasa serbasusah, dengan
tersenyum pahit ia tanya, “Go-siko, apakah tadi engkau
pun melihat aku datang kemari?”

Go-tianglo tidak menjawab, tapi ia lantas
menyodorkan botol porselen kecil wadah obat penawar
itu kepada Kiau Hong dan berkata, “Pangcu, botol ini
kukembalikan padamu, mungkin kelak masih dapat
dipergunakan.”

“Kembalikan padaku? Mengapa dikembalikan
kepadaku?” Kiau Hong, menegas dengan terheranheran.


“Obat penawar ini adalah pemberianmu tadi, masakah
engkau sudah lupa?” ujar Go-tianglo.

“Masa bisa bagian? Jadi engkau juga mengatakan
tadi telah melihat kudatang ke sini?” Kiau Hong menegas
pula.

Biasanya Kiau Hong sangat cerdik, namun betapa
pun tak tersangka olehnya bahwa ada orang telah
memalsukan dirinya. Bahkan belum lama berselang
pemalsu itu telah datang ke Thian-leng-si. Segera terpikir
olehnya di balik kejadian itu pasti tersembunyi suatu
muslihat mahakeji.

Ia lihat air muka orang-orang Kay-pang itu berbedabeda,
Ada yang merasa terima kasih karena telah
diselamatkan olehnya, tapi merasa sangsi juga demi

1429




mendengar Kiau Hong tetap menyangkal. Ada yang
mengira pikiran bekas pangcu itu lagi kusut karena
mengalami macam-macam pukulan batin selama
beberapa hari ini. Ada yang menduga pasti dia yang
telah membunuh Be Tay-goan dengan menggunakan
Buyung Hok, tapi khawatir muslihatnya ketahuan, maka
sengaja menyangkal kenal dengan Buyung Hok. Bahkan
ada yang percaya penuh dia adalah orang Cidan yang
sengaja melawan orang Se He dan memusuhi orang
Song pula.

Menghadapi keadaan yang membingungkan itu,
akhirnya Kiau Hong menghela napas panjang, katanya,
“Jika saudara-saudara ternyata baik-baik saja, biarlah
sekarang juga Kiau Hong mohon diri.”

Habis berkata, ia memberi salam sekali, segera ia
cemplak kudanya dan dilarikan pergi dengan cepat.

“Kiau Hong, tinggalkan Pak-kau-pang dahulu!” seru
Ci-tianglo mendadak.

Sekonyong-konyong Kiau Hong menghentikan
kudanya serta menyahut, “Pak-kau-pang? Bukankah
sudah kukembalikan di tengah hutan sana?

“Tapi sesudah kami tertawan, Pak-kau-pang telah
jatuh di tangan anjing-anjing Se He itu, kami telah
mencarinya dengan teliti dan tetap tidak ketemu, maka
kami menduga pasti telah kau ambil lagi,” kata Ci-tianglo.

“Hahahaha!” mendadak Kiau Hong terbahak-bahak
sambil menengadah, suaranya pedih memilukan. Lalu
serunya, “Aku Kiau Hong sudah tidak mempunyai

1430




hubungan apa-apa lagi dengan Kay-pang, guna apa aku
memiliki Pak-kau-pang itu? Ci-tianglo, agaknya engkau
terlalu rendah menilai diriku.”

Habis berkata, ia kempit kudanya dan dilarikan
secepat terbang ke utara.

Sejak kecil Kiau Hong sangat disayang kedua orang
tuanya. Kemudian ia mendapat didikan guru dari Siaulim-
si, akhirnya menjadi murid Ong-pangcu dari Kay-
pang. Ia telah banyak mengalami gemblengan dalam
pengembaraan, baik guru maupun sahabat, semuanya
sangat baik dan jujur padanya. Tapi apa yang dialaminya
selama dua hari ini benar-benar merupakan pukulan
keras bagi kehidupannya. Pangcu yang terkenal
mahajujur dan berbudi ini kini telah dituduh sebagai
seorang pengkhianat, seorang penjual kawan yang
rendah.

Ia membiarkan kudanya berjalan perlahan, hatinya
sangat kusut, pikirnya, “Andaikan aku benar keturunan
Cidan, padahal selama ini tidak sedikit jago Cidan yang
telah kubunuh, banyak pula rencana penyerbuan negeri
Cidan telah kugagalkan, bukankah aku benar-benar
seorang yang tidak setia? Bila benar ayah-bundaku
dibunuh oleh bangsa Han di Gan-bun-koan, sebaliknya
aku malah mengangkat pembunuh orang tua sebagai
guru dan selama 30 tahun ini mengaku orang asing
sebagai ayah-bunda, bukankah hal ini benar-benar
sangat tidak berbakti? Wahai, Kiau Hong, sedemikianlah
engkau tidak setia pada negeri asal dan tidak berbakti
pada orang tua, mengapa engkau masih ada muka untuk
hidup di dunia ini? Jika Kiau Sam-hoay bukan ayahku

1431




yang sebenarnya, itu berarti aku juga bukan Kiau Hong
yang sebenarnya? Lantas aku she apa? Siapakah
namaku yang asli pemberian orang tua? Hehe, bukan
saja aku tidak setia dan tidak berbakti, bahkan aku tidak
punya she dan tidak bernama.”

Tapi segera terpikir pula olehnya. Namun bukan
mustahil ada seorang yang mahajahat dan mahadurjana
yang sengaja memfitnah diriku. Sebagai seorang laki-laki
sejati, masakah aku manda dipermainkan orang
sehingga nama runtuh dan badan merana? Kalau aku
tinggal diam, tentu durjana itu akan berhasil intriknya
yang keji itu. Ya, pendek kata, aku harus menyelidiki
urusan ini hingga jelas.”

Setelah ambil keputusan itu, langkah pertama ia
harus menuju ke Siau-sit-san di Holam untuk
menanyakan asal usul diri sendiri kepada ayah Kiau
Sam-hoay, dan langkah kedua ialah datang ke Siau-limsi
untuk minta petunjuk duduk perkara yang sebenarnya
kepada gurunya, Hian-koh Taysu.

Kedua orang tua itu biasanya sangat sayang
padanya, rasanya tidak nanti menutupi sesuatu
rahasianya. Sebagai seorang kesatria yang bijaksana
dan dapat berpikir panjang maka Kiau Hong tidak merasa
kesal lagi. Yang masih dirasakannya agak canggung
adalah dahulu dengan kedudukannya sebagai pangcu
dari Kay-pang, ke mana pun ia pergi, di situ pula adalah
rumahnya.

Tapi kini ia telah dipecat dari Kay-pang, ia tidak dapat
mendatangi cabang-cabang Kay-pang lagi untuk
bermalam atau minta makan, bahkan demi untuk

1432




menghindarkan kesulitan-kesulitan yang tak diinginkan,
ia malah mencari jalan yang sepi saja supaya tidak
kepergok oleh anggota Kay-pang bekas bawahannya.

Sesudah dua hari, sangu yang dia bekal sudah habis
terpakai, terpaksa ia menjual kuda yang dirampasnya
dari orang Se He itu sekadar sebagai biaya perjalanan.

Tidak lama kemudian, tibalah dia sampai di kaki
gunung Siong-san, segera ia menuju ke Siau-sit-san
yang merupakan lereng Gunung Siong itu. Pegunungan
ini adalah tempat tinggal masa kecilnya, ia merasa
suasana lereng gunung itu masih tetap menghijau seperti
sediakala.

Sejak ia diangkat sebagai pangcu Kay-pang, karena
Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar di kalangan
Kangouw, sebaliknya Siau-lim-pay adalah suatu aliran
persilatan paling besar dalam Bu-lim, bila pangcu dari
Kay-pang diketahui mengunjungi Siau-lim-si, pastilah hal
ini akan bikin gempar kalangan Bu-lim.

Sebab itulah selamanya dia belum pernah pulang
menjenguk kedua orang tua itu. Hanya setiap tahun ia
suruh dua orang anak buahnya menyampaikan salam
hormat dan membawa sekadar oleh-oleh kepada ayah
bunda serta sang guru.

Kini seorang diri ia pulang ke tempat asalnya, teringat
teka-teki yang meliputi sejarah hidup sendiri akan segera
dapat diketahui dalam waktu tidak lama lagi, betapa pun
biasanya ia adalah seorang yang tenang dan sabar, mau
tak mau sekarang ia pun merasa bimbang.

1433




Tempat tinggal yang ditinggalkannya itu terletak
lereng gunung sebelah timur Siau-sit-san. Dengan cepat
Kiau Hong melintasi lereng gunung itu, dari jauh terlihat
olehnya di bawah pohon di tepi kebun sayur sana
terletak sebuah caping dan sebuah teko. Pegangan teko
itu sudah putus. Kiau Hong masih kenal itulah benda
milik sang ayah, Kiau Sam-hoay.

Melihat benda-benda itu, seketika timbul rasa haru
Kiau Hong, “Ayah benar-benar seorang yang rajin dan
jujur, sudah belasan tahun teko bobrok itu dipakainya
dan sampai sekarang masih tak dibuangnya.”

Melihat pohon kurma itu, Kiau Hong terkenang pada
masa kanak-kanak, tatkala buah ang-co sudah masak,
sering kali Kiau Sam-hoay mengajaknya memetik buah
yang manis dan enak itu.

Sejak dia meninggalkan kampung halamannya tidak
pernah lagi ia merasakan buah ang-co. Diam-diam ia
berpikir, “Andaikan mereka bukan ayah-bunda
kandungku, namun budi peliharaan mereka padaku
sedari kecil betapa pun sukar kubalas. Maka
bagaimanapun tentang asal-usul diriku, aku tetap akan
memanggil mereka sebagai ayah dan ibu.”

Segera ia mendekati tiga petak rumah atap di depan
sana, ia lihat di luar rumah terbentang sehelai tikar yang
penuh jemuran sayuran kering. Seekor induk ayam
dengan beberapa ekor anaknya sedang mencari makan
di tanah rumput pinggir rumah sana.

Tanpa terasa tersenyumlah Kiau Hong. Pikirnya,
“Malam ini ibu pasti akan sembelih ayam dan masak

1434




yang enak-enak untuk menjamu putranya yang sudah
lama meninggalkan rumah ini.”

Segera ia berteriak-teriak memanggil, “Tia, Nio (ayah,
ibu), anak sudah pulang!”

Namun meski dia mengulangi seruannya keadaan
tetap sepi saja tanpa sesuatu jawaban. Ia pikir, “Ah,
mengapa aku begini bodoh, kedua orang tua sekarang
tentu telah lanjut usianya, telinga mereka tentu juga
sudah tuli.”

Segera ia mendorong daun pintu dan melangkah
masuk ke dalam. Ia lihat keadaan di dalam rumah masih
tetap seperti dulu. Meja kursi sudah butut, pacul, luku,
arit, dan sebagainya masih tetap berada di tempatnya.
Hanya tiada tampak bayangan seorang pun.

Kembali Kiau Hong berseru memanggil dua kali, tapi
tetap tiada jawaban apa-apa. Ia agak heran dan
bergumam sendiri, “Ai, ke manakah perginya mereka?”

Waktu ia melongok ke dalam kamar, seketika ia
terkejut. Ia lihat Kiau Sam-hoay suami-istri menggeletak
semua di lantai tanpa berkutik.

Cepat Kiau Hong melompat ke dalam kamar. Lebih
dulu ia bangunkan sang ibu, ia merasa napas orang tua
itu sudah putus, tapi badannya masih rada hangat, suatu
tanda belum terlalu lama meninggalnya. Waktu ia
membangunkan sang ayah juga, keadaannya ternyata
serupa.

1435




Sungguh kaget dan sedih Kiau Hong tak terkatakan.
Ia coba membawa jenazah sang ayah keluar rumah, ia
coba periksa keadaan mayat itu di bawah sinar matahari.
Segera dapat diketahuinya antero tulang iga orang tua itu
telah patah semua, nyata tewasnya disebabkan
semacam pukulan yang mahadahsyat. Waktu ia periksa
pula mayat sang ibu, keadaannya sami mawon alias
sama.

Kau Hong benar-tenar dihadapkan kepada suatu
persoalan yang mahapelik. Ia tidak habis mengerti,
“Ayah-ibu adalah kaum petani yang jujur tulus, mengapa
ada orang Bu-lim yang begini tega turun tangan keji pada
mereka? Tentu urusan ini berpangkal pada persoalan
diriku.”

Ia coba mengelilingi ketiga petak rumah itu, ia periksa
dengan teliti bagian depan, samping dan belakang
rumah-rumah itu, ia ingin tahu macam apakah pembunuh
itu. Namun pembunuh itu ternyata sangat cerdik, bahkan
bekas tapak kaki tidak sedikit pun tertinggal.

Semakin dipikir semakin pedih hati Kiau Hong, air
mata tak tertahan lagi bercucuran, sampai akhirnya ia tak
dapat lagi menahan gelora perasaannya, ia menangis
tergerung-gerung dengan keras.

Tapi baru saja ia mulai menangis, tiba-tiba terdengar
suara orang berkata di belakang, “Ai, sayang, sayang kita
terlambat datang!”

Cepat Kiau Hong berpaling, ia lihat empat hwesio
setengah umur sudah berdiri di situ. Dari dandanan

1436




mereka segera Kiau Hong dapat menduga mereka
adalah padri Siau-lim-si.

Walaupun ilmu silat Kiau Hong semula diperoleh dari
Siau-lim-pay, tapi guru yang mengajar dia, yaitu Hian-koh
Taysu, hanya datang di tengah malam setiap hari,
tentang dia belajar silat bahkan kedua orang tua sendiri
tidak tahu, maka dengan padri Siau-lim-si pun ia tidak
kenal.

Oleh karena hati sedang sedih, biarpun di depannya
berdiri empat orang tak dikenal, namun seketika Kiau
Hong tak dapat menahan tangisnya.

Tiba-tiba salah satu padri di antaranya yang bertubuh
tinggi menegurnya dengan suara kasar, “Kiau Hong,
perbuatanmu ini benar-benar melebihi binatang. Kiau
Sam-hoay suami-istri meski bukan ayah-bunda
kandungmu, namun budi membesarkanmu selama
belasan tahun juga tidak kecil, mengapa kau tega turun
tangan keji untuk membunuhnya?”

“Cayhe juga baru saja sampai rumah dan
mendapatkan ayah dan ibu sudah terbunuh, aku justru
lagi ingin mencari tahu siapa pengganas itu untuk
membalas sakit hati orang tua, mengapa Taysu
mengucapkan kata-kata demikian?” sahut Kiau Hong
dengan menangis.

“Huh, orang Cidan memang berhati buas seperti
binatang, kau sendiri yang telah membinasakan ayah-ibu
angkatmu, tapi kau masih pura-pura tidak tahu,” bentak
padri itu dengan gusar. “Orang she Kiau, memang salah
kami karena terlambat datang. Tapi bila kau kira Siau-sit-

1437




san boleh sembarangan dibuat main gila, terang kau
salah hitung besar.”

Habis berkata, tanpa ampun lagi ia terus menghantam
dada Kiau Hong.

Selagi Kiau Hong hendak mengelak, tiba-tiba dari
belakang juga ada kesiur angin perlahan, segera ia tahu
ada orang membokong dari belakang. Tapi ia tidak ingin
bertempur dengan padri Siau-lim-si itu tanpa mengetahui
duduknya perkara. Maka sekali kakinya mengentak,
bagaikan burung ia melayang pergi sejauh beberapa
meter. Waktu ia menoleh, benar juga padri yang berdiri di
belakangnya itu telah menendang tempat kosong.

Melihat cara begitu mudah Kiau Hong menghindarkan
serangan mereka dari muka dan belakang, mau tak mau
para padri itu terkejut dan heran pula.

“Biarpun ilmu silatmu tinggi juga jangan coba
bertingkah di sini,” damprat si padri jangkung tadi.
“Engkau sengaja membunuh kedua orang tua untuk
menutupi rahasia asal-usul dirimu, cuma sayang tentang
dirimu yang keturunan bangsa Cidan itu sudah tersiar
luas di Kangouw, siapakah orang Bu-lim yang tidak tahu
akan hal ini sekarang? Sekarang kau melakukan
perbuatan durhaka sebesar ini, hal ini jelas semakin
menambah dosamu yang tak dapat diampuni.”

“Lebih dulu engkau membunuh Be Tay-goan,
sekarang kau bunuh pula Kiau Sam-hoay berdua, hm,
apakah perbuatanmu yang terkutuk ini dapat kau tutupi?”
demikian padri yang lain ikut mendamprat.

1438




Dalam keadaan berduka, meski mendengar caci maki
padri itu sangat menyakitkan hati, namun tak dapat Kiau
Hong mengumbar kemarahannya. Selama hidup sudah
banyak persoalan besar dan kejadian hebat yang
dialaminya, maka kini ia tetap dapat bersabar, ia
memberi hormat, lalu katanya, “Numpang tanya siapakah
gelaran suci para Taysu? Bukankah kalian adalah padri
saleh Siau-lim-si?”

Watak salah satu hwesio itu cukup ramah tamah,
maka dengan suara tenang ia menjawab, “Benar, kami
adalah anak murid Siau-lim-si. Ai, suami-istri Kiau Samhoay
selamanya sangat jujur dan baik, tapi toh
mendapatkan ganjaran mengenaskan seperti ini. Kiau
Hong, bangsa Cidan sungguh teramat keji.”

Melihat orang tidak sudi memberitahukan gelar
mereka, Kiau Hong pikir percuma saja bertanya lagi. Tapi
ia mendengar si padri jangkung menyatakan mereka
datang terlambat untuk menolong, agaknya mereka telah
diberi tahu seseorang, lalu buru-buru datang kemari, tapi
siapakah pemberi kabar itu? Siapakah yang sebelumnya
sudah mengetahui ayah-bundaku bakal tertimpa
malang?

Maka katanya segera, “Keempat Taysu berhati welas
asih dan sengaja buru-buru datang ke sini untuk
menolong ayah-bundaku, cuma sayang agak terlambat
sedikit ....”

Mendadak si padri jangkung yang berwatak keras itu
menghantam dengan kepalan sebesar mangkuk sambil
membentak, “Kami datang terlambat, makanya kau dapat

1439




berbuat durhaka dengan bebas, ya? Hm, tentu kau
merasa senang dan sengaja mengejek kami?”

Kiau Hong tahu maksud baik kawanan hwesio itu,
maka tidak ingin bertempur dengan mereka. Tapi untuk
mengetahui duduknya perkara, kalau mereka tidak diberi
tahu rasa, tentu urusan ini takkan selesai untuk
selamanya. Maka katanya segera, “Cayhe sangat
berterima kasih atas maksud baik keempat Taysu, tapi
karena terpaksa, harap suka dimaafkan!”

Sembari berkata, ia bergerak secepat kilat, pundak
padri ketiga segera ditepuknya sekali.

“Apakah kau ajak bergebrak?” bentak padri itu.
Namun tahu-tahu pundaknya kena ditabok Kiau Hong
pula, tubuhnya menjadi lemas dan duduk mendeprok di
tanah.

Kiau Hong pernah meyakinkan ilmu silat Siau-lim-pay,
meski tidak saling kenal dengan keempat padri itu, tapi
dasar ilmu silat mereka cukup dipahaminya, maka
beruntun Kiau Hong menepuk empat kali, kontan
keempat padri itu pun dirobohkan.

“Maafkan,” kata Kiau Hong kemudian, “numpang
tanya, Taysu tadi bilang terlambat datang ke sini, dari
manakah kalian mengetahui ayah-bundaku akan tertimpa
bahaya? Siapakah gerangan orang yang mengirim kabar
kepada para Taysu itu?”

“Hehe, apa maksudmu si pengirim kabar itu pun kan
kau bunuh bila kau tahu nama dia ya?” sahut padri
jangkung tadi dengan gusar. “Anak murid Siau-lim-pay

1440




bukanlah manusia pengecut hingga dapat dipaksa
mengaku oleh anjing buduk Cidan seperti dirimu ini.
Biarpun kau siksa kami dengan cara paling keji juga
jangan harap memperoleh sesuatu pengakuan dari mulut
kami.”

Diam-diam Kiau Hong gegetun, “Sungguh celaka,
kesalahpahaman ini menjadi semakin mendalam
sekarang, kalau kutanya lagi, pasti mereka akan anggap
aku hendak memaksa pengakuan mereka.”

Maka ia tidak tanya lebih jauh, sebaliknya ia pijat
beberapa kali punggung keempat padri itu untuk
membuka hiat-to mereka, katanya, “Jika aku hendak
membunuh kalian untuk menutupi perbuatanku, saat ini
juga jiwa kalian tentu sudah melayang. Tapi aku tidak
nanti berbuat demikian, adapun duduk perkara yang
sebenarnya kelak pasti akan kubikin terang.”

“Hendak membunuh orang untuk menutupi
perbuatanmu yang keji? Hm, belum tentu begitu mudah!”
demikian tiba-tiba suara seorang menjengek dari
samping lereng bukit.

Waktu Kiau Hong mendongak, ia lihat di lereng sana
berdiri belasan padri Siau-lim-si yang bersenjata lengkap,
ada yang membawa tongkat padri, ada yang membawa
golok suci, tiada seorang pun yang bertangan kosong.

Selintas pandang saja Kiau Hong lihat padri-padri itu
dipimpin oleh dua hwesio berumur setengah abad,
masing-masing padri itu membawa senjata hong-pian-jan
(sekop yang berbentuk bulan sabit), ujung senjata itu
hijau kemilau, sinar mata kedua padri itu pun berkilat-

1441




kilat, sekali pandang segera orang akan tahu mereka
pasti mempunyai lwekang yang sangat tinggi.

Meski Kiau Hong tidak jeri menghadapi musuh
macam pun, tapi ia belasan tahu padri ini pasti jauh lebih
lihai daripada keempat hwesio yang duluan. Asal sekali
sudah bergebrak, sebelum membunuh beberapa di
antaranya pasti susah untuk melepaskan diri.

Dengan cepat Kiau Hong dapat menghadapi segala
kesulitan dan mengatasi segala kesangsian. Segera ia
memberi hormat sambil berkata, “Kiau Hong telah
berlaku kurang ajar, harap para Taysu suka memaafkan!”

Mendadak tubuhnya melayang mundur ke belakang,
punggung membentur daun pintu dan menghilang ke
dalam rumah.

Perubahan itu sangat cepat terjadinya, padri Siau-limpay
sama berteriak kaget dan segera ada 5-6 orang
menerjang ke dalam rumah itu. Tapi baru sampai di
ambang pintu, tiba-tiba mereka merasa dipapak oleh
serangkum angin mahadahsyat. Lekas mereka angkat
sebelah tangan untuk bertahan sekuatnya.

Sambaran angin itu sangat hebat hingga debu
berhamburan, para padri itu sampai terentak mundur
beberapa tindak dan dada pun terasa sesak, dengan
muka pucat mereka saling pandang dengan terkejut.
Mereka tahu bila Kiau Hong serentak menyerang pula
untuk kedua kalinya, pasti mereka tidak mampu bertahan
dan bukan mustahil akan binasa, tapi hal itu tidak
dilakukan Kiau Hong. Padahal mereka menyangka bekas
ketua Kay-pang itu adalah orang jahat.

1442




Selang sejenak, tiba-tiba kedua hwesio yang
memimpin itu angkat senjata mereka dan menyerbu ke
dalam rumah dengan gerakan “Siang-liong-jip-tong” atau
dua ekor naga menyusup ke gua. Mereka putar tongkat
sedemikian kencangnya hingga terbentuk selapis
jaringan sinar untuk melindungi mereka.

Namun sesudah di dalam rumah, mereka lihat
keadaan sunyi senyap tiada suatu bayangan pun. Yang
lebih aneh adalah jenazah suami-istri Kiau Sam-hoay
juga sudah lenyap.

Kedua padri bersenjata tongkat itu adalah hwesio
ruang “Kay-lut-ih” Siau-lim-si, yaitu bagian pengawasan
dan perundang-undangan, tugas mereka adalah
mengawasi kelakuan anak murid Siau-lim-si dan
ketaatan mereka. Ilmu silat mereka dengan sendirinya
sangat tinggi, bahkan pengalaman mereka juga sangat
luas.

Keruan mereka ternganga heran melihat dalam
sekejap itu Kiau Hong sudah menghilang bahkan
menggondol pula mayat suami-istri Kiau Sam-hoay. Tapi
mereka tidak percaya Kiau Hong mampu lari jauh, tentu
masih bersembunyi di sekitar situ. Maka cepat mereka
mencari di sekitar rumah, namun tiada sesuatu yang
ditemukan.

Segera kedua padri Kay-lut-ih itu menguber ke bawah
gunung, mereka yakin Kiau Hong pasti melarikan diri ke
jurusan sana. Tapi meski belasan li mereka mengejar
tetap tidak tampak suatu bayangan pun.

1443




Sudah tentu mereka tidak menyangka bukannya Kiau
Hong melarikan diri ke bawah gunung, sebaliknya ia
malah berlari ke arah Siau-sit-san. Ia mencari suatu
tempat yang terjal dan sukar didatangi orang, di situ ia
kubur dulu ayah-bundanya, ia memberi penghormatan
terakhir kepada tempat semayam abadi kedua orang tua
itu sambil berdoa, “Tia, Nio, siapakah gerangan
pembunuh kalian berdua, anak berjanji pasti akan
menangkapnya untuk kemudian dikorek hatinya sebagai
sesajen kalian.”

Ia menyesal pulangnya terlambat sebentar saja
hingga tidak dapat bertemu lagi dengan ayah-bundanya
yang sangat dicintainya itu. Coba kalau dapat berjumpa,
tentu kedua orang tua akan betapa senangnya melihat
putranya yang kini sudah demikian gagah perkasanya.
Alangkah bahagianya bila antara ayah-bunda dan sang
putra dapat berkumpul untuk sehari-dua untuk
mengenyam sekadar kesenangan orang hidup.

Teringat akan semua itu, tak tertahan lagi air mata
Kiau Hong bercucuran, ia menangis terguguk dengan
sedih. Sejak kecil wataknya memang sangat keras,
jarang sekali ia menangis, sesudah dewasa, lebih-lebih ia
tidak pernah meneteskan sebutir air mata pun. Tapi hari
ini, saking duka dan pilunya ia tak dapat menguasai
perasaannya hingga mengucurkan air mata.

Mendadak terpikir pula olehnya, “Wah, celaka, guruku
yang berbudi Hian-koh Taysu jangan-jangan akan
mengalami nasib malang juga! Pembunuh itu telah
membinasakan ayah-bundaku, waktunya ternyata begini
cepat, yaitu setengah jam sebelum aku pulang. Nyata hal
ini memang sudah direncanakan lebih dulu, dan sesudah

1444




dia turun tangan, segera ia pergi ke Siau-lim-si untuk
memberitahukan kepada para padri di sana. Ya, tentu
para padri itu tertipu hingga datang kemari hendak
menolong ayah-bunda, tapi kepergok dengan aku. Di
dunia ini yang mengetahui asal-usul diriku masih ada
pula guruku Hian-koh Taysu, maka aku harus berjagajaga
pengganas itu akan turun tangan keji pula terhadap
guruku itu dan aku lagi yang mesti menanggung dosa
perbuatan musuh itu.”

Demi ingat bisa jadi Hian-koh Taysu juga akan
tertimpa malang, perasaan Kiau Hong menjadi seperti
terbakar, tanpa pikir lagi ia berlari ke arah Siau-lim-si.

Ia tahu di dalam Siau-lim-si itu penuh orang-orang
kosen, beberapa padri tua di Tat-mo-ih lebih-lebih bukan
main ilmu silatnya, bila dirinya kepergok hingga
dikerubut, tentu sukar sekali untuk meloloskan diri.
Sebab itulah meski dia berlari secepatnya, namun yang
dipilih selalu jalan kecil yang sepi dan lebih jauh.

Sesudah lebih satu jam, akhirnya tibalah dia di
belakang Siau-lim-si. Tatkala itu hari sudah remangremang,
ia merasa girang dan khawatir. Girangnya
karena hari sudah gelap dan menguntungkan baginya
untuk bersembunyi. Khawatirnya kalau-kalau musuh juga
menggunakan kesempatan malam gelap itu untuk
menyergap, tentu susah mengetahui jejak musuh.

Selama beberapa tahun akhir ini Kiau Hong malang
melintang di dunia Kangouw dan jarang ketemu
tandingan, tapi sekali ini bukan saja ilmu silat musuh
sangat tinggi, bahkan tipu muslihatnya yang licin itu pun
tidak pernah dialaminya.

1445




Meski sekarang ia harus menyerempet bahaya masuk
ke Siau-lim-si yang penuh jago kosen itu, tapi mengingat
gurunya, Hian-koh Taysu bukan mustahil juga akan
mengalami sergapan musuh di luar dugaan, malahan
kalau dirinya kepergok menyelundup ke dalam kuil itu
tentu susah baginya untuk cuci tangan. Padahal kalau
dia mau cari selamat sendiri, ia dapat meninggalkan
Siau-lim-si sejauh mungkin. Tapi karena dia khawatirkan
keselamatan Hian-koh Taysu, pula ingin mencari
kesempatan untuk menangkap pembunuh yang
sebenarnya guna membalas sakit hati ayah-bundanya,
maka akibat apa yang bakal dihadapinya nanti sudah tak
terpikir olehnya.

Meski dia pernah tinggal belasan tahun di
pegunungan Siau-sit-san, tapi tidak pernah ia masuk ke
Siau-lim-si, maka terhadap keadaan biara yang besar
dan banyak ruangan itu, terutama tempat tinggal Hiankoh
Taysu, sama sekali tak diketahui olehnya. Ia pikir,
“Semoga Insu (guru berbudi) baik-baik saja tak kurang
satu pun apa, mungkin beliau akan dapat memberi
penjelasan asal-usul diriku serta mengetahui siapa
pembunuh yang sebenarnya.”

Namun biara Siau-lim-si yang ruangan dan
gedungnya tersebar di lereng gunung itu sangat luas,
pula Hian-koh Taysu tidak memegang tugas tertentu di
biara itu, ia pun bukan padri angkatan tua Tat-mo-ih,
sedangkan padri angkatan yang pakai gelar “Hian”
sedikitnya ada 20 orang lebih, dandanannya serupa pula,
lantas ke mana ia harus mencarinya di tengah malam
gelap?

1446




Ia pikir, “Jalan satu-satunya sekarang aku harus
menangkap seorang padri dan paksa dia membawaku
pergi menemui Suhu. Sesudah bertemu akan kuminta dia
memaafkan tindakanku itu. Tapi kalau menuruti watak
padri Siau-lim-si yang mengutamakan setia kawan, bila
aku disangkanya akan berbuat tidak baik terhadap Hiankoh
Taysu biarpun mati tak nanti ia mau mengatakan
tempatnya. Ai, jika begitu, lebih baik aku mencari
seorang tukang api atau tukang sapu di bagian dapur
saja. Namun orang-orang demikian juga belum tentu tahu
tempat tinggal guruku.”

Begitulah ia menjadi serbasusah tapi ia terus
menggerayangi ruangan biara itu, setiap kamar dan
setiap ruangan diintainya dengan harapan dapat
memperoleh sedikit keterangan.

Berkat gerakannya yang gesit, meski tubuhnya tinggi
besar, namun ia dapat melompat dan melejit dengan
lincah hingga tidak mengeluarkan sesuatu suara dan
diketahui orang.

Ia meneruskan penyelidikannya itu, ketika sampai di
suatu ruangan samping, tiba-tiba didengarnya di dalam
kamar ada suara orang sedang bicara, “Hongtiang ada
urusan penting ingin berunding dengan Susiok, maka
Susiok diharap datang ke ‘Cin-to-ih’.”

Lalu suara seorang tua menjawab, “Baiklah, segera
kudatang ke sana!”

“Hongtiang sedang mengumpulkan kerabat untuk
berunding urusan penting, tentu guruku juga akan hadir
di sana, biarlah kukuntit di belakang orang ini ke sana,

1447




tentu akan dapat kujumpai Suhu,” demikian pikir Kiau
Hong.

Maka terdengarlah suara berkeriutnya pintu didorong,
keluarlah dua padri dari kamar itu. Padri yang tua menuju
ke arah barat, sedangkan yang muda buru-buru menuju
ke jurusan lain, mungkin hendak mengundang padri lain
lagi.

Kiau Hong menduga padri tua yang diundang
hongtiang itu tentu mempunyai kedudukan tinggi dan
dengan sendirinya ilmu silatnya sangat tinggi juga. Maka
ia tidak berani menguntit terlalu dekat melainkan
mengintilnya dari jauh. Ia lihat padri itu menuju ke barat
sana hingga sampai di suatu rumah ujung.

Kiau Hong menunggu padri itu masuk ke dalam
rumah, lalu ia mengitar ke belakang rumah itu, ia
dengarkan dulu keadaan di sekitar situ, setelah yakin
tiada orang lain lagi barulah ia mendekam di bawah
jendela untuk mendengarkan.

Mengingat kelakuannya sendiri itu, diam-diam Kiau
Hong berduka dan menyesal pula, pikirnya, “Aku Kiau
Hong selamanya menghadapi segala urusan dengan
secara terang-terangan, tapi hari ini terpaksa aku harus
main sembunyi-sembunyi. Bila perbuatanku ini dipergoki,
lenyaplah nama baikku selama ini dan tiada muka untuk
berkecimpung di kalangan Kangouw lagi.”

Namun bila terkenang kepada jasa sang guru waktu
mengajar ilmu silat padanya, biarpun hujan badai
sekalipun juga tidak pernah absen barang semalam, budi
sebesar itu biar hancur lebur tubuhnya juga perlu dibalas,

1448




apalagi cuma menderita malu dan ternoda namanya
saja?

Dalam pada itu ia dengar ada suara tindakan orang di
depan rumah sana, berturut-turut ada empat orang
masuk ke situ pula. Tidak lama kemudian, kembali
datang lagi dua orang. Dengan demikian, dari bayangan
orang yang tertampak dari luar jendela, sudah ada
belasan orang yang berkumpul di dalam rumah.

Diam-diam Kiau Hong berpikir pula, “Jika urusan yang
mereka rundingkan adalah rahasia Siau-lim-pay, dan kini
aku mengintipnya, meski tiada maksud jahat, jelas hal ini
pun tidak pantas. Maka lebih baik aku sembunyi di
tempat agak jauh dan jangan mendengarkan rahasia
yang hendak mereka rundingkan ini. Jika Suhu memang
berada di dalam kamar, dengan berkumpulnya tokohtokoh
Siau-lim-pay sebanyak ini di sini, betapa pun
lihainya musuh juga tidak mampu mengganggu seujung
rambutnya. Dan nanti kalau perundingan mereka sudah
selesai, setelah padri-padri itu bubar, barulah aku
mencari akal untuk menemui Suhu dan melaporkan
segala apa yang terjadi.”

Selagi ia hendak menyingkir, tiba-tiba didengarnya
suara belasan hwesio di dalam kamar itu serentak
membaca kitab. Kiau Hong tidak paham kitab apa yang
sedang dibaca mereka itu, tapi suaranya sangat khidmat
dan sendu, bahkan suara beberapa orang di antaranya
mengandung rasa duka.

Lama sekali padri-padri itu berdoa, lama-kelamaan
Kiau Hong merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Pikirnya, “Apakah mereka sedang sembahyang? Atau

1449




sedang mengadakan sesuatu khotbah? Mungkin Suhu
tidak berada di sini.”

Waktu ia dengarkan dengan cermat, benar juga tiada
terdengar suara Hian-koh Taysu yang sangat dikenalnya
itu.

Seketika ia menjadi bingung apakah mesti menunggu
lagi di situ. Tiba-tiba terdengar suara pembacaan kitab di
dalam kamar telah berhenti, lalu suara seorang yang
kereng sedang bicara, “Hian-koh Sute, apa yang hendak
kau katakan pula?”

Mendengar nama gurunya disebut, sungguh girang
Kiau Hong tidak kepalang, ternyata orang tua itu pun
berada di situ dan dalam keadaan baik-naik tanpa kurang
suatu pun apa.

Lalu didengarnya suara gurunya yang dikenalnya
sedang menjawab, “Waktu Siaute diberi nama sebagai
Hian-koh oleh Siansu (mendiang guru), maksudnya agar
Siaute dapat membebaskan diri dari sengsara dan
penderitaan. Akan tetapi untuk ini masih diharapkan
bantuan para Suheng dan Sute.”

Mendengar suara sang Suhu sangat tenang dan
penuh tenaga dalam, nyata selama belasan tahun ini
lwekang sang guru semakin hebat, diam-diam Kiau Hong
bergirang bagi orang tua itu. Cuma apa yang diucapkan
itu adalah kata-kata dalam agama Buddha yang dalam
artinya, seketika Kiau Hong tidak paham maksudnya.

Lalu terdengar suara kereng tadi berkata, “Beberapa
bulan yang lalu Hian-pi Sute terbinasa di tangan orang

1450




jahat, kita sudah menyelidiki si pembunuh dengan
sepenuh tenaga, hal ini agak melampaui batas
pantangan Buddha yang menghendaki jangan suka
marah dan jangan suka murka. Namun membasmi kaum
jahat untuk menolong sesamanya adalah menjadi asas
utama kaum persilatan kita ....”

Mendengar sampai di sini, Kiau Hong menduga
pembicara yang bersuara kereng ini tentulah ketua Siaulim-
si, Hian-cu Taysu.

Ia dengar suara itu sedang melanjutkan, “Setiap
gembong iblis yang dapat kita basmi akan besar artinya
bagi keselamatan orang banyak. Maka, sudilah Sute
memberi tahu, apakah pengganas itu Koh-soh Buyung
atau bukan?”

Kiau Hong terkesiap, “Kembali menyangkut nama
Koh-soh Buyung-si lagi. Sudah lama kudengar bahwa
Hian-pi Taysu dari Siau-lim-si telah tewas disergap
orang, apakah barangkali mereka pun mencurigai
Buyung-kongcu yang berbuat?”

Dalam pada itu terdengar Hian-koh Taysu sedang
menjawab, “Hongtiang-suheng, Siaute tidak ingin
menambah dosa, hingga membikin Suheng, dan para
Sute banyak membuang tenaga bagiku. Bila orang itu
dapat meninggalkan golok jagalnya, dengan sendirinya
masih belum terlambat untuk kembali ke jalan yang
benar. Tapi kalau tetap sesat tak mau sadar, ai, itu pun
akan ditanggung sendiri sengsaranya. Tentang
bagaimana wujud orang itu, biarlah tak perlu dikatakan
saja.”

1451




“Kesadaran Sute memang lebih tinggi, Suhengmu ini
terlalu bodoh, jauh tak dapat mengimbangi Sute,” ujar
Hian-cu Taysu, ketua Siau-lim-si.

“Kini Siaute ingin duduk tenang sebentar untuk
mengenangkan dosa,” ujar Hian-koh.

“Baiklah, harap Sute menjaga diri dengan baik,” sahut
Hian-cu. Lalu terdengar pintu dibuka, seorang padri tinggi
kurus dan berjubah merah berjalan keluar dengan
merangkap tangan sambil berdoa perlahan. Menyusul
keluar pula 17 padri yang lain, semuanya juga berkasa
merah dan sama menunduk sambil berdoa dengan
khidmat.

Sesudah padri-padri itu pergi jauh dan di dalam kamar
sunyi senyap, Kiau Hong masih ragu-ragu untuk masuk
ke situ mengingat suasana yang khidmat tadi. Tapi tibatiba
terdengar Hian-koh berkata, “Jauh-jauh tamu agung
berkunjung kemari, mengapa tidak sudi masuk saja?”

Sungguh kejut Kiau Hong tidak kepalang. Padahal ia
sudah sangat hati-hati, sekalipun bernapas juga tidak
berani keras, orang berada satu meter di sebelahnya
juga belum tentu mengetahui. Tapi kini gurunya seakanakan
orang memiliki telinga sakti, biarpun teraling-aling
dinding masih dapat mengetahui kedatangannya. Maka
dengan sangat hormat segera Kiau Hong mendekati
pintu sambil berkata, “Baik-baikkah Suhu, Tecu Kiau
Hong menyampaikan sembah hormat kepada Suhu.”

“Hah, kiranya Hong-ji?” seru Hian-koh. “Saat ini aku
justru lagi terkenang padamu dan berharap dapat
berjumpa denganmu, marilah lekas masuk.”

1452




Dari suara sang guru yang penuh rasa girang itu, Kiau
Hong menjadi terharu, cepat ia lari masuk dan berlutut
memberi hormat sambil berkata, “Tecu tidak dapat selalu
mendampingi Suhu sehingga membikin Suhu senantiasa
terkenang. Kini melihat Suhu dalam keadaan sehat
walafiat, sungguh murid merasa sangat girang.”

Habis berkata ia lantas mendongak untuk
memandang Hian-koh.

Sebenarnya wajah Hian-koh tersenyum simpul. Tapi
di bawah sinar pelita demi dilihatnya muka Kiau Hong itu,
mendadak air mukanya berubah hebat, ia berbangkit
sambil berkata dengan suara gemetar, “Jadi kau ... kau
inilah Kiau Hong, murid ... murid yang kudidik sejak kecil
itu?”

Melihat perubahan air muka gurunya yang terkejut,
menyesal tercampur rasa kasih sayang itu, seketika Kiau
Hong juga melongo heran, sahutnya bingung, “Ya, Suhu,
anak inilah Kiau Hong adanya.”

“Bagus, bagus, bagus!” berturut Hian-koh Taysu
mengucapkan tiga kali “bagus”, lalu tidak bicara lagi.

Kiau Hong tidak berani tanya pula, dengan tenang ia
menunggu apa yang hendak dikatakan sang guru. Siapa
duga, tunggu punya tunggu, tetap Hian-koh Taysu tidak
buka suara. Waktu Kiau Hong memandang wajah padri
itu, ia lihat sikapnya masih tetap seperti tadi, tapi air
mukanya tiada sesuatu perasaan.

1453




Kiau Hong terkejut, cepat ia meraba tangan sang
guru, ia merasa tangan yang kurus itu sudah dingin,
waktu ia memeriksa pernapasan hidungnya, ternyata
napasnya sudah berhenti sejak tadi.

Kejadian ini benar-benar membikin Kiau Hong
terperanjat tidak kepalang, pikirnya dengan bingung,
“Masakah demi lihat diriku lantas Suhu mati ketakutan?
Tidak, tidak mungkin! Apa yang menakutkan beliau? Ah,
sebelum melihat diriku besar kemungkinan lebih dulu ia
sudah terluka parah.”

Akan tetapi ia tidak berani memeriksa tubuh orang tua
itu, setelah tenangkan diri, ia ambil keputusan, “Jika aku
tinggal pergi begini saja, apakah ini perbuatan seorang
laki-laki sejati? Urusan hari ini biarpun betapa bahayanya
juga harus kuselidiki hingga jelas duduknya perkara.”

Segera ia keluar dari kamar itu, dengan suara lantang
ia berseru, “Hongtiang Taysu, Hian-koh Suhu telah wafat!
Hian-koh Suhu wafat!”

Suara Kiau Hong sangat keras, tenaga dalamnya
sangat kuat, maka suaranya berkumandang hingga jauh
sampai lembah pegunungan mendengung-dengung
seakan-akan terguncang. Dan sudah tentu antero
penghuni Siau-lim-si mendengar seruannya yang keras
tapi mengandung rasa nestapa itu.

Rombongan Hian-cu tadi malahan belum sampai di
kamarnya masing-masing, maka demi mendengar suara
Kiau Hong itu, serentak mereka berlari kembali ke Cin-toih
tadi. Maka tertampaklah oleh mereka seorang laki-laki
tinggi besar sedang berdiri di depan pintu kamar sambil

1454




mengusap air mata dengan lengan baju. Keruan padripadri
Siau-lim-si itu sangat heran.

“Siapakah Sicu?” tanya Hian-cu sambil memberi
hormat. Karena khawatirkan keselamatan Hian-koh,
maka tanpa menunggu jawaban Kiau Hong terus saja ia
mendahului masuk ke dalam kamar. Ia lihat Hian-koh
berdiri kaku di situ tanpa roboh. Keruan ia tambah
terkejut.

Sementara itu padri yang lain juga sudah ikut masuk,
mereka menunduk dan memanjatkan doa. Kiau Hong
paling akhir masuk ke dalam, ia berlutut dan diam-diam
berdoa, “Suhu, Tecu terlambat membawa berita ke sini
hingga engkau akhirnya dicelakai juga oleh musuh. Sakit
hati Tecu kepada musuh itu setinggi langit dan sedalam
lautan, betapa pun Tecu berjanji akan menuntut balas.”

Selesai membaca kitab, kemudian Hian-cu
mengamat-amati Kiau Hong, lalu tanyanya, “Siapakah
Sicu? Apakah seruan tadi dilakukan olehmu?”

“Tecu Kiau Hong adanya, waktu Tecu mengetahui
Suhu wafat, saking dukanya hingga terpaksa membikin
kaget Hongtiang.”

Hian-cu terkejut mendengar nama Kiau Hong, ia
menegas, “Jadi Sicu adalah ... adalah bekas Pangcu
Kay-pang?”

“Benar,” sahut Kiau Hong. Diam-diam ia kagum
betapa cepat berita yang diterima Siau-lim-si itu. Dan
kalau sudah tahu dirinya adalah “bekas pangcu”, tentu
orang tahu juga sebab musabab dia dipecat Kay-pang.

1455




“Mengapa tengah malam buta Sicu menggerayangi
biara kami? Dan mengapa dapat menyaksikan wafatnya
Hian-koh Sute?” tanya Hian-cu pula.

Seketika Kiau Hong tidak tahu cara bagaimana harus
menceritakan perasaannya waktu itu, terpaksa ia jawab,
“Hian-koh Taysu adalah guru pengajar Tecu, waktu Tecu
mengetahui ....”

Belum lanjut ucapannya, segera Hian-cu memotong,
“Apa katamu? Hian-koh Sute adalah gurumu? Jadi Sicu
ini anak murid Siau-lim-si? Ini sungguh ... sungguh aneh.”

Perlu diketahui bahwasanya nama Kiau Hong
tersohor di seluruh jagat dan terkenal sebagai murid ahli
waris Ong-pangcu, ilmu silatnya juga tiada sangkut paut
dengan Siau-lim-pay. Tapi kini ia mengaku sendiri
sebagai anak murid Siau-lim-pay, sudah tentu Hian-cu
Taysu tidak percaya dan hampir-hampir menyemprotnya
karena dianggap sembarangan mengoceh.

Tapi Kiau Hong lantas menjawab, “Cerita ini cukup
panjang, entah luka apakah yang diderita Insu dan siapa
gerangan pengganasnya?”

“Hian-koh Sute disergap orang, dadanya terkena
pukulan dahsyat musuh, tulang iganya patah semua, isi
perutnya juga hancur,” demikian tutur Hian-cu Hongtiang.
“Tapi berkat lwekangnya yang tinggi ia dapat bertahan
sampai tadi. Kami telah tanya dia siapakah gerangan
musuh itu, namun ia menyatakan tidak kenal dan juga
tidak mau menjelaskan bagaimana macam orang itu.”

1456




Baru sekarang Kiau Hong paham perkataan Hian-koh
sebelum meninggal tadi. Katanya dengan mengembeng
air mata, “Para Taysu mengutamakan welas asih, maka
tidak ingin mengikat permusuhan lebih dalam. Sebaliknya
Tecu adalah orang biasa, harus berusaha menangkap
pengganas itu untuk dicencang guna membalas sakit hati
Suhu. Padahal biara kalian terjaga sangat ketat, entah
cara bagaimana pembunuh itu mampu menyelundup ke
sini?”

Selagi Hian-cu termenung belum menjawab, tiba-tiba
seorang hwesio tua pendek di sebelah berkata dengan
dingin, “Hm, Sicu sendiri mampu menyusup ke sini tanpa
rintangan apa-apa, dengan sendirinya pembunuh itu pun
mampu pergi-datang dengan bebas seakan-akan
mendatangi tempat yang tiada manusianya.”

Kiau Hong membungkuk minta maaf, sahutnya, “Tecu
terpaksa oleh keadaan hingga tidak sempat permisi dulu
di luar, atas kelancanganku ini mohon para Taysu suka
memberi maaf. Hubungan Tecu dengan Siau-lim-pay
sangat erat, sekali-kali tidak berani memandang rendah
dan menghina.”

Dengan kata-katanya yang terakhir itu ia hendak
memberi penjelasan bahwasanya bila Siau-lim-pay
dibikin malu, hal itu pun berarti dia ikut malu.

Pada saat itulah, tiba-tiba seorang hwesio cilik
membawakan semangkuk obat yang masih mengepul
dan masuk ke situ dengan tergesa-gesa, ia berkata
kepada jenazah Hian-koh yang disangkanya hidup itu,
“Suhu, silakan minum obat.”

1457




Kiranya hwesio cilik ini adalah pelayan Hian-koh yang
tadi disuruh pergi menyeduh obat luka Siau-lim-si, yaitu
“Kiu-coan-kim-kong-theng”, maka tentang kematian Hiankoh
belum lagi diketahuinya.

Saking pilunya Kiau Hong lantas berkata padanya
dengan suara terguguk, “Suhu ... Suhu sudah ....”

Hwesio cilik itu berpaling ke arahnya dan mendadak
menjerit kaget, “Hai, kiranya kau ... kau kembali lagi ke
sini!”

Maka terdengarlah suara jatuhnya mangkuk hingga
pecah berantakan, air obat muncrat ke mana-mana,
hwesio cilik itu pun melompat mundur dengan ketakutan
sambil berteriak, “Dia ... dia inilah yang menyerang
Suhu!”

Karena teriakan hwesio cilik itu, semua orang terkejut.
Lebih-lebih Kiau Hong menjadi gugup dibuatnya. “Apa
katamu?” serunya keras-keras.

Usia padri kecil itu kira-kira baru 12-13 tahun, ia
sangat ketakutan melihat Kiau Hong, ia sembunyi di
belakang Hian-cu sambil menarik-narik lengan ketua
Siau-lim-si itu dan meratap, “Hongtiang! Hongtiang!”

“Jangan takut, Ceng-siong!” sahut Hian-cu.
“Katakanlah yang terang, kau bilang dia yang menyerang
suhumu tadi?”

“Ya ... ya!” sahut hwesio cilik yang bernama Cengsiong
itu. “Dengan telapak tangannya ia pukul dada
Suhu, Tecu sendiri menyaksikan di luar jendela. Suhu,

1458




Suhu, ayolah balas hantam dia, mengapa engkau diam
saja?”

Ternyata sampai saat ini ia belum lagi tahu Hian-koh
sudah meninggal.

“Ceng-siong, cobalah kau lihat lagi yang jelas, janganjangan
kau salah mengenali orang?” ujar Hian-cu
Hongtiang.

“Tidak, tidak salah lagi!” seru Ceng-siong. “Telah
kulihat dengan jelas, beginilah pakaiannya, begini pula
mukanya yang lebar dan alisnya yang tebal itu, mulutnya
lebar dan telinganya besar, memang tidak salah lagi dia
ini. Suhu, ayolah balas serang dia, lekas!”

Saat itu Kiau Hong merasa merinding bulu romanya,
tiba-tiba ia sadar, “Ya, tidak salah lagi. Pembunuh itu
telah menyaru sebagai diriku untuk memfitnah aku. Tadi
waktu Suhu mendengar aku datang, beliau sangat
girang. Tapi begitu melihat wajahku, melihat aku serupa
penjahat itu, seketika beliau terkesiap dan menyesalkan
karena murid didiknya ternyata adalah orang yang telah
menyerangnya pula. Ya, maklum, aku sudahi belasan
tahun berpisah dengan Suhu, dari anak cilik kini berubah
dewasa, dengan sendirinya wajahku sudah banyak
berubah daripada masa kanak-kanak dulu.”

Waktu Kiau Hong kenangkan kembali kata “bagus”
tiga kali yang diucapkan Hian-koh Taysu sebelum ajalnya
itu, sungguh hatinya pedih bagai disayat-sayat. Pikirnya,
“Suhu telah kena serangan maut musuh, tapi tak
diketahui siapa nama musuh itu. Ketika aku datang dan
tahu wajahku serupa dengan penyerang itu, maka beliau

1459




sangat menyesal dan berduka hingga tewas. Memang
luka Suhu sudah terlalu parah, dalam keadaan payah
dengan sendirinya tidak dapat berpikir dengan saksama,
jika benar aku yang menyerang dia, mengapa untuk
kedua kalinya aku menemuinya lagi?”

Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara berisik
orang banyak, serombongan padri tampak berlari datang,
setiba di luar mereka lantas berhenti, hanya dua padri di
antaranya dengan membungkuk tubuh melangkah masuk
dengan hormat. Ternyata mereka adalah kedua hwesio
bersenjata tongkat yang mengerubut Kiau Hong di kaki
gunung itu.

Segera satu di antaranya menutur, “Lapor Hongtiang
....”

Tapi baru sekian ucapannya, sekilas ia lihat Kiau
Hong juga berada di situ, seketika wajahnya
menampilkan rasa kaget dan gusar. Ia mendelik dengan
termangu-mangu lantaran heran mengapa Kiau Hong
tahu-tahu sudah berada di situ.

Dengan kereng Hian-cu bersuara, “Sicu sudah tidak di
dalam Kay-pang lagi, tapi apa pun juga kau seorang
tokoh Bu-lim yang terkenal. Hari ini sengaja berkunjung
ke biara kami dan membinasakan Hian-koh Sute, entah
apa maksud tujuanmu, silakan memberi penjelasan.”

Namun Kiau Hong tidak menjawab, mendadak ia
menghela napas panjang sekali, lalu menyembah
kepada Hian-koh dan meratap, “Suhu, O, Suhu, sebelum
engkau mengembuskan napas penghabisan, engkau
juga mengatakan Tecu yang mencelakai dirimu dan

1460




meninggal dengan menanggung penasaran Meski Tecu
sekali-kali tidak nanti berani terhadap Suhu, meski
karena difitnah musuh sebab musababnya dengan
sendirinya berpangkal pada diriku. Umpama Tecu
sekarang rela mati untuk membalas budi Suhu, namun
sakit hati Suhu selanjutnya menjadi tak terbalas. Adapun
Tecu telah membikin rusuh di sini hingga melanggar
ketertiban Siau-lim-si, untuk ini harap Suhu suka
memaafkan.”

Selesai berdoa, sekonyong-konyong ia
mengembuskan napas dua kali, dua rangkum angin
keras menyambar, seketika dua pelita minyak di dalam
kamar tertiup padam hingga keadaan lantas gelap gulita.

Kiranya waktu Kiau Hong berdoa tadi, diam-diam ia
sudah mempunyai akal untuk meloloskan diri. Begitu
pelita minyak tertiup padam, menyusul tangan kirinya
menghantam ke depan dan tepat kena punggung siu-lutceng,
padri pengawas yang pernah ditempurnya di kaki
gunung itu.

Cuma hantamannya ini melulu menggunakan tenaga
luar yang kuat, maka isi perut padri itu tidak sampai
terluka melainkan tubuhnya yang besar itu mencelat ke
luar pintu.

Dalam keadaan gelap para hwesio Siau-lim-si itu
menyangka Kiau Hong hendak melarikan diri. Tanpa pikir
lagi mereka serentak mengeluarkan kim-na-jiu-hoat (ilmu
menangkap dan memegang) dan mencengkeram tubuh
siu-lut-ceng itu.

1461




Padri itu pun mempunyai pikiran yang sama, yaitu
tidak ingin menggunakan pukulan berat untuk
membinasakan Kiau Hong, tapi ingin menawannya
hidup-hidup untuk ditanyai mengapa membunuh Hiankoh
Taysu, muslihat keji apa di balik perbuatannya itu.

Para padri itu adalah jago pilihan Siau-lim-si, dengan
sendirinya adalah jago silat terkemuka pula dalam Bulim,
kim-na-jiu-hoat mereka pun berbeda-beda,
semuanya mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Maka
kontan siu-lut-ceng itu kena dicengkeram oleh berbagai
macam kim-na-jiu-hoat Siau-lim-pay yang lihai seperti
Kim-liong-jiu (cengkeraman cakar naga), Eng-jiau-jiu
(cakar elang), Hou-jian-kang (cakar harimau), dan lain-
lain lagi.

Keruan yang paling sial adalah siu-lut-ceng itu, dalam
sekejap hiat-to penting antero tubuhnya kena
dicengkeram padri-padri lihai itu, seketika tubuhnya
terkatung-katung di udara. Pengalaman demikian
mungkin sejak dahulu hingga kini belum pernah dialami
siapa pun juga.

Oleh karena berada dalam biara sendiri padri-padri itu
tiada yang membawa alat ketikan api segala. Tapi
kepandaian mereka tinggi, pengalaman mereka banyak,
begitu merasa gelagat tidak beres, segera ada orang
melompat ke atas rumah untuk berjaga di sana, begitu
pula semua jalan keluar di sekitar situ segera dijaga
dengan ketat.

Dalam keadaan begitu, jangankan Kiau Hong
bertubuh tinggi besar, sekalipun dia berubah menjadi

1462




seekor burung juga sukar mengelabui mata telinga
penjaga-penjaga itu.

Tidak lama kemudian, si padri cilik Ceng-siong telah
memperoleh batu api, ia menyalakan pelita minyak, dan
baru kawanan hwesio Siau-lim-si itu mengetahui mereka
telah salah tangkap kawan sendiri.

Segera Hian-lan Taysu, kepala Tat-mo-ih,
memerintahkan agar setiap padri jaga di tempatnya
masing-masing dan tidak boleh sembarangan bergerak.
Mereka khawatir jangan-jangan Kiau Hong membawa
bala bantuan dan ada rencana pengacauan lain.

Dalam pada itu padri lain yang dipimpin ji-kay-ceng
masih terus mencari dan menggeledah di sekitar Cin-toih
itu, hampir setiap tempat dan setiap pelosok telah
diperiksanya, namun tetap tiada menampak suatu
bayangan pun.

Setelah sibuk hampir satu jam, mereka sangat heran,
sebab Kiau Hong tetap menghilang. Lalu jenazah Hiankoh
diusung ke ruang Sik-li-ih untuk dibakar. Sedang siulut-
ceng diantar ke Yok-ong-tian untuk diberi obat. Para
padri Siau-lim-si itu sama lesu dan cemas, mereka
merasa sekali ini benar-benar kehilangan muka.

Di antara jago-jago Siau-lim-pay itu, belasan padri
agung yang berkumpul di Cin-to-ih itu semuanya sangat
tinggi ilmu silatnya, nama setiap orang tersohor dan
disegani di dunia Kangouw. Tapi kini Kiau Hong mampu
pergi-datang dengan bebas, jangankan menangkapnya,
cara bagaimana Kiau Hong lolos pun mereka tidak tahu.

1463




Lantas lolos ke mana atau sembunyi di manakah Kiau
Hong?

Kalau dijelaskan sebenarnya tidaklah mengherankan
dan juga tidak aneh. Kiranya Kiau Hong sudah menduga
para padri itu akan menguber dan mencarinya keluar.
Terhadap tempat yang baru saja dibuat berkumpul itu
sebaliknya takkan diperhatikan.

Sebab itulah begitu ia hantam siu-lut-ceng, segera ia
mengkeret mundur malah dan diam-diam ia menyusup
ke kolong tempat tidur Hian-koh Taysu.

Dengan sepuluh jarinya ia cengkeram papan ranjang,
tubuhnya menempel rapat di bawah kolong. Meski tadi
ada juga salah seorang memeriksa sekadarnya ke
bawah ranjang, tapi cuma sekilas saja dan tidak
menemukannya. Apalagi sesudah jenazah Hian-koh
Taysu dipindah dan para padri petugas merapatkan pintu
kamar itu, keadaan menjadi sepi dan lebih-lebih tiada
yang menduga Kiau Hong masih bersembunyi di situ.

Tapi Kiau Hong belum berani sembarangan bergerak,
ia dengar para padri itu masih sibuk mencarinya, setelah
tengah malam, barulah keadaan mereda. Pikirnya, “Jika
menunggu sampai pagi tentu lebih sukar lagi untuk
meloloskan diri. Agaknya sekarang inilah kesempatan
paling baik untuk angkat kaki.”

Maka diam-diam ia menerobos keluar dari kolong
ranjang, perlahan ia membuka pintu dan menyelinap ke
belakang sebatang pohon besar.

1464




Cin-to-ih adalah ruang ujung barat Siau-lim-si, asal
dia berlari ke barat lebih jauh, tentu akan mencapai
lereng gunung.

Namun Kiau Hong memang seorang kesatria lihai,
biarpun lahirnya tampak kasar, namun pikirannya sangat
cerdik. Ia pikir suasana Siau-lim-si sementara ini meski
sudah sepi, tapi padri Siau-lim-si bukanlah sembarangan
orang, mana mereka sudahi kejadian itu mengendurkan
penjagaan? Ia menghilang di barat biara itu, para padri
tentu akan menjaga keras jalan di sebelah barat yang
menjurus ke lereng Siau-sit-san.

Sebenarnya kalau Kiau Hong mau, asal dia sudah
keluar dari Siau-lim-si, setelah kekuatan para padri
terpencar, tentu susah untuk merintanginya, apalagi
hendak menangkapnya. Tapi ia tidak ingin bertempur
dengan padri Siau-lim-si, ia berharap kelak dapat
menangkap pembunuh yang sebenarnya untuk dibawa
ke Siau-lim-si agar duduk perkasa yang sebenarnya
dapat diketahui oleh padri-padri itu.

Memangnya ia pun tidak ingin melawan padri Siaulim-
si itu, semakin banyak bergebrak dengan padri
semakin banyak pula musuhnya. Apalagi kalau dirinya
kalah, celaka, dan runyamlah segala urusan.

Sebab itulah sesudah berpikir sejenak, ia taksir jalan
paling selamat harus menyusup ke tengah biara dan
meninggalkan Siau-lim-si dari jurusan yang berlawanan,
yaitu sebelah timur.

Segera ia merunduk maju ke bawah aling-aling pohon
dan tetumbuhan lain. Ia menyeberangi empat ruang

1465




rumah, ketika ia sembunyi di balik pohon beringin lagi,
tiba-tiba dilihatnya di belakang pohon di depan sana juga
bersembunyi dua orang padri.

Kedua padri itu tidak bergerak sedikit pun, dalam
keadaan gelap sebenarnya sangat sukar diketahui. Tapi
mata Kiau Hong sangat tajam, sekilas saja ia sudah
melihat kemilau senjata yang dipegang salah seorang
padri itu. Pikirnya, “Wah, hampir saja aku kepergok!”

Dengan tenang ia menunggu di balik pohon itu. Tapi
kedua padri itu pun tetap tidak pergi. Cara berjaga secara
sembunyi ini benar-benar sangat lihai, asal dirinya sedikit
bergerak saja pasti akan segera diketahui, sebaliknya ia
juga tidak dapat berdiam terlalu lama situ tanpa berusaha
meloloskan diri.

Setelah pikir sebentar, segera Kiau Hong menjemput
sepotong batu kecil, ia selentik batu kecil itu dengan kuat.

Cara selentikannya itu sangat bagus, mula-mula
lambat, kemudian cepat. Waktu batu mulai melayang ke
depan tiada terdengar sesuatu suara, tapi sesudah jauh
mendadak timbul suara mendenging yang keras dari
angin sambaran batu itu. “Plok” batu itu akhirnya
menimpuk pada batang pohon.

Dengan sendirinya kedua padri tadi terkejut. Perlahan
mereka mendekati pohon itu, menunggu sesudah kedua
padri itu melalui tempat sembunyinya, segera Kiau Hong
melayang ke depan dan melompat ke dalam ruangan di
samping.

1466




Di bawah sinar bulan dapat dilihatnya dengan jelas
papan ruangan itu tertulis tiga huruf “Po-te-ih”.

Ia tahu bila kedua padri tadi tidak menemukan apaapa
tentu akan segera kembali, maka cepat Kiau Hong
berlari ke ruangan belakang.

Sesudah menyusur ruangan depan Po-te-ih itu,
akhirnya ia sampai di ruang belakang. Sekilas mendadak
terlihat sesosok bayangan orang laki-laki tinggi besar
berkelebat lewat di belakangnya dengan kecepatan luar
biasa, begitu cepat gerak bayangan itu sungguh tidak
pernah dilihatnya.

“Betapa cepat orang itu, siapakah dia?!” demikian
Kiau Hong terkejut. Sambil siap siaga cepat ia menoleh.
Tapi ia lantas tertawa sendiri ketika dilihatnya yang
berhadapan dengan dirinya juga seorang laki-laki tegap
dan mengambil sikap siap siaga dengan penuh waspada.

Kiranya di ruang belakang, di depan arca Buddha
terdapat sebaris pintu angin dan pintu angin itu
terpasang sebuah cermin perunggu yang sangat besar
dan bundar cermin itu tergosok sedemikian bersih dan
mengilap hingga bayangan tertampak jelas dalam cermin
itu.

Di atas cermin perunggu itu terpasang sebuah pigura
yang bertuliskan kata-kata mutiara sang Buddha:

Badan kuat seperti pohon bodhi

hati bersih laksana cermin

setiap saat rajinlah mengurusnya

jangan ternoda karena debu

1467




Selagi Kiau Hong hendak melanjutkan, sekonyongkonyong
hatinya seperti terpukul oleh sesuatu apa.
Seketika ia tertegun, dalam sekejap itu tiba-tiba ia
teringat pada sesuatu yang mahaaneh dan penting. Tapi
mengenai urusan apa, ia pun tak dapat memberi
penjelasan.

Ia termangu sejenak di tempatnya. Tanpa terasa ia
menoleh ke arah cermin perunggu lagi, melihat bayangan
sendiri, mendadak ia sadar, “He, baru saja aku telah
melihat bayanganku sendiri, di manakah itu? Aku tidak
pernah melihat cermin sebesar ini, mengapa bisa melihat
bayanganku sendiri dengan begitu jelas?”

Selagi Kiau Hong termenung, tiba-tiba di luar
terdengar suara tindakan beberapa orang sedang
mendatang.

Karena tiada tempat sembunyi lain, Kiau Hong
melihat di ruangan itu terdapat tiga arca Buddha besar,
tanpa pikir lagi ia melompat ke altar dan bersembunyi di
belakang arca Buddha ketiga.

Dari suara tindakan orang-orang itu dapat diketahui
seluruhnya ada enam orang, sesudah masuk ke ruangan
pendopo situ, masing-masing lantas duduk di atas tikar.

Dari belakang arca Kiau Hong coba mengintip keluar,
ia lihat keenam orang itu semuanya adalah padri
setengah umur, terdengar yang sebelah kiri sedang
berkata, “Suhu memberi perintah agar memeriksa dan
mengawasi kitab-kitab di ruang Po-te-ih ini untuk
menjaga kalau-kalau dicuri musuh.”

1468




Habis padri itu berkata, kawan-kawannya yang lain
tiada yang bersuara, semuanya diam saja. Kiau Hong
pikir kalau saat itu mau melarikan diri, mungkin tidaklah
terlalu susah. Tapi tiba-tiba ia ingin tahu penjagaan kitab
apa yang hendak dilakukan padri-padri itu, ia pikir biarlah
aku menunggu lagi sebentar.

Maka terdengar padri yang sebelah kanan sedang
berkata, “Suheng, di ruang Po-te-ih kosong melompong
tiada sesuatu benda apa pun, masakah ada kitab pusaka
segala? Apa yang Suhu suruh kita jaga di sini?

“Itu mengenai urusan Po-te-ih ini, tidak perlu banyak
bicara,” sahut padri yang sebelah kiri tadi dengan
tersenyum.

“Ah, kukira engkau sendiri pun tidak tahu,” ujar padri
sebelah kanan.

Karena kata-kata pancingan itu, si padri sebelah kiri
lantas berseru, “Mengapa aku tidak tahu? ‘Sin-ju-hud-tim’
....”

Hanya kalimat itu saja yang dia ucapkan, mendadak
ia sadar dan cepat bungkam.

“Apa maksudnya Sin-ju-hud-tim?” si padri sebelah
kanan ingin tahu.

“Ti-jing Sute,” mendadak padri kedua yang duduk
sebelah kiri menyela, “biasanya engkau tidak suka
ceriwis, mengapa hari ini terus-menerus bertanya saja?
Jika kau ingin tahu rahasia Po-te-ih ini, silakan kau tanya
kepada gurumu sendiri saja.”

1469




Maka padri yang bernama Ti-jing itu tidak tanya pula.
Selang agak lama, tiba-tiba ia berkata, “Aku akan ke
kamar kecil.”

Lalu ia berbangkit menuju ke pintu samping sebelah
kiri.

Tapi baru saja ia mengitar ke belakang, mendadak
kakinya menendang punggung padri kedua dari kanan
yaitu yang duduk tepat di sisinya tadi. Tendangan itu
tepat mengenai “koan-ki-hiat” di tulang punggung. Padri
itu sedang duduk bersila di atas tikarnya, dengan
sendirinya ia tidak menyangka akan diserang oleh kawan
sendiri. Maka tanpa ampun lagi ia roboh perlahan ke
samping.

Oleh karena tendangan Ti-jing itu dilakukan dengan
sangat cepat, pula tanpa suara. Setelah merobohkan
padri itu, menyusul padri di sisinya lagi juga didepak
dengan cara yang sama, habis itu padri ketiga. Hanya
dalam sekejap saja tiga padri sudah dirobohkan.

Dengan jelas Kiau Hong dapat mengikuti kejadian itu
di tempat sembunyinya. Ia menjadi terheran-heran
mengapa padri Siau-lim-si itu bertarung antara kawan
sendiri? Ia lihat Ti-jing sedang menendang padri yang
kedua dihitung dari sisi kanan. Dan baru ujung kaki kena
sasarannya sementara itu ketiga padri yang ditendang
jalan darahnya itu pun menggeletak, kepala membentur
lantai hingga mengeluarkan suara.

Bab 30

1470




Mendengar suara itu, padri di ujung kiri tadi terkejut,
cepat ia membuka mata sambil melompat bangun,
sekilas ia lihat kawan yang duduk di sebelahnya juga
sudah ditendang roboh oleh Ti-jing. Keruan ia terperanjat
dan berteriak, “Hai, Ti-jing, apa yang kau lakukan?”

“Lihatlah, siapa yang datang itu?” tiba-tiba Ti-jing
menuding keluar. Selagi padri kawannya itu menoleh,
tanpa ayal lagi kaki Ti-jing bekerja pula ke punggung
orang.

Tendangan itu sangat cepat dan seharusnya tepat
pula mengenai sasarannya. Tapi tempat mereka itu tepat
menghadapi cermin perunggu yang besar itu hingga apa
yang terjadi dapat dilihat yang bersangkutan dengan
jelas. Segera padri pertama tadi berkelit sambil balas
menghantam sekali.

“Ti-jing, apa kau sudah gila?” bentaknya gusar.

Tapi Ti-jing tidak memberi kesempatan pada
lawannya, ia menyerang secara bertubi-tubi. Sampai
jurus kedelapan, perut padri itu kena dihantamnya sekali,
menyusul kena didepak sekali lagi.

Kiau Hong bertambah heran menyaksikan itu. Cara
Ti-jing menyerang itu adalah jurus silat yang ganas tanpa
kenal ampun yang tidak layak digunakan terhadap
sesama saudara perguruan sendiri.

Rupanya padri pertama tadi juga tahu gelagat tidak
beres, segera ia berteriak-teriak, “Ada mata-mata musuh,
ada….”

Tapi sebelum ia berseru lebih lanjut, dadanya sudah
kena digenjot sekali lagi oleh Ti-jing, kontan padri itu
jatuh pingsan.

Setelah merobohkan kelima padri itu, cepat Ti-jing
berlari ke depan cermin perunggu besar itu. Dengan jari
telunjuk kanan segera ia pencet beberapa kali pada huruf

1471




“sin”, yaitu huruf pertama dari 20 huruf kata-kata Buddha
yang terpancang di samping cermin itu.

Dari bayangan cermin Kiau Hong dapat melihat wajah
Ti-jing menampilkan rasa girang. Menyusul dilihatnya
hwesio itu memijat lagi huruf ketujuh, yaitu huruf “ju”.

“Tadi hwesio itu mengatakan ’sin-ju-hud-tim’ apa
segala, jika demikian, menyusul huruf yang akan dipijat
Ti-jing tentu adalah ‘hud’ dan ‘tim’,” demikian Kiau Hong
membatin.

Dan memang benar, habis itu Ti-jing berturut-turut
telah pencet huruf tersebut. Lalu terdengar suara
keriang-keriut, perlahan cermin perunggu itu dapat
membalik sendiri.

Dalam saat begitu kalau Kiau Hong melarikan diri
boleh dikatakan sangat mudah dan pasti takkan diketahui
oleh siapa pun juga. Tapi karena ia tertarik oleh kejadian
ini, ia ingin tahu apa sebenarnya maksud tujuan Ti-jing,
mengapa hwesio itu merobohkan kawan sendiri dan
barang apa pula yang terdapat di balik cermin itu. Bisa
jadi apa yang akan dilihatnya ada sangkut pautnya
dengan kematian Hian-koh Taysu.

Begitulah karena suara teriakan si padri pertama tadi,
maka dari jauh hwesio-hwesio yang sedang ronda
segera ribut mencari dari mana tempat datangnya suara
teriakan itu. Segera terdengar di sana-sini ramai dengan
suara orang berlari.

“Jika hwesio yang ronda itu datang kemari, janganjangan
jejakku akan ketahuan nanti?” diam-diam Kiau
Hong menjadi ragu.

Tapi demi teringat kedatangan hwesio-hwesio itu
nanti perhatiannya tentu akan terpusat pada Ti-jing
seorang, kesempatan untuk dirinya lolos masih sangat
besar, biarlah sementara ini aku tunggu dulu.

1472




Dalam pada itu ia lihat Ti-jing sedang sibuk sendirian,
tangan hwesio itu lagi merogoh ke belakang cermin
perunggu itu seperti sedang mencari sesuatu, tapi tiada
sesuatu yang diperolehnya.

Dan pada saat itulah suara tindakan orang banyak
terdengar mendekati pintu Po-te-ih itu.

Wajah Ti-jing tampak mengunjuk rasa kecewa, segera
ia bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba
teringat sesuatu olehnya, ia mendak dan melongok ke
balik cermin, menyusul terdengar ia berseru tertahan,
“Hah, ini dia!”

Habis itu, tangannya merogoh ke belakang cermin
dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Cepat ia
masukkan bungkusan itu ke dalam baju, lalu bermaksud
melarikan diri. Namun sudah terlambat sedikit, para padri
yang ronda sudah berkerumun tiba, segala jalan keluar
sudah ditutup.

Ti-jing tampak bingung dan celingukan kian-kemari.
Mendadak berlari ke pintu depan.

“Cara demikian ia keluar ke sana, tidak bisa tidak
pasti dia akan tertangkap,” demikian Kiau Hong
membatin.

Dan pada saat itu juga sekonyong-konyong terasa
sambaran angin, ada orang menubruk ke tempat
sembunyinya. Dengan ilmu “Thing-hong-pian-gi” atau
mendengarkan angin membedakan benda, tanpa
berpaling tangan kirinya terus menangkap hingga tepat
urat nadi pergelangan penyergap itu kena
dicengkeramnya. Menyusul tangan kanan menahan ke
atas, tepat “leng-tay-hiat” di punggung orang itu kena
disodok, tanpa ampun lagi orang itu kaku linu serta tak
dapat berkutik.

Setelah musuh tertangkap, barulah Kiau Hong hendak
memeriksa wajah orang. Saat itu di ruangan situ cuma

1473




terpasang beberapa pelita minyak, sinarnya agak guram,
namun begitu dengan sinar mata Kiau Hong yang tajam
dapat dikenali tawanan itu tak-lain-tak-bukan adalah… Tijing.


Untuk sejenak Kiau Hong melengak, tapi ia pun
paham duduknya perkara, “Ya, tahulah aku. Seperti aku,
orang ini juga bermaksud bersembunyi ke belakang arca
Buddha ini. Kebetulan ia pun menjatuhkan pilihan pada
arca ketiga yang terbangun lebih besar dan gemuk ini.
Tapi mengapa ia berlari ke pintu depan dulu, lalu masuk
kembali dari pintu belakang secara diam-diam? Ehm,
tentu ini adalah akalnya. Ia tahu di dalam ruangan masih
menggeletak lima padri, sebentar kalau ada orang
datang dan tanya mereka, tentu mereka akan
mengatakan Ti-jing telah lari melalui pintu depan, dengan
demikian ruangan Po-te-ih tentu takkan digeledah lagi.
Ai, orang ini benar-benar licin dan banyak tipu akalnya.”

Sembari berpikir, Kiau Hong tetap pegang Ti-jing
dengan kencang. Ia coba tempelkan mulutnya ke telinga
padri itu dan membisikinya, “Jika kau berani bersuara,
sekali hantam tentu kumampuskan kau!”

Ti-jing tidak bersuara, ia hanya mengangguk saja.

Dan pada saat itulah dari pintu depan telah
menerobos masuk 7-8 orang hwesio. Tiga di antaranya
membawa obor pula hingga seluruh ruangan pendopo itu
menjadi terang benderang.

Melihat ada lima orang kawanan mereka menggeletak
di situ, seketika gemparlah kawanan hwesio itu, segera
ada yang berteriak, “Hai, kembali bangsat Kiau Hong itu
mengganas lagi!” -“Eh, kiranya Ti-kong, Ti-yan Suheng
dan lain-lain!” -“Wah, celaka! Kenapa cermin perunggu
ini terjungkat? Kiau Hong telah mencuri kitab di dalam
Po-te-ih ini!” -“Hayo, lekas lapor kepada Hongtiang!”

1474




Begitulah Kiau Hong mendengar suara ribut-ribut
kawanan padri Siau-lim-si itu, ia hanya dapat tersenyum
getir saja dan membatin, “Kembali dosa ini dicatat atas
utangku lagi.”

Sebentar kemudian, hwesio-hwesio yang berkerumun
di Po-te-ih bertambah banyak. Kiau Hong merasa Ti-jing
meronta-ronta beberapa kali, mungkin bermaksud
melarikan diri. Segera ia paham maksud orang, “Ya, saat
ini para hwesio berkumpul di sini, penjagaan di luar tentu
agak kendur, pula Ti-kong, Ti-yan, dan lain-lain belum
sadar, kesempatan ini memang sangat baik untuk
melarikan diri bagi Ti-jing ini, biarpun dia berjalan terangterangan
di dalam ruangan ini juga tiada orang
mencurigai dia, sebab setiap orang telah menyangka
akulah pengganasnya.”

Segera pikirannya tergerak pula, “Tampaknya Ti-jing
ini juga tidak cukup cerdik, mengapa tadi ia bersembunyi
ke sini? Kalau dia berjalan keluar ke sana, masakah ada
orang akan menegurnya?”

Dalam pada itu suasana mendadak menjadi sepi,
tiada seorang pun yang berani membuka suara. Kiranya
Hian-cu Hongtiang dan hwesio-hwesio pimpinan dari
berbagai ruangan telah datang semua.

Lebih dulu Hian-cit Taysu, kepala ruang Liong-si-ih,
membuka jalan darah Ti-kong berlima untuk
menyadarkan mereka, lalu ditanya, “Apakah kalian
dirobohkan Kiau Hong? Dari mana dia mendapat tahu
rahasia di dalam cermin perunggu ini?”

“Bukan Kiau Hong, tapi adalah… adalah….” demikian
sahut Ti-kong, dan belum lagi menyebut nama Ti-jing,
sekonyong-konyong ia menubruk ke arah seorang padri
di samping Hian-cu Hongtiang, ia jambret dada padri itu
sambil mendamprat, “Bagus, bagus! Mengapa kau
mendadak membokong kami?”

1475




Sebenarnya Kiau Hong ingin sekali mengintip
siapakah gerangan yang dituduh Ti-kong itu, tapi ia pun
khawatir kalau-kalau dipergoki hwesio-hwesio yang
banyak berkumpul di situ, maka ia tidak berani
sembarangan melongok ke luar.

Maka terdengarlah seorang berseru dengan terkejut,
“Apa? Ti-kong Suheng, ada apa engkau menarik diriku?”

“Engkau telah menendang roboh kami berlima dan
mencuri kitab pusaka, sungguh besar sekali nyalimu!”
seru Ti-kong pula. “Lapor Hongtiang, pengkhianat Ti-jing
inilah yang menyerang kami dan membuka cermin
rahasia itu serta mencuri kitab pusaka.”

“Apa? Ap… apa?” teriak yang didakwa itu dengan
kaget. “Sejak tadi aku selalu mendampingi Hongtiang,
cara bagaimana aku dapat datang ke sini untuk mencuri
kitab segala?”

“Tutup dulu cermin perunggu itu, tentang kejadian
tadi, coba ceritakan dengan jelas,” sela Hian-cit tiba-tiba
dengan kereng.

Segera Ti-yan membenarkan cermin perunggu itu ke
tempatnya semula. Dengan demikian, keadaan di
ruangan itu kembali dapat dilihat oleh Kiau Hong melalui
cermin itu. Ia lihat seorang hwesio sedang mencakmencak
dengan penasaran oleh karena tanpa berdosa
telah dituduh menyerang kawan sendiri.

Waktu Kiau Hong memerhatikan mukanya, ia menjadi
terkejut. Kiranya hwesio itu tak-lain-tak-bukan memang
Ti-jing adanya.

Dalam herannya, dengan sendirinya Kiau Hong
memandang juga kepada Ti-jing yang tertawan olehnya
itu. Ia lihat air muka kedua orang itu memang mirip
benar, kalau diperhatikan mungkin ada sedikit berlainan,
tapi kalau dipandang sepintas lalu, tidak mungkin orang
dapat membedakan mereka.

1476




Diam-diam Kiau Hong berpikir, “Di dunia ini, sedikit
sekali orang yang berwajah semirip begini satu sama
lain. Ya, ya, tentu mereka adalah saudara kembar. Tipu
mereka ini sangat bagus, yang satu menjadi hwesio di
Siau-lim-si, yang lain menunggu di luar, begitu ada
kesempatan bagus, segera yang satu itu pun menyamar
sebagai hwesio untuk mencuri kitab ke dalam biara.
Sedangkan Ti-jing itu selalu berdampingan dengan
Hongtiang, sudah tentu tiada orang yang berani
mencurigai dia.”

Dalam pada itu terdengar Ti-kong sedang
menguraikan apa yang terjadi tadi, ia ceritakan tentang
bagaimana Ti-jing memancing rahasia cermin perunggu
itu serta tanpa sadar dia telah mengatakan empat huruf
kunci rahasia itu, lalu Ti-jing pura-pura hendak pergi ke
kamar kecil dan mendadak membokong mereka dari
belakang serta saling gebrak dengan dia, tapi akhirnya ia
sendiri dirobohkan. Semuanya ia tuturkan dengan jelas.

Pada waktu Ti-kong melaporkan apa yang terjadi itu,
Ti-yan berempat juga tiada hentinya membenarkan apa
yang dikatakan kawannya itu untuk memberi kesaksian
bahwa cerita itu bukanlah karangan.

Sebaliknya Hian-cu Hongtiang yang menerima
laporan itu, wajahnya tampak mengunjuk rasa tidak
membenarkan. Ia tunggu sehabis Ti-kong menutur,
kemudian barulah ia menanya dengan perlahan, “Apa
yang kau ceritakan itu, apakah engkau sudah melihatnya
dengan jelas? Benar-benar engkau yakin adalah
perbuatan Ti-jing?”

“Lapor Hongtiang, apa yang terjadi itu telah kami lihat
dengan jelas,” sahut Ti-kong dan Ti-yan beramai-ramai.
“Selamanya kami tiada dendam apa-apa dengan Ti-jing,
mengapa kami mesti mengarang cerita yang tak benar
untuk memfitnahnya?”

1477




“Ai, urusan ini tentu ada apa-apa yang tidak beres.
Sebab selama dua jam ini, Ti-jing selalu berada di
sampingku, sejengkal pun ia tidak pernah meninggalkan
aku,” ujar Hian-cu kemudian dengan menghela napas.

Ucapan sang hongtiang ini benar-benar membikin
semua padri yang hadir di situ tercengang, mereka saling
pandang dengan bungkam. Begitu pula Ti-kong dan lain-
lain juga tidak berani membuka suara lagi. Maklum, apa
yang dikatakan sang ketua ini masakah mungkin omong
kosong?

“Ya, memang aku pun menyaksikan sendiri selama itu
Ti-jing selalu berada di samping Hongtiang Suheng,
masakah ia dapat datang ke Po-te-ih sini untuk mencuri
kitab?” demikian kata Hian-lan, salah satu tokoh tertinggi
dari anak murid Siau-lim-si angkatan “Hian”, yaitu
setingkat dengan Hian-cu.

“Ti-kong,” Hian-cit ikut bertanya, “waktu Ti-jing itu
bergebrak dengan kau, apakah di antara permainan
silatnya itu ada sesuatu yang mencurigakan?”

“Ai, memang benar! Mengapa aku melupakan hal
itu?” seru Ti-kong. “Tadi waktu aku bergebrak dengan
dia, terang sekali tipu-tipu serangan yang dia gunakan itu
bukanlah ilmu silat dari golongan kita.”

“Habis, ilmu silat dari golongan atau aliran mana?
Dapatkah engkau melihatnya?” Hian-cit menegas.

Tapi Ti-kong tampak bingung, ia tidak mampu
menjawab.

“Apakah dia menggunakan pukulan Tiang-kun? Atau
kim-na-jiu? Te-tong-kun? Liok-hap-kun atau Theng-pikun?”
demikian Hian-cit menanya pula dengan
serentetan nama ilmu silat dari golongan lain.

Tapi Ti-kong menggeleng, sahutnya, “Bu…. bukan.
Ilmu silatnya itu sangat keji, beberapa kali Tecu tanpa
sadar kena serangannya.”

1478




Maka Hian-cit, Hian-lan dan beberapa padri agung
lainnya tidak tanya lebih jauh, mereka saling memberi
isyarat mata dengan Hongtiang. Mereka tahu hari ini
biara mereka telah kedatangan seorang musuh yang
berkepandaian sangat tinggi dan telah mempermainkan
mereka dengan akal-akal licik. Jalan satu-satunya
sekarang adalah melakukan penggeledahan dan
penggerebekan secara serentak di samping harus
berlaku tenang, supaya suasana dalam biara tidak
menjadi kacau.

Kemudian berkatalah Hian-cu sambil merangkap
tangan, “Kitab yang tersimpan dalam Po-te-ih ini adalah
buah tangan padri saleh angkatan tua biara kita, jika
kitab-kitab itu diperoleh anak murid Buddha, kalau dapat
membaca dan memperdalam ajaran dalam kitab itu,
dengan sendirinya besar manfaatnya. Tapi kalau orang
luar yang memperolehnya tanpa memberi penghargaan
sebagaimana mestinya, itu berarti suatu dosa. Para Sute
dan para Sutit, sekarang silakan kembali ke tempatnya
masing-masing.”

Mendengar perintah sang ketua itu, para padri lantas
bubar dan pergi. Hanya Ti-kong, Ti-yan dan lain-lain
masih penasaran dan masih mengomeli Ti-jing. Tapi
ketika Hian-cit mendelik, Ti-kong dan lain-lain terkejut,
seketika mereka bungkam dan cepat pergi bersama Tijing.


Sesudah padri lain pergi semua, kini di ruangan situ
hanya tertinggal Hian-cu, Hian-lan dan Hian-cit bertiga.
Ketiga saudara seperguruan itu duduk di atas tikar di
depan arca Buddha. Mendadak Hian-cu berseru,
“Omitohud! Dosa, dosa!”

Begitu selesai ucapannya, sekonyong-konyong ketiga
padri itu melompat ke atas, tahu-tahu mereka mengitar

1479




ke belakang arca Buddha dan berbareng menghantam
ke arah Kiau Hong dari tiga jurusan yang berlainan.

Sungguh Kiau Hong sana sekali tidak menduga
bahwa jejaknya telah diketahui oleh ketiga padri itu.
Lebih-lebih tidak menyangka bahwa ketiga padri yang
tampaknya sudah tua dan reyot itu, tahu-tahu lantas
menyerang, serangannya juga begitu cepat dan lihai.

Dalam sekejap itu Kiau Hong merata napasnya sesak,
dada tertekan tiga arus tenaga yang mahadahsyat. Nyata
serangan berbareng ketiga hwesio Siau-lim-si itu bukan
main hebatnya. Ia merasa tenaga serangan lawan sudah
mengurungnya dari atas, bawah, belakang dan kanankiri,
lima jurusan sudah tertutup oleh tenaga pukulan
ketiga padri, kalau mesti melawannya, itu berarti harus
keras lawan, kalau lawan tidak roboh, dirinya sendiri
yang pasti celaka.

Namun keadaan sudah tidak memungkinkan dia
berpikir lagi, terpaksa ia hantamkan telapak tangan ke
depan, “prak, bruk”, arca Buddha yang dipakai aling-aling
tadi kena dihantam hingga roboh.

Kiau Hong tidak berani ayal, sekalian ia jinjing tubuh
“Ti-jing” terus melompat ke depan sana. Pada saat itu
pula ia merasa punggung disambar oleh tenaga pukulan
yang dahsyat, terang orang telah menyerangnya dengan
Kim-kong-ciang (pukulan tenaga raksasa) yang
merupakan kungfu khas Siau-lim-pay. Bila terkena
pukulan itu, bukan mustahil badan akan hancur dan perut
akan lebur.

Tapi sedapat mungkin Kiau Hong tidak mau mengadu
pukulan dengan padri Siau-lim-si. Dalam keadaan
melayang ke depan, cepat tangan terjulur untuk
memegang cermin perunggu yang sangat besar itu.

Begitu hebat tenaga sakti Kiau Hong, sekali pegang,
kontan cermin perunggu itu kena diangkatnya, dan sekali

1480




ia putar, bagaikan perisai saja cermin perunggu itu
dipakainya untuk menahan ke belakang.

Maka terdengarlah “brang” yang sangat keras,
pukulan dahsyat yang dilontarkan oleh Hian-lan tepat
kena di atas cermin perunggu, begitu hebat tenaga
hantaman itu hingga lengan Kiau Hong seakan-akan
patah oleh getaran tenaga itu. Tapi dengan meminjam
getaran tenaga pukulan Hian-lan itu, berbareng Kiau
Hong dapat melompat beberapa meter lebih jauh ke
depan.

Tiba-tiba ia dengar di belakang ada suara orang
menarik napas panjang. Suara pernapasan itu jauh
berbeda daripada orang biasa. Dari pengalamannya
yang luas serta pengetahuannya yang tinggi, segera
Kiau Hong tahu pernapasan aneh itu dilakukan oleh
seorang jago Siau-lim-pay yang sakti dan segera akan
melancarkan serangan sebangsa “Bik-khong-sin-kun”
(pukulan sakti dari jauh).

Meski dirinya tidak gentar terhadap pukulan apa pun,
tapi juga tiada berguna melawannya keras sama keras.
Maka cepat ia menggunakan cermin perunggu sebagai
tameng pula, sekaligus tenaganya ia pusatkan di tangan
kanan itu.

Dan pada saat yang sama itulah ia merasakan angin
pukulan orang sudah menyambar tiba. Tapi aneh, arah
yang dituju agak janggal. Kiau Hong terkesiap, tapi
segera ia pun sadar apa yang terjadi. Pukulan padri itu
bukan ditujukan ke punggungnya, tapi yang diincar
adalah punggung “Ti-jing” yang dibawanya itu.

Sebenarnya Kiau Hong tidak kenal “Ti-jing”, dengan
sendirinya bukan tujuannya hendak menolong dia. Tapi
sekali ia sudah jinjing orang, otomatis timbul rasa
kewajibannya untuk melindunginya. Tanpa pikir lagi ia
sorong cermin perunggu ke depan. “Brak”, suara cermin

1481




itu tidak nyaring lagi, tapi suaranya berubah parau,
cermin itu dihantam hancur oleh padri tua itu.

Tadi waktu ia putar cermin ke belakang untuk
menahan serangan, berbareng Kiau Hong terus
melompat ke atas rumah sambil menjinjing Ti-jing. Ia
merasa tubuh Ti-jing itu sangat enteng, sama sekali tidak
sepadan dengan perawakannya yang kekar dan tegap
itu. Dan selagi dia merasa syukur dapat menyelamatkan
diri, ketika terdengar suara cermin pecah, tahu-tahu
berdirinya di atas emper rumah terasa kurang kuat, sekali
kaki terasa lemas, kembali ia terbanting ke bawah.

Keruan kejutnya bukan buatan. Sejak ia malang
melintang di Kangouw, belum pernah ia ketemu lawan
setangguh itu. Cepat ia melompat bangun dan berdiri
tegak dengan siap siaga, dengan tenang ia menghadap
ke punggung tiga lawan itu.

“Omitohud!” demikian kata Hian-cu pula. “Kiau-sicu,
sesudah kau datang ke Siau-lim-si tanpa permisi dan
membunuh orang, kembali kau rusak arca Buddha pula.
Nah, rasakan dulu pukulanku ini.”

Sehabis mengucapkan kata-kata itu dengan kalem,
lalu kedua tangannya terpentang dan memutar hingga
berwujud sebuah lingkaran, kemudian didorongkan ke
depan dengan perlahan. Belum lagi pukulan Hian-cu itu
dilontarkan, lebih dulu Kiau Hong sudah merasa napas
sesak, dalam sekejap saja tenaga pukulan Hian-cu
sudah membanjir tiba bagai gelombang ombak
mendampar.

Kiau Hong tidak berani ayal, cepat ia buang cermin
perunggu yang sudah bobrok itu sedangkan tangan
kanan balas menghantam dengan gerak tipu “Hangliong-
yu-hwe”, yaitu salah satu pukulan sakti “Hang-liongsip-
pat-ciang”, delapan belas jurus ilmu pukulan penakluk
naga, ilmu pukulan mahasakti andalan Kay-pang.

1482




Maka terdengarlah suara mencicit benturan kedua
arus tenaga yang tak kelihatan. Meski suara itu sangat
lirih, tapi Hian-cu dan Kiau Hong sama-sama terentak
mundur tiga tindak.

Sesaat Kiau Hong merasa antero tubuh menjadi
lemas seakan-akan tak bertenaga pula, terpaksa ia
lepaskan Ti-jing dari pegangannya. Namun dasar
lwekangnya memang sangat tinggi, sekali ia kerahkan
tenaga murni pula, cepat sekali tenaga pulih kembali.
Belum lagi pukulan kedua dari Hian-cu tiba, segera ia
berseru, “Maaf, aku tak dapat mengawani kalian lagi!”

Berbareng ia angkat Ti-jing dan melompat ke atas
rumah.

Sayup-sayup Kiau Hong masih mendengar suara
heran Hian-lan dan Hian-cit oleh karena melihat
ketangkasannya itu.

Maklum, pukulan Hian-cu tadi telah menggunakan
segenap tenaga dalam yang terpupuk selama hidupnya
ini. Gerak serangan itu disebut “It-bik-liang-san” atau
sekali tabok, dua kali buyar. Yang dimaksudkan buyar
ialah, bila tubuh manusia terkena pukulan itu, seketika
jiwa melayang dan badan hancur lebur.

Ilmu pukulan itu memang melulu terdiri satu jurus itu
saja, soalnya karena memakai tenaga dalam yang
mahasakti, tatkala menyerang musuh hakikatnya tidak
perlu digunakan untuk kedua kalinya, sebab sekali saja
musuh pasti akan terbinasa.

Siapa duga, sesudah Kiau Hong menerima pukulan
“It-bik-liang-san” itu, bukan saja ia tidak mati, sebaliknya
dalam waktu singkat sudah dapat memulihkan tenaganya
serta melarikan diri pula sambil menggondol seorang
lagi. Sudah tentu Hian-lan dan Hian-cit terheran-heran
sekali.

1483




“Ilmu silat orang sekali-kali tidak di bawah kita, bila dia
membikin rusuh di dunia Kangouw, sejak kini celakalah
kaum bu-lim,” demikian kata Hian-cu dengan gegetun.

“Makanya harus lekas dibasmi, supaya tidak
menimbulkan bahaya di kemudian hari,” ujar Hian-cit.

Hian-lan mengangguk-angguk tanda setuju, tapi Hiancu
Hongtiang diam saja, ia hanya termangu-mangu
memandang jauh ke arah perginya Kiau Hong tadi.

Pada waktu lari tadi Kiau Hong masih sempat
menoleh ke arah padri-padri itu, ia melihat cermin
perunggu tadi sudah pecah berkeping-keping kena
hantaman Hian-cit, dari setiap kepingan cermin itu
tertampak bayangan belakangnya. Tanpa sebab hati
Kiau Hong kembali tergetar. Ia tidak habis heran,
“Mengapa setiap kali aku melihat bayanganku sendiri
selalu aku merasa tidak enak? Apa sebabnya?”

Tapi waktu itu ia terburu-buru berusaha meninggalkan
Siau-lim-si, perasaan sangsi yang timbul itu segera
lenyap terbawa oleh larinya yang cepat itu.

Jalan di lereng Siau-sit-san itu sangat hafal bagi Kiau
Hong, boleh dikatakan mata tertutup juga takkan
kesasar. Maka sesudah menyusur ke balik gunung itu,
selalu ia pilih jalan yang terjal, yang sulit ditempuh.

Sesudah beberapa li jauhnya, ia tidak mendengar
suara kejaran hwesio Siau-lim-si lagi, legalah hatinya. Ia
taruh Ti-jing ke tanah dan membentaknya, “Boleh kau
jalan sendiri! Tapi jangan coba melarikan diri!”

Tak terduga, begitu kaki Ti-jing menyentuh tanah,
seketika badan lemas lunglai dan terkulai ke tanah
seakan-akan cacing mati.

Kiau Hong terkesiap. Ia coba periksa napasnya, ia
merasa napas orang sangat lemas, seperti ada seperti
hilang. Waktu pegang urat nadinya pula, denyutnya juga
sangat lambat seolah-olah orang sudah dekat ajalnya.

1484




Pikir Kiau Hong, “Banyak persoalan yang belum
terjawab bagiku, aku justru hendak menanyai dia, mana
boleh dia mati secara begini mudah? Sekali kau jatuh di
tanganku, pasti tipu muslihatmu akan terbongkar. Tapi,
ya, mungkin khawatir rahasianya ketahuan, maka dia
lantas telan racun untuk membunuh diri.”

Ia coba meraba dada orang untuk memeriksa denyut
jantungnya. Tapi Kiau Hong menjadi kaget ketika merasa
tempat yang teraba tangannya itu lunak empuk, nyata itu
bukan dada seorang laki-laki, hwesio itu ternyata seorang
perempuan.

Maka cepat Kiau Hong menarik kembali tangannya, ia
semakin heran, “Jadi dia… dia samaran seorang
wanita?”

Segera ia keluarkan ketikan api untuk menerangi
muka Ti-jing, ia lihat pada dagu hwesio itu penuh tutultutul
hitam, yaitu akar jenggot, tenggorokan juga terdapat
biji leher, terang itu tanda kelakian yang tak dapat
dipalsukan.

Hal ini benar-benar membuat Kiau Hong semakin
bingung. Ia coba meraba kepala gundul orang, jelas
halus kelimis, sedikit pun tidak palsu. Apakah dia banci?
Demikian pikirnya.

Kiau Hong adalah seorang yang berjiwa terbuka dan
bebas, tidak pikirkan adat istiadat kolot segala, lain
daripada Toan Ki yang masih kukuh kepada tata krama
yang kolot. Muka segera ia seret Ti-jing serta
membentaknya lagi, “Sebenarnya kau laki-laki atau
perempuan? Lekas mengaku sebelum aku membelejeti
bajumu untuk diperiksa!”

Bibir Ti-jing tampak bergerak-gerak seperti ingin
bicara, tapi tiada sesuatu suara yang keluar, nyata
jiwanya sudah tergantung di ujung rambut saja,
keadaannya sudah sangat payah.

1485




Kiau Hong pikir tidak peduli orang ini laki-laki atau
perempuan, yang pasti tidak boleh dia mati begitu saja.
Maka cepat ia gunakan tangan kanan untuk menahan
punggung Ti-jing. Ia kerahkan tenaga dalamnya, melalui
tangannya ia salurkan hawa murni ke dalam tubuh Tijing.


Sebab apakah mendadak keadaan Ti-jing menjadi
begitu payah?

Kiranya tadi waktu Kiau Hong mengadu pukulan
dengan Hian-cu, tenaga pukulan “It-bik-liang-san” dari
Hian-cu itu sungguh tidak kepalang hebatnya, tatkala itu
sebelah tangan Kiau Hong mengangkat Ti-jing sehingga
getaran tenaga pukulan lawan menembus ke badan Tijing
dan melukainya.

Begitulah Kiau Hong telah salurkan hawa murninya ke
dalam tubuh Ti-jing, semula ia berharap untuk sementara
dapat mempertahankannya. Di luar dugaan tenaga
dalamnya yang mahahebat itu justru tepat merupakan
obat mujarab bagi luka Ti-jing itu. Berangsur-angsur
hawa murninya mengalir masuk ke tubuhnya, keadaan
Ti-jing menjadi berubah, bagaikan pelita minyak diberi
tambah minyak, denyut nadinya mulai kuat dan
ucapannya mulai lancar.

Melihat jiwa orang tidak berbahaya lagi, Kiau Hong
merasa lega. Ia pikir tidak boleh tinggal lama di tempat
yang berdekatan dengan Siau-lim-si ini. Segera ia
pondong Ti-jing dengan kedua tangannya, dengan
langkah lebar berjalan menuju ke barat laut.

Tapi segera ia rasakan sesuatu kejanggalan lagi,
terasa bobot badan Ti-jing itu sangat enteng tidak
seimbang dengan perawakannya yang kekar. Ia pikir,
“Untuk membuka bajumu memang kurang sopan, tapi
kalau membuka sepatu dan kaus kakimu masakan tidak
boleh?”

1486




Segera ia copot sepatu padri orang sebelah kanan,
lalu meremas telapak kakinya, terasa apa yang
tergenggam di tangannya itu sangat keras, terang bukan
anggota badan manusia hidup. Ia coba menarik sedikit
keras, di luar dugaan, sepotong benda kena dibetotnya.
Waktu ia perhatikan kiranya sebuah kaki palsu buatan
dari kayu.

Ketika raba kaki Ti-jing pula, baru sekarang ia
merasakan itulah kaki manusia yang sungguh-sungguh,
kaki itu halus lemas dan kecil mungil.

“Hm, memang benar seorang perempuan,” jengek
Kiau Hong diam-diam.

Segera ia keluarkan ginkangnya yang tinggi, ia berlari
dengan cepat. Satu jam kemudian, ia taksir sudah lebih
50 li meninggalkan Siau-lim-si, ufuk timur pun mulai
terang, fajar sudah menyingsing.

Dengan membawa Ti-jing sampailah Kiau Hong di
suatu hutan kecil, ia melihat sebuah sungai kecil dengan
air gunungnya yang jernih. Ia mendekati sungai itu dan
meraup sedikit air untuk menyiram muka Ti-jing, lalu
menggunakan lengan baju orang untuk mengusap
mukanya.

Tiba-tiba ia melihat sesuatu perubahan aneh. Kulit
daging pada muka “Ti-jing” itu mulai rontok sekeping
demi sekeping. Keruan Kiau Hong kaget mengapa kulit
daging orang bisa membusuk sedemikian rupa?

Tapi demi diperhatikan pula, ia lihat di bawah kulit
muka yang busuk itu tertampaklah kulit daging lapisan
bawah yang putih halus bagai kaca.

Waktu dibawa lari oleh Kiau Hong tadi, sebenarnya
Ti-jing dalam keadaan tak sadar. Tapi kini karena
mukanya disiram air, segera ia siuman, ketika membuka
mata dan melihat Kiau Hong, ia bersenyum dan menyapa
dengan perlahan, “Kiau-pangcu!”

1487




Saking lemahnya, sesudah bersuara, kembali ia
pejamkan mata pula.

Melihat muka orang masih belang-bonteng dan lekaklekuk
belum bersih hingga tidak jelas bagaimana wajah
aslinya, segera Kiau Hong mencelup lengan baju Ti-jing
ke dalam air sungai, lalu dipakai mengusap muka orang
dengan agak keras. Maka tertampaklah bubuk tepung
rontok berhamburan hingga berwujudlah sebuah wajah
anak dara yang jelita.

“Hai, engkau Nona A Cu!” seru Kiau Hong
tercengang.

Kiranya yang menyaru sebagai Ti-jing dan
menyelundup ke Siau-lim-si itu bukan lain daripada A Cu,
si dayang pribadi Buyung Hok.

Dasar ilmu menyamar A Cu memang sangat pandai,
ia gunakan kaki palsu pula untuk meninggikan
perawakannya, memakai kapas untuk menambah
kemontokan perutnya, mukanya ditambal dengan adukan
tepung terigu dan telur, begitu mirip samarannya hingga
siapa pun tidak mengenalnya lagi.

Dalam keadaan sadar-tak-sadar A Cu mendengar
seruan Kiau Hong yang menyebut namanya sebenarnya
ia ingin menyahut, pula ingin memberi penjelasan
mengapa dia menyelundup ke Siau-lim-si. Namun
sayang tenaganya sangat lemah, sampai mulut pun tak
menurut perintah lagi, sepatah kata pun tak sanggup
bicara. Dalam gugupnya ia jatuh pingsan lagi.

Pada waktu membawa lari “Ti-jing” tadi, sebenarnya
Kiau Hong anggap orang pasti manusia yang mahakeji
dan licik, tentu besar sangkut pautnya dengan
terbunuhnya ayah-bunda dan Suhu, maka dengan matimatian
ia berusaha menyelamatkan jiwa hwesio itu
dengan harapan dapat mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya, bahkan ia sudah ambil keputusan, bila

1488




hwesio ini tidak mau mengaku, ia tidak segan-segan
memberi siksaan yang setimpal untuk mengorek
pengakuannya.

Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar mimpi
pun tak tersangka olehnya. Tawanannya itu bukan lagi
Ti-jing melainkan si nona A Cu yang kecil mungil dan
cantik manis itu.

Biarpun Kiau Hong sudah beberapa kali bertemu
dengan A Cu dan A Pik, tapi ia tidak tahu bahwa A Cu
pandai menyamar dan A Pik mahir seni suara. Coba
kalau Toan Ki, tentu sudah dapat menerkanya sejak tadi.

Ia lihat A Cu dalam keadaan pingsan pula, cepat ia
menyalurkan tenaga murninya untuk merawat lukanya
lagi. Kini ia sudah tahu gadis itu bukan keracunan, tapi
disebabkan terluka tenaga pukulan.

Sedikit pikir saja Kiau Hong lantas tahu duduknya
perkara. Diam-diam ia menyesal, “Sebabnya dia terluka
oleh tenaga pukulan Hian-cu itu adalah disebabkan dia
terpegang di tanganku. Coba, bila aku tidak ikut campur
urusannya dan membiarkan dia pergi-datang sesukanya,
tentu sejak tadi ia lolos dan tidak nanti terluka separah
ini.”

Oleh karena dalam hati Kiau Hong sudah sangat
menghargai Buyung Hok, otomatis terhadap dayangnya
juga timbul rasa sayangnya. Karena gadis itu terluka
akibat dirinya, maka ia ambil keputusan harus
menyembuhkannya. Segera katanya pula, “Nona A Cu,
terpaksa harus kupondongmu ke kota untuk mencari
tabib, harap engkau jangan marah.”

Habis berkata, kembali ia pondong anak dara itu dan
berjalan cepat ke utara.

Tidak lama kemudian hari sudah terang benderang,
agar tidak menimbulkan curiga orang, ia gunakan lengan
baju si A Cu untuk menutupi muka gadis itu.

1489




Setelah belasan li lagi, akhirnya tibalah mereka di
suatu kota cukup besar dan ramai. Waktu Kiau Hong
tanya orang di pinggir jalan, diketahui kota itu bernama
Kho-keh-cip, suatu kota makmur dengan macam-macam
hasil palawijanya. Ia mendapatkan sebuah hotel terbesar
di kota itu, ia minta dua kamar kelas satu dan
merebahkan A Cu di atas ranjang.

Pelayan hotel agak curiga juga melihat keadaan Kiau
Hong dan A Cu yang tidak mirip suami-istri dan tidak
memper kakak-beradik pula. Tapi karena melihat sikap
Kiau Hong yang gagah berwibawa, pelayan itu tidak
berani bertanya.

Kiau Hong lantas dihadapkan pada kesulitan pula
karena tidak membawa sangu, ia berkerut kening dengan
sedih.

“Di… di dalam bajuku ada sebuah… sebuah bandul
kalung emas….” demikian A Cu berkata dengan suara
lemah.

“Baiklah, boleh kau keluarkan, nanti kujual,” ujar Kiau
Hong.

A Cu ingin menurut, tapi ia terlalu lemah untuk bisa
bergerak. Terpaksa Kiau Hong tidak pikirkan adat istiadat
lagi, segera ia keluarkan benda yang dimaksudkan itu. Ia
lihat mainan kalung itu terbuat sangat indah, sebuah
bandul kalung dengan untiran emas yang halus. Di atas
mainan itu terdapat pula ukiran tulisan yang berbunyi:
“Anak Si genap 10 tahun, semakin besar semakin nakal.”

Kiau Hong tersenyum, ia pikir mainan itu tentu
pemberian orang tua si A Cu ketika anak dara itu
berulang tahun kesepuluh, kalau mesti dijual
sesungguhnya terlalu sayang. Maka ia taruh mainan
kalung itu ke bawah bantal A Cu, hanya rantai emas itu
saja yang dibawanya pergi untuk dijual. Ia mendapatkan

1490




18 tahil perak, lalu mengundang seorang tabib untuk
memeriksa luka A Cu.

Sesudah tabib itu memegang nadi A Cu, dia
menggeleng kepala tiada hentinya. Setelah berpikir
sejenak, membuka resep obat pun tidak tabib itu lantas
berbangkit sambil berkata, “Sayang, sayang! Maaf,
maaf!”

Lalu permisi dan angkat kaki tanpa minta honorarium
lagi.

Kiranya tabib itu merasa denyut nadi A Cu sangat
lemah dan menaksir sekejap lagi pasti akan putus
nyawanya. Ia khawatir kalau tidak lekas tinggal pergi
mungkin akan tersangkut dalam utusan jiwa itu.

Sudah tentu Kiau Hong ikut khawatir, kembali ia
mengundang seorang tabib lain. Sekali ini si tabib berani
membuka resep dan menyatakan penyakit si nona susah
disembuhkan lagi, resep obat itu hanya sekadar sebagai
suatu kewajiban saja.

Kiau Hong melihat resep obat yang dibuka itu berisi
obat sebangsa kamcho (kayu manis), menthol, jeruk
purut, dan sebagainya. Ramuan obat ini dipakai untuk
menyembuhkan sakit perut saja belum tentu manjur.

Dalam dongkolnya Kiau Hong tidak beli obat itu,
segera ia kerahkan tenaga murni sendiri dan disalurkan
ke tubuh A Cu. Hanya sebentar saja air muka A Cu yang
pucat telah berubah merah bercahaya.

“Kiau-pangcu,” dapatlah gadis itu membuka suara,
“syukurlah engkau telah menyelamatkan aku. Jika
tertangkap oleh tawanan keledai gundul itu, tentu
melayang jiwaku.”

Mendengar suara orang penuh tenaga, Kiau Hong
sangat girang, sahutnya, “Nona A Cu, sungguh aku
sangat khawatir penyakitmu ini tak dapat disembuhkan,
tapi kini engkau sudah baik.”

1491




“Jangan panggil aku nona apa segala, langsung
panggil namaku saja,” ujar A Cu. “Kiau-pangcu, untuk
apakah engkau datang ke Siau-lim-si sana?”

“Sudah lama aku bukan pangcu lagi, selanjutnya
jangan kau panggil aku sebagai pangcu,” kata Kiau
Hong.

“Ah, maaf, untuk selanjutnya akan kupanggil Kiautoaya
saja,” ujar A Cu.

“Sekarang aku ingin tanya lebih dulu,” kata Kiau Hong
pula. “Apa maksud tujuanmu datang ke Siau-lim-si?”

“Ai, kalau kukatakan, janganlah aku ditertawai,” ujar A
Cu. “Oleh karena kudengar Kongcu kami telah pergi ke
Siau-lim-si, maka aku ingin mencarinya untuk
menceritakan urusan nona Ong. Siapa duga waktu aku
permisi hendak masuk ke biara itu, hwesio penjaganya
dengan bengis melarang aku masuk, alasannya karena
aku adalah kaum wanita. Aku berdebat padanya, tapi
malah didamprat olehnya. Aku justru hendak masuk ke
sana, ingin kulihat apakah dia mampu melarang aku.”

“Pantas, Si-ji genap 10 tahun, makin besar makin
nakal.” kata Kiau Hong dengan tersenyum. “Siapakah
yang mengukir kalimat itu di atas bandul mainan
kalungmu?”

“Ayahku,” sahut A Cu. Menyebut ayahnya, air muka si
gadis tampak berduka.

Kiau Hong taksir mungkin ayahnya sudah meninggal
dunia, maka ia pun tidak tanya lebih jauh, tapi katanya
pula, “Sesudah menyelundup ke Siau-lim-si, padri-padri
di situ tentu saja sangat gusar, tapi tak bisa berbuat apaapa
padamu, terutama bila engkau lantas perlihatkan
dirimu yang sebenarnya, tentu mereka akan runyam.”

“Ya, memang,” sahut A Cu sambil tertawa dan
bangun berduduk. “Sesudah kesehatanku pulih, aku
akan menyamar sebagai laki-laki untuk masuk ke biara

1492




itu, lalu keluar pula dengan dandanan sebagai wanita,
biar hwesio-hwesio itu meledak perutnya saking gusar.
Hahaha, sungguh permainan yang menyenangkan,
haha….”

Mendadak suara tertawanya putus, badan lantas
terkulai di atas ranjang dengan lemas dan tak bergerak
lagi.

Kiau Hong terkejut, ia coba periksa napas si gadis, ia
merasa pernapasannya seperti sudah terhenti sama
sekali. Dalam khawatirnya cepat Kiau Hong tempelkan
telapak tangannya ke “leng-tay-hiat” di punggung A Cu,
ia salurkan hawa murni sendiri ke dalam badan si gadis.

Tidak lama kemudian, perlahan dapatlah A Cu
mengangkat tubuhnya, katanya dengan penuh menyesal,
“Ai, tadi kita sedang bicara, mengapa aku lantas tertidur?
Maafkan, Kiau-toaya.”

Kiau Hong tahu keadaan gadis itu agak payah,
jawabnya, “Badanmu masih kurang kuat, silakan tidur
saja untuk memulihkan semangat.”

“Aku tidak letih, sebaliknya telah bikin susah Kiautoaya
semalaman, engkau yang perlu mengaso
sebentar,” sahut A Cu.

“Baiklah, sebentar lagi akan kujenguk kau lagi,” kata
Kiau Hong.

Lalu ia keluar ke ruangan makan, ia pesan lima kati
arak dan dua kati daging masak, ia makan dan minum
sendiri. Sebenarnya dalam hal minum arak Kiau Hong
boleh dikata tanpa takaran dan tiada bandingan, tapi kini
dalam keadaan masygul, habis lima kati arak itu, ia
merasa agak sedikit pening kepala. Ia beli pula dua biji
bakpao dan dibawa ke kamar untuk A Cu.

Ia menjadi kaget ketika A Cu dipanggil-panggil tidak
menyahut. Waktu ia periksa, ia lihat gadis itu merebah
dengan mata terpejam, muka pucat dan pipi melekuk

1493




sebagai mayat. Ketika ia meraba jidatnya, syukurlah
masih terasa hangat. Cepat ia menolongnya dengan
hawa murni sendiri dan perlahan barulah A Cu sadar.
Dengan gembira ria kemudian gadis itu makan kedua biji
bakpao.

Dengan demikian maka tahulah Kiau Hong bahwa
saat itu A Cu hanya bisa hidup jikalau ada saluran
tenaga murninya sebagai penyambung nyawa, tapi bila
tanpa saluran hawa murni itu, tiada sejam kemudian
tentu gadis itu akan mati lemas. Ia menjadi sedih tanpa
berdaya.

Melihat Kiau Hong termenung-menung dengan air
muka sedih, sebagai seorang gadis cerdik, segera A Cu
dapat menduga sebab musababnya. Segera ia tanya,
“Kiau-toaya, lukaku sangat parah dan tabib bilang susah
disembuhkan, bukan?”

“O, ti… tidak! Tidak apa-apa, mengasolah beberapa
hari lagi tentu engkau akan sembuh kembali,” sahut Kiau
Hong. “Asal kau mengaso dengan tenang, tentu aku
dapat menyembuhkan penyakitmu.”

Dari nada perkataan orang, A Cu tahu luka sendiri
sesungguhnya sangat parah, mau tak mau ia menjadi
khawatir, dan sekali tangan gemetar, setengah potong
bakpao yang belum habis termakan itu lantas jatuh ke
lantai. Menyangka tenaga si gadis kembali lemas, segera
Kiau Hong mengulur tangan untuk menahan leng-tay-hiat
lagi di punggung A Cu.

Tapi sekali ini pikiran A Cu masih jernih, maka dapat
dirasakannya satu arus hawa hangat telah menyalur dari
tangan Kiau Hong ke dalam tubuh sendiri dan rasa
badannya menjadi enak dan segar. Setelah memikir
sejenak, segera A Cu mengerti keadaan sendiri
sebenarnya sangat berbahaya, tapi berkat hawa murni
yang dikorbankan oleh Kiau Hong itulah jiwanya dapat

1494




direnggut dari tangan elmaut. Sungguh terima kasihnya
tak terhingga dan berkhawatir pula.

Meski A Cu adalah seorang gadis cerdik, tapi apa pun
juga ia masih terlalu muda, tiba-tiba air matanya
berlinang-linang, katanya, “Kiau-toaya, aku tidak mau
mati, jangan engkau meninggalkan aku di sini tanpa urus
lagi.”

Mendengar ucapan yang harus dikasihani itu, segera
Kiau Hong menghiburnya, “Tidak, pasti tidak, aku Kiau
Hong tidak nanti meninggalkan seorang kawan yang
tertimpa malang tanpa menolongnya!”

“Aku akan mati tidak, Kiau-toaya?” tanya A Cu
dengan berduka. “Engkau adalah kesatria terpuja di bulim,
orang menyatakan ‘Pak Kiau Hong dan Lam
Buyung’, jadi engkau mempunyai nama besar sejajar
dengan kongcu kami, tentu selama hidupmu tidak pernah
omong kosong, bukan? Engkau mengatakan lukaku tidak
berat, engkau tidak mendustai aku, bukan?”

Demi kebaikan gadis itu, terpaksa Kiau Hong
menjawab, “Aku tidak mendustai kau. Dahulu waktu
masih kanak-kanak aku suka bohong, tapi sesudah besar
dan berkelana di Kangouw, aku tidak pernah mendustai
orang lagi.”

“Jika begitu, dapatlah aku merasa lega,” kata A Cu.
“Kiau-toaya, aku ingin memohon sesuatu padamu.”

“Tentang apa?” tanya Kiau Hong.

“Malam ini harap kau sudi mendampingi aku di sini,
janganlah meninggalkan aku,” pinta si gadis. Ia menduga
bila ditinggal pergi Kiau Hong, mungkin jiwanya takkan
tahan sampai besok pagi.

“Tentu saja,” sahut Kiau Hong dengan tertawa.
“Biarpun kau tak omong juga aku akan mengawani kau di
sini. Sudahlah, jangan bicara lagi, tidurlah yang tenang.”

1495




A Cu lantas pejamkan mata, tapi selang sejenak,
kembali ia membuka mata dan berkata, “Kiau-toaya, aku
tak bisa tidur. Aku ingin mohon sesuatu padamu,
bolehkah?”

“Boleh saja, tentang apa?”

“Dahulu waktu aku masih kecil, selalu ibuku
meninabobokan aku di tepi ranjang. Asal beliau
menyanyi dua-tiga lagu, aku lantas terpulas.”

“Dan berada di sini, ke mana dapat mencari ibumu?
Susah tentunya.”

“Ibuku sudah lama meninggal dunia,” kata A Cu.
“Kiau-toaya, sudilah engkau menyanyikan beberapa lagu
untukku?”

Keruan Kiau Hong serbarunyam, laki-laki setua dia
masakah disuruh menyanyi apa segala, kan lucu? Maka
jawabnya, “Aku tidak pintar menyanyi.”

“Ya, apa boleh buat, engkau tidak sudi menyanyi,”
kata si gadis.

“Bukan aku tidak sudi menyanyi, sesungguhnya aku
tidak bisa,” sahut Kiau Hong.

“Eh, ya, ada sesuatu lagi, sekali ini hendaklah engkau
jangan menolak lagi,” tiba-tiba A Cu berseru girang.

Diam-diam Kiau Hong merasa kewalahan terhadap
dara cilik yang kekanak-kanakan dan serbaaneh
pikirannya ini, entah permintaan apa lagi yang hendak
dikemukakan anak dara itu. Terpaksa ia menjawab,
“Cobalah katakan, asal bisa tentu akan kulakukan.”

“Bisa, pasti engkau bisa,” ujar A Cu tertawa. “Begini,
boleh engkau mendongeng, baik dongengan tentang si
kelinci maupun cerita tentang si kucing. Setelah
mendengar dongengan itu tentu aku akan dapat tidur.”

Sungguh Kiau Hong serbasusah. Belum lama
berselang ia adalah seorang tokoh Kangouw terkemuka,
seorang pangcu yang terpuja, tapi dalam waktu singkat

1496




saja kedudukannya sudah hilang dan dipecat dari
keanggotaan Kay-pang, bahkan tiga orang yang
dicintainya di dalam dunia ini, yaitu kedua orang tua dan
seorang gurunya telah tewas semua dalam waktu sehari
saja, malahan mengenai asal usul sendiri sebenarnya
keturunan bangsa asing atau bangsa Han asli juga
belum diketahui, sebaliknya malah menanggung dosa
pendurhakaan kepada orang tua sebagaimana orang
mendakwanya.

Belum lagi pukulan-pukulan batin itu terhibur, kini ia
mesti mendampingi seorang nona kecil yang merengekrengek
minta dia menyanyi dan mendongeng apa segala.
Sebagai seorang kesatria, seorang pahlawan sejati,
sudah tentu hal-hal tetek bengek itu tidak menarik
baginya. Tapi sekilas dilihatnya sorot mata A Cu itu
memancarkan sinar yang memohon dengan sangat, air
mukanya tampak pucat dan lesu pula, ia menjadi tidak
tega, akhirnya ia berkata, “Baiklah, aku akan
mendongeng suatu cerita padamu, tapi entah menarik
tidak bagimu?”

“Tentu sangat menarik, silakan mulai, lekas,” seru A
Cu kegirangan.

Walaupun sudah menyanggupi, tapi dasar Kiau Hong
memang bukan seorang pendongeng, dengan sendirinya
susah baginya untuk mulai.

Setelah pikir sebentar, kemudian katanya, “Baiklah,
aku akan bercerita tentang seekor serigala. Dahulu ada
seorang kakek, waktu dia mencari kayu di gunung, tibatiba
dilihatnya seekor serigala terjebak di dalam
perangkap pemburu. Serigala itu mohon dengan sangat
agar si kakek suka menolongnya. Maka kakak itu lantas
berdaya upaya mengeluarkan serigala itu dari
perangkap. Tapi….”

1497




“Tapi sesudah serigala ditolong si kakek, serigala itu
berbalik hendak menerkam si kakek, bukan?” sela A Cu.

“Ai, cerita ini ternyata sudah pernah kau dengar,” ujar
Kiau Hong.

“Ya, itulah cerita tentang serigala gunung yang pernah
kubaca,” kata A Cu. “Aku tidak suka dongengan dalam
buku, tapi aku minta engkau bercerita tentang kisah
nyata di kampung.”

“Kisah nyata di kampung?” Kiau Hong bergumam
sendiri. Dan setelah berpikir, katanya kemudian, “Baiklah,
aku akan bercerita tentang pengalaman satu anak desa.”

Lalu ia pun mulai, “Dahulu di suatu pegunungan
tinggal satu keluarga miskin. Kecuali ayah, ibu dan anak
itu, mereka tiada anggota keluarga lain lagi. Ketika anak
itu berumur tujuh tahun, perawakannya sudah sangat
besar dan dapat membantu sang ayah mencari kayu di
pegunungan. Suatu hari, ayah jatuh sakit, karena
keluarga mereka terlalu miskin, mereka tidak mampu
mengundang tabib dan membeli obat. Namun penyakit
ayah makin hari makin berat, terpaksa ibu membawa
kekayaan yang ada, yaitu berupa empat ekor ayam dan
satu bakul telur ayam untuk dijual di kota.

“Dengan uang penjualan ayam dan telur sebanyak
delapan gobang itu ibu pergi mengundang tabib. Tapi
tabib menolak, katanya jalan pegunungan terlalu jauh
dan susah ditempuh, meski ibu memohon dengan
sangat, tetap tabib itu menolak. Ibu menyembah dan
memohon dengan menangis, tetap tabib itu tidak mau,
bahkan menghina, katanya kaum miskin berbau apak.
Waktu ibu memohon lagi sambil menarik ujung baju tabib
itu hingga robek. Dalam gusarnya tabib itu dorong ibu
hingga terjungkal, bahkan mendepaknya pula serta minta
ganti kerugian, katanya baju itu baru saja dibuatnya,
harganya tiga tahil perak.”

1498




“Tabib itu benar-benar keterlaluan,” kata A Cu
perlahan.

Kiau Hong diam sejenak, ia lihat cuaca di luar sudah
remang-remang, lalu sambungnya, “Waktu itu si anak
juga berada di samping ibunya, melihat sang ibu dianiaya
orang segera ia menerjang maju untuk menggeluti si
tabib. Tapi ia cuma seorang anak kecil, dengan mudah
saja tabib itu mengangkatnya dan melemparkannya
keluar pintu. Oleh karena khawatir akan terjadi apa-apa
atas diri anaknya, sang ibu berlari keluar pintu untuk
memeriksa keadaan bocah itu. Dan kesempatan itu
lantas digunakan oleh si tabib untuk menutup pintu.

“Jidat bocah itu terluka lecet dan mengeluarkan
darah. Sebagai kaum wanita yang lemah, sang ibu tidak
berani bikin ribut lagi pada si tabib, segera ia membawa
anaknya pulang ke rumah sambil menangis. Waktu lewat
sebuah toko besi, si bocah melihat di dasaran toko itu
tertaruh banyak pisau jagal yang lancip lagi tajam.
Penjualnya sedang sibuk melayani pembeli di dalam
toko, kesempatan itu digunakan oleh si bocah untuk
mencuri sebuah pisau jagal itu. Ibunya tidak tahu
perbuatan anaknya itu.

“Setiba di rumah, ibu tidak berani menceritakan
pengalamannya kepada ayah, sebab khawatir ayah akan
gusar dan sedih hingga menambah berat penyakitnya.
Waktu ibu hendak mengeluarkan uang hasil penjualan
ayam dan telurnya itu, ia menjadi kaget ketika merasa
uang itu sudah hilang. Dengan terkejut dan heran ibu
keluar untuk tanya si anak, ia lihat bocah itu sedang
mengasah sebilah pisau baru pada batu asah, segera
ibunya tanya dari mana mendapatkan pisau lancip itu. Si
anak tidak berani bilang mencuri, maka membohong
pemberian orang. Dengan sendirinya ibunya tidak
percaya, pisau jagal itu di pasar sedikitnya berharga

1499




empat-lima gobang, mana mungkin ada orang
sembarangan memberi pisau mahal pada seorang
bocah?

“Waktu ditanya siapa yang memberi, sudah tentu si
anak tak dapat menjelaskan. Maka berkatalah ibunya
dengan menghela napas, ‘Nak, ayah dan ibu sangat
miskin, biasanya tidak dapat membelikan mainan apa
pun untukmu, jika sekarang kau ingin mainan pisau,
sebagai anak laki-laki dengan sendirinya boleh saja.
Cuma uang kelebihan itu hendaklah kau kembalikan
pada ibu, ayah sedang sakit, biarlah kita membeli satudua
tahil daging untuk dibuatkan kaldu bagi ayahmu!’

“Anak itu merasa bingung, dengan mata terbelalak ia
menjawab, ‘Uang kelebihan apa maksud ibu?’ -‘Yaitu
kedelapan gobang hasil penjualan telur dan ayam itu,
telah kau gunakan membeli pisau itu, bukan?’

“Bocah itu menjadi gugup dan menyangkal, ‘Tidak,
aku tidak ambil uang itu, aku tidak ambil uang itu!’ -
Kedua orang tua itu selamanya tidak pernah menghajar
anaknya, biarpun bocah itu baru berusia beberapa tahun,
tapi mereka pandang si anak seperti tamu di
rumahnya….”

Bercerita sampai di sini, diam-diam Kiau Hong sendiri
merasa heran mengapa kedua orang tua itu sedemikian
baik dan ramah tamahnya kepada si anak, tidak lazim
ayah-ibu begitu menghargai anaknya biar bagaimanapun
kasih sayangnya. Karena pikiran itu, tanpa terasa ia
bergumam sendiri, “Ya, aneh, mengapa bisa begitu?”

“Aneh tentang apa?” tanya A Cu tiba-tiba.

Habis mengucapkan kalimat itu, napas anak dara itu
sudah sangat lemah. Kiau Hong tahu tenaga murni
dalam tubuh si gadis telah habis lagi, cepat ia tempelkan
tangannya lagi ke punggung A Cu dan menyalurkan
tenaga murni.

1500




Lambat laun semangat A Cu pulih kembali, katanya
dengan gegetun, “Ai, Kiau-toaya, setiap kali kau salurkan
tenagamu kepadaku, setiap kali tenagamu sendiri lantas
berkurang, padahal tenaga murni bagi seorang tokoh
persilatan adalah mahapenting. Engkau sedemikian baik
kepadaku, sungguh entah cara bagaimana aku… aku
harus membalasmu?”

“Untuk mana cukup aku bersemadi satu-dua jam saja
tentu tenaga murniku akan pulih, masakah berkata
tentang belas budi segala?” sahut Kiau Hong tertawa.
“Biarpun aku tidak kenal majikanmu Buyung-kongcu tapi
dalam hatiku dia sudah kuanggap sebagai sahabat. Kau
adalah orangnya, mengapa sungkan padaku?”

“Tapi setiap sejam-dua jam tenagaku lantas habis,
masakah engkau harus membantuku dengan cara
demikian?” ujar A Cu dengan muram.

“Kau jangan khawatir, kita pasti akan mendapatkan
seorang tabib pandai untuk menyembuhkanmu,” hibur
Kiau Hong.

“Hihi, mungkin tabib itu juga akan menolak karena aku
adalah kaum miskin yang berbau apak,” ucap A Cu
dengan tersenyum. “Eh, Kiau-toaya, ceritamu tadi belum
lagi habis, tadi engkau bilang aneh tentang apa?”

“O, tiada apa-apa, aku melantur tak keruan,” sahut
Kiau Hong. Lalu ia menyambung ceritanya, “Melihat
anaknya tidak mengaku, maka sang ibu juga tidak
mendesak lebih jauh dan tinggal masuk ke rumah.
Selang tak lama, selesai mengasah pisaunya, anak itu
pun masuk ke rumah, sayup-sayup ia mendengar ayah
dan ibunya sedang mempercakapkan dia mencuri uang
untuk membeli pisau, tapi tidak mau mengaku. Namun
sang ayah menyatakan kerelaannya agar bocah itu
jangan ditegur lagi karena selama ini kepada anak itu
tidak pernah diberi mainan apa-apa.

1501




“Dan ketika melihat anak itu masuk ke rumah,
percakapan kedua orang tua itu lantas berhenti, malahan
dengan ramah ayahnya berkata kepada si anak sambil
meraba jidatnya yang terluka itu, ‘Anak yang baik,
selanjutnya jangan berlari-lari, ya, supaya tidak jatuh
lagi!’

“Ternyata orang tua itu sama sekali tidak
menyinggung tentang kehilangan uang dan tentang
pembelian pisau itu. Bahkan nada suaranya sama sekali
tidak mengunjuk rasa kurang senang sedikit pun.

“Meski umur bocah itu baru tujuh tahun, tapi ia sudah
pintar, diam-diam ia pikir, ‘Aku dicurigai ibu mencuri uang
untuk membeli pisau, bila mereka menghajar aku atau
mendamprat habis-habisan, betapa pun aku rela. Tapi
mereka justru sedemikian baik padaku, sedikit pun tidak
mengusut lebih jauh.’

“Namun disebabkan hatinya tidak tenteram, segera ia
berkata kepada sang ayah, ‘Ayah, aku tidak mencuri
uang, pisau ini pun bukannya kubeli’.

“Segera ayahnya menyela, ‘Sudahlah, sudahlah!
Ibumu memang suka geger, cuma kehilangan sedikit
uang, kenapa mesti diributkan? Dasar orang perempuan
suka urus tetek bengek. Anak baik, jidatmu masih sakit
tidak?’

“Terpaksa bocah itu menjawab, ‘Tidak sakit, tidak
apa-apa!’ -Sebenarnya ia ingin membela diri dari
sangkaan jelek itu, tapi terpaksa tidak jadi. Dengan kesal
bocah itu lantas pergi tidur tanpa makan malam lagi.

“Namun bocah itu tergulang-guling di atas
pembaringan tanpa bisa pulas. Ia dengar pula suara
keluh-kesah dan tangisan perlahan sang ibu, mungkin
sedih karena penyakit sang suami dan penasaran oleh
hinaan dan penganiayaan siang hari itu.

1502




“Perasaan anak itu bergolak, diam-diam ia bangun, ia
merayap keluar melalui jendela, malam itu juga ia masuk
ke kota lagi dan mendatangi rumah tabib itu. Tapi
gedung kediaman tabib itu tertutup rapat, betapa pun
bocah itu tidak mampu masuk ke sana.

“Namun ia tidak kurang akal, badannya masih kecil
dan cukup menerobos masuk melalui lubang anjing di
pojok pagar tembok. Ia melihat kamar tabib itu masih
terang, suatu tanda tabib itu belum tidur dan sedang
memasak obat. Perlahan-lahan anak itu mendorong pintu
kamar, dan rupanya suara keriutan pintu dapat didengar
si tabib yang segera menegur siapa yang datang?

“Tapi bocah itu tidak bersuara, cepat ia mendekati
tabib yang lagi asyik memasak obat, sekali belatinya
dicabut, kontan ia tikam perut tabib itu. Tabib itu hanya
merintih beberapa kali, lalu menggeletak tak bernyawa
lagi.”

“Hah, sekali tikam bocah itu membunuh tabib itu?”
seru A Cu terkejut.

“Ya,” sahut Kiau Hong sambil mengangguk.
“Kemudian bocah itu merayap keluar lagi melalui lubang
anjing dan pulang ke rumah. Seorang bocah cilik dalam
waktu singkat dan di tengah malam buta mesti
menempuh perjalanan tergesa-gesa sejauh puluhan li,
sudah tentu bocah itu kepayahan. Dan esok paginya,
keluarga si tabib mendapatkan majikan mereka sudah
mati dengan perut sobek dan usus keluar, tapi pintu
rumah tetap tertutup rapat hingga tiada tanda-tanda
keluar-masuknya pembunuh.

“Maka orang sama mencurigai jangan-jangan
pembunuhan itu dilakukan oleh orang dalam sendiri.
Guna pengusutan itu, istri dan saudara tabib itu
ditangkap pembesar negeri, mereka ditahan dan diusut
hingga bertahun-tahun lamanya, maka keluarga tabib itu

1503




menjadi berantakan sejak itu. Dan peristiwa pembunuhan
itu sampai sekarang masih tetap merupakan teka-teki
bagi penduduk Kho-keh-cip.”

“Kau bilang Kho-keh-cip? Jadi kota inilah tempat
kediaman tabib yang terbunuh itu?” A Cu menegas.

“Benar,” sahut Kiau Hong. “Tabib itu she Ting.
Sebenarnya adalah tabib paling terkenal dan terpandai di
kota ini. Rumah tinggalnya di barat kota sana, tapi
gedungnya sekarang sudah tak terawat dan bobrok.”

“Tabib itu suka menghina kaum miskin dan anggap
jiwa orang miskin sama sekali tak berharga, pribadinya
itu benar-benar tercela, tapi dosanya itu juga tidak mesti
dibunuh,” demikian kata A Cu dengan menyesal. “Dan
anak itu sesungguhnya juga terlalu kejam, sungguh aku
tidak percaya bahwa seorang anak umur tujuh tahun
berani membunuh orang. Kiau-toaya, ceritamu ini hanya
dongengan belaka atau benar-benar kisah nyata?”

“Benar-benar kisah nyata,” sahut Kiau Hong.

A Cu menghela napas gegetun, katanya, “Ai, anak
kejam begitu mirip benar dengan kaum pengganas orang
Cidan!”

“Kau… kau bilang apa?” tanya Kiau Hong mendadak
sambil melonjak bangun dengan badan gemetar.

Melihat perubahan air muka orang yang hebat itu, A
Cu terkesiap, mendadak ia paham duduknya perkara,
katanya kemudian, “O, maaf, Kiau… Kiau-toaya, aku
tidak… tidak sengaja menyinggung perasaanmu.”

Kiau Hong berdiri termangu-mangu sejenak, lalu
duduk dengan lesu, katanya, “Jadi… jadi engkau sudah
dapat menerkanya?”

A Cu mengangguk, diam-diam ia dapat menebak si
bocah dalam cerita Kiau Hong itu tak-lain-tak-bukan
adalah Kiau Hong sendiri.

1504




“Ucapan yang tidak disengaja terkadang malah kena
dengan jitu,” kata Kiau Hong. “Dan sebabnya aku turun
tangan secara tak kenal ampun itu apakah lantaran aku
keturunan Cidan?”

“Kiau-toaya, A Cu sembarangan omong, harap
engkau jangan pikirkan lagi,” hibur A Cu dengan suara
lembut. “Adapun engkau membunuh tabib jahat itu
adalah karena jiwa kesatriaanmu yang ingin membalas
sakit hati ibumu.”

“Sebenarnya tidak melulu sakit hati ibuku, tapi
disebabkan pula aku dituduh tanpa berdosa,” kata Kiau
Hong sambil pegang kepala sendiri dengan kedua
tangannya yang lebar. “Padahal kedelapan gobang uang
ibu itu tentu tercecer waktu si tabib mengiprat dan
mendorongnya, tapi aku… aku yang disangka mencuri
uang itu, selama hidupku paling tidak tahan bila dituduh
tanpa berdosa.”

Namun demikian dalam waktu satu hari ini ia susah
menanggung tiga peristiwa aneh. Tentang dia orang
Cidan atau bukan, belum dapat dipastikan sekarang, tapi
kematian Kiau Sam-hoay suami-istri dan Hian-koh Taysu
sudah jelas bukan perbuatannya, namun ketiga dosa
besar itu justru ditimpakan atas namanya. Padahal
siapakah gerangan pembunuh yang sebenarnya? Siapa
pula gerangan yang sengaja memfitnahnya itu?

Pada saat itulah tiba-tiba Kiau Hong teringat sesuatu
lagi, “Mengapa ayah dan ibu selalu mengatakan mereka
tidak pernah memberikan apa-apa yang bagus padaku?
Jika aku adalah putra mereka yang sebenarnya, dengan
sendirinya sang putra mesti ikut hidup miskin dengan
orang tua yang miskin, mengapa perlu perlakuan yang
baik segala? Jika demikian, terang aku memang bukan
anak kandung mereka, tapi adalah anak titipan orang
lain. Mungkin orang yang menitipkan aku itu sangat

1505




dihormati dan disegani oleh ayah dan ibuku. Lantas
siapakah gerangan orang yang menitipkan aku kepada
ayah dan ibu itu? Besar kemungkinan adalah Ongpangcu.”


Berpikir begitu, ia bandingkan pula sifat sendiri yang
jauh berbeda daripada kedua orang tua yang welas asih
itu, ia menjadi lebih yakin lagi bahwa dirinya pasti
keturunan orang Cidan.

Rupanya A Cu dapat meraba perasaan Kiau Hong itu,
maka ia coba menghiburnya, “Kiau-toaya, mereka
mengatakan engkau adalah keturunan Cidan, kukira
mereka sengaja hendak memfitnah engkau. Jangankan
engkau berbudi luhur dan berjiwa kesatria, hal ini
tersohor di segenap penjuru dan pelosok, bahkan
terhadap seorang budak rendahan seperti aku ini juga
engkau sedemikian baiknya. Sebaliknya orang Cidan
umumnya sebuas binatang, bedanya dengan engkau
seperti langit dan bumi, mana dapat engkau
dipersamakan dengan mereka.”

“A Cu, jika aku benar-benar orang Cidan, apakah
engkau masih sudi menerima perawatanku ini?” tanya
Kiau Hong.

A Cu serbasusah untuk menjawab. Maklum, waktu itu
bangsa Han teramat benci kepada bangsa Cidan dan
memandangnya sebuas binatang dan sekejam ular
berbisa, dianggapnya tiada orang Cidan yang
mempunyai rasa perikemanusiaan, semuanya kejam.

Sesudah tertegun sejenak, kemudian jawabnya,
“Sudahlah, jangan kau pikir yang tidak-tidak, betapa pun
tidak mungkin engkau adalah orang Cidan. Jika di antara
orang Cidan ada yang baik budi seperti engkau, tentu
kita pun tidak akan membenci mereka.”

Kiau Hong termenung diam, ia pikir kalau benar
dirinya adalah keturunan orang Cidan, sampai seorang

1506




budak kecil seperti A Cu juga tidak sudi gubris padanya
lagi. Sesaat ia merasa dunia seakan-akan sempit
baginya, pikirannya bergolak hebat, darah seolah-olah
mendidih di dalam rongga dadanya.

Ia tahu tenaga dalam sendiri telah banyak terbuang
karena beberapa kali mesti menolong A Cu untuk
melancarkan tenaga dan mengatur napas. A Cu juga
pejamkan mata untuk mengaso.

Selang tak lama, selesailah Kiau Hong melatih diri. Ia
khawatir keadaan A Cu payah lagi, ia hendak memeriksa
nadi gadis itu. Tiba-tiba didengarnya di tempat tinggi
sebelah barat sana ada suara kletek perlahan dua kali.

Sebagai seorang Kangouw ulung segera Kiau Hong
tahu itu adalah suara loncatan orang bu-lim dari atap
rumah ke atap rumah yang lain. Menyusul di arah timur
sana juga ada suara serupa dua kali, bahkan suara yang
belakangan ini lebih lirih, suatu tanda ginkang pendatang
itu lebih tinggi daripada yang duluan.

Sekaligus dari beberapa jurusan datang orang
Kangouw, Kiau Hong menduga besar kemungkinan
dirinya yang sedang dicari. Segera ia bisiki A Cu, “Aku
akan keluar sebentar dan segera kembali lagi, jangan
takut.”

A Cu mengangguk. Lalu Kiau Hong menyelinap keluar
dari pintu yang setengah tertutup itu. Dengan enteng ia
putar ke belakang rumah dan berdiri mepet dinding luar.

Baru dia berdiri di situ, tiba-tiba dari kamar hotel
sebelah timur sana ada suara seorang sedang berkata,
“Apakah Hiang-patya di situ? Silakan turun saja!”

Lalu terdengar pendatang sebelah barat tadi tertawa
dan menjawab, “Ki-loliok dari Kwansay juga datang!”

“Bagus, bagus! Silakan masuk semua!” ujar orang di
dalam kamar itu.

1507




Maka berturut-turut kedua orang di atas atap rumah
tadi melompat turun dan masuk ke dalam kamar.

Kiau Hong kenal Ki-loliok dari Kwansay itu berjuluk
“Goay-to Ki Liok”, Si Golok Kilat, seorang jagoan terkenal
di daerah Kwansay (di luar tembok besar bagian barat).
Sedang Hiang-patya yang disebut tadi diduganya pasti
Hiang Bong-thian dari Siantang, konon orang berbudi
dan dermawan, ilmu silatnya juga sangat hebat.

Kedua orang itu bukan manusia jahat, kedatangan
mereka tentu tiada sangkut pautnya denganku, kenapa
aku mesti curiga? Demikian pikir Kiau Hong.

Dan selagi dia hendak kembali ke kamar, tiba-tiba
terdengar Hiang Bong-thian tadi berkata, “Mendadak
‘Giam-ong-tek’ Sih-sin-ih menyebar enghiong-tiap (kartu
undangan kesatria dan mengundang para kesatria
Kangouw), apakah Pau-toako tahu sebab musababnya?”

Mendengar nama “Giam-ong-tek” Sih-sin-ih disebut,
Kiau Hong terkejut dan bergirang, pikirnya, “Mengapa
Sih-sin-ih berada di sekitar sini? Jika demikian, si budak
A Cu dapatlah tertolong.”

Kiranya Sih-sin-ih atau Si Tabib Sakti she Sih itu
adalah tabib nomor satu pada zaman itu, oleh karena
sebutan “sin-ih” (tabib sakti) sangat terkenal sehingga
nama asalnya dilupakan orang.

Menurut cerita orang Kangouw yang mungkin
berlebih-lebihan, katanya orang mati pun dapat dia
hidupkan kembali dengan obatnya. Maka bila orang
hidup, betapa parah penyakit atau luka yang diderita
pasti akan dapat disembuhkan olehnya.

Oleh karena pengobatannya yang tidak pernah gagal
itu hingga tiada orang sakit yang mati di bawah
perawatannya, maka orang anggap dia seakan-akan
bermusuhan dengan Giam-lo-ong (raja akhirat) sehingga
dia julukan “Giam-ong-tek” atau musuh raja akhirat.

1508




Sih-sin-ih itu tidak melulu lihai pengobatannya,
bahkan ilmu silatnya juga sangat hebat. Ia suka bergaul
dengan kawan Kangouw, setiap kali dia mengobati
orang, sering ia minta belajar sejurus-dua dari pasiennya
itu. Oleh karena merasa utang budi, yang diminta dengan
sendirinya memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh
dan yang diajarkan selalu adalah ilmu silat kebanggaan
si pasien.

Begitulah kemudian terdengar Goay-to Ki Liok juga
menegur, “Pau-lopan (Juragan Pau), selama ini ada
terjadi jual-beli apa?”

Diam-diam Kiau Hong mengangguk, “Pantas, suara
orang di dalam kamar itu seperti sudah kukenal, kiranya
dia ‘Bo-pun-ci’ Pau Jian-leng. Orang ini suka mencuri dari
si kaya untuk membantu kaum miskin, namanya cukup
harum. Dahulu waktu aku diangkat menjadi pangcu, dia
juga datang hadir pada upacara itu.”

Setelah mengetahui orang di dalam kamar itu adalah
“Bo-pun-ci” (Tanpa Modal) Pau Jian-leng, seorang maling
yang terkenal budiman, maka Kiau Hong tidak ingin
mendengarkan lagi pembicaraan mereka. Ia pikir biar
besok saja akan kutanya Pau Jian-leng di mana
beradanya Sih-sin-ih.

Tapi belum lagi ia putar langkah, sekonyong-konyong
terdengar Pau Jian-leng menghela napas dan berkata,
“Ai, selama beberapa hari ini perasaanku lagi kesal, tiada
semangat buat jual-beli apa-apa. Malahan hari ini
kudengar dia membunuh ayah-ibu sendiri dan
membinasakan gurunya pula, sungguh rasa hatiku
sangat pedih.”

Habis berkata, terdengar ia menghantam meja
dengan keras.

Mendengar itu, tahulah Kiau Hong bahwa dirinya yang
sedang dipercakapkan. Benar juga, terdengar Hiang

1509




Bong-thian menanggapi, “Nama keparat Kiau Hong itu
sangat disegani, ia pura-pura berbudi dan baik hati
sehingga selama ini banyak yang tertipu, siapa duga dia
akan berbuat durhaka seperti itu?”

“Dahulu waktu dia diangkat menjadi Pangcu Kay-pang
aku pun hadir pada upacara itu dan kenal baik padanya,”
demikian Pau Jian-leng berkata pula. “Maka waktu mulamula
aku diberi tahu orang bahwa Kiau Hong adalah
keturunan Cidan dengan tegas kudamprat ocehan yang
sembrono itu, bahkan karena itu aku bertengkar dengan
Tio-losam hingga hampir-hampir baku jotos. Ai, orang
Cidan memang mirip binatang, untuk sementara ia dapat
menutupi sifat aslinya, akhirnya wataknya yang buas
lantas kelihatan.”

“Lebih-lebih tak tersangka kalau dia keluaran Siaulim-
pay, Hian-koh Taysu ternyata adalah gurunya,” kata
Ki Liok, Si Golok Kilat.

“Urusan itu sangat dirahasiakan rupanya, sebab ketua
Siau-lim-si sendiri juga tidak tahu,” ujar Pau Jian-leng.
“Coba kalau Kiau Hong sendiri tidak omong dan disiarkan
orang Kay-pang sendiri, mungkin tiada seorang pun yang
tahu. Setelah membunuh kedua orang tua dan gurunya,
orang she Kiau itu mengira dapatlah menutupi asal-usul
dirinya, dengan demikian ia dapat menyangkal matimatian
tanpa saksi. Tak terduga kejadiannya malah
berbalik tidak menguntungkan dia, dosanya juga makin
bertambah.”

Kiau Hong cukup kenal jiwa kesatria “Bo-pun-ci” Pau
Jian-leng, persahabatan mereka pun cukup akrab. Jika
sekarang maling agung itu pun mencerca dirinya, maka
dapatlah dibayangkan bagaimana orang lain akan
memaki dan mengutuknya.

Teringat demikian, hati Kiau Hong menjadi hampa
dan putus asa. Tanpa dosa telah tertimpa tuduhan yang

1510




susah membela diri, apakah akhirnya ia mampu mencuci
bersih fitnahan itu? Tidakkah lebih baik mengasingkan
diri saja, setelah bertahun-tahun, tentu orang Kangouw
akan melupakan manusia seperti aku. Demikian pikirnya
dengan hampa.

Dalam pada itu terdengar Hiang Bong-thian sedang
berkata pula, “Menurut dugaanku, sebabnya Giam-ongtek
menyebar enghiong-tiap, maksudnya apakah untuk
menghadapi Kiau Hong. Selama hidup Giam-ong-tek
paling benci pada kejahatan, asal dia mendengar ada
kejadian tidak adil di kalangan Kangouw, tanpa disuruh
dia pasti ikut campur urusan itu. Apalagi
persahabatannya dengan Hian-lan dan Hian-cit Taysu
dari Siau-lim-si itu sangat kekal, sudah tentu dia tidak
dapat tinggal diam urusan yang menyangkut Siau-lim-pay
itu.”

“Kukira betul dugaanmu itu, memang paling akhir ini
di kalangan Kangouw juga tiada terjadi geger apa-apa
selain perbuatan orang she Kiau itu,” kata Pau Jian-leng.
“Hiang-heng, Ki-heng, marilah kita habiskan 20 kati arak
ini, malam ini kita bicara sepuas-puasnya.”

Kiau Hong pikir apa yang akan dibicarakan mereka itu
sampai semalam suntuk juga dirinya yang akan dicaci
maki habis-habisan dengan dibumbu-bumbui. Maka ia
tidak ingin mendengarkan lagi, segera ia pulang ke
kamar A Cu.

Melihat air muka Kiau Hong muram durja dan pucat,
dengan khawatir A Cu tanya, “Kiau-toaya, apakah
engkau ketemukan musuh?”

Namun Kiau Hong hanya menggeleng kepala saja.

A Cu masih khawatir, tanyanya pula, “Engkau tidak
terluka apa-apa, bukan? Kiau-toaya?”

Padahal sejak Kiau Hong berkecimpung di dunia
Kangouw, selalu ia dihormati kawan dan disegani lawan,

1511




belum pernah ia dihina dan dimaki secara rendah oleh
orang seperti beberapa hari ini. Kini demi mendengar
pertanyaan A Cu itu, mendadak sifat angkuhnya
berkobar-kobar, sahutnya keras-keras, “Tidak, aku tidak
apa-apa. Memang tidak sulit manusia rendah itu hendak
menghina dan memfitnah diriku, tapi untuk melukai orang
she Kiau, huh, tidaklah gampang.”

Jilid 31

Mendadak timbul pula semangat kesatrianya yang tak
gentar pada apa pun juga, ia jadi nekat untuk
menghadapi segala kemungkinan, katanya pula, “A Cu,
besok akan kucarikan seorang tabib sakti untuk
mengobati lukamu, sekarang boleh kau tidur dengan
tenang.”

Melihat sikap bekas pangcu yang gagah perkasa dan
angkuh tak gentar itu, A Cu merasa kagum, hormat, dan
takut pula. Ia merasa tokoh di hadapannya itu sama
sekali berbeda daripada Buyung-kongcu, tapi banyak
persamaannya pula. Keduanya sama-sama tidak gentar
pada langit dan tidak takut pada bumi, sama-sama
angkuh dan berwibawa. Tapi Kiau Hong mirip seekor
singa jantan dan Buyung Hok seperti burung hong, yang
satu kasar dan yang lain halus.

Begitulah demi sudah ambil kebulatan tekad itu, Kiau
Hong dapat tidur nyenyak, walaupun hanya duduk di atas
kursi.

Di bawah sinar pelita yang remang-remang A Cu
dapat melihat muka Kiau Hong. Selang tak lama, ia
dengar Kiau Hong mulai mendengkur perlahan, ia lihat
daging muka laki-laki gagah itu berkerut-kerut sedikit
sambil mengertak gigi, tulang pipi yang lebar itu agak
menonjol. Tiba-tiba timbul semacam rasa kasihan dalam

1512




hati A Cu, ia merasa batin laki-laki gagah di depan itu
pasti sangat tertekan, sangat menderita, jauh lebih
malang daripada nasibnya sendiri.

Esok paginya Kiau Hong menyalurkan tenaga
murninya pula untuk menyegarkan A Cu, lalu
mengeluarkan uang dan suruh pelayan hotel
menyewakan sebuah kereta keledai. Ia payang A Cu ke
atas kereta lalu datang ke kamar Pau Jian-leng, dan luar
ia berseru, “Pau-heng, Siaute Kiau Hong memberi salam
hormat!”

Waktu itu Pau Jian-leng, Hiang Bong-thian, dan Ki
Liok bertiga belum lagi bangun, mereka kaget demi
mendengar seruan Kiau Hong itu. Cepat mereka
melompat bangun dan menyambar senjata dengan
kelabakan. Tapi mereka menjadi terperanjat demi tampak
di atas senjata masing-masing tertempel secarik kertas
kecil yang tertulis: “Salam dari Kiau Hong”.

Mereka saling pandang dengan melongo, mereka
sadar bahwa semalam tanpa terasa Kiau Hong telah
kerjai mereka, jika mau, jiwa mereka dengan gampang
sudah ditamatkan oleh Kiau Hong. Di antara mereka Pau
Jian-leng yang merasa paling malu, dia berjuluk “Bo-punci”
atau tanpa modal, artinya pekerjaannya ialah maling,
mencuri tanpa memakai modal, dan sebagai pencuri,
sudah tentu kepandaian menggerayangi rumah orang
merupakan kemahirannya yang paling diandalkan, tapi
kini ia sendiri telah digerayangi Kiau Hong dan baru
sekarang ketahuan.

Segera Pau Jian-leng mengikat senjatanya yang
berupa ruyung lemas itu di pinggang, lalu ia ke luar
kamar, ia tahu bila Kiau Hong bermaksud membunuhnya
tentu sudah dilakukannya semalam, maka tanpa takuttakut
lagi ia berkata, “Buah kepala Pau Jian-leng ini
setiap saat silakan Kiau-heng mengambilnya bila engkau

1513




suka, selamanya orang she Pau ini bekerja tanpa modal,
kalau kini aku mesti bangkrut di tangan Kiau-heng
rasanya juga masih berharga. Sedang ayah-bunda dan
gurumu sendiri juga kau tega membunuhnya, apalagi
terhadap orang she Pau yang tiada artinya ini, mengapa
engkau bermurah hati segala?”

Namun Kiau Hong tidak pusingkan olok-olok itu,
sebaliknya ia menjawab secara biasa saja, “Selamat
bertemu, Pau-heng, sejak perpisahan di Tong-ting-oh
dahulu, ternyata Pau-heng semakin gagah dan kuat.”

“Haha, untunglah jiwaku ini belum lagi amblas, maka
sampai sekarang masih sehat walafiat,” sahut Pau Jianleng
dengan terbahak.

“Kabarnya ‘Giam-ong-tek’ Sih-sin-ih telah
menyebarkan kartu undangan, maka aku tertarik untuk
hadir ke sana, bagaimana kalau kupergi ke sana
bersama kalian bertiga?” kata Kiau Hong pula.

Diam-diam Jian-leng sangat heran, pikirnya,
“Bukankah maksud tujuan Sih-sin-ih menyebarkan kartu
undangan justru hendak menghadapimu. Apa barangkali
kau sudah bosan hidup, maka berani datang ke sana
seorang diri? Tapi biasanya Kiau-pangcu terkenal
pemberani dan cerdik pula, baik ketangkasan maupun
kecerdasan serbakomplet, jika dia tidak punya pegangan
apa-apa, tidak nanti dia masuk jaring sendiri, maka aku
tidak boleh tertipu olehnya.”

Melihat Pau Jian-leng hanya diam saja tanpa
menjawab, segera Kiau Hong berkata pula, “Aku ada
urusan penting perlu minta tolong pada Sih-sin-ih,
kuharap Pau-heng suka memberitahukan tempatnya,
untuk mana aku takkan melupakan pada kebaikanmu.”

Kebetulan pikir Pau Jian-leng, jika kau berani hadir
pada pertemuan besar para kesatria itu, sekali dikerubut,

1514




biarpun kau punya tiga kepala dan enam tangan juga
takkan mampu lolos.

Dengan keputusan itu, segera ia menjawab, “Tentang
tempat pertemuan itu adalah di Cip-hian-ceng yang
terletak kurang lebih 70 li di timur laut sana. Jika Kiauheng
sudi hadir ke sana, itulah paling baik. Cuma ingin
kukatakan di muka, pertemuan ini tidak mungkin
pertemuan yang baik, kehadiran Kiau-heng ke sana nanti
banyak celakanya daripada selamatnya, untuk mana
janganlah menyalahkan aku tidak memperingatkanmu
sebelumnya.”

“Terima kasih atas kebaikan Pau-heng,” sahut Kiau
Hong dengan tersenyum tawar. “Jika enghiong-yan itu
diadakan di Cip-hian-ceng, jadi tuan rumahnya adalah
Yu-si-siang-hiong, bukan? Jika demikian, jalan ke sana
sudah kukenal, maka kalian boleh silakan berangkat
dulu, mungkin sejam lagi baru dapat kuberangkat,
dengan demikian agar mereka dapat bersiap-siap pula
lebih dulu.”

Pau Jian-leng menoleh dan saling pandang sekejap
dengan Ki Liok dan Hiang Bong-thian. Kedua kawan itu
tampak mengangguk perlahan. Lalu Pau Jian-leng
berkata, “Jika demikian, Cayhe akan menunggu
kehadiran Kiau-heng di Cip-hian-ceng.”

Begitulah dengan tergesa-gesa mereka bertiga lantas
membereskan rekening hotel dan berangkat ke Cip-hianceng
dengan menunggang kuda. Sepanjang jalan
mereka melarikan kuda secepatnya, berulang-ulang
mereka menoleh, khawatir kalau-kalau Kiau Hong
mendadak menyusul dari belakang dan mendahului
mereka.
Anda sedang membaca artikel tentang Pendekar Negeri Tayli 9 dan anda bisa menemukan artikel Pendekar Negeri Tayli 9 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/pendekar-negeri-tayli-9.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pendekar Negeri Tayli 9 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pendekar Negeri Tayli 9 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pendekar Negeri Tayli 9 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/pendekar-negeri-tayli-9.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar