Pendekar Negeri Tayli 10

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 20 Juli 2012

Sekalipun Pau Jian-leng adalah seorang cerdik
pandai, Ki Liok dan Hiang Bong-thian juga jago Kangouw
yang berpengalaman luas, sepanjang jalan mereka

1515




menerka ini dan menebak itu, namun tetap tidak dapat
meraba apa maksud tujuan Kiau Hong sengaja hadir
dalam enghiong-yan itu.

“Pau-toako,” tiba-tiba Ki Liok berkata, “apakah engkau
melihat kereta yang disewa Kiau Hong itu. Mungkin di
dalam kereta itu ada apa-apanya?”

“Jangan-jangan di dalam kereta itu terdapat jago-jago
lihai begundalnya?” ujar Hiang Bong-thian.

“Andaikan kereta itu tumplak penuh dengan
begundalnya, paling-paling cuma muat beberapa orang,
katakanlah seluruhnya ada sepuluh orang bersama Kiau
Hong, tapi dalam pertemuan besar nanti, paling-paling
mereka cuma mirip sebuah sampan yang terombangambing
di tengah samudra raya, apa yang dapat mereka
perbuat?” kata Pau Jian-leng.

Tengah bicara, sepanjang jalan sudah banyak
bertemu dengan jago-jago persilatan yang juga hendak
hadir pada enghiong-yan di Cip-hian-ceng.

Karena pertemuan itu diadakan secara mendadak
dan mendesak, maka setiap orang yang menerima kartu
undangan segera berangkat siang dan malam sambil
menghampiri sesama kawan bu-lim, maka hanya dalam
waktu sehari semalam saja kartu undangan yang
disebarkan Giam-ong-tek itu sudah hampir merata. Cuma
waktunya terlalu mendesak, maka yang sudah tiba di
Cip-hian-ceng itu baru tokoh-tokoh yang bertempat
tinggal ratusan li di sekitar Siau-lim-si di Provinsi Holam.

Sebenarnya Siau-lim-si sendiri sudah menyebarkan
kartu undangan kepada para kesatria untuk berunding
cara menghadapi Buyung Hok. Tapi waktu yang
ditentukan itu masih ada 20 hari lebih, sebagian besar
kesatria yang diundang itu masih dalam perjalanan,
seperti ayah Toan Ki, yaitu Tin-lam-ong dari negeri Tayli,
Toan Cing-sun, dan jago-jago silat yang dipimpinnya saat

1516




itu juga belum tiba di Siau-lim-si. Namun begitu sudah
banyak juga kaum kesatria yang berada di daerah Holam
untuk pesiar atau menyambangi sobat-andai. Mereka
inilah yang telah menerima kartu undangan Yu-si-sianghiong
dan “Giam-ong-tek” Sih-sin-ih.

Kalau undangan melulu datang dari Yu-si-siang-hiong
saja mungkin tidak diperhatikan oleh para kesatria itu.
Tapi nama Giam-ong-tek juga tercantum sebagai
pengundang, keruan mereka merasa mendapat
kehormatan besar dan buru-buru hadir.

Maklum, nama Si Tabib Sakti she Sih dan Musuh
Raja Akhirat itu terlalu tenar, setiap orang persilatan
sangat mengharapkan bisa berkenalan atau bersahabat
dengan dia. Sebab, sebagai orang persilatan, bukan
mustahil setiap saat bisa terluka parah atau terbinasa,
tapi kalau kenal dan bersahabat dengan Giam-ong-tek,
maka boleh dikatakan jiwa mereka telah diasuransikan
kepada tabib sakti itu.

Begitulah, ketika Pau Jian-leng bertiga sampai di Ciphian-
ceng, mereka telah disambut sendiri oleh Yu-sisiang-
hiong.

Sesudah berada di dalam rumah, ternyata, tetamu
sudah memenuhi ruangan luar dan dalam. Banyak yang
dikenal Pau Jian-leng, banyak pula yang tidak kenal.
Yang kenal segera saling menyapa, sedapatnya Pau
Jian-leng membalas hormati kepada setiap kenalan
secara merata. Ia khawatir kalau ada yang terlupa dan
kelompatan balas menghormat, bukan mustahil akan
menimbulkan rasa dendam hingga berakibat
permusuhan di belakang hari.

Setelah Yu Ki, yaitu orang kedua dari Yu-si-sianghiong
(Dua Jago she Yu) mengajak mereka ke meja tuan
rumah, di situ sudah menunggu Si Tabib Sakti she Sih, ia
sambut kedatangan tamunya sambil memberi hormat,

1517




“Atas kesudian hadirnya Pau-heng bertiga, sungguh aku
merasa terima kasih tak terhingga.”

“Haha, masakah undangan Sih-loyacu berani kutolak,
biarpun aku sedang sakit tak bisa berjalan juga aku akan
datang kemari meski harus digotong,” sahut Pau Jianleng
dengan terbahak.

“Tentu saja,” sela Yu Ek, si tua dari kedua saudara Yu
itu. “Jika kau sakit payah, tanpa diundang juga kau akan
cari Sih-loyacu.”

Mendengar percakapan itu, banyak tetamu lain ikut
bergelak tertawa.

“Kalian bertiga baru tiba, tentu sangat lelah, silakan ke
belakang dulu untuk dahar sekadarnya,” ujar Yu Ki.

“Lelah sih tidak, lapar pun belum, sebaliknya kubawa
suatu berita penting yang perlu kukatakan dengan
segera,” sahut Pau Jian-leng. “Numpang tanya dulu,
kartu undangan yang Sih-loyacu dan kedua saudara Yu
sebarkan itu apakah di antaranya terdapat undangan
kepada Kiau Hong?”

Mendengar nama Kiau Hong disebut, wajah Sih-sin-ih
agak berubah. Sebaliknya Yu Ek lantas tanya, “Apa
maksud Pau-heng sebenarnya, kenapa menyinggung
tentang Kiau Hong? Apakah disebabkan Pau-heng
bersahabat karib dengan orang she Kiau itu?”

“Harap Yu-heng jangan salah paham,” cepat Pau
Jian-leng menjelaskan. “Sebaliknya aku justru hendak
menyampaikan berita penting ini, Kiau Hong menyatakan
akan hadir dalam pertemuan besar kaum kesatria ini.”

Seketika gemparlah suasana ruangan tamu itu,
sejenak kemudian keadaan menjadi hening, semuanya
diam ingin mendengarkan berita itu lebih lanjut. Yang
terdengar hanya suara obrolan dan tertawa tamu-tamu di
ruangan belakang dan samping karena mereka tidak
tahu suasana di ruangan depan itu.

1518




“Dari mana Pau-heng tahu Kiau Hong akan datang ke
sini?” tanya Si Tabib Sakti.

“Cayhe bersama Ki-heng dan Hiang-heng mendengar
dengan telinga sendiri,” sahut Jian-leng. “Sungguh
memalukan kalau diceritakan, kami bertiga semalam
telah terjungkal habis-habisan.”

Berulang Hiang Bong-thian mengedipi kawan itu agar
jangan menguraikan kejadian semalam yang memalukan
itu. Tapi Pau Jian-leng cerdik orangnya, ia pikir bila
sedikit ia dusta hingga menimbulkan rasa curiga Si Tabib
Sakti dan tokoh-tokoh lain, kelak pasti akan
mendatangkan banyak kesukaran.

Maka ia tidak peduli isyarat Hiang Bong-thian itu,
sebaliknya perlahan ia lepaskan ruyungnya dari
pinggang dan diperlihatkan kepada Sih-sin-ih tulisan di
atas kertas yang masih menempel pada senjatanya itu,
katanya, “Kiau Hong suruh kami bertiga menyampaikan
pesannya, katanya dalam waktu singkat ia akan datang
ke Cip-hian-ceng ini.”

Lalu ia ceritakan pengalamannya tanpa dusta sedikit
pun. Sudah tentu yang runyam adalah Hiang Bong-thian,
ia merasa malu dan membanting-banting kaki.

Namun tanpa tedeng aling-aling Pau Jian-leng
menghabiskan ceritanya itu, akhirnya ia berkata, “Kiau
Hong itu adalah keturunan anjing bangsa Cidan,
andaikan dia cukup baik dan berbudi juga kita mesti
membasminya, apalagi sekarang ia sudah umbar
kebuasannya, mara bahaya di kemudian hari tentu tak
terkirakan, sebenarnya untuk menangkapnya tidaklah
mudah, syukur sekarang ia masuk jeratan sendiri,
rupanya ajalnya sudah tiba saatnya.”

Yu Ki berkerut kening mendengar laporan itu, ia pikir
sejenak, lalu berkata, “Konon Kiau Hong itu seorang
yang serbapintar dan tangkas, sekali-kali bulan seorang

1519




laki-laki kasar dan sembarang bertindak, masakah ia
benar-benar berani hadir dalam pertemuan ini?”

“Mungkin ada tipu muslihat di balik kehadirannya
nanti, untuk mana kita harus waspada,” ujar Pau Jianleng.
“Marilah kita berunding cara bagaimana harus
menghadapinya nanti.”

Tengah bicara, dari luar sudah masuk lagi banyak
kesatria lain, di antaranya “Tiat-bin-poan-koan” Tan Cing
dan kelima putranya. Tam-kong dan Tam-poh serta Tioci-
sun, Kim Tay-peng dan Oh-pek-kiam Su An, Naukang-
ong Cin Goan-cun, dan lain-lain. Tidak lama
kemudian, tiba pula Hian-lan dan Hian-cit berdua padri
saleh dari Siau-lim-si.

Meski ada juga di antara mereka tidak menerima
kartu undangan, tapi karena merasa diri mereka cukup
memenuhi syarat untuk disebut sebagai kesatria, maka
tanpa diundang juga mereka hadir sendiri.

Dengan hormat Yu-si-siang-hiong dan Giam-ong-tek
menyambut kedatangan tamu-tamu itu. Ketika bicara
tentang kejahatan yang diperbuat Kiau Hong, semua
orang merasa gusar dan bertekad akan membasmi
durjana yang kejam itu.

Tiba-tiba pelayan penyambut tamu masuk memberi
lapor bahwa Ci-tianglo dari Kay-pang bersama Cit-hoat
dan Thoan-kong Tianglo serta keempat tianglo lain juga
tiba. Tamu-tamu yang sudah berada di situ sama
terkesiap. Ujar Hiang Bong-thian, “Orang Kay-pang
datang ke sini secara berbondong-bondong, jelas
mereka hendak memberi bantuan kepada Kiau Hong.”

“Tidak mungkin,” kata Tan Cing. “Kiau Hong sudah
dipecat dari keanggotaan Kay-pang dan bukan pangcu
mereka lagi, kejadian itu kami ikut menyaksikan sendiri,
malahan di antara mereka sudah saling bermusuhan.”

1520




“Tapi hubungan lama belum tentu dilupakan begitu
saja,” kata Hiang Bong-thian.

“Kukira para tianglo dari Kay-pang adalah kesatria
sejati dan patriot tulen, kalau mereka membantu Kiau
Hong, bukankah berarti mereka pun pengkhianat bangsa
dan penjual negara?” ujar Yu Ek.

“Ya, manusia yang paling rendah sekalipun tidak sudi
menjadi pengkhianat bangsa dan penjual negara,”
demikian dukung tetamu yang lain.

Maka Yu-si-siang-hiong bersama Sih-sin-ih lantas
menyambut keluar. Mereka merasa lega ketika melihat
orang Kay-pang yang hadir itu cuma belasan tianglo saja,
andaikan mereka hendak membela Kiau Hong juga
takkan dapat melawan kesatria lain yang lebih banyak
jumlahnya.

Tapi Yu-loji, Yu Ki, orangnya cukup hati-hati, diamdiam
ia kirim anak buahnya pasang mata di sekitar
pedusunan untuk melihat apakah orang Kay-pang
menyembunyikan bala bantuan atau tidak. Setelah itu
barulah ia menyilakan Ci-tianglo dan rombongan masuk
ke dalam. Wajah para tokoh Kay-pang tampak masam,
nyata mereka sedang menanggung sesuatu urusan yang
memusingkan.

Sesudah tuan rumah dan para tamu mengambil
tempat duduk, segera Ci-tianglo membuka suara lebih
dulu, “Sih-heng, dan kedua saudara Yu, hari ini para
kesatria kalian undang ke sini, apakah maksudnya
hendak menghadapi bibit bencana bu-lim yang
ditimbulkan Kiau Hong itu?”

Mendengar tokoh Kay-pang itu menyebut Kiau Hong
sebagai bibit bencana bu-lim, semua orang saling
pandang sekejap dengan hati lega. Segera Yu Ek
menjawab, “Memang demikianlah halnya. Maka atas
kunjungan Ci-tianglo sekalian kami merasa sangat

1521




beruntung, sebab untuk membasmi pengganas itu, perlu
sekali kami mendapat bantuan dan izin para Tianglo,
kalau tidak, jangan-jangan akan timbul salah paham
hingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.”

Ci-tianglo menghela napas panjang, sahutnya, “Orang
itu sudah tidak punya hati nurani lagi, tindak tanduknya
kejam. Sepantasnya, karena ia pernah banyak berjasa
bagi pang kami, paling akhir juga telah menolong
saudara-saudara kami dari jebakan musuh. Akan tetapi
seorang laki-laki harus dapat memandang jauh, segala
apa mesti berpikir pada kepentingan orang banyak,
urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Kini Kiau
Hong adalah musuh besar bangsa Song kita, meski para
tianglo dari pang kami pernah mendapatkan
kebaikannya, tapi tidak nanti kami mengutamakan
kepentingan pribadi dan melalaikan kepentingan umum.
Apalagi sekarang ia sudah bukan orang kami.”

Ucapan Ci-tianglo segera mendapat pujian orang
banyak. Menyusul Yu Ek lantas beri tahu tentang Kiau
Hong telah menyatakan akan hadir dalam pertemuan ini.
Berita ini membuat para Tianglo Kay-pang terperanjat
dan heran. Sebagai bekas anak buah Kiau Hong, mereka
cukup kenal pribadi bekas pangcu mereka yang tangkas
lagi cerdik itu, kalau dikatakan Kiau Hong akan datang ke
Cip-hian-ceng seorang diri, hal ini benar-benar sangat
mengherankan mereka.

Tiba-tiba Hiang Bong-thian berseru, “Kukira
pernyataan Kiau Hong itu hanya tipu muslihat belaka, ia
sengaja membikin kita menunggu percuma di sini,
sebaliknya ia angkat langkah seribu entah kabur ke
mana, itu namanya ‘tonggeret melepaskan kulit’!”

“Melepas kulit makmu!” mendadak Go-tianglo memaki
sambil menggebrak meja. “Tokoh macam apakah Kiau

1522




Hong itu, apa yang telah dikatakannya masakah kau kira
cuma omong kosong?”

Muka Hiang Bong-thian menjadi merah padam oleh
makian itu, segera ia menyahut, “Kau mau bela Kiau
Hong, bukan? Hm, aku orang she Hiang inilah orang
pertama yang penasaran, marilah, boleh kita coba-coba
dulu.”

Selama hidup Go-tianglo paling kagum kepada Kiau
Hong, ia memang lagi mendongkol sepanjang jalan
ketika mendengar berita tentang bekas pangcu itu
membunuh kedua orang tua serta gurunya.

Oleh karena seorang saudara Go-tianglo juga telah
menjadi korban keganasan bangsa Cidan, selama
hidupnya ia sangat benci pada orang Cidan. Kini
mendadak diketahuinya Kiau-pangcu yang dihormati dan
dicintainya itu ternyata adalah orang Cidan, keruan kesal
dan sesalnya tak terlukiskan.

Dalam keadaan sedih itulah tiba-tiba Hiang Bongthian
berani menantang padanya, keruan tanpa tawar
lagi ia tandangi tantangan itu. Sekali lompat ia melesat ke
tengah pelataran dan berseru, “Apakah Kiau Hong itu
keturunan anjing Cidan atau bukan, saat ini masih belum
dapat dipastikan oleh siapa pun juga. Tapi bila dia benarbenar
bangsa Cidan, aku orang she Go inilah yang
pertama-tama akan mengadu jiwa padanya. Dan untuk
membunuh Kiau Hong, biarpun nomor urut keseribu juga
belum sampai pada giliranmu. Hm, kau ini kutu busuk
macam apa hingga berani mengoceh di sini? Ayolah
maju, biar kuhajar adat dulu padamu.”

Sudah tentu Hiang Bong-thian jadi murka juga, “sret”,
segera ia lolos goloknya dan hendak tandangi Gotianglo.
Tapi begitu golok terlolos, segera kertas yang
ditempel Kiau Hong di atas senjatanya itu lantas terbaca.
Seketika ia tertegun.

1523




“Sudahlah, kalian sama-sama tetamu kami, harap
suka memandang muka kami, janganlah ribut dulu,”
demikian Yu Ek berusaha memisah.

“Ya, Go-hiati, janganlah kita bertindak sembrono,
betapa pun nama baik pang kita harus dijaga,” ujar Citianglo.


“Huh, Kay-pang mempunyai seorang tokoh besar
macam Kiau Hong, nama baiknya sangat tersohor,
memang kudu dijaga sebaik-baiknya,” demikian tiba-tiba
suara seorang aneh dingin dan lirih menanggapi ucapan
Ci-tianglo itu.

Keruan para tokoh Kay-pang yang hadir di situ
menjadi gusar, beramai-ramai mereka membentak,
“Siapa itu yang bicara?” -“Ayolah, kalau berani tampil ke
muka sini!” -“Huh, pengecut, bicara secara sembunyisembunyi!
Haram jadah!”

Namun pembicara itu diam saja sesudah
mengucapkan kata-kata tadi hingga tiada seorang pun
tahu siapa gerangannya.

Sungguh dongkol tokoh-tokoh Kay-pang itu tidak
kepalang karena disindir tanpa mengetahui siapa
orangnya, tentu saja mereka mati kutu. Tapi beberapa di
antaranya yang berwatak berangasan dan kasar, tanpa
pikir lagi terus balas mencaci maki hingga kakek-moyang
ke-18 keturunan pembicara itu pun dimaki habis-habisan.

Sih-sin-ih berkerut kening oleh caci maki yang kotor
itu, segera katanya, “Harap para Tianglo suka sabar,
dengarkan kataku ini.”

Maka perlahan para pengemis itu tenang kembali.

Di luar dugaan, kembali suara orang tadi bergema
pula di tengah orang banyak sana, “Bagus, bagus! Kiau
Hong sengaja mengirim mata-mata sebanyak ini,
sebentar tentu ada permainan sandiwara yang menarik.”

1524




Mendengar ucapan itu, Go-tianglo semakin murka,
segera terdengar suara gemerencing senjata dilolos,
para tokoh pengemis itu siapkan senjata mereka yang
gemerlapan. Tamu lain mengira kawanan pengemis itu
akan turun tangan, beramai mereka pun lolos senjata
hingga keadaan menjadi kacau-balau.

Cepat Sih-sin-ih dan Yu-si-siang-hiong berusaha
menenangkan suasana ribut itu, tapi suara mereka
ternyata tidak cukup untuk bikin tenteram suasana yang
panas itu.

Pada saat kacau itulah, tiba-tiba seorang penjaga
berlari masuk dan membisiki telinga Yu Ek. Air muka Yu
Ek tampak berubah hebat, ia tanya sesuatu pada
pelayan itu dan hamba itu tampak menuding ke luar pintu
dengan rasa takut.

Segera tampak Yu Ek bisik-bisik juga pada Sih-sin-ih
dan air muka tabib sakti itu pun kelihatan gelisah. Waktu
Yu Ki mendekati saudaranya dan menanyakan apa yang
terjadi, sesudah Yu Ek berbisik perlahan, mendadak air
muka Yu Ki juga berubah kaget. Lalu Yu Ki membisiki
kawannya yang lain.

Begitulah seorang demi seorang meneruskan bisikbisik
itu hingga akhirnya merata dan semua orang
mengetahui apa yang terjadi. Seketika suasana gaduh
menjadi sunyi, sebab setiap orang yang hadir di situ
sama mendapat bisikan, “Kiau Hong sudah datang!”

Setelah saling pandang sekejap antara Sih-sin-ih dan
kedua saudara Yu, mereka memandang pula pada Hianlan
dan Hian-cit berdua, akhirnya Sih-sin-ih berkata,
“Silakan dia masuk!”

Segera pelayan tadi keluar. Sedangkan hati semua
kesatria sama berdebar dengan hebat. Walaupun jelas
jumlah orang pihak sini jauh lebih banyak, sekali Kiau
Hong bertindak, seketika semua orang mengerubut maju,

1525




tentu bekas Pangcu Kay-pang itu akan dapat dicacah
menjadi perkedel. Tapi nama Kiau Hong itu terlalu
disegani, kalau dia sudah berani hadir seorang diri,
terang dia sudah punya sesuatu pegangan, siapa pun
tidak dapat menerka tipu muslihat apa yang telah diatur
olehnya.

Di tengah suasana yang hening itu, tiba-tiba terdengar
suara keledai lari berdetak-detak diselingi suara
kelotakan roda kereta yang menggelinding di atas batu.
Sebuah kereta terdengar sudah sampai di depan pintu.
Malahan kereta itu tidak berhenti di situ, bahkan terus
melintasi gerbang pintu dan langsung masuk ke dalam
pekarangan. Kereta keledai itu tampak dikusiri seorang
laki-laki tegap dengan cambuk di tangan, kerai kereta
tertutup hingga tidak jelas apa isi kendaraan itu.

Seketika perhatian semua orang terarah kepada lakilaki
tegap yang mengemudi kereta itu. Tertampak
badannya tinggi besar, dada lebar dan lengan kasar,
mukanya kereng, siapa lagi dia kalau bukan bekas
Pangcu Kay-pang, Kiau Hong adanya.

Setelah taruh cambuknya di atas kereta, segera Kiau
Hong melompat turun dan berkata, “Kudengar Sih-sin-ih
dan Yu-si-hengte sedang mengadakan pertemuan besar
dengan para kesatria di Cip-hian-ceng ini, Kiau Hong
sudah merasa dibenci oleh para kesatria Tionggoan,
masakah aku berani ikut hadir ke sini tanpa kenal malu?
Cuma hari aku ada urusan penting yang mesti minta
tolong kepada Sih-sin-ih, maka kedatanganku secara
sembrono ini hendaklah dimaafkan.”

Habis berkata, ia membungkuk dengan laku sangat
hormat.

Tapi semakin Kiau Hong berlaku sopan, semakin Sihsin-
ih dan lain-lain curiga mungkin di balik kehalusan ini
ada sesuatu tipu keji. Maka diam-diam Yu Ek memberi

1526




tanda kepada anak buahnya agar meronda keluar untuk
berjaga segala kemungkinan di samping untuk
merintangi larinya Kiau Hong bila bekas pangcu itu
hendak kabur.

Lalu Sih-sin-ih membalas hormat dan berkata, “Ada
urusan penting apa yang Kiau-heng ingin minta tolong
padaku?”

Kiau Hong tidak lantas menyahut, tapi ia melangkah
mundur ke samping kereta, ia singkap tirai kereta keledai
itu dan memayang A Cu turun ke bawah. Lalu katanya,
“Disebabkan aku suka bertindak gegabah, maka nona
cilik ini ikut menjadi korban tenaga pukulan orang hingga
terluka parah. Di zaman ini selain Sih-sin-ih tiada orang
lain lagi yang mampu menyembuhkannya, maka secara
sembrono kudatang kemari untuk mohon Sih-sin-ih agar
suka menolong jiwanya.”

Waktu melihat kereta keledai itu tadi sebenarnya
semua orang sangat curiga, sebab tidak tahu apa isi
kereta yang dibawa datang Kiau Hong. Kini demi tampak
dari dalam kereta diturunkan seorang nona cilik berumur
16-17 tahun, kembali mereka heran lagi, lebih-lebih
setelah mendengar Kiau Hong menyatakan
kedatangannya itu hendak mohon pengobatan kepada Si
Tabib Sakti.

Sih-sin-ih sendiri juga sama sekali tidak menduga
akan hal itu. Sudah biasa baginya menerima tamu dari
jauh yang ingin minta tolong padanya, tapi kini mereka
sedang berunding cara bagaimana menawan dan
membunuh Kiau Hong, siapa tahu “durjana” yang
dipandang mahajahat itu justru datang sendiri, sungguh
hal ini sukar untuk dipercaya oleh siapa pun.

Ia coba mengamat-amati A Cu dari atas ke bawah
dan sebaliknya, ia lihat anak dara itu cukup cantik, tapi
tidak luar biasa, apalagi usianya masih muda, tidak

1527




mungkin Kiau Hong tergoda oleh kecantikan seorang
dara ingusan. Tapi ia lantas berpikir, “Jangan-jangan
anak dara ini adalah adik perempuannya? Tapi, hal ini
tidak mungkin terjadi, sedangkan orang tua dan gurunya
saja dibunuhnya, masakah dia sudi mengambil risiko
sebesar ini demi untuk adik perempuan. Jika demikian,
apakah putrinya? Tapi toh tidak pernah kudengar Kiau
Hong pernah menikah?”

Sebagai seorang tabib sakti, dengan sendirinya Sihsin-
ih pandai membedakan ciri-ciri setiap orang. Ia lihat
Kiau Hong sangat kekar, sebaliknya A Cu kecil mungil,
tiada sesuatu persamaan di antara mereka, maka dapat
dipastikan tiada hubungan darah apa-apa. Setelah
berpikir sejenak, akhirnya ia tanya, “Siapakah nona ini,
dia pernah apa dengan kau?”

Kiau Hong melengak oleh pertanyaan itu, sejak kenal
A Cu, yang diketahui cuma panggilan anak dara itu
adalah “A Cu”, apakah dia she Cu atau bukan tidaklah
diketahui. Maka ia coba tanya gadis itu, “A Cu, apakah
kau memang she Cu?”

“Bukan,” sahut A Cu dengan tersenyum. “Aku she Wi
dan bernama Si. Cuma aku cuka pakai baju merah, maka
Kongcu memanggilku A Cu (Si Merah).”

“O, jadi dia she Wi, Sih-sin-ih, aku pun baru tahu
sekarang,” ujar Kiau Hong.

Keruan Si Tabib Sakti semakin heran, tanyanya pula,
“Jika begitu, jadi engkau tiada persahabatan apa-apa
dengan dia?”

“Dia adalah dayang seorang sobatku, sedikit banyak
ada sangkut pautnya,” ujar Kiau Hong.

“Siapakah sobatmu itu, tentu hubungan kalian sebaik
saudara sekandung, bukan?” tanya Sih-sin-ih.

“Tidak, sobatku itu juga cuma kukenal namanya saja,
selamanya belum pernah bertemu,” sahut Kiau Hong.

1528




Keruan jawabannya membikin gempar pula. Sebagian
besar orang tidak percaya pada pengakuannya itu,
mereka menyangka itu cuma suatu tipu muslihat Kiau
Hong saja. Tapi banyak pula yang kenal watak Kiau
Hong tidak pernah berdusta, biarpun segala kejahatan
mungkin dapat dilakukannya, tapi untuk menjaga harga
diri, tidak nanti ia bohong untuk menipu orang.

Sih-sin-ih tidak tanya lagi, tiba-tiba ia melangkah
maju, ia pegang nadi pergelangan tangan A Cu, ia
merasa denyut nadi sangat lemah, tenaga murni dalam
tubuh bergolak hebat, keduanya itu satu sama lain tidak
seimbang. Waktu ia periksa nadi lain pula, maka
dapatlah ia menentukan penyakitnya. Katanya, “Jika
Kiau-heng tidak menyambung jiwanya dengan tenaga
dalam, mungkin nona ini sudah lama terbinasa di bawah
pukulan Kim-kong-ciang Hian-cu Taysu.”

Sudah tentu ucapan Si Tabib Sakti ini sekali lagi
membikin gempar para kesatria, lebih-lebih Hian-lan dan
Hian-cit, mereka merasa aneh bilakah suheng mereka
pernah memukul seorang nona cilik dengan Kim-kongciang?
Jika dara cilik ini benar-benar diserang Kim-kongciang
yang mahahebat itu, tidak mungkin jiwanya bisa
dipertahankan sampai sekarang.

Maka Hian-lan lantas berkata, “Sih-kisu, Hongtiang
Suheng kami selama beberapa tahun tidak pernah keluar
dari biara, selamanya Siau-lim-si tidak pernah dimasuki
kaum wanita, mungkin pukulan Kim-kong-ciang itu bukan
dilakukan oleh suheng kami.”

“Habis, di dunia ini siapa lagi yang mampu
menggunakan Kim-kong-ciang dari kalangan Buddha
ini?” ujar Sih-sin-ih.

Hian-lan dan Hian-cit menjadi bungkam dan saling
pandang. Mereka berdua belajar bersama dengan Hiancu
dari satu guru, mereka giat berlatih, tapi karena

1529




terbatas oleh bakat mereka, maka Tay-pan-yak-kimkong-
ciang itu tak berhasil diyakinkan mereka. Hal ini pun
tidak membuat menyesal mereka, sebab mereka maklum
orang Siau-lim-pay mereka jarang yang berhasil
meyakinkan ilmu silat golongannya sendiri walaupun inti
rahasia setiap ilmu pusaka mereka selalu dapat
diturunkan dengan baik oleh padri-padri sakti angkatan
yang lebih tua. Tapi untuk bisa melatihnya dengan
sempurna terkadang sampai ratusan tahun baru terdapat
seorang genius di antara padri yang berjumlah ratusan
itu.

Sebenarnya Hian-cit ingin tanya apakah benar nona
itu terkena “Tay-pan-yak-kim-kong-ciang”, tapi urung
diucapkannya, sebab bila ia tanya begitu, itu berarti ia
ragukan kepandaian Sih-sin-ih, hal ini akan dianggap
kurang hormat.

Hian-lan lantas berkata, “Di balik kejadian ini tentu
ada sesuatu yang ganjil. Suhengku adalah padri yang
alim, sebagai seorang ketua suatu mazhab persilatan
terkemuka, tidak mungkin ia menyerang seorang nona
cilik? Sekalipun nona ini berbuat sesuatu yang salah juga
Hongtiang Suheng kami takkan bertindak seganas ini
padanya.”

Semua orang menyatakan benar ucapan itu, mereka
pun sependapat bahwa di balik urusan ini pasti ada
sesuatu muslihat tertentu.

Karena itu banyak di antara mereka sama melototi
Kiau Hong, maksud mereka sudah terang yaitu bila ada
orang yang main gila dalam peristiwa itu, terang dia
pastilah Kiau Hong.

Namun Kiau Hong anggap kebetulan malah jika
kedua padri Siau-lim-si itu tidak mengakui A Cu dilukai
ketua mereka, sebab kalau mereka mengakui hal itu,

1530




mungkin Sih-sin-ih akan tidak enak malah untuk
mengobati luka A Cu.

Supaya menurut arah angin, segera ia berkata, “Ya,
Hian-cu Hongtiang adalah padri welas kasih, tidak
mungkin beliau sembarangan menyerang seorang gadis
cilik. Besar kemungkinan ada orang sengaja
memalsukan padri saleh untuk merusak nama baik Siaulim-
pay.”

Hian-lan dan Hian-cit saling pandang, mereka anggap
ucapan Kiau Hong yang durhaka itu beralasan juga.

Sebaliknya diam-diam A Cu merasa geli, memang
benar juga ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, tapi
bukan memalsukan Hian-cu Hongtiang, melainkan Ti-jing
Hwesio. Dan sudah tentu Hian-lan dan Hian-cit tidak
mengetahui maksud ganda kata-kata Kiau Hong itu.

Mendengar apa yang dikemukakan Hian-lan dan
Hian-cit tadi, Sih-sin-ih yakin diagnosis yang
dikatakannya tadi tidak salah lagi, maka katanya pula,
“Jika begitu halnya, ternyata di dunia ini ada orang lain
lagi yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang dari Siaulim-
si. Cuma waktu orang ini menyerang, entah teralang
apa, maka daya pukulannya telah terhapus 7-8 badan
hingga Nona Wi ini tidak terbinasa. Tapi betapa hebat
tenaga pukulan orang itu mungkin tidak lebih lemah
daripada Hian-cu Hongtiang, di jagat ini terang tiada
orang ketiga lagi yang dapat menandingi mereka.”

Alangkah kagumnya Kiau Hong, pikirnya diam-diam,
“Sungguh mahasakti kepandaian Sih-sin-ih ini. Dia hanya
memegang nadi A Cu sebentar, segera ia dapat
menguraikan apa yang terjadi pada pertarungan itu
dengan tepat. Tampaknya dia pasti dapat juga
menyembuhkan A Cu.”

Maka dengan rasa girang segera ia berkata, “Jika
nona ini terbinasa di bawah pukulan Tay-pan-yak-kim-

1531




kong-ciang, tentu Siau-lim-pay akan ikut tersangkut,
maka sudilah Sih-sin-ih menaruh belas kasihan dan suka
mengobatinya.”

Sembari berkata, kembali ia memberi hormat.

Tapi belum lagi Si Tabib Sakti menjawab, tiba-tiba
Hian-cit tanya A Cu, “Siapakah orang yang melukai
Nona? Di manakah kau diserang olehnya dan sekarang
penyerang itu berada di mana?”

Karena urusan menyangkut nama baik Siau-lim-pay
mereka, pula tidak disangka bahwa di dunia ini ternyata
masih ada golongan lain yang mahir Tay-pan-yak-kimkong-
ciang, maka betapa pun ia ingin mengusut urusan
ini hingga terang.

Sebaliknya sifat A Cu memang nakal dan jahil, tibatiba
tergerak pikirannya, “Kawanan hwesio ini gentar
kepada kongcu kami, biarlah aku sengaja menakutinakuti
mereka.

Maka ia lantas menjawab, “Penyerang itu adalah
seorang pemuda cendekia, wajahnya cakap dan
potongannya ganteng. Waktu itu aku sedang minum
dengan Kiau-toaya di suatu kedai arak sambil
mempercakapkan kepandaian Sih-sin-ih yang mahasakti
dan tiada bandingannya sepanjang sejarah ….”

Manusia mana yang tidak suka dipuji dan diumpak?
Begitu pula dengan Sih-sin-ih. Apalagi kata-kata itu
diucapkan oleh seorang dara jelita, maka tanpa terasa
tabib sakti itu sangat senang, ia mengelus jenggotnya
dengan tersenyum sambil mendengarkan pujian-pujian
setinggi langit itu.

Sebaliknya Kiau Hong berkerut kening, sebab apa
yang dikatakan A Cu itu sudah terang omong kosong
belaka.

Terdengar A Cu mencerocos lagi, “Waktu itu aku
berkata, ‘Adanya Sih-sin-ih itu di dunia, sebenarnya

1532




orang lain tidak perlu belajar silat lagi.’ Maka Kiau-toaya
tanya padaku apa sebabnya? Aku menjawab, ‘Jika setiap
orang yang dipukul mati toh akan dihidupkan kembali
oleh Sih-sin-ih, lalu apa gunanya orang belajar ilmu silat
segala, bukankah sia-sia? Bila kau bunuh seorang,
beliau sanggup hidupkan dua orang, kau bunuh dua
orang, beliau malahan hidupkan empat orang. Nah, kan
sia-sia orang belajar silat?’”

Dasar A Cu memang pandai bicara dan pintar
mengarang, lagu suaranya enak didengar pula tidak
membosankan pendengarnya. Saking tertariknya bahkan
ada yang bergelak tertawa.

Namun A Cu sendiri sedikit pun tidak tertawa, ia
sambung lagi, “Di luar dugaan di meja sebelah waktu itu
pun duduk seorang kongcuya, rupanya percakapan kami
dapat didengarnya, tiba-tiba ia mendengus dan berkata,
‘Hah, segala pukulan di dunia ini pada umumnya enteng
tak bertenaga, karena itulah tabib she Sih bisa
mendapatkan nama kosong. Coba kalau tenaga
pukulanku ini, apakah dia mampu menyembuhkan?’”

Habis berucap begitu dari tempat duduknya ia terus
menghantam ke arahku dari jauh. Tadinya kukira dia
hanya bergurau saja, maka tidak kuambil pusing, Tapi
Kiau-toaya inilah yang terkejut ….”

“Apakah dia yang menangkiskan pukulan itu?” tanya
Hian-cit.

“Bukan,” sahut A Cu dengan menggeleng kepala.
“Jika Kiau-toaya menangkis pukulan itu, tentu aku takkan
terluka. Justru karena jarak Kiau-toaya dengan aku agak
jauh, maka tanpa pikir ia angkat sebuah kursi dan
ditimpukkan dari samping. Syukurlah pertolongan Kiautoaya
itu tepat datangnya hingga kursi itu hancur kena
tenaga pukulan kongcu muda itu, aku sendiri merasa
sekujur badan enteng bagai terbang ke awang-awang,

1533




sedikit pun tidak bertenaga lagi. Lalu kongcuya itu
berkata padaku, ‘Nah, sekarang boleh kau pergi pada
Sih-sin-ih, suruh dia latihan dulu atas lukamu ini, supaya
kelak dia takkan repot jika mesti mengobati Hian-cu
Taysu.’.”

“Apa maksud perkataannya itu?” tanya Hian-lan
dengan kening bekernyit.

“Agaknya ia maksudkan kelak akan menggunakan
Tay-pan-yak-kim-kong-ciang untuk melukai Hian-cu
Taysu,” sahut A Cu.

Seketika para kesatria dibikin gempar pula, banyak di
antaranya berseru, “He, Ih-pi-ci-to hoan-si-pi-sin, ternyata
betul, itulah dia Koh-soh Buyung!”

Mereka pakai kalimat “ternyata betul”, maksudnya
mereka sudah menduga sebelumnya akan keterangan A
Cu itu.

Begitulah oleh karena A Cu sudah tahu Buyung Hok
bakal cari setori pada orang Siau-lim-pay, maka
sekarang ia sengaja membual untuk menggertak lawan
dulu, sekalian untuk mengangkat derajat dan
meninggikan perbawa Buyung-kongcu.

“He, bukankah Kiau Hong tadi bilang ada orang
memalsukan padri Siau-lim-si, mengapa nona ini
sekarang mengatakan penyerangnya itu adalah seorang
muda, sebenarnya manakah yang betul?” tiba-tiba Yu Ek
menegas.

“Orang yang memalsukan padri Siau-lim-si memang
bukan karangan, aku sendiri menyaksikan dua hwesio
yang mengaku dari Siau-lim-si, tapi diam-diam mencuri
anjing orang untuk disembelih,” sahut A Cu. Ia sadar
bualannya tadi agak tidak cocok dengan keterangan Kiau
Hong, maka ia sengaja omong yang tidak-tidak untuk
membelokkan pokok pertanyaan mereka.

1534




Dengan sendirinya Sih-sin-ih lantas tahu juga apa
yang diceritakan A Cu itu agak ganjil, seketika ia menjadi
ragu apakah mesti mengobati luka gadis ini atau tidak. Ia
coba pandang Hian-lan dan Hian-cit berdua, lalu
memandang Yu-si-siang-hiong dan memandang pula
Kiau Hong dan A Cu.

“Hari ini jika Sih-siansing sudi menolong Nona Wi,
budi kebaikan ini pasti takkan kulupakan di kemudian
hari,” ujar Kiau Hong.

“Hehe, takkan melupakan kebaikanku di kemudian
hari? Memangnya kau kira kau dapat keluar dari sini
dengan hidup?” jengek Sih-sin-ih.

“Keluar dari sini dengan hidup atau akan mati di sini,
hal ini tak dapat kupikirkan lagi,” kata Kiau Hong. “Yang
terang, luka nona ini betapa pun harus kau obati.”

“Untuk apa aku harus mengobati dia?” sahut Sih-sinih
dengan ketus.

“Kota Buddha, menolong jiwa seorang melebihi
membangun tujuh tingkat candi,” ujar Kiau Hong.
“Sebagai seorang bu-lim yang wajib berlaku bajik,
rasanya tidak mungkin Sih-siansing tega menyaksikan
nona ini mati begitu saja tanpa berdosa.”

“Sebenarnya siapa pun yang membawa nona ini
kemari, pasti akan kusembuhkan dia,” sahut Sih-sin-ih.
“Tapi, hm, karena kau yang membawanya kemari, maka
aku tidak mau menolong dia.”

Air muka Kiau Hong berubah mendadak, katanya
dengan dingin, “Kalian berkumpul di Cip-hian-ceng tujuan
kalian memang hendak menghadapi orang she Kiau,
masakah aku tidak tahu?”

“Ai, Kiau-toaya, jika begitu, tidak seharusnya engkau
menempuh bahaya dan membawa aku ke sini,” sela A
Cu mendadak.

1535




Namun Kiau Hong menyambung lagi, “Tapi kupikir
kalian adalah kaum kesatria sejati, tentu dapat
membedakan yang benar dan yang salah, yang ingin
kalian bunuh juga cuma aku seorang dan tiada sangkut
paut apa-apa dengan nona cilik ini. Sekarang rasa benci
Sih-siansing kepadaku ikut merembet atas diri Nona Wi
ini, bukankah itu tidak patut?”

Sih-sin-ih menjadi bungkam. Sejenak barulah ia
menjawab, “Apakah aku akan mengobati seseorang atau
tidak bergantung kepada keputusanku, hal ini tak dapat
dimohon oleh siapa pun dan tak bisa dipaksakan padaku.
Kiau Hong, dosamu, sudah kelewat takaran, kami justru
lagi berunding hendak membekuk batang lehermu untuk
mencencangmu guna sesajen ayah-bunda dan gurumu
yang telah menjadi korban keganasanmu itu. Jika
sekarang kau sendiri sudah datang kemari, itulah paling
bagus. Nah, boleh kau bereskan nyawamu sendiri saja.”

Habis berkata, sekali ia memberi tanda, serentak para
kesatria berteriak sekali sambil melolos senjata masingmasing,
seluruh ruangan itu penuh sinar kemilau dari
berbagai jenis senjata. Menyusul di tempat tinggi juga
terdengar suara seruan, di atap rumah, emper, dan pagar
tembok sudah penuh berdiri jago-jago silat dengan
senjata siap di tangan.

Meski sudah banyak pertempuran besar yang dialami
Kiau Hong, tapi biasanya anggota Kay-pang yang
dipimpinnya itu selalu berjumlah lebih banyak daripada
pihak musuh, tidak pernah seorang diri terkepung di
tengah musuh banyak seperti sekarang ini, bahkan ia
masih harus melindungi seorang nona cilik yang terluka
parah, sungguh ia menjadi bingung juga cara bagaimana
mesti meloloskan diri dari kepungan musuh yang ketat
ini.

1536




Yang paling khawatir adalah A Cu. “Kiau-toaya, lekas
engkau melarikan diri saja dan tidak perlu urus diriku!
Mereka tiada permusuhan apa-apa denganku, tentu aku
takkan dibikin susah oleh mereka,” demikian seru A Cu
sambil menangis.

Tergerak pikiran Kiau Hong, ia pikir para kesatria
tentu takkan bikin susah seorang gadis tak berdosa,
biarlah lekas kutinggalkan tempat ini saja. Tapi segera
terpikir pula, “Seorang laki-laki sejati sekali menolong
orang harus menolong sampai akhirnya, sedangkan Sihsin-
ih belum lagi menyanggupi akan mengobati lukanya,
sebelum tahu pasti bagaimana nasib nona cilik ini, mana
boleh aku tamak hidup dan takut mati, lalu tinggal pergi
begini saja?”

Ia coba pandang sekitar ruangan tamu itu, ia lihat
banyak tokoh terkemuka di antara hadirin itu adalah
kenalan lama.

Melihat jago-jago terkemuka sebanyak itu,
sekonyong-konyong semangat jantannya berkobarkobar,
rasa jeri tersapu bersih semua. Katanya di dalam
hati, “Andaikan darahku akan membasahi Cip-hian-ceng
ini dan badanku akan dicencang mereka, apa artinya lagi
bagiku? Seorang laki-laki kenapa mesti girang hidup dan
takut mati?”

Berpikir begitu, segera ia terbahak dan berkata, “Sihsin-
ih, kalian menuduh aku adalah orang Cidan dan ingin
membunuhku. Hehehe, apakah aku sebenarnya orang
Cidan atau orang Han, sampai saat ini aku sendiri pun
tidak pasti ….”

“Benar, memang kau anak keturunan capcai, dengan
sendirinya kau tidak tahu keturunan jenis apa!” tiba-tiba
suara orang yang dingin aneh tadi bergema lagi di antara
orang banyak. Sejak tadi semua orang ingin tahu
siapakah gerangan pembicara itu, tapi meski sudah dicari

1537




dan diperhatikan arah datangnya suara itu, tetap tak
diketahui bibir siapa yang bergerak dan bicara itu. Jika
perawakan orang itu sangat pendek, toh di antara hadirin
itu tiada seorang pun yang berperawakan katai.

Semula Kiau Hong juga celingukan mencari si
pembicara itu, tapi sesudah memerhatikan sejenak
kemudian ia manggut-manggut, ia tidak gubris orang dan
melanjutkan perkataannya kepada Sih-sin-ih, “Dan bila
aku ternyata bangsa Han adanya, hari ini engkau telah
menghinaku secara terbuka begini, tidak nanti aku tinggal
diam atas perbuatanmu ini. Sebaliknya kalau aku adalah
bangsa Cidan dan bertekad akan memusuhi para
kesatria Tionggoan, maka orang pertama yang akan
kubunuh adalah dirimu, dengan demikian supaya setiap
kesatria Tionggoan yang kulukai akan binasa dan tak
dapat tertolong lagi olehmu.”

“Memang, betapa pun kau pasti akan membunuhku,”
sahut Sih-sin-ih.

“Tapi aku mohon sukalah engkau menolong nona ini,
satu jiwa kubayar kembali dengan satu jiwa, selamanya
aku takkan mengganggu seujung rambutmu,” ujar Kiau
Hong.

“Hehehe,” Sih-sin-ih tertawa dingin, “selama hidupku
bila mengobati orang hanya kalau dimohon, tapi tidak
pernah dipaksa atau diancam.”

“Kan kutukar jiwamu dengan satu jiwa secara adil, tak
dapat dikatakan aku mengancam atau memaksa,” sahut
Kiau Hong.

Tiba-tiba suara dingin dan aneh tadi berkata pula,
“Huh, apakah kau tidak malu? Padahal sekejap lagi kau
sendiri akan dicencang mereka menjadi perkedel, tapi
kau masih bicara tentang mengampuni jiwa orang
segala? Kau ….”

1538




Belum selesai ia berkata, mendadak Kiau Hong
membentak, “Gelinding keluar!”

Begitu hebat bentakannya hingga atap rumah seakanakan
terguncang, debu kotoran pun bertebaran dari atas,
telinga setiap orang seakan-akan pekak dan jantung
berdebar.

Pada saat lain tertampaklah di antara orang banyak
ada seorang laki-laki terhuyung-huyung menumbuk kiankemari
pada orang-orang di sekitarnya. Hanya sekejap
saja di situ lantas berwujud suatu tempat luang, orang-
orang lain sama menyingkir dan laki-laki itu tampak
sempoyongan bagai orang mabuk.

Para kesatria lantas dapat melihat jelas laki-laki itu
berjubah hijau, muka pucat kaku, perawakannya sangat
kekar dan tegap, tapi tiada yang kenal siapakah dia.

“Ah, tahulah aku, dia ini Tui-hun-tiang Tam-ceng. Ya,
dia inilah murid Yan-king Taycu,” demikian tiba-tiba Ohpek-
kiam Su An berseru.

Tui-hun-tiang Tam-ceng, Si Tongkat Pencabut
Nyawa, mukanya waktu itu tampak berkerut-kerut, terang
sedang menderita kesakitan yang luar biasa sambil
kedua tangan tiada berhenti-henti memukul dan
mencakar dada sendiri. Dari dalam badannya terdengar
suara perkataan, “Aku … aku tiada permusuhan apa-apa
dengan … denganmu, mengapa kau musnahkan
ilmuku?”

Suaranya tetap lirih, dingin dan aneh, tapi kini
terdengar lemah dan terputus-putus, sedang bibirnya
sedikit pun tidak bergerak.

Keruan banyak di antara hadirin terkejut dan heran.
Hanya beberapa di antaranya yang mengetahui bahwa
ilmu kemahiran Tam-ceng itu disebut “Hok-lwe-gi” (ilmu
bicara dengan perut), dengan ilmu mukjizat itu ditambah
lwekang yang tinggi, sering pihak lawan bisa

1539




dipermainkan hingga semangat kabur dan sukma hilang,
akhirnya terbinasa.

Rupanya Tam-ceng sudah memperoleh kepandaian
gurunya, yaitu, Yan-king Taycu dan telah menjadi
seorang pembicara dengan perut yang ulung.

Tapi sial baginya, ia ketanggor sekali ini, karena
lwekang Kiau Hong jauh lebih tinggi daripadanya, maka
ilmu sihirnya itu tidak mempan, sebaliknya ia kena
digertak Kiau Hong dan ia celaka sendiri.

Maka dengan gusar Sih-sin-ih lantas mendamprat
Tam-ceng, “Jadi kau inilah murid ‘Ok-koan-boan-eng’
Toan Yan-king? Pertemuan besar kaum kesatria yang
kuadakan ini hanya disediakan untuk para pahlawan.
Manusia rendah dan sampah masyarakat macammu ini
juga berani menyelundup ke sini?”

“Huh, pertemuan kesatria apa segala, kulihat lebih
tepat dikatakan pertemuan antara kawanan babi celeng!”
tiba-tiba dari tempat tinggi di kejauhan berkumandang
suara seorang. Dan begitu selesai ucapannya, tahu-tahu
sesosok bayangan orang melayang turun dari atas pagar
tembok yang tinggi.

Perawakan orang ini tampak lencir dan tinggi sekali
dengan gerak-geriknya yang sangat cepat. Banyak di
antara penjaga di atas rumah telah berusaha
merintanginya, tapi semuanya terlambat sedikit hingga
orang jangkung ini sempat menerobos lewat.

Segera banyak juga di antara hadirin mengenal si
jangkung ini tak-lain-tak-bukan adalah “Kiong-hiong-kekok”
In Tiong-ho alias Si Ganas dan Mahajahat.

Dan begitu In Tiong-ho melayang turun ke tengah
ruangan, dengan cepat ia jambret Tam-ceng terus
menerjang ke arah Sih-sin-ih malah.

Karena khawatir tabib sakti itu diserang, dengan
sendirinya tokoh-tokoh di sekitarnya serentak berusaha

1540




melindunginya. Tak tersangka tindakan In Tiong-ho itu
melulu tipu belaka, pura-pura maju tapi sebenarnya akan
mundur. Begitu lawan mengerubut maju, cepat sekali ia
melompat mundur dan melompat ke atas pagar tembok
lagi.

Sebenarnya tidak sedikit di antara kesatria yang hadir
itu berilmu silat lebih tinggi daripada In Tiong-ho, tapi
karena didahului oleh durjana itu, ditambah lagi ginkang
Tiong-ho memang lain daripada yang lain, sekali dia
sudah naik ke pagar tembok, sukarlah untuk disusul oleh
siapa pun.

Segera banyak di antara jago-jago itu bermaksud
menyerang dengan senjata rahasia, penjaga di atas atap
rumah juga membentak dan hendak mencegat, tapi Kiau
Hong sudah mendahului bertindak, mendadak ia
membentak, “Tinggal sajalah di sini!”

Berbareng sebelah tangan terus memukul dari jauh,
kontan suatu arus tenaga mahadahsyat bagaikan senjata
tanpa wujud mengenai punggung In Tiong-ho.

Tanpa ampun lagi mahadurjana itu bersuara tertahan
sekali, lalu terbanting jatuh ke belakang. Begitu terjungkal
ke bawah, terus saja mulutnya menyemburkan darah
segar bagai air mancur.

Sebaliknya Tam-ceng yang ikut terjungkal kembali itu
masih dapat merangkak bangun, namun tetap terhuyunghuyung
ke sana dan kemari sambil mulutnya
menggumam seperti orang gila, keadaannya sangat lucu.
Namun tiada seorang pun di antara hadirin geli oleh
kelakuan Tam-ceng itu, sebaliknya mereka merasa
keadaan di depan mata itu sangat seram.

Sih-sin-ih tahu luka In Tiong-ho sangat parah, tapi
masih dapat ditolong, sebaliknya semangat Tam-ceng
sudah runtuh, pikiran sehatnya sudah hilang, tiada obat
mukjizat di dunia ini yang dapat menolong jiwanya.

1541




Terbayang olehnya Kiau Hong hanya sekali menggertak
dan sekali menghantam dari jauh saja sudah memiliki
daya selihai itu, bila bekas pangcu itu mau ambil jiwanya,
rasanya tiada yang mampu merintanginya.

Tengah Sih-sin-ih termenung itu, tertampak Tam-ceng
tidak bergerak lagi, tapi berdiri terpatung di tempatnya
tanpa bersuara lagi. Kedua matanya mendelik, napasnya
sudah putus.

Tadi Tam-ceng telah menghina Kay-pang,
sebenarnya anggota-anggota Kay-pang sangat murka,
tapi waktu itu tiada diketemukan siapa pembicaranya,
maka mereka cuma gusar tanpa ada sasarannya. Kini,
sekali Kiau Hong datang ke situ, segera orang itu dapat
dimampuskan, tentu saja mereka merasa sangat senang
dan puas. Kesatria-kesatria yang jujur tulus sebagai Gotianglo
dan Song-tianglo sampai hampir-hampir bersorak
memuji, cuma teringat oleh mereka bahwa Kiau Hong
sekarang bukan pangcu mereka lagi, pula dituduh
sebagai keturunan Cidan, maka mereka urung bersorak.
Tapi lapat-lapat dalam hati kecil mereka toh merasa
menyesal bila Kiau Hong tidak menjadi pangcu mereka,
maka kejayaan Kay-pang yang telah lalu tentu susah
dibangun kembali.

“Kedua Yu-heng,” demikian Kiau Hong berkata. “Hari
ini Cayhe dapat bersua dengan kenalan-kenalan lama di
sini, tapi untuk selanjutnya kita akan menjadi lawan dan
bukan kawan lagi, sungguh aku merasa sangat
menyesal, maka aku ingin mohon beberapa mangkuk
arak padamu.”

Semua orang menjadi heran menyaksikan
ketenangan Kiau Hong ini, di bawah kepungan lawan
sebanyak ini toh dia masih sempat minta minum arak apa
segala. Diam-diam Yu Ek pikir, “Biarlah kita lihat cara
bagaimana ia akan bertingkah?”

1542




Maka ia lantas perintahkan centeng menyediakan
arak yang diminta.

Cip-hian-ceng sedang mengadakan pertemuan,
dengan sendirinya arak dan daharan sudah tersedia
lebih dari cukup. Hanya sekejap pelayan sudah sediakan
poci dan cawan arak seperlunya.

Tapi Kiau Hong berkata pula, “Cawan sekecil ini mana
dapat memuaskan, harap ambilkan mangkuk yang
besar.”

Segera dua centeng membawakan beberapa buah
mangkuk besar dan satu guci arak simpanan, mereka
menaruh semua itu di atas meja di depan Kiau Hong dan
menuangkan satu mangkuk penuh.

“Harap setiap mangkuk diisi semua,” pinta Kiau Hong,
dan sesudah hal itu dipenuhi kedua pelayan, lalu Kiau
Hong angkat mangkuk dan berkata, “Para enghionghohan
dari segenap penjuru yang hadir di sini sebagian
besar adalah kawan lama Kiau Hong, tapi sekarang
karena aku dicurigai kalian, marilah, silakan, kita
habiskan semangkuk arak ini sekadar tanda putusnya
persaudaraan. Siapa yang ingin membunuh diriku harap
minum dulu semangkuk. Selanjutnya putuslah hubungan
baik kita, apakah aku akan terbunuh oleh kalian atau
kalian akan kubinasakan, masing-masing tidak perlu
sungkan-sungkan. Nah, silakan siapa yang akan maju
lebih dulu.”

Seketika ruangan tamu itu menjadi sunyi senyap,
semuanya berpikir dengan khawatir, “Jika aku maju dulu,
jangan-jangan akan tertipu olehnya. Pukulan sakti dari
jauh seperti tadi mana aku sanggup menangkisnya?”

Dalam keadaan hening itulah, tiba-tiba tampil ke muka
seorang perempuan berpakaian putih berkabung. Itulah
janda Be Tay-goan.

1543




Be-hujin mengangkat mangkuk arak dan berkata
dengan dingin, “Suamiku dibinasakan olehmu, di antara
kita tiada soal persaudaraan lagi!”

Lalu ia tempelkan mangkuk arak ke bibir, ia cicip
sedikit dan berkata pula, “Aku tidak sanggup minum
habis arak ini, tapi sakit hati kematian suami yang harus
kubalas adalah mirip arak ini.”

Habis berkata, ia siram sisa arak ke lantai.

Waktu Kiau Hong perhatikan janda muda itu, ia lihat
Be-hujin itu cantik molek. Tempo hari waktu bertemu di
tengah hutan, karena cuaca sudah gelap, maka
wajahnya tidak jelas kelihatan, sungguh tak tersangka
wanita yang lihai itu ternyata mempunyai wujud secantik
ini. Tanpa bicara ia pun angkat mangkuknya, sekali
tenggak ia habiskan isi mangkuk. Ia memberi tanda agar
pelayan memenuhi mangkuknya lagi.

Sesudah Be-hujin undurkan diri, lalu maju Ci-tianglo,
ia pun tanpa bicara mengeringkan semangkuk arak
diiringi Kiau Hong.

Dan setelah Thoan-kong Tianglo, lalu majulah Cithoat
Tianglo. Selagi tokoh Kay-pang itu angkat
mangkuknya hendak ditenggak, mendadak Kiau Hong
berkata, “Nanti dulu!”

“Kiau-heng ada pesan apa?” tanya Cit-hoat Tianglo.
Biasanya ia sangat hormat kepada Kiau Hong, maka
nada suaranya sekarang tetap merendah seperti
biasanya, bedanya cuma tidak memanggil “pangcu” lagi.

Maka berkatalah Kiau Hong, “Kita adalah saudara
selama sepuluh tahun, sungguh tidak nyana hari ini mesti
menjadi musuh.”

Air mata Cit-hoat Tianglo berlinang-linang di kelopak
matanya, sahutnya, “Jika tidak menyangkut kepentingan
nusa dan bangsa, Pek Si-kia lebih suka mati daripada
bermusuhan dengan Kiau-heng.”

1544




“Aku paham hal ini,” kata Kiau Hong sambil
mengangguk, “Sebentar lagi kita akan menjadi lawan,
rasanya tak terhindar daripada suatu pertarungan sengit.
Maka Kiau Hong ingin minta tolong sesuatu urusan.”

“Asal tidak menyangkut pengkhianatan pada negara,
pasti akan kuterima,” sahut Pek Si-kia.

Kiau Hong tersenyum, katanya sambil menunjuk A
Cu, “Apabila saudara dalam Kay-pang masih ingat pada
sedikit jasaku yang pernah kuberikan kepada pang,
harap suka jaga keselamatan nona cilik ini.”

Mendengar pesan itu tahulah semua orang bahwa
Kiau Hong sudah bertekad akan menempur para kesatria
sampai titik darah penghabisan. Dikeroyok oleh lawan
sebanyak biarpun dia mampu membinasakan beberapa
puluh orang, namun akhirnya Kiau Hong sendiri tentu
juga akan terbinasa. Maka mau tak mau para kesatria
terharu juga oleh semangat jantan dan jiwa kesatria Kiau
Hong itu.

Sebagai seorang tokoh terkemuka serta kedudukan
yang tinggi selaku Cit-hoat Tianglo dalam Kay-pang,
dengan sendirinya Pek Si-kia adalah seorang kesatria
yang berjiwa besar, apalagi hubungannya dengan Kiau
Hong biasanya sangat karib. Maka pesan terakhir bekas
pangcu itu segera dijawabnya, “Harap Kiau-heng jangan
khawatir, Pek Si-kia pasti akan mohon Sih-sin-ih suka
menyembuhkan nona itu, bila terjadi apa-apa atas diri
Nona Wi, Pek Si-kia rela akan membunuh diri untuk
mempertanggungjawabkan pesan Kiau-heng ini.”

Janji Cit-hoat Tianglo ini cukup tegas, apakah nanti
Sih-sin-ih akan mengobati A Cu atau tidak, yang pasti ia
akan berusaha sekuat tenaga. Seorang tokoh bu-lim
selamanya berani berkata berani berbuat, apalagi ia
telah berjanji di depan orang banyak, maka janji pasti
akan ditepati olehnya.

1545




Kiau Hong percaya sepenuhnya, katanya, “Banyak
terima kasih atas kebaikan Tianglo ini.”

“Dan dalam pertarungan nanti Kiau-heng tidak perlu
berlaku sungkan-sungkan, bila aku mesti mati di
tanganmu, tentu kawan-kawan Kay-pang yang lain akan
menggantikan aku menjaga Nona Wi.”

Habis bicara, ia angkat mangkuk arak dan
menenggaknya hingga habis. Begitu pula Kiau Hong
lantas mengiringi dengan minum semangkuk.

Lalu giliran maju Song-tianglo, Go-tianglo dan tokoh
Kay-pang yang lain. Kemudian majulah jago-jago bu-lim
dari berbagai mazhab yang hadir di situ, satu per satu
mengadu mangkuk dengan Kiau Hong. Tampaknya
dalam waktu singkat Kiau Hong sendiri sudah
menghabiskan 40-50 mangkuk arak, satu guci penuh tadi
sudah habis terminum, malahan centeng sudah
mengeluarkan pula satu guci, tapi keadaan Kiau Hong
masih segar bugar, bahkan wajahnya sedikit pun tidak
merah, hanya perutnya tampak sedikit gembung, tiada
sesuatu tanda lain yang luar biasa.

Keruan semua orang ternganga heran, pikir mereka,
“Jika minum terus cara begini, jangankan mesti
bergebrak segala, mungkin sekali mabuk takkan sanggup
bangun lagi.”

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa semakin
banyak minum arak semangat Kiau Hong semakin
tambah. Apalagi selama beberapa hari ini Kiau Hong
selalu menghadapi kejadian yang mengesalkan dan
membuatnya penasaran. Kini ia telah kesampingkan
semua itu dan sengaja hendak melabrak mereka
sepuasnya.

Setelah lebih 60 mangkuk arak masuk perut Kiau
Hong, Pau Jian-leng dan Ki Liok juga mengadu mangkuk
dengan dia, tiba-tiba majulah Hiang Bong-thian, ia angkat

1546




sebuah mangkuk dan berkata, “Orang she Kiau, biarlah
aku pun minum semangkuk denganmu!”

Mendengar ucapan orang yang kurang hormat itu,
Kiau Hong menjadi panas telinganya, ia melirik hina pada
Hiang Bong-thian dan menyahut, “Orang she Kiau minum
arak putus hubungan ini dengan para kesatria bu-lim,
maksudnya menghapuskan segala kebaikan
persaudaraan masa lalu. Tapi kau ini kutu busuk macam
apa? Macam dirimu juga tidak ada harganya untuk bicara
tentang persaudaraan denganku dan mengajak minum
‘coat-kay-ciu’ (arak putus hubungan) padaku?”

Bicara sampai di sini, tanpa memberi kesempatan
pada Hiang Bong-thian untuk bicara lagi, ia melangkah
maju setindak, sekali tangan kanan terjulur, tahu-tahu
dada baju Hiang Bong-thian kena dijambretnya,
menyusul sekali ia angkat dan ayun ke depan, Hiang
Bong-thian yang besar itu terlempar keluar ruangan,
“bluk,” dengan keras badan Hiang Bong-thian tertumbuk
dinding dan seketika menggeletak kelengar.

Suasana menjadi kacau dan tegang. Segera Kiau
Hong melompat ke pekarangan, bentaknya, “Ayolah,
siapa yang berani maju dulu untuk menempur aku!”

Melihat betapa gagah dan tangkasnya Kiau Hong,
seketika nyali para tokoh bu-lim itu menjadi ciut hingga
tiada seorang pun berani maju.

“Kalian tidak berani maju, biarlah aku yang mulai
dulu!” bentak Kiau Hong. Dan tanpa ampun lagi ia terus
menghantam dua kali dari jauh, kontan dua orang
terkapar di tanah oleh angin pukulan jarak jauh itu.

Bahkan Kiau Hong terus menerjang maju, di mana
kepalan dan sikutnya tiba, di mana kakinya melayang
dan telapak tangan menghantam, dalam sekejap saja
kembali beberapa orang dirobohkan pula.

1547




“Lekas mundur mepet dinding, jangan sembarangan
menyerang!” teriak Yu Ek cepat.

Seruan Yu Wk memang tepat. Jumlah orang yang
berada di ruangan ada dua-tiga ratus, kalau mengerubut
maju begitu saja, betapa pun tinggi ilmu silat Kiau Hong
juga tak mampu melawan. Tapi tempatnya kecil dan
orangnya banyak, dengan cara berjubel begitu, yang
benar dapat mendekati Kiau Hong paling-paling juga
cuma lima-enam orang saja, dan di bawah hujan pukulan
dan tendangan pasti lebih banyak kawan sendiri yang
akan terluka oleh orang sendiri. Maka sesudah seruan
Yu Ek itu, seketika terluanglah di bagian tengah hingga
cukup luas.

“Marilah, biar kubelajar kenal dulu kepandaian Yu-sisiang-
hiong dari Cip-hian-ceng,” seru Kiau Hong pula.
Dan sekali tangan kiri bergerak, tahu-tahu guci arak di
atas meja tadi terbang melayang ke arah Yu Ek.

Cepat Yu Ek dorong kedua tangannya ke depan,
maksudnya hendak tahan guci itu ke lantai. Di luar
dugaan, Kiau Hong telah susulkan sekali hantaman
dengan tangan kanan, “prak”, guci hancur dan beratus
beling pecahan guci bertebaran.

Beling dari remukan guci itu sudah tentu sangat
tajam, ditambah lagi terdorong oleh tenaga pukulan Kiau
Hong yang dahsyat, keruan beling guci menjadi mirip
beratus senjata rahasia seperti piau, hui-to (pisau
terbang), dan lain-lain.

Seketika muka Yu Ek terkena tiga potong beling
hingga darah bercucuran, belasan orang di sampingnya
juga ikut terluka. Maka paniklah gelanggang pertarungan
itu, suara caci maki bercampur dengan suara jerit riuh.

Dalam pada itu sebelah kaki Kiau Hong menendang
pula hingga guci arak yang lain didepak mencelat, selagi
dia hendak menambahi sekali hantaman pula,

1548




sekonyong-konyong dari belakang terasa menyambar
tiba serangkum angin pukulan yang bertenaga halus, tapi
sebenarnya mengandung tenaga dalam yang sangat
kuat.

Kiau Hong tahu pukulan itu dilontarkan oleh seorang
jago kelas wahid, ia tidak berani ayal, cepat ia menangkis
ke belakang. Maka bertemulah dua arus tenaga dalam
yang kuat.

Waktu Kiau Hong memerhatikan penyerang itu,
ternyata orangnya bermuka jelek dan lucu, itulah dia si
“badut” yang tak punya nama, tapi mengaku sebagai
“Tio-ci-sun” itu.

Diam-diam Kiau Hong tidak berani memandang
enteng tokoh yang hebat lwekangnya ini. Sekali ia tarik
napas panjang-panjang, pukulan kedua segera
dilancarkan bagaikan gugur gunung dahsyatnya.

Rupanya Tio-ci-sun juga tahu melulu dengan sebelah
tangannya takkan mampu menahan serangan Kiau Hong
itu, maka dengan dorong kedua tangan sekaligus ia
berusaha menangkis.

“Apakah kau cari mampus!” mendadak suara seorang
wanita di sampingnya membentak. Berbareng Tio-ci-sun
merasa pundaknya ditarik orang ke samping hingga
serangan Kiau Hong itu terhindarkan.

Namun begitu toh tenaga pukulan Kiau Hong itu
masih terus menerjang ke depan. Maka celakalah tiga
orang di belakang Tio-ci-sun, mereka yang tertimpa
malang. Terdengarlah suara gedebukan tiga kali, ketiga
orang itu mencelat dan menumbuk dinding dengan keras,
begitu hebat tumbukan itu hingga kapur pasir dinding
rontok bertebaran.

Waktu Tio-ci-sun menoleh, ia lihat orang yang
menariknya tadi adalah Tam-poh, ia menjadi girang,
katanya, “Terima kasih atas pertolonganmu!”

1549




“Kau serang bagian kiri dan aku akan menyerang dari
kanan,” kata Tam-poh.

Dan baru Tio-ci-sun mengiakan, tahu-tahu sesosok
bayangan orang yang kurus kecil sudah mendahului
menerjang ke arah Kiau Hong. Ternyata orang itu adalah
Tam-kong, si kakek Tam.

Jangan sangka perawakan Tam-kong itu kurus kecil,
tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, begitu tangan kiri
menghantam ke depan, menyusul serangan tangan
kanan dilontarkan lagi. Dan sedikit tangan kiri ditarik
kembali, segera ia tambahkan tenaga pukulannya pada
tangan kanan.

Serangan tiga kali secara berantai ini menjadi mirip
damparan ombak yang susul-menyusul, dibandingkan
pukulan Tio-ci-sun tadi, terang tiga kali pukulan Tamkong
ini beberapa kali lipat lebih kuat.

“Pukulan ‘Tiang-kang-sam-tiap-long’ (Ombak
Mendebur Tiga Susun di Sungai Tiangkang) yang hebat!”
puji Kiau Hong sambil memapak dengan tangan kiri.

Benturan kedua arus tenaga dalam yang hebat itu
memaksa orang lain terdesak mundur ke pinggir. Dan
pada saat itulah Tam-poh dan Tio-ci-sun pun mengerubut
maju, menyusul Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Tantianglo
dan lain-lain juga ikut terjun ke kalangan
pertarungan sengit itu.

“Kiau-hengte, Cidan tidak dapat hidup berdampingan
dengan kerajaan Song raya kita, demi kepentingan
umum terpaksa kita mesti kesampingkan hubungan
pribadi, maafkan bila aku akan berlaku kasar padamu!”
demikian Thoan-kong Tianglo berseru.

“Sedangkan coat-kay-ciu juga sudah kita minum, buat
apa bicara tentang persaudaraan lagi? Awas serangan!”
demikian sahut Kiau Hong sambil mendepak ke arah
tokoh Kay-pang itu.

1550




Namun begitu omongnya, toh terhadap tokoh Kay-
pang mau tak mau ia berlaku sungkan juga, bukan saja
tiada niat mencelakai jiwa mereka, bahkan membikin
malu mereka di depan orang banyak juga tidak. Maka
depakan itu sampai di tengah jalan mendadak ganti arah,
“bluk”, tahu-tahu Goay-to Ki Liok yang menjadi
sasarannya hingga tertendang mencelat.

Rupanya Ki Liok, Si Golok Kilat itu sama sekali tidak
menyangka akan tindakan itu, keruan ia menjerit kaget
ketika mendadak pantatnya terasa terdepak dan
badannya mencelat ke atas. Goloknya sebenarnya
sedang dibacokkan ke kepala Kiau Hong, tapi karena
badannya mumbul ke udara, dan goloknya tetap
dibacokkan, maka terdengarlah “crat”, golok itu tepat
kena membacok belandar utama ruangan besar itu.

Gedung utama Cip-hian-ceng yang dibangun Yu-sisiang-
hiong itu sangat megah dan kukuh, lebih-lebih
belandar itu adalah sejenis kayu pilihan yang sangat
kuat. Maka sekali kena bacok dengan kuat, golok Ki Liok
itu lantas ambles belasan senti dalamnya hingga senjata
itu tergigit dengan kencang dalam belandar.

Golok Ki Liok itu adalah senjata andalan yang
membuatnya terkenal, kini harus menghadapi musuh
tangguh, mana dia mau kehilangan senjata itu? Maka
sekuatnya ia memegangi golok itu dengan tangan kanan.
Dengan demikian, tubuhnya menjadi terkatung-katung di
udara, keadaannya menjadi lucu dan aneh. Tapi setiap
orang di tengah ruangan itu sedang menghadapi detik
antara mati dan hidup, dengan sendirinya tiada seorang
pun sempat menertawainya.

Kiau Hong sendiri meski sudah banyak menghadapi
pertempuran seru dan selamanya tidak pernah kalah,
tapi kini harus bertempur dengan jago sebanyak dan
selihai ini, hal ini pun selama hidupnya tidak pernah

1551




dialami. Namun sama sekali ia tidak gentar sebaliknya
semangatnya semakin berkobar, ia mainkan kedua
tangannya naik-turun hingga lawan-lawan tangguh sukar
mendekatinya.

Sih-sin-ih memang sakti dalam ilmu pengobatan, tapi
ilmu silatnya belum tergolong kelas wahid. Dalam ilmu
pertabiban memang dia mempunyai bakat pembawaan
dan pengalaman yang mendalam. Dalam hal ilmu silat ia
pun sangat luas pengetahuannya, tapi luas pengetahuan
tidak berarti pandai pula menggunakannya. Oleh karena
terlalu luas dan terlalu banyak yang dia pelajari, maka
tiada sejurus pun ilmu silat itu benar-benar dilatihnya
hingga sempurna. Jadi hanya sepintas lalu saja ia
mempelajari berbagai jurus ilmu silat yang diperolehnya
dari tokoh-tokoh yang pernah diobati olehnya.

Sebelumnya ia suka bergirang dan puas akan
pengetahuan sendiri yang luas dalam hal ilmu silat, tapi
kini demi menyaksikan pertarungan sengit antara Kiau
Hong melawan orang banyak itu, betapa hebat dan
lihainya bekas Pangcu Kay-pang ini benar-benar
membuatnya terpesona, sungguh mimpi pun tak terpikir
olehnya ada ilmu silat begini lihai. Saking takjubnya
hingga ia terkesima di tempatnya, jangankan lagi hendak
maju bertempur.

Begitulah ia berdiri mepet tembok dengan rasa takut,
cuma untuk merat secara diam-diam betapa pun ia
merasa enggan, sebagai pengundang masakah ia sendiri
malah kabur lebih dulu? Sekilas tiba-tiba dilihatnya Hianlan
berdiri di sebelahnya, tergerak hatinya, maka katanya
perlahan, “Ucapanku tadi sesungguhnya kurang sopan,
harap Taysu suka memaafkan.”

Sebenarnya Hian-lan asyik mengikuti pertarungan
sengit di tengah ruangan itu, ia terkesiap oleh perkataan
Sih-sin-ih itu, segera ia tanya, “Ucapan apa maksudmu?”

1552




“Tadi aku menyatakan heran mengapa Kiau Hong
mampu keluar-masuk Siau-lim-si seorang diri dengan
bebas tanpa terluka apa-apa, dan sesudah menyaksikan
sekarang, nyata dia memang cukup mampu untuk
berbuat begitu,” kata Sih-sin-ih.

Keruan Hian-lan kurang senang mendengar demikian,
sahutnya dengan mendengus, “Hm, Sih-sin-ih ingin
menguji ilmu silat Siau-lim-pay, bukan?”

Belum lagi Sih-sin-ih menjawab, terus saja ia
melangkah maju, sekali lengan bajunya yang komprang
itu mengebas, mendadak dari bawah lengan baju timbul
suara menderu yang keras, angin pukulan yang dahsyat
lantas menyambar ke arah Kiau Hong.

Jilid 32

Ilmu silat yang dikeluarkan ini adalah satu diantara 72
macam ilmu silat pusaka Siau-lim-si, namanya “Siu-likian-
gun” (menyekap jagat dalam lengan baju), sekali ia
kebas lengan jubahnya, seketika tenaga pukulannya
menyambar keluar dari dalam jubah. Jadi lengan jubah
itu hanya sebagai tameng pukulan saja agar musuh tidak
dapat membedakan arah datangnya serangan, tapi tahutahu
diserang hingga kelabakan.

Namun Kiau Hong sudah lebih dulu melihat kedua
lengan baju Hian-lan itu melembung bagai goni penuh
angin, segera ia tahu serangan apa yang akan dilakukan
padri sakti itu, bentaknya cepat, “Siu-li-kian-gun, nyata
memang hebat !”

Berbareng itu sebelah tangannya segera dipukulkan
ke arah lengan baju lawan dengan kuat. Tenaga yang
terhimpun dalam lengan baju Hian-lan itu menggembung,
sebaliknya tenaga pukulan yang dilontarkan itu terpusat
keras, maka terdengarlah suara “bret-bret” beberapa kali,

1553




ditengah goncangan arus tenaga yang maha dahsyat itu,
sekonyong-koyong ditengah ruangan itu bertebaran
beberapa puluh ekor “kupu-kupu”.

Keruan semua orang terperanjat, waktu mereka
perhatikan, ternyata “kupu-kupu” itu bukan lain adalah
robekan kain lengan baju Hian-lan. Waktu perhatian
mereka beralih atas diri padri itu, tertampaklah kedua
lengannya sudah telanjang hingga kelihatan jelas tulang
lengannya yang kurus kering.

Rupanya di bawah tekanan dua arus tenaga dalam
yang maha kuat, maka lengan baju padri yang gondrong
itu tidak tahan dan seketika tergilas hancur. Dengan
demikian, tanpa lengan baju Hian-lan menjadi mati kutu
dan tidak bisa menggunakan Siu-li-kian-gun lagi.

Saking gusarnya sampai muka Hian-lan merah
padam, cara Kiau Hong mematahkan serangannya itu
dirasakan jauh lebih menderita daripada membunuhnya.
Tanpa omong lagi kedua lengannya yang telanjang itu
susul menyusul menghantam serabutan dengan dahsyat
luar biasa.

Waktu semua orang memperhatikan, ternyata yang
dimainkan Hian-lan sekarang adalah ilmu pukulan yang
tersebar luas di dunia kangouw, yaitu “Thio-co-tiang-tin”
atau ilmu pukulan ciptaan Song-thai-co.

Song-thai-co Tio Kong-in, cikal bakal dinasti Song,
sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam dua jenis
ilmu silat, yaitu “Thai-co-tiang-kun” dan “Thai-co-pang”,
ilmu pukulan dan ilmu permainan toya dari Song-thai-co.

Saking populernya kedua jenis ilmu silat itu hingga
pada jaman itu setiap orang Bu-lim hampir setiap orang
bisa, paling tidak juga pernah melihatnya.

Maka semua orang menjadi heran demi nampak padri
sakti Siau-lim-si yang terkenal itu ternyata memainkan
ilmu silat yang umum itu.

1554




Tapi sesudah Hian-lan menyerang tiga kali, mau tak
mau timbul juga perasaan kagum mereka, “Pantas saja
Siau-lim-si memperoleh nama harum. Sama-sama
sejurus Hoa-san-tio-ki (main catur diatas Hoa-san), tapi
di bawah permainannya ternyata mempunyai daya
serang selihat ini.”

Dan karena rasa kagum mereka kepada ketangkasan
Hian-lan, mereka jadi lupa pada wujud si padri yang
sebenarnya tak keruan dan lucu itu.

Tadi sebenarnya ada berpuluh orang yang
mengerubut Kiau Hong, tapi kini demi Hian-lan sudah
turun tangan, yang lain merasa akan mengganggu malah
jika ikut mengeroyok, maka satu persatu mereka
mengundurkan diri, semuanya hanya menonton saja
sambil merubung rapat di pinggir untuk berjaga kalau
Kiau Hong kewalahan dan ingin kabur.

Melihat pengeroyok lain sudah mundur, hati Kiau
Hong tergerak, mendadak ia menghantam ke depan
dengan tipu “Ciong-hong-cam-ciang” atau menyerbu
maju membunuh panglima musuh, tipu ini pun termasuk
salah satu pukulan “Thai-co-tiang-kun”.

Tipu ini sebenarnya sangat umum, tapi di bawah
pukulan Kiau Hong ternyata membawa tenaga maha
dahsyat dengan gaya yang indah.

Setiap hadirin ini boleh dikatakan adalah jago silat
pilihan semua, dengan sendirinya mereka kenal di mana
letak kebagusan setiap ilmu silat. Maka demi nampak
serangan Kiau Hong yang indah itu, tanpa terasa mereka
sama bersorak memuji.

Dan sesudah sorakan mereka tercetus barulah
mereka merasa salah. Bukankah Kiau Hong adalah
musuh yang harus mereka bunuh, tapi mengapa malah
bersorak untuk menambah semangat musuh?

1555




Namun sudah terlanjur, suara sorakan mereka sudah
lalu. Bahkan serangan kedua Kiau Hong dalam tipu “Hosiok-
lip-wi” (memperlihatkan pengaruh di Ho-siok)
tampaknya lebih bagus lagi daripada jurus pertama,
maka tidak sedikit di antara para hadirin itu masih
bersorak, urung ketika sadar kelakuan mereka yang
keliru. Namun hal mana jelas mengunjuk betapa rasa
kagum dan gegetun mereka atas kepandaian Kiau Hong
itu.

Begitulah, jika tadi malam keadaan dikeroyok Kiau
Hong tidak dapat memperlihatkan ketangkasannya,
adalah sekarang sesuah Kiau Hong bertempur satu
lawan satu dan para pengeroyok tadi menjadi penonton,
barulah semua orang menyadari di mana kelebihan ilmu
silat Kiau Hong daripada orang lain.

Maka sesudah beberapa jurus lagi, jelas kelihatan
siapa lebih unggul dan siapa asor.

Ilmu pukulan yang dimainkan kedua orang samasama
kungfu yang sangat umum, tapi setiap serangan
Kiau Hong selalu lebih lambat sedikit dan membiarkan
Hian-lan melancarkan serangan lebih dulu. Dan sekali
serangan Hian-lan dilontarkan, menyusul Kiau Hong
lantas menyerang juga.

Ilmu pukulan ciptaan Song-thai-to itu seluruhnya
meliputi 72 jurus. Tapi setiap jurus merupakan lawan
daripada jurus lain. Maka Kiau Hong sengaja incar baikbaik
tipu serangan lawan. Lalu ia keluarkan tipu
serangan yang tepat untuk mengatasinya.

Dengan demikian, tentu saja Hian-lan dibikin
kewalahan. Teori itu sebenarnya diketahui oleh setiap
penonton, yang susah adalah kepandaian “serang
belakang tapi tiba lebih dulu” itulah yang tidak mungkin
dimiliki sembarang orang.

1556




Melihat kawannya kewalahan, terang sudah kalah,
segera Hian-cit berseru, “Huh, kamu anjing Cidan ini,
caramu sesungguhnya terlalu rendah !”

“Apa yang kumainkan adalah ilmu pukulan Thai-co
dinasti kita, mengapa aku dituduh rendah ?” sahut Kiau
Hong tertawa.

Mendengar demikian, seketika pahamlah semua
orang maksud Kiau Hong memainkan “Thai-co-tiang-kun”
itu.

Jika Kiau Hong menggunakan ilmu silat jenis lain
untuk menangkan “Thai-co-tiang-kun” yang dimainkan
Hian-lan tentu orang lain takkan mengatakan dia lebih
kuat dan ulet, sebaliknya akan menyalahkan dia dengaja
menghina ilmu silat ciptaan cikal bakal dinasti Song yang
jaya itu. Dan hal ini tentu akan menambah sentimen
kebangsaan orang banyak itu. Tapi sekarang kedua
pihak sama menggunakan “Thai-co-tiang-kun”, dalam
pertandingan ini hanya mengadu ilmu silat belakan, Kiau
Hong takbisa lagi dituduh kurang ajar atau tuduhan lain.

Begitulah maka Hian-cit tak dapat tinggal diam lagi
melihat Hian-lan dalam sekejap lagi akan terancam
bahaya. Tanpa bicara ia terus menuding ke “Soan-ki-hiat”
di dada Kiau Hong. Ilmu yang dia pakai adalah “Thiantiok-
hud-ci” atau jari Budha dari Thian-tiok, semacam
ilmu tiam-hiat yang hebat dari Siau-lim-si.

Mendengar tutukan orang itu membawa suara
mencicit perlahan, segera Kiau Hong berkata, “Sudah
lama kudengar betapa hebat Thian-tiok-hud-ci, ternyata
memang bukan omong kosong belaka. Tapi bila kau
gunakan ilmu silat bangsa asing Thian-tiok itu untuk
mengalahkan ilmu pukulan cikal bakal dinasti kita
bukankah engkau akan dituduh menghianat dan
menghina dinasti kita sendiri ?”

1557




Hian-cit terkesiap sebab ilmu silat Siau-lim-si memang
berasal dari Budhi Dharma yang aslinya orang asing dari
Thian-tiok (kini India).

Sebabnya Kiau Hong sekarang dikeroyok adalah
disebabkan bekas Pangcu itu dituduh keturunan Cidan.
Tapi karena sejarah Siau-lim-si sudah terlalu tua, ilmu
silatnya sudah tersebar luas dikalangan Bu-lim hingga
berbagai aliran dan mazhab sedikit banyak ada
tersangkut hubungan hingga semua orang sama
melupakan asal usul Siau-lim-si yang ada sangkut
pautnya dengan bangsa asing itu.

Kini demi mendengar teguran Kiau Hong itu, segera
banyak di antara hadirin yang berpandangan jauh dan
berjiwa terbuka itu berpikir, “Terhadap Budhi Dharma kita
memuja sebagai malaikat dewata, sebaliknya mengapa
membenci orang Cidan sampai ke tulang sumsumnya?
Bukankah mereka sama-sama bangsa asing? Ya, sudah
tentu diantara kedua bangsa itu ada bedanya, bangsa
Thian-tiok tidak pernah menjajah dan membunuh bangsa
Han kita, sebaliknya bangsa Cidan adalah penjajah yang
ganas dan kejam. Jadi antara bangsa asing pada
hakikatnya juga ada perbedaannya dan tidak boleh
disamaratakan, harus dibedakan antara yang baik dan
yang jahat, antara kawan dan lawan, antara penjajah dan
dijajah. Dan apakah orang Cidan itu semua jahat?
Apakah tidak ada yang baik ?”

Begitulah di tengah pertarungan sengit itu banyak di
antara pengeroyok terdapat kaum pikiran sempit, berjiwa
dangkal dan dengan sendirinya takkan berpikir tentang
perbedaan itu, tapi sebagian yang tergolong cendikia,
dalam benak mereka lantas terlintas pikiran seperti itu,
mereka merasa Kiau Hong belum tentu adalah manusia
yang harus dibunuh, sebaliknya kita sendiri juga belum
pasti di pihak yang benar.

1558




Dalam pada itu, meski Hian-lan dan Hian-cit berdua
melawan Kiau Hong seorang, mereka lebih banyak
menagkis daripada menyerang.

Sementara itu karena ilmu pukulan pertama telah
dipatahkan sama sekali oleh lawan, maka Hian-lan telah
ganti ilmu silat “Lo-han-kun” yang lihai dari Siau-lim-pai.

“Huh, bukankah Lo-han-kun juga berasal dari ajaran
bangsa asing dari Thian-tiok ?” demikian Kiau Hong
mengejek. “Baiklah, akan kulihat apakah ilmu silat asal
luar negeri itu lebih lihai ataukah ilmu silat dalam negeri
Song sendiri lebih hebat ?”

Sembari bicara, “Thai-co-tiang-kun” terus dilancarkan
susul menyusul.

Keruan semua orang merasa tersinggung oleh
ucapan Kiau Hong itu. Mereka mengeroyok Kiau Hong,
alasannya karena dia bangsa asing. Tapi sekarang ilmu
silat yang dipakai pihak sendiri justru adalah ilmu silat
“impor”, sebaliknya ilmu silat pukulan yang dimainkan
Kiau Hong adalah “produksi dalam negeri” asli, yaitu
ciptaan cikal bakal dinasti Song yang tersohor itu.

Begitulah selagi banyak di antara mereka merasa
ragu-ragu dan rikuh, tiba-tiba terdengar Tio-cit-sun
berseru, “Peduli kita memakai ilmu silat berasal dari
mana, yang terang keparat ini telah membunuh ayah
bundanya dan gurunya sendiri, kejahatannya jauh lebih
pantas dihukum mati. Ayolah saudara, kerubut maju
bersama !”

Sambil berseru, segera ia mendahului menerjang
maju.

Menyusul Tam-kong, Tam-poh, para Tianglo dari Kay-
pang. Tiat-bin poan-koan Tan Cing bersama putranya,
semuanya berjumlah puluhan orang terus ikut menyerbu
maju.

1559




Ilmu silat para pengerubut ini semua pilihan, meski
banyak jumlah mereka, tapi posisi mereka tidak kacau,
yang satu maju, yang lain mundur, yang lain maju, yang
satu mundur lagi.

Sambil berkata menghantam dan menangkis, Kiau
Hong berkata pula, “Kalian mengatakan aku orang Cidan,
jika betul, maka Kiau Sam-hoai Lokongkong dan
Lopohpoh tentu bukan ayah ibuku. Jangankan kedua
orang tua itu adalah orang yang paling kuhormati selama
hidup dan tiada maksud mencelakainya sedikitpun,
andaikan benar akulah yang membunuh mereka, toh
tuduhan membunuh ayah bunda sendiri juga tidak dapat
ditimpakan atas diriku? Sedangkan Hian-koh Taisu
adalah guruku yang kupuja, jika Siau-lim-pai mengakui
Hian-koh Taysu adalah guruku, maka aku orang she Kiau
menjadi terhitung anak murid Siau-lim, lantas apa alasan
kalian mengerubut seorang anak murid Siau-lim-pai cara
begini ?”

“Hm, bicara seperti pokrol bambu, mau menang
sendiri,” jengek Hian-cit dengan mendongkol.

“Habis, kalau kalian tidak anggap aku sebagai anak
murid Siau-lim-pai, dengan sendirinya ‘tuduhan
membunuh guru’ itu tak terbukti,” sahut Kiau Hong,
“Memangnya kalau mau menyalahkan orang masakan
kuatir kurang alasan? Tapi bila kalian ingin membunuhku,
mestinya bicaralah terus terang dan bunuhlah kalau
mampu, mengapa mesti cari alasan yang tidak dapat
dibuktikan ?”

Biarpun mulutnya bicara mencerocos, namun
serangannya tidak pernah berhenti, tinjunya menjotos
Tan Siok-san, kakinya menendang Tio ci-sun sukutnya
menyikut Cin Goan-cun, telapak tangan menghantam
Pau Jian-leng. Hanya sekejap saja beruntun empat orang
sudah dirobohkan olehnya.

1560




Kiau Hong tahu bahwa lawan-lawannya itu bukan
kaum penjahat, maka serangannya selalu seringan
mungkin. Yang dirobohkan sampai saat itu sudah ada
belasan orang, tapi tiada satu jiwa pun yang dicelakai
olehnya. Namun pengeroyok itu terlalu banyak, belasan
orang roboh, berpuluh orang segera menggantikannya.

Maka tidak lama kemudian, mau-tak-mau Kiau Hong
mengeluh, “Jika pertepuran begini diteruskan, akhirnya
aku pasti akan kepayahan, rasanya jalan paling baik
adalah kabur saja.”

Maka sambil bertempur segera ia mencari jalan untuk
meloloskan diri.

Tio ci-sun yang dirobohkan itu menggeletak di lantai
dengan sebelah tangan patah. Tapi ia tahu maksud Kiau
Hong akan melarikan diri, segera ia berseru, “Awas,
kawan-kawan ! Kepung dia dengan rapat, anjing keparat
ini hendak melarikan diri !”

Dalam pertarungan sengit itu memang Kiau Hong
sudah agak terpengaruh oleh bekerjanya arak yang
banyak diminumnya tadi, kini mendengar caci maki Tio
ci-sun, keruan amarahnya tak tertahankan lagi,
bentaknya dengan gusar, “Ya, anjing keparat ini akan
pakai dirimu sebagai korban pembunuhan pertama ?”

Sambil berkata, sekuatnya ia memukul dari jauh.

“Celaka !” seru Hian-lian dan Hian-cit berbareng.
Kedua tangan mereka sama memapak kedepan untuk
menolong Tio ci-sun.

Di tengah gencetan arus tenaga yang hebat itu,
sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri
seorang, dada orang itu tersodok oleh tenaga pukulan
Hian-lan dan Hian-cit, sebaliknya punggung kena
dihantam oleh pukulan Kiau Hong dari jauh.

Di tengah gencetan tiga arus tenaga maha dahsyat
itu, keruan tulang iga orang itu seketika patah dan remuk,

1561




isi perutnya hancur, darah menyembur keluar dari
mulutnya, badan terkulai lemas bagai cacing di lantai.

Kejadian di luar dugaan ini tidak hanya mengejutkan
Hian-lan dan Hian-cit, bahkan Kiau Hong juga terkesiap.
Orang yang sial itu ternyata Goai-to Ki Liok adanya.

Sebagaimana diketahui Ki Liok tadi terkatung-katung
di atas belandar dengan menggandul pada goloknya
yang terjepit belandar itu. Oleh karena sudah sekian
lamanya, setelah tergontai-gontai kian kemari, akhirnya
golok yang terjepit belandar itu mulai mengendur dan
akhirnya jatuh ke bawah.

Seungguh kebetulan juga, dengan tepat Ki Liok jatuh
di tengah-tengah gelombang tenaga yang sedang
dilontarkan oleh ketiga orang yang bertempur itu. Keruan
Ki Liok mirip digencet di tengah peres yang maha kuat,
seketika jiwanya melayang.

“Omitohud ! Siancai, Siancai ! Kiau Hong, dosamu
bertambah besar lagi !” demikian kata Hian-lan menyebut
Budha.

Kiau Hong menjadi gusar, sahutnya, “Orang ini tidak
seluruhnya terbinasa di tanganku, kalian berdua juga
mempunyai saham atas kematiannya, mengapa kau
tumplek semua kesalahan atas namaku ?”

“Omitohud ! Kalau sebelumnya tiada gara-garamu,
masakah terjadi pertempuran seperti sekarang ini ?”
sahut Hian-lan.

Kiau Hong semakin murka, “Baiklah, semua boleh kau
catat atas rekeningku, lantas mau apa ?”

Setelah mengalami pertarungan sengit itu, watak liar
dalam darah Kiau Hong menjadi kumat, sekejap itu ia
berubah beringas bagaikan seekor binatang buas. Sekali
tangannya membalik, tepat seorang lawan kena
cengkramannya, ternyata orang ini adalah Tan Tiongsan,
putra kedua Tan Cing.

1562




Menyusul Kiau Hong terus rampas golok Tan Tiongsan,
ketika tangan kanan menggaplok, tanpa ampun lagi
batok kepala Tan Tiong-san hancur dan mati seketika.
Maka gegerlah para ksatria, mereka menjerit kaget,
berteriak kuatir dan mencaci-maki dengan gusar.

Setelah membunuh orang, Kiau Hong bertambah
kalap, golok rampasannya berputar dengan cepat,
tangan kanan mendadak menjotos dan terkadang
memukul dengan telapakan, sedang golok di tangan kiri
membacok dan menebas, dahsyatnya tak tertahankan.

Hanya sekejap saja tertampaklah dinding di sekitar
sudah penuh titik noda darah, di tengah kalangan sudah
bergelimpangan belasan mayat, ada yang kepala
berpisah dengan badannya, ada yang dada pecah dan
pinggang putus.

Dalam mengamuk itu, Kiau Hong sudah tidak
pandang bulu lagi, dengan mata merah membara ia
membunuh setiap orang yang diketemukan, Thoan-kong
Tianglo dan Ge-tianglo telah binasa semua di bawah
goloknya.

Di antara ksatria yang hadir itu kebanyakan tentu
pernah membunuh orang. Maklum, membunuh orang
bagi orang persilatan boleh dikatakan terlalu jinak.
Andaikan tidak pernah membunuh orang dengan tenaga
sendiri, paling sedikit juga sudah biasa menyaksikan
pembunuhan.

Tapi pertarungan sengit seperti sekarang sungguh
tidak pernah dilihat mereka selama hidup. Lawan mereka
hanya satu orang, tapi Kiau Hong justru bertempur
seperti binatang buas dan hantu iblis yang mendadak
berada disana, sekejap kemudian tahu-tahu sudah
berada di sini, banyak jago terkemuka yang maju
melabraknya berbalik terbunuh oleh cara Kiau Hong yang
lebih cepat, lebih ganas dan lebih tangkas.

1563




Sebenarnya para ksatria yang hadir itu bukanlah
manusia pengecut, tapi di bawah terjangan Kiau Hong
yang kalap bagai banteng ketaton itu, segera banyak di
antaranya timbul rasa takut dan ingin melarikan diri,
mereka berharap bisa lekas tinggalkan gelanggang
pertempuran, apakah Kiau Hong berdosa atau tidak,
mereka tidak mau ikut campur lagi.

Dalam pada itu Yu-si-siang-hong, kedua jago
bersaudara she Yu, berbareng menerjang dari kanan dan
kiri, tangan kiri mereka sama memegang tameng bundar,
hanya tangan kanan yang berbeda persenjataannya, Yu
Ek memakai tombak pendek, sebaliknya Yu Ki
menggunakan golok.

Walaupun Kiau Hong melabrak para pengeroyok itu
dengan kalap dan tak kenal ampun, tapi terhadap setiap
gerak serangan lawan selalu diperhatikan dengan baik,
pikirannya tetap dalam keadaan jernih, maka sejauh ini ia
tidak terluka sedikit pun.

Ketika dilihatnya kedua saudara she Yu itu menerjang
maju dengan senjata aneh, cepat ia mainkan goloknya
ke kanan kiri, lebih dulu ia robohkan dua lawan di
sampingnya, habis itu ia mendahului memapak ke arah
Yu Ek dan menyerang.

Tapi bacokannya ditangkis oleh tameng Yu Ek,
“trang”, golok Kiau Hong malah mendal keatas. Waktu
diperiksa, ternyata mata goloknya melingkar dan tak bisa
dipakai lagi.

Ternyata tameng kedua jago bersaudara itu adalah
buatan dari baja murni, biarpun dibacok dengan pedang
atau golok mestika juga tak mempan, apalagi golok yang
dipakai Kiau Hong itu hanya golok biasa yang
dirampasnya dari Tan Tiong-san.

Begitulah sekali perisainya menangkis, secepat kilat
tombak pendek di tangan Yu Ek yang lain lantas

1564




menusuk dengan tipu “tok-coa-cut-tong” (ular berbisa
keluar dari gua), tombak itu menyambar dari bawah
perisai dan mengarah perut Kiau Hong.

Pada saat itu juga Kiau Hong melihat berkelebatnya
senjata, perisai Yu Ki mendadak memotong
pinggangnya. Mata Kiau Hong cukup awas, sekilas
pandang ia sudah tahu pinggir tameng itu sangat tajam,
bila kena pinggang bukan mustahil akan terpotong putus
menjadi dua, sungguh lihainya tidak kepalang.

“Bagus !” bentak Kiau Hong sambil buang goloknya,
menyusul tinju kiri terus menghantam sekuatnya, maka
terdengarlah suara “blang” yang keras, bagian tengah
tameng Yu Ki tepat kena digenjot, menyusul kepalan
tanagan kanan Kiau Hong menghantam lagi, “blang”,
tameng Yu Ek juga kena digempurnya dengan tepat.

Kontan Yu-si-siang-hiong merasa separuh tubuh
mereka seakan-akan kaku dan lumpuh, pukulan-pukulan
Kiau Hong yang maha dahsyat itu meski tidak langsung
mengenai mereka, tapi sudah cukup membuat mata
mereka berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh
keliling seketika tangan mereka menjadi lemas. Tameng,
tombak dan golok tidak kuat dipegang lagi, terdengar
suara gemerentang nyaring, senjata mereka semua jatuh
ke lantai.

“Bagus, boleh berikan padaku saja senjata kalian itu !”
seru Kiau Hong dengan tertawa. Cepat ia jemput perisai
kedua saudara Yu itu, segera ia putar dengan kencang.

Kedua perisai baja yang bundar itu sungguh
merupakan senjata serba guna yang ampuh, kemana
senjata itu menyambar, disitu lantas terdengar jeritan
ngeri. Hanya sekejap saja sudah empat orang menjadi
korban perisai baja itu.

Wajah Yu-si-siang-hiong tampak pucat dan semangat
lesu. Kata Yu Ek, “Jite, bukankah Suhu pernah

1565




mengatakankepada kita, perisai ada orang ada, perisai
hilang orangnya gugur ?”

“Benar twako,” sahut Yu Ki dengan muram. “Hari ini
kita telah kecundang sedemikian rupa, masakah kita
masih ada muka untuk hidup lebih lama di dunia ini ?”

Segera mereka menjemput kembali senjata masingmasing,
yaitu tombak dan golok, berbareng mereka tikam
perut sendiri dengan senjata itu, maka binasalah mereka
seketika.

Keruan banyak ksatria menjerit kaget. Tapi mereka
sedang dicecar oleh Kiau Hong dengan hebat, maka
tiada seorang pun sempat mencegah perbuatan nekat
kedua saudara Yu itu.

Kiau Hong melengak juga. Sungguh tak terpikir
olehnya bahwa sebagai tuan rumah kedua saudara Yu
itu bisa ambil pikiran pendek begitu? Karena kejutnya itu
pengaruh arak tadi menjadi hilang sebagian besar, hati
pun agak menyesal.

“Yu-si-siang-hiong, guna apa ambil keputusan
demikian ?” seru Kiau Hong dengan terharu, “Tentang
kedua perisai ini, biarlah kukembalikan saja !”

Sambil berkata, dengan khidmat dan hormat ia taruh
kedua perisai itu disamping jenazah Yu-si-siang-hiong.
Tapi belum lagi ia tegak kembali dari berjongkok, tiba-tiba
didengarnya jerita kuatir seorang gadis, “Awas !”

Kiau Hong cukup cerdas dan tangkas, sedikit
menggeser ke samping, maka menyambar lewatlah
sebilah pedang tajam. Jeritan itu ternyata berasal dari A
Cu. Dan penyerang gelap itu adalah Tam-kong. Sekali
membokong tidak kena, segera jago tua itu menyingkir
jauh.

Tam-poh menjadi gusar, serunya, “Bagus, kamu
budak setan ini, kami tidak membunuhmu, tapi kamu
malah bersuara membantu dia !”

1566




Mendadak ia melompat ke sana, sekali gaplok,
segera kepala A Cu hendak dipecahkannya.

Waktu Kiau Hong menempur para ksatria itu, sejak
tadi A Cu meringkuk di sudut ruangan, tenaga murninya
perlahan mulai lenyap, badan menjadi lemas. Ia melihat
Kiau Hong dikeroyok orang banyak, walaupun tahu bakal
banyak menghadapi bahaya toh bekas Pangcu itu
bersedia mengantar dirinya untuk mencari tabib sakti,
budi kebaikan ini biar tubuhnya hancur lebur juga susah
dibalas.

Sebab itulah A Cu merasa sangat berterima kasih dan
kuatir pula. Maka ketika mendadak Kiau Hong disergap
Tam-kong tadi, segera ia bersuara memperingatkan.

Untung sebelum Tam-poh mencapai sasarannya,
secepat kilat Kiau Hong menyusul tiba, dari belakang ia
jambret punggung nenek itu dan ditarik sekuat tenaga
serta dilemparkan ke samping. “Brak”, sebuah kursi
tertabrak hancur oleh badan. Tam-poh yang gede mirip
kuda teji itu.

Meski tidak kena serangan nenek itu, namun A Cu
ketakutan hingga muka pucat dan badan lemas terkulai.
Kiau Hong terkejut, pikirnya, “Hawa murninya sudah
mulai kering, namun dalam keadaan begini mana dapat
kutolong dia ?”

Sementara itu terdengar Sih-sin-ih berkata dengan
nada dingin, “Tenaga nona itu sekejap lagi akan habis,
akan kau tolong jiwnya tidak dengan tenaga dalammu?
Jika napasnya putus, terpaksa aku tak dapat
menolongnya lagi.”

Kiau Hong menjadi serba susah. Ia tahu perkataan
Sih-sin-ih itu bukan omong kosong belaka tapi sekali
awak sendiri menolong A Cu, segera dirinya akan
dihujani pukulan dan senjata oleh lawan yang sudah
merumbung di sekitarnya itu.

1567




Sudah banyak jatuh korban di pihak kdatria itu, mana
mau mereka menyudahi pertempuran ini? Lalu, apakah
mesti menyaksikan A Cu mati begitu saja? Padahal
dengan menyerempet bahaya ini ia membawa A Cu ke
Cip-hian-ceng ini tujuannya adalah minta pengobatan
pada Sih-sin-ih. Sesudah tiba di tempat dan berhadapan
dengan tabib sakti, lalu membiarkan nona itu mati
kehabisan tanaga, bukankah sangat sayang?

Tapi kalau sekarang ia salurkan hawa murni padanya,
itu berarti ia mengantikan jiwa nona itu dengan jiwa
sendiri. Padahal A Cu hanya seorang budak cilik yang
baru dikenalnya di tengah jalan, pada hakikatnya tiada
sesuatu hubungan bai apa-apa, soal menolong
sesamanya adalah perbuatan biasa bagi seorang
pendekar dan ksatria tapi kalau mesti menggunakan jiwa
sendiri yang berharga untuk menggantikan nyawa nona
cilik itu, betapapun juga tidak masuk diakal. Aku sudah
berusaha sedapatnya membawanya ke tempat si tabib
sakti, kewajibanku boleh dikatakan sudah jauh lebih dari
cukup. Biarlah sekarang juga kutinggal pergi saja dan
terserah Sih-sin-ih mau menolong jiwanya atau tidak.

Setelah ambil keputusan itu, segera Kiau Hong
jemput kembali kedua perisai tadi, dengan gerakan “Taipeng-
tian-ih” atau garuda raksasa pentang sayap,
mendadak ia putar perisai itu dengan kencang hingga
berwujud dua bola, berbareng ia terus terjang keluar.

Karena orang di dalam ruangan itu terlalu sesak, pula
gerakan Kiau Hong teramat lihai, seketika tiada
seorangpun yang berani merintanginya.

Setiba di ambang pintu, baru Kiau Hong hendak
angkat kaki seribu, sekonyong-konyong terdengar suara
seorang yang parau, “Bunuh dulu budak itu, baru kita
balas sakit hati pula !”

1568




Pembicara ini ternyata Tiat-bin-poan-koan Tan Cing
adanya.

Putranya yang tertua, Tan Pek-san segera mengiakan
dan ayun goloknya membacok kepala A Cu.

Keruan Kiau Hong terkejut dan kuatir tidak jadi
melangkah pergi, tanpa pikir, ia sambitkan sebelah
perisainya. Bagaikan “piring terbang” perisai itu
menyambar secepat kilat ke depan.

“Awas !” dengan kuatir beberapa orang
memperingatkan. Dengan cepat Tan Pek-san juga
angkat goloknya hendak menyampuk.

Namun betapa hebat tenaga Kiau Hong tepi perisai itu
sangat tajam pula, “krak…cret”, tahu-tahu golok tertabas
patah, bahkan Tan Pek-san sendiri terpotong putus
sebatas pinggang. Malahan perisai itu masih terus
menyambar ke depan hingga menancap di pilar.

Kematian Tan Pek-san itu benar-benar sangat
mengenaskan, hal ini membuat semua orang ikut murka,
bukan saja Tan Cing dan putranya, Tan Ki-san,
menubruk berbareng ke arah A Cu, bahkan beberapa
ksatria lain juga menghujani A Cu dengan senjata.

“Manusia pengecut !” maki Kiau Hong. Cepat ia
bertindak, dari jauh ia memukul empat kali berturut-turut
hingga semua orang itu dipaksa menyingkir, menyusul ia
lari maju, ia angkat A Cu dan dikempit dengan tangan
kiri, ia gunakan perisai yang masih ada untuk melindungi
badan si gadis.

“Kiau-toaya, aku percuma, jangan kau pikirkan aku
lagi, lekas engkau menyelamatkan diri saja !” seru A Cu
dengan suara lemah.

Namun pertarungan sengit itu sudah mengobarkan
semangat jantan Kiau Hong yang angkuh dan tinggi hati,
serunya, “Urusan sudah terlanjur begini, sudah terang

1569




mereka takkan mengampuni jiwamu, biarlah kita mati
bersama saja !”

Dan sekali tangan kanan bergerak, kembali ia berhasil
merebut sebatang pedang, dengan senjata rampasan itu
ia terus menerjang keluar.

Karena tangan kiri mengempit A Cu, gerak-geriknya
menjadi kurang leluasa, perisai pun kurang rapat untuk
melindungi badan si gadis. Namun Kiau Hong sudah
tidak pikirkan mati hidup sendiri, ia putar pedang
sedemikian kencangnya.

Tapi baru saja dia hendak menerobos keluar,
sekonyong-konyong punggung terasa sakit, nyata telah
kena dibacok sekali oleh orang.

Tanpa pikir lagi ia mendepak ke belakang, kontan
penyerang itu kena ditendang dan binasa seketika. Dan
pada saat hampir bersamaan itu pundak Kiau Hong kena
hantam sekali pula oleh Hian-lan, menyusul dada kanan
juga kena ditusuk pedang musuh.

Mendadak Kiau hong mengerang sekali, begitu keras
suaranya hingga seperti bunyi halilintar, bentaknya, “Kiau
Hong akan bereskan diri sendiri dan tidak mau mati di
tangan kaum keroco dan bangsa pengecut !”

Namun para pengeroyok itu sudah kadung nekat,
mereka tidak mau memberi kesempatan kepada Kiau
Hong untuk membunuh diri lagi. Segera belasan orang
menubruk maju.

Tapi dengan tangkasnya mendadak Kiau Hong
mencengkram, kontan “tan-tiong-hiat” di dada Hian-cit
kena dipegang olehnya terus diangkat tinggi ke atas.
Dalam kagetnya semua orang sama menjerit dan
beramai melompat mundur.

Karena “tan-tiong-hiat” terpegang, betapapun lihai
Hian-cit juga tak berguna, sama sekali ia tak bisa
berkutik, tampaknya pinggir perisai yang tajam itu tinggal

1570




belasan senti saja di depan tenggorokannya, asal sedikit
Kiau Hong sodok senjata itu, seketika kepala Hian-cit
bisa kuntung. Tak tertahankan lagi padri itu menghela
napas panjang, ia pejamkan mata menunggu ajal.

Tapi Kiau Hong sendiri merasa luka di punggung,
dada dan pundak sakitnya tidak kepalang, maka
berkatalah dia, “Ilmu silatku ini asalnya juga dari Siau-limpai,
minum air harus ingat pada sumbernya, mana boleh
kubunuh padri saleh Siau-lim-pai? Hari ini aku sudah
pasti akan mati, kalau membunuh seorang lagi apa
manfaatnya ?”

Habis berkata, cekalannya menjadi kendur, ia
lepaskan Hian-cit ke lantai dan berkata, “Silahkan kalian
turun tangan !”

Di tantang begitu, semua orang menjadi tertegun dan
saling pandang malah, mereka terpengaruh oleh
perbawa Kiau Hong yang gagah berani itu, sebaliknya
Tan Cing sudah terlalu sakit hati karena kedua putranya
dibunuh oleh Kiau Hong, dengan kalap terus ia
menerjang maju, golok lantas membacok dada Kiau
Hong.

Kiau Hong tahu betapapun ia menerjang toh takkan
mampu membobol kepungan orang banyak. Maka ia
hanya berdiri tegak tanpa menangkis. Sesaat itu terkilas
macam-macam pikiran dalam benaknya, “Sebenarnya
aku orang Cidan atau bangsa Han? Siapakah gerangan
yang membunuh ayah bunda dan guruku itu? Selama
hidupku selalu berbuat bajik dan membela keadilan,
mengapa hari ini tanpa sebab aku menewaskan
pendekar sebanyak ini? Dengan nekat aku menolong
jiwa A Cu hingga aku sendiri malah binasa ditangan para
ksatria ini bukankah aku ini terlalu bodoh san akan
ditertawai orang ?”

1571




Dalam pada itu ia lihat wajah Tan Cing yang merah
padam saking murka itu tampak berkerut-kerut, mata
mendelik, goloknya sudah menyambar ke arah dadanya.

Tampaknya dalam sekejap lagi Kiau Hong pasti akan
menggeletak tanpa bernyawa oleh serangan Tan Cing
itu.

Go-tianglo, Cit-hoat-tianglo dan lain-lain sama
pejamkan mata karena tidak tega menyaksikan kejadian
tragis itu.

Sekonyong-konyong dari udara melayang turun
seorang dengan cepat luar biasa dan tepat membentur
golok Tan Cing. Karena tidak tahan oleh tenaga
tumbukan itu, golok Tan Cing terpental ke samping.

Di tengah jerit kaget semua orang, mendadak dari
udara melayang turun seorang lain. Sekali ini orang itu
terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, jadi lebih
tepat di katakan terjun, “prak”, kepala orang itu tepat
menumbuk kepala Tan Cing, keruan kepala kedua orang
sama-sama hancur luluh seketika.

Dan baru saja sekarang semua orang dapat melihat
jelas kedua orang yang melayang turun dari udara itu
adalah penjaga di atas rumah, terang mereka dipegang
orang dan dilemparkan ke bawah sebagai senjata
rahasia.

Selagi keadaan kacau-balau, mendadak dari ujung
wuwungan sana membuai turun seutas tambang yang
panjang, dengan keras sekali tambang itu menyambar
kepala orang banyak. Cepat para ksatria angkat senjata
hendak menangkis, tapi ujung tambang itu tahu-tahu
berganti arah terus melilit pinggang Kiau Hong, pada lain
saat mendadak tambang itu sudah terangkat keatas.

Waktu itu darah sudah bercucuran dari luka Kiau
hong, tangan kirinya yang mengempit A Cu itu sudah tak

1572




bertenaga, maka ketika ia dikerek keatas oleh tambang
itu, A Cu lantas jatuh ke tanah.

Kemudian dapatlah semua orang melihat orang yang
memegangi ujung tambang sebelah sana adalah
seorang laki-laki berbaju hitam mulus, perawakannya
tegap, tapi mukanya berkedok kain hitam, hanya kedua
matanya yang kelihatan.

Setelah mengerek Kiau Hong ke atas, segera laki-laki
itu mengempitnya dengan tangan kiri, menyusul tambang
panjang itu diayunkan hingga tergubat pada tiang
bendera di depan Cip-hian-ceng.

Pada saat para Ksatria berteriak dan membentak
disertai hujan berbagai macam senjata rahasia ke arah
Kiau Hong dan laki-laki baju hitam itu tarik kencang
tambangnya, sekali melayang ke depan, tahu-tahu
badannya terangkat ke atas dan hinggap di balkon di
pucuk tiang bendera itu. Maka terdengarlah suara plakplok
yang riuh, berpuluh macam senjata rahasia itu sama
menancap di balkon tiang bendera.

Sementara itu tambang lelaki baju hitam itu diayun ke
depan lagi hingga ujungnya tepat mengubat pucuk pohon
besar yang berada puluhan meter jauhnya, lalu orang itu
mengempit Kiau Hong dan membuai keatas pohon di
sebelah sana lagi dan begitu seterusnya, hanya sekejap
saja laki-laki baju hitam itu sudah menghilang, yang
terdengar kemudian hanya suara derap lari kuda yang
berdetak-detak dan semakin jauh. Tertinggal para ksatria
hanya saling pandang dengan bingung.

Meski Kiau Hong terluka parah, tapi pikiran jernihnya
masih belum lenyap. Cara bagaimana lelaki baju hitam
itu menolongnya, semuanya dapat diikuti dengan jelas.
Sudah tahu ia sangat berterima kasih. Pikirnya, “Cara
main tambang demikian aku pun bisa, tapi
kepandaiannya sekaligus menyerang berpuluh lawan

1573




dengan tambang, lalu ganti arah untuk menolong diriku,
inilah yang aku tidak mampu menirunya.”

Setelah menyelamatkan Kiau Hong, orang baju hitam
itu lantas angkat Kiau Hong ke atas kuda, dua orang
setunggangan mereka menuju ke utara. Di atas kuda
juga orang itu mengeluarkan obat untuk dibubuhkan
pada luka Kiau Hong.

Saking banyak mengeluarkan darah, beberapa kali
Kiau Hong hampir pingsan, syukur setiap kali ia sempat
mengerahkan tenaga dalam hingga kejernihan pikirannya
masih dapat dipertahankan.

Laki-laki itu larikan kudanya melalui jalan yang
berliku-liku, sampai akhirnya, kuda itu melulu naik turun
di antara batu padas belaka. Lebih satu jam kemudian,
kuda itu tidak meneruskan perjalanan lagi.

Laki-laki itu lantas menurunkan Kiau Hong dan
memondongnya ke atas puncak, makin jauh makin tinggi.
Badan Kiau Hong sebenarnya sangat berat, tapi orang
itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan dapat
lari secepat terbang di tebing karang yang terjal itu.

Suatu ketika, jalan di depan terhalang oleh selat
jurang yang dalam, orang itu lantas menggunakan
tambangnya lagi untuk menggubat pohon di seberang
selat, lalu melayang ke seberang sana.

Diam-diam Kiau Hong terperanjat dan heran, “Cara
menyebrangi jurang melintasi selat aku pun bisa jika
bertangan kosong, tapi bila memondong seorang seperti
dia, tak dapatlah aku.”

Setelah melalui tebing karang dan banyak selat jurang
yang berbahaya, kemudian jalanan lantas menurun ke
bawah, lalu masuk ke suatu lembah jurang yang dalam
sekali hingga langit hampir tak kelihatan. Akhirnya
berhentilah orang itu, dan taruh Kiau Hong di tanah.

1574




Sesudah berdiri tegak, segera Kiau Hong berkata,
“Sungguh terima kasih atas pertolongan In-heng
(saudara berbudi) ini, dapatkah Kiau Hong mohon
melihat wajah asli In-heng ?”

Sinar mata orang berbaju hitam itu berkilat-kilat
membayang kian kemari di muka Kiau Hong, sejenak
kemudian barulah dia membuka suara, “Di dalam goa
situ terdapat rangsum yang cukup untuk setengah bulan,
boleh kau rawat lukamu di sini, musuh pasti tidak dapat
menyusul kemari.”

Kiau Hong mengiakan sekali, ia pikir, “Dari suaranya
ini, agaknya dia bukan orang muda lagi.”

Orang itu juga sedang mengamat-amati Kiau Hong,
pada saat lain mendadak tangan kanannya bergerak,
“plak”, tahu-tahu Kiau Hong digamparnya sekali.

Keruan Kiau Hong kaget. Tempelengan itu dilakukan
dengan cepat luar biasa, pula Kiau Hong sama sekali
tidak menduga orang akan menghajarnya, ketiga, cara
memukul itu pun sangat pintar, maka Kiau Hong tidak
sempat menghindar.

Tapi ketika orang itu hendak menempelengnya untuk
kedua kalinya, walau pun pukulan susulan ini cepat luar
biasa, tapi Kiau Hong sudah sempat berjaga-jaga, tidak
nanti ia kena digampar lagi. Cuma mengingat orang
adalah tuan penolong kiwanya, ia tidak ingin mengadu
telapak tangan dengan orang itu.

Tempat yang diarah jari Kiau Hong adalah “lau-kionghiat”
di tengah telapak tangan laki-laki itu. Jika
pukulannya diteruskan, itu berarti telapak tangannya
sengaja diberikan kepada jari Kiau Hong.

Ilmu silat orang itu sangat tinggi, dengan sendirinya
gerak geriknya juga sangat cekatan. Sebelum telapak
tangan tertutuk, mendadak tangannya membalik, yang

1575




dibuat menggampar berubah menjadi punggung tangan
orang itu.

Tapi Kiau Hong juga cepat sekali menggeser jarinya,
ia incar arah datangnya punggung tangan lawan, jarinya
tepat memapak “ji-kan-hiat” di punggung tangan orang
itu.

Terdengarlah laki-laki itu tertawa panjang, ia tarik
kembali tangannya yang sudah mendekati sasrannya itu,
sebaliknya tangan kiri terus menabas. Tapi Kiau Hong
mendadak juga julurkan jari tangan kiri, ujung jari tepat
mengincar “au-ka-hiat” di tepi telapak tangan orang…

Begitulah dalam sekejap saja kedua tangan laki-laki
berbaju hitam itu naik turun bagaikan orang menari dan
sekaligus sudah belasan serangan dilancarkan, namun
Kiau Hong juga tidak kalah tangkasnya, ia melulu
bertahan saja tanpa balas menyerang. Selalu ia pasang
jarinya untuk melancarkan hiat-to di telapak tangan orang
yang hendak menyerangnya itu.

Kalau pertama kali tadi laki-laki itu dapat menghajar
Kiau Hong adalah disebabkan bekas Pangcu itu tidak
menduga sama sekali, tapi serangan selanjutnya tidak
mungkin dapat mengenainya lagi. Maka serangan dan
tangkisan itu berlangsung dengan cepat, ilmu silat yang
mereka gunakan sama-sama kelas wahid yang jarang
ada di dunia.

Setelah genap menyerang dua puluh kali, mesti Kiau
Hong dalam keadaan terluka, namun gerak-gerik dan
jitunya menangkis sedikitpun tidak menjadi kendur dan
meleset. Mendadak laki-laki baju hitam itu menarik
kembali tangannya dan melompat mundur. Katanya,
“Kamu benar-benar seorang tolol, seharusnya aku tidak
perlu menolongmu.”

1576




“Dengan hormat aku bersedia menerima nasihat
Inkong (tuan penolong),” kata Kiau Hong dengan rendah
hati.

“Kamu ini sungguh keledai tolol,” omel laki-laki baju
hitam itu. “Kau sendiri meyakinkan ilmu silat yang tiada
bandingannya di dunia ini, tapi mengapa rela
mengorbankan jiwa secara sia-sia bagi seorang anak
dara yang kurus kecil begitu? Dia bukan sanak
kandangmu, tiada budi tiada kasih, cantik tidak, manis
tidak, masakah di dunia ini ada seorang tolol seperti
dirimu dan bersedia berkorban jiwa baginya ?”

“Petuah Inkong memang benar,” sahut Kiau Hong
dengan menghela napas. “Perbuatanku yang tidak
mendatangkan manfaat ini memang tidak tepat. Soalnya
karena terdorong oleh nafsu yang murka, lalu bertindak
tanpa pikirkan akibatnya.”

Tiba-tiba laki-laki baju hitam menengadah sambil
terbahak-bahak. Suara ketawanya terasa agak
memilukan, Kiau Hong menjadi bingung. Mendadak
orang itu melompat pergi hingga jauh, sekali melesat lagi,
segera orangnya menghilang di balik batu karang sana.

“Inkong ! Inkong !” seru Kiau Hong.

Namun orang itu tidak menyahut juga tidak balik lagi.
Maksud Kiau Hong hendak mengejarnya, tapi baru
bertindak selangkah, segera ia terhuyung-huyung akan
roboh. Cepat ia pegang dinding karang di sampingnya
dan tenangkan diri.

Waktu ia menoleh, ia lihat di balik dinding karang itu
ada sebuah gua, ia merembet dinding dan masuk gua itu
dengan perlahan. Ia lihat dalam gua sudah banyak
tersedia rangsum kering sebangsa ikan asin, dendeng,
kacang, beras goreng dan sebagainya. Yang paling
menarik adalah tersedia pula seguci arak.

1577




Segera Kiau Hong membuka tutup guci arak itu,
seketika bau arak yang semerbak menusuk hidung.
Terus saja ia gunakan tangannya untuk meraup arak dan
diminum, ternyata arak itu adalah arak pilihan yang
sangat sedap. Sungguh terima kasihnya tak terhingga.
Pikirnya, “Inkong itu benar-benar seorang yang pintar, ia
tahu aku gemar minum arak, maka sengaja menyediakan
minuman enak ini untukku.”

Obat luka yang dibubuhkan laki-laki baju hitam itu
ternyata sangat mujarab, hanya beberapa jam saja darah
sudah mampet. Ditambah Lwekang Kiau Hong sangat
tinggi, walau pun lukanya cukup parah, namun
sembuhnya ternyata sangat cepat. Baru 6-7 hari ia
tinggal di dalam gua itu dan luka pun hampir sembuh
seluruhnya. Selama beberapa hari itu yang selalu terpikir
olehnya hanya dua soal, “Siapakah musuh yang
memfitnah diriku itu? Dan siapakah Inkong yang
menolong aku itu ?”

Ilmu silat kedua orang itu, baik musuh yang tak
dikenal maupun Inkong, tuan penolongnya semuanya
sangat tinggi dan agaknya tidak di bawah Kiau Hong
sendiri. Padahal tokoh Bu-lim yang memiliki kepandaian
setinggi itu sedikit sekali, boleh dikatakan dapat dihitung
dengan jari. Tapi meski Kiau Hong coba berpikir dan
mengingat-ingat toh tiada seorang tokoh Bu-lim yang
menyerupai kedua orang itu.

Bahwa musuh itu susah diterka, itu memang masuk
diakal. Tapi tuan penolong yang telah bergebrak 20 jurus
dengan dirinya itu seharusnya dapat diduga gaya
permainan silatnya itu dari aliran mana dan golongan
apa, namun sedikitpun ia tetap tidak dapat menerkanya,
sebab setiap jurus serangan yang dilontarkan tuan
penolong tadi semuanya silat biasa saja, yaitu terdiri dari
ilmu pukulan yang sangat umum, mirip seperti dirinya

1578




waktu melawan Hian-lan Taisu dengan ilmu pukulan
“Thai-co-tiang-kun”, sedikitpun Inkong itu tidak memakai
ilmu silat golongan sendiri hingga asal-usulnya susah
diketahui.

Sebagai seorang ksatria, meski kedua soal penting itu
tak bisa dipecahkan, namun segera di kesampingkannya
dan tak dipikir lagi.

Seguci arak itu tidak cukup dua hari sudah habis
diminum olehnya. Sedang lukanya setengah bulan
kemudian juga hampir sembuh seluruhnya. Selama
belasan hari tidak minum arak, ia menjadi ketagihan. Ia
tidak tahan lagi. Ia menduga untuk melompati selat lebar
dan jurang dalam sudah cukup kuat, maka ia lantas
meninggalkan gua tempat istirahat itu dan berkecimpung
di dunia kangouw lagi.

Pikirknya di tengah jalan, “Sesuah A Cu jatuh di
bawah cengkraman mereka, kalau dibunuh tentu sudah
mati, sebaliknya kalau masih hidup tentu tidak perlu aku
mengurusnya lagi. Urusan paling penting sekarang
adalah harus kuselidiki hingga jelas siapakah
sebenarnya diriku ini? Tapi ayah ibu dan Suhu dalam
waktu sehari saja telah dibunuh musuh, rahasia tentang
asal-usulku ini menjadi lebih susah dipecahkan. Jalan
satu-satunya sekarang harus kupergi keluar perbatasan
Gan-bun-koan untuk membaca tulisan yang terukir di
dinding batu sana.”

Setelah ambil keputusan demikian, segera ia menuju
ke arah barat laut. Setiba di kota, terus saja ia minum
arak sepuasnya. Tapi sekali minum sangu yang
dibawanya telah dihabiskan.

Waktu itu ia berada di kota Liong-koan. Malamnya ia
lantas menggerayangi kantor residen, ia ambil beberapa
puluh tail perak dari kas negara. Dengan begitu ia dapat

1579




makan minum besar lagi sepanjang jalan dengan biaya
negara.

Beberapa hari kemudian sampailah dia di Taiciu,
Gan-bun-koan itu terletak antara 30 li di utara Taiciu.
Dahulu waktu Kiau Hong mengembara juga pernah
datang ke kota ini. Cuma tatkala itu dia ada urusan
penting, maka hanya sepintas lalu saja kota itu
dikenalnya.

Menjelang lohor ia sampai di Taiciu, maka lebih dulu
ia makan minum sekenyangnya, lalu keluar kota dan
menuju ke utara.

Dengan kecepatan larinya, jarak 30 li itu tiada
setengah jam sudah dicapainya. Sesudah mendaki
lereng bukit, ia lihat di kanan kiri jalan dinding karang
berdiri tegak menyempit, jalan di tengah selat bukit itu
berliku-liku. Memang benar tempat yang berbahaya
dalam ilmu militer.

Sebabnya tempat itu diberi nama “Gan-bun-koan”
atau pintu gerbang burung belibis, ialah untuk
melukiskan betapa terjalnya dinding karang di situ,
bahwasanya setelah musim dingin, burung belibis yang
mengungsi ke selatan waktu kembali ke utara mesti
melalui selat gunung yang terjal itu, tapi saking tingginya
puncak pegunungan di situ terpaksa burung belibis harus
terbang lewat melalui selat di tengah apitan dinding
karang, sebab itu tempat ini diberi nama Gan-bun-koan.

Diam-diam Kiau Hong pikir, “Hari ini aku datang dari
selatan. Bila tulisan dinding karang itu menyatakan aku
Kiau Hong memang benar adalah keturunan Cidan,
maka sekeluar dari Gan-bun-koan ini, selamanya aku
akan menjadi orang utara Gan-bun-koan dan takkan
pernah kembali ke selatan lagi. Dibandingkan burung
belibis yang tiap tahun sekali mesti pulang pergi ke utara

1580




dan selatan, terang burung itu jauh lebih bebas dan
merdeka daripada diriku.”

Berpikir demikian, mau-tak-mau ia jadi berduka dan
pedih.

Gan-bun-koan itu terhitung salah satu benteng
penting dalam pertahanan negara Song pada waktu itu,
di antara lebih 40 koan (benteng atau pos penjagaan
Ban-ti-tiang-sia atau Tembok Besar) di wilayah Soasai,
Gan-bun-koan itu termasuk yang paling kuat dan megah.
Beberapa puluh li di luar benteng pertahanan itu adalah
batas negeri kerajaan Liau. Karena itulah di Gan-bunkoan
ada pasukan penjaga yang kuat.

Kalau meneruskan perjalanan melalui pintu benteng
penjagaan, tentu Kiau Hong akan ditanya penjaga di situ.
Maka ia sengaja berputar ke arah barat, ia ambil jalan
lereng bukit dan sampai di Coat-nia (bukit buntu).

Ia pandang sekeliling bukit itu. Ia lihat jauh di timur
sana Ngo-tai-san menjulang tinggi mencakar langit, arah
lain juga penuh lereng bukit yang menghijau kebiruan tak
berujung, suasana sunyi senyap.

Kiau Hong teringat pada masa dahulu pernah
mendengar cerita tentang sejarah Gan-bun-koan yang
merupakan benteng pertahanan dalam melawan serbuan
bangsa Tartar, bangsa Hun dan lain-lain yang seringkali
mengganggu wilayah Tiongkok. Apabila sekarang
ternyata benar dirinya adalah keturunan bangsa asing
Cidan, maka boleh dikatakan dirinya adalah keturunan
bangsa yang suka menyerbu ke wilayah Tiongkok
selama beratus tahun ini.

Ia memandang jauh ke utara dan berpikir, “Tatkala
Ong-pangcu, Tio-ci-sun dan lain-lain menyergap musuh
bangsa Cidan di luar Gan-bun-koan dulu, tentu mereka
pilih suatu tempat yang paling baik di lereng bukit.
Melihat keadaan sekitar tempat ini, rasanya tempat yang

1581




paling tepat adalah lereng sebelah barat laut ini. Ya,
besar kemungkinan di situlah mereka menyergap
musuh.”

Segera ia berlari ke bawah bukit dan sampai di sana.
Tiba-tiba hatinya merasakan semacam tekanan batin
yang memilukan. Ia lihat di situ terdapat sepotong batu
karang raksasa. Menurut cerita Ti-kong Taisu, katanya
dahulu para ksatria Tionggoan sana bersembunyi di balik
sebuah batu karang, lalu menghamburkan senjata gelap
berbisa ke arah musuh. Melihat gelagatnya, sekarang
mungkin batu karang raksasa inilah yang dimaksudkan.

Kira-kira beberapa meter disisi jalan sana ada jurang
yang sangat dalam, dipermukaan jurang tertutup kabut
tebal hingga betapa dalamnya jurang itu sukar dijajaki.

Diam-diam Kiau Hong berpikir, “Bila cerita Ti-kong
Taisu itu memang benar, maka sesudah ibuku dibunuh
mereka, lalu ayahku membunuh diri dengan terjun ke
jurang ini. Tapi begitu terjun ke bawah, beliau tidak tega
aku ikut menjadi korban, maka aku telah dilemparkan ke
atas dan tepat jatuh di atas tubuh Ong-pangcu.
Dan……tulisan apakah yang ditulisnya di dinding batu
yang dimaksudkan itu ?”

Ketika ia berpaling dan memandang dinding karang
yang berada di sisi kanan, ia lihat dinding gunung di situ
halus licin dan cukup lebar, tapi tepat di bagian tengah
dinding itu tampak penuh bekas bacokan kapak. Terang
ada seorang yang sengaja menghilangkan tulisan yang
katanya terukir di dinding itu.

Kiau Hong berdiri termangu-mangu di depan dinding
batu itu dengan perasaan bergolak, sungguh ia ingin
putar senjata dan mengangkat kepalan untuk
menghantam dan membunuh sepuas-puasnya. Tapi
mendadak teringat sesuatu olehnya, “Waktu aku keluar
dari Kay-pang, pernah aku bersumpah dengan

1582




mematahkan golok Tan-cing, aku menyatakan selama
hidup ini takkan membunuh seorang pun bangsa Han,
baik aku terbukti orang Cidan atau bukan. Akan tetapi,
dengan pertarungan sengit di Cip-hian-ceng itu,
sekaligus entah sudah berapa orang yang telah ku
bunuh, dan sekarang timbul pula keinginanku hendak
membunuh, bukankah perbuatanku ini telah melanggar
sumpahku sendiri? Ai, urusan sudah terlanjur begini,
biarpun aku tak mengganggu orang, toh orang yang akan
mengusik diriku, jika aku diam-diam saja pasrah nasib
untuk di bunuh orang, apakah sikap demikian cukup
bijaksana sebagai seorang ksatria ?”

Padahal jauh-jauh ia datang keluar Gan-bun-koan ini,
tujuannya adalah ingin membaca tulisan di dinding batu
ini untuk menyelidiki asal-usul nya sendiri yang
sebenarnya. Akan tetapi usaha nya sekarang ternyata
sia-sia belaka. Perangainya makin lama semakin gopoh
dan suka aseran, tiba-tiba ia berteriak-teriak, “Aku bukan
orang Han, aku bukan orang Han ! Aku adalah orang
Cidan ! Ya, aku orang Cidan !”

Dan tangannya terus menghantam susul menyusul
kearah dinding batu itu.

Maka terdengarlah suara kumandang yang riuh
gemuruh menirukan teriakan akibat hantaman Kiau Hong
pada dinding batu itu. Karena tekanan batinnya yang tak
terlampiaskan itu, maka pukulan Kiau Hong itu masih
terus dilontarkan tanpa berhenti.

Kesehatannya memang sudah lama sembuh,
ditambah tenaga dalamnya sangat kuat, maka setiap
pukulannya semakin keras daripada pukulan yang lain,
begitu hebat caranya mengamuk hingga seakan-akan
segala duka derita yang dirasakannya selama ini hendak
dilampiaskan atas dinding batu itu.
Anda sedang membaca artikel tentang Pendekar Negeri Tayli 10 dan anda bisa menemukan artikel Pendekar Negeri Tayli 10 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/pendekar-negeri-tayli-10.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pendekar Negeri Tayli 10 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pendekar Negeri Tayli 10 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pendekar Negeri Tayli 10 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/pendekar-negeri-tayli-10.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar