Pendekar Negeri Tayli 8

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 20 Juli 2012

Aku hanya pernah mendengar

1339




namanya, tapi tidak tahu caranya,” seru Giok-yan tibatiba.


“Ya, ya, benar, inilah Leng-po-wi-poh!” sahut Toan Ki
dengan girang. “Jika nona ingin lihat, biarlah kumulai lagi
dari awal. Tapi apakah dapat berlangsung hingga selesai
atau tidak, hal ini tergantung nasib buah kepalaku ini.”

Habis itu, terus saja ia mulai dengan langkah pertama
dari ilmu langkah yang pernah dipelajarinya dari cermin
perunggu di dalam gua di dasar sungai itu. Dan meski
ke-11 orang itu masih terus menghujani dia dengan
pukulan, tendangan, dan serangan-serangan senjata, toh
tetap tiada mampu menyenggol ujung bajunya sekalipun.

Oleh karena sampai sekian saat masih belum dapat
membekuk Toan Ki, ke-11 orang itu menjadi kelabakan
sendiri dan berkaok-kaok di antara mereka sendiri, “Hai,
kau cegat sebelah sana!” — “Awas, kau jaga sebelah
timur, jangan memberi ampun padanya!” — Dan lain saat
lantas terdengar teriakan seorang, “Wah, celaka, lolos
lagi!”

Begitulah selangkah demi selangkah Toan Ki terus
berputar-putar di samping roda air dan lumpang padi.
Dan biarpun Giok-yan seorang gadis pintar, tetap ia tidak
dapat memahami ilmu langkah itu, serunya kemudian,
“Sudahlah, lebih penting kau hindarkan serangan musuh,
tak usah mempertunjukkan kepadaku lagi.”

“Tapi kalau sekarang aku tidak pertunjukkan, bila
jiwaku melayang, tentu engkau takkan dapat melihatnya
lagi,” sahut Toan Ki. Dan tanpa menghiraukan mati-hidup

1340




sendiri ia terus melanjutkan Leng-po-wi-poh itu hingga
langkah terakhir.

Di luar perhitungannya, justru karena ketololtololannya
itulah malah menyelamatkan jiwanya. Kalau
Toan Ki umpamanya berkelit dengan sengaja ketika
diserang, pertama ia tidak paham ilmu silat, kedua,
jumlah musuh ada 11 orang, ia tentu tidak dapat
mengelakkan diri. Tapi kini ia tidak gubris dari mana
datangnya serangan, ia melainkan terus melangkah
menurutkan iramanya sendiri, dengan demikian menjadi
seperti ke-11 orang itu sedang menguber untuk
menyerang bersama. Dan “Leng-po-wi-poh” itu justru
sangat aneh, setiap langkahnya selalu menuju ke arah
yang sama sekali tak terduga oleh orang, tampaknya ia
melangkah ke kiri, tapi tahu-tahu di sebelah lain.
Semakin cepat ke-11 orang itu menyerang, namun
sebagian besar serangan mereka mengenai kawan
sendiri malah dan sebagian lain selalu mengenai tempat
kosong.

Setelah mengikuti sejenak, segera Giok-yan tahu
akan sebab musababnya, serunya, “Toan-kongcu,
langkahmu itu sangat bagus dan ruwet pula, seketika aku
masih belum jelas, paling baik kalau habis itu engkau
suka mengulangi sekali lagi.”

“Baiklah, apa yang kau inginkan, pasti kuturuti,” sahut
Toan Ki. Dan habis menjalankan 8 kali 8 sama dengan
64 langkah itu, benar juga ia lantas memulai kembali.

Diam-diam Giok-yan pikir sendiri, “Sementara ini jiwa
Toan-kongcu takkan berhalangan, tapi cara bagaimana
supaya kami bisa lolos dari sini? Aku belum lagi memakai

1341




baju, mana aku dapat keluar begini saja? Setelah
keracunan, tenagaku sedikit pun tidak ada, untuk
memegang baju saja lemas rasanya, jalan satu-satunya
adalah memberi petunjuk kepada Toan-kongcu untuk
membinasakan ke-11 musuh itu.”

Sebab itulah ia tidak memerhatikan langkah Toan Ki
lagi, tapi menyelami kepandaian ke-11 orang musuh. Ia
lihat kedelapan busu Se He itu ilmu silatnya terbagi dua
aliran, semuanya berasal dari ilmu silat Tionggoan,
sedang kepandaian asli jago bangsa Han itu pun dapat
diketahuinya, hanya orang Se-ek itulah tampaknya kaku
gerak-geriknya, tapi mendadak bisa lincah dan gesit
hingga sukar diketahui sumber asli kepandaiannya.

Dan selagi Giok-yan memerhatikan gerakan orang
Se-ek itu dengan harapan dapat mengetahui sumber ilmu
silatnya, sekonyong-konyong terdengar suara “keletak”
sekali, ada orang sedang pasang tangga kayu tadi dan
hendak naik ke atas loteng.

Kiranya sesudah sekian lama Toan Ki masih susah
dibekuk, segera jago Se He yang merupakan pimpinan
rombongan itu memberi perintah kepada salah seorang
bawahannya agar menangkap dulu si gadis. Keruan
Giok-yan menjerit kaget.

Waktu Toan Ki mendongak, ia lihat busu bangsa Se
He itu sudah mulai naik ke atas tangga. Cepat ia tanya,
“Serang tempat mana, nona Ong?”

“Paling baik cengkeram bagian ‘Ci-sit-hiat’!” sahut
Giok-yan.

1342




Toan Ki menurut, dengan langkah lebar ia mendekati
busu yang naik tangga itu, sekali cengkeram “Ci-sit-hiat”
bagian punggung, kontan orang itu kena dipegangnya,
tapi karena tidak tahu harus diapakan tubuh orang,
segera ia lemparkannya ke samping sekenanya. Dan
sungguh sangat kebetulan, lemparan itu dengan tepat
menjebloskan kepala busu itu ke dalam lumpang batu.

Rumah gilingan itu terdiri dari sebuah lumpang batu
yang besar dengan alu batu pula yang digerakkan oleh
roda air, sejak tadi lumpang itu ditumbuk oleh alu dan
butiran padi di dalam lumpang sebenarnya sudah
menjadi bubuk, tapi karena tiada yang mengurus, antan
batu itu masih terus menumbuk tiada hentinya. Kebetulan
tubuh busu itu dilemparkan Toan Ki ke dalam lumpang,
ketika antan batu menumbuk pula ke bawah, “prak”,
tanpa ampun lagi kepala busu itu tertumbuk hancur luluh
bagai pepesan.

Di lain pihak tanpa peduli nasib kawannya itu, jago Se
He tadi kembali mendesak anak buahnya lagi hingga ada
tiga orang menyusul naik ke tangga.

“Bereskan dengan cara yang sama!” seru Giok-yan
khawatir.

Benar juga, sekali cengkeram, kembali Toan Ki dapat
memegang “Ci-sit-hiat” salah seorang terus dilemparkan
pula ke dalam lumpang. Tapi sekali ini dengan sengaja
hingga lemparannya itu malah kurang jitu, badan kaki
busu itu yang terjeblos ke tengah lumpang, dan ketika
antan batu menumbuk, terdengarlah jeritan ngeri busu
itu, kakinya remuk, tapi tidak lantas mati,

1343




Dan pada saat Toan Ki melengak oleh kejadian itu,
sementara itu dua busu yang lain sudah mulai
melangkah ke atas loteng.

“E-eh, tidak boleh, lekas turun!” seru Toan Ki dan jari
terus menuding dan menutuk serabutan. Tak terduga,
karena gugupnya, hawa murni dalam tubuh ikut bergolak,
daya Lak-meh-sin-kiam lantas bekerja lagi, “crit-crit” dua
kali, dengan tepat punggung kedua busu itu, kena
tertusuk dan kontan terjungkal ke bawah.

Melihat Toan Ki hanya tuding-tuding dari jauh lantas
dapat membunuh orang, kepandaian demikian dengar
pun tidak pernah, keruan jago-jago Se He itu ketakutan.
Tapi suruh mereka melarikan diri, mereka pun
penasaran, manakah jago It-bin-tong seperti mereka
mengeroyok seorang pemuda ingusan saja tidak mampu
menang, hal ini kalau diketahui orang, ke mana muka
mereka akan ditaruh?

Dalam pada itu Giok-yan tetap mengikuti pertarungan
di bawah loteng dengan jelas, ia lihat musuh tinggal tujuh
orang, tapi tiga di antaranya sangat lihai, lebih-lebih jago
Se He yang membentak-bentak dan memberi perintah itu
agaknya merupakan pimpinan rombongan, segera
serunya, “Toan-kongcu, lebih dulu bunuh orang berbaju
kuning dan bertopi kulit itu, carilah jalan untuk
menghantam ‘Giok-cim’ dan ‘Thian-cu-hiat’ di belakang
kepalanya.”

“Baik,” sahut Toan Ki terus menerjang ke arah jago
Se He itu.

1344




Diam-diam orang Se He itu terperanjat, ia heran dari
mana nona cilik itu tahu kedua hiat-to yang memang
menjadi ciri kematiannya itu? Sementara itu dilihatnya
Toan Ki telah menerjang tiba, cepat ia tebas dulu dengan
goloknya agar pemuda itu tidak berani mendekat.

Beberapa kali Toan Ki menggeser tempat dan
menerjang maju, tapi selalu teralang, bahkan hampir
terluka oleh senjata lawan. Segera ia berteriak, “Nona
Ong, orang ini sangat lihai, aku tidak dapat mencapai
belakangnya.”

Tapi Giok-yan lantas memberi petunjuk lagi, “Dan
tempat kelemahan orang yang berbaju kelabu itu, adalah
‘Jin-ging-hiat’ di tenggorokannya. Adapun si orang
berbaju hijau itu aku belum dapat menyelami sumber
kepandaiannya, boleh coba-coba kau tutuk dadanya.”

“Baik,” sahut Toan Ki. Dan benar juga ia terus
menuding ke dada orang.

Meski gaya tutukannya itu tepat, namun sedikit pun
tidak bertenaga dalam, dan sudah tentu hal ini tak
diketahui orang Se-ek yang berbaju hijau itu, cepat ia
mendak untuk menghindarkan tiga kali tutukan Toan Ki.

Ketika pemuda itu menutuk pula untuk keempat
kalinya, mendadak ia meloncat tinggi ke atas, habis itu
bagai elang menyambar anak ayam ia terus menukik ke
bawah, dengan tenaga hantaman yang hebat, antero
tubuh Toan Ki terkurung di bawah pukulan mautnya.

Seketika Toan Ki merasa napasnya sesak dan kepala
pening, saking ngeri membayangkan nasibnya jika kena

1345




serangan musuh, Toan Ki pejamkan mata dengan
tangan menutuk serabutan ke atas, maka terdengarlah
suara “cit-cit” berulang, Lak-meh-sin-kiam yang terdiri
dari Siau-siang-kiam, Siang-yang-kiam, Tiong-ciongkiam,
Koan-ciong-kiam, Siau-ciong-kiam, dan Siau-tikkiam,
sekaligus telah dilontarkan seluruhnya.

Dalam keadaan kepepet dan khawatir, tenaga dalam
Toan Ki sekali ini benar-benar bekerja dengan hebat.

Maka tidak ampun lagi badan orang Se-ek itu terluka
enam lubang, dan karena hantamannya ke bawah itu tak
dapat ditahan, “plak”, pundak Toan Ki juga kena digebuk
sekali. Tatkala itu hawa murni dalam tubuh pemuda itu
lagi bergolak dengan hebat, biarpun hantaman itu sangat
keras namun daya tolak badan Toan Ki telah
mematahkan serangan itu hingga tidak terluka apa-apa.

Sudah tentu Giok-yan tidak tahu apakah pemuda itu
terluka atau tidak, maka dengan khawatir ia tanya, “Toankongcu,
bagaimana, terluka tidak?”

Waktu Toan Ki membuka mata, ia lihat jago Se-ek itu
sudah menggeletak, enam lubang kecil di dada dan
perutnya memancurkan darah, mukanya beringas,
matanya mendelik, napasnya masih kempas-kempis
belum lagi mati. Hati Toan Ki berdebar saking ketakutan,
serunya, “Bukan maksudku hendak membunuhmu, tapi
engkau sendiri yang menyerang diriku.”

Sembari berkata, langkahnya tidak pernah berhenti, ia
masih terus berlari ke sini dan menyusup ke sana sambil
kedua tangan berulang memberi salam kepada sisa
ketujuh orang itu, “Para saudara yang gagah, sejak dulu

1346




aku tidak bermusuhan dengan kalian, kelak juga tidak
akan dendam, maka haraplah kalian bermurah hati,
pergilah sekarang juga. Aku ... aku ... sungguh tidak
berani membunuh orang lagi. Sudah ... sudah sekian
banyak orang mati, hati ... hatiku sangat sedih. Ai, benarbenar
terlalu kejam. Sudahlah lekas kalian pergi saja,
aku Toan Ki mengaku kalah, harap kalian bermurah hati.”

Ketika mendadak ia berputar ke sana, tiba-tiba
dilihatnya di samping pintu telah berdiri mula seorang
jago Se He yang entah kapan sudah masuk ke situ.
Perawakan orang ini sedang, pakaiannya serupa jago Se
He yang lain, anehnya parasnya ternyata kuning pucat,
sedikit pun tidak berperasaan hingga mirip wajah mayat.

Hati Toan Ki terkesiap, pikirnya, “Manusia atau
setankah dia? Jangan-jangan dia adalah ... adalah arwah
jago Se He yang kubinasakan tadi dan kini gentayangan
kemari?”

Berpikir demikian, ia mengirik, dengan suara gemetar
ia tanya, “Siapa ... siapakah kau? Mau apa datang ke ...
ke sini?!”

Namun jago Se He itu hanya berdiri tegak saja tanpa
menjawab dan tidak bergerak.

Sambil menghindarkan serangan seorang lawan,
segera Toan Ki pegang “Ci-sit-hiat” seorang busu terus
dilemparkan ke arah orang aneh itu. Namun sedikit
mengegos, “blang”, kepala busu yang dilemparkan itu
tertumbuk pada dinding hingga pecah berantakan.

1347




Melihat orang itu dapat bergerak, Toan Ki menarik
napas lega, katanya, “Ehm, engkau adalah manusia dan
bukan setan.”

Melihat kawannya makin lama makin sedikit, ketiga
busu bangsa Se He mulai mengkeret nyalinya, segera
mereka bermaksud melarikan diri, seorang di antaranya
lantas mendekati pintu hendak mendorong daun pintu.

“Mau apa kau?” bentak jago Se He pilihan It-bin-tong
tadi. Berbareng ia serang tiga kali kepada Toan Ki.

Toan Ki sendiri sudah tiada nafsu berkelahi lagi,
ketika sinar golok musuh berkilauan di depan matanya
dan setiap saat mungkin akan berkenalan dengan
tubuhnya, ia menjadi ketakutan dan berteriak-teriak, “Hai,
hai, mengapa engkau begini kejam, awas kalau sebentar
kuhantam Giok-cim-hiat dan Thian-cu-hiat di badanmu,
tentu kau akan celaka, ayolah lekas berhenti dan pergi
saja demi kebaikan bersama!”

Tapi bukannya menurut, sebaliknya orang itu semakin
nekat, serangannya semakin bertubi-tubi dan selalu
mengancam tempat berbahaya di tubuh Toan Ki. Untung
kaki pemuda itu pun cukup cepat menggeser hingga
setiap serangan dapat dihindarkan.

Jago bangsa Han itu paling licin, tadi waktu keadaan
terdesak, ia selalu berada di belakang. Kini demi
mendengar Toan Ki berulang memohon damai, kecuali
menghindar belaka, untuk balas menyerang sudah tidak
mampu.

1348




Maka timbul segera akal licik jago bangsa Han itu, ia
mendekati lumpang batu dan meraup dua genggam
bubuk beras yang sudah tertumbuk halus terus
dihamburkan ke muka Toan Ki.

Berkat langkah Toan Ki yang cepat dan aneh itu,
dengan sendirinya taburan itu tidak kena sasarannya.
Tapi menyusul orang Han itu menghamburkan dua
genggam lagi, bahkan ia tambahi pula dua genggam lain
hingga seketika ruangan penuh debu bubuk beras bagai
kabut tebal.

“Wah, celaka, celaka! Mataku tidak dapat
memandang lagi!” demikian Toan Ki berteriak-teriak.

Giok-yan juga tahu keadaan berbahaya. Hal ini dapat
dimengerti, jika Toan Ki diserang oleh jago-jago silat
kelas tinggi, ia justru dapat menghindarkan diri dengan
Leng-po-wi-poh yang aneh. Tapi kini ruangan itu penuh
debu beras, jika terjadi serangan serabutan dari musuhmusuh
itu tentu Toan Ki akan celaka malah.

Padahal sejak tadi kalau musuh menyerang dengan
mata tertutup umpamanya, boleh jadi hanya beberapa
kali gebrak saja Toan Ki sudah dirobohkan.

Begitulah karena pandangan Toan Ki kabur, tanpa
pikir lagi ia melompat ke tepi roda air, ia pegang ruji roda
dan membonceng putaran ke atas.

Maka terdengarlah suara jeritan ngeri dua kali, dua
busu bangsa Se He tadi telah salah terbunuh oleh kawan
sendiri. Menyusul terdengar pula “trang-tring” dua kali,
lantas ada orang berseru, “Hai, ini akulah!”

1349




Menyusul yang lain pun berteriak, “Awas, kawan
sendiri.”

Kiranya senjata antara jago-jago bangsa Han dan Se
He itu telah saling beradu, untung mereka masih sempat
mengerem. Tapi menyusul lantas terdengar lagi jeritan
ngeri yang panjang, busu terakhir entah kena tendangan
siapa hingga mencelat keluar jendela, jeritan ngeri
sebelum ajalnya itu membuat Toan Ki bergidik hingga
gemetar. Dengan suara terputus-putus ia berseru pula,
“Hei ... hei, kalian hanya tinggal dua orang, buat apa
mesti berkelahi lagi? Orang kalah paling-paling minta
ampun, biarlah aku menyembah padamu dan minta
ampun, harap kalian pergi saja.”

Dengan mengincar tempat datangnya suara Toan Ki
itu, segera jago bangsa Han menimpukkan sebatang
piau, namun Toan Ki sudah turun pula terbawa oleh roda
air. Karena itu sasaran piau jadi meleset, “plok”, hanya
ujung lengan baju Toan Ki yang terpantek pada rangka
roda kayu itu.

Toan Ki terkejut, ia pikir bisa celaka kalau musuh
terus menghujani dirinya dengan am-gi, ia pasti tak
sanggup berkelit. Dan karena rasa jerinya itu, ia menjadi
lemas, tubuh yang masih menggelantung di rangka roda
itu lantas terperosot ke bawah, lengan baju yang
terpantek piau itu sobek dan ia pun terbanting ke lantai.

Di antara kabut tebal itu samar-samar orang Han itu
dapat melihat apa yang terjadi, maka cepat ia menubruk
maju untuk menangkap Toan Ki.

1350




Toan Ki masih ingat petunjuk Giok-yan tadi agar
menutuk “Jin-ging-hiat” orang. Tapi pertama karena
dalam keadaan gugup, kedua, walaupun tempat-tempat
hiat-to sudah pernah dihafalkannya namun tidak pernah
dilatihnya dengan baik, dalam keadaan bingung
tutukannya menjadi kurang jitu, agak ke kiri dan jauh
menceng ke bawah pula, maka yang tertutuk adalah
“Khi-koh-hiat” di bagian pinggang.

“Khi-koh-hiat” itu adalah hiat-to yang membikin orang
tertawa, maka begitu tertutuk, tak tertahan lagi orang Han
itu terus terbahak-bahak. Namun pedangnya berturutturut
masih menyerang pula walaupun mulutnya tiada
hentinya tertawa.

“Yong-heng, apa yang kau tertawakan?” segera jago
Se He itu menegur.

Sudah tentu orang Han itu tak dapat menjawab,
sebaliknya tertawa lebih keras.

Karena tidak tahu duduknya perkara, orang Se He itu
menjadi gusar, dampratnya, “Di hadapan musuh, kau
main gila apa?”

“Hahaha ... aku ... hahaha ... ini ... hahahaha ....”
begitulah orang Han itu masih terus tertawa, berbareng
pedangnya menusuk pula.

Lekas Toan Ki mengisar ke kiri untuk menghindar. Di
luar dugaan, karena kabut yang tebal itu, jago Se He itu
pun tidak dapat memandang dengan terang, kebetulan ia
pun sedang menubruk ke arah sini, maka terjadilah
tabrakan di antara mereka berdua.

1351




Jago Se He itu adalah ahli kim-na-jiu, mahir ilmu
menangkap. Maka begitu menubruk badan Toan Ki,
reaksinya sangat cepat, sekali tangannya bergerak,
segera dada Toan Ki kena dijambret olehnya. Ia tahu
kepandaian Toan Ki yang diandalkan adalah langkah
kakinya, sekali ia dapat memegangnya, kesempatan ini
tidak disia-siakan lagi, segera ia membuang senjatanya
dan tangan lain hendak dipakai mencengkeram lengan
Toan Ki sekuat-kuatnya.

Keruan Toan Ki mengeluh dan meringis kesakitan. Ia
coba meronta, namun cengkeraman orang itu bagaikan
tanggam kuatnya, semakin ia meronta, semakin kencang
pegangan orang Se He itu.

Melihat kesempatan baik, terus saja jago bangsa Han
tadi angkat pedangnya menusuk ke punggung Toan Ki
sambil tetap tertawa.

Diam-Diam orang Se He itu berpikir jangan-jangan
kawannya itu bermaksud tidak baik, kalau tusukannya
menembus badan Toan Ki dan didorong terus, bukankah
badan sendiri yang merapat pemuda itu juga akan ikut
terluka? Karena itu cepat ia seret Toan Ki mundur
selangkah.

Sambil masih terbahak-bahak orang Han itu
mendesak maju dan hendak menusuk pula, tapi
mendadak terdengar suara “plok” sekali, sayap roda air
itu tepat menghantam belakang kepalanya hingga ia
jatuh kelengar. Bahkan waktu robohnya, kembali
dadanya tertumbuk sekali lagi oleh gigi roda hingga
terbinasa seketika.

1352




Sementara itu orang Se He itu masih terus menyikap
kencang-kencang badan Toan Ki. Ia pikir kalau pemuda
ini digencet hingga sesak napasnya, tentu sebentar akan
menyerah tanpa berkutik. Sebaliknya tangan Toan Ki
yang masih bisa bergerak itu terus menuding dan
menutuk serabutan, tapi semuanya mengenai tempat
kosong.

Giok-yan menjadi khawatir melihat Toan Ki tak dapat
meloloskan diri dari pegangan lawan. Ada maksudnya
hendak maju membantu, tapi setelah keracunan,
anggota badannya sudah tidak mau menurut perintah
lagi, bahkan tangannya pun susah diangkat, jangankan
lagi hendak menolong orang. Lagi pula di samping pintu
masih berdiri seorang jago Se He dengan wajahnya yang
menyeramkan itu, asal dia turun tangan sekali pasti jiwa
Toan Ki akan melayang segera.

Karena tak berdaya, akhirnya Giok-yan berteriakteriak,
“Sudahlah, jangan kalian bikin susah Toankongcu,
aku ... aku menyerah dan akan ikut pergi
bersama kalian.”

Waktu itu Toan Ki sendiri sangat ketakutan,
tangannya menuding dan menutuk tak keruan, padahal
kalau dia bisa berlaku tenang dan mengendurkan
badannya, tentu Cu-hap-sin-kang yang mengeram di
dalam badannya pasti akan menyedot tenaga jago Se He
itu, dan tanpa dia mencapekkan diri, tentu musuh akan
lemas sendiri. Tapi karena ketakutan hingga tenaga
dalamnya telah terhimpun di antara jari-jarinya,
sedangkan tutukannya selalu mengenai tempat kosong.

1353




Begitulah dalam keadaan bahaya dan napasnya
terasa semakin sesak, sekonyong-konyong terdengar
suara “crit-crit” beberapa kali, tiba-tiba jago Se He itu
menjerit perlahan, tangannya lantas mengendur dan
akhirnya melambai ke bawah, badannya menjadi lemas
juga dan bersandar di dinding dengan kepala terkulai.

Keruan Toan Ki sangat heran, ia coba periksa
keadaan orang, ia lihat tepat di “Giok-cim-hiat” di
belakang kepalanya ada sebuah lubang kecil dan dari
situ memancurkan darah segar. Lukanya itu terang
adalah akibat kena serangan Lak-meh-sin-kiamnya.

Toan Ki menjadi bingung, ia tidak tahu bahwa di saat
gawat tadi, ketika jarinya menuding ke atas, hingga
tenaga murninya yang bergolak itu telah menerjang
dinding terus membalik dan secara kebetulan mengenai
belakang kepala lawan, sebab Giok-cim-hiat di belakang
kepala itu memang merupakan tempat paling lemah bagi
jago Se He itu, walaupun cuma tenaga membalik juga
telah membikin jiwanya melayang. Giok-cim-hiat di
belakang kepala memang merupakan tempat lemah bagi
Se He itu, walaupun cuma tenaga membalik juga telah
membikin jiwanya melayang.

Dengan heran dan girang segera Toan Ki berteriak,
“Aha, nona Ong, semua musuh sudah terbinasa!”

Nyata ia lupa bahwa di samping pintu sana masih
berdiri seorang musuh.

Maka tiba-tiba ia dengar suara dingin menyahut, “Hm,
belum tentu telah mati semua!”

1354




Dalam kagetnya segera Toan Ki menoleh, ia lihat
pembicara itu adalah jago Se He yang mukanya
membeku tanpa perasaan itu. Ia pikir kalau orang berani
maju, tentu juga akan terbinasa percuma, maka dengan
tertawa ia berkata, “Sudahlah, lekas kau pulang saja, aku
takkan membunuhmu.”

“Hm, apakah engkau mempunyai kepandaian yang
cukup untuk membunuh aku?” sahut orang itu dengan
angkuh.

Sesungguhnya Toan Ki memang tidak ingin
membunuh lagi, maka sahutnya dengan rendah hati, “Ya,
mungkin aku bukan tandinganmu, maka sudilah engkau
bermurah hati, ampunilah aku ini.”

“Ucapanmu ini sedikit pun tidak ada maksud minta
ampun dengan sungguh-sungguh,” ujar orang itu.
“Padahal It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan
di Tayli tersohor di seluruh jagat, ditambah lagi petunjukpetunjuk
nona ini, bukankah engkau sudah terhitung jago
nomor satu di dunia ini? Biarlah paku belajar kenal juga
dengan kepandaianmu.”

Namun watak Toan Ki memang tidak suka ilmu silat,
kalau ada sekian banyak orang terbunuh olehnya,
soalnya adalah karena terpaksa, kalau bicara tentang
berkelahi sungguh-sungguh, sedapat mungkin ia ingin
menghindari, apalagi ia dengar kata-kata orang ini agak
lain daripada yang lain, tentu bukan sembarangan jago
silat, sebaiknya jangan lagi bertempur dengan dia.

Maka cepat ia menjawab dengan sungguh-sungguh
sambil memberi hormat, “Teguran saudara memang

1355




benar, maksud permintaan ampunku kurang hormat dan
tidak jujur, biarlah di sini aku minta diberi maaf.
Selamanya aku tidak pernah belajar silat, tadi dapat
kurobohkan lawan, sesungguhnya hanya secara
kebetulan saja, mana aku berani menantang padamu
pula.”

“Hehe, engkau mengaku tidak pernah belajar silat,
tapi mampu membinasakan empat jago It-bin-tong negeri
Se He dan membunuh pula 11 orang busu kami,”
demikian jengek orang aneh itu. “Dan bila engkau belajar
ilmu silat, bukankah tiada seorang jago silat lagi di kolong
langit ini mampu menandingimu?”

Melihat di sekitarnya bergelimpangan mayat,
semuanya berlumuran darah, hati Toan Ki menjadi pedih,
katanya sambil tersendat, “Ai, mengapa aku mem ...
membunuh sebanyak ini? Padahal sebenarnya aku tidak
... tidak ingin membunuh orang, bagaimana baiknya ini?”

Orang aneh itu hanya tertawa dingin saja sambil
melirik hina kepada Toan Ki untuk menjajaki apakah
ucapan pemuda itu benar-benar timbul dari hati
nuraninya?

Toan Ki lantas berkata pula sambil mencucurkan air
mata, “Ai, di rumah orang-orang ini tentu punya anakistri,
tadinya mereka semua sehat dan kuat, tapi
sekarang kubinasakan, bagaimana aku harus ... harus
bertanggung jawab kepada keluarga mereka?”

Berkata sampai di sini, bukan saja ia menangis
tersedu-sedu, bahkan sambil memukul dada sendiri dan
menyambung pula dengan terguguk-guguk, “Belum tentu

1356




mereka bermaksud membunuh diriku, mereka cuma
menurut perintah atasan tutuk menangkapku, selamanya
aku pun tidak kenal mereka, mengapa aku turun tangan
keji?”

“Hm, jangan pura-pura seperti kucing menangisi tikus,
apakah dosamu akan terhapus begini saja?” jengek jago
Se He itu pula.

“Ya, memang benar,” kata Toan Ki sambil mengusap
air mata, “orangnya kan sudah terbunuh, dosaku juga
sudah terang, apa gunanya menangis pula? Aku harus
mengubur secara baik-baik jenazah mereka ini.”

Mendengar pemuda itu hendak mengubur belasan
jenazah itu, Giok-yan menjadi tidak sabar menunggu,
segera ia berseru, “Toan-kongcu, mungkin musuh akan
memburu kemari lagi, sebaiknya kita berusaha
meninggalkan tempat ini selekasnya.”

“Ya, benar,” sahut Toan Ki terus putar tubuh hendak
naik tangga.

“Kau belum lagi membunuh aku, mengapa akan pergi
begini saja,” tanya orang aneh itu tiba-tiba.

“Tidak, aku tak boleh membunuhmu, lagi pula aku pun
bukan tandinganmu,” sahut Toan Ki sambil menggeleng
kepala.

“Kita kan belum lagi bergebrak, dari mana kau tahu
bukan tandinganku?” ujar orang itu. “Nona Ong telah
mengajarkan ‘Leng-po-wi-poh’ padamu, hehe, langkah itu
memang sangat hebat.”

1357




Sebenarnya Toan Ki hendak menerangkan bahwa
Leng-po-wi-poh itu bukan ajaran Giok-yan, tapi segera
terpikir olehnya tidak perlu beri tahukan hal itu pada
orang luar, maka jawabnya, “Ya, aku tidak mengerti ilmu
silat apa segala, tapi berkat petunjuk nona Ong, maka
aku bisa menyelamatkan diri.”

“Dan bila kau hendak membunuh aku, terpaksa aku
yang akan membunuhmu,” kata orang itu sambil
menjemput sebatang golok dari lantai, sekonyongkonyong
ruangan situ penuh gulungan sinar, dalam
lingkaran seluas dua-tiga meter melulu sinar golok
belaka. Baru saja Toan Ki mulai melangkah, tahu-tahu
pundak kena diketuk punggung golok orang hingga ia
menjerit kesakitan sambil sempoyongan.

Dan selagi kacau langkahnya, kesempatan itu segera
digunakan jago Se He untuk memburu maju, ia ancam
kuduk Toan Ki dengan golok, tapi sebagai gantinya
sebelah kaki lantas mendepak hingga Toan Ki terjungkal
ke depan, batok kepala menumbuk sebuah tong kayu,
seketika jidatnya bocor.

“Lekas naik kemari, Toan-kongcu,” seru Giok-yan.

Toan Ki mengiakan terus merayap ke atas melalui
tangga. Waktu ia menoleh ke bawah, ia lihat orang aneh
itu sudah duduk di lantai sambil memegangi goloknya,
mukanya masih tetap kaku tanpa perasaan. Nyata sekali
ia sengaja membiarkan Toan Ki naik ke atas loteng dan
tidak memburu untuk menyerangnya dari belakang.

1358




“Wah, nona Ong, aku tak dapat menandingi dia,
marilah kita lekas mencari akal untuk melarikan diri,”
demikian desis Toan Ki sesudah berada di atas loteng.

“Dia menunggu di bawah, kita tidak dapat melarikan
diri,” sahut Giok-yan. “Eh, ambilkan dulu baju itu.”

Toan Ki mengiakan, segera ia ambilkan baju yang
ditinggalkan si gadis tani tadi.

“Tutup matamu dan berjalan kemari,” pinta Giok-yan.
“Nah, baiklah, berhenti. Sampirkan baju itu ke atas
badanku, tidak boleh membuka mata!”

Semua perintah itu dituruti dengan baik oleh Toan Ki.
Ia adalah seorang pemuda jujur dan polos, ia pandang
Giok-yan seakan-akan malaikat dewata pula, dengan
sendirinya tidak berani membangkang. Tapi bila teringat
gadis itu dalam keadaan tak berbaju, tanpa terasa
hatinya berdebur keras.

Habis pemuda itu mengenakan baju baginya,
kemudian Giok-yan berkata pula, “Sudahlah sekarang,
bangunkanlah diriku!”

Oleh karena tidak mendengar perintah agar buka
mata, maka Toan Ki masih terus pejamkan kedua
matanya, sedikit pun ia tidak berani mengintip. Ketika
dengar si gadis bilang “bangunkanlah diriku” terus saja ia
ulur tangan ke depan.

Di luar dugaan mendadak muka Giok-yan terpegang
olehnya, karena merasa tangan menyentuh sesuatu

1359




yang halus licin, Toan Ki terperanjat dan berseru gugup,
“O, maaf, maafkan!”

Sejak tadi muka Giok-yan sudah merah jengah ketika
minta pemuda itu mengenakan baju untuknya, kiri
mukanya teraba pula oleh tangan Toan Ki, keruan ia
tambah malu, cepat ia berkata, “Hei, aku minta engkau
membangunkan aku!”

“Ya, ya!” sahut Toan Ki, tapi tetap dalam keadaan
mata terpejam, karena itu ia menjadi bingung dan
serbasalah, sebab tidak tahu ke mana tangannya harus
meraba, ia khawatir jangan-jangan salah menyenggol
badan si gadis pula hingga makin menambah dosanya.

Dengan rasa tegang Giok-yan menantikan Toan Ki
membangunkannya dari onggok padi itu. Tapi sampai
sekian saat pemuda itu masih mematung di tempatnya,
akhirnya barulah ia ingat kedua mata Toan Ki harus
disuruh buka dulu, maka segera katanya, “Eh, mengapa
engkau tidak membuka matamu?”

Dalam pada itu jago Se He di bawah loteng sedang
tertawa dingin mengejek mereka, “Hehehe, aku suruh
kau belajar ilmu silat dulu kepada gurumu untuk
kemudian buat membunuh aku. Kan tidak kuminta kalian
naik pantas dengan lakon gandrung di situ. Huh,
sungguh memuakkan.”

Dan waktu Toan Ki membuka matanya, ia lihat wajah
Giok-yan bersemu merah dan kemalu-maluan, seketika
ia terkesima dan memandang gadis itu dengan terpesona
hingga apa yang dikatakan orang Se He itu sama sekali
tak masuk telinganya.

1360




“Lekas bangunkan aku!” pinta si gadis pula.

“Ya, ya!” sahut Toan Ki, dengan gugup ia memayang
bangun si gadis untuk duduk di atas sebuah bangku
butut.

Setelah membetulkan baju sendiri dengan sebisanya,
lalu Giok-yan menunduk sambil berpikir. Selang agak
lama barulah ia membuka suara, “Ia sengaja tidak mau
mengunjukkan ilmu silatnya yang asli, maka aku tidak ...
tidak tahu cara bagaimana agar dapat mengalahkan dia.”

“Dia terlalu lihai, bukan!” tanya Toan Ki.

“Ya, ketika dia bergebrak tadi, sekaligus ia telah
mengeluarkan 17 macam gerakan ilmu silat dari aliran
yang berbeda-beda,” sahut Giok-yan.

“Ha? Apa? Hanya sekejapan itu, sekaligus ia
mengeluarkan 17 macam gerakan yang tidak sama?”
Toan Ki menegas dengan terheran-heran.

“Ya, macam-macam kepandaian yang dia mainkan,
mula-mula ia keluarkan ilmu golok dari Siau-lim-pay, lalu
ada pula ilmu golok Lay-lo-han di Kwisay, serta aliranaliran
lain,” ujar Giok-yan. “Kemudian waktu ia putar
punggung goloknya untuk mengetok pundakmu, gayanya
adalah ‘Cu-pi-to’ ciptaan Sim-koan Hwesio di Lengpo
Thian-tong-si, ilmu golok itu cuma untuk membikin musuh
tak berkutik dan tidak digunakan untuk membunuh. Lalu
ia ancam lehermu dengan goloknya, itu adalah tipu
gerakan ilmu golok ciptaan Nyo-jinkong yang terkenal.
Dan paling akhir ketika ia mendepak engkau hingga

1361




terguling, gaya itu mengambil cara bergulat orang Se
He.”

Ternyata setiap gerak tipu serangan orang Se He itu
telah dapat diuraikan satu per satu secara jelas oleh
Giok-yan. Sebaliknya bagi Toan Ki sudah tentu
penjelasan itu tiada artinya, sebab memang dia tidak
paham ilmu silat.

Setelah Giok-yan memikir pula agak lama, akhirnya ia
berkata, “Sudah terang engkau tak dapat melawannya,
sudahlah, engkau mengaku kalah saja.”

“Memangnya sejak tadi aku sudah mengaku kalah,”
sahut Toan Ki. Maka segera ia berseru kepada orang Se
He itu, “Hai, betapa pun aku tidak dapat melawan kau
lagi, engkau mau berdamai tidak?”

“Untuk mengampuni jiwamu juga tidak sulit, asal
engkau menurut sesuatu syaratku,” sahut jago Se He itu
dengan tertawa dingin.

“Apakah syaratmu itu?” tanya Toan Ki.

“Sejak kini, apabila engkau ketemu aku, harus segera
merangkak di tanah dan menyembah padaku sambil
meminta ‘ampun tuan’,” kata orang itu.

Sungguh gusar Toan Ki tidak kepalang, sahutnya,
“Seorang laki-laki lebih baik terbunuh daripada dihina,
engkau ingin aku menyembah dan minta ampun padamu,
hm, jangan harap. Jika mau bunuh, silakan sekarang
bunuhlah!”

1362




“Kau benar-benar tidak takut mati?” tanya orang itu.

“Takut sih memang takut,” sahut Toan Ki, “tetapi kalau
setiap kali bertemu mesti berlutut dan minta ampun
padamu, lebih baik aku pilih mati saja.”

“Hm, berlutut dan minta ampun padaku, apakah hal ini
merendahkan derajatmu?” jengek orang itu. “Bila suatu
ketika aku menjadi raja di Tionggoan, dan kau ketemu
aku, kau akan berlutut dan menyembah tidak?”

“Ketemu raja dan menyembah, hal ini adalah soal
lain,” sahut Toan Ki. “Cara itu namanya memberi hormat
dan bukan minta ampun.”

Mendengar jago Se He itu bicara tentang “bila suatu
ketika aku menjadi raja Tionggoan” segala, hati Giok-yan
terkesiap, ia heran, “Mengapa ia bicara serupa anganangan
Piaukoku?”

Dalam pada itu terdengar orang Se He itu berkata
pula, “Jika begitu, jadi syaratku tak dapat kau terima?”

Toan Ki menggeleng kepala, sahutnya tegas, “Maaf,
aku tak dapat menurut.”

“Baiklah, sekarang boleh kau turun, biar sekali tebas
kubunuhmu,” ujar orang itu.

Toan Ki memandang sekejap pada Giok-yan dengan
perasaan cemas, katanya kemudian, “Jika engkau
bertekad ingin membunuh diriku, ya, apa boleh buat!
Cuma ada suatu permintaanku padamu.”

1363




“Tentang apa?” tanya orang itu.

“Nona ini keracunan aneh, badannya lemas dan tak
ada tenaga hingga tidak dapat berjalan, maka harap
engkau suka mengantarkannya pulang ke Man-to-sanceng
di tepi Thay-oh sana,” pinta Toan Ki.

“Haha, guna apa aku mesti berbuat begitu?” seru
orang itu dengan tertawa. “Telah ada perintah dari
Ciangkun kami, barang siapa dapat menangkap si gadis
cendekia ini akan diberi hadiah emas murni seribu tahil
dan diberi pangkat menteri.”

“Jika engkau kemaruk harta dan pangkat, baiklah
begini saja, aku akan menulis sepucuk surat, sesudah
kau antar pulang nona ini, engkau boleh membawa
suratku ke negeri Tayli untuk menerima lima ribu tahil
emas, tentang pangkat menteri juga tetap diberikan
padamu,” ujar Toan Ki.

“Hahaha, apa kau anggap aku anak umur tiga, ya?”
sahut orang itu dengan terbahak. “Kau ini kutu macam
apa hingga melulu sepucuk suratmu lantas aku dapat
menerima ribu tahil emas dan diberi pangkat?”

Toan Ki tahu orang tidak percaya omongannya,
seketika ia menjadi tidak berdaya lagi, katanya, “Habis,
apa yang dapat kulakukan? Kematianku tidak perlu
dibuat sayang, tapi kalau Siocia telantar di sini dan jatuh
di bawah cengkeraman musuh, bukankah dosaku tak
terampunkan?”

Giok-yan terharu mendengar kata-kata Toan Ki yang
tulus itu, segera ia berseru pada jago Se He itu, “Hai, jika

1364




kau berani kurang ajar padaku, tentu Piaukoku akan
membalaskan sakit hatiku, negeri Se He kalian pasti
akan diubrak-abrik habis-habisan olehnya.”

“Siapakah gerangan Piaukomu?” tanya orang itu.

“Piaukoku adalah Buyung-kongcu yang namanya
mengguncangkan dunia persilatan Tionggoan, nama
‘Koh-soh Buyung-si’ tentu pernah kau dengar juga,”
demikian sahut Giok-yan. “Dan bila engkau tidak suka
‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’ baiknya engkau jangan
mengganggu aku, kalau engkau berbuat sesuatu yang
tidak baik padaku, Piaukoku tentu akan membalas
engkau dengan sepuluh kali lebih jahat.”

“Hm, Buyung-kongcu dari Koh-soh hanya seorang
bocah ingusan yang masih berbau pupuk, namanya
cuma nama kosong belaka, kepandaian sejati apa yang
dia miliki?” ejek orang itu. “Andaikan dia tidak datang
mencariku, memang sudah lama juga aku ingin
mencarinya untuk menjajalnya.”

“Engkau sekali-kali bukan tandingan Piaukoku, maka
aku nasihatkan padamu lebih baik pulang kandang ke
negerimu saja,” ujar Giok-yan. “Pula, bila jiwa Toankongcu
ini diganggu olehmu, pasti aku akan minta Piauko
menuntut balas padamu. Sebab Toan-kongcu sendiri
sebenarnya dapat meloloskan diri, tapi demi untuk
melindungi aku, maka ia ikut terkurung di sini. Eh, tuan
besar, siapakah namamu yang mulia? Beranikah kau beri
tahukan padaku?”

“Kenapa tidak berani? Li Yan-cong, inilah namaku,”
sahut orang itu.

1365




“O, jadi engkau she Li, itu kan nama keluarga
kerajaan Se He?” Giok-yan menegas.

“Ya, tidak hanya nama keluarga kerajaan, bahkan
setia membela negara dan siap berbakti bagi tanah air.
Negara Song akan kami hancurkan, Liau akan kami
caplok, ke barat membasmi Turfan, ke selatan meratakan
Tayli,” kata orang yang bernama Li Yan-cong itu.

“Haha, cita-citamu ternyata setinggi bintang di langit,”
seru Toan Ki. “Wahai Li Yan-cong, biarlah kukatakan
terus terang padamu, bahwasanya engkau mahir
berbagai macam ilmu silat dari setiap aliran, kalau
hendak menjadikan ilmu silatmu nomor satu di jagat ini
mungkin tidak sulit, tapi kalau engkau bercita-cita
menyatakan dunia di bawah kekuasaanmu, hal ini
rasanya takkan terjadi bila melulu mengandalkan ilmu
silat nomor satu di dunia ini.”

“Hendak menjadikan ilmu silatmu nomor satu di dunia
juga engkau tidak mungkin mampu,” tukas Giok-yan.

“Apa yang menjadi dasar pendapatmu? Coba
memberi penjelasan,” tanya Li Yan-cong.

“Pada zaman ini, kalau menurut penglihatanku, paling
sedikit sudah ada dua orang yang berilmu lebih tinggi
daripadamu,” sahut Giok-yan,

“Siapa kedua orang itu? tanya Li Yan-cong sambil
melangkah maju setindak dan menengadah.

1366




“Pertama, ialah Kiau Hong, Kiau-pangcu dari Kay-
pang,” kata Giok-yan.

“Hm, meski terkenal namanya, belum tentu sesuai
dengan kenyataannya,” jengek Li Yan-cong. “Dan siapa
lagi yang kedua itu?”

“Orang kedua adalah Piaukoku. Buyung Hok, Buyungkongcu
dari Koh-soh,” sahut si gadis.

“Huh, juga belum tentu benar,” kata Li Yan-cong
sambil geleng kepala. “Kau sengaja menyebut nama
Kiau Hong di depan Buyung Hok, hal ini demi
kepentingan pribadimu atau demi kepentingan umum?”

“Kepentingan umum dan pribadi apa maksudmu?
tanya Giok-yan.

“Jika demi kepentingan umum, tentu dasarnya karena
kau anggap ilmu silat Kiau Hong memang berada di atas
Buyung Hok,” sahut Li Yan-cong. “Dan bila demi
kepentingan pribadi, tentu disebabkan Buyung Hok itu
ada hubungan famili denganmu, maka kau biarkan nama
orang luar di depan nama orang sendiri.”

Untuk sejenak Giok-yan berpikir, lalu jawabnya, “Demi
kepentingan umum atau pribadi kan sama saja. Sudah
tentu kuharap ilmu silat Piaukoku bisa lebih tinggi
daripada Kiau-pangcu, tapi pada saat ini belum dapat.”

“Sekarang belum dapat? Hm, jadi maksudmu bila ilmu
silat Piaukomu setiap hari dapat maju dengan pesat,
kelak pasti akan menjadi jago nomor satu di dunia ini?”
jengek Li Yan-cong.

1367




“Ai, itu pun belum pasti,” sahut Giok-yan sambil
menghela napas. “Sampai akhirnya kelak, mungkin jago
silat nomor satu di dunia ini tak-lain-tak-bukan adalah
Toan-kongcu inilah.”

“Hahaha, benar-benar pandai berkelakar,” seru Li
Yan-cong sambil tertawa. “Pelajar tolol ini hanya
mendapat petunjukmu hingga dapat memainkan ‘Lengpo-
wi-poh’ sehingga jiwanya untuk sementara dapat
selamat, tapi dengan kepandaian angkat langkah seribu
dan lari terbirit-birit itu masakah dapat disebut sebagai
jago silat nomor satu di dunia?”

Sebenarnya Giok-yan bermaksud menjelaskan bahwa
Leng-po-wi-poh itu bukan dia yang mengajarkan, hanya
lwekang Toan Ki memang hebat luar biasa. Tapi demi
dipikir pula bahwa musuh mungkin berjiwa sempit, bila
mengetahui rahasia itu, bukan mustahil Toan Ki akan
dibunuhnya. Maka segera ia berkata, “Jika dia mau
menurut petunjukku dan belajar tiga tahun, sesudah itu
untuk menjadi jago nomor satu di dunia ini mungkin
belum cukup, namun untuk mengalahkanmu dapat
dipastikan semudah membalik telapak tangan sendiri.”

“Jika begitu, baiklah, aku percaya omonganmu, dan
daripada menanam bibit bencana, lebih baik sekarang
kubasmi dulu. Nah, Toan-kongcu, silakan turun, aku akan
membunuhmu saja,” demikian kata Li Yan-cong.

Keruan Giok-yan kaget, sungguh di luar dugaan
bahwa bandingannya justru membikin urusan menjadi
runyam malah, terpaksa ia berkata pula dengan tertawa

1368




dingin, “Huh, kiranya engkau sudah jeri lebih dulu, sebab
khawatir tiga tahun lagi engkau tak mampu menangkan
dia.”

“Hehe, kau sengaja mengumpak aku dengan katakata
pancingan, masakah orang she Li ini mudah
tertipu?” jengek Li Yan-cong. “Sudahlah, pendek kata,
ingin minta aku mengampuni jiwanya juga boleh, asal
seperti kataku tadi, setiap kali bertemu dengan aku dia
harus berlutut dan minta ampun, dengan demikian pasti
aku tidak akan membunuhmu.”

Giok-yan tidak bersuara lagi, ia pandang Toan Ki, ia
pikir tidak mungkin pemuda itu sudi berlutut dan minta
ampun. Jalan paling baik sekarang biar coba melawan
dengan mati-matian. Maka segera ia berbisik, “Toankongcu,
kiam-gi (hawa pedang) pada jarimu itu mengapa
adakalanya manjur, tapi terkadang macet, apa
sebabnya?”

“Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu,” sahut Toan Ki.

“Paling baik kau coba sekali lagi sekuat tenaga,” ujar
si nona. “Engkau boleh menusuk pergelangan tangan
orang she Li itu dengan hawa pedang, lebih dulu rampas
senjatanya, kemudian dekap dia sekencang-kencangnya
untuk mengadu jiwa dengan dia. Tempo hari waktu di
Man-to-san-ceng, secara mudah Peng-mama dapat kau
taklukkan, sekarang bolehlah kau gunakan cara yang
sama.”

Kiranya Giok-yan tahu tidak mungkin dalam waktu
sesingkat Toan Ki dapat diberi petunjuk cara
mengalahkan Li Yan-cong yang lihai itu. Tapi ia ingat

1369




cara Toan Ki menaklukkan Peng-mama tempo hari, yaitu
dengan semacam tenaga sakti yang dapat menyedot
hawa murni lawan, asal pemuda itu dapat menyikap Li
Yan-cong, tentu ilmu sakti itu dapat dipakai menyedot
tenaga lawan.

Begitulah Toan Ki lantas mengangguk tanda setuju,
memang kecuali cara itu ia pun tidak berdaya lain,
biarpun risiko celaka lebih besar daripada selamatnya,
namun terpaksa ia harus mencobanya juga.

Maka sesudah membetulkan baju sendiri, segera
Toan Ki berkata dengan tertawa, “Nona Ong, sungguh
aku harus malu karena tak becus melindungi nona. Bila
nanti nona dapat lolos dengan selamat dan kelak
menikah dengan Piaukomu, harap jangan lupa menyiram
beberapa tetes arak pada tangkai bunga kamelia yang
kutanam di Man-to-san-ceng itu dan anggaplah aku yang
telak minum arak bahagiamu.”

Bab 28

Mendengar pemuda itu berdoa agar dirinya menikah
dengan sang piauko, Giok-yan sangat senang, ia
menjadi tidak tega pula menyaksikan pemuda baik hati
itu akan dibunuh orang, maka dengan sedih ia berkata,
“Toan-kongcu, budi pertolonganmu, aku Ong Giok-yan
takkan lupa untuk selamanya.”

Sebaliknya Toan Ki memang sudah nekat, ia pikir
daripada nanti menyaksikan engkau dipersunting
piaukomu, lebih baik sekarang juga aku mati di
hadapanmu saja. Maka perlahan ia mulai melangkah ke
bawah loteng, sebelum itu ia masih sempat menoleh
sekejap dan tersenyum kepada Giok-yan.

1370




Diam-diam gadis itu merasa heran, sebentar lagi
jiwanya akan melayang, tapi pemuda itu masih bisa
tertawa.

Setelah berada di lantai bawah, Toan Ki melotot
kepada Li Yan-cong dan menegur, “Nah, aku sudah
turun sekarang. Li-ciangkun, katanya engkau sudah pasti
akan membunuh aku, silakan turun tangan. Lekas!”

Sambil berkata ia terus melangkah maju pula,
langkahnya itu bukan lain adalah “Leng-po-wi-poh”.

Tanpa bicara lagi segera Li Yan-cong putar goloknya
dan membacok tiga kali beruntun-runtun. Setiap kali tidak
sama ilmu goloknya. Tapi langkah Toan Ki itu benarbenar
ajaib dan aneh sekali perubahannya, beberapa kali
Li Yan-cong hendak mengurungnya dengan tipu ilmu
goloknya yang berganti-ganti itu, tapi entah mengapa
pemuda itu dapat lolos keluar.

Melihat sekali ini Toan Ki dapat bertahan dengan baik,
diam-diam Giok-yan merasa lega, ia harap pemuda itu
mendadak dapat mengeluarkan serangan aneh untuk
merobohkan lawannya.

Diam-diam Toan Ki juga sedang berusaha
mengerahkan tenaga dalam dengan maksud
menyalurkan ke ujung jari, tapi hawa murni itu selalu
mogok di tengah jalan, kalau sampai tangan entah
mengapa lantas menyurut kembali. Maklum, ia memang
tidak pernah belajar silat sehingga tidak mudah
melancarkan hawa murni.

1371




Untunglah “Leng-po-wi-poh” cukup hebat, pula sudah
sangat hafal, betapa pun cepat Li Yan-cong menyerang,
selalu luput mengenai sasarannya.

Tadi Li Yan-cong sendiri sudah menyaksikan cara
Toan Ki membinasakan jago-jago Se He, kini melihat
pemuda itu bertuding-tuding pula entah sedang main
sulap apa, diam-diam ia merinding jangan-jangan
pemuda itu mahir ilmu sihir. Segera ia ambil keputusan
harus berusaha membunuhnya lebih dulu sebelum
pemuda itu sempat mengeluarkan ilmu sihirnya. Tapi apa
daya, serangan selalu mengenai tempat kosong.

Dasar pikiran Li Yan-cong memang cerdas, dengan
cepat ia mendapat akal, mendadak ia membalik tangan
dan menghantam roda air hingga sayap roda sempal,
segera ia sambar sempalan kayu terus dilemparkan ke
kaki Toan Ki.

Tapi langkah pemuda itu cepat sekali, sudah tentu
timpukan itu tidak kena. Namun Li Yan-cong terus
menghantam dan memukul serabutan hingga segala alat
perabot di dalam ruangan seperti tenggok, tampah, dan
sebagainya berjungkir balik tersampuk ke tepi kaki Toan
Ki.

Ruangan itu memang sudah penuh menggeletak
belasan mayat, ditambah lagi alat-alat perabot itu, sudah
tentu tiada tempat luang lagi bagi kaki Toan Ki, setiap
tindakannya tentu tersenggol atau kesandung sesuatu
benda di lantai itu.

Namun Toan Ki tahu keadaan sangat berbahaya, bila
lambat sedikit saja langkahnya pasti jiwa bisa melayang.

1372




Maka ia menjadi nekat, ia tidak memandang ke lantai dan
tetap menurutkan ilmu langkah ajaib itu, tetap mengisar
kian kemari dengan cepat walaupun terkadang mesti
naik-turun karena kakinya menginjak sesuatu, entah
mayat, entah bakul, dan entah apa lagi, semuanya tak
dipedulikannya.

Rupanya Giok-yan juga tahu gelagat jelek, segera ia
berseru, “Toan-kongcu, lekas lari keluar pintu dan
menyelamatkan diri sendiri saja, kalau melawan lebih
lama lagi tentu jiwamu berbahaya.”

“Biarlah, kecuali dia dapat membunuh aku, kalau
tidak, asal aku masih bisa bernapas, pasti akan kubela
keselamatan nona,” sahut Toan Ki.

“Hm, kau tidak becus ilmu silat, tapi ternyata seorang
sok baik hati dan berbudi, begitu mendalam kasih
sayangmu kepada nona Ong, ha?” ejek Li Yan-cong.

“Bukan, bukan!” demikian Toan Ki menirukan lagu
Pau-samsiansing. “Nona Ong adalah manusia dewata,
sebaliknya aku cuma seorang biasa saja, mana aku
berani bicara tentang kasih dan budi? Soalnya Nona Ong
mau menghargai aku dan sudi ikut aku keluar untuk
mencari piaukonya, dengan sendirinya aku harus
membalas penghargaannya kepadaku ini.”

“O, jadi dia ikut kau keluar dengan tujuan ingin
mencari piaukonya si Buyung-kongcu, jika begitu,
hakikatnya dalam hatinya tidak pernah terlintas orang
macammu ini, tapi kau sendiri yang melamun seperti
katak buduk mengimpikan bidadari! Haha, hahaha!
Sungguh menggelikan!”

1373




Tapi Toan Ki tidak gusar, sebaliknya menjawab
dengan sungguh-sungguh, “Perumpamaan itu memang
sangat tepat. Ong-kohnio memang benar laksana
bidadari. Cuma katak buduk seperti aku ini juga lain
daripada yang lain, asal dapat memandang beberapa
kejap kepada sang bidadari rasanya sudah puas dan
tiada pikiran lain lagi.”

Mendengar pemuda itu mengaku dirinya seperti katak
buduk yang lain daripada yang lain, Li Yan-cong
bertambah geli hingga tertawa terbahak-bahak. Anehnya,
biarpun begitu keras ia tertawa, tapi kulit daging air
mukanya itu tetap kaku tanpa perasaan.

Toan Ki sudah pernah melihat orang aneh seperti
Yan-king Taycu, tanpa gerak bibir, tapi bisa bicara. Maka
air muka Li Yan-cong yang aneh itu tidak membuatnya
heran. Katanya malah, “Kalau bicara tentang air muka
kaku tanpa perasaan, kau masih selisih jauh kalau
dibandingkan Yan-king Taycu, untuk menjadi muridnya
mungkin juga belum sesuai.”

“Siapa itu Yan-king Taycu? Tidak pernah kudengar,”
tanya Li Yan-cong.

“Dia adalah tokoh terkemuka negeri Tayli, ilmu silatmu
jauh di bawahnya,” sahut Toan Ki.

Padahal mengenai tinggi-rendahnya ilmu silat orang
lain, hakikatnya sama sekali Toan Ki tak dapat
membedakan, tapi ia sengaja mengucapkan kata-kata
yang menilai rendah lawannya, ia pikir daripada mati

1374




konyol, paling tidak aku sudah balas mengolok-olok lebih
dulu.

Maka Li Yan-cong menjengek, “Hm, betapa tinggi
atau rendah ilmu silatku, masakah bocah seperti dirimu
mampu menjajaki?”

Sembari berkata, ia putar goloknya semakin kencang.

Sudah tentu sejak semula Toan Ki tidak tahu betapa
tinggi kepandaian lawan itu. Tapi bagi Giok-yan, semakin
dilihat semakin khawatir. Pikir gadis itu, “Kepintaran
orang ini boleh dikatakan sangat luas dan hampir
memadai kepintaranku, apalagi lwekangnya sangat tinggi
pula, sungguh tidak nyana di negeri Se He terdapat
seorang tokoh pilihan seperti ini dan aku justru kepergok
di sini, sedangkan Piauko tiada di sini hingga tidak ada
yang mampu melindungi keselamatanku, hanya seorang
pelajar tolol yang terus main kucing-kucingan dengan dia.
Ai, nasibku benar-benar teramat buruk.”

Pada saat lain, ketika dilihatnya Toan Ki agak
sempoyongan, keadaan cukup berbahaya, tanpa terasa
timbul juga rasa kasih sayangnya, segera ia berseru,
“Toan-kongcu, lekas lari keluar pintu, bertempur di luar
sana juga boleh.”

“Tidak,” sahut Toan Ki, “engkau tak dapat bergerak,
kalau tinggal sendirian di sini, betapa pun aku merasa
khawatir. Apalagi, mayat berserakan sekian banyak di
sini, tentu engkau akan merasa seram, maka lebih baik
aku tinggal di sini untuk mengawanimu saja.”

1375




Diam-diam Giok-yan tidak habis gegetun akan ketololtololan
pemuda pelajar itu, mana jiwa sendiri terancam
maut masih dapat pusingkan orang lain takut pada mayat
segala.

Dalam pada itu beberapa kali Toan Ki kesandung dan
keserimpet, golok musuh terkadang menyambar lewat di
atas kepalanya, cuma selisih satu-dua senti jauhnya,
keruan pemuda itu ketakutan setengah mati, berulang
timbul pikiran, “Wah, celaka, kalau buah kepalaku ini
tertebas separuh, tentu aku tak bisa hidup lagi. Seorang
laki-laki harus bisa mulur-mengkeret, berani menang dan
berani kalah, demi nona Ong, biarlah aku berlutut dan
minta ampun padanya saja.”

Namun demikian pikirnya, toh tetap enggan
diucapkannya.

“Hm, kulihat engkau pasti ketakutan setengah mati
dan ingin lari terbirit-birit,” demikian Li Yan-cong
mengejek.

“Mati adalah urusan mahapenting setiap orang, siapa
yang tidak takut mati?” sahut Toan Ki. “Tentang lari sih
memang ada maksudku, namun aku tak dapat melarikan
diri.”

“Sebab apa?” tanya Yan-cong.

“Sudahlah, tidak perlu banyak omong,” ujar Toan Ki.
“Akan kuhitung satu sampai sepuluh, bila engkau tak
dapat membunuh aku, terpaksa aku tak mau
mengiringimu lagi.”

1376




Dan tanpa menunggu jawaban apakah Li Yan-cong
setuju atau tidak, terus saja ia mulai menghitung, “Satu,
dua, tiga ....”

“Apa kau sudah gila?” ujar Li Yan-cong.

Tapi Toan Ki masih terus menghitung, “Empat, lima,
enam ....”

“Hahaha, masakah di dunia ini ada orang tolol
semacam kau, sungguh bikin malu kaum persilatan saja,”
seru Li Yan-cong dengan terbahak-bahak. Berbareng
goloknya susul-menyusul membabat ke kanan dan
menebas ke kiri.

Namun dengan cepat Toan Ki menggeser kian kemari
sambil mulut menghitung makin cepat mengikuti gaya
serangan lawan, “Tujuh, delapan, sembilan, sepuluh,
sebelas, tiga belas ... sudah, sudah, sudah lebih dari
sepuluh kali dan kau tetap tidak mampu membunuh aku,
huh, engkau sungguh tidak kenal malu, masakah tidak
mau mengaku kalah, ha?”

Sungguh geli dan mendongkol Li Yan-cong melihat
kelakuan Toan Ki itu. Dikatakan tolol, toh pemuda itu
tidak tolol, bilang dia pintar, nyatanya juga tidak pintar,
benar-benar seorang aneh yang tidak pernah
diketemukannya. Kalau sampai terlibat lebih lama, entah
bagaimana akhirnya nanti, jangan-jangan sedikit lengah
awak sendiri akan terjungkal malah di bawah ilmu
sihirnya, demikian pikiran Yan-cong.

Dasar dia memang seorang yang sangat cerdik, ia
tahu Toan Ki sangat memerhatikan keselamatan Giok-

1377




yan, tiba-tiba ia mendapat akal, ia mendongak ke atas
loteng dan berteriak, “Hah, bagus, boleh kalian bunuh
dulu nona itu, lalu turun kemari dan membantu padaku!”

Keruan Toan Ki kaget, disangkanya benar-benar ada
musuh naik ke atas loteng dan jiwa Giok-yan sedang
terancam. tanpa pikir lagi ia terus menengadah ke loteng.
Dan karena sedikit meleng itulah, kesempatan itu
digunakan Li Yan-cong untuk mengayun kakinya, sekali
tendang ia bikin Toan Ki terjungkal, menyusul goloknya
lantas mengancam leher pemuda itu sambil sebelah kaki
menginjak pada dadanya.

Toan Ki masih bermaksud angkat jarinya untuk
menutuk, tapi sedikit Li Yan-cong tahan goloknya, segera
mata golok melekuk beberapa mili ke leher Toan Ki.

“Jangan bergerak, sekali bergerak, segera kupotong
kepalamu!” ancam Yan-cong.

Dalam pada itu Toan Ki telah melihat jelas bahwa di
atas loteng sebenarnya tiada musuh. Hatinya menjadi
lega, katanya dengan tertawa, “Ah, kiranya engkau cuma
menggertak saja!”

Menyusul ia menyambung pula dengan gegetun, “Ai,
sayang, sungguh sayang!”

“Sayang apa?” tanya Li Yan-cong.

“Jika aku mati di tangan jago silat kelas satu seperti
dirimu, sebenarnya masih cukup berharga bagiku,” sahut
Toan Ki. “Siapa nyana engkau tidak mampu menangkan
aku dengan ilmu silat, lalu main licik dan menipu,

1378




perbuatan rendah dan memalukan ini sungguh membikin
aku mati penasaran.”

“Jika kau merasa penasaran, nanti boleh kau
mengadu pada Giam-lo-ong (raja akhirat) saja,” ujar Yancong.


“Tahan dulu, Li-ciangkun,” tiba-tiba Giok-yan berseru.

“Ada apa?” tanya Li Yan-cong.

“Jika engkau membunuh dia, kecuali aku dibunuh
pula, kalau tidak, pada suatu hari aku pasti akan
membunuhmu juga untuk membalas sakit hati Toankongcu,”
kata Giok-yan.

Li Yan-cong melengak. “Bukankah engkau telah
mengatakan piaukomu yang akan membunuh aku?”
tanyanya.

“Ilmu silat piaukoku belum tentu bisa menangkan
engkau, sebaliknya aku pasti dapat,” sahut Giok-yan.

“Hm, apa dasar perhitunganmu?” jengek Yan-cong.

“Sudah sekian banyak tipu seranganmu, tapi ternyata
juga cuma sekian saja, terang apa yang kau ketahui dan
pelajari belum ada separuhnya dari apa yang kuketahui,”
demikian sahut si gadis. “Buktinya caramu menyerang
Toan-kongcu sudah banyak lubang kelemahannya,
menurut perhitunganku, dengan mudah mestinya Toankongcu
dapat kau bunuh, tapi ilmu golok yang kau
keluarkan selalu salah. Padahal ada juga ilmu golok dari
kalangan To-kau (agama Tao) yang dapat kau gunakan.

1379




Tapi nyatanya engkau tidak tahu atau mungkin sama
sekali asing dalam hal ilmu silat golongan To-kau.”

“Huh, sombong benar kau,” sahut Li Yan-cong
dengan ragu. “Engkau bersedia membalaskan sakit hati
Toan-kongcu, apakah karena cintamu kepadanya sudah
terlalu mendalam?”

Muka Giok-yan menjadi merah, sahutnya, “Mendalam
apa? Hakikatnya tiada istilah cinta antara diriku dengan
dia. Soalnya karena dia mati untukku, dengan sendirinya
aku harus membalaskan sakit hatinya.”

Ternyata Li Yan-cong tidak menjawabnya lagi, tapi
hanya tertawa dingin, tiba-tiba ia merogoh keluar sebuah
botol porselen kecil dan dilemparkan ke atas badan Toan
Ki, lalu ia simpan kembali goloknya, sekali lompat, cepat
ia melompat keluar pintu. Maka terdengarlah suara kuda
meringkik, menyusul kuda dilarikan, makin lama makin
jauh.

Segera Toan Ki merangkak bangun, ia meraba
lehernya yang masih kesakitan bekas diancam golok
musuh tadi, ia merasa seperti habis sadar dari mimpi
buruk saja. Begitu pula Giok-yan juga tidak menduga
akan kejadian itu, untuk sejenak mereka hanya saling
pandang dengan bingung dan bergirang pula.

“He, dia sudah pergi,” kata Toan Ki selang sekian
lama dan dibalas Giok-yan dengan mengangguk.

“Bagus, bagus! Ternyata aku tidak jadi dibunuh
olehnya!” seru Toan Ki pula. “Nona Ong, nyata

1380




pengetahuan ilmu silatmu jauh di atasnya, makanya dia
jeri padamu.”

“Bukan begitu soalnya, kalau tadi dia membunuhmu,
lalu aku pun dibunuhnya pula, bukankah segala urusan
sudah beres?” ujar Giok-yan.

“Ehm, benar juga,” kata Toan Ki sambil garuk-garuk
kepala dengan bingung. “Tapi, tapi ... mungkin dia
kesengsem kepada kecantikanmu bagai bidadari,
makanya tidak berani membunuh engkau.”

Diam-Diam Giok-yan geli karena pelajar tolol itu
memandangnya seakan-akan bidadari dari kahyangan,
tapi senang juga hatinya oleh pujian itu.

Melihat gadis itu tidak bersuara, air mukanya merah
jengah, keruan Toan Ki kegirangan dan melangkah maju.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring jatuhnya sesuatu
benda, kiranya botol porselen yang ditinggalkan Li Yancong
tadi.

Cepat Toan Ki pungut botol itu, ia lihat di atas botol itu
tertulis keterangan: “Bila terkena kabut wangi bunga
merah, ciumlah botol ini dan segera punah.”

Sungguh girang Toan Ki tidak kepalang, serunya
segera, “He, inilah obat penawarnya, inilah obat
penawar!”

Dan segera ia membuka tutup botol itu dan
menciumnya, tapi seketika kepalanya pusing dan mata
berkunang-kunang, hampir saja ia jatuh kelengar oleh
bau bacin isi botol itu. Cepat ia tutup kembali botol itu

1381




dan berteriak-teriak, “Wah, tertipu! Baunya tidak
kepalang!”

“Coba kulihat, boleh jadi racun menyerang racun akan
membawa khasiat di luar dugaan,” ujar Giok-yan.

Segera Toan Ki mengangsurkan botol itu dan berkata,
“Tapi baunya terlalu bacin, apakah engkau tahan?”

“Biarlah kucoba dulu,” ujar si gadis.

Toan Ki mengiakan dan membuka tutup botol itu serta
diangkat ke depan hidung si nona. Ketika Giok-yan
mencium sekali isi botol itu, seketika berteriak, “Ai, benarbenar
sangat bacin.”

“Nah, kau percaya sekarang?” ujar Toan Ki. “Boleh
coba mengendus sekali lagi jika engkau masih tidak
percaya.”

Namun Giok-yan rupanya sudah kapok, ia melengos
sambil pencet hidung dan berkata, “Ai, bacinnya tidak
hilang-hilang, biar bagaimanapun aku tidak mau lagi
mencium barang bau begini, ha ... tanganku ... tanganku
sudah dapat bergerak!”

Demikian teriaknya ketika tanpa terasa ia dapat
mengangkat tangannya untuk memegang hidung sendiri.
Padahal sebesar itu, untuk membetulkan baju saja
rasanya tidak kuat.

Saking girangnya terus saja ia rebut botol itu dari
tangan Toan Ki dan menciumnya berulang-ulang dengan
keras-keras, sekarang ia tidak takut bau bacin lagi, ia

1382




tahu semakin busuk bau obat itu, semakin manjur pula
khasiatnya.

Maka sebentar saja badan yang tadinya lemas lunglai
telah pulih kembali. Lalu katanya kepada Toan Ki,
“Turunlah kau, aku hendak ganti pakaian.”

Toan Ki mengiakan dan cepat melangkah turun ke
bawah loteng. Ketika dilihatnya mayat bergelimpangan
memenuhi ruangan, tanpa terasa timbul rasa
menyesalnya. Dengan kesima ia berdiri terpaku di situ.

Setelah salin baju, perlahan Giok-yan turun juga ke
bawah. Ia heran melihat Toan Ki berdiri termangu-mangu
di situ, segera tegurnya, “He, apa yang sedang kau
pikirkan?”

“Aku merasa menyesal dan terharu karena telah
membunuh orang sebanyak ini,” sahut Toan Ki.

“Toan-kongcu, menurut pendapatmu, sebab apa jago
Se He she Li itu memberikan obat penawar ini
kepadaku?” tanya Giok-yan tiba-tiba.

“Tentang ini ... ini aku tidak tahu ... ah, tahulah aku,
sebab ... sebab ... ehm, entahlah ....” sebenarnya Toan Ki
hendak berkata, “sebab dia suka padamu”, tapi urung
diucapkannya.

“Toan-kongcu,” kata Giok-yan pula, “tempat ini masih
berbahaya, kita harus lekas pergi dari sini. Tapi kita
harus pergi ke mana?”

1383




Meski nona itu serbatahu mengenai segala aliran ilmu
silat, tapi pengalamannya di luar rumah sedikit pun tidak
punya. Sebenarnya ia sangat ingin pergi mencari sang
piauko, cuma tidak enak untuk berkata terus terang.

Sebaliknya Toan Ki meski seorang Su-tay-cu (pelajar
tolol), tapi ia cukup paham apa yang dipikirkan si gadis.
Maka sengaja balas tanya, “Habis kau ingin pergi ke
mana?”

“Aku ... aku ....” sahut Giok-yan dengan muka merah
sambil memainkan botol porselen yang masih
dipegangnya itu, dan sejenak kemudian baru ia
menyambung, “Kukira para pahlawan dan kesatria Kay-
pang juga terkena racun ‘Ang-hoa-hiang-hu’ (kabut wangi
bunga merah), kalau piaukoku berada di sini, dia tentu
dapat membantu membawakan obat penawar ini kepada
mereka. Pula A Cu dan A Pik mungkin juga tertawan
musuh, maka ... maka ....”

Sebenarnya ia hendak mengajak Toan Ki mencari
piauko dulu, kemudian mencari akal untuk menolong
mereka.

Siapa duga Toan Ki terus berjingkrak sambil berseru,
“Hai, benar, nona A Cu dan A Pik ada kesulitan, kita
harus lekas-lekas menolong mereka!”

Walaupun agak kecewa karena bukan itu yang
dipikirkan, namun terpaksa Giok-yan mengiakan.

“Dan bagaimana dengan mayat sebanyak ini, apakah
tidak perlu aku mengubur mereka dahulu?” tanya Toan
Ki.

1384




“Kenapa mesti susah-susah, nyalakan api dan bakar
saja rumah ini, kan beres segalanya?” ujar si gadis.

“Tapi ... tapi ....” sebenarnya Toan Ki tidak tega,
apalagi mesti mengorbankan rumah gilingan penduduk
itu. Namun jalan lain memang tiada lagi, terpaksa ia
membuat lelatu api dan menyalakan rumput jerami yang
ada di situ.

Sambil menyalakan api, Toan Ki berkomat-kamit
memanjatkan doa agar arwah para korban itu lekas naik
ke surga. Habis itu ia mencemplak kudanya dua dilarikan
pergi bersama Giok-yan. Sayup-sayup dari jauh
terdengar suara gembreng bertalu-talu dan riuh ramai
berisik suara orang-orang. Mungkin petani di sekitar
rumah gilingan itu beramai-ramai sedang berusaha
memadamkan kebakaran.

“Sungguh aku menyesal harus membakar rumah
gilingan orang,” kata Toan Ki sambil melarikan kudanya.

“Kau ini memang suka omong bertele-tele,” ujar Giokyan.
“Seorang laki-laki seperti dirimu masakah kalah
daripada wanita seperti ibuku yang setiap tindak
tanduknya selalu tegas dan cepat.”

Diam-diam Toan Ki tidak dapat menerima
perbandingan itu, ia pikir ibumu sedikit-sedikit suka
membunuh orang, daging manusia dijadikan rabuk, mana
aku sudi dipersamakan dengan dia. Tapi ia lantas
menjawab, “Karena baru pertama kali ini aku membunuh
orang dan membakar rumah, dengan sendirinya hatiku
tidak tenteram.”

1385




“Benar juga alasanmu,” ujar Giok-yan. “Kelak kalau
sudah biasa, tentu kau takkan merasakannya lagi.”

“He, mana boleh, mana boleh!” seru Toan Ki
berulang-ulang sambil goyang-goyang kedua tangannya.
“Berbuat sekali saja berdosa, mana boleh diulangi lagi?
Tentang membunuh orang dan membakar rumah,
sebaiknya jangan dibicarakan pula.”

Giok-yan berpaling dengan rasa heran ke arah
pemuda di sebelahnya itu, katanya pula, “Bagi orang
Kangouw, membunuh dan dibunuh adalah soal biasa.
Jika engkau takut, mengapa engkau tidak cuci tangan
dan jangan berkecimpung lagi di dunia Kangouw?

“Ai, urusan ini memang susah dikatakan,” ujar Toan
Ki. “Ayah dan paman memaksa aku belajar silat dan aku
tetap tidak mau. Siapa duga dalam keadaan terpaksa,
akhirnya aku kebentur pada kenyataan begini. Sungguh
aku tidak tahu bagaimana baiknya?”

“Apakah cita-citamu adalah giat belajar sastra untuk
kelak akan menjadi pembesar atau menteri, bukan?”
tanya Giok-yan dengan tersenyum.

“Bukan, menjadi pembesar juga tiada artinya bagiku,”
sahut si pemuda.

“Habis, apa cita-citamu?” tanya si gadis. “Masakah
engkau juga seperti piaukoku yang setiap hari
mengimpikan menjadi Hongte (kaisar)?”

1386




“Ha, Buyung-kongcu ingin menjadi Hongte?” tanya
Toan Ki dengan heran.

Muka si gadis menjadi merah karena tanpa sengaja
telah membocorkan rahasia sang piauko. Cepat ia
menjawab, “Ah, aku cuma bergurau saja, tapi sekali-kali
engkau jangan katakan kepada orang lain, lebih-lebih
jangan membicarakan hal ini di depan piaukoku, sebab
aku pasti akan didamprat habis-habisan olehnya.”

Kembali hati Toan Ki tertusuk oleh sikap si gadis yang
begitu kesengsem kepada sang piauko itu. Tapi terpaksa
ia menjawab, “Baiklah, tidak nanti aku ikut campur
urusan tetek bengek piaukomu itu. Apakah dia menjadi
Hongte atau akan menjadi pengemis, semuanya aku
tidak peduli.”

Lagi maka Giok-yan marah jengah, ia dengar nada
ucapan Toan Ki itu agak kurang senang, segera ia tanya
dengan suara lembut, “Toan-kongcu, apakah engkau
marah padaku?”

Selama berkenalan dengan gadis itu, yang selalu
dipikir dan dikatakan melulu Buyung-kongcu seorang,
tapi sekali ini dia bicara secara halus dan mesra
padanya, keruan Toan Ki kegirangan, saking senangnya,
hampir ia terperosot dari pelana kuda. Lekas ia betulkan
duduknya dan menjawab dengan tertawa, “O, tidak,
tidak, kenapa aku mesti marah? Nona Ong, selama hidup
ini aku pasti takkan marah padamu.”

Antero cinta-kasih Giok-yan memang cuma
tercurahkan kepada Buyung-kongcu seorang, meski
tanpa menghiraukan jiwa sendiri Toan Ki telah

1387




menolongnya, tapi tidak pernah terlintas dalam benaknya
bahwa perbuatan pemuda itu disebabkan jatuh cinta
padanya, ia sangka pemuda itu terlalu jujur dan tulus,
berhati bajik, dan berjiwa kesatria, maka menolongnya
seperti halnya Toan Ki juga akan menolong orang lain.

Tapi kini demi mendengar pernyataan yang serius
dan penuh ikhlas bagai bersumpah itu, barulah Giok-yan
sadar, “He, jangan-jangan dia ... dia mencintai diriku?”

Berpikir demikian, ia menjadi malu dan menunduk.

Dalam senangnya Toan Ki menjadi bingung apa yang
harus dikatakan lagi. Pikirnya, “Aku adalah putra
pangeran kerajaan Tayli, paman baginda tidak punya
putra, akhirnya pasti aku yang akan menggantikan
takhtanya. Tapi takhta kerajaan saja aku tidak kepingin,
masakah mencita-citakan menjadi menteri apa segala
seperti sangkanya tadi?”

Segera agak lama, dapatlah ia membuka suara pula,
“Aku tidak mempunyai cita-cita apa-apa. Yang kuharap,
bila selamanya bisa seperti saat ini maka puaslah
hatiku.”

Apa yang dia maksudkan “seperti saat ini” adalah
agar senantiasa dapat berdampingan dengan si nona.

Sudah tentu Giok-yan paham maksud itu, tapi ia tidak
suka pemuda itu mengemukakan hal itu lagi, dengan air
muka rada masam ia menjawab dengan sungguhsungguh,
“Toan-kongcu, budi pertolonganmu ini, betapa
pun Giok-yan takkan melupakannya. Tetapi hatiku sudah
... sudah lama terisi orang lain, maka kuharap ucapanmu

1388




hendaklah pakai aturan, agar kelak kita masih dapat
bertemu secara baik-baik.”

Jawaban itu benar-benar merupakan kemplangan
keras bagi Toan Ki hingga mata pemuda itu seakan-akan
berkunang-kunang dan hampir-hampir jatuh kelengar.

Apa yang dikatakan Giok-yan itu cukup terang dan
gamblang, secara tegas gadis itu telah menyatakan
hatinya sudah diisi oleh Buyung-kongcu, maka Toan Ki
dilarang mengutarakan perasaan cintanya, kalau tidak, si
gadis tidak ingin berkawan lagi dengan dia.

Sudah tentu pernyataan Giok-yan itu sebenarnya
tidak berlebihan, tapi bagi pendengaran Toan Ki sungguh
sangat menusuk.

Ia coba melirik wajah si gadis, ia lihat sikap Giok-yan
sangat prihatin dan agung, mirip benar dengan patung
dewi yang pernah disembahnya dalam gua di dasar
sungai itu. Tanpa terasa timbal semacam firasat seakanakan
dirinya bakal tertimpa bencana besar. Katanya di
dalam hati, “Wahai Toan Ki, engkau justru jatuh cinta
kepada seorang nona yang hatinya lebih dulu telah diisi
orang lain, hidupmu ini agaknya sudah suratan nasib
akan merana.”

Begitulah kedua orang melanjutkan perjalanan
dengan sama-sama bungkam, siapa pun tidak membuka
suara lagi.

Dalam hati Giok-yan berpikir, “Tentu dia sangat gusar
di dalam hati. Tapi lebih baik aku pura-pura tidak tahu
saja. Bila sekali ini aku minta maaf padanya, selanjutnya

1389




tentu dia akan lebih berani dan bicara yang tidak-tidak
padaku, jika hal ini sampai diketahui Piauko, tentu Piauko
akan merasa tidak senang.”

Sebaliknya Toan Ki juga sedang membatin, “Jika aku
bicara lagi tentang rasa cintaku padanya, itu berarti
martabatku terlalu rendah dan tidak menghormati dia.
Maka sejak kini biarpun mati juga aku tidak akan bicara
tentang itu lagi.”

Dan Giok-yan sedang berpikir pula, “Dia diam saja,
tentu dia mengetahui tempat yang harus didatangi untuk
menolong A Cu dan A Pik.”

Begitu pula Toan Ki juga sedang berpikir sama seperti
si gadis. Maka sesudah setengah jam kemudian, ketika
sampai di suatu jalan simpang tiga, tanpa berjanji kedua
orang sama-sama menanya, “Belok ke kiri atau ke
kanan?”

Dan sesudah saling mengunjuk rasa ragu-ragu,
kembali sama-sama saling menanya lagi, “Eh, jadi kau
tidak kenal jalan? Ai, kusangka kau sudah tahu.”

Dasar kedua orang adalah anak muda, dengan
terjadinya saling tanya serupa itu, seketika terbahakbahaklah
mereka, awan mendung yang meliputi
perasaan mereka tadi seketika tersapu bersih.

Tapi mereka berdua memang masih hijau mengenai
urusan Kangouw, biarpun sudah saling runding sampai
lama juga tidak tahu harus menuju ke mana untuk
menolong A Cu dan A Pik. Akhirnya Toan Ki yang
berkata, “Musuh telah menawan anggota Kay-pang

1390




sebanyak itu, untuk mencari jejak mereka tentu tidak
terlalu susah, maka bolehlah kita kembali ke tengah
rimba itu untuk melihat-lihat dulu.”

“Kembali ke rimba sana?” Giok-yan menegas. “Dan
bila kawanan orang Se He itu masih di situ, bukankah
kita seperti ular mencari gebuk?”

“Setelah hujan lebat tadi, kukira mereka tentu sudah
berangkat pergi,” ujar Toan Ki. “Boleh begini saja,
engkau menunggu saja di luar rimba, biar aku yang
masuk ke sana untuk mengintai, bila benar musuh masih
berada di sana, segera kita melarikan diri.”

“Tidak, tidak boleh selalu engkau sendiri yang
menyerempet bahaya,” ujar Giok-yan. “Jika kita
berangkat berdua ke sana, bila ada bahaya, biarlah kita
tanggung bersama.”

Mendengar si gadis bersedia “enteng sama dijinjing,
berat sama dipikul” dalam menyerempet bahaya nanti,
keruan Toan Ki sangat girang. Katanya, “Untuk berkelahi
terang aku tidak sanggup, tapi untuk lari masakah tidak
bisa?”

Segera mereka berunding cara bagaimana nanti
harus menolong si A Cu dan A Pik. Maka diambil
keputusan Toan Ki akan mengeluarkan “Leng-po-wi-poh”
untuk mendekati kedua dayang itu dan mengenduskan
obat bacin itu kepada mereka, sesudah racun punah,
baru berdaya pula untuk membebaskan mereka.

Begitulah mereka lantas melarikan kuda ke arah
Heng-cu-lim atau hutan pohon jeruk itu. Sesudah dekat,

1391




mereka turun dan menambat kuda di pohon, Toan Ki
siapkan obat di tangan, lalu mereka lari ke tengah hutan
dengan berjinjit-jinjit, mereka saling pandang sekejap
dengan geli melihat kelakuan masing-masing.

Tanah di tengah hutan itu basah dan becek, semak
rumput penuh butiran air. Setiba di tengah hutan,
ternyata keadaan sunyi senyap dan kosong melompong,
tiada seorang pun terlihat.

“Benar juga mereka sudah pergi, marilah kita mencari
kabar mereka ke kota Bu-sik, saja,” ajak Giok-yan.

Tanpa pikir, Toan Ki mengiakan. Mengingat akan
dapat jalan berendeng lagi dengan si cantik, saking
senangnya tanpa terasa wajah Toan Ki berseri-seri.

“Adakah aku salah omong?” tanya Giok-yan heran.

“Tidak, tidak!” sahut Toan Ki cepat. “Marilah sekarang
juga kita berangkat.”

“Habis, mengapa engkau tersenyum?” desak Giokyan.


“O, aku ... aku memang terkadang suka ... suka
angin-anginan, tak perlu engkau pusingkan aku,” sahut
Toan Ki dengan gelagapan.

Jawaban itu membuat Giok-yan merasa geli juga, ia
tertawa mengikik. Karena itu Toan Ki ikut tertawa
mengakak.

1392




Mereka meneruskan perjalanan ke Bu-sik. Beberapa li
lagi, tiba-tiba tertampak di dahan pohon, di tepi jalan
tergantung sesosok mayat busu bangsa Se He. Mereka
terheran-heran sebab tidak tahu perbuatan siapakah itu?

Beberapa puluh meter pula, kembali di tepi jalan ada
dua mayat orang Se He, bahkan darah pada lukanya
masih belum kering, suatu tanda matinya belum
seberapa lama.

“Orang-orang Se He itu telah ketemu musuh, menurut
pendapatmu, siapakah yang membunuh mereka, nona
Ong?” tanya Toan Ki.

“Ilmu silat pembunuh itu sangat tinggi, cara
membunuh jago-jago Se He ini dilakukan dengan sangat
mudah, sungguh hebat kepandaiannya!” demikian puji
Giok-yan. “Eh, siapakah yang datang itu?”

Ternyata dari arah sana tertampak dua penunggang
kuda sedang mendatangi dengan cepat, penunggangnya
masing-masing berbaju merah dan hijau. Kiranya mereka
adalah A Cu dan A Pik.

“Hai, A Cu, A Pik! Kalian berhasil lolos dari bahaya?”
seru Giok-yan dengan girang.

Sudah tentu keempat orang sama-sama bergirang
karena dapat berkumpul kembali.

Segera A Cu berkata, “Ong-kohnio, Toan-kongcu,
mengapa kalian kembali ke sini lagi? Kami justru ingin
mencari kalian.”

1393




“Cara bagaimana kalian meloloskan diri? Apakah
kalian mencium botol berbau busuk itu?” tanya Giok-yan.

“Ya, benar, sungguh bacin sekali baunya,” sahut A Cu
tertawa, “Apakah engkau juga sudah mengendusnya,
nona? Juga Kiau-pangcu yang menolong kalian, bukan?”

“Kiau-pangcu apa maksudmu?” tanya Giok-yan. “Jadi
lolosnya kalian adalah berkat pertolongan Kiau-pangcu?”

“Ya,” sahut A Cu. “Tatkala itu kami dalam keadaan tak
berkutik karena keracunan, bersama orang Kay-pang
kami diringkus oleh orang-orang Se He dan dinaikkan ke
atas kuda. Di tengah jalan tiba-tiba turun hujan hingga
rombongan terpencar ada yang ke timur dan ada yang ke
barat, masing-masing mencari tempat berteduh sendirisendiri.
Aku dan A Pik dibawa meneduh ke suatu gardu
oleh beberapa busu dan baru berangkat lagi sesudah
hujan berhenti.

“Pada saat kami hendak digiring pergi pula itulah tibatiba
dari belakang menyusul datang seorang
penunggang kuda, itulah dia Kiau-pangcu. Melihat kami
berdua ditawan orang Se He, beliau tampak terheranheran
dan belum lagi beliau tanya segera A Pik berseru
minta tolong padanya.

“Mendengar ‘Kiau-pangcu’, seketika beberapa jago
Se He itu gugup, berbareng mereka lolos senjata dan
menyerbu Kiau-pangcu. Hasilnya orang-orang Se He itu
ada yang terjungkir ke selokan di tepi jalan, ada yang
mencelat hingga terkatung-katung di atas pohon, dan
semuanya terbinasa.”

1394




“Hal itu baru saja terjadi, bukan?” tanya Giok-yan
dengan tertawa.

“Benar,” sahut A Cu. “Aku berkata kepada Kiaupangcu,
‘Kami berdua tak dapat berkutik karena
keracunan, harap Kiau-pangcu sudi mencarikan obat
penawar racun di tubuh musuh yang terbinasa itu.’ —
Segera Kiau-pangcu menggeledah mayat seorang Se He
yang berpangkat cukup tinggi tampaknya, ia
mendapatkan sebuah botol kecil, tentang isi botol itu
berbau wangi atau bacin rasanya tidak perlu hamba
tuturkan lagi.”

“Dan di manakah Kiau-pangcu sekarang?” tanya
Giok-yan pula.

“Ketika mendengar orang-orang Kay-pang juga
keracunan dan tertawan, beliau sangat khawatir dan
mengatakan hendak pergi menolong mereka, lalu beliau
berangkat dengan tergesa-gesa,” tutur A Cu. “Beliau juga
menanyakan Toan-kongcu dan memerhatikan
keselamatan Siocia pula.”

“Ai, gihengku itu sungguh seorang yang sangat
berbudi,” ujar Toan Ki dengan gegetun.

“Memang,” kata A Cu. “Padahal orang-orang Kay-
pang itu sangat keterlaluan, seorang pangcu baik-baik
mereka usir begitu saja dan kini mereka harus menerima
hasil perbuatan mereka sendiri, biarkan mereka tahu
rasa. Kalau aku menjadi Kiau-pangcu tentu aku takkan
menolong mereka, biarkan mereka lebih banyak tersiksa
supaya kelak tidak sembarangan mengusir orang secara
semena-mena.”

1395




“Tapi gihengku adalah orang yang berbudi luhur,
orang boleh mengkhianati dia, tidak nanti ia mengingkar
orang,” ujar Toan Ki.

“Dan sekarang kita harus pergi ke mana, nona?”
tanya A Pik.

“Semula aku dan Toan-kongcu bermaksud menolong
kalian, tapi kini kita berempat sudah dalam keadaan
selamat, maka kita pun tidak perlu ikut campur urusan
Kay-pang yang tiada sangkut paut dengan kita itu.
Marilah kita pergi ke Siau-lim-si saja untuk mencari
Kongcu kalian,” demikian sahut Giok-yan.

Memang kedua dara A Cu dan A Pik itu sangat
mengkhawatirkan kongcu mereka, yaitu Buyung-kongcu,
maka demi mendengar usul Giok-yan itu, serentak
mereka menyatakan setuju.

Sudah tentu yang paling kecut rasanya adalah hati
Toan Ki. Tapi terpaksa ia pun menyatakan, “Baiklah,
Kongcu kalian itu memang juga sangat kukagumi dan
ingin kubelajar kenal dengan dia. Aku tidak mempunyai
pekerjaan apa-apa, biarlah aku ikut kalian ke Siau-lim-si.”

Segera mereka putar kuda dan berangkat menuju
jurusan utara. Di tengah jalan Giok-yan ceritakan kepada
A Cu dan A Pik tentang pengalamannya di rumah
gilingan itu, di mana Toan Ki telah banyak membunuh
musuh dan akhirnya Li Yan-cong juga dienyahkan serta
mendapatkan obat penawar racun. A Cu dan A Pik
terlongong-longong mendengar pengalaman yang aneh
itu.

1396




Bila mereka geli pada suatu bagian dari cerita itu,
ketiga gadis itu tertawa cekikikan sambil memandang
Toan Ki, sudah tentu mereka tidak berani tertawa lepas,
tapi menutup mulut mereka dengan lengan baju.

Sebodoh-bodohnya Toan Ki juga tahu bahwa ketiga
gadis itu sedang membicarakan kelakuannya yang
ketolol-tololan itu. Tapi bila mengingat awak sendiri meski
ketolol-tololan, paling tidak akhirnya toh dapat melindungi
Giok-yan tanpa kurang suatu apa pun, maka biarpun
agak malu-malu juga ia merasa bangga.

Namun bila melihat asyiknya ketiga anak dara itu
berbicara hingga dirinya seakan-akan terlupakan, apalagi
nanti kalau sudah berkumpul dengan Buyung-kongcu,
mungkin dirinya lebih tidak diberi tempat lagi, terpikir
demikian, hati Toan Ki menjadi hampa.

Setelah beberapa li pula dan menyusur sebuah hutan
arbei, tiba-tiba mereka mendengar suara tangisan dua
pemuda yang sangat memilukan. Cepat mereka
melarikan kuda ke depan untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata pemuda-pemuda itu adalah dua hwesio cilik
belasan tahun, baju padri mereka berlepotan darah, satu
di antaranya malah terluka jidatnya.

“Siausuhu, kenapa kalian menangis? Siapa yang
menganiaya kalian?” tanya A Pik yang berhati welas
asih.

Sambil menangis, hwesio cilik yang jidat terluka itu
menjawab, “Kuil kami telah kedatangan segerombolan

1397




orang asing yang jahat, guru kami terbunuh dan kami
didepak keluar.”

Mendengar kata-kata “orang asing jahat” itu, Giok-yan
berempat saling pandang sekejap dan sama-sama
berpikir, “Apakah mereka itu orang Se He?”

Segera A Cu tanya, “Di manakah letak kuil kalian?
Orang asing jahat macam apakah mereka itu?”

“Kuil kami bernama Thian-leng-si, itu, di sebelah sana
....” sahut si hwesio cilik sambil menuding ke arah timur
laut, lalu menyambung, “Orang-orang asing itu membawa
tawanan kira-kira seratusan orang pengemis dan
berteduh ke kuil kami karena hujan. Mereka minta arak
dan minta daging, minta disembelihkan ayam dan suruh
memotong kerbau segala. Sudah tentu Suhu keberatan
kuil kami dibikin kotor, dan mereka lantas membunuh
Suhu beserta belasan orang suheng kami. Huk-huk ...
huk-huk-huk ... huk!”

“Sudahlah, jangan menangis,” kata A Cu. “Dan
sekarang orang-orang jahat itu sudah pergi belum?”

“Belum,” sahut padri kecil itu sambil menuding
kepulan asap di balik hutan sana. “Itu, mereka lagi sibuk
memasak daging kerbau, benar-benar berdosa, Buddha
Mahaasih, biarlah mereka kelak dimasukkan neraka.”

“Kalian lekas lari saja, jangan-jangan sebentar kalian
akan ditangkap kawanan penjahat itu dan disembelih
sekalian untuk dimakan,” ujar A Cu.

1398




Keruan kedua padri kecil itu ketakutan, segera
mereka angkat kaki dan berlari pergi.

“Ai, mereka sedang bingung, mengapa Enci A Cu
malah menakuti mereka?” ujar Toan Ki kurang senang.

“Aku tidak menakuti mereka, tapi aku berkata
sungguh-sungguh,” sahut A Cu tertawa.

“Wah, orang-orang Kay-pang katanya terkurung di
dalam Thian-leng-si situ, jika demikian, tentu Kiaupangcu
akan menubruk tempat kosong bila mencari ke
kota Bu-sik,” ujar A Pik tiba-tiba.

Mendadak A Cu memperoleh suatu akal aneh,
katanya, “Ong-kohnio, aku ingin menyamar sebagai Kiaupangcu
dan menyelundup ke dalam kuil itu untuk
mengenduskan bau botol yang bacin itu kepada
kawanan pengemis. Setelah mereka terlolos dari bahaya,
tentu mereka akan sangat berterima kasih kepada Kiaupangcu.”


Giok-yan tersenyum, sahutnya, “Tapi perawakan
Kiau-pangcu tinggi besar, dia adalah seorang laki-laki
tegap, masakah kau dapat menyaru sebagai dia?”

“Semakin sulit menyamar, semakin kelihatan
kepandaian A Cu, boleh lihat nanti,” ujar A Cu dengan
bangga.

“Walaupun kau dapat menyaru dengan persis, tapi
tidak dapat memalsukan ilmu saktinya yang tiada
bandingannya itu,” ujar Giok-yan. “Padahal di dalam
Thian-leng-si itu penuh jago pilihan It-bin-tong dan negeri

1399




Se He, mana dapat kau masuk-keluar dengan bebas?
Maka kurasa lebih baik engkau menyamar sebagai
seorang tukang api atau seorang nenek desa penjual
sayur, mungkin akan lebih mudah untuk menyusup ke
dalam kuil.”

“Kalau mesti menyamar sebagai nenek-nenek penjual
sayur, rasanya kurang menarik, aku tak mau menyusup
ke dalam kuil.”

Giok-yan memandang sekejap ke arah Toan Ki,
bibirnya bergerak, tapi urung bicara.

“Apakah yang hendak nona katakan?” tanya Toan Ki.

“Sebenarnya aku ingin engkau juga menyaru
seseorang dan ikut pergi ke Thian-leng-si bersama A Cu,
tapi setelah kupikir pula, agaknya kurang sempurna,” ujar
Giok-yan.

“Ingin aku menyamar sebagai siapa?” tanya Toan Ki.

“Sebab para tokoh Kay-pang itu punya penyakit
mencurigai orang dan menuduh piaukoku bersekongkol
dengan Kiau-pangcu untuk membunuh Be-hupangcu
mereka, maka ... maka bila Piauko dan Kiau-pangcu
pergi bersama ke sana untuk membebaskan mereka dari
bahaya, tentu mereka takkan ... takkan sembarangan
mencurigai orang lain.”

“Jadi maksudmu ingin aku menyamar sebagai
piaukomu?” tanya Toan Ki dengan rasa cemburu.

1400




Wajah Giok-yan berubah merah, sahutnya, “Tapi
musuh di Thian-leng-si itu terlalu kuat, jika kalian berdua
pergi ke sana, mungkin sangat berbahaya, mungkin lebih
baik jangan pergi saja.”

Tiba-tiba Toan Ki memikir, “Bila aku menyamar
sebagai piaukonya, boleh jadi sikapnya kepadaku akan
berbeda daripada biasanya. Walaupun cuma sebentar
saja aku menikmati rasa bahagia juga lumayan.”

Berpikir demikian, seketika semangatnya menyalanyala,
segera katanya, “Masakan khawatir bahaya apa
segala? Paling-paling angkat kaki melarikan diri, dan
cara itu justru adalah kepandaianku yang utama.”

“Tapi kurasa tidak baik, sebab selamanya piaukoku
membunuh musuh semudah membalik tangan sendiri,
tidak pernah dia melarikan diri,” ujar Giok-yan.

“Nyes”, seketika Toan Ki seperti digebyur air es demi
mendengar kata-kata itu, pikirnya, “Ya, ya, memangnya
piaukomu adalah seorang kesatria, seorang pahlawan
perkasa, memangnya aku tidak sesuai untuk menyamar
sebagai dia. Kalau memalsukan dia hingga memalukan
di depan orang banyak, bukankah akan menodai nama
kebesarannya?”

Melihat pemuda itu termenung-menung kurang
senang, cepat A Pik menghiburnya, “Toan-kongcu, kita
menghadapi musuh lebih banyak jumlahnya, kalau
sementara kita mengalah juga tidak mengapa. Toh tujuan
kita hanya untuk menolong orang dan bukan bertanding
kepandaian dengan mereka.”

1401




Dalam pada itu A Cu lagi mengamat-amati Toan Ki
dari atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu
ia mengangguk-angguk dan berkata, “Toan-kongcu,
untuk menyamar sebagai Kongcu kami sebenarnya tidak
mudah, untung orang-orang Kay-pang tiada yang kenal
Kongcu kami, maka tentang wajah dan suara beliau asal
dapat mendekati saja sudah cukup mengelabui mereka.”

“Buyung-kongcu adalah manusia pilihan di antara
manusia, orang lain mana dapat sembarangan
menyamar sebagai dia?” ujar Toan Ki. “Tapi kukira ada
baiknya juga samaranku nanti tidak terlalu mirip beliau,
dengan begitu, jika nanti mesti angkat langkah seribu
melarikan diri, sedikitnya nama baik Buyung-kongcu tidak
sampai ternoda.”

Muka Giok-yan menjadi merah, dengan perlahan ia
tanya, “Tadi aku telah salah omong, apakah Toankongcu
marah padaku?”

“Ah, tidak, tidak, mana aku berani marah?” sahut
Toan Ki cepat.

Maka tersenyumlah Giok-yan. Tanyanya kemudian,
“Lantas di manakah kalian hendak menyamar?”

“Kita harus mendatangi kota kecil di sana barulah
dapat membeli alat-alat keperluan menyamar,” sahut A
Cu.

Segera mereka berempat melarikan kuda ke barat,
kira-kira beberapa li jauhnya, tibalah mereka di suatu
kota kecil bernama Ma-long-kio. Kota itu terlampau kecil

1402




dan tiada rumah penginapan segala, hanya di tepi kota
ada sebuah sungai kecil.

Setelah membeli pakaian dan alat-alat menyamar lain
yang diperlukan, mereka menyewa sebuah perahu dan
berdandan di dalam kendaraan air itu. Lebih dulu A Cu
mendandani Toan Ki, memberinya sebuah kipas lempit,
pakaiannya berwarna hijau mulus, pada jari kiri memakai
sebentuk cincin.

“Kongcu kami suka memakai cincin bermata batu
kemala, tapi susah dicari di sini, maka bolehlah memakai
batu akik sebagai ganti sekadarnya,” ujar A Cu.

Toan Ki hanya tersenyum getir saja, pikirnya,
“Memangnya Buyung-kongcu ibarat batu kemala yang
berharga dan aku cuma batu akik yang tak bernilai.
Memang begitulah harga diriku dalam pandangan ketiga
gadis ini.”

Selesai A Cu mendandani Toan Ki, lalu katanya
kepada Giok-yan, “Siocia, adakah sesuatu tempat yang
kurang mirip?”

Tapi Giok-yan tidak menjawab, ia sedang
memandang Toan Ki dengan termangu-mangu, dengan
sorot mata penuh arti seakan-akan lagi berhadapan
dengan Buyung Hok.

Perasaan Toan Ki ikut terguncang ketika sinar
matanya kebentrok dengan sorot mata si gadis. Tapi
segera terpikir olehnya, “Ah, terang yang terbayang
olehnya adalah Buyung Hok dan bukan aku si Toan Ki.”

1403




Begitulah perasaan Toan Ki, sebentar suka dan
sebentar lagi duka. Kedua muda-mudi itu pandangmemandang
dengan perasaan yang berbeda-beda
sehingga kepergian A Cu dan A Pik ke buritan perahu
untuk ganti pakaian terlupakan oleh mereka.

Selang agak lama, tiba-tiba terdengar suara seorang
laki-laki sedang menegur, “Ai, kiranya Toan-hiante
berada di sini, sudah lama kucari engkau.”

Toan Ki terkejut dan cepat mendongak. Ia lihat
pembicara itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong.
Keruan ia kegirangan dan cepat menyahut, “Hai, kiranya
Toako! Memangnya kami sedang bermaksud menyamar
sebagai Toako untuk menolong kawan-kawan Kay-pang,
sekarang engkau sendiri sudah datang, maka Enci A Cu
tidak perlu menyamar lagi.”

“Orang-orang Kay-pang telah pecat aku dari
keanggotaan mereka, biarkan mereka mati atau hidup
tak kupeduli lagi,” sahut Kiau Hong. “Adik yang baik,
marilah kita pergi ke kota saja untuk mengadu minum,
paling sedikit kita harus menghabiskan 50 mangkuk
setiap orang.”

“Toako,” kata Toan Ki, “para saudara Kay-pang
adalah laki-laki yang berjiwa patriot, harap engkau sudi
pergi menolong mereka.”

“Engkau adalah pelajar yang masih hijau, apa yang
kau ketahui,” sahut Kiau Hong dengan marah. “Ayolah,
tak perlu urus mereka, marilah pergi minum arak paling
perlu.”

1404




Habis berkata, terus saja ia pegang tangan Toan Ki
dan hendak menyeretnya pergi.

Terpaksa Toan Ki berkata, “Baiklah, sesudah kita
minum arak, engkau harus pergi menolong mereka.”

Di luar dugaan, mendadak “Kiau Hong” terkikik-kikik,
suaranya nyaring genit, tidak mungkin seorang laki-laki
kekar sebagai Kiau Hong dapat mengeluarkan suara
tertawa yang mirip anak dara.

Keruan Toan Ki tercengang. Tapi segera ia pun
paham duduknya perkara, terus saja ia memberi hormat
sambil berkata, “Ai, Enci A Cu, kepandaianmu menyamar
sesungguhnya teramat tinggi, sampai suara Toakoku
yang kasar itu pun dapat engkau tiru sedemikian
miripnya.”

Memang tidak salah “Kiau Hong” itu adalah samaran
si A Cu, begitu persis hingga Toan Ki tidak dapat
mengenalnya lagi.

Maka dengan nada suara Kiau Hong yang kasar, A
Cu lantas berkata pula, “Toan-hiante, marilah sekarang
juga kita berangkat, bawalah botol yang berbau busuk
itu.”

Lalu ia pun berkata kepada Giok-yan dan A Pik,
“Harap kedua nona suka menanti sementara di sini.”

Habis berkata, ia tarik tangan Toan Ki terus diajak
mendarat. Entah tangannya dilumuri barang apa, tangan
yang halus sebagaimana lazimnya tangan anak dara itu
kini telah berubah menjadi kasap dan kehitam-hitaman,

1405




meski tidak sebesar tangan Kiau Hong tapi seketika juga
susah diketahui orang lain.

Begitulah dengan meninggalkan Giok-yan yang masih
termenung-menung mengenangkan sang piauko itu, A
Cu dan Toan Ki telah menunggang kuda menuju ke
Thian-leng-si. Sesudah dekat dengan kuil itu, khawatir
kalau suara kuda mereka didengar musuh, mereka lantas
tambat kuda-kuda itu di kandang sapi seorang petani di
tepi jalan, lalu berjalan menuju ke kuil itu.

“Saudara Buyung,” demikian kata si “Kiau Hong”
tiruan alias A Cu, “setiba di dalam kuil nanti, aku lantas
buka mulut besar dan membual setinggi langit,
kesempatan itu harus engkau gunakan dengan cepat
untuk mengenduskan obat penawar di dalam botol itu
kepada orang-orang Kay-pang.”

Dengan menahan perasaan geli, Toan Ki telah
mengiakan. Dan mereka pun lantas mendekati pintu kuil
yang dijaga oleh belasan busu bangsa Se He yang
bersenjata lengkap.

Melihat keadaan itu, hati Toan Ki dan A Cu mulai
kebat-kebit dan tanpa terasa menjadi jeri.

“Toan-kongcu, sebentar harap engkau menyeret aku
lari keluar. Kalau tidak, bila aku ditantang bertanding silat
dengan mereka, tentu aku bisa celaka,” kata A Cu.

“Baiklah,” sahut Toan Ki dengan suara agak gemetar,
nyata ia pun ketakutan.

1406




Begitulah selagi mereka berunding sambil melongaklongok,
hal itu segera dapat dilihat oleh seorang busu
penjaga itu, terdengar bentakannya, “Hai, kalian lagi
berbuat apa? Mata-mata musuh, tentu!”

Berbondong-bondong keempat busu lantas mendekati
Toan Ki berdua sambil membentak-bentak.

Terpaksa A Cu membusungkan dada dan memapak
maju, katanya dengan suara keras, “Hai, lekas beri
tahukan kepada Ciangkun kalian, katakan bahwa Kiau
Hong dari Kay-pang dan Buyung Hok dari Kanglam ingin
bertemu dengan Helian-tayciangkun dari Se He.”

Rupanya nama Buyung Hok tidak dikenal oleh orang-
orang Se He, tapi nama Kiau Hong telah mereka kenal
sebagai pangcu dari Kay-pang. Maka mereka agak
terkejut demi mendengar teguran A Cu itu, cepat busu
yang menjadi kepala jaga itu memberi hormat dan
menyapa, “O, kiranya Kiau-pangcu berkunjung kemari.
Maaf, silakan menunggu sebentar, segera kulaporkan
kepada Ciangkun.”

Habis berkata, ia terus putar tubuh berlari ke dalam
kuil dengan cepat.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara
trompet berbunyi, pintu kuil terbuka lebar, pemimpin Itbin-
tong dari Se He, Helian Tiat-si tampak menyambut
keluar bersama Nurhai dan jago-jago lainnya, di
antaranya terdapat Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In
Tiong-ho.
Anda sedang membaca artikel tentang Pendekar Negeri Tayli 8 dan anda bisa menemukan artikel Pendekar Negeri Tayli 8 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/pendekar-negeri-tayli-8.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Pendekar Negeri Tayli 8 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Pendekar Negeri Tayli 8 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Pendekar Negeri Tayli 8 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/pendekar-negeri-tayli-8.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...