ceritakan kepada Paduka. Taihiap, beliau ini adalah seorang menteri yang amat bijaksana, yaitu Menteri Negara Yang Ting Hoo yang berkedudukan di kota raja dan hari ini melimpahkan kehormatan menjadi tamu kami yang terhormat."
Bukan main kagetnya rasa hati Hay Hay mendengar disebutnya nama Yang Ting Hoo ini. Dalam perantauannya selama ini, dia mendengar berita bahwa kemakmuran negara di bawah pemerintahan Kaisar Cia Ceng pada saat ini adalah berkat jasa dua orang menteri yang amat bijaksana dan pandai mengurus negara. Yang pertama bernama Menteri Yang Ting Hoo dan yang ke dua adalah Menteri Chang Ku Ceng. Dan kini, tiba-tiba saja dia berhadapan dengan Menteri Yang Ting Hoo ditempat kediaman Jaksa Kwan itu. Pertemuan yang sama sekali tak pernah disangkanya dan cepat dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap menteri itu.
"Hamba Hay Hay, karena tidak tahu telah bersikap tidak hormat kepada Paduka, mohon Paduka sudi memberi maaf yang sebesarnya."
Menteri Yang Ting Hoo menggerakkan tangannya. "Aih, Taihiap, bangkitlah dan mari duduk di sini. Kita bercakap-cakap seenaknya. Percayalah, hanya karena kebiasaan saja aku suka disembah orang, padahal di dalam hati aku merasa muak dengan semua kehormatan yang berlebihan itu. Karena itu, kalau benar engkau ingin menyenangkan hatiku dan ingin bicara dari hati ke hati, bangkitlah dan duduklah di sini!" Dia menunjuk ke arah sebuah kursi didepannya, terhalang meja
Jaksa Kwan tertawa, hal yang tidak biasa pula dilakukan oleh seorang pembesar bawahan kepada pembesar atasan yang pangkatnya demikian tinggi. Hal ini juga menunjukkan betapa akrab hubungan antar keduanya.
"Taihiap, jangan heran akan sikap Yang-taijin. Begitulah beliau, lebih mementingkan hubungan antar manusia daripada antar kedudukan. Silakan duduk, Taihiap."
Hay Hay merasa kagum bukan main, juga gembira. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang pembesar yang lebih patut dinamakan pemimpin rakyat, karena pembesar itu selalu merasa dirinya lebih besar dari orang biasa, sebaliknya seorang pemimpin akan selalu bersikap sebagai seorang ayah,guru atau pemimpin, tidak merasa dirinya lebih besar. Dia pun mehghaturkan terima kasih, bangkit lalu duduk berhadapan dengan kedua orang pejabat yang duduk berdampingan i tu.
Jaksa Kwan memberi isarat dengan tangannya memanggil seorang pelayan yang segera meletakkan sebuah cawan arak di depan Hay Hay dan juga mengambilkan tambahan seguci arak harum. Hidangan sekedarnya juga ditambah, kemudian Kwan-taijin memberi isarat agar semua pelayan dan pengawal meninggalkan ruangan itu hanya berjaga diluar pintu dan tidak ikut mendengarkan percakapan yang akan terjadi di dalam ruangan tamu itu.
"Engkau tadi mengaku bernama Hay Hay, Taihiap? Siapakah nama keluargamu?" tanya Menteri Yang Ting Hoo dengan sikap ramah.
Hay Hay tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tidak enak di hatinya. Tak dapat disangkal lagi, menurut keterangan keluarga Pek, dia bernama keluarga Tang, putera dari seorang she Tang yang terkenal sebagai seorang penjahat keji, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) she Tang! Di dalam hati kecilnya, dia malu dan tidak suka menggunakan nama keluarga itu, akan tetapi kalau kenyataannya memang dia she Tang, mau bagaimana lagi?
"Hamba she Tang, akan tetapi sejak kecil hamba lebih sering disebut Hay Hay dan hamba lebih senang memakai nama itu saja." jawabannya sederhana.
Menteri itu tertawa dan mengangguk-angguk. "Taihiap tentu mengetahui bahwa untuk menilai seseorang, bukan tergantung daripada namanya, kedudukannya, kepintarannya maupun kekayaannya, melainkan dari sepak terjangnya di dalam kehidupan setiap harinya. Karena itu, mengapa risau tentang nama? Keluarga yang namanya Tang di dunia ini banyak, yang baik banyak yang jahat pun banyak, tergantung dari pribadi masing-masing."
Hay Hay terkejut dan barulah dia tahu mengapa orang ini terkenal sebagai seorang yang bijaksana. Pandangannya yang sederhana itu saja seolah-olah sudah berhasil membuka kedoknya! Dia memang merasa malu mempergunakan she Tang karena ayah kandungnya, orang she Tang itu adalah seorang penjahat. Bagaimana andaikata ayahnya itu seorang yang baik? Tentu dia akan bangga menyandang nama keluarga itu! Betapa palsunya sikap ini!
"Terima kasih atas peringatan Paduka. Hamba memang bernama Tang Hay," katanya kemudian dan sekali ini menyebut nama keluarga Tang terdengar ringan saja di lidahnya, seolah tidak ada apa-apanya.
Kini Kwan-taijin mempersilakan Hay Hay minum arak. Mereka bertiga minum arak dan makan hidangan dengan sikap terbuka. Hay Hay merasagembira dan juga aneh. Dia duduk berhadapan dengan dua orang pembesar, bahkan yang seorang adalah seorang menteri negara, namun dia sama sekali tidak merasa rikuh atau rendah diri. Hal ini saja membuktikan betapa kedua orang itu memang merupakan orang-orang yang bijaksana dan dia merasa seperti duduk semeja dengan dua orang sahabat saja!
"Nah, sekarang ceritakan keadaanmu, Tang-taihiap. Bagaimana keadaanmu semenjak kita saling berpisah, setelah engkau menyelamatkan kami di Telaga Tung-ting, dan apakah kedatanganmu ini hanya untuk berkunjung, ataukah ada keperluan lain?"
Mendengar pertanyaan Jaksa Kwan itu, Hay Hay lalu mengeluarkan batu kemala mustika dari saku bajunya. Dia membuka bungkusan saputangan, mengambil batu giok itu dan menyerahkannya kepada Jaksa Kwan sambil berkata, "Saya datang untuk nnenyerahkan batu giok mustika ini kembali kepada Paduka, Kwan-taijin."
Sepasang mata pembesar itu bersinar dan wajahnya berseri gembira. “Ah! Jadi engkau bahkan berhasil merampas kembali mustika ini?" Dia menerima batu giok itu dan menyerahkannya kepada Yang-taijin. "Lihat, Taijin, pendekar perkasa ini bahkan telah berhasil merampas kembali mustika ini!" Menteri Yang menerima batu giok itu dan memandang kagum kepada Hay Hay. !
"Apakah seorang diri saja engkau merampas kembali mustika ini, ataukah dengan pendekar lainnya yang juga lihai itu, eh, siapa lagi namanya? Sayang sekali aku tidak sempat berkenalan dengannya."
"Ia she Kok……." kata Hay Hay dan dia teringat, lalu menahan kata-katanya karena bukankah pada waktu itu Hui Lian menyamar sebagai seorang pria?
"She Kok? Ah, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang baik sekali belasan tahun yang lalu, yaitu Gubernur Kok dari San-hai-koan. Kasihan sekali, keluarganya terbasmi oleh gerombolan pemberontak…… "
Mendengar ucapan Meilteri Yang itu, diam-diam Hay Hay terkejut sekali sehingga dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Ah, ada apakah, Tang-taihiap? Benarkah masih ada hubungan antara sahabatmu itu dengan mendiang Gubernur Kok di San-hai-koan?" tanya menteri itu dan Jaksa Kwan juga memandang kepadanya.
Hay Hay mengangguk-angguk. "Mungkin sekali…… ah, ia memang memiliki banyak keanehan yang dirahasiakan. Mungkin. sekali ia puteri gubernur yang Paduka maksudkan itu "
"Puteri?" Jaksa Kwan berteriak kaget. "Kaumaksudkan ia... ia seorang wanita?"
Hay Hay mengangguk. Menghadapi dua orang pembesar yang amat bijaksana dan pandai ini, tidak perlu lagi dia berbohong. "Memang benar, ia adalah seorang gadis bernama Kok Hui Lian, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang teramat tinggi."
"Aduh sayang sekali! Kenapa ia tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini, Tai-hiap? Pada saat ini kami membutuhkan orang-orang pandai seperti engkau dan gadis pendekar itu. Makin banyak semakin baik." kata Kwan-taijin.
"Akan tetapi, ada apakah, Taijin? Ada urusan penting apakah maka Taijin membutuhkan bantuan para pendekar?" Hay Hay bertanya, khawatir kalau-kalau para tokoh sesat kembali mengganggu pembesar yang mereka musuhi ini.
Kwan-taijin menoleh kepada Menteri Yang, lalu berkata kepada Hay Hay. "Sekali ini urusannya lebih gawat dan besar lagi, Tang-taihiap. Sebaiknya kalau engkau mendengar sendiri dari Paduka Menteri Yang, karena beliau inilah yang menangani masalah yang amat penting dan penuh rahasia, Taihiap. Oya, nanti dulu." kata pula jaksa itu sambil menyerahkan batu kemala mustika itu kepada Hay Hay sambil berkata. "Batu giok ini kuberikan kepadamu, Taihiap. Engkau seorang pendekar yang banyak merantau dan banyak bertemu dengan para penjahat, maka kiranya mustika seperti ini amat penting bagimu. Aku berada di kota dan dikelilingi banyak tabib, maka mustika seperti ini tidak begitu penting pagiku. Nah, terimalah, aku berikan kepadamu dengan setulus hatiku."
Tentu saja Hay Hay terkejut dan juga girang. Mustika itu memang amat berguna, dapat menghadapi penyerangan senjata beracun yang banyak dipergunakan orang-orang golongan hitam. Dia pun tidak pura-pura lagi dan menerima benda itu, dibungkusnya dengan saputangan dan disimpannya di dalam saku bajunya.
"Terima kasih atas budi kebaikan Taijin." katanya singkat, kemudian dia memandang kepada Menteri Yang, siap untuk mendengar tentang masalah yang dihadapi para pejabat tinggi itu.
"Begini, Tang-taihiap, sebetulnya kami menghadapi usaha pemberontakan yang berbahaya sekali dan kami ingin mengajakmu berbincang-bincang tentang hal ini, bahkan mengharapkan bantuan para pendekar seperti Taihiap." Menteri itu mulai. Hay Hay mengerutkan alisnya. Pemberontakan? Bukankah itu merupakan urusan pemerintah, persoalan negara dan sudah banyak pejabat yang berkewajiban untuk menanganinya?"
Melihat pandang mata ragu dari pendekar itu, Menteri Yang tersenyum maklum. "Taihiap, kalau pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari pasukan, maka kami pun tidak ingin membicarakannya dengan para pendekar yang hanya merupakan sebagian daripada rakyat jelata. Kami tinggal mengerahkan pasukan besar untuk menumpas dan membasmi, seperti yang sudah sering kami lakukan. Akan tetapi, kami menghadapi pemberontakan berselubung, Taihiap."
"Pemberontakan berselubung?" Hay Hay bertanya, tidak mengerti.
"Golongan yang menjadi lawan dari golonganmu, yaitu kaum sesat, kini memperlihatkan gejala untuk memperkuat diri, mereka ingin bangkit kembali seperti ketika dunia hitam dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang terkenal itu. Untuk menghadapi para datuk sesat, kami tidak banyak berdaya, Taihiap, dan tentu para pendekar lebih mampu menghadapi mereka. Akan tetapi, pembangkitan para tokoh sesat ini, menurut bukti-bukti yang didapatkan para penyelidik kami, ada hubungannya dengan rencana pemberontakan terhadap pemerintah! Inilah yang berbahaya, Taihiap. Oleh karena itu, tadi telah kami bicarakan dengan Kwan taijin agar kami menghimpun dan minta bantuan para pendekar,demi keselamatan negara dan keamanan kehidupan rakyat. Engkau tentu tahu sendiri betapa menderitanya rakyat kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang apalagi kalau di antara para pemberontak itu terdapat golongan sesat yang tentu akan selalu memancing di air keruh."
Hay Hay mengangguk-angguk. Kalau demikian halnya, tentu saja dia siap untuk menentang kaum sesat yang hendak bersekutu dengan para pemberontak itu.
“Siapakah datuk sesat yang memimpin gerakan gelap itu, Taijin?” tanyanya.
“Menurut penyelidikan, pemimpinnya ada beberapa orang di antaranya yang terpenting adalah seorang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dia bermarkas di Lembah Yang-ce, sekitar Pegunungan Yunan. Kabarnya dia mempunyai banyak sekali teman dari dunia hitam yang merupakan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, dan lebih berbahaya lagi, kabarnya dia pun bersekutu dengan tokoh Birma. Juga kabarnya gerombolan sesat Kui-kok-pang dari Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san, dan entah siapa lagi namanya aku tidak tahu. Hebatnya, mereka itu berhasil menarik Pek-lian-kauw sebagai sekutu dan kini tengah membangun pasukan yang kuat."
Mendengar ini, Hay Hay mengangguk-angguk dan dia melihat betapa berbahaya gerakan seperti itu.
"Dan banyak di antara sekutu mereka yang sudah kaukenal, Taihiap." kini Jaksa Kwan berkata. "Mereka yang pernah mencoba untuk menculik aku di Telaga Tung-ting….”
"Ah, mereka pun terlibat?" Hay Hay berseru, teringat ada dua pasang suami isteri iblis yang lihai, juga Min-san Mo-ko dan muridnya, Ji Sun Bi, juga pemuda tampan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. "Kalau begitu, lebih berbahaya lagi. Mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan curang! Lalu apakah yang dapat saya lakukan untuk membantu Paduka?”
"Taihiap amat kami harapkan bantuannya untuk melakukan penyelidikan ke sarang mereka, seperti telah kami minta pula kepada beberapa orang pendekar yang mau membantu kami. Dan untuk semua biayanya, kami siap untuk menyediakan bagi Taihiap. Pendeknya, kami menawarkan kerja sama dengan Taihiap. Bagian kami tentu saja mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan pemberontak, dan bagi para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat itu. Bagaimana pendapatmu, Tang-taihiap?"
"Taijin, sudah menjadi tugas seorang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan untuk selalu menghadapi dan menentang kejahatan, melawan yang jahat dan melindungi yang lemah dari penindasan. Oleh karena itu, tanpa diminta sekalipun, saya akan suka pergi menyelidiki mereka itu. Dan saya pun tidak mengharapkan upah. Saya akan mengusahakan sekuat kemampuan saya, Taijin. Sekali lagi terima kasih atas pemberian batu giok oleh Kwan-taijin, dan atas kepercayaan dan penyambutan yang amat terhormat ini. Sekarang saya mohon diri untuk segera memulai dengan tugas saya."
"Nanti dulu, Tang-taihiap." tiba-tiba Menteri Yang Ting Hoo berkata dan dia mengeluarkan sebuah bernda bundar dari perak yang diberi tanda nama dan pangkat dari menteri itu. “Ini sebuah Tek-pai dari perak, merupakan tanda kuasa. Kalau engkau berada dalam kesulitan karena tidak dipercaya oleh petugas pemerintah, maka semua pembesar sipil atau militer akan mengenalnya dan engkau akan dianggap sebagai utusan pribadiku yang mempunyai tanda kuasa. Terimalah ini."
Hay Hay menerima benda itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. "Masih ada satu hal lagi, Taihiap. Di antara beberapa orang gagah yang telah menyanggupi membantu kami, ada satu orang yang keadaannya sungguh masih meragukan sekali. Dia seorang pendekar yang berwatak aneh, Taihiap, dan kami ingin agar engkau lebih dahulu berkenalan dan menyelidikinya. Kalau sampai engkau dapat mengajaknya pergi bersama melakukan penyelidikan ke sarang Lam-hai Giam-lo, sungguh baik sekali karena dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, karena dia orang kota Siang-tan ini, agaknya Kwan-tajin akan lebih banyak mengetahui dan dapat memberi penjelasan kepadamu."
Kwan-taijin tersenyum. "Memang apa yang dikatakan Yang-taijin itu benar sekali, Tang-taihiap. Di kota ini tinggal seorang pemuda yang aneh dan menurut berita, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya wataknya amat aneh dan sukar sekali didekati. Bahkan dia tidak mau sama sekali mencampuri urusan pemerintah, ketika diberitahu tentang usaha pemberontakan kaum sesat, dia pun acuh saja. Pernah kami mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya, membiarkan seorang gadis cantik diganggu orang-orang jahat dan dia memang keluar menolong gadis itu. Agaknya sekarang dia bahkan bersahabat dengan gadis itu, akan tetapi selanjutnya, tetap saja dia acuh dan tidak mempedulikan permintaan yang pernah kami ajukan agar dia membantu kami menghadapi para datuk sesat. Bagaimana kalau engkau berkenalan dengan dia, Taihiap? Siapa tahu, pandanganmu dan perkenalannya denganmu akan mampu mengubah sikapnya itu."
Hay Hay tertarik sekali. "Siapakah dia, Taijin?”
"Dia sebenarnya keturunan bangsawan tinggi, masih putera pangeran. Kini tinggal menyendiri di istana tua warisan orang tuanya. Namanya Can Sun Hok, mungkin dua tiga tahun lebih tua darimu." Jaksa Kwan lalu memberitahu di mana tinggalnya pendekar bernama Can Sun Hok itu.
Hay Hay lalu berpamit dan dia berjanji akan menghubungi pendekar itu sebelum berangkat dengan penyelidikannya ke Lembah Yang-ce, di mana Lam-hai Giam-lo bersarang dan menghimpun kekuatan untuk memberontak.
***
Yang disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dan kedua orang pejabat tinggi itu bukan lain adalah Can Sun Hok, pendekar muda yang pernah kita kenal ketika terjadi keributan di telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu seorang diri, memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, bahkan kemudian ibu dan anakini bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia.
Dua puluh tahun lebih yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Harum) amat terkenal di dunia sesat karena ia adalah murid tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya juga amat kejam dan jahat walaupun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita itu adalah seorang ahli silat dan ahli mempergunakan segala macam racun. Akan tetapi wataknya cabul dan sudah banyak sekali pria yang terjatuh ke dalam tangannya, dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya.
Di dalam petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan terlahirlah Can Sun Hok. Akan tetapi wanita seperti Gui Siang Hwa bukankah wanita yang suka terikat menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia seorang petualang dan akhirnya ia pun berpisah dari Pangeran Can Koan Ti. Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya, Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan ia pun melanjutkan petualangannya sampai akhirnya ia tewas.dalam pertempuran ketika ia membantu gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika ia bertanding melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka dan tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para perajurit.
Puteranya, Can Sun Hok, sudah dititipkannya kepada seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, guru-guru Gui Siang Hwa. Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari Raja dan Ratu Iblis. Nenek Wa wa Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, walaupun kelihaiannya tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung menjadi murid terkasih Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini dapat berhadapan muka dengan Ceng Sui Cin, yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa.
Setelah Wa Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri. Can Sun Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu, nenek dan juga pengasuh dan gurunya. Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari Gui Siang Hwa tidak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia menjadi dewasa dengan watak yang gagah, walaupun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin. Namun, sikap ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka mengganggu siapapun juga asalkan dia tidak diganggu. Dia tidak pernah pula memamerkan kepandaiannya, bahkan suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia pandai ilmu silat. Karena ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu, membawa pula bekal harta benda yang amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi seorang pemuda yang kaya raya dan tinggal di gedung besar di Siang-tan yang pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Setelah nenek Wa Wa Lobo meninggal, dia tinggal sendirian saja di dalam rumah itu, dengan hanya beberapa orang pelayan. Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat disukanya. Memang dia berbakat sekali dengan pemainan musik ini.
Can Sun Hok kini telah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri ketika kalah bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan selama tiga tahun ini, Can Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih. Ada dua buah kitab peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan neneknya, dan akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastra kuno, dia pun dapat mengerti arti dari pelajaran itu dan dia berlatih diri dengan tekun. Maka, dia pun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat
Biarpun dia kaya raya, namun hidupnya sederhana, wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan keras pada mata dan dagunya.
Beberapa bulan yang lalu, Jaksa Kwan yang dulu pernah mengenal ayahnya, datang berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi can Sun Hok, walaupun dia jarang mengadakan hubungan. Tentu saja kunjungan itu mengejutkan hati Sun Hok, apalagi ketika jaksa jtu dengan terus terang mengharapkan bantuannya untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para tokoh sesat yang kabarnya menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan membangun pasukan dengan maksud memberontak terhadap pemerintah.
"Kami tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang Ayahmu adalah seorang pangeran, bahkan mendiang Kakekmu pernah menjadi seorang gubernur di Ning-po, maka kami mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti kepada nusa dan bangsa."
Mendengar uluran tangan ini, Can Sun Hok mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak pernah mencampuri urusan orang lain, apalagi urusan pemerintah. Tentu saja penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu bahwa dia pandai ilmu silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang. Bahkan pernah dia seorang diri menghajar kocar-kacir dan membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok yang amat lihai. Akan tetapi, dia tidak pernah minta.
Diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tidak ingin bicara dengan orang lain tentang apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang hendak memberontak!
"Kwan-taijin." katanya dengan sikap hormat karena dia pun sudah mengenal siapa ini Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata karena dia berani menentang para penjahat dan melindungi keamanan rakyat dalam kedudukannya sebagai jaksa. “Tidak saya sangkal bahwa saya pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti saya kalau menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima yang pandai dan persekutuan itu dapat ditumpas habis."
Kwan-taijin tersenyum. "Apa yang kauucapkan itu memang tepat, Can Kongcu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang dalam pertempuran melawan pasukan lain. Kalau sudah terjadi pemberontakan bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Para datuk kaum sesat, yang kabarnya dikepalai oleh seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo, mengadakan persekutuan, mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan. Dan ini berbahaya sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang orang-orang seperti itu, maka saya sengaja datang mengharapkan bantuan Kongcu."
Can Sun Hok tersenyum, sebentar saja, senyum sinis. "Mungkin para pendekar, akan tetapi saya bukan pendekar,Taijin."
"Ah, tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapa pun di siang-tan ini tahu belaka siapa adanya Kongcu. Kongcu memiliki ilmu silat yang amat lihai, juga sudah terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat yang keji dan berbahaya. Sekali ini, terdapat pekerjaan yang lebih penting dan mulia, saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami ini, atas nama pemerintah dan atas nama rakyat.”
Jaksa Kwan akhirnya pulang setelah meninggalkan pesan dan permintaannya dan pemuda ini menjawab hendak berpikir-pikir tentang hal itu. "Harap Taijin suka bersabar dan memberi waktu kepada saya untuk mengambil keputusan. Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya suka sekali membantu karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, akan tetapi saya belum pernah bekerja secara berkelompok, dan bekerja sama dengan para pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu."
Jaksa Kwan adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian, dia menguji sikap dan watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar seperti yang diduganya. Didatangkannya seorang gadis cantik manis dari kota raja. Gadis ini sebenarnya adalah seorang dayang keluarga pangeran. Karena cantiknya, dia digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu dijual keluar. Karena kepandaiannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis itu lalu terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat disuka oleh para pembesar. Di dalam pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu kadang-kadang tak dapat menahan diri lagi menjual diri dengan bayaran yang luar biasa tingginya, dari para pembesar yang mata keranjang dan yang uangnya sudah berlebihan.
Dengan bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan gadis ini untuk niatnya “memancing keluar harimau dari sarangnya" yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar.
Demikianlah, beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, pada suatu senja yang cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk di atas batu besar di tepi sungai itu, sunyi sepi tempat itu karena jauh dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya. Pada waktu itu sedang musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam air di sekitar tempat itu dan daging ikan ini lezat bukan main. Dia duduk memegangi tangkai pancingnya, seperti telah berubah menjadi arca, bersatu dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya berpusat pada tali yang ujungnya dipasangi pancing dan umpannya. Tali itu terbawa air dan agak bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, akan terasa oleh tangannya. Penantian sambaran ikan yang tidak nampak inilah yang mengasyikkan bagi seorang pengail, di situ terdapat suatu kejutan yang menggembirakan, disusul perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan di pancingnya.
Akan tetapi Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan. Sudah sejam lebih dia duduk, namun tak seekor pun ikan mencium umpan di pancingnya.
Sun Hok menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, lalu dia mencabut suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini, dia tidak membawa alat musik yang-kim karena terlalu berabe, apalagi memang kepergiannya adalah untuk mengail ikan. Untuk menghilangkan kekesalan hatinya karena sejak tadi tak pernah berhasil, dia pun kini menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian, terdengarlah bunyi lagu merdu keluar dari sulingnya. Suara yang merdu itu mengalun naik turun, lirih saja karena dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan, bahkan seolah-olah hendak mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya dengan lagu yang ditiup dengan sulingnya.
"Tolooonggg…….!" Tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita. Seketika Sun Hok menghentikan tiupan sulingnya, lalu memandang ke depan. Sebuah perahu meluncur lewat di tengah, dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua tangannya oleh beberapa orang laki-laki secara kasar. Ada lima orang laki-laki di perahu itu. Tiba-tiba tali pancingnya bergerak. Sun Hok menyambar tangkai pancingnya, menarik dengan kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar lengannya tergantung di ujung tali pancingnya! Kalau saja tidak ada perahu di mana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima orang laki-laki itu, tentu saja Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil tangkapannya. Akan tetapi kini ada gangguan dan dia pun melepaskan pancing dan ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia melihat sebuah perahu nelayan kecil, ditumpangi seorang nelayan tua, dia cepat memanggilnya.
"Paman Tua tukang perahu, boleh aku menyewa perahumu sebentar? Akan kuberi engkau uang ini!" katanya sambil mengacungkan. sepotong perak yang beratnya satu tail. Tentu sajanelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu amat besat untuk menyewa perahunya, apalagi hanya sebentar. Dia pun sedang mengail ikan dan sejak tadi pun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat meminggirkan perahunya.
"Ah, kiranya Can Kongcu!" kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang kaya raya ini. "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!"
Sun Hok menyuruh pemilik perahu turun dan dia pun cepat meloncat ke atas perahu kecil itu, dan mendayung perahu dengan amat cepatnya meluncur dan mengejar perahu besar yang ditumpangi lima orang pria itu. Perahu itu sudah meluncur agak jauh, akan tetapi masih nampak dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima orang itu tentu membungkam mulut gadis tadi.
Dengan tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok mendayung perahunya, yang lebih kecil. Perahu meluncur cepat sekali sehingga tak lama kemudian dia pun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu. Kini nampaklah olehnya bahwa gadis itu memang telah diikat kaki tangannya dan diikat saputangan pada mulutnya sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak. Sedangkan lima orang itu agaknya sedang bersukaria sambil minum arak. Mereka nampak kaget ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel di perahu mereka dan seorang di antara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira seorang nelayan itu.
"Heiii! Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?"
Empat orang kawannya juga marah dan mereka berlima menghunus golok dan dengan sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi, pemuda itu tidak menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke atas kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring. "Hemm, kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa kesalahannya dan apa yang hendak kaulakukan dengannya?"
"Hei, orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu di sini juga!"
Sun Hok tertarik. "Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?"
Seorang di antara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki. "Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai Giam-lo…."
"Sudah, hajar saja dia!" teriak seorang temannya dan lima orang itu kini menerjang dengan golok mereka. Melihat ge rakan mereka itu, Sun Hok dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang sembarangan dan memiliki ilmu golok yang cukup tangguh, maka dia pun cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya bergerak cepat sekali, didahului sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke dalam air! Tanpa banyak cakap lagi, Sun Hok menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam perahu sewaannya dan ia pun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali.
Dengan sebelah tangannya, Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan gadis itu, juga sekali renggut, saputangan yang menutupi mulut dan sebagian muka gadis itu terlepas. Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat melihait wajah itu dengan jelas. Dan Sun Hok terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis itu pun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok.
"Sungguh saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku, tentu lebih hebat daripada kematian. Aku tak mungkin dapat membalas budi kebaikan itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu diberi berkah selama hidupnya dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi ini." Ucapan itu dilakukan dengan kata-kata yang merdu dan halus, menggetar bercampur tangis tertahan.
Sun Hok mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus. "Nona, tidak perlu bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa engkau, di mana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima orang penjahat itu."
Gadis itu kini menangis dan menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat di mana nelayan tua tadi menunggu.
"Kita turun di sini, Nona dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Tukang perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya yang mendiami istana tua dan yang seringkali mengail di sungai, maka dia pun tidak banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Dia menghaturkan terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu berada di pantai. Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar.
"Aih, engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar Kongcu!" Gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya. Melihat ini, Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan dia pun ikut bersenang hati. "Bagaimana kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu….."
"Aku selalu membawanya." kata Sun Hok dan dia pun mengeluarkan bungkusan garam, bawang dan bumbu yang lain.
"Aih, bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah liat?" Gadis itu bertanya. Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus dan putih mulus. "Kongcu, apakah engkau mempunyai pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini, membuang isi perutnya….”
Sun Hok tersenyum dan menggeleng kepala. "Mana kubantu engkau." katanya dan dia pun mengambil ikan itu, dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu. Kemudian, dia memasangkan umpan cacing kepada mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya seekor lagi yang agak besar agar cukup untuk mereka berdua. Entah mengapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan tempat yang sunyi itu, di mana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama sekali tidak sepi lagi.
Tak lama kemudian, kembali umpannya disambar ikan, Sun Hok menariknya dan sekali ini dia benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari tadi tergantung di ujung pancingnya."Horeee…..!" Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang sudah selesai membersihkan ikan pertama tadi. Gadis itu pun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira, sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Gadis ini ketika tertawa, nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung pipit yang manis bukan kepalang
“Wah, malam ini kita akan kekenyangan ikan!" teriak gadis itu. Sun Hok lalu mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya kepada Si Gadis yang dengan jari-jari tangan cekatan lalu membersihkan isi perutnya. Sun Hok melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan seperti itu.
"Kita butuh api unggun!" kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi, Sun Hok lalu mencari kayu kering, dan membuat api. Sebentar saja tempat itu menjadi terang dengan api unggun.
Dengan dua tangkai kayu yang dipergunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan, terhalang api unggun, akan tetapi bahkan dapat saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api kemerahan. Beberapa kali sinar mata mereka bertaut dan selalu Sun Hok yang menundukkan pandang mata lebih dahulu. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan dalam kesepian. Semenjak Wa Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo, kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apalagi kepada puterinya, Cia Kui Hong, dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui Cin, tak pernah dapat dilupakannya. Menurut ajuran Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan kematian ibunya. Akan tetapi, menurut nasihat Ceng Sui Cin, ibu kandungnya pernah melakukan penyelewengan, menjadi tokoh sesat dan memberontak dan bahwa satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu!
Kini, dia bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali tidak mengenal siapa wanita ini dan orang macam apa! Kecantikannya yang khas itukah yang membangkitkan rangsangan dalam hati mudanya? Ataukah sikap gadis itu demikian gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan kemampuan diri sendiri? .
Tanah liat yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering dan tidak tercium bau gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat.
"Kenapa harus dibungkus tanah liat?" akhirnya Sun Hok bertanya karena sejak tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya senyum-senyum saja, seolah-olah merasa canggung dan malu untuk bicara, seolah-olah tidak ada apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu.
Gadis itu memandang dan menyembunyikan senyum, lalu menunduk dan menggunakan sumpit besar itu membalikkan ikan dalam tanah liat itu. "Kalau dipanggang begitu saja, ikannya akan bau asap, juga bisa gosong. Akan tetapi kalau dibungkus tanah liat, tidak berbau asap, tidak gosong dan panasnya lebih meresap, bumbunya akan terasa benar dan biarpun dagingnya masih nampak putih kemerahan seperti mentah, namun sesungguhnya sudah lunak dan matang. Memanggang seperti ini merupakan cara memanggang istimewa yang biasanya dihidangkan kepada para bangsawan di istana.”
Sun Hok mengerutkan alisnya. Gadis ini tahu akan kebiasaan memasak di istana bangsawan? Apakah ia seorang puteri? Melihat pakaiannya, walaupun cukup indah, namun tidaklah terlalu mewah. Juga perhiasan di leher, telinga dan lengannya bukan dari emas murni berhiaskan permata mahal, hanya perhiasan sederhana saja. Akan tetapi cara bicaranya demikian halus, seperti seorang terpelajar, dan gerak-geriknya pun lembut, suaranya merdu dan mengerti akan cara memasak hidangan para bangsawan! Makin tertariklah hatinya, seperti menghadapi sebuah rahasia yang harus dipecahkan.
Setelah tanah liat itu nampak kemerahan, gadis itu mengetuk-ngetuknya dengan sepasang sumpit ranting dan berkata girang. "Sekarang sudah matang, siap untuk dimakan setelah agak dingin." Ia pun mengambil dua batang ikan itu dengan sumpitnya, dikeluarkannya dari api unggun yang dibiarkan hidup terus untuk menerangi tempat itu, juga untuk mengusir nyamuk. Malam mulai masuk ldan cuaca mulai menjadi gelap.
Dengan gerakan yang lincah dan cekatan, gadis itu memukul-mukulkan batu sehingga tanah liat yang sudah kering itu menjadi pecah dan nampaklah daging ikan yang putih kemerahan karena sisik-sisik ikan itu melekat pada tanah liat. Dan terciumlah bau yang sedap dan membuat Sun Hok tiba-tiba merasa lapar! Dia menggunakan dua batang kayu sebagai sumpit, mengambil daging ikan dan memakannya. Bukan main enaknya! Begitu gurih, sedap dan benar saja, sedikit pun tidak ada bau asap atau gosong!
"Wah, lezat sekali!" Dia memuji dan gadis itu tersenyum girang.
"Sayang bumbunya kurang lengkap, kalau lengkap lebih enak lagi. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, kalau ada bumbu-bumbu lengkap, akan kubuatkan engkau masakan-masakan yang lebih enak lagi, Kongcu " Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya, seperti teringat akan sesuatu, matanya terbelalak dan ia pun berseru. "Ah, apa yang kaukatakan tadi? Aku telah lupa diri, lupa akan keadaanku dan lupa bahwa baru saja engkau telah menyelamatkan aku, dan... dan aku tidak tahu siapa Kongcu, engkau pun tidak tahu siapa aku…."
Melihat kegugupan gadis itu, Sun Hok tersenyum. Dia tidak merasa seperti itu. Dia merasa seolah-olah dia telah mengenal gadis ini selama bertahun-tahun, seolah-olah mereka adalah sepasang sahabat yang akrab dan tidak asing.
"Tenanglah, Nona. Ikan sudah dipanggang matang. Mari kita makan dulu, baru kita bicara tentang hal lain. Belum terlambat, bukan?"
Melihat sikap pemuda itu, gadis tadi dapat menguasai dirinya kembali. Ia tersenyum, mengangguk dan mulai pula menyumpit daging ikan. Mereka berdua makan tanpa bicara, hanya kadang-kadang saling pandang melalui sinar api unggun yang selalu ditambah kayu bakarnya oleh Sun Hok. Bagi kedua orang itu, belum pernah mereka merasakan suasana yang demikian santai, damai dan juga makan demikian enaknya, walaupun tidak ada nasi dan hanya makan daging ikan saja. Tanpa malu-malu keduanya makan sampai dua ekor ikan itu tinggal tulangnya saja. Barulah Sun Hok mengeluarkan seguci anggur dari dalam buntalannya.
"Aku... aku tidak suka minum arak, takut mabok…..!" kata gadis itu.
Sun Hok menggeleng kepalanya. "Bukan arak yang keras, Nona, melainkan anggur yang halus dan enak. Engkau takkan mabok biar habis sepuluh cawan sekalipun. Hanya sayang, aku tidak biasa membawa cawan. Maklum biasa aku minum sendirian, cukup meneguk dari guci. Nah, silakan, Nona. Engkau perlu minum setelah makan daging ikan." Sun Hok menyerahkan guci anggurnya kepada nona itu sambil membuka sumbatnya. Tercium bau yang harum dan sama sekali tidak keras seperti bau arak.
Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. Biarpun sinar api unggun itu sudah membuat wajahnya nampak merah, akan tetapi kini menjadi semakin merah dan mudah dilihat oleh Sun Hok. Dengan kedua tangannya nona itu menolak dan berkata, "Aih, Kongcu. Bagaimana aku berani? Engkau sendiri belum minum, bagaimana aku berani minum lebih dulu dan mengotori mulut guci?"
Sun Hok tertawa. "Ha-ha, engkau lucu, Nona. Bagaimana mulut guci ini bisa kotor kalau engkau menenggak isinya? Mungkin terbalik, mulut guci inilah yang akan mengotori bibirmu, Nona. Akan tetapi jangan khawatir, guci ini selalu kucuci sampai bersih sebelum diisi anggur. Nah, minumlah, Nona."
Akan tetapi gadis itu tetap menolak. "Tidak Kongcu. Aku tidak berani. Sepantasnya... engkau yang minum lebih dulu, baru... baru aku akan mencobanya."
"Eh, kenapa begitu?"
"Pertama, karena engkaulah pemilik guci itu, dan ke dua, karena engkaulah tuan rumahnya, dan ke tiga karena... engkau pria dan aku wanita."
Sun Hok melebarkan matanya dan tersenyum lagi. Heran, belum pernah dia merasa segembira itu, belum pernah dia sebanyak itu tertawa dan tersenyum dalam waktu demikian singkat!
"Baiklah, aku akan minum lebih dulu, baru engkau!" Dan dia pun meneguk beberapa teguk anggur dari dalam guci. Enak bukan main, lebih enak daripada yang sudah-sudah. Setelah merasa cukup, dia menyerahkan guci itu kepada gadis yang sejak tadi memandangnya penuh kagum.
Sekali ini, gadis itu tidak menolak. Dengan hati-hati ditempelkannya bibir guci ke bibirnya yang merah basah itu dan ia pun meneguk anggur dari dalam guci. Apa yang dikhawatlrkan tidak terjadi. Ia tidak tersedak, dan ternyata isi guci itu sama sekali tidak keras. Anggur yang manis, ada asamnya sedikit, sedap dan harum. Enak sekali!
"Wah, terima kasih, Kongcu. Anggur ini memang enak sekali dan segar!" katanya memuji.
Kini mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. "Sekarang bagaimana, Nona. Apakah aku harus mengantarmu pulang?"
"Pulang …….?" Dan tiba-tiba gadis itu kelihatan gelisah dan ketakutan. "Pulang ke mana? Ah, Kongcu, aku... aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi…… "
"Ehh?" Sun Hok terkejut dan heran. "Engkau, seorang gadis seperti engkau ini tidak mempunyai tempat tinggal? Habis bagaimana dengan keluargamu? Orang tuamu atau….. suamimu barangkali?"
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku tidak mempunyai orang tua, aku tidak mempunyai suami atau saudara……"
"Tapi... tapi bagaimana mungkin itu? Dan engkau tadi tertangkap oleh lima orang jshat. Apakah yang telah terjadi. Nona?"
Gadis itu menarik napas panjang, "Cerita tentang diriku amat panjang, Kongcu. Setelah aku berhutang budi dan nyawa, aku tidak ingin membikin susah Kongcu lebih lanjut lagi. Biarlah aku pergi, Kongcu, membawa nasib diriku yang malang. Dan sekali lagi terima kasih, semoga Thian yang membalas semua budi kebaikan Kongcu kepadaku." Gadis itu lalu bangkit dan melangkah hendak pergi meninggalkan Sun Hok.
Pemuda itu terkejut dan sekali melompat dia telah menghadang di depan gadis itu. "Nona! Kau mengatakan tidak mempunyai tempat tinggal, akan tetapi engkau akan pergi begitu saja? Lalu ke ana engkau hendak pergi?"
"Ke mana saja. Mungkin masih ada bekas kenalan yang sudi menampung diriku yang tidak berharga ini."
" Ah, Nona. Bukankah kita sudah berkenalan, bahkan... eh, kita sudah makan bersama seperti sahabat? Kalau begitu, marilah menjadi tamu di rumahku, Nona. Jangan khawatir, aku menjamin bahwa Nona akan aman berada di dalam rumahku."
"Aku hanya mengganggu dan menyusahkanniu saja, Kongcu.”
"Tidak sama sekali! Marilah, mari, Nona. Aku mengundangmu menjadi tamuku yang terhormat dan di rumah nanti kita bicara."
Gadis itu hanya dapat mengangguk dan pergilah mereka meninggalkan tepi sungai itu setelah Sun Hok memadamkan api unggun. Untung bahwa langit penuh bintang sehingga perjalanan menuju ke kota Siang-tan itu tidaklah begitu gelap. Sun Hok terpaksa berjalan seenaknya, santai dan tidak mempergunakan ilmu berlari cepat seperti biasanya karena dia harus mengiringi seorang gadis yang lemah lembut. Ketika mereka tiba di istana kuno itu, Si Gadis terbelalak dan menahan langkahnya di depan pintu gerbang. "Aih, kiranya engkau seorang bangsawan besar, mendiami sebuah istana, Kongcu! Mana aku…. berani…. Mengganggumu?”
"Ih, jangan berlebihan, Nona. Aku tinggal seorang diri di sini. Memang istana ini peninggalan mendiang orang tuaku. Aku pun sebatang kara, yatim piatu dan tinggal di sini hanya dengan tiga orang pelayan tua. Mari, masuklah dan jangan khawatir."
Seorang kakek tukang kebun, seorang kakek dan nenek penjaga rumah dan merangkap tukang masak, menyambut kedatangan kongcu mereka. Biarpun mereka merasa heran melihat majikan mereka pulang bersama seorang gadis muda yang cantik, namun mereka tidak berani bertanya sesuatu. Sun Hok berkata kepada nenek yang menjadi pengurus rumah tangga di rumahnya. "Nek, harap antarkan Nona ini ke dalam kamar tamu dan layani ia baik-baik. Kemudian, persiapan makan malam untuk kami berdua di ruangan makan." Kepada gadis itu Sun Hok berkata, "Nona, silakan Nona mengikuti nenek ini ke kamar Nona, dan Nona dapat mandi dan beristirahat sebelum kita makan malam."
Gadis itu berkata. "Aku akan membantu Nenek masak."
Ketika makan malam telah dihidangkan di ruangan makan, Sun Hok melihat gadis itu sama sekali bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pelayan karena nona inilah yang membantu nenek masak dan menghidangkan semua masakan di atas meja. Nenek itu pun dengan gembira berkata, "Kongcu, Nona inilah yang memasak semuanya. Ia pandai m.asak! Dan ia yang memaksa diri untuk membantu mempersiapkan makanan ini."
Sun Hok memandang dengan senang. Nona itu agaknya telah mandi, akan tetapi pakaiannya lucu, mengenakan pakaian bersih yang biasa dipakai nenek itu, agaknya terlalu besar dan sederhana sekali, pakaian pelayan!
"Ia memaksa meminjam pakaian saya, Kongcu," kata Si Nenek, takut kalau disalahkan.
"Untuk sementara saja, Nek." Kata gadis itu. "Pakaianku terbawa orang jahat, biar besok aku akan membeli beberapa potong karena aku masih mempunyai simpanan uang sedikit."
Mereka kini duduk makan nasi dan masakan. Berdua saja karena para pelayan dengan penuh pengertian meninggalkan mereka. Para pelayan itu sudah tua, dan biarpun mereka tidak tahu hubungan apa yang terdapat antara dua orang muda itu, namun mereka tidak suka .menjadi pengganggu.
Setelah makan malam dan mereka duduk berdua di serambi depan, barulah mereka memperoleh kesempatan untuk berkenalan! Di bawah sinar lampu yang cukup terang, mereka bercakap-cakap.
"Nona, kiranya sekarang sudah tepat kalau aku mengetahui siapa dirimu dan apa yang telah terjadi denganmu sehingga engkau tertawan lima orang jahat itu. Ketahuilah, aku bernama Can Sun Hok, yatim piatu dan tinggal di sini bersama tiga orang pelayan tadi. Tidak ada apa-apa yang aneh tentang diriku untuk diceritakan dan kuharap engkau menceritakan segala yang telah terjadi denganmu, tentu saja kalau engkau percaya padaku."
Gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya yang lembut dan cantik manis itu kini seperti tertutup awan tipis, nampak agak muram. Akan tetapi ia tidak menangis, bahkan mencoba untuk tersenyum, senyum pahit. Sun Hok dapat menduga bahwa semua ini, gadis itu tentu telah mengalami banyak penderitaan batin yang tersembunyi di balik wajah yang demikian cantik menariknya. Gadis yang halus lembut, penuh kewanitaan, bukan seperti Cia Kui Hong dan ibunya, Ceng Sui Cin, yang merupakan wanita-wanita perkasa. Gadis seperti ini membutuhkan perlindungan dan dia akan merasa senang untuk dapat menjadi pelindungnya.
“Namaku Bhe Siauw Cin, Can-kongcu." Ia berhenti seperti hendak melihat tanggapan pemuda itu, apakah pernah mendengar nama itu ataukah belum.
"Nama yang bagus." kata Sun Hok yang melihat gadis itu menghentikan pembicaraannya.
Kembali gadis itu, Siauw Cin, menghela napas panjang. "Engkau belum pernah mendengar namaku, hal ini saja menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda bangsawan yang lain daripada semua pemuda di Siang-tan ini, Kongcu. Semua pemuda lain, kalau belum pernah melihatku, setidaknya tentu pernah mendengar namaku."
"Begitu terkenalkah engkau, Nona Bhe?"
"Betapa janggalnya. Engkau, seorang pemuda bangsawan tinggi yang kaya raya, menyebut aku Nona Bhe. Padahal, orang lain menyebut namaku Siauw Cin seperti nama boneka saja. Ya, orang lain menganggap aku tidak lain hanya sebagai boneka. Aku memang dikenal di kota ini, Kongcu, terutama oleh para pria yang suka mengejar kesenangan. Aku seorang gadis penyanyi, gadis penghibur ."
"Ahhh….. !" Sun Hok benar terkejut karena tidak menyangka sama sekali. Dia sendiri belum pernah keluyuran ke rumah-rumah hiburan, belum pernah bergaul dengan gadis penyanyi, gadis penghibur atau pelacur, akan tetapi dia tahu sampai betapa rendah dan hinanya martabat seorang gadis penghibur. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa gadis seperti ini adalah seorang gadis penghibur yang boleh menghibur setiap pria yang mampu dan suka membayarnya!
Siauw Cin menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepahitan yang membayang di wajahnya. "Engkau... engkau mulai kecewa dan menyesal telah mengundangku ke rumah ini, Kongcu?" tanyanya sambil menundukkan muka, suaranya lirih sekali.
"Sama sekali tidak! Aku tadi berseru hanya karena terkejut dan tidak percaya sama sekali! Engkau seorang gadis penyanyi, gadis penghibur? Aku tidak percaya, Nona Bhe!"
Siauw Cin mengangkat mukanya dan tersenyum manis sekali. "Ya Tuhan, baru sekarang inilah ada ucapan yang demikian menggirangkan hatiku, akan tetapi juga mendatangkan duka dan penyesalan. Baiklah, aku akan menceritakan riwayatku kepadamu, Kongcu. Belum pernah aku menceritakan riwayat hidupku kepada siapapun juga dan engkaulah orang pertama dan satu-satunya yang akan mendengar riwayatku."
Siauw Cin lalu bercerita. Ia sejak kecil telah dijual oleh orang tuanya yang tidak mampu kepada keluarga bangsawan di kota raja. Karena sejak kecil ia nampak mungil dan cantik, maka Ia pun oleh keluarga itu dididik sehingga pandai baca tulis, pandai melakukan pekerjaan kerajinan, masak dan lain-lain bahkan dilatih pula untuk memainkan alat musik, menari dan menyanyi. Pendeknya, ia dilatih untuk menjadi seorang dayang yang baik. Ketika ia berusia enam belas tahun, majikannya sendiri, seorang bangsawan tua di kota raja, tergila-gila kepadanya dan menggaulinya. Karena sebagai dayang ia tiada bedanya dengan seekor anjing atau kucing peliharaan, atau sebuah benda mahal di rumah itu yang sepenuhnya dikuasai majikannya, Siauw Cin hanya mampu menangis ketika menyerahkan diri. Hal ini diketahui oleh isteri majikannya dan ia pun dijual! Ia dijual ke sebuah rumah hiburan yang besar di kota raja, dengan harga cukup tinggi mengingat ia masih muda, belum banyak terjamah pria, pandai bermain musik, menari dan menyanyi.
Sebentar saja nama Siauw Cin terkenal dikalangan para hartawan dan bangsawan yang suka berkeluyuran di rumah-rumah hiburan. Ia menjadi kembang baru yang mahal harganya. Dengan kedudukannya yang amat menguntungkan pemilik rumah hiburan. Siauw Cin dapat menjual mahal. Ia tidak sudi melayani segala macam orang, tidak mau menyerahkan diri secara sembarangan saja, melainkan ia pun berhak memilih. Demikianlah gadis penghibur yang menjadi rebutan. Ia nampak hidup bergelimang kemewahan dan kesenangan, namun sesungguhnya, seringkali kalau ia rebah seorang diri di dalam kamarnya, ia menangis menyesali nasib dirinya dan masa depannya yang suram.. Betapa pedih hatinya kalau ia secara terpaksa harus menyerahkan dirinya dipermainkan sesuka hatinya oleh seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya! Tak mungkin ia menolak mereka semua, karena hal itu tentu akan membuat pemilik rumah hiburan menjadi marah, dan ia bisa disiksa kalau terus-menerus menolak. Biarpun jarang, ia harus sekali waktu mau menerima langganan yang royal. Betapa memuakkan membiarkan diri digeluti seorang laki-laki tua botak yang gendut perutnya dan terengah-engah napasnya. Ingin rasanya mati saja!
"Kemudian, entah mengapa aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Pagi tadi aku dijual kepada lima orang yang datang itu. Aku dipaksa ikut bersama mereka, naik perahu itu dan katanya aku telah dibeli oleh bengcu mereka yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dapat kubayangkan betapa rasa takutku, karena baru mendengar namanya saja aku sudah merasa ngeri. Apalagi lima orang itu bersikap kasar kepadaku. Kemudian, muncullah engkau, Kongcu."
Sejak tadi Sun Hok mendengarkan dengan bermacam perasaan mengaduk batinnya. Tak disangkanya bahwa gadis ini adalah seorang gadis penghibur, bukan seorang dara yang bersih tanpa noda, melainkan seorang wanita yang biarpun masih amat muda, sudah berulang kali terjatuh ke tangan bermacam pria! Sungguh sukar untuk dapat dipercaya! Gadis yang begini halus, sopan, lembut!
“Karena itu, ketika engkau bertanya tentang tempat tinggalku, aku menjadi bingung, Kongcu. Aku telah dijual, berarti telah bebas dari rumah hiburan itu dan sampai mati pun aku tidak sudi kembali ke sana! Lebih baik aku mati saja!” Dan baru sekarang Siauw Cin tak dapat menahan lagi airmatanya yang bercucuran membasahi kedua pipinya. Cepat ia mengusap air mata dengan saputangan sambil menundukkan mukanya. Tangis yang wajar, bukan tangis buatan, dan Sun Hok dapat merasakan kebingungan hati wanita ini.
"Sungguh engkau seorang gadis yang bernasib malang sekali, Nona. Lalu, sekarang kalau engkau tidak sudi kembali kepada induk semangmu itu, apa rencanamu selanjutnya untuk melanjutkan perjalanan hidupmu yang penuh liku-liku itu?"
Cepat saja Siauw Cin dapat menghentikan tangisnya. Sudah terlampau banyak ia menangis, sudah pandai ia menekan perasaan duka di hatinya. Ia menghapus sisa air matanya dan dengan sepasang mata kemerahan ia memandang kepada pemuda itu.
"Kongcu, sudah terlampau lama saya hidup dengan batin tersiksa, bahkan ketika berjumpa denganmu, Kongcu, semakin nampak jelas sekali betapa kotor kehi.dupanku yang sudah lampau. Aku berjanji dalam hatiku, ketika kita sama-sama makan ikan di tepi sungai itu, Kongcu, bahwa saya akan meninggalkan kehidupan lama. Lebih baik mati daripada aku harus kembali menjadi gadis penghibur! Aku akan mencari pekerjaan, menjadi pelayan, menjadi tukang masak, apa saja, bahkan kalau perlu mengemis, daripada menjadi wanita penghibur. Itulah tekadku, Kongcu. Besok pagi-pagi aku akan pergi dan mencari pekerjaan, dari rumah ke rumah. Mustahil tidak akan ada yang suka menerima aku sebagai tukang cuci atau tukang masak atau pengasuh anak kecil….."
"Kalau begitu, engkau tidak perlu pergi, Nona. Biarlah engkau kuterima bekerja di sini saja, menjadi tukang masak." Cepat Sun Hok berkatal sambil menatap wajah yang cantik halus kemerahan itu.
Siauw Cin mengangkat mukanya dan kembali dua sinar mata bertaut sampai lama. Akan tetapi sekali ini Siauw Cin menundukkan mukanya dan dengan suara lirih ia berkata. "Can-kongcu, aku... aku tidak tega untuk menodai namamu yang bersih….”
"Eh, apa maksudmu?"
"Semua orang tahu siapa diiriku, dan kalau mereka mendengar bahwa aku sekarang di sini, tentu nama Kongcu akan terseret dan ternoda….."
"Peduli amat dengan pendapat orang lain! Bukankah engkau di sini kuterima sebagai tukang masak?"
"Takkan ada yang mau percaya, Kongcu. Engkau seorang Kongcu yang hidup membujang, belum berkeluarga, tentu mereka akan menyangka yang bukan-bukan, apalagi kalau mendengar bahwa Kongcu yang telah merampasku dari tangan lima orang penjahat itu."
"Nona….."
"Kongcu ingin menerimaku sebagai seorang tukang masak, seorang pelayan, akan tetapi masih menyebutku Nona. Bukankah ini saja sudah janggal sekali?"
"Baiklah, Siauw Cin, aku bermaksud menolongmu. Aku kasihan kepadamu dan aku girang sekali engkau hendak meninggalkan cara hidupmu yang lama. Engkau tinggallah saja di sini, memasak untukku dan takkan ada orang yang berani mengganggu selembar pun rambutmu."
Kembali mereka saling pandang dan perlahan-lahan kedua mata gadis itu kembali menjadi basah tanpa ia ketahui. Pandang mata pria ini! Belum pernah ia bertemu dengan pandang mata seperti itu! Biasanya, ia sudah terbiasa oleh pandang mata pria kalau ditujukan kepadanya. Pandang mata pria itu tentu akan menjelajahi seluruh tubuhnya, dari rambut turun sampai ke kaki, seperti pandang mata seorang pedagang sapi yang sedang menaksir seekor sapi yang akan dibelinya, atau seperti pandang mata seorang yang sedang memilih sebuah benda indah yang hendak dibelinya. Pandang mata pria itu lalu penuh dengan kagum yang penuh nafsu berahi. Akan tetapi, pandang mata Can-kongcu ini sama sekali tidak seperti itu! Memang ada rasa kagum dalam sinar mata yang kadang mencorong menakutkan itu, akan tetapi, rasa kagum yang membayangkan iba yang mendalam!
"Bagaimana, Siauw Cin? Maukah engkau menjadi tukang masakku di rumah ini? Kalau engkau tidak mau, tentu saja aku tidak akan memaksamu."
"Aku? Tidak mau? Aih, Can-kongcu, bagaimana mungkin aku tidak mau menerima dengan tangan dan hati terbuka? Bahkan inilah kesempatan bagiku untuk membalas budi Kongcu, walaupun hanya merupakan setetes air di samudera. Kalau tadi saya meragukan, hanya karena saya hendak menjaga nama baik Kongcu sendiri. Tentu saja saya mau dan mau sekali, Kongcu!"
Sun Hok tersenyum, lega hatinya. Akan tetapi, Siauw Cin lalu bangkit berdiri dan mundur.
"Eh, apalagi ini? Engkau belum selesai bicara denganku."
Siauw Cin membungkuk. "Kongcu, lupakah Kongcu bahwa mulai saat ini saya menjadi pelayan Kongcu, khususnya tukang masak? Sungguh tidak pantas seorang pelayan bercakap-cakap dengan majikannya. Saya sekarang bukan tamu lagi, hal ini harap Kongcu ingat baik-baik, kalau Kongcu tidak menginginkan orang lain mencemooh Kongcu. Dan saya akan menjaga agar Kongcu tidak dicemooh orang. Selamat malam, Kongcu, saya harus memberitahukan kepada kedua kakek dan nenek. Atau, barangkali Kongcu masih hendak memerintah sesuatu kepada saya?"
Sun Hok tersenyum, meragu, lalu menggeleng kepala. "Baiklah, selamat tidur, Siauw Cin. Aku... aku sungguh girang sekali engkau menerima permintaanku, tinggal di rumah ini." Dia mengikuti langkah gadis itu dengan pandang matanya sampai bayangan gadis itu menghilang di balik pintu yang menuju ke ruangan belakang.
***
Demikianlah keadaan Can Sun Hok yang namanya disinggung oleh Jaksa Kwan kepada Hay Hay, bahkan Jaksa Kwan minta kepada Hay Hay agar suka berkenalan dengan Sun Hok dan membujuknya agar suka pula turun tangan bersama para pendekar menentang gerakan yang dipimpin oleh datuk sesat Lam-hai Giam-lo. Gadis bernama Siauw Cin itulah gadis penghibur yang dipergunakan Jaksa Kwan untuk memancing keluar Sun Hok. Dialah yang menyuruh orang-orangnya menyamar sebagai utusan Lam-hai Giam-lo membeli gadis itu dan memaksanya pergi naik perahu, tepat pada saat Sun Hok mengail ikan di sore hari itu. Memang pancingannya berhasil membuat Sun Hok turun tangan menyelamatkan gadis itu. Akan tetapi agaknya tidak sampai menggerakkan hati pemuda itu untuk menentang orang yang disebut oleh gadis itu sebagai bengcu yang menyuruh orangnya memaksa ia pergi, yaitu Lam-hai Giam-lo. Menurut penyelidikan Jaksa Kwan, Sun Hok kini bahkan mengambil gadis itu menjadi pelayan!
Setelah satu bulan tinggal di dalam rumah Can Sun Hok, memasak dan membantu nenek pengurus rumah tangga, setiap hari bertemu dengan pemuda itu, Siauw Cin mengalami dan menghadapi sesuatu yang membuat ia kadang-kadang merasa menjadi orang paling berbahagia di dunia ini, akan tetapi kadang-kadang membuat ia gelisah bukan main, khawatir, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Ia melihat dengan jelas betapa pemuda itu bukan hanya kasihan kepadanya, melainkan jatuh cinta! Ya, ia tahu benar akan hal itu. Pemuda yang menjadi majikannya itu, pemuda bangsawan kaya raya yang alim, tampan, gagah dan memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti seorang pendekar perkasa, ternyata telah jatuh cinta padanya! Belum pernah Sun Hok menyatakan cintanya dengan kata-kata, namun pernyataan cinta kasih itu jelas nampak oleh Siauw Cin melalui sinar matanya, melalui getaran suaranya. Belum pernah ada pria apalagi seperti Sun Hok, yang mencintanya seperti itu. Para pria yang pernah menguasai dan menggaulinya hanya mencinta tubuhnya saja, cinta nafsu yang akan musnah setelah terpuaskan, seperti mendung tebal lenyap sehabis hujan lebat. Tentu saja ia merasa berbahagia bukan main. Akan tetapi, di dalam kebahagiaannya ini timbul rasa cemas dan gelisah karena ia pun mendapat kenyataan yang meyakinkan bahwa ia sendiri juga jatuh cinta kepada Can Sun Hok! Hal ini pun selama hidupnya belum pernah dirasakan! Dan justeru cintanya inilah yang membuat ia merasa gelisah bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya. Can Sun Hok, seorang pemuda bangsawan kaya raya, selama hidupnya belum pernah bergaul dengan wanita, hal ini ia yakin benar, seorang pendekar gagah perkasa, pendeknya, seorang pemuda pilihan. Dan ia? Seorang bekas wanita penghibur! Gadis bukan perawan lagi yang sudah digauli banyak pria! Seorang bekas pelacur tingkat tinggi atau mahal! Betapa mungkin ia membiarkan pria yang dicintanya, dipuja dan dikaguminya itu sampai terikat dengan seorang perempuan seperti dirinya. Kasihan Can Sun Hok! Tidak, ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi! Inilah yang membuat ia kadang menangis di tengah malam dan di dalam batinnya terjadi perang hebat.
Sun Hok memang tidak pernah menyatakan cintanya lewat kata-kata. Akan tetapi sikapnya terhadap Siauw Cin bukan sikap seorang majikan terhadap pelayannya. Sering ia mengajak Siauw Cin memancing ikan di tepi sungai dan memasak ikan itu di situ juga, untuk dimakan bersama. Juga, segera setelah ia tahu bahwa Siauw Cin pandai bermain musik, bernyanyi dan menari, ia pun sering bermain suling dan yang-kim bersama gadis itu. Kadang-kadang dia bermain yang-kim dan Siauw Cin meniup suling atau sebaliknya, atau dia bermain yang-kim mengiringi Siauw Cin menyanyi atau menari. Hubungan mereka itu, kalau dilihat orang lain, seperti hubungan antara sahabat atau saudara saja, bukan seperti majikan dengan pelayannya.
Tiga orang pelayan tua itu pun bukan orang yang tidak berpengalaman. Mereka tahu bahwa majikan mereka jatuh cinta kepada pelayan baru itu. Dan mereka bertiga pun sayang kepada Siauw Cin yang memiliki watak yang halus dan rendah hati. Bahkan Siauw Cin juga mengaku siapa dirinya kepada mereka, mengaku bahwa dahulunya adalah seorang wanita penghibur yang kini sudah bersumpah meninggalkan cara hidup yang dahulu. Tiga orang pelayan tua itu maklum pula bahwa majikan mereka terlalu tinggi kedudukannya, dan bahwa Siauw Cin bukan pasangan yang cocok untuk menjadi calon isteri. Akan tetapi apa salahnya kalau menjadi seorang selirnya? Tentu saja mereka tidak berani mencampuri dan mereka hanya ikut bergembira melihat betapa terjadi perubahan dalam kehidupan Sun Hok. Kini, baru sebulan setelah Siauw Cin berada di situ, Sun Hok menjadi periang, wajahnya selalu berseri, makannya banyak, suka bermain musik dan pakaiannya juga menjadi rapi, tubuhnya menjadi agak gemuk! Bahkan lenyap sudah sifat suka termenung semenjak kematian Wa Wa Lobo.
Pada suatu malam bulan purnama. Malam belum larut dan bulan purnama baru muncul, menerangi permukaan bumi. Malam itu dimulai indah sekali. Udara sejuk, angin hanya bersilir lembut, di musim semi taman penuh bunga semerbak mengharum. Sun Hok mengajak Siauw Cin bermain suling dan yang-kim di dalam taman mereka, di samping gedung. Bahkan tiga orang pelayan tua diajak pula menikmati malam bulan purnama indah di situ. Mereka hanya duduk di atas tikar yang dibentangkan diatas petak rumput yang tebal dan lunak, dekat kolam ikan. Anggur dan kueh-kueh dihidangkan.
Melihat bulan purnama, Siauw Cin menarik napas panjang. Hal ini nampak oleh Sun Hok. "Eh, bulan purnama demikian indah, mengapa engkau malah menghela napas panjang. Siauw Cin?" tanyanya.
"Apakah Kongcu tadi melihat seekor burung kecil terbang melayang di sana?" Siauw Cin menunjuk ke arah bulan, Sun Hok menggeleng kepala akan tetapi nenek pelayan bilang bahwa ia tadi ada melihatnya, seekor burung kecil.
"Saya pernah melihat burung kecil terbang melayang di bawah sinar bulan purnama dan saya mempunyai sebuah lagu untuk itu, Kongcu."
"Bagus! Nyanyikan lagu itu untuk kami, Siauw Cin!" kata Sun Hok dengan gembira.
"Ah, nyanyian itu tidak menggembirakan, tentang kisah burung murai yang malang."
"Tidak mengapa, kalau engkau yang menyanyikan tentu indah."
Melihat Siauw Cin meragu, tiga orang pelayan yang terbawa oleh kegembiraan suasana, ikut pula membujuk. Akhirnya gadis itu pun menurut. "Biar kumainkan lagunya beberapa kali dengan suling agar Kongcu dapat mengenalnya dan kalau sudah dapat, nanti Kongcu dapat mengiringi saya bernyanyi dengan memainkan yang-kim." katanya. Sun Hok mengangguk gembira dan gadis itu pun mulai meniup suling. Suara suling mengalun lirih, indah sekali dan ternyata lagunya sederhana saja sehingga baru memainkan tiga empat kali saja, Sun Hok yang memang berbakat sudah dapat menghafalnya.
"Sekarang coba dengarkan aku memainkan lagu itu dengan yang-kim. Kalau sudah benar, baru engkau bernyanyi dan aku mengiringimu dengan yang-kim."
Sun Hok lalu memainkan yang-kimnya dan ternyata memang dia sudah dapat hafal sehingga permainannya indah, dipuji oleh Siauw Cin dan tiga orang pelayannya. "Nah, sekarang nyanyikanlah lagu itu, tentang murai itu, aku akan mengiringi dengan yang-kim." kata Sun Hok gembira.
Kemudian, di antara suara berkencringnya yang-kim yang bening, terdengarlah suara merdu dari mulut Siauw Cin, dengan kata-kata yang indah pula, didengarkan penuh perhatian oleh Sun Hok dan tiga orang pelayannya.
“Burung murai terbang melayang
ingin mencapai bulan di awang-awang
murai betina bodoh janganlah mimpi
sang bulan bagimu terlalu tinggi!
Murai melihat bulap terbang di air telaga
ia meluncur mengejar dan tenggelam binasa
habislah kisah murai dan bulan purnama!"
Tiga orang pelayan itu bertepuk tangan memuji. Memang indah sekali suara Siauw Cin, dan diiringi yang-kim yang dipetik dengan mahirnya oleh jari tangan Sun Hok, merupakan lagu yang amat indah. Namun, Sun Hok tidak bertepuk tangan dan memandang kepada Siauw Cin yang menundukkan mukanya. Gadis itu nampak berduka.
Tiba-tiba terdengar suara orang. "Hebat, sungguh nyanyian yang amat merdu dan indah, diiringi yang-kim yang hebat pula. Mengagumkan sekali!"
Sun Hok cepat mengangkat muka memandang dan ternyata di pintu gerbang taman itu telah berdiri seorang pemuda. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengannya, wajahnya tampan dan menarik karena wajah itu selalu dihias senyum ramah, dengan sepasang mata yang bersinar sehingga wajah itu nampak berseri selalu. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar .
"Murai betina jelita
kembalilah ke dunia
banyak murai jantan perkasa
menantimu dengan hati cinta!"
Pemuda bercaping lebar itu bernyanyi, lagunya mirip dengan yang dinyanyikan Siauw Cin tadi, dan memang dia pandai sekali bernyanyi untuk mengimbangi lagu tadi, suaranya pun merdu sehingga tiga orang pelayan tua yang sedang bergembira itu pun bertepuk tangan. Diam-diam Siauw Cin juga memuji pemuda itu karena sebagai seorang ahli, ia tahu bahwa pemuda yang baru datang ini memiliki bakat yang amat baik untuk membuat sajak dan bernyanyi seketika untuk mengimbangi nyanyiannya tadi. Bahkan nyanyian itu merupakan hiburan bagi Si Murai betina agar jangan mengharapkan terlalu jauh, melainkan kembali kepada kenyataan bahwa murai betina itu jodohnya murai jantan bukan bulan purnama!
Akan tetapi, Sun Hok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal orang ini, dan tahu-tahu orang ini berada di pintu gerbang taman rumahnya, tanpa ijin, masuk begitu saja, bahkan lancang mulut ikut pula bernya.nyi! Dia pun bangkit berdiri dan dengan perlahan dia lalu melangkah maju. Mereka berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang seperti saling menyelidiki. Pemuda bercaping lebar itu masih tersenyum dan wajahnya berseri, mengajak bersahabat. Akan tetapi Sun Hok mengerutkan alisnya, penuh kecurigaan.
"Siapakah engkau dan mau apa engkau datang mengganggu kami?" tanya Sun Hok sambil memandang tajam.
Pemuda bercaping lebar itu bukan lain adalah Hay Hay. Selain menerima anjuran Jaksa Kwan untuk berkenalan dengan pemuda yang menurut jaksa itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, dia pun datang berkunjung pada malam hari itu. Malam belum larut, dan terang bulan. Ketika dia lewat di depan istana kuno itu, dia mendengar suara nyanyian tadi. Tentu saja hatinya tertarik bukan main dan dia pun segera melangkah dan mendekati taman, mengintai dan mendengarkan. Melihat gadis cantik manis itu, dia pun teringat akan cerita Kwan-taijin tentang gadis panggilan dari kota raja yang dipergunakan sebagai umpan agar pemuda yang bernama Can Sun Hok itu keluar dan timbul semangatnya untuk menentang persekutuan kaum sesat yang digerakkan oleh Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi, pemuda itu tetap acuh, demikian kata Jaksa Kwan. Dan kini, melihat keadaan pemuda itu, dan mendengarkan nyanyian merdu gadis itu, Hay Hay dapat menduga apa yang telah terjadi! Kiranya gadis itu agaknya jatuh cinta kepada penolongnya, kepada pemuda itu. Dan begitu dia berhadapan dan saling pandang dengan pemuda itu, dia pun tidak menyalahkan gadis itu. Memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, pantas untuk dicinta seorang gadis cantik yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, dia pun teringat bahwa gadis cantik yang bernyanyi ini hanya seorang gadis penghibur, yang tentu saja, seperti isi nyanyiannya, merasa tidak sepatutnya berjodoh dengan seorang pemuda bangawan seperti Can Sun Hok. Gadis itu mengumpamakan dirinya seekor murai betina yang merindukan bulan! Sungguh kasihan.
Mendengar teguran Sun Hok yang kelihatan tidak senang itu, Hay Hay tersenyum dan dia memberi hormat dengan bersoja, yaitu mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan tubuh agak dibungkukkan.
"Maaf kalau aku mengganggu. Terus terang saja, aku datang untuk bertemu dan bicara dengan seorang Kongcu yang bernama Can Sun Hok."
Sun Hok mengamati wajah yang agak tersembunyi di bawah caping itu dengan penuh perhatian. Hay Hay sengaja menurunkan capingnya sehingga tergantung di punggungnya dan wajahnya nampak jelas. Sun Hok kagum. Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah dan ramah sekali, bukan wajah penjahat. Akan tetapi hatinya tetap merasa tidak senang karena dia merasa terganggu. Lenyaplah kegembiraan yang dirasakannya ketika dia hanya bersama Siauw Cin dan tiga orang pelayannya tadi. Hilanglah suasana meriah dan suasana santai.
" Akulah Can Sun Hok, akan tetapi aku tidak pernah mengenalmu!" katanya, tidak ramah untuk memperlihatkan kekesalan hatinya.
"Memang kita tidak pernah saling jumpa, Can-kongcu. Namaku Hay Hay dan karena aku mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, maka hatiku tertarik sekali dan aku ingin sekali datang berkunjung dan berkenalan denganmu."
Sun Hok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal nama Hay Hay, dan pula saat itu dia sama sekali tidak ada keinginan untuk berkenalan dengan orang lain, apalagi dia belum tahu orang macam apa adanya pemuda yang mengaku bernama Hay Hay ini. "Akan tetapi, aku tidak ingin berkenalan denganmu, dan aku tidak mempunyai waktu. Sobat, harap engkau pergi dan jangan mengganggu kami. Pula, di malam hari seperti ini bukan waktunya orang berkunjung untuk berkenalan." Suaranya masih halus, namun nada suara itu jelas1 mengusir!
"Can-kongcu, ketahuilah bahwa aku datang untuk bicara denganmu tentang gerakan persekutuan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Kukira sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti Kongcu ini untuk bangkit dan menentang persekutuan jahat yang amat berbahaya bagi keamanan hidup rakyat jelata. Maukah engkau menerimaku sebagai seorang sahabat dan kita bicara tentang itu?"
"Hemm, apakah. engkau seorang pendekar?" tanya Can Sun Hok, suaranya agak memandang rendah dan mengejek. Hay Hay tertawa dan merasa lucu. Dia sendiri belum pernah bertanya apakah dia seorang pendekar, maka begitu ada yang bertanya secara demikian langsung, dia merasa lucu.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Akan tetapi setidaknya aku merasa penasaran dan ingin menentang gerakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo."
Tiba-tiba Siauw Cin yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, berkata kepada Sun Hok, "Can-kongcu, agaknya Kongcu yang datang ini membawa berita amat penting. Lam-hai Giam-lo adalah seorang yang menyuruh anak buahnya untuk menculik aku, apakah Kongcu tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dia?”
Mendengar ini, Hay Hay lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Cin dan pandang matanya penuh kagum.
"Sungguh berbahagia sekali mataku dapat melihat seorang gadis secantik bidadari seperti Nona, telingaku mendengar nyanyian sorga seperti yang Nona nyanyikan tadi, dan kini mendengar pula pendapat yang amat bijaksana. Sukarlah di dunia ini mencari seorang gadis kedua sehebat Nona. Harap jangan sebut aku Kongcu, karena aku hanyalah seorang pemuda pengelana biasa saja, Nona yang mulia."
Sepasang mata itu terbelalak dan Siauw Cin memandang kepada Hay Hay, tersenyum lebar, lalu menutup kembali mulutnya, mukanya menjadi kemerahan. Bukan main pemuda ini. Kata-katanya demikian penuh madu, manis merayu dan baru sekarang ia merasa dipuji-puji orang sampai ke langit ke tujuh, bukan sekedar rayuan seorang laki-laki yang tergila-gila karena nafsu. Dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuatnya tiba-tiba menjadi lemah, tunduk dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Kalau begitu, engkau tentu seorang Taihiap (Pendekar Besar), dan harap jangan sebut aku Nona yang mulia, Taihiap, karena aku hanyalah seorang pelayan yang hina dan setia dari Can-kongcu." katanya merendah dengan suara merdu.
"Nona, engkau bukan seorang pelayan yang setia, akan tetapi juga seorang gadis secantik bidadari yang mencinta majikannya dengan segenap badan dan nyawa……"
"Hei, orang asing! Tutup mulutmu dan lekas pergi dari sini!" bentak Sun Hok yang mukanya merah sekali mendengar ucapan Hay Hay itu. Akan tetapi, anehnya Siauw Cin menengahi dan berkata kepada majikannya.
"Kongcu, biarkan dia bicara. Saya kira dia ini seorang yang jujur dan baik, tidak berniat buruk "
"Ha-ha, engkau sungguh seorang gadis yang berpenglihatan tajam, Nona manis. Jangan khawatir, pria mana pun yang kejatuhan cintamu, sudah pasti akan membalasnya, karena pria mana di dunia ini yang tidak akan tergila-gila kepada seorang gadis secantik engkau?"
Sun Hok tak dapat menahan kemarahannya lagi. Wuuut! Dia sudah meloncat dan berdiri berhadapan dengan Hay Hay.
"Keparat! Apakah engkau datang sengaja hendak menantang aku? Hay Hay, kalau itu namamu, tidak perlu engkau merayu Siauw Cin, akan tetapi hadapilah aku sebagai laki-laki kalau memang engkau mencari keributan di sini!"
“Kongcu... jangan…! Jangan memusuhinya, aku yakin bahwa dia seorang yang baik hati." Siauw Cin yang sudah berada dalam kekuasaan Hay Hay yang mempengaruhi dengan sihirnya itu, kini memegang lengan Sun Hok dan berusaha menarik pemuda itu mundur dan jangan menyerang Hay Hay.
Hay Hay tersenyum dan melepaskan kekuatan sihirnya. Ketika kekuasaan sihir itu lenyap, tiba-tiba Siauw Cin menyadari betapa ia memegangi lengan itu dan melangkah mundur dengan bingung.
"Can-kongcu, agaknya Nona pelayanmu itu lebih pandai menilai orang. Percayalah, aku datang bukan untuk memusuhimu atau membikin ribut. Melainkan untuk bicara denganmu mengenai gerakan kaum sesat yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Kongcu, kapan lagi engkau akan berbakti kepada nusa dan bangsa, akan mempergunakan kepandaianmu demi kepentingan rakyat kala tidak sekarang?"
Akan tetapi Sun Hok sudah marah sekali. Pemuda ini perayu besar dan sungguh lancang sekali bicara tentang cinta dalam hati Siauw Cin terhadap dirinya, bahkan menyinggung cintanya terhadap gadis itu. Bagaimana begitu muncul pemuda ini dapat menduga dengan tepat isi hatinya dan isi hati Siauw Cin?
"Baiklah, akan tetapi aku harus melihat dulu orang macam apa yang hendak bicara dengan aku tentang pembelaan terhadap rakyat. Apakah engkau benar seorang pendekar ataukah hanya seorang laki-laki yang lancang mulut dan pandai merayu. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar, ingin aku melihat kelihaian tangan kakimu. Bukan sekedar mulutmu!"
Setelah berkata demikian, Can Sun Hok sudah menerjang ke depan, mengirim serangan dengan kedua tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kanannya, yang juga terbuka, dari bawah menusuk ke arah perut. Serangan pertama ini untuk menarik perhatian sedangkan tangan kanan yang merupakan serangan inti. Serangan ini berbahaya sekali dan sekali pandang saja maklumlah Hay Hay bahwa pemuda ini memiliki dasar ilmu silat golongan sesat yang sifatnya curang dan kejam, juga amat berbahaya, tidak memperhatikan segi keindahan, melainkan segi hasilnya walaupun curang dan kejam sekalipun.
"Hemmm, bagus!" teriaknya dan dengan lincahnya dia pun mengelak. Dengan langkah Jiauw-pou-poan-soan, berputar-putaran, dia dapat mengelak dengan mudah dan walaupun lawannya menyusulkan serangan bertubi-tubi sampai tujuh jurus berantai, tetap saja semua serangan tidak dapat menyentuhnya. Jiauw-pou-poan-soan adalah langkah ajaib berputaran yang dipelajari Hay Hay dari See-thian Lama, berdasarkan ilmu langkah perbintangan ditambah ketinggian ilmu gin-kang (meringankan tubuh). Jangankan hanya satu orang, biar ada sepuluh orang mengepung dan mengeroyoknya, dengan senjata sekalipun, tidak akan mudah dapat mengenai tubuh Hay Hay kalau dia memainkan ilmu langkah ajaib ini.
Tentu saja Can Sun Hok menjadi terkejut dan juga penasaran sekali. Serangannya itu bertubi-tubi dan cepat sekali karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini, akan tetapi sedikit pun tidak pernah menyentuh tubuh lawan yang selalu lenyap pada saat serangannya tiba, seperti menyerang bayangan setan saja.
"Pengecutt jangan lari saja. Balaslah menyerang kalau engkau mampu!" bentak Can Sun Hok dengan marah karena dia merasa penasaran dan merasa dipermainkan.
"Sabarlah, Can-kongcu. Kita bukan bermusuhan, melainkan hanya main-main untuk menguji kepandaian dan saling berkenalan, ingat?"
Sun Hok semakin penasaran karena selain dapat terus mengelakkan semua serangannya, lawan itu masih sempat pula bicara dengan nada berkelakar! Dia pun teringat akan ilmu pukulan baru yang sudah dikuasainya selama tiga tahun ini, yaitu yang dipelajarinya dari kitab peninggalan ibu kandungnya. Tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangannya, menggosok kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga dan menahan napas dan kini, begitu dia menggerakkan kedua tangannya untuk menyerang lagi, Hay Hay mencium bau harum dari kedua telapak tangan itu, sambaran tangan kiri dapat dielakkan, akan tetapi bau wangi menyambar hidungnya membuat pandang matanya berkunang.
"Ihhh…!" Hay Hay cepat menguasai dirinya dan menangkis lengan kanan lawan yang menghantam dadanya, sambil mengerahkan tenaganya. Baru .sekali ini dia menangkis karena sudah tidak sempat mengelak ketika bau harum itu membuat matanya berkunang.
"Dukk!" Akibat benturan kedua lengan ini, tubuh Sun Hok terhuyung ke belakang.
Pemuda ini terbelalak. Bukan main kuatnya lengan lawan yang menangkisnya tadi dan mulailah dia menyadari bahwa Hay Hay bukan sekedar pemuda yang lihai mulutnya, akan tetapi lihai pula ilmu silatnya dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Hal ini selain mendatangkan rasa penasaran, juga menimbulkan kegembiraan hatinya untuk menguji kepandaiannya dengan sungguh-sungguh. Karena tahu bahwa lawan lihai, dia berani mengerahkan seluruh kepandaiannya dan tenaganya. Kini dia menghujankan serangan dengan Ilmu Pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi) yang amat hebat itu. Akibat dari ilmu ini, di sekeliling tempat itu, tercium bau wangi, akan tetapi anehnya, Siauw Cin dan tiga orang pelayan yang menonton perkelahian dan mencium bau wangi ini, menjadi pening dan terpaksa mereka menjatuhkan diri duduk di atas rumput! Demikian hebatnya pengaruh hawa beracun itu. Apalagi kalau sampai terkena pukulan tangan yang mengandung hawa beracun itu!
Hay Hay juga terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa biarpun pemuda ini seorang bangsawan dan oleh Jaksa Kwan dianggap sebagai seorang pendekar, namun jelas bahwa pemuda ini menerima pendidikan dari datuk sesat melihat dari ilmu-ilmunya yang sesat dan kejam. Dia harus mengumpulkan hawa murni untuk melawan hawa beracun berbau wangi itu dan melihat betapa gerakan ilmu silat lawan itu cukup cepat dan berbahaya, Hay Hay lalu mengeluarkan ilmu-ilmunya dari Ciu-sian Sin-kai, yaitu Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Ilmu Silat Dewa Arak). Begitu dia mainkan ilmu ini, Sun Hok menjadi bingung. Gerakan Hay Hay indah akan tetapi juga aneh, seperti gerakan orang mabok, akan tetapi setiap tangannya bergerak, ada hawa pukulan yang amat dahsyat dan biarpun untuk serangan jurus pertama dia masih mampu mengelak dan bertahan, ketika Hay Hay menyerangnya lagi dengan jurus ke dua, biarpun Sun Hok berusaha menangkis dengan kedua lengannya, tetap saja dia terdorong sampai lima langkah, terhuyung dan hampir roboh!
"Cukuplah sudah kita bermain-main, Can-kongcu?" Hay Hay berkata, tersenyum ramah, sama sekali tidak mengejek.
"Belum!" bentak Sun Hok, "Mari kita mencoba kelihaian dalam hal mempermainkan senjata!" Berkata demikian, dia lalu memegang suling dengan tangan kiri dan yang-kim dengan tangan kanan! Melihat ini, Hay Hay terbelalak. Baru sekarang dia melihat lawan yang menggunakan suling dan yang-kim sebagai senjata. Dia sendiri suka memperguhakan sulingnya sebagai senjata, walaupun hal ini jarang sekali dia lakukan. Melihat betapa pemuda itu menggunakan alat musik sebagai senjata, Hay Hay juga mencabut sulingnya dan menghadapi Sun Hok sambil tersenyum lebar .
"Wah, kita ini mau main silat ataukah mau main musik?" tanyanya.
Sun Hok menjawab dengan serangannya. Sulingnya meluncur dan terdengarlah suara mengaung ketika suling itu menusuk dada seperti sebatang pedang dan memang dia memainkan ilmu pedang yang baru dipelajarinya dari kitab lama. Ilmu pedang ini inamakan Kwi-ong-kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Iblis), peninggalan dari kakek gurunya, Si Raja Iblis. Sementara itu, yang-kim di tangan kanannya juga menyambar ke arah kepala lawan.
Hay Hay terkejut lagi. Ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari pemuda bangsawan itu pun hebat sekali, bukan seperti ilmu pedang biasa. Dia pun menggerakkan tubuhnya mengelak dan membalas tusukan pedang dari samping ke arah pundak kanan. Namun yang-kim itu bergerak menangkis suling dan kembali suling di tangan kiri Sun Hok sudah membabat, sekali ini membabat pinggang sambil mengeluarkan suara mengaung yang menyeramkan.
Hay Hay cepat menggeser kakinya dan kembali mengandalkan langkah ajaibnya untuk menghindarkan diri. Sambil menghindar, jari tangan kirinya menyentil ke arah tali-tali yang-kim sehingga terdengarlah nada-nada yang merdu! Untuk belasan jurus lamanya, Hay Hay memperhatikan gerakan lawan. Setelah tahu bahwa dia menang jauh dalam hal kecepatan, dan bahwa langkah-langkah ajaib Jiauw-pou-poan-soan sudah cukup baginya untuk menyelamatkan diri, mulailah Hay Hay meniup sulingnya dengan satu tangan dan dia pun sengaja memainkan lagu yang dinyanyikan oleh Siauw Cin! Tangan kirinya dia pergunakan untuk kadang-kadang menangkis dan balas menotok atau menampar. Perkelahian itu terjadi dengan cepat sekali dan Siauw Cin bersama tiga orang pelayap itu memandang bengong.
Bagaimana mereka tidak akan menjadi bengong melihat betapa tubuh kedua orang pemuda itu lenyap menjadi bayangan dua sosok berkelebatan, dan terdengar suara suling ditiup melagukan nyanyian tentang murai dan bulan purnama tadi?
Can Sun Hok bukan seorang yang tidak tahu diri. Berulang kali dia dikejutkan oleh kehebatan ilmu lawan dan kini lawannya hanya menghadapinya dengan langkah-langkah ajaib itu dengan tangan kiri yang kadang menangkis atau bahkan balas menyerang, dan tangan kanan meniup suling memainkan lagu tadi! Kalau dia tidak mengalaminya sendiri, tak mungkin dia mau percaya. Baru sekarang inilah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang begini sakti, dan diam-diam dia pun takluk!
Sun Hok melompat ke belakang, lalu menjura. "Sobat, ilmu kepandaianmu sungguh berlipat kali lebih tinggi dariku. Aku mengaku kalah!" katanya tanpa malu-malu lagi.
Sikap ini membuat Hay Hay menjadi kagum dan suka sekali kepada, pemuda bangsawan ini. Benar kata Jaksa Kwan.Pemuda ini adalah seorang gagah seorang yang berjiwa pendekar walaupun ilmu silatnya merupakan ilmu kaum sesat. Dengan wajah sungguh-sungguh dia pun balas memberi hormat.
"Can-kongcu, harap jangan merendahkan diri. Kepandaianmu juga hebat sekali, dan maukah engkau sekarang menerimaku untuk bicara tentang gerakan kaum sesat itu?"
Sun Hok menarik napas panjang. Dia memang selalu masih ingat akan nasihat pendekar wanita Ceng Sui Cin yang pernah dianggapnya sebagai musuh besar itu. Satu-satunya jalan untuk berbakti kepada mendiang ibu kandungnya adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik seperti seorang pendekar sehingga dengan perbuatan-perbuatan itu, dia seolah-olah dapat mencuci noda dan dosa ibunya yang pernah menjadi tokoh wanita sesat! Dia kagum kepada pemuda di depannya ini, yang teramat lihai. Ingin dia bersahabat dengan pemuda ini dan tentu dia akan mendapat tambahan pengetahua walaupun pemuda ini lebih muda darinya. Akan tetapi mengingat betapa pemuda ini pandai merayu, timbul perasaan cemburu di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini bukan hanya berhasil menarik rasa suka dan kagumnya, akan tetapi malah menarik hati dan membuat Siauw Cin tergila-gila kepadanya!
"Tidak perlu lagi banyak bicara." katanya. " Aku pasti akan pergi menyelidiki sarang Lam-hai Giam-lo di Yunan dan untuk itu, aku lebih suka bekerja seorang diri tanpa kawan."
Hay Hay maklum bahwa kehadirannya tidak dikehendaki dan dia pun tahu mengapa. Dia tersenyum lalu menjura kepada tuan rumah. "Baiklah, Can-kongcu, aku percaya akan kesanggupanmu dan aku merasa girang sekali bahwa engkau telah berjanji untuk mengulurkan tangan membantu." Kemudian ia pun menoleh ke arah Siauw Cin yang rnasih memandang dengan terheran-heran, lalu berkata dengan halus. "Nona, jangan bersedih hati tentang murai dan bulan purnama. Kalau dua hati sudah saling mencinta, apa pun dapat terjadi. Percayalah!" Setelah berkata demikian, Hay Hay mempergunakan ilmu kepandaiannya, sekali berkelebat dia sudah lenyap dari tempat itu. Hal ini amat mengejutkan Siauw Cin dan tiga orang pelayan itu, dan amat mengagumkan hati Sun Hok.
Siauw Cin bangkit dan mendekati Sun Hok, takut-takut. "Kongcu... apakah dia tadi itu… manusia atau a setan…?”
Sun Hok memegang tangan gadis itu yang terasa dingin. "Jangan takut, dia itu setengah manusia setengah setan. Karena itu, jangan mudah terkena rayuannya."
Siauw Cin mengerling tajam. "Aih, Kongcu. Kaukira aku demikian mudah dirayu orang? Walaupun dia memang luar biasa, akan tetapi, bagi saya tidak ada seorang pun pria yang lebih baik daripada engkau, Kongcu."
Mereka berdua, diikuti oleh tiga orang pelayan, lalu memasuki rumah. Malam mulai larut dan hawa mulai dingin. Tiga orang pelayan langsung menuju ke kamar masing-masing di belakang, akan tetapi Siauw Cin masih berada di ruangan dalam bersama Sun Hok. Wajah keduanya merah dan tanpa kata-kata Sun Hok menggandeng tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka bergetar, akan tetapi ketika Sun Hok menuntun Siauw Cin menuju ke kamarnya, gadis itu menahan diri dan menghentikan langkahnya.
Mereka berdiri saling pandang berhadapan dekat sekali. Sun Hok merasa tubuhnya gemetar dan napasnya terengah-engah. Dari pandang matanya memcncar kemesraan dan permintaan, permintaan setiap orang pria yang jatuh cinta dan ingin menumpahkan semua rasa sayangnya kepada wanita yang dicintanya. Melihat sinar mata yang biasanya hanya mengandung rasa iba dan cinta, kini mengandung berahi, Siauw Cin menundukkan mukanya, kemudian perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya.
"Jangan, Kongcu... jangan... sekarang…." katanya lirih.
Sun Hok mempererat pegangannya pada tangan yang masih merasa dingin itu.
"Kenapa, Siauw Cin? Aku cinta padamu, dan bukankah engkau pun cinta padaku?" bisiknya dengan suara gemetar.
Selama hidupnya, belum pernah dia berdekatan dengan wanita dan kini tiba-tiba saja timbul gairah dan hasratnya untuk tidur bersama gadis yang dicintanya ini!
Siauw Cin mengangkat mukanya dan Sun Hok melihat betapa sepasang mata itu menjadi basah, "Saya cinta padamu, Kongcu, cinta dengan sepenuh jiwa raga saya. Akan tetapi... saya tahu di mana tempat saya, Kongcu. Engkau adalah seorang perjaka, engkau belum pernah hubungan dengan wanita, sedangkan aku... ah, aku tidak layak. Kelak, kalau Kongcu sudah menikah, sudah mempunyai seorang isteri yang pantas mendampingimu sebagai isteri yang sah, barulah saya akan menyerahkan diri, menjadi selir, atau pelayan, atau apa saja. Tapi jangan sekarang, Kongcu….”
"Apa... apa bedanya? Apa salahnya kalau sekarang?"
"Tidak... sama sekali salah. Apa akan kata orang nanti. Engkaulah yang akan malu... ah, mengertilah, Kongcu. Saya cinta padamu, dan biarlah sementara ini saya menjadi pelayanmu. Kelak saja, kalau Kongcu sudah beristeri, kalau Kongcu masih menghendaki diriku, diriku ini bukan untuk pria lain, sampai saya mati, kecuali hanya untukmu, Kongcu…." Gadis itu menarik tangannya, lalu berlari sambil terisak menuju ke kamarnya, di bagian belakang.
Sun Hok berdiri termenung seperti patung. Dia sungguh bingung, tidak mengerti akan sikap gadis itu. Akan tetapi dia tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa gadis itu menolaknya. Bukan menolak karena tidak mau atau tidak cinta, melainkan karena gadis itu ingin menjaga nama baiknya, dan gadis itu sungguh tahu diri. Ah, adakah wanita lain seperti Siauw Cin di dunia ini?
Cjnta memang sesuatu yang aneh. Cinta dapat melanda hati siapapun juga, pria atau wanita, tua atau muda, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, bahkan seorang wanita yang dicap sebagai wanita pengobral cinta, seorang pelacur tidak terluput dari serangan cinta. Cinta yang lain daripada yang dijualnya untuk ,mencari uang, atau karena terpaksa, atau karena kebutuhan jasmani maupun batin. Cinta yang satu ini lain lagi. Cinta yang satu ini meniadakan kepentingan diri pribadi, melainkan mementingkan kepentingan orang yang dicintanya. Seorang pelacur adalah seorang yang sedang menderita sakit, seperti para penyeleweng dan pelanggar hukum dan susila lainnya, seperti pencuri, penjahat dan sebagainya. Sedang sakit. Bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit, baik sakit badan maupun sakit batin, dapat sembuh, dapat pula kambuh, tergantung dari pemeliharaan batin itu selanjutnya. Karena itu, mencemooh dan merendahkan orang yang sedang dilanda sakit, baik badan maupun batinnya, adalah suatu perbuatan yag tidak patut dan tidak terpuji. Seyogianya mengulurkan tangan, memberi jalan keluar, memberi pengobatan. Harus selalu diingat bahwa yang sakit, baik sakit badan maupun batin dapat sembuh sama sekali, sebaliknya yang sedang sehat, baik badan maupun batinnya, sekali waktu dapat saja jatuh sakit!
Seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin timbul dari berbagai macam sebab dan keadaan. Mungkin juga seperti badan yang lemah, batin dapat pula lemah sehingga mudah terserang penyakit. Olahraga menguatkan badan sehingga tak mudah diserang penyakit, juga olah batin menguatkan batin sehingga tidak mudah diserang penyakit pula. Olah batin adalah perenungan tentang kehidupan, tentang kebenaran, tentang kemanusiaan, tentang Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah orang yang dapat menjaga kesehatan badan dan batinnya, karena keduanya haruslah seimbang. Kalau sampai sakit salah satu, maka yang lain akan terpengaruh dan kebahagiaan tak mungkin dapat dirasakan lagi.
***
Hay Hay melakukan perjalanan seorang diri di daerah pegunungan yang sunyi itu. Enak berjalan di padang rumput itu, dan pemandangan alamnya sungguh menyenangkan hati dan menyedapkan mata. Serba hijau dan bau rumput dan tanah, juga pohon-pohonan amatlah sedapnya. Dia menyedot napas sekuatnya sampai seluruh paru-parunya penuh dan hawa murni itu terus turun mendesak ke bawah, terasa nikmat dan penuh, baru dihembuskannya perlahan-lahan. Bukan main nyamannya. Hidup adalah bahagia! Karena bahagia hanyalah suara perasaan, suatu sebutan, seperti juga hidup. Hidup juga hanya suatu perasaan. Merasa hidup! Siapa yang merasa bahagia? Siapa yang merasa hidup? Hanya kesadaran pikiran bahwa ada aku yang merasakannya! Kalau kesadaran tertutup sementara selagi tidur, tidak ada lagi itu yang dinamakan hidup atau kebahagiaan, atau bahkan kedudukan, kesenangan dan sebagainya lagi. Semua itu kosong! Sesungguhnya tidak apa-apa, yang ada itu hanyalah permainan pikiran sendiri belaka!
Pagi itu cerah sekali. Sinar matahari pagi menghidupkan segala yang semalam tadi tertidur, mendatangkan kesegaran, kehangatan, kenyamanan dan keindahan.
Sinar mataharilah yang menghidupkan segala sesuatunya. Bahkan sinar matahari pagi sempat membawa batin Hay Hay ke alam yang penuh semangat dan gembira, mendorongnya untuk melepaskan riang lewat nyanyian. Dan ketika dia membuka mulut bernyanyi, tanpa disengaja dia menyanyikan lagu yang pernah didengarnya dari mulut gadis pelayan dari Can Sun Hok itu! Nyanyi tentang burung murai betina yang bodoh, yang merindukan bulan purnama! Burung yang tidak mampu mencapai bulan purnama, lalu mengejar bulan di dalam air dan akhirnya tenggelam, tewas! Setelah nyanyian itu selesai dinyanyikan, baru dia sadar bahwa tanpa disengaja dia menyanyikan lagu baru itu. Dan Hay Hay tertawa sendiri.
Burung murai bodoh, pikirnya mencela. Itulah kalau menginginkan sesuatu yang tidak terjangkau! Akhirnya akan mencelakakan diri sendiri! Tiba-tiba dia berhenti melangkah. Kisah burung murai itu, bukankah itu kisah semua manusia? Bukankah setiap orang manusia itu selalu menginginkan keadaan yang lebih! Lebih indah, lebih enak, lebih banyak, pendeknya, semua manusia menginginkan yang serba lebih. Saling berebutan dan bersaing untuk memperoleh yang serba lebih itu, kalau perlu saling serang, saling menjatuhkan, dengan cara apa saja demi memperoleh yang serba lebih itu! Seperti si murai bodoh. Karena pengejaran akan yang serba lebih inilah maka mata menjadi buta dan tidak lagi dapat melihat dan menikmati YANG ADA! Mata ditujukan jauh ke depan, kepada yang dianggap serba lebih itu, yang dikejarnya dan tak terjangkau olehnya. Akhirnya hanya ada dua hal yang terjadi sebagai akibat dari pengejaran itu, setelah dalam pengejaran itu menimbulkan banyak pertentangan dan permusuhan. Kalau yang dikejar terdapat, belum tentu akan terasa seindah sebelum didapat, seindah seperti ketika masih dikejar karena hati ini sudah dipenuhi dengan pengejaran terhadap yang lain lagi, yang lebih lagi daripada yang sudah didapat! Dan kalau gagal? Kecewa, menyesal, berduka dan sengsara!
Hay Hay melompat dan tertawa. "Ha-ha-ha, berbahagialah orang yang tidak mengejar apa-apa, tidak menginginkan apa-apa yang tidak ada padanya! Berbahagialah orang yang membuka mata melihat apa yang ada padanya saja, melihat keindahan dari apa YANG ADA." Dia menarik napas panjang lagi dan merasakan benar betapa nikmatnya menghirup udara bersih seperti itu! Dia mengamati semua yang terbentang luas di depahnya. Rumput-rumput hijau luas, pohon-pohon tinggi besar, bunga-bunga, burung-burung yang beterbangan di angkasa yang terhias awan-awan putih seperti sekelompok domba putih bergerak, sinar matahari pagi menerobos menembus celah-celah daun pohon. Betapa indah semua itu, indah tak terlukiskan kata-kata! Dan semua itu tentu takkan nampak oleh mata yang dibutakan oleh keinginan mendapatkan sesuatu yang tidak ada dan tidak dimiliki!
Tiba-tiba perutnya berkeruyuk. "Hish, tak tahu malu." Dia menepuk perutnya sendiri dan baru teringat bahwa sejak kemarin siang dia belum makan. Semalam, setelah mengunjungi istana tua tempat tinggal Sun Hok, dia pun melanjutkan perjalanan keluar dari kota Siang-tan, kemalaman di tengah jalan dan melewatkan malam di sebuah gubuk petani di tengah sawah, tanpa makan. Pagi tadi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan melanjutkan perjalanan, mendaki bukit dan kini berjalan di padang rumput.
"Wah, perut lapar di tempat seperti ini. Mana ada makanan?" Dia lalu menoleh ke kiri. Di lereng itu terdapat hutan. Kalau dia bisa menangkap seekor kelinci, atau ayam hutan, atau kijang muda, tentu tuntutan perutnya yang lapar akan dapat dipenuhi. Dan hutan serimbun itu sudah pasti ada binatangnya. Dia lalu berlari ke arah hutan itu.
Dengan berindap-indap Hay Hay memasuki hutan, mulai mengintai mencari mangsa, calon pengisi perutnya yang lapar. Bagaikan seekor harimau kelaparan, dia pun jalan perlahan-lahan, jangan sampai mengeluarkan suara sehingga mengejutkan binatang yang dicarinya, yaitu ayam hutan, kelenci atau kijang. Hanya daging tiga binatang ini saja yang dia suka. Dia tidak suka makandaging kera, ular atau binatang lain. Akan tetapi, yang dilihatnya hanyalah beberapa ekor kera dan dua ekor ular besar saja. Dia berjalan terus dan akhirnya melihat seekor kijang muda sedang minum di tepi anak sungai. Ketika angin bertiup, baru dia menyadari bahwa angin dari arahnya. Benar saja, kijang itu menangkap bau manusia melalui angin itu dan binatang itu pun meloncat berlari cepat sebelum Hay Hay sempat mendekatinya. Hay Hay juga melompat dan melakukan pengejaran. Kijang itu berloncatan cepat bukan main, meloncati semak-semak belukar, kadang-kadang menghilang ke dalam semak-semak, lari lagi mendaki bukit. Hay Hay mengejar terus dan akhirnya dia melihat kijang itu terhalang sebuah jurang yang curam di tebing bukit. Binatang itu kebingungan, lari ke kanan kiri di tepi jurang. Kalau ia meloncat, akan lenyaplah binatang itu, akan tetapi tentu akan hancur terbanting ke bawah jurang. Binatang itu agaknya maklum pula bahwa tak mungkin baginya meloncat turun.
Hay Hay sudah siap sejak tadi, mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya. Dia merasa heran mengapa binatang itu tidak lari ke barat di mana terdapat semak-semak belukar, seolah-olah di sana terdapat sesuatu yang menakutkan, melainkan lari ke kanan lalu ke kiri seperti dikepung.
Setelah binatang itu berhenti sejenak melepas lelah sambil terengah-engah, Hay Hay menggerakkan tangannya. Batu itu melucur cepat mengarah tengkuk binatang itu, bagian yang sekali kena akan mematikan. Dan dia melihat kijang itu roboh terguling, tak bergerak lagi.
Hay Hay berloncatan dengan girang dan hampir saja dia berteriak-teriak dan bersorak kegirangan ketika tiba-tiba dari balik semak belukar di sebelah barat itu pun melompat keluar seorang gadis yang berlari seperti terbang cepatnya menghampiri bangkai kijang. Gadis itu memeriksa sebentar, tersenyum girang lalu memegang ekor kijang untuk diseret dan dibawa pergi.
"Heii…..! Nanti dulu…!” Hay Hay berteriak dan berlari cepat ke tempat itu.
Gadis itu terkejut sekali, tidak mengira akan ada orang berteriak seperti itu di tempat sunyi itu. Saking tersentak kaget, pegangannya pada ekor kijang itu terlepas dan ia menoleh menghadapi Hay Hay dengan mata terbelalak.
Dan Hay Hay terpesona! Dia kini tiba di depan gadis itu, berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter. Hay Hay seperti terpukau, tak bergerak seperti patung, hanya mengamati wajah gadis di depannya itu. Seorang gadis yang usianya masih muda, takkan lebih dari delapan belas tahun. Pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik, setengah pakaian pemburu, setengah pakaian puteri; agak kedodoran namun tidak menyembunyikan tubuh yang padat dan sempurna lekuk-lengkungnya, tubuh seorang gadis yang bagaikan sekuntum bunga mulai mekar meranum. Rambutnya awut-awutan, terlepas dari gelungnya, namun menjadi penambah manis wajah yang sudah amat manis itu. Anak rambut di pelipis dan sinom di dahi itu bergerak-gerak lembut, wajah yang bulat telur itu berdagu runcing, sepasang matanya tajam seperti mata kucing tapi lebih indah, dan hidung itu kecil mancung dan ujungnya seperti kemerahan dan dapat bergerak lucu, mulutnya memiliki bibir yang penuh dan tipis, seperti kulit buah tomat yang mudah pecah, merah basah. Mata yang indah itu mengerling seperti gunting saja tajamnya, akan tetapi nampak galak. Gadis yang tadinya terkejut itu agaknya sudah dapat menenteramkan hatinya yang kaget dan melihat seorang pemuda bercaping lebar berdiri seperti patung memandanginya seperti itu, alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan kerling tajam. Mati aku, pikir Hay Hay, memuji kerling mata setajam itu.
"Hemm, mau apa kau teriak-teriak mengagetkan orang, sekarang berdiri bengong seperti orang kehilangan ingatan? Apakah engkau seorang tolol?" gadis itu membentak. Ketika bicara, bibirnya bergerak-gerak dan nampak kilatan giginya, membuat Hay Hay menjadi semakin terpesona.
"Bukan main... hemmm, bukan main…..!" katanya berkali-kali, masih saja mengamati wajah itu.
Gadis itu membanting kaki kanannya ke atas tanah. "Heh, tolol! Apa maksudmu berkata bukan main? Siapa yang main-main?"
"Wah-wah-wah, belum pernah aku melihat yang seperti ini selama hidupku! Melebihi semua yang pernah kujumpai. Begini jelita, begini bebas dan liar, seperti... bunga mawar hutan, atau seekor singa betina, seekor naga betina, hebat bukan main, ya cantik, ya gagah, ya berani!"
"Hei, apakah engkau ini orang gila?" gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay.
"Aku? Tidak, belum gila, Nona, walaupun terpesona. Dan Nona ini, apakah Dewi Penjaga Hutan dan bukit ini?"
Gadis itu kembali membanting kakinya dan mukanya menjadi merah sekali, matanya yang indah melotot seperti hendak membakar wajah Hay Hay. "Apa kaubilang? Aku penjaga hutan dan gunung? Kaukira aku ini setan? Engkaulah yang iblis, engkau siluman monyet, siluman babi, engkau setan dan arwah gentayangan, engkau setan isi neraka, engkau... engkau…." Ia kehabisan makian karena tidak tahu lagi nama-nama bangsa setan sehingga gelagapan sendiri.
“Aduh, jangan marah, Nona. Aku bukan memaki, melainkan memujimu karena kusangka engkau Sang Dewi. Kalau engkau manusia biasa, seorang gadis muda, mana mungkin tahu-tahu muncul di tempat sepi ini?"
Gadis ini cemberut dan memandang perut bangkai kijang itu. "Sialan! Di tempat begini bertemu orang tolol!" Dan ia pun lalu menyambar kaki depan bangkai itu dan diangkatnya, dipanggulnya.
"Lhoh! Nanti dulu, Nona! Bangkai kijang itu punyaku!" Hay Hay mencela dan dia pun melangkah maju menghampiri.
Kini nona itu menoleh dan kembali matanya melotot. Hay Hay seolah-olah dapat merasakan hawa panas keluar dari sepasang lubang hidung itu, demikian marahnya gadis itu.
"Apa kaubilang? Engkau berteriak mengejutkan aku, lalu memandangi orang seperti tolol, kemudian mengatakan orang mahluk penjaga gunung, dan sekarang engkau malah berani mengaku bahwa bangkai kijang ini punyamu? Heh, orang sialan tak tahu diri, engkau ini sebenarnya mau apakah? Jangan membikin Nonamu marah dan sekali tendang engkau akan kulempar ke dalam jurang di bawah tebing!"
"Maafkan aku, Nona, dan bersabarlah, harap jangan marah-marah dulu. Seorang yang suka marah lekas tua, Nona dan sayang kalau engkau yang secantik jelita dan semanis ini cepat menjadi tua. Aku tidak berbohong kalau mengatakan bahwa bangkai kijang ini milikku, karena akulah yang telah membunuhnya tadi."
"Apa? Jangan sembarangan membuka mulut, ya? Akulah yang telah membunuhnya dan menyambitnya dengan sebuah batu!"
"Hemm, aku pun tadi menyambitkan sebuah batu dan batuku itulah yang membunuhnya!" Hay Hay membantah, penasaran karena betapa pun cantik jelitanya, kalau gadis ini hendak merampas buruannya dan mengaku-aku membunuh kijang itu, dia tidak akan menerimanya begitu saja.
"Bohong! Penipu! Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitanku. Orang tolol macam engkau ini mana mungkin dapat merobohkan kijang dengan sambitan batu?"
"Hemm, sebaiknya dilihat dulu buktinya, Nona. Engkau tadi menyambit kijang ini, mengenai apanya?"
"Mengenai kepalanya, tepat di antara matanya! Kau berani mengira aku membohongimu?" Gadis itu menurunkan kembali kijang tadi dan mengangkat leher kijang itu, diperlihatkan kepada Hay Hay.
"Lihat ini, di antara kedua matanya, bukankah ada luka menghitam karena sambitanku?"
"Aku pun tadi menyambitnya, tepat mengenai tengkuknya, tempat yang mematikan." kata Hay Hay dan dia pun kini memeriksa dan memperlihatkan kepada gadis itu. Gadis itu mengamati dan benar saja, tulang di tengkuk kijang itu patah dan ada tanda menghitam bekas sambitan. Ia mengerutkan alisnya, akan tetapi lalu mengangkat bangkai kijang itu dan dipanggulnya.
"Tak peduli, yang jelas ada tanda sambitan di antara matanya. Kijang ini punyaku, aku yang membunuhnya dan engkau mau apa?"
"Tidak mau apa-apa, hanya ingin sebagian dagingnya untuk mengisi perutku yang lapar."
"Hemm, kijang ini punyaku, aku yang menentukan harus diberikan kepada siapa!"
"Apakah engkau masih mempunyai kawan lain yang membutuhkan dagingnya, Nona?"
"Tidak, aku hanya seorang diri."
"Kalau begitu, untuk kita berdua juga sudah lebih daripada cukup!”
"Itu urusanku! Aku boleh memberikan kepada siapa dan menolak memberi siapa pun. Dan aku tidak akan memberi padamu yang tolol dan kurang ajar!"
"Ehh? Aku kurang ajar?"
"Semua laki-laki kurang ajar!"
Hay Hay merasa penasaran dan perutnya terasa panas. Gadis ini keterlaluan galaknya, tidak ketulungan lagi. "Dan semua perempuan tak tahu diri!"
Gadis itu membanting bangkai kijangnya, kemudian telunjuknya menuding hampir mengenai hidung Hay Hay sehingga pemuda itu melangkah mundur. "Apa kaubilang? Berani kau mengatakan bahwa semua perempuan tak tahu diri? Apakah Ibumu bukan perempuan? Kalau begitu Ibumu juga tak tahu diri?"
"Dan engkau bilang semua laki-laki kurang ajar! Apakah Ayahmu bukan laki-laki? Kalau begitu Ayahmu juga kurang ajar?"
"Sialan engkau berani memaki Ayahku!" bentak gadis itu.
"Engkau juga lebih dulu memaki Ibuku!"
"Apa ? Jadi engkau hendak menantang aku herkelahi? Boleh, kalau memang engkau sudah hosan hidup!" Gadis itu memasang kuda-kuda.
"Siapa mau herkelahi? Aku hanya menuntut hakku, akan tetapi kalau engkau memang sudah hegitu kelaparan, kalau dapat menghahiskan semua daging kijang ini, silakan, aku dapat mencari yang lain." Hay Hay mundur dan menghindarkan perkelahian. Bagaimanapun juga, dia kagum kepada gadis ini walaupun gadis ini liar, herani, dan galaknya hukan huatan lagi.
"Nah, hilang saja kalau tidak herani!" Gadis itu mengomel dan memanggul lagi hangkai kijang. Ketika ia hendak melangkah pergi, Hay Hay mengomel lirih.
"Huh, gembulnya! Apa tidak akan meledak pecah perut kecil itu nanti!"
Kaki yang sudah melangkah itu ditahan lagi dan untuk ke dua kalinya bangkai kijang itu dibanting. "Kaubilang apa tadi? Aku gemhul dan perutku akan pecah kalau makan daging kijang ini?"
Hay Hay tersenyum mengejek. "Aih, engkau memang pemarah, Nona. Siapa bilang engkau yang gembul dan akan pecah perutnya? Aku tidak pernah menyebut siapapun juga!"
Kembali bangkai kijang itu dipanggul dan kini Hay Hay memandang sambil mengerahkan kekuatan sihirnya. "Sungguh aneh, Nona cantik mengaku menangkap kijang, padahal yang dipanggulnya bangkal anjig!"
Kembali kaki yang baru melangkah lima tindak itu ditahan dan gadis itu kembali menengok, siap untuk memaki, akan tetapi lebih dahulu ia melirik ke arah kepala kijang yang berada di atas pundaknya.
"Ehhhh….??" Ia berseru kaget dan melempar bangkai itu dari pundaknya karena memang sebenarnyalah kata-kata pemuda itu, yang dipanggulnya bukan bangkai kijang, melainkan bangkai anjing! Matanya terbelalak menatap bangkai anjing yang menggeletak di atas tanah kemudian ia mencari-cari dengan pandang matanya. Apakah ia salah pungut tadi? Di mana bangkai kijang yang diperebutkan tadi? Sementara itu, sambil tersenyum Hay Hay mengambil bangkai itu dan dipanggulnya sambil berkata,
"Kalau aku memang merobohkan seekor kijang aseli!"
.Dengan pandang matanya gadis itu mengikuti semua gerakan Hay Hay dan kini ia terbelalak kaget. Bangkai "anjing" yang dilemparkannya tadi, ketika kini dipanggul oleh pemuda itu, mendadak berubah menjadi bangkai kijang yang tadi lagi!
"Hei, keparat, tunggu!" bentak gadis itu sambil meloncat dan mengejar, melampaui Hay Hay dan kini menghadang di depannya.
"Hemm, mau apa lagi? Apakah ingin minta sebagian daging kijangku karena perutmu sudah lapar sekali seperti perutku?"
"Keparat, kembalikan kijangku!" gadis itu membentak dan sikapnya siap untuk menyerang! Melihat sikap itu, Hay Hay mengalah.
"Hemm, kijangmu? Baiklah. Aneh, tadi dibuang setelah diambil orang lain, ribut-ribut dan memintanya kembali."
"Habis, tadi kulihat seperti….." ia menahan kelanjutan kata-katanya, lalu melanjutkan ketus, "Biar saja! Mau kubuang, mau kuambil, mau kuapakan juga, sesuka hatiku karena kijang itu memang milikku. Kau mau apa?"
Hay Hay menarik napas panjang akan tetapi tetap tersenyum. Dilepaskan bangkai itu dari pundaknya dan gadis itu pun menyambar kaki kijang dan dipanggulnya lagi, siap untuk pergi cepat-cepat dari situ.
Akan tetapi Hay Hay cepat berkata, kembali mengerahkan kekuatan sihirnya, "Sungguh aneh sekali. Gadis yang cantiknya seperti dewi kahyangan, kini memanggul bangkai seekor ular besar! Apakah ia doyan daging ular?"
Gadis itu tadinya tidak mau peduli, akan tetapi begitu ia melihat bangkai di pundaknya, wajahnya berubah agak pucat. Kini bukan anjing atau kijang yang dilihatnya, melainkan kepala seekor ular yang besar! Dan tubuh bangkai itu pun tubuh ular yang panjang dan besar, melingkar-lingkar di atas pundaknya, terasa dingin dan licin. Menjijikkan! Akan tetapi gadis itu agaknya kini mengeraskan hatinya, bahkan mulutnya menyuarakan isi hatinya. "Tidak peduli biar bangkai kijang atau bangkai anjing, bangkai ular, gajah atau bangkai setan sekalipun!" Agaknya ia mengeraskan hatinya untuk mengusir rasa ngeri yang memenuhi hatinya dan ia pun melangkah lagi untuk cepat meninggalkan pemuda itu dan setelah tidak nampak lagi, tentu ia akan cepat membuang jauh-jauh bangkai ular yang menjijikkan itu!
Melihat ini, Hay Hay tersenyum dan kagumlah dia akan kekerasan hati gadis itu. Seorang gadis yang luar biasa menarik dalam pandangannya, usianya tidak akan lebih dari delapan belas tahun, gagah dan galak namun wajahnya manis bukan main, terutama sekali mulutnya. Mulut, itu nampak manis selalu, baik sedang cemberut, marah atau sedang terkejut dan ketakutan. Dan hidung yang kecil mancung itu, cuping hidungnya yang tipis itu seperti bergerak-gerak, lucu bukan main dan kerling matanya dapat meruntuhkan hati laki-laki yang bagaimana pun alimya! Gadis yang hebat! Yang memiliki daya tarik yang istimewa dan lain lagi daripada gadis-gadis yang pernah ditemuinya. Dan melihat betapa gadis itu dengan sekali sambit, mengenai kepala kijang, di antara kedua matanya, dapat dilihat bahwa gadis ini pun tentu memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Cara ia mengangkat dan memanggul kijang itu saja sudah membuktikan pula akan kekuatannya.
"Wah, hati-hati, Nona! Hati-hati, ular itu masih hidup! Dan ular seperti itu gigitannya membahayakan, mengandung racun!" Tiba-tiba Hay Hay berseru keras.
Sesungguhnya gadis itu sudah merasa jijik dan ngeri sekali dan ia sudah mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat. Selagi ia hendak berhenti dan membuang bangkai ular itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara pemuda itu tepat di belakangnya! Peringatan itu membuat ia terkejut setengah mati dan rasa jijik ngerinya bertambah, apalagi ketika ia mengerling dan melihat betapa kepala ular yang tadinya terkulai mati itu, kini sudah terangkat dan mulutnya ternganga lebar seperti hendak mencaplok kepalanya! Dan tubuh ular itu pun menggeliat-geliat di atas pundaknya, mengelus lehernya mendatangkan rasa dingin yang menjijikkan.
"Ihhh…!!" Ia menjerit dan tentu saja ia cepat membuang bangkai ular yang tiba-tiba hidup kembali itu ke atas tanah dan ia pun melompat ke belakang dengan muka pucat. Ketika ia berlari cepat tadi, Hay Hay semakin kagum. Ternyata gadis itu memiliki ilmu berlari cepat yang cukup hebat sehingga dia sendiri pun payah mengejarnya dan hampir tertinggal. Maka dia pun cepat tadi meneriakkan kata-kata yang mengandung sihir. Saking kaget dan jijiknya, gadis itu sampai tidak ingat betapa pemuda yang menjengkelkan itu ternyata mampu mengejarnya. Dengan mata terbelalak saking jijik dan ngerinya, ia memandang ular besar yang kini bergerak-gerak di atas tanah.
"Kalau engkau tidak menghendakinya, biarlah aku yang akan membawanya pergi karena memang kijang ini hakku, Nona!" kata pemuda itu dan kini, tiba-tiba saja gadis itu melihat bahwa "ular hidup" itu bukan lain adalah bangkai kijang tadi yang dipanggul oleh pemuda itu di atas punggung dan tengkuknya, kedua tangan pemuda.itu masing-masing memegang dua kaki depan dan belakang bangkai kijang. Pemuda itu melompat dan melarikan diri.
Gadis itu membanting kaki kanannya dan secepat kilat ia pun mengejar. Ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) memang hebat, dan sebentar saja ia sudah dapat menyusul Hay Hay dan melewati tubuh pemuda itu, menghadang sambil berteriak.
"Berhenti dulu kamu!"
Hay Hay masih tersenyum. "Eh, engkau lagi, Nona? Ada apa lagi? Apakah akhirnya engkau menuntut bagian separuh dari daging kijang ini yang memang menjadi hakmu? Aku suka menyerahkan dengan senang hati dan…."
"Cukup!" Gadis itu membentak lagi dan kini untuk kesekian kalinya, telunjuk tangan kirinya menuding, hampir menyentuh hidung Hay Hay yang melangkah mundur selangkah. "Kiranya engkau ini iblis, tukang sihir, dukun lepus, penipu dengan permainan sulap! Manusia iblis seperti engkau ini berbahaya sekali bagi masyarakat kalau dibiarkan hidup dan aku akan membasmi dan membunuhmu!"
Berkata demikian, secepat kilat gadis itu menyerang dengan tangan. kiri yang menyambar ke arah dada Hay Hay dan sekali ini, benar-benar pemuda itu terkejut bukan main melihat betapa pukulan itu amat hebatnya. Bercuitan suara pukulan itu dan mendatangkan hawa pukulan yang amat kuat, juga amat cepatnya sehingga hampir saja tiada waktu lagi baginya untuk menangkis. Terpaksa ia melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik.
"Crakkk…!" Dan tubuh bangkai kijang yang berada di punggungnya itu terobek perutnya oleh cengkeraman tangan gadis itu! Hay Hay semakin kaget dan cepat melepaskan bangkai kijang dan memandang dengan mata terbelalak. Kiranya pukulan itu walaupun sudah dapat dia hindarkan, berubah menjadi cengkeraman dan mungkin saja punggung atau tengkuknya akan termakan cengkeraman kalau tidak ada perisai istimewa berupa perut kijang! Perut itu terobek dan isi perutnya terburai! Bukan main hebatnya serangan gadis ini, pikirnya dan untuk sesaat dia terpukau. Tentu saja gadis ini hebat dan lihai, dan Hay Hay tentu akan lebih terkejut lagi kalau mengetahui siapa ia. Gadis. ini bukan lain adalah Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai dan cucu Pendekar Sadis! Cia Kui Hong bukan saja memperoleh pendidikan ilmu silat dari ayah dan ibunya yang merupakan sepasang pendekar terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan dua puluh tahun yang lalu (bacaAsmara Berdarah ), akan tetapi bahkan selama tiga tahun ia digembleng oleh kakek dan neneknya. Kalau ayahnya dan ibunya yang bukan lain adalah Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sudah lihai, kakek dan neneknya lebih lihai dan lebih terkenal pula. Kakeknya adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, sedangkan neneknya tak kalah lihainya, yaitu nenek Toan Kim Hong yang pernah menjadi "datuk" kaum sesat dengan julukan Lam Sin. Tentu saja, setelah selama tiga tahun digembleng oleh kakek dan neneknya, ilmu kepandaian Kui Hong meningkat dengan pesatnya dan kini ia menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat lihai, gagah perkasa, galak dan juga manis dan agak ugal-ugalan!
"Wah, wah, tobat, nanti dulu, Nona…!" kata Hay Hay ketika melihat gadis itu menerjangnya lagi dengan hantaman yang lebih hebat dari tadi. Melihat betapa pemuda yang menjengkelkan hatinya itu tadi mampu menghindarkan dirinya dari satu jurus Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penaluk Iblis) yang dipergunakan, kini Kui Hong maklum bahwa pemuda itu pun bukan orang sembarangan, maka ia cepat menyerang lagi dan kini ia sengaja mengeluarkan ilmu silat yang paling rumit dan sulit ketika ia pelajari dari kakeknya. Ilmu silat itu adalah Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, namun delapan jurus yang teramat hebat, dan sukar dilawan karena merupakan jurus-jurus pilihan yang luar biasa. Juga di dalam ilmu silat ini dipergunakan sin-kang yang amat kuat. Sebetulnya, Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Silat Sakti Penaluk Naga) ini khusus menjadi ilmu simpanan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi karena sayangnya kepada cucunya, dia mengajarkannya kepada cucunya walaupun tidak mudah bagi Kui Hong untuk menguasainya. Namun, biar belum sempurna ia menguasai ilmu silat itu, sudah cukup dahsyat kalau dipergunakan.
"Wuuuutttt…!" Demikianlah angin menyambar kuat ketika gadis yang tadinya membuat gerakan merendahkan tubuhhya sampai berjongkok itu tiba-tiba menerjang ke arah Hay Hay dengan pukulan kedua tangan, didorongkan dan mulutnya mengeluarkan bentakan yang melengking. "Haiiiiittt…!"
Hay Hay melihat dan mengenal pukulan dahsyat. Karena dia pun mempunyai watak yang ugal-ugalan, dan suka sekali menguji kepandaian dan tenaga orang lain, maka dia pun sambil tersenyum mendorongkan kedua tangan menyambut pukulan itu.
"'Dessss….!" Dua kekuatan yang sama dahsyatnya bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Hay Hay terdorong hebat sehingga dia harus melangkah mundur sampai lima langkah, akan tetapi di lain pihak, Kui Hong tak dapat menahan kekuatan dorongan yang amat hebatnya, yang membuat tenaganya membalik dan tubuhnya terdorong ke belakang sampai ia terjengkang dan terpaksa ia harus bergulingan agar tidak terbanting hebat! Akan tetapi, ia sudah mampu mengerahkan sin-kangnya sehingga tidak sampai terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik tadi, dan baru setelah tubuhnya menabrak batang pohon, ia berhenti bergulingan lalu meloncat berdiri dengan muka berubah pucat, lalu berubah pula menjadi merah sekali. Mukanya merah karena ia menjadi marah dan juga malu! Menurut kakeknya, pukulan dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu amat hebatnya, jarang ada orang yang mampu menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa lawan itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya.
Sementara itu, melihat gadis itu bergulingan sampai menabrak batang pohon, Hay Hay terkejut bukan main dan merasa menyesal. Dia meloncat dengan gerakan ringan ke depan gadis itu, senyumnya lenyap terganti kekhawatiran.
"Ah, harap engkau suka memaafkan aku, Nona. Sungguh aku tidak sengaja untuk mencelakakan dirimu. Apakah engkau terluka, Nona?"
Sikap baik dari Hay Hay ini membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Ia merasa diejek dan perutnya terasa panas bukan main. "Manusia iblis, kaukira aku sudah mengaku kalah?" Berkata demikian, ia pun menerjang lagi dan sekali ini, walaupun pukulannya tidak sedahsyat tadi, namun gerakannya jauh lebih cepat daripada tadi. Memang, Kui Hong maklum bahwa mempergunakan tenaga sakti dan mengandalkan ilmu silat yang keras tidak akan menolongnya karena ternyata lawannya memiliki tenaga yang lebih kuat. Maka, ia pun menyerang dengan mengandalkan gin-kangnya. Gadis ini sudah menguasai ilmu meringankan tubuh yang disebut Bu-eng-hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), yang dipelajarinya dari ibunya, disempurnakan oleh gemblengan neneknya yang memiliki gin-kang lebih hebat lagi. Dan untuk lebih memperhebat gin-kangnya, ia memilih ilmu silat yang paling cepat, yang dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti oleh pandang mata.
"Ih, engkau memang lihai sekali, Nona!" kata Hay Hay dan dia pun kini menjadi lega karena jelas bahwa benturan tenaga tadi tidak membuat gadis itu terluka sama sekali! Dia menjadi semakin kagum. Gadis ini lihai ilmu silatnya, kuat sin-kangnya dan hebat pula gin-kangnya. Kiranya hanya Kok Hui Lian sajalah yang akan mampu menandingi gadis hebat ini, pikirnya. Melihat betapa kini gadis itu menggunakan ilmu silat yang luar biasa cepatnya, dia pun melayaninya dengan gerakan cepat. Namun, diam-diam dia merasa menyesal dan khawatir karena melihat betapa gadis itu bersungguh-sungguh dalam penyerangannya dan agaknya gadis itu sudah marah bukan main. Kiranya akan sukarlah menundukkan gadis yang keras hati ini dengan sikap manis, maka dia pun mengalah dan hanya mengelak ke sana-sini sambil berloncatan dan tak pernah membalas.
Akan tetapi, biarpun Hay Hay sengaja mengalah agar gadis itu menyadari sendiri bahwa dia tidak ingin bermusuhan, ternyata diterima dengan keliru pula oleh Kui Hong. Karena Hay Hay sama sekali tidak membalas, hanya mengelak dengan amat cepatnya, dan kadang-kadang menangkis dengan tenaga lunak, maka ia pun menganggap bahwa hal itu membuktikan bahwa lawannya ini amat memandang rendah kepadanya dan sedang mempermainkannya! Namun, diam-diam ia pun terkejut bukan main karena baru sekarang ia tahu benar betapa tingginya ilmu kepandaian orang ini. Benar kata kakeknya. Dia yang mampu menahan pukulan dari Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi, bukan watak Kui Hong untuk merasa jerih dan mau mengaku kalah! Ia memperhebat serangannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga ia berhasil mendesak Hay Hay yang sama sekali tidak mau membalas itu. Menghadapi seorang cucu Pendekar Sadis yang sedang marah, yang menyerangnya bertubi-tubi tanpa membalas sama sekali, biar Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi, tentu akan berbahaya dan terdesak. Tidak mungkin mengandalkan pengelakan dan tangkisan belaka untuk membendung serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang samudera yang sedang mengamuk itu.
Hay Hay mulai merasa bingung. Ia tidak mau mempergunakan ilmu sihir lagi karena akibatnya tentu akan membuat gadis itu semakin marah dan benci kepadanya. Amukan gadis ini pun karena tadi ia mempergunakan sihir dan ia dimaki sebagai manusia iblis dan dukun lepus!
"Haiiii, Nona, tahan dulu! Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan denganmu!" teriaknya berkali-kali. Akan tetapi, agaknya Kui Hong sudah menulikan telinga, tidak sudi mendengarkan omongannya lagi, bahkan menyerang terus walaupun kini leher dan dahinya telah berkeringat, dan napasnya sudah agak memburu karena sejak tadi ia menyerang dengan sepenuh tenaga dan telah mengerahkan ginkangnya.
"Nona yang baik, ambillah kijang itu, aku tidak mendapat bagian pun tidak mengapa!" teriak pula Hay Hay menjadi semakin bingung. Kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan terpukul dan celaka, atau nona itu akan kehabisan napas dan tenaga dan ini membahayakan pula gadis yang nekat itu. Maka dia pun melompat lagi lalu melarikan diri ke arah puncak bukit! Akan tetapi, Kui Hong juga mengerahkan ilmu berlari cepatnya dan melakukan pengejaran dengan amat nekat.
Celaka, pikir Hay Hay. Gadis itu justeru memiliki ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia pun mengerahkan tenaganya dengan harapan bahwa kalau dia sudah lebih dulu melewati puncak bukit akan menemukan hutan yang lebat di sebelah sana dan dia akan mampu bersembunyi. Bagaimanapun juga, gadis ini sudah lelah dan tentu dia akan mampu mendahuluinya sampai ke puncak bukit di atas itu.
Perhitungan Hay Hay memang benar. Ketika dia mengerahkan tenaga mempercepat larinya, Kui Hong agak tertinggal. Gadis itu sudah merasa lelah sekali, akan tetapi dengan nekat ia berusaha mengejar dan menyusul. Hatinya gemas bukan main terhadap pemuda yang telah mempermainkannya seenak perutnya sendiri itu. Ia harus dapat menghajarnya sampai pemuda itu minta-minta ampun!
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hay Hay ketika dia tiba di puncak bukit itu. Ternyata di sebelah sananya bukan terdapat hutan, bahkan tidak terdapat jalan turun karena di sebelah sana yang ada hanya jurang yang amat curam! Tebing yang tegak lurus, yang memisahkan puncak itu dengan daratan lain bagian bukit itu selebar kurang lebih dua ratus meter. Tidak mungkin dilompati, kecuali kalau dia pandai terbang. Dan dia bukan burung!
Sementara itu, Kui Hong sudah dapat menyusulnya dan biarpun kini napas gadis itu sudah terengah-engah, tetap saja Kui Hong menyerangnya lagi dengan dahsyat.
"Cukuplah, Nona, biarlah aku mengaku kalah dan salah!" kata Hay Hay yang merasa terjebak dan tidak mampu lari lagi mengelak. Akan tetapi, tanpa menjawab, dengan napas mendengus-dengus, Kui Hong sudah menyerangnya dengan cengkeraman ke arah kepalanya. Terpaksa Hay Hay menangkap pergelangan tangan itu dengan maksud untuk menundukkan dengan kepandaiannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja gadis itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya terlepas dari gelungnya, rambut yang hitam panjang dan harum itu kini menyambar ke arah muka dan pundak kanan Hay Hay, mengeluarkan suara bersiut seperti serangan cambuk saja. Bukan main! Gadis ini pandai mempergunakan rambut sebagai senjata! Memang benar, Kui Hong telah mempelajari ilmu mempergunakan rambut ini dari neneknya! Dan jangan dikira rambut itu tidak berbahaya! Lecutannya seperti sebatang cambuk dan kalau sampai mengenai muka, terutama mata, dapat mencelakai lawan!
Menghadapi lecutan rambut ini, terpaksa Hay Hay melepaskan pegangannya dan meloncat ke belakang, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Kui Hong bergerak dan sinar merah menyambar ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini cepat menggerakkan tangan untuk menangkis senjata rahasia itu dengan angin pukulannya, dan beberapa batang jarum merah itu pun runtuh. Hay Hay semakin kaget. Jarum merah itu tentu mengandung racun. Memang itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang dipelajari oleh Kui Hong dari neneknya. Diam-diam gadis itu pun kagum melihat betapa pemuda itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya hanya dengan hawa pukulan tangannya. Akan tetapi hal ini bahkan membuat ia merasa penasaran sekali dan kini ia maju lagi sambil mendesak lawan dengan ilmu silat yang nampaknya halus dan lemah.
Melihat pukulan lemah itu, Hay Hay merasa heran. Apakah akhirnya gadis ini sudah kehabisan tenaganya setelah menyerangnya dengan rambut dan kemudian jarum merah? Dia mencoba untuk menangkis pukulan lemah itu, untuk mengukur apakah benar gadis itu sudah kehabisan tenaga.
"Plakk…!" Dan Hay Hay terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan telapak tangan yang halus dan lunak sekali. Itulah Rian-kun (Silat Tangan Kapas) yang memang nampaknya saja lunak, namun begitu halusnya sehingga tenaga sin-kang dan kekerasan pihak lawan akan luluh seperti batu dilempar pada permukaan telaga saja! Ketika merasa betapa tenaganya luluh, Hay Hay maklum bahwa gadis ini murid seorang yang amat sakti. Itulah puncak dari ilmu silat, yang selalu mendasarkan kepada pegangan pokok bahwa dengan kelemahan mengalahkan kekerasan! Dia cepat meloncat lagi ke belakang, akan tetapi tangan yang halus lunak itu telah memegang lengannya sehingga ketika dengan sepenuh tenaga Hay Hay meloncat ke belakang, tubuh Kui Hong terbawa pula. Dan, karena Hay Hay terlalu tegang menghadapi serangan-serangan maut tadi, dia sampai lengah, tidak melihat ke mana dia melompat, tidak tahu bahwa lompatannya kali ini membuat tubuhnya dan tubuh Kui Hong melayang melalui tepi tebing dan mereka, tanpa dapat dicegah lagi, terjun melayang ke dalam jurang yang amat curam itu!
"Ihhh…!" Saking kagetnya, Kui Hong melepaskan lengan Hay Hay dan ia melihat betapa tubuh mereka melayang ke bawah dengan cepatnya. Matikah aku sekali ini, pikirnya, namun ia seorang gadis gemblengan yang tidak pernah gentar menghadapi kematian, maka karena ia tidak melihat jalan keluar untuk dapat menyelamatkan dirinya, dara ini pun pasrah, menyerahkan jiwa raganya ke tangan Tuhan. Ia tidak memejamkan mata, bahkan membuka matanya lebar-lebar, seolah-olah ia hendak menyambut datangnya maut dalam keadaan sadar sepenuhnya dan dengan mata terbuka!
Hay Hay terkejut bukan main. Akan tetapi, seperti Kui Hong, dia pun tidak merasa takut, bahkan dia membuka mata dan siap untuk setiap kemungkinan menyelamatkan dirinya. Setelah Kui Hong melepaskan pegangan pada pergelangan tangannya, luncuran tubuhnya ke bawah tidaklah begitu cepat lagi seperti ketika dibebani oleh tubuh Kui Hong, akan tetapi bagaimanapun juga, masih lebih cepat daripada Kui Hong karena tentu saja berat tubuhnya lebih banyak dibandingkan gadis itu.
Ketika di sebelah bawahnya dia melihat sebatang pohon yang secara aneh tumbuh di tebing, menonjol keluar atau seperti tumbuh miring, Hay Hay lalu mengayun tubuhnya agar luncuran tubuhnya mendekati tebing. Hal ini amat berbahaya karena kalau sampai tubuh itu menyerempet batu yang runcing dan tajam, tentu kulitnya akan terobek, bahkan mungkin terkoyak dan membunuhnya sebelum tubuhnya hancur lebur menimpa dasar jurang di mana sudah menanti batu-batu yang keras dan keras.
Hidup dan mati adalah suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar yang tidak dikuasai dan tidak pula dimengerti manusia. Kita hanya tinggal menerima saja. Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri sendiri. Berdetaknya jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan seluruh anggauta tubuh, sama sekali terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini diadakan dan hanya menerima apa adanya saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa, kita dilahirkan dengan tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum bagus atau tidak, semua itu terjadi di luar kehendak dan kekuasaan kita. Kita ini diadakan, dan ada yang mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses kelahiran manusia baru. Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya maupun matinya! Kita diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan melalui kematian oleh Dia pula! Kalau Dia masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu macam ancaman bahaya, dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan selamat. Sebaliknya, kalau Dia menghendaki mati, biar kita bersembunyi di dalam benteng baja atau ke dalam lubang semut sekalipun, tetap saja maut akan datang menjemput!
Demikian pula dengan Hay Hay. Jelaslah bahwa Yang Maha Pencipta masih menghendaki dia hidup sehingga biarpun tubuhnya sudah meluncur dari ketinggian yang mengerikan dan menurut perhitungan akal manusia, sudah wajarlah kalau dia mati di dasar jurang yang curam itu dengan tubuh hancur, namun secara "kebetulan" sekali, di tengah tebing itu ada sebuah pohon tumbuh menonjol dan "kebetulan" pula Hay Hay melihatnya, kemudian "kebetulan" ke tiga adalah bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga memungkinkan dia untuk meraih cabang pohon yang mencuat sehingga tubuhnya yang meluncur itu tertahan. Andaikata tidak ada kebetulan pertama, ke dua atau ke tiga itu, sudah tentu Hay Hay akan tamat riwayatnya! Begitu tubuhnya tertahan, Hay Hay teringat kepada gadis itu dan melihat betapa tubuh gadis itu pun meluncur ke bawah, tak jauh di atasnya, cepat dia menjulurkan kakinya ke depan, ke arah yang akan dilalui tubuh gadis itu dalam luncurannya.
"Cepat tangkap kakiku!" teriak Hay Hay sekuat tenaga. Agaknya Kui Hong melihat dan mendengar pula semua itu, atau lebih tepat lagi Tuhan agaknya masih menghendaki ia hidup, maka cepat Kui Hong menjulurkan tangannya dan ia pun berhasil memeluk sebatang kaki yang dijulurkan itu. Sentakan ketika tubuh Kui Hong tertahan merupakan sentakan yang amat kuat dan kalau bukan Hay Hay yang memiliki kaki itu, di mana dia sudah mengerahkan sin-kangnya, tentu kaki itu akan copot sambungan tulangnya, atau pegangan tangan Hay Hay pada batang pohon itu akan terlepas!
Demikianlah, pemuda dan gadis itu bergantungan di cabang pohon itu, dan di bawah mereka, maut ternganga lebar siap menelan tubuh mereka. Hay Hay memperhatikan keadaan mereka, memperhatikan pohon yang ternyata cabangnya cukup kuat menahan tubuh mereka berdua. Akan tetapi, perhatiannya yang sedang melakukan penyelidikan itu terganggu oleh suara omelan Kui Hong yang bergantung pada betis dan pegangan kaki kirinya. .
"Hemm, nyawamu berada di tanganku." kata gadis itu, agaknya kini kemarahannya bangkit kembali setelah melihat bahwa mereka selamat biarpun hanya untuk sementara waktu. "Sekali aku menggerakkan tangan, engkau akan mampus!"
Hay Hay tersenyum. Pemuda ini memang luar biasa sekali. Dalam keadaan seperti itu, dia masih dapat tertawa dan tidak kehilangan kegembiraan dan kejenakaannya. Betapa bahagianya orang seperti Hay Hay ini yang memandang segala hal dalam segala keadaan dari sudut yang menggembirakan dan cerah selalu. Apakah sukarnya untuk dapat hidup seperti Hay Hay ini? Syaratnya, kalau mau disebut syarat, hanyalah satu, yakni pikiran tidak mengada-ada, tidak sarat oleh keinginan-keinginan akan hal yang tidak ada! Berarti menerima segala sesuatu seperti apa adanya, setiap saat. Dengan demikian, takkan pernah ada kekecewaan, takkan pernah mengeluh, karena memang tidak mengharapkan hal-hal yang tidak ada. Hanya orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak ada sajalah yang akan kecewa kalau kemudian yang diharapkannya itu tidak terjadi.
"Ha-ha-ha, Nona manis. Engkau agaknya lupa diri. Kalau aku kaubunuh, tentu tanganku akan terlepas dari cabang ini dan kaukira engkau akan dapat selamat kalau bersama mayatku meluncur ke bawah sana itu?"
Agaknya Kui Hong baru teringat akan hal ini karena tadi kemarahan telah memenuhi hatinya. Ia marah bukan hanya teringat akan perebutan kijang, bukan hanya karena berkali-kali ia merasa dipermainkan bahkan setelah bertanding ia tidak mampu mengalahkan pemuda itu, akan tetapi ia marah terutama karena mengingat bahwa kecelakaan ini adalah karena ulah pemuda itu! Kalau pemuda itu tidak melompat ke jurang, tentu ia pun tidak akan terbawa! Kini, mendengar ucapan itu, ia tidak mampu menjawab dan otomatis matanya melirik ke bawah. Ia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jeritan ketika melihat bawah yang demikian jauhnya. Kalau sampai terjatuh, tentu tubuhnya akan remuk! Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, namun pelukannya pada kaki kiri Hay Hay itu dipererat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi semakin lebar senyumnya. Memang dia nakal dan ugal-ugalan, bukan saja suka sekali melihat keindahan dan kecantikan wanita, suka memuji-muji mereka, akan tetapi dia pun suka menggoda!
"Nona, kalau aku mau, tentu kaki kananku ini dapat menendangmu, menendang kedua tanganmu yang merangkul kaki kiriku dan engkau akan terlepas dan jatuh. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak sekejam dan seganas engkau yang haus darah ingin membunuh orang. Sayang kalau seorang gadis secantik engkau sampai mati di bawah sana."
Kui Hong merasa betapla mukanya panas dan ia tahu bahwa wajahnya berubah merah sampai ke telinganya. Untung bahwa ia berada di bawah dan pemuda di atasnya itu tidak dapat melihat mukanya yang ditundukkan.
"Sudahlah, tutup mulutmu dan kita pikirkan bagaimana agar dapat terlepas dari keadaan berbahaya ini!” Akhirnya ia berkata, bersungut-sungut.
Sejak tadi Hay Hay sudah mempelajari keadaan mereka. Pohon itu tumbuh keluar dari celah-celah batu menonjol keluar dan agaknya cukup kuat ter tanam dan terbelit di antara batu-batu bukit itu. Dia dapat saja merayap ke batang pohon, akan tetapi percuma saja karena permukaan tebing di sekeliling pohon itu rata. Dan ketika dia memandang ke atas, ternyata mereka tadi terjatuh dari tempat yang amat tinggi. Mendaki ke atas merupakan hal tidak mungkin sama sekali melihat betapa permukaan tebing itu rata dan licin, tiada sama sekali tempat untuk berpijak dan berpegang.
"Naikkanlah kakimu agar aku dapat meraih cabang itu!" Kui Hong berkata lagi. Tentu saja ia dapat merayap naik melalui tubuh pemuda itu, akan tetapi hal ini tidak akan dilakukannya karena ia merasa malu. Seolah-olah ia meraba-raba seluruh tubuh pemuda itu kalau ia merayap naik melalui tubuhnya!
"Dan setelah engkau duduk di atas cabang ini, engkau langsung menyerangku agar aku terjatuh, begitukah?" Hay Hay bertanya. "Berjanjilah dulu bahwa engkau tidak akan menyerangku, baru aku mau menaikkan kakiku."
Kui Hong menjadi semakin gemas. Akan tetapi ia pun teringat betapa ia telah bersikap terlampau galak. Ia harus mengakui bahwa memang di tengkuk kepala kijang itu terdapat luka bekas sambitan. Tak dapat disangkal bahwa agaknya mereka berdua merobohkan kijang itu pada saat yang sama. Pemuda ini tidak bersalah. Akan tetapi sikapnya itu. Seperti mempermainkan, itulah yang membuat ia marah. Dan pemuda itu tukang sihir pula! Ia bergidik.
"Baiklah, aku berjanji tidak akan menyerangmu, asal engkau tidak mempergunakan ilmu hitammu itu!"
Hay Hay tertawa. "Terima kasih, aku pun berjanji tidak akan main-main dengan ilmu sihir. Namaku Hay Hay, dan siapakah ehgkau, Nona?"
Kui Hong mengerutkan alisnya. Kurang ajar, pikirnya. Pemuda itu memerasnya! Menggunakan kemenangannya karena kakinya dijadikan tempat bergantung, mengajak berkenalan. Akan tetapi apa salahnya? Saling mengenal nama lebih baik daripada asing sama sekali padahal mereka ini sedang menghadapi bahaya maut bersama-sama. Dan pemuda itu telah memperkenalkan namanya. Hay Hay. Nama yang aneh, tanpa nama keturunan.
"Namaku Kui Hong." katanya, juga hanya memperkenalkan namanya tanpa she (nama keturunan).
"Kui Hong... Kui Hong... nama yang indah dan manis, seperti pemiliknya…" Hay Hay memuji. Kalau pemuda ini memuji, maka dia memuji dari lubuk hatinya, bukan sekedar memuji untuk merayu atau mengambil hati. Tidak, Hay Hay tidak pernah ingin mengambil hati atau merayu. Justeru karena dia menyukai keindahan, maka dia memuji seperti yang dirasakannya, dan karena itu seperti orang merayu!
"Sudahlah, tutup mulutmu dan angkat kakimu agar aku dapat naik ke cabang itu!" Kui Hong membentak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh, seperti merasa girang oleh pujian itu.
Hay Hay lalu mengangkat kaki kirinya naik dan gadis itu lalu meraih cabang pohon di sebelah, lalu melepaskan kaki Hay Hay dan kini ia sudah duduk di atas cabang pohon, berhadapan dengan Hay Hay yang memandangnya sambil tersenyum.
Untung ada pohon ini yang menyelamatkan nyawa kita, Nona Kui," kata Hay Hay, kini sikapnya hormat karena dia melihat api kemarahan masih bernyala di dalam kedua mata gadis itu. Mendengar sebutan itu, Kui Hong merasa lucu dan ia pun tersenyum. Lenyaplah semua kegalakannya dalam senyum itu sehingga Hay Hay terpesona.
"Aih, Nona Kui. Kenapa engkau tidak memperbanyak senyummu itu? Bukan main! Senyummu membuat aku lupa bahwa aku terjebak di mulut maut ini!"
Senyum ini pun lenyap seketika. "Hemm, sudahlah, engkau sungguh memualkan perutku!"
Hay Hay membelalakkan matanya. “Memualkan perut? Wah aneh! Akan tetapi biarlah, hanya aku ingin tahu apa yang menyebabkan engkau tersenyum tadi, Nona Kui? Bukankah benar kataku bahwa pohon ini menyelamatkan nyawa kita?"
"Ada beberapa hal yang membuatku geli dan ingin tersenyum." kata Kui Hong. "Pertama, karena engkau menyebutku Nona Kui seolah-olah aku she Kui. Padahal, Kui Hong adalah namaku, dan Kui bukan nama keturunan keluargaku."
"Aih, begitukah? Mengapa engkau memperkenalkan diri hanya nama saja tanpa nama keturunan?"
"Hemm, sungguh tak tahu diri? Kenapa engkau tidak mau bercermin?" Kui Hong mencela.
Hay Hay memandang wajah yang manis itu, keduanya saling pandang dan Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aih Nona Hong!" Dia merobah panggilannya, tidak lagi Nona Kui melainkan Nona Hong. "Jangan engkau main-main!"
"Main-main? Aku... ?', Kui Hong bertanya marah. Orang ini sungguh keterlaluan, dia yang main-main kini malah mengatakan ia yang main-main!
"Di tempat ini mana ada cermin? Bagaimana mungkin aku bercermin? Aku bukan pesolek dan…."
"Tolol!"
"Memang aku tolol, tapi mengapa…"
"Maksudku bercermin diri, bukan bercermin muka. Engkau sendiri mengaku, namamu Hay Hay, tanpa menyebutkan she-mu. Tidak mungkin engkau she Hay bernama Hay. Mana ada she Hay di dunia ini? Kalau engkau tidak mau menyebutkan shemu, apakah aku perlu memperkenalkan sheku?"
Hay Hay tersenyum dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan dan menarik sekali, senyumnya tidak dibuat-buat dan sepasang matanya itu kadang-kadang mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng. Akan tetapi kalau teringat betapa pemuda itu pandai ilmu sihir, ia bergidik dan segera menundukkan mukanya, tidak berani terlalu lama bertemu pandang.
"Ah, kiranya engkau membalas? Baiklah, Nona Hong, biarpun selama ini aku ini tidak pernah mempergunakan sheku, akan tetapi nama keturunanku adalan Tang jadi nama lengkapku adalah Tang Hay. Akan tetapi sungguh mati, aku lebih suka dikenal sebagai Hay Hay saja."
“Aneh kalau ada orang ingin mengingkari nama keturunan ayahnya!" kata Kui Hong. " Aku sendiri she Cia "
"Heiiii…!"
Kui Hong sampai tersentak kaget. "Gilakah engkau? Teriak-teriak mengejutkan orang! Ada apa sih engkau berteriak mendengar nama keturunanku?"
"She Cia? Aku jadi teringat kepada seorang suhengku. Menurut keterangan seorang di antara guru-guruku, beliau mempunyai seorang murid yang juga she Cia, nama lengkapnya Cia Sun "
"Ihhhh…!"
Kini bagian Hay Hay yang tersentak kaget. "Wah, wah, hampir aku terjatuh karena kaget. Kenapa sih engkau menjerit mendengar nama Suhengku itu? Apakah engkau mengenalnya?"
"Mengenal? Tentu saja! Dia masih keluarga kami dari Cin-ling-pai."
Hay Hay mengangguk-angguk. "Aku sudah mendengar akan keluarga Cin-ling-pai. Perkumpulan yang terkenal gagah perkasa. Kiranya engkau ini murid Cin-ling-pai?"
"Aku puteri ketuanya!" kata Kui Hong sambil mengangkat dada. Kembali Hay Hay kagum. Bentuk dada dan bahu wanita itu sungguh indah, ketika diangkat dada itu, membusung dan nampak lekuk-lengkung yang menarik.
"Wah-wah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat. Engkau puteri Ketua Cin-ling-pai, keluarga Cia yang amat terkenal, sedangkan aku hanya seorang perantau tanpa nama, dan tentang kijang itu... maafkanlah aku, Nona. Sebetulnya bukan maksudku untuk berebutan akan tetapi…”
"Sudahlah. Mengapa kita mengobrol ke barat dan timur tanpa arah ini? Lebih baik kita bicara tentang keadaan kita. Bagaimana kita dapat keluar dari sini. Apa engkau ingin hidup selamanya di pohon ini?" kata Kui Hong, sambil menatap wajah Hay Hay. Yang ditatap tersenyum lebar, dan Kui Hong juga tersenyum karena merasa betapa lucunya pertanyaan itu. Tentu tidak akan ada manusia di dunia ini yang suka hidup selamanya di pohon itu!
"Ya, aku ingin dan mau hidup selamanya di pohon ini asal bersamamu, Nona!"
Lenyap senyum Kui Hong dan mukanya kembali menjadi merah, akan tetapi matanya mencorong dan alisnya berkerut.
"Engkau mau mempermainkan aku dan kurang ajar lagi?"
"Tidak, tidak, mana aku berani? Maafkanlah, Nona. Aku memang suka bergurau. Sudahlah, aku tidak akan bicara main-main lagi, mari kita selidiki tempat ini. Lihat, aku tidak mungkin memanjat ke atas, permukaan tebing itu demikian licin dan rata, tidak ada celah-celah atau tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Untuk turun juga tidak mungkin, dinding tebingnya.sama, bahkan lebih jauh daripada kalau naik. Akan tetapi di sana itu terdapat sebuah guha. Lihat!"
Kui Hong memandang ke bawah sebelah kanan dan benar, kurang lebih tiga puluh meter dari tempat mereka duduk di cabang pohon itu, nampak sebuah guha yang cukup besar.
“Akan tetapi guha itu ter lalu jauh, bahkan ke situ pun tidak mungkin merayap melalui dinding tebing yang rata dan licin itu." kata Kui Hong. "Aku dapat mencoba dengan mengerahkan sin-kang untuk menggunakan kedua tangan menempel dinding dan merayap ke sana. Akan tetapi apa gunanya? Kalau gagal, aku akan terjatuh ke bawah, sedangkan kalau berhasil, paling-paling hanya bertukar tempat tanpa jalan keluar, dari pohon ini ke guha itu.”
"Akan tetapi, kalau kita bisa ke sana, setidaknya kita dapat bergerak lebih leluasa, dapat merebahkan diri untuk tidur, dapat pula berjalan dan berdiri, mungkin bisa mencari makanan di dalam guha itu. Kalau di sini? Kita hanya duduk di batang pohon dan akhirnya kita akan mati kelaparan. Sayang, bangkai kijang itu tidak kita bawa! Gemuk dan muda lagi!"
Diingatkan akan kijang itu, Kui Hong membayangkan betapa lezatnya membakar daging kijang dan tanpa disengajanya, perutnya berkeruyuk. "Nah, perut siapa yang berkeruyuk?" kata Hay Hay untuk mempertahankan suasana agar gembira.
Wajah Kui Hong berubah merah sekali. "Kau berani menghinaku dan mengatakan perutku berkeruyuk?" bentaknya marah.
"Aih, siapa yang mengatakan demikian, Nona? Aku hanya mendengar suara perut berkeruyuk dan tidak tahu perut siapa itu yang berkeruyuk."
"Perutku tidak!" Kui Hong mempertahankan, tentu saja malu untuk mengaku.
"Pula, perut berkeruyuk tidak perlu memalukan, dan bukan suatu penghinaan kalau terdengar orang. Kalau perutmu tidak berkeruyuk, tentu perutku. Nah, dengar, berkeruyuk lagi…!" Benar saja, terdengar perut Hay Hay berkeruyuk karena memang sejak berburu kijang, dia sudah lapar sekali. Dan pada saat yang hampir bersamaan, perut Kui Hong berkeruyuk lagi!
"Wah, jagonya yang berkeruyuk ada dua ekor!" kata Hay Hay tertawa dan kini Kui Hong tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Ia tidak merasa malu lagi karena jelas perut Hay Hay terdengar lebih dulu berkeruyuk, lebih nyaring lagi!
"Kalau tinggal di sini terus, walau kita kuat bertahan, perut kita ini yang tidak akan kuat bertahan. Kita harus mencari…."
“Hay Hay, lihat…!!" tiba-tiba Kui Hong berteriak sambil menuding ke arah guha. Hay Hay tersenvum mendengar namanya dipanggil dan tentu dia akan menggodanya kalau saja dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh gadis itu. Ketika dia menoleh ke arah guha, dia melihat sebuah kepala nongol keluar dan dia terkejut. Sebuah muka yang sesungguhnya cantik, akan tetapi kotor sekali. Rambut yang sudah berwarna dua itu awut-awutan, disanggul sembarangan saja, dan wajah itu adalah wajah seorang nenek-nenek yang sukar ditaksir berapa usianya. Tentu lebih dari enam puluh tahun melihat keriput pada ripinya. Namun, wajah itu memang cantik, setidaknya menunjukkan dengan jelas bahwa dahulunya wanita itu tentulah seorang yang cantik sekali. Akan tetapi matanya! Mata itu merah dan liar seperti mata serigala, atau mata seekor anjing gila.
"Hi-hi-hik," nenek itu tertawa dan nampaklah bahwa mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Pantas saja nampak kempot dan kisut. Andaikata nenek itu masih bergigi, tentu kedua pipinya masih halus, melihat betapa dahinya, lehernya, masih kelihatan mulus seperti dahi dan leher orang muda saja. "Sepasang monyet muda, sasaran bagus sekali untuk latihanku, hi-hi-hik!" Hay Hay dan Kui Hong mengamati nenek itu yang kini kelihatan lebih banyak dari bagian tubuhnya yang lain, sampai sebatas pinggang. Pakaiannya hitam dan lapuk pula, kotor sekali, akan tetapi tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh wanita muda! Kini mereka melihat tangan nenek itu memasukkan dua buah kerikil ke mulutnya dan begitu ia meniup, dua buah kerikil yang runcing tajam karena kerikil itu pecahan dari batu keras, menyambar ke arah muka Hay Hay dan Kui Hong dengan kecepatan luar biasa sampai mengeluarkan suara bercuitan!
"Awas…!" Hay Hay berseru dan cepat tangannya menyambar batu itu yang hendak lewat ketika dia miringkan kepala. Dia terkejut bukan main karena telapak tangannya merasa nyeri, tanda bahwa sambaran batu kerikil itu kuat bukan main! Kui Hong juga melihat sinar menyambar itu, dan dengan mudahnya ia miringkan kepala dan batu itu lewat dengan cepatnya di dekat kepalanya.
Hay Hay membuka kepalan tangannya. Hanya sebuah kerikil tajam dan runcing, akan tetapi bagaimana mungkin orang dapat meniupkan kerikil itu sedemikian kuatnya? Kalau nenek itu mempergunakan tangannya, dia masih tidak heran. Akan tetapi mempergunakan mulut meniup? Kui Hong kagum juga, bukan hanya kagum kepada nenek itu yang dapat melepas kerikil sebagai senjata rahasia dengan tiupan mulutnya, akan tetapi juga kagum kepada Hay Hay yang mampu menangkap batu kecil itu ketika tadi menyambar ke arah mukanya. Ia sendiri harus mengaku bahwa ia tidak akan mampu melakukannya, kecuali kalau sambaran batu kecil itu tidak secepat dan sekuat tadi.
Sementara itu, nenek yang melepas dua buah kerikil itu nampak terkejut dan penasaran. "Ehhh? Kaliah mampu menghindarkan tiupanku? Hemm, coba yang ini!"
Nenek itu kembali meniup dan kini ditambah dengan gerakan kedua tangannya. Kini dua buah kerikil menyambar ke arah muka dan dada Hay Hay, dua buah yang lain lagi menyambar ke arah muka dan dada Kui Hong! Dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih besar daripada tadi! Kui Hong yang sudah siap siaga, tadi sudah mengerahkan tenaga dan begitu melihat dua sinar menyambar, ia sudah meloncat ke atas sehingga dua buah kerikil itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi Hay Hay masih memperlihatkan kehebatan ilmunya, dia hanya miringkan tubuhnya dan cepat kedua tangannya berhasil menangkap dua buah kerikil itu!
"Nenek iblis jahat!" bentak Kui Hong marah. "Hay Hay, balas iblis itu, serang ia dengan kerikil-kerikil itu!"
Hay Hay menggeleng kepalanya. "Kalau engkau tidak mau, kesinikan kerikil-kerikil itu, biar aku yang akan menyambitnya!" Kui Hong marah sekali dan tidak berdaya karena dari jarak sejauh itu, kalau ia menggunakan jarum-jarum merahnya, hasilnya tidak akan memuaskan.
"Jangan, biarkan aku bicara dengannya."
Sementara itu, melihat kembali mereka berdua mampu menghindarkan diri, apalagi melihat betapa dua butir kerikilnya dapat ditangkap oleh pemuda itu, nenek itu berseru. "Celaka, kalian tentu urusannya untuk datang membunuhku! Baik, akan kulihat kalau aku menghujankan kerikil beracun kepada kalian. Kalian hendak menghindar ke mana?"
Melihat nenek itu sudah siap hendak menyerang lagi, tentu kini lebih hebat, cepat Hay Hay mengerahkan tenaga sihirnya memandang kepada nenek itu lalu berseru nyaring, suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa, "Nenek yang baik, nenek yang cantik, lihatlah baik-baik. Kami bukan musuh-musuhmu, dan aku bahkan suamimu sendiri. Lihatlah, apa engkau sudah lupa kepada suamimu sendiri?"
"Gilakah engkau, Hay Hay?" Kui Hong berkata, akan tetapi segera gadis ini teringat bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian aneh, yaitu ilmu sihir, maka ia pun menutup mulutnya, dapat menduga bahwa tentu pemuda itu kini sedang mempergunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi nenek itu. Ia melihat betapa nenek itu terpukau sejenak, lalu matanya memandang kepada Hay- Hay, nampak terkejut, heran, seperti tidak percaya dan mengusap-usap kedua matanya sendiri dengan punggung tangan kanan, memandang lagi, dan... nenek itu seketika menjadi merah mukanya dan kelihatan marah bukan main.
"Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) Lauw Kin, kiranya engkau sendiri yang datang untuk membunuh aku? Atau untuk mengejek dan sengaja membawa pacarmu yang baru, gadis muda yang cantik itu? Bagus, jangan kira aku tidak berdaya lagi setelah bertahun-tahun ini, engkaulah yang akan mampus lebih dahulu, setan!" Dan tiba-tiba saja nenek itu menyerang dengan banyak sekali kerikil yang disambitkan atau ditiupkan, semua ke arah Hay Hay sehingga pemuda ini menjadi sibuk bukan main karena kini benar-benar dia dihujani batu kerikil yang datang menyerang bertubi-tubi dan semua itu dilepas dengan kekuatan dahsyat, bahkan masing-masing batu kerikil menyerang ke arah bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia terpaksa berloncatan di atas cabang, lalu dari dahan ke dahan sambil memutar-mutar caping yang sudah diambilnya dari punggung untuk menangkis. Diam-diam Kui Hong merasa geli juga melihat hasil sihir pemuda itu, akan tetapi ia pun kagum bukan main melihat cara pemuda itu menghindarkan diri. Kalau ia yang diserang seperti itu, sukarlah baginya untuk mampu menyelamatkan diri. Dan diam-diam ia merasa khawatir sekali, maka ia pun segera mengerahkan khikang dan dengan suara nyaring mengandung kekuatan khi-kang ia pun berteriak.
"Nenek tolol! Lihat baik-baik, dia itu seorang pemuda bernama Hay Hay, sama sekali bukan suamimu yang bernama Lauw Kin!"
Ternyata lengkingan suara ini mampu menembus dan pada saat itu Hay Hay juga menyimpan kekuatan sihirnya. Nenek itu memandang heran dan segera menghentikan serangannya. Hay Hay berdiri di atas cabang pohon, mukanya masih agak pucat dan diam-diam dia memaki diri sendiri. Tolol, kiranya nenek ini agaknya bermusuhan dengan suaminya sendiri!
Setelah melihat bahwa yang diserangnya mati-matian tadi bukan suaminya melainkan seorang pemuda, nenek itu terbelalak dan kelihatan bingung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hay Hay untuk membujuknya. "Nenek yang baik, kami tidak mempunyai kesalahan kepadamu, kenapa engkau memusuhi kami? Manusia hidup harus saling tolong-menolong. Kami sedang berada dalam kesulitan, terjatuh dari atas dan tertolong oleh pohon ini, akan tetapi kami tidak dapat naik atau turun dari sini. Tolonglah kami, Nek, siapa tahu, kami juga akan dapat menolongmu kelak."
Nenek itu agaknya berpikir sampai lama, memandang kepada Hay Hay dan Kui Hong, lalu mengangguk-angguk. "Aku telah salah sangka, kalian jelas bukan musuh, bukan utusan suamiku, akan tetapi kalian lihai.
Memang benar, kalian tentu akan dapat menolong aku yang hidup sengsara ini... uhu-hu-huhh... aku yang sengsara, disengsarakan oleh seorang laki-laki yang jahat " Dan nenek itu menangis sampai sesenggukan. Tangis itu seperti tiada hentinya, dan kedua orang muda di atas pohon itu saling pandang. Karena menanti tangis nenek itu sampai lama akan tetapi tangis itu tak pernah berhenti, Kui Hong kehilangan kesabarannya.
"Sudahlah, Nek, hentikan tangismu itu dan kalau memang engkau dapat, tolonglah kami! Baru kita bicara tentang masalahmu dan aku akan menolongmu!" kata Kui Hong sebelum dapat dicegah oleh Hay Hay. Khawatir kalau-kalau nenek itu marah lagi, cepat Hay Hay menyambung sambil mengerahkan ilmu sihirnya untuk menguasai nenek ini.
"Benar, Nek. Percayalah kepada kami. Kami bukan orang jahat dan kalau engkau dapat menolong kami, tentu kami juga akan berusaha menolongmu untuk membalas budimu."
Nenek itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Hay Hay, kemudian ia mengangguk. "Baik, baik, jangan khawatir. Aku pasti akan menolong katian." Tiba-tiba tubuh bagian atas dan kepala nenek itu lenyap agaknya ia masuk ke dalam guha. Dua orang muda di atas pohon itu saling pandang lagi, dan tentu saja keadaan ini amat menegangkan bagi mereka. Mereka masih meragukan karena bagaimana mungkin nenek itu akan dapat menolong mereka?
“Nona, dengarlah….”
"Hay Hay, kalau engkau menyebut nona lagi kepadaku, selamanya aku takkan sudi bicara denganmu! Namaku Kui Hong, engkau tahu ini, dan tidak ada tuan-tuan atau nona-nonaan!"
Hay Hay tersenyum, dalam hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi di luar dugaannya gadis ini menyebut namanya ketika melihat nenek dalam guha, dia sudah menduga bahwa gadis itu telah hilang kemarahannya terhadap dirinya dan mulai percaya kepadanya.
"Baiklah, Kui Hong, dan terima kasih. Sekarang dengar baik-baik sebelum ia muncul." katanya dengan suara halus dan lirih setengah berbisik. "Kalau nenek itu nanti benar menolong kita, biar aku yang lebih dahulu ditolongnya, karena aku masih curiga kepadanya. Jangan-jangan ia menolong hanya untuk menjebak kita."
Kui Hong memang kini sudah percaya kepada Hay Hay. Percaya sepenuhnya, terutama sekali mengenai tingkat kepandaian mereka. Ia tahu bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat tinggi ilmunya. Ia sudah melihat sendiri betapa pemuda itu bukan hanya mampu menyambar kerikil itu, bahkan dapat menyelamatkan diri ketika dihujani batu kerikil, hanya dengan bantuan topinya! Mendengar suara bisikan itu, ia pun mengangguk karena ia sendiri juga belum percaya benar kepada nenek itu dan memang sebaiknya Hay Hay yang lebih dahulu berhadapan dengan nenek itu, yang jelas memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi pula dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya.
Pada saat itu, nongollah kembali kepala Si Nenek tadi dan kini ia membawa segulung tali! Melihat tali itu, mengertilah Hay Hay dan wajahnya berubah gembira. Tak disangkanya bahwa nenek itu memiliki gulungan tali yang nampaknya panjang dan kuat itu! Kini dia pun mengerti bagaimana nenek itu akan menolong mereka, yaitu mengajak mereka ke dalam guha itu, akan tetapi bagaimanapun juga, tentu lebih baik daripada di atas pohon yang mencuat keluar dari tebing itu! Akan tetapi Kui Hong cemberut. "Hemm, tali sebegitu, mana cukup untuk dipakai turun ke bawah?" katanya.
Mendengar ucapan ini, Si Nenek tertawa, kini suara ketawanya tidak mengejek seperti tadi, walaupun masih kelihatan sama, mulut itu tidak bergigi lagi.
"Mau apa turun ke bawah? Kalau sudah turun ke dasar jurang, tidak ada kemungkinan naik kembali, kecuali menunggang burung rajawali!" kata nenek itu dengan suara sungguh-sungguh. "Akan tetapi sayang tak pernah kulihat selama bertahun-tahun ini seekor pun burung rajawali di daerah ini. Jalan keluar untuk menyelamatkan diri hanyalah melalui guha ini."
"Baiklah, Nenek yang baik. Lekas lontarkan ujung tali itu ke sini!" kata Hay Hay.
"Heh-heh, engkau lebih cerdik. Dan engkau pun lihai sekali, orang muda. Aku percaya hanya engkau dan Nona itu yang dapat membantuku menghadapi musuh besarku. Nah, sambutlah tali ini!" Nenek itu melontarkan ujung tali dan dari perbuatan ini saja sudah dapat dilihat betapa lihainya nenek itu. Kekuatan lontarannya demikian hebatnya sehingga bagaikan dibawa anak panah saja, ujung tali itu meluncur dengan cepatnya ke arah pohon itu. Dan ternyata ujung tali itu dengan tepat sekali membelit batang pohon itu, melilit seperti seekor ular melilitkan ekornya! Hay Hay cepat menghampiri batang pohon itu dan mengikatkan ujung tali dengan kuatnya pada batang pohon yang besarnya sepinggangnya, cukup kuat untuk menahan berat badannya. Dia memeriksa tali itu dan merasa kagum. Tali itu adalah tali yang amat kuat, dipintal dengan rapi, agaknya dikerjakan oleh tangan yang tekun dan bahannya semacam rumput yang ulet sekali dan sudah kering. Dia tidak tahu dari bahan apa tali itu dibuatnya, namun dia dapat menduga tentu dari semacam rumput yang amat kuat.
"Sudah kuikat kuat, Nek. Tariklah biar tegang!" Kemudian dia berbisik kepada Kui Hong. "Kui Hong, kalau nanti engkau menyeberang, jangan berjalan di atas tali. Berbahaya kalau ia melepaskan tali di ujung sana. Bergantung saja seperti yang aku lakukan."
Nenek di guha itu sudah menarik talinya dan kini tali itu menegang, merupakan jembatan tali sehelai dari atas ke bawah, akan tetapi tidak terlalu menurun sehingga kalau saja tidak takut dikhianati nenek itu, akan lebih mudah bagi Hay Hay kalau dia berjalan atau berlari saja di atas tali itu. Akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, sekali nenek itu melepaskan talinya, tubuhnya tentu akan terjatuh ke bawah sana.
"Kui .Hong, aku menyeberang lebih dulu, perhatikan!" bisiknya kepada nona itu dan dia pun berteriak ke arah guha, " Aku mulai menyeberang, Nek!" Dan dia pun memegang tali itu dengan kedua tangannya dan meloncat dari atas cabang pohon. Kini tubuhnya bergantung pada tali itu dan melihat betapa tali itu benar cukup kuat seperti yang diduganya, mulailah dia bergerak maju, menggunakan kedua tangannya merayap maju sambil bergantung. Dengan cara demikian, andaikata nenek itu berlaku curang dan melepaskan tali, tubuhnya akan terjatuh ke bawah, akan tetapi karena dia berpegang kepada tali tentu pohon itu cukup kuat menahan tubuhnya dan dia akan selamat kembali ke pohon tadi. Hal ini dimengerti pula oleh Kui Hong dan dia semakin kagum. Pemuda itu selain lihai, juga cerdik sekali.
Nenek yang mengamati gerakan Hay Hay dari seberang, kini tertawa, nadanya mengejek. "Orang muda, agaknya engkau tidak percaya kepadaku, maka engkau menyeberang sambil bergantungan. Hemm, kalau aku bermaksud buruk, biarpun engkau bergantungan, apa kaukira aku tidak mampu membuat engkau melepaskan tali dan terjatuh ke bawah? Ingat, kalau sekarang aku menghujankan kerikil kepadamu, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu?"
"Aku akan menghindarkan seranganmu begini, nenek yang baik!" Dan tiba-tiba saja tubuh Hay Hay yang bergantungan itu membuat gerakan berputaran seperti seorang pemain akrobat tali, atau bermain sulap. Akan tetapi gerakannya ini lebih cepat lagi sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berputaran mengitari tali itu dengan amat cepatnya sehingga diam-diam nenek itu terkejut dan kagum. Memang akan sukarlah menyerang pemuda itu karena gerakan pemuda itu amat cepatnya. Sambil berputaran, kedua tangan Hay Hay terus melangkah dan akhirnya dia tiba di mulut guha dan melompat masuk, berdiri di depan nenek itu. Dan Hay Hay terkejut bukan main melihat bahwa nenek itu tidak berdiri, melainkan duduk dan melihat keadaan dua kakinya dalam celana hitam yang terkulai lemas itu, dia dapat menduga bahwa kedua kaki nenek itu lumpuh! Dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkannya pada wajahnya, melainkan tersenyum ramah.
"Aku percaya bahwa engkau tidak akan mencelakakan aku, Nek, karena engkau membutuhkan bantuanku." katanya sambil tersenyum.
"Hi-hik, engkau benar, aku butuh bantuanmu karena engkau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, gadis itu tidak kubutuhkan bantuannya, karena itu ia lebih baik dienyahkan saja agar tidak menjadi gangguan!" Berkata demikian, cepat bukan main, tahu-tahu nenek itu sudah memegang sebatang pedang dan karena tali penyeberang itu berada di dekatnya, Hay Hay merasa tidak sempat lagi mencegah dengan perbuatan. Maka dia pun mengerahkan ilmu sihirnya dan membentak dengan suara nyaring karena dia melihat betapa Kui Hong sudah bergantungan di tali penyeberang itu seperti yang dilakukannya tadi!
"Hei, Nek, engkau memegang ular di tangan kananmu, untuk apakah?"
Pedang itu sudah diangkat, akan tetapi mendengar bentakan itu, gerakannya terhenti di tengah jalan. Pedang tidak turun menyambar ke arah tali, melainkan tertahan di atas dan nenek itu nampak terkejut dan bingung.
“Ular…?” Dan ia pun mengangkat mukanya memandang ke arah pedang di tangan kanannya dan ia pun menjerit.
“Ihhh…!” Dan pedang itu pun terlepas jatuh berkerontangan di atas lantai guha. Saat itu, Hay Hay sudah meloncat dekat tali dengan sikap melindungi dan dia sudah menarik kembali ilmu sihirnya, membiarkan nenek itu memungut pedangnya sambil mengamati pedang itu dengan sikap terheran-heran. Sementara itu, karena jarak antara pohon dan guha itu hanya tiga puluh meter, dengan “langkah” sebanyak lima puluh kaki saja dengan ke dua tangannya, Kui Hong sudah tiba di mulut guha dan melompat ke dalam dengan selamat. Nenek itu sudah memungut kembali pedangnya dan kini ia berdiri, atau lebih tepat lagi duduk karena ia tidak mempergunakan kedua kakinya, di depan Hay Hay dan Kui Hong. Gadis ini pun terkejut, karena seperti juga Hay Hay, ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa nenek itu adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya!
Melihat betapa dua orang muda itu memandang ke arah kedua kakinya, nenek itu berkata. "Kalian tidak mengira bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku lumpuh, aku tidak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!" Tiba-tiba nenek itu kelihatan beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Pedang di tangannya lalu dimainkan, menyambar-nyambar ganas.
"Karena itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!" Pedang itu menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu terkejut karena mereka mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi sinar putih bergulung-g:ulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang, lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu.
"Crakkk!" nampak bunga api berpijar dan batu itu pun terbelah menjadi dua! Beberapa kali pedang itu menyambar ke arah batu. "Seperti inilah dia akan kucincang….!” Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar itu kini menjadi puluhan potong! Tiba-tiba seperti permulaannya tadi, ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke arah batu itu, kemudian kepada pedangnya dan ia pun menangis kembali, agaknya merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, melainkan hanya sepotong batu besar!
"Uhu-hu-huuu... aku memang wanita malang, menderita dan sengsara…" dan tiba-tiba, pedang itu ditekuknya dengan kedua tangannya dan ia sudah memaki marah lagi. "Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!"
"Krekkk!" Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong.
"Dan kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!" Dilemparkan dua potongan pedang itu keluar guha, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang amat curam itu. Dua orang muda itu saling pandang, terkejut dan juga kagum karena mereka melihat betapa pedang itu dengan mudahnya dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu terbuat dari baja yang amat baik. Akan tetapi dengan amat mudahnya, nenek itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Ini pun membuktikan betapa kuat jari-jari tangan nenek itu.
"Nenek yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami tentu akan suka membantumu, asal saja engkau dapat menunjukkan jalan keluar bagi kami." kata Kui Hong agak terharu juga melihat keadaan nenek itu. Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kedua kakinya lumpuh, tentu saja ia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya. "Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat engkau hidup merana seorang diri di dalam guha ini?"
Ditanya demikian, kembali nenek itu menangis, sesenggukan dan air matanya bercucuran. Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, akan tetapi tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu.
Setelah menangis beberapa lamanya, nenek itu menghentikan tangisnya dan berkata, seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan Kui Hong tadi. "Jalan keluar satu-satunya dari jurang ini adalah melalui guha ini, akan tetapi jalan itu merupakan rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, biar kalian sudah berada di dalam guha ini, sampai mati pun kalian takkan dapat menemukan jalan rahasia itu! Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku, dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun lamanya! Dengar, dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini, dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah…"
"Tapi, Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)." kata Hay Hay. "Aku melihat bahwa engkau amat lihai, memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau mengenal jalan rahasia itu, kenapa tidak keluar selama ini?"
“Ah, dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini, setan itu lebih dahulu membuat kedua kakiku lumpuh? Dalam keadaan lumpuh seperti ini, betapa pun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar. Orang yang tidak cacat sekalipun, kalau dia tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, jangan harap dapat keluar. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh lagi ke sini."
“ Akan tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?" tanya Kui Hong penasaran dan ia tidak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay, mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih berada di atas pohon.
"Setan itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia masih suamiku sendiri."
"Ahhhh !" Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran. "Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini terhadap isterinya?" tanya Kui Hong, semakin penasaran dan sebagai seorang wanita, tentu saja segera ia merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu, menentang suami nenek itu yang demikian kejam dan jahatnya.
Nenek itu mengerling ke arah Hay Hay, lalu menarik napas panjang dan dengan sikap sedih ia menundukkan mukanya. "Laki-laki mana yang dapat dipercaya di dunia ini? Sebelum didapatkannya seorang wanita, dia merayu dengan kata-kata manis, semanis madu. Akan tetapi setelah wanita berhasil dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan dan mencari lain wanita! Dan aku sebagai isterinya, tentu saja merasa sakit
hati dan cemburu, lalu aku hendak membunuh wanita itu. Akan tetapi dia membela wanita itu, dan dia amat lihai. Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat ini!"
"Jahanam keparat laki-laki itu!” Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya sudah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia bertanya.
"Locianpwe, tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di tempat ini. Akan tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat bertahan untuk hidup?"
"Guha ini luas sekali, memiliki banyak terowongan, bahkan ada beberapa di antaranya yang menembus ke dinding tebing, menjadi guha kecil lain, di suatu guha kecil-kecil itu terdapat banyak se,kali burung-burung walet dan sarang mereka. Aku dapat makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang ditinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang ada pula ular memasuki guha-guha kecil itu dan daging ular lezat sekali. Dan di dalam terowongan terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan ada tanaman di muka guha kecil yang mengeluarkan buah yang manis. Ada pula air jernih mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu oleh iblis itu dilempar pula ke sini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal yang kupakai ini."
"Dan Locianpwe masih punya waktu untuk memintal tali itu dan berlatih menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?"
"Heh-heh, engkau memang cerdik, orang muda. Memang, banyak waktu luang selama ini, dan aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan setiap hari belajar melempar dan meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu besar. Juga beberapa pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilih dari semacan rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud untuk menggunakan tali itu keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal."
"Nenek yang malang." kata Kui Hong. "Sudah dua puluh lima tahun hidup seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara." Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu memancing, menyembunyikan kecurigaannya karena memang aneh melihat seseorang yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun masih mampu bicara sedemikian lancarnya.
Nenek itu tersenyum menyeringai dan kini melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, mendatangkan kesan aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali. "Heh-heh, tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, maupun yang mati seperti batu, jamur dan pohon…"
"Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batu pun mungkin hidup, siapa tahu?" Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, pemuda ini sudah memperoleh kembali kejenakaanya.
"Hemm, maksudku yang tidak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu bicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan di tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini."
"Aku siap, Nek! Katakan di mana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!" kata Kui Hong lantang.
"Akan tetapi yang penting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, kiranya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya."
"Hay Hay, engkau tentu juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?" Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan agaknya biarpun lumpuh, amat cerdik dan juga lihai ini.
Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji, maka janji itu hatus ditepatinya, maka Hay Hay mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu di antara kedua matanya, lalu berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa.
"Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini, dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga."
Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih, "Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu…!” Kemudian ia menundukkan muka dan nampaknya bingung. Melihat ini, Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay.
"Hay Hay, permainan apa vang kaulakukan ini?" Ia merasa tidak senang karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya!
Hay Hay tersenyum. "Kui Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata. "Engkau tahu aku tidak main-main Locianpwe,dan marilah kita berangkat sekarang juga keluar dari sini."
Nenek itu mengangkat mukanya perlahan dan menjawab. "Aku tahu engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini.” Ia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay.
Kui Hong tidak mengerti, permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Namun, ia pun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu. "Marilah kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu.
" Aku... kakiku... tidak dapat berjalan…." kata nenek itu.
Agaknya baru Hay Hay dan Kui Hong sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti pasti ia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam guha itu! Kui Hong tersenyum.
"Aih, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya.
Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya, "Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!"
Karena sihirnya itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mentaati kata-kata Hay Hay, dan mendengar ucapan Kui Hong, ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus.
"Ihh! Kaukira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai mati pun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona."
Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tak bertulang saja. Ia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik.
"Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa ia agar suka kaugendong!"
Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala. "Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Ia tidak mungkin dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini." Biar ia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapapun juga, ia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Pula, di lubuk hatinya, dia masih belum percaya kepada wanita ini. Kalau dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, kalau Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tidak boleh dipercaya begitu saja.
Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya. "Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!" Hay Hay ingin tertawa besar namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya merangkul pundak Kui Hong dan mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong. Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu bergantungan di kedua sisinya. Terpaksa ia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay. “Mari kita berangkat!"
Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?"
Nenek itu mengangguk. "Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita."
Kui Hong merasa semakin mendongkol. Sambil mengerling ke arah Hay Hay, sambil bersungut-sungut ia berkata, “Seenak perutya sendiri saja!” Dan kembali Hay Hay menahan ketawanya dan mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai di situ.
"Wah, jalan ini buntu, Nek!" Kui Hong berteriak penasaran. "Apakah engkau hendak mempermainkan kami?"
Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada di dekat telinganya, maka suara ketawa itu terdengar mengerikan.
"Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!"
Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara bergerit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, satu meter lebarnya dan dua meter tingginya, tepat untuk masuk satu orang. Kui Hong merasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi ia akan bebas di sana! Kegembiraan ini membuat ia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu.
"Hati-hati, Nona. Jalan ini selain sempit, gelap, juga menanjak dan licin bukan main. Di bagian yang paling berbahaya di mana engkau harus merangkak atau meloncati lubang, akan kuberitahukan. Karena itu, jangan melangkah terlampau cepat, satu-satu saja." Berkata demikian, nenek itu mengulur tangan ke kanan, meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu.
Hay Hay sudah melepaskan pengaruh sihirnya karena dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa. "Locianpwe tadi sudah memperkenalkan nama suami Locianpwe yang bernama Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami."
Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus. "Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dahulu memperkenalkan nama kalian walaupun aku sudah tahu dari cara kalian saling panggil nama."
Hay Hay tertawa. "Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan ia bernama Kui Hong."
"Namaku... Ma Kim Siu." kata nenek itu singkat dan Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lain karena nama itu asing baginya. Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang berguha itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia!
Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena ia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu, akan berbahaya sekali. Ketika ia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali ia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Ia sudah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay.
Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira. "Di depan terang!" teriaknya, dan ia melangkah lebar .
"Tenanglah, Kui Hong." kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!"
Benar saja. Kui Hong kini berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya ada empat meter. Namun, ia yang memiliki gin-kang yang cukup tinggi tingkatnya, dengan mudah sambil menggendong tubuh yang ringan itu, dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay.
"Nah, kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa ia pun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah,ia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu!
Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru. "Aih, terlalu menyilaukan!" Selama berada di dalam guha, ia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena guha itu menghadap ke barat sehingga tak pernah ia tertimpa sinar matahari siang.
Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain daripada bukit di mana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang!
Setelah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Ia cepat mengusap kedua matanya dan mulutnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih ia memandang ke sekeliling. Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi ia merasa lelah sekali, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu.
"Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat." katanya kepada nenek itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, ia akan roboh dan tewas!
"Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!" bentak nenek itu.
"Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!"
Hay Hay tersenyum dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu. "Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah dan engkau sendiri pun merasa lelah. Kita perlu beristirahat dan turunlah dari punggung Kui Hong." Dia mengerahkan kekuatan sihir untuk menalukkan sikap melawan nenek itu.
Akan tetapi, sekali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh!
"Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hihi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, cepat engkau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kaucinta ini!"
Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh oleh sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta!
"Kalau begitu... tadi, di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?" tanyanya, melongo.
"Tentu saja, setelah kalian berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku mempercayai omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!"
"Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran. "Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan…..")
"Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enciku.”
"Ia... seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong berseru, karena ia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu.
"Memang dan aku ini adiknya."
"Tapi, bagaimana engkau bisa tahu…?”
"Kui Hong, tentu ketika kita bicara di pohon itu, ia sudah lama mengintai dan mendengarkan. Pantas saja begitu muncul ia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, ia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!" kata Hay Hay.
"Hi-hi-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah, sejak dari dalam guha aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, kalau engkau memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan gadis kekasihmu ini akan mampus!"
"Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!" Kui Hong menjerit marah dan biarpun ia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya, ia tidak takut sedikit pun juga.
"Hi-hi-hik, kalian tidak dapat mengelabuhi mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh! Pemuda itu mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan kalau engkau banyak tingkah, engkau benar-benar akan kubunuh!"
"Sudahlah, Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li (Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, di mana tempat bertapa laki-laki yang kaucari itu?"
"Heh-heh, begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja, menuju ke lereng yang sana. Tidak terlalu jauh dari sini. Mudah-mudahan jahanam itu masih berada di sana dan belum mampus!”
Hay Hay melangkah ke depan, menurut petunjuk nenek itu. Diam-diam dia pun mengharapkan seperti yang diharapkan nenek itu, agar pria itu masih berada di sana dan masih hidup. Karena kalau tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya maut. Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, padahal biasanya amat ampuh. Dia tidak tahu bahwa seorang yang sudah memiliki sin-kang sedemikian kuatnya seperti nenek itu, apalagi setelah selama puluhan tahun digemblengnya dan dilatihnya di dalam guha, tentu tidak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, dapat dilawannya dengan sin-kangnya. Memang untuk pertama kalinya, nenek itu terpengaruh karena ia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi, segera ia dapat merasakan dan menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan ia dapat berpura-pura terpengaruh untuk melaksanakan sandiwaranya sehingga kini ia dapat menguasai mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera.
Memang tidak jauh tempat yang dimaksudkan oleh Kiu-bwe Tok-li itu. Untung bagi Kui Hong yang sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah guha dan nenek itu memberi isarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi ia tetap menyuruh Kui Hong berada di belakang pemuda itu. Kemudian dengan suara melengking nyaring, Kiu-bwe Tok-li berteriak ke arah guha yang jaraknya hanya tinggal lima belas meter.
"Hek-hiat-kwi, laki-laki berhati binatang, kejam dan tak berperikemanusiaan, keluarlah! Aku datang untuk membalas dendam!"
Suara melengking itu bergema sampai jauh dan setelah gaungnya tak terdengar lagi, muncullah seorang kakek dari dalam guha. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan masih tegak, wajahnya pun bersih dan menunjukkan bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna kelabu itu tumbuh subur. Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa, dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah nenek di, atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
"Kim Siu…! Benar engkaukah ini? Masih… masih hidup…?”
"Lauw Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu, biarpun kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!"
Sepasang mata itu bersinar dan wajah itu berseri. "Ah, sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang dengan dendam kebencian di hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?"
Nenek itu gemetar seluruh tubuhnya, terasa benar oleh Kui Hong, dan ia tahu bahwa nenek itu marah sekali. Akan tetapi, cengkeraman di tengkuknya, tidak pernah sedikit pun mengendur sehingga ia tidak melihat kesempatan sama sekali untuk membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu.
"Huh, engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami! Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir setahun sebelum akhirnya dia meninggal dunia! Gara-gara engkau! Hay Hay, cepat kau maju dan serang dia, bunuh dia... ah, tidak, lukai dan robohkan saja agar aku sendiri yang akan membunuhnya!" Nenek itu melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong!
Akan tetapi Hay Hay bersikap tenang saja, sambil tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui Hong, karena kalau dibunuhnya gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi pengeroyokan kakek itu dan dia!
"Nanti dulu, Kiu-bwe Tok-li!" Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe. "Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran begitu saja, yang menyerang orang tanpa tahu sebabnya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak."
“Tapi kau sudah berjanji!"
"Berjanji membantumu, memang. Akan tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia sama sekali tidak memusuhimu!"
"Tak peduli! Kalau Engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!"
Hay Hay kini menghadapi kakek itu, lalu berkata. "Locianpwe, sebenarnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li mendendam kepadamu dan hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua terpaksa membantunya, akan tetapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar permasalahannya."
Pria tua itu adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang pernah menjadi isterinya itu.
"Kim Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?" .
"Ceritakanlah! Ceritakanlah selagi engkau masih mampu dan belum mampus di tanganku!" sambut nenek itu dengan ketus sekali.
Kakek itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Orang mudat siapa pun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang telah terjadi di antara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin hidup dalam dunia hitam, aku mengajak isteriku bertapa di sini, menjauhi jalan sesat untuk menebus dosa." Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang. "Akan tetapi keputusan yang kuambil itu agaknya membuat ia tidak senang sehingga sejak aku mengajaknya meninggalkan dunia hitam, ia mulai selalu merajuk dan bersikap marah kepadaku."
"Huh, Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!" Tiba-tiba nenek itu membentak, telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang menyalahkan. "Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara Tiga Belas Setan. Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!” Nenek itu mengumpat dan kelihatan menyesal bukan main.
Kakek itu tersenyum sedih. Kui Hong yang mendengarkan umpatan nenek dipunggungnya itu, melihat betapa sedetik pun nenek itu tidak pernah melepaskan ancamannya pada tengkuknya sehingga tidak ada kemungkinan baginya untuk membebaskan diri. Namun ia terkejut mendengar bahwa kakek di depannya itu adalah murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Ia pernah mendengar cerita dari ibunya tentang suami isteri Iblis Berdarah Hitam itu. Menurut cerita ibunya, suami isteri iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Lembah Naga karena Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong yang dahulu membunuh Hek-hiat Mo-li yang menurunkan mereka. Suami isteri itu menyerbu ke Lembah Naga dan berhasil membunuh banyak murid Pek-liong-pai perkumpulan yang didirikan di Lembah Naga dan diketahui oleh Cia Han Tiong, ayah kandung Cia Sun. Bukan hanya murid-murid yang terbunuh, bahkan ibu kandung Cia Sun juga terbunuh oleh mereka! Dan kakek di depannya ini adalah murid suami isteri itu!
Agaknya nenek itu merasa betapa gadis yang menggendongnya terkejut, maka ia membentak, "Ada apa kau? Kenapa terkejut?" Dan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu makin kuat.
Kui Hong terkejut dan ia tidak membohong ketika berkata. "Aku terkejut mendengar nama suami isteri Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Bukankah mereka itu yang pernah menyerang Lembah Naga, membunuh banyak orang Pek-liong-pai, bahkan membunuh pula ibu dari Cia Sun?"
Nenek itu terkekeh. "Heh-heh, aku lupa! Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai tentu saja engkau tahu akan hal itu, heh-heh!"
"Ya Tuhan….!" Kakek itu berseru kaget. "Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai? Kim Siu, apakah engkau sudah menjadi gila? Bebaskan Nona itu!"
"Huh, sebelum pemuda itu membunuhmu, aku takkan membebaskannya. Hay Hay, hayo cepat serang dia!"
Akan tetapi Hay Hay berkata kepada Hek-hiat-kwi Lauw Kin. "Locianpwe, harap lanjutkan keteranganmu tadi. Aku harus tahu sebab-sebabnya Locianpwe bermusuhan dengan Kiu-bwe Tok-li."
Kakek itu nampak bingung dan khawatir memandang Kui Hong, lalu menarik napas panjang. "Baiklah, akan kuceritakan semuanya. Justeru peristiwa yang terjadi di Lembah Naga itulah yang membuat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan jalan sesat. Kedua orang guruku itu menyerang keluarga Lembah Naga dan berhasil menewaskan banyak murid, juga menewaskan isteri ketua Pek-liong-pang. Akan tetapi mereka berdua kalah oleh Ketua Pek-liong-pang, pendekar Cia Han Tiong. Mereka berdua sudah tidak berdaya dan pendekar itu hanya tinggal mengangkat tangan saja untuk membunuh mereka. Akan tetapi, pendekar itu tidak melakukannya! Tidak membunuh Suhu dan Subo bahkan mengampuni mereka, dan menasihati mereka tentang buruknya dendam! Ah, Suhu dan Subo menceritakan hal itu sambil menangis kepadaku, dan aku pun merasa terharu sekali dan seketika terbuka kesadaranku betapa selama itu kami semua hidup bergelimang kejahatan. Betapa mulianya pendekar Cia dari Lembah Naga itu. Nah, karena Suhu dan Subo juga merasa menyesal dan bertaubat, lalu kembali ke Sailan untuk menjadi hwesio dan nikouw, aku pun lalu mengajak isteriku untuk menebus dosa dan bertapa di tempat ini."
"Huh, menjemukan! Bilang saja nyali kalian guru dan murid menjadi sempit karena takut menghadapi pendekar Cia dari Lembah Naga itu!" teriak Si Nenek penasaran.
"Keputusanku itu agaknya membuat isteriku merasa kesal dan mulailah terjadi kerenggangan antara kami, isteriku bersikap dingin dan marah-marah dan sering kali meninggalkan aku seorang diri."
"Siapa sudi membusuk di dalam guha kotor itu?" nenek yang dahulu menjadi isterinya yang cantik dan tercinta itu mencela.
"Pada suatu hari, ia datang bersama seorang laki-laki." kakek itu melanjutkan tanpa mempedulikan celaan isterinya.
"Isteriku dan laki-laki tampan itu terang-terangan menyatakan kepadaku bahwa mereka saling mencinta. Aku mencinta isteriku dengan hati yang tulus dan setelah aku menjadi pertapa dan banyak merenungkan kehidupan, aku pun mengenal arti cinta yang sebenarnya. Oleh karena itu, aku merelakan isteriku kalau memang ia hendak meninggalkan aku dan hidup bersama laki-laki itu. Akan tetapi mereka berdua tidak mau pergi begitu saja dan berkeras hendak membunuhku lebih dahulu karena tidak percaya bahwa aku merelakan isteriku dan mereka takut kalau aku kelak akan mengejar dan menyusahkan mereka. Mereka lalu menyerangku dan berusaha membunuhku."
"Ihhh…..!" Kui Hong beerseru dan menurutkan kata hatinya yang menjadi marah sekali, ingin ia melemparkan tubuh nenek itu dari atas punggungnya. Akan tetapi, cengkeraman nenek itu kuat sekali dan begitu ia bergerak, tengkuknya terasa nyeri sekali sehingga terpaksa ia menghentikan penyaluran tenaganya.
"Heh-heh, dia tolol, bukan? Dan engkau pun akan mati konyol kalau engkau berani melakukan kebodohan!" Kiu-bwe Tok-li berkata di dekat telinga Kui Hong.
"Locianpwe, sungguh apa yang Locianpwe lakukan itu membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati yang luar biasa." kata pula Hay Hay dengan kagum.
“Aih, orang muda. Aku hanya belajar dari pendekar Cia di Lembah Naga itu dengan perbuatannya terhadap kedua orang Guruku. Dibandingkan dia, sikapku ini bukan apa-apa. Aku dikeroyok oleh mereka dan terpaksa aku membela diri. Akhirnya, karena aku terancam maut oleh pukulan berbahaya dari laki-laki itu yang amat lihai, terpaksa aku pun mengeluarkan jurus simpanan untuk menandinginya. Dalam adu tenaga itulah, dia kalah dan terluka parah. Akan tetapi, aku tidak mau melukai isteriku sehingga aku terkena beberapa pukulannya yang beracun. Melihat kekasihnya pingsan dan terluka, ia lalu memondongnya pergi dengan cepat. Aku mengobati luka-lukaku dan setelah sembuh, aku mengkhawatirkan keadaan isteriku. Kucari ke mana-mana tanpa hasil, maka akhirnya aku kembali bertapa di sini dengan tekun. Dan ini hari ia muncul dalam keadaan lumpuh dan penuh dendam hendak membunuhku."
Mendengar cerita itu, Hay Hay mengerutkan alisnya dan menghadapi Kiu-bwe Tok-li. "Tok-li, benarkah apa yang diceritakan suamimu tadi?"
"Benar atau tidak benar, engkau harus menyerangnya. Engkau sudah berjanji dan kalau engkau melanggar janji, gadis ini tentu akan kubunuh lebih dahulu!"
"Akan tetapi, kalau yang dlceritakannya itu benar, bagaimana engkau kini menjadi lumpuh? Padahal, dalam perkelahian itu engkau tidak terluka oleh suamimu!" kata Hay Hay. "Kiu-bwe Tok-li, sebelum aku memenuhi permintaanmu, ceritakanlah dahulu bagaimana engkau menjadi lumpuh dan tinggal puluhan tahun dalam guha itu, dan mana pula adanya laki-laki kekasihmu itu?"
“Pertanyaan itu tepat, Kim Siu, apakah yang telah terjadi? Engkau tahu benar bahwa bukan aku yang membuat engkau menjadi lumpuh begini…"
“Sama saja! Engkaulah penyebabnya!" bentak nenek itu. "Engkau telah melukainya secara hebat. Aku membawanya pergi dan dia mengenal tempat rahasia itu, sumur yang mempunyai lorong dan tembus sampai ke dalam guha di tengah tebing itu. Dia menyuruh aku membawanya ke sana. Setelah tiba di dalam guha itu, aku berusaha merawat lukanya. Akan tetapi lukanya terlampau parah. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat sembuh. Dia tidak ingin aku meninggalkannya lagi, ingin agar aku selamanya menemaninya di dalam guha itu, maka tiba-tiba dia lalu menyerangku dengan pukulan dahsyat yang membuat kedua kakiku lumpuh sehingga aku tidak akan dapat keluar dari dalam guha itu tanpa bantuan orang lain."
"Ih, betapa kejamnya orang itu!" Kui Hong berseru, jijik.
"Bocah tolol! Dia melakukan itu karena cintanya kepadaku! Dia mengerahkan tenaga terakhir untuk membuat aku lumpuh agar aku tidak meninggalkannya lagi. Dia melumpuhkan kedua kakiku karena terlalu cinta padaku." Nenek itu lalu menangis! Hay Hay, Kui Hong dan Lauw Kin suami nenek itu tertegun dan tenggelam dalam perasaan masing-masing.
"Lalu, di mana dia? Ketika kami memasuki guha, kami tidak melihatnya." kata Hay Hay.
"Pengerahan tenaga dahsyat yang dipergunakannya untuk melumpuhkan kedua kakiku itu membuat lukanya semakin parah. Akhlrnya, dalam waktu beberapa bulan saja dia meninggal dunia dalam pelukanku, dan aku hidup sendirian di sana, penuh dendam kepada keparat ini. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperdalam ilmu, dalam keadaan lumpuh tak mampu keluar, dan dendamku kepada keparat ini semakin berkobar."
"Semoga Tuhan mengampuni dosa kita semua…" Kakek itu mengeluh, “Sudahlah, Kim Siu, turunlah engkau dari punggung Nona itu. Bagaimanapun juga, engkau adalah isteriku dan aku tetap cinta kepadamu. Turunlah dan mari kuusahakan untuk mengobati kakimu sampai sembuh…"
Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan mereka semakin kagum kepada kakek itu. Tak dapat disangsikan lagi. Cinta kasih kakek itu sungguh murni! Akan tetapi, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu membentak. "Tidak! Engkau harus mampus di tanganku. Engkaulah yang menyebabkan aku kehilangan dia, dan menyebabkan aku selama puluhan tahun menderita sengsara! Hay Hay, cepat maju dan serang dia, tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau membantah, gadis ini akan mampus!” Dan tangannya yang mencengkeram tengkuk Kui Hong diperkuat, membuat gadis itu menyeringai karena nyeri.
Hay Hay tidak melihat jalan lain. "Baiklah! Locianpwe, terpaksa aku akan menyerangmu!" Hay Hay lalu maju, menyerang kakek itu yang cepat mengelak ketika melihat betapa cepat dan kuatnya gerakan pemuda yang menyerangnya. Tahulah dia bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, akan tetapi dia pun maklum bahwa pemuda ini terpaksa menaati perintah Ma Kim Siu karena gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu telah ditawan dan dijadikan sandera. Perih rasa hatinya. Dia maklum karena dapat menduga bahwa tentu pemuda dan gadis itu telah menolong Ma Kim Siu keluar dari dalam guha, akan tetapi sebagai balas jasa, nenek itu malah menyandera dan memaksa mereka membantunya.
Bagaimanapun juga, puteri Ketua Cin-ling-pai itu harus diselamatkan, demikian pikir Hek-hiat-kwi Lauw Kin. Inilah kesempatan baginya untuk menebus dosa suhu dan subonya terhadap keluarga Cia! Suhu dan subo telah membunuh isteri Cia, Han Tiong, dan kalau sekarang dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatka seorang gadis keturunan keluarga Cia, biarpun sedikit berarti dia telah mengurangi dosa suhu dan subonya. Dia harus berkorban, itulah satu-satunya jalan. Kalau dia kalah dan roboh terbunuh oleh pemuda ini, tentu gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu akan dibebaskan. Akan tetapi, dia tahu akan kecerdikan isterinya. Kalau isterinya mengetahui bahwa dia mengalah dan berkorban, belum tentu gadis itu dibebaskan. Untung baginya, pemuda itu lihai sekali, melihat dari gerakannya dan tenaganya, sehingga tidak akan terlalu sukar baginya untuk berpura-pura kalah sehingga menerima pukulan maut yang akan dapat menewaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Maka, dia pun kini menangkis dan membalas serangan sehingga seolah-olah terjadi perkelahian sungguh-sungguh dan mati-matian antara Hek-hiat-kwi Lauw Kin dan Hay Hay! Bagaimanapun juga, Hek-hiat-kwi adalah seorang yang sejak mudanya berkecimpung dalam dunia persilatan, maka seperti para tokoh persilatan pada umumnya, dia pun memiliki satu kelemahan, yaitu ingin sekali melihat atau menguji ilmu silat apabila bertemu lawan yang pandai! Kini, berhadapan dengan Hay Hay dan melihat gerakan yang amat hebat dari pemuda ini, timbullah kegembiraan dalam hatinya dan biarpun dia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan puteri Ketua Cin-ling-pai, dia akan memuaskan hatinya lebih dulu dengan menguji kepandaian pemuda ini! Sebaliknya, penyakit yang serupa juga melanda watak Hay Hay. Ketika pemuda ini melihat gerakan kakek itu, merasakan kekuatan yang terkandung dalam kedua lengannya, dia pun merasa gembira dan ingin menguji sampai di mana kelihaian kakek itu. Inilah sebabnya maka kedua orang ini mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaga secara sungguh-sungguh dan nampak keduanya seperti terlibat dalam perkelahian yang mati-matian! Demikian hebat gerakan kedua orang ini sehingga Kui Hong sendiri, juga nenek iblis itu, dapat dikelabuhi!
Setelah bertanding dan merasa puas melihat betapa pemuda itu benar-benar hebat dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tidak kalah olehnya, Hek-hiat-kwi baru merasa puas dan dia pun kini ingin mengakhiri perkelahian dengan mengorbankan nyawanya. Hay Hay sedang melancarkan serangan dahsyat, dengan tangan kiri mencengkeram lambung dan tangan kanan menampar ke arah ubun-ubun kepala. Serangan ini dahsyat sekali, angin pukulannya menyambar ganas. Hek-hiat-kwi sengaja memppelambat gerakannya mengelak dan menangkis dan dia merasa yakin bahwa serangan itu tentu akan mengenai dirinya terutama bagian ubun-ubunnya agar dia dapat tewas dengan cepat. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa heran rasa hatinya ketika pada saat yang tepat, sama sekali tidak kentara, pemuda itu menyelewengkan serangannya sehingga meleset dan tidak mengenai sasaran, seolah-olah terelak atau tertangkis! Dan pada saat dia membalas dengan tendangan yang ringan saja, tendangannya itu mengenai pangkal paha pemuda itu yang membuat Hay Hay terhuyung ke belakang! Hampir saja Hek-hiat-kwi berseru heran. Ini tidak mungkin, pikirnya! Tadi dia mengeluarkan ilmu tendangan simpanannya yang amat dahsyat, dan semua tendangan dapat dihindarkan pemuda itu. Mana mungkin tendangan ringan saja dapat mengenai paha dan membuat pemuda itu terhuyung? Dan serangan pemuda tadi pun sengaja diselewengkan! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu sengaja mengalah! Akan tetapi apa maksudnya? Ketika dia mengangkat muka memandang dengan tajam, dia melihat betapa pemuda itu berkedip kepadanya. Kiu-bwe Tok-li tidak melihat kedipan ini karena ia berada di punggung nona yang berdiri di belakang pemuda itu. Dan dia pun bukan orang bodoh. Pemuda ini sengaja mengalah tentu mempunyai maksud dan merupakan suatu siasat! Maka, biarpun dia belum dapat menduga dengan tepat apa maksudnya, dia mengambil keputusan untuk ikut bersandiwara!
"Engkau masih belum menyerah kalah?" bentaknya ketika melihat pemuda itu maju lagi menyerang. Kini dia bahkan mengeluarkan lagi ilmu-ilmunya yang paling dahsyat. Tadi, semua ilmu simpanannya dapat digagalkan oleh pemuda itu, akan tetapi sekarang, begitu dia membalas dan mendesak, pemuda itu segera kelihatan terdesak sekali dan beberapa kali terhuyung, dan main mundur saja! Kakek itu semakin yakin bahwa lawannya benar-benar bersandiwara, memainkan suatu siasat.
Melihat betapa Hay Hay terdesak hebat, Kui Hong berseru. “Nek, lihat! Hay Hay terdesak terus. Turunlah, biar aku yang membantunya menghadapi kakek itu!"
Mendengar teriakan gadis itu, mengertilah Hek-hiat-kwi apa maksud permaian sandiwara lawannya. Tentu untuk mengelabuhi Kiu-bwe Tok-li agar mau membebaskan gadis itu agar dapat membantu mengeroyoknya! Maka dia pun mendesak semakin hebat dan sebuah tamparan tangan kirinya diterima dengan sengaja namun tidak kentara oleh Hay Hay, membuat tubuh Hay Hay terpelanting, akan tetapi pemuda itu tidak sampai roboh. Dia menyusulkan tendangannya yang dapat dielakkan oleh Hay Hay.
"Tok-li, lihat, dia makin payah!" kata Kui Hong yang benar-benar merasa khawatir.
"Hemm, jangan ribut dan jangan bergerak! Dia belum kalah!" kata nenek itu, sepasang matanya dengan tajam dan cerdik mengamati gerakan kedua orang itu.
"Tapi, Nek. Kalau sampai dia benar-benar kalah dan tewas, tentu engkau dan aku akan tewas pula di tangan kakek itu!" Kui Hong membantah.
"Desss….!" pada saat itu, Hay Hay terkena pukulan pada pundaknya dan sekali ini tubuhnya terguling-guling dan terbanting keras sampai debu mengepul dan pemuda itu memuntahkan darah segar! Sejak tadi saja Hay Hay menaruh perhatian akan percakapan antara Kui Hong dan nenek itu. Melihat betapa nenek itu masih belum terpancing, dia sengaja menerima hantaman tadi dengan pundaknya dan dengan tingkat kepandaiannya yang tinggi, dia mampu berlagak seolah-olah dia terluka parah dan muntahkan darah segar.
Sekali ini Kiu-bwe Tok-1i terjebak. Melihat keadaan pemuda itu memang parah, ia lalu berkata, "Kui Hong, majulah akan tetapi biar aku yang membantu Hay Hay!"
Dengan girang Kui Hong meloncat ke depan dan melihat gerakan yang amat ringan dari gadis itu, diam-diam Hek-hiat -kwi terkejut. Kiranya puteri Ketua Cin-ling-pai itu pun memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sekali! Dia merasa kagum. Akan tetapi karena gadis itu telah berada di depannya dan isterinya telah menyerangnya dengan cambuk ekor sembilan yang amat berbahaya, dia pun meloncat ke belakang. Hay Hay bangkit dan mengerling ke arah nenek itu. Ternyata nenek itu tetap hanya mempergunakan tangan kanan untuk memainkan cambuknya, sedangkan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Kui Hong! Maka dia pun maju lagi dan membantu nenek itu mengcroyok Hek-hiat-kwi.
Hek-hiat-kwi segera terdesak hebat. Dengan kagum dia melihat betapa isterinya, walaupun kedua kakinya lumpuh, telah memperoleh kemajuan pesat dengan gerakan cambuknya, dan juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan cambuk itu kuat bukan main. Biarpun lumpuh, karena digendong seorang gadis yang memiliki gin-kang sedemikian hebat, gerakannya tentu saja menjadi semakin lincah. Cambuk itu meledak-ledak dari sembilan penjuru karena cambuk sembilan ekor bergerak dengan aneh, masing-masing ekor seperti hidup tersendiri. Ada yang menotok, ada yang melecut, ada pula yang membabat, dan setiap ekor cambuk menyambar bagian tubuh yang berbahaya!
Hay Hay yang beraksi telah menderita luka itu, membantu dengan kacau sehingga seringkali dia malah menghalangi sambaran cambuk! Beberapa kali nenek itu memaki dan membentaknya agar minggir.
Hek-hiat-kwi kini melihat kesempatan bagaimana untuk menolong nona itu, tanpa mengorbankan nyawanya walaupun bukan tidak berbahaya. Dia harus dapat membuat nenek itu melepaskan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu, dan satu-satunya jalan adalah membuat cambuk itu tak berdaya agar nenek itu terpaksa menggunakan tangan kirinya.
"Tar-tar-tarrr …!" Kembali cambuk sembilan ekor itu meledak-ledak dan menari-nari. Hek-hiat-kwi sudah mengenal ilmu cambuk isterinya ini, maka begitu ujung-ujung cambuk menyambar, dia tidak mengelak, bahkan langsung menerjang ke depan. Hay Hay menyerang dari samping dengan kedua tangannya gencar memukul, akan tetapi pukulan-pukulan ini tidak mengenai tubuh lawan bahkan hawa pukulannya menangkis sedikitnya enam batang ujung cambuk yang seperti ditiup ke samping! Dan Hek-hiat-kwi sudah dapat menangkap yang tiga ujung lainnya, kemudian dengan sebelah tangan berhasil pula menangkap enam ujung yang menyeleweng oleh hawa pukulan Hay Hay tadi.
Nenek itu terkejut. Tak disangkanya bahwa bekas suaminya kini sedemikian lihainya sehingga cambuknya yang sembilan ekor itu telah dapat ditangkap oleh kedua tangan sehingga cambuk itu tidak berdaya lagi. Ia melihat betapa kepala bekas suaminya itu demikian dekat, tak terlindung karena kedua tangan suaminya mencengkeram sembilan ujung cambuk. Melihat ini, sejenak ia lupa diri, lupa bahwa ia harus selalu mengancam Kui Hong dengan cengkeraman tangan kiri pada tengkuk. Tangan kirinya melepaskan tengkuk Kui Hong dan menyambar ke arah kepala bekas suaminya!
Sejak tengkuknya dicengkeram nenek itu, tak pernah sedetik pun Kui Hong lengah. Ia selalu menanti datangnya kesempatan untuk membebaskan dirinya. Oleh karena itu, begitu merasa bahwa cengkeraman tangan nenek itu meninggalkan tengkuknya, ia mengeluarkan lengkingan panjang dan sambil mengerahkan tenaganya, tubuhnya diguncang dan ia pun meloncat ke samping. Tentu saja tubuh nenek yang hanya nongkrong di atas punggungnya tanpa daya, tanpa adanya kekuatan untuk melekat, dengan mudah terlepas. Pada saat yang sama, Hay Hay sudah membuat gerakan membalik dan melihat tangan kiri nenek itu menghantam ke arah kepala Hek-hiat-kwi, dia pun cepat menangkis dan tangan yang lain menotok. Maka robohlah tubuh nenek itu dengan mengeluarkan jeritan marah. Tubuh itu kini terpelanting dan tak mampu bergerak lagi, di atas tanah. Hanya sepasang matanya yang tajam itu saja yang masih melotot dengan penuh kebencian.
"Hay Hay, mari kita hajar suaminya yang tadi hampir mencelakaimu!" kata Kui Hong" siap untuk menyerang Hek-hiat-kwi Lauw Kin.
"Tahan dulu, Kui Hong!" kata Hay Hay. "Dia tidak pernah mau mencelakaiku. Tadi kami hanya bermain sandiwara untuk mengelabuhi nenek ini. Aku pura-pura terdesalk agar Kiu-bwe Tok-li maju, dan siasat kami berhasil baik.”
"Ohhh…?" Kui Hong terkejut dan merasa malu sendiri. "Kalau begitu, biar kubunuh saja nenek iblis ini!"
“Nona… jangan….!” Hek-hiat-kwi Lauw Kin berseru sambil meloncat ke depan, melindungi tubuh isterinya. "Kalau ia sudah melakukan kesalahan terhadap Nona, biarlah aku sebagai suaminya yang mintakan ampun." Berkata demikian, kakek itu tanpa segan-segan lalu menjura berkali-kali kepada Kui Hong sebagai penghormatan sehingga gadis itu menjadi kikuk dan menyingkir.
"Kui Hong tidak sepatutnya kita membunuhnya. Biarpun ia telah berbuat jahat terhadap kita, menyanderamu dan memaksa kita membantunya, akan tetapi bagaimanapun juga, ia telah menyelamatkan kita dari pohon itu." Hay Hay lalu menceritakan apa yang mereka alami sampai dapat bertemu dengan nenek Kiu-bwe Tok-li di guha tebing yang amat curam itu.
Mendengar kisah yang diceritakan Hay Hay, kakek itu merasa kagum bukan main. "Ji-wi (kalian berdua) masih muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Ingin aku bicara lebih banyak, mengenai riwayat Ji-wi dan bicara tentang para pendekar, akan tetapi lebih dulu aku harus mencoba untuk mengobati kedua kaki isteriku ini dan juga berusaha mengobati batinnya yang rusak oleh dendam dan derita. Akan tetapi sedikitnya ingin aku mengetahui siapa guru Ji-wi. Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai, kiranya mudah diduga bahwa ilmu silatnya tentulah dari Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya., siapakah guru Taihiap (Pendekar Besar) yang perkasa?”
Sebetulnya jarang sekali Hay Hay menyebut nama guru-gurunya, maka menghadapi pertanyaan ini, dia menjadi ragu-ragu. Melihat keraguan pemuda itu, Hek-hiat-kwi cepat berkata, "Biarlah kita bicara kelak saja, akan tetapi aku mohon sukalah Ji-wi menjadi tamuku dan makan bersamaku, agar aku mendapat kesempatan mengenal Ji-wi lebih baik dan untuk menunjukkan hormat dan terima kasihku."
"Terima kasih? Untuk apa Locianpwe harus berterima kasih kepada kami?" tanya Kui Hong yang telah mendapatkan kembali kelincahannya. Semenjak ia dan Hay Hay terjatuh ke dalam jurang, gadis ini mengalami peristiwa yang menegangkan, selalu terancam maut dan baru sekarang ia merasa memperoleh kernbali kebebasannya.
"Benar, Locianpwe tidak berhutang budi apa pun kepada kami, sebaliknya Lociapwe telah membantu sehingga Kui Hong dapat terlepas dari cengkeraman Kiu-bwe Tok-li. Kami yang sepatutnya berterima kasih." sambung Hay Hay.
Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala dengan pasti. "Kalian orang-orang muda yang gagah perkasa telah menolong isteriku keluar dari tempat terasing dan telah berhasil mempertemukan kami suami isteri, dan tanpa bantuan Ji-wi kiranya tidak mudah bagiku untuk menundukkannya. Mari, sobat-sobat muda yang baik, silakan masuk ke dalam guha dan aku mempunyai semua bahan masakan untuk dapat kita masak dan makan bersama." Kakek itu lalu memondong tubuh ister inya yang masih lemas oleh totokan Hay Hay, dan setelah saling pandang, dua orang muda itu mengikutinya dari belakang. Tanpa mengeluarkan kata, dalam batin Hay Hay dan Kui Hong terdapat keinginan yang sama, tertarik oleh penawaran kakek itu, ialah ingin mengisi perut mereka yang kini terasa lapar bukan main!
Guha itu lebar dan dalam, juga bersih. Seperti ruangan dalam rumah saja, ada kamarnya. "Sobat-sobat muda, di sudut sana terdapat sayur-sayur, daging kering, beras, buah-buahan boleh kalian pilih untuk dimasak. Aku harus lebih dulu memberi pengobatan pertama kepada isteriku. Nah, silakan dan harap jangan sungkan. Nanti setelah aku mengobati isteriku, kita makan sambil bicara dengan leluasa." Hek-hiat-kwi membawa isterinya ke dalam kamarnya di bagian paling dalam dari guha itu.
Setelah kakek itu membawa isterinya ke dalam kamar guha, Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan Hay Hay tersenyum nakal sambil menuding ke arah sudut dan menepuk perutnya. Melihat sikap ini, Kui Hong menjadi geli dan tersenyum pula, .bahkan menutup mulut agar suara tawanya jangan sampai terlepas. Keduanya lalu berindap ke sudut tadi dan dapat dibayangkan betapa girang hati mereka menemukan barang-barang yang amat dibutuhkan mereka saat itu. Daging dendeng ker ing asin dan manis, terbuat dari daging yang segar. Sayur-sayuran yang juga masih segar, bermacam-macam, ada pula lobak dan sawi kegemaran Kui Hong, juga terdapat buah-buahan yang manis segar itu. Di situ terdapat pula gandum, beras dan bumbu-bumbu masak yang serba lengkap!
"Heh-heh, makan besar kita sekali ini!” Hay Hay berbisik.
"Kita masak di luar guha saja, kita harus masak yang cukup banyak untuk kakek itu dan isterinya." bisik pula Kui Hong. Hay Hay merasa setuju dan mereka lalu mengangkut bahan-bahan masakan ke luar guha di mana terdapat batu-batu yang telah dlsusun sedemikian rupa untuk menjadi tempat perapian. Agaknya Hek-hiat-kwi juga kadang-kadang masak di luar guha. Hay Hay lalu mencari kayu bakar, Kui Hong memotong daging dan sayur, menanak nasi dan mulutnya tiada hentinya mengunyah buah segar. Banyak buah appel di situ, juga jeruk yang manis.
Tak lama kemudian, setelah kedua orang muda itu sibuk memasak beberapa macam masakan dan siap untuk mempersilakan tuan dan nyonya rumah untuk makan, tiba-tiba mereka mendengar jerit melengking dari dalam guha. Dua orang muda itu terkejut bukan main dan bagaikan terbang saja keduanya lari ke dalam guha dan langsung menghampiri kamar guha yang daun pintunya tertutup. Tanpa ragu lagi Hay Hay mendorong daun pintu itu sehingga terbuka dan penglihatan di dalam kamar membuat mereka berdua terbelalak. Kakek Hek-hiat-kwi duduk bersila, seperti tidak percaya menunduk dan memandang ke arah dadanya yang terluka parah. Bajunya robek dan darah merah membasahi seluruh dada, bahkan bercucuran keluar. Adapun nenek itu, dalam keadaan telanjang bulat dan rebah miring, mukanya menyeringai seperti iblis dan kini nenek itu tertawa, seperti suara tawa yang muncul dari balik kubur.
“Hi-hi-hi-heh-heh! Jahanam Lauw Kin, mampuslah engkau sekarang, mampuslah di tanganku… ha-ha, kita berjumpa lagi dengan dia di neraka…. aughhhhh…!" Dan tubuh itu terkulait tewas!
“Kim Siu…..!” Kakek itu mengeluh, seperti orang meratap.
"Locianpwe, apa yang telah terjadi?" Hay Hay berseru dan menghampiri, diikuti Kui Hong. Mereka bersiap siaga.
"Kim Siu….. ah, takkusangka ...ketika aku sedang mengobatinya dengan pengerahan sin-kangt mencoba mengusir hawa dari pukulan beracun yang melumpuhkan kakinya, ia siuman dan tiba-tiba saja ia menyerangku dengan pukulan tangannya. Tangannya seperti sebatang golok menusuk dadaku... akan tetapi... sin-kang dari kedua tanganku tanpa terkendali lagi juga menyusup liar ke tubuhnya dan ia... ia terluka parah dan tewas dan... dan…"
"Tenanglah, Locianpwe, biar kuperiksa lukamu." kata Hay Hay yang cepat menghampiri kakek itu dan merobek bajunya. Kui Hong memandang ngeri. Dada itu seperti dibacok golok, robek dan parah.
"Lihat..." kakek itu terengah, "Lihat, darahku merah! Tidak hitam lagi... tanda bahwa aku... aku telah bersih..." kakek itu tertawa bergelak, kemudian terkulai dan ketika Hay Hay memeriksanya, dia pun sudah tewas seperti isterinya! Hay Hay menarik napas panjang. Memang luka di dada oleh pukulan Kiu-bwe Tok-li itu hebat, lebih parah daripada kalau nenek itu mempergunakan sebatang golok besar.
"Gila… sungguh gila…”
Hay Hay memandang gadis itu, akan tetapi dia diam saja walaupun dia merasa heran mengapa Kui Hong berkata demikian. "Mari kita keluar dari sini." ajaknya. Kui Hong dan Hay Hay keluar dari dalam kamar maut itu, dan Hay Hay mengangkat daun pintu yang tadi roboh oleh dorongannya,memasangnya kembali. "Aku akan mengganjalnya dengah batu besar agar tidak mudah dibuka orang."
"Hemm, mengapa kaulakukan itu?” tanya Kui Hong.
"Kita biarkan saja mereka di dalam kamar guha, karena tempat itu merupakan kuburan yang cukup baik. Mereka takkan diganggu binatang buas."
Kui Hong membantu Hay Hay mendorong masuk guha itu sebuah batu besar dan batu itu mereka dorong sampai menutupi pintu kamar dengan rapat. Tak seekor pun binatang buas akan dapat memasuki kamar itu dan mengganggu dua sosok mayat di dalamnya. Kemudian mereka keluar.
"Mari kita makan dulu sebelum pergi." kata pula Hay Hay. Peristiwa yang terjadi dalam kamar guha itu amat mengerikan dan mengesankan sehingga dua orang muda yang biasanya berwatak gembira itu kini seperti kehilangan kegembiraan mereka. Bahkan Kui Hong kehilangan nafsu makannya. Tadinya ia tidak mau makan karena biarpun perutnya amat lapar namun lenyap sama sekali nafsu makannya, akan tetapi Hay Hay membujuknya dan akhirnya mau juga dara itu makan sedikit nasi dengan sayur. Ia lebih banyak makan buah untuk mengisi perut yang kosong.
Setelah makan Hay Hay dan Kui Hong mengembalikan semua alat masak ke dalam guha dan membersihkan tempat itu, kemudian sebelum pergi, Hay Hay mengajak gadis itu berdiri di depan pintu kamar guha yang sudah tertutup batu besar.
"Locianpwe Lauw Kin, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu. Kami hendak pergi dari sini dan semoga Locianpwe memperoleh kedamaian dan ketenteraman bersama isteri Locianpwe."
Kui Hong diam saja, hanya mendengarkan ucapan Hay Hay yang seperti berdoa itu. Mereka lalu keluar dari dalam guha, menuruni bukit itu tanpa banyak bicara, namun terasa kelegaan menyusup ke dalam hati setelah mereka meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
***
Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya dan menjatuhkan diri di atas rumput dan…. menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya, dapat memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran. Semenjak bertemu dengan Kui Hong, berebutan bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi cengkeraman maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang tinggi ilmunya, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu kini tiba-tlba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali.
"Kui Hong mengapa engkau menangis?" Akhirnya Hay Hay bertanya lembut setelah dia pun duduk di depan gadis itu. Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka terjatuh ke dalam jurang. Gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika ia merasa amat terhina oleh nenek iblis dan ketidak-berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya.
Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong mengusap sisa air matanya. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri! Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tak pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu.
"Ihh, Hay Hay! Kenapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!" Dan Kui Hini tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti para gadis pada umumnya.
"Lho! Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang sudah dapat menguasai diri yang tadi dicekam keheranan. "Sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangis. Engkau tadi menangis tanpa sebab lalu kini tertawa geli. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?"
Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala. "Entah, Hay Hay, aku sendiri pun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita terjatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti, aku merasa demikian lega dan ringan hatiku sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!"
Kini mengertilah Hay Hay dan dia pun mengangguk-angguk. " Ah, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong."
“Beruntung? Apa maksudmu?"
“Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau, adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tidak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau sudah terbebas dari semua itu, kemudian setelah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi lega dan gembira sehingga engkau memperoleh kembali watakmu yang aseli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak…”
Sepasang mata itu melotot dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut. "Aku? Kau berani mengatakan aku galak?"
Hay Hay tertawa. "Nah… nah… baru dikatakan galak saja sudah marah. Apalagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main,kaumaafkan aku, Nona manis."
Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Ia nampak termenung karena ia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar guha itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berka lirih, “Gila, sungguh gila….!”
Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu. "Ah, sudah dua kali engkau mengatakan itu, Kui Hong!"
"Dua kali?" Gadis ini pun bertanya heran.
“Iya, ketika kita hendak meninggalkan guha, di depan kamar guha itu engkau pun mengatakan demikian, dan sekarang engkau mengulanginya. Apa dan siapa yang kaukatakan gila itu?”
"Mereka, kakek dan nenek itu. Mereka menjadi gila karena cinta." Kata Kui Hong, termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja.
Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Manis sekali puteri Ketua Cin-ling-pai ini, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biarpun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu. Lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang menghapus kekerasan pada ujung kedua bibirnya.
"Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam soal cinta sehingga tahu bahwa mereka tnenjadi gila karena cinta." pancing Hay Hay. Mata itu, biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui amat indah, bening kalau mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali.
"Biarpun bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila karena cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu, sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek yang jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tidak semestinya dia demikian mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."
Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. "Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya amat murni dan suci. Biarpun isterinya telah melakukan penyelewengan dengan laki-lakl lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya berusaha membunuhnya kemudian meninggalkannya sampai puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan kiranya di dunia ini sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."
"Itu sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya patut dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itu pun sudah gila karena cintanya kepada kekasihnya. Kekasihnya itu telah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, akan tetapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke guha, merawatnya.
Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin di tinggalkan. Dan nenek i tu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematiannya kepada Hek-hiat-kwi. Apalagi namanya itu kalau tidak gila?"
"Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta berahi, cinta nafsu belaka! Mungkin pria yang menjadi kekasihnya itu amat tampan, amat menyenangkan hatinya sehingga ketika ia kehilangan kekasihya itu, ia merasa kecewa dan berduka, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas."
"Itulah, bukankah gila keduanya itu? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tidak semestinya begitu!" kata pula Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena ia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri.
Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta itu seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, hamba nafsu berahi yang sudah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, tidak akan aneh terdengarnya. Akan tetapi keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya, sungguh terdengar lucu dan ganjil.
"Kui Hong, engkau hebat! Kalau menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?" Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia khawatir kalau gadis itu menjadi marah. Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar memberi kuliah kepada para mahasiswanya, ia berkata, "Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung berahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembangbiakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa berahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu berahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki maka terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar berahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaan pun dapat mereka pertahankan."
Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih “hijau” ini dapat bicara demikian panjang lepar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji.
"Hebat, engkau hebat, Nona! Engkau ternyata seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"
Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri dan bertolak pinggang. "Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"
Tentu saja Hay Hay terkejut dan tidak mau bangkit berdiri. "Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?"
"Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Jelas engkau menghinaku, mengatakan bahwa aklu sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kaukira aku ini petualang cinta ?"
"Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, akan tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tidak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau tidak banyak pengalaman kalau pandai menguraikan soal cinta demikian jelas dan terperinci? Dari mana engkau memperoleh pengetahuan yang demikian luas tentang cinta?”
"Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!"
" Akan tetapi, bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?"
"Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?" bentak Kui Hong. "Tentu saja orang dapat memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor monyet, anjing atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi monyet, anjing atau babi?"
Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?"
"Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"
"Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong. Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?"
"Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentu laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Dan Ibuku selalu memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"
"Wah-wah, banyaknya tuduhan itu! Kaubilang aku hidung belang." dia mengelus hidungnya. yang mancung dan sama sekali tidak belang, "akan tetapi aku yakin hidungku tidak pernah belang, dan mata keranjang? Mataku pun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku kurang ajar karena sejakkecil tidak mengenal Ayah Ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"
Kui Hong membanting .kaki kanannya, lalu duduk lagi di atas rumput dan mengomel karena merasa kewalahan berdebat. "Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apakah itu bukan merayu namanya?"
"Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang amat manis itu menjadi amat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, kerling matamu demikian tajam menyayat!" Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena canggung dan malu, akan tetapi ia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.
"Dan hidungmu itu! Sungguh mati, belum pernah shidupku aku melihat hidung seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang amat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat " Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali.
"Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ah, tidak mudah melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, dalam keadaan bagaimana pun tetap indah menarik. Kalau diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum seperti bunga mawar mekar merekah, kalau tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, kalau cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tak tersisir akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai…!"
Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya ia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar. Akan tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat ia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Ia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia berseru. "Cukup….!!" Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan ia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar, penuh selidik. Akan tetapi ia tidak menemukan kekurangajaran di dalam pandang mata pemuda itu.
"Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukan seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk? Laki-laki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!"
Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walaupun ia merasa malu dan canggung, Akhirnya ia mengangkat muka dan kedua orang itu beradu pandang. "Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?"
"Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong."
Kui Hong tidak cemberut kali ini, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Ia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, demikian pandai memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, namun tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tidak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali.
"Dan engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay."
Hay Hay tertawa girang. Dia bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam. "Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!” Dia lalu memandang ke sekeliling. "Akan tetapi senja telah larut dan malam hampir tiba. Tidakkah sebaiknya kita melanjutkan perjalanan mencari dusun agar kita mendapatkan rumah untuk melewatkan malam?"
Kui Hong menggeleng kepalanya. "Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal di sini sediri!" Kalimat terakhir mengandung kekerasan.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!"
"Hemm? Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?"
"Batu bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras seperti baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak."
"Engkau harus bercerita lebih dulu." kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan agaknya tak jauh dari situ terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air.
"Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab."
"Hay Hay, tadi ketika engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak dan kemudian ternyata engkau bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis. Andaikata engkau tidak mengalah, apakah engkau akan dapat mengalahkan Hek-hiat-kwi?"
"Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya aneh dan matang, tenaga saktinya juga amat kuat. Akan tetapi, aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh." jawab Hay Hay sejujurnya.
Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum. "Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai ilmu silatmu, jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bahkan engkau pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun…"
"Eh? Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu…."
"Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?"
"Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tidak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, pantas mendapatkan keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat adalah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu. Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Pohai, dan See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu guru suheng Cia Sun. Yang mematangkan ilmu-ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin."
Kui Hong memandang penun kagum. "Pantas engkau hebat. Kiranya yang menjadi guru-gurumu dalam ilmu silat adalah dua di antara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kong-kong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri…"
"Ah, jangan mengejek, Kui Hong! Siapa sudi kepada orang macam aku? Aku belum menikah, bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!"
"Hemm, benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi."
"Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh." "Begitu pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Di mana mereka tinggal?"
Sekali ini, lenyaplah seri wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang diliputi mendung.
"Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku tidak tahu siapa nama Ibuku. Aku pun tidak pernah melihat Ayah Ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil, dan Ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana.”
"Ohhhh…!" Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay Hay…"
Keriangan watak Hay Hay pulih kembali. "Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri pun tidak kasihan kepada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau memang sudah semestinya begitu keadaan hidupku?"
"Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal Ayah Ibumu? Apa yang telah terjadi dengan mereka?"
Hay Hay merasa canggung sekali, akan tetapi karena sudah berjanji, dia terpaksa menceritakan sebagian dari riwayatnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek. "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku masih kecil sekali, agaknya Ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Perahu itu terguling, Ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong."
"Nanti dulu." bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kaupengaruhi dengan ilmu sihirmu?"
"Ah, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biarpun aku sudah tahu bahwa Ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu."
"Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, adapun Ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis…"
"Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kong-kongmu?" kata Hay Hay penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kaudapat dari orang tuamu."
"Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari Kakek dan Nenekku."
"Pantas! Ilmu silatmu demikian lihai, Kui Hong. Apalagi dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan taluk."
"Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau." kata Kui Hong yang tidak ingin bicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan tentang keretakan rumah tangga orang tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?"
Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce.
"Menurut keterangan kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga bergabung dengan persekutuan itu. Nah, sekarang aku sedang menuju ke sana ketika perutku terasa lapar dan aku berburu kijang itu dan bertemu denganmu.” Hay Hay tersenyum ketika teringat akan peristiwa itu. "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?”
“Aku? Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga mencari seorang pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepatutnya dihancurkan karena dia dapat menjadi seorang yang amat berbahaya." Kui Hong mengepal tinju dan nampak marah sekali.
Hay Hay terkejut dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang. "Hemm, siapakah orang itu? Seorang murid Cin-ling-pai?"
"Kalau hanya murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai dari hanya seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah."
"Ahhh...! Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?"
"Benar. Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di laut yang sejak kecil ditolong oleh Kakek dan Nenekku, diambil murid dan digembleng. Aku sendiri ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang lalu, dia minggat dari pulau membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah Kakek dan Nenek lalu mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat menandinginya."
"Tapi... tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia mempunyai ahlak yang baik. Mengapa dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik Kakekmu?"
"Menurut Kakek dan Nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat kotor dan kurang ajar terhadap diriku.
Aku menolak dan menyerangnya, kami berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang Kakek yang bernama Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)."
"Aih, kiranya begitu?" Hay Hay mengangguk-angguk. "Terbuktilah sekarang bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu karena engkau memang cantik menggairahkan, hanya dia tidak mampu melawan nafsu berahinya sendiri sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti semua keindahan, menjadi berbahaya sekali kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai kesenangan,."
"Hemm, engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka akan kecantikan wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita, bukan?"
"Tidak kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan tertarik akan kecantikan wanita seperti aku suka dan tertarik akan kecantikan bunga-bunga yang beraneka warna dan bentuk. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi, aku tidak membiarkan diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi berahi yang akan mendorongku ke arah perbuatan yang melanggar susila."
Hening sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang bernyala itu. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa sinar api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya, sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut.
"Hay Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Hay Hay terkejut. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tak tersangka, seperti sebuah jurus serangan yang aneh dan berbahaya. Dia melihat betapa sepasang mata jeli dan tajam itu memandang kepadanya penuh selidik.
Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku bersukur bahwa aku belum pernah jatuh cinta, Kui Hong."
"Bersukur? Kenapa mesti bersukur?"
"Karena, seperti katamu tadi, cinta merupakan ikatan, seperti burung dalam sangkar. Aku tidak ingin terkurung dalam sangkar atau terikat kakiku, lebih suka terbang bebas di angkasa seperti seekor burung garuda! Bagaimana dengan engkau sendiri, Kui Hong? Seorang gadis selihai dan secantik engkau tentu banyak pengagumnya dan tentu engkau pernah jatuh cinta."
"Huh, engkau yang sudah berusia dua puluh satu tahun saja belum pernah jatuh cinta, apalagi aku yang baru berusia delapan belas tahun. Sudahlah, tak perlu kita bicara tentang cinta. Aku tertarik mendengar ceritamu tadi tentang para datuk yang bersekutu untuk memberontak itu. Siapa pula nama pemimpin mereka tadi, dan di mana mereka bersarang?"
"Menurut keterangan Menteri Yang, pemimpin mereka adalah Lam-hai Giam-lo seorang datuk sesat yang amat sakti, dan banyak tokoh sesat yang lihai bergabung dalam persekutuan itu, juga Pek-lian-kauw yang memiliki banyak tokoh lihai. Mereka sedang menyusun kekuatan di sepanjang Lembah Yangce, di Pegunungan Yunan."
"Hemm, aku tertarik sekali. Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai, sudah selayaknya kalau aku turun tangan menentang mereka. Dan siapa tahu, di sana aku akan dapat bertemu dengan murid murtad itu. Aku pun akan pergi ke sana, Hay Hay."
"Bagus! Kalau begitu kita melakukan perjalanan bersama, Kui Hong. Betapa senangnya melakukan perjalanan bersamamu!"
"Kenapa senang?” Kui Hong bertanya sambil mengerling, disertai senyum. Bagaimanapun juga, hati gadis ini senang mendengar pujian-pujian pemuda itu dan menginginkan lebih banyak mendengarnya.
"Kenapa? Tentu saja amat menyenangkan melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang cantik manis, lincah jenaka dan lihai pula ilmu silatnya. Biar bertemu setan dan iblis di jalan, aku tidak akan takut kalau melakukan perjalanan bersamamu, Kui Hong."
"Hushh, di malam gelap dan sunyi seperti ini, jangan bicara tentang setan dan iblis, Hay Hay!"
“Ah, sebentar lagi bulan akan muncul. Lihat di timur itu, sudah ada cahaya merah di langit timur, berarti bulan akan segera muncul."
"Apalagi waktu terang bulan, katanya setan dan iblis suka berkeliaran. Hihh, mengerikan!" Dan Kui Hong benar-benar agak menggigil mengenang tentang setan dan iblis.
"Ha-ha-ha, seorang gadis selihai engkau ini ngeri dan takut soal setan dan iblis? Sesungguhnya, merekalah yang harus merasa ngeri dan takut berhadapan denganmu, Kui Hong, bukan engkau yang takut!" Hay Hay berkelakar.
"Kalau setan dan iblis yang hanya dipakai penjahat untuk julukan mereka, tentu saja aku tidak takut sama sekali. Akan tetapi kalau setan dan iblis sungguh-sungguh, mahluk-mahluk halus, hiiihh, siapa yang tidak merasa ngeri?" Kui Hong memandang ke kanan kiri, lalu menoleh ke belakang. Ketika melakukan perjalanan seorang diri, gadis ini tidak takut menghadapi siapa pun, dan karena tidak pernah bicara atau berpikir tentang setan, maka ia pun tidak pernah takut. Kini, sekali Hay Hay menyebut tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia, teringat ia akan dongeng-dongeng mengerikan tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia.
"Kui Hong, apakah engkau pernah melihat sendiri setan itu?"
Kui Hong menggeleng kepala menyangkal.
"Kalau belum pernah melihat sendiri, bagaimana engkau bisa percaya adanya setan
“Hay Hay, banyak hal-hal yang gaib di dunia ini, yang tak dapat dilihat, namun toh ada dan harus dipercaya keadaannya. Siapa dapat melihat adanya angin? Siapa dapat melihat adanya nyawa? Siapa dapat melihat adanya Tuhan? Namun, kita toh percaya. Aku percaya akan adanya setan dan iblis seperti yang didongengkan orang."
Hay Hay mengangguk. "Memang, di dalam ilmu sihir, ada ilmu yang disebut ilmu hitam, yang kekuatannya berpangkal kepada kepercayaan dan pemujaan setan dan iblis. Seperti juga kepercayaan terhadap Tuhan, walaupun tak dapat dilihat, namun kekuasaan Tuhan dapat kita lihat di mana-mana, bahkan di dalam detak jantung kita sendiri, dalam pertumbuhan kuku dan rambut dan dalam seluruh kehidupan diri kita. Kalau Tuhan itu sumber segala kebenaran dan kebaikan, maka sebaliknya, setan itu sumber segala kejahatan. Aku sendiri ingin sekali melihat setan dengan mata kepala, namun tak pernah berhasil….”
"Ihhh... sudahlah, Hay Hay, jangan bicara tentang setan dan iblis di waktu seperti ini. Lihat bulan mulai muncul dan bayangan-bayangan pohon itu sungguh menyeramkan!" Kembali Kui Hong nampak ketakutan dan diam-diam gadis ini merasa beruntung sekali malam itu ada Hay Hay yang menemaninya. Ia menambahkan kayu pada api unggun sehingga api membesar.
"Aku mau tidur, tubuhku masih terasa lelah bukan main." katanya dan ia pun merebahkan diri miring di bawah pohon itu berbantal tangan.
"Tidulah, biar aku yang berjaga. Tidurlah dengan tenang dan nyenyak dan jangan takut akan diganggu setan…."
Tiba-tiba Kui Hong menahan jeritnya dan meloncat duduk dengan mata terbelalak memandang ke sebelah kirinya.
"Kui Hong! Ada apakah?" tanya Hay Hay dan dia pun menoleh. Dia pun terbelalak karena melihat asap hitam mengepul dan di tengah asap itu muncullah bentuk yang amat menyeramkan, seorang manusia seperti raksasa, tinggi besar, mukanya hitam arang, matanya lebar melotot hidungnya besar dan mulutnya bertaring! Pendeknya, bukan bentuk manusia umum yang muncul dari dalam asap hitam itu, melainkan ujud yang biasanya dimiliki setan datam dongeng!
Kui Hong yang tadinya terkejut sekali, kini tiba-tiba meloncat ke arah bayangan raksasa itu dan ia menyerang dengan pukulan dahsyat. Akan tetapi, gadis itu menahan pekiknya ketika tangannya tembus saja seolah-olah ia memukul bayangan! Dan "raksasa" itu tertawa bergelak, giginya yang besar-besar nampak dan lidahnya terjulur panjang! Kui Hong menjadi pucat dan kini ia tidak meragukan lagi bahwa yang diserangnya itu sudah pasti setan! Bukan manusia biasa.
"Kui Hong, mundurlah dan biarkan aku menghadapinya." terdengar suara Hay Hay di belakangnya dan Kui Hong cepat melompat ke arah Hay Hay dan dengan tubuh gemetar ia ikut duduk di atas rumput dekat Hay Hay karena pemuda itu pun masih duduk seperti tadi. Saking ngeri dan takutnya, tanpa disadarinya Kui Hong duduk merapat dan merangkul leher pemuda itu, minta perlindungan.
" Aku... aku takut…" bisiknya dan suaranya juga gemetar. Api unggun kini padam karena tidak ditambah kayu, akan tetapi bulan sudah muncul sehingga cuaca cukup terang, akan tetapi penerangan redup yang menambah keseraman suasana. Kini suara ketawa terdengar semakin ramai dan dengan muka pucat dan mata terbelalak Kui Hong melihat bahwa kini, bersama dengan mengepulnya asap hitam, muncul pula empat sosok aayangan lain yang kesemuanya merupakan mahluk-mahluk mengerikan yang mengepung mereka dengan setengah lingkaran dari depan. Kui Hong merasa semakin takut dan di luar kesadarannya, kedua lengannya merangkul pundak dan leher Hay Hay, seperti seorang anak kecil yang ketakutan dan minta perlindungan dalam dekapan ibunya.
"Tenanglah, Kui Hong, itu hanya permainan kanak-kanak!" bisik Hay Hay. Padahal, di dalam hatinya, pemuda ini juga terkejut karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan sihir yang cukup kuat. Bayangan-bayangan menyeramkan itu adalah jadi-jadian atau ujud yang muncul karena kekuatan sihir ilmu hitam! Hay Hay mengerahkan kekuatan batinnya, tangannya mengambil tanah di bawah rumput, kemudian menujukan pandang matanya ke arah lima sosok bayangan setan yang menyeramkan itu. Bayangan-bayangan itu masih mengeluarkan suara ketawa yang tidak seperti suara manusia.
"Kalian datang dari tiada, kembalilah kepada tiada!" serunya dan tangannya melontarkan tanah ke arah bayangan-bayangan itu. Tanah itu melayang berpencar lebar dan mengenai lima sosok bayangan. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan lima sosok bayangan setan itu menghilang, berubah menjadi asap hitam dan kini lima gumpal asap itu menjadi satu, hitam dan tebal bergerak perlahan, membentuk sosok bayangan yang amat panjang dan ternyata berubah menjadi seekor naga hitam yang amat mengerikan!
“Ihhh…!" Kui Hong menggigil ketakutan. Gadis ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan memiliki keberanian menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, karena sebelumnya tadi ia sudah merasa ngeri ketika bicara tentang setan dengan Hay Hay, maka kini begitu muncul apa yang disangkanya setan benar-benar, ia kehilangan ketabahannya dan merasa takut bukan main. Ia menganggap bahwa semua ilmu silatnya tidak ada artinya sama sekali untuk melawan setan, dan kemunculan bentuk-bentuk yang menyeramkan itu menambah rasa takutnya. Apalagi tadi sudah dicobanya, ketika ia memukul, tangannya tembus saja tanpa mempengaruhi sedikit pun terhadap bayangan-bayangan itu. Kini rasa takut membuat wajahnya pucat, kepalanya pening dan tubuhnya lemas seolah-olah semua tenaganya lenyap meninggalkan tubuhnya.
Melihat betapa Kui Hong ketakutan, Hay Hay menjadi mendongkol juga kepada lima orang yang sedang mengganggu mereka dengan ilmu hitam. Dia mengerahkan semua tenaganya karena kini lima orang itu, dengan mempersatukan kekuatan sihir mereka, telah membentuk bayangan seekor naga hitam. Seperti yang pernah dipelajarinya dari Pek-mau San-jin, kembali tangannya mencengkeram segenggam tanah, mulutnya membaca mantra yang artinya. "Ngo-heng (Lima Unsur Inti) menjadi senjataku, Im-yang (Positip Negatip) rnenjadi perisaliku, kekuasaan Tuhan menjadi peganganku, dan hancurlah semua anasir jahat!" Dia melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga yang amat menyeramkan itu, yang kini agaknya hendak menerkam kedua orang muda itu, dengan mata yang bernyala, dengan mulut terbuka nampak gigi dan lidahya yang mengeluarkan asap dan suara geraman dahsyat.
"Darrr….!" Terdengar bunyi ledakan dan bayangan naga hitam itu pun lenyap berubah menjadi asap hitam dan kini nampaklah lima orang laki-laki berpakaian pendeta dengan gambar bunga teratai di jubah bagian dada mereka. Lima orang itu nampak marah sekali dan dengan cepat mereka menerjang ke arah Hay Hay dengan gaya masing-masing. Ada yang menubruk seperti seekor harimau menubruk kambing, ada yang menghantamkan kedua tangan ke arah kepala Hay Hay, ada pula yang melakukan tendangan kilat, dan ada pula yang mempergunakan tenaga dalam untuk menghantamkan kedua telapak tangan ke arah pemuda itu. Gerakan mereka itu berbareng, dan agaknya memang disengaja agar pemuda itu tidak lagi mampu menghindarkan diri dari pengeroyokan itu. Akan tetapi mereka itu terlalu memandang rendah kepada pemuda sederhana ini. Pengalaman mereka tadi saja, ketika mereka menggabungkan kekuatan sihir dan dibikin hancur dengan mudah oleh Hay Hay, mestinya telah memperingatkan mereka bahwa mereka menghadapi seorang pemuda yang amat lihai. Akan tetapi agaknya mereka memang bandel dan belum mengaku kalah.
Kui Hong masih ketakutan, seperti lemas dan hanya bersandar kepada Hay Hay. Ia masih bingung dan masih menganggap bahwa lima orang itu adalah setan-setan atau para siluman menyeramkan, yang tidak dapat dilawan dengan ilmu silat. Maka, melihat betapa mereka kini menerjang Hay Hay, ia pun hanya menonton saja dengan tubuh masih gemetar. Akan tetapi, melihat serangan mereka, Hay Hay yang waspada sudah dapat mengukur tenaga mereka, maka dia pun masih tetap saja duduk dan untuk menghadapi serangan mereka itu, dia menyambutnya dengan dorongan kedua tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke depan.
“Haiiittt….!" Pemuda itu membentak dan suaranya mengandung khi-kang amat kuat, sedangkan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat menyambut serangan lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan keras dan tubuh lima orang itu terjengkang dan terbanting roboh! Mereka baru terkejut bukan main, baru menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada mereka, maka tanpa dikomando lagi, lima orang itu pun lalu berloncatan dan lari menghilang di dalam kegelapan bayangan-bayangan pohon.
Setelah lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu pergi, baru Hay Hay memperhatikan keadaan Kui Hong. Gadis itu masih merangkulnya dan dengan tubuh lemas bersandar kepadanya, seperti orang kehabisan tenaga, dengan tubuh masih agak dingin gemetar, seperti seekor kelenci ketakutan yang baru saja terhindar dari terkaman harimau.
"Tenanglah, Kui Hong, mereka sudah pergi." kata Hay Hay dengan hati iba. Dia tahu bahwa Kui Hong bukan seorang pengecut atau penakut, akan tetapi pada saat itu gadis ini sedang dilanda rasa takut dan kengerian terhadap setan yang ia merasa takkan mampu melawannya.
Mendengar ucapan Hay Hay itu, Kui Hong rnengeluh tanda lega hatinya, akan tetapi ketegangan hatinya masih belum lenyap dan ia pun masih menyandarkan kepalanya di pundak Hay Hay dan untuk melepaskan ketegangan hatinya, ia memejamkan kedua matanya. "Aku... aku tadi takut sekali…" desahnya.
Hay Hay tersenyum dan menunduk. Dilihatnya wajah yang manis itu masih pucat, bahkan nampak lebih pucat karena sinar bulan yang memang membuat suasana nampak pucat itu. Rambut itu terurai dan nampak leher yang panjang, kulit leher yang demikian halusnya seperti lilin, putih mulus dan menantang. Hay Hay terbayang akan semua pengalamannya, pertama dengan Ji Sun Bi, kemudian dengan Kok Hui Lian dan tergeraklah hatinya, bernyalalah api gairah dalam dirinya dan bagaikan orang yang tak sadar, dia pun mendekatkan bibirnya dan di lain saat dengan lembut mulutnya sudah mencium leher Kui Hong.
Leher itu menegang sesaat, akan tetapi lalu lemas kernbali. Kui Hong tetap memejamkan kedua matanya dan napasnya terengah-engah, akan tetapi Hay Hay merasa betapa leher itu menjadi hangat dan lembut. Dia menjadi semakin lupa diri, tenggelam dalam perasaan mesra yang mendalam. Bibirnya mengecup kulit leher itu, ujung lidahnya menjilat-jilat dan Kui Hong mengeluarkan keluhan lirih, memanjang dan tubuhnya menggelinjang. Bibir Hay Hay menciumi leher itu dengan lembut, lalu ke atas, ke bawah dagu dan ke bawah daun teiinga. Kui Hong mendesah tanpa membuka mata, bahkan ketika mulut Hay Hay bergerak lembut ke atas pipinya dan sampai ke ujung mulutnya, ia menengok, menyambut dan dua mulut itu saling bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra. Rintihan halus terdengar dari leher Kui Hong, dan ketika Hay Hay merasa betapa mulut yang panas dan basah itu menyambutnya seperti bunga merekah, dia terkejut dan melepaskan ciuman dan rangkulannya. Napasnya terengah-engah, berpacu dengan napas Kui Hong yang juga memburu. Ketika Hay Hay melepaskan dekapannya, Kui Hong seperti baru sadar dan keduanya, seperti tersentak kaget, lalu saling menjauhi, Kui Hong terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah, sedangkan Hay Hay merasa menyesal bukan main bahwa dia tadi telah lupa diri.
"Setan kau! Iblis kau! Berani menggodaku!" bentak Hay Hay sambil memukul tanah tiga kali.
"Hay Hay… apa… mengapa….” Kui Hong berkata gagap karena hatinya masih terguncang hebat oleh peristiwa tadi, sejak munculnya setan-setan itu sampai pengalaman yang amat mengguncang hatinya, ketika kemesraan menenggelamkannya, pengalaman yang selama hidupnya baru sekali ini pernah dirasakannya dan yang membuatnya bingung.
Hay Hay cepat menghadapi gadis itu. "Ah, Kui Hong, kaumaafkanlah aku, kau ampunkanlah aku…. aku... aku telah tergoda setan! Benar-benar setan dan iblis sendiri yang telah menggodaku tadi, menggoda kita sehingga kita... kita lupa diri….” Kui Hong memandang dengan muka merah karena malu dan canggung, dengan sinar mata bingung tidak mengerti. "Akan tetapi... apa salahnya... kalau kita... kita saling mencinta... apa salahnya…?”
Hay Hay merasa terharu dan juga terkejut. Terharu karena gadis ini sungguh polos dan jujur, masih bersih dan suci dan dia yang telah menodai kebersihan batin gadis itu! Dan dia terkejut mendengar ucapan Kui Hong yang jelas menyatakan gadis itu mencintanya! Pernyataan bahwa mereka saling mencinta itu saja sudah cukup jelas membuktikan bahwa gadis itu cinta padanya dan mengira bahwa dia pun cinta pada Kui Hong! Akan tetapi, dia tidak boleh berbohong, tidak boleh menipu gadis yang hebat seperti Kui Hong ini. Memang, alangkah mudahnya untuk menyatakan cinta kepada seorang gadis sehebat Kui Hong, akan tetapi pernyataan itu hanya merupakan suatu kebohongan belaka. Di lubuk hatinya, dia tidak merasakan adanya cinta seperti yang dimaksudkan Kui Hong, cinta yang akan mendorong pria dan wanita untuk menjadi suami isteri dan hidup bersama untuk selamanya. Tidak, dia tidak menghendaki itu, dia tidak ingin, menjadi suami Kui Hong atau suami wanita manapun juga. Dia suka kepada Kui Hong, kagum dan mungkin mencintanya, akan tetapi bukan cinta untuk kemudian diikat menjadi suami! Bukan pula cinta nafsu karena bagaima.napun juga, biarpun dia kagum bukan main akan kecantikan gadis ini, dia masih dapat mengatasi kekuasaan nafsu berahinya.
Tanpa berani memandang kepada Kui Hong, Hay Hay yang masih duduk di atas rumput itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Kui Hong, aku menyesal sekali... akan tetapi aku... terus terang saja, aku tidak mencintamu seperti yang kaumaksudkan. Aku kagum padamu, aku suka padamu, bahkan aku cinta padamu, akan tetapi bukan cinta untuk kelak menjadi jodohmu, Kui Hong! Aku tidak ingin mencinta seperti itu, tidak ingin menjadi suami wanita mana pun, aku… aku…”
Kui Hong sudah meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan kini beberapa butir air mata mengalir keluar membasahi pipinya. “Kau…! Kau tidak cinta padaku akan tetapi tadi engkau berani menciumku! Aku cinta, padamu dan engkau hanya mempermainkan aku…! Ahh... hu-hu-huhhh... aku benci padamu! Aku benci padamu…” Kui Hong menyambar buntalan pakaiannya dan meloncat jauh dari tempat itu, membawa pergi isak tangisnya.
"Kui Hong…." Hay Hay memanggil sambil berdiri, akan tetapi gadis itu tidak nampak lagi, hanya terdengar isaknya lapat-lapat dari jauh dan Hay Hay tidak mengejarnya. Dia menjatuhkan diri ke atas rumput, lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Kau goblok! Kau tolol, membiarkan setan menggodamu!" Dia memaki-maki diri sendiri, maklum bahwa dia telah menyinggung perasaan hati Kui Hong, bahkan telah menghancurkan cintanya, dan menumbuhkan kebencian dalam hati gadis yang dikaguminya itu. Akhirnya dia tidak peduli lagi dan tak lama kemudian, Hay Hay sudah tidur pulas di tempat itu, tanpa api unggun, di bawah sinar bulan dan di dalam hawa yang semakin dingin.
Jauh dari situ, Kui Hong menjatuhkan diri di bawah pohon dan ia pun menangis sejadi-jadinya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan kesedihan menyelimuti seluruh dirinya. Ingin ia membunuh Hay Hay, akan tetapi dua hal tidak memungkinkan hal itu terjadi. Pertama, ia kalah jauh dan tidak akan mungkin dapat menangkan pertandingan melawan pemuda lihai itu. Ke dua, ia tidak akan tega membunuhnya, karena selain ia telah berhutang budi dan nyawa, juga ia sadar betul bahwa telah jatuh cinta kepada Hay Hay. Ia mencinta pemuda itu sepenuh hatinya. Semua gerak-gerik pemuda itu menyenangkan hatinya dan mendatangkan perasaan kagum. Betapa pemuda itu dapat menundukkan musuh-musuh yang lihai, bahkan setan yang mengganggu malam itu, secara jantan dan hebat. Betapa ia akan berbahagia berada di samping pemuda itu selama hidupnya. Akan tetapi, kenyataan pahit yang tak dapat ditolak lagi, pemuda itu dengan mulutnya sendiri menyatakan bahwa dia tidak cinta padanya! Padahal, kalau ia membayangkan apa yang baru saja terjadi, betapa mesranya pemuda itu membelainya dan menciumnya, ia hampir tidak mau percaya bahwa Hay Hay tidak cinta padanya. Akan tetapi kenyataannya, dengan mulutnya sendiri pemuda itu mengatakan bahwa dia tidak cinta padanya atau wanita lain. Cintanya bukan untuk berjodoh!
Kui Hong menangis dan ingin ia mengamuk, bukan kepada Hay Hay, akan tetapi kepada siapa saja. Kalau saja pada saat itu ada musuh di depannya, tak peduli manusia atau setan, akan diamuknya. Biar setan-setan itu muncul kembali, ia tidak akan merasa takut sekarang. Akan diamuknya sampai membunuh mereka semua atau ia dibunuh mereka! Lebih baik lagi karena ia tidak akan menderita sakit hati seperti sekarang ini.
Akhirnya, Kui Hong juga dapat tidur di bawah pohon itu, " tidak peduli akan keselamatan dirinya lagi. Akan tetapi, seperti juga Hay Hay, tidurnya gelisah, kadang-kadang tersenyum penuh kebahagiaan kalau ia bermimpi tentang kemesraannya bersama Hay Hay, lalu terganti isak tangis.
Pada keesokan harinya, ketika kicau .burung dan kokok ayam hutan membangunkannya, Kui Hong segera meninggalkan tempat itu. Ia hendak pergi ke Pegunungan Yunan, bukan untuk membantu Hay Hay yang hendak menyelidiki ke sana, melainkan untuk mencari Ciang Ki Liong, murid murtad dari Pulau Teratai Merah itu. Dan inilah satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Menyeret Ciang Ki Liong, hidup atau mati, kembali ke Pulau Teratai Merah agar menerima hukuman dari kakek dan neneknya!
***
Bukan watak Hay Hay untuk membiarkan diri tenggelam dalam duka. Dia memang merasa menyesal bukan main bahwa dia telah lupa diri dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan, bahkan menyeret Kui Hong sehingga gadis itu mengira bahwa dia mencintanya. Kemudian, karena dia tidak membohong atau menipu, biarpun pahit, dia berterus terang dan tentu saja gadis itu tersinggung dan menjadi benci kepadanya. Hanya sehari dua hari saja dia kelihatan muram dan menyesal, akan tetapi beberapa hari kemudian, dia sudah melupakan pengalaman yang tidak enak itu. Dia sudah pulih kembali, menjadi seorang yang riang jenaka dan memandang dunia ini dari segi yang terang benderang. Senyumnya kembali lagi, tak pernah meninggalkan sudut bibirnya dan matanya kembali bersinar-sinar, wajahnya kembali berseri-seri. Biarlah yang lewat berlalu sudah, tak per lu dikenang lagi. Inilah pendiriannya sehingga Hay Hay tidak pernah mau menyimpan semua pengalaman yang lalu, maklum bahwa mengingat kembali hal-hal lalu hanya akan mendatangkan sesal dan duka, kecewa dan dendam. Dengan gembira dia melanjutkan perjalanan, menuju ke selatan, Pegunungan Yunan.
Hay Hay tahu bahwa yang mengganggu dia dan Kui Hong semalam adalah lima orang pendeta Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang selain memiliki ilmu silat yang cukup lihai, juga pandai ilmu sihir sehingga membikin takut kepada Kui Hong. Dia berhasil mengusir mereka tanpa perkelahian, hanya dengan mengalahkan ilmu sihir mereka dan menangkis serangan mereka dengan tenaga saktinya yang jauh lebih kuat daripada tenaga mereka. Disangkanya bahwa lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi takut dan melarikan diri. Dia tidak tahu bahwa peristiwa semalam itu membuat orang-orang Pek-lian-kauw menjadi curiga dan waspada kepadanya sehingga perjalanannya selalu dibayangi dari jauh. Mereka melihat seorang lawan yang amat berbahaya dalam diri pemuda ini, apalagi ketika melihat bahwa pemuda itu melakukan perjalanan ke selatan! Kecurigaan mereka semakin besar ketika mereka tahu bahwa di dalam perjalanannya, ketika melewati sebuah kota pemuda itu mencari keterangan kepada orang-orang di jalan tentang Pegunungan Yunan. Jelaslah bahwa pemuda itu hendak pergi ke Pegunungan Yunan. Walaupun pemuda itu tidak pernah mengatakan kepada siapa pun juga apa urusannya di Pegunungan Yunan, namun pihak Pek-lian-kauw sudah dapat menduga bahwa tentu pemuda ini hendak mencari sarang persekutuan mereka! Karena itulah, maka jauh sebelum Hay Hay tiba di perbatasan Pegunungan Yunan, para pimpinan persekutuan kaum sesat itu telah lebih dulu tahu akan keadaan dirinya.
Dari keterangan yang diperolehnya di perjalanan, Hay Hay mendengar bahwa yang disebut Dataran Tinggi Yunan adalah daerah di bagian utara Propinsi Yunan yang berbatasan dengan Propinsi Secuan dan Kwei-couw. Di perbatasan itu terdapat Sungai Cin-sa, yang menjadi anak sungai besar Yang-ce-kiang. Menurut keterangan Menteri Yang Ting Hoo, sarang Lam-hai Giam-lo itu berada di lembah sungai itu, di antara kedua gunung besar atau Pegunungan Heng-tuan-san di barat dan Pegunungan Tatiang-san di timur, dan pegunungan atau dataran tinggi Yunan itu terapit oleh dua pegunungan ini.
Hay Hay mengambil jalan melewati Propinsi Kwei-couw, dan pada suatu hari tibalah dia di kota Wei-ning. Kota ini terletak di dekat sebuah telaga besar yang disebut Cao-hai (Lautan Cao) atau juga Cao-hu (Telaga Cao). Sebuah telaga yang amat indah, terletak di lereng bawah Pegunungan Wu-meng-san, di dekat tapal batas sebelah barat dari Propinsi Kwei-couw, tak berapa jauh lagi dari daerah Yunan sebelah timur. Karena melihat telaga yang demikian indahnya di dekat kota Wei-ning, Hay Hay tidak dapat menahan hatinya untuk tidak berhenti di kota itu dan menikmati keindahan telaga itu selama beberapa hari. Sudah terlalu lama dia melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, bukit-bukit yang luas, melalui dusun dan kota, akan tetapi baru sekali ini dia melihat sebuah telaga besar yang airnya kebiruan dan demikian luasnya. Pantaslah kalau Telaga Cao itu kadang-kadang disebut Lautan Cao, karena memang airnya biru saking dalamnya, seperti air laut. Apalagi dilihat dari ketinggian sebelum Hay Hay memasuki kota Wei-ning, telaga itu nampak amat indahnya. Banyak pohon tumbuh di sekelilingnya, dan di bagian selatan nampak sekelompok pohon cemara yang indah, tumbuh di lereng di tepi telaga. Rumah-rumah para penduduk kampung berada di sebelah barat dan utara, sedangkan di bagian timur telaga itu adalah daerah kota Wei-ning. Para penghuni rumah perkampungan di sekitar telaga itu pada umumnya adalah para petani dan nelayan karena telaga itu selain dapat mengairi sawah sehingga para petani dapat menanam bermacam padi-padian sepanjang tahun, juga telaga itu sendiri mengandung ikan yang seakan-akan tiada habisnya biarpun setiap hari dikail dan dijala oleh para nelayan. Burung camar nampak beterbangan di permukaan air telaga kadang-kadang menyambar turun dan ketika melayang naik lagi, paruh mereka telah menangkap seekor ikan. Riuh rendah suara mereka seperti sedang bekerja mencari nafkah dengan gembira dan bersendau-gurau di antara teman.
Banyak pula nampak perahu nelayan dan perahu-perahu indah di mana orang-orang kota, baik dari Wei-ning maupun dari kota lain yang sengaja datang berkunjung dan bersenang-senang di telaga. Perahu para nelayan memilih bagian yang sepi, jauh di barat dan di tepi-tepi yang sunyi, karena akan sia-sia sajalah usaha mereka mencari ikan kalau berdekatan dengan perahu-perahu pelesiran yang selalu gaduh itu. Memang sebagian besar perahu-perahu pelesiran itu disediakan untuk para pria yang ingin bersenang-senang. Ada yang bermain kartu sambil minum arak, ada pula yang minum arak saja sampai mabok. Ada pula yang memanggil gadis-gadis penyanyi dan penari, dan banyak pula yang memanggil gadis panggilan atau pelacur-pelacur untuk menemani mereka minum arak atau menemani mereka tidur di bilik-bilik perahu besar itu. Ada pula pria-pria tua muda yang lebih suka menyendiri, menyewa perahu-perahu kecil dan mereka itu ada yang mencoba peruntungan mereka mengail ikan, ada pula yang hanya duduk membaca buku, ada yang bermain musik sendirian, meniup suling atau bermain yangkim, ada yang melukis atau menulis sanjak sambil minum arak.
Tak lama kemudian, perahu yang ditumpangi Hay Hay sudah menyelinap di antara ratusan buah perahu yang lain. Dia menyewa sebuah perahu kecil yang dicat merah, membawa bekal makanan dan minuman yang dibelinya di pantai tempat menyewa perahu, lalu mendayung perahu itu meluncur ke tengah telaga, bercampur dengan ratusan buah perahu lain. Hay Hay merasa lapar dan dia memilih tempat yang agak sunyi, jauh di tengah, lalu membuka buntalan daging ayam panggang, saus tomat semacam sayur hijau yang menjadi masakan, beberapa butir buah pir dan appel, juga seguci kecil arak dan seguci kecil air teh. Mulailah dia makan minum seorang diri dengan hati lapang. Sungguh lezat makan di atas perahu, di tengah telaga dengan hawa yang sejuk nyaman dan bersih.
Ah, kalau saja ada Kui Hong di dalam perahunya, pikirnya dan ingin Hay Hay menampar kepalanya sendiri. Kenapa mendadak saja dia merasa kesepian dan teringat kepada Kui Hong? Gadis itu tentu akan marah-marah dan mungkin akan menyerangnya di atas perahu! Mengingat akan hal ini, Hay Hay tersenyum lucu. Tentu mereka keduanya akan tercebur ke dalam air telaga dan akan mengalami hal-hal aneh dan berbahaya lagi bersama-sama! Tidak, tak boleh dia mengharapkan kehadiran Kui Hong. Bagaimana kalau Bi Lian? Setelah pikirannya menolak kehadiran Kui Hong, Hay Hay teringat kepada Bi Lian. Cu Bi Lian yang berjuluk Tiat-sim Sian-li itu. Murid dari dua di antara Empat Setan, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Bukan main gadis itu! Tidak kalah oleh Kui Hong dalam segala hal. Cantiknya, lincahnya, galaknya! Bahkan lebih galak di banding Kui Hong, walaupun belum tentu menang lihai. Akan tetapi Bi Lian juga lihai bukan main, dengan ilmu yang aneh-aneh. Tahi lalat di dagunya itu, bukan main manisnya! Tapi kemunculan Bi Lian tentu juga hanya akan mendatangkan keributan, karena bukankah gadis itu pernah mengancamnya bahwa kalau bertemu lagi, gadis itu tentu akan menyerangnya dan tidak akan memberi ampun? Dia tersenyum gembira teringat kepada Bi Lian. Seorang gadis yang hebat dan dia kagum dan suka sekali kepa.da gadis itu. Akan tetapi tidak, terlalu berbahaya kalau di tempat ini berjumpa dengan Bi Lian. Kalau sampai Bi Lian menggulingkan perahu! Memang benar, selama tinggal bersama suhunya yang ke dua, yaitu Ciu Sian Lokai yang menjadi majikan di Pulau Hiu, dia sering kali mandi di laut dan sudah pandai dan menguasai ilmu renang, akan tetapi ilmunya ini tidak cukup tinggi untuk dapat melindungi diri di dalam air kalau sampai dj.a diserang musuh. Tidak, lebih baik jauh dari Bi Lian kalau dia ingin bersantai di telaga itu.
Begitu dia mengusir bayangan Bi Lian dengan tahi lalat di dagunya yang manis itu, tiba-tiba saja muncul bayangan Pek Eng! Hay Hay mengeluh. Ada apakah dengan dirinya hari ini? Kenapa perempuan melulu yang memenuhi benaknya? Bayangan gadis-gadis cantik saja yang teringat olehnya? Biarpun dia mencela diri sendiri, tetap saja kini nampak wajah Pek Eng yang lucu dan manis menarik itu. Hitam manis, mata sipit yang indah, hidung yang ujungnya agak menjungkat naik, bibir yang selalu merah membasah, dan lesung pipit di pipi kiri itu. Aihh, gadis remaja yang segar, dengan tubuh tinggi semampai yang menggairahkan.Lincah jenaka dan manja! Hay Hay tersenyum ketika teringat betapa Pek Eng pernah mencium pipinya, mengira bahwa dia adalah kakaknya yang bernama Pek Han Siong! Gadis yang amat menyenangkan, kalau saja berada di dalam perahunya, tentu akan diajaknya bersendau-gurau! Dan Pek Eng tidak akan membahayakan dirinya. Pek Eng sudah memaafkannya karena kesalahpahaman itu, ketika gadis itu marah-marah sebab menciumnya, mencium orang yang salah. Kembali Hay Hay tersenyum dan tanpa disadarinya, tangan kirinya mengusap pipi kiri yang pernah disentuh hidung dan bibir lembut Pek Eng.
Tapi, aku tidak mencinta Pek Eng, juga tidak mencinta Bi Lian atau Kui Hong walaupun terhadap mereka ada rasa suka yang mendalam di lubuk hatinya. Dia tidak mencinta mereka dan sebaiknya kalau dia tidak dekat dengan mereka. Selalu timbul keributan kalau dia dekat dengan seorang gadis.
Bagaimana kalau Hui Lian? Jantungnya berdebar kencang karena dia membayangkan apa yang pernah terjadi antara dia dengan Hui Lian, janda muda itu. Bau tubuhnya yang harum! Bagaimana dia dapat melupakan wanita itu? Takkan pernah dia mampu melupakan Hui Lian! Dengan Hui Lian, hampir saja dia tak dapat menguasai dirinya lagi, hampir saja terjadi pelanggaran antara mereka. Dan dia tidak pernah menyalahkan dirinya. Pria mana yang akan mampu bertahan kalau sudah bergaul demikian dekatnya dengan seorang wanita seperti Hui Lian? Baru keharuman tubuhnya saja sudah membuat pria menjadi mabok. Ah, kalau ada Hui Lian di situ, di dalam perahu bersamanya, tentu dia akan merasa semakin gembira. Tidak akan ada bahaya diserang Hui Lian, yang ada hanyalah diserang gairah nafsunya sendiri. Dan ini bahkan jauh lebih berbahaya daripada kalau dia diserang orang! Bagaimana dengan keadaan Hui Lian sekarang? Di mana ia berada dan apa saja yang dilakukannya? Tiba-tiba ia merasa rindu sekali kepada Hui Lian, apalagi karena dia pun yakin bahwa Hui Lian cinta kepadanya. Dia tahu bahwa andaikata dia menanggapi cinta itu, sudah pasti mereka berdua takkan pernah saling berpisah lagi. Ah, betapa akan senangnya kalau kini mereka berdua berperahu di telaga itu, makan bersama dan bersenda gurau bersama. Dia tidak membayangkan hal-hal yang mesra, hanya ingin dekat dan bercakap-cakap dengan wanita yang luar biasa itu!
"Hay Hay….!"
Hay Hay terlonjak kaget. Suara Hui Lian! Gila benar! Apakah lamunannya tentang wanita itu tadi membuat dia menjadi gila sehingga dia mendengar suaranya? Biarpun dia tidak percaya bahwa itu adalah suara Hui Lian yang sesungguhnya, namun dia menengok juga ke kanan dan... tak salah lagi! Yang memanggilnya tadi bukan lain adalah Kok Hui Lian! Wanita itu nampak semakin cantik, wajahnya segar berseri tidak seperti dahulu yang agak diliputi mendung kedukaan. Wanita itu duduk di dalam sebuah perahu yang sedang besarnya dan melambai kepadanya. Dapat dibayangkan betapa girangnya rasa hati Hay Hay. Baru saja dirindukan, dilamunkan dan kini benar-benar berada di situ, di atas perahu yang jaraknya hanya sekitar lima meter dari perahunya, Hui Lian yang cantik jelita, Hui Lian yang manis, Hui Lian yang harum!
Saking gembiranya, Hay Hay bangkit berdiri dan sekali loncat, tubuhya sudah melayang ke arah perahu Hui Lian. Untung bahwa mereka berada di bagian yang sepi sehingga perbuatan Hay Hay itu tidaklah kelihatan orang lain yang tentu akan menimbulkan kekaguman dan perhatian.
"Enci Hui Lian…!" teriaknya. "Ah, Enci Hui Lian, betapa rindu aku padamu…!"
“Hay Hay, tak kusangka akan berjumpa denganmu di sini!" kata Hui Lian, juga dengan suara yang gembira sekali. Begitu kedua kakinya hinggap di atas perahu Hui Lian, Hay Hay lalu menghampiri dan memegang kedua tangan wanita itu sambil mengamati Hui Lian dari ujung rambut kepala sampai ke kaki.
"Aih, engkau nampak segar dan semakin cantik saja, Enci Hui Lian!"
"Hushhh…! Engkau masih juga belum berubah, pemuda mata keranjang!" kata Hui Lian sambil tertawa geli, akan tetapi kedua tangannya juga membalas remasan tangan Hay Hay, tanda bahwa ia girang dan gembira sekali bertemu dengan pemuda itu.
Pada saat itu terdengar suara batuk-batuk dan seorang laki-laki muncul dari dalam bilik perahu itu. Hay Hay merasa terkejut dan heran, akan tetapi Hui Lian bersikap tenang dan biasa saja, bahkan ia belum melepaskan kedua tangan pemuda itu dari genggamannya, hanya menoleh dan memandang kepada pria yang baru muncul itu sambil tersenyum girang.
"Suheng, inilah pemuda luar biasa yang pernah kuceritakan padamu itu, yang bernama Hay Hay!" katanya gembira!"
Hay Hay memandang kepada pria yang disebut suheng (kakak seperguruan) oleh Hui Lian dan diam-diam dia pun kagum. Seorang pria yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, lengan kirinya buntung sebatas siku, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya membayangkan kejujuran, keterbukaan dan wibawa yang besar sehingga dia nampak gagah perkasa biarpun lengan kirinya buntung. Mengingat akan hebat dan tingginya ilmu kepandaian Hui Lian, dapat dia bayangkan bahwa tingkat suheng wanjta itu sudah tentu lebih hebat lagi.
"Hay Hay, perkenalkanlah. Dia itu adalah Suheng Ciang Su Kiat. Dia Suhengku, juga Guruku, juga suamiku."
"Ahhh…!" Mendengar kata "suamiku" itu, cepat-cepat Hay Hay melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi saling berpegangan dengan kedua tangan Hui Lian, dan mukanya berubah kemerahan, sikapnya menjadi kikuk sekali.
Ciang Su Kiat memandang dengan sikap keren, sepasang alisnya yang tebal berkerut dan matanya mengamati wajah Hay Hay dengan tajam. "Hemm, kiranya inikah pemuda itu? Pantas! Dia tampan menarik dan pandai merayu, seorang pemuda lihai yang mata keranjang. Sumoi, kausebut dia pendekar mata keranjang? Hai, orang muda, kenapa engkau melepaskan kedua tanganmu setelah mengetahui bahwa Hui Lian adalah isteriku? Itu adalah suatu sikap pengecut yang sama sekali tidak dapat kuhargai. Bukankah ia nampak segar dan makin cantik katamu tadi? Ataukah itu pun hanya sekedar rayuan belaka?"
"Suheng…!" Hui Lian terbelalak memandang suaminya, terkejut karena belum pernah suaminya memperlihatkan sikap kurang senang seperti itu dan tahulah ia bahwa suaminya secara tiba-tiba dilanda cemburu!
"Sumoi, aku meragukan ceritamu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sikapnya menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang perayu yang mata keranjang, dan tidak mampu menguasai perasaan hatinya sendiri. Orang muda, mari kita bicara di pantai agar tidak nampak orang lain."
"Tapi… baiklah!" kata Hay Hay yang tadinya meragu akan tetapi melihat sinar mata demikian jujur dan gagah dari Si Lengan Buntung, juga melihat sikap Hui Lian yang meragu dan agaknya gelisah, dia mengambil keputusan untuk menghadapi persoalan ini sampai tuntas. Dia harus berani bertanggung jawab, untuk membela diri yang memang tidak mempunyai niat buruk, juga untuk mencuci nama baik Hui Lian dari kecurigaan suaminya. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya secara jantan! Maka, sekali melompat dia pun sudah melayang ke atas perarunya sendiri. Dia menanti sambil memegang dayung dan untuk sesaat lamanya, kedua orang pria itu saling pandang dari atas perahu masing-masing. Hay Hay mengangguk kepada Su Kiat, memberi tanda bahwa dia akan mengikutinya dan Su Kiat lalu mendayung perahunya menuju ke pantai yang sepi. Hay Hay mengikutinya dari belakang, diam-diam mengagumi suami isteri itu karena selama mendayung perahu ke tepi, keduanya diam saja dan sama sekali tidak kelihatan mereka bertengkar. Sungguh sikap dua orang yang sudah matang dan tidak hanya menurutkan perasaan hati saja.
Biarpun hatinya merasa tegang, namun diam-diam Hui Lian ingin sekali melihat apa yang akan terjadi antara suaminya dan Hay Hay. Diam-diam ia pun mendongkol sekali terhadap suaminya. Tidak tahukah suaminya bahwa cintanya hanya untuk suaminya, dan terhadap Hay Hay ia hanya merasa suka dan kagum, seperti seorang enci terhadap adiknya saja? Memang, tidak disangkal bahwa ia pernah tergila-gila kepada pemuda ini, terdorong oleh gairah nafsu berahinya, akan tetapi itu terjadi dahulu sebelum ia menjadi isteri suhengnya. Sekarang, tentu saja tidak ada lagi gairah nafsu terhadap pria lain karena ia telah mendapatkan segala-galanya dari suammya yang amat dicintanya. Biarlah, dia cemburu dan hendak kulihat apa yang akan dilakukan terhadap Hay Hay, pikirnya. Ia tidak merasa khawatir karena ia mengenal benar Hay Hay yang sudah pasti tidak akan mencelakakan suaminya dan dia pun tahu bahwa suaminya tidak akan dapat mencelakakan Hay Hay yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Pula, suaminya adalah seorang pendekar perkasa, tidak mungkin mau berbuat jahat terhadap orang lain hanya karena cemburu buta yang tidak beralasan sama sekali!
Ketika suami isteri itu meloncat ke darat, Hay Hay juga sudah tiba di darat dan dia pun meloncat dengan sigapnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali.
"Toa-ko, aku masih tidak tahu apa maksudmu mengundangku ke tepi. Kalau kau menganggap aku bersalah karena kegembiraanku bertemu dengan Enci Hui Lian yang belum kuketahui bahwa ia sekarang telah menjadi isterimu, maka harap engkau suka memaafkan aku. Sungguh, aku tidak mempunyai maksud buruk, aku hanya demikian gembira dan hanya luapan kegembiraanlah yang membuat aku tadi memegang kedua tangan isterimu."
"Hemm, orang muda. Aku sudah mendengar tentang dirimu dari isteriku dan aku menghargai kejujuranmu. Melihat kemunculanmu dan engkau berpegang tangan dengan Sumoi Hui Lian, aku tidak apa-apa karena aku maklum bahwa tentu engkau bergembira bertemu dengannya, seperti juga isteriku bergembira bertemu denganmu. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa aku suaminya, engkau segera melepaskan pegangan tanganmu. Hal ini kuanggap bahwa engkau tidak jujur, bahwa engkau tak lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita. Timbul dugaanku bahwa kalau dulu engkau tidak sampai melanjutkan pelanggaran susila terhadap Sumoi, hanya karena engkau tidak berani menghadapi kelihaian Sumoi. Kalau engkau sekarang mampu memperlihatkan bahwa tingkat ilmu yang kaumiliki lebih tinggi dari tingkat Sumoi atau tingkatku, barulah aku percaya bahwa engkau memang tidak mau melakukan pelanggaran susila, dan baru aku akan percaya kejujuranmu. Nah, bersiaplah untuk menandingiku, orang muda, dan kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, maka aku akan menghajarmu karena engkau tak lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang perayu wamta yang hina!”
“Suheng!” Hui Lian berseru. “Jangan menuduh sedemikian keji terhadap Hay Hay! Dia bukanlah orang yang seperti kauduga itu, dan engkau takkan menang melawan dia, Suheng! Engkau dibikin buta oleh cemburu!"
Ciang Su Kiat mengangguk-angguk akan tetapi tersenyum kepada isterinya, sama sekali dia tidak memperlihatkan sikap marah kepada isterinya yang amat dicintanya itu. "Memang benar, aku merasa cemburu, Sumoi. Belum pernah aku merasa cemburu seperti sekarang ini! Akan tetapi alasanku untuk merasa cemburu kuat sekali, bukan cemburu karena menyangka engkau tidak setia kepadaku. Sama sekali bukan. Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan seperti itu kepadamu, Sumoi. Akan tetapi aku merasa cemburu oleh sikap pemuda ini dan sebelum dia menunjukkan bahwa persangkaanku terhadap dirinya tidak benar, yaitu dengan mengalahkan aku. Sebelum dia mengalahkan aku, hatiku akan selalu digoda cemburu dan prasangka buruk terhadap dirinya.”
"Tapi, sudah kuceritakan kepadamu betapa dia seorang yang kuat lahir batin, dan memang aku pernah tergila-gila kepadanya dan andaikata bukan dia yang kuat batinnya sehingga mengingatkan aku, tentu akan terjadi pelanggaran susila. Dialah yang mencegah terjadinya pelanggaran itu, Suheng. Semua itu telah kuceritakan kepadamu."
"Aku percaya padamu, Sumoi. Akan tetapi aku tidak percaya padanya. Dia bukan dewa, dan tidak mungkin dia kuat menolak dirimu! Kalau dia melakukan hal itu, tentu karena dia takut akan akibatnya, takut akan kelihaianmu dan takut menghadapi kemarahanmu kemudian. Nah, orang muda, majulah dan kita akan melihat bukti kejujuranmu."
"Suheng, engkau takkan menang." kata pula Hui Lian.
"Kalau begitu, baru hatiku puas dan aku akan minta maaf kepadanya, juga kepadamu, Sumoi. Marilah, orang muda."
"Hay Hay, layani dia. Si Keras Hati ini memang harus diperlihatkan buktinya, kalau tidak, dia akan gelisah terus, tak enak makan tak enak tidur!" Akhirnya Hui Lian berkata.
Hay Hay menarik napas panjang, lalu melangkah maju menghadapi Su Kiat sambil berkata, "Ciang-toako, aku tidak menyangkal bahwa aku suka akan keindahan, suka akan kecantikan wanita seperti aku suka akan tamasya alam indah, akan bunga-bunga. Aku suka akan keindahan dan kecantikan wanita merupakan suatu keindahan yang mengagumkan. Enci Hui Lian adalah seorang wanita yang luar biasa cantik jelitanya. Kuakui bahwa aku pernah tergila-gila kepadanya. Akan tetapi bukan berarti aku mencintanya. Demikian pula Enci Hui Lian, ia tidak cinta kepadaku. Kami saling tertarik karena saling mengagumi, karena dorongan gairah berahi yang wajar. Katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi jangan mengira bahwa nafsu berahi akan mudah begitu saja mengalahkan aku sehingga aku menjadi mata gelap dan melakukan pelanggaran susila. Dan aku sama sekali bukan takut menghadapi ilmu kepandaian Enci Hui Lian, melainkan takut kalau sampai aku menodainya dan membuat hidupnya sengsara karena merasa ternoda kehormatannya. Sekarang, engkau tidak percaya kepadaku dan hendak mengujiku. Silakan Ciang-toako!"
Ciang Su Kiat mengangguk-angguk. "Bagus, nah, kauterimalah seranganku ini!" Dan begitu orang yang buntung lengan kirinya ini menyerang, Hay Hay terkejut dan kagum. Dia sudah menyangka bahwa Si Lengan Kiri Buntung ini tentulah ahli gin-kang yang hebat, mengingat betapa dalam hal gin-kang, Hui Lian juga hebat bukan main. Dan dugaannya memang tepat. Biarpun tadinya Ciang Su Kiat tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri biasa saja, akan tetapi begitu kata-katanya habis, tubuhnya sudah menerjang dengan kecepatan yang akan mengaburkan pandang mata lawan saking cepatnya.
Lengan kanannya bergerak menyambar dengan pukulan ke arah dada Hay Hay, nampaknya perlahan saja, akan tetapi datangnya cepat sekali dan dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang dahsyat. Pukulan ini menjadi semakin berbahaya karena dibayangi sambaran ujung lengan baju kosong yang menotok ke arah pelipis kanan Hay Hay! Memang, Su Kiat yang ingin menguji kepandaian pemuda itu, tidak mau membuang banyak waktu dan begitu bergerak, dia telah mainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, ilmu silat sakti peninggalan kitab dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara Delapan Dewa. Tentu saja hebat bukan main serangannya itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah seorang pemuda yang juga menjadi murid dua orang di antara Delapan Dewa, bahkan pemuda ini digembleng oleh dua orang sakti itu sendiri, tidak seperti Ciang Su Kiat yang hanya mempelajari dari peninggalan kitab. Oleh karena itu, kalau dibuat perbandingan, tentu saja Su Kiat masih kalah jauh dalam hal ilmu silat dibandingkan Hay Hay. Akan tetapi, untuk mengurangi jarak kekalahannya dalam pendidikan ilmu silat, si lengan kiri buntung ini telah memiliki tenaga yang luar biasa berkat makan jamur selama sepuluh tahun, jamur aneh yang hanya terdapat dalam sebuah guha di tebing yang terjal, maka kekalahannya itu dapat ditebus oleh kekuatan mujijat itu. Makan jamur selama sepuluh tahun ini membuat Su Kiat dan Hui Lian memiliki tenaga sin-kang dan gin-kang yang istimewa, dan pada Hui Lian bahkan akibatnya membuat wanita ini memiliki keringat yang harum baunya!
Melihat datangnya serangan, Hay Hay melangkah ke belakang sambil mengibaskan kedua tangannya menangkis. Akan tetapi, dengan kecepatan yang luar biasa, Su Kiat telah menarik kedua lengannya dan sudah melangkah maju mendesak dan menyerang lagi dengan lebih ganas. Ujung lengan baju kiri itu kini tiba-tiba saja menegang dan menusuk seperti sebatang pedang ke arah muka Hay Hay, di antara kedua matanya, sedangkan tangan kanan sudah melakukan cengkeraman ke arah perut. Dua serangan ini datang secara bertubi dan yang berbahaya adalah karena kecepatannya, dan ujung lengan baju tangan kiri itu juga tak boleh dipandang ringan karena setelah dialiri tenaga sin-kang, menjadi kaku seperti sebatang pedang dan kalau mengenai sasaran antara kedua mata Hay Hay, tentu amat berbahaya.
Namun, dengan tenang dan mudah saja, Hay Hay kembali dapat menghindarkan diri dengan memutar tubuh dan mengibaskan kedua tangan menangkis. Dia masih belum mau membalas karena belum merasa perlu dan belum terdesak. Melihat betapa pemuda itu dengan mudahnya dapat menghindarkan diri, Ciang Su Kiat tidak mau memberi hati dan kini dia menyusulkan serangan bertubi-tubi, dengan ujung lengan baju kiri, dengan tangan kanan, bahkan dengan kedua kakinya yang dapat mengirim tendangan istimewa. Kini Hay Hay didesak terus dengan serangan yang datang bagaikan gelombang samudera, susul-menyusul dan tiada hentinya. Dibandingkan dengan Kok Hui Lian, tentu saja tingkat Ciang Su Kiat lebih tinggi, karena sebelum keduanya menemukan kitab-kitab peninggalan dua orang di antara Delapan Dewa, yaitu mendiang In Liong Nio-nio dan mendiang Sian-eng-cu The Kok, Su Kiat telah memiliki ilmu silat cukup kuat sebagai murid pilihan Cin-ling-pai sedangkan Hui Lian merupakan gadis cilik yang belum pernah belajar ilmu silat.
Kini Hay Hay terkejut dan i harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, dan kalau dia hanya main elak dan tangkis saja, akhirnya dia akan terancam bahaya besar. Maka, setelah membiarkan lawannya mendesaknya sampai belasan jurus, barulah Hay Hay mulai membalas dan karena dia maklum bahwa menghadapi seorang lawan tangguh seperti itu dia tidak boleh main-main, begitu membalas dia sudah mengeluarkan ilmu simpanan Ciu-sian Cap-pek-ciang! Ilmu ini adalah ciptaan Ciu-sian Lo-kai, sudah hebat bukan main walaupun hanya terdiri dari delapan belas jurus. Akan tetapi setelah Hay Hay digembleng oleh kakek aneh setengah gila Song Lo-jin, semua ilmunya, termasuk Ciu-sian Cap-pek-ciang, menjadi hebat bukan main! Begitu Hay Hay mengelak dan menangkis lalu membalas dengan jurus ke tiga belas, disertai pengerahan sin-kang, Ciang Su Kiat yang mencoba untuk menangkis, merasa seperti dilanda badai dan betapa pun dia bertahan, tetap saja tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Dia terhuyung dan akhirnya terpaksa merobohkan dirinya dan bergulingan agar jangan sampai terbanting. Melihat betapa suaminya terlempar dan terhuyung kemudian bergulingan, Hui Lian meloncat ke depan dan menyerang Hay Hay dengan tamparannya.
"Engkau melukai suamiku…!" bentaknya marah.
Hay Hay terkejut, akan tetapi tidak mengelak dan menerima tamparan itu dengan pundaknya.
“Plakk!" Dan tubuh Hay Hay terpelanting!
“Sumoi, jangan…!” Ciang Su Kiat membentak.
"Aih, Suheng, engkau tidak apa-apa?" Hui Lian membalik dan girang melihat suaminya sudah berada di belakangnya dan tidak kelihatan terluka parah.
"Aku tidak apa-apa. Kenapa engkau menyerang dia, Sumoi?"
"Kukira... kukira dia telah melukaimu, Suheng…" kata Hui Lian menyesal.
Su Kiat menghampiri Hay Hay yang sudah bangkit berdiri. Ada sedikit darah di bibir Hay Hay. Tamparan tadi memang hebat, akan tetapi dia sengaja menerimanya. Dia tidak terluka, namun guncangan karena tamparan itu membuat dia muntahkan sedikit darah.
"Saudara Hay Hay, engkau tidak apa-apa?" tanya Su Kiat, suaranya ramah dan pandang matanya penuh kagum. "Maafkan isteriku…”
Hay Hay tersenyum. "Tidak mengapa, Toako. Aku tahu bahwa Enci Hui Lian memang galak dan tamparannya hebat sekali. Akan tetapi kini bertambah pengetahuanku bahwa ia amat mencintamu, Toako, dan tadi ia seperti seekor singa betina marah melihat jantannya diganggu!"
"Ah, Hay Hay, kaumaafkan aku!" kata Hui Lian yang menghampiri dan dengan menyesal ia meletakkan tangannya di atas pundak Hay Hay, untuk memeriksa pundak yang ditamparnya tadi.
Su Kiat tersenyum melihat isterinya merangkul pundak pemuda itu, dan dia pun merangkul Hay Hay. "Sungguh, engkau seorang pemuda hebat, Hay Hay! Engkau memang patut mendapatkan perhatian dan kasih sayang setiap orang wanita. Engkau begini lihai, akan tetapi tidak mau mempergunakan ketampanan dan kelihaianmu untuk menghina wanita, bahkan engkau mengalah terhadap aku yang mencurigaimu. Maafkan aku."
Hay Hay tertawa gembira dan dia pun merangkul kedua orang itu seperti dua orang sahabat baiknya. Dia menoleh ke kiri, ke arah Hui Lian. "Enci, pilihanmu yang terakhir ini sungguh tepat sekali. Engkau telah memperoleh seorang suami yang hebat, berkepandaian .tinggi, berwatak jujur dan terbuka, gagah perkasa. Sungguh, dan engkau juga, Ciang-toako, engkau telah memperoleh seorang isteri yang tiada keduanya di dunia ini. Aku harus mengucapkan kionghi (selamat) kepada kalian!" Dia pun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada mereka yang dibalas oleh suami isteri itu yang tersipu-sipu, akan tetapi juga gembira sekali.
“Nah, Hay Hay, mari kita lanjutkan percakapan kita dalam pertemuan yang tadi terganggu." kata Hui Lian sambil melirik ke arah suaminya yang juga tersenyum. "Engkau datang darimana dan hendak ke mana?"
Hay Hay mengangkat tangan dan mengamangkan telunjuknya kepada Hui Lian seperti orang menegur. "Ih, Enci Hui Lian, sudahlah jangan menyindir suamimu sendiri. Aku dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yunan…."
"Ahhh….! Apa sekiranya ada hubungannya dengan persekutuan orang-orang dunia hitam?" Hui Lian memotong.
"Benarkah engkau hendak menyelidiki persekutuan yang kabarnya dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu?" Ciang Su Kiat juga bertanya.
Kini Hay Hay memandang mereka dengan mata terbelalak. "Wah, kalian ini bukan saja suami isteri yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi agaknya juga pandai meramal dan membaca isi hati orang. Bagaimana kalian bisa menduga bahwa aku hendak menyelidiki persekutuan itu dan kalian tahu pula bahwa persekutuan itu dipimpin Lam-hai Giam-lo?"
"Tentu saja kami dapat menduga karena kami sendiri pun sedang menuju ke sana. Kami sudah mendengar akan persekutuan itu, akan tetapi kami tidak ada urusan dengan itu, yang penting aku harus mencari Lam-hai Giam-lo, musuh besar kami!" kata Ciang Su Kiat.
"Musuh besar kalian?"
"Dialah yang membuat kami berdua terjatuh ke dalam jurang sehingga kami berdua terpaksa hidup selama sepuluh tahun di dalam jurang itu sebelum kami berhasil naik ke dunia ramai. Sudah lama kami mencarinya dan beberapa kali kami hampir berhasil membunuhnya, akan tetapi dia selalu dapat menghindarkan diri dan akhirnya selama bertahun-tahun ini kami kehilangan jejak. Entah di mana dia bersembunyi." kata Hui Lian.
"Baru beberapa bulan yang lalu kami mendengar bahwa dia kini memimpin sebuah persekutuan antara tokoh-tokoh sesat yang hendak menyusun kekuatan di pegunungan atau dataran tinggi Yunan, kabarnya hendak mengadakan pemberontakan. Kami tidak peduli akan hal itu. Yang penting, kami harus mencari Lam-hai Giam-lo untuk membalas kejahatannya yang dilakukan kepada kami belasan tahun yang lalu,” sambung Su Kiat.
"Dan engkau sendiri, apa yang mendorongmu untuk melakukan penyelidikan tentang persekutuan tokoh-tokoh sesat itu, Hay Hay?" tanya Hui Lian.
Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo di rumah Jaksa Kwan. "Engkau tentu masih ingat, Enci Hui Lian, tentang mustika batu kemala milik Jaksa Kwan itu? Nah, aku pergi ke rumah Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu mustika itu, akan tetapi Jaksa Kwan memberikan batu itu kepadaku dan di sana aku bertemu dengan Menteri Yang Ting Hoo. Mereka berdua menceritakan tentang Lam-hai Giam-lo yang memimpin persekutuan para tokoh sesat yang lihai.
Di antara mereka terdapat banyak tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Lam-hai Siang-mo, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan Min-san Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, bahkan para pendeta Pek-lian-kauw juga bergabung dengan mereka. Menteri Yang minta bantuanku agar membantu para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat, sedangkan pasukan kaum pemberontak akan dihancurkan pasukan pemerintah kalau saatnya tiba. Aku pun lalu berangkat dan sampai di sini, tertarik oleh keindahan telaga, aku lalu berhenti dengan maksud untuk menikmati keindahan telaga selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan."
"Hemm, kalau begitu, kami pun akan membantu para pendekar untuk menentang gerakan persekutuan itu!" kata Su Kiat penuh semangat.
"Kebetulan sekali engkau tertarik oleh telaga ini. Demikianpun kami, Hay Hay. Kami melihat telaga ini dari atas ketika akan memasuki kota Wei-ning dan kami juga tertarik dan singgah di sini. Sungguh kebetulan sekali sehingga kita dapat saling jumpa. Kalau begitu, sebaiknya kalau kita pergi bersama ke dataran tinggi Yunan, bersama-sama melakukan penyelidikan terhadap persekutuan itu!” kata Hui Lian gembira.
Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya dan tersenyum Dia maklum bahwa biarpun Su Kiat kelihatan tersenyum dan sinar matanya tidak lagi membayangkan keraguan dan kemarahan, namun pendekar itu tetap saja merupakan seorang laki-laki biasa dan tentu akan timbul kembali cemburunya kalau dia melakukan perjalanan bersama mereka dan kemudian nampak hubungan yang amat akrab antara dia dan Hui Lian. Tidak, dia tidak akan mengganggu ketenteraman dan kedamaian hubungan suami isteri yang saling mencinta itu.
"Kurasa sebaiknya kalau kita melakukan tugas kita secara terpisah. Bukankah akan lebih mudah melakukan penyelidikan kalau kita berpencar? Kita tentu akan saling jumpa di sana dan dapat saling membantu." katanya.
Su Kiat mengangguk-angguk. “Apa yang dikatakan Hay Hay itu memang benar. Lam-hai Giam-lo sudah lihai, kalau dia dibantu oleh banyak tokoh sesat yang lihai, maka keadaan di sana itu amat berbahaya. Kita harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan beramai-ramai tentu akan lebih mudah diketahui pihak musuh."
Hui Lian nampak kecewa akan tetapi ia tidak mendesak karena naluri kewanitaannya yang halus juga memperingatkannya bahwa kebersamaannya dengan Hay Hay memang cukup berbahaya dan dapat menimbulkan salah sangka dan cemburu di pihak suaminya.
"Kami sudah berada di sini tiga hari, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan. Kami akan berangkat lebih dulu." Kata pula Su Kiat. Mereka lalu berpamit dari Hay Hay yang masih ingin pesiar di telaga itu.
Hay Hay cepat menghapus ingatannya dari suami isteri itu dan kembali mendayung perahunya setelah suami isteri itu mengembalikan perahu yang mereka sewa. Akan tetapi sungguh mengherankan hati Hay Hay. Biarpun dia sudah berhasil mengusir bayangan suami isteri itu, terutama sekali bayangan Hui Lian, tetap saja dia sudah kehilangan kegembiraan dan kehilangan gairah. Dia merasa seolah-olah kesepian. Akhirnya dia pun mendayung perahunya ke tepi dan mengembalikan perahu sewaan itu, lalu dia menggendong buntalan pakaiannya dan berjalan-jalan di tepi telaga. Matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyengat kulit. Hay Hay menjauhkan diri dari tempat ramai, berjalan-jalan di bagian tepi telaga, yang penuh dengan pohon-pohon rindang. Di situ sunyi dan dia terlindung dari sinar matahari yang terik. Tidak ada seorang pun di situ, juga perahu-perahu itu berada jauh dari bagian itu, merupakan perahu-perahu yang nampak kecil dan memenuhi permukaan telaga di sebelah sana dan di tengah telaga. Akan tetapi tidak sebanyak pagi tadi. Perahu-perahu yang tidak memakai bilik, yaitu perahu-perahu kecil yang terbuka, mulai berkurang. Tentu mereka yang mempergunakan perahu-perahu terbuka itu kepanasan dan sudah mulai meninggalkan telaga. Hanya perahu-perahu yang ada biliknya sajalah yang masih berseliweran, agaknya para penumpangnya asyik sendiri terutama mereka yang membawa gadis-gadis penghibur.
Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sejak pertemuannya dengan para pendeta Pek-lian-kauw di malam itu, para pendeta itu tidak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengintaian. Bahkan ketika dia bertanding melawan Ciang Su Kiat, banyak mata menonton dari jarak aman. Makin teganglah hati para pendeta Pek-lian-kauw melihat betapa pemuda yang mereka takuti itu, menghadapi lawan Si Lengan Buntung yang demikian lihai pun masih mampu menang! Sebagian dari mereka sudah lama memberi laporan kepada Lam-hai Giam-lo tentang munculnya pemuda lihai itu. Dan Lam-hai Giam-lo tentu saja menjadi curiga dan penasaran lalu dia mengutus dua orang pembantunya yang paling dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, untuk menyelidiki siapa pemuda itu dan kalau perlu membantu lima tokoh Pek-lian-kauw untuk menundukkan pemuda itu.
"Kalau dia benar selihai seperti yang dilaporkan, kalau mungkin bujuklah agar dia dapat bekerja sama dengan kita, membantu gerakan kita." Lam-hai Giam-lo memesan kepada dua orang pembantunya itu, "Kukira Tok-sim Mo-li cukup tahu bagaimana untuk menundukkan hati seorang pemuda. Kalau kiranya tidak mungkin, daripada dia menjadi ancaman bagi kita, bunuh saja dia."
Dengan penuh semangat, guru dan murid yang menjadi kekasih itu berangkat bersama pendeta Pek-lian-kauw yang melapor itu. Akan tetapi, ketika Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi melihat siapa adanya pemuda itu, tentu saja mereka terkejut bukan main.
"Hay Hay….!" desis Ji Sun Bi dari tempat ia mengintai.
"Pemuda setan itu!" kata pula Min-san Mo-ko dengan hati gentar. Mereka sudah pernah merasakan kelihaian pemuda itu, bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi bahkan memiliki ilmu sihir yang pernah membuat guru dan murid ini tidak berdaya dan dipermainkan. Pantas saja lima orang pendeta Pek-lian-kauw yang ahli sihir itu tidak mampu menandinginya! Bahkan kini guru dan murid itu sendiri saling pandang dengan sikap ragu- ragu dan was-was karena mereka sangsi apakah dengan bantuan mereka yang bergabung dengan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu mereka akan mampu mengalahkan, Hay Hay.
"Kita harus minta bala bantuan." Kata Min-san Mo-ko kepada muridnya, tanpa malu-malu lagi.
Ji Sun Bi mengangguk. "Benar, dan kurasa hanya ada dua orang saja di antara perserikatan kita yang akan mampu menandinginya. Pertama tentu saja Lam-hai Giam-lo sendiri, akan tetapi Bengcu kita itu tak mungkin turun tangan sendiri. Dan ke dua adalah Ki Liong. Baiknya aku segera mengundangnya ke sini untuk memperkuat kita.”
Min-san Mo-ko yang maklum akan kelihaian Ki Liong yang kini dikenal sebagai Sim Ki liong, pembantu utama dari Lam-hai Giam-lo, mengangguk menyetujui. Berangkatlah Ji Sun Bi secepatnya, kembali ke dataran tinggi Yunan yang tidak berapa jauh lagi dari situ, sedangkan Min-san Mo-ko dan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu hanya membayangi Hay Hay dari kejauhan, tidak berani turun tangan. Dan karena Hay Hay mengambil keputusan untuk tinggal selama tiga hari di kota Wei-ning dan berpesiar di Telaga Cao, maka Ki Liong dapat tiba di situ bersama Ji Sun Bi sebelum Hay Hay meninggalkan tempat itu.
Pada hari terakhir itu pagi-pagi sekali Hay Hay sudah duduk di tepi telaga, di tempat yang paling sepi, sambil memegang setangkai pancing. Kemarin ketika berperahu, dia melihat bahwa di bagian ini justeru banyak sekali ikannya, dan dia ingin sekali mengail ikan di situ dan kalau mendapatkan ikan lalu dipanggangnya di situ pula. Untuk keperluan ini dia sudah membawa bumbu dan gatam dari rumah penginapan.
Akan tetapi sial baginya. Sampai satu jam lebih dia duduk di situ, tak seekorpun ikan mencium umpannya! Dia menganggap dirinya sial, padahal hari masih terlampau pagi dan agaknya ikan-ikan masih belum waktunya keluar dari sarang mencari makanan.
"Huh, apakah kalian masih tidur? Ataukah belum waktunya sarapan pagi? Atau pergi melancong sekeluarga kalian?" Hay Hay mengomel panjang pendek akan tetapi dia lalu tertawa geli, mentertawakan diri sendiri. Mana mungkin ada ikan tidur? Dan dia termenung. Bagaimana kalau ikan beristirahat dan tidur? Apakah juga ada waktu makan seperti manusia, makan pagi, siang dan malam sebanyak tiga kali? Ataukah asal lapar lalu makan tanpa waktu? Dan pernahkan keluarga ikan itu bersenang-senang, pelesir bersama anak isterinya? Gambaran ini demikian menggelitik hatinya sehingga dia pun tertawa dengan bebas karena ditempat itu tidak terdapat orang lain.
"Ha-ha-ha, engkau sudah gila, Hay Hay!" demikian dia berkata, lalu mengangkat pancingnya, mengganti dengan umpan yang baru dan mulai memancing lagi. Memancing adalah suatu pekerjaan yang mengasyikkan. Kalau dia tidak membiarkan pikirannya melamun, mengingat-ingat hal yang lalu atau membayangkan hal mendatang, maka pikiran menjadi tenang dan hening, dan kalau semua perhatiannya ditujukan kepada tali pancing di permukaan air telaga, keadaannya hampir sama dengan kalau dia bersamadhi. Tenang dan damai, demikian keadaan seorang yang sedang mengail kalau pikirannya tidak melayang-layang, melainkan tenggelam dalam keheningan. Dia menjadi lupa waktu, lupa keadaan, tidak menyadari bahwa satu jam telah lewat pula dan kini sinar matahari pagi mulai menciptakan sinar keemasan pada permukaan air telaga. Dan agaknya sinar matahari pagi itu yang menggugah ikan-ikan karena mulailah dia merasa betapa ujung tali pancingnya bergerak-gerak, tanda bahwa umpannya mulai ada yang menciumnya! Tentu saja seluruh perhatian Hay Hay dicurahkan ke ujung pancingnya sehingga dia tidak tahu akan datangnya sebuah perahu kecil yang di dayung oleh seorang gadis menuju ke tempat dia mengail.
Hay Hay baru sadar ketika ikan-ikan yang mulai mencium umpannya itu tiba-tiba melepaskan umpan dan permukaan air berombak, lalu terdengar suara dayung memukul air.
"Haiii….!" Dia mengangkat mukanya dan berteriak marah. "Apakah engkau tidak tahu bahwa di sini ada orang sedang mengail ikan? Engkau datang mengganggu sehingga ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan pancingku, kini lari cerai-berai ketakutan karena datangnya perahumu!"
Perahu itu telah datang dekat, dan penumpangnya yang tadi mendayung perahu itu bangkit berdiri. Karena orang itu tadinya tertutup mukanya oleh sebuah caping lebar pelindung muka itu dari panas matahari, maka setelah orang itu berdiri dan mendorong caping ke belakang, baru nampak oleh Hay Hay bahwa penumpang perahu yang ditegurnya itu ternyata adalah seorang gadis remaja yang tersenyum manis sekali!
Gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, pakaian dan wajahnya sederhana, namun tubuh yang mulai mekar ranum itu menarik sekali, sedangkan wajah yang sederhana tanpa bedak gincu itu memiliki daya tarik yang amat kuat, mungkin karena kelembutan dan kepolosan yang terpancar pada wajah yang berseri itu.
"Maaf, aku tidak tahu bahwa aku mengganggumu." kata gadis itu, dan suaranya juga lunak halus.
"Maaf, maaf! Setelah ikan-ikan itu pergi jauh? Aih, engkau tidak tahu bahwa engkau telah merampas sedikitnya seekor ikan besar untuk sarapanku, padahal perutku sudah lapar dan sejak tadi aku sudah siap untuk memanggang ikan hasil pancinganku!" kata Hay Hay, mulai berkurang kemarahannya melihat betapa gadis itu bersikap dan berbicara demikian lunak dan halus.
Gadis itu masih tersenyum ramah dan sinar matanya mengandung penyesalan.
"Ah, kalau begitu aku berhutang seekor ikan padamu, bung! Nah, biar kubayar hutang itu!" Gadis itu masih berdiri di atas perahunya, dan dayung itu dipegangnya dengan tangan kanan. Kini matanya mengamati permukaan air telaga yang mulai tenang lagi setelah berhenti meluncur. Tiba-tiba dayungnya menyambar ke bawah, terdengar air terpukul dan gadis itu berjongkok, lalu tangan kirinya mengambil seekor ikan sebesar betis yang sudah mengambang karena mati terpukul dayungnya.
"Nah, inilah hutangku padamu, bung!" katanya sambil melemparkan ikan itu ke darat, di belakang Hay Hay.
Melihat ini Hay Hay terbelalak dan dia semakin tertarik. Gadis remaja yang lembut dan halus sikap dan tutur sapanya itu ternyata seorang gadis yang memiliki ilmu kepandalan hebat sehingga dengan mudah dapat menangkap seekor ikan yang dipukul dengan dayungnya. Hay Hay tersenyum lebar, merasa penasaran karena agaknya gadis itu hendak memamerkan kepandaiannya.
"Hemm, aku ingin mengail, bukan menangkap ikan begitu saja. Engkau tidak tahu seninya orang mengail, Nona. Kalau aku mau, tentu akan dapat pula menangkap ikan semudah seperti yang kaulakukan itu!" Hay Hay bangkit berdiri dan memandang permukaan air. Air yang jernih itu membuat dia dapat melihat beberapa ekor ikan berenang tak jauh dari situ. Dia menggerakkan tangkai pancirignya yang terbuat dari bambu itu. Tangkai itu meluncur ke dalam air dan ketika dia mencabutnya kembali, ujungnya sudah menusuk seekor ikan yang menggelepar-gelepar. Dia melepaskan ikan itu di atas darat, kemudian dengan cepat tangkai pancingnya masih dua kali lagi meluncur dan dalam waktu yang cepat dia sudah menangkap tiga ekor ikan yang cukup gemuk!
"Ah, kiranya engkau seorang yang amat lihai, yang menyamar sebagai seorang pengail. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat, dan maafkan sekali lagi bahwa tadi aku telah mengganggu tanpa kusengaja." Gadis itu memberi hormat dari perahunya, kemudian duduk kembali dan dengan perlahan mendayung perahunya ke tengah.
"Heiii, Nona! Nanti dulu!” Hay Hay berteriak. "Engkau sudah bersalah padaku dan aku tidak mau memaafkan sebelum menghukummu!"
Gadis itu menahan perahunya, alisnya berkerut karena ia mengira bahwa pemuda di pantai itu akan bersikap kurang ajar. Akan tetapi dengan suara tetap lembut penuh kegembiraan, ia bertanya. "Aku memang bersalah, akan tetapi tidak kusengaja dan aku sudah minta maaf. Hukuman apa yang akan kaujatuhkan kepadaku?"
"Lihat!" Hay Hay menunjuk ke arah empat bangkai ikan tadi. "Karena ulahmu di sini empat ekor ikan yang tidak berdosa telah mati. Kalau tidak dimakan dagingnya, itu namanya suatu pemborosan dan sia-sia namanya. Karena itu, aku akan menghukummu agar engkau membantuku menghabiskan daging empat ekor ikan ini. Aku sudah siap dengan bumbu-bumbunya dan kalau dipanggang, daging ikan ini lezat sekali!"
Lenyaplah kerut-merut pada alis gadis itu dan ia pun tertawa, lalu mendayung perahu ke tepi. "Baiklah, aku terima hukuman itu!" katanya sambil tersenyum. "Aku pun lapar sekali!" Ia meloncat ke darat dan menarik tali perahu itu ke darat. Demikian mudahnya gadis itu menarik perahu ke darat, padahal pantai itu agak terjal, hal ini menunjukkan bahwa ia memang bukan gadis sembarangan dan memiliki tenaga yang kuat.
Mereka kini berdiri berhadapan, saling pandang dan Hay Hay semakin tertarik. Gadis ini tidak cantik sekali, akan tetapi pembawaannya demikian polos dan wajar, dan tubuhnya indah, memiliki daya tarik besar. Memang banyak dia temui wanita cantik yang kurang begitu kuat daya tariknya, seolah-olah setangkai bunga yang tidak begitu harum. Akan tetapi gadis ini bagaikan setangkai bunga sederhana yang amat harum semerbak, yang memiliki daya tarik besar dan membuat orang suka sekali berdekatan dan bicara dengannya. Sepasang matanya demikian lembut, keibuan dan penuh kesabaran, mulutnya juga selalu tersenyum ramah, wajahnya yang tanpa bedak itu kemerahan dan segar bagaikan setangkai bunga mawar merah bermandi embun. Pakaiannya juga sederhana, namun bahkan menonjolkan keindahan tubuhnya yang sedang mekar
Agaknya masing-masing merasa puas dengan apa yang mereka pandang dan nilai, karena keduanya tersenyum dan gadis itu berkata, "Mari kubantu engkau memanggang ikan."
Keduanya tidak banyak cakap, melainkan sibuk membersihkan sisik ikan-ikan itu, membuang isi perutnya, mencuci dengan air telaga dan melumurinya dengan bumbu yang sudah dipersiapkan oleh Hay Hay. Tak lama kemudian masing-masing memegangi dua tusuk bambu, memanggang dua ekor ikan di atas api membara dan terciumlah bau yang sedap.
"Aduh sedapnya…! Perutku menjadi semakin lapar saja!" kata gadis itu dan cuping hidungnya kembang kempis, lucu sekali.
"Ha-ha-ha, air liurku tak dapat kutahan lagi!" Hay Hay juga berkata dan dia tertawa, merasa gembira bukan main. Kehadiran gadis ini sungguh merupakan berkah baginya, membuat hari nampak demikian cerah dan suasana demikian gembira dan indah. Bukan main!
Tak lama kemudian, keduanya sudah mengganyang ikan-ikan itu dan terasa gurih, manis dan lezat bukan main. Gadis itu tidak kelihatan malu-malu. Ia memiliki watak yang terbuka dan polos, namun lembut, tidak liar seperti watak Kui Hong atau Bi Lian. Sama sekali tidak kelihatan galak, walaupun kadang-kadang sinar matanya mencorong penuh wibawa. Sebentar saja, daging ikan-ikan itu telah habis, tinggal kepala, ekor dan tulang-tulangnya saja.
"Sayang tidak ada minuman…"
"Jangan khawatir, Nona. Aku membawa sebotol anggur." Hay Hay mengeluarkan botol anggur dari buntalannya.
"Aku kurang begitu suka minum arak."
"Ini bukan arak keras, melainkan anggur yang halus. Rasanya manis dan enak, tidak memabokkan asal tidak terlampau banyak, dan menghangatkan perut. Cobalah!" Hay Hay menyodorkan botol yang terisi anggur hampir penuh itu sambil membuka tutupnya.
Gadis itu mendekatkan mulut botol ke bawah hidungnya. "Hemm, baunya memang harum. Akan tetapi mana cawannya? Akan kucoba sedikit, untuk menghilangkan amis ikan tadi dari mulut.”
"Aku tidak membawa cawan, Nona. Minumlah saja dari botol, mengapa?"
"Ihh, mulut botol akan berbau amis oleh mulutku yang habis makan panggang ikan."
"Apa salahnya? Mulutku juga." kata Hay Hay.
Gadis itu tersenyum, kemudian menuangkan isi botol itu, diterima oleh mulutnya yang terbuka sehingga ia dapat minum anggur itu tanpa menyentuh bibir botol dengan bibirnya. Melihat mulut gadis itu terbuka, melihat rongga mulut yang merah sehat, gigi yang putih berkilau dan lidah yang merah jambu, bibir yang basah kemerahan pula, Hay Hay menelan ludah. Seorang gadis yang sehat dan bersih, dan memiliki daya tarik yang amat kuat justeru oleh kesederhanaannya!
"Hemm, engkau terlalu sopan, Nona." katanya setelah gadis itu mengembalikan botol anggur.
Gadis itu tidak menanggapi, melainkan memuji. "Anggurmu sungguh enak."
"Dan ini untuk mencuci dan menyegarkan mulut!" kata Hay Hay, mengeluarkan empat buah pir dan memberikannya kepada gadis itu dua buah. Wajah itu nampak berseri.
"Heii! Engkau seperti tahu saja akan buah kesukaanku!" teriaknya dan ia pun segera makan buah pir yang banyak airnya itu, segar dan manis rasanya, dan memang merupakan pencuci mulut yang segar untuk menghilangkan amis dan dari daging ikan tadi.
Mereka kini makan buah dan duduk berhadapan di atas rumput. Tiba-tiba Hay Hay tertawa, "Sungguh lucu sekali!"
"Apanya yang lucu?"
Gadis itu bertanya heran lalu memandangi tubuhnya, membereskan rambutnya yang agak awut-awutan karena ia mengira dirinya yang nampak lucu.
"Kita sudah menangkap ikan bersama, makan ikan dan minum anggur, kini makan buah bersama, seperti dua orang sahabat karib yang saling mengenal selama bertahun-tahun. Padahal kita baru saja saling jumpa secara kebetulan, bahkan kita belum mengenal nama masing-masing. Apakah kaukira tidak sepatutnya sudah kalau kita saling memperkenalkan nama? Namaku adalah Hay Hay."
"Dan namaku Ling Ling."
"Heii! Nama kita juga mirip, hanya satu suku kata yang diulang. Ling Ling, nama yang indah dan manis sekali, sesuai dengan orangnya!"
Ling Ling adalah Cia Ling, puteri tunggal dari Cia Sun. Seperti telah kita ketahui, Cia Ling atau panggilannya Ling Ling ini meninggalkan tempat tinggal ayahnya di dusun Ciangsi-bun di sebelah selatan kota raja, berkunjung ke Cin-ling-pai. Kemudian ia meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanannya merantau dan mencari pengalaman sebelum pulang ke rumah orang tuanya. Dalam perjalanannya inilah ia mendengar akan persekutuan para tokoh dunia hitam yang kabarnya bersarang di dataran tinggi Yunan. Ia merasa tertarik. Persekutuan orang jahat itu tentu akan ditentang oleh para pendekar, pikirnya, mengingat akan cerita ayahnya tentang pengalaman ayahnya dahulu ketika masih muda, di mana para pendekar selalu siap untuk menentang gerakan para penjahat di dunia kang-ouw. Inilah kesempatan baik untuk meluaskan pengetahuan, pikirnya. Demikianlah, gadis gagah perkasa ini tanpa ragu lagi lalu melakukan perjalanan menuju ke selatan, ke Yunan. Dan ketika tiba di Telaga Cou, dara perkasa ini tertarik sekali dan menyewa perahu kecil sampai perjumpaannya yang tak disangka-sangka dengan seorang pemuda yang aneh dan menarik hatinya. Gadis ini mengalami cukup banyak godaan dan halangan di sepanjang perjalanannya, namun berkat ilmu silatnya yang tinggi, ia mampu mengatasi semua halangan, bahkan banyak menghajar orang-orang jahat yang berani mengganggunya, baik untuk merampok perbekalannya atau pun untuk mengganggu dirinya sebagai seorang gadis muda yang cukup menarik dan yang melakukan perjalanan senditian saja.
Kini, mendengar kata-kata Hay Hay yang mengatakan bahwa namanya indah dan manis sekali sesuai dengan orangnya, gadis ini memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan sepasang alisnya berkerut sedikit. Namun, suaranya masih terdengar lembut dan sabar ketika ia bertanya.
"Apa maksudmu?"
Ia mulai merasa.curiga, mengira bahwa Hay Hay tiada bedanya dengan para lelaki yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan yaitu pada akhirnya lelaki-lelaki itu hanya ingin merayunya dan menjatuhkannya!
Akan tetapi Hay Hay tersenyum lebar dan memandang dengan polos. "Apa maksudku? Sudah jelas. Namamu itu, Ling Ling, terdengar merdu seperti nyayian dan indah manis, seperti pemiliknya. Apakah engkau belum tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang amat menarik, sederhana namun manis dan mengandung daya tarik bagaikan besi sembrani, Adik Ling Ling?"
Kalau tadinya Ling Ling sudah siap untuk menegur atau bahkan menghajar pemuda itu andaikata berani kurang ajar, kini gadis itu bimbang. Pemuda ini memang memujinya, bahkan kata-katanya mirip rayuan akan tetapi pandang matanya dan suaranya sama sekali bukan seperti para pria lain yang hendak berkurang ajar kepadanya. Mata itu demikian polos, dan suaranya juga datar saja seolah-olah bicara tentang kecantikannya merupakan hal yang lumrah dan sewajarnya, seperti seorang memuji keindahan setangkai bunga saja! Karena itu, ia pun tidak dapat marah, melainkan mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik.
"Hemm, baru sekarang ada orang mengatakan bahwa aku manis menarik. Hay-ko (Kakak Hay ), katakan, apanya sih yang manis menarik?"
Senang hati Hay Hay disebut Hay-ko setelah tadi dia menyebut Ling-moi (Adik Ling), terdengar demikian akrab dan mesra, seperti kakak beradik, atau seperti... pacar saja! "Ha-ha, apamu yang menarik, Ling-moi? Entahlah, sukar untuk menentukan. Mungkin matamu yang lembut itu, atau mulutmu yang selalu tersenyum atau juga hidungmu yang cupingnya dapat kembang kempis lucu, atau rambutmu yang hitam panjang awut-awutan itu. Atau kesemuanya ditambah kesederhanaanmu, kelembutanmu, pakaianmu yang sederhana namun bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhmu, waah, pendeknya engkau manis menarik!"
Kini Ling Ling tertawa. Bukan, bukan perayu kurang ajar yang mempunyai niat buruk, pikirnya. Pemuda ini lain sama sekali daripada para pria lainnya. Pria lainnya yang dijumpai, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas membayangkan kebangkitan nafsu berahi, senyum-senyum buatan untuk memikat, kata-kata rayuan yang juga isinya penuh dengan daya pikat, mata dan mulut yang jelas mengandung kekurangajaran. Akan tetapi pemuda ini lain sama sekali. Biarpun rayuannya maut, lebih manis dan menyenangkan dibandingkan semua rayuan yang pernah didengarnya, namun sinar mata pemuda ini polos dan bersih dari nafsu, dan tidak ada nampak bayangan keinginan untuk memikat, apalagi kurang ajar. Maka ia pun tertawa.
"Hi-hik, Hay-ko, engkau sungguh seorang perayu besar! Rayuanmu yang maut itu bisa membuat kepala seorang gadis menjadi tujuh keliling dan membuat ia bertekuk lutut dan taluk kepadamu! Apakah engkau seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu wanita?"
Hay Hay menarik napas panjang. "Sudah mejadi nasibku barangkali, sudah suratan takdir bahwa selama hidupku, aku akan dicap sebagai seorang laki-laki mata keranjang! Hampir semua wanita menganggap aku mata keranjang dan perayu besar!"
"Tapi engkau memang perayu besar, Hay-ko. Selama hidupku, belum pernah aku dipuji laki-laki seperti yang kaulakukan tadi!" Ling Ling berkata, akan tetapi sambil tersenyum
Kembali Hay Hay menarik napas panjang. "Itulah nasibku! Aku sama sekali tidak pernah merayumu, Ling-moi. Aku hanya jujur dan terus terang saja, mengatakan apa adanya. Memang engkau manis menarik, habis aku harus berkata bagaimana?"
"Apakah engkau selalu memuji setiap orang wanita yang kaujumpai?"
“Iya, sebagian besar. Karena bagiku, setiap orang wanita itu seperti juga bunga. Bunga itu bermacam-macam, baik bentuknya maupun warnanya, akan tetapi adakah bunga yang buruk? Semua indah dan semua cantik, dalam coraknya sendiri, memiliki keistimewaan sendiri. Dan aku memandang wanita seperti memandang bunga, aku selalu kagum akan keindahan seorang wanita seperti kagum kepada keindahan bunga. Salahkah kalau aku memuji keindahan itu?"
"Memuji keindahan bunga lalu ingin memetiknya?"
"Ah, tidak! Aku bukan perayu, Ling-moi! Aku suka akan keindahan, bagaimana mungkin aku ingin merusak keindahan itu? Tidak, aku hanya cukup puas dengan memandangnya, mengamati dan mengagumi kecantikannya."
Ling Ling memandang kagum. "Engkau seorang laki-laki yang aneh, terlalu jujur dan tentu banyak mengalami hal-hal yang menyusahkan karena kejujuranmu itu, Hayko."
Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang parau dan kasar, "Heh-heh, kiranya engkau sudah berada di sini, Nona manis!"
Hay Hay masih duduk dan hanya memutar tubuh untuk memandang saja. Akan tetapi Ling Ling sudah meloncat dan bangkit berdiri. Hay Hay memperhatikan tiga orang yang muncul itu. Mereka itu adalah tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh dan lima puluh tahun. Ketiganya mengenakan pakaian serba putih! Yang dua orang bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat, dengan lengan berotot dan sepasang mata yang liar, muka mereka kehitaman, seorang berjenggot panjang dan seorang lagi tanpa jenggot. Orang ke tiga, yang pakaiannya juga putih seperti dua orang terdahulu, lebih tua beberapa tahun, akan tetapi orang ke tiga ini bertubuh pendek gendut seperti bola. Yang membuat Hay Hay terkejut adalah muka orang ini, karena muka ini agak pucat. Hal ini bukan berarti bahwa orang gendut itu berpenyakitan. Kepucatan mukanya berbeda dengan pucatnya orang yang tidak sehat. Hay Hay mengenal orang itu sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi hanya dengan melihat mukanya. Dia pernah mendengar dari para gurunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat ilmu sesat di antaranya latihan hawa sakti yang dapat membuat wajah orang itu menjadi pucat, akan tetapi semakin pucat wajahnya, semakin kuat sin-kang sesat yang dilatihnya.
Dugaan Hay Hay ini memang tepat. Tiga orang itu adalah anggauta perkumpulan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis), sebuah perkumpulan di Lembah Iblis yang berada di lereng Gunung Hong-san. Perkumpulan.Kui-kok-pang ini dipimpin oleh ketuanya yang bernama Kim San, seorang yang berilmu tinggi dan mukanya sepucat mayat. Seperti juga ketuanya, semua anggauta Kui-kok-pang mengenakan pakaian serba putih, dan ketinggian tingkat mereka dapat dilihat dari keadaan muka mereka. Yang iebih pucat berarti lebih tinggi kedudukannya dan ilmu kepandaiannya. Dua orang tinggi besar yang mukanya kehitaman, dengan kepucatan yang hampir tidak nampak karena kulit muka yang hitam, menunjukkan bahwa mereka berdua adalah anggauta-anggauta biasa saja yang masih rendah tingkatnya, dan mereka lebih mengandalkan tenaga otot daripada tenaga sakti. Akan tetapi orang ke tiga, yang bertubuh pendek gendut seperti bola, mukanya pucat dan ini menunjukkan bahwa tingkatnya lebih tinggi daripada kedua orang temannya yang bermuka hitam.
Ketika mendengar teguran parau dan kasar tadi, Ling Ling cepat menengok. Ketika melihat dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya kehitaman, seketika wajah Ling Ling berubah merah dan ia pun meloncat bangun, berdiri sambil bertolak pinggang, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ketika memandang kepada mereka.
"Hemm, kiranya kalian anjing-anjing hitam yang kurang ajar itu berani muncul kembali! Apakah kalian masih belum jera dan.minta dihajar lagi?" kata Ling Ling.
Dua orang laki-laki muka hitam itu saling pandang, kemudian mereka menoleh kepada laki-laki perut gendut sambil berkata. "Nah, engkau dengar sendiri, Suheng! Ia memang seorang gadis yang sombong dan memandang rendah kepada kita!" kata Si Hitam yang berjenggot kambing.
Si Pendek perut gendut melangkah maju menghadapi Ling Ling. Sejenak dia tidak bicara apa pun, hanya mengamati wajah gadis itu dengan sinar mata mencorong, kemudian dia berkata, suaranya kecil seperti suara tikus terpencet, sehingga terdengar lucu dan berlawanan dengan tubuhnya yang gendut.
"Nona, agaknya engkau tidak tahu, bahwa kami adalah orang-orang Kui-kok-pang! Agaknya Nona baru saja memasuki dunia kang-ouw, seperti burung yang baru belajar terbang sehingga tidak mengenal kami. Oleh karena itu, kalau Nona mau bersikap manis dan minta maaf, kami pun akan menyudahi urusan ini dan menganggap bahwa Nona masih kanak-kanak yang tidak tahu akan kebesaran Kui-kok-pang."
Mendengar disebutnya nama Kui-kok-pang, diam-diam Hay Hay terkejut karena dia sudah mendengar akan nama besar perkumpulan itu. Akan tetapi dia harus tahu dulu akan duduk perkaranya sebelum berpihak, maka sebelum Ling Ling yang bersikap tenang namun marah itu menjawab, dia sudah mendahului.
"Ling-moi, apakah yang telah terjadi antara engkau dengandua orang saudara dari Kui-kok-pang ini?"
Ling Ling yang sudah siap menjawab kata-kata Si Gendut pendek itu dengan kata-kata keras, mendengar pertanyaan Hay Hay, lalu menoleh kepada pemuda itu.
"Hay-ko, aku tidak tahu apakah dua orang jahanam ini anggauta Perkumpulan Lembah Iblis, atau perkumpulan apa, akan tetapi kemarin sore, ketika aku memasuki kota, di tengah perjalanan di luar kota itu, mereka menghadangku dan bersikap kurang ajar, hendak mengganggu aku. Tentu saja aku menghajar mereka sampai mereka lari tunggang-langgang seperti dua ekor anjing dipukul. Dan sekarang, mereka muncul lagi bersama seekor anjing gemuk lainnya yang agaknya hendak menggonggong lebih keras daripada mereka."
Hay Hay menahan senyum karena geli hatinya. Kini dia tahu bahwa dua orang Kui-kok-pang yang bertubuh tinggi besar itu, seperti kebanyakan pria yang kasar dan kurang ajar, kemarin mencoba mengganggu Ling Ling yang dianggapnya seorang gadis cantik yang lemah. Mereka tertumbuk batu karang dan dihajar,dan kini mereka datang dengan seorang kawan mereka yang mereka sebut suheng, tentu untuk membalas dendam kepada gadis itu. Hay Hay maklum bahwa kalau dibiarkan saja, tentu Ling Ling akan berkelahi melawan tiga orang Kui-kok-pang itu, maka dia lalu menghadapi laki-laki pendek gendut, menjura dan berkata dengan ramah.
"Sobat, kalau adikku ini telah kesalahan tangan terhadap dua orang saudaramu ini, biarlah aku yang memintakan maaf, harap urusan ini dihabiskan sampai di sini saja."
Si Pendek Gendut itu memandang sejenak kepada Hay Hay, lalu dengan alis berkerut dia pun berkata, nada suaranya penuh ketinggian hati.
"Orang muda, aku tidak tahu siapa engkau dan mengapa pula engkau mencampuri urusan kami. Nona ini yang telah menghina orang-orang kami, maka ialah yang harus minta maaf sendiri dan membuktikan penyesalannya dengan menghibur kami selama sehari semalam. Baru kami mau sudah. Kalau tidak begitu, biar ada seribu orang yang memintakan maaf, kami tidak akan mau menerimanya."
Sikap Si Pendek Gendut itu demikian sombong dan Ling Ling sudah menjadi semakin marah saja. "Hay-ko, jangan mencampuri urusan ini. Biar kuhajar manusia busuk ini!" bentak Ling Ling dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Si Pendek Gendut itu. "He, babi gendut, jangan engkau membuka mulut sembarangan saja kalau tidak ingin aku menghancurkan mulutmu yang busuk!"
Muka yang pucat itu mendadak menjadi merah sekali, akan tetapi segera menjadi pucat kembali, dan sepasang mata yang sipit dari Si Pendek Gendut itu seperti mengeluarkan sinar berapi. Mendengar makian gadis itu, dia marah sekali. Tadinya dia mengira bahwa setelah mendengar nama besar Kui-kok-pang, gadis itu akan menjadi ketakutan dan menyerah. Tak tahunya gadis itu malah memakinya babi gendut! Padahal dia adalah seorang tokoh Kui-kok-pang, tingkat tiga yang ditakuti orang karena ilmu kepandaiannya sudah tinggi. Di bawah Ketua Kui-kok-pang, hanya ada tiga orang yang bertingkat dua sebagai pembantu-pembantu utama ketua, dan hanya ada lima orang, termasuk dia, yang menduduki tingkat ketika sebagai orang-orang yang dipercaya ketua dan sering bertindak sebagai utusan atau wakil ketua. Dan kini, gadis manis ini berani menghinanya setelah dia tertarik dan ingin memiliki gadis ini untuk menghibur hatinya.
"Bocah sombong, berani engkau menghina tuanmu? Agaknya engkau sudah bosan hidup!" Nafsu berahinya yang tadi timbul setelah dua orang anak buahnya membawanya menemui gadis yang pernah menghajar mereka itu, kini lenyap sama sekali oleh penghinaan yang dilontarkan Ling Ling, berubah menjadi kemarahan dan kebencian yang berbau darah dan maut. Begitu kata-katanya berhenti, tubuhnya sudah menerjang dengan dahsyatnya ke depan, kedua tangannya membentuk cakar dan menyerang dengan cakaran dan cengkeraman seperti seekor biruang marah. Dari kerongkongannya juga keluar gerengan seperti binatang buas. Akan tetapi, dari kedua tangan yang membentuk cakar itu, menyambar hawa yang amat kuat, didahului uap putih dan bau yang amis seperti darah!
Melihat serangan ini, terkejutlah Hay Hay karena dia mengenal serangan ilmu pukulan yang mengandung racun dan amat jahat, ciri khas pukulan yang biasa dipergunakan para tokoh golongan hitam. Hampir dia berteriak memperingatkan Ling Ling, bahkan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang karena dia pun siap untuk melindungi gadis itu dari serangan dahsyat lawannya, kalau saja dia tidak melihat gerakan Ling Ling yang membuat dia terbelalak. Dengan amat mudahnya, ringan dan bagaikan bulu tertiup angin, gadis itu menggerakkan kakinya dan terkaman yang dahsyat itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya! Yang membuat Hay Hay terbelalak heran bukan karena melihat kelihaian Ling Ling. Sudah banyak dia bertemu gadis yang berilmu tinggi, maka dia tidak akan heran melihat munculnya gadis-gadis lihai lainnya lagi. Akan tetapi dia terbelalak heran karena dia mengenal gerak langkah kaki yang dipergunakan Ling Ling untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat Si Pendek Gendut tadi. Itulah Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Tak salah lagi, walaupun belum scmpurna benar, namun mudah dikenal langkah-langkah rahasia itu! Padahal, ilmu langkah ajaib itu adalah ciptaan gurunya See-thian Lama atau juga yang disebut Go-bi San-jin! Bagaimana gadis itu mampu memainkan langkah ajaib itu?
Dan kini lenyapnya kekhawatiran dari hati Hay Hay. Bukan saja gadis itu pandai ilmu Jiauw-pouw-poan-soan yang akan membuat gadis itu pandai menyelamatkan diri dari serangan yang betapa hebat pun, juga gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebat. Dan ketika gadis itu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang mengeluarkan angin keras mencicit tanda bahwa telapak tangan itu mengandung tenaga sakti yang amat kuat, Hay Hay menahan seruan kagum. Tadi, ketika gadis itu menangkap ikan dengan dayungnya, dia sudah menduga bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian silat. Akan tetapi, perbuatan menangkap ikan itu mudah saja dan dia tidak mengira bahwa gadis itu ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan dapat memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan!
Kini dia tidak khawatir lagi, bahkan mengkhawatirkan nasib Si Pendek Gendut karena dia pun tahu bahwa Ling Ling jauh lebih lihai dibandingkan lawannya. Si Pendek Cendut juga terkejut ketika melihat tamparan gadis itu mengandung angin pukulan bercuitan mengejutkan. Dia mencoba untuk mengelak, bahkan menangkis untuk kemudian dilanjutkan cengkeraman pada lengan Ling Ling. Akan tetapi, begitu lengannya tersentuh lengan Ling Ling yang mengandung kekuatan Thian-te Sin-kang, tubuh Si Gendut itu terjengkang ke belakang dan di lain saat tubuh itu sudah menggelundung seperti sebuah bola ditendang! Akan tetapi, dia sudah meloncat bangun lagi dengan muka merah dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebuah pedang pendek yang berwarna hitam, tanda bahwa pedang itu agaknya sudah sering kali dilumuri racun! Dua orang anggauta Kui-kok-pang yang tinggi besar dan berkulit hitam, ketika melihat betapa suheng mereka dalam beberapa jurus saja sudah terjengkang, segera mencabut golok masing-masing dan mereka pun maju mengepung! Gadis itu dikepung tiga orang lawan yang kesemuanya bersenjata tajam! Namun, Ling Ling berdiri tegak sambil bertolak pinggang dengan kedua tangannya, tenang-tenang saja dan tersenyum, seperti seorang guru melihat tingkah tiga orang anak kecil yang bandel dan nakal! Hay Hay juga memandang dengan tersenyum. Dia masih percaya penuh bahwa gadis itu akan mampu melindungi dirinya. Dengan Jiauw-pouw-poan-soan saja, dia percaya gadis itu akan mampu menghindarkan diri dari kepungan tiga batang senjata tajam itu. Apalagi agaknya gadis itu memiliki lain-lain ilmu yang juga amat hebat.
Dugaan Hay Hay memang tidak meleset. Tingkat kepandaian Si Pendek Gendut bersama dua orang pembantunya itu masih jauh di bawah tingkat Ling Ling yang sejak kecil menerima gemblengan ayah ibunya. Ketika Si Pendek Gendut menyerang dengan pedangnya, dan dua orang pembantunya juga, menerjang dengan golok mereka, tiba-tiba saja mereka bertiga itu terkejut karena melihat gadis itu menyelinap dan hanya nampak bayangan berkelebat dan orangnya sudah lenyap. Ketika Si Gendut membalik, gadis itu sudah berada di belakangnya, berdiri dengan santai dan tersenyurn manis! Dia membalik, pedangnya membacok lagi dengan golok mereka.
Menghadapi pengeroyokan dengan senjata ini, Ling Ling kembali menyelamatkan diri dengan langkah-langkah anehnya. Tubuhnya bergeser ke kanan kiri, memutar dan dara itu sudah keluar dari kepungan tiga senjata tajam. Melihat betapa di antara tiga orang lawannya, yang paling kuat adalah Si Pendek Gendut, maka ia lalu menyerang dengan totokan jari telunjuk. Cepat sekali jari telunjuknya mencuat dan menotok ke arah pundak Si Gendut Pendek. Totokan ltu cepat bukan main dan tak mungkin dapat dihindarkan oleh lawan. Itulah Ilmu Thiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) yang amat ampuh, yaitu It-sin-ci (Satu Jari Sakti). Begitu pundaknya tersentuh telunjuk kiri gadis itu, seketika Si Pendek Gendut merasa betapa tubuhnya lemas kehilangan tenaga. Pedangnya terlepas dan tubuhnya terkulai jatuh. Akan tetapi, begitu tubuhnya rebah dia bergulingan dan tak lama kemudian dapat meloncat bangkit kembali sambil menyambar pedangnya yang tadi terlepas.
Hal ini mengejutkan hati Ling Ling, juga mengherankan hati Hay Hay. Jelaslah bahwa Si Pendek Gendut itu tadi terkena totokan yang lihai dan melihat dia terkulai, hal itu berarti bahwa totokan mengenai sasarannya dengan tepat. Akan tetapi bagaimana mungkin begitu terkulai jatuh, Si Pendek Gendut itu dapat meloncat bangun kembali setelah bergulingan ?
Baik Hay Hay maupun Ling Ling tidak tahu bahwa Kui-kok-pang adalah sebuah perkumpulan golongan sesat yang pernah dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi. Beberapa macam ilmu aneh diturunkan oleh para pimpinan itu, dan Si Pendek Gendut itu ternyata telah pula mewarisi sebuah di antara ilmu-ilmu aneh, yaitu yang disebut Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi. Ilmu ini adalah semacam ilmu kekebalan terhadap totokan lawan. Biarpun tadinya tubuh telah terpengaruh totokan lihai, asal tubuh itu dapat rebah di atas tanah, maka akan timbul kekuatan sehigga dia dapat bergulingan dan pengaruh totokan itu pun akan membuyar dengan sendirinya!
Kui-kok-pang didirikan oleh sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Si Suami berjuluk Kui-kok Lo-mo, dan isterinya Kui-kok Lo-bo, yaitu kakek dan nenek Lembah Kui-kok. Mereka selalu berpakaian putih dan muka kedua orang suami isteri ini pun putih seperti muka mayat, dengan mata mencorong. Ilmu kepandaian suami isteri ini hebat bukan main, dan nama Kui-kok-pang perkumpulan yang mereka dirikan, amat terkenal di dunia persilatan. Akan tetapi, suami isteri ini, di dalam kebesarannya, bernasib sial karena bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis, dua orang tokoh yang menjadi datuk terbesar di dunia hitam sehingga Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo tewas di tangan Ratu Iblis yang sakti. Kini yang menjadi Ketua Kui-kok-pang adalah Kim San, seorang murid suami isteri itu yang paling banyak mewarisi ilmu kepandaian mereka. Kui-kok-pang bangkit kembali dan kini menyusun kekuatan dengan bekerja sama di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo.
Seperti para pembantu lain yang bersekutu di dalam gerornbolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, para tokoh Kui-kok-pang tidak ketinggalan bekerja keras untuk menggembleng anak buah mereka, juga seperti para pembantu lain, berkeliaran mencari teman baru untuk ditarik menjadi anggauta kelompok mereka untuk memperkuat pasukan yang sedang mereka susun. Si Gendut Pendek bersama beberapa orang anak buahnya juga sedang bertugas mencari teman ketika mereka berkeliaran sampai ke daerah T elaga Cao. Dua orang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, bertemu dengan Ling Ling di tengah jalan yang sepi. Melihat seorang dara muda yang cantik melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menimbulkan nafsu kedua orang anggauta Kui-kok-pang yang sudah. biasa melakukan segala jenis kejahatan itu. Mereka bermaksud menggoda, akan tetapi mereka kecelik dan akibat dari godaan itu, mereka berdua dihajar oleh Ling Ling sehinnga mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan babak-belur. Mereka lalu mengadu kepada pimpinan mereka, yaitu Si Pendek Gendut. Orang ini adalah seorang laki-laki yang lemah terhadap wanita cantik. Mendengar bahwa dua orang anak buahnya baru saja dihajar oleh seorang gadis cantik, hatinya merasa penasaran dan bersama kedua orang anak buahnya itu, dia pun segera mencari gadis itu dan akhirnya dapat menemukan Ling Ling sedang bercengkerama dengan Hay Hay.
Demikianlah sedikit tentang Kui-kok-pang. Tidak mengherankan kalau Si Pendek Gendut itu mampu membebaskan pengaruh totokan It-sin-ci dari Ling Ling karena kebetulan dia mewarisi satu di antara ilmu-ilmu yang aneh, yang ditinggalkan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, yaitu Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi. Kini Si Gendut telah meloncat bangun dan menyerang lagi, diikuti oleh dua orang pembantunya yang menjadi besar hati melihat betapa suheng mereka tadi, biarpun sempat roboh, dapat bangkit kembali dengan cepat dan agaknya hal ini mengejutkan gadis i tu yang memandang dengan mata terbelalak.
Memang kebangkitan Si Gendut yang tidak tersangka-sangka itu agak mengejutkan hati Ling Ling, akan tetapi tidak membuatnya menjadi gugup. Begitu melihat tiga orang itu sudah maju lagi menerjangnya, ia menyelinap di antara bayangan tiga buah senjata tajam itu, menggunakan langkah-langkah ajaibnya, dan setelah membiarkan tiga orang lawannya menyerang sampai empat lima jurus dan ia melihat kesempatan terbuka, tiba-tiba sambil membuat gerakan memutar dalam langkah-langkahnya, ia menyerang secara bertubi-tubi ke arah tiga orang lawan itu dengan jurus-jurus cepat dari Ilmu silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang halus dan hebat. Terdengar teriakan-teriakan ketika tubuh tiga orang itu berturut-turut roboh dan dua batang golok terlepas dari pegangan pemiliknya. Tubuh Si Pendek Gendut untuk kedua kalinya roboh. Kembali dia menggunakan ilmunya Trenggiling Besi, bergulingan dan melompat bangun. Akan tetapi melihat betapa dua orang pembantunya begitu dapat bangun terus melarikan diri dengan terpincang-pincang Si Gendut itu pun agaknya sudah kehabisan nyali dan dia pun tanpa banyak cakap lagi sudah memutar tubuh dan melarikan diri menyusul dua orang anak buahnya!
Hay Hay tertawa dan bertepuk tangan memuji. Dia merasa kagum sekali, bukan hanya karena kelihaian Ling Ling, akan tetapi terutama sekali dia merasa girang dan kagum karena jelas nampak olehnya betapa di dalam perkelahian itu, Ling Ling telah mengalah dan sama sekali tidak pernah menggunakan tangan besi. Kalau saja gadis itu menghendaki, dengan mudah ia akan mampu merobohkan mereka bertiga untuk tidak dapat bangun kembali, tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi tidak, gadis itu jelas hanya ingin menundukkan mereka tanpa ingin melukai. Ini saja sudah membuktikan bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang memiliki watak halus, penyabar dan sama sekali tidak kejam. Berbeda dengan banyak pendekar wanita yang ringan tangan dan kadang-kadang ganas terhadap penjahat. Gadis ini seorang pemaaf besar!
“Hebat sekali, Ling-moi! Engkau membuat aku kagum!” kata Hay Hay memuji.
Ling Ling tersenyum. “Apanya sih yang patut dipuji? Biarpun aku belum pernah melihat kepandaianmu, aku berani memastikan bahwa engkau jauh lebih pandai daripada aku, Hay-ko.”
“Hemm, darimana engkau dapat memastikan seperti itu, Adikku yang manis?”
“Dari sikapmu, Hay-ko, juga ketika engkau menangkap ikan dengan pancinganmu tadi. Engkau bersikap sederhana hanya untuk menutupi kelihaianmu, Hay-ko.”
Hay Hay memandang kagum. “Ling-moi, engkau memang seorang gadis yang luar biasa sekali. Aku masih terheran-heran, darimana engkau mahir memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan itu…?”
Kini Ling Ling memandang penuh selidik. "Nah, tidak keliru dugaanku. Baru melihat engkau sudah dapat mengenal gerakanku. Betapa tajamnya pandang ma tamu, Hay-ko. MenurutAyah, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan, jarang atau mungkin tidak ada orang yang mengenalnya, dan engkau begitu melihat gerakanku, segera mengenalnya. Aku mempelajarinya dari Ayah, Hay-ko. Dan bagaimana engkau dapat mengenal ilmu kami itu?"
Akan tetapi Hay Hay tidak menjawab, melainkan memandang dengan mata terbelalak, lalu bertanya lagi, "Apakah nama keluargamu Cia?"
Ling Ling mengangguk heran. Bagaitnana pula pemuda ini tahu atau dapat menduga akan nama keluarganya?
"Dan Ayahmu bernama Cia Sun?"
Gadis itu bengong, lalu tersenyum. "Wah, ini namanya sudah keterlaluan, Hay-ko. Engkau membuat aku semakin bingung, heran dan penasaran. Engkau dapat mengetahui segalanya tentang diriku. Apakah engkau menguasai ilmu meramal? Jangan membikin aku bingung keheranan, Hay-ko. Bagaimana engkau dapat menduga demikian tepat?"
"Karena ilmu langkah tadilah, Ling-moi. Ketahuilah bahwa Ayahmu yang bernama Cia Sun itu adalah Suhengku."
"Ahhh…? Bagaimana mungkin? Ayah tidak pernah bercerita bahwa dia mempunyai seorang sute seperti engkau!"
"Memang, dia sendiri pun tidak tahu bahwa aku adalah sutenya."
"Tapi... tapi, guru Ayahku ada dua. Yang seorang adalah kakekku sendiri…"
"Aku tahu, tentu Kakekmu, pendekar sakti yang tinggal di Lembah Naga itu, bukan? Akan tetapi yang kumaksudkan adalah gurunya yang berjuluk See-thian Lama atau Go-bi San-jin….”
"Jadi kalau begitu engkau adalah murid dari Locianpwe itu? Dari Sukong (kakek Guru) Go-bi San-jin?"
"Benar, Ling-moi. Karena itu aku mengenal ilmu langkahmu tadi. Ayahmu adalah murid Suhu Go-bi San-jin, oleh karena itu dia adalah suhengku."
"Dan engkau adalah paman guruku! Ah, Susiok (Paman Guru) harap maafkan aku yang tadi bersikap kurang hormat karena belum mengenal Susiok." Kata Ling Ling sambil menjura dengan hormat kepada pemuda itu.
"Eiiit, jangan begitu, Ling-moi!" kata Hay Hay. Hay Hay cepat membalas penghormatan gadis itu. "Aku lebih senang menjadi kakak dan adik denganmu, seperti sekarang ini. Sebut saja aku Hay-ko seperti tadi, Ling-moi."
" Aku tidak berani, Susiok." kata Ling Ling, sikapnya hormat.
"Aihh, aku mendadak merasa menjadi tua sekali kalau engkau menyebutku paman guru, Ling-moi. Padahal, usiaku baru dua puluh satu tahun lebih!"
Gadis itu menatap wajahnya dan berkata, sikapnya sungguh-sungguh, namun tetap ramah dan halus. "Susiok, satu di antara pelajaran yang kuterima dari Ayah adalah agar aku menghormati orang tua, dan agar aku selalu mengingat akan tatasusila dan sopan santun. Biarpun engkau masih muda, pantas menjadi kakakku, akan tetapi kenyataannya, engkau adalah adik seperguruan dari Ayah. Oleh karena itu maka sudah semestinya dan sepatutnya kalau aku menyebut Susiok kepadamu. Dan harap Susiok jangan menyebut adik kepadaku, karena hal itu tentu akan menjadi bahan tertawaan orang lain."
Hay Hay mengerutkan alis. "Aih, masa bodoh pandangan dan pendapat orang lain. Ling-moi, engkau terlalu memegang peraturan!"
Gadis itu tersenyum, sikapnya tenang dan halus, dan pandang matanya seperti menggurui. "Susiok, apa akan jadinya dengan manusia kalau tidak memegang peraturan? Hidup tidak mungkin dapat bebas dari peraturan, Susiok. Tanpa peraturan, kehidupan akan menjadi bebas dan liar, tanpa batas-batas lagi sehingga takkan ada bedanya dengan kehidupan binatang. Maaf, Susiok, sejak kecil Ayah mengajarkan kepadaku agar mentaati peraturan, karena itulah aku tidak berani melanggar.”
Wajah Hay Hay berubah agak merah dan tiba-tiba dia pun tertawa. "Baiklah, Ling Ling. Biar aku sebut namamu begitu saja kalau engkau bertekad menyebut aku Susiok. Ada benarnya memang pendapatmu tadi. Tanpa peraturan, hidup akan menjadi liar dan kacau. Akan tetapi, terlalu memegang peraturan, hidup pun akan menjadi kaku. Di dalam segala hal memang dibutuhkan kebijaksanaan, karena hanya kebijaksanaanlah yang akan dapat membuat kita mempertimbangkan, mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Baiklah keponakanku yang manis, sekarang ceritakan kepada Paman Gurumu ini, bagaimana engkau, seorang dara remaja, dapat tiba di tempat ini melakukan perjalanan seorang diri. Dan ceritakan pula keadaan Suheng Cia Sun sekeluarganya yang tidak pernah kutemui itu."
Dengan singkat Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya betapa ayah dan ibunya tinggal di dusun Ciang-sibun di sebelah selatan kota raja, hidup sederhana dan bertani.
"Aku pergi meninggalkan rumah dengan perkenan Ayah dan Ibu, Susiok. Aku ingin meluaskan pengalaman dan juga aku berkunjung ke Cin-ling-pai, karena Ibuku adalah murid ketua yang lama dari Cin-ling-pai dan Ayahku masih keluarga dekat dengan keluarga Cin-ling-pai." Karena urusan di Cin-ling-pai merupakan urusan keluarga, maka Ling Ling tidak bercerita tentang keributan di Cin-ling-pai karena pemunculan Kui Hong, kemudian Hui Lian. Kalau ia menyebut nama kedua orang gadis ini, tentu Hay Hay akan terkejut dan girang karena dia sudah mengenal baik kedua orang gadis itu.
"Setelah bertemu keluarga Cin-ling-pai, aku melanjutkan perjalananku dan di tengah perjalanan inilah aku mendengar akan gerakan persekutuan para tokoh kang-ouw yang dipimpin oleh datuk-datuk sesat dan kabarnya yang diangkat menjadi bengcu adalah seorang datuk sesat berjuluk Lam-hai Giam-lo. Kabarnya, persekutuan golongan hitam ini bermaksud hendak mengadakan pemberontakan. Mendengar berita ini, aku merasa yakin bahwa para pendekar tentu akan menentangnya, Susiok. Karena itulah aku akan bermaksud hendak melakukan penyelidikan di sarang mereka, yaitu di Pegunungan Yunan."
Hay Hay mengangguk-angguk gembira. "Wah, sungguh kebetulan sekali. Aku pun sedang menuju ke sana, Ling Ling. Aku pun mendengar akan gerakan itu, bahkan aku mendengar sendiri langsung dari Menteri Yang Ting Hoo."
Gadis itu terbelalak. "Kaumaksudkan Yang Thai-jin, yang terkenal sebagai seorang menteri yang tiong-sin (setia) itu? Aku mendengar dari Ayah bahwa di kota raja terdapat dua orang menteri setia yang bijaksana, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Cing. Jadi Susiok ini…. utusan pribadi Menteri Yang Ting Hoo? Ah, betapa bangga aku mendengarnya!" Gadis itu memandang dengan wajah berseri, bangga bahwa utusan pribadi seorang yang demikian terkenal bijaksana seperti Menteri Yang ternyata adalah susioknya sendiri!
Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya, "Memang aku telah bertemu dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, dan beliau menceritakan semua tentang gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu, juga beliau minta bantuanku agar aku suka melakukan penyelidikan ke Pegunungan Yunan. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa aku menjadi utusan pribadi beliau, Ling Ling. Aku bukan seorang pejabat pemerintah."
"Ah, Susiok terlalu merendahkan diri. Bagaimanapun juga, Susiok pernah bercakap-cakap dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, bahkan dimintai tolong untuk membantu pemerintah menentang gerakan itu. Hal ini saja sudah luar biasa sekali, dan aku ikut merasa gembira. Susiok, kebetulan sekali kita saling berjumpa di sini dan kita mempunyai tujuan yang sama. Karena itu, dengan gembira aku akan membantu penyelidikanmu, Susiok. Tadinya aku memang meragu dan bingung, apa yang akan kulakukan. Aku belum mengenal tokoh-tokoh pendekar yang mungkin banyak terdapat didaerah Yunan, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
"Bagus, kita bekerja sama, Ling Ling. Kulihat kepandaianmu sudah cukup untuk dapat kaupergunakan membela diri, akan tetapi hendaknya engkau berhati-hati, karena menurut keterangan yang kuperoleh, persekutuan itu memiliki banyak sekali tokoh sesat yang amat lihai sebagai anggauta. Dapat dipastikan bahwa kita akan bertemu dengan lawan-lawan tangguh."
" Aku tidak takut, apalagi ada Susiok di sampingku!" kata gadis itu gembira.
Hay Hay tersenyum. Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis yang begitu bertemu telah merasa yakin akan kepandaiannya sehingga sukarlah baginya untuk berpura-pura lagi. Gadis ini memiliki watak yang amat lembut, sabar pemaaf dan sama sekali tidak tinggi hati.
“Ling Ling, bagaimana engkau dapat begitu yakin akan kemampuanku?"
"Mudah saja, Susiok. Caramu menangkap ikan, sikapmu yang ramah dan terbuka. Kemudian, ketika aku bertanding melawan tiga orang Kui-kok-pang, Susiok diam saja tidak membantu, berarti bahwa Susiok telah tahu bahwa aku akan keluar sebagai pemenang. Semua itu diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa Susiok adalah sute dari Ayah. Bagaimana aku tidak akan merasa yakin bahwa Susiok memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali?"
Hay Hay tertawa. "Ha-ha, sungguh aku beruntung sekali. Tanpa mimpi lebih dulu, tahu-tahu aku menemukan seorang keponakan yang sudah begini besar, merupakan seorang gadis yang cantik manis, lembut dan lihai ilmu silatnya, di samping cerdik bukan main."
"Wah, Susiok memang pandai sekali memuji orang." kata Ling Ling dan mukanya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum. Jelas bahwa ia merasa senang sekali dan tanpa disadarinya, memang sejak pertemuan pertama tadi gadis ini telah tertarik dan jatuh.
"Aku memang suka memuji kepada apa yang memang patut dipuji, Ling Ling. Marlah kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan saja orang-orang Kui-kok-pang tadi sudah jera dan tidak akan datang mengganggumu lagi. Sebaiknya kita masuk ke kota Wei-ning lebih dulu, untuk makan siang dan membeli makanan kering untuk bekal di perjalanan.”
Ling Ling setuju dan mereka pun meninggalkan tepi telaga, memasuki kota Wei-ning. Sama sekali Hay Hay tidak menyangka bahwa yang mengintai dan mengancam mereka bukanlah orang-orang Kui-kok-pang saja, melainkan segerombolan orang yang lebih lihai lagi. Mereka adalah anak buah Lam-hai Giam-lo yang sudah bergabung dengan orang-orang Kui-kok-pang yang juga merupakan rekan mereka, dan di antara mereka itu terdapat orang-orang Pek-lian-kauw, juga Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi, dan Sim Ki Liong! Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi merasa jerih ketika melihat bahwa pemuda yang mengalahkan orang-orang Pek-lian-kauw itu bukan lain adalah Hay Hay yang mereka tahu amat lihai itu. Maka, cepat mereka mengundang Sim Ki Liong untuk membantu mereka. Dan kini, pemuda murid Pendekar Sadis itu sudah muncul dan bersama teman-temannya, sudah melakukan pengintaian ketika Hay Hay berjalan bersama seorang gadis yang telah menghajar para anggauta Kui-kok-pang itu memasuki kota Wei-ning.
Sim Ki Liong adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dari hasil penyelidikan mata-mata yang disebar oleh Lam-hai Giam-lo, dia tahu bahwa kini di daerah Wei-ning banyak berdatangan orang-orang gagah, pendekar-pendekar yang sikapnya mencurigakan. Dia sudah menduga bahwa tentang kemunculan para pendekar ini sedikit banyak ada hubungannya dengan gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, sungguhpun belum ada pendekar yag secara berterang memusuhi mereka. Terutama sekali di kota Wei-ning, dia melihat banyak berkeliaran orang-orang yang dari sikap dan pakaian mereka yang aneh-aneh mudah diduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Oleh karena itu, dia tidak setuju ketika kawan-kawannya bermaksud menyerbu pemuda yang oleh Min-san Mo-ko dikatakan bernama Hay Hay dan katanya amat lihai itu. Apalagi ketika melihat betapa pemuda itu kini bergabung dengan gadis yang menurut laporan para anggauta Kui-kok-pang juga amat lihai.
"Kita tidak boleh turun tangan secara gegabah." katanya kepada Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko. "Bukan aku takut menghadapi mereka berdua. Dengan kekuatan kita sekarang, kiranya kita akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi harus diingat bahwa di Wei-ning kini terdapat banyak orang aneh yang mungkin saja tidak akan membiarkan kita bergerak. Jangan kita membangunkan macan-macan tidur hanya karena urusan kedua bocah itu. Dan bukankah bengcu kita sudah berpesan bahwa sebaiknya membujuk orang-orang pandai untuk bergabung lebih dulu sebelum turun tangan?"
"Lalu apa yang kita lakukan sekarang, Sim-kongcu?" Sim Ki Liong memang oleh para pembantu Lam-hai Giam-lo disebut kongcu (tuan muda) atau juga tai-hiap (pendekar besar) karena pembawaannya yang halus dan berpakaian rapi seperti seorang pelajar, juga karena semua orang tahu betapa pemuda ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Kalian harap bersembunyi saja dan bersiap-siap menanti tanda dariku. Aku akan mencoba untuk menghubungi mereka secara baik-baik. Siapa tahu aku akan berhasil membujuk mereka, atau setidaknya memancing mereka agar keluar kota. Kalau sudah berada di luar kota, di tempat sepi, barulah kita boleh turun tangan terhadap mereka, kalau mereka tidak mau kubujuk untuk bekerja sama."
"Akan tetapi hati-hatilah, Kongcu. Pemuda yang bernama Hay Hay itu memiliki ilmu silat yang amat lihai." Ji Sun Bi memesan.
"Juga hati-hati terhadap ilmu sihirnya. Selain ilmu silat yang lihai, juga kekuatan sihirnya berbahaya sekali." sambung Min-san Mo-ko dan para pendeta Pek-lian-kauw yang sudah merasakan kekuatan sihir pemuda itu, mengangguk membenarkan.
"Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Ki Liong dengan bangga terhadap diri sendiri. Mereka lalu berpencar dan Ki Liong memasuki kota Wei-ning seorang diri, dengan gaya seorang pelajar tinggi yang sedang melancong. Memang, dilihat dari pakaian, wajah dan sikapnya, takkan ada seorang pun menyangka bahwa pemuda ini adalah tangan kanan dari pimpinan persekutuan kaum sesat. Dia lebih pantas menjadi seorang tuan muda bangsawan kaya raya dan terpelajar, atau seorang pendekar muda yang halus dan sopan gerak-geriknya. Akan tetapi, di balik kehalusan ini, dari sepasang matanya berkilat sinar yang membayangkan kecerdikannya ketika Ki Liong dari jarak yang cukup aman dan jauh membayangi pemuda dan gadis yang berjalan seenaknya memasuki kota Wei-ning itu.
Hay Hay dan Ling Ling sama sekali tidak mengira bahwa mereka sedang dibayangi orang dari jauh, bahkan dari jarak yang lebih jauh lagi, dalam keadaan berpencaran, lebih banyak lagi orang membayangi mereka, yaitu Min-san Mo-ko Ji Sun Bi, dan masih banyak lagi orang-orang lihai yang menjadi kaki tangan persekutuan di Pegunungan Yunan itu.
Hay Hay mengajak Ling Ling memasuki rumah makan merangkap penginapan Ban Lok di mana dia pernah makan dan masakan restoran itu cukup lezat. Mereka masuk dan ternyata rumah makan itu penuh sekali. Untung masih ada sebuah meja kosong di sudut belakang. Pelayan lalu mempersilakan mereka duduk menghadapi meja kosong itu dan Hay Hay memesan beberapa macam masakan dan nasi putih, juga anggur dan air teh. Ki Liong yang cerdik melihat kesempatan baik sekali. Sekelebatan saja dia pun sudah melihat bahwa restoran itu penuh. Memang ada beberapa buah meja di mana hanya duduk dua atau tiga orang, akan tetapi dengan sengaja, walaupun nampaknya tidak, dia berjalan di antara meja-meja itu sambil matanya mencari-cari tempat kosong. Seorang pelayan menyambutnya dan dengan sikap menyesal pelayan itu berkata, "Maaf, Kongcu. Tempatnya penuh, kalau Kongcu suka menanti sebentar di depan…"
Pada saat itu, Ki Liong sudah tiba di ldekat meja Hay Hay yang tentu saja melihat dan mendengar ucapan pelayan itu. Seperti tidak disengaja, Ki Liong menoleh dan memandang ke arah meja Hay Hay. Di situ masih terdapat dua buah bangku kosong, karena meja kecil itu biasanya diperuntukkan empat orang, berbeda dengan meja besar yang biasa dipakai delapan sampai sepuluh orang.
"Ah, perutku sudah lapar sekali. Sejak kemarin siang aku belum makan, dan sekarang tempat sudah penuh!" Dia lalu memandang kepada Hay Hay dan Ling Ling, dengan sikap sopan sekali dia lalu melangkah maju dan bersoja sambil membungkuk kepada Hay Hay dan Ling Ling.
"Harap Ji-wi (Kalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Kalau sekiranya Ji-wi tidak keberatan, bolehkah saya menumpang di meja ini untuk makan? Kalau Ji-wi keberatan, tidak mengapalah…"
Melihat pemuda tampan berpakaian rapi yang bersikap demikian ramah dan sopan, tentu saja Hay Hay dan Ling Ling merasa suka dan mereka pun cepat bangkit membalas penghormatan pemuda itu. Ling Ling lalu memandang kepada Hay Hay seolah hendak menyerahkan keputusannya kepada susioknya itu. Hay Hay tersenyum ramah.
"Ah, kita sama-sama merupakan tamu di restoran ini. Kalau Saudara suka, tentu saja boleh duduk bersama kami di meja ini. Silakan!"
"Terima kasih, terima kasih… ah, Ji-wi sungguh baik sekali, tepat seperti apa yang saya duga. Eh, Bung, tolong hidangkan nasi putih semangkok dan buatkan dua tiga macam masakan sayuran. Ingat, tidak memakai daging, ya? Saya sedang Ciak-jai (makan sayur, pantang daging). Dan air teh saja." sambungnya kepada pelayan itu yang segera mengangguk dan meninggalkan meja mereka. Mendengar pemuda yang tampan itu tidak makan daging, Hay Hay dan Ling Ling memandang heran.
Mereka saling pandang sambil tersenyum. Begitu pandang mata Ki Liong bertemu dengan Ling Ling gadis ini segera menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. Ia menemukan sesuatu pada pandang mata itu, sesuatu yang membuatnya merasa sungkan dan malu. Ia melihat betapa pandang mata pemuda itu tadi dengan lembut menuju ke arah dadanya, dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu meraba-raba tubuhnya!
"Ah, agaknya Saudara tidak suka makan barang berjiwa?" Hay Hay bertanya, iseng saja karena tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap orang yang menumpang di mejanya itu.
Ki Liong tersenyum. "Tidak demikian, Saudara yang baik. Biasanya saya makan apa saja, juga daging, akan tetapi hari ini tidak karena hari ini adalah hari dan tanggal kematian Ayahku, sembilan belas tahun yang lalu."
"Ahh…" Hay Hay diam-diam merasa kagum sekali. Ayah orang ini sudah sembilan belas tahun meninggal dunia, akan tetapi agaknya setiap tahun masih diperingati oleh pemuda ini sebagai hari berkabung sehingga dia tidak makan barang berjiwa untuk mengenang dan berkabung atas kematian ayahnya. Sungguh seorang pemuda yang berbakti! Dan memang kesan inilah yang dikehendaki oleh Ki Liong ketika dia berbohong dan berpura-pura ciak-jai untuk mengenang kematian ayahnya.
“Maaf, bukan maksudku untuk mengetahui keadaan hidupmu, Saudara. Akan tetapi hatiku tertarik sekali. Kalau begitu, agaknya engkau masih kecil sekali ketika Ayahmu meninggal dunia." Kata Hay Hay.
Ki Liong tersenyum dan mengangguk. "Tidak apalah, Saudara. Keramahan Ji-wi yang sudah menerimaku duduk di sini membuktikan bahwa Ji-wi berhati baik dan berarti bahwa kita telah saling bersahabat, bukan? Memang saya masih kecil sekali ketika Ayah saya meninggal, saya baru berusia satu tahun. Maaf, setelah Ji-wi begitu baik menerima saya di meja ini, maukah Ji-wi menerima saya sebagai kenalan? Saya bernama Sim Ki Liong, dan bolehkah saya mengenal nama Ji-wi yang terhormat?"
Inilah kesalahan Ki Liong. Dia memperkenalkan namanya tanpa ragu karena dia merasa yakin bahwa kedua orang muda di depannya itu belum pernah mendengar namanya dan tidak mengenalnya. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Hay Hay pernah mendengar nama ini dari Kui Hong! Maka mendengar nama "Ki Liong" diam-diam Hay Hay terkejut walaupun kemudian dia meragu karena Kui Hong memberitahu kepadanya bahwa murid Pendekar Sadis dan isterinya memiliki nama keturunan Ciang, bukan Sim! Apakah kebetulan namanya saja sama, pikirnya.
"Ah, engkau sungguh baik sekali, Saudara Sim. Ketahuilah bahwa saya Hay Hay, dan ia ini bernama Ling Ling." Hay Hay memperkenalkan diri dan gadis itu. Biarpun dengan sikap sopan, Ki Liong tersenyum dan memandang kepada mereka bergantian. "Maaf, walaupun nama Ji-wi itu indah sekali, akan tetapi agaknya Saudara lupa menyebutkan nama keluarga Ji-wi yang mulia."
Karena pemuda itu pun sudah menyebutkan nama keluarganya, nama keluarga yang membuatnya menduga-duga apakah pemuda ini murid Pendekar Sadis yang dimaksudkan Kui Hong atau bukan, terpaksa Hay Hay memperkenalkan pula nama keluarganya. "Nama keluarga saya Tang, dan ia ini…. eh, Ling Ling, lupa lagi, siapa nama keluargamu?" Hay Hay berpura-pura, bermaksud untuk menyerahkan kepada Ling Ling sendiri hendak mengaku nama keluarganya ataukah tidak karena bagaimanapun juga, nama keluarga Cia sudah terkenal di dunia kang-ouw dan dapat segera menimbulkan dugaan orang bahwa ada hubungan antara gadis ini dengan keluarga Cia di Cin-ling-pai.
Ling Ling adalah seorang gadis yang lembut dan jujur, tanpa prasangka, maka biarpun sinar mata pemuda yang baru dikenalnya itu tidak menyamankan hatinya, mendengar pertanyaan Hay Hay ia memandang pemuda itu dengan heran."Susiok, sungguh heran sekali. Apakah Susiok sudah lupa lagi nama keluargaku? Aku she (bernama keluarga) Cia!"
"Aih, kiranya Ji-wi adalah seorang Susiok dan murid keponakannya? Kalau begitu, Ji-wi adalah dua orang pendekar!" Ki Liong berseru.
Hay Hay tersenyum. "Kami adalah orang-orang biasa, dan maaf, saya tadi lupa nama keluarganya karena biarpun kami masih paman dan keponakan, namun baru pagi tadi kami saling bertemu." Hay Hay tertawa, tidak khawatir lagi karena Ling Ling sudah berterus terang. "Akan tetapi jangan mengira bahwa kami adalah pendekar!" Kemudian disambungnya, seperti sambil lalu saja, "Saudara Sim menyangka kami pendekar, apakah Saudara sendiri juga seorang ahli silat yang lihai?"
Ki Liong tertawa dan nampak wajahnya semakin tampan menarik ketika dia tertawa, dan sepasang matanya yang jernih dan tajam itu menyambar ke arah Ling Ling. Kembali gadis ini merasa betapa sinar mata itu memandang kepadanya tidak sewajarnya, maka ia pun cepat menundukkan pandang matanya.
"Ha-ha, saya ingin berterus terang saja. Memang pernah saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan sama sekali tidak dapat dikata bahwa saya lihai."
Pada saat itu, dua orang pelayan datang membawa pesanan makanan dan minuman mereka. Agaknya karena tiga orang itu duduk semeja, maka pesanan Hay Hay dan Ki Liong dikeluarkan berbareng. Ki Liong menghadapi nasi dan tiga mangkok masakan sayur tanpa daging, sedangkan Hay Hay dan Ling Ling menghadapi nasi dengan lima macam masakan. Hay Hay menawarkan anggurnya, akan tetapi Ki Liong menolak dengan halus.
"Hari ini, hanya sayur dan air teh saja untuk saya." katanya. Kemudian dia berkata. "Sebelum kita mulai makan, saya ingin menghaturkan terima kasih dan hormat saya kepada Ji-wi dengan air teh di poci saya. Harap Ji-wi suka menerimanya!" Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk menjawab. Ki Liong sudah mengambil cawan di depan Hay Hay dan menuangkan poci di tangan kanannya ke dalam cawan yang dipegang di tangan kirinya. Sambil tersenyum Hay Hay memandang, akan tetapi senyumnya segera menghilang ketika dia melihat betapa cawannya yang dipegang oleh tangan kiri Ki Liong sudah penuh akan tetapi teh dari poci itu masih di tuang terus! Kini cawan itu terlalu penuh, akan tetapi air tehnya tidak sampai meluber, seolah-olah tertahan oleh sesuatu dan air teh itu berada lebih tinggi daripada bibir cawan, membulat seperti telur yang bergoyang-goyang!
"Silakan, Saudara Tang!" kata Ki Liong sambil menyodorkan cawan itu kepada Hay Hay. Hay Hay tersenyum lagi dan kini makin keras dugaannya bahwa pemuda inilah yang dimaksudkan Kui Hong, yaitu murid dari Pendekar Sadis. Pemuda ini telah memperlihatkan kepandaiannya, dan menggunakan sin-kangnya (hawa sakti) untuk menahan air teh di atas cawan itu sehingga tidak sampai meluber dan tumpah. Kalau yang menerimanya tidak memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat, ketika menerima cawan itu, tentu air tehnya yang terlalu penuh melebihi ukuran itu akan tumpah.
"Saudara Sim, engkau sungguh terlalu sungkan!" katanya sambil menerima cawan yang penuh air teh itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. "Aih, air tehmu masih panas!" katanya tersenyum dan ketika Ki Liong memandang, dia kagum. Bukan saja air teh itu tidak meluber dan tumpah, bahkan kini air teh itu mengepulkan uap karena panas! Padahal, biarpun air teh itu masih hangat, ketika dia tuangkan ke dalam cawan. tidak mengeluarkan uap panas! Tahulah dia bahwa benar seperti laporan Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, pemuda ini benar-benar lihai sekali, dan dia harus berhati-hati menghadapinya. Dia tersenyum kagum melihat Hay Hay minum air teh dalam cawan itu sampai habis.
"Sekarang harap Nona sudi menerima penghormatan saya dengan secawan air teh!" kata Ki Liong sambil menuangkan poci air teh itu ke dalam cawan yang diambilnya dari depan gadis itu. Seperti tadi, juga sekali ini dia menyodorkan cawan yang terisi air teh terlalu penuh.
"Terima kasih!" kata Ling Ling dan dengan sikap tenang ia pun menerima cawan itu sambil mengerahkan tenaganya. Dan ternyata air teh itu sama sekali tidak meluber atau tumpah, bahkan ketika gadis itu mengangkat cawannya dan menuangkan isinya ke mulut, air teh itu tidak dapat turun atau tumpah, tetap melekat pada cawan seolah-olah sudah berubah membeku dan melekat pada cawannya!"
"Aih, air tehmu membeku dan biarlah dikembalikan ke poci agar mencair lebih dulu!" kata Ling Ling dan dengan tenang ia membuka tutup poci air teh Ki Liong dan menuangkan isi cawannya ke dalam poci. Demikianlah, sambil mendemonstrasikan kepandaiannya, gadis itu menolak pemberian air teh oleh pemuda itu secara halus!
Melihat ini Ki Liong yang cerdik lalu bangkit berdiri dan bersoja dengan hormat. "Aih, sungguh saya bermata akan tetapi seperti buta, tidak melihat bahwa saya berhadapan dengan dua orang yang memiliki kesaktian!"
Pemuda ini bicara dengan lirih sehingga tidak terdengar oleh para tamu lainnya. "Saudara Sim, kiranya bukan tempat yang tepat bagi kita untuk bersungkan-sungkan!" kata Hay Hay.
Ki Liong mengangguk. "Saudara. Tang benar, mari kita makan hidangan kita dan nanti saja kita bicara di tempat yang lebih layak."
Mereka bertiga lalu mulai makan minum dan tidak banyak cakap lagi. Diam-diam Hay Hay merasa hampir yakin bahwa tentu inilah pemuda murid Pendekar Sadis itu dan dia menduga-duga apa hubunganya pemuda ini dengan gerakan para tokoh sesat. Dan apa pula maksud pemuda ini menghubungi dia dan Ling Ling, karena dia tidak percaya bahwa pertemuan ini hanya kebetulan saja. Lebih tepat kalau semua ini telah direncanakan orang! Akan tetapi apa maksudnya? Bagaimanapun juga, dia harus bersikap hati-hati karena maklum bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Bukan hanya ilmu silatnya yang tinggi, namun mungkin sekali juga amat cerdik dan sikapnya ini merupakan satu di antara siasat yang cerdik. Dia tidak perlu mengisaratkan Ling Ling untuk berhati-hati, karena penolakan suguhan air teh tadi saja sudah menunjukkan bahwa Ling Ling sudah bersikap hati-hati sekali dan tidak mau minum air teh yang disuguhkan berarti bahwa gadis itu tidak begitu percaya kepada pemuda itu.
Tiga orang pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata dengan diam-diam mengamati mereka dari sudut lain ruangan rumah makan itu. Sepasang mata ini milik seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki yang gagah perkasa, dengan tubuh yang sedang namun padat dan tegak, nampak kuat. Pakaiannya sederhana namun rapi dan wajahnya memiliki wibawa. Wajah itu gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, wajahnya berkulit segar kemerahan, sepasang matanya bersinar tajam dan lincah membayangkan kecerdikan dan keberanian. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum penuh kejantanan dan daya pikat. Dagunya persegi menambah kegagahannya. Sejak tadi, diam-diam pria ini mengamati tiga orang muda itu dan.ketika Ki Liong menawarkan minuman dari poci, matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar dan mulutnya yang dibayangi senyum itu bergerak memperlebar senyumnya, bahkan dia mengangguk-angguk seorang diri sambil minum Iaraknya.
Hay Hay, Ling Ling, dan Ki Liong sudah selesai makan. "Saya mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan Ji-wi, akan tetapi tentu saja tidak di tempat ini. Maukah Ji-wi menemui saya di luar pintu gerbang kota sebelah barat? Atau sekarang juga ikut dengan saya ke sana agar kita lebih leluasa bicara?"
"Kalau memang ada keperluan penting, baiklah Saudara Sim, kami akan menemuimu di sana. Berangkatlah dulu, kami masih ada urusan lain dan sebentar lagi kami menyusul." kata Hay Hay sebelum Ling Ling yang sudah mengerutkan alisnya itu sempat menolak.
"Terima kasih, Saudara Tang dan Nona Cia." kata Ki Liong dan cepat-cepat dia meninggalkan mereka, agaknya khawatir kalau-kalau Hay Hay menarik kembali kesanggupannya.
Setelah Ki Liong pergi, Ling Ling yang berjalan keluar setelah Hay Hay membayar harga makanan mereka, segera menegur Hay Hay. "Susiok, mengapa kita harus melayani orang itu? Kita baru saja berkenalan dengan dia, kita tidak tahu dia itu orang macam apa. Terus terang saja, ada sesuatu pada pandang matanya yang membuat aku merasa curiga dan tidak suka."
"Justeru itulah, Ling Ling. Aku pun curiga melihat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Kalau dugaanku benar, kalau dia itu merupakan seorang di antara tokoh sesat yang mengadakan gerakan, kebetulan sekali! Ketika makan tadi, aku telah mendapatkan sesuatu siasat yang baik sekali."
Hilang penasaran yang tadi membayang di wajah gadis itu mendengar ucapan ini. "Bagaimana siasat itu, Susiok?"
"Agaknya dia ingin menghubungi kita dan kalau benar dia tokoh pergerakan, agaknya dia hendak membujuk kita untuk bersekutu. Nah, kesempatan ini akan kupergunakan sebaiknya. Aku akan pura-puta setuju sehingga dengan demikian aku akan dapat memasuki sarang mereka dengan mudah. Kalau aku diterima sebagai kawan, tentu aku akan dapat dengan mudah menyelidiki keadaan mereka dari dalam."
Gadis itu membelalakkan matanya, memandang penuh kekhawatiran. Melihat mata itu terbelalak indah, seperti bintang kembar bercahaya, Hay Hay kagum. "Ah, matamu indah sekali, Ling Ling!" katanya.
Ling Ling mengerutkan alisnya dan kedua pipinya berubah merah, akan tetapi ia tidak marah, bahkan tersenyum malu. “Ihh, Susiok. Orang bicara dengan serius, ditanggapi dengan sendau-gurau!"
"Aku tidak bergurau, Ling Ling. Memang matamu tadi nampak indah bukan main. Jangan engkau khawatir, kalau aku dapat melakukan penyelidikan dari dalam berarti tugasku akan lebih berhasil."
"Tapi... tapi... masuk ke dalam sarang mereka? Sungguh berbahaya sekali, Susiok!"
"Aku dapat membela diri, Ling Ling. Akan tetapi engkau tidak perlu ikut masuk ke sarang mereka. Engkau menyelidiki dari luar saja. Coba engkau mengadakan kontak dengan para pendekar yang aku yakin banyak terdapat di sekitar daerah ini."
"Tapi... tapi, bagaimana kita akan dapat saling bertemu lagi, Susiok? Kalau engkau hendak masuk ke sarang mereka, biar aku ikut. Aku pun tidak takut!"
"Ah, jangan, Ling Ling. Biar aku saja. Begini sajalah, dalam waktu tiga hari, aku pasti akan mencarimu di tepi telaga itu. Tempat itu menjadi tempat pertemuan kita... ssttt " Hay Hay memberi isarat dan mehghentikan kata-katanya ketika seorang laki-laki lewat di dekat mereka. Laki-laki setengah tua yang ganteng dan gagah, yang tadi memperhatikan mereka di dalam rumah makan. Akan tetapi orang itu lewat begitu saja, menunduk dan sama sekali tidak melirik ke arah mereka sehingga baik Hay Hay maupun Ling Ling sama sekali tidak menaruh curiga karena didepan restoran itu memang merupakan jalan raya di mana terdapat lalu lintas yang cukup ramai.
"Nah, kiranya cukup pesanku, Ling Ling. Pula, semua itu hanya kalau benar dugaanku bahwa dia mempunyai hubungan dengan persekutuan itu. Kalau tidak, tentu saja akan lain lagi jadinya. Kita lihat saja nanti. Hayo, kita menuju ke pintu gerbang sebelah barat."
Dua orang muda itu lalu berangkat, tidak tahu betapa sepasang mata yang tajam mengikuti mereka. Laki-laki setengah tua tadi tersenyum dan mengelus jenggotnya, dan dari jauh dia membayangi, menuju ke pintu gerbang sebelah barat.
Hay Hay dan Ling Ling berjalan menuju ke pintu gerbang sebelah barat, berjalan seenaknya. Tiba-tiba Hay Hay menyentuh tangan Ling Ling dan berbisik sampai menoleh, "Ling Ling, jangan menengok dan berjalan biasa saja. Di belakang kita terdapat tujuh orang yang mencurigakan, agaknya mereka membayangi kita.”
Ling Ling mengangguk dan jantungnya berdebar. Sebagai seorang gadis yang baru saja meninggalkan tempat tinggal orang tuanya dan merantau, memang sudah beberapa kali ia menghadapi gangguan dan dapat mengatasinya. Akan tetapi baru sekarang ia menyadari bahwa ia berada di daerah yang berbahaya, di mana terdapat banyak orang pandai yang belum dikenalnya dan tidak diketahuinya apakah mereka itu kawan ataukah lawan. Keadaan pemuda bernama Sim Ki Liong itu saja sudah menimbulkan banyak kecurigaan dan rahasia, dan sekarang sebelum rahasia itu terpecahkan, muncul lagi tujuh orang membayangi mereka! Ia ingin sekali melihat siapakah mereka, orang-orang macam apa, akan tetapi ia tidak boleh menengok ke belakang. Tiba-tiba saputangan yang tadi dipegang oleh tangan kiri gadis itu terlepas dan ia pun dengan gerakan seperti tanpa disengaja membungkuk dan berjongkok mengambil saputangannya. Kesempatan ini dipergunakannya untuk melirik ke belakang dan sekejap saja cukuplah baginya. Enam orang yang berpakaian ringkas dipimpin oleh seorang yang berpakaian tosu (Pendeta To!)
Hay Hay tersenyum geli. Tentu saja dia tahu mengapa saputangan Ling Ling terjatuh. Cerdik juga gadis ini, pikirnya. Memang amat tidak enak kalau mengerti bahwa dirinya dibayangi orang akan tetapi tidak boleh melihat siapa orang itu. Tadi pun dia tidak sengaja menoleh dan melihat mereka.
Ketika mereka keluar dari pintu gerbang, dari tempat itu sudah kelihatan seorang pemuda berdiri di tempat agak jauh, tempat yang sunyi karena keluar dari pintu gerbang barat itu, yang nampak hanya hutan-hutan pegunungan.Hanya sedikit orang yang lewat, dan kalaupun ada, mereka itu adalah orang-orang suku bangsa Hui dan Miao. Dua suku bangsa ini mudah saja dikenalnya dari pakaian mereka. Orang suku bangsa Hui, pikirnya, selalu memakai sorban putih yang dibelit-belitkan di kepala. Mereka adalah orang-orang beragama Islam. Orang-orang suku bangsa Hui ini terkenal sebagai peternak-peternak, terutama kambing, pejagal dan juga pandai masak sehingga banyak di antara mereka membuka rumah makan di kota-kota. Orang-orang Hui sesungguhnya adalah orang-orang Han juga, perbedaannya antara mereka adalah bahwa orang Hui beragama Islam sedangkan orang Han memiliki banyak macam agama, terutama sekali mereka adalah penganut Agama Buddha, Tao, dan Khong-hucu, walaupun ada pula orang Han dalam jumlah kecil yang menjadi pengikut Agama Islam atau Kristen. Adapun suku bangsa Miao sudah dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, orang-orangnya pendiam dan kasar. Wanitanya mengenakan anting-anting yang khas, seperti gelang yang besar sehingga daun telinga mereka tertarik ke bawah dan memanjang. Suku bangsa Miao yang terdesak oleh orang-orang Han itu kini banyak hidup di pegunungan bagian selatan, bercocok tanam dan juga berternak, dan mereka pun terkenal sebagai pemburu yang pandai.
Dengan langkah seenaknya tanpa tergesa-gesa, Hay Hay dan Ling Ling berjalan terus keluar dari pintu gerbang menuju ke arah pemuda yang telah berdiri menanti mereka itu. Diam-diam Hay Hay mengerling ke arah belakang sambil menengok ke kanan seolah-olah bicara dengan Ling Ling dan dia melihat betapa tujuh orang itu telah tiba di pintu gerbang pula, kemudian mereka menyelinap ke kiri dan lenyap di dalam hutan kecil.
Ki Liong menyambut mereka dengan senyum ramah. "Terima kasih, ternyata Ji-wi memenuhi janji dengan cepatnya. Marilah, Ji-wi. Kita memasuki hutan ini agar tidak terganggu percakapan kita, karena di jalan ini ada saja orang lewat."
Tanpa menanti jawaban, Ki Liong melangkah memasuki hutan, diikuti oleh Hay Hay dan Ling Ling yang masih mengerutkan alisnya karena bagaimanapun juga, gadis ini sama sekali tidak percaya akan kebaikan iktikad pemuda kenalan baru itu. Akhirnya Ki Liong berhenti di bawah sebatang pohon besar. Tempat itu memang enak untuk bercakap-cakap. Tempatnya teduh, terlindung dari terik matahari siang, dan di atas tanah terhampar permadani hijau dari rumput tebal yang segar. Akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah menjadi bangku-bangku yang enak diduduki. Mereka bertiga duduk di atas akar pohon, saling berhadapan.
"Maafkan kalau saya bersikap seperti ini, karena Ji-wi jluga maklum bahwa untuk dapat membicarakan urusan penting, kita harus mencari tempat yang sunyi agar tidak terdengar orang lain."
"Saudara Sim, kami sudah datang memenuhi undanganmu. Nah, katakanlah apa yang ingin kaubicarakan dengan kami?" kata Hay Hay sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah yang tampan dan penuh senyum manis dan kelembutan itu.
Sim Ki Liong memandang Hay Hay dan Ling Ling, dan nampak dia agak gelisah, nampaknya sukar baginya untuk menyatakan kehendak hatinya. Kemudian, dia pun berkata dengan suara yang lembut, "Begitu bertemu dengan Ji-wi, hati saya sudah amat tertarik. Apalagi setelah mendapat keyakinan bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi, saya merasa kagum bukan main. Maka timbullah rasa sayang dan alangkah penasaran rasa hati ini melihat Ji-wi tetap menjadi orang biasa saja, padahal, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Ji-wi ini sepatutnya menduduki pangkat yang tinggi dan kemuliaan."
"Kami tidak mengerti apa maksudmu, Saudara Sim." kata Hay Hay, berpura-pura karena hatinya berdebar tegang melihat betapa tepatnya apa yang diduganya semula.
"Maksudku, Ji-wi pantas sekali untuk menjabat pangkat tinggi di kerajaan, sesuai dengan kepandaian Ji-wi."
Hay Hay dan Ling Ling saling pandang, kemudian Hay Hay tertawa. "Ha-ha, harap engkau tidak main-main, Saudara Sim! Orang seperti kami ini, mana mungkin menjabat pangkat tinggi?"
"Kenapa tidak mungkin? Memang, pemerintah sekarang hanya memilih orang-orang yang menjadi antek mereka! Kedudukan tinggi diberikan kepada orang-orang yang tidak becus dan jahat! Karena itu, saya mengajak Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami yang sedang mempersiapkan perjuangan " Tiba-tiba Sim Ki Liong berhenti bicara dan menoleh ke kiri. Hay Hay dan Ling Ling juga sudah mendengar suara jejak kaki dari arah kiri. Dan tiba-tiba saja, dengan berloncatan, muncullah tujuh orang laki-laki setengah tua, dipimpin oleh seorang di antara mereka, yaitu seorang tosu yang berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat setinggi tubuhnya. Tosu ini berusia lima puluh tahun lebih, wajahnya angker dan berwibawa, sedangkan enam orang lainnya adalah orang-orang berusia antara empat puluh tahun dan di punggung mereka terdapat sebatang pedang bersarung. Sikap mereka juga keren dan berwibawa.
Tiba -tiba tosu itu menudingkan tongkat panjangnya ke arah Hay Hay sambil membentak. "Ang-hong-cu! Menyerahlah engkau sebelum pinto terpaksa mempergunakan kekerasan!"
Hay Hay terkejut mendengar seruan itu. Juga Sim Ki Liong memandang dengan heran dan jelas nampak betapa dia terkejut dan kini memandang kepada Hay Hay dengan mata penuh selidik. Tak disangkanya bahwa pemuda lihai ini ternyata adalah Ang-hong-cu! Tentu saja dia sudah mendengar nama Ang-hong-cu ini, nama seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang amat tersohor, akan tetapi yang belum pernah diketahui bagaimana wajahnya itu! Gerak-gerik jai-hwa-cat itu penuh rahasia sehingga kabarnya banyak pendekar yang gagal ketika berusaha menangkapnya. Kabarnya lihai seperti setan dan kiranya pemuda ini orangnya! Juga Ling Ling memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. Susioknya ini Ang-hong-cu? Ia pun sudah mendengar berita tentang penjahat perherkosa wanita yang amat keji itu, akan tetapi sungguh sukar dapat dipercaya bahwa susioknya ini orangnya! Hay Hay sendiri bersikap tenang. "Totiang, harap totiang jangan sembarangan saja menuduh orang. Siapakah Totiang dan apa sebabnya Totiang begitu datang lalu menyebut aku Ang-hong-cu dan minta agar aku menyerah? Apa artinya semua ini?"
"Hemm, engkau masih mencoba untuk berpura-pura alim? Ang-hong-cu, ketahuilah bahwa pinto adalah Tiong Gi Cinjin, wakil Ketua Bu-tong-pai dan mereka adalah Bu-tong Liok-eng, murid-murid keponakan pinto. Nah, setelah kami memperkenalkan diri, tidaklah sepatutnya kalau engkau segera berlutut menyerahkan diri, Ang-hong-cu?" Tosu itu berkata lagi, agaknya ingin menyelesaikan urusan itu dengan jalan damai, "Kami akan menghadapkan engkau kepada ketua kami agar beliau dapat mengambil keputusan mengenai hukuman atas dosamu terhadap Bu-tong-pai.”
Hay Hay teringat akan pengalamannya kurang lebih setahun yang lalu. Pernah dia diserang oleh tiga orang pendekar Bu-tong-pai. Mereka menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan tanpa memberi kesempatan baginya untuk membantahnya, mereka telah menyerangnya kalang kabut sehingga terpaksa dia mempergunakan ilmu sihirnya untuk menghilangkan dari penglihatan mereka. Kini tahulah dia bahwa wakil ketua Bu-tong-pai ini keluar sendiri untuk menangkapnya. Wah, gawatlah keadaannya kalau begitu. Akan tetapi karena dia masih tetap penasaran, dia pun segera bertanya.
"Maaf, Totiang. Sesungguhnya, aku tidak pernah merasa melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai. Kenapa sekarang Totiang, sebagai wakil ketua, dan enam orang saudara ini ingin menangkapku? Jelaskan dulu apa kesalahanku!"
Sepasang mata pendeta itu mencorong penuh kemarahan. Sikap yang tidak bertanggung jawab dianggapnya sikap seorang pengecut yang membuat dia marah sekali. "Ang-hong-cu, lupakah engkau akan peristiwa kurang lebih setahun yang lalu ketika engkau diserang oleh tiga orang murid pinto?"
Menjemukan, pikir Hay Hay. Dia bukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), dan julukan Ang-hong.cu ini selalu membuat dadanya terasa panas dan kepalanya pening karena itu adalah julukan dari seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang bukan lain adalah… ayah kandungnya! Dia sudah dapat menduga apa yang telan terjadi antara penjahat itu dengan Bu-tong-pai, akan tetapi dia ingin jelas dan yakin.
“Aku tidak lupa, Totiang, akan tetapi sampai sekarang pun aku masih bingung dan tidak mengerti mengapa tiga orang murid Bu-tong-pai itu menyerangku mati-matian."
Tiong Gi Cinjin menoleh kepada enam orang tokoh Bu-tong-pai yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja, dia lalu menyuruh seorang di antara mereka untuk memberi penjelasan. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis, melangkah maju menghadapi Hay Hay.
"Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang suka menuduh membabi-buta saja tanpa bukti. Sepak terjang Ang-hong-cu sudah lama kami kenal, dan pada suatu hari, seorang Sumoi kami menjadi korban! Sebelum tewas, Sumoi telah mengaku bahwa ia menjadi korban Ang-hong-cu. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan bagi kami dan kami menyebar murid-murid untuk mencari sampai dapat penjahat yang telah merusak nama dan kehormatan kami. Kurang lebih setahun yang lalu, tiga orang Sute kami telah berhasil menemukanmu dan menyerangmu. Engkaulah jai-hwa-cat Ang-hong-cu jahanam itu!"
"Hemm, apa buktinya?" Hay Hay membantah.
"Buktinya? Tiga orang Sute kami melihat betapa engkau memegang sebuah tanda perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang diterima oleh Sumoi kami! Engkaulah Ang-hong-cu, dan harap engkau cukup jantan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"
"Tapi... tapi... aku bukan Ang-hong-cu…" bantah Hay Hay.
"Dan perhiasan tawon merah yang ada padamu itu?" bentak Tiong Gi Cinjin penasaran.
"Aku... aku hanya kebetulan menemukan benda itu " kata Hay Hay agak gagap karena tentu saja dia tidak mau mengaku dari mana dia memperoleh perhiasan itu dan mengaku bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!
"Susiok, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu?" Tiba-tiba Ling Ling yang sejak tadi memandang dan mendengarkan dengan alis berkerut dan wajah agak pucat, kini tiba-tiba bertanya. Mendengar ini, Hay Hay memandang gadis itu dan menggelengkan kepalanya.
"Bukan, Ling Ling, percayalah!"
Kini Ling Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata. "Totiang, rasanya ada kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor sejak belasan tahun! Bagaimana mungkin Susiokku ini yang menjadi Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?”
Tujuh orang Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata, "Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya! Ang-hong-cu tidak pernah memperlihatkan mukanya, hanya meninggalkan perhiasan tawon merah. Dan pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang yang suka menggoda wanita!"
"Ahh….!" Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh keraguan.
"Ling Ling! Engkau... tidak percaya padaku?"
"Aku.. aku tidak tahu…" gadis itu menjawab dan melangkah mundur lagi sampai lima langkah.
"Sudahlah, orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau membela diri sesukamu!" kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju.
“Tidak, Totiang, aku tiak mau menyerah karena aku tidak merasa bersalah terhadap Bu-tong-pai!" kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, mengira bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu!
"Kalau begitu, terpaksa pinto menggunakan kekerasan!" kata tosu itu dan enam orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung masing-masing. Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong-kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh.
Tiba-tiba Sim Ki Liong tertawa dan dia pun melangkah maju. "Nanti dulu, Totiang. Saudara ini adalah tamuku, dan akulah yang mengajak mereka berdua datang ke tempat ini. Oleh karena itu, kalau Totiang dan para murid Bu-tong-pai hendak menyerang Saudara Tang ini, berarti menyerang tamuku. Sebagai seorang tuan rumah, tentu saja saya tidak dapat membiarkan tamu saya diganggu!"
Tiong Gi Cinjin memandang wajah Ki Liong dengan alis berkerut. Dia bertindak atas nama Bu-tong-pai dan dia tidak mau kalau sampai perkumpulannya terlibat dalam permusuhan dengan golongan lain. "Orang muda, siapakah engkau? Di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, karena itu, harap engkau orang muda jangan mencampuri urusan kami dengan Ang-hong-cu."
"Namaku Sim Ki Liong, Totiang. Dan memang benar di antara kita tidak pernah terjadi bentrokan atau ada persoalan, akan tetapi kalau hari ini pihak Bu-tong-pai hendak mengganggu tamu-tamuku dan tidak dapat kuminta agar tidak melanjutkan kehendaknya itu, berarti bahwa Bu-tong-pai sengaja hendak mencari gara-gara dan urusan dengan aku." Jawaban ini tenang akan tetapi juga mengandung peringatan dan ancaman.
"Orang she Sim!" bentak seorang di antara Bu-tong Liok-eng (Enam Pendekar Bu-tong-pai) yang kurus tadi. "Ini adalah hutan raya, tempat umum. Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa Ahg-hong-cu ini tamumu? Kalau engkau hendak melindunginya, berarti bahwa engkau pun bukan manusia baik-baik! Yang melindungi penjahat, berarti dia penjahat pula! Susiok harap jangan melayani bocah ini dan biarlah kami yang akan menghabiskannya!" Berkata demikian, Si Kurus ini lalu memberi isarat kepada lima orang temannya dan mereka berenam sudah mengepung Ki Liong dengan pedang di tangan! Akan tetapi, Ki Liong hanya tersenyum dan berdiri tenang.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian orang-orang Bu-tong-pai mengganggu tamuku dan aku, apa boleh buat, jangan dikira aku takut terhadap kalian!" Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terdapat sebatang pedang putih karena pedang itu terbuat dari perak! Melihat ini, jantung Hay Hay berdebar tegang. Kini dia sudah yakin benar. Sim Ki Liong ini sama dengan Ciang Ki Liong yang pernah didengarnya dari Kui Hong, yaitu murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, murid murtad yang minggat meninggalkan pulau itu tanpa pamit sambil membawa pusaka-pusaka pulau itu, termasuk. sebatang pedang yang dia masih ingat ketika Kui Hong bercerita, yaitu pedang yang namanya Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak).
Melihat pemuda itu mengeluarkan sebatang pedang, enam orang pengepungnya segera menerjang dari berbagai penjuru. Nampak sinar perak menyilaukan mata dan disusul suara nyaring berdencingan ketika Ki Liong memutar pedangnya menangkis dan enam orang itu berloncatan ke belakang dengan kaget. Pertemuan ntara pedang itu telah membuat mereka terkejut karena tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa orang muda itu sungguh lihai! Mereka pun mengepung dengan hati-hati dan maklum bahwa mereka tidak boleh mengadu senjata secara langsung dengan lawan itu.
Sementara itu, Tiong Gi Cinjin sudah melintangkan tongkatnya dan membentak kepada Hay Hay, "Orang muda, engkau tidak mau menyerah dan memaksakan perkelahian. Baiklah, keluarkan senjatamu dan lawanlah tongkat pinto!"
Hay Hay yang memperhatikan gerakan pedang perak di tangan Ki Liong, kini tersenyum dan menggeleng kepala kepada tosu itu. "Totiang, aku tidak pernah mempersiapkan senjata untuk berkelahi. Kalau Totiang masih penasaran dan hendak memaksaku untuk menyerah, dan hendak menyerang dengan tongkat itu, silakan!"
Ucapan dan sikap tenang HayHay itu dianggap suatu tantangan oleh Tiong Gi Cinjin dan mukanya menjadi merah. Dia seorang wakil Ketua Bu-tong-pai, kini menghadapi seorang pemuda dengan tongkatnya yang terkenal di tangan, dan pemuda itu sama sekali tidak mau melawannya dengan senjata, melainkan dengan tangan kosong saja! Maka dia pun cepat menancapkan tongkatnya ke atas tanah sambil mengerahkan tenaganya. "Cappp!" Tongkat panjang itu masuk ke dalam tanah sampai sepertiganya, dan dia pun menghadapi Hay Hay dengan tangan kosong!
"Ang-hong-cu, engkau selain jahat juga sombong sekali! Nah, pinto juga bertangan kosong. Bersiaplah untuk menerima serangan. "Haiiiitt!" Tosu itu sudah menerjang setelah mengeluarkan teriakan itu dan Hay Hay cepat mengelak dari sambaran tangan kakek itu. Dia merasa betapa ada angin pukulan yang amat kuat dan diam-diam dia pun maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir. Tentu para murid Bu-tong-pai yang pernah dipermainkannya dengan ilmu sihir itu telah melapor, dan kalau kakek ini berani datang melawannya, tentulah kakek ini sudah yakin bahwa dia akan mampu menghadapi kekuatan sihir, kalau pemuda lawannya itu mempergunakannya.
Bagaimanapun juga, Hay Hay maklum bahwa para tokoh Bu-tong-pai ini hanya salah sangka. Mereka datang untuk membalas atas kematian murid wanita Bu-tong-pai yang menjadi korban Ang-hong-cu dan karena mereka mengira bahwa dialah Ang-hong-cu, dengan bukti perhiasan tawon merah yang dimilikinya, maka kini mereka rnati-matian berusaha menangkapnya. Jadi, dalam hal ini orang-orang Bu-tong-pai tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya dan kalau diipikir secara mendalam, yang bersalah adalah Ang-hong-cu, sedangkan dia adalah putera kandung Ang-hong-cu! karena ini maka dia pun selalu mengalah dan biarpun tosu itu menyerang secara bertubi, dengan dahsyat sekali, namun Hay Hay selalu mengelak dan menangkis tanpa pernah membalas. Dia hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari terjangan tosu yang lihai itu. Betapapun juga, karena tosu yang menjadi wakil perkumpulan Bu-tong-pai itu memang memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, Hay Hay kelihatan sibuk sekali dan terdesak.
Keadaan Sim Ki Liong masih lebih baik daripada Hay Hay yang terdesak terus. Pemuda yang memegang Gin-hwa-kiam itu mengerahkan kepandaiannya dan tidak mengalah seperti yang dilakukan Hay Hay. Pedangnya membentuk gulungan sinar putih yang menyilaukan dan yang dahsyat sekali sehingga enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan untuk menjaga diri dari sinar pedang yang menyambar-nyambar itu. Kalau mereka itu bukan murid-murid utama dari Bu-tong-pai, tentu sejak tadi mereka sudah roboh terluka. Bu-tong-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya sehingga enam orang itu dapat memainkan pedang mereka dengan gaya yang bagus dan walaupun menghadapi Ki Liong mereka kalah tingkat, namun permainan pedang mereka dapat dipusatkan untuk pertahanan yang amat ketat.
Selagi ramai-ramainya dua pihak itu berkelahi di tempat sunyi itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki setegah tua yang menggiring puluhan ekor kambing. Dia seorang suku bangsa Hui, mengenakan sorban putih di kepalanya, dan tangannya memegang sebatang tongkat, penggembala. Entah bagaimana, agaknya kambing-kambing yang jumlahnya mendekati seratus ekor itu, berlari-lari kacau menuju ke tempat perkelahian, dan penggembala setengah tua itu mengejar di belakang sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, mengayun-ayun tongkatnya, sehingga kambing-kambing itu menjadi semakin ketakutan. Karena berada dalam keadaan panik, gerombolan binatang itu lari kacau-balau menyerbu tempat perkelahian sehingga mereka yang berkelahi menjadi kacau pula. Melihat ada segerombolan kambing menyerbu, orang-orang Bu-tong-pai menjadi marah dan para pengeroyok Ki Liong menggunakan kaki mereka menendangi beberapa ekor kambing yang terlempar dan terbanting. Makin riuh suara kambing-kambing itu mengembik dan suasana menjadi semakin kacau.
Penggembala itu menjadi marah. Dengan mata melotot dia lalu menghampiri orang-orang Bu-tong-pai itu dan memaki.maki. "Kalian orang-orang kurang ajar, kenapa menendangi kambing-kambingku?" Sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, penggembala itu kini mengobat-abitkan tongkat gembalanya, mengamuk dan menyerang enam orang Bu-tong-pai itu dan kalang-kabut! Orang-orang Bu-tong-pai itu bukanlah orang-orang kejam. Tentu saja mereka tidak ingin memusuhi seorang penggembala bangsa Hui, maka melihat kemarahan penggembala itu yang menyerang mereka dengan tongkat panjang, mereka itu hanya menangkis dengan pedang mereka. Terdengar bunyi nyaring enam kali dan enam orang Bu-tong-pai itu terkejut bukan main. Tongkat Si Penggembala itu bergerak cepat dan secara bertubi-tubi dapat menyambar ke arah mereka walaupun sudah di tangkis, dan bukan i tu saja, juga mereka berenam merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tongkat itu digerakkan dengan tenaga yang dahsyat! Dan kakek penggembala berusia sekitar lima puluh tahun itu masih terus menyerang kalang-kabut, nampaknya dengan gerakan kacau, namun ternyata ujung tongkatnya menyambar-nyambar dengan tepat ke arah enam orangBu-tong-pai. Mereka segera berloncatan mundur. Kakek bangsa Hui itu kini memutar tongkatnya dan menyerang dengan hantaman ke arah kepala Tiong Gi Cinjin yang masih bertanding dengan serunya, atau lebih tepat, mendesak hebat kepada Hay Hay! Dan wakil Ketua Bu-tong-pai ini pun terkejut karena tongkat itu menyambar dengan amat kuatnya, didahului oleh angin pukulan yang ganas! Tiong Gi Cinjin cepat mengelak dan menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud mematahkan tongkat penggembala itu.
"Dukk!" Tongkat itu tidak patah, bahkan Tiong Gi Cinjin dapat merasakan melalui tangannya yang tergetar betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam tongkat itu! Maklumlah dia bahwa penggembala Hui ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi! Padahal, tadi pun dia sudah merasa bingung melihat kenyataan betapa pemuda yang disangkanya Ang-hong-cu itu sama sekali tidak pemah membalas serangannya dan hanya mempertahankan diri, namun sebegitu jauh dia belum juga dapat merobohkannya! Bahkan satu kali pun belum ada serangannya yang mengenai sasaran! Juga dia melihat betapa enam orang anak buahnya sama sekali tidak mampu menandingi kehebatan pemuda yang menggunakan sebatang pedang yang sinarnya seperti perak itu.
"Hayo, siapa yang berani mengganggu kambingku, akan kupukul dengan tongkat ini!" Penggembala Hui itu berteriak-teriak sambil mengobat-abitkan tongkatnya yang panjang.
Tiong Gi Cinjin segera berkata sambil mencabut tongkatnya sendiri, suaranya lembut, "Sobat, tidak ada yang mengganggu kambingmu. Karena kambing-kambingmu memasuki tempat perkelahian ini, maka ada yang kena tendangan. Hitung saja berapa yang tewas dan kami akan menggantinya."
Penggembala itu menghitung kambingnya, akan tetapi tidak ada yang tewas karena para murid Bu-tong-pai tadi pun menendang kambing yang hanya untuk mengusir mereka saja, tanpa niat membunuh. Setelah melihat betapa kambingnya masih utuh, penggembala itu bersungut-sungut dan meneriaki kambing-kambing yang agak menjauh, tanpa mempedulikan lagi mereka yang kini menghentikan perkelahian.
“Ang-hong-cu, biarlah sekali ini pinto melepaskanmu, akan tetapi lain kali pinto akan mencarimu dengan kekuatan yang lebih besar. Bagaimanapun juga, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu terhadap murid wanita kami!" Setelah berkata demikian, Tiong Gi Cinjin memberi isarat kepada anak buahnya untuk pergi dari tempat itu.
Penggembala itu dengan sikap acuh, juga menggiring pergi kambing-kambingnya, teriakan-teriakannya terdengar sampai jauh dan bahkan ketika dia dan kambing-kambingnya sudah tidak nampak, masih terdengar teriakannya. Diam-diam Hay Hay merasa heran. Dia tahu bahwa penggembala, kambing bangsa Hui tadi bukan orang sembarangan sehingga tosu Bu-tong-pai dan anak buahnya mundur begitu penggembala itu datang mengacau dengan karnbing-kambingnya.
Sim Ki Liong juga merasa heran dan kagum. Timbul suatu niat di dalam hatinya untuk. membujuk orang Hui itu agar suka bekerja sama dengan persekutuan di mana dia menjadi pembantu pimpinan. "Saudara Tang Hay, nanti dulu, aku ingin mengejar dan bicara dengan penggembala Hui itu!" Setelah berkata demikian, Ki Liong meloncat dan berlari cepat mengejar ke arah menghilahgnya Si Penggembala bersama kambing-kambingnya.
Kini Hay Hay berdiri memandang kepada Ling Ling yang sejak tadi berdiri mematung. Gadis ini terlalu bingung untuk mencampuri perkelahian tadi. Mendengar tuduhan tosu Bu-tong-pai dan para muridnya tadi bahwa Hay Hay adalah Ang-hong-cu, hatinya menjadi bimbang sekali. Ia merasa tertarik kepada Hay Hay yang dianggap susioknya itu, bahkan gadis ini mulai merasa yakin bahwa hatinya bukan hanya tertarik, melainkan ada perasaan cinta terhadap pemuda itu. Akan tetapi, kini wakil Ketua Bu-tong-pai menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu, penjahat pemerkosa wanita yang terkenal kejam dan amat jahat! Dan dia merasa ragu-ragu. Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat pandai merayu wanita, memuji-muji dan mudah menundukkan hati wanita, jadi tuduhan itu pun bukan tidak masuk akal. Apalagi para tokoh Bu-tong-pai ter:kenal sebagai perdekar-pendekar gagah, pasti tidak menuduh sembarangan saja, dan bukankah ada buktinya, yaitu Hay Hay mempunyai sebuah benda perhiasan tawon merah yang menjadi tanda khas dari penjahat Ang-hong-cu?
"Ling Ling, jangan engkau memandang padaku seperti itu!" Hay Hay berkata. "Percayalah, aku bukanlah Ang-hong-cu, penjahat itu!"
Ling Ling menggeleng kepala, matanya masih terbelalak dan mukanya agak pucat. "Aku... tidak tahu... aku tidak... tahu..." katanya ragu dan bingung, kemudian ia membalikkan tubuhnya. "Lebih baik aku pergi saja…”
"Ling Ling, ingat akan pesanku. Tiga hari kemudian aku akan mencarimu di tepi telaga…..!" Hay Hay mengingatkan gadis itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk melakukan siasat mendekati Ki Liong dan pura-pura mau bekerja sama agar dia dapat langsung masuk ke dalam sarang persekutuan itu. Dengan demikian, akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mengetahui siapa saja anggauta pimpinan persekutuan itu. Tidak perlu terlalu lama, tiga hari pun cukuplah dan dia akan melarikan diri keluar dan menemui Ling Ling. Dia harus meyakinkan hati gadis itu bahwa dia bukan Ang-hong-cu, sungguhpun dia belum tahu bagaimana dia akan dapat meyakinkannya tanpa membuka rahasianya bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya.
Ling Ling tidak menjawab, melainkan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tempat yang tadinya menjadi medan perkelahian itu kini menjadi sunyi, Hay Hay lalu duduk, menanti kembalinya Ki Liong. Tak lama kemudian, pemuda itu pun datang berlari cepat, dan begitu tiba di situ Ki Liong memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya karena dia tidak melihat Ling Ling disitu.
"Eh, di mana Nona Cia….?" tanyanya.
Hay Hay menarik napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura karena dia tidak perlu membohong pula. "Ia telah pergi, marah karena menduga bahwa aku adalah Ang-hong-cu, tentu ia merasa malu mempunyai seorang Susiok yang menjadi jai-hwa-cat tersohor itu."
Ki Liong tersenyum. "Saudara Tang, apakah engkau bukan Ang-hong-cu? Tokoh-tokoh Bu-tong-pai itu kelihatan begitu yakin… "
“Hemm, Saudara Sim Ki Liong, seperti yang dikatakan oleh Ling Ling tadi, Ang-hong-cu terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat sejak puluhan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin aku yang baru berusia dua puluh satu tahun dituduh sebagai Ang-hong cu yang tentu usianya Sudah jauh lebih tua ?” Lalu, dengan muka menunjukkan penasaran dan kemarahan, Hay Hay bertanya. "Saudara Sim, apakah engkau juga ikut-ikut menuduh aku Ang-hog-cu?"
Sim Ki Liong tertawa. "Sama sekali tidak, Saudara Tang. Dan andai kata betul sekalipun, aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Memang para pendekar itu kadang-kadang terlalu memandang rendah orang lain seolah-olah diri mereka saja yang baik, bersih dan gagah. Engkau pun telah mereka musuhi dan mereka tuduh semena-mena. Nah, mereka sama sekali tidak menghargaimu. Akan tetapi aku, maksud kami, akan dapat menghargaimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kalau engkau suka bergabung dengan kami, membantu perjuangan kami sehingga berhasil, kelak engkau pun akan menjadi seorang berpangkat tinggi dan manusia-manusia macam mereka itu tidak akan berani lagi memandang rendah dan meremehkanmu, apalagi menghina seperti yang mereka lakukan tadi."
"Hemm, engkau tadi pun bicara tentang perjuangan. Apa yang sebenarnya kaumaksudkan?" Hay Hay memancing.
"Kami sedang menghimpun kekuatan dalam suatu persekutuan, memperjuangkan nasib kita dari tekanan pemerintah yang lalim. Kaisar dan para menteri sekarang ini kurang bijaksana, banyak pembesar melakukan korup, banyak terjadi kelaliman, oleh karena itu kami berusaha untuk melakukan suatu perjuangan "
"Maksudmu pemberontakan terhadap pemerintah?"
"Ki Liong tersenyum. "Bagi kami, bukan pemberontakan melainkan perjuangan, Saudara Tang! Memberontak terhadap kelaliman adalah suatu perjuangan yang mulia. Karena itu, marilah engkau bergabung dengan kami agar kepandaianmu tidak akan sia-sia.”
Hay Hay pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. Akan tetapi, aku tidak tahu siapa pemimpin kalian, dan orang macam apa dia, dan siapa pula yang menjadi anggauta pimpinan.
"Jangan khawatir, Saudara Tang, Pemimpin kami adalah seorang yang berilmu tinggi sekali. Bengcu kami adalah, seorang yang bijaksana dan aku sendiri diangkat menjadi pembantu utamanya. Banyak orang kang-ouw yang sudah menggabungkan diri dan jangan engkau heran kalau di antara mereka terdapat tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dalam suatu perjuangan, urusan pribadi ditinggalkan, dan kami menghimpun tenaga dari manapun juga asal dapat membantu gerakan kami. Marilah engkau kuperkenalkan dengan Bengcu dan para anggauta pimpinan."
"Di mana pusat persekutuan kalianitu?
"Di Pegunungan Yunan. Marilah engkau ikut bersamaku, Saudara Tang. Hanya sayang bahwa Nona Cia tidak dapat ikut ke sana."
"la sedang marah tak perlu dihubungi lagi, dan baiklah, aku akan ikut denganmu, Saudara Sim. Akan tetapi, bagaimana dengan penggembala Hui tadi? Siapakah dia dan sudahkah engkau tadi bertemu dengan dia, Saudara Sim?"
“Wah, orang itu memang aneh dan mencurigakan, juga agaknya dia lihai sekali. Tadi, melihat kelihainnya, aku ingin menghubunginya dan melakukan pengejaran. Akan tetapl ketika aku tiba di luar hutan ini, yang kutemulkan hanyalah segerombolan kambing yang digembala oleh seorang anak kecil suku bangsa Hui.
Kutanya dia tentang laki-laki setengah tua tadi dia hanya bilang bahwa laki-laki itu meminjam kambing-kambingnya itu dah baru saja dikembalikan. Anak itu diberi beberapa potong uang perak dan dia tidak mengenal siapa adanya laki-laki itu yang telah pergi dengan cepat setelah mengembalikan kambing-kambingnya dan memberinya beberapa potong uang perak."
"Aneh sekali…" kata Hay Hay, heran.
"Memang aneh. Jelas bahwa laki-laki itu sengaja menyamar sebagai penggembala untuk membubarkan perkelahian, atau kalau tidak keliru dugaanku, dia sengaja hendak membantu kami menghadapi orang-orang.
Bu-tong-pai. Akan tetapi sudahlah, dia sudah pergi. Mari engkau ikut bersamaku menemui Bengcu kami, Saudara Tang.”
Hay Hay mengangguk-angguk dan mengikuti pemuda tampan itu meninggalkan tempat itu, menuju ke barat. Diam-diam dia masih membayangkan keanehan laki-laki penggembala bangsa Hui itu.
Siapakah dia dan apa maksudnya dengan berpura-pura menggembala kambing dan menyerbu ke tempat perkelahian? Melihat betapa penggembala palsu itu tadi membuat gentar orang-orang Bu-tong-pai, membuktikanl bahwa orang itu memang lihai sekali, padahal baru melakukan penyerangan beberapa kali saja dengan tongkat gembalanya! Akan tetapi karena dia pun menduga bahwa di tempat itu banyak berkeliaran orang pandai, Hay Hay menduga bahwa tentu laki-laki setengah tua tadi seorang di antara para pendekar yang menurut Menteri Yang Ting Hoo, banyak berdatangan ke tempat itu untuk melakukan penyelidikan terhadap persekutuan orang sesat yang dipimpin oleh Lam-Hai Giam-lo itu. Dan kini dia dibawa o1h Ki Liong menghadap Lam-hai Giam-lo!
“Hay-ko…! Engkau ini…? Pek Eng berseru dengan gembira sekali ketika ia mengenal Hay Hay. Pemuda itu masuk bersama Ki Liong untuk menghadap Lam hai Giam-lo dan karena para pengawal mengatakan bahwa bengcu sedang berlatih si1at dengan murid atau puteri angkatnya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), maka Ki Liong yang memiliki kebebasan di tempat itu sebagai pembantu utama dan terpercaya dari bengcu, langsung saja mengajak Hay Hay untuk memasuki ruangan itu.
Begitu mereka masuk, Hay Hay melihat dan mengenal seorang gadis yang sedang berlatih silat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Gadis itu bukan lain adalah Pek Eng! Keraguannya lenyap seketika setelah gadis itu menoleh dan matanya terbelalak, lalu memanggilnya dengan gembira.
"Adik Eng…! Benar engkaukah ini? Bagaimana bisa di sini ?” Dia pun bertanya terheran-heran. Apakah keluarga Pek, pimpinan Pek-sim-pang yang termasuk aliran putih itu juga bersekutu dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo? Rasanya tidak mungkin begitu.
“Ah, kalian sudah saling mengenal? Bagus!" kata Ki Liong, tentu saja hanya pura-pura karena ketika Pek Eng baru tiba di tempat itu, gadis ini sudah bercerita bahwa ia mencari dua orang, yaitu kakak kandungnya yang bernama Pek Han Siong, dan orang ke dua yang dicarinya adalah Hay Hay. Dia sendiri mendengar ketika Pek Eng menceritakan hal itu kepada Bi Lian, rnurid dari mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi itu.
Sementara itu, Lam-hai Giam-lo sudah mendengar beritanya lebih dahulu tentang pemuda bernama Hay Hay itu, yang kabarnya amat lihai, sedemikian lihainya sehingga dua orang di antara para pembantunya yang dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi, juga merasa jerih dan mengundang Ki Liong untuk membantu mereka, Kini Ki Liong kembali bersama pemuda itu, agaknya berhasil membujuknya maka diam-diam hati Lam-hai Giam-lo menjadi gembira sekali. Makin banyak orang pandai membantunya semakin baik.
Pek Eng dan Hay Hay saling pandang dan tiba-tiba saja kedua pipi gadis itu berubah merah karena ia teringat betapa ia pernah mencium dan dicium pipinya oleh pemuda ini yang tadinya ia sangka kakak kandungnya! Seorang pernuda yang pandai merayu, akan tetapi... menyenangkan sekali dan kelihaiannya membuat ia kagum bukan main. Setelah ia teringat akan peristiwa penciuman itu, tiba-tiba saja Pek Eng menjadi pemalu dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata, Sementara itu, melihat. betapa muridnya, juga anak angkatnya, yang amat disayangnya itu telah saling mengenal dengan pemuda yang baru datang itu, Lam-hai Giam-lo juga merasa girang sekali. Kalau Eng Eng sudah mengenalnya, akan mudah mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu, dan tentu lebih dapat dipercaya.
"Saudara Tang Hay, inilah Bengcu kami yang memimpin gerakan perjuangan kami. Bengcu, dia adalah Saudara Tang Hay, seorang pemuda petualang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia sudah mendengar dariku tentang semua cita-cita perjuangan kita dan menyatakan setuju untuk membantu agar kelak dia da.pat memperoleh bagian jabatan yang tinggi." kata , Sim Ki Liong.
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk.
"Mari, silakan ikut dengan kami keruangan duduk, orang muda, agar kita dapat bicara dengan lebih leluasa"
Mereka memasuki ruangan duduk, dan diam-diam Hay Hay mengagumi semua perabot rumah yang serba mewah itu. Juga ruangan duduknya amat luas dan nyaman, dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Mereka berempat lalu duduk di dalam ruangan itu. Dua orang pelayan wanita muda yang cantik-cantik segera keluar menyuguhkan arak dan air teh harum, lalu pergi lagi dengan langkah kaki yang genit
"Eng Eng, engkau sudah mengenal pemuda ini? Di mana engkau mengenalnya dan siapakah dia ini sebenarnya?" Lam-hai Giam-lo bertanya kepada Pek Eng dengan suara menyayang. Hay Hay melihat sikap ini dan dia merasa semakin heran. Agaknya kakek bemuka kuda ini yang julukannya Lam-hai Giam-lo, pemimpin dari gerombolan orang sesatyang hendak memberontak terhadap pemerintah, amat akrab dengan
Pek Eng, dan tadi dia melihat betapa Pek Eng berlatih silat di bawah bimbingan kakek ini! Suara kakek ini pun luar biasa sekali, parau pecah seperti ringkik kuda. Keadaan wajah dan tubuhnya juga aneh. Mukanya mirip kuda, dengan mulut atas menjorok keluar, dua matanya sipit dan sepasang telinganya lebar. Tubuhnya yang tinggi kurus itu memiliki sepasang kaki yang panjang. Seorang kakek yang aneh dan usianya belum begitu tua, sekitar lima puluh tahun lebih.
"Bengcu, aku mengenalnya sebagai Hay Hay, ketika masih bayi pernah menjadi anak angkat dari orang tuaku.”
“Ho-ho-ha-ha…!" Lam-hai Giam-lo tertawa dan suaranya bergema diruangan itu, "kalau begitu, dia ini masih kakak angkatmu sediri?"
Pek Eng adalah seorang gadis yang amat cerdik dan tangkas. Ketika Hay Hay muncul tadi, ia sudah rnerasa kaget dan heran bukan main, dan biarpun ia tidak tahu apa maksud kedatangan Hay Hay di tempat itu, namun ia tahu bahwa kalau kedatangan Hay Hay ini hendak menentang persekutuan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, maka akan terancamlah keselamatan Hay Hay. Agaknya pemuda itu tidak tahu betapa di tempat itu berkumpul banyak sekali orang yang amat lihai. Maka, mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo, ia pun cepat mengangguk membenarkan.
"Begitulah, Bengcu. Dia boleh dibilang kakakku sendiri, kakak angkat karena dia pernah diangkat anak oleh Ayah bundaku”
Hay Hay mengangguk-angguk pula, menahan dirinya yang diliputi penuh perasaan heran dan penasaran bagaimana Pek Eng dapat berada di tempat itu dan nampaknya demikian dekat hubungannya dengan Lam-hai Giam-lo, pimpinan pemberontak itu! Padahal keluarga Pek, setahunya, adalah keluarga pendekar yang tentu saja sama sekali tidak akan sudi berhubungan dengan para pemberontak, apalagi kalau pemberontak itu terdiri dari orang-orang golongan hitam. Namun, dia pun cerdik dan menahan dirinya. Dia akan bertanya tentang keanehan itu dari Pek Eng sendiri, kalau mereka sempat bicara empat mata saja.
"Sobat Tang Hay, kalau engkau pernah diangkat anak oleh orang tua Eng
Eng, kenapa engkau tidak memakai nama keluarga Pek, akan tetapi kini memakai nama 'keluarga Tang?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dari Lam-hai Giam-lo ini sebetulnya mengejutkan hati Hay Hay, namun sama sekali tidak nampak pada wajahnya yang tetap tenang. Dia bahkan tersenyum lalu memberi hormat kepada pemimpin itu.
“Maaf, Bengcu. Sebelum kita bicara tentang diriku, lebih dulu aku ingin sekali tahu, apakah Bengcu dapat menerima aku untuk membantu gerakan perjuangan yang Bengcu pimpin? Tentu saja dengan janji bahwa kalau kelak gerakan berhasil, aku akan mendapat bagian, yaitu sebuah kedudukan yang tinggi dan terhormat sesuai dengan jasa-jasaku?"
Wajah Lam-hai Giam-lo berseri. Kalau ada orang membantunya dengan pamrih memperoleh jabatan kelak, maka orang itu dapat dipercaya! Dia tertawa dan berkata, "Tentu saja, orang muda yang gagah. Dan karena yang mengajakmu datang adalah Sim-kongcu yang sudah kupercaya sepenuhnya, maka kami pun percaya kepadamu. Kita lihat saja nanti bagaimana kesetiaanmu terhadap gerakan kita dan apa saja jasamu terhadap perjuangan. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku tadi."
Hay Hay merasa penasaran. Kakek bermuka kuda ini sungguh kuat ingatannya, masih ingat akan pertanyaannya yang belum terjawab tadi. Dengan sewajarnya dia menjawab, "Biarpun aku pernah diangkat anak oleh keluarga Pek, akan tetapi hanya sebentar, dan aku merasa tidak berhak mempergunakan nama keluarga Pek yang terhormat. Karena itulah maka aku mempergunakan nama keluarga Ayah kandungku sendiri yang telah tiada. Bukankah begitu, Eng-moi?" Ditanya demikian, Pek Eng hanya mengangguk. Tentu saja ia tidak mau membuka rahasia pemuda yang dikaguminya itu bahwa pemuda itu adalah putera jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang tersohor itu.
Sebelum Lam-hai Giam-lo bicara lebih lanjut, terdengar suara ribut-rlbut di di luar lian-bu-thia (ruangan latihan silat) itu. Terdengar suara orang yang lantang dan nadanya mengejek. "Eh-eh, kalian ini mau apa? Sudah kukatakan bahwa aku datang mencari Lam-hai Giam-lo. Bukankah kabarnya dia menampung orang-orang gagah untuk bekerja sama? Dan kini aku datang, mengapa disambut seperti musuh saja? Beginikah yang dinamakan menghargai orang gagah?"
“Orang asing! Engkau datang tanpa mau menyebutkan nama dan apa kepentinganmu hendak bertemu dengan Bengcu. Sikapmu mencurigakan, tentu saja kami menghadapimu sebagai musuh. Tak seorang pun boleh nyelonong begitu saja memasuki tempat kami ini, apalagi hendak bertemu langsung dengan Bengcu,” terdengar seorang anak buah Kui-kok-pang membantah.
"Habis kalau aku terus masuk dan terus mencari Bengcu kalian, lalu kalian mau apa? Mau menghalangiku? Ha-ha, boleh, kalau kalian mampul" terdengar pula suara lantang itu. Mendengar percakapan ini disusul suara ribut-ribut orang berkelahi, dengan alis berkerut, Lam-hai Giam-lo melangkah keluar, diikuti oleh Pek Eng, Ki Liong dan Hay Hay.
Setelah mereka tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki gagah berusia lima puluh tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang! Melihat wajah pria setengah tua yang tampan dengan kumis dan jenggot teratur rapi, bahkan rompinya terbuat dari sutera halus. Ki Liong dan Hay Hay terkejut ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah penggembala kambing suku bangsa Hui yang pernah mengacau perkelahian mereka dengan orang-orang Bu-tong-pai. Ki Liong segera mendekati Lam-hai Giam-lo dan berbisik kepada Bengcu ini, menceritakan dengan singkat akan pengalamannya dengan orang setengah tua itu, "Dia lihai sekali dan mencurigakan, Bengcu, akan tetapi akan dapat menjadi seorang pembantu yang amat baik." Ki Liong mengakhiri bisikannya. Lam-hai Giam-lo memang sudah melihat kelihaian orang setengah tua itu. Belasan orang. anak buahnya seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkerik saja. Siapa dekat, tentu terpental oleh tamparan atau tendangan orang setengah tua itu! Padahal anak buahnya ada yang menggunakan senjata dan orang itu hanya bertangan kosong saja.
"Tahan…!" teriak Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti bunyi ringkik kuda. Mendengar ini, semua anak buah Kui-kok-pang berloncatan ke belakang. Orang setengah tua itu pun menghentikan gerakannya, sambil tersenyum simpul dia memutar tubuh menghadapi Lam-hai Giam-lo dan matanya terbelalak, senyumnya melebar ketika dla melihat Hay Hay dan Ki Liong.
"Ah, senang sekali dapat bertemu dengan kalian dua orang pemuda yang tampan dan gagah!" Dan dia lalu memandang kepada Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng, lalu menjura dan berkata. "Kalau aku tidak salah duga, agaknya saudara yang gagah tentulah yang berjuluk Lam-hai Giam-lo, Bengcu dan pemimpin para pejuang. Dan Nona ini, sungguh gagah perkasa dan cantik jelita!" Pujiannya itu tidak mengandung sikap kurang ajar dan melihat betapa Pek Eng tersipu malu, diam-diam Hay Hay tersenyum dalam hatinya. Pria setengah tua ini agaknya juga seorang yang pandai mengagumi keindahan dan kecantikan wanita!
Lam-hai Giam-lo menatap tajam dengan sepasang matanya yang sipit. "Sobat, tidak keliru dugaanmu bahwa kami adalah Bengcu dan berjuluk Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di .tempat kami?"
Laki-laki setengah tua itu tertawa dan nampak giginya yang masih berderet rapi dan putih, wajahnya nampak jauh lebih muda ketika dia tertawa. "Bengcu, maafkan kalau aku membikin ribut. Memang aku sengaja datang untuk menghadap Bengcu karena aku mendengar bahwa Bengcu mengumpulkan orang-orang gagah untuk diajak bekeria sama. Nah, kalau memang kerja sama itu dapat menguntungkan aku, tentu saja aku bersedia pula membantu Bengcu."
"Nanti dulu," kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang tajam penuh selidik. Dia seorang tokoh sesat yang mengenal banyak orang berilmu tinggi di dunia persilatan, akan tetapi dia merasa belum pernah bertemu dengan orang ini, tidak tahu siapa namanya, dari golongan mana pula datangnya. "Kami sebelumnya ingin mengetahui siapa sebenarnya engkau ini sobat."
Kembali laki-laki itu tertawa, "Ha-ha, aku sendiri sudah lupa tidak ingat akan namaku sendiri dan aku pun tidak peduli. Bengcu, biasanya aku hanya menggunakan nama Han Lojin, tempat tinggalku tak menentu, di mana saja asal menyenangkan hatiku, di situ tempat tinggalku.”
"Hemmm, terus terang saja. Banyak sudah aku mengenal tokoh dunia kang-ouw, akan tetapi belum pernah aku mendengar akan nama Han Lojin, juga belum pernah bertemu denganmu."
"Tentu saja, Bengcu. Selama ini aku memang selalu bersembunyi saja di tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala urusan dunia ramai. Akhirnya aku merasa bosan juga dan begitu aku turun gunung, aku mendengar akan kesempatan yang diberikan oleh Bengcu untuk bekerja sama dengan orang-orang gagah. Aku siap membantu asal saja ada imbalannya yang cukup memuaskan." Berkata demikian dia memandang kepada Pek Eng sambil tersenyum. Gadis itu mengerutkan alisnya dan membuang muka. Pria itu sungguh genit, pikirnya.
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. Memang dia ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar gerakannya akan menjadi kuat. "Hemm, Han Lojin, ilmu silat baru dapat dilihat kalau sudah diuji. Tadi engkau sudah memperlihatkan kepandaian ketika menghadapi pengeroyokan anak buah kami. Akan tetapi karena tingkat kepandaian mereka masih amat rendah, maka hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Saudara Tang Hay, engkau wakililah aku menguji sampai di mana tingkat kepandaian Han Lojjn itu. Nah, marilah kita masuk ke Lian-bu-thia."
Hah Lojin tersenyum dan dengan langkah gagah dia pun ikut bersama mereka semua memasuki ruangan berlatih silat itu. Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi segera tersenyum. Untuk dapat menyelidiki keadaan persekutuan itu, dia harus memperoleh kepercayaan mereka dan dia tahu bahwa sekali ini yang diuji bukan hanya kepandaian pria bernama Han Lojin (Kakek Han) itu saja, akan tetapi juga ujian untuk kesetiaan dan kesungguhan hatinya untuk bekerja sama dengan persekutuannya. Maka setelah tiba di dalam ruangan belajar silat itu, dia lalu menghadapi Han Lojin, sedangkan Lam-hai Giam-lo, Pek Eng, dan Ki Liong sudah mengambil tempat duduk untuk menonton pertandingan silat.
Kedua orang itu sudah berdiri saling berhadapan, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung, lebih dulu mengamati lawan dengan sinar mata tajam penuh penilaian. Hay Hay melihat betapa Han Lojin menahan senyum dan sikapnya seperti memandang rendah, akan tetapi anehnya wajah itu berseri seolah-olah hati orang itu merasa gembira! Timbullah rasa suka di dalam hatinya. Orang ini berwatak periang, dan dia pun merasa kasihan. Akan dijaganya agar dia tidak sampai melukai atau merobohkan orang ini dengan mudah, agar orang ini terangkat martabatnya di dalam pandangan mata Lam-hai Giam-lo.
Pada saat itu, bermu.lculanlah tokoh-tokoh yang menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo. Mereka itu adalah Ji Sun Bi, Min -san Mo-ko, Kim San Ketua Kui-kok-pang, Hek-hiat Mo-ko, dan beberapa orang pendeta perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka mendengar bahwa Ki Liong telah berhasil membujuk pemuda yang namanya Hay Hay dan terkenal amat lihai itu untuk menghadap Lam-hai Giam-lo dan menjadi sekutu, dan mendengar pula bahwa pemuda itu kini disuruh oleh Bengcu untuk menguji kepandaian seorang tamu yang menyatakan diri hendak bergabung. Mereka tertarik dan berbondong-bondong memasuki lian-bu-thia. Karena mereka bukan anggauta biasa, melainkan serombongan orang yang dianggap sekutu dan rekan, maka mereka diperbolehkan lewat dan masuk oleh para anggauta Kui-kok-pang yang berjaga. Juga Lam-hai Giam-lo diam saja dan hanya membalas penghormatan mereka dengan anggukan kepala ketika melihat mereka masuk dan mengambil tempat duduk di pinggir, dekat dinding. Hay Hay juga melihat masuknya mereka itu, dan merasa heran mengapa dia belum melihat dua pasang suami isteri yang pernah memperebutkannya di waktu dia kecil.
"Han Lojin, silakan mulai membuka serangan!" tantangnya karena dia ingin segera menyelesaikan tugas yang tidak enak ini. Dia harus menguji kepandaian orang yang mendatangkan rasa suka di dalam hatinya.
Tak disangkanya, Han Lojin tertawa. "Ha-ha-ha, baru sekaranglah aku mendapat kesempatan untuk bertanding dengan Ang-hong-cu yang tersohor itu, ha-ha-ha!"
Semua orang terkejut, kecuali Ki Liong yang sudah tahu akan hal itu. Hay Hay lebih terkejut daripada orang lain. “Han Lojin, apa maksudmu….?” Dia berseru penasaran. "Aku bukan Ang-hong-cu!"
Han Lojin masih tertawa, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay sambil berkata. "Orang muda, masih perlukah menyangkal lagi? Kalau engkau bukan Ang-hong-cu, mengapa tosu dan murid Bu-tong-pai itu menyerangmu mati-matian? Sudahlah, orang muda, namamu Tang Hay? Bagus, akui saja karena kita semua yang berada di sini, dari golongan manapun juga, adalah rekan sendiri, bukan? Jadi, tidak perlu malu-malu."
"Dia bukan Ang-hong-cu….!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Eng lantang. Gadis ini sudah bangkit berdiri dan matanya memandang marah. Ia tentu saja tahu bahwa Hay Hay bukan Ang-hong-cu, melainkan putera kandung dari penjahat pemetik bunga yang tersohor itu.
Hay Hay terkejut, cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Pek Eng, mengerahkan kekuatan shirnya.
"Eng-moi, jangan mencampuri dan duduklah saja, biar kuhadapi sendiri tuduhan ini!" Kekuatan sihir itu menguasai Pek Eng yang tiba-tiba duduk kembali dengan muka agak berubah pucat. Ki Liong dan Lam-hai Giam-lo tidak merasa heran dengan seruan Pek Eng tadi. Bukankah Pek Eng sudah mengenal Hay Hay dan tentu gadis itu membela karena mungkin gadis itu tidak tahu bahwa pemuda kenalannya itu adalah Ang-hong-cu. Akan tetapi Ki Liong juga meragukan kebenaran tuduhan itu.
"Han Lojln, Saudara Tang Hay terlalu muda untuk menjadi Ang-hong-cu, harap jangan bicarakan urusan itu. Hadapi saja dia dengan ilmu silatmu untuk membuktikan kepada Bengcu bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi rekan kami." kata Ki Liong dengan suara lantang.
Han Lojin tersenyum lebar. "Baiklah, orang muda she Tang. Engkaulah yang mulai menyerang karena engkau adalah pengujiku, bukah? Heh-heh-heh!"
Kini berkuranglah rasa suka di dalam hati Hay Hay terhadap orang itu. Bagaimanapun juga, orang ini di depan orang banyak telah menuduhnya sebagai Ang-hong-cudan ini berbahaya sekali karena memang dia putera jai-hwa-cat itu. Bagaimanapun juga, kenyataan ini menghancurkan hatinya dan dia tidak mau kenyataan yang pahit itu diketahui orang lain. Pek Eng mengetahuinya, akan tetapi dia berhasil membungkam mulut gadis itu dengan kekuatan sihimya. Dan Han Lojin nampaknya demikian memandang rendah kepadanya. Hemm, dia akan tunjukkan kepada orang tua ini bahwa dia tidak boleh dibuat sembarangan!
"Baik, aku akan menyerang. Sambutlah!" bentak Hay Hay dan dia pun sudah menerjang dengan memainkan Ilmu Silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak). Dengan menggunakan jurus Dewa Pemabok Menepuk Lalat, tangannya menyambar ke arah pundak lawan, kelihatannya perlahan saja namun di dalam tamparan itu terkandung tenaga dahsyat.
“Heh!" Han Lojin agaknya kaget juga ketika merasakan sambaran angin pukulan yang amat kuat. Dia maklum bahwa pemuda ini lihai, hal itu dapat dilihatnya ketika pemuda itu menghadapi tosu Bu-tong-pai yang lihai. Akan tetapi tak disangkanya bahwa pemuda itu menggunakan tamparan yang demikian dahsyatnya. Dia pun cepat mengelak, akan tetapi tangan pemuda itu seperti meluncur terus, tamparan ke arah pundak itu kini bahkan meluncur ke arah lehernya, lebih berbahaya daripada sebelum dielakkannya tadi. Tiba-tiba kaki Han Lojin mencuat dan mengirim tendangan ke arah pusar Hay Hay. Serangan balasan ini merupakan juga pembelaan diri karena kakinya lebih panjang daripada lengan Hay Hay. Terpaksa pemuda ini menarik kembali tamparannya karena kaki lawan sudah menyambar cepat. Dia pun mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan membacokkan tangan kiri itu seperti sebatang golok ke arah kaki yang menendangnya! Kembali Han Lojin dapat menyelamatkan kakinya dengan memutar kaki itu sehingga tubuhnya ikut terputar dan luput dari "bacokan" tangan Hay Hay.
Han Lojin mengerluarkan seruan nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebatan dengan amat cepatnya sehingga sukar dlikuti oleh pandang mata biasa. Dan dengan gerakan secepat itu, dia menghujankan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke arah tubuh Hay Hay! Pemuda ini kembali terkejut dan dia pun cepat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Yan-cu Coan-in (Walet Menembus Awan) yang membuat tubuhnya juga dapat berkelebatan seperti seekor burung walet terbang saja. Kini giliran Han Lojin yang mengeluarkan seruan kagum. Para penonton juga memandang kagum dan beberapa kali mereka mengeluarkan seruan kagum karena pertandingan itu memang menarik sekali. Dari gerakan-gerakan Han Lojin, mereka yang berilmu tinggi dan hadir di situ seperti Lam-hai Giam-lo, Ki Liong dan para tokoh lain, dapat mengenal bahwa orang ini menguasai banyak macam ilmu silat. Ada gaya silat Siauw-lim-pai di dalam gerakannya, ada pula gaya silat Kun-lun-pai dan partai persilatan lain. Pendeknya, gerakan Han Lojin penuh dengan gaya berbagai aliran dari utara sampai selatan. Hal ini menunjukkan bahwa dia telah memiliki pengalaman yang luas sekali, mempelajari banyak macam ilmu silat yang membuatnya amat lihai.
Melihat kelihaian Han Lojin, diam-diam semua orang kagum dan Lam-hai Giam-lo merasa girang sekali karena dia membayangkan memperoleh seorang pembantu yang hebat di samping Ki Liong, yaitu Hay Hay dan Han Lojin. Dengan adanya tiga orang pembantu yang tingkat kepandaiannya sudah hampir menyamainya itu, maka dia merasa kuat, apalagi masih ada Kulana di sana.
Apalagi mereka yang nonton, bahkan mereka yang sedang bertanding itu pun merasa terkejut dan kagum. Han Lojin berkali-kali mengeluarkan seruan kagum dan memuji karena serangan apa pun yang dia keluarkan, dari pilihan jurus-jurus paling ampuh, semua dapat dihindarkan oleh pemuda itu, baik melalui tangkisan maupun elakan. Dan dalam adu ltenaga, harus diakui bahwa tenaga sin-kang pemuda itu kuat bukan main mungkin lebih kuat daripada tenaganya sendiri! Di lain pihak Hay Hay juga tertegun ketika melihat kelihaian lawan. Ilmu-ilmu silatnya yang paling hebat telah dikeluarkan, namun sukar baginya untuk merobohkan atau mengalahkan lawan. Apalagi mengalahkan tanpa merobohkan! Lawannya ini sungguh hebat dan seimbang dengan tingkatnya. Dalam hal tenaga sin-kang mungkin dia menang sedikit, akan tetapi dia tidak tega untuk mengerahkan seluruh tenaganya, khawatir kalau sampai melukai atau membunuh orang itu. Setelah melihat kelihaian ilmunya, timbul pula rasa sayang dalam hati Hay Hay. Orang ini belum dikenalnya bagaimana keadaannya, entah dari golongan sesat maupun seorang pendekar aneh. Memang banyak terdapat pendekar-pendekar atau orang-orang sakti yang aheh di dunia ini. Di antaranya guru-gurunya, seperti Pek Mau Sanjin dan Song Lojin, juga termasuk orang-orang aneh. Bahkan dua orang gurunya terdaulu, See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, juga merupakan orang-orang aneh sehingga kalau dibuat perbandingan, lawannya yang mengaku bernama Han Lojin ini belum berapa hebat keanehannya. Dia tidak berniat untuk mencelakakan lawan ini.
Di dalam hati kedua orang ini timbul suatu pertanyaan. Dalam uji ilmu silat mereka sudah merasa sukar untuk mendapatkan kemenangan dan pertarungan berjalan seimbang dan seru sekali. Lalu andaikata mereka itu benar-benar berkelahi, alangkah akan seru dan mati-matian!
"Heiiiittt….!!" Tiba-tiba Hay Hay sudah menerjang lagi, sekali ini dengan cengkeraman tangan ke arah ubun-ubun kepala lawan dan tonjokan susulan dengan tangan kiri ke arah dada!
"Ihhhh….!" Han Lojin mengeluarkan seruan keras, menarik tubuh atas ke belakang sambil miringkan tubuh sehingga, cengkeraman ke arah ubun-ubunnya itu luput, sedangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk menangkis tonjokan ke arah dadanya, disusul tangan kirinya membalas dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah untuk menusuk ke arah mata lawan! Hay Hay kagum bukan main. Indah dan berbahaya gerakan lawan yang membalas dengan kontan serangannya, maka dia pun menangkis dengan putaran lengannya.
"Dukk! Desss!" Dua kali sepasasang tangan itu bertemu dan keduanya terdorong ke belakang.
"Hyaaaattt…..!” Tubuh Han Lojin sudah melayan ke atas dengan tendangan kaki terbang! Hay Hay juga menyambut dengan gerakan yang sama, yaitu meloncat ke atas menyambut serangan lawan dengan kedua kakinya pula.
“Desss….!" Bentrok hebat tak dapat dicegah lagi terjadi di udara dan keduanya terpelanting dan kalau tidak cepat; cepat Hay Hay berjungkir balik mematahkan luncuran badan terbanting sehingga keduanya kini sudah saling pandang lagi, berhadapan dalam jarak empat meter. Keduanya sudah mengeluarkan keringat dan nampak betapa kalau Hay Hay masih segar, lawannya sudah mulai terengah-engah!
"Hebat… engkau hebat, panas menjadi Ang-hong-cu…." kata Han Lojin sambil memandang dengan murut menyeringai.
"Aku bukan Ang-hong-cu, setan!" Hay Hay berseru marah dan dia sudah siap menyerang lagi. Saat itu dipergunakan oleh Ki Liong untuk melompat ke depan, di antara mereka dan melerai.
"Sudahlah, Saudara Tang Hay! Han Lojin! Ji-wi (Kalian Berdua) sudah memperlihatkan kepandaian dan kiranya sudah cukup, bukankah begitu, Bengcu?"
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. Saking tertariknya, dia tadi sampai lupa. Kalau tidak Ki Liong yang cepat maju melerai dan pertandingan itu dilanjutkan sampai seorang di antara kedua jagoan itu terluka atau tewas, sungguh amat sayang sekali dan berarti suatu kerugian besar baginya. Maka dia pun bangkit dan mengangkat kedua tangannya.
"Sudah cukup, sudah lebih dari cukup. Ji-wi telah memperlihatkan kepandaian dan kami kagum sekali. Mulai saat ini, Ji-wi menjadi pembantu-pembantuku yang dapat kami andalkan. Nah, marilah duduk, akan kami perkenalkan kepada rekan-rekan lain." Dengan gembira Lam-hai Giam-lo lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan hidangan besar dengan cepat untuk menghormati kedua orang pembantu baru itu.
Terjadi keanehan dalam perkenalan itu. Kalau Han Lojin benar-benar merupakan wajah baru, dan hanya Ki Liong seorang yang pernah bertemu dengannya ketika dia menyamar sebagai seorang suku Hui menggembala kambing, sebaliknya ketika Hay Hay diperkenalkan, banyak wajah yang sudah dikenalnya berada di situ. Tentu saja dia sudah mengenal Ji Sun Bi, wanita pertama yang menanamkan gairah berahi dalam dirinya, juga Min-san Mo-ko bukan orang asing baginya karena sudah beberapa kali dia bertanding dengan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi.
Selagi mereka semua berpesta, muncullah dua pasang suami isteri, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Mereka masuk ke dalam ruangan makan, disambut gembira oleh Lam-hai Giam-lo. "Aih, kebetulan kalian berempat datang. Mari, mari sekalian berpesta dengan kami, menyambut pembantu-pembantu baru yang luar biasa ini!" Dia menunjuk kepada Hay Hay dan Han Lojin yang duduk di kanan kirinya. Melihat Hay Hay, dua pasang suami isteri itu memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kemarahan dan juga kegentaran.
"Wah, agaknya kalian berempat sudah mengenal pula pemuda ini? Saudara muda Tang, ternyata di sini sudah banyak orang yang mengenalmu dengan baik, ha-ha-ha!" Demikian Han. Lojin berseru sambil tertawa.
Lam-hai Giam-lo memandang kepada pemuda, itu. "Saudara Tang, benarkah engkau sudah mengenal kepada mereka berempat?" tanyanya heran.
Hay Hay mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja, bahkan Lam-hai Siang-mo pernah menjadi Ayah danIbuku, maksudku, mereka telah mengambilku sebagai anak pungut sejak aku masih bayi sampai berusia tujuh tahun. Dan mereka ini suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, juga sudah kukenal baik sekali karena mereka ini mencoba untuk merampasku dari tangan Lam-hai Siang-mo. Aku diperebutkan oleh kedua suami isteri ini karena aku dianggap Sin-tong!" Hay Hay tertawa.
"Sin-tong….? Bukankah Sin-tong itu kakak kandungmu, Eng Eng?" tanya Lam-hai Giam-lo kepada Eng Eng.
Eng Eng tersenyum pula. Tidak perlu dirahasiakan tentang itu karena memang ia pernah bercerita kepada bengcu itu tentang kakak kandungnya. "Benar, Bengcu. Sejak kecil kakak kandungku, Pek Han Siong, dianggap Sin-tong dan dijadikan perebutan, lalu oleh keluarga kami, Kakakku itu disembunyikan, diganti dengan seorang bayi lain, yaitu Hay-ko ini. Kemudian Hay-ko ini lenyap dicuri orang, ditukar dengan bayi mati, kiranya yang menukar itu adalah Lam-hai Siang-mo."
Lam-hai Giam-lo juga tertawa, lalu memberi isarat dengan tangannya kepada dua pasang suami isteri itu. "Eh, kenapa kalian berempat menjadi bengong setelah, melihat Saudara Tang Hay? Duduklah, dan jangan khawatir, dia ini sekarang adalah rekan kita sendiri. Lupakanlah hal-hal yang terjadi di masa lalu, karena mulai sekarang kita harus mencurahkan perhatian untuk perjuangan kita. Berita apa yang kalian bawa dari Saudara Kulana?"
"Kami sudah menghadap Saudara Kulana dan telah menjelaskan bahwa kini kita telah siap dan telah mengumpulkan banyak tenaga yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang. Dia menyatakan kegirangan hatinya dan dia mengirimkan bantuan emas kepada Bengcu disertai suratnya." Siangkoan Leng yang menjadi juru bicara mereka berempat, menyerahkan sebuah bungkusan yang kelihatan berat berikut segulung surat kepada Lam-hai Giam-lo.
Bengcu ini menerima buntalan itu dan meletakkan di atas meja. Meja berderak menahan berat buntalan itu. Buntalan dibuka dan semua orang terbelalak melihat bongkahan-bongkahan emas murni yang berkilauan. Mereka menaksir bahwa emas murni itu beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus tai! Lam-hai Giam-lo membuka surat itu dan membaca. Wajahnya berubah girang dan setelah menyimpan surat itu ke dalam saku bajunya, dia pun memandang semua pembantunya yang kini lengkap hadir di situ.
"Cu-wi (Saudara sekalian), ada kabar baik. Selain Kulana telah mengirimkan bukti bantuannya berupa emas murni untuk membiayai pasukan yang kita himpun, juga menurut siasat yang telah diaturnya, gerakan dapat dilakukan pada akhir bulan ini, kurang lebih dua minggu lagi. Dia sudah menentukan arah mana pasukan bergerak, dibagi menjadi beberapa kelompok dan kota mana yang akan diduduki sebagai landasan pertama dan benteng gerakan selanjutnyaa. Nah, mulai sekarang, kita harus mempersiapkan pasukan kita dan menarik mereka itu semua ke sini, melatih mereka sambil menanti siasat yang akan disampaikan sendiri oleh Saudara Kulana pada malam bulan purnama dua minggu lagi."
Semua orang menyambut dengan gembira dan diam-diam Hay Hay mencatat semua yang didengarnya dan dilihatnya. Mereka melanjutkan pesta malam itu dan kemudian terjadi kesibukan. Tentu saja yang bertugas mengumpulkan pasukan para pemberontak itu adalah para pemhantu yang telah memperoleh kepercayaan dari Lam-hai Giam-lo. Hay Hay dan Han Lojin yang merupakan orang baru, belum menerima tugas melainkan disuruh memperkuat penjagaan di sarang mereka. Juga Ki Liong tidak bertugas keluar. Pemuda ini merupakan orang kepercayaan dan juga tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang diam-diam menyuruh Ki Liong untuk memasang mata mengamati kedua orang pembantu baru itu.
***
Malam itu dingin dan sunyi. Pek Eng telah berada di dalam kamarnya, rebah di atas pembaringannya. Ia gelisah. Pertemuannya dengan Hay Hay masih mendatangkan ketegangan di dalam hatinya, apalagi mengingat betapa tadi siang Hay Hay dituduh sebagai Ang-hong-cu. Ia dapat merasakan betapa sakit rasa hati pemuda itu dan ia merasa kasihan. Ingin ia bertemu dan bercakap-cakap dengan pemuda itu, namun hatinya merasa tidak enak kalau ia harus mencari kamar pemuda itu. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa orang-orang seperti Ki Liong dan Ji Sun Bi nampaknya belum sepenuhnya percaya kepadanya, biarpun tidak berani secara berterang menentangnya karena Lam-hai Giam-lo menyayangnya sebagai murid dan bahkan anak angkat! Akan tetapi ia ingin sekali bertemu dengan Hay Hay, bicara dengan dia dan bertanya akan maksud kunjungannya ke tempat itu. Ia tidak percaya bahwa Hay Hay ingin membantu Lam-hai Glam-lo karena menginginkan imbalan jasa! Ia yakin Hay Hay bukanlah seorang pemuda seperti itu.
