- Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 6 Tamat
- Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 5
- Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 4
- Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 3
- Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 2
- Cersil KPH : Pendekar Mata Keranjang 1
Dan inilah Cerita Dewasa Silat : Ang Hong Cu 1 selengkapnya...
Pria itu usianya sudah limapuluh lima tahun, akan tetapi masih nampak tampan, gagah dengan pakaiannya yang rapi, dengan rambutnya yang sudah terhias uban itu tersisir rapi dan halus mengkilap oleh minyak harum. Sepasang matanya memancarkan gairah dan kegembiraan hidup, mulutnya selalu tersenyum dan wajahnya tidak dikotori kumis atau jenggot karena dicukur licin halus seperti wajah seorang pemuda. Dengan langkah-langkah santai dia menuruni bukit pada pagi hari itu, menyongsong matahari pagi yang baru muncul dari balik bukit di depan. Pagi yang cerah itu menambah kegembiraan pria yang tampan gagah itu, dan agaknya kegembiraan pula yang mendorongnya untuk bernyanyi di tempat yang sunyi itu. Suaranya lepas dan merdu, dan lagunya juga gembira.
“Bebas lepas beterbangan
dari taman ke taman
mencari kembang harum jelita
untuk kuhisap sari madunya
setelah puas kumenikmatinya
kutinggalkan kembang layu merana
untuk mencari kembang segar yang baru
Si Kumbang Merah, inilah aku!”
Pria itu bernyanyi dengan suara lantang. Padahal, kalau nyanyiannya itu terdengar orang, apalagi tertangkap oleh pendengaran seorang pendekar, tentu dia akan menghadapi kesulitan. Di dunia persilatan, nama Si Kumbang Merah sudah amat terkenal. Ang-hong-cu (si Kumbang Merah) adalah nama seorang jai-ho-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu penjahat cabul yang suka mempermainkan dan memperkosa wanita, yang dimusuhi oleh semua pendekar. Di dijuluki si Kumbang Merah karena setelah meninggalkan korbannya, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, dia selalu meninggalkan pula tanda mata berupa perhiasan berbentuk kumbang merah terbuat daripada tembaga berlapis emas. Jarang ada yang sempat melihat mukanya, karena penjahat ini bekerja cepat, memperkosa wanita dalam kegelapan atau kalau hal itu dilakukan di siang hari, dia selalu menyembunyikan mukanya di balik bermacam topeng. Selain tinggi ilmu silatnya, Ang-hong-cu inipun ahli dalam hal menyamar sehingga mukanya dapat berubah-ubah dan tidak ada yang pernah melihat wajahnya yang asli. Karena inilah, maka semenjak dia malang-melintang di dunia kang-ouw dan menjadi seorang jai-hoa-cat yang telah mengorbankan banyak sekali gadis atau isteri orang, ratusan mungkin sudah ribuan, dia selalu dapat lolos dari pengejaran para pendekar yang berusaha untuk menangkap atau membunuhnya.
Siapakah pria berusia limapuluh lima tahun yang berjuluk Ang-hong-cu dan yang di benci oleh semua pendekar ini? Dan kenapa pula seorang yang memilki ilmu kepandaian tinggi, wajah yang tampan gagah, seperti dia itu, yang juga agaknya pandai membuat sajak, tanda bahwa dia berpendidikan, dapat menjadi seorang penjahat cabul yang demikian kejam dan ganas? Mari kita menengok kebelakang untuk melihat riwayat hidup Ang-hong-cu ini, semenjak dia masih kanak-kanak.
**
Tang Siok adalah seorang pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan penting di kota raja. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek baru saja dinobatkan menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, dan karena kaisar yang amat muda ini sama sekali tidak berwibawa, dan hanya mengejar kesenangan, maka tentu saja pengawasan terhadap para pembesar amatlah kurang. Hal ini membuat para pejabat berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat, berlomba untuk menggendutkan kantung uang dan perut sendiri.
Tidak ketinggalan Tang Siok atau Tang-taijin. Dia hidup mewah dan biarpun usianya sudah lebih dari setengah abad, dia masih saja menambah penghuni harem-nya yang sudah penuh dengan selir-selir yang cantik jelita dan muda belia, diantara para selirnya, yang paling disayang adalah Kui Hui, seorang wanita cantik menarik dan pandai memikat hati. Kui Hui menjadi selir Tang-taijin ketika ia berusia tujuhbelas tahun. Kini ia telah berusia duapuluh enam tahun dan mempunyai seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang di beri nama Tang Bun An. Karena dapat mempunyai anak laki-laki inilah agaknya yang membuat Tang Siok semakin sayang kepadanya. Selir cantik ini dimanja, lebih daripada selir lainnya, bahkan lebih daripada isteri pertamanya. Karena itu, tentu saja para selir merasa iri hati, namun tak seorangpun berani menantang atau menyatakan kebencian mereka terhadap Kui Hui dengan berterang. Tang-taijin yang sudah berusia enampuluh tahun ketika Kui Hui berusia duapuluh enam tahun itu, juga amat sayang kepada Tang Bu An.
Sejak kecil Tang Bun An dimanja oleh ayah dan ibunya dan dia memperoleh pendidikan yang baik, mempelajari ilmu baca tulisn dari seorang guru sastra yang dipanggil oleh ayahnya untuk mengajar Tang Bun An dan saudara-saudara tirinya. Dia merupakan anak yang paling tampan di antara para saudaranya, dan hal inilah yang membuat ayahnya paling sayang kepadanya. Apalagi selain tampan, ternyata Tang Bun An juga memiliki otak yang cerdas sekali dan dia selalu menonjol dalam mata pelajaran baca dan tulis. Bahkan dalam usianya yang tujuh tahun itu, dia mulai pandai membuat sajak dan syair berpasangan, suatu bentuk kesenian yang membutuhkan penguasaan bahasa, keahlian menulis dan bakat seni yang besar.
Akan tetapi, tiada satupun yang sempurna di dunia ini, dan tiada satupun yang kekal. Keadaan yang penuh kemuliaan dan kebahagiaan itu tiba-tiba saja mengalami perubahan yang tidak disangka-sangka oleh Tang Bun An. Anak ini tidak tahu betapa ibu kandungnya mulai meerasakan penderitaan hidup dengan semakin menuanya suaminya. Sebagai seorang wanita cantik jelita berusia duapuluh enam tahun, yang menerima pandang mata penuh kagum dari banyak mata pria muda. Kui Hui tentu saja masih memiliki gairah yang besar. Oleh karena itu, mulailah ia merasa kesepian ketika Tang Siok semakin lama semakin lemah dan tidak hangat lagi seperti dulu-dulu, bahkan semakin jarang tidur di dalam kamar selir tersayang ini. Bukan karena Tang Siok sudah bosan kepadanya, melainkan karena akhir-akhir ini, kesehatan Tang Siok memang menurun banyak. Hal ini mungkin saja di sebabkan karena sewaktu mudanya, dia terlalu mengumbar nafsu sehingga dalam usia enampuluh tahun, dia mulai loyo.
Agaknya, perasaan kesepian ditambah dorongan gairahnya yang masih menyala-nyala, maka mudah bagi setan untuk menggoda wanita muda ini. Di dalam gedung Tang-taijin yang besar dan luas seperti istana, terdapat belasan orang pengawal di sebelah dalam gedung, dan lebih banyak lagi pengawal jaga di luar gedung. Mereka bertugas menjaga keselamatan Tang-taijin sekeluarga. Diantara para pengawal dalam itu terdapat komandan pengawal bernama Ma Cun, seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun lebih, tinggi besar dan tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui dalam dongeng. Mula-mula dua pasang mata bertemu pandang sekilas saja yang akhirnya dengan muka ditundukkan oleh Kui Hui sebagai seorang wanita, dan pandang mata dialihkan oleh Ma Cun yang merasa rikuh sebagai seorang pegawai, terhadap nyonya majikannya. Akan tetapi, api gairah cinta mulai membara di dalam lubuk hati masing-masing. Pada kesempatan lain, adu pandang mata itu berlangsung lebih lama, kemudian disusul dengan iringan senyum simpul.
Saling tertarik antara pria dan wanita adalah suatu hal yang wajar. Sudah menjadi pembawaan setiap orang manusia untuk tertarik kepada lawan jenisnya. Hal ini memang penting untuk mendorong dua orang berlawanan jenis saling berdekatan sehingga terjadi hubungan antara keduanya yang menjadi sarana perkembang-biakan manusia di permukaan bumi. Akan tetapi, manusia adalah satu-satunya makhluk yang berakal budi sehingga membentuk hukum dan tata susila, meletakkan batas-batas dan mengenal apa yang mereka namakan baik dan buruk sesuai dengan kebiasaan atau hukum yang dibentuk lingkungannya. Saling tertarik antara pria dan wanita ini biasanya hanya diperbolehkan terjadi kelanjutannya bagi pria dan wanita yang masih bebas, yang belum terikat dalam keluarga sebagai suami isteri. Rasa saling tertarik itu akan segera diusir keluar lagi dari lubuk hati oleh seorang yang telah terikat menjadi suami atau isteri orang lain, terutama sekali bagi wanita yang telah menjadi isteri orang lain seperti Kui Hui. Mula-mula memang demikian. Namun, kesepian mendorongnya dan menggodanya. Akhirnya pertemuan yang dimulai dengan dua pasang mata saling beradu pandang itu berkelanjutan menjadi hubungan yang mesra antara Ma Cun dan Kui Hui yang tentu saja dilakukan dengan rahasia dan sembunyi-sembunyi. Hal ini tidak begitu sukar mereka lakukan karena Ma Cun memang seorang komandan atau pengawal dalam, sedangkan Kui Hui adalah selir tersayang yang bebas bergerak pula. Ditambah lagi jarangnya Tang-taijin datang berkunjung membuat kedua orang yang dimabok nafsu birahi itu leluasa menyalurkan gairah memuaskan birahi mereka.
Pada suatu pagi, Bun An yang semestinya pergi ke ruangan belajar, pulang ke kamar ibunya tidak seperti biasa. Kiranya, guru sastra hari itu jatuh sakit dan tidak mengajar, maka anak-anak itu diliburkan. Bun An berlari pulang ketempat tinggal ibunya yang merupakan bagian sebelah belakang kiri dari perumahan besar Tang-taijin dan langsung saja dia berlari memasuki kamar ibunya. Begitu membuka daun pintu, anak laki-laki yang baru berusia tujuh tahun itu terbelalak, mukanya berubah penuh keheranan. Biarpun dia belum begitu mengerti, namun melihat ibunya dalam keadaan bugil berada di atas pembaringan bersama perwira Ma Cun yang juga bugil, dia dapat menduga apa yang terjadi antara ibunya dan perwira itu. Pengertian yang timbul ketika dia melihat perkawinan binatang seperti ayam, cecak, anjing, kucing dan sebagainya ditambah percakapan sembunyi-sembunyi dengan kakak-kakak tirinya yang lebih tahu akan hal itu. Ibunya telah bermain cinta dengan Ma-ciangkun! Perasaannya tidak karuan, berbagai pikiran menyelinap dalam benaknya.
Kui Hui dan Ma Cun terkejut bukan main. Dalam desakan gairah yang menggelora, keduanya sampai lengah dan tidak dikuncinya pintu kamar dari dalam. Hal inipun wajar karena siapakah berani memasuki kamar Kui Hui tanpa ijin? Tang-taijin tak mungkin muncul di pagi hari itu, dan Bun An, satu-satunya orang yang berani masuk tanpa ijin selain Tang-taijin, sedang sibuk di ruang belajar. Sungguh tidak mereka sangka bahwa anak itu akan pulang lagi karena tidak jadi belajar.
Setelah hilang rasa kaget yang membuat kedua orang yang sedang berjina itu seperti lumpuh, keduanya cepat meloncat turun dari pembaringan sambil membungkus tubuh dengan selimut. Kui Hui cepat menghampiri Bun An yang masih bengong, lalu menutup pintu dan mengunci dari dalam. Saking malu, kaget dan takutnya kalau sampai perbuatannya terlihat oleh orang lain dan terdengar oleh Tang-taijin, tangan ibu ini menampar kerah pipi puteranya.
“Plakk!!” tamparan itu keras sekali, membuat muka Bun An tersentak ke samping dan pipi kirinya menjadi biru kemerahan, matanya terbelalak, bukan hanya karena nyeri yang dideritanya, melainkan lebih lagi karena kagetnya. Belum pernah ia ditampar ibunya seperti sekarang ini.
“Bocah bengal! Mengapa kau berani membuka pintu ini? Kau….. kau tidak belajar?”
betak Kui Hui.
Saking kagetnya, Bun An sejenak tidak mampu bicara, hanya memandang kepada ibunya dengan bengong, kedua matanya basah air mata.
“Hayo jawab!” bentak ibunya sambil mengguncang tubuhnya dengan mencengkeram pundak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegangi selimut yang hanya menutupi setengah tubuhnya.
“Aku…. aku…… siang-seng sakit, tidak mengajar…….”
Tiba-tiba Ma Cun yang mempergunakan kesempatan itu untuk mengenakan pakaian kembali secara tergesa-gesa sehingga terbalik-balik dan salah memasukkan kancing, sudah menghampiri Bun An. Tiba-tiba dia mencabut pedangnya dan tangan kirinya mencengkeram tengkuk anak itu, tangan kanan yang memegang pedang menempelkan mata pedang ke leher Bun An.
“Anak bodoh! Apa kau ingin aku menyembelih lehermu?” bentak Ma Cun. Perwira ini tiba-tiba saja bersikap keras karena takutnya. Kalau sampai anak ini membuka rahasia dan hubungannya dengan Kui Hui diketahui Tang-taijin, dia akan celaka. Tentu akan disiksa dan dibunuh. Karena takutnya, maka kini dia dapat bersikap kejam dan galak. Sedangkan Kui Hui sendiri juga karena takut rahasianya ketahuan, pada saat itu lupa akan kasih sayangnya kepada anaknya sendiri. Ia tahu bahwa tanpa diancam, Bun An tentu akan membuka rahasia itu dan kalau suaminya tahu bahwa ia berjina dengan Ma Cun, tentu ia akan celaka, disiksa dan dibunuh pula, setidaknya diusir dari situ, dari kemuliaan dan kemewahan!
Wajah Bun An seketika pucat ketika pedang itu ditempelkan dilehernya. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa ketakutan. Dia tidak mampu menjawab hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Plakk!” Kini tangan kiri Ma Cun menamparnya dan Bun An merasa kepalanya pening,
semua yang dilihatnya berputar dan tubuhnya terpelating roboh terbanting keras.
“Hayo kau berjanji untuk tidak menceritakan apa yang kaulihat disini kepada siapapun juga!” bentak Ma Cun.
Bun An hanya menggeleng-geleng kepala. Rambutnya dijambak oleh ibunya dan diapun
ditarik bangkit berdiri, dia melihat wajah ibunya tidak seperti wajah cantik biasanya, melainkan nampak seperti wajah setan yang mengerikan. Hampir dia menjerit, akan tetapi segera ditahannya karena dia tahu bahwa sekali menjerit, Ma Cun dan ibunya akan membunuhnya.
“Bun An, hayo berjanji!” bentak ibunya sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
Dengan air mata bercucuran Bun An mengeluarkan kata-kata dengan gagap, “Aku…… aku berjanji……”
“Kau harus bersumpah!” kata pula Ma Cun dan pedangnya sudah mengancam dada anak itu untuk ditusukkan.
“Aku….. aku bersumpah….,” kata Bun An ketakutan.
“Bersumpah apa? Hayo yang jelas!” bentak pula Ma Cun dan jari tangan Kui Hui menjiwir telinga kiri Bun An dengan keras sehingga anak itu menyeringai kesakitan.
“Ibu….., sakit!” Bun An mengeluh.
“Lekas bersumpah katakan bahwa engkau tidak akan memberitahukan kepada siapapun juga apa yang kaulihat disini!” Kui Hui juga membentak dan tidak melepaskan jiwirannya kepada telinga anaknya. Sungguh mengherankan sekali betapa seorang ibu yang tadinya amat sayang kepada puteranya, dalam keadaan ketakutan hebat berubah menjadi sedemikian kejamnya. Rasa takut memang dapat membuat orang menjadi kejam dan jahat.
Bun An kini memandang kepada ibunya dan kepada Ma Cun bergantian, dan di dalam sinar matanya yang basah air mata itu, disamping rasa takut, juga terdapat perasaan benci yang luar biasa. “Aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada siapapun juga apa yang kulihat disini,” katanya. Jiwiran telinganya dilepaskan dan tiba-tiba saja Kui Hui merangkul anaknya dan menciumi sambil menangis.
“Kau anakku yang baik! Kau Bun An anak ibu tersayang. Ketahuilah, Bun An. Paman Ma Cun ini amat sayang kepada ibu, dan kepadamu juga. Akan tetapi kalau kau bicara tentang apa yang terjadi disini, kita semua termasuk kau akan celaka. Mengertikah kau anakku?”
Tentu saja Bun An tidak mengerti. Ibunya tadi menyiksanya, bersikap demikian kejam, dan sekarang tiba-tiba merangkulnya dan menciuminya. Entah bagaimana, dia merasa jijik dan menarik mukanya kebelakang agar tidak diciumi lagi oleh ibunya.
Ma Cun menyimpan pedangnya. Kui Hui mengenakan pakaiannya. Perwira itu kini duduk di kursi dan menarik kedua tangan Bun An anak itu mendekat.
“Dengar, Bun An. Aku sayang kepada ibumu dan sayang kepadamu juga. Mulai sekarang, engkau harus ikut pula merahasiakan pertemuan antara ibumu dan aku, bahkan engkau harus membantu kami melakukan penjagaan agar kalau ada orang datang, engkau dapat memberitahu lebih dulu kepada kami. Mengertikah engkau?”
Karena takut, Bun An mengangguk dan demikianlah, mulai hari itu, kedua orang hamba
nafsu birahi itu lebih leluasa lagi mengadakan pertemuan dan hubungan rahasia karena ada Bun An yang “membantu” mereka dan melakukan pengawasan di luar kamar apabila ibunya sedang bermain cinta dengan kekasihnya. Bun An taat karena takut, akan tetapi jauh dilubuk hatinya, dia merasa muak melihat perbuatan ibunya dan dia amat membenci Ma Cun. Peristiwa yang terjadi sewaktu dia berusia tujuh tahun ini sungguh merupakan guncangan batin hebat sekali, menggores di hatinya dalam-dalam dan merupakan kesan yang takkan terlupakan selama hidupnya, bahkan menjadi dasar pembentukan wataknya di kemudian hari.
Asap tak dapat ditutup, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai busuk, baunya akan tersebar kemana-mana dan akhirnya akan ketahuan juga. Biarpun di jaga dengan hati-hati, tetap saja hubungan antara Ma Cun dan selir terkasih dari Tang-taijin itu diketahui oleh beberapa orang anggota pengawal dalam. Sudah wajar kalau diantara mereka itu ada yang merasa iri hati terhadap Ma Cun. Bayangkan saja! Ma Cun hampir setiap hari bermain cinta dengan selir yang cantik jelita itu, tanpa ingat kepada kawan-kawannya! Siapa tidak akan menjadi iri? Mulailah peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan dan akhirnya, desas-desus bahwa selirnya tersayang itu nyeleweng, sampai pula ke telinga Tang-taijin.
Tang-taijin marah sekali. Kakek ini karena marahnya, bersikap kurang cerdik. Dia tidak mau menanti sampai dia dapat membuktikan sendiri dan menangkap basah selirnya yang melakukan penyelewengan, melainkan langsung saja mendatangi Kui Hui di kamarnya dan pembesar ini memaki-maki Kui Hui. Kui Hui menangis, berlutut di depan kaki suaminya dan dengan gaya yang memikat, yang menimbulkan keharuan, ia bersumpah bahwa ia tidak pernah menyelewengan
“Saya adalah isteri yang paling setia, biarpun sekarang paduka jarang sekali datang berkunjung, saya selalu tetap menanti dengan setia. Saya mendapatkan kasih sayang paduka dan sayapun amat cinta kepada paduka, bukti buah kasih sayang antara kita adalah Bun An. Bagaimana saya berani melakukan penyelewengan? Desas-desus yang paduka dengar itu hanyalah disebarkan oleh mereka yang iri hati kepada saya, yang tidak suka karena paduka terlalu sayang kepada saya!” Kui Hui menangis sesenggukan. “Mana buktinya bahwa saya melakukan penyelewengan? Kalau ada buktinya, saya tidak akan ribut-ribut dan saya rela di hukum mati sekarang juga!”
Karena Tang-taijin memang sayang kepada selirnya yang cantik molek dan pandai
merayu ini, diapun menjadi bimbang. Dia memang tidak melihat buktinya. “Sudahlah,” katanya sambil merangkul tubuh yang molek itu ketika selirnya menangis sambil memeluk kakinya, “Biarpun aku tidak melihat buktinya, namun desas-desus itu menunjukkan bahwa ada orang-orang yang memusuhimu. Karena itu, mulai sekarang engkau harus berhati-hati, menjaga diri dan jangan meninggalkan kamar kalau tidak perlu agar tidak ada orang yang dapat menyangka engkau melakukan hal yang bukan-bukan.”
Dan mulai hari itu, Tang-taijin menugaskan Ma Cun di bagian luar, juga mengutus pengawal pribadinya yang dipercayainya untuk mengamati “keamanan” di dalam gedungnya agar tidak terjadi hal-hal yang akan mengganggu ketentraman rumah tangganya dan mencemarkan nama kehormatan keluarganya.
Tentu saja diam-diam Kui Hui menjadi marah sekali atas tindakan Tang-taijin ini. Ia dikurung dan dijaga, diawasi. Kekasihnya, Ma Cun, dipindahkan keluar sehingga ia tidak berdaya sama sekali. Jangankan untuk mengadakan hubungan dan pertemuan rahasia, bahkan untuk melihat wajah kekasihnya saja tidak ada kemungkinan lagi. Padahal, gairah berahinya sudah menyesak sampai ke ubun-ubun! Kui Hui berpaling kepada puteranya lagi. Dengan bujukan dan ancaman , akhirnya ia berhasil mengirim surat kepada Ma Cun melalui Bun An yang sebagai seorang anak laki-laki tentu saja dapat keluar dan bertemu dengan Ma Cun tanpa menimbulkan kecurigaan. Surat menyuratpun terjadilah dan isi surat itu menjalin rencana yang amat keji. Ma Cun mencarikan racun yang amat keras dan tidak berbau, dikirimnya racun itu melalui tangan Bun An yang tidak menyangka sesuatu. Kemudian, racun itu oleh Kui Hui disuguhkan kepada Tang-taijin pada saat pembesar itu datang menggilirnya dan bermalam di dalam kamarnya.
Tang-taijin jatuh sakit! Sakit yang berat sekali. Tidak ada tabib mampu menyembuhkannya dan seminggu setelah ia bermalam di kamar Kui Hui, Tang-taijin meninggal dunia. Diam-diam Kui Hui sudah mengumpulkan banyak barang berharga, perhiasan emas berlian yang diselundupkan keluar, diserahkan kepada Ma Cun melalui tangan Bun An.
Biarpun desas-desus tentang Kui Hui yang menyeleweng itu tidak ada buktinya, namun hal itu membuat Kui Hui dipandang rendah oleh isteri dan para selir mendiang Tang-taijin. Bahkan kematian Tang-taijin lalu dikaitkan dengan desas-desus itu, dianggap bahwa matinya pembesar itu karena malu dan sakit hati oleh ulah selir tersayang itu. Maka, sikap yang tidak ramah diperoleh Kui Hui dan Bun An. Hal ini bahkan merupakan hal yang diharapkan Kui Hui karena ia mendapatkan alasan untuk keluar dari rumah itu dengan baik-baik, dengan alasan pulang ke kampungnya. Setelah Kui Hui dan Bun An keluar dari rumah keluarga Tang, wanita itu sama sekali bukan pulang ke kampung asalnya, melainkan diterima dengan tangan terbuka oleh Ma Cun, kekasihnya! Apalagi karena wanita itu selain telah menitipkan banyak perhiasan, juga membawa pula barang-barang berharga.
Kehidupan Bun An mengalami perubahan besar. Ma Cun yang juga minta keluar sebagai kepala pengawal di rumah keluarga Tang-taijin, menghambur-hamburkan harta yang dibawa oleh Kui Hui. Sikapnya terhadap Bun An, sebagai anak tirinya, amat keras dan Bun An diperlakukan sebagai seorang kacung pelayan saja. Bahkan kadang-kadang dengan alasan pemuda cilik itu malas, Bun An dipukul oleh Ma Cun. Kui Hui yang mabok oleh rayuan dan kejantanan Ma Cun yang tentu saja jauh lebih muda dan gagah daripada mendiang Tang-taijin, tidak pernah menentang suami barunya, bahkan kadang-kadang ikut mengomeli Bun An.
Baru beberapa bulan saja ikut ayah tirinya, Bun An tidak kuat bertahan, dan pada suatu malam, larilah dia, minggat dari rumah ibu dan ayah tirinya. Dalam usia kurang lebih delapan tahun Bun An melarikan diri, tidak membawa apa-apa. Ayah tirinya merasa kebetulan sekali dan tidak mau mencarinya, sedangkan Kui Hui yang tadinya merasa kehilangan, hanya beberapa hari saja sudah terhibur oleh Ma Cun.
Bun An hidup sengsara dan terlunta-lunta. Kadang-kadang kalau ada orang menaruh kasihan kepadanya, anak ini bisa mendapatkan pekerjaan ringan, membantu rumah tangga sebagai kacung dan sebagainya. Namum, dia tidak pernah mau lama-lama di suatu tempat sebagai kacung orang, maka untuk mengisi perutnya setiap hari, dia lebih banyak minta-minta. Pakaiannya sudah compang-camping dan tubuhnya kurus karena seringkali dia menderita kelaparan.
Dua tahun lebih Bun An hidup sebagai pengemis kecil. Hidup penuh duka dan sengsara
bagi anak kecil ini. Pada suatu hari, dalam perantauannya, dia tiba di kota Wuhan di Propinsi Hopei. Di kota besar ini, dia mencoba pula untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi siapakah mau memberi pekerjaan seorang anak jembel yang kurus? Dia malah dicurigai, dituduh hendak mencuri, maka Bun An menjadi putus asa dan untuk mengisi perutnya, kembali dia harus minta-minta untuk mempertahankan hidupnya. Dan kalau malam tiba, diapun tidur dimana saja, kadang-kadang di bawah jembatan, di emper rumah orang, dan kalau sedang mujur, dia mendapatkan tempat di sebuah kuil dimana para pendetanya cukup ramah untuk menerimanya, atau juga di kuil kuno yang kosong.
Akan tetapi di kota Wuhan ini dia mengalami nasib sial. Baru dua hari dia berada di situ dan setiap hari dapat memperoleh makanan yang cukup mengenyangkan perutnya dari rumah-rumah makan yang memberikan sisa-sisa makanan kepadanya, pada hari ketiga, hampir semua restoran tutup! Bahkan yang buka nampak betapa para pelayan dan pengurusnya takut-takut sehingga tidak ada seorangpun yang mau memperdulikan anak jembel itu. Bahkan di mana-mana dia dibentak dan diusir. Ketika Bun An menyelidiki dan bertanya-tanya, dia mendengar bahwa malam tadi terjadi kerusuhan. Segerombolan perampok mengganas di kota itu sehingga keesokan harinya, banyak rumah makan dan toko tidak berani buka! Kabarnya, banyak toko yang dirampok.
Bun An kembali ke kuil tua dengan hati mengkal. Hari itu terpaksa dia berpuasa. “Huh, gara-gara perampok jahanam itu aku kelaparan!” Berulang kali dia menyumpah sambil mengepal kedua tinju tangannya yang kurus. Apa boleh buat, karena malam hampir tiba, dia lalu memasuki kuil tua di luar kota Wuhan untuk melewatkan malam yang tentu sengsara karena perutnya kosong! Dan hawa mulai dingin bukan main.
Karena tubuhnya letih dan lemas karena kelaparan, dapat juga ia tertidur nyenyak,
melingkar, menarik kedua kakinya merapat ke dadanya untuk mengurangi rasa lapar dan dingin. Malam telah gelap benar ketika dia terbangun karena di tendang-tendang orang, Bun An membuka matanya dan bangkit duduk, matanya agak silau oleh sinar api unggun yang dinyalakan orang beberapa meter jauhnya dari tempat dia tidur.
“Hayo bangun dan pindah kesana! Jangan disini!” terdengar bentakan dan kembali ada
kaki yang mendorong-dorongnya untuk pergi. Bun An membuka mata, sadar benar sekarang dan dia melihat tujuh orang yang kasar sikapnya, tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, wajahnya menyeramkan, berada di dalam kuil tua itu. Memang ruangan yang dia pakai adalah ruangan yang terbersih dan terlindung oleh dinding yang belum runtuh benar seperti bagian lain kuil itu, dan agaknya tempat itu dipilih oleh tujuh orang itu untuk beristirahat. Melihat sikap mereka yang kasar dan menyeramkan, tanpa banyak cakap lagi Bun An lalu meninggalkan ruangan itu ke ruangan sebelah dan diapun duduk diatas lantai sambil memandang kepada mereka yang kini duduk mengelilingi api unggun. Mereka bercakap-cakap sambil tertawa-tawa, mengeluarkan bingkisan berisi makanan dan minuman yang serba lezat. Arak wangi, daging dan roti! Mereka lalu makan minum sambil bersenda gurau.
“Ha-ha-ha-ha, hari ini Wuhan geger! Banyak toko dan rumah makan tidak berani buka!”
“Heh,heh, bahkan kulihat tadi banyak orang kaya yang mengungsi ke kota lain, takut kalau-kalau kita datang lagi!”
“Baru mereka tahu siapa adanya Yang-ce Jit-houw (Tujuh Harimau Sungai Yang-ce)!”
Bun An mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia mendengar suara gerakan di belakangnya. Dengan adanya sinar api unggun, dia dapat melihat bahwa diruangan itu ternyata ada seorang laki-laki berpakaian pengemis yang sedang tidur nyenyak dan agaknya pengemis tua inilah yang membuat gerakan tadi. Akan tetapi, dia sudah menoleh lagi kepada tujuh orang laki-laki kasar itu dengan alis berkerut. Dari percakapan mereka selanjutnya, yakinlah Bun An bahwa mereka itu yang menyebut diri mereka Tujuh Harimau Sungai Yang-ce adalah gerombolan perampok yang mengganggu kota Wuhan dan yang membuat kota itu hari tadi menjadi kota mati dan rumah-rumah banyak yang tutup! Hatinya mulai terasa panas. Jadi mereka inilah yang telah membuat dia kelaparan, yang merampas rejekinya! Lebih lagi melihat betapa mereka minum dengan lahapnya membuat dia makin merasa gigitan kelaparan di dalam perutnya!
“Ha,ha,ha, biar tahu rasa para hartawan yang kita ambil sebagian hartanya itu! Kita mewakili golongan miskin menuntut keadilan!”
“Benar! Kalau tidak begitu, mereka tidak tahu betapa kaum miskin membutuhkan uluran
tangan, membutuhkan bantuan!”
“Kita mewakili pengadilan. Hidup haruslah adil, tidak baik ada yang terlalu kaya, akan tetapi banyak yang terlalu miskin!”
Mendengar ucapan-ucapan itu, Bun An merasa betapa perutnya semakin panas.
“Bohong semua itu!” Tiba-tiba mulutnya membentak dan diapun bangkit berdiri lalu melangkah ke pintu tembusan yang menghubungkan kedua ruangan itu. Tujuh orang itu terkejut dan mereka semua memandang kepada anak kecil yang muncul di ambang pintu tanpa daun itu, dan mengenalnya sebagai jembel kecil yang tadi mereka usir dari dalam ruangan yang kini mereka tempati.
Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan besar, orang-orang yang sudah biasa mengandalkan kekuatan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka, bahkan pernah mereka menjadi bajak-bajak Sungai Yang-ce sehingga mereka mendapat julukan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce. Seorang diantara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dengan kepala besar yang tidak lumrah, dua kali besar kepala manusia biasa, bangkit berdiri menatap Bun An dengan sinar mengancam.
“Jembel cilik! Apa maksudmu mengakan bahwa semua itu bohong? Apa yang bohong?”
“Percakapan kalian itu tadi yang semua bohong!” kata Bun An tanpa takut sedikitpun,
karena dia sudah marah sekali. Orang-orang inilah yang membuat dia kelaparan, dan masih merampas tempat tidurnya pula di kuil itu, di samping membuat dia semakin lapar dengan makan minum di tempat itu dan percakapan mereka tadi sama sekali bohong.
Si kepala besar melangkah maju dan menghardik, “Bocah setan! Jangan lancang mulut kau! Apa kau ingin aku menampar hancur mulutmu? Bagaimana engkau berani mengatakan bahwa percakapan Tujuh Harimau Sungai Yang-ce semua bohong?”
Dengan berani Bun An memandang mata orang itu, lalu berkata lantang agar keruyuk perutnya tidak sampai terdengar orang. “Kalian tadi bicara seolah-olah kalian mewakili golongan miskin, seolah-olah kalian ini pembela-pembela keadilan dan penolong rakyat miskin! Akan tetapi buktinya mana? Kalian makan minum tanpa memperdulikan orang lain, bahkan kalian mengusir aku si jembel cilik! Kalian adalah perampok-perampok jahat yang mengacau kota Wuhan sehingga orang-orang seperti aku ini tidak dapat makanan karena warung-warung dan toko-toko tutup semua takut kepada kalian! Nah, bukankah ucapan kalian tadi bohong semua? Mulut mengatakan pembela rakyat miskin akan tetapi kaki tangan malah menindas kaum miskin?”
“Wah, wah, anak setan ini memang bosan hidup!” bentak si kepala besar dan diapun cepat melayangkan tangannya yang lebar dan besar, menampar ke arah Bun An. Kalau muka anak itu terkena tamparan tangan yang mengandung tenaga raksasa itu, tentu akan terkelupas kulitnya, hancur dagingnya dan remuk-remuk tulang dan giginya. Atau mungkin kepala anak itu akan retak-retak dan tewas seketika. Akan tetapi sungguh aneh, sebelum tangan itu mengenai muka Bun An, tiba-tiba saja si kepala besar itu mengeluarkan seruan kesakitan dan tangannya terhenti di udara, tidak jadi melakukan tamparan kuat itu. Sejenak dia terbelalak, akan tetapi lalu kakinya bergerak melakukan tendangan ke arah perut Bun An. Kalau mengenai sasaran, tendangan ini akan lebih hebat akibatnya. Isi perut anak itu akan remuk dan pasti dia akan tewas seketika, tubuhnya akan terlempar jauh menghantam dinding ruangan kuil. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan. Sekali ini, bukan saja kaki yang menendang itu terhenti di udara, bahkan tubuh si kepala besar itu lalu terpelanting roboh! Hanya dia yang tahu betapa terjadi keanehan pada dirinya. Ketika dia memukul tadi, tiba-tiba lengan tangan yang melakukan pukulan itu terasa nyeri dan lumpuh, ada sesuatu seperti seekor lebah yang menyengat sikunya! Dan ketika dia menendang, bukan hanya lutut yang menendang yang di sengat lebah, juga lutut kirinya sehingga dia terjungkal tidak mampu berdiri lagi.
Peristiwa ini tentu saja mengejutkan enam orang perampok yang lain. Mereka
berloncatan berdiri, dua orang lalu membantu pimpinan mereka, si kepala besar, untuk
bangkit berdiri lagi. Semua mata ditujukan kepada Bun An dengan heran dan marah.
Akan tetapi anak itu sendiri berdiri bengong saking herannya karena dia sendiri tidak mengerti mengapa perampok yang memukul dan menendangnya itu mengurungkan niatnya bahkan jatuh sendiri!
“Bocah siluman! Berani engkau melawan kami?” bentak mereka dan kini tujuh orang itu serentak maju mengepung Bun An yang sudah melangkah maju untuk melihat lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi. Kini, tujuh orang itu mengepungnya dan sikap mereka buas, tangan mereka sudah siap untuk mengeroyok dan menghajar Bun An.
Pada saat itu, terdengar suara halus. “Anjing-anjing srigala pengecut tak tahu malu, mengeroyok seekor domba kecil! Kalian ini namanya saja Tujuh Harimau, akan tetapi bernyali srigala yang pengecut!”
Tujuh orang itu terkejut dan cepat memandang orang yang mengeluarkan kata-kata itu. Kiranya hanya seorang kakek tua renta yang melihat pakaiannya tentu hanya seorang pengemis jembel. Kakek itu usianya tentu sudah tua sekali, pakaiannya compang-camping dan tambal-tambalan di sana-sini, rambutnya yang sudah putih semua, juga jenggot dan kumisnya, awut-awutan tidak terpelihara, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut, dan kedua matanya terpejam, seperti orang buta!
Tentu saja tujuh orang jagoan itu terkejut dan kini merekapun mengerti bahwa agaknya jembel tua inilah yang tadi telah membantu jembel cilik. Maka, merasa malu untuk mengepung dan mengeroyok seorang anak kecil yang usianya baru sepuluh tahunan, mereka lalu membalik dan kini bergerak mengepung pengemis tua itu.
“Jembel tua, berani engkau mengatakan kami srigala pengecut?”
“Tua bangka ini harus dibunuh, mulutnya terlalu lancang!”
“Hai, pengemis tua, siapakah namamu?”
Menghadapi pertanyaan terakhir ini, jembel tua itu tersenyum memperlihatkan mulutnya yang ompong tanpa gigi lagi, akan tetapi matanya tetap terpejam.
“Namaku ya yang seperti kau tanyakan tadi, ialah Lo-kai (Pengemis Tua)!”
Orang yang bertanya merasa dipermainkan, “Aku tahu engkau pengemis tua yang busuk, akan tetapi siapa namamu?”
“Namaku tidak ada, orang menyebut aku Lo-kai (Pengemis Tua).”
“Aliok, untuk apa ribut-ribut dengan pengemis tua tanpa nama ini? Orang macam dia ini ada namapun percuma. Bereskan saja!” kata pimpinan Yang-ce Jit-houw yang berkepala besar. Temannya yang mukanya hitam itu lalu maju menghantam ke arah dada kakek yang minta di sebut Lo-kai saja itu. Pukulan yang keras sekali. Si muka hitam agaknya sudah menduga bahwa kakek ini tentu memiliki kepandaian, maka diapun menonjok dengan pengerahan tenaga pada kepalan tangan kirinya, sekuatnya, diarahkan ke ulu hati Lo-kai.
Anehnya, kakek tua renta yang selalu memejamkan mata itu agaknya tidak tahu bahwa
dia dipukul orang. Dia diam saja! Agaknya karena memejamkan mata, dia tidak melihat serangan itu, ataukah memang dia buta? Namun, simuka hitam adalah jagoan tukang pukul yang sudah biasa melakukan kejahatan dan tindakan sewenang-wenang. Memukuli orang lemah tak melawan baginya adalah hal yang biasa, maka kini, melihat betapa Lo-kai tidak mengelak atau menangkis, dia tidak mengendurkan tenaga pukulannya, apalagi menghentikannya. Pukulan yang keras itu dengan tepatnya menghantam ulu hati kakek tua renta.
“Krekkk…..!” Pukulan keras itu memperdengarkan suara tulang patah, akan tetapi agaknya bukan tulang iga kakek itu yang patah karena dia sama sekali tidak terguncang, masih berdiri tegak sebaliknya, pemukulnya, si muka hitam itu mengaduh-aduh sambil melompat ke belakang lalu memegang-megang tangan kirinya dengan tangan kanan. Kiranya yang bunyi patah tadi adalah tulang tangan kiri si muka hitam.
Dari kesakitan, muka hitam itu menjadi marah sekali. Tanpa memperdulikan lagi tangan kirinya yang nyeri, tangan kanannya mencabut golok. Enam orang kawannya juga sudah mencabut golok semua dan kini serentak mereka menerjang maju menyerang kakek jembel itu dengan golok mereka. Seolah-olah tujuh orang itu hendak berlumba siapa yang lebih dulu merobohkan kakek jembel itu!
Bun An terbelalak menonton. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat tujuh batang golok berkelebatan mengeluarkan sinar yang mengerikan, menyambar ke arah tubuh kakek itu yang agaknya buta karena sejak tadi tidak membuka matanya. Akan tetapi, dalam pandangan Bun An, Kakek tiba-tiba kakek itu lenyap dan yang nampak hanyalah bayangan berkelebatan disusul robohnya tujuh orang perampok itu seorang demi seorang. Golok mereka terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai dan tubuh mereka kini terkulai lemas tak mampu bergerak lagi! Ternyata kakek jembel itu tadi mempergunakan tongkat bututnya dengan kecepatan luar biasa, menotok tujuh orang penyerangnya dan merobohkan mereka dengan hanya satu kali totokan saja!
Melihat ini, tanpa disadarinya, Bun An bertepuk tangan memuji, “Bagus! Bagus, kalau
saja aku mampu, akupun akan menghajar mereka yang jahat ini!”
Kakek jembel itu tersenyum, lalu menggunakan tongkatnya mencongkel tubuh tujuh orang itu, satu demi satu dicokel dan dilontarkan keluar kuil dengan mempergunakan ujung tongkat bututnya, seperti mencokel dan membuang tujuh ekor cacing saja! Sambil melontarkan, kakek itupun membebaskan totokan sehingga ketika tubuh tujuh orang itu, satu demi satu terlempar dan terbanting jatuh berdebuk di luar kuil, mereka mengaduh-aduh dan tanpa menoleh lagi merekapun lari tunggang langgang meninggalkan kuil!
“Lo-kai, engkau hebat sekali!” Bun An memuji sambil menghampiri kakek jembel itu dan memegang tangan kirinya.
“Siauw-kai (jembel kecil), engkaupun berani sekali!” Kakek itu tertawa dan
menggunakan tangan kirinya untuk mengusap kepala Bun An.
Bun An mengira kakek itu buta, maka diapun menuntun kakek itu menghampiri api unggun. “Kita duduk disini, Lo-kai, dekat api unggun. Biar kutambah lagi kayunya.” Kakek itu menghela napas panjang, lega dan nyaman rasanya ketika dia duduk diatas lantai dekat api unggun. Bun An menambahkan kayu pada api unggun itu sehingga ruangan itu menjadi lebih hangat dan terang. Ketika Bun An menengok, kakek itu ternyata masih saja memejamkan kedua matanya.
Melihat roti dan daging masih banyak, sisa makanan perampok tadi, Bun An berkata,
“Lo-kai….., apakah engkau lapar?”
“Hemm…..?” kakek itu menengok kekanan, ke arah anak itu duduk, akan tetapi kedua matanya tetap terpejam. “Kalau aku lapar, mengapa?”
Bun An memandang ke arah roti dan daging, masih amat banyak, cukup untuk dimakan empat lima orang dan mulutnya menjadi basah. Dia menelan ludah sebelum menjawab, “Kalau kau lapar, disini ada roti dan daging, boleh kau makan, Lo-kai.”
Pada saat itu, perut Bun An berkeruyuk. Sejak kemarin malam, dia tidak makan apa-apa. Sehari tadi sama sekali perutnya tidak diisi apa-apa, kecuali air jernih. Dia cepat menengok kepada kakek itu, merasa malu kalau-kalau kakek itu mendengar bunyi perutnya. Sudah terlalu sering selama dua tahun lebih ini dalam perantauannya dia menderita kelaparan. Dia sampai hafal bagaimana rasanya kelaparan itu. Mula-mula, kalau perut mulai lapar, berkeruyuk dan melilit-lilit, seolah ada jari-jari tangan di dalam lambungnya yang bergerak-gerak, menggapai-gapai dan mencakar-cakar. Air mampu mengurangi rasa melilit-lilit ini, dan makin lama, tubuh terasa lemas, ringan dan kepala mulai agak pening, mata terasa mengantuk. Kemudia terasa kembali perut yang melilit-lilit, sebentar saja, dan kembali lemas dan ringan.
Kini, perutnya juga melilit-lilit dan berkeruyuk. Maka, dia dengan cepat menelan
ludahnya dan menghentikan suara berkeruyuk itu. Biasanya ini dapat menghilangkan atau sedikitnya mengurangi kebisingan perutnya yang menuntut isi.
“Siauw-kai, apakah engkau juga lapar?” Bun An mengangguk karena merasa agak malu
untuk menjawab, akan tetapi dia ingat akan kebutaan kakek jembel itu, maka diapun menjawab lirih. “Ya, sejak kemarin malam aku tidak makan apa-apa, akibat ulah tujuh orang perampok itu yang mengacau kota sehingga rumah-rumah makan tutup, tak seorangpun mau memberi sedekah makanan kepadaku.”
“Kalau begitu, mari kita makan,” kata Lo-kai dengan wajah gembira.
Bun An mengambilkan roti dan daging terbaik untuk kakek itu dan merekapun mulai makan dengan hati lega. Bun An sudah berpengalaman. Pernah dia hampir mati karena setelah dia hampir kelaparan dan mendapatkan makanan, dia makan dengan lahap. Perut yang tadinya kosong itu secara tiba-tiba diisi dengan dijejal, dan hampir saja dia mati karena ini. Dia jatuh sakit sampai beberapa hari lamanya. Setelah peristiwa itu, dia berhati-hati dan kini, biarpun menurut nafsunya, ingin dia melahap roti dan daging itu, namun pengertiannya membuat dia makan dengan hati-hati. Dia makan sedikit demi sedikit, dan itupun dikunyah sampai lembut benar baru ditelannya. Dia melihat bahwa kakek itupun makan dengan perlahan-lahan dan hati-hati. Akan tetapi ternyata kakek yang sudah tidak bergigi lagi itu mampu mengunyah daging yang agak keras.
Setelah selesai makan, dan sisa makanan dibungkus kembali oleh Bun An, kakek itu minum arak. Bun An juga minum arak sedikit. Dia lebih suka minum teh atau air jernih.
“Siauw-kai, dimanakah rumahmu?” Tiba-tiba kakek itu bertanya.
Bun An menundukkan mukanya, teringat akan ibunya yang menikah dengan Ma Cun yang menjadi ayah tirinya itu. Lalu dia menggeleng kepala. “Aku tidak mempunyai rumah, Lo-kai.”
“Yatim piatu?”
Bun An ingin mengiyakan, akan tetapi tidak tega membohongi kakek tua renta yang buta ini, apalagi kakek ini tadi telah menyelamatkannya dari tangan para perampok. “Ayahku telah meninggal, ibuku menikah lagi dan ayah tiriku terlalu galak kepadaku, maka aku minggat sudah dua tahun lebih yang lalu.”
Kakek itu terdiam, merenung lama.
“Dan kau sendiri, Lo-kai? Dimana rumahmu?”
Kakek itu sadar dari lamunannya. “Aku tidak punya rumah, akan tetapi aku mempunyai tempat tinggal di dalam goa, di Pegunungan Himalaya sana. Sudah lima tahun aku meninggalkan tempat tinggal itu, dan sekarang aku sudah bosan merantau, ingin tinggal disana, rindu akan keheningan. Kau mau ikut?”
“Ikut padamu, Lo-kai?” Lalu dia teringat akan peristiwa aneh tadi. “Lo-kai, kalau aku ikut, apakah kau mau mengajarkan aku cara mengalahkan para perampok seperti tadi?”
Kakek itu mengangguk. “Tentu saja, kaukira mau apa aku mengajakmu ikut aku? untuk menjadi muridku, tentu saja. Dan kalau engkau sudah tamat belajar, jangankan tujuh orang itu, biar ada seratus orang seperti mereka, engkau takkan dapat terganggu oleh mereka!”
Bun An adalah seorang anak yang cerdik. Biarpun baru sepuluh tahun, namun kepahitan hidup membuat dia matang dan sudah banyak dia mendengar cerita dari para jembel lainnya tentang adanya orang-orang sakti dan para pendekar yang gagah perkasa. Diapun dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang diantara para tokoh sakti, maka diapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Suhu, teecu (murid) suka sekali ikut denganmu dan menjadi muridmu!”
Kakek itu tertawa. Suara ketawanya demikian nyaring, membuat Bun An terheran dan dia mengangkat muka. Pada saat itu, dia melihat kakek itu sedang memandang kepadanya, dengan sepasang mata terbuka dan mata itu mencorong seperti mata naga dalam dongeng! Kakek itu sama sekali tidak buta!
“Suhu…..!” katanya ia terkejut dan agak ngeri ketakutan.
Kakek itu menyentuh kepalanya. “Siauw-kai, tidak perlu engkau merubah sebutan. Aku tetap Lo-kai bagimu atau bagi siapapun. Aku tidak pernah mencampuri urusan dunia, dan hanya kebetulan saja kita saling bertemu. Karena itu, namaku tidak ada yang mengenalnya di dunia persilatan. Dan aku tidak mau engkau kelak memperkenalkan namaku. Maka, bagiku engkau tetap Siauw-kai dan bagimu aku adalah Lo-kai! Mengerti!”
“Baik, su….. eh, Lo-kai!”
Demikianlah, pada keesokan harinya, Lo-kai mengajak Bun An meninggalkan kuil. “Akan tetapi, disini banyak sekali barang berharga, hasil perampokan Tujuh Harimau malam tadi, Lo-kai, lihat, ada satu buntalan besar berisi perhiasan, emas dan perak!”
“Hemm, untuk apa?”
“Lo-kai, kita mengemis untuk sepiring makanan, dan disini ada harta yang akan dapat membeli laksaan piring makanan, cukup untuk kita makan selama hidup puluhan tahun!”
“Huh, aku tidak butuh! Di tempat tinggalku sana, emas tidak laku, dan kita tidak bisa makan emas.”
“Tapi kalau barang ini ditinggalkan disini, tentu para perampok itu akan kembali datang mengambilnya!”
“Kalau begitu, bawalah, kita bagikan kepada mereka yang membutuhkan di dalam perjalanan nanti.”
Biarpun masih merasa penasaran dan heran Bun An tidak membantah lagi dan berangkatlah mereka menuju ke barat. Lebih besar lagi rasa heran dalam hati Bun An ketika melihat betapa kakek itu benar saja membagi-bagikan barang itu kepada rakyat dipedusunan yang miskin. Tentu saja barang itu dalam waktu sebentar saja habis dan mereka berdua tidak punya apa-apa lagi. Di sepanjang perjalanan untuk mengisi perut, guru dan murid itu mengemis!
Lo-kai mengajak Bun An ke Pegunungan Himalaya dan ternyata kakek itu benar saja tinggal di sebuah goa yang terpencil, di puncak sebuah bukit. Hawa di situ dingin bukan main, juga amat sunyi. Namun Bun An sudah mengambil keputusan bulat untuk mempelajari ilmu dari kakek itu, dan biarpun mereka hidup menghadapi keadaan yang serba kurang dan hawa udara yang kadang-kadang demikian dinginnya hampir tak tertahankan, namu anak itu mempunyai kenekatan luar biasa dan dia dapat mengatasi semua kesulitan hidup di tempat terasing ini.
Dan ternyata kakek itu, biarpun sama sekali tidak terkenal di dunia ramai, memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Banyak tokoh-tokoh sakti seperti kakek ini yang tidak pernah mau memperkenalkan diri dan lebih suka bersembunyi di tempat-tempat asing, seolah-olah membawa kepandaian dan kesaktian mereka mati bersama mereka! Dari Lo-kai, Bun An mempelajari banyak macam ilmu. Bukan hanya ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu lain seperti menyamar dan merobah wajah, ilmu pengobatan dan lain-lain.
Tidak kurang dari sepuluh tahun lamanya Bun An menerima gemblengan dari kakek sakti yang hanya dikenalnya sebagai Lo-kai dan dia sendiri disebut Siauw-kai oleh kakek sakti itu. Dengan tekun sekali Bun An mempelajari ilmu-ilmu dari kakek itu yang akhirnya, betapapun saktinya, tidak dapat melawan usia tua. Kalau ditanya oleh Bun An, Lo-kai sendiri tidak tahu berapa usianya, mungkin sudah ada seratus tahun! Dan pada waktu pagi, ketika Bun An terjaga dari tidurnya dan melihat gurunya, ternyata kakek itu sudah tidak bernapas lagi dalam keadaan duduk bersila!
Bun An tidak menangis, bahkan berdukapun tidak. Kakek itu selalu mengingatkan kepadanya bahwa antara mereka tidak ada ikatan apapun! Karena hal ini selalu disinggung, dan karena dia sendiri tidak pernah memperlihatkan keakraban yang menunjukkan kasih sayang, maka biarpun Bun An berterima kasih sekali kepada kakek yang menjadi gurunya itu, namun tidak ada ikatan apapun dalam perasaannya terhadap Lo-kai. Dan jenazah gurunya, kemudian diapun meninggalkan goa itu. Pakaiannya tambal-tambalan seperti seorang pengemis muda, namun kini Bun An merupakan seorang pemuda yang tampan sekali, penuh semangat dan gairah hidup karena dia percaya penuh kepada diri sendiri yang sudah diisi ilmu-ilmu oleh gurunya, yang membuatnya menjadi seorang pemuda yang amat lihai!
Tentu saja Bun An meningggalkan Himalaya, segera menuju ke kota raja, untuk mencari ibunya. Dia tidak takut kepada Ma Cun, bahkan diam-diam dia mengambil keputusan untuk menghajar ayah tirinya itu kalau berani menghinanya lagi! Akan tetapi, setelah dia mendapatkan kenyataan yang sama sekali berubah! Ibu dan ayah tirinya sudah tidak berada di rumah lama itu, dan menurut para tetangga, ayah dan ibunya telah bercerai! Dia melakukan penyelidikan dan akhirnya dia memperoleh keterangan yang menyayat perasaan hatinya. Menurut keterangan itu, harta benda yang dibawa oleh ibunya dihamburkan dan dihabiskan oleh Ma Cun, kemudian terjadi percekcokan setiap hari dan akhirnya ibunya disia-siakan oleh Ma Cun! Dan dalam keadaan yang amat terjepit itu, ibunya terjepit ke sarang pelacuran dan kini menjadi seorang pelacur!
Hebat sekali pukulan batin ini bagi Bun An. Dia ingin mendengar lebih jelas, maka dia cepat pergi kerumah pelacuran untuk mencari ibunya. Para penjaga rumah pelacuran itu, yang juga bertindak sebagai tukang pukul dan pelindung mucikari dan para pelacur, tentu saja menerima kedatangannya dengan marah. Seorang pemuda, biarpun tampan wajahnya, berpakaian seperti pengemis, mau apa datang ke rumah pelacuran? Yang datang kesitu hanyalah pria-pria tua muda yang berpakaian mewah, yang sakunya padat uang, bukan segala macam kaum jembel!
“Hei! Mau apa kau datang kesini?” bentak seorang tukang pukul yang bertubuh kurus kering karena suka menghisap madat.
“Kalau mau mengemis jangan ditempat ini! Pergi ke sana ke pasar!” bentak orang kedua yang perutnya gendut seperti perut babi dan mukanya bulat itu membayangkan ketinggian hati. Tentu saja sikap kedua orang ini memanaskan hati Bun An, akan tetapi dia masih dapat menahan diri dan masih dapat tersenyum.
“Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan untuk mengambil seorang wanita yang bernama Kui Hui. Suruh ia keluar menemuiku, ada urusan penting yang akan kubicarakan dengannya.”
Mendengar disebutnya nama ini, dua orang tukang pukul itu saling pandang lalu tertawa. Yang kurus terkekeh menghina dan berkata. “Kui Hui? Ha, ha! Memang ia paling tau disini, akan tetapi bukan paling murah. Di sini dikenal istilah tua-tua keladi, makin tua semakin jadi! Apakah engkau mempunyai uang maka berani hendak memesan Kui Hui?”
“Keluarkan dulu uangmu, perlihatkan kepada kami!” kata si gendut.
Bun An mengerutkan alisnya. Memang dia sudah marah sekali mendapat kenyataan bahwa ibunya menjadi pelacur. Hal ini saja sudah mendatangkan kemarahan dan kebencian terhadap wanita yang menjadi ibunya. Maka, dia tidak dapat menahan lagi kesabarannya.
“Mulut kalian sungguh busuk dan pantas dihajar!” Secepat kilat tangannya bergerak ke
depan.
“Plak! Plakkk!” Dua orang itu terpelanting, tubuh mereka terbanting keras dan mereka memegangi pipi yang di tampar sambil mengaduh-aduh. Sedikitnya ada tiga buah gigi yang copot dan darah mengalir keluar dari ujung bibir mereka yang menjadi bengkak sampai ke telinga. Akan tetapi mereka menjadi marah sekali. Dengan suara tidak jelas karena mulutnya bengkak sebelah, keduanya memaki-maki dan sudah mencabut golok, lalu menyerang kalang kabut. Akan tetapi, menghadapi dua orang tukang pukul di rumah pelacuran ini, tentu saja tidak ada artinya bagi Bun An. Kembali tangannya bergerak dan dua batang golok terlempar, lengan yang memegang golok menjadi lumpuh karena tulang lengan itu patah ditekuk tangan Bun An. Kini, dua orang itu mengaduh-aduh dan berteriak minta tolong.
Muncul empat orang kawan mereka, jagoan-jagoan yang menjadi tukang pukul di tempat pelesir itu. Melihat betapa dua orang teman mereka mengaduh-aduh dan agaknya dihajar oleh seorang pemuda berpakaian jembel, empat orang itu langsung saja menyerang dengan golok mereka. Kembali Bun An berkelebatan dan empat batang golok beterbangan, diikuti robohnya empat orang itu yang merintih kesakitan, tangan kiri memegangi lengan kanan yang patah tulangnya! Melihat kenyataan ini, betapa enam orang tukang pukul itu dalam segebrakan saja roboh dengan patah tulang lengan, barulah mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Mereka menjadi ketakutan ketika Bun An melangkah maju.
“Kalian masih belum mau memanggil keluar Kui Hui? Ataukah harus kupatahkan dulu batang leher kalian?” kata pemuda itu.
Si tinggi kurus cepat memberi hormat dengan kaku karena lengannya tak dapat digerakkan. “Harap ampunkan kami, taihiap (pendekar besar), saya akan memanggil keluar wanita itu……!” Dengan terpincang-pincang si kurus itu berlari masuk. Tak lama kemudian keluarlah dia bersama seorang wanita cantik. Usia wanita itu sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik, apalagi karena pakaiannya indah dan mukanya dirias dengan bedak tebal dan gincu, juga penghitam alis. Bun An segera mengenal ibunya dan ia merasa muak. Ibu kandungnya, seorang pelacur! Hampir saja dia meloncat pergi lagi, akan tetapi terbayang olehnya betapa ketika ia masih kecil, ibunya ini amat sayang kepadanya.
Wanita itu memang Kui Hui, ibu Bun An. Tadi ia diberitahu oleh si kurus yang ketakutan bahwa ada seorang tamu, seorang pemuda berpakaian jembel akan tetapi yang memiliki kepandaian tinggi minta agar ia keluar. Kini, melihat seorang pemuda berpakaian tambal-tambalan, berwajah tampan, berdiri disitu sedangkan para tukang pukul masih mengaduh-aduh, Kui Hui menjadi heran. Wajah pemuda tampan yang tidak asing baginya, akan tetapi ia lupa lagi dimana ia pernah bertemu dengan pemuda itu. Biarpun ia merasa ragu untuk menerima tamu yang berpakaian tambal-tambalan, akan tetapi karena takut, iapun tersenyum manis dan melangkah mau lalu memberi hormat.
“Selamat datang, tuan muda. Siapakah tuan muda dan ada keperluan…..”
“Aku Tang Bun An!” Bun An memotong dengan suara lirih, akan tetapi pandang matanya mencorong, penuh kemarahan.
Kui Hui menahan jeritnya, menutupi mulut dengan punggung tangan, matanya terbelalak, wajahnya pucat sekali ketika ia memandang kepada wajah pemuda itu. Kini iapun teringat. puteranya! Tanpa dapat dicegah lagi, kedua mata yang terbelalak itu dipenuhi air mata dan berderailah air matanya berjatuhan di atas kedua pipinya.
“Bun An…… Bun An….., kau….”
Bun An tidak ingin ibunya bicara di tempat itu, didengarkan banyak orang, maka dia lalu memegang tangan ibunya. “Sudahlah, mari kita pergi dan bicara di tempat lain!” Dia menarik tangan ibunya. Wanita itu menahan karena bagaimana mungkin ia pergi begitu saja tanpa pamit? Dan pakaiannya, barang-barangnya masih berada di dalam kamarnya.
“Nanti…. dulu, aku…. pamit dan mengambil barang-barangku….”
“Tak usah. Mari kita pergi!” Bun An menarik dan wanita itu merasa betapa kuatnya tarikan tangan puteranya. Ia sama sekali tidak mampu menahan dan tubuhnya ikut tertarik. Melihat sikap puteranya, iapun tidak membantah dan keduanya melangkah untuk keluar dari pekarangan rumah pelacuran itu.
Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita tua, usianya kurang lebih enampuluh tahun dengan tubuhnya gendut sekali. “Heiiii! Mau kemana kau, Kui Hui? Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Engkau harus membayar dulu hutang-hutangmu!”
Kui Hui tidak berani menjawab, hanya memandang dengan gelisah. Bun An juga membalikkan tubuh, menghadapi nyonya gendut itu. “Aku mengajaknya pergi dari tempat terkutuk ini, engkau mau apa?”
Nyonya itupun sudah mendengar betapa pemuda ini merobohkan enam orang tukang pukulnya, maka ia tidak berani bersikap galak. “Orang muda, kalau hendak membawa pergi, harus ada tebusannya, harus ada uang penggantinya!”
“Babi betina, kuganti ia dengan nyawamu!” kata Bun An dan sekali menendang, tubuh nyonya itu terjengkang. Wanita itu menguik-nguik seperti babi disembelih, akan tetapi Bun An tidak memperdulikannya lagi, menarik tangan ibunya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Sebentar saja mereka tiba di tempat sunyi, diluar pintu gerbang kota. Di tempat sunyi ini, Bun An menyuruh ibunya bercerita tentang keadaan sebenarnya. Sambil menangis, Kui Hui menceritakan bahwa memang benar Ma Cun telah berubah sejak Bun An minggat. Orang itu menghamburkan harta yang dibawanya dari keluarga Tang, berfoya-foya, main perempuan, berjudi dan akhirnya, setelah harta itu ludes, Ma Cun memaksa ia untuk mencari uang dengan menjual diri! kalau ia menolak, Ma Cun memukuli dan menyiksanya! Keadaan seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka lalu bercerai. Akan tetapi, Ma Cun masih menyeret Kui Hui ke rumah pelacuran itu dan menjual isterinya kepada mucikari. Demikianlah, Kui Hui lalu menjadi anak buah mucikari itu, dan harus bekerja siang malam melayani tamu untuk mencari uang karena ia dianggap mempunyai hutang yang makin lama makin besar sesuai dengan perhitungan bunganya yang amat berat!
“Itulah nasib ibumu, anakku….,” kata Kui Hui yang menceritakan semua itu sambil menangis. “Aku…. aku menjadi pelacur…… aku……. aku menderita sakit, kadang-kadang batuk darah….. tapi sekarang, engkau mengajak aku pergi, dan semua pakaianku berada disana, juga sedikit tabunganku, padahal engkau…. ah, engkau sendiri berpakaian tambal-tambalan seperti seorang pengemis…..! bagaimana kita selanjutnya akan hidup, Bun An?”
Bun An mengerutkan alisnya. Ibunya telah terperosok sedemikian dalamnya, pikirnya sehingga yang dipikirkan hanya harta benda dan uang saja!
“Kalau harta yang ibu inginkan, malam nanti aku akan mencarikannya untuk ibu. Sekarang, ibu ikut saja dengan aku!” Dia lalu mengajak ibunya ke dalam sebuah kuil tua yang kosong yang berada di dalam hutan kecil di atas bukit di luar kota. Di sinilah selama beberapa malam dia menginap. Tentu saja Kui Hui yang tidak biasa hidup seperti itu, hanya bisa menangis. Di dalam hatinya sudah merasa menyesal sekali mengapa puteranya muncul dan memaksanya keluar dari rumah pelacuran itu. Di sana, ia sudah mulai dapat menyesuaikan diri, dapat bersenang-senang dengan para pria yang membelinya, makan dan pakaian tidak pernah kurang, kamarnya indah. Dan sekarang, tanpa bekal sepotongpun pakaian sebagai pengganti, ia harus rebah di atas lantai kotor sebuah kuil yang menyeramkan, yang pantasnya hanya menjadi tempat tinggal iblis dan siluman!
Dan malam itu, Bun An meninggalkan ibunya. Pemuda ini tidak banyak bicara, bahkan ketika ibunya bertanya tentang pengalamannya, dia hanya menjawab singkat bahwa sepuluh tahun lebih ini dia hidup sebagai pengemis dan mempelajari ilmu silat. “Ibu tunggu saja disini, aku akan mencarikan harta benda yang ibu inginkan itu. Jangan ibu pergi dari sini kalau ibu ingin selamat, karena diluar tentu banyak bahaya mengintai!” Setelah berkata demikian sekali berkelebat Bun An lenyap dari depan ibunya. Wanita itu terbelalak, lalu menangis di atas lantai kuil itu, ketakutan dan mengira bahwa puteranya itu agaknya telah menjadi iblis yang pandai menghilang!
Bun An mengintai dari luar kuil, membiarkan ibunya menangis, sedikitpun dia tidak merasa kasihan, bahkan dia merasa betapa hatinya membenci wanita ini. Ibunya telah membunuh ayahnya. Hal ini dia ketahui benar. Masih teringat dia akan semua percakapan antara ibunya dengan kekasihnya, Ma Cun, dan dialah yang menerima bungkusan racun itu dari Ma Cun, untuk diserahkan kepada ibunya. Kemudian, ibunya yang berzina dengan Ma Cun, menjadi isteri Ma Cun setelah mencuri banyak barang perhiasan keluarga Tang. Lebih menggemaskan lagi, kini ibunya menjadi seorang pelacur! Akan tetapi, bagaimanapun juga dia adalah putera kandung ibunya, dia harus memelihara ibunya. Dan yang lebih dari itu, dia harus membuat perhitungan dengan Ma Cun!
Siang tadi dia sudah menyelidiki di mana adanya orang itu. Tidak sukar untuk mencari Ma Cun yang biasa berjudi di Hok Pokan (Rumah Judi Mujur). Tempat judi besar di kota raja ini menjadi pusat perjudian dan di situ terdapat banyak golongan sesat yang mengadu nasib dengan berjudi. Sebuah tempat berbahaya dan tidak ada orang baik-baik berani mengunjungi tempat ini. Orang yang bukan penjudi ulung, yang baru saja datang dan berani mencoba-coba untuk berjudi, tentu akan habis di curangi oleh ular-ular judi. Segala macam maling, perampok dan penjahat lain mempergunakan Hok Pokan sebagai tempat pelesir dan disitu banyak terdapat pelacur-pelacur yang dipergunakan oleh bandar judi untuk memikat para langganan. Ramailah keadaan di rumah perjudian itu. Meriah penuh gelak tawa dari sore sampai pagi.
Seperti tadi ketika dia datang berkunjung ke rumah pelacuran, kini Bun An disambut oleh para penjaga keamanan, tukang-tukang pukul di rumah perjudian itu, dengan alis berkerut. Tukang-tukang pukul di tempat itu tidak boleh disamakan dengan tukang-tukang pukul di rumah pelacuran, disini merupakan tempat para penjahat berkumpul, dimana terdapat banyak uang di perjudikan, maka penjagaannya amat ketat. Jagoan-jagoan pilihan menjaga tempat itu dengan bayaran tinggi dari bandar judi.
“Heii, kau jembel gila! Mau apa kau kesini?” bentak seorang jagoan ketika melihat Bun An memasuki pintu pekarangan.
“A-boan, lemparkan saja sekeping uang kecil padanya agar tidak membikin kotor tempat ini!” kata orang kedua.
Bun An merasa betapa perutnya panas mendengar ucapan yang nadanya menghina itu, akan tetapi dia menahan sabar, “Aku datang bukan untuk mengemis, akan tetapi untuk mencari seorang bernama Ma Cun. Harap kalian suka memanggil dia keluar.”
Ma Cun amat terkenal di rumah perjudian itu, karena selain dia merupakan langganan lama, juga Ma Cun terkenal sebagai seorang jagoan pula, bekas perwira pengawal pembesar dan memiliki ilmu silat tinggi. Mendengar betapa pengemis muda ini menyebut nama jagoan dan penjudi itu begitu saja dan minta dipanggilkan, beberapa orang penjaga itu menjadi marah.
“Cuhh!” orang pertama meludah. “Orang jembel macam kau berani menyuruh kami memanggil orang?”
“Tidak seorangpun langganan kami boleh diganggu, apalagi di ganggu jembel…..”
“Kalau kalian tidak mau memanggilnya, biarlah aku mencarinya sendiri ke dalam!” Bun An memotong, kehilangan kesabarannya, dan dia lalu melangkah hendak masuk ke dalam ruangan depan rumah judi itu.
“Heii! Berhenti!” bentak seorang tukang pukul dan diapun memegang lengan kiri Bun An lalu menariknya dengan pengerahan tenaga, dengan maksud agar pemuda jembel itu tertarik dan terpelanting. Akan tetapi, tubuh pemuda jembel itu sama sekali tak bergeming dan si tukang pukul merasa seolah-olah yang dipegangnya itu bukan lengan tangan, melainkan sepotong besi yang keras! Beberapa kali dia mengerahkan tenaga untuk membetot, akan tetapi percuma saja. Hal ini membuat dia merasa penasaran lalu marah, dan langsung saja dia memukul dengan tinjunya ke arah muka Bun An.
“Wuut!” Dengan miringkan mukanya, pukulan itu meluncur dekat pipi Bun An. Pemuda ini menjadi marah dan sekali dia mengangkat lutut, maka lututnya telah masuk ke dalam perut orang itu.
“Ngokk!” Orang itu menekuk perutnya dan memegangi perut yang terasa nyeri bukan main. Bun An menendang tubuh orang itu terlempar lalu terbanting jatuh.
Melihat ini, tujuh orang tukang pukul menjadi marah. Seorang diantaranya, sudah menubruk dari belakang dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangan terbuka, siap untuk mencengkeram dan mencekik leher pengemis muda itu. Bun An membiarkan saja tangan itu mencengkeram lehernya dan sipencengkeram terkejut ketika merasakan betapa leher yang dicekiknya itu keras seperti besi! Pada saat itu, Bun An sedikit miringkan tubuhnya dan siku kanannya menghantam kebelakang.
“Dukk! Aughh…..!” Orang yang kena disiku dadanya itu terpental dan terbanting jatuh, seketika muntah darah karena dadanya seperti dihantam toya besi saja!
Barulah para tukang pukul itu sadar bahwa pengemis muda ini sama sekali tidak boleh di buat main-main. Mereka mencabut senjata dan menyerang Bun An dari berbagai jurusan. Melihat gerakan mereka, tahulah Bun An bahwa mereka itu tidak boleh disamakan dengan para jagoan di rumah pelacuran, maka diapun cepat mendahului mereka. Tubuhnya bergerak cepat sekali dan bagi para pengepungnya, tubuh itu seperti lenyap berubah menjadi bayangan yang terbang menyambar-nyambar, dan tujuh orang jagoan roboh malang melintang di pekarangan itu! Dengan tenang Bun An melangkah memasuki ambang pintu, mendorong pintu ke dua dan masuk ke ruangan perjudian yang amat luas itu. Ada belasan meja judi dikelilingi banyak orang. Suasana disitu amat pengap bagi dia yang baru masuk dari tempat terbuka. Ruangan itu penuh asap berbau tembakau bercampur bau minyak wangi dari pakaian para pelacur yang menghibur para penjudi, dan bau keringat semua orang!
Dua orang jagoan yang berjaga di sebelah dalam, sudah tahu akan apa yang terjadi di luar. Mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang berada di luar tadi. Maka, dengan cepat begitu melihat Bun An melangkah masuk, kedua orang ini sudah menyambutnya dengan serangan pedang dari kanan kiri. Pedang kiri menusuk ke arah lambung, pedang kanan membacok kepala dari atas. Menghadapi kedua serangan pedang yang dilakukan serentak dan mendadak ini, Bun An yang sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaan sedetikpun, mengangkat kedua tangan menyambut. Tangan kanan bergerak ke samping dan tangan kiri bergerak ke atas.
Dua orang penyerang itu terbelalak ketika merasa betapa pedang mereka berhenti meluncur, dan ketika mereka melihat betapa pedang mereka terjepit di antara jari-jari tangan pemuda jembel itu. Mereka mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan pedang dari jepitan jari tangan, namun sia-sia karena pedang itu seperti terjepit oleh jepitan baja saja, dan sebelum mereka sempat tahu apa yang akan terjadi, kedua kaki Bun An dengan bergantian namun cepat sekali seolah-olah kedua kaki itu bergerak berbarengan saja, telah menendang dan kedua orang itu terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena sambungan lutut kaki mereka terlepas! Pedang mereka telah berpindah ke kedua tangan Bun An.
Lima orang jagoan ini cepat maju mengepung dan langsung mengeroyok, menggerakkan senjata mereka, akan tetapi nampak sinar bergulung-gulung dari dua batang pedang yang berada di tangan Bun An. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya lima orang itu karena lengan mereka telah terluka dan mengucurkan darah!
Kini semua orang merasa gentar, bahkan jagoan-jagoan lain mengundurkan diri, menjauh. Tidak ada yang berani menyerangnya, Bun An melempar kedua pedang ke atas lantai, lalu melangkah perlahan-lahan ke tengah ruangan. Semua mata memandang kepadanya, mata yang terbelalak dan muka yang pucat karena ketakutan.
Bun An memandang ke sana sini, mencari-cari dan akhirnya dia melihat orang yang dicarinya. Tentu saja ia masih mengenal Ma Cun, orang yang dibencinya itu. Bekas pengawal itu kini sudah berusia empat puluh tahun lebih, rambut kepalanya sudah bercampur uban, namun wajahnya yang gagah tidak berubah. Hanya perutnya yang kini menggendut, akan tetapi tubuhnya masih nampak kokoh kuat. Melihat orang yang dicarinya ini, Bun An menghampiri dan dia kini berdiri di depan Ma Cun dalam jarak lima meter.
“Ma Cun, tinggalkan mejamu dan majulah kesini!” kata Bun An, suaranya halus, akan tetapi mengandung getaran dendam kebencian. Ma Cun mengerutkan alisnya. Dia sendiri adalah jagoan yang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka tentu saja dia tidak gentar melihat pengemis muda yang tadi mengamuk. Akan tetapi, ketika pengemis muda itu memanggilnya, dia merasa penasaran dan juga marah.
“Bocah pengemis! Aku Ma Cun tidak ada urusan dengan engkau. Pergilah dan jangan menggangguku!” Dia membesarkan suaranya agar lebih berwibawa karena pada saat itu, semua orang memandang kepadanya dan kepada pengemis muda yang tidak dikenalnya itu.
“Ma Cun, buka matamu baik-baik dan lihat siapa aku!” Bun An berkata lagi, suaranya tetap halus, namun mengandung sesuatu yang membuat semua orang bergidik.
Ma Cun memandang dengan penuh selidik, lalu mengerutkan alisnya lebih dalam dan menghardik, “Jembel busuk! Aku tidak mengenal orang macam engkau, pergilah sebelum hilang kesabaranku!” Ma Cun yang percaya akan kemampuannya sendiri itu menggertak dan tangannya sudah meraba gagang pedangnya yang selalu berada di dekatnya dan pada saat itu pedangnya berikut sarung pedang terletak di atas meja judi.
Bun An tersenyum mengejek, matanya menyorotkan sinar dingin yang mau tidak mau terasa juga oleh Ma Cun, membuatnya merasa agak dingin pada tengkuknya.
“Ma Cun, namaku Tang Bun An!”
Ma Cun terbelalak. “Ha-ha-ha, kiranya engkau setan cilik kini menjadi orang yang tidak berharga!” katanya sambil meninggalkan meja menghampiri Bun An. Setelah kini dia mengenal Bun An, rasa jerih yang sedikit banyak ada padanya tadi lenyap seketika, terganti oleh pandangan rendah dan menghina.
Sejak melihat Ma Cun tadi, Bun An sudah merasa seolah-olah ada api nyala panas di dalam dadanya. Kini mendengar penghinaan itu, kemarahannya meluap-luap dan diapun melangkah maju sehingga mereka berhadapan dalam jarak dua meter saja, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian.
“Bun An jembel busuk, apakah engkau datang untuk mengemis kepadaku? Nih, uang kecil untukmu!” Sambil berkata demikian, dengan sikap dan pandang mata menghina sekali Ma Cun mengambil tiga keping uang kecil dari sakunya dan dilemparkan ke depan. Tiga keping uang itu mengenai tubuh Bun An lalu jatuh ke bawah, mengeluarkan suara berkeritikan. Tidak nyaring, akan tetapi karena semua orang diam menahan napas dengan hati tegang, jatuhnya tiga buah mata uang itu menimbulkan suara yang nyaring.”
“Ma Cun, dengarlah, buka telingamu lebar-lebar. Aku datang bukan untuk minta uang, melainkan untuk mengambil nyawamu!”
Suasana menjadi semakin tegang ketika kata-kata ini keluar dari mulut pengemis muda itu. Tidak lantang, namun karena suasana amat sepi dan hening seolah-olah disitu tidak ada manusia lain, maka terdengar jelas dan menimbulkan ketegangan mendalam.
Wajah Ma Cun berubah merah sekali saking marahnya. “Singgg!” Pedang itu telah dicabutnya. Dengan tangan kiri memegang pedang, Ma Cun sudah menubruk maju ke depan, menyerang Bun An dengan sabetan pedangnya, tidak malu-malu lagi menyerang seorang pemuda yang tidak memegang senjata apapun. Namun, Bun An menghadapi serangan pedang itu dengan tenang saja. Tingkat kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi daripada Ma Cun, maka ketika pedang berkelebat menyambar ke arahnya, dia menangkis dari samping, menampar ke arah pedang itu.
“Plakkk!” Pedang itu dapat di tangkapnya! Semua mata terbelalak memandang, hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin pemuda jembel itu berani menangkap pedang yang tajam dan digerakkan oleh seorang yang bertenaga besar seperti Ma Cun? Akan tetapi kenyataannya, pedang itu dapat ditangkap dan kini nampak Ma Cun bersitegang hendak menarik pedangnya agar tangan pemuda itu terbabat buntung. Akan tetapi sama sekali tidak berhasil. Sekali lagi dia membetot dan tiba-tiba Bun An melepaskan pegangannya. Tubuh Ma Cun terjengkang! Sambil tersenyum mengejek Bun An memberi isyarat kepadanya agar bangkit.
“Berdirilah dan keluarkan semua kepandaianmu sebelum kau kubunuh!”
Ma Cun menjadi pucat sekali dan mulailah dia meragukan kemampuannya sendiri, hal yang belum pernah ia lakukan. Apa yang dialaminya tadi terlalu hebat dan nyalinya sudah menciut, bahkan kedua kakinya mulai gemetar.
“Kawan-kawan, bantulah aku!” teriaknya tiba-tiba dan diapun lalu menyerang dengan membabi buta. Kini, para jagoan yang berada disitu, seperti baru sadar bahwa ada seorang pemuda berpakaian seperti pengemis yang lihai sekali sedang mengacau dirumah judi itu, bahkan mengancam nyawa seorang kawan mereka. Belasan orang jagoan, baik yang bertugas sebagai penjaga keamanan disitu maupun yang datang sebagai tamu dan penjudi, segera mencabut senjata masing-masing dan menyerbu ke arah Bun An!
Pemuda itu sudah marah sekali. Serangan Ma Cun yang membabi buta itu disambut dengan tamparan keras ke arah lengan Ma Cun. Ma Cun berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangan, lengan kanannya terasa nyeri bukan main, seperti dipukul dengan toya baja. Pada saat itu teman-temannya sudah menyerbu, maka dengan cerdik Ma Cun menyelinap diantara orang banyak dan melarikan diri ke loteng.
Bun An mengamuk. Tubuhnya berkelebatan diantara pengepung dan pengeroyoknya, akan tetapi matanya tidak melepaskan pintu keluar, takut kalau-kalau Ma Cun lolos keluar. Dia marah karena kehilangan Ma Cun yang menyelinap diantara orang banyak. Bun An menggerakkan kaki dan tangannya dan mulailah pengeroyok berpelantingan ke kanan kiri. Bukan hanya tubuh para pengeroyok, akan tetapi juga meja judi dan bangku-bangku beterbangan karena ditendangi oleh Bun An yang mengamuk sambil mencari-cari Ma Cun. Dalam waktu beberapa menit saja, belasan orang jagoan sudah roboh malang melintang tidak nampak bangun lagi dan hanya merintih kesakitan. Para tamu yang tidak ikut mengeroyok, sudah merapatkan diri di dinding dengan wajah pucat.
Karena tidak ada lagi yang menyerangnya, Bun An mencari-cari dengan matanya. Dia melihat seorang laki-laki gendut yang tadi sekelebatan dilihatnya sebagai majikan tempat itu dengan sikap yang angkuh. Orang itu bersembunyi di balik meja yang roboh, tubuhnya yang gendut itu menggigil seperti diserang demam. Dengan sekali loncatan saja Bun An sudah tiba dibelakang orang itu dan sekali cengkeraman pada pundak si gendut itu, dia menariknya berdiri dan si gendut menahan jerit seperti seekor tikus terjepit.
“Hayo katakan, dimana adanya Ma Cun?” Bun An merasa yakin bahwa orang yang dicarinya tentu masih berada di situ karena sejak tadi dia memperhatikan pintu keluar dan tidak melihat Ma Cun keluar dalam keributan tadi.
“Ti-tidak….. tahu…….” Si gendut menggeleng kepalanya.
“Hemm, apa kau minta mati?” Bun An menekan pundak si gendut itu yang tiba-tiba merasa betapa tubuhnya seperti ditusuk-tusuk seribu jarum. Dia kini tidak lagi menahan jeritnya, menguik-nguik seperti seekor babi dimasukkan keranjang, “Kau tidak mau mengatakan di mana dia?”
“Di…… di loteng…..,” kata si gendut yang tiba-tiba saja terkencing-kencing di celana.
Bun An mendorongnya sehinga dia roboh terguling-guling dan cepat lari menaiki tangga menuju ke loteng. Semua orang yang berada di ruangan bawah itu kini memandang ke atas. Ada ruangan diloteng itu berikut beberapa buah kamar dimana para pemenang permainan judi boleh menghamburkan uangnya pada para pelacur yang siap melayani mereka, Bun An segera memeriksa setiap kamar dan pada kamar ke tiga, tiba-tiba dia diserang orang dari dalam kamar dengan sebatang pedang. Penyerang itu bukan lain adalah Ma Cun yang sudah memperoleh sebatang pedang lagi.
Namun, Bun An sudah waspada. Begitu pedang meluncur, dia mengelak, lalu tangannya menangkap pedang, kakinya menendang lengan kanan. Terpaksa Ma Cun melepaskan pedangnya dan dia hendak lari turun. Akan tetapi, tangan kiri Bun An menampar, mengenai tengkuknya dan diapun terjungkal roboh. Semua orang melihat peristiwa diloteng itu dengan mata terbelalak. Dilihat dari bawah, apa yang terjadi diatas itu seperti permainan wayang saja!
Karena melihat tidak ada jalan keluar lagi, timbullah rasa takut di hati Ma Cun. Tanpa malu-malu lagi, dia lalu berlutut dan meyembah-nyembah kepada Bun An.
“Bun An, ampunkanlah aku…… ah, ingatlah betapa aku ayah tirimu….. aku pernah
menyayangimu…… ingatkah engkau ketika aku dulu memberi hadiah kepadamu? Ampunkan aku, Bun An!”
Kemarahan Bun An semakin menjadi ketika diingatkan akan peristiwa yang lalu. Memang dulu, ketika masih menjadi kekasih ibunya dirumah keluarga Tang, orang ini sering mengambil hatinya dengan memberi barang-barang mainan, juga mengancamnya karena dialah yang menjadi jembatan antara ibunya dan orang ini!
“Keparat jahanam! Masih ada muka engkau untuk minta ampun dan mengaku ayah tiriku? Ingatkah engkau ketika memukuli dan menyiksaku, bahkan menendangku? Dan sudah lupakah engkau apa yang kaulakukan terhadap ibuku? Engkau hamburkan semua harta benda ibuku dan setelah habis, engkau sia-siakan ibuku, engkau siksa ia, kaupukul dan tending, kaujual!”
“Ampun….. ampun…….” Ma Cun menyembah-nyembah ketakutan, keringat dingin sebesar kedele keluar dai tubuhnya.
“Dan ingatkah engkau betapa engkau telah merencanakan pembunuhan kepada ayah kandungku? Kauracuni dia sampai mati!”
“Bukan aku…. ampun, tapi ibumu….. ampunkan aku…..”
“Pengecut hina! Biar kutebus dengan kedua tanganmu, engkau masih belum dapat membayar hutangmu kepadaku. Berikan kedua tanganmu!” sambil berkata demikian, nampak sinar pedang berkelebat, yaitu pedang yang tadi dirampas Bun An dari tangan Ma Cun. Ma Cun menjerit dan kedua tangannya, sebatas bawah siku, terbabat buntung! Demikian cepatnya pedang itu sehingga kedua lengan itu buntung tanpa dirasakan Ma Cun yang baru menjerit setelah melihat betapa kedua lengannya tak bertangan lagi! Dengan kakinya Bun An menendang kedua potongan lengan itu kebawah loteng! Semua orang memandang terbelalak, muka mereka pucat karena ngeri melihat dua buah tangan itu melayang jatuh di atas meja judi!
Ma Cun menjerit-jerit ketika Bun An menghardik, “Dan serahkan kedua kakimu untuk membayar hutangmu kepada ibuku!” Kembali pedang berkelebat dan Ma Cun mengeluarkan jeritan yang lebih mengerikan lagi ketika tiba-tiba saja kedua kakinya, sebatas lutut, terbabat buntung oleh pedang. Tubuhnya terpelanting, berkelojotan dan mulutnya masih merintih-rintih, Bun An juga menendang kedua potongan kaki itu kebawah loteng. Kini semua orang menggigil.
“Sekarang, berikan kepalamu untuk membayar hutangmu kepada ayah!”
Pedang berkelebat dan tubuh Ma Cun tidak bergerak lagi, tidak menjerit lagi, melainkan darah saja muncrat-muncrat ketika lehernya terbabat buntung oleh pedang. Kepalanya ditendang dan menggelinding ke bawah loteng!
Bun An melempar pedangnya dan sekali lompat, dia sudah melayang turun ke bawah loteng. Melihat tumpukan uang di atas meja-meja berserakan pula di bawah, dia teringat akan kebutuhan ibunya. Dia lalu mengambil semua uang itu, dimasukkan kedalam taplak meja, dibungkusnya lalu dipanggulnya. Sebelum pergi, dia memandang kepada semua orang dan berkata lantang, “Aku mengambil uang ini bukan merampok melainkan mengambil kembali sebagian dari harta ibuku yang dihamburkan ditempat ini. Kalau ada yang penasaran, carilah aku, Siauw-kai!” Lalu dia keluar dari tempat judi itu dengan tenang. Tak seorangpun berani bergerak melarangnya, bahkan tidak ada yang berani bergerak sebelum Bun An pergi jauh dari tempat itu.
Dengan uang yang diambilnya dari tempat judi, Bun An mengajak ibunya untuk pulang ke dusun tempat asal ibunya. Di dusun ini, Bun An membeli rumah sederhana dan sebidang tanah. Karena desakan ibunya, dia membuang pakaian jembelnya dan mengenakan pakaian biasa. Jadilah dia seorang pemuda yang tampan dan karena uang yang diambilnya dari rumah judi tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk membeli sebidang tanah dan pakaian untuk dia dan ibunya, perabot rumah sederhana, maka uang itupun habis dan Bun An bersama ibunya harus bekerja di lading untuk keperluan sehari-hari.
Beberapa bulan kemudian, setelah ibu dan anak itu hidup tenang di dusun itu, Kui Hui mulai membujuk puteranya untuk menikah. “Usiamu sudah cukup, anakku, dan akupun sudah ingin sekali menggendong cucu. Gadis keluarga Lui di dusun sebelah amatlah cantiknya, merupakan kembang dusun-dusun di daerah ini. Aku ingin melamarnya untukmu, ankku.”
Bun An tersenyum. Memang, usianya sudah duapuluh tahun lebih, dan diapun sudah pernah melihat gadis yang dimaksudkan ibunya itu. Gadis keluarga Lui itu bernama Kim Bwe berusia delapan belas tahun, dan memang cantik sekali bagaikan setangkai bunga Bwe! Maka diapun mengangguk dengan senang, menyatakan setuju.
Pinangan diajukan dan diterima dengan senang oleh keluarga Lui, apalagi karena
keluarga itu melihat Bun An adalah seorang pemuda yang tampan sekali. Juga rajin bekerja, dan masih berdarah bangsawan, karena kepada perantara Kui Hui membisikkan bahwa puteranya adalah turunan keluarga Tang di kota raja yang pernah menjabat kedudukan tinggi.
Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana namun cukup meriah bagi penghuni dusun, dan Bun An memboyong isterinya kerumahnya. Karena memang isterinya memang cantik manis dan lembut, mudah bagi Bun An untuk jatuh cinta kepada Lui Kim Bwe dan selama berbulan-bulan sejak pernikahan mereka, kedua orang suami isteri muda ini hidup berenang dalam lautan kemesraan dan nampaknya saling mencinta.
Akan tetapi, diam-diam wanita muda yang pernah menjadi kembang dusun itu kadang-kadang merasa menyesal dan kecewa bukan main. Setelah gairah api berahi mulai mengecil dan tidak sepanas pada masa pengantin baru, isteri yang masih muda belia ini mulai melihat kenyataan betapa ia masuk kedalam kehidupan keluarga yang amat sederhana, kalau tidak dapat dinamakan miskin. Suaminya memang tampan, akan tetapi apa artinya ketampanan kalau kehidupan mereka demikian sederhana, bahkan sama tidak mewah? Memang, harus diakui bahwa sebagai isteri petani muda, ia tidak kekurangan makan. Akan tetapi makanan sederhana, dengan sayur-sayur, jarang bertemu daging. Dan pakaiannya! Sudah hampir setahun ia menikah, belum satu juga bertambah pakaiannya dan ia harus memakai pakaian-pakaian yang dibawanya dari rumah, walaupun memang pakaian itu belum rusak. Sejak masih muda sekali, Kim Bwe menjadi kembang didusunnya, bahkan kecantikannya terkenal di dusun-dusun tetangga, dan banyak sudah pemuda-pemuda anak orang kaya, bahkan orang-orang yang memiliki kedudukan seperti kepala dusun dan lain-lain tergila-gila kepadanya. Akan tetapi orang tuanya memilih dan menerima pinangan Tang Bun An! Tadinya ia mengira bahwa Tang Bun An selain seorang pemuda tampan, juga tentu anak kaya raya karena bukankah dikabarkan bahwa Tang Bun An puter bangsawan tinggi di kota raja yang sudah meninggal? Tentu menerima banyak warisan, sebagai putera bangsawan! Akan tetapi, setelah menjadi isteri Bun An, ia melihat kenyataan bahwa pemuda itu sama sekali tidak memiliki apapun kecuali sawah ladangnya yang tidak berapa luas, dan rumah yang sederhana pula!
Setelah pernikahan itu berjalan setahun lamanya, barulah wanita muda bernama Lui Kim Bwe itu melihat kenyataan bahwa ketampanan wajah suaminya saja tidak dapat membuat ia merasa bahagia. Ketampanan wajah itu memang mengasyikkan selama beberapa bulan, akan tetapi kemudian ia menjadi bosan, apalagi kalau ia melihat wanita-wanita lain yang kaya didusun itu atau pendatang dari kota, yang mengenakan perhiasan gemerlap, pakaian sutera halus indah yang mahal, sepatu yang indah pula, naik kereta yang mewah!
Mulailah nyonya muda ini bersikap tidak manis kepada suaminya, bahkan ia mulai suka berkunjung ke rumah tetangganya, seorang janda setengah tua yang disebut Bibi Ciok dan disini, ia melampiaskan kekecewaan dan penyesalan hatinya kepada tetangga ini. Ia sama sekali tidak pernah mau membantu suaminya yang sibuk di sawah ladang, bahkan tidak mau membantu ibu mertuanya yang sibuk di dapur dan dirumah. Dan Bibi Ciok, seorang wanita pelacur di kota dan setelah tua dan berhasil mengumpulkan uang lalu pulang kedusun dan hidup sebagai seorang janda yang tidak kekurangan makan karena memiliki sawah yang cukup, mendengar keluhan dan celaan Kim Bwe, tidak tinggal diam. Iapun menanggapi, bahkan menyatakan ikut menyesal mengapa Kim Bwe yang pernah menjadi kembang beberapa buah dusun di sekitar situ, yang diperebutkan banyak orang kaya, kini menjadi seorang isteri seorang pria yang miskin!
“Kasihan sekali engkau ini, Kim Bwe,” demikian antara lain Bi Ciok berkata dan ia sudah akrab sekali dengan nyonya muda ini sehingga mengambil namanya begitu saja. “Seorang wanita muda yang cantik jelita dan manis seperti engkau ini, kalau dikota raja sudah menjadi isteri seorang pemuda kaya raya, bahkan tidak aneh kalau engkau menjadi isteri bangsawan! Sedikitnya isteri muda yang hidup berenang dalam kemuliaan dan kekayaan. Akan tetapi disini, engkau hanya menjadi isteri seorang petani. Memang Tang Bun An itu seorang putera bangsawan, akan tetapi bangsawan itu telah meninggal dunia dan kau tahu? Ibunya diusir dari sana karena disangsikan bahwa Tang Bun An itu putera bangsawan Tang, mungkin anak dari hasil hubungan gelapnya dengan seorang perwira pengawal! Dan setelah keluar dari keluarga Tang, ibu Bun An itu menjadi seorang pelacur!”
“Ahhh.....!” Kim Bwe terbelalak dan mukanya berubah merah.
“Aku berani bersumpah, Kim Bwe! Aku melihat dengan kedua mataku sendiri!” kata Bibi Ciok dan hal ini memang bukan bohong, karena ia sendiri pernah menajdi pelacur, maka pernah pula melihat ibu Bun An yang sangat terkenal ketika mula-mula jadi pelacur.
Demikianlah, Kim Bwe mulai keracunan hatinya dan ia merasa lebih dekak dengan Bibi Ciok daripada dengan ibu mertuanya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bibi Ciok yang bermata tajam! Seorang wanita muda seperti Kim Bwe ini, yang sedang mengalami kekecewaan dan penyesalan terhadap suaminya, yang haus akan kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, merupakan seekor domba yang jinak dan daging yang lunak bagi para serigala dan buaya. Ia melihat kesempatan terbuka lebar baginya untuk mengeduk keuntungan sebanyaknya.
Demikianlah, sebagai seorang wanita berpengalaman, Bibi Ciok dapat menghubungi Lai-jung-cu (Lurah Lai), yaitu lurah dari dusun tempat Kim Bwe yang pernah tergila-gila kepada Kim Bwe. Lurah ini kaya raya dan terkenal mata keranjang, dan pernah Bibi Ciok mencarikan seorang gadis dusun untuk menjadi mangsa lurah yang haus perempuan ini, karena itulah maka ia berani menghubungi Lai-jung-cu dan menceritakan bahwa ia mampu membantu lurah itu kalau masih ada gairah besar terhadap Lui Kim Bwe yang kini telah menjadi nyonya Tang Bun An. Mendengar ini, tentu saja sang lurah yang mata keranjang menjadi girang sekali. Bibi Ciok menceritakan betapa Kim Bwe kini setelah menikah, bagaikan setangkai bunga yang menjadi mekar semerbak harum dan amat menggairahkan. Tentu saja mula-mula sang lurah khawatir dan tidak percaya, namun Bibi Ciok menenangkan hatinya.
“Kalau memang Jung-cu berhasrat, jangan khawatir. Saya akan mengaturnya dan takkan ada seorangpun yang mengetahuinya. Setiap hari, suaminya sibuk di sawah dan ibu mertuanya sibuk di dapur. Hampir setiap hari si deok cantik itu bermain-main kerumah saya dan ia seperti anak saya sendiri!” Lalu keduanya mengatur siasat. Sang lurah akan berkunjung ke rumah janda tua ini, dan sang janda yang akan mengatur agar kedua orang itu akan dapat bertemu dirumahnya!
Di rumahnya, Bibi Ciok juga mulai mengatur siasatnya, seperti seekor laba-laba yang membuat jaring halus untuk membuat perangkap dan menangkap lalat yang bukan lain adalah Kim Bwe! Mulailah ia bercerita, seperti sambil lalu, kepada Kim Bwe ketika nyonya itu datang berkunjung, betapa ia baru saja pulang dari dusun tempat asal Kim Bwe. Tentu saja wanita muda itu segera tertarik dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Kebetulan sekali aku bertemu dengan Lai-jung-cu, engkau tahu lurah dari dusunmu itu, yang masih gagah dan ramah sekali? Juga dia terkenal kaya dan dermawan.”
Kim Bwe mengangguk. Tentu saja ia mengenal lurah itu, bahkan dikenalnya sejak ia masih kecil.
“Kau tahu, Kim Bwe, Lai-jung-cu itu masih terhitung saudara misanku. Ketika kuceritakan bahwa engkau kini tinggal bertetangga dengan aku, dan seringkali datang berkunjung, dia kegirangan bukan main dan bertanya banyak sekali tentang dirimu. Nampaknya dia rindu sekali kepadamu, Kim Bwe.”
Kim Bwe mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. “Ah, kenapa begitu? Dia tidak mempunyai hubungan dengan aku.”
“Aihhh! Benarkah engkau tidak tahu, Kim Bwe? Sejak dahulu, lurahmu itu tergila-gila kepadamu dan dia amat mencintaimu, Kim Bwe. Mencintai setengah mati dan dia mau mengorbankan apapun asal dapat bertemu denganmu!”
“Ah, Bibi Ciok.....!” Kim Bwe menjerit kecil dan pura-pura marah. “Aku tidak mau mendengarkan orbrolanmu ini, dan biarlah aku pulang saja!” Iapun memperlihatkan sikap marah dan bilang hendak pulang, akan tetapi tidak beranjak dari kursinya!
Bibi Ciok yang berpengalaman itu lalu menubruk dan merangkulnya. “Maafkan aku, anak baik. Bukan maksud untuk membikin kau kikuk dan tidak enak hati. Aku hanya berkata yang sesungguhnya saja. Dan dia, lurah itu, juga tidak bermaksud menghinamu. Dia amat menghormatimu, menghargaimu seperti seorang bidadari dari langit!”
Demikianlah, sedikit demi sedikit, sang laba-laba mulai memancing dan memasang umpan pada perangkapnya untuk menjebak lalat itu! Dengan rayuannya, Bibi Ciok akhirnya berhasil membujuk Kim Bwe untuk berwajah cerah lagi, bahkan mendengarkan wanita tua itu mengobrol dan memuji-muji lurah Lai itu tidak begitu tua dan masih amat kuat, bahkan terkenal dikalangan para wanita sebagai seorang pencinta dan perayu besar yang amat menyenangkan hati wanita. Selain itu, royal pula dengan hadiahnya sehingga banyaklah wanita-wanita muda, baik masih perawan, janda maupun yang masih bersuami, bermimpi untuk dapat dipilih lurah itu menjadi kekasihnya!
Dijejali pujian-pujian atas diri lurah itu, ketika pulang, malam itu Kim Bwe tak dapat tidur. Ia membayangkan wajah Lurah Lai yang selamanya belum pernah diingatnya!
Dan beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat yang sudah diatur oleh Bibi Ciok, selagi Kim Bwe pagi-pagi sudah datang berkunjung muncullah Lurah Lai! Dari luar, lurah itu sudah berteriak-teriak memanggil Bibi Ciok yang berpura-pura kaget. Tentu saja seketika Kim Bwe menjadi merah mukanya dan iapun bangkit untuk pergi dari situ. Akan tetapi Bibi Ciok cepat mencegahnya.”Aih, Kim Bwe, hal ini hanya terjadi kebetulan saja. Engkau tamuku, dan dia datang bertamu, apa salahnya? Kalau engkau pergi, berarti menghinanya dan juga membuat aku merasa tidak enak sekali. Duduklah, dan tinggallah sebentar saja!” Kim Bwe terpaksa duduk kembali.
Muncullah lurah itu dengan pakaian mewah dan rambutnya tersisir rapi! Dan kedua tangannya membawa beberapa gulung kain sutera beraneka warna, indah sekali.
“Bibi Ciok, aku datang membawa hadiah untukmu!” katanya pura-pura tidak melihat Kim Bwe yang duduk di sudut.
Bibi Ciok menyambut dengan girang bukan main. Ia menerima gulungan-gulungan sutera itu dan memuji-mujinya. Pada saat itu, agaknya baru lurah itu melihat Kim Bwe dan ia berseru kaget.
“Aih, Bibi Ciok......! Siapa...... siapa..... ah, apakah ada seorang dewi dari langit yang turun......?”
Bibi Ciok tertawa genit. “Ihh, masa Jung-cu lupa? Ia adalah Kim Bwe!”
“Ya Tuhan….. !” Lurah itu berseru dan matanya terbelalak, memandang kagum sekali. “Tiada ubahnya seorang bidadari…. ah, maaf, sungguh aku tidak mengenalmu lagi nona Kim Bwe…. eh, sekarang nyonya ya, maafkan aku.”
Kim Bwe sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali seperti udang direbus, akan tetapi membuat mukanya menjadi semakin cantik, mulutnya menyungging senyum dan matanya melirik dari bawah. “Ah, Jung-cu terlalu memuji….. Bibi, aku pamit pulang saja…..”
“Nanti …… dulu ……. duduklah sebentar …..!” kata Bibi Ciok yang segera pergi kebelakang pura-pura hendak mengambil minuman.
“Benar, nyonya, bukankah kita sudah saling mengenal sejak dahulu. Ah, kebetulan sekali hari ini hari baik, aku menerima banyak keuntungan dari kota raja, dari penjualan rempah-rempah dan aku sedang suka sekali memberi hadiah. Bibi Ciok kuhadiahi kain-kain sutera, dan akupun ingin memberikan hadiah kepadamu. Nah, apa ya? Tidak ada yang cukup berharga untukmu. Biar kuambilkan dari rumah, kupilih yang paling berharga. Akan tetapi, sementara ini, terimalah sedikit barang ini…..” Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku bajunya, membuka kotak kecil itu dan menyerahkannya kepada Kim Bwe.
Dari sudut matanya, Kim Bwe melihat kotak kecil terbuka itu dan mukanya berubah pucat lalu merah kembali. Kotak itu berisi perhiasan dari emas permata yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan! Belum pernah ia melihat perhiasan seindah itu, apalagi memakainya! Ia tidak berani menerima dan hanya menundukkan mukanya. Pada saat itu, Bibi Ciok keluar membawa seguci arak dan melihat lurah itu meletakkan sebuah kotak terbuka berisi perhiasan diatas meja di depan Kim Bwe, ia mengeluarkan seruan kagum.
“Aihh …..! Perhiasan yang begini indahnya! Kim Bwe, engkau boleh menerima pemberian itu. Ah, cobalah betapa pentasnya engkau memakai perhiasan ini!” Dan setengah memaksa nenek itu mengenakan gelang dan cincin di tangan Kim Bwe yang membiarkannya saja sambil menundukkan mukanya. Ketika Bibi Ciok hendak memasangkan hiasan rambut dan kalung, lurah itu menghampiri dan berkata,
“Biarlah aku yang membantu memakaikannya!”
Antara lurah itu dan Bibi Ciok lalu terjadi permainan mata. Seperti telah mereka rencanakan, melihat betapa Kim Bwe mandah saja, hal itu berarti bahwa umpan dan pancingan mereka mengena. Bibi Ciok tersenyum, mengangguk dan iapun keluar dari rumahnya sendiri, untuk berjaga diluar!
Lurah Lai lalu mengambil hiasan rambut dan mengenakan hiasan itu dirambut kepala Kim Bwe. Wanita ini menggerakkan kepala seperti hendak mencegah, dan ia kelihatan gugup melihat betapa pintu depan ditutup dari luar oleh Bibi Ciok. Akan tetapi Lurah Lai berseru, “Aih, betapa indahnya rambut! Betapa hitam, halus, panjang, dan harum pula. Dan cocok sekali memakai hiasan rambut. Dan ini kalungnya, biarlah kupakaikan…..” Dan diapun mengenakan kalung itu dileher Kim Bwe, menyetuh kulit leher, membelainya dan di lain saat, lurah itu telah merangkul leher Kim Bwe, menciumi leher itu lalu kemuka dan memondong Kim Bwe memasuki kamar Bibi Ciok! Kim Bwe hampir pingsan karena malu dan jantungnya berdebar tegang, namun ia tidak berani berteriak karena malu, dan juga pemberian itu telah melunakkan hatinya dan iapun mandah saja ketika Lurah Lai menyatakan cinta dan kagum dengan perbuatan.
Demikianlah, betapa berbahayanya menjadi seorang wanita kalau menghadapi rayuan pria. Pria yang sudah tergila-gila kepada seorang wanita akan mempergunakan segala daya upaya untuk menjatuhkannya! Dia thau saja apa yang menjadi kelemahan hati seorang wanita! Dan kelemahan itu yang disinggungnya sehingga si wanita akan jatuh dan taluk!
Ketika perbuatan hina itu dilakukan oleh kedua orang dalam kamarnya, Bibi Ciok duduk diluar, tersenyum-senyum menghitung-hitung keuntungan yang akan dapat diperolehnya dari perjinaan antara dua orang yang sudah lupa diri itu!
Tidak ada kesenangan yang tidak diulang oleh manusia yang lemah ini. Setiap pengalaman yang menyenangkan, akan dicatat dalam ingatan dan kita selalu mendambakan pengulangannya. Demikian pula dengan Lurah Lai dan Lui Kim Bwe. Keduanya memperoleh kesenangan dari perjinaan itu, bukan hanya kesenangan karena terlampiasnya nafsu jalang, meliankian juga karena Kim Bwe menerima hadiah yang banyak. Hadiah-hadiah itu tentu saja tidak dibawa pulang oleh Kim Bwe, melainkan dititipkan kepada Bibi Ciok dan hanya dipakai kalau ia berkunjung ke rumah wanita itu.
Namun, sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, bau busuknya akan tercium juga, sepandai-pandainya orang menyembunyikan api, asapnya akan mengepul juga. Demikian pula dengan hubungan gelap antara Lui Kim Bwe dan Lurah Lai. Mulailah menjadi pergunjingan para tetangga ketika tanpa disengaja, seorang anak kecil yang kebetulan bermain-main di dekat rumah Bibi Ciok melihat kedua orang tamu itu, dan pada hari-hari berikutnya, anak itu sering melihat mereka. Hal ini diceritakan diluar dan ramailah penduduk mulai membicarakan hal-hal yang mencurigakan ini.
Akhirnya, berita itu sampai pula ketelinga Tang Bun An! Mula-mula, Bun An tidak percaya. Isterinya demikian lembut, nampak demikian sayang kepadanya, menyambutnya dengan mesra dan manis kalau dia pulang dari sawah ladang. Isterinya mempunyai hubungan gelap dengan seorang laki-laki lain. Tidak mungkin! Ketika dia bertanya kepada ibunya, ibunya juga tidak tahu. Biapun mendengar pula akan hal itu, Kui Hui pura-pura tidak tahu saja! Wanita ini agaknya juga tidak menganggap perbuatan mantunya itu terlalu buruk!
Pada suatu hari, Bun An meninggalkan sawah ladangnya ketika hari masih pagi dengan menggunakan kepandaiannya, dia kembali ke dusun tanpa diketahui orang. Dengan cepat dia menyelinap masuk kerumahnya dan bertanya isterinya tidak berada dirumah. Dia bertanya kepada ibunya.
“Ah, ia kesepian kalau engkau kesawah. Mungkin ia bermain ke rumah Bibi Ciok. Kenapa ribut-ribut? Ia masih muda dan membutuhkan hiburan. Biarkan ia main-main dan kau kembalilah le sawah,” kata Kui Hui dengan sikap acuh saja.
“Aku akan mencarinya disana!” kata Bun An, hatinya merasa tidak enak.
“Jangan nak. Perlu apa? Biar nanti aku yang menyusulnya, kau kembalilah ke sawah!” Ibunya membujuk, merasa tidak enak juga karena iapun sudah menduga bahwa berita yang didesas-desuskan itu boleh jadi ada benarnya.
Akan tetapi tanpa pamit lagi Bun An sudah melompat dan keluar dari rumahnya, menuju ke rumah sebelah dengan mengambil jalan dari belakang, melompati pagar! Dia melihat Bibi Ciok duduk seorang diri diluar rumahnya, maka diapun cepat menyelinap ke belakang dan memasuki rumah itu dari pintu belakang yang dibongkarnya.
Tak lama kemudian, dia mengintai dari jendela kamar dan dapat dibayangkan betapa perasaan hatinya mengalami keguncangan hebat ketika dia melihat isterinya berada di atas pangkuan seorang laki-laki dan mereka saling berciuman dan bercanda! Agaknya mereka baru saja selesai makan minum karena meja mereka masih penuh makanan dan arak!
“Brakkk!” Daun jendela itu hancur berantakan dan tubuh Bun An melayang masuk dari jendela. Dua orang yang sedang bermesraan di dalam kamar itu terkejut bukan main. Apalagi ketika mereka mengenal siapa yang memasuki kamar melalui jendela itu! Selama menjadi isteri Bun An, Kim Bwe tidak pernah tahu bahwa suaminya itu bukan hanya seorang petani biasa saja, tidak pernah menduga bahwa suaminya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Dan Lurah Lai juga tidak tahu, maka kini lurah itu hendak mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya.
“Kami telah bersalah, biarlah aku akan menebus kesalahan ini dengan uang! Berapa saja yang kauminta!” katanya sambil melepaskan tubuh kekasihnya. Kim Bwe sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar dan iapun berlutut sambil menundukkan mukanya. Bun An memandang laki-laki yang tidak dikenalnya itu, seorang pria berusia hampir limapuluh tahun, lalu memandang kepada isterinya. Isterinya mengenakan pakaian sutera yang amat indah, dan tubuhnya penuh dengan perhiasan emas permata yang tidak pernah dilihatnya. Mendengar ucapan pria itu, Bun An melangkah maju, tangannya menampar, tangan kiri Bun An seperti petir menyambar sudah mengenai pinggir kepalanya.
“Prakkk!” Tubuh lurah itu terjungkal dan dia roboh tak dapat bangkit kembali karena tamparan yang mengenai kepala itu membuat batok kepalanya retak dan lurah itu tewas seketika.
Tiba-tiba pintu daun kamar itu terbuka dari luar, dibuka oleh Bibi Ciok yang masuk bersama Kui Hui. Mereka mendengar suara hiruk pikuk di dalam kamar dan merasa khawatir. Bibi Ciok lalu membuka pintu dan pada saat itu, Kui Hui datang dan ikut masuk karena mengkhawatirkan anak dan mantunya. Begitu daun pintu terbuka, mereka masuk dan terbelalak melihat lurah itu sudah rebah di atas tanah dan darah mengalir dari kepalanya yang retak!
“Ahh….! Apa yang terjadi ini? Kau…… bagaimana berani memasuki rumahku….?” Bibi Ciok yang lurah itu tewas, kini menuding kepada Bun An dengan marah.
Sejak tadi Bun An sudah memandang nenek ini dengan wajah bengis. Dia tahu bahwa isterinya telah terbujuk oleh nenek ini, yang agaknya menjadi comblang dan menyediakan rumahnya untuk menjadi tempat perjinaan yang hina! Kini, melihat Bibi Ciok marah kepadanya dan melangkah maju, diapun mengayun kakinya menendang.
“Dess…..!” Bibi Ciok mengeluarkan suara menjerit ketika tubuhnya terpental dan terbanting kepada dinding kamar itu, lalu jatuh ke atas lanti. Ia merangkak dan mencoba untuk bangkit, akan tetapi, kembali Bun An mengayun kakinya, kini mengenai leher nenek itu
“Klokkk!”Leher itupun patah dan Bibi Ciok menggelepar, lalu diam tak bergerak karena nyawanya melayang.
“Ibu…. Ibu……..!” Kim Bwe kini merangkul ibu mertuanya dengan ketakutan. Tak disangkanya sama sekali akan begini akibatnya, betapa suaminya demikian marahnya dan melakukan pembunuhan-pembunuhan secara mengerikan.
Kui Hui merangkul mantunya dan berkata kepada Bun An, “Bun An, apakah engkau telah gila? Engkau membunuhi orang begitu saja! Engkau tentu akan ditangkap dan dihukum mati dan engkau mencelakakan kami, ibu dan isterimu!”
Perlahan-lahan wajah Bun An berubah merah sekali dan sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api ketika dia menatap wajah ibunya dan isterinya. “Kalian…. kalian perempuan ….. makhluk jahat, kalian sama saja! Kalian sungguh jahat, berkedok wajah yang cantik, tubuh yang mulus, sikap manis lemah lembut, namun batinmu kotor, kalian adalah makhluk-makhluk berhati jahat penuih racun! Terkutuklah kalian……!”
“Bun An! Aku ibumu sendiri, yang melahirkanmu!” Kui Hui membentak, marah mendengar anaknya mengutuk dan memaki-makinya.
Bun An tertawa, suara ketawanya bergelak dan menyeramkan sekali, seperti suara ketawa iblis, bukan suara manusia lagi, dan mukanya kini pucat, seperti mayat tertawa diam saja!
“Ha, ha, ha, ha, ha! Ibuku seorang perempuan jahanam! Seorang perempuan jahat, lebih hina dari pelacur! Ibuku telah mengkhianati suaminya sendiri, ayah kandungku! Ibuku berjina dengan laki-laki lain, kemudian meracuni suami sendiri, ayahku. Ibu lalu mencuri harta, hidup bersama laki-laki yang kubunuh itu, kemudian menjadi pelacur! Ya, ibuku seorang pelacur! Ibuku iblis betina!”
“Bun An….!” Kui Hui menjerit wajahnya pucat, matanya terbelalak.
“Dan kau…. kau Lui Kim Bwe, kau isteriku, kau cantik jelita, manis, mesra, bukan hanya wajahmu yang amat jelita, tubuhmu juga mulus, tapi kau tidak ada bedanya dengan ibuku. Engkau hanya seorang isteri yang menyeleweng, seorang perempuan yang berhati penuh racun busuk! Kalau dilanjutkan penyelewenganmu, bukan tidak mungkin suatu hari engkau akan meracuni aku pula. Engkaupun iblis betina dan kau layak mampus!” Tiba-tiba tubuh Bun An menerjang kedepan, tangannya bergerak.
“Prakkk!” Kui Hui menjerit, matanya terbelalak dan ia melepaskan rangkulannya kepada pundak mantunya ketika melihat betapa tubuh mentunya berkelojotan dalam dekapannya dan betapa kepala Kim Bwe sudah pecah berantakan dengan otak dan darah muncrat dan sebagian banyak membasahi bajunya sendiri!
“Ibu, kalau saja engkau bukan ibuku, tentu sekarang kubunuh pula! Akan tetapi, engkaupun jahat, sama dengan mereka. Aku malu untuk tinggal dan hidup bersamamu. Semua perempuan memang jahat, palsu, penuh racun!!” Dan Bun An lalu meloncat keluar dari rumah itu, tidak memperdulikan ibunya yang menjerit-jerit seperti orang gila karena merasa takut, ngeri dan juga batinnya terguncang oleh sikap dan kata-kata anak kandungnya sendiri tadi.
Akhirnya, para tetangga berdatangan dan mereka menemukan Kui Hui pingsan diantara tiga sosok mayat dalam kamar itu! Kui Hui jatuh sakit, mengigau dan berteriak-teriak, terserang demam hebat dan beberapa hari kemudian iapun menghembuskan napas terkahir! Dan orang-orang tidak berhasil menemukan Tang Bun An, kemanapun mereka mencari. Bahkan kematian seorang lurah telah membuat pasukan keamanan sibuk mencari-cari Bun An, namun tanpa hasil.
Bun An memang sudah melarikan diri jauh meninggalkan dusun itu! Dia tidak akan kembali lagi kepada ibunya, wanita pertama yang membuat dia membenci wanita! Setelah terjadi peristiwa dengan isterinya, hatinya semakin dipenuhi perasaan sakit hati dan benci kepada perempuan. Padahal, setiap kali melihat seorang perempuan, perhatiannya tertarik dan berahinya berkobar, namun dilubuk hatinya terdapat kebencian yang makin membesar terhadap kaum lemah ini.
***
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya itu, terutama sekali penyelewengan ibunya, kemudian isterinya yang amat melukai hatinya, masih belum membuat Tang Bun An menjadi seorang jai-hwa-cat. Biarpun dia mengalami guncangan batin, kepahitan yang dapat membuat hatinya mendendam, namun dia masih menganggap bahwa mungkin hanya kebetulan saja terjadi kepadanya, karena nasibnya yang sial sehingga dia dilahirkan oleh seorang wanita jahanam, dan berjodoh dengan wanita jahanam lain pula.
Dia meninggalkan dusunnya dan mulailah Bun An merantau. Dia telah menyelidiki siapa adanya pria setengah tua yang menjinai isterinya itu, dan ketika dia mendengar bahwa pria itu adalah lurah kaya dari dusun isterinya, dia cepat pergi ke dusun itu dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, dia mamasuki rumah Lurah Lai, dan mencuri harta lurah itu yang cukup banyak. Dengan harta curian inilah Bun An hidup merantau ke kota-kota dan dusun-dusun tanpa tujuan tertentu.
Pada suatu hari, tibalah Bun An di sebuah kota. Karena perutnya terasa lapar, diapun mamasuki sebuah rumah makan memesan makanan itu, dia melihat seorang wanita muda yang amat manis berada di dalam kantor rumah makan itu dan melihat sikap wanita muda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun itu, diapun dapat menduga bahwa wanita cantik itu tentulah majikan rumah makan itu. Tanpa disengaja wanita yang tadinya sedang menghitung unag itu mengangkat muka. Pandang mata mereka bertemu dan hati Bun An tertarik. Wanita itu memiliki mata yang indah sekali, dan mulut itupun tersenyum simpul. Mulut yang merah basah dan segar menantang! Diapun makan sambil mencurahkan perhantian ke kantor itu, biarpun matanya tidak memandang secara langsung. Dugaannya benar. Dia mendengar wanita itu bicara dengan seorang laki-laki berperut gendut yang menjadi majikan rumah makan, sebagai suaminya. Ketika dia melirik dan memperhatikan, laki-laki yang menjadi suaminya itu sedang menyerahkan uang sekantung kepada isterinya yang manis, dan laki-laki ini menurut pandangan Bun An, sama sekali tidak serasi dengan sebagai suami wanita yang demikian manis dan memiliki daya tarik yang amat kuatnya. Laki-laki itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya dan tubuhnya seperti bola, serba bulat! Perutnya gendut sekali dan muka yang bulat itu seperti muka kanak-kanak, dan melihat bicara dengan isterinya, pria itu amat mencintainya.
Sambil makan, Bun An merasa iri hati mendengar suara perempuan ini, agaknya ia mencintai suaminya, juga dicintai sehingga dalam suaranya terdengar kemanjaan dan kemesraan. Betapa bahagia suami yang mempunyai seorang isteri seperti ini! Agaknya selain pandai membantu pekerjaan suami, juga amat mencinta suami dan wanita ini tentu setia kepada suaminya! Tidak seperti isterinya, tidak pula seperti ibunya. Setelah dia membayar harga makanan dan keluar dari rumah makan itu, hatinya tak pernah dapat melupakan wanita pemilik rumah makan tadi. Seorang wanita hebat! Seorang isteri pilihan! Kalau hidup didampingi seorang isteri seperti itu, alangkah bahagianya!
Malam itu, di dalam kamar rumah penginapan, Bun An tidak dapat tidur. Dia berbaring dengan gelisah karena wajah wanita pemilik rumah makan itu selalu terbayang di depan matanya! Akhirnya, diapun keluar dari kamarnya, bahkan lalu keluar dari rumah penginapan itu dan seperti orang mimpi saja, kakinya melangkah menuju ke arah rumah makan tadi! Rumah makan itu, seperti took-toko lain di jalan raya itu, telah ditutup dan keadaan di jalan itu sudah sunyi. Malam itu memang dingin sekali, membuat orang malas sekali untuk keluar rumah.
Bun An lalu mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk meloncat ke atas genteng dan bagaikan seekor kucing saja, dia berloncatan di atas genteng tanpa mengeluarkan suara berisik. Akhirnya, dia mendekam di atas sebuah kamar dan mengintai ke dalam kamar melalui genteng yang dibukanya. Kamar inilah yang dicarinya setelah dia tadi mencari-cari dan mengintai ke dalam rumah. Kamar dari suami gendut bersama isterinya yang manis.
Sedikitpun tidak ada niat dalam hati Bun An untuk datang mengganggu wanita manis itu, dia memang tertarik, dan kagum sekali karena menganggap wanita itu seorang isteri yang dapat membahagiakan suami, dan dia hanya ingin tahu benarkah dugaannya itu. Ketika dia mengintai ke dalam, dia melihat wanita yang dipikirkannya sejak siang tadi telah berada di atas pembaringan. Memang seorang wanita yang amat menarik sekali, pikirannya sambil memandang dengan jantung berdebar. Wanita itu mengenakan pakaian dalam yang tipis dan merangsang, dan tidur telentang dengan sikap yang menantang dan memikat pula. Ia belum tidur, rebah telentang sambil bermain-main dengan mata kalungnya. Baju didadanya terbuka memperlihatkan bukit dada yang membusung. Suami itu tidak nampak.
Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki berat dan suami yang gendut itupun menggelinding masuk! Nampak dari atas, kaki pria itu tertutup oleh kepala dan perut yang bulat maka kelihatan memang seperti menggelinding saja dan Bun An tersenyum. Pria itu memang lucu dan menggelikan, akan tetapi isterinya sungguh memikat. Seperti juga isterinya, pria itu mengenakan pakaian tidur yang longgar dan membuatnya nampak semakin lucu. Ketika sang suami memasuki kamar, isterinya menghentikan permainannya dengan mata kalung, lalu bangkit duduk dan tersenyum manis sekali.
“Lama benar sih, aku sudah menantimu sejak tadi…..,” kata sang isteri dengan suara manja dan sikap mesra sekali, bahkan wanita itu mengembangkan kedua lengannya seolah-olah memberi isyarat bahwa dia sudah siap untuk menerima pria gendut itu dalam pelukannya.
Akan tetapi, pria itu menghela napas panjang dan mengelus perutnya yang gendut, “Aku menghabiskan sisa bakmi tadi, dan perutku kenyang sekali. Aaahh, tubuhku lelah, dan aku ngantuk sekali. Aku mau tidur saja, besok harus bangun pagi-pagi persediaan daging babi habis, besok harus mengatur penyembelihan babi ….. auuuuuhhhhhh …….” Pria itu menguap lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan. Pembaringan itu bergoyang dan mengeluarkan suara menjerit seperti menerima tubuhnya yang gembrot. Akan tetapi, dia segera miringkan tubuh, membelakangi isterinya dan belum ada lima menit dia sudah tidur mendengkur seperti babi yang disembelih!
Isteri itu mengerutkan alisnya, masih duduk memandang suaminya, menggeleng-geleng kepala dan beberapa kali menghela napas panjang, nampaknya jengkel sekali. Setelah suami itu mendengkur dengan nyenyaknya, wanita yang manis itu perlahan-lahan turun dari atas pembaringan, memadamkan lilin di atas meja. Bun An sudah siap untuk pergi, akan tetapi dia tertarik ketika melihat bayangan wanita itu berjingkat-jingkat menuju ke pintu kamar! Wanita itu setelah memadamkan api lilin, tidak kembali tidur di atas pembaringan, melainkan keluar dari kamar itu!
Dengan hati tertarik sekali, Bun An lalu melayang turun dari atas genteng, lalu menyelinap ke dalam rumah itu, lalu mengintai dari bawah, mengikuti bayangan wanita itu yang dengan hati-hati kini melangkah menuju kebelakang. Didekat dapur terdapat sebuah kamar lain yang bentuknya kecil, dan nampak wanita itu dengan perlahan mengetuk pintu kamar ini. Tiga kali, berhenti, lalu tiga kali lagi, berhenti, lalu tiga kali lagi, berhenti, demikian berkali-kali sehingga Bun An dapat menduga bahwa ketukan itu adalah ketukan rahasia yang merupakan isyarat.
Daun pintu kamar itu terbuka dan sesosok tubuh pria yang tinggi besar nampak muncul. Biarpun cuaca tidak begitu terang, namun Bun An segera mengenal wajah orang itu sebagai wajah pelayan rumah makan yang siang tadi melayaninya! Agaknya, pelayan rumah makan itu selain bekerja di rumah makan, juga memperoleh pondokan disitu.
“Aih, masih sore begini engkau berani ke sini…….?” Pria itu berbisik.
“Sssstt, dia sudah tidur mendengkur seperti babi!” kata si wanita yang segera menubruk pria itu. Pria itu menyambut dengan pelukan dan mereka berciuman, daun pintu itu ditutup kembali! Hampir saja Bun An tertawa bergelak melihat adegan ini! Tertawa karena dianggapnya lucu, dan betapa tololnya dia! Dikiranya wanita itu seorang isteri yang setia dan baik, yang membahagiakan suaminya! Ternyata, tiada bedanya seujung rambutpun dengan isterinya sendiri. Wanita iblis berhati kotor penuh racun!
Dengan beberapa loncatan saja, Bun An sudah berada di dalam kamar pria gendut, suami yang tidur mendengkur itu. Dia menyalakan lilin, lalu menotok leher dan pundak pria gendut pemilik rumah makan itu sehingga pria itu seketika menjadi gagu dan terkulai lemas. Bagaikan orang menyeret seekor babi, Bun An menyeret keluar dari dalam kamar, menuju ke kamar belakang dimana isteri pemilik restoran tadi bercumbu dengan pelayannya. Sekali tending,d aun pintu itu roboh dan Bun An menepuk pundak dan leher si gendut, memulihkan dia masih sempat melihat dua insan yang tak tahu malu itu bergumul di atas pembaringan, lalu Bun An berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu. Sambil tertawa bergelak loncat ke atas genteng, masih sempat mendengar suara ribut-ribut di bawah. Suara makian dan jerit tangis wanita. Namun dia tidak perduli lagi dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aneh, dia merasa lega dalam dadanya! Kenyataannya bahwa wanita yang manis dan menarik perhatiannya itu ternyata tiada bedanya dengan mendiang isterinya, membuat dia merasa lega karena kini tidak ada lagi iri hati menggoda hatinya! Dia melihat kenyataan akan kelemahan wanita cantik. Isterinya lemah karena menginginkan kekayaan dan terjatuh ke dalam lembah kehinaan karena mengejar kekayaan. Isteri pemilik rumah makan itu lemah dan terjatuh ke dalam lembah kehinaan karena mengejar kenikmatan sex yang tidak bisa didapatkannya dari suaminya. Mendiang isterinya juga tidak akan mungkin mendapatkan kekayaan darinya, suaminya. Apakah kalau begitu, untuk membuat seorang isteri setia, maka dua hal itu harus dipenuhinya, yaitu kekayaan dan sex yang cukup?
Tang Bun An masih juga merasa bimbang dan didalam perantauannya, dia mulai mengadakan penyelidikan sendiri. Setiap kali dia bertemu dengan isteri orang yang cantik, maka dia lalu menggodanya! Dia menggunakan rayuan, atau uang, untuk menjatuhkan hati mereka dan dia mendapatkan kenyataan yang pahit, yang membuat dia semakin tidak percaya kepada wanita, bahwa sedikit sekali isteri orang yang menolak semua rayuannya dan setia kepada suaminya. Dari sepuluh wanita yang menjadi isteri orang, hanya dua atau tiga orang saja yang setia dan mereka yang setia ini bukan termasuk yang tercantik!
Semua pengalaman dengan wanita yang dicobanya inilah yang membuat suatu watak yang aneh dalam diri Tang Bun An! Dia mulai menanam benih-benih kebencian dan memupuknya benih yang mulai timbul karena ulah ibunya dan isterinya itu. Dia tidak mau menikah lagi karena tidak percaya kepada wanita, dan mulailah dia bertualang diantara wanita-wanita cantik. Dia juga berkeliaran diantara rumah-rumah pelacuran yang paling terkenal di setiap kota, bahkan mendatangi kota raja dan mengenal semua wwanita pelacur di kota raja. Mudah saja baginya untuk mendapatkan uang. Dengan menggunakan kepandaiannya, dia dapat memasuki gudang harta setiap orang bangsawan atau hartawan dan mengambil yang dibutuhkannya. Semua hasil pencuriannya itu dihamburkan habis dalam rumah-rumah pelesir. Jadilah Tang Bun An seorang laki-laki yang penuh pengalaman dan dia mempelajari segala macam kepandaian merayu dari wanita-wanita pelacur itu.
Setelah benih kebencian itu tumbuh subur, bersama dengan benih mata keranjang yang membuat dia mudah tertarik dan timbul gairahnya setiap kali melihat seorang wanita cantik, mulailah Bun An menggoda wanita-wanita yang dianggapnya cantik dan menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya. Dia tidak perduli, apakah wanita itu masih perawan, ataukah isteri orang! Dia mengguanakan rayuan dengan modal wajah tampan dan mulut manis, menggunakan uang, atau dengan bantuan obat perangsang, dan kalau semua itu tidak berhasil membuat wanita yang ditaksirnya bertekuk lutut menyerahkan diri dengan suka rela, dia tidak segan-segan mempergunakan kekerasan! Hal ini mudah baginya karena memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Tang Bun An menjadi seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat pemetik bunga, seorang tukang pemerkosa wanita, atau seekor kumbang yang suka menghisap madu kembang! Dia lupa yang menyebabkan banyak wanita menjadi isteri orang jatuh olehnya, bukanlah semata karena kelemahan wanita itu sendiri, melainkan juga disebabkan terutama sekali oleh ketampanan dan kegagahannya, kepandaiannya merayu.
Tang Bun An suka keindahan, dan tidak segan-segan pula merusak keindahan yang dikaguminya itu, demi kesenangannya, demi kepuasan hatinya, dan demi pelaksanaan dendam sakit hati dan kebenciannya. Dia menganggap dirinya seperti seekor kumbang yang beterbangan diantara kembang-kembang. Pada suatu hari, dia melihat betapa ganasnya seekor kumbang yang merahh menghisap kembang sampai layu dan rontok, dan betapa kumbang merah ini ganas pula menerjang setiap saingannya, yaitu kumbang lain untuk memperebutkan setangkai bunga yang harum dan segar. Karena tertaik dan kagum sekali kepada kumbang ini, maka Tang Bun An lalu membuat perhiasan berbentuk kumbang merah dan selanjutnya dia meninggalkan sebuah perhiasan ini kepada setiap orang wanita yang menjadi korbannya! Ada kalanya wanita itu dibunuh, yaitu mereka yang tidak mau menyerahkan diri secara suka rela, mereka yang melawannya, ataupun mereka yang mengecewakan hatinya karena tidak sehebat yang dibayangkannya semula! Entah sudah berapa ribu wanita yang menjadi korbannya selama puluhan tahun ini, dan berapa ratus yang telah dibunuhnya! Dan semenjak dia meninggalkan sebuah kumbang merah pada setiap orang wanita yang menjadi korbannya, hidup atau mati, di dunia kang-ouw mengenalnya sebagai Si Kumbang Merah (Ang Hong Cu)! Namun, si Kumbang Merah ini tidak pernah memperlihatkan wajah aslinya! Dia memang pandai menyamar dan selalu muncul dalam penyamaran. Karena itu, tidak ada seorangpun yang pernah melihat wajah aslinya dan hal ini menyukarkan para pendekar maupun para petugas keamanan untuk dapat menangkapnya! Para korban, wanita cantik yang bagaikan kembang sudah dihisap habis-habisan oleh kumbang merah ini, hanya mengatakan bahwa si Kumbang Merah itu adalah seorang pria yang perkasa dan tampan, namun wajah yang digambarkan oleh semua wanita itu berbeda-beda! Karena itulah, maka biarpun namanya amat terkenal, namun sampai puluhan tahun Ang Hong Cu tidak pernah dapat ditangkap biarpun para pendekar mengerahkan tenaga mereka untuk mencarinya.
***
Demikianlah riwayat singkat dari Ang-hong-cu yang bernama Tang Bun An! Nama Tang Bun An jarang dikenal orang, bahkan Ang-hong-cu sendiri sudah hampir tidak lagi mengingat namanya. Hanya pada wanita-wanita tertentu saja, yaitu korbannya yang benar-benar memikat hatinya, kadang-kadang dia memperkenalkan she (nama keturunan) Tang. Namun, hal ini jarang sekali terjadi. Kalau dia bertemu seorang wanita yang amat memikatnya, yang membuat dia hampir jatuh hati dan benar-benar mencintanya, dia hanya membuat wanita itu menjadi kekasihnya, seringkali dikunjunginya dan dilimpahkan kasih sayangnya, akan tetapi sesudah itupun sudah. Diapun berusaha secepat mungkin melupakannya dan mematahkan ikatan batinnya terhadap wanita itu, dengan jalan mencari dan mendapatkan seorang korban baru!
Ang-hong-cu juga tidak perduli apakah korbannya itu seorang murid dari sebuah perguruan besar. Sudah beberapa kali dia tidak segan-segan untuk mencemarkan nama perkumpulan besar dengan memperkosa pendekar-pendekar wanita yang menarik hatinya! Dan karena dia melakukan hal itu dalam penyamaran, maka para pimpinan perguruan silat yang besar itupun tidak berdaya, hanya tahu bahw murid perempuan mereka diperkosa oleh Ang-hong-cu. Akan tetapi mereka tidak tahu siapa itu Ang-hong-cu atau di mana bisa menemukannya!
Itulah kakek yang berusia limapuluh lima tahun itu, yang pada permulaan kisah ini kita temui sedang menuruni bukit dipagi hari itu dengan santai, dan wajah pria itu masih nampak gagah dan tampan. Itulah wajah Ang-hong-cu yang sebenarnya, wajah yang aseli. Wajah itu halus dan sama sekali tidak dikotori kumis atau jenggot, masih segar seperti wajah seorang pemuda saja. Langkahnya tegap dan tenang, seperti langkah seekor harimau, dan dari mulutnya terdengar nyanyian yang dinyanyikan dengan suara yang lepas dan merdu, suara yang mengandung kegembiraan dan juga kebanggaan kepada diri sendiri, yang mengarah kesombongan!
“Bebas lepas beterbangan
dari taman ke taman
mencari kembang harum jelita
untuk kuhisap sari madunya
setelah puas kunikmati
kutinggalkan kembang layu merana
untuk mencari kembang segar yang baru
Si Kumbang Merah, inilah aku!”
Dialah Ang-hong-cu si Kumbang Merah, jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang tiada keduanya di dunia ini! Laki-laki yang nampak jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya itu, tiba-tiba berhenti melangkahkan kakinya dan dia lalu duduk di atas rumput di lereng bukit itu. Daru tmpat dia duduk, didepannya terbentang keindahan alam yang menakjubkan. Dia duduk membelakangi matahari, memandand ke bawah sana. Semua bermandikan cahaya matahari pagi yang seolah-olah memberi kehidupan baru kepada segala yang nampak. Pohon-pohonan menjadi cerah, warna hijau bercampur dengan sinar matahari yang masih lembut kuning keemasan, padi-padian menghampar luas di depan, seolah-olah dengan satu langkah saja dia akan dapat melampaui hamparan di bawah itu. Dan duduk menghhadapi tamasya alam yang amat indah itu, di bawah sinar matahari pagi yang cerah, di hembus angin bersilir nyaman, seolah-olah menhanyutkan semangat Si Kumbang Merah kepada msa lampaui. Segala peristiwa yang mengesankan hatinya terbayang di dalam kepalanya, seolah-olah dia membalik-balik lembaran buku catatan penuh gambar yang mengasikan. Terlalu banyak wanita digaulinya, baik secara suka rela maupun paksa, demikian banyaknya sehingga jarang yang teringat olehnya, baik nama maupun rupa. Akan tetapi ada beberapa orang wanita yang meninggalkan kesan cukup mendalam di hatinya. Sebagai seorang manusia biasa, bukan tidak pernah dia jatuh cinta keada korbanya! Namun, selalu perasan cintanya di campakan jauh-jauh, dipandang sebagai racun ang berbahaya bagi dirinya sendiri. Tidak ada perempuan yang baik di dunia ini, demikian pikiran dan pendapatnya. Pendapat seperti itu memberi kekuatan kepadanya untuk membuang jauh-jauh cinta ksih yang timbul dan untuk memutuskan ikatan yang muncul kalau dia tertarik lahir batin kepada seseorang korbanya.
Biasnya, setelah memperkosa seorang korban atau menggauli seorang korban yang sukarela menyerahkan diri setalah jatuh oleh rayuannya, dia akan meninggalkan begitu saja, mati atau hidup, meninggalkan pula sebuah hiasan kumbang merah kepada korban itu. Akan tetapi, kalau hatinya tertarik oleh seorang korban dan timbul rasa sayangnya, dia akan mengunjungi korban ini beberapa kali sampai dia merasa bosan, atau samapai dia mengambil keputusan untuk segera meninggalkan wanita itu sebelum hatinya terikat!.
Tidak banyak wanita yang demikian itu. Dan yang paling mengesankan, bahkan sampai dia berusia setengah abad belum pernah dapat dilupakannya, adalah seorang gadis yang bernama Teng Bi Hwa. Sesuai dengan namanya, gadis berusia tujuh belas tahun itu benar-benar seperti bi-hwa (kembang cantik), bagaikan setnagkai bunga mawar sedang mekar semerbak! Begitu melihat Bi Hwa, Tang Bun An yang ketika itu masih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya, menjadi tergila-gila! Dia merasa sayang kalau harus memperkosa gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Didekatinya gadis itu, dirayunya. Karena dia memang tampan, pandai pula merayu seperti yang dipelajarinya dari para pelacur tingkat tinggi, dan dengan bantuan obat perangsang yang berhasil di campurkannya ke dalam minuman Bi Hwa, akhirnya dia berhasil membuat gadis itu bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya! Berhasillah Bun An mnguasai gadis itu lahir batin, membuat gadis cantik itu dengan suka rela menyerahkan diri. Bi Hwa baru sadar setelah semuanya terjadi. Gadis itu maklum bahwa ia diperkosa secara halus, akan tetapi karena iapun mencintai pemuda itu, ia berpegang kepada harapan agar Bun An yang hanya dikenalnya sebagai Tang-Kongcu (tuan muda tang) akan suka mengawini! Akan tetapi, pemuda itu hanya minta waktu saja, sementara setiap malam membawanya pergi dari kamarnya untuk bermain cinta, berasyik-masyuk, bermesraan berenang dalam lautan madu asmara sampai Bi Hwa menjadi mabok kepayang!
Dan hal yang paling dikhwatirkanpun terjadilah! Bi Hwa mengandung! Dan Tang-Kongcu minggat tampa pamit lagi, hanya meninggalkan sebuah hisan berbentuk kumbang emas! Bi Hwa menangis sampai pingsan, namun tidak berdaya, hanya menyesali kelemahan hatinya sendiri.
Teringat akan Bi Hwa Si Kumbang Merah tersenyum, akan tetapi senyum pahit. Harus diakuinya bahwa dia sungguh mencintai Bi Hwa! Hanya kebencian terhadap wanitalah yang membuat dia memaksa dirinya meninggalkan wanita itu, walaupun hatinya dipenuhi kerinduan selama berbulan-bulan sesudah dia pergi.
“Aahhh, semua itu telah berlalu!” Dia mencela diri sendiri dan mengusir bayangan Bi Hwa yang cantik. Tidak perlu memikirkan satu dua orang wanita, banyak sekali yang telah menjadi korbanya dan dia tidak merasa menyesal. Diapun tahu bahwa di diantara banyak wanita yang di tinggalkannya dalam keadaan hidup, apa lagi yang prnah menarik hatinya sehingga beberapa kali dia menggauli korban itu, yang kemungkinan besar mengandung anak keturunannya. Akan tetapi dia tidak peduli! Takan ada orang yang mengenal wajahku, pikirnya sambil mengusap wajah aslinya yang halus dan tampan. Dia selalu menyamar setiap kali menundukkan sseorang wanita, setiap kali terjun ke tempat ramai. Andaikata dia mempunyai keturunan, para wanita itupun tidak akan dapat memberitahu kepada anak mereka, bagaimana macam wajahnya, karena yang diberitahukan tentulah wajahnya yang palsu, hasil penyamaran. Dan namanyapun tidak ada yang pernah tahu, kecuali hanya she-nya, nama keturunannya yang kadang-kadang dia perkenalkan kepada beberapa orang wanita yang jatuh cinta kepadanya. Tang-Kongcu, hanya itulah yang mereka ketahui she-nya saja, kalau tidak tahu bagaimana wajah aselinya? Dan hiasan kumbang emas itupun tidak dapat memberi keterangan sesuatu, kecuali bahwa wanita itu menjadi korban Ang-hong-cu Si Kumbang Merah.
Dia lalu membayangkan bagaimana andaikata dia tidak behasil memutuskan ikatan dengan seorang di antara para korban itu yang menarik hatinya dan dicintainya. Tentu dia akan mengawini wanita itu dan hidup selama puluhan tahun di samping wanita itu, mempunyai beberapa orang anak. Dan kini, tentu dia sudah menjadi kakek, hidupnya terikat erat-erat seperti belenggu pada kaki tangannya, membuatnya tidaj leluasa bergerak! Dia tersenyum cerah. Ah, enakan begini! Bebas merdeka, boleh melakukan apa saja yang dikehendaki dan disenanginya, tampa ada halangan atau ikatan yang mengganggu!.
Tiba-tiba dia termenung. Kebebasan inipun terasa membosankan! Orang yang terikat tentu mendambakan kebebasan seperti dia, aneh sekali, kadang-kadang mendambakan ikatan! Memang aneh hidup ini! Yang nampak indah menyenangkan itu hanya segala yang belum didapatkan, belum di miliki, yang sedang dalam pengejaran. Kalau segala yang tadinya di dambakan itu sudah berada dalam tangan, lambat laun takkan terasa lagi keindahannya, bahkan dapat membosankan!
Rahasianya terletak kepada keinginan! Keinginan memiliki sesuatu yang tidak atau belum dimiliki menciptakan pengejaran! Dan pengejaran untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan inilah sumber segala konflik, sumber segala kesengsaraan dalam kehidupan ini. Pengejaran akan sesuatu yang belum kita miliki, karena itu lalu kita inginkan, membuat mata kita menjadi seperti buta, tidak lagi melihat apa yang ada pada kita! Mungkinkah kita hidup tampa membiarkan angan-angan menggambarkan keindahan dan kesenangan yang belum kita miliki sehingga kita selalu akan di hinggapi penyakit INGIN mendapatkan segala gambaran angan-angan itu? Tentu saja dapat kalu kita hidup seutuhnya, sepenuhnya menghayati apa adanya! Kalau pikiran kita di curahkan sepenuhnya kepada apa adanya, maka pikiran itu tidak mempunyai waktu luang lagi untuk termenung mengkhayalkan gambaran-gambaran keindahan yang belum ada. Sekali kita di hinggapi penyakit ingin mendapatkan sesuatu yang dianggap indahdan lebih menyenangkan, maka penyakit itu tidak akan pernah meninggalkan kita, kecuali kalau kita menghentikan seketika satu yang diingikan terdapat, timbul lain keinginanyang dianggap lebih baik dan lebih menyenagkan lagi, dan kita terus terseret ke dala lingkaran setan. Bukan berarti kita lalu mandeg, statis, berhenti atau mati, tidak kreatif lagi! Melainkan tidak menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki! Dengan cara menghayati segala yang ada pada kita sehingga kita akan mampu melihat bahwa dalam segala sesuatu terdapat keindahan itu!
Karena kini bayangan kesenangan dari kebebasnnya itu melenyap, tidak terasa lagi kesenangannya, Si Kumbang Merah lalu merenungkan hal-hal yang baru saja terjadi. Dia terpaksa melarikan diri! Dia, Ang-hong-cu yang perkasa, yang selama puluhan tahun malang-melintang, memetik setiap kembang, menghisap madunya dan menikmati keharumannya lalu mencampakkan begitu saja kembang yang sudah layu dalam remasan tangannya itu, dia kini melarikan diri! Sungguh lucu dan juga menyedihkan! Dia melarikan diri,karena kalau dia tidak lari, sekarang tentu dia telah mati, mungkin tubuhnya akan dihancur-lumatkan oleh para pendekar perkasa itu, yang tentu amat membecinya! Dan yang lebih menyakitkan hatinyalagi, seorang seorang diantara para pendekar itu, bahkan yang paling lihai, adalah seorang pemuda she tang, puteranya sendiri! Dia tidak tahu bagaimana bisa muncul seorang puteranya! Akan tetapi dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itu puteranya. Hal itu terbukti dari tiga hal. Petama, pemuda itu memilki sebuah hiasan kumbang emas, kedua, pemuda itu she tang, dan ke tiga dan hal ini amat meyakinkan hatinya, pemuda itu memiliki wajah yang mirip sekali dengan wajahnya di waktu muda! Hanya dia tidak tahu, siapa ibu pemuda itu, yang mana di antara gadis-gadis yang diperkosanya dan di hamilinya!.
Pertemuan dengan pemuda yang bernama Tang Hay itu terjadi secara kebetulansaja. Dia mendengar akan adanya pemberontakan oleh para tokoh sesat yang di pimpin oleh Lam-hai-Giam-Lo. Biarpun dia sendiri oleh para pendekar dianggap sebagai seorang penjahat kejam, seorangjai-hwa-cat dan di golongkan sebagai orang sesat, namun sesungguhnya belum pernah dia berkawan dengan golongan sesat. Bahkan dia condong untuk menentang perbuatan jahat dan bertindak sebagai seorang pendekar. Dia hanya mengambil uang dari gudang harta pembesar atau hartawan yang kaya raya, sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, bukan untuk bermeah-mewahan.
Maka, mendengar akan gerakan Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannyayang dia tahu amat berbahaya bagi keselamatan rakyat, karena perang pemberontakan hanya akan menjatuhkan banyak korban di antara rakyat dan yang sengsara oleh perang hanya rakyat kecil, maka diapun tidak tinggal diam. Dia lalu secara diam-diam membantu pemerintah untuk menentang gerombolan pemberontak ini. Untuk itu, dia menyamar dan memakai nama Han Lojin dan dia telah membuat jasa dalam bantuannya ini. Namun, dalam perjuangan ini, penyakit lamanya kambuh dan diapun tidak mampu menahan diri ketika melihat gadis-gadis pendekar yang cantik jelita dan menawan hati. (Baca Kisah Pendekar Mata Keranjang Bagian Pertama).
Secara kebetulan, dia bertemu dengan Tang Hay dan terkesan sekali melihat pemuda ini. Gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan dia harus mengakui bahwa tingkat kepandaiannya sendiri masih belum mampu menandingi kelihaian pemuda itu! Dan dia merasa yaakin bahwa Tang Hay adalah putera kandungnya, entah dari ibu yang mana! Dan dia melihat betapaTang Hay juga memiliki watak yang sama dengan dia, yaitu mata keranjang! Hanya bedanya, kalau dia setiap kali tertarik seorang wanita, langsung dia lalu melaksanakan hasrat hatinya dan menggoda wanita itu sampai dapat olehnya, baik dengan cara halus maupun kasar, sebaliknya pemuda itu hanya merayu dengan kata-kata saja dan tidak pernah melanjutkan. Bahkan kalau si wanita nampaknya sudah tertarik dan jatuh cinta, pemuda itu selalu mengelak dan tidak pernah mau menggaulinya! Hal ini membuathati Si Kumbang Merah menjadi kecewa dan penasaran sekali. Masa puteranya penakut seperti itu? Sungguh tidak jantan menurut anggapannya! Apakah puteranya yang diam-diam dibanggakannya karena memiliki ilmu silat yang amat tinggi itu ternyata seorang pengecut dan penakut? Ataukah mmempunyai kelainan sehingga tidak mampu menggauki wanita?.
Dia melihat betapa dua orang gadis pendekar yang amat cantik dan juga perkasa, diam-diam jatuh cinta kepada Tang Hay. Akan tetapi biarpun selalu bersikap manis bahkan mengeluarkan kata-kata yang merayudan pandai menjatuhkan hati setiap orang wanita, agaknya menganggap pergaulan mereka itu sebagai sahabat biasa saja dan tidak mau melangkah yang jauh. Ketika dia menduga bahwa Tang Hay di kekang oleh perasaan tata susila, hati si kumbang merah seperti tertusuk dan nyeri rasanya! Mereka yang menasihatkan agar pria selalu menghormati wanita ,memperlakukanya dengan sopan,agaknya belom tahu betapa jahatnya hati perempuan,demikian pikirnya.Rasa kecewa dan penasaran ini membuat Ang-hong-Cu bertindak lebih jauh lagi.Dia sengaja memperkosa dua orang pendekar wanita itu,dan sengaja melakukanya di tempat gelap dan dia menanggalkan penyamaranya sehingga wajahnya halus dan kedua orang gadis pendekar itu menduga bahwa pelaku pemerkosaan itu adalah Tang Hay!Biar tau rasa ,pikirnya.Harus kuajar dan kuberi contoh puteraku yang tolol itu!
Tentu saja terjadi geger.Dua orang pendekar wanita itu bukanlah orang-orang sembarangan.Yang seorang bernama Pek Eng,berusia tujuh belas tahun dan ia adalah puteri dari ketua Pek-sim-pang perkumpulan yang amat terkenal.Bahkan kakak dari gadis bernama Pek Eng itu adalah seorang pendekar yang amat sakti pula,bernama Pek Han Siong dan di waktu kecilnya amat terkenal dengan sebutan Sin Tong(anak ajaib) yang di jadikan rebutan oleh para tokok Kang-ouw!
Adapun gadis ke dua yang di perkosa Ang-hong-cu adalah seorang pendekar wanita berusia tujuh belas tahun lebih bernama Cia Ling.Dan pendekar wanita yang kedua ini adalah cucu buyut pendekar Lembah Naga,juga masih keluarga dari Cin-ling-pai!
Ketika menyadari bahwa perbuatanya itu akan merupakan ancaman maut bagi Tang Hay,diam-diam Ang-hong-cu merasa menyesal.semua pendekar sakti memusuhi Tang Hay yang disangka pelaku pemerkosaan itu,dan betapapun lihainya pemuda itu,mana mungkin kuat menghadapi para pendekar yang sakti ituy?maka dia pun lalu sengaja meninggalkan tanda hiasan kumbang merah dari emas,sebagai tanda bahwa pemerkosa kedua orang pendekar itu adalah Ang-hong-cu,bukan Tang Hay.
Akan tetapi,setelah melakukan pengakuan ini,dia sendiri harus cepat-cepat melarikan diri!kalau dia tidak lari,dan dia tertangkap sebagai penyamaran Ang-hong-cu,dia bisa mati konyol!
Demikianlah renungan yang bermain di dalam otak Ang-hong-cu Si kumbang merah itu!berkali-kali dia menarik napas panjang,tersenyum-senyum,menghela napas lagi.putreanya itu memang hebat.Hanya sayang,tidak cukup jantan sehingga tidak berani melanjutkan perbuatanya yang sudah dimulai dengan baik sekali itu.Agaknya,kalau puteranya itu mau mewarisi kebiasaanya,Tang Hay tidak perlu banyak melakukan pemerkosaan,karena sebagian besar wanita,mungkin semua,akan bertekuk lutut dan takluk hanya oleh rayuan mautnya!
“Huh,engkau lihai akan tetapi tolol!Memalukan aku yang menjadi ayah!”Akhirnya dia menympah-nyumpah dan bangkit berdiri.Wajahnya sudah cerah kembali karena semua kenangan tadi telah di usirnya.Dia harus mengakui bahwa semua petualangan itu akhirnya membosankanya.Semua wanita itu,yang merengek minta di sayang,atau merengek karena di perkosanya,akhirnya sama saja baginya mendatangkan kemuakan saja! Kalau dulu dia merasakan kenikmatan dan kesenangan yang besar,bukan hanya kesenangan menikmati tubuh para wanita itu,akan tetapi juga menikmati perasaan balas dendam terhadap permpuan pada umumnya,kini dia tidak lagi merasakan kenikmatan dan kesenangan itu.Dia bahkan muak! Kadang-kadang dia merasa seperti dengan binatang jantan yang memaksakan kehendaknya terhadap binatang betina,terjadi pemaksaan untuk pelampiasan nafsu.
“Aku sudah tua sekarang,”pikirnya menghitung-hitung usianya.”kalau ku lanjutkan petualanganku seperti yang sudah,apa akan jadinya dengan hari akhirku?”Dia melihat masa depanya suram.Sudah cukup dia membalas sakit hatinya kepada permpuan,dan kini sisa hidupnya harus diisi dengan perbuatan yang berguna,misalnya,mencari kedudukan agar kelak meninggalkan nama besar! Bukankah mendiang ayahnya juga bukan orang sembarangan,melainkan seorang bangsawan tinggi? Tentang ibunya……..ah,dia tidak perlu mengenang ibunya lagi.Semua permpuan memang tidak baik! Ang-hong-cu mengepal tinju.Aku kini akan menjadi seorang yang berjasa terhadap kerajaan,agar aku mendapatkan kedudukan yang mulia.Dengan demikian,hari tuaku akan terjamin,sebagai seorang terhormat dan mulia,bukan sebagai seorang Jai-hwa-cat yang dikutuk semua orang!Dengan pikiran ini wajahnya menjadi cerah sekali dan kini dia melangkahkan kakinya dengan tegap menuruni bukit.Tujuanya adalah kota raja,darimana dia berasal!Dan kini dia tidak perlu lagi menyamar.Dialah Tang Bun An,seorang yang terhormat! Tidak ada hubunganya dengan Ang-hong-cu lagi.
“Kumbang merah,maapkan saja,untuk sementara ini atau mungkin selamanya,namamu akan ku pendam.Kumbang Merah telah lenyap dan muncullah riwayat baru,ha-ha-ha!”
kalu ada kebetulan melihatnya,tentu menganggap bahwa yang sedang melangkah dengan tegap itu adalah seorang pria setengah tua yang tampan berwibawa,berwajah simpatik,ramah dengan mulut selalu tersenyum,sepasang matanya bersinar-sinar,pakaianya seperti seorang sasterawan,rapi dan bersih,seorang yang penampilanya mengesankan dan mendatangkan rasa suka kedalam hati orang lain.
***
Petualangan para tokoh sesat di dunia kang-ouw yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Giam-lo, melakukan pemberontakan, melibatkan banyak sekali tokoh sesat. Karena itu, para pendekarpun turun tangan membantu pemerintah sehingga pemberontakan itu dapat dihancurkan sebelum menjadi-jadi. Banyak sekali tokoh sesat yang tewas dalam pertempuran bebas antara para pemberontak dan pasukan pemerintah, dan antara tokoh-tokoh sesat dan para pendekar. Lam-hai Giam-lo sendiri, yang menjadi pemimpin bersama Kulana, seorang bangsawan dan pelarian Birma yangs akti, tewas dalam pertempuran itu. Hampir semua tokoh sesat yang membantu gerombolan pemberontak itu tewas, kecuali beberapa orang saja. Diantara para tokoh pimpinan, semua tewas kecuali dua orang yang termasuk pimpinan penting. Yang seorang adalah Sim Ki Liong, seorang pemuda berusia sekitar duapuluh dua tahun yang amat lihai karena dia ini adalah murid dari Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Murid ini sebenarnya adalah putera bekas musuh yang menyelundup dan berhasil menjadi murid Pendekar Sadis, dan setelah dia pandai, dia minggat, kemudian bergabung dengan para pemberontak. Nyaris dia tewas pula kalau tidak cepat mearikan diri!
Adapun tokoh kedua yang bernama Ji Sun Bu, seorang wanita cantik jelita berusia tigapuluh tahun, seorang wanita cabul berkepandaian tinggi dan berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun), ketika bertempur sebagai tokoh sesat yang membantu pemberontakan, terjatuh ke dalam jurang dan tidak ada yang tahu bagaimana nasibnya, namun melihat betapa jurang itu amat curam, semua orang mengira bahwa tentu iblis betina inipun telah tewas pula.
Di dalam pertempuran yang mati-matian itu, di pihak para pendekar banyak pula yang roboh dan tewas. Akan tetapi para pendekar yang terpenting, keluar dengan selamat. Diantara para pendekar yang kemudian kembali ke tempat tinggal masing-masing adalah Cia Kui Hong. Ia seorang gadis yang kini usianya sudah sembilan belas tahun. Wajahnya manis sekali, dengan mulut yang penuh gairah, hidungnya kecil mancung dan ujungnya, yaitu cupingnya dapat bergerak-gerak lucu, matanya tajam berkilat, kadang-kadang lembut dan jenaka. Sikapnya selalu manis dan jenaka, namun berandalan dan gagah perkasa. Muka yang bulat telur dengan dagu runcing itu memang manis. Sepasang pedang yang tergantung dipunggungnya mendatangkan kesan gagah berwibawa. Ia bukan seorang gadis biasa, walaupun manis sekali menggetarkan jantung setiap pria yang memandangnya. Ia adalah puteri ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah dapat menjadi bahan perkiraan bahwa tentu ia telah memiliki ilmu silat yang amat hebat, warisan dari ayah ibunya. Lebih hebat lagi, ibunya adalah puteri Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah! Dan gadis inipun selain mewarisi ilmu dari ibunya, juga pernah digembleng oleh kakek dan neneknya, sepasang suami isteri sakti di Pulau Teratai Merah. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya Cia Kui Hong, gadis manis itu!
Ketika terjadi pertempuran antara para tokoh sesat yang membantu pemberontakan dan para pendekar yang membantu pemerintah, Cia Kui Hong juga ikut berperan, bahkan ia merupakan seorang diantara tokoh-tokoh penting. Setelah pertemuan selesai, gadis inipun berpisah dari para pendekar lainnya, dan ia langsung pulang ke Cin-ling-pai, yaitu perkumpulan yang diketuai ayahnya di Pegunungan Cing-lin-san.
Cin-ling-pai merupakan sebuah diantara perkumpulan-perkumpulan atau perguruan silat yang besar pada waktu itu. Banyak pendekar besar gagah perkasa dan budiman datang dari Cin-ling-pai, sebagai murid perguruan ini. Perguruan ini amat terkenal karena memang murid-muridnya pilihan, dan perkumpulan itu memegang teguh peraturan, berdisiplin dan keras terhadap murid-muridnya sehingga sudah terkenal di dunia persilatan bahwa Cin-ling-pai adalah tempat orang-orang gagah. Ketika Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai untuk membantu pemerintah membasmi pemberontak, terjadilah hal-hal yang hebat dalam keluarga ayahnya.
Ayahnya, Cia Hui Song yang menjadi ketua Cin-ling-pai, hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu ia seorang. Hal ini membuat kakeknya, yaitu Cia Kui Liang merasa tidak puas. Kakek ini menginginkan seorang cucu laki-laki, seorang keturunan yang akan melanjutkan silsilah keluarga Cia. Karena itu, dia memaksa puteranya untuk menikah lagi agar dapat memperoleh keturunan laki-laki.
Hal ini menimbulkan masalah besar dalam keluarga Cia.Istri ketua itu,Ceng Sui Cin,ibu Kui Hong,adalah seorang wanita yang keras hati,puteri pendekar sadis ini sama sekali tidak setuju dan menantang kehendak ayah mertuanya itu,Hui Song yang menjadi bingung,berada di tengah antara ayahnya dan istrinya.Dia tidak mampu menolak kemauan ayahnya,maka terpaksa dia menikah lagi dengan seorang wanita muda bernama Siok Bi Nio,yang usianya hanya tiga tahun lebih tua dari Kui Hong puterinya! Hal ini membuat isterinya marah.Ceng Sui Cin mengajak puterinya meninggalkan Cin-ling-pai dan pulang ke pulau Teratai Merah.Dimana Kui Hong di gembleng oleh kakek dan neneknya.
Pernikahan antara Cia Hui Song dan isterinya yang muda itu benar saja telah menghasilkan seorang anak laki-laki yang di beri nama Cia Kui Bu.Setelah Kui Bu berusia dua tahun,Hui Song yang merasa rindu kepada isterinya yang pertama dan merasa berdosa,memberanikan diri pergi menghadap mertuanya dan isterinya di Pulau teratai Merah.Dia mengaku bersalah dan membujuk isterinya agar suka kembali ke Cin-ling-pai.Akan tetapi isterinya mengajukan syarat, bahwa kalau ia kembali ke Cin-ling-pai,maka Siok Bi Nio harus di bunuh,dan ia mau memelihara Cia Kui Bu sebagai anak sendiri.memang keras sekali hati puteri tunggal pendekar sadis itu.Hui Song menyerahkan keputusanya kepada isterinya yang pertama dan merekapun pergi ke Cin-ling-pai
Setelah tiba di situ, Siok Bi Nio maklum akan isi hati suaminya dan juga madunya. Wanita ini telah terlanjur mencinta suaminya dan mau melakukan apa saja demi kebahagiaan suaminya. Hui Song menceritakan secara terus terang kepada Bi Nio tentang kehendak Sui Cin, dan Sui Cin pun bukan seorang yang jahat dan kejam. Ia menghendaki agar Bi Nio pergi, dan ia akan merawat Kui Bu seperti anaknya sendiri. Hancur rasa hati Bi Nio disuruh berpisah dari puteranya. Tentu saja ia tidak mau, dan ia lalu memondong puteranya untuk dibawa pergi dari situ. Pada saat itu, Cia Kong Liang, ayah Sui Hong, merampas cucunya dari tangan ibunya, melarang Bi Nio membawa pergi Kui Bu.
Bi Nio yang merasa terdesak dan terhimpit, hanya melihat satu jalan untuk mengatasi semua masalah itu. Ia ingin melihat suaminya berbahagia, akan tetapi iapun tidak mungkin dapat hidup berpisah dari puteranya. Maka, diluar dugaan semua orang, Bi Nio membunuh diri!
Peristiwa ini menghancurkan hati keluarga itu. Semua merasa berdosa terhadap Bi Nio, Cia Kong Liang lalu mengurung diri di dalam kamar samadhi dan tidak mau lagi mencampuri urusan dunia, seolah-olah hendak menghukum dirinya dan hendak menghabiskan waktunya untuk minta ampun kepada Tuhan. Cia Hui Song yang merasa berdosa terhadap isteri mudanya,dan menayadari betapa besar cinta kasih Bi Nio kepadanya, juga lalu membuat pondok kecil di dekat makam Bi Nio dan menjaga makam itu sambil bertapa! Tinggal Sui Cin yang juga merasa menyesal dan untuk menebus perasaan bersalah, ia merawat Kui Bu dengan penuh kasih sayang, seperti merawat puteranya sendiri. Cin-ling-pai menjadi pincang para murid menjadi bingung karena mereka seolah-olah kehilangan pimpinan, kehilangan guru dan ketua. Ketua lama, Cia Kui Liang, mengurung diri dalam kamar dan tidak mau mencampuri segala urusan. Ketua baru, Cia Hui Song, juga acuh dan tak pernah mau meninggalkan makam isteri mudanya! Masih untung bahwa Ceng Sui Cin cukup berwibawa dan lihai sehingga para murid dan anggauta Cin-ling-pai masih segan kepadanya dan mereka itu masih dapat dikendalikan oleh nyonya ketua itu.
Dalam keadaan seperti itu Cin-ling-pai menyambut pulangnya Cia Kui Hong yang baru saja datang dari petualangannya membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak! Dapat dibayangkan betapa kagetnya Kui Hong, apalagi ketika ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan ibunya menangis tersedu-sedu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata! Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa ia akan bertemu ibunya di Cin-ling-pai. Ketika ia pergi, ibunya masih ada di Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek dan nenenknya. Ia tidak tahu bahwa ayahnya telah berkunjung ke pulau itu dan berhasil membujuk Ceng Sui Cin, ibunya, pulang ke Cin-ling-pai. Hal ini tentu saja akan menggirangkan hatinya, kalau tidak melihat ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan tangisan. Padahal, ia mengenal betul siapa ibunya, seorang wanita yang keras hati, tabah dan biasanya pantang memperlihatkan kedukaan hatinya, bahkan hampir tidak pernah ia melihat ibunya menangis. Seorang pendekar wanita sejati! Dan kini, ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan menangis tersedu-sedu di atas pundaknya.
“Ibu ….. ibu……, ada apakah? Kenapa ibu menangis? Di mana ayah dan …… kong-kong……?”
Ia tentu saja menduga hal-hal yang buruk mungkin menimpa diri ayahnya atau kakeknya.
Ceng Sui Cin tidak lama menangis. Ia segera dapat menguasai dirinya dan kini ibu dan anak itu saling pandang. Kui Hong melihat bahwa terjadi perubahan pada ibunya. Kini ibunya agak kurus dan matanya sayu. Sebaliknya, Sui Cin gembira melihat keadaan puterinya, yang bukan saja pulang dalam keadaan selamat, akan tetapi juga nampak sehat dan gagah perkasa, semakin cantik pula.
“Mari kita bicara di dalam,” kata ibu ini sambil menggandeng tangan puterinya. Mereka masuk ke dalam dan kembali Kui Hong merasa heran karena rumah itu kelihatan sunyi sekali. Hanya beberapa orang pelayan yang menyambutnya dengan pemberian hormat. Tidak nampak isteri muda ayahnya. Tidak nampak pula mrid Cin-ling-pai. Ketika tadi ia memasuki pintu gerbang Cin-ling-pai, ia sudah melihat perubahan yang mencurigakan. Para murid nampaknya bermalas-malasan menyambutnya, padahal mereka sudah tahu akan kedatangannya dan dahulu, Kui Hong amat disayang oleh para murid Cin-ling-pai. Kini mereka hanya menyambutnya dengan sikap dingin saja, dan hanya beberapa orang yang nampak gembira.
Ketika Sui Cin mengajak Kui Hong masuk ke dalam kamar, gadis ini melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun sedang diajak bermain-main oleh seorang pengasuh. Ketika melihat Sui Cin, anak itu lalu merentangkan kedua lengannya dan memanggil dengan suara nyaring, “Ibuuu…….! Ibu…….!”
Sui Cin mengangkat anak itu, menciuminya beberapa kali lalu menyerahkannya kepada pelayan pengasuh, menyuruh pelayan membawa anak itu bermain-main di luar.
Diam-diam Kui Hong merasa heran bukan main. Tadi mungkin ibunya mempunyai lagi anak sebesar itu karena kepergiannyapun paling lama setahun, sedangkan anak itu sudah berusia tiga tahun!
“Ibu, siapakah anak itu? Apakah yang telah terjadi? Mana ayah dan kong-kong?” tanya Kui Hong tak sabar lagi setelah pengasuh itu pergi bersama anak asuhannya.
Kini nyonya itu sudah tenang kembali. Ia menghela napas beberapa kali, lalu berkata, “Duduklah dengan tenang, anakku, dan dengarkan ceritaku.” Mereka duduk berdampingan di atas pembaringan dan berceritalah Ceng Sui Cin kepada puterinya tentang segala hal yang telah terjadi. Betapa ayah gadis itu, Cia Hui Song, berkunjung ke Pulau Teratai Merah dan membujuk ia untuk kembali ke Cin-ling-pai. Betapa kemudian di Cin-ling-pai, Siok Bi Nio membunuh diri karena tidak ingin berpisah dalam keadaan hidup dari puteranya.
“Aku merasa berdosa, Hong-ji. Kasihan Bi Nio. Setelah ia tewas, baru aku menyadari betapa besar cintanya terhadap ayahmu. Ia tidak bersalah, ia tidak sengaja merampas ayahmu dariku, melainkan ia juga menjadi korban keadaan, dan ia amat mencinta ayahmu, mungkin lebih besar daripada cintaku. Aku masih mementingkan diri dalam cintaku, akan tetapi ia….. ah, rela mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan ayahmu. Aku sungguh menyesal sekali, dan untuk menebus kesalahanku itu, aku berjanji akan merawat dan mendidik puteranya, Cia Kui Bu, anak yang kaulihat tadi.”
“Ahhh…..!” Kui Hong yang sejak tadi mendengarkan, termangu-mangu. Sungguh hebat apa yang terjadi menimpa keluarga orang tuanya!
“Ayahmu juga tidak bersalah. Dia ingin berbakti kepada orang tuanya, dan buktinya, setelah dia menikah lagi dengan Bi Nio, keluarga Cia memperoleh seorang keturunan laki-laki. Juga kong-kongmu tidak bersalah. Wajarlah kalau dia menjadi cemas melihat betapa kami, ayah ibumu tidak mempunyai keturunan laki-laki dan dia berusaha agar puteranya suka menikah lagi hanya agar memperoleh keturunan yang akan melanjutkan silsilah keluarga Cia. Tidak ada yang bersalah, semua menjadi korban keadaan. Kesalahan kami adalah ketika mendesak dan menyudutkan Bi Nio sehingga ia membunuh diri….” Ceng Sui Cin termenung, wajahnya muram.
“Sudahlah, ibu. Segalanya telah terjadi, tidak ada gunanya disesalkan lagi. Lalu, dimana ayah sekarang?”
Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya. “Diapun dihantui penyesalan seperti aku, dan semenjak kematian Bi Nio, dia jarang sekali disini, lebih banyak dia berdiam di pondok yang dibangunnya di dekat makam Bi Nio, di bukit belakang itu.”
Mendengar ini, Kui Hong menjadi semakin berduka. “Dan kong-kong?”
“Dia selalu mengurung diri di dalam kamar samadhinya, tidak pernah mau keluar lagi.”
“Ah, ahhh…., mengapa keluarga kita menjadi begini? Biar kucoba jumpai mereka!” Kui Hong lari meninggalkan kamar ibunya, lalu dicarinya makam Siok Bi Nio di bukit belakang kebun Cin-ling-pai. Dan benar saja, di makam yang sunyi itu ditemukannya ayahnya, sedang duduk bersamadhi di dalam sebuah pondok sederhana yang di bangun dekat sebuah makam sederhana.
“Ayah….!” Kui Hong menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu sambil memegang lututnya, mengguncang-guncangnya.
Cia Hui Song adalah seorang pendekar yang usianya sudah empatpuluh dua tahun. Dulu, diwaktu mudanya, dia terkenal lincah, gembira, ugal-ugalan dan nyentrik. Ilmu kepandaiannya tinggi, sebagai ahli waris ilmu-ilmu keluarga Cin-ling-pai dan juga pernah menjadi murid Siangkiang Lojin, satu diantara Delapan Dewa yang kini telah tiada. Akan tetapi, semenjak dia diharuskan menikah lagi dan terpaksa anak isterinya pergi meninggalkannya, wataknya sudah berubah menajdi pendiam. Kini, dia lebih berubah lagi. Sinar matanya redup ketika dia membuka dia membuka mata memandang kepada Kui Hong, dan senyum lemah menghias bibirnya. Wajahnya juga kurus dan rambutnya kusut, agaknya tidak pernag dia mempersolek diri.
“Kui Hong, engkau datang……..?” katanya sambil membuka lipatan kedua kakinya, lalu duduk diatas bangku yang terdapat di pondok itu. “Duduklah.”
Kui Hong bangkit dan iapun mengambil tempat duduk diatas bangku, berhadapan dengan ayahnya. Pria itu pura-pura tidak melihat sinar mata anaknya yang penuh keprihatinan dan tuntutan, lalu bertanya,
“Bagaimana dengan perjalananmu, Kui Hong? Bagaimana pula dengan pemberontakan yang beritanya santer sampai disini pula itu?”
Akan tetapi Kui Hong tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dan tak pernah ia melepaskan pandang matanya yang dengan tajam mengamati wajah ayahnya. Kemudian ia berkata, suaranya penuh tuntutan.
“Ihhh! Ayah dan ibu lupa bahwa aku berada disini, hik-hik!” Kui Hong dengan nakal berseru. Hui Song dan Sui Cin menghentikan ciuman dan dengan muka merah mereka memandang puteri mereka. Seketika, merekapun sadar akan kekeliruan masing-masing. Membiarkan diri muram dan bersedih, menyesali hal-hal yang telah lalu, sungguh tidak ada gunanya sama sekali! Itu merupakan suatu kebodohan besar! Menyadari kekeliruan atau kesalahan yang telah dilakukan dalam hidup adalah suatu kebijaksanaan! Waspada akan diri sendiri sehingga setiap saat dapat melihat kesalahan diri sendiri, kelemahan dan keburukan diri sendiri, adalah kebijaksanaan yang mutlak perlu kita miliki. Akan tetapi, kesadaran ini membuat gerakan spontan, sekaligus dalam kesadaran ini lalu dibarengi tindakan menghentikan kesalahan atau kekeliruan itu. Bukan lalu menyesali dan membenamkan diri dalam duka! Sikap seperti tiu sungguh tidak ada gunanya, tidak ada artinya sama sekali, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, bagi seluruh isi alam mayapada maupun penciptanya, yaitu Sang Maha Pencipta!
“Ih, anak bengal! Kau seperti anak kecil saja mau menggoda orang tua!” kata Sui Cin dengan kedua pipi kemerahan. Wanita ini nampak cantik sekali dan kini tanpa disadarinya, kedua tangannya merapikan rambut kepalanya!
“Wah, ibu cantik sekali kalau begini. Lihat, ayah. Bukankah ibu cantik sekali? Dan ayah harap berganti pakaian yang baik, mencukur kumis itu dan mencuci rambut ayah!”
Hui Song tersenyum, maklum akan godaan puterinya. “Sudahlah,anakku. Engkau berjasa besar bagi kehidupan ayah ibumu. Sekarang, ceritakan semua pengalamanmu.”
Sambil duduk di antara kedua orang tuanya dan merangkul ibunya, Kui Hong lalu menceritakan dengan singkat apa yang telah dialaminya ketika ia membantu pemerintah membasmi pemberontak. Juga diceritakannya betapa ia bertemu dengan banyak pendekar-pendekar lihai di sana.
“Hampir semua tokoh sesat yang membantu pemberontakan dapat ditewaskan, dan pasukan pemberontak dapat dibasmi,” demikian Kui Hong mengakhiri ceritanya. “Mungkin hanya sedikit saja yang lolos.”
Ayah ibunya mengangguk-angguk, dan mereka saling pandang, teringat betapa anak mereka bukanlah anak kecil lagi, melainkan seorang gadis yang sudah dewasa, lebih dari dewasa untuk mendirikan kehidupan baru sebagai seorang isteri di samping suaminya tercinta!
“Ah, pengalamanmu itu amat berharga, Hong-ji, dan tentu dapat menambah pengetahuanmu, juga membuatmu semakin matang. Tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?” tanya Sui Cin.
“Eh, ibu ini! Kenapa sih tanya-tanya usia? Bukankah ibu juga ingat bahwa usiaku sekarang sembilan belas tahun?”
“Sembilan belas tahun!” Hui Song yang sudah tahu akan isi hati isterinya berseru, “Betapa cepatnya waktu! Sekarang engkau sudah seorang gadis yang dewasa, terlalu dewasa untuk hidup sendirian lebh lama lagi.”
Kui Hong mengerutkan alisnya dan menoleh kepada ayahnya. “Apa maksud ayah dengan ucapan itu?”
Hui Song tertawa, “Ha, apalagi kalau bukan sudah tiba waktunya bagi kami untuk mempunyai seorang menantu? Sembilan belas tahun sudah bukan kanak-kanak lagi, Hong-ji, dan kami akan merasa gembira kalau engkau sudah mempunyai seorang pilihan hati sendiri. Mungkin, engkau bertemu dengan seorang pemuda yang berhasil menjatuhkan hatimu?”
Wajah Kui Hong berubah merah. Ayahnya ini benar sudah pulih kembali wataknya, bicara tentang hal itu demikian terang-terangan! Dan ibuya juga tersenyum-senyum. Iapun teringat kepada Hay Hay! Terbayang pengalaman ketika itu untuk pertama kalinya bertemu dengan pemuda itu. Sikap dan wajah Hay Hay sangat menarik perhatiannya dan kata-kata Hay Hay yang demikian penuh rayuan juga kehebatan ilmu silat pemuda itu, telah menjatuhkan hatinya. Bahkan di dalam hutan, ia pernah berciuman dengan pemuda yang di kaguminya itu. Akan tetapi, Hay Hay menolak hubungan yang lebih akrab. Ketika ia mengaku cinta, pemuda itu dengan terus terang mengatakan bahwa biarpun pemuda itu suka dan kagum kepadanya, namun ia tidak mencintainya! Betapa nyeri rasa hatinya! Apalagi ketika ia mendengar tuduhan-tuduhan, betapa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul yang memperkosa wanita, ia merasa benci sekali dan ingin membunuhnya. Namun, kemudian ternyata bahwa pemerkosa itu bukan Hay Hay, melainkan Ang-hong-cu! Dan setelah melihat kenyataan bahwa Hay Hay bukanlah pemuda jahat seperti yang dituduh orang, cintanya-pun tumbuh kembali.
“Hei, Hong-ji, kenapa engkau menjadi melamun? Jawablah pertanyaan ayahmu tadi. Agaknya benar bahwa ada seorang pemuda yang telah menjatuhkan hatimu, ya?” tegur ibunya.
Kui Hong mengangguk, akan tetapi mukanya tidak menunjukkan kegembiraan, sehingga ayah ibunya saling pandang, kemudian memandang anaknya dengan khawatir dan pandang mata mereka penuh pertanyaan. Kui Hong menarik napas panjang, lalu memaksa diri tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.
“Aku telah jatuh cinta kepada seorang pemuda, akan tetapi…. dia tidak cinta kepadaku……” Lehernya terasa seperti dicekik, akan tetapi Kui Hong mengeraskan hatinya dan iapun mampu tersenyum, “Sudahlah, aku tidak mau bicara tentang dia lagi!”
Diam-diam suami isteri itu merasa terharu dan kasihan kepada puteri mereka. Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya dan diam-diam ia mengutuk pemuda yang telah menjatuhkan hati puterinya itu. Butakah pemuda itu sehingga ia menolak cinta kasih seorang gadis seperti Kui Hong? Apakah kekurangannya? Cantik, jelita, manis, bentuk tubuhnya indah, budi pekertinya baik, gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Adapun Hui Song hanya tersenyum walaupun hatinya juga dipenuhi perasaan iba, lalu dia berkata untuk menghibur hati anaknya.
“Cinta tidak datang sepihak saja, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Engkau benar, Kui Hong, tidak perlu lagi mengingat tentang orang yang tidak mencintaimu. Sebaiknya kita melakukan persiapan untuk mengadakan pesta dan pertemuan besar.”
“Ehh? Pesta apa dan pertemuan besar apa?” Sui Cin bertanya, mengamati wajah suaminya, juga Kui Hong memandang heran kepada ayahnya.
Hui Song tidak menghentikan senyumnya. “Pertama, dan hal ini hanya kita bertiga yang mengetahui, untuk merayakan persatuan hati kita kembali. Ke dua, untuk memilih seorang ketua Cin-ling-pai yang baru…..”
“Ayah…..! Mengapa? Bukankah ayah yang menjadi ketua Cin-ling-pai dan hal ini sudah tepat sekali? Kenapa harus dilakukan pemilihan ketua baru?”
Ayahnya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Sebetulnya, sejak dulu aku tidak suka menjadi seorang ketua. Aku sudah biasa bebas, dan watakku tidak mau terikat. Apalgi sekarang. Aku ingin merantau bersama ibumu, ingin berkunjung ke Pulau Teratai Merah dan mengunjugi tempat-tempat indah lainnya, berdua saja.”
“Wah, akupun ingin sekali!” seru Sui Cin dan ia nampak bersemangat sekali, seolah-olah kembali muda membayangkan betapa ia akan pergi berdua saja dengan suaminya. “Akan tetapi ….., Kui Bu…..,” sambungnya ragu.
“Anak itu masih terlalu kecil untuk dapat kita didik. Biarlah dia dirumah dan kita serahkan kepada inang pengasuh yang dapat dipercaya. Bukankah Kui Hong juga berada di rumah? Ia dapat mengamati adiknya.”
“Jangan khawatir, ibu. Aku akan menjaga adik Kui Bu,” kata Kui Hong yang ikut girang melihat keadaan ibunya. “Akan tetapi, ayah. Kalau ayah mengundurkan diri selaku ketua Cin-ling-pai, lalu siapakah yang akan menjadi penggantinya? Siapa yang tepat untuk menjadi ketua baru?”
“Karena itulah harus dilakukan pemilihan. Hal ini sebelumnya telah kubicarakan dengan kong-kongmu dan diapun setuju. Kebetulan, kita akan merayakan hari ulang tahun kong-kongmu yang ke tujuh puluh. Kita mengambil peristiwa itu untuk mengadakan pesta, mengundang tokoh-tokoh persilatan yang terkenal untuk menjadi saksi pula akan pemilihan itu agar nama Cin-ling-pai menjadi semakin cerah dan terpandang.”
“Akan tetapi, ayah. Bukankah selama ini Cin-ling-pai diketuai oleh keluarga Cia turun temurun? Ayah menggantikan kakek, dan kakek menggantikan kakek buyut?”
“Memang demikian, dan inilah sesungguhnya yang membuat keadaan menjadi tidak sehat. Perkumpulan bukanlah milik seseorang, apalagi perkumpulan seperti Cin-ling-pai yang juga menjadi perguruan silat. Bukan anak keturunan saja yang mewarisi ilmu silat dari ketua. Masih banyak murid lain yang mungkin lebih pandai. Kalau anak keturunan yang diharuskan menggantikan menjadi ketua, seperti kaisar, maka mungkin terjadi perkumpulan itu dipimpin oleh seorang yang tidak berbakat menjadi pimpinan, atau yang tiada minat terhadap perkumpulan. Seperti aku ini. Dan perkumpulan tidak akan maju. Karena itu, aku hendak mengubah kebiasaan ini. Sekarang yang terpandailah sajalah yang berhak menjadi ketua, terpandai bukan saja dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam hal memimpin perkumpulan, yang berbakat dan berminat.”
Diam-diam Sui Cin menyetujui pendapat suaminya ini. Bukankah keretakan keluarganya yang pernah terjadi juga menjadi akibat dari kekukuhan ayah mertuanya yang ingin sekali memperoleh cucu laki-laki agar kelak dapat melanjutkan sebagai ketua Cin-ling-pai? Dan tanpa kata-katapun ia dapat menyelami pikiran suaminya. Kalau datang banyak tamu dari dunia persilatan, berarti membuka kesempatan bagi puteri mereka untuk mencari atau dicarikan jodoh!
“Ah, tentu banyak datang kenalan lama, tokoh-tokoh persilatan yang lihai, pimpinan perkumpulan-perkumpulan dan perguruan silat yang terkenal,” katanya. “Dan siapa tahu, diantara mereka itu ada yang berjodoh untuk menjadi besan kami!”
“Ihh, ibu! Agaknya ayah dan ibu yang sudah merindukan besan, padahal aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!” berkata demikian Kui Hong merangkul ibunya. Ayah, ibu dan anak in bercakap-cakap dengan asyik dan melepaskan kerinduan mereka, kemudian Kui Hong yang tahu bahwa ayah dan ibunya baru saja “akur” kembali, mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka berdua saja.
“Aku ingin menemui kong-kong dan para suheng dan sute!” Dan keluarlah ia dari dalam rumah itu.
Setelah Kui Hong pergi, suami isteri itu nbangkit berdir, saling pandang sampai lama dan perlahan–perlahan kedua mata Sui Cin menjadi basah. Seperti didorong oleh kekuatan gaib maju dan dilain saat, kedua suami isteri yang sudah lama berpisah batin itu, kini saling rangkul tanpa mengeluarkan kata– kata, rangkulan yang penuh kerinduan, kemesraan dan saling memaafkan.
Sementara itu, Kui Hong lari menuju ke belakang,dimana kakeknya mengurung diri dan kabarnya tidak mau mencampuri urusan dia.setibanya di luar kamar kakeknya ,yang daun pintunya tertutup,ia tidak berani lancing membuka dau n pintu.ia tau betapa galak kakenya itu,dan biarpun dahulu kakeknya itu amat menyayanginya,namun karena sudah lama ia pernah meninggalkan Cin-ling-pai bersama ibunya,ia merasa agak asing lagi dengan kakenya.Dari luar pintu kamar itu iapun berseru memanggil,
“Kong-kong…..!Kong-kong,ini aku Kui Hong yang ingin bicara dengan kong-kong”
Sampai tiga kali ia mengulang panggilannya, barulah ada jawaban dari dalam. “Hemm, kau anak nakal sudah pulang? Bukalah pintunya dan masuklah!”Itulah suara kakenya jelas dan dalam.
Girang rasa hati Kui Hong.Iapun mendorong daun pintu kamar itu,dan baru saja hendak melangkah masuk, dari dalam kamar melangkah keluar seorang laki-laki muda.Usia laki-laki itu kurang lebih tiga puluh tahun,tubuhnya tinggi besar,mukanya putih dan boleh dibilang tampan,sepasang matanya tajam dan pris itu agaknya terpesona ketika bertemu pandang dengan Kui Hong.Akan tetapi dia segera menunduk dan bahkan agak membungkuk dengan sikap hormat,berdiri di samping membiarkan Kui Hong masuk lebih dulu! Kui Hong tidak mengenal orang itu,akan tetapi karena orang itu keluar dari dalam kamar kakeknya,ia merasa heran bukan main dan menduga bahwa tentu ada hubungan baik antara orang ini dan kong-kongnya.seorang laki-laki yang gagah dan sinar matanya sungguh tajam mencorong,akan tetapi asing baginya.
Kakek Cia Kong Liang duduk bersila diatas kasur.Sinar matahari menerangi kamar itu,masuk dari jendela kaca terbuka menembus ke dalam taman kecil dari kamar itu yang tertutup dinding .Taman itu adalah taman pribadi kakek Cia Kong Liang,Kui Hong memandang kepada kakeknya penuh perhatian.Seorang kakek yang usianya sudah menjelang tujuh puluh tahun,tubuhnya masih tegak dan tegap,gagah.Rambut dan kumis jenggotnya usdah putih semua,terpelihara rapi.Kamar itupun nampak bersih walaupun sederhana sekali.Ada rasa haru dan iba di hati Kui Hong melihat keadaan kakenya ini yang mengasingkan diri.Agaknya seperti juga ayah dan ibunya,kakeknya ini penuh dengan rasa penyesalan dan mengalami banyak kepahitan hidup.
“Kong-kong,aku datang….!”kata Ku Hong,lalu ia duduk bersimpuh di depan kakeknya.Orang tua itu memandang kepadanya sambil tersenyum.
“Kui Hong,cucuku yang nakal!kemana saja kau selama ini?”tegur sang kakek dan rasa sayangnya terhadap cucu ini tergetar melalui suaranya.
Kui Hongdapat merasakan getaran kasih sayang kakeknya itu.Hatinya terharu.”Kong-kong,aku telah pergi membantu pemerintah dengan para pendekar lain,membasmi gerombolan perampok dan berhasil dengan baik,Gerombolan perampok yang di Bantu oleh para tokoh sesat itu dapat di hancurkan dan sebagian besar tokoh sesatnya Kui Hong bercerita tentang pembasmian gerombolan pemberontak itu,di dengarkan dengan wajah berseri oleh kakeknya.setelah ia selesai bercerita,kakek itu mengangguk-angguk.
“Aku bangga sekali mendengar ceritamu,Kui Hong.Engkau tidak memalukan menjadi keturunan Cin-ling-pai,aku sebagai kong-kongmu ikut merasa bangga bahwa engkau telah bersikap seperti seorang pendekar sejati,dapat berbakti kepada nusa dan bangsa.”
“Kong-kong,ada berita yang lebih baik daripada itu!”
“Berita apa cucuku?”
“Berita yang datang dari tempat ini,kong-kong,yaitu bahwa mulai hari ini ayah dan ibu telah akur kembali,Ayah telah meninggalkan tempat pertapaanya di dekat makam dan kini berkumpul dengan ibu.”
Wajah kakek ini nampak cerah dan sepasang matanya yang tadinya redup itu agak bercahaya.”Terima kasih kepada Thian…..!setiap saat itulah yang menjadi doa terutama.”
Lega rasa hati Kui Hong melihat betapa kakeknya juga bergembira mendengar berita iti.”Lalu kapankah kong-kong sendiri meninggalkan kurungan ini dan hidup di luar seperti biasa?Berjalan memberi petujuk ilmu silat kepadaku?”Ajaknya.
Kakek itu tersenyum.”Hmm jangan kau mentertawakan kakemu,Kui Hong.Apa lagi yang dapat kulakukan untuk memberi petunjuk kalau tingkat ilmu silatmu sekarang lebih sudah lebih tinggi dari kakekmu yang loyo ini?Dan tentang keluar itu…,ah,aku sudah terlalu tua untuk ikut memusingkan urusan dunia akan tetapi aku berjanji akan sering keluar dari kamar ini”
“Tentu kong-kong harus keluar.Bukankah menurut ayah,di sini akan di adakan pesta ulang tahun kakek yang ke tujuh puluh?”
Kakek itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang,sambil mengelus jenggotnya yang putih.”Baiklah,baiklah….ah,Hui Song memang anak yang baik dan berbakti.Sayang dia tidak berbakat dan tidak suka menjadi ketua…”
Mendengar kakeknya menyinggung soal kedudukan ketua, Kui Hong menjadi berani untuk membicarakan soal itu. ”Kong-kong, menurut ayah, katanya dalam pesta itu yang di hadiri banyak tokoh persilatan, ayah akan mengadakan pemilihan ketua Cin-ling-pai yang baru, bernarkah itu? Kata ayah, dia akan mengundurkan diri, akan , merantau bersama ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah dan tempat-tempat lain.”
Kakek Cia Kong Liang mengangguk-angguk dan masih mengelus jenggotnya. ”Hal itu sudah kami bicarakan secara serius. Ayahmu hendak merombak ketentuan yang sudah turun temurun, hendak mamutuskan ikatan antara keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia benar juga. Cin-ling-pai adalah sebuah perguruan silat, bukan milik keluarga Cia.Siapa saha yang baik dan tepat untuk menjadi ketua demi kemajuan Cin-ling-pai. Dan aku sudah mempunyai pandangan, siapa kiranya yang paling tepat untuk menjadi ketua baru Cin-ling-pai menggantikan ayahmu.”
Kui Hong diam-diam terkejut, akan tetapi ia lalu teringat akan pria yang baru saja meninggalkan kamar kakeknya.”Kong-kong, siapakah orang yang baru keluar dari sini tadi? Aku tidak pernah melihatnya.”
“Nah, dia itulah yang menjadi calonku, untuk memimpin Cin-ling-pai. Bbiarpun dia masih muda, namun dia bijaksana, dan dalam hal ilmu silat kiranya tidak di sebelah bawah tingkat ayahmu dan ibumu sekalipun.”
Tentu saja Kui Hong terkejut mendengar ini.Seorang murid Cin-ling-pai yang memiliki tingkat kepandain tidak kalah oleh ayahnya atau ibunya? Luar biasa!
“Tapi,siapakah dia, kong-kong?Apa kah murid Cin-ling-pai!”
“Namanya Tang Cun Sek, tentu saja dia murid Cin-ling-pai!”
“Tapi, kong-kong. Kalau dia murid Cin-ling-pai bagaimana sampai aku tidak mengenalinya?”
“Memang dia murid baru. Hanya beberapa bulan setelah engkau dan ibumu meninggalkan Cin-ling-pai, dia menjadi murid dan anggauta Cin-ling-pai. Karena itu, engkau tidak pernah melihatnya.”
Kui Hong mengerutkan alisnya dan di dalam hatinya menghitung-hitung lalu berkata, “Kong-kong, sampai sekarang, kepergianku itu baru lewat empat tahun. Bagaimana dia yang baru belajar empat tahun disini, sekarang sudah memiliki tingkat kepandaian yang sejajar dengan ayah dan ibu? Hal itu sungguh tidak masuk mungkin!”
Kakek itu tersenyum, “Mengapa tidak mungkin? Ketika dia masuk menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah memiliki ilmu silat yang tinggi! Dia adalah seorang pemuda yangs ejak kecilnya suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga dia telah mempelajari banyak macam ilmu silat dari perguruan-perguruan silat yang besar. Dia masih juga belum puas dan dia belajar disini untuk menambah pengetahuannya. Ternyata dia berbakat sekali dan semua ilmu silat Cin-ling-pai dapat dikuasai dalam waktu singkat. Dia memang pantas menjadi ketua baru, karena dengan ilmunya yang banyak macamnya itu, tentu saja ia dapat menambah perbendaharaan ilmu di Cin-ling-pai. Bahkan menurut pendapatku, diapun pantas untuk menjadi jodohmu, Kui Hong.”
“Ihhh! Kong-kong ini ada saja!” teriak Kui Hong, mukanya berubah merah sekali.
Kakek itu tertawa. “Aku tidak main-main, cucuku. Bahkan pernah aku membicarakan hal ini dengan ayahmu. Ketahuilah, sudah menjadi kebiasaan di dalam dunia persilatan bahwa seorang gadis akan memilih jodohnya yang gagah perkasa dan yang mampu mengalahkan ilmu silatnya. Dan aku melihat bahwa semua syarat itu ada pada diri Cun Sek! Dia seorang pemuda yang sudah matang, wajahnyapun tampan, sepak terjangnya gagah perkasa, diapun memiliki pengetahuan cukup tentang ilmu baca tulis, dan ilmu silatnya tinggi. Apalagi kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai, berarti dia masih keluarga sendiri sebagai jodohmu, dengan demikian, walaupun berlainan she, tetap saja Cin-ling-pai masih dipegang oleh anggauta keluarga sendiri.”
Diam-diam Kui Hong mengerti mengapa kakeknya agaknya demikian bersemangat untuk menjodohkan ia dengan pria yang bernama Tang Cun Sek itu, dan mendukung pengangkatan Cun Sek sebagai ketua baru Cin-ling-pai. Kiranya kakek itu ingin agar pimpinan Cin-ling-pai tidak terjatuh kepada orang lain! Kalau Cun Sek menjadi suaminya, berarti bahwa Cun Sek masih anggota keluarga, mantu dari ayahnya! Mengertilah gadis ini bahwa persetujuan kakeknya mengenai pergantian ketua di Cin-ling-pai adalah persetujuan yang terpaksa dan berlawanan dengan suara hati kakeknya. Diam-diam ia merasa kasihan kepada kong-kongnya itu. Pendirian kakeknya masih tetap keras, akan tetapi kini terjadi perubahan, yaitu sikap kakeknya menjadi lebih lunak, tidak seperti dahulu bahwa setiap kehendaknya tidak boleh dibantah oleh siapapun.
Karena ia tidak ingin berbantahan dengan kakeknya atau mengecewakan hatinya, maka ketika kakeknya mendesaknya dan menanyakan pendapatnya, ia hanya menjawab, “Kita lihat bagaimana nanti sajalah, kong-kong.”
Setelah meninggalkan kamar kakeknya, Kui Hong lalu keluar dan berkunjung keperkampungan Cin-ling-pai dimana terdapat sekelompok rumah yang menjadi tempat tinggal para murid Cin-ling-pai. Semenjak ayahnya menjadi ketua, Cin-ling-pai tidak pernah menerima murid wanita, dan ia merupakan satu-satunya murid wanita! Semua murid Cin-ling-pai adalah pria, sebagian ada yang tinggal di luar dan mereka ini adalah murid-murid yang sudah berkeluarga, sedangkan yang masih bujangan tinggal di perkampungan Cin-ling-pai. Junlah mereka medekati seratus orang!
Kedatangan Kui Hong disambut oleh para murid Cin-ling-pai, ada yang menyambutnya dengan gembira, adapula yang bersikap biasa, dan bahkan ada yang bersikap dingin! Mereka itu terdiri dari pria-pria yang berusia antara duapuluh sampai empatpuluh tahun. Tentu saja banyak diantara mereka yang diam-diam mengagumi Kui Hong sebagai pria terhadap wanita, namun dapat dimengerti bahwa tak seorangpun berani menyatakan perasaan kagum dan suka ini secara berterang.
Kui Hong melihat jelas bahwa ada semacam kelesuan di antara para murid Cin-ling-pai. Hal ini adalah karena terjadinya peristiwa menyedihkan di dalam keluargaketuanya,sehingga membuat ketua mereka mengasingkan diri di dekat makam,dan ketua lama mengasingkan diri di dalam kamar.tentu saja merekasemuah merasa bingung dan seperti kehilangan pasangan,namun mereka masih memandang muka nyonya ketua yang amat lihai sehingga tidak membuat ulah macam-macam.
Meleihat sikap mereka yang dingin dan lesu, Kui Hong segera menegur mereka sambil tersenyum ramah. “Heii, kalian ini mengapakah? Seperti lampu ke habisan minyak! Aku ini masih Cia Kui Hong yang dahulu itu, teman kalian berlatih silat dan bermain –main! Hayo kita berkumpul di lian-bu-thia (ruangan latihan silat), ingin aku meliah sampai di mana kemajuan para suheng dan sute di sini’’
Melihat kegembiraan gadis itu, ajakan itu di sambut oleh para murid yang masih muda dengan gembira. Mereka mengikuti Kui Hong dan sebentar saja lian-bu-thia itu penuh dengan murid Cin-lin-pai. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang.haya mereka yang agak tua dan menjadi suheng (kakak perguruan ) dari Kui Hong yang tidak ikut. Mereka ini merasa diri sudah tua dan berkedudukan lebih tinggi, maka mereka tidak mencampuri kegembiraan para murid muda itu. Mereka adalah murid-murid tua dari Cin-ling-pai, bahkan ada beberapa orang masih terhitung susiok (paman guru) dari Kui Hong karena mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Cia Hui Song, atau murid langsung dari kakek Cia Kong Liang.
Setelah tiba di lian-bhu-thia, Kui Hong langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu. Kegembiraannya muncul, akan tetapi diam-diam ia telah memperhitungka sikapnya. Ia ingin sekali menguji, sebelum terjadi pemilihan ketua baru, siapa diantara murid dan anggota Cin-ling-pai yang sudah memiliki ilmu silat tinggi dan pantas untuk menjadi ketua baru. Terutama sekali, ingin ia memancing keluarnya murid bernama Tang Cun Sek itu,untuk diujinya sampai dimana kepandaian orang itu maka dipilih oleh kong-kongnya sebagai calon ketua baru.
Setelah berada di tengah ruangan berlatih silat.Kui Hong lalu berkata,”Hayo,silahkan siapa yang hendak latihan bersamaku! Sudah lama kita tidak berlatih bersama-sama.Siapa diantara kalian yang paling maju ilmu silatnya.? Majulah,mari kita main-main sebentar!”
Para murid Cin-ling-pai maklum benar siapa adanya Kui Hong.Memang benar diantara mereka banyak terdapat murid yang lebih tua dan lebih dahulu belajar dibandingkan Kui Hong.Akan tetapi merkapun tahu bahwa kalau mereka hanya mempelajari ilmu-ilmu asli dari Cin-ling-pai yaitu San-in Kun-hoat,Thai-kek Sin-kun yang amat sukar,Tiat-po-san dan Ilmu pedang Siang-bhok-kiamsut,sebaliknya gadis itu selain mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Pendekar Sadis!Bahkan dalam hal gin-kang(ilmu meringankan tubuh gadis itu amat hebat karena telah menguasai Bu-eng-hui-teng dari ibunya yang menjadi mendiang Wu Yi Lojin,seorang di antara Delapan Dewa! Karena maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi ilmu kepandaian Kui Hong,maka tantangan gadis itu tidak ada yang berani meyambutnya.
“Hayolah!” ajak Kui Hong.”Kenapa sekarang kalian semua berubah menjadi pemalu dan penakut?Aku hanya ingin melihat kemajuan kalian,mari kita bersama latihan San-in Kun-hoat!”
Seorang murid yang berusia tiga puluh tahun dan yang terkenal sebagai murid yang paling ahli dalam hal ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung), dengan malu-malu melangkah maju menghadapi Kui Hong, diantar tepuk tangan memberi semangat oleh para saudaranya.
Melihat pria yang jangkung dan berwajah pemalu ini, Kui Hong tersenyum dan cepat memberi hormat, “Aih, kiranga suheng Ciok Gun! Saudara-saudara sekalian, aku girang bahwa dia ini yang maju. Ketahuilah bahwa ketika aku sedang belajar San-in Kun-hoat dahulu, justeru yang memberi banyak petunjuk kepadaku adalah suheng Ciok Gun ini!” Ucapan ini kembali disambut tepuk tangan para murid Cin-ling-pai dan suasananya kini berubah semakin meriah.
“Sumoi terlalu memujiku, sekarang mana mungkin aku dapat melawanmu?” kata pria jangkung yang bernama Ciok Gun itu sambil tersenyum dan memasang kuda-kuda Ilmu Silat San-in Kun-hoat.pasangan kuda-kudanya memang mantap, setelah dia menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semua khikang ke dalam pusar dari mana tenaga dalam itu akan mengatur semua gerakan dari tubuhnya dalam ilmu San-in Kun-hoat yang lihai itu.
Kui Hong mengangguk-angguk kagum lalu berseru, “Nah, mari kita mulai, suheng. Lihat seranganku!” berkata demikian, gadis itu mulai melakukan serangan, dengan jurus Pek-in-toan-san (Awan Putih Memutuskan Gunung). Kedua tangan gadis itu dengan cepat menyambar ke arah leher dan dada lawan. Gerakannnya itu nampaknya tanpa tenaga, namun Ciok Gun merasakan betapa ada angin pukulan menyambar halus dan kuat bukan main, dan terutama sekali, gerakan gadis itu amat cepatnya, terlalu cepat baginya sehingga tergesa-gesa dia mengelak ke belakang dan membalas dengan tendangan kakinya dari samping. Dengan lincah sekali, dan amat luwes gerakannya, Kui Hong meliukkan tubuhnya dan tendangan itu menyambar lewat tempat kosong. Gadis itupun membalikkan tangannya dan kembali sudah menyerang dengan amat cepatnya. Ciok Gun memutar tangan hendak menangkis disusul tangkapan tangan ke arah lengan lawan, namun dia kalah cepat karena Kui Hong sudah menarik kembali tangannya, mengganti serangan itu dengan serangan dari samping.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dengan ilmu silat yang sama. Namun, segera nampak betapa Ciok Gun terdesak hebat dan setalah lewat sepuluh jurus, dia hanya mampu mengelak dan menangkis, sama sekali tidak sempat membalas karena memang dia jauh kalah dalam kecepatan gerakan. Untung bahwa dia memang ahli ilmu silat San-in Kun-hoat, sehingga ia mampu membela diri dan melindungi tubuhnya dan lebih untung lagi baginya bahwa lawannya juga mempergunakan ilmu silat yang sama sehingga, biarpun amat cepat gerakan Kui Hong, dia selalu dapat melihat awal gerakan dan menduga dengan tepat ke mana arah serangan gadis itu. Biarpun demikian, saking cepatnya lawan bergerak, dia dipaksa untuk bergerak cepat mengimbanginya dan hal ini membuat kepalanya terasa pening dan pandang matanya berkurang!
“Kalau ada suheng atau sute yang ingin meramaikan latihan ini dan membantu Ciok-suheng, silakan maju!” Kui Hong berkata sambil mengelak dari sambaran tangan Ciok Gun yang baru dapat membalas serangan ketika gadis itu berhenti sebentar untuk bicara kepada murid lainnya. “Jangan malu-malu, hayo maju dan kita latihan bersama!”
Mendengar ucapan ini, dan melihat betapa Ciok Gun yang mereka kenal sebagai ahli ilmu silat San-in Kun-hoat sama sekali tidak mampu menandingi puteri ketua mereka itu, empat orang murid menjadi penasaran dan juga bangkit kegembiraan mereka. Mereka berempat adalah murid-murid yang lebih tua dari Kui Hong dan termasuk juga suheng (kakak seperguruan) gadis itu. Mereka saling memberi isarat, lalu keempatnya meloncat ke depan memasuki kalangan adu silat.
"Sumoi, kami hendak ikut berlatih!" kata mereka.
"Bagus! Marilah, suheng berempat, maju dan bantulah Ciok-suheng agar lebih ramai!" 'tartang Kui Hong tanpa sombong, wajahnya berseri, cantik sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat kagum semua murid yang berada di situ.
Empat orang murid itu lalu mulai membantu Ciok Gun, mengepung Kui Hong dan menyerang secara bertubi-tubi, akan tetapi serangan mereka itu selalu menggunakan ilmu silat Sam-in Kun-hoat karena mereka itu sedang berlatih, bukan berkelahi dan tiada seorangpun di antara mereka yang mau bertindak curang. Dan kini Kui Hong benar-benar memperlihatkan kelihaiannya! Gadis itu tidak berani main-main lagi seperti ketika menghadapi Ciok Gun seorang. Kini dara ini dikeroyok oleh lima orang murid Cin-ling-pai yang sudah tinggi ilmunya, dan tentu saja empat orang yang baru masuk itupun telah menguasai San-in Kun-hoat dengan baik, walaupun mereka tidak seahli Ciok Gun. Kini Kui Hong mengerahkan tenaga lebih besar dan memainkan San-in Kun-hoat sebaik mungkin.
Terjadilah adu ilmu yang amat seru dan menarik sekali. Gerakan Kui Hong sedemikian cepat dan ringannya, juga amat indah. Tubuhnya bergerak seolah-oleh seekor kupu-kupu di antara lima tangkai bunga yang tertiup angin bergerak ke sana sini dan kupu-kupu itu beterbangan di antara mereka! Betapapun lima orang itu mendesak dan berusaha mengalahkan sumoi mereka, namun tak pernah mereka mampu menyentuh ujung baju Kui Hong! Dan para murid yang menonton adu ilmu ini menjadi bengong. Barulah mereka melihat kenyataan bahwa ilmu silat San-in Kun-hoat dapat menjadi ilmu yang amat hebat, yang membuat gadis itu sama sekali tidak terdesak biarpun dikeroyok oleh lima orang murid utama yang merupakan tokoh-tokoh tingkat dua di Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini tidaklah aneh. Semua ilmu silat merupakan ilmu bela diri yang amat baik dan teratur, penuh dengan daya serang dan daya tahan yang baik. Tinggi rendahnya tingkat seseorang bukan ditentukan oleh ilmu silatnya itu sendiri, melainkan oleh orangnya! Siapa yang tekun berlatih dan menguasai rahasia ilmu silat itu, dan yang memiliki tenaga sakti yang kuat, tentu dapat memainkan ilmu silat itu dengan amat baik dan membuatnya amat tangguh, sukar dikalahkan lawan. Sebaliknya, betapapun tinggi dan hebatnya suatu ilmu, kalau yang mempelajarinya hanya menguasai setengah-setengah saja, ilmunya belum matang dan tentu saja tidak membuat dia terlalu tangguh.
Kui Hong bukan saja telah menguasai ilmu San-in Kun-hoat dengan amat baik, akan tetapi setelah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, gadis ini telah memiliki sin-kang yang amat kuat, dan juga kakek dan neneknya menunjukkan kekurangan kekurangan dalam gerakan semua ilmu silat yang telah dikuasainya sehingga ilmu itu menjadi semakin ampuh karena seakan-akan telah disempurnakan oleh dua orang ahli silat yang sakti! Oleh karena itu, menghadapi lima orang suhengnya, biarpun seorang di antara mereka ahli San-in Kun-hoat, dara ini memang jauh lebih matang, lebih cepat karena menguasai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) gemblengan neneknya, juga memiliki sin-kang (tenaga sakti) gemblengan kakeknya. biarpun dikeroyok lima, Kui Hong menguasai keadaan karena dengan kecepatan gerakan tubuhnya, semua serangan yang telah dikenalnya baik-baik itu dapat dielakkan dan kalau tidak sempat mengelak, setiap tangkisannya membuat tubuh penyerangnya terdorong kebelakang. Akhirnya, lima orang itu harus mengakui keunggulan sumoi mereka dan mereka tahu bahwa dalam perkelahian sungguh-sungguh, sudah sejak tadi mereka akan roboh seorang demi seorang! Ciok Gun yang lebih dulu melompat ke belakang diikuti empat orang murid lain.
"Hebat, ilmu kepandaianmu sekarang sangat hebat, sumoi. Sungguh membuat kami semua kagum dan membuka mata kami bahwa keturunan ketua dan guru kami memang hebat!"
Mendengar ucapan Ciok Gun itu, semua murid menjadi gembira karena tadinya banyak di antara murid Cin-ling-pai kebingungan, merasa kehilangan pimpinan, seperti sekumpulan anak ayam ditinggalkan induknya ketika ketua mereka, Cia Hui Song, bertapa di makam isterinya kedua, sedangkan ketua lama, Cia Kong Liang hanya bersamadhi di dalam kamarnya tanpa mau mencampuri urusan luar, dan Ceng Sui Cin juga acuh terhadap perkumpulan itu karena bagaimanapun juga, ia merasa bukan haknya untuk memimpin Cin-ling-pai. Akan tetapi, sekarang muncul Cia Kui Hong yang demikian lihai, maka para murid mempunyai harapan untuk dapat memperoleh seorang pemimpin yang pandai dan boleh diandalkan, juga yang ahli dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai.
"Hidup nona Cia Kui Hong!" teriak para murid. Ada yang. menyebut sumoi, suci, dan
juga nona! Kui Hong menjura ke arah mereka dengan sikap merendah.
"Para suheng dan sute, harap jangan terlalu memuji padaku. Ketahuilah, aku memperoleh kemajuan karena aku tekun dan giat berlatih, dan aku menerima bimbingan kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, aku mengajak kalian berlatih bukan untuk pamer, melainkan karena aku melihat kelesuan di antara kalian. Marilah kita berlatih dengan baik, karena siapa lagi kalau bukan kita yang harus menegakkan nama besar Cin-ling-pai! Dan bagaimana kita akan mampu menegakkan nama besar Cin-ling-pai kalau kita lemah dan malas berlatih? Ketahuilah, aku membawa berita baik, yaitu bahwa mulai hari ini ayahku, yaitu ketua kalian, telah meninggalkan tempat pertapaan dan akan memimpin Cin-ling-pai seperti biasa."
Mendengar ini, semua murid bersorak gembira sekali karena berita ini merupakan berita baik. Kui Hong mencari dengan matanya dan akhirnya ia melihat pemuda tinggi besar bermuka putih yang bernama Tang CUn Sek itu, murid Cin-Iing-pai yang baru dan disuka oleh kakeknya, dan yang menurut kakeknya amat lihai sekali karena sebelum masuk menjadi anggauta Cin-ling-pai telah memiliki banyak macam ilmu silat yang tinggi. Ia melihat pemuda itu di sudut, turut pula bertepuk tangan dengan para murid lain.
Tiba-tiba seorang murid lain yang berdiri di dekat Tang Cun Sek murid bertubuh
kurus yang dikenal oleh Kui Hong sebagai seorang murid lama, terhitung suhengnya, berusia tiga puluh lima tahun bangkit berdiri dan berkata dengan suara nyaring, "Kami gembira sekali mendengar berita itu, Cia-sumoi, akan tetapi kami pernah mendengar bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru untuk Cin-ling-pai. Sampai di mana kebenaran berita itu?"
Kui Hong kembali bertemu pandang dengan Tang Cun Sek dan ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seolah-olah tertarik sekali dan ingin benar mendengar jawabannya atas pertanyaan itu.
Gadis itu tersenyum. Tentu saja paramurid itu sudah mendengar akan hal ini, karena bukankah kakeknya juga mendengar? Ia mengangguk dan memandang kesekeliling. "Memang benar, ayahku sudah memberitahu pula kepadaku bahwa dalam waktu dekat ini akan diadakan pesta di Cin-ling-pai, pertama untuk merayakan hari ulang tahun ke tujuh puluh dari kakekku."
"Hidup dan panjang umur lo-pangcu!" terdengar para murid Cin-ling-pai berseru untuk menghormati ketua lama yang akan merayakan ulang tahunnya itu.
"Dan kedua kalinya, memang ayahku berniat untuk mengangkat seorang ketua Cin-ling-pai yang baru. Hal ini adalah karena ayah dan ibuku hendak pergi merantau dan tidak baik kalau Cin-ling-pai dibiarkan tanpa ketua." sambung Kui Hong.
"Kenapa mesti susah-susah mencari ketua baru? Nona Cia Kui Hong cukup lihai dan pantas menjadi pengganti ketua!" terdengar teriakan seorang murid dan ucapan ini kembali mendapat sambutan sorak-sorai, tanda bahwa sebagian besar dari para murid itu setuju kalau Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai. Mereka sudah melihat kelihaian Kui Hong dan juga merasa senang sekali kalau ketua mereka seorang gadis yang demikian cantik dan gagah perkasa! Kui Hong memperhatikan wajah Tang Cun Sek, akan tetapi, pemuda tinggi besar yang bermuka putih itu kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum dan mengangguk-angguk tanpa menyatakan setuju, akan tetapi juga tidak menentang.
Wajah Kui Hong yang menjadi merah, "Aih, para sute dan suheng ini ada-ada saja.
Aku hanyalah seorang wanita, bagaimana dapat menjadi seorang ketua yang menghadapi banyak tantangan dan persoalan? Aku paling tidak suka dengan kesibukan, apa lagi kalau harus mempergunakan otak memikirkan banyak persoalan. Aku ingin bebas. Kurasa Cin-ling-pai memiliki cukup banyak murid yang pandai dan pantas untuk menjadi ketua, kalaumemang ayah menghendaki adanya seorang ketua baru." Berkata demikian, kembali Kui Hong melayangkan pandang matanya kepada Tang Cun Sek yang masih diam saja, tidak membuat tanggapan apapun.
"Sudahlah, kita menanti datangnya saat itu dan kita lihat saja nanti. Bagaimanapun juga, seorang calon ketua Cin-ling-pai haruslah benar-benar seorang yang selain pandai ilmu silat Cin-ling-pai juga bijaksana. Tentu kepandaiannya itu akan diuji lebih dulu, dan kurasa para susiok, dan pemuka Cin-ling-pai juga sudah siap untuk menghadapi peristiwa besar itu. Sekarang, siapa lagi yang ingin berlatih silat dengan aku?"
Para murid Cin-ling-pai itu dengan bergembira bergantian maju dan berlatih silat dengan gadis puteri ketua itu yang ternyata pandai dalam semua ilmu silat perkumpulan mereka. Dan Kui Hong tidak segan-segan untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada mereka dengan hati tulus.
Demikianlah, semenjak Kui Hong pulang ke Cin-ling-pai, banyak di antara para murid memperoleh kegembiraan baru dan mereka mulai rajin lagi berlatih silat. Sementara itu, Cia Hui Song sibuk mengirim surat undangan kepada para tokoh pendekar, pimpinan perkumpulan persilatan besar, untuk menghadiri pesta yang akan diadakan dengan dua peristiwa penting, yaitu pertama untuk merayakan hari ulang tahun ayahnya yang ke tujuh puluh tahun, dan ke dua untuk mengadakan pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai dengan disaksikan oleh para tokoh yang hadir. Dan tanpa diketahui orang lain kecuali ketua Cin-ling-pai itu dan anak isterinya, pesta itupun diam-diam diadakan untuk merayakan pertemuan dan bersatunya keluarga mereka setelah berpisah batin selama kurang lebih empat tahun lamanya. Setelah mengirim kan surat-surat undangan, Cin-ling-pai sibuk membuat persiapan menyambut datangnya hari baik itu dan tempat-tempat darurat dipersiapkan untuk menampung para tamu.
***
Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang sudah terkenal sekali. Keluarga Cia yang sejak turun temurun memimpin Cin-ling-pai juga dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, juga para murid perkumpulan ini belum pernah ada yang melakukan penyelewengan sehingga nama Cin-ling-pai dihormati dan disegani dunia kang-ouw, ditakuti golongan hitam dan dikagumi para pendekar. Oleh karena , itu, para tokoh persilatan yang menerima undangan dari Cin-ling-pai, memerlukan datang untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, juga untuk menyaksikan pemilihan ketua baru yang tentu akan menarik sekali. Seperti sudah lajim dilakukan di kalangan persilatan, penggantian ketua selalu diramaikan dengan ujian ilmu silat, bahkan tidak jarang terjadi adu ilmu dalam kesempatan itu. Juga berita bahwa Cin-ling-pai akan mengangkat seorang ketua di antara para murid, bukan keturunan langsung dari ketua yang sekarang, merupakan hal yang menarik bagi para tokoh kang-ouw. Jarang di antara mereka yang menerima undangan tidak datang hadir .
Pada hari yang ditentukan, para tamu berdatangan mendaki Gunung Cin-ling-san. Para murid kepala Cin-ling-pai menyambut mereka dengan sikap hormat dan mereka dipersilakan masuk ke dalam taman yang luas di belakang rumah induk. Taman itu memang dipersiapkan untuk pesta ini. Sebuah taman luas dan kini telah dihias dan kursi-kursi berpencaran di antara tanaman bunga. Di tengah taman yang lapang dibangun sebuah panggung dan pihak tuan rurnah duduk di deretan kursi yang ditaruh di sudut, menghadap ke arah semua tamu yang duduk disetengah lingkaran menghadap ke panggung.
Ternyata Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai tidak ingin membuat pesta besar-besaran. Yang diundang tidak banyak. Para tamu yang sudah datang semua itu hanya berjumlah kurang lebih seratus lima puluh orang, terdiri dari bermacam golongan, tokoh-tokoh persilatan, pimpinan perkumpulan silt, dan orang-orang penting dalam dunia persilatan. Biarpun tamu yang diundang tidak banyak, namun mereka mewakili tokoh-tokoh terpenting dan suasana cukup meriah karena Cin-ling-pai mendatangkan rombongan musik, nyanyian dan tari yang kenamaan, juga mendatangkan koki yang sudah berpengalaman.
Tentu saja yang diundang itu hanyalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang tinggal di daerah Propinsi Shensi saja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Sian, Han-cung, Pao-ci, Yen-an dan sebagainya. Namun, semua perkumpulan persilatan besar sudah terwakili oleh wakil masing-masing yang terdapat di Propinsi Shensi seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai karena kebetulan sekali di propinsi ini terdapat murid-murid pandai dari perkumpulan besar itu yang mewakili perkumpulan masing-masing.
Para tamu itu bergiliran memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang yang duduk di sudut panggung. Karena sudah bertahun-tahun dia selalu mengeram diri di dalam kamarnya, bersamadhi, maka kakek inipun merasa lemah kalau terlalu lama berdiri, maka dia menyambut penghormatan para tamu sambil duduk. Puteranya, Cia Hui Song atau ketua Cin-ling-pai, berdiri di sebelah kanannya dan dialah yang membalas setiap ucapan selamat para tamu itu dengan penghormatan, mewakili ayahnya yang hanya duduk sambil tersenyum dan mengangguk-angguk terhadap setiap para tamu yang menghaturkan selamat kepadanya.
Setelah memberi kesempatan kepada para tamu untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang. Cia Hui Song lalu memberi ucapan selamat datang kepada para tamu dan pestapun dimulailah dengan meriah. Rombongan pemain musik, penari dan penyanyi mulai memperlihatkan kemahiran mereka, dan taman itupun penuh dengan senyum dan tawa diantara mengalirnya arak dan anggur harum sebagai teman hidangan yang serba lezat karena dibuat oleh koki yang pandai. Para tamu makan minum sambil mengobrol dengan gembira, ada pula yang makan minum sambil menikmati tontonan yang menarik, yaitu tari-tarian dan nyanyian yang dilakukan para gadis cantik. Mereka semua bergembira, terutama sekali karena mereka tahu bahwa setelah makan minum, mereka akan disuguhi tontonan yang mereka nanti-nantikan, bahkan yang mendorong mereka untuk hadir dalam pesta itu, ialah .pemiiihan ketua baru dari Cin-ling-pai. Para tamu muda tiada hentinya mengerling ke arah panggung di mana duduk seorang gadis yang amat menarik perhatian mereka, apa lagi ketika mereka mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan gagah itu bukan lain adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Nama Cia Kui Hong sudah banyak dikenal orang kalangan persilatan karena gadis ini termasuk seorang di antara para pendekar yang telah ikut membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Apa lagi merekapun mendengar bahwa gadis cantik dan gagah perkasa itu, yang usianya sudah sembilan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mawar sedang mekar mengharum dengan indahnya, belum menikah, bahkan belum bertunangan!
Setelah pesta makan minum selesai, Cia Hui Song lalu bangkit dan melangkah maju ke tengah panggung, menghaturkan terima kasih dan memberitahu kepada para tamu bahwa kini Cin-ling-pai hendak mengadakan pemilihan ketua baru dan dia mengharap agar para tamu suka menjadi saksi.
"Harap Cia-pangcu (Ketua Cia) suka memberitahu kepada kami mengapa pangcu hendak mengadakan pemilihan ketua baru? Bukankah pangcu ketuanya dan selama dalam bimbingan pangcu, Cin-ling-pai memperoleh banyak kemajuan?" terdengar seorang tamu berseru dan para tamu lainnya mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan pertanyaan itu karena memang rata-rata mereka merasa heran akan pemilihan ketua Cin-ling-pai secara tiba-tiba ini, pada hal ketuanya masih muda dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Mendengar pertanyaan ini, Hui Song tersenyum ramah dan mengangguk. Dia memang sudah mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan seperti itu.
"Harap cu-wi (anda sekalian) tidak salah sangka. Sesungguhnya, tidak terjadi sesuatu yang aneh dalam perkumpulan kami dan pemilihan ketua baru ini wajar saja. Tidak lain karena saya bersama isteri ingin merantau dan karena merasa tidak balk meninggalkan Cin-ling-pai tanpa seorang ketua, maka sebelum pergi kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru. Kami sengaja memilih hari ini agar ada cu-wi yang dapat menjadi saksi."
Keterangan Cia Hui Song ini agaknya dapat diterima karena tidak ada lagi diantara para tamu yang mengajukan pertanyaan. Kemudian, Cia Hui Song menyerahkan pimpinan untuk pemilihan ketua baru itu kepada ayahnya. Baru sekarang Cia Kong Liang yang sudah tua itu nampak bersemangat setelah puteranya menyerahkan pimpinan kepadanya. Dia masih tetap duduk di atas kursinya, akan tetapi suaranya terdengar lantang ketika dia berkata,
"Semua murid dan anggota Cin-ling-pai tidak terkecuali, harap berkumpul di dekat panggung!"
Berkumpullah semua murid Cin-ling-pai, bahkan mereka yang tadinya bertugas jaga, atau ikut melayani tamu, ikut pula berkumpul. Setelah semua murid berkumpul dekat panggung, menempati bagian belakang panggung agar tidak menghalangi pandangan para tamu yang duduk di kursi menghadap panggung, ketua lama Cia Kong Liang berkata lagi, nada suaranya tegas dan berpengaruh.
"Sekarang dimulai tahap pertama, yaitu para murid diberi kesempatan untuk mengajukan calon-calon yang mereka pilih!"
Semenjak ada pernyataan ketua Cin-ling-pai bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru, telah terjadi semacam persaingan di antara para murid Cin-ling-pai. Di satu pihak, ada yang memilih Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua. Gouw Kian Sun ini berusia hampir empat puluh tahun, dan dialah yang dapat dikata murid Cin-ling-pai terpandai di waktu itu. Dia adalah sute dari Cia Hui Song, atau murid dari Cia Kong Liang dan murid ini telah menguasai semua ilmu silat Cin-ling-pai. Bahkan dialah yang selama ini mengurus sebagian besar tugas di Cin-ling-pai ketika Hui Song bertapa di makam isterinya yang ke dua dan Cia Kong Liang mengeram diri di dalam kamarnya. Oleh Cia Hui Song dia diangkat pula menjadi pembantu utama, Gouw Kian Sun ini seorang yang tidak mempunyai keluarga, tidak ada orang tua dan biarpun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dia tidak menikah. Orangnya rajin, pendiam, setia kepada Cin-ling-pai, bertanggung jawab dan pendiam. Semua murid tingkat atas maklum belaka bahwa Gouw Kian Sun memiliki ilmu kepandaian silat yang menonjol dan hanya berada di bawah tingkat kepandaian ketua sendiri! Karena itu, maka sebagian murid memilih dan mengajukan dia sebagai calon ketua.
Akan tetapi sebagian pula memilih Tang Cun Sek! Hal ini adalah karena mereka itu percaya akan kelihaian Tang Cun Sek yang menguasai banyak ilmu silat selain ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mereka menganggap bahwa kalau Cun Sek menjadi ketua, tentu mereka akan dapat mempelajari ilmu-ilmu silat yang baru. Selain itu, juga Tang Cun Sek yang pendiam itu menarik perhatian, terutama setelah para murid tahu bahwa Tang Cun Sek agaknya disayang oleh ketua lama, yaitu kakek Cia Kong Liang!
Sebelum Kui Hong pulang ke Cin-ling-san, para murid terbagi menjadi dua kelompok yang memilih dua orang ini, akan tetapi setelah gadis itu pulang, banyak di antara para murid yang condong memilih gadis puteri ketua itu menjadi pangcu (ketua) yang baru! Maka, ketika kakek Cia Kong Liang menyuruh para murid memilih dan mengajukan calon ketua terdengarlah teriakan-teriakan yang menyebut tiga nama.
"Gouw Kian Sun!"
"Tang Cun Sek!"
"Nona Cia Kui Hong……!”
Demikianlah terdengar para murid meneriakkan nama calon masing-masing. Mendengar disebutnya nama Cia Kui Hong itu, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang. Mereka tidak menyangka bahwa ada sebagian murid yang memilih puteri mereka sebagai calon ketua baru! Akan tetapi karena mereka berada pada suatu upacara pemilihan, tentu saja mereka tidak dapat menyatakan sesuatu dan suara dari para murid pada saat seperti itu mempunyai hak dan kekuasaan. Mereka hanya memandang kepada puteri mereka yang juga kelihatan terkejut mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon ketua! Akan tetapi iapun hanya tersenyum saja karena merasa tidak enak kalau menolak begitu saja. Iapun sudah tahu akan peraturan pemilihan seperti ini, harus tunduk kepada suara banyak, dan yang berhak menentukan adalah suara terbanyak. Kalau ia menyatakan penolakannya, sama saja dengan melanggar peraturan yang sudah diadakan oleh perkumpulannya sendiri, atau sama saja dengan mengkhiat hati Cin-ling-pai. Namun, gadis yang cerdik ini diam-diam membayangkan bagaimana kalau ia menjadi ketua, terikat oleh tugas dan kewajiban. Diam-dim ia merasa ngeri dan alam benaknya telah diaturnya bagaimana agar ia dapat mengatasi hal itu. Iapun sudah mengenal Gouw Kian Sun yang dipanggilnya su-siok, seorang yang setia epada Cin-ling-pai, pandai dan juga bijaksana.
Dan dara inipun tahu bahwa calon ke dua, Tang Cun Sek, adalah orang yang didukung oleh kakeknya, juga mempunyai banyak pendukung di antara para murid Cin-ling-pai, dan biarpun ia sendiri belum membuktikan, ia mendengar bahwa Tang Cun Sek adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Bahkan menurut keterangan kakeknya, pemuda tinggi besar bermuka putih itu memiliki tingkat kepandaian silat yang tidak berada di bawah tingkat ayahnya atau ibunya! Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercayanya. Ayahnya adalah murid dari mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa, sedangkan ibunya adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, kong-kongnya yang sakti dan neneknya yang juga tidak kalah saktinya! Kalau benar Tang Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian seperti ayahnya atau ibunlya, tentu dia lihai bukan main dan mudah diduga bahwa tingkat kepandaian susioknya, Gouw Kian Sun yang menjadi calon pertama itu tidak akan mampu mengalahkannya. Tentu saja diam-dlam Kui Hong condonlg memilih susioknya yang sudah dikenal benar wataknya. Setelah ia bicara dengan ayah ibunya tentang Tang Cun Sek, ternyata bahwa agaknya ayah ibunya juga tidak begitu setuju kalau orang ini menjadi ketua baru, akan tetapi ayah ibunya juga merasa sungkan terhadap kakeknya.
"Kami sendiri belum pernah membuktikan sampai di mana kelihaiannya," demikian antara lain Cia Hui Song menjawab pertanyaan puterinya tentang Tang Cun Sek. " Akan tetapi ketika dia mohon menjadi murid Cin-ling-pai, sikapnya amat baik dan tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan dia memang berbakat sekali karena semua ilmu silat Cin-ling-pai, yang bagaimana sukarpun, dapat dikuasainya dengan baik. Dan diapun amat tekun belajar, bahkan paling menonjol dalam hal ketekunannya."
"Dan bagaimanapun juga, harus kami akui bahwa sikapnya amat baik. Dia pendiam, tidak banyak cakap, dan tidak banyak ulah, bahkan rajin pula bekerja. Tidak ada alasan bagi kami untuk merasa kecewa atau tidak suka kepadanya."
"Dan agaknya memang ayah amat suka kepada pemuda itu. Entah mengapa kakekmu itu sering memanggilnya, dan bahkan hanya Tang Cun Sek yang diperkenankan memasuki pondoknya, kemudian bahkan mengharuskan murid itu yang melayani kakekmu." kata Hui Song.
"Ayah dan ibu, agaknya kakek sudah condong memilih dia sebagai ketua baru, bahkan kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa murid itu patut menjadi jodohku. Hemm, agaknya kakek sudah suka bukan main kepada Tang Cun Sek itu."
Ayah dan ibunya saling pandang dan tersenyum. "Tentang itu, terserah kepadamu, anakku," kata Ceng Sui Cin. "Ayahmu dan aku memang sudah ingin sekali mempunyai mantu dan cucu, akan tetapi tentang jodohmu, kami menyerahkan sepenuhnya kepada pilihanmu. Andaikata kakekmu, ayah dan ibumu sudah menyukai seorang calon suamimu, kalau engkau sendiri tidak suka dan tidak setuju, siapapun tidak akan dapat memaksamu."
Mendengar ucapan ibunya itu, Kui Hong lalu merangkul dan mencium pipi ibunya dengan hati yang girang dan terharu. Ucapan ibunya itu saja sudah menunjukkan betapa besarnya cinta kasih ayah dan ibunya kepadanya. "Terima kasih, ibu. Semoga saja aku akan menemukan seorang jodoh yang akan menyenangkan hati kita semua, termasuk hati kakek pula."
Kini hati Kui Hong merasa tidak enak. Yang diajukan oleh para murid Cin-ling-pai hanya dua orang saja, tiga dengannya. Dan di antara dua orang itu, agaknya Tang Cun Sek yang lebih unggul. Apakah ia harus memperebutkan kedudukan ketua dengan Tang Cun Sek? Pada hal, ia sama sekali tidak ingin menjadi ketua! Membiarkan Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru? Hal inilah yang diragukan, karena ia belum tahu benar bagaimana watak orang baru itu. Bahkan ayah dan ibunyapun belum mengenal wataknya dengan baik. Ia mendekati ibunya dan berbisik.
"Ibu, bagaimana ini? Aku tidak ingin menjadi ketua. Apakah kita harus membiarkan Cun Sek itu menjadi ketua baru? Apakah susiok Gouw Kian Sun mampu mengalahkannya dalam ujian ilmu silat?"
Ibunya juga berbisik kembali kepadanya. "Dengar, Kui Hong. Terus terang saja, aku masih belum percaya kepadanya. Kalau memang dia seorang murid yang baik, tentu dia tidak mengandalkan kepandaian dari luar untuk merebut kemenangan dan menduduki jabatan ketua! Tentu dia akan mengalah dan membiarkan susiokmu Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua baru. Maka, lihat saja baik-baik dan kalau perlu engkau harus menjadi penghalang agar dia tidak menjadi ketua dengan jalan kekerasan atau mempergunakan kepandaian silat yang datang dari luar Cin-ling-pai. Mengertikah engkau?"
Kui Hong mengangguk dan pada saat itu terdengar suara kakek Cia Kong Liang, lantang berwibawa, "Apakah hanya tiga orang itu yang dijadikan calon oleh para murid?"
Terdengar para murid Cln-ling-pai menjawab berbareng seperti sarang lebah diusik, semua membenarkan pertanyaan ketua lama itu. Akan tetapi tiba-tiba di antara para tamu, nampak seorang laki-laki bangkit berdiri dari kursinya. Dia seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, dan dia adalah seorang di antara para wakil Bu-tong-pai.
"Maaf, Cia Lo-cian-pwe (orang tua gagah Cia). Bolehkah kami mengajukan pertanyaan karena walaupun bukan anggauta Cin-ling-pai namun kami hadir disini sebagai saksi."
Kakek Cia Kong Liang tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Tentu saja boleh. Silakan!"
“Lo-cian-pwe, apakah yang berhak menjadi calon ketua hanya murid atau anggauta Cin-ling-pai saja? Bagaimana kalau ada orang luar yang hendak masuk menjadi calon dan mehghadapi ujian, ingin menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru?"
Kakek Cia Kong Liang memperlebar senyumnya. "Sungguh aneh pertanyaan itu, orang muda yang gagah. Kurasa tidak ada perkumpulan silat di dunia ini yang akan membolehkan orang luar menjadi ketua mereka. Dan kamipun tidak terkecuali. Tentu saja yang berhak menjadi calon ketua hanyalah seorang murid Cin-ling-pai."
“Maaf, Lo-cian-pwe," kata lagi orang itu. "Sudah bertahun-tahun kami mengenal Cin-Iing-pai, dan banyak murid-murid utama Cin-1ing-pai kami kenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Saudara Gouw Kian Sun juga kami kenal sebagai seorang Cin-1ing-pai yang gagah perkasa dan sudah selayaknya kalau dia terpi1ih menjadi calon ketua. Juga nona Cia Kui Hong, sudah sepatutnya pula menjadi calon karena ia adalah seorang puteri Cia Pang-cu. Akan tetapi orang ke tiga yang namanya disebut tadi, Tang Cun Sek, sama seka1i tidak kami kenal. Apakah dia seorang anggota Cin-1ing-pai?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut kening Tang Cun Sek dan hanya Kui Hong, yang agaknya memperhatikan perubahan pada wajahnya. Gadis itu melihat betapa sinar mata Cun Sek seperti mengeluarkan api ditujukan kepada si pembicara.
"Tang Cun Sek memang seorang anggota baru," kata kakek Cia Kong Liang. "Baru empat tahun dia menjadi murid Cin-1ing-pai, maka diapun berhak untuk menjadi calon ketua."
"Empat tahun?" Orang Butong-pai itu berseru heran. "Lo-cian-pwe, bagaimana mungkin seorang murid yang baru empat tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, dapat diangkat menjadi ketua? Tentu ilmu silatnya belum ada artinya sama sekali!"
"Tidak biarpun dia baru empat tahun menjadi murid Cin-ling-pai, namun sebelumnya dia telah menguasai banyak macam ilmu silat tinggi. Kalau dia tidak memillki kepandaian tinggi, bagaimana mungkln dia dipilih?" Agaknya kakek itu ingin rnenyudahi percakapan itu, maka diapun segera berseru dengan suara lantang, "Tiga orang calon yang terpilih supaya maju dan naik ke atas panggung!"
Yang muncul lebih dahulu adalah Tang Cun Sek. Karena seperti para murid Cin-ling-pai lainnya diapun berdiri di bawah panggung maka kini dia meloncat ke atas panggung yang tingginya sekepala orang itu. Agaknya dia memang hendak memperlihatkan kepandaiannya karena ketika dia meloncat, seperti terbang saja tubuhnya melayang naik jauh lebih tinggi dari panggung itu, berjungkir balik tiga kali sebelum dia turun ke atas panggung.
Agaknya untuk minta maaf atas perbuatannya yang seperti memamerkan kepandaian ini, begitu kedua kakinya turun, dia langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kakek Cia Kong Liang, memberi hormat kepada kakek yang terhitung kakek gurunya itu.
Cia Kong Liang memandang dengan wajah berseri, "Cun Sek, bangkitlah dan berdirilah di tengah panggung agar dikenal oleh semua tamu."
Akan tetapi Cun Sek tidak segera bangkit berdiri, melainkan cepat memberi hormat kepada Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang disebutnya suhu dan subo. Barulah dia bangkit dan mundur sampai ke tengah panggung, kemudian membalik dan menghadap ke arah para tamu sambil menjura dan bersoja (memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap depan dada). Para murid yang menjagoinya bertepuk tangan menyambut kehadiran orang muda tinggi besar ini. Para tamu yang melihat seorang pemuda berusia tiga puluh tahunan, bertubuh tinggi besar bermuka putih, tampan dan gagah, matanya mencorong, diam-diam memandang kagum.
Sementara itu, Gouw Kian Sun juga meloncat ke atas panggung, meloncat biasa saja lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan suhengnya. Berbareng dengan itu, Kui Hong juga melangkah maju, berlutut di dekat susioknya.
"Suhu dan suheng. Sesungguhnya, teecu tidak berani maju dengan lancang untuk menjadi calon ketua, akan tetapi teecu didorong oleh para anggauta Cin-ling-pai yang memilih teecu."
Kui Hong yang berlutut di sampingnya cepat berkata, cukup keras untuk didengar semua orang, "Susiok, mengapa begitu? Engkaulah satu-satunya orang yang tepat untuk menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!"
"Kian Sun! Kui Hong, bangkitlah dan berdiri di tengah panggung untuk memperkenalkan diri kepada para tamu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru dengan suara nyaring.
Kian Sun dan Kui Hong bangkit dan berdiri di tengah panggung seperti yang dilakukan Cun Sek, dan para murid Cin-ling-pai yang me:ndukung mereka menyambut dengan tepuk tangan dan sorak sorai.
Kembali terdengar suara kakek Cia Kong Liang yang menyuruh tiga orang calon yang terpilih itu untuk duduk dan dengan lantang dia memberitahu kepada para tamu dan para murid Cin-ling-pai bahwa kini akan dimulai pemilihan ketua baru. Pertama-tama, ketiga orang calon itu diharuskan memperlihatkan keahlian mereka dalam Ilmu Silat Cin-ling-pai untuk dinilai. Para penilainya, selain kakek Cia Kong. Liang sendiri, juga Cia Hui Song sebagai pangcu, dan tujuh orang murid tertua yang menjadi suheng dan sute ketua.
"Calon ketua Tang Cun Sek, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek Cia Kong Liang berseru. Pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri, berjalan ke tengah panggung, memberi hormat ke arah kakek itu bersama para wasit, kemudian menjura ke arah para tamu dan mulailah dia bersilat. Dia menggerakkan tubuhnya dan memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, sebuah di antara ilmu-ilmu silat yang ampuh dari Cin-ling-pai. Ilmu ini memang indah sekali, dan kini dimainkan dengan gerakan sempurna, juga dengan pengerahan tenaga sakti yang membuat setiap gerakan tangan atau kaki pemuda itu mengeluarkan suara angin mencuit, dan terasa oleh para tamu betapa ada angin menyambar-nyambar dari arah panggung. Diam-diam Kui Hong sendiri terkejut bukan main karena ia dapat pula merasakan sambaran angin itu dan tahulah gadis ini bahwa Tang Cun Sek memang seorang yang amat tangguh! Ia mengikuti semua gerakan pemuda itu dan biarpun permainan Silat Thai-kek Sin-kun itu amat hebat, namun ia masih dapat melihat suatu kekakuan atau ketidakwajaran, menunjukkan bahwa ilmu silat itu sudah "berbau" ilmu silat lain yang menjadi dasar gerakan pemuda itu. Hanya dalam pandangan mata seorang ahli sajalah hal ini akan dapat nampak. Ia tahu bahwa para wasit yang terdiri dari kakeknya, ayahnya dan para supek dan susioknya, yang kesemuanya adalah ahli-ahli Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun, tentu akan dapat melihatnya pula. Hanya saja, kenyataan ini dapat menimbulkan dua macam tanggapan, pertama adalah tanggapan bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu menjadi bertambah indah dan ampuh. Dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa ilmu silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan pemuda itu memang hebat sekali, biarpun ia sendiri tidak melihat kemajuan dalam segi keindahannya karena "berbau" dasar ilmu silat lain, namun gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang hebat. Pemuda ini akan menjadi lawan yang amat tangguh, pikirnya dan kini dia percaya akan keterangan kong-kongnya bahwa Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian yang sebanding dengan ayah dan ibunya. Harus diakuinya sendiri bahwa andaikata ia belum digembleng secara keras oleh kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, ia sendiri bukanlah tandingan anggota baru Cin-ling-pai ini.
Tiba-tiba Cun Sek merubah ilmu silatnya dan dia kini memainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat yang amat tangguh dari perguruan Cin-ling-pai. Seperti juga Thai-kek Sin-kun tadi, ilmu inipun dalam pandangan Kui Hong berbau gerakan ilmu asing walaupun harus diakuinya bahwa gerakan-gerakan pemuda itu cepat sekali dan semua pukulannya mengandung tenaga yang kadang bertentangan, ciri khas ilmu silat Thian-te Sin-kun, tenaganya kadang keras kadang lunak.
Berturut-turut, Cun Sek memainkan sebagian dari ilmu-ilmu silat yang lain seperti San-in Kun-hwat, dan bahkan Im-yang Sin-kun yang merupakan ilmu simpanan dari ketua lama Cia Kong Liang. Kini mengertilah Cia Hui Song dan isterinya bahwa diam-diam ayahnya telah mendidik pemuda itu dengan ilmu silat simpanan ini. Bukan itu saja, bahkan yang terakhir, pemuda itu menghunus sebatang pedang. Semua orang merasa silau ketika ada sinar emas berkilat dan pemuda itu sudah memainkan ilmu pedang Siang-bhok-kiam-sut, ilmu pedang yang paling rahasia dari Cin-ling-pai dan yang hanya diajarkan kepada murid-murid tingkat tertinggi saja! Dan pedang yang dipergunakan itu bukan lain adalah Hong-cu-kiam, pedang yang dapat digulung, pedang pusaka milik kakek Cia Kong Liang. Kembali Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dan mereka mengerti bahwa pemuda ini benar-benar telah dipilih oleh ayah mereka. Tentu kakek itu yang mengajarkan ilmu pedang itu dan memberikan pedang Hong-cu-kiam pula!
Kui Hong sendiri merasa betapa perutnya panas. Ia adalah cucu tunggal dari kong-kongnya sebelum adik tirinya, Cia Kui Bu, terlahir. Dan kong-kongnya itu tidak pernah meminjamkan pedang pusaka itu kepadanya! Sekarang, tahu-tahu kakeknya telah memberikan atau meminjamkan pedang itu kepada pemuda ini. Dan kembali ia mengerutkan alisnya, maklum benar betapa tangguhnya pemuda ini dengan pedang pusaka Hong-cu-kiam itu. Semua tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia persilatan, mengangguk-angguk dan kagum ketika melihat betapa sinar emas itu bergulung-gulung mengelilingi tubuh pemuda itu yang telah lenyap ditelan gulungan sinar emas! Tiba-tiba sinar itu lenyap dan nampaklah pemuda yang gagah itu berdiri tegak dengan pedang telah melingkari pinggangnya, memberi hormat ke empat penjuru dan disambut sorak sorai dan tepuk tangan dari para pendukungnya, juga dari sebagian para tamu yang merasa kagum. Pemuda itu dengan anggunnya lalu berlutut memberi hormat kepada Cia Kong Liang, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya, baru dia mundur di tepi panggung dan duduk bersila dengan sikap sopan. Tang Cun Sek memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Orangnya gagah, dengan wajah tampan ganteng berkulit putih, tubuhnya tinggi besar sehingga pantaslah dia menjadi seorang pendekar.
Kakek Cia Kong Liang nampak gembira melihat sambutan semua orang terhadap pemuda yang disukanya itu. Dia menyukai Cun Sek memang, dan hal ini tidak dapat disalahkan. Memang pemuda itu pandai sekali mengambil hati, bukan dengan menjilat-jilat, melainkan dengan sikapnya yang amat sopan dan baik. Belum pernah selama menjadi murid Cin-ling-pai dia memperlihatkan sikap yang tercela. Selain tampan dan gagah, juga dia pantas menjadi murid kebanggaan Cin-ling-pai, dan menurut penglihatan Cia Kong Liang pemuda itu pantas pula menjadi cucu mantunya, menjadi suami Cia Kui Hong! Karena itulah maka selama ini dia sendiri menggembleng pemuda itu dengan ilmu-ilmu silat simpanannya, bahkan menyerahkan pedang pusakanya Hong-cu-kiam kepadanya. Bukankah pemuda itu calon ketua Cin-ling-pai dan calon cucu mantunya? Sudah sepatutnya mewarisi pedang pusakanya itu.
"Sekarang calon ketua Gouw Kian Sun, perlihatkan kemampuanmu!" terdengar kakek ini berkata. Gouw Kian Sun adalah muridnya sendiri, murid Cin-ling-pai yang paling pandai tentu saja tanpa memperhitungkan Cun Sek.
Gouw Kian Sun maju, memberi hormat kepada Cia Kong Liang sebagai gurunya, kemudian kepada Cia Hui Song dan isterinya sebagai suheng dan juga ketua Cin-ling-pai, dan dengan sikap tenang diapun lalu melangkah ke tengah panggung. Setelah memberi hormat kepada para penonton, diapun mulai bersilat.
Seperti juga yang dipertontonkan oleh Tang Cun Sek tadi,ia memainkan semua ilmu silat Cin-ling-pai walaupun tidak semua jurus dikeluarkan, hanya dipilih jurus-jurus yang paling baik saja. Permainannya mantap dan menunjukkan kemahiran dan kematangan. Walaupun kecepatannya tidak seperti yang dipertontonkan Cun Sek tadi, juga sambaran angin pukulannya tidak sedahsyat pemuda tadi, namun semua yang ahli dalam ilmu silat Cin-ling-pai maklum bahwa inilah ilmu silat Cin-ling-pai yang aseli. Di sudut hatinya, kakek Cia Kong Liang sendiri harus mengakui bahwa permainan silat Gouw Kian Sun itu memang sudah mendekati kesempurnaan, gerakan-gerakannya mantap dan matang dan dia bukan tidak tahu bahwa gerakan silat Cun Sek tadi berbau percampuran gerakan silat asing. Namun karena dia condong untuk memilih Cun Sek yang dipercayanya akan mampu memimpin Cin-ling-pai dengan baik dan memajukan perkumpulan itu, maka diapun memberi nilai lebih tinggi kepada pemuda itu.
Berbeda dengan Tang Cun Sek yang tadi menutup demonstrasi silatnya dengan permainan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), kini Gouw Kian Sun menutup permainannya dengan permainan tongkat pasangan yang disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Dalam ilmu menggunakan senjata inipun gerakan Kian Sun mantap dan jelas dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Cia Hui Song sendiri diam-diam memuji kemajuan sutenya ini. Ketika pria berumur empat puluh tahun itu berhenti bersilat, para pendukungnya bertepuk tangan memuji, termasuk Kui Hong yang bertepuk tangan paling keras dan panjang! Secara terang-terangan gadis ini mendukung susioknya itu.
Akan tetapi, suara kong-kongnya sudah menyebut namanya dan dia diharuskan memperlihatkan kemampuannya bersilat sebagai seorang di antara tiga orang calon ketua yang dipilih oleh para anggota Cin-ling-pai.
"Kong-kong, haruskah aku maju pula? Bukankah sudah jelas bahwa ilmu silat susiok tadi jauh lebih baik dan aseli? Susiok Gouw Kian Sun yang paling cocok dan tepat untuk menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru menggantikan ayah kalau ayah mengundurkan diri!" Suaranya lantang didengar semua orang dan kakeknya mengerutkan kening.
"Cia Kui Hong," kakeknya berkata dengan suara yang lantang pula. "Menurut pemilihan para anggota, setiap calon harus maju dan memperlihatkan kemampuannya. Setelah itu baru diadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara para calon yang paling pandai sehingga tepat untuk menjadi ketua yang baru. Nah, perlihatkanlah kemampuanmu!"
Kui Hong menghela napas panjang. Ia sudah mengenal watak kakeknya. Keras hati. Kakeknya ini sudah menganggap bahwa Tang Cun Sek yang paling tepat untuk menjadi ketua karena memang dianggapnya paling baik. Dan agaknya kakeknya sudah demikian yakin akan kemenangan Tang Cun Sek! Tidak, ia yang akan menentangnya, bukan menentang kehendak kakeknya, melainkan menggagalkan pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai! Kalau perlu, ia sendiri akan turun tangan dan menjadi pengganti ayahnya! Tentu saja ia harus mampu mengalahkan Tang Cun Sek dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ia maklum betapa lihainya pemuda pilihan kakeknya itu. Kalau pemuda itu berhasil memenangkan pemilihan ketua dan menjadi ketua baru, tentu kakeknya akan melanjutkan niatnya menjodohkan pemuda itu dengannya. Memang harus ia akui bahwa Cun Sek seorang pemuda yang tampan, gagah dan pandai ilmu silatnya, baik pula sikapnya. Akan tetapi entah mengapa, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang tidak disukainya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa dan apa sesuatu itu gerangan.
Ketika Kui Hong bangkit dan berjalan ke tengah panggung, para pendukungnya menyambutnya dengan tepuk tangan yangmeriah. Juga para tamu banyak yang bertepuk tangan, terutama sekali para undangan. Memang Kui Hong kelihatan cantik bukan main. Ia mengenakan celana biru dan baju merah muda, dengan sabuk berwarna kuning keemasan. Rambutnya digelung ke atas dan dihias tusuk sanggul dari emas berbentuk burung Hong dengan mata intan. Mulutnya tersenyum manis sekali, matanya tajam bersinar. Gadis berusia sembilan belas tahun ini bagaikan kembang sedang mekar semerbak mengharum. Bukan hanya nampak cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali. Ketika ia memberi hormat kepada para tamu, semua orang tersenyum dan yang tua mengangguk-angguk, yang muda bertepuk tangan. Sepasang mata Cun Sek juga menyinarkan api penuh kagum, dan diam-diam dia membayangkan betapa akan senangnya kalau dia dapat menjadi ketua Cin-ling-pai dengan gadis jelita itu duduk di sampingnya sebagai isterinya!
Sambil mengamati gadis yang sejak kepulangannya ke Cin-ling-pai telah membuatnya tergila-gila itu, Tang Cun Sek mengenang keadaan dirinya dan riwayatnya sendiri. Dia tidak pernah mengenal ayah kandungnya sendiri. Ketika dia sudah dapat mulai berpikir, dia mengajukan pertanyaan kepada ibunya mengapa dia memiliki she (nama keturunan) Tang, pada hal "ayahnya" seorang hartawan she Thio. Ibunya dengan terus terang menceritakan bahwa ketika ibunya menikah dengan hartawan Thio, ia telah menjadi seorang janda yang masih amat muda, baru berusia dua puluh tahun, sedangkan Cun Sek berusia tiga tahun. Ibunya melahirkan ketika berusia tujuh belas tahun, masih muda sekali. Mengenai ayah kandungnya, dengan sepasang alis berkerut ibunya bercerita begini:
"Ayah kandungmu seorang she Tang. Namanya aku tidak tahu karena dia tidak pernah mengaku, akan tetapi dia seorang yang sakti, dan dia memperkenalkan julukannya sebagai Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan akupun bukan isterinya. Dia…. dia memaksaku dengan ancaman mati sehingga aku terpaksa melayaninya. Selama tiga bulan dia sering datang ke kamarku di malam hari dan setelah aku mengandung, diapun meninggalkan aku, dan hanya meninggalkan benda ini agar kelak engkau mengenalnya. Inilah benda itu," demikian cerita ibunya sambil menyerahkan sebuah benda kecil yang selalu disimpan olehnya secara rahasia dan tak pernah terpisah dari tubuhnya. Benda itu sebuah mainan berbentuk seekor kumbang merah terbuat dari emas dan permata. Hanya itulah yang diketahuinya tentang ayah kandungnya.
"Orangnya tampan sekali, dan pandai merayu, tubuhnya sedang, akan tetapi dia seperti iblis, datang dan pergi seperti pandai menghilang saja," demikian kata ibu kandungnya.
Sejak berusia tiga tahun, dia hidup di rumah gedung Thio Wan-gwe. (Hartawan Thio) yang dipanggilnya ayah karena memang merupakan ayah tirinya. Agaknya ayah tirinya tidak mau mengakuinya sebagai anak sendiri, sehingga ibunya terpaksa memberinya nama keturunan Tang, yaitu nama keturunan jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang juga she Tang.
Sebagai putera keluarga kaya raya, walaupun hanya anak angkat, dia hidup serba kecukupan, mewah dan dimanja. Namun, sejak kecil Cun Sek memiliki kecerdikan yang lebih dari anak-anak biasa. Dia mempelajari kesusasteraan dengan amat tekun, akan tetapi setelah berusia sepuluh tahun, dia mempergunakan banyak uang yang diperoleh dari ibunya untuk belajar ilmu silat! Diam-diam dia menanam bibit dendam kebencian kepada orang yang oleh ibunya disebut Ang-hong-cu, ayah kandungnya sendiri karena orang itu setelah memperkosa ibunya dan ibunya mengandung dia, lalu meninggalkan ibunya begitu saja! Karena ibunya selalu menuruti permintaannya, dan Cun Sek menghamburkan banyak sekali uang, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu silat dan dia memang berbakat sekali sehingga dia dapat menguasai bermacam ilmu silat.
Akan tetapi, ada suatu kelemahan dalam diri pemuda yang cerdik dan berbakat, juga penuh semangat ini. Semenjak berusia enam belas tahun, dia sudah mulai memperhatikan wanita. Bukan sekedar memperhatikan, bahkan dia mulai terangsang kalau bertemu wanita cantik. Ayah tirinya mempunyai lima orang selir dan di antara mereka, ada dua orang selir yang masih amat muda, berusia delapan belas tahun. Dua orang selir ini mulai bermain mata dengan Cun Sek yang berusia enam belas tahun. Hal yang sukar untuk dihindarkanpun terjadilah! Cun Sek dan dua orang selir muda itu mulai bermain cinta. Dua orang selir itu yang menjadi "guru" Cun Sek dan membuat dia seolah-olah seekor kuda yang terlepas dari kendali, menjadi liar dan menjadi seorang pengumbar nafsu yang tidak ketulungan lagi!
Akhirnya, persaingan dan kebencian antara selir membuat hubungan itu diketahui oleh Thio Wan-gwe yang mendapat bisikan dari selir yang lain. Dan Cun Sek tertangkap basah! Ayah tirinya marah sekali dan Cun Sek diusirnya!
Pemuda inipun memiliki harga diri yang tinggi. Merasa bahwa dia memang bukan anak kandung hartawan itu, maka diapun pergi sambil membawa banyak sekali emas permata yang diperoleh dari ibunya yang memanjakannya. Mulailah Tang Cun Sek bertualang, bebas seperti seekor burung di udara! Dengan hartanya yang banyak, dia mencari guru demi guru silat yang pandai, mempelajari pelbagai llmu silat, baik dari golongan putih maupun dari gerombolan hitam. Disamping itu, diapun mengumbar nafsunya, berkecimpung dalam dunia kesenangan bersama wanita-wanita pelacur. Dan diapun menjadi seorang kongcu hidung belang yang kaya raya dan yang menghambur-hamburkan uang untuk dilayani para wanita cantik dan menerima pelajaran silat dari guru-guru yang pandai.
Akhirnya diapun mulai bosan dengan pergaulannya dalam dunia pelacuran itu dan melanjutkan kehausannya akan ilmu silat sampai dia pergi mengunjungi guru-guru yang pandai di puncak-puncak gunung, mengangkat guru kepada siapa saja yang dia anggap memiliki kepandaian tinggi. Tang Cun Sek, berkat pengetahuannya yang luas melalui bacaan, pandai membawa diri dan banyak sudah orang-orang pandai dunia persilatan menganggap dia sebagai seorang calon pendekar budiman maka merekapun tidak segan untuk mengajarkan ilmu silat mereka kepada pemuda ini. Bahkan, ketika mendengar tentang Cin-ling-pai, Tang Cun Sek dalam usia dua puluh enam tahun datang menghadap pimpinan Cin-ling-pai untuk menjadi murid perkumpulan silat yang besar dan terkenal itu.
Demikianlah riwayat yang dikenang kembali oleh Tang Cun Sek ketika dia mengamati gadis cantik di panggung itu. Tentu saja dia menyimpan riwayat ini sebagai rahasia pribadinya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Tang Cun Sek seorang pemuda yatim piatu yang suka mempelajari ilmu silat tinggi, dan karena sikapnya memang amat baik, sopan dan halus, pandai membawa diri, pandai menyenangkan hati orang lain melalui sikap dan tutur sapanya, diapun diterima menjadi anggauta Cin-ling-pai dan ikut mempelajari ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Demikian pandainya dia menyenangkan hati orang sehingga kakek Cia Kong Liang sendiri sampai terpikat dan berkenan mengajarkan ilmu-ilmu simpanan Cin-ling-pai kepada pemuda ini.
Kini Kui Hong sudah mulai bersilat. Seperti dua orang calon sebelumnya, Kui Hong juga memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena ia ingin melebihi Cun Sek dalam segala-galanya! Dalam hal ilmu silat Cin-ling-pai, tentu saja sebagai keturunan ketua Cin-ling-pai, ia sudah menguasai semua ilmu dengan baik. Akan tetapi dibandingkan dengan Gouw Kian Sun, ia tentu saja kalah matang karena susioknya itu sudah menguasai ilmu-ilmu itu selama puluhan tahun, dan terutama sekali karena setiap hari Gouw Kian Sun mempraktekkannya untuk melatih para murid Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena gadis ini baru saja langsung digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, maka ia memperoleh kemajuan hebat dalam hal sin-kang dan gin-kang sehingga gerakan tubuhnya bagaikan kilat menyambar-nyambar. Kecepatan gerakannya melebihi kecepatan Cun Sek dan hal ini memang disengaja oleh Kui Hong untuk mengurangi kesan baik yang diperoleh Cun Sek dalam pameran silatnya tadi. Tubuh gadis ini sukar diikuti pandangan mata. Tubuhnya berkelebat-kelebat menjadi bayangan warna-warni, merah biru, kuning dan angin menyambar-nyambar ke semua penjuru karena dorongan tangan dan tendangan kakinya. Para penonton sampai terpesona karena memang apa yang diperlihatkan Kui Hong itu amat indah dan amat hebat pula. Cun Sek sendiri terpesona dan dia semakin tergila-gila kepada gadis itu.
Setelah memainkan beberapa macam ilmu silat Cin-ling-pai. Kui Hong lalu mencabut sepasang pedang pemberian neneknya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam sehingga nampak dua gulung sinar hitam. Dan gadis ini segera memainkan kedua pedangnya itu dengan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiamsut yang dipelajarinya dari neneknya! Bukan main hebatnya ilmu pedang ini. Terdengar suara mengaung-ngaung tinggi rendah dan diseling suara berdesing-desing dan yang nampak hanyalah dua gulungan sinar hitam yang menyeramkan dan dahsyat sekali. Tidak aneh karena ilmu pedang ini adalah ilmu dari nenek gadis itu yang bernama Toan Kim Hong. Di waktu mudanya, Toan Kim Hong ini sudah terkenal dengan menyamar sebagai seorang nenek berjuluk Lam Sin, termasuk seorang di antara tokoh-tokoh dan para datuk aneh di empat penjuru dunia!
Semua murid Cin-ling-pai memandang bingung. Permainan sepasang pedang itu tidak mereka kenal sama sekali! Biarpun amat hebat, namun jelas bukan ilmu silat Cin-ling-pai, maka mereka saling pandang dengan heran walaupun mereka merasa kagum sekali. Baru dimainkan sendirian saja sudah dapat dilihat jelas betapa ampuh dan kuatnya ilmu sepasang pedang itu, membuat orang merasa jerih. Setelah selesai bersilat pedang pasangan dan memberi hormat kepada penonton, semua tamu bertepuk tangan memuji. Banyak di antara tamu yang tidak hafal akan ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mengira bahwa ilmu bermain sepasang pedang itupun merupakan ilmu dari Cin-ling-pai. Melihat sambutan meriah yang diberikan para tamu kepada cucunya, Cia Kong Liang menggapai dan memanggil cucunya itu. Setelah Kui Hong duduk di dekatnya, dia menegur.
"Kui Hong, kalau tidak salah, engkau memainkan ilmu pedang dari nenekmu di Pulau Teratai Merah! Itu bukan ilmu dati Cin-ling-pai!" Teguran itu mengandung nada yang tidak senang. Memang sejak dahulu tokoh Cin-ling-pai ini tidak begitu suka kepada Pendekar Sadis dan isterinya, terutama isteri Pendekar Sadis yang tadinya seorang datuk sesat!
Akan tetapi Kui Hong adalah seorang gadis yang keras hati pula, dan ia tidak akan mengalah terhadap siapapun juga kalau merasa bahwa ia benar. Mendengar teguran kong-kongnya itu, iapun berkata, walaupun suaranya lirih, namun tegas.
"Kong-kong, siapapun tahu bahwa permainan Tang Cun Sek tadi tidak asli dan berbau ilmu silat dari luar, akan tetapi kong-kong tidak menegur atau mencelanya. Aku sengaja memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam agar dia tahu bahwa akupun mempunyai ilmu lain di luar ilmu-ilmu Cin-ling-pai aseli."
Kakek itu mengenal watak cucunya ini, maka dia menghela napas panjang, lalu berkata lantang, "Tiga orang calon ketua sudah memperlihatkan kepandaian masing-masjng! Ternyata ketiganya memiliki tingkat yang sudah tinggi dan matang dalam ilmu-iimu silat Cin-ling-pai. Oleh karena itu, untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka, akan diadakan pertandingan antara mereka. Pertama kali akan berhadapan calon pertama dan ke dua, yaitu Tang Cun Sek dan Gouw Kian Sun!"
Dua orang itu memberi hormat lalu menuju ke tengah panggung. Sebelum pemilihan itu dimulai, mereka sudah menerima petunjuk dari ketua Cin-ling-pai bahwa pertandingan itu diadakan menurut pilihan kedua calon yang berhadapan, dengan tangan kosong ataukah dengan senjata. Dan mengingat bahwa semua calon adalah anggota keluarga perguruan sendiri, maka tentu saja mereka harus dapat menjaga agar jangan sampai melukai lawan dengan parah, apa lagi sampai membunuhnya. Pertandingan macam ini membutuhkan keahlian dan kemampuan yang mendalam, yaitu mengenai sasaran tanpa mendatangkan luka parah.
Dengan sikapnya yang memang selalu menyenangkan, Tang Cun Sek memberi hormat kepada lawannya yang terhitung susioknya sendiri, bahkan susiok ini pula yang lebih banyak membimbingnya dalam latihan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, kemudian berkata, "Susiok, maafkan kalau hari ini teecu memberanikan diri menjadi calon lawan susiok karena terpaksa dipilih sebagai calon. Teecu menyerahkan kepada susiok cara apa yang susiok pilih." Ucapan ini memang halus dan sopan, namun tidak urung mengandung nada menantang dan bahkan memandang rendah kepada sang paman guru sehingga pemuda itu bersikap mengalah dan mempersilakan susiok itu memilih cara pertandingan. Dia seolah-olah hendak melayani saja.
Gouw Kian Sun memandang tajam, lalu menarik napas. Diapun bukan seorang bodoh. Dia tahu bahwa suhunya, ketua lama, condong berpihak dan memilih pemuda ini, dan diapun tahu bahwa pemuda ini, sebelum menjadi murid Cin-ling-pai, telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Biarpun pada mulanya dja menaruh curiga dan tidak mengerti mengapa pemuda yang sudah pandai ini mau menjadi murid Cin-ling-pai, akan tetapi melihat betapa suhunya menyayang pemuda ini, diapun menghilangkan kecurigaannya.
"Cun Sek, kita adalah orang sendiri, tidak perlu mempergunakan senjata. Engkau ataupun aku yang menjadi ketua, apa bedanya? Mari kita mulai, dengan tangan kosong saja."
"Tahan dulu!" Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru keras dan dia menyuruh seorang murid Cin-ling-pai mengambil dua batang mouw-pit (pena bulu) dan tinta bak. Kemudian dia berkata kepada dua orang calon ketua itu. "Agar lebih mudah menentukan siapa pemenangnya, kalian pergunakanlah mouw-pit yang sudah dicelup tinta untuk saling serang. Pada akhir pertandingan, siapa yang lebih banyak terkena goresan atau totokan hitam pada pakaiannya, dia yang kalah."
Baik Cun Sek maupun Gouw Kian Sun menerima baik perintah ini, apa lagi memang tidak akan enak terasa dalam hati kalau sampai mereka saling melukai. Betapapun pandainya mereka, kalau sampai terjadi pertandingan yang seimbang baik kekuatan maupun kemahiran ilmunya, bukan tidak mungkin mereka takkan mampu mengendalikan diri dan kesalahan tangan melukai lawan. Dengan mouw-pit mereka dapat menotok atau mencoret pada bagian tubuh yang tertutup pakaian, biarpun tidak menotok keras, cukup kalau sudah menodai bagian pakaian itu sebagai bukti bahwa mereka berhasil saling melukai.
Pertandingan itupun dimulai. Karena mouw-pit itu hanya sejengkal panjangnya, dan dijepit di antara jari tangan yang terkepal, maka pertandingan itu lebih menyerupai pertandingan tangan kosong. Mereka berdua kini berhadapan, kedua tangan terkepal dan menjepit mouw-pit di masing-masing tangan, memasang kuda-kuda yang sama, yaitu kuda-kuda dari ilmu silat Thian-te Sin-ciang.
"Silakan, susiok!" kata Cun Sek. Ucapan ini juga nampaknya saja dia menghormati susioknya agar menyerang lebih dahulu, padahal mereka berdua sama tahu bahwa dalam hal pertandingan semacam ini, seperti halnya latihan saja karena masing-masing mempergunakan ilmu silat yang sama, siapa menyerang lebih dahulu memiliki titik kelemahan.
Gouw Kian Sun mengeluarkan seruan keras sebagai isarat penyerangannya dan Cun Sek mengelak sambil membalas dan mulailah keduanya serang menyerang mempergunakan ilmu silat Thian-te Sin-ciang. Mereka bertanding dengan pengerahan tenaga dan kepandaian sehingga nampak seru sekali. Mereka saling serang dan mengganti ilmu-ilmu silat mereka. Bagi para ahti silat Cin-ling-pai, nampak betapa setiap kali lawannya mendesak dan dia berada dalam ancaman pukulan atau lebih tepat colekan mouw-pit, Cun Sek tidak segan-segan untuk mempergunakan suatu gerakan yang menyimpang atau bukan gerakan ilmu silat Cin-ling-pai. Suatu gerakan reflek untuk menghindarkan diri dari serangan dan dalam gerakan ini, secara otomatis ilmu yang lain dari ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang dikuasainya keluar! Akan tetapi demikian cepat gerakan kedua orang jagoan ini sehingga kalau bukan ahli silat Cin-ling-pai, hal ini tidak akan nampak. Bahkan para murid Cin-ling-pai yang beJum mencapai tingkat tertinggi juga tidak dapat membedakannya. Hanya Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong, dan beberapa orang murid kepala saja yang dapat mengetahuinya.
Seperti telah ditentukan dalam peraturan adu kepandaian itu, setelah sebatang hio (dupa biting) yang pada awal pertandingan tadi dinyalakan kini habis terbakar, pertandingan dihentikan dan para wasit menghitung jumlah noda yang terdapat di pakaian masing-masing. Tentu saja dengan mudah dapat dilihat bahwa pada pakaian Gouw Kian Sun lebih banyak terdapat noda dan coretan. Hal ini berarti bahwa dia telah kalah. Diam-diam Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Mulailah dia merasa tidak suka kepada Cun Sek, bukan karena iri, bukan karena dia dinyatakan kalah, melainkan dia melihat betapa murid keponakan itu ternyata seorang yang amat curang dan licik. Dia tadi melihat Cun Sek banyak mempergunakan jurus ilmu silat lain yang dibaurkan dengan jurus ilmu silat Cin-ling-pai, dan bukan itu saja kelicikan pemuda itu. Juga dia tadi melihat betapa setiap menyerangnya, pemuda itu menggerak-gerakkan kedua mouw-pitnya sedemikian rupa sehingga tinta bak dari ujung bulu pena itu memercik dan menodai pakaiannya! Percikan yang membuat noda pada pakaiannya itu bukan seluruhnya disebabkan tepatnya serangan kedua mouw-pit di tangan Cun Sek, melainkan sebagian besar karena percikan itulah. Dari hal ini saja dapat diketahui betapa curangnya pemuda itu. Tentu saja dalam pengumpulan noda pada pakaian lawan, Cun Sek memperoleh kemenangan yang banyak.
Dengan sikap gembira, kakek Cia Kong Liang mengumumkan bahwa pemenangnya adalah Tang Cun Sek, calon ketua nomor satu dan kini akan diadakan pertandingan antara calon nomor satu dan calon nomor tiga. Untuk itu, Cun Sek diharuskan berganti pakaian yang bersih, karena pakaiannya sudah berlepotan noda hitam.
Sementara menanti calon lawannya berganti pakaian, kesempatan itu dipergunakan oleh Kui Hong untuk mendekati kong-kongnya. Ia tahu bahwa kalau Tang Cun Sek sampai dapat menjadi calon ketua yang memperoleh banyak pendukung, bahkan kini mampu mengalahkan Gouw Kian Sun, hal itu adalah karena dukungan kakeknya ini.
"Kong-kong," bisiknya dan hanya kakeknya seorang yang dapat mendengarnya. "Kenapa kong-kong membolehkan Cun Sek itu melakukan kecurangan? Dia menggunakan banyak jurus di luar ilmu silat Cin-ling-pai ketika melawan susiok Gouw Kian Sun, bahkan dia menodai pakaian Gouw-susiok dengan percikan-percikan dari mouw-pitnya."
Kakeknya memandang kepadanya dan menjawab dalam bisikan pula. "Kui Hong, hal itu menunjukkan kecerdikannya. Dialah yang paling tepat untuk memimpin perkumpulan kita, dapat menambah ragamnya ilmu silat kita. Kiranya engkau tidak perlu lagi maju, cucuku. Untuk apa seorang wanita menjadi ketua? Kalau engkau menjadi isterinya, itu baru tepat."
Kui Hong tidak menjawab, melainkan menjauhkan diri dari kakeknya dengan muka cemberut. Sialan, pikirnya. Kakeknya sudah benar-benar dipengaruhi oleh Tang Cun Sek sehingga sudah bertekad bulat untuk mendukung pemuda itu menjadi ketua Cin-ling-pai. Bukan itu saja, malah agaknya bertekad untuk menjodohkan pemuda itu dengannya. la segera melakukan persiapan untuk bertanding melawan pemuda yang cerdik itu. Kecerdikan harus dihadapidengan kecerdikan, kelicikan harus dilawan dengan kelicikan pula, pikir gadis yang cerdik ini.
Tidak lama kemudian, dua orang muda itu sudah berada di tengah panggung, saling berhadapan. Kalau Tang Cun Sek berdiri dengan gagahnya, dengan pakaian baru yang bersih, berwarna serba hijau, warna kesukaan pemuda ini, dengan kedua tangan memegang sebatang mouw-pit yang sudah dibasahi bulu-bulunya dengan tinta bak, Kui Hong berdiri tegak dengan senyum mengejek dan hanya tangan kanannya saja yang memegang sebatang mouw-pit, sedangkan tangan kirinya kosong tidak memegang apapun, bahkan bertolak pinggang. Para tamu dan para anggota Cin-ling-pai menyambut mereka dengan tepuk tangan dan dengan hati berdebar tegang. Tentu saja keinginan kakek Cia Kong Liang untuk menjodohkan Cun Sek dengan Kui Hong sudah bocor dan diketahui kebanyakan murid Cin-ling-pai, maka kini mereka semua memandang penuh perhatian. Harus mereka akui bahwa kedua orang yang kini saling berhadapan sebagai calon lawan itu, keduanya calon ketua Cin-ling-pai yang kuat, memang serasi sekali. Dalam pakaiah barunya, Cun Sek nampak ganteng dan gagah perkasa, wajahnya yang berkulit putih itu tampan sekali. sebaliknya, Kui Hong juga nampak cantik jelita dan gagah perkasa, apalagi ia tersenyum-senyum manis.
Melihat betapa Kui Hong hanya membawa sebuah mouw-pit di tangan kanannya, terdengar Ceng Sui Cin, ibunya, berseru, "Kui Hong, engkaupun harus memegang dua buah mouw-pit seperti Cun Sek!"
Akan tetapi Kui Hong menengok kearah ibunyadan berkata lantang sehingga terdengar oleh semua orang, "Tidak perlu, ibu. Sebuah mouw-pit saja sudah cukup!"
Melihat dan mendengar ini, Cun Sek merasa tidak enak sekali, merasa dipandang rendah oleh gadis itu. Diapun cukup maklum bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak boleh disamakan dengan Gouw Kian Sun tadi. Dia melihat ketika gadis itu berlatih silat dikeroyok oleh lima orang suhengnya, namun gadis itu masih tetap unggul. Karena itu, biar dia merasa dipandang rendah, dia tidak berani mengurangi mouw-pitnya. Dia harus dapat menundukkan gadis ini, harus dapat mengalahkannya, karena dengan demikian, ,bukan saja dia akan dapat menjadi ketua Cin-ling-pai di mana dia memperoleh kekuasaan dan nama besar, akan tetapi juga besar harapannya untuk dapat mempersunting gadis yang diidamkannya itu. Akan tetapi, untuk menutupi perasaan tidak enak itu, diapun berkata dengan sikap sopan.
"Suci, harap suci suka mempergunakan dua buah mouw-pit, walaupun dengan sebuah mouw-pit saja, tentu saya tidak akan mampu mengalahkan suci (kakak seperguruan),"
Kui Hong tersenyum. Memang pemuda ini pandai membawa diri. Biarpun pemuda ini jauh lebih tua darinya, namun menyebutnya "suci" sebagai tanda bahwa pemuda itu mengakuinya sebagai kakak seperguruan karena memang tentu saja Kui Hong lebih dulu menjadi murid Cin-ling-pai. Hal ini saja sudah menunjukkan kerendahan hati. Namun Kui Hong tidak hanya mendengarkan ucapan yang sopan itu, melainkan lebih memperhatikan sinar mata pemuda itu. Sinar mata itu mencorong dan sama sekali tidak menunjukkan kerendahan hati, melainkan mengandung penuh kecerdikan dan ke1icikan. Dia hanya berpura-pura, pikirnya, hanya beraksi seperti pemain sandiwara yang ulung. Ia berhadapan dengan seorang yang lihai dan berbahaya sekali, maka ia haruslah berhati-hati, pikir Kui Hong.
"Sudahlah, saudara Tang Cun Sek, tidak perlu bersungkan-sungkan. Aku lebih senang menggunakan sebatang mouw-pit saja, engkau boleh menggunakan dua batang atau lebih kalau kaukehendaki!"
Wajah Cun Sek menjadi merah. Gadis ini, bagaimana juga, terlalu sombong dan memandang rendah kepadanya. Untuk memenangkan hati gadis seperti ini, haruslah lebih dulu menundukkan kesombongannya dengan jalan mengalahkannya. Barulah ada harapan untuk menundukkan hatinya, pikir pemuda yang sudah banyak pengalamannya dalam mengenal watak wanita ini.
"Baiklah, suci, kalau engkau menghendaki demikian. Marilah, silakan suci mulai, saya sudah siap melayanimu, suci!"
Kui Hong tersenyum lagi. Tentu saja ia maklum akan akal ini yang mempersilakan agar ia menyerang lebih dulu dan hal ini berarti bahwa kedudukannya lebih lemah.
"Lihat seranganku!" bentaknya dan ia pun mulai menyerang dengan kecepatan kilat, tangan kirinya yang tidak bersenjata itu menampar ke arah kepala pemuda itu dari samping, disusul tangan kanannya yang menotokkan mouw-pitnya ke arah dada. Biarpun serangan dengan sebuah jurus Thai-kek Sin-kun yang sudah amat dikenal oleh Cun Sek, akan tetapi karena serangan itu dilakukan dengan kecepatan luar biasa dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, Cun Sek cepat mengelak sambil meloncat ke belakang, lalu maju lagi dari samping untuk membalas serangan gadis itu dengan totokan kedua mouw-pitnya dari kanan kiri. Kui Hong harus mengakui kelincahan lawannya yang dapat demikian cepatnya melakukan serangan balasan. Namun iapun mengelak dan menyerang lagi.
Terjadilah serang menyerang yang amat seru, lebih seru dari pada pertandingan pertama tadi karena kini keduanya mengerahkan seluruh kecepatan gerakan mereka sehingga tubuh mereka lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan hijau dan bayangan merah dan biru dari pakaian Kui Hong. Mereka berdua saling desak, kadang-kadang mengubah ilmu silat mereka yang segera dikembari oleh lawan dan mau tidak mau Tang Cun Sek harus mengakui dalam hatinya bahwa gadis ini benar-benar amat berbahaya. Biarpun mouw-pitnya hanya sebuah saja, namun tangan kanan gadis itu menyambar-nyambar mengancam seluruh tubuhnya dengan totokan-totokan yang akan membuatnya lumpuh! Dia harus mengakui bahwa dalam hal kecepatan, dia masih kalah oleh Kui Hong, juga dalam ilmu silat kalah matang karena tentu saja gadis itu lebih mahir memainkan ilmu silat nenek moyangnya. Hanya dalam hal tenaga sin-kang saja dia mampu mengimbangi kekuatan Kui Hong. Karena memang kalah cepat, maka biarpun dia memegang dua batang mouw-pit dan gadis itu hanya memegang sebatang, dalam waktu singkat saja sudah ada lima goresan hitam pada bajunya, sedangkan dia hanya baru dapat menggores sebanyak dua kali, itupun di ujung baju Kui Hong. Kalau diteruskan seperti ini, tentu dia akan kalah! Pada hal, dia harus dapat mengalahkan gadis ini. Harus! Kalau dia tidak dapat mengalahkannya, berarti akan sia-sia belaka usahanya selama empat tahun ini.
Mulailah Cun Sek mempergunakan akalnya yang tadi telah membuat dia berhasil menang dengan mudah dari Gouw Kian Sun, yaitu dengan jalan menggetarkan kedua ujung mouw-pitnya sehingga tinta dari bulu-bulu mouw-pit di kedua tangannya jtu memercik dan mengenai pakaian Kui Hong! Dalam satu kali serangan saja dengan kedua batang mouw-pit, biarpun kedua mouw-pit itu tidak dapat menyentuh baju Kui Hong, namun dari percikan tinta itu baju Kui Hong ternoda lebih dari lima tempat! Memang inilah saat yang dinanti-nanti oleh Kui Hong. Ia sama sekali tidak menjadi marah ketika melihat pemuda itu sudah mulai menjalankan siasatnya yang licik. Iapun menggerakkan tangan kirinya ke dalam saku bajunya dan mengeluarkan sebotol tinta bak! Dan kini, iapun menggetar-getarkan ujung mouw-pitnya yang hanya sebatang itu, setelah mencelupnya ke dalam botol tinta bak yang sudah ia buka tutupnya. Tentu saja bulu mouw-pit yang basah itu lebih mudah memercik, bahkan sampai jauh dan tanpa dapat dihindarkan lagi, banyak sekali noda-noda hitam menghias baju Cun Sek! Pemuda ini terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa gadis itu menyembunyikan sebotol tinta bak di saku bajunya. Kiranya gadis itu memang telah siap siaga dan pantas saja hanya mempergunakan sebatang mouw-pit, kiranya tangan kiri memang dipersiapkan untuk memegangi botol penuh tinta itu! Dia berusaha untuk menggetarkan kedua mouw-pitnya agar lebih banyak lagi pakaian Kui Hong terkena percikan tinta. Akan tetapi bagaimanapun juga, perang percikan tinta ini dimenangkan oleh Kui Hong yang mouw-pitnya selalu basah, sedangkan sepasang mouw-pit di tangan Cun Sek mulai kering! Pakaian Cun Sek sudah penuh noda hitam, dua atau tiga kali lipat lebih banyak dari pada noda pada pakaian Kui Hong. Pemuda itu menjadi gugup dan mendohgkol bukan main.
Pada saat Cia Kong Liang menyerukan agar pertandingan dihentikan karena hio sudah terbakar habis, Kui Hong menyiramkan sisa tinta bak itu kepada lawannya. Cun Sek mencoba untuk mengelak, akan tetapi tetap saja sebagian mukanya, lehernya dan dadanya berlepotan tinta hitam!
Kini kemarahan Cun Sek membuat dia lupa diri, lupa akan topeng sopan santun yang selama empat tahun ini dikenakan pada mukanya. Dengan mata melotot dia memandang kepada Kui Hong dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka gadis itu sambil membentak marah, suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Engkau….. engkau…… gadis curang! Engkau telah bertindak licik dan curang! Engkau gadis kurang ajar!"
Kui Hong tersenyum mengejek dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu di tangan kanan dan kiri telah nampak sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam! "Betulkah?" jawabnya mengejek. "Aku curang dan licik sedangkan engkau jujur dan bersih, ya? Apa yang kaulakukan ketika engkau melawan susiok Gouw Kian Sun tadi? Apa pula yang kaulakukan kepadaku tadi ketika engkau mulai kalah? Engkau yang curang dan licik sejak melawan susiok, aku hanya mengimbangimu saja! Sekarang, kau mau apa? Kalau tidak terima, boleh kita mencoba dengan senjata, siapa yang lebih unggul di antara kita!" Berkata demikian, gadis itu lalu menggerakkan sepasang pedangnya, membuat kuda-kuda dan gerakan ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam yang amat dahsyat.
Melihat ini, Cun Sek menjadi semakin marah. "Kau berani menggunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Calon ketua macam apa kau ini?"
Kembali Kui Hong tersenyum mengejek, dalam hatinya girang karena pancingannya mengena. "Ahai……! Manusia tak tahu diri! Engkau bilang aku menggunakan ilmu silat bukan dari Cin-ling-pai? Kaukira ilmu silat yang kaumainkan itu Cin-ling-pai murni? Hemm, bocah sombong! Aku adalah keturunan ketua Cin-ling-pai, aku mempelajari ilmu silat Cin-ling-pai sejak kecil! Aku jauh lebih mahir dalam ilmu silat Cin-ling-pai dari pada engkau yang baru empat tahun belajar disini. Aku memperlihatkan Hok-mo Siang-kiam untuk menunjukkan kepadamu bahwa bukan hanya engkau yang mahir ilmu-ilmu silat lain. Sekarang, engkau mengajak bertanding dengan apa, kulayani! Dengan ilmu silat Cin-ling-pai aseli tanpa kaucampur-campur seperti cap-jai? Atau dengan ilmu silat lain? Aku siap! Keluarkan senjatamu!"
Metihat keributan itu, para tamu dan para murid Cin-ting-pai memandang dengan hati tegang, tidak ada yang berani mengeluarkan suara atau mencampuri. Cia Hui Song dan isterinya saling pandang dan bersikap tenang, pura-pura tidak tahu saja. Suami isteri ini, walaupun tidak membenci Tang Cun Sek yang pandai membawa diri dan menyenangkan hati, namun mereka juga tidak tertarik atau suka sekali kepada pemuda yang mereka anggap penuh rahasia itu. Merekapun melihat kecurangan yang dilakukan pemuda itu tadi terhadap Gouw Kian Sun, maka pembalasan yang dilakukan puteri mereka tidak membuat mereka menjadi marah. Akan tetapi, melihat betapa ayahnya marah, Cia Hui Song menjadi tidak enak hatinya dan diapun ikut berdiri ketika ayahnya bangkit berdiri.
"Kalian hentikan keributan itu!" bentak Cia Kong Liang kepada mereka.
"Kui Hong, mundurlah engkau!" Cia Hui Song juga melanjutkan seruan ayahnya.
Mendengar seruan kedua orang tua itu, Kui Hong menggerakkan pundaknya, lalu memandang kepada Tang Cun Sek dengan sikap mengejek dan berkata, "Ah, sayang kong-kong dan ayah melarangku. Untung bagimu tidak sampai berkenalan dengan sepasang pedangku Penakluk Iblis ini!" Iapun menyarung kembali sepasang pedangnya. Wajah Cun Sek akan nampak merah padam kalau saja sebagian tidak tertutup tinta hitam. Dia maklum bahwa dirinya telah menjadi bulan-bulan penghinaan dan dipermainkan oleh Kui Hong di depan banyak orang. Kalau dia nekat berusaha membalas dan menyerang gadis itu, selain belum tentu dia menang, juga tentu semua orang membela gadis itu. Maka diapun membalikkan tubuhnya, menghadapi Cia Kong Liang dan memberi hormat lalu berkata pendek, "Teecu hendak membersihkan noda hitam dan bertukar pakaian!" Tanpa menanti jawaban, diapun melompat turun dari atas panggung dan berkelebat cepat menghilang, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Kini, banyak di antara para murid Cin-ling-pai yang berbalik pilihan. Tadinya, mereka yang memilih Tang Cun Sek sebagai calon ketua adalah para murid yang tertarik dan suka kepada murid baru ltu yang menjajikan akan mengajarkan ilmu-ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari pada ilmu-ilmu Cin-ling-pai kalau dia menjadi ketua. Para murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang berjiwa gagah. Mereka memang senang sekali mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi mereka paling membenci perbuatan yang licik dan curang. Kini, mereka semua mendengar betapa Cia Kui Hong membongkar rahasia kecurangan pemuda itu ketika tadi melawan Gouw Kian Sun, maka merekapun mulai tidak suka kepada pemuda itu dan pilihan mereka kini ditujukan kepada Cia Kui Hong.
"Hidup nona Cia Kui Hong!"
"Ia ketua baru yang paling tepat!"
Mereka bersorak-sorak dan kakek Cia Kong Liang tidak dapat membantah lagi bahwa memang dalam pertandingan tadi, Kui Hong memang telah mendapatkan kemenangan mutlak. Dia tidak mengira bahwa gadis itu mau mencalonkan diri menjadi ketua, dan tidak mengira gadis itu tidak tertarik kepada Cun Sek, bahkan menentangnya. Diam-diam dia merasa heran. Cun Sek demikian baiknya, mengapa tidak mendapatkan dukungan? Dia hanya menarik napas panjang dan hanya mengangguk-angguk ketika para anggota juri menghadap padanya, termasuk puteranya sendiri, untuk menyatakan bahwa yang keluar sebagai pemenang dalam pemilihan ketua baru itu adalah Cia Kui Hong.
"Sudahlah, memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Cin-ling-pai harus mempunyai seorang ketua wanita, cucuku sendiri, Cia Kui Hong!"
Para murid Cin-ling-pai menyambut dengan tepuk tangan dan sorak gembira ketika ketua mereka, Cia Hui Song, berdiri di atas panggung dan mengumumkan bahwa ketua baru yang akan menggantikan dia adalah puterinya sendiri, Cia Kui Hong yang keluar sebagai pemenang. Cia Hui Song minta kepada para undangan untuk menjadi saksi bahwa kini Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang ketua baru, yaitu nona Cia Kui Hong! Untuk diperkenalkan kepada para tamu, Kui Hong dipanggil ayahnya untuk tampil di atas panggung.
Kui Hong menghampiri ayahnya di atas panggung dengan pakaian masih berlepotan tanda-tanda hitam, disambut tepuk tangan meriah. oleh para anggota Cin-ling-pai.
Pada saat itu, seorang murid yang diutus oleh Cia Kong Liang untuk memanggil Tang Cun Sek agar hadir dalam pengangkatan ketua baru itu, karena kakek ini masih mengharapkan agar pemuda itu dapat menjadi wakil ketua atau pembantu ketua agar dapat mendekatkan antara pemuda itu dengan cucunya, datang melapor dengan suara keras bahwa Tang Cun Sek tidak berada di dalam kamarnya, bahkan semua pakaiannya juga tidak ada!
"Dia…. dia berani minggat…..?” Kakek itu berseru marah, lalu menjatuhkan diri terduduk di atas kursi, wajahnya agak pucat, dan dia mengeluh, "…… ahh, apakah semua yang kulakukan selalu salah belaka?"
Kui Hong cepat berlutut di dekat kakeknya, "Kong-kong, sesungguhnya kong-kong
tidak bersalah. Kong-kong bermaksud baik sekali, baik untuk kemajuan Cin-ling-pai ataupun untuk mencarikan jodoh bagiku. Akan tetapi, kong-kong tertipu oleh topeng domba yang dipergunakan seekor srigala. Naluri kewanitaanku lebih peka, kong-kong, sehingga dalam pertemuan pertama itupun aku sudah merasa tidak suka kepadanya. Dia pandai membawa diri dan mengambil hati sehingga bukan kong-kong saja yang terpikat, bahkan ayah ibu dan para saudara Cin-ling-pai tidak ada yang menyangka bahwa dia seorang yang berhati palsu. Sudahlah, tidak perlu disesalkan lagi, kong-kong, yang penting kita masih untung dapat menyelamatkan Cin-ling-pai dari tangan orang luar yang tidak mempunyai iktikad baik!”
Wajah kakek itu nampak berduka sekali. " Ah, akan tetapi pedang pusaka Hong-cu-kiam telah kuberikan kepadanya dan kini dibawa pergi…… "
"Biarlah, kelak aku yang akan mencarinya, merampas kembali Hong-cu-kiam dari tangannya dan membunuh dia karena telah berani menipumu, kong-kong. Harap kong-kong tidak berduka, karena bukan kita saja yang tertipu oleh muka manis dan sikap yang baik. Bahkan kakek dan nenek. di Pulau Teratai Merah yang demikian lihainya masih dapat kebobolan dan juga kemasukan orang jahat yang berhasil mewarisi ilmu-ilmu Pulau Teratai Merah bahkan juga telah minggat dan melarikan pusaka Gin-hwa-kiam dari sana." Gadis itu lalu dengan singkat bercerita tentang sim Ki Liong, keturunan musuh besar yang berhasil menyelundup ke Pulau Teratai Merah dan diterima menjadi murid oleh Pendekar sadis dan isterinya! Memang ada hasilnya cerita itu bagi kakek Cia Kong Liang. Agaknya terhibur juga hatinya mendengar betapa suami isteri yang demikian sakti seperti Pendekar Sadis dan isterinya dapat pula dikelabuhi oleh muka manis.
Setelah pesta pemilihan ketua itu selesai dan para tamu pulang dengan membawa cerita menarik dan kesan mendalam tentang pemilihan yang ricuh itu, Cia Kui Hong menerima kedudukan sebagai ketua Cin-ling-pai dengan resmi. Kakeknya sendiri yang memimpinnya untuk bersumpah setia kepada Cin-ling-pai dan dalam kesempatan ini, Kui Hong dengan resmi pula mengangkat susioknya, Gouw Kian Sun, menjadi wakil ketua dan mewakilinya dalam semua urusan kalau ia sedang tidak berada di Cin-ling-pai.
"Sesungguhnya, jiwaku tidak banyak bedanya dengan ayah dan ibu," katanya kepada kedua orang tuanya itu, juga di depan kakeknya. "Aku suka merantau dan tidak betah untuk tinggal di sini, dipusingkan urusan perkumpulan. Aku melihat bahwa susiok lebih tepat untuk menjadi ketua, bahkan susiok pula yang selama ini mengurus Cin-ling-pai ketika ayah tidak aktip. Akan tetapi karena dalam pemilihan itu terpaksa aku turun tangan untuk menyelamatkan Cin-ling-pai dan terpilih menjadi ketua, biarlah aku akan bertanggung jawab. Akan tetapi, untuk dapat mengurusnya dengan baik, dan demi kemajuan Cin-ling-pai, maka aku wakilkan kepada susiok Gouw Kian Sun!"
Tidak ada yang menentang pendapat dan keputusan ini. Nama Gouw Kian Sun memang merupakan nama yang cukup berwibawa dan disuka oleh para anggota Cin-ling-pai. Mereka yang tadinya mendukung Tang Cun sek adalah karena terpikat oleh janji muluk-muluk dari pemuda itu dan kini mereka yang tadinya mendukung, berbalik menjadi benci kepada pemuda itu yang ternyata selain curang dan licik, juga pengecut tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya malah melarikan diri tanpa pamit!
Gouw Kian Sun tentu saja girang sekali karena dia memang seorang murid Cin-ling-pai yang amat mencintai perkumpulan itu. Seolah-olah seluruh kehidupannya tergantung kepada perkumpulan Cin-ling-pai di mana dia dibesarkan, dimana dia tinggal dan mengalami suka duka dalam hidupnya. Sampai berusia empat puluh tahun, Gouw Kian Sun juga masih hidup membujang belum menikah. Kini, sebagai seorang calon ketua, tentu saja dia dapat mencurahkan seluruh kemampuannya untuk memajukan Cin-ling-pai dan di bawah pimpinannya, dapat diharapkan Cin-ling-pai akan mengalami perubahan dan kemajuan pesat.
Setelah Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai, ia merundingkan dengan susioknya
yang menjadi wakil ketua, minta nasihat dari ayah ibunya dan juga dari kakeknya, dan dimulainyalah mengadakan perubahan-perubahan kepada perkumpulan mereka itu. Pengalaman pahit dengan menyelundupnya Tang Cun Sek menjadi peringatan bagi mereka agar lebih berhati-hati.
Sebulan sesudah itu, Cia Hui Song, dan isterinya, Ceng Sui Cin, meninggalkan Cin-ling-san untuk melakukan perjalanan ke Pulau Teratai Merah di selatan. Pertama untuk mengunjungi ayah ibu Ceng Sui Cin, yaitu Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong, dan ke dua untuk merayakan kembali kedamaian yang mereka dapatkan setelah Kui Hong pulang ke Cin-ling-san.
Tak lama kemudian, setelah melihat bahwa keadaan perkumpulan Cin-ling-pai mulai teratur dengan baik di bawah pimpinan Gouw Kian Sun sebagai wakil ketua, Kui Hong sendiri lalu berpamit dari kakeknya untuk pergi merantau. Kakek Cia Kong Liang tak dapat menahan cucunya, apalagi karena cucunya ingin memenuhi janjinya untuk mencari Tang Cun Sek, merampas kembali Hong-cu-kiam dan menghukum murid murtad itu.
Semenjak peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai itu, peristiwa susul-menyusul yang mendatangkan banyak guncangan batin baginya, kakek Cia Kong Liang tidak lagi menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Kini dia keluar dan menyumbangkan tenaganya untuk menjadi penasihat dari muridnya, Gouw Kian Sun yang kini menjadi ketua. Dan banyak perubahan terjadi pada dirinya yang sudah banyak mengalami kekecewaan itu. Dia menjadi penyabar sekali, pandangannya menjadi luas dan dalam, karena mulai menghilangkan rasa keakuannya yang dulu amat besar dan kuat itu.
Kekerasan watak kakek itu kini hampir lenyap, terganti kesabaran dan kewaspadaan yang mengagumkan. Kekerasan watak memang dibentuk oleh besarnya rasa keakuan. Pikiran menciptakan gambaran tentang diri sendiri, sedemikian besar dan agungnya sehingga diri sendiri selalu benar, selalu tepat, selalu baik dan semua ini membentuk kekerasan karena merasa benar sendiri.
***
Dua bayangan yang berkelebat di luar kuil Siauw-lim-si itu bergerak amat cepatnya. Kuil itu sendiri memang berdiri ditempat yang sunyi, di luar kota Yu-shu, kurang lebih sepuluh kilometer di luar kota, di tepi Sungai Cin-sha antara Pegunungan Heng-tuan-san di Propinsi Cing-hai selatan. Kuil itu merupakan kuil kuno yang cukup besar, dengan pekarangan luas sekali dan kebun belakang kuil juga merupakan kebun yang luas, di mana para hwesio kuil itu menanam sayur-sayuran.
Ketua kuil Siauw-lim-si itu bernama Ceng Hok Hwesio, seorang pendeta yang usianya sudah lanjut, sekitar tujuh puluh tiga tahun. Hwesio tua ini memiliki tubuh yang tinggi besar, mukanya agak kehitaman, dan terkenal sebagai seorang hwesio yang berilmu tinggi dan berwatak jujur dan berdisiplin, karenanya nampak keras. Karena kedisiplinannya, maka semua hwesio yang tinggal di kuil itupun merupakan pendeta-pendeta yang berdisiplin, dan hal ini terbukti dari adanya penjagaan yang ketat di sekeliling kuil itu dan di sudut-sudut terdapat hwesio yang berjaga, bahkan ada pula yang meronda di malam yang dingin sekali itu.
Siapakah dua bayangan yang berkelebat bagaikan dua ekor burung dengan gerakan yang luar biasa cepatnya itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berusia dua puluh dua tahun, bertubuh sedang akan tetapi dadanya bidang dan tegap. Wajahnya yang bulat berkulit putih, membuat alisnya yang tebal nampak hitam sekali, matanya agak sipit dengan sinar yang terang. Sebuah wajah yang tampan dan sikapnya lembut dan tenang membayangkan kegagahan. Pakaiannya sederhana saja, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pengikat rambut dari sutera biru. Pemuda itu bernama Pek Han Siong, keturunan dari keluarga para pimpinan perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) di daerah Kong-goan Propinsi Secuan. Perkumpulan ini adalah perkumpulan atau perguruan silat yang gagah perkasa. Keluarga Pek ini turun temurun merupakan ketua dari Pek-sim-pang, bahkan pendiri Pek-sim-pang yang bernama Pek Khun adalah pendiri dari perkumpulan itu. Mendiang Pek Khun merupakan seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai, oleh karena itu, mudah diduga bahwa Pek-sim-pang adalah sebuah perguruan silat yang sumbernya dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Mendiang Pek Khun digantikan oleh puteranya yang bernama Pek Ki Bu, kemudian, putera Pek Ki Bu yang bernama Pek Kong menggantikan ayahnya menjadi ketua Pek-sim-pang. Pek Kong inilah ayah kandung dari Pek Han Siong, pemuda yang kini nampak bergerak dengan cepatnya bersama seorang gadis diluar tembok pagar kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu.
Ketika Pek Han Siong masih berada dalam kandungan ibunya yang bernama Souw Bwee, anak dalam kandungan ini sudah menimbulkan kegemparan karena ramalan dari para pendeta Lama di Tibet bahwa anak dalam kandungan itu adalah seorang Sin-tong (Anak Ajaib) yang kelak akan menjadi seorang Dalai Lama atau pemimpin agama di Tibet yang besar. Para pendeta Lama mula-mula minta dengan horrnat dan sopan agar kelak anak yang terlahir itu diserahkan kepada rnereka untuk dididik rnenjadi calon seorang guru besar dunia. Tentu saja keluarga Pek merasa keberatan sehingga mereka menentang kehendak para pendeta Lama. Hal ini rnenimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena para pendeta Lama di Tibet mempunyai banyak orang sakti, maka seluruh keluarga Pek bersama para murid dan anggota Pek-sim-pang melarikan diri mengungsi menjauhi daerah Tibet dan akhirnya menetap di Kong-goan, di Propinsi Secuan.
Namun para pendeta Lama masih terus melakukan pengejaran. Untuk menghindarkan pengejaran inilah maka Pek Kong mengajak isterinya melarikan diri dan bersembunyi. Anak itu terlahir dan tepat seperti yang diramalkan para pendeta Lama di Tibet, anak itu laki-laki dan di punggungnya terdapat sebuah tanda berwarna merah. Untuk menyelamatkan anak yang diberi nama Pek Han Siong itu, kakek buyutnya yang ketika itu masih hidup, yaitu Pek Khun, lalu membawa pergi Han Siong dari asuhan ayah ibunya. Sebagai gantinya, kakek Pek Khun kebetulan menyelamatkan seorang bayi laki-laki yang dibawa ibunya membunuh diri di lautan. Kakek itu berhasil menyelamatkan bayi itu akan tetapi ibu anak itu tewas, dan menyerahkan bayi itu kepada cucunya, Pek Kong dan isterinya menjadi pengganti Han Siong!
Pek Han Siong dilarikan kakek buyutnya dan setelah merawatnya selama tujuh tahun, akhirnya dia membawa cucu buyutnya itu ke kuil Siauw-lim-si di dekat Yu-shu itu, menitipkannya kepada Ceng Hok Hwesio ketua kuil itu yang masih terhitung murid keponakannya sendiri. Pek Han Siong hidup di dalam kuil itu dan secara kebetulan sekali dia bertemu dengan sepasang suami isteri yang sakti, yang melakukan pertapaan atau menerima hukuman atas dosa mereka telah melakukan perjinahan atau menikah secara tidak sah. Hukuman itu adalah hukuman kurung selama dua puluh tahun! Akan tetapi, karena mereka itu sakti, setiap saat kalau mereka kehendaki, mereka dapat saling bertemu tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya atau mampu mencegah mereka. Dua orang sakti yang menjadi suami isteri itu bernama Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, keduanya merupakan keturunan dari datuk-datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.
Di bawah bimbingan suhu dan subonya yang sakti. Pek Han Siong memperoleh kepandaian yang hebat bukan main. Ilmu-ilmu silat tinggi telah dikuasainya, dan diapun menerima pedang pusaka Kwan-im Po-kiam dari kedua orang gurunya. Bukan hanya itu, akan tetapi kedua orang gurunya itu menjodohkan murid tunggal mereka itu dengan puteri mereka yang lenyap diculik orang ketika masih kecil! Hubungan kedua orang sakti ini menghasilkan seorang anak perempuan yang diberi nama Siangkoan Bi Lian! Maka,murid yang kini telah menjadi seorang pemuda yang tangguh itu diberi tugas untuk mencari puteri mereka sampai dapat, dan mengajaknya ke kuil Siauw-lim-si untuk menghadap mereka. Puteri mereka itu, Siangkoan Bi Lian, sejak masih bayi mereka titipkan kepada sebuah keluarga Cu di dusun yang berada di kaki gunung, tak jauh dari kuil itu. Akan tetapi dua orang suami isteri sakti itu tidak memperkenalkan diri sebagai ayah ibu kepada Bi Lian, melainkan kadang-kadang mereka datang berkunjung sebagai guru karena mereka mulai mendidik Bi Lian dengan dasar-dasar ilmu silat.
Pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia enam tahun, di dusun itu terjadi keributan. Pertempuran hebat antara datuk-datuk sesat membuat dusun menjadi geger, banyak orang dusun tewas, termasuk keluarga Cu yang dititipi Bi Lian. Akan tetapi Bi Lian lenyap dan Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu tidak berhasil menemukan anak mereka yang lenyap tanpa bekas itu.
Demikianlah, setelah Han Siong tamat belajar dari mereka, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu bersepakat untuk menarik pemuda murid mereka ini menjadi calon mantu mereka, dan memberi tugas kepada Han Siong untuk mencari puteri mereka yang hilang itu sampai dapat dan mengajaknya menghadap mereka di kuil Siauw-lim-si. Pada waktu itu, Han Siong berusia dua puluh tahun dan sudah belasan tahun Bi Lian lenyap dari dusun. Oleh karena itu, tentu saja bukan merupakan tugas yang ringan bagi Han Siong untuk dapat menemukan gadis itu karena tidak ada sedikitpun petunjuk kemana perginya gadis itu dan siapa pula yang membawanya pergi.
Dua tahun lamanya Han Siong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa yang hebat dan menarik dan dalam perantauannya inilah secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Bi Lian yang masih mempergunakan nama keluarga Cu! Semua pengalaman Han Siong semenjak lahir sampai pertemuannya dengan Cu Bi Lian diceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang bagian pertama.
Kini, tiba-tiba saja dia muncul kembali, bersama seorang gadis. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, raut wajahnya manis sekali. Tubuh gadis itu ramping, kulitnya putih mulus, rambutnya yang hitam panjang digelung keatas, dihias tusuk konde perak. Sepasang matanya tajam bersinar-sinar, hidungnya mancung dan kecil, mulutnya berbentuk menggairahkan dengan bibir yang selalu merah membasah, mukanya berbentuk bulat telur dan terdapat sebuah tahi lalat di dagunya. Siapakah gadis manis ini? Ia bukan lain adalah Cu Bi Lian, atau yang sebetulnya she Siangkoan! Ia berhasil ditemukan Han Siong dan diajak berkunjung ke kuil itu, berkunjung kepada suami isteri sakti yang dikenalnya sebagai gurunya di waktu ia masih kecil, sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa kedua orang gurunya itu sebetulnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri!
Apa yang telah terjadi kepada diri gadis ini ketika ia berusia enam tahun di dusun itu? Ternyata ia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang datuk sesat yang pada waktu itu amat ditakuti di dunia kang-ouw, yaitu yang berjuluk Pak-kwi-ong (Raja Setan Utara) dan Tung-hek-kwi (Setan Hitam Timur), dua di antara Empat Setan yang namanya menggetarkan kolong langit karena kelihaian mereka dan juga tindakan mereka yang aneh-aneh, kadang-kadang tanpa mengenal perikemanusiaan sama sekali. Dua orangdatuk sesat inilah yang mengamuk di dusun itu, membunuh banyak tokoh kang-ouw dan banyak orang dusun termasuk keluarga Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai keluarganya yang sesungguhnya. Bi Lian menarik perhatian dua orang datuk sesat itu dan iapun diambil sebagai murid. Dua orang datuk itu mewariskan seluruh ilmu-ilmunya yang hebat kepada gadis ini dan Bi Lian menjadi seorang gadis dewasa yang selain tinggi ilmu silatnya, juga berwatak aneh, berani, galak, dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya. Karena itu, di dunia kang-ouw namanya segera menonjol dan ia dijuluki Thiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) saking keras wataknya.
Di dalam kisah Mata Keranjang bagian pertama diceritakan tentang pengalaman gadis yang lihai ini sampai akhirnya kehilangan kedua gurunya yang tewas saling bunuh dalam perkelahian karena berbeda pendapat mengenai diri murid mereka yang tersayang itu. Yang seorang ingin menjodohkan Bi Lian dengan seorang tokoh pemberontak, akan tetapi Bi Lian tidak mau dan guru ke dua membelanya. Akhirnya keduanya tewas setelah mereka saling serang dengan hebatnya. Bi Lian merasa sakit hati terhadap para pemberontak itu dan dalam usaha menentang para pemberontak inilah ia bertemu dengan Pek Han Siong, bekerja sama menghancurkan pemberontak bersama pendekar lainnya, dan berkenalan. Pek Han Siong segera dapat menduga bahwa inilah puteri dari kedua orang gurunya, gadis yang telah dijodohkan dengan dia! Dia lalu memperkenalkan diri sebagai murid dari Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang oleh Bi Lian dianggap sebagai dua orang gurunya ketika ia masih kecil sehingga merekapun seakan-akan masih terhitung suheng dan sumoi! Dan setelah pemberontak itu dapat ditindas, Han Siong berhasil mengajak Bi Lian untuk berkunjung ke kuil Siauw-lim-si diluar kota Yu-shu itu untuk menghadap suhu dan subonya itu.
Demikianlah, pada malam hari itu, dua bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya dan kini mereka berdiri di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.
"Suheng, hari sudah malam begini, apakah baik untuk mengunjungi suhu dan subo?" tanya Bi Lian ketika mereka berhenti di luar pagar tembok kuil Siauw-lim-si.
"Kita lihat saja nanti, kalau suhu dan subo bersedia menerima kita malam ini juga, kita langsung menghadap, kalau andaikata mereka tidur, kita akan menanti di dalam kuil untuk menghadap besok pagi."
" Akan tetapi, mengapa kita harus masuk lewat pagar tembok? Bukankah lebih baik masuk melalui pintu gerbang dan mengetuknya kalau sudah ditutup, suheng?"
"Ah, aku belum bercerita padamu, sumoi. Suhu dan subo adalah orang-orang…… hukuman yang berada dalam kurungan di kuil ini."
"Ahhh …….?" Gadis itu terrcengang, "Orang hukuman? Bagaimana…..? Apa kesalahpn mereka? Dan bagaimana pula mereka dahulu dapat mengunjungi aku dan melatih ilmu silat?"
"Sumoi, sebaiknya kalau hal itu engkau dengar sendiri dari suhu dan subo karena aku….. aku tidak berhak untuk menceritakannya. Marilah, aku sudah dua tahun meninggalkan mereka dan aku sudah rindu sekali untuk bertemu dengan mereka." Berkata demikian, Han Siong lalu menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok, diikuti oleh Bi Lian yang gerakannya lebih lincah lagi. Memang ia seorang gadis yang lincah sekali, sebaliknya Han Siong pendiam dan tenang, padahal kalau diadakan perbandingan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) tentu saja Han Siong yang menerima gemblengan dari subonya seorang ahli ginkang yang hebat, jauh lebih pandai daripada Bi Lian. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga walaupun pagar tembok itu terjaga oleh para hwesio, tidak ada seorangpun di antara para penjaga itu melihat berkelebatnya dua bayangan yang memasuki kuil lewat pagar tembok belakang.
Han Siong yang bertahun-tahun tinggal di kuil itu tentu saja sudah hafal sekali akan keadaan di dalam kuil. Dia menjadi penunjuk jalan berada di depan, dan Bi Lian mengikuti di belakangnya. Dengan mudah saja Han Siong mengambil jalan yang tersembunyi sehingga tidak pernah kepergok oleh seorangpun hwesio dan mereka kini tiba di luar sebuah kamar yang tertutup jendela dan daun pintunya. Inilah kamar kurungan di mana biasanya subonya berada, tempat hukuman bagi subonya!
Dengan hati-hati Han Siong mengetuk daun pintu kamar itu, kemudian daun jendela, namun tidak ada jawaban dari dalam. Ketika dia mengintai, kamar itu gelap dan sunyi. Bahkan ketika dia menempelkan telinganya pada papan daun jendela, dia tidak mendengar bunyi pernapasan manusia di dalamnya. Kamar itu kosong!
"Bagaimana, suheng?" tanya Bi Lian yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu.
“Ini kamar subo, akan tetapi kamar ini sekarang kosong. Jangan-jangan subo sedang keluar. Mari kita ke kamar tahanan suhu saja.”
Mereka lalu pegi ke bagian lain dari kuil itu, jauh ke ujung kiri dan tak lama kemudian Han Siong sudah berada di luar sebelah kamar lain yang juga tertutup daub jendela dan pintunya. Akan tetapi ada sedikit cahaya yang menerobos keluar dari celah-celah daun jendela, tanda bahwa di dalam kamar itu ada lilin bernyala. Gembira rasa hati Han Siong karena hal ini menandakan bahwa suhunya berada di dalam kamar itu.
Diketuknya daun pintu itu perlahan. Tidak ada jawaban dari dalam. Diketuknya lagi dan diapun berseru lirih, "Suhu ……! Suhu, ini teecu yang datang mohon menghadap suhu!"
Kini. terdengar suara gerakan di dalam kamar itu, kemudian terdengar suara teguran dari dalam yang amat mengejutkan hati Han Siong. "Omitohud! Siapa berani mengganggu pinceng di tengah malam buta begini?"
Tentu saja Han Siong terkejut karena dia mengenal suara yang berat dari Ceng Hok Hwesio, ketua Siauw-lim-si yang amat galak itu. Ketua inilah yang telah memberi hukuman kepada suhu dan subonya! Biarpun Ceng Hok Hwesio selalu bersikap baik kepadanya, bahkan hwesio tua ini pula yang mendorongnya untuk mempelajari kesusasteraan melalui kitab-kitab agama yang kuno, namun Han Siong selalu merasa hormat dan segan kepada hwesio tua yang amat keras menjaga peraturan ini. Dia merasa serba salah. Dia sudah terlanjur mengeluarkan suara dan hwesio tua itu sudah tahu bahwa di luar ada orang, maka tidak mungkin lagi dia mundur. Apakah hwesio tua itu sedang mengadakan kunjungan kepada suhunya? Di malam buta begini? Sungguh aneh. Akan tetapi dia harus cepat menjawab karena hwesio tua itu sedang menanti dengan tidak sabar.
“Losuhu, maafkan saya. Saya adalah Pek Han Siong ……," jawabnya.
Hening sejenak dalam kamar itu. Kemudian terdengar suara yang berat itu, "Pek Han Siong ……? Ah, engkau telah kembali? Apakah engkau mencari suhumu, Siangkoan Ci Kang?”
Girang rasa hati Han Siong mendengar suara yang berat itu tidak mengandung kemarahan. "Benar sekali, Lo-suhu! Bolehkah saya menghadap suhu?"
Kembali hening sejenak. "Baiklah, akan tetapi pinceng mendengar gerakan dua orang. Siapa kawanmu?"
Han Siong sating pandang dengan Bi Lian. Kakek yang berada di dalam itu ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam, "Saya datang bersama seorang murid suhu dan subo yang lain, losuhu. Ia bernama…… Cu Bi Lian, juga ingin menghadap suhu dan subo."
“Seorang wanita?” Suara itu seperti terkejut, kemudian disambungnya cepat-cepat, “Siancay…… biarlah, kalian masuklah, pintu kamar ini tidak terkunci.”
Han Siong memberi isyarat kepada Bi Lian dan keduanya membuka daun pintu lalu masuk ke dalam kamar itu. Bi Lian memandang penuh perhatian sedangkan Han Siong menutupkan kembali daun pintu dari dalam. Seorang hwesio tua sekali duduk bersila di tengah ruangan kamar itu, kamar yang kosong dan di sudut kamar terdapat sebuah meja di mana berdiri sebatang lilin yang bernyala. Beberapa batang lilin lain yang tidak bernyala menggeletak di atas meja.
Han Siong mengajak Bi Lian menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio yang duduk bersila di atas lantai itu, lantai dingin tanpa tilam! Dan Han Siong merasa teharu. Baru dua tahun terlewat, akan tetapi ketua kuil itu kelihatan sudah sangat tua sekarang, tua keripuatan dan mukanya yang kehitaman itu, yang biasanya nampak segar, kini nampak layu dan lesu. Sinar matanya bahkan diliputi kedukaan.
"Losuhu, saya dan sumoi mohon maaf kalau mengganggu losuhu. Akan tetapi, dimanakah adanya suhu? Juga subo tadi tidak ada di dalam kamar tahanannya. Dimanakah mereka?"
Sejenak sepasang mata yang nampak sayu, kini kehilangan kegalakannya dan kekerasannya yang dahulu, yang ada hanya tinggal sinar kejujurannya, mengamati Han Siong dan Bi Lian.
"Han Siong, coba nyalakan dua batang lilin lagi, biar agak terang. Mata pinceng sudah tidak begitu awas lagi....." katanya lirih. Hati pemuda itu terharu dan diapun cepat menyalakan dua batang lilin di atas meja. Kini kakek itu mengamati mereka dan diam-diam merasa terkejut sekali melihat wajah gadis yang datang bcrsama Han Siong. Betapa miripnya wajah itu dengan wajah Toan Hui Cu! Teringat akan Toan Hui Cu, hatinya seperti diremas dan diapun memejamkan kedua matanya, merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata lirih, "Omituhud…. semoga diampuni semua dosa pinceng."
“Losuhu, sudilah kiranya losuhu menceritakan di mana adanya suhu dan subo sekarang." kata pula Han Siong, merasa tidak enak melihat kedukaan yang membayang di wajah kakek itu.
Kakek itu membuka matanya dan menarik napas panjang. "Kalian duduklah yang enak. Kebetulan sekali kalian datang selagi pinceng bingung mencari siapa yang kiranya patut untuk menerima pencurahan penyesalah hati pincehg yang selama ini pinceng sembunyikan. Kalian berdualah yang paling tepat menerima dan mendengarkannya. Benar, terutama engkau, Han Siong. Dengarkan baik-baik pengakuan pjnceng, pengakuan seorang yang berdosa besar!"
"Losuhu …….!" Han Siong membantah dengan terkejut sekali, akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas.
"Diamlah, Han Siong, dan kaudengarkan saja pengakuan pinceng ini."
Han Siong yang duduk bersila menutup mulut dan menundukkan mukanya, sedangkan Bi Lian mengamati kakek itu dengan hati tertarik. Tentu ia akan mendengarkan cerita yang amat menarik, pikirnya. Kakek ini sungguh aneh, akan tetapi melihat mukanya yang tua itu, sepasang mata yang redup dan sayu, akan tetapi mengandung sinar kejujuuran dan juga kekerasan itu membuat ia merasa suka kepada kakek tua renta itu.
"Kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu, sepasang orang muda datang ke kuil ini menghadap pinceng. Usia mereka seperti kalian berdua, masih muda, yang pria tampan dan yang wanita cantik. Mereka itu adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka membuat pengakuan yang mengejutkan hati pinceng. Siangkoan Ci Kang mengaku sebagai putera tunggal mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang datuk sesat. Adapun Toah Hui Cu bahkan mengaku sebagai puteri mendiang Raja dan Ratu Iblis, sepasang raja datuk sesat yang menggemparkan dunia kang-ouw itu. Mereka sengaja menghadap pinceng untuk minta diterima menjadi hwesio dan nikouw, karena mereka berdua merasa telah berbuat dosa dan untuk mencuci darah keturutan mereka yang amat jahat. Pinceng menerima karena melihat betapa mereka itu mempunyai niat yang tulus ikhlas." Sampai di sini kakek itu berdiam sejenak. Han Siong merasa kagum sekali kepada suhu dan subonya. Biarpun keduanya keturunan datuk-datuk sesat yang seperti iblis, namun keduanya agaknya menyadari kekeliruan orang tua mereka bahkan hendak menebus dosa dengan masuk menjadi pendeta! Diam-diam Bi Lian yang hanya samar-samar saja ingat kepada kedua orang gurunya itu, juga merasa kagum dan bersimpati. Ia sendiripun sejak kecil menjadi murid dua orang datuk sesat, namun ia sama sekali tidak sudi mengikuti jejak mereka sebagai orang jahat. Sama sekali tidak! Ia benci kepada perbuatan jahat dan menentang mereka yang suka bertindak sewenang-wenang dan jahat.
"Ketika itu, pinceng yang sudah puluhan tahun tidak pernah membayangkan wanita, tiba-tiba saja menjadi lemah dan seperti kemasukan iblis dalam diri pinceng. Pinceng...... tergila-gila kepada Toan Hui Cu!"
Terkejut sekali hati Han Siong mendengar ini. Kalau saja kakek itu tidak membuat pengakuan sendiri, pasti dia tidak akan percaya! Bi Lian menatap wajah kakek itu, sepasang matanya memandang tajam penuh selidik.
Ceng Hok Hwesio menghela napas panjang. "Batin pinceng masih lemah, mudah dimasuki kotoran. Pinceng tertarik oleh kecantikan Toan Hui Cu dan pinceng menyatakan perasaan ini. Ia menolak pinceng! Kemudian..... kiranya ketika masuk menjadi nikouw, di luar pengetahuannya, Toan Hui Cu telah mengandung akibat hubungan cintanya dengan Siangkoan Ci Kang. Hubungan di luar nikah! Kesempatan ini pinceng pergunakan untuk membalas dendam kepada Toan Hui Cu karena telah tnengecewakan pinceng dan menolak perasaan hati pinceng yang sesungguhnya hanyalah gejolak nafsu binatang belaka. Dan membalas dendam kepada Siangkoan Ci Kang karena iri hati dan cemburu yang juga merupakan hafsu pementingan diri sendiri yang merasa dikecewakan. Maka, pinceng lalu menjatuhkan hukuman kepada mereka, hukuman kurung selama dua puluh tahun dalam kamar kurungan terpisah!"
"Aih, betapa kejinya!" tiba-tiba Bi Liar berseru. marah, matanya berapi-api memandang kepada hwesio tua itu. "Losuhu sebagai seorang hwesio tua sungguh tidak pantas sekali melakukan perbuatan, yang demikian kejamnya terhadap mereka! Mula-mula tergila-gila kepada seorang wanita muda, kemudian karena tidak mendapat tanggapan lalu membalas dendam dan menghukum meteka sampai dua puluh tahun! Tidak malukah losuhu kepada diri sendiri?"
"Sumoi.....!!" Han Siong berseru kaget sekali mendengar ucapan yang nadanya amat mencela dan merendahkan ketua kuil itu!
Akan tetapi kakek itu tersenyum, lalu merangkap kedua tangan di depan dada, memejamkan kedua matanya dan berkata, "Omitohud....., terima kasih, nona. Makian dan celaan sungguh terasa sebagai obat pelunak rasa perih karena penyesalan pinceng. Pinceng memang layak dimaki, bahkan dipukul atau dibunuh kalau perlu. Pinceng akan menerimanya dengan senang hati sekali......"
Mendengar ini, Bi Lian menutup mulutnya dan memandang heran, juga bingung. Ia menoleh kepada Han Siong yang mengedipkan mata dan memberi isyarat kepadanya agar suka menahan diri. Karena Han Siong ingin sekali tahu ke mana perginya suhu dan subonya, maka diapun mendesak dengan hati-hati kepada kakek yang masih memejamkan kedua matanya itu.
"Lalu bagaimana kelanjutannya, losuhu?" Kakek itu membuka matanya, masih tersenyum ketika memandang kepada Bi Lian, dan pandang matanya juga lembut, sama sekali tidak membayangkan kemarahan biarpun tadi dimaki dan ditegur dengan keras oleh gadis itu.
"Ketika engkau pergi meninggalkan kuil, hukuman mereka itu tinggal dua tiga tahun lagi, Han Siong. Akan tetapi pada suatu hari pinceng menyadari dan menginsafi dosa yang pinceng lakukan. Sayang kesadaran itu timbul setelah pinceng begini tua. Pinceng lalu memanggil mereka, membebaskan mereka dari sisa hukuman itu, dan di depan mereka pinceng mengakui semua dosa pinceng, dan menyatakan bahwa pinceng menjatuhi hukuman pada diri pinceng sendiri dengan hukuman kurungan di kamar ini sampai mati"
"Ahhh..... !" Han Siong berseru dan tercengang, akan tetapi Bi Lian bersungut-sungut.
"Hemm, masih terlalu ringan! Mereka yang tidak berdosa harus menjalani hukuman selama hampirduapuluh tahun! Kalau losuhu, melihat usia losuhu yang sudah tua sekali, tentu hanya tinggal beberapa tahun saja....."
"Sumoi....!" kembali Hong Siong menegur gadis itu.
Kembali kakek itu tersenyum dan mengangkat tangannya. "Biarkan saja, Han Siong! Pinceng malah girang karena gadis ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng. Sungguh pinceng selama ini merasa menyesal sekali, apalagi ketika dikeluarkan dari sini, mereka berdua itu sama sekali tidak mengutuk pinceng. Biarlah nona ini mewakili mereka untuk mengutuk pinceng....! Mereka memang tidak berdosa. Setelah pinceng mendengar akan pengalaman mereka. Mereka memang saling mencinta, sama-sama menderita dengan nasib yang hampir sama. Apakah dosa hubungan antara dua orang yang saling mencinta? Pinceng yang didorong nafsu iblis, nafsu binatang. Bahkan bukan mereka saja yang menderita, anak mereka yang tidak bersalah apapun, ikut pula menderita akibat perbuatan pinceng yang kotor......"
"Anak mereka......! Ah, suhu dan subo mempunyai anak dan bagaimana dengan anak mereka itu?" Kini Bi Lian bertanya sambil menatap tajam wajah Ceng Hok Hwesio yang masih tersenyum. Mendengar ini, berdebar rasa hati Han Siong. Bi Lian bertanya tentang anak itu, tentang dirinya sendiri! Dan hwesio tua itupun sama sekali tidak pernah mimpi bahwa yang bertanya itu adalah anak itu sendiri, anak dari dua orang hukuman itu! Han Siong merasa serba salah. Tentu saja dia tidak mungkin mencegah kakek itu bercerita atau melarang Bi Lian bertanya. Pertanyaan sudah diajukan dan dengan jantung berdebar penuh ketegangan Han Siong hanya dapat memandang dan mendengarkan, menanti jawaban Ceng Hok Hwesio.
"Anak mereka itu? Ah, anak yang malang itu ikut pula menjadi korban dosa yang
pinceng lakukan terhadap kedua orang tuanya. Anak itu perempuan dan karena mereka tidak ingin membiarkan anak mereka hidup dalam kurungan pula, mereka lalu menitipkan anak itu ke dusun di kaki gunung. Akan tetapi...... Omitohud..... semoga dosa pinceng dapat diampuni ....... anak itu kabarnya dilarikan penjahat setelah keluarga yang mereka titipi itu dibunuh pehjahat....."
Bi Lian meloncat bangun berdiri dan wajahnya pucat, matanya terbelalak ketika ia membentak Ceng Hok Hwesio dengan pertanyaan yang mengejutkan hati kakek tua itu. "Katakan! Siapa nama anak perempuan mereka itu? Hayo katakan atau....... demi Tuhan, kubunuh kau!"
"Sumoi......!" Han Siong juga bangkit berdiri, siap mencegah kalau sampai gadis itu benar-benar hendak membunuh ketua Siauw-lim-si itu.
Akan tetapi, Ceng Hok Hwesio masih saja bersikap tenang dan tersenyum, seolah-olah dia memang mengharapkan ada orang membunuhnya untuk menghukum dosanya yang membuat dia terbenam dalam penderitaan karena penyesalan.
"Sungguh pinceng tidak tahu siapa namanya. Kalau engkau hendak membunuh pinceng, silakan, nona, pinceng tidak akan menghdarkan diri....., silakan.....!"
"Sumoi......!" Han Siong kembali menegur. Bi Lian yang masih pucat itu kini menoleh dan berhadapan dengan Han Siong. "Suheng engkau..... engkau tentu tahu.....anak.... anak itu..... ia.....?"
Sinar matanya penuh pertanyaan dan bibirnya gemetar, tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Tanpa suarapun, Han Siong maklum apa yang menjadi dugaan hati gadis itu. Diapun mengangguk.
"Benar, sumoi. Engkaulah anak itu..... engkau adalah puteri suhu, dan subo yang dititipkan kepada keluarga Cu itu….. "
Bi Lian terbelalak, mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan tubuhnya sudah bergerak, didahului tangannya yang menyambar ke depan, menghantam kea- rah ubun-ubun kepala Ceng Hok Hwesio yang masih duduk bersila dan tersenyum, memandang tanpa berkedip. Akan tetapi, pukulan itu bertemu dengan tangan Han Siong yang lunak, yang sudah menangkis pukulan itu mendorong tubuh Bi Lian mundur.
"Sumoi, tenanglah. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau mengoper dosanya.....! Jangan, sumoi, demi Tuhan, jangan lakukan itu....!"
Bi Lian mencoba untuk meronta, akan tetapi Han Siong memegangi kedua lengannya. "Lepaskan! Suheng, dia telah mencelakakan kedua orang tuaku, menyiksa ayah dan ibuku! Aku harus membunuhnya!"
"Omitohud.... jadi nona ini adalah puteri mereka? Ya Tuhan, Han Siong lepaskan dia, biar ia membunuh pinceng. Omitohud...... akhirnya........ akhirnya hukuman yang adil datang. Lepaskan biar ia membunuhnya. Anak baik, kau bunuhlah pinceng...... kaubunuhlah pinceng...... " Hwesio itu kini menangis terisak-isak dan berbisik-bisik minta dibunuh.
Han Siong tetap mencegah Bi Lian, "Ingat, sumoi, suhu dan subo, yaitu ayah dan ibumu, tentu akan marah dan berduka sekali kalau mendengar engkau membunuh losuhu ini. Mereka saja yang menerima hukuman itu, tidak pernah mencela, tidak pernah mengutuk. Setidaknya engkau harus bertanya dulu kepada mereka. Mari, sumoi, mari kita temui mereka ayah ibumu...... ”
"Ayah? Ibu? Di mana.... di mana.... mereka...... ?" Gadis itu tergagap-gagap, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali.
"Losuhu, tolong beritahu, di mana adanya suhu dan subo kini?"
Dengan kepala tunduk, masih menangis, Ceng Hok Hwesio berkata, "Mereka...... mereka..... di Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas), di puncak Heng-tuan-san ujung timur..... tapi, tapi..... biarkan dulu ia membunuhku, Han Siong..... aku mohon padamu, bjarkan ia membunuh pinceng...."
Akan tetapi Han Siong tidak memperdulikan kakek itu, menarik tangan Bi Lian dan membawanya keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluh kesah dari kakek itu yang minta dibunuh di antara tangisnya, akan tetapi Han Siong terus mengajak sumoinya keluar. Di luar kamar, mereka bertemu dengan banyak hwesio yang tadi terkejut mendengar jerit Bi Lian. .Ketika mereka tiba di depan kamar, mereka mendengar tangis Ceng Hok Hwesio dan tentu saja para hwesio ini menjadi terkejut dan terheran,akan tetapi tidak berani memasuki kamar yang dijadikan tempat hukuman atau pertapaan oleh ketua mereka itu.
Ketika para hwesio itu melihat seorang pemuda dan seorang gadis keluar dari kamar itu, tentu saja mereka segera menghadang, dan bersikap penuh curiga. Akan tetapi Han Siong segera memperkenalkan diri. "Para suhu dan suheng apakah lupa kepadaku? Aku adalah Pek Han Siong......"
"Ah, Han Siong...... "
"Sute....."
Para hwesio itu kini mengenalnya akan tetapi Han Siong tidak ingin banyak bicara dengah mereka. Dia menggandeng tangan sumoinya dan berbisik, "Mari kita pergi, sumoi..... !" Dan diapun mengajak sumoinya untuk meloncat dan beberapa kali berkelebat saja, mereka telah menghilang di kegelapan malam. Para hwesio hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kagum.
Mereka melanjutkan perjalanan didalam kegelapan malam, hanya diterangi sejuta bintang di langit. Karena perjalanan mendaki Pegunungan Heng-tuan-san merupakan perjalanan yang sukar dan berbahaya, maka mereka hanya berjalan perlahan-lahan.
Tiba-tiba Bi Lian Berhenti.
"Marilah, sumoi....."
Akan tetapi Bi Lian tidak bergerak dan mencoba untuk menatap tajam wajah pemuda itu melalui kegelapan.
"Suheng....." Dari suaranya dapat di ketahui bahwa gadis itu menahan tangisnya. Memang sejak keluar dari kuil tadi, hanya dengan kekerasan hatinya saja Bi Lian tidak tersedu-sedu atau terisak-isak walaupun kedua matanya sudah basah dan kadang-kadang ada air mata menetes keatas pipinya. Pikirannya menjadi kacau tidak karuan. Ia membayangkan mereka yang pernah dianggapnya sebagai ayah dan ibu kandungnya, yaitu suami isteri Cu Pak Sun yang terbunuh oleh mendiang kedua orang gurunya yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Lalu ia membayangkan dan mencoba untuk mengingat-ingat wajah kedua orang yang menjadi gurunya, yang datang di waktu malam dan memberi bimbingan ilmu silat kepadanya. Seorang pria yang gagah perkasa, akan tetapi buntung lengan kirinya sebatas siku dan seorang wanita yang cantik jeilta akan tetapi selalu wajahnya pucat. Mereka begitu baik kepadanya, bahkan wanita yang menjadi subonya itu setiap kali datang dan pergi selalu mencium kedua pipinya dan pria berlengan buntung sebelah yang menjadi suhunya itu selalu mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang! Jadi mereka itu adalah ayah dan ibu kandungnya!
"Ya? Kenapa, sumoi?" tanya Han Siong, hatinya tidak enak karena tadi dia berkeras melarang sumoinya membunuh Ceng Hok Hwesio.
"Suheng, katakan terus terang, apakah selama ini, sejak pertemuan pertama antara kita, engkau sudah tahu siapa diriku?"
Han Siong mengangguk, akan tetapi lalu teringat bahwa cuaca gelap dan belum tentu anggukannya kelihatan oleh gadis itu. "Aku tahu, sumoi. Suhu dan subo sudah memberi tahu kepadaku siap namamu, yaitu Bi Lian dan mempergunakan nama keluarga Cu. Ketahuilah, sumoi. Aku memang diutus oleh suhu dan subo untuk mencarimu. Selama dua tahun aku mengembara, tidak tahu harus mencari ke mana sampai pada suatu hari itu kita kebetulan saling berjumpa dan begitu melihat, aku….. aku sudah merasa tegang karena wajahmu mirip sekali dengan wajah subo. Ketika mendengar namamu, maka aku menjadi yakin."
"Tapi, kenapa kau diam saja, suheng? Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung mereka?"
"Aku khawatir engkau tidak percaya, sumoi. Maksudku, membawamu menghadap mereka dan biarlah engkau mendengar, dari mereka sendiri. Tidak kusangka, kita bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio sehingga rahasia itu kauketahui…… "
Mereka- melanjutkan perjalanan dan karena Kim -ke -kok ( Lembah Ayam Emas) itu berada di puncak paling ujung, dan perjalanan dilakukan lambat, baru setelah terang tanah mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan cepat, maka pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di lembah itu. Tidak sukar mencari suami isteri itu setelah mereka berdua tiba di lembah, karena baru saja mereka memasuki lembah yang subur itu, mereka melihat dua titik hitam dari atas depan yang makin lama menjadi makin besar dan akhirnya nampak dua sosok tubuh manusia berlari cepat menyongsong meraka.
Tanpa disadari, tangan Bi Lian mencari dan memegang lengan kanan Han Siong dan pemuda ini merasa betapa jari tangan gadis itu dingin gemetar .
Seperti yang diduganya, dua sosok tubuh itu setelah tiba di depannya bukan lain adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu! Mereka menyongsong sambil tersenyum gembira dan dari jauh Siangkoan Ci Kang sudah berseru, "Heiiii….., bukankah itu engkau, Han Siong……..?"
Ketika mereka sudah berhadapan, Toan Hui Cu tersenyum. "Kami sudah menduga bilhwa yang datang tentu engkau…… " Tiba-tiba ia berhenti dan matanya terbelalak mengamati wajah Bi Lian.
Juga Siangkoan Ci Kang tiba-tiba memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat, suaranya gemetar ketika dia berkata, "Han Siong, ini..... ia ini……"
Toan Hui Cu seperti besi terbetot besi sembrani, melangkah maju menghampiri, ".. ..kau…… kau……. " Ia tidak mampu melanjutkan karena takut kalau-kalau ia salah kira.
Akan tetapi suaminya berteriak, "Pasti ia! Wajahhnya itu….. ah, serupa benar denganmu, Hui Cu. Ia Bi Lian…… !!"
"Kau…. kau Bi Lian….?” Dengan suaraa bercampur isak Toan Hui Cu berkata, kedua lengannya dikembangkan.
Sejak tadi Bi Lian sudah memandang kedua orang itu dengan air mata bercucuran dan kini ia tidak dapat menahan dirinya lagi, ia lari menubruk Toan Hui Cu dan dirangkulnya wanita itu.
"Ibuuuuu ………., engkau ibuku………. !"
"Bi Lian anakku………. ah, Bi Lian……… !"
Kedua ibu dan anak itu berangkulan dan Hui Cu mendekap puterinya sambil tersedu-sedu.
"Bi Lian…… ya Tuhan, syukurlah engkau selamat dan dapat bertemu kembali dengan kami, anakku ………"
Bi Lian melepaskan rangkulan ibunya, lalu lari menubruk kaki ayahnya.
"Ayah………. !”
" Anakku……… !" Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang membelai kepala gadis itu, pria yang sakti dan gagah perkasa ini tidak mampu menahan basahnya kedua matanya. Hui Cu merangkul lagi puterinya dan mereka bertiga saling berangkulan dalam suasana yang penuh keharuan dan kebahagiaan.
Kemudian Siangkoan Ci Kang menghampiri Han Siong yang sejak tadi juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subonya dan hanya memandang pertemuan itu dengan mulut tersenyum menahan keharuan hatinya yang merasa ikut berbahagia. Siangkoan Ci Kang yang buntung lengan kirinya itu menyentuh kepala muridnya dengan penuh perasaan syukur dan berterima kasih. “syukur bahwa engkau berhasil menemukan anak kami, Han Siong."
Toan Hui Cu kini bangkit berdiri sambil merangkul pinggang puterinya yang ramping. "Kami amat berterima kasih kepadamu, Han Siong. Tidak percuma kami mendidik dengan susah payah padamu selama ini, ternyata engkau berhasil membawa pulang Bi Lian."
"Pertemuan antara teecu dan sumoi hanya kebetulan saja, suhu dan subo. Kami berdua sama-sama menentang gerakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."
"Ahh ! Jadi iblis itu malah mengusahakan pemberontakan?" Suami isteri itu bertanya. Tentu saja mereka berdua mengenal Lam-hai Giam-lo, pemimpin pemberontak itu karena Lam-hai Giam-lo pernah melarikan diri dari para musuhnya yang amat lihai, menyamar sebagai hwesio dan bersembunyi di dalam kuil Siauw-lim-si pimpinan Ceng Hok Hwesio di mana mereka menjadi dua orang hukuman. Lam-hai Giam-lo menyamar sebagai seorang tukang sapu yang gagu dan berkat suami isteri yang sakti ini pula iblis itu dapat diusir dari kuil.
"Ibu……, dan ayah ……. kenapa ibu dan ayah begitu ……nakal terhadap diriku? Ayah dan ibu memberikan aku kepada keluarga Cu! Apakah ayah dan ibu malu mengakui diriku sebagai anak?" Dengan merengut manja gadis itu bertanya sambil merangkul ibunya. Suami isteri itu saling pandang lalu tersenyum lebar .
"Haiiii, Han Siong! Bagaimana Bi Lian begitu berjumpa dengan kami segera tahu bahwa ia adalah puteri kami? Apakah engkau sudah menceritakan kepadanya?" Ibu gadis itu berbalik mengajukan pertanyaan ini kepada Han Siong sebelum mampu menjawab pertanyaan puterinya.
Siangkoan Ci Kang tertawa, "Ha-ha-ha, hujan pertanyaan yang menuntut jawaban! Marilah kita pulang dan kita bicara sejelasnya di dalam pondok. Kita masing-masing akan diharuskan menceritakan segalanya secara panjang lebar agar tidak ada lagi rasa penasaran menyelinap di dalam hati. Sabarlah, anakku, engkau akan mendengar semua jawaban pertanyaanmu."
Gadis itu digandeng ayah ibunya, berjalan di tengah, dan Han Siong mengikuti mereka dari belakang, diam-diam hatinya merasa tegang karena masih ada sebuah hal yang belum terpecahkan dan yang masih menggoda perasaan hatinya. Dia meraba gagang pedang Kwan-im-kiam yang tergantung di pinggangnya. Pedang pusaka itu pemberian kedua orang gurunya, bukan hanya sebagai hadiah guru kepada murid, melainkan terutama sekali sebagai tanda bahwa dia telah dijodohkan kepada Bi Lian. Dahulu, hatinya merasa ragu-ragu mengenai ikatan jodoh ini, akan tetapi dia tidak berani menolak karena dia merasa hutang budi besar sekali kepada kedua orang gurunya. Akan tetapi sekarang, setelah dia berjumpa dengan gadis itu, tidak perlu ditanya untuk kedua kalinya, hatinya sudah seratus prosen menerima dan setuju untuk menjadi calon suami Bi Lian! Begitu bertemu, dia sudah langsung jatuh hati. Yang membuat hatinya merasa tidak enak, tegang dan bimbang adalah karena dia belum dapat menduga bagajmana nanti tanggapan atau pendapat gadis itu kalau mendengar bahwa ia dijodohkan dengan suhengnya! Dan selama bergaul dengan Bi Lian, dia sungguh harus mengakui bahwa dia bingung dan tidak dapat menduga apa perasaan gadis itu terhadap dirinya. Gadis itu berwatak demikian terbuka, polos di samping galak dan keras, akan tetapi baginya juga penuh rahasia. Kadang-kadang gadis itu bersikap manis sekali, kadang-kadang seperti acuh. Bagaimana kalau nanti Bi Lian menolak? Bagaimana kalau diam-diam gadis ini telah mempunyai seorang pemuda pilihan, hatinya sendiri? Hal mi membuat dia diam-diam gelisah ketika dia mengjkuti gadis dan ayah ibunya itu dari belakang. Diam-diam dia merasa iri melihat betapa tangan dan lengan suhu dan subonya melingkar dipinggang yang ramping itu. Kalau saja tangan dan lengannya yang berada di situ! Gadis itu bicara dengan sikap manja sambil menoleh ke kanan kiri, kepada ayahnya dan ibunya. Kalau saja gadis itu bicara seperti itu kepadanya!
Mereka memasuki sebuah pondok sederhana yang berdiri di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih dan yang mengalir riang berdendang di antara batu-batu sungai. Pondok atau rumah tunggal di lembah itu, tidak mempunyai tetangga. Rumah orang Jaln berada didusun yang berada di kaki gunung.
Setelah berada di dalam pondok, duduk di atas lantai bertilamkan rumput kering yang lunak dan bersih, mereka berempat bercakap-cakap. Mula-mula, untuk menghilangkan rasa penasaran di hati Bi Lian, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menceritakan keadaan mereka sebagai keturunan para datuk sesat yang telah yatim piatu saling mencinta dalam keadaan sengsara. Betapa kemudian mereka ingin menebus dosa orang tua mereka, dan masuk ke dalam kuill Siauw-lim-si untuk menjadi hwesio dan nikouw.
"Namun, agaknya Tuhan juga melarang kami menjadi pendeta. Buktinya, aku mengandung, Bi Lian. Engkaupun terlahir dan kami dihukum oleh losuhu Ceng Hok Hwesio," kata Toan Hui Cu.
"Kenapa ayah dan ibu dihukum? Bagaimana hukumannya? Sambil menahan kemarahannya terhadap ketua kuil itu, Lian bertanya.
Siangkoan Ci Kang yang menjawab pertanyaan puterinya. "Kami dihukum agar bertobat dan bertapa di dalam kamar tahanan selama masing-masing dua puluh tahun….”
"Dua puluh tahun?" Bi Lian pura-pura terkejut. "Mengapa losuhu itu menghukum seperti itu?"
"Karena menurut losuhu, kami dianggap telah melanggar dosa. Dan kami harus menebus dosa dengan bertapa dandmenyesali perbuatan kami itu," jawab ibunya.
"Dan ayah ibu menerima hukuman itu dengan rela? Ayah ibu menganggap hukuman itu sudah pantas?" Bi Lian mendesak.
Suami isteri itu saling lirik dan Siangkoan Ci Kiang menjawab, "Ya, kami menerimanya dan kami menganggalpnyaa sudah pantas."
"Tidak! Tidaaaaaakkk! Sama sekali tidak pantas! Hwesio tua itu hanya membalas dendam. Dia tergila-gila kepada ibu, kakek yang tak tahu malu itu! Ibu tidak mau melayaninya dan dia membalas dendam, menghukum ayah dan ibu untuk memuaskan dendamnya!"
"Sumoi…… !" Kembali Han Siong berseru menegur.
Suami isteri itu saling pandang, lalu memandang Han Siong, dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang sebelum bertanya, "Aha, kiranya kalian sudah tahu pula hal itu? Dari siapa kalian tahu?"
"Dia sendiri yang mengaku kepada kami!" jawab Bi Lian. "Ayah dan ibu, kami tadinya masuk ke dalam kamar tahanan ayah dan ibu, akan tetapi kami hanya bertemu dengan losuhu itu dan dia membuat pengakuan. Hampir saja aku membunuhnya!"
"Bi Lian…… !" Toan Hui Cu merangkul puterinya.
Kini Han Siong ikut bicara. "Suhu dan subo, sebelum bertemu dengan losuhu Ceng Hok Hwesio, sumoi belum tahu bahwa ia adalah puteri suhu dan subo, karena teecu hanya mengajak ia untuk menghadap suhu dan subo yang ia ingat sebagai guru-gurunya ketika ia masih kecil. Akan tetapi, ketika teecu mencari suhu dan subo di kuil, kami bertemu dengan Ceng Hok Hwesio dan dialah yang mengakui segalanya kepada kami sehingga sumoi mengetahui bahwa ia adalah puteri suhu dan subo dan dia mengakui segala hal yang telah dilakukannya."
"Aku heran sekali menapa ayah dan ibu membiarkan saja orang berbuat sekejam itu kepada ayah dan ibu?" Bi Lian menyambung dengan suara mengandung penasaran. Ayahnya tersenyum. "Engkau tidak tahu, anakku. Engkau tidak tahu betapa ayah dan ibumu menderita tekanan batin mengingat dosa-dosa yang ditumpuk oleh para kakek nenekmu dahulu. Kami menerima hukuman itu yang kami anggap memang tepat bagi kami untuk menebus dosa-dosa turunan. Biarpun kemudian, setelah hampir duapulh tahun losuhu itu membuat pengakuan, kai tidak merasa penasaran, karena dalam pelaksanaan hukuman itu kami mendapatkan hikmat dan anugerah yang amat berharga dari Tuhan. Melalui pelaksanaan hukuman itu, kami mendapatkan ilmu-ilmu tinggi, dan kemudian bahkan kami bertemu dengan suhengmu ini yang menjadi murid kami. Tidak, anakku, kami tidak merasa penasaran kepada Ceng Hok Hwesio."
"Bahkan kami merasa kasihan kepadanya, Bi Lian," kata ibunya. "Dia merasa menyesal dan penyesalan merupakan hukuman yang lebih berat lagi. Kini dia yang sudah begitu tua menderita kesengsaraan batin yang berat, bahkan dia akan menghukum diri sendiri di kamar itu sampai mati."
Bi Lian mengangguk-angguk. "Mungkin benar juga pendapat ayah dan ibu. Dia menyiksa diri bahkan minta agar kubunuh, akan tetapi suheng mencegah aku. Akan tetapi, mengapa ibu menyerahkan aku kepada keluarga Cu, bahkan menyuruh mereka mengakui aku sebagai anaknya?"
"Begini, Bi Lian," jawab ayahnya. "Ibu dan aku sudah merundingkan hal itu baik-baik. Kami akan hidup selama dua puluh tahun di dalam kurungan, sebagai orang-orang hukuman. Kalau kami membiarkan engkau hidup bersama dengan kami dalam hukuman, bagaimana jadinya dengan dirimu? Kami harus memikirkan masa depanmu. Karena itulah maka setelah berpikir masak-masak, kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu yang kami tahu merupakan keluarga baik-baik. Dan kami mengunjungimu untuk menjenguk keadaanmu sejak engkau masih bayi sampai engkau besar dan kami beri latihan dasar ilmu silat."
"Nah, itulah sesungguhnya yang mendorong kami menitipkan engkau kepada keluarga Cu di dusun itu, Bi Lian. Bukan sekali-kali karena kami tidak suka kepadamu! Engkau tahu, sampai berbulan-bulan setiap malam aku menangis kalau ingat kepadamu, dan hanya demi kebahagiaanmu di masa depan sajalah aku dapat menahan penderitaan batin yang berat itu……”
Bi Lian merangkul ibunya. "Aku percaya, ibu. Akupun merasakan kasih sayang ibu dan ayah ketika sering datang mengajarku di dusun itu."
"Nah, sekarang giliranmu untuk menceritakan pengalamanmu!" kata Siangkoan Ci Kang kepada puterinya.
"Nanti dulu, ayah dan ibu," kata Bi Lian dengan sikap manja dan "jual mahal". "Aku ingin mendengar cerita suheng lebih dulu, tentang riwayatnya sampai dia bertemu dengan aku ketika menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo itu."
Toan Hui Cu tersenyum dan mengangguk kepada muridnya. "Kamipun ingin sekali mendengar, terutama tentang keberhasilanmu menemukan anakku. Berceritalah, Han Siong."
"Sumoi, aku pernah menceritakan keadaan keluargaku kepadamu. Ayahku adalah ketua dari Pek-sim-pang di Kong-goan. Ketika aku bayi, terpaksa aku disembunyikan karena hendak diculik oleh para pendeta Lama di Tibet. Aku disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu sehingga bertemu dengan suhu dan subo dan menjadi muridnya."
"Ya, aku sudah tahu akan hal itu, dan aku tahu pula bahwa adik Pek Eng adalah adik kandungmu. Ceritakan saja sejak engkau meninggalkan ayah dan ibu," kata Bi Lian.
Kini Han Siong menujukan ceritanya kepada kedua orang gurunya. "Ketika suhu dan subo memberi tugas kepada teecu untuk mencari sumoi, sesungguhnya teecu merasa bingung sekali karena selain selamanya teecu belum pernah bertemu dengan sumoi, juga teecu tidak tahu harus mencari ke arah mana. Akan tetapi teecu mengambi1 keputusan tidak akan kemba1i menghadap suhu dan subo sebe1um berhasil menemukan sumoi. Teecu berangkat dibekali doa restu suhu dan subo, dan juga kenekatan. Da1am perjalanan itu, teecu bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Ban Hok Lojin dan teecu diambll murid selama satu tahunl."
"Ban Hok Lojin?" Siangkoan Ci Kang berseru kaget. "Bukankah dia seorang di antara Delapan Dewa?"
"Suhu benar. Suhu Ban Hok Lojin adalah seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) dan selama satu tahun teecu diberi ilmu Pek-hong Sin-ciang dan juga ilmu sihir….."
"Wah, ayah dan ibu! Suheng ini pandai main sulap, pandai main sihir!"
“Hemm, coba kauperlihatkan sedikit sihirmu agar kami melihatnya, Han Siong," kata Toan Hui Cu, subonya.
“Bagaimana teecu berani bersombong dan kurang ajar terhadap suhu dan subo?” kata Han Siong.
"Tidak, Han Siong. Jangan mengira bahwa kami tidak senang mendengar engkau menjadi murid Ban Hok Lojin. Kami hanya ingin melihat sendiri kekuatan sihir yang kaupelajari itu," kata suhunya.
"Suhu, menurut keterangan suhu Ban Hok Lojin, ada dua macam ilmu sihir, yaitu yang disebut ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam adalah sihir yang dipergunakan orang untuk melakukan kejahatan, sedangkan yang diajarkan suhu Ban Hok Lojin hanyalahuntuk melindungi diri dari serangan musuh, terutama untuk menghadapi serangan sihir hitam."
"Kalau begitu bagus sekali, Han Siong. Nah, perlihatkan sedikit kepada kami agar kami menjadi yakin."
"Aih, suheng! Kenapa pelit amat? Hayo perlihatkan kepandaianmu, akupun ingin sekali melihatnya," kata Bi Lian.
Han Siong tersenyum dan diam-diam dia mulai mengerahkan kekuatan batinnya untuk melakukan demonstrasi sihirnya. "Suhu, subo dan sumoi, andaikata teecu kewalahan menghadapi pengeroyokan atau menghadapi lawan tangguh, teecu dapat membuat lawan bingung untuk menyelamatkan diri dengan memperbanyak diri teecu!"
"Memperbanyak diri?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui ClI bertanya hampir berbareng.
"Apa maksudmu, suheng?" Bi Lian juga ingin tahu sekali.
"Suhu, teecu dapat memperbanyak diri, misalnya menjadi dua seperti ini!" Suara Han Siong berwibawa sekali, menggetar dan tiba-tiba saja ayah, ibu dan anak itu terbelalak melihat betapa tubuh Han Siong benar-benar berubah menjadi dua orang!
"Atau menjadi tiga seperti ini ! " terdengar lagi suara Han Siong dan kini muncul pula seorang Pek Han Siong yang lain dan berdirilah tiga orang pemuda yang kembar di depan mereka.
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dua orang tokoh kang-ouw yang sudah banyak pengalaman dan memiliki kepandaian tinggi itu, cepat mengerahkan tenaga khikang mereka dan memusatkannya kepada pandang mata dan kini lenyaplah dua orang bayangan Han Siong yang lain, tinggal yang seorang saja, yang asli. Akan tetapi Bi Lian tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan penglihatan aneh itu dan iapun berseru sambil tertawa.
"Wah-wah-wah…… ! Kalau aku menjadi lawanmu, aku benar-benar akan kebingungan sekali, suheng! Yang mana sih engkau yang sesungguhnya?"
Han Siong tersenyum, diapun segera melenyapkan dua bayangannya. Lalu dia menjatuhkan diri berlutut di depan suhu dan subonya yang dia tahu dapat menguasai penglihatan mereka tadi. "Harap suhu dan subo suka memaafkan teecu."
Suami isteri itu saling pandang dan Siangkoan Ci Kang menarik napas panjang. "Memang hebat ilmu sihir itu, Han Siong. Kami sendiri seketika terpengaruh dan memang merupakan alat pembela diri yang amat ampuh. Kami ikut merasa girang bahwa engkau dilatih oleh seorang sakti seperti locianpwe itu. Sekarang lanjutkan ceritamu, Han Siong."
"Teecu lalu pergi berkunjung ke Pek-sim-pang. Di sana teecu bertemu dengan lima orang pendeta Lama yang hendak memaksa teecu pergi ke Tibet. Teecu berhasil mengusir mereka dan teecu ber temu dengan ayah, ibu dan keluarga Pek."
"Ah, sukurlah, Han Siong. Aku ikut merasa gembira bahwa engkau dapat bertemu dengan orang tuamu dan keluargamu di sana," kata Toan Hui Cu.
"Akan tetapi dari keluarga Pek, teecu mendengar bahwa adik kandung teecu yang bernama Pek Eng telah pergi meninggaltkan rumah, katanya untuk mencari teecu, kakaknya yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya."
"Ah, kasihan sekali adik Pek Eng……. " kata Bi Lian.
"Karena itu, teecu merasa khawatir dan teecu juga tidak lama tinggal di asrama Pek-sim-pang. Teecu berangkat untuk mencari adik Pek Eng dan juga sumoi, teecu mencari dua orang gadis!"
"Dua orang yang selamanya belum pernah suheng lihat. Hik-hik, betapa sukarnya itu…… !" Bi Lian tertawa.
"Akhirnya, teecu menemukan jejak adik Pek Eng yang ditangkap oleh gerombolan pemberontak Lam-hai Giam-lo yang bersarang di Yunan Lembah Yang-ce, maka teecu menyusul ke sana dan ternyata teecu menemukan dua-duanya di sana!"
Kembali Bi Lian tertawa. "Orang-orang yang dicarinya itu telah berkumpul di Yunan, bahkan sebelum suheng bertemu dengan aku atau dengan adik Eng, aku dan adik Eng telah menjadi sahabat baik!"
"Pemberontakan Lam-hai Giam-lo dapat dihancurkan oleh para pendekar, kemudian teecu berhasil membujuk sumoi untuk menghadap suhu dan subo di kuil Siauw-lim-si itu." Han Siong mengakhiri ceritanya.
"Kami sungguh bersukur sekali, Han Siong. Engkau bukan saja dapat melaksanakan tugasmu dan memenuhi permintaan kami sehingga berhasil baik, akan tetapi juga dapat menemukan adik kandungmu dan dapat membantu para pendekar untuk menghancurkan persekutuan pemberontak Lam-hai Giam-lo." kata Siangkoan Ci Kang. "Nah, sekarang giliranmu untuk bercerita, Bi Lian."
Bi Lian lalu menceritakan pengalamannya, sejak ia diambil murid oleh mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua di antara Empat Setan yang menjadi datuk-datuk sesat di empat penjuru itu. Kedua orang datuk itu senang sekali melihat Bi Lian yang ketika itu berusia enam tahun, seorang anak perempuan yang mungil, manis lincah dan memiliki keberanian luar biasa sekali. Tentu saja anak kecil yang pemberani itu tadinya mendendam kepada dua orang iblis ini yang dianggap pembunuh keluarga Cu, keluarganya! Akan tetapi dua orang itu menyalahkan dua pasang suami isteri iblis yang memusuhi mereka. Dua pasang suami isteri iblis itulah yang membujuk rakyat dusun mengeroyok mereka sehingga banyak penduduk dusun tewas termasuk keluarga Cu. Bi Lian dapat menerima alasan ini dan iapun mengalihkan dendamnya kepada dua pasang suami isteri iblis, yaitu Lam-hai Siang-mo dan Sepasang Suami Isteri Guha Iblis Pantai Selatan.
"Pelajaran apa saja yang kauperoleh dari Dua Setan itu?" Toan Hui Cu bertanya. Bi Lian memandang kepada ayah ibunya. Ia melihat sinar mata khawatir berpancar keluar dari pandang mata kedua orang tuanya. Memang, tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu merasa khawatir sekali membayangkan bahwa anak kandung mereka menjadi murid dua manusia iblis seperti Tung-hek-kwi dan Pek-kwi-ong yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai dua orang yang tidak segan melakukan perbuatan jahat dan kejam yang bagaimanapun iuga, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu tahu diri. Mereka merasa bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk jahat sekali, maka mendengar betapa puteri mereka menjadi murid dua di antara Empat Setan, tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau darah nenek moyang puterinya itu akan menurun pada batin puterinya.
Bi Lian tersenyum. "Ayah dan ibu tak perlu khawatir. Memang aku mempelajari berbagai ilmu silat tinggi dari mendiang suhu Pek-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, akan tetapi aku tidak sudi mempelajari dan meniru perbuatan mereka yang kuanggap jahat! Bagaimanapun juga, bimbingan keluarga Cu yang baik, juga bimbingan ayah dan ibu yang ketika itu kuanggap guru, masih meninggalkan kesan di hatiku dan aku tidak terpengaruh oleh watak jahat mereka."
"Sumoi berkata benar,” Han Siong cepat menyambung. "Semenjak bertemu dengan
sumoi. Yang teecu lihat, sumoi mempunyai jiwa pendekar seratus prosen, dan bahkan ia telah mendapat julukan Thiat-sim Sian-li sebagai tanda kekerasan hatinya menghadapi orang-orang jahat.”
“Aih, suheng ini memuji-mujiku di depan ayah dan ibu, mau merayu, ya?” Bi Lian bertanya dengan pandang mata nakal menggoda.
Wajah Han Siong seketika berubah merah. Kalau saja gadis itu tahu bahwa mereka telah dijodohkan, tentu tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti itu! Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu memandang sambil tersenyum. Mereka tahu bahwa puteri mereka itu berwatak keras, pemberani, dan polos sehingga ucapan yang dikeluarkan tadi hanya untuk menggoda Han Siong, tidak mempunyai makna lain.
“Ah, aku hanya bicara jujur sumoi.Kalau engkau bukan berjiwa pendekar tentu tidak akan menentang gerombolan Lam-hai Giam-lo. Bahkan engkau berjasa besar sekali karena di tanganmulah Lam-hai Giam-lo tewas!"
"Ah, benarkah?" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar ini karena mereka berdua maklum akan kelihaian Lam-hai Giam-lo. Kalau puteri mereka mampu membunuh iblis itu, tentu puteri mereka itu telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya!
"Wah, memang suheng tukang memuji. Hemm, jangan-jangan suheng sudah ketularan watak putera Si Tawon Merah itu!" Tiba-tiba Bi Lian termenung karena ia teringat kepada seorang pemuda yang amat pandai merayu hati wanita, bahkan ia sendiri pernah terpikat oleh puji-pujian dan rayuan yang keluar dari mulut pemuda itu. Pemuda itu bernama Tang Hay seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main, bahkan pandai pula bermain sihir, seorang pemuda pendekar yang gagah perrkasa. Akan tetapi kemudian ketahuan bahwa pemuda perkasa itu adalah putera Ang-hong-cu atau Si Kumbang Merah y-ng terkenal sebagai penghisap kembang atau seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) perusak dan pemerkosa wanita yang amat keji!
"Sumoi, aku tidak memuji, melainkan bicara secara jujur,” kata Pek Han Siong yang merasa tidak enak mendengar disebutnya nama putera Ang-hong-cu itu.
"Akan tetapi, benarkah engkau telah berhasil membunuh Lam-hai Giam-lo, Bi Lian?" tanya Toan Hui Cu heran.
"Aah, ibu. Suheng ini bisa saja. Memang aku membunuhnya, akan tetapi bukan sendirian, melainkan mengeroyoknya bersama dua orang pendekar yang sakti. Kalau aku sendiri, kiranya tidak akan mampu mengalahkan dia."
"Lanjutkan ceritamu," kata Siangkoan Ci Kang.
"Selama belajar ilmu silat dari kedua orang suhu itu, aku diajak merantau dan aku tidak pernah mencampuri urusan suhu. Akan tetapi aku sendiri mempergunakan kepandalanku untuk menentang kejahatan di mana-mana sehingga orang-orang kang-ouw menjulJukl aku Thiat-sim Sian-li. Kemudian, kedua orang suhu merantau ke daerah Yunan di mana aku menemukan jejak dua pasang suami isteri yang kuanggap sebagai musuh besarrku karena merekalah yang menyebabkan terbasminya keluarga Cu yang kukira keluargaku sendiri. Dan dalam pengejaran terhadap dua pasang suami isteri itulah kami bertiga bertemu dengan gerombolan Lam-hai Giam-lo! Suhu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi terbujuk oleh mereka dan biarpun aku tak senang, mereka tetap saja menjadi tamu kehormatan gerombolan pemberontak itu. Bahkan, kemudlan suhu Pak-kwi-ong hendak memaksa aku menerima pinangan Kulana, seorang di antara pimplnan pemberontak berasal dari Birma yang berilmu tinggi dan kaya raya. Aku tidak sudi, dan ketika suhu Pak-kwi-ong memaksa, suhu Tung-hek-kwi membelaku. Mereka kemudian saling serang dan keduanya tewas! Pada waktu itulah bermunculan para pendekar dan aku lalu bergabung dengan mereka untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo, Kulana dan banyak lagi tokoh sesat itu.”
Gadis dan ayah bundanya itu melepaskan kerinduan masing-masing dan selama beberapa hari, mereka hanya bercakap-cakap saja, saling menceritakan pengalaman mereka lebih terperinci.
Beberapa hari kemudian, sehabis makan siang, mereka bertiga, ditemani oleh Han Siong, duduk di atas rumput tebal diluar pondok, di bawah pohon yang rindang. Mereka memang Jebih suka bercakap-cakap sambil duduk di atas rumput ini dari pada di dalam pondok.
Tiba-tiba Toan Hui Cu bertanya kepada Han Siong, "Han Siong, sudahkah engkau menceritakan kepada sumoimu tentang pedang pusaka Kwan-im-pokiam Itu?"
Tiba-tiba wajah Han Siong berubah merah dan dia tidak mampu menjawab, hanya meraba gagang pedang di pinggangnya. Melihat ini, Bi Lian yang menjawab sambil tersenyum. "Suheng pernah menceritakan bahwa dia selain menerima ilmu-ilmu yang hebat dari ayah dan ibu, juga menerima pemberian pedang pusaka Kwan-im-pokiam, ibu!"
"Bukan hanya sebagai pemberian, Bi Lian," kata Hui Cu dan ia menoleh kepapa suaminya. Siangkoan Ci Kang mengangguk, agaknya setuju kalau isterinya menyinggung urusan itu.
"Bukan hanya sebagai pemberian, lalu sebagai apa, ibu? Hadiah karena suheng seorang murid yang baik?" Bi Lian bertanya, mengerling kepada suhengnya untuk menggodanya.
"Sebagai………. ikatan, Bi Lian. Ikatan jodoh!"
Bi Lian terbelalak memandang kepada ibunya, lalu kepada ayahnya. "Ikatan jodoh? Apa yang ibu maksudkan?" Sementara itu, Han Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
"Bi Lian, ayahmu dan aku telah mengambil keputusan, jauh sebelum engkau pulang, yaitu dua tahun lebih yang lalu, ketika suhengmu pergi berangkat untuk pergi mencarimu. Keputusan kami itu adalah bahwa kami menjodohkan engkau dengan Pek Han Siong, dan pedang pusaka Kwan-im-pokiam itu kami berikan ke padanya sebagai tanda ikatan jodoh………”
Toan Hui Cu menghentikan kata-katanya dan memandang kepada puterinya dengan wajah khawatir. Ia melihat perubahan pada wajah puterinya yang tadinya cerah dan riang itu. Wajah itu menjadi keras, sepasang matanya mencorong dan Bi Lian memandang ayah ibunya bergantian, kemudian menoleh dan memandang kepada Han Siong yang masih menundukkan mukanya yang merah. Suasana menjadi amat sunyi, kesunyian yang menegangkan hati, terutama bagi Han Siong.
"Kami harap engkau akan menerimanya dengan hati terbuka, anakku," kata Siangkoan Ci Kang. "Kami melihat Han Siong sebagai seorang pemuda yang amat baik, keturunan pendekar, dan engkau sendiri tentu sudah mengenalnya selama ini dan dapat menilainya sendiri……. "
"Justeru itulah, ayah! Aku selama ini menganggapnya sebagai seorang suheng, seorang kakak! Suheng, mengapa selama ini engkau diam saja tidak pernah memberitahu kepadaku tentang jodoh ini?" Dalam pertanyaan itu terkandung penyesalan dan teguran.
Han Siong mengangkat mukanya, sikapnya tetap tenang walaupun dia merasa gugup sekali. Setelah menelan ludah beberapa kali untuk menenangkan batinnya yang terguncang, diapun menjawab, "Maafkan aku, sumoi. Aku tidak tega, tidak ingin membuat engkau menjadi sungkan dan malu, maka aku diam saja, biar suhu dan subo sendiri yang memberitahu akan hal itu."
"Tidak….., tidak…….! Bagaimana mungkin terjadi ikatan jodoh yang tiba-tiba ini? Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri! Ayah dan ibu, sungguh aku tidak dapat menerima keputusan yang begini tiba-tiba!"
Mendengar ini, wajah Han Siong berubah pucat dan seperti tadi, diapun hanya menundukkan mukanya.
"Bi Lian, engkau tidak boleh menolak mentah-mentah hanya dengan alas an bahwa engkau menganggapnya seperti kakak sendiri! Memang benar dia kakak seperguruanmu, akan tetapi tidak ada hubungan darah sedikitpun antara keluarga kita dan keluarga Pek," kata Siangkoan Ci Kang sambil mengerutkan alisnya karena kecewa melihat sikap puterinya yang menolak ikatan jodoh itu.
"Tapi, ayah! Bagaimana mungkin orang berjodoh secara begitu saja? Selama ini aku memandang suheng sebagai seorang kakak seperguruan, bagaimana tiba-tiba saja aku memandangnya sebagai tunangan, sebagai calon suami? Orang berjodoh harus ada perasaan cinta kasih!" bantah Bi Lian dengan polos, sesuai dengan wataknya yang bagaimanapun juga mewarisi sikap kedua orang gurunya, polos dan berandalan.
Toan Hui Cu juga merasa penasaran, lalu ia mengambil keputusan dalam menghadapi puterinya yang bicara secara terbuka ini dengan cara yang lebih jujur, maka iapun berkata kepada Han Siong, "Han Siong, sekarang lebih baik engkaupun bicara terus terang saja! Bagaimana perasaan hatimu ketika kami menyatakan bahwa engkau kami jodohkan dengan puteri kami yang pada waktu itu belum kaulihat? Engkau memang telah menerimanya dengan patuh, akan tetapi bagaimana perasaanmu pada saat itu?"
Mendengar pertanyaan ibunya, wajah Bi Lian menjadi berseri. Ia memang lebih suka urusan secara terbuka begini daripada harus menyimpan di dalam hati.
"Suheng, jawablah sejujurnya. Percayalah, aku tidak akan menyesal atau marah,
bahkan kalau engkau tidak bicara jujur, aku merasa penasaran dan marah!" katanya kepada Han Siong.
Pemuda ini merasa terhimpit sekali. Sejak kecil ia hidup di dalam kuil dan mempelajari segala macam kebudayaan dan sopan santun, kesusilaan, peraturan untuk menghormati orang tua, guru, wanita dan orang pandai. Kini dia diharuskan bicara secara terbuka tanpa tenggang rasa lagi, apa adanya! Biarpun ia tidak merasa berkeberatan dengan cara seperti ini, membicarakan rahasia hati di depan orang lain secara terbuka, namun tentu saja dia harus berkorban perasaan. Setelah menghela napas panjang beberapa kali, diapun memandang kepada suhu dan subonya, lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Suhu dan subo, teecu telah menerima budi besar dari ji-wi yang tak dapat teecu bayar dengan nyawa sekalipun dan teecu sama sekali tidak menghendaki untuk menyinggung perasaan atau menyakiti hati suhu dan subo. Akan tetapi karena suhu, subo dan juga sumoi menghendaki jawaban yang sejujurnya dan terbuka, maka apa yang akan teecu katakana adalah suara hati teecu dan sama sekali tidak lagi ditutupi oleh perasaan sungkan."
"Bagus, suheng! Begitulah. Seharusnya sikap orang gagah!" kata Bi Lian dan kini wajahnya berseri gembira lagi.
"Ketika suhu dan subo memberikan Kwan-im-pokiam ini kepada teecu dan mengatakan bahwa ji-wi menjodohkan teecu dengan puteri ji-wi, sesungguhnya teecu juga merasa terkejut. Tentu saja teecu tidak mungkin dapat menyatakan suka atau tidak suka kalau teecu belum pernah melihat sumoi. Akan tetapi, ketika itu teecu menerima, sepenuhnya hanya karena terdorong keinginan teecu membalas budi ji-wi dan menyenangkan hati ji-wi. Teecu merasa yakin bahwa ji.-wi tentu sudah memperhitungkannya dengan masak dan tidak akan keliru mengambil keputusan. Karena itulah teecu menerima dan mulai mencari sumoi."
Suami isteri itu mengangguk-angguk, dapat menerima keterangan ini, juga Bi Lian mengerti bahwa alasan suhengnya itu memang tepat, akan tetapi tidak urung dia mencela, "Suheng telah bersikap tidak wajar. Menerima secara membuta seperti itu sungguh bukan merupakan kebaktian yang benar. Siapapun yang menyuruh kita, haruslah kita pertimbangkan macam tugas yang diperintahkan. Biar guru sendiri, biar orang tua sendiri, kalau menyuruh kita melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati, sudah sewajarnya kalau ditolak. Mentaati karena ingin rnembalas budi itu namanya ketaatan yang ngawur dan nekat, dan yang akibatnya dapat membuat diri sendiri menyesal!"
Kembali suami isteri itu saling pandang. Puteri mereka itu ternyata telah dewasa benar, dan telah memiliki kematangan pandangan, walaupun terlalu polos, terlalu jujur tanpa ditutup-tutupi sehingga mudah menyinggung perasaan orang dan terdengar kasar.
"Sekarang katakan, Han Siong. Setelah engkau bertemu dengan sumoimu, setelah engkau melihatnya, bicara bahkan bergaul dengannya,bagaimana pendapatmu? Mengaku saja terus terang, adakah cinta kasih di dalam hatimu terhadap anak kita Siangkoan Bi Lian?"
Mendengar pertanyaan ini, kembali wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Sambil berlutut dia memberi hormat dan berkata lirih, "Duhai suhu dan subo……. , bagaimana teecu berani menjawab pertanyaan itu….. .?”
“Han Siong, tenangkan hatimu. Sumoimu menuntut agar kita semua bicara secara terbuka. Memang kalau kupikir, sikap ini benar. Segala macam persoalan dapat dipecahkan dengan cepat kalau kita bersikap terbuka. Jawablah sejujurnya, Han Siong."
"Suheng, apakah engkau bukan laki-laki yang jantan? Kita harus jujur, kepada diri sendiri, kepada orang lain! Manusia yang tidak memiliki kejujuran, yang tidak berani mengakui apa yang berada didalam hatinya, dia itu hanya seorang pengecut! Dan aku yakin, suhengku yang gagah ini sama sekali bukan pengecut!"
Bukan main ucapan gadis itu. Lidahnya seperti pecut yang mencambuk-cambuk dengan tajamnya!
"Baiklah, sumoi. Suhu dan subo, teecu mengaku terus terang, begitu teecu bertemu dengan sumoi, melihat wajahhya, bicara dengannya, melihat sikapnya dan segalanya, teecu langsung jatuh cinta padanya!"
Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum, akan. tetapi Bi Lian terbelalak keheranan memandang suhengnya. "Waahhh! Benarkah itu, suheng? Ataukah engkau hanya terikat oleh janji dan balas budi? Bagaimana mungkin begitu mendadak kau jatuh cinta, dan…….. aku sama sekali tidak melihat sikapmu yang mencinta itu, tak pernah engkau mengatakan kepadaku bahwa engkau cinta padaku!"
"Mana aku berani, sumoi?"
“Ah. mengapa tidak berani? Dalam cinta mencinta, pertama-tama yang dibutuhkan adalah kejujuran pula!"
"Sudahlah, Bi Lian, sekarang suhengmu sudah mengaku sejujurnya bahwa dia mencintamu. Sekarang, bagaimana dengan engkau? Setelah engkau bertemu dan bergaul dengan suhengmu, bagaimana pendapatmu? Tidaklah dia pantas menjadi calon suamjmu? Katakanlah, apakah engkau dapat membalas cinta kasihnya?"
“Wah, aku masih bingung, ibu. Aku memang suka sekali kepada suheng, suka dan kagum, dan terus terang saja, aku bangga mempunyai seorang suheng seperti dia. Jarang pula ada pemuda sebaik suheng! Akan tetapi cinta? Sama sekali tidak pernah kupikirkan hal itu. Andaikata dia tidak memperkenalkan diri sebagai suhengku, mungkin saja hal itu kupikirkan karena selama ini belurn pernah aku bergaul dengan seorang kawan pria seakrab dengan suheng. Aku menganggap dia sebagai kakak, dan aku tidak tahu apakah aku dapat mencintanya seperti seorang calon suami. Dan akupun tidak yakin akan cintanya yang begitu tiba-tiba, apalagi dilatarbelakangi ketaatan dan hutang budi kepada ayah dan ibu!”
"Lalu bagaimana keputusanmu, Bi Lian? Maukah engkau menerima ikatan jodoh dengan suhengmu'?" tanya Siangkoan Ci Kang.
"Tidak, ayah. Aku sama sekali belum memikirkan soal perjodonan."
"Bi Lian," kata ibunya. "Tahukah engkau berapa usiamu sekarang?"
"Kalau tidak salah dua puluh tuhun, ibu. Apa hubungannya usia dengan perjodohan?"
"Aih, Bi lian, usia dua puluh sudah terlalu lambat bagi seorang gadis untuk berjodoh," kata ibunya.
Gadis itu tersenyum lebar. "Tidak, ibu. Bagiku, usia tidak ada hubungannya dengan perjodohan. Yang ada hubungannya hanyalah cinta kasih. Dan terus terang saja, aku suka dan kagum kepada suheng, akan tetapi aku……. tidak…….. atau belum mencintanya seperti seorang calon suami."
"Jadi jelasnya, engkau menolak, Bi Lian?" kata Siangkoan Ci Kang.
"Sebaiknya, ikatan jodoh itu dibatalkan saja dulu, ayah. Jangan ada pengikatan. Kelak, kalau aku yakin bahwa aku cinta pada suheng dan dia cinta padaku, mudah saja dilakukan ikatan kembali!"
"Bi Lian! Engkau mengecewakan hati ayah ibumu!" kata Siangkoan Ci Kang.
"Maafkan, ayah dan ibu. Apakah ayah dan ibu hendak memaksaku dan membikin hidupku selanjutnya kecewa dan merana? Senangkah ayah dan ibu kalau aku menurut hanya untuk berbakti? Itu hanya akan menjadi pernikahan paksaan, ayah dan ibu. Suheng menikah karena ingin membalas budi, dan aku menikah hanya untuk berbakti. Pernikahan macam apa itu? Maukah ayah dan ibu begitu?"
Suami isteri itu saling pandang dan menghela napas panjang. Terus terang saja, mereka tidak menghendaki pernikahan anaknya seperti itu. "Lalu apa yang menjadi kehendakmu sekarang, Bi Lian? Apakah engkau telah memiliki seorang calon jodoh pilihan hatimu sendiri? Kalau benar demikian, katakanlah terus terang. Kami sudah ingin melihat engkau berumah tangga, mengingat usiamu sudah cukup dewasa," kata ibu gadis itu.
Sementara itu, sejak tadi Han Siong hanya menundukkan mukanya. Hatinya terasa perih dan perasaannya terpukul hebat oleh penolakan sumoinya. Dia dipaksa untuk berterus terang di depan suhu dan subonya,dan setelah dia berterus terang menyatakan cinta kasihnya dengan menekan rasa malunya, kini dengan terus terang pula Bi Lian menolak cintanya! Padahal, dia sudah di tunangkan dengan sumoinya itu. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang kali-laki dan tentu saja dia merasa terbanting keras harga dirinya.
Maaf, suhu, subo dan sumoi. Teecu harap agar suhu dan subo tidak terlalu menekan sumoi dan agar urusan perjodohan itu dihabiskan sampai disini saja. Sumoi memang benar. Perjodohan hanya dapat dilakukan kalau ada cinta kasih kedua pihak. Teecu yang tidak tahu diri, berani lancang mencinta sumoi. Oleh karena itu, suhu dan subo, maafkan teecu dan sebaiknya kalau Kwan-im Po-kiam ini teecu kembalikan kepada suhu dan subo, sebagai tanda bahwa tidak ada lagi ikatan perjodohan antara sumoi dan teecu." Dengan kedua tangannya, pemuda itu menyerahkan pedang pusaka itu kepada kedua orang gurunya. Siangkoan Ci Kang terpaksa menerima pedang itu dengan kedua tangan pula, menarik napas panjang lalu berkata kepada muridnya.
"Han Siong, engkaulah yang harus dapat memaafkan kami berdua. Kami terlalu terburu-buru mengikatkan tali perjodohan antara anak kami dan engkau, sama sekali tidak menyangka bahwa akan timbul penolakan dari pihak puteri kami. Engkau benar, memang sebaiknya kalau ikatan jodoh itu diputuskan. Kalau memang Tuhan menghendaki kalian berjodoh, kelak tentu kalian akan dapat saling mencinta. Andaikata tidak, itu berarti bahwa memang Tuhan tidak menghendaki kalian menjadi suami isteri."
"Han Siong, keputusanmu ini bijaksana sekali dan engkau kembali telah memperlihatkan kebaktianmu terhadap kami. Dengan kebijaksanaanmu ini engkau telah membebaskan guru-gurumu dari keadaan yang tidak enak. Terima kasih, Han Siong." kata subonya sambil tersenyum dengan hati terharu. Nyonya ini melihat betapa muridnya amat budiman dan alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau puterinya mau menjadi isteri Han Siong!
Bi Lian bertepuk tangan, wajahnya penuh senyum dan berseri gembira, kemudian, dengan sikap manja dan lincah, iapun menghadapi Han Siong dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di dadanya.
"Bagus, bagus! Akupun berterima kasih sekali kepadamu, suheng! Nah, kaulihat, keputusanmu, ini membuat engkau menjadi pahlawan dalam keluarga kami! Ayah dan ibu terbebas dari perasaan tidak enak, akupun merasa bebas dari ikatan kebaktian yang kulanggar, dan aku dapat menghadapi dan memandangmu dengan wajar sebagai seorang sumoi terhadap suhengnya yang baik hati! Terima kasih, suheng."
Biarpun wajah pemuda itu tidak memperlihatkan sesuatu, namun sesungguhnya hatinya seperti diremas-remas. Dia tidak menyalahkan suhu dan subonya, tidak menyalahkan sumoinya, melainkan menyesali diri sendiri. Memang nasib dirinya yang buruk dan sial, sejak ia dilahirkan. Betapapun juga, dalam hal ini dia merasa bahwa dia yang bersalah karena lemah. Kenapa dia begitu mudah jatuh cinta? Andaikata dia tidak jatuh cinta kepada Bi Lian, maka pembatalan ikatan jodoh ini tentu tjdak menyakitkan hatinya benar.
Cinta kita bergelimang nafsu. Karena itu selalu mendatangkan suka duka, puas kecewa, nikmat sengsara. Cinta kita menumbuhkan ikatan, mencjptakan belenggu. Cinta kita seperti jual beli di pasar. Kita membeli dengan pengorbanan diri, kesetiaan, penyerahan, untuk mendapatkan yang lebih menguntungkan, lebih menyenangkan, yaitu kesetiaannya, pengorbanannya, penyerahan dirinya, kesenangan-kesenangan yang kita nikmati darinya. Kalau semua itu tidak terdapat oleh kita sebagai "imbalan", maka cinta kitapun menguap ke udara dan tidak berbekas lagi, bahkan kadang kala berubah menjadi benci. Cinta kita selalu menyembunyikan pamrih demi kesenangan diri sendiri. Adakah cinta tanpa pamrih? Adakah cinta yang tidak mengandung pengajaran kepentingan diri sendiri? Adakah cinta yang tidak menimbulkan ikatan, yang memberi kebebasan? Dapatkah kita manusia memiliki cinta kasih seperti jtu?
Han Siong menderita akibat dari pada cinta seperti itu. Dia mencinta, tent saja dengan pamrih agar yang dicintanya itupun membalas cintanya, menjadi miliknya. Ketika ternyata bahwa gadis yang dicintanya itu tidak membalas cintanya, tidak mau menjadi miliknya, maka hatinya pun kecewa, malu dan timbullah duka.
"Sumoi, harap jangan terlalu memujiku. Aku telah membuat suhu, subo, dan sumoi rmerasa tidak enak saja. Salahku sendiri karena sesungguhnya akulah yang tidak tahu diri."
"Han Siong, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Engkau hanya mentaati permintaan kami saja, dan kami yang sesungguhnya bersalah." kata Siangkoan Ci Kang.
"Jangan putus asa, Han Siong. Bagaitmanapun juga, Bi Lian hanya terkejut karena berita yang mendadak itu. Biarlah ia berpikir dan mempertimbangkan, mungkin kalau memang kalian berjodoh, kelak tentu ikatan ini akan dapat disambung kembali," kata Toan Hui Cu yang juga merasa kasihan sekali kepada murid tersayang itu.
"Sudahlah, ayah dan ibu, jangan mengulurkan harapan baru bagi suheng agar kelak ia tidak akan menderita kekecewaan lagi. Suheng, kurasa sekarang ini belum waktunya bagi kita berdua untuk memikirkan soal perjodohan! Masih banyak tugas menanti di depan. Lupakah suheng akan nasib adik kandung suheng itu? Apakah suheng akan membiarkan saja si jahanam Ang-hong-cu itu?" .
Mendengar ini, Han Siong mengerutkan alisnya, wajahnya berubah merah dan dia termenung. Terbayang segala peristiwa yang terjadi ketika dia bersama para pendekar lainnya menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo. Di dalam perjuangan para pendekar menghadapi para pemberontak yang dipimpin persekutuan itu, muncul seorang tokoh yang juga membantu gerakan para pendekar, akan tetapi tokoh itu ternyata adalah seorang tokoh hitam yang namanya amat terkenal, yaituAng-hong-cu, si Kumbang Merah yang suka menghisap kembang. Seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal suka memperkosa dan merayu banyak sekali wanita. Celakanya,di antara para wanita yang diperkosanya itu terdapat pula Pek Eng, adik kandungnya! Pek Eng diperkosa orang dan tadinya, semua tuduhan ditimpakan kepada Tang Hay,seorang pendekar muda yang selain sakti, pandai ilmu silat, juga amat kuat ilmu sihirnya. Bahkan terjadi bentrok antara dia dan Tang Hay dan kesalahpahaman ini tentu akan berlarut-larut kalau saja kemudian tidak diketahui bahwa pemerkosa Pek Eng sama sekali bukanlah Tang Hay, melainkan Ang-hong-cu, penjahat cabul yang namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu. Dan dia tidak segera mencari penjahat itu untuk mernbalaskan penghinaan yang menimpa diri adik kandung, melainkan menyibukkan diri untuk mengantarkan sumoinya kepada suhu dan subonya, tentu saja dengan pamrih tersembunyi bahwa dia akan dijodohkan dengan gadis yang menarik hatinya itu. Wajahnya seketika berseri ketika dia diingatkan oleh sumoinya tentang hal itu, dan dadanya penuh dengan getaran semangat.
"Engkau benar sekali, sumoi! Aku harus mencari manusia jahat itu agar dia tidak merajalela dan mendatangkan bencana bagi banyak orang yang tidak berdosa." Dia lalu berlutut memberi hormat kepada suhu dan subonya.
”Suhu dan subo, setelah teecu berhasil membawa pulang sumoi dan mengantarnya kepada suhu dan subo, maka selesailah tugas teecu dan teecu mohon diperkenankan untuk pergi, melaksanakan tugas lain, tugas keluarga teecu sendiri."
Suami isteri itu merasa tidak enak sekali kepada murid mereka, dan kepergian murid mereka itu hanya akan menghilangkan rasa tidak enak itu, maka keduanya memberi persetujuan tanpa banyak cakap lagi. Pemuda itu berpamit, memberi hormat dan pergi meninggalkan kedua gurunya, dan juga sumoinya, gadis yang dicintanya.
Setelah penluda itu pergi, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mendengar lebih banyak dari puteri mereka tentang Ang-hong-cu Si Kumbang Merah, dan tentang adik kandung Han Siong yang menjadi satu di antara para wanita yang menjadi korban kejahatan jai-hwa-cat itu.
** *
Kota Shu-lu tidak begitu besar namun cukup ramai dan di situ bahkan terdapat sebuah rumah penginapan Hok-lai-koan yang memiliki kamar cukup banyak, dengan sebuah rumah makan. Karena rumah penginapan ini mempunyai rumah makan sendiri, maka banyak orang luar kota kalau terpaksa menginap di kota Shu-lu lebih senang bermalam di sini dari pada di rumah penginapan lain. Kalau di Hok-lai-kodn sudah penuh barulah pengunjung kota itu terpaksa mencari rumah penginapan lain. Hampir setiap hari rumah penginapan itu penuh tamu, dan dengan sendirinya rllmah makan itupun selalu ramai karena semua tamu yang bermalam di situ makan di rumah makan itu.
Pemilik rumah makan itu bernama Gui Lok, seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang perutnya gendut dan orangnya ramah. Gui Lok ini ahli masak, dan pandai bergaul, pandak menjilat dan mata duitan. Isterinya yang pertama telah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang usianya kini sudah tujuh belas tahun, cantik manis dan ramah walaupun agak pendiam. Gui Lok telah menikah lagi, dengan seorang janda muda yang usianya baru dua puluh lima tahun, cantik dan genit. Tiga orang ini semua turun tangan mengurus rumah pernginapan dan rumah makan mereka. Biarpun di kedua tempat itu sudah terdapat pegawai-pegawai yang bertugas, namun ayah ibu dan anak itu selalu saja membantu, kadang-kadang dirumah penginapan, akan tetapi lebih sering di rumah makan. Gui Lok sering membantu di dapur memberi petunjuk kepada para tukang masak, sedangkan isterinya dan puterinya membantu diluar. Hal ini menambah semaraknya rumah makan itu karena keduanya merupakan dua orang wanita yang cantik manis. Isteri Gui Lok dengan kecantikan yang genit memikat, sedangkan Gui Ai Ling degan kecantikan seorang gadis yang sedang mekar bagaikan setangkai bunga segar.
Pagi itu, para tamu dari rumah penginapan sudah berada di rumah makan itu untuk sarapan pagi. Ada yang memesan bubur ayam, ada yang makan bakmi atau makan bakpao, bahkan mereka yang gembul pagi-pagi sudah memesan nasi dengan lauk pauknya!
Di antara para tamu itu, nampak seorang pemuda duduk sendirian di sudut luar rumah makan. Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, memiliki tubuh yang sedang namun tegap dengan dadanya yang bidang. Matanya bersinar-sinar menncorong, mulutnya tersenyum-senyum dan memang pemuda ini berwajah cerah dan manis. Hidungnya mancung dan pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis kuning. Agaknya pemuda yang menjadi tamu rumah penginapan itu, sehabis sarapan hendak segera pergi ke luar kota karena di atas meja terdapat sebuah caping lebar pelindung panas dan hujan.
Nampaknya saja dia seorang pemuda sederhana biasa saja. Terdapat ribuan orang pemuda seperti dia dan kehadirannya di situ sama sekali tidak menarik perhatian orang, kecuali isteri dan puteri Gui Lok karena pemuda itu memang dapat dibilang tampan dan sikapnya menarik. Akan tetapi orang kalau sudah mengenal pemuda ini, dia akan terkejut melihat kehadirannya karena pemuda ini sesungguhnya sama sekali bukan orang muda biasa saja, melainkan seorang pemuda gemblengan, murid dari dua orang di antara Delapan Dewa, kemudian digembleng dalam hal ilmu sihir oleh mendiang Pek Mau San-jin dan masih beruntung pula menjadi murid kakek Song Lo-jin yang aneh dan sakti. Pemuda ini bernama Tang Hay, atau lebih dikenal dengan sebutan Hay Hay saja.
Seperti juga halnya pendekar Pek Han Siong, kehidupan Hay Hay ini sejak kecil diliputi penuh rahasia, menjadi rebutan dan terancam bahaya maut. Bahkan kehidupannya di masa dia masih bayi erat hubungannya dengan Pek Han Siong. Ibunya telah tewas sejak dia masih bayi dan dia bahkan tidak tahu siapa nama ibunya. Ibunya adalah seorang gadis yang menjadi korban jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu, dan Si Kumbang Merah itu meninggalkan ibunya setelah mengandung. Ibunya membunuh diri di laut bersamanya, akan tetapi dia sendiri diselamatkan oleh mendiang kakek Pek Khun, yaitu kakek buyut dari Pek Han Siong, kemudian dia diaku anak oleh Pek Kong, ayah Pek Han Siong. Dia dijadikan pengganti Pek Han Siong yang diam-diam dilarikan karena anak itu dianggap Sin-tong dan diperebutkan oleh para pendeta Lama di Tibet karena dianggap sebagai calon guru besar di Tibet! Dan ketika dia masih bayi dan menjadi anak keluarga Pek, pengganti Pek Han Siong, dia diculik oleh suanli isteri Lam-hai Siang-mo! Dia diambil anak oleh sepasang iblis itu dan namanya menjadi Siangkoan Hay, karena Lam-hai Siang-mo itu terdiri dari suami Siangkoan Leng dan isteri Ma Kim Li, dua orang datuk sesat yang amat jahat. Dalam usia tujuh tahun, dia yang masih dianggap sebagai sin-tong, diperebutkan lagi di antara orang-orang dunia kang-ouw sampai akhirnya dia mendengar bahwa dirinya bukanlah putera kandung Lam-hai Siang-mo! Dia lalu melarikan diri, dikejar-kejar oleh para kang-ouw dan akhirnya diselamatkan oleh See-thian Lama atau Gobi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa, menjadi muridnya. Kemudian dia menjadi murid Ciu-sian Sin-kai, juga seorang di antara Delapan Dewa. Demikianlah, berturut-turut dia menjadi murid orang-orang sakti sehingga Hay Hay kini menjadi seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian. Bukan saja ilmu silatnya tinggi, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang cukup hebat!
Pemuda ini memiliki watak periang. Suka bergembira dan menggoda orang, dan dia pandai sekali merayu wanita dengan omongan manis sehingga para wanita mudah sekali jatuh cinta atau setidaknya tertarik kepadanya. Akan tetapi, biarpun hal ini agaknya diwarisinya dari ayahnya yang tak pernah dijumpainya, namun dia bukan seorang perusak wanita, bukan seorang pria cabul yang suka memperkosa atau mempermainkan wanita. Biarpun karena ulahnya itu dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang, namun sifat mata keranjangnya itu hanya di kulit saja, hanya di luar dan dia selalu menjaga agar jangan sampai dia mengganggu atau berjina dengan wanita.
Ketika para pendekar menentang pemberontakan yang dipimpin oleh persekutuan Lam-hai Giam-lo, Hay Hay juga ikut membantu para pendekar, bahkan ia terlibat secara langsung. Dia berjasa banyak dalam perjuangan itu, akan tetapi karena sifatnya yang mata keranjang, ketika ada beberapa orang gadis menjadi korban perkosaan Ang-hong-cu, dialah yang dituduh! Dan ditempat itu pula baru Hay Hay mendapat kenyataan bahwa Ang-hong-cu, penjahat keji perusak wanita itu, bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri! Dia lalu mengambil keputusan untuk menebus dosa ayahnya itu, bukanhanya dengan perbuatan-perbuatan baik sebagai seorang pendekar, namun terutama sekali dia harus dapat menangkap ayah kandungnya sendiri agar orang itu mempertanggungjawabkan semua dosanya. Dia harus menangkap Si Kumbang Merah! Demikianlah riwayat singkat dari Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang! Padahal, sampai dia berusia dua puluh dua tahun itu, dia masih seorang perjaka tulen! Dan pada pagi hari itu dia duduk di dalam rumah makan karena malam tadi dia bermalam di rumah penginapan Hok-lai-koan.
Hay Hay enak-enak duduk seorang diri, menunggu datangnya pesanannya, yaitu bubur ayam dan air teh panas. Dia tidak tahu betapa sejak dia datang, dia telah menarik perhatian dua orang wanita cantik, ibu dan anak tiri pemilik rumah makan itu. Selagi dia melamun, dia mendengar suara langkah kaki halus menghampirinya. Tentu saja suara ini amat halus dan lirih, tidak terdengar di antara kebising dan para tamu, akan tetapi cukup jelas bagi
telinga Hay Hay yang terlatih. Dia mengira pesanannya yang datang, maka dia menoleh dan seketika wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang berwajah manis telah berdiri di dekat mejanya, memandang kepadanya dengan senyum yang mengalahkan madu manisnya! Dengan ramah sekali gadis itu bertanya tanpa malu-malu kepadanya,
"Apakah kongcu (tuan muda) belum dilayani? Apakah sudah memesan makanan dan minuman?"
Hay Hay tertegun. Sukar baginya untuk menduga bahwa gadis manis ini seorang di antara para pelayan rumah makan itu. Gadis semanis ini? Dia mengangguk sambil tersenyum, "Sudah, aku sudah pesan kepada seorang pelayan tadi. Bubur dan air teh."
"Kalau begitu, harap tunggu sebentar, kongcu. Maafkanlah kalau pelayanannya kurang cepat karena banyaknya tamu.”
"Tidak mengapa, nona. Biar harus menunggu setahun di sini, kalau ada nona yang menemani bicara, sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar bagiku. Aduh, betapa sayangnya………… !"
Gadis i tu memandang dengan kedua pipi berubah merah. Biarpun pemuda ganteng ini memujinya, akan tetapi pujian itu tidak kasar dan kurang ajar, berbeda dengan para tamu pria lainnya yang biasanya suka mengeluarkan kata-kata kotor, tidak bersusila dan bahkan kurang ajar kepadanya.
"Kongcu, apanya yang sayang?" tanyanya, ingin tahu apa yang dimaksudkan pemuda ini.
"Ketika tadi aku melihat engkau berdiri seanggun itu, aku mengira sedang bermimpi bertemu bidadari! Ketika nona bicara, kusangka seorang puteri bangsawan yang menjadi tamu restoran ini. Sungguh sayang gadis secantik jelita nona ini, yang anggun, manis dan elok, ternyata seorang pelayan. Di sini tempat umum dan nona tentu akan selalu digoda orang, kenapa nona secantik ini tidak tinggal saja dirumah dan melakukan pekerjaan lain?"
Wajah itu berubah semakin merah, akan tetapi bukan karena marah. Kecantikannnya dipuji setinggi langit, disamakan bidadari, disangka puteri bangsawan! Hati gadis mana tidak akan berdebar pebuh rasa bangga kalau dipuji-puji seperti ini oleh seorang pria yang ganteng? Apalagi pujian itu sama sekali tidak kurang ajar, bahkan mengandung nasihat.
"Aih, kongcu ini bisa saja memuji orang!" katanya sambil menggigit bibirnya dan matanya mengerling malu-malu akan tetapi hatinya senang. "Sebetulnya, aku bukanlah pelayan rumah makan ini, kongcu. Ayahku pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini, aku ikut membantu para pekerja di sini."
"Ah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat dan telah lancang bicara!" Hay Hay segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu. "Silakan duduk, nona. Sungguh aku merasa beruntung sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu. Namaku Hay Hay, dan nona…..?"
"Ai Ling……….. ! Mari sini, ada tamu datang sambutlah!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain.
"Hemm, namamu Ai Ling, nona? Nama yang amat manis, semanis orangnya." kata Hay Hay.
Akan tetapi gadis itu sudah menjauhinya sambil berseru. “Baik, ibu!1! Dan iapun pergi menuju ke pintu masuk untuk menyambut tamu-tanlu yang baru datang. Sementara itu, kembali Hay Hay menjadi bengong ketika melihat siapa yang datang membawa baki terisi bubur dan minuman teh yang dipesannya, yaitu wanita yang tadi menegur Ai Ling, dan yang disebut ibu oleh gadis itu.
Ibu gadis itu? Mana mungkin? Wanita yang datang dengan lenggang yang aduhai ini paling banyak berusia dua puluh lima tahun! Seorang wanita yang sudah matang, dengan tubuh denok montok, penuh lekuk lengkung menggairahkan, wajahnya putih dan cantik manis, hanya sayang agak terlalu tebal bedak dan gincu yang dipakainya, dengan pakaian yang indah dan mahal, rambut digelung rapi dengan hiasan menarik. Wanita ini dengan lenggang yang lemah gemelai seperti penari ahli, datang menghampirinya dan tersenyum manis kepada Hay Hay.
Maaf kalau agak lambat, kongcu. Inilah pesananmu. Bubur ayam dan minuman air teh, bukan?” katanya sambil meletakkan hidangan itu di atas meja. Ia berdiri dekat sekali dengan Hay Hay sehingga pemuda ini dapat mencium keharuman semerbak keluar dari pakaian wanita ini. Dia masih bengong mengamati wanita ini, akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata,
"Terima kasih, akan tetapi……. tidak salahkah pendengaranku? Tadi Ai Ling menyebut ibu……., tidak kelirukah aku?"
Wanita itu adalah isteri Gui Lok, bernama Kim Hwa. Dengan sikap genit ia mengerling kepada pemuda ganteng yang sejak tadi memang amat menarik perhatiannya itu, lalu tersenyum cerah, sehingga nampak kilatan giginya yang putih.
"Engkau tidak keliru, kongcu. Aku Kim Hwa, ibu tiri dari Ai Ling. Kenapa kongcu meragukan?"
Hay Hay menarik napas panjang lagi. "Aihh, siapa yang tidak ragu-ragu? Engkau masih begini muda, cantik jelita lagi, pantasnya nlenjadi kakak dari Ai Ling, kalau kalian enci adik barulah pantas. Kiranya engkau ibu tirinya? Sungguh, kalian adalah dua orang wanita yang sama cantik manisnya, pantas saja rumah makan ini selalu penuh. Kalian bagaikan dua tangkai bunga mawar indah yang menghias tempat ini sehingga banyak kumbang beterbangan dan berkeliaran di sini…….. !"
Senyum di wajah yang cantik genit itu makin cerah dan sepasang mata yang menantang itu makin berseri, "Ihh, kongcu. Rayuanmu maut! Engkau sendiri seorang pemuda yang amat menarik hati. Siapakah namamu, orang muda yang tampan?" ,
"Namaku Hay Hay…… "
“Hay Hay, di kamar nomor berapa?"
"Kamar bagian belakang, nomor tujuh."
"Kongcu malam nanti lewat jam dua belas, kalau babi itu sudah pulas, aku ingin berkunjung ke kamarmu ………….." berkata demikian, wanita itu pergi meninggalkan mejanya sambil membawa baki kosong, melempar senyum dan kerling tajam yang membuat Hay Hay bengong di atas bangkunya! Bukan main, pikirnya. Nyonya muda itu begitu saja menjanjikan permainan kotor dengannya! Tidak salah lagi, tentu yang dimaksudkan babi itu tentu suaminya, atau ayah Ai Ling! Justeru pada saat itu, dari pintu belakang yang menembus ke dapur, muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, seorang pria bertubuh gendut sekali, dan yang melihat sikapnya tentu dia adalah majikan rumah makan itu! Benar saja, pria gendut itu menggapai kepada Kim Hwa dan wanita genit itu segera menghampirinya dan mereka bicara bisik-bisik, keduanya memandang ke arah tamu baru yang datang dan disambut oleh Ai Ling. Melihat ini, Hay Hay juga menoleh dan memandang ke arah gadis manis yang menyambut tamu baru itu. Tamu itu seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tinggi besar seperti raksasa, dengan pakaian mewah, seorang hartawan besar, akan tetapi wajahnya menyeramkan dan menakutkan karena kulit muka yang hitam itu penuh dengan bopeng, yaitu cacat bekas penyakit cacar yang membuat kulit mukanya kasar dan kelihatan kotor. Matanya agak besar sebelah, hidungnya besar sekali dan mulutnya juga lebar. Akan tetapi lagaknya jelas menunjukkan bahwa dia kaya dan royal, lagak khas seorang hartawan yang yakin akan "harga dirinya" yang diukur dengan kepadatan kantungnya. Di belakang hartawan raksasa ini ketihatan tiga orang yang juga tidak menyembunyikan lagak mereka sebagai tukang-tukang pukul atau pengawal dari si hartawan tinggi besar. Dengan lengan baju disingsingkan, pinggang dihias golok, dada dibusungkan dan kepala ditegakkan, langkah satu-satu seperti harimau, tiga orang itu seolah-olah memasang kedudukan mereka di atas dada agar semua orang tahu.
Dengan sikap manis, seperti kalau menerima tamu rumah makan itu, Ai Ling menyambut empat orang tamu ini, akan tetapi sekali ini senyum yang menghias wajah yang manis itu agak dibuat-buat. Di dalam hatinya, gadis ini tidak suka kepada tamu hartawan itu karena hartawan Coa ini sudah terkenal sekali sebagai seorang mata keranjang yang suka mempergunakan harta kekayaannya untuk memaksakan kehendaknya. Selain sebagai seorang hartawan juga Coa Wan-gwe ini seorang yang dianggap sebagai majikan dari para penjahat di sekitar kota Shu-lu. Dengan hartanya dan dengan kekuasaannya karena dia pandai mendekati para pejabat, dan dengan banyaknya tukang pukul yang menjadi pengawalnya, maka dia ditakuti oleh semua orang. Bahkan dia menguasai pula semua tempat pelesir di kota Shu-lu dan kota-kota lain yang berdekatan dengan kota raja.
Di samping banyaknya orang yang merasa takut dan diam-diam membencinya, banyak pula orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari hartawan ini, dan orang-orang seperti ini tidak segan-segan untuk menjilat dan mencari muka. Kalau Gui Lok sendiri dan puterinya, Ai Ling, diam-diam merasa tidak suka bahkan membenci dan takut kepada Coa Wan-gwe, sebaliknya Kim Hwa selalu bersikap manis kepada hartawan itu. Ia maklum akan kekuasaan dan kekayaan hartawan ini, bahkan tahu pula bahwa jika keluarga suaminya tidak membikin senang hati hartawan ini, maka perusahaan suaminya terancam kebangkrutan.
Kalau hartawan itu memusuhi mereka, tidak sukar baginya untuk memaksa suaminya menutup rumah penginapan dan rumah makannya, dengan menggunakan kekerasan dan siapakah yang akan berani membela suaminya? Semua pembesar di Shu-lu, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, semua telah berada dalam genggaman tangan Coa Wan-gwe, seperti boneka-boneka yang dapat menari menurut kehendak hartawan itu. Tiga hari yang lalu, ketika makan di rumah makan mereka, hartawan itu ketika dilayani Kim Hwa telah membisikkan hasrat hatinya untuk "memetik" bunga rumah makan itu, yaitu Ai Ling! Mendengar ini, tentu saja hati Kim Hwa diliputi rasa takut. Akan tetapi diam-diam ia juga merasa girang karena sebetulnya semenjak menjadi isteri Gui Lok, ia membenci Ai Ling. Maka ia lalu membujuk suaminya untuk menyerahkan Ai Ling kepada Coa Wan-gwe, untuk menjadi selir yang entah ke berapa kalinya. Gui Lok tidak setuju dan marah-marah kepada isterinya, akan tetapi diapun merasa khawatir sekali, tidak berani menentang kehendak Coa Wan-gwe karena dia tahu betapa bahayanya menentang kehendak orang itu.
Ketika pada pagi hari itu sang hartawan muncul bersama tiga orang tukang pukulnya, Gui Lok tidak berani keluar dari dapur. Isterinya cepat menyuruh Ai Ling menyambut tamu baru itu, kemudian iapun cepat memasuki dapur dan setengah menyeret suaminya keluar.
"Lihat, betapa besar rasa cinta Coa Wan-gwe kepada anak kita," bisik Kim Hwa kepada suaminya yang memandang dengan muka agak pucat. "Lihat, sinar matanya kepada Ai Ling. Aih, kalau engkau mempunyai menantu dia, kedudukanmu tentu akan meningkat tinggi dan tidak ada seorangpun di Shu-lu ini berani kepadamu."
Sementara itu, dengan sikap manis dibuat-buat, Ai Ling menyambut tamu-tamu itu, "Selamat pagi, lo-ya (tuan besar), dan silakan duduk di sudut sana. Masih ada meja Kosong untuk lo-ya sekalian." kata Ai Ling. dengan senyum buatan.
Coa Wan-gwe bengong memandang gadis yang manis itu. Seperti setangkai bunga yang sedang mekar semerbak, pikirnya. Dia mengangguk-angguk, lalu berkata, "Ai Ling, engkau sediakan bakmi dan panggang babi, juga arak yang cukup untuk kami, dan engkau sendiri harus melayani aku pagi ini. Jangan khawatir, akan kuberi hadiah yang banyak, Ai Ling, manis……. !" Tiga orang tukang pukulnya tertawa-tawa dan Ai Ling tersipu.
"Maaf, lo-ya, saya masih mempunyai banyak pekerjaan. Akan tetapi, akan saya sampaikan pesannya lo-ya. Silakan duduk!" Gadis itu lalu setengah berlari masuk ke dalam.
Sejak tadi Hay Hay menyaksikan semua yang terjadi itu. Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap bisikan hartawan tinggi besar muka bopeng ketika mengajak Ai Ling untuk melayaninya dan diam-diam dia merasa tidak senang kepada orang tinggi besar itu. Sikapnya begitu pongah dan congkak, seperti biasa memerintah, dan sinar matanya begitu penuh nafsu seolah-olah menggerayangi tubuh Ai Ling dari atas ke bawah. Orang ini berbahaya sekali, pikirnya dan dia mengkhawatirkan keselamatan Ai Ling. Dia melihat betapa Ai Ling kelihatan ribut-ribut mulut dengan ayah dan ibu tirinya, walaupun mereka hanya berbisik-bisik. Nampak olehnya di balik pintu ke dapur itu betapa Ai Ling menggeleng kepala keras-keras seperti menolak, sedangkan Kim Hwa memegang pundaknya dan seperti membujuk-bujuk. Gui Lok yang gendut seperti babi itu hanya menggeleng-geleng kepala dengan bingung dan khawatir .
Kini nampak Kim Hwa yang mengantar seorang pelayan membawakan pesanan makanan dan minuman untuk hartawan itu. Setelah mengatur hidangan di atas meja, dan pelayan itu pergi, Kim Hwa berbisik kepada hartawan itu, suaranya manis dibuat-buat.
"Harap Coa tai-ya sudi memaafkan Ai Ling. Dasar anak pemalu, dan ia banyak pekerjaan di dalam, maka tidak dapat melayani tai-ya. Biarlah saya yang melayani di sini." Dengan sikap manis seka1i ia lalu menuangkan arak ke dalam cawan untuk hartawan itu, sedangkan tiga orang tukang pukul itu memandang nyonya muda itu dengan senyum-senyum senang.
Akan tetapi hartawan itu cemberut. "Hemm, apakah engkau belum menyampaikan hasrat hatiku kepadanya dan kepada suamimu?"
"Sudah, tai-ya."
"Dan suamimu tidak setuju?" Sepasang mata hartawan itu memandang penuh ancaman.
"Ah, tidak, tidak! Mana ia berani? Dia hanya menyerahkan kepada saya, dan kepada puterinya. Percayalah, tai-ya tentu akan mendapatkan apa yang dikehendakinya." kata Kim Hwa dengan sikap manis.
Sejak tadi, Hay Hay terus mendengarkan. Kebetulan meja yang dihadapi rombongan hartawan itu tidak begitu jauh dari tempat duduknya sehingga pendengarannya yang tajam dapat menangkap semua percakapan itu walaupun dilakukan dengan berbisik-bisik dan lirih.
"Hemm, nyonya Gui, dengar baik-baik. Aku sudah tidak sabar lagi. Malam ini aku akan bermalam di rumah penginapan suamimu. Sediakan kamar terbaik, dan malam nanti aku sungguh mengharapkan ia berada di dalam kamarku! Kalau perintahku sekali ini tidak ditaati, jangan menyesal kelak kalau keluarga dan perusahaan suamimu menjadi berantakan!" .
Wajah wanita itu nampak ketakutan, "Baik, tai-ya, jangan khawatir……,” lalu suaranya menjadi semakin lirih, "Bagaimanapun juga, saya akan mengusahakan agar dapat mendorongnya ke kamar tai-ya. Akan tetapi karena ia pemalu, harap tai-ya menunggu sampai lewat tengah malam, kalau perlu saya akan memaksanya "
Hartawan tinggi besar itu tersenyum lebar dan menjilati bibirnya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. "Tidak perlu dengan paksaan, kaugunakan ini. Campurkan dalam makanan atau minumannya dan ia akan menjadi mabok dan tidak akan melawan lagi."
Kim Hwa menerima bungkusan itu, lalu melayani hartawan Coa dan tiga orang tukang pukulnya makan minum sam-pai mereka .menjadi setengah mabok. Sementara itu, Hay Hay sudah meninggalkan rumah makan. Hatinya panas sekali. Hartawan mata keranjang, pikirnya, perusak gadis-gadis orang. Dan wanita genit tak tahu malu itu merupakan seorang ibu tiri yang kejam dan jahat, ingin menjebloskan puteri tirinya ke dalam lembah kehinaan dan menghidangkan puteri itu, seorang gadis manis, menjadi santapan si bandot tua Coa! Dia harus mencegah hal ini terjadi, pikirnya.
Akan tetapi karena peristiwa yang direncanakan orang-orang jahat itu baru akan di1aksanakan malam nanti, maka Hay Hay melanjutkan acaranya hari itu, ialah melakukan penyelidikan dan mencari jejak Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, atau ayah kandungnya sendiri, untuk dibekuknya dan dipaksanya mempertanggungjawabkan semua dosanya, apalagi mempertanggungjawabkan perbuatan hinanya, memperkosa dua orang gadis yang amat dikaguminya, yaitu perbuatan yang dilakukannya ketika para pendekar sedang menentang persekutuan Lam-hai Giam-lo. Dua orang gadis pendekar itu yang pertama adalah Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong, puteri dari ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Yang kedua adalah Ling Ling atau Cia Ling, puteri dari pendekar besar Cia Sun, masih keluarga dari Cin-ling-pai, yang tinggal di dusun Ciang-si-bun dekat kota raja. Peristiwa aib yang menimpa dua orang gadis perkasa itu telah mencemarkan namanya, karena dialah yang mula-mula dituduh sebagai pelakunya! Oleh karena itu, dia harus dapat membekuk batang leher Ang-hong-cu, ayahnya sendiri, dan menyeretnya kepada dua orang pendekar wanita itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, untuk mencuci bersih namanya sendiri yang hampir saja tercemar dan menjadi busuk! .
Mencari seorang datuk sesat haruslah menghubungi dunia penjahat, pikir Hay Hay. Maka diapun tidak ragu-ragu lagi memasuki sebuah rumah judi terbesar dikota Shu-lu. Rumah judi ini bercat merah dan cukup luas. Ada beberapa belas meja perjudian. Ada permainan dadu, permainan kartu dan ma-ciok. Akan tetapi yang paling ramai dipenuhi orang adalah meja dadu terbesar di tengah ruangan. Banyak sekali tamu yang datang mengadu untung di tempat perjudian itu. Ketika Hay Hay masuk dengan memakai topinya yang lebar, segera ada dua orang tukang pukul menghampirinya. Karena dia tidak dikenal, dan pakaiannya sederhana, juga mengenakan topi caping yang lebar, maka tentu saja dia dicurigai.
"Hei, kawan. Di sini tidak boleh memakai caping lebar, seperti di sawah saja!" tegur seorang di antara mereka.
"Ke sinikan, kautitipkan dulu capingmu kepada kami. Nanti kalau kau hendak pulang, boleh kau ambil dari kami!" kata yang ke dua.
Hay Hay menoleh dan melihat dua orung laki-laki tinggi besar dan nampak kokoh kuat, berdiri dengan sikap bengis dan mengancam. Hay Hay tersenyum dan menanggalkan topi capingnya, lalu menyerahkan kepada mereka.
"Harap jaga baik-baik capingku, karena di sini tidak ada orang yang menjual caping lebar model selatan ini," katanya sambil tersenyum. Seorang tukang pukul menerima caping itu, dan orang ke dua memandang Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Sobat, apakah engkau datang hendak berjudi?"
Hay Hay tersenyum. "Sobat, kalau orang memasuki rumah judi lalu tidak hendak berjudi, lalu mau apa?"
"Hemm, siapa tahu? Ada saja manusia tolol yang mencoba-coba untuk merampok di po-koan (rumah judi) kami, ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha, dan mereka itu dihajar habis-habisan, bahkan ada yang mampus! Mereka tidak tahu siapa kami!" kata orang ke dua.
Hay Hay ikut tertawa. "Sungguh tidak tahu diri! Merampok sebuah po-koan? Itu namanya tidak mengenal kawan sendiri. Nah, aku tidak setolol itu, kawan. Aku datang untuk mengadu untung!" Dia menuding ke arah meja dadu yang penuh orang.
"Nanti dulu sobat, kalau engkau hendak berjudi, engkau harus mempunyai modal. Nah, perlihatkan dulu modalmu. Maklumlah, engkau orang baru dan kami harus berhati-hati!"
Hay Hay tersenyum. Memang ada dia membawa uang, akan tetapi tidak cukup banyak. Dia bukanlah seorang kaya yang banyak uang. Dia mengeluarkan beberapa uang logam tembaga yang tidak berapa banyak, hanya segenggam dan harganya tentu saja tidak seberapa, akan tetapi pandang matanya mencorong ketika memandang kepada dua orang itu dan dia berkata sambil tertawa.
"Lihat, cukuplah modalku ini?"
Dua orang itu melihat Hay Hay membuka tangannya dan…… mereka terbelalak melihat segenggam uang emas berkilauan di atas tangan pemuda itu. Segera sikap mereka berubah dan mereka berdua membungkuk-bungkuk.
"Nah, lebih dari cukup, kongcu. Silakan……, silakan……!" kata mereka sambil mengundurkan diri dan menyimpan caping Hay Hay di tempat yang sudah disediakan untuk orang menaruh segala barang bawaan yang tidak diperlukan di situ seperti topi, payung, jubah dan lain-lain.
Dengan langkah seenaknya Hay Hay lalu menuju ke meja dadu. Dia melihat betapa tempat judi itu dilayani oleh banyak wanita muda cantik yang bersikap genit. Akan tetapi, yang menjadi Bandar tentu pria yang kelihatannya lihai sekali dalam mempermainkan dadu. Dia mendesak diantara banyak orang dan dapat melihat apa yang terjadi di atas meja judi putar dadu itu.
Semua orang sudah memasang taruhan mereka di atas meja, di mana terdapat gambar dan nomor-nomor yang dipasangi orang. Nomor dua sampai dengan dua belas yang bergambar di atas meja. Adapun dadu yang diputar ada dua buah, masing-masing dadu mempunyai enam permukaan yang digambar totol-totol merah, dari satu sampai dengan enam. Tidak ada yang memasang taruhan pada nomor-nomor dua, tiga dan dua belas.
Biarpun dia bukan seorang penjudi, namun1 Hay Hay yang cerdik segera memperhitungkan rnengapa tidak ada orang memasangkan taruhannya pada tiga nomor itu. Tentu saja, karena kemungkinan keluar tiga nomor itu hanya masing-masing satu kali saja. Untuk nomor dua hanya kalau keluar satu tambah satu, nomor tiga kalau keluar satu tambah dua, dan nomor dua belas kalau keluar enam dan enam. Demikian pula nomor sebelas tidak ada yang memasang, karena nomor sebelas hanya keluar satu kemungkinan, yaitu enam dan lima. Akan tetapi nomor-nomor lain, dari empat sampai sepuluh, mempunyai dua kemungkinan keluar. Maka, mereka itu semua hanya memasangkan uang mereka pada nomor empat sampai dengan sepuluh. Dan yang menang mendapatkan tiga kali lipat dari uang taruhannya! Kelihatannya saja menguntungkan sekali, akan tetapi Hay Hay dapat memperhitungkan bahwa kemungkinan menang bagi para penjudi itu sedikit sekali, dan kernungkinan menang itu sudah diborong oleh bandarnya! Bayangkan saja! Kemungkinan keluar dari dua buah dadu itu sebanyak delapan belas nomor sehingga kesempatan menang dari setiap pemasang adalah dua lawan delapan belas, atau satu lawan sembi1n. Dan imbalannya kalau menang hanya satu mendapat tiga!
Setelah semua orang meletakkan taruhannya, bandar, seorang laki-laki pendek gendut yang selalu menyeringai, memutar dadu-dadu itu, dua buah banyaknya, kedalam mangkok, kemudian dengan cekatan sekali dia menelungkupkan mangkokitu di atas meja, dengan dua buah dadunya di bawah mangkok.
"Hayo tambah lagi taruhan, masih ada kesempatan!" tantang bandar itu, dan empat orang pembantu wanita yang cantik-cantik, dengan gaya masing-masing, membujuk penjudi yang banyak uang untuk menambah taruhan mereka. Memang pasaran taruhan menjadi semakin ramai kalau mangkok itu sudah ditelungkupkan, tinggal dibuka saja. Meja itu penuh dengan uang taruhan yang ditumpuk-tumpuk.
"Awaaaassss, mangkok akan dibuka! Perhatikan baik-baik! Satu….. dua…….. tiga……… !" Dengan cekatan, tangan si pendek gendut membuka mangkok dan dua buah dadu itu jelas memperlihatkan angka di permukaan mereka, yaitu angka satu dan dua!
"Tigaaaaa ……….!” Teriak Bandar dadu dengan alat pengeruknya, dan tentu saja dia
mengeruk semua uang yang bertumpuk di atas meja karena tidak ada seorangpun yang memasang nomor tiga. Para pelayan wanita sibuk pula membantunya dan beberapa orang pembantu lagi mengatur uang kemenangan itu dalam tumpukan-tumpukan yang rapi, memisah-misahkan mata uang itu dan menghitung-hitung.
"Silakan pasang lagi! Pasang lagi……… ! Siapa tahu kali ini pasangan anda tepat mengenai sasaran! Pasang seratus mendapatkan tiga ratus, pasang seribu mendapatkan tiga ribu!" teriak beberapa orang gadis cantik pelayan meja dadu itu. Sebuah tangan yang halus menyentuh lengan Hay Hay. Pemuda ini menengok dan dia terpesona. Gadis ini cantik bukan main. Bedak di mukanya tidak setebal gadis-gadis yang lain dan agaknya dara ini baru saja tiba karena tadi dia tidak melihatnya di antara para gadis pelayan. Juga pakaiannya agak berbeda, gadis ini lebih mewah dengan hiasan rambut dari emas permata. Matanya sungguh indah, seperti mata burung Hong! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun.
"Kongcu, kenapa tidak ikut bertaruh? Kulihat engkau orang baru, biasanya orang baru akan selalu menang."
Hay Hay tersenyum. Gadis ini ramah sekali dan wajahnya amat menyenangkan, juga bau semerbak harum yang keluar dari pakaian dan rambutnya amat sedap, tidak menyolok.
"Aku sedang berpikir-pikir nomor berapa yang harus kupasangi." katanya.
Gadis itu tersenyum. "Kongcu, aku bekerja di sini dan tidak semestinya aku membantu para penjudi. Akan tetapi percayalah, malam tadi aku bermimpi indah sekali dan kalau aku menjadi kongcu, akan kupasangi nomor dua belas!"
Diam-diam Hay Hay tertawa. Gadis ini bekerja di situ sebagai pelayan, tentu saja, tugasnya selain membujuk para tamu agar berjudi, juga tentu berusaha supaya tamunya kalah, maka menganjurkan dia memasang nomor dua belas, nomor sial yang hanya mempunyai kemungkinan keluar satu kali saja! Akan tetapi, dia tersenyum dan mengeluarkan semua sisa uang yang ada di sakunya, hanya setumpuk uang tembaga dan dua potong uang perak, hanya kurang lebih dua tail perak saja harganya!
"Nah, inilah semua uangku, boleh kau pasangkan sesukamu, nona."
Gadis itu memandang dengan alis berkerut. "Kongcu, apakah semua uangmu hanya inikah?"
Hay Hay mengerling ke kiri dan melihat betapa dua orang penjaga atau tukang pukul yang tadi menyambutnya, sedang berbisik-bisik dan memandang ke arahnya. Diapun tersenyum dan dapat menduga bahwa tentu dua orang itu yang melapor ke dalam dan dari dalam lalu mengutus gadis ini untuk melayaninya setelah mendengar laporan bahwa dia memiliki banyak uang emas!
"Semua uang kecilku hanya itu," katanya sambil tersenyum, "uang emasku masih banyak. Kaudengarlah ini!" Dia menepuk saku bajunya dan gadis itu mendengar suara gemerincing nyaring. Gadis itu tersenyum manis sekali dan iapun mendesak maju ke meja.
"Kongcu mempertaruhkan semua uang kecil ini atas nomor dua belas!" Semua orang memandang heran. Bagaimanapun juga, tumpukan uang itu cukup banyak. Mana ada orang mempertaruhkan uangnya pada nomor duabelas?
Bandar itu memandang sambil tersenyum menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuning menghitam karena rusak. Lalu dia memutar-mutar dua buah dadu di dalam mangkuk, dan cepat menelungkupkan mangkuk itu di atas meja. Orang-orang diberi kesempatan untuk menambah taruhan mereka, dan tidak seorangpun kecuali- Hay Hay mempertaruhkan uangnya pada nomor dua belas.
Mangkuk dibuka dan....... "Dua belaaaasss....... !" teriak bandar. Dua buah dadu itu jelas memperlihatkan nomor enam dan enam! Semua orang berteriak heran dan gadis manis itu sambil tersenyum-senyum membantu Hay Hay menghitung uang taruhannya. Hay Hay menerima tiga kali uang taruhannya sehingga di atas meja, di depannya, kini ia menghadapi uangnya yang menjadi bertumpuk-tumpuk! Dia mendapatkan sebuah bangku dan gadis cantik itupun duduk di dekatnya, memberi isarat kepada seorang pelayan lain untuk mengambilkan minuman anggur untuk "kongcu".
"Wah, engkau memang sedang mujur sekali nona......?"
"Siok Bi, namaku Siok Bi, kongcu......?"
"Hay Hay namaku!"
"Hay Kongcu, bukan aku yang mujur melainkan engkau!" katanya sambil menyentuh lengan dengan mesra sekali. Sentuhan itu membuat, Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Begitu lembut, begitu hangat dan mesra. Jantungnya berdebar kencang dan mukanya menjadi merah.
"Siok Bi, coba kautukarkan semua uang ini dengan uang perak agar lebih mudah kita bertaruh." katanya. Gadis itu membantu dengan penuh gairah, dan dengan bantuannya, maka sebentar saja tumpukan uang di depan Hay Hay berubah meniadi uang perak setumpuk yang jumlahnya ada sepuluh tail!
"Silakan pasang lagi…….. !" bandar sudah berteriak, agaknya sama sekali tidak kecewa melihat betapa uangnya ditarik demikian banyaknya oleh tamu baruitu.
"Siok Bi, nomor berapakah sebaiknya kini?" tanya Hay Hay kepada gadis di sampingnya yang bersikap demikian mesra, seolah-olah mereka sudah lama berpacaran.
"Aih, mimpiku hanya satu kali, kongcu. Sebaiknya kalau engkau memilih sendiri agar tidak keliru.”
"Baiklah, kubertaruh atas nomor dua!" Hay Hay rmendorong separuh dari semua uangnya ke atas nomor dua. Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Gilakah pemuda itu? Setelah menang secara kebetulan sekali atas nomor dua belas, kini bertaruh atas nomor dua, nomor sial yang sukar keluarnya lagi.
“Kenapa nomor dua, kongcu? Nomor itu jarang sekali keluar, hanya mempunyai satu kemungkinan." bisik gadis di sisinya, mendekatkan mukanya dengan muka Hay Hay sehingga ketika bicara, dia dapat merasakan napas gadis itu hangat bertiup di pipinya.
Hay Hay tersenyum. "Biarlah, bukankah tadi nomor dua belas juga keluar?"
Karena tertarik oleh keberuntungan pemuda itu, ada dua orang penjudi lain ikut-ikutan memasang pada nomor dua, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan jumlah uangnya tidak banyak.
Dadu dikocok dalam mangkuk, lalu ditelungkupkan. Ketika dibuka, ternyata jatuh pada nomor lima! Beberapa orang penjudi yang memegang nomor lima memperoleh uang hadiahnya, akan tetapi jumlahnya tidak banyak dan bandar masih menang cukup banyak.
"Aih, kongcu tidak percaya kepadaku sih!" Siok Bi mengeluh. "Sekarang pasang coba-coba saja dulu, kongcu, jangan banyak. Sepotong perak saja untuk memancing nasib."
"Baiklah, aku menurut usulmu," kata Hay Hay Sambil tertawa dan dengan sembarangan saja dia melempar sepotong perak yang jatuh ke angka tiga! Kembali angka sial! Dan kini tidak ada seorangpun yang mau ikut-ikutan memasang nomor tiga.
Akan tetapi ketika mangkuk dibuka dua dadu menunjukkan angka satu dan dua!
"Tigaaaa …..!” Bandar berteriak dan menggaruk semua uang, kecuali taruhan Hay Hay yang menang lagi sehingga menerima hadiah tiga potong perak. Siok Bi dengan genitnya mencubit paha Hay Hay di bawah meja, lalu merapatkan tubuhnya sambil tertawa girang. Hay Hay juga tertawa-tawa untuk menenteramkan jantungnya yang berdebar.
Ketika para penjudi dipersilakan bertaruh lagi, Hay Hay mendorong semua uang di depannya ke atas nomor sebelas. Lagi-lagi nomor sial! Akan tetapi sekali ini, empat orang ikut-ikutan memasang nomor sebelas sehingga kalau sekali ini keluar nomor sebelas, bandarnya akan rugi cukup canyak! Siok Bi hanya terse.nyum, maklum bahwa tamunya mulai panas dan mulai dipengaruhi setan judi sehingga sebentar lagi tentu akan mengeluarkan uang emas dari dalam kantongnya!
Dadu dikocok, lalu mangkuk ditelungkupkan! "Silakan menambah uang taruhan!" teriak bandar .
"Siok Bi, keluarkan semua uangmu, kupinjam dulu untuk taruhan!" kata Hay Hay. Gadis itu terkejut, akan tetapi mengeluarkan uangnya dan ternyata ada lima tail.
"Bagaimana kalau kalah, kongcu?"
"Jangan khawatir, akan kuganti dengan uang emas!"
Siok Bi girang sekali. Kalau tidak terdapat banyak orang, tentu sudah diciumnya pemuda yang ganteng dan menarik ini. Pemuda ini, tidak seperti para tamu lain, tidak pernah jail, tidak mengganggunya, menyentuhnyapun tidak, apa lagi kurang ajar. Akan tetapi selalu ramah dan pandang matanya itu membuat birahinya bangkit sejak tadi! Hay Hay menambahkan uang Siok Bi ke atas taruhannya.
Mangkuk di buka dan……… sepasang mata bundar itu melotot keheranan ketika dua buah dadu itu menunjukkan angka enam dan lima!
"Se……. sebelas…….. !" serunya dan si gendut ini kelihatan bingung sekali. Juga Siok Bi terbelalak heran, menatap tajam wajah bandar gendut, akan tetapi ia dengan cepat dapat menguasai keheranannya, lalu memegang lengan Hay Hay.
"Kita menang, Hay Kongcu…..!” serunya gembira, bersama seruan mereka yang ikut memasang nomor sebesas. Bandar dengan muka agak pucat menghitung semua uang dan membayar kemenangan mereka yang bertaruh pada nomor sebelas.
Setelah tiga kali putaran lagi Hay Hay tetap menang dan semua penjudi di meja itu kini semua memasang nomor yang sama dengan Hay Hay, bandar judi yang bertugas di meja itu menjadi pucat sekali. Tubuhnya gemetar dan dia menghapus keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Setiap kali membuka mangkuk, tangannya gemetar dan matanya terbelalak kalau dia melihat betapa sepasang dadu itu selalu menunjuk angka yang tepat seperti yang dipasangi pemuda itu! Orang-orang bersorak gembira dan uang di meja bandar itu telah dikuras habis, bahkan sang bandar terpaksa menyuruh pembantunya mengambil uang dari dalam! Kini, bandar judi yang gendut pendek itu menyeka keringatnya dan menggoyang-goyang kepalanya.
"Aku…… aku…… lelah sekali…… biarlah aku berhenti dulu dan…… minta diganti rekan lain…… " Dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan meja itu menuju ke dalam dan tak lama kemudian, muncullah lima orang laki-laki dari dalam, mengawal seorang kakek berusia enam puluh tahun yang bermluka hitam dan bertubuh jangkung. Mata kakek ini tajam seperti mata elang dan melihat mereka itu, diam-diam Hay Hay tersenyum, maklum bahwa kini tentu muncul jagoan nomor satu dalam permainan judi itu, diikawal oleh lima orang pengawal jagoan yang pilihan pula. Namun, dia pura-pura tidak tahu dan sibuk menyerahkan setumpuk uang yang banyak sekali kepada Siok Bi.
---65—
"Sobat, kocok dulu dadunya. Kalau sudah kautelungkupkan mangkuk itu, baru aku akan memasang taruhanku. Akan tetapi, aku juga sudah lelah maka aku ingin berjudi satu kali lagi saja. Akan kupertaruhkan semua uang emasku ini untuk satu nomor!"
Semua orang menahan napas. Semua dipertaruhkan? Lima belas tail emas, berarti tumpukan emas di depan Bandar itu akan tersedot hampir habis kalau pemuda itu menang! Si bandar harus membayar empat puluh lima tail emas! Mendengar tantangan yang amat berani itu, si bandar muka hitam terbelalak sedikit, akan tetapi dengan tenang diapun mengangguk.
"Baik, kuterima! Bagaimana yang lain?"
“Akupun mempertaruhkan semua uangku ini!"
"Aku juga!"
" Aku juga!"
Semua penjudi berteriak ingjn mempertaruhkan semua uang mereka. Kini wajah bandar judi itu agak pucat. Bayangkan saja! Semua orang yang berjudi di situ mempertaruhkan seluruh uang mereka. Akan bangkrutlah kalau dia kalah dan bagaimana dia akan mempertanggungjawabkan kepada pemimpin? Dia tahu bahwa semua penjudi tentu akan mempertaruhkan uang mereka seperti pemuda itu, dengan nomor yang sama! Akan tetapi dia yakin akan kemampuannya, maka dia menekan perasaannya dan mengangguk-angguk.
"Baik! Kawan-kawan, hitung uang mereka semua agar lebih mudah nanti pembayarannya!" Dia pura-pura tenang saja, seperti telah siap kalau sampai kalah untuk membayar semua kekalahannya! Kini meja itu penuh dengan tumpukan uang, di antaranya tumpukan uang emas lima belas tail dari Hay Hay. Hebatnya, semua penjudi menaruh seluruh uang mereka di atas meja, tidak menyisakan sedikitpun di saku baju mereka. Kalau sampai kalah, mereka semua akan pulang dengan kantong kosong sama sekali! Sebaliknya kalau bandar yang kalah, maka tumpukan uang emas, perak dan tembaga yang berada di situ semua akan amblas!
Setelah selesai menghitung uang taruhan dan mencatat, si jangkung muka hitam lalu berseru keras, "Dadu dikocok…….!" Dan cara dia mengocok dadu memang aneh, lain dari kocokan si gendut tadi. Dia memutar-mutar mangkuk yang lebih besar dari pada mangkuk yang dipergunakan rekannya tadi, memutar cepat sekali di atas kepala dan terdengar bunyi berkerotokan ketika dadu-dadu itu berputaran di dalam mangkuk, lalu dia menurunkan mangkuk itu, tangan kiri menarik tutupnya.
"Brukkk!” Mangkok jatuh menelungkup di atas meja dan meja itupun tergetar. Diam-diam Hay Hay memperhatikan dan maklumlah dia bahwa si jangkung ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat! Dia maklum pula bahwa si jangkung ini, seperti juga rekannya tadi, tentu mempergunakan tipu muslihat dan mungkin dibantu dengan tenaga sin-kangnya untuk mengatur keluarnya nomor dadu, maka diapun sudah bersiap siaga, mengerahkan kekuatan sihirnya karena dia belum tahu akal apa yang akan dipergunakan orang. Tentu saja kedua telapak tangannya juga ditempelkan di meja itu untuk mengetahui melalui getaran di meja apa yang terjadi.
"Silakan memasang nomor!" teriak pula bandar itu, tangan kanannya masih di atas mangkuk yang telungkup di depannya.
Tanpa ragu-ragu lagi Hay Hay mendorong lima belas tail emasnya ke atas nomor tiga! Kembali semua orang tertegun. Sungguh nomor-nomor yang sial dan jarang keluar saja yang selalu dipilih oleh pemuda itu. Namun, tanpa ragu-ragu mereka semua lalu mendorong uang masing-masing ke atas nomor tiga, mengelilingi tumpukan uang emas. Hay Hay! Semula uang yang bertumpuk-tumpuk di atas meja itu dipertaruhkan kepada nomor tiga! Hay Hay tidak melihat ada perubahan pada muka si jangkung itu, akan tetapi biarpun hanya sedetik dia melihat betapa sepasang mata itu terbelalak atau mengeluarkan sinar kaget, kemudian, kedua tangannya yang diletakkan di atas meja itu dapat merasakan getaran yang datangnya dari dalam mangkuk besar itu. Pendengarannya yang terlatih itupun mendengar suara bunyi kretek-kretek dua kali. Hay Hay dapat menduga bahwa itulah alat rahasia di dalam mangkuk. Agaknya, pasangannya pada nomor tiga itu tepat mengenai sasaran dan dua buah dadu di bawah mangkuk itu benar-benar menunjukkan angka tiga, akan tetapi kini alat rahasia di dalam mangkuk telah bekerja dan tentu dua buah dadu itu akan membalik dan menjadi angka lain. Hal ini dapat dibacanya dari muka hitam itu, yang kini bibirnya mengandung senyum mengejek dan sepasang matanya bersinar penuh keyakinan menang.
Suasana menjadi sunyi, tegang mencekam hati para penjudi. Ada yang mukanya pucat, ada yang merah, ada yang peluhnya bercucuran. Semua orang dicengkeram oleh harapan kemenangan dan dicekam rasa takut akan kekalahan.
"Sobat-sobat, lihat baik-baik, mangkuk ini akan kubuka. Satu, dua…… tiga…….!"
Semua mata memandang dan penglihatan Hay Hay yang paling tajam itu sudah melihat bahwa sebuah dadu menunjuk angka satu, akan tetapi dadu kedua menunjuk angka enam! Jadi yang keluar adalah tujuh! Dia kalah! Akan tetapi, dengan getaran kedua telapak tangannya, tiba-tiba saja, secepat kilat sehingga tidak tampak oleh mata biasa, dadu yang menunjuk angka enam itu bergulir dan kini menunjuk angka dua!
"Satu dan dua……!"
"Tiga…..! Kitaa menang!”
"Kita menang! Hayo bayar taruhanku!"
Suasana menjadi riuh rendah, akan tetapi Hay Hay hanya menatap dengan pandang mata tajam kepada wajah si jangkung. Muka yang hitam itu menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada dua buah dadu itu, kemudian dia berteriak parau. .
"Sobat-sobat, kalian keliru! Lihat yang betul, bukan angka tiga yang keluar!" Tiba-tiba, dengan menekan meja, dia menggetarkan sin-kang dan biji dadu yang tadinya menunjuk angka dua, kini kembali berguling ke angka enam! Akan tetapi, hanya sebentar karena sudah berguling ke angka dua!
Semua penjudi memandang dengan bengong dan mata terbelalak heran. Kini scmua orang melihat betapa dadu yang satu ini dapat bergulir-gulir, suatu saat bergulir ke angka enam, lalu bergulir lagi ke angka dua! Terjadi "perang" antara dua kekuatan sin-kang yang digetarkan melalui telapak tangan si jangkung muka hitam itu dan Hay Hay. Akan tetapi, ketika untuk kesekian kalinya dadu itu bergulir ke angka enam dan Hay Hay menggulirkannya lagi ke angka dua, dia mengerahkan tenaga dan menahan sehingga betapapun si jangkung berusaha dengan sin-kangnya, tetap saja dia tidak mampu .menggulirkan dadu itu yang tetap menunjuk angka dua. Satu dan dua!
"Tigaaaa……….. !" Semua penjudi berseru setelah melihat betapa dadu itu kini tidak bergerak lagi dan keduanya tetap menunjuk angka satu dan dua!
Kembali orang-orang bersorak, akan tetapi tiba-tiba si jangkung muka hitam bangkit berdiri dan berseru, "Tidak! Ada kesalahan di sini! Kalian tadi melihat betapa dadu yang satu itu bergulir-gulir. Ini tidak benar! Pengocokan dadu harus diulang dan sekarang semua orang harus menjauhi mejal"
Tentu saja ucapan ini membuat para penjudi terkejut dan marah sekali.
"Wah, itu tidak adil!"
"Curang sekali!"
"Kami sudah menang, bayar kemenangan kami!"
Tiba-tiba dengan gerakan yang cekatan sekali, si jangkung muka hitam meloncat ke atas meja dan bertolak pinggang. Wajahnya keren dan bengis sekali, sementara itu, belasan tukang pukul sudah siap siaga di belakangnya sambil meraba gagang senjata.
"Siapa bilang kami curang? Pernahkah rumah judi kami tidak membayar para pemenang? Kami hanya ingin mengulang pengocokan dadu karena tadi tidak wajar. Hayo, mundur! dan tidak boleh menyentuh meja! Kami sudah mengambil keputusan dan siapa akan menentang?" Para pengawal di belakang si muka hitam ini memandang beringas, siap menyerang siapa saja yang berani menentang keputusan itu. Para penjudi masih bersungut-sungut penasaran dan tidak puas, akan tetapi tidak ada yang berani rnenentang dan semua orang mundur menjauhi meja. Kini mereka semua memandang kepada Hay Hay karena pemuda inilah yang rnereka harapkan, dan pemuda itu, tanpa pemungutan suara lagi, telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka!
Hay Hay tersenyum dan diapun menurut saja ketika lengannya ditarik oleh Siok Bi menjauhi meja. Gadis itu masih tetap merangkul pinggangnya ketika Hay Hay berkata, "Saudara sekalian, biarlah kita terima saja keputusan itu! Biarpun diulang-kocok, kalau memang sudah nasib kita untuk menang, kita tetap akan menang!" Mendengar ucapan ini, semua orang menjadi lega kcmbali. Si muka hitam memandang penuh curiga. Tadi dia tahu bahwa ada orang yang main-main dan melawan sin-kangnya dan dalam pertarungan adu kekuatan itu dia telah kalah! Akan tetapi karena banyak sekali tangan berada di atas meja, tentu saja dia tidak tahu tangan siapa itu yang telah menyalurkan sin-kang. Agaknya tidak mungkin tangan pemuda aneh yang digandeng Siok Bi itu karena selain pemuda itu kelihatan biasa saja, juga Siok Bi selalu menggandeng dan merangkulnya sehingga tentu gadis itu yang juga merupakan pembantu dari pimpinan rumah judi dan memiliki kepandaian lumayan pula, akan mengetahuinya.
Si jangkung muka hitan sudah meloncat turun kembali dan setelah mengamati dua buah dadu itu, diapun memutar atau mengocok sepasang dadu itu ke dalam mangkuk. Seperti tadi, dia menelungkupkan mangkuk di atas meja dan berteriak, "Apakah nomor pasangan tidak dirubah?”
"Tidak, tetap nomor tiga!" kata Hay Hay.
"Kami juga nomor tiga!"
"Nomor tiga………!” Semua orang serempak berteriak, walaupun hati mereka khawatir sekali. Bagaimana mungkin dua kali berturut akan keluar nomor sial itu?
"Jangan gelisah, saudara-saudara! Yang keluar pasti nomor tiga. Nomor tiga......!" seru Hay Hay dan seruan ini mengandung kekuatan sihir yang besar dan seketika semua orang di ruangan itu terpengaruh tanpa mereka sadari.
"Satu...... dua...... tiga...... !!" teriak si jangkung muka hitam dan begitu membuka mangkuk, kembali dia terbelalak dan mukanya berubah pucat karena benar saja seperti dikatakan oleh pemuda itu, dadu-dadu itu menunjuk angka satu dan dua.
"Tigaaa......! Nomor tiga, kita menang!" teriak orang-orang itu dengan gembira.
"Nanti dulu, kalian salah lihat! Lihat baik-baik!" teriak si muka hitam dan kini dia menekan meja. Hanya kedua tangannya saja yang menekan meja, tidak ada tangap lain maka dia merasa yakin akan mampu menggulirkan dadu tanpa ada yang menghalanginya. Benar saja, begitu dia menggetarkan telapak tangannya, sebuah dadu yang nomor satu bergulir ke angka tiga. Akan tetapi, betapa heran, terkejut dan bingungnya ketika dadu itu bergulir, bukan angka tiga yang nampak, melainkan angka satu pula! Jadi tetap satu dan dua! Kembali dia mengerahkan sin-kang dan dadu itu bergulir-gulir, akan tetapi ke permukaan manapun dadu itu ber-gulir, tetap angka satu seolah-olah ke enam permukaannya semua berangka satu! Si muka hitam terheran dan meneliti dadu itu dari samping. Angka-angkanya masih tetap biasa, dari satu sampai enam! Akan tetapi mengapa kalau berguIir, yang nampak angka satu Iagi? Sementara itu, para penjudi bersorak-sorak gembira. Merekapun melihat dadu itu bergulir-gulir, namun tetap angka satu sehingga tetap saja angka itu menjadi satu dan dua.
Kini si muka hitam terbelalak dan mukanya penuh dengan keringat. Celaka, pikiranya. Dia telah membikin bangkrut rumah judi dan tentu dia harus bertang-gung jawab terhadap pemimpinnya. Dia merasa ngeri dan tiba-tiba saja dia, seperti tadi telah meloncat ke atas meja dan tangannya sudah memegang sebatang pedang telanjang!
"Tidak ada yang atau kalah!" bentaknya. "Ada orang membikin kacau di sini! Rumah judi ditutup dan kalian boleh membawa pulang uang masing-masing!"
"Tapi kami menang! Harus dibayar dulu....!"
"Dibayar dengan ini?" Si muka hitam mengacungkan pedangnya. "Kami tidak mau membayar karena permainan judi tadi tidak wajar dan ada kecurangan! Hayo kalian semua keluar, atau kami akan menggunakan kekerasan!" Ketika semua orang memandang, belasan orang tukang pukul itu kini sudah menghunus senjata tajam semua dan sikap mereka mengancam.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan ketika semua orang memandang, ternyata yang tertawa itu adalah Hay Hay. "Ha-ha-ha-ha, maling teriak maling, orang curang teriak orang lain curang, betapa palsunya hidup kalian sebagai penyelenggara perjudian. Saudara sekalian, mundurlah, biar aku yang menghadapi manusia-manusia jahat ini!"
Semua tamu mundur dan mepet pada dinding, dan Hay Hay dengan lembut mendorong Siok Bi untuk melepaskan gandengannya. Siok Bi bukanlah wanita sembarangan dan ia memiliki ilmu silat yang cukup hebat sehingga dipercaya sebagai kepala para pelayan wanita. Akan tetapi ketika ia didorong, ia merasa betapa ada kekuatan yang amat dahsyat sehingga betapapun ia sudah mempertahankan, tetap saja ia terdorong dan terhuyung sehingga terpaksa iapun mundur sampai ke dinding.
Hay Hay menjulurkan tangannya dan menyambar mangkuk besar di atas meja dadu. "Saudara sekalian lihatlah betapa curang mereka ini!" Dia menelentangkan mangkuk itu dan nampaklah oleh semua orang betapa di sebelah atas mangkuk itu terpasang alat rahasia dan nampak ada sepasang dadu di sana, agaknya kalau sepasang dadu di atas meja itu hendak diganti sehingga nomornya keluar menurut kehendak bandar, maka alat di dalam mangkuk itu menukar dadu di atas meja dengan dadu yang berada di dalam mangkuk. Kalau alat rahasia ini gagal, masih ada kekuatan sin-kang bandarnya yang dapat membuat dadu bergulir. Namun, semua itu, alat dan kekuatan sin-kang si bandar, sekali ini tidak berhasil karena di halangi oleh Hay Hay yang menggunakan kekuatan sin-kang kemudian menggunakan sihir.
Melihat ini, tentu saja para penjudi itu menjadi terkejut dan marah sekali. "Nah, lihat betapa bodohnya berjudi di rumah judi. Hampir semua rumah judi tentu mempergunakan tipu muslihat dan mana mungkin kalian menang? Biasanya yang sengaja diberi kemenangan untuk menarik para tamu adalah anak buah mereka sendiri. Hendaknya kenyataan ini membuka mata saudara sekalian sehingga tidak lagi mau menjadi korban perjudian, menghentikan kebiasaan berjudi yang buruk!"
Mendengar ucapan Hay Hay itu, dipimpin oleh si muka hitam, belasan orang pengawal itu sudah mengepung Hay Hay. Bahkan dari dalam muncul pula bandar pendek gendut itu dan beberapa orang lain sehingga jumlah mereka kini ada dua puluh orang! Semua orang memegang senjata tajam dan sikap mereka amat bengis. Semua tamu memandang dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran.
Tiba-tiba nampak Siok Bi, wanita cantik yang tadi menemani Hay Hay, menyelinap masuk ke dalam lingkaran dan meloncat ke dekat Hay Hay. Wajahnya agak pucat dan matanya bersinar-sinar.
"Tidak! Kalian tidak boleh menyakiti Hay-kongcu! Dia tidak bersalah, dan dia melakukan perjudian juga hanya iseng-iseng saja! Kongcu, kuharap engkau suka menyudahi urusan ini dan membawa pergi uangmu dari tempat ini. Tidak ada gunanya bagimu, tidak ada untungnya untuk memusuhi rumah perjudian ini, apa lagi mengingat bahwa kongcu bukanlah orang Shu-lu. Sekali lagi kuanjurkan agar kong-cu pergi dari sini dengan aman. Aku yang menanggung bahwa kongcu dapat pergi dengan aman dan tidak diganggu!"
Aneh sekali. Dua puluh orang laki-laki bengis itu agaknya tidak ada yang berani menentang ucapan Siok Bi, hanya memandang kepada Hay Hay seolah hendak melihat bagaimana tanggapan Hay Hay terhadap nasihat Siok Bi itu.
Hay Hay tersenyum dan menjulurkan tangannya, membelai daguyang halus itu. "Siok Bi, engkau manis sekali. Terima kasih atas usahamu mengamankan aku. Akan tetapi, tidak. Mereka itu curang dan mereka harus membayar kekalahan mereka kepada semua penjudi di sini!"
"Ah, kau..... kau berani...... menentang mereka semua itu?" tanya Siok Bi, membelalakkan mata, tidak percaya. Ia dapat menduga bahwa pemuda yang amat menarik hatinya ini tentu memliki kepandaian. Akan tetapi betapapun lihainya, kalau harus melawan duapuluh orang bersenjata yang marah itu, apalagi ia tahu betapa lihainya si muka hitam dan si pendek gendut, tentu pemuda ini akan celaka.
Hay Hay tertawa. "Kenapa tidak berani? Mereka itu hanya sekawanan tikus yang tidak tahu mana kawan mana lawan!"
"Eh? Maksudmu, kongcu?"
"Kaulihat sendiri nanti. Minggirlah, Siok Bi yang manis, dan terima kasih atas kebaikanmu."
Mendengar percakapan itu, dua puluh orang yang mengepung Hay Hay menjadi marah. Mereka dianggap sebagai sekawanan tikus oleh pemuda itu! Begitu Siok Bi yang menggeleng kepala dengan penuh kekhawatiran itu minggir dan kembali ke dinding, si muka hitam lalu berteriak, "Hajar dan bunuh manusia sombong ini!"
Dia sendiri sudah menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan ke arah dada Hay Hay. Pemuda ini dengan tenang saja miringkan tubuhnya dan pada saat itu, bandar ke dua yang bertubuh pendek gendut sudah menyerangnya pula dari belokang, membacokkan goloknya ke arah leher. Hay Hay juga mengelak dengan lompatan ke depan, kemudian dia membalik dan kedua tangannya menyambar dengan kecepatan kilat. Si jangkung muka hitam dan si gendut pendek yang merupakan dua orang paling lihai di antara dua puluh orang itu, tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka akan tetapi tiba-tiba saja kepala mereka seperti disambar petir dan merekapun terpelanting roboh. Kiranya petir itu adalah dua buah tangan Hay Hay yang menyambar cepat tadi dan menampar mereka. Ketika dua orang itu dapat bangkit kembali, Hay Hay sudah meloncat ke atas meja dadu yang lebar itu dan bertolak pinggang. Dia tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mehcorong!
"Kalian ini sekumpulan tikus! Musuhmu berada di sekeliling, tidak saling serang mau tunggu apa lagi? Hayo kalian cepat serang musuh kalian di sekeliling kalian!" Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya ke arah mereka dan terjadilah peristiwa yang amat luar biasa. Si jangkung muka hitam dan si gendut pendek kini sudah menggerakkan senjata masing-masing dan saling serang! Dan semua anak buah mereka juga saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang kacau-balau, seperti segerombolan tikus yang tiba-tiba menjadi gila semua dan saling serang, tidak lagi mengenal mana kawan dan mana lawan!
Tentu saja para tamu memandang terbelalak penuh keheranan. Pemuda yang mereka anggap sebagai pemimpin itu enak-enak saja berdiri di atas meja judi, bertolak pinggang dan tersenyum-senyum, sedangkan dua puluh orang tukang pukul sudah saling serang tidak karuan. Karena mereka semua menggunakan senjata, maka sebentar saja sudah ada beberapa orang yang roboh mandi darah terkena bacokan.
Siok Bi juga terbelalak penuh keheranan. Akan tetapi, melihat betapa sudah ada beberapa orang roboh mandi darah, ia lalu meloncat ke atas meja di mana Hay Hay berdiri. Semua orang terkejut dan kagum. Meja itu agak jauh dan ia harus melompat di antara orang-orang yang sedang berkelahi dengan senjata tajam, namun Siok Bi dapat meloncat ke atas meja dan tiba di depan Hay Hay tanpa mengguncangkan meja itu! Hay Hay yang sudah menduga bahwa Siok Bi memiliki kepandaian, tidak merasa heran dan menyambutnya dengan senyum.
"Kau mau membantu mereka?" tanyanya.
Siok Bi memegang lengan pemuda itu, "Tidak, kongcu, tidak sama sekali! Aku aku bahkan gembira bahwa engkau yang mampu mempernlainkan dan menghajar orang-orang kejam itu. Akan tetapi, hentikanlah. Aku tidak ingin melihat mereka tewas dan akupun mempunyai tanggung jawab di sini. Hentikanlah, kasihanilah aku karena aku tentu akan mendapat marah dari pimpinan kalau diam saja……”
Hay Hay mengangguk, lalu menghadapi mereka yang sedang berkelahi, dan dia bertepuk tangan! Tepukan tangannya nyaring, disusul teriakannya yang berpengaruh. "Heiii, berhenti semua! Apakah kalian sudah gila, saling serang sendiri! Hayo berhenti berkelahi kataku!"
Tiba-tiba saja perkelahian berhenti dan semua orang itu terheran-heran melihat betapa mereka tadi telah saling serang di antara kawan sendiri! Ada delapan orang yang terluka karena bacokan senjata kawan sendiri, bahkan si muka hitarn terpincang-pincang dengan paha luka, dan si gendut pendek juga meringis karena bahunya robek oleh sabetan pedang. Kini mereka semua memandang kepada Hay Hay yang berdiri di atas meja, sedangkan Siok Bi sudah cepat meloncat turun.
"Nah, bagaimana sekarang? Apakah kalian masih hendak berkelahi dengan aku? Ataukah kalian mau memenuhi kewajiban kalian, membayar semua kemenangan kami?"
Siok Bi menghampiri si muka hitam dan si gendut pendek, berbisik. "Sebaiknya kita penuhi permintaannya. Kalian bukanlah lawan dia, kalau dilanjutkan, kita semua akan celaka!"
Agaknya kini semua anak buah rumah judi itu sudah merasa gentar dan dengan pimpinan si muka hitam, mereka lalu membayar semua kemenangan para penjudi yang menerima uang kemenangan mereka dengan muka gembira dan mereka segera meninggalkan tempat itu dan berjanji di dalam hati sendiri untuk tidak kembali lagi. Para anak buah rumah judi itu memandang dengan penuh rasa gentar ketika Hay Hay membungkud semua uang emasnya yang kini berjumlah enam puluh tail emas itu dengan kain yang lebar, kemudian memanggul emas itu seperti benda yang biasa saja di atas punduknya. Padahal, buntalan itu merupakan harta yang cukup besar. Siok Bi memandang dengan sinar mata penuh kagum. Belum pernah selamanya ia berjumpa dengan seorang pemuda seperti itu. Memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan sakti, tampan gagah dan pandai sekali mengeluarkan kata-kata indah yang menyenangkan hati, merayu tanpa bersikap kurang ajar! Siok Bi merasa betapa baru pertama kali ia benar-benar tertarik kepada seorang pria, bahkan diam-diam ia mengaku telah jatuh cinta!
Sebelum meninggalkan tempat itu, Hay Hay menoleh kepada rnereka, dan memandang kepada Siok Bi sambil tersenyum. "Siok Bi, sekali lagi terima kasih kepadamu dan tolong beritahukan kepada semua orang bahwa aku sedang mencari seorang tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu. Lihat, semua emas di pundakku ini akan kuberikan kepada siapa saja yang mampu menunjukkan di mana adanya Ang-hong-cu itu. Nah, kutunggu beritamu sampai besok siang di kamarku. Aku menginap di rumah penginapan Hok-lai-koan." Setelah berkata demikian, dia segera melangkah pergi.
Setelah dia pergi, barulah para anak buah rumah judi itu menjadi gernpar. Mereka mengobati teman-teman yang terluka dan mereka semua bingung bagaimana harus menghadapi pemimpin mereka yang tentu akan menjadi marah sekali.
"Nona Siok Bi, sebaiknya engkaulah yang menyampaikan berita ini kepada Coa Wan-gwe!" kata si muka hitam dengan muka membayangkan perasaan takut.
"Tenanglah, aku melihat sendiri bahwa kalian tidak mampu berbuat apa-apa, tidak berdaya menghadapi Hay Kongcu yang sakti itu. Akan kuceritakan kepadanya, akan tetapi tidak sekarang. Sekarang ini dia tidak boleh diganggu, karena dia sedang beristirahat, kabarnya malah hendak bermalam di luar rumah. Biar kuselidiki………. eh, kalian mendengar sendiri tadi. Pemuda itu mencari Ang-hong-cu. Adakah di antara kalian yang mengenal tokoh kang-ouw yang berjuluk Ang-hong-cu itu?"
Semua orang mengerutkan alis, mengingat-ingat. Kemudian, si jangkung muka hitam berkata, "Nama itu sudah lama kudengar, akan tetapi belum pernah aku melihat orangnya. Bahkan sepanjang yang kudengar, tidak ada orang kang-ouw pernah melihatnya. Juga namanya sudah lama tidak lagi terdengar di dunia kang-ouw, melainkan puluhan tahun yang lalu. Tapi, nona, siapakah sebetulnya pemuda itu? Kepandaiannya demikian hebat…… dan…….. hiihhh, bagaimana tadi kami dapat saling serang sendiri? Ilmu apakah yang dia gunakan itu?" Si muka hitam itu bergidik, juga teman-temannya semua merasa jerih dan takut.
Siok Bi menggeleng kepala. "Jelas bahwa ilmu silatnya tinggi, akan tetapi aku sendiri tidak mengerti mengapa tadi kalian menurut saja ketika dia menyuruh kalian saling serang sendiri."
"Tentu dia mempergunakan ilmu sihir!" kata si pendek gendut. "Aih, kalau disuruh melawan orang yang pandai sihir, lebih baik aku angkat tangan saja !"
Tiada hentinya para anak buah itu membicarakan pemuda yang telah mendatangkan kekacauan dan yang membuat mereka terpaksa menutup rumah judi karena bangkrut! Akan tetapi, hati mereka agak lega setelah Siok Bi, gadis kepala pelayan yang menjadi orangkepercayaan majikan atau pemimpin mereka, menyang gupi untuk melaporkan peristiwa itu kepada majikan mereka.
** *
Biarpun peristiwa di po-koan (rumah judi) itu segera diketahui oleh seluruh penduduk kota Shu-lu karena para penjudi itu ramai membicarakannya, namun tidak ada yang tahu bahwa pendekar muda yang memiliki kesaktian i tu tinggal di rumah penginapan Hok-lai-koan. Hay Hay hanya memberi tahu kepada Siok Bi dan para tukang pukul yang kini sudah kehilangan lagak, bahkan tidakberani keluar dari rumah itu, takut kalau dijadikan buah tertawaan orang-orang. Dengan seenaknya, Hay Hay kembali ke rumah penginapan membawa buntalan emas yang banyak itu.
Malam hari itu, kurang lebih jam delapan malam, seorang gadis cantik memasuki rumah penginapan itu. Para petugas yang berjaga di rumah penginapan itu, agaknya mengenal baik gadis ini dan tidak ada yang berani bersikap kurang ajar, bahkan mereka menyambutnya dengan sikap hormat dan bertanya apa keperluan gadis itu malam-malam berkunjung ke hotel Hok-lai-koan. Semua petugas di situ mengenal gadis ini sebagai orang kepercayaan Coa Wan-gwe, bahkan tahu bahwa gadis ini pandai ilmu silat!
"Apakah nona datang ada hubungannya dengan pesanan kamar Coa Wan-gwe? Beliau belum datang…….. "
"Tidak, aku hendak berkunjung kepada seorang tamu. Sudahlah, kalian tidak perlu tahu urusanku!" katanya dan iapun terus masuk ke dalam. Para petugas itu tidak berani mengikutinya dan Siok Bi, gadis itu, terus menuju ke ruangan belakang. Orang-orangnya sudah melakukan penyelidikan dania tahu di mana kamar yang disewa Hay Hay, yaitu kamar nomor tujuh di belakang. Siok Bi membawa sebuah buntalan yang sejak tadi dipegangnya dengan tangan kiri dan kini ia mengetuk daun pintu kamar nomor tujuh.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar