Cerita Dewasa Hikmah Pedang Hijau 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 22 September 2012

Cerita Dewasa Hikmah Pedang Hijau Adalah lanjutan yang terselip dari kisah cersil dewasa yang kemaren

Dan berikut cerita dewasa selengkapnnyaya

Blang! Blang" di tengah suara gemuruh ruangan itu terus berputar dan
tenggelam makin cepat, begitu kencang putarnya hingga sebagian orang yang
terjebak di situ tak mampu berdiri tegak lagi, banyak yang terlempar dan jatuh
terguling banyak pula yang merasa kepalanya jadi pusing, mata berkunang2 dan
akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Sementara itu, dengan dituntun tangan yang halus dan hangat itu Tian Pek
telah memasuki sebuah pintu sempit, setelah berbelok baberapa kali mereka
menembus ke sebuah lorong di bawah tanah. Tempat berpijak tidak berputar
bahkan ia merasa mulai mendaki undak2an batu, jelas ia telah lolos dari jebakan
Sok-ki-tay-tin tadi.
Suasana dalam lorong itu tetap gelap gulita tak nampak sesuatu apapun,
untungnya pandangan Tian Pek sudah terbiasa setelah sekian lama terjebak di
tempat yang gelap, lapat2 ia dapat menangkap bayangan punggung orang yang
menggandeng tangannya, ditinjau dari tubuhnya yang langsing tak diragukan
lagi orang ini pasti Kim Cay-hong.
Beberapa kali Tian Pek bermaksud melepaskan gandengannya, tapi entah apa
sebabnya, setiap kali niat itu selalu dibatalkan, beberapa kali ia hendak bertanya
akan diajak ke manakah dirinya, tapi setiap kali pula maksud itu diurungkan. Ia
merasa nyaman bergandengan tangan dengan gadis yang cantik itu.
Entah sudah berapa jauh mereka berjalan, akhirnya ia mendengar suara
"blang" yang keras, agaknya sebuah pintu batu telah didorong terbuka.
Menyusul Kim Cay-hong lantas menarik tangannya dan melompat keluar dari
lorong tersebut.
Kiranya mereka muncul di tengah gardu sebuah gunung2an di tengah taman,
tertampak bangunan indah dan aneka warna bunga yang menyiarkan bau
harum, rembulan bersinar dengan terangnya di langit.
Di bawah cahaya bulan purnama, Kim Cay hong tampak jauh lebih cantik dan
menawan hati, dengan tertawa manis ia berkata: "Untung aku mengetahui jalan
keluar lewat lorong rahasia tadi, kalau tidak niscaya kita akan mengalami nasib
yang sama dengan mereka!"
Hangat perasaan Tian Pek merdengar Kim Cay-hong mengistilahkan "kita"
bagi mereka berdua, segera ia bertanya: "Apakah mereka akan tenggelam ke
dasar bumi? Masa ruangan ini tak dapat bergerak naik lagi ke permukaan
tanah?"
Kim Cay-hong tersenyum manis, ditatapnya wajah Tian Pek dengan
pandangan mesra, lalu sahutnya: "Aku sendiripun kurang jelas, hanya waktu
kecil pernah kudengar dari ayahku bahwa ruang tengah itu telah dilengkapi
sebuah alat jebakan yang bernama Sek-ki-tay-tin, asalkan tombol rahasianya
ditekan. maka ruangan itu akan tenggelam ke dasar tanah dan selamanya tak
akan muncul kembali, bila mereka terjebak dalam ruangan tersebut, kendatipun
ilmu silatnya sangat lihay, selamanya akan terkubur di situ...... "
"Ah, aku tidak percaya dengan perkataanmu!" tiba2 Tian Pek menjengek.
Kim Cay-hong melangkah maju dua tindak, serunya dengan kurang senang:
"Jadi kau kau anggap aku membohongi kau?"
"Hahaha ...."Tian Pek bergelak tertawa. "Bukankah engkohmu dan jago2
keluarga Kim masih terjebak di sana, masa merekapun akan menemani musuh
dan terkubur selamanya di situ?"
Kim Cay-hong tertawa cekikikan mendengar perkataan itu, sahutnya: "Tentu
saja engkohku tidak akan bertindak sebodoh itu, tentu iapun mengetahui lorong
rahasia yang menembus keluarl"
"Tapi, sampai kini engkohmu belum lagi ikut keluar bersama kita."
Tanpa sadar Tian Pek menggunakan pula istilah "kita", istilah yang terasa
mesra sekali, kontan saja air mukanya jadi merah, jantungnya berdebar dan
kata2nya terputus.
Makin manis senyum Kim Cay-hong. dengan wajah berseri ia menerangkan:
"Lorong rahasia yang terdapat di seputar alat jebakan Sek- ki-tay-tin bukan cuma
satu ini saja, jalan tembusnya juga tidak melulu berada di sini saja, sekali orang
salah langkah dalam ruangan yang berputar kencang itu, maka selamanya dia
tak akan mampu memasuki lorong rahasia sempit yang hanya bisa cukup
dilewati satu orang saja itu ........... "
"O, sungguh tak tersangka istana Kim yang tersohor di dunia persilatan
ternyata sudi menggunakan alat jebakan yang rendah dan memalukan ini untuk
mencelakai orang," seru Tian Pek dengan nada kesal. “Hitung2 aku Tian Pek
telah merasakan sampai di manakah kelicikan manusia istana Kim. Baiklah,
selama gunung tetap menghijau, kita pasti berjumpa lagi di lain waktu. Selamat
tinggal !”
Tanpa menunggu jawaban Kim Cay-hong, dengan langkah lebar Tian Pek
lantas berlalu.
Pucat wajah Kim Cay-hong mendengar perkataan itu, untuk sesaat dia berdiri
tertegun, setelah Tian Pek berlalu ia baru merasakan hatinya sakit bagai di iris2,
tak tahan lagi ia menangis dan memburu ke arah pemuda itu sambil berseru:
"Kau...... kau jangan pergi ..... "
Ketika merasakan angin menyambar dari belakang, Tian Pek mengira Kim Cay-
hong dari malu nenjadi gusar dan akan menyerangnya, cepat dia mengegos
sambil menghantam ke belakang.
Tapi segera dilihatnya si nona sama sekali tidak menghindar atau berkelit,
dengan tangan terpentang dan dada membusung sedang menubruk ke arahnya
Setelah pukulan dilancarkan baru Tian Pek tahu Kim Cay-hong tidak
bermaksud menyerangnya melainkan cuma menubruk ke dalam pelukannya,
dalam keadaan demikian sekalipun Tian Pek berhati keras bagai baja, luluh juga
hatinya. Maka cepat ia berusaha menarik kembali pukulannya. Tapi sayang,
sudah terlambat, meskipun sebagian besar tenaga pukulannya dapat ditahan,
tapi sebagian kecil tetap mengenai dada si nona.
Kim Cay-hong mengeluh tertahan, badannya yang menubruk ke depan
tergetar sempoyongan, lalu roboh terkapar............
Cepat Tian Pek melompat maju dan merangkul tubuh Kim Cay-hong sebelum
roboh, dipeluknya nona itu erat2, sekalipun dalam keadaan gugup dan panik
serta tidak sengaja, tak urung berdebar juga jantungnya.
Pucat wajah Kim Cay-hong, alisnya bekernyit, bibirnya terkatup rapat dan
dada naik-turun, rupanya tidak enteng luka dalam yang dideritanya.
Tian Pek cemas dan sedih, ia menyesal telah melukai gadis cantik itu, bisiknya
dengan tergagap: "Nona .... nona Kim, aku ... aku tidak sengaja melukai
dirimu............ aku tak sengaja ....”
Kim Cay-hong membuka sedikit matanya, melihat tubuh sendiri berada dalam
pelukan Tian Pek dan anak muda itu seperti anak kecil yang berbuat salah
sedang minta ampun, maka terhiburlah hatinya, bisiknya dengan napas
tersengal: "Aku..... aku tak me............ menyalahkan dirimu............ asal......asal
engkau tahu perasaaanku. maka............ maka.... cukuplah....”
Kepala Tian Pek seperti mendengung demi mendengar perkataan itu, akhirnya
kejadian yang paling ditakuti berlangsung juga, nona cantik yang dilukainya
tanpa sengaja ini bukan saja tidak dendam atau benci padanya, sebaliknya
malahan mengucapkan kata2 yang mesra, bukankah semua ini sudah cukup
gamblang.
Dia, si nona, telah jatuh cinta padanya, sedangkan dia sendiri mengetahui
bahwa anak dara itu adalah puteri musuh, puteri pembunuh ayahnya, dapatkah
ia menerima cinta itu?
Namun sekarang kesadarannya, dendamnya, rationya, semuanya sudah
lenyap, ia tak dapat membohongi diri sendiri, jelas iapun jatuh cinta pada nona
cantik ini.
Sementara itu Kim Cay-hong kelihatan tambah gawat, setelah mengucapkan
beberapa patah kata tadi, ia tak dapat mengendalikan pergolakan darah di
dadanya, darah segar segera merembes keluar dari mulutnya.
Tian Pek menjerit kaget, tanpa pikir lagi dipeluknya tubuh Kim Cay-ho g lebih
erat, tangan kanannya secepat kilat menutuk tiga Hiat-to penting di tubuh anak
dara itu, kemudian telapak tangannya ditempelkan pada Ki-bun-hiat di depan
dada Kim Cay-hong.
Ketika telapak tangannya menempel dada si nona, Tian Pek merasa ujung
jarinya menyentuh sesuatu yang kenyal, seperti kena listrik, sekujur badannya
bergetar keras, darah bergolak, hampir saja ia tak mampu mengendalikan diri.....
"Oou ..... !" entah kesakitan, entah keluhan puas, itulah suara Kim Cay-hong
ketika tangan pemuda itu menempel dadanya yang montok itu.
Tian Pek tersentak sadar dan sedapatnya menahan gejolak napsu setan, cepat
ia kerahkan hawa murni dan disulurkan melalui telapak tangannya ke tubuh si
nona.
"Nona Kim," bisiknya lirih, "kusalurkan tenaga dalam untuk mengobati luka
nona, harap nona salurkan pula hawa murnimu untuk mengiringi ....”
Kim Cay-hong membuka matanya dan mengerling manja ke arah pemuda itu,
tapi ia tidak bersuara, ia menurut dan mengiringi hawa murni yang disalurkan
Tian Pek itu.
Melalui jalan darah Ki-bun-hiat, aliran hawa panas, bergerak menembus Sam-
ciat-hiat, dari situ bergerak turun ke bawah mencapai pusar, kemudian bergerak
pula menembus bagian bawah tubuh, dalam waktu singkat badannya jadi segar
kembali, malahan rasa sakit di dadanya seketika lenyap pula.
Ia merasa tangan Tian Pek yang hangat itu mulai bergerak meraba dadanya,
kemudian pelahan bergerak turun ke bawah dan ke bawah kecuali merasakan
tubuhnya jadi segar, Kim Cay-hong juga merasakan pula rasa gatal2 geli,
semacam perasaan yang belum pernah dialaminya.
Kim Cay-hong tak tahan lagi, ia bergeliat dan rada gemetar, mukanya yang
pucat seketika berubah menjadi merah membara............ .
"O ... " Kim Cay-hong mengeluh tertahan dengan mata terpejam seperti orang
mengigau: "Mulai sekarang, aku tak mau kau panggil nona Kim ..... "
"Lalu harus kupanggil apa?" tanya Tian Pek dengan samar2 seperti orang
mabuk.
"Panggil aku adik Hong .... "
Pikiran Tian Pek semakin hanyut dan lupa daratan, melupakan sakit hatinya, ia
menurut dan memanggil: "Adik Hong............ . "
“O, engkoh Tian ..... engkau sangat baik . ,." keluh Kim Cay-hong lagi sambil
tarik napas panjang.
Kim Cay- hong, gadis perawan keluarga Kim yang termashur, puteri pujaan
seorang tokoh persliatan, nona yang kecantikannya tiada bandingannya dan
mendapat predikat Kanglam-te-it-bi-jin saat ini sedang dibuai asmara dalam
pelukan seorang pemuda musafir, merasakan kebahagian orang hidup,
kebahagiaan yang tak pernah dialami sebelumnya, pelahan ia memejamkan
matanya dan tenggelam dalam mimpi.
===mch===
Bagaimana akibat dari mabuk cinta antara Kim Cay- hong dan Tian Pek?
Dapatkah para jago silat yang terkurung itu membebaskan diri?
Bacalah jilid ke-15
Jilid-15.
Cinta memang memiliki kekuatan gaib yang tak terbatas.
Di tengah keheningan malam itu se-konyong2 terdengar suara orang
mendengus di balik semak pohon sana.
Sebenarnya luka Kim Cay-hong tidak terlampau parah, setelah diobati oleh Tian
Pek dengan ilmu sakti yang dipelajari dan kitab pusaka Thian-hud-pit-kip, boleh
dibilang semua lukanya telah sembuh. Kalau mereka masih berdekapan hanya
karena mereka tengah asyik dibuai asmara.
Tentu saja suara tertawa dingin yang sangat tiba2 itu segera menyadarkan
kedua muda-mudi itu. Tian Pek yang per-tama2 tersadar dan cepat
membangunkan Kim Cay-hong dari pelukannya, kemudian menghardik: "Siapa
yang bersembunyi disana?"
Sesosok bayangan hitam berkelebat keluar dan balik pepohonan yang rindang,
secepat kilat orang itu tahu2 sudah berdiri sambil bertolak pinggang di
undak2an gardu, siapa lagi dia kalau bukan Tian Wan-ji yang lincah. usil dan
masih polos itu.
Sama sekali tak menyangka Wan ji akan muncul di sini Tan Pek melenggong.
Wan-ji yang cantik itu jelas merasa cemburu. matanya yang jeli mengerling
bergantian pada wajah Tian Pek dan Kim Cay-hong, tampaknya ia ingin
menyelami rahasia hati kedua orang itu.
Merah wajah Tian Pek berdua karena dipandang setajam itu oleh anak dara
yang masih polos dan bersih itu, tanpa terasa mereka menundukkan kepalanya
rendah2.
"Hehehe, di bawah bulan purnama memadu cinta, tanpa terasa bulan sudah
jauh bergeser, ternyata orang yang memadu cinta belum juga sadar." demikian
Wan-ji ber-olok2.
Kikuk Tian Pek mendengar sindiran tersebut, terpaksa ia menjawab: "Wan-ji,
untuk apa kau datang ke sini . . ?"
"Untuk apa? Aku datang untuk ber-main2!" sahut Wan-ji dengan cemburu.
"Yang jelas aku tidak datang kemari agar dipeluk orang dan dipanggil adik. . ."
Sindiran yang tajam itu menggusarkan Kim Cay-hong, mendadak ia menengadah
dan membentak: "Budak liar dari mana? Berani kau cari perkara ke istana Kim
sini."
"Hai, kalau bicara hendaklah tahu diri," sahut Wan-ji dengan dahi berkerut.
"Kalau kau main kasar, hm, jangan menyesal bila nona hajar adat padamu!"
Sebagai seorang nona yang selalu disanjung puja, sekalipun ayah atau
saudaranya sendiripun tidak pernah bicara sekasar itu kepadanya, bisa
dibayangkan betapa gusarnya Kim Cay-hong oleh ucapan Wan-ji tadi.
Saking gusarnya sekujur badan jadi gemetar, teriaknya: "Bagus, sebelum kuusir
kau malah berlagak di hadapanku Hm, jika kau tidak segera minta maaf, jangan
harap bisa tinggalkan istana keluarga Kim dengan hidup."
Wan-ji menjengek: "Hehe, kalau ingin bicara besar mesti lihat dulu kekuatan
sendiri Hm, hanya sedikit kemampuanmu belum tentu sanggup menahan diriku
di sini?"
"Budak liar, tajam amat mulutmu!" bentak Kim Cay-hong dengan kemarahan
yang tak terkendalikan lagi. "Sambutlah seranganku ini!"
Dua jari tangan kirinya segera mencolok ke dua mata Wan-ji, ssmentara telapak
tangan kanan memotong iga kiri lawan, Jurut serangan yang digunakan adalah
Yu-hong-si-sui (kawanan lebah bermain di alas putik bunga) serta Cay-loan-lian-
hoa (bunga indah berwarna warni).
Berbicara soal ilmu silat, maka kepandaian yang dimiliki Wan-ji sekarang
beberapa kali lipat lebih lihay daripada Kim Cay-hong setelah ia belajar ilmu silat
dari Sin-kau (monyet sakti) Tiat Leng, ilmu silat yang dimilikinya saat ini sudah
terhitung kelas satu di dunia persilatan.
Meskipun dua jurus serangan yang dilancarkan Kim Cay-hong sangat lihay, tapi
dalam pandangan Wan-ji bukanlah ancaman yang serius, sambil tertawa dingin
ia mengegos kesamping, berbareng tangan kanannya segera balas
mencengkeram persendian pergelangan tangan kanan musuh.
Betapa terperanjat Kim Cay-hong menghadapi ancaman tersebut, mimpipun ia
tak menyangka se-orang nona cilik yang masih begitu muda ternyata memiliki
jurus serangan yang luar biasa lihaynya, bukan saja dua serangan mautnya
berhasil dihindari dengan mudah, malahan tangan kiri sendiri terancam oleh
serangan musuh.
Kim Cay-hong jadi terkesiap, apalagi setelah merasakan betapa tajamnya angin
serangan lawan pergelangan tangan cepat ditarik ke bawah.
Gagal dengan serangan yang pertama, Wan-ji tidak memberi kesempatan bagi
musuh untuk menarik napas, tangan kiri mencengkeram ke depan sementara
telapak tangan kanan menabas jalan darah Cian-keng-hiat di bahu lawan.
Dengan agak kerepotan Kim Cay-hong menghindarkan diri dari cengkeraman
tangan kiri lawan. tapi bacokan telapak tangan kanan tak dapat dihindarkan lagi,
untuk menangkis jelas tak sempat, tampaknya bacokan Wan-ji itu segera akan
bersarang di tengkuk Kim Cay-hong.
Telapak tangan Wan-ji sepintas lalu kelihatan kecil, halus dan lemas, tapi dengan
tenaga dalam yang kuat, bacokannya tidak kurang tajamnya dari pada bacokan
pedang atau golok.
Tian Pek terkejut, cepat ia membentak: "Tahan Wan-ji!"
Tapi Wan-ji anggap tidak mendengar, bacokan telapak tangan diayun lebih cepat
lagi ke tengkuk
musuh.
Secepat kilat Tian Pek menerjang maju, tangan kirinya menarik lengan Kim Cay-
hong terus diseret mundur, sementara tangan kanan digunakan menangkis
serangan Wan-ji.
"Plak!" telapak tangan saling beradu.
Tubuh Wan-ji bergetar, ia terdorong mundur tiga langkah, mukanya pucat
karena marah, matanya melototi Tian Pek dengan merah berapi.
Kim Cay-hong terlempar kesamping dan berhasil lolos dari maut, ia berdiri
dengan muka pucat seperti kertas, ia merasa malu bercampur gusar.
Tian Pek juga merasakan telapak tangannya yang beradu dengan tangan Wan-ji
itu terasa panas dan sakit, diam2 ia memuji kehebatan tenaga dalam gadis itu,
sekalipun begitu lahirnya dia berlagak tenang, katanya: "Wan-ji, kau sama sekali
tiada permusuhan dan dendam apa pun dengan nona Kim, kenapa kau
melancarkan serangan mematikan kepadanya ....?"
Tentu saja Wan-ji merasa tak senang hati karena pemuda pujaan hatinya telah
menyelamatkan jiwa lawan cintanya, lebih2 setelah mendengar ucapan yang
jelas membela Kim Cay-hong tersebut, tak tahan lagi ia melelehkan air mata.
Sambil mendepakkan kakinya ke tanah dan menggigit bibirnya untuk menahan
isak tangisnya ia berteriak: "'Aku benci kau . . . selama hidup ini aku tak sudi
bertemu lagi dengan kau....!" Habis berkata, ia terus putar badan dan berlari
pergi.
"Mau lari kemana? Lihat serangan!" mendadak dari balik pohon sana
berkumandang suara bentakan menyusul secomot cahaya hijau segera
bertaburan menyongsong nona itu.
Untung Ginkang Ni-gong-hoan-ing yang dimiliki Wan-ji telah mencapai puncak
kesempurnaan, sekalipun tiba2 menghadapi sergapan senjata rahasia yang
dilancarkan dengan cara yang licik dan keji, ia tidak menjadi gugup.
Mendadak ia melejit dan mengapung tinggi ke atas, dengan begitu Am-gi yang
bersinar hijau itu segera berdesingan menyambar lewat di bawah kakinya.
Tian Pek merasa ngeri juga menyaksikan kejadian itu hingga berkeringat dingin.
Cinta Wan-ji terhadap Tian Pek boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan ter-
gila2, tatkala ia saksikan pemuda pujaannya ternyata mengadakan pertemuan
gelap dengan gadis lain, kontan saja hawa amarahnya berkobar.
Masih mendingan bila Tian Pek tidak memukul mundur dirinya dihadapan
saingan cintanya itu, apalagi pemuda itupun mencela tindakannya, bisa
dibayangkan betapa remuk rendam perasaannya.
Dengan menahan rasa sedih segera ia tinggal pergi, siapa tahu ia disergap lagi
secara keji dan licik, kemarahannya seketika tertumplek kepada penyergap ini.
Kini rasa cemburu, benci, dendam, gusar dan sedih bercampur aduk dalam
hatinya, gadis yang lembut itu jadi garang dan menyeramkan, begitu berada di
udara ia terus membentak, dengan cepat luar biasa ia menerkam penyergapnya
itu.
Dengan daya terkam ke bawah itu, ia kerahkan segenap tenaganya, kedua
telapak tangan menghantam batok kepala lawan.
Rupanya penyergap itu tak menduga Wan-ji akan melambung ke udara untuk
menghindari ancaman senjata rahasianya, melihat tubrukan maut yang
mengerikan itu buru2 ia cabut pedangnya untuk membela diri ....
Pada saat itulah segenggam senjata rahasia berwarna hijau kembali menyambar
datang dari sudut halaman lain, malahan kali ini sambaran Am-gi ini sama sekali
tidak menimbulkan suara.
Bukan saja jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang pertama tadi, bahkan
sambaran Am-gi inipun jauh lebih kuat. jelas penyerang kali ini terlebih tangguh
daripada yang pertama tadi.
Tertampaklah bayangan hijau menyelimuti angkasa, bagaikan gerombolan
kunang2 langsung mengurung sekujur badan anak dara itu.
Tian Pek terperanjat, cepat ia berseru: "Wan-ji, awas, dibelakang ada senjata
rahasia lagi!"
Rupanya ia menyadari gelagat tidak enak, tampaknya serangan kedua sukar
dihindarkan Wan-ji, maka sambil membentak ia terus melompat maju dan
melancarkan pukulan dahsyat ke arah senjata rahasia tersebut.
Banyak di antara senjata rahasia itu terpental dan berhamburan ke tanah
tersampuk oleh angin pukulan Tian Pek, akan tetapi disebabkan jaraknya agak
jauh, angin pukulannya tak berhasil merontokkan seluruh senjata itu.
Tampaklah belasan titik cahaya hijau masih menyambar ke tubuh Wan-ji.
Waktu itu Wan-ji sudah melayang turun ke tanah, diapun tahu ancaman senjata
rahasia dari belakang itu. tapi berhubung tenaga pukulannya sudah telanjur
dilancarkan dengan sepenuhnya untuk menghantam penyergap pertama yang
dibencinya tidaklah mungkin baginya untuk melambung lagi untuk menghindari
ancaman kedua ini.
Dalam keadaan begitu cepat ia anjlok ke b¬wah, berbareng pukulannya
diperkeras untuk menghantam lawan di bawah.
Meski penyergap pertama tadi sudah melolos pedangnya, tapi melihat
hantaman Wan-ji yang dahsyat ini, ia tak berani sambut dengan kekerasan,
cepat ia melompat ke samping.
"Blang!" debu pasir beterbangan, pukulan dahsyat itu menimblkan dua liang
yang dalam di permukaan tanah,
Sungguh luar biasa bahwa seorang nona cilik muda belia memiliki tenaga
pukulan sedahsyat ini-
Tapi setelah serangannya mengenai tempat kosong. Wan-ji lantas turun ke
bawah, mendadak ia sempoyongan, mukanya pucat, agaknya cukup parah
terluka dalam.
Penyergap pertama tadi tertawa ter~bahak2, ia tak punya lengan kiri. dengan
pedang ditangan kanan segera ia menusuk ke dada Wan-ji.
Rupanya sewaktu Wan-ji mengapung di udara tadi ia telah dilukai oleh
hamburan senjata rahasia yang kedua kalinya, paha dan iga sebelah kiri masing2
termakan oleh senjata rahasia lawan sehingga rasa sakitnya merasuk ke tulang,
berdiri saja hampir tak kuat, bagaimana mungkin ia sanggup mengelakkan
tusukan pedang yang ganas itu.
Rasa sakit yang tidak kepalang itu membuat pandangan Wan-ji ber-kunang2, ia
putus asa, sambil menghela napas ia berpikir: "Ai, tak tersangka akhirnya aku
harus tewas di depan kekasih yang telah berubah pikiran. ... Tahu begini, lebih
baik mati saja dulu, dengan begitu mungkin masih tertinggai sedikit kenangan
manis, tapi kini kini. . . ."
Ia hanya bergumam dan tak mampu menghindari ujung pedang musuh. Yang
membuatnya sedih bukan soal mati, tapi kekasih yang mengikat janji dengan
gadis lain, buyarlah impiannya dan hancurlah segala harapannya.
"Beng Ki-peng, tahan!" terdengar Tian Pek membentak.
"Blang! Blang!" benturan keras segera menggelegar, tatkala Wan-ji membuka
matanya yang kabur, lamat2 dilihatnya pemuda buntung yang hendak
menusuknya tadi berdiri mematung dengan muka pucat dan sorot mata yang
bengis. Pedangnya sudah terlepas, darah meleleh keluar dari ujung bibirnya,
jelas ia terluka tidak ringan.
Wan-ji berpaling lagi ke arah lain, dilihatnya engkoh Tian yang dicintainya tapi
juga dibencinya sekarang sedang berdiri kereng di sampingnya.
Rasa sedih yang membuat putus asa Wan-ji tadi tiba2 berubah menjadi
kegirangan, ia bergumam lagi: "O, rupanya engkoh Tian yang menyelamatkan
jiwaku. Ah, engkoh Tian masih tetap mencintai aku. . .O, betapa bahagianya aku!
Engkoh Pek. . .engkoh Pek sayanga, sekalipun aku harus mati sekarang juga, aku
rela. . . sebab aku akan mati dengan bahagia. . . ."
Tiba2 rasa sakit yang tak tertahan menyusup ulu hatinya, sekali ini Wan-ji
benar2 jatuh tak sadarkan diri ....
Sementara itu, setelah Tian Pek berhasil memukul rontok pedang Beng Ki-peng
dan sekalian melukainya, tiba2 dilihatnya pula Wan-ji roboh pingsan, cepat ia
melompat maju dan menyambar tubuh si nona yang akan roboh itu.
Melihat keadaan luka Wan-ji, Tian Pek menjadi gusar, teriaknya: "Hm, terhadap
seorang gadis tak berdosa kalianpun tega menyerangnya secara rendah dan keji,
beginikah tindakan yang biasa dilakukan orang2 istana keluarga Kim? Huh,
sungguh memalukan sekali . . . ."
Tiba2 terdengar seseorang tertawa dingin, menyusul sebuah kursi beroda
muncul dari balik pohon yang rindang sana, di atas kursi beroda itu berduduklah
Cing-hu-sin Kim Kiu yang termashur.
Di belakang Cing-hu-sin Kim-Kiu mengikut belasan orang laki2 berpakaian
ringkas dan tujuh anak tanggung berbaju putih yang membawa pedang perak,
semuanya melotot ke arah Tian Pek.
Setiba di depan pemuda itu, Cing-hu-sin Kim Kiu lantas berkata dengan tertawa
dingin: "Hehe. siapa menang dialah raja, siapa kalah dialah penyamun! Bagi
orang persilatan yang penuh dengan pertikaian dan permusuhan, siapa kuat dia
menang, siapa lemah dia kalah, kenapa mesti memusingkan pertarungan cara
terang2an atau main sergap segala?"
Merah padam wajah Tian Pek demi berhadapan dengan musuh besarnya,
dengan melotot dan menggereget ia berteriak: "Bangsat! Tua bangka! Kau
manusia munafik, dengan cara licik dan keji kau mencelakai saudara-angkatmu,
kemudian merampok harta bendanya dan menggunakan harta yang tak halal itu
untuk memelihara begundal2mu guna menunjang perbuatan busukmu. Hm, hari
ini kau bertemu dengan Siauya, inilah detik terakhir hidupmu, tamatlah
riwayatmu sekarang!"
Pedang Hijau segera dicabut keluar, kemudian dengan menggereget ia
menambahkan lagi: "Kim Kiu, serahkan jiwamu!"
Belum pernah Cing-hu-sin Kim Kiu dicaci-maki orang dengan cara yang begitu
berani, untuk sesaat tokoh yang berwatak aneh ini jadi tertegun, ia terbelalak
lebar dan lama sekali mengamati anak muda itu, sejenak kemudian ia baru
berkata; "Menuruti adatku, kau mencaci maki padaku, dosamu harus diganjar
dengan kematian. Akan tetapi mengingat usiamu masih muda ternyata
mempunyai rasa dendam yang sedemikian mendalam atas diriku, aku menjadi
ingin tahu bagaimana duduknya persoalan. Nah, katakanlah. apa alasanmu
sehingga rasa bencimu padaku demikian hebatnya?! Padahal sudah puluhan
tahun aku tak pernah muncul di dunia persilatan, apalagi setelah kakiku dibikin
cacat oleh musuhku hingga lumpuh, watakku memang berubah menjadi
pemarah, sekalipun begitu kuyakin belum pernah bermusuhan dengan orang
lain, apa- lagi dengan umurmu yang masih muda, masa sejak berada di rahim
ibumu kau sudah bermusuhan denganku? Nah. katakanlah sebab2nya, kau
datang memusuhi aku atas hasutan orang lain barangkali?"
Tian Pek menengadah dan tertawa latah, sahutnya: "Hahaha, menurut
perkataanmu ini, rasanya
Cing-hu-sin sudah jadi orang baik2, sungguh lucu dan menggelikan. Hm, ingin
kutanya padamu, apakah kau masih ingat pada Pek-lek-kiam Tian In thian,
pemimpin Kanglam-jit-hiap dimasa lalu?"
Bukan saja Cing-hu-sin Kim Kiu terperanjat demi mendengar nama Pek-lek-kiam,
bahkan semua orang yang hadir di situ ikut terkesiap.
Lama sekali Kim Kiu melototi Tian Pek tanpa berkedip, setelah itu baru ia
berkata: "Aku dengar kau she Tian, apakah kau ini keturunan Tian In- thian?"
"Kau heran dan terkejut?" ejek Tian Pek, "Ha haha, tentunya kau tak menyangka
ayahku mempunyai keturunan bukan? Tentunya kau tak menduga ada orang
akan membongkar kekejiamnu mencelakai saudara-angkat sendiri? Hahaha,
Thian memang maha adil, akhirnya putera Pek-lek-kiam Tian In-thian berhasil
menemukan pembunuh ayahnya. Hahaha, Kim Kiu, apa yang hendak kau
katakan lagi?"
Berbicara sampai di sini, ia lantas menengadah dan tertawa ter-bahak2 dengan
suara yang menggelegar.
Berubah hebat air muka Cing-hu-sin Kim Kiu, sebentar pucat sebentar berubah
jadi hijau, entah terkejut entah keder, untuk sesaat ia tak dapat bersuara.
"Ayah!" tiba2 Kim Cay-hong menubruk kesamping ayahnya dan berseru sambil
menangis. "Benarkah apa yang dikatakan Tian-siauhiap? Ayah, kukira kejadian
ini pasti suatu kesalah pahaman belaka, pasti ada orang yang sengaja mengadu
domba agar kalian saling bermusuhan, anak percaya ayah adalah orang baik, tak
mungkin ayah mencelakai saudara-angkat sendiri . . O, ayah, berilah keterangan
se-jelas2nya kepada Tian siauhiap akan kesalah pahaman ini . O, ayah, cepat
katakanlah ... "
Memandangi puterinya yang menanggis sedih, air muka Cing-hu-sin Kim Kiu
mengalami perubahan beberapa kali, mendadak ia melotot bengis, ia tertawa
seram dan berkata: "Hahaha, apa yang diucapkan bocah itu memang benar,
akulah yang telah membinasakan Tian In-thian! Cuma apa yang dikatakan bocah
itu keliru besar, ayahnya sendiri yang merupakan seorang iblis, dia yang
menganiaya dan menindas keenam saudara angkat sendiri, membuat kami jadi
selalu menderita, karena tak tahan akhirnya kami memberontak dan bekerja
sama untuk membinasakan dia. Hm, dia yang lebih dulu tak berbudi sebagai
kakak angkat sehingga kamipun tak setia. Ia mati dalam suatu pertarungan yang
adil. aku tak dapat disalahkan atas kematiannya itu!"
Gusar Tian Pek tak terkatakan, dia menggigit bibir dan menahan perasaan yang
hendak meledak itu ia menyadari berhasil atau tidak membalas sakit hati
ayahnya, semua itu bergantung pada pertempuran malam ini, maka sedapatnya
ia menahan gejolak perasaannya agar tidak menggagalkan usahanya.
Sementara itu Kim Cay-hong sedang menjerit sedih: "O. tak mungkin . . tak
mungkin terjadi begitu. . . ."
Saking sedih ia terus jatuh pingsang di samping kursi beroda ayahnya.
Kata orang: "Lelaki hidup untuk bekerja, perempuan hidup untuk bercinta".
Semenjak kecil Kim Cay-hong telah kehilangan kasih sayang ibunya, dalam
pandangan anak dara itu ayahnya adalah malaikat pengasih pujaannya. Dia
menghormat serta memuja ayahnya, menganggapnya sebagai simbol
kepercayaan dan panji kehormatan.
Dan sekarang terbukti bahwa ayahnya bukanlah orang yang agung bijaksana.
bahkan menjadi musuh besar pemuda yang kini telah menguasai seluruh
perasaannya, dapat dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang dirasakan
gadis itu.
Cing-hu-sin Kim Kiu tak malu disebut seorang laki2 yang berhati baja, meskipun
tahu puterinya jatuh tak sadarkan diri, namun ia tidak menggubris, bahkan
melirikpun tidak, sorot matanya yang bengis tetap tertuju Tian Pek, katanya:
"Hehehe, sudah puluhan tahun rahasia ini tersimpan, selama ini tak ada yang
tahu Tian-in-thian masih mempunyai seorang anak yang masih hidup di dunia
ini. Sekarang, semuanya telah menjadi jelas, bila kau tahu diri dan bisa berpikir,
boleh segera berlalu dari sini, tak nanti kuhalangi dirimu, tapi kalau tak tahu diri
ya terserahlah!"
Sampai disini, ia tertawa dingin, lalu menambahkan: "Hanya sebelumnya ingin
kuperingatkan kepadamu, kalau kau tetap nekat mencari gara2 maka itu berarti
kau mencari kematianmu sendiri!"
Tian Pek melotot beringas, teriaknya dengan murka: "Bila dendam kematian
ayahku tidak dibalas, apa gunanva aku hidup di dunia ini? Bangsat tua, kalau kau
punya keberanian mengakui dosamu, maka bersiaplah menerima kematianmu,
hari ini aku Tian Pek akan menggunakan darahmu sebagai sesajen untuk arwah
ayahku!"
Habis ucapannya, dia baringkan Wan-ji di atas tanah, ia putar pedang Bu-cing-
pek-kiam dan menusuk lawan.
Dalam gusarnya serangan pertama Tian Pek ini lantas menggunakan Hong-lui-
pat-kiam ajaran Sin- lu-tiat-tan.
Hong-lui-pat-kiam memang ilmu pedang maha lihay, dengan jurus Hong-ceng-
lui-beng (angin berembus guntur menggelegar), hawa pedang yang tebal
seketika menyelimuti seluruh angkasa, disertai deru angin yang keras, Bu-cing-
pek-kiam segera mengancam dada Cing-hu-sin Kim Kiu.
Terkesiap Cing-hu-sin Kim Kiu menghadapi serangan yang mengerikan itu, ia tak
menyangka ilmu silat Tian Pek jauh melampaui dugaannya, malahan kelihatan
lebih hebat daripada Pek-lek-kiam Tian In-thian dulu.
Cepat Kim Kiu putar kursi berodanya dan menggelinding ke samping.
Dalam keadaan begitu, Cing-hu-sin Kim Kiu hanya memikirkan bagaimana
caranya menghindarkan diri dari ancaman musuh, ia lupa puterinya yang
pingsan masih bersandar di samping kursiberodanya. Dengan bergeraknya kursi
beroda itu, otomatis tubuh Kim Cay-hong roboh ketanah
Tian Pek terlalu napsu ingin balas dendam, serangan yang dilancarkan dengan
sendirinya keji tanpa kenal ampun.
Maka tatkala Cing-hu-sin Kim Kiu menggeser kursi dan menghindari tujukan
maut, cahaya pedang berkilat langsung menyambar ke depan mengancam
tubuh Kim Cay-hong yang pingsan.
Se-keras2 hati Cing-hu-sin Kim Kiu masih sayang juga pada nyawa puterinya,
melihat Kim Cay-hong terancam oleh senjata Tian Pek, segera dia berteriak
keras: "Jangan melukai puteriku . .. . "
Rupanya Tian Pek sendiripun menyadari apa yang akan terjadi sekuatnya ia
berusaba menarik kembali serangatnya.
Tapi keenam bocah tanggung berbaju putih tadi tidak tinggal diam, demi melihat
majikannya terancam bahaya, serentak pedang perak mereka dilolos, mirip
selapis dinding perak, berbareng mereka menangkis.
"Tring . . . .! Tring ...!" terdengar dentingan nyaring, enam pedang perak
tersampuk oleh pedang Tian Pek, keenam bocah tanggung berbaju putih itu
merasakan telapak tangan panas dan sakit, hampir saja pedang perak mereka
terlepas dari cekalan.
Tian Pek tidak melanjutkan serangan lagi, dia tarik kembali pedangnya dan
melayang mundur ke belakang.
Sebagai seorang pemuda yang jujur dan bijaksana, ia tidak ingin mencelakai
orang yang tidak bersalah juga tiada sangkut paut dengan masalah yang
dihadapinya, maka dari itu walaupun rasa bencinya pada Cing-hu-sin Kim Kiu
sudah merasuk tulang, akan tetapi ia tidak ingin melukai Kim Cay-hong yang tak
sadarkan diri serta ke enam anak kecil.
Ia bijaksana dan mulia, tapi orang lain tidaklah sebaik dia, baru saja dia bergerak
mundur. se-konyong2 Cing-hu-sin Kim Kiu ayun tangannya, segenggam Cing-hu-
piau segera berhamburan pula.
Senjata rahasia Cing-hu-piau adalah senjata andalan Kim Kiu, apalagi setelah
kakinya lumpuh akibat salah minum obat, kepandaiannya itu dilatih terlebih
hebat dan boleh dibilang sudah tiada bandingannya di kolong langit ini.
Belum lagi Tian Pek berdiri tegak, tahu2 cahaya hijau menyilaukan telah tersebar
memenuhi angkasa, sekujur badannya terkurung oleh senjata lawan. Cepat ia
putar Pedang Hijau bagai kitiran untuk melindungi semua Hat-to penting di
tubuhnya.
"Cling! Cring. . .!" suara gemerincing berkumandang menciptakan serentetan
irama yang kacau, semua Cing-hu-piau yang mengancam tiba di sapu bersih oleh
pedang Tian Pek.
Namun Kim Kiu benar2 seorang ahli senjata rahasia, selagi Tian Pek sibuk
menangkis semua senjata rahasia yang mengancam tadi, mendadak ia
mengeluarkan pula segenggam Cing-hu-piau, satu di antaranya disentil ke atas
tanah,
Tian Pek tidak tahu apa maksud lawan, "cring" mendadak senjata rahasia yang
disentil kebawah tadi setelah menyentuh tanah terus melejit kembali ke atas,
setelah berputar setengah lingkaran terus menyambar ke bawah perut Tian Pek.
Heran Tian Pek, ia pikir kalau satu genggam saja tak mampu meng-apa2kan
diriku. masa cuma satu biji mata uang begini bisa berguna?
Belum lenyap pikirannya, tahu2 mata uang tadi sudah mendekati lambungnya,
dalam keadaan begitu, cepat dia menangkis dengan pedangnya.
Tring!" terjadi lagi dentingan nyaring, mata uang itu mencelat dan berputar satu
lingkaran dan mendadak menyambar kembali ke bagian kaki.
Tian Pek berjingkat kaget, buru2 ia angkat kakinya sambil berputar, walaupun
begitu mata uang tadi masih sempat menerobos celananya hingga robek.
Walaupun tidak sampai terluka dan hanya celananya saja yang robek, namun
pelajaran ini cukup mengerikan Tian Pek hingga berkeringat dingin. Sebab ia
tahu senjata rahasia ini beracun, tempo hari ia sudah merasakan Cing-hu-piau
ini ketika bertarung melawan Beng Ki-peng, untung Kim Cay-hong segera
memberikan obat penawar kepadanya hingga tidak beralangan. Keadaan se-
karang sudah berubah, andaikata kali ini sampai terluka lagi, tak mungkin ia
mendapatkan obat penawar pula.
Dalam pada itu Cing-hu-siu Kim Kiu sedang tertawa ter-bahak2, ejeknya: "Itulah
permainan yang bernama Cing-hu-pay-siu (kecapung memberi selamat panjang
umur) dan kau sudah tak mampu mempertahankan diri, apalagi bila kumainkan
Cing-hu-hoan-tong (kecapung memenuhi kolam) yang merupakan serangan
mematikan, maka kau pasti akan mati tak tertolong lagi!"
Bicara sampai disitu, jari tangannya kembali menyentil sebatang Cing-hu-piau ke
depan.
Kali ini Tian Pek sudah tahu kelihayannya, ia tak berani menyampuknya dengan
pedang lagi, ketika titik cahaya hijau menyambar datang, cepat ia mengegos ke
samping.
Siapa sangka, belum sempat ia menghindari ancaman pertama, Cing-hu-sin telah
melepaskan senjata rahasianya yang kedua, menyusul ber-turut2 ia lepaskan
pula serentetan mata uang yang semuanya ditujukan ke permukaan tanah.
Dengan menggunakan daya pantulan itulah senjata rahasia tersebut meloncat
ke udara dan menyambar dari arah yang berbeda dan tak terduga untuk
menyerang sasarannya.
Seketika Tian Pek kelabakan., ia berkelit ke sana dan menghindar kesini dengan
kalang kabut
Diam2 Tian Pek gelisah, ia pikir bila keadaan ini berlangsung terus maka lama
kelamaan aku bisa mati kehabisan tenaga andaikan tidak terkena serangan,
daripada mati konyol lebih baik kuterjang kesamping bangsat tua itu, sekalipun
mati akan kuajak dia gugur bersama ....
Setelah ambil keputusan, dengan cepat dia menghindari sambaran sebuah
senjata rahasia itu, kemudian berusaha mendekati lawannya.
Tapi Cing-hu-sin Kim Kiu cukup cerdik, dia dapat menebak maksud anak muda
itu, ia tertawa mengejeknya: "Heh, percuma kau cari akal, sedangkan ayahmu
saja tak dapat lolos dari tanganku, apalagi anak ingusan macam kau!"
Seraya berkata, segenggam Cing-hu-piau segera ditaburkan pula ke atas tanah.
"Cring! Cring!" cahaya hijau bermuncratan ke empat penjuru dan serentak
mengancam Hiat-to penting di badan Tian Pek.
Terkejut Tian Pek, terdengarlah Cing-hu-sin ter tawa ter-bahak2: "Hahaha, inilah
Cing-hu-hoan-tong (kecapung memenuhi kolam) untuk mengantar kau pulang
ke akhirat..."
Segera Tian Pek merasakan kaki dan lengan sakit pedas, beberapa buah Ciog-hu-
piau telah bersarang di tubuhnya.
"Habislah riwayatku. . ." keluh Tian Pek dalam hati.
Tapi demi teringat pada sakit hati ayahnya yang belum terbalas, ia merasa tak
rela untuk mati dengan begitu saja.
Sekuatnya ia tutup Hiat-to penting di seluruh tubuh sehingga racun untuk
sementara tak sampai menyerang ke dalam jantung, kemudian ia menarik napas
panjang, entah darimana datangnya kekuatan, ternyata ia berhasil melompat ke
atas pagar taman yang tingi.
"Anak keparat, ingin kabur kemana?!" ejek Cing-hu-sin Kim Kiu sambil tertaWa.
"Kau sudah terkena senjata rahasia beracun. tidak sampai tiga jam jiwamu pasti
akan melayang!"
Berdiri di atas dinding Tian Pek merasa pandangannya ber-kunang2, hampir saja
ia jatuh terjungkal ke bawah, tapi sekuat tenaga ia berdiri tegak di situ, lalu
memaki dengan gregetan: "Bangsat tua, hari ini kuampuni jiwa anjingmu, tapi
suatu saat Siauya pasti akan datang lagi untuk membuat perhitungan dengan
kau. . . ." Habis ini ia terus melompat turun keiuar taman dan lari secepatnya.
"Jangan biarkan anak keparat itu melarikan hari, tangkap dia sampai dapat .... !"
teriak Cing-hu-sin Kim Kiu dengan gusar.
Disambung suara bentakan, berpuluh jago istana keluarga Kim segera
melakukan pengejaran keluar pekarangan.
Ketika Tian Pek melompat keluar gedung itu ia masih sempat mendengar
rintihan Kim Cay-hong; "O, ayah ....ampunilah jiwanya ...."
Tentu saja Tian Pek tidak membiarkan dirinya tertangkap oleh musuh, setelah
mengetahui ada yang mengejar, ia terus kabur ke depan, sekalipun tubuhnya
terasa linu, sakit, lemas dan kesemutan, tapi ia bertahan sekuatnya dan
berlarian dengan cepat menjauhi tempat itu.
Sementara itu sudah tengah malam, keramaian di kota Lam-keng mencapai
puncaknya, acara malam Cap-go-meh yang di-nanti2kan oleh segenap lapisan
masyarakat semenjak petang telah dimulai. yaitu acara kembang api udara serta
melepaskan lampion.
Penduduk ber-jubel2 ingin mengikuti tontonan menarik itu, beraneka warna
kembang api memenuhi udara menciptakan bentuk warna-warni yang sangat
indah, sementara kembang api bersemarak diangkasa, banyak penduduk yang
membawa lampion berhias saling berlarian menuju ke luar kota.
Suasana bertamhah ramai, lautan manusia ber-desak2an memenuhi jalan raya,
hal ini memberi kesempatan baik bagi Tian Pek untuk meloloskan diri dari
kejaran jago istana Kim . ... ,
Waktu itu Tian Pek sudah bermandikan darah, racun keji yang terkandung
diujung senjata Cing-hu-piau mulai mengembang dalam tubuhnya, kesadaran
dan daya ingatannya mulai kabur, untung saja ia terhimpit diantara orang
banyak yang saling berdesakan sehingga tubuhnya tidak sampai roboh.
Begitulah, di tengah berjubelnya orang banyak akhirnya Tian Pek dengan
setengah sadar terbawa oleh arus manusia sampai di pintu Cin-hway-bun dan
mencapai tepi sungai Cin-hway.
Sambil ber-teriak2, arus manusia itu saling berebut menuju ke sungai dan
membuang lampion mereka kedalam air, beraneka warna lampion segera
terombang-ambing dibawa arus menuju kehilir, pemandangan tampak indah
menawan.
Tian Pek juga terbawa ketepi sungai, ia sudah kehabisan tenaga, tubuhnya lemas
sekali, karena tidak terhimpit lagi oleh orang banyak, akhirnya ia roboh terkulai
tak sadarkan diri.
Entah berapa lama sudah lewat, Tian Pek merasakan sekujur badannya sakit
sekali, cepat ia membuka mata dan memandang sekelilingnya. Ia lihat dirinya
berbaring diruangan pendopo sebuah kelenteng bobrok.
Ruangan ini amat besar, atapnya sudah banyak berlubang, bintang tampak
bertaburan dilangit yang gelap, jelas masih malam hari.
Kelenteng ini benar2 sudah bobrok, patung di meja pemujaan tampak sudah
rusak, sarang labah2 memenuhi langit2 ruangan dan debu bertimbun.
Tapi aneh, tempat Tian Pek berbaring adalah sebuah meja sembahjang yang
bersih, malahan alas tidurnya adalah rumput kering yang tebal, sebuah selimut
tebal menutupi badannya.
Tapi setelah pikiran Tian Pek jernih kembali, Waktu ia berpaling, apa yang
terlihat kemudian hampir saja membuat dia menjerit kaget.
Di bawah cahaya pelita yang remang2 tampak seorang manusia aneh berwajah
hijau dan berambut merah dengan memegang belati sedang menusuk
tubuhnya.
Betapa terperanjatnya Tian Pek, dia mengira dirinya terjatuh ke tangan iblis.
Buru2 saja ia menjerit, mendadak kaki terasa sakit tidak kepalang, tanpa ampun
lagi pemuda itu jatuh pingsan pula.
Tatkala ia siuman kembali untuk kedua kalinya, rasa ngeri masih belum lenyap,
ia coba menoleh, tapi apa yang dilihatnya membuatnya tercengang lagi.
Suatu pemandangan aneh muncul kembali, manusia aneh bermuka hijau dan
berambut merah tadi sudah tak ketahuan kemana perginya, yang duduk di
sebelahnya sekarang adalah seorang gadis cantik dan sedang menatapnya
dengan pandangan penuh rasa kasih sayang.
Hampir saja Tian Pek tidak percaya pada matanya sendiri, ia mengira sedang
bermimpi, Ia kucek2 matanya dan memandang pula, dilihatnya sepasang mata
yang jeli dan besar masih menatapnya tanpa berkedip.
Tian Pek segera angkat tubuh hendak berduduk, serunya dengan kuatir:
"Aku ....aku berada dimana .... ?" — Tapi segera pula tubuhnya terasa sakit tidak
kepalang, sebelum kata2 itu berlanjut, ia menjerit dan jatuh telentang.
Gadis cantik itu tertawa manis, ucapnya lembut: "Engkau jangan bergerak dulu,
senjata rahasia yang bersarang dibadanmu baru kucabut dan racunnya sudah
punah, tapi mulut lukanya belum merapat, asal isristirahat dua hari lagi, tentu
kau akan sehat kembali."
Sudah beberapa gadis cantik yang pernah dilihat Tian Pek, seperti Buyung Hong
yang dingin dan anggun, Tian Wan-ji yang polos dan lincah serta Kim Cay-hong
yang mendapat julukan Kanglam-te-it-bi-jin.
Akan tetapi gadis yang berada di depannya saat ini bennr2 luar biasa sekali,
kecantikannya sedikitpun tidak berada dibawah Kim Cay-hong, kelincahan dan
kepolosannya tidak kalah daripada Tian Wan-ji, malahan tampaknya lebih
anggun daripada Buyung Hong, wajahnya begitu cerah bagaikan sang surya di
musim semi.
Dandanannya juga sederhana, ia tidak berbedak maupun memakai gincu. gerak-
geriknya lugu
seperti anak perawan keluarga rakyat kecil, tapi bergaya lembut dan anggunnya
puteri keluarga bangsawan. cuma tidak mewah dan tidak angkuh.
Tian Pek tertegun termangu seperti orang kehilangan sukma. selang sesaat
kemudian ia terus berpaling ke arah lain dan seperti ingin mencari sesuatu.
"Eh, apa yang kau cari?" tiba2 si gadis cantik menegur dengan tertawa manis.
"Tadi aku seperti melihat seorang manusia aneh bermuka hijau dan berambut
merah . . ."
Gadis itu tertawa pula. ia ambil sebuah topeng dibelakangnya dan diperlihatkan
kepada anak muda itu.
Sekarang Tian Pek baru tahu, kiranya manusia aneh bermuka hijau dan
berambut merah itu tak lain adalah penyamaran gadis ini dengan topengnya.
"O, rupanya nona menggodaku dengan memakai topeng ini!" katanya
kemudian, "Ai, kalau begitu, agaknja nona pula yang telah menyelamatkan
jiwaku?"
Kembali gadis itu tertawa manis dan mengangguk.
"Boleh kutahu siaba nama nona agar budi kebaikan ini dapat kubalas di
kemudian hari!" tanya Tian Pek.
Gadis itu tertawa dan tidak menjawab, dia angkat topeng bermuka hijau dan
berambut merah itu sambil menggerakkannya kesana kemari.
Tian Pek melongo bingung, ia tak paham apa maksud gadis itu, maka ditatapnya
gadis itu dengan sorot mata penuh tanda tanya.
"Coba tebak siapa namaku?" tanya gadis itu sambil tertawa.
"Ah, rupanya nona suka bergurau, masa nama orang boleh sembarangan
dijadikan tebakan?"
Gadis itu menatapnya lekat2 penuh arti, katanya kemudian: "Engkau betul2 tak
tahu atau cuma pura2 bodoh?"
Tian Pek jadi melengak. sekali lagi dia mengamati wajah orang yang cantik jelita,
ia berusaha mengumpulkan semua ingatannya, tapi ia merasa benar2 belum
pernah berjumpa dengan nona ini,
Iapun tidak pernah mendengar bahwa di dumni Kangouw ada seorang gadis
cantik yang suka mengenakan topeng setan begini. Dengan menyengir akhirnya
ia berkata "Aku belum pernah bertemu muka dengan nona, juga belum pernah
mendengar...."
"Masa kau belum lagi tahu siapa diriku setelah melihat topeng ini?" sekali lagi
gadis itu menegur sambil memperlihatkan topengnya.
Tian Pek tambah bingung, untuk sesaat ia tak mampu menjawab, dalam hati ia
berpikir: "Jangan2 gadis ini memang memiliki nama besar di dunia persilatan?
Mungkin aku yang picik dan kurang pengalaman, maka tidak tahu siapa dia . . . ."
Sementara dia masih termenung, gadis itu tertawa manis, sambil menepuk
pemuda itu bagaikan kasih sayang seorang ibu ia berkata: "Kau tak perlu peras
otak untuk memikirkan soal itu lagi, akhirnya toh kau akan tahu sendiri, kini
lukamu belum sembuh, walaupun senjata rahasia yang bersarang di tubuhmu
sudah kucabut keluar dan racun yang mengeram ditubuhmu telah kupunahkan,
akan tetapi paling sedikit kau perlu istirahat selama tiga sampai lima hari,
perutmu tentu sangat lapar bukan? Tunggulah sebentar disini, akan kucarikan
makanan bagimu . . ."
Setelah membuang enam kepingan mata uang tembaga hijau di sisi Tian Pek. dia
segera berkelebat pergi dengan cepat.
"Cepat amat gerak tubuhnya," diam2 Tian Pek memuji sambil menjulur lidah.
Jangankan ia sendiri tak mampu menandingi, sekalipun paman Lui yang lihay
Ginkangnya serta Wan-ji yang pernah dipuji Sin-lu-tiat-tan rasanya juga sukar
menandingi kehebatan nona itu.
Tanpa terasa pikiran Tian Pek melayang jauh, melihat Ginkangnya yang lihay
dapat diduga pula ilmu silatnya pasti sangat tinggi, pasti juga namanya sangat
tersohor di dunia persilatan, tapi siapakah dia? Mengapa belum pernah
terdengar selama ini?
Akhirnya sorot matanya tertuju pada enam keping mata uang yang ditaruh gadis
itu di sampingnya sebelum pergi tadi. Mendingan kalau tak memandang benda
itu, darah panas segera bergelora dan matapun merah berapi.
Nyata sedikitpun tak ada bedanya antara ke enam keping mata uang ini dengan
mata uang tembaga yang ditinggalkan mendiang ayahnya, mata uang inilah yang
disebut Cing-hu-piau, senjata rahasia andalan Cing-hu-sin Kim Kiu.
"Ayah tewas terkena senjata rahasia beracun ini, untung ada gadis cantik itu
yang menolong aku, kalau tidak, mungkin akupun sudah tewas seperti apa yang
dialami ayah?"
Makin dipikir pemuda itu merasa semakin sedih, gusar dan dendam, tanpa
terasa ia pegang beberapa keping mata uang itu.
Cahaya pelita tiba2 berguncang terembus angin, menyusul sigadis yang
memakai topeng itu telah muncul kembali di hadapannya.
"Jangan sentuh benda itu!" bentak nona itu cepat. "Mata uang itu mengandung
racun yang keji!"
Maka cepat Tian Pek menarik kembali tangannya.
"Tiga hari lamanya racun baru hilang dari sekitar mata uang ini," kata nona itu.
"Sekarang baru hari kedua, kalau ingin memegangnya tunggu saja sampai
besok . . .."
"Apa? Jadi aku sudah dua hari berada disini?" tanya Tian Pek dengan terkejut.
"Dari malam Cap-go-meh sampai malam Cap-jit tepat sudah dua hari," ucap
nona itu sambil tertawa cekikikan. "Sebenarnya akupun terlalu tegang, sekalipun
racun mata uang ini lihay sekali, asal tidak masuk darah takkan memberi reaksi
apa2, tadi aku kuatir mata uang itu melukai jari tanganmu hingga berdarah,
kalau sampai terjadi begitu kan kau sendiri yang susah."
Sambil bicara ia taruh makanan yang dibawanya ke hadapan pemuda itu,
kemudian menanggalkan topengnya, lalu berkata lagi: "Nah, makanlah! Sudah
dua hari engkau tidak makan apa2, tentu sudah lapar bukan?"
Ketika bungkusan itu dibuka ternyata isinya adalah seekor bebek panggang
Lamkeng serta belasan cakwe.
Bebek panggang Lamkeng sangat tersohor, jangankan dimakan, baunya saja
sudah cukup membuat orang mengiler, apalagi Tian Pek sudah dua hari tidak
makan tidak heran kalau ia mengganyang hidangan yang diberikan itu dengan
lahapnya.
Saking bernapsunya pemuda itu mengganyang hidangan itu sampai mulutnya
jadi penuh dan tak tertelan, dia kelolodan makanan yang menyumbat
tenggorokannya tak bisa masuk dan tak bisa keluar, saking paniknya wajahnya
menjadi merah padam.
Mimik wajahnya yang lucu itu menggelikan hati si nona ia tertawa ter-pingkal2,
perutnya jadi sakit dan air matanya ikut berlinang.
"Hei, tuanku, makanlah pelahan sedikit!" serunya sambil tertawa. "Jangan2
tidak mampus karena senjata rahasia, tapi mati keselak, nah, baru konyol."
Tiba2 kerongkongan Tian Pek berkeruyukan dan matanya mendelik, si nona
menjadi kuatir, tapi pemuda itu lantas tarik napas panjang dan berseri.! "Aduh,
hampir saja aku mati tercekik . . ."
Melihat kelakuan Tian Pek yang lucu itu, si nona tertawa ter-pingkal2, tanpa
terasa ia menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu.
Tapi mendadak Tian Pek menjerit kesakitan, kiranya si nona lupa pada luka
ditubuh anak muda itu, cepat ia berbangkit. Dilihatnya anak muda itu sedang
memandangnya dengan muka merah, maka si nona lantas mencubit lagi dan
keduanya sama2 tertawa pula cekakak dan cekikik.
Tengah bercanda dengan riang gembiranya, tiba2 di luar kelenteng ada suara
keresekan yang lirih, suara yang menyerupai daun jatuh, bila tidak diperhatikan
pasti tidak mendengarnya, tapi hal ini tak dapat mengelabui si nona yang lihay
itu.
Gelak tertawanya seketika terhenti, ia melompat dan membentak nyaring:
"Siapa di sana? Berani mengintip?"
Begitu kata2 terakhir terucapkan, tahu2 ia sudah melayang keluar.
Sungguh gesit dan cepat gerak tubuh nona itu, tapi di luar tak tertampak
sesosok bayangan manusiapun, suasana tetap hening.
Nona itu percaya penuh pada ketajaman pendengarannya, meski tidak berhasil
menemukan jejak musuh, ia percaya bahwa pendengarannya pasti tidak salah.
Ia berdiri dengan bertolak pinggang, ia mendengus, ucapnya: "Hm, tentunya kau
tahu siapa yang berdiam di sini, kalau berani mengintip lagi, jangan menyesal
nonamu tidak sungkan2 lagi padamu."
Pada waktu bicara sekarang, air mukanya yang cantik telah timbul warna guram,
kendati suaranya tidak begitu keras, akan tetapi tersiar sampai belasan li
jauhnya.
Apabila betul ada orang yang mengintip, dalam jarak seluas sepuluh li pasti
dapat mendengar ucapan si nona yang merdu bagaikan burung berkicau tapi
mengandung nada seram dan mengancam itu.
Selesai mengucapkan kata2nya nona itu tidak peduli adakah orang yang
bersembunyi di sekitar situ, ia melayang keudara, setelah berputar satu kali,
ibarat burung walet kembali ke sarang, dia menerobos jendela dan masuk ke
ruang kelenteng tadi.
"Engkau berhasil menemukan sesuatu, nona?" tanya Tian Pek.
Senyum manis menghiasi wajah nona itu, berbeda sekali suaranya kini dengan
nada ancamannya yang mengerikan diluar tadi Ia menjawab: "Kemungkinan ada
satu-dua ekor tikus kecil yang bernyali besar bersembunyi di atas sana dan
mengintip kita bergurau!"
Tian Pek tidak berbicara lagi, persoalan itu tak dipikirnya. Untung ia tidak
sempat mendengar
ucapan si nona yang seram di luar tadi, kalau tidak niscaya dia takkan bersikap
setenang itu.
Hal ini bukan karena ketajaman pendengaran Tian Pek tidak berfungsi lagi,
soalnya ucapan si nona tadi sengaja dipancarkan dengan senacam kepandaian
khusus yang disebut Gi-ih-coan-im (menyampaikan suara dengan bahasa
semut), ia dapat memancarkan gelombang suara pembicaraannya hingga sejauh
sepuluh li lebih, langsung disampaikan ke telinga orang yang dituju, sebaliknya
bagi orang yang bukan tujuannya, kendatipun berada beberapa meter
didepannya juga takkan mendengar apapun.
Nona cantik itu tidak bilang kepada Tian Pek bahwa dia bicara apa2 kepada
orang yang mengintip mereka, maka Tian Pek sendiripun tidak mendengar apa
yang diucapkan nona itu ketika berada di luar kelenteng tadi.
Seperti tidak pernah terjadi apapun, kembali nona cantik itu bergurau dengan
Tian Pek, kemudian ia menina-bobokan pemuda itu agar tertidur, dia sendiri
duduk bersimpuh di depan pembaringan sambil mengatur pernapasan.
Tapi dapatkah Tian Pek tidur? Sebentar2 ia teringat kembali usaha balas
dendamnya yang gagal, kemudian teringat akan Wan-ji yang terjatuh di tangan
Cing-hu-sin Kim Kiu, lalu terbayang pula kawanan jago persilatan yang terjebak
oleh Sek-ki-tay-tin di istana keluarga Kim, entah bagaimana nasib mereka?
Setelah itu ia terbayang pada Kim Cay-hong yang cantik, Buyung Hong yang
pernah bertelanjang bulat didepannya, mengingat betapa sucinya tubuh
telanjang seorang gadis, mengingat pula watak Buyung Hong yang dingin dan
angkuh. bila gadis itu tidak mencintai dirinya, mengapa ia menunjukkan
badannya yang bugil di depannya?
Sekalipun pada waktu itu dia terpengaruh oleh irama seruling pembetot sukma
yang mengacaukan pikiran sehat dan kesadarannya, tapi kalau tubuh telanjang
seorang gadis sudah diperlihatkan padanya, kecuali dirinya mengawini gadis itu,
kalau tidak hidup si gadis ini berarti sudah tamat.
Teringat akan persoalan ini, diam2 Tian Pek merasa gelisah bercampur kuatir
bagi Buyung Hong, ia merasa gadis yang suka murung ini patut dikasihani, gadis
itu selalu terkurung didalam rumah, se-akan2 seekor burung yang berada
disangkar emas, sama sekali tiada kebebasan.
Namun Tian Pek tak dapat mengawini gadis tersebut, bukannya dia tak
mencintai nona itu, sekalipun pemuda yang berhati baja juga akan luluh
menghadapi ketulusan hati si nona, apalagi Tian Pek adalah pemuda yang
berperasaan dan berbudi.
Akan tetapi, apa mau dikata, Buyung Hong adalah puteri pembunuh ayahnya,
ayah gadis itu adalah musuh besar yang akan dibunuhnya, mungkinkah dia
mengawini anak gadisnya?
Tiba2 Tian Pek teringat juga pada Hoan Soh-ing, kegagahan serta kecantikannya
mendatangkan suatu perasaan lain bagi anak muda ini, meski diwaktu berada
dalam gua batu ia telah mengurut jalan darahnya dan menyembuhkan lukanya,
walau pun dia menyentuh tubuhnya yang halus, empuk dan menggiurkan itu,
namun tiada suatu ingatan jahat yang terlintas dalam benaknya, ia hanya
menganggapnya sebagai seorang sahabat karib . ....
Sayang ayahnya termasuk pula salah seorang musuh besar yang membunuh
ayahnya. Ai, hampir semua kekasihnya adalah keturunan musuhnya.
Mungkinkah ia ditakdirkan hidup sebatangkara?
Perasaan Tian Pek mengalami pergolakan yang hebat, bagaikan ombak
samudera yang bergolak, jangankan tidur, untuk menenangkan pikiran saja
susah.
Sering ia membuka mata dan melirik gadis cantik yang telah menyelamatkan
jiwanya ini, dia ingin tahu siapakah nona ini dan darimana asal-usulnya,
Dia benar2 cantik molek, Tian Pek tahu dirinya bukan orang yang gila
perempuan, apalagi dirinya mengemban tugas membalas dendam, kini dirinya
dalam keadaan luntang-lantung tanpa tempat meneduh, dalam keadaan merana
ia harus menghadapi godaan cinta Wan-ji. Buyung Hong. Hoan Soh-ing, Kim Cay-
hong.... gadis2 itu sama jatuh cinta padanya dan terasa sukar menyelesaikannya,
masa sekarung harus bertambah lagi keruwetan baru?
Istimewa sekali gaya nona itu sewaktu mengatur pernapasan, ia tidak duduk
bersila, melainkan duduk dengan sebelah kakinya menekuk, kaki yang lain
diluruskan kedepan, tangan menopang dagu, bulu mata panjang menaungi
matanya yang jeli dengan senyum manis menghiasi bibirnya. Lesung pipinya
kelihatan nyata, begitu indah menawan gayanya mirip sebuah lukisan wanita
cantik yang sedang tidur.
Dilihatnya kabut putih tipis menguap dari telinga, hidung serta bibirnya, kabut
putih itu membumbung ke atas dan menggumpal di atas kepala membentuk tiga
kuntum awan yang berbentuk seperti bunga.
Ditinjau dari semua itu, jelas Lwekang si nona sudah mencapai puncak
kesempurnaan yang tak terkirakan.
Nona itu terlalu cantik, begitu cantik hingga sukar dilukiskan, walaupun tiada
pikiran jahat yang melintas dalam benak Tian Pek, namun tanpa terasa iapun
memandangnya dengan terbelalak.
Mendadak nona itu membuka matanya dan terseuvum manis, senyuman yang
menggiurkan dan mesra. Terguncang hebat perasaan Tian Pek.
Pelahan nona itu meluruskan kedua kakinya, lalu bangkit dan menghampiri Tian
Pek, dengan pelahan dia meraba tubuhnya.
Hangat dan halus belaian tangan si nona. Tian Pek merasa peredaran darahnya
bertambah cepat dan makin bergolak, ia hampir tak sanggup mengendalikan
perasaan lagi ....
Tiba2 si nona membisikannya: "Agar lukamu cepat sembuh, biarlah kukorbankan
sebagian tenaga murniku untuk mengobati kau, sekarang salurkanlah tenagamu
untuk mengiringi aliran hawa murniku!"
Tian Pek merasa malu sendiri, mukanya menjadi panas, pikirnya: "Wahai Tian
Pek, engkau menganpgap dirimu sebagai seorang laki2 sejati, seharusnya kau
tidak boleh sembarangan berpikir. Orang lain bermaksud baik hendak
menyembuhkan lukamu tapi kau. . .."
Berpikir sampai disini, segera ia tarik kembali pikiran busuknya dan
membersihkan pikirannya dari segala maksud jahat, perhatian dipusatkan jadi
satu dan hawa murnipun disalurkan menyusuri badan.
Ia merasa si nona mulai meraba tubuhnya, segulung hawa panas segera
menyusup dan mengelilingi seluruh badannya.
Kedua telapak tangan gadis itu meraba kian kemari tiada hentinya, Tian Pek
merasakan badan bertambah nyaman dan segar, begitu nyaman sampai rasa
sakit pada lukanya tidak terasa lagi.
Ketika terapi penyembuhan itu mencapai puncaknya, tiba2 gadis itu mengerut
dahi dan berhenti meraba, telinganya menangkap sesuatu yang mencurigakan,
hawa napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya.
Selagi Tian Pek heran oleh perubahan air muka si nona, mendadak ia meraih
topeng dan dipakainya, sekali melejit ia terus melesat keluar kelenteng itu.
Kecantikan nona itu memang luar biasa, dikala tersenyum bahkan bagaikan
bunga yang sedang mekar, tapi bila air mukanya berubah, maka seramnya
membikin orang bergidik, terutama tingkah lakunya yang serba misterius, serba
rahasia asal-usulnya, mau tak-mau membuat Tian Pek menjadi takut.
Ia coba memeras otak pula untuk menyelami asal-usul gadis itu, ia ingat kembali
apakah di dunia persilatan pernah ada tokoh seorang gadis cantik yang
bertopeng setan begini?
Jangan2 dia adalah orang yang dikirim musuhnya untuk mencelakainya? Tapi
jelas hal ini tak mungkin terjadi, sikapnya sangat baik, malahan dia bersedia
mengorbankan hawa murninya untuk mengobati luka yang dideritanya, kalau
dia orang yang dikirim musuh, kenapa dia malah bantu menyembuhkan
lukanya? ....
Begitulah selagi macam2 pikiran berkecamuk dalam benak Tian Pek, tiba2
terdengar kain baju berkesiur, menyusul sesosok bayangan orang melayang
masuk ke dalam ruangan.
Tian Pek mengira gadis cantik yang misterius itu telah kembali, semula ia tidak
menaruh perhatian, akan tetapi setelah orang itu berada di depannya barulah ia
terperanjat.
Ternyata pendatang ini bukan gadis cantik itu, melainkan seorang pemuda
pelajar tampan berbaju putih.
Tahun baru adalah musim dingin, meski Tian Pek tidur beralaskan onggokan
rumput kering dan berselimut masih juga terasa dingin. tapi pemuda pelajar ini
justeru membawa kipas lempit sehingga kelihatan sangat menyolok dan janggal.
Agak tercengang Tian Pek menyaksikan kehadiran orang yang tak dikenal ini.
Pemuda baju putih itu lantas tertawa dan menyapa: "Anda asyik benar ditemani
Hong-gan-mo-li (iblis wanita berwajah cantik), tampaknya kau menjadi lupa
daratan."
"Mengapa anda berkata demikian? . . ." seru Tian Pek dengaa bingung.
Pemuda berbaju putih itu mengetuk kipas peraknya di atas telapak tangan
kirinya, lalu menjawab: "Perempuan cantik tak lebih cuma tengkorak yang
berdaging, kecantikan perempuan juga seperti ulat yang berbisa, sebelum kau
sadar dari impian indahmu, mungkin kau sudah akan menjadi setan
gentayangan di kelenteng bobrok ini!"
"Apa artinya perkataanmu ini?" sekali lagi Tian Pek bertanya dengan terkejut.
"Kecantikan dan perempuan sebetulnya tenyata kosong belaka, lautan
kesengsaraan tak bertepi, berpaling adalah daratan. . . ." kata pula pemuda baju
putih itu seperti khotbah seorang pendeta.
Tian Pek benar2 dibikin bingung oleh perkataan orang. "Apabila anda ingin
memberi sesuatu petunjuk, harap bicaralah terus terang mengapa pakai istilah2
yang membingungkan orang . . ."
"Hahaha?" pemuda baju putih itu ter-bahak2. "Benarkah kau tidak kenal
perempuan iblis itu? Berani kau bermesraan dengan dia?!"
Tentu saja Tian Pek tidak mengetahui asal usul gadis cantik yang serba misterius
itu, tapi bagaimanapun juga orang telah menyelamatkan jiwanya, maka ia tak
menaruh prasangka jelek atas nona itu. Kini cara bicara pemuda baju putih ini
seperti main teka-teki diam2 ia tidak senang.
"Bila tak ada urusan lain, silakan anda tinggalkan saja tempat ini!" demikian kata
Tian Pek. "Maaf, Cayhe sedang sakit dan tiada nafsu untuk berbicara dengan
anda."
"Aku hanya bermaksud baik saja padamu, tak tahunya malahan menimbulkan
salah paham! Baiklah, kalau kau belum tahu, biarlah kukatakan terus terang
padamu, iblis perempuan itu tak lain adalah 'Ang-hun-ko-lau-mo-kui-kiau-wa'
(Boneka cantik iblis sakti siluman tengkorak)! Gembong iblis nomor wahid di
kolong langit dewasa ini, tahu tidak?"
Tidak kepalang kaget Tian Pek demi mendengar keterangan ini. "Sungguhkah
perkataanmu?" ia menegas.
"Buat apa kubohongi kau? Sejak dari 'pulau iblis' di lautan timur sana kukuntit
iblis ini, masa keteranganku ini dapat keliru?"
"Ah, tak kusangka dia adalah. . .tak kusangka ....sungguh sukar untuk dapat
dipercaya ...."
Perlu diketahui. Ang-hun-ko-lau, Kui-bin-kiau-wa (Tengkorak cantik, boneka
bermuka setan) adalah seorang gembong iblis yang namanya sangat termashur
di dunia persilatan sejak puluhan tahun yang lalu. wajahnya memang cantik
jelita bak bidadari kahyangan, akan tetapi hatinya kejam melebihi ular berbisa,
ilmu silatnya sangat tinggi hingga sukar diukur, tabiatnya juga sangat cabul dan
dengki, setiap lelaki tampan tentu akan ditawannya untuk dipikat dan dirayu,
bila kurang mencocoki seleranya laki2 itu lantas dibunuhnya.
Pantangannya yang terbesar adalah bertemu gadis cantik, perempuan cantik
yang ditemuinya pasti dibunuhnya dengan cara keji, bukan saja matanya dicukil
dan lidahnya dipotong, wajah mereka yang cantik dirusak hingga tak berwujud
manusia lagi, dalam keadaan begitu baru korban ditinggalkan dan
membiarkannya sekarat dan akhirnya mati.
Oleh karena kekejamannya, meskipun belum lama ia muncul di dunia Kangouw,
namun seluruh dunia sudah digemparkan oleh kecabulan serta kekejamannya,
akan tetapi karena ilmu silatnya terlalu tinggi, jarang sekali ada orang yang
sanggup menandinginya.
Itulah sebabnya hanya dalam beberapa tahun saja banyak sekali muda mudi
yang hancur masa depannya dan tewas secara mengerikan di tangan
perempuan berhati iblis ini.
Bukan saja jago muda dari kalangan hitam yang menjadi korban, seringkali jago
muda dari golongan putih pun terbunuh. lama2 kejadian ini menimbulkan
kegusaran semua pihak, baik jagoan dari golongan putih maupun dari kalangan
hitam sama membencinya, akhirnya bergabunglah semua kekuatan dunia
persilatan uutuk ber-sama2 menumpas perempuan blis itu, dalam suatu
pertarungan yaug sengit di puncak Thay-san, akhirnya iblis itu berhasil melarikan
diri dari kepungan.
Dalam pertarungan sengit itu banyak juga korban di pihak delapan perguruan
besar serta kawanan jago Lok-lim dari tujuh propinsi di selatan dan enam
propinsi di utara. Sebab itulah maka akhir2 ini nama Su-tay-kongcu semakin
menonjol dan menjagoi Bu-lim tanpa kesukaran.
Sejak itu pula tengkorak cantik gadis bertopeng setan itupun lenyap dari
keramaian dunia. Ada orang mengatakan ia tewas akibat luka parah yang
dideritanya, ada pula yang mengatakan ia bertapa di "pulau iblis" di lautan
timur, tapi bagaimanapun tak seorang yang tahu jelas,
Tahun berganti tahun, kejadian yang menggemparkan itupun sudah dilupakan
orang, kalau ada yang mengungkap kembali juga cuma dijadikan kisah menarik
belaka di waktu senggang.
Tian Pek pernah mendengar cerita itu dari para Piausu tua di perusahaan
pengawalan dulu, tapi mimpipun ia tak menyangka gadis cantik yang telah
menyelamatkan jiwanya itu adalah tengkorak cantik gadis bertopeng setan, bisa
dibayangkan betapa terkesiapnya.
Cuma saja ada satu hal ia merasa sangsi, gadis yang menyelamatkan jiwanya itu
masih amat muda, mungkinkah dia ini gembong iblis yang pernah
menggemparkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu?
Maka sambil tertawa ia berkata: "Apakah ucapanmu ini dapat membuat aku
percaya?"
"Ya, kutahu kau takkan percaya pada perkataanku, tapi kelak bila kau percaya
mungkin waktu itu sudah terlambat bagimu," demikian kata pemuda itu.
Mendadak terdengar orang mendengus di belakang. cepat pemuda berbaju
putih itu berpaling, entah sedari kapan gadis bertopeng setan itu sudah berdiri
di tengah ruangan.
Topeng yang bermuka hijau dan berambut merah serta bertaring menutupi
seraut wajah yang cantik jelita, kecuali perawakannya rada pendek dan kecil ia
memang persis seperti iblis yang menakutkan.
Untung Tian Pek pernah menyaksikan wajah aslinya, kalau tidak, pasti takkan
tersangka bahwa makhluk aneh seperti setan ini sebenarnya adalah penyaruan
seorang gadis jelita.
Dengan suara dingin menyeramkan gadis bertopeng setan itu menjengek: "Hm,
sudah kuduga pasti kau inilah yang ngacau, Huuh, selicik-liciknya akal busukmu
jangan harap bisa membohongi aku, cuma akupun merasa heran, apa sebabnya
kau selalu membuntuti kepergianku dan selalu saja mengacau dan mengganggu
kegembiraanku. Sebenarnya apa maksudmu?"
Pemuda berbaju putih itu tidak menjawab, mendadak ia melancarkan suatu
pukulan dahsyat.
"Blang," gadis bertopeng menangkis pukulan itu, benturan keras mengguncang
sekelilingnya, pelita di atas meja ikut tersampuk padam.
Suasana menjadi gelap gulita, pertempuran berlangsung semakin gencar, Tian
Pek berbaring dan tak dapat mengikuti jalannya pertarungan itu dengan jelas,
tapi ia dapat merasakan betapa ttaam dan hebatnya desingan angin pukulan
kedua pihak.
Di tengah kegelapan, mendadak terdengar gadis bertopeng setan itu
membentak nyaring: "Kau ingin lari lagi!...."
Menyusul angin pukulan semakin men-deru2, tampaknya si gadis bertopeng
setan telah mempergencar serangannya.
Tiba2 si pemuda baju putih berseru: "Maaf, aku tak dapat menemani terlalu
lama! Tapi kaupun jangan keburu bangga dulu, bila Hay-gwa-sam-sat (tiga
malaikat bengis dari lautan) tiba, saat itulah ajalmu akan tiba."
ata terakhir kedengaran berkumandang dari puluhan kaki jauhnya, jelas pemuda
baju putih itu sudah berhasil kabur keluar kelenteng dengan kecepatan luar
biasa.
"Hm, sampai ke ujung langitpun akan kubekuk kau!" terdengar suara gadis
bertopeng setan menggema dikejauhan.
Diam2 Tian Pek menjulurkan lidah saking kagumnya, sungguh cepat sekali gerak
tubuh mereka dan sukar dicari bandingannya.
Suasana dalam kelenteng kembali hening, dengan pikiran kalut Tian Pek
berbaring sendirian disitu, ia merasa sudah banyak pengalaman aneh yang
dialaminya selama ini, tapi pertemuannya dengan gadis bertopeng setan serta
pemuda berbaju putih inilah terhitung pengalaman yang paling aneh dan
membingungkan.
Ia pikir bila gadis bertopeng setan itu benar adalah Tengkorak cantik gadis
topeng setan seperti apa yang dikatakan pemuda berbaju putih itu, maka aku
harus bersyukur dapat terhindar dari cengkeramannya. Tapi kalau dipikir lagi hal
inipun tak mungkin terjadi. Iblis keji itu sudah tersohor sejak puluhan tahun
berselang, masa ia masih begitu muda dan kecil? Siapapun tak akan percaya.
Juga pemuda berbaju putih yang tak dikenalnya itu mengapa sengaja datang
membongkar rahasia gadis itu dengan menempuh bahaya?
adahal setelah kepergok gadis bertopeng segera pula pemuda itu berusaha
melarikan diri dan menggunakan nama Hay-gwa-sam-sat untuk me-nakuti si
nona, siapa gerangan Hay-gwa-sam-sat yang dimaksudkan itu?
Semakin dipikir Tian Pek semakin bingung, akhirnya dia anggap baik si gadis
bertopeng setan maupun pemuda yang berbaju putih, keduanya bukan orang
baik2, gerak-gerik mereka mencurigakan, asal-usulnya dirahasiakan, namapun
sungkan dikatakan, semuanya serba tidak beres, bila terjatuh didalam
cengkeraman mereka, tentu lebih banyak celaka daripada selamatnya.
"Daripada menanggung derita di tangan mereka, lebih baik kucari tempat
bersembunyi lain untuk merawat lukaku? Bila luka sudah sembuh, segera kucari
jalan untuk membalaskan dendam ayah."
Begitu timbul keinginan kabur, serta merta Tian Pek menggerakkan tangan
kakinya dan rasa sakit ternyata sudah hilang ia mengerahkan pula hawa
murninya dan terasa bisa terhimpun, betapa girangnya anak muda itu, ia tahu
berkat pertolongan si nona bertopeng setan itu ia telah sehat kembali.
Tapi ketika ia bangkit berduduk, seketika ia tertegun bingung. Kiranya ketika tak
sadar, ia tak merasa tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat. pakaiannya entah
sejak kapan sudah dibelejeti.
Dalam kagetnya Tian Pek coba meraba sekujur badannya, kecuali lengan dan
kakinya yang dibalut dengan kain, boleh dibilang ia betul2 dalam keadaan
telanjang bulat.
Kejut Tian Pek sukar dilukiskan, cepat ia meraba disana-sini, akhirnya di tengah
kegelapan ia berhasil menemukan bajunya, cuma pakaian itu sudah ter-koyak2
tak keruan.
Sekarang Tian Pek baru mengerti, rupanya untuk membalut dan mencabut
keluar senjata rahasia yang bersarang di tubuhnya, gadis bertopeng itu telah
merobek bajunya.
Teringat dirinya dibelejeti hingga bugil oleh seorang nona jelita, tanpa terasa
muka Tian Pek menjadi merah.
Tapi ada sesuatu yang membuatnya terlebih cemas daripada rasa malunya itu,
yakni kitab pusaka Thian-hud-pit-kip yang dipandangnya lebih berharga
daripada jiwanya kini ikut lenyap.
Cepat ia meraba tempat lain, Pedang Hijau Bu-ceng-pek-kiam juga lenyap tak
berbekas.
aking gusarnya Tian Pek mencaci-maki kalang kabut Setelah mengetabui pedang
pusakanya diambil orang, niatnya untuk kabur seketika lenyap, sekarang dia
malah ingin menentui gadis bertopeng setan itu untuk menuntut kembali kitab
pusaka Thian-hud-pit-kip serta Pedang Hijau.
Pakaiannya sudah jelas tak mungkin bisa dikenakan lagi, dengan hati
mendongkol ia merobek kain selimutnya menjadi beberapa potong lalu diikat di
tubuh dengan kain bajunya yang robek, meski bentuknya menjadi lucu sekali,
tapi paling sedikit bagian vital di tubuh dapat ditutupi dan juga untuk menolak
hawa dingin.
Selesai berdandan, dengan langkah cepat dia menyusup keluar, terlihat bulan
telah condong ke barat, sinar yang bening menyoroti kelenteng yang bobrok itu
menciptakan suatu pemandangan yang suram.
ian Pek tak tahu kelenteng ini berada dimana, tapi segera ia menuju ke arah
pergi pemuda baju putih serta si gadis bertopeng tadi.
Beberapa li telah ditempuhnya tanpa terasa, namun tiada sesuatu tanda yang
dilihatnya, yang melintang di depan mata adalah sebuah suugai yang lebar.
Gemerlapan air sungai dengan suaranya yang men-debur2, tapi tiada bayangan
seorangpun yang kelihatan.
Tian Pek mengira dia salah arah, baru saja dia akan putar balik ke tempat
semula, dari tepi sungai sebelah kiri sana mendadak terdengar suara langkah
orang yang semakin dekat.
Dari suaranya, Tian Pek menduga jumlah pendatang pasti lebih daripada satu
dua orang, tergerak pikirannya, cepat ia menyusup ke balik semak2 dan
bersembunyi.
Di bawah cahaya rembulan yang terang, dengan jelas anak muda itu dapat
menyaksikan munculnya serombongan orang dari balik alang2 di tepi sungai
sana.
Panjang juga barisan itu, ada berpuluh orang jumlahnya, semua bertubuh kekar,
pada masing2 bahu mereka memanggul sebuah peti yang tampaknya berat
sekali.
Setiba di tepi sungai, orang2 itu menurunkan peti dan menyusunnya dengan
rapi. Kebetulan Tian Pek bersembunyi dekat dengan tumpukan peti itu, maka
semua dapat terlihat dengan jelas.
Mereka terdiri dari laki2 kekar berpakaian ringkas, malahan diantaranya adalah
jago pengawal berseragam yang sudah dikenal oleh Tian Pek.
"Ah, bukankah mereka ini jago istana keluarga Kim?" demikian ia membatin.
"Kenapa di tengah malam buta begini mereka menggotong peti sebanyak ini
ketepi sungai? Tampaknya juga bukan
pindah rumah, sungguh aneh . . ."
Sementara Tian Pek masih ragu, terdengar seorang pengawal dengan napas ter-
engah2 berkata: "Entah apa yang hendak dilakukan majikan kita ini? Tengah
malam buta begini kita diperintahkan mengangkut peti2 berat ini ketepi sungai,
tampaknya bukan pindah rumah, tapi kenapa barangnya diangkut semua kemari
. . . ."
"Ssst, Lo-su! Masa kau tidak tahu?" bisik rekannya dengan lirih, "kudengar
orang2 yang kemarin dulu terkurung di dalam Sek-ki-tay-tin itu entah sebab apa
tahu2 hari ini sudah kabur semua, mungkin majikan kita takut mereka akan
datang membalas dendam, maka semua harta-benda diungsikan lebih dahulu,
kalau tak kuat menahan serbuan musuh beliau dapat segera mengundurkan
diri."
"Ah, masa betul?" seru pengawal pertama tadi dengan kaget.
"Bukankah sering kita dengar, katanya barang siapa terjebak di dalam Sek-ki-tay-
tin, maka selamanya tak bisa lolos? Kenapa orang2 itu bisa kabur?"
"Disitulah letak keanehannya, kudengar Sek-ki-tay-tin digerakkan bukan atas
perintah majikan kita, melainkan Beng-siauya yang melakukan sendiri, karena
peristiwa tersebut majikan jadi marah besar, ia menuduh Beng-siauya telah
mengacaukan rencananya, malahan karena peristiwa ini Beng-siauya telah
disekap dalam sel."
"Bukankah Beng-siauya selalu menuruti perintah majikan? kenapa kali ini dia
melanggar perintah? Apakah dia sudah sinting?"
"Memangnya kau anggap dia belum sinting? Kalau dia tak sinting, tak mungkin
Kongcu dan Siocia ikut dijebak pula disana."
Pengawal yang bernama Lo-su itu menggeleng kepala berulang kali, katanya
pula: "Lantas apa sebabuna dia sampai melakukan perbuatan sinting itu?"
"Kenapa lagi? Tentu saja disebabkan anak keparat she Tian itu. Sebenarnya
Beng-siauya dan Siocia dibesarkan bersama dalam satu keluarga, hubungan
mereka b*ak sekali, besar hasrat Beng-siauya akan menperisterikan Siocia,
malahan majikanpun sudah menyetujui persoalan ini. Apa mau dikata, sejak
kedatangan anak keparat she Tian itu mendadak sikap Siocia terhadap Beng-
siauya jadi dingin dan tawar, sebaliknya hubungannya dengan orang she Tian itu
bertambah mesra, maka Beng-siauya menjadi gusar tidak kepalang, dalam suatu
pertarungan sengit lengannya tertabas kutung oleh orang she Tian, tentu saja
Beng-siauya tambah dendam dan benci. Dua hari yang lalu Beng-siauya
bermaksud membalas dendam, siapa tahu ia malahan kena dipukul dan terluka
oleh pemuda Tian, dari sakit hati Siauya menjadi sinting, pada kesempatan
pemuda Tian berada dalam ruangan itulah. mendadak ia menggerakkan Sek-ki-
tay-tin untuk membunuh saingan cintanya itu ...."
Walaupun pelahan suara pembicaraan kedua orang itu, tapi berhubung Tian Pek
bersembunyi dekat dengan mereka, maka semua pembicaraan tersebut dapat
didengar olehnya dengan jelas.
Tiba2 dari tepi pantai di seberang muncul cahaya lampu yang bergoyang kesana
kemari, agaknya seorang diseberang sedang memberi tanda kepada orang yang
ada di sebelah sini.
Seorang laki2 berpakaian ringkas segera bersuit, lalu kepada rekan2nya ia
berkata: "Bersiaplah, perahu hampir datang!"
Dua orang pengawal yang sedang bercakap itupun menghentikan pembicaraan
mereka. Suara dayung membelah air bergema di tengah kesunyian, bayangan
perahu mulai mendekati pantai.
Cepat sekali laju perahu itu, permukaan sungai yang luasnya puluhan tombak itu
ternyata ditempuh dalam waktu singkat, menyusul munculnya perahu itu,
belasan buah sampan juga bermunculan, rupanya sampan kaum nelayan.
Pada sampan yang paling depan tampak seorang berduduk di atas sebuah kursi
beroda, orang itu tak lain adalah Cing-hu-sin Kim Kiu.
Setelah sampan menepi, orang2 yang berada di haluan sampan segera
menggunakan gaetan untuk menghentikan perahu, sementara orang di daratan
tadi segera menggotong peti2 itu dan diangkut ke atas perahu.
Tersirap darah Tian Pek demi berjumpa dengan Cing-hu-sin Kim Kiu, musuh
besar yang membunuh ayahnya, dia tak sanggup mengendalikan emosinya lagi
sambil membentak, secepat kilat ia melompat keiuar dari tempat sembunyinya.
"Kim Kiu bangsat tua! Serahkan jiwa anjingmu! . . . ." teriaknya penuh
kebencian, suatu pukulan dahsyat segera menabas tubuh kakek yang lumpuh
itu.
Kemunculan Tian Pek sangat mendadak, cepat pula serangannya, sebelum
kawanan jago yang ada didaratan mengetahui apa yang terjadi, tahu2 Tian Pek
sudah menerjang musuh.
Mimpipun Cing-hu-sin Kim Kiu tidak menyangka bakal disergap dalam keadaan
begitu, dalam gugupnya ia masih sempat menangkis datangnya serangan
tersebut.
=====
Dapatkah Tian Pek membunuh Kim Kiu, mengapa tengah malam buta Kim Kiu
hendak kabur?
Siapa sebenarnya si gadis bertopeng setan itu?
— Bacalah jilid ke 16 —
Jilid 16 : Liu Cui-cui, gadis bertopeng setan
"Blang!" di tengah beoturan keras, kursi berodanya berputar dan hampir saja
tercebur ke dalam sungai.
Untung banyak sekali jago2 pengawal berada di belakang kursi beroda ltu,
cepat mereka menahan kursi tersebut, sekalipun demikian, akibat guncangan
hebat perahu itu lantas terdorong meninggalkan pantai.
Betapa gusar dan kejut Cing-hu-sin Kim Kiu setelah menyaksikan rahasianya
terbongkar, dengan suara keras ia berteriak: "Cepat bekuk mereka, satupun
jangan terlepas, bunuh tanpa perkara!"
Rupanya ia tidak tahu banyak musuh yang datang, maka dia memberi
perintah begitu.
Diam2 Tian Pek menyesal karena terburu napsu, kini Cing-hu-sin telah kabur
ke tengah sungai, tak mungkin lagi baginya untuk menyeraog lagi.
Dalam pada itu belasan laki2 kekar tadi telah menurunkan peti mereka serta
mengepungnya.
Dengan tubuh hanya dibungkus dengan robekan kain selimut, Tian Pek tidak
gentar menghadapi musuh.
Sementara itu kawanan Busu ( jago silat ) teiah mengepung maju, setelah
tahu bahwa lawan hanya Tian Pek seorang, keberanian mereka bertambah
besar, diiringi suara bentakan, empat pengawal berbaju perang segera putar
pedang dan menusuk anak muda itu.
Dengan gesit Tian Pek putar badan menghindari serangan itu, telapak
tangannya menyapu ke depan kontan empat pengawal itu menjerit dan
mencelat.
Terkejut kawanan Busu lainnya, serentak mereka menghentikan gerak
majunya, nyata mereka menjadi jeri oleh perbawa Tian Pek yang sekali serang
merobohkan empat orang itu.
Tiba2 terdengar siulan nyaring, sesosok bayangan hitam melambung ke
udara, sesudah berputar satu lingkaran mendadak menukik dan menerkam Tian
Pek laksana burung rajawali menerkam mangsanya.
Dari gaya serangannya segera Tian Pek mengenali orang ini adalah Tiat-ih-hui-
peng (rajawali sakti bersayap baja) Pah Thian-bo, salah seorang di antara
"sepasang pengawal baja".
Semenjak mendapat ajaran ilmu sakti seratus hari dari Sin-lu-tiat-tan,
kepandaian Tian Pek sudah maju pesat, makin besar juga ia percaya pada diri
sendiri, kendatipun tahu bahwa Tiat-ih-hui-peng adalah jago utama istana
keluarga Kim, pula mempunvai "baju sakti bersayap baja" yang dapat
membantunya melambung ke udara, namun Tian Pek sama sekali tak gentar,
Ketika musuh menubruk turun. bukannya berkelit atau menghindar, Tiap Pek
malahan menyongsong ancaman tersebut dengan suatu pukulan dahsyat.
Dua kekuatan kebentur dan menerbitkan suara gemuruh.
Tian Pek tidak tergetar oleh benturan tersebut dan tetap berdiri di tempat,
sebaliknya Tiat-ih-hui-peng yang berada di udara terpental dan berjumpalitan
beberapa kali, lalu ia kuncupkan sayap dan melayang turun.
Kejadian ini sangat mengejutkan kawanan jago istana Kim yang hadir di
sekitar tempat itu, mereka tahu ilmu silat Tiat-ih-hui-peng sangat tangguh,
jarang ada kekuatan yang mampu menahan gempurannya, tapi kini jago mereka
ternyata menelan pil pahit yang mengenaskan.
Setiba di permukaan tanah, Tiat-ih-hui-peng mengebas sayap bajabya, dalam
kegelapan tak kelihatan bagaimana air mukanyu, tapi dapat diduga ia pun
terkejut, ia sedang mengatur pernapasan untuk mempersiapkan serangan
kedua.
Berpuluh lentera mendadak menyala di atas sampan, cahaya yang terang itu
menyorot ke arah Tian Pek.
Di bawah cahaya lampu, semua orang dapat melihat jelas dandanan Tian Pek
yang lucu itu, tubuhnya hanya dibungkus dengan robekan selimut, ikat
pinggangnya cuma beberapa helai kain baju, bukan &aja tanpa bersepatu.
malahan sebagian tubuhnya juga telanjang. Akan tetapi wajahnya yang cakap
kelihatan kereng.
Sebagian besar jago istana Kim kenal siapa dia, hampir semuanya bersuara
heran: "He, dia ..."
Cing-hu-sin Kim Kiu yang berada di perahunya dan berteriak lantang:
"Tangkap bangsat cilik itu, jangan sampai kabur, tangkap dia!"
Berpuluh orang dengan senjata terhunus segera bergerak maju, dalam waktu
singkat Tian Pek terkepung rapat, namun tak seorangpun yang berani
turun tangan lebih dahulu.
Terdengar gelak tertawa menggema, seorang kakek bungkuk tampil ke depan.
Inilah dia Tiat-pi to hong Kongsun Coh.
Ia menghampiri Tian Pek, tegurnya: "Hahaha, saudara cilik. hanya beberapa
hari tak bertemu, rupanya ilmu silatmu telah mendapat kemajuan lagi. Haha,
ada satu persoalan ingin kutanyakan padamu apakah kau bersedia memberi
jawaban?"
Selama berada di istana keluarga Kim, beberapa kali Tian Pek mendapat
bantuan dari kakek bungkuk ini, dengan sendirinya ia pun bcrkesan baik
padanya.
Maka dengan menahan rasa dendam yang berkobar ia menjawab:
"Persoalan apa yang hendak Kongsun cianpwe bicarakan?"
“Istana keluarga Kim menerima dirimu sebagai tamu terhormat, apa
sebabnya saudara malahan memusuhi kami?"
"Kongsun-cianpwe mungkin tidak tabu. Ayah-ku dibunuh oleh Cing-hu-sin
Kim Kiu, dia adalah musuhku, dengan sendirinya aku ingin menur.tut balas,
walau begitu aku masih bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah, barang siapa tidak tersangkut dalam peristiwa itu, akupun tak ingin
memusuhi dia, Kongsun-cianpwe, bila engkau bersedia cuci tangan di dalam
persoalan ini, aku Tian Pek niscaya takkan memusuhi dirimu!"
"Apakah aku boleh tahu siapakah mendiang ayahmu?" tanya Kongsuo Coh
dengan melengak.
"Tidak pantas seorang anak menyebut nama ayahnya, tapi kalau Cianpwe
ingin tahu, terpaksa kukatakan, mendiang ayahku tak lain adalah Pek lek-kiam
Tian In-thian!"
"O, maaf. maaf, kiranya saudara cilik ini keturunan Tian-tayhiap ..."
Di tengah kegelapan terdengar tuara dayung membelah air, Tian Pek kuatir
Cing-hu-sin Kim Kiu kabur, cepat dia berseru: ' Perkataanku sudah cukup jelas,
Kongsun-cianpwe tentunya bersedia untuk cuci tangan di dalam persoalan ini
bukan?"
Tiat pi-to liong mengunjuk wajah serta salah, ia menjadi ragu2.
Sementara itu Tian Pek dapat menangkap suara dayung yang kian menjauh,
tapi cahaya lampu yang menyorot terang itu membuatnya silau sehingga sukar
melihat keadaan sana, segera ia membentak keras: "Bangsat tua Kim Kiu, jangan
coba kabur.. .. "
Dengan cepat dia menubruk ke tepi sungai.
Tiat-pi-to-liong adalah jago yang mengutamakan setia kawan serta
kebenaran, tentu saja iapun tabu siapa Pek lek-kiam Tian In-thian, sejak anak
muda itu menyebutkan asal-usulnya, ia sudab mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri dari persoalan ini. Tapi dia bekerja dan terima upah, dia
harus tahu kewajiban, maka ia menjadi ragu, melihat Tian Pek hendak bertindak
pula, cepat ia berseru: "Nanti dulu, saudara cilik, dengar dulu perkataanku"
Berbareng itu cepat ia mencengkeram ke arah Tian Pek.
Tian Pek mengira Tiat-pi-to-liong sengaja me-nyerangnya, sedang musuh
tampak akan kabur, tanpa pikir ia lantas menghantam.
Tiat-pi-to-liong tidak menduga Tian Pek akan melancarkan serangan balasan,
iapun tak menyangka anak muda itu memiliki gerakan tubub secepat itu, sedikit
meleng jari tangan Tian Pek tahu2 sudah mengancam Kwan-goan-hiat sikunya.
Kwan-goan-hiat adalah Hiat-to penting, kalau kena tertutuk, lengan itu akan
lumpuh dan tak bisa digunakan lagi, ia jadi terkejut bercampur gusar.
Dia terkejut lantaran usia Tian Pek begitu muda ternyata memiliki ilmu silat
sehliay itu, dia marah karena maksud baiknya malahan dibalas pemuda itu
dengan serangan mematikan.
Sebagai seorang jago tua yang tinggi hati, tentu saja ia marah diperlakukan
macam begitu, dia anggap lawan menghinanya, karena gusar dan
mendongkolnya, mendadak ia balas menghantam punggung Tian Pek.
Serangan yang dibalas dengan serangan ini merupakan pertarungan adu jiwa,
bila Tian Pek tidak segera membatalkan ancamannya, sekalipun dia berhasil
merusak lengan kanan Tiat-pi-to-liong, akan tetapi punggungnya juga akan
termakan oleh pukulan maut musuh dan jiwanya pasti akan melayang.
Tian Pek tahu bahaya ancaman maut itu, ia tidak bermaksud mengadu jiwa
dengan kakek bungkuk itu, pada saat terakhir tiba2 ia tarik kembali
serangannya, lalu melaysng jauh ke samping.
Tiat-pi-to-liong semakin gusar, teriaknya dengan marah: "Saudara cilik, begini
pongah sikapmu, apakah kau merasa ilmu silatmu teramat tinggi, ingin kucoba
beberapa jurus seranganmu!"
Sepuluh jari tangannya lantas dipentang lebar2, secepat kilat ia menubruk
maju pula.
Tian Pek terkesiap, dia tak berani menyambut serangan itu dengan keras
lawan keras, segera ia melayang ke samping untuk menghindar.
Belum sempat Tian Pek berdiri tegak, desingan angin tajam menyambar pula
dari belakang, ia tahu ada orang menyergap, ia tak sempat berpaling, cepat ia
menangkis ke belakaug, "blang!" benturan keras terjadi, begitu dahsyatnya
hingga lengan Tian Pek terasa kaku kesemutan, darah bergolak, ia tergentak
mundur tiga langkah.
"Kuat sekali tenaga pukulan orang ini, entah jago lihay darimana?" pikir Tian
Pek.
Segera ia mengamati musuhnya, kiranya orang ini adalah Tiat ih-hui-peng,
orang tua ini berdiri tegak di depanuya sambil melotot gusar.
Rupanya tatkala melancarkan sergapan dari udara pertama kali tadi, Tiat-ih-
hui-peng hanya menggunakan enam bagian tenaga saktinya dan dia mcnderita
kerugian, maka dalam sergapan yang kedua ini ia sertakan segenap
kekuatannya.
Tian Pek sendiri karena harus menyambut pukulan itu dengan ter-gesa2,
tentu saja hawa saktinya tak mampu digunakan sampai pada puncaknya, tidak
heran kalau ia kalah kuat dalam adu tenaga ini.
Sementara Tian Pek terktjut, suara bentakan Tiat-pi-to-liong telah
menggelegar lagi dari belakang, menyusul segulung angin pukulan mengancam
tiba.
Gusar Tian Pek karena harus menghadapi sergapan maut dua jago ternama,
ia tidak gentar, malahan semangat tempurnya semakin berkobar, menyaksikan
datangnya ancaman itu dia tidak menghindar ataupun berkelit, dengan ilmu
Hong-lui pat-kiam ajaran Sin-lu-tiat-tan, ia menggunakan telapak tangannya
sebagai pengganti pedang, dia bacok musuh dengan jurus Sim-hong-ci-lui.
"Bluk!" pukulan maut Tian Pek bersarang telak di punggung musuhnya yang
bungkuk
Kiranya Tiat-pi-to-liong telah dibikin gusar oleh Tian Pek, setelah serangan
dengan jurus Ciong-liong-si-jiau (naga sakti unjuk cakar) berhasil di-hindari
lawan, sebagai orang yang pemberang, kegusarannya makin memuncak, ketika
dilihatnya pemuda itu sedang menyambut pukulan rekannya Tiat-ih-hui-peng,
dengan keras lawan keras, segera ia pun menghantam punggung Tian Pek
dengan jurus Ciang-liong-tham-hay (naga selulup ke laut).
Maksudnya hendak mencengkeram punggung musuh, apa mau dikata
gerakan Tian Pek terlampau cepat, bukan dia yang berhasil, bacokan lawan yang
malahan bersarang di punggungnya yang bungkuk.
Sebagaimana julukannya, Tiat-pi to liong (naga bungkuk berpunggung baja)
memiliki kekebalan pada punggungnya itu, dengan demikian sekalipun bacokan
Tian Pek berhasil dengan telak tapi sama sekali ia tak terluka, malahan Tian Pek
sendiri yang merasakan telapak tangannya jadi sakit.
Walaupun demikian Tiat pi-to liong sendiri pun terpental oleh tenaga pukulan
itu, setelah sempoyongan beberapa puluh langkah dia baru berhasil
mengembalikan keseimbangan badannya.
Dapat dibayangkan betapa gusarnya Tiat-pi to liong karena berulang
kecundang, semenjak terjun ke dalam dunia persilatan, belum pernah ia
menderita kekalahan sehebat ini, dalam gusarnya cepat ia menerkam ke depan
pula, kakinya secepat kilat menendang lambung Tian Pek dengan jurus Liong-jut-
jim tam (naga sakti muncul dari telaga).
Malahan telapak tangan kirinya segera pula hendak mencukil kedua mata
pemuda itu dengan gerakan Siang liong-ciang-cu (sepasang naga berebut
mutiara), satu gerakan dengan tiga serangan yang berbeda, benar2 ancaman
yang mengerikan.
Tian Pek menghadapinya dengan tenang, ia keluarkan ilmu langkah Kiu-kiu-
kui-goan untuk menghadapi musuh, gerakanoya seperti maju tapi tidak maju,
mundur bukan mundur, namun serangan gencar musuh jangan harap akan
menyentuh tubuhnya.
Ilmu langkah inipun ajaran oleh Sin-lu-tiat-tan khusus untuk mengalahkan Ni-
gong-hoan-ing, ilmu khas andalan Sin-kau Tiat Leng dan ternyata kepandaian ini
juga bermanfaat dipakai untuk menghindari tiga serangan berantai dari Tiat pi-
to-liong barusan.
Setelah Tian Pek unjuk kepandaian tangguhnya, baru semua jago terkejut,
semua orang heran dan terbelalak.
Tian Pek sendiri sama sekali tidak menggubris keheranan lawannya, dengan
enteng bagaikan awan bergeirak diangkasa ia maju tiga langkah ke kiri, mundur
tiga langkah ke kanan, tiap tiga langkah kali tiga langkah ia segera berputar
kembali ke tempat semula, ternyata tubuhnya selalu berkisar di tempat semula,
sekalipnn begitu semua serangan gencar yang dilancarkan musuh berhasil
dihindar dengan manis.
Sekarang semua orang baru terbelalak dan melongo siapa yang tak heran
melihat ketangguhan seorang pemuda macam Tian Pek?
Melihat temannya sudah sekian lama tak berdaya terhadap anak muda itu,
segera Tiat-ih-hui-peng pentang sayap dan ikut terjun di tengah gelanggang.
Sstelah sepasang pengawal baja turun tangan bersama baru terlihat kekuatan
mereka yang ampuh dan serangan mereka makin berbahaya, satu dari udara
dan yang lain dari daratan, pukulan demi pukulan dilancarkan dengan gencar
dan dahsyat.
Dalam keadaan begini Tian Pek terpaksa memberikan perlawanan dengan
lebih gigih, kakinya bergerak dengan ilmu langkah Kiu-kiu-kui-goan, sementara
tangannya memainkan jurus2 serangan Hong-lui-pat-kiam, meskipun tanpa
menggunakan pedang, namun setiap bacokan telapak tangannya segera
mematahkan setiap serangan musuh.
Dalam waktu singkat tiga puluh gebrakan sudah lewat, namun keadaan tetap
seimbang, siapapun tak berhasil mendesak mundur musuhnya.
Tian Pek pernah menyaksikan kerja sama dari kedua pengawal baja ini ketika
mereka menghadapi barisan bambu hijau kaum pengemis di bukit "dua belas
gua karang", sekarang setelah mengalami sendiri kerubutan tersebut baru ia
mengakui betapa hebatnya kerja sama mereka ini.
Tiat-ih-hui-peng andalkan sayap bajanya selalu menerjang dan menubruk dari
udara dengan pukulan beratnya, sementara Tiat-pi-to-liong yang berada d1
daratan melepaskan pukulan dan cakar mautnya dengan kekuatan mengerikan
ditambah pula ilmu punggung bajanya yang tahan pukulan, terkadang Tian Pek
tak mampu menghindarkan diri dan terpaksa harus melayani serangan keras
lawan keras.
Dalam waktu singkat Tian Pek sudah terlibat dalam suatu pertempuran yang
harus memeras tenaga, berbicara soal tenaga dalam. walaupun harus
menghadapi kerubutan kedua pengawal baja, sekuatnya ia masih mampu
bertahan sehingga tak sampai kalah, akan tetapi berhubung pakaian yang
dikenakan hanya sobekan kain selimut yang dibalutkan, setelah tersampuk angin
pukulan musuh kain selimut itu jadi terlepas dari ikatan hingga gerak geriknya
jadi kurang leluasa, ia kuatir kain penutup tubuhnya terlepas hingga badannya
jadi telanjang, hal ini bisa membuatnya runyam.
Ia bermaksud kabur saja, apa mau dikata kalau selimut itu se-akan2
membelenggu kakinya, sergapan Tiat-ih-hui-peng dari atas juga selalu
mengintai.
Lama2 Tian Pek jadi gelisah bercampur panik terpaksa dia harus menggigit
bibir dan meneruskan perlawanannya dengan gigih.
Beberapa gebrakan kemudian, kain selimut pembalut tubuhnya sudah makin
kendur, malahan separuh di antaranya telah merosot hingga di bawah perut,
badan bagian atas jadi bugil, ini membuat gerak-geriknya semakin tidak leluasa
tampaknya sebentar lagi ia bakal kalah ....
Pada saat yang gawat inilah tiba2 terdengar bentakan nyaring, sesosok
bayangan manusia dengan disertai kilatan cahaya tajam membelah udara
menyusup ke tengah gelanggang.
Tiat-ih hui-peng berpekik nyaring, bagaikan layang2 yang putus benangnya,
tahu2 tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh di tempat lima-enam tombak
jauhnya.
Setelah merangkak bangun Tiat-ih-hui-peng melihat sebelah baju ajaib yang
menjadi sayapnya itu telah patah satu.
Pucat wajah orang tua itu, rasa kaget menghiasi mukanya, jelas ia merasa
ngeri dan takut sebab sayap andalannya berhasil dipatahkan pendatang yang tak
dikenal ini.
Waktu ia mengamati, seorang manusia aneh bermuka hijau dan berambut
merah dengan pedang terhunus berdiri angker di tengah gelanggang.
Bagi Tian Pek tentu saja kemunculan manusia aneh ini tidak mengherankan,
berbeda dengan kawanan jago dari istana Kim, mereka sama terkesiap.
Tiat-pi-to-liong melihat rekannya kehilangan sebelah sayap, dalam kejutnya ia
jadi gusar, sambil membentak, segera ia menghantam manusia aneh itu.
Tenaga dalam Tiat-pi-to liong memarg lihay, ditambah pula serangan tersebut
dilancarkan dalam keadaan gusar, makin dahsyat hawa pukulan yang terpancar.
Seperti gulungan ombak samudera, angin pukulan itu langsung menerjang
dada manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu.
Manusia aneh itu mendengus, dengan suatu gerakan enteng dia
mengayunkan pula telapak tangannya untuk menangkis. "Blang!" Tiat-pi-to-liong
tergetar sejauh lima langkah ke belakang.
Jago bungkuk itu melotot, ia tak menduga musuhnya akan begini tangguh,
mukanya merah padam dan cambangnya pada berdiri kaku bagaikan duri
landak, dia tambah murka. Setelah tertegun sejenak tiba2 ia membentak,
seperti roda kereta, mendadak ia menyeruduk manusia aneh bermuka hijau itu
dengan punggung bajanya yang keras.
“Kau cari mampus!" hardik manusia aneh bermuka hijau itu sambil tertawa.
Baru habis ucapannya, Pedang Hijau di genggamannya tiba2 menusuk ke depan
dan "Crasss", dengan telak pedang menikam punggung Tiat pi-to liong itu.
Jago bungkuk itu menjerit kesakitan, jeritan keras bagaikan longlong srigala di
tengah malam buta, ia sempoyongan sejauh beberapa kaki sebelum berhasil
berdiri tegak, darah segar bagaikan pancuran segera menyembur keluar dari
punggungnya yang terluka itu.
Ilmu kebal Bang-yu-ceng-gi (hawa sakti kerbau dungu) yang dimiliki Tiat-pi-to-
liong bukan saja membuat badannnya kebal senjata, terutama sekali
punggungnya amat keras melebihi baja, siapa tahu hanya sekali tusuk semua
kekebalan yang dimilikinya telah punah dengan begitu saja.
Jeritan melengking Tiat-pi-to-liong amat menyayatkac hati, seluruh kulit
tubuhnya berkerut tanda rasa sakit yang tak terhingga, setelah ilmu kebalnya
punah, maka peredaran darah dalam tubuhnya bergolak, penderitaannya jauh
lebih mengerikan daripada orang biasa.
Para jago istana keluarga Kim sama ngeri dan jeri oleh peristiwa itu, kedua
tokoh utama yang paling mereka andalkan kini dikalahkan secara mengerikan
oleh seorang manusia aneh apa lagi yang mereka harapkan?
Dengan suatu gerakan secepat kilat. mendadak manusia aneh bermuka hijau
itu meluncur ke depan, Pedang Hijaunya berkelebat kian kemari dengan
cepatnya, darah segar berhamburan di sana-sini, beberapa orang ysng menjerit
tadi seketika terkutung kepalanya dan mampus seketika.
"Hm, inilah contohnya bagi mereka yang berjiwa pengecut dan suka menjerit
seperti setan!" seru manusia aneh bermuka hijau setelah membinasakan
beberapa orang.
Jago istana keluarga Kim yang masih tertinggal di situ benar2 mati kutunya,
mereka benar2 pecah nyalinya sampai bersuarapun tidnk berani, mata mereka
terbelalak dan mulut melongo lebar, dengan muka pucat seperti mayat mereka
berdiri seperti patung.
Alis Tian Pek berkerut, ia merasa tak tega menyaksikan pembantaian
tersebut, ia tahu di balik topeng setan itu adalah seorang dara cantik bak
bidadari dari kahyangan, namuu kekejamannya ternyata di luar dugaan.
Tian Pek segera kenali juga Pedang Hijau di-tangan si nona tak lain adalah Bu-
cing-pek-kiam milik sendiri, dengan langkah lebar ia lantas mendekatinya dan
berseru: "Serahkan pedang pusaka itu kepadaku!"
"Eh, kenapa hatimu jadi lembek?" kata manusia aneh bermuka hijau itu seraya
berpaling, "masa kau lupa cara bagaimana mereka mengerubuti dirimu barusan
ini?”
Berbicara sampai di sini, mendadak ia membungkam dan tak melanjutkan.
Untung ia mengenakan topeng, kalau tidak niscaya Tian Pek dapat
menyaksikan betapa merah wajah anak dara itu saking malunya.
Kiranya kain selimut yang menutupi tubuh Tian Pek telah merosot sampai
pangkal paha sehingga bagian badannya yang harus dirahasiakan mulai meng-
intip2.
Tapi anak muda itu masih belum berasa, ia malahan berseru: "Peduli amat,
pokoknya aku tak ingin bertemu dengan kau, apalagi kau memakai pedangku
untuk membantai orang, cepat serahkan pedang itu kepadaku!"
Manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu mendadak tertawa
cekikikan seraya melengos ke arah lain, serunya: "Hai, lihatlah potongan-mu,
lekas betulkan pakaianmu ...”
Tian Pek lantas menunduk kepala, ketika mengetahui keadaannya yang
hampir2 polos, seketika mukanya merah panas, buru2 ia tarik naik kain
penutup badannya dan mengikatnya lagi.
Sementara Tian Pek membereskan pakaiannya, beberapa jago istana keluarga
Kim yang bernyali kecil diam2 hendak mengeluyur pergi.
Namun gerak-gerik mereka tak terlepas dari ketajaman mata manusia aneh
bermuka hijau, baru saja mereka hendak kabur. segera ia meleset ke sana, di
mana Pedang Hijau berkelebat, kepala bergelindingan pula di tanah dan darah
segar bermuncratan.
Tian Pek tak tega, ia berseru: "Hai, kembalikan pedang itu kepadaku, jangan
lakukan pembunuhan lagi, kalau tidak, terpaksa aku tidak sungkan2 lagi
padamu!"
Kali ini manusia muka setan tidak membangkang, dia kembalikan pedang itu
kepada Tian Pek sambil mengomel: "Namanya pedang tak berperasaan (Bu-
ceng), hanya kugunakan untuk mencabut nyawa beberapa ekor tikus saja
kenapa mesti ber-kaok2?”
Dengan mendongkol Tian Pek menerima pedang dan berkata: "Kenapa kau
omong begitu, mereka kan orang tak berdosa."
"Huh, kan demi membela kau, maka kubunuh mereka," kata si nona.
Tanpa terasa nada ucapannya memperdengarkan nada seorang gadis, tapi
lantaran mukanya memakai topeng sehingga kedengarannya menjadi janggal,
hal ini menimbulkan perasaan heran dan sangsi dalam hati kawanan jago silat
termasuk pula kedua pengawal baja yang terluka, mereka memandang wajah
manusia aneh itu dengan melenggong.
"Aneh sekali!" pikir mereka, "manusia aneh ini jelas bermuka seram seperti
iblis, kenapa suaranya seperti suara gadis.
Sementara itu Tian Pek telah melangkah ke tepi sungai dengan pedang
terhunus, tapi setibanya di pantai, yang tertampak hanya beberapa buah perahu
kosong. sedangkan perahu yang ditumpangi Cing-hu sin Kim Kiu entah sudah
kemana kabur-nya.
Peti2 tadi juga tidak tampak pula, rupanva di kala Tian Pek bertempur
melawan kedua pengawal baja, Cing hu-sin Kim Kiu telah mengangkut peti2 itu
dan kabur, sementara orang2 yang ditinggalkan itu dijadikan tumbal bagi
keselamatannya.
Termangu Tian Pek memandangi air sungai, diam2 mansia aneh bermuka
setan meadekatinya dan menegur: "Hei, apa yang kau cari?"
"Musuh besarku telah kabur, aku ingin menyeberangi sungai ini!"
"Kalau begitu, mengapa tidak naik ke atas perahu?"
Tapi, aku tak bisa mendayung perahu!" kata Tian Pek.
"Kau tak bisa, aku bisa, tanggung kuantar sampai ke seberang!" seru manusia
aneh itu sambil tertawa.
Apa yang dipikirkan Tian Pek sekarang adalah bagaimana caranya memburu
jejak musuh, demi mecdengar ucapan itu, tanpa pikir ia terus melompat ke atas
perahu.
Selama hidup Tian Pek belum pernah naik perahu, ketika melompat ke atas
sampan yang sempit dan kecil itu, ia kehilangan imbangan badan karena berdiri
terlalu ke samping, sampan oleng, buru2 ia menahan keseimbangan tubuhnya
dengan kaki menolak tepi sampan.
Apa mau dikata injakan tersebut kelewst keras, sampan tersebut segera
oleng ke samping lain lagi dan membuat tubuh anak muda itu hampir saja
terlempar ke dalam sungai.
"Aduh " Tian Pek menjerit kuatir.
Untung pada saat yang gawat itu tangannya ditangkap orang, habis itu
sampan itu terus meluncur ke tengah sungai deagan cepat. Kembali Tian Pek
kehilangan keseimbangan badan dan jatuh telentang, untung seorang lantas
mendekapnya,
Orang yang menahan tubuh Tian Pek jelas ada gadis bertopeng itu, ia sangat
menguasai kendaraan air karena sejak kecil dibesarkan di sebuah pulau,
bermain perahu baginya selincah orang daratan menunggang kuda. Segera
iapun melompat ke atas perahu setelah menolak perahu ke tengah sungai.
Karena itu, ketika Tian Pek jatuh ke belakang, segera ia merangkul tubuhnya,
karena iapun tidak ber-jaga2 sebelumnya, keduanya lantas roboh bersama.
Mereka berbaring telentang, Tian Pek berada di atas dan gadis muka setan
berada di bawah, untung perahu itu tak sampai terbalik akibat kejadian itu.
Sesaat kemudian mereka sama meronta bangun, tapi karena sempitnya
ruang perahu untuk sementara waktu mereka sulit untuk berdiri.
Akhirnya Tian Pek membalik badan dan merangkak bangun sedang gadis
muka setan melepaskan topengnya dan ikut bangun, serta merta kedua orang
itu beradu pandang.
Di bawah cahaya rembulan, gadis itu bukan berwajah setan lagi, tapi tampak
cantik mempesona, timbul perasaan aneh dalam benak Tian Pek. ia merasakan
tubuh si gadis yang halus, empuk dan harum ... tangannya jadi lemas dan
badan yang sudah setengah terangkat jatuh kembali menindihi tubuh gadis itu.
Sebenarnya gadis ini bukan Kui-bin kiau-wa (gadis cantik muka setan) yang
tersohor akan kecabulannya, Kui bin-kiau-wa adalah seorang yang lain, tapi
orang lain salah sangka padanya.
Gadis ini ibarat bunga yang baru mekar, dia adalah seorang gadis yang polos,
karena tubuhnya ditindih seorang pemuda ganteng, kontan iapun merasa
sekujur badan jadi lemas, suatu perasaan aneh segera menyelimuti
perasaannya, belum pernah ia temui pengalaman semacam ini sepanjang
hidupnya, jantungnya berdebar keras, tenaganya jadi lenyap, dengan napas
terengah dia pejamkan matanya rapat2.
Untuk beberapa waktu lamanya, kedua orang sama2 diam saja. dibuai oleh
perasaan yang aneh itu, perahu terhanyut seadiri terbawa oleh arus.
Sementara itu kawanan jago istana Kim dan kedua pengawal baja yang
berada didaratan hanya berdiri termangu dengan rasa keheranan, melihat
sampan yang memuat kedua orang itu lenyap di tengah sangai.
Bulan masih bulat meskipun malam itu tanggal tujuh belas, sinarnya tidak
secerah malam tanggal lima belas, sampan itu bergerak mengikuti arus sungai,
terombang-ambing tanpa tujuan memuat sepasang muda-mudi yang sedang
mabuk oleh perasaan aneh
Malam amat sepi, udara dingin, tiada terdengar suara lain kecuali debaran
jantung kedua muda-mudi yang saling tindih itu.
Di teagah kcheningan itu, tiba2 si gadis menggeliatkan tubuhnya, entah
karena merasa sakit lantaran tertindih seorang laki2 kekar ataukah karena
lengannya yang kesemutan.
Tian Pek tersentak sadar, ia ingin merangkak bangun, tapi mendadak kedua
tangan gadis itu mulai meraba punggungnya dengan perlahan.
Bagaikan kena aliran listrik, sekujur badan pemuda itu gemetar, ia merasa
rabaaan gadis itu se-olah2 disertai aliran listrik yang menimbulkan hawa panas
darah bergolak keras.
Waktu ia membuka mata, ia lihat gadis yang ditindihnya itu berada beberapa
senti di depan matanya dengan bibirnya hampir menempel bibir, mata yang jeli
setengah terpejam, mulut yang mungil setengah terbuka, dengus napas yang
memburu mencerminkan sesuatu kehendak, rangkulan pada Tian Pek tambah
erat dan tiada berhenti merabanya.
Tian Pek memang tidak berpakaian, dengan sendirinya sentuhan langsung itu
sangat merangsang dengan sendirinya pula pemuda itu balas memeluk gadis itu,
diciumnya bibir yang mungil dengan ber-napsu, makin dicium semakin kalap.
Betapapun nona itu tidak tahan reaksi Tian Pek yang gila ini, napasnya
terengah dan tiada hentinya merintih, bagaikan ular tubuhnya menggeliat ke
sana kemari .
Tiba2 awan hitam menutupi rembulan yang menerangi jagat, pantulan sinar
di permukaan air juga lenyap, suasana jadi gelap, sampan itupun berubah
sesosok bayangan hitam yang samar2, tak jelas lagi pemandangan di atas
perahu itu, sayup2 cuma terdengar suara air sungai yang beriak di bawah.
xxxx
Fajar telah mulai menyingsing, sinar keemasan mulai mengintip di ufuk timur.
Sampan kecil yang terombang-ambing tanpa tujuan itu akhirnya terhanyut ke
tepian dan "duuk", sampan menumbuk pantai pasir.
Guncangrm keras itu mengejutk<n dua orarg yarg lelap dimabuk cinta itu
hingga mereka melompat bangun dengan gugup, pertama mereka saling
pandsng sekejap, terbayang kembali apa yang mereka lakukan semalam, tak
kuasa lagi merahlah muka mereka.
Dengan ter-sipu2 si nona memandang sekejap ke arah Tian Pek yang masih
telanjang dan ber-kata: "Coba lihat ..."
Habis itu ia lantas melompat ke pantai, tapi entah mengapa, baru saja
bergerak, mendadak nona itu menjerit tertahan, hampir saja ia kecebur ke
sungai.
Cepat Tian Pek juga melayang sana dan menyambar tubuhnya, lalu ber-
sama2 turun di permukaan tanah.
"Kenapa kau?" tanya Tian Pek dengan penuh perhatian. "Masa sejauh ini saja
kau tak mampu menyeberanginya?"
"Hm, gara-garamu, semalam kau . . . . " tiba2 muka si nona jadi merah, dan
mengerling genit.
Meskipun Tian Pek tidak paham apa yang di maksudkan, tapi ia dapat
menangkap pandangan yang mesra, hatinya terasa manis dan hangat.
"Tidak mcngapa bukan ....?" ia bertanya pula dengan likat.
"Walaupun tidak akan mengganggu, akan tetapi latihanku menjadi
berantakan, aku tak dapat mencapai tingkat kekebalan yang paling tinggi,"jawab
si nona.
"Akulah yang membikin susah padamu. Ai, tidak sepantasnya semalam aku . . .
."
"Ah, bukan salahmu semua!" sela si nona sambil teitawa, "aku sendiri pun
bertanggung jawsb, bila aku tidak . . . " mendadak ia tidak melanjut-kan
kata2nya,
"Eh, kenapa tidak kaulanjutkan?" Unye Tian Pek.
Gadis itu menghela napes. "Ai, ketika aku hendak datang ke Tionggoan sini,
ayahku telah melarangnya, beliau bilang imanku kurang teguh dan mudah
terjerumus ke jaringan cinta, tapi aku tak percaya, sebab tak seorang laki2pun di
dunia ini yang kupandang sebelah mata. Karena itulah aku bersikeras untuk
berangkat juga. Tak tersangka ternyata ucapan ayahku memang benar. setelah
aku berjumpa dengan kau . . , "
"Setelah berjumpa dengan aku, kau lantas tak sanggup menguasai diri, begitu
maksudmu?" sambung Tian Pek sambil tertawa.
Merah wajah gadis cantik itu, dia angkat tinju seraya mengomel: "Kau berani
menterlawakan aku, kupukul kau!"
"Mana berani kutertawai dirimu," cepat Tian Pek berseru, "O, ya, tadi kau
bilang ayahmu, siapakah ayahmu itu? Bukankah kau ini si tengkorak cantik gadis
bermuka setan? Masa Tengkorak cantik gadis bermuka setan masih punya
ayah?"
"Dari siapa kau tahu aku ini Tengkorak cantik gadis bermuka setan?" seru nona
itu dengan heran-
"Siapa lagi selain pemuda berbaju putih itu? Terus terang, aku memang tidak
percaya dengan perkataannya. Tengkorak cantik gadis bermuka setan adalah
gembong iblis yang tersobor semenjak puluhan tahun berselang, masa usianya
masih semuda kau?"
'Perkataannya memang tak keliru, akulah Tengkorak cantik gadis bermuka
setanl" tiba2 gadis itu menyahut sambil tertawa misterius.
Tertegun Tian Pek mendengar perkataan ini, ditatapnya dara cantik itu
dengan ter-mangu2, lalu serunya pula. "Jadi kau benar2 Tengkorak cantik
bermuka setan?"
"Kenapa?" kata si nona sambil tertawa cekikikan, "kau jadi takut?"
Tian Pek temenung sejenak, kemudian menjawab: "Bila sebelum kajadian
semalam, mungkin aku takut, tapi setelah hubungan semalam aku tak takut lagi.
Bahkan kutahu kau cuma bergurau dengan aku, kau pasti bukanlah Tengkorak
cantik gadis bermuka setan!"
"Seandainya aku betul adalah tengkorak cantik gadis bermuka setan?" nona
itu menegas sambil menatap Tian Pek tajam2, "apakah kau tak mencintai aku
lagi? Semua janji setia yang kau ucapkan semalam tak kan kau penuhi lagi?"
"Meski aku tidak percaya dengan perkataanmu, tapi andaikata kau benar2
adalah Tengkorak cantik gadis bermuka setan, aku tetap cinta padamu, sumpah
setia yang telah kuucapkan semalam, sampai kiamat pun tak akan berubah!"
Betapa terharunya gadis itu setelah mendengar jawaban tersebut, ia putar
badan sambil menjatuhkan diri ke dalam pelukan Tian Pek, diciumnya anak
muda itu dengan mesra dan berseru: “sayang, engkau sangat baik"
Tiba2 gadis itu berseru tertahan, ia mendorong tubuh pemuda itu dan berkata
lagi: "Coba lihat! Bicara terus tiada hentinya sampai lupa dengan keadaanmu.
Hayo cepat berpakaian, kalau dilihat orang kan berabe”
Tian Pek baru ingat kalau ia tak berpakaian, buru2 kain kumalnya diikat
kencang2 pula, masih untung, tempat itu sepi dan jauh dari penduduk,
bila tidak, bagaimana orang akan tercengang menyaksikan seorang gadis cantik
berada dalam pelukan seorang pemuda telanjang di dalam perahu.
"Wah, kita mesti cari baju yang baik!" serunya.
Gadis itu tertawa. Tian Pek lantas berkata lagi: "Berbicara dari kemarin
sampai sekarang, belum juga kau katakan namamu dan juga nama ayahmu."
"Meskipun ayahku berdiam di luar lautan, tapi bila kusebutkan namanya,
pasti kau tahu. Aku sendiri bernama Cui-cui."
"Nonaku yang baik, janganlah jual mahal, cepat katakanlah siapa gerangan
ayahmu?'
"Gi-san-cu (kipas sakti perak) Liu Tiong-ho!"
"Lo jit (ke tujuh) dari Kanglam-jit-hiap dahulu?!" seru Tian Pek dengan kaget
"Benar!" gadis itu mengangguk.
Kontan perasaan Tian Pek jadi kalut dan sakit bagaikan di iris2 dengan pisau,
sambil menengadah jeritnya dengan sedih: "O, Thian, mengapa selalu
kubertemu dengan anak musuh-besarku? Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing,
Kim Cay-hong semuanya adalah puteri musuh besarku, kini aku bertemu pula
dengan kau, Liu Cui-cui! O, Cui-cui, semalam aku tak tahu kau she Liu, kenapa
tidak kau katakan sejak mula?"
Teriakan Tian Pek mirip orang yang sudah sinting, tapi Liu Cui-cui. gsdis
bertopeng setan itu masih tetap tenang saja.
Tatkala kekalapan Tian Pek mereda dengan kalem ia menjawab: "Aku jauh
lebih jelas mengenai peristiwa di masa lampau itu, ketahuilah, orang yang
membunuh ayahmu hanyalah lima orang saja, ayahku sama sekali tidak ambil
bagian, bahkan oleh karena ayahku tidak turut serta dalam peristiwa itu, beliau
didesak sehingga tak sanggup tancap kaki di daratan Tionggoan, akhirnya ia
membawa ibu dan aku menyingkir ke sebuah pulau terpencil di lautan!"
Sebenarnya Tian Pek tidak percaya, tapi dari sikap si nona yang ber-sunggub2
dan sama sekali tidak kelihatan berbohong, akhirnya dia bertanya lagi: 'Kalau
begitu, tentunya kau tahu siapa diriku ini?"
"Kenapa aku tidak tahu? Engkau adalah Tian Pek, putera Tian In-thian, paman
Tian, kekasihku pada saat ini dan suamiku di masa mendatang! Kau si tolol kecil
ini, kaukira kesucianku sama sekali tak berharga sehingga boleh kuberikan
kepada orang lain? Kalau aku tidak mengetahui asal usulmu, memangnya aku
rela menyerabkau ke-per . . . keperawananku kepadamu?"
Sebagai gadis yang dtbesarkan di suatu pulau terpencil di luar lautan, Liu Cui-
cui tak kenal adat istiadat yang kolot, ia sudah biasa hidup bebas dan suka terus
terang, tapi ketika mengucapkan beberapa kata terakhir tadi tidak urung
mukanya menjadi merah.
"Aneh benar, sejak bertemu dengan kau, kecuali nama, rasanya aku tak
pernah menceritakan asal-usulku kepadamu, darimana kau tahu semua ini
dengan begitu jelas?"
Tiba2 Cui-cui tertawa: "Coba tebak, siapakah yang telah melepaskan kawanan
jago persilatan yang terjebak di dalam Sek-ki-tay-tin di gedung keluarga Kim?"
"Masa engkau?" tanya Tian Pek dengan terkejut.
Liu Cui-cui mengangguk: "Bukan saja aku yang melepaskan orang2 itu, seperti
juga engkau, maksud kedatanganku ke daratan Tionggoan inipun hendak
mencari perkara dengan mereka berempat untuk membalas sakit hati orang
tuaku!"
"Apakah ayahmu yang berada jauh di luar lautan juga dicelakai oleh mereka?"
tanya Tian Pek terperanjat.
"Ai, tampaknya kau belum tahu jelas tentarg duduknya persoalan di masa
lalu," kata Cui-cui sambil menghela napas, "menurut keterangan ayahku, dahulu
ayahmu dan ayahku ditambah empat keluarga besar lain serta Hoan Hui adalah
saudara angkat yang tergabung dalam Kanglam-jit-hiap "
"Soal itu aku sudah tahu!" kata Tian Pek.
"Kalau sudah tahu, sudahlah, aku takkan bercerita pula."
Tian Pek jadi gelisah, cepat katanya: "Aku cuma tahu sedikit saja, kejadian
selanjutnya boleh dibilang tidak jelas, silakan kaulanjutkan ceritamu!"
"Kalau ingin tahu, janganlah memotong pembicaraanku!" omel Cui-cui, lalu ia
mcmandang sekeliiing tempat itu, kemudian mcnunjuk ke suatu pohon yang
rindang di tepi pantai dia berseru lagi: "Tempat itu nyaman dan juga bisa
memandang sang surya akan terbit, hayo kita duduk di sana saja!"
Maki berjalanlah kedua orang itu menuju ke sana dan duduk bersanding di
bawah pohon yang rindang sambil ber-cakap2.
Kiranya dalam peristiwa yang dulu itu, setelah Pek-lek kiam Tian In-thian
berhasil meminjam "mutiara penolak air", dia tidak terjun sendirian ke dasar
telaga Tong ting-oh untuk mencari harta, melainkan ditemani oleh Gin-san cu
Liu Tiong-ho, setelah berhasil masuk ke dalam gua dan menemukan harta karun
yang jumlahnya terlalu banyak, terpaksa kedua orang itu mendarat lagi untuk
merundingkan cara pengambilan harta tadi dengan kelima saudara yang lain.
Dalam perundingan Tian In-thian tetap bersikeras akan menggunakan harta
karun itu guna menolong rakyat yang tertimpa bencana alam di sekitar Ouwlam
dan Kwitang, Liu Tiong-ho sendiripun mendukung usul tersebut, tapi lima orang
lainnya tidak setuju.
Sebagai pimpinan persaudaraan Tian In-thian tersohor karena ketegasannya,
wataknya juga lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi, ia tak peduli terhadap maksud kelima orang rekannya dan tetap
melaksanakan apa yang telah direncanakan.
Kelima orang saudaranya tak berani membangkang, terpaksa mereka pura2
menyetujui, padahal secara diam2 mereka telah menyusun rencana untuk
mencelakai Toako mereka.
Setelah semua harta kekayaan itu diangkat ke daratan, ternyata isinya bukan
saja terdiri intan permata dan mutu manikam yang tak ternilai, terdapat pula
tiga macam benda pusaka yang tiada taranya, yakni Pi-sui-giok-pik (batu kemala
penolak air), pil Toa-lo-kim-wan serta kitab pusaka Bu-sia-cin-keng.
Ketiga macam benda pusaka itu merupakan barang yang diincar oleh setiap
umat persilatan, terdapatnya benda itu semakin mempertebal sifat tamak
kelima bersaudara yang lain itu.
Maka pada saat Tian In thian bersiap untuk melakukan pencarian yang kedua
kalinya ke dasar telaga, tiba2 kelima orang itu menyergap secara licik, begitu
Cing-hu-sin berhasil melukai korbannya dengan senjata rahasia yang diandalkan,
empat bersaudara lainnya segera melakukan serangan kilat, tak terhindar lagi
matilah seorang pendekar besar di tangan saudara-angkatnya sendiri secara keji.
Waktu kelirna orang itu berhasil membinasakan Tian In-thian, kebetulan Gin-
san-cu Liu Tiong-ho mendapat tugas di dasar telaga sehingga ia sama sekali tidak
mengetahui terjadinya peristiwa tersebut-
Di kala Liu Tiong ho menyelesaikan tugasnya dan muncui kembali ke daratan,
Tian In-thian telah terluka parah dan menemui ajalnya di tepi telaga itu.
Baru Liu Cui-cui bercerita sampai di sini, Tian Pek tak dapat menahan rasa
sedihnya lagi, ia menangis tersedu, dengan air mata bercucuran ia berkata:
"Ayahku tidak mati seketika, dengan membawa luka yang parah beliau sempat
pulang ke rumah untuk berjumpa dengan ibu dan aku, setelah meninggalkan
pesannva baru mengembuskan napas yang penghabisan!"
"Tentang soal ini, mungkin ayah sendiripun tak tahu," Cui-cui menerangkan,
"ayahku cuma bilang bahwa akhirnya ia kehilangan jenazah ayahmu, malahan
ayahku mengira jenazah ayahmu telah dikebumikan oleh kawan2 persilatan.
sungguh tak nyana paman ternyata berhasil mencapai rumah dan bertemu
dengan ibumu dan kau."
"Ada suatu soal yang belum kupahami sampai sekarang, sesaat sebelum
mcnemui ajalnya ayahku sempat menyerahkan Bu-ceng-pek-kiam untuk dipakai
membalas dendam serta sebuah bungkusan lagi "
Sambil berkata dia hendak merogoh saku, tapi jelas tiada sesuatu yang dapat
ditemukan lagi.
Sebaliknya dengan tertawa Cui-cui lantas mengeluarkan sesuatu dan
bertanya: "Bukankah kau mencari keenam macam benda ini?
Setelah gadis itu mengeluarkan keenam macam benda yang dicari, Tian Pek
baru tahu kalau semua barang miliknya telah diambil si nona tapi sekarang ia tak
perlu panik lagi karena antara mereka berdua sudah tiada perbedaan milikmu
dan milikku lagi.
"Betul, kecusli mata uang tembaga yang telah kuketahui sebagai Cing-hu-kim-
ci-pau milik Kim Kiu, lima benda yang lain belum kuketahui asal-usulnya!"
"Kalau kau tak tahu, akan kuterangkan padamu!" sambil menuding sebuah
benda di antaranya si nona melanjutkan: "Kain ini adalah robekan pakaian yang
dikenakan Ti-seng-jiu Buyung Ham!"
"Soal inipuu aku tahu!" kata Tian Pek.
"Mutiara baja ini adalah senjata rahasia Pak-ong-pian Hoan Hui yang disebut
Tan-ci-gin-wan (peluru psrak sentilan jari). Sedangkan kancing tembaga ini
adalah kancing bajunya Kun-goan-ci Su-gong Cing, sementara tali serat ini milik
Kian-kun ciang In Tiong-liong, malahan pernah digunakan untuk membelenggu
tubuhku, sedangkan segumpal rambut ini tak lain adalah rambut kepalaku
"
Kejut Tian Pek mendengar keterangan terakhir ini, pada saat itulah mendadak
terasa segulung angin tajam menyambar batok kepaia mereka, keruan mereka
terkejut.
Tian Pek bermaksud menghindar, tapi Liu Cui-cui tanpa berpaling telah
menggerakkan tangannya ke belakang, tahu2 sepotong sapu tangan sudah
terjepit oleh jarinya.
Diam2 Tian Pek terkejut, ia heran jago darimanakah yang memiliki tenaga
dalam selihay itu, sehingga selembar sapu tangan yang enteng bisa di gunakan
sebagai senjata rehasia.
Dari angin tajam yang menyertai sambaran sapu tangan itu dapat diketahui
ilmu silat yang dimiliki si penyergap pasti tinggi luar biasa.
Dengan terkejut cepat dia berpaling, tertampaklah Tian Wan-ji dengan wajah
pucat dan sorot mata sedih berdiri di atas tanggul di tepi sungai dan sedang
memandang ke arahnya dengan terkesima.
Sungguh di luar dugaan pertemuan ini, Tian Pek sendiripun merasa
tercengang.
"He kau!" serumya tertahan. "Wan-ji, ada urusan apa kaudatang ke sini?"
Bibir Wan-ji terkatup kencang dan menahan gejolak emosi, mimik wajahnya
jadi sangat aneh tertawa bukan tertawa, menangis tidak menangis, ketika
mendapat pertanyaan tersebut, pandangannya semakin muram dan sedih.
"Bukit dan sungai toh bukan wilayah kekuasanmu, kalian boleh datang
kemari, kenapa aku tidak boleh? Apakah kedatanganku telah mengganggu
kesenangan kalian?"
Jelas nadanya mengandung rasa cemburu, syukur Wan-ji masih dapat
menguasai diri sehingga tak sampai mengutarakan kata2 yang tak sedap
didengar.
Merah wajah Tian Pek, sahutnya tergagap.
"Bu..bukankah kau terluka ketika berada di taman keluarga Kim? Kenapa
sekarang kau berada di sini
?"
Tian Pek adalah pemuda yang polos, tentu saja ia tak menduga bahwa
pertanyaannya justeru malah menusuk perasaan si nona.
Mata Wan-ji lantas merah dan hampir menangis. ia berseru: "Aku terluka
atau tidak peduli apa dengan kau? Sekalipun aku mati juga kau tak
perlu mengurusnya! "
Tiba2 ucapannya terputus dan wajahnya mengunjuk rasa heran sambil
memandang ke belakang Tian Pek.
Tian Pek juga berpaling ke belakang, tampaklah Liu Cui-cui dengan topeng
setannya sedang melangkah maju.
Hampir tak percaya Wan-ji pada matanya sendiri, dari bayangan
punggungnya jelas terlihat Tian Pek sedang duduk di tepi sungai bersama
seorang gadis, mengapa setelah berpaling berubah menjdi makhluk aneh yang
bermuka buruk seperti setan.
Sementara itu Liu Cui-cui telah melayang maju sambil menegur: "Siapa dia
ini?"
Liu Cui-cui bertopeng setan, gerak-geriknya jadi menyeramkan, suarapun ketus,
dingin dan garang.
Tian Pek menatap wajah Liu Cui-cui yang jelek itu, ia merasa penyaruan gadis
tersebut sedikitpun tak ada celanya, bahkan orang akan mengira aslinya dia
memang berwajah sejelek itu.
Terbayang kembali kejadian mesra malam berselang, diam2 ia membatin:
"Wah, kalau dia benar2 berwajah sejelek setan, aku jadi ragu apakah sanggup
bermain cinta dengan dia?"
Sementara Tian Pek sedang melamun, Liu Cui-cui yang bertopeng setan itu
tahu2 melayang tiba dan "cring", Pedang Hijau Bu-ceng-pek-kiam telah
dicabutnya dari punggung anak muda itu.
Tian Pek terperanjat, ia jadi teringat pada keganasan Liu Cui-cui yang telah
membunuh orang bagaikan membabat rumput kemarin.
Terbayang kejadian itu, dia kuatir kalau Wan-ji dilukainya, cepat serunya:
"Mari, kuperkenalkan kalian, ini adalah nona Wan dan yang ini adalah...."
Belum habis ucapannya Liu Cui-cui telah menggetarkan bu-ceng-pek-kiam,
dengan nada ketus ia bertanya: "Ah, kiranya kalian telah saling kenal! Hayo
jawab, apa hubunganmu dengan dia?"
Tian Pek tak menyangka rasa cemburu Liu Cui-cui sedemikian besarnya, dia ingin
menegur, tapi terasa sungkan, sebab bagaimanapun hubungannya
dengan nona itu sekarang telah meningkat menjadi hubungan yang luar biasa,
namun iapun tak ingin Wan-ji terluka olehnya, maka cepat ia berkata: "0.. dia
adalah adikku..”
"Aku tidak tanya padamu, jangan ikut bicara!" bentak Cui-cui. Lalu ia berkata
pula kepada Wan-ji "He, tak perlu kau melongo seperti orang dungu, hayo
mengakulah terus terang! Kalau tidak, jangan menyesal kalau aku bertindak
tidak sungkan lagi padamu!"
Wan js bukan gadis yang bodoh, pertama kali bertemu dengan Cui-cui yang
bermuka jelek, ia masih mengira telah salah lihat. Akan tetapi setelah orang
bersuara, meski nadanya di-bikin2, namun ia lantis menduga kejelekan wajah
orang kemungkinan adalah hasil penyamaran, lalu iapun mendengar nada
cemburu dibalik teguran lawan serta sikap kikuk Tian Pek, dengan segera
duduknya perkara dapat dipahaminya.
Maka sambil mendengus Wan-ji balik menegur: "Apa hubunganmu dengan
engkoh Tian? Berani benar kau bersikap galak padaku?"
"Aku adalah isterinya, kau?
"
"Hehe, belum pernah kudengar engkoh Tian telah kawin, darimana muncul
seorang bini macam kau, dan lagi
hehehe..."
"Dan lagi apa?" bentak Cui-cui sambil menggetarkan Pedang Hijau.
"Dan lagi mengapa kau tidak bercermin dulu?" jengek Wan-ji sambil
mencibir. "Kalau tak punya cermin, pergilah ke tepi sungai dan pandanglah dulu
tampangmu, pantaskah menjadi bini engkoh Tian. .."
Bstapa gusar Cui-cui sukar dilukiskan pedang bergerak, secepat kilat ia
menusuk ke dada Wan-ji.
Tinggi sekali ilmu silat Cui-cui, serangan itu dilancarkan dengan cepat luar
biasa, di mana cahaya hijau berkelebat, hampir saja tak dapat diikuti dengan
pandangan mata, tahu2 ujung senjata telah berada di depan dada Wan-ji.
Namun Wan-ji juga tidak lemah, dengan gerak langkah Ni-gong-hoai-ing yang
telah mencapai puncak kesempurnaan, dia menggeser badannya ke-samping
untuk berkelit, menyusul mana telapak tangannya segera didorong ke muka
dengan satu pukulan dahsyat.
"Eeh .... eeh
jangan berkelahi. .” teriak Tian Pek dengan gelisah.
Ta menerobos maju dan berdiri di antara kedua gadis yang sedang bertarung
maksudnya hendak mengalangi mereka agar tak bisa melanjutkan
pertempurannya.
Apa mau dikata, ketika Tian Pek menerjang masuk ke dalam gelangang,
kebetulan Wan-ji sedang melepaskan pukulan dahsyatnya, maka tak bisa di
cegah lagi gulungan angin pukulan yang amat dahsyat itu langsung tertuju ke
badan Tian Pek.
Mau berkelit tak sempat lagi, dalam keadaan terjepit mau-tak-mau Tian Pek
harus menghimpun tenaganya untuk menangkis pukulan itu.
"Blang!" dua gulung tenaga pukulan saling beradu, baik Wan-ji maupun Tian
Pek sama2 tergetar mundur satu langkah.
Wan ji mengira Tian Pek sengaja membantu manusia aneh bermuka hijau itu,
saking khekinya air matanya berlinang "Sebetulnya kau bantu siapa ..?"
teriaknya dengan marah dan pucat wajahnya.
Tian Pek belum sempat menjawab dan Cui-cui telah membentak, tusukan kedua
dilontarkan.
Tian Pek berpaling begitu mendengar desingan angin tajam dari belakang,
dilihatnya Bu-ceng-pek-kiam disertai kilatan cahaya hijau menyambar ke depan.
Cepat ia menerjang maju seraya membentak: "Tahan!"
Karena Liu Cui-cui kelihatan tidak mau berhenti, dalam gugupnya dengan
jurus Cia kwan-tiam goan ia meraih pergelangan tangan kanan Liu Cui-cui,
maksud pemuda itu Bu-ceng-pek-kiam akan dirampas agar kedua nona itu tidak
melanjutkan pertarungannya.
Dengan ilmu silat Liu Cui-cui, cukup dia berganti jurus dan niscaya lengan
kanan Tian Pek akan dipapasnya, tapi nona itu tak ingin mencelakai anak muda
itu, ia merasa jalan pedangnya teralang oleh tubuh Tian pek, terpaksa pedang
tadi ditarik kembali kemudian menggeser ke samping.
Dipihak lain, Wan-ji pun gelisah bercampur gusar, ilmu Soh hun-ci yang maha
sakti segera di-mainkan, dari jauh mendadak ia menutuk Sim-gi-hiat di tubuh Liu
Cui-cui.
Cepat Tian Pek mengalangi pula serangan tersebut. Bagaimanapun gusarnya
Wan ji iapun kuatir serangannya melukai Tian Pek, terpaksa ia tarik kembuli
serangannya.
Begitulah, Tian Pek terpaksa harus berputar ke kiri dan mengadang ke
kanan, mencegat ke depan dan membendung ke belakang, berulang kali ia
berseru minta kedua nona itu menghentikan pertarungannya, tapi ia tak
berhasil.
Untungnya baik Wan-ji maupun Liu Cui-cui sama2 tak ingin melukai Tien Pek,
maka betapa kejinya serangan mereka, setiap kali diadang Tian Pek, buru2
serangan lantas ditarik kembali.
Jurus serangan yang digunakan kedua nona itu sama ganasnya, akan tetapi
pertarungan itu sendiri tidak sengit, kendatipun demikian, Tian Pek jadi
kerepotan, sebentar dia harus mengalangi Wan-ji sebentar lagi dia barus
mengadang Lm Cu -cm, dalam sekcjap kedua nooa itu sudah saling bergebrak
puluhan jurus.
Karena mesti bergerak cepat, lama2 robekan kain selimut yang menutupi
tubuh Tian Pek mula mengendur lagi, ketika mendadak ia harus melompat ke
sana, tahu2 tali pengikat putus dan kain penutup terlepas, keruan keadaannya
yang "mulus" lantas terpampang di depan kedua nona.
Bagi Cui-cui yang sudah pernah tahu kemulusan tubuh pemuda itu tentu tak
menjadi soal, apalagi ia memakai topeng. Sebaliknya Wan-ji masih suci murni,
tentu saja wajahnya berubah menjadi merah.
Dalam keadaan begini, ia tak pikir lagi akan bertempur pula, ia melirik
sekejap ke arah Tian Pek, lalu lari ter-birit2.
Melihat itu, Liu Cui-cui tertawa cekikik geli: "Hihihi
kenapa kau kabur?
Boleh kabur asalkan tinggalkan batok kepalamu di sini!" Sambil berkata ia lantas
mengejar ke sana.
Tian Pek sendiripun malu sekali ketika pembalut tubuh terlepas hingga
telanjang bulat, cepat dia menarik kembali kain rombengan itu dan mengikatnya
lagi sambil memaki dirinya sendiri yang lagi sial.
Ketika ia selesai membetulkan, gadis itu sudah menghilang dari
pandangannya.
Tian Pek kuatir bila kedua nona itu bertempur kembali hingga terjadi korban,
cepat dia mengejar ke sana, tapi sayang gerakan tubuh kedua nona itu terlalu
cepat, sudah melewati dua lereng bukit dia tetap kehilangan jejak kedua nona
itu.
Dengan gelisah Tian Pek melanjutkan pengejarannya ke depan, setelah
melintasi sebuah bukit lagi akhirnya tibalah di depan sebuah lembah yang
sempit.
Lembah tersebut diapit oleh dua dinding tebing yang curam, dipandang ke
dalam selat sana tampaklah macam2 orang berkerumun, jumlahnya ratusan,
mereka membentuk satu lingkaian, sayup2 terdengar deru angin pukulan dan
gemerlap cahaya senjata bertebaran di kalangan, jelas di situ sedang terjadi
pertarungan sengit.
Di antara jago2 yang berkumpul di sana, ia lihat Wan-ji serta Cui-cui juga
berdesakan di antara rombongan jago silat itu, yang aneh ternyata mereka tidak
saling labrak lagi, melainkan sedang mengikuti jalannya pertempuran di dalam
gelanggang.
Heran Tian Pek, iapun memburu ke sana, apa yang kemudian dilihatnya
membuat pemuda itu tertegun.
Kawanan jago yang berkumpul di situ kebanyakan adalah jago lihay dari
keempat keluarga besar, malahan sebagian di antara mereka adalah orang2
yang pernah tcrjebak di dalam Sek-ki-tay-tin di gedung keluarga Kim beberapa
hari yang lalu.
Tian Pek sudah tahu mereka terlepas ditolong oleh Cui-cui, yang aneh adalah
semua orang memandang jalannya pertarungan di tengah gelanggang dengan
terbelalak dan terkesima, terhadap musuh yang berada disekitarnya boleh
dibilang sama sekali tak ambil peduli.
Ketika Tian Pek tiba di tempat itu, tak seorang-pun yang berpaling, mereka
tetap mengikuti pertarungan di tengah kalangan dengan terkesima, se~akan2
pertarungan yang sedang berlangsung itu mempunyai daya tarik yang luar biasa
besarnya.
Tian Pek ikut melongok ke tengah gelanggang, ia lihat enam orang sedang
melangsungkan pertarungan dalam tiga partai.
Belasan sosok mayat sudah terkapar disekitarnya, mungkin mayat tersebut
adalah korban yang terbunuh sebelumnya.
Di antara para jago yang mengikuti jalannya pertarungan, banyak di antara
mereka juga sudah terluka. ada yang kehilangan lengan, kehilangan kaki, darah
segar membasahi sekujur tubuh mereka, tapi mereka tak ada yang berlalu dari
situ, malahan setelah membalut lukanya terus menonton jalannya pertarungan
dari samping gelanggang
Sekilas pandang Tian Pek kenal para korban yang mati dan teiluka itu
kebanyakan adalah kawanan jago dari keempat keluarga besar, hal in1
membuat hatinya terkejut.
"Aneh, mengapa begitu banyak jago lihay yang jatuh korban? Jagoan
darimanakah yang berilmu sehebat ini?" demikian pikirnya.
Ketika ia berpaling pula ke tengah kalangan, keenam orang itu masih
bertempur dengun sengit. Tiga di antaranya berwajah asing baginya, belum
pernah Tian Pek berjumpa dengan mereka, tapi dandanan mereka jelas bukan
penduduk daratan Tionggoan.
Mereka terdiri dari seorang kakek berjenggot putih panjang sebatas perut,
seorang perempuan tua bermuka jelek, wajah penuh keriput serta seorang
paderi setengah baya berbadan pendek gemuk, berwajah seperti anak muda.
Sedangkan tiga orang yang berhadapan dengan mereka adalah Mo-in-sin-jiu
Siang Cong-thian, Hiat-ciang hwe-liong (naga api telapakan darah) Yau Peng gun
serta seorang jago lain yang belum pernah dijumpai Tian Pek. tapi pernah
dengar namanya, yakni Tok-kiam leng coa (pedang racun ular sakti) Ji Hoau-lam.
Ketiganya dari perkampungan In-bong-san-ceng, merupakan jago andalan An-
lok Kongcu. Ini menandakan pula kalau pertarungan yang berlangsung ditujukan
untuk menghadapi anak buah An-lok Kongcu.
Tian Pek segera alihkan pandangannya ke arah lain, ia lihat baik An-lok
Kongcu maupun ayahnya Kian-kun-ciang In Tiong liong, hadir semua di situ,
wajah mereka tampak tegang dan menatap ke tengah gelanggang tanpa
berkedip, kalah-menangnya pertarungan ini menyangkut kehormatan mereka
sepenuhnya.
Ketenangan yang biasanya selalu menghiasi wajah An-lok Kongcu kini lenyap tak
berbekas, buku kumalnya dipegang kencang2, sementara butiran keringat
sebesar kacang mengucur keluar tiada hentinya.
Di pihak lain berdirilah pemuda baju putih yang pernah dilihat Tian Pek di
kelenteng bobrok itu, meskipun di musim dingin ia tetap menggoyangkan
kipasoya, senyum bangga menghiasi wajahnya, ia kelihatan gembira sekali.
Tentu saja Tian Pek tak tahu apa sebabnya pemuda itu berseri, tapi ia tahu
pastilah kebanggaannya itu berhubungan dengan pertarungan yang sedang
berlangsung di tengah gelanggang.
Baik kakek berjenggot panjang maupun nenek berkeriput serta Hwesio
berwajah kebocahan, semuanya telah menguasai gelanggang dan kemenangan
jelas akan diraih oleh mereka.
Mc—in-sin jiu Siang Cong-thian bertempur sengit melawan si kakek
berjenggot panjang, Hiat ciang-hwe-liong Yau Peng-gun bertarung melawan
nenek keriputan, sedangkan Tok-kiam leng-coa bertempur melawan paderi
setengah baya.
Di antara tiga partai yang bertarung ini ke adaan Mo-in-sin jiu Siang Cong-
thian terhitung paling gawat, dari sini dapat ditarik kesimpulan kalau ilmu silat si
kakek berjenggot panjang itu betul2 lihay tidak kepalang
Sebagaimana diketahui, Mo-in-sin-jiu Siang Cong-thian berilmu silat tinggi,
baik keras maupun lembek dan kegesitan, semua dikuasainya dengan sempurna,
bukan saja ia menempati kursi utama di perkampungan In-bong-san-ceng, di
dunia persilatan pun iapun merupakan tokoh sakti yang maha lihay.
Rupanya jago ini sadar kalau musuh yang sedang dihadapinya terlalu kuat,
bukan saja ilmu sakti Mo-in-sin-jiu yang membuatnya tersohor dimainkan
dengan berbagai gerakan, menebas, menyodok dan memukul, bahkan telapak
tangan lain juga memainkan golok Ci-kim-tian-kong-to, golok Ci-kim-tian-kong to
ini tajam luar biasa, dengan sendirinya seperti harimau tumbuh sayap.
Sekalipun angin pukulan menderu dan cahaya golok berhamburan memenuhi
angkasa, namun musuh memang jauh lebih tangguh, dengan telapak tangan
kosong kakek berjenggot itu dapat mematahkan setiap serangan Siang Cong
thian, malahan bagaimanapun dia terjang ke kiri maupun ke kanan tetap tak
terlepas dari lingkaran pukulan si kakek.
Lama2 Siang Cong-thian makin keteter, napasnya jadi ter-sengal2 dan mandi
keringat, jelas dia mulai kepayahan.
Sebaliknya si kakek berjenggot tetap tenang seperti bertempur seenaknya,
baik bergerak ke kiri maupun bergerak ke kanan, semuanya dilakukan dengan
enteng, walaupun begitu, Mo-in-sin-jiu sudah kewalahan dan terancam bahaya.
Di pihak lain, Hiat-cianghwe-liong Yau Peng gun yang bertempur melawan
nenek keriputpun tidak lebih unggul.
Tian Pek pernah terluka di tangan Hiat-ciang-hwe-liong, sudah tentu ia tahu
betapa hebatnya pukulan Ang-se-hiat-heng-ciang orang, tapi kini berhadapan
dengan nenek keriput itu, bukan saja pukulan pasir merah berbisa itu tidak
berfungsi lagi malahan serangan gencar yang dilancarkan dengan Sian-jin-ciang,
senjata aneh yang jarang digunakan itupun tidak banyak memberi harapan
baginya.
Sebaliknya Tok-kiam-leng-coa Ji Hoe-lam bersenjata pedang beracun Wi-tok-
lam-kiam serta Tiat sian-leng-coa, dengan susah payah dapat memaksa paderi
setengah baya itu untuk bertarung sama kuat, untuk sesaat sukar ditentukan
siapa bakal menang dan siapa bakal kalah.
Di pihak jago pimpinan An-lok Kongcu sudah ada dua diantaranya yang jelas
akan kalah, tidaklah heran bila rekan2nya merasa tegang.
Tian Pek merasa heran, biasanya jago2 ke-empat keluarga besar tak pernah
berteman. Bukankah mereka selalu bermusuhan ibarat api dan air? Kenapa saait
ini semna jago menguatirkan peitarungan itu?
Wan-ji dan Cui-cui yang kejar mengejar, sekarang juga melupakan pertikaian
di antara mereka, malahan ber-sama2 mengikuti jalannya pertarungan tersebut,
mungkinkah pertarungan yang sedang berlangsung ini mempunyai arti yang
sangat penting?
Sementara Tian Pek masih termenurg, tiba2 terdengar nenek berkeriput itu
berseru: “Tua bangka yang tak mampus, kalau kau sudah di atas angin, kenapa
tidak cepat kau singkirkan bocah keparat itu? Coba lihatlah, di sekitar
gelanggang masih hadir begitu banyak orang yang ingin mampus, lebih baik
cepatlah selesaikan pertarungan ini agar bisa disusul dengan babak
selanjutnya!"
"Perempuan bangsat! Jagoan di daratan Tionggoan sini kebanyakan cuma
gentong nasi belaka, aku merasa bosan untuk bertempur lebih jauh!" jawab si
kakek berjenggot panjang.
Walaupun dia bicara dengan seenaknya, tapi kenyataan serangan yang
dilancarkan makin dahsyat dan mematikan.
"Anak muka hitam!" ejeknya lagi, "bila kau mampus nanti, jangan kau
dendam padaku, kalau ingin mengadu kepada Giam-lo-ong, lebih tepat kalau
kau menuduh nenek busuk itu sebab dia yang suruh aku membinasakan kau!"
Sejak punya nama di dunia persilatan, Mo-in-sin jiu Siang Cong thian selalu
disanjung dan di-hormati, belum pernah ia dihina oleh musuh seperti apa yang
dialami sekarang.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya jago tua itu, meskipun dia tahu bahwa
ilmu silatnya masih bukan tandingan musuh, namun matanya jadi melotot
marah.
Mendadak ia membentak keras, golok Ci-kim-tian kong-to di tangan kanan
berkilat melepaskan sebuah bacokan dengan jurus Long-cian liu-sah (pantai
terkikis oleh gulungan ombak), sementara tangan kiri menghantam dengan jurus
Loan sek-peng in (awan berguguran batu berserakan), satu gerakan dengan dua
serangan.
Kakek berjenggot panjang itu tersenyum. telapak tangannya segera didorong
ke depan. "Duuk!" Mo-in-sin-jiu yang ampuh tiba2 menjerit seperti babi dijagal,
tubuhnya mancelat dua-tiga tombak jauhnya.
Entah bagaimana caranya, tahu2 golok Ci-kim-tian-kong-to menembus
perutnya sendiri, darah segar berhamburan memenuhi permukaan tanah,
dengan wajah pucat dia terkapar di tanah tanpa berkutik, sudah jelas jiwanya
lebih banyak amblas daripada selamatnya.
Semua orang tadi terperanjat, belum pernah mereka dengar ataupun
melihat, senjata yang jelas2 menyerang musuh, tahu2 malah menembus perut
sendiri.
"Perempuan bangsat!" terdengar kakek berjenggot tadi berseru sambil
tertawa, "mangsaku telah kubereskan, sekarang ingin kulihat bagaimana dengan
hasilmu!"
"Hehehe, tidak sampai tiga gebrakan, akan kukirim juga mangsaku ini ke
akhirat" sahut nenek keriput itu sambil tertawa ter-kekeh2.
Hiat-ciang-hwe-liong sudah tersohor dengan wataknya yang berangasan, bisa
dibayangkan betapa gusarnya mendengar cemoohan tersebut, teriaknya dengan
gusar:
"Bangsat, jangan takabur dulu! Aku akan mengadu jiwa dengan kau!” Sambil
membeatak telapak tangan kirinya di-gosok2 di depan dada, kemudian serentak
ditolak ke depan, cahaya merah seketika membias pada telapak tangannya itu.
Ter-kekeh2 si nenek keriput itu, ejeknya malah: "Bocah bermuka merah, tak
ada gunaoya kau gosok telapak tanganmu sampai keluar darahnya, nenek masih
sanggup kirim kau pulang ke rumah nenekmu . . . .”
Belum habis ucapannya, Hiat-ciang-hwe-liong telah membentak, dengan
sepenuh tenaga dia menghantam dengan pukulan pasir merah.
Hawa panas menyengat segera membelah angkasa dan membanjir ke depan.
Nenek berkeriput itu mendengus, kedua telapak tangannya berputar dan juga
menyodok ke depan, segulung kabut tebal disertai hawa dingin merasuk tulang
segera menapak gulungan hawa panas itu.
Begitu kedua kekuatan bertemu, Hiat-ciang-hwe-liong menggigil dan bersin,
mukanya yang merah berubah pucat seperti mayat.
Semua orang ikut terperanjat, tak seorangpun yang tahu ilmu pukulan aneh
apakah yang digunakan nenek itu sehingga tanpa menimbulkan sedikit suarapun
pukulan pasir merah Ang-se-hiat-heng-ciang lawan berhasil dihancurkan.
Hiat-ciang-hwe-liong sendiripun terkesiap, dia sadar ilmu yang dilatihnya
dengan susah payah selama enam puluhan tahun kini sudah musnah, betapa
sedih hatinya air mata lantas bercucuran.
Tapi sesaat kemudian, dengan mengertak gigi se-konyong2 ia angkat senjata
Sian-jin-ciang dengan tangan kanan yang gemetar.
Sian-jin-ciang atau daun katus merupakan senjata andalannya selama ini,
sebelum terjadi benturan maut tadi, senjata ini masih dapat digunakan olehnya
dengan enteng, tapi kini, kendatipun ia mengerahkan segenap kekuatannya
senjata tersebut tetap sukar diangkatnva.
Ssdikit demi sedikit Sian-jin-ciang diangkat oleh Hiat-ciang-hwe-liong . . .
Melongo heran kawanan jago yang menonton itu, mereka tak mengerti apa
sebabnya jago bermuka merah yang gagah perkasa itu sekarang jadi lemah dan
tak bertenaga, malahan muka Hiat-ciang-hwe-liong 1antas berubah jadi pucat,
air mata bercucuran dan sekujur badan gemetar keras, disangkanya jago itu
kelewat sedihnya sampai meneteskan air mata.
Tersenyum si nenek keriput, katanya dengan menghina: "Bocah muka merah,
bagaimana rasanya pukulanku ini? Hahaha, kau harus berterima kasih kepadaku
sebab nenekmu telah sulap kau dari muka merah menjadi si muka putih..”
"Perempuan bangsat, awas sergapan maut . . . . . . " mendadak si kakek
berjenggot panjang itu memperingatkan. Sambil berteriak dia lancarkan pula
suatu pukulan.
Tapi serangan tersebut tetap terlambat satu tindak, sebelum pukulan dahsyat
itu bersarang di tubuh Hiat-ciang-hwe-liong, senjata Sian-jin-ciang Hiat-ciang-
hwe-liong sudah terangkat setinggi dada, begitu ibu jarinya menekan pegas,
"cret!" segulung asap berwarna putih segera menyembur ke tubuh nenek
berkeriput itu.
Sementara itu pukulan dahsyat si kakek berjenggot pun bersarang di badan
Hiat-ciang-hwe-liong dan membuatnya mencelat jauh ke belakang.
Setelah mendapat peringatan dari rekannya, si nenek segera melancarkan
pukulan kuat ke arah kabut putih.
"Cess!" cahaya berwarna biru bagaikan hujan tersebar keempat penjuru,
kendatipun nenek keriput sudah berusaha menghindar dan membendung
dengan angin pukulannya, tak urung ada pula beberapa titik cahaya yaug
sempat menciprat pada rambutnya dan membakarnya.
Betapa hebatnya pancaran cahaya api itu, bukan saja nenek itu menjadi
sasaran, malahan kawanan jago persilatan yang nonton juga ada beberapa
orang di antaranya terkena letikan api sehingga baju terbakar.
Jerit kaget berkumandang di sana sini, suasana jadi kalut, beberapa orang
menjadi korban kebakaran buru2 menjatuhkan diri ke atas tanah dan
bergulingan.
Nenek itu sendiri juga berusaha memadamkan kebakaran yang menimpa
rambutnya, walaupun akhirnya api dapat dipadamkan, tak urung rambutnya
sudah hampir kelimis terjilat api.
Kemarahan nenek itu sukar dikendalikan lagi, ia meraung dan beruntun ia
menutuk tiga kali ke tubuh Hiat-ciang-hwe-liong yang terkapar di tanah itu.
"Cret cret cret!" tiga lubang besar menghiasi tubuh Hiat-ciang-hwe-liong yang
terluka parah, tanpa ampun isi perut dan darah berhamburan.
"Tlmu apa itu? Sungguh lihay?" pikiran ini melintas di benak setiap orang.
Wan-ji yang berada di samping gelanggang ikut terperanjat. tanpa terasa dia
menjerit kaget: "Hah, ilmu jari Soh-hun-ci!"
Di antara sekian banyak jago persilatan yang hadir di sini hanya dia seorang
yang kenal ilmu jari si nenek, sebab Sin-kau Tiat Leng mewariskan juga ilmu jari
yang sama kepadanya. tentu saja kesempurnaannya masih kalah jauh bila
dibandingkan dengan permainan si nenek ini.
Mendengar seruan tersebut, nenek keriputan berpaling ke arah Wan-ji dan
berkata sambil tertawa: "Tak tersangka kau si budak kecil ini mengetahui asal-
usul ilmu jariku ... "
Gusar Wan-ji karena dirinya disebut "budak cilik" oleh nenek itu, kontan
matanya mendelik.
Tapi sebelum ia sempat mengumbar amarahnya nenek keriput itu telah
berpaling ke arah An-lok Kongcu dan berkata: "Bagaimana sekarang? In-bong-
san-ceng kalian tentunya sudah menyerah bukan? Hayo lekas serahkan benda
pusaka kepadaku!"
Meskipun murung wajahnya, An-lok Kongcu masih sempat tertawa angkuh:
"Jangan ter-buru2, masih ada pertarungan babak terakhir."
Si nenek lantas berpaling, dilihatnya pertempuran antara paderi gemuk
melawan Tok-kiam-leng-coa masih berjalan dengan seimbang, untuk sesaat sulit
menentukan menang dan kalah.
Memang tangguh ilmu silat paderi gemuk setengah baya itu, dengan bacokan,
babatan, getaran, ketukan serta sodokan, setiap serangan cukup dahsyat, tapi
dia jeri pada senjata Tok-kiam-leng coa yang berwujud pedang dan rantai baja
berbisa, oleh sebab itulah untuk sementara keadaan tetap berlangsung
seimbang.
Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam putar kedua macam senjata beracunnya
sedemikian rupa hingga menyerupai kitiran dan terus menyerang tanpa
berhenti.
Rantai baja seperti ular hidup dengan gerak melingkar, memagut, melejit,
sebentar berputar bagaikan ruyung, sebentar pula bagaikan tombak, semua
ancaman tertuju bagian mematikan di tubuh lawan.
Sebalikuya pedang birunya yang beracun diputar menciptakan selapis dinding
cahaya berwarna biru, dengan membawa desingan angin menderu dia kurung
sekujur badan si hwesio.
-----------
Tokoh2 macam apakah ketiga orang aneh ini dan siapa pula si pemuda pelajar
berbaju putih?
Untuk apa jago2 dari keempat keluarga besar pcrsilatan bertempur dengan
mereka?
--------------
Jilid-17.
Lama2 habislah kesabaran nenek keriputan itu, alisnya bekernyit, dengan suara
serak seperti itik ia berteriak keras2: "Keledai gundul yang cebol, biasanya kau
sok ngibul, kenapa sekarang tak mampu membereskan seorang bocah
kerempeng begitu? Hayo cepat keluarkan semua Kungfu simpananmu, bereskan
bocah itu, nyonya besar masih ada urusan lain."
Si kakek berjenggot tiba2 menyela: "Bocah itu tidak tahan sekali hantam lagi,
masa kau tidak melihatnya, nenek bangsat!? Yang benar kedua macam senjata
bocah itu memang susah dihadapi. . . ."
"Ah, banyak omong, coba lihat, biar nyonya besar yang bereskan bocah itu!"
teriak nenek keriput sambil mendelik.
"Dia menyingsing lengan baju lalu bersiap melompat maju.
"Eeh, tunggu sebentar!" teriak Kian-kun-ciang In Tiong-liong yang berada di
samping. "Masa kalian sudah lupa dengan janji kita sebelumnya? Apakah kalian
hendak mengingkari janji dan mau cari kemenangan dengan main kerubut? Bila
demikian semua orang yang hadir di sini pasti juga takkan tinggal diam."
Dengan lagak apa boleh buat terpaksa nenek keriputan itu urung bertindak,
dengan tak sabar dia berseru: "Bangsat gundul! Sebetulnya kau mampu
memenangkan pertarungan ini tidak ....!"
"Nenek sialan, kenapa kau gelisah sendiri?" jawab paderi gemuk pendek itu
dengan mata melotot. "Pokoknya bocah ini akhirnya kukirim ke langit barat....!"
Heran juga Tian Pek menyaksikan tingkah laku ketiga orang itu, jelas ketiga
orang itu berasal dari satu golongan, tapi aneh, meraka saling mencaci-maki
sendiri, siapa gerangan mereka bertiga?
Kian-kun-ciang In Tiong-liong menyatakan bahwa sebelum bertarung telah
mengadakan perjanjian, janji apakah itu? Kenapa dari pihak In-bong-san-ceng
tak seorang lagi yang tampil kedepan walau pun sudah dua orang jago mereka
yang terbunuh? Kenapa orang2 itu tak ada yang membantu?
Makin dipikir semakin heran, maka akhirnya pemuda itu menjawil seorang laki2
di sampingnya dan bertanya: "Hei, apa yang terjadi ini?"
Laki2 itu berpaling. tapi setelah mengetahui pemuda itu adalah Tian Pek, dengan
gemas dia melotot, kemudian dilihatnya pula dandanan pemuda itu tak keruan,
dengan sinis dia mencibir, lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia alihkan
kembali pandangannya ke tengah gelanggang.
Ketika laki2 itu berpaling, Tian Pek sendiripun segera mengenalinya sebagai
Liang Giok yang kakaknya, Liang Bong, telah dibunuhnya ketika terjadi
pertarungan di tepi sungai Yan-cu-ki, karena itulah meski sikap orang
mendongkolkan hati, ia tetap bersabar.
Dalam pada itu, Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam telah melancarkan serangan
terlebih keji dan mengerikan, baik pedang beracun maupun rantai bajanya
diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan desingan angin tajam, rupanya
iapun menyadari, jika dia sampai kalah, maka reputasi perkampungan In-bong
san-ceng pun ikut berantakan.
Serangan gencar yang dilancarkan Tok-kiam-leng-coa itu membuat si Hwesio
gemuk jadi kelabakan dan keteter, suatu ketika tiba2 telapak tangannya
menghantam ke muka, kemudian ia berjumpalitan mundur ke belakang.
Sekilas pandang orang akan menyangka Hwesio itu terjungkal lantaran terluka,
Tok-kiam-leng- coa tidak me-nyia2kan kesempatan yang baik itu, ular rantai baja
di tangan kirinya segera menutuk wajah si Hwesio, sementara pedang beracun
di tangan kanan menusuk ulu hati lawan dengan jurus Liu-seng-kan-gwat
(bintang meluncur mengejar rembulan).
Sungguh berbahaya posisi Hwesio gemuk itu sebab tubuhnya belum tegak
berdiri, tampaknya serangan maut yang dilancarkan Tok-kiam-leng-coa segera
akan bersarang telak di tubuhnya yang gemuk.
Tiba2 terdengar kakek berjenggot panjang berseru sambil tertawa tergelak:
"Hahaha, keledai gundul! Kau memang hebat, kalau sejak tadi kau gunakan cara
seperti ini, bukankah kemenangan sudah kau raih tanpa bersusah payah?"
Semua orang tertegun keheranan mendengar ucapan tersebut, bukankah si
Hwesio gemuk jelas bakal kalah? Kenapa kakek berjenggot itu malahan bersorak
gembira?
Sementara itu rantai ular baja telah mengancam muka si Hwesio gemuk, pedang
biru juga telah mengancam dadanya ....
Pada saat itulah tiba2 Hwesio gemuk itu melejit ke atas, kakinya berlutut, kedua
tangannya menempel tanah, dengan menggembungkan perutnya yang buncit
hingga menyerupai seekor katak, ia ber-kaok2 dua kali dan mendorong telapak
tangannya ke depan. . .
"Blang! Blang!" desingan angin puyuh menggulung ke depan, debu pasir
beterbangan, hebat sekali pukulan yang dilontarkan itu.
"Ilmu silat apa itu .... ?" semua orang menjerit kaget.
Belum habis seruan tersebut, "bluk", dengan telak pukulan si Hwesio gemuk
bersarang di tubuh Tok-kiam-leng-coa Ji Hoa-lam, tanpa ampun lagi tubuhnya
bagaikan layang2 yang putus benangnya mencelat beberapa tombak jauhnya.
Baik pedang beracun maupun rantai ulur berbisa yang digunakan untuk
menyerang ikut mencelat pula jauh, waktu tubuh jatuh ke atas tanah, jiwanya
sudah melayang.
Betapa terkejutnya kawanan jago itu, untuk beberapa saat lamanya suasana jadi
hening dan tak seorangpun berani buka suara.
Per-lahan2 Hwesio gemuk itu bangkit berdiri, katanya sambil tertawa: "Coba
iihat, bagaimana hasilnya? Tidak jelek bukan, nenek busuk?"
"Hehat! Hebat! Rupanya kau bangsat gundul ini memang masih punya ilmu
simpanan!" sahut si nenek keriputan sambil tertawa lebar.
Setelah jago yang terakhir ikut tewas, kakek berjenggot panjang lantas berpaling
ke arah An-lok Kongcu dan ayahnya, lalu berkata: "Tentunya kalian tak dapat
bicara apa2 lagi bukan? Nah, mulai detik ini perkampungan In-bong-san-ceng
telah berada di bawah kekuatan Hay-bwe-sam-sat!"
An-lok Kongcu berpaling sekejap ke arah ayahnya, Kian-kun-ciang In Tiong-long,
air muka mereka berdua pucat pias seperti mayat, tanpa mengucapkan sepatah
kata mereka menunduk, jelas sekali luar biasa sedih mereka.
Mendadak si nenek keriput berteriak kepada para ksatria yang hadir: "Hayo,
siapa lagi yang tidak puas? Silakan maju untuk menerima kematian!"
Pemuda berbaju putih itu lebih jumawa lagi, sambil menggoyangkan kipas
peraknya ia herkata: "Toan-hong Kongcu, Siang-lin Kongcu serta An-lok Kongcu
telah menggabungkan diri dengan kekuatan kami, di antara empat kelompok
besar didaratan Tionggoan tinggal Leng-hong Kongcu saja yang belum
menyatukan sikapnya, Hei! Leng hong Kongcu, bagaimana dengan keputusan
kalian? Mau lansung menyerahkan perkampungan Pah-to-san-ceng kalian di
bawah kekuatan kami ataukah hendak mengutus dulu beberapa orang untuk
mengantar nyawa?,,
Leng-hong Kongcu yang berperasaan dingin melirik sekejap ke arah kawanan
jagonya, rupanya ia minta pertimbangan jago2nya apakah diantara mereka ada
yang berani menerima tantangan musuh.
Kawanan jago dari perkampungan Pah-to-san-ceng di hari biasa selalu garang
dan tinggi hati, kini sama tunduk kepala rendah2, tak seorangpun berani beradu
pandang dengan Leng-hong Kongcu, tampaknya mereka takut kalau dirinya akan
terpilih untuk menandangi tantangan musuh.
Terdengar pemuda berbaju putih tadi mengejek, "Huh, Leng-hong Kongcu yang
bernama besar kiranya tak lebih hanya manusia keroco yang tak berani
bertindak tegas. Hayo, cepat jawab, mau menyerah kalah ataukah hendak
melakukan perlawanan?"
Sejak kecil sampai dewasa, belum pernah Leng-hong Kongcu menerima
cemoohan orang lain dihadapan umum. Ia tahu jagonya sama ciut nyalinya
setelah menyaksikan kelihayan musuh, selain itu iapun tahu kendatipun mereka
maju, paling2 juga hanya mengantar kematian belaka.
Walaupun demikian, sudah tentu dia tak mau menyerah dengan begitu saja
sebelum melakukan perlawanan, sebab menyerah kalah adalah tindakan yang
paling memalukan. Sebab itulah ia menjadi serba susah, wajah berubah jadi
merah padam, ia tak tahu apa yang harus dilakukan ....
Mendadak sesosok bayangan berkelebat tiba dari luar gelanggang, setelah
berputar satu lingkaran di udara, dengan enteng orang itu melayang turun. Gesit
dan cepat gerakan orang ini, indah pula gayanya.
Kiranyn pendntang ini adalah seorang latah berusia setengah baya.
"Keponakanku, baik2kah selama berpisah?" tegur orang itu setibanya di tengah
gelanggang.
Betapa girang Leng-hong Kongcu setelah mengetahui bahwa orang ini tak lain
adalah Thian-ya-ong-seng Tio Kiu ciu. cepat sahutnya; "Baik2-kah paman Tio
selama ini?"
Thian-ya-ong-seng mengangguk, lalu ia berpaling ke arah pemuda berbaju putih
itu dan berkata dengan angkuh: "Bilamana kalian berminat, aku orang the Tio
ingin belajar kenal dengan jago kosen dari lautan!"
"Apakah kau mewakili perkampungan Pah-to-san-ceng? Kalau begitu, pilihlah
dua orang lagi, agar kita dapat bertanding sebanyak tiga partai!"
"Aku orang she Tio hanya ingin nantang kalian dengan nama Thian-ya-ong-seng,
aku tidak mewakili sesuatu aliran ataupun perguruan manapun!"
"Bocah latah! Lalu buat apa kami membinasakan kau?" sela si nenek keriput dari
samping.
"Sekalipun menang juga tak ada gunanya, paling2 hanya membuang tenaga
percuma!"
"Hahaha, nenek tua, apakah kau tahu sumpahku di masa lalu?" seru si manusia
lalah dari ujung langit sambil tergelak.
"Sumpah atau tidak juga tidak ada gunanya, yang penting kau mewakili mereka
atau tidak, sehingga bila kau mampus maka kamipun bisa mendapatkan hasil
yang lumayan."
Sejak malang melintang di dunia persilatan, belum pernah Thian-ya-ong-seng
berjumpa dengan manusia yang lebih latah daripadanya, ucapan si nenek
membuatnya gusar, tapi ia lantas tertawa malah: "Sejak dulu aku orang she Tio
telah bersumpah, barang siapa dapat menangkan aku, maka aku akan
mengangkat orang itu sebagai guruku. Sudah tiga puluh tahun aku malang
melintang di dunia persilatan, tapi belum pernah kutemui lawan tangguh yang
mampu mengalahkan aku. maka jika satu diantara kalian berempat sanggup
mengalahkan diriku, segera aku mengangkatnya sebagai guru, inikan imbalan
yang baik bagi kalian?"
"Hehehe, bocah latah, kau memang hebat!" si nenek keriputan tertawa seram.
"Tapi sayang kau telah melupakan sesuatu, andaikata salah seorang di antara
kami berhasil membinasakan dirimu, setiba di akhirat lalu kau akan mengangkat
siapa menjadi gurumu?"
Untuk beberapa saat lamanya Thian-ya-ong-seng berdiri tertegun, sungguh tak
disangkanya dirinya yang terkenal latah selama puluhan tahun, akhirnya
bertemu dengan seorang yang berpuluh kali lipat lebih latah daripadanya.
Sebelum jago latah ini sempat mengucapkan sesuatu, nenek keriput itu berkata
pula: "Eeh, bocah latah, kau tak perlu ter-mangu2, ketabuilah kami bertiga
disebut Hay-gwa-sam-sat, sedangkan Siauya ini ... !" — Sambil berkata ia
menuding si pemuka baju putih itu.
Semua orang sama heran, nenek itu berani memaki kepada siapapun, tapi
sikapnya terhadap pemuda berbaju putih itu ternyata sangat menghormat.
"Siauya ini tak perlu dibicarakan dulu, biarlah bicara mengenai kami bertiga ini,
barang siapa berani bertempur melawan kami, maka dia tak mungkin hidup lagi
di dunia ini. Bocah latah, sekarang tentunya kau mengerti bukan? Kalau kau
berani menantang kami, maka jiwamu pasti melayang, lalu untuk apa
mengangkat guru segala? Kau cuma omong kosong belaka?"
Betapa gusarnya Thian-ya-ong-seng demi mendengar perkataan itu, ia tak tahan
lagi, sambil membentak telapak tangannya terus menghantam si nenek.
Rupanya nenek itu tak menyangka musuh akan menyerang secara tiba2,
serangan tersebut dilancarkan dengan cepat pula. Untung pengalamannya
cukup luas, mendadak tubuhnya berputar dan tahu2 dia sudah terlepas dari
ancaman lawan.
Thian-ya-ong-seng tidak memberi kesempatan kepada musuh untuk berganti
napas, sebelum musuh itu berdiri tegak. dengan jurus Heng-kang-toan-liu
(menyodet sungai membendung air) serta Long-ki-liu-sah (tanah terkikis oleh
gulungan ombak) secara beruntun tiga serangan berantai dilontarkan.
Dalam keadaan tak siap, si nenek terdesak hingga rada kerepotan.
Ilmu pukulan Tui-hong-ki-heng-ciang ciptaan Thian-ya-ong-seng memang
mengutamakan gerak cepat, apalagi ia dibikin marah akibat ejekan musuh, jurus
serangan mematikan dilancarkan secara beruntun, dalam waktu singkat dia
telah menyerang belasan kali.
Nenek itu terdesak hebat. bukan saja ia tidak memperoleh kesempatan untuk
melancarkan serangan balasan, bahkan secara beruntun terdesak mundur, bisa
dibayangkan betapa gemas nenek itu.
Sepanjang pertarungan itu si kakek berjenggot panjang itu hanya membungkam
saja, dengan sinar mata tajam ia mengikuti gerak serangan manusia latah
tersebut, mau-tak mau ia kagum juga oleh kelihayan musuh.
Pemuda berbaju putih itupun heran dan tercengang, kipas peraknya berulang
kali diketukkan pada telapak tangannya . .
Hanya Hwesio cebol itu yang tak acuh, sambil berkeplok tertawa ia berteriak:
"Hei, nenek busuk, siapa suruh kau mengibul, sekarang kau baru tahu rasa
kecundang di tangan orang lain, hahaha . . . "
"Sialan. bangsat gundul, nyonya besar keteter hebat, kau malahan nonton
doang," maki nenek itu sambil berkelit menghindari pukulan musuh.
Thian-ya-ong-seng benci pada kelatahan nenek keriput itu, dia ingin
menundukkan nenek tersebut, maka setelah di atas angin, ia melancarkan lagi
tiga kali serangan berantai dengan jurus Hoan-kang-to-hay (menjungkir sungai
membalikkan samudera), Hu-tong-to-hwe (menyeberangi air mendidih
mengarungi lautan api) serta Pau-hi-bong-hong (hujan lebat angin puyuh)
Bayangan telapak tangan ber-lapis2 menyelimuti angkasa, nenek itu terkepung
di tengah angin pukulan yang men-deru2.
Sekarang si kekek berjenggot baru terperanjat' sedangkan Hwesio gemuk itu tak
bisa tertawa lagi' wajahnya menampilkan rasa heran.
Nyata mereka tidak menduga di dalam dunia persilatan Tionggoan masih
terdapat jagoan yang berilmu tinggi, tapi kedua orang itu pun taat pada
peraturan persilatan, sekalipun nenek itu keteter hebat mereka tidak terjun
membantu.
Sebenarnya ilmu silat nenek keriput itu sangat lihay. dia terdesak oleh karena
dia terlampau pandang enteng rmusuhnya sehingga kena didahului. Sedang
lawan justeru Thian-ya-ong-seng yang lihay dan berpengalaman, seperti halnya
main catur, kalau sudah kalah satu langkah, dengan sendirinya langkah
selanjutnya jadi terpengaruh.
Beberapa kali nenek itu berusaha merebut kembali posisinya yang terdesak,
namun setiap kali usahanya itu menemui kegagalan, akhirnya dia sendiri
semakin terdesak.
Dalam keadaan demikian, tiba2 si pemuda berbaju putih ketuk2 kipas peraknya
pada telapak tangannya dengan berirama, kemudian ia bersenandung nyaring:
"Bukit menjulang samudra membentang jalan terasa buntu. . . ."
Demi mendengar syair tersebut, mendadak si nenek berpekik nyaring, suaranya
keras melengking menembus awan.
Di tengah pekik nyaring itulah si nenek memutar badannya secepat gasingan, ia
berputar terus menembus bayangan telapak tangan Thian-ya-ong-seng dan
mengapung ke udara.
Bayangan putih kelabu itu melambung empat tombak tingginya di tengah udara
si nenek kembali berpekik nyaring, di tengah lengkingan yang memekak telinga
itu mendadak si nenek menukik ke bawah, dengan dahsyat kedua telapak
tangannya membelah batok kepala lawan.
Thian-ya-ong-seng, sesuai julukannya, dia adalah seorang yang latah, meski tahu
betapa dahsyatnya pukulan si nenek, nanun ia tidak berusaha menghindar,
dengan jurus Thian-ong-to-tah (Raja langit menyanggah pagoda) dia sambut
ancaman tersebut dengan keras lawan keras.
"Blang!" benturan keras menggelegar, bumi se-akan2 berguncang.
Begitu dahsyatnya gulungan angin puyuh yang timbul oleh benturan tersebut,
bukan saja debu pasir beterbangan, malahan ranting dan daun pepohonan yang
berada belasan kaki di sekitar gelanggang ikut berguguran oleh embusan angin
keras.
Akibatnya banyak jago silat yang tak sanggup mempertahankan diri banyak
diantara mereka terdorong mundur dengan terperanjat.
Meski Thian-ya-ong-seng seorang yang cerdik, cuma sayang tenaga dalamnya
masih kalah satu tingkat dibandingkan si nenek, apalagi si nenek menghantam
dari atas, tentu saja posisinya lebih menguntungkan.
Akibatnya setelah terjadi bentrokan kekerasan itu, Thian-ya-ong-seng tergetar
mundur lima-enam tombak jauhnya dengan sempoyongan, air mukanya kontan
jadi pucat seperti mayat, hampir saja roboh.
Nenek itu melayang turun ke atas tanah, dengan wajah gusar ia menghampiri
lawan. pelahan2 telapak tangannya diangkat, jari telunjuknya ditegangkan,
tampaknya dia akan mengerahkan ilmu jari Soh-hun-ci yang lihay.
Sejak tadi Tian Pek mengikuti jalannya pertempuran, kini ia merasakan Thian-ya-
ong-seng sedang terancam bahaya, cepat ia melompat masuk kedalam
gelanggang sambil mambentak: '
Tahan!"
Nenek rambut putih itu melengak, tapi setelah mengetahui pendatang ini cuma
seorang pemuda, ia tertawa.
"Eh, bocah cilik!" serunya, "Apakah kaupun bosan hidup? Berani kau merintangi
kehendak nenek?"
"Nenek sudah tua, kenapa masih berwatak berangasan begini. Kau sudah
menangkan pertarungan, orang bilang siapa menang dia jagoan, kalau nenek
sudah menang kan tak perlu membunuh orang?"
"Bocah busuk, apakah kau tahu peraturan Hay-gwa-sam-sat?" bentak si nenek.
"Cayhe tidak tahu," jawab Tian Pek.
Waktu itu tenaga jari yang dikerahkan si nenek belum buyar, hawa sakti masih
menyelimuti seluruh badannya, rambutnya yang beruban serta bajunya yang
longgar bergoyang seperti terembus angin, malahan jari tangannya yang terjulur
itu membengkak besar, dengan tertawa seram ia berkata kepada Tian Pek:
"Kalau belum tahu peraturan kami, biarlah kuberitahukan padamu! Selamanya
Hay-gwa-sam-sat tak pernah memberi kesempatan hidup kepada orang yang
berani berkelahi dengan kami Nah, tahu tidak? Sekarang, cepatlah enyah dari
sini!"
Tian Pek juga pemuda yang tinggi hati dan berwatak keras, mendingan kalau
nenek itu berbicara dengan ramah dan halus justeru sikapnya yang sebentar
tertawa sebentar marah ini telah mengobarkan api amarah Tian Pek, segera ia
balas membentak: "Aku tak peduli siapa kau dan peraturan Hay-gwa-sam-sat
segala, pokoknya kalian tak boleh melanggar peraturan persilatan, aku takkan
mengizinkan kau membunuh orang yang sudah terluka!"
"Haha, jadi kau hendak turut campur urusanku?" ejek si nenek sambil tertawa
seram. "Bagus! Kalau begitu kehendakmu, pasti akan kupenuhi keinginanmu
untuk mampus!"
Tiba2 ia tinggalkan Thian-ya-ong-seng, serangan jari tangannya yang telah
disiapkan langsung dilontarkan ke dada Tian Pek.
Anak muda itu bukan orang bodoh, tentu saja iapun tahu sampai di manakah
kelihayan ilmu jari si nenek, apalagi sewaktu nenek itu menghampirinya dengan
wajah seram, desiran angin tajam dingin telah memancar lebih dulu dari ujung
jari musuh dan membuat pemuda itu tak berani bertindak gegabah.
Serentak ilmu pukulan Lui-ing-hud-ciang yang baru dipelajarinya disiapkan
menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, Thian-ya-ong-seng yang terluka parah sudah agak mendingan
keadaannya setelah mengatur pernapasan, betapa malu dan menyesalnya
ketika mengetahui bahwa sang penolong yang menyelamatkan jiwanya tak lain
adalah Tian Pek yang pernah dikalahkannya dahulu.
Ia tahu Tian Pek pasti juga bukan tandingan si nenek, segera ia berseru: "Tian-
siauhiap, cepat mundur! Biar aku orang she Tio yang menghadapi dia!"
Ia memburu maju dengan sisa tenaga murni yang dimilikinya, suatu pukulan
maut segera dilontarkan.
Nenek itu tertawa seram, ujung jarinya yang tertuju ke dada Tian Pek tahu2
ditarik kembali, kemudian berputar setengah lingkaran hingga angin tajam itu
berbalik mengarah pinggang Thian-ya-ong-seng.
Melihat si nenek malahan mengalihkan ancamannya kepada Thian-ya-ong-seng,
cepat Tian Pek membentak, pukulan sakti Lui-ing-hud-ciang serentak
dilontarkan.
Lui-ing-hud-ciang adalah ilmu dari benua barat, meskipun tiada menimbulkan
deru angin sewaktu dilepaskan, namun memiliki daya tekanan yang maha
dahsyat ibaratnya gulungan ombak samudra.
Waktu itu Soh-hun-ci ci nenek lagi ditujukan Thian-ya-ong-seng, dia tak pandang
sebelah mata terhadap musuh yang sudah terluka ini.
Nenek itu terkejut ketika desir angin pukulan yang dilontarkan Tian Pek
menyambar tiba, ia merasa daya tekanan yang terpancar dari serangan itu aneh
sekali, kendati begitu, ia masih tidak menggubrisnya, ia tidak percaya pemuda
ingusan memiliki ilmu silat yang luar biasa? Sebab itulah Soh-hun-ci masih terus
menutuk ke tubuh Thian-ya-ong-seng.
"Hei, nenek tua, awas! . . ." tiba2 si Hwesio setengah baya memperingatkan.
"Pukulan yang digunakan pemuda itu adalah Lui-ing-hud-ciang yang maha sakti.
Kejut si nenek setelah mendengar peringatan tersebut, serentak ilmu jari Soh-
hun-ci ditarik kembali, dengan berputar setengah lingkaran, dengan jurus
serangan Heng-sau-ngo-gak (menyapu rata lima bukit). dia kurung Thian-ya-ong-
seng serta Tian Pek di baWah angin jari saktinya.
"Blang! Bluk!" dua suara keras terdengar, sambil menjerit kesakitan Thian-ya-
ong-seng mencelat ke belakang dan roboh telentang.
Sebaliknya si nenek mendengus tertahan karena tubuhnya tergetar oleh
pukulan sakti Lui-ing-hud-ciang Tian Pek, dengan sempoyongan nenek itu
terdorong mundur lima-enam langkah. ...
Tian Pek sendiripun merasakan sakit luar biasa pada telapak tangannya. rasanya
seperti ditusuk jarum, ia tergeliat, sekuatnya ia bertahan.
Hanya sekejap telapak tangannya sudah bengkak, diam2 ia terkesiap: "Lihay
benar Soh-hun-ci ini!"
"Hei. bocah, kau murid siapa . . . ?" Hwesio gemuk setengah baya itu melompat
maju dan menegur.
Belum gempat Tian Pek menjawab, si nenek sudah meraung gusar dan
menubruk ke arahnya dengan kalap getaran mundur yang diterimanya barusan
dianggapnya sebagai suatu penghinaan.
Tian Pek tak berani gegabah, dia angkat telapak tangannya, tapi tahu2 telapak
tangannya sukar digerakkan dan tak bertenaga.
"Celaka! .... keluhnya dalam hati.
Untunglah pada saat yang gawat itu terdengar dua orang membentak nyaring,
lalu muncul dua bayangan tubuh yang kecil ramping menerjang ke dalam
gelanggang.
Serentetan cahaya tajam berwarna hijau serta desir angin pukulan serentak
menerjang si nenek.
Memang lihay nenek rambut putih itu, walau pun mendadak datangnya
ancaman maut itu, ternyata dengan enteng dan cekatan ia mampu menghindari
serangan pedang dan pukulan tersebut.
Dengan berjumpalitan di udara ia berputar satu lingkaran, lalu melayang turun
di kejauhan sana.
Ketika ia berpaling ternyata penyerang itu adalah seorang gadis cantik jelita
serta seorang manusia aneh bermuka hijau berambut merah.
Memang betul gadis cantik serta manusia aneh bermuka hijau dan berambut
merah itu tak lain adalah Tian Wan-ji serta Liu Cui-cui, demi menyelamatkan
jiwa Tian Pek, mereka telah turun tangan bersama.
Sementara itu nenek berambut putih itu menjadi murka setelah gagal melukai
Tian Pek, apalagi setelah dia sendiri yang terdesak mundur malah. Sambil
meraung untuk kesekian kalinya dia menerjang musuh dengan kalap.
"Hong-koh, hati2 dengan makhluk muka hijau berambut merah itu!" tiba2 si
pemuda baju putih memperingatkan. "Tangkap dia dalam keadaan hidup, yang
lain bantai saja sampai habis . . . ."
Walaupun sedang gusar, si nenek tetap patuh pada perintah pemuda baju putih
itu, di tengah udara tutukan maut menuju Wan-ji, sementara tutukan yang
menuju pada Lui Cui-cui berubah menjadi cengkeraman, dengan mementang
kelima jarinya dia mencakar si nona.
Wan-ji mengegos kesamping, dengan dua jari saktinya ia balas menutuk Hiat-to
penting Sim-hi-hiat serta Ki-hay-hiat si nenek dengan Soh-hun- ci yang sama.
Hampir bersamaan waktunya Liu Cui-cui menabas tangan kanan si nenek
dengan jurus Sia-gwe-teng-hui (rembulan condong memancarkan sinar), cahaya
pedang hijau segera menyelimuti angkasa.
Kaget juga nenek berambut putih itu, ia tak menyangka ilmu iari dan ilmu
pedang Wan-ji dan Cui-cui sedemikian hebatnya terutama ilmu jari Wan-ji
ternyata mirip sekali dengan Soh-hun-ci andalannya sendiri.
Serentak dia melejit ke udara dan melayang turun di kejauhan sana.
"Hei, anak perempuan, dari siapa kau belajar ilmu jari ini?" hardiknya lantang.
"Nenek busuk, itu bukan urusanmu, tak usah banyak bacot" sahut Wan-ji kasar,
"Ingat saja baik2, bila kau berani melukai seujung rambut engkoh Tian, maka
akan kucabut nyawamu!''
"Hehehe, bagus, bagus sekali perkataanmu." si nenek tertawa seram. "Selama
ini aku tercatat sebagai manusia yang tak pakai aturan, tak nyana hari ini aku
bertemu dengan budak ingusan yang lebih tak kenal aturan. Nona cilik, coba
jawablah pertanyaanku ini, siapa pemuda itu? Apa hubunganmu dengan dia?
Dan kenapa kau menguatirkan keselamatan jiwanya ... ."
Sebeium Wan-ji menjawab, Liu Cui-cui telah membentak gusar, Pedang Hijau
terus menusuk ulu hati nenek itu.
Rupanya ia sakit hati karena melihat telapak tangan Tian Pek membengkak dan
mukanya pucat, ia jadi marah dan segera menyerang.
Tajam dan kencang deru angin pedang itu, cahaya hijau menyebar di udara,
menyelimuti sekeliling tubuh lawan.
Memang lihay sekali ilmu pedang Liu Cui-cui, malahan boleh dibilang audah
mencapai puncak kehebatannya, sungguh serangan yang mengejutkan.
Dengan terperanjat cepat nenek itu berkelit, tapi sayang kurang cepat, "bret!"
ujung bajunya tertabas pedang hingga robek
Tampaknya Wan-ji juga sudah melihat keadaan Tian Pek yang terluka, sebelum
nenek itu sempat berdiri tegak, dengan marah dia menyerang lagi, dua
selentikan maut dilepaskan.
Dalam pada itu Liu Cui-cui juga menyerang pula, dengan jurus Han-seng-peng-
gwat (bintang kecil mengejar rembulan), Pedang Hijau diputar sedemikian rupa
hingga menciptakan selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata, ia terus cecar
si nenek.
Setelah dikerubut dua musuh tangguh, si nenek baru sadar akan kehebatan
lawannya, kepongahannya lenyap, sebagai gantinya rasa kaget dan panik
menghiasi wajahnya yang penuh keriput, dia tak menyangka di kolong langit ini
masih ada manusia berilmu pedang selihay ini, apalagi tutukan Soh-hun-ci Tian
Wan-ji tak boleh dipandang enteng, dalam waktu singkat dia terdesak terus
menerus.
Berada dalam keadan seperti ini, dia tak berani menangkis dengan kekerasan,
apa yang bisa dilakukan tidak lebih hanya berkelit dan menghindar melulu, Jerit
kaget, sorak puji dan helaan napas kagum menggema di sekeliling gelangggang,
meskipun para penonton terdiri dari kawanan jago silat terkemuka, sebagian
besar sudah sering menjelajahi utara maupun selatan, belum pernah mereka
menyaksikan permainan ilmu pedang sedahsyat itu.
Lebih2 si pemuda baju putih itu, iapun kejut dan gelisah, lama2 ia tak tahan lagi,
serunya dengan lantang: "He, Siu-kongkong, Hud-eng Hoatsu! Kenapa kalian
cuma berdiri saja? Tidak maju sekarang mau menunggu sampai kapan lagi?"
Si kakek berjenggot panjang seram. si Hwesio gemuk tersentak bangun dari
lamunannya, serentak mereka terjun ke gelenggang pertarungan, yang satu
langsung membendung serangan Liu Cui-cui sedahg yang lain menghadang
tutukan maut Tian Wan-ji.
Memang lihay ilmu pukulan si kakek berjenggot panjang, bukan saja gaya
serangannya aneh, tenaga pukulannya juga mengerikan, ketika kedua telapak
tangannya mulai menyerang, debu pasir ikut beterbangan, banyak ranting
pohon tumbang terkena pukulan. deru keras dan dentuman nyaring
menciptakan irama maut yang mengerikan.
Lui Cui-cui bukan lawan empuk, ilmu pedang saktinya terhitung jenis ilmu
pedang tingkat tinggi, ditambah pula Bu-cing-pek kiam adalah pedang pusaka
yang tiada taranya ketika diputar kencang, terciptalah selapis cahaya hijau tebal
menyilaukan mata, pedang itu berkelebat kian kemari mengancam tempat
berbahaya di tubuh musuh.
Kawanan jago yang menonton di pinggir sama terpesona. pertarungan antara
kakek berjenggot melawan manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah
alias Liu Cui-cui ini sungguh luar biasa.
Pemuda baju putih itupun berdiri tertegun kipas peraknya dicengkeram erat2,
jelas terlihat betapa gelisahnya.
Dalam pada itu, si Hwesio gendut yang bernama Hud-eng Hoatsu juga terlibat
dalam pertarungan seru melawan Wan-ji.
Ilmu pukulan si Hwesio gemuk sangat hebat angin pukulannya men-deru2, Wan-
ji yang kecil dan ramping boleh dibilang terkurung di tengah angin pukulannya.
Untung ilmu meringankan tubuh, Leng-gong-hoan-ing. yang dikuasai Wan-ji
sudah mencapai kesempurnaan, ditambah pula selama seratus hari ia
digembleng oleh Sin-kau (monyet sakti) Tiat Leng, semua ini membuat
kungfunya mendapat kemajuan yang amat pesat.
Kendatipun ia terkurung oleh pukulan musuh yang gencar. hal ini tidak
mengurangi kecepatan serta kelincahan gerak tubuhnya, dia melejit,
melambung, melompat dan melayang diantara deru angin pukulan yang
kencang.
Bukan saja indah menawan gaya tubuhnya, malahan kadangkala sempat pula
melepaskan Soh-hun-ci untuk mengancam Hiat-to kematian di tubuh musuh.
Menghadapi keadaan seperti ini, mau-tak-mau Hwesio gemuk terpaksa pasang
matanya awas2, setiap saat dia harus berkelit dan menghindar dengan gerakan
cepat, dengan begitu maka sementara ini pertarungan berlangsung dalam
keadaan seimbang.
Dengan diambil-alihnya kedua lawan tangguh, si nenek berambut putih
mendapat kesempatan lagi untuk menghadapi Tian Pek, terpaksa anak muda itu
melakukan perlawanan yang gigih kendatipun tangannya yang terluka sakitnya
tidak kepalang.
Ilmu silat Tian Pek saat ini sudah terhitung tangguh, sayang dia bertindak kurang
hati2 sehingga dalam pertarungan pertama tadi tangannya lantas terluka.
Karena tangannya terluka secara otomatis permainan Lui-ing-hud-ciang yang
lihay itupun mengalami kemunduran, ia tak bisa melancarkan lagi serangan
dengan sepenuh tenaga.
Selain itu, pakaiannya yang dibuat dari robekan selimut sangat mengganggu
kegesitan tubuhnya, tidaklah heran di bawah serangan gencar si nenek, ia
terdesak hebat hingga kelabakan setengah mati.
Begitulah, pertarungan berlangsung dengan serunya membuat perhatian semua
orang berpusat ke gelanggang. Semuanya tercengang dan berdebar.
Kalau permainan pedang manusia aneh bermuka hijau alias Liu Cui-cui sangat
lihay dan tiada taranya hingga semua orang merasa heran, hal ini memang
dapat dimengerti.
Akan tetapi Tan Pek adaiah pemuda yang dikenal oleh banyak orang, anak muda
itu belum lama terjun ke dunia persilatan, namun setiap kali muncul ilmu
silatnya selalu mengalami kemajuan pesat, kepandaiannya kian lama kian
bertambah hebat, inilah yang mencengangkan orang, hampir saja mereka tak
percaya dengan kenyataan tersebut.
Jika para jago tangguh dari empat keluarga besar juga dikalahkan si nenek
rambut putih dengan cara yang mengenaskan, malahan Thian-ya-ong-seng yang
dianggap jago paling tangguh pun terluka parah. Tapi Tian Pek yang masih muda
dan cetek pengalaman dengan suatu pukulan malah berhasil memaksa mundur
nenek rambut putih itu, bahkan sekarang masih sanggup bertarung puluhan
gebrak, siapa yang tak heran dengan kenyataan ini?
Banyak pula yang kenal siapa Wan-ji, setelah menyaksikan si nona sanggup
bertarung seimbang dengan Hud-eng Hoatsu, semua orang jadi tercengang dan
kaget pula.
Diantaranya Leng-hong Kongcu dan anak buahnya jelas paling bingung dan tidak
habis mengerti, Mereka tahu ilmu silat Wan-ji didapatkan atas ajaran ayahnya
sendiri, yakni Ti-seng jiu Buyung Ham, sekalipun sudah tergolong lumayan, tapi
kalau ingin menandingi Hud-eng Hoat-su yang telah berhasil merobohkan
belasan jago dari keempat keluarga besar, hampir boleh dibilang tak mungkin
terjadi.
Akan tetapi faktanya memang demikian, bukan saja dia sanggup menandingi
Hud-eng Hoatsu yang disegani itu, malahan dia sanggup melawannya dengan
sama kuat, siapa yang tak heran menyaksikan peristiwa ini?
Di antaranya Leng-hong Kongcu yang paliag tidak mengerti, pikirnya: "Hanya
berapa bulan tidak bertemu, tampaknya Kungfu Moaymoay (adik perempuan)
sudah memperoleh kemajuan yang pesat, entah darimana ia mempelajari
Kungfu selihay ini?"
Sementara ia masih melamun, keadaan di tengah kalangan telah mengalami
perubahan besar, diantaranya posisi Tian Pek paling terdesak, di bawah
serangan gencar si nenek, jiwanya benar2 sudah terancam bahaya.
Ketika melancarkan serangan jurus Hong-ceng-lui-beng (angin berembus guntur
menggelagar), oleh karena lambungnya mesti dikembangkan kemudian baru
mendorong telapak tangannya ke depan, kendatipun hasil serangan yang hebat
itu dapat memaksa si nenek menyurut mundur tiga langkah kebelakang, namun
karena kejadian itu pula tali pengikat bajunya yang tak keruan itu jadi putus,
otomatis kain penutup badanpun melorot kebawah.
Dalam ketegangan mendadak terjadi pertunjukan "bugil", karuan para penonton
sama tertawa ter-bahak2
Suasana jadi gaduh. Tian Pek sendiri jadi kelabakan, dengan wnjah merah jengah
ia berusaha meraih kainnya yang merosot itu sambil menahan serangan musuh
Tapi nenek itu malahan memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik, ia
melontarkan serangan sambil tertawa mengejek: "Hei, bocah cilik, tak ku sangka
kau semiskin ini sehingga beli bajupun tak mampu. Huuh, awak sendiri kere,
kenapa suka mencampuri urusan orang lain, lihatlah nenekmu akan mampuskan
kau!"
"Wees! Wees«!" beruntun ia menyerang tiga kali.
Berat tenaga serangan nenek itu, Tian Pek ingin menghindar ke samping, apa
mau dibilang kakinya kurang leluasa bergerak lantaran terganggu oleh tali baju
yang melorot itu, dalam keadaan seperti ini terpaksa dia harus menyambut
datangnya ancaiman itu dengan keras lawan keras.
"Blum! Bluum! Bluum!" beruntun teijadi tigu kali benturan keras.
Tian Pek merasa isi perutnya terguntang, darah dalam rongga dadanya bergolak,
pandangannya jadi gelap dan hampir saja ia tak tahan.
Setelah tipa kali seranpan, nenek itu kembali latah, ia tertawa ter-kekeh2,
tangan terangkat, segera ia menghantam lagi batok kepala Tian Pek.
Waktu itu Tian Pek sudah dalam keadaan payah, ia merasa daya tekan telapak
tangan nenek itu bagaikan gunung menindih kepalanya, buru2 ia angkat kaki
hendak menghindar
Apa lacur, dia lupa kainnya yang merosot ke bawah masih melilit kedua kakinya,
baru saja dia bergeser, tubuhnya langsung sempoyongan dan nyaris jatuh
tertelungkup.
Melihat ada peluang baik, nenek itu memburu maju terus menghantam pula.
Tian Pek sudah mati langkah, terpaksa dia angkat telapak tangannya untuk
menangkis dengan keras lawan keras.
"Blang!" daya pukulan yang dilontarkan si nenek sekali ini jauh lebih dahsyat,
Tian Pek seketika itu merasakan dadanya seperti digodam oleh martil sebesar
ribuan kati. napasnya jadi sesak, mata ber-kunang2, tanpa ampun dia muntah
darah dan terjungkal ....
Dalam keadaan sadar tak sadar ia sempat mendengar gelak tertawa si nenek
yang serak itu, menyusul angin pukulan yang lebih berat untuk ketiga kalinya
menerjang dadanya.
Tian Pek mengeluh: "Habislah riwayatku, tak sangka aku Tian Pek harus mampus
disini .... "
Pada detik terakhir itulah se-konyong2 cahaya pedang berwarna hijau
menyilaukan berkelebat menyusul lantas terdengar bentakan nyaring dan
tibanya gulungan angin tajam menyambar nenek itu.
Apa yang terjadi tak sempat oiketahui Tian Pek, ia telah jatuh pingsan dan tidak
tahu apa2 lagi.
o oO 0O0 Oo o
Entah sudah berapa lama, akhirnya Tian Pek sadar kembali.
Lamat2, ia tak tahu dirinya masih hidup ataukah sudah kembali ke alam baka,
suara pertama yang sempat terdengar olehnya adalah tetesan air yang
menciptakan serentetan irama merdu.
Air itu menetes tiada hentinya. . ."Tiing. . .Ting! Tang. . .Taang!" merdu
kedengarannya, nikmat dirasakannya, se-olah2 perpaduan aneka ragam alat
musik yang memainkan nyanyian surga.
Yang lebih aneh lagi, ternyata diantara dentingan irama itu lamat2 terdengar
pula suara nyanyian yang amat merdu, nyanyian itu lembut dan enak didengar,
membuat siapapun yang mendengan se-akan2 terbuai ke alam impian indah.
Tian Pek tidak tahu dirinya berada dalam mimpi ataukah memang kenyataan?
Ia berusaha mengetahui di manakah sekarang dia berada? Ia coba ingat kembali
segala apa yang pernah dialaminya tapi bagaimanapun jugs ia tak berhasil
mengingat berada dimanakah ia saat ini?
Akhirnya ia membuka matanya. . .pemandangan pertama yang dilihatnya adalah
langit nan biru.
Ia berpaling ke kiri, di sana sebuah bukit karang yang tinggi batu karang yang
berbentuk aneh berserakan di suna siiu, rumput dan aneka warna bunga
tumbuh di sekitarnya se olah2 menciptakan suatu pemandangan yang indah,
tempat berteduh yang harmonis.
Tinggi sekali tebing karang itu, air terjun kecil berada disampingnya
memuntahkan butiran air yang deras, ber-liuk2 di antara celah2 karang yang tak
rata dan berubah menjadi beberapa pancuran air, suatu pemandangan alam
yang indah mempesona.
"Aneh! Siapakah yang membawaku ke sini? Siapa yang membaringkan aku di
tempat seindah ini?
Tempat apakah ini? Siapakah yang menaruh bunga indah ini di sekeliling
tubuhku?"
Ia berpaling ke sebelah kanan, di situ terbentang sebuah telaga yang jernih,
mendadak ia melenggong.
Kiranya ia melihat seorang nona jelita berambut panjang, dengan tubuh yang
putih berada dalam keadaan telanjang bulat sedang bermain air di telaga sana
sambil bernyanyi.
Mula2 gadis itu berendam di air, tapi sekarang ia telah berenang ke tepian
kemudian per-lahan2 bangkit dari dalam air yang cetek.
Tian Pek jadi melongo, biarpun ia seorang pemuda yang alim, diberi tontonan
gratis yang memerangsang ini, mau-tak-mau jantungnya ber-debar2 juga.
Gadis telanjang itu tidak merasa bahwa ada sepasang mata sedang menikmati
keindahan tubuhnya yang bugil dan merangsang itu, dia masih bernyanyi kecil
sambil memetik setangkai bunga teratai putih dan diselipkan pada sanggulnya.
Waktu itulah, tampaknya anak dara itu baru merasakan adanya sepasang mata
yang sedang mengawasinya, ia berpaling dan menemukan Tian Pek sedang
memandangnya dengan mata terbelalak.
Tiba2 anak dara itu berseru kegirangan: "O, engkoh Pek, akhirnya kau sadar
kembali!"— Dengan kegirangan anak dara itu berlarian mendekati Tian Pek.
Mata Tian Pek terbelaiak lebar, betapa tidak ia saksikan gadis yang telanjang
bulat itu kian mendekat dan semua bagian tubuhnya terpampang jelas,
terutama payudaranya yang berguncang keras dikala anak dara itu sedang
berlari, serta pahanya yang putih mulus, perutnja yang kecil dan. . . .Tiada
perasaan jengah atau kikuk di wajah gadis itu, malahan dengan tertawa riang ia
lari menghampiri Tian Pek.
Sekarang anak muda itu dapat melihat jelas raut wajah gadis itu, siapa lagi dia
kalau bukan Liu Cui-cui.
Sedari kecil Liu Cui-cui hidup di suatu pulau terpencil dan jauh ditengah
samudera, ia tak mengenal adat istiadat daratan Tionggoan yang serba kolot ia
pun tak mengerti apa artinya malu, apa artinya kikuk, hatinya sepolos tubuhnya,
suci murni tiada setitik kotoran dan tiada sedikitpun dosa orang hidup ini.
Apa yang dilakukan anak dara itu hanyalah sewajarnya menurut apa yang dia
inginkan dan apa yang dia senangi.
Setiba di depan Tian Pek yang masih melongo, ia rentangkan tangannya lebar2
terus jatuhkan diri ke dalam pelukan anak muda itu dengan penuh kemanjaan.
"O, engkoh Pek . . . engkoh Pek sayang, akhirnya kau sadar kembali. . . ."
teriaknya penuh kegirangan. "Mulai sekarang, kau harus menemani aku
bermain. . . menemani aku berenang . O. tahukah kau. sudah dua bulan aku
menjaga di sisimu? Bayangkan, betapa kesalnya kuhidup sendirian dipulau
karang yang terpencil dan sepi ini. . . ."
Tian Pek tidak berkutik, rangkulan dan pelukan mesra gadis telanjang ini
mengobarkan napsu berahinya.
Bagaimanapun Tian Pek bukan pemuda bangor, rangsangan birahi itu dapat
dikendalikannya. iapun memohon: "Cui-cui, cepatlah berpakaian. . .Aduh,
kenapa aku berbaring di sini.. .tempat apakah ini?"
Meski sedapatnya Tian Pek mengendalikan perasaannya yang bergolak, tapi
digeluti dalam keadaan polos, betapapun cara bicaranya menjadi gelagapan.
Cui-cui mencibir dan berbangkit, ia membusungkan dadanya yang montok dan
mengomel: "Huh, berpakaian apa segala? Sejak kecil aku dibesarkan di pantai,
tiduran di semak rumput, selalu juga begini, tidak pernah memakai baju."
"Itu kan waktu masih kecil," kata Tian Pek sambil tertawa, "di masa kanak2 tentu
saja kau boleh telanjang sambil berlarian, tapi sekarang kau sudah dewasa. apa
tidak malu kalau telanjang bulat di depan orang?"
"Huuh, apa cuma kanak2 yang boleh telanjang? Beberapa bulan yang lalu
akupun bermain di pantai dalam keadaan telanjang begini."
"Itu pulau kosong tanpa penghuni, biar telanjang juga tak ada yang lihat,
berbeda dengan daratan Tionggoan,dimana2 penuh manusia, betapa pun kau
harus berpakaian. . .."
"Huh, omong kosong," tukas Cui-cui dengan wajah cemberut. "Siapa bilang
pulau itu kosong? Di sana juga ada nelayan, justeru di tempat inilah malah sepi
tanpa seorangpun yang ada disini!"
Tian Pek melongo dan tak mampu menjawab lagi, ia hanya bisa memandangi
anak dara itu dengan terbelalak.
Ketika gadis itu berdiri, payudaranya persis berada di depan mata Tian Pek,
tubuh yang halus merangsang segera membangkitkan semacam perasaan aneh
dalam hati anak muda itu, ia merasa peredaran darahuna bergerak terlebih
cepat, napas ter-engah2, wajahnya merah panas, matanya melotot semakin
bulat. . . .
Melihat keadaan anak muda itu Cui-cui tertawa cekikikan: "Eeh, engkoh Pek!
Kenapa kau pandang aku dengan sorot mata seperti itu?"
"O. . kau. kau cantik sekali." sahut Tian Pek seperti orang mengigau,
Berbungalah hati Cui-cui mendengar pujian itu, perempuan mana yang tak
senang dipuji cantik oleh lelaki?
"Benarkah aku cantik? Kalau memang begitu, janganlah memaksa aku untuk
berpakaian, biarkan aku berada dalam keadaan polos begini!" pintanya.
Ucapan ini mengingatkan Tian Pek pada kejadian yang di alaminya di Pah-to-san-
ceng dahulu ketika ia merobek pakaian sendiri karena terpengaruh irama
seruling Gin-siau-toh-bun Ciang Su-peng. Waktu itu iapun merasa manusia
adalah makhluk di alam bebas, bertelanjang bulat adalah pembawaan yang asli,
pakaian hanya hiasan buatan manusia, tanpa busana malah terasa lebih bebas,
lebih murni, lebih alamiah ....
Akhirnya pemuda itu mengangguk, sahutnya dengan lirih: "Benar, kau lebih
cantik telanjang bulat daripada berpakaian, aku .... aku . . . ."
Cui-cui tertawa cekikikan, tiba2 ia melompat kesana dan menyembunyikan diri
di belakang batu padas, serunya: "Baiklah asal kau sudah tahu, aku tak mau
badanku kau lihat terus, aku ngeri melihat matamu itu ...."
Diiringi suara cekikikan tahu2 gadis itu muncul kembali, hanya sekarang dia telah
mengenakan sebuah jubah panjang yang tipis bening dan memancarkan sinar
mengkilap.
Cui-cui keluar dari balik batu dengan kepala tertunduk, sekuntum bunga putih
menghias rambutnya, membuat anak dara itu ibarat bidadari dari kahyangan.
"Ai, cantik benar dia," pikir Tian Pek dengan perasaan kagum, "bila kupunya
teman hidup secantik dia, menetap di suatu tempat yang terpencil dan jauh dan
keramaian, alangkah bahagianya."
"
Sementara itu Cui-cui telah mendekati Tian Pek sambil membetulkan rambut
yang kusut terembus angin, ia berkata: "Engkoh Pek, hayo duduklah dan cobalah
mengatur pernapasan, coba apakah luka dalammu telah sembuh, kalau sudah
sehat kembali, aku ada sebuah benda bagus akan kuperlihatkan kepadamu!"
"Barang bagus apa. Sekarang saja perlihatkan padaku, kan sama saja?" pinta
Tian Pek.
"Tidak, kau mesti atur pernapasan dulu!" seru Cui-cui dengan manja. "Bila
terbukti lukamu telah sembuh baru barang itu akan kuperlihatkan padamu.
Terpaksa Tian Pek mengalah, ia berduduk' baru sekarang ia tahu dirinya
menggunakan pakaian terbuat dari bahan yang sama seperti apa yang
dikenakan Cui-cui.
Bahan pakaian itu sangat halus, lagipula memancarkan sinar mengkilap, entah
terbuat dari bahan apa?
"Cui-cui, darimana kau dapatkan baju ini? Bagus amat warna dan bahannya!" ia
berseru.
"Waktu kau sakit, aku mengumpulkan sutera ulat di bukit ini dan menenunnya,
karena tiada jarum dan benang, maka kujahit dengan tali sutera yang kasar,
Coba, tidak jelek kan baju ini?"
Tian Pek tersenyum dan mengangguk, dalam hati ia memuji anak dara itu, bukan
saja wajahnya cantik. ilmu silatnya tinggi, ternyata akalnya juga banyak dan
pandai membuat kerajinan tangan.
"Cui-cui, kau memang pintar," pujinya kemudian. "Kutahu tidak gampang
membuat pakaian semacam ini, mungkin tidak sedikit waktu yang kau gunakan
membuat pakaian ini."
"Tidak lama, cuma enam puluh hari?"
"Apa? Enam puluh hari!" seru Tian Pek terperanjat, "Jadi sudah dua bulan aku
tak sadarkan diri?"
"Dua bulan lebih!" Cui-cui menegaskan dengan tertawa "Masa kau lupa ketika
kau jatuh pingsan, waktu itu masih musim dingin, sekarang kan sudah musim
semi?"
Ia mendengus, dengan agak murung bercam-pur kesal tambahnya: "Masih
kurang lama pingsanmu itu? Tahukah kau, betapa kesepiannya aku selama dua
bulan ini? Seorang diri aku menemani
kau yang tak sadar .... merawat dirimu, O. . .engkoh Pek, dapatkah kau
merasakan betapa sedihnya aku selama ini?"
Tian Pek tidak memperhatikan kemurungan Cui-cui, ia hanya teringat pada sakit
hati ayahnya belum terbalas, serunya mendadak dengan gelisah: "Wah, kita
tidak bisa nongkrong terus disini, hayo kita lekas berangkat ..." Sambil berseru
dia lantai berbangkit.
"Engkoh Pek, mau kemana kau?" seru Cui-cui sambil menarik tangannya.
"Mencari keempat keluarga besar dan membalas sakit hati ayahku!"
"Engkoh Pek, kau tak perlu balas dendam lagi, empat keluarga besar telah
bubar, Cing-hu-sin Kim Kiu, Kian-kun-ciang In Tiong-liong, Kun-goan-ci Sugong
Cing, Ti-seng-jiu Buyung Ham serta Pak-ong-pian Hoan Hui, semuanya sudah
mati dibunuh orang ...."
"Cui-cui, jangan bicara tak keruan!" sela Tian Pek tidak percaya. "Empat keluarga
besar bukan orang sembarangan, mereka adalah tokoh dunia persilatan yang
berpengaruh dan berkedudukan tinggi, kawanan jago lihay yang mereka
pelihara tak terhingga jumlahnya, mana mungkin tokoh2 selihay itu mampus
semua dibunuh orang . . . ."
Cui-cui tak senang karena Tian Pek tidak percaya pada keterangannya.
Engkoh Pek, jadi kau anggap kubohongi kau?" serunya dengan mendongkol.
"Tahukah kau, selama dua bulan terakhir ini telah terjadi perubahan yang amat
besar di dunia persilatan? Bukan saja majikan keempat keluarga besar telah
tewas dibunuh orang, malahan ketua dari sembilan aliran besar, para pemimpin
golongan putih mau pun hitam serta para pentolan Lok-lim, baik dari kalangnn
daratan mau pun lautan banyak yang tewas dan menyerah, dunia persilatan
pada saat ini telah terjatuh ke dalam cengkeraman seorang gembong iblis!"
"Bagaimana dengan Bu-lim-su-kongcu?" tanya Tian Pek.
"Bu-lim-su-kongcu tak lebih hanya kawanan keroco yang tak berarti lagi."
"Lalu siapakah gembong iblis itu?" Tian Pek makin terkejut. "Masa ilmu silatnya
begitu hebat, sehingga dalam dua bulan ia berhasil menaklukkan seluruh jago
dunia persilatan."
"Ai, sekalipun kuceritakan juga kau tidak tahu dia sudah lama berdiam di Mo-
kui-to (pulau setan) dilaut selatan, orang menyebutnya sebagai Hay-liong-sin
(dewa raga laut), disebut pula sebagai Lam-hay-it-kun (Datuk sakti dari laut
selatan), sedangkan namanya yang asli adalah Liong Siau-thiam!"
Tian Pek termenung dan meng-ingat2 nama itu, benar juga ia merasa asing
sekali dengan nama itu dan rasanya belum pernah mendengar nama itu, maka
dengan sangsi ia bertanya lagi: "Cui-cui, masakah dengan mengandalkan
kekuatan Hay-liong-sin seorang, dunia persilatan dapat ditaklukkan dan di kuasai
olehnya?"
Cui-cui tertawa, tuturnya: "Tentu saja tidak cuma dia seorang, masih ada anak
buahnya yang tangguh, seperti Lam-hay-liong-li (naga perempuan dari laut
selatan), Tho-hoa-su-lian (empat dewa bunga tho), Mo-kui-to-pat-yau (delapan
siluman dari pulau setan) serta Hay-gwa-sam-sat (tiga malaikat dari luar
samudera) yang pernah kau temui serta si pelajar berbaju putih dan berkipas
perak itu."
"Siapakah pelajar baju putih yang membawa kipas perak itu?" tanya Tian Pek
dengan mata terbelalak.
"Pemuda itu adalah putera tunggal Lam-hay-it-kun, namanya Lam-hay-siau-kun
(pemimpin muda dari laut selatan) Liong Hui, ia disebut juga sebagai Liong-sin-
thaycu (pangeran naga sakti), sekali pun dalam penyerbuannya kedaratan
Tionggoan memakai nama besar ayahnya, pada hakikatnya Hay-liong-sin sendiri
tak pernah tampil kedaratan Tionggoan ini, semua pertarungan dan semua
rencana di kepalai Liong Hui sendiri. Ya, boleh dikatakan dunia persilatan
dewasa ini sudah menjadi milik keluarga Liong!"
Sekarang mau tak-mau Tian Pek mempercayai cerita Cui-cui, katanya: "Tak
kusangka, benar2 tak kusangka, hanya dalam waktu dua bulan lebih ternyata
dunia persilatan telah mengalami perubahan sebanyak ini."
Tak tega Cui-cui melihat kekesalan Tian Pek, ia coba menghibur: "Engkoh Pek,
lebih baik jangan kita urus dulu keadaan di dunia luar, biarpun dunia mau
kiamat, yang pasti tempat kediaman kita ini tetap aman sentosa, tanpa izinku
siapa pun tak dapat memasuki tempat ini. Engkoh Pek. tenangkan hatimu,
buang jauh2 segala persoalan, cobalah mengatur pernapasan, periksa dulu
keadaan lukamu apakah sudah sembuh atau belum?"
"Cui-cui, sekarang kita berada dimana .. . ." kembali Tian Pek bertanya dengan
hati tak tenang.
"Engkoh Pek, kau tak perlu bertanya, kalau kuceritakan, tiga hari tiga malam pun
tak akan selesai, aturlah pernapasan lebih dulu, kemudian akan kuperlihatkan
suatu benda bagus padamu!"
Terpaksa Tian Pek menahan berbagai tanda tanya, kemudian ia duduk bersila,
atur pernapasan dan mulai menjalankan latihan seperti apa yang dipelajarinya
dari kitab Soh-kut-siau hun-thian-hud-pit-kip.
Benar juga, hawa murni dalam tubuhnya bisa mengalir dengan lancar, bukan
saja tidak menemui rintangan apa2, malahan badan terasa lebih segar dan lebih
bertenaga.
Ia mengakhiri latihannya dan membuka matanya: "Cui-cui, hawa murniku telah
mengalir tanpa rintangan, aku pikir lukaku telah sembuh!"
Wajah Cui-cui mulai berseri. betapa girangnya anak dara itu setelah mengetahui
luka pemuda itu telah sembuh.
"Sebenarnya luka engkoh Pek tak seberapa berat dan takkan pingsan begini
lama," ia menerangan. "Tapi Siaumoay sengaja memberikan sejenis obat
mujarab Ci-tam-hoa (bunga Wijaya kusuma) kepadamu . ..."
"Apakah Ci-tam-hoa itu?" tanya Tian Pek,
"Ci-tam-hoa adalah sejenis obat mujarab yang tumbuh di puncak Hoa-san,
bukan saja dapat menambah tenaga dalam dan menyembuhkan racun yang
mengeram di tubuh seseorang, malahan bisa menambah umur membuat orang
awet muda dan tahan lapar. Cuma obat ini pantang bagi mereka yang bertenaga
dalam rendah, sebab daya kerja obat ini terlampau keras, bila orang biasa
minum obat itu, maka isi perutnya akan terbakar dan mengering, darah kental
akan meleleh dari ketujuh lubang inderanya dan kemudian orang itu akan mati
dalam keadaan mengerikan ..." Setelah berhenti sebentar, gadis itu
menyambung lebih jauh: "Kebetulan Siaumoay memiliki setangkai Ci-tam-hoa
yang selalu kubawa tak tersangka engkoh Pek sendiri menderita luka yang cukup
parah, setelah Siaumoay berhasil pukul mundur Hay-gwa-sam-sat dan menolong
engkoh Pek kemari, kugunakan Ci-tam-hoa ini untuk menolong kau. Kutahu
engkoh Pek memiliki dasar tenaga dalam yang kuat, sekalipun obat ini panas
hawanya, namun engkoh Pek pasti sanggup tahan."
Sungguh haru dan berterima kasih perasaan Tian Pek setelah mendengar
keterangan ini, serunya: "Cui-cui, kau sangat baik kepadaku . . .entah cara
bagaimana harus kubalas budi kebaikanmu ini."
Cui-cui tersenyum, ia terhibur mendengar kata2 tersebut, rupanya iapun tahu
pemuda itu terharu oleh perbuatannya.
"Engkoh Pek!" katanya kemudian, "aku tidak mengharapkan apa2 darimu, aku
cuma berharap agar engkoh Pek tak akan melupakan diriku, kuharap engkoh Pek
akan selalu mengingat diriku sepanjang masa. . . ."
Sesudah hening sesaat, ia melanjutkan: "Setelah kuberikan obat Ci-tam-hoa
kepadamu, tiba2 sekujur badanmu merah membara, suhu badanmu meningkat
dan panasnya melebihi bara, aku jadi panik, lima-enam hari lewat dengan begitu
saja, sementara panas badanmu tak menurun dan kau tetap berada dalam
keadaan tak sadar. waktu itu aku benar2 panik sekali . , . Ai, kutakut salah
memberikan obat kepadamu sehingga mengakibatkan hal yang lebih fatal, apa
boleh buat, dalam keadaan demikian aku hanya bisa memberikan sari hawa
dinginku. . . ."
Sekalipun Cui-cui adalah seorang gadis polos masih bersifat ke-kanak2an,
malahan di-hari2 biasa tak pernah merasa malu, namun berbicara sampai di sini,
tak urung merah juga pipinya.
Tian Pek bukan orang bodoh, ia dapat meraba maksud perkataan itu, apalagi dia
adalah seorang gadis yang pengorbanannya ini sungguh sangat besar artinya,
kalau bukan cinta yang suci, tidak nanti ia bertindak begitu.
Dengan pandangan yang mesra ditatapnya wajah Cui-cui tanpa berkedip, ia
genggam tangannya yang putih lembut, lalu bisiknya: "Adik Cui, adikku sayang,
engkau terlalu baik kepadaku engkau terlalu baik kepadaku . ..."
Pancaran sinar kemesraan dari mata Tian Pek disambut dengan penuh
kebahagian dalam hati Cui- cui, ia merasa susah-payahnya selama dua bulan
lebih sebagai "ayam betina yang mengeram telur" akhirnya mendapatkan
ganjaran yang setimpal.
Dengan malu2 dan muka merah ia tunduk rendah2, lalu ia menyusup kedalam
pelukan Tian Pek sambil berbisik: "Engkoh Pek, tentunya kau sudah mengerti
bukan mengapa aku bertelanjang bulat dihadapanmu? Selama dua bulan ini tiga
jam setiap hari aku mesti telanjang bulat dan. . .dan berbaring di atas tubuhmu.
Tadi baru saja kulakukan cara penyembuhan Toa-in-lian-siang (menyembuhkan
luka dengan sari perempuan) bagimu, karena berkeringat maka aku
membersihkan badan dalam telaga, tahu2 engkoh Pek telah sadar. O, engkoh
Pek, tahukah kau bahwa aku telanjang bulat justeru lantaran kau . . . . ? Aku
berkorban demi menyembuhkan lukamu. . .?"
Betapa terharu dan terima kasihnya Tian Pek sukar dilukiskan, dalam keadaan
seperti ini, ia tak bisa berbuat apa2 kecuali merangkul Cui-cui dengan penuh
kemesraan dan kehangatan ....
Cui-cui terbuai dalam kehangatan cinta, ia balas memeluk erat2 serta
menyandarkan kepalanya didada Tian Pek yang bidang ....
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Tian Pek terhentak bangun dari
lamunan ia mendorong tubuh Cui-cui dan berbisik: Cui-cui, tadi kau berjanji mau
menunjukkan suatu benda bagus kepadaku. Benda apakah itu? Sekarang
perlihatkan padaku!"
"Oya, kalau engkoh Pek tidak mengingatkan hampir saja aku lupa. Nih? Lihatlah,
benda inilah yang hendak kuperlihatkan padamu."
Sambil berkata ia lantas mengeluarkan sejilid kitab yang berwarna-warni.
Hampir saja Tian Pek tertawa geli, katanya: "Ah, kau ini ada2 saja, itu kan
kitabku yang bernama Soh-kut-siau-hun-thiat-hud-pit-kip? Jadi kitab ini kau
anggap sebagai barang bagus tadi?"
Merah jengah wajah Cui-cui: "Engkoh Pek,bukan kitab Soh-hun-siau-kut ini yang
kumaksud, coba bukalah halaman kitab ini!"
Tian Pek melongo, ia tak mengerti kenapa sianak dara suruh dia membuka kitab
itu pikirnya: "Aneh, kenapa aku mesti membuka halaman kitab ini? Bukan baru
sekali kulihat lukisan didalamnya, paling sedikitpun sudah berpuluh kali
kunikmati isinya, tulisannya pun sudah beratus kali kuraba dengan tangan,
jangankan melek mata, sekali pun tutup mata aku apal isinya."
Tapi ia tahu Cui-cui pasti mempunyai maksud tertentu, kalau tidak tak namnt ia
bicara dengan ber-sungguh2. Maka walaupun tahu isi kitab itu adalah gambar
telanjang Thian-sian-mo-li yang merangsang? toh dibuka juga halaman yang
pertama.
"Apanya yang menarik lukisan ini?" serunya tidak habis mengerti, "sudah
puluhan kali aku melihatnya . . . ."
Belum habis pemuda itu berkata, Liu Cui-cui telah membuka lagi jubahnya
hingga telanjang bulat, kemudian sambil menggoyangkan pinggul dan badan
meng-geliat2 seperti seekor ular kecil, merangsang sekali gaya tubuh itu, apalagi
dilakukan dalam keadaan telanjang dengan bentuk badan yang indah, hampir
saja Tian pek tak sanggup mengusai diri.
Air muka Cui-cui sekarang mirip benar perempuan yang haus cinta, gerak-
geriknya menggiurkan penuh gairah, ia kini bukan lagi gadis yang suci murni, tapi
mirip perempuan cabul.
Mula2 Tian Pek agak kaget, lalu gusar, menyusul nafsu berahi lantas berkobar.
Cepat sekali munculnya nafsu berahi itu, bukan saja rasa kaget dan marah tak
dapat mengatasi kobaran api berahi itu, bahkan peredaren darahnya semakin
bergolak, terasa aliran hawa panas muncul dari pusar menuju selangkangan,
hampir saja ia tak tahan.
Untungnya Cui-cui segera menghentikan gaya merangsang tersebut dan
mengenakan kembali jubahnya.
"Engkoh Pek, bukankah gayaku barusan sangat indah ....?" kata si nona dengan
tersenyum.
Hilang rasa kaget dan sirap kobaran api birahi, sekuat tenaga Tian Pek berusaha
mengendalikan perasaannya. katanya kemudian dengan kesal, "Ai, adik Cui. kau
adalah gadis suci, kuharap selanjutnya janganlah kau lakukan lagi gaya jelek
yang memalukan ini. . . ."
Cui-cui tertawa: "Engkoh Pek, berbicaralah yang sejujurnya, masa kau hanya
melihat kulitnya dan tak dapat merasakan isi serta makna yang sebenarnya?"
Tian Pek melongo tidak mengerti. ia memandang kembali lukisan pertama yang
tertera dalam kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip.
Thian-sian-mo-li dalam lukisan tersebut berdiri dengan sikap yang merangsang,
dengan guncangan payudara dan goyangan pinggul yang cukup bikin hati
berdebar, terutama mimik wajahnya yang genit dan jalang persis tak ubahnya
seperti apa yang dipraktekkan Cui-cui barusan.
Maka dengan tercengang ia bertanya: "Adik Cui, gerakan yang kau praktekkan
bukankah gerakan Thian-sian-mo-li seperti lukisan dalam kitab ini? Makna apa
lagi yang terselip dibalik gaya yang merangsang itu?"
"Engkoh Pek, tahukah kau siapa guruku?" tanya Cui-cui dengan ber-sungguh2.
"Tidak kau terangkan, darimana aku tahu?"
"Guruku ialah Thian-sian-mo-li!"
"Ah, ti. . .tidak mungkin! Thian-sian-mo-li hidup pada dua ratus tahun yang lalu,
mana ia bisa hidup sampai sekarang. . .."
Cui-cui mengerling sekejap ke arah Tian Pek, kemudian sahutnya, "Kenapa kau
selalu mencurigai perkataanku? Masa aku membohongi kau? Dan lagi
bagaimana pun juga tak akan kugunakan guruku sebagai bahan bohongan!"
Melihat anak dara itu tak senang hati. cepat Tian Pek memotong: "Cui-cui tak
perlu kita persoalkan dulu masalah ini, coba terangkan dulu apa makna yang
tertera dalam lukisan tersebut!"
"Gaya yang tertera dalam kitab itu tak lain adalah sejenis ilmu aneh yang dimiliki
guruku, ilmu itu adalah Coa-li-mi-hun-toa-hoat (ular sakti perawan pembingung
sukma), menurut keterangan guruku ilmu ini lihaynya luar biasa, betapapun
lihay ilmu silat seseorang, tak nanti bisa melawan keampuhan daya rangsangan
ilmu tersebut, sekalipun dia adaalah seorang pederi saleh yang sudah mati rasa
juga takkan sanggup mengendalikan diri. . . ."
Tiba2 Tian Pek teringat kembali pada cerita paman Lui tatkala menyerahkan
kitab tersebut kepadanya dalam gua di bukit Siau-kun-san tempo hari, ia
bercerita bagaimana Cia-gan-longkun dipengaruhi oleh seorang perempuan iblis
sehingga mengalami kelumpuhan dalam latihan.
Maka sambil menghela napas panjang, katanya: "Bagaimanapun lihaynya Coa-li-
im-hun-toa-hoat dari gurumu itu toh kepandaian tersebut bukan ilmu yang
murni, tapi ilmu hitam golongan jahat,. . . ."
Pemuda itu tidak meneruskan kata2nya, sebab ia merasa bila ucapannya
dilanjutkan, bisa jadi Cui-cui akan mengira dia tidak menghormati gurunya.
Betul juga dugaannya, Cui-cui jadi mendongkol dan tak senang setelah
mendengar perkataan itu, matanya melotot dan mukanya cemberut.
"Apa itu ilmu hitam?" serunya, "orang beradu silat yang dituju adalah
kemenangan, siapa menang dia kuat, siapa kalah dia lemah, apa dilawan dengan
rangsangan atau dilawan pakai golok dan pedang, toh tiada berbedaannya. . ."
Jika Tian Pek diam saja niscaya kemarahan Cui-cui akan mereda, bila pemuda itu
cerdik dan tahu perasaan perempuan, ia pasti akan mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain. Apa mau dikata, Tian Pek memang lugu dan tak tahu
perasaan perempuan, sekalipun diketahui Cui-cui tak senang hati, toh ia
berbicara lagi dengan blak-blakan.
"Tentu saja jauh sekali bedanya," katanya, "misalnya saja seorang akan pergi ke
suatu tempat. ia tidak melewati jalan yang lurus tapi memilih jalan yang berliku-
liku, sekalipnn di mulai bersama, tapi selisihnya kan jauh sekali. . . ."
"Aku tak suka pada obrolanmu, aku tak mau membicarakan soal2 begitu dengan
kau," seru Cui- cui cepat, "sekarang aku akan memberitahukan satu hal padamu,
ketahuilah bahwa di dalam seratus delapan buah lukisan Thian-sian-mo-li ini
tersimpan serangkaian ilmu gerak tubuh yang lincah serta serangkaian ilmu
langkah yang tak terhingga perubahannya. Ilmu pukulan itu adalah Thian-hud-
hang-mo-ciang (Budha suci penakluk iblis), sedang ilmu gerakan tuhuh bernama
Bu-sik-bu-siang-sin (tiada berwarna tiada berwujud) dan ilmu langkahnya
disebut Cian-hoan-biau-hiang-poh (embusan angin harum beribu perubahan),
ke-tiga2nya adalah ilmu yang maha sakti, apabila seorang memainkan jurus
Thian-hud-hiang-mo-ciang dengan menggunakan pedang, maka akan terciptalah
ilmu pedang Thian-hud-hang-mo-kiam. Barang siapa berhasil menguasai ilmu2
sakti itu, dia akan menjagoi kolong langit tanpa tandingan. Engkok Pek. coba
pikirlah, bukankah aku telah memperlihatkan suatu benda yang bagus bagimu?
Hm, tak tersangka kau malahan ber-olok2 dengan kata2 yang tak sedap, aku
bermaksud baik, kau malah menganggap yang bukan. bukan!"
Tian Pek jadi semakin terkejut, setelah Cui-cui selesai bertutur, ia mengembus
napas panjang seraya berbisik: "Sungguhkah itu? Mengapa aku . . ." Ia hendak
mengatakan: '"Mengapa sudah sekian lama kuapalkan kitab Soh-kut-siau-hun-
pit-kip, tapi tidak dapat kupecahkan rahasia ini?"
Tapi sebelum ia sempat melanjutkan kata2nya itu, Cui- cui telah mencibir.
"Huuh, engkoh Pek ini bagaimana, selalu tidak percaya pada perkataanku. Baik,
anggap saja semua perkataanku hanya omong kosong saja dan tak perlu
dibicarakan lagi."
Dengan perasaan tak senang ia lantas putar badan dan berlalu.
Tian Pek adalah pemuda yang keranjingan belajar silat, sakit hati ayahnya baru
bisa dibalas bila ia dapat mempelajari ilmu silat yang maha tinggi, apalagi
setelah mengetahui orang Lam-hay-bun yang menjajah daratan Tionggoan rata2
berilmu tinggi, bila dia ingin melabrak mereka untuk menegakkan keadaan dan
kebenaran dunia persilatan, maka lebih dulu dia harus memiliki ilmu silat yang
lihay.
Maka demi dilihatnya gadis itu ngambek dan mau pergi, cepat ia menghalangi
dan memberi hormat.
"Cui-cui, jangan marah," katanya, "anggaplah aku yang salah, aku benar2
mempercayai ucapanmu sekarang berilah petunjuk kepadaku. Ai, maklumlah
aku tak pandai bicara, sekarang aku sudah minta maaf kepadamu, tentunya kau
bersedia untuk memberi maaf bukan?"
Tian Pek memang tak pandai berlagak, kali ini ternyata bisa berbicara dengan
lucu, ditambah pula gaya memberi hormatnya yang lucu, kontan Cui-cui tertawa
geli.
Melihat nona itu tertawa, Tian Pek ikut tertawa, katanya dengan cepat: "Cui-cui,
apakah gaya rangsanganmu tadi merupakan salah satu jurus serangan Thian-
hud-hiang-mo-ciang?"
"Bukan!" sahut Lui Cui-cui. "Gerakan tadi adalah salah satu jurus Coa-li-mi-hun-
hoat yang disebut Giok-te-biau-hiang (tubuh indah menyiarkan bau harum).
Menghadapi gerakan Giok-te- biau-hiang ini lawan akan menyerang dengan
suatu pukulan miring ke bawah, maka akan terciptalah jurus pertama dari Thian-
hud-hiang-mo-ciang yang bernama Hud-cou-hiang-toh (Buddha suci turun
tahta), jika segera menggeser langkah serta mengelak ke samping akan menjadi
gerakan Bu-sik-bu-siang serta gerakan Cian-huan-biau-hiang!"
Walaupun soal kecerdikan Tian Pek tidak seberapa hebat, tapi bagaimanapun
dia adalah jago yang memiliki dasar ilmu silat yang kuat, begitu dijelaskan oleh
Cui-cui, diapun lantas mengerti.
"Jadi kalau begitu. untuk berlatih Thian-hud-hiang-mo-ciang ini harus ada dua
orang yang bekerja sama?" tanyanya.
"Kali ini kau memang cerdik! Dalam kitab Soh-hun-siau-kut-pit-kip ini tersimpan
tiga jenis ilmu silat yang maha sakti dan harus dilatih dua orang bersama,
bahkan harus dilatih bersamaku, bukannya aku membual, meskipun dunia ini
sangat lebar, tapi kecuali aku seorang, jangan harap ada orang kedua yang bisa
melakukannya . . . ."
Dengan mata yang jeli dan senyum yang misterius anak dara itu melirik sekejap
ke arah Tian Pek, kemudian tambahnya: "Malahan didunia ini juga cuma engkoh
Pek saja yang bisa melatih Thin-hud-hiang-mo ini!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Tian Pek dengan tercengang.
Cui-cui tahu, pemuda itu pasti takkan percaya dengan keterangannya, maka ia
melanjutkan kata2 nya: "Engkoh Pek, tentunya kau tidak percaya bukan? Guruku
sudah wafat, dikolong langit dewasa ini tiada orang kedua yang bisa
menggunakan ilmu Coa-li-im-bun-toa-hoat dari Thian-sian-mo-li ini kecuali aku.
Dan andaikata semua ini bukan demi kebaikan engkoh Pek, tidak nanti aku
bersedia mengorbankan tubuhku . . . ."
Baru sekarang Tian Pek mengerti duduknya persoalan, cepat ia menjura dalam2
kepada gadis itu,
"Cui-cui sekarang aku sudah paham, sekarang aku sudah paham!" serunya.
"Bukankah selain kau dan aku yang bisa melatih ilmu Thian-hud-hiang-mo ini,
bahkan kalau tak ada kitab Soh-kut-siau-hun- pit-kip inipun tak bisa terlaksana
dengan baik, bukankah begitu? Ai, rupanya Thian sengaja mengirim kau untuk
membantu aku. Hayolah sekarang juga bantu aku melatih ilmu itu!"
"Tak susah bila ingin kubantu dirimu, tapi engkoh Pek, setelah ilmu itu berhasil
kau kuasai, bagaimana caramu akan berterima kasih padaku?"
"Terserah padanmu. asal aku berhasil melatih ilmu sakti itu, apa yang kau
inginkan pasti kuturuti!"
"Engkoh Pek, kau sendiri yang berjanji, kelak jangan kau ingkari."
"Jangan kuatir Cui-cui, perkataan seorang laki2 tidak nanti dijilat kemkali. Nah,
lekaslah bantu aku berlatih ..."
Tiba2 Cui-cui menengadah dan tertawa ter-bahak2, tertawa latah sehingga Tian
Pek melongo bingung.
Mendadak si nona melepaskan pakaiannya sehingga telanjang bulat, kemudian
sambil mengerling genit katanya: "Hayolah engkoh Pek sayang, kita mulai
berlatih ilmu. . ."
0O0 0O0 0O0
Suara roda kereta gemeratak dan ringkikan kuda yang panjang berkumandang
memecahkan kesunyian di sebuah jalan raya berdebu, serombongan kereta
pengawalan barang per-lahan2 bergerak melintasi jalan itu.
Puluhan kereta besar yang tertutup rapat bergerak dikawal selusin manusia
berpakaian ringkas, sebuah panji bersulamkan sebuah telapak tangan tertancap
disudut kereta dan berkibar tertiup angin gunung hingga menerbitkan suara
gemerisik.
Sebagian besar Piausu yang mengawal barang itu berperawakan tinggi besar dan
bermata tajam, sekilas pandang dapat diketahui bahwa mereka adalah kawanan
jago silat pilihan.
Itulah rombongan Piausu dari perusahaan Yan-keng-piau-kiok, tentu saja bagi
mereka yang berpengalaman, cukup melihat lambang telapak tangan yang
tertera pada panji kereta, orang segera akan tahu bahwa kereta kewalan itu
adalah barang kawalan dan Tiat-ciang-cin-ho-siok (telapak baja menggetarkan
utara sungai Hoangho) di Pakkhia.
Di depan rombongan kereta besar yang kelihatan berat itu bergeraklah belasan
orang Piausu, di antaranya adalah seorang Piausu tua yang berusia enam
puluhan, dia inilah Ji-lopiauto atau lebih terkenal sebagai Tiat-ciang-cing-ho-siok
itu.
======
Bagaimana ilmu sakti yang akan dilatih Tian Pek bersama Cui-cui dalam keadaan
polos itu?
Apakah benar Su-tay-kongcu yang terkenal itu kini telah jatuh pamornya?
HIKMAH PEDANG HIJAU
Diceritakan Oleh : GAN KL
Jilid ke - 18
Sudah lama Ji-lopiauthau tak pernah turun tangan sendiri, itulah sebabnya orang
segera akan tahu bahwa barang kawalannya kali ini pasti sangat penting dan
berharga, sebab kalau tidak, tak nanti Piauthau tua ini akan turun sendiri.
Di sebelah kiri Ji-lopiauthau adalah seorang lelaki gemuk berpakaian dinas,
rupanya seorang petugas pemerintah.
Sedangkan di sebelah kanannya mengikuti pula laki2 kurus kering, tampangnya
seperti kunyuk dan berdandan seorang opas.
Kedua orang kurus-gemuk ini cukup terkenal namanya di sebelah utara sungai
Hoang-ho, sebab mereka adalah Ban-leng-koan (pembesar gemuk) The Pek-siu
serta Sik-kau (kunyuk batu) Ho Leng-san. Pengawalan disertai opas, jelas barang-
barang ini milik pemerintah.
Waktu itu permulaan musim panas, sekalipun udara belum sekering dan
sepanas pertengahan musim, namun peluh telah membasahi tubuh orang-orang
itu.
Sebuah topi rumput lehar hampir menutupi wajah Ji-lopiauthau yang penuh
berkeriput, ketika tiba2 ia lihat sebuah hutan terbentang di depan, dengan dahi
herkerut ia berkata kepada anak buahnya: "Sampaikan perintah kepada segenap
anggota rombongan, suruh mereka tingkatkan kewaspadaan dan bersiap untuk
menjaga segala kemungkinan!"
Hutan belantara merupakan sarang dan tempat operasinya kaum penyamun, Ji-
lopiauthau sudah lama bekerja sebagai pengawal barang, otomatia
pengalamannya pun amat luas, begitu melihat hutan, lantas perintahkan anak
buahnya untuk siap siaga.
Si "kuda kilat" Lan Sam yang mendapat pesan itu cepat membedal kudanya ke
depan rombongan, sambil melarikan kudanya ia berseru lantang: "Perhatian!
Congpiauthau ada perintah, semuanya bersiap menghadapi segala
kemungkinan!"
Suara senjata dicabut dari sarungnya bergema di sana-sini, di antara kilatan
cahaya senjata menyilaukan, kawanan Piausu itu telah mempertingkat
kewaspadaan mereka.
Suasana tegang menyelimuti rombongan itu, begitu ketat dan rapatnya
penjagaan seakan-akan menghadapi suasana genting.
Senyum lega dan bangga menghiasi wajah Ban-leng-koan yang gemuk, tiba2 ia
berpaling kepada Ji-lopiauthau dan berkata tertawa: "Hahaha, bagaimana pun
memang lebih mantap kalau pengawalan ini dipimpin langsung oleh Ji-
lopiauthau, melihat kesiap-siagaan anak buah Lopiautau yang cekatan ini,
sungguh lega hatiku."
"Betul!" sambung Sik-kau atau si kunyuk dengan cepat, "tidak aeperti pengawal
barang tempo hari, rombongan dipimnin oleh seorang Piausu muda yang baru
terjun ke dunia persilatan, eh, Tian Pek begitulah kalau tidak salah namanya.
Sepanjang perjalanan, hatiku selalu berdebar, selalu kuatir dan tidak tenteram!"
Menyinggung Tian Pek, mendadak Ban-leng-koan sambil picingkan matanya dan
memandang hutan di depan, lalu dengan suara lirih la membisikkan sesuatu ke
telinga Ji-lopiauthau: "Disinggung oleh saudara Ho, aku jadi ingat kembali
kejadian masa lampau. Kalau tidak salah, ketika barang kawalan Tian Pek
dibegal, peristiwa itu juga berlangsung di hutan ini..... Ai, kukira kita kudu hati2,
jangan sampai sejarah terulang lagi."
Dengan wajah serius, Ji-lopiauthau mengangguk, namun ia tidak menjawab.
Meskipun bisikan Ban-leng-koan itu diucapkan dengan suara rendah, kebetulan
seorang Piausu yang bernama Ciu Toa-tong dengan julukan "kerbau dungu"
yang berada di sebelah dapat mendengarnya, kontan ia mendengus.
Kiranya pada pengawalan yang dulu sebetulnya dia yang mendapat tugas
memimpin rombongan, tapi akhirnya Ji-lopiauthau mengutus Tian Pek, atas
kejadian tersebut ia masih sakit hati, apalagi setelah mendengar bahwa barang
kawalan itu dibegal dan Tian Pek lenyap tak berbekas, untuk itu dia selalu
mencari kesempatan untuk melampiaskan rasa dongkolnya.
Maka tatkala Ban-leng-koan menyinggung kejadian itu, dia lantas menjengek:
"Huuh! Dasar orang muda, mana bisa diserahi tugas penting? Tempo hari sudah
kukatakan dia takkan mampu memikul tugas berat itu, tapi Congpiauthau tidak
percaya, akhirnya terjadi musibah itu, malahan di tengah jalan ia lalaikan tugas
dan kabur dengan begitu saja, sampai sekarang kabar beritanya tidak
ketahuan....."
Selagi si kerbau dungu Ciu Toa-tong masih mengomel, tiba2 Ji-lopiauthau
pasang telinga dan mendengarkan sesuatu, kemudian dengan terkejut
bercampur heran ia menghardik: "Toa-tong, tutup mulutmu!"
Bentakan Ji-lopiauthau ini mengandung rasa kuatir, jangankan orang yang
berpengalaman, sekalipun seorang yang tak berpengalaman pun akan tahu pasti
ada sesuatu yang tidak beres.
Si kerbau dungu Ciu Toa-tong sudah lama mengikuti pemimpinnya berkelana,
sudah tentu ia pun tahu akan seriusnya keadaan, sebab kalau bukan masalah
yang penting, belum pernah Ji-lopiauthau menunjukkan sikap luar biasa begini.
Sambil menahan rasa dongkolnya ia pun pusatkan perhatian untuk memeriksa
keadaan di situ, sesaat kemudian, paras mukanya herubah hebat.
Kiranya para peneriak jalan di depan telah masuk ke dalam hutan, lalu suara
mereka lenyap tak berbekas, seakan-akan beberapa orang itu tertelan begitu
saja oleh hutan.
Kalau peneriak jalan sudah bungkam dan jejaknya lenyap tak berbekas, itu
tandanya telah terjadi sesuatu peristiwa besar, atau kemungkinan jiwa beberapa
prang itu telah amblas.
Ban-leng-koan serta si kunyuk masih belum tahu apa yang terjadi, mereka jadi
heran tatkala mendengar Congpiauthau menghardik Ciu Toa-tong.
"Eeh, apa yang terjadi?" tanya mereka.
Ditatapnya sekejap kedua orang opas itu, kemudian dengan wajah serius Ji-
lopiauthau berkata: "Tayjin berdua, bersiap-siaplah menghadapi segala
kemungkinan yang tidak diinginkan!"
Tanpa menunggu reaksi kedua orang itu, dia putar kudanya dan memberi tanda
agar rombongan berhenti.
Ji-lopiauthau memang tidak malu sebagai jago kawakan, di bawah perintahnya
dalam waktu singkat, semua kereta barang itu lantas membentuk satu lingkaran,
muka dan belakang kereta2 itu satu dan lainnya disambung dengan rantai hesar,
dengan begitu terciptalah sebuah barisan bundar yang bersambungan.
Separoh Piausu yang berada dalam rombongan diperintahkan untuk melindungi
kereta barang, sementara Ji-lopiautau sendiri dengan membawa sebagian
Piausu yang lain segera membedal kudanya masuk ke hutan sana.
Sekarang Ban-leng-koan dan Sik-kau baru tahu apa yang terjadi, namun mereka
agak lega juga setelah Ji-lopiauthau mengatur barisan pertahanan, ketika
melihat Piausu itu meninjau ke hutan, mereka pun melarikan kudanya dan
menyusul dari belakang.
Begitulah Ji-lopiauthau, kedua opas dan sekawanan Piausu yang berjumlah tiga
puluhan orang segera membedal kudanya menuju ke hutan belantara itu.
Sunyi, hening, tak sesosok bayangan manusia pun tampak di dalam hutan itu,
kecuali embusan angin yang menggoncangkan ranting pohon, tiada suara apa
pun yang terdengar.
Jangankan bayangan musuh, kedelapan orang peneriak jalan pun tak diketahui
ke mana lenyapnya, untuk sesaat semua orang jadi heran, tercengang dan tidak
habia mengerti.
Apabila kedelapan orang itu sudah menembus hutan, sepantasnya suara mereka
masih kedengaran di depan sana, sehaiiknya kalau terbunuh, sepantasnya ada
mayat mereka serta bangkai kuda, atau sekalipun kuda itu dibegal, suara
teriakan manusia, ringkikan kuda dan jejak telapak kaki akan kelihatan dan
kedengaran.
Tapi, kenyataannya suasana dalam hutan tetap sunyi senyap, sedikit pun tak ada
suara apa pun, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu.
Bagi orang yang belum berpengalaman, suasana sehening ini tentu akan
dianggap aman, tapi dalam pandangan Ji-lopiauthau sekalian yang sudah
berpengalaman, mereka sadar bahwa di balik kesunyian ini justru terselip
keseraman, kengerian dan kemisteriusan. Dalam suasana semacam inilah hawa
nafsu membunuh menyelimuti segala penjuru, malaikat elmaut setiap saat
mengintai di balik pepohonan itu dan siap mencabut nyawa mereka.
Ji-lopiauthau terhitung jago kawakan yang berpengalaman dalam soal begini,
tapi sekarang ia tidak habia mengerti oleh kenyataan yang terbentang di depan
mata, ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Ban-leng-koan maupun si Kunyuk Ho Leng-san menyadari pula betapa gawatnya
keadaan, saking takutnya dengan muka pucat mereka saling pandang dengan
melongo.
Kawanan Piausu lainpun terbelalak kuatir, seluruh perhatian mereka tertuju ke
dalam hutan.....
Suasaua tetap hening, tiada suatu gerakan atau tanda yang mencurigakan.
Lama-kelamaan Ban-leng-koan tak tahan, ia membedal kudanya menghampiri Ji-
lopiauthau, kemudian bisiknya lirih: "Lopiauthau, apa yang terjadi?"
Di tengah suasana hening dan tegang, pertanyaannya itu semakin menambah
seram keadaan.
Ji-lopiautau tidak menjawab, walaupun dalam hati telah mengambil keputusan,
bagaimana pun juga peristiwa ini akan diselidiki sampai jelas, sebab dia adalah
Congpiauthau, tak mungkin baginya untuk melanjutkan perjalanan dengan
begitu saja tanpa mengghiraukan keselamatan kedelapan orang anggata
rombongannya.
Karena itu dengan memberanikan diri ia membedal kudanya memasuki hutan,
sementara anak buahnya diperintahkan untuk bersiap siaga penuh.
Setelah Congpiauthaunya masuk ke hutan, kawa-nan Piausu lainnya rerpaksa
memberanikan diri menyusul dari belakang dengan rasa tegang.
Andaikata mereka diharuskan menghadapi pertarungan terbuka, sebagai laki-
laki yang hidupnya memang bergelimangan di tengah kilatan golok dan ceceran
darah, tak nanti orang2 itu takut. Tapi kini, suasana tetap sepi dan tak satu
manusia pun yang tampak, keadann seperti ini justeru mendatangkan rasa
tegang, seram den ngeri dalam hati orang-orang itu.
Suasana dalam hutan cemara itu tetap hening, tiga puluhan orang itu dengan
hati yang kebat-kebit bergerak menembus hutan dan akhirnya muncul di ujung
hutan sebelah ujung sebelah sana, hutan seluas beberapa lie itu sudah dilewati
tanpa terasa, namun tiada sesuatu yang kelihatan dan tiada kejadian apa pun
yang muncul.
Jalan raya terbentang di depan sana, namun suasana di jalan raya itu pun sunyi
senyap tak kelihatan bayangan seorang pun.
Kemanakah perginya kedelapan orang peneriak jalan itu? Seolah-olah mereka
lenyap ditelan bumi, hilang tanpa bekas.
”Keparat, benar2 ketemu setan..
yang berwatak berangasan.
" gerutu si kerbau dungu Ciu Toa-tong
Baru dia menyumpah, tiba2 dari arah belakang berkumandang suara teriakan
gegap gempita, seakan-akan beribu prajurit berkuda menyerbu di medan
tempur.
Suara hiruk-pikuk itu muncul dari belakang, semua orang terperanjat dan segera
beramai memutar kuda dan menyerbu kembali ke dalam hutan.
Baru saja mencapai tengah hutan, tiba-tiba terjadi hujan anak panah yang amt
deras, anak panah berhamburan dari empat penjuru dan semua tertuju kepada
rombongan Piausu itu.
Belasan orang Piausu yang berada di barisan depan segera terpanah dan roboh
terjungkal.
Ji-lopiauthau sadar telah terjebak, dengan gusar bercampur gelisah serunya
lantang: "Sahabat, siapa kalian? Apa maksudmu menjebak kami dengan siasat
busuk ini? Kalau punya nyali hayo unjukkan diri untuk bertemu dengan diriku!"
Gelak tertawa nyaring segera terdengar berkumandang dari pucuk pepohonan,
begitu keras suara tertawa itu hingga anak telinga terasa sakit.
Terkejut kawanan Piausu itu, dari suara gelak tertawa nyaring itu bisalah
diketahui orang itu memiliki tenaga dalam yang amat sempurna.
Sementara kawanan Piausu itu masih terkejut dan panik, terdengar angin
berkesiur, berturut-turut delapan orang laki2 berpakaian ringkas melayang
turun dari atas pohon.
Kain hitam mengerudungi raut wajah setiap orang itu, yang tampak hanya
matanya yang bersinar tajam, dandanan mereka aneh dan mengerikan.
Karena orang2 itu mengerudungi wajahnya, dengan kain hitam, Ji-lopiauthau
menyangka mereka adalah jago2 kalangan hitam yang dikenalnya, segera ia
melarikan kudanya maju ke depan, serunya dengan lantang: "Akulah Tiat-ciang-
cing-ho-siok (telapak Baja menggetarkan utara sungai Huang-ho) Ji Kok-hiong
adanya, bolehkah kutahu siapakah sahabat sekalian?"
Salah seorang yang berpakaian ringkas itu tertawa terbahak2: "Hahaha, tak
perlu kau tahu siapa kami, pokoknya hari ini jangan kau harap akan lolos dengan
selamat!"
Sejak tadi si kerbau dungu Ciu Toa-tong tiada tempat pelampiasan, mendengar
ucapan tersebut, amarahnya tak terkendalikan lagi.
"Bajingan, besar amat nyalimu, berani kalian mengincar barang kawalan Yan-
keng Piau-kiok? Jangan omong besar, sambut dulu pukulan Ciu-toayamu ini!"
Ia terus menerjang ke depan, suatu pukulan segera menghantam kepala laki2
berkerudung itu.
Ciu Toa-tong disebut kerbau dungu oleh karena otaknya bebal tapi tenaganya
kuat, ilmu andalannya adalah Tiat-se-ciang (pukulan pasir besi) yang sudah
dilatihnya selama puluhan tahun, pukulannya cukup dahsyat.
"Ehm!" orang berkerudung itu mendengus, "rupanya kau sudah bosan hidup!"
"Blang!" terjadi adu pukulan, Ciu Toa-tong menjerit kesakitan, tubuhnya yang
besar mencelat dari punggung kudanya dan menumbuk pohon hingga roboh tak
berkutik.
Betapa terkejutnya kawanan Piausu itu, mereka mengerti Ciu Toa-tong memiliki
ilmu silat yang tangguh, dan sekarang hanya satu gebrakan saja tubuhnya lantas
mencelat dan tewas, dari sini dapat diketahui bahwa Kungfu lawan berkerudung
itu memang luar biasa lihaynya.
Selesai menghajar si kerbau dungu, orang itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya:
"Hehehe, tadinya aku mengira dia memiliki ilmu silat yang luar biasa sehingga
berani membual. Huuh, tak tahunya cuma sebangsa kecoak yang tak tahan
sekali gebuk! Kalau begitu, kalian yang sok anggap Piausu jempolan tak lebih
cuma gentong nasi belaka? Hayo, siapa lagi yang sudah bosan hidup? Silakan
maju untuk menerima kematian!"
Marah dan kejut
setelah menyaksikan seorang Piausunya dibunuh oleh
lawan hanya dalam satu gebrakan, sambil menarik muka ia maju ke depan dan
berkata: "Hm, sobat, engkau tak sudi memberitahu asal-usul, sekarang seorang
anak-buahku kau bunuh secara keji, tampaknya kau memang hendak memaksa
Lohu minta petunjuk beberapa jurus padamu!"
Ia melompat turun dari kudanya, kedua tangannya berputar, telapak baja
andalannya segera siap melabrak musuh.
Baru saja Ji-lopiautau siap menyerang, tiba2 dari belakang seorang berteriak:
"Congpiautau, menyembelih ayam kenapa mesti memakai golok? Biar aku yang
bereskan keparat ini untuk membalaskan dendam kematian Ciu-toako!"
Piausu ini bernama Ki-bu-pah (raksasa tangguh) Ciu Leng, dia bertenaga besar
dan disegani orang, perawakannya tinggi besar, se-hari2 ia adalah sobat kental
Ciu Toa-tong, tentu saja ia marah sekali setelah Ciau Toa-tong tewas di tangan
orang, maka sekarang iapun memburu ke depan.
Ji-lopiautau cukup kenal kungfu anak-buahnya, dia tahu walaupun Ki-bu-pah
mempunyai tenaga raksasa, namun seorang kasar dan dungu, tak nanti bisa
menandingi lawan, cepat jago tua ini berusaha mencegah.
Tapi dasar Ki-bu-pah memang berangasan, apalagi sudah dipengaruhl oleh rasa
dendam, begitu sampai di tengah gelanggang, tanpa banyak bicara telapak
tangannya lantas menghajar batok kepala dan dada musuh dengan jurus Beng-
ciong-kik-lo (dentingan lonceng pukulan genderang).
"Bajingan, bayar nyawamu untuk Ciu-toako!" hardiknya.
Orang berkerudung itu tertawa dingin, ia tidak menghindar maupun berkelit,
malahan sambil memutar tubuhnya, dengan suatu gerakan aneh, tahu2 ia
menyelinap ke belakang Ki-bu-pah yang kalap.
Gagal dengan tubrukannya, cepat Ki-bu-pah putar badan, namun terlambat,
pada waktu itulah orang berkerudung itu sudah melepaskan pukulan maut ke
punggungnya.
Ki-bu-pah mati langkah dan tak sempat menghindar.
Ji-lopiautau terperanjat, cepat ia memberi pertolongan, ia potong tangan musuh
yang menghantam punggung Ki-bu-pah itu.
Tujuan Ji-lopiautau hanya ingin menolong Ki-bu-pah tak terduga mendadak
seorang berkerudung yang lain segera menerjang maju dan menangkis serangan
tersebut.
"Blang!" terjadi benturan keras, Ji-lopiautau tergetar sempoyongan dan lengan
terasa kaku.
Sementara orang berkerudung itu tetap berdiri tegak ditempatnya, sama sekali
tidak tergetar oleh benturan itu.
Melulu satu gebrak saja dapatlah Ji-lopiautau meraba keampuhan musuh, dia
tahu kungfu kedelapan orang berkerudung itu rata2 sangat lihay, itu berarti pula
bahwa keselamatan rombongannya hari ini terancam bahaya.
Sementara itu, serangan orang berkerudung yang lain telah bersarang telak di
punggung Ki-bu-pah.
Untungnya karena bantuan Ji-lopiautau tadi sehingga pukulan musuh tidak telak
mengenai tubuh Ki-bu-pah, dia cuma mencelat saja dan tumpah darah.
Merah padam wajah Ji-lopiautau, hanya dalam satu gebrakan dua orang
Piausunya telah satu tewas dan satu terluka parah, kejadian ini sungguh suatu
pukulan berat bagi rombongannya, apalagi bila mendengar suara pertarungan
yang sedang berlangsung di luar hutan sana, ia sadar kereta barangnya sedang
dibegal orang.
Ia menjadi kalap, sambil membentak nyaring, beruntun dia melancarkan
pukulan berantai yang hebat ke arah orang berkerudung itu.
Walaupun pada mulanya orang itu terdesak mundur oleh serangan gencar Ji-
lopiautau, namun ia tidak panik, suatu saat ia lancarkan tendangan berantai dan
dua pukulan maut. Dari posisi terdesak ia mulai balas menyerang sehingga Ji-
lopiautau berbalik terdesak mundur.
Selama malang melintang di dunia Kangouw belum pernah Ji-lopiautau
mengalami keadaan yang begini mengenaskan, sekarang bukan saja keteter
hebat oleh serangan gencar orang berkerudung itu, malahan jiwanya juga
terancam.
Kawanan Piausu lainnya menjadi kuatir dan panik, mereka cemas melihat sang
Congpiautau terancam bahaya, entah siapa yang mulai dulu, serentak kawanan
Piausu itu berteriak terus menyerbu maju.
Kedelapan orang berpakaian ringkas itu pun serentak bergerak, mereka tidak
memakai senjata, dengan tangan kosong dalam waktu singkat kawanan Piausu
itu sudah dibikin kocar-kacir dan lintang-pukang.
Pertarungan ini berlangsung tak seimbang, sekalipun jumlah Piausu itu berkali
lipat lebih banyak, akan tetapi mereka semua bukan tandingan kedelapan orang
berkerudung Itu.
Ban-leng-koan The Pek Siu serta si kunyuk Ho Leng-san ketakutan setengah
mati, kaki mereka gemetar, hati ingin kabur, apa mau dikata kakinya tidak
menurut perintah lagi. Mereka cuma bisa berdiri dan terkencing2......
Ji-lopiautau sendiri pun sadar Kungfunya lebih cetek dibandingkan musuh, ia
berusaha melepaskan diri, namun musun terus mencecarnya, apa boleh buat,
terpaksa ia harus memberikan perlawanan mati-matian.
Sesaat kemudian, sebagian besar kawanan Piausu itu sudah tewas atau
terluka.....
Mendadak dari balik hutan menggema suara suitan nyaring, menyusul mana
muncul lagi lima orang berkerudung.
Melihat tibanya bala bantuan musuh, kawanan Piausu itu semakin mengeluh,
delapan orang musuh saja kewalahan apalagi ditambah bala bantuan.
Ji-lopiautau menghela napas panjang, keluhnya: "Ai, rupanya takdir telah
menentukan demikian, habislah riwayatku hari ini....."
Di luar dugaan, ternyata kelima orang berkerudung itu tidak ikut terjun ke dalam
gelanggang, mereka hanya menyampaikan perintah dengan bahasa isyarat agar
kedelapan orang itu segera mengundurkan diri.
Betul juga, serentak kedelapan orang berkerudung itu melancarkan pukulan
dahsyat dan mendesak mundur kawanan Piausu itu, lalu melompat mundur dan
kabur ke dalam hutan.
Ji-lopiautau serta para Piausunya cepat memburu keluar hutan, terlihat
rekan2nya yang ditugaskan menjaga barang kawalan telah terkapar
semua,dalam keadaan tewas dan luka parah, sedangkan puluhan kereta barang
itu sudah hilang.
Merah membara mata Ji-lopiautau, bersama sisa Piausunya yang masih hidup,
sekuat tanaga mereka melakukan pengejaran.
Kedua orang opas kenamaan dari ibukota, Ban-leng-koan serta si kunyuk berdiri
mematung sambil melelehkan air mata.
Barang kawalan itu penting sekali artinya dengan segenap anggota keluarga
mereka sebagai tanggungan, bila dibegal orang, sekalipun mereka tak mampus
di medan pertempuran, kembali ke kota pun mereka takkan hidup.
Bagi Ji-lopiautau, kecuali keselamatan keluarganya sebagai tanggungan,
pekerjaan ini pun menyangkut soal nama baiknya, tidaklah heran kalau dia
ngotot mengejar para pembegalnya meskipun sudah kalah habis2an.
Kawanan Piausu lainnya dengan taruhan nyawa juga menyusul dari belakang,
mereka sudah terlalu banyak berutang budi kepada Congpiautaunya, sebagai
balas budi merekapun rela mengorbankan diri.
Dari pihak pembegal, kecuali kedelapan orang berpakaian ringkas itu masih
terdapat pula empat orang berkerudung yang jelas adalah kaum wanita, karena
potongan tubuhnya yang ramping, lalu ada lagi seorang Hwesio berkepala
gundul yang berkerudung juga.
Ketiga belas orang ini bertugas memotong kekuatan para pengejar serta
membinasakan Para Piausu yang coba mendekat, sementara beberapa orang
pembegal lagi dengan kecepatan penuh melarikan kereta2 barang itu.
Di antara para pengejar, Ji-lopiautau yang telah beruban itu mengejar paling
kencang.
Keadaan jago tua ini lebih mirip banteng terluka, matanya merah berapi, sambil
mengejar setiap kesempatan telapak tangan bajanya lantas menghantam
kawanan pembegal itu.
Di antara kawanan Piausu itu, memang Kungfu Ji-lopiautau paling lihay, bukan
saja pukulannya yang dahsyat, ginkangnya juga paling tinggi, dia mengejar terus,
ini membuat kawanan pembegal itu sukar melepaskan diri.
Lama2 habislah kesabaran Hwesio berkerudung yang sedang kabur itu, tiba2 la
berhenti dan putar badan, ia berjongkok dengan tangan menempel tanah
sehingga gayanya mirip seekor katak, ia berkaok2 nyaring, lalu telapak
tangannya diayun ke depan, ia melepaskan pukulan dahsyat ke dada Ji-
lopiautau.
Terkejut Ji-lopiautau oleh pukulan hebat itu, ingin menangkis namun terasa tak
bertenaga, ingin menghindar namun tak sempat, tampaknya jago tua ini sukar
lolos dari ancaman maut itu.
"Mampuslah aku....!" keluhnya dalam hati.
"Blam!" terdengar suara menggelegar, keras sekali suara itu membuat telinga
jadi mendengung, debu pasir berhamburan.
Ji-lopiautau menyangka jiwanya pasti melayang, ia pejamkan matanya dan
pasrah nasib, siapa tahu setelah terjadi suara keras itu, ia masih selamat tanpa
kurang suatu apa pun.
Dalam kaget dan herannya ia membuka matanya..... Tian Pek, benar-benar Tian
Pek, si anak muda tampan itu tahu-tahu sudah berdiri di depannya.
Ketika ia berpaling ke arah hwesio berkerudung tadi, ia lihat kain penutup
wajahnya telah terlepas sehingga tampak mukanya yang pucat seperti mayat,
orang itu sudah mundur beberapa kaki ke belakang, dengan matanya yang
terbelalak lebar, ia menatap lawan.
"Hm, kiranya kau!" dengus Tian Pek kemudian.
"O, rumapanya kau!" Hwesio itu pun berseru.
Ji-lopiautau sendiri tak pernah menyangka jiwanya akan ditolong oleh Tian Pek.
Ia pernah menolong anak muda itu, Tian Pek juga pernah menjadi Piausu selama
beberapa hari di dalam perusahaannya, jago tua ini cukup mengetahui sampai di
manakah taraf kepandaian silat pemuda itu.
Tapi sekarang, kenyataan berbicara lain, benar2 Tian Pek yang telah
menyelamatkan jiwanya dari ancaman maut tadi, untuk sesaat Ji-lopiautau jadi
tertegun.
Sementara kawanan Piausu yang masih hidup serta The Pek-siu dan Ho Leng-san
juga terbelalak dengan mulut melongo. Mereka kenal Tian Pek dan mengetahui
pula ilmu silatnya amat cetek, tapi sekarang, begitu tampil dan lantas memukul
mundur Hwesio berkerudung itu dan menyelamatkan sang Congpiautau, tak
heran semua orang jadi terkesima.
Belum lama berselang, mereka masih mengejek ketidakbecusan Tian Pek,
sekarang anak muda ini muncul dan di luar dugaan ilmu silatnya ternyata luar
biasa.
Hwesio itu tidak asing bagi Tian Pek, sudah dikenalnya, sebagai Hud-eng Hoatsu,
satu diantara ketiga tokoh maut dari laut selatan, yang aneh ialah Hwesio ini
telah melakukan pembegalan dan menggunakan pula kain untuk menutupi
wajahnya.
Hud-eng Hoatsu sendiripun segera mengenali Tian Pek sebagai pemuda yang
pernah dihajar sampai terluka oleh si nenek rambut putih di lembah pemutus
sukma dahulu.Makanya ia tertegun setelah adu pukulan tadi, sebab
bagaimanapun juga Hud-eng Hoatsu tidak percaya pemuda she Tian ini sanggup
menyambut Ha-mo-kang (ilmu katak) andalannya itu.
Ha-mo-kang adalah ilmu sakti di luar samudera sana dan sudah lama lenyap dari
peredaran dunia persilatan, bukan saja besar daya pukulannya, di balik serangan
tersimpan pula daya isap yang kuat, jangankan menangkis, sekalipun ingin
menghindar juga sukar, ilmu kepandaian ini terhitung sejenis ilmu hitam yang
maha dahsyat.
Tiat-ciang-cin-ho-siok terhitung jago kawakan di dunia Kangouw, ia pun tidak
berani menyambut serangan keras lawan keras ini, tapi sekarang seorang
pemuda yang berusia likuran sanggup menerimanya secara mantap,
bagaimanapun Hwesio itu tetap tak percaya.
Kejut dan gusar Hud-eng Hoatsu, tiba2 ia berpekik nyaring.
"Kookk.... kookk.......!" sambil berkaok seperti katak, dengan keras kedua telapak
tangannya menyodok ke depan.
Serangan maut ini dilancarkan Hud-eng Hoatsu dengan sepenuh tenaga, dapat
dibayangkan betapa dahsyat daya penghancur yang terpancar keluar, gulungan
itu langsung menerjang Tian Pek.
Kelam air muka anak muda itu, ia mendengus, bentaknya: "Bangsat gundul,
tampaknya kau ingin mampus!"
Dengan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang yang baru saja dilatihnya,
tangan pemuda itu berayun ke depan.
Ketika dua gulung tenaga pukulan yang maha dahsyat saling bentur di udara,
terjadilah suara gemuruh bagai bunyi guntur.
"Blang!" bumi serasa bergoncang, debu pasir menyelimuti angkasa, lidi cemara
yang tumbuh di sekitar gelanggang sama rontok ke tanah bagaikan hujan.
Di tengah remang2 cuaca, Hud-eng Hoatsu yang gemuk seperti babi itu
mencelat ke udara bagaikan layang2 putus benangnya, dengan menerbitkan
suara keras ia terbanting di atas tanah.
Kedelapan orang berpakaian ringkas serta ke empat gadis berkerudung serentak
menjerit kaget, buru2 mereka menghampiri Hud-eng Hoatsu dan memayangnya
bangun.
Darah kental meleleh keluar di ujung bibir paderi gemuk itu, mukanya jadi pucat
pasi, matanya setengah terpejam, jelas isi perutnya sudah terluka sangat parah.
Salah satu di antara keempat gadis berkerudung itu mendadak melepaskan kain
kerudungnya sehingga terlihatlah taut wajahnya yang cantik, dengan mata
mendelik ia tatap sekejap ke arah Tian Pek, katanya: "Besar amat nyalimu berani
melukai Hud-eng Hoatsu sampai muntah darah. Hm, siapa namamu?"
Cantik memang gadis itu, cuma sayang di antara kejelian matanya membawa
sifat genit dan jalang yang merangsang, melihat itu Tian Pek menyahut dengan
hambar: "Aku Tian Pek, bukan saja Hud-eng Hoatsu kulukai, bila barang begalan
kalian tidak segera dikembalikan, kalian pun harus kutahan di sini!"
Seorang gadis lainnya maju menghampiri Tian Pek, iapun menarik lepas kain
kerudungnya, sambil melotot katanya: "Bagus, kau berani memusuhi orang Lam-
hay-bun. Tapi hati2lah kau, orang Lam-hay-bun akan menuntut balas pada tiga
turunanmu!"
Sambil berbicara ia lantas berpaling kepada rekan2nya dan menambahkan:
"Hayo, kita pergi... "
"Hehehe, mau pergi? setelah membunuh orang dan membegal barang, lantas
mau kabur dengan begitu saja? Tidak mudah sobat!"
Serentetan suara ini muncul beberapa tombak di luar gelanggang sana, tidak
tampak orang yang bicara, tahu2 dari udara melayang turun seorang manusia
aneh bermuka hijau dan berambut merah.
Semua orang berpekik kaget, seram sekali tampang manusia aneh ini, apalagi
ilmu meringankan tubuhnya sungguh mencapai puncak kesempurnaan.
Kepongahan kedua gadis yang sudab membuka kerudungnya tadi kontan
tersapu lenyap setelah menyaksikan kemunculan manusia aneh bermuka hijau
ini, sebagai gantinya air muka mereka berubah jadi pucat karena takut.
Kedelapan orang berpakaian ringkas serta kedua gadis lainnya juga mengunjuk
rasa kaget, sekalipun wajah mereka berkerudung sehingga tidak nampak
perubahan itu, tapi dari kerlingan mata mereka yang panik dapat diketahui
bahwa rasa takut mereka tak kalah hebatnya dari pada kedua rekannya itu.
Di satu pihak ketakutan, di pihak lain Ji-lopiautau merasa terkejut bercampur
girang, ia tak menyangka hanya beberapa bulan saja ilmu silat Tian Pek telah
mendapat kemajuan sedemikian pesatnya, apalagi setelah mengetahui manusia
aneh bermuka hijau dan berambut merah itu membantu pihaknya, sadarlah
jago tua ini bahwa bintang penolong telah tiba.
"Tian-hiante, jangan lepaskan orang2 itu!" serunya cepat. "Barang kawalan
engkoh-tuamu yang dibajak amat penting artinya....."
Kedua gadis cantik itu tidak pedulikan kata2 Ji-lopiautau yang ditujukan kepada
Tian Pek, sesudah terkejut menyaksikan kemunculan manusia aneh bermuka
hijau itu, mereka lantas saling pandang sekejap, kemudian mengerling kepada
kedelapan orang laki2 dan kedua gadis lainnya, setelah itu dengan langkah
gemulai mereka menghampiri manusia aneh itu.
Salah seorang di antaranya memberi hormat dan menyapa: "Ai, kiranya Kui.... 0,
Liu cici, tahukah Cici bahwa Siau-kun (tuan muda) kami sangat merindukan diri
Cici sehingga mirip orang linglung? Kalau majikan muda kami mengetahui Cici
berada di sini....."
Sementara gadis itu bercakap2, kedelapan orang laki2 berpakaian ringkas itu
sudah mengangkat Hud-eng Hoatsu yang terluka dan dibawa pergi dengan
cepat.
Manusia aneh bermuka hijau dan berambut merah itu tak lain adalah Liu Cui-
cui, ia mendesis, damperatnya: "Huuh, siapa yang sudi menjadi Cici kalian...."
"Tian-hiante, jangan biarkan bajingan itu kabur....." mendadak Ji-lopiautau
berseru lagi.
"Jangan kuatir saudara tua, mereka tak nanti bisa kabur!"
Seraya membentak, Tian Pek melambung ke udara, tahu2 dia sudah mengadang
jalan lari kedelapan orang berkerudung itu.
Supaya maklum, bahwa kedelapan laki2 berkerudung itu adalah Mo-kui-to-pat-
yau (delapan siluman dari pulau setan), kungfu mereka sangat tinggi, kecuali
Lam-hay-siau-kun, Lam-hay-liong-li beserta Hay-gwa-sam-sat dan beberapa
tokoh penting lain, kungfu kedelapan orang ini terhitung kelas satu.
Di antara kepandaian yang dimiliki mereka ilmu meringankan tubuh termasuk
paling mereka andalkan, tapi sekarang Tian Pek bisa melampaui kelihaian
mereka, tak heran kalau mereka jadi melengak.
Sadarlah Mo-kui-to-pat-yau bahwa mereka telah bertemu musuh lihay, bila
tidak menyerang dengan pukulan mematikan, niscaya sukar untuk meloloskan
diri.
Mereka saling pandang sekejap, empat siluman mundur ke belakang, sedang
empat yang lain maju dua langkah ke muka, tangan mendayung berbareng ke
belakang, inilah Bu-ci-ciang (pukulan hantu) dari pulau setan.
Empat gulung tenaga pusaran bagaikan gangsingan bergabung menjadi satu, di
udara terus menggulung ke tubuh Tian Pek.
Menghadapi serangan aneh ini, Tian Pek merasa kepalanya jadi pening dan mata
ber-kunang2, ia merasa di tengah gulungan hawa yang berputar seperti
gangsingan itu se-akan2 muncul sebuah kepala raksasa seperti kepala setan
yang berambut panjang dan bertaring, sambil melotot seram dan memutar
cakar setannya yang besar langsung menerkamnya.
Betapa terperanjat pemuda itu, ia tahu ilmu silat musuh pastilah sejenis ilmu
hitam yang mengerikan dan tak boleh dianggap enteng.
Memang itulah inti kelihaian ilmu pukulan siluman atau Bu-ci-ciang tersebut,
bila digunakan dengan gabungan empat siluman, maka aliran hawa yang
berpusing akan menciptakan suatu pemandangan yang mengacaukan pikiran
serta konsentrasi lawan, dalam keadaan lengah inilah kebanyakan musuhnya
terluka tanpa sadar.
Tian Pek sudah berpengalaman menghadapi pertarungan sengit, sudah banyak
jago persilatan yang pernah dijumpainya, tapi belum pernah menyaksikan
pemandangan seaneh ini, dia mengira musuh bisa menggunakan ilmu sihir atau
sebangsa ilmu hitam yang membingungkan pikiran.
Dalam kaget dan seramnya cepat dia melepaskan pukulan dahsyat ke arah
kepala setan yang besar dan mengerikan itu.
Ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang memang maha sakti dan maha dahsyat,
aliran hawa pukulan yang sangat kuat seketika meluncur dan menghantam
kepala setan itu.
"Blang!' benturan keras menggelegar, bayangan semu kepala setan itu seketika
terhajar punah dari pandangan mata, empat siluman itu sendiri terlempar ke
belakang dengan sempoyongan dengan mata terbelalak lebar.
Berhasil dengan serangan yang pertama, Tian Pek melambung ke udara, tiba2 ia
berjumpalitan dengan kepala di bawah dan kaki di atas dia menukik ke bawah
dengan jurus Hud-sou-ciang-cok (Buddha sakti turun tahta), dengan dahsyat ia
menghantam kepala keempat siluman yang lain.
Empat siluman yang lain terkejut, mereka tak mengira seorang bocah berusia
likuran ternyata memiliki ilmu silat yang sangat lihay, hanya dengan suatu
pukulannya berhasil membuat kocar-kacir ke-empat orang saudaranya, bahkan
sekarang menerkam pula ke arah mereka dengan jurus serangan yang lebih
dahsyat.
Tak seorangpun di antara mereka berani menyambut ancaman itu dengan keras
lawan keras, cepat mereka gunakan ilmu langkah Kui-biau-hong (setan melayang
di tengah angin) Syuur! Syuur! Syuur! bagaikan sukma gentayangan mereka
kabur pontang-panting ke belakang.
Sejak Ji-lopiautau minta kepadanya untuk mengejar pembegal itu, dalam hati
Tian Pek telah mengambil keputusan untuk menahan beberapa orang itu, maka
demi dilihatnya keempat orang siluman itu kabur terbirit2, cepat ia bertindak,
bagaikan burung melambung kembali ke udara, dari situ dengan jurus Hud-
kong-bu-liat (sinar sang Budha memancar cerah), salah satu jurus serangan
Thian-hud-hang-mo-ciang, ia menyerang ke bawah.
"Blangl Blang!" benturan keras berkumandang susul-menyusul.
Setiap kali suatu benturan keras terjadi, seorang siluman itu terjungkal ke tanah,
debu pasir beterbangan, dalam waktu singkat delapan orang itu sudah terhajar
pontang-panting dan beberapa kali mesti jatuh bangun.
Sudah kenyang kawanan Piausu dari Yan-keng-piau-kiok itu disiksa oleh
kedelapan siluman ini, sekarang kedelapan orang itu dihajar habis2an, mereka
jadi amat gembira dan ramai dengan suara sorak-sorai dan cemooh.
Ji-lopiautau sendiri manggut-manggut sambil menghela napas, kalau tidak
menyaksikan semua kejadian ini dengan mata kepala sendiri, tak nanti ia
percaya di dunia ini terdapat kungfu selihay ini.
Ia pun heran, hanya setahun tidak berjumpa, entah darimana Tian Pek
mendapatkan ilmu silat selihay ini?
Jangankan orang lain, sampai2 Liu Cui-cui sendiripun tertegun melihat serangan
Tian Pek yang melambung sambil menukik dan melepaskan serangan berantai
itu.
"Aneh benar!" pikirnya. "Jangan2 engkoh Pek masih memiliki ilmu tangguh lain
yang sengaja disembunyikan? Atau mungkin ada penemuan lain?"
Bahwasanya Tian Pek dapat memainkan Thian-hud-hang-mo-ciang, semua ini
adalah berkat petunjuk gadis ini, jurus Hud-kong-bu-liat memang harus
dimainkan dengan gerakan melambung dan melepaskan pukulan ke bawah, tapi
sekarang bukan saja pemuda itu bisa melambung sambil menyerang bahkan
serangannya berubah menjadi serangan berantai, tak heran kalau gadis itu jadi
tercengang.
Padahal Tian Pek tidak punya ilmu simpanan apa2, hanya karena bakatnya yang
baik serta tekunnya memahami sesuatu, apa yang dilihatnya segera diingatnya
dengan baik, lalu apa yang didapatkan itu lantas dipraktekkan, dan hasilnya
terciptalah jurus serangan yang aneh dan sakti.
Maklumlah, Tian Pek adalah pemuda yang gila silat, dahulu ia tak pernah
menemukan guru pandai, hal ini menimbulkan kebiasaannya mencuri belajar
jurus serangan orang lain di kala pertarungan sedang berlangsung.
Dahulu ia pernah mencuri belajar Ki-na-jiu dari Tok-kak-hui-mo (iblis terbang
kaki tunggal)
Li Ki, yang kemudian dipraktekkan sewaktu bertempur melawan Kui-kok-in-su
(kakek pertapa dari lembah selatan), di mana salah seorang jago sakti Kanglam-
ji-ki ini sempat dibikin kaget dan panik.
Kemudian iapun pernah mencuri belajar Tui-hong-kiam- hoat dari keluarga
Hoan, yang mana sewaktu dipraktekkan melawan Hiat-ciang-hwe-liong (telapak
darah naga api) dia malah disangka anggota keluarga Hoan.
Sedangkan ilmu gerakan Leng-gong-teng-siang (lintas udara pentang sayap) yang
barusan ia praktekkan adalah hasil sadapannya sewaktu menyaksikan gerak
melambung Tiat-ih-hui-peng (rajawali terbang sayap baja) salah satu di antara
Kim-hu¬tiat-siang-wi itu.
Kepandaian melambung di udara itulah yang tiba2 menimbulkan ilham, ketika
dipraktekkan ternyata hasilnya memang luar biasa.
Beberapa kali ia pernah menyaksikan Tiat-ih-hui-peng bertempur, setiap kali
bertempur sayap bajanya segera dikebaskan untuk melambung ke udara, di atas
kedua tangannya lantas didayung berulang kali untuk mempertahankan
posisinya, sementara kakinya disentakkan sebagai pengemudi arah.
Maka kini dia mempraktekkan pula sistim tersebut dengan kedua tangannya
sebagai sayap, berada di udara tangannya lantas mendayung berulang kali untuk
bergerak ke depan. Setiap kali hendak berganti arah, kakinya segera disentakkan
ke bawah dengan daya pantulan dari serangannya dia bertahan melambung
terus di udara.
Dengan menirukan cara bertempur Tiat-ih-hui-peng inilah, tidak heran kalau
kedelapan siluman dari pulau setan itu dibikin kocar-kacir.
Tentu saja faktor lainpun sangat mempengaruhi kesuksesannya ini, apabila
seseorang tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna sehingga dapat
menghimpun hawa murninya untuk melambung dan menukik berulang kali tak
nanti ia sanggup menirukan cara tersebut, apalagi bila tenaga dalamnya masih
cetek, sudah pasti ia tak dapat menirukan cara itu.
Hanya sayang pertarungan ini adalah pertarungan pertama yang dilakukan Tian
Pek setelah mempelajari ilmu baru, banyak kekuatan pukulannya yang terbuang
dengan percuma, kalau tidak, dengan ilmu Thian-hud-hang-mo-ciang yang maha
sakti, jiwa kedelapan orang itu pasti sudah melayang.
Keempat gadis berkerudung itu adalah Tho-hoa-su-sianli (empat dewi bunga
Tho), mereka adalah jago kelas satu, dalam perguruan Lam-hay-hun, mereka
terperanjat, air muka jadi pucat. Mereka menyadari bila Mo-kui-to-pat-yau terus
dihajar cara begitu, cepat atau lambat kedelapan orang itu pasti akan terhajar
sampai mampus, dan bila kedelapan orang itu mampus, mereka berempat pun
tak akan bisa lolos dari bencana.
Maka cepat mereka saling memberi tanda, dari kantung kulit masing2 mereka
sama meraup segenggam bubuk racun bunga Tho terus dihamburkan ke arah
tubuh Tian Pek.
Empat gulung kabut tipis berwarna merah yang berbau harum seketika
menyebar, bagaikan rangkuman bunga merah yang indah menawan, kabut
tersebut langsung mengurung sekitar tubuh anak muda itu.
Tiba2 Tian Pek mencium bau harum semerbak yang sangat aneh......
"Engkoh Pek, cepat menyingkir!" tiba2 Lui Cui-cui memberi peringatan dengan
kuatir. "Hati2, itulah kabut racun bunga Tho andalan mereka!"
Tidak cuma berteriak, gadis itupun cepat bertindak, ujung bajunya dikebutkan
berulang kali dengan ilmu Hiang-siu-biau-hong (ujung baju harum berembus
angin), angin puyuh yang menderu2 segera menyapu ke depan dan meniup
kabut merah yang berbau harum itu sehingga tersebar jauh ke belakang sana.
Tian Pek sendiri segera waspada demi mendengar peringatan Cui-cui itu, ia
menahan pernapasannya, kemudian dengan gesit melayang turun ke atas tanah.
Masih untung dia bertindak cepat, kalau tidak niscaya Tian Pek sudah roboh
oleh kabut racun bunga Tho yang berwarna merah itu.
Tatkala dia berpaling, sempat terlihat kabut racun yang tersebar oleh pukulan
Hiang-siu-biau-hong itu telah menyelimuti permukaan tanah seluas belasan kaki
di sisi gelanggang.
Kabut berwarna merah itu perlahan-lahan terus menyebar, di mana kabut itu
tiba, rerumputan yang hijau dan segar seketika jadi layu, pepohonan yang
rindang jadi kering dan rontok.
Ada beberapa orang Piausu kurang cepat menghindar, ketika tersambar oleh
kabut merah itu, sekujur badan seketika merah membara seperti terbakar,
sambil menjerit mampuslah mereka dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Memang lihay luar biasa kabut racun bunga Tho itu, semua orang bargidik ngeri,
banyak di antaranya malahan berdiri mematung dengan bulu kuduk berdiri.
Kurang lebih setanakan nasi buyarlah kabut warna merah itu, lenyap pula
bayangan tubuh ke delapan siluman dari pulau setan tadi, empat dewi bunga
Tho beserta Hud-eng Hoatsu yang terluka parah. Rupanya kawanan pembegal
itu sudah kabur pada kesempatan tersebut.
Melihat musuh sudah kabur, Ji-lopiautau menghela napas sedih, para Piausu
mengerut dahi dengan wajah kesal, Ban-leng-koan serta Sik-kau melelehkan air
mata karena cemas.
Tentu saja Tian Pek tahu sebabnya orang2 itu sedih, yaitu lantaran barang
kawalan mereka dibegal orang, sekalipun demikian ia menghampiri juga Ji-
lopiautau sambil memberi hormat, "Engkoh tua!" sapanya, "baik-baikkah selama
ini? Oleh karena Tian Pek selalu dirundung malang, maka selama ini tak sempat
menjenguk engkoh tua, harap sudi kiranya memberi maaf!"
Meskipun gembira karena dapat bertemu lagi dengan Tian Pek, apalagi si anak
muda pulang dengan membawa ilmu silat yang maha tinggi, namun Ji-lopiautau
tak mampu tertawa, maklum, dalam keadaan seperti ini tiada gairahnya untuk
memikirkan persoalan lain kecuali memikirkan barang kawalannya yang hilang
itu.
"Engkoh tua, engkau begini sedih dan gelisah, mungkinkah barang kawalanmu
itu adalah barang yang sangat berharga?" tanya Tian Pek.
Ji-lopiautau menghela napas panjang, jawabnya: "Ai, Tian-hiante, terus terang
kukatakan padamu, barang kawalanku kali ini memang sangat berharga.
Bayangkan saja, 30 laksa tahil emas murni uang gaji untuk seratus delapan
karesidenan Ki-lam-hu bukan suatu jumlah yang kecil, bila barang kawalanku ini
sampai hilang, seluruh harta kekayaanku dibuat ganti rugi pun belum cukup!"
Mengetahui pentingnya barang kawalan ini, diam2 Tian Pek ikut gelisah.
Cui-cui yang berada di sisinya tiba2 tertawa dan berkata: "Kalau sudah hilang,
semestinya dilakukan pencarian, hanya gelisah melulu apakah barang2 yang
hilang itu bisa terbang kembali dengan sendirinya?"
Tian Pek bertepuk tangan sambil tertawa: "Betul, betul! Kalau tidak diadakan
pencarian, darimana barang itu bisa kembali? Kalau dugaanku tidak meleset,
sarang penyamun pasti berada di sekitar sini. Engkoh tua, hayo segera lakukan
pencarian. Kami berdua akan membantu untuk mencari kembali barang
kawalanmu ini!"
Ji-lopiautau sudah menyaksikan sendiri betapa lihaynya ilmu silat yang dimiliki
Tian Pek serta Cui cui, dia tahu asal kedua orang ini mau membantu, tidak susah
baginya untuk merampas kembali barang kawalannya.
Dengan wajah berseri dia lantas berseru: "Asal kalian berdua bersedia memberi
bantuan, legalah hatiku...."
"Engkoh tua, jangan sungkan2. Sewaktu orang she Tian luntang lantung tanpa
tujuan di dunia persilatan tempo hari, engkoh tua juga sudah banyak membantu
diriku? Kini engkoh tua mendapat kesulitan, sudah sewajarnya aku pun
membantu dirimu!"
Ji-lopiautau menggeleng kepala berulang kali: "Bila Hiante yang membantu,
tentu saja aku tak banyak bicara, akan tetapi saudara ini....."
Dia berpaling ke arah Cui-cui dan menjura: "Saudara, engkau dan Lohu tak
pernah saling mengenal, tapi engkau bersedia memberi bantuan padaku, sudah
semestinya Lohu mengucapkan terima kasih banyak2 kepadamu!"
Tian Pek melirik sekejap ke arah Cui-cui, lalu menyela: "Engkoh tua, kau tak
perlu sungkan2, sebenarnya ia pun bukan orang luar, dia adalah...."
Maksud Tian Pek akan memperkenalkan Cui cui kepada Ji-lopiautau, tapi
mendadak ia membungkam, rupanya ia ingat Cui cui menggunakan topeng dan
tak suka identitasnya diketahui orang, takut anak dara itu tak senang hati, maka
ia pun urung bicara lebih lanjut.
Cui-cui tersenyum, katanya: "Aku adalah Kui-bin-jin (manusia muka setan),
harap Lopiautau banyak2 memberi petunjuk di kemudian hari!"
Ji-lopiautau terhitung jago kawakan, dari tingkah-laku dan nada bicara Cui-cui
dia tahu wajahnya yang mengerikan itu pasti samaran belaka, namun dia pun
tidak membuka rahasia tersebut, sambil tertawa ia mengucapkan terima kasih.
Setelah Cui-cui bilang begitu, tentu saja Tian Pek tak dapat berterus terang, ia
lantas mengalihkan pokok pembicaraan, katanya: "Suatu urusan kalau ditunda2
mungkin akan terjadi perubahan, kita tak boleh membuang waktu lagi, lebih
baik sekarang juga kita merundingkan cara mencari kembali barang kawalan
itu!"
Tentu saja Ji-lopiautau menyambut usul itu dengan senang hati, semua orang
lantas berkumpul membicarakan masalah itu.
Rupanya Cui-cui punya perhitungan sendiri, menurut pendapatnya, asal
mengikuti bekas roda kereta apa susahnya untuk menemukan sarang bandit itu?
Tentu saja semua orang membenarkan usul itu, maka berangkatlah kawanan
Piausu itu melakukan pengejaran dengan mengikuti bekas roda kereta.
Bekas roda kereta itu bergerak menuju ke kota
tapi menjelang masuk ke kota, bekas roda itu berbelok ke samping, ketika senja
tiba, sampailah mereka di depan sebuah bangunan gedung yang megah dan
luas.
Dinding tembok yang mengitari bangunan itu tingginya mencapai dua tombak
sehingga sekilas pandang mirip sebuah benteng kecil, di luar dinding pekarangan
terlindung sebuah sungai, di atas benteng tampak bayangan manusia bergerak
kian kemari, jelas penjagaan sangat ketat.
Bekas roda kereta lenyap ke dalam bangunan itu, untuk menyerbu ke dalam
gedung jelas tak mungkin karena jembatan penyeberangan telah digantung,
sementara sungai itu lebarnya belasan tombak, tak mungkin sungai selebar itu
dapat diseberangi dengan sekali lompat.
Ji-lopiautau kelihatan bingung, ucapnya: "Bukankah tempat ini adalah Pah-to-
san-ceng Ti-seng-jiu Buyung Ham? Masakah Leng-hong Kongcu telah bekerja
sama dengan kaum iblis dari Lam-hay-bun dan membegal barang kawalanku?"
Tian Pek sendiripun tercengang mendengar ucapan itu, ia mengamati bangunan
itu dengan lebih seksama. Benar juga, bangunan itu memang perkampungan
Pah to-san-ceng yang pernah disinggahinya.
Kenangan lama terlintas kembali dalam benaknya, pemuda itu teringat lagi cara
bagaimana dia dibawa ke perkampungan itu oleh nyonya setengah baya yang
baik hati ketika ia jatuh pingsan di dalam hutan, bagaimana ia dibaringkan di
kamar Leng-hong Kongcu, dihina dan dicemooh oleh Leng-hong Kongcu yang
keji dan Tian Wan-ji yang lincah, Buyung Hong, si nona baju hitam yang
telanjang bulat di depan matanya, Hoan Soh-ing yang dikenalnya dalam penjara,
kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip pemberian paman Lui..... dan kejadian lain, semua
kenangan lama itu se-olah2 asap yang telah buyar,
kalau masih ada yang tersisa dalam hatinya juga sudah samar2 dan tidak jelas
lagi.
Untuk sesaat lamanya, anak muda itu hanya berdiri ter-mangu2, is tak tahu apa
yang mesti dilakukan...."
"Lau-Sam!" tiba2 Ji-lopiautau berteriak, "Ambil kartu namaku!"
Si kuda kilat Lau Sam segera mengiakan dan mengeluarkan sebuah kartu nama
dari buntalannya, lalu dengan hormat diangsurkan.
"Lopiautau, buat apa kartu mama itu?" tanya Cui-cui dengan tertawa.
"Lohu pernah kenal orang yang bernama Buyung Ham itu, tak kusangka ia telah
mengirim orang untuk membegal barang kawalanku, sekarang Lohu akan
mengunjungi perkampungannya menurut aturan dunia persilatan, ingin kulihat
apa yang akan dia lakukan lagi."
Dengan mendongkol dia lantas berpaling kepada seorang Piausunya yang
bernama To pit-him (beruang bertangan banyak) Gui Thian-sang, serunya: "Gui-
losu, tolong sampaikan kartu nama ini kepada Buyung Ham, katakan bahwa Tiat-
ciang-cin datang menyambangi..."
To-pit-him Gui Thian-seng menerima kartu nama itu dan menuju ke
perkampungan dengan langkah lebar.
"Kukira lebih baik tidak memakai tatacara
segala," sela Cui-cui "Belum tentu Buyung Ham bisa mengambil keputusan, juga
belum tentu dia akan menjumpai dirimu!"
"Hm. sekalipun Buyung Ham orang sombong, aku tidak percaya dia tidak
menggubris lagi peraturan dunia persilatan. Gui-suhu, pergilah!"
Cui-cui tidak mencegah lagi, ia cuma tertawa saja.
Dengan langkah lebar To-pit-him menuju ke tepi jembatan, serunya lantang:
"Hei, orang2 Pah-to-san-ceng, dengarkan baikk2. Tiat-ciang-cing-ho siok Ji-
lopiautau dari Yan-keng-piaukiok datang berkunjung, harap kalian buka pintu
dan menyambut."
To-pit him adalah seorang yang berperawakan tinggi besar, teriakan dengan
tenaga dalam yang kuat, suaranya berkumandang sampai puluhan lie jauhnya.
Tapi suasana dalam perkampungen tetap sunyi, tak tampak sesosok bayangan
manusia pun.
To-pit-him mengulangi teriakannya beberapa kali, namun tiada jawaban yang
terdengar, malahan bayangan yang semula tampak mondar-mandir di atas
benteng itu sekarang pun menyembunyikan diri di balik kegelapan.
Suasana jadi sepi, se-olah2 perkampungan itu adalah sebuah perkampungan
yang kosong.
Lama2 To-pit-him menjadi tak sabar, ia keluarkan sebatang Gwat-ya-piau dan
disambitkan pada talijembatan gantung itu.
"Blang!" terdengar suara hiruk-pikuk, jembatan gantung itu ambruk ke bawah
karena tali pengangkatnya putus.
To pit-him tak malu sebagai seorang laki2, dengan membawa kartu nama itu
selangkah demi selangkah dia menaiki jembatan gantung itu.
Di dalam benteng tetap tiada gerak-gerik atau suara yang mencurigakan,
suasana masih sepi dan ....
Ketika To-pit-him mencapai tengah2 jembatan gantung itu, suasana masih tetap
hening, walaupun secara samar2 terasa ada sesuatu firasat yang tidak enak.
Tian Pek tertegun menyaksikan kejadian itu, ia kagum dan terharu kepada
kesetiaan serta kegagahan To-pit-him yang rela berkorban bagi Congpiautau
perusahaannya.
Tampaklah To-pit-him sudah hampir menuruni jembatan gantung itu dan tiba di
depan pintu gerbang, mendadak dari atas benteng perkampungan
berkumandang suara desingan tajam, menyusul terjadilah hujan anak panah.
To-pit-him meraung keras, kedua tangannya bekerja cepat untuk melindungi
tubuhnya, hujan anak panah gelombang pertama berhasil dipatahkan olehnya.
Namun hujan panah tidak berhenti sampai situ saja, malahan makin lama anak
panah yang berhamburan ke bawah bertambah gencar.
Dalam sakejap mata To-pit-him dibikin kerepotan, ia terjebak dan jiwanya
terancam bahaya.
Ji-lopiautau, Tian Pek, Cui-cui serta kawanan Piausu lainnya tidak berdiam diri
begitu saja, serentak mereka memburu ke bawah benteng dan memberikan
pertolongan.
Sayang To-pit-him sudah telanjur terpanah oleh belasan batang anak panah,
sekujur badannya bermandikan darah dan persis seperti landak, sekali pun
sudah roboh namun kartu namanya masih tetap dipegangnya erat2.
Cepat Ji-lopiautau memburu maju, sambil melancarkan serangan untuk
memukul rontok hujan anak panah itu, tangannya yang lain menyambar tubuh
To-pit him dan diseretnya ke tempat yang aman, serunya: "Saudara Gui, aku
telah menyusahkan dirimu, bagaimana keadaanmu?"
Kendatipun jiwanya berada di ujung tanduk, To-pit-him tetap tersenyum, sekuat
tenaga dia serahkan kembali kartu nama itu kepada Ji-lopiautau, kataoya
dengan lemas: "Engkoh tua, meskipun tugas ini gagal kuselesaikan, namun
Siaute tidak sampai memalukan nama perusahaan kita, kartu nama itu
kuserahkan kembali kepadamu, harap engkoh tua memilih orang lain yang...
yang ....leb... lebih cocok...."
Darah segar berhamburan dari mulutnya, segera ia terkulai lemas dan
mengembuskan napas terakhir.
To-pit-him adalah seorang ahli senjata rahasia. orang Kangouw sebut dia sebagai
"beruang bertangan banyak" oleh karena tubuhnya yang tegap serta
kepandaiannya melepaskan Am-gi tapi sekarang jiwanya justeru berakhir oleh
hujan anak panah yang deras, betul2 mati secara mengenaskan!
Ji-lopiautau tak dapat menahan harunya, air mata jatuh berderai membasahi
wajahnya, diam2 ia berdoa: "Saudara Gui, beristirahatiah dengan tenang, aku
akan membalaskan sakit hatimu."
Setelah membaringkan jenazah To-pit-him ke atas tanah, ia menyeberangi
sungat dan menyerbu ke dalam benteng.
Mungkin ada yang merasa heran, bila mereka sudah tahu kepergian To-pit-him
hanya mengantar nyawa belaka, mengapa Ji-lopiautau serta Tian Pek sekalian
tidak mengalangi atau membantu dari samping?
Di sinilah terletak betapa penting arti nama dan kehormatan seorang jago silat,
seringkall mereka anggap remeh keselamatan sendiri, mereka lebih
mementingkan kepercayaan orang lain kepadanye serta memegang janji
daripada keselamatan jiwa sendiri.
Mendingan bila mereka tidak menerima sesuatu pesan atau titipan dari orang
lain, sekali mereka sudah menerima pesan orang, maka biarpun harus terjun ke
lautan api atau naik ke bukit golok, mereka tak akan mundur. Tak dapat
memegang janji bagi mareka berarti merusak nama baik sendiri.
Itulah sebabnya To-pit-him Gui Thian-seng tak gentar mengorbankan jiwanya
sekalipun dia tahu jiwanya terancam.
Lalu, apa sebabnya Ji-lopiautau serta Tian Pek sekalian tidak maju bersama
ataupun memberikan bantuannya?
Dalam hal ini menyangkut pula soal gengsi, sebelum orang minta tolong atau
minta bantuan kepadanya, maka mereka tak berani membantu atau
menolongnya, sebab jika mereka sampai berbuat begitu, bukan saja tak akan
mendapat terima kasih bisa jadi berbalik orang akan marah karena dianggap
menghinanya.
Begitulah kebiasaan orang persilatan pada waktu itu, memang aneh
kedengarannya bagi orang awam, tapi benar2 kejadian yang jamak bagi jago
silat jaman dahulu.
Begitulah Ji-lopiautau telah menerjang ke dalam benteng itu, dilihatnya mayat
bergelimpangan di mana2, tampaknya para pemanah tersembunyi yang berada
di atas benteng itu sudah disapu bersih oleh para Piausu serta Tian Pek
sedangkan kawanan jago itu terus menerjang masuk ke dalam perkampungan.
Meski Ji-lopiautau sudah kehilangan barang kawalannya dan menyangkut nama
baik serta keselamatan keluarganya, pula banyak Piausunya menjadi korban,
namun jago tua itu tak ingin menimbulkan pembunuhan banyak, sebab
bagaimanapun juga ia merasa punya hubungan baik dengan Ti-seng-jiu Buyung
Ham.
Ketika dilihatnya mayat bergelimpangan di mana2 dia jadi kuatir kalau Tian Pek
dan para Piausunya yang berdarah panas melakukan pembantaian dan akan
mengakibatkan makin rumitnya keadaan, maka cepat ia memburu masuk ke
dalam perkampungan itu.
Malam telah tiba, perkampungan Pah-to-san¬ceng yang luas itu diliputi
kesunyian dan kegelapan, tiada sinar lampu, begitu sepi dan gelap hingga
suasana terasa misterius dan mengerikan.
Secepat angin, Ji-lopiautau melintasi wuwungan rumah dan menyerbu ke dalam,
seringkali ia dihadang dan disergap lawan dari tempat kegelapan, namun jago
tua itu bertempur sambil bergerak maju, ia berusaha menghindari pertumpahan
darah. Ia terus menuju ke arah suara pertarungan yuang terdengar bergema dari
dalam gedung.
Beruntun ia melintasi tiga halaman yang lebar namun tak sesosok bayangan
manusia pun yang ditemukan. Bukan saja orang-orang Pah-to-san-ceng tak ada
yang muncul malahan tiga puluh orang Piausu yang dibawa Tian Pek dan Cui-cui
juga tak kelihatan batang hidungnya.
Rasa curiga makin menyelimuti hati Ji-lopiautau, sambil meneruskan perjalanan
menembus gedung satu ke gedung yang lain, ia mulai menggerutu: "Aneh,
sungguh aneh, ke mana perginya mereka? Jangan-jangan sudah tertawan
semua?"
Tapi ingatan lain melintas pula dalam benaknya: "Ah, tidak mungkin kungfu Tian
Pek dan manusia muka setan itu sangat lihai, masa mereka bisa tertawan
sekaligus tanpa melawan?"
Beberapa halaman kembali sudah dilalui, namun belum nampak juga sesosok
bayangan manusia pun.
"Kecuali Ti-seng-jiu Buyung Ham yang pernah kujumpai, beberapa orang jago
Pah-to-san-ceng pernah kukenal.Kenapa tak seorang kenalan pun yang
kutemui? Aneh, benar2 aneh apa yang telah terjadi?" pikirnya lebih jauh.
Setelah menembus dua gedung kecil, akhirnya sampailah Ji-lopiautau di sebuah
halaman luas yang mirip sekali dengan sebuah taman bunga.
Suasana tetap sunyi, taman ini mestinya sangat indah, tapi sekarang, dalam
kegelapan malahan mendatangkan perasaan seram.
Ia pun tidak mengalami sergapan lagi, se-olah2 sudah berada di dalam kota
mati.
Kesunyian yang luar biasa ini sungguh sangat mengerikan, jangankan orang lain,
Ji-lopiautau yang berpengalaman juga dibuat bergidik.
Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak Ji-lopiautau, pikirnya: "Kalau tak
ada orang mau muncul, apa salahnya kalau aku yang menyapa lebih dulu,
kemudian melihat gelagat selanjutnya....."
Berpikir demikian dia lantas berdehem dan berseru: "Hai . . . " baru saja dia
bersuara, serentak terdengar kumandang suaranya bergema dari segenap
penjuru, dari balik kolam, dari bangunan kosong sana, bersahutan sampai lama
sekali
"Ciit! Ciit! Ciit!" mendadak seekor burung terbang dalam kegelapan sehingga Ji-
lopiautau terkesiap dan berkeringat dingin.
Dengan mata melotot ia mengawasi sekeliling tempat itu, namun tidak terjadi
sesuatu apa pun.
Perlahan rasa kaget dan seram yang mencekam perasaan jago tua itu mulai
mereda, tapi sebelum usahanya menyapa diulangi kembali, mendadak "kraak",
sebuah jendela perlahan-lahan terpentang.
Berikut terbukanya jendela itu, terdengar suara helaan napas sedih
memecahkan kesunyian. Helaan napas itu se-olah2 muncul dari dalam kuburan,
begitu sedih dan memilukan suara helaan napas itu hingga membuat bulu roma
orang pada berdiri.
Dengan perasaan takut Ji-lopiautau berpaling, di bawah remang-remang cahaya
rembulan muncul seorang perempuan berambut panjang dan bermuka pucat
seperti mayat, rambutnya begitu panjang terurai sahingga sebagian besar
mukanya tertutup.
Sekujur badan Ji-lopiautau dingin menggigil, pikirnya: "Malam ini benar2 ketemu
setan di sini...."
Memang tak salah kalau perempuan itu mirip setan, bukan Saja mukanya begitu
pucat seperti mayat, rambut panjang terurai, matanya juga mendelong tanpa
berkedip, gerak-geriknya kaku seperti mayat hidup.
Bagaimanapun juga Ji-lopiautau memang tak malu disebut sebagai jago
kawakan, meskipun hatinya merasa takut, namun tak nampak gugup dan
bingung. Ditatapnya gadis itu tanpa berkedip.
Jendela itu teraling oleh terali besi yang kuat, setelah mendorong daun jendela
dari balik terali itu, setan perempuan tadi memegangi terali besi dan
memandang langit dengan termangu2, mukanya yang pucat ditempelkan pada
terali, sekalipun persis di depannya berdiri seorang, namun ia seperti tidak
melihatnya.
Lama sekali setan perempuan itu termangu2, akhirnya dengan suara yang amat
sedih ia bersenandung dengan nada sedih.
Yang disenandungkan adalah syair "rindu" gubahan penyair Li Pek, memilukan
suaranya.
Sekarang lopiautau baru yakin perempuan di depannya bukan setan, tapi benar2
manusia, seorang gadis yang patah hati karena ditinggal kekasih.
Selang sesaat kemudian, Ji-lopiautau berusaha memberanikan diri, ia maju
sambil berdehem, tegurnya: "Nona, apakah kau orang perkampungan ini?"
Gadis itu sama sekali tak memandang ke arahnya, ia tetap menengadah
memandangi bintang dan rembulan dengan ter-mangu2.
"Engkoh Pek.... Oo, engkoh Pek, di mana kau sekarang?" gumamnya dengan
lirih. "Tahukah kau betapa adik Hong merindukan kau?..."
"Engkoh Pek? Adik Hong? Siapakah mereka?" pikir Ji-lopiautau dengan
tercengang, "tapi engkoh Pek pasti nama kekasihnya atau suaminya, dan adik
Hong tentulah namanya sendiri...."
Sementara itu nona tadi bergumam lagi dengan sedih: "0, engkoh Pek, engkau
telah pergi selama dua ratus sembilan puluh sembilan hari, enam puluh enam
hari lagi akan genaplah setahun. Tahukah kau selama hampir setahun ini, berapa
banyak air mata yang telah membasahi wajahku? ..... , Oo, engkoh Pek,
mengapa kau tak datang lagi menjengukku?"
Air mata meleleh keluar dengan derasnya membasahi pipi yang pucat dan halus
itu.
Ji-lopiautau tertegun, ia melongo oleh tingkah laku anak dara itu: "Tampaknya
nona ini memang mencintai kekasihnya, sampai waktu kepergian kekasihnya
juga teringat dengan jelas...."
Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara dengusan berkumandang tak jauh di
belakangnya.
Ji-lopiantau terperanjat, musuh muncul di belakangnya tanpa diketahui olehnya,
itu berarti ilmu meringankan tubuh orang itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan.
Dengan rasa ngeri jago tua itu berputar ke belakang, kedua tangannya
disilangkan dl depan dada, waktu memandang ke depan, terlihatlah tiga orang
kakek telah berdiri di depan sana.
Kakek yang ada di tengah berusia lima puluh tahunan, mukanya putih bersih,
wajah lebar dan mulut besar, bajunya halus terbuat dan sutera, dandanannya
persis seorang hartawan, tangan kirinya membawa sebuah seruling perak yang
bersinar mengkilap.
Kakek di sebelah kanan botak tak berambut, lengan kirinya buntung, sedang
tangan kanannya diangkat ke atas dan memegang sebuah genta tembaga,
usianya sudah enam puluhan.
Dan orang yang ada di sebelah kiri juga berusia sekitar enam puluhan, kakinya
cuma tinggal satu, meskipun demikian ia sanggup berdiri tegak tanpa ditopang
oleh tongkat, ia bertangan kosong, tidak mambawa senjata.
Di antara ketiga orang kakek itu, dua di antaranya sudah dikenal oleh Ji-
lopiautau, sebab mereka adalah Say-gwa-siang-jan (sepasang manusia cacat dari
luar perbatasan) yakni Tui-hun-leng (genta pengejar sukma) Suma Keng yang
buntung tangannya serta Tok-kak-hui-mo (iblis terbang berkaki tunggal) Li Ki,
dahulu kedua orang ini merupakan dua gembong iblis yang tersohor di kalangan
Lok-lim di wilayah barat laut.
Tatkala Ji-lopiautau masih sering mengawal barang ke wilayah barat dulu, ia
pernah berjumpa dengan kedua orang ini, karena ciri khas yang dimiliki kedua
orang itu, kesannya terhadap mereka sangat mendalam, karena itu hanya
sekilas pandang saja dia segera mengenalinya.
Meskipun jago tua ini tak kenal hartawan kaya setengah baya itu, namun dari
dandanannya serta seruling perak yang dibawanya, ia dapat meraba
identitasnya.
"Orang itu tentulah Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng yang tersohor di dunia
persilatan karena irama iblis Im-mo-siau-hoatnya yang lihay!" demikian ia
berpikir.
Dia tahu ketiga orang ini adalah jago tangguh yang paling diandalkan dalam Pah-
to-san-ceng.
Cepat ia memberi hormat, sapanya: "Kukira siapa yang muncul, rupanya adalah
Suma-heng dan Li-heng! Kalau dugaanku tak keliru, saudara yang ini tentulah
Gin-siau-toh-hun, Ciang Su-peng, saudara Ciang yang tersohor karena
permainan serulingnya, betul bukan?"
Gin-siau-toh-hun Ciang Su peng mendengus: Tiat-ciang-cin-ho siok Ji Kok-hiong,
Congpiautau dari Yan-keng-piau-kiok ternyata tidak bernama kosong, sekilas
pandang saja segera kenal kami. Hm, kagum. kagum!"
"Hahaha, nama besar kesepuluh tokoh utama istana keluarga Buyung sudah
tersohor di mana2, tentu saja Lohu kenal kalian ..."
"Istana keluarga Buyung?" tukas Gin-siau-toh-hun sambil mendengus, tiba2 ia
menengadah dan tertawa terbahak2: "Hahahaha, istana keluarga Buyung sudah
punah dari muka bumi ini, yang ada sekarang tinggal cabang perguruan Lam-
hay¬bun di kota Ce-lam! Tua bangka, jangan sembarangan bicara kalau tak tahu
urusannya!"
Ji-lopiautau tercengang, ucapan semacam itu keluar dari mulut jago tangguh
perkampungan Pah-to-san-ceng, hampir saja jago tua ini tidak percaya pada
pendengarannya sendiri.
"Sungguhkah perkataanmu itu?" tanyanya kemudian.
"Hehehe, setan tua, apa gunanya kami bergurau dengan kau? Kaukira saudara
Ciang suka berbohong!" kata Suma Keng sinis.
"Lalu di mana Ti-seng-jiu Buyung-cengcu...."
"Itu bukan urusanmu, tak perlu kau banyak bicara?" bentak Tok-kak-hui-mo.
Setelah ketiga orang itu memberikan keterangan penegasannya, sekalipun tidak
percaya, mau-tak-mau Ji-lopiautau harus percaya juga, ia merasa banyak
persoalan yang tak masuk di akal, tapi kenyataan memang demikian.
Misalnya saja ketiga tokoh ini, mereka adalah tiga jago di antara kesepuluh
tokoh sakti andalan keluarga Buyung, kalau memang istana keluarga Buyung
sudah berganti tuan, mengapa mereka bertiga masih tinggal di sini? Mungkinkah
ketiga orang ini telah menghianati Buyung Ham dan kini takluk kepada pihak
Lam-hay-bun?
Dia lantas bertanya: "Jadi....
jadi kalian bertiga telah takluk ... telah
menggabungkan diri pada Lam-hay-bun?"
Kata "takluk" memang tak sedap didengar, bahkan menusuk perasaan orang,
maka Ji-lopiautau segera menggantinya dengan ucapan "menggabungkan diri".
Kendatipun demikian, kata tersebut sudah terlanjur diucapkan, jelas tak
mungkin ditarik kembali, kata2 itu segera mendapat reaksi yang cukup besar
dari ketiga orang itu.
Air muka Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng, Tui-hun-leng Suma Keng serta Tok-kak
hui-mo Li Ki seketika berubah hebat, mata mereka melotot dan hawa napsu
membunuh melintas di wajahnya.
"Ji-loji, kalau kau sudah tahu jadi lebih bagus lagi," kata Ciang Su-peng
kemudian. "Kini Lam-hay-bun sudah menyapu jagat, tak lama lagi seluruh
daratan Tionggoan akan terjatuh ke dalam kekuasaannya. Hehehe, tua bangka,
sekalipun kau ingin menggabungkan diri juga belum pantas!"
Sekalipun Ji-piautau cukup sabar, setelah dipanggil "tua bangka" terus menerus,
meledak juga amarahnya, apalagi setelah mengetahui ketiga orang ini secara tak
tahu malu telah mengkhianati majikannya yang lama.
Segera serunya dengan gusar: "Lohu belum ingin mengkhianati umat persilatan
dengan menjilat pantat musuh. Hehehe, tidak malukah kalian perbuatan kalian
meninggalkan Buyung cengcu ini tersiar di duniapersilatan?"
Tui-hun-leng Suma Keng menengadah dan tertawa terbahak2: "Hahaha, tua
bangka, tak perlu banyak bacot, malam ini jangan harap kau bisa tinggalkan
tempat ini dengan selamt!"
Gusar sekali Ji-lopiautau, ia muak menyaksikan kepongahan Tui-hun-leng.
"Huuh, sekalipun bakal mati di sini, jangan harap perbuatan terkutuk kalian bisa
mengelabui umat persilatan umumnya, akhirnya toh pengkinanatan kalian akan
tersiar juga."
"Tua bangka, jangan bacot seenaknya!" kata Tok-kak-hui-mo sambil mendengus.
"Agar kau bisa mampus dengan mata meram, akan kujelaskan duduknya
persoalan, dengarkan baik2!"
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan: "Pada puluhan tahun yang lalu
Buyung Ham telah bersekongkol dengan saudara2nya untuk membunuh Pek-
lek-kiam Tian In-thian, atas perbuatan yang terkutuk itu dia telah kehilangan
haknya untuk menduduki kursi pimpinan dunia persilatan. Sekarang Lam-hay-
bun telah membongkar rahasia ini, mereka akan menegakkan keadilan dan
kebenaran, untuk menenteramkan suasana dalam tiga tahun mendatang dunia
persilatan akan dipimpin olehnya, selain itu kitab Bu-hak-cin-keng akan
disebarluaskan agar bisa dipelajari oleh setiap pencinta ilmu silat di dunia ini.
Tiga tahun mendatang akan dibuka pertemuan besar Enghiong-tay-hwe di
puncak barat Hoa-san, pada waktu itulah setiap orang berhak mengikuti
pertandingan untuk merebut kursi pimpinan persilatan. Hehehe, bila dunia
persilatan telah bersatu....."
Ia berhenti dan sengaja tertawa terbahak2 lalu sambungnya: "Sayang seribu
sayang, tua bangka she Ji ini tidak punya rejeki untuk menghadiri pertemuan
tersebut!"
"Benar, sebab malam ini adalah malam terakhir kau tua bangka she Ji ini hidup
di dunia ini!" sambung Tui-hun-leng.
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, Suma Keng segera melompat ke atas.
------
Intrik apa di balik penaklukan tokoh2 persilatan di Tionggoan oleh Lam-hay bun
itu?
Cara bagaimana Tian Pek dan Lui Cui¬cui akan membantu Ji -lopiautau merebut
kembali barang kawalannya?
— Bacalah jilid ke-19 —
Hikmah Pedang Hijau
Diceritakan Oleh : GAN KL
Jilid ke - 19
Waktu berada di udara, genta maut diputarnva Tiing, tiing! disertai suara
keleningan yang memekak telinga, segera ia menghantam batok kepala Ji-
lopiautau.
Terperanjat jago tua itu, dia tak menyangka Suma Keng begitu bertemu lantas
menyerang.
Cepat ia mengegos ke samping sambil berganti langkah, dengan jurus Ciu-cu-
cam-kau (Ciu Cu memenggal naga) ia balas bacok pinggang Tui-hun-leng dengan
pukulan telapak tangan bajanya.
"Serangan bagus!" seru Suma Keng.
Ia meluncur turun, ujung kaki memancal dan melesat ke samping, keleningan
mautnya berputar setengah lingkaran dan menghantam dada Ji-lopiautau
dengan jurus Ciu-ling-keng-liong (getaran keleningan mengejutkan naga).
Suma Keng tidak malu disebut jago tangguh dari Pah-to-san-ceng, bukan saja
cepat dalam gerakan, jurus serangannya juga aneh dan lihay.
Ji-lopiautau terperanjat, cepat dia putar telapak tangannya dan memukul
terlebih gencar, di tengah deru angin pukulan dan deringan keleningan, dalam
waktu singkat kedua orang itu sudah bertarung puluhan gebrakan.
Agaknva kekuatan mereka seimbang, untuk sesaat sukar menentukan menang
dan kalah.
Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng mengikuti jalannya pertarungan itu dari
samping, diam-diam ia mengerutkan dahi, mereka masih ada tugas penting lain
yang harus diselesaikan dengan cepat, bertarung cara begitu ielas tidak
menguntungkan mereka.
Akhirnya habislah kesabaran Tok kak-hui-mo Li Ki, sambil membentak ia lantas
terjun ke gelanggang untuk mengerubuti Ji-lopiautau.
Ilmu silat Congpiautau Yan-keng-piaukiok ini memang terhitung tinggi, ia
berhasil mengimbangi permainan keleningan maut Tui-hun-leng secara gigih,
tapi setelah Tok-kak-hui-mo ikut terjun ke dalam gelanggang, seketika dirasakan
betapa berat daya tekanan musuh, walaupun demikian, jago tua ini pantang
menyerah, ia masih melayani terus serangan musuh dengan gigih.
Dalam sekejap mata, belasan gebrakan kembali sudah lewat....
Gin-siau-toh-hun jadi gelisah melihat serangan gabungan Se-pak-siang-jan
ternyata tidak mampu merobohkan seorang Piausu tua. Dengan dahi berkerut
dia menempelkan seruling peraknya di bibir, lalu ditiupnya: "Tuuit... tuuit....
Tuuit !"
Nyaring suaranya dan rendah nadanya, membuat hati orang jadi pedih dan
hilang semangat!
Terperanjat Ji-lopiautau, pikirannya mulai dikuasai oleh pengaruh irama seruling
itu, ia se-olah2 merasa dirinya sudah tua dan tak ada gunanya memperebutkan
nama serta kedudukan dengan orang lain, makin lama pikirannya makin kabur,
otomatis gerak serangannya menjadi lamban!
Suma Keng tahu ada kesempatan baik, segera ia manfaatkan peluang itu.
Keleningan maut berputar, diiringi denging keleningan yang tajam ia hantam
muka Ji-piautau dengan jurus Ci-hun-to-pok atau sukma hilang jiwa melayang.
Terkejut Ji-lopiautau ketika tiba2 mendengar desingan angin yang menyambar
wajahnya, ia tersadar kembali dari pengaruh suara seruling, ketika dilihatnya
cahaya kuning sudah berada di depan mata, sebisanya ia mendoyong ke
belakang, sehingga lolos dari ancaman maut.
Cukup cekatan cara Ji-lopiautau menghindarkan sergapan Tui-hun-ling itu, tapi
dia lupa di sampingnya masih berdiri seorang musuh, yakni Tok-kak-hui-mo.
Melihat tubuh Ji-lopiautau doyong ke belakang, cepat Li Ki melejlt, dengan kaki
tunggalnya ia depak ulu hati jago tua itu sambil membentak: "Kena!"
Kontan Ji-lopiautau mencelat dan roboh tak sadarkan diri.
Untung tendangan itu tidak mengenai bagian tubuh yang mematikan, sekalipun
demikian cukup membikin pingsan jago tua itu. Suma Keng memburu ke sana
dan mencengkeram tubuh Ji-lopiautau sekalian ditepuk lagi jalan darah
tidurnya.
"Tua bangka ini cukup lihay!" kata Tui-hun-leng sambil tertawa, "untung Ciang-
heng menyerangnya dengan irama seruling yang lihay, kalau tidak ..."
"Sudahlah, tak perlu banyak bicara lagi!" tukas Gin-siau-toh-hun. "Hayo kita
berangkat! Mungkin Siau-kun sudah lama menunggu . . . "
Selagi mereka akan berlalu, tiba2 terdengar seorang berkata dengan lirih:
"Mencari kemenangan dengan mengerubut, terhitung jago macam apa?
Sungguh membikin malu seluruh jago Pah to san-ceng!"
Kaget Tok-kak-hui-mo, ia berpaling ke arah datangnya suara itu, sesudah
menatap sekejap nona bermuka pucat yang berdiri di depan jendela itu, ia
menoleh kepada siau-toh-hun dan berkata: "Hampir saja kita melupakan
sesuatu, dia kan masih ada sebatang akar keluarga Buyung yang masih
ketinggalan, kalau tidak sekalian dibabat habis, di kemudian hari mungkin akan
menjadi bibit bencana buat kita ...."
Tok-kak-hui-mo bicara dengan suara yang lirih, tapi entah bagaimana caranya
ternyata nona bermuka pucat itu dapat mendengar dengan jelas.
"Oo, jadi kalian hendak membunuh aku untuk melenyapkan saksi?" ejeknya.
"Jika begitu, hayo cepat turun tangan, kalau tidak, bila engkoh Pek tiba di sini,
kalian tentu tak bisa hidup lagi!"
Betapa gusar Suma Keng mendengar perkataan itu, dia menghampiri jendela,
bentaknya: "Kau ingin mampus? Sekarang juga kubunuh kau...."
Tapi mendadak Gin siau-toh-hun mencegahnya dan berkata: "Dia cuma seorang
perempuan gila, buat apa kau ladeni? Suma-heng, jangan buang waktu karena
persoalan ini, hayolah kita lekas menghadap Siau-kun untuk memberikan
laporan!"
Suma Keng lantas mengangkat Ji-lopiautau, mereka terus berangkat menuju ke
ruang rapat.
Ruang rapat berada dalam keadaan gelap gulita, di tengah2 ruangan sebuah
meja panjang terletak di dekat dinding, di atas meja terdapat kitab serta barang
antik, sedangkan di bawah meja ada sebuah pintu rahasia.
Setiba di depan meja, Gin—siau-toh-hun Ciang Su-peng lantas maju ke muka
dan menekan tombol rahasia di bawah meja itu dengan seruling peraknya.
"Kreek!" terbukalah sebuah lorong yang sangat panjang, berpuluh batang obor
dan lilin besar terpasang di dinding, suasana dalam lorong terang benderang.
Kiranya di bawah tanah ini adalah sebuah ruangan yang luas.
Sebuah meja panjang terletak di tengah dengan belasan buah kursi emas, pada
kursi utama berduduk sastrawan baju putih berkipas perak itu.
Di sebelah kiri sastrawan baju putih itu berduduk seorang anak dara cantik, ia
mengenakan baju aneh yang bersisik ikan, sisik2 ikan itu terbuat dari emas dan
memantulkan cahaya kemilauan.
Dandanan gadis itu mewah dan lincah sekali, kecuali pakaian berbulu dan
bersisik ikan itu, ada tusuk kondai berukirkan burung Hong menghias sanggulnya
yang tinggi, ukiran burung Hong itu bukan ukiran biasa, tapi dibuat dan untaian
mutiara yang bersinar.
Belum pernah ada perempuan cantik yang berdandan seperti ini di daratan
Tionggoan, hakikatnya gadis ini lebih mirip bidadari yang baru turun dari
kayangan.
Gadis itu memang cantik, tapi sayang alis matanya melentik tegak dan lagi
matanya tajam seperti singa betina, di antara kecantikannya terselip napsu
membunuh yang kejam.
Baik pemuda sastrawan baju putih maupun nona cantik berbaju emas, keduanya
berduduk pada kursi utama, sementara di kedua sisinya berduduklah belasan
tokoh berpakaian ringkas.
Di antara jago2 yang berduduk di kursi emas itu terdapat juga delapan orang
siluman dari pulau setan dan empat dewi bunga tho yang melakukan
pembegalan di hutan itu.
Luka yang diderita Hud-eng Hoatsu tampaknya juga telah sembuh, bersama
nenek rambut putih dan kakek berjenggot panjang ia duduk berdekatan,
tampaknya ketiga orang itu tak pernah saling berpisah satu sama lain, maka
namanya tersohor sebagai Hay-gwa-sam-sat.
Selain itu kesepuluh jago dari perkampungan Pah-to-san--ceng berada pula di
antara deretan kursi emas itu.
Sementara Ti-seng-jiu Buyung Ham, pemilik Pah-to-san-ceng itu beserta isteri,
yakni nyonya agung yang pernah menolong Tian Pek dahulu, Leng-hong Kongcu
yang angkuh serta Tian Wan-ji, semuanya dibelenggu pada tiang ruangan itu.
Di antara mereka tampak pula "paman Lui" yang awut2an rambutnya. Lalu ada
lagi berpuluh Piausu dari Yan-keng-piau-kiok yang terbelenggu kaki tangannya
dan menggeletak di sudut ruangan.
Dari keadaan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perkampungan Pah-to-san-
ceng telah berganti majikan, pihak perguruan Lam-hay-bun telah menguasai
tempat ini, sementara Buyung Ham sendiri beserta keluarganya telah menjadi
tawanan.
Di antara kesepuluh jago tangguh dari istana Buyung serta ribuan jago lainnya
kebanyakan sudah menyerah kepada musuh, hanya beberapa orang saja di
antaranya yang masih setia, seperti paman Lui dan lain2, mereka tertangkap dan
terbelenggu semua.
Dalam pada itu Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng, Tui-hun-leng Suma Keng serta
Tok-kak-hui-mo Li Ki telah tiba di ruangan, setelah melemparkan tubuh Ji-
lopiautau, ia berkata kepada sastrawan baju putih itu denglan hormat: "Syukur
perintah Siau-kun berhasil kami laksanakan dengan baik, Tiat-ciang-cin-ho-siok Ji
Kok-hiong telah berhasil kami tangkap!"
Sastrawan baju putih itu mengangguk, sambil tertawa ia berpaling kepada nona
baju emas, "Sumoiy, silakan melaksanakan hukuman bagi tawanan."
Dengan sorot mata yang tajam nona berbaju emas itu menyapu pandang
sekejap ke kiri dan ke kanan, di mana sinar matanya berkelebat, kawanan jago
yang hadir dalam ruangan itu buru2 tundukkan kepala dengan hati kebat-kebit.
Pada hakikatnya orang2 yang hadir ini sebagian besar adalah tokoh silat
ternama di dunia persilatan, sudah berpengalaman dan biasa bergelimangan di
tengah kilatan golok dan ceceran darah, membunuh orangpun bukan soal bagi
mereka, namun entah apa sebabnya tak seorangpun berani beradu pandang
dengan nona cantik itu.
"Bukankah masih ada seorang laki2 dan seorang perempuan? Kenapa tidak
sekalian ditangkap?" tegurnya dengan nada dingin.
Buru2 Hay-gwa-sam-sat berdiri, sahutnya dengan prihatin: "Lapor tuan puteri,
pemuda Tian Pek serta Kui-bin kiau-wa (gadis cantik bermuka setan) saat itu
tidak berada di perkampungan sana. Biarlah kita cari jejaknya di kemudian hari
dan perlahan2!"
Perasaan tak senang terlintas di wajah nona baju emas itu, tampaknya dia akan
mengumbar amarahnya.
Agaknya pemuda baju putih itu cukup kenal tabiat adik seperguruannya itu,
cepat ia berkata: "Kedua orang itu kan di luar garis, untuk menangkap mereka
masih tersedia banyak waktu di kemudian hari, sementara tak perlu kita gubris
dulu, bagaimana kalau...."
"Kau berani membela orang luar dan menentang perintahku?" hardik nona baju
emas itu dengan kurang senang.
Agaknya sastrawan baju putih itu takut terhadap anak dara itu, buru2 ia
menjawab dengan menyengir: "Sumoay, janganlah berkata begitu! Masa
Suhengmu bisa membantu orang lain untuk menentang perintahmu?"
"Kau anggap aku tidak bisa menebak apa yang sedang kaupikir?" jengek si nona.
Sastrawan baju putih itu tertawa getir, ia tidak menjawab lagi kecuali ketuk2
kipas peraknya pada tangan sendiri.
Dengan mendongkol nona baju emas itu mengerling sekejap ke arah sastrawan
baju putih itu, kemudian sambil bertepuk tangan dua kali dia berseru: "Upacara
dimulal!"
Dari balik gordin di belakang meja nona itu berjalan keluar duabelas orang
bocah berbaju putih yang masing2 membawa sebuah hiolo kecil, setibanya di
depan meja, dengan teratur mereka memisahkan diri ke kanan dan kiri dan
berdiri secara rapi.
Bau harum semerbak memenuhi seluruh ruangan, kabut tipis mengepul keluar
dari hiolo kecil itu memenuhi ruangan membuat suasana menjadi remang2.
Kejadian aneh tiba2 timbul, begitu semua orang mencium bau harum semerbak
itu, pikiran mereka lantas linglung, apa yang terlihat se-akan2 adalah malaikat
yang agung dan berwibawa, yang terpikir oleh mereka hanyalah takluk dan
tunduk, sama sekali tiada pikiran hendak menentang atau melawan.
Sebaliknya orang2 yang semula tak sadar, setelah mencium bau harum itu
segera jernih kembali pikirannya.
Yang dimaksudkan sadar di sini hanya sadar dalam perasaan, yakni bisa
mendengar, bisa melihat tapi daya pikir masih tetap tenggelam di tengah
kekaburan.
Ji-lopiautau yang semula tak sadar kinipun telah mendusin, tatkala dia membuka
matanya dan menyaksikan pemandangan aneh ini, seketika ia melongo.
Selagi semua orang berada dalam keadaan limbung, dari belakang gorden
muncul lagi belasan orang lelaki berkerudung, orang2 itu bergerak kian-kemari
dengan cepat, ada yang menarik kursi dan ada yang menggeser meja, dalam
sekejap ruangan rahasia itu sudah berganti rupa.
Sebuah lukisan besar menghiasi dinding ruangan itu, lukisan seorang berkepala
botak dan berkaki telanjang.
Aneh sekali muka orang di dalam lukisan ini, bukan saja kepalanya botak,
hidungnya pesek dan mulutnya lebar, pada keningnya seperti terdapat suatu
garis lekukan sehingga menyerupai manusia purba.
Pada bagian alas lukisan tertera beberapa huruf besar: "Cosu pendiri perguruan,
Lam-hay-it-kun!"
Di depan lukisan itu terdapat sebuah tungku tembaga yang tingginya tiga kaki
dengan lebar sepelukan dua manusia, entah bahan dupa apa yang dibakar
dalam hiolo tersebut, terlihat gulungan asap memancar keluar dan mengepul
lama ke atas, persis seperti pancuran air saja, ketika mencapai atap ruangan,
asap itu menyebar ke empat penjuru dan bergerak turun ke bawah.
Udara dipenuhi asap tebal, begitu tebalnya membuat orang yang berada di
dalam ruangan se-akan2 berada di atas puncak yang tinggi dan dikelilingi awan.
Di depan hiolo tembaga itu terbentang sebuah papan kayu tebal yang
panjangnya empat kaki, banyak bekas bacokan golok pada papan kayu itu, lima
bilah golok tajam menancap di sekitar papan itu.
Lebih kecil golok itu daripada golok yang biasa dipakai orang persilatan,
panjangnya cuma dua kaki, tapi jauh lebih tajam dan lebih mengkilap. Pada
gagang golok terdapat ukiran kepala setan yang berwarna-warni, bermuka hijau
dan berambut merah dengan menyeringai seram.
Dalam pada itu sastrawan baju putih serta nona baju emas itu sudah berduduk
di kedua samping hiolo tembaga itu, sementara para jago bekas anak buah
Buyung Ham serta kawanan jago dari Lam-hay-bun berduduk di kedua sisi
mereka, keduabelas bocah baju putih itu mengangkat tinggi2 hiolo berdiri di
belakang orang itu, ketika asap dupa yang mengepul keluar bercampur dengan
asap dupa yang mengepul dari hiclo tembaga, terciptalah lautan kabut yang
menambah seramnya suasana ruangan itu.
Di tengah ruangan rahasia itu terdapat empat buah tiang yang besar, pada
setiap tiang tersebut terikat satu orang yakni Ti-seng-jiu Bayung Ham, isterinya,
yaitu nyonya agung setengah baya, Leng-hong Kongcu serta Tian Wan-ji.
Sedangkan jago2 yang setia kepada keluarga Buyung, paman Lui serta Ji-
lopiautau beserta para Piausu Yan-keng-piaukiok dibelenggu tangannya dan
menggeletak di lantai.
Semua benda dan peralatan upacara diatur dengan baik dan terlatih oleh
belasan lelaki berkerudung, tak lama kemudian semua persiapan telah selesai.
Pelahan gadis berbaju emas itu menyapu pandang sekeliling ruangan, dia
mengangguk sedikit dengan sikap yang sangat hormat para lelaki berkerudung
itu menjura lalu mengundurkan diri.
Di tengah keheningan yang mencekam, tiba2 terdengar suara benda dipukul,
keras dan melengking suaranya, menggetar hati setiap orang.
Nona berbaju emas itu berbangkit, dengan suara yang dingin dan menyeramkan
seolah2 suara yang datang dari kuburan ia berkata: "Kedatangan Lam-hay-bun
ke daratan Tionggoan kali ini adalah untuk melenyapkan kaum sampah
persilatan Tionggoan serta menegakkan keadilan bagi dunia persilatan, barang
siapa pernah melakukan kejahatan dia harus dibunuh dan dilenyapkan dari
muka bumi ini."
Suasana dalam ruangan itu hening, udara terasa menyesakkan napas.
Dengan tajam sorot mata nona baju emas itu, menyapu sekejap ke arah
kawanan jago yang pada bungkam dan tunduk kepala rendah2 itu, ia menuding
Ti-seng-jiu, lalu katanya pula: "Di masa lampau, Buyung Ham adalah salah satu
dan Kanglam-jit-hiap, tapi karena ia kemaruk harta dan gila pangkat, secara
diam2 ia bersekongkol dengan orang lain untuk membinasakan saudara
angkatnya sendiri Pek lek-kiam Tian-In-thian, coba bayangkan, pantaskah
manusia semacam ini menerima kematian?"
"Pantas dihukum mati!" jawab semua orang tanpa terasa. "Ya, bunuh!"
Ji-lopiautau yang terbelenggu terperanjat, sebab diketahuinya tanpa disadari
mulutnya ikut meneriakkan kata "Bunuh" itu. Padahal dia tidak berpikir
demikian, akan tetapi tanpa bisa dicegah mulutnya berteriak sendiri. Aneh kalau
diceritakan, tapi kenyataannva memang begitu.
Sementara dia merasa tercengang, si nona baju emas itu telah bertepuk tangan
sambil berseru: "Laksanakan hukuman!"
Lima orang laki2 kekar setengah telanjang muncul dari balik gorden, masing2
mencabut sebilah golok berkepala setan dari sisi papan tadi, kemudian bergerak
maju.
"Sreet! Set Sreet!" di antara kilatan cahaya tajam, darah segar berhamburan, Ti-
seng-jiu Buyung Ham yang gagah perkasa tahu2 sudah binasa. Bukan saja kedua
tangannya terkutung, kedua kaki juga batok kepalanya juga berpisah dengan
tubuhnya.
Memang kejam sekali cara pelaksana hukuman itu, inilah hukuman Ngo-to-bun-
sin (lima golok menyayat mayat) yang merupakan cara paling keji dan golongan
hitam.
Rupanya kelima orang laki2 kekar itu sudah berpengalaman sekali dengan
pekerjaan mereka ini, sejak mencabut golok, membunuh korbannya, semua
gerakan dilakukan dengan cepat luar biasa. Sebelum semua orang tau apa yang
terjadi, lima orang itu sudah mencincang tubuh Buyung Ham.
Setelah mengusap darah pada golok mereka pada sol sepatu masing2, mereka
ayunkan tangannya dan ......crat crat!" dengan jitu golok kepala setan itu
menancap kembali diatas papan kayu. Lalu kelima orang itu dengan cepat lantas
mengundurkan diri.
Menyaksikan Buyung Ham dibunuh secara keji, nyonya agung itu jatuh pingsan,
Leng-hong Kongcu, yang angkuh dan tinggi hati sekarang terkulai dengan lemas
dan pucat wajahnya.
Hanya Wan-ji saja yang pantang menyerah, dengan mata melotot ia mencaci
maki kalang kabut: "Perempuan anjing, sakit hati ini sekalipun sampai di akhirat
tetap kutuntut."
Nona berbaju emas itu pura2 tidak mendengar, dengan suara yang tetap dingin
dia menuding nyonya setengah baya yang pingsan itu, katanya: Perempuan ini
membantu suaminya melakukan kejahatan, dia tidak melaksanakan kewajiban
sebagai seorang perempuan, dia pantas mati tidak?"
Perkataan itu lebih mirip suatu perintah, anehnya perkataan itu diutarakan
seperti minta permupakatan kepada para jago, dan yang lebih aneh lagi ternyata
kawanan jago itu memberikan tanggapan.
"Pantas mati!" — "Bunuh!" bergemuruh teriakan orang banyak.
Bersama dengan seruan yang hiruk-pikuk itu, lantas di balik dinding ruangan itu
terdengar suara ribut mulut yang lirih.
Seorang perempuan dengan suara merdu sedang berkata: "Tadi kan sudah
kukatakan bahwa aku hanya mengajak kau menyaksikan keramaian, kenapa kau
ingin mencampuri urusan orang lain?"
"Aku pernah berutang budi kepada nyonya ini," jawab yang lelaki dengan cepat.
"Bagaimana pun juga aku tak dapat tinggal diam...."
Suara itu muncul dengan mendadak dan sama sekali di luar dugaan,
melengaklah nona berbaju emas itu, ia pandang sekeliling tempat itu, ia tahu
pasti ada orang mengintai di tempat gelap.
Air muka sastrawan berbaju putih itu pun berubah hebat, iapun memandang
kian kemari.
"Blang!" selagi kedua orang itu celingukan ke sana-sini, tiba2 terjadi getaran
keras, debu pasir beterbangan, sebagian besar dinding yang kuat itu mendadak
ambrol runtuh.
Suasana jadi kalut, kawanan jago yang berduduk dekat dinding itu serentak
melompat bangun dan menyingkir.
Di tengah kegaduhan itu, sesosok bayangan orang secepat kilat melayang keluar
dan berdiri tegak di tengah ruangan.
Dia adalah seorang pemuda yang tampan, berjubah sutera,rambutnya kusut,
namun tidak mengurangi ganteng dan gagahnya.
Pemuda itu adalah Tian Pek.
Kemunculannya yang tiba2 ini sangat mengejutkan semua orang, baik para jago
yang mengenalnya maupun yang tidak kenal.
Ji-lopiautau serta kawanan Piausu Yan-keng piaukiok segera bersorak
menyambut kedatangannya. wajah mereka berseri karena gembira. Bagaimana
pun juga Tian Pek dipandang mereka sebagai bintang penolong.
Paman Lui juga kaget, mimpipun ia tidak menyangka tenaga dalam Tian Pek
sekarang telah mencapai tingkatan yang sedemikian sempurnanya, sebab tak
nanti tembok sekuat itu bisa dijebolnya jika Lwekangnya tidak sempurna.
Leng-hong Kongcu pun mengunjuk rasa kaget, ia tak tahu dengan cara apa Tian
Pek bisa menyembunyikan diri di balik dinding ruangan rahasia itu?
Hanya Wan-ji saja yang memperlihatkan rasa terkejut bercampur girang,
teriaknya dengan lantang: "Engkoh Tian, cepat tolong kami!"
Dalam pada itu Hay-gwa-sam-sat sudah melompat bangun dengan kaget dan
heran. Air muka sastrawan berbaju putih itu pun berubah hebat.
Nona berbaju emas yang berwajah dingin menyeramkan itu entah apa sebabnya
tiba2 menunjukkan pula sikap yang lain, mukanya tidak sedingin tadi lagi, sorot
matanya kini jauh lebih hangat, malahan di balik kehangatan terselip kegenitan
yang menggiurkan.
Tian Pek memang memiliki daya tank yang luar biasa, terbukti puteri cantik
keempat keluarga besar dunia persilatan sekaligus mencintai dia. Maka tidaklah
heran jika sekali bertemu nona berbaju emas inipun jatuh hati padanya.
Perlu diketahui, sastrawan berbaju putih itu tak lain adalah Lam-hay-siau-kun,
sedangkan nona berbaju emas itu adalah Lam-hay-liong-li, mereka berdualah
yang memimpin kawanan jago Lam-hay-bun menyerbu ke daratan Tionggoan.
Waktu Lam-hay-siau-kun menyaksikan adik seperguruannya yang cantik tiba2
tersenyum ke arah pemuda itu, hatinya seketika jadi cemburu, dia lantas
berteriak: "Hay-gwa-sam-sat, di mana kalian bertiga? Bukankah kusuruh kalian
bekuk bangsat itu? Kalian mengatakan dia tak ada di tempat, coba lihat
sekarang, dia muncul di sini! Hayo, cepat bekuk bangsat ini."
Air muka Hay-gwa-sam-sat berubah hebat, nenek berambut putih yang bernama
Leng-yan-hong itu segera melompat bangun, bentaknya: "Bocah keparat! Sudah
lama nenekmu mencari kau tapi tidak ketemu, tak tersangka kau berani datang
kemari. Hmm, terimalah kematianmu di sini!"
Sambil membentak, ia melesat ke depan dan langsung melancarkan pukulan
dahsyat ke arah Tian Pek.
Tian Pek sama sekali tidak menghindar atau berkelit, iapun melancarkan suatu
pukulan kuat.
"Blang!" adu pukulan terjadi. Tian Pek masih berdiri tegak di tempat semula,
sebaliknya si nenek berambut putih tergetar mundur tiga langkah.
Mata nenek rambut putih itu melotot, ia heran pemuda yang beberapa bulan
berselang pernah dilukainya itu kini mampu menggetar mundur dirinya.
Hud-eng Hoatsu segera berseru: "Hei, nenek hati2 terhadap bocah itu, entah
obat apa yang telah dia makan,tenaga pukulannya mendadak tambah hebat."
Perlu diketahui, sekalipun Hay-gwa-sam sat jarang berpisah satu sama lainnya,
tapi sudah terbiasa bagi mereka untuk saling mengejek dan saling menggoda.
Seringkali hal yang benar diucapkan secara terbalik, sedangkan kata2 yang benar
berbalik tidak berarti sungguh2.
Setelah Hud-eng Hoatsu kecundang di hutan saat melawan Tian Pek, dengan
maksud baik ia memberi peringatan kepada nenek itu agar rekan¬nva tidak ikut
kecundang di tangan lawan.
Tapi oleh karena kebiasaan mereka yang suka saling mengejek itu, si nenek
menanggapi peringatan itu sebagai suatu cemoohan, ia pikir Hud-eng Hoatsu
mengejeknya lantaran tak mampu menahan serangan lawan, maka dengan
menyeringai ia berteriak: "Bangsat gundul, tak perlu mengejek, lihatlah pukulan
mautku ini!"
Dengan menghimpun tenaga dalam ia menubruk maju dan menghantam.
Memang dahsyat sekali pukulan itu, Tian Pek tahu musuh telah melipat
gandakan tenaga pukulannya, sambil mendengus iapun mengeluarkan Thian-
hud-hang-mo-ciang. ia sambut pukulan tersebut dengan keras lawan keras.
Tatkala dua gulung angin pukulan yang dahsyat itu bertemu terjadilah benturan
dahsyat. debu pasir beterbangan, hampir sebagian besar ruang bawah tanah itu
tergetar hancur berserakan.
Kali ini Leng-yan-hong, si nenek berambut putih, terdesak mundur sampai lima
langkah ke belakang.
Matanya melotot makin besar, rambutnya yang beruban sama menegak,
sungguh ia tidak percaya pemuda yang pernah dihajar sampai terluka pada tiga
bulan yang lalu, sekarang ternyata memiliki kekuatan yang jauh lebih dahsyat
daripadanya.
Kekalahan beruntun ini membikin hatinya penasaran, sambil berpekik nyaring,
ilmu jari sakti Soh-hun-ci yang paling diandalkan lantas dikeluarkan, dengan
sepenuh tenaga ia incar jalan darah Sian-gi-hiat di tubuh musuh.
Nyonya agung setengah baya yang telah mendusin dari pingsannya serta Tian
Wan-ji dan kawanan Piausu dari Yan-keng-piau-kiok serentak berseru kuatir.
Namun Tian Pek sendiri sama sekali tidak panik, dengan lima langkah Cian-hoan-
biau-hiang-poh ia menggeliat ke samping dan tahu2 sudah lolos dari ancaman.
"Criitt!" dengan manerbitkan suaas nyaring, tenaga jari si nenek mengenai
sasaran yang kosong, sebuah lubang segera muncul di dinding batu yang berada
jauh di belakang sana.
Setelah terhindar dari serangan maut itu, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-
hiang-poh, Tian Pek segera memburu ke belakang nenek itu, untuk kesekian
kalinya ia menghajar lagi punggung si nenek.
Nenek berambut putih itu seorang yang tinggi hati, bukan saja ilmu silatnya
tinggi, pada hsti2 biasa jarang sekali ada orang yang mampu menandinginya,
dengan ilmu Soh-hun-ci, menurut perkiraannya Tian Pek pasti tak mampu
menghindarkan diri andaikan tidak mati pasti juga akan terluka parah. Tapi
kenyataannya baru saja serangan tersebut dilepaskan, tahu2 dia kehilangan
jejak musuh.
Untuk sesaat nenek itu jadi melengak. Pada saat itulah mendadak dirasakan
hawa panas menyambar dari belakang.
Segera ia merasakan gelagat jelek, cepat ia mengelak, tapi tetap terlambat,
segera pundak kiri terasa seperti dibakar oleh besi panas, sakit sekali rasanya,
menyusul tubuhnya lantas tergetar ke depan, ia menjerit kaget dan ter-huyung2
ke depan, "Blang", ia menumbuk dinding.
Kontan kepalanya jadi pening tujuh keliling. matanya berkunang2 dan dadanya
jadi sesak, sampai lama Leng-yan-hong tak sanggup berkutik.
Ilmu sakti yang tercantum dalam kitab Soh-kut-siau-hun- pit kip memang hebat,
untuk pertama kalinya Tian Pek praktekkan ilmu sakti itu dan hasilnya benar2 di
luar dugaan. Hanya satu gebrakan si nenek berambut putih, salah satu dari tiga
malaikat maut telah terhajar sampai terluka parah.
Jeritan kaget dan seruan tercengang seketika berkumandang, baik kawan
maupun lawan, semua tercengang oleh kelihayan Tian Pek, siapapun tak
mengira pemuda yang masih hijau ini ternyata mampu melukai si nenek yang
lihay itu.
Dalam pada itu, kakek berambut panjang yang berada di samping telah meraung
gusar menyaksikan si nenek berambut putih terluka.
Kakek berjenggot ini bernama Kiu Ji-hay, dia adalah kekasih dan suami nenek
berambut putih itu, maka dapat dibayangkan betapa rasa gusar si kakek.
Di tengah bentakan kakek berjenggot panjang itu menghimpun tenaga
dalamnya pada telapak tangan kanan, telapak tangan terpentang lebar sebagai
roda, dari telapak tangan terpancar hawa berpusar yang keras.
Tian Pek terkesiap, bahkan para hadirin juga terperanjat. Buyung-hujin, Tian
Wan-ji. Ji-lopiautau beserta para Piausunya sama menjerit kaget dan kuatir bagi
Tian Pek.
Ilmu silat kakek berjenggot panjang ini sudah lama punah dari peredaran dunia
persilatan, inilah Kungfu Tay-jiu-in atau telapak tangan raksasa.
Tenaga pukulan yang terpancar dari Tay jiu-in sangat ampuh dan jarang sekali
ada orang yang mampu membendungnya.
Selama hidup belum pernah Tian Pek menghadapi ilmu pukulan selihay ini, ia tak
berani menghadapinya dengan keras lawan keras, buru2 digunakannya Cian-
hoan-biau-hiang-poh untuk menghindar ke samping.
Baru saja ia berkelit, terdengar bisikan seperti bunyi nyamuk menggema di
samping telinganya: "Engkoh Pek, berhadapan dengan musuh harus percaya
pada diri sendiri, jangan takut, sambutlah dulu sebuah pukulannya, coba sampai
di manakah kemajuan yang kaucapai dengan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-
ciang itu ...
Tian Pek tahu pasti Cui-cui yang memberi kisikan tersebut, terbangkit semangat
jantannya, maka tatkala pihak lawan menyerang untuk kedua kalinya, ia tidak
menghindar ataupun berkelit lagi, telapak tangannya didorong keluar,
disambutnya serangan musuh yang dahsyat itu dengan keras lawan keras.
Dalam serangan itu Tian Pek telah menggunakan jurus Hud-kong-bu-ciau dari
Thian-hud-hang-mo-ciang.
Terasalah angin pukulan men-deru2 dan terjadi benturan keras, kekuatan yang
terpancar keempat penjuru berubah menjadi angin puyuh, yang menyapu
semua benda yang ditemuinya. Seluruh ruangan rahasia itu berguncang keras
se-akan2 ambruk.
Di tengah jerit kaget orang banyak, Tian Pek cuma bergetar sedikit saja dan
masih tetap berdiri pada posisi semula. Sebaliknya kakek berjenggot panjang,
Ciu Ji-hay, tokoh sakti dari laut selatan yang telah malang melintang di daratan
Tionggoan, tahu2 tergetar mundur dengan sempoyongan.
Betapa rasa kaget si kakek berjenggot panjang itu benar2 sukar dilukisLan,
mimpi pun dia tak menyangka di kolong langit ini ternyata ada orang yang
berani menyambut serangan mautnya tanpa cedera.
Meski kaget dan penasaran, namun ia tak sanggup menyerang lagi. Maklumlah,
Tay-jiu-in yang lihay telah tergetar buyar kekuatannya oleh ilmu sakti Tian Pek,
ia perlu mengatur napas dan memulihkan tenaga.
Suasana jadi hening dan perhatian semua orang tertuju pada anak muda itu,
diam2 Hud-eng Hoatsu menggeser ke belakang Tian Pek dan mendadak ia
berpekik "kok-kok" dua kali, berbareng kedua tangannya menghantam
punggung Tian Pek.
Inilah Ha-mo-kang andalan Hud-eng Hoatsu yang maha lihay.
Menurut perhitungannya, setelah bertarung lawan dua jago sakti, tentu tenaga
Tian Pek sudah banyak berkurang, maka dia lantas menyergap dari belakang dan
ingin sekali hantam membinasakan anak muda itu.
Sejak Tian Pek muncul, seluruh perhatian Tian Wan-ji lantas tertuju kepada
pemuda itu, ia merasa gembira sekali setelah dilihataya secara beruntun
pemuda itu berhasil mengalahkan dua musuh tangguh. Ia makin kagum lagi
pada kehebatan kekasihnya, bila tubuhnya tidak terbelenggu, tentu sudah dari
tadi ia memburu maju dan menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
Sekarang dilihatnya Hud-eng Hoatsu melancarkan sergapan dari belakang, nona
itu jadi panik bercampur cemas, cepat ia berteriak lantang: "Engkoh Tian, awas,
Hwesio busuk itu akan menyergap dirimu ...."
Sekalipun Wan- ji tidak berteriak juga Tian Pek merasakan datangnya sergapan
dari belakang, tenaga dihimpunnya untuk menghadapi ancaman itu.
Semula iapun mengira tenaga dalamnya akan lemah atau akan berkurang
daripada semula, sebab beruntun ia telah menghadapi dua musuh tangguh, tapi
setelah hawa murninya dihimpun, si anak muda baru tahu bahwa pikiran
semacam itu ternyata keliru besar.
Bukan saja tenaga dalamnya tidak semakin lemah, dia malah merasakan
tubuhnya lebih segar dan bersemangat daripada semula, sadarlah pemuda itu
bahwa tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan. Sukar
dilukiskan betapa girangnya.
"Sekarang ilmu silatku telah mencapai kesempurnaan, itu berarti dendam
berdarah ayahku bisa kutuntut balas dengan sebaik2nya.... Ai, akhirnya apa yang
kucitakan akan tercapai juga?" demikian ia berpikir.
Tatkala sergapan dari belakang sudah hampir menempel di pungguugnya, tanpa
berpaling telapak tangannya diayun ke belakang untuk menyambut serangan
tersebut dengan kekerasan.
"Blang!" benturan keras menggelegar di udara, angin berpusing memancar ke
empat penjuru, suara dengusan berat berkumandang di belakangnya.
Hud-eng Hoatsu mencelat sejauh dua tombak oleh tangkisan Tian Pek yang
dahsyat itu, sungguh mengenaskan sekali keadaannya.
Padahal di antara Hay-gwa-sam-sat, ihmu silat si kakek berjenggot panjang itu
terhitung yang paling tinggi, si nenek berambut putih terhitung nomor dua dan
Hud-eng Hoatsu yang paling lemah, kalau kedua orang yang lebih lihay
daripadanya juga dibikin keok oleh Tian Pek, apalagi dia.
Rupanya ia salah menilai kekuatan Tian Pek, sebab disangkanya tenaga pemuda
itu pasti sudah lemah karena telah menghadapi kakek berjenggot dan nenek
berambut putih beruntun. Ia tidak tahu kalau Tian Pek telah mendapat
penemuan aneh yang tak terduga, bukan saja hawa murninya sudah mencapai
kesempurnaan, iapun berhasil menyerap intisari ilmu silat yang tercantum
dalam kitab Soh-kut-siau-hun pit kip sehingga sumber tenaga Tian Pek boleh
dikatakan tidak pernah kering.
Begitulah tubuh Hud eng mencelat seperti bola danmenumbuk dinding, Darah
bergolak dalam tubuhnya, matanya berkunang2 dan kepala pusing tujuh keliling,
akhirnya iapun muntah darah.
Secara beruntun dalam waktu singkat Tian Pek berhasil mengalahkan Hay-gwa-
sam-sat, peristiwa ini sungguh membuat terkesiap baik lawan maupun kawan.
Suasana jadi hening, semua orang dengan mata terbelalak mengawasi Tian Pek,
tak seorangpun berani maju lagi ke depan...
Sin-liong-taycu, pangeran dari Lam-hay-bun, si sastrawan berbaju putih itu,
memegang kipas peraknya erat2, ia kaget dan gugup, sementara biji matanya
berputar kian kemari, entah rencana busuk apalagi yang sedang dia susun.
Air muka kedelapan siluman dari pulau setan juga pucat seperti mayat, mereka
tidak menduga di daratan Tionggoan masih terdapat jago setangguh itu.
Kawanan jago dari istana keluarga Buyung yang kini takluk kepada Lam-hay-bun
seperti Gin-siaau-toh-hun Ciang Su-peng, Tui-hun-leng Suma Keng Tok-kak-hui-
mo Li Ki serta lain2nya sama berdiri diam bagaikan patung, peristiwa itu sama
sekali di luar dugaan mereka, untuk sesaat orang2 itu pun ketakutan.
Hanya empat dewi bunga tho serta Lam-hay-liong-li, yaitu si gadis berbaju emas,
yang tetap tenang2 saja, tidak tampak rasa kaget dan takut di wajah mereka,
malahan senyum genit menghiasi bibir mereka.
Sejak kehadiran Tian Pek di ruangan itu, empat dewi bunga tho sudah
mengerling pemuda itu secara genit, sekarang setelah pemuda itu secara
beruntun menangkan tiga kali pertarungan, mereka lebih bergairah lagi untuk
menarik perhatiannya. Goyangan pinggul yang bikin hati berdebar, kerlingau
mata yang memabukkan serta suara tertawa yang mengkili2 hati sungguh
membuat orang lupa daratan.
Mengenai Lam-hay-liong-li, dia memang cantik jelita, kecantikannya jelas tidak
kalah dibandingkan Cui-cui, hanya sayang sikapnya yang sombong serta tindak-
tanduknya yang dingin, inilah yang bikin orang lain tak berani memandang dan
mendekatinya.
Padahal gadis mana yang tak mendambakan cinta? Seorang gadis kalau sudah
dewasa, dengan sendirinya mengidamkan seorang pemuda tampan untuk
menjadi kekasihnya, cuma Lam-hay-liong-li ini dibesarkan di pulau setan yang
jauh dari daratan, belum pernah nona itu menemukan seorang pemuda
idamannya.
Mo-kui-tocu, kepala pulau setan, Lam-hay-It-kun, sejak mendirikan perguruan
Lam-hay-bun, kecuali didampingi jago2 lihay yang rata2 sudah lanjut usia, anak
muridnya kebanyakan adalah manusia kasar yang bertampang kriminil, hanya
putera tunggalnya saja, yakni kakak seperguruan Lam-hay-liong-li, hanya
pemuda inilah yang dapat dikatakan tampan.
Sayang kakak seperguruannya ini terlalu bangor, suka main perempuan di sana-
sini, wataknya yang jelek ini memberikan kesan yang jelek pula dalam pikiran
Lam-hay-liong-li, dia menganggap laki2 di dunia ini tak ada yang baik.
Mendingan kalau cuma begitu saja, kemudian ternyata Lam-hay-it-kun
menyerahkan kekuasaan tertinggi dari perguruannya kepada nona ini, secara
otomatis pula wataknya berubah keji dan tinggi hati.
Tapi hari ini, setelah bertemu dengan Tian Pek yang berilmu silat tinggi dan
berwajah tampan, ia terpesona, untuk pertama kalinya perasaan kewanitaannya
tersentuh, dia merasa bahwa Tian Pek inilah yang didambakannya, pemuda
tampan seperti inilah yang diharapkan mendampinginya sepanjang masa.
Oleh sebab itulah, sekalipun secara beruntun Tian Pek telah melukai tiga orang
jago tangguh Lam-hay-bun, dia tidak menjadi gusar, sebaliknya senyum manis
menghiasi wajahnya, dia berbangkit dan menghampiri anak muda itu, katanya:
"Siapa kau? Kenapa kauberani memusuhi Lam-hay-bun kami?"
Seandainya perkataan itu diutarakan orang lain, mungkin para jago tak akan
merasa heran, tapi kata2 itu diucapkan oleh Lam-hay-liongli yang sudah biasa
bersikap ketus dan dingin, apalagi ucapan tersebut ditujukan kepada musuh
yang secara beruntun telah melukai tiga jago lihaynya.
Sudah tentu Tian Pek tak tahu akan hal ini, sekalipun dilihatnya senyuman manis
menghiasi mulut Lam-hay-hong-li yang cantik bak bidadari dari kayangan itu,
namun iapun menyaksikan hawa napsu membunuh yang sangat tebal yang
menyelimuti wajahnya.
"Aku Tian Pek!" jawabnya kemudian dengan lantang, "aku tiada bermaksud
memusuhi Lam-hay-bun kalian, hanya saja aku merasa penasaran menyaksikan
perbuatan kalian yang membunuh orang seenak sendiri, oleh sebab itu sengaja
aku muncul di sini untuk menegakkan keadilan dan kebenaran bagi umat
persilatan umumnya."
Jawaban itu sesungguhnya diucapkan dengan jujur, tapi bagi pendengaran Lam-
hay-liong-li terasa ketus dan menghina.
"Hehe, besar amat lagakmu?" jengeknya. "Kau bicara menurut perasaan hatimu
sendiri ataukah ada orang lain yang menjadi tulang punggungmu di belakang
layar?"
Tian Pek jadi marah, ia tak tahu anak dara inilah pemimpin Lam-hay-bun, ia
menyangka seorang anak dara berani memandang enteng padanya, ini berarti
pihak Lam-hay-bun terlalu menghinanya.
Dengan setengah berteriak, ia berkata: "Aku Tian Pek tidak mengenal arti
`tulang punggung' segala, akupun tak pernah diperintah orang dari balik layar,
apa yang ingin kulakukan segera kulaksanakan, aku berani berbuat berani pula
menanggung risikonya, dengan pedang Bu-ceng-pek-kiam inilah akan kusapu
setiap manusia jahat di dunia ini!"
Kedengarannya memang amat jumawa ucapan tersebut, tapisemua orangpun
dapat merasakan batapa gagah dan jantannya pemuda ini, banyak orang
bersorak memuji keperwiraannya.
Terutama Wan-ji serta nyonya setengah baya yang pernah menolongnya itu, air
mata mereka hampir saja bercucuran saking terharunya.
Siapakah yang berani menunjukkan sikap sekeras itu di hadapan musuh yang
jelas memiliki kekuatan berkali lipat daripada pihaknya?
Maklumlah, pengaruh Lam-hay-bun di dalam dunia persilatan besar sekali,
bukan saja mereka telah menaklukkan empat keluarga besar, hampir semua
jago baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam sama tunduk dan
takluk kepada mereka, tak seorangpun di dunia persilatan yang berani secara
terang2an menentang mereka.
Bukti yang paling nyata adalah menyerahnya Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng,
Tui-hun-leng Suma Keng serta Tok-kak-hui-mo Li Ki sekalian kepada pihak Lam
hay bun, padahal mereka terhitung jago lihay yang disegani. toh jago2 semacam
mereka tak ada yang berani melawan kekuasaan Lam-hay-bun.
Tapi sekarang Tian Pek, seorang pemuda yang masih hijau telah menunjukkan
keberanian yang luar biasa, tak heran kalau semua orang dibikin tercengang.
Bahwa Tian Pek berani menandingi Lam-hay¬bun yang telah menaklukkan dunia
persilatan Tionggoan, sungguh keberanian anak muda inipun luar biasa,
Maklum, tiga bulan lamanya ia hidup di gunung untuk merawat lukanya, dengan
sendirinya ia tidak tahu keadaan sekarang.
Begitulah kening Lam-hay-liong-li seketika berkernyit, katanya: "Kalau begitu,
jadi kau sudah mengambil keputusan akan memusuhi Lam-hay-bun kami?"
Tian Pek mendengus, betapa mendongkolnya pemuda itu melihat nona berbaju
emas itu tak pandang sebelah mata padanya. Tanpa bicara lagi ia menghampiri
nyonya setengah baya yang terikat di tiang itu dan melepaskan tali pengikatnya.
Gusar Lam-hay-liong-li, selama hidup belum pernah dilihatnya pemuda
seangkuh itu dan berani berbuat sesukanya di hadapannya.
"Tahan!" hardiknya dengan gusar. Berbareng ia pun
melompat maju dan menghadang di depan pemuda itu, bentaknya lagi sambil
menarik muka: "Apa yang hendak kau lakukan?"
"Apa lagi? Tentu saja menolong orang!" sahut Tian Pek, tanpa menoleh ia tetap
meneruskan perbuatannya melepaskan tali pengikat Buyung-hujin.
Lam-hay-liong-li meraung gusar, segera ia bermaksud mencegahnya.
"Kiongcu!" tiba-tiba Hu-yong-hui-cu (selir bunga teratai), orang kedua dari
keempat dewi bunga tho, tampil ke muka sambil menggoyang pinggul. "Buat
apa tuan puteri turun tangan sendiri untuk membekuk seorang bocah, biarlah
kami kakak-beradik yang melaksanakan tugas ini!"
Berbicara sampai di sini, ia mengerling sekejap kepada saudara2nya agar bersiap
sedia.
Ketiga dewi hunga tho lainnya sama tertawa genit sambil goyang pinggul
mereka melayang ke tengah gelanggang dan mengepung Thian Pek.
Tentu saja Lam-hay-liong-li sendiri pun memaklumi akan kedudukannya, maka
setelah keempat dewi bunga tho terjun ke gelanggang, ia lantas mengundurkan
diri.
Ia tahu, bicara soal tenaga dalam, jelas jauh keempat dewi bunga tho itu kalau
dibandingkan Hay-gwa-sam-sat. Tapi ia pun tahu kelicikan keempat dewi itu,
mereka banyak tipu akalnya dan mahir menggunakan obat biusnya, untuk
menghadapi Tian Pek yang masih hijau tentu mereka lebih meyakinkan daripada
Hay-gwa-sam-sat.
Tian Pek tetap tidak menghiraukan, selesai membuka tali belenggu di tubuh
Buyung-hujin, ia pun hendak melepaskan tali belenggu Wan-ji.....
Baru saja tangan anak muda ito akan memegang tali yang membelenggu Wan-ji,
tiba2 ia menangkap suara dengusan lirih.... suara dengusan itu amat ketus dan
jelas penuh rasa cemburu.
Tian Pek melengak ia tahu dengusan itu pasti suara Cui-cui yang bersembunyi di
balik dinding, tapi ia tak perduli, ia tetap berusaha melepaskan tali pengikat
Wan-ji.
Setelah bebas dari belenggu, Buyung-hujin menggerakkan tangannya yang kaku,
kemudian mengucapkan terima kasih kepada Tian Pek, lalu dengan air mata
bercucuran ia membereskan jenazah suaminya, Ti-seng-jiu Buyung Ham yang
mati tercincang dengan mulutnya berkomat-kamit seperti membaca doa.
Semua peristiwa itu berlangsung hanya sekejap, maka suara dengusan lirih tadi
pun tidak menarik perhatian orang.
"Saudara cilik!" keempat dewi bunga tho mengejek sambil tertawa genit, "untuk
menyelamatkan dirimu sendiri saja masih menjadi persoalan, apakah gunanya
kau urusi orang lain?"
Ketika ucapan itu tidak digubris Tian Pek, malah pemuda itu meneruskan
tindakannya menolong orang, Hiang-in-huicu, pimpinan dari keempat dewi tho
itu lantas melangkah maju dan merepaskan suatu pukulan dari jauh.
Angin pukulan itu lembut se-olah2 tak bertenaga, namun membawa bau harum
semerbak yang menusuk hidung.
Tian Pek tak berani gegabah, ia pun mengayunkan telapak tangannya dan
menyambut serangan tersebut dengan keras-lawan-keras .
"Bocah bodoh, serangan itu jangan kau sambut, cepat tutup pernapasanmu!"
bisikan lembut menggema lagi di sisi telinga anak muda itu.
Sungguh terkejut Tian Pek demi mendengar bisikan itu, buru2 ia menutup
pernapasannya, walau demikian tak urung ada sedikit bau harum yang tercium
olehnya, kontan kepala jadi pening dan mata berkunang2.
Setelah pemimpinnya bergerak, ketiga dewi lainnya serentak bertindak pula,
masing2 melancarkan suatu pukulan dari jauh.
Tiga gulung asap berwarna putih dengan membawa bau harum serentak
terpancar ke depan dan mengurung sekujur badan Tian Pek.
Untunglah Cui-cui dengan cepat memberi kisikan sehingga anak muda itu
menutup pernapasannya, kendatipun bau harum obat bius yang dipancarkan
Hiang-in-huicu ada sebagian yang tercium olehnya, tapi dengan dasar tenaga
dalamnya yang sempurna, sedikit ia salurkan hawa murninya, obat bubuk itu
seketika dipaksa keluar dari dadanya.
Maka ketika angin pukulan yang dilancarkan ketiga orang dewi lainnya
menggulung tiba, bukan saja Tian Pek tidak roboh, malahan kesadarannya jauh
lebih segar.
Dengan jurus Sam-cing-yau-bun (menyapu bersib hawa iblis) Tian Pek balas
dengan pukulan dahsyat ke depan. angin puyuh disertai suara gemuruh dengan
gencarnya menyapu keempat dewi cabul itu.
Tho-hoa-su-sian menjerit kaget, buru2 mereka menghindar, bagaikan kupu2
yang beterbang¬an di antara pepohonan mereka kabur ke sana-sini.
Berhasil dengan gerakan menghindar, delapan telapak tangan yang putih halus
diayun kembali ke muka dengan lincah, empat gulung hawa berbau harum yang
jauh lebih tebal kembali menyambar ke depan mengurung sekujur badan Tian
Pek.
Untung Tian Pek dapat menutup pernapasannya, ia tak takut lagi menghadapi
serangan kabut harum itu, ketika dilihatnya delapan buah telapak tangan halus
itu menyerang ke arahnya, ia sama sekali tidak menghindar ataupun berkelit,
jurus kedua dari ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang segera dilontarkan.
Keempat dewi Lam-hay-bun ini memang tangguh sekalipun mereka harus
menghadapi pukulan dahsyat, ternyata mereka sanggup bergerak lincah ke sana
kemari, sekalipun angin pukulan itu kencang dan kuat, sekali melejit tahu2
mereka sudah terlepas dari ancaman maut.
Mereka berusaha menghindari pertarungan adu kekerasan, bila diserang
mereka berkelit dan melayang mundur, setiap kali ada kesempatan bubuk
pemabuk yang harum baunya segera ditaburkan.
Mereka yakin Tian Pek takkan sanggup menutup pernapasannya terlalu lama
sambil bertempur, lama kelamaan anak muda itu tentu tak tahan, su¬tu ketika
bila pemuda itu menarik napas, dia pasti akan keracunan dan jatuh tak sadarkan
diri.
Mereka tak menyangka bahwa Lwekang Tian Pek berasal dari kitab pusaka Soh-
kut-siau-hun-pit-kit, semacam ilmu tenaga dalam yang berbeda dengan ilmu
Lwekang pada umumnya, asal satu kali dia tarik napas, maka hawa murni akan
beredar dengan lancarnya di dalam dada dan sanggup tahan sampai sekian
lamanya.
Sebab itulah meski pertarungan telah berlangsung puluhan gebrakan, namun
Tian Pek masih tetap segar bugar, jangankan pusing atau sempoyongan, gejala
mabukpun sama sekali tidak ada.
Tho-hoa-su-sian mulai tercengang, sambil bertempur merekapun berpikir:
"Aneh, benar2 sangat aneh, masakah bocah ini sudah melatih diri sehingga
mencapai tingkatan Kim-kong-put-hwai (ilmu kebal yang membuat badan tak
rusak)? Padahal kabut pemabuk sukma yang kami gunakan adalah obat
pemabuk khas dari Lam-hay.... orang lain bila kena sedikit saja akan segera
pulas, tapi dia ternyata sanggup bertarung terus sekian lamanya, sungguh
peristiwa yang sangat aneh!"
Dari rasa heran, keempat dewi itu jadi penasaran, karena penasaran merekapun
jadi ingin menang, begitu terhindar dari suatu serangan Tian Pek, gadis tersebut
segera membentak: "Mega inginkan baju bunga inginkan tamu."
Berbareng dengan ucapan tersebut, ia pentang kedua tangan dan berjumpalitan
di udara, baju luarnya yang tipis itu tahu2 sudah dilepaskan.
Dengan terlepasnya kain penutup badan, maka terlihatlahsebuah tubuh yang
halus dan ber-liuk2 seperti ular.
Putih halus tubuh nona itu, payudaranya yang montok dengan garis tubuh yang
mempesona, dengan langkah gemulai dan payudara yang dibusungkan, nona itu
melangkah maju, gayanya sanggup membuat mendelik pendeta sekalipun.
Setelah sang Toaci lepas pakaian, Jici (kakak kedua) Hu-yong-huicu tahu encinya
telah memberi komando untuk mengeluarkan barisan Lo-sat-mi-hun-tin (barisan
iblis wanita pemikat sukma), dia lantas berputar dan berseru: "Angin sejuk
berembus keindahan yang menerawang muncul di depan!"
Seraya berteriak, ia lepas bajunya dan dibuang, tubuh yang indah diperagakan di
depan orang banyak.
"Kalau rombongan gadis berkumpul di bukit ..." demikian sambung Samci (enci
ketiga) Siang-hoa-huicu dengan lantang, ia sadar badan, bajunya tersingkap,
pinggulnya yang putih dan gemuk dipertontonkan pula kepada Tian Pek.
Sici (enci keempat) Siau-siang-huicu cepat menyambung: "Berkumpul di
sorga ...."
Ia maju ke depan anak muda itu, melepaskan kancing baju dan membuka
pakaian yang tipis itu, diperlihatkannya payudaranya yang putih montok dengan
putingnya yang ke-merah2an sambil berlenggang dan berjoget.
Kebetulan Tian Pek lagi menghantam dan dada Siau-sian-huicu se-akan2
disodorkan kepadanya.
Keruan Tian Pek terkejut dan buru2 tarik kembali serangannya. Anak muda itu
terbelalak dengan mulut melongo.
Walaupun sudah banyak pertempuran seru dialaminya, belum pernah Tian Pek
ketemu pertempuran yang unik ini, ia menjadi serba salah.
Begitulah, sambil bernyanyi lagi Tho-hoa-su-sian telah melepaskan bajunya satu
persatu dan menari telanjang yang merangsang, tubuh yang putih, paha yang
mulus, payudara yang montok dan lekukan tubuh yang indah, semua terpapar di
depan mata Tian Pek, mereka tidak menyerang dengan obat bius, tapi hanya
menari2 secara merangsang di hadapan Tian Pek.
Bau harum semerbak yang aneh berembus keluar dari tubuh mereka yang
telanjang itu, guncang¬n tubuh mereka dan tarian merangsang yang dibawakan
kian lama kian menggila, membuat jantung orang ber-debar2.
Dalam waktu singkat, seluruh ruangan dipenuhi oleh bau harum yang tebal
ditambah pula pertunjukan tari telanjang hingga suasana di situ makin
memabukkan.
Kecuali Lam-hay-siau-kun, Lam-hay-liong-li dan beberapa tokoh yang berilmu
tinggi, sebagian besar kawanan jago yang hadir sudah terbuai ke alam impian
yang indah, mereka terkesima menyaksikan tarian bidadari yang menawan hati
itu.
Jangankan kaum pria yang memang mudah terangsaog, sekalipun Buyung-hujin
dan Wan-ji juga ikut tenggelam dalam keadaan setengah sadar setelah
meencium bau harum yang memabukkan.
Inilah irama Cing-peng-lok yang paling diandalkan Tho-hoa-su-sian, dengan
irama maut ini sudah ratusan bahkan ribuan lelaki yang mereka tundukkan,
siapa gerangan yang dapat menahan diri setelah mendengar irama merdu
pembetot sukma ini? Siapa yang tahan menyaksikan tarian merangsang dan
menggairahkan itu? Jangankan manusia biasa, manusia bajapun akan luluh
imannya.
Tian Pek melongo terkesima, bukan lantaran tarpikat oleh tarian telanjang itu, ia
cuma heran dan tak habis mengerti, belum pernah ia jumpai pertarungan
Kungfu cara begini.
Maklumlah, pemuda ini sudah banyak menerima gemblengan, Thian-sian mo-li
maupun To-li-mi-hun-toa-hoat yang paling dahsyatpun pernah dijumpai, apalagi
cuma ilmu merangsang yang enteng ini, tidak nanti dapat mempengaruhi anak
muda ini.
Dasar wataknya memang polos, karena keempat dara itu tidak menyerang lagi
melainkan cuma menyanyi dan menari telanjang, dengan sendirinya Tian Pek
sungkan menyerang lagi, iapun berhenti dan memandang tarian telanjang
mereka dengan ter¬mangu2 dan tak tahu apa yang mesti dikerjakan.
"Tolol! Kenapa melamun melulu?" demikian tiba2 bisikan lirih tadi
berkumandang lagi, mengomel sambil tertawa. "Jangan kau anggap tarian itu
indah dan boleh kau nikmati seenaknya, ketahuilah itulah Lo-sat-mi-hun-toa-tin
andalan Tho-hoa-su-sian, bila tidak kau hancurkan barisan mereka, niscaya
kaulah yang bakal celaka!"
Tian Pek bergidik, ia tahu Cui-cui memberi peringatan kepadanya, cepat ia
tenangkan pikiran dan berusaha melepaskan diri dari pengaruh tari merangsang
itu.
Setelah hawa murni dihimpun pada telapak tangan dan menyilangkan tangan di
depan dada, ia membentak gusar: "Perempuan tak tahu malu, hentikan tarian
gilamu! Ketahuilah, Siauya bukan manusia rendah yang mudah dipengaruhi. Hm,
bila kalian tetap nekad dan main gila begini, terpaksa Siauya tidak sungkan2
lagi....!"
Tian Pek lupa bahwa kabut beracun masih menyelimuti seluruh ruangan, dia
hanya berpikir untuk berbicara dan mengancam keempat lawannya, pernapasan
yang selama ini tertutup kini terbuka lantaran harus berbicara.
Bau harum itu lantas menyusup masuk hidungnya dan terisap ke dalam paru-
paru, kontan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pening, ia jadi mabuk.
Sekalipun demikian, ia tetap berusaha menyelesaikan kata-katanya, lantaran itu
kata terakhir menjadi tidak jelas.
Tho-hoa-su-sian cukup berpengalaman, dari keadaan Tian Pek mereka lantas
tahu si anak muda sudah kecundang, tapi sewaktu mereka lihat pemuda itu
masih tetap bertahan merekapun tahun racun yang bersarang di tubuhnya tidak
terlampau banyak.
Serentak gadis-gadis itu menerjang ke depan, sambil goyang pinggul dan pamer
dada mereka menari dengan gaya yang lebih merangsang, mereka coba
mengacaukan pikiran anak muda itu.
"Ai, jangan terlalu garang, ah! Hehehehe!...." seru Hian-in-huicu sambil tertawa
cekikikan.
Hu-yong-huicu lantas menyambung sambil tertawa: "Saudara cilik, belum
pernah kau nikmati kehangatan tubuh perempuan bukan? Hayo, peganglah...
hihihi...."
Dengan kerlingan yang genit, ia menggetarkan payudaranya yang kenyal itu ke
depan, sengaja didekatkan payudaranya yang montok ke depan mata Tian Pek.
Bau harum khas perempuan lantas berembus dari badan gadis itu, apalagi Tian
Pek belum pernah berhadapan dengan perempuan sejalang ini, ia berusaha
menyalurkan hawa murninya guna melawan bau harum yang bikin hati tergoda
itu, apa mau dikata, hawa murninya seolah-olah sudah punah, ia tak mampu
berkutik lagi...."
Sementara itu Siang-hoa-huicu serta Siau-siang-huicu lantas merubung maju
sambil goyang pinggul dan pamer dada, dalam waktu singkat anak muda itu
sudah terkurung di tengah.
Tian Pek merasa kepalanya semakin pening, yang terlihat hanya dada yang
montok dan paha yang mulus, kepala semakin berat dan pandangan pun
kabur.....
Tangkap!" tiba2 Lam-hay-liong-li membentak, menyusul ia tertawa dingin dan
berseru pula: Huh, tadinya kukira kau adalah seorang laki-laki sejati, tak tahunya
juga sebangsa lelaki tak beriman...."
Sungguh ucapan yang menghina, jatuhnya Tian Pek adalah karena kurang hati2
sehingga dia terjebak. Sungguh tidak kepalang gusarnya, tapi apa daya? Badan
terasa lemas tak bertenaga. diam2 menyesal: "Ai, beginilah jadinya kalau kurang
hati-hati akhirnya aku Tian Pek mampus di tangan kaum perempuan hina dina
ini...."
"Tahan!" tiba2 terdengar bentakan nyaring. "Barang siapa berani mengganggu
seujung rambut engkoh Pek, segera akan kubunuh dia!"
Tian Pek berada dalam keadaan tak sadar, ia sempat mendengar dan melihat
Cui-cui yang bertopeng setan telah muncul menolongnya.
"Perempuan hina!" terdengar Lam-hay-liong-li membentak. "Kau mengkhianati
perguruan, sekarang kau berani pula menentang perintahku. Hayo lekas
menyerahkan diri atau kau minta dibekuk!"
Cui cui memberi hormat kepada Lam-hay-liong-li, katanya: "Terimalah hormat
Cui-cui, tapi ini adalah terakhir kali kuhormati dirimu, untuk selanjutnya Cui-cui
telah melepaskan diri dari ikatan Lam-hay-bun....."
Terperanjat Tian Pek meski berada dalam keadaan hampir tak sadar, sungguh
tak tersangka Cui-cui adalah anggota perguruan Lam-hay-bun.
"Tutup mulut!" terdengar Lam-hay-liong-li menghardik, "Hm, besar amat
nyalimu, berani kau bicara begitu. Hehehe, coba jawab, apa hukumannya bagi
pengkhianat perguruan Lam-hay-bun?"
Gemetar Cui-cui mendengar ancaman itu, tapi segera teringat hubungan suami-
isterinya dengan engkoh Pek, sedang engkoh Pek bermusuhan dengan pihak
Lam-hay-bun, kalau sekarang tidak kuputuskan hubunganku dengan Lam-hay-
bun, kelak pasti tak dapat hidup bersama di sisi engkoh Pek...."
Berpikir demikian, ia lantas berkata: "Kiong-Cu, setiap manusia mempunyai cita2
dan tujuannya sendiri, jangan kau paksa diriku untuk melakukan hal-hal yang
tidak kusukai. Cui-cui telah memutuskan hubungan dengan Lam-hay-bun,
semoga Kiong-CU mengingat hubungan baik seperti kakakberadik dengan Cui-
cui di masa lampau dan melepaskan aku."
"Hehehe, hubungan kakak-beradik?" jengek Lam-hay-liong-li sambil tertawa
dingin.
"Jangan kau tempel emas di wajah sendiri. Huhhh! Kau hanya seorang budakku
saja, lantaran aku kasihan padamu maka aku bersikap agak baik padamu. tak
terduga kau lantas berbuat sesukamu, bukan saja topeng setanku kau curi,
kemudian kabur tanpa pamit dan sekarang berani mengkhianati perguruan,
berani juga menentang perintahku Hm, Kau harus diganjar hukuman yang
setimpal.."
Cui-cui penasaran, karena Lam-hay-liong-li bersikap ketus, ia pun tidak lembut
lagi, katanya kasar: "Aku pelayanmu? Hah, enak saja kau mengoceh. Aku
melayani kau lantaran ayahku numpang di rumahmu, aku berbuat demikian
karena ingin membalas kebaikanmu tapi kau anggap aku ini pelayanmu?
Mengenai topeng, benda itu adalah milik Suhu, setelab Suhu meninggal, beliau
tiada berpesan mewariskan topeng itu kepadamu, bila kau boleh pakai, kenapa
aku tak boleh.....?"
Gusar sekali Lam-hay-liong-li, dengan mata melotot ia membentak: "Kurangajar,
kau berani memberontak? Kalau tak kuhajar mampus dirimu, tak mau lagi aku
menduduki tampuk pimpinan Lam-hay-bun lagi!"
Angin pukulan segera menderu2, agaknya Lam-hai-liong-li mulai berhantam
dengan Liu Cui-cui.
Lamat2 Tian Pek masih sempat mendengar bagaimana Lam-hay-siau-kun
berusaha melerai tapi apa yang terjadi selanjutnya tak diketahui lagi karena dia
lantas kehilangan kesadarannya....
—o0o—
—o0o
Entah sudah lewat berapa lama, tiba2 Tian Pek merasa mukanya jadi dingin, ia
menggigil dan siuman kembali.
Begitu membuka mata, tahu2 ia berbaring dalam sebuah kamar yang indah,
banyak orang mengerumuni sekeliling pembaringan.
Pembaringan maupun kamar itu seperti sudah dikenalnya, setelah diamati
dengan lebih seksama, tahulah Tian Pek bahwa ia berada dalam kamar tidur
Leng-hong Kongcu, kamar yang pernah ia tinggali selama beberapa hari ketika
jiwanya ditolong Buyung-hujin dahulu.
Wajah orang2 itu kelihatan cemas dan tidak tenang, agaknya dia telah menjadi
pusat perhatian orang banyak dan semua orang berharap ia cepat sadar
kembali.
Di antara orang2 itu terdapat pula Buyung-hujin dan Wan-ji, yang satu duduk di
depan pembaringan sedang yang lain mendekap di tepi ranjang dengan sorot
mata kuatir, mereka awasi pemuda itu, air mata tampak berlinang-linang di
kelopak matanya.
Liu Cui-cui tampak memegangi sebuah cawan air, rupanya dia yang
menyadarkan Tian Pek dengan air dingin itu.
Ji-lopiautau beserta sekalian Piausu berkerumun di depan pembaringan, saking
gelisahnya mereka gosok kepalan sambil memandang dengan penuh harap,
ketika Tian Pek sadar kembali sesudah disembur air dingin, wajah mereka
kontan berseri girang.
Leng-hong Kongcu yang angkuh duduk termangu2 di sudut sana, entah apa yang
lagi dipikirkannya.....
Begitu sadar Tian Pek lantas melompat bangun dan berseru: "Apa yang telah
terjadi? Dimana orang Lam-hay-bun? Apakah mereka sudah kabur semua?"
"Hiante, jangan bercakap2 dulu!" Ji-lopiautau cepat mencegah, "kau baru sadar,
atur dulu pernapasan dan periksa lukamu, urusan selanjutnya kita bicarakan
pelahan2!"
"Jangan kuatir, tak apa2!" sela Cui-cui dari samping, "kabut harum pemabuk Mi-
hun-hiang-bu dari Tho-hoa-su-sian cuma bikin orang semaput dan tidak melukai
orang, kalau engkoh Pek sudah sadar kembali, itu tandanya dia sudah sehat
kembali..."
"Oo, engkoh Tian! Kau sudah sadar?" seru Wan-ji dengan muka berseri.
Buyung-hujin sendiri tiada hentinya menyeka air mata, sedih dan girang
bercampur aduk, bisiknya: "Tian siauhiap! Terima kasah atas pertolonganmu,
cuma suamiku.... dia...." Meledaklah isak tangisnya yang memilukan hati.
Bibir Leng-hong Kongcu bergerak, seperti ma mengucapkan sesuatu, tapi urung.
Sementara itu Tian Pek sudah mengatur pernapasannya dan terbukti hawa
murni dapat bergerak dengan lancar, ia tahu apa yang dikatakan Cui-cui, tidak
salah, cepat ia melompat bangun sambil menggenggam tangan Cui-cui, serunya
penuh emosi: "Cui-cui, kuminta kau mengaku terus terang, benarkah kau
anggota perguruan Lam-hay-bun?"
Sayu wajah Cui-cui, ia mengangguk pelahan.
"Kenapa tidak kau katakan sejak mula?" seru Tian Pek dengan marah.
Cui-cui melepaskan tangannya dari cekalan Tian Pek, ia duduk di dekat meja dan
tidak bersuara.
Pada dasarnya Tian Pek adalah pemuda yang benci pada segala macam
kejahatan, apalagi setelah menyaksikan betapa keji dan buasnya orang Lam-hay-
bun, kemudian melihat pula kejalangan Tho-hoa-su-sian, rasa benci dan
muaknya sudah bertumpuk, maka ia merasa kecewa setelah tahu bahwa Cui-cui
berasal satu komplotan dengan mereka.
Bila teringat Cui-cui dan dirinya sudah ada hubungan intim sebagai suami-isteri,
maka ia menjadi gelisah dan marah, ia mendengus: "Bagus.... bagus sekali, kau
berani membohongi aku....."
"Tian Hiante, jangan gusar dulu!" buru2 Ji-lopiautau menghiburnya, "sekalipun
nona Liu bekas anggota Lam-hay-bun, jelas dia telah menolong kau dengan
mempertaruhkan jiwa raganya, dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa dia
telah meninggalkan kejahatan dan menuju kebaikan."
Tapi Tian Pek sudah telanjur marah, ia tak gubris nasihat Lopiautau, dengan
gusar serunya lagi: "Aku tak peduli, pokoknva dia membohongi aku karena sejak
mula tidak berterus terang padaku...."
Hati Cui-cui merasa seperti ditusuk2, akhirnya sambil menangis dia kabur keluar
ruangan itu.
Cui-cui adalah nona yang tinggi hati, jangankan orang lain, sekalipun Lam-hay-
liong-li yang setiap hari dilayanipun ia berani membantahnya, sekarang ia telah
dimaki oleh Tian Pek dihadapan orang banyak, kejadian ini dianggapnya sangat
memalukan. Apalagi dengan mempertaruhkan jiwa-raganya ia melepaskan diri
dari ikatan perguruan dan menyelamatkan jiwa Tian Pek, sekarang malahan
dicaci maki oleh pemuda itu, tentu saja ia bersedih hati, tanpa bicara lagi ia
kabur dari situ.
Ji-lopiautau memburu keluar, namun Cui-cui sudah kabur entah ke mana.
"Nona Liu! Nona Liu!" Ji-lopiautau berteriak, namun tiada jawaban, tampaknya
gadis itu sudah pergi jauh.
Akhirnya ia balik ke dalam kamar, katanya kepada Tian Pek: "Tian-hiante,
bukannya engkoh tua suka menegur dirimu, tapi perangaimu memang terlalu
terburu napsu, biarpun nona Liu berasal dari Lam-hay-bun, toh beberapa kali ia
sudah menolong kita, bahkan tak segan2 memusuhi pihak perguruannya, dari
situ dapat kita ketahui bahwa ia sudah bertekad meninggalkan Lam-hay-bun,
pepatah bilang: Seorang laki2 sejati tak akau menghalangi orang lain bertobat
dan menuju ke jalan yang benar. Tapi kau telah bersikap kasar padanya,
bukankah tindakanmu itu justru akan menjerumuskan dia ke lembah
kenistaan.... ?"
Sesungguhnya kemarahan Tian Pek terhadap Cui-cui bukan lantaran Cui-cui
berasal dari Lam-hay-bun belaka, tapi merupakan luapan perasaan yang
terpendam selama beberapa bulan berkumpul dengan nona itu.
Perkenalan Tian Pek dengan Cui-cui sebagaimana diketahui adalah lantaran
gadis itu menyelamatkan jiwa pemuda itu ketika terluka, di kala itu Tian Pek
hanya merasa berterima kasih tanpa sedikit perasaan cinta pun.
Kemudian gerak-gerik Cui-cui yang misterius dan serba rahasia itu pernah
menimbulkan curiganya dan diam2 ia ingin meninggalkannya, tapi waktu
diketahui Pedang Hijau serta kitab Soh-hun-siau-kut telah diambil gadis itu,
mau-tak-mau ia mencari lagi jejaknya.
Waktu pertarungan di tepi sungai melawan Kim-hu-siang-tiat-wi mereka
bertemu pula dan karena kurang hati2 mereka jatuh di dalam sampan dan
mengakibatkan terjadinya hubungan tubuh yang melampauipersahabatan,
sampai disitupun tiada dasar cinta yang mendalam di hati pemuda itu, apa yang
terjadi itu hanya secara kebetulan saja dan karena dorongan napsu seketika itu.
Tian Pek merasa gadis itu telah mempersembahkan kesucian tubuhnya
kepadanya, maka iapun tak dapat meninggalkan tanggung jawabnya dengan
begatu saja, ia mengambil keputusan akan memperisteri dan menjadikan nona
itu sebagai teman hidupnya. Di sinilah terbukti kebijaksanaan Tian Pek yang
mulia dan kebesaran jiwanya.
Berbeda dengan Cut-cui, ia mencintai Tian Pek dengan sepenuh hati, cinta
remaja yang penuh gairah kebanyakan memang demiklan, sekali pandang lantas
jatuh cinta, sekali suka lantas menyerahkan tubuhnya, untung juga dia ketemu
Tian Pek, kalau ketemu pemuda bergajul, bisa jadi dia akan merenungkan
nasibnya yang malang.
Kesungguhan hati Cui-cui bisa dibuktikan dengan kesediaannya berkorban untuk
mengobati luka Tian Pek dengan tubuh telanjang, bagaikan ayam yang
mengerami telur, setiap hari ia bertelanjang mendekapi tubuh pemuda itu serta
melaksanakan terapi penyembuhan Sun-im-liau-siang.
Setelah pemuda itu sembuh, dengan bertubuh telanjang dan melakukan
gerakan To-li-mi-hun-toa-hoat ia membantu Tian Pek berlatih tiga macam ilmu
maha sakti yang tercantum dalam kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip, boleh dibilang
kesuksesan Tian Pek sekarang adalah berkat bantuan Cui-cui.
Suatu ketika, Cui-cui menggoda Tian Pek dengan sepatah kata, ia berkata:
"Engkoh Pek, mulai sekarang kauharus tunduk pada segala perintahku dan tak
boleh membangkang."
Sejak meninggalkan lembah bukit itulah, sepanjang perjalanan nona itu selalu
membatasi ruang gerak Tian Pek. bahkan setiap kali mempraktekkan ucapan di
atas, lama-kelamaan timbul juga perasaan tak puas di dalam hati pemuda itu.
Apalagi setiap hari gadis itu mengenakan topeng setan, hal ini mendatangkan
pula perasaan tak senang bagi Tian Pek.
Perasaan tak puas dan tak senang ini kian menumpuk, lama kelamaan
terciptalah perasaan gemas yang tak terkendalikan.
Ji-lopiautau adalah orang luar, sudah tentu ia tak tahu perasaan muda-mudi itu,
dia hanya menganggap Tian Pek yang berbuat kelewat batas.
Tapi Tian Pek tetap penasaran, dia mendengus berulang kali, anak muda ini pikir
tidak pantas Cui-cui membohonginya, ia anggap dirinya sebagai suami Cui-cui,
tidak sepantasnya seorang isteri membohongi suaminya.
Sementara itu Buyung-hujin berkata kepada Tian Pek: "Nona Liu itu orang baik,
kungfunya juga tinggi, tanpa bantuan nona Liu mungkin kita semua sudah
mampus di di tangan perempuan sadis dari Lam-hay-bun itu!"
"Ah, belum tentu!" tiba2 Wan-ji menyela, "seandainya sastrawan berbaju putih
yang disebut Lam-hay-siau-kun itu tidak bentrok sendiri dengan Lam-hay-liong-
li, kurasa Liu Cui-cui pun tak mampu menghadapi serangan keji perempuan
itu...."
"Wan-ji, siapa suruh kau banyak mulut?" omel Nyonya Buyung sambil melotot,
"bukankah kau sendiripun dibekuk musuh? Untung kita ditolong nona Liu, kalau
tidak ...."
"Kalau anak tidak kecundang oleh serangan gelap Tho-hoa-su-sian, jangan harap
mereka bisa membekuk diriku....." bantah Wan-ji dengan penasaran.
Melihat kedua orang itu nyaris cekcok sendiri, buru2 Ji-lopiautau mengalihkan
pokok pembicaraan, "Sudahlah, urusan yang sudah lewat biarkan lewat, apa
gunanya disinggung lagi? Dewasa ini Lam-hay-bun sudah mengembangkan
sayapnya ke seluruh daratan Tionggoan, mereka main bunuh dan main siksa
seenaknya sendiri, kalau tidak ditanggulangi secepatnya, bisa jadi daratan
Tionggoan akan jadi bukit mayat dan lautan darah, entah berapa banyak jiwa
manusia lagi yang akan jadi korban ?"
Pada saat itulah tiba2 sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam ruangan,
rupanya orang ini adalah paman Lui, kepada nyonya Buyung berkata: "Lapor
Hujin, kawanan cecunguk yang berkhianat dan takluk kepada pihak Lam-hay-bun
sudah dibereskan semua, sisanya yang masih setia kepada Hujin sekarang
berkumpul di halaman tengah, jumlahnya mencapai seratus orang lebih, mereka
sedang menunggu keputusan Hujin!"
Buyung-hujin memang tak malu disebut nyonya pemuka dunia persilatan,
meskipun baru saja tertimpa musibah, suaminya baru saja tewas secara
mengerikan, namun dia masih tetap tenang menyelesaikan kesulitan2 yang
dihadapinya.
-------------
Apa yang akan dilakukan
sakit hati?
Cui-cui setelah meninggalkan Tian Pek dengan
Ke mana perginya orang2 Lam-hay-bun setelah gagal menaklukkan Tian Pek?
Jilid ke 20 : Wan-ji pedih kekasih jadi calon suami kakaknya
Selesai mendengar laporan itu, dia keluar untuk menemui kawanan jago yang
setia, kemudian mengatur kembali jabatan serta kedudukan orang itu ....
Kesempatan ini pun digunakan paman Lui untuk menjumpai Ji-lopiautau,
kemudian menyapa pula Tian Pek di pembaringan.
Kini Tian Pek memandang paman Lui sebagai sanak sendiri, ia lantas
menceritakan asal-usul sendiri dan mengenai dendam berdarah ayahnya
Paman Lui manggut2, akhirnya ia memperingatkan anak muda itu: "Soal
dendam memang urusan penting, apalagi dendam kematian ayahmu, tapi
sekarang Buyung-cengcu sudah tewas, sebagai seorang ksatrya sudah
sewajarnya kau lupakan masalah itu, yang sudah mati sudahlah, akhirilah sakit
hatimu dengan berakhirnya riwayat hidup orang itu Mulai detik ini, pekerjaan
terpenting yang harus kau lakukan adalah bagaimana caranya bekerja sama
dengan kawan2 persilatan untuk ber-sama2 menentang kelaliman orang2 Lam
hay bun, entah bagaimana pendapatmu tentang persoalan ini?"
Sambil berkata paman Lui menatap tajam wajah Tian Pek se-akan2 berusaha
menembus perasaan hati anak muda itu.
Setelah Tian Pek mengangguk, legalah hati jago tua ini ia merasa terhibur karena
keturunan sahabatnya ini ternyata berjiwa besar, segera ia pegang tangan Wan-
ji dan Leng-hong Kongcu dan menarik kedua orang itu ke depan Tian Pek,
katanya: "Mereka ini adalah putera-puteri Buyung cengcu, dendam angkatan
tua biarlah ikut dibawa masuk ke liang kubur, semoga generasi sekarang ini bisa
melupakan kejadian lalu dan mengikat tali persaudaraan yang lebih erat. Nah,
bersahabatlah kalian lebih akrab!"
Dengan pandangan mesra Wan-ji menatap Tian Pek, sebab sejak dulu dia
memang mencintai Tian Pek, dia tak tahu orang tua mereka pernah terikat
permusuhan begitu, sekarang sesudah persoalannya dibikin terang oleh paman
Lui, sudah tentu ia merasakan hal ini se-olah2 pucuk dicinta ulam tiba . . .
Leng hong Kongcu yang angkuh lenyap kepongahannya saat itu, ia kelihatan
sedikit kikuk dan tak tahu apa yang mesti dilakukan......
Tian Pek lantas ulurkan tangannya dan menggenggam tangan Wan-ji dan Leng-
hong Kongcu. Merah wajah Leng-hong Kongcu, ia pun menjabat tangan Tian
Pek.
Rasa girang Wan-ji sukar dilukiskan, ia menggenggam tangan Tian Pek erat2,
seandainya dalam kamar itu tak ada orang lain, mungkin ia sudah menjatuhkan
diri ke dalam pelukan anak muda itu.
Dengan mudah saja paman Lui berhasil mencairkan permusuhan kedua
keluarga, Ji-lopiautau dan kawanan Piausu lainnya ikut mengucapkan selamat.
Di antara sekian banyak orang, paman Lui kelihatan paling gembira, ia tertawa
ter-bahak2, tapi tiba2 air mata bercucuran, ia menangis terisak dengan sedihnya
....
Kelakuan aneh paman Lui ini kontan saja bikin orang melengak, dengan heran
mereka mengawasi orang tua itu.
Kebetulan Buyung-bujin telah kembali, ia lihat paman Lui tertawa tergelak
kemudian menangis sedih, mau-tak-mau iapun melongo heran.
"Saudara Lui," cepat tegurnya, "orang suka mengejek dirimu sebagai si sinting,
jangan2 kau ngahannya saat itu, ia kelihatan sedikit kikuk dan tak tahu apa yang
mesti dilakukan......
Tian Pek lantas ulurkan tangannya dan menggenggam tangan Wan-ji dan Leng-
hong Kongcu. Merah wajah Leng-hong Kongcu, ia pun menjabat tangan Tian
Pek.
Rasa girang Wan-ji sukar dilukiskan, ia menggenggam tangan Tian Pek erat2,
seandainya dalam kamar itu tak ada orang lain, mungkin ia sudah menjatuhkan
diri ke dalam pelukan anak muda itu.
Dengan mudah saja paman Lui berhasil mencairkan permusuhan kedua
keluarga, Ji-lopiautau dan kawanan Piausu lainnya ikut mengucapkan selamat.
Di antara sekian banyak orang, paman Lui kelihatan paling gembira, ia tertawa
ter-bahak2, tapi tiba2 air mata bercucuran, ia menangis terisak dengan sedihnya
....
Kelakuan aneh paman Lui ini kontan saja bikin orang melengak, dengan heran
mereka mengawasi orang tua itu.
Kebetulan Buyung-hujin telah kembali, ia lihat paman Lui tertawa tergelak
kemudian menangis sedih, mau-tak-mau iapun melongo heran.
"Saudara Lui," cepat tegurnya, "orang suka mengejek dirimu sebagai si sinting,
jangan2 kau memang benar2 sinting? Masa sudah tua begini, bisa2nya kau
tertawa sambil, menangis?....."
Sambil menyeka air matanya yang bercucuran paman Lui lantas menerangkan
hal ikhwal hubungan antara ayah Tian Pek dengan Buyung-cengcu akhirnya ia
menambahkan: "Enso selama ini kau mengganggap diriku sebagai saudara
sendiri, sedang aku dengan ayah Tian hiantit adalah sahabat sehidup semati,
mengapa aku tak boleh tertawa bila usahaku mencairkan dendam antara kedua
keluarga ini berhasil? Dan kenapa aku tak boleh menangis karena aku merasa
tak bisa membalaskan dendam bagi kematian saudara In-thian?"
Tiba2 Buyung-hujin memeluk Tian Pek dan menangis pula dengan sedihnya.
Kali ini paman Lui yang dibikin bingung, ia berusaha untuk menghibur nyonya
itu, katanya: "Enso, baru saja kau mengatakan diriku sinting jangan2 kaupun
ketularan penyakitku? Apa sebabnya kau ikut menangis?"
Sambil menahan rasa sedih Buyung-hujin menyahut. "Sampai detik ini baru
kutahu peristiwa pembunuhan yang terjadi waktu itu adalah hasil
perbuatannya.... O, tahukah kalian bahwa Tian siauhiap sebenarnya adalah
keponakan keluarga ibuku?"
Kiranya nyonya Buyung berasal dari marga Tian, dia adalah saudara sepupu Pek
lek-kiam Tian In-thian, maka hubungan mereka boleh dikatakan sangat dekat
sekali.
Tiba2 Ji lopiautau berkata: "Ai, begitulah dendam dan budi yang sering terjadi di
dunia persilatan, segala sesuatu sukar diraba dari famili bisa menjadi musuh,
bisa pula musuh berubah menjadi sanak keluarga sendiri . .."
Seperti teringat akan sesuatu, jago tua ini lantas berpaling ke arah Buyung-hujin
dan berkata lagi: "Kemarin malam, ketika aku menyusup ke gedung ini tanpa
sengaja aku tersesat ke sebuah taman, pada sebuah tempat di taman itu kulihat
seorang gadis disekap di situ, entah siapakah anak dara itu? Kenapa dia
disekap ... .?"
"Ai, itulah dia enciku!" teriak Wan-ji sebelum Ji-lopiautau menyelesaikan
kata2nya.
"Ya, dia anak Hong!" seru Buyung-hujin dengan cemas. "Dia disekap di sana oleh
setan tua itu. Untung Ji-lopiautau mengingatkan, kami sendiri telah
melupakannya, Hayo cepat kita ke sana dan membebaskan dia. Ai, entah betapa
penderitaan
yang dialami bocah itu . . . " Habis berkata, tanpa menunggu orang2 lain ia lantas
memburu keluar lebih dahulu.
Wan-ji, Tian Pek, paman Lui serta Ji-lopiautau sekalian segera menyusul dari
belakang, dengan gerak tubuh beberapa orang itu, dalam waktu singkat mereka
telah berada di taman sana, bangunan gedung yang sunyi sepi terbentang di
depan.
Buyung Hong yang pucat masih berdiri di balik terali besi sambil
bersenandungkan syair Tiang-siang-si karya Li Pek, suaranya lirih dan memilukan
hati.
Buyung-hujin tak sanggup menahan kepiluan hatinya menyaksikan keadaan
puterinya yang mengenaskan, sambil menahan isak tangisnya ia berseru: "Anak
Hong, ibu datang menolong kau . . . "
Tian Pek melayang ke depan pintu. "Trang," gembok yang amat besar itu segera
terpapas patah, pintu gedung didobrak secara paksa.
Ketika pemuda itu melayang masuk ke dalam ruangan, Buyung Hong berdiri
terbelalak dengan melongo, lama sekali ia menatap Tian Pek tanpa berkedip,
anak dara itu merasa se-olah2 berada di dalam mimpi, selang sesaat kemudian
baru ia menubruk ke dalam pelukan Tian Pek dan menangis tersedu-sedan.
Keadaan Buyung Hong memang mengenaskan rambutnya yang panjang terurai
dalam keadaan awut2-an, meskipun berada dalam pelukan Tian Pek, namun
suara tangisannya yang memilukan cukup membuat orang lain ikut melelehkan
air mata terharu.
Semua orang merasa Ti-seng-jiu Buyung Ham kelewat keji, sampai2 puteri
kandung sendiripun ia perlakukan sekejam itu, manusia macam begini memang
pantas kalau mati.
Sementara itu Buyung-hujin berdiri tertegun dengan perasaan tak keruan,
maklum di hadapan orang banyak puterinya Itu bukan saja tidak menggubrisnya,
tapi malahan menubruk ke dalam pelukan Tian Pek, sebagai seorang ibu
bagaimanakah perasaannya?
Ia merasa, tidaklah pantas kalau seorang gadis perawan berada terus dalam
pelukan seorang laki2, cepat ia menarik tangan Buyung Hong seraya berseru:
"Nak, semuanya ini salah ibu, gara2ku kau harus disekap ayahmu sekian
lama....."
Buyung Hong terus menubruk ke dalam pelukan ibunya dan menangis
tergerung, seluruh siksa deritanya selama ini se-olah2 hendak dilampiaskan.
Setelah dihibur banyak orang, perlahan Buyung Hong baru berhenti menangis,
kemudian dipayang oleh Buyung-hujin dan Wan-ji menuju ke ruang depan, Wan-
ji disuruh menemani encinya membersihkan badan dan ganti pakaian, Buyung-
hujin menarik paman Lui ke sudut ruangan, kedua orang tua itu tampak
berunding sesuatu.
Tampak paman Lui manggut2, bahkan sambil bertepuk dada ia berjanji akan
melakukan tugas itu. Tugas apa? Tak ada yang tahu . .
Kiranya Buyung-hujin memohon paman Lui agar suka menjadi comblang bagi
puterinya, nyonya itu ingin menjodohkan puteri sulungnya kepada Tian Pek,
sebab ia cukup memahami perasaan puterinya, apalagi setelah adegan yang
berlangsung dalam pertemuan tadi, di mana gadis itu menubruk ke dalam
pelukan Tian Pek, ia tahu puterinya akan bergairah kembali apabila dikawinkan
dengan pemuda itu, sebab itulah ia minta tolong kepada paman Lui untuk
mengikat tali perkawinan kedua muda-mudi itu.
Ketika berita gembira itu disampaikan oleh paman Lui kepada Tian Pek, pemuda
itu merasa tak dapat menampik pinangan tersebut dengan begitu saja, pertama
karena mereka pernah saling bertelanjang bulat akibat pengaruh irama seruling.
Ke dua, peristiwa menangisnya anak dara itu dalam pelukannya tadi, ketiga, ia
menaruh rasa simpati dan kasihan pada anak dara itu dan keempat, baru saja ia
cekcok dengan Liu Cui cui, ditambah pula dia harus memberi muka kepada
paman Lui, oleh sebab itulah dia mengangguk tanda setuju
Tian Pek lupa, dengan tindakannya ini meskipun ia telah menggirangkan hati
Buyung Hong, tapi justeru ia telah melukai perasaan seorang gadis lain dan gadis
itu tak lain tak-bukan adalah Tian Wan ji.
Waktu itu Wan ji sedang menemani encinya membersihkan badan dan tukar
pakaian, ketika kembali ke ruang depan dan mendengar kabar tersebut,
hancurlah perasaannya, kini encinya akan menjadi bakal isteri satu2nya orang
yang dicintainya.
Dengan hati yang remuk redam diam2 tanpa sepengetahuan orang lain Wan-ji
berlalu dari gedung itu.
"Tentu saja sebagai adik tak mungkin baginya untuk berebut pacar dengan
kakaknya sendiri namun ia pun tidak tahan menyaksikan perkawinan yang akan
menghancur-lumatkan hatinya ini, ia pikir bila bunuh diri di rumah, hal ini hanya
akan merepotkan ibunya belaka, maka sesudah berpikir akhirnya dia mengambil
keputusan untuk minggat.
Begitulah, ketika upacara penguburan jenazah Buyung-cengcu selesai dan
semua orang mempersiapkan pesta perkawinan antara Tian Pek dan Buyung
Hong, saat itulah semua orang baru tahu Wan ji telah lenyap tak berbekas,
semua orang lantas men-duga2 apa sebabnya anak dara itu pergi tanpa pamit.
Di antara sekian banyak orang, hanya Tian Pek seorang yang mengerti, ia tahu
gadis itu meninggalkan rumah tanpa pamit adalah lantaran dirinya.
Beberapa kali Wan-ji pernah mempertaruhkan jiwanya untuk menolong dirinya,
pemuda itu tahu Wan-ji adalah seorang gadis polos yang belum punya
pengalaman apa2 dalam dunia persilatan, apabila membiarkan gadis itu
berluntang-lantung sendirian di dunia persilatan, sudah pasti jiwanya akan
terancam.
Sebagai seorang pemuda yang berjiwa ksatria. apakah nanti Tian Pek bisa
tenang menikmati bulan madunya. Setiap kali berduaan dengan Buyung Hong
pikirannya lantas melayang memikirkan keselamatan Wan ji.
Lama kelamaan ia jadi tak tahan, akhirnya ia berunding dengan Buyung Hong
untuk mengundurkan perkawinannya, malahan iapun minta pertimbangan
Buyung-hujin dan paman Lui tentang niatnya akan keluar mencari Wan ji.
Kebetulan Ji-lopiautau juga hendak pamit untuk mencari barang kawalannya
yang hilang, sebab sewaktu orang2 Lam-hay-bun meninggalkan Pah-to-san-ceng,
mereka telah membawa pula barang begalannya. Paman Lui juga kuatir
membiarkan Tian Pek dan Buyung Hong melakukan perjalanan sendiri, akhirnya
diputuskan mereka berempat berangkat bersama.
Dengan memilih empat ekor kuda jempolan, berangkatlah mereka
meninggalkan perkampungan Pah-to-san-ceng, tapi kemanakah mereka harus
pergi? Dunia tidak selebar daun kelor, mencari jejak seorang di dunia seluas ini
boleh bilang ibaratnya mencari sebiji jarum di tengah samudera, ke mana
mereka menuju?
Menurut perkiraan Tian Pek, Wan-ji hanya pernah mengunjungi kota Lam-keng
serta daerah di sekitarnya seperti "duabelas gua karang", apalagi di tempat itu
terdapat pula lembah Bong-hun-kok yang sangat rahasia letaknya, gadis itu
pernah belajar silat selama beberapa bulan pada Sin-kau Tiat Leng, siapa tahu
kalau anak dara itu bersembunyi di sana?
Mendengar penuturan tersebut, paman Lui merasa ada kemungkinan betul
dugaan itu, apalagi Ji-lopiautau tiada tujuan tertentu dalam usaha pencarian
harta kawalannya, maka diputuskan mereka berempat berangkat ke Lam keng.
Dari Ce-lam keempat orang itu berangkat menuju Lam-keng, ketika melalui
propinsi Kangsoh dan Soatang, sepanjang jalan mereka temukan di mana2 orang
mengenakan lambang perguruan Lam hay-bun, selain itu merekapun sempat
mendengar beberapa pantun yang sedang populer di dunia persilatan dewasa
itu.
Pantun itu sangat populer sehingga anak kecil-pun ikut menyanyikannya di
mana2.
Begini bunyi pantun itu: "An lok Kongcu yang romantis kini tak romantis, Siang-
lin Kongcu yang hangat kini jadi dingin, Toan-hong yang luntang lantung kini ada
pemiliknya, hanya naga sakti dari Lam-hay tetap jaya."
Dulu, sewaktu masa jayanya keempat Kongcu dunia persilatan ada pantun yang
mengatakan: "An lok Kongcu paling romantis, Siang-lin Kongcu paling hangat,
Toan-hong Kongcu luntang-lantung tanpa tujuan, Leng-hong Kongcu tak punya
perasaan", maka sekarang pantun itu merupakan kebalikannya, cuma Leng-hong
Kongcu tidak dicantumkan lagi namanya.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan empat pemuka dunia persilatan
telah punah, sekarang pangeran naga sakti dari Lam-hay-bun yang berkuasa, ini
terbukti dari akhiran pantun yang berkata: "Hanya naga sakti dari Lam-hay tetap
jaya!"
o oO 0O0 Oo o
Menjelang senja, Tian Pek berempat masih melanjutkan perjalanan di suatu
tanah perbukitan yang tandus dan sepi, meskipun udara mulai gelap, namun
mereka masih berada jauh dari kota.
Pada saat itulah, mendadak di kejauhan tampak kilatan cahaya api menjulang
tinggi ke angkasa di atas bukit di depan sana.
Kobaran api itu besar sekali, di tengah remangnya cuaca, cahaya api yang
memancar itu tampak amat menyolok.
Angin berhembus kencang saat itu, api yang sedang berkobar dengan besarnya
dengan cepat merambat ke daerah sekelilingnya, dalam waktu singkat hampir
separuh bukit sudah terjilat api, dipandang dari kejauhan, kebakaran itu se-
olah2 seekor naga api yang mendekam di punggung bukit.
Diam2 Tian Pek mengamati tempat kebakaran itu, mendadak ia menjerit kaget
seraya berseru: "Wah celaka, tampaknya kebakaran itu terjadi di tempat tinggal
kedua orang sobat kental mendiang ayahku. Aneh, mengapa rumah mereka bisa
terbakar sehebat ini?"
"Siapakah kedua orang itu?" paman Lui cepat bertanya sambil menarik tali
kudanya. "Kebanyakan sobat kental ayahmu kenal juga denganku, coba
sebutkan nama kedua orang yang tinggal di bukit itu!"
"Mereka menyebut dirinya sebagai Hoat-si-jin (orang mati hidup) dan Si hoat-jin
(orang hidup mati)!"
"Hoat-si-jin dan Si-hoat-jin? Aneh benar nama itu, belum pernah kudengar nama
tokoh silat seaneh itu ... " seru paman Lui dengan melengak.
"Kukira itu hanya nama samaran mereka, sebab nama itu kedengarannya
memang aneh benar!" tutur Tiun Pek.
Lalu ia menerangkan dandanan serta potongan badan kedua orang aneh itu,
sekalian ia terangkan pula gaya Kungfu mereka.
Selesai mendengar keterangan tersebut, sambil menepuk paha paman Lui
berseru: "Aha, rupanya Tay-pek siang-gi! Benar, pasti kedua orang bersaudara
itulah yang kaumaksudkan, sebab orang lain tak nanti paham Tay kek ji-gi le-
hun-ciang (ilmu pukulan dua unsur sakti pencabut nyawa), di kolong langit cuma
kedua orang itulah yang bisa memainkan ilmu silat tersebut. Hayo berangkat,
kita tengok ke sana."
Ia lantas membedal kudanya menuju ke puncak bukit yang tertimpa kebakaran
itu. Tian Pek, Buyung Hong serta Ji-lopiautau segera menyusul dari belakang
dengan cepat.
Dengan kecepatan lari keempat ekor kuda itu dalam sekejap mereka sudah
mendaki ke atas bukit itu, dari kejauhan mereka lihat ada belasan orang laki2
kekar sedang bertempur sengit mengerubuti dua bayangan putih di bawah
cahaya kobaran api yang terang.
Walaupun masih berada agak jauh, namun Tian Pek dapat mengenali kedua
sosok bayangan putih yang sedang dikerubuti belasan orang kekar itu tak lain
adalah Si-hoat-jin dan Hoat-si-jin.
Selain belasan orang kekar itu terdapat pula seorang pemuda baju hijau yang
sedang bertempur sengit bersama Tay-pek-siang-gi, Tian Pek segera mengenali
pemuda itu sebagai Siang-lin Kongcu.
"Aneh benar!" demikian ia berpikir, "kenapa Siang-lin Kongcu bisa muncul di sini
dan bersama Thay-pek-siang-gi menghadapi kerubutan musuh?"
Sementara itu jilatan api telah menghancurkan teinpat kediaman kedua orang
mati itu, rumah itu sudah tenggelam di tengah lautan api.
"Locianpwe jangan gugup, aku datang membantu," teriak Tian Pek dengan
lantang seraya melayang masuk ke dalam gelanggang kedua telapak tangannya
berputar kencang, "bluk! bluk!'" beruntun ia hajar dua orang musuh sampai
mencelat. . . .
Paman Lui pun melayang masuk ke dalam gelanggang pertarungan bagi ikan
burung elang sambil menerkam musuh ia ter-bahak2, serunya: "Hahahaha! Tay-
pek-siang-gi, sudah puluhan tahun kalian menyembunyikan diri seperti kura2,
kalian berusaha menghindari pertemuan denganku, dan sekarang, hahaha,
sarang kalian dibakar orang, kalian akan sembunyi di mana lagi ....?"
Tiba2 terdengar tertawa seram, menyusul mana dari balik kerumunan orang
banyak melayang keluar seorang.
"Lui sinting, jangan kau berlagak!" teriak orang itu sambil menuding paman Lui.
"Untung kau lolos di Pah-to san ceng, tapi malam ini bertemu kembali, jangan
harap kau akan lolos lagi dalam keadaan hidup!"
Dengan pandangan setajam sembilu paman Luj mengamati orang itu, dia adalah
seorang kakek botak bermuka buas dan berlengan satu, siapa lagi kalau bukan
Tui hun leng Suma Keng?
Paman Lui menengadah dan tertawa terbahak2: "Hahaha, kukira siapa yang
berani menantang aku, tak tahunya adalah bandit buntung macam kau yang
telah membakar rumah dan membunuh di tengah hutan begini,"
"Lui edan, tak perlu kau berlagak edan di hadapanku!" teriak Tui hun-leng.
"Hari ini akan kusuruh kau mampus tak terkubur di ujung keleningan mautku!"
"Kling! Kling!" begitu selesai berkata, keleningan maut segera diguncangkan,
dengan membawa suara yang memekak telinga langsung menghantam batok
kepala paman Lui.
Hebat serangan itu, cahaya kuning yang menyilaukan segera menyambar, sekali
serang segera Suma Keng melancarkan serangan maut.
Meskipun dahsyat serangan musuh, tanpa gentar sedikitpun paman Lui berdiri
tegak di tempatnya, ia mencibir, ejeknya "Huh, hanya ilmu jual koyok macam
inipun ingin pamer di depan orang ..."
Meskipun di mulut mengejek, tangannya tidak menganggur, begitu serangan
Tui-hun-leng tiba, cepat ia berkelit ke samping, berbareng iapun melepaskan
satu pukulan dahsyat ke iga kiri Suma Keng.
Ilmu Thian-hud-ciang paman Lui dipelajarinya dari kitab pusaka Soh-kut-sim-hun
pit kip, kendatipun tidak selihay Tian Pek, namun ketika digunakan, angin
pukulannya cukup mengerikan.
Tui-hun-Ieng kehilangan sebuah lengan kiri, sekalipun ilmu silatnya lihay, namun
pertahanan pada bagian kirinya menjadi kosong dan lemah, apalagi ketika
menyerang paman Lui barusan ia telah menggunakan tenaga yang kelewat
batas, tatkala tiba2 sasarannya menghindar, menyusul sebuah pukulan balasan
lawan menghajar iga kirinya, Tui-hun-leng jadi kaget dan gugup.
Perlu diketahui, serangan balasan yang dilancarkan paman Lui selain lihay juga
cepat luar biasa, baru saja Suma Keng merasa serangannya mengenai tempat
kosong, tahu2 angin pukulan paman Lui sudah menyambar tiba.
Dalam keadaan begini sulit baginya untuk menghindar, untung ilmu silat Suma
Keng memang tangguh, dalam posisi yang serba sulit, cepat ia mengegos ke
samping, dada kiri terhindar dari pukulan maut, dengan bahu kiri ia sambut
hantaman itu.
"Blang," Suma Keng mencelat jauh, bahu kirinya sakit bagaikan dipukul martil,
sakitnya tidak kepalang.
Berhasil dengan serangannya, paman Lui terbahak, katanya: "Malam itu di Pah
to san-ceng kau berani mencari gara2 pada Lui toayamu, karena mengingat
sesama orang sendiri. Lui-toaya tidak sampai melukai kau, tapi sekarang kau
bangsat ini sudah berkhianat, pagar makan tanaman, dalam bahaya bukan
membela sobat sebaliknya kau malah takluk pada musuh, maka Lui-toaya
sekarang tidak akan sungkan2 lagi padamu, boleh kau mencicipi bagaimana
rasanya pukulan Thian hud ciang!"
Begitu selesai berkata, secepat kilat ia menubruk lagi ke depan, dengan jurus
Hud-cou-hang-coh ia hantam dada Suma Keng.
Paman Lui kadung benci pada orang yang tak tahu malu dan rendah ini, karena
itu kendatipun ia tahu Suma Keng sudah terluka, namun serangannya tetap
disertai tenaga dalam sepenuhnya
Sebaliknya Suma Keng terlalu pandang enteng lawan sehingga dalam satu
gebrakan isi perutnya terluka parah, waktu itu ia sedang mengatur pernapasan,
ketika serangan kedua paman Lui dilontarkan ke arahnya dengan kekuatan yang
mengerikan, ia berusaha untuk menghindar, namun tak mampu, mau melawan
juga tak kuat, saking takutnya air mukanya berubah pucat seperti mayat, hampir
saja ia menjerit.
Pada saat yang gawat itulah tiba2 sesosok bayangan berkelebat dari samping, di
tengah udara ia sambut serangan paman Lui itu dengan keras lawan keras.
"Blang!" benturan keras terjadi, paman Lui tergetar mundur, diam2 ia kaget oleh
tenaga dalam orang itu.
Walaupun demikian, penyergap itupun kena dihajar oleh tenaga pukulan paman
Lui sampai berjumpalitan beberapa kaki di udara, ketika melayang turun air
mukanya sebentar berubah merah dan sebentar pucat, jelas ia telah kecundang.
Orang itu tak lain adalah Tok-kak-hui-mo Li Ki. Setelah tarik napas panjang,
katanya: "Lui sinting, tak perlu kau berlagak, coba rasakan lagi pukulan tuanmu
ini!" Habis berkata sekaligus ia lontarkan tiga pukulan dahsyat
Selama berkecimpung di dunia persilatan, keistimewaan yang diandalkan Tok-
kak-hui-mo Li Ki adalah kecepatan gerak tubuh serta anehnya jurus serangan
yang dipakai maka bisa dibayangkan betapa dahsyat dan hebatnya serangan
yang dilancarkan dengan nekat.
Dalam pada itu, Ji-lopiautau dan Buyung Hong masing2 juga sudah bertempur
dengan musuh, Tian Pek sendiri setelah berhasil mendesak mundur 4-5 orang
berpakaian ringkas, ketika tiba2 melihat keadaan paman Lui terancam bahaya,
cepat ia memburu ke sana.
"Hiantit, tahan!" teriak paman Lui dengan lantang "Serahkan saja makhluk
pincang ini kepadaku, biar paman bereskan dia."
Diiringi bentakan keras, beruntun ia lepaskan dua kali pukulan gencar untuk
memulihkan kembali posisinya yang terdesak, kemudian bergantian dia
memberondong Tok-kak-hui-mo dengan beberapa kali pukulan yang lebih
dahsyat.
Seketika Tok-kak-hui-mo Li Ki terdesak mundur hingga jauh.
Di pihak lain, Tui-hun-leng Suma Keng telah memanfaatkan peluang itu untuk
mengatur pernapasannya, ia jeri menyajikan ketangguhan Tian Pek, ia tahu
kawanan jago Lam hay-bun yang dipimpinnya sekarang masih bukan tandingan
pemuda itu, apalagi dengan mata kepala sendiri ia pernah menyaksikan Hay gwa
sam-sat yang digembar-gemborkan kelihayannya juga keok di tangan anak muda
itu.
Setelah mempertimbangkan untung ruginya cepat dia mengambil keputusan
untuk mengundurkan diri, segera ia bersuit nyaring.
Suara suitan itu tinggi melengking, begitu menangkap suara tersebut, serentak
Tok-kak-hui-mo Li Ki melepaskan suatu serangan tipuan, kemudian sambil
mengundurkan diri dia berseru: "Lui gila untuk sementara waktu biarlah kau
hidup satu-dua hari laqi, dua hari mendatang utang piutang ini pasti akan
kutagih berikut rentenya!"
Tanpa membuang waktu lagi, dia lantas kabur dari situ dan menyusup ke dalam
hutan.
Suma Keng beserta belasan orang berpakaian ringkas itu ikut mengundurkan diri
dari sana, rupanya suitan nyaring tadi adalah tanda untuk mngundurkan diri.
Tian Pek siap mengejar tapi paman Lui memberi tanda agar pemuda itu tak usah
melakukan pengejaran lebih jauh, kepada Say-gwa siang jan ia berseru: "Setiap
saat orang she Lui siap menantikan petunjuk dari kalian!"
Say-gwa-siang-jan tak berani banyak bicara, dengan membawa kawanan jagonya
mereka kabur ter-birit2, dalam waktu singkat bayangan mereka sudah lenyap
tak berbekas.
Setelah musuh sudah kabur baru Tay-pek-siang-gi maju ke depan, mereka
mengucapkan terima kasih atas bantuan orang2 itu, lalu mereka berkata kepada
paman Lui: "Saudara Lui, sudah puluhan tahun kita tak berjumpa, tak nyana kau
masih segar-bugar....."
"Hahaha, sialan, kalian masih berani ber-olok2 padaku?" seru paman Lui sambil
menggaruk rambut sendiri yang kusut. "Coba lihat, masa begini dikatakan segar-
bugar?"
"Aku tidak maksudkan lahiriah....." seru Si-hoat-jin cepat. "Kalau melihat lahiriah
andaikata tuan penolong tidak membicarakan diri Lui-heng dalam pertemuan
kami tempo hari......." sambil berkata ia menunjuk ke arah Tian Pek. "Lalu Say-
gwa siang jan juga memanggil kau Lui-gila, mungkin sampai saat ini kami tak
kenal dirimu sebagai saudara Lui yang dulu . . . . Hahaha yang kumaksudkan
adalah kegagahan saudara Lui, ternyata tak berbeda seperti dulu!"
"Ai, kejadian yang sudah lewat lebih baik jangan disinggung lagi," kata paman
Lui. "Marilah bicara dulu mengenai kalian berdua yang telah lama mengasingkan
diri dari keramaian dunia persilatan. Kenapa kalian mengikat permusuhan
dengan Say-gwa siang jan sehingga terjadi serbuan ini? Siapa pula orang2 kekar
tadi?"
"Ai, panjang sekali kalau diceritakan," kata jago kedua dari Tay pek siang-gi
sambil menghela napas. "Mari, mari, Lui-heng, kuperkenalkan dirimu pada
seorang sahabat!"
Sambil menuding pemuda tampan yang berada di belakangnya ia berkata pula:
"Dia tak lain adalah Siang-lin Kongcu yang punya nama besar di dunia persilatan,
kenal bukan?"
Lalu kepada Siang-lin Kongcu sambil menunjuk paman Lui dia menambahkan:
"Dan saudara ini adalah Thian hud ciang Lui Ceng-wan yang namanya pernah
menggetarkan kedua sisi sungai pada puluhan tahun berselang!"
"Selamat berjumpa! Selamat berjumpa!" cepat Siaog-lin Kongcu memberi
hormat.
Dengan mata melotot serta memancarkan sinar tajam paman Lui menatap
pemuda itu. kemudian sambil tertawa ter-bahak2 ia berkata: "Hahaha, jadi
Siang-lin Kongcu yang tidak hangat ialah kau ini.....?"
Merah wajah Siang-lin Kongcu karena jengah, Tian Pek sendiri sedang
mengawasi Siang-lin Kongcu, dilihatnya pemuda itu masih mengenakan baju
hijau seperti dulu, hanya sekarang tanpa perhiasan yang mahal2, sikapnya tidak
segagah dulu lagi, malahan alis matanya bekernyit dan tampak murung.
Tanpa terasa terbayang kembali olehnya betapa gagah dan ramahnya Siang-lin
Kongcu di masa lalu, sekalipun ayahnya terikat dendam berdarah dengannya,
namun antara dirinya sendiri dengan pemuda itu boleh dibilang pernah
bersahabat, sedikit banyak ia merasa terharu juga melihat keadaannya
sekarang.
Sambil melangkah maju dia lantas menyapa; "Kongcu tidak menetap di kota
Lam-keng, untuk apa anda datang ke rumah kediaman 'orang mati hidup' ini?"
Dengan ter-sipu2 Siang-lin Kongcu tundukkan kepala dan tidak menjawab.
Toako dari Tay-pek-siang-gi, yakni Hoat si jin, segera berseru: "O, jadi kalian
sudah saling kenal .."
Bicara sampai di sini, ia berpaling dan memandang puing yang berserakan itu
sambil menggeleng kepala dan tertawa getir terhadap paman Lui.
"Sudah banyak tahun kita tak berjumpa," katanya kemudian, "Tak tersangka
setelah bertemu lagi sekarang, tempat duduk pun tak punya ..."
"Tak perlu sungkan," tukas paman Lui dengan dahi berkerut. "Ceritakan saja apa
yang terjadi."
Begitulah beberapa orang itu lantas berdiri di sekitar bekas tempat kebakaran,
dan Tay pek siang gi pun mulai menuturkan jalannya peristiwa.
Mendengar cerita tersebut, diam2 paman Lui menjulurkan lidahnya tanda
keheranan dan kaget.
Kiranya Hoat-si-jin merasa kuatir akan kepergian Tian Pek ke kota Lam keng
untuk menuntut balas bagi kematian ayahnya maka sesudah Tian Pek
berangkat, ia segera menyadarkan adiknya, Si-hoat-jin lebih dulu dan kemudian
baru melepaskan Wan-ji.
Oleh sebab Si-hoat-jin bertindak kasar karena terpengaruh oleh lukisan Soh-kut-
siau-hun-pit-kip yang aneh dan merangsang itu, maka kejadian itu harus
dilewatkan dengan canggung namun tak sampai berekor panjang.
Demikianlah, setelah meninggalkan rumah tinggalnya, mereka lantas menuju ke
dua belas gua karang untuk mencari jejak Tian Pek, apa mau dikata, sekalipun
daerah di sekitar sana sudah dicari secara teliti, namun jejak pemuda itu tak
berhasil ditemukan.
Maka berangkatlah mereka menuju kota Lam-keng, beberapa kali mereka
menyusup ke dalam istana keluarga Kim untuk melakukan pengintaian namun
bukan saja jejak Tian Pek tidak berhasil ditemukan, malahan beberapa kali
mereka bentrok dengan kawanan jago istana Kim dan nyawa mereka nyaris
melayang di tangan kawanan jago tersebut.
Menyaksikan betapa ketatnya penjagaan di sekitar istana, kedua orang ini
semakin kuatir kalau2 Tian Pek tertangkap dan terbunuh di dalam istana
tersebut, namun apa daya, kekuatan mereka terlalu minim dan tak mampu
melawan kelihayan jago2 istana keluarga Kim. tapi merekapun tak rela
meninggalkan tempat itu dengan begitu saja.
Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk berdiam di sebuah rumah
perginapan, selain mencari jejak Tian Pek, mereka pun berusaha mencari
kesempatan untuk menyusup kembali ke dalam istana keluarga Kim.
Begitulah, telah sebulan lamanya mereka berada di situ, mereka mendengar
berita yang tersiar di dunia persilatan yang mengatakan sewaktu diadakan pesta
lampu pada malam Cap-go-meh Su toa kongcu diri dunia persilatan serta
kawanan jago yang hadir dalam pertemuan itu telah tewas semua terjebak oleh
alat rahasia Sek-ki-toa-tin dan istana keluarga Kim yang lihay, Tian Pek termasuk
di antara korban yang tewas.....
Ada pula kabar mengatakan Tian Pek tidak mati, dia berhasil lolos dari jebakan
Sek-ki-toa-tin istana keluarga Kim, tapi akhirnya tewas juga di lembah Bong-hun-
kok di bukit Ci-kim-san yang ada di luar kota Lam-keng.
Bahkan ada pula yang mengabarkan bahwa Tian Pek telah takluk kepada pihak
perguruan Lam-hay-bun.... pokoknya suasana waktu itu amat kacau, beritanya
simpang siur dan beraneka ragam.
Akhirnya muncul Lam-hay-hun yang menguasai dunia persilatan, maka kedua
jago Tay- pek ini melakukan penyelidikan yang terakhir dalam istana keluarga
Kim, dalam suatu penjara batu tanpa sengaja mereka telah menyelamatkan jiwa
Siang-lin Kongcu.
Waktu itu Tay pek siang gi hanya tahu bahwa mereka berhasil menolong
seorang pemuda yang terada dalam keadaan tak sadar, mimpipun mereka tak
mengira pemuda yang ditolongnya ini justeru pemilik istana keluarga Kim, Siang-
lin Kongcu yang terkenal itu.
Setelah diajukan beberapa buah pertanyaan, mereka baru tahu bahwa istana
keluarga Kim telah berganti pemilik. Setelah Cing-bu-siu Kim Kiu dibunuh secara
keji dengan cara Ngo-to-hun-si (lima golok mencincang mayat), Siang-lin Kongcu
dan adiknya Kang-lam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong ditangkap dan dikurung dalam
penjara yang berbeda, sementara kawanan jago yang dipelihara dalam
istananya banyak yang tewas dan menyerah kepada pihak lawan, kini istana
tersebut telah menjadi markas besar Lam-hay-bun, disinilah Lam-hay-it-kun
memberi komandonya untuk menjajah dan menguasai seluruh dunia persilatan.
Sebagai akhir kata, Hoat-si-jin menambahkan. "Kalian tahu, apa sebabnya
malam ini Say-gwa-siang-jan beserta begundalnya datang mencari gara2
kemari? Mereka datang kemari justeru lantaran mendapat perintah Lam-hay-
bun untuk menawan Siang-lin Kongcu!"
Mendengar cerita ini, paman Lui dan kawanan jago lainnya terperanjat, lebih2
Tian Pek. Kecuali terkejut iapun merasa heran dan sangsi.
Cerita ini sudah pernah ia dengar dari Cui-cui dan kenyataannya banyak
terdapat perbedaan, waktu berada di lembah Bong-hun-kok, Cui-cui pernah
memberitahu kepadanya bahwa Lam-hay-bun telah menjajah seluruh daratan
Tionggoan, Bu-lim-su-kongcu telah menjadi ketua cabang atau menjadi
pimpinan kelompok Lam-hay-bun.
Kemudian sewaktu berada di Pah-to-san-ceng, ia pernah mencuri dengar pula
pembicaraan Lam-bay-liong-li, katanya penyerbuannya ke daratan Tionggoan
kali ini sekalipun atas nama Lam hay-siau-kun, namun pada hakikatnya Lam-hay-
liong-li yang memimpin operasi, sementara Lam-hay-siau-kun Hay-liong-sin
sendiri tak pernah datang ke daratan Tionggoan.
Jangan2 perkataan Lam-hay-liong-li tidak benar? Lam-hay-it-kun Hay-liong-sin,
telah muncul sendiri di daratan Tionggoan?
Dari kenyataan sekarang dapat diketahui bahwa apa yang diucapkan Cui-cui
tidak semuanya benar, sebab Leng-hong Kongcu dan Siang-lin Kongcu tidak
menyerah kepada pihak Lam-hay bun, malahan mereka telah tertawan dan
nyaris jiwanya ikut jadi korban, atau dengan perkataan lain kembali gadis itu
membohongi dirinya.
Tempo hari, oleh karena Cui-cui membohonginya, anak muda ini sudah merasa
gusar, sekarang setelah terbukti ucapan Cui-cui kembali tidak benar diam2 ia
tambah gusar kepada nona itu.
Setelah paman Lui selesai mendengar penuturan Tay-pek siang-gi, sesudah
termenung sebentar, lalu katanya: "Nah, rupanya kita harus berkunjung pula ke
istana keluarga Kim di Lam keng, siapa tahu kalau barang kawalan Ji-lopiautau
yang dibegal telah diangkut ke sana?"
"Ah. soal barang kawalan itu adalah masalah kedua, lebih baik kita mencari dulu
jejak Wan ji!" tukas Ji lopiautau cepat.
"Wan-ji memang harus dicari, tapi barang kawalan yang dibegalpun harus dicari,
bagaimanapun juga kita akan menuju ke kota Lam-keng. Mau cari orang atau
cari barang kawalan lebih dulu, biarlah kita tentukan sesuai dengan keadaan
nanti."
Habis bicara, mendadak paman Lui berseru: "Hayo berangkat!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, ia lantas melompat ke atas kudanya dan
dilarikan secepat angin menuruni bukit.
Memang begitulah tabiat paman Lui, pemberang dan tidak sabaran, iapun tegas
dalam berkata, sekali bilang pergi maka segeralah dia berangkat.
"Cianpwe berdua apakah mau ikut serta?" tanya Tian Pek kepada Tay-pek-siang-
gi.
"Tentu saja, rumah kami sudah dibakar mereka, kalau tidak menuntut
perhitungan pada mereka, aku harus menagihnya kepada siapa?"
Dengan penuh rasa haru Siang-lin Kongcu menggenggam tangan Tian Pek, lalu
katanya: "Saudara Tian, aku sangat mengharapkan bantuanmu untuk
menyelesaikan masalah rumahku."
"Hmm!" Tian Pek mendengus. "Tahukah kau bahwa ayahmu adalah musuh
besar yang telah membinasakan ayahku?"
Siang-lin Kongcu melengak dan tak mampu berkata pula.
Hoat si-jin cepat menukas: "Sekarang Kim-cengcu sudah tewas, ada baiknya kita
lupakan saja persoalan dendam lama, mari kita bekerja sama untuk menghadapi
Lam-hay-bun!"
"Siau-in-kong, mari kita berangkat!" ajak Si-hoat-jin, bersama Hoat-si-jin mereka
lantas menyusul paman Lui yang sudah jauh.
Tian Pek berdiri termangu sambil berpikir: "Lam-hay-bun telah bantu aku
membinasakan dua musuh besar pembunuh ayahku, sekarang aku malahan
akan mencari Lam-hay-bun untuk membuat perhitungan.... Sebenarnya siapa
penolong dan siapa musuh? Ai, persoalan ini benar2 sukar untuk dijawab .. .. "
Sementara itu Buyung Hong dan Ji lopiautau sudah melompat ke atas kudanya
masing2, ketika melihat anak muda itu masih ter-mangu2, Buyung Hong lantas
berseru: 'Engkoh Pek, hayolah kita berangkat!"
Tian Pek tersentak dari lamunannya, cepat dia melompat ke atas kudanya dan
membedalnya menuruni bukit itu.
Dengan berlalunya beberapa orang itu, sekarang tinggal Siang-lin Kongcu sendiri
yang masih berdiri termangu, ia terbayarg kembali masa jayanya, waktu itu anak
buahnya sangat banyak dan ia selalu berjalan di paling depan, tapi sekarang
bukan saja dia seorang diri, bahkan tertinggal di paling belakang, rasa sedih
tanpa terasa berkecamuk dalam benaknya ....
Tapi persoalan ini menyangkut urusannya, apalagi dia masih membutuhkan
bantuan orang lain, maka iapun tidak ayal lagi, segera ia menyusul ke sana.
Sepanjang perjalanan ia merenungkan perkataan Tian Pek sebelum berangkat
tadi; "Ayahmu adalah pembunuh ayahku ....!"
Suatu perkataan yang sangat membingungkan, ia merasa tidak paham dan tidak
mengerti apa maksudnya, sebab pada hahikatnya ia sama sekali tak tahu
ayahnya Cing-hu sin Kim Kiu pernah membunuh ayah Tian Pek, bahkan
mendengar pun tak pernah ....
Dengan kecepatan ketujuh orang itu, empat menunggang kuda dan tiga berjalan
kaki, ketika fajar baru menyingsing mereka telah tiba di kota Lam- keng.
Hari masih pagi sekali, pintu gerbang kota Lam-keng belum dibuka, ketujuh
orang itu lantas mencari sebuah rumah penginapan yang terletak di luar kota
untuk beristirahat.
Untungnya kota Lam-keng adalah kota perdagangan yang sangat ramai, banyak
sekali kaum pedagang yang tiba di lua.r kota sebelum fajar menyingsing untuk
beristirahat sekalian sarapan, kemudian bila pintu gerbang kota dibuka, mereka
baru masuk ke kota.
Karena kebiasaan ini, kedatangan ketujuh orang ini sama sekali tidak menarik
perhatian. Selesai bersantap pagi, masing2 lantas masuk ke kamar untuk
beristirahat, mereka mempersiapkan diri untuk melakukan penyelidikan ke
dalam istana keluarga Kun pada malam harinya.
Waktu berlalu dengan cepatnya, sehari lewat tanpa terasa, ketika sang surya
sudah terbenam, mereka titipkan kudanya pada rumah penginapan dan masuk
ke kota dengan berjalan kaki, kemudian mereka bersemadi pula di suatu tempat
gelap untuk menghimpun tenaga, menjelang tengah malam, tujuh orang itu
baru melompati tembok pekarangan dan menyusup ke dalam istana keluarga
Kim.
Di antara ketujuh orang itu ada empat orang yang apal keadaan bangunan
tersebut, lebih2 Siang-lin Kongcu yang kembali di rumah sendiri, tentu saja dia
lebih menguasai keadaan di situ daripada orang lain.
Di samping Tian Pek, Tay-pek-siang gi juga sudah beberapa kali mengunjungi
istana keluarga Kim, di antara mereka hanya paman Lui, Ji-lopiautau dan Buyung
Hong bertiga yang untuk pertama kalinya berkunjung ke situ.
Siang-lin Kongcu, Tian Pek dan Tay-pek-siang-gi berdiri di atas dinding tembok
dan tertegun menyaksikan keadaan di tengah perkampungan itu.
Kiranya "balai pertemuan" yang besar di dalam istana keluarga Kim yang sudah
tenggelam ke perut bumi oleh alat rahasia Sek-ki-toa tin ketika terjadi
pertemuan Bu-lim su-kongcu pada malam Cap-go-meh tempo hari kini sudah
muncul kembali di atas permukaan bumi, dari sini terbukti bahwa orang2 Lam-
hay-bun pandai pula dalam ilmu alat rahasia.
Selain Sek ki-toa tin telah membuat ruangan besar itu muncul kembali, malahan
di sekelilingnya telah banyak bertambah pula alat2 rahasia lain.
Siang-lin Kongcu yang kembali ke rumah sendiri jadi terbelalak dan melongo.
Bangunan yang begitu luas dan besar bukan saja tidak nampak cahaya lampu,
bahkan banyak ruangan, bangunan loteng dan bentuk semula sudah berubah,
jalanan yang semula menghubungkan suatu tempat dengan tempat lain
ternyata sekarang sudah buntu.
Siang-lin Kongcu ter-mangu2 bingung, akhirnya dengan suara lirih ia terangkan
kejadian aneh itu kepada paman Lui.
Mendengar laporan tersebut, paman Lui sendiripun tercengang, sekalipun Lam-
hay-bun dapat membangun dan mengubah kembali bentuk gedung keluarga
Kim, tidak mungkin bangunan tersebut dapat selesai dalam waktu secepat ini.
Maka ketujuh orang itu lantas berunding lagi. Ji-lopiautau yang berpengalaman
memang tak malu disebut jago kawakan, dengan pengetahuannya yang serba
luas tiba2 ia berkata: "Dahulu ketika aku mengawal barang ke propinsi Ho-lam,
suatu ketika pernah lewat di benteng Cong-liong-po (benteng naga sembunyi),
pemilik benteng itu bernama Ciam ciang-say-lo-pan (ahli bangunan sakti),
menurut apa yang kudengar keadaan benteng Cong-liong-po hampir boleh
dibilang setiap dua-tiga hari pasti berubah bentuk satu kali. Hari pertama
seorang dapat masuk ke benteng itu, tapi pada hari kedua sukar lagi
menemukan kembali jalan semula. Konon kepandaian ini dinamakan Ciu-thian-
sian-toh (mengubah peredaran tata surya), dengan naik turunnya sebuah
bangunan rumah diubah letak bangunannya, kemudian dengan mengubah letak
pintu dan jendela untuk merubah arah yang sebenarnya, lalu ditambah dengan
penggunaan hutan pepohonan untuk mengubah sama sekali jalanan yang
semula. Dalam keadaan begini kendatipun dia adalah seorang yang apal dengan
tepat tersebut juga sukar menemukan jalan tembus yang sebenarnya!"
"Kalau begitu, kedatangan kita ini jadi sia2 belaka?" seru paman Lui dengan dahi
berkerut.
"Bukan begitu maksudku," sebut Ji-lopiautau "Kita tak perlu gubris jalanan apa
yang terbentang di depan mata? Asal ada tempat yang mencurigakan lintas kita
terjang saja, masa akhirnya tak bisa menemukan sasaran yang sebenarnya?
Cuma kita mesti hati2 akan alat jebakan . . . . "
Belum selesai ucapan itu, tiba2 dari tempat gelap ada suara dengusan orang,
menyusul seorang dengan suara yang lirih seperti bunyi nyamuk berkata: "Kalau
tahu ya tahu, kalau tidak tahu ya tidak tahu, jangan sok tahu dan meraba
seenaknya sendiri, kalau sampai kecundang dan jiwa melayang, itu baru
penasaran namanya!"
Paman Lui tahu pembicaraan itu menggunakan semacam ilmu gelombang suara,
bila tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna tak nanti bisa mempraktekkan
ilmu setinggi itu.
Segera paman Lui menjawab peringatan itu dengan ilmu yang serupa, katanya.
"Siapa kau? Sahabat atau musuh? Apa salahnya kalau unjuk diri untuk
bertemu?"
Tiada jawaban, meskipun pertanyaan itu diulangi lagi, namun suasana masih
tetap sepi.
Paman Lui berwatak tinggi hati, Tian Pek sendiri pun seorang jago muda yang
tak sudi menyerah, serentak mereka melayang ke halaman sana, pikirnya: "Hm,
semakin besar suaramu menakuti orang, sengaja pula aku akan mencobanya,
akan kubuktiksn sampai di manakah lihaynya gedung ini......."
Tay-pek-siang-gi dan Siang-lin Kongcu tak mau ketinggalan, serentak mereka ikut
melayang pula ke dalam halaman itu.
Siapa tahu, sebelum beberapa orang terakhir mencapai tempat tujuan, mungkin
kaki Tian Pek dan paman Lui baru menyentuh tanah, tiba2 suara keleningan
tanda bahaya berkumandang dengan gencarnya.
"Kling! Kling! Kling.....!" begitu gencar dan ramainya suara keleningan itu
sehingga sangat menusuk telinga di tengah malam sunyi.
Berbareng dengan menggemanya suara keleningan itu, desingan angin tajam
menderu2, hujan panah terjadi dari segala penjuru, semua anak panah itu
tertuju ke sekeliling tubuh mereka.
Syukur Kungfu ketujuh orang ini sudah mencapai tingkatan yang luar biasa,
meskipun terjadi hujan panah secara tiba2 dan lagi dalam jumlah banyak dan
ganas, namun mereka masih mampu merontokkan anak panah itu tanpa
terluka.
Hujan panah itu muncul secara tiba2 dan berhenti secara tiba2 pula, selagi
ketujuh orang mencak2 merontokkan anak panah, mendadak keadaan tenang
kembali, suasana menjadi hening pula, kegelapan kembali mencekam seluruh
gedung itu, membuat suasana istana tersebut ibarat sebuah benteng mati.
Meskipun keheningan dan kegelapan terasa mencekam, semua orang dapat
merasakan betapa tebalnya hawa napsu membunuh menyelimuti sekeliling
tempat itu, sedikit salah tindak bisa jadi jiwa akan melayang
Tian Pek bertujuh sudah berpengalaman, mereka tahu jejaknya sudah ketahuan,
tapi tindakan lawan yang sama sekali tak unjuk diri ini menyangsikan mereka,
sebab suasana yang hening inilah justeru mendatangkan rasa ngeri dan seram,
seakan2 ada ber-puluh2 pasang mata sedang mengawasi gerak-gerik mereka
dari kegelapan.
Akhirnya paman Lui tak sabar, dengan suara lantang ia berseru: "Thian-hud-
ciang Lui Ceng-wan datang berkunjung, kalau berani hayo unjuk diri untuk
bertemu!"
Suara tertawa dingin berkumandang dari kegelapan, suara itu tidak keras, tapi
dingin menyeramkan, bikin orang bergidik, bulu kuduk serasa berdiri semua.
Melihat kehadirannya sama sekali tak digubris, Paman Lui naik darah, ia lantas
melancarkan pukulan dahsyat ke arah datangnya suara tertawa dingin itu.
"Blang?!" di mana angin pukulan itu menyambar, secara aneh telah
mengakibatkan meledaknya gumpalan bunga api yang segera memancar ke
angkasa.
Gumpalan bunga api itu tak berbeda seperti kembang api yang dipasang orang
pada malam tahun baru, begitu meledak segera terlihatlah cahaya kilat
memancar keempat penjuru, menyusul mana bunga api berhamburan ke-
mana2 . . .
Mengikuti buyarnya bunga api, muncul sepulung asap tipis yang kian menebal,
kemudian dari balik kabut tebal itu muncul seorang manusia berambut panjang
yang menutupi sebagian wajahnya, sambil menyeringai seram manusia aneh itu
tertawa kepada paman Lui.
Dua baris giginya yang putih tajam kelihatan bersinar dalam kegelapan hingga
tampangnya yang memang seram tambah mengerikan.
Paman Lui tidak banyak cingcong, begitu makhluk aneh berambut panjang itu
muncul serentak dia lancarkan suatu pukulan..
Makhluk aneh berambut panjang itu sama sekali tidak menangkis maupun
menghindar, mengikuti embusan angin pukulan yang dahsyat, dia melayang
mundur.
Begitu enteng dan gesit gerak tubuh makhluk itu, bukan saja mirip sukma
gentayangan, bahkan tubuhnya se-akan2 tak bertulang, begitu lemas sehingga
sama sekali tak takut dihantam, begitu terembus angin lantas ikut melayang
pergi.
Sebagaimana diketahui, paman Lui termasuk jago yang tinggi hati, kendatipun
tahu makhluk berambut panjang itu lihay dan berbahaya, namun ia tak sudi
menyerah dengan begitu saja, tanpa pikir panjang ia melompat maju.
Tatkala tubuhnya melambung di udara, kelima jari tangannya terpentang lebar,
dengan jurus Hud ciang-hwe thian (telapak tangan Buddha membalik jagat)
segera ia mencengkeram makhluk aneh itu.
Makhluk berambut panjang itu memang lihay, kembali ia melayang ke belakang,
dengan lincah tahu2 dia sudah melepaskan diri dari cengkeraman paman Lui.
Selama pertarungan berlangsung, makhluk aneh berambut panjang itu tidak
berbicara atau melepaskan serangan balasan. Meskipun curiga, kaget dan heran,
tak senpat bagi paman Lui untuk meneliti musuhnya dengan lebih seksama.
Gagal dengan serangan yang pertama, ia susutkan serangan berikutnya, dalam
waktu singkat ia telah melancarkan belasan jurus serangan dahsyat
Namun kenyataan membuktikan kungfu makhluk berambut panjang itu
memang lihay gerak tubuhnya enteng seperti kapas, sekalipun tidak pernah
melancarkan serangan balasan dan selama ini hanya berkelit belaka, namun
setiap pukulan dahsyat paman Lui, jangankan kena sasarannya, menyenggol
ujung baju makhluk itupun tak berhasil.
Paman Lui semakin penasaran, ia menyerang semakin bernapsu, setiap kali
musuh terdesak mundur dia segera memburu maju ke muka, akhirnya walaupun
ia tetap gagal melukai lawan, namun makhluk rambut panjang itu berhasil
didesak mundur belasan tombak jauhnya.
Kini paman Lui sudah jauh terjeblos di pusat istana keluarga Kim, mendadak ia
membentak, beruntun dari kiri-kanan ia melepaskan empat pukulan berantai,
lalu ia melambung ke udara, dengan menukik ia menerkam ke bawah, telapak
tangannya menghajar batok kepala lawan dengan keras.
Inilah jurus Hud-kong-bu-ciau yang maha sakti dari ilmu pukulan Thian-hud-
ciang, musuh tak mungkin menghindar ataupun berkelit, dalam keadaan begini
terpaksa ia mesti menyambut serangan tersebut dengan kekerasan.
"Blang!" terdengar suara keras, pukulan paman Lui yang maha dahsyat
membuat debu pasir beterbangan, pohon tumbang dan rumput hancur.
Makhluk sambut panjang itu tampaknya terhajar telak oleh serangan maut itu,
tapi tahu2 dia lenyap tak berbekas, hanya tersisa gumpalan asap tipis yang
segera lenyap terembus angin.
Dengan mata terbelalak dan mulut melongo paman Lui melayang turun, ia
terkejut menghadapi kejadian seperti 1n1.
Aneh, masakah keparat ini pandai ilmu gaib dan bisa menyusup ke perut bumi?"
demikian ia berpikir Kalau tidak, kemana kaburnya? Jelas2 pukulanku bersarang
telak di tubuhnya, kenapa mendadak bayangan tubuhnya lenyap tak
berbekas? ...."
Dalam kaget dan curiganya paman Lui memeriksa keadaan di sekitarnya, apa
yang terlihat kemudian membuatnya terkesiap. Ternyata bukan saja makhluk
berambut panjang yang terhajar telak itu lenyap tak berbekas bahkan Tian Pek,
Buyung Hong, Ji-lopiautau serta Tay-pek-siang-gi juga lenyap tak ketahuan
rimbanya.
Sebagai seorang jago yang kenyang makan asam garam, paman Lui segera sadar
bahwa dirinya kemungkinan besar sudah terkera siasat Tiau hou san
(memancing harimau meninggalkan gunung), cepat ia putar badan ingin mencari
Tian Pek.
Tapi baru saja ia berjalan, tiba2 terdengar desiran angin, beruntun muncul tiga
sosok bayangan orang mengadang jalan perginya.
Orang di tengah berkepala besar, sebaliknya badannya pendek, ia mengenakan
pakaian ringkas warna hitam dan memelihara jenggot kambing, sambil
mengadang paman Lui, dengan sikap menghina ia mengejek: "Hehehe, katanya
seorang jagoan lihayi nyatanya manusia tiruan asap Hoan-heng-yan (asap tanpa
wujud) saja tak tahu! Huh, tanpa melihat jelas lantas bergebrak puluhan jurus
dengan sia2, manusia macam begini berani menyatroni markas besar Lam-hay-
bun di Lam keng. Hehehe, tampaknya kau sudah bosan hidup! Hayo cepat
menyerah, jangan sampai menyusahkan Toaya turun tangan sendiri!"
Merah padam wajah paman Lui, mimpipun ia tak mengira makhluk berambut
panjang yang diserangnya habis2an tadi tak lebih cuma manusia tiruan yang
diciptakan dengan sejenis asap tebal, hal ini semakin menggusarkan hatinya,
dengan murka ia berteriak: "Bagus, dari pembicaraanmu yang gede tentu kau
seorang jagoan? Sebutkan namamu, pukulan Thian hud ciang Lui-toaya belum
pernah membunuh seorang keroco tak bernama!"
"Supaya kau tidak mati penasaran, baiklah kuberitahukan siapa diriku ini," kata
lelaki berkepala besar itu. "Tuanmu adalah Lotoa dari Mo kui-to-pat-yau dalam
perguruan Lam-hay-bun, Toa-tau-kui-ong (raja setan berkepala besar) Sio Kong-
beng, nah, sekarang serahkan jiwa anjingmu!"
Secepat kilat ia menerjang maju ke depan paman Lui, suatu pukulan mematikan
segera dihunjamkan ke dada musuh.
"Serangan bagus," teriak paman Lui, sekali putar kontan iapun menyambut
dengan jurus serangan Hud cou-can-sian.
Toa-tau-kui-ong sangat gesit, kepalanya yang besar menggeleng, tahu2 ia sudah
menyelinap ke belakang paman Lui, kesepuluh jarinya bagaikan cakar segera
mencengkeram di bagian yang mematikan di punggung paman Lui.
Berbicara sebenarnya, gerak tubuh paman Lui terhitung cepat, apa mau dikata
kecepatan Toa tau kui-ong ternyata di luar dugaan, sebelum paman Lui melihat
jelas bagaimana caranya orang menyelinap ke belakang, tahu2 angin serangan
tajam telah menyergap tiba.
Ia terperanjat, cepat dikeluarkan tipu jurus berantai, Hoan-to-kasa (melepaskan
jubah paderi), Hui-jun-cing-tam (menyapu debu membersihkan udara) serta
Sau-cing-yau-hun (menyapu bersih hawa siluman).
Dengan gerak tubuh yang cepat Toa-tau-kui ong Sin Kong-beng berkelebat kian
kemari, habis menyambut ketiga jurus maut paman Lui ia pun balas dengan
serangan berantai dengan jurus Hon-cong si-hoan (kaum durjana hilang
musnah), Ok-kui-ciat-hun (setan jahat menangkap sukma) dan Siau-kui-tui-mo
(setan cilik mendorong gilingan), dalam sekejap mata paman Lui keteter
sehingga kalang kabut.
Diam2 paman Lui terperanjat, ia tak menyangka Kungfu orang2 Lam hay bun
sedemikian lihay dengan jurus serangan dan gerak tubuh yang belum pernah
dilihatnya.
Meskipun musuh sudah terdesak hebat, tiba2 Toa-tau kui-ong berseiu kepada
kedua orang yang berdiri di samping gelanggang. '"Hei, kenapa kalian cuma
menonton belaka? Hayo cepat maju membantu Toaya membereskan tua
bangka ini!''
Kedua orang berpakaian ringkas itu segera menerjang maju dan penyerang
dengan pukulan dahsyat.
Untuk melayani Toa-tau-kui-ong saja paman Lui sudah kewalahan, apalagi
sekarang ditambah pula dua jago tangguh, seketika paman Lui keteter,
keadaannya sangat berbahaya ....
Untuk sementara kita tinggalkan dulu paman Lui yang lagi terancam bahaya ini,
kila ikuti pengalaman Tian Pek dan lain2, tatkala melihat paman Lui ketemu
musuh, selagi mereka hendak memberikan bantuan, tiba2 terdengar kesiur
angin tajam, beberapa titik cahaya putih secepat kilat menyambar tiba dan
samping.
Semula mereka mengira senjata rahasia itu dilepaskan musuh yang bersembunyi
di tempat kegelapan, mereka lantas mengayunkan telapak tangannya untuk
menangkis.
Angin pukulan mereka bertemu dengan senjata rahasia tadi, "bluk, bluk!" bunga
api lantas bertebaran bagaikan hujan, udara segera diselimuti kabut tebal.
Mereka terkejut, mereka kuatir di balik kabut hitam itu mengandung racun jahat
cepat mereka menutup pernapasan.
Kabut tebal itu tidak seperti membuyar, ketika bergulung ke bawah, mendadak
muncul berpuluh makhluk aneh berambut panjang dan bermuka setan.
Makhluk aneh itu melayang kian kemari dengan enteng, mukanya menyeringai
seperti setan. Kejut dan heran mereka, segera mereka menyambut dengan
pukulan gencar.
Terhadap serangan dahsyat itu makhluk aneh itu tidak menangkis maupun
melepaskan serangan balasan, mereka hanya maju mundur seenaknya, keadaan
ini persis seperti kejadian yang dialami paman Lui.
Seperti paman Lui, Tian Pek juga penasaran ketika dilihatnya setiap serangannya
sama sekali tidak ditanggapi oleh makhluk berambut panjang itu, ia mengira
musuh memandang rendah padanya, dengan gemas segera dia lancarkan
serangan maut dengan tiga jurus dari ilmu Thian-hud hang mo ciang, yakni Hud-
cou-hang-coh, Hud-kong-bu-ciau serta Sau-cing-yau-hun.
Lwekang Tian Pek dewasa ini terhitung top di kolong langit ini, Tian Pek sendiri
tidak menyadari akan kekuatannya itu, ia tertegun tatkala dilihatnya
serangannya berhasil menghantam musuh bahkan membuat semua musuh
hilang tak berbekas.
"Sialan!" pikirnya, "jangan2 ketemu setan? Kenapa orang2 ini lenyap mengikuti
embusan angin ..?"
Sementara ia tertegun, tiba2 dari balik semak sana terdengar orang tertawa
dingin. Mendengar suara yang mencurigakan, Tian Pek lantas menggunakan
ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh, hampir tidak terlihat bagaimana
caranya ia bergeser, tahu2 bagaikan segulung asap dia menyelinap ke dalam
semak2 itu.
Tapi aneh, ketika ia tiba di tempat tujuan, ternyata tak terlihat sesosok
bayangan pun, suasana tetap hening dan gelap gulita.
"Siapa dia?" kembali Tian Pek berpikir. "Masakah di kolong langit ini terdapat
ilmu langkah yang lebih cepat daripada ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-
poh?"
Tian Pek berdiri ter-mangu2 di situ, tiba2 satu ingatan terlintas dalam benaknya,
ia sadar apa yang terjadi: "Wah celaka, aku terjebak oleh siasat memancing
harimau meninggalkan gunung, mereka pasti celaka . . , !"
Begitu sadar dirinya terjebak, pemuda itu langsung lari kembali ke tempat
semula, tapi apa yang dilihat tak lebih cuma keheningan malam belaka, baik Ji-
lopiautau maupun Tay-pek-siang-gi dan calon isterinya, Buyung Hong lenyap
entah kemana?
Jauh di gedung sana lamat2 didengarnya suara pertarungan yang berlangsung
seru.
Terhadap paman Lui yang jagoan serta Ji lopiautau dan Tay-pek-siang-pi yang
sudah berpengalaman ia tidak terlalu kuatir, tapi Buyung Hong belum pernah
keluar rumah, kendati ilmu silatnya cukup tangguh, namun pengalamannya di
dunia persilatan boleh dibilang tak ada, tak mungkin sanggup menghadapi tipu
muslihat orang Kang-ouw.
Ia merasa bila Buyung Hong sampai terjatuh ke tangan musuh dan mengalami
hal2 yang tidak diinginkan, bukan saja ia malu bertemu lagi dengan calon
isterinya serta ibu mertuanya yang begitu sayang kepadanya, ia sendiripun malu
untuk tancap kaki lagi di dunia persilatan.
Karena menguatirkan keselamatan calon isterinya, Tian Pek jadi gelisah, cepat
dia mendekati tempat suara pertarungan itu.
Ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh serta ilmu gerak tubuh Bu-sik-bu siang
merupakan ilmu sakti dalam kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-pit-kip, ilmu
tersebut berhasil dilatihnya berkat bantuan Liu Cui-cui dengan tambahan To-li-
mi-hun-toa-hoat ajaran Thian-siau-mo-li, kini dipraktekkan, kecepatannya
memang luar biasa.
Istana keluarga Kim kini adalah markas besar Lam-hay-bun, penjagaan dijaga
secara ketat, di mana-mana terdapat pos penjagaan, sebentar2 ada perondaan,
penjagaan yang diatur ibaratnya jaring langit dan bumi.
Sekalipun penjagaan begitu ketat, tapi sayang, tak seorangpun yang mampu
mengikuti gerak tubuh Tian Pek, anak muda itu sudah melayang 1ewat tiga
halaman luas dan menyusup masuk ke ruang belakang.
Tian Pek mencapai tempat itu lantaran mengikuti arah datangnya suara
pertarungan tadi, tapi aneh sekali, ketika ia tiba di bagian belakang istana Kim,
ternyata suasana di tempat itu jadi sunyi senyap tak kedengaran suara apa pun.
Sudah tiga kali Tian Pek mengunjungi istana ini, tapi sekarang ia tidak kenal lagi
tempat ini dan tidak tahu berada di mana?
Di tengah kegelapan malam bangunan rumah itu ber-deret2 dengan beribu
jendela dan beratus pintu, tapi tiada cahaya lampu sedikitpun sehingga
menimbulkan rasa seram dan mengerikan.
Dengan gerak enteng Tian Pek menyelinap ke balik pagar tembok sana, di depan
terbentang sebuah jalan setapak yang lurus.
Di kedua sisi jalan setapak itu tumbuh pohon bunga yang indah, bunga itu
dirawat dengan rapi sekali hingga mirip dua baris dinding pendek dan berfungsi
menghalangi pandangan kedua sisi, tapi kalau memandang lurus ke depan tak
nampak ujungnya, entah berapa jauh jalan itu.
Di tengah jalan setapak itu menggeletak segumpal benda berwarna hitam.
Dengan ketajaman mata Tian Pek. segera diketahuinya benda hitam itu adalah
sesosok tubuh manusia.
Jantung Tian Pek berdebar, ia kuatir orang yang menggeletak di tengah jalan itu
adalah Ji-lo piautau atau Tay-pek-siang-gi atau calon isterinya yang terbunuh,
secepat kilat ia melompat ke sana, tanpa pikir ia hendak pegang mayat itu.
Tepi baru saja ujung jari Tian Pek menyentuh pakaian mayat tersebut,
mendadak manusia yang menggeletak seperti mayat itu memutar tubuh sambil
melancarkan serangan maut ke batok kepalanya.
Tian Pek sama sekali tak menduga akan terjadinya sergapan ini, lagi jaraknya
terlampau dekat, bila serangan tepat kena sasarannya niscaya batok kepala Tian
Pek akan hancur berantakan.
Untung Tian Pek sekarang bukan Tian Pek dulu, begitu telapak tangan musuh
menyambar tiba, cepat ia gunakan langkah Cian-hoau-biau-hiang-poh untuk
menghindar, dengan suatu lejitan tahu2 ia sudah melayang ke samping dan
persis lolos dari ancaman maut. segera pula ia siap melancarkan serangan
balasan.
Tak terduga, orang yang disangka mayat itu lantas telentang dan muntah darah,
badan mengejang, kaki berkelejetan, lalu mati benar2 sekali ini.
Kini Tian Pek dapat melihat jelas orang ini masih muda dan berwajah tampan,
lengan kirinya buntung, orang ini ternyata tak lain adalah Siau-cing-hu Beng Ki-
peng yang selalu memusuhinya itu.
Siau-cing-hu entah dilukai siapa, tapi dari sikapnya yang garang menjelang
kematiannya, apalagi sebelum mengembuskan napas yang penghabisan ia
masih sempat menghimpun segenap sisa kekuatan nntuk menyerang, dari sini
dapat diketahui betapa keji dan dendamnya.
"Jangan2 orang she Beng ini terluka oleh paman Lui, atau mungkin Ji-lopiautau,
atau Tay-pek-siang-gi dan adik Hong dan ini berarti mereka sudah lalu di tempat
ini......" begitu dia berpikir, maka cepat ia meneruskan pengejarannya melalui
jalan setapak tersebut.
Panjang sekali jalanan itu, di depan sana terbentang sebuah halaman yang luas,
pada halaman itu mayat bergelimpangan, keadaan mengerikan sekali.
Tian Pek segera tahu pembantaian ini bukan hasil perbuatan paman Lui, Ji-
lopiautau, Tay pek-sing-gi atau Buyung Hong, sebab kelima orang itu tak nanti
melakukan pembantaian cara begini keji dan tak kenal peri kemanusiaan.
Di ujung halaman terbentang sebuah pintu bundar, di bawah cahaya bintang
yang bertaburan di angkasa, lamat2 terbaca tiga huruf besar di atas pintu, "Gi-
cing-wan" (ruangan memadu cinta).
Bangunan rumah di sisi kiri kanan berada dalam kegelapan, hanya bangunan
yang sebelah depan terang benderang bermandikan cahaya lampu.
Di balik tirai jendela yang tipis terdengar suara cekikikan diselingi suara robekan
kain.
Tian Pek tercengang masa di dalam rumah yang berbau darah ini ada orang yang
sedang menjahit pakaian?
Ia merasa urusan ini rada mencurigakan, tanpa pikir ia melayang ke atas
bangunan tersebut dengan Ginkang Bu-sik-bu-siang-sin-hoat, sekali melayang ia
sudah berada di depan jendela dan mengintip ke dalam ruangan.
Kain gorden jendela itu terbuat dari bahan sutera yang tipis, tidak sembarangan
orang bisa membeli bahan kain seperti ini. Kain itu mempunyai keistimewaan,
yaitu pada siang hari orang berada di di dalam dapat melihat pemandangan di
luar dengan jelas, sebaliknya orang luar tak bisa melihat keadaan di dalam.
Sebaliknya kalau malam tiba, maka di dalam tak dapat melihat keadaan di luar,
sebaliknya yang ada di luar dapat melihat keadaan di dalam dengan jelas.
Demikianlah, maka Tian Pek yang sembunyi di luar jendela dapat melihat jelas
keadaan di dalam ruangan itu.
Mendingan kalau Tian Pek tidak mengintip, begitu ia melongok ke dalam, kontan
saja anak muda itu jadi terbelalak . . .
Kiranya di tengah ruangan itu, di depan sebuah cermin besar berdiri seorang
gadis yang cantik jelita, mukanya bersemu merah dan matanya jeli, pada waktu
itu sedang berlenggang-lenggok membawakan tarian telanjang.
Mengikuti gerak langkahnya nona cantik itu melepaskan pakaiannya dengan
lembut, ketika itu sudah setengah telanjang, pakaiannya dirobek dan dibuang ke
lantai, pinggulnya megal-megol dan payudaranya ber-goyang2.
Sementara itu sebagian besar pakaian gadis itu sudah robek, bagaikan kupu2
cuilan kain itu beterbangan, sekarang ia sudah hampir berada dalam keadaan
telanjang bulat, lekukan tubuhnya yang indah dan bagian yang mempesona
pasti membuat melotot mata laki2 manapun juga.
Berdiri membelakangi jendela seorang pemuda berbaju putih sambil
menggoyangkan kipas peraknya sedang menikmati "striptis" yang merangsang
itu, kelihatan sorot matanya mengincar bagian tubuh tertentu dan tiada
hentinya menggeleng kepala disertai suara tertawa tengik.
Tian Pek tercengang bercampur terkejut, apalagi setelah mengetahui bahwa
gadis jelita yang sedang membawakan tarian telanjang itu tak lain adalah puteri
kesayangan Cing-hu-sin Kim Kiu, yaitu Kang-lam te-it-bi-jin Kim Cay-hong.
Kim Cay-hong adalah puteri keluarga terhormat, dua kali Tian Pek pernah
berkunjung ke istana Kim dan menyaksikan betapa agung gadis itu,
bagaimanapun juga tidak nanti gadis itu melakukan perbuatan serendah ini,
apalagi menelanjangi diri sendiri di hadapan seorang pemuda asing.
Ia coba berpaling ke arah pemuda baju putih itu, meski wajahnya tidak
kelihatan, tapi dari potongan badannya serta kipas perak yang dipegangnya, ia
menduga orang itu pasti Sin liong taycu (pangeran naga sakti) alias Lam-hay-
siau-kun.
Dalam pada itu, Kim Cay-hong telah menghancur-lumatkan pakaian yang
dikenakan sehingga berada dalam keadaan bugil, sementara Lam hay-siau-kun
sendiri telah menyelipkan kipasnya pada leher baju, lalu dengan cengar-cengir ia
memeluk tubuh Kim Cay-hong yang telanjang bulat itu, katanya: "Nona manis,
sekarang marilah kita bermain di ranjang, mari kita......."
Tiba2 Tian Pek menemukan sesuatu, dilihatnya sorot mata Kim Cay-hong buram,
tampak berada dalam keadaan tak sadar, seketika ia paham mungkin sesali Kim
Cay-hong dicekoki obat perangsang sehingga kehilangan kesadarannya......
Terkenang waktu ia berbaring di rumah si gadis dan bagaimana gadis itu
menyuapi dirinya, lalu terbayang pula ketika terjebak oleh Sek-ki-toa-tin,
bagaimana gadis itu mempertaruhkan jiwanya untuk menolongnya,
bagaimanapun juga Tian Pek tak dapat berpeluk tangan membiarkan kesucian
Kim Cay-hong direnggut orang secara licik.
Tanpa berpikir panjang lagi, telapak tangannya langsung menyodok ke jendela,
ia hancurkan dulu jendela itu terus menerobos ke dalam ruangan.
Sementara itu Sin-liong-taycu sedang memondong korbannya ke pembaringan,
selagi ia hendak "meluncurkan perahu masik dermaga", mendadak muncul
seorang di dalam ruangan itu, apalagi setelah tahu tamu tak diundang ini bukan
lain adalah Tian Pek, seketika ia terkejut.
Tapi segera ia dapat menenangkan diri, sambil tersenyum licik ia berkata:
"Hahaha, sungguh tak tersangka Tian-heng adanya! Hehehe, bukankah Kui-bin-
kiau-wo sudah kuserahkan hak utamanya kepadamu, masa kau serakus itu dan
sekarang hendak mengacau bagianku?!"
Tian Pek tertawa dingin: "Hm, tak menyangka Sin-liong-taycu yang termashur
tidak lebih cuma seorang Jay-hoa-cat (penjahat pemetik bunga) yang gemar
merusak kesucian perempuan baik2 dengan obat perangsang secara rendah
begini?"
Senyuman yang semula menghiasi bibir Sin liong taycu seketika lenyap, ia
mencabut kipas-peraknya, 'Creet", kontan ia ketuk Bi sim-hiat di dahi Tian Pek.
Cepat serangan itu dan dilancarkan tanpa memberi peringatan, seandainya Tian
Pek tidak menguasai beberapa macam ilmu sakti dari kitab Soh-kut-siau-hun-pit-
kip, niscaya dia sudah mampus termakan serangan itu.
Dengan ilmu langkah Cian hoan-biau-hian-poh dia melejit mundur, berbareng
itu ia balas memotong persendian tulang tangan Sin-liong-taycu yang
memegang kipas.
Sin-liong-taycu terkesiap, ia tak menduga gerak Tian Pek jauh lebih cepat
daripadanya. Namun sebagai jago yang berani memimpin Iaskarnya menyerang
daratan Tionggoan dan merajai dunia persilatan, tentu saja dia memiliki kungfu
yang bisa diandalkan, ketika persendian tulang pergelangan tangannya hampir
tersambar musuh, mendadak ia tekan tangannya ke bawah. "Bret!" Kipas
peraknya direntangkan lebar2, dengan jurus Ya-tok-geng-ciu (menyeberang
sungai dengan sampan), diiringi cahaya perak yang menyilaukan mata dia serang
dada Tian Pek
Cepat Tian Fek angkat telapak tangannya untuk menangkis, "blang!" benturan
keras tak bisa dihindari, Tian Pek tergetar dan tergeliat, sebaliknya Sin-liong-
taycu tergentak mundur tiga langkah.
Sejak masuk daratan Tionggoan jarang sekali Sin-liong-taycu turun tangan
sendiri, sebab ia sangat angkuh, ia menganggap jago silat daratan Tionggoan tak
seorang pun yang bisa menandinginya.
Tapi sekarang, baru satu-dua gebrakan ia sudah dihajar Tian Pek sampai mundur
tiga langkah, betapa rasa kagetnya dapatlah dibayangkan.
Iapun cukup cerdik dan bisa lihat gelagat setelah kalah dua gebrakan, ia tahu
Kungfu Tian Pek memang lebih lihay, jika pertarungan ini diteruskan niscaya dia
akan menderita kekalahan yang lebih mengerikan lagi dan akan merusak nama
baiknya.
Karena pertimbangan ini, maka begitu terdesak mundur segera dia manfaatkan
kesempatan yang baik ini untuk kabur lewat jendela.
Pada saat tubuhnya menyelinap keluar jendela, ia sempat melepaskan tiga
batang tulang kipas yang terbuat dari perak, dengan cahaya tajam ketiga tulang
kipas itu serentak menyerang kepala, dada serta perut Tian Pek.
"Taycuya enggan menemani kau lebih lama, tapi kaupun jangan harap bisa lolos
dari loteng ini!" hardiknya lantang.
Ketika Tian Pek berhasil menghindari serangan ketiga titik cahaya perak itu,
sementara itu Sin-liong-taycu sudah kabur pergi.
Tian Pek bermaksud mengejar, tapi sebelum bergerak, tiba2 sesosok tubuh yang
hangat telah menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
Tian Pek berpaling dan tanpa pikir dirangkulnya, kiranya Kim Cay-hong yang
telanjang bulat telah menubruk ke dalam pelukannya. Memeluk tubuh yang
halus tanpa pakaian ini, jantung Tian Pek berdebar keras, ia terkesima dan
terperanjat pula.
Cepat ia mendorong gadis itu, tapi Kim Cay hong yang sudah dicekoki obat
perangsang sekarang bertenaga luar biasa besarnya, sekalipun pemuda itu
mendorongnya tetap tak berhasil melepaskan diri, malahan lengan gadis itu
bagaikan jepitan baja terus merangkul Tian Pek lebih erat.
- o0o -
Mengapa Kim Cay-hong sampai dijadikan penari telanjang oleh Sin-liong-taycu
dan dapatkah Tian Pek menyadarkan nona itu dalam keadaan telanjang bulat?
Bagaimana hasil serbuan paman Lui dan rombongannya?
Jilid-21.
Dengan mata setengah terpenjam, bibir yang kecil setengah merekah, dada
berombak dengan napas yang memburu, tubuhnya yang bugil menempel rapat
dadanya, malahan sambil menggeliat kesana kemari dengan rintihan yang
merangsang dan keluhan "kehausan"
Keagungan seorang tuan puteri kini lenyap tak berbekas, keadaan Kim Cay-hong
sekarang tiada ubahnya seorang perempuan jalang
Tian Pek tahu gadis ini pasti terkena pengaruh obat bius, diam2 ia tambah benci
akan kerendahan pribadi Sin-liong-taycu, tampangnya saja apung dan sopan,
kenyataannva tak lebih hanya hidung belang yang gemar merusak kesucian anak
gadis dengan cara yang kotor dan rendah.
Sekarang ia jadi serba salah, ingin mendorong gadis itu rasanya tak tega, mau
meronta untuk lepaskan diri juga tak dapat, untuk sesaat Tian Pek jadi serba
susah dan bingung.
Selagi serba salah, tiba2 terdengar suara "Kreek! kreek!" menyusul di bagian
pintu maupun jendela anjlok sebuah lempengan baja sehingga seluruh ruangan
itu tertutup rapat.
Terperanjat Tian Pek, ia tahu Sin-liong-taycu telah menggerakkan alat
rahasianya dari luar, dalam keadaan begini ia tak sempat berpikir panjang lagi,
setelah menutuk jalan darah tidur Kim Cay-hong, gadis itu dibaringkan di tempat
tidur berkelambu.
Setelah itu ia lolos pedang hijaunya hendak membobol lempengan baja yang
menutupi jendela dan pintu, tapi sebelum ia bertindak lebih jauh, asap tebal
tiba2 menyembur masuk lewat celah2 pintu dan jendela.
Cepat sekali asap putih itu menyusup ke dalam ruangan, dalam sekejap seluruh
ruangan sudah gelap tertutup kabut itu, walaupun Tian Pek sudah menaban
napas, tak urung ia merasakan kepalanya jadi pening dan berat, ketika pedang
hijaunya bhendak digunakan untuk membacok lempengan baja itu, telinga
terasa sudah pecah dan tubuh jadi lemas, akhirnya ia roboh terjungkal di atas
pembarinqan, persis di samping paha Kim Cay-hong.
Sekalipun pikiran anak muda itu masih sadar, tetapi apa daya, badan terlalu
lemah sehingga sama sekaii tak mampu bergerak .
Tiba2 dari luar terdengar suara seorang perempuan menegur dengan suara
dingin: "Suheng, ada apa kau berada di sini? Permainnn busuk apa lagi yang kau
lakukan?"
Seorang laki2, agaknya Sin-liong taycu, segera tertawa dan menjawab: "Sumoay,
kau jangan banyak curiga, permainan busuk apa yang bisa kulakukan di sini? Aku
cuma berhasil menangkap seorang musuh tangguh . . ."
"Hm, kau kira aku tidak tahu? Jelas kau telah menawan nona rumah ini dan
membawanya ke loteng ini? Huuh, perbuatan baik apa yang akan kau lakukan
terhadap nona tersebut!"
Agaknya Sin-liong-taycu terdesak, ia tidak mampu menjawab kecuali tertawa
cengar-cengir.
Lalu nona itu berkata dengan ketus: "Mendingan kau berbuat tidak se-mena2 di
rumah sendiri, tapi dalam perjalanan kita ke daratan Tiong-goan ini, ayah telah
memberikan tugas berat di atas pundakmu, kalau kau masih saja bertindak
sembrono, usaha besar kita tentu gagal total. Hayo cepat buka-pintu ruangan
ini!"
Tampaknya Sin-liong-taycu keberatan untuk membukti pintu, sambil tertawa ia
mencari alasan, katanya: "Sumoay lebih baik jangan kau buka pintu ruangan ini,
Kungfu musuh kita ini terlampau tangguh, baru saja aku embuskan 'dupa liur
naga' untuk bikin mabok dia, mungkin dia belum lagi roboh pingsan."
"Sudah, tak perlu cari alasan lagi, mau buka tidak?" bentak nona itu seperti
habis sabarnya.
Sin-liong-taycu berusaha pula mengurungkan niat nona itu, tapi si nona
mendadak berseru: "Hm, kau tak mau membukanya, menangnya aku tak bisa
membukanya sendiri?"
"Kreek!" lempengan baja yang menutup jendela dan pintu perlahan-lahan
bergeser dan terbukalah ruangan itu, asap yang memenuhi ruangan itu segera
tersebar kemana-mana.
Nona itu tidak langsung melangkah masuk, ia lepaskan dua biji bola kecil ke
dalam, "blang. blang", asap hijau terpancar, menyusul kabut putih yang semula
menyelimuti seluruh ruangan lantas tersapu bersih.
Sesudah asap lenyap, gadis itu baru melangkah ke dalam ruangan disusul Sin-
liong-taycu di belakangnya, tapi mereka lantas berseru kaget dan berdiri
melongo.
Ruangan itu kosong tak berpenghuni lagi, bukan saja Tian Pek tak ketahuan ke
mana perginya, malahan Kim Cay-hong yang telanjang bulat dan terpengaruh
oleh obat perangsang pun lenyap tak berbekas.
Lama sekali Sin-liong-taycu berdiri termangu-mangu, sebaliknya Lam-hay-liong-li
sambil mencibir lantas mengejek: "Koko, di mana orang yang kau bekuk?"
Kendatipun biasanya Sin-liong-taycu cerdik dan banyak tipu muslihatnya, dalam
keadaan seperti ini ia menjadi gelagapan dan tak sanggup menjawab.
Kiranya dikala Lam-hay-liong-li sedang memaksa Sin-hong-taycu membuka
dinding baja yang menutupi jendela dan pintu, Tian Pek serta Kim Cay-hong
telah ditolong oleh seorang gadis bertopeng setan.
Walaupun ketika itu Tian Pek tak mampu bergerak dan tak bertenaga, akan
tetapi nona bertopeng setan itu cukup dikenalnya, dia bukan lain adalah Liu Ciu-
cui yang pernah bermesraan dengannya sewaktu berada disampan kecil di
sungai Hway, kemudian kabur karena kheki ketika berada di Pah-to-san Ceng.
Tian Pek tercengang, ia heran kenapa Cui-cui dipat muncul di tempat ini dan
mau dibawa ke manakah mereka berdua? Tapi karena ia tak mampu berkata,
terpaksa ia diam saja.
Dengan entengnya Liu Cui-cui mengempit Tian Pek dan Kim Cay-hong, dasar
nakal dan suka menggoda, walaupun tahu gadis itu berada dalam keadian bugil,
namun Cui-cui sengaja tidak membungkusnya dengan kain.
Dalam keadaan telanjang bulat itulah Kim Cay-hong dibawa kabur dari ruangan
tersebut, sesudah keluar dan melewati beberapa tikungan sampailah mereka di
sebuah taman bunga, Cui-cui menyelinap ke belakang gunung-gunungan yang
sepi, disana ia membanting kedua orang itu ke atas tanah.
"Hehebe, sebetulnya aku segan menolong kau," katanya kepada Tian Pek sambil
tertawa dingin, "tapi untuk bikin terang janji palsu kaum lelaki macam kau, maka
sengaja kuselamatkan lagi dirimu, Hm, aku ingin tanya, kalau kau sudah menjadi
suami-isteri dengan aku, kenapa dulu kau menyukai seorang Tian Wan-ji dan
sekarang muncul pula seorang Kim Cay-hong? Mungkin saja terus terang, masih
berapa banyak lagi perempuan yang kau kenal?"
Setelah teremhus angin, racun "dupa liur naga" yang mengeram di dalam tubuh
Tian Pek sudah banyak berkurang, walaupun badannya masih lemas akan tetapi
ia sudah dapat berbicara.
Pemuda itu tertawa getir, katanya: "Besar amat rasa cemburumu! Sekalipun
begitu, sebelum jelas duduk persoalannya hendaknya kau jangan sembarangan
menuduh ..."
Lui Cui-cui tertawa dingin, selanya: "Percuma kalau cuma kudengarkan
pengakuan sepihak. Akan kusadarkan dulu nonn ini, kemudian akan kuadu di
hadapanmu, bila dia terbukti punya hubungan apa2 denganmu, hehehe, saat
itulah akan kubikin perhitungan denganmu!"
Berbicara sampai di sini dia lantas mengimbil keluar sebutir pil dan dijejalkan ke
mulut Kim Cay-hong.
Sesaat kemudian sekujur badan Kim Cay-hong tergetar keras dan sadar kembali
dari pingsannya, tatkala melihat seorang makhluk seram bermuka hijau dan
berambut merah berdiri di sisi tubuhnya yang telanjang, ia jadi tercengang.
Kemudian ketika berpaling dan melihat Tien Pek berada di sisinya, Cay-hong
berseru terus menubruk ke dalam pelukan anak muda itu.
Kontan Liu Cui-cui mendengus, jengeknya. "Hm, tekarang apa yang hendak kau
katakan lagi? Kenyataan sudah berbicara di depan matamu sendiri!"
"Cring!" pedang hijau di punggung Tian Pek lantas dicabut. dengan cepat ia
menusuk ulu hati Kim Cay-hong,
"Tunggu sebentar!" teriak Tian Pek.
"Hehehe! Kenapa? Sakit hati?" ejek Cui-cui, setelah berhenti sejenak, dengan
suara yang kasar ia membentak: "Akan kubunuh perempuan ini di depan mu.. ."
Saat itu kekuatan Tian Pek belum pulih, dilihatnya pedang hijau itu hampir
menembus ulu hati Kim Cay-hong dan dirinya tak sanggup mencegah, saking
gemasnya ia tertawa dingin dan berteriak: "Kau kuntilanak! Kau kira setelah kau
bunuh gadis yang tak berdaya ini lantas perasaanku bisa berubah? Hehehe,
jangan mimpi di siang hari bolong."
Sekujur badan Cui-cui gemetar keras mendengar makian itu, pedang hijau yang
hampir menembus ulu hati Kim Cay-hong itu terhenti di tengah jalan, serunya
setengah terisak: "Siapa yang kau maki sebagai Kuntilanak?"
"Siapa lagi? Tentu saja kau. Hm, sebelum tahu duduknya perkara lantas
cemburuan dan main bunuh . . . ."
Belum habis ucapan Tian Pek, badan Cui-cui tampak gemetar, "trang", pedang
hijau itu terlepas dari genggamannya, sambil menutup wajahnya dan menangis
ia putar badan terus kabur dari situ.
Sedari kecil Cui-cui dibesarkan di sebuah pulau terpencil, meskipun tak banyak
tahu urusan tapi cukup memahami betapa kejinya kata "Kuntilanak" tersebut.
Gurunya bukanlah Thian-sian-mo-li sendiri yang tersohor pada dua ratus tahun
berselang, tapi murid.Thian-sian-mo-li yang bernama Kui-bin-kiau-wa Ang-hun-
kut-lau (gadis cantik bermuka setan)
Kisah hidup Kui-bin-kiau-wa ini memang tragis dan mengenaskan, dia asalnya
adalah seorang anak buangan, sebulan setelah dilahirkan bayinya dibuang oleh
orang tuanya di sebuah kuil terpencil disatu bukit, untung Thian-sian-mo-li lewat
disana dan menolong jiwanya, semakin meningkat besar ia diberi pelajaran ilmu
silat yang tinggi.
Ketika usianya meningkat dewasa, paras muka gadis ini ternyata cantik jelita,
ditambah pula kungfunya yang lihiy, banyak sekali kaum muda yang jatuh cinta
dan targila-gila kepadanya.
Kebetulan waktu itu Thian-sian-mo-li mendapat hasutan orang dan karena rasa
ingin menang, ia telah menggunakan ilmu To-li-mo-hun-toa-hoat untuk
mengganggu pertapaan Tiak-gan-longkun, karena peristiwa ini semua jago dunia
persilatan jadi marah dan menuduh Thian-sian-mo-li seorang iblis yang keji.
Oleh karena desakan dan ancaman yang datang dari berbagai penjuru lama2
Thian-sian-mo-li tak dapat menancapkan kakinya lagi di daratan Tionggoan.
akhirnya dia kabur ke lautan dan bersembunyi di sebuah pulau kosong.
Pulau itu adalah sebuah pulau tak bertuan, letaknya di laut selatan, nama
pulaupun tak diketahui, tanah di pulau itu tandus sekali, kecuali batu karang
yang berserakan dimana-mana, hampir boleh dikatakan tiada tumbuhan yang
bisa hidup di situ.
Thian-sian-mo-li dan muridnya mulai membangun rumah, membuat kolam air,
membajak tanah dan menanam pohon, dengan perjuangan mereka yang gigih
dan rajin, akhirnya pulau gersang yang tak berpenghuni itu telah mereka sulap
menjadi pulau yang indah dan subur.
Sebagai seorang jago silat yang lihay, Thian-sian-mo-li telah mengatur
perangkap yang hebat serta alat jebakan yang lihay untuk melindungi pulau itu
dari sergapan musuh, maka dari itu bukan saja pulau itu subur makmur,
penjagaan serta sistem pertahanan di pulau itupun amat tangguh.
Selama perjuangan membuka tanah tandus di pulau tersebut, oleh karena
kekurangan makanan kedua orang itu mengisi perut dengan menangkap ikan
dan udang di laut, kebetulan pula dalam sebuah gua karang di atas pulau itu
hidup sebangsa ikan tawar yang disebut "hiat man" (sebangsa ikan belut) yang
bermanfaat sekali bagi kesehatan badan.
Karena terlalu banyak menyantap ikan belut itu, tanpa disadari tenaga dalam
mereka peroleh kemajuan yang sangat pesat.
Suatu ketika, secara kebetulan kedua orang ini berhasil menangkap seekor ikan
belut berusia ribuan tahun, setelah mereka santap bersama ikan tersebut.
mereka jadi awet muda, kecantikan merekapun tetap abadi walaupun usianya
kian meningkat.
Setelah usia hampir dua ratus tahun, Thian-sian-mo-li baru mengakhiri
hidupnya, dengan begitu maka di atas pulau yang terpencil itu tinggal Kui-bin-
kiau-wa seorang.
Sementara itu pertarungan antara para jago di daratan Tionggoan masih
berlangsung dengan serunya, saling bunuh, saling gontok2an masih terjadi di-
mana2, banyak kaum iblis dan manusia sesat tak bisa menancapkan kakinya
didaratan Tionggoan dan kabur keluar lautan, banyak diantaranya kaum pelarian
itu yang kemudian mendarat di pulau tanpa nama ini.
Waktu itu Kui-bin-kiau-wa sedang ditinggal mati gurunya, ia merasa kesepian
dan murung, maka kedatangan kaum pelarian itu di pulaunya segera disambut
dengan senang hati, di antaranya adalah empat perempuan cabul dari pulau
Tho-hoa-to yang kemudian menjadi Tho-hoa-su-sian, Toa-tiu-kui-ong
berdelapan pencoleng dari Leng-lam yang kemudian menjadi Mo-kui-to-pat
yang lalu Hay-gwa-sam-sat beserta beberapa orang yang akhirnya menjadi
jagoan lihay di pulau tersebut, selain itu banyak pula penjahat lain yang
berkumpul di sana.
Dasar pekerjaan mereka memang merampok, membegal, setelah berada di
pulau itupun mereka tetap meneruskan pekerjaan mereka, setiap ada kapal
pedagang yang bertemu dengan mereka di tengah lautau maka perahu itu pasti
dibajak, dirampok dan penghuninya dibantai habis2an, malahan mereka pun
merampok sampai kesepanjang pesisir, banyak rakyat yang jadi korban sehingga
akhirnya pulau kosong itu lebih tersohor sebagai Mo-kui-to (pulau setan) yang
ditakuti orang.
Suatu pulau yang gersang berubah menjadi taman firdaus, suatu taman firdaus
akhirnya berubah pula menjadi pulau setan, memang begitulah perubahan di
dunia ini yang sukar diduga.
Dalam pada itu, Kui-bin-kiau-wa telah mencintai seorang pesilat muda yang
bernama Liong Siau-thian. yakni Hay-liong-sin yang kemudian tersohor sebagai
Lam-hay-it-kun.
Hubungan kedua orang ini berlangsung dengan mesra, tapi entah apa sebabnya
ternyata suatu ketika Liong Siau-thian telah meninggalkan Kui-bin-kiau-wa dan
kembali ke daratan Tionggoan, ber-tahun2 lamanya orang ini tak ada kabar
beritanya lagi.
Kui-bin-kiau-wa menjadi sedih dan selalu murung. akhirnya ia memutuskan
untuk menyusulnya ke Tionggoan, disana ia temukan Liong Siau-thian telah
kawin dengan perempuan lain, malahan sudah berputera.
Karena cemburu dan gusarnya Kui-bin-kiau-wa mencari ke tempat kediaman
Liong Siau-thian, apa mau dikata, dasar nasibnya memang jelek, suatu ketika ia
dibius oleh seorang teman Liong Siau-thian yang jahat dan diperkosa sampai
beberapa kali.
Dengan alasan inilah Liong Siau-thian menyatakan putus hubungannya dengan
Kui-bin-kiau-wa, bahkan mencaci maki gadis yang malang ini sebagai perempuan
jalang.
Mengalami pukulau batin yang berat ini, hampir saja Kui-bin-kiau-wa menjadi
gila, sejak itulah dia melakukan pembantaian secara besar2an di daratan
Tiongoan, malahan kemudian menjadi seorang perempuan jalang yang
kecabulannva luar biasa, banyak pemuda yang dirusak olehnya, oleh sebab ilmu
silatnya tinggi dan seringkali mengenakan topeng setan, orang persilatan
menyebutnya sebagai Kui-bin-kiau-wa, Ang-hun-kut-lau. si boneka muka setan,
si tengkorak cantik.
Kemudian karena perbuatannya kian hari kian brutal, dunia persilatan jadi
geger, umat persilatan baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam
bersatu padu untuk menumpas dia.
Dalam suatu pertarungan yang seru di puncak Koan-jit-hong Thay-san, ia kena
dihajar sampai terjungkal kedalam jurang, untung umurnya masih panjang, ia
cuma terluka parah, membawa hati yang luka dan badan yang sakit, kembalilah
perempuan malang ini ke pulau Mo kiu-to. sejak itu tak pernah muncul kembali
di dunia persilatan.
Kemudian Liong Siau-thian sendiri karena memperebutkan sejilid kitab pusaka
ilmu silat, ia pun di-buru2 oleh kawanan jago, baik dari golongan putih maupun
dan kalangan hitam, berhubung tak dapat tancapkan kakinya di daratan
Tionggoan, dengan memboyong anak isterinya untuk kedua kalinya dia
mengungsi ke pulau Mo-kui-to.
Entah dengan siasat dan cara bagaimana, akhirnya ia berhasil menundukkan hati
Kui-bin-kiau-wa, malahan mereka bersepakat untuk tinggal ber-sama2, yaitu
Kui-bin-kiau-wa, Liong Siau- thiin serta isterinya.
Berdasarkan kitab pusaka yarg berhasil di dapatkan, Liong Siau-thian
dikemudian hari berhasil mencapai tingkatan sangat lihay, bahkan menyebut
dirinya sebagai Lam-hay-it-kun, kaisar dari lautan selatan dengan gelar Hay-
liong-sin (malaikat naga sakti), ia mendirikan perguruan
Lam-hay-bun, menerima anak murid dan mengangkat dirinya jadi pemimpin
paling tinggi di wilayah itu.
Puteranya sementara itu meningkat dewasa dan menjadi Lam-hay-siau-kun
dengan julukun pangeran naga sakti, sedang isterinya yang dulu melahirkan pula
seorang anak gadis yang kini menjabat pucuk pimpinan dalam penyerbuannya
ke daratan Tionggoan, yaitu Lam-hay-liong-li.
Semenjak kecil Lam-hay-liong-li sudah mengangkat ibunya yang kedua menjadi
gurunya, Kui-bin-kiau-wa sendiripun menyayangi Lam-hay-liong-li, malahan dia
tidak suka pada Lam-hay-siau-kun, karena itu Lam-hay-siau-kun belajar silat dari
ayahnya.
Ber-tahun2 kemudian, orang ketujuh dari Kanglam-jit-hiap, si kipas perak Liu
Tiong-ho kabur pula ke pulau setan dengan membawa puterinya yang masih
kecil karena peristiwa harta karun di telaga Tong-ting-ouw, waktu itu bukan saja
Toakonya, Pek-lek-kiam Tian In-thian, telah terbunuh, isteri Liu Tiong-ho juga
dibantai oleh kelima saudara angkat sendiri, maka dalam keadaan kepepet ia
kabur ke luar lautan.
Puterinya, Liu Cui-cui, karena berwajah cantik dan berpembawaan menarik,
pada usia tiga belas tahun, amat disayang oleh Lam-hay-it-kun, ia diperintahkan
untuk melayani Lam-hay hong-li.
Sebagai anggota Kanglam-jit-hiap, Liu Tiong-ho tentu saja tak setuju puterinya
dijadikan budak oleh orang, tapi keadaan waktu itu amat terdesak, berada di
rumah yang pendek, mungkinkah ia tak tunduk kepala?
Liu Tiong-ho cukup memahami posisinya pada waktu itu, ia membutuhkan
perlindungan dari Lam-hay-bun sekalipun dalam hati kecilnya ia sangat marah
karena puterinya dijadikan budak, namun iahirnya ia pura2 setuju.
Siapa tahu karena bencana Cui-cui malah mendapat rejeki, berhubung setiap
hari ia melayani Lam-hay-liong-li, akhirnya ia dipenujui oleh Kiu-bin-kiau-wa,
maka gadis itu diterima menjadi muridnya yang kedua.
Dasar otaknya memang cerdik dan bakatnya lebih bagus daripada Lam-hay-
liong-li, walaupun Liu Cui-cui belajar lebih belakangan, namun Kungfunya justeru
di atas Lam-hay-liong-li. bukan begitu saja, malahan ilmu Toh-mi-hun-toa-hoat
yang diturunkan Thian-sian-mo-li kepada Kui-bin-kiau-wa pun telah diwariskan
pula kepadanya.
Si kipas perak Liu Tiong-ho sendiri, sekali pun tidak ikut serta dalam rencana
pembunuhan atas diri Pek-lek-kiam Tian In-thian, pada hakikatnya ia sendiripun
menyimpan suatu rahasia pribadi.
Kiranya ketika dengan kemahirannya berenang ia menyelam ke gua harta karun
itu, secara diam2 ia telah menyembunyikan isi kitab pusaka Bu-hak-cinkeng,
sampul depan kitab itu dirobek dan ditempelkan pada sejilid kitab rongsokan
yang lain, sebab itulah setelah kelima saudura angkat lain membunuh sang
Toako dan mengusir Liu Tiong-ho, waktu pembagian harta, Kim-kun-ciang In
Tiong-liong mendapatkan kitab Bu-hak-cinkeng palsu.
Itulah sebabnya putera In Tiong-liong, yaitu An-lok Kongcu In Cing, setiap hari
tak pernah meninggalkan kitab rongsokannya, dan di situlah sebabnya mengapa
ilmu silat An lok Kongcu tak berhasil mencapai tingkatan yang paling tinggi
kendatipun ia menyelami isi kitab tersebut secara seksama.
Seandainya tidak terjadi peristiwa ini, mungkin di dunia persilatan takkan
muncul empat Kongcu, bisa jadi seluruh kolong langit ini sudah menjadi wilayah
kekuasan An-lok Kongcu seorang.
Liu Tiong-ho sendiri setelah berhasil membawa kabur Bu-hak-cinkeng yang asli
keluar lautan, sambil menahan penderitaan dan penghinaan ia berlatih secara
rajin dan tekun dengan harapan bila sudah menguasai ilmu silat yang tinggi,
maka dia akan pulang ke daratan Tionggoan untuk menuntut balas.
Tapi takdir menghendaki lain, tatkala sebagian besar isi Bu-hak-cinkeng berhasil
dikuasainya, ternyata ia mampu menguasai emosinya sendiri, api dendanmya
boleh di bilang telah padam semuanya.
Perlu diketahui Bu-hak-cinkeng adalah kitab pelajaran agama To, meskipun ilmu
silat yang tercantum di dalam kitab itu lihaynya tidak kepalang, namun yang
dititik-beratkan dalam pelajaran tersebut adalah tentang ketenangan, dengan
ketenangan jiwa, ketenangan pikiran dan hidup damai di dunia, sebab itulah
setelah berhasil dengan pelajarannya, Gin-san-cu Liu Tiong-ho berbalik segan
untuk muncul kembali di daratan Tioggoan, malahan niatnya untuk membalas
dendampun sama sekali lenyap.
Malahan kipas peraknya yang selama ini selalu diandalkan telah dihadiahkan
kepada Lam-hay-siau-kun.
Dalam waktu senggangnya seringkali ia ber-cakap2 dengan puterinya,
mengisahkan kembali peristiwa lama dan mengisi hari2 yang penuh kesepian itu
dengan gelak tertawa dan berbicara,
Tidaklah heran kalau Liu Cui-cui sangat memahami duduk persoalannya
mengenai Kanglam-jit-hiap.
Kendati pun Liu Tiong-ho sudah meremehkan soal pembalasan dendam,
berbeda dengan Liu Cui-cui, setiap saat ia selalu teringat dendam kematian
ibunya.
Seringkali ia bermaksud berangkat ke daratan Tionggoan untuk menuntut balas,
tapi setiap kali maksud itu berhasil diurungkan oleh ayahnya.
Setiap ada waktu senggang, Liu Tiong-ho selalu mewariskan pelajaran Bu-hak-
cinkeng kepada puterinya, ia selalu menasihati puterinya tentang budi, dendam,
cinta, benci, kemewahan dan kemiskinan yang berada di dunia ini tak lebih
hanya soal kosong belaka.
Ia berusaha mematangkan pikiran anak dara itu, agar ia berpandangan lebih
terbuka, namun Liu Cui-cui berwatak keras, dihadapan nyahnya ia mengangguk,
namun niat untuk membalas dendam bagi ibunya tak pernah goyah.
Suatu hari, Kui-bin-kiau-wa meninggal dunia, dengan kematian perempuan itu
otomatis kekuasaan tertinggi di pulau Mo-kui-to pun beralih ke tangan Lam-hay-
it kun.
Waktu itu Lam-hay-it-kun menganggap sayapnya telah tumbuh dengan kuat,
ambisinya merajai daratan Tionggoan segera berkobar, apalagi rasa dendamnya
terhadap kawanan jago yang pernah mengejar dirinya tak pernah padam, ia
lantas mengutus putera-puterinya dengan membawa Hay- gwa-sam-sat, Tho-
hoa-su-sian, Mo-kui-lo-pat-yau serta sekalian jago lihay Lam-hay-bun untuk
menyerbu ke daratan Tionggoan.
Pada kesempatan itulah Liu Cui-cui pun untuk pertama kali ikut meninggalkan
Mo-tui-to menuju ke daratan.
Sesaat sebelum berangkat, Liu Tiong-ho sempat memperingatkan puterinya, ia
berpesan begini: "Puteriku, pemuda di daratan Tionggoan kebanyakan berwajah
tampan dan menarik hati, ketahuilah imanmu kurang teguh. janganlah kau
menjerumuskan diri ke jaring cinta, sebab sekali kau terjerumus maka untuk
selamanya takkan mampu meloloskan diri lagi!"
Atas nasihat tersebut, Liu Cui-cui hanya tersenyum saja, dalam anggapannya,
Lam hay-it-kun dan Lam-hay-siau-kun berdua yang bangor pun bisa
dihindarinya, apalagi laki2 lain, ia menganggap tak akan ada laki2 di dunia ini
yang mampu memikat hatinya, maka pesan sang ayah sama sekali tak digubris.
Begitu tiba didaratan Tionggoan, pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah
membalas dendam bagi kematian ibunya, diam2 ia meninggalkan Lam-hay-
liong-li dan berangkat ke istana Kim di kota Lam-keng untuk menyelidiki gerak-
gerik Cing-hu-sin Kim Kiu dan untuk pertama kalinya pula ia berkenalan dengan
seorang pemuda yang ditolongnya ditepi sungai Hway, apa mau dibilang lagi,
ternyata ia terjerumus ke dalam jaring cinta.
Dari Pedang Hijau Tian Pek ia lantas mengetahui akan asal-usul pemuda itu,
maka ditolongnya Tian Pek dan dirawat luka racunnya di suatu kuil.
Kemudian sebagaimana sudah diceritakan, makin lama rasa cintanya kepada
pemuda itu makin mendalam, sampai akhirnya ia merasa tak dapat hidup tanpa
didampingi oleh anak muda itu.
Tidak heran kalau ia menjadi sedih dan sakit hati ketika Tian Pek memakinya
sebagai Kuntilanak,
Sebagaimana diketahui, Lam-hay-it-kun Liong Siau-thinn adalah lelaki bejat,
sababnya dia meninggalkan Kui-bin-kiau-wa dulu tak lain karena ia hendak
mengawini Tionggoan Giok-li, perempuan tercantik di daratan Tionggoan.
Kemudian setelah Tionggoan Giok-li melahirkan anak, karena dimakan usia,
apalagi wajah Kui- bin-kiau-wa jadi rusak akibat terjatuh ke dalam jurang di
puncak Koan-jit-hong, Lam-hay-it-kun merasa muak untuk berhubungan dengan
mereka lagi.
Untuk melampiaskan hawa napsunya, sering- kali ia mengadakan hubungan
gelap dengan Tho-hoa-so-sian.
Akhirnya rahasia ini diketahui juga oleh Kui-bin-kiau-wa, kalau terhadap
Tionggoan Gok-li ia masih bisa bersabar, maka terhadap penyelewengannya
dengan Tho-hoa-su-sian tak bisa diterima dengan begitu saja, seringkali ia
cekcok dengan Lam-hay-it-kun!, seringkali Lam-hay-it-kun memaki Kui-bin-kiau-
wa sebagai Kuntilanak, tidak heran kalau Liu Cui-cui apal sekali dengan kata?
makian terisebut.
Lam-hay-it-kun sendiripun beberapa kali hendak menodai Liu Cui-cui tapi setiap
kali berhasil ia hindari dengan selamat, sebab itulah meskipun diluarnya ia
tunduk kepada pihak Lam-hay-bun, pada hakikatnya rasa bencinya terhadap
Lim-hay-it-kun telah merasuk ke tulang sumsum.
Sekarang Tian Pek memakinya dengan ucapan yang seringkali dipakai Lam-hay-
it-kun, tak heran rasa sedihnya luar biasa, sambil membuang pedang hjau itu ia
lari sembari menahan isak tangis.
Belum jauh gadis itu pergi, tiba2 terdengar suara tertawa dingin memecahkan
kesunyian, sesosok bayangan manusia berkelebat dari balik gunung2an dan
tahu2 muncul seorang gadis.
Gadis yang muncul ini adalah Tian Wan-ji, betapa girangnya Tian Pek, ia berseru:
"Wan-ji....!"
Kepolosan dan kelincahan Wan-ji yang cantik kini lenyap tak berbekas, sebagai
gantinya ia ke-lihatan murung dan kesal, bukan saja tak gubris seruan mesra
Tian Pek, malahan dengan senyum mengejek ia mengitari Kim Cay-hong yang
telanjang.
Jengah Kim Cay-hong, walaupun Wan-ji se-kaum dengannya, tapi pandangan
lawan yang aneh dan sinis itu sangat menusuk perasaan.
Pada hari biasa ia selalu angkuh dan tinggi hati, tapi sekarang dalam keadaan
bugil ia ditonton begitu, sekalipun ia berusaha mengendalikan perasaannya, tak
urung merah juga pipinya, ia tundukkan kepalanya rendah2...
Setelah puas mengamati Kim Cay-hong yang bugil, lalu Wan-ji berkata dengan
tertawa dingin: "Hehe, engkoh Tian, kau baru saja menikah dengan enciku,
kenapa sudah main perempuan lagi di luaran, pantaskah perbuatanmu ini?"
Perkataan ini membuat Liu Cui-cui maupun Kim Cay-hong jadi tertegun.
Cui-cui balik lagi ke tempat semula, ia lupa menangis. Kim Cay-hong pun lupa
akan rasa malunya, dengan mata terbelalak mereka berseru: "Kau. . . ."
Hanya itu saja yang dapat mereka ucapken, sesaat kedua gadis itu ter-mangu2
seperti orang linglung.
Tian Pek bukan anak bodoh, sudah tentu ia dapat meraba perasaan kedua gadis
itu, pikirnya: "Inilah kesempatan terbaik bagiku untuk memutuskan tali cinta
dengan mereka berdua."
Berpikir demikian, dengan serius ia lantas berkata: "Apa yang dikatakan adik
Wan memang benar, aku memang sudah dijodohkan dengan Buyung Hong,
encinva Wan-ji dan sekarang secara resmi kami telah menjadi suami isteri . , . ."
Belum habis ucapan Tian Pek, paras Liu Cui cui telah berubah hebat, matanya
melotot, bentaknya dengan murka: "Sungguhkah perkataanmu ini?"
"Masa membohongi kau?" jengek Wan-ji dari samping.
Cui-cui merasakan kepadanya pening dan pandangannya jadi gelap, tanpa terasa
air matanya jatuh bercucuran, sambil menggigit bibir dan menahan isak
tangisnya ia berkata kepada Tian Pek dengan sedih: "Kau .. . .kau kejam
benar . , . ,kau tak setia ., .. tidak pegang janji.. . coba jawablah .... bagaimana
dengan diriku ini . . . ?"
Tian Pek tertegun juga, dari kepedihan Cui-cui ia tahu bahwa cinta gadis itu
terhadapnya sudah mendalam, sekarang ia baru menyesal akan tindakan sendiri
yang gegabah, hanya karena menuruti emosi ia menerima pinangan Buyung
Hong, ditinjau dari keadaan saat ini, jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang
baginya untuk memutuskan hubungan cintanya.
Sementara anak muda itu masih ter-mangu2 karena sedih bercampur menyesal,
nun jauh disana tiba2 terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati. jeritan maut
menjelang ajal, mengerikan dan membuat bulu roma orang sama berdiri.
Jeritan ngeri itu tidak terlampau keras kedengarannya, tapi cukup membuat
beberapa orang itu mengeluarkan peluh dingin, paras Tian Pek dan Kim Cay-
hong seketika berubah hebat.
Tiba2 Kim Cay-hong menubruk kedepan Tian Pek, serunya dengan sedih:
"Engkoh Tian, Siauhiap! Tolonglah, bantulah ayahku . . . mungkin jiwanya
terancam bahaya . . . ."
Sebenarnya Tian Pek tidak peduli keselamatan Cing-hu-sin Kim Kiu, ia lebih
mencemaskan diri paman Lui, Tay-pek-siang-gi, Ji-lopiautau dan Buyung Hong.
Sementara itu pengaruh racun "dupa liur naga" telah punah sama sekali, tenaga
dalamnya telah pulih kembali seperti sediakala, mendengar permintaan itu ia
lantas melepaskan baju luarnya dan diserahkan kepada Kim Cay-hong, kemudian
memungut kembali pedang hijaunya, ia berkata: "Aku tak tahu dimana ayahmu
berada, pergilah cari sendiri! Aku harus menolong dua orang sahabatku...."
Begitu selesai berucap segera ia meluncur ke arah jeritan maut tadi dengan
cepat.
Seperginya Tian Pek tiga gadis itu saling pandang sekejap, siapapun tidak
mempedulikan lawannya, diantara mereka Kim Cay-hong tampak paling gelisah,
selesai mengenakan jubah pemberian Tian Pek, cepat ia berlari ke arah jeritan
tadi.
Cui-cui mengerling sekejap ke arah Wan-ji, kemudian tantangnya: "Punya
keberaninn ke sana?"
"Hm, apa yang kutakut?" sahut Wan-ji sambil mencibir. Secepat terbang ia
lantas mendahului melayang ke sana.
Cui-cui segera menyusul dari belakang, susul menyusul keempat orang itu tiba di
sebuah halaman yang sangat luas, lentera dan obor membuat suasana terang
benderang bagaikan siang hari.
Halaiman yang luas ini berlantai tanah keras, pada ujung halaman dekat dinding
sana tersedia delapan belas macam senjata, karung pasir dan berbagai
peralatan, tampaknya halaman ini adalah lapangan berlatih silat istana keluarga
Kim.
Tepat di hadapan mereka dibangun sebuah panggung yang tinggi, sebuah meja
panjang besar terletak di tengah panggung itu, sementara di belakang meja
tersedia berpuluh kursi emas, Lam-hay-siau-kun dan Lam-hay-liong-li berduduk
di kursi utama. sedangken sisanya ditempati Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian
dan lain2, paling belakang berdiri pula belasan laki2 berpakaian ringkas.
Di depan panggung, dekat dinding tertanam belasan buah cagak kayu yang
besar tiap cagak itu terikat seseorang, diantara mereka ada yang sudah tewas
dalam keadaan mengerikan, ada yang mati dengan dada atau perut terbelah,
ada yang kutung lengan atau kakinya, jelas siksaan yang mereka alami sebelum
ajal pasti luar biasa.
Beberapa orang yang masih berada dalam keadaan hidup berdiri lemas dengan
muka pucat dan ketakutan.
Di kedua belah sisi cagak itu masing2 berdiri dua orang algojo yang bermuka
garang. dengan dada terbuka dan golok besar terpangku mirip sekali dengan
malaikat maut pencabut nyawa.
Pertarungan sengit antara berpuluh orang masih berlangsung di tengah
halaman, sambaran golok dan pukulan men-deru2.
Mengingat Hay-gwa-sam-sat, Tho-hoa-su-sian dan lain2 hanya duduk tenang di
atas panggung, bisa ditarik kesimpulan bahwa pertarungan tersebut dilayani
oleh jago kelas dua atau tiga dari perguruan Lam-hay-bun.
Begitu tiba di tepi gelanggang, segera Tian Pek mengetahui bahwa orang2 yang
sedang terlibat dalam pertempuran itu tak lain adalah paman Lui, Tay-pek-siang-
gi, Ji-lopiautau serta Buyung Hong.
Selama pertarungan berlangsung paman Lui dan Tay-pek-siang-gi bertempur
dengan bertangan kosong, Ji-lopiautau bergolok, Buyung Hong pakai pedang
pendek, mereka melabrak musuh habis2an, sekalipun dikerubut oleh belasan
orang mereka tetap di atas angin, beberapa kali jago Lam-hay-bun kena dihajar
terluka atau tewas.
Lam-hay-siaukun berada di atas panggung dan menonton jalannya pertarungnn
itu sambil menggoyangkan kipasnya, ketika dilihatnya pertarungan itu
berlangsung tanpa akhir, dengan alis bekernyit ia berpaling ke kiri dan ke kanan.
Si nenek rambut putih, Leng-yan-hong, adalah seorang Hay-gwa-sam-sat segera
membentak, dia melambung ke atas, lalu meluncur ke bawah dengan cepat
telapak tangannya segera menghantam batok kepala paman Lui.
Sebagai jago kawakan, nenek itu tahu kungfu paman Lui terhitung paling lihay,
maka per-tama2 ia serang paman Lui.
Saat itu paman Lui sedang menghadapi empat lima orang musuh, ketika tiba2
merasakan datangnya sergapan si nenek berambut putih itu, cepat telapak
tangan kirinya berputar dan mendesak mundur musuh, sedang telapak tangan
kanannya dengan jurus Thian-ong-tok-tha (Raja langit menyangga pagoda) ia
tangkis serangan si nenek yang dahsyat itu dengan keras lawan keras.
Ketika dua gulung tenaga pukulan yang hebat itu kebentur, "blang!" paman Lui
terdesak mundur empat lima langkah dengan sempoyongan, sedangkan
kawanan jago Lam-hay-bun yang mengepung paman Lui ikut tercerai-berai, dari
sini dapatlah diketahui betapa hebat tenaga pukulan nenek berambut putih itu.
Paman Lui terkejut oleh kedahsyatan ilmu pukulan si nenek.
Sementara itu Leng-yan-hong atau si nenek berambut putih itu sudah melayang
turun, teriaknya: "Jangan kabur! Sambut lagi pukulan nenekmu!"
Telapak tangannya didorong ke depan, segulung angin pukulan dahsyat
menerjang pula ke dada paman Lui.
Dasar tinggi hati dan tak sudi mengunjuk kelemahan di depan orang, meskipun
paman Lui tahu bahwa serangan lawan amat dahsyat, ia tidak menghindar atau
berkelit, malahan dengan keras-lawan-keras ia sambut serangan dahsyat si
nenek.
"Blang!" benturan keras terjadi pula, nenek itu cuma tergetar sedikit, sebaliknya
paman Lui terdorong mundur sampai lima langkah.
Nenek itu tambah gusar karena secara beruntun paman Lui menyambut
pukulannya dengan kekerasan, dengan mata melotot ia menghardik: "Keparat!
Bila pukulanku yang ketiga ini tidak dapat merebut jiwa anjingmu, mulai hari ini
namaku biar dicoret dari dunia persilatan!"
Dengan sepenuh tenaga dalamnya ia dorong kedua telapak tangannya ke depan.
Kelihatannya telapak tangan nenek itu didorong dengan gerakan yang lambat,
malahan disertai dengan gemetar keras se-akan2 kepayahan sekali, namun
angin pukulan yang timbul dari serangan tersebut kuatnya tidak kepalang, debu
pasir lantas beterbangan.
Paman Lui sendiri seperti sudah kepayahan, untuk menangkis dua kali serangan
musuh tadi ia sudah merasakan lengannya kaku kesemutan, darah bergolak
hebat, tapi ia pantang menyerah, meski pun ia tahu serangan ketiga si nenek
terlebih dahsyat, akan tetapi sambil mengertak gigi ia menangkis pula.
Diam2 hawa murninya dihimpun ilmu pukulan Thian-hud-hang-nio-ciang
dikerahkan hingga puncaknya, tatkala angin serangan lawan yang dahsyat itu
menyambar tiba, baru ia angkat telapak tangannya untuk menyambut dengan
keras lawan keras.
Kebetulan waktu itu Tian Pek berdiri di atas tembok pekarangan, ia tak
menyangka paman Lui akan bertindak senekat itu, tadinya ia mengira paman Lui
tentu akan berkelit dulu, kemudian melepaskan serangan balasan, maka Tian
Pek sendiri tidak melakukan persiapan apa2.
Tapi demi melihat paman Lui siap menyambut serangan musuh, ia baru sadar
gelagat tidak menguntungkan: "Wah celaka. . . .!" serunya.
Ketika ia melayang turun. telapak tangan paman Lui telah saling bentur dengan
telapak tangan nenek itu.
Paman Lui tergetar mundur. namun ia masih tetap berdiri tegak dan tak sampai
terjungkal.
Nenek itu berdiri dengan mata melotot, ia menunggu jatuhnya lawan. tapi
paman Lui tidak roboh, malahan mengejek "'Nenek tua, katakan namamu."
Karena bicara, pergolakan darah dalam dadanyaa tak terkendalikan lagi, darah
segar terus mengucur melalui ujung mulut.
Nenek rambut putih sangat tinggi hati, sejak masuk daratan Tiongioan, kecuali
keok di tangan Tian Pek, belum pernah ia temui musuh yang tangguh.
Siapa tahu sekarang bertemu dengan paman Lui, bukan saja lawannya sanggup
menyambut tiga kali serangannya tanpa roboh, terutama serangannya yang
terakhir di mana ia sudah menghimpun segenap kekuatannya, tapi
kenyataannya paman Lui masih tetap berdiri tegak tanpa roboh.
Sekarang paman Lui mengejek, dari malu ia jadi gusar, alisnya berkerut, mata
melotot, dengan gemas ia menutuk Sim-gi-hiat ditubuh paman Lui. Dengan
menyeringai jengeknya: "Ingin tahu namaku, boleh kau bertanya setelah
bertemu dengan raja akhirat nanti!"
Tian Pek tahu kelihayan tutukan nenek itu, ia tahu paman Lui diserang dengan
Soh-hun-ci yang maha dahsyat, dengan terkejut cepat ia berseru: "Paman, cepat
berkelit . . . ,"
Tapi Wan-ji jauh lebih cepat, baru saja Tian Pek berseru nona itu dengan
lincahnya bagaikan burung walet sudah menerjang ke tengah gelanggang,
sebelum tiba di tempat, jari tangan segera melancarkan serangan maut, ilmu
yang dipakai juga Soh-hun-ci, bahkan yang diarah adalah Kwan-goan-hiat pada
lengan kanan nenek itu.
Disinilah letak kecerdikan Wan-ji, ia tahu kepandaiannya mempergunakan Soh-
hun-ci masih jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan kesempurnaan si nenek
rambut putih, oleh sebab itu dia menghindari arah serangan musuh dan balas
mengancam Hiat-to penting di lengan kanan lawannya.
Dalam keadaan begini, bila si nenek tidak segera menarik kembali serangannya,
kendatipun serangannya berhasil membunuh paman Lui, akan tetapi lengan
kanannya juga akan cacat untuk selamanya.
Terpaksa si nenek batalkan serangannya dan cepat berkelit kesamping. Paman
Lui sempoyongan mundur beberapa langkah, cepat Wan-ji memburu maju dan
memayangnya.
"Paman, apakah kau terluka....? tanya gadis itu.
Seperti diketahui, selama Paman Lui berdiam di istana keluarga Buyung, ia
paling menyayangi Wan-ji, dan Wan-ji sendiripun sangat menghormati paman
Lui.
Sementara itu, Tian Pek sendiripun sudah melayang masuk ke tengah
gelanggang, ia melototi si nenek berambut putih dan bentaknya: "Sudah lanjut
usia, tak tersangka hatimu sebusuk ini, masa terhadap orang yang sudah terluka
masih kau serang secara keji? Hehehe, sekarang tuan muda ingin tahu
sebenarnya sampai dimanakah kemampuanmu?"
Kedua telapak tangannya segera direntangkan ke atas, itulah gaya pembukaan
dari jurus Thian-hud-hang-mo-ciang, katanya: "Siauya akan memberi
kesempatan kepadamu untuk menyerang lebih dulu, dalam tiga gebrakan, tetap
akan kubereskan jiwamu!"
Sejak melihat kemunculan Tian Pek, si nenek berambut putih sudah kelihatan
terkejut bercampur jeri, Sikap pongahnya kini sudah lenyap. Ia tahu anak muda
ini adalah malaikat maut baginya, untuk sesaat ia jadi bingung dan berdiri ter-
mangu2 disitu, ingin lari pun terasa rikuh.
Tiba2 bayangan orang berkelebat, tahu2 kakek berjenggot panjang serta Hud-im
Hoat-su telah me layang ke depan anak muda itu.
Setibanya digelanggang, sambil tertawa kakek berjenggot panjang itu berkata:
"Engkoh cilik, di daratan Tionggoan dewasa ini hanya kau seorang yang dapat
menaklukkan Hay-gwa-sam sat kami. Meskipun begitu, malam ini kami bertipa
berhasrat turun tangan bersama guna minta petunjuk kepada engkoh cilik,
mungkin orang lain akan bilang kami main kerubut, tapi bagi engkoh cilik
tentunya pengerubutan ini bukan soal . . ."
Mendengar perkataan ini, Tian Pek ter-bahak2: "Hahaha, aku menghormati kau
sebagai orang yang lebih tua, tak tahunya kau malahan mengucapkan kata2
yang memalukan, tidakkah kau merasa kulit mukamu terlampau tebal?"
Merah padam wajah kakek berjenggot panjang itu, tapi segera ia tertawa lngi:
"Hahaha, anggaplah aku si tua bangka ini memang bermuka tebal, tapi tahukah
engkau engkoh cilik, bila kami Hay-gwa-sam-sat mengerubuti kau seorang,
justeru peristiwa ini akan menaikkan nama serta gengsi engkoh cilik di dunia
persilatan? Berbicara terus terang, kecuali engkoh cilik seorang, di daratan
Tionggoan dewasa ini belum ada orang lain yang pantas menerima kehormatan
ini."
"Hahaha, kalau begitu. kehormatan ini bagaimanapun juga harus kuterima?
Baiklah, Tian Pek siap menerima pelajaran kalian bertiga, silakan kalian
melancarkan serangan?"
Habis berkata segera ia bersiap melancarkan pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang.
Ilmu silat Hay-gwa-sam-sat cukup disegani, jangankan jago2 biasa. bahkan tokoh
persilatan yang sangat tersohor seperti Mo-in-sin-jiu (tangan sakti di balik awan)
Siang Cong-thian, Hiat-ciang-hwe-liong (naga api telapak darah) Yau Peng-kun
serta Tok-kiam-leng-coa (pedang racun ular sakti) Go Hoa-lam, anak buah An-lok
Kongcu, juga Hong-jan-sam kay, anak buah Toan-hong Kongcu, lalu Kim-hu
siang-tiat-wa anak buah Siang-lin Kongcu. secara beruntun telah terluka di
tangan mereka.
Bukan itu saja, malahan Thian-ya-ong-seng (manusia latah dari ujung langit) Tio
Kiu-ciu, tokoh paling sakti dibawah pimpinan Leng-hong Kongcu juga dikalahkan
oleh si nenek berambut putih, bisa dibayangkan betapa kagetnya kawanan jago
demi menyaksikan Hay-gwa-sam-sat sudi menurunkan derajat sendiri dengan
menantang Tian Pek untuk bertempur satu lawan tiga dan tanpa berpikir
tantangan itu diterima oleh anak muda itu.
Tidak heran pertempuran lain yang sedang berlangsung otomatis lantas
berhenti dan masing2 lantas menguadurkan diri ke samping gelanggang.
Suasana jadi hening, semua orang mengalihkan perhatiannya ke tengah
gelanggang, Sin-liong-taycu dan Lam-hay-liong-li yang duduk tenang di atas
panggungpun berdiri, rupanya merekapun ingin menyaksikan bagaimanakah
jalannya pertarungan antara ketiga tokoh sakti andalan perguruannya melawan
Tian Pek.
Buyung Hong dan Kim Cay-hong tidak tahu sampai dimanakah kelihayan Hay-
gwa-sam-sat, akan tetapi menyaksikan ketegangan yang mencekam seluruh
gelanggang pertarungan itu mereka Sadar bahwa musuh yang akan dihadapi
Tian Pek pasti lihay luar biasa, diam2 mereka menguatirkan keselamatan engkoh
Pek.
Wan-ji tahu sampai dimanakah kehebatan kungfu Hay-gwa-sam-sat, ketika
dilihatnya Tian Pek menerima tantangan lawan, ia menjadi gelisah dan tak
tenang .... .
Cui-cui juga tahu kungfu Tian Pek dewasa ini sudah cukup untuk malang
melintang di dunia persilatan, sebab dia sendiri yang membantu pemuda itu
berlatih, tapi setelah mengetahui anak muda itu menerima tantangan ketiga
tokoh sakti dari Lam-hay itu, tidak urung iapun rada kuatir.
Paman Lui, Tay-pek siang-gi serta Ji-lopiautau belum lama berselang telah
menyaksikan sendiri sampai dimana kelihayan si nenek berambut putih, apalagi
sekarang tiga orang turun tangan bersama, inipun membuat mereka cemas.
Bagaimana pun juga Tian Pek telah menerima tantangan tersebut, sekalipun
orang lain mencemaskan keselamatannya toh percuma saja, sebab anak muda
itu tak nanti membatalkan persetujuannya dengan begitu saja.
Kalau rekan2 Tian Pek dibikin panik, maka sebaliknya kawanan jago Lam-hay-
bun diam2 merasa gembira, meskipun tidak sedikit kawanan jago itu pcrnah
menjajal kehebatan kungfu anak muda itu, tapi mereka yakin asal tiga "malaikat
maut" itu turun tangan benama. maka kesempatan untuk menang sudah pasti
jauh lebih besar.
Dalam pada itu, karena Tian Pek berani menerima tantangannya, dengan girang
si kakek berjenggot acungkan jempolnya seraya memuji; "Bagus, engkoh cilik!
Kau memang luar biasa, boleh dibilang kau adalah manusia paling aneh yang
pernah kujumpai selama seratus tahun terakhir ini!
"Losianseng terlalu memuji!" Tian Pek jadi rikuh oleh sikap hormat kakek
berjenggot panjang itu.
Leng-yan-hong. si nenek berambut putih itu tertawa terkekeh: "Hehehe, engkoh
cilik tak usah sungkan2, apa yang dikatakan kakek itu memang kata2 sejujurnya!
Terus terang saja kami akui bahwa sebelum bertemu dengan kau, kami selalu
menganggap kami bertiga ini tiada tandingan di kolong langit, malahan cukong
kami, Lam-hay-it-kun sendiripun tak berani mengatakan kami bertiga bukan
tandingannya . . . ."
Sampai disini, si kakek berjenggot mengedipi rekannya, sementara Sin-liong-
taycu dan Lam-hay-liong-li yang berada di atas panggung juga segera berubah
air mukanya.
Tapi nenek itu tidak menggubris isyarat rekannya itu dan tidak perduli pula
bagaimana reaksi orang lain, ujarnya lebih lanjut: "Malam ini, engkoh cilik
seorang diri akan melayani kami bertiga. bukankah ini suatu peristiwa luar biasa
yang belum pernah terjadi?"
"Kalau kalian merasa kungfu kalian tiada tandingannya di kolong langit ini,
mengapa kalian mau tunduk di bawah perintah orang lain?" tanya Tian Pek.
Sebelum nenek berambut putih itu menjawab, Hud-in Hoat-su telah menyela
lebih dulu: "Hei. nenek rudin, jangan sembarangan omong yang bukan-bukan ...
"
Tapi kakek berjenggot panjang itu menghela napas pelahan, katanya: "Bangsat
gundul, malam ini kita bertemu tokoh silat yang luar biasa, bagaimnnapun kita
harus berbicara terus terang!" — Lalu ia berkata kepada Tian Pek: "Berbicara
sesungguhnya. kami bertiga tua bangka memang mempunyai kesulitan yang tak
bisa diberitahukan kepada orang lain, sekarang tak ada waktu untuk bicara lagi
denganmu ...,"
Tiba2 air mukanya berubah jadi serius, sambungnya lagi: "Yang sudah lewat tak
usah dibicarakan lagi sesungguhnya bagi kami bertiga mengerubuti seorang
bocah macam kau, boleh dibilang peristiwa ini jarang terjadi dan sukar dicari,
untuk memeriahkan pertemuan besar ini, bagaimana kalau kita melakukan
pertaruhan pula dalam pertarungan ini?"
Keterus-terangan ketiga orang tua ini telah mengurangi sikap permusuhan Tian
Pek terhadap lawannva, ia balik bertanya: "Bolehkah aku tahu, Locianpwe ingin
taruhan apa?"
Mendengar dirinya disebut "Locianpwe", saking gembiranya si kakek berjenggot
sampai garuk2 kepalanya yang tak gatal, selang sesaat baru menjawab: "Bila
kami kalah, maka mulai detik itu juga kami akan mengundurkan diri dari Lam-
hay-bun dan takkan mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Sebaliknya kalau
engkoh cilik yang kalah' maka kaupun harus mengundurkan diri dari dunia
persilatan di Tionggoan ini, adil bukan?"
Tian Pek adalah pemuda yang polos dan jujur rada kebodoh-bodohan, tapi
sekarang mendadak ia tampak lebih cerdik, mendengar pertaruhan yang
diajukan kakek berjenggot itu, ia merasa ada sesuatu yang tak beres.
Maka ia bertanya: "Sebelum diputuskan ada baiknya kau terangkan lebih dulu,
bila kalian mengundurkan diri dari Lam-hay-bun, apakah masih akan
berkecimpuug di daratan Tionggoan atau tidak? Sebaliknya bila aku yang harus
mengundurkan diri dari dunia persilatan, apakah juga tidak boleh tinggal di
daratan Tionggoan?"
Dari pembicaraan ini si kakek berjenggot panjang segera tahu pemuda ini tidak
sederhana, ia tertawa dan menjawab: "Aku tak peduli dimana kau akan
berdiam, pokoknya asal tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi.
Tegasnya setiap persoalan yang berbau persilatan, maka urusan itu tak boleh
kita campur, sedangkan mengenai soal tempat tinggal peduli itu berada di
daratan Tionggoan maupun di luar lautan, pokoknya jauh dari perjumpaan
dengan orang persilatan Bagaimana? Setuju?"
Sementara itu Lam-hay-liong-li telah mengerling sekejap ke arah Sin-liong-taycu,
air muka "pengeran naga sakti" itupun berubah hebat, ia melangkah maju dan
hendak melompat ke bawah . . .
Tak seorangnun yang menaruh perhatian terhadap gerak-genk kakak beradik itu,
mereka sama mencurahkan perhatian untuk mengikuti perundingan yang
sedang berlangsung antara Tian Pek dengan Hay-gwa-sam-sat
Tiba2 terdengar Tian Pek menjawab: "Usul Locianpwe memang sangat bagus,
tapi sayang tak dapat kuterima."
"Kenapa?" tanya kakek berjenggot, "apakah engkoh cilik masih ingin
mengatakan sesuatu?"
"Sakit hati ayahlu belum terbalas, kecuali Tian Pek sudah tak bernyawa lagi,
maka selama hayat masih dikandung badan dendam ini harus kutuntut lebih
dahulu!"
"Betul, sakit hati orang tua memang harus dibalas lebih dulu!" sahut kakek
berjenggot panjang sambil mengangguk, "entah siapakah musuh engkoh cilik
yang membunuh ayahmu itu?"
"Cing-hu-sin Kim Kiu!" jawab Tian Pek sekata demi sekata.
Mendadak si nenek berambut putih menengadah dan ter-bahak2, keras sekali
suaranya sehingga rambutnya yang beruban ikut bergetar keras.
Tian Pek menjadi tak senang hati, ia menegur: "Locanpwe, apa yang kau
tertawakan?"
Nenek itu tak dapat menahan gelak tertawanya, sambil ter-bahak2 dia
menuding salah seorang yang terikat pada tonggak kayu sana.
"Cing-hu-sin Kim Kiu telah mati," kata si kakek berjenggot, "aku rasa maksud
tujuan engkoh cilikpun sudah terpenuhi!"
Mengikuti arah yang ditunjuk nenek itu, Tian Pek melihat di ujung pekarangan
sana tersisa sebuah kursi beroda yang telah hancur, manusia yang terikat di
tonggak kayu di depan kursi itu dalam keadaan mengerikan, bukan saja kaki dan
tangannya telah berpisah dengan badannya. kepalapun sudah kutung, jelas mati
dengan cara Nio-to-him-si yang amat keji dari Lom-hay-bun itu.
Ketika dia mengamati jenazah yang berlepotan darah itu, dilihatnya jubahnya
itulah yang seringkali dikenakan oleh Cing-hu-sin Kim Kiu.
Tiba2 terdengar jerit tangis yang memilukan, sesosok bayangan menerjang ke
dekat jenazah Cing-hu-sin Kim Kiu. Itulah Kim Cay-hong yang mengenakan jubah
luar Tian Pek.
Tiba2 satu ingatan aneh terlintas dalam benak Tian Pek, ia merasa kasihan
terhadap Kim Cay-hong yang kehilangan ayah, tapi iapun merasa lega karena
musuh yang membunuh ayahnya telah mati dengan ganjaran yang setimpal,
pikirnya lebih jauh dengan heran: "Lam-bay-bun kembali membalaskan dendam
kematian ayahku, sebenarnya aku mesti bersahabat atau bermusuhan dengan
mereka?"
Tapi sedapatnya ia singkirkan jauh2 ingatan tersebut, katanya kemudian:
"Sekalipun Kim Kiu sudah mati tapi pembunuh ayahku masih ada Kian-kun-ciang
In Tiong-liong!"
"Wah, tampaknya tidak sedikit pembunuh ayahmu, engkoh cilik," kata si kakek
berjenggot panjang sambil tertawa aneh. "Apa aku boleh tahu, selain kedua
orang itu masih ada siapa lagi?"
"Kun-goan-ci Su-gong Cing!"
"Dan?''
"Pah-ong-pian Hoan Hui!"
"Hahaha!" kakek berjenggot panjang itu ter-bahak2. "Kiranya musuh besar
engkoh cilik adalah para pemuka dunia persilatan, apakah masih ada yang lain?"
"Tidak ada lagi!"
Nenek berambut putih lantas berkata: "Engkoh cilik, kalau cuma beberapa orang
itu saja musuh besarmu, sekarang silakan saja bertempur melawan kami, sebab
di dunia persilatan ini tiada persoalan lain lagi yang akan merisaukan hatimu!"
"Maksudmu, empat pemuka dunia persilatan berikut Hoan Hui telah kalian
bunuh?" tanya Tian Pek.
"Ah, masa kami membohongi seorang bocah seperti kau?" sela Hud-in Hoat-su.
Dengan serius si kakek berjenggot menukas: "Engkoh cilik, tentunya kau tahu
betapa pentingnya janji dan perkataan seorang persilatan? Ketahuilah kami Hay-
gwa-san-sat bukan kaum keroco. ."
Mendadak Tian Pek memberi hormat kepada ketiga orang itu, katanya: "Kalau
begitu, terima kasih atas bantuan kalian yang telah membalaskan dendamku!"
"Engkoh cilik, kau jangan hanya berterima kasih kepada kami bertiga saja." kata
si nenek, "bicara sesungguhnya, orang yang mewakili dirimu membunuhi
musuhmu bukanlah kami melainkan majikan muda kami, sepantasnya engkoh
cilik berterima kasih kepada majikan muda kami itu!"
Tian Pek berpaling mengikuti arah yang ditunjuk nenek itu, yang dimaksud
kiranya Lam-hay-liong-li.
Lam-hay-liong-li juga sedang menatap ke arahnya tanpa berkedip.
Ketika Tian Pek beradu pandang dengan gadis itu, hatinya terkesiap, buru2 ia
melengos, ia merasa bahwa sorot mata itu luar biasa.
Bukan cuma sekali ini saja anak muda itu melihat sorot mata begini, tatapan
Wan-ji waktu merawat sakitnya di Pah-to-san-ceng. Pandangan Buyung Hong
ketika terpengaruh oleh irama Im-hun-siau-hoat, Ketika menunggang kuda
menuju istana keluarga Kim bersama Kanglam-te-it-bi-jin Kim Cay-hong, serta
waktu Liu Cui-cui mengobati lukanya dalam keadaan bugil di lembah Bong-hun-
kok, semua itu penah dilihatnya sorot mata seperti ini.
Belenggu cinta sudah cukup memusingkan pikiran pemuda ini, beberapa gadis
yang selalu mengitarinya sudah cukup membuatnya kebingungan, sekarang
dilihatnya Lam-hay-liong-li menatapnya pula dengan sorot mata mesra seperti
itu, tentu saja ia tak berani balas tatapannya, dengan ketakutan cepat sinar
matanya beralih ke arah lain.
"Setelah aku berterima kasih kepada kalian, rasanya tak perlu kuucapkan terima
kasih lagi kepada orang lain," katanya kemudian kepada Hay-gwa-sam-sat.
"Sekarang aku sudah tidak memikirkan sakit hati ayahku lagi, tiada persoalan
lain yang membelenggu pula pikiranku, baiklah, kuterima taruhan kalian itu,
silakan Cianpwe bertiga mulai nmnyerang!"
Ia lolos pedang hijau dari sarungnya dan diluruskan ke depan, ia melakukan
gerak pembukaan jurus Sam-cay-kiam, ilmu pedang yang sangat umum.
Hay-gwa-sam-sat tidak berani gegabah, serentak mereka memisahkar diri
dengan posisi segi tiga, dengan begitu Tian Pek segera terkurung di tengah.
Setelah ambil ancang2, kakek berjenggot panjang berdiri tegak dengan kedua
telapak tangan bersilang di depan dada, inilah gaya Hay-pau-jit-gwat (memeluk
matahari dan rembulan).
Sedangkan si nenek berdiri dengan sebelah kaki melangkah ke depan, jari
tangan kanan menuding di tepi telinga. Sebaliknya Hud-in Hoat-su berjongkok
dengan kedua tangan menempel tanah, gayanya seperti seekor katak.
Dari kuda2 mereka ini dapat diketahui si kakek berjenggot itu akan menghadapi
lawan dengan ilmu Tay-jiu-in, si nenek siap dengan ilmu jari Soh-hun-ci dan Hud-
in Hoat-su dengan ilmu Ha-mo-kang.
Suasana dalam gelanggang jadi sunyi senyap, ratusan orang yang berada di
sekitar tempat itu berdiri dengan terbelalak lebar, semua orang ingin
menyaksikan bagaimana akhhir dari pertarungan seru yang jarang bisa dijumpai
ini.
Sekilas pandang pertarungan ini seperti pertempuran pribadi antara Hay-gwa-
sam-sat melawan Tian Pek, tapi pada hakikatnya pertarungan ini justeru sangat
mempengaruhi keselamatan dunia persilatan, menang-kalah bertarungan ini
mempengaruhi pula kehidupan berpuluh ribu manusia.
Meskipun musuh2 Tian Pek sudah terbasmi, empat pemuka dunia persilatan
telah musnah. akan tetapi pengaruh Lam-hay-bun justeru berkali lipat lebih
mengerikan daripada empat pemuka dunia persilatan itu, lebih kejam dan lebih
se-wenang2.
Andaikata Tian Pek kalah dalam pertarungan ini sehingga harus mengudurkan
diri dari dunia persilatan, itu berarti daratan Tionggoan segera akan menjadi
wilayah jajahan Lam-hay-bun, keadaan pada waktu itu pasti akan lebih
mengerikan daripada semasa perebutan kekuataan antara empat Kongcu dunia
persilatan.
Bukan rahasia lagi bahwa di dunia persilatan dewasa ini kecuali Tian Pek, belum
ada orang lain yang mampu menandingi kelihayan Hay-gwa-sam-sat.
Sebab itulah jago seperti paman Lui, Tay-pek-siang-gi serta Ji=lopiautau sekalian
merasa tegang sekali, mereka kuatir Tian Pek hanya terburu napsu dan berdarah
panas menyambut tantangnn ketiga orang itu, bila sampai cedera berarti suatu
kerugian yang besar bagi umat persilatan.
Buyung Hong serta Wan-ji juga merasa tegang, malahan mereka jauh lebih
tegang daripada orang lain.
Kim Cay-hong telah jatuh tak sadarkan diri melihat kematian ayahnya dalam
keadaan mengerikan, cuma tak seorangpun yang menaruh perhatian
kepadanya.
Satu2nya orang yang paling santai ialah Lui Cui-cui, ia percaya seratus persen
akan Kungfu Tian Pek dewasa ini, bahkan boleh dibilang sudah mencapai
tingkatan tiada tandingan di kolong langit ini, Walau begitu rasa was-was masih
terselip di dalam hati nona itu.
Ia tidak kuatir Kungfu engkoh Tian bukan tandingan lawan, ia justeru
mencemaskan keselamatan anak muda itu dari tipu muslihat ketiga jago tua itu.
Orang dari Lam-hay-bun sendiripun tak tenang, teratama Sin-liong-taycu serta
Lam-hay-liong-li.
Sin-liong-taycu sudah pernah merasakan kelihayan Tian Pek, sedangkan Hay-
gwa-sam-sat justeru merupakan basis kekuatan Lam-hay-bun mereka, tentu saja
ia menguatirkan keselamatan anak buahnya ini.
Padahal, pengabdian Hay-gwa-sam-sat kepada Lam-hay-bun adalah karena
mereka pernah diselamatkan jiwanya oleh Hay-liong-sin, maka ketiga orang itu
bersumpah setia untuk berbakti kepada Lam-hay-bun.
Tiga orang ini sangat aneh, mereka sudah terbiasa bertindak menurut hawa
napsu sendiri, apa- lagi ilmu silat mereka jauh di atas Hay-liong-sin, maka
seringkali mereka unjuk sikap tak bersahahat.
Dan sekarang Sin-liong-taycu justeru menguatirkan kekalahan mereka, ia kuatir
ketiga orang itu sengaja mengalah sehingga dengan alasan tersebut untuk
mengundurkan diri dari Lam-hay-bun.
Perasaan Lam-hay-liong-li juga tidak menentu ia tidak mengharapkan Tian Pek
kalah, namun ia- pun tidak mengharapkan Hay-gwa-sam-sat yang keok.
Hatinya yang selama ini belum pernah tersentuh oleh siapapun, kini tertarik
oleh ketampanan Tian Pek, sejak kecil sampai dewasa belum pernah ia alami
perasaan seaneh ini, maka untuk sesaat ia jadi tertegun, ia lupa bahwa
tanggung-jawab operasinya ke daratan Tionggoan berada diatas pundaknya,
iapun tidak bertindak melihat gelagat yang tidak menguntungkan Lam-hay-bun
ini, gadis itu hanya ter-mangu2 belaka.
Lentera sudah dipasang di-mana2, suasana lapangan berlatih yang luas ini
terang-benderang bermandikan cahaya.
Hay-gWa-sam-sat pernah menderita kekalahan sewaktu melawan Tian Pek
dengan satu lawan satu, sekarang mereka bekerja sama, serentak mereka unjuk
jurus pembukaan yang paling hebat, dari sini dapat diketahui bahwa mereka
tidak main2 seperti apa yang dikuatirkan Sin-liong-taycu, malahan tampaknya
mereka justru hendak menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Tian
Pek.
"Cianpwe bertiga, silakan keluarkan senjata kalian!" seru Tian Pek setelah
memasang kuda2.
"Kami bertiga tua bangka ini tidak pernah menggunakan senjata tajam," sahut
Hay-gwa-sam-sat berbareng, "Lagipula kami bertiga harus melawan kau
seorang, bertangan kosongpun rasanya berlebihan. . . ."
Dengan bersenjata pun pantas bagi Tian Pek untuk menandingi ketiga jago lihay
itu, tapi sebagai pemuda yang tinggi hati, ia tak sudi menarik keuntungan atas
orang lain. Karena itu segera ia pun sarungkan kembali pedang hijaunya, lalu
sambil merentangkan kedua telapak tangannya dengan gaya pembukaan dari
Thian-hud-hang-mo-ciang, ia berkata: "Kalau kalian akan melayani diriku dengan
bertangan kosong, maka biarlah akupun melayani kalian dengan bertangan
kosong pula. Silakan!"
Diam2 paman Lui serta Tay-pek-siang-gi menggeleng kepala sambil berpikir: "Ai,
tabiat bocah ini persis seperti ayahnya, Pek-lek-kim Tian In-Thian."
Sementara itu kakek berjenggot berkata sambil tertawa: "Engkoh cilik, silakan
menyerang! Kami sudah untung dengan tiga-lawan-satu maka kau saja yang
menyerang lebih dulu."
"Yang muda wajar mengalah kepada yang tua, silakan Cianpwe bertiga turun
tangan lebih dulu!"
"Hehe, apa gunanya saling mengalah?" tiba2 si nenek ter-kekeh2. "Kalau semua
orang sungkan turun tangan lebih dulu, biar si nenek tua saja ymg mendahului!"
Dengan tenaga ilmu jari Soh-hun-ci yang hebat segera ia menyerang, desiran
angin tajam segera menyambar ke tubuh Tian Pek.
Tian Pek tenang2 saja. dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh ia
mengegos kesamping.
Setelah nenek berambut putih itu turun tangan, Hud-in Hoat-su juga tidak
sungkan2 lagi, ia ber-kaok2 seperti katak, kedua telapak tangannya didorong ke
depan menghantam dada lawan.
Hebat sekali serangan tersebut, angin pukulannya men-deru2 bagaikan amukan
ombak di tengah samudra.
Sekali lagi Tian Pek mengegos ke samping dengan langkah ajaib Ciau-hoan-biau-
hiang-poh.
Kakek berjenggot mendongkol melihat serangan yang dilancarkan rekannya
dapat dihindarkan pemuda itu, ia lantas membentak: "Engkoh cilik, jangan main
menghindar melulu, sambut pukulanku ini!"
Sambil membentak, suatu pukulan dahsyat dilontarkan ke depan, ketika hawa
murninya tersalur keluar, telapak langannya se-akan2 membesar seperti roda,
dengan membawa deru angin yang mengerikan ia membacok pinggang Tian
Pek.
Kembali anak muda itu menghindarkan serangan dahsyat itu dengan gerakan
enteng Bu-sik-bu- siang-sin-hoat. hampir tidak tertampak bayangan tubuhnya,
tahu2 pemuda itu sudah lolos jauh ke sana.
Baru sekarang kakek berjenggot itu tercengang, ia tak habis mengerti mengapa
Tian Pek belum juga melancarkan serangan balasan, meskipun ia sudah
menyerang secara ganas dengan ilmu sakti Tay-jiu-in, segera ia menegur:
"Engkoh cilik, kenapa tidak membalas?"
"Pertama aku ingin menghormati kalian, kedua, dengan cara ini akupun ingin
menyampaikan rasa terima kasihku karena Cianpwe bertiga telah bantu aku
melenyapkan musuh besar pembunuh ayahku!"
"Huh, anak muda yang membosankan, masih semuda ini suka bicara secara ber-
tele2. Nih, sambut dulu pnkulanku!" seru si nenek dengan tak sabar.
Angin serangan menderu-deru, kali ini dia menyerang Keng-bun-hiat di bawah
iga anak muda itu.
Sesudah ia diserang secara keji dan tak kenal ampun oleh nenek berambut putih
itu, Tian Pek tidak sungkan2 lagi, ia segera melancarkan serangan balasan
dengan jurus Hud-cou-so-hoat (Buddha suci memberi khotbah)
Pada saat yang hampir bersamaan, kakek berjenggot juga menyerang dengan
Tay-jiu-in, sedangkan Hud-in Hoat-su menyermg dengan Ha-mo-kang, diiringi
deru angin yang tajam kedua serangan tersebut serentak tertuju ke tubuh Tian
Pek.
Tian Pek tetap tenang, dengan gerak campuran ilmu langkah Cian-hoan-biau-
hiang-poh dan ilmu entengkan tubuh Hu-sik-bu-niang-sin-hoat serta ilmu
pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia layani ketiga lawan tangguh itu dengan
sama lihaynya.
Pertempuran ini benar2 suatu pertempuran sengit yang jarang terjadi, saking
dahsyatnya debu yang mengepul di udarapun mencapai ketinggian puluhan
kaki.
Waktu itu bayangan manusia yang berada di seputar gelanggang sudah tidak
terlihat jelas lagi, yang tertampak hanya kisaran angin yang men-deru2 bagaikan
amukan topan, keadaan sungguh mengerikan.
Dalam waktu singkat, pertarungan sudah berlangsung berpuluh gebrakan,
masing2 saling bertahan dengan gigihnya pukulan bertambah dahsyat dan
gencar, menang-kalah sukar untuk ditentukan dalam waktu singkat.
Dalam keadaan seperti ini, kawanan jago silat yang mengikuti pertarungan
disamping tak mampu berdiri tegak lagi dan terdesak mundur, malahan lentera
dan obor yang berada puluhan tombak jauhnya dari gelanggang pun berguncang
keras seperti mau padam.
Keringat telah membasahi tubuh ke empat orang itu. walaupun masing2 pihak
memiliki ilmu silat yang lihay, tapi pertarungan yang berlangsung terlalu banyak
memeras tenaga, kendati Hay-gwa- sam-sat sangat ulet, tubuh mereka pun
sudah basah keringat, sebaliknya meski kungfu Tian Pek tiada tandingannya,
napasnya juga ter-sengal2.
Dari pertempuran cepat sekarang keempat orang itu mulai saling mengitari
gelanggang sambil menyerang dengan gerakan yang lambat, kendati pun begitu,
semua orang dapat melihat jelas sekarang bahwa setiap pukulan yang
dilancarkan ke¬empat orang itu, semuanya disertai dengan himpunan tenaga
maha sakti, setiap kali serangan mengenai sasaran yang kosong, di atas
permukaan tanah segera muncul sebuah lekukan atau lubang yang dalam.
Dari sini terbuktilah bahwa setiap serangan baik pukulan maupun tutukan yang
dilancarkan keempat orang itu, semuanya disertai tenaga penghancur yang
mengerikan.
Di antara ketiga "malaikat maut" itu, watak si nenek berambut putih paling
berangasan, di waktu biasa jarang sekali ada orang yang sanggup menandingi
kelihayan kungfunya, bahkan ia pernah sesumbar barang siapa sanggup
menahan tiga kali serangannya, maka ia akan bebas dari kematian.
Tapi sekarang, meski pun mereka bertiga telah bekerja sama, namun kepungan
itu tidak menghasilkan apa2, dalam gusar dan panasarannya, serangan jari Soh-
hun-cinya segera dikerahkan sekuatnya. "Crit! Crit! Crit!" beruntun-runtun ia
lancarkan tiga kali tutukan berantai yang semuanya ditujukan pada Hiat-to
mematikan di tubuh lawan.
Tian Pek sendiri jadi penasaran karena tak dapat merobohkan musuh sesudah
bertarung sekian lama, rasa ingin lekas menang lantas timbul dalam hati
kecilnya, ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh serta ilmu entengkan tubuh
Bu-sik-bu-siang-sin-hoat diperpadukan jadi satu, gemulai bagaikan bidadari
cantik, lincah bagaikan naga perkasa, secara beruntun ia menghindarkan tiga
kali tutukan maut itu. kemudian dengan jurus Hud-kong-bu-ciau dari ilmu
pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang, ia sapu tubuh si nenek berambut putih itu.
Waktu itu serangan maut si nenek keburu dilancarkan, ia jadi mati langkah dan
tak sempat menarik diri, dengan sendirinya gerak menghindarpun jadi lebih
lambat, tanpa ampun bahu kirinva kena tersapu oleh tangan Tian Pek.
Setengah badan nenek itu jadi kaku kesemutan, rasa sakit merasuk tulang, ia
berpekik kesakitan, lalu dengan sempoyongan mundur lima-enam langkah.
Untung ia tak sampai terhajar telak oleh serangan tersebut, bila kena di hantam
tepat pada bagian yang mematikan, pasti nenek itu akan mati konyol.
Gusar dan gelisah Hud-in Hoat-su demi melihat si nenek kena dihantam oleh
Tian Pek. "Kok, kok!" sambil ber-kaok2 seperti katak, kedua telapak tangannya
segera mendorong ke punggung anak muda itu.
Waktu itu, baru saja Tian Pek berhasil menghajar nenek berambut putih, ketika
merasakan angin keras menyambar dari belakang, bukannya menghindar atau
berkelit, dengan menghimpun tenaga ia putar badan menyambut ancaman
tersebut.
"Blaang!" benturan keras terjadi dan desing angin memancar ke empat penjuru,
di antara debu pasir yang beterbangan, bagaikan layang2 yang putus
benangnya, tubuh Hud-in Hoat-su terlempar jauh ke belakang.
Setelah melukai dua orang musuh, kemenangan bagi Tian Pek sudah berada di
ambang pintu, gerakan melukai si nenek kemudian menghajar pula Hud-in Haot-
su sampai mencelat, baik keindahan jurus serangannya maupun tenaga
pukulannya sangat mengagumkan, seketika tampik sorak berkumandang baik
dari pihak kawan maupun lawan.
Air muka Lam-hay-liong-li dan Sin-liong-taycu berubah hebat, mereka semakin
tegang bercampur gelisah. Sementara paman Lui, Ji-lopiautau, Tay-pek-siang-gi,
Wan-ji serta Buyung Hong ikut bersorak dengan girangnya. Seketika suasana jadi
gaduh.
Di tengah kegaduhan itu mendadak terdengar bentakan nyaring ibarat guntur
menggelagar, segulung hawa pukulan yang maha dahsyat bagai topan menyapu
gelanggang yang luas itu, demikian dahsyatnya hingga lentera serta obor yang
berpuluh tombak jauhnya terembus hingga guram.
Semua orang menjerit kaget. waktu lampu terang kembali, tertampaklah muka
Tian Pek pucat lesi dari ujung bibir meinucurkan darah. Ketika semua orang
memandang si kakek berjenggot,
orang tua itu berdiri dengan wajah buas, matanya melotot, mukanya
menyeringai dan rambutnya se-akan2 berdiri.
Dari keadaan tersebut dapat diketahui Tian Pek telah terluka dalam.
Paman Lui dan lain2 merasa cemas. Dalam pada itu, kakek berjenggot itu telah
mengangkat telapak tangannya yang besar itu dan hendak membacok batok
kepala Tian Pek.
=====
Cara bagaimana Tian Pek akan mengatasi pertandingan sengit itu?
Muslihat apa di balik. usaha Lam-hay-bun membunuhi musuh2 Tian Pek?
Jilid 22 : Liu Cui-cui mau jadi istri pertama
"Hehehe, engkoh cilik!" ia berseru sambil tertawa seram, "di antara tiga tua
bangka, dua orang sudah terluka, sekarang dengan pukulan ini akan kucabut
jiwamu!"
Setelah melukai dua orang lawannya, sedikit lengah Tian Pek juga terluka oleh
pukulan si kakek, darah terasa bergolak di dalam dada, walaupun begitu ia tidak
gentar, ia berkata: "Beium tentu bisa Cianpwe, kekuatan kita seimbang, adu
pukulan ini entah akan dimenangkan siapa''"
“Hehehe, engkoh cilik, jangan paksakan diri," kakek berjenggot itu berkata dan
telapak tangannya yang besar itu terus menekan ke bawah "Jelas kau sudah
terluka dan muntah darah,"
“Kukira Locianpwe sendiripun tahu keadaan sendiri, isi perutmu sudah
terguncang dan peredaran hawa murnimu tidak lancar lagi!" balas Tian
Pek sambil menghimpun tenaga sepenuhnya dan per-lahan diangkat ke atas.
Apa yang diucapkan Tian Pek memang tepat mencerminkan keadaan si kakek,
hawa murninya sudah tergetar buyar oleh pukulan dahsyat anak muda itu,
sekarang didengarnya pemuda itu membongkar rahasianya, hawa napsu
membunuhnya segera timbul, sambil menyeringai seram ia berkata:
"Sebenarnya aku ingin menyudahi pertarungan ini; setelah menang-kalah
diketahui, tapi sekarang . . . hehe, engkoh cilik, kematianmu tak dapat
dihindarkan lagi."
Berbicara sampai di sini, hawa murninya segera disalurkan keluar, telapak
tangannya yang besar itu bagai gugur gunung dahsyatnya membacok batok
kepala Tian Pek.
Baik Buyung Hong maupun Tian Wanji dan Kim Cay-hong yang baru sadar dari
pingsannya serentak menjerit kaget demi menyaksikan serangan maut itu, cepat
mereka menerjang ke tengah gelanggang.
Tapi terlambat, tangan Tian Pek telah beradu dengau musuh.
Di tengah getaran keras itu, Buyung Hong, Wan-ji dan Kim Cay-hong terguncang
balik ke tempat semula oleh angin pukulan yang memancar ke empat penjuru
itu.
Tian Pek muntah darah, namun tidak roboh, sambil mengangkat telapak
tangannya ia berteriak: "Hei, orang tus, hayo maju lagi!"
Kakek berjenggot itupun bergeliat, akhirnya ia tak tahan dan muntah darah juga,
ketika dilihatnya Tian Pek masih kuat untuk menantang bertempur lagi,
mendadak air mukanya berubah jadi tenang, rasa gusarnya berganti dengan
rasa kagum, sambil acungkan jempol ia berseru: "Engkoh cilik, kau benar2
hebat! Aku amat kagum padamu!"
Tian Pek adalah pemuda yang suka lunak dan tak doyan keras, bila orang kasar
kepadanya maka iapun akan bertindak lebih kasar, tapi sekarang kakek
berjenggot itu memujinya, ia jadi tak tega untuk melanjutkan pertarungan adu
jiwa itu, terutama bila mengingat betapa kedua orang itu sudah dilukainya, ia
merasa dendam sakit bati ayahnya telah terbalas, apa gunanya mesti beradu
jiwa dengan orang lain?
Maka iapun menarik kembali telapak tangannya, lalu sambil menjura katanya:
"Aku mengaku kalah, Locianpwe .... selamat tinggal!" tanpa berpaling lagi ia
lantas berlalu dari situ.
Tindakan ini benar2 di luar dugaan kakek berjenggot panjang itu, ia tak mengira
anak muda itu akan berlalu dengan begitu saja, untuk sesaat dia jadi tertegun ....
Baru beberapa langkah Tian Pek berlalu, tiba2 ia merasa darah dalam rongga
dadanya bergolak sekuat tenaga ia bertahan, kemudian cepat2 kabur keluar
pagar pekarangan.
Di belakangnya ia mendengar suara seruan Buyung Hong, Tian Wan-ji, Kim Cay-
hong serta paman Lui sekalian, namun ia tak berpaling lagi dan kabur menuju ke
luar kota.
Perasaannya sekarang terasa aneh sekali, kalut, se-olah2 banyak masalah y«ng
menyelimuti benak-nya, tapi setelah dipikir dengan seksama terasa kosong pula,
tiada sasuatu persoalan apapun.
Ia tahu dalam pertarungan melawan Hay-gwa-sam-sian tadi hawa murninya
telah dipergunakan kelewat betas, lagipula isi perutnya sudah terluka parah, dia
bisa bertahan sampai sekarang tanpa roboh tak lain adalah berkat tekadnya
menahan diri agar tidak sampai roboh di depan mata orang banyak, maka ia tak
pedulikan panggilan siapapun, sambil mempertahankan sisa hawa murni yang di
milikinya sekuat tenaga ia kabur ke depan.
Pemuda itupun tahu, bila sekarang ia hentikan larinya maka dia pasti akan
roboh, dan sekali roboh maka kemungkinan besar tak kan sanggup merangkak
bangun lagi, sebab itulah walaupun ia mendengar suara panggilan dari rekan-
rekannya namun ia sama sekali tidak menggubris.
"Seorang laki2 sejati lebih baik menderita dari pada dikasihani orang!" inilah
prinsip hidup dan keangkuhan Tian Pek.
Setelah meninggalkan Lam-keng, ia terus lari menyusur tepi sungai, melewati
dua belas gua karang dan menuju "Bong-hun-koh" (lembah kematian).
Didengarnya suara air sungai yang mendebur, dilihatnya batu berumput di mana
ia pernah berbaring ketika diobati Cui-cui, akhirnya ia tak tahan dan jatuh di atas
batu itu dan tak sadarkan diri.
Entah sudah lewat berapa lama tiba2 ia merasa lubang hidungnya gatel2 geli
"Waaji. ... waaji!" ia bersin beberapa kali, segera kesadaran-pun pulih kcmbali.
Sang surya telah muncui di ufuk timur, kicauan burung yang merdu
berkumandang di angkasa ternyata malam sudah lewat dan fajarpun tiba.
Tiba2 dilihatnya Liu Cui-cui berduduk bersandar di sebelahnya dan sedang
mempermainkan sehelai bulu burung yang indah, dengan tertawa sedang
mengkili lubang hidung Tian Pek dengan bulu burung itu.
Cepat Tian Pek merangkak bangun, serunya:
"He, kau.. "
Cui cui tertawa, ia membuang bulu burung itu dan menjawab: "Kita ditakdirkan
dua sejoli, kemanapun kau pergi disitulah aku akan muncul. Nama besar dan
kejayaan mirip asap akan buyar dalam sekejap, budi dendam hanya impian, apa
gunanya kau mencampuri urusan dunia persilatan lagi? Marilah kita mencari
tempat yang jauh dari keramaian untuk hidup bahagia hingga akhir tua nanti?
Engkoh Pek, sekarang engkau tak bisa menolak lagi!"
Tiba2 Tian Pek merasa masih ada urusan lain, maka katanya: "Aku . , ."
Cui cui lantas menyela: 'Eigkoh Pek, sakit hati ayahmu telah terbalas, engkau
tidak terikat lagi oleh masalah apapun, inilah kesempatan yang terbaik untuk
ber sama2 mengasingkan diri, marilah kita hidup bagaikan sepasang burung
merpati!
Tatkala dilihatnya Tian Pek masih termangu-mangu tanpa menjawab aambil
tertawa ia menggoda: "Jangan2 engkoh Pek merasa berat untuk meninggalkan
Wan-ji, Buyung Hong serta Kang-lam-te-it-bi-jin?"
Merah muka Tian Pek karena isi hatinya tertebak, jawabnya dengan ter-gagap2:
"Aku dengan Buyung siocia telah .... telah terikat ...”
Cui-cui tertawa: "Kakak beradik itu sama2 mencintai dirimu, ambil yang satu
harus ambil pula yang lain, tak mungkin bagi engkoh Pek untuk meninggalkan
salah satu diantaranya. Andaikata mereka bertiga sama2 menaruh cinta kepada
engkoh Pek dan rela meninggalkan sanak keluarga tanpa mempersoalkan sakit
hati, apa salahnya kalau kami semua mendampingi engkoh Pek secara ber-
sama2. Pikiranku sudah terbuka, aku merasa sepantasnya aku berlapang dada
dan hidup bersama mereka dalam suasana kadamaian. Engkoh Pek, engkau
jangan pandang rendah diriku. Siaumoay bukanlah Kuntilanak, lebih2 bukan
orang yang suka cemburu. ."
Mendeng itu, Tian Pek menghela napas panjang, katanya: "Sungguh tak
kusangka kau bisa berpikir sebaik ini bagiku tapi aku. .."
Buat orang persilatan, janji tetap janji, setiap perkataan berbobot melebihi
gnnung, seringkali seorang ksatria berubah jalan hidupnya hanya lantaran
sepatah kata, bahkan sampai matipun takkan dilanggarnya.
Demikian pula keadaan Tian Pek sekarang, waktu pertarungannya melawan Hay-
gwa-sam-sat, kendatipun secara beruntun ia dapat merobohkan Hud in Hoat-su
dan nenek berambut putih, tapi akhirnya menderita kekalahan di tangan kakek
berjenggot panjang, menurut peraturan maka dia harus memegang janji dan
mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.
Akan tetapi pada hakikatnya dia pribadi masih mempunyai banyak persolan
yang belum dibereskan, budi dan dendam ayahnya, dan lagi masalah cintanya
dengan beberapa orang gadis. semua pwrsoalan ini tak mungkin ditinggalkannya
dengan begitu saja tanpa ada penyelesaian, terutama persetujuannya atas
pinangan paman Lui yang telah menjodohkan dia dengan Buyung Hong,
bagaimanapun juga tak mungkin persoalan ini dibiarkan begitu saja.
Untuk sesaat pemuda itu jadi binpung dan tak tahu apa yang mesti dilakukan,
andaikata dia dengan Liu Cui-cui tak ada kenyataan sebagai suami-isteri,
mungkin saja persoalan ini mudah di-selesaikan, tapi kenyataan berbicara lain,
dan lagi Liu Cui cui sendiripun telah menunjukkan sikap yang bijaksana hal ini
mcmbuatnya semakin bimbang.
Sementara Tian Pek kebingungan, mendadak mata Cui-cui yang jeli mengerling
sekejap sekitar tempat itu, kemudian tegurnya "Siapa di situ? Berani mencuri
dengar pembicaraan nonamu? Hayo unjukkan diri untuk menerima kematian!"
Tian Pek melengak, ia tak menyangka ketajaman mata serta pendengaran Liu
Cui-cui jauh jauh lebih lihay daripadanya, ia sendiri sama sekali tidak mendengar
sesuatu apapun, tapi si nona ternyata tahu ada orang bersembunyi di sekitar
sana.
Betul juga, begitu Cui-cui menegur, dari balik pohon besar tak jauh dari tempat
mereka berada melayang keluar sesosok bayangan.
Orang itu berdandan perlente sekali, meskipun di tengah kegelapan sulit untuk
melihat raut wajahnya, tapi dapat diduga bahwa orang ini adalah seorang
pemuda cakap.
Sesudah munculkan diri dari tempat persembunyirtnnya, orang itu tertawa ter-
bahak2, lalu berkata: "Hahaha, kurang ajar, benar2 kurang ajar! kalianlah yang
bsr-kaok2 di sini mengganggu tidurku. sebelum sempat kutegur kalian, malahan
kau vang menegur diriku lebih dulu. Apa tumon!" Habis itu ia lantas putar badan
dan berlalu dari situ.
Cui-cui mendengus, entah dengan gerakan apa, tahu2 ia sudah bergerak ke
depan dan mengadang jalan pergi orang itu.
Terkejut orang itu menyaksikan betapa gesit gerakan lawan, ia tak mengira Cui
cui memiliki Ginkang sehebat itu, iapun tak tahu apa makcud Cui-cui mengadang
jalan perginya? Cepat dia meng-himpun tenaga pada telapak tangan dan siap
menghadapi segala sesuatu.
Sementara itu Tian Pek telah memburu datang, di bawah cahaya bintang ia
dapat mslihat jelas wajah orang, mendadak ia berseru kaget: "He, kiranya kau!"
Orang itu menengadah dan tertawa ter-bahak2: "Hahaha, kenapa? Tidak kau
sangka bukan? Padahal sejak tadi kutahu kau yang berada di situ. Hah! Bu-cing-
kiam-kek (jago pedang tak kenal ampun) ternyata punya rejeki gede, begitu
banyak nona cantik yang mengejar dirimu, apalagi mempunyai seorang nyonya
yang begini bijaksana, hahaha. kukira bertambah lagi tiga isteri dan empat selir
juga tidak menjadi soal."
Tian Pek bukan anak bodoh, ia dapat merasakan sindiran itu. wajahnya jadi
merah, dengan tergagap ia menjawab: "Hoan Soh ... Hoan-heng, su . . . . sudah
lama kita tak tak berjumpa, tak tersangka engkau sudah pandai bergurau! . . ."
Memang tak salah, orang ini ialah Hoan Soh-ing, puteri Hoan Hui, cuma saat ini
ia berdandan sebagai laki2, lagipula di depan Cui-cui, tentu saja Tian Pet tidak
ingin membongkar rahasia penyamaranya itu, maka sengaja ia sebut Hoan-heng
kepadanya.
Cui cui sendiri bukanlah orang bodoh, ia segera tertawa dingin, sambil menuding
Hoan Soh-ing ia berkata: "Hehehe, kau tak perlu berlagak di depanku, kau
anggap aku tak dapat melihat dirimu? Hm, sejak tadi akupun tahu kau ini sejenis
betina seperti diriku pula!"
Kali ini Hoa Soh ing yang menjadi jengah, merah wajahnya, ia tak mengira gadis
cantik di depannya ini ternyata memiliki ketajaman mata yang luar biasa!
Mestinya dia hendak menggoda orang, sekarang justeru orang lainlah yang
mengejeknya, untuk sesaat nona Hoan ini jadi melongo dan tak mampu
menjawab.
Setelah ada pengalaman dengan Wan-ji tempo hari, Tian Pek pikir Cui cui pasti
akan cemburu dan bisa jadi akan berkelahi dengan Hoan Soh-ing maka cepat ia
berseru: "Adik Cui, jangan kau banyak curiga, sejak dulu dia memang suka
berdandan sebagai laki2....!"
Mendadak Cui-cui tertawa cekikikan, ibarat musim dingin tiba2 berubah jadi
musim semi yang hangat.
Puas dengan tertawanys, ia berkata: "Engkoh Pek, jangan kuatir, kan adik telah
berjanji takkan cemburu, maka jangan kuatir adik akan rewel, kalau sudah ada
Wan-ji, Buyung Hong dan Kim Cay-hong, apa salahnya bila sekarang bertambah
seorang lagi ...”
Mendadak dari malu Hoan Soh-ing menjadi gusar, bentaknya: "Perempuan tak
tahu malu!"
Air rauka Cui-cui berubah hebat, seketika tangannya diayun ke depan, "Plok!" ia
gampar muka Hoan Soh-ing sehingga timbul bekas telapak tangan yang merah.
Tamparan Cui cui ini cepat sekali, bukan saja Hoan Soh ing tak sanggup
menghindar, bahkan Tian Pek juga tak sempat mengalanginya.
Tindakan ini benar2 di luar dugaan siapapun, seketika Hoan Soh-ing tertegun
dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Semenjak kecil Hoan Soh-ing dibesarkan di lingkungan yang dimanjakan, di
rumahnya pelayan dan dayang tak terhitung jumlahnya, jangankan ditampar
orang, berbicara kasar saja tak ada yang berani.
Ayahnya, Pah ong pian Hoan Hui, namanya sejajar dengan keempat pemuka
dunia persilatan, usianya sudah lebih setengah abad dan mempunyai tiga putera
dan seorang puteri, anak gadisnya selalu dimanja, disayang, dipandang sebagai
mutiara, apa yang diinginkan tak pernah ditolak sehingga terpeliharalah watak
manja yang berlebihan, kalau tidak begitu, tak nanti sang ayah membiarkan
puterinya sepanjang hari berdandan sebagai laki2.
Bukan saja Hoan Hui sendiri, bahkan Hoan si-sam kiat (tiga orang gagah keluarga
Hoan) yang tersohor di dunia persilatan juga mengalah tiga bagian kepada
adiknya ini.
Dan kini, gadis yang terbiasa dimanja ini digampar oleh Cui-cui, kendatipun pada
mulanya ia tertegun, tapi sesaat kemudian iapun naik darah, sambil membentak
gusar, segenap tenaga dalamnya dihimpun lalu dia melancarkan bacokan maut
ke tubuh Cui-cui.
Apabila Hoan-si sam-kiat di dunia persilatan terkenal ilmu pedangnya yang lihay,
maka Hoan Soh-ing meskipun seorang gadis, kungfunya justeru terletak pada
ilmu pukulannya. Liok-eng ciang-hoat keluarganya telah dikuasai dengan cukup
sempurna.
Begitu pukulan itu dilepaskan, bayangan telapak tangan seketika berseliweran.
Diiringi deru angin pukulan yang tajam, serangan itu segera mengurung sekujur
badan Cui-cui.
Walaupun ilmu pukulan Liok-eng-ciang-hoat yang ia yakinkan sudah cukup
sempurna, tapi di-bandingkan dengan kungfu Cui-cui jelas ibarat langit dan
bumi, Cui-cui jauh lebih lihay daripadanya.
Di tengah sambaran angin yang men-deru2, tiba2 Cui-cui nendengus, tangannya
terangkat untuk menangkis. ' Bluk! seketika Hoan Soh-ing tergetar mundur lima
langkah.
Hoan Soh-ing meniang memiliki jiwa seorang laki2, nona yang tinggi hati dan
manja ini belum lama berselang telah mengalami bencana besar, keluarganya
terbantai dan ia harus melakukan perjalanan siang malam menuju ke Lam-keng
untuk minta bantuan kepada sahabat ayahnya, yakni Siang-lin Kongcu, guna
balas dendam bagi kematian ayahnya serta menolong ketiga saudaranya.
Waktu lewat dua belas gua karang, karena lelah dan lagi hari sudah gelap, ia
beristirahat di bawah pohon dengan maksud keesokan harinya melanjutkan
perjalanannya menuju istana keluarga Kim.
Siapa tahu tanpa sengaja ia meadengar pembicaraan Tian Pek dengan Cui-cui,
semula ia tidak bermaksud unjuk diri, apa mau dikata jejaknya di-ketahui Cui-
cui, terpaksa ia keluar.
Dasar lagi sial, baru dua-tiga patah kata ia sudah digampar Cui-cui dengan keras,
bayangkan saja betapa gusar dan penasarannya nona manja yang sedari kecil
belum pernah mengalami penghinaan macam itu, tak heran ia menyerang lawan
dengan sepenuh tenaga.
Ilmu pukulan Liok-eng-ciang-hoat keluarganya memang ampuh, terutama jurus
Liok-eng-peng-hun yang terhitung sebuah pukulan mematikan, tapi
kenyataannya serangan yang dahsyat itu ternyata tak mampu menahan
tangkisan lawan.
Ia jadi sedih sekali sehingga hampir saja melelehkan air mata, lengannya kaku
kesemutan, darah di dalam rongga dadanya ikut bergolak keras.
"Sudahlah, jangan berkelahi lagi, kalian kan sana-sama orang sendiri.. cepat
hentikan pertarungan ini" dengan panik Tian Pek berusaha melerai.
Setelah berhasil memukul mundur Hoan Soh-ing, Cui-cui berdiri sambil bertolak
pinggang, tampangnya persis seperti nyonya judas, cuma iantaran mukanya
cantik, maka meskipun judas tetap menimbulkan daya tarik.
Ia mencibir lalu berkati: "Hm, meskipun pikiranku sekarang sudah terbuka dan
tidak kularang engkoh Pek mencari tiga gundik dan empat selir, tapi aku ingin
membikin mereka tahu bahwa aku sebenaroya adalah isteri pertama . . ."
Mendadak ia merasa kata2 itu tak pantas di-ucapkan, dengan muka merah ia
lantas tertawa cekikikan.
Tian Pek jadi serba salah dan tak tahu apa yang mesti diucapkan.
Jangankan cari gundik dan selir, kendatipun ia bermaksud demikian, orang lain
juga belum tentu mau. Tapi sekarang Cui-cui yang polos telah bicara terus
terang kan lucu jadinya persoalan ini?
Perlu diketahui, sejak kecil sering Cui-cui menyaksikan percekcokan antara Lam-
hay-it-kun dengan Kui-bin-kiau-hwa, menurut pengertiannya perempuan yang
suka cemburuan dinamai "harimau betina', bila seorang perempuan sudah dicap
demikian, maka hal ini adalah kejadian yang memalukan.
Karena itu ia berusaha bersikap lunak dan lapang dada, padahal dalam hati
kecilnya cemburu sekali, ditambah lagi ia tidak paham adat istiadat maka
seringkali apa yang diucapkan tak dipertimbangkan apakah itu akan
menyinggurg perasaan orang atau tidak.
Ketika ia mengatakan ingin menjadi istri pertama, tiba2 ia teringat pada
kenangan manis di sampan kecil di sungai Hwai tempo hari, mukanya menjadi
merah, jantungnya berdebar dan tak sanggup melanjutkan kata2nya.
Hoan Soh-ing berwatak keras, apalagi keluarganya baru saja tertimpa malang, ia
tsk tahan oleh godaan Cui-cui itu, ia tahu kungfunya maasih jauh dibandingkan
lawan, maka dengan muka pucat ia melolos ruyung delapan belas ruas dan siap
bertarung lagi.
Ruyung ini bukan sembarang ruyung, inilah senjata andalan Pah-ong-pian Hoan
Hui yang terkenal di dunia persilatan, Pah-ong-pian tidak mewariskan
kepandaian ini kepada ketiga puteranya, tapi malah diajarkan kepada puterinya.
Tian Pek jadi panik ia mengira Hoan Soh-ing telah nekat dan hendak mengadu
jiwa.
Ia tahu Soh-ing pasti bukan tandingan Cui-cui, selain itu ia pun kuatir Cui-cui
turun tangan keji sehingga Hoan Soh-ing bakal rugi besar, buru2 ia maju ke
muka.
“Hoan Soh.." ia bingung sebutan apa yang harus diucapkan, terpaksa ia berkata
sekenanya: "Jangan . .. . jangan salah paham, kalian jangan salah paham .... Cui-
Cui . . . Cui-cui . . . "
Cui-cui bagaimana? Dasar tidak pandai bicara, seketika ia tak tahu apa yang
mesti diucapkan.
Hoan Soh-ing ternyata tak menyerang lagi, ia pegang pangkal ruyung, mendadak
ia hantam batok kepala sendiri. Kiranya nona ini hendak membunuh diri.
Tian Pek terperanjat, cepat ia merampas ruyung itu dengan gerakan Hwe-tiong-
ji-li (memetik buah di tengah api), suatu jurus Kin-na-jiu yang lihay.
"Nona Hcan, kenapa kau . .. ?"
Belum habis Tian Pek berkata, Hoan Soh-ing lantas menangis tersedu-sedan,
sambi1 mendekap mukanya ia lari masuk ke dalam hutan.
"Nona Hoan! Nona Hoan . .!' cepat Tian Pek memburu ke sana sambil berteriak,
selain hendak menjelaskan kesalah pahaman itu, iapun kuatir, kuatir nona itu
berbuat nekat lagi.
Liu Cui-cui yang polos jadi tertegnn ia tak menyangka hanya satu katanya
menyinggung perasaan gadis itu hingga hampir saja terjadi peristiwa yang tragis.
Maklumlah, ia tidak paham adat istiadat Tiong-goan, ia tak menyangka
penghinaan seperti itu sukar diterima oleh gadis manapun juga.
Begitulah Tian Pek terus mengejar di belakang Hoan Soh-ing. Berbicara tentang
ilmu meringankan tubuh pemuda itu dengan Bu sik-bu-sian sin-hoat dan ilmu
langkah Cian-ho-li-biau-hiang-poh tidak sulit baginya untuk menyusul Hoan Soh-
ing.
Tapi ketika ia sudah hampir mendekati gadis itu, mendadak dan atas pohon
menggelinding turun segulung bayangan hitam dan langsung menerjang kaki
Tian Pek.
Gerakan bayangan hitam ini cepat luar biasa dan cuma tiga kaki besarnya, hitam
menggumpal entah barang apa?
Tian Pek terperanjat, dengan cepat ia hentikan gerakannya dan melayang ke
samping, waktu ia memandang lagi, ia lihat gumpalan hitam itu dengan gerakan
melejit telah bangkit berdiri di depan Tian Pek.
Benda hitam ini bukan binatang seperti dugaannya semula, dia adalah seorang
manusia, betul2 manusia tulen, cuma tingginya hanya tiga kaki, kepalanya besar
dan kakinya pendek.
Si cebol yang dekil ini dengan ingus meleleh dari lubang hidungnya sampai ke
mulut, sambil menyeringai ia melototi Tian Pek.
Segera Tian Pek mengenal si cebol ini, dia bukan lain adalah Sam-cun- teng Siau-
song-bun si setan cilik alias si paku tiga inci.
Melihat manusia yang menjemukan ini Tian Pek berkerut kening, sebelum ia
buka suara, Sam-cun-teng telah menyeka ingusnya dengan ujung baju, lalu
sambil menyengir ia berkata: "Keparat! Hari ini kau kepergok lagi dengan Siau-
thayya (tuan besar cilik) Hehehe, kali ini biarpun kau berlutut dan mtnyembah
sepuluh kali kepada Siauthayya juga takkan kuampuni jiwamu."
Perkataan ini sungguh tidak tahu malu, padahal beberapa bulan yang lalu ia
bukan tandingan Tian Pek, apalagi sekarang Tian Pek telah mendapatkan
penemuan aneh sehingga menjadi tokoh nomor satu di kolong langit ini, tapi si
cebol ini menganggapnya seperti dulu, malahan menantangnya pula, sungguh
tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi?
Tian Pek mendengus, dengan nada menghina tegurnya: "Di manakah kedua
gurumu?"
Tian Pek paling benci kepada segala macam kejahatan, sejak tahu dari cerita Sin-
kau Tiat Leng bahwa Kanglam-ji ki adalah murid murtad yang membunuh
gurunya, ia lantas dendam dan membencinyn sampai merasuk tulang, karena itu
ia ingin tahu jejak Kanglam-ji-ki daripada melayani tantangan si cebol.
Sungguh mendongkol Sam-cun-teng karena tantangannya tak digubris, ia
menggelengkan kepalanya yang besar itu, kemudian berkata: "Kau tak perlu
tanya kedua Lothayya, kan sebentar lagi Siauthayya akan cabut nyawamu!"
Habis berkata, dengan jurus Siau kui-jui mo (setan cilik mendorong gilingan) ia
berputar ke sisi Tian Pek, secepat kilat ia mencengkeram lengan kiri lawannya.
Tian Pek menjadi gemas, sambil miringkan bahunya ke kiri, ia melangkah maju
setindak, telapak tangannya membalik ke belakang ia tabok punggung si cebol.
Jangan meremehkan tubuh Sam-cun-teng yang kerdil, kelincahannya justeru
mengagumkan, mendadak kedua kakinya yang pendek itu menjejak tanah terus
melayang tiga kaki ke sana, dengan jurus yang sama kembali ia cengkeram
lengan kiri Tian Pek.
Serangan Sam-cun-teng ini bukan saja lebih cepat dan lebih aneh daripada
beberapa bulan yang lalu ketika terjadi pertarungan di tepi Yan-cu-ki,
bahkan serangannya sekarang membawa deru angin dingin yang menusuk
tulang, angin dingin keluar dari kesepuluh jari tangancya, membuat Tian Pek
terkesiap.
Cepat Tian Pek mengegos ke samping, dengan jurus Hong-cebg lui-beng (angib
berembus guntur menggelegar), setajam golok telapak tangannya membacok
batok kepala Sam-cun teng yang besar dan cekak itu.
Sam-cun-teng berpekik nyaring, kepalanya yang gede itu menggeleng, dengan
gesit ia menyelinap lewat, cengkeramannya kembali ditujukan lengan kanan
Tian Pek, untuk ketiga kalinya ia menyerang dengan jurus Siau-kui tui mo.
Dalam waktu singkat kedua orang sudah ber-gebrak beberapa kali, dengan gesit
Sam-cun-teng selalu bergerak ke kiri dan ke kanan secepat kilat, jurus serangan
yang dipakai juga melulu Siau-kui-tui mo tadi
Diam2 Tian Pek terperanjat, ia heran mengapa si cebol bisa selihay ini, padahal
dengan kungfunya sekarang, bukan saja tokoh silat kenamaan bisa dikalahkan
dalam dalam tiga gebrakan, bahkan Hay-gwa-sam-sat yang lihay juga bisa di-
hadapinya sekaligus bertiga.
Tapi sekarang, tujuh delapan gebrakan sudah lewat, bukan saja si cebol tak bisa
dikalahkan. malahan gerakan si cebol hakikatnya cuma satu gerakan yang tak
berbeda, dia sendiri menjadi repot menghadapi kelincahan lawan.
Tian Pek terkejut, tapi Sam-cun-teng jauh lebih terkejut lagi. Ia pun tak
menyangka ilmu silat anak muda itu telah memperoleh kemajuan yang begini
pesat.
Sesudah dihajar oleh Tian Pek di tepi Yan-cu-ki tempo hari, mestinya dia
berharap kedua gurunya akan tampil untuk mslabrak Tian Pek, tak tersangka
mendadak muncul seorang kakek buntung dan membikin kedua gurunya
ketakutan dan lari ter-birit2, walaupun bingung karena tidak tahu sebab
musababnya, terpaksa Sam-cun-teng ikut kabur.
Sam cun-teng tidak tahu kakek buntung itu sebenarnya adalah kakek-gurunya,
sepenjang jalan sering ia berpaling ke belakang dan tampaknya mereka pasti
akan disusul oleh Sin kau (monyet sakti) Tiat Leng.
Andaikata Sin-lu tiat-tan Tang Ciang-li tidak muncul niscaya ketiga orang itu
mampus di ujung tongkat Sin-kau Tiat Leng. Karena peristiwa itu pula akibatnya
kedua tokoh aneh yang sudah puluhan tahun malang melintang di utara dan
selatan sungai Tiangkang telah berduel hingga akhirnya sama2 tewas.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Dewasa Hikmah Pedang Hijau 3 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Dewasa Hikmah Pedang Hijau 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/09/cerita-dewasa-hikmah-pedang-hijau-3_22.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Dewasa Hikmah Pedang Hijau 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Dewasa Hikmah Pedang Hijau 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Dewasa Hikmah Pedang Hijau 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/09/cerita-dewasa-hikmah-pedang-hijau-3_22.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 4 komentar... read them below or add one }

hendri prastio mengatakan...

artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...

puramoz mengatakan...

puas sekali setelah membaca tulisan dari anda...
makasih banyak sob,.,.

bisnis untuk mahasiswa mengatakan...

terima kasih informasinya

Unknown mengatakan...

Obat Eksim
Obat Kencing Nanah
Obat Keputihan
Obat Keputihan Paling Aman Dan Manjur
Obat Eksim Denature 100 % Herbal
Obat Eksim Paling Ampuh Mampu Mengatasi Eksim Dengan Cepat
Obat Kewanitaan Yang Aman Dan Manjur 100% Herbal
Obat Ambeien Terbaik Yang Ampuh Tanpa Efek Samping
Obat Ambeien Terbaik Yang Ampuh Tanpa Efek Samping
Obat Kencing Nanah Atau Gonore Paling Terpercaya
Obat Ambeien Yang Manjur Tanpa Operasi

Posting Komentar