Karena gelisah, Pek Eng lalu keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman yang luas itu. Sejak ia berada di situ, taman itu telah menjadi semakin terawat karena ia suka akan bunga-bunga. Bahkan Lam-hai Giam-lo menuruti permintaannya untuk membangun sebuah pondok kecil dicat indah di dalam taman itu untuk tempat beristirahat di kala hawa sedang panasnya, di dekat kolam ikan emas. Agak lega hati Pek Eng yang gelisah setelah ia keluar dari kamar dan hawa malam meniup pada wajahnya, bermain dengan rambutnya. Ketika ia berjalan menuju ke sebuah bangku, ia terkejut dan jantungnya berdebar melihat sesosok tubuh seorang pria duduk di atas bangku itu, tidak jelas wajahnya karena lampu taman berada di belakangnya, tergantung pada batang pohon. Tentu Hay Hay, pikirnya dengan girang dan ia pun menghampiri.
"Aih, malam-malam begini melamun seorang diri…." Pek Eng menghentikan tegurannya karena pemuda itu menoleh, ternyata bukan Hay Hay yang ditemukan, melainkan Ki Liong. Ia merasa kecelik dan malu, maka cepat disambungnya, "Liong-ko, mengapa melamun seorang diri di sini?” Gadis yang cerdik ini menyambung tegurannya sehingga tidak kentara bahwa tadi ia mengira Hay Hay pemuda itu.
Sim Ki Liong bangkit dan tersenyum manis. "Tidak tahukah engkau, Eng-moi, bahwa sudah lama sekali setiap malam aku duduk seorang diri di sini sambil melamun dan merindukan seseorang?"
Pek Eng tersenyum dan tanpa malu-malu ia pun duduk di sudut bangku itu sambil menatap wajah Ki Liong yang kini tertimpa sinar lampu gantung yang tergantung di batang pohon dekat bangku.
"Aih, engkau agaknya telah mempunyai seorang kekasih yang kaurindukan, Liong-ko?" Ia menggoda. Gadis ini memang wataknya lincah jenaka dan ia sudah agak akrab dengan Ki Liong yang memang pandai mengambil hati dan membawa diri.
"Sudah lama, Eng-moi, akan tetapi gadis pujaan hatiku itu hanya kusimpan saja di dalam hati, dan setiap malam kurindukan di bangku ini."
"Siapakah gadis itu, Liong-ko? Boeh aku mengenalnya?”
"Engkau sudah mengenalnya dengan baik, Eng-moi. Gadis itu kini berada di sini."
"Di taman ini? Ah, di mana? Siapa?'"
"Tidak jauh, di hadapanku, di sudut bangku ini. Engkaulah orangnya, Eng-moi, engkaulah gadis yang kucinta, kurindukan dan yang membuat aku tergila-gila. Tidak tahukah engkau?"
Seketika wajah Pek Eng berubah merah sekali. Ia merasa malu, kaget, dan juga marah. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini akan membuat pengakuan cinta kepadanya!
"Ah... Liong-ko….!" Ia barigkit berdiri.
Dengan cepat Ki Liong melangkah maju djan dengan lembut ia sudah memegang tangan Pek Eng sambil menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. "Eng-moi, kasihanilah aku yang akan hidup merana tanpa engkau di sisiku! Eng-moi, aku cinta padamu, Eng-moi….!" Dan dia dia menciumi tangan gadis itu. Pek Eng berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat, tubuhnya menggigil karena ia bingung sekali. Ia merasa kaget, juga terharu bercampur marah dan ia tidak tahu apa. yang harus dilakukannya menghadapi pemuda yang mengaku cinta itu. Kedua kakinya gemetar.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang, "Wah, indah sekali bunga-bunga di taman ini! Aih, di mana adanya Sim-kongcu? Katanya berada di taman ini…" Dan muncullah Han Lojin, sementara itu Ki Liong sudah cepat bangkit berdiri dan melepaskan tangan Pek Eng.
“Ah, ternyata betul engkau berada di sini, Sim-kongcu!" kata Han Lojin dengan wajah berseri gembira, "Ha, kiranya Nona Pek Eng yang cantik jelita itu berada di sini?"
"Han Lojin, ada urusan apakah engkau mencari aku?" Ki Liong bertanya, alisnya berkerut dan suaranya kaku, hatinya tidak senang karena dia merasa diganggu sekali. Padahal, tadi Pek Eng tidak memperlihatkan perlawanan dan agaknya dia sudah hampir berhasil sebelum orang celaka ini muncul dan membikin kacau!
"Maaf, sebelum kita bicara, sebaiknya kalau Nona Pek ini kembali ke kamarnya lebih dulu. Nona, sudah malam begini kalau Nona masih berada di taman, tentu akan membuat hati Bengcu merasa tidak tenteram. Sebaiknya kalau Nona kembali ke kamarmu agar aku dapat bercakap-cakap dengan Sim-kongcu."
Pek Eng baru sadar akan apa yang telah terjadi dan diam-diam ia merasa bersukur akan kemunculan orang itu. Tadi ia merasa seperti kehilangan semangat, dan kini ia melihat dengan perasaan ngeri betapa ia hampir saja terjerumus ke dalam jurang yang amat berbahaya. Ia mengangguk dan melangkah pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi. Tentu saja hati Ki Liong menjadi semakin kecewa dan marah terhadap orang ini. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan ketidaksenangannya, bukan karena dia takut terhadap Han Lojin melainkan dia khawatir kalau sampai Lam-hai Giam-lo tahu akan apa yang hendak dilakukannya terhadap Pek Eng tadi. Kalau Bengcu tidak setuju dan marah kepadanya, dia dapat menghadapi kesulitan besar.
Setelah Pek Eng pergi dari taman itu, Ki Liong memandang tajam kepada Han Lojin, menelan kemarahannya dan hanya nampak kemarahan itu pada suaranya yang ketus dan kaku, tidak seperti biasanya dia selalu lembut dan ramah.
"Nah, keluarkan isi hatimu, Han Lojin. Apakah urusan itu yang membuat engkau malam-malam begini mencari aku?"
Han Lojin bersikap tenang saja menghadapi kekakuan Ki Liong. "Aku tadi minta penjelasan kepada Bengcu tentang keadaan kita, karena aku ingin mengetahui lebih jelas bagaimana kedudukan kita, bagaimana kekuatan kita dan apa pula rencana kita. Sebagai orang baru, aku tidak tahu apa-apa dan sebagai pembantu, tentu saja aku harus mengetahui semua itu. Akan .tetapi Bengcu menyuruh aku mencari dan menemuimu, Sim-kongcu, dan katanya engkau dapat menjelaskan semua itu kepadaku."
"Hemm, urusan begitu saja…." Ki Liong menoleh ke arah menghilangnya Pek Eng dan merasa menyesal bukan main. Untuk urusan begitu saja dia terpaksa melepaskan calon korban yang sudah berada di depan mulut tadi, tinggal tubruk saja! “Malam ini aku sedang malas, biarlah besok pagi saja aku memberi penjelasan itu kepadamu, Han Lojjn."
Han Lojin tersenyum dan mengangguk. "Begitu pun baiklah, Sim-kongcu. Selamat malam!" Dia melangkah pergi, akan tetapi baru beberapa langkah saja, dia berhenti dan menoleh. "Ada satu hal lagi, Kongcu. Engkau sebenarnya harus berterima kasih kepadaku sehingga tidak terjadi sesuatu antara engkau dan Nona Pek Eng, karena kalau Bengcu mengetahui, tentu akan terjadi malapetaka atas dirimu." Setelah berkata demikian, Han Lojin menghilang di dalam kegelapan malam.
Ki Liong tertegun, berdiri mematung dan mengepal kedua tinjunya. Kemudian dia mendengus, "Bedebah!" dan dia pun meninggalkan taman, kembali ke dalam kamarnya. Tentu saja dia menjadi berhati-hati dan tidak berani mencoba lagi untuk mengganggu dan merayu Pek Eng setelah Han Lojin mengetahuinya. Siapa tahu orang baru itu untuk mengambil hati melaporkan hal itu kepada bengcu! Dia harus berhati-hati sekali.
Sementara itu, Hay Hay sedang duduk di dalam kamarnya. Dia telah dapat mendengar dan melihat banyak, untuk bahan laporan kepada pemerintah. Dia harus bertindak cepat, pikirnya. Tidak ada waktu lagi untuk melapor ke kota raja, kepada Menteri Yang Ting Hoo. Dia akan melapor kepada benteng pasukan pemerintah yang terdekat, tentang rencana pemberontakan yang akan dimulai pada terang bulan dua minggu mendatang. Rencana pemberontakan itu harus dihancurkan! Dia perlu menghubungi para pendekar, akan tetapi dia tidak tahu mereka berada di mana. Teringatlah dia kepada Han Lojin! Orang itu mencurigakan sekali. Dia tidak yakin bahwa orang itu termasuk tokoh sesat yang hendak mencari keuntungan dengan membantu pemberontak. Siapa tahu dia adalah seorang tokoh pendekar pula yang menyamar! Sebelum pasukan pemerintah menghancurkan pasukan pemberontak, lebih dahulu para tokoh sesat harus dibinasakan. Dan pasukan pemerintah pun baru bisa bergerak kalau pasukan pemberontak yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu telah berkumpul di dataran Yunan.
"Tok-tok-tok!" Daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar perlahan. Dia terkejut bukan oleh ketukan itu melainkan karena sama sekali dia tidak mendengar langkah orang di luar pintu. Kalau langkah orang biasa, sudah pasti akan didengarnya. Jelas bahwa yang datang mengetuk daun pintu itu tentu orang yang berkepandaian.
"Siapa di luar?" tanyanya tanpa bangkit dari tempat duduk.
"Aku, saudara muda Tang Hay, bukalah pintu, aku Han Lojin ingin bicara deganmu!" kata suara itu dari luar pintu.
Berdebar rasa jantung dalam dada Hay Hay. Baru saja dia memikirkan tentang orang ini? Benarkah dia seorang pendekar yang bertugas sama dengan dia? Kalau benar, betapa beraninya mendatangi kamarnya begitu saja. Tentu akan menimbulkan kecurigaan, dan dia tahu bahwa diam-diam Lam-hai Giam-lo belum percaya kepada mereka berdua dan tentu selalu memasang mata-mata untuk mengamati mereka. Mungkin Sim Ki Liong mata-mata itu, atau para anggauta Kui-kok-pang atau Pek-lian-kauw. Dan teringat dia akan kelihaian orang ini. Tidak mudah baginya untuk mengalahkannya. Bagaimana kalau dengan sihir? Belum dicobanya. Tidak selalu kekuatan sihirnya dapat diandalkan. Kalau bertemu lawan yang tangguh dan memiliki daya tahan terhadap sihir, seperti mendiang Kiu-bwe Tok-li, nenek buruk itu, kekuatan sihirnya takkan ada artinya. Akan tetapi boleh dia coba, pikirnya sambil bangkit dari kursinya dan membuka daun pintu. Dia telah mempersiapkan diri, mengerahkan kekuatan sihirnya ketika membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka dan Hay Hay berhadapan dengan Han Lojin, dia menatap tajam diantara kedua alis orang itu dan berkata dengan suara yang menggetar penuh wibawa, "Aku bukan Hay Hay aku Sim Ki Liong!"
Jelas nampak betapa wajah Han Lojin tertegun kaget, matanya terbelalak dan mulutnya tergagap, "Sim... Sim... Kongcu..., ahhh!" Dia menggunakan tiga jari tangan kirinya dan menekan diantara kedua alisnya, kemudian memandang lagi dan kini wajahnya tersenyum lebar.
"Wah, Saudara Tang, jangan main-main! Hampir saja kukira benar, akan tetapi baru saja aku bertemu Sim-kongcu di taman. Agaknya engkau memang suka bermain sulap, ya?"
Tahulah Hay Hay bahwa orang ini memang tangguh. Begitu terpengaruh sihirnya, Han Lojin tadi sudah berhasil memunahkan kekuatan sihirnya dengan menekan antara kedua alis matanya dengan tiga jari tangan kiri. Dia melihat betapa orang itu membawa sebuah guci arak, maka semakin heranlah dia mengapa orang ini datang kepadanya membawa guci arak.
"Han Lojin, ada keperluan apakah engkau malam-malam begini datang berkunjung kepadaku?" Diam-diam dia. heran. Orang ini, bersama dia baru saja diterima di situ sebagai sekutu, dan malam pertama ini Han Lojin sudah berkeliaran di tempat orang!
"Ha-ha-ha, karena aku suka padamu, karena aku kagum padamu. Engkau masih begini muda, akan tetapi sudah amat lihai. Aku berkunjung untuk bicara dan untuk menyatakan rasa kagumku, mengajakmu minum-minum untuk mempererat perkenalan antara kita."
"Hemm, dalam lian-bu-thia tadi engkau sama sekali tidak menghargaiku, bahkan seenaknya saja menuduh aku Ang-hong-cu!" kata Hay Hay mendongkol.
"Heh-heh, karena memang engkau pantas menjadi Ang-hong-cu yang tersohor itu….”
"Tidak sudi! Tersohor jahat, apa gunanya?"
"Ha-ha-ha, Saudaraku yang baik. Bukankah di sini berkumpul banyak orang yang bergelimang kejahatan? Ataukah engkau ini seorang yang menentang kejahatan, dan kalau benar demikian, kenapa berada di sini?" Berkata demikian, Han Lojin melangkah masuk. "Bolehkah aku masuk? Aku hanya ingin menyuguhkan arak istimewa ini untuk memberi selamat dan menyatakan rasa kagumku."
Ucapan Han Lojin tadi mengejutkan hati Hay Hay. Orang ini sungguh berbahaya, agaknya menaruh curiga kepadaku dan menduga bahwa aku adalah seorang dari golongan lain yang menentang para tokoh sesat, pikir Hay Hay. Kalau benar demikian, celakalah, akan tetapi dia akan berpura-pura tidak mengerti dan ingin melihat perkembangannya.
"Masuk dan duduklah, Han Lojin," katanya mempersilakan. Keduanya duduk dipisahkan meja kecil, di atas dua buah kursi yang berada di kamar itu. "Nah, katakan, Han Lojin, apa keperluanmu?"
"Heh-heh, sudah kukatakan tadi. Ingin mempererat perkenalan dan ingin menyuguhkan arak ini. Ketahuilah, kawan. Arak ini adalah arak simpanan, sudah ratusan tahun umurnya, keras dan harum bukan main. Nah, aku ingin engkau menemaniku menghabiskan arak yang hanya tinggal beberapa cawan ini. Apakah di sini ada cawan?"
Kebetulan di setiap kamar tamu memang disediakan poci teh dan beberapa buah cawan. Hay Hay mengambil dua buah cawan dan dia bersikap waspada. Akan tetapi, Han Lojin menuangkan arak dari dalam guci ke dalam dua buah cawan kecil itu. Arak itu berwarna kekuningan, seperti emas, dan mengeluarkan bau yang amat harum semerbak seperti bunga.
"Saudara Tang Hay, mari kita minum sebagai tanda kagumku kepadamu,” kata Han Lojin sambil mengangkat cawan araknya. Hay Hay mengikutinya, dan melihat betapa Han Lojin minum araknya, dia pun tidak curiga lagi dan dia pun minum arak itu. Manis dan enak rasanya, tidak begitu keras, namun hangat memasuki perutnya.
Dua kali lagi mereka minum sampai guci itu menjadi kosong dan Han Lojin kelihatan gembira bukan main. "Bagus, engkau memang seorang pemuda yang hebat, Hay Hay! Aku suka sekali padamu. Sekarang aku pamit, aku ingin tidur di kamarku " Orang itu bangkit dan agak terhuyung. Hay Hay ingin mentertawakan karena baru minum tiga cawan saja sudah kelihatan mabuk. Akan tetapi ketika. dia bangkit berdiri, dia pun terkejut karena kepalanya terasa agak berat, akan tetapi begitu nyaman rasanya! Apakah dia pun mabuk hanya karena minum tiga cawan saja? Kalau begitu, arak itu bekerja secara halus namun keras bukan main.
"Tapi, apakah sebetulnya yang hendak kaubicarakan, Han Lojin?"
“Aku? Heh-heh-heh, tidak apa.apa. Aku melihat Sim-kongcu di taman, heh-heh, dia sedang merayu Nona Pek Eng. Hampir saja Nona Pek Eng jatuh ke dalam rayuannya, akan tetapi... he-heh, aku muncul menggagalkannya. Orang muda, engkau kakak angkat Nona Pek Eng, bukan? Sebaiknya sekarang juga engkau memperingatkan ia sebelum terlambat..." Setelah berkata demikian, Han Lojin meloncat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam.
Hay Hay merasa terkejut sekali, juga marah. Keparat Ki Liong itu! Dia menduga keras bahwa Ki Liong adalah juga Ciang Ki Liong, murid Pulau Teratai Merah seperti yang diceritakan Kui Hong kepadanya itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, benar juga anjuran Han Lojin itu. Hay Hay lalu keluar dari kamarnya, menutupkan daun pintu dan merasa betapa tubuhnya ringan dan perasaannya nyaman sekali. Arak itu sungguh ampuh, pikirnya, kagum. Arak yang sudah tua sekali dan memang hebat! Dia tahu di mana kamar Pek Eng. Hal ini sudah diperhatikannya tadi karena memang dia ingin mempelajari semua letak kamar para penghuni sarang pemberontak itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, akan tetapi juga tidak boleh dilihat orang lain. Tidak baik kalau dia memasuki kamar seorang gadis, walaupun tidak ada maksud buruk. Sebaiknya Pek Eng dipanggilnya keluar.
"Eng-moi...!" Bisiknya dari luar jendela kamar gadis itu. Dilihatnya lampu masih bernyala dalam kamar itu, tanda bahwa Pek Eng belum tidur. "Ini aku, Hay Hay….!”
"Hay-ko...!" terdengar suara gadis itu.
"Ssstttt..., keluarlah, kutunggu di dalam taman, aku mau bicara penting," kata pula Hay Hay.
"Baik, Hay-ko…."
Mereka bertemu di dekat pondok, tempat yang cukup sunyi, juga gelap karena sinar lampu di depan pondok itu terhalang pohon. "Ada apakah, Hay-ko?" tanya Pek Eng sambil menghampiri pemuda itu, berdiri dekat sekali dengan Hay Hay karena Pek Eng masih merasa ngeri teringat akan pengalamannya dengan Ki Liong tadi.
"Eng-moi..." Hay Hay tergagap dan pemuda ini memejamkan matanya sejenak, dia merasa aneh sekali, jantungnya berdebar kencang, hidungnya menangkap keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Pek Eng. "Kau... kau harus berhati-hati terhadap rayuan Ki Liong…"
"Hay-ko...! Kau... kau sudah tahu? Tidak, aku tidak akan jatuh oleh rayuannya, aku tidak cinta padanya, Hay-ko..." Dan gadis itu makin mendekat karena heran melihat betapa tubuh Hay Hay agak gemetar seperti kedinginan.
"Hay-ko, engkau kenapakah …." Tanya Pek Eng sambil memegang lengan Hay Hay. Akan tetapi, sentuhan ini membuat Hay Hay tiba-tiba seperti menjadi gila. Dan merangkul, mendekap dan menciumi pipi dan bibir Pek Eng! Tentu saja Pek Eng terkejut bukan main, sampai ia menjadi gelagapan.
"Hay-ko... Hay-ko... Hay…." Gadis itu tidak dapat melanjutkan karena Hay Hay sudah memondong tubuhnya, terus menciuminya dan karena memang di sudut hati gadis ini sudah jatuh cinta kepada Hay Hay, sejak pertemuan pertama dahulu, maka akhirnya runtuhlah pertahanan batin Pek Eng dan ia pun bukan hanya mandah saja bahkan balas merangkulkan lengannya pada leher Hay Hay.
"Hay-kooo…." keluhnya dan ia memejamkan mata ketika dipondong dan dibawa oleh Hay Hay memasuki pondok itu. Dengan kakinya Hay Hay mendorong pintu pondok terbuka, masuk ke dalam pondok yang gelap karena memang lampunya tidak dinyalakan itu, dan menghampiri dipan kayu yang terdapat di dalam pondok.
“Eng-moi….”
"Hay-ko….. "
Akan tetapi, ketika mereka sudah rebah di atas dipan sambil berpelukan dan berciuman, ketika Pek Eng sudah terengah-engah dan pasrah bagaikan mabuk, tiba-tiba kesadaran Hay Hay menembus kabut yang tadi menyelimuti batinnya, kemabukan aneh yang mendatangkan rangsang berahi yang amat hebat itu dapat nampak oleh kesadarannya dan dia pun mengeluh, tiba-tiba melepaskan rangkulannya dan meloncat turun dari pembaringan.
"Hay-ko….!"
"Eng-moi, apa yang kita lakukan ini? Ahh…." Dan Hay Hay teringat semuanya, lalu dengan geram tertahan dia pun meloncat keluar dari pondok itu. Pek Eng masih berada di atas dipan dan gadis ini terisak.
Baru saja bayangan Hay Hay berkelebat keluar dan lenyap dalam kegelapan, nampak pula bayangan sesosok tubuh manusia memasuki pintu pondok dan dia menutupkan pintu dari dalam.
"Hay-koooo….!" Pek Eng mengeluh dan merintih panjang dan selanjutnya sunyi di pondok itu. Kesunyian yang menghanyutkan, kesunyian yang penuh dengan pengaruh setan dan iblis, yang membuat manusia lupa akan segalanya, lupa akan kesadarannya, dan lupa untuk membayangkan akibat-akibat dari perbuatannya di malam yang menghanyutkan itu.
Dalam kegelapan malam itu, sesosok bayangan keluar dari dalam pondok dan meloncat ke balik batang pohon, lenyap seperti setan. Tak berapa lama kemudian, nampak bayangan lain keluar dari dalam pondok, menahan isak dan bayangan kedua ini adalah Pek Eng yang terhuyung meninggalkan taman, kembali ke kamarnya sambil menangis lirih.
Semalam suntuk Pek Eng tak dapat tidur. Kadang-kadang ia terisak, akan tetapi kadang-kadang nampak ia tersenyum bahagia lalu termenung. Ia telah menyerahkan diri kepada Hay Hay, seperti orang yang mabuk keduanya telah mereguk anggur manis itu bersama, dengan suka rela, dengan sepenuh kasih sayang dan kemesraan. Ketika Hay Hay meninggalkannya mendadak, ia bingung dan mennyesal, akan tetapi ketika pemuda itu masuk lagi ke kamarnya ia terkejut. Baru setelah Hay Hay kembali merangkul, mendekap dan menciuminya, ia pasrah sepenuh hatinya. Ia mencinta Hay Hay dan ia tidak merasa menyesal telah menyerahkan diri kepada pemuda itu, karena ia yakin bahwa Hay Hay akan bertanggung jawab, akan mengawininya! Dan ia merasa berbahagia kalau teringat akan hal ini, membayangkan menjadi isteri Hay Hay walaupun perasaan sesal karena ia telah menyerah begitu saja, dengan amat lemah, kadang mengganggu hatinya.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Pek Eng mencari Hay Hay, dengan menahan perasaan canggung dan malu, ia tidak dapat menemukan pemuda itu! Hay Hay telah pergi meninggalkan perkampungan itu tanpa pamit kepada siapa pun, pada malam hari itu juga. Tentu saja Pek Eng menjadi terkejut dan khawatir, dan ia pun segera pergi untuk mencari Hay Hay.
Bagi Ki Liong, yang mengniiang bukan hanya Hay Hay, akan tetapi juga Han Lojin tidak berada di dalam kamarnya. Tak seorang pun diantara para penjaga melihat kedua orang itu meninggalkan perkampungan dan hal ini tidak mengherankan hati Ki Liong karena kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia merasa menyesal sekali. Kalau tidak karena kegagalannya merayu Pek Eng, tentu dia akan lebih waspada mengamati dua orang itu. Kini, mereka telah pergi, entah ke mana dan entah apa yang akan mereka lakukan. Ketika dia melapor kepada Lam-hai Giam-lo, Bengcu ini tentu saja menjadi marah dan menegur para penjaga yang dimakinya kurang hati-hati.
"Sebar orang-orang dan cari mereka!" bentak Lam-hai Giam-lo. "Kalau sudah diketahui tempatnya, aku sendiri yang akan menghadapi mereka kalau mereka memang berkhianat!"
Ki Liong sendiri yang juga merasa penasaran, segera memimpin pasukali kecil untuk melakukan pencarian. Keadaan menjadi kacau, apalagi ketika Lam-hai Giam-lo mendengar dari para pelayan bahwa pagi sekali tadi Pek Eng juga meninggalkan tempat itu. Para penjaga melihat Pek Eng keluar dari perkampungan dan karena semua penjaga mengenal bahwa Pek Eng adalah murid dan juga anak angkat bengcu, tak seorang pun diantara mereka berani bertanya apalagi menghalangi kepergiannya. Lam-hai Giam-lo merasa khawatir sekali dan dia menyuruh orang-orang untuk mencari pula muridnya itu.
***
Ketika mendengar tuduhan para tokoh Bu-tong-pai bahwa Hay Hay, susioknya yang amat dikaguminya itu, adalah Ang-hong-cu, seorang penjahat pemerkosa wanita yang tersohor, tanpa Hay Hay dapat membuktikan bahwa dia bukan Ang-hong-cu timbul perasaan kaget, penasaran dan kemarahan dalam hari Cia Ling atau Ling Ling. Ling Ling adalah seorang gadis yang berhati lembut, berwatak jujur, terbuka dan peka sekali. Begitu bertemu dengan Hay Hay hatinya sudah tertarik sekali karena selama hidupnya, ia merasa belum pernah ia jumpa dengan seorang pria yang demikian menarik hatinya dan amat dikaguminya. Oleh karena itu, tuduhan bahwa Hay Hay seorang jai-hwa-cat yang tersohor, membuat hatinya bimbang dan berduka. Apa lagi ketika ia teringat betapa Hay Hay memang memiliki sikap yang perayu dan seperti pemuda mata keranjang, begitu bertemu dengannya langsung saja memuji-muji kecantikannya. Benarkah Hay Hay seorang penjahat pemetik bunga, atau penjahat yang suka memperkosa dan mempermainkan wanita? Tidak sukar bagi Hay Hay untuk melakukan kejahatan seperti itu pikirnya. Hay Hay cukup tampan dan ganteng untuk menggetarkan hati wanita, cukup gagah dan lihai sekali untuk menarik hati wanita, dan pandai merayu pula dengan kata-kata manis dan indah. Kalau rayuannya tidak mempan, tentu saja dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menundukkan wanita dan memperkosanya. Ling Ling bergidik, merasa ngeri. Benarkah pemuda yang gagah itu, yang masih terhitung paman gurunya sendiri, adalah seorang pen jahat keji?
Tadinya ia sudah tidak ingin mempedulikan lagi, ingin meninggalkan Hay Hay dan menyelidiki sendiri persekutuan pemberontak itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, hatinya merasa tidak tega kepada Hay Hay. Pemuda itu telah berjanji bahwa tiga hari kemudian akan menjumpainya di tepi telaga, di bagian yang sunyi di mana untuk pertama kali ia bertemu dengan susioknya itu, ketika Hay Hay sedang memancing ikan kemudian terganggu oleh luncuran perahunya. Maka, pada hari ketiga, Ling Ling membawa perbekalan makanan dan pergilah ia ke tempat itu. Ia menanti dengan sabar, bahkan sampai menjelang malam, ketika hari telah menjadi gelap, ia masih duduk di tepi telaga, menanti munculnya Hay Hay di situ.
Gadis ini merasa yakin bahwa susioknya pasti akan datang, entah malam ini atau paling lambat besok pagi-pagi. Ia akan menanti dan akan bicara dari hati ke hati, bukan hanya untuk mendengar akan hasil penyelidikan susioknya, akan tetapi juga tentang tuduhan orang-orang Bu-tong-pai itu. Ia harus dapat yakin akan hal itu!
Ketika malam tiba dan hawa mulai dingin, dengan bulan yang masih muda muncul mendatangkan cuaca yang muram, Ling Ling membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, juga untuk memberi sedikit cahaya penerangan sebelum ia tidur. Ia tetap menanti, akan tetapi sampai jauh malam, setelah semua kayu untuk dibakar telah habis, Hay Hay belum juga datang. Ling Ling membiarkan api unggun padam, lalu merebahkan diri di atas tanah di tepi telaga, berselimut kain yang dibawanya. Ia tidak mempunyai nafsu untuk makan malam dan membiarkan saja bekal makanan tanpa disentuh. Bagaimanapun juga, ia merasa agak kecewa karena malam itu agaknya Hay Hay tidak datang.
Gadis itu mulai hanyut dalam kantuk dan hampir pulas sehingga ia tidak melihat berkelebatnya bayangan orang menghampirinya. Ia baru terkejut ketika ada tangan menotoknya. Ia tidak keburu mengelak atau bergerak, dan ketika ia sadar hendak meloncat, ternyata tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang menjadi seperti lumpuh! Ada sosok tubuh orang berdiri di dekatnya, dan biarpun cuaca remang-remang tidak memungkinkan ia mengenal wajah orang itu, namun dari bentuk tubuhnya, ia merasa yakin bahwa orang itu adalah Hay Hay! Ingin ia memanggil susioknya, namun mulutnya juga tidak mampu bersuara. Totokan itu lihai bukan main, membuat ia tidak mampu menggerakkan kaki tangan maupun mulutnya, namun tetap membuat ia sadar. Kenapa susioknya melakukan hal ini? Menotoknya? Apakah hendak main-main atau ada alasan lain yang memaksanya?
Alangkah kagetnya ketika ia melihat apa yang dilakukan susioknya terhadap dirinya! Ia terbelalak, tak dapat meronta dan hampir pingsan! Susioknya telah melucuti pakaiannya dan memperkosanya! Hatinya memberontak! Bukan karena hubungan itu sendiri, melainkan karena perkosaan itu! Tak tahulah susioknya itu bahwa sejak pertama kali bertemu, ia telah jatuh hati? Dan ia akan merasa berbahagia sekali menjadi isteri susioknya itu, dengan rela dan suka hati ia akan menyerahkan dirinya, dengan pasrah dan penuh kasih sayang! Akan tetapi mengapa susioknya itu memperkosanya? Betapa kejamnya, betapa kejinya! Benar-benar dia seorang jai-hwa-cat! Dan Ling Ling jatuh pingsan, tidak merasakan lagi apa yang telah terjadi pada dirinya. Hatinya menjerit-jerit, langit bagaikan runtuh bagi gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih ini.
Ketika akhirnya Ling Ling siuman dan membuka matanya, ia mengeluh tanpa dapat mengeluarkan suara rintihan panjang keluar dari dalam dadanya dan ia menggigil. Dingin sekali rasanya. Ketika ia membuka mata, ternyata malam telah lewat dan biarpun matahari belum muncul, namun sinarnya telah mendahuluinya mengusir sisa-sisa malam pekat dan dingin. Ling Ling mendapatkan dirinya masih rebah terlentang dengan telanjang bulat, di atas pakaiannya sendiri! Ia masih belum mampu bergerak! Dan Hay Hay telah tidak ada, tak nampak bayangannya. Keparat! Betapa kejinya! Meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Telanjang bulat dan dalam keadaan masih tertotok. Atau ditotok lagi, pikir Ling Ling penuh kebencian dan kedukaan. Totokan pertama itu telah habis daya gunanya dan agaknya, sebelum meninggalkannya, jai-hwa-cat itu telah menotoknya lagi!
"Ling Ling...!!" Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan muncullah pemuda ini. Matanya terbelalak melihat gadis yang terlentang telanjang bulat dan tidak mampu bergerak itu. Cepat Hay Hay menanggalkan baju luarnya dan menutupi tubuh Ling Ling. "Ling Ling, kau kenapakah?" teriaknyadan melihat betapa gadis itu hanya memandangnya dengan mata mengalirkan air rnata, tanpa suara dan kaki tangannya lemas, Hay Hay lalu cepat memulihkan totokan itu. Ling Ling mampu bergerak dan pertama kali yang dilakukannya adalah membalikkan tubuhnya, membelakangi Hay Hay dan mengenakan kembali pakaiannya satu demi satu dengan cepat, dengan kedua tangan gemetar dan kedua kaki menggigil, air matanya bercucuran. Hay Hay memandang saja, membiarkan sampai Ling Ling selesai berpakaian, barulah dia bertanya lagi.
"Ling Ling, apa yang telah terjadi? Apa... siapa….." dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena gadis itu sudah membalik dan memandang kepadanya dengan sinar mata berapi akan tetapi juga mencucurkan air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya yang pucat.
"Manusia keji! Engkau masih berpura-pura dan bertanya apa yang telah terjadi? Aih, Susiok, kenapa hati manusia dapat sekejam hatimu?" Gadis itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Hay Hay terbelalak dan mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Ling Ling, apa…. apa maksudmu…. ?”
Ling Ling menahan tangisnya, menurunkan kedua tangan dan dengan mata membendul merah karena terlalu banyak menangis ia menatap wajah pemuda itu dan berkata, suaranya penuh nada penyesalan. "Engkau... jai-hwa-cat terkutuk berjiwa pengecut! Semalam... engkau datang ketika aku tidur, dan engkau menotokku kemudian kau... kau... memperkosa aku! Dan sekarang engkau pura-pura bertanya dan bersikap tidak berdosa?"
Kalau saat itu ada kilat menggelegar dan menyambar kepalanya, belum tentu Hay Hay akan sekaget ketika mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh gadis itu. Dia meloncat dengan muka pucat, kemudian mukanya berubah merah sekali.
"Ling Ling...! Benarkah engkau melihat bahwa orang itu adalah aku? Dapatkah engkau melihat dan mengenalku?" Dengan mata mencorong karena marah melihat pemuda itu tetap hendak berpura-pura, Ling Ling berkata, "Biarpun keadaan gelap dan tidak dapat melihat mukamu, akan tetapi aku mengenalmu. Bayangan tubuhmu, juga mukamu halus, dan siapa lagi yang tahu akan tempat ini selain kita berdua? Bukankah engkau sudah berjanji padaku akan datang setelah tiga hari, jadi tepat malam tadi? Susiok, engkau mempergunakan kesempatan dan kepandaianmu untuk melakukan kekejian dan engkau menghancurkan hatiku, menodai kehormatanku….." Gadis itu menangis lagi. " Akan tetapi... semua itu telah terlanjur..., mungkin engkau dikuasai nafsu... dan aku mau memaafkan semua itu asal engkau menyatakan penyesalanmu dan bertobat, tidak menjadi Ang-hong-cu lagi, dan engkau memperisteri aku dengan sah…."
"Tidak...! Tidak, bukan aku, Ling Ling! Sungguh mati, bukan aku yang melakukan kekejian itu terhadap dirimu!"
Ling Ling meloncat dengan marah dan berdiri tegak, tangisnya terhenti dan wajahnya membayangkan kemarahan. "Tang Hay! Begini sajakah keadaan batinmu? Engkau melakukan kekejian, memperkosa aku, dan kini masih sampai hati untuk berpura-pura tidak tahu dan menyangkal? Kalau begitu engkau bukan manusia, engkau kejam melebihi binatang, engkau iblis dan engkau atau aku akan mati di sini!" Gadis yang biasanya berwatak lembut itu kini berubah beringas seperti seekor harimau marah dan ia sudah menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali karena ia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan itu. Hay Hay yang masih terguncang batinnya karena tuduhan tadi, seperti orang bingung dan menghadapi serangan ini, dia hanya menolaknya untuk melindungi dirinya, atau sebagai gerakan pertahanan otomatis. Akan tetapi dia tidak mengerahkan tenaga terlalu besar, karena di samping kebingungan dan kekagetannya, juga dia merasa iba sekali kepada gadis yang baru saja ditimpa malapetaka yang bagi seorang gadis lebih hebat daripada maut itu.
"Dukkk...!" Tubuh Hay Hay terlempar dan terbanting jatuh bergulingan, dan dengan gerakan yang cepat bukan main Ling Ling sudah meloncat, mengejar dan mengirim tendangan ke arah kepala Hay Hay. Serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh, karena dalam tendangan itu terkandung pula tenaga yang amat besar. Hay Hay belum sempat bangun dan melihat tendangan menyambar ke arah kepalanya, kembali gerakan otomatis membuat dia menggerakkan tangan melindungi kepala.
"Desss...!" Tendangan yang diterima oleh tangan Hay Hay itu kuat sekali, dan untuk kedua kalinya tubuh Hay Hay terlempar dan bergulingan seperti sebutir bola ditendang. Bagaikan seekor harimau mencium darah, Ling Ling bertambah beringas dan ia pun sudah mengejar lagi.
Akan tetapi Hay Hay sudah meloncat bangun. "Ling Ling, tahan dulu! Sungguh mati, aku tidak melakukan perbuatan itu!" Hay Hay berseru sambil mengangkat tangan ke atas. Akan tetapi penyangkalan ini membuat hati Ling Ling menjadi semakin marah. Kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hebat. Bagaimana kalau benar-benar bukan Hay Hay yang memperkosanya? Hal ini akan mendatangkan kehancuran hati lebih besar lagi. Kalau Hay Hay yang melakukannya, bagaimanapun juga ia mencinta susioknya itu. Akan tetapi kalau orang lain? Akan lenyaplah harapannya untuk dapat memaksa Hay Hay mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka ia tidak sudi mendengarkan kemungkinan ini dan ia sudah menerjang lagi sambil berkata, "Engkau mengakui perbuatanmu atau mengadu nyawa dengan aku!" Dan ini memang sudah menjadi tekadnya. Kalau Hay Hay mengaku dan mau bertanggung jawab ia akan suka memaafkan dan menjadi isteri pemuda itu, sebaliknya kalau Hay Hay tetap menyangkal, pemuda itu harus mati atau ia sendiri yang akan mati dalam tangan pemuda itu. Ia menyerang lagi dengan loncatan tinggi dan ketika tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya membentuk cakar dan mencengkeram ke arah ubun-ubun, kepala dan leher pemuda itu. Serangan bukan main hebatnya karena Ling Ling sudah menggunakan satu jurus dari Ilmu Silat Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis)!
Serangan ini memang dahsyat sekali, akan tetapi dengan tingkat kepandaiannya yang lebih tinggi, kiranya tidak akan begitu sukar bagi Hay Hay untuk menyelamatkan diri, juga membalas. Akan tetapi sekuku hitam pun tiada niat di hatinya untuk membalas kepada gadis yang amat dikasihaninya itu. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi kedua tangan gadis itu terus mengejar kepala dan lehernya. Terpaksa dia menangkis dengan lengannya, menyampok ke dalam.
"Dukkk!" Kini tubuh Ling Ling terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, Hay Hay sudah merangkap lengannya sehingga gadis itu tidak terbanting.
Hay Hay masih memegang lengan Ling Ling dengan lembut, berdiri dekat dan membujuk. "Dengarkanlah dulu, Ling Ling dan jangan terburu napsu. Sesungguhnyalah kalau kukatakan bahwa akutidak….”
"Bukkk!!" Kini hantaman Ling Ling tepat mengenai dada Hay Hay dan pemuda itu terpelanting. Pukulan dari jarak dekat itu cukup keras dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Namun tidak melukai Hay Hay walaupun dalam dadanya terguncang dan ada sedikit darah nampak pada ujung bibirnya ketika dia meloncat bangun kembali. Pada saat itu, Ling Ling sudah menyerang lagi, dan Hay Hay hanya mengelak sambil mundur .
"Ling Ling, demi Tuhan... Ling Ling...”Di antara serangan bertubi yang dielakkan atau ditangkisnya dengan lembut, Hay Hay masih mencoba untuk menyabarkan gadis itu.
"Pengecut keji!" Ling Ling bahkan menjadi semakin marah dan menyerang lagi, kini menggunakan Ilmu Totokan It-sin-ci yang amat cepat dan berbahaya sekali. Karena sama sekali tidak membalas, Hay Hay menjadi repot juga ketika dihujani serangan totokan ini. Percuma saja dia menghindarkan diri dengan Jiauw-pouw-poan-soan karena gadis itu sudah mengenal ilmu ini dan tentu akan melihat rahasia gerakan kakinya dan bahkan membahayakan dirinya. Maka, dia pun mempergunakan kedua tangannya untuk selalu menangkis atau menyambut totokan sebuah jari itu dengan telapaktangannya yang diisi dengan sin-kang lunak. Dia mundur terus dan menjadi semakin bingung karena Ling Ling menyerang makin hebat.
“Tahan serangan! Nona, kenapa Nona menyerang pendekar itu mati-matian?" Hay Hay melirik dan mengenal pemuda perkasa Can Sun Hok yang pernah dibujuknya untuk menentang persekutuan pemberontak. Dia menjadi semakin bingung karena kalau pemuda ini menanyakan urusan, tidak mungkin dia dapat menceritakan tentang aib yang menimpa diri Ling Ling. Maka, menggunakan kesempatan selagi Ling Ling menoleh dan memandang kepada orang yang baru datang itu, Hay Hay melompat dan mempergunakan kepandaiannya menghilang di antara pohon-pohon dalam hutan di tepi telaga.
“Jahanam, janngan lari!" bentak Ling Ling, yang segera melakukan pengejaran. Pemuda itu, Can Sun Hok, yang merasa heran sekali, juga ikut pula mengejar.
Akan tetapi, bayangan Hay Hay telah menghilang dan Ling Ling kehilangan jejaknya. Ketika gadis ini berhenti di tengah hultan dengan bingung, Can Sun Hok muncul, dan bersikap hormat.
"Maaf, Nona. Bukan maksudku hendak mencampuri urusan Nona, akan tetapi aku sungguh merasa heran melihat betapa Nona mati-matian menyerang dia, seorang pendekar yang berilmu tinggi dan seorang utusan pemerintah untuk menumpas persekutuan pemberontak itu."
Tadinya Ling Ung hendak marah melihat ada orang mencampuri urusannya, akan tetapi melihat Sun Hok yang demikian sopan dan mendengar Sun Hok memuji-muji Hay Hay, kemarahannya berkurang. Ia pun maklum bahwa ia sama sekali tidak mungkin dapat menceritakan peristiwa antara ia dan Hay Hay itu, yang merupakan rahasia pribadinya merupakan aib yang tak mungkin diceritakannya kepada orang lain, kecuali orang tuanya sendiri.
"Pendekar? Huh, dia adalah Ang-hong-cu, Jai-hwa-cat yang amat keji, maka aku tadi berusaha mati-matian untuk membunuhnya.
Kini Sun Hok yang terbelalak heran, "Apa…. ? Dia…..? Ang-hong-cu Si Jai-hwa-cat…? Ah, benarkah itu, Nona? Aku pernah bertemu dengannya. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan dia membujukku untuk membantu pemerintah menghadapi para datuk sesat yang bersekutu dan hendak memberontak. Bahkan aku mendengar sendiri dari Menteri Cang Ku Ceng bahwa Saudara Hay Hay itu adalah orang kepercayaan Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan di kota Siang-tan, dan mereka itu memesan kepadaku agar aku suka membantunya. Akan tetapi, ah... kenapa aku begini lancang mulut, padahal aku tidak mengenalmu, Nona. Siapakah engkau, dan bagaimana dapat menuduh Saudara Hay Hay yang gagah perkasa itu seorang Jai-hwa-cat?"
"Hemm, aku sendiri belum mengenal siapa engkau…." kata Ling Ling sambil menatap tajam.
"Namaku Can Sun Hok, Nona, juga tinggal di kota Siang-tan. Aku sudah janji kepada Saudara Hay Hay untuk membantu pemerintah menentang kaum sesat yang memberontak."
Ling Ling percaya kepada pemuda yang sopan dan halus ini, "Namaku Cia Ling, dan aku pun sedang melakukan penyelidikan ketika mendengar bahwa di daerah Yunan terdapat persekutuan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo dan mereka hendak melakukan pemberontakan. Kebetulan saja aku bertemu dengan Hay Hay itu dan ada serombongan murid Bu-tong-pai yang mengejar-ngejar dan menyerangnya karena menurut para murid Bu-tong-pai itu, dia adalah Ang-hdng-cu, jai-hwa-cat yang telah mengganggu dan membunuh seorang murid Bu-tong-pai."
"Ah, kalau benar demikian, sungguh berbahaya! Dia lihai sekali dan kalau benar dia jai-hwa-cat, berarti dia seorang tokoh sesat dan tentu saja dia menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo! Padahal Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan telah percaya kepadanya, bahkan menurut Menteri Cang Ku Ceng, dia telah menerima tanda kepercayaan Menteri Yang. Kalau begitu, sebaiknya kita melapor kepada Menteri Cang agar jangan sampai terlambat. Siapa tahu dia itu mata-mata pihak musuh."
'Tapi... Menteri Cang Ku Ceng tentu berada di kota raja!" kata Ling Ling ragu.
Pemuda itu tersenyum. "Menteri Cang telah berada di sini, tak jauh dari telaga ini, di balik bukit di utara itu, dan mempersiapkan ribuan orang pasukan dalam benteng darurat di sana. Juga banyak pendekar sudah berkumpul dl sana, siap menanti saat baik untuk menggempur para pemberontak. Marilah, Nona. Kita harus melaporkan tentang Hay Hay itu kepada Menteri Cang agar beliau dapat mengambil keputusan."
Tidak ada jalan lain bagi Ling Ling kecuali menyetujui. Ia ingin sekali mengejar dan mencari Hay Hay sampai dapat, akan tetapi maklum bahwa tidak mudah menyusul pemuda yang amat lihai itu. Dengan perasaan hancur dan tubuh lemas ia mengikuti pemuda yang sopan itu menuju ke utara. Untung ia adalah seorang gadis gemblengan dan tubuhnya sudah memiliki kekuatan yang jauh melebihi gadis biasa. Kalau tidak demikian, setelah apa yang dialaminya semalam, tentu ia tidak akan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa merasa amat menderita lahir batin. Ia membayangkan betapa ayah ibunya akan terkejut sekali kalau mendengar malapetaka yang menimpa dirinya. Ibunya tentu akan marah bukan main dan akan mencari Hay Hay untuk membalas dendam. Kalau mengingat ini, ingin rasanya ia menangis tersedu-sedan, akan tetapi perasaan ini ditekannya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya di depan Can Sun Hok yang baru saja dikenalnya. Ia sendiri harus dapat bertemu lagi dengan Hay Hay, dan akan dicobanya sekali lagi untuk minta pertanggunganjawab pemuda itu. Kalau Hay Hay tetap menyangkal, ia akan menyerang mati-matian, dan tidak akan berhenti menyerang sebelum Hay Hay atau ia yang roboh dan tewas.
* * *
Hati Hay Hay gelisah bukan main. Gelisah, bingung dan penasaran! Dia telah dituduh memperkosa Ling Ling! Tak mungkin gadis itu berbohong, dan bukankah dia telah melihat sendiri ketika datang di tepi telaga betapa Ling Ling berada dalam keadaan telanjang bulat dan tertotok? Tak dapat disangsikan lagi kebenaran cerita gadis itu bahwa semalam ada seorang laki-laki datang, menotoknya dan memperkosanya. Akan tetapi jelas bukan dia! Lalu siapa? Potongan tubuhnya seperti dia, dan mukanya halus seperti dia pula! Tentu seorang pemuda lain yang mempergunakan kesempatan itu, Can Sun Hok? Pemuda itu baru muncul. Hemm, mungkinkah Can Sun Hok yang melakukan perbuatan keji itu? Mungkin saja! Bentuk tubuh dan muka Can Sun Hok mirip dia, bentuknya sedang dan mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Hanya itu yang dikenal Ling Ling karena malam itu gelap. Tapi, kalau benar Can Sun Hok, kiranya tidak mungkin dia begitu tolol untuk muncul kembali. Seolah-olah seekor ular mencari penggebuk! Lalu siapa? Hay Hay berlari keluar masuk hutan dan pikirannya demikian ruwet sehingga dia yang biasanya waspada tidak melihat bahwa dari depan datang seorang gadis, yang juga berlarian sehingga hampir saja mereka bertabrakan.
"Hay-ko...! Ah, betapa aku mencari-carimu, Hay-ko….!" Dan gadis itu langsung saja merangkul dan menangis di dadanya. Hay Hay terkejut dan merangkul gadis itu.
"Eng-moi, tenanglah, diamlah. Ada apakah, Eng-moi?" tanyanya, wajahnya berubah merah karena dia teringat akan peristiwa dua hari yang lalu, di waktu malam di dalam taman itu. Hampir saja dia melakukan pelanggaran yang akan mendatangkan penyesalan hebat di kemudian hari ketika dia dan gadis ini seperti dimabok nafsu berahi.
Pek Eng menangis, menangis dengan hati lega karena ia telah dapat menemukan kekasihnya, dan melihat sikap Hay Hay, tentu pemuda ini mau bertanggung jawab. Sikapnya jelas menunjukkan bahwa Hay Hay mencintanya. Setelah keharuannya mereda, ia lalu mengusap air matanya dan berkata dengan lirih.
"Hay-ko, kenapa engkau begltu kejam? Engkau meninggalkan aku begitu saja setelah malam kemarin dulu itu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku bangun dan mencarimu, akan tetapi hanya mendengar bahwa engkau telah pergi malam itu juga tanpa pamit! Hay-ko, kenapa engkau meninggalkan aku? Setengah mati aku mencarimu, keluar masuk hutan…" Gadis itu menangis lagi.
Hay Hay menarik napas panjang, teringat akan peristiwa malam itu dan dia merasa malu sekali. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua langkah dan memaksakan hatinya untuk menatap wajah Pek Eng dengan tajam.
"Maafkan aku, Eng-moi. Malam itu... ah, entah iblis apa yang telah menyusup ke dalam diriku. Aku seperti mabuk dan hampir saja..., ah, aku merasa begitu menyesal sehingga malam itu juga aku pergi meninggalkan perkampungan. Maafkan aku, Eng-moi."
Sungguh aneh! Gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemesraan dan mulutnya tersenyum manis! Kemudian ucapannya membuat Hay Hay menjadi lebih heran lagi.
"Hay-ko, tidak ada yang perlu dimaafkan dan tidak ada yang perlu disesalkan! Kenapa minta maaf dan kenapa menyesal kalau memang hal itu sudah kita kehendaki bersama? Terus terang saja, aku... aku bahkan merasa berbahagia sekali, Hay-ko, dan terasa benar olehku betapa besar artinya engkau bagi kehidupanku. Marilah, Hay-ko, mari kita menghadap Bengcu untuk minta persetujuannya karena bagaimanapun juga dia adalah Guruku, kemudian kita pergi dari sini, pulang ke Kong-goan untuk memberitahu kepada Ayah Ibuku tentang perjodohan kita."
Hay Hay terbelalak memandang wajah gadis itu. "Eng-moi, apa maksudmu sebenarnya ? Aku tidak mengerti! Aku... aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat perjodohan..., ah, jangan salah mengerti, Eng-moi. Peristiwa malam kemarin dulu itu... sungguh aku seperti mabuk dan kaumaafkanlah aku. Bukan maksudku untuk... untuk mengikat perjodohan…."
Hay Hay menghentikan kata-katanya karena dia terkejut dan heran melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan bibirnya menggigil, pandang matanya seperti orang yang tidak percaya, atau seperti orang melihat setan di tengah hari. Suaranya lebih aneh lagi, menggigil seperti orang terserang demam.
"Hay-ko... apa... apa maksudmu? Maksudku sudah jelas... setelah apa yang kau... kita lakukan malam itu... tidaklah sewajarnya kalau... kalau kita... menikah?"
"Eng-moi! Sudah kuakui bahwa aku khilaf, aku seperti mabuk, dan aku menyesal sekali, aku sudah minta maaf. Akan tetapi tidak mungkin peristiwa itu harus dilanjutkan dengan pernikahan. Anggap saja kita berdua telah lupa diri, akan tetapi belum terlambat, Eng-moi. Untung bahwa aku berhasil sadar dan melarikan diri "
"Apa? Belum terlambat? Apakah urusan itu cukup untuk dimaafkan begitu saja kemudian dilupakan? Hay-ko, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu ini. Bukankah aku telah menjadi isterimu? Malam itu... bukankah engkau telah memiliki diriku dan aku telah menyerahkan badanku, kehormatanku, segalanya kepadamu? Dan engkau tidak ingin diresmikan dalam pernikahan? Aku tidak percaya bahwa engkau hanya main-main saja! Aku tidak percaya bahwa setelah aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu malam itu, engkau lalu tidak mau menikahiku…." Wajah itu semakin pucat.
Kini wajah Hay Hay yang berubah seperti orang melihat iblis. "Eng-moi! Apa maksudmu? Memang kita seperti mabuk, kita saling peluk dan saling berciuman, masuk ke dalam pondok. Akan tetapi hanya sampai di situ, aku lalu sadar dan aku lari keluar pondok sebelum terjadi sesuatu antara kita…"
"Benar sekali! Dan tak lama kemudian engkau masuk lagi, dan engkau menuntut, dan aku menyerah, dan tubuhku, kehormatanku, menjadi milikmu…."
"Tidak! Aku tidak pernah kembali ke pondok!"
"Hay-ko...!" Pek Eng menjerit, menutupi mulut dengan tangan kanan yang menggigil, mulutnya terbuka dan gemetar, akan tetapi sampai beberapa lamanya tidak mengeluarkan suara, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Sementara itu wajah Hay Hay juga pucat. Dia tidak ragu akan kebenaran pengakuan Pek Eng, dan sekilas teringatlah dia akan nasib Ling Ling.
"Eng-moi, katakanlah, siapa yang memasuki pondok itu. Yang pasti, aku tidak kembali dan….."
“Orang itu adalah engkau!" Pek Eng enjerit.
“Apa engkau tidak keliru? Engkau melihat benar bahwa orang itu adalah aku? Bukankah pondok itu gelap?"
" Aku tidak akan keliru, bentuk tubuhmu, mukanya... engkaulah orang itu!"
Tiba-tiba Hay Hay menjadi marah sekali. Sim Ki Liong! Siapa lagi yang akan mampu menalukkan gadis-gadis seperti Ling Ling dan Pek Eng kalau bukan Ki Liong? Orang itu sebaya dengannya, bentuk tubuh mereka pun sama, dan wajah Ki Liong juga halus, tidak berkumis atau berjenggot. Tentu Ki Liong, si jahanam itu yang melakukan perkosaan atas diri Ling Ling dan Pek Eng. Mungkin karena memang pemuda itu jahat dan cabul, atau lebih masuk akal lagi kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya, atau untuk menjadi akal mengikatnya dengan persekutuan itu.
"Ki Liong jahanam kau...!" Hay Hay berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
"Hay-ko... ouhhh... Hay-ko…!" Pek Eng mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan ia pun terkulai pingsan di tengah hutan itu. Keraguan yang timbul di dalam hatinya, keraguan bahwa Hay Hay akan mengingkari atau benar-benar bukan pemuda itu yang telah merenggut kehormatannya, terasa amat menusuk perasaannya dan gadis ini pun tidak kuat menahan kenyerian batinnya. Dua kemungkinan itu sama beratnya bagi Pek Eng, sama menyakitkan dan melenyapkan harapan bahwa ia akan hidup di samping pemuda yang dicintanya itu untuk selamanya, sebagai isterinya.
Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Kalau kita susun dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanya menjadi panggung sandiwara di atas mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadans tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis! Betapa hidup penuh dengan kecewa, kepusingan, kesusahen, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan hanya diseling sedikit saja kegembiraan seperti selingan kilat di antara awan gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi yang sedang lahir? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum dalam kematiannya, seolah-olah wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu!
Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, sesal, khawatir, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si aku yang bersemayam dalam pikiran, yang mempunyai seribu satu macam keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar.
Kalau keinginan itu tidak terpenuhi, maka timbullah kecewa. Kalau kepentingan diri terancam, maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, kadang kita lari bersembunyi ke balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar melupakan kesusahan. Namun, pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk suatu lingkaran setan. Mendapat hiburan, lupa sebentar akan kedukaan itu, namun setelah hiburan memudar, kedukaan itupun akan nampak kembali, menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri! Pikiran sendiri!
Yang tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan. Mengamati, mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu, bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, melainkan sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran. Dan landasan dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan kesemuanya itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang kuasa membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Sinar Illahi yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya.
* * *
Aneh rasanya melihat seorang laki-laki yang usianya sudah hampir separuh baya, lebih dari empat puluh tahun itu, menangis dengan air mata bercucuran sambil berlutut. Apalagi kalau orang mengenal siapa dia. Dia seorang laki-laki gagah perkasa, bukan saja seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan lebih dari itu, dia seorang ketua perkumpulan orang gagah yang sangat terkenal! Dia adalah Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Namunt pada saat itu dia seperti seorang anak kecil, menangis mengguguk bercucuran air mata di depan kakek dan nenek itu.
Manusia memang lemah, karena itu, sikap orang gagah ini sama sekali tidaklah aneh. Ilmu kepandaian tinggi tidak akan membebaskan manusia dari kelemahannya itu, perasaan iba diri yang amat besar, keakuan yang menebal. Hanya kesadaran dan pengertian saja menjadi langkah pertama ke arah kebebasan. Ada orang yang dapat menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi makanan setiap orang, apabila dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu keakuannya.
Kakek dan nenek itu menghela napas panjang melihat mantu mereka berlutut di depan mereka sambil menangis dan minta ampun itu. Mereka hanya mengamati dan mendengarkan dengan sikap tenang. Kakek itu adalah Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis, majikan Pulau Teratai Merah. Kakek yang berusia enam puluh lima tahun ini masih nampak gagah perkasa dan sikapnya tenang dan matang. Sedangkan nenek itu, yang usianya sama dengan suaminya, bernama Toan Kim Hong, dan pernah ketika masih gadis menjadi seorang datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Juga nenek ini masih nampak muda dan jelas masih kelihatan bekas kecantikannya, sikapnya tenang seperti suaminya.
“Harap Ayah dan Ibu mertua sudi memaafkan saya yang berani lancang datang menghadap. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menahan hati yang ingin sekali datang berkunjung, akan tetapi terus terang saja, saya tidak berani datang karena saya telah merasa bersalah terhadap puteri Ayah dan Ibu. Baru setelah anak Cia Kui Hong datang berkunjung ke Cin-ling-pai, saya memaksakan diri untuk menghadap dan mengakui semua kesalahan yang telah saya lakukan terhadap isteri saya, Ceng Sui Cin."
Suami isteri yang usianya sudah enam pulun tahun lebih itu tidak menjawab, melainkan saling pandang, lalu mereka menoleh kepada puteri mereka. Sui Cin, wanita yang kini berusia hampir empat puluh tahun itu duduk sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ketika ia mengangkat mukahya memandang ke arah suaminya yang berlutut, kedua matanya menjadi basah, akan tetapi ia diam saja dan masih nampak kemarahan membayang pada sinar matanya.
"Hui Song, kami orang tua tidak ingin mencampuri urusan kalian suami isteri, sungguhpun kami merasa ikut berduka dan prihatin sekali ketika anak kami pulang. Sekarang engkau telah datang setelah isterimu pulang selama tiga tahun lebih. Nah, sebaiknya kalau kalian berdua membicarakan sendiri urusan itu dan kami sebagai orang tua hanya ingin melihat kalian dapat akur kembali sebagai suami isteri. Sui Cin, ini suamimu datang, sudah sepatutnya kalau engkau menyambutnya dan segala urusan dapat kalian bicarakan dengan sebaiknya. Ajaklah suamimu masuk dan kalian bicaralah di dalam sana," kata Ceng Thian Sin dengan suara halus.
"Ayahmu benar, Sui Cin," kata Nenek itu. "Tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dengan musyawarah, dan tidak ada kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Ajaklah suamimu ini berunding dan atur sebaiknya bagaimana untuk menyelesaikan urusan diantara kalian itu."
"Ayah dan Ibu, aku ingin bicara dengan dia di sini saja, agar dapat disaksikan oleh Ayah dan Ibu!" kata Sui Cin dan nada suaranya keras, membayangkan keadaan hati yang sakit. Kemudian ia menghadapi Hui Song, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan terdengar ia berkata. "Selama tiga tahun aku telah menjauhkan diri, sekarang tiba-tiba engkau datang menyusulku ke sini dengan maksud apakah?"
Melihat dan mendengar sikap dan ucapan isterinya itu, perih rasa hati Hui Song. Namun, dia tidak menjadi marah. Tidak, dia tidak dapat marah kepada isterinya yang dicintanya itu, melainkan merasa kasihan. Dia merasa bahwa dia telah berdosa kepada isterinya, walaupun perbuatannya itu dilakukannya dengan terpaksa sekali. Dan kini, setelah dia melihat sendiri penyesalan ayahnya karena keputusan ayahnya yang mengakibatkan terpisahnya dia dan isterinya, semenjak datangnya Kui Hong ke Cin-ling-pai, dia sengaja datang untuk meminta maaf, untuk mengajak isterinya kembali. Akan tetapi sikap isterinya itu membuat dia merasa gelisah dan ragu. Jangan-jangan isterinya tidak dapat memaafkannya, dan ajakannya untuk rujuk kembali bahkan akan membuat isterinya menjadi semakin marah. Betapapun juga, dia harus mencobanya!
Setelah menarik napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan, Hui Song berkata, "Cin-moi, seperti telah kukatakan kepada Ayah dan. Ibu mertua tadi, aku merasa bersalah kepadamu, dan karena perasaan bersalah itulah maka selama ini aku tidak berani datang berkunjung ke sini. Baru setelah anak kita datang ke Cin-ling-pai dan menegur aku dan Ayahku, aku memberanikan diri untuk datang ke sini. Maksudku tiada lain hanya untuk minta maaf kepadamu, dan mohon kepadamu sukalah engkau kembali ke Cin-ling-san…"
"Dan hidup serumah dengan isterimu yang baru, yang jauh lebih muda dan cantik dariku, dan setiap hari makan hati melihat engkau bermesraan dengan isteri barumu? Tidak! Tidak sudi aku!"
"Cin-moi, tentu engkau pun dapat merasakan bahwa aku selamanya cinta kepadamu, dan kalau aku sampai menikah lagi, hal itu kulakukan karena terpaksa untuk berbakti kepada Ayahku yang menginginkan seorang cucu laki-laki penyambung keturunan keluarga Cia. Aku menikah lagi bukan untuk mengumbar nafsu, Cin-moi, engkau tentu tahu akan hal ini dan bagaimanapun juga, aku telah merasa bersalah kepadamu, telah menyakiti hatimu, harap engkau suka bersikap bijaksana dan suka memaafkan aku."
Kerut diantara sepasang alis Sui Cin tidak lenyap, bahkan kini pandang matanya kepada suaminya menjadi semakin tajam penuh selidik. "Hemm, engkau mau enaknya saja. Apakah kalau sudah minta maaf begitu keadaannya lalu menjadi baik kembali? Sekarang, apa kehendakmu selanjutnya?"
Hui Song maklum akan kemarahan di hati isterinya dan dia tidak menyalahkan istermya. Tidak, isterinya sama sekali tidak bersalah. Sudah wajarlah kalau isterinya merasa panas hatinya dan marah, sakit hati karena dia menikah lagi, memperisteri seorang wanita muda sehingga tentu saja isterinya merasa dibanding-bandingkan, merasa diremehkan dan tidak dibutuhkan lagi! Betapa nyerinya perasaan ini bagi seorang wanita, dia dapat memakluminya. Maka, dia pun tidak merasa tersinggung walaupun isterinya bersikap keras dan menggunakan kata-kata ketus.
“Selanjutnya, terserah kepadamu, Cin-moi. Sudah kukatakan bahwa aku telah bersalah kepadamu, bagaikan seorang pesakitan aku telah mengakui kesalahanku, dan aku siap menerima hukumannya. Aku hanya mohon agar engkau suka mengampuniku dan suka kembali ke rumah kita di Cin-ling-san.”
"Tidak sudi aku selama wanita itu masih berada di sana! Dengarlah, aku mau kembali hidup di sampingmu, sebagai Ibu anak kita dan sebagai isterimu yang setia, hanya dengan satu syarat!"
"Apakah syarat itu, Cin-moi?"
"Syaratnya, wanita itu harus kau bunuh!"
Seketika wajan Hui Song menjadi pucat, matanya terbelalak dan melihat ini, hati Sui Cin menjadi semakin panas. "Huh, engkau terlalu cinta kepadanya, tentu tidak akan mau kehilangan wanita itu! Kalau begitu, engkau lebih berat kepadanya, engkau lebih cinta kepadanya daripada kepadaku!" Dan kini kedua mata Sui Cin menjadi basah, namun dengan sikap gagah ia menanan tangisnya.
"Bukan begitu, Cin-moi. Engkau tentu tahu bahwa engkaulah yang kucinta, sejak dahulu, sekarang sampai hayat meninggalkan badan. Akan tetapi... untuk membunuh Siok Bi Nio..., bagaimana hal itu mungkin? Bagaimanapun juga, ia adalah Ibu kandung puteraku, Cia Kui Bu"
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 1 komentar... read them below or add one }
poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya
Posting Komentar