Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 30 Juli 2012

Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1-Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1-Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1-Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1


1. Fitnah Berdarah
Hoasan di sebelah barat, Hengsan di sebelah timur,
Hengsan di sebelah selatan dan Hengsan di sebelah tengah,
merupakan Ngo-gak atau lima buah gunung yang termasyhur
di Tiongkok, (note: Hengsan-Hengsan itu ejaan sama, huruf
berlainan).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Di dunia ada tiga puncak yang sukar didaki", demikian
seorang penyair ahala Tong menulis. Kiranya yang
dimaksudkan itu ialah Tiau-yang-nia, Lian-hoa-nia dan Lokgan-
nia, tiga buah puncak dari pegunungan Hoasan yang
teramat curam serta berbahaya.
Cerita ini terjadi pada musim rontok, dimana daerah-daerah
di propinsi Tiongkok utara, sudah dilanda hawa dingin. Pohonpohon
layu, daun-daun berguguran. Angin barat mulai
menyanyi gemuruh. Suasana malam di pertengahan bulan
sembilan itu, gelap pekat sekali. Hanya beberapa bintang yang
menghias cakrawala pada malam nan panjang itu .........
Tak jauh dari kaki puncak Lok-gan-nia, terdapat sebuah
biara tua, walaupun karena tuanya, bangunan itu sudah
banyak yang rusak namun dari kejauhan wajah biara itu masih
memantulkan perbawa kemegahannya pada masa yang
lampau. Dalam malam nan pekat itu, suasana di biara itu
makin sunyi kelam, yang terdengar hanya desiran daun
pohon-pohon pek yang di sekeliling biara yang berguguran
ditiup sang angin. Suasana disitu makin menyeramkan.
Tiba-tiba dari kejauhan tampak ada sesosok bayangan
hitam lari seperti terbang menuju ke biara tua itu. Dalam
beberapa kejap saja, bayangan hitam itu sudah tiba di luar
tembok biara. Kiranya dia itu seorang pemuda berusia lebih
kurang duapuluh tujuh tahun, mengenakan pakaian ringkas
warna hitam, menyanggul sebatang pedang di belakang
bahunya. Perawakannya tegap besar.
Dia berhenti di muka biara dan memandang ke dalam.
Demi tampak dalam biara itu gelap gulita tiada penerangannya
sama sekali, hatinya tercekat. Merenungkan sejenak, dia
membungkukkan tubuh menghadap pintu, lalu berseru: „Tecu
Siau Hong yang berdosa, menerima titah untuk menghadap
insu."
Tecu artinya murid, in-su ialah guru yang berbudi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baru seruan itu diucapkan, sekonyong-konyong lampu
lentera dalam biara itu dinyalakan. Menyusul dari dalam biara
itu terdengar seorang tua berseru nyaring: „Kiranya kau masih
taat pada perguruan, masuklah!”
Siau Hong benarkan dugaannya bahwa sang suhu sudah
disitu. Buru-buru dia menyahut dengan hormatnya: „Tecu
menurut perintah!"
Setelah membetulkan pakaian, dia melangkah masuk.
Ruangan dalam biara itu ternyata penuh daun-daun kering
berserakan di lantai. Disana sini menunjukkan suasana tak
terpelihara dan banyak kerusakan. Satu-satunya yang masih
baik keadaannya ialah di bagian ruangan tengah. Disitu
terdapat sepetik penerangan yang remang-remang.
Tampak oleh Siau Hong, di ruangan tengah itu terdapat
sebuah meja sembahyangan yang besar. Meja itu, catnya
sudah banyak yang tetel (hilang). Di atas meja ditaruh sebuah
pelita minyak. Tertiup oleh angin malam, api pelita itu padampadam
menyala. Suasana disitu terasa menyeramkan sekali.
Di depan meja tampak duduk bersila seorang tojin tua yang
bertubuh kurus dan pendek. Sepasang matanya dikatupkan ke
bawah. Melihat sang suhu, Siau Hong bergegas-gegas masuk
lalu berlutut. Dengan kepala menunduk, dia berdatang
sembah: „Dengan hormat tecu datang menghadap insu."
Sepasang alis tojin itu agak dijungkatkan, sepasang
matanya berkilat dan kedengaran mulutnya berkata pelahan:
„Jadi kau masih mengakui insumu ini?”
„Insu .....,” tersipu-sipu Siu Hong menjawab dengan nada
getar.
„Siau Hong, angkatlah kepalamu!" kata tojin tua itu.
Siau Hong menurut. Baru dia gerakkan kepala, “trang” ......
sebuah badik dan sepucuk sampul surat, melayang jatuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dihadapannya. Melihat itu wajah pemuda itu berobah seketika.
Kembali dia tundukkan kepala.
„Kau tahu kedosaanmu?” seru tojin itu dengan tertawa
dingin.
Siau Hong mendongak, menatap wajah suhunya yang
keren. Sahutnya dengan nada tergetar: „Sejak tecu
menjalankan titah insu untuk berkelana di dunia persilatan
selama lima tahun, rasanya tecu tak melakukan sesuatu hal
yang melanggar larangan perguruan. Bulan yang lalu setelah
menerima ceng-hu-leng (“Pertandaan kupu hijau", untuk
meminta pertanggungan jawab sesuatu kesalahan), tecu
renungkan bolak balik tanpa mengerti apa kesalahan tecu itu.
Kini insu menjatuhkan dakwaan ‘dosa tak berampun' kepada
diri tecu, makin kacaulah perasaan tecu. Mohon insu sudi
menjelaskannya."
Tojin tua itu mendengus, tukasnya: „Hem, benar-benar tak
menginsyafi. Jawablah pertanyaanku ini, setiap anak murid
kita yang berbuat zinah, apakah hukumannya?”
„Berharakiri membelek dada, selaku menghaturkan terima
kasih kepada perguruan," sahut Siau Hong.
„Bagus! Lebih dahulu bacalah surat itu!” kata si tojin.
Siau Hong memungut sampul surat itu, lalu membacanya.
Habis membaca, dia kucurkan keringat dingin.
“Siapakah yang melakukan fitnah sedemikian kejinya ini.
Memutar balikkan kenyataan dan mendakwa aku sebagai
seorang yang berlumuran dosa tak berampun?” diam-diam
Siau Hong membatin. Teringat dia akan watak pribadi suhunya
yang keras terhadap setiap kejahatan. Menilik suhunya begitu
cenderung percaya pada fitnahan itu, bergidiklah Siau Hong.
Tapi baru dia hendak buka mulut membela diri, suhunya
sudah mendahului: „Sekarang apa kau sudah mengetahui
kedosaanmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Insu, surat itu sengaya hendak memfitnah tecu, memutar
balikkan kenyataan, putih dikatakan hitam. Dan lagi surat itu
tentu bukan Shin-tok locianpwe yang menulis, karena .........”
„Diam! Bagaimana kau dapat memastikan surat ini bukan
ditulis Shin-tok Kek, hem, dalam keadaan begitu rupa, kau
masih hendak membersihkan diri. Benar dengan Giok-hou
Shin-tok Kek aku digolongkan dalam daftar sepuluh Datuk
persilatan, tapi selama ini aku tak pernah berhubungan
dengan dia. Jika harus menunggu sampai dia datang sendiri
meminta pertanggungan jawab ke biara Siang Ceng Kiong sini,
dimanakah mukaku hendak kusembunyikan?"
Tojin tua itu berhenti sejenak, lalu berseru pula: „Siau
Hong, pantangan dari Siang Ceng Kiong kita sangat keras.
Terhadap siapapun murid yang melanggar, tiada
pengecualiannya. Meskipun kau adalah murid kesayanganku
yang kuwarisi seluruh kepandaianku, tapi dalam hal ini,
akupun tak dapat memberi ampun padamu. Oleh karena kau
sudah mengetahui sendiri apa hukuman menurut perguruan
kita, rasanya tentu tahulah sudah bagaimana kau harus
bertindak. Nah, kau habisi jiwamu sendirilah!"
Melihat suhunya dirangsang hawa amarah, Siau Hong
insyaf segala pembelaan tentu tak berguna. Akhirnya
berkatalah dia dengan rawan: „Sejak tecu tinggalkan
perguruan selama lima tahun, tecu merasa yakin tak pernah
berbuat sesuatu hal pelanggaran besar. Sekalipun ada
kesalahan, tapi bukan dosa tak berampun. Dua bulan yang
lampau, dua kali tecu naik gunung tetapi insu kebetulan
sedang berkelana, jadi tak dapat menjumpai ..........”
„Kini insu ternyata percaya penuh bunyi surat itu, walaupun
tecu tak berani membantah, tapi dalam sanubari, tecu tetap
menolak tuduhan itu. Tecu telah menerima budi besar dari
insu, apa yang insu titahkan, tecu tak berani ingkar. Tecu
sedia bunuh diri, hanya saja tecu berharap semoga
dikemudian hari, dosa yang dituduhkan kepada tecu itu dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dibersihkan, sehingga nama tecu dapat direhabilitasi
(dikembalikan) pula. Dengan begitu, dapatlah tecu meram di
alam baka. Untuk budi besar yang insu limpahkan itu, kelak
dipenjelmaan lagi, barulah tecu dapat membalasnya!"
Ucapan itu ditutup dengan menyambarnya badik di atas
lantai dan secepat kilat, “cret .......” badik itu tertanam di dada
Siau Hong. Darah menyembur, tubuh terkapar!
Berbareng dengan rubuhnya tubuh pemuda itu, si tojin tua
berputar tubuh. Rupanya diapun tak tega melihat murid
kesayangannya mengakhiri hidupnya secara begitu
mengenaskan!
Tiba-tiba dari jauh di luar biara sana, terdengar kumandang
tertawa memanjang macam naga meringkik. Mendengar itu, si
tojin tua berobah wajahnya, ya, hanya dalam berapa kejapan
mata saja, suara tertawa itu sudah berada di luar biara. Dan
pada lain kejap lagi, seorang tua bertubuh gemuk pendek dan
berwajah merah muncul di ruangan tengah itu bersama
seorang nona yang mengenakan baju warna merah.
Demi melihat tubuh Siau Hong terkapar di lantai,
menjeritlah nona itu, terus lari menubruknya. Si orang tua
gemuk pendek banting-banting kaki menghela napas:
„Terlambat setindak .........”
Sewaktu tojin kate itu terkejut melihat kedatangan tamutamu
yang tak diundang itu, si orang tua gemuk tertawa keras
dan menegurnya: „Ay-kui, sudah beberapa tahun kita tak
berjumpa, tak kunyana temperaturmu (hawa panas), masih
seperti dulu. Mengapa kau tinggalkan biara Siang Ceng Kiong
yang megah dan mengadakan persidangan di biara rusak
semacam ini? Sebenamya, kesemuanya itu omong kosong
belaka. Aku hanya hendak bertanya sepatah padamu,
bukankah anak itu kau yang mendesaknya supaya bunuh
diri?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepasang alis si tojin kate berjungkat. Ujarnya: „Bok loji,
aku tengah menjalankan peraturan kaumku, mengadakan
pembersihan perguruanku, apa sangkut pautnya dengan kau?
Akupun hendak balas bertanya padamu, siapakah anak
perempuan itu?”
Si orang tua gemuk tertawa terbahak-bahak, sahutnya
dengan sinis: „Hebat sekali rasanya peraturan dan
pembersihan yang kau lakukan itu, ha? Aku Siau-sian-ong Bok
Tong memang suka usil, ini diketahui oleh orang sejagat. Coba
katakan, apa dosa anak itu hingga kau paksa supaya bunuh
diri!"
Tojin tua yang dipanggil Ay-kui (setan cebol) oleh si orang
tua gemuk yang bergelar Siau-sian-ong atau Dewa Tertawa
itu, menyahut dengan dingin: „Dia melakukan zinah, tidakkah
selayaknya dihukum mati!"
Si Dewa Tertawa Bok Tong tersenyum: „Hem, kiranya
begitu!" Secepat itu, wajahnya berobah sungguh-sungguh,
katanya pula: „Apa kau mempunyai bukti?”
Si tojin pendekpun tak kurang marahnya, lantang-lantang
dia menghardik: „Aku mengurus anak perguruanku sendiri,
apa sangkutannya denganmu? Datang-datang kau lantas
marah-marah, aturan mana itu? Kalau tak mengingat kita
bersama dijajarkan dalam sepuluh Datuk, malam ini aku tentu
minta keadilan padamu?”
Kemudian menunjuk ke arah si nona baju merah yang
menelungkupi tubuh Siau Hong dengan menangis terlara-lara,
bertanya pula dia: „Bok loji, siapakah budak perempuan itu?"
Si Dewa Tertawa tertawa: „Sudah tentu aku tak berhak
mencampuri urusan rumah tangga perguruanmu. Jangankan
kau bunuh seorang, sekalipun kau sembelih sepuluh-duapuluh
anak muridmu, akupun tak peduli. Tentang pernyataanmu
untuk minta keadilan padaku, memang aku sudah jemu hidup
begini lama, maka alangkah bahagianya kalau aku dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertemu dengan seorang tojin berilmu yang dapat
menyempurnakan jiwaku, hanya saja ......”
Berkata sampai disini, dia terhenti sejenak, lalu kembali
tertawa keras: „Ay-kui, sudahlah jangan omongkan yang
tidak-tidak. Bukankah kautanyakan anak perempuan itu? Dia
adalah anak pungutku puteri si Rase Kumala (Giok-hou) Shintok
Kek yang bernama Shin-tok Lan. Karena dialah maka
kudatang dari ribuan li akan meminta keadilan padamu. Nah,
kini janganlah salahkan lohu kalau usilan!”
Mendengar itu si tojin pendek terkejut dan marah. Namun
si Dewa Tertawa tak menghiraukannya, dia melangkah
menghampiri kedekat si Lan. Dibelai-belainya rambut nona
baju merah itu, katanya: „A Lan, orang yang sudah mati
takkan hidup lagi, menangispun tiada berguna. Malam ini aku
si tua bangka ini tentu akan minta peradilan pada setan
pendek itu."
Sampai pada saat itu, si tojin pendek tak dapat menguasai
dirinya lagi. Tertawalah dia dengan sinis: „Bok loji, apa kau
kira akupun tak layak minta keadilan padamu?"
Memandang ke arah si nona baju merah dengan perasaan
menghina, tojin pendek itu berkata pula: „Ia puterinya si Rase
Kumala, itu sungguh kebenaran sekali. Jangan membabi buta
lemparkan tuduhan padaku dulu, tapi lihatlah surat ini,
kemudian baru nanti akan kuminta pertanggungan jawabnya
Shin-tok Lan yang telah memikat muridku!"
Sekarang giliran si Dewa Tertawa Bok Tong yang terkesiap.
Melihat kesungguhan wajah tojin pendek itu, tentulah ada
bukti yang kuat. Benar ketua Siang Ceng Kiong itu pemarah
dan berhati tinggi (angkuh), tapi pribadinya amat keras
terhadap kejahatan, baginya putih tetap dikatakan putih,
hitam ya hitam. Kalau tiada memegang bukti, tak nanti dia
seyakin itu. Berpaling ke belakang, Bok Tong melihat si Lan
masih menangisi jenazah Siau Hong, tanpa mempedulikan
percakapan kedua tokoh itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Shin-tok Lan lurus perangai dan Siau Hong seorang murid
terkemuka dari perguruan terkenal. Sepintas tinjau, keduanya
tentu tak mungkin berbuat sesuatu yang melanggar
kesusilaan. Tapi apabila seorang pemuda itu galang-gulung
dengan seorang pemudi, kemungkinan pelanggaran itu
memang mungkin terjadi. Menilik anak perempuan itu begitu
mendukai kematian Siau Hong, kecenderungan tuduhan itu
bukan tak mungkin. Ah, kalau benar demikian halnya,
bagaimana tindakanku nanti .........?”
Demikian Bok Tong menimang-nimang dalam hati. Tapi
pada lain kilas, dia berpikir: „Ah, sekalipun benar begitu, toh
Shin-tok si rase tua itu sebelumnya sudah merestui
perkawinan itu. Jadi kalau terjadi pelanggaran itu, sekalipun
Siau Hong harus mendapat hukuman tapi tak seharusnya
dihukum mati. Ah, mengapa perlu jeri terhadap setan cebol
ini!"
Dengan kesimpulan itu, si Dewa Tertawa menjemput surat
dari sisi tubuh Siau Hong, lalu dibacanya:
Dihaturkan kepada yth.,
Goan Goan Totiang
di biara Siang Ceng Kiong
Dengan hormat,
Lama nian aku mengagumi kebesaran nama totiang dan
kediaman totiang di gunung Mosan yang terkenal keindahan
alamnya. Sayang sang waktu belum mengizinkan.
Ada suatu hal yang perlu kumohon perhatian dari totiang.
Pada musim semi yang lalu ketika siao-li (anak perempuanku)
Shin-tok Lan berkelana di dunia persilatan, secara tak terduga
telah berkenalan dengan murid totiang yang bernama Siau
Hong. Lekas sekali keduanya makin erat hubungannya, saling
membantu saling tukar menukar ilmu silat. Tapi ternyata Siau
Hong itu berhati culas. Menggunai kesempatan yang tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terduga, dia telah berani berbuat sesuatu yang hina, sehingga
kesucian siao-li tercemar. Ini suatu perbuatan zinah yang
membangkitkan kemarahan umum.
Demi menjaga nama baik perguruan totiang, maka telah
kukirim seorang anak murid untuk menghukum siao-li. Dalam
pada itu, mengingat totiang seorang ulama yang memegang
teguh kesucian dan peraturan perguruan, maka dengan ini
mengharap dengan hormat agar menjatuhkan hukuman
kepada Siau Hong.
Kubersedia menantikan kabar baik totiang dalam waktu tiga
bulan. Apabila belum menerima kabar apa-apa, maaf, aku
terpaksa akan membikin kunjungan pribadi kepada totiang,
untuk mohon keadilan.
Sekian terhiring doa selamat dan hormat.
Pemilik gubuk Kiam-jui-suan dari lembah Liu-hun-kiap
gunung Tiam-jong-san.
Waktu membaca jantung Bok Tong serasa mendebur keras
bahna saking kejutnya. Akhirnya dia menghela napas longgar.
Surat disimpan ke dalam baju, lalu katanya: „Kukira sebuah
bukti apa, sehingga telah menggoncangkan seorang datuk
persilatan seperti Goan Goan totiang yang dengan tak
menghiraukan jarak ribuan telah perlukan datang ke biara tua
sini untuk mengadakan persidangan. Ay-kui, kecuali surat ini,
apakah masih ada bukti lain?"
“It-ceng, ji-to, sam-siancu, Giok-hou, Song-sat, Siau-sianong''.
Demikian orang persilatan menggelari nama dari ke
sepuluh Datuk itu. Artinya ialah: seorang paderi, dua orang
tojin (imam), tiga dewa, si Rase Kumala, sepasang iblis dan si
Dewa Tertawa.
Goan Goan totiang yang digolongkan dari ji-to (2 orang
tojin) itu, tampak membesi wajahnya demi ditertawai oleh si
Dewa Tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Apakah surat itu belum cukup menjadi bukti?" serunya
dengan nada berat.
Tertawa si Dewa Tertawa atau Siau-sian-ong: „Fui!
Kecewalah kau seorang setan pendek yang tak kenal malu.
Siapakah yang mengatakan kau seorang alim ulama yang taat
bersembahyang dan tak pernah limbung pikiranmu? Tidakkah
kau pernah melihat seekor babi berjalan? Walaupun tak
pernah berhubungan dengan setan tua she Shin-tok itu,
sedikitnya kau mempunyai telinga untuk sekurang-kurangnya
mendengar juga akan wataknya yang serba sederhana, aneh
dan tenang sabar. Tidak seperti dirimu, seorang yang mudah
marah-marah. Kecewa kiranya kau hidup sampai sekian tua,
tapi ternyata mudah percaya akan sebuah surat palsu
sehingga mengorbankan seorang murid. Sudah begitu, kau
masih berani jual lagak mau memarahi orang. Huh, kalau
malam ini kau tak memberi keadilan padaku, jangan harap
dapat keluar dari biara rusak ini!"
Mendengar itu bukan kepalang kejut Goan Goan totiang.
Tersipu-sipu dia menegas: „Bok loji, benarkah ucapanmu itu?”
„Masakan lohu sudi membohongimu!" sahut Bok Tong.
„Kalau begitu, coba kau terangkan ciri-ciri kepalsuan surat
itu!"
Si Dewa Tertawa sejenak sapukan matanya ke arah Goan
Goan totiang, kemudian dengan wajah keren dia berkata:
„Ketahuilah, sepanjang hidupnya Shin-tok si lokoay itu,
seorang pemuja seni keindahan. Dia seorang ahli penyair, ahli
musik, main catur, menulis dan melukis. Dalam bidang-bidang
kesenian itu, dia mahir semuanya. Baik ilmu sastera dan ilmu
silat, dia seorang gene (bakat) yang cemerlang.
Pengetahuannya amat luas, otaknya sangat tajam. Oleh
karena itulah maka kaum persilatan menggelarinya dengan
julukan Giok-hou (Rase Kumala). Sebuah julukan yang
mengunjukkan kekaguman dan pemujaan. Berpuluh tahun
lamanya dia begitu gandrung dengan gelaran itu. Baik menulis
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
surat maupun meninggalkan alamat nama dimanapun, selalu
dia memberi sebuah simbol yang berupa lukisan seekor rase
terbang berwarna putih perak.”
„Tapi coba kauperiksa surat tadi. Disitu hanya dibubuhi tiga
buah huruf nama Shin-tok Kek. Ini berlawanan dengan
kebiasaannya. Demikian alasanku yang pertama. Dan yang
kedua kalinya. Selama menulis, Shin-tok lokoay tentu
menggunakan huruf bentuk aliran ahala Song, kurus namun
kuat. Tetapi huruf-huruf dalam surat ini, menggunakan bentuk
aliran ahala Gui. Benar guratannya cukup gagah, tapi yang
terang, bukanlah buah tangan si lokoay she Shin-tok itu.”
„Pribadi lokoay itu dingin, tinggi hati. Angkuhnya bukan
kepalang. Kalau benar Siau Hong gunakan tipu muslihat
mencemarkan anak gadisnya yang tunggal itu, masakan dia
begitu sungkan mau memberi tempo tiga bulan padamu?
Mungkin siang-siang Siang Ceng Kiong sudah akan ludas
sampai ayam dan anjingnya semua. Inilah alasan yang
ketiga.”
„Nah, dengan tiga faktor itu, cukuplah membuktikan surat
itu palsu adanya. Disamping itu, seorang jumawa macam si
lokoay Shin-tok, ternyata penuju kepada murid kesayanganmu
itu. Terhadap pribadi dan ilmu silat Siau Hong, dia memberi
pujian tinggi dan menilainya sebagai seorang tunas muda
yang berbakat. Tiga bulan yang lalu, dia memberi restu
puterinya diperisteri Siau Hong, Sebuah mainan kumala milik
Siau Hong, diambilnya selaku panjar pertunangan, kemudian
disuruhnya kedua calon pasangan itu menuju ke Mosan guna
meminta persetujuanmu. Turut keterangan si Lan, dua kali
Siau Hong pulang ke Mosan, tapi tak berhasil menemuimu
karena kau sedang keluar pintu. Jadi tak dapatlah dia
memberi laporan kepadamu.”
„Duapuluh hari yang lalu, secara kebetulan dari mulut
seorang penjahat aku memperoleh keterangan, bahwa ada
seseorang hendak mencelakai kedua anak muda itu secara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggelap. Walaupun lika-likunya belum jelas, tapi pertama,
budak perempuan itu adalah anak pungutku, kedua, memang
aku si tua bangka ini suka usilan mengurus perkara. Maka
akupun tak segan-segan lagi mencari mereka. Tiga hari
kemudian, baru kujumpai mereka diperbatasan Kansu. Tapi
kala itu karena menerima lencana Ceng-hu-leng, Siau Hong
sudah bergegas menuju ke Hoasan sini. Mendengar itu,
segera kuajak si Lan menyusul. Tapi cialat ....... ternyata
sudah terlambatlah. Kaulah seorang setan cebol yang
senantiasa menuruti nafsu sendiri, sehingga menghancurkan
sebuah mahligai perjodohhan yang bahagia!"
Bok Tong mengakhiri penuturan dan dampratannya itu
dengan sebuah helaan napas panjang ...... Goan Goan Cu
tegak membisu, rupanya sang nurani berkabut sesal. Namun
wataknya yang keras itu, melarang mulutnya mengakui
kesalahannya. Dengan wajah muram, dia mondar-mandir
sembari tundukkan kepala. Sejenak kemudian .........
Tiba-tiba dilihatnya Siau-sian-ong Bok Tong yang berdiri di
pinggir itu, memandangnya dengan senyum sinis, seolah-olah
mengejeknya. Seketika bangkitlah hawa amarahnya!
„Bok loji, taruh kata apa yang kau beberkan tadi benar
semuanya, tapi masih hendak kutanya padamu, apakah
mereka berdua itu, seperti apa yang dikatakan surat itu, sudah
melakukan perbuatan yang terlarang?" serentak dia ajukan
pertanyaan. Suatu pertanyaan yang membuat si Dewa
Tertawa pusing tujuh keliling.
“Ah, bagaimana harus kujawab pertanyaan itu,” dia
mengeluh dalam hati. Tanpa terasa, dia melirik ke arah Shintok
Lan, lalu menundukkan kepala.
„Bok loji, kiranya kau tak dapat menjawab hal itu!" Goan
Goan Cu tertawa dingin.
Seketika wajah seperti bulan purnama dari Dewa Tertawa
itu, merah padam. Tiba-tiba dia mendongak dan tertawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keras. Serunya: „Ay-kui, kalau kau mengira aku bungkam
dalam seribu bahasa, itu salah besar. Seorang anak muda
yang sudah mendapat izin pernikahan dari orang tuanya,
mungkin ada kalanya tak dapat mengendalikan diri. Tapi hal
itu hanyalah soal formalitas (peresmian) belaka, sekali-kali tak
dapat dikatakan melanggar susila, lebih tak dapat dituduh
berzinah pula. Apalagi mereka tidak ...........”
„Bagaimana kauyakin kalau tidak? Hem, dengan mengingat
pertunangan tanpa meminta persetujuan pihak guru, dalam
perguruan kami sudah berarti dosa. Kalau bukan kawanan tua
bangka yang enggan mati seperti kamu yang berdiri di
belakangnya, dia tentu tak sebesar itu nyalinya!"
Goan Goan berhenti sejenak, lalu menyambungnya lagi:
„Bok loji, kau telah mencampuri urusan dalam Siang Ceng
Kiong, apa katamu selanyutnya?”
Amarah Goan Goan makin membara, nadanya makin keras.
Mukanya yang kurus berobah-robah wamanya. Kuning
menjadi putih, lalu kereng gelap.
Diam-diam Bok Tong mengeluh. Melihat naga-naganya,
sukarlah urusan malam ini diselesaikan secara damai. Tapi
diapun seorang jago tua yang masih suka turuti hawa nafsu.
Sekalipun suasana menjadi genting, namun sedapat mungkin
dia tetap berlaku tenang.
Menatap ke arah wajah Goan Goan Cu, dia tertawa
mengikik: „Ay-kui, untuk minta aku membayar keadilan,
mudah sekali. Kecuali terhadap diri Siau Hong calon anak
menantuku yang gagal itu, akupun berhak mencampuri urusan
orang-orang yang suka jual kejumawaan.”
Bahwa setelah sadar dirinya tertipu surat kaleng sehingga
keliru membunuh murid kesayangannya, Goan Goan Cu sudah
penuh sesal. Kini tambahan lagi didamprat dengan tertawa
oleh si Dewa Tertawa, darahnya naik. Untuk ejekan yang
terakhir dari Bok Tong itu, tak dapat dia kendalikan diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
---ooo0dw0ooo---
2. Pertempuran Dua Datuk Persilatan
„Bok loji, kau keliwat menghina!" bentaknya dengan
menggerung. “Wut,” dia jotos dada Bok Tong.
Tahu karena malu orang lantas marah-marah, si Dewa
Tertawa gerakan tangan menangkis, seraya berseru setengah
mengejek: „Bagus!"
Begitu angin pukulan lawan hampir mengenai tubuh, Bok
Tong angkat kaki kirinya ke atas. Dengan berdiri pada kakinya
kanan, dia berputar-putar macam daun teratai tertiup angin.
Secepat pukulan orang lalu di sisinya, dia kibaskan lengan
baju kiri dalam gerak hun-hoa-hud-liu (bunga berhamburan,
batang liu bergoyang). Cepat laksana kilat, dia sambar jalan
darah meh-bun-hiat lawan.
Sebelum Goan Goan Cu sempat merobah serangannya,
laksana burung elang menyambar anak ayam, tangan kanan
merangkul pinggang Shin-tok Lan. Sekali tubuh bergerak,
Dewa Tertawa itu sudah menerbangkan anak dara itu keluar
ruangan.
Shin-tok Lan ternyata sudah seperti patung tanpa jiwa. Ia
tak tahu sama sekali akan kegentingan kedua tokoh datuk itu.
“Ah, cinta itu memang dapat membutakan orang.”
Demikian pikir Bok Tong.
Ditepuknya pelahan-lahan bahu nona itu, katanya „Lan,
setan kate itu sukar dihadapi. Kuatkanlah semangatmu dan
bersembunyi di belakang, agar jangan sampai kesasar
terluka!"
Dengan berlinang-linang air mata, Shin-tok Lan mengawasi
si Dewa Tertawa sembari mengangguk-angguk. Tapi entah dia
mendengar tidak kata-kata Bok Tong itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Saat itu Goan Goan Cu sudah mengejar keluar. Wajahnya
membesi, rambut janggutnya menjulai tegak, pertanda
kemarahannya yang meluap-luap. Berdiri di atas tangga
ruangan, dia menatap Bok Tong dan tertawa dingin beberapa
kali.
„Bok loji, kau kira dapat melarikan diri, hem, tidaklah
semudah itu?”
Siau-sian-ong tertawa gelak-gelak, sahutnya: „seumur
hidup, lohu tak dapat menulis kata-kata “lari". Mari, marilah,
ruangan dalam amat sempit, lohu akan menemanimu
bermain-main disini, agar kau si setan kate ini dapat mati
dengan meram.”
Tanpa menyahut, Goan Goan Cu melambung setombak
tingginya, dua buah lengan dipentang ke atas, dalam gerak
kim-tiau-can-ki (burung alap-alap pentang sayap), dia
menyerang ke bawah. Serangkum angin keras, menyerbu atas
kepala Bok Tong.
Kuatir kalau Shin-tok Lan terluka, buru-buru dia dorong
nona itu mundur, kemudian dengan gerak oh-gan-kiau-hun
atau rebah melihat awan, setengah mendongak ke atas, dia
miringkan tubuhnya ke samping. Sebuah jurus yang indah,
dan lihay, hingga dengan mudahnya serangan Goan Goan Cu
tadi dapat dielakkan.
Dua kali serangannya dapat dihindari, marah Goan Goan Cu
meluap-luap. Begitu turun ke bumi, sepasang lengan
dijulurkan lurus ke muka dalam jurus keng-thau-liat-an
(ombak dahsyat mendampar tepi). Angin yang mengandung
tenaga macam barisan gunung rubuh ke laut, menyambar ke
arah Siau-sian-ong.
Dewa Tertawa ini tetap berseri wajahnya. Kaki kiri agak
dilintang dalam kuda-kuda to-jay-chit-sing-poh, lengan baju
dikibaskan terbalik, dua buah tangannya gemuk kemerahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
merahan, didorongkan ke muka dada. Nyata dia hendak
menyambut kekerasan dengan kekerasan juga.
Keduanya adalah dua datuk dari zaman itu. Mereka samasama
tergolong dalam sepuluh Datuk. Jadi bagaimana
kesaktian mereka, kiranya tak perlu komentar panjang lebar
lagi. Cukuplah dikatakan hebat, dahsyat, menggemparkan!
Sewaktu rumput-rumput yang kena terbabat sambaran
angin pukulan mereka itu sama berhamburan terbang
kemana-mana, dua-duanya ternyata sama mundur dua
langkah. Si Dewa Tertawa wajahnya memerah darah, rambut
kepalanya yang sudah putih, sama menjingkrak.
Sedang wajah Goan Goan Cu berwarna kelabu besi,
sikapnya keren sekali. Mereka berdua terpisah dua tombak,
tegak membisu saling berpandangan. Dua-duanya sama
menginsyafi, bahwa lawannya ternyata memang tak bernama
kosong. .
Sejenak kemudian, tiba-tiba Siau-sian-ong tertawa keras,
serunya: „Ay-kui, kalau belum menguji kepandaian tentu
belum ada penyelesaian. Nah, kaupun harus menerima
pukulan satu kali!"
Mulut berkata, tangan menghantam. Serangkum angin
panas segera menyerang Goan Goan Cu.
Tojin inipun tak mau unjuk kelemahan. Kaki kiri agak
mundur setengah langkah, kedua tangan dibalikkan ke muka
untuk mengadu kekerasan. Kembali terdengar suara tamparan
yang dahsyat.
Kedua bahu Siau-sian-ong bergoyang-goyang, tubuhnya
menyurut ke belakang sampai dua langkah.
Sedangkan Goan Goan Cu, ternyata tersurut sampai tiga
langkah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam suatu pertandingan para tokoh ternama, terpaut
seinci dua saja, sudah dapat diketahui menang kalahnya. Jadi
menurut ukuran, Goan Goan Cu harus mengaku kalah unggul.
Saat itu wajahnya yang kurus tirus, menjadi merah padam.
Sepasang matanya memancarkan sinar api. Sekonyongkonyong
tojin ini menggerung keras. Melangkah maju,
sepasang tangan dipecah, dengan gerak song-yang-hing-chiu
(sepasang matahari memencar tangan), dia merangsang jalan
darah ki-bun-hiat Bok Tong.
Walaupun sudah unggul, namun Bok Tong cukup
menginsyafi bahwa serangan Goan Goan Cu yang dilancarkan
dengan penuh kemarahan itu, hebatnya bukan kepalang.
Serangan kalap yang dilakukan oleh seorang tokoh dari
sepuluh Datuk, dapat dibayangkan kedahsyatannya. Diapun
tak berani lengah. Begitu tubuh setengah diputar ke belakang,
lebih dahulu dia kirim dorongan tangan kiri ke arah Shin-tok
Lan. Begitu nona itu terdorong mundur sampai dua tombak
lebih, baru dia berjumpalitan mundur untuk menghindari
serangan lawan.
Goan Goan Cu tertawa dingin. Bagaikan bayangan dia
membayangi maju.
„Mau lari kemana kau!" bentaknya dengan keren. Tangan
kanan dihantamkan ke muka, sambaran anginnya dibuat
mencegat Bok Tong yang hendak lari mundur. Dalam pada itu,
tangan kiri digerakkan dalam jurus oh-liong-tham-cu (naga
hitam merebut mustika), mencengkeram jalan darah yu-kianhiat.
Terperanjat juga Bok Tong melihat gaya serangan Goan
Goan Cu yang sedemikian dahsyatnya itu. Kalau tak berusaha,
tentu dia akan mati berdiri. Secepat otaknya bekerja, tiba-tiba
dia berhenti tegak. Dengan begitu dapatlah secara indah dan
mengagumkan, dia biarkan rangsangan lawan lewat di sisi
bahunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagi tokoh persilatan kelas berat, menang kalahnya
bertanding, hanya berlangsung dalam beberapa detik saja.
Cara menghindar dari Siau-sian-ong Bok Tong itu, luar biasa
berbahayanya. Serambut saja dia kurang tepat bergerak kalau
tak binasa tentu akan terluka berat. Benar-benar ajaib dan
mengherankan, sehingga seorang tokoh Goan Goan Cu
sampai terkesiap dibuatnya.
Adalah diwaktu lawan tertegun, bukannya mundur
sebaliknya si Dewa Tertawa malah maju. kedua lengan
disorongkan ke muka, jari dan kepalan digunakan menyerang.
Sekali gus dia lancarkan tiga buah serangan.
Dirangsang secara begitu, Goan Goan Cu terpaksa mundur
dua langkah.
Mendapat hati, Bok Tong tak mau sia-siakan kesempatan,
cepat dia gunakan ilmu simpanannya tun-yang-cap-pwe-ciap
(delapanbelas buah pembuka hawa yang murni) untuk
memburu Goan Goan Cu.
Goan Goan Cu pun segera gunakan ilmunya yang sudah
termasyhur di kolong persilatan yakni sam-im-coat-hu-ciang,
untuk menghadapi lawan. Sam-im-coat-hu-ciang artinya ilmu
pukulan "tiga pukulan hawa negatif pemusna”. Keduanya
sama meyakinkan ilmunya selama berpuluh tahun. Tun-yangcap-
pwe-ciap, sifatnya keras macam hawa positif. Sedang
sam-im-coat-hu-ciang berkadar lunak lemas macam kapas.
Dua-duanya dapat menguasai permainannya sedemikian
rupa, hingga seolah-olah orang dan gerakannya menunggal
jadi satu. Yang tampak hanya berkelebat bayangan kelabu
dan kuning dengan sebentar-sebentar kedengaran suara
tamparan keras yang memecah telinga. Setiap gerak, setiap
jurus, mengandung angin hawa kong-gi. Ruangan depan yang
sekian besamya itu, seolah-olah dilingkungi oleh sambaran
angin pukulan mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam biara tua di atas pegunungan Hoa-san yang sunyi
senyap itu, terjadi pertempuran dahsyat yang jarang terjadi di
dunia persilatan. Dalam sesingkat waktu saja, pertempuran itu
sudah berlangsung lebih dari seratus jurus.
Selagi kedua datuk itu bertempur mati-matian saling
keluarkan keyakinannya selama berpuluh tahun itu,
sekonyong-konyong terdengar tembok rubuh yang gempar.
Api muncrat, disusul dengan sebuah jeritan yang
menyeramkan.
Kedua tokoh yang sedang bertempur itu kaget tak terkira.
Tanpa ajak-ajakan, mereka sama loncat keluar jendela:
Ternyata mereka dapatkan bahwa ruangan dalam tempat
Goan Goan Cu mengadili muridnya tadi, karena temboknya
sudah banyak yang pecah, tak kuat menahan deru sambaran
angin yang terbit dari hantaman kedua tokoh itu. Ruangan itu
kini ambruk seluruhnya, dan mayat Siau Hong pun teruruk di
bawahnya. Jeritan seram tadi, keluar dari mulut Shin-tok Lan.
Saat itu Shin-tok Lan laksana seorang gila, tangisnya
mengiang-ngiang „engkoh Hong, engkoh Hong”. Luapan
hatinya yang hancur berkeping-keping, membuat tubuhnya
gemetar terhuyung-huyung. Tanpa menghiraukan segala apa,
nona yang bemasib malang itu segera lari menuju
ketumpukan puing, lalu jatuhkan diri, menelungkupi dan
menangis tersedu-sedan.
Suasana yang penuh hawa pembunuhan tadi, seketika sirap
berganti dengan suasana sayu yang merawankan. Tiada tahan
lagi si Dewa Tertawa menahan haru napasnya.
“Mengapa nasib yang menyedihkan, menimpa diri nona
yang baik itu? Mana ia dapat menahan kedukaan yang
sehebat itu, ah, lohu tak boleh membawa kemauan sendiri!”
pikirnya.
Kuatir Shin-tok Lan akan menderita goncangan bathin yang
hebat, maka Bok Tong segera loncat menghampiri. Masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terpisah beberapa meter jauhnya, dia gerakkan jarinya
menusuk. Tenaga tusukan dari jauh itu, cukup membuat si
nona rubuh.
Setelah itu Siau-sian-ong berputar tubuh menghadap ke
arah Goan Goan Cu, serunya: „Ay-kui, rupanya perhitungan
malam ini belum dapat dibereskan. Si Lan menanggung derita
hebat, agar jangan melukai hawa murninya, perlulah harus
lekas-lekas ditolong. Dalam hal ini karena aku si tua bangka
sudah campur tangan, jadi tentu akan bertanggung jawab
penuh. Tentang soal apakah kesalahan Siau Hong layak
mendapat hukuman sekejam itu, dan siapakah yang mengirim
surat fitnah berdarah itu, kelak aku tentu menyelidiki sampai
terang. Dengan begitu kiranya tentu dapat membuat seorang
setan kate seperti kau ini akan mengakui ketololanmu.
Matahari tetap akan bersinar, kalau kita berdua tua bangka ini
masih sama hidup, lohu tentu akan mengunyungi Siang Ceng
Kiong untuk membereskan semua persoalan ini!"
Tanpa menunggu jawaban Goan Goan Cu, tubuh Shin-tok
Lan dikepitnya. Sekali bergerak tubuh orang tua gemuk itu
sudah melambung dua tombak tingginya, disitu dia
berputaran, lalu bagaikan seekor burung garuda terbang, dia
sudah melayang keluar dari biara rusak itu. Suara tertawa
keras macam naga mengaum, terdengar dari arah luar, makin
lama makin jauh dan pada lain saat sirap lenyap.
Kini yang tertinggal hanya si tojin pendek Goan Goan Cu.
Ditabur oleh angin malam nan dingin, matanya terpaku
memandang ke arah tumpukan puing yang menguruk jenazah
Siau Hong.
Pikiran melayang, hati berkabut sesal ..........
Dinihari di awal musim panas. Bulan dan bintang di
cakrawala mulai menjuram. Barisan gunung yang merupakan
tapal batas antara propinsi Siamsay selatan - Kansu - Suchan,
mulai menampilkan puncak-puncaknya dari selimut awan
malam. Awan yang beterbaran itu, dihias dengan latar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belakang langit yang berwarna keperak-perakan, membuat
pemandangan alam pegunungan dikala menjelang pagi itu,
sebuah panorama yang indah menyengsamkan.
Permukaan puncaknya yang mulai menghijau, bergariskan
saluran-saluran air dan bertaburkan karang-karang yang
beraneka bentuknya. Hari makin terang, fajar mulai
menyingsing. Di dataran luas pada sebuah puncak yang
menjulang tinggi, tampak ada seorang anak lelaki berumur
tigabelas-empatbelas tahun, sedang bergerak kian kemari.
Rupanya dia tengah berlatih suatu ilmu silat yang tinggi.
Jejaka tanggung itu berwajah putih, gigi rata bertutupkan
sepasang bibir yang merah segar. Menurut ukuran, dia
tergolong seorang pemuda yang cakap. Hanya sayang ada
cirinya sedikit, yakni sepasang alisnya yang tebal jengat itu,
memancarkan hawa pembunuhan.
Setelah sekian lama berputar-putar, dia berhenti merenung,
sebentar mengerut, sebentar berseri girang. Seolah-olah
pelajarannya itu amat tinggi dan sulit, hingga dia harus peras
otak memecahkannya. Pada lain saat, sekonyong-konyong dia
bergerak lagi, kali ini bahkan lebih cepat dari tadi. Yang
kelihatan hanyalah sesosok bayangan warna hijau berputarputar
mengelilingi tanah seluas dua tombak.
Berbareng itu, wajahnyapun berseri kegirang-girangan.
Kiranya sudah berhari-hari dan bermalam-malam dia putar
otak memecahkan pelajaran itu, namun belum dapat
menyingkap rahasia dari gerakan ajaib itu. Bahwa pada saat
itu, akhirnya dapat juga dia menembus tabir rahasia itu, sudah
tentu dia girang setengah mati.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang ketawa.
Cepat si pemuda kecil itu hentikan gerakannya dan berpaling
ke belakang. Pada dahan sebuah pohon sepuluhan tombak
jauhnya, berbaring seorang tua bertubuh gemuk pendek,
wajah merah rambut putih menguban. Orang tua itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengulum senyum, mengangguk-angguk kepada pemuda
kecil itu. Rupanya dia memuji hasil anak itu.
Melihat orang tua itu berlaku begitu, merahlah muka si
anak.
Serentak mulutnya berteriak: „Yah, kau .......” dan secepat
itu dia sudah loncat ke tempat si orang tua.
Pak tua gemuk mendongak tertawa terkial-kial. Desis
anginnya sampai merontokkan daun-daun di sekitarnya,
burung-burung sama terkejut beterbangan. Sesaat kemudian
tiba-tiba lengan baju orang tua itu dikebutkan dan
„terbanglah" dia ke arah pohon lain. Caranya dia bergerak, tak
ubah seperti seekor burung.
„Yah, kau mau lari? Akan kukejar sampai dapat!" seru si
jejaka tanggung sembari ayun tubuh loncat ke dahan tempat
si orang tua tidur tadi. Dari itu, dengan gunakan gerak it-hojong-
thian atau burung bangau menobros langit, dia
melambung sampai tiga tombak lalu melayang turun di
tengah-tengah rimba itu. Suatu loncat indah yang
mengagumkan dan jatuhnyapun tak mengeluarkan suara
sedikitpun juga.
Kini keduanya saling kejar, menyusup rimba pohon yang
lebat, daun dan dahan yang malang melintang, ada kalanya
loncat naik ada kalanya melayang turun, kejar mengejar matimatian.
Sampai sepenanak nasi lamanya, sekalipun sudah
tumplek seluruh kepandaiannya namun anak itu tetap tak
dapat mencandak. Jarak mereka senantiasa tetap pada tigaempat
langkah.
Selagi anak itu gemas-gemas bingung, tiba-tiba dilihatnya
gerakan pak tua itu agak diperlambat. Wah, girangnya bukan
kepalang. Sekali tancap gas, dia loncat berlari dan “plak”,
dipeluknyalah erat-erat pinggang pak tua gemuk itu.
„Yah, aku dapat menangkapmu!" serunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi di luar dugaan, ketika tangan anak itu hampir dapat
memeluk pinggang, tiba-tiba semak-semak daun yang diinjak
kaki pak tua itu, entah apa sebabnya, merekah sendiri dan
meluncurlah tubuhnya ke bawah. Kembali anak itu menangkap
angin! Masih anak itu tak terima. Dilihatnya “lubang" pada
semak daun yang diterbitkan oleh semburan napas pak tua
tadi, masih belum menutup. “Wut”, loncatlah anak itu ke
bawah menyusulnya!
Jatuh ke dalam hutan, dilihatnya sekeliling itu sunyi senyap.
Bayangan si pak tua, seolah-olah ditelan hilang. Mau tak mau,
anak itu kewalahan juga.
„Yah, yah, kau berada dimana? Aku tak mengejarmu
lagilah!"
Baru seruan itu dicanangkan, tiba-tiba terdengar suara
tertawa mengekeh dari seorang tua: „Buyung, ayahmu kan di
sini!”
Menurut arah suara itu, astaga, kiranya pak tua itu berdiri
di sebelah luar hutan dan tengah bersenyum melambaikan
tangan. Bagai anak kijang menyongsong induknya, sekali dua
berloncat, anak itu memburu keluar dan jatuhkan diri ke
dalam pelukan si pak tua.
Dengan mesranya pak tua itu memeluk si bocah. Dilihatnya
baju hijau anak itu banyak yang robek berlubang kecantol
ranting.
„Sebuah baju utuh, kau bikin berlubang seribu ya!" ujarnya.
Anak itu kusap-kusapkan kepalanya ke dada pak tua.
Dengan malu dan aleman dia menyahut: „Biarlah, siapa suruh
ayah mencuri lihat aku berlatih tadi. Nah, ayah ku denda
mengganti sebuah baju baru dan mendongengkan sebuah
cerita!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Ini kan namanya dunia terbalik. Belum lagi
kumenghukummu, kau sudah mendenda ayah!" damprat pak
tua sembari tertawa.
Si anak menarik baju ayahnya, sikapnya amat manja sekali.
Pak tua hanya ganda tertawa, serunya: „Sudah begini besar,
masih aleman, ai, semua-semuanya adalah salahku sendiri
terlalu memanjakanmu!''
Mendengar itu si anak terus angkat kepala yang disusupkan
dalam dada pak tua tadi, serunya dengan girang: „Kalau
begitu ayah harus dihukum. Siapa suruh kau memanjakan
sampai merusak diriku ini?"
Dibantah begitu, pak tua makin mengikik tertawa.
„Setan cilik seperti kau ini memang tajam benar lidahmu,
sampai yang menjadi bapak tak menang berbantah!"
„Jadi kau meluluskan bukan? Mengganti baju baru dan
bercerita!" seru si anak sambil tertawa riang.
„Ya, ayah meluluskan!"
Si bocah bertepuk tangan, serunya menegas: „Apa
sungguh, tidak bohong?"
„Selamanya belum pernah ayah membohongi kau. Tapi,
tahukah kau apa sebabnya hari ini ayah begini gembira?”
Pemuda kecil itu menggeleng.
„Ayah gembira karena melihat kau memperoleh kemajuan
pesat itu," menerangkan pak tua sembari tertawa, „ketahuilah,
apa yang kuajarkan padamu sepuluh hari yang lalu itu ialah
ilmu 'ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh', sebuah ilmu sakti
yang lama lenyap dari dunia persilatan. Memang tampaknya
sederhana sekali, tetapi apabila sudah diyakinkan mendalam,
keindahannya sukar dijajaki, perobahannya tiada batasnya.
Kalau sudah dapat mempelajari inti rahasianya, sekalipun
bertanding dengan jago lihay, tetap takkan sampai kalah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apalagi kalau dapat mengimbangkan gerakan itu dengan
permainan pukulan dan pedang, tentu akan lebih dahsyat lagi.
Benar-benar tak kusangka, dalam waktu sesingkat itu,
ternyata kau dapat menyingkap tabir rahasia ilmu itu. Ini
menandakan kau seorang anak yang berbakat dan cerdas
..........”
Tiba-tiba nada pak tua berobah sungguh-sungguh, katanya
pula: „Ih-ji, ingatlah, memang hal yang menggembirakan
bahwa seseorang itu memiliki kecerdasan cemerlang, tapi
kalau kemauannya tak keras, pun tentu mudah menyeleweng
dan kesasar kelumpur kejahatan. Dengan begitu, kecerdasan
itu bahkan akan menjadi alat pendorong untuk
menjerumuskan kau ke dalam jurang kemusnaan. Mengertikah
kau akan maksud ucapanku ini?"
Pemuda kecil yang dipanggil Ih-ji itu terkesiap. Wajahnya
yang berseri girang tadi, berobah keren seketika.
„Yah, aku mengerti. Tapi kuminta kau legakan hatimu,
kelak tentu Ih-ji takkan mengecewakan harapanmu!" sahutnya
dengan lantang.
„Bagus, sepatah katamu itu, cukup menggembirakan hatiku
selama beberapa hari ini," kata pak tua dengan tertawa.
Memang boleh dikata, pak tua gemuk itu selalu tak pernah
lupa untuk tertawa.
Dalam pada bercakap-cakap itu, mereka berdua sudah
mengitari hutan dan berjalan menuju kesebuah rumah kayu.
Rumah itu seluruhnya terbuat dari bahan kayu. Sekalipun
sederhana dan kasar, namun cukup kuat dan bersih.
Tiba di muka rumah, pak tua hentikan langkahnya.
Mengawasi kepada anaknya, berkatalah dia: „Sebelum
kubercerita nanti, lebih dahulu aku hendak mengujimu, berapa
jauhkah kemajuanmu dalam ilmu lwekang. Kalau hasilnya
memuaskan hatiku, nanti ayah akan menuturkan sebuah
cerita menurut permintaanmu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Yah, aku ingin mendengar cerita dalam dunia persilatan
yang paling menarik sendiri," kata Ih-ji.
Pak tua mengiakan: „Baik, kululuskan. Nah, sekarang
gunakanlah kian-gun-sin-kang, tangan kiri memukul dengan
tenaga lunak dan tangan kanan menghantam dengan tenaga
keras. Yang harus kau pukul ialah batu besar yang terpisah
sepuluh langkah dari sini itu!"
Ih-ji menghampiri batu dan berhenti pada jarak sepuluh
langkah. Sejenak mengerahkan semangatnya, tangannya yang
kiri segera memukul pelahan-lahan, kemudian tangan kanan
dibalikkan mendatar ke muka dada dan “wut”,
menghantamlah dia sekuat-kuatnya. Hasilnya, sebelah kiri
batu itu "dicap" sebuah telapak tangan sementara beberapa
tonjolan di sebelah kanan batu itu, hancur lebur beterbangan.
Pak tua tersenyum dan angguk-anggukkan kepalanya.
„Benar tenaga pukulan itu masih belum sempurna, tapi
tujuh bagian sudah berhasil. Mengingat baru dalam beberapa
tahun saja mempelajari, hasil yang kau capai itu sudah
bolehlah. Nah, kau lulus ' dalam ujian kali ini, sekarang aku
hendak bercerita!"
Saking girangnya, Ih-ji sampai lompat berjingkrak-jingkrak
seperti anak kecil. Cepat-cepat dia lari ke muka jendela.
Sebuah papan batu, diangkatnya untuk duduk pak tua, sedang
dia sendiri mandah duduk di tanah menelungkupi haribaan
(pangkuan) ayahnya itu, Sepasang matanya yang besar dan
bercahaya, menatap kewajah pak tua.
Melihat wajah yang cakap dan sikap wajar kekanak-anakan
itu, makin besar rasa sayang pak tua itu kepada sang putera.
Dengan mesranya dibelai-belai rambut anak itu. Kemudian
mulailah dia bercerita.
„Berpuluh tahun yang lampau, semua perguruan dan partai
dunia persilatan, rukun dan damai. Masing-masing ayem
tenteram tinggal di tempatnya untuk meyakinkan ilmu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
silatnya. Pada suatu ketika, diadakanlah pertemuan besar
dalam kalangan mereka. Benar dalam pertemuan itu dapat
lebih mengeratkan persahabatan dan berlangsung dengan
ramah tamah, tapi tak urung disitu timbullah suatu urusan
kecil yang tak menyenangkan. Tapi karena urusan itu sepele
saja, jadi ibarat suatu alun kecil beriak dalam samudera besar,
sebentar saja siraplah sudah.
Demikian sampai berpuluh tahun, dunia persilatan aman
tenteram. Kala itu, di samping beberapa partai besar seperti
Go-bi-pay, Siao-lim-pay, Kun-lun-Pay dan Kong-tong-pay serta
Bu-tong-pay, masih ada lagi sepuluh orang sakti yang aneh
tabiatnya. Bukan hanya dalam perangai saja kesepuluh tokoh
itu aneh, pun dalam ilmu silat, mereka amat sakti dan masingmasing
mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Kesaktian
kesepuluh tokoh itu, konon katanya di atas dari pemimpinpemimpin
partai besar itu ............”
Ih-ji menyelutuk: „Yah, siapakah kesepuluh tokoh aneh
itu?"
Melihat nafsu ingin buru-buru tahu dari anak itu, tertawalah
pak. tua itu, dampratnya: „Kunjuk kecil, jangan keburu nafsu,
masakan ayah tak mau menceritakan padamu nanti!"
„Yah, lekas katakanlah!" seru Ih-ji. Pak tua mengangguk.
„Kesepuluh tokoh aneh itu ialah seorang paderi, dua tosu
tua, tiga saudara perawan tua, sepasang suami isteri, seorang
pelajar, dan seorang tua sebatang kara," katanya pula.
„Mereka ialah Beng Keng Siangjin dari gunung Thian-boksan
timur, Kho Goan-thong dari biara Li Cu Kiong di pulau
Peng-to laut Tang-hay; Goan Goan Cinjin dari biara Siang
Ceng Kiong di gunung Mosan; Tiga taci beradik dari biara Peh
Hoa Kiong di gunung Lou-hu-san, suami isteri Li Hau bergelar
Sat-sin-kun dari lembah Ceng-lin-ko, Shin-tok Kek, gelar Rase
Kumala dari lembah Liu-hun-hiap gunung Tiam-jong-san, dan
si Dewa Tertawa yang lupa akan she dan namanya yang aseli.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kesepuluh tokoh itu, diagungkan sebagai sepuluh Datuk
Persilatan. Mulut orang iseng, merangkai nama mereka
menjadi: it-ceng, ji-to, sam-siancu, giok hou, song sat, Siausian-
ong.
Enambelas tahun yang lalu, tokoh-tokoh partai persilatan
sama menganggap bahwa peyakinan ilmu mereka sudah
matang. Untuk mengetahui sampai dimana tinggi rendah
ilmunya itu, mereka menyuruh anak muridnya keluar
mengembara untuk mencari pengalaman dan pengetahuan.
Maksud sih baik, tapi kenyataan malah menimbulkan onar
yang berlarut-larut sampai duapuluhan tahun belum saja
selesai."
--ooo0dw0ooo-
3. Orang Baik, Nasib Mengenaskan
Siau-sian-ong berhenti sejenak untuk memandang anak
yang tengkurep di dalam pangkuannya itu, lalu menghela
napas. Pikiran pak tua itu melayang jauh kekejadian yang
lampau. Sejenak kemudian baru dia dapat melanyutkan
penuturannya.
„Peristiwa itu bukan menimpah kalangan partai-partai, tapi
terjadi dalam lingkungan sepuluh Datuk, makapun bukan
urusan biasa. Dalam kalangan sepuluh Datuk itu, hanyalah itceng
Beng Keng Siangjin dengan ilmu silat kalangan gerejanya
yang sakti dan si Rase Kumala Shin-tok Kek, yang
berkepandaian setingkat lebih tinggi dari kedelapan rekanrekannya.
Cerita ini berkisar pada diri si Rase Kumala itu. Dia
memilik kecerdasan yang cemerlang, tapi berhati dingin dan
tinggi, sombong tak suka bergaul. Sejak isterinya yang
tercinta menutup mata, dia mengasingkan diri di lembah Liuhun-
hiap di gunung Tiam-jong-san dan tinggal di gubuk
pertapaan Kiu-jui-suan. Disitulah dia menghibur diri berkawan
dengan arak dan syair. Kecuali dengan Siau-sian-ong, dia
sudah putuskan hubungan dengan dunia persilatan.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Adalah mungkin sudah jalannya nasib, maka berita
tentang partai-partai menyuruh masing-masing anak muridnya
keluar mengembara mencari pengalaman itu, sampai juga ke
tempat pertapaannya yang terasing itu. Seorang tokoh
cemerlang dalam angkasa persilatan macam Shin-tok Kek itu,
ternyata masih belum dapat melepaskan diri dari nafsu ingin
menang. Diutusnya Shin-tok Lan, puteri tunggal yang menjadi
biji matanya itu, untuk turun gunung. Bukan melainkan cantik
saja Shin-tok Lan itu, pun kepandaiannya telah menerima
warisan dari ayahnya. Hanya satu hal yang berlainan, ialah
perangai gadis itu amat peramah dan baik budi, jauh bedanya
dengan sang ayah. Sekalipun begitu, ternyata si Rase Kumala
itu masih belum tega betul-betul akan puterinya, maka
dimintanya sang sahabat Siau-sian-ong untuk diam-diam
mengikuti perjalanan nona itu.”
Selain menjadi sahabat kental Shin-tok Kek, pun si Dewa
Tertawa itu memungut Shin-tok Lan sebagai puteri angkatnya.
Jadi tiada alasan lagi, baginya untuk menolak permintaan
menjadi pelindung. Bermula setelah turun dari Tiam-jong-san
itu, Shin-tok Lan tak mengalami suatu apa. Tapi dikarenakan
sejak kecil hidup di tengah pegunungan yang sepi, jadi begitu
berada dimasyarakat ramai, Shin-tok Lan tak ubah seperti
seorang nenek tua yang masuk kota. Apa saja dia kepingin
tahu. Ada kalanya, ia turun tangan juga untuk membantu
yang lemah membasmi si jahat. Nona cantik yang berilmu
tinggi dan gagah budiman itu, dalam sesingkat waktu saja
telah menjadi buah bibir setiap orang persilatan. Juga jagojago
muda dari partai-partai yang sedang bertugas
mengembara itu, tertarik akan sepak terjang Shin-tok Lan.
Mereka beramai-ramai menyanjungnya dengan sebuah
julukan “San-hoa sian-cu" atau Dewi penabur bunga.
Dalam sesingkat waktu itu, banyak sudah Shin-tok Lan
mengikat persahabatan dengan jago-jago muda dari berbagai
partai persilatan. Salah seorang yang paling akrab, ialah anak
murid Ay-tojin Goan Goan Cu yang bemama Siau Hong
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergelar Giok-sian-thong si Anak Dewa. Seorang pemuda dan
pemudi yang bergaul lama, sukar terhindar dari kasih asmara.
Juga Shin-tok Lan dan Siau Hong tak terkecuali. Dengan
berjalannya sang hari, sepasang muda mudi itu makin kelebuh
dalam lautan asmara. Hal ini sudah tentu menimbulkan dengki
sirik para jago muda lainnya terhadap Siau Hong.
Diantara yang paling kentara kemarahannya, ialah anak
murid Pak-thian-san Song Sat, (juga tokoh sepuluh Datuk)
bernama Li Hun-liong bergelar Siau-sat-sin (Iblis kecil). Di
depan umum, dia sumbar-sumbar tak mau hidup bersama di
bawah kolong langit dengan Siau Hong. Mendengar itu, Shintok
Lan dan Siau Hong terperanjat, namun dasar watak anak
muda, dalam tempo tak berapa lama saja, mereka melupakan
hal itu.
Menilik sang ayah amat mengasihinya, Shin-tok Lan ajak
Siau Hong menghadap ke Tiam-jong-san. Memang walaupun
si Rase Kumala itu aneh wataknya, tetapi terhadap puterinya
dia amat memanjakan sekali. Dengan alasan menghaturkan
sembah kepada Shin-tok Kek yang sangat dikaguminya itu,
akhirnya mau juga Siau Hong mengikut ke Tiam-jong-san.
Tapi bagi si Rase Kumala yang bermata tajam, hal itu tak
dapat mengelabuhinya bahwa sang puteri dan anak muda itu
sama saling menyinta.
Melalui penilaian beberapa hari, Shin-tok Kek mengetahui
bahwa Siau Hong bukan saja seorang murid dari tokoh
termasyhur, pun pribadinya juga luhur berbudi. Diam-diam
orang tua itu bersyukur dalam hati. Harapan kepada puteri
satu-satunya itu, ternyata bakal tak tersia-sia. Pada hari
kesepuluh dari kedatangan Siau Hong di. Tiam-jong-san, si
Rase Kumala menyatakan bahwa dia memberi persetujuan
puterinya diperisteri Siau Hong.
Walaupun girang, namun Siau Hong tak berani
meninggalkan gurunya. Sebelum ‘mendapat izin suhunya dia
tak berani mengambil keputusan sendiri. Si Rase Kumala
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tertawa sinis dan menyatakan dengan jumawa, bahwa dengan
kemasyhuran gengsinya dan kecantikan puterinya itu, tak
nanti Goan Goan Cu menolak. Dia berkeras minta Siau Hong
tinggalkan mainan permata yang dipakainya selaku panjar
pertunangan. Setelah itu dia suruh kedua anak muda itu
menuju ke Mosan untuk menghadap Goan Goan Cu.
Tiga bulan berlalu dan dua kali sudah mereka mengunjungi
Mosan, namun tak dapat berjumpa dengan suhunya, karena
kala itu Goan Goan Cu belum pulang dari kelananya, Siau
Hongpun sungkan untuk memberitahukan hal itu kepada
saudara-saudara seperguruannya, terpaksa dia ajak sang
tunangan turun gunung mengembara lagi untuk beberapa
waktu, baru nanti pergi ke Mosan untuk yang ketiga kalinya.
Awan dan angin di langit sukar diduga datangnya, untung
dan kesialan orang sukar ditentukan tibanya. Dikala kedua
sejoli itu pesiar menikmati alam pemandangan yang permai,
halilintar-malapetaka menyambar mereka. Kala itu mereka
berada diperbatasan Kansu dan Se-liang dan menginap di
sebuah hotel.
Malam hari selagi tengah bercakap-cakap, tiba-tiba hidung
mereka mencium serangkum asap wangi yang datang dari
arah jendela. Tanpa disadari, keduanya menyedot-nyedot
bebauan harum itu, dari hidung terus menyalur ke seluruh
tubuh. Ketika Siau Hong sadar dan curiga, ternyata sudah
kasip. Darah dalam tubuhnya serasa membakar, nafsunya
bergolak-golak. Dalam pandangannya, Shin-tok Lan yang
berbaring di tempat tidur itu, laksana bidadari cantiknya.
Siau Hong masih sadar pikirannya. Dia tahu bahwa mereka
berdua dibokong orang. Dia berusaha keras untuk
menghadapi keadaan yang genting itu, namun bagaimanapun
juga ternyata hawa jahat dari bebauan wangi itu, lebih
berkuasa. Baru setelah keduanya tersadar, ternyata ibarat
“bunga sudah terhisap sarinya oleh sang kumbang”. Shin-tok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lan menangis tersedu-sedu. Siau Hong kerak keruk
menyumpahi dirinya. Namun nasi sudah menjadi bubur.
Akhirnya kedua pasangan itu mengambil putusan,
walaupun perbuatan itu kurang layak, tapi pertama sudah
mendapat persetujuan Shin-tok Kek, kedua kalinya, dipedayai
orang. Maka meskipun menurut susila kurang layak, tapi
karena sudah terlanjur jadi lebih baik itu, bulat tekad mereka
untuk menuntut balas kepada orang yang mencelakainya itu.
Mereka bersumpah akan mencarinya sampai ketemu.
Pada kala itu si Dewa Tertawapun mendapat berita, bahwa
ada seseorang yang bermaksud mencelakai Shin-tok Lan –
Siau Hong. Sebagai orang yang sanggup menjadi pelindung
nona itu, buru-buru dia mencari kedua anak muda itu. Pada
waktu dia berhasil menemukan mereka di daerah Se-liang,
ternyata Siau Hong sudah sejak 3 hari yang lalu menerima
amanat Ceng-hu-leng dari suhunya dan sudah menuju ke
biara tua di puncak Loh-gan-nia gunung Hoasan.
Kaget Siau-sian-ong bukan kepalang. Siau Hong pasti akan
celaka. Bergegas-gegas dia ajak Shin-tok Lan menyusul ke
Hoasan. Walaupun perjalanan itu dilakukan siang malam,
namun tiba disana ternyata sudah terlambat selangkah. Siau
Hong sudah berlumuran darah tak bernyawa lagi.
Setelah terjadi perdebatan, dimana Siau-sian-ong dapat
membuktikan bahwa surat pengaduan yang diterima Goan
Goan Cu itu palsu belaka, dari malu Goan Goan Cu berobah
menjadi murka. Dimana sang mulut tak kuasa mencari
penyelesaian, pukulan segera berbicara. Dikala kedua datuk
itu bertempur mati-matian biara tua yang sudah rusak itu
saking tak kuat menahan deru angin pukulan mereka, menjadi
rubuh dan menguruki mayat Siau Hong. Memang amat
mengenaskan sekali nasib pemuda itu, sudah jatuh dihimpit
tangga pula.
Terkejut oleh peristiwa itu, kedua tokoh itu sama berhenti
bertempur. Siau-sian-ong kuatir jangan-jangan Shin-tok Lan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang menderita kedukaan hebat itu sampai terluka dalam
pada hawa murninya. Nona itu harus ditolong dahulu.
Begitulah setelah menangguhkan pertempuran itu pada lain
waktu. Siau-sian-ong lalu membawa nona yang malang itu
pergi .........
Mendengar sampai disini, Ih-ji menghela napas: „Yah,
mengapa orang baik sebagai kedua anak muda itu, sampai
mengalami nasib yang begitu mengenaskan, ah, sungguh
kasihan sekali!”
Orang tua itu dapatkan anak dipangkuannya itu berlinanglinang
air mata. Dengan terharu diapun mengiakan: „Ah,
benar katamu itu. Mengapa orang baik mendapat balasan
yang begitu mengenaskan? Memang kalau dirasa, Allah tidak
adil!"
„Yah lalu bagaimana kelanjutannya?" tiba-tiba si anak
mendesaknya lagi.
Sampai sekian saat pak tua itu belum membuka mulut. Dia
hanya memandang ke arah wajah anak itu dengan rasa haru.
Berselang beberapa lama, barulah dia mulai lagi,
„Siau-sian-ong ternyata membawa Shin-tok Lan ke suatu
tempat yang sepi untuk mengobatinya. Adalah dikala itu, dia
baru mengetahui bahwa nona itu sudah mengandung. Sudah
tentu dia menjadi kaget sekali. Setelah Shin-tok Lan sadar,
barulah dia menanyainya. Dengan kemalu-maluan Shin-tok
Lan menceritakan peristiwa fitnah yang dialaminya di hotel itu.
Siau-sian-ong banting-banting kaki dan menghela napas
panjang pendek. Sebagai orang yang telah menyanggupi
permintaan seorang sahabatnya, dia merasa turut
bertanggung jawab juga. Tapi karena nasi sudah menjadi
bubur, jadi yang penting ialah harus berusaha untuk menolong
nona itu.
Akhirnya dia bawa Shin-tok Lan ke tempat tinggalnya di
sebuah tempat yang terpencil. Selama itu tak jemu-jemunya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dia memberi nasehat dan menghibur hati Shin-tok Lan, namun
rupanya nona itu tak dapat melupakan peristiwa yang
menggoncangkan seluruh jiwa raganya itu.
Setelah tiba waktunya, maka Shin-tok Lan melahirkan
seorang bayi lelaki. Tiga hari setelah kelahiran itu, karena tak
kuat menanggung derita kedukaannya, Shin-tok Lan pun
menutup mata menyusul arwah sang kekasih. Si Dewa
Tertawa yang diwarisi seorang orok itu, menjadi kelabakan,
tak tahu bagaimana hendak merawatnya.
Akhirnya dia mengambil putusan, menitipkan dahulu bayi
itu pada seorang keluarga petani yang tinggal di dekat itu,
kemudian dia bawa jenazah Shin-tok Lan ke Tiam-jong-san
untuk diserahkan pada Shin-tok Kek. Disitu dia akan
menjelaskan duduknya perkara sekalian menghaturkan maaf
sebesar-besamya kepada sang sahabat. Dia bersedia
menerima tegur makian dari si Rase Kumala. Dia tak berani
membayangkan bagaimana perasaan Shin-tok Kek dikala
menerima kedatangan puteri kesayangannya itu sudah
menjadi mayat.
Tapi di luar dugaan, sikap si Rase Kumala dingin-dingin
saja, seolah-olah kematian puteri biji hatinya itu, bukan
perkara apa-apa. Sikap itu membuat si Dewa Tertawa
kelabakan setengah mati. Beberapa kali dia hendak
menceritakan, tapi mulut serasa terkancing demi melihat sikap
yang melebihi es dinginnya dari si Rase Kumala pada saat itu.
Siau-sian-ong menginap sampai tiga hari lamanya disitu, untuk
menunggu kesempatan menjelaskan duduk perkaranya,
namun kesempatan itu tak kunjung tiba. Si Rase Kumala tetap
bersikap aneh. Akhirnya si Dewa Tertawa pamitan pulang dan
si Rase Kumalapun tak mau banyak kata untuk menahannya.
Sepeninggalnya dari Tiam-jong-san, diam-diam si Dewa
Tertawa bersumpah dalam hati, akan menggembleng putera
Siau Hong - Shin-tok Lan, agar dapat mencuci penasaran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang tuanya dan dapat diterima kembali dalam lingkungan
keluarganya (Shin-tok Kek).
Sejak itulah maka si Dewa Tertawa lenyap dari pergaulan
ramai. Banyak nian desas-desus yang tersiar di kalangan
persilatan tentang jago sakti itu, namun tiada seorangpun
yang mengetahui bahwa sebenamya dia mengasingkan diri di
pedalaman gunung yang sunyi, merawati dan mendidik putera
calon suami isteri yang bemasib malang itu.”
Sampai disini, tak kuasa lagi Ih-ji menahan kucuran air
matanya. Memandang si pak tua, bertanyalah dia: „Yah,
apakah benar-benar si Rase Kumala Shin-tok Kek itu tak
menghiraukan sama sekali atas kematian puterinya itu?
Bukankah tadi ayah mengatakan bahwa dia amat cinta sekali
kepada puteri tunggalnya itu?”
Wajah pak tua yang keren, tiba-tiba mengulum senyum
getir, sahutnya: „Si Rase Kumala memang menyintai sekali
kepada puterinya itu. Hanya karena dia seorang pribadi yang
kuat dalam menahan getar perasaan duka atau gembira, jadi
sukarlah orang untuk menyelami hatinya.
Adalah berselang dua tahun kemudian sejak si Dewa
Tertawa menyepi di gunung, pada suatu hari dia turun gunung
untuk mencari daun obat-obatan dan bahan keperluan seharihari,
tak terduga dari mulut seorang persilatan, didengarnya
sebuah berita yang membuat jago tua itu sedih-sedih girang.
Kiranya dukacita si Rase Kumala tak terperikan besamya.
Beberapa hari setelah si Dewa Tertawa meninggalkan Tiamjong-
san, si Rase Kumala pun juga turun gunung. Kecuali
tentang menghilangnya si Dewa Tertawa dan Shin-tok Lan
melahirkan putera, semua yang terjadi di luar telah
diselidikinya. Setelah diketahui duduk perkaranya yang benar,
kini dia tumpahkan seluruh kemarahannya kepada Goan Goan
Cu!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada suatu petang, kawanan paderi dari biara Siang Ceng
Kiong sama mengambil angin di luar, karena habis
menyelesaikan pelajaran malam. Tiba-tiba dari kaki gunung,
tampak ada dua orang anak memanggul sebuah tandu.
Walaupun mendaki namun kedua anak itu dapat berjalan
dengan cepat, ya begitu amat cepatnya, hingga dalam
beberapa menit saja sudah tiba di muka biara Siang Ceng
Kiong.
Tandu itu berisi seorang sekolahan yang berparas cakap,
kira-kira berumur 35-36 tahun. Pada kain kepalanya, melekat
sebuah zamrud yang berkilau-kilauan, tubuhnya yang tinggi
kurus itu tertutup dengan pakaian orang sekolahan dari bahan
sutera berwarna kelabu perak. Sungguh seorang pribadi yang
berwibawa. Sedikit cacadnya, ialah wajahnya menampilkan
sifat-sifat jumawa.
Dengan tenang, turunlah dia dari tandu. Begitu tangannya
dikipaskan pelahan-lahan, maka kedua anak tadi segera cepatcepat
turun gunung lagi. Setelah itu barulah orang terpelajar
itu ayunkan langkah. Kira-kira terpisah satu tombak dari biara,
dia berhenti. Dia mendongak mengawasi biara itu dengan
pandangan yang dingin, lalu perdengarkan tertawa sinis.
Kawanan anak murid Siang Ceng Kiong yang tengah mencari
angin di luar halaman itu, seolah-olah tak diacuhkan sama
sekali.
Setelah tegak berdiri beberapa lama, sekonyong-konyong
kedua tangannya dirangkapkan ke dada. Gerakan itu telah
membuat lengan bajunya bergoncangan dan tiba-tiba “brak,
bum” terdengarlah suara benda berat jatuh berkerontangan ke
tangga. Papan bertuliskan huruf emas “Ki Kian Siang Ceng
Kiong” (Siang Ceng Kiong yang didirikan atas titah raja) telah
jatuh dari tempatnya di atas pintu. Papan itu panjangnya
hampir dua tombak, lebar setombak. Begitu jatuh di tangga,
pecahlah papan besar itu menjadi berkeping-keping
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti disamber petirlah kaget kawanan paderi tadi. Buruburu
mereka mengepung pendatang yang mengacau itu.
Orang terpelajar itu hanya acuh tak acuh kedipkan mata
melirik kawanan pengepungnya itu. Sinar matanya yang amat
berpengaruh, telah membuat kawanan paderi itu sama
bercekat dan menyurut mundur beberapa langkah lagi.
Pada saat itu tiba-tiba dari dalam biara terdengar suara
sebuah giok-ceng (alat tetabuhan dari batu kumala) yang
amat nyaring. Kawanan paderi itu serempak sama menyingkir
ke samping.
Si orang terpelajar lirikkan matanya dan dapatkan dari
dalam biara itu muncul tigapuluhan tosu lengkap dengan
pakaian keagamaannya berwarna kuning. Yang agak istimewa,
kawanan tosu itu sama menyanggul pedang di punggung.
Begitu terpisah dua tombak dari orang sekolahan tadi, mereka
cepat pecah diri dalam formasi barisan kipas.
Suasana di biara itu menjadi hening lelap, tapi penuh
dengan kegentingan meruncing. Sekalipun begitu orang
sekolahan tadi, tetap tenang-tenang saja sikapnya. Pada lain
saat, seorang tojin yang bertubuh tinggi besar, tampil ke
muka dan berkata kepada si orang sekolahan: „Bu-liang-siuhud,
tolong tanya, apa sebabnya sicu menggempur papan
biara kami ini?"
Si orang sekolahan sapukan matanya memandang tojin itu
dengan seksama, wajahnya bagai bulan pudar, alis panjang
menjulai lima kepang janggutnya menjulai berkibaran di muka
dada, matanya berkilat-kilat, tubuhnya tinggi tegar, walaupun
tojin itu usianya ditaksir hampir limapuluhan, namun sikapnya
masih gagah. Terang kalau dia memiliki ilmu lwekang yang
tinggi.
„Kau tak layak menanya aku, panggil Goan Goan Cu
keluar!" sejenak habis menaksir diri orang, orang sekolahan
itu menyahut dengan angkuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepasang alis tojin tua itu menyungkat.
„Pinto Kat Hian Cin, kamsi (penilik) biara Siang Ceng Kiong
ini. Karena menyangkut kewajibanku, maka pinto berhak
untuk bertanya."
Mendengar itu, tampillah kerut amarah wajah si orang
sekolahan, serunya: „Cukup sebuah pertanyaan padamu,
apakah Goan Goan Cu ada di dalam biara?”
„Kwan-cu sedang keluar, dua hari lagi baru pulang," sahut
Kat Hian Cin.
„Kalau begitu, akupun takkan membikin susah kalian, nanti
dua hari lagi aku datang pula kemari," ujar si orang sekolahan.
Sikap yang tak memandang orang itu, membuat Kat Hian
Cin tak dapat menahan sabar lagi, serunya: „Bu-liang-siu-hud!
Si-cu hendak begini saja berlalu, lalu bagaimana dengan
urusan papan biara itu?”
Si orang sekolahan yang sebenamya sudah ayunkan
langkah itu, tertegun mendengarnya. Diiring tertawa dingin,
dia menantang: „Habis bagaimana kehendakmu?”
Sedari kecil Kat Hian Cin sudah masuk ke dunia gereja.
Ajaran keagamaan yang diterimanya sejak berpuluh-puluh
tahun itu, telah membuatnya seorang alim ulama yang saleh,
penuh kesabaran. Namun menghadapi sikap yang congkak
dari tetamu tak dikenal itu, tak urung darahnya bergolak juga.
„Tiada lain permohonan, kecuali mengembalikan papan itu
di tempatnya!"
Kontan si orang sekolahan menyahut dengan tawar: „Kalau
tak dapat?"
„Terpaksa akan minta keadilan pada sicu," jawab Kat Hian
Cin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Ha, ha, ha .....” tiba-tiba pecahlah mulut si orang
sekolahan tertawa nyaring. Nadanya sedemikian
menggetarkan sehingga kawanan tosu tadi sama bercekat.
Kat Hian Cin sendiripun tak kurang kagetnya. Lwekang
murni dalam nada ketawa itu, belum pernah didengarnya.
Sekalipun suhu mereka, Goan Goan Cu, juga masih kalah
setingkat kepandaiannya.
Habis tertawa, wajah orang sekolahan itu berobah keren,
serunya: „Sudah hampir duapuluhan tahun aku si orang tua
itu tak menginjak dunia persilatan, tak kusangka kalian berani
jual kesombongan begitu rupa. Kalau kini tak kuberi keadilan,
kalian tentu tak tahu siapakah aku si orang tua ini!"
Sekonyong-konyong dari belakang Kat Hian Cin, tampil
maju seorang imam muda. Setelah memberi hormat kepada
Kat Hian Cin, dia berputar menghadapi si orang sekolahan.
„Tinggi nian sikap sicu sampai menonjol langit, tentulah
karena memiliki kepandaian sakti. Pinto ingin benar mendapat
pelajaran barang sejurus dua saja!"
Kembali orang sekolahan itu terbahak-bahak, serunya:
„Buyung, nyalimu besar juga! Kalau tak kupenuhi
permintaanmu, aku si orang tua ini tentu akan membikin
kecewa hatimu. Nah, cabutlah pedangmu!"
Mundur dua langkah, tojin muda itu mencabut pedang,
kemudian dengan mengambil sikap dalam gerak hoay-tiongpo-
gwat (dalam dada memeluk rembulan), dia memberi
hormat.
„Mohon sicu suka memberitahukan nama gelaran sicu yang
mulia, agar pinto lebih mantep!"
Serempak menyahutlah si orang sekolahan itu dengan nada
berat: „Aku si orang tua ini orang she Shin-tok, bernama
tunggal Kek. Buyung, ayuh kau mulailah menyerang!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demi mendengar ucapan itu, hiruk berisiklah ratusan tojin
yang berada dalam gelanggang itu. Kat Hian Cin sampai
berhenti denyut jantungnya untuk sesaat. Mimpipun tidak dia,
bahwa si orang sekolahan yang jumawa itu, bukan lain
ternyata bintang cemerlang dari sepuluh Datuk, seorang tokoh
berwatak aneh, seorang datuk yang menggetarkan seluruh
dunia persilatan, si Rase Kumala Shin-tok Kek.
Kecuali memiliki kepandaian yang sakti, dia mempunyai
perangai yang luar biasa. Setiap kali muncul digelanggang
pertempuran, belum mau sudah kalau lawan belum jatuh
bangun sungsang sumbal.
Kalau pertempuran sampai berkorbar, Siang Ceng Kiong
pasti akan berantakan karena kwan-cu (kepala biara) Goan
Goan Cu sedang tak ada. Namun karena keadaan sudah ibarat
anak panah terpentang pada busurnya, jadi terpaksa harus
gunakan dua siasat, sembari bertahan sedapat mungkin,
sembari kirim orang lekas-lekas minta kwan-cu pulang.
Demikian Kat Hian Cin mendapat pikiran begitu, demikian dia
diam-diam segera menyuruh orang memberitahu pada Goan
Goan Cu.
Kesemuanya itu tak lepas dari mata si Rase Kumala yang
tajam, namun acuh tak acuh tokoh itu kicupkan ekor matanya
memandang kian kemari. Melihat kesibukan Kat Hian Cin dan
kegelisahan tojin muda tadi, dia tertawa nyaring.
„Hai, buyung, takutkah kau?"
Memang siapa orangnya yang tak jeri berhadapan dengan
datuk pemimpin ke sepuluh Datuk itu? Tapi dasar darah
muda, tojin itupun naik pitam (marah). Lantang-lantang dia
menyahut: „Anak murid Siang Ceng Kiong haram akan katakata
'takut'. Sekalipun nama besar sicu laksana halilintar di
angkasa, tapi perbuatan merusakkan papan nama itu, tetap
menyatakan permusuhan pada Siang Ceng Kiong. Sebagai
anak murid Siang Ceng Kiong, pinto mempunyai tanggung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jawab untuk melindungi. Kesampingkan lain-lain kata yang tak
berguna dan marilah sicu memberi pelajaran!”
Si Rase Kumala tertawa: „Melihat keberanianmu, kusuka
memberi kelonggaran. Silahkan menyerang sepuas-puasmu,
aku si orang tua akan mengalah sampai tiga jurus!"
Tanpa menyahut lagi, si tojin muda melangkah maju.
Pedang diangkat, dia tusuk pundak kanan Shin-tok Kek dalam
jurus sian-jin-ci-lo (dewa menunjuk jalan). Tanpa sang kaki
bergerak, bahu si Rase Kumala agak dimiringkan dan ini sudah
cukup untuk menghindari serangan itu.
„Buyung, jurus yang pertama!" serunya.
Si tojin muda tetap membisu. Tanpa merobah kudakudanya,
tubuhnya diacungkan maju, pedang dibabatkan ke
perut orang dengan jurus hong-sao-loh-yap (angin meniup
daun). Kali ini si Rase Kumala unjukkan kegesitan. Seperti kilat
menyambar, tahu-tahu tubuhnya melesat ke samping kanan.
Sabetan pedang lewat di sisi tubuhnya.
Tojin muda susuli lagi serangannya dengan jurus li-liong-hicu
atau naga memain mustika. Pedang maju menusuk
tenggorokan.
Kembali si Rase Kumala unjukkan demonstrasi. Tubuh
didongakkan ke belakang dan lewatlah ujung pedang
beberapa senti di atas tenggorokannya. Jurus ketiga, tetap tak
berhasil.
Si tojin muda mengertak gigi. Membarengi lawan belum
sempat bergerak dia hendak tabaskan pedangnya ke bawah,
mengarah kepala si Rase Kumala. Keadaan si Rase Kumala
tertimpa mara bahaya.
Tapi suatu kejadian istimewa terjadi. Gelak tertawa keras
berderai-derai dari mulut tokoh aneh itu, tubuh diangkat dan
kedua lengan baju dibalikkan ke atas dan tahu-tahu
tangannya si tojin muda sakit seperti dipatahkan dan saking
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak kuatnya maka terlemparlah pedangnya ke udara. Kebutan
lengan baju si Rase Kumala tadi ternyata menerbitkan angin
kong-hong (angin tenaga dalam) yang luar biasa dahsyatnya.
Wajah si tojin muda berobah pucat. Baru dia hendak
mundur, tahu-tahu separoh tubuhnya serasa mati rasa dan
tanpa dapat di tahan lagi, mendumprahlah dia ke tanah. Dua
orang to-thong kecil buru-buru maju menggotongnya.
Melihat tojin muda itu pucat kelabu wajahnya dan tak
sadarkan diri, tahulah Kat Hian Cin bahwa kawannya itu kena
tertutuk jalan darahnya. Dia segera coba untuk menolongnya
membuka, tapi tak mampu. Gagal menolong, dengan alis
mengerut, dia memandang ke arah si Rase Kumala.
„Bahwa sicu memiliki kepandaian yang menggetarkan
dunia, ternyata memang nyata, namun tak selayaknyalah
menurunkan tangan keliwat ganas''.
Si Rase Kumala tertawa dingin, sahutnya: „Dia sendiri yang
tak tahu diri, jangan salahkan orang lain. Aku si orang tua kan
sudah keliwat bermurah hati, masakan kau masih belum
terima?”
Dalam keadaan begitu, betapapun toleransinya Kat Hian
Cu. namun tak kuasa lagi untuk mengendalikan diri. Sepasang
alisnya menjungkat, dia berkata dengan keras: „Sungguhpun
sicu teramat sakti, tapi Siang Ceng Kiong pun bukan tempat
orang pengecut. Hari ini .........”
„Harap penilik mengizinkan, tecu berempat siap sedia
menempur lawan!" sekonyong-konyong empat orang tojin
datang dan menukas kata-kata Kai Hian Cin tadi.
Alis panjang dari Kat Hian Cin menggontai, hendak dia
mencegah, tapi disana si Rase Kumala sudah mendengus dan
menyahut: „Asal tak takut mati, aku si orang tua ini tetap tak
menolak setiap pendatang!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apa boleh buat, Kat Hian Cin tak dapat mencegahnya. Dia
hanya membisiki keempat tojin itu supaya berhati-hati.
Setelah mengiakan, keempat orang tojin itu berputar diri dan
berpencaran dalam empat penjuru. Pedang dilolos, tanpa
pendahuluan kata-kata lagi, mereka berbareng maju menusuk
si Rase Kumala.
Gerakan keempat tojin itu memang rapi dan cepat, tapi
bagi mata seorang datuk macam si Rase Rumala, cepat dapat
mengetahui isi serangan musuh, Dari keempat pedang itu,
ternyata tiga serangan kosong dan satu serangan isi
(sungguh). Diantar oleh tertawa dingin, tubuh si Rase Kumala
berputar, lengan baju kanan dikebutkan pelahan-lahan. Angin
kong-hong, segera mendorong dua serangan dari arah timur
dan selatan.
---ooo0dw0ooo-
4. Pertempuran Di Biara
Empat sekawan itu, lihay juga. Melihat kedua kawannya
terbuka, tojin yang menyerang dari barat dan utara, lalu robah
serangannya, dari kosong menjadi sesungguhnya. Si Rase
Kumala tak bergerak menghindar, seolah-olah dia biarkan saja
kedua pedang, itu menyentuh tubuhnya. Tapi sewaktu hampir
mengenal, tiba-tiba tubuhnya menghindar, jari tangan ditekuk
macam cakar terus dikebutkan ke atas.
“Tring, tring,” dua buah suara gemerincing terdengar dan
dua buah benda berwarna perak melayang ke udara.
Menyusul, terdengar jeritan kaget dan sesosok bayangan
kelabu melesat-lesat. “Ak, uk, ak, uk,” berturut-turut
terdengar suara mengerang dan rubuhlah keempat tojin itu ke
tanah ..........
Kesemuanya itu hanya berlangsung dalam beberapa detik
saja. Sebelum orang tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka
(kawanan tojin lainnya) sudah melihat keempat kawannya itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tersungkur, tiada berkutik lagi. Rasa kagum dan jeri
membayangi wajah sekalian tojin itu.
Tegak tak acuh disana, tampak si Rase Kumala sejenak
mengicupkan mata ke arah keempat tojin yang telah ditutuk
jalan darahnya itu, sembari tangannya mengebut-kebut debu
di pakaiannya. Setelah itu, dia memandang Kat Hian Cin.
„Nah, siapa lagi yang tak takut mati, silahkan maju!"
serunya.
Melihat kesaktian si Rase Kumala tadi, Kat Hian Cin kagum
dan marah. Pikirnya: „menilik gelagatnya, kalau tak
menggunakan siasat bertahan sampai kwan-cu datang,
keadaan tentu runyam, ini .........”
Sampai disini, tiba-tiba dia mendapat pikiran bagus.
Menentang ke arah si Rase Kumala, dia berseru: „Pihak biara
kami mempunyai sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang tak
berarti. Bagai seorang kojin yang termasyhur di kolong dunia,
dipercaya sicu tentu suka memberi petunjuk!"
Si Rase Kumala tertawa gelak-gelak, balasnya: „Kat Hian
Cin, seorang pengabdi gereja tak mau bohong. Barisan ngoheng-
pat-kwa-kiam-tin dari Siang Ceng Kiong, jauh tersiar
kemasyhurannya. Bukankah kau mempunyai rencana begini,
akan gunakan barisan itu untuk mengepung diriku. Menang ya
syukur, kalau tidak, sekurang-kurangnya akan dapat
mengulurkan waktu sampai Goan Goan Cu sudah dapat
datang!
Tapi biarlah aku seorang tua ini, menuruti permintaan itu.
Dalam seratus jurus, kalau sampai tak .dapat menjebolkan
barisanmu itu, aku Shin-tok Kek akan mengirim surat
undangan pada para tokoh-tokoh persilatan, untuk
menyaksikan upacara aku menghaturkan maaf dan memasang
papan biara Siang Ceng Kiong disini. Pula, hutang Goan Goan
Cu. padaku, akan kuhapuskan dan sejak itu juga nama Rase
Kumala itu, biar dicoret dalam daftar persilatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masih aku si orang tua hendak memberi keringanan
padamu. Habis membobolkan barisanmu itu, aku takkan
mengapa-apakan dirimu dan kawan-kawan, tetap akan
menantikan kedatangan Goan Goan Cu untuk membikin beres
perhitungan. Nah, kau anggap bagaimana?”
Memang demikian yang dimaukan Kat Hian Cin. Jadi nyata
si Rase Kumala dapat meneropong isi hatinya. Dengan
kesaktiannya itu, Kat Hian Cin yakin tiada seorangpun dari
pihaknya yang sanggup menandingi. Dengan barisan kiam-tin
itu, sekalipun tak dapat merebut kemenangan, tapi sekurangkurangnya
dapat juga mengulur waktu sampai Goan Goan Cu
datang. Memang si Rase Kumala bintang cemerlang dari
angkasa persilatan itu, tinggi ilmunya sastera, sakti ilmunya
silat.
Barisan-barisan ngo-heng-tin, kiu-kiong-pat-kwa, tentulah
amat mahir. Tapi ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin itu adalah
pusaka pelajaran dari biara Siang Ceng Kiong, kedasyatannya
bukan olah-olah. Mungkin dengan barisan itu. siapa tahu
gengsi Siang Ceng Kiong akan direhabilitir (dikembalikan
semula). Demikian angan-angan yang memenuhi benak Kat
Hian Cin.
„Bu-liang-siu-hud, sicu amat cekat dalam segala hal. Pinto
tak berani membantah lagi," serunya dengan bersemangat.
Tangannya diangkat dan empat orang tojin yang usianya agak
tua dari tadi, tampil ke muka. Mereka bantu Kat Hian Cin
mengatur barisan ngo-heng.
Baru kelima orang itu mengambil posisi masing-masing, lalu
ada enambelas tojin berjajar-jajar melingkari mereka, seolaholah
dinding yang melapisi di luar. Sebenamya itulah
dimaksudkan dengan delapan pintu yang disebut pintu kian,
gan, tin, kin, sun li, gun dan tui, atau yang disebut pat-kwa.
Berbareng, dengan selesainya barisan itu, maka ratusan
kawanan tojin lainnya, segera menyingkir dan terbukalah di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tengah gelanggang itu sebuah lapangan seluas sepuluh
tombak persegi.
Kini ke duapuluh satu tojin (lima di dalam enambelas di
luar), sama menghunus pedang. Setelah memberi hormat
kepada si Rase Kumala, Kat Hian Cin memberi isyarat tangan
dan bergeraklah barisan pedang ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin
itu ......
Si Rase Kumala mengawasi dengan tajam. Dilihatnya
kelima tojin yang berada disebelah dalam, tegak berdiri
dengan pedang di dada. Sedang ke enambelas tojin yang
memagari di luarnya, hilir mudik bergantian posisi. Isi mengisi,
tutup menutup, rapat kokoh sampaipun hujan tak dapat
menetes masuk. Sedemikian hebat perbawanya, sampaipun
pribadi jumawa seperti si Rase Kumala. menjadi terkejut juga.
„Melihat gelagatnya, kalau tak mengeluarkan kesaktian,
tentu sukar memenangkan, apalagi terbatas dalam seratus
jurus," diam-diam dia berpikir.
Merenung beberapa jenak, segera dia dapat meneropong
inti rahasia barisan itu. "Lawan diam, akupun diam. Tapi kalau
lawan hendak bergerak, aku harus mendahului bergerak."
Demikian resepnya. Si cerdas Rase Kumala itu, cepat dapat
mereka siasat. Dia hendak gunakan siasat „berjalan
menyungsang, kemudian baru menghancurkan". Kaki kiri
menekan tanah, tangan kanan mengibas dan tubuh berputar
mendorong kiam-tin.
Barisan pedang yang terdiri dari duapuluh satu tojin itu,
segera menurutkan gerakan orang. Mereka berputar-putar
menunggu serangan lawan, untuk segera membuat reaksi
balasan. Tapi ditunggu-tunggu, si Rase Kumala tak juga
menyerang.
Begitulah mereka berputar-putar sampai sekian lama tanpa
mulai serang menyerang, hanya lebih banyak mirip dengan
perang urat syaraf saja. Terlintas dalam pikiran Kat Hian Cin:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Kalau begini naga-naganya, sekalipun berputar-putar sampai
tiga hari tiga malam, tetap tiada kesudahannya. Sakti
sekalipun dia itu, namun ngo-heng-pat-kwa-tin juga bukan
barisan biasa, apalagi dia sudah sumbar-sumbar hanya
bertempur dalam seratus jurus saja. Ah, lebih baik
menyerempet bahaya sedikit. dari bertahan berganti
menyerang. Asal seratus jurus sudah lampau, masakan dia
berani menelan ludahnya!"
Secepat berpikir, secepat itu juga dia mengeluarkan
komando rahasia kepada keempat tojin, siapapun dapat
menangkap maksudnya.
Melihat itu, diam-diam si Rase Kumala bergirang hati.
Sengaya dia perlambat tindakan kaki untuk akhirnya hentikan
seluruh gerakannya.
Keempat tojin yang menerima isyarat dari Kat Hian Cin tadi,
segera merapat satu sama lain. Serempak mereka berbareng
menusuk punggung si Rase Kumala. Gerakannya amat cepat
dan jitu. Dikala mereka mengira serangannya akan berhasil, di
luar persangkaan. si Rase Kumala loncat ke muka sembari
kebutkan lengan kiri ke belakang dalam gerak to-cwan-tianghong
(membalik lingkarkan bianglala). Lengan bayunya yang
panjang gerombyongan itu, telah menampar batang pedang
lawan.
“Tring,” tahu-tahu keempat batang pedang itu terbang ke
udara dan melayang jatuh ke arah kawanan tojin yang
menonton di pinggir sana.
Mendapat hasil, si Rase Kumala tak mau berhenti. Tubuh
berputar, jarinya berturut-turut bekerja menutuki darah
keempat tojin .itu. Tanpa sempat menghindar lagi, keempat
tojin itu rubuh mendumprah di tanah. Kejadian itu hanya
berlangsung dalam sekejapan mata saja. Dalam kagetnya, Kat
Hian Cin menusuk punggung si Rase Kumala dalam jurus Siauci-
thian-lam (tertawa menunjuk Thian-lam).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk serangan dari belakang itu. si Rase Kumala sedikit
condongkan tubuh ke muka, berbareng itu dia sambar dua
orang tojin yang tertutuk rubuh di tanah tadi, terus
dilemparkan keluar gelanggang. Barisan menjadi panik dan si
Rase Kumala bergerak-gerak seperti kupu menyusup bunga.
Kedua lengan bayunya dikebut-kebutkan. Sekejap saja, disana
sini ke duapuluh tojin sama rubuh tumpang tindih.
Habis “menyelesaikan", tenang-tenang si Rase Kumala
menghampiri ke muka Kat Hian, ujarnya: „Ngo-heng-pat-kwakiam-
tin yang begitu disohorkan, ternyata hanya bernama
kosong, Kat Hian Cin, apa katamu sekarang?"
Kecewa dan dendam perasaan Kat Hian Cin saat itu.
Mimpipun tidak dia, bahwa ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin yang
tiada tandingan di dunia persilatan selama ini, ternyata dapat
dipukul hancur berantakan oleh si Rase Kumala. Hanya karena
sedikit salah perhitungan saja, maka dia sampai menderita
kekalahan yang begitu menyedihkan ...........
Saking dendam dan malunya, timbul pikiran nekad dari
pemilik Siang Ceng Kiong itu untuk bunuh diri. Tapi demi
matanya tertumbuk akan kawanan tojin yang menggeletak di
tanah itu sama pucat wajahnya seperti tak bernyawa, dia
menghela napas. Pedangnya yang sedianya hendak
ditabaskan kebatang lehernya sendiri, dilemparkan. Serunya:
„Jenderal yang kalah perang, tak berani temberang
(sombong). Silahkan sicu menghukum diri pinto, hanya saja
..........
Tertawa gelak-gelak si Rase Kamala, tukasnya
„Tenteramkanlah hatimu, Kat Hian Cin. Penasaran ada
awalnya, hutang ada yang menanggungnya. Setelah
kuselesaikan rekening lama dengan Goan Goan Cu, tentu akan
kukembalikan padamu lagi duapuluh orang hidup. Tapi untuk
sekarang, biarlah mereka tenang-tenang berbaring disitu dulu.
Kalau terlalu mengurusi soal itu, dikuatirkan akan merusak
kemurahan hatiku si orang tua ini!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kawanan tojin yang menonton di sekeliling tempat itu,
sama belum bubaran. Melihat itu, alis si Rase Kumala agak
menjungkat. Tiba-tiba dia melangkah setindak ke muka,.
tangan kiri menyambar lambung kanan Kat Hian, Seperti
sesosok tubuh yang tak punya tenaga lagi, tubuh Kat Hian
dibawa loncat oleh si Rase Kumala, melayang ke arah
rombongan tojin sana.
Seperti kumbang dijolok sarangnya, maka berserabutanlah
kawanan tojin itu lari tunggang langgang keempat penjuru. Si
Rase Kumala tertawa keras, sembari kebut-kebutkan lengan
baju kian kemari. Serasa ditiup angin taufan rombongan tojin
yang tak kurang dari seratusan orang jumlahnya itu, sama
tersungkur ke tanah.
„Kalau berdiri disana tadi, mereka menjadi penghalang,
maka biarlah mereka tiduran mengasoh saja untuk menemani
kawannya yang ke duapuluh orang tadi,” kata si Rase Kumala
dengan jumawa kepada Kat Hian Cin.
Keadaan Kat Hian Cin, lebih menderita dari orang disiksa.
Melihat anak murid Siang Ceng Kiong didera orang, dia tak
dapat berbuat suatu apa, karena dirinya sendiripun berada
dalam kekuasaan orang. Dia terdiam tak dapat bicara.
„Lama sudah nama biara Siang Ceng Kiong termasyhur di
seluruh jagad, sayang kwancu belum pulang. Tapi apakah
kian-wan (penilik) suka mengantarkan aku melihat-lihat
dalamnya?" tanya si Rase Kumala dengan tertawa.
Pertanyaan sederhana yang mengandung olok tajam itu,
membuat darah Kat Hian bergolak. Dia mendongak, lalu
menyahut dengan geram, "Seorang kesatria boleh dibunuh,
tak boleh dihina. Janganlah sicu keterlaluan!"
„Kamu pihak Siang Ceng Kiong sendiri yang tak genah,
mengapa salahkan lain orang. Dengan sejujurnya aku minta
kautemani melihat-lihat, tapi kau sendiri yang cari penyakit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
.....” tukas si Rase Kumala sembari pijatkan kelima jari
kanannya.
Serangkum hawa panas mengalir ke tubuh Kat Hian dan
segera dia merasa ulu hatinya seperti digigiti ribuan semut.
Bermula masih dapat dia bertahan, tapi sejenak kemudian,
dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar kedele.
Mulutnya menggereng sakit, namun sang geraham
mengancingkan gigi rapat-rapat untuk bertahan sampai mati.
Si Rase Kumala mendengus.
„Kat Hian Cin, sepatah kau berani membangkang,
seratusan kawanmu itu, akan menjadi bangkai semua!"
serunya.
Belum pernah sepanjang hidup Kat Hian mengalami dera
derita yang segetir seperti kala itu. Dirinya disiksa, kini
mendengar lagi ancaman yang mengerikan. Dia yakin, tokoh
aneh yang sakti itu selalu mengerjakan apa yang diucapkan.
„Aku ..... menurut ...... permintaanmu", akhirnya mulutnya
menggetar kata.
"Telah kuduga bahwa kau tentu tak mau membangkang,"
sahut si Rase Kumala sembari kendorkan jepitannya.
Begitulah seperti sepasang sahabat karib, keduanya masuk
ke dalam Siang Ceng Kiong untuk melihat-lihat. Adalah selagi
mereka berdua mulai keliling, di bawah kaki gunung Mosan
sana, tampak sesosok bayangan kecil pendek melesat naik ke
atas gunung. Laksana bintang meluncur, dalam sekejap saja
tibalah orang itu ke muka Siang Ceng Kiong.
Pemandangan pertama yang disuguhkan kepadanya telah
membuat sang jantung mendebar keras. Seratusan lebih anak
murid Siang Ceng Kiong berserakan tersungkur di halaman
muka dengan wajah pucat lesi. Mendongak ke atas. papan
nama ''Siang Ceng Kiong" yang tergantung di atas pintu biara,
sudah tiada tampak lagi. Dia banting-banting kaki.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Shin-tok Kek, perbuatanmu serendah itu, sungguh
keliwatan sekali. Goan Goan Cu menunggu disini!" serunya
dengan lantang.
Tepat kumandang seruan itu berhenti. dari dalam biara
terdengar suara ketawa keras, menyusul dua sosok bayangan
kelabu dan kuning melesat keluar muka pintu. Sejenak
memandang, Goan Goan Cu dapatkan kedua bayangan itu
adalah seorang pelajar setengah umur yang bertubuh tinggi
kurus sedang menggandeng Kat Hian Cu, sutitnya (keponakan
murid Goan Goan Cu). Orang sekolahan itu mengulum senyum
memandang kepadanya.
Diam-diam Goan Goan Cu terkesiap, pikirnya: "Menurut
perhitungan si Rase Kumala itu sudah hampir tujuhpuluhan
umurnya, mengapa tampaknya dia masih begitu muda?
Jangan-jangan dia sudah dapat mencapai tingkat peyakinan
yang sempurna, atau ..........”
„Ah, jangan hiraukan hal itu.” Demikian dia mengambil
ketetapan, terus menegur dengan geramnya: „Adakah yang
datang ini Shin-tok Kek?"
„Ha, ha,” demikian si Rase Kumala menertawainya, lalu
menyahut: „Kau mempunyai mata tapi tak dapat melihat
gunung Thaysan. Lohu sudah lama menantimu disini!"
Mimik muka Goan Goan Cu berobah.
„Shin-tok Kek, selama ini kau dan aku tak pernah
berhubungan, ibarat air sumur tak melanggar air sungai.
Sekarang kau datang ke Siang Ceng Kiong, merusakkan papan
biara dan melukai orang, apakah maksudmu ?" bentaknya.
Dengan wajah membeku, menyahutlah si Rase Kumala:
„Masih ingatkah kau akan peristiwa Siau Hong ?"
Atas kerusakan yang diderita biara Siang Ceng Kiong, Goan
Goan Cu sudah naik darah. Kini mendengar diungkatnya
peristiwa Siau Hong, darahnya makin panas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Terhadap murid murtad, tak perlu diingat lagi. Dan lagi itu
adalah urusan intern kaum kami, orang luar tak berhak turut
campur!" sahutnya dengan tertawa dingin.
„Sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan, membabi
buta tak dapat membedakan salah dari yang benar, aturan
partai apakah itu? Benar urusan intern Siang Ceng Kiong tiada
sangkut pautnya dengan diriku, tapi bagaimanakah kau
hendak mempertanggung jawabkan kematian puteriku karena
disebabkan ‘kebijaksanaanmu’ itu!" balas si Rase Kumala
dengan tajam.
„Setiap perbuatan harus ditanggung sendiri, mengapa
ditimpahkan pada lain orang ?" Goan Goan Cu mendebat.
„Heh, heh,” tertawa si Rase Kumala dengan nada sedingin
es.
„Berdasarkan 'falsafatmu' itu, menjelang usia mendekati
liang kubur ini, lohu hendak berbuat jahat sekali lagi. Pada
hari dan detik ini, kalau tak dapat minta kembali keadilan
padamu, tiga huruf ‘Shin-tok Kek' itu, sejak ini akan kuhapus
selama-lamanya!"
Habis berkata itu, tangannya kanan yang masih menguasai
jalan darah Kat Hian, segera dilepaskan. Diiring dengan
sebuah jentikan jari, menjeritlah Kat Hian terus rubuh
tersungkur. Kasihan tojin itu. Dia menjadi korban kemarahan
bintang cemerlang dari sepuluh Datuk.
Tahu bahwa sang sutit menderita luka hebat dalam hawa
cin-gi nya, amarah Goan Goan Cu makin meluap.
„Shin-tok Kek, tidakkah kau malu berbuat seganas itu
terhadap seorang angkatan muda ?" jengeknya.
Namun si Rase Kumala tokoh yang aneh itu. tetap tak
mengacuhkan kemarahan lawan Dingin-dingin dia menyahut:
„Cara lohu menyelesaikan urusan, memang berbeda-beda
menurut terhadap siapa orangnya. Terhadap seorang yang tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kenal rasa kemanusian seperti kau ini, apa perlunya lohu pakai
aturan ini itu!"
Sungguh mata Goan Goan Cu hendak melotot keluar bahna
marahnya, namun berhadapan dengan seorang lawan yang
kuat, dia tak berani gegabah. Sekali salah urus, akan jatuhlah
namanya yang agung selama ini.
Selagi ketua Siang Ceng Kiong memutar otak mencari
siasat perlawanan, si Rase Kumala sudah menantangnya:
„Goan Goan Cu, urusan hari ini, tiada lain jalan kecuali harus
diputuskan dengan adu kepandaian, siapa kuat siapa lemah.
Kalau lohu kalah, kecuali akan menghaturkan maaf pada
dewa-dewa penunggu biaramu serta memasang kembali
papan nama Siang Ceng Kiong, pun urusan anak
perempuanku, tak kutarik panjang lagi. Dan sejak itu, aku
akan menutup diri di Tiam-jong-san, takkan menginjak di
dunia persilatan untuk selama-lamanya lagi. Tapi ...........”
Sampai disini, dia berhenti sejenak. Dengan mata berkilatkilat
ditatapnya Goan Goan Cu, baru melanyutkan pula: „Jika
kau tak mampu menangkan lohu, apakah katamu ?"
Dirangsang oleh kemarahan, tanpa berpikir lagi
menyahutlah Goan Goan Cu: „Kalau pinto kalah, pedang akan
mengakhiri hidupku!"
„Bagus!" seru si Rase Kumala dengan jumawanya,
„Seorang yang mati di tempat tinggalnya, juga takkan
mengecewakan. Hanya saja aku si Shin-tok Kek ini, selamanya
tak mau minta kemurahan. Pertandingan kali ini, kuminta
hanya dalam tiga macam babak saja. Bagaimana caranya,
terserah padamu!"
Sejenak kesadarannya pulih, menyesal juga Goan Goan Cu.
Namun kata sudah terlanjur diucapkan, malu juga dia hendak
menariknya.
„Adu tajamnya lidah, adalah perbuatan seorang rendah.
Lama nian kemasyhuran ilmumu lwekang tay-ceng-kong-gi,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sungguhpun pinto tidak becus, namun ingin sekali menerima
pelajaranmu itu!" sahutnya dengan geram.
Si Rase Kumala mengangguk: „Tak nanti lohu mensiasiakan
harapanmu itu. Tapi entah bagaimana caranya
bertanding".
Goan Goan Cu menerangkan: „Dalam lingkaran tanah
seluas satu tombak persegi, kita berdua berdiri di dalamnya
dan bertanding ilmu lwekang. Siapa yang terlempar keluar dari
lingkaran itu, dialahyang kalah!”
Si Rase Kumala menyatakan setuju. Tanpa buang waktu
lagi, Goan Goan Cu lantas gunakan dua buah jarinya
berputaran menuding ke tanah. Batu dan pasir seluas satu
tombak di sekelilingnya, sama berserakan. Dan disitu
terdapatlah sebuah garis lingkaran sedalam tiga inci. Setelah
itu, dia mundur beberapa langkah, siap sedia menanti musuh.
Si Rase Kumala hanya tertawa dingin, lalu tenang-tenang
melangkah masuk. Kira-kira terpisah dua meter dari Goan
Goan Cu, dia berdiri tegak sembari julurkan tangan kanan ke
muka. Melihat ketenangan orang, Goan Goan Cupun tak
berani berayal. Peyakinan ilmu lwekang sam-im-sin-kang
(tenaga sakti hawa negatif) yang dipelajari berpuluh tahun,
dikerahkan di tangan kiri, lalu dijulurkan ke muka menghadapi
tangan lawan.
Sekalipun lahirnya tenang jumawa, namun dalam batin si
Rase Kumala tak berani memandang enteng pada lawan.
Bahwa orang sudah digolongkan dalam daftar sepuluh Datuk,
tentulah menguasai ilmu kepandaian yang sakti.
Bagaimanapun Goan Goan Cu juga anggauta ke sepuluh
Datuk zaman itu. Hanya saja, pribadi si Rase Kumala itu dapat
menguasai mimik pada wajahnya.
Benar thay-ceng-kong-gi merajai dunia lwekang, tapi samim-
sin-kang pun juga luar biasa. Apalagi kedua lwekang itu
tergolong lwekang im (gaya lemah), jadi serumpun. Memang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dikala kedua hawa lwekang itu saling memancar, kedua tokoh
itu sama merasakan hawa dingin bergaya lunak, merasuk ke
dalam ulu hati.
Beberapa detik adu lwekang itu berlangsung, masingmasing
sudah sama dapat mengadakan penilaian. Goan Goan
Cu merasa, walaupun tenaga thay-ceng-kong-gi itu laksana
gunung menindih, tapi perbawanya tak sedahsyat yang
disohorkan orang. Sekalipun tak menang, kemungkinan
kalahpun tak nanti terjadi Rupanya isi hati Goan Goan Cu itu
dapat juga diteropong oleh si Rase Kumala yang tajam panca
inderanya. Dengan mengeram pelahan, dia perlipat gandakan
kekuatan thay-ceng-kong-gi nya.
Dalam suatu pertempuran antara tokoh sakti, lebih-lebih
kalau adu lwekang, terpaut sedikit saja tingkatannya. akan
sudah kentara. Demikianlah keadaan Goan Goan Cu yang
memang kalah setingkat dengan si Rase Kumala. Baru dia
memperhitungkan kekuatan lawan, tahu-tahu tenaga tekanan
si Rase Kumala menjadi lipat dua kali kerasnya. Dalam
kejutnya, buru-buru kerahkan seluruh lwekangnya untuk
mempergandakan kekuatan sam-im-sin-kangnya sampai
sepuluh kali.
Sekalipun begitu, namun sudah terlambat setindak. Tanpa
dapat ditahan lagi, tubuhnya terdorong mundur. Dia mundur
selangkah, si Rase Kumala maju setindak. Adegan satu
mundur satu maju itu berlangsung pelahan sekali. Tanah yang
bekas diinjaknya itu, meninggalkan bekas telapak kaki yang
dalam.
Pada saat itu dahi Goan Goan Cu sudah berketetesan
keringat. Ketika terdorong mundur sampai di tepi garis
lingkaran, hilanglah sudah harapannya. Dalam detik-detik
kekalahan itu, dia nekad. Dikerahkannya seluruh tenaga untuk
memberi perlawanan terakhir. Tapi sekonyong-konyong
desakan si Rase Kumala itu ditarik, lalu orangnyapun loncat
keluar lingkaran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Merah padam selebar muka ketua Siang Ceng Kiong itu.
Mau tak mau dia harus mengakui kekalahannya. Belum
sempat dia membuka mulut, si Rase Kumala sudah
mendahului: „Batas waktu pertandingan tadi sudah tiba. Oleh
karena kedua pihak belum terdorong keluar garis, jadi
pertandingan ini boleh dianggap seri. Nah, katakanlah cara
pertandingan yang kedua!”
Lapang dan gamblang kata-kata itu diucapkan, namun bagi
telinga Goan Goan Cu dirasakan seperti sebilah pisau yang
menyayat-nyayat hati. Memandang ke arah lawan, berkatalah
dia dengan geramnya: „Pinto mengaku kalah, usah kau
berlaku ramah. Acara yang kedua tetap dijiwai dengan mati
hidupnya biara Siang Ceng Kiong. Lama sudah dunia
persilatan mengagungkan permainan, seratusdelapan jurus
dari senjata ji-i-san-chiu itu amat gaibnya. Ingin pinto dengan
sebilah pedang, menerima lagi pelajaran!”
Melihat kejujuran lawan mengakui kekalahan, terbit rasa
kagum pada si Rase Kumala. Diam-diam dia menghargai sifat
kesatria lawan.
„Sifat kesatria totiang itu, pantas dikagumi. Ilmu pedang
totiang cap-sa-kiam itu, mengguntur di angkasa persilatan.
Shin-tok Kek akan mengiringkan kehendak totiang,” ujarnya,
lalu mundur tiga langkah. Dari bajunya, dia merogoh keluar
sebuah senjata aneh bentuknya. Benda itu berkilat-kilat
kebiru-biruan cahanya. Itulah senjata ji-i (menurut kehendak
orang) yang terbuat dari cui-giok (kumala biru).
Melihat orang sudah mengeluarkan senjata cui-giok-ji-i
yang berpuluh tahun tak pernah digunakan. Goan Goan Cu
pun segera menyiapkan sebatang pedang di tangan kiri.
Tubuh tegak lurus, pedang siap di dada, diimbangi dengan
gerakan tangan kanan. Sikapnya amat perkasa.
Ilmu pedang adalah rajanya ilmu senjata, lebih-lebih kalau
permainan itu dilakukan dengan tangan kiri. Sukarlah orang
menduga gerak perobahannya. Demikian Goan Goan Cu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan ilmu pedangnya ki-bun-cap-sa-kiam (tigabelas pedang
sakot) yang menggetarkan dunia persilatan itu. Namun
sedikitpun si Rase Kumala tak gentar.
Ilmu permainannya senjata ji-i-san-chiu yang terdiri dari
seratusdelapan jurus itu, adalah mencangkum semua inti sari
dari berbagai jenis permainan ilmu senjata. Kebagusan dari
pelbagai ilmu senjata itu dilebur menjadi satu kreasi (ciptaan)
ilmu ji-i-san-chiu. Jadi dapat dibayangkan betapa
kesaktiannya. Disamping itu senjata ji-i-san-chiu terbuat dari
mustika kumala kuno. Sebuah senjata pusaka yang tak
terkutungkan dengan senjata apapun juga.
Kalau Goan Goan Cu tersirap kaget dengan lawan yang
mengeluarkan senjata ampuh itu, adalah si Rase Kumala juga
tak kurang kejutnya. Dalam keadaan segenting itu, kedua
tokoh dari sepuluh Datuk itu, sama tak berani meninggalkan
kewaspadaannya. Goan Goan Cu sangat prihatin, si Rase
Kumalapun tak lagi bersikap jumawa.
Setelah masing-masing mempersilahkan lawan, keduanya
sama bergerak putaran sejenak. Pada lain saat, mulailah
pertandingan di dunia. Diiringkan keseimbangan gerakan
tangan kanan, pedang di tangan kiri Goan Goan Cu menusuk
dada lawan dengan jurus Siau-cin-thing-lam. Begitu ujung
pedang hampir mengenai, harus lah si Rase Kumala miringkan
tubuh sedikit, senjata diputar dalam jurus kiau-hi-liom-hoan
untuk balas menutuk jalan darah di-bun-hiat di tetek lawan.
Gebrak pertama yang dilakukan oleh dua orang datuk
persilatan itu, perbawanya menerbitkan desus angin yang
santer laksana naga bertempur dengan harimau. Sinar putih
dari pedang deras bagai hujan mencurah, sinar hijau dari
senjata cui-giok-ji-i memagut-magut bianglala mengarungi
angkasa. Setiap jurus dan gerak, adalah ilmu sakti yang jarang
tertampak dalam dunia persilatan.
Goan Goan Cu gunakan ilmu pedang hoan-ki-bun-kiamhwat
yang seumur hidup belum pemah dikeluarkan dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pertempuran. Hoan-ki-bun-kiam-hwat atau ilmu pedang
sungsang balik, setingkat lebih dahsyat dari ilmu pedang
biasa. Dikata sungsang balik, karena arah serangannya,
berlawanan dengan serangan ilmu pedang biasa. Lain dari itu,
seluruh tenaga lwekang dicurahkan ke batang pedang, jadi
setiap jurus serangannya tentu menderu-deru laksana
halilintar menyambar.
Bagaimana dengan si Rase Kumala? Si Rase dengan senjata
kumalanya itu tak kurang hebatnya. Dalam sambaran pedang
yang deras, dia berlincahan menghindar, menangkis,
menutuk, membabat, mengait, menyodok, memapas, delapan
inti sari ilmu cui-giok-ji-i. Senjata kumala yang berkeredipan
laksana kunang-kunang di malam hari itu, bertebaran dengan
gerakan yang serba aneh.
Begitulah dalam sekejap saja, pertempuran telah berjalan
lebih dari duaratus jurus. Sesaat Goan Goan Cu lancarkan tiga
buah serangan berantai, liong-siang-hong-bu (naga melayang
burung hong menari), to-kwa-thian-sin (menggantung terbalik
malaekat langit) dan ban-hwat-kui-cong atau selaksa ilmu
kembali pada pusatnya. Udara penuh dengan suara deru
halilintar menyambar, ribuan sinar pedang berhamburan ke
bawah.
Si Rase Kumala mendongak bersuit nyaring, lalu
sekonyong-konyong melambung ke udara. Laksana biangkala
melayang ke angkasa, dia terbang menyusup ke dalam hujan
sinar pedang. “Tring, tring, tring....” berbareng dengan
buyarnya hujan sinar berhamburan keempat penjuru, dua
sosok bayangan loncat keluar dari gelanggang. Apa yang
terjadi?
Kedua bayangan itu adalah si Rase Kumala dan Goan Goan
Cu yang sama loncat keluar. Ketika memeriksa pedangnya,
Goan Goan Cu dapatkan senjatanya itu ujungnya gempil dan
kutung beberapa centi. Kala itu hampir menjelang jam 4 pagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rembulan sudah condong kebarat. Di bawah cahaya bulan
remang itu, tampak wajah Goan Goan Cu pucat seperti kertas.
Pedang kutung dibuangnya dan berserulah ketua Siang
Ceng Kiong itu dengan geram: „Ilmu ji-i-san-chiu, nyata tak
bernama kosong. Dua kali pinto menderita kekalahan, tak ada
lain kata lagi kecuali hendak menurutkan janji membunuh
diri!"
Si Rase Kumala adalah seorang tokoh yang jumawa berhati
dingin. Hanya ada satu hal yang dia paling indahkan, yakni
kepribadian. Melihat Goan Goan Cu seorang tokoh yang
berkepribadian kesatria, dia menaruh perindahan juga. Tiada
lagi dia bersikap jumawa, dengan bersungguh-sungguh
berkatalah dia: „Shin-tok Kek menaruh respek (perindahan)
besar atas sikap totiang. Semua dendam penasaran berakhir
sampai disini saja dan aku hendak minta diri!"
Ucapan itu ditutup dengan sebuah bungkukan menghormat
kepada Goan Goan Cu. Namun ketua Siang Ceng Kiong itu
tidak balas menghormat. Wajahnya menampil senyum getir.
Memandang sejenak ke arah kawanan tojin yang
menggeletak di muka halaman Siang Ceng Kiong, sekonyongkonyong
dia angkat tangannya menghantam ke atas batok
kepalanya sendiri ..........
---ooo0dw0ooo---
5. Banteng Lawan Harimau
Tepat pada saat tinju Goan Goan Cu melayang ke batok
kepalanya, sekonyong-konyong dari udara terdengar sebuah
doa keagamaan melengking nyaring. Menyusul, serangkum
angin lembut yang berbau harum, meniup lemah ke bahunya.
Tangan yang akan membawa maut tadipun terpental.
Dalam kejutnya, Goan Goan Cu membuka mata dan
dapatkan seorang paderi tua bertubuh tinggi besar berdiri
dihadapannya. Wajah berseri paderi itu mengulum senyum,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebuah senyum yang membuat Goan Goan Cu sesal kemalumaluan.
Melihat kepala Siang Ceng Kiong menundukkan kepala
kemalu-maluan, berserulah hwesio tua itu dengan nada
ramah. „Urusan toheng, telah kuketahui semua. Untuk
sahabat lama, aku bersedia mengulurkan bantuan."
Dan belum lagi Goan Goan Cu menyahut, paderi tua itu
sudah berputar tubuh menghadapi si Rase Kumala. Sambil
memberi hormat berkatalah dia: „Loni Bing King ........”
„Taysu adalah seorang saleh sakti yang termasyhur.
Kedatangan taysu secara tiba-tiba kemari ini, bukankah
karena hendak memberi pengajaran pada Shin-tok Kek?"
Paderi tua yang bukan lain memang Bing King Siangjin, itu
tokoh nomor satu dalam sepuluh Datuk, tersenyum menyahut.
„Kedatangan loni kemari ini hanya secara kebetulan saja
karena hendak menyambangi seorang sahabat lama. Tapi
urusan Shin-tok sicu dengan Goan Goan toheng itu, telah loni
ketahui. Sungguhpun cara Goan Goan toheng menghukum
muridnya Siau Hong itu terlampau keras, namun layak
tidaknya anak itu menerima hukuman begitu serta benar
tidaknya dia dicelakai orang, pada waktu ini masih belum
ketahuan jelas. Oleh sebab itu, apa yang sicu lakukan malam
ini, turut keadilan yang jujur, juga tak terluput dari kurang
pertimbangan yang mendalam."
Tertawalah si Rase Kumala nyaring-nyaring, bantahnya:
„Shin-tok Kek amat mengagumi ketajaman lidah tay-hweshio.
Hanya apakah kematian puteriku itu juga cukup sampai disini
saja?"
Hweshio tua yang telah mencapai kesempurnaan ajaran
agama itu, tak tersinggung dengan ucapan si Rase Kumala
yang sinis itu. Dengan wajah tetap berseri ramah, dia
kembalikan bantahan: „Membalas dendam, tetap menggelora
dalam dada manusia sepanjang masa. Kematian leng-ay
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(anakmu perempuan), disebabkan musabab lain. Mengapa
sicu tak mencarinya kesitu? Setelah sebab musababnya
diketemukan, barulah dapat dijatuhkan putusan mana yang
salah dan benar. Entah bagaimana pendapat sicu?”
Si Rase Kumala tertawa.
„Peribahasa mengatakan: 'obat takkan mematikan
penyakit, mengabdi agama itu memang ada jodohnya’.
Sayang Shin-tok Kek tak berjodoh dengan Buddha, jadi
betapapun taysu cape-cape putar lidah, sukar untuk
menyadarkan pikiran yang sudah kalut. Dalam melakukan
sepak terjang, Shin-tok Kek mengutamakan leganya sang hati.
Oleh karena itu dalam soal jiwa siao-li, Shin-tok Kek baru akan
merasa puas kalau sudah mendapat ganti jiwa orang yang
tersangkut. Ah, lama nian toa-hwesio memiliki ilmu kesaktian
kalangan sian-bun (agama). Bahwasanya dengan berkunjung
kemari mencampuri urusan ini, tentulah toa-hweshio
mempunyai maksud tertentu. Tambahan pula, berita tentang
bertemunya tiga orang datuk di gunung Mosan sini, tentu
akan menjadi buah tutur yang menggemparkan di kalangan
persilatan. Dipercaya toa-hweshio tentu tak mau pelit memberi
pelajaran!"
Melihat wajah orang membengis murka, mau tak mau
mengerut juga alis hweshio besar itu, ujarnya: „Sesuai dengan
ajaran kasih sayang dari agama kami, loni selalu
menggunakan jalan damai dalam setiap persengketaan. Cara
kekerasan, pantang ditempuh oleh kaum agama. Namun
karena urusan malam ini rasanya tak mungkin diselesaikan
dengan kata-kata saja, maka loni ikhlas serahkan tubuh loni
untuk menerima sebuah hantaman dari sicu. Semoga hal itu
dapat menjadi cara penyelesaiannya. Apabila loni sampai
rubuh atau terluka dengan pukulan sicu itu, silahkan sicu
sekehendak hati menyelesaikan urusan malam ini, loni takkan
ikut-ikutan. Namun apabila Hud memberkahi loni, harap, sicu
suka tangguhkan urusan ini sampai lain kali apabila sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketahuan terang siapa yang bersalah. Entah apakah sicu dapat
menerima usul loni ini?"
Mendengar itu pecahlah gelak tawa si Rase Kumala.
„Sungguh malam yang berbahagia dapat berjumpa dengan
seorang kojin (sakti). Prinsip kasih sayang yang toa-hweshio
pegang teguh itu, betul-betul Shin-tok Kek amat menjunjung
tinggi dan tak berani membantah. Silahkan toa-hweshio
segera bersedia, agar Shin-tok Kek dapat menunaikan 'jodoh
sebuah pukulan' itu."
Habis berkata, serentak dia menyimpan senjata cui-giok-ji-i
ke dalam lengan baju, kemudian melangkah maju dan berdiri
dengan jumawanya. Sebenarnya Goan Goan Cu sudah hendak
mencegah Bing King Siangjin, namun urusan sudah sampai
sedemikian rupa, dia tak berdaya lagi dan terpaksa diam.
Benar dia mendengar bahwa ilmu Bing King Siangjin telah
mencapai tingkat kesempumaan "Kim-kong-put-huay"
(malaekat yang tak rusak atau kebal), namun si Rase Kumala
adalah bintang cemerlang dari sepuluh Datuk. Betapa dahsyat
pukulannya, dapat dikira-kirakan sendiri. Kalau sampai terjadi
sesuatu, bukankah dia (Goan Goan Cu) seperti mencelakai
sahabatnya itu?
Dengan kekuatiran itu, dia melangkah maju, maksudnya
hendak melerai. Tapi dikala sang kaki baru diayun, Bing King
sudah mencegahnya.
„Harap toheng jangan kuatir. Kalau loni benar-benar tak
dapat bertahan, kiranya tak terlambat apabila pada saat itu
toheng menghabisi jiwa!"
Mundur teraturlah Goan Goan Cu. Tapi demi mengawasi ke
arah si Rase Kumala, dia menjadi terkesiap. Wajah si Rase
Kumala itu menampilkan hawa pembunuhan yang bernyalanyala,
ubun-ubun kepalanya mengeluarkan asap. Diam-diam
kepala Siang Ceng Kiong itu kucurkan keringat dingin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebaliknya, Bing King Siangjin tetap tenang. Seperti tak
merasa apa-apa dia tampil ke muka dan berdiri kira-kira
setombak jauhnya dari si Rase Kumala. Kemudian dia
mempersilahkan orang segera melancarkan pukulan.
Si Rase Kumala tertawa tawar sambil diam-diam
memusatkan sembilan bagian dari lwekang tay-ceng-kong-gi
ke tangan kanan.
„Toa-hweshio, bersiaplah!"
Maju setengah langkah, lengan kanan dilempangkan lurus
ke muka dan sekali telapak tangan digerakkan, dia mendorong
ke arah dada Bing King. Angin menderu, baju berkibar-kibar.
Sepasang alis Bing King mengerut, matanya menunduk ke
bawah. Tubuhnya yang tinggi besar itu, berayun-ayun
menuruntukan deru angin pukulan. Bumi yang dipijaknya,
pelahan demi pelahan turut ambles. Sebuah adegan yang
ngeri penuh maut.
Demikian kira-kira sepeminum teh lamanya, tiba-tiba si
Rase Kumala tarik pulang tangannya. Sorot matanya
memancarkan sinar kekaguman yang tak terhingga. Ditiup
desir angin malam, baju Bing King sekonyong-konyong
menghamburkan debu, beterbaran keempat penjuru. Di
bawah leher bayunya, sama rowak berkeping-keping seperti
dicakar dengan lima buah jari.
Kala itu, Bing King mulai membuka mata. Dengan agak
terengah, dia berkata: „Syukur hud-cou memberi berkah dan
terkabullah penyelesaian dengan sebuah pukulan."
Tiba-tiba si Rase Kumala tertawa nyaring, serunya: „Toahweshio
benar-benar sakti, Shin-tok Kek kagum tak terhingga.
Dengan ini selesailah persoalan malam ini, selanjutnya
perkembangan lain harilah yang akan memutuskan. Sekalian
tojin itu, hanya tertutuk jalan darah hun-hiatnya, rasanya
dengan ilmu Hud-hwat toa-hweshio yang tiada terbatas itu,
tentu aku dapat mengembalikan mereka. Hanya dikarenakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka sudah cukup lama tertutup jalan darahnya, jadi
perlulah dirawat seperlunya. Disini tersedia pil ceng-leng-wan,
cukup diaduk dengan air bersih dan diminumkan, tentulah
akan jadi baik."
Habis berkata, diambilnya sebuah botol kumala lalu
ditaruhkan di atas tanah. Begitu bersuit panjang, dua orang
anak muncul dengan menggotong sebuah tandu. Secepat si
Rase Kumala loncat ke dalam, kedua anak itu segera
memanggulnya turun gunung .........
Menutur sampai disini, pak tua berhenti. Dia mendongak ke
atas, seolah-olah seperti mengenangkan kejadian pada masa
yang lampau. Pemuda tanggung yang tengah asyik
mendengarkan itu, sudah tentu tak mau tahu.
„Yah, bukankah Siau-sat-sin Li Hun-liong putera dari Pakthian-
san Song-sat pernah mngatakan, tak mau hidup
bersama-sama dengan Siau Hong? Dari ucapan itu, terang
yang menulis surat kaleng itu tentulah dia. Apakah begitu
mudah saja si Rase Kumala melepaskan dia?” tanyanya.
Pak tua merenung sejenak. Kemudian menatap wajah si
anak, dia kedengaran menghela napas, ujarnya: „Dulu ketika
ayah mendengar cerita itu, juga mengajukan pertanyaan
serupa dengan kau ini. Tapi perkembangan kisahnya, ternyata
di luar dugaan orang! Turut kata orang yang membawakan
cerita ini padaku, sepergi dari gunung Mosan, si Rase Kumala
terus langsung menuju ke gunung Pak-thian-san untuk
mencari Song-sat. Ternyata disana Song-sat menyambutnya
dengan tenang dan berterus terang. Dia amat menghormat
sekali kepada si Rase Kumala, kemudian menyuruh puteranya
(Li Hun-liong) keluar mengadakan testing tulisan. Setelah
dipadu, ternyata tulisannya itu tak sama dengan tulisan dalam
surat kaleng itu.
Hal itu telah membuat si Rase Kumala yang cerdik jumawa,
bungkam dalam seribu bahasa. Walaupun biasanya dia suka
membawa kemauan sendiri tak menghiraukan segala alasan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang, namun dalam keadaan seperti itu, tak dapat lagi dia
berkeras kepala menuduh secara membabi buta. Datang
dengan kemarahan menyala-nyala, terpaksa si Rase Kumala
kembali dengan semangat padam lesu. Sejak itu, walaupun
sudah berpuluh tahun lamanya dia tak henti-hentinya
melakukan penyelidikan, namun hingga kini tetap belum
berhasil. Berpuluh tahun lamanya, peristiwa itu tetap
terbungkus kabut ......”
„Yah, siapa si curang yang telah mencelakai dan menulis
surat kaleng itu? Apakah Siau Hong sungguh dicelakai orang
sehingga tak sadar melakukan perbuatan itu?” tanya Ih-ji.
Dihujani pertanyaan, pak tua hanya ganda tertawa,
sahutnya: „Anak tolol, itulah pertanyaan-pertanyaan yang
tetap menjadl rahasia sampai sekarang. Kalau dulu-dulu sudah
terpecahkan, tentu urusan akan sudah selesai!"
Muka si bocah tampak kesal, ujarnya: „Yah, dalam
peristiwa itu, turut penglihatan Ih-ji, kesemua-semuanya
terletak pada Goan Goan Cu yang memberi hukuman menurut
kemauannya sendiri. Seharusnya dia menyelidiki sampai
terang, baru menjalankan keputusan, dengan begitu tentulah
tak sampai terjadi onar besar, yang paling kasihan adalah
Shin-tok Lan, hem ...... kalau aku menjadi si Rase Kumala,
bukan hanya meminta ganti jiwa Goan Goan Cu pun
menjadikan biara Ceng Kiong Kiong sebuah karang arang!"
Menampak bagaimana si Ih-ji dengan wajah murka dan
nada dendam mengucapkan kata-katanya itu, kejut si pak tua
tak terkira. Serentak dicekalnya tangan si bocah itu.
„Betapapun kurang bijaksananya tindakan Goan Goan Cu,
namun tak seharusnya kau berpikir demikian, bagaimanapun
juga dia adalah kau ......”
Baru mengucap sampai disini, seperti terkena stroom listrik,
buru-buru si pak tua berhenti. Dia merasa sudah kelepasan
omong. Namun Ih-ji yang cerdik itu sudah dapat mencium
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bau. Loncat dari pelukan sang ayah, dia tegak berdiri
menggagah (memandang dengan bernyala-nyala) ke arah pak
tua, serunya: „Yah, kaukatakan Goan Goan Cu itu apaku?!"
Pak tua menghela napas panjang.
„Apakah yang seharusnya tak boleh dikatakan, terpaksa
kukata kan juga ........" gerutunya.
Bahwa berlainan jawab dengan apa yang ditanyakan, Ih-ji
segera menggoyang-goyang kedua bahu sang ayah, seraya
merengek: „Yah, bilanglah, apa hubunganku dengan Goan
Goan Cu itu?"
Sekonyong-konyong sepasang biji mata pak tua membeliak
dan dengan nada berat berkatalah dia: „Dia ....... adalah
sucoumu (kakek guru)!”
Ih-ji menyambut kata-kata ayahnya itu dengan sebuah
teriakan kaget. Setelah termenung sampai sekian saat,
akhirnya dengan nada gentar, dia berkata: „Yah, kalau begitu,
Ih-ji ini adalah Siau .......”
Belum Ih-ji menyelesaikan kata-katanya, pak tua sudah
merangkulnya kedalarn pelukan, katanya dengan rawan:
„Benar, kau adalah putera dari Siau Hong. Ayahmu ini adalah
orang yang mengemban titipan seorang sahabat tapi ternyata
tak dapat menyelesaikan tugas itu, yakni si Dewa Tertawa
......”
Bayangan peristiwa yang lampau, menyebabkan dia tak
dapat meneruskan kata-katanya. Alam pegunungan yang
bermandikan cahaya gemilang dari sang surya, terasa diliputi
oleh suasana haru duka. Tokoh terkemuka dunia persilatan
pada zaman itu, tampak membelai-belai rambut Ih-ji dengan
sebentar-sebentar menghela napas panjang pendek. Muka si
anak yang tertelungkup dalam pelukannya itu, diangkatnya
pelahan-lahan, lalu dengan kasih sayangnya diusapinya air
mata yang menggenangi muka anak itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Sebenarnya setelah kau dewasa, baru ayah akan
menuturkan hal itu padamu, tapi ah, apa mau dikata .........”
Tapi Ih-ji segera menukasnya: „Yah, tapi begitu ada lebih
baik. Dengan mengetahui kalau mempunyai tugas besar
membalas dendam orang tua, Ih-ji tentu lebih giat belajar. Ihji
bersumpah akan menuntut balas dan mencuci bersih noda
cemar ayah bunda itu. Musuh besar almarhum ayah bunda itu
akan kucingcang menjadi frikadel, agar arwah ayah bunda
dapat mengasoh dengan tenteram di alam baka!"
Jalan sang waktu seperti anak panah terlepas dari
busurnya. Musim ganti berganti menunaikan tugasnya di
bumi. Tak terasa tiga tahun telah lalu. Jejaka tanggung kini
sudah berusia enambelas tahun. Dalam sesingkat waktu itu,
dia seperti didorong oleh suatu kemauan keras untuk belajar
giat. Maka tak heranlah, dalam segala hal baik ilmu silat
maupun surat, dia telah mencapai prestasi yang gilang
gemilang.
Seorang anak yang naik dewasa, bukan melainkan
pertumbuhan tubuhnya saja yang pesat, pun orangnya akan
menjadi lebih cakap dan ganteng. Sifat kekanak-kanakan yang
suka ceriwis itupun hanyut ditelan alam kedewasaannya. Dia
lebih tenang dan anteng. Selama belasan tahun berkumpul
dengan tokoh Dewa Tertawa itu, kecuali dengan ayahangkatnya
itu, jarang benar dia bersuara. Dia seolah-olah
dikejar waktu.
Sepanjang hari hanya berlatih keras dan sepanjang malam
hanya mencita-citakan menuntut balas. Walaupun ada kalanya
senggang (tak berlatih), namun dia tak mau nganggur. Ya,
hanya belajar dan berlatih terus!
Kesemuanya itu tak terlepas dari tinjauan si Dewa Tertawa.
Diam-diam tokoh-tokoh itu makin sayang akan anakangkatnya
yang berbakat bagus dan berhati keras.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibarat burung bagus hinggap di dahan bagus, begitulah
seorang tunas yang berbakat bagus telah mendapat
bimbingan dari seorang tokoh yang lihay. Dalam waktu tiga
tahun saja, Ih-ji telah menjadi seorang pemuda yang tinggi
ilmu silatnya baik dalam hal gwakang (tenaga luar) maupun
lwekang (tenaga dalam).
Pada suatu sore, si Dewa Tertawa memanggil Ih-ji.
„Dalam tiga tahun terakhir ini, kau telah mencapai
kemajuan pesat. Seluruh kepandaian ayah, telah kuturunkan
semua padamu. Kekurangan satu-satunya padamu, hanyalah
berlatih terus sampai sempurna. Asal mau berlatih giat, tentu
akan berhasil. Sekalipun demikian, tingkat kepandaian yang
kaumiliki sekarang ini, tiada sembarang ko-khiu (tokoh kelas
berat) dalam dunia persilatan dapat menandingi kau.
Kini kau sudah berusia enambelas tahun. Sudah tiba
waktunya kau turun ke dunia persilatan, mencari pengalaman
disamping mengembangkan pelajaranmu. Kalau terus-terusan
ikut pada ayah, sekalipun sepuluh tahun lagi, kau akan tetap
menjadi seorang anak kecil. Oleh karena itu, walaupun dengan
berat hati, namun terpaksa ayah hendak menyuruhmu turun
gunung besok pagi. Juga ayah sendiripun akan menuju ke
daerah Lamkiang untuk menyelesaikan suatu urusan lama.
Setahun kemudian, kau harus kembali lagi ke gunung Hoanke-
san sini, pada waktu itu ayah tentu sudah menunggu disini.
Dalam setahun ini, kau bebas bergerak kemana saja, pesiar
menikmati pemandangan di berbagai daerah, sekalian mencari
jejak musuhmu.
Tapi ingatlah senantiasa! Jangan agulkan karena sudah
memiliki kepandaian tinggi, karena dunia persilatan itu sebuah
gelanggang yang penuh bahaya. Gunakanlah kecerdasan otak
dan kesaktian ilmu untuk menghadapi segala sesuatu!"
Sewaktu si Dewa Tertawa mengakhiri pesannya, Ih-ji
tampak termangu-mangu. Benar menuntut balas senantiasa
menjadi idam-idamannya, tapi serambutpun dia tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyangka bahwa waktunya bakal datang secara begitu
singkat. Juga untuk berpisah dengan ayah angkatnya yang
telah mengasuhnya selama belasan tahun itu, terasa amat
berat dalam hatinya. Tanpa dikuasai lagi, air matanya
bercucuran membasahi kedua belah pipinya. Terkejut, girang
atau sedihkah dia? Entah tak tahu dia merasakannya.
Demikian perasaan Ih-ji, demikian perasaan Siau-sian-ong.
Jago tua itupun seperti disayat-sayat hatinya. Namun
mengingat bahwa harapan selama belasan tahun itu sudah
terlaksana, hatinya terhibur juga.
Dengan sedih-sedih girang, diusapinya air mata Ih-ji, lalu
dengan sikap amat menyayang dielus-elusnya bahu pemuda
itu.
„Hari sudah malam, karena besok kau akan berangkat, baik
lekas beristirahat sana!"
Begitulah malam itu tak terjadi suatu apa dan pada
keesokan harinya, si Dewa Tertawa memanggil anak
angkatnya.
„Ayah tak mempunyai suatu barang berharga sebagai
bingkisan perjalananmu, kecuali beberapa patah kata ini:
„Hati tak boleh melamun kosong, tubuh tak boleh
sembarangan bergerak, mulut tak boleh semau-maunya
bicara. Ini artinya cermin dari kesungguhan hati yang bersih.
Ke dalam tak menipu diri sendiri, keluar tak menghina orang,
ke atas tak menyalahi Tuhan, ini namanya dapat bertindak
secara hati-hati dan bijaksana.
Harap camkan baik-baik!”.
Habis memberi pesan itu, diambilnya sebuah bungkusan
kecil dan sebilah pedang, katanya pula: „Dalam bungkusan ini
terdapat seratus tail mas, berpuluh tail perak hancur dan
beberapa potong pakaian yang baru yang khusus kubuat
untukmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berkata sampai disini, mendadak wajah si Dewa Tertawa
berobah keren. Memandang ke arah pedang yang dicekal
dalam tangannya itu, dia berkata dengan nada berat: „Pedang
ini bernama Thian-coat-kiam. Benar bukan rajanya sekalian
pedang, namun dapat juga mengutungkan tebaran rambut
dan memapas segala logam. Dia pernah mengikut aku selama
berpuluh-puluh tahun, menjelajah negeri menyelam laut.
Entah sudah berapa banyak kepala bangsa durjana yang
kutung, entah berapa banyak darah orang jahat yang
diminumnya. Saat ini ayah, hendak serahkan pedang itu
padamu, dengan harapan agar kau dapat menyintai dan
menggunakannya seperti dahulu ayah memperlakukannya.
Ingat, sejak dahulu kala hingga sekarang, pusaka itu
mempunyai khasiat gawat. Barang siapa yang menjalankan
dharma kebajikan, dia tentu kuat memiliki. Tapi bagi siapa
yang memiliki pusaka dan berbuat jahat, dia tentu menerima
kutukan kemusnahan. Sekali lagi kuharap kau suka mengukir
baik-baik dalam hatimu, kalau tidak ayahpun berdaya untuk
melindungimu
Sewaktu mengucapkan dua patah kata-kata yang terakhir.
wajah si Dewa Tertawa mengerut keren. Ih-ji bercekat dan
dengan hormatnya dia tersipu-sipu menyambutinya. Ketika
menjentik dengan jari, pedang itu berdering nyaring laksana
aum seekor naga. Panjang pedang itu hanya tak sampai satu
meter, bentuknya seperti ekor burung seriti.
Begitu Ih-ji melolosnya, serangkum cahaya berkilauan yang
dingin segera memancar. Pedang dilintangkan ke muka dada,
kemudian berlutut ke tanah dia mengucapkan sebuah
sumpah:
„Kalau Ih-ji sampai menyeleweng dari petuah ajaran ayah,
biarlah Tuhan memusnahkan diriku!"
Kerut wajah si Dewa Tertawa pulih tenang, lalu tersenyum:
"Bagus, bangunlah, ayah masih ada pesan lagi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ih-ji menurut perintah. Dari dalam baju, si Dewa Tertawa
merogoh keluar sepucuk sampul dan sebuah mainan kumala.
„Begitu turun gunung, kau, harus segera menyambangi
kuburan ayah bundamu. Bundamu dimakamkan di selat Liuhun-
hiap gunung Tiam-jong-san, sementara jenazah ayahmu
yang kala itu teruruk runtuhan puing, konon kabarnya
dipindah Goan Goan Cu untuk di kubur di belakang biara Siang
Ceng Kiong. Entah benar entah tidak. Lebih dahulu kau boleh
menuju ke Mosan, tapi ingat, jangan sekali-kali bentrok
dengan para tojin Siang Ceng Kiong, lebih-lebih terhadap
Goan Goan Cu tak boleh mendendam rasa permusuhan.
Percayalah, bahwa meskipun dia keras adatnya, tapi tak nanti
mencelakai anak-anak angkatan muda.
Jangan tinggal lama-lama di Mosan, begitu sudah
menyambangi kuburan ayahmu, harus lekas pergi ke Tiamjong-
san untuk menghadap gwakong-mu (kakek), disitu
sekalian menyambangi makam ibumu. Gwakongmu itu aneh
wataknya, tak dapat kubayangkan bagaimana sikapnya
apabila bertemu denganmu nanti. Tapi ingatlah, apapun
pelayanan yang kau terima, harus tetap menghormatinya
jangan sekali-kali unjuk kekurang-ajaran. Sampul surat ini,
boleh kau terimakan pada gwakongmu. Dan mustika kumala
ini adalah milik almarhum ayahmu yang diberikan pada ibumu
selaku panjar kawin. Ini dapat dijadikan barang bukti. Nah,
sekian pesan ayah dan sekali lagi harap kau selalu berhati-hati
dalam perjalanan!"
Bicara sampai disini, hidung si Dewa Tertawa tampak
berkembang kempis karena menahan air mata. Demikianpun
Ih-ji Suatu perpisahan yang dirasakan amat berat sekali.
Dengan menahan kucuran air mata, sampul dan mustika
kumala disambuti dan dimasukkan ke dalam dada bayunya,
kemudian menyanggulkan bungkusan dan pedang di belakang
bahunya. Sejenak menyapukan matanya ke sekeliling gubuk
kayu yang menjadi tempat tinggalnya selama belasan tahun,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dia terlongong seperti berat meninggalkan. Akhirnya setelah
puas merenung, barulah dia bersama sang ayah angkat turun
gunung.
Tiba dimulut gunung, kembali si Dewa Tertawa memberi
nasehat panjang lebar, bagaimana seharusnya membawa diri
dalam masyarakat dunia persilatan yang penuh golak bahaya
itu. Menjelang tengah hari, barulah kedua sama berpisah
dengan berat hati.
---ooo0dw0ooo-
6. Oh, Ayah ......
Pada zaman ahala Han, adalah seorang bernama Mo Ing
dan kedua adiknya Mo Ko dan Mo Ay, bertapa di gunung
Mosan dan berhasil mencapai kesempurnaan menjadi sian
(dewa). Demikian cerita orang-orang tua dari zaman ke
zaman. Untuk mengabadikan peristiwa itu, maka sampai
sekarang gunung itu dinamakan Mosan. Goa tempat bertapa
ketiga saudara itu, sampai kinipun masih ada, disebut goa
keramat Hoa-yang-tong.
Gunung Mosan terletak di sebelah tenggara kabupaten Kiyong-
hian propinsi Kiangsu. Alam pemandangan disitu amat
indah dan tenang. Disana sini terdapat biara-biara suci.
Diantaranya yang terbesar ialah biara Siang Ceng Kiong. Biara
yang dibangun dengan membelakangi gunung itu, amat besar
dan megah sekali.
Kalau itu adalah permulaan musim rontok. Baru saja sang
surya mengintip di ufuk timur, sinamya keemasan segera
menembus kabut yang membungkus alam pegunungan itu.
Laksana sang dewi baru terjaga dari peraduannya (tidur),
alam pemandangan gunung Mosan makin tampak indah
dengan permainya.
Adalah baru saja biara Siang Ceng Kiong selesai dengan
pelajaran pagi, tiba-tiba di muka biara muncul seorang
pemuda cakap berusia diantara 16-17 tahun. Walaupun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pakaiannya warna biru itu terbuat dari kain kasar, namun
kesederhanaan itu tak mengurangkan perbawa pemuda itu.
Dia menjinjing sebuah bungkusan kecil dan berjalan mondar
mandir di muka biara itu. Sejenak tertegun merenung, sejenak
memandang ke biara dengan sangsi-sangsi dan sejenak
mondar mandir seperti orang mencari pikiran. Beberapa saat
kemudian. akhirnya dia seperti sudah mengambil ketetapan
lalu melangkah masuk ke dalam pintu.
Baru saja kakinya melangkah di pintu, seorang tojin
pertengahan umur sudah muncul menyongsongnya.
„Bu-liang-siu-hud, sicu dari mana?” tegurnya memberi
salam keagamaan.
Pemuda itu cepat memberi hormat seraya menyahut:
„Cayhe sedang pesiar ke gunung sini, karena mendengar
kemasyhuran kui-kwan (biara saudara), ingin sekali
berkunjung menunaikan hormat, entah apakah
diperbolehkan?"
„Ah, silahkan sicu masuk!" jawab si tojin.
Setelah menghaturkan terima kasih, pemuda itu masuk ke
dalam biara. Membiluk sebuah ruangan luas, tibalah dia di
muka sebuah sin-tian (ruangan pemujaan dewa). Mendongak
ke atas, pemuda itu melihat ada sebuah papan besar
bertuliskan tiga buah huruf “Lu-cou-tian”. Tahu dia, bahwa
ruangan itu adalah tempat pemujaan dewa Lu Tun-yang atau
Lu Tong-pin.
Dan memang waktu melangkah masuk, disitu terdapat
sebuah arca besar dari dewa Lu Tong-pin yang memegang
hud-tim (kebut pertapaan) dan memanggul sebatang pedang
pusaka. Arca itu tampaknya seperti hidup. Api pedupaan
bergulung-gulung menyiarkan asap wangi.
Tengah pemuda itu menikmati pemandangan di ruangan
itu, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah suara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkumandang nyaring: „Bu-liang-siu-hud! Sicu tentu
menunggu lama, maafkan!"
Berpaling ke belakang, pemuda itu menampak di luar pintu
ruangan ada seorang tojin berjubah kuning, tengah memberi
hormat kepadanya.
„Totiang keliwat sungkan, adalah sebaliknya cayhe yang
hendak merepotkan Totiang untuk melihat-lihat kui-kwan,”
tersipu-sipu pemuda itu balas memberi hormat.
Tojin itu menyatakan kesediaannya, karena hal itu sudah
menjadi tugas kewajibannya. Kemudian atas pertanyaan si
pemuda, tojin itu menerangkan bahwa nama gelarannya ialah
Hian Long. Setelah saling mengucap beberapa patah kata
merendah, si pemuda lalu ikut Hian Long tojin keluar dari Lucou-
tian untuk melihat-lihat ke dalam biara.
Ternyata bangunan biara itu amat luas sekali, ruanganruangannya
pun besar-besar. Walaupun memuat ratusan
paderi, tapi keadaan biara itu tampak sunyi tenteram.
Disiplin para tojin disitu pun baik sekali. Setiap kali si
pemuda masuk ke dalam ruangan pemujaan, tojin penjaga
disitu tentu menyambutnya dengan hormat. Diam-diam
pemuda itu menduga, tentulah Hian Long itu menempati
kedudukan tinggi dalam biara itu sehingga mendapat
penghormatan sedemikian rupa oleh para tojin. Juga dalam
perkenalan sesingkat itu, tahulah pemuda itu bahwa bukan
melainkan dalam ilmu keagamaan Hian Long itu amat dalam,
pun ilmu silatnya juga tinggi.
Setelah mengunjungi habis seluruh ruangan-ruangan
pemujaan, rupanya anak muda itu masih belum puas. Sembari
tertawa dia menanyakan: „Maaf, Totiang. Apakah masih ada
lainnya yang sekiranya Totiang berkenan membawa cayhe
melihat-lihat?"
Dalam perkenalan singkat itu, Hian Long dapatkan bahwa
tetamunya muda itu selain cakap dan gagah, pun tingkah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lakunya amat sopan rendah. Sungguh seorang pemuda yang
tak tercela. Hanya sayang sedikit pada kedua alisnya itu
menampilkan sifat-sifat hawa membunuh. Dan sebagai
seorang paderi yang berilmu, menilik dari pancaran matanya
yang berkilat-kilat, dia yakin pemuda itu tentu ahli dalam ilmu
lwekang. Bebarapa kali dia coba mengorek keterangan,
namun setiap kali pemuda itu selalu menyimpangkan
pertanyaan atau hanya ganda tertawa saja.
Walaupun menginsyafi bahwa tetamunya itu bukan tetamu
biasa, tojin itu tetap tak mengetahui apa maksud
kedatangannya. Apalagi pemuda itu selalu membawa sikap
yang hormat, ini lebih membingungkan. Kini mendengar
pertanyaan si anak muda tadi dia merenungkan sejenak.
Kemudian setelah mengawasi wajah sang tetamu itu
dirangsang dengan rasa ingin tahu, dia menyahut: „Rupanya
sicu amat gemar menikmati segala sesuatu, untuk itu
sebenarnya pinto tak layak membikin kecewa. Tapi memang
tempat-tempat yang pantas dilihat dalam biara ini sudah pinto
unjukkan tadi. Yang masih belum dilihat hanyalah sebuah
taman tak terurus di belakang biara. Disitu tumbuh berpuluhpuluh
batang pohon bambu merah. Kalau sicu ingin melihat,
pintopun suka mengunjukinya".
Girang sekali pemuda itu mendengarnya.
„Ada sebuah taman yang begitu bagus, mengapa tak
Totiang katakan tadi-tadi. Bambu merah, adalah bambu
istimewa keluaran Thian Tiok (India). Lama benar kepingin
melihatnya, maka sudilah Totiang membawa cayhe kesana."
Namun Hian Long masih bersangsi dan mengatakan bahwa
taman itu sudah lama tak terawat. Pemuda itu tetap
memintanya, maka terpaksa Hiang Long menuruti.
Sepeminum teh lamanya berjalan melalui ruangan demi
ruangan, akhirnya tibalah mereka di belakang biara. Disitu
terdapat sebuah jalan panjang yang menuju ke sebuah pintu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar terbuat dari kayu. Pintu itu tertutup rapat dengan
sebuah gembok besar yang sudah karatan. Menandakan
bahwa sudah beberapa tahun, pintu itu tak pernah dibuka.
Tiba di muka pintu, Hian Long tertegun, tapi pada lain saat
dia tertawa sendiri, ujarnya: „Karena bergegas-gegas
membawa sicu ke mari, pinto sampai lupa kalau pintu itu
dikunci. Kalau balik mengambil anak kunci, tentu akan makan
tempo, maka terpaksa pinto hendak merusakkan gemboknya
saja.”
Si pemuda menghaturkan terima kasih atas kesediaan si
tojin. Sesaat Hian Long lalu gunakan ibu jari dan jari telunjuk
kanan, memijat pelahan-lahan pada gembok besar itu. Ajaib,
gembok yang tak kurang dari berpuluh kati beratnya itu,
seketika menjadi putus.
„Sakti nian Totiang,” seru si pemuda memuji.
Sebaliknya Hian Long diam-diam menjadi terkesiap. Nyata
melihat demonstrasi tenaga hebat begitu, si pemuda hanya
memuji dengan nada yang wajar, sedikitpun tak menyatakan
kekagetannya. Kalau begitu, nyata kepandaian pemuda itu
sukar diukur.
Malah pada saat itu si pemuda menyusuli kata-kata:
„Meskipun cayhe seorang bunsu (sekolahan), tapi banyak
bergaul dengan kaum hiapsu (orang gagah). Baik tokoh-tokoh
ternama maupun tokoh-tokoh pemimpin partai persilatan,
cayhe banyak yang kenal. Kui-kwancu Goan Goan Totiang
adalah seorang ketua cabang persilatan yang termasyhur,
entah apakah cayhe diperkenankan menghadap untuk
menyampaikan hormat?"
Bahwa pemuda yang sikapnya menjadi teka teki itu kini
menanyakan ketua Siang Ceng Kiong, makin membuat
keheranan Hian Long menjadi-jadi. Dia menduga, tentu ada
sebabnya. Namun hati berpikir begitu, wajahnya tetap tenang
lalu dengan masih ramah tertawa dia menyahut: „Lebih dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sepuluh tahun yang lalu, Goan Goan Totiang belum kembali
dari perkelanaannya. Kemana beliau menuju, tiada
seorangpun yang mengetahui. Oleh karenanya terpaksa sejak
enam tahun yang lampau, pejabat kuancu dipegang oleh Hian
Cin Totiang.”
Mendengar itu, si pemuda tampak kecewa. Dengan nada
sesal, dia minta agar kelak apabila Goan Goan Totiang sudah
pulang, sudilah Hian Long tojin menyampaikan hormatnya
kepada pemimpin biara itu. Untuk itu Hian Long
menyanggupinya.
Pada lain saat, sekali Hian Long mendorong pelahan-lahan,
kedua daun pintu yang berat itu terpentang lebar. Mengikuti di
belakang si tojin, pemuda itu melangkah masuk lalu
memandang keadaan taman itu.
Benar seperti yang dikatakan Hian Long, taman biara itu
tampaknya terbengkelai tak terurus. Tanahnya sih luas sekali,
tapi penuh ditumbuhi rumput alang-alang dan rotan. Sebuah
bungalow kecil yang berada di kebun itu, sudah hampir rubuh
karena reyotnya. Satu-satunya pemandangan yang
menyedapkan mata, hanyalah bunga-bunga seruni hutan yang
merajalela semau-maunya memain dalam tiupuan sang angin.
Tepat ditengah-tengah taman itu, berbaris berpuluh-puluh
batang bambu besar yang berwarna merah. Itulah yang
disebut cu-tiok atau bambu merah dari Thian Tiok.
Memeriksa ke dekat tanaman bambu itu, si pemuda
dapatkan batang bambu itu amat besar lagi kokoh, wamanya
merah seperti api. Ketika dijentik dengan jari, bambu istimewa
itu mengeluarkan suara kumandang nyaring macam
genderang berbunyi.
„Alam semesta ini penuh dengan keanehan, memang benar
kiranya .....” demikian baru saja mulut pemuda itu
mengeluarkan pujian, matanya segera tertumbuk akan suatu
benda yang menggoncangkan hatinya. Di ujung taman
sebelah barat laut sana, tampak ada serumpun rimba kecil
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari pohon hong. Di tengah-tengah rimba kecil itu, berkilatkilat
cahaya dari sebuah batu nisan .......
„Belum pernah cayhe melihat rumpunan pohon hong yang
tumbuh sedemikian suburnya seperti itu, kini cayhe hendak
memuaskan mata kesana!" berpaling ke arah Hian Long,
pemuda itu tersenyum berkata.
Hendak Hian Long mencegahnya, tapi seperti tak mau
melihatnya lagi, pemuda itu terus saja melangkah kesana.
Terpaksa Hian Long cepat-cepat mengikuti dan sebentar saja
mereka sudah berada dalam hutan pohon hong itu. Ternyata
memang di tengah rimba kecil itu, terdapat sebuah gundukan
tanah yang menonjol ke atas dan di mukanya terpasang
sebuah batu nisan besar. Pada batu nisan itu terukir 13 huruf
yang berbunyi:
„Tempat kuburan tulang Siau Hong anak murid yang
berdosa dari Siang Ceng Kiong.”
Aneh. pemuda itu tampak tegak di muka nisan,
pemandangannya dengan termangu-mangu. Wajahnya
menampil haru kerawanan. Hian Long tojin karena berdiri di
belakangnya jadi tak melihat perobahan air muka pemuda itu.
Beberapa jurus kemudian, tiba-tiba pemuda itu berputar
tubuh, lalu tertawa kepada Hian Long, ujarnya: „Turut
penglihatan cayhe, adanya taman ini sampai dibiarkan tak
terawat, adalah karena berhubungan dengan almarhum orang
yang berada dalam kuburan ini.”
„Ai, siao-sicu benar-benar cerdas!" Hian Long balas
tertawa.
„Cayhe memang gemar mengetahui apa-apa. Apakah
kiranya Totiang tak keberatan menceritakan kedosaan dari
orang itu?” kata si pemuda.
Menurut tata peraturan persilatan, menanyakan sesuatu
rahasia atau urusan intern dari sebuah perguruan atau partai,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
adalah suatu kesalahan besar. Juga tak nanti ada seorang
persilatan yang mau membocorkan rahasia urusan intern
perguruannya. Pemuda itu sudah melanggar pantangan,
semestinya Hian Long tentu marah.
Tapi di luar dugaan, sedikitpun tojin itu tak mengambil
dihati. Apakah dia itu seorang tokoh tolol atau naif? Bukan,
Hian Long bukan seorang goblok, melainkan seorang yang
cerdik. Sedikit demi sedikit dia sudah mulai jelas akan maksud
kunjungan anak muda itu kesitu. Kalau tak berada-ada,
masakan burung tempua terbang rendah. Demikian kata
sebuah pepatah yang artinya, kalau tiada sesuatu maksud,
masakan orang berjeri payah datang menyelidikinya.
“Mengibiri siasat”, artinya menurutkan siasat lawan untuk
mencari tahu keadaannya (lawan). Dengan keputusan itu,
tanpa tedeng aling-aling lagi, Hian Long memberi keterangan.
„Orang yang beristirahat dalam kuburan itu, turut silsilah
masih suheng pinto, ialah satu-satunya murid orang luar
(bukan kaum paderi) dari Siang Ceng Kiong. Dalam hal
kepandaian, dia sudah memiliki seluruh ilmu kepandaian
supeh pinto Goan Goan Totiang. Tapi sungguh lacur, beberapa
belas tahun yang lalu karena tergoda oleh seorang wanita, dia
mendapat hukuman perguruan. Dan adalah karena peristiwa
itu, hampir saja biara ini mengalami kemusnahan. Dalam
kedukaannya, Goan Goan Totiang biarkan saja taman ini tak
terurus, kemudian beliau sendiri lalu berkelana tak ketahuan
rimbanya.
Gelombang reaksi dari peristiwa itu, sampai sekarang masih
tetap belum reda. Benar tampaknya tenang, tapi tetap
mengandung unsur-unsur yang eksplosif (mudah meledak).
Adakah nantinya peristiwa itu akan berbuntut mengakibatkan
banjir darah di dunia persilatan, tak seorang pun dapat
memastikan. Karena yang nyata, kematian Siau-suheng itu
masih tetap menjadi teka teki besar. Adakah layak dia
menerima hukuman seberat itu, masih belum dapat diketahui
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
persoalannya yang jelas. Pinto sendiri tak begitu jelas, jadi tak
dapat menerangkan sejelasnya pada Siau-sicu.”
Sembari memberi keterangan itu, Hian Long tak berkesip
memperhatikan wajah si anak muda. Bahwa mimik wajah
pemuda itu tampak bersungguh-sungguh, membuktikan makin
benarnya dugaannya (Hian Long) tadi.
Selesai mendengar penuturan, kembali wajah pemuda itu
menjadi tenang. Dengan menghela napas berkatalah dia:
„Walaupun Totiang tak dapat menjelaskan, namun dapatlah
sudah cayhe mengadakan kesimpulan. Segala urusan di dunia
ini, memang tak mudah menentukan hitam putihnya. Hanya
saja asal segala itu disertai kebijaksanaan yang adil, artinya
tak mudah dipengaruhi rangsangan hati dan membawa
rnaunya sendiri, sekurang-kurangnya penilaian akan salah
atau benar itu tentu mendekati yang seadil-adilnya. Turut
pikiran cayhe yang picik, dalam urusan suheng totiang itu,
walaupun ada sebab-sebabnya, namun keputusan Goan Goan
Totiang itupun rasanya amat keburu nafsu. Entah bagaimana
pendapat Totiang?”
Berobahlah wajah Hian Long tojin saat itu. Sampai sekian
jenak dia tak dapat mengeluarkan kata-kata. Mengapa? Ini tak
lain karena disebabkan kelancangan pemuda itu. Orang
persilatan paling menjunjung tinggi paras suhunya. Bahwa
pemuda itu sudah berani memberi keritik terhadap Goan Goan
Totiang, itu sama artinya dengan menghina.
Dengan wajah murka, Hian Long segera akan
mendampratnya tapi pemuda itu yang rupanya insyaf akan
kelancangannya, buru-buru mendahuluinya: „Rasanya sudah
terlalu lama membikin repot Totiang, maka dengan ini cayhe
hendak minta diri.”
Hiang Long terpaksa menahan diri. Begitulah keduanya
kembali masuk lagi ke dalam biara. Setiba di ruang Lu-coutian,
pemuda itu berhenti lalu mengeluarkan sekeping perak
hancur lebih kurang sepuluhan tail, lalu menyerahkannya pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hian Long, ujarnya: „Karena terburu-buru datang kemari,
cayhe tak membekal banyak uang. Uang yang tak berarti ini
mohon Totiang suka menerima selaku tanda hormat cayhe
kepada para Hud di sini.”
Sejak dari taman tadi, sebenarnya Hian Long sudah kurang
senang. Tapi untuk jangan dikata kurang hormat, terpaksa dia
sambuti pemberian tetamunya itu juga.
„Bu-liang-siu-hud, mohon Siau-sicu suka memberitahukan
nama yang mulia, agar pinto dapat mencatatnya dalam buku
sumbangan
„Atas budi kebaikan totiang, sudah selayaknya dihaturkan
terima kasih. Dengan ini Siau Ih mohon diri!” sahut si pemuda
sembari memberi hormat.
Mendengar dua patah kata “Siau Ih", kejut Hian Long
bukan kepalang. Tapi pada saat dia terbeliak kaget itu, si anak
muda sudah melangkah keluar pintu biara terus berjalan pergi
......
JJJ
Jauh malam, kentongan terdengar dipukul tiga kali. Cahaya
dewi malam nan lemah sejuk seolah-olah tengah membuaibuai
(membuat tidur) alam dan hutan di sekeliling biara Siang
Ceng Kiong. Sunyi senyap, damai di seluruh dunia.
Sekonyong-konyong di bawah kaki gunung Mosan itu,
muncul sesosok bayangan hitam. Bagaikan asap bergulunggulung,
bayangan itu “terbang" mendaki ke atas menuju ke
biara Siang Ceng Kiong. Tiba di muka pintu biara, bayangan
itu berhenti. Kiranya dia adalah seorang yang mengenakan
pakaian ringkas wama biru, mukanya ditutupi kain selubung
warna hitam, di belakang bahunya menyanggul sebatang
pedang pandak, sementara tangannya menjinjing sebuah
bungkusan kecil.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak tertegun di muka pintu biara, dia lalu berputar
tubuh terus mengitar tembok menuju ke taman di belakang
biara. Tiba di belakang tembok taman, dengan sebuah gerak
ciam-liong-seng-thian atau naga silam melambung ke udara,
dia loncati tembok yang dua tombak tingginya itu.
Menginjak di dalam lingkungan taman, sejenak dia
memandang ke sekeliling penjuru. Setelah mendapatkan tiada
barang sesosok bayangan orang, barulah hatinya legah.
Pelahan-lahan dia ayunkan langkah menghampiri rimba kecil
pohon hong yang berada di ujung barat laut dari taman itu.
Begitu tiba disitu, langsung dia berhenti di muka kuburan
yang ada batu nisannya itu. Setelah beberapa saat diam
tertegak disitu, bungkusan yang dijinjingnya itu diletakkan di
atas tanah. Kemudian dengan khidmatnya, dia
membungkukkan tubuh, mengulurkan tangan kanan merabah
batu nisan. Sekali mengusap, maka tulisan yang terpahat pada
batu nisan itu, hancur musna. Hanya dalam beberapa detik
saja, dia dapat membuat rata lagi permukaan batu nisan itu,
hanya saja kini makin tipis.
Selesai bekerja, mulutnya kedengaran menghela napas
longgar. Pada lain saat, dia segera gunakan dua buah jari
telunjuk dan tengah, menggurat kepermukaan batu nisan.
Pada batu itu kini tampak melekuk delapan buah huruf
berbunyi:
„Peristirahat Siau Hong yang belum jelas penasaran
dosanya.”
Habis menggurat, orang berpakaian hitam itu membuka
bungkusannya dan mengeluarkan sebuah benda, diletakkan di
muka, batu nisan. Disulutnya lilin dan dupa, lalu berlututlah
dia dihadapan kuburan itu dengan khidmatnya. Ditengah
rimba kecil pada malam nan pekat sunyi itu, sang angin
berkesiur meniup api lilin. Sang tenggoret meringkik nyaring,
burung-burung kukkubeluk merintih-rintih, menambahkan
kerawanan suasana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tengah orang berkerudung itu bersembahyang, tiba-tiba
dari sebelah luar rimba terdengar berkesiurnya pakaian orang.
Rupanya orang berkerudung itu mencium bau. Sekali
rangkum, api lilin dipadamkan. Baru dia hendak berputar
tubuh, terdengarlah sudah sebuah suara nyaring: „Bu-liangsiu-
hud! Apa yang pinto duga kiranya benar, karena Siau-sicu
berkunjung pula kemari!"
Terpisah setombak jauhnya dari rimba pohon hong itu,
berdirilah sesosok tubuh berpakaian warna kuning yang bukan
lain ialah Hian Long tojin adanya! Serta merta orang
berkerudung itu menghampiri dan berdiri menghadapinya.
Kiranya Hian Long sudah menduga bahwa anak muda yang
datang ke biara itu, tentu akan kembali lagi pada malamnya.
Rupanya anak itu mempunyai hubungan rapat dengan
mendiang Siau Hong. Maka dari itu, Hian Long lalu siapkan
empat orang anak murid Siang Ceng Kiong angkatan ke tiga,
untuk pada tengah malam meronda ke taman belakang.
Pertama-tama yang dilihatnya, ialah sinar api yang kelap
kelip ditengah rimba pohon hong. Makin cenderunglah dia
bahwa memang anak itu masih ada hubungan darah dengan
suhengnya (Siau Hong). Benar tindakan masuk secara diamdiam
ke dalam taman itu, termasuk pelanggaran, tapi Hian
Long anggap bersembahyang dikuburan orang tua adalah
suatu kebaktian yang utama. Oleh karenanya, diapun tak mau
membikin kaget dan hanya berseru dari luar rimba.
Baru saja dia berseru, atau orang berkerudung yang diduga
keras tentu si pemuda she Siau siang tadi, sudah
menyongsong keluar. Hian Long tak puas dengan tindakan
anak muda itu. Tambahan lagi, ketika melirik ke arah kuburan
didapatinya tulisan semula pada batu nisan itu sudah berobah
bunyinya. Suatu tulisan yang benar-benar membangkitkan
amarah Hian Long. Namun diam-diam dia terperanjat juga
melihat kelihayan ilmu pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Bahwa Siau-sicu tengah malam buta berkerudung muka
datang kemari sudah mengabaikan peraturan. Tambahan pula
merusak nisan dan mengganti tulisannya, apakah maksud sicu
itu?" tegur Han Long dengan nada berat.
Memang orang yang mengenakan kerudung muka itu, ialah
Siau Ih. Adanya dia berbuat begitu, karena terpaksa. Pertama
karena hendak mengindahkan pesan ayah angkatnya supaya
jangan cari setori dengan kawanan paderi Siang Ceng Kiong.
Kedua kalinya, selama dendam penasaran almarhum ayahnya
itu masih belum tercuci, hatinya tetap tak rela.
Oleh sebab itulah dia terpaksa menyaru dan memakai
kerudung muka tengah malam menyambang kuburan
ayahnya. Tak terduga, rencananya itu sudah di tangan Hian
Long semua. Kini dia berada dalam posisi serta salah.
Teguran tajam dari Hian Long tadi, sampai tak terjawabnya
untuk beberapa saat. Sampai sekian lama merenung cari
alasan, tetap otaknya buntu, jadi dia diam membisu saja.
Sudah tentu hal itu diartikan lain oleh Hian Long yang
tampak makin meradang. Diiring dengan sebuah tertawa
dingin, berkatalah penilik biara itu: „Menilik kepandaian Siausicu
yang luar biasa itu, tentulah Siau-sicu ini anak murid dari
perguruan yang terkenal. Tapi dengan perbuatan Siau-sicu kali
ini, amatlah memalukan. Kalau benar Siau-sicu mempunyai
hubungan darah dengan mendiang Siau-suheng, asal Siau-sicu
bersumpah dihadapan para sin (malaekat) di biara sini untuk
mengakui kesalahan, demi melihat muka sesama saudara
seperguruan, pinto rela menghabiskan urusan ini sampai disini
saja. Harap Siau-sicu suka mempertimbangkannya!"
Siau Ih yang tengah mencari pikiran tadi, menjadi marah.
Lebih-lebih kalau mengingat nasib ayah bundanya yang belum
tentu hilir mudiknya (kesalahannya) itu.
„Hem,” dia mendengus lalu menyahut: „Pantaskah kau
mengucapkan begitu? Kalau tak mengindahkan pesan ayahku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan servis (pelayananmu) siang tadi, tentu sudah kubikin
cacad tubuhmu!"
Betapa gusarnya Hian Long dapat dibayangkan. Namun
sebagai seorang paderi yang sudah dalam ilmunya, dia tetap
berusaha mengendalikan diri, serunya: „Siau-sicu, pernah apa
kau dengan Siau-suheng? Kalau memang masih ada hubungan
darah, masih pinto suka mengalah kali ini, tapi kalau tidak .....
„Kalau tidak, mau apa kau?" tukas Siau Ih tertawa dingin.
„Pinto terpaksa akan ambil tindakan!"
„Ha, ha ..... Siau Ih tertawa lebar, serunya: „yang baik
tentu tak datang. Kata orang macam itu, belum tentu benar!"
Habis berkata, dia mundur beberapa tindak dan secepat itu
pula tangannya sudah siap dengan pedang Thian-coat-kiam
Pedang dipalangkan di dada, dengan nada jumawa, dia
menantang : ''Siau Ih, dengan hormat menanti pengajaran!"
Ingin menang, adalah perasaan yang pada umumnya tentu
dimiliki orang. Kaum paderipun tak terkecuali. Provokasi itu,
telah membuat Hian Long seperti dibakar.
„Kata orang bahwa pahlawan itu sudah kentara sewaktu
kecilnya, memang tak salah. Karena demikian yang sicu
kehendaki, terpaksa aku akan melayani dengan kebut hun-ciu
ini!" sahut Hian Long dengan keren. Segera dia memberi
isyarat kepada keempat tojin kawannya, supaya menyingkir ke
samping.
Siau Ih mendengus dan berbareng tangan kiri bergerak,
pedang di tangan kanan membabat perut lawan dalam gerak
hong-soh-lok-hoa atau angin meniup jatuh daun.
Melihat serangan si anak muda yang luar biasa dan penuh
berisi lwekang itu, bukan kepalang kejut Hian Long. Pikirnya:
”Oh, makanya dia begitu congkak. Serangannya ini, tak
sembarang orang persilatan dapat menyambuti!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia tak berani menyambuti, lalu loncat menghindar
beberapa langkah. Bersuit nyaring, Siau Ih mengikuti laksana
bayangan. Pedang Thian-coat-kiam membolang-baling dalam
tiga rangkaian serangan kilat, kian-gwat-cay-hun
(menggunting rembulan memotong bintang), tiang-hongkoan-
jit (bianglala menutup matahari) dan to-sia-sing-ho (air
sungai mengalir terbalik). Ribuan sinar bertaburan seluas satu
tombak, bagaikan sebuah hujan sinar yang mencurah dari
langit.
Dalam serangan serupa itu, Hian Long hanya dapat main
mundur, sedikitpun dia tak mampu membalas.
Tiba-tiba Siau Ih tarik pulang serangannya. Tertawa
memanjang, dia berseru: „Totiang, bukankah tadi kau hendak
menindak cayhe? Tapi mengapa kini tak mau membalas?
Bukankah itu memberi kemurahan pada cayhe?”
Terperanjat, kagum dan marah adalah perasaan yang
mengaduk dibenak Hian Long. Benar-benar dia tak
menyangka bahwa ilmu pedang pemuda itu sedemikian
dahsyatnya. Rasa memandang rendah, kini bagai tertiup
angin.
„Siau-sicu, kata-kata tajam tak usah dilancarkan. Dalam
seratus jurus, kalau pinto kalah, bagaimana nanti keputusan
kwan-cu, pintolah yang menanggungnya semua!" akhirnya dia
mengeluarkan gengsi.
Siau Ih tertawa, sahutnya: ''Totiang cekat bertindak cekat
ucapan. Dalam seratus jurus kalau cayhe tak dapat menang,
terserah bagaimana Totiang hendak memberi hukuman!"
Hian Long tak mau adu lidah. Pikiran dipusatkan, lwekang
dikerahkan. Sekali kebutan hun-ciu, dia gunakan jurus Sianjin-
chit-loh (dewa menunjuk jalan) menusuk dada Siau Ih.
Baru ujung hun-ciu sampai di tengah jalan, tiba-tiba dibalik,
ujungnya disabatkan ke arah jalan darah kian-king-hiat si anak
muda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus!" teriak Siau Ih. Bahu digoyangkan untuk
menghindari serangan, pedang dibabatkan ke lambung kanan
lawan.
Pertempuran saat itu, memasuki babak baru. Tidak seperti
tadi, kini keduanya balas membalas menyerang. Sebatang
kebut hun-ciu yang digunakan Hian Long itu, sudah diyakinkan
selama duapuluhan tahun lebih. Waktu dimainkan, hanya
lingkaran sinar putih yang kelihatan berputar-putar dan
menderu-deru. Setiap serangannya tentu jalan darah yang
diarah.
Sebaliknya Siau Ihpun sudah mewarisi kepandaian si Dewa
Tertawa. Ilmu pedangnya itu disebut lui-im-kiam-hwat atau
ilmu pedang suara halilintar. Sinar berkilat-kilat diiring angin
menderu-deru, dapat mengoyakkan semangat orang. Dan
yang lebih hebat lagi, dia berbareng gunakan juga apa yang
disebut ceng-hoan-kiu-kiong-leng-long-poh atau gerak lincah
kiu-kiong-poh (bentuk kuda-kuda kaki) bolak-balik. Jadi hanya
slnar berkelebatnya pedang saja yang menyambar-nyambar,
sedang orangnya seperti bayangan setan yang, berkelebatan
kian kemari Saking hebat deru sambaran anginnya, pohonpohon
disekeliling itu sama bergoyang-goyang, daun-daunnya
berhamburan jatuh .........
Benar-benar Hian Long puyeng dibuatnya. Gerakan tubuh
yang aneh dan ilmu pedang si anak muda yang luar biasa itu,
belum pernah dia melihat selama ini. Lewat jurus yang ke
sembilanpuluh, Hian Long sudah kelabakan. Kebut hun-ciunya
dimainkan makin gencar, saluran lwekangnya pun makin
ditambah. Bayangan putih yang mengandung sambaran
tenaga kong-gi, ditaburkan ke arah si anak muda. Hanya
kurang sepuluh jurus lagi, biar bagaimana dia harus dapat
bertahan.
Sekejap lagi akan sudah cukuplah seratus jurus yang
dijanjikan itu. Sekonyong-konyong terdengar Siau Ih bersuit
nyaring. Jari kiri dipentang dan dalam jurus heng-tui-pat-bhe
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(melintang dorong delapan kuda), tangan kiri memancarkan
semacam hawa serangan yang amat panas, sementara
pedang di tangan kanan berhamburan menabur ke atas kepala
Hian Long.
Hian Long terpaksa mundur selangkah, namun hawa dingin
dari sinar pedang lawan terasa sudah tiba di atas kepalanya.
Jalan satu-satunya hanyalah loncat ke samping. Tapi justeru
itulah yang dimaukan Siau Ih Begitu Hian Long loncat,
sekonyong-konyong pedang Thian-coat-kiam ditarik, menyusul
jari tangan kirinya laksana kilat sudah menekan batok kepala
orang.
Kali ini benar-benar Hian Long mati kutu. Mimpipun tidak ia
duga kalau dirinya bakal diburu dengan terkaman macam
begitu. Bagaimana pun juga, dia tak sempat lagi akan
menghindar. Sesaat terasa kepalanya dingin, kopiah
pertapaannya sudah dijambret oleh Siau Ih. Kini berdirilah
anak muda itu dengan tenangnya disebelah sana, tangan
kanan mencekal pedang, tangan kiri memegang koplah.
Selebar muka penilik biara Siang Ceng Kiong itu seperti
kepiting direbus. Rasanya dia tak dapat menyembunyikan
muka lagi.
„Cayhe menghaturkan terima kasih atas pelajaran Totiang
tadi. Mohon akan membawa kopiah ini sebagai tanda mata,
sekian cayhe akan mohon diri!
Habis berkata, anak muda itu sudah enjot tubuhnya loncat
melalui pagar tembok.
---oo0dw0ooo---
7. Mendapat Kawan dan Lawan
Lepas dari kepungan. Siau Ih amat kegirangan.
Ditimangnya, bagaimana akan dilakukan dengan kopiah itu.
Sekilas dia mendapat pikiran. Cepat dia lari ke muka biara.
Begitu tiba di muka pintu, dia enjot tubuhnya ke atas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
wuwungan serambi. Kopiah pertapaan milik Hian -Long tojin
itu, digantungkan di atas papan nama "Ki Kian Siang Ceng
Kiong".
Kemudian setelah melayang turun, kain kerudung mukanya
dilepas. Memandang ke arah kopiah di atas papan itu, dia
tertawa kebangga-banggaan. Sejenak kemudian, barulah dia
turun ke bawah gunung.
Hari pun sudah mulai terang tanah. Oleh karena sudah
banyak orang jalan jadi dia terpaksa tak mau gunakan ginkang
(ilmu berlari cepat). Namun sekalipun berjalan pelahanlahan,
masih dia lebih cepat dari orang biasa.
Menjelang tengah hari, tibalah dia di kota Li-yang. Kota ini
walaupun kecil, tapi merupakan sebuah kota yang penting
dimana perdagangan anak negeri amat ramainya. Karena
justeru hari pasaran, bukan kepalang ramainya orang hilir
mudik.
Karena semalam suntuk tak tidur, Siau Ih merasa lelah dan
lapar. Mendongak ke muka, dilihatnya tak jauh dari itu ada
sebuah papan nama menonjol dengan empat buah huruf emas
yang berbunyi “Cui-hoa-ciu-lou”. Kesanalah sang kaki segera
diayun.
Ternyata rumah makan itu amat mentereng sekali. Bagian
dapurnya berisik dengan suara orang mencacah daging dan
menggoreng masakah. Nyata rumah makan itu laris sekali.
Baru Siau Ih tengah melihat-lihat, seorang jongos sudah
menyilahkannya: „Rumah makan ini bersih dan selalu sedia
segala macam hidangan yang lezat-lezat. Silahkan tuan duduk
di atas loteng, tentu akan puas!"
Dengan tertawa, Siau Ih melangkah masuk. Naik ke atas
loteng, disitu ternyata sudah ada belasan tamu duduk. Dia
memilih sebuah meja yang dekat jendela.
Jongos segera menanyai akan pesan hidangan apa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Apa saja asal enak dan cepat selesai!" sahutnya.
Ketika jongos berlalu, Siau Ih merasa kalau para tetamu
yang berada disitu tengah memandang kepadanya. Diam-diam
dia kebingungan sendiri, jangan-jangan ada sesuatu yang tak
beres pada dirinya.
Memandang ke arah pakaiannya sendiri, mau tak mau dia
tertawa urung, pikirnya: „Ai, makanya mereka sama
memandang aku dengan keheranan, kiranya aku masih
mengenakan pakaian ringkas dan memanggul pedang!"
Buru-buru pedang diambil dan ditaruhkan di sisi meja.
Tepat pada saat itu terdengarlah suara berisik dan munculnya
seorang anak sekolah muda. Wajahnya berseri bersih, bibir
merah segar melapis dua baris gigi yang putih, hidung
mancung, sepasang alis lengkung menaungi dua buah mata
yang memancarkan sinar berkilat-kilat.
Kopiah pelajar yang membungkus kepalanya, dihias dengan
mutiara berkilau. Pakaian sutera warna biru muda disulam
dengan bunga-bungaan tho. Tangannya mencekal sebuah
kipas dari kerangka tulang hitam. Sepintas pandang, Siau Ih
dapatkan seorang pribadi yang penuh wibawa pada diri anak
muda sekolahan itu.
„Inilah baru boleh dikatakan seorang pria cantik di dunia!"
diam-diam Siau Ih memuji dalam hati.
Tanpa disengaja, pelajar cantik itu mengambil tempat
duduk persis disebelah muka Siau Ih. Mau tak mau mata Siau
Ih memandang beberapa kali kepada pria cantik itu, tapi di
luar dugaan, pemuda itupun memandangnya juga.
Ketika mata saling berpandangan, muka Siau Ih terasa
panas. Sebaliknya pria cantik itu hanya ganda tersenyum saja.
Siau Ih menjadi likat sendiri, mau tak mau dia unjuk tertawa
juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Syukur saat itu jongos sudah datang membawa
pesanannya. Inilah suatu kesempatan baik untuk menghindar
dari „bentrokan" mata itu. Buru-buru dia tundukkan kepala
memandang hidangan.
Oleh karena sang perut sudah me-rintih-rintih, seperti
seekor harimau kelaparan mendapat anak kambing, Siau Ih
segera gasak hidangannya itu. Dalam sekejap saja, bersihlah
sudah hidangan itu disapunya.
Setelah puas makan dan minum, jongos dipanggilnya untuk
menghitung rekening, karena dia hendak lekas-lekas
berangkat lagi. Tapi ketika meraba baju, astaga ....
sepeserpun tiada terdapat! Saat itu barulah dia teringat bahwa
bungkusannya kecil masih ketinggalan dalam taman belakang
biara Siang Ceng Kiong.
„Ai, celaka ini. Kalau tahu tak bawa uang, tak nanti aku
masuk kesini. Sekarang kecuali mustika kumala, tiada lain
bekal berharga, mustika itu akan kuserahkan pada gwakong
selaku barang bukti, tak boleh dijadikan barang, cekalan disini
...... Thian-coat-kiam? Ai, itu lebih tak boleh lagi ......”
Demikian Siau Ih menjadi kelabakan. Muka merah,
sebentar duduk sebentar berdiri.
Gerak geriknya itu tak luput dari pandangan si jongos yang
rupanya sudah kenyang pengalaman akan hal-hal begituan.
Berdiri disamping, dia awasi kelakuan anak muda itu dengan
senyum ewah.
Siau Ih muring-muring dan sibuk seorang diri, namun tetap
dia tak dapat berdaya apa-apa. Saking bingung dan malu,
dahinya sampai basah kujup dengan keringat.
„Bung pelajan, rekening hidangan tuan itu, boleh hitung
padaku!" sekonyong-konyong pelajar „cantik" itu berseru
kepada jongos. Malah dengan kontan, dia sudah merogoh
keluar uang lima tail lalu dilemparkan di atas meja, serunya:
„Ni, sisanya boleh kau ambil!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kerut wajah si jongos yang sudah menampil kekuatiran
tadi, segera berobah terang. Dia kerak keruk menghaturkan
terima kasih atas keroyalan orang. Rupanya pelajar itu jemu
akan tingkah laku dibuat-buat dari si jongos itu, cepat-cepat
dia menyuruhnya pergi.
Dengan wajah kemerah-merahan, Siau Ih menghaturkan
penyesalan karena sudah menyibuki pelajar itu.
Namun pelajar cantik itu, cepat-cepat menanggapi: „Empat
penjuru lautan, semua adalah saudara. Usah dipikirkan,
apalagi diantara kaum perantau, tentu harus tolong
menolong!"
Siau Ih yang biasanya pandai bicara, kala itu benar-benar
kehabisan kata-kata.
„Siaute bernama Liong Go, mohon tanya siapakah nama
terhormat dari hengtay?" kata pelajar cantik itu pula.
Siau Ih pun memperkenalkan dirinya.
Berkata lagi pelajar Liong Go itu: „Menilik membekal
pedang, tentulah Siau-heng ini juga kaum persilatan."
Siau Ih menyahut dengan merendah, bahwa pedangnya itu
adalah warisan keluarganya untuk sekedar menjaga diri saja.
„Ah, Siau-heng keliwat merendah. Sejak kecil Siaute pun
gemar belajar silat. Pedang Siau-heng itu tentulah bukan
senjata sembarangan, apakah Siaute boleh meminjam lihat
barang sebentar saja?"
Siau Ih menjadi kewalahan. Hati menolak namun mulut
berat menyatakan. Sejenak merenung, akhirnya dia
menyahut: „Sudah tentu boleh, mari silahkan Liong-heng
melihatnya." Thian-coat-kiam segera diangsurkan.
Liong Go menyambuti dengan kedua tangan. Sekali
menjentik pelahan-lahan, batang pedang itu berdering nyaring
laksana aum naga. Demi dilolos dari kerangkanya, pedang itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memancarkan cahaya bening berkilau-kilauan. Wajah Liong Go
mengerut kejut.
„Sudah lama sekali pedang Thian-coat-kiam itu menghilang.
Benar tak menyamai kesaktian pedang-pedang Kan-ciang,
Bok-ya, Ki-kwat dan Liong-cwan, namun juga sebuah pusaka
persilatan yang jarang terdapat. Dengan memiliki pedang
pusaka macam begini, ilmu kepandaian saudara tentu amat
tinggi. Entah siapakah suhu terhormat dari hengtay itu?"
Ditanya begitu, kembali wajah Siau Ih menjadi merah.
Tersipu-sipu dia menyahut: „kepandaian Siaute hanya berasal
dari engkong, mana dapat mencapai tingkat tinggi."
Setelah memasukkan pedang ke dalam sarung dan
menyerahkan kembali, berkatalah Liong Go: „Kalau begitu,
seperti halnya dengan Siaute, pun sejak kecil hanya mendapat
pelajaran silat dari engkongku. Dahulu sewaktu engkong
masih aktif, kaum persilatan telah memberi gelaran Thiat-sansian
(si Dewa Kipas Besi)."
Siau Ih terbeliak kaget, serunya: „Oh, kiranya Liong-heng
ini adalah cucu dari Liong Bu-ki locianpwe, tokoh dari sepuluh
Datuk yang bergelar Tui-hun-cap-sa-san (Tigabelas kipas
perengut jiwa). Kipas yang Liong-heng bawa itu, tentulah
pusaka milik Liong locianpwe dahulu, maaf, Siaute sudah
berlaku kurang hormat tadi!"
„Memang benar yang Siau-heng katakan, benda yang
Siaute bawa ini adalah kipas tui-hun-san kepunyaan engkong.
Dengan dapat mengenal kipas ini, leng-cou (engkongmu)
tentulah bukan tokoh sembarangan, tapi entah siapakah
namanya yang terhormat?"
Jawab Siau Ih dengan minta maaf: „Waktu turun gunung,
engkong pesan agar untuk sementara ini jangan
menguwarkan namanya, harap Liong-heng maafkan keadaan
Siaute itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Kalau begitu, baiklah, Siaute tak menanyakan lagilah.
Hanya saja apakah kiranya Siau-heng sudi mengikat
persahabatan dengan orang-orang yang lebih rendah?" kata
Liong-Go.
„Alangkah bahagia Siaute tadi, pada waktu pertama-tama
terjun dalam masyarakat ramai, dapat berjumpa dengan
seorang sahabat baik. Kalau tiada Liong-heng, Siaute mungkin
akan mendapat malu besar. Untuk itu, lebih dahulu Siaute
hendak menghaturkan terima kasih," kata Siau Ih sembari
berbangkit lalu membungkuk di hadapan Liong Go.
Sudah tentu Liong Go menjadi tersipu-sipu dan balas
memberi hormat. Katanya pula: „Kalau Siau-heng berlaku
demikian, Siaute merasa tak enak. Kalau kita berdua memang
benar-benar hendak mengikat persahabatan, mengapa tak
mengangkat saudara saja, bukanlah hal itu akan lebih
merapatkan perhubungan lagi?”
Siau Ih serta merta menyetujui. Menurut perhitungan Liong
Go berusia delapanbelas tahun. dan Siau Ih enambelas tahun,
jadi Liong Go lah yang menjadi kakak. Hubungan mereka
menjadi lebih akrab. Dari pertukaran percakapan, panjang
lebar mereka mempersoalkan kesusasteraan dan ilmu silat
serta kaum gagah dari dunia persilatan.
Rupanya Liong Go lebih banyak pengalamannya. Boleh
dikata seluruh pembicaraan itu diborong olehnya. Siau Ih
hanya mendengari saja dengan rasa kesengsam. Saking
asyiknya, tahu-tahu hari sudah petang.
„Hiante, karena kelebuh dalam percakapan, sampai lupa
diri. Malam ini terpaksa kita makan malam lagi dirumah makan
sini," kata Liong Go.
Siau Ih hanya tertawa saja. Begitulah setelah memesan
hidangan lagi, keduanya lanjutkan mengobrol. Atas
pertanyaan Liong Go, Siau Ih menerangkan kalau belum
mendapat penginapan untuk malam itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Liong Go usulkan lebih baik menginap dihotel sebelah muka
sana itu, karena tempatnya bersih. Siau Ihpun tak menolak.
Keesokan harinya setelah sarapan pagi, Liong Go
menanyakan kemanakah gerangan Siau Ih hendak pergi.
„Sebenarnya Siaute mendapat perintah pergi ke Tiam-jongsan,
tapi karena waktunya masih jauh, jadi lebih dahulu
hendak menikmati alam pemandangan di daerah Kanglam,"
sahut Siau Ih.
„Aku justeru hendak pesiar ke Hangciu, mengapa hiante tak
mau ikut kesana, melihat-lihat pemandangan nan indah
permai dari telaga Se-ouw, dari itu menuju ke Kiangse lalu
Suchwan terus membelok ke Hunlam. Suatu tamasya yang
menyengsamkan bukan?"
„Di atas langit terdapat sorgaloka, di atas bumi terdapat
Sociu dan Hangciu". Demikian rangkaikan kata-kata para
penyair untuk melukiskan keindahan alam daerah Kanglam itu.
Sudah tentu Siau Ih ketarik juga.
Setelah membayar rekening hotel, Liong Go membeli dua
ekor kuda lalu ajak Siau Ih berangkat. Tak sampai sehari,
tibalah mereka di kota Hangciu yang termasyhur.
Hangciu
Pernah menjadi ibukota dari baginda-baginda Go-ong,
Gwat-ong, Khi-ong, Bu-ong, Siok-ong dan kerajaan Lam Song.
Letaknya disepanjang sungai yang mengalir kelaut, banyak
terdapat rawa dan telaga serta bendungan-bendungan air.
Tata tenteram kerta raharjo atau rakyat aman sentausa,
perdagangan makmur.
Itulah maka mendapat julukan sebagai ''sorga"
dipermukaan bumi Disebelah barat kota, terbentanglah telaga
Se-ouw yang termasyhur di seluruh negeri. Telaga itu
dikelilingi oleh barisan gunung. Alam pemandangannya indah
permai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dari zaman ke zaman merupakan tempat para ulama saleh
mencari ketenteraman batin, para pujangga menggali ilham
dan tempat rakyat negeri berkreasi (cari hiburan). Hangciu
benar-benar merupakan tempat yang romantik.
Liong Go dan Siau Ih lambatkan kudanya. Walaupun
matahari musim rontok amat teriknya, namun jalanan-jalanan
besar maupun kecil dalam kota itu, rumah-rumah makan dan
kedai-kedai minum, penuh sesak orang berhilir mudik. Mereka
berdua segera mencari sebuah penginapan.
Setelah membersihkan diri, mereka keluar pesiar. Liong Go
ajak Siau Ih ketelaga Se-ouw. Disitu mereka menyewa sebuah
perahu.
Ternyata ditengah telaga itu penuh berkeliaran perahuperahu
pesiar. Riang canda gelak tawa, selalu terdengar dari
setiap perahu yang diturapangi. Siau Ih yang berhari-hari naik
kuda, kini merasa luang bebas. –
Selagi kedua anak muda itu minum-minum sembari
menikmati pemandangan telaga, tiba-tiba dari tepi sebelah
sana terdengar suara hiruk pikuk. Letakkan cawan arak yang
sedianya akan diminum, Siau Ih melongok keluar.
Jauh ditepi telaga sana, tampak ada beberapa lelaki gagah
sedang mengepung seorang tua bersama seorang gadis. Di
bawah jerit makian orang-orang itu, si pak tua berlutut
sembari mengangguk-anggukkan kepala. Sedang gadis itu
melindungi ayahnya, dari kemungkinan serangan orang-orang
lelaki kasar itu.
Siau Ih menduga tentulah segerombolan kawanan durjana
tengah unjuk aksi tengik menganiaya orang, Serentak
bangunlah nuraninya. Kala itu Liong Go pun keluar ke geladak.
Demi melihat wajah Siau Ih menampil kegusaran, dia buruburu
menanyakan halnya.
„Toako, coba lihat tu!" seru Siau Ih sembari menuding ke
tepi telaga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demi memandang, Liong Go pun mengerutkan alis,
ujarnya: „Di bawah sinar matahari yang terang benderang,
kawanan bangsat mau jual ketengikannya. Hiante, ayuh kita
pergi kesana!"
Tapi ketika diperintah, si tukang perahu tampak pucat dan
geleng-gelengkan kepala sembari komat kamit berbicara
bahasa daerah itu. Siau Ih tak mengerti tapi ditilik dari gerak
geriknya nyata kalau tukang perahu itu jeri terhadap kawanan
tukang kepruk itu.
„Jangan kuatir, kita tentu dapat memberesi mereka," kata
Siau Ih menenangkan si tukang perahu, sembari menjanjikan
tarnbahan upah.
Akhirnya mau juga si tukang perahu itu. Tiba di tepi telaga,
setelah membayar sewa perahu, Liong Go dan Siau Ih cepat
menuju ke tempat ramai-ramai itu.
Seorang lelaki tinggi kurus, tampak mencaci si orang tua
yang berlutut itu: „Orang tua she Ih, kau punya muka tidak?
Karena berhutang pada Teng tongcu, kau seharusnya
menerima apa keputusannya. Kini Teng-tongcu tak mau
menerima pembayaran uang, melainkan menghendaki anak
perempuanmu sebagai gundik. Disamping itu kau akan
mendapat hadiah duapuluh bahu sawah. Turut nalar, itu
sudah terlampau murah hati, mengapa kau masih main tolak
saja? Hari ini adalah hari jatuhnya waktu pembayaran, dari
membayar kau malah hendak membawa lari gadismu kelain
tempat. Kedosaanmu itu pantas dihukum mati, nah,
katakanlah bagaimana kehendakmu?"
Pak tua she Ih itu anggukkan kepala sampai mengenai
tanah, lalu meratap: „Anakku itu telah ditundangkan pada lain
orang. Untuk kebaikan hati Teng-tongcu, nanti pada lain
penjelmaan si tua yang rendah ini baru dapat membalasnya.
Tentang hutangku itu, sudilah kiranya para toaya sekalian
menyampaikan pada Teng-tongcu agar bermurah hati untuk
memberi kelonggaran beberapa hari lagi ..........”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Heh, heh," tukas si kurus jangkung, „enak saja kau
bermain lidah. Sudah jangan banyak kata, kalau benar-benar
arak-kebahagiaan tak mau minum dan minta arak-hukuman,
jangan salahkan toayamu berhati kejam ya!"
Selagi kawanan tukang kepruk itu berisik menambah
keangkeran ancaman si tinggi kurus, Siau Ih sudah lantas
melangkah maju. Dengan dua buah jari, dia tepuk bahu si
tinggi kurus itu pelahan-lahan, serunya berbisik: „Bunuh orang
ganti jiwa, hutang uang bayar uang. Di bawah gemilang
matahari, berani mengancam orang sewenang-wenang,
aturan mana itu?”
Si tinggi kurus itu terkejut berpaling. Demi dilihatnya hanya
seorang pemuda berumur 16-17 tahun, kecongkakan timbul.
Dengan galak, dia memaki: „Bangsat kecil, kau berani usilan,
apa mau cari ..........”
Belum sempat dia lanjutkan kata „mati", plak, pipinya kiri
telah ditampar si anak muda. Begitu keras tarnparan itu,
sampai dia terhuyung mundur beberapa langkah, mata
berkunang kepala pusing tujuh keliling. Separoh pipi kirinya
menjadi begap biru dan tergurat dengan 5 buah jari tangan.
Melihat itu, kawan-kawan si tinggi kurus segera menyerbu
Siau Ih dan Liong Go.
„Toako, rupanya kawanan anjing ini biasa bikin onar. Hari
ini Siaute hendak membasminya, supaya rakyat terhindar dari
bahaya!" seru Siau Ih.
Belum sempat Liong Go menyahut, kawanan tukang kepruk
itu sudah menyerangnya dengan senjata tajam.
„Toako, tolong lindungi ayah dan gadisnya itu, biar Siaute
yang menghajar kawanan budak ini!" seru Siau Ih pula.
Liong Go menurut. Dia ajak si pak tua dan gadis untuk
minggir disamping, menyaksikan Siau Ih beraksi. Terhadap
kawanan tukang kepruk kelas kambing, Siau Ih tak banyak
keluarkan tenaga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam beberapa gerakan saja, dapatlah dia menutuk rebah
enam orang musuh yang bengis-bengis itu. Setelah itu, dia
menghampiri ke tempat orang tua she Ih tadi.
„Kawanan budak hina itu telah cayhe beri sedikit ajaran.
Tapi bagaimanapun rasanya lo-jinke (pak tua) tak akan tinggal
di kota Hangciu sini. Lebih baik lekas-lekas pergi, sementara
waktu mengungsi ke tempat famili dulu ........”
Baru berkata sampai disini, Siau Ih berputar ke arah Liong
Go dan berseru: „Toako ......”
Liong Go sudah dapat menangkap apa yang hendak
dikatakan saudaranya angkat itu. Cepat-cepat dia sudah
mengambil serangkum perak hancur untuk diberikan kepada
orang tua itu, katanya: „Sedikit uang yang sempat kubawa ini,
harap Iojinke suka menerimanya untuk ongkos perjalanan!"
Betapa rasa terima kasih orang tua kepada kedua anak
muda itu, sukar dilukis. Lengan bercucuran air mata, dia
berkata: „Mohon tanya siapa nama inkong berdua ini, agar
aku si orang tua dapat ........”
„Usah lo-jinke mengatakan begitu. Menolong yang lemah
menin das yang lalim, adalah kewajiban setiap orang.
Mumpung hari masih terang, lebih baik Lekas-lekas
berangkatlah!"
Bersama anak gadisnya, pak tua itu beberapa kali menjura,
kemudian berkata dengan nada gemetar: „Karena inkong
berdua tak mau memberitahukan nama, aku si orang tuapun
tak berani mendesak. Hanya mengenai kawanan tukang
kepruk itu, adalah anak buah dari ketua partai Thiat-sian-pang
cabang Hangciu yang bernama To-thau-thayswe Teng Hiong.
Dia banyak kenalannya dengan kaum pembesar, kejahatannya
keliwat takeran. Semua penduduk Hangciu tahu siapa 'raja'
yang punya banyak jagoan kepruk itu. Memang Thiat-sianpang
besar sekali pengaruhnya, harap inkong berdua berhatihati."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
--0dw0--
8. Benggolan Thiat-sian-pang
Siau Ih menyatakan terima kasih atas peringatan orang tua
itu. Setelah didesak Liong Go, barulah orang tua itu
menghaturkan terima kasih lalu ajak gadisnya pergi.
„Toako, rasanya masih enak kalau kawanan budak itu
hanya diberi hajaran begitu, Siaute hendak menambahnya
lagi." kata Siau Ih. Dan sebelum Liong Go sempat mencegah,
dia sudah menghampiri ke enam orang tadi.
„Blak, blak,” demikian kakinya memberi persen dupakan
untuk membuka jalan darah yang tertutuk, maka bangunlah
ke enam jagoan itu. Namun baru saja mereka hendak
melarikan diri, Siau Ih sudah membentaknya „berhenti!".
Tidak begitu keras bentakan Siau Ih itu, namun semangat
mereka sudah copot dan berhentilah mereka terpaku di tanah.
„Mau ngacir? Hem, mana di dunia ada barang yang begitu
enak. Turut kejahatanmu tadi, hukuman sudah jauh dari
murah. Tapi karena hari ini Siauya sedang bermurah hati,
maka tak mau menjatuhkan hukuman berat. Yang kuminta
hanya kalian berenam harus motong kuping kirimu sendiri,
selanjutnya harus bersumpah takkan melakukan kejahatan
lagi, barulah boleh pergi. Kalau tidak, hem, jangan salahkan
aku berlaku kejam!"
Biasanya keenam jagoan itu amat galak, berlagak tuan
besar sudah menjadi air mandinya (kebiasaan buruk).
Mendengar perintah anak muda itu, mata mereka mendelik
gusar.
„Hoo, apakah sauya perlu turun tangan sendiri?" Siau Ih
tertawa dingin. Sepasang alisnya yang luar biasa itu,
mengerut sehingga membuat keenam orang itu mengkirik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menolak tidak dapat, menurutpun berat. Keenam orang itu
seperti orang gagu yang menelan getah, menderita tapi sukar
mengatakan.
Akhirnya salah seorang yang rupanya menjadi pemimpin,
menyahut dengan suara keras: „Benar toaya hari ini kalah,
tapi Thiat-sian-pang pun bukan sebuah partai yang gampang
dihina. Saudara-saudara, ayuh kita potong kuping sendiri!"
Habis berseru, dia segera memungut badiknya yang jatuh
di tanah. lalu “cris,” diperungnyalah (dipotong) telinganya kiri
sendiri. Kelima kawannya juga lantas meniru. Saat itu
berserakanlah enam buah daun telinga dengan darahnya
memerah di tanah. Walaupun wajah pucat, keringat dingin
mengucur, namun keenam orang itu tetap tak mau sesambat.
Diam-diam Siau Ih terkejut melihat kekerasan, hati mereka,
namun pada lahirnya dia tetap bersikap dingin. ujarnya:
„Kalau tak terima, boleh cari padaku, ayuh lekas enyah!"
Memandang sejenak dengan dendamnya, sembari
mendekap telinga keenam jagoan itu ngelojor pergi. Tak
kurang dari duaratusan orang yang melihat kejadian itu dari
kejauhan, sama bersorak memuji.
Siau Ih menanyakan Liong Go bagaimana dengan caranya
dia memberi pelajaran pada keenam jagoan tadi.
,,Benar dapat menggembirakan hati orang-orang, tapi agak
terlalu kejam!" sahut Liong Go.
„Dahulu sewaktu Tui-hun-cap-sa-san malang melintang di
dunia persilatan, rasanya tak semurah hati seperti toako
sekarang. Turut pendapat Siau-te, hukuman itu sudah terlalu
murah bagi mereka!" bantah Siau Ih dengan tertawa.
Liong Go hanya menggeleng. Karena gangguan itu,
kegembiraan pesiar merekapun agak berkurang, maka mereka
lalu pulang ke hotel.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Mungkin karena baru-baru terjun di dunia persilatan,
hiante tentu tak begitu jelas akan keadaannya. Thiat-sianpang
itu adalah sebuah partai yang baru beberapa tahun ini
mengangkat diri. Pangcunya bernama Sut Cu-bing gelar Sengsi-
poan (hakim yang memutuskan mati hidup). Kecuali
memiliki ilmu tinggi, diapun mempunyai kecerdasan yang
cemerlang, orangnya amat ambisius (kemaruk). Dengan
bayaran dan hadiah bagaimana pun besarnya, dia tak sayang
mengeluarkan asal dapat membeli tenaga-naga kosen. Maka
banyaklah benggolan-benggolan dan durjana-durjana yang
sudah lama mengasingkan diri, semua masuk ke dalam
partainya. Oleh karena itu, Thiat-sian-pang mempunyai
jagoan-jagoan yang sakti. Tindakan hiante tadi, berarti sudah
mengikat permusuhan dengan mereka, dan untuk itu tentu
bakal menjumpai beberapa kesukaran," kata Liong Go
sewaktu berada di hotel.
Siau Ih hanya ganda tertawa, sanggahnya: „Turut ucapan
toako itu, habis siapakah yang berani membasmi perbuatan
jahat semacam itu?"
„Bukannya aku takut urusan, tapi karena mereka itu gemar
melakukan pembalasan dendam, baik secara terang maupun
gelap, maka selanjutnya, kita harus selalu berhati-hati,” kata
Liong Go.
Baru mereka tengah bercakap-cakap itu, masuklah jongos
dengan wajah ketakutan sembari memberikan sepucuk surat
kepada Siau Ih. Setelah diongos pergi dan Siau Ih
membukanya, ternyata surat itu berbunyi seperti berikut:
„Atas pengajaran tadi siang, kami membilang banyak
terima kasih. Tengah malam nanti, kami nantikan kedatangan
saudara di makam Gak-ong.
Sekian maaf dan sampai ketemu.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Ini sungguh kebetulan sekali. Harap toako suka membantu
Siaute membasmi malapetaka rakyat," kata Siau Ih sembari
serahkan surat itu kepada Liong Go.
Habis membaca, Liong Go memberi nasehat: „Benar
kemungkinan besar kita tentu menang tapi janganlah kita
dimabuk kegirangan."
Sore itu setelah makan, mereka sama duduk bersemadhi
memelihara semangat. Begitu kentongan dipukul duabelas
kali, Siau Ih dengan membekal pedangnya dan Liong Go
masih dalam dandanan seperti siang tadi, segera keluar
menuju ke belakang. Setelah melompati tembok belakang,
mereka lalu gunakan ilmu berlari cepat menuju kemakam Gakong.
Dalam tengah malam seperti kala itu, jalan-jalan pun sudah
sepi orang. Dengan "terbang" di atas rumah demi rumah, tak
berapa lama kemudian tibalah sudah keduanya dimakam itu.
Makam itu adalah tempat kuburan dari Gak Hui, seorang
jenderal besar dari kerajaan Lam Song. Letaknya di puncak Kihe-
nia, bangunannya amat megah sekali. Di depan makam
ditanami pohon-pohon siong-pik. Oleh orang-orang zaman
belakangan, pohon-pohon itu disebut khing-tiong-pik atau
pohon pik patriot. Pohonnya menjulang tinggi, daunnya amat
rindang.
Di muka makam Gak-ong yang sunyi senyap itu, muncullah
empat orang dengan pakaian ringkas. Mereka tengah
berunding. Kata salah seorang: „Sekarang sudah pukul
duabelas, jangan-jangan bangsat kecil itu diam-diam
melarikan diri, ah, tentu berabe untuk mencarinya!”
„Kami berdua sudah lama berada disini, sesalilah dirimu
sendiri yang punya mata tapi tak dapat melihat!" serempak
terdengar sebuah suara menyahut dengan tiba-tiba.
Kejut ke empat orang tadi tak terkira. Memandang ke arah
suara tadi, sekonyong-konyong terdengar suara “bret,” dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari sebatang pohon pek tua yang tinggi, melayanglah dua
sosok tubuh turun kehadapan mereka.
Berbareng pada saat itu, di bagian belakang makam yang
berbentuk oval itu, muncul sebuah bayangan. Dengan hatihati
orang itu menyembunyikan diri dan mengawasi kesebelah
muka dengan penuh perhatian.
Dua sosok tubuh yang melayang dari atas pohon pek itu
ialah Siau Ih dan Liong Go. Gerak melayang turun keduanya
yang begitu indah dan tenang, belum-belum sudah membuat
bercekat ke empat orang tadi. Kini mereka sudah saling
berhadapan. Keadaan hening sejenak.
Sekonyong-konyong pecahlah sebuah ketawa yang nyaring
memanjang. Salah seorang dari keempat orang tadi, tampak
tampil ke muka Siau Ih berdua. Orang itu bertubuh kekar,
mata bundar beralis tebal, pada dahinya tumbuh sebuah tahilalat.
Usianya lebih kurang empatpuluh tahun.
„Kalian berdua bukankah bocah yang mengadu biru cari
urusan siang tadi?" tegurnya dengan suara menggeledek.
Melihat sikapnya yang garang, Siau Ih menduga tentulah
orang itu si To-thau-thayswe Teng Hiong, itu tongcu Thiatsian-
pang (partai kawat besi) cabang Hangciu. Anak muda itu
hanya tertawa dingin, sahutnya: „Tentunya kau ialah To-thauthay-
swe Teng Hiong itu. Tengah malam mengundang sauya
kemari, mau ada urusan apa?”
Memang orang itu bukan lain Teng Hiong adanya. Demi
melihat sikap jumawa dari Siau Ih, amarahnya meluap-luap.
Bentaknya dengan murka: „Kau dan aku tiada saling
bermusuhan, tapi mengapa kau berlaku kejam kepada anak
murid partai kami?”
Kembali Siau Ih tertawa mengejek.
„Umat dunia mengurus urusan dunia, adalah sudah jamak.
Untuk perbuatanmu dan kawan-kawan itu, mati adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hukuman yang setimpal. Apa yang kulakukan siang tadi
hanyalah hukuman enteng, sudah keliwat murah, masakah
kau tak terima?"
Karena marahnya, Teng Hiong berjingkrak-jingkrak seperti
katak loncat. Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang
melengking nyaring: „Teng-tongcu, banyak bicara buang
waktu saja. Masakah dua anak yang masih berbau tetek itu
dapat berbuat apa, ringkus dulu baru didamprat lagi!"
Nadanya seperti anak bayi, tapi mengandung keseraman.
Kumandangnya sampai lama masih terdengar di udara. Semua
orang yang berada dihalaman makam itu, menjadi merinding
(berdiri bulu tengkuknya).
Liong Go yang sejak tiba di lapangan itu belum buka suara,
kini memandang ke arah suara itu. Ternyata orang yang
bersuara seram itu, hanyalah seorang tua yang berwajah
pucat, kurus kering dan mengenakan baju kuning.
Di belakang pundaknya menggantung sepasang senjata
yang berkilau-kilauan hitam. Bentuknya aneh, gaetan bukan
gaetan, pedang bukan pedang. Tegak berdiri di tempat, orang
tua itu tersenyum dingin, wajahnya menampil hawa
pembunuhan.
Melihat dia, Liong Go terperanjat. Sekilas teringatlah dia
akan seseorang, pikirnya: „Apakah dia benar-benar muncul
lagi di dunia persilatan, kalau benar dianya .........”
Melangkah ke muka, dia memberi hormat, serunya:
„Apakah yang berseru tadi bukannya Jin-mo Kiau Hoan?”
Sepasang mata si orang tua kurus yang setengah dibuka
setengah meram itu, tiba-tiba dibeliakkan. Dengan sinar
berkilat-kilat dia menatap Liong Go. Hanya bahunya saja yang
tampak agak bergerak dan tahu-tahu dia sudah ‘terbang’.
melalui Teng Hiong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Buyung, mengapa kau ketahui nama lohu?" serunya
dengan lantang.
Bahwa perkiraannya betul, telah membuat Liong Go
terkesiap. Menyahut dia dengan tertawa: „Kiau Hoan, masih
kenalkan kau pada benda ini?'' Berbareng itu, Liong Go sudah
mengeluarkan kipasnya.
Menatap sejenak, wajah Kiau Hoan berobah, kakinyapun
mundur selangkah. „Pernah apakah kau dengan Liong Bu-ki?”
„Itulah engkongku!" sahut Liong Go.
Wajah perok (pucat kurus) Kiau Hoan, menunduk.
Kemudian tertawa dengan seramnya: „Penasaran harus
dilampiaskan pada biangkeladinya. Namun sejak lohu
menerima 'hadiah' sebuah kipasan dari engkongmu pada
duapuluh tahun berselang, sedetikpun lohu tak pernah
melupakan. Meskipun tak beruntung mencari dapat Liong Buki,
tetapi dengan cucunya, boleh jugalah lohu melampiaskan
dendam itu!"
Liong Go balas tertawa, sahutnya: „Dengan kejahatanmu
pada masa itu, mati adalah bagianmu yang pantas. Tapi
karena sayang akan bakatmu, engkong hanya membikin cacad
dirimu saja menjadi seorang yang ludas kepandaian.
Bahwasanya kau beruntung mendapat jodoh orang sakti
sehingga dapat berlatih silat lagi, seharusnya kau harus
perbarui cara hidupmu, dari kegelapan menuju ke jalan
terang. Tapi ternyata kau masih belum insyaf dan mau
menjadi kaki tangan Thiat-sian-pang. Perbuatanmu itu pantas
dikutuk dan jangan kira aku tak dapat menggoreng dirimu
seperti yang dilakukan engkong tempo dulu!"
Mendengar itu, si Jin-mo atau Manusia Iblis Kiau Hoan
menjadi merah padam. Dia tertawa melengking: „Buyung, kau
sungguh berlidah tajam, tapi biarlah lohu tak mengurusi hal
itu. Kini kalau kau sanggup menerima sepuluh jurus
seranganku, lohu akan lepas tangan dari urusan ini. Tapi kalau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak, hutang lama itu terpaksa kaupun harus ikut
membayarnya!"
„Ha, ha ......” Liong Go terbahak-bahak: „Jangankan
sepuluh, seratus juruspun aku bersedia menyambutnya!"
Jin-mopun tertawa iblis, katanya kepada Teng Hiong:
„Malam ini justeru kebetulan sekali dapat kesempatan untuk
melampiaskan dendam lama. Tapi entah apakah Teng-tongcu
suka memberi ketika lebih dahulu pada lohu?”
Teng Hiong ter-sipu-sipu memberi hormat, jawabnya.
„Peraturan dari Hok-siu-tong mengatakan, apabila pangcu
datang berkunjung, tecu harus menurut perintah." Habis
berkata, dengan hormat sekali Teng Hiong mundur.
„Buyung, lebih baik urusan kita ini lekas-lekas dibereskan!"
seru Kiau Hoan.
Dari sang engkong, Liong Go pernah diceritakan tentang
kesaktian Kiau Hoan itu dan keganasannya malang melintang
di dunia persilatan. Oleh sebab itulah maka dia mendapat
julukan Jin-mo si Manusia Iblis. Duapuluh tahun berselang
kalangan persilatan geger dengan kekejaman Manusia Iblis
itu.
Disitulah dirangsang kemarahan, Tui-hun-san Liong Bu Ki
melumpuhkannya menjadi seorang invalid. Tak nyana durjana
itu dapat meyakinkan ilmu silat lagi dan begitu muncul di
dunia persilatan lantas menggabung dalam Thiat-san-pang
dengan menduduki pangkat sebagai hu-hwat atau pelaksana
undang-undang.
Jin-mo itu seorang manusia yang licik dengan kejamnya.
Bahwa seorang manusia iblis itu sumbar-sumbar hanya akan
mengujinya (Liong Go) dalam sepuluh jurus terang tentu
memiliki kepandaian yang sakti.
Diam-diam Liong Go sangsi, apakah dia dapat bertahan
nanti. Karena sangsi, dia menjadi agak tegang. Namun karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
urusan sudah sampai sedemikian rupa, tiada lain jalan kecuali
harus menghadapinya dengan seluruh kepandaian.
Sambil merapikan pakaiannya, berkatalah Liong Go kepada
Siau Ih: „Harap hiante melihat disamping saja, biar kulayani
sepuluh jurus serangan iblis tua itu!"
Mendengar nada Liong Go agak gentar, tahulah Siau Ih apa
yang dikandung dalam hati saudara angkatnya itu. Dengan
tertawa dia menyahut: „Sejak dahulu, golongan iblis itu tentu
tak dapat memenangkan golongan suci. Harap toako
lapangkan dada, Siaute akan mengawasi disamping."
Liong Go hanya tersenyum, mengipas-ngipaskan Tui-hunsan,
dengan tenang dia melangkah ke dalam gelanggang.
Melihat ketenangan anak muda itu, terutama sinar matanya
yang berapi-api, tak urung Kiau Hoan terperanjat juga. Apalagi
dia pernah merasakan betapa kehebatan kipas tui-hun-cap-sasan
itu, maka diapun tak berani memandang rendah lagi
kepada si anak muda. Begitu tubuh agak dimiringkan, maka
senjata aneh yang menggemblok di belakang punggungnya itu
sudah beralih ke dalam tangan.
Melihat itu, tertawalah Liong Go dengan jumawa: „Malam
ini Tui-hun-san akan bertemu kembali dengan oh-kim-cat,
sungguh suatu pertemuan yang menggembirakan. Setan tua,
lekaslah menyerang lebih dulu!"
Diiring dengan tertawa dingin, tanpa tampak mengadakan
gerakan apa-apa, tahu-tahu tubuh si Manusia Iblis sudah
maju. Tangan kiri menampar ke atas sampai menerbitkan
suara keras, lalu oh-kim-cat berputar-putar menusuk.
Untuk itu Liong Go gunakan gerak ing-loh-han-tong
(bayangan jatuh diempang dingin), miring ke samping. Begitu
menghindar tusukan, tubuhnya memanjang memuka, dengan
gerak khong-jiok-thi-leng (burung gereja kibaskan sayap), dia
balas menutuk ulu hati orang dengan kipasnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kiau Hoan mundur sembari tertawa iblis dan tahu-tahu
sudah merobah kuda-kuda kakinya. Lalu dalam gerak
setengah menutuk setengah menabas, oh-kim-cat menyerang
pula dengan tenaga kong-gi penuh. Sederhana saja
tampaknya serangan itu, namun gerak perobahannya sukar
diduga. Liong Go seolah-olah dikepung dalam sinar oh-kimcat.
Kemana dia hendak menyingkir, senjata cat yang terbuat
dari emas hitam itu selalu membayanginya.
Tapi sebagai ahliwaris dari Tui-hun-cap-sa-san Liong Bu-ki
yang pernah menggegerkan dunia persilatan, Liong Go pun
ketahui akan serangan itu. Tak mau dia menghindar kemanamana,
cukup hanya mendongakkan separoh tubuhnya ke
belakang, lalu dengan menurutkan posisi tubuhnya itu kipas
dikebutkan terbuka, untuk dalam gerak hui-oh-bu-hwat (anai
terbang ke arah api) menampar oh-kim-cat dari samping.
Di dunia persilatan terdapat sebuah pepatah: „Kalau
seorang ahli bergerak, segera dapat diketahui isi kosongnya".
Begitulah berlaku pada pertempuran Liong Go - Kiau Hoan.
Walaupun hanya dua gebrak saja, tahulah si Manusia Iblis
Kiau Hoan bahwa anak muda lawannya itu benar-benar sudah
mewarisi seluruh kepandaian engkongnya. Disamping dapat
mengambil putusan secara cepat tepat, pun permainan kipas
pemuda itu sudah mencapai kesempurnaan. Diam-diam Kiau
Hoan gelisah.
„Sudah terlanjur kukatakan, dalam sepuluh jurus tentu
dapat mengalahkannya. Kalau sampai meleset, kemana
hendak kutaruh mukaku dihadapan Teng Hiong dan kawankawan
itu?" pikirnya. Dirangsang oleh nafsu menjaga
gengsinya, nafsu-bunuhnya berkobar-kobar. Sekonyongkonyong
bersuit keras, dia loncat mundur setombak jauhnya.
Melihat itu, Liong Go hanya ganda tertawa saja: „Setan tua.
bukannya maju menyerang malah loncat mundur itu
bagaimana? Takutkah?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kata-katanya itu dibarengi dengan gerak liong-heng-it-si
atau naga bergerak melempeng lurus, tubuhnya maju
menutukkan kipasnya ke arah tenggorokan lawan.
„Buyung, ini kau cari mati namanya!" Kiau Hoan
menyambutnya dengan lengking tertawa tajam. Sepasang cat
dipindah ke tangan kiri, begitu sepasang lutut ditekuk, dia
melambung ke atas. Sebelum Liong Go sempat menangkis,
jari kanan Kiau Hoan laksana cakar besi sudah menampar
kipas, sementara sepasang kim-cat di tangan kiri dibabatkan
ke pinggang orang.
Mimpipun tidak Liong Go, bahwa gerakan lawan sedemikian
luar biasanya. Ketika insaf ada ancaman, ternyata sudah
kasip. Batang kipas yang dicekal di tangan kanan serasa
tergentar keras, sehingga hampir saja kipas itu terlepas jatuh,
dalam pada itu pinggangnya terasa disambar angin keras.
Dalam kejutnya, dia cepat tarik pulang kipasnya, kemudian
dengan tangan kiri dia tolak sepasang kim-cat. Menyusul sang
kaki berputar dalam gerak liu-si-ing-hong dan dia menyurut
mundur beberapa langkah.
Gesit sekalipun Liong Go berusaha menghindar, namun tak
urung pakaian suteranya terpapas rowak sampai beberapa
centi panjangnya. Keringat dingin mengucur, wajah merah
padam. Siau Ih yang berdiri mengawasi disamping jantungnya
sudah serasa mau loncat keluar .........
Sebaliknya disana Kiau Hoan pun menampilkan rasa kejutkejut
kagum yang tak tertara. Pada lain saat, dia kedengaran
tertawa seram lalu berseru dengan nyaring lengking: „Buyung,
dengan dapat lolos dari seranganku tadi, bolehlah dianggap
lihay juga kau ini. Nah, sekarang sambutilah seranganku yang
nomor empat ini!"
Suara masih berkumandang, orangnyapun sudah melesat
tiba. Tinju kanan mendorong lurus ke muka membawa tenaga
tekanan laksana gunung roboh menindih dada, sepasang kimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
cat dilayangkan ke bawah dalam gerak to-ceng-kim-ciong
(menghantamkan jungkir lonceng emas), mengancam keperut
Liong Go .........
--0dw0--
9. Satu Di Luar Lautan Satu Menghilang
Kini tak berani lagi Liong Go meremehkan, kaki melangkah
mengayun tubuh, dia hindari sepasang cat. Kemudian dengan
mengundang seluruh tenaga, dia tangkis pukulan Kiau Hoan.
Adu kekerasan itu memberi penilaian jelas, Kiau Hoan
terhuyung sedikit, sedangkan Liong Go matanya berkunangkunang,
kakinya menyurut mundur lima tindak baru dapat
berdiri jejak.
Kini tahulah sebabnya Liong Go, mengapa si Manusia Iblis
itu dapat malang melintang di dunia persilatan. Memang
ternyata dia masih kalah setingkat tenaganya. Kalau adu
kekerasan, berarti cari penyakit. Lebih baik dia gunakan ilmu
ajaib permainan tui-hun-cap-sa-san ajaran sang engkong,
agar dapat bertempur penuh sampai sepuluh jurus yang
dijanjikan. Tidak menang asalpun jangan kalah. Demikian dia
mengambil putusan.
Pada saat itu, si Manusia Iblispun sudah maju menyerang
lagi. Pertempuran kali ini, berbeda dari tadi. Kalau Liong Go
menggunakan siasat defensif (bertahan), adalah si Manusia
Iblis sangat agresif (menyerang) sekali. Iblis ini sangat
bernafsu sekali untuk lekas-lekas dapat memukul roboh anak
muda itu agar dapat menghimpaskan dendamnya pada
duapuluh tahun yang lampau.
Tubuh Kiau Hoan berputar-putar mengepung rapat-rapat
sang lawan. Berkelebatan laksana petir menyambar, dia terus
mencari lubang kesempatan untuk memberi pukulan maut.
Setiap gerak dan jurus serangannya adalah fatal (mematikan).
Sebaliknya Liong Go telah keluarkan seluruh permainan
kipas tui-hun-cap-sa-san, ilmu permainan yang pernah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggemparkan dunia persilatan pada masa yang lampau.
Kipas tui-hun-san melayang-layang bagai tebaran awan
membungkus dirinya. Tiga buah serangan maut dari si
Manusia Iblis, meskipun amat dahsyat, namun dapat
dibuyarkan oleh permainan kipas tui-hun-san yang istimewa
anehnya. Saking gusarnya, si Manusia Iblis sampai
berjingkrak-jingkrak dan bersuit-suit.
Sebuah serangan dalam jurus peng-tee-hong-lui atau
halilintar menyambar di tanah datar, kembali dilancarkan si
Manusia Iblis. Bermula mengancam pinggang, tapi sekonyongkonyong
sepasang oh-catnya yang berada di tangan kiri,
dibalikkan ke atas untuk menghantam kepala lawan.
Terhadap serangan tangan kanan yang keras itu, tak berani
Liong Go menyambutinya. Begitu menghindar, dengan gerak
Loan-tiam-gan-yang (menutuk burung belibis), kipasnya
menampar serangan sepasang oh-cat. Tertutuk sedikit oleh
kipas tui-hun-san, cepat-cepat si Manusia Iblis menarik ohcatnya.
Adalah sesaat tubuh Liong Go agak terhuyung, iblis itu
melengking tertawa.
„Buyung, sambutilah seranganku yang terakhir!” serunya
sembari enjot tubuh sampai satu setengah tombak ke udara.
Dari itu dia berjumpalitan, dengan kaki di atas kepala di
bawah, sepasang oh-cat dihantamkan ke batok kepala lawan
dalam gerak tiang-coa-jip-tong atau ular panjang masuk ke
goa.
Dalam posisi sang tubuh agak mendongak, Liong Go robah
gerakan kipas dari menampar menjadi menghantam.
Maksudnya ialah hendak menangkis dari samping. Tapi dalam
pada itu, diam-diam dia merasa heran sendiri mengapa
serangan terakhir si iblis itu hanya begitu biasa sekali.
Tapi sekonyong-konyong terdengar si Manusia Iblis
tertawa. Kedua oh-kim-cat agak dikesampingkan, berbareng
itu tangan kanan bergerak menyusup ketubuh orang yang tak
terjaga itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seketika itu Liong Go rasakan tubuhnya tersambar oleh
serangkum angin halus yang amat dingin menggigil. Ya,
begitu dingin sekali, hingga tubuhnya serasa membeku.
Sampai disini barulah dia insyaf kalau kena dibokong si iblis.
„Celaka!" serunya sambil loncat keluar. Tapi begitu kakinya
menginjak tanah, tubuhnya segera akan terkapar jatuh.
Bukan kepalang kejut Siau Ih. Secepat kilat dia loncat
memapah tubuh Liong Go. Astaga, kiranya tubuh sang kawan
itu gemetar, wajah pucat dan giginya berkeretekan menahan
kesakitan yang hebat ........
„Buyung, selamanya lohu tentu melakukan apa yang
kukatakan. Tapi bahwasanya kau telah dapat menerima
sepuluh seranganku, itu sudah cukup lihay. Untuk urusan
selanjutnya, lohu tak mau campur tangan lagi. Tapi karena
kau telah terkena pukulanku thou-kut-im-hong-ciang (angin
Jahat yang merembes ketulang) maka dalam sepuluh hari,
tulang belulangmu akan membeku dan jiwamu pasti
melayang. Satu-satunya obat, ialah apabila kau berjumpa
dengan orang yang paham akan ilmu lwekang kong-tun-yangsin-
kang. Tapi pada masa ini, hanya ada dua orang tokoh
yang mahir akan ilmu sakti itu. Yang satu berada di luar negeri
dan yang lain sudah tak pernah muncul di dunia ramai lagi,
mungkin sudah mati. Maka biar lohu memberitahukan cara
pengobatannya, juga tiada dapat menolongmu. Dengan
tersiksa mati secara pelahan itu, dapatlah kiranya lohu
melampiaskan hutang dendam itu!" seru si Manusia Iblis
sembari tertawa seram.
Pada saat itu, Teng Hiong dengan pemimpin dua orang
anak buah, sudah menghampiri. Serta merta dengan
hormatnya, dia memberi pujian: „Kesaktian cianpwe sungguh
merajai dunia ......”
„Teng-tongcu!" Kiau Hoan cepat menukasnya, „tak dapat
disangsikan lagi buyung itu pasti akan mati. Tapi karena lohu
tak pernah mengingkari janji, maka setelah dapat menahan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sepuluh serangan, lohupun tak mau campur tangan lagi
dengan urusan ini. Untung hanya tinggal seorang budak kecil,
rasanya kau tentu dapat mengurusi sendiri. Lohu akan kembali
dulu menanti kabar!"
Dan sebelum Teng Hiong menyahut, Manusia Iblis itu
sudah berputar diri terus loncat menghilang.
Mendengar betapa ganasnya pukulan thou-kut-im-hongciang
itu, bergidik juga Siau Ih. Dengan begitu, dia tak sempat
menghadang si Manusia Iblis. Sewaktu melihati Liong Go,
didapatinya wajah anak muda itu makin menyatakan
kesakitan.
Diam-diam Siau Ih menjadi gelisah. Sekonyong-konyong
dia mendapat pikiran: „Jin-mo tadi mengatakan bahwa kecuali
dengan kong-tun-yang-sin-kang, luka toako tentu tak dapat
sembuh. Dikolong jagad ini hanya ada dua orang yang
memiliki ilmu lwekang itu, satu di luar lautan satu menghilang
...... ha, jangan-jangan tokoh yang sudah lama tak muncul itu
ayah sendiri .......”
Memikir sampai disini, girangnya meluap. Cepat dikeluarkan
sebuah botol kumala lalu dituangnya sebiji pil warna merah,
yang harum sekali baunya. Pil itu dimasukkan ke dalam mulut
Liong Go, bisiknya: „Engkong telah gunakan waktu sepuluh
tahun untuk membuat pil ini. Dicipta dengan sari lwekang tunyang
(hawa positif murni). Harap toako salurkan tenaga dalam
agar pil itu bekerja. Nanti siaote mempunyai daya bagus untuk
mengobati luka toako."
Setelah terkena pukulan thou-kut-im-hong-ciang, Liong Go
rasakan suatu derita hawa dingin yang luar biasa sakitnya.
Tapi begitu menelan pil itu, serasa ada hawa panas masuk ke
dalam tubuh. Cepat-cepat dia duduk bersila, lalu salurkan
lwekang. Sungguh ajaib, tak berapa lama kemudian, hawa
yang istimewa dinginnya itu, terasa berkurang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat wajah sang toako makin mulai merah, Siau Ih amat
girang. Dia yakin pasti akan dapat mengobati Liong Go.
Berpaling ke belakang, dilihatnya Teng Hiong bertiga masih
berdiri kira-kira dua tombak disebelah sana. Wajah mereka
bersenyum dingin, seolah-olah jenderal yang menang perang.
Seketika marahlah Siau Ih. Dia terus berbangkit menghampiri.
„Hm", Teng Hiong denguskan hidung, berkata: „Bocah
kawanmu itu sudah meregang jiwanya, masakah kau masih
berani jual lagak?"
Bahwa dirinya dan sang toako dianggap sebagai anak
kambing, makin meluaplah hawa pembunuhan dalam hati Siau
Ih, sahutnya dengan tawar: „Memang aku hendak membikin
perhitungan padamu!”
„Bocah yang tak kenal tingginya langit, ayuh serahkan
jiwamulah!" teriak Teng Hiong sembari loncat menerkam dada
Siau Ih dalam gerak kim-pa-lo-jiao atau macan tutul ulurkan
cakar.
Sambil tertawa dingin, Siau Ih menyelinap ke samping.
Anak buah Teng Hiong yang berada disitu, cepat menghadang
dengan goloknya.
„Bocah kurang ajar, hendak lari kemana kau!" serunya
sembari menabas dengan gerak poan-hoa-kay-ting atau
bunga bertebaran ke atas atap.
Namun dengan miringkan tubuh, dapatlah Siau Ih
menghindar. Menyusul tangan kiri menghantam batang golok,
tangan kanan menutuk sepasang mata lawan dalam gerak
song-liong-hi-cu atau sepasang naga berebut mustika. Waktu
musuh buang kepalanya ke belakang, Siau lh tertawa: „Tolol,
kau tertipu!"
„Plak,” tahu-tahu pipi kiri orang itu tertampar. Karena Siau
Ih gunakan separoh bagian dari tenaganya, maka beberapa
gigi dari orang itu sampai putus. Sambil menyemburkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
darah, dia terhuyung-huyung ke belakang terus jatuh
terduduk.
Saat itu Teng Hiong bersama anak buahnya yang bertubuh
tinggi kurus, sudah menyerbu datang. Mereka gunakan
pedang song-bun-kiam dan sepasang tangan besi
menghantam punggung Siau Ih.
Tanpa menoleh lagi, Siau Ih ajukan tubuh ke muka,
sehingga serangan itu tak mengenai.
Si kurus yang bersenjata song-bun-kiam itu ajukan ujung
pedangnya ke muka untuk menusuk lagi.
Tapi untuk kekagetannya, begitu tangan Siau Ih menjamah
tanah, dengan gerak hi-yau-liong-bun, tubuhnya mencelat ke
udara sampai satu tombak lebih. Setelah berjumpalitan
sebentar, dia meluncur lagi ke bawah tepat di muka kedua
lawannya.
„Datang-datang terus menyerang, itu tak punya aturan
namanya. Nah, terimalah ini," serunya sembari kerjakan sang
tangan.
„Plak, plak,” pipi kiri Teng Hiong dan pipi kanan si kurus,
tahu-tahu menerima "persenan" istimewa. Dengan mata berkunang-
kunang kedua orang itu terhuyung mundur.
Siau Ih tak mau mendesak, melainkan tegak berdiri
sembari rangkapkan kedua tangan. Dia awasi kedua lawan itu
dengan senyum menghina.
Kaget, murka, malu dan muring-muring adalah si Teng
Hiong. “Tring,” cepat dia melolos senjata gelang kiu-ciat-konghoan
(gelang baja sembilan buku).
„Toh hu-tongcu, Li hu-tongcu, majulah!" serunya
menggerung.
Si kurus dan orang yang pertama kali ditampar pipinya
sampai giginya rompal tadi, segera menyerbu. Kini tiga orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan tiga macam senjata, menghujani serangan pada Siau
Ih.
Mundur selangkah, Siau Ih gunakan gerak hu-yan-tho-lim
(burung walet menobros hutan). Bagaikan seekor kupu-kupu
beterbangan di antara kuntum bunga, dia berlincahan di
bawah hujan senjata ketiga lawannya.
Betapapun bernafsunya Teng Hiong untuk lekas-lekas
dapat menggebuk „si bocah", namun dia selalu mendapat
hidung panjang. Setiap kali dengan gerak yang luar biasa,
dapatlah Siau Ih menghindar atau membuyarkan serangannya
itu.
Sebenarnya kalau mau, dapatlah Siau Ih segera
menjengkelit roboh ketiga musuhnya itu. Namun dia tak mau
lekas-lekas berbuat begitu, karena hendak mengocok mereka
lebih dahulu. Ada kalanya menjiwir telinga, atau menampar
pipi atau menjelentik hidung, suatu hal yang membuat Teng
Hiong bertiga makin kalap seperti orang kerangsokan setan.
Mereka menjerit-jerit dan menggerung-gerung, namun tak
dapat berbuat apa-apa.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, Teng Hiong bertiga
sudah bersimbah peluh, napasnya senin kemis. Karena kala itu
rembulan sudah condong, Siau Ih tak mau memperpanjang
waktu lagi. Saat itu si orang tinggi besar menyabat dengan
goloknya. Secepat menghindar, Siau Ih segera menyambar
sang lawan, terus dipijat pada jalan meh-bun-hiatnya.
„Trang,” jatuhlah golok dari tangan orang itu. Si kurus
cepat menusuk dengan song-bun-kiam, namun dengan
tertawa dingin, Siau Ih segera gelandang orang tinggi besar
tadi untuk menangkis serangan pedang. Sudah tentu si kurus
tersipu-sipu menarik pulang pedangnya.
Berbareng pada saat itu, Teng Hiong menyapu dengan kiuciat-
kong-hoannya. Siau Ih lepaskan lawannya, terus loncat ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
udara. Begitu terhindar dari kiu-ciat-kong-hoan, dia gerakkan
tangan menghantam “tawanannya" tadi.
Tak ampun lagi, orang tinggi besar yang tubuhnya sudah
menjorok ke muka itu, makin seperti didorong maju. „Auuk,”
sebuah jeritan seram terdengar dan orang itu pun
terpanggang ujung pedang song-bun-kiam si kurus. Dalam
pada itu, Siau Ih menggeliat turun di luar gelanggang.
Bahwa sang kawan telah tertusuk pedangnya, telah
membuat si kurus serasa terbang semangatnya. Cepat-cepat
dia tarik Song-bun-kiam keluar, namun sang kawan yang
bertubuh tinggi besar itu sudah terkulai tak bernyawa lagi.
Melihat itu Teng Hiong mengeretek gigi. Betapa inginnya dia
dapat mengganyang anak muda itu!
„Bangsat kecil, mau ngacir kemana kau?" serunya sembari
loncat menyerbu kepada Siau Ih.
„Bangsat, tak usah buru-buru minta mati, tunggu saja
giliranmu nanti!" seru Siau Ih sembari mundur.
Hantaman pertama luput, Teng Hiong teruskan dengan
gerak oh-liong-joan-tha atau naga hitam menyusup pagoda,
Kiu-ciat-kong-hoan ditebarkan lurus ke muka untuk menyodok
dada Siau lh. Juga berbareng itu, si kurus pun datang
memapas bahu Siau Ih dalam jurus lat-biat-hoa-hu.
Siau Ih tenang-tenang menunggu sampai kedua senjata itu
datang, baru dia sedot dadanya ke belakang, lalu gerakkan
sepasang tangannya menangkis. Karena kiu-ciat-kong-hoan
yang tiba dulu, maka senjata gelang itulah yang terpental
lebih dulu dan menghantam song-bun-kiam si kurus-sendiri.
Karena tak menyangka sama sekali, si kurus tak keburu
menarik pedangnya, “trang” ....... kiu-ciat-kong-hoan dan
song-bun-kiam saling beradu.
Membarengi selagi si kurus gelagapan dan tubuhnya tak
terlindung, dengan tertawa nyaring, Siau Ih menghantam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan tangan kiri ke arah Teng Hiong dan jari tangan
kanannya menutuk dada si kurus.
„Hek” ...... hanya sekali mulut dapat bersuara, atau
putuslah sudah jiwa si kurus itu.
Melihat kedua wakilnya binasa, Teng Hiong naik pitam.
Tahu bahwa kepandaian anak muda itu jauh lebih lihay dari
dirinya, namun karena dirangsang oleh hawa amarah, lupalah
sudah Teng Hiong. Dengan kalap, dia terus maju menyerang
lagi.
Mundur sampal tiga langkah, kedengaran Siau Ih tertawa
dingin: „Bangsat, sekarang tiba giliranmu!"
„Cring,” pedang pusaka Thian-coat-kiam dilolos. Sesaat
tubuh Siau Ih melambung ke udara, maka berhamburan hujan
sinar perak yang memancarkan hawa seram-seram dingin.
Teng Hiong dikurung rapat oleh taburan sinar pedang itu.
Kini barulah benggolan itu menjadi kelabakan. Pedang
istimewa, ilmu permainan luar biasa. Dalam keripuhan mencari
jalan lolos, akhirnya Teng Hiong berlaku nekad: „Kalau tak
nekad adu kekerasan, aku bisa mati konyol. Benar dia
memegang pedang pusaka, tapi kiu-ciat-kong-hoan ini juga
amat berat, mungkin tak ada halangan.
Baru dia memikir sampai disini, hawa pedang yang dingin
seram itu sudah terasa menabur dikepalanya. Setelah
pusatkan seluruh pikiran, dengan menggerung keras, dia
hantamkan kiu-ciat-kong-hoan ke atas untuk menangkis.
Menyusul dengan itu, kakinya menyurut ke belakang.
„Trang,” kiu-ciat-kong-hoan yang panjangnya hampir
setengah tombak itu terpapas kutung oleh sabetan Thian-coat
kiam.
Kali ini si Teng Hiong jagoan yang menguasai kota Hangciu,
si raja kecil yang suka berbuat sewenang-wenang itu, kini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
betul-betul pecah nyalinya. Tanpa malu-malu lagi, dia segera
enjot tubuhnya loncat ke balik makam Gak-ong.
„Wut,” separoh bagian kiu-ciat-kong-hoan yang masih
berada di tangannya itu, ditimpukkan sekuat-kuatnya ke arah
Siau Ih. Dengan tenangnya, anak muda itu tangkiskan
pedangnya.
„Bangsat, tak mudah kiranya kau hendak melarikan diri!"
seru Siau Ih sembari sudah enjot sang kaki loncat memburu.
Ketika pedang Thian-coat-kiam yang bentuknya seperti
ekor burung seriti itu melayang akan menusuk punggung Teng
Hiong, sekonyong-konyong dari belakang makam Gak-ong itu
muncul sesosok tubuh hitam terus ayunkan kedua tangannya.
Sembilan butir sinar, melayang ke muka Siau Ih. Karena masih
melayang di udara dan jaraknya amat dekat, Siau Ih tak
keburu menghindar lagi.
Dalam gugupnya dia cepat-cepat tarik pulang pedangnya
sembari lontarkan sebuah hantaman tangan kiri dalam
lwekang Kun-goan-sin-kang. Menyusul dengan itu, dalam
gerak lo-wan-sui-ci atau orang-utan jatuh dari dahan, dia
melayang ke samping beberapa meter jauhnya.
Bahwa ternyata orang-orang Thiat-sian-pang sudah
mempersiapkan barisan gelap dan menggunakan senjata
rahasia yang ganas sekali, telah membuat Siau Ih meluap
hawa pembunuhannya. Begitu sang kaki menginjak bumi, dia
enjot lagi dirinya ke udara. Jong-eng-hu-tho atau alap-alap
menangkap kelinci, adalah jurus yang dia gunakan ketika
menghantarkan sebuah hantaman lwekang ke arah
pembokong dibalik makam itu.
Ketika timpukannya gagal, si bayangan hitam itu terkejut
sekali dan terus hendak melarikan diri, namun pedang Thiancoat-
kiam sudah mengaum di atas kepalanya. Sebuah jeritan
seram dan terpisahlah kepala orang itu dari tubuhnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi karena keayalan itu, Teng Hiong sudah jauh lari
sepuluhan tombak jauhnya.
„Bangsat Teng Hiong. kalau kau sampai terlolos, aku
bersumpah tak mau menjadi orang!" seru Siau Ih sembari
terus gunakan ilmu pat-poh-kam-sian (delapan tindak
mengejar tenggoret) untuk mengejar. Pat-poh-kam-sian
adalah sebuah ilmu mengentengi tubuh yang amat lihay.
Melihat dirinya dikejar, semangat Teng Hiong seperti kabur.
Diapun segera tambah gas, berlari secepat-cepatnya. Tiba-tiba
tampak olehnya bahwa disebelah muka sana ada sebuah
hutan.
„Asal dapat masuk kehutan itu, tentu selamatlah jiwaku!"
diam-diam dia bergirang dalam hati.
Berbareng pada saat itu muncullah sesosok bayangan kecil
dari dalam hutan itu, terus lari menyongsong kedatangan
Teng Hiong. Kira-kira terpisah pada jarak satu tombak,
berserulah orang itu: „Adakah yang datang ini Teng-tongcu?"
„Benar, orang she Teng lah ini!" sahut Teng Hiong dengan
terkesiap. Selagi dia hentikan langkah untuk mengawasi lawan
atau kawankah kiranya orang itu, segera terdengar orang itu
melengking nyaring: „Bangsat Teng, serahkan jiwamu!"
Mulut berseru, orangnya datang, pedangnyapun sudah
menyerang ke dada Teng Hiong.
Justeru pada saat itu Siau Ih pun tiba serta melontarkan
sebuah pukulan biat-gong-ciang dari belakang.
Diserang dari muka belakang, Teng Hiong mati kutunya.
Belum lagi dia sempat memikir daya menghindari, “bum,”
punggungnya sudah terhantam keras. Matanya berkunangkunang,
mulutnya mengulum ludah amis-amis asin. Belum lagi
sang mulut sempat menyemburkan darah, atau dadanya
sudah merasa kesakitan hebat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Habislah jiwaku!” dia berteriak keras. Namun tak kecewa
kiranya dia menjadi benggolan besar. Walaupun dalam detikdetik
direnggut maut, tetap dia hendak mengadu jiwa sampai
saat yang terakhir. Mata membeliak, berserulah dia keraskeras:
„Aku hendak mengadu jiwa padamu!"
Karena seruan itu, mulutnya segera menyemburkan
segumpal darah segar. Setelah seluruh sisa tenaganya
dipusatkan ke arah tangan, tiba-tiba dia menjotos ke muka.
Orang yang baru muncul itu sama sekali tak menyangka
bahwa sang korban yang sudah mendekati ajalnya itu masih
dapat memberi hantaman. Dia tak sempat menghindar dan
termakanlah iganya dengan pukulan kalap itu.
Namun dia pun tak kurang kalapnya. Sambil mengerang
kesakitan, pedang ditimpukkan sekuat-kuatnya ke arah Teng
Hiong. Darah muncrat, usus berodol dan menjeritlah Teng
Hiong terkapar ke tanah .........
Adegan maut itu hanya berlangsung dalam sekejapan mata
saja, hingga ketika Siau Ih tiba, orang yang baru muncul
tadipun sudah roboh ke tanah karena terluka parah. Pada
dada Teng Hiong masih menancap sebatang pedang. Dingin
sekalipun hati Siau Ih, namun demi menyaksikan
pemandangan ngeri semacam itu, tak urung dia merasa seram
juga.
Ketika memeriksa, Siau Ih dapatkan orang itu bertubuh
kurus kecil. Tengkurep di tanah, kepalanya disusupkan
kebahu, sedang tangannya masih memegangi erat-erat
tangkai pedang. Dengan hati-hati Siau Ih membalikkan tubuh
orang itu, ai, sebuah muka yang cantik sekali. Hanya karena
menderita luka berat, wajah orang itu pucat seperti kertas,
napasnya berangsur lemah.
Cepat-cepat Siau Ih memberi pertolongan dengan menutuk
pada tiga buah jalan darahnya bagian ki-hay, ciang-bun dan
peh-hwe. Setelah itu, tubuhnya lalu diangkat. Waktu hendak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipondong, ternyata kain kepala orang.itu terlepas dan seikal
rambut yang indah memanjang segera berhamburan menjulai
pada bahu Siau Ih.
„Ha, kiranya dia seorang gadis, makanya bertubuh kecil.
Tapi ah, ini kurang sopan namanya ......... Dia terluka parah,
kalau tak lekas-lekas ditolong tentu membahayakan jiwanya.
Ah, peduli apa dengan kesusilaan, menolong jiwa orang
adalah lebih penting!”
Dengan pikiran itu, tak lagi dia ragu-ragu. Sekali enjot sang
kaki, dia angkat tubuh nona itu ke tempat Liong Go.
Ternyata pemuda ini masih duduk sembari pejamkan mata.
Dahinya berketes-ketes keringat, wajahnya mulai terang
bercahaya. Tahu bahwa sang toako tengah menyalurkan
tenaga dalam, Siau Ih tak mau mengganggu hanya
meletakkan pelahan-lahan gadis itu ke tanah.
Suasana di muka halaman makam Gak-ong itu kembali
dalam kesunyiannya. Siau Ih tampak mondar mandir mencari
pikiran bagaimana hendak mengurus keempat mayat itu, pula
bagaimana nantinya akan menolong gadis yang terluka itu.
Lama nian belum juga dia mendapat daya, sampai akhirnya
tiba-tiba dia teringat akan si penjahat yang melepaskan
senjata rahasia beracun tadi. Kalau senjata itu sampai ditemu
orang, tentu akan mencelakai entah berapa banyak jiwa lagi.
Terus saja dia menghampiri ke arah orang yang ditabas kepala
dan dihantamnya dengan biat-gong-ciang tadi itu.
Sejenak memeriksa dilihatnya disamping mayat orang. itu
terdapat sebuah bumbung warna hitam. Buru-buru bumbung
itu dipungutnya. Ternyata benda itu cukup berat, terbuat dari
baja. Panjangnya antara tujuh dim, bentuknya oval seperti
telur itik, atas pecah seperti kuntum teratai dan diberi lubang
kecil-kecil sebanyak sembilan buah yang disusun seperti segi
tiga. Ujung bawahnya, diberi tali halus.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benda itu disimpan, lalu dia balik ke tempat Liong Go lagi.
Ternyata sang toako itu sudah terjaga (bangun) Buru-buru dia
menanyakan keadaan luka toakonya itu.
Liong Go unjuk senyuman getir, sahutnya: „Pil dari hiante
itu sungguh manjur sekali. Kini aku sudah banyak baikan,
hanya masih merasa kedinginan, hawa dalam belum lancar.
Iblis itu sakti benar-benar, namun jiwaku tak sampai terancam
berkat pertolongan hiante .......”
„Ah, janganlah toako mengadakan pikiran begitu. Kita toh
sudah mengikat persaudaraan, jadi sudah jamaknya. Nantinya
siaote masih akan berusaha lagi untuk mengobati racun dingin
dalam tubuh toako itu," tukas Siau Ih.
Liong Go sejenak memandang ke sekeliling kuburan itu dan
demi menampak beberapa tubuh terkapar malang melintang
di tanah, alisnya berjungkat: „Hiante, sekalipun membasmi
kejahatan itu merupakan suatu tugas mulia, namun
membunuhnya secara begitu kejam itu, rasanya juga
melanggar nurani."
Siau Ih merah mukanya, lalu menuturkan bagaimana tadi
salah seorang anak buah Teng Hiong telah melepaskan
senjata rahasia yang amat beracun. Habis itu dia segera
mengeluarkan benda hitam untuk diberikan kepada Liong Go,
ujarnya: „Tadi siaote hampir tercelaka dengan benda itu.
Siaote hanya tahu bahwa benda itu adalah sebuah senjata
rahasia yang dilarang digunakan dalam dunia persilatan,
namun tak jelas akan asal usulnya. Dapatkah kira toako
memberi penjelasan?"
Menyambuti benda hitam itu, Liong Go terkesiap kaget,
serunya: „Ini disebut Kiu-tiam-ting-seng-ciam (jarum
berbentuk sembilan ujung paku). Dengan senjata ngo-hunpang-
jit-sip-hun-ting (paku lima awan menutup matahari),
merupakan dua serangkai senjata rahasia beracun yang amat
ganas. Senjata ganas itu adalah buah ciptaan dari Ngo-toksin-
kun Ih Bun-ki. Turut penuturan engkongku, karena melihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kejahatan Ngo-tok-Sin-kian sudah meliwati takaran maka
seluruh partai dalam dunia persilatan telah menantang tokoh
itu untuk bertanding dipuntiak gunung Ko-san. Disitulah tokoh
jahat itu mati konyol dikerubuti jago-jago dari segala aliran.
Sejak itu senjata rahasia kiu-tiam-seng-ciam turut lenyap
bersama kematian penciptanya. Sungguh tak terduga bahwa
senjata ganas itu kini muncul pula di dunia persilatan. Lebih
baik hiante menyimpannya baik-baik agar jangan sampai
terjatuh ke tangan orang jahat hingga menimbulkan onar
besar."
Habis memberi keterangan, Liong Go serahkan kembali
benda itu kepada Siau Ih, siapa lalu menyimpannya dengan
hati-hati. Menuding ke arah si nona, Siau Ih menuturkan
bagaimana tadi Teng Hiong menemui ajalnya.
„Toako, karena dia perlu harus lekas-lekas ditolong
jiwanya, maka terpaksa siaote tak menghiraukan lagi batasbatas
pantangan pergaulan pria wanita. Untuk itu, bagaimana
pendapat toako?" tanyanya.
Memandang ke arah yang ditunjuk Siau Ih, Liong Go
tampak terperanjat. Buru-buru dia minta agar sang adik
angkat menceritakan lagi yang jelas. Setelah Siau Ih menutur
lagi dari awal sampai munculnya nona itu, Liong Go tampak
menunduk.
Rupanya tengah memutar otak. Sesaat kemudian, barulah
dia mendongak lagi dan berkata: „Nona itu tentu mempunyai
dendam kesumat terhadap Teng Hiong. Kita harus
menolongnya lekas-lekas, lukanya memang parah betul. Tapi
adakah nanti berhasil dapat mengobatinya, aku sendiripun tak
berani memastikan. Kini kita sudah mengikat permusuhan
dengan pihak Thiat-sian-pang. Tak boleh kita lama-lama
tinggal disini atau balik ke hotel lagi. Iblis Kiau Hoan itu
berada di kota Hangciu, meskipun hiante tak jeri padanya, tapi
pada saat ini aku seperti invalid masih ketambahan lagi
dengan nona yang parah keadaannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka turut pendapatku, mumpung hari belum fajar, kita
lekas mencari rumah penduduk desa di dekat sini untuk
bermalam disitu. Setelah nona itu dapat diobati, barulah kita
melanjutkan perjalanan lagi. Kalau kita lanjutkan perjalanan
dengan membawa seorang nona yang terluka, pasti akan
menarik perhatian orang. Entah bagaimana pendapat hiante?"
Siau Ih mengiakan, namun dia menyatakan sesalnya
karena tak dapat berhadapan dengan si Manusia Iblis itu.
Tiba-tiba dia teringat akan keempat mayat Teng Hiong dan
kawan-kawan, lalu buru-buru menanyakan pikiran Liong Go
bagaimana jalan yang baik untuk mengurusnya.
„Ai, memang sukarlah," sahut Liong Go. Namun pada lain
kilas dia teringat bahwa biasanya seorang tokoh persilatan
jahat itu tentu membekal semacam obat yang dinamakan hoakut-
san atau puder pelenyap tulang. Buru-buru dia suruh Siau
Ih menggeledah tubuh keempat korban itu.
Siau Ih menurut perintah. Ketika memeriksa tubuh korban
yang menimpuk senjata rahasia kiu-tiam-ting-seng-ciam itu,
ternyata terdapat sebuah kotak baja kecil panjang.
Waktu dibuka, ternyata disitu terdapat tigapuluh enam
batang jarum kecil. Dari warnanya yang kebiru-biruan, tahulah
Siau Ih bahwa jarum itu tentu dilumuri racun yang jahat.
Didekat jarum itu, masih ada pula dua buah botol gepeng
yang dilekati dengan kertas bertuliskan „obat penawar" dan
yong-kut-tan" atau pil peleleh tulang.
„Dugaan toako kiranya tepat sekali, penjahat ini
menyimpan obat itu!" serunya dengan girang. Setelah jarum
dan obat penawar disimpannya, dengan menjinjing botol pil
yong-kut-tan itu, dia menghampiri Liong Go dan menanyakan
bagaimana cara menggunakannya.
„Cukup dengan delapan butir pil saja, sisanya harap hiante
simpan lagi, mungkin lain hari kita masih memerlukannya",
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kata Liong Go. Karena hari sudah hampir terang tanah, dia
minta supaya Siau Ih lekas-lekas memberesi mayat-mayat itu.
Siau Ih dapat bekerja cepat. Kedelapan butir pil itu
diremasnya menjadi bubukan lalu ditaburkan di atas tubuh
keempat sosok mayat itu.
--0dw0—
10. ‘Tiga Tidak’, Pesan Engkong
Liong Go menerangkan bahwa dalam beberapa detik saja,
mayat-mayat itu tentu akan meleleh jadi cair dan merembes
ke dalam tanah. Habis itu dia segera ajak Siau Ih berangkat.
„Luka toako masih belum sembuh betul, apakah dapat
berjalan?” tanya Siau Ih.
„Harap hiante jangan kuatir, rasanya masih dapat tahan
berjalan beberapa waktu. Hanya nona itulah yang terpaksa
harus hiante dukung lagi,” sahut Liong Go.
Tanpa berayal lagi, Siau Ih terus pondong nona itu. Ditiup
angin malam nan halus, hidung Siau Ih tersampok dengan
hawa harum-harum sedap. Pemuda itu buru-buru menguasai
panca inderanya, terus ayunkan langkah, diikuti dari belakang
oleh Liong Go. Tapi oleh karena kuatir tubuh nona itu
mengalami kegoncangan dan mengingat Liong Go masih
belum sembuh betul, terpaksa Siau Ih tak berani berjalan
cepat-cepat. Maka ketika terang tanah, barulah mereka
berjalan beberapa li jauhnya.
Kala itu dijalanan masih sepi dengan orang, tetapi
disekeliling penjuru dimana terbentang luas sawah-sawah dan
ladang-ladang, para petani sudah mulai bekerja. Berpaling ke
belakang. Siau Ih melihat dahi Liong Go penuh bercucuran
keringat, napasnya terengah-engah. Buru-buru Siau Ih
kendorkan langkahnya.
„Kita sekarang sudah terpisah belasan li dari Hangciu, tapi
rasanya masih belum keluar dari jaringan pengaruh Thit-sianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pang. Untuk saat ini, kita dapat meneduh untuk sementara
waktu ditempat seorang dusun. Entah bagaimana pendapat
toako?” katanya.
Adalah karena berkat khasiat pil dari Siau Ih tadi, Liong Go
dapat bertahan dari serangan hawa racun dingin. Tapi karena
berjalan cepat itu, ya sekalipun jauh lebih pelahan kalau
dibandingkan dengan biasanya, racun dingin itu mulai terasa
merangsang lagi. Sebenarnya sakitnya bukan kepalang, tapi
sekuat mungkin dia bertahan juga. Atas Pertanyaan Siau Ih
tadi, dia hanya bersenyum getir mengiakan.
Keadaan toakonya itu tak terluput dari perhatian Siau Ih.
Buru-buru dia menghampiri dan mengatakan supaya Liong Go
berjalan pelahan-lahan saja, biar dia (Siau Ih) yang berjalan di
muka untuk mencari rumah penduduk.
Begitulah setelah melalui tiga buah semak-semak
pepohonan, tak jauh disebelah muka sana tampak ada tiga
buah rumah yang meskipun bangunannya jelek tapi cukup
bersih. Di- sekelilingnya ditumbuhi dengan pohon-pohon
bambu yang rindang.
Siau Ih yang berjalan lebih dulu sudah tiba di muka pintu
rumah itu dan tampak tengah bicara dengan tuan rumah yang
dandanannya seperti seorang petani. Ketika Liong Go
menyusul tiba, Siau Ih menerangkan bahwa pemilik rumah
gubuk itu bersedia memberi tempat pada mereka.
„Saudara Li pemilik pondok ini, demi mendengar toako dan
sam-moay (adik perempuan ketiga) terluka oleh orang jahat,
rela menyerahkan kamarnya untuk kami bertiga. Siaote
suungguh berterima kasih sekali kepadanya!”
Mendengar disebutnya sam-moay itu, Liong Go terkesiap.
Tapi lain saat dia tersadar akan maksud Siau Ih membohong
itu, agar jangan menimbulkan kecurigaan orang. Buru-buru
dia menjurah untuk menghaturkan terima kasih kepada
pemilik pondok itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat Liong Go itu berdandan sebagai seorang terpelajar
dan sopan santun pula sikapnya, orang she Li itu cepat-cepat
membalas hormat, sahutnya: „Harap kongcu jangan pakai
banyak peradatan. Walaupun aku Li Seng seorang dusun, tapi
semasa kecil pernah belajar sekolah sampai 2 tahun.
Menolong orang adalah kegemaranku. Terhadap urusan kecil
kali ini, asal kongcu tak buat celaan, aku senang sekali
menerima kedatangan kongcu bertiga. Ah, kongcu tentulah
lelah, silahkan masuk mengaso di dalam.”
Li Seng segera mengajak tetamunya masuk ke dalam.
Ternyata halaman rumah cukup luas, penuh dengan alat-alat
pertanian dan beberapa binatang ternak, namun karena
caranya mengatur rapih, jadi keadaannya cukup bersih. Saat
itu dari sebuah gubuk, muncullah seorang wanita. „Lekas
kenalkanlah diri pada kedua tuan muda ini,” seru Li Seng
kepada wanita yang bukan lain isterinya itu.
„Kami berdua saudara, memberi hormat kepada toa-soh,”
Liong Go sudah mendahului memberi hormat karena menduga
si wanita itu tentulah isteri Li Seng.
Wanita itu tersipu-sipu balas memberi hormat. Sementara
Li Seng yang melihat Liong Go begitu sungkannya, mereka tak
enak sendiri lalu buru-buru ajak sang tetamu masuk ke dalam
rumah.
Sebenarnya Liong Go sudah tak kuat lagi menahan
sakitnya. Makin lama makin terasa bagaimana racun dingin itu
bagaikan laksaan semut mengigiti ulu hatinya. Namun dia
tetap kertak gigi kepalkan tangan untuk menahannya dan
memaksa bersenyum, senyum pahit dari penderitaan yang
sukar dilukis.
Keadaan toakonya itu tak luput dari tinjauan Siau Ih. Dia
kuatir kalau berlangsung sedikit lama lagi, keadaan Liong Go
tentu sudah payah. Dicarinya akal untuk menghindar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Dihadapan saudara Li yang jujur, kiranya tak layaklah
kalau toako berlaku sungkan-sungkanan. Toako amat lelah
dan sam-moay luka parah, lebih baik lekas-lekas berobat,
jangan sampai terlambat. Nanti saja apabila sudah sembuh,
kita dapat mengobrol panjang lebar lagi dengan saudara Li.
Maaf, saudara, Li, atas bicaraku yang kurang hormat ini,”
katanya.
Liong Go diam-diam memuji atas kecerdikan sang adik
angkat itu. Dan diplomasinya itu ternyata berhasil karena Li
Seng segera berkata: „Ah, memang kongcu benar, yang
penting ialah Lekas-lekas mengobati luka. Menilik nona Siau
tak sadarkan diri, tentu lukanya parah sekali. Harap kongcu
berdua jangan sungkan-sungkan lagi, jika memerlukan apa
saja harap lekas-lekas memberitahukan.”
Karena selain memikirkan lukanya juga memikirkan luka
nona yang tak dikenalnya itu, Liong Go tak mau bersungkan
lagi. Dengan tertawa dia mengangguk, lalu ikut Siau Ih masuk
ke dalam kamar di sebelah timur. Li Seng dan isterinyapun
segera pergi.
Kamar itu walaupun sederhana namun cukup bersih. Selain
sebuah pembaringan kayu, pun terdapat alat-alat keperluan
cuci muka serta meja kursi lengkap dengan peralatan minum.
Nona itu dibaringkan di atas pembaringan, kedua matanya
masih tertutup, wajahnya pucat lesi.
Sejenak memandang, tampak alis Liong Go menjungkat,
ujarnya dengan tertawa tawar: „Walaupun luka nona itu amat
parah, tapi karena hiante sudah menutuk jalan darahnya,
untuk sementara rasanya tiada menguatirkan. Kalau dalam
keadaan biasa, dengan gunakan kipas tui-hun-san dapatlah ku
memberi pengobatan dengan menutuk jalan darahnya.
Setelah darahnya menyalur normal, lalu kuberi obat. Dalam
beberapa hari tentu ia akan sembuh. Tapi karena diriku sendiri
belum ada ketentuannya, maka kuserahkan saja bagaimana
hiante akan berbuat”.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Turut penglihatan toako, apakah dalam berapa jam ini
keadaannya tak menguatirkan?” tanya Siau Ih.
„Rasanya untuk satu dua jam, tak nanti dia mengalami apaapa,”
sahut Liong Go.
„Bagus,” seru Siau Ih, „setelah melukai toako, iblis Kian
Hoan sumbar-sumbar memberitahukan cara pengobatannya.
Kebetulan sekali, lwekang yang Siaute pelajari itu termasuk
jenis kong-tun-yang, jadi merupakan penakluk dari ilmu
lwekang jahat macam thou-kut-im-hong-ciang itu. Kini harap
toako suka membuka baju, agar siaote dapat gunakan
lwekang untuk mengusir racun dingin itu. Walaupun lwekang
siaote belum sempurna, tapi berkat bantuan pil buatan
engkong itu, rasanya sembilanpuluh persen tentu akan dapat
disembuhkan. Setelah itu kita cari lain daya lagi. Tentang diri
nona itu, begitu nanti toako sudah sembuh, dapatlah kiranya
toako mengobatinya.”
Walaupun sangsi-sangsi percaya, namun kenyataan pil tadi
amat mujarab, Liong Go mau coba-coba juga. Apalagi demi
menampak kesungguhan sikap Siau Ih, tanpa ragu-ragu lagi
segera dia membuka bajunya, lalu duduk bersila di lantai.
Lebih dahulu Siau Ih menuang lagi sebutir pil dari botol,
diberikan kepada Liong Go supaya diminum. Setelah itu,
diapun duduk bersila, kedua tangannya dilekatkan di pinggang
belakang pada jalan darah beng-bun-hiat Liong Go. Dengan
itu dia salurkan lwekang kian-goan-sin-kong.
Buru-buru Liong Go meramkan mata, sambil berusaha
keras untuk menyalurkan tenaga-dalam. Setelah tenaga dalam
itu berjumpa dengan lwekang kian-goan-sin-kong yang panas,
terus akan disalurkan keseluruh tubuh.
Setengah jam kemudian, dari lubang pori tubuh Liong Go
seperti mengeluarkan uap putih. Dan sepeminum teh
lamanya, tiba-tiba Siau Ih tarik pulang tangannya, lalu
pelahan-lahan menepuk jalan darah beng-bun-hiat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Liong Go tergetar dan membuka mata. Tampak olehnya
wajah Siau Ih amat lelah sekali, keringat sebesar butir-butir
kedele tampak berketetesan turun dari dahinya.
„Hiante, kau amat letih,” kata Liong Go dengan perasaan
terima kasih yang tak terhingga.
„Ah, janganlah toako mengatakan begitu. Karena
kepandaian siaote masih dangkal, jadi menggunakan waktu
lama. Untunglah berkat khasiat pil engkong, dan yang
terutama lwekang toako sangat tinggi, barulah kita dapat
berhasil dengan memuaskan. Terus terang saja, bermula
siaote tak menduga kalau bakal dapat menghalau habis racun
dingin itu. Kini asal toako beristirahat mengadakan latihan
napas, tentu akan sembuh betul-betul. Kalau tak percaya,
cobalah toako salurkan hawa murni, bagaimana rasanya.”
Liong Go menurut dan benarlah apa yang dikatakan Siau Ih
itu. Kecuali masih merasa lemah, tanda-tanda racun dingin itu
sudah tak terasa lagi. Girangnya bukan kepalang.
„Bukannya aku hendak banyak mulut, tapi rasanya dikolong
jagad ini hanya ada dua orang yang memiliki lwekang kongtun-
yang-sin-kang itu. Yang satu ialah Gan Li Cinjin, salah
seorang tokoh dalam sepuluh Datuk. Hanya sayang, lwekang
yang diyakinkannya itu termasuk lwekang jahat. Sedangkan
tokoh yang satunya, menurut kata si Manusia Iblis tadi, ialah
si Dewa Tertawa Bok lo-cianpwe yang sudah berpuluh tahun
lenyap jejaknya itu. Ilmu silat hiante mirip dengan tokoh Bok
locianpwe itu. Pil yang kumakan tadi, begitu hebat khasiatnya,
mirip benar dengan pil mujijat yang diceritakan kaum
persilatan yakni kiu-caon-kian-goan-tan. Tapi anehnya hian-te
mengatakan bahwa kepandaian hiante itu berasal dari ajaran
engkongmu. Telah kuputar otak menggali ingatan, namun tak
berhasil juga menebak-nebak siapakah engkongmu yang sakti
itu,” kata Liong Go.
Siau Ih diam sampai sekian jenak, baru menyahut:
„Dengan sudah angkat persaudaraan, sebenarnya siaote harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menerangkan dengan sejujurnya. Namun siaote telah
menyanggupi, jadi terpaksa ini waktu belum dapat
mengatakan. Harap toako memaafkanlah!”
„Ah, tak apalah,” kata Liong Go, „karena sekarang aku
sudah baik, seyogyanya kita lekas-lekas menolong nona itu.”
Tapi Siau Ih mencegahnya karena baru saja sembuh tak
bolehlah Liong Go menghamburkan tenaga murninya. Dia
minta agar sang toako itu beristirahat lagi untuk mengatur
pernapasannya. Liong Go mengiakan tapi dalam pada itu dia
pun suruh Siau Ih melepaskan lelah juga. Memang baru kali
itu sepanjang hidupnya, Siau Ih merasa amat letih. Maka
tanpa sungkan lagi, dia segera bersila berhadapan dengan
Liong Go untuk bersemadhi.
Kira-kira sejam kemudian, keduanya sama membuka mata,
lalu sama-sama, tertawa riang. Dilihatnya wajah masingmasing
sudah tampak segar lagi. Liong Go berbangkit,
memberesi pakaian lalu memungut kipasnya.
„Baru saja tertolong jiwa lantas mau menolong lain jiwa,
ah, benar-benar suatu kejadian yang aneh,” katanya dengan
tertawa.
„Mudah-mudahan kita jangan sering berjumpa dengan
kejadian langka semacam ini,” Siau Ih memberi komentar.
Liong Go tertawa lebar, lalu menghampiri ke dekat
pembaringan. Sekonyong-konyong dia kerutkan alis,
gerutunya: „Kalau mau memeriksa lukanya, tentu harus
membuka bajunya. Tapi dia seorang gadis ......”
„Memang kalau menurut adat, kita tak leluasa turun
tangan. Namun mengingat keadaannya, harus lekas-lekas
ditolong. Ketika turun gunung, engkong pernah memberi
pesanan. Dalam mengerjakan sesuatu haruslah berpegang
pada tiga hal yakni tidak boleh menipu diri, tidak boleh
membohongi orang dan tak boleh berlaku curang pada Tuhan.
Rasanya tiga ’tidak’ itu, tepat digunakan dalam urusan saat ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Asal kita bersih hati menolong orang, usah kiranya ragu-ragu.
Bukankah begitu, toako?”
Liong Go mengangguk dan menyetujui pendapat Siau Ih.
Habis itu, segera dia membuka baju si gadis. Ternyata luka
dirusuknya sudah berwarna hijau kehitam-hitaman Liong Go
menghela napas, ujarnya: „Nona ini untung sekali, coba luka
itu terdapat dua dim di atasnya, tentu tepat dijalan darah kibun-
hiat. Dia pasti takkan ketolongan lagi jiwanya. Sekalipun
begitu, coba Teng Hiong tak kehabisan tenaga karena terluka
dengan tusukan pedang, hantamannya itupun cukup
memutuskan jiwa nona ini .......”
Tiba-tiba dia berhenti karena matanya melihat pada leher
nona itu terdapat sebuah kalung kumala. Ketika dipandang
dengan seksama, kumala itu berukirkan sembilan ekor burung
hong (cenderawasih). Sedemikian halus ukirannya itu
sehingga nampaknya seperti hidup.
„Dengan memiliki giok-hu (cap kumala) sembilan ekor
cenderawasih, tentu nona ini anak murid dari Peh-hoa-kiong
Hun-si sam-sian. Ah, ini amat berabe!” pada lain saat Liong Go
berseru kaget.
Peh-hoa-kiong artinya Istana Seratus Bunga, Hun-si samsian
artinya Tiga Dewi she Hun.
„Apakah toako mempunyai permusuhan dengan Hun-si
sam-sian?” tanya Siau Ih.
Liong Go menggeleng, ujarnya: „Bukannya begitu,
melainkan Hun-si sam-sian itu aneh tabiatnya. Mereka
membenci kaum pria. Kecuali diri mereka tetap membujang,
pun sembilan orang muridnya ketika masuk ke dalam
perguruan, telah mengucapkan sumpah berat takkan
berhubungan dengan kaum Adam. Istana Peh-hoa-kiong
itupun merupakan daerah terlarang bagi orang lelaki. Benar
dengan pertolongan ini kita tak mengharap balasan, namun
mengingat watak-watak mereka yang aneh itu, kelak kita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentu akan dibalas dengan air tuba. Dari itu lebih baik aku
menghemat tangan saja.”
„Toako, kita dengan hati jujur memberi pertolongan,
mengapa menghiraukan yang bukan-bukan. Menolong
setengah jalan, berarti menyalahi dharma kita. Kelak apabila
terjadi sesuatu, biarlah siaote yang menanggungnya,” Siau Ih
menyanggah.
„Ucapan hiante itu membuat aku malu diri. Bukannya aku
takut urusan, tapi akan mencari siasat yang sempurna,” kata
Liong Go.
„Waktu sudah keliwat mendesak, harap toako suka
menolong lebih dahulu setelah itu baru mencari akalan lagi
demi untuk kebaikan kedua pihak,” Siau Ih mendesaknya.
Merenung sebentar, Liong Go mengiakan. Dikeluarkannya
sebuah kantong kecil, dari situ diambilnya tiga butir pil wangi
yang hijau bening warnanya, lalu dimasukkan ke dalam mulut
si nona. Setelah dikancingkan bajunya, barulah Liong Go
gunakan kipasnya untuk menutuki ke seratus delapan jalan
darah tubuh nona itu. Tutukannya itu dilakukan dengan amat
tangkas dan cepatnya. Kemudian menyanggah pinggang si
gadis supaya dapat duduk bersila, dia minta agar Siau Ih suka
menjagai tubuh si nona.
Setelah Siau Ih mencekali kedua lengan si gadis, Liong Go
naik ke atas pembaringan dan duduk di belakang gadis itu,
serunya: „Sekarang harap hiante buka bajunya dan gunakan
tanganmu untuk menyaluri tun-yang-kang ke jalan darah tanthian-
hiatnya”.
Siau Ih bersangsi sejenak, lalu melakukan perintah
toakonya itu. Lwekang kian-goan-sin-kong disalurkan ke arah
tangan kanan ditempelkan kebagian jalan darah tan-thian-hiat
si nona. Serentak lwekang tun-yang-kang itu menyalurkan
keseluruh tubuh si nona. Dalam pada itu, dengan gagahnya
Liong Go mulai mengurutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lewat sepeminum teh lamanya, kedengaran gadis itu
merintih. Dalam saat-saat yang segenting itu, Siau Ih melirik
ke arah Liong Go. Dilihatnya kepala sang toako sudah mandi
keringat, napasnya tersengal-sengal. Diam-diam Siau Ih
terkejut. Sang toako baru saja sembuh dari lukanya, kalau
keliwat mengeluarkan tenaga, tentu akan celaka. Buru-buru
dia tambahkan lwekangnya sampai sepuluh kali besarnya.
Si nona mengeluh pelahan dan membuka mata. Demi
melihat dihadapannya duduk seorang pemuda cakap yang
beralis tebal tengah menempelkan tangannya ke tubuhnya, ia
menjadi terkejut. Wajahnya kemerah-merahan.
Kuatir si nona salah mengerti hingga menggagalkan
usahanya terakhir, buru-buru Siau Ih membisiki: „Semalam
nona telah kena terhantam oleh Teng Hiong sampai terluka
parah. Kami berdua saudara tengah melakukan penyembuhan
terhadap nona, sekali-kali jauh dari maksud tak senonoh.
Harap nona jangan berkata-kata maupun bergerak, agar
memudahkan usaha kami berdua.”
Si nona tampak terkesiap, namun demi melihat wajah
pemuda itu merah membara bercucuran keringat, tahulah ia
bahwa ucapan pemuda itu memang sungguh-sungguh. Malu
dan bersyukur memenuhi rongga hati si nona. Ia
menggangguk selaku tanda menerima kasih lalu pejamkan lagi
kedua matanya.
Ketika beberapa saat Siau Ih dan Liong Go sama tarik
pulang tangannya, nona itupun terjaga. Liong Go basah kuyup
dengan keringat, tenaganya habis, napas senin kemis. Cepatcepat
dia loncat turun dari pembaringan lalu berpaling
membelakangi si nona. Siau Ihpun meniru perbuatan toakonya
itu.
Setelah si nona membereskan bajunya lagi, dia segera
turun dari pembaringan, ujarnya: „Harap saudara berdua
berpaling kemari untuk menerima hormatku.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Liong Go dan Siau Ih tersipu-sipu membalas hormat si
nona. Siau Ih menatap tajam-tajam ke arah si nona. Alis
melengkung bagai barisan pegunungan, mata bersorot bening
laksana air telaga, walaupun wajahnya yang agak pucat tak
memakai bedak, namun kecantikannya yang agung tetap
menonjol.
Melihat dirinya diawasi begitu rupa, nona itu tundukkan
kepalanya dengan kemalu-maluan. Ai, memang begitulah sifat
anak perempuan itu, demikian Siau Ih geli dalam hatinya.
„Aku Liong Go dan ini adik angkatku Siau Ih,” Liong Go
segera perkenalkan diri, „Waktu nona pingsan, Siau hiante
sudah menutup jalan darah nona dan dibawa kemari untuk
diobati. Atas kelancangan itu, harap nona suka maafkan.”
„Terkena pukulan Teng Hiong itu, sebenarnya aku tentu
mati. Syukurlah jiwi telah sudi menolongku. Atas budi besar
itu, kelak tentu kubalas,” kata si nona.
„Semalam ketika nona terluka, aku sendiripun terkena
pukulan jahat tho-kut-im-hong-ciang dari Jin-mo Kiau Hoan.
Baru setelah racun dingin dalam tubuhku itu dapat diobati
oleh Siau hiante, dapatlah aku berusaha menolong nona.
Karena itu telah memakan waktu lama, hingga hawa cin-goan
nona sampai terluka. Oleh karena kepandaianku dangkal,
maka walaupun mendapat bantuan pil bik-hun-tan buatan
engkongku, pula mendapat bantuan lwekang sin-kang dari
Siau Ih, tetap belum dapat menyembuhkan luka nona sama
sekali. Syukurlah kenalan baik dari engkongku yakni Hwatyok-
ong To Kong-ong, To-cianpwe tinggal di puncak Ki-he-nia
yang tak berapa jauh dari sini. Asal bisa bertemu dengan tabib
sakti To locianpwe itu, luka nona pasti akan akan segera
sembuh,” kata Liong Go.
Si nona terkesiap ujarnya: „Tokoh aneh itu sudah lama
melenyapkan diri, konon kabarnya sudah bertekun akan
mencapai kedewaan. Bahwa ternyata beliau bersembunyi tak
berapa jauh dari sini, ingin benar aku menghaturkan hormat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepada beliau. Atas budi pertolongan jiwi, tak terhinggalah
rasa terima kasihku. Adakah pengobatan jiwi tadi akan
berhasil atau tidak, biarlah kita serahkan kepada Tuhan.”
„Ai, kini sudah hampir tengah hari, perutku merintih-rintih.
Sudikah kiranya jiwi bermurah hati mengganggu tuan rumah
supaya menyiapkan hidangan?” Siau Ih menyelutuk.
Kata-katanya yang melucu itu, telah membuat Liong Go
dan si nona tertawa.
„Karena tak ada lain usul, usulku itu berarti diterima. Hanya
ada sedikit tambahan. Tadi karena menjaga jangan sampai
menerbitkan kecurigaan tuan rumah, aku telah mengatakan
kalau kita bertiga ini adalah kakak beradik. Jika bertemu
dengan tuan rumah, harap nona tetap pegang teguh rahasia
itu,” Siau Ih lanjutkan pula kata-katanya sembari menjurah
dihadapan si nona, sembari menirukan nada ucapan nona itu
tadi: „Atas budi pertolongan jiwi, tak terhinggalah rasa terima
kasihku.”
Tingkah membanyol dari anak muda itu, telah
menyebabkan si nona tertawa cekikikan. Sesaat terhiburlah
hatinya. Pikirnya: „Walapun dari sikap dan budi bahasanya,
kedua pemuda itu tentu anak murid dari tokoh ternama,
namun apabila peristiwa tadi (pertolongan dengan lwekang
tadi) sampai teruwar tentu akan menjadi buah cerita orang.
Apalagi hal itu melanggar peraturan suhunya. Ah, lebih baik
aku mengangkat saudara dengan mereka, kalau tidak
bagaimana aku dapat membalas budi mereka.”
Setelah mengambil keputusan, segera ia berkata dengan
nada bersungguh: „Siaumoay bernama Lo Hui-yan, sejak kecil
sudah sebatang kara dan dipelihara oleh Sam-sian suhu di
gunung Lo-hu-san. Jika sekiranya tak memandang hina diri
Siaumoay, ingin sekali Siaumoay mengangkat saudara.”
Liong Go tertawa: „Mendapat adik seperti Yan-moay,
alangkah berbahagianya, hanya ........”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Kalau begitu, harap toako dan jiko suka terima hormatku,”
tukas Hui-yan sembari terus memberi hormat dengan berlutut.
Buru-buru Liong Go dan Siau Ih membalas hormat dan
menyilakan Hui-yan berbangkit. Berkata Siau Ih dengan
gembira: „seharusnya kita rayakan hari gembira ini, sayang
tak ada persiapan, maka terpaksa melanjutkan rencana
bermula tadi, menggerecoki tuan rumah. Tapi rasanya bagi
kita kaum persilatan ini, sudah biasa mengisi perut dengan
nasi kasar dan lauk pauk murah. Tapi entah bagaimana
pendapat toako dan Yan-moay berdua?”
Liong Go tertawa mengiakan dan Siau Ih pun terus
membuka pintu kamar memanggil tuan rumah.
Li Seng tergopoh-gopoh keluar dari kamar dan berseru:
„Kini sudah hampir lohor, sebenarnya tadi aku hendak
mengundang kongcu berdua dahar, tapi karena kuatir
mengganggu usaha kongcu berdua menolong nona, jadi
terpaksa kupertangguhkan. Harap maafkan.”
Siau Ih memberi hormat dan mengatakan bahwa adiknya
perempuan kini sudah sembuh dan kalau sekiranya tak
merepotkan hendak minta makan pada tuan rumah.
„Syukur nona sudah cepat sembuh. Hidangan sudah dari
tadi tersedia. Kuatir karena Siau toa-kongcu dan nona Siau tak
dapat makan hidangan keras karena baru sembuh, maka tadi
aku telah memasak bubur. Nah, biarlah kubawanya kemari.”
Kata Li Seng sembari terus lari masuk.
Tak berselang berapa lama, petani yang baik hati itu sudah
muncul dengan senampan bakpao hangat serta empat macam
sayur. Disilahkannya ketiga tetamunya itu makan seadanya.
Liong Go dan Siau Ih tak henti-hentinya mengucapkan
terima kasihnya. Walaupun sayurnya sederhana, namun
karena lapar, mereka makan dengan lahapnya. Sembari
makan itu, Siau Ih tanyakan hal ikhwal permusuhan Lo HuiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
yan dengan Thiat-sian-pang. Dengan sayu, nona itu
menuturkan kisah hidupnya.
„Sejak masih orok, Siaumoay sudah ditinggal mati ayah dan
bunda dan dipelihara oleh pamanku di gunung Hong-hongsan.
Ketika umur lima tahun, baru diterima menjadi murid
suhuku, dibawa ke gunung Lo-hu-san. Disana kutinggal
sampai sebelas tahun. Beberapa hari yang lalu ketika
diperbolehkan turun gunung, aku coba-coba menengok
kampung halaman. Di luar dugaan, ternyata rumah paman,
telah hancur berantakan.
Turut keterangan yang kuperoleh, taci misanku hendak
dijadikan gundik oleh Teng Hiong, tapi ditolak keras oleh
paman. Tahu-tahu pada suatu tengah malam, seluruh rumah
tangga paman telah dibinasakan orang jahat. Siapa lagi kalau
bukan perbuatan si Teng Hiong. Dalam gusar, kemaren malam
aku terus ngeluruk ke Hanciu untuk membikin perhitungan
dengan si jahanam itu. Tapi tiba di kota itu aku berpapasan
dengan seorang tua yang kurus kering.
Orang tua itu amat lihaynya, kalau tak waspada, mungkin
aku akan kepergok. Orang tua itu mengatakan kepada dua
orang anak buah Thiat-sian-pang, bahwa Teng Hiong tengah
menunggu seorang musuh ditempat makam Gak-ong.
Begitu tiba dimakam itu, Teng Hiong tampak lari ke arah
tempat persembunyianku. Untuk memastikan lebih dahulu
kutegur, baru kemudian kuserangnya. Ah, kalau tiada kalian
yang melancarkan pukulan biat-gong-ciang, tak nanti jahanam
itu mudah dibinasakan. Kini sakit hatiku, sudah terbalas.
Setelah lukaku sembuh, aku terpaksa harus pulang ke gunung
lagi!”
Berkata sampai disini, nada Hui-yan menjadi sember,
matanya mengembang air mata. Teringat akan dirinya yang
masih mempunyai sakit hati besar, Siau Ih melayang-layang
pikirannya. Liong Go pun terhening, sehingga suasana makan
itu tampak sayu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akhirnya terlintas sesuatu pada pikiran Siau Ih, ujarnya:
„Dengan hilangnya Teng Hiong dan ketiga anak buahnya itu,
walaupun kita sudah gunakan obat yong-kut-tan untuk
melenyapkan jejaknya, namun orang-orang Thiat-sian-pang
tentu akan mencium bau juga. Dan apabila sampai mereka
mengetahui kita berada disini, tentu akan membikin repot
saudara Li Seng juga. Lebih baik kita minta tolong saudara Li
itu membelikan sebuah kereta dengan empat kuda, untuk kita
berangkat malam ini juga!”
Liong Go menyetujui. Memang tak baik untuk merembetrembet
seorang berbudi macam Li Seng itu.
Sebaliknya Hui-Yan heran mengapa mesti membeli serakit
kereta itu.
Liong Go menerangkan bahwa luka nona itu masih belum
sembuh betul, jadi tak boleh banyak bergerak mengeluarkan
tenaga.
„Ah, sungguh tak kira ini aku menjadi seorang invalid,” Huiyan
menghela napas, setelah ia coba mengambil napas tadi
ternyata memang masih terasa agak sakit.
Siau Ih terus menghibur dan membesarkan hati nona itu.
Saat itu Li Seng kembali muncul dengan membawa minuman
teh hangat. Datang-datang dia lantas minta ketiga tetamunya
itu mencicipinya. Untuk itu serta merta Liong Go haturkan
terima kasih.
„Ai, aku si orang dusun ini tak biasa berlaku sungkan,
kongcu perlu apa, silahkan .........”
„Kebetulan memang aku hendak minta tolong pada
saudara. Li,” tukas Siau Ih. Lalu menerangkan maksudnya
untuk minta tuan rumah itu membeli serakit kereta dengan
kudanya.
„Ai, itu mudah sekali ....... ha, apa kongcu hendak
berangkat malam ini juga?” tanya Li Seng dengan terkesiap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih menerangkan bahwa luka sam-moaynya itu amat
berat, kalau tak lekas-lekas mendapat pertolongan tentu akan
membahayakan jiwanya. Sementara itu Liong Go segera
serahkan segenggam perak hancur kepada Li Seng, siapa
segera pergi untuk melakukan permintaan tetamunya.
Karena hari masih sore, maka Siau Ih ajak kedua kawannya
beristirahat memulangkan semangat.
Malamnya Li Seng pun sudah berhasil membeli sebuah
kereta lengkap dengan empat ekor kuda yang tegar. Setelah
menghaturkan terima kasih kepada suami isteri petani yang
baik hati itu, maka naiklah ketiga anak muda itu ke dalam
kereta.
Menjelang berangkat, tiba-tiba Siau Ih berkata dengan
nada bersungguh: „Saudara Li, hampir lupa saja mengatakan
sesuatu hal yang penting. Malam nanti apabila ada seorang
tua baju kuning datang kemari mencari kami bertiga, tolong
kasih tahu padanya, karena ada keperluan penting kami
bertiga saudara berangkat lebih dahulu dan menantinya
disebelah muka. Harap saudara, Li jangan lupa menyampaikan
ucapanku ini kepadanya!”
Li Seng mengiakan dan bergeraklah roda kereta itu
meluncur ke muka. Sembari mengiring dengan pandangan
mata, diam-diam mulut Li Seng berkata-kata:
„Mengapa terburu-buru pergi ....... orang tua baju kuning
....... siapakah gerangan dianya?”
Tapi ketika dia teringat akan menanyakan, ternyata kereta
itu sudah jauh!
--0dw0--
11. Manusia Iblis Sipat Kuping.
Malam belum larut, namun rembulan sudah purnama.
Sekalipun begitu, desa kediaman Li Seng itu sudah sepi
dengan orang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekonyong-konyong dari sebuah tegalan, muncul tiga sosok
bayangan. Bagaikan bintang jatuh, ketiga bayangan itu
meluncur dengan pesatnya ke arah pondok Li Seng. Sekejap
saja, mereka sudah berhenti diantara pagar pohon bambu
yang mengelilingi pondok Li Seng.
Di bawah cahaya bulan remang, jelas kelihatan yang
menjadi pemimpinnya itu bukan lain ialah si Manusia Iblis Kiau
Hoan itu, ho-hwat atau pelaksana undang-undang dari Thiatsian-
pang. Dia tetap mengenakan baju warna kuning. Di
belakang pundaknya menggamblok sepasang oh-kim-songcatnya.
Sejenak mengawasi ke muka, dengan nada dingin yang
mengandung kebengisan, dia tegur kedua orang pengikutnya:
„Apakah sudah kalian selidiki benar, ketiga bocah itu
bersembunyi dipondok itu?”
Kedua pengikutnya itu membungkukkan tubuh seraya
menyahut: „Tecu sudah menyelidiki dengan sungguhsungguh,
kalau tidak masakah berani melapor pada ho-hwat?”
Kiau Hoan menyengir dingin.
„Ketiga budak itu, yang dua sudah dekat ajal. Tinggal satu,
tak perlu dikuatirkan. Malam ini kalau tak dapat mencincang
mereka, aku jangan dipanggil Manusia Iblis!” demikian dia
sumbar-sumbar.
Mereka bertiga sahut menyahut seenaknya sendiri, seolaholah
tak menghiraukan penghuni dalam pondok itu. Karena
berisiknya, lebih-lebih suara si Manusia Iblis yang melengking
kering itu tak sedap didengar, maka tiba-tiba dari dalam
pondok itu, lampunya dinyalakan. Menyusul terdengarlah
seorang lelaki berseru: „Siapakah yang ramai-ramai di luar
itu?”
Kiau Hoan tak menyahut. Wajahnya menampil senyum iblis,
mata berkilat-kilat buas dan sekali tubuh bergerak, dia loncat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melalui pagar pohon bambu, melayang masuk ke dalam
halaman rumah. Kedua pengikutnyapun meniru.
Berbareng pada saat itu, penerangan dinyalakan amat
terangnya dan muncullah seorang lelaki bercelana pendek. Dia
bukan lain Li Seng adanya.
Bahwa tahu-tahu dihalaman rumah terdapat seorang tua
kurus kecil berwajah pucat dan membekal senjata bersama
dua orang pengikut yang bertubuh tegap, telah membuat Li
Seng terbeliak kaget. Sikap kedua orang pengikut itu yang
bercekak pinggang sambil memandang dengan sorot mata
buas, telah membuat tubuh tuan rumah gemetar.
„Tuan bertiga ......... hendak ..... cari ......”
„Jangan banyak omong, lekas suruh ketiga anak itu
keluar!” bentaknya Kiau Hoan dengan aseran.
Mendengar kata-kata „ketiga anak” itu, Li Seng menduga
tentu ketiga pemuda she Siau itu yang dimaksudkan. Seketika
teringatlah dia akan pesan Siau Ih tempo hendak berlalu itu.
Ketika diawasi, memang benar orang itu memakai baju warna
kuning.
„Oh, kiranya lo-jinke (orangtua) hendak mencari kongcu
Siau bertiga itu. Ah, sayang, kalau lo-jinke datang kemari tiga
jam lebih pagi, mereka belum pergi .........”
„Apa? Mereka sudah pergi?!” tukas Kiau Hoan dengan
nyaring.
Li Seng mengiakan, sahutnya: „Tapi sebelum pergi, jikongcu
pesan padaku, apabila ada seorang tua yang
dandanannya mirip dengan lo-jinke ini, boleh memberitahukan
bahwa karena ada urusan, dia terpaksa berangkat lebih
dahulu dan akan menanti ditengah jalan saja. Walaupun
sudah berangkat, tapi karena mereka hendak menunggu,
tentunya juga tak berjalan cepat-cepat. Jika sekarang lo-jinke
lekas mengejarnya, tentu akan berjumpalah!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar rencana pengejarannya itu sudah diketahui
lawan, apalagi ketiga anak muda itu tak gentar dan
menyatakan akan menunggunya, marah Kiau Hoan bukan
kepalang.
„Sombong benar bocah itu. Kalau kau dapat lolos dari
tangan si Manusia Iblis ini, aku bersumpah tak mau hidup!”
dampratnya dengan gusar. Habis memaki, dia mulai memikirmikir
kemanakah gerangan lari ketiga pemuda itu. Akhirnya
dia ambil putusan hendak mengorek keterangan dari tuan
rumah itu.
„Ho, kiranya begitu. Apa kau tahu kemana mereka
menuju?” tanyanya dengan senyum meringis yang dibuatbuat.
„Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi yang nyata mereka
itu menuju ke arah utara!” menerangkan Li Seng.
Kiau Hoan mendengus, lalu mengerutu seorang diri:
„Keutara ..... itulah arah ke gunung Ki-he-nia, baik .......”
Sesaat wajahnya membengis, berkatalah dia dengan
garangnya: „Turut kedosaanmu memberi tempat perlindungan
pada ketiga budak itu, seharusnya menerima hukuman mati.
Tapi menilik kau tak mengerti persoalannya, serta mau
memberitahu dengan terus terang, maka kau mendapat
pengampunan jiwamu. Dihukum mati sih tidak, tapi juga tak
bebas dari hukuman sama sekali ......”
Berkata sampai disini, tangan kiri si Manusia Iblis mengebut
pelahan-lahan dan segera terdengarlah jeritan Li Seng yang
seram.
„Bluk,” tubuh petani yang tak berdosa itu terpental sampai
beberapa meter dan terus rubuh tak sadarkan diri.
Bersuit nyaring, si Manusia Iblis enjot tubuhnya loncat
melalui pagar bambu, terus lari sekencang-kencangnya ke
arah utara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
--0dw0--
Pada sebuah jalan di luar kota Hangciu, tampak meluncur
sebuah kereta dengan cepatnya. Kala itu malam hari. Tak
usah kami terangkan lagi, tentulah pembaca akan maklum
sudah siapa yang berada dalam kereta itu. Ya, benar memang
di dalamnya terisi Liong Go, Siau Ih dan Lo Hui-yan.
Ketika Siau Ih mendongak ke atas, didapatinya rembulan
memancarkan sinarnya dengan gilang gemilang. Cuaca cerah,
bumi bagaikan bermandikan cahaya sang dewi malam.
Pemandangan yang indah permai itu telah berkesan sekali
dalam hati anak muda itu.
„Toako, alangkah bahagianya orang-orang dulu yang suka
pesiar menikmati keindahan malam purnama sidi. Tidak
seperti kita yang buru-buru berjalan seperti dikejar setan ini.
Jangan-jangan kita mirip dengan manusia yang buta akan seni
keindahan,” katanya.
Liong Go tertawa: „Ini kan hiante sendiri yang
mengaturnya, jadi tak dapat menyalahkan lain orang. Nanti
apabila musuh tiada mengejar, bolehlah kita menikmati
rembulan dengan sepuas-puasnya!"
Siau Ih tertawa dingin: „Kalau iblis tua itu tak datang, itu
sih baik. Tapi kalau dia berani datang, ingin benar Siaute
menjajal pukulannya thou-kut-im-hong-ciang yang lihay itu!"
Melihat Siautenya itu hendak mengagulkan diri, dengan
wajah bersungguh berkatalah Liong Go: „Bukannya aku
bermaksud akan mengagungkan pihak lawan dan
meremehkan kekuatan diri sendiri. Benar ilmu sakti yang
hiante pelajari itu adalah penumpasnya ilmu jahat macam imham-
tok-kang itu, namun peyakinan iblis tua itu memang
sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Kalau nanti sampai
bertempur, harap hiante berlaku hati-hati!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih dapat menerima peringatan sang toako itu, namun
disamping itu dia cenderung kalau toakonya itu agak jeri
dengan si iblis.
„Mungkin setelah mendapat pukulan dari iblis itu, toako
menjadi agak jeri. Adik Yan, bagaimana pendapatmu?"
katanya sembari berpaling ke dalam ruang kereta.
Tapi ternyata Hui-yan tak menyahut karena tidur dengan
nyenyaknya.
„Menilik keadaannya begitu letih, terang kalau ia terluka
parah. Mudah-mudahan kita lekas berhasil mendapatkan
Hwat-yok-ong Toh Kong locianpwe itu .......“
Baru dia merenung begitu, sekonyong-konyong dari arah
belakang terdengar sebuah suitan nyaring melengking,
bernada seram membikin sakit anak telinga. Suitan itu
mengalun tinggi rendah, jauh-jauh dekat, kumandangnya
lama terdengar mengarungi angkasa.
„Cepat benar iblis itu menyusul kita!” seru Liong Go dengan
terkejut.
Siau Ih pun tak urung tergetar juga. Dia segera minta Liong
Go tetap tinggal didalam kereta untuk melindungi Hui-yan,
sedang dia sendiri hendak keluar menyongsong kedatangan
iblis itu.
„Hiante, bukannya aku takut, tapi sebaiknia hiante jangan
sampai meninggalkan kewaspadaan!" kata Liong Go.
Siau Ih mengiakan dan memberi jaminan kepada sang
toako. Saat itu suara suitan makin dekat. Sekali enjot, Siau Ih
melambung ke udara. Setelah berjumpalitan satu kali, kakinya
menjejak ke udara, lalu meluncur turun terus "terbang" ke
muka.
Liong Go pun melarikan keretanya cepat-cepat. Sedang
begitu lari sampai sepuluhan tombak jauhnya, Siau Ih segera
melihat ada tiga sosok bayangan berlarian mendatangi. Dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menduga yang lari paling depan itu tentulah si Manusia iblis.
Dilihatnya saat itu kereta Liong Go sudah jauh, maka sengaja
dia hentikan langkah dan berdiri di tengah jalan.
Begitu ketiga bayangan itu tiba, Siau Ih segera
membentaknya: „Berhenti!"
Orang yang terdepan mendengus dan berhenti.
„Siapa yang berani menghadang ini!" serunya dengan
bengis.
Siau Ih menatap tajam-tajam dan memang benar seperti
yang diduga, orang itu ialah si Manusia Iblis Kiau Hoan.
„Iblis tua, hanya semalam berpisah masakah kau tak dapat
mengenali aku lagi?!" sahutnya dengan tertawa dingin.
Mata si iblis berjelilitan. Demi mengetahui yang berdiri
dihadapannya pemuda satunya yang semalam bertempur
dimakam Gak-ong, tertawalah dia dengan congkaknya.
„Mengapa kedua kawanmu itu tak muncul? Jangan-jangan
mereka sudah menghadap raja akhirat, he?" serunya
menyindir.
Siau Ih tertawa sinis, sahutnya: „Mati hidup itu sudah
suratan nasib. Hanya karena agak lengah maka toakoku itu
telah terkena pukulanmu gelap, apanya yang dibuat bangga
itu? Kini dia tengah pesiar menikmati rembulan purnama.
Karena tak mau diganggu, dia lantas suruh aku kemari
mengusirmu!"
Betapa kejut Kiau Hoan demi mendengar bahwa yang
menjadi korban pukulannya itu ternyata tak kurang suatu apa.
Dan kekagetannya itu berobah menjadi kemarahan besar
karena melihat sikap Siau Ih yang jumawa itu. Dengan
berjingkrak-jingkrak seperti orang kebakaran janggut, dia
segera perintah kedua pengikut: „Hai tolol, mengapa hanya
melihati saja? Ayuh lekas kejar, aku masih harus memberesi
dulu budak kurang ajar ini, baru nanti menyusul!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti anjing digebuk, kedua pengikut itu terbirit-birit lari
mengejar kereta Liong Go.
Siau Ih biarkan saja mereka lewat. Asal sang benggolan
sudah diremuk atau dihalau, tentulah kedua kerucuk itu dapat
diberesi Liong Go sendiri. Maka tenang-tenang saja dia
melihati.
Sebaliknya sikap itu, telah membuat Kiau Hoan kelabakan.
„Tenang-tenang saja dia biarkan orang mengejar, janganjangan
dia sudah mengatur persiapan?" pikirnya. Dengan
dugaan itu, dia mundur selangkah.
Melihat kesibukan orang, tertawalah Siau Ih, ujarnya: „Iblis
tua, kalau dengar nasehatku, lebih baik kau lekas pulang saja.
Kalau sampai membuat siaoyamu marah, Teng Hiong dan
kawan-kawan itulah contohnya!"
„Jadi Teng-tongcu bersama empat orangnya itu kaulah
yang membunuhnya?" seru Kiau Hoan dengan terbeliak.
„Benarlah! Terhadap tindakan siaoyamu menumpas orang
jahat begitu, puas tidak kau?" Siau Ih balas bertanya dengan
tertawa.
„Anjing buduk, kalau hari ini tak kuhancur leburkan
tulangmu, hatiku sungguh tak puas!" teriak Kiau Hoan dengan
geramnya.
Sebaliknya tak kurang jitunya Siau Ih membalas: „Justru
siaoyamu hendak menjajal sampai dimanakah kelihayan ilmu
tho-kut-im-hong-ciang yang kau bangga-banggakan itu!"
Kala itu kebencian Kiau Hoan terhadap Siau Ih sudah
menyusup sampai kesumsum. Berbareng dengan tertawa
melengking, tangannya segera menghantam ke muka. Ketika
Siau Ih menghindar, dia susuli pula dengan menggerakkan
sepasang tangan. Sekali gus, enam buah serangan
dilancarkan. Begitu rupa Manusia Iblis itu mengumbar
kemarahannya, sampai pasir dan batu-batu sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berhamburan. Setiap jurus serangannya, selalu mengarah
tempat-tempat maut.
Melihat lawan begitu kalap dan menyerangnya dengan
hebat, Siau Ih pun tak berani mengabaikan. Segera dia
keluarkan ilmu ginkang ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-pohhwat.
Berlincahan dia diantara samberan angin pukulan
musuh. Walaupun diam-diam dia terkejut akan tenaga
pukulan si iblis yang luar biasa hebatnya itu, namun dia
percaya ginkang ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh-hwat itu
tentu dapat menghadapinya.
Ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh-hwat atau gerakan
kaki dari kiu-kiong terbalik arahnya itu, adalah sebuah ilmu
yang sakti dalam dunia persilatan. Keindahan dan
perobahannya sukar diduga, lincahnya bukan kepalang.
„Iblis tua, mengingat umurmu lebih tua, maka siaoya suka
mengalah sampai seratus jurus. Setelah itu, jangan kau
sesalkan siaoya berlaku kejam, ya!" seru Siau Ih sembari
berlincahan.
Seumur hidup, kecuali tempo dahulu pernah dijatuhkan
Thiat-san-sian Liong Bu-ki, belum pernah dia mendapat hinaan
semacam ini. Apalagi setelah muncul untuk yang kedua
kalinya di dunia persilatan, dia telah diangkat menjadi ho-hwat
dari partai Thiat-sian-pang, sebuah partai yang amat besar
pengaruhnya. Ilmu kebanggaannya yakni thou-kut-im-hongciang
itu, belum pernah mendapat tandingannya.
Bahwa seorang anak muda berani sumbar-sumbar mau
mengalah sampai seratus jurus tanpa membalas menyerang,
telah membuat Kiau Hoan hampir mati kaku saking marahnya.
Rambutnya yang sudah bertabur uban sama menjingrak,
sepasang tangannya bergerak laksana angin pujuh, wajahnya
merah padam seperti kepiting direbus. Keadaan orang tua she
Kiau itu, benar-benar mirip dengan sesosok iblis yang haus
darah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan cepatnya limapuluh jurus telah berlalu. Betapapun
si Manusia Iblis tumpahkan seluruh kepandaiannya untuk
menyerang, namun jangankan dapat melukai sedangkan
menyentuh baju lawan saja dia tak mampu. Setiap serangan
bermulai tampaknya tentu akan tepat mengenai sasarannya,
tetapi ketika hampir terpisah beberapa dim saja, entah
bagaimana dengan mudah dan indahnya Siau Ih tentu dapat
menghindarinya. Aneh tapi nyata.
Akhirnya mau tak mau, bercekatlah hati Kiau Hoan,
pikirnya: „Bocah ini masih begini mudanya, namun
kepandaiannya melebihi cucu Liong Bu-ki itu. Yang istimewa,
ialah gerakan kakinya itu, mengapa sedemikian aneh luar
biasanya. Kalau terus menerus begini, tentu malam ini aku tak
dapat merebut kemenangan. Apabila seratus jurus sudah
habis, kemana hendak kusembunyikan mukaku, ah lebih baik
.........”
Dia mengambil putusan hendak gunakan jurus yang ganas.
Dengan tertawa seram, dia mundur selangkah. Dua buah
tangannya yang kurus panjang macam cakar burung, diangkat
ke muka dada. Membarengi dengan gerakan mundurnya tadi,
dia menghantam ke arah lawan.
Siau Ih tak kurang waspadanya. Bahwa si iblis
perdengarkan tertawa seram itu, dia sudah menduga kalau
hendak gunakan pukulan maut thou-kut-im-hong-ciang yang
termasyhur itu. Anak muda tetap suka segala avontuur
(petualangan). Tahu bahwa thou-kut-im-hong-ciang itu
termasyhur ganas, namun masih dia ingin mencobanya
dengan kian-goan-sin-kong. Begitulah diam-diam dia segera
salurkan lwekang kian-goan-sin-kong itu keseluruh tubuh, lalu
tertawa mengejek.
„Iblis tua, mau lari kemana kau? Hari masih begini sore!"
serunya sembari julurkan sang tubuh. Dengan gerak ji-hongsi-
pit, dia siap menyambut pukulan lawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu angin pukulan saling berbentur, Kiau Hoan segera
rasakan ada sambaran hawa panas yang keras sekali. Bukan
saja hawa dingin dari pukulannya thou-kut-im-hong-ciang itu
punah gayanya, pun hawa panas itu masih kuat pula
menyerangnya. Bagaimana kejut si Manusia Iblis, sukar
dibayangkan. Tanpa malu-malu lagi, dia gerakkan dua buah
pukulan untuk menangkis dan dengan meminjam tenaga
pukulan itu, tubuhnyapun segera melesat mundur dua
tombak.
Disana tampak Siau Ih seperti tak terjadi suatu apa, tegak
berdiri tersenyum bangga.
Dengan mulut komat kamit dan mata dipentang lebarlebar,
Kiau Hoan menatap pemuda lawannya itu tajam-tajam.
„Buyung, pernah apa kau dengan si Dewa Tertawa ?!"
serunya.
„Peduli apa kau!" sahut Siau Ih dengan tertawa dingin.
Berbareng itu, sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar
beberapa kali jeritan seram. Karena terkejut, Siau Ih dan Kiau
Hoan pada berputar tubuh lalu memburu ke arah datangnya
jeritan itu.
Kiau Hoan di depan dan Siau Ih mengikuti dari belakang.
Tanpa disengaja, kedua lawan itu saling adu kecepatan lari.
Ternyata keduanya sama lihaynya. Hanya dalam beberapa
kejap saja, mereka sudah tiba ditempat tujuannya.
Ditepi jalan terdapat sebuah kereta, di sisinya berdiri
seorang muda tengah mencekal sebuah kipas. Di bawah
cahaya bulan terang, di atas jalanan yang lebar itu,
terkaparlah dua sosok tubuh yang sudah menjadi mayat.
Sekali lihat tahulah Kiau Hoan apa yang terjadi.
Saat itu mata si Manusia Iblis bagai memancar api. Dengan
menggerung keras, dia cepat cabut sepasang oh-kim-cat, lalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyerang Liong Go. Pemuda itu cepat menghindar sembari
mainkan kipasnya untuk menyampok senjata lawan.
„Tring,” letikan bunga api muncrat dan kedua orang itupun
sama mundur selangkah.
Kuatir sang toako yang baru saja sembuh dari lukanya itu
akan kehabisan tenaga, buru-buru Siau Ih loncat maju.
Dengan sinarnya yang berbentuk macam ekor burung walet,
pedang thian-coat-kiam segera diserangkan si iblis.
Melihat sinar pedang yang luar biasa itu, Kiau Hoan tak
berani adu kekerasan. Tubuh agak didongakkan, dia enjot
sang kaki melesat ke belakang. Betapapun hebat dendam
kebenciannya, namun dia tetap memakai perhitungan juga.
Satu saja sudah sukar, apalagi dua maju berbareng, tentu
akan kalahlah dia nanti.
„Selama masih ada gunung, masakah kuatir tak dapat kayu
bakar," demikian dia menimang, lalu tertawa dingin: „Budak,
hari ini biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas batang
lehermu. Kalau kalian dapat lolos dari tanganku, jangan
panggil aku si Manusia Iblis!"
Habis berkata, dia loncat ke samping. Dengan beberapa
loncatan lagi, Manusia Iblis itu sudah menghilang di dalam
kegelapan.
Hal itu telah membuat kedua anak muda terlongonglongong
heran. Waktu Siau Ih hendak berseru mengejek
lawan, tiba-tiba dilihatnya Hui-yan bersandar dipintu kereta,
wajahnya pucat lesi, dadanya berombak keras.
„Adik Yan, kau ......," seru Siau Ih sembari loncat
menghampiri.
Liong Go pun terkejut dan ikut menghampiri. Didapatinya
Hui-yan memejamkan mata, dadanya berkembang kempis
memburu napas, wajahnya pucat seperti kertas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Toako, mengapa tiba-tiba adik Yan menjadi begini?" tanya
Siau Ih.
Liong Go kerutkan alis dan menggelengkan kepala: „Tak
lama setelah hiante pergi tadi, kulihat ada orang mengejar
kemari, maka segera kupinggirkan kereta untuk
menyambutnya. Siapa kira ternyata kedua pengikut Kiau Hoan
itu berkepandaian tinggi. Dikarenakan aku baru sembuh dan
pula membantu pengobatan lwekang pada adik Yan, maka
dalam menghadapi serangan kedua orang itu hampir saja aku
kewalahan.
Entah bagaimana, pada saat-saat berbahaya, tiba-tiba
kedua orang itu sekonyong-konyong tutupi mukanya dengan
kedua tangan, darah mengucur tak henti-hentinya Rupanya
mereka kena dibokong orang. Dengan mudah dapatlah
kuhabisi jiwa mereka. Kemudian baru diketahui, kalau mata
kedua orang itu tertancap jarum halus.
Terang kalau adik Yan yang melepaskannya. Mungkin
karena menampak aku terdesak, adik Yan lalu taburkan jarum
san-hoa-ciam. Hanya dikarenakan timpukan jarum itu harus
menggunakan tenaga lwekang, maka luka dalamnya yang
belum sembuh betul itu menjadi kambuh lagi.
Tadi karena melihat hiante berlarian datang bersama Kiau
Hoan, aku sampai tak memikirkan keadaan adik Yan lagi. Kini
nyata kalau luka dalamnya parah lagi, kita tak boleh
mempertangguhkannya lagi. Kita minumi dulu dengan pil bikhun-
tan untuk menahan sementara, habis itu harus lekaslekas
menuju ke Ki-he-nia."
Bagi Siau Ih tak ada lain daya kecuali menurut saja. Liong
Go mengeluarkan dua biji pil bik-hun-tan lalu dimasukkan ke
dalam mulut Hui-yan. Setelah menutup jalan darah
penidurnya, tubuh Hui-yan dibaringkan di dalam kereta.
Kemudian bertanyalah Liong Go kepada Siau Ih, akan
diapakan kedua mayat orang Thiat-sian-pang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Ai, mengapa toako lupa? Kita toh masih punya pil yongkut-
tan ? Pil itu dapat melenyapkan segala jejak," sahut Siau
Ih.
Dikeluarkannya tiga biji pil yong-kut-tan, setelah diremas
hancur lalu ditaburkan di atas mayat kedua orang itu.
„Toako, karena urusan sudah beres, sebaiknya kita lekaslekas
berangkat menuju ke Ki-he-nia, rasanya lebih cepat lebih
baik bagi adik Yan," kata Siau Ih.
Melihat anak muda itu sangat memperhatikan sekali kepada
si nona, Liong Go menggodanya : „Ai, benarlah, lebih lekas
lebih baik!"
--0dw0--
12. Tabib Kukoay, Hwat-yok-ong
Begitulah kereta segera dijalankan pula dengan cepatnya.
Namun walaupun sudah mencapai kecepatan maksimal,
namun Siau Ih masih kurang puas. Kalau dapat, sekali
melangkah bisalah sudah dia tiba di Ki-he-nia.
Sepanjang jalan, pikirannya selalu dibayangi dengan
kegelisahan, jangan-jangan nanti setiba di Ki-he-nia tak dapat
berjumpa dengan Hwat-yok-ong atau si Raja Obat To Kongong
itu. Diam-diam dia tak mengerti sendiri, mengapa dia
mempunyai pikiran semacam itu. Sepanjang hidup, baru
pertama kali itu dia dihinggapi oleh suatu perasaan aneh
seperti itu.
Diam-diam Liong Go pun memperhatikan sikap adik
angkatnya itu. Dia menduga sesuatu, namun Siau Ih tak
terasa. Begitulah dalam perjalanan itu, mereka berdiam hanya
cambuk yang sering terdengar memecah kesunyian malam.
Menjelang fajar, puncak Ki-he-nia pun sudah tampak dari
kejauhan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih seperti orang yang mendapat semangat baru.
Diiring helaan napas longgar, dia tertawa: "Toako, bagaimana
dengan kepandaianku mengendarai kereta itu?"
„Bagus juga, tapi yang menderita kuda itu," sahut Liong
Go.
Siau Ih mengusap keringat didahi, lalu menjawab:
„Bukannya siaote tak mengetahui hal itu, namun apa boleh
buat karena keadaan memaksa."
Liong Go mengangguk, sembari mengulum senyum dia
menggoda: „Siaote, dapatkah kau menjawab pertanyaan ini
'dari mana datangnya lintah' itu ?"
Siau Ih tahu kemana jatuhnya perkataan sang toako itu.
Selebar mukanya menjadi merah.
„Kita bertigakan sudah mengangkat persaudaraan,
mengapa pikirkan yang tidak-tidak? Pula Toako juga
mengobati adik Yan, apakah itu dianggap yang bukan-bukan?
Pantun kiasan toako itu, salah alamat!" ujarnya.
„Ha, ha, demikian Liong Go tertawa terbahak-bahak.
„Debatan yang jitu, aku tak dapat membuat replik (debat
balasan), aku terima salahlah!" katanya.
Biasanya Siau Ih itu pandai sekali merangkai kata-kata,
lebih-lebih kalau adu perdebatan, musuh tentu dikocok habishabisan.
Tapi pada saat itu, dia seperti kehabisan kata-kata.
Melihat itu, Liong Go memandangnya dengan senyum simpul
Siau Ih makin kemalu-maluan dibuatnya.
Tak berapa lama, tibalah kereta di bawah gunung Ki-henia.
Ki-he-nia adalah sebuah gunung ternama dari propinsi
Ciatkang, letaknya disebelah barat dari gunung Kat-nia. Setiap
musim semi tiba, sepasang gunung itu merupakan dua buah
raksasa yang berhias bunga, laksana bersunting pelangi warna
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
warni. Dari zaman ke zaman, kedua gunung itu merupakan
tempat berziarah bagi kaum pujangga dan penyair yang
memuja seni keindahan alam.
Kala itu ditengah musim rontok. Walaupun pohon-pohon
tho sudah banyak yang layu, namun kepermaian alam
pemandangan di gunung itu, masih tetap membekas.
Menghentikan keretanya, berkatalah Siau Ih: „Toako,
jalanan gunung ini berkelok-kelok, kalau tetap naik kereta,
tentu sukar menempuhnya. Lebih baik mumpung sekarang
masih sepi orang, biarlah siaote panggul adik Yan untuk
mendaki ke atas. Selain cepat pun aman rasanya, entah
bagimana pikiran toako?"
Merenung sejenak, Liong Go menyahut: „Aku setuju juga,
tapi bagaimana dengan kereta dan kuda kita ini?"
„Bukankah tadi toako mengatakan aku berlaku kejam
terhadap kuda itu? Ai, lepaskan saja mereka biar bebas
semalam ini," kata Siau Ih tertawa.
Liong Go mengiakan. Begitulah setelah kereta dipinggirkan,
kudanyapun dilepas. Menyingkap kerai kereta, Siau Ih lalu
mendukung tubuh Hui-yan, setelah itu dia minta agar Liong
Go berjalan disebelah muka mencari jalan.
Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, kedua anak muda itu
mulai mendaki ke atas. Tak berapa lamanya, tibalah mereka
dilamping gunung. Kala itu matahari sudah mulai menyingsing
di atas puncak. Cahaya keemasan yang gilang gemilang
menabur di seluruh hutan-hutan pegunungan itu. Burungburung
berkicau, angin sepoi-sepoi mengembus, daun-daun
bergontai, pohon-pohon menggeliat. Rupanya mereka
menyambut dengan riang akan kedatangan sang pagi.
Tiba-tiba, dari daerah pedalaman di atas puncak, terdengar
suara khim (harpa). Alun suaranya begitu tinggi melengking,
laksana air mengalir di gunung tinggi, bagaikan burung
cenderawasih bersiul nyanyi. Sebuah irama yang biasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diperdengarkan untuk menyambut kedatangan para dewa.
Halus merdu melayang-layang .......
Liong Go berhenti sejenak untuk mendengari. Serentak
berserulah dia dengan girangnya: „Hiante, perjalanan kita tak
sia-sia, To locianpwe ada di rumah!"
„Bagaimana toako mengetahui?”
„Meskipun sudah mengasingkan diri, namun setempotempo
To locianpwe suka pergi ke gunung-gunung dan
lembah-lembah untuk mencari daun-daunan obat. Dulu
pernah aku mengikut engkong beberapa kali mengunjungi
beliau. Turut keterangan engkong, tokoh dunia pengobatan
yang luar biasa itu mempunyai perangai aneh juga. Setiap
perbuatannya, seringkali di luar dugaan orang, tidak umum.
Misalnya, kebiasaannya bangun pagi-pagi dan memetik khim,
sangatlah mengherankan orang. Saat ini baru saja terang
tanah dan dengan adanya bunyi khim itu, bukankah pertanda
kalau beliau berada dirumah?”
Siau Ih tertawa: „Apa yang siaote ketahui, orang bermain
musik untuk menyambut kedatangan rembulan, tapi tak
pernah mendengar ada orang menabuh musik karena hendak
menyongsong kedatangan matahari. Memang aneh juga tabib
Hwat-yok-ong itu!"
„Irama khim itu menandakan sang pemain sedang riang
hatinya, ayuh, kita lekas-lekas kesana," ajak Liong Go.
Begitulah keduanya teruskan langkah, menyusur kelok
tikungan gunung yang curam. Akhirnya tibalah mereka di
sebuah batu besar hampir setombak tingginya. Batu itu
terletak dipinggir jalan dan di sisinya terdapat sebuah
terowongan yang hanya pas untuk dimasuki tubuh seseorang.
Suara khim itu jelas terdengar dari balik batu itu.
Berhenti di muka batu, Liong Go menunjuk pada lubang
terowongan, lalu masuk ke dalamnya. Siau Ihpun ikut masuk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata terowongan itu merupakan sebuah jalanan kecil
yang hanya untuk seorang saja berliku-liku naik turun. Pada
kedua samping jalan itu, tumbuh jajaran pohon pik yang
rindang daunnya. Dihembus angin lembut, maka terasalah
suatu bau harum yang menyegarkan semangat.
Lebih kurang sepuluh tombak jauhnya, tiba-tiba ada sebuah
batu yang aneh bentuknya, menghadang ditengah jalan. Di
atas batu itu terdapat ukiran yang berbunyi
„Piat yu tong thian”
sebuah tempat lain yang menyambung kelangit. Keempat
huruf itu ditulis dengan huruf kuno yang besar-besar.
Menduga sudah tiba ditempat tujuan, Siau Ih hendak
bertanya, tapi tiba-tiba terdengar suara “krak” dari snaar khim
yang putus. Menyusul dengan itu, terdengar suara seseorang
yang nyaring bening: „Tetamu yang terhormat dari mana yang
sudi berkunjung kepondok jelek sini?”
Siau Ih menduga kalau yang berseru itu tentulah Hwat-yokong
To Kong-ong sendiri. Sementara itu Liong Go segera
memberi hormat, sahutnya: „Wanpwe Liong Go mohon
menghadap!"
„Oh, kiranya putera kenalan lama. Dan siapakah yang
satunya?" seru To Kong-ong dengan tertawa.
Pertanyaan itu membikin Siau Ih terbeliak. Belum melihat,
mengapa sudah mengetahui ada lain orang lagi? Demikian
pikirnya.
Liong Gopun terkejut, namun dia memberi isyarat kepala
agar Siau Ih jangan buka suara.
„Gi-te Siau Ih dan gi-moay Lo Hui-yan ikut menghadap,”
sahut Liong Go.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Sekalian tetamu ini memang berjodoh, hanya saja karena
Piat-yu-tong-thian ini tiada berpintu, harap samwi masuk
dengan meloncati batu itu,” kembali To Kong-ong tertawa.
Demi melihat batu yang aneh bentuknya itu tak kurang dari
delapan tombak tingginya Liong Go berpikir: „Aneh benar
orang tua ini, meskipun batu itu tak begitu tinggi, tapi jite
mendukung adik Yan, mungkin agak sulit.
Liong Go kerutkan alis. Sebaliknya Siau Ih yang melihat
sikap toakonya itu segera mengerti apa yang dipikirkan. Cepat
dia menggelengkan kepala sambil tersenyum, pertanda dia
sanggup mengatasi percobaan itu. Sudah tentu Liong Go lega
hatinya.
„Kalau begitu, maafkan, wanpwe tak tahu adat,” serunya
sembari terus enjot kakinya meloncati batu itu.
Siau Ih pun bersiap. Setelah menghimpun tenaga, dengan
gerak tit-siang-ceng-hun atau lurus menjulang ke awan, tanpa
tubuh bergerak, tahu-tahu dia sudah melambung sampai
empat tombak tingginya. Di udara, ujung kaki kanan
dipijakkan kepunggung kaki kiri, dengan meminjam tenaga
injakan itu, kembali dia melambung sampai lima tombak lagi.
Sembari mengepit tubuh Hui-yan di tangan kiri, lengan
bajunya dikebutkan, indah dan tepat sekali dia melampaui
batu tinggi itu, terus melayang turun.
Baru saja kakinya menginjak bumi, atau terdengar To
Kong-ong berseru memuji: „Gerakan yang indah sekali!”
Mendongak ke muka, Siau Ih dapatkan sebuah dataran
seluas satu hektar. Sekelilingnya dilingkungi puncak-puncak
kecil yang hijau, penuh dengan berbagai pohon dan bungabungaan.
Sebuah air terjun kecil, mencurah dari lamping
puncak, menghamburkan ribuan permata titik air. Panorama
disitu benar-benar seperti dalam lukisan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak jauh dari air terjun itu, diantara bayang-bayang pohon
bambu, tampak menonjol sebuah pondok. Diserambi pondok
itu ada sebuah batu besar yang bening seperti kaca. Di
atasnya duduklah seorang orang tua berbaju putih, tengah
memangku sebuah khim. Sebuah api perdupaan berada di sisi
orang tua itu, asapnya bergulung-gulung ke angkasa .........
Pemandangan disitu tak ubah seperti tempat keinderaan
(dewa), sehingga Siau Ih menjadi terlongong-longong
dibuatnya. Tapi pada lain kilas serta diketahuinya orang tua itu
memandang dirinya dengan berseri senyum, dia (Siau Ih)
menjadi likat. Buru-buru dia tenangkan pikiran, membungkuk
lalu berkata dengan hormatnya: „Wanpwe Siau Ih memberi
hormat!"
Orang tua itu bukan lain adalah Hwat-yok-ong To Kongong,
tokoh sakti dalam dunia persilatan dan tabib mujizat
dalam dunia pengobatan. Berpuluh tahun namanya harum
memasyhur di dunia persilatan.
„Sudah sekian lama losiu mengasingkan diri, lupa sudah
akan segala peradatan, maka harap lo-tethay jangan banyak
peradatan lagi,” si orang tua lambaikan tangan dengan
tersenyum. Sepasang matanya berkilat mengawasi ke arah Lo
Hui-yan, lalu berpaling kepada Liong Go.
„Hai, buyung, kalau tak ada urusan masakah kau sudi
datang kemari? Kedatanganmu kemari bukankah karena untuk
nona itu?” tegurnya.
Wajah Liong Go menjadi merah, ujarnya: „Lo-jinke benar,
wanpwe memang hendak mohon pertolongan guna gi-moay
Lo Hui-yan ini.”
Merenung sejenak, tokoh aneh itu memberi isyarat kepada
Siau Ih: „Harap lo-tethay membawa nona Lo kemari, losiu
hendak memeriksanya."
Setelah Siau Ih meletakkan tubuh Hui-yan di atas batu
altar, maka tabib sakti itu lalu memeriksa pergelangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangannya. Lewat sejenak kemudian, kedengaran dia berkata:
„Coba kalian ceritakan bagaimana nona Lo ini sampai terluka."
Melihat wajah To Kong-ong mengerut dalam-dalam,
tahulah Liong Go bahwa luka adik angkat perempuan itu berat
sekali. Segera dia tuturkan semua apa yang terjadi.
Mendengar itu, To Kong-ong mengangguk.
„Oh, kiranya begitu. Mendapat pukulan dari Teng Hiong,
sebenarnya nona Lo sudah terluka-dalam yang parah,
walaupun telah kaugunakan kipas tui-hun-san untuk menutuki
jalan darah kemudian kausaluri lwekang, namun lukanya itu
masih belum sembuh sama sekali. Bahwa ketika di dalam
kereta ia sudah gunakan lwekang untuk menaburkan jarum
kepada musuh, telah menyebabkan lukanya merekah lagi.
Untung segera kauberi makan pil bik-hun-tan kalau tidak,
tentu sudah takkan ketolongan lagi.
Sekalipun begitu, keadaannya sekarang amat berbahaya
sekali. Terlambat sejam lagi kau datang kemari, walaupun ada
pil dewa, juga takkan dapat menolong jiwanya lagi. Menolong
jiwa orang adalah kegemaran losiu, apalagi telah kukatakan
tadi bahwa kedatangan kalian ini memang berjodoh. Biar
bagaimana aku tentu akan berusaha untuk menolongnya."
Mendengar keterangan dari tabib aneh itu, hati Siau Ih
sudah kebat kebit. Buru-buru dia memberi hormat dan
memohon: „Sudilah kiranya locianpwe bermurah hati
menolongnya."
To Kong-ong tertawa, ujarnya: „Harap lo-tethay legakan
pikiran. Karena sudah berada di Piat-yu-tong sini, apabila
sampai terjadi apa-apa, bukankah ilmu ketabibanku akan
ditertawai orang. Apalagi rupanya nona Lo itu mempunyai
rejeki besar.
Setahun yang lalu, secara tak terduga losiu telah berhasil
mendapat ho-siu-oh (semacam tanaman yang hidup beratus
tahun hingga seperti berjiwa). Losiu gunakan waktu delapan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bulan lamanya, menjelajah gunung dan hutan untuk mencari
128 ramuan daun obat. Dan setelah memakan tempo 49 hari,
berhasillah losiu membuat semacam pil yang dinamakan siokbeng-
cek-soh-tan (pil perebut jiwa). Semua itu terjadi pada
beberapa hari yang lalu.
Siok-beng-cek-soh-tan walaupun bukan pil dewa, tapi untuk
mengobati segala luka dalam, tak nanti sampai gagal. Asal
korban masih ada setitik napasnya, tentu akan dapat
disembuhkannya. Tapi ada satu hal yang patut disayangkan.
Setelah makan pil mujijat itu, walaupun nantinya nona Lo
akan sembuh, tapi ilmu kepandaiannyapun akan berkurang
sampai separoh."
To Kong-ong berhenti sejurus, lalu berkata pula dengan
tertawa: „Losiu hanya membuat siok-beng-cek-soh-tan itu
sebanyak 34 butir saja. Walaupun pil itu merupakan obat
berharga yang jarang ada, namun mengingat kita saling
berjodoh, jadi losiu pun takkan berlaku pelit."
Bahwa tabib sakti itu ternyata mau bersungguh-sungguh
menolong, telah membuat Siau Ih kegirangan. Pikirnya:
„Orang menyohorkan Hwat-yok-ong itu beradat aneh sukar
diduga hatinya. Tapi apa yang kulihat sekarang, ternyata jauh
dengan desas desus itu.”
Memang disitulah letak keanehan To Kong-ong itu, suatu
hal yang tak mudah dipahami oleh Siau Ih. Seperti telah
dikatakan berulang kali, bahwa kedatangan ketiga muda-mudi
itu dikatakan ada jodoh padanya, dari itulah dengan mudah
saja ia telah bersedia menolong dan memberi obat pil yang
dibuatnya dengan susah payah itu.
To Kong-ong kembali berkata kepada Liong Go: „Walaupun
sudah mendapat pertolongan pil siok-beng-cek-soh-tan,
namun luka nona Lo tak dapat disembuhkan dalam waktu
sehari dua. Losiu sudah puluhan tahun menghuni dipondok ini
seorang diri. Disini hanya terdapat tiga buah kamar. Setelah
kupikirkan, kamar sebelah barat yang biasanya losiu gunakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai kamar tulis itu, akan kuberikan untuk tempat tinggal
sementara kepada nona Lo. Kau buyung dan Siau lote, untuk
sementara tinggal di ruangan tengah sajalah."
Liong Go mengiakan dan menghaturkan terima kasih.
Kemudian berbangkit pelahan-lahan dari atas batu,
berkatalah tokoh aneh itu dengan kurang senang: „Seumur
hidup, losiu tak suka akan segala aturan dunia, lebih-lebih
kalau yang melakukan kaum muda yang pada hakekatnya
hanya suka main etiket-etiketan palsu saja. Maka kalau kau
masih mempertahankan sikap etiketmu itu, losiu pasti tak
ambil mumet lagi!"
Mendengar itu buru-buru Siau Ih menyanggapi: „Toako,
karena lo-jinke tak suka segala peradatan, kitapun harus
mengindahkan!"
„Ha, itu baru mencocoki selera. Nah, sekarang mari ikut
aku masuk," kata To Kong-ong sambil tertawa.
Dengan memondong Hui-yan, Siau Ih mengikuti Liong Go
turut masuk dengan To Kong-ong.
Ternyata hutan bambu disitu, luas sekali. Di tengahtengahnya
terdapat tiga buah pondok terbuat dari bambu. Di
muka pintu tergantung tirai bambu yang tinggi, di bawah
serambinya terdapat sebuah tiang baja. Di atas tiang itu,
terikat seekor burung kakaktua yang besar. Bulunya yang
merah tercampur hijau itu, amatlah indahnya. Sementara di
muka jendelanya, dihias dengan empat buah vaas kembang
yang harum baunya.
To Kong-ong berhenti di muka pintu, dia tampak tersenyum
dan memberi isyarat tangan. Ketika Liong Go dan Siau Ih naik
ke atas dan masuk ke dalam pondok, ternyata keadaan dalam
pondok itu sangat bersih sekali. Boleh dikata tiada setitik
debupun yang melekat pada semua pekakas. Di tengah
ruangan, terdapat tempat perapiannya, sedang disebelahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dibentangi dampar permadani. Kitab-kitab yang terletak di
atas meja, diatur dengan rapi sekali.
Ruangan sebelah barat, adalah kamar tulis To Kong-ong.
Boleh dikata, ruangan itu berdindingkan buku, karena
keempat dindingnya penuh dengan jajaran buku-buku.
Beberapa lukisan dan ukiran-ukiran gading yang terdapat
disitu, amat menarik sekali. Sebuah pembaringan yang diberi
alas rami sebagai kasurnya, terletak didekat dinding.
„Harap letakkan nona Lo dipembaringan ini, "kata To Kongong.
Siau Ih segera melakukan perintah.
Setelah menengok sebentar ke arah Hui-yan, maka To
Kong-ong pun tinggalkan ruangan itu. Tak lama kemudian, dia
sudah kembali dengan membawa sebuah peti obat dari batu
kumala hijau dan sebuah botol kecil juga dari batu kumala.
Diletakkan peti itu di atas meja lalu dibukanya. Peti itu berisi
berpuluh-puluh pil terbungkus malam (paraffin). Dijemputnya
tiga buah pil, lalu ditutupnya pula peti obat itu.
„Peti ini berisi 34 butir pil siok-beng-cek-soh-tan, obat yang
telah menghabiskan waktuku selama satu tahun,” kata tabib
itu.
Setelah pembungkusnya diremas, maka keluarlah sebutir pil
warna ungu sebesar biji mata naga. Serangkum hawa wangi
segera semerbak memenuhi ruangan. Sekali pijat, pil besar itu
hancur menjadi sepuluh pil kecil lalu dimasukkan ke dalam
botol kumala.
Begitulah dalam sekejap saja, To Kong-ong telah meremas
tiga pil besar menjadi tigapuluh pil kecil-kecil dan dimasukkan
ke dalam botol. Hanya ada sebutir yang ditinggalkan di dalam
tangan, katanya: „Sekarang losiu hendak mulai mengobati
nona Lo!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Secepat itu, dia sudah menutuk buka jalan darah penidur
Lo Hui-yan. Demi membuka mata dan melihat ada seorang tua
berpakaian serba putih tengah memandangnya dengan
mengulum senyum, kejut Hui-yan bukan kepalang.
Tapi baru ia hendak membuka mulut, Siau Ih sudah
mendahului: „Adik Yan, ini adalah Piat-yu-tong-thian di puncak
Ki-he-nia, ialah tempat kediaman To locianpwe. Semalam
karena kau gunakan lwekang, lukamu kambuh kembali. Kini
To locianpwe sudah bermurah hati hendak memberimu pil
mujizat untuk mengobati lukamu
Belum selesai Siau Ih berkata, Hui-yan tampak akan
berusaha bangun, tapi buru-buru dicegah To Kong-ong,
ujarnya: „Nona, selamanya losiu tak suka akan segala
peradatan kosong. Kalau nona ada pembicaraan apa-apa,
harap tunggu nanti saja apabila sudah sembuh."
Habis itu, To Kong-ong minta Siau Ih mengangkat si nona
supaya duduk. Liong Go dan Siau Ih segera sama menyangga
tubuh Hui-yan. Setelah memasukkan pil ke dalam mulut si
nona, To Kong-ong lalu duduk bersila, katanya: „Nona,
ulurkan kedua tanganmu!"
Tahu orang hendak menyalurkan pengobatan lwekang,
buru-buru Hui-yan julurkan kedua tangannya ke muka.
Setelah saling berapatan tangan, maka mulailah To Kong-ong
salurkan hawa-murninya ketubuh si nona Seketika itu Hui-yan
rasakan ada aliran hawa panas merangsang tubuhnya. Buruburu
ia jalankan lwekangnya.
Bahwa tokoh yang pandai ilmu silat dan ketabiban itu
disamping memberi obat pun mau juga menyumbangkan
lwekangnya untuk mengobati si nona, tak terkira rasa terima
kasih Siau Ih dan Liong Go.
Saat itu ubun-ubun kepala To Kong-ong mengeluarkan uap
panas, butir-butir keringat mengucur pada dahinya. Lewat
beberapa saat kemudian, barulah tokoh itu menarik pulang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangannya. Serunya: „Harap nona jangan membuat gerakan
dahulu, tapi jalankan penyaluran hawa, agar obat dapat
bekerja untuk menyembuhkan luka dalam."
Lo Hui-yan tersenyum mengangguk selaku pernyataan
terima kasih, kemudian ia meramkan mata mulai menjalankan
penyaluran hawa.
Mengusap keringatnya, To Kong-ong berkata pula: „Tenaga
dalam nona Lo cukup kokoh, kalau tiap hari minum obat ini
tiga kali, dalam sepuluh hari tentu akan sembuh sama sekali!"
Botol kumala yang berisi 29 butir pil siok-beng-cek-soh-tan
itu berikut resep penggunaannya diberikan kepada Siau Ih,
lalu katanya: „Dalam dapur sana tersedia lengkap segala alatalat
perkakas. Sewaktu-waktu kalian lapar, boleh masak
sendiri. Losiu tak tentu makannya, boleh tak usah tunggu
aku!"
Mengetahui watak-watak yang aneh dari tabib itu, kedua
pemuda itupun hanya mengiakannya saja. Karena merasa
lelah, To Kong-ong lalu tinggalkan ruangan itu. Siau Ih dan
Liong Go mengantar sampai keluar pintu baru balik.
Kala itu didapatinya Hui-yan masih duduk bersila meramkan
mata, tampak berseri merah wajahnya. Suatu hal yang
membuat kedua pemuda itu lega. Karena semalam penuh tak
tidur dan kemasukan nasi, Siau Ih dan Liong Go merasa lapar.
Siau Ih nyatakan hendak menyiapkan hidangan. Begitulah ke
duanya menuju kedapur.
Siau Ih singsingkan lengan baju menanak nasi memasak
sayur. Sebaliknya karena tak biasa masak Liong Go menjadi
canggung. Tak tahu dia bagaimana harus membantu. Melihat
itu Siau Ih tertawa dan mempersilahkan toakonya itu menjaga
Hui-yan saja, apabila nona itu memerlukan sesuatu.
Bermula Liong Go menyatakan enggan, tapi setelah didesak
Siau Ih terpaksa dia menurut juga. Benar juga, dengan
bekerja sendiri, Siau Ih malah lebih lekas. Tak berapa lama,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hidanganpun telah siap. Karena Hui-yan belum terjaga,
mereka berdua makan lebih dahulu. Tengah makan Liong Go
teringat bagaimana nanti kalau Hui-yan bangun dan
makanannya habis.
„Harap toako tak usah pikiri, siaote sudah menyediakan
bubur untuknya, ' kata Siau Ih.
„Ai, hiante sungguh memikirkan sekali," Liong Go
menggodanya.
Wajah Siau Ih bersemu merah, ujarnya: „Ah, janganlah
toako menggoda begitu, kalau didengar adik Yan, malu sih!"
---ooo0dw0ooo---
13. Hasrat Hati dan Aturan Perguruan
Habis makan, Hui-yan tetap belum bangun. Walaupun
semalam tak tidur, tapi karena memiliki lwekang tinggi, maka
dengan beristirahat sebentar saja kedua pemuda itupun sudah
pulih lagi kesegarannya.
Waktu berbangkit, keduanya dapatkan matahari sudah
condong kebarat, namun anehnya Hui-yan masih tetap belum
tersadar. Sudah tentu mereka menjadi heran.
Syukur pada saat itu To Kong-ong datang. Baru Siau Ih
hendak menanyakan, tuan rumah itu sudah menerangkan
kalau nona itu tak kena suatu apa hanya karena disebabkan
obat tengah bekerja saja.
Tepat dia berkata, Hui-yan tiba-tiba bangun. To Kong-ong
memberi isyarat supaya ia jangan bicara, kemudian dia
memeriksa pergelangan tangan nona itu.
„Luka nona sudah banyak sembuhnya. Dasar lwekang nona
ternyata di luar dugaan losiu. Dengan begini tak sampai
sepuluh hari, tentu akan sembuh" kata si tabib To itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian dia mengatakan nona itu boleh makan, setengah
jam kemudian baru minum obat lagi.
Siau Ih buru-buru lari kedapur dan membawa sepiring
bubur panas serta dua mangkok sayur. Melihat perhatian
orang, Hui-yan tergerak hatinya.
To Kong-ong minta dari Siau Ih dua butir pil siok-beng-tan
diberikan pada Hui-yan. Habis makan obat, nona itu disuruh
menyalurkan hawa dalam lagi.
Dalam pada Hui-yan duduk pula menyalurkan lwekang,
berkata lah To Kong-ong pada Liong Go: „Dahulu engkongmu
adalah kawanku bermain catur, tentunya kaupun pandai
permainan itu. Untuk mengisi kesenggangan, mau tidak kau
menemani aku bermain catur?"
Liong Go serta merta mengiakan.
Siau Ih mengatakan sama sekali tak dapat, tapi suka juga
melihatnya. Mendengar itu To Kong-ong tertawa dan segera
ajak mereka ke ruang belajar. Setelah mengambil papan dan
biji-biji catur, dia menuju ke batu altar yang terletak di luar
halaman.
Selama Liong Go bermain catur dengan tuan rumah, Siau
Ih duduk melihat di sebelahnya. Rembulan menjulang tinggi,
barulah permainan itu selesai, dengan kesudahan Liong Go
kalah. Tampaknya To Kong-ong gembira benar. Siau Ih sibuk
mengambil arak dan sayuran.
Begitulah semalam itu dilewati dengan main catur, minum
arak dan mengobrol kebarat ketimur. Berturut-turut tiga
malam, mereka berbuat begitu. Dalam pada itu, keadaan Huiyan
makin bertambah baik.
Malam itu selagi Hui-yan duduk menyalurkan lwekang,
kembali To Kong-ong ajak Liong Go bermain catur lagi. Siau Ih
tetap menemani disamping. Ronde pertama berakhir, To
Kong-ong tertawa: „Ai, buyung, kau ini benar-benar tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berguna, seranganmu kurang agressip. Siau lote, kau saja
yang maju ya?”
Selama tiga hari menonton, Siau Ih sudah tahu-tahu cara
jalan-jalannya. Diajak tuan rumah, tanpa sungkan lagi dia
terus menerimanya. Dengan kecerdasan otaknya, walaupun
kalah tapi Siau Ih dapat memberi perlawanan yang gigih.
„Siau lote, selama tiga hari baru inilah yang paling
menggembirakan, ai, kau benar-benar lihay!" To Kong-ong
sampai-sampai memujinya.
Siau Ih pun tambah bersemangat. Begitulah sampai pada
hari ke lima, disamping Hui-yan sudah banyak sembuh dan
boleh turun pembaringan, permainan catur Siau Ih tambah
maju pesat. Dari kalah enam biji catur, kini dia hanya kalah
dua biji saja.
Semakin anak muda itu lihay, makin besar kegembiraan To
Kong-ong. Boleh dikata kecuali hanya berhenti makan dan
tidur, dia tentu ajak anak muda itu bermain catur.
Kebalikannya kini Liong Go malah menjadi penontonnya.
Siau Ih bo-hwat (tobat) benar-benar. Disamping masak dan
meladeni Hui-yan. dia harus menemani tuan rumah bermain
catur.
Sebenarnya dapat juga Liong Go mengerjakan, tapi selalu
Siau Ih mencari alasan ini itu, tinggalkan To Kong-ong dan
melayani keperluan Hui-yan sendiri. Karena itu, walaupun
hanya beberapa hari bergaul, Siau Ih dan Hui-yan sama
menaruh hati. Inilah yang dibilang “begitu melihat, begitu
jatuh cinta".
Pada suatu malam, seperti biasanya Siau Ih dan Liong Go
menemani To Kong-ong main catur.
Karena iseng, Hui-yan jalan-jalan ke bawah air terjun.
Kolam di bawah air terjun itu, bening sekali airnya hingga
ikan-ikan yang berkeliaran di dalamnya dapat kelihatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekeliling alam amat sunyi, hanya debur air tumpah itu saja
yang kedengaran amat berisik.
Memandang ke arah ribuan titik air yang bagaikan mutiara
lepas dari untaiannya itu, pikiran Hui-yan melayang-layang.
Terbayanglah wajah yang cakap dari Siau Ih serta sikapnya
yang begitu memperhatikan itu. Itulah yang disebut cinta? Ah,
bayang-bayang itu memenuhi ruang kalbu si nona.
Sekilas teringatlah ia akan peraturan perguruannya yang
keras itu. Tapi suara hatinya tetap merintih-rintih ditingkah
pancaran kalbu. Rasa asmara, pancaran bahagia, cemas dan
gangguan urat syaraf, bagaikan ombak pasang surut
mengamuk dalam hati Hui-yan.
Tiba-tiba tampak olehnya sebuah bayangan wajah cakap
dalam permukaan kolam itu. Wajahnya segera bersemu merah
dan dengan cepat berpaling ke belakang. Amboi! Disana
tampak Siau Ih berdiri dengan tegaknya. Betapa ia itu seorang
gadis persilatan, namun sifat kegadisannya tetap ada.
Bagaimana ia tak menjadi jengah diawasi begitu rupa oleh
seorang pemuda!
„Engkoh Ih!" serunya sembari menunduk.
„Begini malam mengapa adik Yan berada disini, nanti bisa
kena hawa dingin,” sahut Siau Ih tertawa.
„Aku toh bukan gadis pingitan, tak nanti gampang masuk
angin!"
„Ya, sekalipun begitu, karena baru saja sembuh, lebih baik
adik Yan berhati-hati menjaga diri," kata Siau Ih.
Benar dengan ucapan itu, Hui-yan tahu kalau dirinya
diperhatikan, tapi umumlah kalau seorang nona itu bersifat
aleman membandel, ia balas bertanya: „Engkoh Ih, bilamana
kau belajar merangkai kata-kata seperti orang tua begitu?”.
Siau Ih kemerah-merahan tak dapat menyahut. Hui-yan tak
menggodanya lebih jauh dan menanyakan Liong Go.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Toako sedang bermain catur dengan To locianpwe ......”
„Maka kau lantas menyelinap kemari ya?" tukas Hui-yan.
Setelah termangu beberapa jenak, barulah Siau Ih dapat
membuka mulut: „Benar, tadi karena melihat adik Yan keluar,
begitu selesai sebabak buru-buru kusuruh toako menggantikan
bermain, karena ....... karena ...........
Sampai disitu, Siau Ih tak dapat melanjutkan kata-katanya,
wajahnya makin merah. Jantung Hui-yan pun mendebur
keras. Ia tahu pemuda itu tentu akan berkata-kata banyak
sekali, kata-kata yang sebenarnya ia kepingin sekali
mendengarnya tapipun paling takut mendengarnya. Kembali
benaknya penuh dibayangi berbagai perasaan, rasa cinta,
terima kasih, peraturan perguruan dan sumpahnya ketika
memasuki perguruan. Dengan menundukkan kepala dan
tangannya memainkan ujung baju, Hui-yan terdiam sampai
sekian lama, terbit pertentangan dalam batinnya.
Akhirnya berkatalah ia dengan nada gemetar: „Engkoh Ih,
lukaku rasanya sudah sembuh, karena itu besok pagi kupikir
hendak minta diri pada To-locianpwe untuk pulang ke Lo-husan.”
Seperti disedot magnit, hati Siau Ih melangkah setindak,
dan mulut berseru dengan suara sember: „Adik Yan, kau.......”
Tanpa tunggu si anak muda lanjutkan kata-katanya, Huiyan
sudah berbangkit dan lambaikan tangannya: „Engkoh Ih,
apa yang hendak kaukatakan aku sudah tahu dan apa isi
hatimu pun aku sudah mengetahui, hanya ..........”
Belum si nona menghabisi ucapannya, Siau Ih sudah
melangkah maju dan memeluknya.
„Adik Yan semoga kita dapat mengarungi samudera
penghidupan bersama-sama," bisik Siau Ih.
Sampai pada saat itu, tenggelamlah Hui-yan dalam lautan
asmara. Hilang tak berbekas lagi segala pantangan dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perguruannya. Lewat beberapa jenak, tiba-tiba terdengar
gelak tawa To Kong-ong. Tertawa itu telah membuat sejoli
muda- mudi yang sedang belebuh dalam buaian asmara,
menjadi tersadar.
„Engkoh Ih," seru Hui-yan dengan terkejut sembari
mendorong tubuh si pemuda. Sudah tentu Siau Ih menjadi
gelagapan dan menanyakan.
„Engkoh Ih, kini baru kuakui bahwa manusia itu
mempunyai hati perasaan," kata Hui-yan setelah melepaskan
diri.
Siau Ih mengiakan.
Hui-yan memandang ke angkasa yang bertaburkan bintang,
ujarnya dengan rawan: „Sebenarnya atas budi pertolongan
itu, aku harus membalasnya dengan segenap jiwa ragaku.
Tapi dikarenakan peraturan perguruanku tak mengizinkan
sesuatu perjodohan, maka ketika itu akupun lantas
mengangkat saudara padamu. Itulah satu-satunya jalan untuk
menolong diriku dari cerca hinaan orang dan hubungan
perguruan. Tapi sedikitpun tak kusangka, bahwa dalam
sesingkat waktu berada di Ki-he-nia sini hubungan kita makin
erat. Bahwa setiap insan wanita itu harus berjodoh dengan
pria, belum pernah terlintas dalam pikiranku dan memang aku
tak berani memikirkannya. Keadaanlah yang menjadikan aku
seorang gadis macam begitu, akupun tak menyesal. Tapi kini
keadaan berobah sama sekali, namun diriku tetap terpancang
dengan pantangan-pantangan itu. Inilah yang menyiksa
perasaanku. Kalau kita tetap berkumpul bersama-sama,
dikuatirkan tentu terjadi sesuatu yang tak diinginkan .........”
"Adik Yan, janganlah kau .........”
Hui-yan menggeleng minta Siau Ih jangan memotong
bicaranya, kemudian dengan berlinang-linang air mata ia
melanjutkan: „Oleh karena itu, kupikir lebih baik aku lekaslekas
menyingkir dari sini. Makilah aku sebagai seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
manusia yang tak berperasaan, biarlah kuterimanya dalam
derita batinku. Engkoh Ih, dapatkah kau memahami
kesulitanku, aku .........”
Siau Ih mengusap air mata si nona, dia menghiburnya:
„Adik Yan, kupercaya bahwa manusia itu tentu berhati
perasaan, dan kuyakin kita tentu dapat merobah nasib .......”
Cepat-cepat Hui-yan menutup mulut Siau Ih dengan
jarinya, tukasnya dengan tertawa getir. „Benar kau belum
mengatakan asal usul perguruanmu, tapi ditilik dari
kepandaianmu yang setinggi itu, terang kalau anak murid dari
perguruan yang ternama, oleh karena itu tentunya kau dapat
memaklumi apa artinya budi seorang guru itu. Kuberpendapat
bagaimanapun juga, tak selayaknya karena urusan muda
mudi, kita lantas membelakangi peraturan perguruan."
Ia berhenti sejenak untuk menenangkan perasaannya,
kemudian dengan nada tetap, ia melanjutkan: „Engkoh Ih, kita
adalah pemuda persilatan, seharusnya memiliki semangat
yang lebih unggul dari orang biasa. Dalam memilih antara
suara hati dan budi suhu, kita harus berani mengambil
tindakan tegas memberatkan yang tersebut belakangan itu.
Ini barulah sikap yang utama. Lain dari pada itu, seorang
pemuda gagah seperti kau, masakah takut tak bakal
mendapat jodoh. Jangan kau sudah berpatah hati yang
menyebabkan semangatmu pudar. Besok aku tetap
mengambil putusan pulang ke Lo-hu-san, tapi ini bukan
merupakan perpisahan kita selama-lamanya. Pada suatu hari
kita tentu bakal berjumpa lagi!
Lencana kiu-hong-giok-hu ini adalah pemberian suhuku.
Hendak kuberikan padamu untuk kenangan. Kelak apabila kau
terkenang padaku dan ingin berkunjung ke Lo-hu-san, carilah
seorang petani disekeliling daerah itu, dia tentu akan
menolongmu memanggilkan aku. Jangan sekali berani masuk
ke dalam Peh-hoa-kiong, nanti kita tentu mengalami banyak
kesulitan. Tentang hubungan kita yang terjalin dalam waktu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sesingkat ini, tetap akan kuukir dalam lubuk hatiku. Nah,
karena waktunya sudah larut, sampai sekian saja ucapanku!"
Habis itu, sekali melesat Hui-yan tinggalkan si anak muda
yang masih termangu-mangu seperti orang kehilangan
semangat.
Keesokan harinya, benar juga Lo Hui-yan membenahi
pakaiannya dan minta diri pada To Kong-ong. Putusannya
yang tergesa-gesa itu telah membuat tuan rumah dan Liong
Go keheran-heranan. Demi melihat Siau Ih bermuram durja,
tahulah Liong Go persoalannya.
To Kong-ong coba menahannya lagi, tapi nona itu tetap
pada putusannya. Apa boleh buat, To Kong-ong pun tak
berani mencegahnya lagi. Memberikan botol yang masih berisi
dengan pil siok-beng-cek-soh-tan itu, dia berkata: „Losiu
hanya dapat memberikan bekal pil ini kepada nona. Mungkin
dikemudian hari nona masih memerlukannya lagi. Tolong
sampaikan hormatku pada suhumu!"
Sekali lagi menghaturkan rasa terima kasihnya yang tak
terhingga. Hui-yan pun segera berangkat.
Siau Ih dan Liong Go mengantar sampai di luar terowongan
batu.
„Ribuan li mengantarkan, toh akhirnya tetap akan berpisah.
Toako, engkoh Ih, sudah sampai disini sajalah, lain hari
semoga kita dapat berjumpa pula," kata Lo Hui-yan dengan
nada rawan.
Dengan kuatkan hati, nona itu segara berputar tubuh terus
lari menyusur sepanjang jalanan gunung. Siau Ih
mengantarkan bayangan nona itu dengan mata yang sayu.
Setelah Hui-yan menghilang di antara lebatan rimba, barulah
kedua kembali. Ternyata To Kong-ong menyongsong mereka
di muka halaman sembari bersimpul tangan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Siau lote, menilik wajahmu yang sayu, benar-benar bibit
cinta sudah bersemi dalam hatimu," menggoda tabib itu
dengan senyum tawa.
Wajah Siau Ih merah lalu tersipu-sipu menyahut: „Ah. locianpwe
menggoda saja.”
Namun dengan wajah bersungguh To Kong-ong berkata:
„Losiu memang suka berkata blak-blakan saja. Menyinta,
itulah sudah wajar. Tapi janganlah kena dipengaruhinya
hingga melesukan semangat, memutuskan asa dengan akibat
merusak hari depan. Benarkah begitu, lote?”
Siau Ih tundukkan kepala mengiakan.
„Janganlah lote malu-malu. Orang muda dirundung cinta,
itu sudah jamak. Yang penting, janganlah karena hal itu akan
merusak jiwa," kembali tabib itu berkata.
Mendongak ke atas, dia tertawa, ujarnya: „Dalam beberapa
hari ini, permainan catur lote maju pesat sekali sampai aku
sukar menghadapi. Ayuh, kita main satu set lagi!"
„Ai, locianpwe ini benar-benar beradat aneh. Senja pagi
bermain khim, tengah hari menantang main catur. Tapi
dengan bermain catur rasanya kedukaan Siau hiante dapat
terhibur," diam-diam Liong Go membatin. Belum Siau Ih
menyahut, dia sudah mendahului menyetujui ajakan si tabib.
Sebaliknya To Kong-ong dengan tertawa lantas
mendampratnya: „Hai buyung, apa kau juga ketagihan main
catur? Tapi ah, enggan aku menghadapi permainanmu yang
tak begitu lihay!”
Liong Go hanya ganda tertawa dan menyatakan, asal dapat
nemani tuan rumah bermain catur, itu sudah cukup. Menang
kalah tak dihiraukannya.
„Ai, kasihan juga kau. Ayuh, lekas ambilkan catur sana!"
seru To Kong-ong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Liong Go buru-buru melakukan perintah. Sebenarnya hati
Siau Ih tak tenteram, namun dia tak dapat menolak ajakan
tuan rumah. Begitulah mereka kembali adu otak memainkan
biji-biji catur. Sehari penuh mereka bermain dan baru berhenti
setelah rembulan naik tinggi.
Keesokan harinya, Siau Ih mengutarakan maksudnya
berangkat ke Tiam-jong-san pada Liong Go. Karena sekian
lama bergaul, jadi Liong Go sudah mengenal baik watak adik
angkatnya itu. Untuk menghibur hati Siau Ih yang dirundung
rindu itu, membuat perjalanan menikmati pemandangan alam
adalah jalan satu-satunya yang terbaik. Disamping itu, diapun
merasa perlu untuk lekas-lekas memberitahukan kepada
engkongnya tentang peristiwa Thiat-sian-pang itu.
„Karena hiante perlu lekas-lekas ke Tiam-jong-san, akupun
juga akan pulang ke Po-gwat-san untuk memberitahukan
engkong tentang peristiwa bentrokan kita dengan orang-orang
Thiat-sian-pang di Hangciu itu," akhirnya dia berkata.
Siau Ih menyetujui dan ajak sang toako untuk pamitan
pada To Kong-ong. Begitulah setelah berkemas, mereka lalu
menuju keluar.
Di bawah gerombolan pohon yang merupakan garis-garis
halaman rumah itu, tampak To Kong-ong sedang duduk di
atas batu altar seraya memandang ke arah air terjun. Setelah
memberi salam, Liong Go lalu mengutarakan maksudnya.
„Tak usah kalian menghaturkan terima kasih untuk apa
yang kulakukan kepada nona Lo. Sebenarnya aku masih ingin
menahan kalian untuk beberapa hari lagi, tapi karena kalian
mempunyai urusan penting, jadi akupun tak berani
mencegahnya. Hanya saja aku hendak minta tolong pada Siau
lote untuk melakukan sedikit urusan .......”
„Asal wanpwe dapat melakukan, tentu dengan senang hati
menerima perintah locianpwe," buru-buru Siau Ih menyahut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak merenung, tabib itu tertawa, katanya: „Yang paling
tak kusukai sepanjang hidup, ialah hutang budi pada orang.
Begini sajalah, karena kita berjodoh dalam catur, maka
dengan caturlah kita putuskan soal itu. Sebelum berpisah, kita
main lagi satu set. Kalau lote menang, aku hendak
memberikan sebuah barang. Tapi jika kalah, permintaan
tolongku pada lote, jangan dianggap hutang budi. Nah,
bagaimana?”
„Ah, kukoay benar orang ini. Minta tolong, tapi tidak mau
dianggap hutang budi, ya, biar bagaimana juga aku harus
mengerjakan permintaannya itu, maka dalam set nanti aku
akan mengalah" kata Siau Ih dalam hati. Lalu dia pun
menerima baik syarat si tuan rumah itu.
To Kong-ong berseri girang. Menunjuk ke arah biji-biji catur
yang belum dikemasinya tadi, dia berkata: „Kita tetapkan
waktunya bertanding dalam tiga jam. Begitu habis waktunya,
kita putuskan siapa kalah dan menang. Setujukah lote?”
Siau Ih tetap menyetujuinya. Begitulah mereka segera
mengatur biji-biji catur dan mulai bermain. Oleh karena Siau
Ih sudah mengambil putusan untuk kalah, maka diapun tak
mau banyak berpikir lagi. Biji catur dijalankan dengan cepat.
Benar juga tak berapa lama, posisinya kelihatan dipihak kalah.
Dan tak sampai dua jam saja, To Kong-ong sudah dapat
menundukkan barisan lawan.
Melirik ke arah Liong Go, Siau Ih berbangkit, katanya:
„Hebat benar permainan lociapwe, wanpwe menyerah!”
To Kong-ong menghela napas, ujarnya: „Sudahlah,
bagaimana pun aku tetap tak dapat terhindar dari hutang
budi. Walaupun pada alis lote itu mengandung sifat-sifat suka
membunuh, tapi ternyata nurani lote tetap baik. Peribahasa
mengatakan, ‘Barang siapa menanam, tentu akan memetik,
hasilnya'. Melepas budi, tentu akan mendapat balasan budi
juga. Karena tadi lote mengalah, itu berarti melepas budi".
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
To Kong-ong berhenti sejenak untuk memasukkan tangan
ke dalam baju. Dikeluarkannya sebuah buku kecil lalu
diberikan kepada Siau Ih, ujarnya: „Buku Peh-co-ki ini memuat
ilmu mengobati luka-luka, kena racun dan lain-lain. Benar
bukan sebuah buku yang luar biasa, namun itulah hasil
penyelidikanku seumur hidup. Kuberikan buku itu kepada lote,
selaku membalas budi lote tadi.”
Mendengar itu bukan kepalang kejut dan girangnya Siau Ih,
tapi dia sungkan juga: „Untuk main catur yang tak berarti tadi,
masakah locianpwe menghadiahkan buku yang begitu
berkhasiat, sungguh wanpwe tak berani menerimanya .......”
„Lote, apa kau takut kalau aku akan menyusahkan dirimu?”
tukas To Kong-ong.
„Buru-buru Siau Ih menyatakan kerendahan hatinya.
„Ah, losiu hanya main-main saja," sahut To Kong-ong.
Tapi pada lain kilas, wajahnya berobah bersungguhsungguh,
katanya: „Buku Peh-co-ki itu, losiu pandang sebagai
nyawa sendiri. Dengan buku itu, losiu bercita-cita hendak
menolong umat manusia, tapi karena percaya pada jodoh
(takdir), jadi betapapun muluk cita-cita losiu itu, namun
prakteknya tetap tak bisa. Sungguh losiu kecewa dan
menyesal sepanjang hidup. Oleh karena sekarang telah
mendapatkan ‘orangnya', maka buku itupun akan
kupersembahkan kepadanya. Kuharap lote dapat
melaksanakan cita-cita untuk menolong umat manusia itu,
sehingga dengan begitu dapatlah tercapai harapanku. Losiu
sendiri sudah tua, sebelum masuk liang kubur, tak mau losiu
tersangkut lagi dalam hutang piutang budi. Mungkin lote
menganggap diriku To Kong-ong ini seorang manusia yang tak
kenal budi perasaan, tapi seperti pepatah mengatakan 'sungai
gunung dapat dipindah, tapi watak orang sukar dirobah'."
Siau Ih pun segera memberikan janjinya: „Wanpwe akan
selalu mengukir dalam hati nasehat locianpwe itu. Wanpwe,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih, pasti akan berusaha keras untuk melaksanakan citacita
locianpwe. Sekarang harap locianpwe katakan urusan
apakah yang hendak locianpwe titahkan pada wanpwe itu!"
Sejenak To Kong-ong merenung, lalu berkata: „Urusan itu
dikata mudah, tapi sukar juga. Beginilah, dahulu losiu
mempunyai seorang sahabat karib ialah salah satu tokoh dari
sepuluh Datuk, si Dewa Tertawa Bok Tong. Kira-kira tigapuluh
tahun yang lalu, losiu pernah tertimpa bahaya besar, kalau
tiada Bok Tong yang menolongnya, entah bagaimana jadinya
losiu sekarang. Losiu hendak membalas budinya, tapi sejak
berpisah waktu itu, sampai sekarang tak pernah dengar kabar
ceritanya lagi.
Lewat sepuluh tahun dari peristiwa itu, kembali losiu turun
gunung untuk menyirapi kabar beritanya, tapi tetap sia-sia
juga. Duapuluh tahun telah lampau, kini di dunia persilatan
tersiar desas desus tentang si Dewa Tertawa itu lagi, namun
belum ada bukti-bukti kebenarannya. Kupikir, dalam dunia
persilatan hanya ada seorang tokoh yang mungkin
mengetahui tempat beradanya Bok Tong itu, jaitu si Rase
Kumala Shin-tok Kek yang sudah sejak lama mengasing diri di
gunung Tiam-jong-san. Sayang losiu tak kenal padanya, jadi
tak dapat menanyakan.
Karena kudengar tadi lote hendak menuju ke gunung Tiamjong-
san, maka losiu hendak minta tolong agar lote suka
sekalian mampir di lembah Lin-hun-hiap tempat kediaman
tokoh she Shin-tok itu. Tapi watak perangai Shin-tok Kek itu
lebih kukoay lagi dari losiu. Itulah sebabnya tadi losiu katakan
bahwa urusan ini dibilang mudah ya mudah, tapi sukar juga
sukar. Entah apakah lote tak keberatan dengan permintaanku
itu?”
Bermula Siau Ih tak mengerti permintaan apa yang hendak
diajukan To Kong-ong kepadanya itu. Serta didengarnya
sudah, hatinya serentak lapang. Kalau lain orang mungkin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sukar, tapi baginya hal itu mudah seperti orang membalikkan
telapak tangan saja.
Mendengar disebut-sebutkannya nama sang ayah angkat,
Siau Ih pun segera terkenang akan orang tua yang amat
berbudi itu. Dimanakah saat ini ayahnya itu berada? Apakah
ayahnya juga terkenang padanya? Pikiran Siau Ih, jauh
melayang-layang .........
Melihat anak muda itu tiba-tiba terdiam, wajahnya sebentar
girang sebentar gelisah, To Kong-ong menduga kalau dia
(Siau Ih) tentu merasa berat dengan permintaannya tadi, tapi
sungkan mengatakan. Perkiraan itu telah membuat si tabib
berobah wajahnya.
Melihat sikap kedua orang itu. Liong Go menjadi bingung.
Buru-buru dia mengutik lengan baju Siau Ih, hendak
diperingatkan. Tiba-tiba sepasang alis putih dari To Kong-ong
menjungkat, lalu memandang kepada Siau Ih.
„Lote, jika kau merasa tak leluasa, losiu pun tak memaksa,”
katanya.
Teguran itu telah membuat Siau Ih gelagapan. Dengan
wajah kemerah-merahan buru-buru dia menyahut: „Harap
locianpwe legahkan hati. Lain orang mungkin merasa sukar,
tapi bagi wanpwe amatlah mudahnya. Percayalah, selamanya
wanpwe tak suka berbohong, lebih-lebih kalau terhadap orang
golongan tua."
Betapa girangnya To Kong-ong sukar dikata. Pujinya
dengan tertawa: „Lote benar-benar seorang pemuda yang
bercita-cita luhur, tadi losiu terlalu banyak curiga. Hanya saja
lembah Lin-hun-hiap itu bukan tempat sembarangan. Si Rase
Kumala terkenal sebagai orang yang sukar diajak berembuk.
Kalau sampai terjadi suatu apa padamu, sungguh losiu tak
enak sekali. Harap lote suka menjaga diri baik-baik".
„Untuk budi besar yang locianpwe limpahkan pada hari ini,
Wanpwe merasa menyesal sekali kalau tak dapat membalas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua tahun kemudian, wanpwe tentu akan menghadap lagi
kemari untuk memberi keterangan," kata Siau Ih.
„Perbuatan lote itu sungguh mengharukan, asal losiu masih
bernyawa tentu akan membalasmu pula,” kata To Kong-ong
seraya menjabat tangan Siau Ih.
Liong Go yang selama itu seolah-olah tak diajak bicara,
sudah membuat dugaan sendiri: „Terang Siau hiante itu
meyakinkan ilmu lwekang kian-goan-sin-kong yang hanya
dimiliki oleh Dewa Tertawa Bok Tong. Namun dia selalu main
merahasiakan nama suhunya. Kini dengan yakin dia berani
menyanggupi permintaan To-locianpwe. Ditilik naga-naganya,
dia tentu mempunyai hubungan dengan Dewa Tertawa yang
sudah menghilang bertahun-tahun itu Aneh, mengapa dia
main sembunyi saja ............."
Tanpa merasa Liong Go menatap tajam-tajam ke arah
hiantenya.
Seketika itu Siau Ih merasa, bahwa pembicaraannya tadi
secara tak langsung telah membocorkan rahasianya. Tapi
selama dendam penasaran ayah bundanya belum terhimpas,
dia tetap tak mau memberitahukan asal usul dirinya. Teringat
peristiwa orang tuanya, amarahnya mendidih. Tapi agar
jangan kentara, terpaksa dia menguasai perasaannya itu.
„Ah, kiranya sudah waktunya wanpwe mohon diri," katanya
kepada tuan rumah.
„Buyung, kalau tiba di Po-gwat-san, sampaikan pada
engkongmu bahwa sahabatnya si orang she To sangat
merindukannya dan mengharap sebelum menutup mata
dapatlah berjumpa pula,” kata To Kong-ong kepada Liong Go.
Anak muda itu mengiakan dan terus ajak Siau Ih memberi
hormat kepada tuan rumah, lalu tinggalkan tempat itu. Kirakira
lewat tengah hari, barulah mereka turun dari daerah
gunung Ki-he-nia itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
14. Keganasan Thiat-sian-pang
Setelah beristirahat sebentar mengisi perut, mereka
menuju ke kota kabupaten dari daerah gunung itu. Dari situ
mereka lalu berpisah. Liong Go menuju ke Hokkian terus ke
Kwitang, sedang Siau Ih mengarah ke Kiangse terus ke Oulam
dan Tiam-jong-san.
Sebelum berpisah mereka menetapkan hari bertemunya
lagi dan Liong Go segera menyerahkan empat biji uang mas
serta dua butir mutiara kepada Siau Ih untuk bekal perjalanan.
Siau Ih tak banyak ini itu lagi menyambutinya, katanya:
„Walaupun perjalanan yang siaote tempuh itu amat jauh, tapi
tak memerlukan ongkos banyak, maka mutiara berharga ini
harap toako simpan saja ........”
Tapi Liong Go berkeras mendesaknya, maka terpaksa Siau
Ih pun menerimanya dan menghaturkan terima kasih.
Begitulah dengan hati berat, keduanya saling berpisah.
***
Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Siau Ih lebih dahulu.
Pertama yang dikerjakan ialah membeli seekor kuda bagus
lalu menuju ke Kiangse. Selama melintasi propinsi itu, tidak
terjadi suatu apa dalam perjalanan. Begitulah pada hari itu,
dia sudah tiba di derah pegunungan Kiu-ling-san yang menjadi
tapal batas propinsi Kiangse dengan Oulam. Dihitunghitungnya
bahwa janjinya untuk bertemu pula dengan sang
ayah angkat itu masih lama sekali, maka dia ingat hendak
pesiar dahulu ke telaga Tong-thing-hu yang termasyhur
permai alam pemandangannya itu. Secepat mengambil
putusan, secepat itu pula dia segera mencongklang ke kota
Goan-kian-koan.
Tong-thing-hu termasuk yang terbesar sendiri diantara lima
telaga besar di Tiongkok. Luas telaga itu ada ratusan li. Maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setiap air meluap pada musim-musim panas dan rontok, tentu
telaga itu tampak makin luas. Ditengah telaga itu banyak
terdapat bukit-bukit. Diantaranya yang paling termasyhur ialah
gunung Kun-san yang indah. Banyak sudah penyair-penyair
dari zaman ke zaman mengubah rangkaian syair pujaan untuk
telaga tong-thing-hu dan gunung Kun-sannya.
Menjelang petang hari, tibalah sudah Siau Ih di kota
kabupaten Goan-ciang-koan. Walaupun letih menempuh
perjalanan beberapa hari, namun pemandangan alam disitu
dapat melipur jerih payahnya. Cepat-cepat dia mencari sebuah
hotel. Setelah menitipkan kuda, tanpa bersabar lagi dia terus
membeli sayur dan arak, menyewa perahu lalu meluncur ke
tengah telaga.
Kala itu telaga tengah bermandikan cahaya keemasemasan
dari sinar matahari tenggelam. Diantara kerut riak
gelombang permukaan air, penuh berhiaskan lajar putih dari
perahu-perahu yang mondar mandir. Pemandangan yang
indah itu, telah membuat Siau Ih tak habis-habis memuji.
Selagi dia terbenam dalam kekaguman, sekonyongkonyong
dari arah belakang meluncur pesat sebuah perahu.
Penumpangnya ada lima orang lelaki. Perahu itu juga akan
menuju ke gunung Kun-san, tapi saking cepatnya sampai
menimbulkan gelombang yang hampir saja membuat perahu
Siau Ih oleng keras. Dalam sekejap saja, perahu itu sudah
jauh disebelah muka.
Siau Ih berusaha menahan kemarahannya. Didengarnya
beberapa perahu yang berada disekelilingnya itu juga oleng
tak keruan. Disana sini terdengar gumam makian dari orangorang.
Sambil mengusap air yang menciprat ke mukanya, Siau Ih
berpaling pada si tukang perahu yang berada di belakangnya.
Tampak tukang perahu itu menatap ke arah perahu yang
meluncur cepat tadi, dengan wajah terkejut cemas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Siapakah orang-orang yang begitu ugal-ugalan itu?"
tanyanya.
Si tukang perahu terbeliak. Menggoyang-goyangkan
tangannya, dia menyahut dengan berbisik: „Harap tuan
jangan tanyakan hal itu. Kalau sampai terdengar mereka,
tentu akan runyam."
Sebaliknya Siau Ih yang sudah menduga sesuatu, malahtertawa:
„Di bawah langit yang terang benderang ini, masakah
ada orang yang tak kenal aturan. Kejar mereka, hendak
kutanyai apakah mereka itu mengerti peraturan lalu lintas di
air, tidak?"
Wajah si tukang perahu berobah pucat, ujarnya setengah
merintih: „Tuankan hendak pesiar ditelaga sini, perlu apa cari
urusan."
Namun Siau Ih tetap minta tukang perahu itu lakukan
perintahnya dengan dijanjikan ongkos ekstra.
„Sekalipun tuan menambah berapa saja, aku tetap tak
berani. Dan lagi kuanggap tuan tentu lebih menghargai jiwa
daripada cari perkara pada orang-orang begitu,” jawab si
tukang perahu.
Makin keras dugaan Siau Ih terhadap kawanan orang tadi.
Namun karena tukang perahu begitu ketakutan, diapun tak
enak untuk memaksanya. Nanti saja bila terjadi sesuatu yang
melanggar peri keadilan, dia tentu akan campur tangan.
„Ah, aku tak percaya omonganmu itu. Masakah orangorang
itu tak takut pada undang-undang negeri?" tanyanya.
Si tukang perahu gelengkan kepala: „Tuan, lebih baik tuan
jangan bertanya lebih lanjut. Bagi mereka, undang-undang itu
tiada artinya."
„Ai, benarkah? Coba kauceritakan," Siau Ih sengaja unjuk
kekagetan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lebih dahulu mata si tukang perahu itu berkeliaran, setelah
didapatinya disekeliling itu sepi, ada sebuah dua perahu tapi
jaraknya amat jauh, barulah kendor kerut mukanya. Diiring
dengan sebuah elahan napas, mulailah dia bercerita.
„Setahun yang lalu, di Gak-ciu telah muncul sebuah partai
yang menamakan dirinya sebagai Thiat-sian-pang cabang
Tong-thing. Tongcunya (kepala cabang) orang she Tham
nama Liong, bergelar Hun-san-tiau (rajawali dari gunung Hunsan).
Bermula mereka hanya bersekongkol dengan kaum
pembesar negeri untuk melakukan perdagangan garam gelap.
Kemudian mereka makin berani, membeli delapanratusan
buah perahu nelayan di telaga Tong-thing sini. Kalau tidak
boleh dibeli, tentu akan dibawa dan dibunuh di gunung Kunsan.
Maka kini apabila orang mendengar nama Thiat-sianpang
disebut, tentu akan pucatlah wajahnya.
Pun setengah tahun belakangan ini, para rombongan piaukiok
(kantor mengirim barang) yang lalu di daerah Oulam sini,
seringkali dirampas dan orangnya dibunuh-bunuhi. Turut
pengiraan orang, perbuatan itu tentulah orang-orang Thiatsian-
pang yang melakukan. Terhadap kawanan orang yang
membunuh jiwa orang seperti ayam itu, siapakah yang berani
cari perkara. Oleh karena itu maka segera kucegah waktu tuan
menanyakan tadi.
Perahu yang melampaui kita tadi, adalah kepunyaan Thiatsian-
pang, mereka menuju ke Kun-san. Melihat mereka begitu
terburu-buru dan perahu itu oleng, tentulah di dalamnya ada
orang tawanan yang coba meronta-ronta. Terang mereka
hendak melakukan kekejaman lagi di Kun-san".
Siau Ih yang benci akan perbuatan tidak adil, apalagi Thiatsian-
pang yang mengadu biru, amarahnya meluap-luap.
Serentak menampar pedang yang dibungkusnya, dia tertawa
dingin: „Kawanan manusia yang suka mengumbar kelaliman,
tuan mudamu ini tentu takkan membiarkan lebih lanjut. Demi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepentingan rakyat, membasmi kejahatan adalah tugas yang
mulia. Lopek, ayuh.... dayunglah kesana!"
Masih si tukang perahu tak mengerti sikap si anak muda
yang dikiranya terlalu idealistis (bercita-cita muluk). Buru-buru
dia mencegahnya: „Bukan aku usil mulut, tapi seandainya tuan
sudah belajar silat empat-lima tahun saja, lebih baik jangan
menempur mereka. Kita serahkan saja pada Allah yang tentu
menghukum orang jahat."
„Kalau aku sudah berani berkata, tentu aku sudah punya
pegangan, janganlah kau takut!"
Tetapi bagaimanapun juga, tetap si tukang perahu itu
menggelengkan kepala. Siau Ih bo-hwat (kewalahan) juga.
Kala itu malam mulai menebarkan kegelapan, rembulan
sudah mengintip di lereng gunung. Perahu-perahu nelayan
yang tersebar di telaga itu, sudah sama menyalakan lampu,
hingga permukaan telaga itu menjadi terang benderang.
Sekalipun begitu, Siau Ih tak dapat menikmati pemandangan
seindah itu, dia tengah memutar otak cara bagaimana dapat
menyuruh tukang perahu mendayung ke Kun-san.
Beberapa kali membujuknya, tetap tukang perahu itu
menggeleng. Dia makin cemas. Kalau kelewat lama, tentu
anak buah Thiat-sian-pang itu sempat melakukan
keganasannya nanti.
Akhirnya dia duduk menghadapi tukang perahu itu seraya
berkata: „Beberapa kali kuminta, tetap kau tak mau saja. Apa
yang hendak kulakukan itu tetap tak dapat dirobah. Oleh
karena kau menolak, terpaksa aku mencari daya sendiri.”
Habis berkata itu, diam-diam dia kerahkan lwekang, begitu
kedua tangan dipentang, dia berbareng menghantam kekanan
kiri. Angin pukulan itu menampar keras air telaga dan perahu
pun seperti dilontarkan ke muka beberapa meter. Karena tak
bersiap, tukang perahu itu hampir saja kejungkal ke dalam air.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Tuan, jangan sekali-kali!" serunya tukang perahu dengan
terkejut.
Namun Siau Ih hanya ganda tertawa, sepasang lengannya
tetap dihantam-hantamkan kepermukaan air. Dengan cara
mendayung istimewa itu, perahu dengan pesatnya dapat
meluncur menuju ke Kun-san. Tak berselang berada lama,
tampaklah sudah bukit Kun-san di depan mata.
Kuatir kalau perahu nanti terdampar keras ketepi pantai
kaki gunung hingga hancur dan penumpangnya terbanting,
buru-buru Siau Ih hantamkan tangannya ke udara dan
bagaikan tertindih tenaga berat, perahu itu berhenti tepat
dipinggir pantai. Demonstrasi itu, telah membuat si tukang
perahu ketakutan setengah mati.
Berdiri memandang keempat penjuru, tiba-tiba Siau Ih
melihat ada serumpun lebat pohon-pohon siong yang di
bawahnya terdapat sebuah perahu. Itulah perahu kawanan
anak buah Thiat-sian-pang tadi. Jadi keterangan si tukang
perahu tadi ternyata benar. Kiranya dia tak terlambat kesini.
Baru dia hendak loncat turun, tiba-tiba teringat sesuatu.
„Menilik tukang perahu ini begitu ketakutan terhadap
kawanan Thiat-sian-pang, kalau disuruh tunggu, tentu tak
mau. Tapi kalau dia pergi, diapun (Siau Ih) tentu repot kalau
hendak pulang. Ah, terpaksa aku harus gunakan cara begini
......“ berkata sampai disini dia cepat berputar tubuh dan
menutuk iga si tukang perahu. Seperti batang pisang
ditebang, tubuh si tukang perahu rubuh ke belakang, untung
Siau Ih cepat-cepat menarik leher bajunya untuk menahan.
„Lopek, terpaksa kututuk jalan darah peniduranmu. Kau
boleh mengasoh dulu disini sebentar, begitu nanti sudah
selesai, aku tentu memberimu ekstra upah,” kata Siau Ih
sembari membaringkan si tukang perahu ke dalam perahu
sementara dia sendiri lantas loncat turun menuju ke arah
gunung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rimba pohon siong di gunung itu, amatlah rindangnya.
Disana sini terdapat batu-batu gunung yang aneh bentuknya,
menambah keindahan alam gunung itu. Hanya yang
membuatnya heran, mengapa keadaan disekitar gunung itu
sunyi-sunyi saja.
„Ai, siapa bilang Kun-san tidak luas. Kalau begini cara
mencarinya, repot jugalah. Dimanakah letaknya tempat
penjagalan kawanan Thiat-sian-pang itu?" pikirnya dengan
gelisah.
Tiba-tiba di luar dugaan, terdengar angin membawa suara
makian dan bentakan diseling dengan teriakan seram.
Diperhatikannya, suara itu berasal dari tempat yang tak
berapa jauh. Girangnya bukan kepalang, lalu cepat-cepat
menurutkan datangnya suara itu. Benar juga tak berapa lama,
suara makian itu makin jelas berasal dari balik sebuah
tikungan gunung. Jeritan seram itupun makin nyata, malah
sebentar-sebentar terdengar juga bunyi cambuk berderai. Ah,
tentulah orang-orang Thiat-sian-pang itu tengah melakukan
keganasannya.
Siau Ih cepat mengitari tikungan itu dan kira-kira lima
tombak disebelah muka terdapat sebuah hutan pohon siong
yang lebat. Jerit makian dan rintihan tadi berasal dari sebelah
hutan itu. Maju mendekat sampai dua tombak. Siau Ih segera
melihat ada seorang pemuda telanjang bulat digantung secara
jungkir balik pada sebuah pohon siong tua yang tinggi.
Disebelah mukanya, terdapat seorang lelaki tengah
menghajarnya dengan cambuk. Sementara empat orang
kawannya, melihat disamping sembari memaki-maki.
Punggung pemuda itu sudah habis berlumuran darah, jerit
ritihannya makin lemah. Melihat pemandangan yang kejam
itu, kemarahan Siau Ih tak dapat dikendalikan lagi. Tanpa
disadari, dia mendengus benci. Adalah karena keadaan
disekitar tempat itu sunyi, jadi dengusan itu terdengar jelas
juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Siapa itu?" serempak kelima orang itu berputar tubuh
berseru.
„Setan pencabut nyawa,” sahut Siau Ih sembari tertawa
dingin.
Saking kejutnya, kelima orang itu sampai terpaku di tanah.
Tapi demi dilihatnya yang muncul itu hanya seorang pemuda
sekolahan, bukan kepalang marah mereka.
„Anak haram, kau berani mengadu biru?” teriak mereka.
„Ha, ha,” Siau Ih tertawa, serunya: „Orang yang berhati
bersih tentu tak jeri akan segala hantu iblis. Tuanmu melihatlihat,
apa salahnya?”
„Kau cari mampus, ya!” terdengar seorang berteriak dan si
orang yang mencekal cambuk tadi sudah lantas loncat
menghajarkan cambuknya.
Siau Ih tertawa dingin. Begitu cambuk sudah hampir
mengenai, dia hanya berkisar sedikit dan cambuk dari kulit
kerbau yang besarnya hampir sama dengan telur itik itu,
sudah menyabet angin. Siau Ih memang sudah mendendam
terhadap kaum Thiat-sian-pang, apalagi dia menyaksikan
sendiri betapa ganasnya kawanan itu. Belum cambuk keburu
ditarik, dia sudah ayun tubuhnya ke atas untuk menyambar
batang cambuk itu.
Kejut orang itu tak terkira. Dengan sekuat-kuat hendak
menariknya, mulut membentak: „Ayuh, lepaskan tanganmu
tidak!"
Sangkanya, masakah seorang anak sekolahan yang lemah
dapat kuasa menahan betotannya itu. Maka dapatlah
dibayangkan betapa rasa kagetnya demi didapatinya pemuda
itu sedikitpun tak bergeming.
„Celaka ......” belum lagi dia sempat meneruskan katakatanya,
Siau Ih sudah balas menghardik: „Lebih baik kau
sendiri yang lepaskan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sesaat itu pemilik cambuk itu rasakan cambuknya ditarik
oleh suatu tenaga yang luar biasa kuatnya dan karena dia
mencekalnya erat-erat, maka tak ampun lagi tubuhnya kena
ditarik sempoyongan ke muka dan tahu-tahu cambuknya
sudah berpindah tangan. Insaf menghadapi seorang pemuda
lihay, orang itu buru-buru hendak meneriaki kawan-kawannya,
tapi pada detik itu Siau Ih kedengaran tertawa panjang.
„Bangsat, raja akhirat sudah menantimu!” demikian Siau Ih
berseru, orangnya tiba cambuknya pun melayang.
Cambuk kulit kerbau itu bagaikan ular melilit-lilit pinggang
orang itu dan sekali menggentak “naiklah”, maka tubuh orang
itupun bagaikan layang-layang putus, terlempar ke udara.
Keempat kawannya bergegas-gegas datang menolong, tapi
“bluk”, orang itu sudah jatuh terbanting dibatu, kepala hancur
otaknya berhamburan.
Melihat sang kawan binasa, keempat orang itu cepat
meloloskan belati terus menyerbu Siau Ih dengan kalapnya.
Tapi pemuda itu sudah dapat menaksir kekuatan mereka.
Keempat orang itu hanyalah bangsa kerucuk saja, namun
sudah sedemikian jahatnya, apalagi kaum atasannya. Orangorang
begitu, tak boleh dibiarkan hidup di dunia.
Mundur setengah langkah, Siau Ih tertawa dingin: „Bagus,
kalian sudah datang mencari mati sendiri. Ayuh, majulah
berbareng agar kawanmu yang tadi tidak menjadi setan yang
kesepihan!”
Kemarahan keempat orang itu makin menyala-nyala. Belati
serentak diserangkan mati-matian. Adalah ketika empat buah
belati itu hampir mengenai sasarannya, tubuh Siau Ih
bergeliatan kekanan kiri. Melihat serangannya menusuk angin,
keempat orang itu cepat pecahkan diri menjadi dua
rombongan. Dari situ, mereka kembali menyerang.
Memang serangan pertama tadi, tak keruan macamnya.
Tapi serangan yang kedua ini, tampak genah caranya. Selagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih menganggap bahwa orang-orang Thiat-sian-pang itu
ternyata tak boleh dipandang remeh, keempat belati itu sudah
melayang tiba. Tanpa berayal, dia cepat kisarkan kuda-kuda
kakinya.
Begitu dapat menghindari serangan dua orang dari sebelah
kiri, dia segera menghantam dengan jurus chui-jong-bonggwat
(buka jendela melihat rembulan) kepada dua orang dari
sebelah kanan. Karena pukulan Siau Ih berwibawa keras,
kedua orang ini tak berani menangkis dan buru-buru
menghindar mundur. Dua kawannya yang menyerang dari
sebelah kiri tadi, kala itu sudah mengitar ke belakang dan
terus menusuk lambung si anak muda.
Melihat gerak serangan mereka teratur juga, diam-diam
Siau Ih mengeluh jangan-jangan pertandingan itu akan
memakan waktu lama. Merenung sejenak, dia segera
mendapat siasat. Tanpa merobah kedudukan kaki, tubuhnya
agak dicondongkan kemuka, sehingga serangan belati dari
belakang tadi hanya terpisah satu dim jaraknya dari lambung.
Dan dengan membarengi gerakan mencondong ke muka itu,
jari tangan kanan menutuk dalam gerak jong-eng-ki-yan
(burung alap-alap menerkam seriti), pedang di tangan kiri
ditusukkan dalam jurus sian-jin-ci-loh (dewan menunjuk
jalan).
Serambutpun tak mengira kedua orang yang di muka itu,
bahwa si anak muda ternyata dapat merobah kedudukan
bertahan menjadi menyerang. Bahkan serangannya itu luar
biasa cepatnya. Yang terasa, mata mereka berkunang dan
tahu-tahu jalan darah Ki-bun-hiat di dada, kena tertusuk
keras. „Auk,” mulut menguak dan jiwanya pun putus.
Kedua orang yang menusuk dari belakang tadi, mengira
lawan tentu sudah seperti ikan dalam jaring, tak dapat
terlepas dari tusukannya. Maka betapalah terperanjat mereka,
demi kedua kawannya yang menyerang dari muka itu malah
kena dicabut nyawanya. Kini barulah mereka tersadar bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
anak muda lawannya itu ternyata jauh lebih lihay dari mereka,
pula amat ganas sekali. Betapapun kejam mereka itu
biasanya, tapi mau tak mau nyali menjadi copot juga. Dari
tigapuluh dua jurus, lari adalah yang paling baik sendiri. Tanpa
ajak-ajakan lagi, keduanya cepat berputar diri lalu sipat
kuping.
Siau Ih tertawa panjang, aum ketawanya seperti membelah
batu pegunungan itu. Dan selagi kumandang tertawanya
masih bergelora, tubuhnyapun sudah melambung beberapa
tombak ke udara. Bagai seekor burung rajawali, dia melayang
turun ke atas kepala kedua orang itu.
„Datang bersama, pergipun harus bersama. Bagi seorang
kesatria, raga kalah jiwapun menyerah, masakah kalian tak
mengerti adat kebiasaan orang persilatan!”
Habis mengucapkan kata-kata itu, Siau Ih pun sudah lantas
gunakan rangka pedangnya untuk menutuk belakang batok
kepala orang yang berada disebelah kiri sedang tangan kanan
dijulurkan untuk menghantam lawan yang lari disebelah
kanan.
Dalam kejutnya kedua orang itu hendak menghindar, tapi
sudah kasip. Hanya dua buah jeritan seram yang terdengar
dan menyusul dua sosok tubuh bergedebukan tersungkur di
tanah tiada bernapas lagi.
Sewaktu turun ke bumi, Siau Ih melihat mayat kelima
orang Thiat-sian-pang itu berserakan di empat penjuru.
Bermula dia hendak gunakan pil yong-kut-tan untuk
melenyapkan mayat-mayat itu, tapi pada lain kilas dia
berpendapat lain. Lebih baik mayat-mayat itu dibiarkan begitu
saja dan diberi secarik tulisan untuk alamat Thiat-sian-pang.
Pertama pihak Thiat-sian-pang menjadi jeri dan kedua supaya
penduduk disitu tak menjadi korban kemarahan partai itu.
Dipungutnya salah sebuah belati, lalu menggurat beberapa
huruf pada sebuah batang pohon yang didekat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Mengirim mayat selaku hormat. Siau Ih”
demikian bunyi tulisan itu.
Habis itu dia lantas melangkah ke dalam hutan.
Diperiksanya si anak muda yang digantung di atas pohon tadi.
Kiranya pemuda itu baru berumur delapanbelasan tahun,
berperawakan kokoh tegar. Walaupun keadaannya begitu
mengenaskan, telanjang bulat tak sadarkan diri, namun tak
memudarkan sikapnya yang gagah. Punggungnya yang lebar
itu sudah habis dengan gurat-gurat bekas cambuk. Dia tentu
terluka parah.
Dengan dua buah jari, dijepitnya tali gantungan yang
terbuat dari urat kerbau itu. Setelah putus, tubuh pemuda itu
diletakkan di atas tanah lalu diminumi sebutir pil kiu-coankian-
wan-tan. Setelah menutuk jalan darah penidurnya, Siau
Ih mengambil pakaian si anak muda yang masih berada di sisi
pohon siong itu untuk ditutupkan ketubuhnya. Kemudian
dipanggulnya anak itu untuk dibawa ketepi pantai.
Perahu yang disewanya tadi masih berada disitu, tapi si
tukang perahu masih menggeros pingsan. Pertama
dibaringkan pemuda itu ke dalam ruang perahu, kemudian
baru membuka jalan darah si tukang perahu yang ditutuknya
tadi.
Mengucek-ngucek kedua matanya, si tukang perahu itu tak
percaya bahwa tuan muda yang menyewa perahunya tadi
berada dihadapannya mengulum senyum. Sedang ketika
memandang ke lantai perahu, disitu tambah pula seorang
penumpang baru ialah seorang pemuda yang berlumuran
darah dan tak ingat diri.
„Tuan .......... kau .........”
„Jangan takut, lopek, aku bukan bangsa siluman,” tukas
Siau Ih, „segala urusan aku yang tanggung sendiri. Kini aku
hendak pulang, ayuh kayuhlah secepat mungkin!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa banyak bertanya lagi, si tukang perahu terus
bergegas-gegas mendayung perahunya. Kira-kira sejam lebih
sedikit, tibalah mereka sudah dipantai Tong-thing.
Mengeluarkan beberapa keping perak, Siau Ih berkata:
„Sepuluh tail perak ini untuk ongkos jerih payahmu selama
setengah malam ini, lopek. Apa yang terjadi tadi jangan
sekali-kali kaukatakan pada lain orang, atau jiwamu nanti
bakal terancam bahaya, ingatlah baik-baik!"
Memanggul tubuh si anak muda, Siau Ih loncat turun dan
dengan gunakan ilmu lari cepat, terus menuju ke kota Goankiang.
Tiba di kota itu sudah menjelang pukul empat pagi.
Dengan diam-diam, dia menyelinap masuk ke dalam
hotelnya dan letakkan pemuda itu di atas pembaringan. Dia
nyalakan lampu dan mulai memeriksa luka pemuda itu.
Punggung anak muda itu sama pecah belah berlumuran
darah. Benar tulang tak sampai putus, tapi berat juga lukanya.
„Dia terluka begini parah, dalam empat-lima hari tentu
belum sembuh sama sekali. Tempat ini menjadi daerah
kekuasaan cabang Thiat-san-pang. Aku sih tak jeri, tapi dia
...... tapi ah, paling perlu menolong dulu luka-lukanya itu. Ai,
kecuali pil kin-coan-kian-wan-tan itu aku tak mempunyai obat
untuk luka luar apa-apa, bagaimana ni .......”
Tengah dia kebingungan, tiba-tiba teringatlah dia akan
kitab Peh-co-ki pemberian tabib sakti To Kong-ong itu. Dengan
girang, cepat-cepat diambilnya kitab itu lalu diperiksanya
dengan teliti. Benar juga pada bagian belakang, terdapat
beberapa resep untuk luka luar. Dihafalkannya salah sebuah
resep yang paling sederhana racikan dan penggunaannya.
Tapi ah, lagi-lagi dia kebentur dengan kenyataan bahwa
rumah obat baru besok pagi bukanya. Kuatir kalau sampai
kasip, terpaksa dia memberinya lagi sebuah pil untuk
menahan sakit. Habis itu baru dia duduk memulangkan
semangat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak berapa lama, haripun sudah terang tanah. Siau Ih
panggil jongos, katanya: „Semalam pulang dari pesiar
ketelaga, aku membawa seorang sahabat yang terluka parah.
Tolong pinjam alat tulis untuk menulis resep."
Mata si jongos melirik ke atas ranjang dan didapatinya
disitu ada seorang pemuda menggeletak berlumuran darah.
Baru dia hendak bertanya, sudah buru-buru tak jadi demi
dilihatnya Siau Ih dengan wajah membesi tengah
memandangnya dengan berkilat-kilat. Anak muda itu
mencekal sebatang pedang pendek, sikapnya menakutkan
sekali.
Tersipu-sipu jongos itu mengiakan dan tinggalkan kamar
itu. Tak lama kemudian dia kembali pula dengan seperangkat
alat tulis.
Selesai menulis resep dari kitab Peh-co-ki, Siau Ih
memberikannya kepada jongos dengan disertai sekeping
perak.
„Belikan ini dan lekas-lekas kembali. Sisanya boleh kau
ambil!"
Pertama tak mau banyak urusan dan kedua melihat sang
tetamu itu royal sekali, jongos itupun tak banyak bertanya lagi
terus pergi. Belum setengah jam, dia sudah kembali dengan
membawa obat Siau Ih meminta air bersih dan kain putih.
Lebih dahulu dicucinya luka pemuda itu baru dilumuri obat.
Ternyata resep kitab Peh-co-ki itu amat manjur sekali. Apalagi
diberi pil kiu-coan-kian-goan-tan, dalam sehari saja luka
pemuda itu sudah kering.
Melihat perobahan itu, barulah Siau Ih membuka jalan
darahnya. Demi terjaga, serta merta pemuda itu
menghaturkan terima kasih kepada anak muda cakap gagah
yang sudah menolong jiwanya itu. Ternyata usia mereka
hampir sebaya dan melalui percakapan singkat, keduanya
merasa cocok satu sama lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemuda itu bernama Tan Wan, murid tunggal dari begal
budiman Kiau Bo bergelar Sin-heng-bu-ing atau si Kelana sakti
tanpa bayangan. Karena pemuda itu mempunyai kelebihan
satu jari (si wil), maka orang persilatan menggelarinya sebagai
Liok-ci-sin-bi (si Kera berjari enam).
Semasa masih hidup, Sin-heng-hu-ing Kiau Bo pernah
bentrok dengan partai Thiat-sian-pang cabang Tong-thing
mengenai sebuah „urusan dagang" (rampasan). Karena
lengah, Kiau Bo telah masuk dalam perangkap „harimau
tinggalkan gunung" (kena dipancing). Dia kena dilukai berat
oleh Tham Liong sehingga menyebabkan kematiannya.
Sebagai murid yang telah menerima budi besar dari
suhunya, Tan Wan mengumumkan akan menuntut balas
kematian suhunya itu. Tapi orang Thiat-sian-pang sudah
memasang jaring. Begitu anak muda itu menginjak tapal batas
Oulam, begitu dia disergap dan ditawan.
Akhirnya, pihak Thiat-sian-pang memutuskan hendak
melenyapkan sekali anak muda itu. Ditetapkan bukit Kun-san
sebagai tempat pelaksanaan hukumannya mati. Kalau tiada
kebetulan Siau Ih pesiar di telaga Tong-thing itu, tentu jiwa
Tan Wan sudah melayang.
Waktu mengutarakan dendam hatinya, biji mata Tan Wan
seperti mau melotot keluar. Dia mempunyai kesan yang baik
sekali terhadap Siau Ih. Pertama dilihatnya sang penolong itu
sikapnya gagah dan perwira, kedua kali dia merasa berhutang
jiwa, maka dia nyatakan mulai hari itu akan tinggalkan
lapangan pekerjaannya yang lama (menjadi begal haguna)
untuk ikut pada Siau Ih. Sekalipun menjadi pelayan, diapun
puas karena dapat membalas budi dan sekalian akan
memperdalam peyakinannya silat untuk kelak menuntut balas
lagi.
Siau Ih hanya tertawa saja mendengarnya. Dia nasehati
supaya pemuda itu baik-baik merawat, lukanya dulu, kelak
kalau sudah sembuh akan dirundingkan lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitulah tiga hari telah lewat dengan tak terjadi suatu apa.
Luka Tan Wan sudah sembuh sama sekali, hanya berjalan dia
masih kurang leluasa. Ketenteraman suasana itu, sebaliknya
dianggap berbahaya oleh Siau Ih. Makin tenteram, makin
cepat datangnya bencana itu. Hanya saja, Siau Ih tak
menyatakan apa-apa melainkan bersikap tenang.
15. Buronan Kiau Hu-Hwat ......
Benar juga apa yang diduganya itu. Waktunya terjadi pada
hari keempat sekira tengah malam. Kala itu tetamu-tetamu
lain sudah pada tidur. Setelah mengganti obat pada luka Tan
Wan, Siau Ih duduk bersama-sama dengan anak itu.
Sekonyong-konyong terdengarlah sebuah suara yang
melengking halus. Menyusul, di atas wuwungan serambi luar,
terdengar seseorang berseru dengan nada yang besar.
„Orang she Siau, lekas keluar terima kematianmu!"
Siau Ih segera tahu siapa yang berbuat itu. Namun dengan
tertawa mengejek dia menyahut: „Hidup bertempat tinggal,
mati berliang kubur. Karena hendak mengantar jiwa, tuanmu
inipun takkan mengecewakan permintaanmu itu!"
Secepat mengalungkan pedang Thian-coat-kiam ke atas
bahu, Siau Ih cepat mendorong pintu dan melangkah keluar.
Tapi baru sang kaki tiba disamping pintu, tiba-tiba dia teringat
sesuatu: „Menurut gelagat, musuh datang dalam jumlah
banyak. Kalau aku pergi, Tan Wan yang masih belum leluasa
bergerak itu, pasti tak mampu membela diri. Kalau sampai
terjadi sesuatu padanya, bukankah akan sia-sia pertolonganku
itu .........”
Merenung sejenak, dia mendapat suatu keputusan:
„Membasmi kejahatan adalah perbuatan mulia.
Menghancurkan tindakan jahat untuk mengobati orangnya
adalah yang paling tepat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Secepat keputusan itu terkilas, secepat itu juga dia
menyurut mundur dan mengeluarkan senjata rahasia kiu-goting-
seng-ciam yang diambilnya dari mayat seorang penjahat
yang bertempur di makam Gak-ong tempo hari itu. Dengan
cekatnya, dia masukkan jarum-jarum yang berbentuk seperti
paku ke dalam bumbung, lalu diberikan kepada Tan Wan.
„Kalau menghadapi apa-apa, harus berlaku tenang. Begitu
ada orang masuk kedalam kamar sini, sambutlah dengan ini,”
katanya dengan berbisik.
„Orang she Siau, kalau tetap tak mau keluar, sekalian tuan
besarmu ini terpaksa akan mengobrak-abrik ke dalam
sarangmu!" tiba-tiba terdengar lagi sebuah seruan.
Lebih dahulu Siau Ih salurkan lwekang kian-goan-sin-kong
untuk melindungi tubuh, kemudian baru tertawa dingin
menyahut: „Sebetulnya kamu sekalian harus mengucap
syukur, karena saat kematianmu diperpanjang beberapa
menit. Mengapa merengek-rengek begitu terburu-buru mau
mampus?"
Sekali tangan menekan pintu, tubuh Siau Ih sudah lantas
mencelat keluar. Sejenak menyapukan mata, dilihatnya di luar
dan di belakang ruangan itu terdapat tujuh-delapan sosok
bayangan.
Seluruh kamar-kamar dalam hotel yang cukup besar itu,
penerangannya sudah padam semua. Dalam kesunyian tengah
malam yang gelap gulita itu, hanya terdengar suara pakaian
bergontaian dihembus angin malam.
Dengan bersimpul tangan, Siau Ih berdiri di depan pintu.
Tampaknya tenang tapi sebenarnya dia kuatir juga. Pertama,
Tan Wan masih belum dapat bergerak leluasa, kedua, kalau
bertempur di dalam hotel itu tentu pembesar negeri akan turut
campur tangan. Ah, lebih baik dia pancing musuh ke tempat
lain dan menghancurkan mereka disana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Belum lagi dia bertindak, tiba-tiba terdengar suara gelak
tertawa: „Orang she Siau, kau benar-benar berhati jantan!"
Sesosok tubuh melayang turun ditengah halaman serambi
itu. Seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, mata
berkeliaran, hidung kakaktua, tangannya mencekal sepasang
senjata macam cakar ayam. Dengan jumawa, dia memandang
Siau Ih.
„Kau ialah Hun-san-tiau Tham Liong, bukan?" tegur Siau Ih.
Orang itu tertawa sinis: „Sudah kenal kemasyhuran
namaku, mengapa tak lekas-lekas serahkan jiwamu!"
Nada suaranya amat parau, macam tambur pecah. Siau Ih
muak melihatnya. Diam-diam dia ambil putusan untuk
melenyapkan manusia itu.
„Tham Liong, tuanmu ini meyakinkan ilmu melihat tampang
muka. Menilik air mukamu bersemu gelap, tandanya kau
sudah dekat ajal. Orang dahulu mengatakan 'barang siapa
pernah berjumpa itu tandanya berjodoh'. Nah, akupun hendak
memberi amal kebaikan, ialah hendak memilihkan tempat
yang bagus untuk tempat tinggalmu selama-lamanya. Sewaktu
hidup dapat mengetahui bakal tempat peristirahatan abadinya
itu, adalah suatu keberuntungan. Maukah kau turut padaku
menjenguk tempatmu itu?"
Siau Ih menutup olok-oloknya dengan tertawa nyaring dan
sekali sang tubuh bergerak, dia sudah loncat berjumpalitan ke
atas atap rumah.
Seorang anak buah Tham Liong yang menjaga di atas,
sudah lantas menyerangkan golok kui-thau-to dalam jurus
poan-hoa-kay-ting atau bunga melingkar menutup wuwungan.
Siau Ih tertawa dingin. Tanpa menghindar, kakinya
menginjak ke atas genteng dan dengan gaya hong-pay-jan-ho
(angin menggoyang bunga teratai), dia melompat sampai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setengah meter. Golok kui-thau-to lewat di sisi bahu
menghantam angin.
Karena terlalu banyak menggunakan tenaga, tubuh orang
itu menjorok ke muka. Sudah begitu, masih Siau Ih
membarengi dengan sebuah hantaman. Tubuh terlempar dan
mulut menjerit seram, orang itu jatuh ke bawah halaman.
Kepala pecah terbentur lantai dan jiwanya melayang.
Seorang kawannya yang melihat kejadian itu dengan kalap
segera maju menusuk dengan sepasang senjata tiam-hiatkwat
(supit penutuk jalan darah) yang terbuat dari baja murni.
Tapi bukan mundur, sebaliknya Siau Ih malah
menyongsong maju. Tubuh bergoyang untuk menghindar
tusukan tiam-hiat-kwat dari sebelah kiri, sementara cepat luar
biasa, tangan kirinya sudah mencengkeram lengan kanan
lawan. Sekali ditarik, tangannya kanan membarengi dengan
sebuah tamparan, “plak” ......batok kepala orang itu hancur
mumur, otaknya berhamburan.
„Tham Liong, inilah contohmu!" seru Siau Ih sembari
lemparkan mayat orang itu ke arah Tham Liong.
Betapa kaget dan gusarnya kepala cabang Thiat-sian-pang
itu, dapat dibayangkan. Tapi dia terpaksa sibuk menghindar
dulu dari timpukan „senjata" istimewa lawan itu. Ketika
memandang ke atas, ternyata anak muda lawannya itu sudah
loncat turun terus melompati pagar tembok.
„Mana Ong Sim-tek?" serunya seperti orang kebakaran
jenggot.
„Disinilah!" seru seorang dari sebelah kiri wuwungan
rumah.
„Budak dalam kamar itu, kaulah yang mengurus. Selesai
itu, segera kembali ke dalam markas hun-tong. Yang lainnya,
semua ikut aku mengejar!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan membawa empat orang anak buah, Tham Liong
segera melakukan pengejaran. Orang yang disuruh
„mengerjai" Tan Wan itu, bernama Ong Sim-tek gelar Te-ci
atau tikus tanah.
Sebelumnya menggabung dalam Thiat-sian-pang, dia itu
adalah seorang pencuri yang mengadakan operasinya pada
malam hari. Benar ilmu silatnya tak berapa tinggi, tapi dia
amat kaya akan akal-akal busuk. Berbagai kejahatan yang
dilakukan Thiat-sian-pang selama ini, sebagian besar adalah
tercipta dari buah pikirannya. Sebagai manusia dia senang
menjilat pantat, karena itu amat dikasihi oleh Tham Liong.
Ikut dalam penyergapan itu, bermula dia hendak unjuk
kegarangan, tapi demi menyaksikan betapa lihay dan
ganasnya anak muda itu, siang-siang dia sudah copot
nyalinya. Sebagai ahli pikir, segera dia dapat menentukan
bahwa sekalipun pihaknya berjumlah banyak, tapi tak nanti
dapat mengalahkan lawan. Diam-diam dia sudah
merencanakan siasat untuk mundur saja. Bahwa tiba-tiba
Tham Liong memberi perintah begitu kepadanya, telah
membuatnya kegirangan.
„Sama-sama bakal berbuat jasa, tapi bagianku ini tidak
mengandung bahaya. Terhadap seorang bocah yang sudah
setengah mati dirangket cambuk, masakah tak dapat
membekuknya," demikian pikirannya.
Dengan menghunus senjata, dia menghampiri ke dalam
kamar. Senjatanya itu istimewa juga, yakni chit-sing-kian-cu
atau cempuling bintang tujuh. Pintu kamar didorong, namun
sebagai seorang yang licin, dia tak mau lekas-lekas masuk,
melainkan menunggu dulu sampai sekian jenak. Setelah tak
terdengar sesuatu yang mencurigakan, barulah dia julurkan
tubuh melongok ke dalam.
Ai, kamar itu gulita. Samar-samar tampak ada sesosok
tubuh berbaring di atas ranjang. Dia tentulah si anak muda
yang ditolong Siau Ih siang tadi. Nyata dia terluka parah, jadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mudahlah diberesi. Demikian melamun si Tikus tanah Ong
Sim-tek dengan girangnya. Tanpa banyak berpikir lagi, segera
dia menerobos masuk dan terus angkat cempulingnya ..........
„Bangsat serahkan nyawamu!" tiba-tiba terdengar sebuah
seruan dan “wut”, sembilan bintik benda berkilat melayang
menyambar ke mukanya.
Serambutpun si Tikus tanah tak mengira bahwa dia bakal
diselomoti mentah-mentah oleh si anak muda. Ini namanya
„sepandai-pandai tupai melornpat, sekali jatuh juga". Otak
gerombolan Thiat-sian-pang yang telah merencanakan
berpuluh-puluh perbuatan jahat, akhirnya harus menerima.
ganjarannya.
Jarak keduanya begitu dekat seka!i, sedang serangan itu
datangnya secara mendadak.
„Ce ........” hanya begitu saja mulut si Tikus tanah sempat
berseru, karena pada lain saat seluruh mukanya serasa nyeri
kesemutan, menusuk sampai ke hulu hati. Sembilan mata
jarum beracun telah menyusup ke dalam mata, pipi dan
janggut. Senjata terlepas, tubuh terkulai di lantai dan tujuh
lubang pada mukanya mengalirkan darah. Demikian tamat
riwajat seorang yang berlumuran dosa.
Sekarang mari kita ikuti keadaan Siau Ih yang memancing
Tham Liong berempat ke sebuah tempat sepi di luar kota.
Bermula, sekeluarnya dari hotel itu, dia berpaling ke belakang.
Tham Liong dan kawan-kawan tak tampak mengejar.
„Celaka, musuh lebih pintar dan Tan Wan tentu terancam
ni," demikian dia mengeluh.
Tapi baru dia hendak berputar tubuh untuk kembali, tibatiba
dari tembok hotel itu terlihat ada beberapa sosok
bayangan loncat keluar. Diam-diam dia memperhitungkan:
„Yang dua tadi sudah dibunuh, kini muncul lima orang, jadi
yang tertinggal dihotel hanya seorang saja. Rasanya Tan Wan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentu dapat layani dan dengan demikian dapatlah dia
tinggalkan kota ini.”
„Tham Liong, tempat kuburan berada disebelah muka itu,"
segera ia berteriak ke arah pengejarnya, lalu tanpa menunggu
penyahutan lagi, dia loncat ke atas rumah penduduk disitu dan
lari keluar kota.
Hun-san-tiau Tham Liong biasanya bersikap jumawa dan
garang, belum pernah dia mendapat hinaan hebat seperti itu.
Jadi belum bertempur, rasanya sudah setengah mati sakitnya.
„Kejar!” serunya sambil memberi isyarat dengan sepasang
arit kepada anak buahnya.
Demikian terjadi kejar mengejar antara enam orang. Orang
yang dikejar itu pesat sekali larinya. Untuk menggambarkan
kecepatannya itu, dapatlah diumpamakan seperti sebuah
bintang jatuh.
Kepandaian dari Hun-san-tiau Tham Liong sebenarnya
sudah tergolong jago kelas satu dari dunia persilatan. Itulah
sebabnya dia menjabat sebagai pemimpin Thiat-sian-pang
cabang Tong-thing. Sebagai pemimpin gerombolan, dia amat
congkak, tiada memandang sama sekali kepada lain orang.
Tapi apa yang dia alami pada malam itu, benar-benar
membuatnya kelabakan.
Dalam adu lari itu, dia sudah keluarkan seluruh
kepandaiannya, namun tetap tak dapat mencandak si anak
muda. Dan yang lebih menjengkelkan lagi, ialah sikap si anak
muda yang seolah-olah sengaja mempermainkannya itu. Kalau
dia lari keras, anak muda itupun cepatkan larinya. Tapi begitu
dia agak kendorkan langkah, anak muda itupun perlambat
larinya. Jarak keduanya tetap terpisah tiga tombak jauhnya.
„Ilmu mengentengi tubuh anak itu benar lihay sekali,"
akhirnya mau tak mau dia memuji sang lawan. Memang tak
kecewa si Tham Liong itu menjadi benggolan pemimpin,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena walaupun hatinya panas, namun kepalanya tetap
dingin.
Sekilas tersadar dia bahwa anak muda itu akan
menggunakan siasat 'pancing harimau tinggalkan sarang’. Tapi
pada lain saat, dia tetap hatinya lagi. Te-ci Ong Sim-tek masih
disana, masakah bocah itu dapat lolos. Demikian
perhitungannya, suatu perhitungan yang ternyata jauh sekali
kenyataannya. Mimpipun tidak dia, bahwa pada saat itu si
Tikus tanah sudah menjadi badan halus.
Setelah melompati tembok kota, Tham Liong kehilangan
jejak pemuda yang dikejarnya. Dia celingukan dan hai, kiranya
pemuda itu tengah tegak berdiri di muka sebuah hutan yang
terpisah kira-kira duapuluhan tombak disebelah depan sana.
Bergegas-gegas dia ajak sekalian anak buahnya menuju
kesana.
„Bocah she Siau, sekarang coba kau mau lari kemana lagi?"
serunya demi berhadapan dengan anak muda itu. Dan segera
dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya untuk
mengepung pemuda itu dari empat penjuru.
Tenang-tenang saja Siau Ih berputar tubuh, lalu mengolok:
„Tham Liong, mengapa kau terlambat? Tuanmu ini sudah
menunggu lama sekali. Tu lihatlah .........”
Menunjuk kesekeliling tempat itu, dengan tenang Siau Ih
berkata pula: „Dimuka menghadapi sungai, disebelah
belakang berlatar hutan, sungguh suatu tempat peristirahatan
yang bagus sekali. Telah kupilihkan tempat untukmu,
seharusnya kau mengucap syukur!”
Hati Tham Liong seperti ditusuki jarum rasanya. Masa
seorang pemimpin cabang sebuah partai yang sangat ditakuti,
dikocok semau-maunya oleh seorang anak muda. Untuk
melampiaskan kemarahannya, dia tertawa keras.
„Ai, Tham Liong, menilik kau begitu kegirangan, rasanya
jerih payahku itu tak sia-sia juga .........”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Bocah edan, jangan mengicau tak keruan!” tukas Tham
Liong mengerat kata-kata Siau Ih, „kalau ada pesanan apaapa,
lekas katakan sekarang. Kalau terlambat, kau tentu
menyesal!”
Wajah Siau Ih tiba-tiba berobah membesi dan dengan nada
dalam, berserulah dia: „Mendapat tempat sebagus ini,
masakah kau belum puas. Dibanding dengan Teng Hiong, kau
sudah jauh lebih beruntung!"
Mendengar itu, Tham Liong tersurut selangkah.
„Apa? Jadi Teng-tongcu itu binasa di tanganmu?"
„Mengapa tidak! Pembesar korup, bangsa penjahat, setiap
orang berhak memberantasnya!" Siau Ih tertawa dingin.
Saking marahnya, rambut Tham Liong sampai menjingrak
semua. Dengan suara mengguntur, berteriaklah dia: „Dicari
tiada dapat, jebul ketemu datang sendiri. Bocah, apa kau
masih mengangkangi jiwamu?"
Ke-jiao-lian atau arit cakar ajam ditangan kiri, bergerak
dalam jurus swat-koa-gin-kau (menyanggul miring kait perak)
menyerang pundak lawan, berbareng ke-jiao-lian di tangan
kanannya, membabat perut dalam gerak to-thih-kim-teng atau
menjinjing terbalik lampu emas.
Melihat serangan itu. masih Siau Ih tertawa dengan
tenangnya: „Ai, karena kau minta buru-buru mati, tuanmu pun
terpaksa akan mempersingkat waktu.”
Kedua bahu bergerak dan orangnya pun sudah melesat
beberapa meter. Baru Tham Liong hendak mengejar, dari arah
belakang terdengar sebuah seruan: „Bunuh ayam tak perlu
pakai golok kerbau. Tongcu, silahkan mundur, biar kami
berempat maju memberesi bocah edan itu!"
Yang berkata itu ternyata ialah keempat anak buahnya
yang sudah tegak berdiri di empat jurusan sembari siap
dengan senjatanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Bocah itu adalah yang dimaui oleh Kiau hu-hwat. Dapat
meringkusnya mati atau hidup, tetap akan mendapat hadiah
besar. Saudara-saudara, hati-hatilah!" kata Tham Liong seraya
mundur.
Siau Ih tegak dengan tenangnya. Sepasang alisnya yang
tebal, tampak menjungkat sedikit dan sambil tertawa sinis, dia
berseru: „Tempat ini cukup luas. Jangan kata hanya empat
orang, sekalipun empatpuluh mayatpun tetap bisa masuk!”
Saat itu, orang yang mengepung disebelah kiri dengan
bersenjata pedang song-bun-kiam dan kawannya yang
mengepung dari sebelah kanan dengan kapak baja, sudah
lantas maju menyerang. Satu menabas kepala, satu
membabat perut. Tapi hanya dengan gerakan menyurut yang
diiring tertawa dingin, dapatlah sudah Siau Ih menghindarinya.
“Wut”, kedua senjata itu saling bersimpangan.
Habis mundur, Siau Ih cepat miringkan tubuh sembari
dorongkan sepasang tangannya kekanan kiri. Belum kedua
pengepung dari sebelah muka dan belakang sempat bergerak,
tahu-tahu sudah tersambar angin pukulan yang keras hingga
terdorong mundur sampai setengah meter. Gebrak pertama,
keempat orang itu sudah terdesak.
Sekalipun begitu, mereka bukan kerucuk yang lemah.
Dengan senjata terhunus, kembali mereka maju menyerang.
Karena bergabung jadi satu, jadi serangan keempat orang
itupun berganda hebatnya. Pedang song-bun-kiam, golok ganleng-
to, kapak baja dan rujung kiu-ciat-kong-pian,
berseliweran laksana badai meniup salju.
Setiap serangan, tentu mengarah jalan yang mematikan.
Baik maju menyerang maupun mundur menghindar, mereka
berempat itu teratur dalam gaya yang rapi indah. Begitulah
dalam beberapa detik saja, pertempuran sudah berjalan
tigapuluhan jurus. Keempat orang itu makin lama, makin
garang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Kalau tak mengeluarkan pukulan sakti, entah sampai
berapa lama pertempuran ini akan selesai,” demikian Siau Ih
berpikir, secepat itu pula dia segera merobah gerakannya, dari
bertahan menjadi menyerang. Ilmu permainan tun-yang-cappeh-
ciat dikeluarkannya.
Tun-yang-cap-peh-ciat itu adalah ilmu pedang ciptaan dari
si Dewa Tertawa Bok Tong. Bertahun-tahun tokoh itu
memutar otak menciptakan ilmu pedang itu yang digabung
dengan gerakan kaki ceng-hoan-kiong-leng-liong-poh. Jadi
sampai dimana kelihayannya, tak perlu diberi komentar lagi.
Yang tampak kini hanyalah sesosok bayangan warna hijau.
Dalam radius dua tombak persegi, terbitlah angin badai yang
menderu-deru, sehingga batu-batu dan pasir sama
berhamburan kemana-mana. Hanya sekejap peralihan itu
berganti, dan kini Siau Ih lah yang memegang inisiatip
menyerang. Keempat anak buah Tham Liong itu, bukan
melainkan tak dapat menyerang lagi, pun malah terkendali.
Gerakan ilmu silat yang aneh dan lihay luar biasa dari anak
muda itu, telah membuat pandangan keempat orang itu
menjadi kabur. Berkali-kali mereka saling tubruk dan gasak
sendiri.
Lewat limapuluh jurus lagi, keempat orang itu sudah tak
berdaya lagi. Mereka seolah-olah terlibat dalam lingkaran
angin pukulan Siau Ih. Bukan melain keempat orang itu saja
yang kini serasa terbang semangatnya, pun Hun-san-tiau
Tham Liong yang berdiri di sebelah sana, menjadi terkejut
setengah mati. Dia insyaf, beberapa saat lagi tentulah
keempat orangnya itu akan celaka. Buru-buru dia hendak
meneriaki mereka, tapi pada saat itu keadaan dalam
gelanggang sudah terjadi perobahan.
Tanpa menghiraukan tekanan angin keras, keempat orang
itu serentak maju menyerang dengan berbareng. Melihat
kekalapan mereka itu, Siau Ih terpaksa tertawa sinis „Kalau
memang hendak serahkan jiwa, itulah mudah!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam berseru itu, orangnyapun sudah melambung ke
udara. Kira-kira berada empat tombak di atas, diam-diam Siau
Ih sudah kerahkan lwekang kian-goan-sin-kong ke arah
tangannya. Ditengah udara, dia segera berjumpalitan, kepala
di bawah kaki di atas. Kemudian dengan jurus song-liong-pocu
atau sepasang naga melibat tiang, dia gerakan kedua
tangannya. Bagaikan terhampar angin puyuh, keempat orang
itu segera terjorok ke muka. “Trang, tring”, senjata mereka
saling beradu satu sama lain.
Siau Ih sudah mempunyai rencana. Begitu keempat orang
itu saling menumpuk jadi satu, dia lantas gunakan pukulan buciang-
kan-lim menghantam ke bawah.
Melihat ancaman itu, Tham Liong tak mau tinggal diam lagi.
Sekali enjot, dia loncat ke atas menghantam dengan sepasang
aritnya.
Karena tengah meluncur turun, jadi Siau Ih tak dapat
menghindar. Namun itu bukan halangan baginya. Dengan
bergeliatan macam badan ular, dia dapat mengegos serangan
arit itu dengan indahnya. Dan sewaktu kakinya menginjak
bumi di depan hutan itu, disana terdengarlah empat buah
jeritan yang menyeramkan.
Pukulan bu-ciang-kan-lim yang dilancarkan dengan lwekang
kian-goan-sin-kong tadi, telah meremukkan batok kepala
keempat orang itu. Tulang kepala remuk, benak berhamburan,
darah muncrat dan tubuhnya terkapar malang melintang
Tham Liong tercengang mendelu. Serangannya luput,
keempat anak buahnya binasa, sedang disebelah sana si anak
muda tegak berdiri, menyeringai ejek.
„Tham Liong, dengan jurus bu-ciang-kan-lim, telah
kuantarkan anak buahmu pulang keakhirat. Mereka tentu
sudah tertawa girang disana!”
Sebenarnya jeri juga Tham Liong akan kelihayan anak
muda itu. Namun teringat bahwa dalam beberapa jam saja,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemuda itu telah membinasakan enam orang anak buahnya,
kemarahannya tak dapat dikendalikan lagi. Dengan suara
parau macam tambur pecah, dia berseru: „Malam ini kalau aku
tak dapat membeset kulitmu, biarlah aku pakai rok dan
berbedak pupur saja .....”
„Kau kan sudah berpakaian ringkas, perlu apa pakai rok
lagi. Tentang bedak pupur, kalau kau memang gemar, nanti
akan kukirim satu doos,” tukas Siau Ih dengan tertawa gelakgelak.
Luapan amarah telah membuat Tham Liong menggerung
seperti macan. Maju ke muka dia menabas pundak lawan
dengan gerak song-liong-jut-cui atau sepasang naga muncul
di air.
Tampak orang menyerang dengan kalap. Siau Ih kisarkan
tubuh menghindar. Dan sekali geliatkan bahu, maka pedang
Thian-coat-kiam yang menyelip dibahunya itu sudah terhunus
di tangannya. Justeru kala itu Tham Liong sudah menyerang
lagi. Lebih dahulu, dia menghindar ke samping, kemudian
baru balas menusuk dada orang dengan gerak kim-ciam-thanhay
atau jarum emas menyusup ke laut.
Melihat gemerlap pedang si anak muda yang memancarkan
sinar kehijau-hijauan menyilaukan, Tham Liong sudah
terkejut. Dan demi menampak serangan lawan yang walaupun
lambat tapi ternyata cepat penuh dengan perobahan, dia tak
berani menangkis, melainkan buru-buru menyurut mundur.
Tapi belum lagi sang kaki berdiri jejak, dengan tertawa dingin
lawan sudah melambung ke udara dan menusukkan ujung
pedangnya dalam jurus liong-sing-it-si.
Mimpipun tidak dia bahwa anak yang begitu mudanya,
memiliki gerakan yang sedemikian tangkasnya. Seketika
pecahlah nyalinya dan belum lagi dia sempat memikir daya
untuk memecahkan serangan lawan, tahu-tahu ujung pedang
sudah tiba di dadanya, untuk menghindar terang sudah
terlambat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah jamaklah kiranya, bahwa manusia itu tentu sayang
sekali akan jiwanya. Lebih-lebih kalau berada dalam bahaya
yang menentukan hidup matinya.
Demikianpun Tham Liong. Dalam saat-saat yang genting
itu, timbullah pikirannya. Kaki memaku tanah, tubuh condong
ke belakang. Secepat dia menggunakan gerak gan-loh-pingsat
atau burung belibis jatuh di pasir itu, secepat itu pula dia
teruskan dengan gerak le-hi-to-joan-boh atau ikan lehi
membalik badan menyusup ke dalam ombak.
Dalam posisi miring, dia teruskan buang tubuhnya ke
samping sampai tiga tombak. Sekalipun begitu, tak urung baju
bagian dadanya tergurat lubang beberapa dim.
Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mendongak ke muka,
didapatinya anak muda lawannya itu tegak berdiri
melintangkan pedang di dada. Mulutnya mengulum senyum
getir. Benci sekalipun Tham Liong kepada anak muda itu,
namun karena insyaf bukan tandingannya, dia pikir kalau tak
lekas-lekas angkat kaki tentu akan menjadi seperti keempat
anak buahnya tadi.
Selama gunung masih menghijau, masakah takut tak
mendapat kayu bakar. Demikian peribahasa mengatakan yang
berarti, selama hayat masih dikandung badan, tentulah masih
dapat melakukan pembalasan lagi.
„Malam ini aku ada urusan penting, lain hari akan
kuselesaikan hutangmu itu!" seru Tham Liong dan secepat
kilat berputar tubuh, dia lantas loncat kabur.
Benar Siau Ih cerdas, tapi karena kurang pengalaman jadi
dia tak menyangka sama sekali bahwa lawan akan lari begitu
tiba-tiba. Selagi dia masih terkesiap, Tham Liong sudah dua
tombak lebih jauhnya.
„Hai, hendak lari kemana kau, bangsat?“ serunya. Tapi
baru dia hendak mengejar, dilihatnya hari sudah mulai fajar.
Dia teringat akan Tan Wan yang berada di dalam hotel
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang diri serta kedua penjahat yang telah dibunuhnya itu.
Terpaksa dia hentikan langkah.
„Bangsat, kalau tuanmu ini tiada punya urusan penting, tak
nanti kau dapat lolos semudah itu,” serunya sembari memetik
serangkum dahan pohon, lalu diayunkan.
„Dahan-dahan ini kuhadiahkan untuk bekal perjalananmu!”
16. Wanita Tiga Dimensi
Dahan dan ranting pohon, sebenarnya lemas saja. Tapi di
tangan Siau Ih benda itu berobah menjadi seperti senjata
panah yang tajam, berhamburan mengaung di udara.
Sekalipun jaraknya amat jauh sehingga tenaga timpukan itu
berkurang dayanya, namun jauh disebelah muka tampak
Tham Liong terhuyung-huyung. Rupanya dia terkena juga,
namun dengan kuatkan diri, benggolan itu tetap kencangkan
langkah. Pada lain saat, dia sudah menghilang di dalam
keremangan malam.
Lebih dahulu Siau Ih gunakan obat yon-kut-san untuk
melenyapkan mayat keempat orang itu, baru kemudian dia
kembali ke hotel. Baru tiba di luar hotel, sudah didengarnya
suara orang ribut-ribut mempercakapkan sesuatu. Ternyata
pemilik hotel, jongos-jongos dan tetamu-tetamu tengah
mengerumuni kamar yang disewanya. Mereka sedang
membicarakan, sesosok mayat yang menggeletak disitu.
Kebanyakan mereka merasa syukur penjahat itu dapat
dibunuh. Ada pula yang mengusulkan supaya orang gagah
yang membunuhnya itu, lekas-lekas menyingkirkan diri supaya
tak berurusan dengan pembesar negeri.
Siau Ih pun menginsyafi bahwa kalau keburu terang tanah
tentu bakal mengalami kerepotan. Maka melangkah masuk,
segera dia berseru: „Kawanan Thiat-sian-pang terkenal jahat,
sudah selayaknya kalau dibasmi. Karena kebetulan singgah
disini, terpaksa aku turun tangan. Kini kawanan penjahat itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah kabur, harap saudara-saudara sekalian jangan kuatir
apa-apa. Tentang permusuhanku dengan kaum Thiat-sianpang,
itulah menjadi tanggung jawabku sendiri, saudarasaudara
tak ada sangkut pautnya .......”
Belum selesai bicara, sekalian orang itu sudah sama
berpaling dengan kagetnya. Lebih terkejut lagi mereka itu,
demi dilihatnya yang berseru itu bukan lain, si anak muda
yang menyewa kamar itu. Serta melihat anak muda itu tegak
berdiri menghunus pedang dan beringas sikapnya, orangorang
itu sama mundur ketakutan.
„Aku bukan penjahat, harap saudara-saudara jangan
takut!” Siau Ih tertawa, lalu melangkah masuk ke dalam
kamarnya.
Beberapa langkah di muka pembaringan, menggeletak
sesosok tubuh yang sudah tak dapat berkutik. Sebuah
bumbung jarum kiu-tiam-ting-sing-ciam terhampar di depan
ranjang itu, di sisinya terdapat Tan Wan yang menelungkupi
tepi ranjang.
Buru-buru Siau Ih memeriksanya, dan dapatkan punggung
anak itu berlumuran darah lagi. Ketika diraba hidungnya,
ternyata masih mengeluarkan hawa. Dia duga, karena keliwat
pakai tenaga untuk menempur si penjahat, Tan Wan menjadi
pingsan. Bumbung jarum lekas-lekas disimpan, kemudian baru
menepuk pelahan-lahan pinggang belakang anak itu.
„Kawanan penjahat yang kurang ajar, aku hendak
mengadu jiwa dengan kamu!” seru Tan Wan demi membuka
mata dan melihat ada seseorang berdiri dihadapannya.
Dengan kuatkan diri, dia duduk lalu ayunkan tangan
menghantam.
„Akulah!” seru Siau Ih cepat-cepat menyambar lengan
anak. itu.
„Ai, kongcu, kau ........”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Ya, kecuali si Tham Liong yang berhasil lolos, lain-lain
sudah beres semua. Tempat ini terlalu panas buat kita, ayuh
lekas pergi saja!" tukas Siau Ih yang mengetahui apa yang
hendak ditanyakan anak itu. Diambilnya sebuah pil kiu-coantian-
goan-tan, lalu disuruhnya telan Tan Wan.
„Saudara Tan, lukamu dipunggung itu merekah lagi. Tapi
karena untuk memburu waktu, biarlah kugendongmu. Asal
sudah tinggalkan kota ini, nanti kita cari tempat lain lagi,
untuk mengobati lukamu itu."
Dan tanpa menunggu penyahutan, Siau Ih segera
mengambil selimut untuk ditutupkan pada Tan Wan. Setelah
mengemasi barang-barang yang perlu, Siau Ih lalu
memanggul Tan Wan, tinggalkan kamar itu. Orang-orang tadi
ternyata belum bubaran, demi menampak si anak muda
memanggul kawannya keluar, kembali mereka terkejut
gempar.
Kepada pemilik hotel, Siau Ih menerangkan bahwa
bukannya dia hendak melarikan diri dari peristiwa
pembunuhan itu, tetapi melainkan karena hendak menolong
kawannya yang terluka berat itu. Dia berikan duapuluh tail
perak kepada pemilik hotel itu selaku uang sewa dan ongkos
penguburan mayat si penjahat itu.
Habis itu, baru dia melangkah keluar, terus menuju ke
pintu kota. Ternyata pintu kota masih tertutup. Terpaksa dia
melompat tembok kota, dari itu terus gunakan ilmu
mengentengi tubuh lari ke arah selatan. Menjelang fajar, dia
sudah lari beberapa puluh li jauhnya.
Menurut perhitungan, semestinya dia akan tiba di kota Ikyang-
koan. Tapi dikarenakan dalam keadaan begitu, dia
merasa tak leluasa masuk kota. Ah, lebih baik cari sebuah kuil
atau biara dipinggiran kota saja, dimana dia dapat meneduh
sementara untuk mengobati luka Tan Wan. Dilihatnya
walaupun anak itu cukup kuat, namun karena lukanya amat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
parah, jadi dalam perjalanan itu mukanya tampak pucat,
tubuh mulai lemas.
„Tentunya saudara Tan tak kuat, lebih baik kita berhenti
dulu,” kata Siau Ih. Namun anak itu, tetap kuatkan diri
mengatakan masih dapat bertahan.
Mulut membantah, tapi nada suaranya gemetar. Siau Ih
merasa kasihan dan kendorkan larinya. Beberapa li lagi,
haripun makin terang. Untuk kegirangannya, demi mendongak
ke muka Siau Ih melihat sebuah wuwungan rumah beratap
merah menonjol diantara lebatan hutan. Buru-buru dia
kencangkan langkah dan beberapa kejap saja sudah tiba di
muka pintu sebuah kuil. Tapi sepasang daun pintunya yang
sudah kusam catnya, ternyata terbuka sedikit. Sekali dorong,
Siau Ih melangkah masuk.
Kuil itu ternyata tak berapa besar. Hanya terdiri dari sebuah
ruangan tengah dan sepasang ruangan samping.
Keadaannyapun sudah tak terawat, disana sini penuh dengan
gelagasi dan jaring laba-laba. Sebuah halaman kecil yang
terdapat di luar ruangan itu, penuh ditumbuhi rumput.
Walaupun kala itu sudah agak siang, namun suasana kuil itu
terasa menyeramkan.
Melintasi ruang tengah, terdapat sebuah loteng
penggantung lonceng. Juga tempat lonceng itu rusak tak
keruan, tapi cukup buat tempat meneduh. Diam-diam Siau Ih
menjadi heran, mengapa ditempat yang belum termasuk
pedalaman yang sunyi itu, tiada orang yang mau merawat kuil
itu. Namun rusak sekalipun kuil itu, rasanya baik juga untuk
tempat beristirahat sementara waktu.
Sekali enjot sang kaki, Siau Ih loncat ke atas loteng dan
membaringkan Tan Wan di lantai. Memeriksa disekeliling
tempat itu, Siau Ih dapatkan loteng itu kurang lebih hanya
dua tombak persegi luasnya. Pada tempat gantungan, yang
ada hanyalah tali rantai besi, sementara loncengnya entah
kemana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
„Bagian belakang dan muka kuil ini rusak tak keruan. Tapi
anehnya mengapa loteng ini cukup bersih keadaannya?” Siau
Ih terheran sehabis memeriksa itu.
Berpaling ke arah tembok, dilihatnya disitu terdapat
beberapa tu¬lang ayam. Kembali dia merasa heran.
„Menilik keadaan ini, terang ada orang yang lebih dulu
tinggal disini. Entah siapakah dia itu?" pikirnya.
Selagi dia dalam keheranan, tiba-tiba dilihatnya wajah Tan
Wan makin pucat, sepasang alisnya mengerut dan napasnya
tersengal-sengal. Buru-buru dihampiri dan dipanggilnya
berulang-ulang.
„Tak apalah ........” akhimja dengan paksakan diri Tan Wan
menyahut sember. Dan sehabis itu, kembali sepasang
matanya menutup.
Siau Ih kasihan melihat keadaan anak itu. Diberinya sebuah
pil lagi, lalu dilumurinya luka-luka dipunggung anak itu,
kemudian ditutuk jalan darah penidurnya. Lewat beberapa
menit kemudian, Siau Ihpun merasa letih lalu duduk disebelah
Tan Wan untuk bersemadhi.
Waktu terjaga, haripun sudah menjelang magrib. Saat itu
Siau Ih rasakan perutnya lapar dan timbul pikirannya untuk
pergi ke tempat didekat itu membeli makanan. Berpaling ke
arah Tan Wan, dilihatnya anak itu masih tidur nyenyak. Buruburu
Siau Ih rapihkan pakaian, menyelipkan pedang terus
loncat ke bawah.
Maksud Siau Ih sebenarnya hendak pergi sebentar untuk
membeli makanan. Tapi ternyata lima li jauhnya, dia baru
berhasil membeli sebungkus bakpao dan dua ikat ayam
panggang. Apa boleh buat, terpaksa dia bergegas-gegas
kembali ke kuil. Tapi setiba dikuil, ternyata rembulanpun
sudah mulai muncul dilamping gunung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baru sang kaki melangkah masuk dan melintasi ruang
besar, tiba-tiba dilihatnya ada sesosok bayangan hijau
berkelebat di atas loteng. Sudah tentu dia menjadi terkejut
dan terus loncat ke atas, seraya berseru tegas: „Siapa itu?”
Sebagai penyahutan, sesosok tubuh dalam pakaian warna
hijau melayang turun di atas lantai loteng itu. Hebat nian
ilmunya mengentengi tubuh. Lantai yang dipijaknya itu,
sedikitpun tak mengepulkan debu.
Siau Ih mengawasi tajam-tajam. Ternyata ia itu seorang
nona sekira berumur 27-28 tahun, mengenakan pakaian
warna hijau. Sampaipun kain kepala, mantel dan
sepatunyapun hijau semua. Wajahnya cantik, hidung
mancung, gigi laksana butir mutiara, namun sayang senyum
simpulnya mengandung romantis, sinar matanya nakal-nakal
cabul.
Memandang si anak muda habis-habisan, mulutnya
mengikik tawa.
„Seumur hidup, baru pertama ini aku melihat seorang yang
tak tahu peraturan seperti kau. Sekalipun dalam kuil rusak
ditempat sunyi, juga ada yang datang dulu dan datang
belakangan. Belum aku bertanya siapa kau ini, kau sudah
menanyakan diriku dulu!" katanya sambil tertawa lagi.
Sejak turun dari gunung, wanita yang pertama Siau Ih
jumpai ialah Lo Hui-yan, si cantik yang lemah lembut itu. Maka
begitu berhadapan dengan seorang nona yang sikapnya amat
centil begitu, reaksi pertama ialah jemu.
Mundur setengah langkah, berkatalah dia dengn wajah
bersungguh: „Oleh karena nona yang lebih dahulu datang,
sudah seharusnya aku pindah, harap nona tunggu sebentar!"
Habis berkata, dia terus hendak loncat ke atas loteng, tapi
sekali bergerak, nona itu sudah cepat menghadang.
„Tunggu dulu!" ujarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kalau tak cepat-cepat mundur, tentulah Siau Ih akan
berbenturan dengan nona itu. Membelalakkan mata,
bertanyalah dia: „Apakah nona masih hendak mengatakan
sesuatu lagi?”
Nona baju hijau itu tertawa genit, serunya. „Aku toh tak
mengusir, mengapa kau terburu-buru.”
Sampai disitu, Siau Ih sudah tak dapat bersabar lagi. Keraskeras
dia berseru: „Dikuil ini hanyalah loteng tempat lonceng
itu yang kena dibuat meneduh. Kalau aku tak pindah, nona
akan tinggal di mana?”
Kembali nona itu tertawa dibuat-buat.
„Tampaknya kau ini cerdik, tapi ternyata tolol. Menilik kau
membekal pedang, tentulah kau ini pemuda persilatan,
seharusnya tak main etiket-etiketan (tata kesopanan). Orang
yang berkelana, harus dapat menyesuaikan diri. Bukankah di
empat penjuru lautan ini kita semua bersaudara? Taruh kata
tinggal dalam satu kamar, apa halangannya? Apalagi lima li
disekeliling tempat sini, tiada perumahan orang sama sekali.
Apakah kau tak memikirkan yang terluka setengah mati itu?"
Siau Ih terkesiap, pikirnya: „Ucapannya itu benar beralasan,
tapi menilik sikapnya yang genit, terang ia pasti bukan wanita
baik. Tapi karena Tan Wan belum sembuh, lebih baik jangan
cari perkaralah,” pikirnya.
Habis itu, berkatalah dia dengan nada bersungguh: „Atas
kebaikan nona, aku mengucap terima kasih. Meskipun kaum
persilatan itu tak menghiraukan etiket, namun antara pria dan
wanita tetap ada batas perbedaan, amatlah tak leluasanya.”
Mendengar pemuda itu tak terpikat oleh sikap dan katakatanya
tadi, nona baju hijau itu agak tertegun. Namun
dengan masih lengkingkan tertawa romantis, ia berseru: „Ai,
kau ini ternyata masih begitu kolot ........”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berhenti sejenak, ia mainkan ekor matanya mengerling ke
wajah si anak muda, kemudian dengan nada memikat rayu, ia
bertanya: „Engkoh kecil, berapakah usiamu tahun ini .....?”
Dan sehabis itu, dengan lemah gemulai, ia melangkah maju
dan aduh mak ..... sebuah lengannya yang halus putih itu
sudah dijamahkan ke bahu Siau Ih.
Serentak anak muda itu tersampok dengan bau yang
harum, hatinya bergoncang. Dia terkejut dan buru-buru
tenangkan semangatnya. Bahu dikisarkan, dia menyurut
kebelakang dan dengan gusarnya dia mendamprat: „Benar
disekeliling tempat ini tiada lain orang, tapi perbuatan nona itu
rasanya kurang pantas."
Tangannya merabah angin, wajah nona baju hijau itu,
berobah seketika. Kecantikannya yang berseri tadi, lenyap
berganti dengan kerut pembunuhan.
„Anjing mau menggigit dewa Lu Tong-ping, sungguh
seorang yang tak tahu kebaikan orang. Nonamu sudah
penuju, tapi kau berani membangkang. Kalau hari ini kau
sampai terlepas dari cengkeramku, jangan panggil aku Kauhun-
sam-nio-cu!” serunya lantang-lantang.
Mendengar itu, sekilas teringatlah Siau Ih akan
pembicaraannya dengan Liong Go sewaktu berada di gunung
Ki-he-nia tempo hari. Liong Go menerangkan bahwa Pakthian-
san Song-sat mempunyai seorang keponakan
perempuan yang bernama Li Thing-thing. Nona itu cantik
laksana kuntum bunga, tapi ganas bagai ular berbisa,
cabulnya bukan kepalang. Ia mendapat warisan kepandaian
dari ayah bundanya, suami isteri Li Ho.
Meskipun umurnya sudah mendekati empatpuluhan, tapi
tampaknya masih secantik anak perawan. Entah sudah berapa
jumlahnya, pemuda-pemuda anak murid berbagai partai
persilatan yang kena terpikat dan dibinasakan olehnya. Karena
ia memiliki tiga sifat: cantik, culas, cabul, maka kaum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
persilatan menjulukinya dengan gelar „Kau-hun-sam-nio-cu
atau si Wanita 3 sifat pemikat jiwa atau istilah populer: Wanita
3 dimensi.
Waktu Siau Ih mengeluh karena kesamplokan dengan
wanita cabul itu, tiba-tiba terkilas dalam ingatannya bahwa
turut dugaan ayah angkatnya (si Dewa Tertawa), kematian
ayah bundanya itu, kebanyakan adalah perbuatan putera dari
Pak-thian-san Song-sat yang bernama Li Hun-liong. Teringat
akan hal itu, kebenciannya ditumpahkan pada si wanita cabul
yang juga kaum kerabat orang she Li itu.
„Benarkah kau ini si Li Thing-thing itu?” serunya dengan
keras.
Menyahut Kau-hun-sam-nio-cu sambil tertawa dingin:
„Kalau toh sudah mendengar akan kebesaran namaku,
mengapa masih membangkang?"
„Ha, ha,” Siau Ih tertawa nyaring, serunya: „Wanita busuk,
kematianmu sudah di depan mata, masakah masih berani
......”
Belum sampai dia lanjutkan makiannya, Kau-hun-sam-niocu
sudah menutukkan sepasang jarinya ke dada Siau Ih.
Karena tangannya mencekal bakpao dan ayam panggang, jadi
Siau Ih tak dapat menangkis. Begitu jari lawan tiba, kakinya
mengisar ke samping, dari itu terus enjot tubuhnya melayang
melampaui kepala Li Thing-thing. Tiba di muka loteng,
bawaannya disongsongkan ke lantai loteng.
Kau-hun-sam-nio-cu ternyata tangkas sekali. Tutukannya
luput dan si anak muda lenyap, tanpa berputar ke belakang
lagi, ia terus hantamkan tangannya ke belakang.
Saat itu Siau Ih belum sempat berputar badan, atau tibatiba
dia merasa ada tenaga keras menyambar dari arah
belakang. Terpaksa dia maju terus ke muka sembari diamdiam
kerahkan lwekang kian-goan-sin-kong. Mendadak dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berbalik diri dalam gerak hong-kek-hoan-sim atau merpati
kuning membalik badan.
Menyusul kedua tangannya pun berbareng digerakkan.
Tangan kanan, menyambut serangan dengan jurus heng-thuipik-
ma atau mendorong delapan ekor kuda. Sementara tangan
kiri dalam jurus seng-liong-in-hong (naik naga memikat
burung hong), balas menyerang dengan tenaga lwekang yang
lemah halus.
Bermula Kau-hun-sam-nio-cu tak memandang samasekali
terhadap anak muda itu. Pikirnya, sekali gebrak tentu akan
berhasil meringkusnya. Maka dapatlah dibayangkan betapa
kagetnya ia, demi anak muda itu melancarkan dua buah
serangan lwekang keras dan lemah. Angin pukulannya tadi,
menjadi sirna dayanya.
Namun tak kecewa ia dimalui oleh kaum persilatan. Dalam
gugupnya, masih ia dapat gunakan jurus-jurus hu-yan-kui-soh
dan hun-liong-san-sian, untuk berjumpalitan beberapa kali
sehingga mencapai kedekat dinding. Dengan begitu dapatlah
ia terhindar dari serangan si anak muda yang lihay itu.
Sebaliknya melihat wanita itu pontang panting begitu rupa,
Siau Ih tertawa dingin, serunya mengejek: „Ilmu kepandaian
kaum Song-sat, kiranya hanya begitu saja!"
Saat itu wajah Li Thing-thing sudah gelap membesi, hawa
pembunuhan memancar-mancar. Dengan geramnya ia
berseru: „Anak liar, jangan kira nonamu tak dapat memikat
jiwamu, merampas ragamu. Coba kau rasakan ini lagi!"
Sekali tangan merabah ke pinggang, ia sudah lantas
menarik ikat pinggangnya. Ikat pinggang itu terbuat dari kain
sutera berwarna pelangi: merah, oranye, kuning, biru laut,
hijau, biru, dan ungu. Lebarnya antara tiga jari dan
panjangnya ada dua tombak lebih. Sabuk atau ikat pinggang
itu bukan benda sembarangan, melainkan senjata istimewa
yang telah mengangkat nama dari bibinya (isterinya Hiat-sat)
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tempo dahulu. Itulah yang disebut chit-po-to-hun-tay atau
sabuk tujuh mustika perampas jiwa.
Siau Ih tak mengetahui akan senjata itu. Namun menilik
kepandaian lawan itu cukup tinggi, diapun tak berani
meremehkan. Untuk mengimbangi, diapun melolos pedang
pusaka Thian-coat-kiam. Melintangkannya ke dada, berserulah
dia dengan tertawa dingin: „Lain orang mungkin jeri terhadap
kaum Song-sat, tapi hal itu tak berlaku padaku!"
Api kemarahan Li Thing-thing makin seperti disiram minyak.
Di iring dengan suitan melengking nyaring, ia kebutkan ikat
pinggang itu ke arah kepala si anak muda. Melihat
perbawanya amat dahsyat, Siau Ih cepat-cepat salurkan
lwekang lalu dengan jurus hun-jum-mu-soh (awan bergerak
embun menutup), pedang diputar deras untuk melindungi
dirinya.
Sejak kecil Kau-hun-sam-nio-cu Li Thing-thing itu telah
digembleng oleh ayah dan pamannya yang bergelar Song-sat
atau sepasang iblis itu. Bahwa kedua Song-sat itu tergolong
dalam sepuluh Datuk, maka dapat dibayangkan kalau Li
Thing-thing itu bukan alang-alang lihaynya. Gebrak permulaan
tadi, ia segera mengetahui bahwa kepandaian anak muda itu
lebih tinggi sedikit dari dia. Kalau tak menggunakan otak dan
kelincahan, ia pasti kalah.
Sebagai ahli silat, iapun cepat dapat mengetahui bahwa
pedang pemuda lawannya itu, bukan sembarang pedang,
sekurang-kurangnya pasti sebuah pedang pusaka yang dapat
menabas putus tebaran rambut. Kuatir kalau ikat pinggangnya
terpapas kutung, ia turunkan gerakannya. Kini dari atas, ikat
pinggang itu berombang-ambing turun menyapu perut si anak
muda.
„Bagus!” Siau Ih tertawa dingin, ujung kaki ditekan pada
lantai terus melambung dalam gerak cek-siang-ceng-hun
(langsung melonjak ke awan), sembari putar pedangnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam jurus pian-say-thian-hoa Sepuyuh angin dahsyat
menyambar-nyambar.
Ternyata Kau-hun-sam-nio-cu tak kecewa menjadi momok
perempuan. Waktu pedang menyambar, pinggangnya yang
kecil ramping bergeliatan laksana seekor ular, mengisar
kesebelah kiri. Begitu pundak hampir mendatar kelantai,
tangan kanan mengibaskan jurus to-thoan-cu-lian. Ikat
pinggang chit-po-toh-hun-tay, melilit-lilit ke atas. Syukur Siau
Ih yang serangannya gagal tadi, buru-buru pijakkan kaki kiri
ke atas punggung kaki kanan dan dengan meminjam tenaga
pijakan itu, dia melayang ke samping beberapa meter.
Walaupun baru bergebrak dalam tiga jurus, namun kedua
seteru itu sudah menginsyafi bahwa kepandaian lawan
memang luar biasa. Bagi Siau Ih, sejak keluar dari perguruan,
belum pernah dia mendapat lawan setangguh Kau-hun-samnio-
cu itu. Oleh karenanya, dalam setiap gerak dan jurus, dia
selalu amat berhati-hati.
Sedang Kau-hun-sam-nio-cu pun demikian juga. Melihat
pedang dan ilmu permainan anak muda itu lain dari yang lain,
iapun tak berani lengah.
Dalam beberapa kejap saja, duaratus jurus telah
berlangsung, suatu pertempuran yang benar-benar memeras
tenaga. Li Thing-thing adalah seorang wanita, tambahan pula
ia gemar pelesir. Makin pertempuran berjalan lama, makin
payah baginya. Napasnya tersengal-sengal, dahinya
bercucuran keringat dan gerakannyapun makin kurang
kecepatannya.
Sedang celakanya, anak muda lawannya itu adalah
sebaliknya. Pertama, dia hendak menuntut balas atas
kematian sang ayah bunda dan kedua kali, dia masih seorang
taruna yang masih sedang kuat-kuatnya. Lebih-lebih dia
merasa muak terhadap gerak gerik wanita cabul itu. Dia tak
mau sungkan-sungkan lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thui-jong-ong-gwat atau mendorong jendela melihat
rembulan, adalah jurus yang saat itu dilancarkan dengan
sekuat tenaga. Dan karena Kau-hun-sam-nio-cu sudah kurang
tenaganya, maka ikat pinggang chit-po-toh-hun-tay nya pun
kena ditampar ke atas udara. Dan kesempatan itu segera
digunakan Siau Ih untuk meneruskan dengan sebuah tusukan
ke mukanya.
Li Thing-thing menjerit kaget, namun betapa cepatnya ia
coba menyurutkan kepalanya, tak urung beberapa tali kain
pembungkus kepalanya telah kena terpapas.
Wajah wanita cabul itu pucat lesi, semangatnya serasa
terbang. Diam-diam dia mengeluh, bahwa kali ini terang ia tak
bakal menang. Sebagai seorang persilatan yang kaya
pengalaman, walaupun menghadapi bahaya, tetap ia berlaku
tenang.
Secepat tangan kiri dibalikkan, dua buah jarinya ditusukkan
kepergelangan tangan si anak muda. Dan ketika lawan
menarik pulang tangannya, ia sudah enjot tubuhnya melayang
ke atas tembok. Untuk mencegah pengejaran lawan, ia
timpukkan sebuah obat pasang yang menghamburkan awan
hijau.
Siau Ih mundur tiga langkah sembari putar pedangnya
untuk melindungi diri. Tapi ketika awan hijau itu sudah
menipis, ternyata Li Thing-thing sudah tak tampak
bayangannya lagi. Cepat dia loncat ke atas tembok untuk
mengejar, tapi sekilas dia teringat sesuatu: „Ah, wanita jahat
itu amat licin, jangan-jangan dia hendak memikat aku, lalu
balik kemari mencelakai Tan Wan .........”
Terpaksa dia batalkan langkah dan kembali ke atas loteng
lagi.
17. Lolos Dari Lubang Jarum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tan Wan masih tidur, tapi kuatir kalau Li Thing-thing telah
melakukan sesuatu padanya, dia cepat-cepat memeriksa
tubuh anak itu.
Setelah ternyata tak kurang suatu apa, barulah lega
hatinya. Dia duduk menyandar pada tembok. Lebih dulu
diambilnya bakpao dan ayam panggang tadi, baru kemudian
membuka jalan darah Tan Wan yang tertutuk tadi.
Melihat Siau Ih duduk didekatnya dengan mengulum
senyum, Tan Wan bersyukur tak terhingga. Dia coba bergeliat
bangun, lalu berkata: „Karena seorang Tan Wan, kongcu telah
mendapat banyak kesulitan ...........”
„Memberi pertolongan pada orang yang mendapat
kecelakaan, adalah sudah menjadi tugas kaum persilatan
seperti kita. Kalau saudara Tan masih mengungkat yang tidaktidak,
pertanda pikiranmu itu berlainan!" tukas Siau Ih.
Diambilnya sebiji bakpao dan separoh ayam panggang, lalu
diberikan pada kawannya itu.
„Manusia bukan mesin, jadi tak dapat hidup tanpa makan.
Lebih-lebih saudara Tan baru sembuh betul, jadi tak boleh
berkosong perut. Ayuh, kita makan bakpao dan ayam
panggang ini!”
Terhadap pribadi dan kepandaian Siau Ih, Tan Wan kagum
tak terhingga. Apalagi pemuda itu amat memperhatikan sekali
padanya, ini membuatnya makin menggores dalam-dalam rasa
patuhnya.
„Terhadap pribadi kongcu yang gagah budiman itu, Tan
Wan amat mengindahkan sekali. Kongcu telah menolong
jiwaku, entah bagaimana aku dapat membalasnya. Asal Tan
Wan masih bernyawa sekalipun kongcu menyuruh aku
menerjang lautan api rimba golok, Tan Wan tak nanti
menolak."
Sejak berada dibukit Kun-san, Tan Wan selalu
membahasakan ‘kongcu’ (tuan muda) pada Siau Ih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebaliknya untuk menyatakan sikapnya yang terbuka, Siau Ih
memanggilnya ‘saudara’.
Dulupun Tan Wan pernah mengutarakan maksudnya untuk
mengikut Siau Ih, agar dengan demikian dapatlah dia
menunaikan dua macam tugasnya. Pertama, membalas budi
Siau Ih dan kedua membalas budi suhunya dalam menuntut
balas kepada orang-orang Thiat-san-pang.
Tapi Siau Ih hanya ganda tertawa saja dan belum
menyatakan sesuatu.
Kini setelah beberapa hari bergaul, keduanya makin lebih
mengetahui pribadi masing-masing. Tan Wan dapatkan bukan
saja Siau Ih seorang pemuda yang cerdas, pun juga berbudi
terbuka tangannya.
Sebaliknya Siau Ih pun menganggap bahwa sekalipun Tan
Wan itu berasal dari kaum persilatan penyamun, tapi
mempunyai rasa setia dan tahu membalas budi. Apa yang
diucapkan anak muda itu tadi, tentulah benar-benar keluar
dari setulus hatinya.
„Nilai dari orang bersahabat, ialah kenal hati masingmasing.
Apabila setiap kali mengucapkan terima kasih untuk
suatu urusan kecil saja, tandanya dia itu berhati palsu. Semisal
bunga teratai merah dan putih, pun semua aliran persilatan
itu, serumpun asalnya. Saling bantu membantu, adalah sudah
menjadi kewajiban bagi kaum persilatan. Entah bagaimana
pendapat saudara Tan tentang kata-kataku,” kata Siau Ih.
Karena dipandang lekat-lekat, muka Tan Wan menjadi
merah dan dengan kemalu-maluan menundukkan kepala dia
mengiakan.
„Kalau saudara Tan menganggap benar, maka mulai saat
ini janganlah memanggil aku dengan sebutan ‘kongcu’ lagi!"
Tergerak hati Tan Wan akan pernyataan terbuka dari
pemuda gagah itu. Dengan suara nyaring, dia berseru: „Tan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wan merasa bersyukur sekali, bahwa seorang yang berasal
dari kalangan begal macam aku ini, dapat diterima menjadi
seorang sahabat .....”
„Ai, batas antara baik dan jahat itu, amatlah tipis sekali.
Penghidupan ini bagaikan sebuah bahtera melayari lautan.
Sedikit kita nyeleweng mengayuh, tentu akan membiluk ke
jalan yang hina. Tapi asal kita sadar dan buru-buru
memperbaiki kesesatan itu, itupun sudah cukup. Sesama
kaum persilatan, rasanya tiada perbedaan siapa golongan lioklim
(begal), siapa golongan ceng-pay (baik).”
Mendengar itu, Tan Wan menghela napas, ujarnya:
„Mendengar petuah seorang bijaksana, jauh lebih bermanfaat
dari membaca buku sepuluhan tahun. Tan Wan akan
berterima kasih sekali apabila sering-sering mendapat nasehat
berharga.”
Siau Ih peringatkan bahwa pemuda she Tan itu masih
belum sembuh betul, sebaiknya lekas makan dan beristirahat
lagi. Begitulah keduanya segera menggasak habis-habisan
beberapa bakpao dan dua ekor ayam panggang itu.
Habis makan, kembali Siau Ih suruh kawannya menelan
sebuah pil. Kuatir kalau membikin kaget, Siau Ih sengaja tak
mau menceritakan tentang peristiwa Li Thing-thing tadi.
Singkatnya saja, malam itu mereka tidur dengan tiada terjadi
suatu apa.
Keesokan harinya, sesudah memberi obat lagi, Siau Ih
mengeluarkan bumbung yang berisi sembilan butir jarum
beracun itu. Dia mengatakan hendak membeli rangsum kering
dan memesan pada Tan Wan, apabila ada musuh datang
mengganggu, boleh disambut dengan jarum itu.
Menyambuti bumbung jarum itu, bertanyalah Tan Wan
dengan heran: „Kalau tak salah inilah jarum beracun kiu-tiamting-
sing-ciam yang dilarang dipergunakan oleh kaum
persilatan. Maaf, dari mana saudara Siau mendapatkannya?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk menghilangkan salah paham, terpaksa Siau Ih
menuturkan apa yang terjadi dihalaman muka makam Gakong
tempo hari.
Tan Wan makin terkejut dan menyatakan akan menjaga
senjata rahasia itu baik-baik, agar jangan sampai jatuh
ketangan sesuatu orang persilatan.
Siau Ih yang masih kuatir terhadap Kau-hun-sam-niocu,
sebenarnya hendak menceritakan peristiwa itu kepada Tan
Wan, tapi pada lain kilas dia merasa tak leluasa. Akhirnya dia
hanya memesan supaya sang kawan itu berlaku hati-hati saja.
Demikianlah Siau Ih segera pergi keluar untuk membeli
rangsum dan dua guci arak, lalu kembali ke kuil rusak lagi.
Oleh karena beberapa hari kemudian tak terjadi suatu apa,
Siau Ih pun sudah mengesampingkan peristiwa Li Thing-thing
itu. Dalam pada itu, luka-luka hajaran cambuk dipunggung
Tan Wan pun sudah sembuh sama sekali.
Kembali Tan Wan utarakan maksudnya untuk mengikut
anak muda itu.
Kali ini terpaksa Siau Ih menerima perbaik. Pertama,
karena melihat kesungguhan hati anak itu dan kedua kali
dengan mempunyai seorang kawan, rasanya dia takkan
kesepian dalam perjalanan. Sudah tentu Tan Wan kegirangan
setengah mati.
Mereka tinggalkan kuil itu menuju ke dalam kota Ik-yangseng.
Disitu Siau Ih membeli dua ekor kuda dan beberapa stel
pakaian, baru meneruskan perjalanan lagi.
Kira-kira sepuluhan hari, tibalah mereka di propinsi Kwiciu.
Oleh karenanya senjata toja kiu-hap-kim-si-pang telah hilang
di Gak-ciu, maka Tan Wan segera mencari tukang besi untuk
membuatnya lagi sebatang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selesai itu, mereka lanjutkan pula perjalanan. Setelah
memasuki daerah pegunungan mereka siap melintasi sebuah
gunung, masuk ke propinsi Oulam terus ke Tiang-jong-sam.
Keadaan gunung itu, ternyata penuh dengan tebing karang
yang curam, puncak-puncak yang menjulang menyusup awan
dan jalanan-jalanan yang berliku-liku amat berbahayanya.
Meskipun kala itu baru bulan sepuluh, namun matahari
dimusim rontok masih terik.
Belum tengah hari, keduanya sudah masuk sampai
seratusan li. Tiba-tiba Siau Ih tarik kendalinya. Menunjuk ke
arah sebuah pohon besar. Dia ajak Tan Wan beristirahat
mengisi perut.
Selagi mereka duduk di bawah pohon besar, sembari
menikmati ransum kering, tiba-tiba terdengar angin
membawakan suara kelinting kuda. Mendongak ke muka, Siau
Ih tampak ada dua ekor kuda tegar tengah mendatangi
dengan pesat.
Yang dimuka, seorang lelaki tegap bermuka brewok,
mengenakan pakaian ringkas warna merah. Usianya kurang
lebih empatpuluhan tahun.
Sedang yang di belakangnya, ialah seorang wanita
berkerudung muka dan mengenakan pa¬kaian ringkas warna
hijau. Dalam sekejap mata saja, kedua penunggang kuda itu
sudah tiba di muka pohon besar.
Wanita pakaian hijau itu tiba-tiba gunakan tangan kiri
untuk menjambret kerudung mukanya. Dua biji mata yang
memancarkan sinar mendendam benci, segera memandang
lekat-lekat ke arah Siau Ih. Mulut mendengus, tangannya
bergerak mengantarkan sang tubuh loncat dari atas kuda,
terus berlari melewati tempat Siau Ih dengan cepatnya.
„Dia lagi!" diam-diam Siau Ih mengeluh kaget.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang wanita itu bukan lain ialah si Kau-hun-sam-niocu
Li Thing-thing, itu wanita cabul yang coba hendak memikat
Siau Ih dikuil rusak. Munculnya wanita itu ditempat yang
sesunyi seperti daerah pedalaman gunung Tay-lou-san, telah
membuat Siau Ih terkejut bukan kepalang.
„Siau-heng, mengapa wanita itu mengawasi begitu
membenci kepadamu?" tanya Tan Wan yang tak mengerti
duduk perkaranya.
Sejenak merenung, Siau Ih gelengkan kepalanya: „Dalam
perjalanan nanti, kita mungkin menghadapi beberapa
peristiwa. Tapi apapun yang akan terjadi, harap saudara Tan
jangan ikut campur tangan."
Masih Tan Wan bersitegang leher: „Meskipun Siau-heng tak
mengatakan, tapi kiranya sudah jelaslah. Wanita baju hijau itu
tentu mempunyai dengki asmara terhadap Siau-heng, kalau
tidak masakah sorot matanya begitu buas?"
Menyandarkan kepalanya ke batang pohon, Tan Wan
melirik ke arah Siau Ih lalu kembali tertawa: „Seorang anak
muda seperti Siau-heng itu, tentu sukar menghindarkan diri
dari libatan-libatan macam itu. Tapi biar bagaimana juga,
kalau suruh siaote berpeluk tangan, sungguh sukar sekali.
Sudah tentu siaote tak mau ikut campur dalam urusan pribadi
Siau-heng."
Ai, anak itu! Dia sudah salah taksir, siapa Siau Ih dan, siapa
wanita Li Thing-thing itu. Suatu hal yang membuat Siau Ih
tertawa meringis.
Apa boleh buat, terpaksa dia tuturkan apa yang telah
terjadi ketika berada dalam kuil rusak tempo hari itu. Tapi
yang diceritakan hanyalah pertempurannya dengan wanita itu,
sedang perbuatan tak senonoh dari Li Thing-thing tiada
disinggung-singgungnya.
„Mengapa Siau-heng tak siang-siang memberitahukan
siaote?" tanya Tan Wan dengan heran-heran menyesal.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siau Ih hanya tertawa dan menerangkan bahwa mengingat
Tan Wan masih dalam keadaan sakit, sebaiknya tak usah
memikirkan urusan-urusan tetek bengek semacam itu.
Li Thing-thing seorang durjana perempuan yang
termasyhur jahat dalam dunia persilatan, maka lebih baik Tan
Wan jangan turut terlibat dalam peristiwa itu.
„Kalau toh wanita itu sedemikian jahatnya, tak perlu kita
takut. Apalagi demi untuk ‘kepentingan sahabat’, sekalipun
tubuh berhias luka, juga harus memberi bantuan. Lebih-lebih
Siau-heng adalah penolong jiwaku," kata Tan Wan.
Sejenak kemudian, dia berkata pula: „Tapi kalau Siau-heng
menganggap Tan Wan ini seorang yang berkepandaian rendah
dan tiada berguna, sampai disini saja aku hendak minta diri.”
Mengetahui orang sudah salah paham dan menilik sikap
Tan Wan begitu sungguh, Siau Ih tergerak hatinya.
Berbangkit bangun, dia cekal sepasang tangan anak itu,
katanya: „Sedikitpun tiada aku mengandung hati begitu, harap
saudara Tan jangan salah mengerti. Seorang yang mempunyai
sahabat sejati, meskipun hanya seorang saja, tapi itu sudah
cukup membahagiakan."
Kini baru Tan Wan dapat tertawa lebar dan menyatakan
agar Siau Ih basmi saja wanita sejahat itu.
„Ah, aku tak berani mengharap terlalu banyak. Seorang
yang masih muda dan kurang pengalaman seperti aku ini,
harus tahu diri. Li Thing-thing seorang jagoan wanita yang
termasyhur. Terhadap dia, paling banyak aku hanya dapat
menghancurkan kegarangannya tapi tak dapat
membunuhnya.''
„Itu sudah cukup menggembirakan,” Tan Wan memberi
komentar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua saling tertawa dan karena matahari sudah condong
ke sebelah barat, buru-buru mereka mengemasi ransum dan
guci arak.
„Kalau tiada terjadi suatu apa, malam ini kita tentu dapat
melintasi gunung ini. Tapi menurut perasaan siaote, rasanya
tidak seperti apa yang kita harapkan,” kata Tan Wan sembari
mengusap-usap senjatanya kiu-hap-kim-si-pang".
Mereka mencongklangkan kudanya menyusur jalanan yang
melingkar-lingkar di antara lamping dan puncak gunung.
Sekonyong-konyong dari tempat yang tak berapa jauh,
terdengarlah sebuah suitan nyaring. Ya, sedemikian
nyaringnya hingga seperti memekakkan telinga dan menyusup
ke dalam angkasa.
Siau Ih yang memiliki lwekang tinggi, tampak biasa saja.
Sebaliknya Tan Wan sudah kaget seperti terbang
semangatnya. Sampaipun kedua ekor kuda tunggangan
mereka itupun, saking kagetnya sampai meringkik-ringkik dan
melonjak ke atas.
Siau Ih jepitkan kakinya kencang-kencang ke perut kuda.
Dengan tangan kiri menekan kepala kudanya, tangan kanan
menyambar kepala kuda Tan Wan terus ditekan ke bawah,
katanya: „Tenangkan hatimu, jangan takut!"
Mendongak ke atas, Siau Ih lepaskan sebuah tertawa
panjang. Nadanyapun tak kurang hebatnya, bergema jauh
sampai ke atas awan. Seperti tertekan tenaga kuat, lengking
tertawa yang pertama tadi, segera cep-kelalep (sirap).
„Ah, sungguh berbahaya. Kalau Siau-heng tak hebat
lwekangnya, entah bagaimana akibatnya tadi. Menilik semuda
itu usianya dia sudah memiliki kepandaian yang sedemikian
saktinya, sungguh aku harus merasa malu," diam-diam Tan
Wan berkata dalam hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Siau Ih pun sudah berhenti tertawa,
katanya: „Memang tepat dugaan saudara Tan itu. Wanita
jahat itu benar akan memegat kita, mari kita saksikan
bagaimana nanti."
Mencongklang lagi ke muka, mereka mengitari sebuah
tikungan dan kini tibalah mereka pada sebuah tanah terbuka.
Karena di empat penjuru dikelilingi puncak-puncak gunung,
jadi daerah itu mirip dengan sebuah lembah cekung. Siau Ih
hentikan kudanya dan mengawasi ke sekeliling itu.
Sayup-sayup di atas sebuah batu besar yang terletak
ditengah karang, tampak berdiri sesosok tubuh langsing
berwarna hijau. Meskipun masih jauh, tapi dapatlah diduga
bahwa orang itu tentulah si Kau-hun-sam-niocu Li Thing-thing.
Siau Ih heran juga mengapa tadi ada dua orang tapi
sekarang hanya ada seorang saja. Buru-buru dia berpaling ke
belakang dan memperingatkan agar Tan Wan berlaku
waspada.
Oleh karena sejak kecil sudah biasa ikut pada suhunya Sinheng
bu-ing Kiau Bo berkelana di dunia persilatan, jadi
pengalaman Tan Wan pun sudah cukup banyak. Diapun heran
juga mengapa tak melihat si lelaki brewok yang berpakaian
warna merah tadi. Sembari mengiakan peringatan Siau Ih,
diapun lekas-lekas mempersiapkan senjatanya.
Pada saat itu, tiba-tiba tampak Li Thing-thing gerakkan
kedua lengannya dan bagaikan kapas terbang, ia melayang ke
bawah.
Siau Ihpun cepat-cepat loncat turun dari kudanya.
Sewaktu menurun, wanita itu cepat sudah tamparkan
tangannya ke bawah.
Siau Ih bersuit keras, kedua lengan bajunya agak
dikebutkan, tubuhnya loncat ke atas sampai satu tombak.
Sesudah berhasil menghindari angin pukulan lwekang lawan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dia berjumpalitan di atas udara dengan kaki di atas dan kepala
di bawah, dia balas menghantam lawan.
“Plak,” terdengarlah suara benturan keras, ketika Kau-hunsam-
niocu balikkan tangan menangkis. Dan apa yang terdjadi?
Sekali berjumpalitan, Siau Ih turun dengan tenangnya ke
bumi.
Sebaliknya Li Thing-thing terhuyung-huyung sampai tujuhdelapan
tindak. baru dapat berdiri jejak.
„Li Thing-thing, malam itu aku telah memberi ampun
padamu, seharusnya kau tahu diri dan angkat kaki jauh-jauh.
Tapi mengapa kau masih berani menghadang aku lagi?
Apakah kau sudah tak mempunyai rasa malu lagi!" seru Siau
Ih tenang-tenang.
Oleh karena sudah melepaskan kain kerudung, jadi jelaslah
bagaimana wajah Li Thing-thing saat itu berwarna gelap,
sepasang matanya memancarkan api pembunuhan.
Menatap si anak muda, ia tertawa iblis: „Aku selalu
membayar setiap hutang. Oleh karena kebetulan bertemu di
selat gunung sini, maka akupun hendak melunaskan rekening
lama. Beritahukan nama, agar mudah nanti aku melapor pada
raja akhirat!”
Siau Ih mendongak tertawa lepas.
„Masih menepuk dada bermulut besar hem, sungguh tak
malu. Tuanmu ini bernama Siau Ih, ayuh, kau mau apa?”
„Hendak kurenggut jiwamu kuganyang dagingmu ……”
„Hem, enaknya,” tukas Siau Ih sejenak tertawa lalu berseru
lagi dengan wajah keren: „Li Thing-thing, tanganmu
berlepotan darah, tubuhmu berlumuran dosa. Bertahun-tahun
kau malang melintang mengumbar keganasan. Pepatah
mengatakan 'membasmi seorang jahat itu, jasanya tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ternilai'. Malam ini aku hendak melakukan amanat bertuah itu,
melenyapkan seorang siluman jahat!''
Dengan kata-kata itu, Siau Ih sudah menumpahkan seluruh
isi dendamnya atas kematian sang ayah bunda. Dari seorang
pemuda yang cakap, saat itu Siau Ih berobah menjadi
harimau buas yang haus darah. Pedang Thian-coat-kiam cepat
disiapkan dan dengan mata berkilat-kilat dia siap menanti
lawan.
Tan Wan yang mengawasi dari samping, hanya mengetahui
bahwa sang kawan itu amat marah sekali terhadap wanita
cabul yang jahat itu. Tapi dia tak tahu sama sekali akan
libatan urusannya lebih jauh.
Kau-hun-sam-niocu Li Thing-ting balas tertawa melengking
nyaring. Dalam tertawa itu, tubuhnya menyurut mundur dan
secara tak terduga-duga sebuah kain pelangi sudah
menyambar ke arah Siau Ih.
Waktu Siau Ih gunakan pedang untuk memapas, Kau-hunsam-
niocu perdengarkan tertawa dingin. Kakinya bergerak
mundur lalu maju pula. Tangan kanan menyambar bagian
tengah kain ikat pinggang itu, terus dikebutkan ke muka.
Selembar ikat pinggang chit-po-toh-hun-tay yang
panjangnya dua tombak, dalam permainan Li Thing-thing, kini
berobah menjadi dua.
Siau Ih tunggu sampai ujung senjata lawan itu hampir
mengenai bahunya, baru dia agak turunkan tubuhnya ke
bawah. Setelah menghindar itu, dengan tangkas dia kirim
sebuah tusukan ke arah tenggorokan lawan.
Kembali kedua seteru itu, lanjutkan pertempuran dahulu
yang belum selesai. Hanya saja dalam gebrak permulaan itu,
keduanya gunakan jurus-jurus baru.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-ngentot-dewasa-si-rase-kemala-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Ngentot Dewasa : Si Rase Kemala 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-ngentot-dewasa-si-rase-kemala-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar