Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 27 Juli 2012

Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1-Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1-Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1-Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1-Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1.

Bab 1
Tetamu maut
Hwe-sian-hong atau puncak pertemuan Dewa,
merupakan puncak yang tertinggi dari gunung Tiang-peksan.
Disebut puncak pertemuan Dewa, karena puncaknya
menembus awan sehingga tak tampak, Begitu pula selalu
diselimuti oleh salju putih, Empat penjuru dikelilingi jurang
yang curam dan tebing yang terjal.
Diatas segunduk karang datar seluas beberapa tombak
dari puncak Hwe-sian-hong yang dingin itu, sesosok tubuh
tengah tegak bagaikan sebuah tonggak.
Dia seorang pemuda yang baru berumur sekitar 18
tahun. Bertubuh kekar dan berwajah cakap. Wajahnya
putih segar, dimeriahkan oleh sepasang bibir yang merah
dan disemarakkan oleh sepasang biji mata yang bersinar
terang.
Dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian yang biasa
digunakan oleh kaum persilatan. Memakai kain kepala Buseng
kin atau ikat kepala kaum persilatan untuk menahan
angin dan hawa dingin, diapun mengenakan sehelai mantel
berwarna kuning telur.
Bahu, punggungnya menyanggul sebatang pedang
pusaka yang aneh bentuknya. Tangkai pedang berikatkan
sutera merah yang halus seperti rambut.
Pemuda itu memandang cakrawala, wajahnya tampak
sarat dan membeku. Dia tak menghiraukan tebaran salju
yang berhamburan mendera muka dan tubuhnya.
Sesaat kemudian terdengar mulutnya menghela napas,
sarat dan panjang, Seolah sedang merenungkan sesuatu
yang penting.
Memang aneh sekali, Mengapa seorang diri dia berdiri
diatas karang yang sedang dilanda angin prahara dan hujan
salju.
Tetapi dari kerut wajah dan helaan napasnya itu, jelas
dia tentu sedang menghadapi suatu persoalan yang
menggelisahkan hatinya.
Memandang cakrawala yang tengah menaburkan hujan
salju itu, mulut pemuda itu tampak bergerak-gerak, Seperti
seorang yang tengah berdoa atau bicara seorang diri.
Dan tempat seperti itu, dia tegak seorang diri diatas
karang ? Apakah yang sedang diucapkan dalam doanya ?
Mengapa ia menghela napas sedemikian sarat ?
Sekonyong-konyong matanya memancar sinar berkilat
tajam sekali. Tetapi pada lain saat, sinar tajam itupun
lenyap. Dan kerut wajahnyapun menampilkan suatu
keputusan yang kokoh. Rasanya dia telah menentukan
suatu keputusan pada persoalan yang tengah dihadapinya.
Dia telah menemukan suatu penyelesaian....
Tiba2 dibawah tebaran salju putih yang lebat,
terdengarlah dua buah suara orang berteriak nyaring:
"Liong koko.... Liong koko..."
Teriakan itu bernada cemas dan gugup, pemuda itu
terkejut lalu berputar tubuh dan berseru keras:
"Adik Lan, aku disini...!"
Sesosok bayangan putih, bagai seekor kupu2, segera
beterbangan melintas hujan salju, meluncur kearah tempat
pemuda itu.
Pemuda itu terkejut Cepat ia lari menyongsong : "Adik
Lan, jangan kemari, disini angin keliwat besar, Berbahaya
sekali !"
Tetapi bayangan putih itu tak mengurangi laju larinya
dan beberapa saat kemudian dia sudah makin dekat
Ah, kiranya dia seorang dara cantik yang baru berumur
16-an tahun. sepasang alisnya yang melengkung seperti
bulan sabit, menaungi sepasang gundu mata yang
memancarkan sinar bening. Bibirnya yang berbentuk
sepasang kelopak bunga mawar, makin menyemarakkan
wajahnya yang berbentuk bundar telur, Kulitnya yang putih
mulus makin mulus dimahkotai rambut yang hitam legam.
Dara itu juga mengenakan pakaian ringkas warna putih
dan mantel pendek penolak angin.
Melihat dara itu lari sedemikian gopoh dan wajah cemas,
sambil pesatkan larinya, pemuda itu berseru:
"Adik Lan, apakah terjadi sesuatu dalam kuil?"
Seiring dengan kata katanya maka berhadapanlah
sepasang muda mudi itu dibawah karang.
Wajah dara itu amat pucat dan sikapnya amat gelisah,
Dengan napas terengah dan suara gemetar, ia berkata:
"Liong koko, katanya banyak sekali kojiu (jago2 sakti)
yang akan datang ke kuil sore ini,Mereka hendak memaksa
Ban Hong Liong-li Ho-cianpwe yang bertapa selama lima
tahun dalam gua Kiu-kiok-tong keluar untuk menerima
hukuman mati."
Menggigillah pemuda itu demi mendengar keterangan si
dara.
"Siapa yang bilang ?" serunya bengis.
Dara itu melonjak kaget karena mendengar suara si
pemuda yang sekeras orang membentak.
"Suhu mengatakan hal itu kepada berdua susiok-cou."
Belum dara itu selesai bicara, tiba2 pemuda itu tertawa
nyaring, Nadanya penuh getaran dari isi hatinya.
Kumandangnya jauh menyusup keatas awan.
Setelah puas menumpahkan isi hatinya dalam tertawa
yang keras dan panjang itu, tiba2 pemuda itu meraba ke
bahu punggungnya dan tring...
Sinar merah memancar tajam, menyilaukan mata, Dan
tangan pemuda itupun sudah mencekal sebatang pedang
berwarna merah, Pedang itu panjangnya hampir satu meter.
Kilatan sinar merah dari pedang itu seolah menembus
kabut tebaran salju putih, Menimbulkan suatu cahaya
bianglala yang menakjubkan pandang mata.
Dara baju putih menjerit kaget dan loncat mundur
sampai setombak jauhnya.
Sambil lintangkan pedang, pemuda itu tertawa nyaring
pula serunya:
"Selama aku, Siau Gin Liong masih berada disini, tak
mungkin kubiarkan orang akan mengacau Tiang-pek-san !"
Seiring dengan cahaya wajahnya yang menampilkan
hawa pembunuhan maka pedang itupun segera ditabaskan
pada segunduk anak bukit salju di sampingnya.
"Bum..."
Tumpukan salju yang merupakan sebuah gunduk anak
bukit itu segera terbang berhamburan ke seluruh penjuru.
Dara baju putih menjerit dan loncat mundur beberapa
langkah lagi. Sambil menuding kearah pedang yang
dipegang si pemuda, dara itu berseru gemetar:
"Liong koko itu . . . itu apakah bukan pedang Tanduk
Naga yang tergantung pada tirai besi mulut gua Kiu-kioktong
tempat Ban Hong Liong-li lo-cianpwe bertapa ?"
"Benar," sahut pemuda yang bernama Siau Gin Liong,"
memang inilah pedang pusaka Tanduk Naga !"
Habis berkata ia terus memasukkan pedang kedalam
kerangkanya lagi.
Tepat pada saat itu terdengar beberapa suitan nyaring
dan panjang menggema di udara, Suitan itu berasal dari
puncak disebelah muka.
Suitan itu amat kuat dan berasal dari puncak yang jauh.
walaupun salju turun lebat dapat mengumandang
sedemikian nyaring. Jelas orang itu tentu memiliki tenaga
dalam yang sakti
"Ho, biarlah aku yang akan menghadapi kawanan
pembunuh itu lebih dulu," teriak Gin Liong dengan marah,
Laksana segulung asap, dia terus meluncur kearah suara
suitan itu.
"Liong koko, kembalilah...." belum dara baju putih itu
menyelesaikan peringatannya kepada Gin Liong, tiba2 dia
tergelincir dan jatuh jungkir balik diatas tanah salju.
Gin Liong berpaling, Kejutnya bukan kepalang. Sekali
ayunkan tubuh dalam jurus Berputar-tubuh-terbang-balik, ia
berputar-putar dan lari menghampiri.
Pemuda itu bahwa tahu sumoaynya, Ki Giok Lan itu
seorang yang berbudi halus dan berbadan lemah, sering
sakit. Dalam menghadapi peristiwa yang menggoncangkan
hati, tentulah Giok Lan tak kuat dan rubuh pingsan.
Diangkatnya tubuh Giok Lan diatas pangkuannya.
Setelah diurut-urut jalan darahnya, dara itu pelahan-lahan
membuka mata, Dua butir air mata menitik turun dari
kelopaknya...
"Liong koko, jangan pergi," katanya sambil menatap
wajah pemuda itu dengan pandang meminta, "kata suhu
mereka adalah jago2 yang sakti."
Gin liong mendengus geram.
"Sekalipun mereka jago2 sakti dari delapan penjuru
dunia, aku Siau Gin Liong tetap akan menghadapi mereka."
Yok Lan gemetar pula, Dengan mata berlinang-linang, ia
memandang wajah Gin liong, serunya dengan gemetar:
"Liong koko, jangan pergi, jangan engkau pergi..."
Gin liong tahu bahwa sumoaynya itu amat sayang
kepadanya dan memikirkan keselamatan dirinya, Apabila
dia berkeras tetap pergi, kemungkinan Yok Lan tentu akan
pingsan. Terpaksa ia menekan kemarahan dan berulang kali
menganggukkan kepala, namun pandang mata tetap
berkeliaran memandang ke arah suitan itu.
Suitan sudah berhenti tetapi kumandangnya masih
bergema, jauh dibawa deru angin dingin ke ujung langit.
Setelah sukonya meluluskan tidak pergi, Yok Lan lalu
menggeliat bangun dan pelahan-lahan berdiri.
Tepat pada saat itu terdengar suara pakaian bertebaran
ditampar angin, Datangnya suara itu dari puncak disebelah
muka.
Gin liong dan Yok Lan setempat berpaling ke arah suara
itu.
Dibawah tebaran hujan salju yang lebat tampak tujuh
sosok bayangan meluncur bagai anak panah terlepas dari
busurnya.
Sepasang alis Gin Liong cepat menjungkat dan matanya
berkilat-kilat. Melihat kokonya hendak bergerak, cepat2
Yok Lan ulurkan tangan mencekal lengan Gin Liong.
Tetapi belum sempat ia membuka mulut tiba2 terdengarlah
bunyi genta raksasa yang menggema keras sehingga salju
yang hinggap diatas daun pohon2, berhamburan jatuh
kebawah.
"Hai, genta bahaya..." serempak berserulah Gin Liong
dan Yok Lan. Dan sekali ayun tubuh, kedua engkoh dan
sumoay seperguruan itu segera lari ke arah hutan pohon
siong.
Sambil berlari, Gin Liong tak lepaskan perhatiannya
kepada tujuh sosok bayangan yang menuju ke kuil di
puncak gunung.
Setelah melintasi hutan siong, badai salju agak reda, Dan
setelah beberapa saat lagi, tembok merah dari kuil Lenghun-
si itupun mulai tampak diantara celah2 pepohonan
yang tumbuh di sekitarnya.
Selekas tiba di kuil itu, kedua anak muda itupun segera
menerobos masuk ke pintu samping.
Serangkum suara bergelak tawa segera berhamburan
menggema dari pintu depan kuil.
"Liong koko, mereka sudah tiba," kata Yok Lan agak
cemas.
Wajah Gin Liong tampak membesi. Alisnya mengerut,
dahi menampilkan hawa pembunuhan. Tanpa berkata
sepatahpun, dia terus lari ke masuk.
Kawanan paderi jubah kelabu, bergegas-gegas keluar ke
ruang muka. Gin Liong dan Yok Lan dengan gerak yang
lincah dan tak bersuara telah mencapai ujung pintu ruang
besar, Memandang ke muka ternyata di ruang besar telah
penuh dengan kawanan paderi dari berbagai tingkatan.
Kedua anak muda itu cepat2 menyelinap masuk ke ruang
samping.
Pada titian tingkat sembilan dalam ruang besar itu,
sebuah bejana pedupaan tengah menghamburkan kepulan
asap, Asap bergulung2 dihembus angin, bertebaran
memenuhi ruangan
Suasana dalam ruang besar itu sunyi senyap.
Jalan yang membentang di muka kuil telah disapu bersih
oleh paderi yang bertugas menjaga kebersihan Tetapi jalan
yang terbuat dari batu hijau mengkilap itu, sudah penuh
pula dengan salju.
Sesaat kemudian seorang paderi pertengahan umur,
bergegas melangkah masuk ke-dalam ruang besar.
Paderi pertengahan umur itu wajahnya sesuram bulan
berkabut awan. Mengenakan jubah merah berjalur kuning
emas, Tangannya mencekal sebatang hud-tim yang
tangkainya dari batu kumala.
Dengan paksakan bersenyum, ia tengah memandang ke
arah dua orang paderi yang tengah melangkah masuk dari
luar, dua orang imam dan tiga lelaki tua berpakaian ringkas,
Bergegas paderi pertengahan umur itu menyongsong
mereka.
Paderi itu bukan lain adalah Liau Ceng taysu, ketua dari
kuil Leng-hun-si digunung Tiang-pek-san. Suhu dari
pemuda SiauGin Liong dan Ki Yok-Lan.
Gin Liong dan Yok Lan yang berada di ruang samping,
dapat melihat dengan jelas keadaan suhu mereka, walaupun
mengulum senyum tetapi jidat Liau Ceng taysu itu jelas
memantulkan keriput kegelisahan.
Dua orang paderi jubah kuning, mengikuti dibelakang
Liau Ceng taysu. Kedua paderi itu berjenggot putih tetapi
wajahnya masih tampak segar dan penuh dengan sinar
welas asih.
Kedua paderi tua itu yang seorang mencekal tongkat Jiih
dan yang seorang memegang kelinting. Pada wajahnya
yang serius, tersembul suatu hawa pembunuhan.
Kedua paderi tua itu adalah susiok atau paman guru dari
Liau Ceng taysu, Mereka berdua merupakan Tiang-lo atau
sesepuh dari kuil Leng-hun-si.
Kemudian masuk pula tujuh orang lelaki yang membawa
sikap dan wajah angkuh, walaupun wajahnya berbeda dan
tinggi pendeknya tidak sama tetapi ketujuh orang itu
memiliki mata yang bersinar tajam sekali. Mereka
memandang dengan pandang penuh dendam kepada Liau
Ceng taysu.
Ketujuh orang itu berjalan dengan gegas seolah hendak
saling berlomba dahulu mendahului
Yang dimuka adalah dua orang paderi gemuk dengan
jubah yang gombrong, Yang seorang memegang tongkat
Ciang-mo-jo atau Alu-penunduk-iblis, Yang seorang
menyelip sebatang golok kwat-to pada pinggangnya.
Paderi gemuk bersenjata alu Ciang-mo-joh itu memiliki
alis yang tebal mulut lebar, hidung besar. Orang
menggelarinya dengan sebutan Ik-wi-tho atau paderi jahat,
Namanya Go Ceng.
Sedangkan paderi yang membawa golok kawat-to itu,
berkepala besar, mulut dan perut besar tetapi alisnya kecil
dan mata sipit hidung mekar.
Dia bernama Go In, digelari orang sebagai Hiong-bi-lek
atau Bi-lek-hud buas.
Go Ceng dan Go In itu merupakan paderi jahat dari kuil
Tay-ceng-si digunung Ngo-tay-san.Mereka adalah sepasang
tokoh aliran hitam yang hebat.
Sedang yang bergegas jalan disebelah kiri kedua paderi
jahat itu adalah imam Bu Tim cinjin, kepala biara Samceng-
kwan dipropinsi Hiaplam, pusat partai perguruan
Kiong-lay-pay.
Imam itu mengenakan jubah warna merah. Umurnya
lebih kurang 50-an tahun. Matanya kecil bundar, alis
jarang. Sedang rambut dan jenggotnya sudah bersemu
putih. sepintas memberi kesan bahwa dia tentu bukan
bangsa imam yang baik.
Ma Toa-kong bergelar Kim-piau atau Piau-emas dari
partai Tiam-jong-pay mengenakan pakaian ringkas kaum
persilatan dari sutera hitam, memelihara jenggot pendek.
Daun telinganya yang kiri sudah hilang.
Berjalan dibelakang kedua paderi jahat itu, wajah Ma
Toa-kong memancar kemarahan. Sebentar memandang ke
kanan, sebentar ke kiri seperti orang yang hendak
menyelidiki dan kuatir mendapat serangan gelap.
Setelah dua paderi, seorang tokoh biasa dan seorang
imam maka masih ada pula It Ceng tojin, paderi dari Kongtong-
pay, Tali terbang Ui Ke Siang dari Ciong-lam-pay dan
Golok-seriti Tio Jin Beng dari perguruan Losan.
Liau Ceng taysu yang bergegas menyambut itu,
walaupun agak kecewa setelah mengetahui siapa ketujuh
pendatang itu, namun sebagai tuan rumah ia tetap bersikap
ramah.
"Omitohud," serunya seraya memberi hormat, "maafkan
pinceng karena tak cepat menyambut kedatangan toyu
sekalian."
Bu Tim cinjin ketua dari biara Sam-ceng-kwan tertawa
panjang lalu mendahului berkata:
"Adalah kami yang seharusnya minta maaf kepada taysu
karena telah masuk kedalam kuil ini dengan terburu-buru
sekali," serunya.
Liau Ceng taysu tertawa lebar.
"Sehabis melakukan perjalanan jauh, toyu sekalian tentu
lelah, Diluar turun badai salju, silahkan masuk kedalam kuil
kami."
"Badai salju telah mengacaukan cuaca sehingga tak dapat
mengetahui jam" kata Piau-emas Ma Tay Kong, "saat ini
kemungkinan sudah lewat tengah hari. Tiga perempat jam
lagi, tentulah Ban Hong liong-li, harus melaksanakan
perjanjiannya."
Ia hentikan kata-katanya untuk menyelidiki wajah Liau
Ceng taysu yang mulai berobah pucat.
"Sebaiknya Liau Ceng taysu segera mengundang Ban
Hong liongli untuk keluar dari gua pertapaannya agar
semua urusan yang lalu dapat selesai hari ini juga." kata Ma
Toa Kong pula.
Liau Ceng taysu segera menyahut:
"Maksud pinceng, hendak mohon toyu sekalian duduk
didalam ruang dulu untuk merundingkan bagaimana cara
memutuskan persoalan Ban Hong liongli...."
Ok-wi-tho Go Ceng yang bermata bundar, alis tebal dan
mulut lebar, cepat deliki mata dan mendengus geram:
"Kiongcu Hun. mengapa engkau begitu banyak rewel?
Suruh wanita hina Ban Hong liongli itu keluar agar dapat
kuremukkan kepalanya dengan pentungku ini. Tak perlu
banyak membuang waktu !"
Bluk.... dia gentakkan alu Hang-mo-ngo yang beratnya
seratus kati itu ke lantai. Lantai hancur bertebaran keempat
penjuru.
Melihat tingkah laku yang liar dari paderi jahat itu, Gin
Liong tak kuat menahan kemarahannya lagi, serentak ia
terus hendak menerobos keluar....
Untunglah saat itu Liau Ceng taysu menyebut omitohud
dengan pelahan lalu berkata:
"Sejak mensucikan diri dibawah telapak sang Buddha,
pinceng sudah tak memakai nama pinceng yang dulu.
Harap Go Ceng sianyu suka menyebut pinceng dengan
nama Liau Ceng saja, peristiwa yang dulu, janganlah
dibangkitkan lagi."
Hiongbi-lek si paderi Bi-lek yang buas, tertawa mengekeh
lalu berseru mengejek:
"Siapa yang mengurus soal namamu dahulu ataupun
namamu yang sekarang? Rasanya tiada seorangpun yang
hendak mengadakan hubungan dengan engkau Kiongcu
Hun."
Habis berkata dia menengadahkan kepalanya yang besar
dan matanya yang kecil seperti mata tikus memandang ke
cakrawala lalu mendengus geram.
"Kiongcu Hun," serunya, "sudahlah, jangan banyak
bicara yang tak berguna. Kami pun tak perlu minum
hidangan tehmu, Lekas engkau bawa keluar Ban Hong
liongli dari gua pertapaannya. Habis kubelah tubuh wanita
hina itu, kamipun segera hendak pulang."
Melihat kata2 dan sikap kedua paderi jahat yang amat
sombong itu, Liau Ceng taysu tak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi, ia menengadahkan kepala
menghamburkan kemarahannya.
Melalui tertawa yang panjang dan nyaring, lapisan salju
yang berkelompok diatas genteng, berhamburan jatuh
kebawah akibat getaran tertawa dari Liau Ceng taysu itu.
Imam jahat, paderi buas dan Ma Toa Kong bertiga,
seketika berobahlah wajahnya. Mereka serempak bersiap
untuk menghadapi setiap kemungkinan dari Liau Ceng
taysu.
Setelah berhenti tertawa, Liau Ceng taysu segera
sapukan pandang matanya ke wajah ketujuh tetamunya itu
dan berseru lantang:
"Toyu sekalian tiba di gunung ini dengan mengeluarkan
suitan panjang, sudah termasuk kurang hormat. Dan
sebelum pinceng menyambut, sicu sekalian sudah terus
masuk kedalam kuil ini. Suatu tindakan yang lebih tidak
pantas, Dan masih pula dengan sikap dan kata2 yang
congkak, toyu hendak menekan orang. Adakah toyu ini
memang sengaja hendak menganggap sepi ratusan paderi
dari kuil Leng-hun-si ini?" kata Liau Ceng taysu.
Dengan meraung keras. Ok wi-tho Go Ceng melesat
maju sambil lintangkan senjatanya alu Penunduk-iblis,
serunya:
"Apa itu segala macam kata2 kasar dan congkak tak tahu
aturan? Huh, aku tak perduli sama sekali..."
Seiring dengan kata2 yang terakhir dari Ok-wi-tho Go
Ceng itu, sekonyong-konyong sesosok tubuh dengan jubah
kuning, segera melintas keluar dari ruang samping terus
menerjang Ok-wi-tho.
Ok-wi-tho, Hiong-bi-lek dan Ma Toa Kong bertiga
terkejut sekali melihat ilmu meringankan tubuh dari
pendatang yang muncul itu. Bahkan Liau Ceng taysu
sendiri serta kedua paderi tua yang berkedudukan sebagai
tianglo pun terkesiap kaget.
Bayangan jubah kuning itu segera berhenti dibelakang
Liau Ceng taysu.
Ketika Ok-wi tho dan Hiong-bi-lek serta Ma Toa Kong
memandang dengan seksama barulah mereka mengetahui
bahwa pendatang itu tak lain hanya seorang pemuda
berparas cakap dalam pakaian warna putih perak.
"Hai, budak kecil siapa engkau ?" tegur Ok-wi-tho sesaat
setelah kejutnya reda.
Liau Ceng taysu mewakili memberi jawaban:
"lnilah muridku yang bernama Siau Gin Liong," ia
berpaling ke belakang dan memberi perintah: "Liong-ji,
lekas memberi hormat kepada berdua taysu cianpwe."
Gin Liong segera melakukan perintah suhunya. Dengan
menahan kemarahannya ia segera maju menghampiri ke
muka kedua paderi tua
Pada saat dia hendak memberi hormat, tiba2 Hiong-bilek
Go In deliki mata membentak: "Tunggu dulu..."
Ia melangkah maju dan menatap wajah Gin Liong
dengan matanya sipit yang berkilat-kilat seraya tertawa
mengekeh.
"Memiliki wajahmu begitu membesi, dahimu menampil
hawa pembunuhan, heh, heh, apakah engkau merasa
penasaran ?" tegurnya.
Gin Liong seorang pemuda yang masih berdarah panas,
Mendengar kata2 si paderi yang begitu congkak, tak dapat
lagi ia menahan kemarahannya, serentak ia tertawa nyaring
lalu loncat maju.
"Kalau memang sudah tahu, mengapa masih bertanya
lagi!" bentaknya dengan keras.
Mendengar itu buru2 Liau Ceng taysu membentak Gin
Liong: "Liong-ji, jangan kurang aturan ! Lekas engkau
mundur."
Liau Ceng taysu cemas kalau muridnya sampai celaka
maka ia memberi perintah supaya anak itu mundur.
Tetapi serempak dengan itu, Ok-wi-tho Go In sudah
mendahului membentak: "Bagus, budak hina, aku hendak
menguji sampai dimanakah kepandaianmu itu !"
Habis berkata paderi jahat itu segera memutar alu Hangmo-
goh, Wut, angin menderu keras dan alu besi yang
beratnya 100 kati menyapu ke pinggang Gin Liong.
Seketika pucatlah wajah gurunya Liau Ceng taysu, ia
berseru keras seraya hendak menyerang dengan hudtim.
Tetapi sekonyong-konyong Gin Liong sudah menyelinap ke
belakang si paderi jahat Go Ceng.
Go Ceng menghantam dengan sekuat-kuatnya. Karena
hantamannya luput, tubuhnya terhuyung ke muka dan
hampir rubuh. setelah dapat memperbaiki diri, ia
celingukan kian kemari untuk mencari Gin Liong.
Alangkah kejutnya ketika melihat pemuda itu telah
berada di belakangnya, ia tertegun heran.
Memang Gin Liong telah menggunakan sebuah ilmu
langkah yang disebut Liong-li-biau. Hanya suhunya Liau
Ceng taysu yang tahu akan hal itu, ia tahu bahwa ilmu
pusaka itu adalah ajaran Banhong liongli.
Saat itu ternyata Gin Liong berada di belakang paderi
jahat Go Ceng, tapi berada di muka Go In. Pemuda itu
tegak membelakanginya.
Seketika timbullah suatu pikiran jahat pada Liong-si-kek
Go In. Dengan menyeringai iblis dan tak terduga-duga,
secepat kilat ia segera menampar batok kepala pemuda itu
dari belakang.
Semua orang yang melihat itu menjerit kaget.
Tetapi Gin Liong sudah siap, Dengan mendengus dingin
kembali ia menggunakan gerak Liong-li-biau, sebuah ilmu
meringankan tubuh yang hebat. Laksana sesosok hantu,
pemuda itu sudah menyelinap pula dibelakang Hong-bi-lek
Go In dan secepat kilat ia menampar kepala paderi gundul
yang gemuk itu.
Setitikpun Hiong-bi-lek tak pernah menduga bahwa Gin
Liong memiliki kepandaian ilmu ginkang yang sedemikian
luar biasa, Ketika melihat tabah pemuda itu lenyap dan
punggungnya disambar deru angin, seketika pucatlah wajah
Go In.
Namun dia memang lihay, setelah menundukkan kepala
untuk menghindari tamparan cepat ia loncat kemuka.
Tetapi Gin Liong tak mau memberi kesempatan lagi
kepada paderi itu "Plak..." seiring dengan tangan kanannya
menghantam kepala, Hong-bi-lek Go In menggeram
tertahan dan paderi yang jubahnya gemuk itu, bagai sebuah
bola daging yang menggelinding ke muka ruang besar.
Terdengar jeritan kaget dari para paderi yang berada di
muka ruang. Buru2 mereka menyingkir asal jangan sampai
dilanda oleh tubuhHiong-bi-lek.
Sesosok bayangan kuning melintas, salah seorang tianglo
dari kuil leng-hian-si telah ulurkan tangan untuk
menahan tubuh Hiongbi-lek yang menggelinding itu.
Dengan menggerung keras, Hiong-bi-lek melenting
bangun, Ketika berdiri, ia masih rasakan kepalanya pening
dan mata berkunang-kunang. Tring . . . . cepat ia mencabut
golok kwat-to lalu celingukan memandang kian kemari
mencari Gin Liong.
Bu Tim cinjin, Piau-emas Ma Toa Kong dan Tali terbang
Ui Ke Siang biasanya memang tak begitu memandang mata
kepada kedua paderi jahat itu. Melihat Go In mendapat
kopi pahit dari seorang anak muda, bukan ikut marah,
kebalikannya mereka malah tertawa gelak-gelak.
Kuatir akan menimbulkan kemarahan para tetamu dan
terjadi hal2 yang tak diingini, Liau Ceng taysu membentak
kepada muridnya:
"Liong-ji, mengapa engkau cari onar? Hayo, lekas masuk
!"
Melihat suhunya marah, Gin Liong mengiakan dengan
hormat lalu hendak berputar tubuh menurut perintah.
Tetapi tiba2 kedua paderi jahat itu menggembor keras,
Mereka berhamburan menyerang Gin Liong dengan senjata
alu dan golok.
Tetapi Gin Liong tak gentar, ia mendengus dingin dan
hentikan langkah.
Tiba2 sesosok tubuh melesat kemuka dan berseru :
"Harap taysu berdua berhenti dulu..."
Ok-wi-tho Go Ceng dan Hiong-bi-lek Go In tertegun.
pendatang itu bukan lain adalah imam tua yang
punggungnya menyanggul pedang atau It Ceng tojin ketua
Kong-tong-pay.
"Apa-apaan engkau melarang aku ?" teriak kedua paderi
jahat itu dengan deliki mata.
"Tidak apa2" sahut It Ceng tojin yang bergelar Bu-songkiam
atau Pedang tiada keduanya, "hanya ingin
memperingatkan kalian bahwa tiga perempat jam lagi
mungkin kalian belum selesai bertempur."
Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong terbeliak, Cepat
mereka mencurah pandang kearah Liau Ceng taysu seraya
berseru:
"Kiongcu Hun, apakah engkau berani mengulur waktu
lagi ?"
Menderita perlakuan kasar beberapa kali dari pendatang2
itu. Liau Ceng taysu marah, ia tertawa nyaring.
"Baru beberapa detik toyu sekalian datang ke kuil kami
dan baru beberapa patah kata toyu bercakap-cakap,
mengapa menuduh pinceng mengulur waktu ?" serunya
marah.
Kedua paderi jahat Go Ceng dan Go In tak dapat
menjawab.
Tiba2 Liau Ceng taysu berputar tubuh ke arah ruang
besar lalu berseru nyaring:
"Cobalah lihat kearah alat pertandaan waktu itu,
sekarang jam berapa ?"
Seorang paderi jubah kelabu yang berdiri pada titian
ruang segera lari masuk ke dalam ruang besar.
Saat itu sekalian orang tegang regang, suasana hening
sunyi Hanya deru angin yang meniup tajamdiluar kuil.
Dalam menunggu laporan tentang jam saat itu, tampak
wajah Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong bertiga gelisah
sekali.
Liau Ceng taysu tampak tenang, Sejam yang lalu dia
sudah duduk didepan alat waktu itu, Di-pandangnya alat
waktu itu dengan cemas. Diam2 ia bersyukur kepada Thian
bahwa saat itu turun badai salju yang lebat.
Tetapi rasa girang itu segera terhapus lenyap manakala ia
melihat sosok2 tubuh yang berlarian mendaki ke puncak,
Mereka ialah Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong serta
beberapa tokoh yang memusuhi Ban Hong liong-li, jelas
harapannya bahwa pada salju itu akan menghalangi
perjalanan mereka ternyata gagal.
Beberapa saat kemudian terdengar derap orang berlari
dari dalam ruang besar, paderi yang diperintah untuk
melihat waktu telah muncul, seketika suasana berobah
tegang.
Tiba di mulai titian, paderi itu memberi hormat ke
halaman dan berseru nyaring:
"Saat ini, menunjukkan waktu tepat tengah hari..."
Ok-to Go Ceng, Hiong-ceng Go In dan Ma Toa Kong
sekalian serempak menyambut dengan gelak tawa yang
gembira sekali.
Liau Ceng taysu hanya dingin2 saja memandang kearah
ketujuh tetamunya yang jumawa itu.
Gin Liong kerutkan dahi, ia mengertek geraham
menahan kegeraman Keringat dingin pun segera
membasahi tubuhnya.
Tiba2 terdengar bunyi tajam macam naga meringkik.
Datangnya dari punggung Gin-Liong. Dan sesaat kemudian
cret. . . pedang Tanduk Naga yang berada di punggung
anak muda itu mencelat keluar dari kerangkanya.
Sinar merah yang memancar dari batang pedang pusaka
itu, menyilaukan pandang mata sekalian orang.
Go Ceng, Go In, Ma Toa Kong dan kawan2, hentikan
tertawa dan menggigil melihat keperbawaan pedang anak
muda itu.
Demikian pula dengan kedua tiang-lo dan paderi2 dari
setiap paseban kuil Leng-hun-si.
"Omitohud!" seru Lian Ceng taysu, "Pedang pusaka
memberi peringatan datangnya bahaya, pembunuhan segera
akan terjadi Mayat menganak bukit, darah mengubang
sungai . . ."
Tepat pada saat Liau Ceng taysu selesai berkata maka
cuaca yang gelap tiba2 memancar sinar terang benderang
dan menyusul terdengarlah letusan halilintar yang
menggelegar dahsyat
Setelah halilintar meletus, angin berhenti, saljupun reda,
Genta dan gendang raksasa yang berada diruang, Tayhud-
tian berguncang-guncang keras sehingga berbunyi
sendiri,
Dua ratusan paderi yang berada dimuka ruang,
terbelalak menengadahkan kepala memandang ke langit,
Kedua tianglo dari kuil Leng-hun-si agak pejamkan mata
dan mengucap doa dengan bisik2.
Liau Ceng taysu pejamkan mata merangkapkan kedua
tangan kedada dan bibirnya berkomat-kamit, Rupanya ia
sudah mempunyai firasat bahwa dunia persilatan akan
mengalami pembunuhan besar-besaran,
Go Ceng, Go In, Ma Toa Kong dan lain2 kawannya,
tertegun menyaksikan pemandangan aneh itu. Wajah
mereka pucat, keringat dingin mengucur.
Halilintar dahsyat itu telah menggoncang hati seluruh
orang yang berada di muka ruang Tay-hud-tian.
Diantara mereka hanya Gin Liong seorang yang
mempunyai pemikiran lain, Tiba2 ia seperti disadarkan dan
teringat akan suatu hal yang penting,
Cepat ia sarungkan pedang kedalam kerangkanya lagi
lalu secepat kilat menyelinap diantara barisan paderi, lari
keruang samping terus menuju kepuncak di belakang kuil.
Diluar hanya badai yang berhenti, sedang salju masih
turun lagi.
Ternyata Gin Liong bergegas lari menuju ke gua Kiukiok-
tong. Tiba di puncak belakang terdengar sebuah suitan
nyaring dan tajam. Menyusul terdengar ledakan keras yang
berkumandang sampai jauh kesegenap penjuru.
"Celaka," teriak Gin Liong, "Liong-li locianpwe hendak
pergi . . . ."
Ia cepatkan larinya dan selekas tiba di tepi sebuah karang
buntung diatas puncak gunung, dia terus hendak enjot
tubuh melompat kemuka.
Tetapi ketika ia menunduk memandang ke bawah,
jurang yang memisahkan karang disitu dengan karang
dimuka, tertutup kabut salju yang tebal sehingga tak dapat
melihat lebih dari lima tombak ke bawah.
Siau Gin Liong diam2 sering datang ke tempat dua buah
karang buntung itu. Kedatangannya itu selalu pada malam
hari untuk belajar silat Maka dalam badai dan salju yang
hebat, ia masih mencapai tempat itu, sebuah karang nonjol
yang ditumbuhi pohon siong yang condong.
Sejenak menenangkan pikiran, Gin Liong segera
ayunkan tubuh melayang ke bawah dan tepat hinggap
diatas celah2 selebar satu meter dari sebuah gunduk karang,
Ternyata setelah berada di jurang pemisah antara kedua
karang buntung, angin agak berkurang, saljupun tak begitu
deras, Kini dia berhadapan jalan yang merupakan celah2
dari gundukan karang, jalan itu sempit dan licin sekali serta
berkeluk-keluk, jika tidak memiliki ilmu ginkang yang lihay,
jangan harap dapat melintasi jalan itu.
Berkat faham tempat itu, dapatlah dalam waktu yang
singkat Gin Liong mencapai ujung jalan yang merupakan
segunduk karang seluas tiga tombak, Diatas karang itulah
biasanya Gin Liong berlatih silat.
Di sekeliling karang itu tumbuh beberapa batang pohon
Bwe, Dahan dan rantingnya tumbuh meliar, bunganya
subur,Warnanya merah dan putih menyedapkan mata.
Diatas gunduk karang itu terdapat sebuah gua selebar
dua meter, Dalam gua gelap pekat dan sunyi senyap.
Secepat melayang keatas karang, dengan wajah tegang
Gin Liong terus menerobos masuk. Tiba di muka pintu
terali besi, ia tertegun,
Terali besi yang besarnya sama dengan lengan bayi telah
dihancurkan oleh suatu tenaga sakti, Kutungan terali besi
itu bertebaran dimuka gua,
Dengan terlongong-longong Gin Liong memandang
terali besi, Airmatanya berderai-derai membasahi pipinya.
"Ah, Liong-li locianpwe telah pergi," katanya seorang
diri dengan penuh keharuan, "pergi tanpa memberi
kesempatan kepadaku untuk mengucapkan terima kasih
dan selamat jalan, Lima tahun aku menerima budinya
mendapat pelajaran silat, akhirnya tak dapat bertemu lagi”
Sambil berkata pelahan-lahan ia melangkah maju
kedalam gua, Ruang gua gelap dan menyeramkan sekali,
Angin dingin berdesis-desis menampar muka. menambah
keseraman suasana,
Dalam mengayunkan langkah itu masih Gin Liong
mengandung harapan semoga Ban Hong Liong-li masih
berada dalam gua,. Maka berserulah dia dengan pelahan:
"Lo-cianpwe . .. . locianpwe..."
Dari sebelah dalam gua segera memantulkan gema suara
Gin Liong yang berkumandang sampai lama,
Melangkah maju beberapa tindak lagi, ruang itu
membiluk ke kiri, Gelapnya makin pekat sehingga tak dapat
melihat jari tangannya sendiri.
Gin Liong hentikan langkah dan mengerahkan pandang
matanya, Tetapi ia tak dapat menembus kegelapan itu.
Paling2 hanya dapat memandang sampai setombak
jauhnya,
Ketika berjalan lagi, kakinya berbunyi keresekan. Buru2
ia berjongkok dan meraba dengan tangannya. Ah, ternyata
setumpuk rumput kering yang halus, Makin meraba
kemuka, tumpukan rumput itu makin tebal.
"Ah, mungkin disinilah tempat peristirahatan locianpwe,
"katanya seorang diri.
Sekonyong-konyong tangannya menyentuh benda yang
menyerupai rantai besi Cepat ia menariknya, ah, ternyata
rantai itu telah dipaku pada dinding gua.
Gin Liong marah. Dilemparkannya rantai itu lalu
berseru keras : "Penjahat, mengapa kalian begitu kejam
memperlakukan Liong-li lo-cianpwe? Mengapa ? Mengapa
"
Dia menangis sedih dan meraung-raung marah sekali
setelah menyaksikan keadaan Ban Hong Liong-li selama
ini. Dia benci kepada musuh2 yang telah menganiaya Ban
Hong Liong-li diluar batas kemanusiaan Diikat dengan
rantai seperti binatang buas.
Raung Gin Liong kembali menerbitkan gema suara yang
berkumandang jauh, Suatu pertanda bahwa ruang gua Kiukiok-
tong itu masih dalam sekali.
Saat itu Gin Liong baru menyadari mengapa selama lima
tahun ini, Ban Hong Liong-li tak pernah melangkah
mendekati pintu tera1i.
Diapun teringat bagaimana dalam memberikan pelajaran
silat kepadanya itu. Ban Hong Liong-li hanya
menyampaikan secara lisan saja. Selama lima tahun, Gin
Liong hanya mendengar suara tetapi tak pernah melihat
orangnya, Ah. tak kira kalau Ban Hong Liong-li telah
dirantai orang . . .
Serentak timbul rasa heran dalam hati Gin Liong,
Dengan kesaktiannya Ban Hong Liong-li mampu
memutuskan tali rantai tetapi mengapa selama lima tahun
ia mandah dirinya diikat dengan rantai, Mengapa dia tak
mau lekas2 meloloskan diri ?
Siapakah yang mengikat lo-cianpwe itu ? Apakah Liau
Ceng taysu, gurunya itu ?
Ataukah kawanan Ok-wi-tao Go Ceng, Hiong-li-lek Go
In, Piau emas Ma Toa Kong dan kawan-kawannya itu ?
Jika mereka mampu merantai Ban Hong Long-Li
mengapa tidak segera saja saat itu dibunuh ? Mengapa
harus menunggu sampai lima tahun?
Mengapa pula Ban Hong Liong-li harus di penjara di
gunung Tiang-pek-san dan tidak di gunung Kiong-lay-san
atau di gunung Ngo-tay-san?
Tadi Ma Toa Kong mengatakan bahwa setelah tiga
perempat jam lewat tengah hari, Ban Hong Liong-li harus
melaksanakan janjinya sendiri janji apakah itu ?
Dan teringat pula Gin Liong bahwa setiap kali
membicarakan tentang diri Ban Hong Liong-li, wajah
gurunya (Liau Ceng taysu) tentu berobah gelap, Dan setiap
kali ia bertanya, suhunya tentu akan memberi jawaban
menghindar.
Pernah dan bahkan berulang kali Gin Liong
memberanikan diri untuk menanyakan riwayat hidup
kepada Ban Hong Liong-li, tetapi wanita sakti itu hanya
menjawab dengan helaan napas panjang.
Kemarin malam ketika menyerahkan pedang kepadanya,
Ban Hong Liong-li dengan samar2 mengatakan bahwa
hanya guru Gin Liong atau Liau Ceng taysu yang tahu
tentang asal usul dirinya, wajahnya dan semua riwayat
hidupnya yang menyedihkan itu.
Dengan nada penuh duka, Ban Hong Liong-lipun
mengatakan bahwa lewat tengah hari nanti dia akan pergi
ke suatu tempat yang jauh, Tiada seorangpun yang akan
bertemu lagi dengannya.
Adakah tempat jauh itu dimaksudkan sebagai alam baka
karena Ban Hong Liong-li akan dihukum mati oleh
kawanan pendatang itu ?
Sambil berlutut diatas tumpukan rumput kering, Gin
Liong dilanda oleh berbagai pertanyaan Namun soal2 itu
makin direnungkan makin sukar dijawab dan bertambah
banyak
Tiba2 sinar mata Gin liong berkilat, Dilihatnya diatas
tumpukan rumput kering itu sesosok bayangan hitam,
seketika tergetarlah hatinya dicengkam kejut kegirangan
serentak ia berseru:
"Lo-cianpwe, engkau.. engkau belum pergi ?" serta merta
Gin Liong terus duduk bersila Airmatanya kembali
berderai-derai membanjir keluar Airmata keharuan tetapi
haru kegirangan
Tetapi sosok tubuh itu tak memberi suatu reaksi apa2.
Suatu bayang2 yang ngeri, segera melintas dalam pikiran
Gin Liong, Dengan beringsut-ingsut ia merangkak maju
lalu ulurkan tangannya yang gemetar menjamah benda
hitam itu.
Ah ... ternyata benda hitam itu tak lain hanya segulung
permadani bulu.
"Lo-cianpwe . . . . lo-cianpwe . . . . !" serentak Gin Liong
melenting bangun dan berteriak keras-keras.
Ia duga Ban Hong Liong-li tentu belum berapa lama
tinggalkan gua itu. Kemungkinan masih berada diatas
puncak gunung, ia segera lari keluar dan ketika tiba di pintu
yang berterali besi, tiba2 ia dikejutkan oleh beberapa gelak
tawa yang bermacam-macam nadanya, Suara tawa itu
terdengar tak jauh di luar gua.
Tergetarlah hati Gin Liong. ia tahu bahwa suara tertawa
itu tentu berasal dari rombongan Go Ceng, Go In dan Ma
Toa Kong yang sedang berlari menuju ke gua Kiu-kioktong.
Gin Liong menyurut mundur Setelah memeriksa ke
kanan kiri, ia dapatkan pada kedua samping dinding gua itu
terdapat banyak sekali cekungan yang cukup dimasuki
tubuh orang.
Secepat ia menyusup bersembunyi kedalam sebuah
cekung, diluar gua segera terdengar kibaran pakaian yang
dihembus angin.
Gin liong lekatkan tubuh rapat2 ke dinding gua seraya
mengeliarkan pandang mata ke mulut gua. Dari tempat
persembunyiannya itu ia melihat suatu pemandangan yang
indah, Gunduk karang yang berada diluar gua sedang dihias
dengan salju putih dan bunga Bwe yang tengah mekar
dalam warna merah dan putih yang indah.
Tetapi ia tak sempat menikmati pemandangan itu.
Hatinya tegang sekali menantikan kedatangan kawanan
pendatang yang hendak menghukum Ban Hong Liong-li.
Pada lain saat sesosok tubuh dengan pakaian yang
gombrong, meluncur ke udara dan tegak diatas gunduk
karang dimuka gua.
Gin Liong tergetar hatinya, Cepat ia dapat mengetahui
bahwa yang muncul itu adalah Ok-wi-tho atau si Paderi
jahat Go Ceng.
Menyusul berhamburan melayang ke gunduk karang itu
imam tua It Ceng, Bu Tim cinjin, Hiong-bi-lek Go In,
Golok-sayap-walet Tio Jim-beng dan Tali terbang Ui Ke
Siang,
Gin Liong mendengus geram, Darahnya mendidih dan
napasnya segera menghamburkan hawa pembunuhan
Ketujuh tokoh itu segera tegak dimuka gua, memandang
celingukan kedalam dan sibuk berbicara.
Dari pandang mata ketujuh orang itu, jelas
mengunjukkan suatu perasaan gelisah, cemas dan gentar.
Tiba2 diluar gua terdengar suara pakaian berkibar tertiup
angin,Menyusul muncul pula tiga sosok bayangan
Ketika Gin Liong mencurahkan pandang mata ke luar,
kejutnya bukan kepalang sehingga sampai menggigil.
Ketiga pendatang itu bukan lain adalah suhunya sendiri,
Liau Ceng taysu dan kedua susiok-cou atau paman - kakek
guru. Sudah tentu Gin Liong bingung sekali. Apabila
suhunya tahu bahwa dia bersembunyi dalam gua itu,
bukankah suhunya akan marah ?
Ah, tetapi dia sudah terlanjur bersembunyi disitu, Tak
dapat ia meloloskan diri lagi, Terpaksa ia hanya
memandang 1ekat ke mulut gua untuk menunggu apa yang
akan terjadi,
Tampak Liau Ceng taysu berjalan dengan gegas sekali.
Langsung ia menuju ke mulut gua, Setelah memeriksa pintu
terali besi hancur berantakan ia segera keluar lagi dan
berkata dengan wajah sarat:
"Pintu terali besi telah hancur, kemungkinan Ban Hong
Liong-li sudah tak berada dalam gua lagi."
Ketujuh orang itu terbeliak kaget, Ma Toa Kong deliki
mata dan berteriak marah:
"Saat ini masih pagi dan batas waktu perjanjian masih
belum tiba. Wanita hina itu mengapa ingkar akan janjinya
lima tahun yang lalu ?" ia menanya It Ceng tojin dan Ui Ke
Siang, terus melangkah maju ke mulut gua, Dengan mata
berkilat-kilat, ia memandang ke arah dalam.
Gin Liong terkejut Cepat2 ia lekatkan tubuh rapat sekali
pada dinding gua.
Sesaat kemudian, Ma Toa Kong berputar tubuh dan
menggeram kepada Liau Ceng taysu:
"Ban Hong Liong-li masih berada dalam guna . . ."
Karena disindir oleh Ma Toa Kong, rupanya It Ceng
tojin tak puas, Saat itu ia merasa mendapat kesempatan
untuk membalas, Dengan tertawa mengekeh, cepat ia
menukas kata2Ma Toa Kong:
"Apakah Ma sicu melihat sendiri Ban Hong Liong-li
berada dalam gua?"
Ma Toa Kong tahu bahwa It Ceng tojin dari Kong-tongpay
itu seorang tokoh yang licin dan licik. walaupun dia
tahu kalau dirinya akan dicelakai oleh imam itu, tetapi ia
tetap harus menjaga gengsi, Sekali sudah mengatakan kalau
Ban Hong Liong-li masih berada dalam gua, ia harus
mempertahankan kata-katanya itu.
Dengan deliki mata memandang It Ceng, ia mendengus
marah: "Benar, memang kulihat wanita busuk itu masih
berada dalam guna !"
Mendengar itu tokoh2 yang lain tampak tegang dan
berobah wajahnya, Mereka berhamburan maju ke mulut
gua dan memandang dengan seksama ke arah dalam.
Sudah tentu Gin Liong makin gelisah sekali Dia tak
menyangka bahwa mata Ma Toa Kong amat tajam sekali.
Tentu Ma Toa Kong melihat gulungan permadani bulu
yang terletak diatas tumpukan rumput kering dan
menyangkanya sebagai tubuh BanHong Liong-li.
Gin Liong cepat menyusup lebih dalam ke dalam cekung
dinding gua, Kini dia hanya menggunakan sebelah mata
untuk memandang ke mulut gua.
It Ceng tojin berdiri agak jauh dibelakang beberapa tokoh
itu, Mulut tersenyum menyeringai dan sengaja dengan
suara keras ia berseru:
"Karena Ma sicu sudah melihat Ban-Hong Liong-li
masih didalam gua, rasanya tak perlu sicu sekalian
memeriksa lagi, Saat ini belum tiba waktunya, Kurasa Ban
Hong Liong-li tentu tak mau ingkar janji, Maka sebaiknya
kupersilahkan Ma sicu masuk kedalam gua menyeret Ban
Hong Liong-li keluar, silahkan Ma sicu memotong daun
telinga Ban Hong Liong-li yang kiri, untuk membalas
dendamMa sicu yang kehilangan daun telinga itu."
Sudah tentu Ma Toa Kong tahu bahwa dirinya diejek
habis-habisan oleh imam dari Kong-tong-pay itu. Dengan
mata berapi-api ia deliki mata memandang It Ceng cinjin.
Wajah merah padam dan tubuh gemetar keras karena
dilanda kemarahan.
Bu Tim cinjin ketua biara Sam-Ceng kwan, rupanya juga
mengagulkan supaya Ma Toa Kong masuk kedalam gua.
Maka iapun segera mendukung pernyataan It Ceng cinjin:
"Apa yang dikatakan It Ceng toyu memang benar,"
katanya. "sekarang saat perjanjian belum tiba, kiranya Ma
sicu boleh masuk saja kedalam guna ini."
Dada Ma Toa Kong serasa meledak dan memekiklah ia
sekeras kerasnya: "Huh, engkau kira aku Ma Toa Kong tak
berani masuk ?"
Dengan sikap pura2 menghormat, It Ceng cinjin berseru:
"Ah, tidak, tidak. Mana aku mempunyai anggapan begitu,
Piau-emas dari Ma sicu tiada tandingannya dan Ma sicu
seorang jantan yang berani, Masakan tak berani memasuki
gua itu."
Ma Toa Kong benar2 tak dapat menahan ledakan
kemarahannya lagi, secepat berputar tubuh ia terus
melangkah kedalam gua.
Jelas dilihat oleh Gin Liong bahwa Ma Toa Kong itu
sedang masuk. Diam2 Gin Liongpun merapatkan tubuh ke
cekung dinding seraya kerahkan tenaga dalam bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Tetapi baru melintasi pintu terali besi, tiba2 Ma Toa
Kong berhenti.
Saat itu Gin Liong tak dapat melihat jelas lagi bagaimana
kerut wajah Ma Toa Kong saat itu. Tetapi dia masih dapat
melihat sinar kedua mata Ma Toa Kong yang berapi-api
menyeramkan sekali.
Tampak pula Ma Toa Kong mengambil sebatang kimpiau
dari pinggangnya. Digenggamnya senjata rahasia itu
erat2. Kaki dan tangannyapun mulai tampak gemetar.
Menyusupkan pandang ke luar gua, Gin Liong melihat
kawanan tetamu2 itu tampak tegang sekali, Mata mereka
mencurah ruah ke dalam gua dan kearah Ma Toa Kong
yang tegak di pintu terali besi.
Gin Liongpun sempat pula memperhatikan sikap suhu
dan kedua paman kakek gurunya. Dengan wajah sarat,
ketiga tokoh itu berdiri ditepi batu karang, Mereka tak
mencegah tindakan Ma Toa Kong, Mungkin mereka sudah
menduga bahwa Ban Hong Liong-li tentu sudah tak berada
dalam gua.
Sekonyong-konyong Ma Toa Kong berseru nyaring:
"Ban Hong Liong-li, hari ini hukumanmu sudah habis,
Lewat tengah hari nanti engkau harus keluar untuk
menerima hukuman mati dari sekalian enghiong (ksatrya).
Hayo, unjukkan diri-mu, jangan main bersembunyi seperti
tikus, Apakah engkau tak sayang pada kemasyhuran
namamu yang pernah menggetarkan dunia persilatan
dahulu ?"
Dari dalam gua segera menggema kumandang suara Ma
Toa Kong itu. Lama dan mengiang2 memekakkan telinga.
Sebenarnya Gin Liong sudah tak kuasa menahan
kemarahannya lagi, Tetapi karena suhunya berada diluar,
dia tak dapat berbuat apa2 dan tak tahu apa yang harus
dilakukan.
Selekas kumandang suara Ma Toa Kong itu sirap maka
Ma Toa - Kong kembali berseru dengan nyaring lagi:
"Wanita hina, apakah engkau hendak main mengulur
waktu ? Tempatmu sudah kuketahui, kalau tak percaya,
inilah buktinya . .. ."
Sring . . . .
Sepercik sinar emas yang diiringi oleh deru angin tajam
segera melayang kearah tempat Gin Liong bersembunyi.
Sudah tentu Gin Liong terkejut sekali,
Sebenarnya dia sudah cepat2 menyusupkan kepalanya ke
cekung dinding karang tetapi dia tak menyangka bahwa Ma
Toa Kong sudah mengetahui dirinya.
Tring
Senjata rahasia yang bersinar kuning emas itu meluncur
dan hinggap pada dinding gua disisi tempat Gin Liong,
Piau jatuh ke tanah, mengeluarkan bunyi gemerincing yang
berkumandang nyaring.
Dinding gua berhamburan menebar tubuh Gin Liong,
Pemuda itu marah sekali. ingin rasanya ia loncat keluar
untuk membunuh orang jahat itu. Tetapi karena suhunya
berada diluar gua, terpaksa ia tak dapat melaksanakan
keinginannya itu.
Tiba2 Hiong bi-lek Go In tertawa gelak2. Dan pada lain
saat iapun mencabut golok kwat lo dipinggangnya. Sambil
tertawa mengejek, ia melangkah masuk kedalam gua.
"Wanita hina itu masih berada didalam guha," teriakMa
Toa Kong.
Tetapi Go In tak mempedulikan, Dia tetap lari ke dalam.
"Kurang ajar," damprat Ma Toa Kong dalam hati,
"mungkin karena mendengar gema suara jatuhnya kimpiauku
tadi, dia tahu kalau Ban Hong Liong li sudah tak
berada dalam gua maka dengan tingkah kegagah-gagahan
dia berani menyerbu kedalam."
Gin Liong menahan napas kencang2, Suara tertawa
berhenti tetapi derap lari Go In masih tetap melaju.
Ruang gua makin gelap dan makin gelap karena
dipenuhi oleh bayang2 tubuh Go In. suasana di dalam dan
diluar gua sunyi senyap.
Beberapa saat kemudian, menilik dari bayang2 yang
tampak, Gin Liong dapat memperhitungkan bahwa Hiongbi-
lek Go In saat itu sudah dekat sekali dengan tempatnya,
Paling banyak hanya tinggal satu tombak, Bahkan diapun
dapat mendengar suara napas si paderi yang terengahengah,
Dan pada lain saat pula, bahkan iapun dapat melihat
pancaran sinar golok dari paderi itu.
Gin Liong makin tegang, Seluruh tenaga dalam telah
dihimpun ke lengan kanannya dan mulai pelahan-lahan
diangkat.
Rupanya paderi itu dapat menangkap suara gerak tangan
Gin Liong. Dia berhenti
"Wanita hina, mengapa tak lekas keluar ? Aku sudah
dapat mendengar debur jantungmu !" teriaknya, Tiba2 ia
hantamkan goloknya.
Segera terdengar gema suara yang dahsyat ketika dinding
karang hancur berantakan karena tabasan golok itu.
Paderi itu tertawa gelak2 :
"Wanita hina, apakah engkau tetap tak mau keluar ? Aku
sudah melihat engkau duduk, apakah harus menunggu aku
sampai turun tangan ? Ha, ha, bersikaplah sedikit ksatrya
dan lekaslah keluar !"
Sambil berkata ia ayunkan langkah lagi seraya tertawa
keras :
"Wanita hina, dengarkanlah Saatnya sudah hampir tiba .
. . engkau harus melaksanakan janjimu sebelum itu, engkau
tak, boleh membunuh orang . . . ."
Demikian sambil berjalan, paderi itu tertawa dan
mengoceh dengan suara keras,
Gin Liong makin tegang, Saat itu dia sudah melihat
golok si paderi dan pada lain saat bahkan tangan paderi itu
lalu perut yang buncit,
"Wanita hina, ha, ha. tahukah engkau bahwa tengah hari
segera tiba, Engkau harus melaksanakan janjimu, Aku
sudah melihat engkau duduk . . . .”
Walaupun mulut berkata garang tetapi tangan dan tubuh
Ma Toa Kong agak menggigit Dan makin lama dia makin
mendekati ke tempat Siau Lo Seng.
"Ha, ha," Go In tertawa dan berseru keras: "tengah hari
segera tiba,Wanita busuk, engkau harus menetapi janji, ha,
ha . . . . engkau tak boleh membunuh orang..."
Dalam pada berseru itu, paderi itu lambatkan langkah.
sekalian orang tahu bahwa gerak gerik Go In itu
menandakan rasa takut dan gelisah.
"Wanita hina itu berada disekitar celah2 dinding gua,"
seru Ma Toa Kong.
Hiong-bi-lek Go In mendengus dan hentikan langkah.
Gin Liong terkejut sekali, Pada saat mendengar Go In
berhenti, secepat kilat ia terus ayun tubuhnya melayang
keluar.
Wut . . . . karena kaget Go In memekik keras dan
kibaskan goloknya. Tetapi Gin Liong sudah bersedia.
Secepat ayunkan tubuh ia sudah berada dibelakang paderi
itu. secepat itu pula ia segera menghantam belakang
tengkuk kepala Go In.
Terdengar jeritan yang ngeri dan nyaring memancar dan
mulut Go In. Batok kepalanya pecah dan jatuhlah tubuh
paderi itu terjungkal ke belakang.
Sebuah bentakan keras mengering sesosok bayangan
hitam menyerbu Gin Liong, Untung pemuda itu dengan
sigap sudah menghindar ke samping. Ketika melihat siapa
penyerangnya itu, ternyata Ok-wi-tho Go Ceng yang
menyerang dengan Hang-mo-goh, alu yang beratnya
seratusan kilo,
Marahlah Gin Liong, Sekali lingkarkan kedua
lengannya, melangkah setengah tindak kemuka, ia segera
mendorong dengan kedua tangannya.
Terdengar jeritan ngeri di susul oleh tubuh Ok-wit-ho Go
Ceng yang terlempar keluar dari mulut gua. sekalian orang
terkejut Tetapi bukan menolong, kebalikannya mereka
malah buru2 menghindar ke belakang,
Karena tiada orang yang menolong, tubuh paderi jahat
itupun terlempar ke bawah jurang yang dalamnya ratusan
meter.
Sesungguhnya Liau Ceng taysu sudah berusaha untuk
menyambar tubuh paderi jahat itu, Tetapi sayang karena
rasa kejut dan tegun atas peristiwa itu, ia agak terlambat
bergerak sehingga Ok-wit-ho Go Ceng tetap meluncur
kebawah jurang.
Gin Liong itu juga kesima melihat hasil pukulannya.
setitikpun ia tak menyangka bahwa pukulannya ternyata
mengandung suatu tenaga sakti yang begitu dahsyat.
Cepat ia berputar memandang ke belakang. Dalam
kegelapan gua ia hanya melihat bahwa kecuali si Hiong-bilek
Go In yang terkapar menjadi mayat, tiada lain orang
lagi.
Ketika berpaling memandang ke maka lagi, hampir saja
ia menjerit kaget dan tubuhnya pun menggigil
Liau Ceng taysu, gurunya, saat itu sedang menjerit dan
tubuhnyapun gemetar. Hal itu disebabkan tak lain karena
dia melihat suhunya. Liau Ceng taysu, sedang melangkah
masuk kedalam gua.
Karena tegang dan gugup, Gin Liong cepat2 menyusup
lagi kedalam cekung dinding gua.
Tenang sekali sikap dan langkah Liau Ceng taysu.
Dengan memegang kebut Kim-si-hud-tim dia berjalan
dengan santai, Sudah tentu Gin Liong heran. Adakah
suhunya tak kuatir kalau Ban Hong Liong-li akan
menyerangnya ?
Tetapi dia tak sempat berpikir lebih lanjut karena saat itu
ketegangan hatinya makin memuncak. Dilihatnya setiap
kali melewati cekung dinding gua yang lebar dan
diperkirakan cukup dimasuki tubuh orang, suhunya tentu
berhenti dan menghamburkan pandang memeriksa,
Keringat dingin mulai mengucur deras pada tubuh Gin
Liong, Akhirnya ia memutuskan Daripada dipergoki oleh
suhunya, lebih baik ia bertindak lebih dulu,
Setelah meregangkan napas, secepat kilat ia terus melesat
lari kebagian gua yang lebih dalam Tiba di persimpangan
sebelah kiri dari ujung gua, ia berhenti Ketika mencari
kesempatan untuk berpaling ke belakang, dilihatnya
suhunya sedang menghampiri ke tempat mayat Hiong bi lek
Go In, Setelah memindahkan mayat paderi itu ke pinggir
Liau Ceng taysu lanjutkan perjalanan kedalam gua lagi,
Setiap tiba pada cekung dinding gua, ia tentu berhenti dan
mengucapkan beberapa patah kata yang tak jelas.
Gin Liong makin heran, Apakah yang diucapkan
suhunya itu ? Karena ingin tahu, ia kerahkan alat
pendengarannya untuk menangkap suara suhunya.
"Wulanasa,Wulanasa . . . ."
Mendengar itu, ketegangan hati Gin Liong bertambah
dengan suatu rasa keheranan Wulanasa ? Apakah artinya
Wulanasa itu ?
Sesungguhnya banyak sekali soal yang hendak
dipecahkannya, Tetapi saat itu dia tak mempunyai
kesempatan lagi. Saat itu Suhunya makin mendekat ke
tempat persembunyiannya.
Karena bingung, tiba2 Gin Liong loncat ke atas
tumpukan rumput kering disebelah kiri, sret . .. .
Walaupun hanya pelahan tetapi suara tertimpanya
tumpukan rumput kering dengan tubuh Gin Liong telah
menimbulkan gema suara yang berkumandang.
Gin Liong makin terkejut jantungnya mendebur keras, ia
ingin menyurut mundur tetapi kuatir akan menimbulkan
suara. Kalau tidak mundur, ia takut ketangkap basah oleh
suhunya.
Karena tegang dan gelisah, napasnya terengah2 keras. ia
kepalkan kedua telapak tangannya yang basah dengan
keringat.
Mendengar suara berkeresek tadi, Lian Ceng taysu
hentikan langkah dan berseru pelahan:
"Wulanasa, mengapa engkau tak pulang ke kampung
halamanmu . . . ."
Gin Liong tegak berdiri diatas tumpukan rumput kering
dan mendengarkan dengan penuh perhatian, Dia tak berani
mengisar kepala untuk melihat dimana suhunya berada.
Tetapi menilik suaranya, ia duga suhunya tentu berada
dekat dari tempatnya, Paling jauh hanya dua tiga tombak.
Timbul pertentangan dalam hati Gin Liong, Dia takut
tetapipun ingin tahu, Dia ingin lari tetapipun ingin
mengetahui hubungan apakah sesungguhnya yang terjalin
antara suhunya dengan BanHong Liong-li itu,
Tiba2 Liau Ceng taysu kembali berkata bisik2:
"Wulanasa, kuharap janganlah engkau keras perangai
seperti dahulu, jangan membawa kemauan . . ."
Dengan mengerahkan seluruh perhatian, Gin Liong
berusaha untuk menutup pernapasan dan menyatukan
semangat untuk mendengarkan sekonyong-konyong sebuah
benda tajam macam ungkit, menusuk tulang punggungnya,
seketika tubuhnya menggigil dan pingsanlah ia.
Entah berselang berapa lama, Gin Liong tersadar dari
suatu penderitaan sakit yang amat nyeri itu, ketika
membuka mata, ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah
tempat yang gelap gulita dan berangin dingin.
Sejenak memperhatikan sekelilingnya ia dapatkan
dirinya masih menggeletak di tumpukan rumput. Tempat
itu segera mengingatkan ia akan peristiwa yang dialaminya.
Ia pusatkan segenap indera pendengarannya Kecuali
hanya angin dingin mendesis-desis, tiada lain suara yang
dapat didengarnya lagi.
Serentak diapun teringat akan suhunya dan kawanan Ma
Toa Kong, Dimanakah mereka saat itu ?
Dia ingin duduk, Tetapi baru hendak menggerakkan
tubuh, sakitnya bukan alang kepalang sehingga ia sampai
meringis dan kucurkan keringat dingin.
Untunglah kesadaran pikirannya masih terang. Dia
masih ingat, pada saat akan pingsan, didengarnya suhunya
berseru : "Wulanasa, pergilah, Kiongcu Hun seumur hidup
akan . . . . "
Kelanjutan dan bagaimana yang terjadi kemudian, ia tak
dapat mengetahui karena keburu pingsan.
Ia hendak gerakkan kepala berpaling kesamping, ah,
kepalanya terasa amat berat sekali, ia ingin menggerakkan
tangannya untuk meraba-raba sekelilingnya tenaganya
terasa lemah lunglai tak bertenaga sama sekali.
Dalam keadaan yang tak dapat berbuat apa2 itu akhirnya
iapun jatuh tidur lagi.
Pada saat ia bangun untuk yang kedua kalinya, kejutnya
bukan kepalang, Tempatnya yang gelap, saat itu terang
benderang. Seluruh gua terang seperti pagi hari. Keadaan
gua itu dapat dilihatnya dengan jelas bahkan sampai pada
bagian2 lekuk dan cekungnya,
Tiba2 timbullah keinginannya untuk bangun. Dan
serentak iapun menggeliat, hai . . . . mengapa tubuhnya
ringan sekali, Cepat ia kerahkan pernapasan dan dapatkan
tenaga murni dalam tubuhnya lancar sekali.
Segera ia lontarkan pandang ke arah mulut gua. Suhunya
dan mayatHong-bi-lek Go In sudah tak tampak lagi,
Lanjutkan pandang matanya keluar gua, tampak batu
karang yang menonjol di muka gua tertutup salju putih,
Bunga2 Bwe yang tumbuh ditepi karang tengah mekar
dengan indahnya.
"Ah, hari sudah terang." serunya gembira Dan secepat
kilat ia ayunkan tubuhnya loncat ke mulut gua.
Bum . ,. .
Tiba2 ia berseru keras dan dorongkan kedua tangannya
ke batu karang di muka gua. Dan segera ia terlongonglongong
heran. Salju yang menutup permukaan batu karang
itu berhamburan bercampur dengan keping2 hancuran
karang, Tiga batang pohon bwe yang tumbuh di tepi batu
karang berhamburan gugur jatuh kedalam jurang,
Gin Liong benar2 tak menyangka bahwa saat itu ia
memiliki tenaga yang amat sakti, Dari jarak tujuh delapan
tombak jauhnya, ia masih dapat melepaskan hantaman
yang sedemikian dahsyatnya,
Menengadah ke langit, tampak mentari pagi sudah mulai
mengintip di puncak gunung, Diam2 ia heran. sebelum
pingsan, udara amat buruk, Salju turun deras, angin
menderu-deru keras. setelah sadar dari pingsan, hari sudah
cerah.
Makin melanjutkan keluar pandang matanya, tampak
puncak gunung tertutup salju putih, sepintas pandang
menyerupai lautan awan putih,
Gin Liong terkesiap dalam hati, ia merasa matanya jauh
lebih terang dan beberapa saat tadi, sebelum pingsan, Bukan
saja dapat menghadapi sinar kemilau dari cahaya salju, pun
dapat juga menerobos melihat beberapa tombak ke dalam.
Diam2 ia girang sekali, Cepat ia melayang keatas jalan
kecil lalu apungkan tubuh ke puncak karang, Dari tempat
itu ia terus lari menuju ke hutan siong disebelah muka.
Saat itu ingin sekali ia berada di kuil Leng hun-si. ia
hendak menceritakan perobahan dirinya itu kepada suhu
dan sumoaynya,
Sesaat tiba di kuil ia terus loncat melampaui pagar
tembok dan melayang ke ruang belakang.
Tetapi sesaat kakinya menginjak lantai, segera ia
merasakan sesuatu yang tak wajar, Biasanya di ruang
belakang kuil itu tentu penuh dengan kawanan paderi yang
mondar mandir mengurus pekerjaan masing2. Tetapi
anehnya, saat itu sama sekali tiada seorang paderi yang
kelihatan bayangannya,
Setelah mencurahkan pendengaran barulah ia dapat
mendengar bahwa di ruang muka kuil itu sayup2 terdengar
suara kelinting sembahyangan.
Kembali Gin Liong merasa girang. Ia tahu bahwa
telinganya makin bertambah tajam.
Ia lepaskan perhatian ke ruang belakang dan pusatkan
pendengarannya ke arah ruangan muka, Tetapi diapun
kurang memperhatikan bahwa saat itu sebenarnya
sembahyang pagi para paderi kuil sudah selesai pada dua
jam yang lalu.
Dengan hati gembira ia segera melangkah ke ruang
tengah untuk mendapatkan suhunya, ia terkejut ketika
melihat pintu ruang tempat kediaman suhunya terkancing
rapat Menandakan bahwa suhunya tak berada di dalam,
Berpaling ke ruang samping tempat tinggal sumpaynya,
pintunya tertutup tetapi daun jendela terbuka separoh.
Maka Gin Liongpun ayunkan langkah menghampiri
Begitu dekat pada ruang itu, kejut Gin Liong tak terkira,
ia mendengar suara erang kesakitan dari dalam ruang itu. ia
duga sumoaynya tentu sakit.
Melangkah ke muka pintu segera ia mendorong lalu
menerobos masuk.
Ki Yok Lan, sumoaynya yang masih dara itu, rebah
diatas tempat tidur, rambutnya terurai kusut dan tubuhnya
dibungkus selimut.
Gin Liong bergegas menghampiri Ketika memeriksa,
menggigillah tubuhnya, Yok Lan tampak pucat sekali
wajahnya dan tampaknya seperti orang limbung,
Halaman 59-60 Hilang
........... dari guanya."
Mendengar itu Yok Lan terkejut girang sekali.
Matanyapun berlinang-linang dan dengan suara tergetar ia
berseru: "Ah, akhirnya Liong-li lo-cianpwe telah bebas . . "
Tiba2 Gin Liong teringat akan peristiwa yang dialaminya
ketika berada dalam gua Ban Hong Liong li. Peristiwa yang
aneh dimana punggungnya seperti ditusuk oleh benda tajam
sehingga ia pingsan.
"Lan-moay, kemungkinan Liong-li locianpwe masih
berada dalam gua", serunya sesaat kemudian.
"Benarkah itu ?" seru Yok Lan girang," Liong koko, aku
hendak mendapatkan beliau !"
Habis berkata dara itu terus hendak turun dari tempat
tidurnya, Gin Liong terkejut, cepat2 ia memegang bahu
sumoaynya:
"Lan-moay, penyakitku belum sembuh betul, tak baik
mengeluarkan tenaga untuk berjalan. Aku hanya
mengatakan bahwa kemungkinan Liong-li lo-cianpwe
masih berada dalam gua. Adakah hal itu benar, aku juga tak
tahu."
Karena ketegangan hati tadi, Yok Lan telah mengurangi
tenaga murni yang mulai pulih dalam tubuhnya. ia
terengah-engah, keringat dingin bercucuran dan wajahnya
pun pucat lagi,
Gin liong terkejut, buru-2 ia membantu sumoaynya tidur
lagi dan menutup tubuhnya dengan selimut.
Setelah napasnya agak tenang, sambil memandang ke
wuwungan rumah, dara itu terkenang akan peristiwa yang
lampau.
"Tahun yang lalu, diam2 aku telah menuju ke gua Kiukiok-
tong, Baru melayang ke atas batu karang, segera
terdengar Liong-li locianpwe menegur: "Apakah engkau
sumoay dari Gin Liong ?"
"Ah," Yok Lan berkata seorang diri, "begitu ramah dan
penuh kasih sayang nada suara Liong-li lo-cianpwe, Aku
seorang gadis yang sudah sebatang kara, merasa bahwa
kata2 beliau itu penuh rasa kesayangan seorang ibu
terhadap putri2-nya. Aku tak dapat. menahan derai air
mataku yang bercucuran turun . . . ."
"Tetapi, sesaat kemudian dia memperingatkan supaya
aku jangan melanjutkan langkah menghampiri ke guanya,
Dan beliaupun melarang aku tak boleh datang ke tempat itu
lagi, Dan lagi melarang aku jangan mengganggu pedang
pusaka beliau yang tergantung pada pintu berterali besi itu .
. ,."
Berkata sampai disitu tiba2 mata Yok Lan berkilat terang
seperti teringat sesuatu ia berpaling memandang Gin Liong.
"Liong koko, dimanakah pedang pusakamu dan baju
bulu burung itu ?"
Gin Liong terbeliak, Dia segera teringat bahwa pedang
pusaka dan baju bulu burung itu masih ketinggalan di gua,
walaupun ia masih ragu2 tentang tempat kedua benda itu
tetapi ia harus mencarinya sampai ketemu.
"Karena bergegas hendak menengok engkau dan suhu
maka kedua benda itu kutinggal di gua, Harap engkau
beristirahat, aku hendak mengambil kedua benda itu dulu,
Aku pasti segera kembali kemari lagi," katanya kepada sang
sumoay.
Selekas keluar dari kamar, ia menuju ke halaman lalu
enjot tubuh melayang keatas genteng dan terus lari menuju
ke gunung di belakang kuil.
Pada saat melintasi hutan pohon siong, ia melihat
sesosok bayangan orang melesat di puncak gunung dan
pada lain kejap sudah lenyap, Bayangan itu luar biasa
cepatnya.
Gin Liong terkejut sekali. Puncak gunung di belakang
kuil itu, penuh dengan jurang dan tebing karang yang
curam sekali, Kecuali harus mengambil jalan dari muka
puncak gunung itu, tiada lain jalan lagi yang dapat
ditempuh.
Siapakah orang itu? Suhunya ataukah kedua paman
kakek gurunya?
Tetapi pada lain kilas cepat ia membantah dugaannya
sendiri, Karena bukankah mereka masih membaca doa di
ruang besar ?
Ia segera pesatkan larinya dan terus melayang keatas
batu karang di muka gua, Karena melihat sosok bayangan
aneh tadi, ia tak berani gegabah terus masuk kedalam gua.
Baru setelah menunggu beberapa saat tak tampak sesuatu
yang mencurigakan akhirnya ia melayang turun dan
melangkah ke dalam gua,
Gin Liong teringat akan pengalaman yang diderita
Hiong-bi lek Go In. ia tak berani terus langsung masuk
melainkan melangkah dengan pelahan dan memperhatikan
setiap cekung dinding gua.
Makin ke dalam makin gelap.
Tiba di ujung tikungan sebelah kiri, ia hampir berteriak
girang. pedang pusaka Tanduk Naga dan baju bulu burung
masih menggeletak di tumpukan rumput kering, Cepat ia
memungut kedua benda itu. Tetapi serentak iapun segera
teringat akan BanHong Liong-li.
Karena pedang pusaka dan baju bulu burung masih tetap
berada di dalam gua, jelas sosok bayangan tadi tentu tidak
masuk kesitu.
Setelah menyelipkan pedang dan mengenakan baju bulu
burung, kembali timbul bermacam pikiran dalam benaknya.
Pertama, ia mengira Ban Hong Liong-li masih berada
dalam gua. pada saat paderi Go In berteriak masuk kedalam
gua, Ban Hong Liong-li mungkin bersembunyi tak jauh dari
tempatnya.
Gin Liong percaya bahwa dengan kepandaian yang
dimilikinya, tanpa dibantu wanita sakti itu, tentu tak
mungkin sekali hantam dapat melemparkan tubuh paderi
Go In sampai tujuh delapan tombak keluar dari gua.
Dan ketika suhunya masuk kedalam gua, tak hentihentinya
berseru memanggil "wulanasa " Mungkin kata2 itu
merupakan nama dari Ban Hong Liong-li ketika masih
gadis.
Gin Liong makin keras menduga bahwa diantara
suhunya dengan Ban Hong Liong-li, dahulu tentu
mempunyai hubungan yang istimewa.
Ban Hong Liong-li tampaknya kuatir orang lain atau
para anak muda mengetahui riwayat hidupnya. Pada saat
suhunya berbicara dengan Ban Hong Liong-li, Wanita sakti
itu tentu segera memeluknya (Gin Liong) sehingga pingsan
agar jangan dapat mendengar pembicaraan mereka.
Ia duga benda tajam yang menusuk punggungnya itu
tentulah ujung jari dari BanHong Liong-li.
Tetapi ada sebuah hal yang ia tak mengerti. Mengapa
suhunya waktu itu tak mau menolong dirinya ?. Adakah
saat itu suhunya memang tak mendengar suaranya ataukah
Ban Hong Liong-li lo cianpwe memindahkannya ke lain
tempat ?
Terlintas sesuatu dalam benaknya dan iapun
memandang ke muka, Lima tombak disebelah muka, gua
itu membiluk ke kanan.
Segera ia menuju ke tempat itu. Melongok kebawah,
ternyata sebuah jurang yang tak kelihatan dasarnya, Namun
Gin Liong sudah terlanjur tertarik hatinya, ia melayang
turun,Makin kebawah, hawanya makin dingin sekali,
Ketika tiba di dasar lembah, ia berhadapan sebuah gua
besar yang kedua dindingnya penuh dengan batu2 runcing.
Gin Liong maju menghampiri
Tiba2 ia terkejut karena mendengar suara jeritan seram
dari bagian dalam gua itu. ia hentikan langkah, Ketika
mendengarkan dengan seksama, kecuali suara benda jatuh,
tiada kedengaran apa2 lagi.
Teringat sesuatu, Gin Liong segera lari memburu
kedalam, Lorong gua berkelak-keluk, naik turun. Setelah
melintas enam buah tikungan, tibalah dia disebuah tempat
berbentuk empat persegi, panjangnya kira2 sepuluhan
tombak,
Gin Liong hentikan langkah, Memandang kemuka,
kejutnya bukan kepalang. Lima tombak disebelah muka,
terkapar sesosok tubuh yang kecil kurus.
Cepat ia loncat menghampiri. Ah, ternyata orang itu
memang seorang wanita. Rambutnya sudah usai,
mengenakan pakaian kembang potongan suku Biau,
Kepalanya pecah, wajahnya rusak mengerikan sekali.
Gin Liong menduga mayat itu tentulah Ban Hong Liongli.
serentak meluapkan kemarahannya, ia menghamburkan
tertawa keras sekali sehingga menggetarkan suluruh gua.
Puas menumpahkan kemarahannya dalam tawa yang
ngeri, serentak ia berlutut disamping mayat itu dan
menangis tersedu sedan.
"Liong-li locianpwe. murid memang berdosa besar
karena tak lekas datang sehingga lo-cianpwe sampai
dicelakai orang. Murid bersumpah, dengan pedang Tanduk
Naga pemberian lo-cianpwe itu, akan menuntut balas
kepada musuh2 lo-cianpwe itu, walaupun harus memburu
mereka sampai di ujung langit."
Sekonyong-konyong terdengar gemericik suara air
mengalir Gin Liong serentak berdiri dan berseru : "Siapa itu
!"
Ia menghimpun tenaga dalam, siap untuk menghantam,
Tetapi ketika memandang kemuka, menggigillah sekujur
tubuhnya, Cepat ia loncat mundur sampai tiga tombak,
Pada ujung gua didepan, sayup2 seperti muncul seperti
sinar yang menembus ke puncak gua. . Cahaya itu
memancarkan sinar tujuh warna. Kilau kemilau
menyilaukan mata.
Sebuah kepala binatang yang menyerupai ular naga,
bergemercikan timbul dari dalam air lalu perlahan-lahan
merayap keatas tanah.
"Makhluk ajaib..." teriak Gin liong dengan tegang sekali.
Ia menyalangkan mata memandang dengan seksama.
Kepala binatang aneh itu berwarna hijau, tanduk merah,
sepasang matanya menyerupai bola api, hidungnya
menghambur buih dan mulutnya mendesis-desis. Dan
ketika badannya ikut terangkat tulang punggungnya
seruncing mata golok penuh dengan sisik, Mungkin karena
mendengar Gin liong tertawa keras, makhluk aneh itu
merangkak keluar dari sarangnya.
Sekonyong-konyong makhluk aneh itu meraung,
mengangkat kepala, membuka mulut lebar2, lalu meluncur
kearah mayat Ban Hong hong-li.
-ooo0dw0ooo-
Bab 2
Katak salju
Gin Liong terkejut Tetapi sesaat kemudian iapun marah
sekali, Dengan menggembor keras cepat ia mencabut
pedang pusaka, seketika berhamburan sinar merah dari
pedang Tanduk Naga itu.
Binatang aneh itu panjangnya tiga tombak. keempat
kakinya tajam seperti cakar, Melihat sinar merah dari
pedang Tanduk Naga, mayat wanita yang sudah digigit itu,
segera dilepasnya lagi. sepasang bola matanya yang
mencorong seperti lentera, tiba2 pudar dan binatang itupun
pelahan-lahan menyurut mundur.
Gin Liong pelahan-lahan mendesak maju. Melihat itu
binatang anehpun makin mempercepat gerak mundurnya.
Tampaknya dia ketakutan sekali.
Pada saat melalui mayat, Gin Liong menunduk dan
memandangnya. Alangkah kejutnya ketika melihat baju
kembang potongan wanita Biau yang dikenakan wanita itu
sudah hancur digigit binatang aneh tadi.
"Binatang, serahkan jiwamu !" Gin Liong marah dan
loncat membabat tanduk merah binatang itu. Binatang
itupun meraung keras dan meluncur mundur cepat sekali
kedalam air.
Gin Liong berhenti dan berdiri di tepi air, Kiranya
tempat itu merupakan sebuah rawa seluas lima tombak,
dikelilingi empat dinding karang hijau. Ditengahnya
terdapat dua buah guha seluas satu tombak. Separoh bagian
dari guha itu terendam air.
Binatang aneh yang menyerupai naga itu masuk kedalam
guha sebelah kiri. Dari permukaan air masih tampak kedua
bola matanya yang bersinar tajam.
Gin Liong maju menghampiri ke tepi rawa, Binatang
itupun pelahan-lahan menyelam kebawah rawa.
Tiba ditepi rawa, airpun segera memancar sinar pedang
Tanduk Naga berwarna merah.
Rawapun pelahan-lahan tenang lagi. permukaan airpun
tidak beralun, Tetapi dari dasar rawa seperti memancar
sinar warna pelangi yang menyembul ke permukaan rawa.
Tergerak hati Gin Liong, Menunduk kebawah,
dilihatnya dari dasar rawa bagian yang paling dalam,
tampak melambung sebuah benda putih macam batu
pualam bersih.
Besarnya sama dengan kepalan tangan, Benda putih itu
makin melambung ke permukaan air. sinarnya makin
terang.
Ketika memandang dengan seksama barulah Gin Liong
tahu bahwa benda putih itu seekor katak putih atau katak
salju.
Sesaat katak salju itu mengapung di permukaan air,
maka tubuhnya memancar sinar putih yang gilang
gemilang. Ketika beradu dengan sinar merah dari pedang
Tanduk Naga, maka timbullah suatu pancaran sinar yang
amat serasi dan menyilaukan mata.
Seketika Gin Liong menyadari bahwa katak salju itu
tentu termasuk sejenis binatang yang ajaib. Cepat ia
selipkan pedangnya lalu berjongkok di tepi rawa dan
ulurkan tangan hendak menangkap binatang itu.
Tiba2 air berombak keras dan muncullah binatang aneh
yang menyerupai naga tadi, Gin Liong terkejut, Cepat ia
ayunkan tubuh melayang mundur beberapa tombak.
Memang mahluk yang menyerupai naga itu merangkak
naik ke daratan lagi, sepasang matanya memandang Gin
Liong dengan berapi-api.
Gin Liong sudah mempunyai pengalaman bahwa
binatang aneh itu takut pada sinar atau mungkin pada sinar
kemilau dari pedang Tanduk Naga. Maka dia segera
mencabut pedang pusaka itu, sambil menggembor keras.
terus menerjangnya .
Binatang yang mirip naga itu amat waspada sekali. Pada
saat sinar pedang Tanduk Naga memancar tiba, cepat2
binatang itupun segera menyurut mundur masuk kedalam
guha.
Beberapa saat kemudian permukaan telaga pun tenang
lagi airnya, Katak salju itupun kembali mengapung di
permukaan air.
Gin Liong tancapkan pedangnya ke tepi telaga, lalu
berjongkok dan ulurkan kedua tangannya untuk menangkap
katak mustika itu, Dalam pada itu perhatiannyapun tak
pernah lepas ke arah binatang mirip naga yang mungkin
akan meluncur keluar dari sarangnya.
Sepasang mata katak salju itu berkilat-kilat terang,
memandang dengan sorot marah kepada Gin Liong.
Katak yang badannya seputih salju itu, segera bergerakgerak
menghampiri ke tempat pedang Tanduk Naga.
Begitu mendekati tepi, secepat kilat Gin Liong segera
menyambarnya dan berhasillah ia.
Tetapi suatu peristiwa yang tak terduga-duga telah
terjadi. Ketika menggenggam katak salju itu, seketika kedua
tangan Gin Liong membeku dingin, lengannya serasa matirasa
dilanda oleh hawa yang luar biasa dinginnya sehingga
menyusup masuk ke ulu hati.
Gin Liong terkejut sekali, cepat ia letakkan katak salju itu
diatas bulu-bulu burung.
Ketika memandang kedalam air, dilihatnya binatang
yang menyerupai naga itu tengah mementang kedua
matanya lebar2. Dari hidungnya menghembuskan
hamburan hawa yang bergulung-gulung dalam air.
Gin Liong tahu bahwa mahluk seperti naga itu tentu
marah sekali, Tetapi karena takut pada pedang Tanduk
Naga maka walaupun katak salju telah dirampas Gin
Liong, binatang itu tak berani berbuat apa2.
"Ah, lebih aku cepat2 pergi," kata Gin Liong lalu hendak
menjemput katak salju lagi, Tetapi ketika memandangnya,
kejutnya bukan alang kepalang.
Katak salju yang semula sebesar kepalan tangan, saat itu
tiba2 berobah menyusut kecil tak lebih dari dua inci
besarnya, Dan ketika dipegang, tubuh katak itu putih
bening seperti air.
"Katak salju, ya, tentu inilah katak salju," tiba2 ia berseru
tergetar.
Dengan mencekal katak salju ditangan kiri dan pedang
Tanduk Naga, di tangan kanan, Gin Liong segera bergegas
pergi.
Saat itu hati Gin Liong girang bukan kepalang, Sambil
berlari pesat, pandang matanya selalu mencurah kearah
katak salju itu, Diam2 ia merenungkan tentang khasiat yang
luar biasa dari binatang itu.
Katak salju merupakan suatu jenis binatang yang jarang
terdapat di dunia, Seperti halnya dengan senjata pusaka,
kitab pusaka, pun katak salju itu merupakan benda yang
menjadi incaran setiap kaum persilatan.
Apabila katak salju itu direndam dalam arak dan
diminum maka khasiatnya bagi orang yang berlatih silat,
seolah tulang-tulangnya berganti baru, tenaga dalamnya
bertambah kokoh. Bagi orang biasa, dapat menyembuhkan
segala penyakit dan menambah panjang umur.
Kegirangan Gin Liong mendapatkan katak mustika itu
bukan karena ia hendak memakannya sendiri melainkan
hendak diberikan kepada Ki Yok Lan yang sedang
mengidap penyakit itu. Apabila sumoaynya minum katak
itu, tentulah penyakitnya akan sembuh dan tubuhnya akan
sehat kuat.
Tiba di tikung kiri pada mulut guha, tiba2 Gin Liong
terkesiap, jenazah Ban Hong Liong-li yang tadi
menggeletak di tempat itu, ternyata lenyap !
Ke manakah jenazah itu ?
Tak pernah dia menyangka bahwa di guha yang setinggi
lima tombak itu, akan muncul seseorang yang membawa
pergi mayat wanita itu, Dan dia pun tak pernah
membayangkan bahwa orang itu memiliki kepandaian yang
hebat sekali.
Dia hanya terkejut atas peristiwa aneh itu maka setelah
dengan hati2 memasukkan kotak salju kedalam baju, ia
segera tingkatkan kewaspadaan siap sedia menghadapi
sesuatu yang tak diinginkan.
Tiba2 ia mendengar suara tertawa dingin pelahan dan
berasal dari belakangnya, Sudah tentu dia terkejut sekali,
Secepat kilat ia mencabut pedang Tanduk Naga dan
berputar tubuh menabas.
Ia percaya bahwa gerakan berputar seraya menabas
secepat kilat itu tentu akan mengenai sasarannya, Tetapi ah,
hanya angin belaka yang ditabasnya.
Ia tersipu-sipu malu sendiri, Mengeliarkan pandang
kesekeliling, ternyata guha itu sunyi senyap, kosong
me!ompong.
Tetapi dia merasa penasaran, jelas tadi ia mendengar
suara orang tertawa dingin. Tiba2 terlintas sesuatu dalam
benaknya dan secepat itu ia segera menengadahkan muka
memandang keatas,
Ah, ternyata dugaannya tepat pada puncak guha setinggi
tiga tombak itu, terdapat sebuah guha yang cukup lebar.
Karena gelap dan menjulang ke atas maka tak dapat di
ketahui berapa tombak tingginya.
Kini Gin Liong menyadari bahwa orang yang melepas
tertawa dingin tadi tentu sudah meluncur dari puncak guha
itu.
Mengenangkan akan nasib Ban Hong Liong-li yang
begitu mengenaskan dibunuh lalu mayatnya masih
dilarikan Gin Liong menumpahkan kemarahannya dengan
sebuah tertawa seram
Acungkan pedang pusaka Tanduk Naga ke-atas ia segera
enjot tubuh melambung kearah guha diatas puncak guha
itu.
Memang pedang pusaka Tanduk Naga benar2 sebuah
pedang pusaka yang hebat. Lorong guha yang gelap itu
segera terpancar sinar merah. Dengan setiap kali menginjak
dinding guha yang menonjol, dapatlah Gin Liong mencapai
ketinggian tujuh tombak dan tibalah dia di puncak paling
atas.
Ia berhenti seraya lintangkan pedang dan mengeliarkan
pandang ke sekeliling. Kiranya guha di puncak itu
lorongnya berkeluk-keluk macam ular, Sebuah guha yang
menjulang condong ke-atas.
Guha itu gelap gulita, anginnya keras, Tak tampak
barang seorang manusiapun disitu, Gin Liong masih
penasaran. Di amati keadaan guha itu dengan lebih cermat,
Tiada tampak barang sebuah cekungan yang dapat
dijadikan tempat per sembunyian orang, Maka dengan
siapkan pedang ditangan kanan, ia segera menyusur lorong
guha.
Hati-2 sekali ia berjalan. Setiap keluk dan cekung, tentu
ia berhenti dan mengamati dengan cermat.
Makin menuju ke atas, hawa makin dingin dan lorong
guhapun makin sempit, Dan tak berapa lama tibalah ia di
mulut guha. Disitu keadaannya tidak lagi gelap melainkan
terang benderang.
Kini dia berhadapan dengan sebuah guha berbentuk
bundar, menjulang lurus keatas, Tingginya hampir
sepuluhan tombak, pada mulut guha yang bundar seperti
mangkuk, tampak langit yang biru. Dan dekat di mulut
guha, terdapat lapisan salju.
Gin Liong kerutkan dahi. ia sangsi adakah ia mampu
loncat melambung ke mulut guha setinggi itu, Dan orang
yang tertawa tadi, adakah juga keluar dari guha diatas itu ?
Tiba2 muncul suatu pertanyaan dalam hati Gin Liong,
Benarkah Ban Hong Liong-li telah dipenjara selama lima
tahun dalam guha itu ?
Seingatnya, selama lima tahun itu dikala Ban Hong
Liong-li memberi pelajaran ilmu silat kepadanya, ada
kalanya suruh dia datang lima hari sekali. Tetapi ada
kalanya tiga hari bahkan sebulan dua bulan baru
disuruhnya datang.
Waktu itu ia tak tahu apa sebabnya, Tetapi kini setelah
menemukan jalanan keluar dari puncak guha, dia menduga
keras, selama lima tahun itu Ban Hong Liong-li tentu tidak
terus menerus berada dalam guha. ia percaya dengan
kesaktian yang dimiliknya, Ban Hong Liong-li tentu mudah
sekali keluar masuk mulut guha itu.
Ada lagi sesuatu yang mengherankan Gin Liong, jika
benar Ban Hong Liong-li dapat bergerak bebas dalam guha
itu mengapa selama lima tahun itu tak pernah ia
diperbolehkan melihat wajahnya ? Adakah Ban Hong
Liong-li berwajah buruk sehingga malu dilihat orang ?
Saat itu yang paling menyedihkan hati Gin Liong ialah
keadaan jenazah Ban Hong Liong-li,Mukanya hancur lebur
sukar dikenali lagi sehingga sukar dinilai adakah dia
seorang wanita cantik atau buruk.
Dan sesaat teringat akan kematian yang mengenaskan
dari Ban Hong Liong-li itu, darah Gin Liong segera meluap,
ia memutuskan akan mencapai puncak mulut guha itu dan
melihat bagaimana keadaan yang sesungguhnya.
Sekali enjot sang kaki, tubuh Gin Liongpun melambung
kearah mulut guha yang tingginya beberapa tombak, Dalam
dua tiga kali gerakan melambung, akhirnya berhasil juga ia
tiba ditepi mulut guha.
Ketika memandang ke sekeliling, ia tertegun, Empat
penjuru keliling dari guha itu merupakan gerumbul pohon
siong yang penuh diselimuti salju. Dan yang mengejutkan
Gin Liong, ternyata pada jarak beberapa tombak dari
tempat itu sudah merupakan dinding tembok merah dari
kuil Leng-hun-si. Dan Gin Liongpun dapat melihat ruang
kuil itu, diantaranya ruang tempat kediaman suhunya.
"Hah, apakah mulut guha ini bukan yang dikatakan
sebagai Sumur mati dibelakang kuil ?" tiba2 ia teringat
Segera ia berpaling kebelakang untuk memeriksa mulut
guha tadi lagi, Tetapi ketika berputar tubuh, bukan
kepalang kejutnya sehingga ia sampai memekik kaget dan
loncat mundur dua tombak.
Di depan sumur mati yang berada di belakangnya itu,
tegak seorang wanita cantik dalam pakaian yang indah dan
mantel bulu burung dari beludru merah.
Wanita cantik itu kira2 berusia 26-27 tahun, kulitnya
merah segar, sepasang alisnya melengkung panjang sampai
ke pelipis rambut. Dan sepasang matanya bersinar bening
bagai batu zamrud.
Kecantikan wanita itu memiliki pesona yang memikat
hati orang. Sayang wajahnya menampil kerut hawa
pembunuhan dingin.
Gin Liong terkesiap, ia duga wanita muda itu tentu yang
menyerang Ban Hong Liong-li. seketika meluaplah
kemarahannya.
"Wanita jahat, engkau harus mengganti jiwa
locianpweku..." secepat kilat ia enjot tubuh melampaui dua
batang pohon siong lalu menyerang, menusuk bahu wanita
muda itu dengan pedangnya.
Tenang2 saja wanita muda itu melihat gerak gerik Gin
Liong- Pada saat ujung pedang Gin Liong hampir
mengenai, barulah dia menggeliat mundur, bergerak-gerak
dan tahu2 lenyap.
Gin Liong terkejut. Cepat ia hentikan terjangannya,
Dengan jurus Harimau-buas-mengibas-ekor, ia taburkan
pedang Tanduk Naga menyapu ke belakang.
Krak, bum... sebatang pohon siong segera terbabat
rubuh, menimbulkan letupan yang keras ketika
menghantam tanah, Salju yang menutupi daun pohon,
berhamburan keempat penjuru,
Memandang kian kemari, Gin Liong tak melihat wanita
muda itu, Cepat ia berputar ke belakang, ah, wanita muda
itu ternyata berdiri dibelakangnya.
Gin Liong tergetar hatinya, setitikpun ia tak menyangka
bahwa wanita muda itu menguasai juga tata langkah Liongli-
biau yang pernah diajarkan Ban Hong Liong-li kepadanya
Tenang2 saja wanita muda itu memandang Gin Liong,
wajahnya menampilkan kerut keresahan dan putus asa.
"Jika dapat menguasai tata gerak Liong-li-biau, wanita
ini tentu mempunyai hubungan dengan Liong-Li
locianpwe," pikir Gin Liong.
Menimang demikian, menurunlah kemarahan Gin
Liong. Segera ia menyimpan pedang lalu maju
menghampiri dan memberi hormat:
"Mohon tanya siapakah nama yang mulia dari cianpwe
ini ? Mengapa berada di belakang kuil Leng-hun-si ? Maaf
atas tindakanku yang kurang adat karena menyerang
cianpwe tadi."
Wajah wanita muda itu agak berobah. Sinar matanyapun
berobah lembut ia kerutkan alis dan tiba2 menghela napas.
Kali ini Gin Liong lebih terkejut lagi. Helaan napas
wanita muda itu benar2 mirip sekali dengan helaan napas
yang sering dilakukan oleh Ban Hong Liong-li selama
berada lima tahun dalam guha.
Melihat wajah anak muda itu pucat dan tegang serta
memandang dirinya penuh keheranan, wanita muda itu
segera berseru:
"Liong-ji, engkau benar2 seorang anak yang baik. Benar,
aku memang tak menyangka bahwa kecerdasanmu jauh
melebihi aku ketika masih muda, Demikian juga hatimu
pun lebih keras."
Mendengar nada suara yang tak asing lagi itu, tak
kuasalah Gin Liong menahan luapan hatinya. Airmatanya
berderai-derai membanjir turun, Selekas membuang
pedang, ia bergegas melangkah dan jatuhkan diri berlutut
dihadapan wanita itu seraya berkata dengan terisak-isak:
"Lima tahun lamanya Gin Liong telah menerima
pelajaran. Selama itu siang dan malam Gin Liong ingin
sekali melihat wajah cianpwe. Tadi tanpa sengaja, aku telah
berlaku kurang hormat, mohon locianpwe sudi
memaafkan."
Wanita muda itu berlinang-linang dan menghela napas
rawan, serunya:
"Liong-ji, bangunlah, Aku tak menyalahkan engkau
melainkan memang diriku. Wulanasa sendiri yang bernasib
malang, dipenjara selama lima tahun dalam guha, Adalah
karena beberapa alasan maka selama itu aku tak dapat
mengunjukkan diri menemui orang."
Habis berkata wanita muda itu segera mengangkat
bangun Gin Liong yang masih berlutut di tanah.
Waktu berdiri, Gin Liong tundukkan kepala tak berani
memandang wanita itu. ia tak mengira bahwa Ban Hong
Liong-li yang dipenjara selama lima tahun dalam guha -itu,
ternyata seorang wanita cantik yang baru berusia sekitar
dua-puluhan tujuh tahun.
Dengan berlinang - linang Ban Hong liong-li suruh Gin
Liong mengambil pedang pusaka itu, Gin Liongpun segera
melakukannya dan menyimpan pedang itu kesarungnya
lagi.
Ban Hong Liong-li sejenak memandang ke-sekeliling
cakrawala, Saat itu matahari sudah mulai condong ke barat,
Segera ia berkata dengan rawan:
"Liong-ji, saat ini aku harus pergi, tak dapat lebih lama
tinggal disini lagi."
Tergetar hati Gin Liong, seketika wajahnya berobah.
"Lo . . . locianpwe hendak kemana ?" tanyanya gopoh.
Dalam menyebut nama Ban Hong Liong-li itu, memang
Gin Liong agak kikuk, Wanita yang semuda itu, apakah
harus disebut "locianpwe". Tetapi karena selama lima tahun
sudah biasa memanggil begitu, diapun tak dapat berganti
dengan lain sebutan lagi.
Agaknya Ban Hong Liong-li tak menghiraukan soal
sebutan itu, .
"Aku harus segera kembali ke kampung halamanku di
gunung Supulawa. Dan selanjutnya aku akan tinggal di
daerah Biau sampai akhir hayatku, Aku takkan menginjak
ke Tionggoan lagi."
Gin Liong mengembang air mata, serunya gegas:
"Mengapa locianpwe tak mau tinggal beberapa hari lagi
disini ?"
Ban Hong Liong-li memandang ke langit lagi dan
gelengkan kepala pelahan-lahan lalu menghela napas.
"Kenangan yang lampau bagaikan asap, Hanya
kehampaan yang kutemui dalam mengarungi ke ujung
langit. Menyebabkan orang putus asa, walaupun kutunggu
sampai sepuluh tahun lagi, apakah gunanya ?"
Dalam pada mengucap itu. airmatanya berderai-derai
membasahi kedua pipi dan akhirnya kerongkongannyapun
terasa tersumbat tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
"Keinginan apakah yang locianpwe belum dapat
melaksanakan itu, harap memberitahukan kepadaku...."
akhirnya Gin Liong memberanikan diri untuk berkata.
Tetapi cepat Ban Hong Liong-li menukas tertawa rawan:
"Ah, hal itu sudah tiada harapan lagi. tiada gunanya
kukatakan."
Namun Gin Liong tetap mendesak: "Mohon locianpwe
suka tinggal disini beberapa hari lagi, Liong-ji tentu akan..."
Ban Hong Liong-li gelengkan kepala, menukas:
"Tidak. demi menambah tenaga dalammu, aku sudah
menunda perjalanan selama tujuh hari, sekarang aku harus
menempuh perjalanan itu siang dan malam agar lekas tiba
di daerah Biau."
Tiba2 Gin Liong teringat akan mayat wanita dalam
pakaian suku Biau yang rebah di dalam gua tadi.
"locianpwe, siapakah mayat wanita yang berada dalam
guha itu ?" tanyanya serentak.
Ban Hong Liong-li terkesiap, wajahnya berobah seketika.
Sesaat kemudian berkata dengan nada geram:
"Kebahagian hidupku, selama ini berada ditangannya,
Tak kukira kalau dia akan datang dari Biau-ciang dan
hendak membunuh aku secara menggelap."
Berhenti sebentar, Ban Hong Liong-li mendengus geram
dan melanjutkan pula:
"Apabila kali ini kulepaskan dia lagi, mungkin jiwa Cu
Hunpun sukar terjamin keselamatannya."
Gin Liong terbeliak kaget.
"locianpwe, siapakah wanita yang mengenakan pakaian
suku Biau itu ? permusuhan apakah yang terjalin antara dia
dengan suhuku ?" seru pemuda itu.
Agak tersipu merah Ban Hang Liong-li menerima
pertanyaan itu. Sesaat kemudian ia menghela napas rawan.
"Liong-ji, tanyakanlah sendiri kepada suhumu, sekarang
aku akan pergi !"
Habis berkata ia berputar tubuh.
"locianpwe, harap tunggu dulu," buru2 Gin Liong
berseru, meminta, seraya loncat kehadapan Ban Hong
Liong-li.
"locianpwe, maukah locianpwe memberitahu tempat
kediaman locianpwe kepada Liong-ji ?"
Ban Hong Liong-li merenung.
"Daerah Biau, gunung Supulawa, puncak Paklu, lembah
Naga-beracun," akhirnya meluncurlah beberapa patah kata
dari mulut BanHong Liong-li, memberitahukan alamatnya.
Diam2 Gin Liong mencatat dalam hati. Kemudian ia
bertanya pula:
"locianpwe, benarkah aku telah tidur selama tujuh hari
dalam guha?"
Ban Hong Liong-li mengangguk:
"Benar, kalau aku tak merawat dan tak mengurut-urut
jalan darahmu, paling sedikit engkau harus tidur sepuluh
hari lagi."
Gin Liong terkejut.
"Mengapa aku jadi begitu ?" serunya.
"Karena engkau telah makan pil Tok-liong-wan (pil naga
beracun) milik ibuku yang diambilnya dari perut ayahku."
Menggigillah seluruh tubuh Gin Liong mendengar
keterangan itu.
"Apa ? Pil itu berasal dari perut ayah locianpwe ?"
serunya terkejut.
Ban Hong Liong-li terpaksa tertawa: "Liong-ji. apakah
engkau merasa heran?"
Gin Liong berulang-ulang mengangguk kepala.
Ban Hong liong-li menghela napas pelahan.
Katanya pula: "cerita itu panjang sekali kalau
diceritakan, Lebih baik setelah aku pergi, engkau tanyakan
kepada suhumu !"
Gin Liong gelengkan kepala.
"Suhu tentu tak mau memberitahu kepada Liong-ji.
Mohon locianpwe saja yang memberitahu hal itu."
Ban Hong Liong-li kerutkan alis, Ketika hendak
membuka mulut tetapi ia berpaling kearah kuil Leng-hun-si
dan membentak: "siapakah yang berada dalam tembok itu
?"
Gin Liong terkejut dan berpaling, Dilihatnya Ki Yok Lan
dengan rambut kacau tengah melompat keatas pagar
tembok kuil dan terus hendak melayang turun.
Gin Liong terkejut sekali, ia tahu sumoay-nya itu masih
sakit maka buru-2 ia berseru:
"Lan-moay, jangan...."
Tetapi sudah terlambat, Ki Yok Lan sudah terlanjur
melayang turun. Gin Liongpun cepat membentak dan
loncat menyongsong.
Juga Ban Hong Liong-li terkejut, serentak ia ayun
tumbuh melesat kearah Yok Lan. Dengan kedua tangan ia
menyambut tubuh nona itu,
Ketika Gin Liong tiba, ia melihat Sumoay-nya telah
pingsan, Anak muda itu bingung dan airmatanya
bercucuran.
"Bagaimana, lo cianpwe".
"Dia pingsan !"
Ban Hong Liong-li kerutkan dahi. Memandang Yok Lan
yang berada dalam pelukannya, ternyata wajah dara itu
pucat lesi, kedua matanya meram. Bang Hong Liong-li
menghela napas: "Ah, tak kira anak ini bertubuh lemah
sekali."
"Memang sumoay sedang sakit, sudah tujuh hari
lamanya..." cepat Gin Liong memberi keterangan.
Tiba2 mata Ban Hong Liong-li bersinar dan cepat
menukas : "Katak salju itu ? Lekas keluarkan !"
Gin Liong terbeliak tetapi cepat ia menyadari bahwa
selama ini ternyata Ban Hong Liong-li telah mengikuti
gerak geraknya, Segera ia mengeluarkan katak mustika itu.
Ban Hong Liong li meletakkan Yok Lan di tanah,
kepalanya disandarkan pada dadanya, ia mengambil sebuah
mangkok batu kumala hijau lalu suruh Gin Liong
masukkan katak salju ke dalam mangkuk dan suruh pula
pemuda itu lekas mengambilkan sejemput salju yang bersih.
Gin Liong buru2 melakukan perintah, "Masukkan salju
kedalam mangkuk, perintah Ban Hong Liong-li pula, Begitu
salju dimasukkan, terdengar suara mendesis pelahan ketika
salju itu lumer menjadi air.
"Liong-ji. tahukah engkau khasiat katak salju ini ?" tanya
Ban Hong Liong-..
"Tahu," jawab Gin Liong.
"Segala apa memang sudah takdir." kata Ban Hong
Liong-li. "tak boleh diminta dengan kekerasan. Liong-ji,
engkau mempunyai rejeki besar, kelak engkau harus
menjaga dirimu baik2 agak menjadi seorang pendekar yang
berguna."
Serta merta Gin Liong menghaturkan terima kasih,
Memandang ke langit, kembali alis yang hampir
menyusup ke tepi rambut dari Ban Hong Liong-li berkerut
pula, Gin Liong segera tahu bahwa wanita itu tentu
bergegas hendak segera turun gunung. Dia bingung tetapi
tak tahu bagaimana harus mengatakan.
Saat itu salju sudah menjadi air. Diatas tubuh katak
salju, air itu seperti mendidih, mengeluarkan butir2
gelembung kecil. Begitu pula, tubuh katak itupun
memancarkan sinar tujuh warna yang kilau kenalan
Ban Hong Liong-li menundukkan kepala untuk meniup
mulut Yok Lan. Tubuh nona itu agak menggeliat dan
menghembus napas panjang lalu membuka mata.
Dengan wajah berhias senyum ramah. berkatalah Ban
Hong Liong-li: ”Lan-ji, minumlah air salju ini !"
Ia segera menuangkan tepi mangkuk kemulut dara itu.
Gin Liongpun cepat2 mendekati sumoay nya dan memberi
keterangan
"Lan moay, yang memeluk engkau ini adalah Liong-li
locianpwe."
Wajah Ki Yok Lan pucat lesi seperti mayat Sinar
matanyapun redup dan kesadaran pikirannya limbung,
Mendengar dirinya di peluk Liong-li locianpwe, seketika
wajahnya memancarkan sinar kejut dan girang.
"Lan-moay, minumlah air salju yang diberikan Liong-li
locianpwe penyakitmu tentu sembuh," kata Gin Liong pula.
Rupanya dara itu tak mendengar jelas apa yang
dikatakan suhengnya, Sepasang matanya memandang lekat
pada Ban Hong Liong-li.
Ban Hong Liong-li hanya tersenyum dan berkata pula:
"Lan-ji. lekaslah minum,"
Yok Lan pelahan-lahan membuka mulutnya tetapi
matanya tetap memandang tak berkedip ke wajah Ban
Hong Liong-li. Airmatanya berderai-derai mengalir
membasahi pipi.
Setelah air salju itu habis diminum, maka dari mulut Yok
Lan terbaur hawa harum yang sejuk.
Ban Hong Liong-li segera menyerahkan mangkuk
kumala dengan katak salju kepada Gin Liong, Setelah itu ia
menghapus airmata Yok Lan dengan ujung baju dan
dengan penuh kasih sayang menghiburnya.
"Lan-ji, jangan bersedih. Pulang dan tidur lah lagi,
engkau tentu sudah sembuh."
Ban Hong Liong-li lalu mengemasi rambut sidara yang
kusut.
Ki Yok Lan masih terlongong-longong memandang
wajah Ban Hong Liong-li. Rupanya ia masih bersangsi
adakah wanita cantik dihadapannya itu benar2 Liong-li
locianpwe. Tetapi menilik nada suaranya yang tak pernah
dilupakan, akhirnya ia mau percaya juga.
"locianpwe. apakah engkau belum pergi ?" tanyanya
sesaat kemudian.
Ban Hong Liong-li tersenyum rawan : "Lan-ji, jika tadi
engkau tak muncul, saat ini aku tentu sudah berada di kaki
puncak Hwe-siau-hong."
Habis berkata wanita itu memandang ke cakrawala pula,
Dengan wajah gelisah ia berkata kepada Gin Liong:
"Liong-ji. bawalah sumoaymu ini pulang agar
beristirahat sekarang aku harus pergi."
Pelahan-lahan ia mengisar tubuh Yok Lan. Gin
Liongpun cepat menyambuti tubuh sumoay-nya.
"locianpwe. apakah engkau sungguh2 hendak
meninggalkan kami ?" seru Yok Lan dengan wajah sedih.
Ban Hong Liong-li menghela napas dan mengangguk:
"Nak, sesungguhnya aku tak ingin meninggalkan kalian,
Tetapi aku terpaksa harus pergi."
Memandang Gin Liong, wanita itu menunjuk pada
mangkuk kumala, katanya:
"Liong-ji, mangkuk kumala hijau itu, termasuk salah
sebuah benda pusaka dari suku Biau. Aku sudah tak
memerlukannya dan kuberikan kepadamu. Harap jaga
baik2 jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat."
"locianpwe sudah menghadiahkan pedang pusaka
Tanduk Naga, Bagaimana Liong-ji temaha untuk menerima
pemberian locianpwe lagi ?" kata Gin Liong.
Sedangkan Yok Lan hanya memandang Ban Hong
Liong-li dengan air mata bercucuran.
Dengan berlinang-linang, Ban Hong Liong-li berkata:
"Nak, pulanglah. Beritahukan suhumu bahwa Liong-li
locianpwe sudah pergi, Dia tak akan melihat Wulanasa
lagi."
Berkata sampai disitu, airmata wanita itupun bercucuran.
Tiba2 ia berputar tubuh dan sekali ayun kaki, ia sudah
melayang kedalam hutan.
Hampir Gin Liong dan Yok Lan serempak menangis:
"locianpwe, harap suka menjaga diri baik2. Kami tak dapat
mengantar locianpwe..."
Tetapi saat itu Ban Hong Liong-li sudah lenyap diantara
gerumbul pohon siong.
Sambil masih terisak-isak, berkatalah Yok Lan :
"Mengapa Liong-li locianpwe tak mau bertemu muka
dengan suhu sendiri..."
Setelah menyimpan mangkuk kumala dan katak salju.
Gin Liong menghapus airmatanya dan berkata:
"Biarpun suhu marah tetapi aku tetap hendak mohon
kepada beliau supaya suka menceritakan tentang riwayat
Liong-li locianpwe."
Yok Lan gelengkan kepala.
"Ah, tak mungkin suhu mau memberitahu hal itu,"
katanya.
"Aku tentu akan memintanya mengatakan." kata Gin
Liong berkeras, Kemudian ia memandang wajah
sumoaynya. "sumoay. bagaimana penyakit-mu sekarang ?"
"Seluruh tubuhku seperti dialiri hawa panas. Aku merasa
letih sekali," sahut Yok Lan.
Gin Liong tahu bahwa khasiat katak salju sudah mulai
bekerja dalam tubuh sumoaynya.
"Kalau begitu mari kubawamu kembali kedalam kamar
tidur, Liong-li locianpwe mengatakan, setelah tidur barang
satu jam saja, engkau tentu sudah sembuh."
Ia terus memondong tubuh Yok Lan, loncat ke pagar
tembok lalu melayang turun, lari menuju keruang kediaman
suhunya.
Dalam pelukan sukonya, hati Yok Lan mendebur keras,
pipinya bertebar warna merah. walaupun bukan sekali itu ia
dipondong, tetapi setiap kali berada dalam pelukan
sukonya, hatinya tentu berdebar dan mukanya merah.
Saat itu ia rasakan tubuhnya disaluri aliran hawa yang
hangat, merasa ngantuk dan pikiran kabur Entah apakah
yang diminumkan Liong-li cianpwe kepadanya ?
"Liong koko, tadi Liong-li locianpwe memberi aku..."
Tiba2 Gin Liong berhenti Saat itu mereka sudah tiba di
pintu ruang kuil, Dan pemuda itu mencurah pandang
kearah pintu kamar suhunya.
"Liong koko, mengapa berhenti ?" bertanya Yok Lan
dengan bisik2.
Gin Liong terbeliak lalu menjawab : "Ah, tak apa2.
Kuantarkan engkau kedalam kamarmu."
Dengan bergegas pemuda itu segera menerobos masuk
kedalam ruang. Yok Lan makin heran mengapa sukonya
begitu tegang tampaknya.
Setelah meletakkan Yok Lan ditempat tidur dan
menyelimutinya, Gin Liong segera bertanya:
"Apakah hari ini suhu datang menjenguk kemari ?"
Begitu rebah di tempat tidur, mata Yok Lan sudah
kepingin tidur, ia paksakan menyahut sambil gelengkan
kepala: "Sudah tujuh hari, suhu tak pernah datang kemari."
Habis berkata dara itu terus tertidur. Mendengar
keterangan itu seketika berobahlah wajah Gin Liong. ia
makin tegang, serunya: "Lan moay, tidurlah aku akan
keluar sebentar."
Ia menepuk kedua bahu sumoaynya lalu melesat keluar
dan loncat ke pintu kamar suhunya, sekali dorong,
terbukalah pintu itu.
Permadani tebal yang menjadi alas tempat tidur, entah
bagaimana, saat itu ditutup dengan kain warna kuning.
Sudah tentu Gin Liong heran, Sejak dahulu tak pernah ia
melihat hal semacam itu.
Pun pedupaan dari tembaga kuno yang terletak diatas
meja, tiada mengepulkan asap lagi. Tetapi ruang itu masih
terdapat sisa asap dupa yang tipis.
Melihat keadaan itu Gin Liong seperti mendapat firasat
yang tak baik. Cepat ia keluar, mengunci pintu lalu lari
keluar ke halaman, Tiba di ruang belakang, keadaannyapun
sunyi2, tiada dijumpainya barang seorangpun.
Lari ke ruang tengah, hanya bertemu dengan dua orang
paderi kecil. Dengan wajah cemas, kedua paderi kecil itu
tengah menambahi minyak pada lampu.
Melihat Gin Liong, kedua paderi bocah itu segera
menangis dan berseru:
"Liong suko, lekaslah engkau menuju ke lapangan Kilok-
jang di muka gunung !"
Menggigillah Gin Liong, wajahnyapun membesi Tanpa
bertanya lebih lanjut, ia terus lari keluar dan menuju ke
ruang besar Tay-hud-tong.
Yang disebut lapangan Ki-lok-jang itu, adalah tempat
kuburan dari para ketua dan Tianglo kuil Leng-hun-si yang
telah meninggal Apabila seluruh paderi Leng-hun-si
berkumpul di tanah pekuburan itu, tentu menghadiri
pemakaman dari paderi Leng-hun-si yang berkedudukan
Tiang-lo ke-atas.
Suatu bayang2 yang menyeramkan segera melintas pada
benak Gin Liong, Betapa tidak ! Sudah tujuh hari lamanya
Liau Ceng taysu tidak kembali ke kuil Leng-hun si. Adakah
suhunya itu telah dicelakai oleh Ma Toa-kong dan kawankawannya
?
Teringat akan hal itu, terhuyung-huyunglah tubuh Gin
Liong sehingga hampir rubuh. Untung dia cepat2 dapat
menenangkan diri lalu menuju ke sudut ruang Toa-hudtong.
Didalam ruang Toa-hud -tian tampak asap dupa
berkepul-kepul. Seorang paderi tua yang kurus sambil
membawa seikat api tengah melangkah pelahan-lahan
keluar ruang.
Gin Liong makin gelisah sekali. Tanpa berkata apa2, ia
terus lari melampaui paderi tua itu, langsung menuju ke
pintu kuil.
Rupanya paderi tua itu mendengar kesiur angin dari
pakaian orang yang menghampirinya, Tetapi ketika
memandang orang itu, ternyata Gin Liong sudah melesat
keluar pintu kuil.
Saat itu, mentari sudah silam dibalik gunung. Cuaca
menjelang rembang petang. Puncak gunung-pun sudah
mulai bertaburan kabut Cakrawala mulai menebarkan
selimut hitam.
Gin Liong lari seperti orang kalap. Sinar matanya berapiapi,
dahinya bercucuran keringat.
Memandang kemuka, lapangan Ki-lok-jang sudah
kelihatan. Pagoda2 kecil tempat jenazah yang berjajar-jajar
berpuluh-puluh di makam itu, makin jelas diantara
gumpalan kabut.
Seluruh paderi Leng-hun-si dengan jubah warna kelabu
serempak berkumpul dimuka sebuah makam yang baru.
Mereka tegak berdiri menghadap makam baru itu.
Nyanyian duka dan mantra2 kematian, sayup2 terdengar
dibawa hembusan angin.
Melihat itu Gin Liong makin kalap, Diluar
kesadarannya, ia segera menumpahkan kegelisahan hatinya
dalam sebuah suitan panjang yang bernada sedih.
Gema suitan itu menembus awan, menimbulkan
kumandang yang bergemuruh di langit dari puncak Hwesian-
hong.
Doa- kematian di tanah makam Ki-lok-jang berhenti
seketika, Seluruh paderi serentak berpaling memandang
kedatanganGin Liong,
Seiring dengan berhentinya suitan, Gin Liong pun sudah
tiba di tepi hutan, melayang turun terus lari menghampiri.
Dalam pada berlari itu mata pemuda itu tetap melekat
kearah rombongan paderi.
Tiba2 diantara rombongan paderi Leng-hun-si itu tampil
seorang paderi berjubah merah.
Seketika berobahlah wajah Gin Liong dengan seri
kegirangan yang menyala-nyala.
"Suhu...." ia berteriak girang dalam hati seraya pesatkan
larinya.
Tetapi rasa kegirangan itu segera berobah pula rasa
kesiap yang besar, Kiranya paderi jubah merah itu bukan
suhunya melainkan ji-susiok-cou atau paman kakek guru
yang kedua.
Menggigillah hati Gin Liong, Diam2 ia bertanya dalam
hati, kemanakah suhu dan paman kakek guru yang ketiga ?
Serentak mata Gin Liongpun mencurah kearah makam
pagoda yang baru itu...
Saat itu seluruh paderi Leng hun-si tahu bahwa yang
menghambur suitan nyaring dan yang tengah lari
mendatangi itu, adalah Gin Liong yang telah menghilang
selama tujuh hari.
Kawanan paderi itu terkejut dan berlinang-linang
airmata, Merekapun tak pernah menyangka bahwa murid
dari kalangan orang biasa dari ketua mereka, ternyata
memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian mengejutkan.
Tiang-lo jubah merah yang memegang tongkat Giok-jiih,
dengan wajah duka dan kerutkan alis memandang
kedatangan Gin Liong Diapun diam2 terkejut melihat
kepandaian Gin Liong.
Pada saat sekalian paderi masih kesima, Gin Liongpun
sudah tiba dan sekonyong-konyong ia lari menghampiri
makam pagoda yang baru dibangunkan itu seraya menjerit:
"Suhu..."
Hanya sepatah kata yang dapat diucapkan karena tubuh
anak muda itu terhuyung-huyung lalu rubuh ke tanah yang
tertutup salju. Setelah dua kali berguling-guling. iapun
pingsan.
Gemparlah sekalian paderi Leng-hun-si. Mereka hiruk
pikuk berhamburan menghampiri. Tetapi tianglo jubah
merah cepat melesat dan mengulurkan tangan mengangkat
tubuh Gin Liong supaya duduk, Diurut-urutnya jalan darah
anak itu lalu perlahan-lahan menepuk-nepuk punggungnya.
Gin Liong membuka mata. Airmatanya segera
membanjir turun, Dengan menggembor keras ia melonjak
bangun terus hendak menelungkupi makam pagoda yang
baru itu.
Tiang-lo jubah merah terkejut Cepat ia menyambar
tanganGin Liong: "Liong-ji..."
"Huak...." Gin Liong muntahkan segumpal darah segar.
Tanah yang bertutup salju putih segera bertebaran warna
merah.
Gin Liong berlutut dihadapan makam baru.
Sambil memegang meja sembahyang, ia memandang ke
arah makam yang berisi jenazah Liau Ceng taysu, suhunya
yang dicintai itu. Dengan kalap ia berteriak-teriak
memanggil suhunya.
Airmatanya bercucuran seperti banjir, Mulutnyapun
berlumuran darah,Matanya merah seperti terbakar.
Melihat pemandangan itu, tiang-lo jubah merahpun
hanya berdiri dibelakang Gin Liong. Dia tak kuasa juga
menahan cucuran airmatanya.
Juga seluruh paderi Leng-hun-si segera mendekap muka
dengan ujung lengan jubah dan menangis tertahan.
Cuaca makin gelap, Kabut dingin makin tebal.
Dilapangan makam Ki-lok-jang masih berkumandang suara
isak tangis.
Tiba2 Gin Liong hentikan tangisnya, Dengan heran ia
memandang kearah sebatang kimto (golok emas) yang
terletak diatas meja sembahyang, Kim-to itu panjangnya
tiga-puluhan senti, lebarnya satu setengah inci. Batangnya
memancarkan sinar keemasan yang menyilaukan
"Liong-ji, suhumu telah binasa oleh golok emas itu...."
tiba2 tiang-lo jubah merah berseru.
Gin Liong tegak berdiri lalu mengambil kim-to itu dan
memeriksanya, Seketika menggigil keraslah tubuhnya.
"Wulanasa..." tanpa disadari mulutnya berseru tertahan.
Seluruh paderipun berhenti menangis. Mereka serempak
memandang kearah Gin Liong dengan heran.
Demikian tiang-lo jubah merah, Bergegas ia maju dua
langkah, menunjuk golok emas dan bertanya:
"Liong-ji, tahukah engkau arti dari keempat huruf pada
batang golok itu ?"
Gin liong tak menyahut melainkan memandang ke
cakrawala dengan terlongong-longong. Mulutnya mengigau
seorang diri:
"Wulanasa... apakah yang membunuh suhu itu mungkin
Liong-li locianpwe?"
Mendengar kata2 "Liong-li", tergetarlah hati tianglo
jubah merah. Segera ia berteriak marah:
"Liong-ji, apakah golok emas itu milik Ban Hong Liongli
?"
Tiba-2 Gin Liong menghambur tawa keras yang sedih.
Kumandangnya jauh menebar ke seluruh penjuru hutan.
Seketika berobahlah wajah seluruh paderi Leng-hun-si.
Mereka merasa darahnya bergolak keras, jantung
mendebur.
Tiang-lo baju merah terkejut. Tujuh hari menghilang,
mengapa mendadak Gin Liong memiliki tenaga dalam yang
sehebat itu.
Berhenti tertawa, Gin Liong segera berteriak keras2:
"Mengejar locianpwe, tentu dapat mengetahui siapakah
pembunuh suhu itu !"
Kata2 itu ditutup dengan sebuah loncatan ke udara.
Sekali loncat, ia sudah melayang turun sampai beberapa
tombak jauhnya, ia lari kearah jalan yang ditempuh Hian
liong Liong-li.
Segenap paderi Leng-hun-si tercengang menyaksikan
tindakan anak muda itu. sekonyong-konyong tiang-lo jubah
merah berteriak memanggil : "Liong-ji, kembali !"
Tetapi Gin Liong tak menghiraukan lagi, ia terus lari
menuju ke hutan pohon siong. Begitu masuk kedalam
hutan. keadaannya gelap sekali tetapi serempak dengan itu
golok emas yang dicekalnya itu memancarkan sinar
gemilang sampai seluas dua tombak.
Gin Liong terkejut ia baru menyadari bahwa golok emas
itu ternyata sebuah pusaka, ia teruskan larinya. Setelah
melintas keluar dari hutan, ia berhadapan dengan sebuah
puncak karang, Memandang kebawah, ia terlongonglongong.
Dibawah puncak merupakan sebuah jurang yang tak
diketahui berapa dalamnya karena permukaannya tertutup
oleh kabut tebal, Yang tampak hanya puncak pohon siong
dan batu yang menonjol.
Gin Liong bingung dan gelisah, ia bernafsu sekali untuk
mengejar Ban Hong Liong-li dan menanyakan siapakah
yang membunuh suhunya.
Keinginan yang meluap-luap itu menyebabkan dia lupa
bahaya, serentak ia ayun tubuh melayang turun ke bawah.
Karena kabut dan hari sudah gelap, maka ia lambaikan
layang tubuhnya.
Sekonyong-konyong pada saat kakinya menginjak
sebatang pohon siong, ia rasakan dadanya sakit dan hawa
murni dalam pusarnya naik sehingga pandang matanyapun
berkunang -kunang.
Gin Liong terkejut sekali wajahnya berobah pucat dan
keringat dingin mengucur deras, Tubuhnyapun makin laju
meluncur turun. jaraknya masih kurang beberapa meter dari
pohon siong. Dengan paksakan diri dan tahan kesakitan ia
bergeliatan, menghambur teriakan dan cepat tancapkan
golok emas ke pohon-pohon.
Cret
Golok emas itu luar biasa tajamnya. Sekali tabas, seperti
menabas tanah liat. Batang pohon sebesar paha orang,
segera terbabat hampir putus.
Gin Liong terkejut, karenanya tubuhpun meluncur turun
lagi, ia menjerit nyaring seraya menyambar sebatang dahan
pohon yang menjulai ke bawah.
Pohon siong itu berderak-derak jatuh ke bawah. Dan
ketika Gin Liong memandang kebawah, ia melihat
segunduk karang salju seluas satu tombak. Cepat ia
mendapat akal. Selekas lepaskan dahan pohon, ia terus
bergeliatan melayang turun ke atas karang salju itu.
Tetapi tepat pada saat hampir menginjak karang es itu,
pohon siong tadipun meluncur menimpah kearahnya. Cepat
ia bergelindingan kedalam karang es itu.
Bum, batang pohon siong menghantam permukaan
karang es lalu mencelat ke bawah lagi beserta hamburan
salju.
Tempat Gin Liong menyusup masuk itu, merupakan
sebuah cekung karang es yang luasnya hanya satu meter.
Hampir saja tempat itu hancur karena tertimpa batang
pohon.
Setelah menenangkan diri, rasa sakit pada dadanya
terasa lagi, ia menyadari bahwa tadi karena dirangsang
luapan amarah, hawa dalam tubuh telah menyerang ke ulu
hati. Dan karena dipergunakan untuk lari kencang, luka itu
makin berat.
Disekelilingnya gelap gelita, Kabut tebal sekali sehingga
ia tak tahu masih berapa tombakkan dalam dasar jurang itu.
Ia menyadari pula bahwa tiada gunanya untuk terburu
nafsu, Lebih dulu ia harus menyembuhkan luka dalamnya.
Tiba2 pula ia teringat akan katak salju yang disimpan dalam
bahunya.
Pada waktu menjamah tubuh katak, air es yang
merendam binatang itu hampir tumpah, ia tak berani
gegabah memegangnya.
"Jika katak salju itu kukulum dalam mulut entah apakah
dapat mengobati lukaku ?" pikirnya.
Maka dengan hati2 sekali ia segera mengambil katak
salju itu lalu pelahan-lahan dimasukkan kedalam mulut.
Begitu masuk kedalam mulut, Gin Liong rasakan suatu
hawa yang harum menebar dalam mulutnya, ia menelan
hamburan air dari tubuh katak salju itu, seketika dadanya
terasa hangat dan rasa sakitpun hilang.
Gin Liong terkejut. Tak pernah ia menyangka bahwa
hawa katak salju itu dapat menebarkan khasiatnya
sedemikian cepat sekali, Hawa hangat itu cepat menyalur
keseluruh anggauta tubuhnya, Tetapi iapun merasa ingin
tidur sedemikian keras rasa kantuk itu sehingga ia pejam
mata dan tertidur.
Entah selang berapa lama, ketika bangun Gin Liong
melihat kabut sudah menipis. Cuaca gelap, dilangit penuh
bertaburan bintang kemintang.
Tiba2 ia teringat akan katak salju yang dikulum dalam
mulut tadi.
"Hai. kemanakah katak salju itu ?" serunya terkejut
seraya mencabut golok emas dan duduk.
"Bum...." tiba2 salju yang dipijaknya berhamburan
hancur sehingga ia terjerumus meluncur ke bawah.
Kejut Gin Liong bukan kepalang, Dengan menggembor
keras ia gunakan jurus Burung-rajawali-hinggap-didahan.
Kepala berjungkir kebawah, kaki diatas.
Dia terus meluncur kesamping sebuah sebatang pohon
siong, Kurang satu tombak dari pohon siong itu, ia
menekuk kedua kaki dan melintang tangan.
Dengan gaya itu berhasillah ia menginjak dahan pohon
dengan sekali sehingga tak menimbulkan suatu getaran
pada dahan pohon.
Setelah menghapus keringat dingin dan menenangkan
pikiran, ia mulai teringat akan katak salju. Kemanakah
gerangan katak itu?. Apakah binatang itu meluncur
kedalam perutnya atau ketika ia tertidur, binatang itu
meluncur keluar dan mulutnya.
Ah, aneh benar. Memandang keatas, karang es tadi
sudah tak tampak lagi, Sedang ketika memandang
kebawah, ternyata dia masih memegang golok emas tadi.
Golok emas itu segera mengingatkan dia akan peristiwa
kematian suhunya. Pikiran untuk mencari katak salju segera
hapus dan saat itu ia hanya memikirkan bagaimana
mengejar jejak Ban Hong Liong-li untuk menanyakan siapa
pembunuh suhunya.
Cepat disimpannya golok emas itu lalu ia ayunkan tubuh
meluncur ke bawah, Dibawah dasar lembah itu terdapat
banyak pohon siong dan tumbuh-tumbuhan rotan, Dengan
ketangkasan macam seekor kera, ia berpindah dari satu
kelain pohon dengan cepat sekali, Akhirnya berhasillah ia
tiba di kaki puncak.
Hentikan langkah memandang keempat penjuru,
dilihatnya lembah yang penuh salju itu masih berkilaukilauan
memancarkan cahaya putih mengkilik.
Setelah puas memandang, ia segera menentukan arah
menuju ke barat daya, ia memutuskan untuk menempuh
perjalanan siang dan malam agar cepat dapat menyusul Ban
Hong Liong-li.
Entah berapa banyak lembah dan jurang, gunung dan
hutan yang telah dilintasinya dengan cepat.
Setelah lari beberapa waktu, ketegangan hatinyapun
mulai mengendap. Serempak banyak persoalan yang
memenuhi benaknya...
Bagaimana peristiwa pembunuhan suhunya itu sampai
terjadi ? Apakah didalam kuil atau didalam kamarnya atau
di guha Kiu-kiok-tong ?
Yang mampu membunuh suhunya tentu seorang yang
tinggi kepandaiannya dan ilmu ginkangnya tentu amat
sempurna. Tetapi siapakah pembunuh itu ?
Dan lagi, mengapa sam-susiokcou atau paman kakek
guru yang ketiga juga tak tampak pada pemakaman di
lapangan Ka-lok-jang ? Ataukah orang tua itu juga dicelakai
orang ?
Tetapi mengapa di makam Ki-lok-jang hanya didirikan
sebuah makam baru untuk suhunya. Mengapa tidak
didirikan lagi sebuah makam untuk paman kakek gurunya
yang ketiga ?
Seketika timbul rasa sesal mengapa ia tak minta
keterangan dulu kepada paman kakek guru yang kedua.
Bagaimana keadaan suhunya ketika berada dalam guha
tempo hari ? Kawanan Ma Toa-kong itu kemana saja
perginya?
Dan siapakah wanita Biau yang mati dalam guha itu ?
Sesungguhnya ia ingin pulang ke kuil untuk minta
keterangan kepada suhunya, Tetapi ternyata suhunya telah
dibunuh orang, lalu satunya orang yang dapat memberi
keterangan hanialah Ban Hong Liong-li.
Dia tak percaya kalau Ban Hong Liong-li yang
membunuh suhunya, Tetapi Ban Hong Liong-li tentu tahu
tentang golok emas itu dan siapa pemiliknya...
Teringat akan kematian suhunya, hati Gin Liong makin
tegang dan ingin sekali lekas2 menyusul BanHong Liong-li.
Dia ingin berteriak sekuat-kuatnya tetapi ia kuatir Ban
Hong Liong-li sudah berada seratusan li jauhnya.
Setelah melintasi beberapa puncak gunung salju dan
beberapa hutan belantara, iapun berpaling kebelakang,
puncak Hwe-sian-hong tampak tegak menjulang ke langit
dengan megah dan perkasa.
Teringat juga ia bahwa pada saat itu tentulah paderi kuil
Leng-hun-si sudah tidur. Sedang paman kakek guru yang
ke-dua mungkin masih mondar mandir di halaman kuil.
Sumoaynya yang bertubuh lemah tentu akan berduka sekali
apabila mengetahui suhunya telah terbunuh dan dia (Gin
Liong) sedang melakukan pengejaran kepada Ban Hong
Liong-li.
Ah, apabila teringat akan hal itu, berlinang-linanglah
airmata Gin Liong, Dia tak mau mengingat hal itu, tak
mau.
Sekonyong-konyong pandang matanya gelap dan angin
dingin berhembus. Ketika memandang ke depan ternyata
dia harus melintasi sebuah hutan pohon siong lagi.
Menghampiri hutan itu tiba2 hatinya tergetar, hentikan
langkah dan terlongong. Memperhatikan dengan seksama,
tampak dalam hutan pohon siong yang pendek tumbuhnya,
terdapat sebuah rumah pondok kecil. Pondok itu
memancarkan sinar penerangan yang terang.
Kemudian ia melihat pula ditengah hutan pohon siong
itu terdapat dinding rumah yang puing runtuhan dinding,
Diatas tanah masih bertebaran kutungan ranting pohon.
Heran Gin Liong di buatnya. Mengapa ditempat hutan
belantara yang jarang dijelajah manusia, terdapat sebuah
rumah pondok kecil yang memancarkan sinar penerangan
terang sekali.
Melongok dari jendela, penerangan api itu mantap
sekali, sedikitpun tidak bergoyang-goyang. Rupanya tentu
bukan dari lampu atau lilin. Didalam ruang pondok, sunyi
senyap tiada kedengaran suara apa2.
Timbullah keinginan tahu dalam hati Gin Liong, Setelah
melengkapi kedua tangan dengan saluran tenaga dalam,
pelahan2 segera ia ayunkan langkah menghampiri.
Kerucuk . . . . terdengar suara macam orang meneguk
air, Suara itu memancar diri samping Gin Liong.
Dengan terkejut Gin Liong berputar tubuh seraya
luruskan kedua tangan kemuka dada. Dan serempak
pandang matanya mengeliat kearah suara orang minum air
tadi, seketika ia hampir memetik kaget.
Dibawah sebatang pohon siong yang tak berapa tinggi
lebih kurang terpisah beberapa meter dari tempat ia berdiri
seorang pengemis tua tampak duduk sembari minum arak.
Dia mengenakan pakaian yang kumal, rambutnya putih,
pipi kempot dan tubuh kurus kering seperti tulang
terbungkus kulit, sepasang mata yang berbentuk segitiga,
memancarkan sinar yang berkilat-kilat tajam, sepasang
tangannya yang kotor tengah mencekal sebuah buli2 arak
yang besar, selesai minum seteguk, bau arak yang harum
segera berhamburan dibawa angin ke empat penjuru.
Sudah tentu Gin Liong tak pernah menyangka bahwa
ditempat yang sesunyi itu terdapat seorang pengemis tua.
seketika teganglah hati pemuda itu. Diam2 diapun bersiapsiap
untuk menghadapi setiap gerakan pengemis tua yang
akan mencelakai dirinya.
Setelah minum seteguk, pengemis yang kakinya
telanjang tak bersepatu itu, menyumbat kembali mulut buli2
arak. Sambil setengah pejamkan kedua matanya, tangannya
menggosok-gosok kotoran busuk yang melekat pada sela2
jari kakinya, sedikitpun dia tak mengacuhkan Gin Liong
yang berada dihadapannya.
Melihat pengemis itu bertelanjang kaki mampu
menempuh tempat yang penuh bertutup salju dingin,
timbullah dugaan Gin Liong bahwa pengemis itu tentu
memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tiba2 ia teringat akan urusannya mengejar Ban Hong
Liong-li, maka segera Gin Liong hendak berputar tubuh
tinggalkan tempat itu. ia tak mau menunda waktu hanya
karena ingin mengetahui siapa pengemis tua itu.
Tetapi baru ia berputar tubuh, kejutnya makin besar
sehingga ia sampai menyurut mundur dua langkah.
Pada bayangan gelap dari ujung dari sisa puing2 tembok
rumah pondok itu, lebih kurang hanya setombak jauhnya
dari tempat ia berdiri, tampak menggunduk sebuah
bayangan hitam yang bulat bentuknya.
Setelah tenangkan ketegangan hati dan memandang
dengan seksama, barulah Gin Liong mengetahui bahwa
gunduk bayangan hitam itu bukan lain adalah seorang
paderi bertubuh gemuk, telinga besar, mulut persegi, hidung
mekar, mata besar dan kepala bundar seperti kepala
harimau.
Paderi gemuk itu tengah duduk bersila, Kain jubahnya
yang berwarna kelabu telah menutup kedua kakinya,
sepasang matanya, berkilat2 memandang Gin Liong dengan
sorot yang dingin.
Tetapi Gin Liong mempunyai kesan bahwa walaupun
tampaknya paderi itu menyeramkan sekali tetapi dari sorot
matanya, jelas tak mengandung maksud jahat kepadanya.
Sebagai gantinya, kini timbullah rasa heran dalam hati
Gin Liong mengapa ia bertemu dengan seorang pengemis
dan seorang paderi yang pada waktu tengah malam buta,
duduk ditempat hutan belantara yang sedemikian sunyi
senyap.
"Adakah kedua orang itu tengah mengadu kesaktian
ditempat ini ?" diam2 timbul pertanyaan dalam hati Gin
Liong, iapun menduga bahwa salah satu dari kedua orang
itu mungkin pemilik dari rumah pondok itu.
Memikirkan rumah pondok, tanpa terasa matanyapun
beralih mencurah ke sebelah muka. Dilihatnya bahwa
penerangan benderang yang menembus keluar dari jendela
rumah pondok itu, kini berhias dengan warna kabut yang
lemah.
Makin terperanjatlah hati Gin Liong, "Adakah didalam
rumah pondok itu terdapat suatu benda pusaka ?" pikirnya.
Teringat akan soal benda pusaka, segera ia menduga
bahwa jika benar demikian, tentu disekitar rumah pondok
itu akan terdapat beberapa orang lagi, Bukan hanya paderi
gemuk dan pengemis tua itu saja.
Untuk membuktikan dugaannya, iapun segera keliarkan
pandang matanya kesekeliling sekitar rumah pondok.
Dan dugaannya memang benar, Pertama-tama dia segera
melihat seorang nenek tua yang buta kedua matanya.
Nenek buta itu mengenakan baju dari kain blacu,
panjang sampai menutupi kedua lututnya, celananya
terlampau besar bagi kedua kakinya yang kecil, Nenek itu
memegang sebatang tongkat Thiat-ho-ciang atau tongkat
yang tangkai menyerupai bentuk burung bangau, terbuat
daripada besi.Warnanya hitam mengkilap.
Nenek itu berdiri diam dibawah tembok rumah pondok
yang sudah separoh rubuh.
Lalu dibawah sebatang pohon siong yang aneh
bentuknya dan tumbuh kira2 lima tombak dari rumah
pondok itu, tampak pula seorang lelaki berumur sekitar 40-
an tahun. Dia memakai kopiah kulit warna hitam dan
mantel kulit yang masih berbulu. Mukanya penuh dengan
brewok, Tubuhnya yang tinggi besar, tengah disandarkan
pada pohon siong itu.
Diapun setengah memejamkan mata, mulutnya yang
agak perot, menimbulkan kesan yang menyeramkan orang,
Sinar matanya berkilat-kilat mencurah pada Gin Liong.
"Masih ada pula beberapa orang lagi, Tetapi karena
bersembunyi dibalik pohon yang gelap, sukarlah untuk
mengetahui bagaimana wajah mereka yang jelas.
Makin meningkatlah keheranan Gin Liong. Gerangan
benda apakah yang berada dalam rumah pondok itu
sehingga mengundang kedatangan sekian banyak orang2
persilatan kesitu.
Mau tak mau timbul juga rasa ingin tahu dalam hati Gin
Liong.
Sejak turun gunung, memang belum pernah Gin Liong
berkelana dalam dunia persilatan. Dan sudah tentu pula ia
tak bagaimana berbahayanya suasana dunia persilatan itu.
Ia menurutkan suara hatinya saja, Apa yang diinginkan
terus dikenakannya saja, Maka setelah bersiap-siap
mengeluarkan tenaga-dalam ke lengan dan menenangkan
semangat, dengan langkah pelahan segera ia menuju ke
rumah pondok itu.
Tindakan Gin Liong cepat menimbulkan suara berisik di
empat penjuru sekelilingnya. Suara berisik yang berhadapan
rasa takut. entah berapa puluh pasang mata, pun mencurah
ruah kepada dirinya.
Bahkan dengan serempak pula, paderi gemuk, pengemis
kurus dan lelaki tinggi besar serta nenek buta itu mulai
menggerakkan tubuh mereka.
Dua kemungkinan menyebabkan mereka mulai bergerak
itu. Pertama, mereka gelisah karena tindakan Gin Liong
hendak menghampiri rumah pondok itu. Kedua, terkejut
karena melihat ilmu kepandaian Gin Liong yang
sedemikian hebatnya.
Gin Liongpun mendengar "juga" akan suara berisik
bernada terkejut itu. Demikian pula iapun dapat
memperhatikan betapa dirinya telah dipandang dengan
sorot mata heran2 kejut dari orang2 yang bersembunyi
ditempat gelap itu.
Makin keras dugaan Gin Liong bahwa dalam rumah
pondok itu tentu terdapat sesuatu yang berbahaya.
Tetapi setitikpun ia tak menyadari bahwa langkah
kakinya pada tanah bertutup salju ditempat itu, hanya
meninggalkan bekas2 telapak yang hampir tak kelihatan.
Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki
ilmu ginkang tinggi.
Namun Gin Liong tak mengacuhkan, sambil siapkan
kedua tangan, ia lanjutkan langkahnya menuju ke rumah
pondok itu, Langkah kakinya sedikitpun tak menimbulkan
suara apa2.
Suasana sekeliling tempat itu sunyi senyap, tiada tampak
suatu gerak yang mencurigakan yang hendak merintangi
langkah Gin Liong.
Lelaki muka brewok, tidak lagi sandarkan diri pada
batang pohon tetapi sudah berdiri tegak, Nenek buta
miringkan kepala hendak mencurahkan pendengarannya.
Pengemis kurus dan paderi gemuk sama menyalangkan
mata kejut memandang kearah Gin Liong.
Keheranan Gin Liong makin besar dan makin keras
keinginannya untuk menghampiri rumah pondok dan
melihat apakah yang sesungguh berada dalam rumah itu.
Setelah melintasi sebuah runtuhan dinding tembok, tiba2
menggigillah hati Gin Liong dan serempak iapun hentikan
langkah.
Dengan pandang terkejut, perhatiannya mencurah
kearah dua sosok benda hitam yang rebah terkapar di muka
jendela.
Dan ketika memandang dengan seksama, ternyata kedua
sosok benda hitam itu adalah dua sosok mayat manusia,
Yang sebelah kiri, mayat seorang lelaki tua berambut putih.
Tubuhnya miring menghadap ke dalam rumah sehingga
wajahnya tak kelihatan jelas.
Sedang yang sebelah kanan, seorang imam tua bertubuh
kurus kering, Alis mengernyit, mata mendelik dan mulut
menganga, wajahnya pucat kekuning-kuningan. Ujung
mulutnya mengumur darah merah warna hitam.
Keadaannya mengerikan sekali.
Menilik bahwa kedua sosok mayat itu ditimbuni lapisan
salju, tentulah mereka sudah mati pada beberapa hari yang
lalu.
Sekonyong-konyong dari samping kiri yang gelap,
menghambur serangkum tawa dingin bernada mengejek.
Gin Liong merasa bahwa tertawa mengejek itu ditujukan
pada dirinya. seketika meluaplah kemarahannya, Dengan
tegakkan kepala dan busungkan dada, ia segera melampaui
kedua sosok mayat itu. langsung menuju kemuka jendela
rumah pondok.
Tempat2 gelap disekeliling penjuru rumah itu, tampak
bayang2 hitam bergerak-gerak dan percikan sorot mata
menghambur
Rupanya mereka terkejut, menyaksikan keberanian anak
muda itu sehingga mereka serempak berdiri tegak dari
tempat persembunyiannya.
Tiba di muka jendela dan melongok ke dalam ruang
pondok, kembali hati Gin Liong bergoncang keras.
Diatas sebuah ranjang batu yang berada dalam ruang
pondok itu, duduk bersila dengan mata menunduk
kebawah, seorang tua bertubuh kurus kering, dia
mengenakan jubah warna hitam.
Rambut orang tua itu kusut masai, kumisnya hanya
beberapa lembar. Dibawah hidung yang tegak menjulang
keatas bernaung sebuah mulut yang agak perot, pipinya
yang kempot mengulum tawa dingin. Wajahnya dingin
menakutkan, angkuh dan bengis.
Dimuka ranjang orang tua itu, terdapat sebuah meja
kecil yang diberi sebuah cermin bundar sebesar piring nasi,
Ternyata penerangan yang memancar ke luar jendela itu,
berasal dari kaca cermin tersebut.
Gin Liong memperhatikan cermin itu, sinarnya
menyilaukan mata, silang gemilang sekali, ia tak tahu
apakah cermin itu terbuat daripada tembaga gosok atau
perak ataukah air raksa.
Meja kecil itu terpisah dua meter dari tempat Gin Liong
berdiri, Asal ulurkan tangan, ia tentu dapat meraih cermin
aneh itu. Walaupun merasa heran tetapi setitikpun Gin
Liong tak mempunyai keinginan untuk mengambil nya.
Kemudian memperhatikan orang tua kurus itu, Gin
Liong mengerut dahi, orang tua itu seperti sebuah patung
yang tak bernyawa, sedikitpun tak bergerak, Bahkan
napasnya pun tak terdengar.
Melihat itu diam2 Gin Liong menghela napas rawan.
"Ah orang tua itu sudah tak bernyawa," katanya dalam
hati.
Sekonyong-konyong kedua kelopak mata orang tua itu
pelahan-lahan terbuka, Gin Liong terkejut sekali sehingga
menyurut mundur setengah langkah.
Gerakan menyurut mundur dari Gin Liong disambut
dengan beberapa pekik kejut tertahan dari tokoh2 yang
bersembunyi disekeliling pondok itu.
Dengan sorot mata yang lembut, orang tua kurus itu
memandang sejenak kepada Gin Liong lalu pejamkan
matanya lagi.
Tatapan pandang mata orang tua itu, menghilangkan
rasa takutGin Liong. Kecemasannyapun lenyap.
Gin Liongpun sempat pula menyambar kesan bahwa
pada wajah orang tua yang sedingin es itu ternyata
memancarkan sinar mata yang penuh welas asih.
Dan saat itu Gin Liongpun menyimpulkan dugaan
bahwa orang2 yang mengepung secara bersembunyi di
sekeliling rumah pondok itu tentulah kawanan orang
persilatan yang tamak, yang rakus untuk memburu
keuntungan jelas mereka tentu mengatur siasat hendak
merampas kaca cermin yang terletak diatas meja dihadapan
orang tua itu.
Menilik kedua mayat yang terkapar di depan jendela itu,
Gin Liong menduga bahwa orang tua dalam pondok itu
tentu seorang sakti. Hal itu makin diperkuat dengan
kenyataan bahwa orang2 persilatan yang mengepung
pondok itu tak berani gegabah mendekati rumah pondok
tersebut.
Siapakah gerangan orang tua itu.
Gin Liong menggali ingatannya, tetapi sepanjang yang
diketahuinya, diantara sekian banyak orang2 aneh yang
sakti dalam dunia persilatan seperti yang dituturkan
suhunya, rasanya tiada terdapat orang tua kurus seperti
yang berada dalam pondok itu.
Walaupun tak tahu apakah khasiat dari kaca didepan
orang tua itu, namun Gin Liong berani memastikan
tentulah kaca itu sebuah pusaka yang tak ternilai harganya,
jika tidak demikian masakan sampai menggerakkan
perhatian sekian banyak tokoh2 persilatan ?
Serentak timbullah rasa muak terhadap orang2 persilatan
yang berada disekeliling rumah pondok itu.
Serentak Gin Liong berputar tubuh untuk mengamati
dengan seksama orang2 yang mengepung pondok itu.
Diam2 ia darat menghitung bahwa mereka itu tak kurang
dari dua puluh orang jumlahnya.
Tiba-tiba timbul keputusan dalam hati Gin Liong,
Karena dia tak mempunyai selera untuk merampas kaca
dan tak perlu membantu orang tua menghadapi kawanan
orang persilatan itu maka lebih baik ia cepat2 tinggalkan
tempat itu saja.
Setelah berpaling memandang sejenak kearah orang tua
dalam ruang pondok, iapun segera pesatkan langkah
menuju keluar hutan.
Tiba2 dari belakang terdengar suara orang membentak :
"Kembali !"
Gin Liong terkejut. Dia tahu yang dipanggil itu adalah
dirinya, Serentak ia berhenti. Dilihatnya wanita tua buta itu
tengah menghadap kearahnya. Kedua kelopak matanya
membalik sehingga tampak biji matanya yang keputihputihan
tengah menengadah memandang ke langit.
Rupanya dia tengah mencurahkan pendengaran.
Pengemis kurus, paderi gemuk dan lelaki brewok serta
beberapa orang yang bersembunyi di kegelapan itu, tampak
tertawa menyeringai dan memandang nenek buta itu.
Rupanya bukan gerak gerik Gin liong yang hendak
didengarkan nenek buta, Tongkat kepala burung hong yang
dipegangnya, tiba2 digentakkan ke tanah dan berserulah ia
sekeras-kerasnya:
"Kusuruh engkau kembali, dengar tidak !"
Melihat wajah nenek buta itu tampak membengis dan
galak, diam2 Gin Liong tak senang, Tetapi mengingat
nenek itu sudah berusia tua dan kedua matanya buta, maka
iapun bersikap sabar.
"Nenek, apakah engkau memanggil aku ?" tegurnya.
Rupanya nenek buta itu tahu bahwa dari nada suaranya,
Gin Liong itu seorang pemuda.
Tiba2 wajah nenek yang membengis itu tampak reda,
Setelah sejenak tertegun, ia berkata pula:
"Ya, memang kusuruh engkau kembali !"
"Nenek mempunyai keperluan apa kepadaku?" tanya
Gin Liong dengan nada ramah.
Mendengar nada perkataan Gin Liong seperti enggan
kembali, nenek itu berseru marah lagi:
"Kusuruh engkau kembali, engkau harus kembali, perlu
apa banyak tanya !"
Kata2 yang kasar itu tak dapat diterima lagi oleh Gin
Liong. ia tak kuasa menahan kemarahannya.
"Kalau mau bilang apa2, bilang saja, Perlu apa harus
suruh aku kembali !"
Wajah nenek buta itu seketika berobah. Matanya yang
buta seperti berkilat-kilat dan tubuhnya gemetar keras
karena marah. ia tertawa dingin tak henti-hentinya.
Gin Liong menyadari bahwa tiada gunanya untuk cari
perkara dengan nenek buta buruk muka itu. Dengan
mendengus geram ia terus berputar tubuh hendak pergi.
Tetapi baru berputar tubuh, tiba2 nenek buta itu
membentaknya: "Budak, berhenti !"
Seiring dengan teriakannya itu. tubuh nenek tua yang
buta itu sudah melayang kehadapan Gin liong.
Gin Liong terkejut sekali. Cepat ia berhenti, ia tak
menyangka bahwa nenek buta itu ternyata mahir dalam
ilmu Thing-hong-pian-wi atau Mendengar-anginmenentukan-
tempat. Bukan saja mahir tetapi dapat
menguasainya dengan hebat sekali.
Tetapi Gin Liong tetap tak puas atau sikap si nenek yang
begitu garang dan tak memandang orang, Maka Gin
Liongpun kerutkan alis dan menegur:
"Tanpa sebab apa2, mengapa engkau menghadang
jalanku ?"
Sambil tudingkan ujung tongkat ke rumah pondok,
nenek buta itu memberi perintah:
"Ambilkan cermin kaca dalam pondok itu !"
"Hak apa engkau hendak memerintah aku ?" teriak Gin
Liong marah sekali.
Nenek buta itu deliki mata dan membentak bengis:
"Kalau tidak mengambilkan kaca itu, serahkan jiwamu !"
Nenek itu menutup kata-katanya dengan menyabat
pinggang Gin Liong. Sabetannya secepat angin menderu,
sederas hujan mencurah.
Gin liong mendengus geram, Dengan bergeliatan tubuh
iapun sudah menyelinap ke belakang nenek buta itu.
"Tetapi nenek buta itu seperti mempunyai mata terang.
Sebelum kaki Gin liong tegak dibelakangnya, secepat kilat
iapun sudah berputar tubuh seraya menghantamkan
tongkatnya kepada Gin Liong.
Gerakan nenek dan tongkatnya itu benar2 mengejutkan
sekali, Cepat, ganas dan dahsyat.
Gin Liong benar2 terkejut sekali, Cepat ia gunakan tatalangkah
Liong-Li-biau ajaran Ban Hong Liong-li untuk
meluncur tiga tombak jauhnya.
Tetapi nenek buta itu memang lihay sekali, secepat
menarik pulang tongkatnya ia terus membentak:
"Hai, hendak lari kemana engkau budak !" Oh-liong-juttong
atau Naga-hitam-ke-luar-sarang, adalah jurus yang
digunakan si nenek buta untuk mengiringkan gerakan
tubuhnya yang menerjang Gin Liong.
"Berhenti !" tiba2 terdengar suara orang membentak
nyaring, sesosok tubuh melayang dan lelaki bermuka
brewok itupun sudah melayang tiba.
Nenek itu bergegas menarik tongkatnya, ia deliki mata
kearah pendatang itu:
"Brewok, engkau hendak menganggu urusanku lagi ?"
Tongkat kepala burung ho diangkat keatas lalu dengan
jurus Thay-san-ya-ting atau gunung-Thaysan-menindihpuncak,
ia menghantam kepala lelaki brewok itu.
Gin Liong yang berada tiga tombak dari tempat kedua
orang itu, kerutkan dahi, ia merasa nenek buta itu terlalu
buas, tiap orang hendak dihajarnya.
Lelaki brewok menyurut mundur dan berseru marah:
"Nenek buta, siapa yang sudi mengurusi urusanmu. Aku
hendak bertanya kepada budak kecil itu..."
Nenek buta hanya mendengus. Tanpa menunggu orang
selesai bicara, ia segera putar tongkatnya dan menyerang
lelaki brewok itu lagi.
"Biarpun engkau hendak berputar lidah memberi seribu
alasan tetapi aku tetap tak percaya !" serunya.
"Nenek buta, jangan andalkan kepandaianmu untuk
menindas orang, Aku si Brewok terbang Li Tek-gui tak
takut pada siapapun juga !"
Habis berkata ia gerakkan kedua tangannya menyerang
nenek buta itu.
Nenek buta itu memperdengarkan tertawa aneh dan tak
henti-hentinya menggeram:
"Bagus, bagus, hendak kusuruh engkau si Brewokterbang
kenal akan kelihayanku."
Tiba2 gerakan tongkatnya berobah, Batang tongkat yang
berwarna hitam mengkilap malang melintang menyambarnyambar
seperti petir memecah angkasa.
Brewok-terbang Li Tek-gui tak mau mengalah, ia maju
menyerang seraya memekik-mekik. Makin lama makin
gencar serangannya.
"Hai, budak, apakah engkau hendak ngacir pergi ?" tiba2
dari tempat gelap terdengar seruan orang.
Gin Liong tenang2 mengikuti pertempuran itu. Dia tak
tahu, kepada siapakah orang itu menegurnya, Segera ia
keliarkan pandang mata kian kemari.
"Ah... ternyata nenek buta itu dengan melengking keras,
menyerangnya. Karena terkejut, Gin Liong menyurut
mundur setengah langkah.
Telinga nenek buta itu memang luar biasa tajamnya,
walaupun sedang bertempur tetapi ia masih dapat
menangkap langkah kaki Gin Liong. Tahu bahwa pemuda
itu hanya mundur setengah langkah, nenek buta itu
menyadari kalau ia telah tertipu oleh si Brewok-terbang.
Karena marahnya, tubuh nenek buta itu sampai gemetar
keras.
Bluk, ia hantamkan tongkat burung hong ke tanah lalu
berseru keras:
"Hai, kawanan tikus manakah yang berseru tadi ? engkau
berani mengacau ?"
Nenek buta itu menengadahkan kepala, memasang
telinga, siap untuk menyerbu orang yang berseru tadi.
Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap tiada suara sama
sekali.
Saat itu Gin Liongpun menyadari bahwa seruan itu
ternyata ditujukan pada dirinya, Marahlah dia seketika.
Segera ia curahkan pandang mata kearah suara tadi.
Tampak di tempat itu beberapa sosok bayangan manusia
tegak dengan mata berkilat-kilat, Entah siapakah diantara
mereka yang berseru tadi.
Sekonyong-konyong dari arah tiga tombak jauhnya
terdengar suara orang tertawa gelak2. Nadanya amat
menghina.
Cepat Gin Liong memandangnya, Tampak Li Tek-gui
merentang kedua tangan, menengadahkan kepala dan
tertawa keras, sehingga janggutnya yang penuh brewok itu
ikut berguncang2. Entah mengapa dia begitu gembira
sekali.
Nenek buta berputar tubuh, deliki mata seraya
lintangkan tongkat burung hong ke muka dada, serunya:
"Brewok-terbang, jangan gembira dulu. Pada suatu hari
aku tentu akan mencabut jiwamu anjing itu !"
Nenek itu kerutkan alis dan membalikkan kelopak mata,
Gerahamnya menggemerutuk keras tetapi dia tak
melakukan gerakan menyerang, Rupanya ia lebih kuatir
kalau Gin Liong sampai pergi.
Brewok-terbang Li Tek-gui hentikan tawanya lalu
berseru dengan nada sarat:
"Nenek buta, aku menertawakan ilmu pendengaranmu
yang begitu tinggi tiada tandingnya dalam dunia persilatan
Sekali bertempur dengan orang, engkau tentu segera
mengerti akan jurus permainan lawanmu. Pada hal gerakan
tubuh dari budak kecil yang hendak engkau tahan itu,
adalah ajaran dari musuh bebuyutanmu, wanita hina Ban
Hong Liong-li.
"Tutup mulutmu !" seketika Gin Liong membentak
marah dan terus secepat kilat menerjang Brewok terbang Li
Tek-gui.
Pada saat Gin Liong menyerbu Li Tek-gui, si nenek
butapun meraung dan menyapu tubuh pemuda itu dengan
tongkatnya.
Gin Liong belum sempat berdiri tegak. Terpaksa ia
berlincahan menghindar dan berputar tubuh, setelah
menghindari tongkat sinenek buta, ia lanjutkan serangannya
kepada Li Tek-gui.
Tongkatnya menghantam angin, si nenek buta itu
tertegun kaget, beberapa sosok bayangan, berhamburan
keluar dari tempat persembunyiannya, Mereka berteriak
kaget juga.
Melihat pemuda itu dapat menghindari tongkat nenek
buta dan terus menyerbu kepadanya, Li Tek-gui gugup.
Pada saat loncat menerjang itu. Gin Liong segera
mengangkat tinjunya, menghantam kearah Li Tek-gui
hendak menghindar
Tetapi pada saat itu juga, terdengarlah kesiur angin
mendesing kearah muka Gin Liong.
Gin Liong mendengus geram, Selekas mengisar langkah
kesamping ia terus menghantam tangan kanan Li Tek-gui
dan tahu2 jarinyapun bergerak untuk menjepit senjata
rahasia yang hendak menabur ke mukanya itu.
Ah, ternyata senjata rahasia itu sebatang Liu-yap-hui-to
atau golok terbang setipis daun Liu. Dan golok tipis itu
dilumuri pula dengan racun.
Cepat ia mengangkat muka memandang ke arah tempat
gelap yang menjadi tempat bersembunyi orang yang bicara
tadi, Tampak sesosok tubuh orang sedang membungkuk ke
tanah.
Gin Liong kerutkan dahi, ia duga tentu orang itu yang
melepas senjata rahasia beracun kepadanya. Ada ubi ada
talas. Ada budi harus dibalas.
Setelah mengerahkan tenaga-dalam, segera pemuda itu
taburkan Liu-yap hui-to kembali kepada pemiliknya.
Pada lain saat terdengarlah jeritan ngeri dari tempat
persembunyian gelap itu. Nadanya sama dengan suara
orang yang bicara tadi, Gin Liong terkesiap. Hampir ia tak
percaya bahwa golok Liu-yap-hui-to yang setipis itu, dapat
ia lontarkan dengan kekuatan yang sedemikian dahsyatnya.
Sosok2 bayangan hitam yang bersembunyi ditempat
gelap, hening lelap tiada suaranya, rupanya mereka kesima
menyaksikan kepandaian Gin Liong.
Tiba2 Li Tek-gui melangkah maju dan dengan
menggembor keras ia terus menghantam Gin Liong yang
masih termangu-mangu itu.
Serangan itu dilakukan tak terduga-duga dan jaraknya
amat dekat. Pada saat Gin Liong menyadari bahaya,
ternyata pukulan sudah tiba dimuka dadanya.
Dalam gugup, pemuda itu terus buang tubuh melayang
mundur sampai tiga tombak dan berada dimuka segunduk
runtuhan tembok.
Baru kakinya berdiri tegak, dari sudut tembok itu muncul
seseorang dan segera menghantam tengkuk anak muda itu.
Gin Liong marah sekali, masakan dia selalu diserang
secara menggelap, seketika hawa pembunuhan segera
tampil pada dahinya.
Dengan menggembor keras, ia berputar-putar deras dan
ayunkan tangan menghantam.
Orang itu menjerit dan muntah darah, pukulan Gin
Liong tepat mendarat pada punggung orang itu sehingga dia
rubuh dan berguling-guling sampai dua tombak jauhnya.
Setelah muntah darah lagi, dia menggelepar-gelepar
meregang jiwa.
Pada saat orang itu terguling-guling, Brewok-terbang Li
Tek-guipun sudah loncat ke muka Gin Liong, Dengan
diiringi gemboran keras, ia hantamkan kedua tangannya,
Anginnya dahsyat sekali.
Karena sudah terlanjur membunuh orang, kesadaran Gin
Liongpun sudah hilang, Dengan menggeram marah, diapun
songsongkan kedua tangannya yang telah disaluri tenaga
penuh.
Darrr . . . .
Terdengar letupan keras, Puing2 tembok beterbangan
keempat penjuru, saljupun berhamburan ke udara.
Sekeliling tempat gelap, sosok2 bayangan hitam
bergerak-gerak mundur dengan mengeluarkan teriakan
kejut.
Bahkan pengemis kurus, paderi gemuk yang selama itu
tetap duduk dibawah pohon di sudut tembok juga terkejut
dan mundur sampai tiga tombak.
Tubuh Li Tek-gui yang tinggi besar, terbang melayang
kearah nenek buta yang berada lima tombak jauhnya.
Kembali Gin Liong tertegun. Seketika ia teringat akan
peristiwa di guha Kiu-kiok-kiong dimana dengan sekali
dorongkan kedua tangannya ia berhasil melemparkan Okwi-
tho Go Ceng paderi yang jahat itu kedalam jurang.
Demikian pula pada saat itu, ia memandang hampir tak
percaya kepada tubuh Li Tek-gui yang terlempar karena
pukulannya tadi.
Adakah sekarang ia memiliki tenaga yang luar biasa
saktinya ?
Tampak nenek buta deliki mata dan wajahnya berobah
membesi.
"Kawanan tikus, engkau hendak mencelakai aku lagi !"
bentaknya bengis, seraya ayunkan tongkatnya ke tubuh Li
Tek-gui.
"Bluk..."
Seketika menjeritlah Li Tek-gui ngeri sekali, Tubuhnya
yang besar itupun terbanting sekeras-kerasnya ke tanah.
Mendengar jeritan ngeri dari Li Tek-gui itu, nenek buta
segera perdengarkan suara lengking tawa yang aneh.
Menusuk telinga dan menyeramkan perasaan.
Ketika memandang ke arah pohon, Gin Liong
memperhatikan bahwa pengemis kurus, paderi gemuk dan
sosok2 bayangan yang bersembunyi ditempat gelap itu
menahan napas dan memandang nenek buta.
Mereka terkejut dan ngeri, jelas mereka mendapat kesan
bahwa nenek buta itu seorang nenek yang sakti tetapi amat
ganas.
Berhenti tertawa, nenek buta itu menengadahkan
mukanya yang buruk dan balikkan matanya yang putih lalu
mengekeh:
"Heh, heh, Brewok-terbang, akhirnya dapat juga kucabut
jiwamu !"
Gin Liong hanya memandang tingkah laku nenek buta
itu dengan kerutkan alis, Tiba2 terdengar ayam hutan
berkokok sahut menyahut Gin Liong gelagapan. Dia
menyadari kalau sudah terlalu lama tertunda ditempat itu.
Dia harus lekas2 pergi.
Sekali enjot tubuh, Gin Liongpun terus lari sekencang
angin menuju keluar hutan, Tetapi nenek buta itu tiba2
melengking geram dan bagaikan segulung asap, iapun
segera melayang menghadang jalan Gin Liong.
"Siapa engkau !" bentaknya marah.
Melihat nenek buta itu berkali-kali menghadang jalan,
Gin Liongpun balas membentak keras: "Bukan urusanmu !"
Nenek buta itu balikkan matanya yang putih lalu
menggembor:
"Ho, ternyata engkau tak mau mengambil kaca itu,
jangan harap engkau dapat hidup lagi!"
Gin Liong kerutkan alis, Hawa pembunuhan meluap dan
berhamburan tawa geram:
"Jangan lagi hanya seorang nenek buta seperti engkau.
sekalipun sampai sepuluh nenek buta lagi, tak mungkin
mampu menghalangi aku !"
"Budak kecil bermulut besar Jika tak kuberimu sedikit
hajaran engkau tentu belum tahu rasa." seru nenek buta
seraya memutar tongkat kepala burung hong bagaikan
hujan mencurah ke pinggang Gin Liong.
Wut, tiba2 Gin Liong tertawa keras dan melambung
beberapa tombak ke udara, Begitu di udara, ia segera
mencabut pedang pusaka Tanduk Naga, seketika
memancarlah sinar merah yang gilang gemilang
menyilaukan mata, Tanah berkabut itu seluas sepuluhan
tombak berubah kemerah-merahan warnanya.
Tempat2 gelap segera terang sehingga orang2 yang
bersembunyi itu memekik kaget.
Diantar dengan sebuah gemboran keras, Gin Liong
memutar pedangnya dalam jurus Liong li-hui-hoa atau
Puteri-naga-menebar-bunga. Begitu percikan sinar merah
segera berhamburan menumpah ke kepala nenek buta.
Nenek buta itu tak gentar bahkan menghambur suara
tawa yang aneh, Rambutnya yang putih mengkilap
meregang tegak, matanya yang putihpun membalik.
Tongkat kepala burung hong segera pecah berhamburan
menjadi beratus percik sinar, menyongsong curahan sinar
pedang Gin Liong.
Tring, tring, tring . . . .
Terdengar dering gemerincing suara keras saling beradu
beberapa kali, disusul dengan percik bunga api dan
kutungan besi yang bertebaran kemana-mana.
Kejut nenek buta itu bukan alang kepalang sehingga
wajahnya seperti tak berdarah. Dengan memekik aneh ia
menyurut mundur sampai tiga tombak.
Gin Liong melayang turun ke tanah dan tegak berdiri
lintangkan pedang, Dia tak mau mengejar.
Nenek buta itupun berdiri tegak, sepasang kelopak
matanya yang putih membeliak: Tangannya menahan
tangkai tongkatnya. Kepala burung-burungan hong sebesar
kepalan tangan telah lenyap.
Nenek buta itu gemetar marah sekali. "Budak hina.
dengan mengandalkan pedang pusaka wanita hina itu
engkau berani memapas senjataku."
Mendengar Ban Hong Liong marah sekali: "Tutup
mulutmu,!" bentaknya, "sekali lagi engkau berani menyebut
"wanita hina", aku tak dapat mengampuni jiwamu lagi."
Nenek buta itu menyeringai seram lalu melengking
geram.
"Budak hina yang sombong, aku akan mengadu jiwa
dengan engkau !"
Kata2 itu ditutup dengan putaran tongkat yang luar biasa
cepat dan dahsyatnya menyerang Gin Liong.
Gin Liong tak gentar, ia mainkan pedang Tanduk Naga
untuk menyongsong. Dan terjadilah pertempuran yang
amat seru antara Gin Liong dengan nenek buta itu.
Gerakan kedua orang itu bagai sepasang ular yang
bergeliatan menyusup kedalam air, senjata mereka
menderu-deru bagai petir memecah angkasa. Angin
sambaran senjata mereka berhamburan dalam lingkungan
seluas sepuluh tombak.
Sinar pedang Tanduk Naga memancarkan warna merah
yang menyilaukan mata dan hawa dingin yang menusuk
tulang.
Sedang tongkatpun menderu-deru sedahsyat gunung
rubuh.
Walaupun gerak permainan ilmu pedang Gin Liong itu
sangat aneh tetapi pemuda itu tak mau dituduh merebut
kemenangan karena mengandalkan pedang pusaka, ia
hendak mengalahkan lawan dengan ilmu permainan, bukan
dengan pedangnya. Tetapi karena itu, gerakannya
terpancang dan sering dikuasai lawan.
Nenek buta itu ternyata seorang tokoh yang sakti dan
banyak pengalaman. Tongkat kepala burung hong, jarang
mendapat tanding.Makin lama, malah makin perkasa. Dan
karena sudah bertekad hendak mengadu jiwa, maka
permainan tongkat nenek buta itu luar biasa dahsyatnya.
Saat itu malam makin larut. Angin makin dingin dan
kabutpun mulai bertebaran. Sayup2 ayam hutan berkokok
sahut menyahut.
Gin Liong mulai gelisah, Kalau ia terus menerus dilibat
dalam pertempuran oleh nenek buta itu, tentu ia tak dapat
cepat2 menyusul jejak BanHong Liong-li.
Diam2 ia memutuskan untuk menggunakan ilmu
pukulan Hoan-hun-ciang (Awan bayangan) Sebuah ilmu
pukulan istimewa ajaran suhunya yang dahulu pernah
mengangkat nama suhunya menjadi termasyhur.
Dengan menggembor keras, mulailah ia menggunakan
kedua tangannya, Tangan kanan memainkan pedang
pusaka Tanduk Naga, tangan kiri melancarkan ilmu
pukulan Hoan-hun-ciang.
Telah disebut diatas bahwa nenek buta itu memang kaya
akan pengalaman. Telinganya luar biasa tajamnya sehingga
melebihi pandang mata. Dia seorang tokoh yang ganas dan
tergolong aliran Hitam.
Saat itu segera ia merasakan tekanan lawan makin
berlipat ganda kerasnya, wajahnya berobah seketika.
Teringat ia akan Giok-bin-su-seng atau Pelajar-berwajahkumala
Kiong Cu-hun.
Pada saat ia hendak bertanya, tiba2 lawan menggembor
keras dan seketika ia rasakan lengan kanannya kesemutan
sakit sekali sehingga tongkat-pun tak dapat ia kuasai lagi,
Tongkat itu terbang melayang dan tangannya.
Sudah tentu nenek buta itu terkejut bukan kepalang,
Dengan melengking keras, ia kebutkan kedua lengan
bajunya seraya menyurut mundur sampai lima tombak.
Keringat dingin bercucuran membasahi sekujur tubuh.
Mengingat bahwa sekalipun buta tetapi nenek itu masih
dapat meyakinkan ilmu kepandaian yang begitu sakti,
diam2 Gin Liong merasa kagum dan sayang,Maka setelah
dapat menghantam lepas tongkat, iapun tak mau
menurunkan tangan jahat lagi.
Sambil lintangkan pedang ia berseru lantang:
"Mengingat usiamu sudah tua dan kedudukanmu sebagai
seorang cianpwe persilatan kuharap persoalan kita ini habis
sampai disini saja, Carilah tempat yang sunyi untuk
melewatkan sisa hidup yang tenang, Sampai jumpa...!"
Habis berkata ia terus melambung ke udara. Tetapi pada
saat ia bergeliatan hendak meluncur keluar hutan, tiba2
kakinya disambar angin tajam dari senjata rahasia.
Gin Liong terkejut cepat ia mementang kedua tangan,
menekuk kedua kaki dan dengan gerak Te-hun-tong atau
mendaki Tangga-awan, tubuhnya melambung dua tombak
lagi ke atas.
Begitu menunduk kebawah, ia terkejut lagi. Dari dua
ranting pohon yang tumbuh di ujung runtuhan tembok, di
lihatnya dua buah gerombolan senjata rahasia yang
mengkilap kebiru-biruan, meluncur ke arah nenek buta yang
masih tegak terlongong-longong.
Gin Liong seorang pemuda yang berhati perwira dan
benci pada kejahatan. Dia marah orang hendak menyerang
secara menggelap kepada nenek buta, sekalipun nenek buta
itu benci kepadanya.
Dengan menggembor keras, ia segera memutar pedang
dan meluncur kebawah.
Tetapi ternyata terlambat Ketika tiba di tanah, terdengar
nenek buta itu menjerit ngeri dan rubuh berguling-guling
ketanah. Sesaat kemudian, nenek buta itu tak berkutik lagi.
Rupanya dia telah mati.
Tepat Gin Liong lari menghampiri ketempat si nenek
buta, Begitu memandang keadaan nenek buta itu, seketika
menggigillah tubuh pemuda itu.
Mayat si nenek buta penuh dengan taburan hui-to, gintan
(peluru perak) yang tak terhitung jumlahnya. Hampir
mayat nenek itu bersimbah darah semua.
Gin Liong kerutkan alis, matanya memancarkan sinar
kilat dingin. Mulutnya menyeringai marah. Sambil
lintangkan pedang Tanduk Naga ia berseru lantang:
"Siapa yang menggunakan kesempatan selagi nenek itu
lengah perhatiannya, telah melepaskan senjata gelap ?
silahkan keluar ! Aku Siau Gin liong, akan meminta
pertanggungan jawab dari saudara2 itu !"
Gin Liong memutar tubuh pelahan-lahan seraya sapukan
pandang mata ke sekeliling penjuru.
Tetapi empat penjuru tempat itu sunyi senyap, tiada
penyahutan sama sekali.
Pengemis kurus tenang2 duduk di tanah sambil mencekal
buli2 arak dan tangannya yang satu mengutik-utik lumpur
dalam cela2 kakinya. sepasang matanya yang berbentuk
segitiga, memandang tak berkesiap ke arahGin Liong.
Paderi gemukpun tetap duduk di tempatnya semula.
Alisnya yang tebal mengerut, matanya yang bundar
menyalang lebar. wajahnya mengerut kemarahan,
memandang Gin Liong.
Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Kabut
malampun mulai menipis. Dari tempat2 yang gelap,
memancar berpuluh sorot mata kepada pemuda itu. Kini
tiada seorangpun yang menaruh perhatian ke rumah
pondok itu.
Melihat sikap pengemis dan paderi itu, marahlah Gin
Liong. Segera ia maju menghampiri ke tempat mereka.
Pengemis kurus itu berobah tegang wajahnya, Sepasang
matanya berkilat-kilat tajam. Sedang paderi gemuk,
matanya berkeliaran kian kemari. sikapnya amat tegang
sekali.
Gin Liong makin mencurigai kedua orang itu. Setelah
tiba setombak dari tempat mereka, ia segera balikkan
genggaman pedangnya, Memandang kepada kedua orang
itu, ia sedikit membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Taysu tentu mengikuti apa yang terjadi di tengah
gelanggang, Kiranya tentu tahu siapakah yang telah
membunuh nenek itu secara pengecut tadi !"
Dengan wajah membesi, paderi itu gelengkan kepala,
menyahut dengan nada sarat:
"Pinceng tak memperhatikannya." Gin Liong menahan
kemarahannya, ia tertawa dingin lalu berpaling kearah
pengemis kurus, memberi hormat dan bertanya:
"Lo tui!"ko, mohon tanya, Karena terus
"Lo-tian-be sejak tadi duduk disini. Tentulah tahu siapa
penyerang pengecut itu ?"
Sepasang mata segitiga dari pengemis kurus memandang
lekat2 pada Gin Liong, ia tak menyahut melainkan
gelengkan kepala laki pejamkan mata.
Sikap pengemis itu benar2 hampir membuat dada Gin
Liong meledak karena marah, ia hendak menghardik lagi
tetapi sekonyong-konyong ia mendengar sebuah suara
orang mendengus geramdari bawah pohon sebelah kiri.
Tergerak hati Gin Liong seketika, Dengan gunakan gerak
Liong-li-biau, tiba2 ia meluncur kearah tempat itu.
Lima tombak jauhnya ditengah gerumbul pohon2
pendek, tampak membujur sesosok bayangan yang panjang.
Setelah menghampiri dekat, Gin Liong berhenti dan
memandang dengan seksama, Ah, seorang tojin atau imam
yang berjubah kelabu, Hidungnya mancung, dahi lebar dan
memelihara jenggot yang bagus, Dengan sepasang matanya
yang bersinar terang, imam itu memberi kesan yang
menyenangkan Mengundang rasa hormat orang.
Gin Liong segera menyimpan pedangnya lalu memberi
hormat:
"Wanpwe Siau Gin Liong, mohon hendak bertanya
kepada totiang. Apakah lotiang mengetahui orang yang
telah melepaskan senjata gelap kepada nenek itu ?"
Habis berkata kembali Gin Liong membungkuk tubuh
memberi hormat, Tetapi ketika ia mengangkat muka dan
memandang ke depan, kejutnya bukan kepalang.
Imam jenggot indah itu sudah lenyap dari pandang mata.
Sebelum tahu apa yang telah terjadi, tiba2 dari arah
belakang terdengar dua buah jeritan ngeri.
Gin Liong cepat berputar tubuh. Cepat pandang matanya
menuju kearah kearah pengemis kurus dan paderi gemuk
tadi. ia segera menghampiri ke tempat mereka.
Ketika mendekati, kejut Gin Liong seperti disambar
petir.
Pengemis kurus itu masih tetap duduk diam tetapi batang
lehernya telah terbenam kedalam dada. Demikian pula
dengan paderi gemuk, seolah-olah kepalanya melekat tanpa
leher diatas bahunya.
Keduanya masih menggenggam beberapa batang huito
dan beberapa butir gin-tan.
Gin Liong tegang sekali hatinya, jelas kedua orang itu
telah dibunuh dengan tenaga-dalam yang sakti sekali. Cepat
ia keliarkan matanya. Ternyata sinar penerangan dalam
rumah pondok itu sudah padam.
Tergetar hati Gin Liong. Cepat ia loncat ke-muka jendela
dan melongok ke dalam, Ah, ternyata ruang pondok itu
gelap gulita dan diatas tempat tidurpun tiada orang tua itu
lagi. juga diatas meja, kaca cermin itupun sudah lenyap.
Serta merta ia berpaling kebelakang, Ternyata sekeliling
rumah pondok itu sudah tak tampak barang sesosok
bayangan manusiapun jua.
Hati Gin Liong setegang orang berpacu, Dia benar2
kesima mengalami peristiwa seaneh ini.
Tiba2 terdengar siulan nyaring dan panjang,
Kumandangnya bergema sampai ke awan, Makin lama
makin dekat
Tetapi begitu menyusup ke telinga Gin Liong, pemuda
itu girang sekali. Cepat ia melambung ke udara dan
melontarkan pandang mata ke sekeliling penjuru.
Pada padang salju yang jauhnya beberapa li, segunduk
bayangan merah bergulung-gulung laksana segumpal awan
merah, melintasi jalan di puncak gunung dan dengan pesat
menuju ke tempat Gin Liong.
Menyaksikan benda itu, girang Gin Liong bukan
kepalang, ia tak menyangka sama sekali bahwa Ban Hong
Liong-li akan kembali.Maka sambil bergeliatan di udara, ia
segera berseru sekeras-kerasnya :
"Lo - cianpwe, Liong.-ji berada disini . . . ."
-ooo0dw0ooo-
Bab 3
Sepasang Iblis
Mendengar teriakan Gin Liong, suitan nyaring itupun
berhenti, Bayangan merah itu memancar sinar mata yang
tajam ke arah Gin Liong. Dengan kecepatan laksana anak
panah terlepas dari busur, bayangan merah itu terbang
meluncur ke arah Gin Liong.
Melihat bayangan merah yang disangka Ban Hong
Liong-li itu lari menuju ke tempatnya, girang sekali hati Gin
Liong. Diapun pesatkan larinya menyongsong. seraya
acungkan tangan berseru keras2:
"Lo-cianpwe ... lo-cianpwe . .. .!"
Saat itu dia sudah masuk ke dalam sebuah lembah yang
berkabut salju, Dalam kabut yang memenuhi seluruh
lembah itu, samar2 ia melihat beberapa sosok bayangan
imam sedang lari keluar lembah.
Menduga bahwa orang2 itu tentu habis dari rumah
pondok tadi, Gin Liong tak mengacuhkan mereka dan terus
lanjutkan larinya.
Setelah melintasi lembah salju, kini ia berhadapan
dengan sebuah karang es yang tingginya sampai belasan
tombak. Karang es itu merentang panjang entah sampai
berapa li.
Setiba di muka karang es, Gin Liongpun segera enjot
tubuh melambung ke udara, Berhenti sebentar untuk
menjejakkan kakinya kebawah dan dengan meminjam
tenaga jejakan itu tubuhnya melambung naik lagi. Dengan
dua tiga kali gerakan itu, dapatlah ia mencapai puncak
karang es.
Ternyata permukaan karang es itu merupakan sebuah
dataran es yang amat luas sekali.
Dalam pada itu bayangan merah tadipun makin dekat
kan dengan jelas ia dapat mendengarkan kibaran
pakaiannya didebar angin.
Tiba2 Gin Liong kendorkan laju larinya, ada sesuatu
yang mencurigakan hatinya. Mau lari ke muka, kecurigaan
Gin Liong itu berobah menjadi rasa kecewa, Serentak ia
hentikan larinya.
Jelas sudah baginya bahwa bayangan merah yang lari
menghampiri itu, walaupun seorang wanita yang
mengenakan pakaian orang persilatan dan menyandang
mantel warna merah, tetapi dia bukan BanHong Liong-li.
Pada punggung wanita baju merah itu menonjol tangkai
pedang berpita merah, sepasang sepatunyapun merah
darah, Rambutnya yang indah dan panjang diikat dengan
tali merah. Dalam hembusan angin, tampak rambut itu
berkibar-kibar memikat mata.
Pada saat Gin Liong berhenti dan tegak terlongonglongong,
segulung sinar merah diantara deru angin keras,
segera menjelang tiba ke hadapannya.
Gumpalan sinar merah itu berputar-putar sekali
melingkari Gin Liong. Setelah itu baru tegak berdiri
hadapan anak muda itu.
Melihat pendatang itu, hati Gin Liong mendebur keras,
Orang yang berada dihadapannya itu menggunakan
pakaian serba merah yang menyilaukan pandang mata, Gin
Liong sampai tak berani memandang lekat2.
Kiranya dia seorang nona muda, berumur dua puluhan
tahun. wajahnya cantik jelita, sepasang alis yang
melengkung bagai bulan tanggal muda, menaungi dua buah
gundu mata yang bundar dan tajam. Raut wajahnya yang
menyerupai buah semangka dibelah dua, dihias sebuah
mulut yang kecil mungil,
Sambil bercekak pinggang, jelita itu menatap lekat2 pada
Gin Liong, Bibirnya yang semerah delima, mengulum
senyum yang memikat jiwa.
Gin Liong merah wajahnya, Darahnya memandang
keras, pendatang yang memiliki ilmu ginkang hebat itu
ternyata seorang nona yang cantik jelita.
Rupanya karena melihat Gin Liong terlongong kesima,
nona cantik itu tertawa mengikik, Sambil goyangkan
pinggang, ia berseru: "Adik, apakah tadi engkau yang
memanggil aku ?"
Mendengar nona itu menegur dengan kata2 yang ramah,
merahlah wajah Gin Liong. Segera ia tersipu-sipu memberi
hormat:
"Karena menempuh perjalanan siang malam, pandang
mataku sudah kabur. Dan karena kabut yang tebal, aku
telah keliru memanggil nona, Harap nona suka maafkan
kekhilafanku."
Kembali nona cantik itu tertawa mengikik, sambil
mengambil sikap seperti pohon liu tertiup angin, dengan
ramah sekali ia tertawa, serunya:
"Ah, tak apa, tak apa. Harap adik jangan pikirkan soal
sekecil itu. Tapi tak marah kepadamu."
Habis berkata dengan mengulum senyum manis, ia
menatap Gin Liong sambil ayunkan langkah maju
menghampiri.
Wajahnya yang cantik memikat potongan tubuhnya yang
langsing ramping, langkahnya yang jinak2 merpati, benar2
mempesonakan setiap pria yang memandangnya.
Melihat nona cantik itu sangat genit tingkahnya, Gin
Liong merasa muak. Tak seharusnya dia berdekatan dengan
nona semacam itu, ia harus lekas2 menyingkir.
Dengan wajah gelap, Gin Liong berseru:
"Karena masih ada lain urusan yang harus kukerjakan,
terpaksa aku tak dapat lama2 disini..."
Pada saat Gin Liong bicara, nona genit itupun hentikan
langkah dan tertawa:
"Apakah adik hendak mengejar seorang locianpwe yang
berpakaian merah itu ?"
Tergetar hati Gin Liong sehingga wajahnyapun berobah.
Buru2 ia bertanya:
"Apakah ketika melintasi gunung, nona melihat seorang
pendekar wanita berumur lebih kurang dua-puluh tujuh
tahun, berpakaian serba merah ?"
Nona cantik itu kenakan alis dan melengking:
"Seorang locianpwe yang masih begitu muda belia itu ?
Uh, mengelabuhi setan !"
Mendengar nada nona itu mengandung hinaan terhadap
Ban Hong Liong-li, seketika marahlah Gin Liong.
"Kalau nona tak berjumpa, akupun hendak berangkat
sekarang."
Ia ayunkan langkah melewati samping si nona lalu lari
pesat. Tetapi nona cantik itu cepat melesat dan
menghadang di muka Gin Liong.
"Engkau mau apa?" teriak Gin Liong dengan marah.
Nona genit itu melonjak kaget karena suara bentakan
Gin Liong yang menggeledek itu sehingga ia menyurut
mundur selangkah.
"Ih, galak sekali, Benar2 hampir aku mati kaget !"
serunya, seraya mengusap-usap buah dadanya seperti orang
yang hendak menenangkan dadanya yang berombak keras.
Tanpa melihatnya lagi, Gin Liong terus lanjutkan
larinya, Tetapi nona genit itu tersenyum, Sekali tubuhnya
berayun, tahu2 ia sudah menghadang di depan Gin Liong
lagi.
Kali ini Gin Liong terkejut sekali. Namun ia lebih
dirangsang kemarahan daripada rasa heran atas kepandaian
si nona. Setelah berputar melingkar, iapun lanjutkan larinya
lagi.
Tetapi nona genit itu hanya mendengus ia ayunkan
tubuh menghadang di muka Gin Liong lagi seraya berseru
angkuh:
"Adik, apabila hari ini kubiarkan engkau lari, Mo lan
Hwa selama-lamanya takkan memakai gelar Swat-te-biauhong
!"
Swat-te-biau-hong artinya Tanah-salju merekah-merah.
Gin Liong tak dapat menahan kemarahannya lagi,
Dengan bengis ia membentak lagi:
"Menyisihlah, siapa yang engkau panggil sebagai adikmu
itu !"
ia menutup katanya seraya menampar bahu nona genit
itu dan terus menyelinap hendak loncat.
Salju-merekah-merah Mo kan Hwa tidak marah malah
tertawa mengikik. Tubuhnya berputar-putar menghindari
tamparan Gin Liong dan dengan sebuah gerakan yang
indah serta cepat, ia sudah merintangi gerak loncatan si
anak muda lagi.
Gin Liong hentikan gerakannya. wajahnya membesi dan
menggeram:
"Kalau nona hendak menghambat perjalananku lagi,
jangan salahkan kalau aku bertindak kurang ajar !"
Sambil kicup-kicupkan sepasang matanya yang bundar,
Mo LanHwa berseru:
"lh, mengapa engkau begitu tak tahu adat ? Siapa yang
memanggil suruh aku datang tadi ?"
Merahlah wajah Gin Liong, serentak ia berseru dengan
suara bengis:
"Telah kukatakan bahwa aku khilaf maka akupun sudah
menghaturkan maaf kepada nona..."
"Huh," cepat Mo Lan Hwa menukas, "apa guna
menghaturkan maaf?"
Gin Liong hendak meledak kemarahannya "Kalau maaf
tak berguna, lalu apa kemauanmu ?" serunya dengan geram.
Salju-merekah-merah Mo Lan Hwa mendengus marah
dan melengking:
"Hm, tidak semudah itu membiarkan engkau ngacir pergi
!"
"Coba saja kalau mampu merintangi aku !" teriak Gin
Liong makin marah. Bahkan karena sudah tak kuat
menahan kemarahannya, Gin Liong terus menampar muka
nona genit itu.
"Hm, lihat saja apakah engkau mampu melarikan diri."
seru Mo Lan Hwa seraya menangkis dengan jurus Giok-hihui-
soh atau Bidadari-melempar-tali.
Terdengar sebuah orang pelahan dan tubuh nona genit
itu terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.
Gin Liong menggunakan tiga bagian dari tenaganya
untuk menampar tetapi hanya dapat membuat Mo Lan
Hwa menyurut tiga langkah saja. Segera ia tahu bahwa ilmu
tenaga dalam dan ilmu ginkang nona itu memang hebat.
Ia kerutkan dahi memandang nona genit itu dengan
tajam dan berseru:
"Jika engkau masih tetap mengganggu, jangan salahkan
aku tak kenal kasihan !"
Habis berkata ia terus berputar tubuh dan angkat kaki.
"Berhenti !" Mo Lan Hwa melengking gugup, "sebelum
kita ada yang mati salah satu, tak seorangpun boleh
tinggalkan tempat ini."
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah terjangan,
sepasang tangannya berhamburan menghajar seperti orang
kalap.
Gin Liong sudah hilang kesabarannya, serentak ia
berputar tubuh dan membentak keras: "Baik, kalau engkau
minta mati, akan kuantarkan engkau ke akhirat!"
Pemuda itu segera ayunkan tangan kanan menghantam.
Seketika menderulah angin pukulan yang dahsyat Salju di
tanah berhamburan ke udara sehingga mirip dengan
suasana badai dimusim salju.
Nona genit itu terkejut. Seketika pucatlah wajahnya,
serentak berhenti, dia terus songsongkan kedua tangannya
untuk menangkis.
Terdengar sebuah lengking jeritan yang ngeri dan
nyaring diiring dengan tubuh Mo Lan Hwa yang terlempar
sampai tiga tombak ke udara lalu melayang jatuh sampai
lima tombak jauhnya.
Gin Liong tertegun. Walaupun marah, tetapi ia hanya
menggunakan lima bagian dan tenaga dalamnya, Tetapi
akibatnya benar2 diluar dugaan.
Tetapi ia seorang pemuda yang baik hati, sebenarnya ia
tak kenal dan mempunyai dendam permusuhan terhadap
nona itu,Mengapa ia harus mencelakainya ?
Cepat ia enjot tubuh nona itu. Dilihatnya, sepasang mata
Mo Lan Hwa meram, wajahnya merah padam, dada
berombak keras dan napasnya terengah-engah.
Melihat keadaan nona itu tak sadarkan diri, Gin Liong
bingung juga, Tetapi menilik wajahnya yang merah itu,
jelas kalau Mo Lan Hwa tak menderita suatu luka dalam
yang berbahaya.
"Ah, kalau kugunakan tujuh atau delapan bagian tenaga
dalam pukulanku tadi, dia tentu akan muntah darah,"
diam2 Gin Liong merasa bersyukur karena tak melakukan
tindakan begitu.
Segera ia meletakkan tubuh nona itu ke tanah lalu mulai
menguruti jalan darah ditubuhnya, Tetapi diluar dugaan,
makin diurut, napas nona itu makin lemah Sudah tentu Gin
Liong terkejut sekali sehingga keringat dingin bercucuran
membasahi tubuhnya
In hentikan pengurutannya dan mulai merenung ilmu
urut yang telah dipelajarinya, ia merasa bahwa cara
pengurutan itu memang sudah benar.
Lalu ia mulai mengurut lagi dengan hati2 dan pelahanlahan,
tak berapa lama, Mo Lan Hwa tampak membuka
mata, Gin Liong girang dan hentikan urutannya. Sambil
mengulap keringat ia bertanya:
"Nona bagaimana keadaanmu ?"
Tetapi nona itu pejamkan mata lagi, Gin Liong terkejut,
ia merasa terlalu cepat menghentikan pengurutannya maka
buru2 ia lekatkan tangan kanannya ke jalan darah Gi-hay
diperut si nona, ia menunggu dengan penuh perhatian
perobahan air muka nona itu.
Tetapi Gin Liong makin gelisah, wajah nona itu makin
merah seperti bara dan napasnya makin terengah-engah.
Bibirnyapun mulai agak terbuka. Karena gugup, Gin Liong
menambahkan tenaga- murninya seraya bertanya:
"Nona, bagaimana engkau rasakan ?"
Dengan masih pejamkan mata, nona itu menyahut
lemah: ”Dingin... mati kedinginn..."
Gin Liong keliarkan mata memandang kesekeliling, ia
mengharap dapat melihat sebuah guha atau cekung karang
es yang dapat dibuat membaringkan nona itu.
Karena perhatiannya tertumpah pada empat penjuru, ia
tak tahu bahwa saat itu diam2 Mo Lan Hwa sudah
membuka mata dan tersenyum. Ia memandang dagu
pemuda cakap yang memikat hatinya itu.
Gin Liong yang polos hati, segera melihat bahwa hutan
dimana terdapat rumah pondok tadi, berada diatas puncak
sebelah muka dari lembah salju, Saat itu matahari sudah
terbit dan kabutpun menipis, Rumah pondok di puncak
salju itupun segera tampak jelas.
"Orang tua kurus itu sudah tak berada dalam pondok,
lebih baik kuangkut nona ini ke pondok itu," pikirnya.
Kemudian ia mengangkat tubuh Mo Lan Kwa lalu
dibawanya lari menuju ke pondok, pikirannya hanya tertuju
untuk menolong jiwa si nona yang terkena pukulannya,
setitikpun ia tak mengandung pikiran yang tak senonoh.
Rupanya Mo Lan Hwa yang sesungguhnya sudah
siuman, berseru:
"Engkau . . . hendak membawa aku kemana?"
Gin Liong tersentak kaget, Saat itu juga baru ia
menyadari bahwa nona itu mengelabuhinya, jelas nona itu
tak menderita luka apa2 dan tak pingsan. Kesemuanya tadi
hanya pura2 saja.
Seketika meluaplah kemarahan Gin Liong.
"Pergi !" ia lemparkan tubuh Mo Lan Hwa ke tanah.
Tindakan Gin Liong itu diluar dugaan Mo Lan Hwa, ia
menjerit kaget ketika tubuhnya terbanting ke tanah.
Gin Liong marah sekali, Tanpa melihat keadaan nona
itu ia terus berputar tubuh dan lari kearah tenggara.
Setelah tenang, Mo Lan Hwa segera melenting bangun,
Melihat anak muda itu lari, ia bingung, Cepat iapun
gunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar seraya berteriak
sekuat-kuatnya:
"Hai, manusia kayu ! Engkau benar2 sebuah patung !"
Gin Liong mendongkol sekali, ia tak sudi melihat nona
genit itu lagi, Tetapi ternyata Mo Lan Hwa itu memang
sakti dalam ilmu ginkang sehingga dia mendapat gelaran
sebagai Tanah-salju-merekah-merah, Karena cepatnya ia
berlari, tubuhnya berobah seperti segumpal asap merah
yang menebar diatas salju.
Tampak dua sosok bayangan, yang satu kuning dan yang
lain merah, sedang berkejaran diatas puncak gunung yang
tertutup salju putih.
Gin Liong lari mati-matian, Mo Lan Hwa mengejar
sepenuh tenaga. Rupanya nona genit itu tak mau
melepaskan anak muda yang cakap itu.
Tiba2 dari arah puncak sebelah muka, terdengar dua
buah suitan yang nyaring, Menyusul dua buah bayangan
hitam, bagaikan bintang jatuh dari udara, dari atas puncak
meluncur kebawah.
Mo Lan Hwa terkejut dan cepat2 berteriak memanggil
Gin Liong : "Manusia kayu, berhentilah ! Manusia kayu
berhentilah!"
Sambil berteriak, nona genit itu gunakan jurus Jay-honghi-
ci atau Cenderawasih-hinggap-dipohon, melayang ke
udara. ia berjumpalitan, dengan kaki diatas dan kepala di
bawah, menukik menyambar Gin Liong.
Rupanya karena sedang berlari cepat, pemuda itu tak
memperhatikan kesiur angin dari gerakan Mo Lan Hwa.
Dia tetap lari sekencang-kencangnya.
Kedua sosok bayangan hitam yang meluncur dari
puncak tadi segera tegak di tengah jalan untuk menghadang
Gin Liong.
Pada saat itu Mo Lan Hwa sudah berhasil mencapai
jarak tiga tombak di belakang Gin Liong,
"Manusia kayu, mengapa tak mau berhenti. Yang
menghadangmu disebelah muka itu adalah Sepasang iblis
dari luar perbatasan !" teriak nona itu dengan nada cemas.
Gin Liong mendengus dalam hati, Peduli apa dengan
sepasang iblis itu. Bukankah ia tak kenal mereka ?
Dalam pada berpikir itu, Gin Liongpun berpaling
kebelakang, Astaga . . . . ternyata Mo Lan Hwa sudah
ulurkan tangan hendak mencengkeram bahunya.
Kejut Gin Liong bukan alang kepalang sehingga ia
sampai kucurkan keringat dingin. Dengan gerak Liong-libiau,
cepat ia menghindar kesamping sampai tiga tombak
jauhnya lalu lanjutkan lari lagi.
Mo Lan Hwa terperanjat sekali, Tangannya yang sudah
hampir berhasil mencengkeram bahu anak muda itu tiba
hanya menemui angin kosong.
Cepat ia hentikan gerakan tubuh dan berpaling.
Ah, ternyata Gin Liong sudah berbalik lari ke arah barat
Serempak pada saat itu. dari sebelah muka terdengar
suara orang tertawa gelak2. Nyaring dan menusuk telinga.
Mo Lan Hwa berpaling dan terkejut! Ternyata kedua
iblis dari luar perbatasan itu pun telah berputar diri dan
meluncur untuk menghadang Gin Liong lagi.
Cepat Mo Lan Hwa melayang ke udara seraya berseru
gopoh: "Manusia kayu, lekas berhenti! Mereka itu sepasang
iblis dari luar perbatasan..."
Sambil berseru, nona itu tetap mengejar Gin Liong, Gin
Liong benar2 mendongkol sekali dan ingin lepaskan diri
dari libatan nona genit itu muka ia teruskan larinya dan tak
menghiraukan kedua orang yang di sebut sepasang iblis dari
luar perbatasan itu.
Tetapi ia ingin juga mengetahui dimana nona genit itu.
Begitu berpaling, ia terkejut lagi Ternyata nona itu tengah
melayang diudara dan meluncur kearahnya.
Diam2 Gin Liong mengeluh, Ternyata nona genit itu
memang sakti sekali ilmu ginkang nya, Rasanya tak mudah
untuk lepaskan diri dari kejarannya.
Sesaat tiba di tanah, Mo Lan Hwa cepat berseru gopoh:
"Awas, disebelah muka..."
Gin Liong terkejut dan memandang kemuka lagi, "Ah.
ternyata kedua orang itu sudah tiba dihadapannya,
"Sumoay, biarlah suheng mewakili engkau meremukkan
budak ini...." teriak salah seorang dan kedua iblis itu seraya
menyerang Gin Liong.
Saat itu Gin Liong baru berpaling kemuka, Sebelum tahu
bagaimana wajah orang itu, tiba2 dia sudah diserang,
Dengan menggeram marah, cepat ia loncat menghindar
sampai dua tombak jauhnya.
Dalam pada itu, Mo Lan Hwapun berteriak dan
menghantam kearah serangan orang itu.
"Bum . . ."
Gumpalan salju muncrat berhamburan ke empat
penjuru,Mo Lan Hwa dan orang yang melepaskan pukulan
itu, masing2 terhuyung mundur sampai tiga langkah.
Saat itu Gin Liong dapat melihat jelas bahwa kedua
sosok bayangan hitam itu adalah dua orang lelaki
pertengahan umur yang mengenakan pakaian ringkas orang
persilatan warna hitam. Keduanya masing2 menyanggul
pedang pada punggungnya.
Lelaki yang berdiri di sebelah kiri berwajah persegi alis
lebar mata sipit dan memelihara kumis tipis. Dia
memandang dengan mata berkilat-kilat ke wajah Mo Lan
Hwa.
Dia adalah Say-pak-jin-mo atau Manusia iblis dari
Saypak (Perbatasan Utara). Dia pula yang hendak
menyerang secara menggelap kepada Gin Liong.
Lelaki yang disebelah kanan, berwajah segi-tiga, kumis
jarang, mata bundar kecil seperti mata tikus dan alisnya
berbentuk menurun, pipinya yang kempot menyungging
senyum menyeringai.
Dia dikenal oleh kaum wanita sebagai Say-pak-ceng-mo
atau iblis Cabul dari Saypak.
Kedua iblis itu tertawa mengekeh.
"Beberapa tahun tak bertemu, ternyata sumoay sekarang
semakin cantik. Terutama dalam ilmu ginkang. sumoay
makin mencapai kemajuan yang mengejutkan. Semalam
aku bersama lo-toa berpencaran mengejar, tetapi masih tak
mampu mengejar sumoay," seru Ceng Mo dengan tertawa
sinis.
Jin Mo juga tertawa dingin, Sebelum Ceng Mo selesai
berkata, ia sudah menggeram: "Tak kira kalau sumoay ke
daerah salju untuk mencari budak muka putih itu."
Habis berkata kedua iblis itu serempak berpaling
memandang Gin Liong, pemuda itu masih tegak berdiri
melihat gerak gerik ketiga orang itu.
Mo LanHwa merah wajahnya.
"Tutup mulutmu !" teriaknya geram, "aku melakukan
perintah toa-suheng untuk menyelidiki asal usul orang tua
yang membawa kaca cermin itu, jangan kalian bicara tak
keruan begitu !"
Berhenti sejenak melontarkan pandang kemarahan
kepada kedua iblis,Mo LanHwa melanjutkan pula:
"Sudah lama kalian putus hubungan dengan
perguruanku. Kalian melanggar pesan suhu, melakukan
perbuatan yang tercela di luaran. Sejak suhu menutup mata,
kalian makin menggila. Jika Ji-suheng tak mengingat
pernah sama2 menjadi saudara seperguruan, masakah
kalian saat ini masih bernyawa ? Berulang kali kalian
menghadang aku dan mengucapkan kata2 yang tak
senonoh, apakah maksud kalian ? Katakanlah sekarang ini.
Kalau tetap bertingkah seperti itu, jangan kalian sesalkan
aku tak mau mengingat pernah sama2 dalam satu
perguruan."
Rupanya Mo Lan Hwa marah sekali kepada kedua iblis
yang ternyata pernah menjadi suhengnya.
Wajah kedua iblis itu tampak memberingas tak sedap
dipandang, tiba2 keduanya tertawa gelak2 untuk
menghamburkan kemarahan mereka.
Setelah mendengar percakapan itu, barulah Gin Liong
tahu akan hubungan Mo Lan Hwa dengan kedua iblis itu,
Serentak ia merasa bahwa Mo Lan Hwa itu bukan seorang
nona yang cabul melainkan seorang gadis yang lincah dan
binal.
Seketika berkurang kesan buruknya terhadap nona itu.
Semula ia hendak tinggalkan mereka selagi Mo Lan Hwa
tengah bertengkar dengan kedua bekas suhengnya, Tetapi
setelah tahu persoalannya, dia batalkan rencananya. Dia
harus ikut membantu Mo Lan Hwa apabila nona itu
mendapat kesulitan dari kedua iblis.
Setelah puas, kedua iblis itu hentikan tawanya. Wajah
mereka tampak membesi.Matanya berkilat-kilat buas.
Jin Mo deliki mata dan berteriak marah: "Budak
perempuan yang tak punya mata ! Besar sekali nyalimu
berani memberi nasehat kepada kami berdua saudara, Lebih
baik engkau ikut kepada kami, Jangan kuatir kami tentu
takkan mengecewakan keinginanmu, Kalau tidak, heh,
heh...."
Karena marah, tubuh Mo Lan Hwa sampai menggigil
keras. Cepat ia menukas:
"Kalau tidak, mau apa engkau ?"
Ia menutup kata-katanya dengan kebutkan lengan kanan
dan tiba2 tangannya sudah bertambah dengan sebatang
pedang yang berkilat-kilat memancarkan hawa dingin.
Melihat itu Ceng Mo tertawa hina,Matanya yang seperti
mata tikus itu, segera memandang ke-arah Gin Liong yang
berdiri pada jarak dua tombak jauhnya.
"Tidak mudah engkau hendak melarikan diri bersama
budak laki itu !" serunya.
Gin Liong tertegun. Mengapa dirinya dibawa-bawa
dalam persoalanMo Lan Hwa. Dia tak kenalMo Lan Hwa,
tak tahu kedua iblis itu.
Karena marahnya, ia hamburkan tertawa dingin. Mo
Lan Hwapun merah mukanya, ia mencuri kesempatan
untuk melontar senyum kepada pemuda itu lalu
melambainya:
"Adik, kemarilah ! Masakan kita berdua tak mampu
menghajar kedua manusia jahat ini!"
Mendengar itu makin marahlah kedua iblis. Mereka iri
dan cemburu kepada Gin Liong karena Mo Lan Hwa yang
cantik itu lebih suka kepada Gin Liong daripada kepada
mereka.
Mereka tergila-gila dengan kecantikan Mo Lan Hwa.
Dan rasa iri itu segera meningkat dan meledakkan
kemarahan mereka.
"Dadaku mau meletus nih !" seru mereka seraya
berhamburan menerjangMo Lan Hwa.
Jin Mo menggunakan jurus Ji-hung-hi-cu atau Sepasangnaga
bermain-mustika, menutuk kedua mata si nona. Ceng
Mo gunakan jurus Koay bong-bi tong atau Ular nagamencari-
sarang. Dia tusukkan jarinya ke bawah buah dada
si nona, serangan itu dilakukan dengan kecepatan yang luar
biasa.
Ma Lan Hwa tertawa dingin. Setelah menghindar ke
samping dari tutukan jari Ceng Mo, segera ia taburkan
pedangnya untuk membabat tangan Jin Mo yang hendak
menutuk matanya.
Menghindar seraya menyerang itu, dilakukan Mo Lan
Hwa dalam saat dan gerak yang hampir serempak sehingga
kedua iblis itu menjerit kaget dan hentikan serangannya.
Bahkan Gin Liong sendiripun terkejut dan kagum
melihat gerakan si nona yang sedemikian lihaynya, Tanpa
disadari, ia berseru memuji : "Bagus...."
Mendengar pujian anak muda itu, girang Mo Lan Hwa
bukan kepalang, ia mencuri kesempatan untuk memandang
Gin Liong dengan senyum mesra.
Kebalikannya kedua iblis itu makin marah, Wajah
mereka berobah membesi bengis lalu menghampiri Gin
Liong, Dengan mengertek geraham sehingga terdengar
suara giginya saling bergosok keras, kedua iblis itu
membentak:
"Budak hina. rasanya engkau memang sudah bosan
hidup. Maka lebih dulu hendak kucabut nyawamu baru
nanti membereskan budak perempuan yang tak tahu malu
itu !"
Kemudian sambil menyalurkan tenaga-dalam pada
lengannya, mereka mulai maju menghampiri Gin Liong.
Melihat itu Mo Lan Hwa cepat berseru: "Adik, hatihatilah
! Lekas cabut pedangmu, Mereka sakti sekali,
engkau bukan lawannya!
Tanpa sebab dirinya telah dipukul oleh Jin Mo tadi,
sebenarnya Gin Liong sudah marah. Kini melihat kedua
iblis itu hendak menyerangnya lagi, dia segera tertawa
menghina.
Sengaja ia hamburkan sebuah tertawa yang nyaring dan
panjang sehingga kumandangnya bergema jauh sampai ke
awan.
Mo Lan Hwa terkejut Saat itu ia rasakan darahnya
mendebur keras demi tergetar oleh nada tertawa pemuda
itu. setitikpun ia tak mengira bahwa pemuda yang berwajah
cakap itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sedemikian
dahsyat
Kedua iblis itu adalah tokoh2 yang berpengalaman
dalam dunia persilatan Mendengar hamburan tawa Gin
Liong, seketika berobahlah wajah mereka mereka.
Dengan kerahkan seluruh tenaga mereka serempak
menghantam. Angin pukulan mereka menimbulkan desus
prahara dan deru yang dahsyat, berhamburan melanda Gin
Liong.
Melihat serangan kedua bekas suhengnya itu, Mo Lan
Hwa terkejut dan tanpa disadari ia menjerit kaget.
Gin Liong memang baru pertama kali itu keluar dari
gunung, Walaupun ia sudah mendapat pengalaman dari
latihan berkelahi, tetapi ia tak tahu akan keadaan dunia
persilatan yang penuh bahaya.
Cepat ia hentikan tawanya lalu gerakkan kedua
tangannya menyongsong serangan lawan.
Tetapi sebelum tenaga pukulannya berkembang, pukulan
dahsyat dari kedua iblis itu sudah melandanya. Bum . . . .
angin menderu dahsyat, salju bertebaran keempat penjuru.
Gin Liong terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke
belakang. Tiba2 Ceng Mo loncat menerjang hamburan salju
dan dengan menggembor sekuatnya, ia menghantam lagi
Gin Liong yang belum berdiri tegak.
Bum ., . .
Terdengar letupan keras dan kedua orang itupun tercerai,
terhuyung-huyung. Melihat itu Jin Mo-pun tak mau
memberi kesempatan ia enjot tubuhnya kemuka dan
lontarkan sebuah hantaman kepada Gin Liong.
Dengan menggeram marah, Gin Liong cepat loncat
mundur sampai tiga tombak jauhnya.
Mo Lan Hwa melengking kaget. Cepat ia memutar
pedang untuk menusuk tengkuk Jin Mo.
Pada saat Jin Mo terkejut karena sosok bayangan kuning
(Gin Liong) yang berada di hadapannya itu menghilang,
tiba2 dari belakang ia merasa disambar oleh setiap angin
yang dingin. Cepat ia memekik dan tundukkan kepala lalu
berjongkok ke tanah.
Sret . . . . mantel hitam dari Jin Mo telah tertusuk robek
oleh ujung pedangMo Lan Hwa.
Jin Mo terkejut. Dengan gunakan jurus Keledai-malasbergelundungan,
dia terus berguling-guling ke tanah sampai
dua tombak jauhnya. Kemudian cepat ia melenting bangun
lagi, wajahnya pucat lesi, keringat dingin bercucuran.
Ceng Mo yang beradu pukulan dengan Gin Liong dan
terhuyung-huyung pun segera berdiri tegak. Kedua iblis
saling bertukar pandang lalu serempak mencabut pedang
dan terus menyerang Mo Lan Hwa.
"Bunuh dulu budak perempuan ini, baru budak laki itu !"
seru mereka.
Jin Mo gunakan jurus Pok-hun-kiau-jit atau Menyibakawan-
melihat-matahari. pedangnya berhamburan mencurah
ke arah leher si nona.
Sedang Ceng Mo memainkan jurus Hok ie-jong-liong
atau Naga - hitam-mendekam - ditanah, Ujung pedangnya
melilit-lilit, menusuk kakiMo LanHwa.
Mo Lan Hwa melengking seraya ayunkan pedangnya ke
kanan kiri, membentuk sebuah lingkaran sinar untuk
menyambut serangan kedua lawan.
"Berhenti !" tiba2 dari arah tiga tombak jauhnya
terdengar suara bentakan menggeledek.
Jin Mo terperanjat dan buru2 hentikan serangannya
seraya menyurut mundur beberapa langkah.
Kedua iblis itu serempak berputar tubuh ke belakang lalu
memandang ke muka. Mereka terkesiap ketika melihat
wajah Gin Liong memancar hawa pembunuhan dan tengah
melangkah menghampiri. Tangan pemuda itu mencekal
sebatang pedang bersinar merah berkilau, Mirip dengan
senjata pusaka dari Ban Hong Liong-li dahulu.
Ternyata yang berseru menyuruh kedua iblis itu berhenti,
bukan lain adalah Mo Lan Hwa sendiri. Melihat pedang
Gin Liong, walaupun tak tahu asal usul pedang itu tetapi ia
percaya tentu sebuah pusaka yang hebat.
"Kawanan tikus buduk, menyerang secara gelap bukan
laku seorang gagah . . . . " sambil melangkah maju, Gin
Liong memaki.
Kedua iblis itu berobah wajahnya, Tubuh mereka
gemetar keras, cepat mereka menukas dengan menghambur
tawa kemarahan. Tawa yang disaluri dengan tenaga dalam
hebat sehingga Mo LanHwa sampai mendekap telinganya.
Gin Liong hentikan langkah, membentak: "Dihadapanku
engkau berani bertingkah sedemikian congkak ? Hm, lekas
siaplah menyambut seranganku."
Gin Liong menutup kata-katanya dengan taburkan
pedangnya, Seketika pedang Tanduk Naga berkembang
menjadi suatu lingkaran sinar merah yang gilang gemilang
menyilaukan mata.
Sepasang iblis dari luar perbatasan itu segera hentikan
tawanya,Mereka deliki mata dan mengertak gigi:
"Budak tak tahu malu, kalau tak diberi hajaran, engkau
memang belum tahu kelihaian sepasang iblis dari luar
perbatasan !"
Mereka segera melepaskan pengikat lehernya serta
melemparkan mantel hitamnya ke tanah.
Melihat itu Mo Lan Hwa tertawa, ia tahu bahwa kedua
iblis itu sudah ketakutan. Kalau tidak tentu takkan
membuka mantel. Karena bertempur dengan membuka
mantel berarti kurang sopan atau mengandung keputusan
untuk mengadu jiwa.
"Sudah, jangan banyak tingkah, hayo kalian boleh maju
semua !" seru Gin Liong.
Kedua iblis itupun segera menjawab dengan memutar
pedang, menyerang Gin Liong. Jin Mo di kanan dan Ceng
Mo di kiri.
Gin Liong hanya mendengus geram. Dengan jurus Jitgwat-
kau-hui atau Matahari-rembulan-saling-bertemu, dia
langsung membabat pedang kedua lawannya.
Sepasang iblis itu melengking aneh, nantikan langkah
menarik pedangnya. Jika yang satu maju, yang lain
berhenti. Yang satu diam. Mereka menyerang secara
bergilir. Mencari-cari lubang kesempatan dan berusaha
untuk menghindari benturan dengan pedang anak muda itu.
Gin Liong tertawa dingin. Tiba2 ia merobah gaya
permainannya dalam jurus Jiu-cui-heng-cou atau Airmusim
rontok-menghadang-sampan. Dalam bentuk seperti
sebuah busur, sinar pedang Tanduk Naga segera membabat
dada orang.
Jin Mo tertawa mengekeh. Cepat ia menarik pulang
pedang dan loncat mundur sampai dua tombak!
Tiba2 Gin Liong menarik pedang lalu tubuhnya
berputar-putar menyelinap ke belakang Ceng Mo. Lalu
dengan sebuah bentakan menggeledek, ia robah pula
pedangnya dalam jurus Heng-soh-cian-kun (membabatribuan-
laskar), Sring . . . . pedangpun melayang ke pinggang
CengMo. Cepat dan dahsyatnya bukan buatan.
Serasa terbanglah semangat Ceng Mo dilanda serangan
itu. Karena kejutnya ia sampai memekik lalu berputar tubuh
dan tangkiskan pedangnya dalam jurus Hoa-te-kau-ping
atau Menggurat-tanah-mengatur-tentara.
"Tring..."
Terdengar bunyi menggerincing tajam dan putuslah
pedang Ceng Mo menjadi dua. Tiba2 Ceng Mo menjerit
keras sekali dan rubuh ke tanah.
Gin Liong tertawa dingin lalu maju menghampiri dan
mengangkat pedangnya untuk menyelesaikan nyawa iblis
itu.
Melihat itu, Jin Mo terkejut, cepat ia ayunkan tubuh,
menggembor keras dan menusuk dada Gin Liong.
Gin Liongpun mengisar langkah ke samping, memutar
pedang dalam jurus Gong jiok-gui-peng atau Burung-gerejamembuka-
pintu. menyongsong serangan lawan.
Rupanya Jin Mo tahu bahwa pedang lawan itu sebuah
pusaka yang tiada tara tajam nya. Mengendapkan pedang
ke bawah, ia ayunkan tangan kiri menghantam muka Gin
Liong.
Tetapi terlambat, serempak dengan bunyi
menggemerincing keras, pedangnyapun telah terpapas
kutung oleh pedang Tanduk Naga.
Kali ini Jin Mo yang terbang semangatnya, Dia tak
sempat memikir untuk melukai Gin liong lagi, ia segera
jatuhkan diri berguling-guling di tanah dalam jurus Kiu-tesip-
pat-kun atauDelapan-belas kali-berguling ditanah.
"Hai tinggalkan nyawamu !" teriak Gin Liong seraya
loncat dan membabat kedua kaki Jin Mo.
Pada saat itu tiba2 Mo Lan Hwa menjerit keras sehingga
Gin Liong terkejut dan berpaling.
Sebuah benda yang berkilat-kilat meluncur deras kearah
Gin Liong, Gin Liong menggeram, Berkisar tubuh ke
samping, ia menghindari luncuran benda itu. Ketika
mengamatinya, ternyata benda itu adalah kutungan pedang
dari Ceng Mo telah menaburkan pedangnya yang hanya
tinggal separoh itu kearah Gin Liong, demi menolong Jin
Mo.
Gin Liong marah, Dengan menggembor keras. ia hendak
memburu Ceng Mo tetapi tiba2 belakang tengkuk
kepalanya disambar angin tajam.
Gin Liong tahu bahwa kali ini tentu Jin Mo yang
menyerangnya dari belakang dengan melontarkan kutungan
pedangnya, Cepat pemuda itu tundukkan kepala dan
melayanglah kutung pedang itu melalui atas kepala pemuda
itu.
Gin Liong benar2 marah sekali terhadap kedua iblis yang
licik itu, Ketika mengangkat kepala, ternyata kedua iblis itu
sudah terbirit-birit melarikan diri, jaraknya sudah berada
sepuluhan tombak jauhnya.
"Adik, lekas kejar ! jangan biarkan mereka lolos, Kalau
tidak, jangan harap engkau dapat hidup dengan tenang."
Habis berkata nona itupun terus ayunkan langkah
mengejar lebih dahulu.
Gin Liong memang tak mau memberi ampun kepada
kedua iblis itu, sebenarnya ia hendak mengejar mereka
tetapi demi mendengar kata2 Mo Lan Hwa, ia malah tak
mau ikut mengejar.
"Ho, aku memang sengaja hendak melepaskan manusia
itu. Akan kulihat, mereka dapat berbuat apa terhadapku,"
serunya geram.
Mendengar itu, Mo Lan Hwa hentikan larinya dan
berpaling kearah Gin Liong, ia marah sehingga wajahnya
merah, Ketika mulutnya hendak meluncurkan kata2, tiba2
terdengar sebuah suara tawa yang nadanya rawan dan
aneh.
Gin Liong terkejut Menurutkan arah suara tawa itu,
dilihatnya dari belakang bukit yang jaraknya diantara empat
puluhan tombak, muncul sesosok bayangan menghadang
kedua iblis tadi.
Ketika Gin Liong mencurahkan perhatian memandang
ke muka, ternyata yang muncul itu seorang kakek tua renta
berumur delapan puluhan tahun, Rambut pendek tetapi
jenggotnya dipelihara panjang, putih mengkilap seperti
salju.
Alisnya tebal mata bundar dan kepala besar.
Mengenakan ma-kwa ( pakaian mancam ) yang menutup
kaki.
Kakek itu mencekal sebatang pipa huncwe yang
panjangnya sampai satu setengah meter, Kepala huncwe
sebesar kepalan tangan orang.
Berhadapan dengan kakek itu, seketika gemetaran kedua
iblis tadi. Serempak mereka jatuhkan diri berlutut
dihadapannya.
Gin Liong kerutkan dahi, Dia merasa pernah kenal
dengan kakek itu. Kalau tak salah dahulu suhunya pernah
mengatakan bahwa kakek itu bernama Hok To-Beng
bergelar Kim-yan-tay atau Tabung-tembakau-emas.
Dia salah seorang tokoh dari Swat-Thian Sam-yu atau
Tiga Sahabat dari langit salju, Dia lah yang memiliki ilmu
ginkang saktiMenginjak-salju-tanpa-meninggalkan-jejak.
Baru Gin Liong berpikir sampai disitu, tiba2 Mo Lan
Hwa berteriak nyaring:
"Toa-suheng, mereka berdua telah menghina aku !"
Dan nona itupun terus lari menghampiri Hok To Beng.
Saat itu tergeraklah pikiran Gin Liong. Su-heng dari Mo
Lan Hwa atau kakek Hok To Beng itu kemungkinan tahu
siapakah kakek kurus dalam pondok itu. Paling tidak, Hok
To Beng tentu tahu siapakah orang tua jenggot indah yang
berwibawa sebagai seorang dewa itu.
Dengan memiliki harapan itu, Gin Liong sarungkan
pedangnya lalu bergegas menghampiri ketempat Hok To
Beng.
Belum tiba ditempat itu, Gin Liong sudah mendengar
kedua iblis membela diri:
"Sudah banyak tahun siaute berdua tak pernah
berkunjung untuk menghaturkan selamat kepada toasuheng.
Sungguh hati kami amat menyesal. Tadi siaute
berdua bertemu dengan Mo sumoay. Belum sempat siaute
menanyakan keadaan toa-suheng, Mo sumoay sudah
marah2 dan mendamprat.
Mo LanHoa deliki mata dan melengking marah:
"Tutup mulutmu ! jangan ngaco belo tak keruan jual
kebohongan. Apa yang kalian bicarakan ketika semalam
berada dalam kota ? Apakah kalian pernah menanyakan
kesehatan toa-suheng ? Dan tadipun, apa saja yang kalian
ocehkan dihadapanku ?"
Kemudian nona itu menunjuk kearah Gin Liong yang
sedang mendatangi katanya pula:
"Tanyakanlah kepada adikmu itu, apakah kalian tadi
pernah bertanya tentang diri toa-suheng ?Hm..."
Orang tua rambut pendek kerutkan dahi, ia gerakkan
pipa huncwe untuk menyentuh lembut Mo Lan Hwa seraya
berkata:
"Sudahlah, sudahlah. Katakan lebih dulu urusanmu baru
nanti giliran mereka !"
Kemudian Hok To Beng acungkan pipanya kearah Gin
Liong yang saat itu sudah tiba dan berada satu tombak
jauhnya, bertanya pula kepadaMo Lan Hwa:
"Kapan engkau mendapatkan seorang adik laki budak itu
? siapakah she dan namanya ? Dimana tempat tinggalnya
dan berapakah umurnya ? Cobalah engkau terangkan lebih
dahulu."
Habis mencurahkan hujan pertanyaan, orang tua rambut
pendek itu menengadah memandang langit dan pasang
telinganya untuk mendengarkan keterangan Mo Lan Hwa.
Sama sekali tak mengacuhkan kepada kedua iblis yang
masih berlutut di tanah itu.
Gin Liong mendapat kesan bahwa rambut pendek Hok
To Beng itu seorang tua yang tak mempedulikan segala adat
peraturan Dengan mempunyai seorang toa-suheng
semacam itu, sudah tentu Mo Lan Hwa menjadi seorang
nona yang suka membawa kemauan sendiri dan bebas
tingkah lakunya !
Tampak Mo Lan Hwa melongo, wajahnya merah
jengah. Sepasang biji matanya yang besar, berkeliaran
Tiba2 ia tertawa lalu melambai Gin Liong.
"Adik, kemarilah," serunya "cobalah engkau tuturkan
satu demi satu kepada toa- suheng."
Gin Liong terpaksa tertawa walaupun seperti orang
meringis, Demi hendak mengetahui asal usul orang tua
kurus dan orang tua jenggot indah itu, terpaksa ia tebalkan
muka menghampiri.
Melihat perawakan Gin Liong dan sepasang matanya
yang bundar bersinar, diam2 orang tua rambut pendek itu
terkejut.
"Bakat yang luar biasa bagusnya. Kelak anak ini tentu
menjadi tokoh persilatan yang cemerlang di angkasa
persilatan," diam2 Hok Tek Bong menimbang dalam hati.
Tetapi karena melihat wajah toa-suhengnya mendadak
berobah, berdebarlah hati Mo Lan Hwa. Tetapi ia bersikap
setenang mungkin.
Berhenti pada jarak lima langkah dari orang tua rambut
pendek, Gin Liongpun memberi hormat.
"Siau Gin Liong menghaturkan hormat kepada
locianpwe," serunya disertai dengan membungkuk tubuh.
Tiba2 Hok Tek Beng tertawa gembira, Nada tawanya
amat sedap didengar setelah berhenti tertawa, dia mengeluselus
jenggotnya yang putih dan berseru gembira:
"Saudara, apakah engkau adik lelaki dari siaumoay ku ?
Aku adalah toa-suhengnya Mengapa engkau menyebut lo
cianpwe kepadaku ? Yang benar, engkau sebut saja lokoko."
Habis berkata ia tertawa gelak2.
Sudah tentu Mo Lan Hwa girang sekali,
Dia tahu kalau toa- suhengnya suka pada pemuda itu.
Muka segera ia berkata kepada Gin Liong:
"Adik, lekaslah engkau ceritakan apa yang terjadi tadi..."
"Toa-suheng tiba2 kedua iblis yang masih berlutut di
tanah mendahului membuka suara," budak itu bukan adik
lelaki dariMo sumoay ..."
"Tutup mulut !" bentak orang tua rambut pendek.
Suaranya seperti halilintar menyambar sehingga Gin
Liongpun sampai tergetar jantungnya.
Seketika kedua iblis itu pucat wajahnya dan keringat
dinginpun bercucuran membasahi tubuh mereka, Dengan
pandang mata penuh dendam, mereka memandangMo Lan
Hwa dan Gin Liong.
orang tua rambut pendek itu melanjutkan kata-katanya:
"Segala tingkah lakumu yang tak senonoh di luaran aku
tahu semua. Sebelum menutup mata, suhu telah memberi
pesan kepadaku supaya mencabut ilmu kepandaian kalian,
Tetapi sampai sebegitu jauh, aku masih belum sampai hati."
Habis berkata ia kiblatkan pipanya ke muka kedua orang
itu sehingga mereka pejamkan mata, gemetar dan kucurkan
keringat dingin. Mereka diam mematung tak berani
berkutik sama sekali.
"Sudah banyak kali aku menerima teguran dari beberapa
kawan yang menuduh aku sengaja memelihara murid
khianat dan tak mau memikirkan keselamatan dunia
persilatan. Hm, hari ini, sekali lagi kuberi kalian ampun..."
Mendengar itu menjeritlah Mo Lan Hwa seraya lari ke
samping toa-suhengnya. Memegang lengan orang tua itu
dan berseru dengan gopoh:
"Toa-suheng, kali ini janganlah memberi ampun mereka,
Kalau tidak, bagaimana engkau hendak memberi
pertanggungan jawab kepada Hong dan Cui berdua lo-koko
nanti..."
Gin Liong cepat dapat menduga bahwa yang disebut
Hong (Gila) dan Cui (pemabuk) lo-koko oleh Mo Lan Hwa
itu tentulah kedua tokoh yang lain dari Swat-san Sam-yu,
Lengkapnya mereka bernama Hong-lian-sian dan Cui-sianong.
Dan Gin Liongpun cepat dapat menduga bahwa orang
tua rambut pendek yang berada dihadapannya itu pasti
Kim-yan-tay atau Tabung-tembakau-emas yang paling aneh
wataknya diantara Swat-thian Sam-yu.
Memang ketiga tokoh dari Swat-thian Sam-yu itu gemar
berkelana keseluruh penjuru. Mereka termasyhur dengan
ilmu ginkangnya yang sakti.
Serentak Gin Liongpun teringat akan nyanyian yang
tersebar dalam dunia persilatan.
Dalam ilmu ginkang. Swat-thian Sam-yu paling
menjagoi
Hong-tian-siu Kakek Gila, terbang diatas rumput.
Kim-yan-tay si Tabung-tembakau-mas menginjak salju
tanpa bekas.
Cui-sian-ong si Dewa Pemabuk, melintas sungai dengan
sebatang rumput ilalang...
Teringat akan syair itu, tergetarlah hati Gin Liong.
Sedang Mo LanHwa tetap mencekal lengan toa-suhengnya,
menghendaki supaya toa-suhengnya jangan melepaskan
kedua iblis.
Kim-yan-tay Hok To Beng bungkam. Hanya matanya
yang berkilat-kilat memancar sinar. Rupanya dia masih
ragu2 untuk mengambil keputusan.
Pipa tabung tembakau yang berada ditangannya,
pelahan-lahan bergerak di muka kedua iblis, Asal orang tua
itu sekali menutuk, kedua iblis itu pasti akan rubuh
berlumuran darah.
Kedua iblis itu berlutut tegak. Wajahnya tegang dan
cemas. Matanya berkilat-kilat mengikuti pipa tabung
tembakau. Keringat dingin bercucuran deras membasahi
mukanya.
Tiba2 Hok To Beng menggeleng kepala dan menghela
napas pelahan. Rupanya ia merasa tak enak untuk menarik
kembali ucapannya tadi.
"Kalian boleh pergi." katanya dengan nada berat "kalau
kelak masih berani melakukan kejahatan lagi, jangan
sesalkan aku tak ingat pernah menjadi saudara seperguruan
dengan kalian."
Kemudian jago tua itu menengadah memandang langit,
Tampaknya ia seperti minta maaf kepada arwah suhunya
yang berada di alam baka karena tak melakukan
perintahnya.
Melihat toa- suhengnya benar2 melepaskan kedua iblis
itu, karena marah,Mo Lan Hwa sampai menggigil keras.
Kedua iblis itupun segera meniarap ketanah dan
serempak berseru:
"Terima kasih atas kemurahan hati toa-su-heng. Siau-te
berdua mohon diri."
Setelah bangun, kedua iblis itu masih menyempatkan diri
untuk memandang dengan sorot mata penuh dendam
kepada Gin Liong,Mo Lan Hwa dan Hok To Beng.
Gin Liong terkejut. Menilik muka dan sorot mata kedua
iblis itu, rupanya mereka masih penasaran Gin Liongpun
tak mau melepaskan pandang matanya kearah langsung
kedua iblis itu.
Sekonyong-konyong, baru setombak kedua iblis itu
melangkah, mereka berhenti dan secepat kilat berputar
tubuh seraya mendorongkan kedua tangan sekuat-kuatnya.
Serentak angin pukulan yang dahsyat melanda kearah
Gin Liong bertiga, Tetapi karena Gin Liong sudah
memperhatikan gerak gerik kedua orang itu, maka cepat
iapun segera menggembor keras:
"Kawanan tikus, kalian hendak cari mampus..."
Kata2 itu diserempaki dengan menyongsongkan kedua
tangannya kemuka. Dalam pada itu Hok To Bengpun
kebaskan sepasang lengan bajunya, menggembor keras dan
melambung ke udara.
"Bum . . ."
Terdengar letupan dahsyat dan deru angin
menghamburkan salju, Disusul dengan derap kaki
terhuyung-huyungpun susul menyusul terdengar.
Ketika Gin Liong memandang seksama, dilihatnya
Menginjak-salju-tanpa-bekas Hok To Beng sudah melayang
di udara dan bagaikan burung garuda dia menukik kearah
kedua iblis yang terhuyung-huyung kebelakang itu.
"Manusia berhati serigala kalian ini..." teriak Hok To
Beng. Sinar emas berkelebat dan terdengarlah dua buah
jeritan yang menyeramkan. Darah berhamburan ke udara
dan rubuhlah kedua iblis itu ke tanah untuk selamalamanya.
Ketika Gin Liong berpaling, ia terkejut sekali Ternyata
Mo Lan Hwa telah rubuh di tanah salju, Cepat ia loncat
menghampiri dan mengangkat tubuh nona itu, Dilihatnya
wajah nona itu pucat seperti kertas mata meram napas
lemah.
Gin Liong tahu bahwa kali ini, Mo Lan Hwa memang
benar2 pingsan sungguh, ia bingung, lalu merogoh kedalam
bajunya.
Saat itu Hok To Bengpun sudah melayang tiba dan
berjongkok memeriksa, Setelah meraba dada sumoaynya,
Hok To Beng agak tenang.
Mengangkat muka, dilihatnya Gin Liong sedang sibuk
merogohi bajunya.
"Eh, cari apa engkau ?" tegurnya.
"Katak salju," sahut Gin Liong.
Hok To Beng terkesiap, serunya gopoh: "Engkau taruh
dimana ?"
"Entah bagaimana, tahu2 binatang itu jatuh," sahut Gin
Liong hambar.
"Jatuh dimana ?" Hok To Beng makin tegang.
Gin Liong segera menerangkan:
"Semalam aku menderita luka, karena tak dapat
mengambil air, katak salju itu terpaksa kumasukkan dalam
mulut..."
"Tolol engkau," Hok To Beng tertawa, "sudah tentu
binatang itu meluncur masak kedalam perutmu, Ai,
mengapa dicari lagi ?"
Gin Liong terbeliak, Saat itu baru ia menyadari apa
sebab tenaga dalamnya tiba2 berobah hebat sekali, Sekali
dorongkan tangan ia mampu membuat si Jenggot terbang
mencelat sampai beberapa tombak.
"Sudahlah, siau-hengte," Hok To Beng menghiburnya,
"siaumoay-ku hanya pingsan karena menderita rasa kejut
yang berasal dari angin pukulan kedua iblis itu. Asal engkau
mau menyalurkan tenaga-dalam dengan telapak tangan
pada perutnya, dia tentu akan siuman."
Merah wajah Gin Liong tetapi apa boleh buat. Terpaksa
ia melakukan hal itu juga. Sesaat tangan Gin Liong melekat
pada perut Mo Lan Hwa. nona itu segera terdengar
menghela napas panjang dan membuka mata.
Melihat dirinya berada dalam pelukan Gin Liong,
merahlah wajah nona itu. Jantungnya mendebur keras,
sepasang matanya memandang mesra pada wajan pemuda
tampan itu.Mulutnyapun merekah senyum manis, rupanya
ia mengharap agar pemuda itu jangan melepaskan
tangannya.
Darah Gin Liong-pun menggelora keras, jantung
berdebar-debar, Pada saat ia hendak mendorong tubuh si
nona supaya bangun, tiba- nona itu memekik dan terus
melenting berdiri.
Gin Liong terkesiap, Ah, ternyata Mo Lan Hwa dengan
wajah tersipu-sipu malu tengah lari menghampiri Hok To
Beng yang berdiri setombak jauhnya dari tempat mereka.
Ternyata sejak tadi Hok To Beng mengawasi kedua anak
muda itu sambil mengelus-elus jenggot dan tersenyum
simpul.
Gin Liongpun cepat berbangkit.
Sambil menubruk dada Hok To Beng, Mo Lan Hwa
menggentak-gentakkan kaki dan memekik-mekik manja:
"Toa-suheng tak suka kepadaku..."
Sambil memegang bahu nona itu Hok To Beng tertawa
gelak2.
"Jangan ribut, jangan ribut, Siapa bilang aku tak sayang
kepadamu ?"
"Tadi aku pingsan mengapa engkau tak menolong ?"
masih nona itu menjerit manja.
Hok To Beng tertawa gelak2 pula.
"Sudah ada seorang adik yang menolong, mengapa toasuheng
harus ikut campur ?"
Mendengar itu merahlah selembar wajah Mo Lan Hwa.
Cepat ia susupkan kepalanya ke dada Hok To Beng.
"Kalau aku mengurus dirimu, kedua manusia berhati
serigala itu tentu dapat melarikan diri," kata Hok To Beng
menghiburnya.
Mendengar itu baru Mo Lan Hwa lepaskan diri dari
dada toa-suhengnya dan memandang ke-arah mayat kedua
iblis, ia bersyukur karena iblis perusak wanita itu sudah
mati.
Karena hari sudah petang, Hok To Beng menyerahkan
pedang milik Mo Lan Hwa kepada nona supaya
disimpannya.
Gin Liong menghampiri memberi hormat kepada Hok
To Beng, Tetapi pada saat ia hendak membuka mulut, Mo
Lan Hwa tertawa geli.
Gin Liong terkesiap sehingga kehilangan kata2 yang
hendak diucapkan Melihat itu Lan Hwa makin tertawa geli.
"Mau apa engkau ini ? Mengapa tampaknya begitu resmi
itu ?" seru si nona.
Hok To Beng tertawa gelak2, serunya:
"Rupanya sian-hengte tentu berasal dari perguruan yang
termasyhur sehingga dia masih kukuh dengan tata cara,
membedakan yang tua dengan muda. Tidak seperti lo-koko
yang begini liar. Mau bilang apa terus bilang, mau berbuat
apa, pun terus berbuat saja. Asal sesuai dengan garis
kebenaran, aku tak peduli dengan segala macam peraturan
raja."
Berhenti sejenak tiba2 ia bertanya: "Siau-hengte, maukah
engkau memberi tahu nama perguruanmu ?"
Walaupun tahu bahwa memang tokoh2 aneh dalam
dunia persilatan itu tak menghiraukan soal tata cara adat
istiadat tetapi ia belum tahu benar akan peribadi Hok To
Beng, Maka ia tak berani sembarangan berkata, Setelah
memberi hormat ia berkata:
"Wanpwe..."
"Ih, apa-apaan itu wanpwe ? Lo-koko tetap lo-koko,
harus dipanggil lo-koko. Siau-hengtepun tetap harus disebut
siau-hengte, Mengapa engkau masih berkukuh menyebut
cianpwe dan wanpwe begitu macam ?" tiba2 Lan Hwa
melengking.
Mendengar itu merahlah muka Gin Liong, ia hendak
balas menyemprot nona itu tetapi tiba2 Hok To Beng
menukas dengan tertawa gelak-gelak:
"Siau-hengte, bersikaplah wajar saja. Tak perlu terlalu
menghormat Lo-koko tak mempersoalkan urusan begitu."
Teringat Gin Liong akan pesan suhunya. Bila
berhadapan dengan tokoh2 aneh dalam dunia persilatan
harus hati2 dan menghormat Paling baik turuti saja mereka.
"Baiklah, lo-koko," serunya sesaat kemudian, "siaute
akan menurut perintah lo-koko."
Hok To Bengpun tertawa gelak2, ia puas melihat sikap
Gin Liong yang cepat dapat menyesuaikan keadaan.
Bukan kepalang girang Mo Lan Hwa. Karuan bibir
merekah tawa maka tampaklah baris giginya yang putih
seperti untaian mutiara,
"Adik, beritahukan nama perguruanmu kepada lo-koko,"
segera ia berseru.
Dengan wajah serius, berkatalahGin Liong.
"Aku menerima pelajaran silat dari guruku Liau Ceng
taysu, kepala kuil Leng-hun-si di puncak Hwe-sian-hong !"
Menginjak-salju-tanpa-bekas Hok To Beng kerutkan alis,
merenung, Pipa huncwenya bergetar2. Rupanya jago tua itu
sedang menggali ingatan tentang diri Liau Ceng taysu.
Melihat wajah toa-suhengnya, tahulah Mo Lan Hwa
bahwa suhu dari Gin Liong jitu tentu seorang paderi yang
tak terkenal. Apabila memang seorang tokoh terkenal tentu
dengan mudah toa-suhengnya dapat mengenali. Karena
boleh dikata, hampir semua tokoh2 persilatan yang
ternama, Hok To Beng itu mengenalnya, Apalagi hanya
didaerah puncak Hwe-sian-hong gunung Tiang-pek-san
yang begitu dekat.
Kuatir kalau Gin Liong gelisah, cepat2 Mo Lan Hwa
berseru: "Toa-suheng, aku sudah teringat."
Hok To Beng terkesiap, serunya: "Siapa ?"
"Toa-suheng, mengapa makin tua engkau makin
linglung," seru Mo Lan Hwa dengan nada sok tahu,
"apakah engkau lupa ketika naik ke Hwe sian-hong,
bertemu dengan seorang paderi tua yang mengenakan jubah
?"
Sesungguhnya Gin Liong tak peduli ketika melihat kedua
orang itu tak kenal kepada suhunya. Tetapi demi
mendengar ucapan Mo Lan Hwa, hampir ia tak dapat
menahan gelinya.
"Ih, ada2 saja nona itu. paderi tentu memakai jubah,
masakan pakai pakaian makwa seperti orang biasa,"
pikirnya.
Mo Lan Hwa memang hendak membingungkan pikiran
toa-suhengnya agar jangan melanjutkan pemikirannya
untuk mengingat-ingat nama Liau Ceng taysu itu.
"Ah, aku benar2 tak ingat lagi," seru Hok To seraya
gelengkan kepala.
Ucapan toa-suhengnya itu benar2 membuat si nona
bingung, ia tahu bahwa Gin Liong memandangnya lekat2
sehingga ia tak leluasa memberi isyarat mata kepada toasuhengnya.
"Ah, makin tua engkau memang makin limbung,"
akhirnya sekenanya saja nona itu berkata, "apakah engkau
lupa akan lo-siansu yang wajahnya merah segar, alisnya
tebal dan mata jernih, memelihara jenggot yang begini
panjang ...."
Nona itu segera ulurkan tangannya, ditempelkan ke
dadanya sendiri seakan menunjukkan ukuran panjang
jenggot lo - siansu atau paderi tua itu.
Gin Liong terpaksa tertawa, Cepat ia menyeletuk: "Ah,
mungkin yang kalian jumpai itu su-siokcou-ku..."
Hok To Beng tak marah karena diolok-olok sinona. ia
malah tertawa sambil mengurut2 jenggotnya. Kemudian
berseru kepada Gin Liong: "Ya, ya, lo-koko memang sudah
tua sehingga tak tahu siapakah gurumu itu."
Gin Liong hanya tertawa saja.
Tiba2 Hok To Beng berpaling dan bertanya kepada Mo
Lan Hwa: "Siau-moay, apakah engkau sudah memperoleh
kabar?"
"Sebelum tiba di tempatnya, aku sudah dihadang kedua
iblis itu." Mo Lan Hwa bersungut-sungut.
"Kalau begitu, baiklah kita sama2 pergi kesana," Hok To
Beng tersenyum. Lalu berpaling kearah Gin Liong.
"Siau-hengte, pernah engkau mendengar bahwa lebih
kurang sebulan yang lalu, dirumah pondok dalam tanah
lapang disebelah depan itu, muncul seorang tua membawa
kaca cermin ? tanyanya.
Gin Liong menyahut: "Belum, tetapi..."
"Kalau begitu, ayolah kita sama2 melihat ke sana !"ajak
Hek To Beng.
"Tidak, semalam aku sudah kesana..."
Hek To Beng terkesiap. Lalu bergegas tanya:
"Bagaimana caramu pergi ke sana ?"
"Sebenarnya aku tak sengaja ke tempat itu. Aku tak tahu
bahwa tempat itu merupakan sebuah tanah lapang yang tak
terurus. Dan tak tahu bahwa disitu terdapat sebuah rumah
pondok berisi seorang tua membawa cermin, Karena
kebetulan jalan melalui hutan kecil itu, baru kutahu tentang
pondok dan orang tua kurus itu," Gin Liong memberi
keterangan.
"Ih, ketahuilah." seru Mo Lan Hwa terkejut, "tiga
tombak sekeliling pondok itu, sangat berbahaya sekali.
orang tua pembawa kaca itu dapat melepaskan pukulan
maut."
Gin Liong gelengkan kepala.
"Terdorong oleh keinginan tahu, aku tetap menghampiri
jendela pondok, Tetapi ternyata tak mendapat bahaya
apa.2" kata Gin Liong,
Rupanya Hok To Beng kurang percaya, Tetapi ia
percaya Gin Liong itu bukan seorang pemuda yang suka
bohong,Maka bertanialah ia untuk menyelidik:
"Siau-hengte, apa lagi yang engkau lihat dalam pondok
itu ?"
Tanpa ragu2 Gin Liong menjawab. "Diatas meja yang
berada dihadapan orang tua kurus itu, terdapat sebuah
cermin yang gilang gemilang menyilaukan mata !"
"Adik tolol," tiba2 Mo Lan Hwa menyeletuk," itulah
kaca wasiat Te-kia (Kaca Bumi) dari seorang paderi sakti
yang hidup tiga ratus tahun yang lalu, Segala benda pusaka
yang tertanam di tanah, asal pada malam hari disorot
dengan sinar kaca wasiat itu, tentu benda dalam tanah itu
akan memancarkan sinarnya keluar, jika engkau sudah
menghampiri ke jendela, mengapa engkau tak mengambil
kaca wasiat itu ?"
Gin Liong tersenyum dan geleng2 kepala.
"Siau-hengte," Hok To Bengpun ikut berkata, "kalau saat
itu engkau mengambilnya, tentu saat ini engkau, mendapat
julukan adik tolol dari tacimu itu."
Mo Lan Hwa merah mukanya, ia hanya cibirkan
bibirnya dan tak berkata apa2 lagi.
"Lo-koko. siapakah orang tua kurus itu ?" tiba2 Gin
Liong bertanya.
Hok To Beng gelengkan kepala: "Selama belum melihat
sendiri orang itu, aku tak berani memastikan dirinya siapa,
Nanti apabila sudah melihatnya, baru kita ketahui orang
itu, Tetapi kurasa tak mungkin paderi sakti pemilik kaca
itu."
Gin Liong kecewa.
"Ah, semalam dia sudah pergi."
"Benarkah begitu, adik ?" teriak Mo Lan jiwa dengan
nada tegang.
Gin Liong mengangguk.
"Apa yang dikatakan siau-hengte kemungkinan benar,"
kata Hok To Beng, "ketika aku datang kemari, diatas
puncak disebelah muka itu aku bertemu dengan beberapa
tokoh persilatan. Tampak mereka lagi bergegas-gegas
menuju keluar gunung."
"Toa-suheng, kita akan meninjau ke pondok itu atau
tidak ?" tanya Mo Lan Hwa.
"Sekarang tiada gunanya," Hok To Beng gelengkan
kepala, kemudian ia memandang ke langit, katanya pula,
"sekarang hampir tengah hari" Dengan ilmu lari cepat yang
kita miliki, kiranya kita masih dapat mencapai kota kecil di
bawah gunung untuk makan siang."
Karena kuatir Gin Liong akan pergi maka cepat2 Mo
Lan Hwa berseru: "Ya, baiklah, aku memang hendak
berlomba lari dengan adik."
Gin Liong tertawa hambar.
"Ilmu ginkang taci sudah termasyhur di Say-gwa (luar
perbatasan). Sedang, Sedang ilmu ginkang lo-koko tiada
tandingnya dalam dunia persilatan. Mana aku mampu
menandingi ? Ah, aku menyerah saja."
Mendengar dirinya dipanggil taci, hampir Mo Lan Hwa
tak percaya pendengarannya.
"Adik, engkau menyebut aku taci ?" serunya menegas.
Gin Liong terkesiap lalu menyahut: "Engkau memanggil
aku adik, apakah tak selayaknya aku menyebutmu taci ?"
Mo LanHwa mengangguk gembira, serunya:
"Ya, memang selayaknya begitu."
Rupanya karena dilanda luap kegembiraan, nona- itu tak
tahu harus berkata apa. Tiba2 ia berputar tubuh dan
mencekal lengan kanan Hok To Beng dan diguncangguncangnya.
"Toa-suheng, layak atau tidak kalau adik itu menyebut
aku taci ?"
Hok To Beng juga gembira sekali, ia tertawa gelak2: "Ya,
ya, memang selayaknya."
"Toa-suheng, mari, kita cepat ke kota itu. Nanti engkau
boleh minum beberapa cawan lagi, "seru Mo Lan Hwa.
"Bagus. hari ini aku boleh mabuk lagi," Hok To Bengpun
tertawa girang, Tiba2 ia enjot tubuhnya sampai beberapa
tombak di udara, sekali mengebut lengan baju, diapun
meluncur pesat sekali.
Melihat bagaimana dengan dua kali gerakan saja, Hok
To Beng sudah berada dimuka lembah salju, diam2 Gin
Liong memuji.
"Ah, tak kecewa dia mendapat gelaran nama yang indah
"Menginjak - salju - tanpa - jejak, ilmu ginkangnya memang
luar biasa hebatnya."
"Adik tolol, mengapa diam saja ? Lekaslah kejar, kalau
terlambat sedikit saja. engkau pasti takkan melihat
bayangan lo-koko lagi," tiba2Mo Lan Hwa menegur Dan ia
sendiripun terus meluncur kemuka, cepatnya seperti anak
panah terlepas dari busur. Yang tampak hanya segulung
asap merah yang. bertebaran diatas permukaan salju tanah,
juga nona itu layak mendapat gelar nama sebagai Swat-tebiau-
hong atau Tanah-salju-bertebar-merah.
"Hm, jika saat ini tak kucoba ilmu ginkang Anginmeniup-
petir-menyambar ajaran suhu, apabila turun
gunung aku tentu tak mempunyai kesempatan untuk
mencobanya lagi, diam2 Gin Liong menimang.
Setelah mengerahkan seluruh hawa murni, segera ia
meluncur kemuka, pikirannya hanya tertumpah pada ilmu
lari itu dan sesaat kemudian ia mendengar angin menderuderu
disisi telinganya.
Karena kuatir Gin Liong akan tertinggal jauh maka Mo
Lan Hwa sengaja tak mau pesatkan larinya. Tak hentihentinya
ia berpaling. Tetapi setiap kali berpaling ia terkejut
karena Gin Liong telah mengejarnya dengan pesat.
Melihat itu Mo Lan Hwa segera menambah
kecepatannya. Saat itu segera ia melihat dibawah kaki
bukit, melingkar-lingkar seperti ular panjang, Orang
berjalan hilir mudik.
Melihat Mo Lan Hwa menambah kecepatan, Gin
Liongpun tersenyum. Tetapi ketika memandang Hok To
Beng, ia agak terbeliak, Tubuh Hok To Beng sudah
meluncar turun ke kaki bukit.
Sebagai seorang pemuda sudah tentu Gin Liong masih
berdarah panas, seketika timbul nafsunya untuk
memenangkan perlombaan itu. jika tadi ia menggunakan
gerak ilmu lari Angin meniup, saat itu segera ia robah
menjadi gerak Petir-menyambar
Tubuh pemuda itu segera berobah seperti segulung asap
yang meluncur seperti terbang. Ada suatu ciri aneh dalam
gerak lari Petir-menyambar itu. Bahwa sepasang kaki Gin
Liong mengeluarkan suara desis mirip kumandang petir.
Mo Lan Hwa yang tengah lari se-kencang2 nya terkejut
ketika mendengar dari arah belakang seperti bunyi
mendesis-desis, ia berpaling dan kejutnya makin bertambah
ketika melihat segumpal asap warna kuning tengah
meluncur terbang.
Karena heran ia memandang dengan seksama, Tetapi
tiba2 gumpalan asap kuning itupun sudah lenyap dari
pandang mata.
Mo Lan Hwa memandang kemuka lagi- Ah. hampir ia
tak percaya pada matanya ketika dilihatnya gumpal asap
kuning itu sudah mengejar di belakang tua suhengnya.
Hok To Bengpun mendengar juga suara mendesis itu.
Dia terkejut dan cepat berpaling kebelakang. Ah, ternyata
Gin Liong sudah berada di belakangnya Diam2 ia
meragukan diri tokoh yang menjadi suhu dari Gin Liong.
Segera ia pindahkan pipanya ke tangan kiri dan diam2
kerahkan tenaga, siap dihantamkan ke belakang.
Saat itu Gin Liong makin mendekati jaraknya dengan
Hok To Beng tidak lagi ratusan tombak tetapi hanya
puluhan tombak saja, juga dengan jalanan di kaki bukit
hanya terpisah tak sampai satu li.
Gin Liong tersenyum dan makin mendekati Hok To
Beng.
Gerakan dari Gin Liong yang menimbulkan suara desis
itu makin terdengar jelas oleh Hok To Beng, Sekonyongkonyong
setelah memperhitungkan jaraknya, Hok To Beng
meggembor keras dan secepat kilat mencengkeram siku
lengan kanan Gin Liong,
Gin Liong terkejut Segera ia gunakan gerak Liong-libiau,
menghindar dan terus melanjut turun kebawah
gunung, cengkeramannya luput, Hok To Beng. makin
terkejut, serunya: "Siau hengte, engkau memang...."
Dia terus loncat menerkam. Demikian keduanya segera
seperti orang terkam menerkam, jaraknya hanya satu meter,
Sekilas pandang menyerupai dua ekor burung rajawali yang
tengah bertarung hebat, meluncur dari udara.
Menilik nada teriakan Hok To Beng itu, tahulah Gin
Liong bahwa tokoh itu tidak mengandung perasaan dengki
terhadapnya Ketegangan hatinyapun mereda.
Mo Lan Hwa yang masih berada pada jarak seratusan
tombak tampak pucat wajahnya ketika melihat gerak gerik
toa-suhengnya.
"Toa-suheng, jangan..." ia tak dapat melanjutkan katakatanya
karena tersumbat oleh air-mata yang bercucuran
Mendengar teriakan nona itu, Sin Liong terkesiap, ia
lambatkan larinya dan membiarkan bahunya dijamah oleh
Hok To Beng.
Setelah keduanya berdiri tegak, dengan wajah
keheranan, Hok To Beng berulang menepuk-nepuk bahu
Gin Liong.
"Siau hengte, bilanglah sejujurnya..." Tiba2 Hok To Beng
tak melanjutkan kata-katanya karena dilihatnya Gin Liong
berpaling memandang ke lereng gunung dan seketika
wajahnya berobah lalu berteriak: "Taci, pelahan lahan
saja..."
Gin Liongpun terus menyelinap lari keatas lereng. Hok
To Beng terkejut dan ikut berpaling, Kejutnya bukan
kepalang Mo Lan Hwa yang lari secepat angin tidak mau
mengurangi kecepatannya ketika saat itu tiba di kaki bukit.
Gin Liongpun sudah melayang tiba lalu dengan
apungkan tubuh melambung dan menyambar pinggang Mo
Lan Kwa terus dibawa turun dari lereng.
Hok To Beng maju menyambuti dengan hati2 sekali.
Melihat toa-suhengnya, Mo Lan Hwa segera susupkan
kepala ke dadaHok To Beng dan menangis manja.
Hok To Beng mengelus-elus kepala sumoay-nya dengan
perasaan cemas. ia duga tentu terjadi sesuatu dengan Mo
Lan Hwa, Tetapi pada lain kilas, ia menyadari apa yang
menyebabkan sumoay-nya menangis. Segera ia tertawa
gelak2.
Gin Liong terbeliak mematung. Dia merasa tadiMo Lan
Hwa amat gembira ketika ia memangginya dengan sebutan
taci, Tetapi kini setelah ia memberi pertolongan agar nona
itu jangan sampai menderita bahaya, mengapa malah tak
senang dan menangis.
Tiba2 pula Gin Liong teringat sumoaynya yang ketika
ditinggali pergi masih sakit dan tidur di pembaringan.
Teringat akan diri Ki Yok Lan mengganggu hatinya, Diam2
ia berjanji kepada dirinya sendiri, tak boleh sekali-kali salah
langkah sehingga mencelakai orang, Dan selagi belum
berlarut-larut, ia harus segera meninggalkan Hok To Beng
dan Mo LanHwa.
Saat itu Hok To Beng berhenti tertawa lalu pelahanlahan
mendorong Mo Lan Hwa kesamping, mengusap
airmata gadis itu dan menghiburnya:
"Siaumoay, apakah engkau kuatir kalau aku akan
mencelakai adikmu itu ? Ha, moay tolol, aku bertiga
dengan engkohmu si Gila dan engkohmu si pemabuk itu,
tak boleh mengganggu bocah itu!"
Mo Lan Hwa girang sekali, Sejenak memandang Gin
Liong, ia tertawa gembira.
Gin Liong tersipu-sipu merah dan terpaksa ikut tertawa,
Melihat itu Hok To Bengpun tertawa gelak2. Kemudian
menatap Gin Liong dan berseru dengan serius:
"Siau hengte, bilanglah terus terang, jangan membohongi
lo-koko. siapakah sesungguhnya gurumu itu ?"
Dengan wajah serius, Gin Liongpun menjawab:
"Masakan aku berani membohongi lo-koko. Guruku
memang benar2 kepala dari kuil Leng-hun-si..."
"Aku maksudkan seseorang, apakah siau hengte tentu
tahu !" tukas Hok To Beng.
"Jika tahu masakan aku tak mau mengatakan," kata Gin
Liong,
Sejenak memancarkan sinar kilat pada pandang
matanya, Hok To Beng menatap lekat2 pada wajah Gin
Liong yang cakap, Rupanya ia hendak menyelidiki apakah
Gin Liong itu bohong atau tidak.
"Seorang tunas muda yang menggemparkan dunia
persilatan dengan nama Pelajar-wajah-kumala Kiong Cu
Hun, tahukah siau-hengte ?"
Seketika berobahlah wajah Gin Liong. Air-matanya
berderai-derai turun. Lalu dengan nada menghormat ia
berkata:
"Memang dia adalah guruku."
Hok To Beng mengelus-elus jenggotnya dan tertawa
gelak2.
"Seorang jago muda yang cemerlang, karena
berkecimpung dalam dunia yang penuh debu2 dosa
akhirnya masuk kedalam biara, seharusnya aku si manusia
tua yang tak mati2 ini, harus mengikuti jejaknya masuk
kedalam biara untuk mensucikan diri."
Kemudian ia berkata pula kepada Gin Liong, "Dengan
gurumu sudah hampir sepuluh tahun tak bertemu, Lusa aku
tentu akan memerlukan berkunjung..."
Tiba2 Hok To Beng tak melanjutkan kata-katanya,
karena ia melihat Gin Liong masih berlinang-linang
airmata. Cepat ia menghiburnya: "Siau-hengte..."
Rupanya Gin Liong tak kuasa menahan luapan
kesedihannya, Dengan airmata bercucuran ia berkata:
"Beberapa hari yang lalu, guruku telah dibunuh oleh
orang jahat, Lo-koko takkan bertemu lagi selama-lamanya."
Bukan kepalang kejut Hok To Beng mendengar
keterangan itu. Seketika seri wajahnya berobah tegang,
serunya:
"Siapakah seorang yang memiliki ilmu sedemikian
saktinya, sekalipun empat serangkai Bu-lim-su ih yang
termasyhur itu, juga sukar untuk mencelakai gurumu."
Hok To Beng berhenti sejenak lalu melanjutkan katakatanya
pula:
"Siau-hengte, kurasa pembunuh itu tentu orang yang
dekat dengan suhumu. Entah siapakah yang menyaksikan
peristiwa itu dan apakah terdapat bukti2 yang dapat
menjadi bahan mencari jejak pembunuh itu, harap siauhengte
mengatakan dengan terus terang, Mudah mudahan
aku dapat membantu untuk memecahkan jejak rahasia dari
pembunuh gelap itu."
Tiba2 Mo Lan Hwa mengambil sapu dan mengusap
airmata Gin Liong, Pemuda itu merasa sungkan sekali.
Tiba2 ia mencabut sebatang badik emas yang terselip
dalam pinggangnya, katanya:
"Inilah senjata yang ditinggalkan oleh pembunuh gelap
itu."
Menyambuti badik emas itu, wajah Hok To Beng agak
berobah.
"lnilah badik Kim-wan-to yang dapat memotong besi
seperti memotong tanah, Rambut yang ditiup kearah mata
badik itu tentu putus, Yang menggunakan badik semacam
ini kebanyakan orang2 persilatan dari daerah Biau."
Gin Liong tergetar hatinya, Dia baru sadar bahwa Hok
To Beng, pendekar yang aneh dalam dunia persilatan itu,
memang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang
amat luas.
Mo Lan Hwa yang ikut memeriksa, segera menuding
kearah empat buah huruf pada batang badik golok emas itu,
serunya:
"Toa-suheng, lihatlah, apa artinya keempat huruf itu?"
Hok To Beng kerutkan dahi dan berkata: "Mungkin
nama dari seorang wanita Biau." Kembali hati Gin Liong
tergetar keras, Dia makin kagum atas penilaian yang tajam
dari Hok To Beng.
Tiba2 Mo Lan Hwa melengking gembira: "Ooo,
Wulanasa, sungguh sebuah nama yang indah !"
Segera Sin Liong memberi keterangan:
"ltulah Ban Hong liong-li lo cianpwe..."
Mendengar itu Hok To Beng berobah wajahnya, serunya
gopoh:
"Ban Hong Liong-li ? Kemarin sebelum mata hari
terbenam aku masih berjumpa dengan dia di kota kecil
muka itu. Budak itu memang tergila2 dengan Kwan Cu-hun
tetapi karena cinta dia menjadi dendam..."
Mendengar itu memancarkan mata Gin Liong, cepat ia
menukas:
"Lo-koko, apakah saat ini Ban Hong liong-li masih
berada dikota kecil itu ?"
"Entah apa masih disitu...." Terhadap urusan Gin Liong,
Mo LanHwa menaruh perhatian istimewa.
"Sudahlah, asal kita tiba di kota kecil itu tentu dapat
mengetahui," cepat ia menyelutuk, lalu melanjutkan lari.
Gin Liong ingin sekali cepat2 tiba di kota kecil itu,Maka
iapun segera berputar tubuh dan lari.
Sambil menyerahkan badik emas kepada Gin Liong, Hoa
To Beng menyusul dan berkata:
"Siau-heng-te, Ban Hong liong-li itu tahun ini paling
banyak baru berusia 28-29 tahun, Mengapa engkau
memanggilnya sebagai locianpwe ?"
"Karena sejak pertama aku dan sumoayku Ki Yok Lan
selalu menyebut locianpwe kepadanya, sekarang sukar
untuk merobah sebutan itu," Gin Liong menjelaskan.
Mo Lan Hwa yang berada di muka ketika mendengar
Gin Liong mempunyai seorang sumoay, diam2 hatinya
mencelos. Sekali menyehatkan tubuh, diapun sudah
melayang ke jalan.
Gin Liong yang polos, mengira Mo Lan Hwa hendak
buru2 mengejar perjalanan, Maka diapun segera berpaling
dan berseru kepada Hok To Beng:
"Lo-koko, mari kita agak cepat berlari !" sebagai seorang
tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan,
tahulah Hok To Beng akan gerak gerik sumoaynya, ia
hanya gelengkan kepala dan terus mengikuti Gin Liong lari.
Tepat pada saat itu terdengarlah ringkik suara kuda yang
terkejut. Suara itu asalnya dari belakang mereka.
Ketika Gin Liong bertiga berpaling, tampak beberapa li
jauhnya, dua ekor kuda sedang mencongklang pesat di
sepanjang jalan, Mereka lari menghampiri kearah Gin
Liong.
Kedua ekor kuda itu cepat sekali larinya, sebaiknya kita
menyingkir saja," kata Gin Liong.
"Ya." kata Hok To Beng, "kuda itu memang luar biasa
cepatnya." iapun terus menyingkir ketepi jalan.
Tetapi Mo Lan Hwa malah mendengus dan tak ambil
peduli, Dengan cibirkan bibir dan santai, ia berjalan
seenaknya di tengah jalan.
Gin Liong kerutkan dahi dan tak mengerti maksud nona
itu.
Tiba2 terdengar suara kuda meringkik keras, Ketika Gin
Liong berpaling, dilihatnya dua ekor kuda bulu hitam
mulus yang bertubuh tinggi besar, tengah meluncur pesat
sekali. Saat itu hanya terpisah setengah li.
Penunggangnya juga dua lelaki bertubuh tinggi besar,
kepala besar dan jidat lebar. Mulutnya penuh ditumbuhi
kumis dan jenggot yang lebat, sepasang matanya berkilatkilat
amat tajam. Merekapun mengenakan jubah warna
hitam terbuat daripada kulit, Sepintas pandang kedua
penunggang kuda itu memang amat menyeramkan sekali.
"Tar, tar, tar . ..."
Kedua penunggang tinggi besar itu menghardik dan
mengayunkan cambuknya ke udara. Kuda hitam tegar
itupun segera melaju keras, Mereka tak mempedulikan
orang yang berada di tengah jalan.
Riuh rendah derap kedua kuda hitam itu menabur jalan,
jalan yang dilalui tentu meninggalkan hamburan salju yang
lebat dan deru angin yang keras.
Mereka melarikan kuda kearah Gin Liong.
-ooo0dw0ooo-
Bab 4
Empat tokoh aneh
Gin Liong terkejut sekali menyaksikan kecepatan kedua
kuda hitam itu. Tetapi ia marah karena melihat tingkah
kedua penunggang kuda yang tetap melarikan kudanya
sekencang-kencangnya walaupun tahu di tengah jalan
terdapat seorang nona.
"Taci, menyingkirlah ke tepi jalan. kedua kuda itu pesat
sekali larinya !" cepat ia berseru memberi peringatan kepada
Mo LanHwa.
Tetapi nona itu tak mau mengacuhkan. Dengan
mendengus ia berseru:
"Hm, kecuali engkau loncat sejauh lima tombak, baru
engkau terbebas dari hamburan salju di jalan !"
Nona itu tetap berjalan santai di tengah jalan.
Gin Liong kerutkan dahi. Berpaling ke belakang,
dilihatnya kedua ekor kuda hitam itu makin dekat.
Bulu surai kuda meregang tegak, mulut meringkikringkik,
kakinya seperti terbang, menerjang maju dengan
dahsyat sehingga saat itu jaraknya hanya tinggal dua
puluhan tombak.
Gin Liong marah sekali. Pada saat ia hendak berseru
mencegah, sebuah gelombang asap tebal telah melanda
mukanya, sudah tentu pemuda ini menyedot juga dan
batuk2. Ketika berpaling ternyata asap itu berasal dari pipa
Hok To Beng.
Tampaknya orang tua itu tenang2 saja seperti tak terjadi
suatu apa. Seperti tak tahu bahwa dia akan diterjang dari
belakang oleh dua ekor kuda tegar.
Hok To Beng memandang Gin Liong dengan tertawa
hambar dan serunya santai:
"Kedua orang itu kebanyakan tentu berasal dari padang
Taliwang diMongolia !"
Baru Hok To Beng berkata sampai disitu, derap lari kuda
makin jelas. Sebelum kuda melanda datang, anginnya
sudah menderu.
Gin Liong makin terkejut. Berpaling ke belakang,
dilihatnya kedua ekor kuda hitam yang tinggi perkasa sudah
tiba di belakang Mo Lan Hwa.
Nona itu kerutkan alis, Tiba2 dengan diiringi teriakan
melengking, ia berputar tubuh seraya dorongkan kedua
tangannya, Seketika itu meluncurlah dua gelombang angin
dahsyat yang membawa debu dan salju, menerjang kedua
ekor kuda tegar itu.
Mo Lan Hwa telah menumpahkan kemarahannya dalam
pukulannya itu. Seketika terkejutlah kedua penunggang
kuda, Mereka menggembor keras dan meloncatkan
kudanya diatas kepala Mo Lan Hwa dan meluncur sampai
tiga tombak jauhnya.
Gin Liong hendak memburu ke tempat Mo Lan Hwa.
Tetapi nona itu sudah melambung ke udara, bergeliatan dan
meluncur turun kearah kedua penunggang kuda.
Dan serempak pada saat itu. Hok To Beng pun ayunkan
tubuh melayang ke muka kuda.
"Kembali !" bentaknya seraya taburkan pipanya ke
udara, menyongsong kedua kuda, Taburan pipa itu
menghamburkan asap tebal sehingga kuda meringkik kaget
dan berontak. Sebelum kedua penunggang tahu apa yang
terjadi, tiba2 sesosok bayangan melayang, membentak dan
menabur asap. Dan tahu2 kedua kuda itu berdiri tegak di
udara.
Menjeritlah kedua penunggang kuda karena kaget dan
buru2 mereka berusaha untuk menguasai tunggangannya.
Tetapi kuda itu sudah kalap. Setelah berputar-putar deras
lalu melayang jatuh ke tanah, membanting kedua
penunggangnya.
"Bum, bum . . . ."
Kedua penunggangnya kuda rontok giginya, mulut
pecah, kepala pusing tujuh keliling.
Saat ituMo Lan Hwapun meluncur dari udara, maju dua
langkah, membentak dan ayunkan tangan kanannya.
Melihat itu, salah seorang penunggang kuda cepat
meneriaki kawannya: "Ciliwatu, hati - hati, awaslah !"
Dia sendiri terus melenting bangun dan menghantam.
Orang yang disebut Ciliwatu itu rupanya sudah tahu
kalau dirinya diserang si nona. Pada saat kawannya
bergerak, dengan jurus Ikan Leihi melenting, diapun
melambung ke udara sampai dua tombak, lalu dengan gerak
bergeliatan, dia melayang turun.
Bum . . . .
Ketika terjadi benturan antara pukulan Mo Lan Hwa
dengan penunggang kuda yang seorang, keduanya
terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.
Ciliwatu terkejut. Cepat ia bergeliat dan meluncur ke
tanah, Hampir tiada suaranya ketika kakinya menginjak
tanah.
Gin Liong cepat dapat mengetahui bahwa kedua
penunggang kuda dari Mongol itu, walaupun bertubuh
besar tetapi memiliki gerak yang lincah dan gesit sekali,
"Alihapa," cepat Ciliwatu berkata kepada kawannya,
"anak perempuan baju merah itu jauh lebih cantik dari
anak2 perempuan di sarang kita. Hayo kita bawa pulang
untuk kita berdua !"
Habis berkata ia terus mengeluarkan sebuah rantai yang
ujungnya merupakan semacam gembolan, mirip pukul besi,
Besarnya menyamai kepalan tangan, diikat dengan rantai
sepanjang hampir satu tombak.
Gembolan besi itu dihias dengan duri2 besi mirip gigi
serigala, Ditingkah sinar matahari gembolan itu tampak
hitam mengkilap.
Karena terhuyung mundur tiga langkah, merahlah wajah
Alihapa. Alisnya mengernyit, mata mendelik dan mulut
menyeringai buas, Tangannya yang penuh bulu segera
merogoh kedalam pinggang baju dan mengeluarkan
sebatang ruyung sembilan ruas, terbuat dan rantai perak.
Segera ia tertawa aneh dan dengan geram berseru:
"Anak perempuan tenagamu hebat juga. Awas jangan
sampai tanganmu patah !" ia ayunkan langkah
menghampiriMo LanHwa.
Wajah Mo Lan Hwa tampak pucat dan tubuhnya
menggigil ketika mendengar dirinya disebut "anak
perempuan", hampir dadanya meledak. Dengan cepat ia
mencabut pedang terus ditusukkan kearah orang Mongol
itu.
"Sring. . . ."
Alihapa kebaskan ruyung-sembilan-ruas. Bagaikan
seekor naga bercengkerama di atas laut, ruyung itupun
segera bergemerlapan melibat pedangMo Lan Hwa.
Cepat si nona turunkan pedangnya, berputar tubuh dan
melancarkan jurus Cay-hong-canki atau Burungcenderawasih-
merentang-sayap, pedang berobah menjadi
segelombang sinar pelangi dan secepat kilat memapas
lengan kanan Alihapa.
"Bagus !" seru Alihapa, Ruyung perak segera diganti
dalam gerak putaran deras sehingga mengembangkan
ratusan sinar ruyung, menyelubungi tubuh Mo LanHwa.
Segera tampak suatu pemandangan yang menyilaukan
mata, sinar perak bergemerlapan, diiringi sambaran ruyung
yang menderu-deru. Sinar pedang selebat hujan mencurah,
memancarkan sinar gemilang yang amat kemilau.
Ciliwato dengan siapkan rantai bandulan ditangan,
mengikuti pertempuran itu dengan penuh seksama. Setiap
saat, ia siap turun tangan membantu kawannya.
Tetapi Gin Liongpun diam2 melewatkan perhatiannya
kepada Ciliwato untuk menjaga jangan sampai dia
melepaskan senjata gelap kepada Mo Lan Hwa.
Pertempuran makin seru dan dahsyat. Mo Lan Hwa
memiliki kelincahan tubuh yang tinggi dan ilmu pedang
yang aneh, Alihapa memiliki tenaga yang gagah perkasa
dan ilmu permainan ruyung yang sempurna.
Cepat sekali tiga puluh jurus telah berlalu. Keduanya
masih tetap berimbang, belum tampak siapa yang lebih
unggul.
Tiba2 Gin Liong teringat Kemanakah Hok To Beng ?
Mengapa sejak tadi tak kedengaran suaranya ?
Ketika Gin Liong mengeliarkan pandang, dilihatnyaHok
To Beng sedang naik keatas punggung salah seekor kuda
hitam, tubuh merebah ke muka. Mulutnya tengah
menghembuskan asap dari pipa. Sedang tangan kiri
menjamah kepala kuda yang lain, memandang acuh tak
acuh kearah gelanggang. Rupanya dia tak begitu
memikirkan tentang siaumoay nya yang tengah bertempur
seru itu.
Melihat Gin Liong memandangnya Hok To Bengpun
mengangguk tertawa lalu menghembuskan lagi segulung
asap tebal.
Diam2 Gim Liong mengeluh dalam hati, Pendekar aneh
yang sudah tua itu memang aneh tingkah lakunya.
Masakan sumoaynya bertempur dia malah enak2
menguasai kedua ekor kuda musuh. Dan memang tak
berapa lama kemudian, ia berhasil membuat kedua ekor
kuda itu jinak.
Tiba2 terdengar lengking teriakan nyaring disusul dengan
bentak kemarahan.
Gin Liong cepat berpaling. Serentak berkobarlah
kemarahannya, Dengan menggembor keras, ia segera
lepaskan sebuah hantaman
Gelombang angin dahsyat yang menderu-deru segera
menghambur kearah Kiliwato yang menyerang gelap pada
Mo LanHwa dengan rantai gembolannya.
Ciliwato berteriak kaget. Cepat ia menarik pulang rantai
gembolannya dan terus menggembor keras seraya loncat
menghindar sampai dua tombak.
Begitu berdiri tegak, ia segera memutar rantai gembolan,
menyerang Gin Liong, Pemuda itu hanya tertawa dingin,
Selekas menggeliatkan tangan kanan, ia sudah mencekal
pedang Tanduk Naga.
Tepat pada saat itu terdengarlah jeritan yang ngeri
melengking di udara, Sebuah benda macam ular perak
meluncur ke udara, Ternyata ruyung perak dari Alihapa
telah dibabat mencelat ke udara oleh pedang Mo LanHwa.
"Tring”
Rantai gembolan yang diluncurkan Ciliwato, pun disabat
putus oleh pedang Tanduk Naga, Gembolan melayang ke
udara dan meluncur ke-mukaHok Tok Beng.
Tetapi Hok To Beng diam saja. Begitu gembolan hampir
mengenai mukanya, barulah ia gerakkan pipanya untuk
menyongsong. Tring, gembolan besi itupun meluncur ke
belakang kuda. Karena kaget, kedua ekor kuda berpencar
melonjak ke samping.
Tiba2 Hok To Beng menggembor keras lalu melambung
ke udara dan meluncur turun ke jalan.
Karena tak mengerti apa yang terjadi. Gin Liong
berpaling Ah, ternyata kedua orang Mongol tadi telah
melarikan diri sekencang kencangnya. Sedang Mo LanHwa
masih tegak berdiri dengan mengulum tawa, ia memandang
kedua orang Mongol itu tetapi tak mau mengejar.
"Hai, budak, apa enak2 saja engkau hendak pergi ?"
teriak seseorang.
Ternyata yang berteriak itu Hok To Beng, Sambil
meluncur dari udara, pipanya yang masih berapi itu
dihujamkan kebelakang tengkuk Ciliwato.
Karena kesakitan terbakar api, Ciliwato menjerit-jerit
dan mempercepat larinya, Demikian Alihapa. Dengan
bercucuran keringat dingin ia lari secepat-cepatnya.
Begitu berlari di tanah, Hok To Bengpun tertawa gelak2.
Mo LanHwa segera menghampiri dan melengking marah:
"Toa-suheng, mengapa engkau gemar membakar
tengkuk kepala orang dengan pipamu ? Kalau sampai
membakar tengkuk orang apakah tidak berbahaya ?"
Hok To Beng tertawa gelak.
"Ilmu Menyorong-api-kepada-tetamu" ini sudah
berpuluh-puluh tahun kugunakan dan belum pernah
membakar tengkuk orang!"
Kemudian ia berganti nada serius: "Terhadap manusia
yang kasar dan liar semacam mereka, harus digunakan cara
untuk mematahkan kesombongannya. Sedikit menyuruh
mereka merasa sakit pada kulit rasanya tidak menjadi soal
jangan sampai melukai atau membunuh jiwanya. Kau harus
memberi kesempatan agar mereka mau sadar."
Sejenak memandang kepada kedua orang Mongol itu,
Hok To Beng melanjutkan pula:
"Sudah tentu terhadap manusia yang kejam dan jahat,
tak boleh diberi ampun."
Habis berkata pipanya menjulai ke tanah dan serentak
terdengarlah rentetan bunyi mendesis. Salju yang menutup
tanah pun telah luluh.
Gin Liong dan Mo Lan Hwa tertawa geli, "Setiap kali
toa-suheng melancarkan ilmu Menyongsong-api-kepadatetamu,
orang tentu akan lari tunggang langgang," kata Mo
Lan Hwa.
Hok To Beng tertawa gelak2. Tiba2 dari jauh terdengar
segelombang ringkik kuda yang nyaring dan panjang.
Ah, ternyata kedua ekor kuda hitam itu berada pada
jarak seratusan tombak. Kedua binatang itu ternyata tak
mau menyusul tuannya yang melarikan diri.
"Ho, kedua manusia kasar itu tak mau lagi dengan
kudanya," Hok To Beng tertawa, Memandang kearah
kedua orang Mongol yang sudah beberapa li jauhnya itu,
dia berkata pula, ah kita terpaksa harus mengembalikan
kepada mereka lagi."
Habis berkata dia terus songsongkan pipanya kepada
kuda itu seraya bersuit. Entah bagaimana kedua ekor kuda
itu meringkik keras dan lari pesat menghampiri. Begitu Hok
To Beng mengangkat pipanya keatas, kedua kuda itupun
lambatkan larinya, Ketika tiba di tempat Hok To Beng
kedua binatang itu berputar dua kali mengitari Hok To
Beng lalu berhenti didepannya.
Hok To Beng menyarungkan pipa ke belakang
tengkuknya lalu pelahan-lahan mengelus-elus leher kuda
itu. Kedua itu tampak jinak dan menurut sekali.
Gin Liong ingin juga meniru. ia mengajakMo Lan Hwa
untuk mengelus-elus leher kuda yang seekor Tetapi si nona
takut.
"Siaumoay, jangan takut, masak jangan memegang
pantatnya, kuda itu takkan menyepakmu." seru Hok To
Beng. Ia memberikan kuda hitam yang keempat kakinya
putih kepada Mo Lan Hwa dan kuda yang hitam mulut
kepada Gin Liong, serunya:
"Cobalah kalian mengelus-elus, kalau sudah
dikembalikan pada yang empunya, kalian tak mempunyai
kesempatan lagi."
Kedua anak muda itu memberanikan diri untuk
mengelus-elus kuda tegar itu.
"Lo-koko, mereka sudah tak kelihatan bayangannya lagi,
Kita harus lekas mengejar supaya jangan kehilangan jejak
mereka.
"Jangan kuatir." Hok To Beng tertawa, "tak sampai
seperempat jam mereka tentu dapat tersusul."
Kemudian ia menerangkan bahwa kuda hitam berkaki
putih itu disebut Oh-hun-kay-swat atau Awan hitam
menutup salju, Sedang kuda hitam mulus disebut Oh-yanma
atau kuda Hangus hitam. Kedua kuda itu merupakan
kuda yang jarang terdapat diantara ratusan ribu kuda.
"Larinya cepat dan tenang. Duduk dipunggung mereka
dengan membawa cawan berisi air, airnya takkan
menumpah." kataHok To Beng.
"Ah, sayang sebagus ini jatuh ditangan manusia yang
tolol," seru Mo Lan Hwa.
"Eh, jangan memandang rendah kepada kedua orang
Mongol itu, seru Hok To beng. "menilik mereka tentu
tersohor tokoh Lan-cut (kepala penternakan) di daerah
padang Taiiwo. Tokoh silat kelas satu dewasa ini, tak
mudah untuk mengalahkan mereka berdua."
Saat itu Gin Liong tak mempunyai selera lagi untuk
mendengarkan ocehan Hok To Beng. Melihat matahari
sudah berada di tengah suatu tanda kalau sudah tengah
hari, ia gelisah.
"Siau-hengte, apa engkau kuatir tak dapat menyusul
kedua orang Mongol itu ?" tegur Hok To Beng.
"Bukan," sahut Gin Liong, "yang kucemaskan kalau
Liong-li locianpwe sudah pergi dari kota kecil itu."
"Baik, mari kita berangkat," kata Hok To Beng "kalian
boleh masing2 naik kedua ekor kuda itu dan aku akan
mengikuti dari belakang."
Gin Liong masih meragu, Tiba2 Mo Lan Hwa sudah
loncat ke atas punggung salah seekor kuda dan entah
dengan gerak bagaimana, Hok To Beng-pun sudah
melambung dan berdiri diatas pantat kuda hitam kaki putih
atau kuda Gin-hun-kay-swat.
Terpaksa Gin Liongpun terus menceplak kuda yang
seekor. Hok To Beng memutar pipa dan berseru pelahan
maka kedua ekor kuda itupun terus lari.
Diatas kuda, Gin Liong masih gelisah, Apakah ia dapat
menyusul kedua orang Mongol dan apakah Liong-li
locianpwe apakah masih berada dalam kota. Pikirnya,
apabila bertemu dengan Ban Hong Liong-li, tentu ia dapat
mengetahui siapakah pembunuh suhunya itu, Begitu pula
tentang kawanan paderi jahat dan pertempuran dalam gua
itu, tentu akan jelas semua."
"A, ti-ti-ti, hu . . ." tiba2 terdengar Hok To Beng berseru
keras dan pada lain kejap kuda hitam kaki putih yang
dinaiki Mo Lan Hwa secepat angin telah melampau kuda
Gin Liong, Pada hal kuda hitam kaki putih itu pantatnya
memuat Hok To Beng yang berdiri jejak.
Gin Liong terkejut Cepat ia menekan kendali kudanya
dan kuda hitam mulus itupun segera meluncur pesat
melampaui kuda hitam kaki putih.
Mo Lan Hwa menjerit-jerit memerintahkan kudanya
supaya mengejar kuda hitam mulus, Melihat perlombaan
itu, Hok To Bengpun tertawa gembira.
Saat itu disebelah depan terbentang sebuah hutan lebat,
Gin Liong seperti terbang rasanya, Ketika berpaling
dilihatnya Mo Lan Hwa tertinggal tiga-puluhan tombak
dibelakang walaupun mengerti ilmu naik kuda dan sudah
beberapa kali naik kuda tetapi belum pernah ia naik kuda
yang sepesat angin itu cepatnya.
Setelah melintasi hutan ternyata di jalan sebelah muka,
bayangan Alihapa dan Ciliwato tak tampak lagi. Segera ia
lambatkan kudanya, tiba2 kuda hitam kaki putih dari Mo
Lau Hwa sudah melampauinya. Hok To Beng enjot
tubuhnya bergeliatan di udara dan melayang turun diatas
pantat kuda Gin liong.
"Siau-hengte, kepraklah kudamu !" seru Hok To Beng.
"Mengapa kedua orang itu tak tampak ?" tanya Gin
Liong.
"Nanti kita bicara lagi di kota, Memang gerak-gerik
kedua orang itu luar biasa," sahut Hok To Beng.
Begitu tiba di pinggir kota, agar jangan mengejutkan
orang, Hok To Bengpun loncat turun, Gin Liong dan Mo
Lan Hwapun mengikuti kemudian mereka bertiga berjalan
kaki menuju ke tengah kota.
Kota itu tak berapa besar, jalannya cukup lebar dan
penuh dengan rumah2 penduduk. Selain kaum pedagang,
juga tak sedikit orang2 persilatan yang berjalan.
"Lo-koko, dimanakah engkau melihat Liong-li cianpwe
?" tanya Gin Liong.
"Di hotel itu," kata Hok To Beng seraya menunjuk
sebuah rumah penginapan.
Rumah penginapan itu satu2 nya hotel di kota itu.
Bangunannya terdiri dua tingkat.
Dari diloteng atau tingkat kedua dari rumah makan itu
tampak suara orang tertawa dan bicara dengan gembira.
Macam sedang menghadiri suatu perjamuan makan.
"Biasanya yang tiba di kota kecil ini hanya pedagang2.
Tetapi sejak munculnya si orang tua membawa kaca wasiat
itu, banyaklah kaum peralatan yang datang ke sini," kata
Hok To Beng.
Pada saat Gin liong keliarkan pandang mata, ia memang
memperhatikan bahwa diantara beberapa orang yang
tengah memandang kepadanya itu adalah orang2 yang
pernah dilihatnya berada di tanah lapang sekeliling rumah
pondok di hutan itu.
"Toa-suheng, kita cari kamar yang tersendiri sajalah,"
kata Mo Lan Hwa, "diatas loteng terlalu berisik sekali."
Begitu tiba di muka rumah penginapan itu, dua orang
pelayan segera menyambut. Yang seorang menuntun kedua
ekor kuda hitam mereka terus hendak dibawa ke istal kuda.
Dan yang seorang segera memberi hormat kepada Hok To
Beng.
"Loya, mau minum arak atau ingin bermalam disini?"
tanyanya.
"Ada kamar besar ?" tanya Hok To Beng. Jongos itu
mengatakan ada dan lalu membawa ketiga tetamu menuju
kesebuah kamar besar. Hok To Beng setuju. Tak lama
kemudian seorang jongos mengantar minuman teh.
"Bung, apakah ada dua orang tinggi besar, mengenakan
pakaian kulit warna hitam, berkopiah warna hitam yang
menginap disini ?" tanya Hok To Beng.
Jongos menyatakan tak ada. Hok To Beng heran dan
memandang Gin Liong sertaMo Lan Hwa dengan pandang
bertanya,
"Tolong tanya," kata Gin Liong kepada jongos itu pula,
"apakah ada seorang nona berpakaian warna merah, umur
lebih kurang 26-27 tahun yang datang kemari?"
"Ya, ada, ada," kata jongos.
"Dia tinggal di kamar mana ?" Gin Liong cepat
mendesak.
"Semalam li-hiap (pendekar wanita) baju merah itu
tinggal di kamar sebelah, Setelah makan malam dia terus
pergi."
Gin Liong kecewa sekali, Hok To Beng segera minta
jongos itu membawakan hidangan. Sesaat kemudian jongos
itu pergi maka bertanialah Hok Tu Beng kepada Gin Liong.
"Siau-hengte. apakah engkau tak menuduh bahwa yang
membunuh suhumu itu BanHong Liong-li sendiri ?"
"Tidak, Ban Hong liong-li locianpwe tentu takkan
berbuat begitu."
"Tetapi mengapa dia begitu terburu-buru sekali sampai
menyewa hotel hanya makan terus pergi ?"
Gin Liong menerangkan: "Liong-li cianpwe pernah
mengatakan kepadaku bahwa dia harus menempuh
perjalanan siang malam..."
"Adik engkau pernah melihatnya ?" Mo Lan Hwa
terkejut.
"Bukan saja pernah melihat bahwa siau-hengte ini
pernah menerima pelajaran silat dari dia." tukas Hok To
Beng.
"Hai, bagaimana toa-suheng tahu ?"Mo Lan Hwa makin
heran.
Hok To Beng tertawa gelak2, serunya: "Tadi sewaktu
turun tangan, apa engkau tak melihat aku telah gagal
menyambar tangan siau hengte, karena siau-hengte
menggunakan gerak Liong-li -biau ?"
Pada saat itu jongospun datang membawa hidangan
Mereka bertiga segera menyantapnya.
Mo Lan Hwa sibuk melayani, menuangkan arak untuk
toa-suheng dan Gin Liong. Dia sendiripun minum juga.
Setelah habis dua cawan, tampak pipinya kemerah-merahan
seperti bunga mawar, bibir makin segar dan sepasang bola
matanya tampak bersinar, Nona itu makin bertambah
cantik sekali.
Gin Liong terlongong-longong.
Melihat dirinya dipandang oleh anak muda itu, Mo Lan
Hwa tundukkan kepala. Hatinya amat bersuka cita.
Rupanya Gin-Liong menyadari bahwa perbuatannya itu
kurang senonoh, Maka diapun segera beralih memandang
Hok To Beng.
Hok To Beng tengah menggerogoti sebuah paha ayam
panggang. Dia tak mengacuhkan apa2 lagi.
Tiba2 terdengar derap langkah orang bergegas menuju ke
dalam kamar sebelah. Brak, terdengar suara meja ditampar.
"Bagaimana, mengapa kalian begitu cepat sudah
kembali?" seru seseorang dari kamar sebelah.
Seorang lelaki bernada kasar menyahut marah: "Ketika
kami pergi, rumah kecil itu sudah kosong, orangnya sudah
pergi."
"Huh, kemarin sore masih kudengar orang mengatakan
bahwa ditempat itu penuh dikerumuni orang." kata orang
yang pertama tadi.
Orang yang bernada kasar, menyahut: "Memang benar
tetapi mereka tinggal mayat yang berserakan disana sini."
"Hai, siapa saja mereka itu ?" Lelaki bernada kasar itu
menerangkan: "Pengemis jahat - kaki- telanjang Jenggotterbang,
Nenek-buta- tongkat-burung-hong, paderi Hoa,
Lima-ular-berbisa, Kuku-garuda, seorang imam tua dan
masih terdapat pula seorang kakek tua."
Berhenti sebentar, ia berkata pula dengan gopoh: "Mari
kita pergi, mereka sudah menunggumu diluar hotel."
Terdengar langkah kaki orang bergegas keluar dari
kamar dan tidak lama lenyap di halaman.
Mendengar nama pengemis kaki telanjang dan paderi
gemuk yang ikut terkapar sebagai mayat, serentak
teringatlah Gin Liong akan imam jenggot indah yang
berwibawa itu.
"Lo-koko, apakah kenal dengan seorang to-tiang yang
wajahnya mirip seorang dewa?" segera ia bertanya kepada
Hok To Beng.
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-dewasa-pedang-tanduk-naga-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Dewasa : Pedang Tanduk Naga 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/07/cerita-dewasa-pedang-tanduk-naga-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar