Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 25 September 2012

Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3 ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3

 Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3

Pau Seh-hoa lantai menggerutu gusar: "Lote, kau gila . . . . . . kau. . . . . .
. "
Siang Cin menggeleng, lalu berpaling ke arah orang tadi yang menggelendot lemas
di kaki dinding sana, rasa kejut masih terbayang di wajahnya. Wajahnya nan
jelita tampak pucat, napasnya juga memburu, kedua bola matanya terbelalak, tanpa
berkesip memandangi Siang Cin.
Dia bukan lain daripada Sek Pin, adik Sek Kui, Wancu (ketua perkampungan)
pertama dari Ceng siong san ceng.
Dengan tertawa, tenang saja Siang Cin menyapa: "Manusia hidup di mana2 selalu
bersua nona!".
Sek Pin mengenakan pakaian ungu ketat, gaun panjang dengan ikat pinggang sutera
warna putih, bagian luarnya mengenakan mantel kulit rase, topi kain yang lebar,
wajah yang pucat bagai orang yang baru sembuh dari sakit, keringat basah di
ujung hidung, sikapnya tampak gelisah dan takut.
Pelan2 dia merangkak bangun dan mengelus dada, katanya gugup: "Siang Cin,
besar
amat nyalimu, seorang diri berani kau menerobos ke Lo-koh-ce gunung palsu ini,
kini Cengcu dan lain2 sudah tahu perbuatanmu, seluruh kekuatan dikerahkan,
daerah ini sudah terkepung rapat .. ... ."
Siang Cin mengangguk, katanya: "Hal ini memang sudah kuduga."
Suara orang ribut2 dari lorong di mana kamar ular dan gajah bersayap semakin
dekat, terdengar pula suara benda2 dipukul, obor bergerak dengan bunga apinya
yang bertebaran.
Melihat keadaan kelima orang dihadapannya, terbayang rasa iba dan simpatik pada
muka si nona, tapi sikapaya tampak teguh untuk bertindak menuruti nuraninya yang
suci murni, sekilas dia berpaling ke lorong gana, lalu tanpa ragu berkata:
"Siang Cin, waktu sudah mendesak, bawalah orang2mu ikut aku."
Sedikit melengak dan ragu2, Siang Cin berkata dingin: "Tentunya ini bukan sebuah
jebakan?"
Ujung bibir Sek Pin tampak mencibir sinis, wataknya yang keras seketika meledak
mengobarkan amarah dan penasaran, katanya merasa terhina. "Kalau betul begitu,
tak perlu aku bersusah payah kemari."
Siang Cin menatap tajam pada Sek Pin, akhirnya ia mengangguk, katanya: "Baik,
tunjukkan jalannya."
Tanpa bicara lagi Sek Pin membalik dan menerobos ke dalam lubang darimana tadi
dia datang, Siang Cin ikut di belakangnya, lalu An Lip yang memayang isterinya,
terakhir adalah Pau Seh hoa. Di balik batu undakan sebelah kanan menurut
petunjuk Sek Pin, Siang Cin menginjak sebuah tombol rahasia, maka pintu batu
yang bergeser tadi pelan2 bergerak merapat.
Lorong bawah tanah ini seperti menjurus ke pusar bumi, miring turun, terasa
lembab dan dingin agaknya sudah sekian tahun tak terpakai lagi, bau apek busuk
yang umumnya hanya tercium di tempat gelap yang jarang terkena sinar matahari
menyesakkan pernapasan, tanah licin berlumut, jauh dekat tak bisa dibedakan,
karena gelap gulita, Sek Pin terus menggremet maju sambil me raba2, sepatah
katapun tak bersuara. .
Siang Cin melangkah maju lebih dekat, dengan suara lirih dia berkata: "Nona Sek,
nona sudi menyerempet bahaya menolong kami, tak peduli Siang Cin dapat keluar
dengan hidup atau mati, bila masih.ada kesempatan pasti takkan kulupakan budi
luhur nona."
Sek Pin maju terus tanpa bersuara, sesaat kemudian baru dia berkata rawan: "Tak
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
97
usah kau berterima, kasih, memang ini kehendakku sendiri."
Terketuk hati Siang Cin, ia menyesal, katanya kemudian: "Jangan berkata begitu
nona, pengorbananmu teramat besar . .... " lalu Siang Cin menambahkan dengan
nada berat: "Nona, apakah engkohmu tahu apa yang kau lakukan sekarang? Kecuali
dirimu adakah orang lain yang tahu akan tindakanmu malam ini?"
Sek Pin menahan isak tangisnya, katanya sedih: "Engkohku tidak tahu, tapi cepat
atau lambat akhirnya dia akan tahu juga. Dia tidak akan mengakuiku lagi sebagai
adik, ia pasti akan menghukum aku ... aku dan Hoan-gwat .... "
"Siapakah Hoan-gwat?" tanya Siang Cin.
Sek Pin terpeleset ditanah yang licin dan hampir saja jatuh, lekas Siang Cin
memapaknya, Sek Pin berkata sotelah menghela napas: "Hoan-gwat adalah pelayan
yang paling kusayang, kami tumbuh dewasa bersama sejak kecil."
Berjalan beberapa jauh lagi baru Siang Cin berkata pelahan: "Lorong rahasia ini
terang sangat panjang, tembus ke mana?"
Kini Sek Pin berjalan lebih hati2, katanya: "Hampir lima tahun lorong ini tidak
dipakai lagi, letaknya antara dua puluh kaki di bawah tanah, panjangnya dua li,
karena tanahnya yang sering longsor, maka pembangunan lorong rahasia ini sudah
dihentikan lima tahun lalu, lorong ini tembus ke gunung di belakang perkampungan
. .. . "
"Mungkinkah ergkohmu takkan curiga akan lorong rahasia yang terbengkalai ini?
Tidak curiga bahwa kau yang menolong kami? Kecuali lorong rahasia ini, adakah
jalan rahasia lain untuk masuk ke Lo-koh-ce?"
Berpikir sekian lama baru Sek Pin berkata pula: "Sudah lima tahun lorong ini
tidak terpakai, banyak orang tahu bahwa lorong ini sudah buntu dan tak bisa
digunakan lagi, bulan yang lalu, tanpa sengaja Hoan-gwat dengan . .. . dengan
temannya bertemu di sini, didapatinya longsoran tanah di sini ternyata sudah
bergerak lagi, sehingga terbuka sebuah terowongan selebar tiga kali. Waktu itu
secara diam2 Hoan-gwat beritahukan padaku, semula tidak kuperhatikan, tak nyana
hari ini begini besar manfaatnya, menolong kau sekaligus juga mencelakakan
diriku . . . . "
Siang Cin geleng2, baru saja dia mau bicara Sek Pin sudah menyambung:
"Engkohku
pasti tidak tahu kalau lorong di sini masih dapat digunakan dan lebih penting
lagi bahwa dia tak menduga akan perbuatanku yang durhaka ini, oleh karena itu,
dalam waktu singkat mereka takkan memburu kemari, tapi bila mereka telah masuk
lewat jalan rahasia lain dan kehilangan jejak kalian, pasti mereka akan menduga
kalian telah kabur lewat lorong rahasia yang terbengkalai ini."
Berpikir sebentai, tiba2 Siang Cin berkata: "Menurut perhitungan waktu,
seharusnya mereka segera akan tiba di tempat kurungan kami dari jalan rahasia
yang lain, tapi kenapa setelah kita pergi sekian lama masih belum kelihatan
bayangan mereka?"
Sek Pin menunduk malu, sesaat baru dia bersuara pula: "Aku kuatir mereka tiba
lebih dulu maka . . . . maka kunci pintu yang disimpan engkohku telah kucuri . .
. . "
Siang Cin mengangguk maklum, sebabnya orang2 Ceng-siong-san-ceng ribut
dilorong
tempat binatang buas itu ialah karena pintu jalan rahasia yang lain terkunci dan
tak bisa dibuka, terpaksa mereka harus masuk menurut jalan yang ditempuh Siang
Cin, walau harimau bertanduk sudah mati tapi gajah bersayap yang terluka dan
ular2 merah itu mungkin menjadi rintangan bagi mereka.
Jalan semakin datar, maka langkah mereka bertambah cepat pula, tiba2 Siang Cin
berkata pula dengan setulus hati: "Nona Sek, kami sangat berterima kasih atas
pengorbanan dan pertolongan . ... . ..."
Tanpa berpaling Sek Pin berkata dingin: "Sekarang kalian harus berusaha
meninggalkan Cengsiong-san-eeng secepatnya, satu jam yang lalu Im-bing long-kun
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
98
Ih King-hok telah tiba, mungkin sekarang dia sudab berada dalam barisan orang2
Cengsiong san-ceng."
Mendengar nama ini mau tak mau Siang Cin terkesiap, tanyanya: "Ih King-hok? Ih
King-hok dari Ang-tong-nia itu?"
Sek Pin juga terperanjat mendengar nada ucapan Siang Cin, langkahnya
diperlambat, tanyanya heran: "Sudah tentu, memangnya di dunia ini ada Ih King
hok kedua?" setelah merandek sebentar, dia berkata pula kuatir: "Kau juga kenal
dia? Siang Cin, belum pernah aku melihat kau seprihatin ini . . . .. orang ini
membuatmu takut?"
Sambil tertawa tawar Sang Cin berkata. "Tidak, mungkin ada orang yang mampu
mengalahkan Naga Kuning, tapi TIada seorangpun yang mampu membuat Naga
Kuning
jeri. Aku hanya merasa heran, Ih King-hok bertabiat aneh, tinggi hati, sUka
menyendiri. tak pernah mencampuri urusan duniawi, bagaimana mungkin sekarang
dia
bergaul dengan orang2 Ceng - siong - san ceng yang terkenal jahat dan sampah
dari kaum persilatan ini?"
Dengan mendengus Sek Pin berkata kurang senang: "Hm, bicaralah yang bersih,
kaum
jahat dan sampah persilatan apa? Setiap orang punya pendiriannya. Kau
menjelekkan orang lain, belum tentu orang akan memuji sepak terjangmu . . . . .
. "
Tertawa Siang Cin dan berkata:. "Ya, memang, kalau tidak, mayat takkan
bergelimpangan sebanyak itu."
Saking dongkol Sek Pin membanting kaki langkahnya dipercepat, Siang Cin menarik
lengan Kun Sim-ti dalam gendongannya, lalu memberi tanda ke belakang sambil
menyusul dangan langkah cepat, jalan rahasia sepanjang dua li itu mungkin sudah
akan tiba di ujung.
Kini terasa jalan yang mereka tempuh mulai menanjak naik, turun dan naik pula,
tidak lama kemudian, dari depan sudah terasa ada embusan angin yang segar.
Menarik napas panjang, Siang Cin berkata: "Sudah sampai."
Sek Pin mangangguk sambil menuding kedepan, Siang Cin pusatkan perhatian
memandang ke sana. Tertampak sebuah tangga batu berputar naik ke atas, mulut
terowongan tertutup oleh sesuatu benda yang hitam gelap. Siang Cin tertawa, dia
tahu itulah tumpukan rumput kering, karena dari sela2 lubang tumpukan benda
hitam itu dia dapat melihat sinar bintang yang kelap-kelip di cakrawala.
Setiba di undakan Sek Pin tampak tegang dan gelisah, setelah menarik napas,
sekilas ia bimbang dan takut, akhirnya dia menepuk tangan dua kali, cepat dari
luar mulut lorong berkumandang pula dua kali tepukan balasan.
Sek Pin berteriak tertahan: "Hoan-gwat . . . . ."
Benda hitam yang menutup mulut terowongan tampak digeser ke pinggir, ternyata
memang tumpukan rumput kering, seorang dara jelita segera menongol, tanyanya
gugup dan tegang: "Siocia, sudah datang semua?"
"Ya," sahut Sek Pin. "Hoan-gwat, bagaimana keadaan di luar?"
Wajah jelita di atas itu tampak takut2 dan ngeri: "Hampir saja aku mati
ketakutan, sinar pedang dan golok gemilapan di dalam dan luar kampung, bayangan
orang simpang siur, baru saja kulihat The moacu membawa sebarisan anak buahnya
berlari lewat di depan sana. Siocia, lekas kalian naik kemari . . . . "
Mendadak Siang Cin melangkah maju, katanya.. "Untuk Menjaga kemungkinan, biar
aku naik lebih dulu." Habis berkata ia terus melayang ke atas, baru saja
tubuhnya muncul, seorang nona berpakaian hitam di mulut gua itu segera hendak
menjerit kaget.
Tapi Siang Cin sempat mendekap mulut si gadis yang hampir menjerit, katanya
tenang: "Jangan berisik, aku Siang Cin."
Gadis itu mengenakan pakaian serba hitam, dengan kerudung warna hitam pula,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
99
wajahnya bundar kwaci manis dan mungil, usinya sekitar delapan belasan, kalau
tidak lantaran kaget sehingga mukanya tampak pucat, mungkin dia akan kelihatan
lebih jelita.
Siang Cin unjuk tawa ramah kepada dara remaja ini, lalu dia membalik bantu
menarik Sek Pin keluar, disusul An Lip dan isterinya lalu Pau Seh-hoa.
Mulut gua ini berada di sisi sebuah batu gunung, sekelilingnya adalah rumput
alang2 yang tumbuh tinggi setengah badan orang, bayangan puncak tinggi tampak
berdiri tegak di kejauhan, angin malam meniup kencang sehingga rumput dan
pepohonan bergerak mengeluarkan suara berisik, suasana pegunungan yang liar
dan
sepi ini terasa seram dari menggiriskan.
Pau Seh hoa memandang sekelilingnya dan menarik napas panjang ber-ulang2
untuk
menghirup hawa segar. Siang Cin juga memandang jauh ke kegelapan alam,
katanya
lirih: "Lo Pau, pegunungan ini merupakan tempat sembunyi paling baik bagi kita."
Pau Seh hoa memegang dagu, sahutnya dengan serak: "Ya, untuk sementara saja,
memangnya kita berani pelesir di jalan raya sekarang?"
Pelan2 Siang Cin berpaling pada Sek Pin, Si nona tengah mengawasinya dengan
tatapan tajam, katanya pelahan: "Siang Cin, kau boleh pergi."
Menghela napas masgul, Siang Cin berkata; "Apakah engkohmu akan
menghukummu?"
Tampak senyum aneh menghias wajah Sek Pin, tapi senyum ini lantas beku oleh
kerongkongan yang seperti tersumbat, lekas dia berpaling, lalu berkata dengan
sedih: "Tergantung betapa banyak yang dia ketahui . . . . . . . " sampai di sini
dia membalik pula, deagan lagak tenang ia menyambung: "Paling tidak, sekarang
dia belum tahu, atau mungkin bila aku bisa menutupi perbuatanku dengan baik,
mungkin selamanya dia tidak akan tahu "
Siang Cin rnemandangnya, dia tahu orang senugaja menghibur diri, urusan tak
mungkin begitu mudah, orang2 Ceng siong-san-ceng tidak bodoh, terutama Sek Kui
si durjana itu.
Pau Seh hoa menghampirinya, katanya serak: "Kongcuya, sekarang kita boleh
berangkat bukan?"
Siang Cin menengadah memandang angkasa, bibirnya bergetar, sesaat kemudian
baru
berkata: "Kami akan berangkat nona Sek, kau harus jaga dirimu baik2, demikian
pula nona Hoan gwat."
Sek Pin diam saja, sinar matanya tampak kabur, dengan berat dan seperti tak
terasa dia mengangguk, se-olah2 mengandung derita batin yang tak terperikan,
takut karena dirinya telah melakukan suatu kesalahan atau jeri menghadapi
hukuman yang bakal menimpa dirinya? Atau mungkin karena menyesal akan
perbuatannya sendiri?
Sedikit membungkuk kepada Sek Pin sebagai tanda hormat, Siang Cin lantas
melangkah pergi,
baru beberapa langkah dia berjalan, tiba2 Sek Pin memburu maju tanyanya dengan
muka pucat dan suara gemetar: "Kau . . . . . Siang Cin, apakah kau akan datang
lagi?"
Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata:
"Aku akan kembali, nona Sek, aku pasti akan datang lagi."
Sek Pin menyurut mundur dengan perasaan ngeri, badannya gemetar menghadapi
tatapan Siang Cin yang penuh rasa dendam membara, tubuhnya gemetar
mendengar
nada ucapnya yang kaku dingin itu, katanya pula dengan duka nestapa: "Kembali
dengan kedua tanganmu yang berlepotan darah itu?"
Menguwasi muka orang Siang Cin berkata dengan tegas: Kau tahu aku pasti berbuat
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
100
begitu, nona Sek, aku juga takkan melupakan kebaikan dan pertolonganmu malam
ini, sejak masih bocah Siang Cin sudah pandai membedakan antara budi dan sakit
hati."
Langkah Siang Cin berlima semakin jauh, jalan yang mereka tempuhpun semakin
jelek dengan batu gunung yang runcing dan licin. Pau Seh-hoa berpaling,
dilihatnya Sek Pin berdiri ditempatnya seperti dibungkus kegelapan, pelayannya
Hoan-gwat masih tetap mendampinginya, Pau Seh-hoa dapat meresapi betapa
masgul
hati si nona yang terpencil dalam kesunyian.
Pau Seh-hoa berjalan dengan payah, lama sekali baru dia berkata: "Kongcuya, apa
kau akan naik ke puncak gunung?"
Siang Cin menggeleng, katanya tawar: "Tidak, kita hanya berputar melalui kaki
gunung."
Di atas punggungnya Kun Sim-ti menghela napas lelah, katanya lirih: "Dik, kau
tidak letih?"
Berdetak jantung Siang Cin, dengan haru dia usapkan telinganya ke pipi si nona,
dia tahu bukan hanya soal sepele ini yang ingin diajukan oleh Kun Sim-ti, dalam
hatinya tentu ingin tahu siapakah Sek Pin. Tapi dia tidak bertanya, di sinilah
letak kebesaran jiwa Kun Sim-ti dan dalam hal ini dia lebih unggul dari wanita
yang lain.
Siang Cin memandang jauh ke bawah, ke arah Ceng-siong-san-ceng, cahaya obor
masih kelihatan bergerak kian kemari, perkampungan besar itu seperti diliputi
suasana tegang dan dibungkus kabut hitam, se olah2 mereka ingin mengaduk setiap
jengkal tanah di sana untuk menemukan jejak Siang Cin.
Pau Seh hoa menepuk pundaknya, katanya: "Kongcuya, tak perlu memandang ke
sana
lagi, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Sekarang lebih penting kita cari
tempat untuk menyembuhkan luka2 ini, apalagi kita harus sembunyi dan
menghindari
kejaran musuh."
Memandang bayang2 hitam di puncak kejauhan Siang Cin mengangguk, katanya
dengan
rasa lelah: "Kau betul, memang itulah yang kita perlukan sekarang."
Dengan tertatih saling gandeng mereka, maju terus di lereng pegunungan yang
belukar ini, lambat dan sukar sekali perjalanan yang harus mereka tempuh. tapi
mereka tetap maju ke depan, menuju ke pinggir gunung, ke arah datangnya sang
fajar. Ya, tak lama lagi hari akan terang tanah.
Lereng bukit itu berserakan batu2 gunung, di belakang lereng sana adalah sebuah
bukit yang penuh semak belukar, di bawah lereng adalah sebidang hutan yang daun
pohonnya sudah sama rontok, di antara hutan dan serakan batu2 gunung itu
terdapat sebuah jalan pegunungan yang melingkar menjurus ke atas. Tatkala itu,
suasana sekeliling sunyi senyap.
Di antara batu2 yang berserakan di lereng itu terdapat sebuah batu padas besar
yang datar licin, bagian atasnya mencuat keluar seperti tergantung di tengah
lereng, di bawah batu padas raksasa ini ada pula puluhan batu2 besar kecil yang
ditumpuk mirip sebuah dinding yang tidak teratur, sementara batu padas yang
mencuat keluar kebetulan mengalingi sinar matahari, dapat untuk berlindung dari
angin dan hujan, dilihat dari luar sukar diketahui apa dan bagaimana keadaan di
balik tumpukan batu itu, tapi dari celah2 batu orang dapat melihat keadaan di
luar dengan jelas.
Sekarang Siang Cin, Kun Sim-ti, Pau Seh hoa berlima tengah beristirahat di sini,
Siang Cin menggelendot pada sebuah batu, ber-malas2 dengan setengah
memejamkan
mata. Kun Sim ti rebah tenang
di sampingnya, An Lip dan bakal isterinya duduk setengah rebah di ujung kaki
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
101
batu, sedang Pau Sehhoa mondar mandir sambil menggerutu entah apa yang
membuatnya gelisah.
Hawa sejuk nyaman, kadang kala terdengar juga kicau burung, tapi gema suaranya
seperti berada di tempat jauh.
"Sret". Pau Seh-hoa berludah, dengan gelisah dia mendekat ke samping Siang Cin,
lalu berduduk, Siang Cin membuka mata memandangnya, muka Pau Seh-hoa bukan
saja
kurus kering tapi juga berwarna kuning dan kuyu, bibirnya yang pecah tampak
putih tak berdarah, sementara kedua matanya tampak cekung, rambut yang
memang
awut2an itu tampak bagai rumput kering, sikap dan gerak geriknya kelihatan loyo
dan lemas.
Siang Cin menghela napas, katanya: "Lo Pau, melihat keadaanmu, sungguh aku ikut
bersedih."
Pau Seh-hoa tergelak2 dengan suara kering, katanya sambil unjuk giginya yang
kuning: "Sudahlah, kau yang cakap ini kini juga tidak lebih bagus daripadaku,
pendeknya, derita yang kita alami sudah cukup kenyang."
Siang Cin mengawasi angkasa dengan memicingkan mata, agak lama kemudian
baru dia
berkata: "Memang benar, Ceng-siong san-ceng memang teramat kejam, tapi akupun
lebih suka berhadapan dengan musuh macam begini, karena hal itu akan
membuatku
tidak mengenal kasihan lagi dikala menuntut balas kelak. Memang mereka bekerja
dengan sempurna, sempurna dalam kekejaman."
Pau Seh-hoa menggeram tertahan, "Kongcu," katanya kemudian," kau hanya tahu
bahwa mereka menghajarku tiga kali, saking kelaparan mataku ber-kunang2, mereka
membawa kelelawar untuk menghisap darahku, tapi masih ada satu yang belum kau
ketahui . . . . . . . "
Tenang Siang Cin memandang Pau Seh-hoa, tanyanya: "Apa pula yang satu ini?"
Muka Pau Seh hoa tampak berkerut, dengan penuh dendam dia mengepal kedua
tinjunya, pelan-pelan kepalanya tertunduk, rambutnya yang panjang awut2an
menutupi jidatnya, sementara matanya terlongong mengawasi ujung kaki tanpa
bergeming, belum pernah Siang Cin melihat kelakuan Pau Seh-hoa seperti ini
selama dia kenal dan bergaul dengan dia selama puluhan tahun. Dia tahu kecuali
temannya ini mengalami suatu pukulan lahir batin yang kelewat batas, atau
mungkin suatu penghinaan besar, jelas dia tidak akan bersikap seaneh ini.
Pelan2 Siang Cin mengusap bahunya, katanya: "Ceritakan padaku, Lo Pau,
pengalaman yang satu itu. Bila ada yang terhina dan hal yang memalukan, biar aku
ikut meresapi dan memperoleh bagiannya."
Pelan2 Pau Seh hoa angkat kepalanya yang bergetar, sekuatnya dia menekan
gejolak
emosinya, lama kemudian baru dia membuka mulut sambil tertawa: "Bukannya tak
boleh kuceritakan pengalamanku itu, cuma setiap kali aku teringat adegan itu,
sungguh ingin rasanya aku membenturkan kepalaku supaya mampus saja seketika."
"Katakan Lo Pau, dengan cara apa mereka menyiksamu?"
Menarik napas dalam2, seperti berusaha menekan darahnya yang mendidih, setelah
bungkam sekian saat, Pau Seh-hoa mengawasi Siang Cin dengan tersenyun getir,
lalu katanya: "Mereka paksa aku menelan pil berwarna merah, setiap kali ada
orang yang masuk bersama. Ternyata kepandaian kedua keparat ini tidak lemah,
mereka menutuk Hiat-toku lebih dulu sehingga aku tak bisa meronta, pil merah itu
rasanya getir dan wangi, karena pernah aku mempelajari ilmu pengobatan, maka
aku
tahu bahwa obat itu kemungkinan adalah obat perangsang pembangkit nafsu, cuma
tak pernah kuduga bahwa mereka bakal menggunakan obat perangsang yang
khasiatnya
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
102
begitu besar dan kuat, apalagi sekaligus mereka mencekok aku lima butir, lalu
aku diseret keluar lorong, di sana . . . . . . sudah menunggu tiga orang
perempuan yang genit, secara kekerasan mereka membelejeti pakaianku, di tengah
tawa cekikik jari tangan yang halus menggelitik badanku, satu persatu aku
membawakan adegan yang memalukan, lebih rendah daripada hewan, aku
merasakan
lebih terhina dari seekor anjing, lebih bodoh dari babi, sungguh aku hampir
kehilangan perikemanusiaan . . . . . . . "
Siang Cin mendengarkan dengan diam dan tenang, tidak menampilkan perasaan
apapun, sesaat kemudian baru dia berkata perlahan: "Mereka sengaja hendak
menguras tenaga murnimu sekaligus untuk menghinamu pula, Lo Pau, beberapa kali
mereka memaksamu melakukan hal itu setiap harinya?" "
"Timbul rona merah pada muka Pau Seh hoa yang kempot, giginya gemertak,
katanya
dengan geram: "Empat kali atau lima kali."
Menatap lembut dan lengang, Siang Cin baru berkata: "Lo Pau, aku tidak senang
menghibur dengan kata2 yang tak berguna, memang suatu penghinaan yang
kelewat
batas, bila aku sendiri yang mengalami, akupun tak tahan, apakah beberapa
perempuan itu tahu akan cara mengisap sari kejantananmu?"
Gemetar kulit muka Pau Seh-hoa yang kurus, katanya mengangguk: "Mungkin saja,
setelah berakhir, aku pasti merasa amat letih, kehabisan tenaga sampai pingsan
beberapa kali, tulang sekujur badan seperti terlepas, ada kalanya untuk
bernapaspun terasa sesak."
Diam sesaat lamanya, akhirnya Siang Cin bertanya: "Apakah Kun cici dan isteri An
Lip tahu akan hal ini?"
Pau Seh-hoa menggeleng, katanya: "Tidak tahu, tapi An Lip agaknya dapat meraba."
Terbayang tekad menuntut balas pada sorot mata Siang Cin, katanya penuh
pengertian: "Waktu kau dipaksa melakukan itu. kecuali ketiga perempuan itu siapa
pula di antara mereka yang menonton dari samping? Maksudku mereka yang
tersangkut langsung dengan kejadian ini."
"Kecuali ketiga perempuan itu, yaitu kedua raksasa dan dua orang keparat yang
memaksaku menelan pil merah itu, kedua jahanam itu berperawakan tinggi kurus,
seorang bercodet di ujung kanan matanya, seorang bermuka burik, usianya sekitar
tiga puluhan, wajah kedua orang jelas tak bermoral . . . . "
"Kau tidak salah lihat dan keliru mengingatnya?" Siang Cin menegas.
Menggeram dalam tenggorokan Pau Seh-hoa: "Umpama mereka hancur lebur jadi
abu
tetap bisa kukenali wajah kedua binatang yang berkedok manusia itu, selama aku
tidak mati, pasti takkan pernah kulupakan."
Siang Cin mengangguk, ujarnya: "Makhluk aneh penjaga pintu sudah kusingkirkan,
kini tinggal kedua orang berwajah buruk itu yang masih hidup, kecuali itu, kita
harus mencari tahu siapa orang di belakang layar yang menjadi biang keladi
kejadian ini?"
Seperti mendadak maklum ke mana arti perkataan Siang Cin, Pau Seh-hoa bertanya
pelan: "Menurut pendapatmu, Kongcuya?"
"Maksudku mereka takkan lama mengenang kejadian itu, mereka harus
melupakannya,
cara untuk membikin mereka melupakan hal itu amat mudah kukira tak usah
kujelaskan, tentunya kau sudah mengerti."
"O, ya, Kongcuya, kulihat kau se-olah2 terbungkus darah, kenapa jarimu bengkak
dan membusuk? Demikian pula kulit daging dadamu seperti terkelupas . . . . . . .
"
Siang Cin menekuk jarinya dan berkata: "Mereka menusuk kuku-jariku dengan jarum
baja yang telah dilumuri racun, menggunakan semacam alat penghisap untuk
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
103
menyedot kulit dagingku. lalu garam dipoleskan pada luka2 badanku, masih ada
pula cara2 keji lain, segan aku membicarakannya . . . . "
Gemeretak gigi Pau Seh hoa menahan dendam kebencian, desisnya beringas: "Kita
akan mencuci dendam dan penghinaan ini dengan darah mereka...."
Secara ringkas Siang Cin ceritakan pengalamannya dan bagaimana dia berhasil
lolos kembali, akhirnya dengan letih dia berkata: "Racun bius yang mereka
gunakan dalam gubuk mungil itu amat lihay, boleh dikatakan tidak berbau dan tak
berwarna, tahu2 kita semua sudah terpedaya, lain kali kita harus jauh lebih
hati2 dalam hal ini . . . . "
Pau Seh-hoa mengangguk dan berkata: " Gadis tadi kau memanggilnya Sek Pin?
Apakah dia adik Sek Kui, si anjing buduk itu?"
Siang Cin tertawa. "Betul" sahutnya.
"Kenapa dia suka rela menempuh bahaya menolong kita, semua ini sungguh luar
biasa . . . . " setelah menepekur agak lama dia angkat kepala. Melihat Siang Cin
seperti lagi tertawa tapi tidak tertawa, maka tokoh Kangouw yang keras hati ini
lantas berseloroh: "Nah, tentu kau bocah bergajul ini yang memikat anak perawan
orang, orang hanya tahu bahwa tanganmu gapah terhadap musuh, tapi tiada yang
tahu bahwa dalam main pat-gulipat kau juga cukup ahli, dalam keadaan begitu kau
masih sempat mengembangkan bakatmu, sungguh aku tak berani
membayangkannya. Dari
sikapnya terhadapmu, menurut pengamatanku, se-olah2 kalian sudah bersahabat
puluhan tahun."
Mengawasi kesepuluh jari2nya yang bengkak menghitam, Siang Cin berkata prihatin:
"Lo Pau, apakah luka di muka Kun-cici bisa disembuhkan?"
Serta merta Pau Seh-hoa menoleh ke arah Kun Sim-ti yang rebah di sebelah sana,
sahutnya ragu2: "Sukar dikatakan, tapi besar kemungkinan bisa disembuhkan . . .
. "
Menggigit bibir, Siang Cin berkata sungguh2: "Peduli dengan imbalan apapun atau
dengan segala pengorbanan harus kuperjuangkan harapan yang ada itu Lo Pau, ini
bukan untukku, tentunya kau tahu, bagi seorang perempuan betapa besar arti
wajahnya, karena kecantikan menyangkut watak pembawaan perempuan."
"Aku mengerti," ujar Pau Seh hoa sambil meng-gosok2 tangan "Kongcuya, aku akan
berusaha," lalu dia meraba2 perut, kebetulan perutnya berkeruyukan, dengan
tertawa dia berkata: "Kongcu, perut yang kurangajar ini mulai menggerutu . . .
."
Belum habis Pau Seh-hoa bicara, tiba2 Siang Cin memberi tanda supaya dia
menaruh
perhatian, lalu berpaling serta mendengarkan dengan seksama.
Dengan hati2 Pau Seh hoa merambat ke sana dan mengintip lewat celah2 batu,
kecuali beberapa kali terdengar kicauan burung, di luar sepi dan kosong tak
terlihat apapun.
Tapi Siang Cin masih mendengarkan penuh perhatian, sikapnya serius tak bergerak.
Sembari melongok Pau Seh-hoa berkata lirih: "Kukira kau melihat setan di siang
hari bolong, tiada gerakan apa2 di luar sana . . . . . " belum lenyap suaranya,
kulit mukanya tiba2 mengencang, tidak salah, sayup2 memang didengarnya suara
derap tapal kuda yang lagi mendatangi, masih jauh sekali se-akan2 derap kuda
yang datang dari balik awan.
Berpaling cepat, Pau Seh-boa menuding ke arah datangnya suara, Siang Cin sedikit
manggut, katanya: `Berapa jauh kira2 tempat ini dari Ceng siong-san-ceng?"
Berpikir sebentar akhirnya Pau Seh-hoa berkata: "Kurang lebih dua puluh li atau
tiga puluh li."
Ber- kedip2 Siang Cin, katanya lirih: "Apa kau masih mampu beraksi, Lo Pau?"
Pau Seh- hoa meringis, katanya, "Sudah tentu, cuma jauh tidak sehebat biasanya."
Siang Cin tertawa getir, katanya: "Kalau yang datang musuh, lindungilah
Kun-cici, kalian harus mundur ke atas gunung biar aku yang mengadang mereka,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
104
jangan membantah, soalnya kondisiku sekarang lebih kuat daripadamu dan lagi
untuk lari aku bisa lebih cepat, betul tidak?"
Bergetar bibir Pau Seh-hoa, apa boleh buat akhirnya dia berkata: "Baiklah, tapi
kau harus tahan hidup, aku tidak mengharapkan kawan yang masih muda, belum
lagi
menikmati kebahagiaan berumah tangga sudah mangkat . , . . "
Menepuk bahu Pau Seh-hoa, Siang Cin tertawa, ucapnya: "Sudah tentu,
memangnya
aku ingin mati."
Maka Pau Seh-hoa mendekati An Lip berdua supaya mereka bersiap, Sang Cin juga
membangunkan Kun Sim ti, kini suasana terasa mencekam, hawa pegunungan
seperti
menjadi beku, lapat2 bau anyir darah seperti tercium pula.
Derap tapal kuda yang ramai itu semakin nyata dan keras beradu dengan batu2
pegunungan, dengan cermat Siang Cin mengintip keluar dari celah2 batu, Kun
Sim-ti menggelendot di sampingnya, sekujur badan terasa lemas dan gemetar.
Nah, itu dia, sudah datang semakin dekat, kini sudah kedengaran dengus napas
kuda yang kepayahan. Pau Seh hoa menggertak gigi sambil menengadah, sinar
matanya memancarkan rasa dendam kesumat, jari2nya terkepal kencang se-akan2
ingin meremas hancur batok kepala musuhnya.
Di bawah lereng bukit yang terdapat batu berserakan itu, pada jalan pegunungan
yang melingkar berliku itu, dari pengkolan sebelah kiri tertampaklah debu
mengepul tinggi, penunggang kuda pertama kini sudah kelihatan.
"Nah itu, sudah terlihat," ucap Siang Cin lirih sambil berpaling memberi tanda.
Lekas dia berpaling ke sana lagi, dalam sekejap itu dilihatnya sepuluhan
penunggang kuda telah muncul, di belakang masih ada, dari suaranya kemungkinan
ada lima puluhan lebih penunggang kuda.
Semua penunggang kuda mengenakan pakaian ringkas warna putih mengkilap
terbuat
dari sutera, semuanya mengenakan mantel seragam dari warna yang sama,
semuanya
memelihara rambut panjang, hingga semampir di belakang pundak, jidat dilingkari
gelang emas, di belakang punggung mereka memanggul jenis senjata yang sama
pula,
yaitu golok besar yang melengkung dengan sarung kulit harimau, tumbak pendek
bersula dua terpegang miring di depan dada, kelihatan dandanan rombongan orang
ini amat aneh dan menyolok, tapi barisan ini nyata membawa wibawa keperkasaan.
Pemimpinnya adalah tiga orang yang luar biasa, seorang bermuka putih halus,
berkumis dan jenggot hitam, berusia pertengahan umur, seorang pemuda berwajah
bersih dengan sikapnya yang dingin, orang ketiga mungkin buta sebelah matanya,
dengan secuil kain bundar yang bertali dia menutup matanya itu, tepat di tengah
alisnya melintang kebawah pipi sebuah garis bekas luka yang berwarna merah,
diantara ketiga orang ini, tampang orang terakhir inilah yang paling jelek, tak
ubahnya seekor binatang liar yang ganas, buas dan sukar dijinakkan.
Memang rombongan berkuda ini ada lima puluhan lebih, setiba di bawah lereng batu
berserakan itu, laki2 pertengahan umur yang memelihara jenggot pendek itu tiba2
mengangkat tinggi tangan kanannya, maka barisan berkuda itupun berhenti, dengan
pandangan penuh tanya matanya menjelajah ke arah lereng, lalu kepada dua orang
di kanan-kirinya entah membisiki apa2.
Cahaya mentari nan cemerlang di pagi hari ini menerangi barisan berkuda ini,
pakaian mereka yang putih mengkilap memancarkan cahaya bersih yang
menyilaukan
mata.
Mengerut kening Siang Cin di belakang batu, katanya pelahan: "Mereka bukan orang
Ceng siong-san ceng . . . ."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
105
Sambil berjongkok Pau Seh-hoa berkata dingin: "Mereka sudah berhenti?"
Sorot mata Siang Cin tertuju keluar, katanya bingung: "Ya, kita tidak
meninggalkan jejak apa2 sehingga menimbulkan perhatian mereka bukan?
Dandanan
orang2 ini rada aneh, selamanya belum pernah kulihat dan belum pernah dengar. ..
."
Pelan2 Pau Seh hoa mendekat, iapun mengintip keluar, sesaat kemudian baru
berkata penuh curiga: "Aneh, memangnya mereka ini orang2 gagah dari mana?
Gelagatnya mereka akan naik kemari mengadakan pemeriksaan, memangnya
mereka suka
iseng . . . . "
Sembari berpikir Siang Cin berkata pelan2: "Berhadapan dengan mereka lebih
mending dari pada orang2 Cong siong-san ceng. Kukira, bila mereka bukan
makhluk2
aneh yang bertabiat nyentrik, mungkin kita bisa mengadakan kontak dan bicara
secara damai . . . . "
"Crot", Pau Seh-hoa berludah, desisnya benci: "peduli mereka siapa, bila berani
cari gara2, biar dia nanti rasakan kelihayanku . . . "
Tiba2 Siang Cin mengulap tangan, katanya: "Awas hati2, mereka sudah naik
kemari."
Pau Seh-hoa coba melongok ke bawah lereng, setengah dari penunggang seragam
putih itu sudah turun dari kuda, di bawah pimpinan si pemuda berwajah kaku
dingin, mereka membentuk setengah lingkaran terus merambat ke atas.
Diam dan seksama Siang Cin mengawasi orang2 baju putih yang tidak terang
asal-usulnya dari tumpukan batu, setengah lingkaran itupun menyurut kecil, kini
jelas terlihat muka mereka, mimik muka yang sukar dijajaki ke mana alam pikiran
mereka tertuju.
"Apa keinginan mereka?" tanya Pau Seh-hoa sambil menelan ludah, "Apa pula yang
hendak dilakukannya?"
Se-konyong2 salah seorang berbaju putih menjerit girang, waktu Siang Cin menoleh
kesana, tangan orang itu tengah teracung tinggi memegang sebuah benda, itulah
sobekan ujung pakaian warna hijau pupus yang berlepotan darah, secuil kain dari
sobekah baju perempuan. Dari warna kain itu jelas itulah sobekan dari gaun yang
dipakai Kun Sim-ti.
Kun Sim-ti yang ada di samping Siang Cin bergetar, dengan jari2nya yang halus
runcing dia meraba bagian gaunnva yang robek, memang di bawah ujung kiri
terobek
secuil.
"Tak usah kuatir," Siang Cin menepuk bahu Kun Sim-ti, "Kak, urusan toh harus
diselesaikan, tiada yang perlu ditakuti."
Orang2 baju putih di luar itu sudah berhenti, pandangan mereka penuh waspada
akan keadaan sekeliling, pandangan mereka tertuju ke arah tumpukan batu yang
melingkar di atas sana, entah sejak kapan golok besar melengkung di punggung
mereka sudah dicabut keluar, jenis golok melengkung panjang besar ini,
berpunggung tebal dan berat, mata goloknya tajam luar biasa, dari pinggang golok
sampai keujungnya berbentuk melengkung bak bulan sabit, sekilas pandang
kelihatan jauh lebih menyeramkan dari senjata umumnya. - -"
Dengan golok yang mengkilap tajam itu mereka berdiri pada posisi yang paling
menguntungkan, leluasa dan cepat untuk melancarkan serangan ke dalam sela2
batu
yang berserakan itu.
Posisi macam ini cukup dimengerti oleh Siang Cin, dengan penuh perhatian dia
mengawasi gerak gerik orang2 baju putih.
"Kongcu," kata Pau Seh-hoa dengan suara tertahan, "agaknya takkan terhindar . .
. ."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
106
"Memangnya, kapan kita pernah menghindar," jengek Siang Cin, "kita hanya
menunggu, Lo Pau, hanya menunggu kesempatan."
Mendadak di luar berkumandang sebuah suara, suara kasar, kaku dan dingin:
"Sahabat di balik batu berserakan itu, dengarkanlah, bila kalian kawanan
gerombolan Hek-jiu-tong. silakan lekas keluar saja, muslihat kalian takkan bisa
mengelabuhi Bu-siang-pay dari padang rumput di kaki Kiu-jin-san."
"Bu-siang- pay", ketiga huruf ini laksana tiga bola emas yang menggelinding
masuk telinga Siang Cin, sekilas dia melenggong, katanya pelahan: "Inikah orang2
Bu-siang-pay? Em, pernah kudengar namanya, cuma tiada kesempatan melihat . . . .
""
Pau She hoa membasahi bibir, denga serak ia berkata: "Keparat, apakah
Bu-siang-pay kurang puas merajai sekitar Kiu-jin-san dan padang rumput, untuk
apa pula lari ke sini dan berkaok2 lagi?"
Belum Siang Cin menjawab, suara kaku dingin tadi berkunrandang pula: "Bila
sahahat di belakang batu bukan orang2 Hek-jiu-tong, maka silakan buktikan bahwa
kalian tidak bermusuhan, silakan keluar untuk berbincang beberapa patah kata"
Kembali Pau Seh hoa memaki dengan suara palahan: "Bedebah. bocah ingusan
berani
bertingkah di sini . . . . "
Setelah menepuk kedua pipi Kun Sim-ti, lalu Siang Cin berkata kepada Pau
Seh-hoa: "Lo Pau, perhatikan baik2, aku akan keluar."
"Hati2 . . . . " lekas Pau Seh-hoa berseru.
Sekali enjot tubuh, dengan enteng Siang Cin melejit ke atas tumpukan batu,
pakaiannya yang rombeng melambai tertiup angin, mengelus luka2 di muka dan
badannya yang masih berlepotan darah kering, tak ubahnya seorang panglima
perang
yang baru saja berhasil menjebol kepungan musuh.
Orang berbaju putih seketika terbeliak, serentak mereka menggeram, golok
melengkung serempak bergerak melintang di depan dada dan siap tempur.
Dingin saja Siang Cin memandang orang2 baju putih itu, sikapnya kelihatan gagah,
keras dan angkuh. Pemuda berwajah kaku dingin itu agaknya terpengaruh juga oleh
sikap perwira Siang Cin, sesaat dia melenggong, lalu maju selangkah ke depan,
katanya dengan ketus: "Sahabat, mohon tanya siapa namamu yang mulia?"
Sekilas menatap muka orang, Siang Cin menjawab dengan tenang dan singkat: "Aku
she Siang."
Bimbang sebentar, pemuda itu bertanya pula: "Kawanan Hek-jiu-tong apakah ada
sangkut paut dengan saudara Siang?"
"Apa itu Hok jiu-tong, selamanya tidak kenal," sahut Siang Cin dengan tersenyum.
Si pemuda lantas memandang ke bawah, ke arah kawan2nya, terpancar cahaya
kemilau
dari gelang emas yang melangkar di kepalanya, orang2 baju putih yang berada di
lereng bukit agaknya juga sudah tahu keadaan di atas, bayangan seorang tampak
melompat turun dari kuda dengan beberapa kali lompatan secepat terbang terus
melambung ke atas.
Mata Siang Cin amat tajam, sekilas pandang dia sudah melihat jelas, pendatang
ini adalah laki2 pertengahan umur bermuka putih dengan jenggot pendek itu.
Cepat sekali laki2 ini sudah hinggap di samping si pemuda, sikapnya gagah,
lekat2 dia menatap Siang Cin, lalu berkata lirih dengan si pemuda, akhirnya di
menghadap kemari serta menjura, katanya "Cayhe Loh Bong-bu, Cuncu Hiat ji-bun
dari Bu siang-pay di padang rumput di kaki Kiu jin san"
Mendengar orang memperkenalkan diri, timbul rasa simpatik Siang Cin, tapi juga
meningkatkan kewaspadaannya, dia tahu Bu siang-pay adalah organisasi besar,
berdisiplin keras dan terkordinir dengan baik dan rapi, jago2 kosen tak
terhitung jumlahnya, kekuatannya besar dan pengaruhnya luas, ,jabatan Cuncu
dalam Bu-siang-pay kira2 setingkat dengan jabatan Tongcu dari Pang atau Pay yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
107
ada di Tionggoan, jabatan yang tinggi, agung dan berwibawa, kalau tidak memiliki
Kungfu yang lihay takkan mungkin bisa menduduki jabatan tinggi ini.
Setelah membalas hormat, Siang Cin berkata kalem: "Sudah lama kudengar
kebesaran
Bu siang-pay, syukur hari ini berjumpa di sini."
Loh Bong-bu tertawa ramah, katanya: "Dari laporan kawan kami, Ceng yap-cu,
katanya tuan she Siang?"
"Ya, itulah she ku yang asli," sahut Siang Cin tersenyum.
Berpikir sebentar, dengan hati2 Loh Bong-bu berkata pula: "Seharusnya tidak
pantas kutanyakan, tapi bolehkah Cayhe tahu kenapa keadaan Siang-heng begini
rupa, kelihatan letih dan kotor?"
Dari rangkaian kata orang yang hati2 diucapkan, Siang Cin merasa geli dan
menaruh simpatik, segera Siang Cin berkata: "Soal sederhana, di tengah jalan
bentrok dengan musuh, dalam keadaan terkepung oleh musuh yang berjumlah lebih
banyak, adalan jamak kalau mengalami cidera seperti ini, beginilah jadinya
keadaan kami."
Loh Bong-bu mengawasi Siang Cin dengan rasa kasihan dan kagum, katanya
dengan
tulus hati: "Siang heng, meski kita baru saja kenal, tapi pepatah bilang di
empat penjuru lautan semuanya adalah saudara, Apalagi bila di tengah jalan
melihat keadaan ganjil lantas melolos senjata dan memberi bantuan adalah
kewajiban setiap insan persilatan kita, mungkin Cayhe terlalu semberono, tapi
bila Siang-heng ada kesulitan, Cayhe ingin sekadar membantumu. Siang-heng,
melihat keadaanmu sekarang, agaknya ada kesulitan apa2 yang tidak ingin kau
utarakan .. . . . .. "
Tanpa berkesip Siang Cin pandang orang, demikian dengan tulus Loh Bong-bu balas
memandangnya, keduanya saling menyelami relung hati masing2 yang paling dalam.
Lama sekali, akhirnya Siang Cin tersenyum, katanya: "Loh-cuncu, lebih dulu Cayhe
menyampaikan rasa terima kasih."
Loh Bung-bu tertawa, katanya riang: "Tidak, sebaliknya Cayhe yang harus
berterima kasih dan bersyukur bahwa Siang-heng sudi merendah diri bersahabat
denganku, bolehkah Caybe tahu nama besar Siang heng?"
Siang Cin tertawa, lekas dia merangkap kedua tangan, katanya: "Siang Cin."
Dua patah kata yang datar ini bagi pendengaran Loh Bong-bu seperti bunyi guntur
di siang bolong, ia tergetar melongo, katanya kemudian: "Siang . . . . . . . .
Siang Cin? Siang Cin si Naga Kuning?"
"Itulah julukan yang diberikan teman2 Kangouw, jangan dianggap . . . . . . . "
"Siang-heng," tukas Loh Bong-bu sambil mengawasi Siang Cin, "tak perlu Cayhe
mengagulkan kau, nama orang dan bayangan pohon, semua ini tak mungkin
dipalsukan, nama besar Siang-heng menggetarkan Bu lim, tersiar luas di utara dan
selatan sungai besar, sekalipun ada yang tidak tahu keperkasaan Naga Kuning
menjagoi tiga sungai lima danau, tapi siapa pula yang tidak maklum bahwa
keganasan Naga Kuning justeru menggetar nyali setup insan persilatan? Tapi
Siang-heng, siapa pula yang mampu membuatmu begini rupa?"
Dengan tertawa getir Siang Cin berkata: "Berkecimpung di kalangan Kangouw, logis
kalau adakalanya mengalami nasib jelek, ini tidak terhitung sia2 . . ."
"Mohon penjelasan," pinta Loh Bong-bu.
Sambil menggosok telapak tangan, tenang2 Siang Cin mulai bicara: "Cayhe ada dua
musuh, suatu ketika menyamar sebagat orang yang terluka dan dikejar musuk serta
minta perlindungan padaku, Cayhe menerima mereka. Tak nyana kami terjebak oleh
muslihat yang menggunakan obat bius berkadar keras, tidak kepalang derita yang
kami alami, tapi dengan akal akhirnya Cayhe berhasil menjebol penjara. Sudah
tentu setelah mengalami pertempuran sengit, dalam kondisi yang payah kami
mengalami luka2 seberat ini."
Loh Bong-bu naik pitam setelah mendengar cerita Siang Cin, katanya: "Membokong
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
108
orang dengan cara keji dan rendah semacam itu mana boleh dianggap Enghiong?
Siang-heng, kawan dari aliran manakah yang melakukan perbuatan rendah dan
kotor
itu?"
Siang Cin berkata pelahan: "Ceng-siong-san-ceng!"
"Ceng-siong-san-ceng? Sungguh memalukan," teriak Loh Bong-bu dengan mendelik
gusar, "Ha It can juga terhitung tokoh yang disegani dalam Bu lim, sampai hati
juga dia berbuat sehina ini, Siang-heng, cara bagaimana kau sampai bermusuhan
dengan mereka?"
"Ha It cun Cengcu dari Ceng siong-san ceng adalah saudara angkat Kongsun
Kiau-hong, Kongsun Kiau hong ada permusuhan dengan Cayhe, Ha It-cun hanya
bantu
menuntut balas. Di samping itu, masih ada pula seorang nona yang bernama Kiang
Ling, mungkin putera Ha It-cun ada main cinta dengan budak ini, pantas kalau dia
ikut campur permusuhan ini."
Berpikir sejenak akhirnya Loh Bong-bu berkata: "Siang-heng, orang bersahabat
mengutamakan keluhuran budi dan kejujuran, meski kita buru berkenalan, tapi
sudah lama Cayhe mengagumimu, jika Siang-heng sudi, Cayhe akan pimpin anak
buahku ke Ceng-siong-san-ceng untuk bantu kau menuntut balas."
Lekas Siang Cin merangkap kedua tangan, katanya haru dan berterima kasih: "Loh
cuncu, orang she Siang menerima tawaranmu dengan senang hati, cuma
permusuhan
ini akan Cayhe selesaikan sendiri, Ceng siong-san-ceng bukannya sarang harimau
rawa naga, paling2 mereka hanya pandai main muslihat, tak perlu Loh-cuncu
merepotkan diri"
Loh Bong-bu menggoyang tangan, katanya "Siang heng, jangan berkata demikian,
maksudku hanya ingin mempererat persahabatan, bagaimana kalau Cayhe
perintahkan
anak buahku bantu teman-teman Siang-heng turus gunung dan merawat luka2nya di
kota?"
Siang Cin melengak, tanyanya: "Dari mana Cuncu tahu kalau temanku perlu
perawatan?"
Loh Bong-bu ter gelak2, katanya: "Bukankah Siang-heng tadi menjelaskan bahwa
teman2mu juga tersangkut dalam perkara ini? Kita bicara sekian lamanya, belum
juga terlihat teman2mu muncul, mungkin karena luka2nya cukup berat. Kalau tidak
tentu sejak tadi sudah keluar."
Siang Cin tertawa tawar, katanya: "Baiklah, terima kasih."
Dengan tertawa Loh Bong bu lantas berseru kepada anak buahnya: "Lo Ce,
perintahkan membawa usungan kulit biruang kemari, siapkan tenaga untuk
membawa
Siang tayhiap dan kawan2nya."
Lalu dengan tertawa dia berkata kepada pula Siang Cin: "Siang heng, berapa
temanmu?"
"Empat orang," sahut Siang Cin.
Loh Bong-bu berpaling pula ke arah si pemuda yang berjuluk Ceng-yap cu(si daun
hijau) dan bernama Lo Ce, katanya: "Siapkan empat usungan."
Cepat Lo Ce mengiakan dan lari ke bawah, sekali bergerak Loh Bong-bu melompat
naik ke samping Siang Cin, maka iapun dapat melihat keadaan di balik tumpukan
batu.
Tertawa getir Siang Cin berkata: "Lo Pau, inilah Loh cuncu, ketua Hiat ji-bun
dari Bu-siang-pay."
Dengan payah Pau Seh-hoa menggeser badannya, katanya: "Kami ini Lung pan cu
Pau
Seh-hoa terimalah hormatku."
Lekas Loh Bong-bu balas menghormat, serunya girang: "Bagus, kiranya pendekar
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
109
aneh dari Hau-keh-san, Pau heng, selamat bertemu."
Setelah menghela napas Pau Seh hoa berkata: "Jangan sungkan, sejak lama aku
juga
sudah dengar nama besar Cap kau-hwi-ce Loh-cuncu, cuma sayang sekarang
bertemu
di tempat dan dalam keadaan begini, sungguh Lo Pau amat menyesal."
Loh Bong-bu melompat turun, katanya sambil membungkuk: "Pau-heng, terlalu berat
kata2mu. kaum persilatan mana yang tak pernah kecundang? Bahwa kau masih bisa
bangkit kembali itulah seorang Enghiong sejati."
Sementara itu Ceng-yap cu Lo Ce telah kembali dengan membawa puluhan laki2,
tiap
dua orang membawa sebuah usungan yang terbuat dari kulit biruang.
Sejenak melihat cuaca, Loh Bong bu berkata: "Siang heng, apakah sekarang juga
kita boleh berangkat?"
"Cayhe masih kuat bertahan, tak perlu lima usungan, empat saja cukup." kata
Siang Cin.
"Siang heng," bujuk Loh Bong bu, "lukamu sendiri juga tidak ringan . . . . "
Dengan tegas berkatalah Siang Cin: "Selama hidup manusia harus berani
mengalami
pukulan lahir batin, kalau sanggup bertahan, maka bertahanlah sekuat tenaga,
kalau tidak, sekali ambruk, untuk merangkak bangun lagi tentu akan memakan
banyak tenaga."
Lekat tatapan Loh Bong bu, dari kata2 Siang Cin ia seperti memahami sesuatu,
tapi Loh Bong-bu tidak bicara, segera dia perintahkan anak buahnya memapah Kun
Sim ti, An Lip dan isterinya ke atas tandu, semula Pau Seh-hoa menolak, tapi
akhirnya dia menurut juga.
Setelah berputar keluar dari serakan batu di samping gunung, anak buah
Bu-siang-pay yang memikul usungan, di bawah pimpinan Ceng-yap-cu Lo Ce
dengan
tenang mereka turun dari lereng bukit itu, Siang Cin dan Loh Bong-bu berjalan di
belakang.
Sementara itu, si mata satu dari anak buahnya yang masih menunggu di bawah
sana
sudah turtrn dari kuda dan menyambut kedatangan mereka.
Loh Bong-bu memanggil si mata tunggal, katanya sambil tertawa: "Te Yau,
kuperkenalkan seorang Enghiong."
Si mata tunggal hanya menatap Siang Cin sekejap tanpa memperlihatkan perasaan
apa2, codet di mukanya tampak berkerut, dengan langkah ogah2an dia melangkah
maju dan menjura, katanya: "Poan-hou-jiu Te Yau dari Hiat ji-bun Bu-siang-pay."
Timbul juga perasaan iba Siang Cin, sedikitpun tiada rasa marah akan sikap
orang, karena dia maklum, seorang yang badannya mengalami cacat atau
kekurangan
pasti akan mempunyai tabiat yang aneh pula, entah suka menyendiri atau bersikap
kaku dingin, yang terang mereka punya kebiasaan tidak suka bergaul dengan orang
banyak, kebanyakan mereka memencilkan diri, seperti membangun lingkungannya
sendiri, untuk menutupi kekurangan pribadinya ini, maka sikapnya sering angkuh
dan kasar.
Loh Bong-bu melotot kurang senang, sekalipun Siang Cin sudah merangkap tangan,
katanya, menjura: "Sungguh beruntung dapat bertemu dengan To heng, Cayhe
Naga
Kuning Siang Cin."
Mata kanan Te Yau yang tunggal mendadak terbeliak, terpancar cahaya aneh dari
mata tunggalnya, itulah pancaran rasa kaget, heran dan terharu pula, dengan
darah bergolak dia maju setapak, Siang Cin ditatapnya lekat2, sesaat kemudian,
sikapnya berubah bagai seorang lain, serunya riang: "Kau, kau ini Naga Kuning?"
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
110
.
Loh Bong-bu membentak gusar: "Te Yau, jangan kurang ajar."
Siang Cin mengangguk, katanya ramah: "Betul, memang Cayhe adanya."
Tenggorokan Te Yau berbunyi keruyukan saking terharu, lekas dia berputar ke arah
Loh Bong-bu dan memohon dengan sangat: "Cuncu, kukira kini saatnya tiba untuk
melampiaskan keinginanku yang terkatung selama beberapa tahun ini, harap Cuncu
suka meluluskan . . . . "
Loh Bong-bu mengerut kening, katanya serba susah: "Tidak boleh, tidakkah kau
lihat Siang-heng dalam keadaan terluka . . . ."
Tergerak hati Siang Cin, sedikit banyak dia dapat menangkap arti percakapan
kedua orang, maka dengan tenang dia berkata: "Loh-cuncu, bile Te-heng
memerlukan
tenaga bantuanku, boleh silakan terangkan saja, sedikit luka luar ini tidak
terhitung apa2"
Ragu sebentar, Loh Bong bu mengelus jenggot, lalu katanya pelan2: "Siang-heng,
soal ini agak . . . . ya, agak menyulitkan, ada Ngo-coat (lima kampiun) di bawah
pimpinanku, bicara terus terang setiap orangnya memiliki kepandaian khas yang
tidak lemah, tapi persoalan justeru terletak pada kepandaian khusus itulah, apa
lagi usia mereka masih muda, berdarah panas lagi, di samping sombong dan
jumawa
. . . . suatu ketika, kira2 tiga tahun yang lalu, seorang diri Te Yau berlatih
di lapangan di pinggir hutan di padang rumput besar, Poan hou-jiu yang dia
yakinkan memang cukup terkenal, di kala dia berlatih itulah, Ho-lothau yang suka
iseng mendadak berlari datang serta tertawa sambil tepuk tangan, Te Yau tanya
apa yang dia tertawakan, dengan suara yang di-bikin2 Ho-lothau menerangkan: "Te
lote, Kungfu yang kau yakinkan memang cukup lihay. Tapi bila Poan-hou jiu yang
kau latih ini kebentur dengan Joan-ciang si Naga Kuning Siang Cin, pasti kau
akan kecundang. Poanhou-jiu yang kau yakinkan ini mengutamakan kecepatan dan
sukar diraba, tapi Joan-ciang yang diyakinkan si Naga Kuning Siang Cin itu juga
mengutamakan cepat dan aneh, tapi Kungfu yang orang latih justeru jauh lebih
hebat daripada apa yang kau latih sekarang" Sudah tentu mendengar olok2 ini Te
Yau amat marah, ia lupa berlatih dan berlari pulang. Sejak tiga tahun yang lalu
ke mana saja dia berada pasti mencari jejakmu, begitu besar keinginannya untuk
bertanding, untuk ini entah berapa kali aku pernah menegurnya, tapi tekadnya
begitu besar . . . . "
Siang Cin tertawa, katanya: "Ah, Te-heng terlalu percaya obrolan orang lain,
Cayhe hanya bernama kosong belaka, terhitung apa kepandaian yang kuyakinkan ini,
mana bisa dijajarkan dengan Kungfu Te-heng?"
Merah muka Te Yau, katanya penuh permohonan: "Tidak, Siang tayhiap terlalu
sungkan, bagaimana juga Cayhe mohon kepada Siang-tayhiap untuk memberi
kesempatan menjajal ilmu yang pernah kuyakinkan ini, supaya hatiku bisa tenteram
dan takluk lahir batin."
"Te-heng" kata Siang Cin dengan rendah hati, "kukira urungkan saja niatmu, kau
akan kecewa?
Dengan kecewa Te Yau memandangi Loh Bong-bu.
Loh Bong-bu menggeleng, katanya: "Ah dasar Ho lothau yang banyak mulut, banyak
tingkah . . . ."
"Lo-cuncu," tanya Siang Cin, "siapakah Ho-lothau yang kausebut itu?"
Belum Lo Bong bu menerangkan Te Yau sudah mendahului: "Ho-lothau adalah Yu
hun-hou-cay Ho Siang-gwat, Cong-tong cu dari Bu siang-pay kami."
Dengan tertawa getir Siang Cin berkata: "Usia Ho Siang-gwat sudah 70, beliau
adalah Locianpwe, kenapa dia membuat gara2 terhadap angkatan muda."
Losiansing ini juga terlalu tinggi menilai Cayhe?" "Siang-heng," ucap Loh
Bong-bu sungguh2, "Ho-lothau memang bertabiat aneh, senang dan marah tidak
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
111
menentu, sampaipun Ciangbunjin kami juga kewalahan terhadapnya. Tapi
terhadapmu
dia betul amat kagum, kalian belum pernah ketemu, tapi dalam kehidupan se-hari2
dia selalu menyatakan kekagumannya terhadapmu, semua ini memang kenyataan,
bukan
dihadapan Siang hrng sengaja aku membual?"
Siang Cin hanya angkat pundak saja. Maka Te Yau mendesak pula: "Siang-tayhiap,
harap engkau suka memberi muka padaku, jangan tolak permohonanku . . . . . "
Siang Cin berpaling ke arah Loh Bong-bu, dilihatnya Loh Bong-bu tertnwa, katanya
kikuk: "Andaikata Siang-heng mau memberi petunjuk, baiklah, boleh kau hajar adat
bocah ini . . . . , cuma, tentunya akan menyulitkan Siang-heng . . . . . "
Baru Siang Cin mau bicara, Te Yau telah menimbrung pula sambil menjura: "Siangtayhiap,
kecuali kagum pada kepandaianmu yang tinggi, dengan ini akan sekaligus
menguji sampai di mana taraf kepandaian yang telah kuyakinkan selama ini,
se-kali2 tiada niat buruk apa2, untuk ini harap Siangtayhiap maklum dan suka
memberikan pelajaran untuk memperluas pandanganku yang cupet ini . . . ."
Bong-bu berdehem, katanya: "Siang-heng cobalah kau pertimbangkan apakah bisa
kau
terima .... ."
Pau Seh hoa rebah di usungan di sebelah, tak tahan lagi ia menyeletuk:
"Kongcuya, coba kau perlihatkan dua gerakan saja, kan tidak suruh kau
menggantung diri, cara ini juga biasa bagi setiap insan persilatan yang
berkecimpung di Kangouw, peduli kalah atau menang nanti, cukup dia kali bergelak
tawa dan urusanpun berakhirlah?"
Loh Bong bu tertawa, katanya: "Ucapan Pau-heng memang tepat, anggaplah untuk
menambah pengalaman kita semua."
"Terlalu berat kata2 Loh-cuncu . . . . . . " ucap Siang Cin, lalu dia berpaling
kepada Te Yau, katanya: "Te heng, kuharap nanti kau tidak kecewa .
Te You berjingkrak girang, serunya: "Jadi engkau meluluskan?"
Kata Siang Cin terpaksa: "Begitu besar hasrat kalian, Cayhe jadi tidak enak
untuk menolak?"
Te Yau berseru girang dengan merangkap kedua tangan: "Kalau begitu, terimalah
hormatku." Ia membungkuk tubuh, tidak tampak tubuhnya bergerak, lutut juga tidak
tertekuk, tapi bagai busur melenting tahu2 tubuhnya meluncur ke depan dengan
gerakan yang indah dan hinggap di atas batu padas. Pelan2 Siang Cin melangkah
maju, sementara Loh Bong bu memberi aba2 kepada anak buahnya agar minggir
sehingga terluang tanah lapang sebagai arena. Lima puluhan pasang mata tanpa
berkedip tertuju ke dalam arena, semua tahan napas dan menunggu dengan
berdebar,
wajah mereka tampak serius, meski katanya pertandingan ini hanya saling ukur
kepandaian, tapi bagi setiap orang persilatan sama tahu kalah menang dari hasil
pertandingan ini akan sama dengan pertempuran umumnya.
Sebelah kaki Siang Cin memancal enteng, dengan ringan tubuhnya lantas melayang
ke atas sebuah batu yang berjarak dengan tempat Te Yau berdiri kira2 setombak
lebih. Hawa masih sejuk, mentari masih memancarkan cahayanya yang hangat, Tapi
ujung hidung Poan-hou-jiu Te Yau telah basah oleh butiran keringat kecil2,
mantel luarnya sudah dicopot, kedua mata tanpa berkesip mengawasi Siang Cin,
gelang emas di jidatnya tampak mengkilap tersorot sinar matahari.
Rebah di atas usungan, dengan penuh perhatian Kun Sim-ti juga menonton,
sebetulnya ia tidak menginginkan pertandingan seperti ini dikala kondisi Siang
Cin masih seburuk itu.
Loh Bong-bu mengelus jenggotnya yang pendek, pelan2 dia menggeser mendekati
Siang Cin, dengan suara rendah dan memohon dengan setulus hati: "Siang-heng,
cukup saling sentuh saja."
Siang Cin berpaling dengan tertawa, katanya lirih: "Harap Te-heng bermurah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
112
hati."
Loh Bong bu mundur keluar gelanggang, di mana Te Yau telah menjura, katanya:
"Silakan Siangtayhiap."
Siang Cin angkat sebelah tangan, katanya tertawa: "Silakan Te-heng."
Badan yang kurus sedikit berjongkok, kaki Te Yau seperti terpasang pegas yang
berdaya pantul keras, tiba2 ia melenting ke atas, dengan membawa segulung angin
yang dahsyat ia menubruk turun, betapa cepat dan tangkas gerakannya.
Siang Cin berdiri tegak dan tenang, setelah bayangan lawan melambung ke atas dan
menukik ke arahnya, baru Siang Cin sedikit goyang tubuh ke kanan, pada saat itu
Te Yau telah menghardik seraya melontarkan pukulannya, selarik cahaya setengah
lingkar menyambar dengan ganas, begitu Siang Cin bergoyang ke kanan, cahaya
itupun ikut berganti haluan ke kanan, sambil terapung di udara ternyata kedua
kaki Te Yau dapat bergerak dengan leluasa, ia memancal lalu tubuhnya bergulung
dalam lingkaran kecil di udara, sementara telapak tangannya kembali menghantam,
dalam sekejap sudah berada di pinggir telinga Siang Cin.
Siang Cin mengegos, hanya sekejap Te Yau merasa pukulan lawan yang berlapis
dan
bersusun rapat itu bagai gelombang samudra menerpa ke arahnya, cepat dan
berputar ke kiri terus melayang ke sana, bayangan tangan yang bergerak sambung
menyambung itu tahu2 sirna, keduanya bergerak sama cepat dan menakjubkan
sekali,
memang nyata jago kosen sama2 tinggi ilmunya.
Maka telapak tangan saling gempur dengan telapak tangan di udara, bayangan
saling gubat di angkasa, terdengar rangkaian suara tepukan yang ramai, di tengah
bayangan yang menari itu, dua sosok bayangan orang tahu2 melorot turun kedua
arah yang berlawanan serta jumpalitan dengan gaya masing2 yang mempesona,
belum
lagi kaki menyentuh bumi, tahu2 keduanya berputar balik dan saling labrak pula.
Sementara itu, tanpa berkedip Loh Bong-bu mengikuti pertempuran di udara itu,
diam2 ia menggeleng kepala.
Bayangan kedua orang di udara bagai gumpalan asap samar2 saling berkelebat,
belum lagi pandangan penonton sempat mengikuti apa yang terjadi, kedua orang ini
sudah melayang turun dengan gagah indah dan tenang, baru kaki mereka
menyentuh
tanah, berkumandang suara tepukan yang keras, ini berarti kecepatan gerak mereka
sudah melampaui kecepatan suara, maka setelah mereka turun baru ledakan
pukulan
berkumandang di udara.
Nampak jelas butiran keringat di wajah Te Yau, air mukanya tampak bersemu merah,
deru napasnya juga lebih kasar dari biasanya, dalam dua kali bentrokan singkat
ini, keduannya seperti baru saja mengalami suatu pertempuran sengit yang lama
dan menghabiskan seluruh kekuatannya, dia lesu dan
nampak pula merasa malu.
Sementara Siang Can berdiri tenang di samping sana, sikapnya wajar dan adem
ayem
seperti tak pernah terjadi apa2, se olah, sejak tadi dia memang berdiri di sana
dengan bebas tanpa bergeming sedikitpun. Kini dia tengah mengebut debu yang
melekat dipakaiannya yang telah koyak2 itu, sikapnya. ke-malas2an tapi juga
gagah.
Bergelak tawa Loh Bong-bu memapak maju sambil mengacungkan jempol,
serunya:"Bagus, bagus, sekali, Siang-heng, Cayhe hari ini betul2 terbuka
matanya, dalam gerakanmu tadi cepatnya bagai terbang. Haha, se-olah2 sekaligus
ada puluhan orang yang bantu kau menggerakkan tangan kakimu .....
"Loh-cuncu terlalu memuji," ,ucap Siang Cin. "Soalnya Te heng sudi mengalah
padaku."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
113
Semakin jengah Te Yau, ia mengencangkan ikat pinggangnya, dengan tergagap ia
berkata: "Siang-tayhiap, apa yang dikatakan Ho-cuncu memang tidak salah, engkau
memang jauh lebih kuat daripadaku."
Sambil menggoyang tangan Siang Cin berkata: "Pelajaran silat hakekatnya tiada
batasnya, masing2 memiliki kelebihan kelihayannya sendiri2, siapapun takkan
berani menyatakan dia lebih unggul daripada yang lain. Te-heng, dengan tarap
yang telah kau capai ini, sudah harus dibanggakan."
Dengan rasa ikhlas dan kagum Te Yau melangkah maju, katanya dengan hormat:
"Siang-tayhiap, dalam pertempuran tadi meski dua kali kita saling gempur,
hakikatnya aku telah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuanku, seluruhnya
Cayhe melancarkan sembilan kali pukulan, tapi engkau melancarkan belasan kali,
dalam waktu yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama pula, jelas sekali
bahwa taraf kepandaianmu jauh melampauiku, sungguh2 Cayhe merasa tunduk lahir
batin, malah menurut hematku, engkau belum lagi mengerahkan seluruh
kekuatanmu .
. . . . . "
Siang Cin tersenyum, katanya: ."Ya, kira2 hantya begitu sajalah, bahwasanya
Cayhe juga tidak memiliki apa2 yang melampaui orang lain . . . . . . "
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Apakah Siang Cin menerima bantuan pihak Bu siang-pay untuk menuntut balas pada
Ceng siong san-ceng?
Organisasi macam apakah Hek jiu-tong atau gerombolan tangan hitam dan apa latar
belakang permusuhannya dengan pihak Bu siang-pay?
Bacalah jilid ke 7 -
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
114
Jilid 07
Sesungguhnya apa yang dirasakan Te Yau memang tepat dan benar2 terjadi, dikala
bertanding tadi Siang Cin memang belum lagi mengerahkan seluruh kekuatannya,
paling2 dia hanya melancarkan salah satu kepandaiannya yang lihay dan aneh,
yaitu Kui-ing cap sa-sek (tiga belas gerak bayangan setan) untuk menandingi
Poan-hou-jiu kebanggaan Te Yau, hakikatnya dia belum menggunakan Joanciang
yang
khas, karena dalam Bu-lim orang hanya tahu bahwa Joan-ciang (ilmu pukulan lunak)
yang diyakinkannya itu sangat hebat, aneh dan mengerikan, tapi jarang orang tahu
bila dia sudah mengembangkan Joan-ciang, sebelum tangannya mencium darah
takkan
berhenti. Dalam pertandingan persahabatan ini. jelas bukan tempat baginya untuk
mengembangkan Joan-ciang.
Loh Bong-bu tertawa, katanya; "Te Yau, adakah terasa olehmu bahwa tak ada tapi
tenaga tidak memadai pada dirimu? Terutama gerak kaki tangan se akan2 terkekang
oleh lawan dan tak mampu mengembangkannya."
Merah muka Te Yau, tapi dia mengangguk dengan jujur, dengan nada malu2 dia
berkata: "Sekarang baru benar2 kusadari apa yang diibaratkan seperti kunang2
dibanding rembulan . . . . . . "
Loh Bong-cu ter-gelak2, katanya: "Anak muda, kecundang di tangan Siang-heng
bukanlah hal yang memalukan, betapa banyak jago kosen yang pernah roboh di
tangahnya, di antaranya tidak sedikit pula tokoh2 jauh lebih hebat daripadamu."
Cepat Siang Cin berkata: "Ah, Loh-cuncu, laki2 sejati tidak perlu mengagulkan
diri, soal ini tidak perlu dibicarakan pula . . . . . . "
Te Yau membungkuk hormat, katanya: "Siang tayhiap, kalau tidak ke pesisir takkan
tahu betapa luasnya langit, kalau tidak memanjat gunung takkan tahu betapa
tingginya gunung, banyak terima kasih atas pengajaranmu ini, selanjutnya Cayhe
pasti akan rajin berlatih untuk mengejar kemajuan yang lebih tinggi."
Lega hati Siang Cin melihat watak Te Yau yang berjiwa besar ini, dia genggam
tangan Te Yau,
katanya: "Bicara soal watak sebagai manusia, Te-heng, kau jauh lebih tinggi
daripada kepandaian silatmu."
Ingin Te Yau bicara, tapi dirasakannya tangan Siang Cin yang menggenggam
tangannya menjejalkan sesuatu entah apa, diam2 dia memeriksanya, ia terkejut,
kiranya ujung tombaknya yang telah putus sebagian, letak kutungan ujung tombak
itu tampak rata dan licin seperti dibacok putus oleh sebuah golok pusaka. Tapi
Te Yau tahu yang memapas kutung ujung tombak pasti bukan golok pusaka, tapi
adalah telapak tangan Siang Cin. Sudah tentu dia lebih maklum lagi, bila Siang
Cin mau mencelakai jiwanya, maka sejak tadi dia sudah takkan berdiri di sini,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
115
dia menatap Sang Cin, mata tunggalnya tampak mencorong penuh rasa kekaguman.
haru, terima kasih, heran dan kaget pula.
Di sana Loh Bong-bu telah melihat cuaca pula, katanya: "Siang-heng, kita boleh
berangkat, kalau tertunda lebih lama kita bisa terlambat tiba dikota." Sampai di
sini seperti tidak tahu apa2, dia menambahkan: "Te Yau, lekas kau kenakan
mantelmu, pakaianmu basah kuyup melekat badan, nanti masuk angin."
Te Yau melengak segera dia maklum, ia menyengir lekas dia membalik mengambil
mantel serta mengenakannya. kini Te Yau tahu bahwa Loh Bong-bu sudah melihat
ujung tombaknya terpapas kutung. Bahwa Cap-kiu-hwi-ce dapat mencapai
kedudukannya yang tinggi sekarang, pandanganya tentu saja sangat tajam.
Seorang laki2 baju putih menghampiri dengan menuntun seekor kuda kuning yang
gagah, setelah mengucap terima kasih Siang Cin segera mencemplak ka punggung
kuda, Loh Bong-bu memberi aba2 agar rombongannya berangkat, di belakang ada
delapan kuda dengan masing2 dua kuda mengangkut satu usungan, karena kuda2
itu
sudah terlatih baik maka orang2 yang rebah di atas usungan bisa tidur tenang dan
tidak merasakan goncangan keras.
Dengan gembira Loh Bong bu berkata: "Siangheng, tiga puluh li lagi kita akan
tiba di Ho thau-toh, di sana kita bisa makan dan istirahat, kemudian kita dapat
bermalam di Lam-tin, di sana ada beberapa hotel besar bersih dengan serpis yang
memuaskan."
"Baiklah.." ucap Siang Cin, "keadaanku memang perlu mencari tempat untuk
melepaskan lelah." Sampai di sini tiba2 dia menambahkan: "Loh-cuncu, agaknya
kalian bermusuhan dengan Hek-jiu-tong (komplotan tangan hitam)?"
"Betul," ucap Loh cuncu setelah berdiam sebentar, "kalau dikatakan memang
memalukan. Di padang rumput yang luas itu kami mendirikan sebuah Toa-bong-ceng
(perkampungan). Bahwasanya Toa bong-ceng merupakan pusat kekuasaan Busiang
pay
kami, Bu-siang-lan-tai di depan Toa-bong-ceng dan Ceng-hun kek d! Kiu jin-san
hanya merupakan cabang belaka . . . . . . ."
Setelah berpikir sejenak kemudian Loh Bong-bu berkata pula: "Se giok lau di Toa
bong-ceng adalah tempat tinggal pribadi Ciangbunjin yang terlarang bagi siapa
saja, sementara keluarga Ciangbunjin seluruhnya tinggal di Se-giok-lau itu . . .
. ."
Agaknya Loh Bong bu ragu2 untuk melanjutkan uraiannya, setelah batuk2 dua kali
akhirnya dia berkata pula: "Ai, soal ini sebetulnya tidak enak dibicarakan,
walau dalam Bu lim sekarang sebagian telah dengar berita jelek ini, tapi kami
mendapat perintah sedapat mungkin menutup persoalan ini."
"Kalau begitu, lebih baik tak usah kau terangkan," kata Siang Cin.
Loh Bong bu tertawa kikuk, katanya: "Siangheng jangan salah mengerti, umpama
sekarang Cayhe tidak bicarakan soal ini dengan kau, cepat atau lambat Siang heng
juga akan tahu, cuma Cayhe merasa bila membicarakan soal ini, hati menjadi
dongkol dan penasaran . . .. . . . ."
Setelah celingukan dia melanjutkan dengan suara lebih lirih: "Tiga tahun yang
lalu dalam perjalanan pulang ke Toa-bong-ceng, Ciangbunjin pernah menolong
seorang yang rebah terluka di tengah hujan salju, orang itu sudah kempas-kempis
tinggal menunggu ajal, tapi Ciangbunjin menolongnya dan dibawa pulang, dengan
susah payah merawat dan mengobati luka2nya sampai sembuh, dia memang
seorang
yang cakap dan ganteng, berotak encer dan cerdik pandai, bibir merah gigi putih,
siapa saja pasti merasa senang dan simpatik padanya, maka Ciangbunjin
menjadikan
dia kacung di kamar bukunya, kerjanya hanya meladeni segala keperluan pribadi
Ciangbunjin di Se-giok-lau. Ai, siapa tahu bahwa pemuda cakap itu hanya luarnya
manis hatinya jahat, manusia rendah budi berhati binatang. Selama tiga tahun
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
116
ini, bukan saja dengan akalnya yang licin dan mulutnya yang manis . . . . . .
ah, lebih tepat kalau dikatakan menghasut dan memikat, bukan saja keparat itu
berhasil memikat puteri tunggal Ciangbunjin malah Ci-giok-cu ( mutiara ungu )
milik Ciangbujin yang disimpan ditempat rahasia itupun dicurinya. Sudah tentu
bukan kepalang gusar Ciangbunjin, maka kami beramai memperoleh perintah untuk
mengejar keparat itu, Ciangbunjin ada pesan, mati atau hidup kami harus
menyeretnya pulang . . . . . . . "
Lalu apa sangkut pautnya soaI ini dengan Hek-jiu- tong?" tanya Siang Cin.
Loh Bong-bu meng-geleng2 katanya: "Hasil penyelidikan kami setelah
menghabiskan
banyak tenaga dan pikiran, eh, kiranya bocah keparat itu adalah tokoh ketiga
Hek-jiu-tong. Bahwa dia rebah terluka di atas salju dulu itu bukan lantaran
dilukai oleh kawanan begal melainkan terluka oleh musuh yang mencegatnya di
tengah jalan. Dua bulan yang lalu, kami bertiga kelompok ditugaskan mengejarnya
ke Tionggoan, tapi selama ini bayangan bocah itu tak pernah kami jumpai, pada
hal sudah tujuh kali kami bentrok secara langsung dengan orang2 Hek jiu-tong,
komplotan jahat itu memang mahir menggunakan senjata rahasia beracun dan
menyerang dengan akal licik pula. Tadi waktu kami lewat dilereng bukit, karena
melihat keadaan di sana cukup berbahaya, kuatir terjebak musuh, maka kami
berhenti mengadakan pemeriksaan ala kadarnya, rupanya memang ada jodoh dan
berkenalan dengan Siang-heng . . . . "
Berpikir sebentar, Siang Cin berkata, "Tahukah siapa nama bocah yang menipu dan
membawa minggat puteri tunggal Ciangbunjin kalian?"
"Ji-ih-kim-kiam Khong Giok-tek."
Siang Cin menopang dagu, katanya: "Agaknya pernah kudengar nama ini. Em,
tentunya dia amat licik dan banyak muslihatnya?"
"Memang " kata Loh Boh-bu dengan gregeten, betapa cerdik dan hati2 Ciangbunjin
kami, akhirnya toh kena dikelabui dan tertipu mentah2. Pernah beberapa kali
Cayhe melihat dia, sikapnya memang ramah dan sopan santun, mulutnya manis dan
pandai ber-muka2, lahirnya dia bekerja dengan giat dan rajin, hakikatnya tak
pernah terbayang dalam benak kami bahwa ada orang luar yang berani main kayu
dalam markas pusat kami, biasanya dia pura2 lembut, keberanian menyembelih
ayampun tiada, kalau bicara halus dan munduk2, sopan dan pemalu seperti gadis
pingitan . . . . "
Siang Cin berkata: "Mohon tanya, ke mana tujuan perjalanan Loh-cuncu kali ini?"
Loh Bon-bu berkata setelah menghela napas: "Menyerbu langsung ke sarang
komplotan tangan hitam."
Siang Cin menggeleng, katanya: "Loh-cuncu, bukan Cayhe banyak mulut dan
berkomentar, bila hanya dengan kekuatan yang kau bawa ini, Bu-siang-pay hendak
menyerbu ke sarang Hek-jiu-tong, ku kira kekuatan kalian jauh daripada memadai,
keadaan pihak Hek-jiu-tong memang Cayhe tidak tahu, tapi pernah juga Cayhe
dengar tentang mereka, kekuatan mereka memang tidak sebesar Bu-siang-pay, tapi
juga tidak lemah, jago2 kosen Hek-jiu-tong cukup banyak, anak buah merekapun
jahat dan kejam, apalagi mereka berhubungan erat dengan komplotan hitam lainnya,
dengan tenaga yang tidak memadai ini kalian hendak menyerbu ke tempat yang jauh
itu, mungkin tidak akan memperoleh keuntungan . . . "
Alis Loh Bong-bu bertaut, katanya dengan prihatin: "Apa yang Siang-heng katakan
sudah Cayhe pikirkan, tapi perintah Ciangbunjin mana kami berani membangkang?
Pertama Cayhe hanya ingin paksa Khong Giok-tek menyerahkan orang dan benda
mestika yang dicurinya, jadi tidak harus menumpahkan darah. sementara bala
bantuan dari markas kami, yaitu Thi ji-bun dan Wi-ji-bun dalam waktu tujuh hari
ini akan berkumpul di kaki Au-than-san, setelah merundingkan strategi yang akan
kami tempuh baru akan bergerak, menurut hematku, kekuatan kami akan cukup
besar."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
117
Siang Cin mengawasi pernandangan alam nan permai, alam pikirannya melayang
pada
sebuah persoalan yang lain, sesaat lamanya, baru dia berkata pula: "Loh-cuncu,
kukira Khong Giok tek tidak akan sudi menyerahkan apa yang kalian tuntut."
Dengan tertawa getir Loh Bong-bu berkata: "Memang mungkin, tapi dia harus siap
menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya."
"Apakah kalian hanya ingin mengajak orang pulang serta merebut mestika saja?"
tanya Siang Cin.
"Itu langkah pertama, bila sekiranya tidak sampai menimbulkan akibat lain, maka
langkah kedua adalah menawan hidup2 Khong Giok tek, hal ini tadi sudah
kuterangkan."
"Kalau demikian perhitungan kalian, mungkin pertempuran besar dan banjir darah
tidak terhindar lagi . . . . . ."
"Inipun sudah dalam perhitungan kami, kalau situasi menghendaki demikian, ya apa
boleh buat, tapi tak peduli bagaimana hasil tujuan perjalanan yang terang
Bu-siang-pay takkan memberi kesempatan pada Hek-jiu-tong untuk bernapas,
umpama
kami harus gugur di medan laga, jago2 Bu-siang-pay kami akan ber-bondong2
keluar
dari padang rumput dan menyerbu ke sana."
"Kalau Hek-jiu-tong tahu kekuatan tidak memadai, mereka pasti minta bala bantuan
dari komplotan lainnya, beroperasi tidak di daerah kekuasaan sendiri betapapun
Bu-siang pay pasti akan mengalami pukulan yang berat juga, maaf Cayhe bicara
secara blak2an, harap Loh-cuncu tidak berkecil hati."
"Kenyataan memang demikian, seharusnya aku berterima kasih akan petunjuk
Siang-heng, masa aku menyalahkan kau malah?" sampai di sini Loh Bong bu lalu
menambahkan lagi: "Persoalan ini, biarlah kita bicarakan lain waktu saja, yang
penting sekarang harus selekasnya cari tempat untuk merawat luka2 Siang-heng
dan
teman2mu."
"Ya, benar," ucap Siang Cin.
Derap tapal kuda berdetak di tanah pegunungan yang keras, seketika Loh Bong-bu
melirik Siang Cin, sorot matanya mengandung permohonan yang sangat, bibirnya
sudah bergerak sedikit, tapi akhirya dia telan kata2 yang ingin dilontarkan,
alisnya berkerut dan wajahnya tampak murung, masgul dan gelisah.
Sebetulnya Siang Cin tahu sikap Loh Bong-bu itu, iapun tahu apa yang ingin
diutarakan olehnya. Hal inilah membuat Siang Cin serba susah, ia tahu jelas
macam apakah gerombolan Hek-jiu-tong, apa yang dia beritahukan kepada Loh
Bong-bu tadi hanya sekelumit keadaan luarnya saja, jadi keadaan sebenarnya dalam
Hek jiu-tong belum dia beberkan:
Sementara pihak Bu-siang-pay kelihatannya hanya melihat bentuk luarnya saja dari
Hek-jiu-tong, tidak tahu seluk beluk di dalamnya, padahal Hek-jiu-tong adalah
salah satu komplotan penjahat yang paling ganas di Bu-lim, pentolannya ada
sepuluh orang, satu lebih kejam dari yang lain. Kungfu merekapun termasuk kelas
wahid, kekuatan Hek-jiu-tong sudah melebar sampai di propinsi Ho-pak dan Ho-lam,
usaha mereka ialah penyelundupan garam gelap dan membegal, bila perlu
merekapun
main bunuh secara kejam, umumnya mereka tidak mematuhi aturan Kangouw, tak
mengerti apa itu keadilan dan kebenaran, demi keuntungan pihak sendiri mereka
tidak peduli siapa lawan, asal sikat dan ganyang, cara yang digunakanpun
melampaui batas perikemanusiaan. Oleh karena itu, sesama kaum Kangouw tiada
yang
berani mengusik dan mencari perkara pada mereka, padahal mereka jarang
beroperasi keluar daerah kekuasaan sendiri, sejak Hek-jiu-tong berdiri, selama
10 tahun ini bukan saja mereka tidak pernah mengalami musibah besar, malah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
118
kekuatan mereka semakin berkembang dan melebar kemana2.
Sejak keluar kandang, meski Naga Kuning Siang Cin malang melintang dan disegani
orang, tapi selama ini belum pernah dia bentrok dengan pihak Hek jiu-tong.
Bagaimana keadaan Hek-jiu-tong sering didengarnya dari cerita orang, jadi
seluk-beluk mereka banyak yang dia ketahui. Bu-siang-pay memang besar dan kuat,
tapi mereka berada jauh di padang rumput sana, sebagai harimau galak yang
meninggalkan gunungnya, bila betul2 harus bertempur jauh dari sarang sendiri,
betapapun mereka harus berpikir lebih matang sebelum bergerak.
Cepat sekali rombongan besar ini sudah berderap di jalan pegunungan yang kecil
dan berliku naik-turun, tak lama lagi mereka akan keluar dari lekuk gunung dan
menempuh perjalanan di jalan raya.
Sambil membetulkan rambut panjangnya ke beIakang kepala Loh Bong-bu berkata:
"Siang-heng ....."
Siang Cin menoleh, katanya: "Ada petunjuk apa Loh-cuncu?"
Menatap jauh ke depan, Loh Bong-bu berkata serba rikuh: "Ada suatu hal, ingin
Cayhe . . . . . . "
Diam2 Siang Cin menghela napas, dia tahu apa yang hendak diajukan orang,
apakah
dia harus menerima permintaan orang? Walau baru bertemu di tengah jalan dan
baru
berkenalan, tapi kaum persilatan mengutamakan setia kawan, apalagi sikap orang
begini simpatik dan murah hati? "Silakan berkata," sahut Siang Cin kemudian.
Setelah berpikir sekian lama dengan sikap serba susah, akhirnya Loh Bong-bu
berkata getir: "Siang heng, Cayhe, Cayhe . . . . ai, sukar untuk kuutarakan . .
. . "
Akhirnya Siang Cin berkata tegas: "Baiklah, orang she Siang tidak akan berpeluk
tangan dalam persoalan ini . . . . "
Loh Bong-bu berjingkrak girang dan hampir jatuh dari kudanya mendengar janji
Siang Cin, seperti ketiban rejeki matanya terbeliak, mulutnya megap2:
"Siang-heng, kau maksudmu sudi bantu kami untuk menghadapi Hek-jiu-tong?"
"Cayhe kira, begitulah maksud Cuncu semula," ucap Siang Cin dengan tertawa.
Loh Bong-bu tertawa gembira, katanya: "Tentu tentu, cuma baru berkenalan, Cayhe
tidak enak memohon bantuan kepada Siang heng, tapi Siang heng memang pandai
menerka isi hati orang, sungguh tak terkira rasa terima kasibku . . . . "
Pelan2 menepuk kepala kudanya, Loh Bong bu tak bersuara pula, sesaat kemudian
baru berkata pula, "Siang-heng, pihak Hek jiu tong mungkin juga akan bermusuhan
dengan kau . . . . "
Dengan tajam Siang Cin pandang orang, katanya: "Loh-cuncu, berkelana di
Kangouw,
bahaya demikian siapapun sukar menghindarkannya, kalau sudah hidup di Kangouw,
sebagai insan persilatan, maka dia harus berani menghadapi tantangan yang penuh
liku2 kekejaman, kalau tidak ya jangan terjun ke dunia persilatan."
Loh Bong-bu berkeplok tangan, serunya memuji: "Komentar bagus!"
"Ah, tidak, hanya sekedar menghibur diri belaka," kata Siang Cin.
Tanpa terasa rombongan besar ini sudah tiba di bawah bukit dan mulai menempuh
perjalanan di jalan raya, sebelah kiri adalah sawah ladang yang luas dan subur,
sebelah kanan adalah hutan lebar yang rimbun, jalan raya ini lurus lempeng, maka
dari kejauhan kelihatan bangunan rumah yang tersebar di sepanjang sungai sana.
Menuding ke rumah2 di kejauhan itu Loh Bongbu berkata: "Nah, di sana itulah Ho
thau-toh, kutahu di sana ada sebuah restoran yang baik."
Siang Cin manggut2, tiba2 dia berkata: "Oh, ya, bagaimana letak kota itu dari
Ceng siong-san-ceng?"
Lob Bong-bu menerawang sekitarnya, katanya kemudian: "Pagi tadi kita mengitari
Ceng-siong-san-ceng jadi Ho-thau-toh terletak tepat di sebelah selatannya."
"Jadi kota ini masih dalam lingkungan kekuasaan pihak Ceng-siong-san-ceng, Loh
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
119
cuncu, kita harus lebih berhati2."
Kuharap mereka tidak mencari kesulitan untuk diri sendiri," ujar Loh Bong bu.
Kini sang surya sudah tinggi di cakrawala, maka kerongkongan mereka mulai terasa
kering, ingin minum dan istirahat.
Setengah jam kemudian setelah menyusuri sungai akirnya mereka naik keatas
tanggul dan memasuki Kota tambangan yang tidak begitu besar ini, mengawasi arus
sungai dengan airnya yang keruh menguning, Siang Cin berkata pelahan, Loh-cuncu:
"Apa nama sungai ini?"
Loh Bong bu sedang mengatur anak buahnya yang membawa usungan untuk
menyeberang,
cepat ia menoleh dan menjawah: "O. namanya Se-jiang-ho sawah ladang seluas
ribuan ha di kedua sisi sungai tumbur subur karena air sungai ini, setiap musim
semi air pasang hampir setinggi tanggul."
Tanpa menunjukkan perasaan Siting Cin manggut-manggut: "Loh Bong-bu sibuk
mengatur anak buahnya pula, dengan barisan yang rapi dan teratur rombongan
besar
ini memasuki kota, melalui jalan raya yang hanya satu2nya di kota kecil ini.
Para petani yang bekerja di ladang sama menoleh dan memandang keheranan,
demikian pula penduduk kota ber-bondong2 keluar menonton barisan besar berkuda
ini, wajah mereka sama menampilkan rasa heran dan curiga, maklum kota sekecil
ini penduduk jarang melihat rombongan besar berkuda berseragam lengkap dengan
senjata lagi.
Barisan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan, dua anak buah
Bu-siang-pay yang di tugaskan kemari lebih dulu tampak sudah menunggu di depan
restoran, tanya Loh Bong bu: "Restoran itu masih buka tidak?"
Salah seorang laki2 itu membungkuk. sahutnya: "Lapor Cuncu, masih buka, Tecu
sudah pesan hidangan yang cukup untuk makan enam puluh orang."
"Ehm," Loh Bong-bu bersuara singkat lalu menoleh dan berkata: "Siang-heng,
marilah turun."
Dengan enteng Siang Cin melompat turun, para penunggang kuda yang lain juga
turun be ramai2, dengan suara lirih Loh Bong-bu memberi pesan apa2 kepada
Ceng-yap-cu Lo Ce, setelah Kun Sim-ti, Pau seh-hoa dan lain2 digotong masuk baru
Siang Cin masuk terakhir.
Ruang restoran ini cukup lebar, lantainya dari batu marmer, seorang laki2 gemuk
dengan kain putih melingkar di depan perut beranjak keluar dengan langkah
tergopoh.
Mengawasi si tambun ini, Loh Bong-bu tertawa katanya: "Gui-poancu (Gui si
gemuk), melihat tampangmu yang merah gembira ini, mungkin kau sudah tambah
rejeki?"
Gui poancu adalah taukeh atau majikan pemilik restoran ini, dengan ter gelak2 ia
berkata: "Loh-ya, engkau memang suka berkelakar, restoran sekecil ini di kota
yang serba miskin pula, kalau tidak gulung tikar sudah mending, mana bisa tambah
rejeki segala? Kalau bisa mencari sesuap nasi untuk kehidupan keluarga sudah
lebih dari lumayan."
Loh Bong-bu menggeleng katanya: "Poancu, kau memang pandai bicara."
Sembari silakan tamunya duduk. Gui poancu perintahkan juga para pelayan
meladeni
tamunya, dari luar restoran ini kelihatan kuno, tapi keadaan di dalam ternyata
rapi dan bersih, tempatnya juga amat luas, lima belas meja berjajar menjadi
sebuah meja panjang di tengah ruang, kursinya dari bangku panjang, di luar
jendela tampak Se-jing-ho dengan pemandanganya nan permai.
Loh Bong bu persilakan Siang Cin dan Kun Sim-ti duduk di dekat jendela,
sementara pelayan yang hanya tiga orang muda sibuk bekerja sesuatu petunjuk si
gemuk, menyuguh minuman dan menyiapkan piring mangkok.
"Sebelum ini pernah engkau datang kemari Lohcuncu?" tanya Siang Cin setelah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
120
melihat sekelilingnya "Pernah lewat dua kali," sahut Loh Bong bu tertawa,
"setiap kali si gendut itulah yang menyediakan hidangan untuk kami."
Berpikir sebentar Siang Cin berkata pula: "Apakah orang ini dapat dipercaya?
Maksudku mungkinkah dia menaruh apa2 di dalam hidangan?"
Serta merta Loh Bong-bu melirik ke arah si gendut yang lagi sibuk di sana,
katanya; "Kupikir, tak mungkin . . . . . . ""
"Hati2 lebih baik," ucap Siang Cin sambil tersenyum.
Pau Seh hoa mengertak gigi, katanya: "Kalau ada yang berani main licik sekotor
itu, orang she Pau pasti akan mengunyahnya hancur."
Melirik kepada Pau Seh-hoa, belum lagi Siang Cin bicara, Gui-poancu sudah
datang, katanya dengan tertawa lebar: "Loh-ya, engkau orang tua dan para tuan2
ini hendak pesan makanan apa?"
"Hidangar apa yang paling baik dalam persedianmu boleh kau keluarkan seluruhnya,
yang terang setelah kami makan kenyang kau boleh tutup restoranmu saja."
"Loh-ya memang malaikat pembawa rejeki bagi kami, kalau Loh-ya bisa datang
setiap hari, restoranku ini pasta kubangun menjadi tingkat tiga, hahaha . . . .
. . " sembari bicara dia terus mundur berlari masuk dapur.
Pelan2 Loh Bong-bu tanggalkan mantel, sambil menghabiskan waktu mulailah
mereka
bicara bebas sambil berkelakar.
Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, kira2 setengah jam kemudian, hidangan
masih belum juga disuguhkan, malah ketiga pelayan yang semula mondar-mandir
keluar masuk kini juga jarang unjuk diri, apalagi Gui-poancu, dia seperti lenyap
ditelan bumi.
Setelah meneguk secangkir teh, perut yang tambah keroncongan lagi, Loh Bong-bu
bersuara heran, katanya dengan kereng pada seorang pelayan yang kebetulan
beranjak keluar: "Siau-ji-ko, memangnya kenapa majikan kalian? Sekian lamanya
kenapa hidangan belum lagi disuguhkan? Memangnya kau masak pakai api lilin?"
Pelayan ter sipu2 mengiakan terus berlari ke belakang, kebetulan Gui poancu
tengah beranjak keluar dari dalam, tampak kedua tangannya mengusung sebuah
baki
besar, di atas baki penuh berisi daging ayam, itik, ikan dan udang goreng saus,
lengkap dengan cabai, tomat, dan acar.
Dua laki2 berpakaian kotor penuh minyak ikut di belakang Gui-poancu, dandanannya
mirip koki, kepala dibungkus kain hitam kedua orang ini juga membawa dua nampan
besar, isinya adalah berbagat macam masakan yang berbeda.
Loh Bong-bu mendengus keras2: "Goi-poancu, cepat juga kau menyiapkan
hidangannya."
Gui-poancu minta maaf dengan tertawa ngakak, dia taruh baki di atas meja. Diam2
Siang Cin memperhatikan sorot matanya yang kelihatan guram, tawanya juga kaku
dan suaranya sumbang, jelas yang tidak wajar.
Ia melirik pula kedua koki yang mengintil di belakang Gui-poancu, cara kedua
orang ini membawa nampan ternyata amat mahir dan kelihatan gesit, padahal isi
nampan begitu banyak dan penuh, langkahnya cekatan bergerak di antara bangku2,
cara kerjanya juga cepat tak ubahnya seperti koki di restoran lain.
Sambil menerima sumpit yang diangsurkan Gui-poancu, Loh Bong-bu berkata
dengan
tertawa: "Nah, ayam, itik, ikan dan daging, semuanya lengkap, Loui, jangan lupa,
bawakan dua poci untuk kami, bakpau pangsit juga keluarkan, lihat, ada tamu
perempuan, mereka suka makanan yang empuk2."
Gui-poancu mengiakan, tapi tampak agak ragu, tiba2 salah seorang koki tadi
berteriak: "Ciangkui, sumpitnya masih kurang berapa pasang."
Orang ini bicara sambil menaruh mangkuk piring, sementara mukanya menoleh ke
sini mengawasi gerak-gerik si gendut. Gui-poancu seperti gemetar sedikit katanya
tersipu: "Oh, ya, sebentar kuambilkan . . . . "
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
121
Beberapa patah percakapan ini seketika mengetuk hati Siang Cin, tanpa diketahui
hadirin yang lain diam2 ia mengawasi kedua koki, tapi badan orang tidak menunjuk
sesuatu tanda yang mencurigakan. Siang Cin menjadi bimbang, apakah dugaannya
meleset. Lalu di mana kedua pelayan muda yang tadi meladeni tamu2nya?
Sementara itu Gui-poancu tampak keluar pula dengan membawa sumpit, dikala dia
membagikan sumpit, Siang Cin sudah perhatikan muka orang yang penuh butiran
keringat segede kacang, padahal kini bukan musim panas.
Arak disuguhkan oleh koki yang lain, orang ini bermuka putih dengan handuk
melingkar di leher, sebuah tahi lalat warna merah tumbuh di ujung mata kirinya,
dua helm bulu panjang tumbuh menjuntai, kedua tangannya tampak berotot kasar,
mengkilat berminyak, dikala menyuguhkan arak, selalu dia unjuk tawa lebar, tak
ubahnya pelayan yang ramah untuk menarik simpatik para tamunya.
Mengawasi orang Siang Cin bertanya: "Mana kedua pelayan tadi? Kenapa tidak
disuruh bantu di luar" Orang kami terlalu banyak, kalau hanya mengandal tenaga
kalian, kapan kami baru bisa melanjutkan perjalanan?"
Koki ini menjura, katanya tertawa: "Maksud tuan mungkin Siau-gu dan Ah-mao?
Mereka adalah tenaga baru, belum mahir dan hanya disuruh mengerjakan tugas
kasar, kalau melayani tamu sebanyak ini, mungkin bisa berantakan, maka mereka
kini ditugaskan di dapur "
Siang Cin tertawa, katanya: "O, lidahmu ternyata lincah berbicara."
Si Koki menunduk, lekas dia mengundurkan diri tanpa bicara, tapi dikala dia
menunduk itulah, mata Siang Cin yang tajam sekilas dapat menangkap waiah si koki
yang putih itu ber-kerut2, itulah pertanda perasaan yang menaruh dendam.
Sebagai tuan rumah Loh Bong-bu mendahului angkat cangkir araknya, katanya:
"Siang-heng, Pau-heng, An-heng dan kedua nona mari habiskan secangkir arak ini."
Siang Cin juga angkat cangkirnya, bola matanya bentrok dengan pandangan Pau
Seh-hoa, tampak terpancar sinar aneh dari matanya seperti memaklumi sesuatu dia
tatap Siang Cin, dan diluar tahu siapapun ia mengangguk pelahan.
Loh Bong-bu berkata pula: "Hadirin sekalian, marilah kita habiskan secangkir
ini."
Siang Cin serba salah, ia tak sempat memberi tanda, hatinya gelisah, baru saia
dia hendak mencegah, dilihatnya Loh Bong bu telah angkat cangkirnya yang sambil
menengadah dia tuang arak yang berwarna kuning itu. Tapi arak bukan dituang ke
dalam mulut, melainkan dituang ke dalam lengan bajunya yang longgar itu.
Maka Siang Cin lantas tertawa lebar, katanya gembira: "Bagus, bagus sekali !"
Bersama Pau Seh hoa iapun tiru cara orang.
Di bawah meja jari Siang Cin menulis di telapak tapak tangan Kun Sim-ti, dengan
maksud: "Kau jangan minum, kau dan istri An Lip tidak usah minum."
An Lip dan istrinya tampak ragu2, Pau Seh hoa sengaja berkata: "Tidak, Lo An
harus minum secangkir, aku orang she Pau yang menyuguh."
An Lip menjadi gugup, ia bilang tak berani minum, sementara Ceng yap cu tampak
mendatangi dan berdiri di samping meja, katanya: "Lapor Cuncu, mohon diberi izin
para Tecu boleh mulai makan."
"Sudah tentu," seru Loh Bong-bu ter gelak2, katanya: "Lain kali ingat, disiplin
di padang rumput tidak perlu dilaksanakan di luaran" ia merandek sejenak, lalu
menambahkan: "Tapi kalian harus ingat peraturan lama Bu-siang pay kita bila
menginap di mana saja. Nah, ayam sudah berkokok, elang terbang datang dari
langit, golok tersembunyi di bawah payon, membabat bayangan nan tidak kelihatan
itu ... . "
Waktu Loh Bong-bu mengucapkan kata2 yang aneh ini, sikapnya tampak kaku dan
kereng, sudah tentu An Lip, Kun Sim-ti bertiga merasa heran, lekas Ceng-yap cu
membalik badan, secepat angin dia sudah berkisar ke sana, dikala badannya
berputar itulah, kedua telapak tangannya secara beruntun telah bertepuk lima
kali.
Perubahan berlangsung dengan cepat, selagi gema tepuk tangan Ceng-yap-cu yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
122
nyaring masih berkumandang di dalam ruangan, semua anak buah Bu-siang pay
serempak melompat berdiri, golok melengkung di punggung serentak tercabut ke
luar.
Tiada sedikitpun rasa ragu dan bimbang, puluhan anak murid Bu-siang pay
mendadak
menerjang ke luar jalan raya, sekelompok menyebar kedua sisi rumah, sementara
sisanya menyebar ke berbagai pojok ruangan, sehingga terbentuklah sebuah
lingkaran besar, hanya sekejap mereka telah menduduki posisi yang
menguntungkan,
bayangan beberapa orang berkesiur kencang, meja kursi sama tertumbuk roboh,
dikala kedua koki itu menyadari apa yang terjadi, tahu2 mereka sudah terkepung
di tengah lingkaran.
Saat mana Gui-poancu tengah mengangkat daging panggang, seperti mendadak
terserang angin duduk, seketika dia berdiri kaku mematung, mukanya yang gemuk
penuh daging menonjol itu sungguh lucu, seperti tertawa tapi juga mirip orang
menangis seperti ketakutan tapi juga girang. Mulutnya melongo lebar, sementara
kedua matanya melotot.
Kedua koki itu berdiri tepat di tengah ruangan mereka celingukan bingung, dengan
sorot mata mohon bantuan mereka menoleh ke arah si gendut she Gui yang berdiri
mematung dan gemetar di sana.
Pelan2 Loh Bong-bu berdiri, katanya mengejek: "Te Yau, periksa ke belakang."
Poan hou jiu Te Yau mengiakan, sebat sekali ia melesat ke pintu belakang,
sementara Loh Bong-bu letakkan cangkir ke atas meja, katanya sambil memandang
Gui gendut: "Lo Gui, apakah kau di paksa?"
Bergetar tubuh Gui gendut yang penuh daging itu, serta merta ia mengerling ke
arah kedua koki, kedua orang yang dipandang diam saja tanpa unjuk perasaan apa2.
Mendadak Loh Bong-bu menggebrak meja, teriaknya bengis: "Untuk apa kau lihat
mereka? Kau kira golok lengkung Bu siang-pay kurang tajam?"
Dengan menyengir kulit daging si gendut tampak ber-goyang2 saking ketakutan,
mulutnya terpentang lebar, tapi sepatah katapun tak mampu bicara sungguh kasihan
keadaannya.
Siang Cin tertawa, katanya: "Loh-cuncu, Guiponcu terang dipaksa, kita tidak
perlu mendesak dia, kukira kedua koki ini bisa memberi keterangan, karena
merekalah biang keladinya."
Seketika kedua koki itu ketakutan, mereka meratap: "Ciangkui, sudah sekian tahun
kami membantumu, seingatku kecuali sering mencuri minum dua cangkir arak
selamanya tak pernah berbuat salah, Ciangkui, tolonglah kau memberikan
kesaksian, kami kan tak pernah melakukan kejahatan apa2 . . . . . ."
Gui-poancu seka keringatnya dengan lengan bajunya, jari2nya tampak gemetar,
sesaat kemudian baru dia dapat bersuara dengan tersendat: "Tidak . . . . . tidak
salah, Loh-ya, mereka . . . . . . . mereka berdua."
Dengan tersenyum Siang Cin mengulap tangan katanya: "Sahabat baik, dihadapan
orang jujur tidak perlu membual, cara kalian ini hanya bisa rnenggertak si lemah
dan mengelabui yang bodoh, dihadapan kami kau tak perlu main sandiwara, tak
berguna"
Semakin hijau muka koki tadi, katanya sedih: "Tuan ini, sudilah engkau suka
menjelaskan, hamba kan bekerja baik2 dan tidak berbuat salah, mendadak tuan2
mencabut senjata dan mengepung kami, memangnya kami pernah melakukan
kejahatan
apa? Umpama membunuh orang kan juga harus dibikin terang persoalannya, entah
kesalahan apa yang telah hamba lakukan?"
Melotot gemas dan dendam Loh Bong-bu, bentaknya gusar: "Keparat yang licik."
"Kesalahan sih ada," ucap Siang Cin dengan tertawa, "cuma arak, hidangan yang
kalian masak ini rasanya koh ganjil sekali, kalian kan koki di restoran ini,
nah, silakan kalian cicipi dulu hasil karya kalian sendiri, kalau apa yang
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
123
kukatakan terbukti benar, maka kalian harus lekas bikin lagi hidangan yang
lain."
Seketika berubah air muka kedua koki, sekuatnya mereka seperti menahan diri, si
muka putih yang bernama Mao-ci menelan air liur, katanya dengan serak: "Tuan ..
Ini kan hidangan untuk tuan2 sekalian, mana hamba berani mencicipinya lebih dulu
........."
"Hm." Loh Bong-bu menggeram, "disuruh makan, maka kalian harus mencicipi dulu,
nanti kubayar dua kali lipat."
Sudah tentu tambah buruk air muka kedua koki ini, mereka bimbang dan saling
pandang, koki yang bermata juling mengertak gigi hendak bergerak, tapi koki muka
putih bernama Mao-ci menggeleng kepala. Golok besar melengkung telah terhunus
mengelilingi mereka dengan sinar yang gemerdep demikian pula tombak pendek
bersula telah terpegang di tangan kiri, agaknya Mao ci cukup tahu diri nelihat
situasi dihadapan mata, sedikit bergerak tanpa perhitungan, jelas mereka akan
menjadi sasaran empuk bidikan tombak2 pendek bersula itu.
Berkejang muka Mao-ci, tiba2 sikapnya berubah tenang, katanya: "Baiklah, kalau
demikian pesan tuan2, biarlah hamba mencicipinya." Waktu menoleh ke arah
temannya, sorot matanya seperti mohon diri, seperti juga menyesali nasibnya yang
jelek. Lalu dengan langkah lebar dia menghampiri meja Siang Cin, ia mencomot
sepotong paha ayam serta menjemput cangkir arak di depan Loh Bongbu, sekilas
ragu2, lalu dia angkat paha ayam ke mulutnya.
Tiada orang bersuara, puluhan pasang mata tertuju ke muka Mao-ci, suasana terasa
seram.
Dengan menyengir Mao-ci pentang mulutnya, Sikap Siang Cin tampak dingin kaku,
sorot matanya ber kilat2, dengan tajam diawasi gerak-gerik orang.
Lagaknya Mao-ci mau makan paha ayam itu tapi ketika paha ayam itu hampir
menyentuh bibirnya, tangan kirinya tiba2 menggentak, arak itu dia siramkan ke
muka Loh Bong-bu, sementara paha ayam mendadak juga dilempar ke arah Siang
Cin,
begitu barang2 di kedua tangannya disambitkan, sigap sekali ia berputar, tahu2
tangan kanan sudah mencabut sebilah belati yang tajam berkilau.
Hanya sedikit mengegos dengan mudah Siang Cin hindarkan, samberan paha ayam,
perawakannya yang kurus bergerak gemulai, hampir tidak kelihatan melakukan
gerakan apapun, tahu2 Mao-ci menjerit keras, tubuhnya berputar dan darahpun
terhambur dari mulutnya. Sebat sekali Siang Cin melompat maju, dikala badan
Mao-ci masih berputar2, telapak tangan kirinya terayun, kembali darah muncrat,
Mao-ci mencelat tinggi membentur langit2, "klotak", dengan keras ia terpental
balik dan jatuh terguling di lantai, dengan berlepotan darah. Siang Cin
menghardik: "Jangan bergerak!"
Baru saja koki bermata juling hendak menubruk maju dengan belatinya, hardikan
Siang Cin bagai bunyi guntur telah membikinnya bergetar, sedikit merandek itu,
tujuh batang golok sabit telah menyamber tiba, puluhan tombakpun meluncur datang
dengan deru angin yang kencang, orang merasa pandangan mendadak kabur, dikala
dia menggerakkan belatinya itu, kaki Siang Cinpun menyapunya, golok sabit dan
tombak berdering saling bentur, mendadak Siang Cin melambung ke atas, berbareng
ia tarik baju kuduk orang itu serta diangkat ke atas,
Sekali tendang Loh Bong bu bikin meja kursi jungkir balik, lalu dia sudah
berkelebat maju, beruntun dia gampar laki bermata juling itu beberapa kali,
keruan gigi rompal bibir pecah dan darahpun berhamburan dari mulut orang itu.
Sekali raih Loh Bong-bu menjambak rambut orang, hardiknya gusar: "Keparat,
betapa tinggi kepandaianmu, berani membokong Cuncu Bu-siang-pay? Katakan, dari
aliran setan atau golongan iblis mana kau?"
Melotot bola mata laki2 yang juling (keroh) itu, Loh Bong bu mendengus, telunjuk
tangannya mencolok, secara mentah2 dia cukil keluar sebuah biji mata orang.
Raung kesakitan bergema, kaki tangan berkelejetan seperti orang terserang ayan,
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
124
wajah Loh Bongbu biasanya putih bagai batu jade kini berubah hijau kelabu,
sekali raih pula dia betot biji mata orang yang bergelantung di pipi orang,
kembali dia hendak cukil biji mata orang yang sebelah kiri.
Lekas Siang Cin menarik mundur orang itu, katanya: "Loh-cuncu, biarkan dia
hidup, nyawanya lebih berguna dari pada membunuhnya."
Loh Bong bu menggerutu: "Bangsat, kalau tidak kuremukkan tulang belulangnya,
sungguh tak terlampias amarahku."
Siang Cin tersenyum, katanya: "Cepat atau lambat dia pasti mati, sekarang lebih
baik mengompes keterangannya. Loh-cuncu, sampai sekarang kita belum tahu dia
dari aliran mana." - Sembari bicara Siang Cin mencengkeram baju leher orang,
katanya dingin: "Sahabat baik, apa yang harus kau katakan, kini sudah tiba
saatnya kau beberkan."
Sekujur badan orang itu gemetar, mukanya berkerut dan berlumuran darah,
keadaanya sungguh seram dan mengerikan.
"Anak muda," tiba2 Loh Bong-bu tertawa, "ini baru mulai, bila setiap pertanyaan
tidak kau jawab dengan jelas, sedikit akan kusiksa kau hingga mangkat ke alam
baka."
Mendadak mata tunggal orang itu mendelik, katanya dengan meraung penuh
dendam:
"Loh Bong bu, kalau tuan besarmu mati, beribu anggota Hek jiu tong akan menuntut
balas bagi kematianku, kau anjing tua ini akan mati lebih mengenaskan
daripadaku, kalau berani, hayo bunuhlah sekarang, buktikan saja apakah anggota
Hek-jiu-tong memang takut mati seperti omonganmu."
Ceng-yap-cu Lo Ce yang berdiri di samping menghardik, golok sabit di tangannya
tiba2 membacok, bentaknya: "Baik, coba rasakan ini!"
Sekali tarik Siang Cin singkirkan tawanannva, "Siiuut", golok sabrt menyamber
lewat dan "crat" bangku panjang di sebelah tertabas kutung menjadi dua, dengan
mata membara Lo Ce putar badan serta mengayun golok pula, lekas Siang Cin
mencegah. "Berhenti dulu, Lo-heng . . . . "
Lekas Loh Bong-bu angkat tangan mencegah Lo Ce, Katanya kemudian: "Sahabat
baik,
mulutmu ternyata berbisa juga. Baiklah Cap kau hwi ce Loh Bong-bu ingin
menyaksikan sendiri kawanan anjing Hek-jiu-tong dapat berbuat apa terhadapku?"
Siang Cin mengertak gigi, jari2nya yang mencengkeram kuduk orang semakin
mengencang: "Sahabat, kalau kau tidak ingin disiksa, maka bicaralah, masih ada
berapa banyak kaki-tangan Hek-jiu-tong di sekitar sini? Di mana mereka sembunyi?
Siapa pula yang jadi pemimpin? Dengan cara licik apa pula kalian hendak
mencelakai kami? Bagaimana gerakan orang2 Hek-jiu-tong akhir2 ini?"
Orang itu malah memejamkan mata, dengus napasnya berat, dadanya turun-naik,
mukanya kotor berlumurah darah yang mulai mengering, jelas sekuatnya dia
menahan
derita, sepatah katapun dia tidak jawab pertanyaan Siang Cin.
Loh Bong-hu berseru gusar: "Siang-heng, ganyang saja dia."
Berpikir sejenak Siang Cin berkata: "Sahabat, akan kuberi waktu selama satu
sulutan dupa, bila kau menjawab beberapa pertanyaanku tadi, segera kau boleh
meninggalkan tempat ini."
"Cuh," tiba2 orang itu menghamburkan darah di mulutnya, katanya sambil tertawa:
"Kau . . . . ingin aku menjual Hek-jiu-tong? Haha jangan menilai! Kau ingin aku
menjawab pertanyaanmu, anak muda, boleh kau tunggu bila mentari terbit dari
barat . . . . "
"Ciiiiaaaat" - "Bluk", mendadak telapak tangan Loh Bong-bu mendarat di dada
orang itu, terdengar suara tulang retak dan patah, orang itu meraung
se-keras2nya, gumpalan darah tertumpah dari mulutnya, darah yang tercampur
gumpalan2 merah, karena dada terpukul keras sehingga isi dadanya remuk dan ikut
tersembur keluar.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
125
Siang Cin menghela napas, sekali dorong "Byuuuarr", mayat orang itupun terlempar
keluar jendela dan tercebur ke dalam sungai.
Kun Sim-ti menunduk kepala dan menutup mukanya dengan kedua tangannya di
meja
sana, pundaknya tampak ber-goyang2, dulu dia tidak tahu apa yang dinamakan
kejam, apa yang dinamakan dendam kesumat, sekarang dia dapat meresapinya.
Bahwa derita yang menimpa manusia bukan cuma pukulan batin melulu, derita yang
nyata di depan mata sekarang juga cukup mengerikan dan amat menyedihkan pula,
kiranya demikianlah kehidupan insan persilatan yang kecimpung di Bu lim.
Tanpa bersuara Siang Cin mengawisi jari2nya yang masih membengkak hijau
ke-biru2an, pelan2 dia menggeleng kepala serta berkata: "Hek-jiu-tong dapat
menggembleng anak buahnya sehebat ini, memang bukan kerja yang gampang.
Yang
kusangsikan sekarang apakah setiap anggota Hek-jiu-tong juga keras kepala dan
tak takut mati seperti kedua orang ini?"
Loh Bong-bu berkata sinis; "Siang heng. Cayhe sudah bentrok beberapa kali dengan
orang2 Hek-jiu-tong, aku harus mengakui bahwa mereka memang punya keberanian
yang luar biasa, tapi tidak semuanya demikian."
Bercahaya sorot mata Siang Cin, katanya: "Kalau demikian, Loh cuncu, boleh kita
tandangi Hek jiu-tong secara besar2an, cuma untuk itu, mungkin harus mengalami
banyak kesukaran."
"Cayhe mengerti," ucap Loh Bong-bu baru tapi penuh semangat, "kami harus
bertempur dengan segala kekuatan, kamipun mohon supaya Siang heng suka
membantu."
Tertawa tawar Siang Cin berkata: "Kalau Cayhe sudah berjanji, pasti akan
kutepati sampai titik darah terakhir."
Terhibur hati Loh Bong-bu, lekas dia menjura, sementara seorang tampak berlari
masuk, sekujur badannya berlepotan lumpur, basah kuyup oleh keringat dan air
kotor, langsung dia memburu kearah Loh Bong bu serta berteriak: "Loh cuncu,
mata2 Hek-jiu-tong telah menyelundup ke restoran ini, dua koki dan dan pelayan
restoran mereka gantung di belakang, waktu Tecu beramai menolongnya turun, kami
sempat lihat beberapa orang berlari menyusuri tepi sungai ke arah barat, Te
toa-suheng membawa beberapa orang telah mengejar ke sana, dengan susah payah
akhirnya musuh dapat disusul dan terjadilah baku hantam sengit, baru beberapa
gebrak mereka ngacir pula, Toa-suheng suruh Tecu pulang memberi laporan . . . .
. "
Loh Bong bu mendengus, tanyanya: "Mereka juga perkenalkan diri sebagai anggota
Hek-jiu-tong?"
Dengan napas tersengal2 murid Bu-siang-pay itu mengangguk: "Ya, peminpinnya
seorang yang tidak punya hidung .... perawakannya gemuk . . . ."
Tiba- Siang Cin menepuk paha, sikapnya tampak gelisah dan gugup, katanya:
"Celaka, Loh cuncu, lekas kita susul mereka, kalau terlambat mungkin bisa celaka
semuanya."
Sikap Siang Cin yang gugup membuat Loh Bong bu tegang juga, katanya dengan
nada
curiga:
"Siang heng, apa yang tidak beres?"
Sembari melangkah keluar Siang Cin memberi tanda, katanya ter-gesa2:
"Tinggalkan
beberapa orang tunggu di sini, Loh heng, sisanya yang lain lekas ikut kita,
laki2 gemuk tak berhidung yang di terangkan saudara ini adalah salah satu
pentolan Hek jiu tong, yaitu Ang bin-cu (hidung malam) Kau Hui-hui, orang kelima
dari Hek jiu-tong.""
"Kau hui hui?" Loh Bong-bu mengulang nama yang aneh ini, mendadak dia berpaling,
serunya: "Lo Ce kau pimpin dua puluh Tecu bertugas jaga di sini, sisanya ikut
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
126
aku mengejar musuh."
Ceng yap-cu Lo Ce mengiakan, bayangan orang bergerak, derap orangpun beranjak
keluar, di bawah pimpinan Siang Cin dan Loh Bong bu, dengan cepat sebarisan
orang berlari menuju kebelakang.
Di ujung serambi adalah dapur dan gudang rangsum, di belakang dapur ada
undakan
batu yang menjurus turun ke tepi sungai, dimusim rontok air sungai tak pernah
pasang maka pesisir membentang panjang dengan pasirnya yang menghitam legam,
tapak kaki tampak acak2an di atas pasir menjurus ke arah barat.
Siang Cin membetulkan pakaiannya yang koyak, sakali narik napas, segera ia
melayang ke depan secepat terbang.
"Ginkang yang hebat!" Loh Bong-bu berseru memuji, sambil memberi tanda, bagai
anak panah melesat iapun menyusul dibelakang Siang Cin, sekejap saja kedua
orang
ini sudah melayang jauh ke depan, anak buahnya jauh ketinggalan di belakang.
Pesisir sungai ini berbelak-belok, ada kalanya teraling oleh batu karang yang
menjurus ke tengah sungai, tapak kaki masih tampak acak2an ke arah depan,
sejauh
mata memandang bayangan Te Yau dan lain2 belum lagi kelihatan.
Siang Cin berlari kencang berdampingan dengan Loh Bong-bu mulai menampilkan
rasa
gelisah, diam2 ia seka keringat yang membasahi hidung, katanya gemas: "Te Yau
keparat itu memang sembrono terlalu serakah mengejar pahala dan suka menang
sendiri, kalau sekali ini dia terjungkal, coba nanti kalau aku tidak membeset
kulitnya . . . . . ."
Sambil melompati gundukan pasir Siang Cin berkata, "Anak muda semuanya
demikian,
tapi dengan bekal kepandaian Te-heng, untuk bisa merobohkan dia musuh harus
memeras keringat dalam waktu yang cukup lama juga, untuk ini Loh-heng tidak
perlu kuatir."
Mendadak Loh Bong-bu berteriak kaget, tarnpak di atas pasir di depan sana tiga
orang seragam putih menggeletak di pinggir sungai, muka mereka terbenam dalam
pasir, sekujur badan berlepotan darah, air sungai membasahi tubuh mereka, air
sungai berubah merah, jiwa mereka terang sudah melayang.
Dengan kencang Siang Cin tarik tangan orang serta menyeretnya lari ke depan
tanpa memeriksa ketiga orang itu, gigi Loh Bong-bu gemeretak menahan gejolak
hatinya.
Tanpa berhenti Siang Cin terus seret orang berlari, sikapnya tenang2 seperti tak
pernah terjadi apa2, katanya: "Sudah kulihat, Loh-heng, yang perlu dipikirkan
sekarang ialah cara bagaimana menagih dan mencari imbalan untuk dendam sakit
hati ini."
Menggigit kencang bibirnya, Loh Bong-bu tidak bersuara, mereka berdua harus
mengitari sebuah batu karang besar yang menongol di depan, di balik sana kiranya
adalah rawa dengan rumput gelagah yang tumbuh subur dan membentang luas
sepanjang sungai.
Sekilas memandang. "Nah, itulah," serta merta Siang Cin berseru lirih, berbareng
ia melayang ke sana, kiranya di tengah semak2 rumput sana beberapa bayangan
orang tengah saling tubruk dan bertempur dengan sengit.
Tampak seorang murid Bu siang-pay yang bergelang emas di kepalanya tengah
meronta2 roboh ke dalam air, dadanya berlubang dan berdarah, menyusul seorang
laki2 berpakaian abu2 juga melolong roboh dan kelejetan di tengah semak2,
sebilah golok sabit menembus perutnya, isi perutnya ikut kedodoran keluar.
Siang Cin melompat maju di tengah udara sebelah kakinya sempat menendang jatuh
seorang laki2 kurus berbaju hitam. Masih ada tiga murid Bu-siang-pay yang
bertempur sengit melawan lima orang anak buah Hek-jiu-tong yang berpakaian
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
127
warna-warni.
Sekilas pandang Siang Cin lantas melihat Poan-hou-jiu Te Yau, dengan ilmu
pukulan kebanggaannya Te Yau tengah bertempur mati2an melawan seorang laki2
berpinggang besar, muka penuh daging menonjol dan berperawakan tinggi,
sepasang
mata laki2 itu melotot beringas, sikapnya sadis, yang lebih mengerikan lagi
ialah laki2 besar ini ternyata tidak punya hidung. Dari depan mukanya kelihatan
rata, kedua lubang hidungnya tampak buruk dan menjijikkan.
Laki2 gemuk ini ternyata memiliki kepandaian yang ganas dan keji, iapun main
dengan kepalan tangan, setiap gerak tangannya membawa deru kekuatan yang
dahsyat, tipu serangannya juga aneh dan banyak perubahan, rumput berterbangan,
air muncrat ke sana-sini, Poan-hou-jiu Te Yau sudah terdesak, jelas kelihatan
Poan-hou-jiu Te Yau sudah kewalahan dan tak mampu melawan lebih lama lagi,
meski
sekuat tenaga dia tetap berjuang dengan gigih.
Bagai burung raksasa Siang Cin langsung menubruk ke arah laki2 tidak berhidung
itu, dengan jurus Gwat-bong-ing tangan bergerak maju tapi sebat sekali lantas
ditarik balik pula, cepat laki2 gemuk itu berputar, "bret", tahu2 juga biru yang
dipakainya sobek tepat di depan dadanya,
Tidak kepalang kejut si gemuk, cepat ia melompat mundur, ia menatap tajam ke
arah Siang Cin.
Siang Cin berdiri di tengah lumpur, sapanya sambil unjuk senyum: "Kau Hui-hui,
selamat bertemu."
Daging yang benjal benjol di selebar muka Kau Hui-hui ber-gerak2, dengan gusar
dia tatap Siang Cin sekian lamanya, katanya dengan suara serak pecah seperti
gembreng: "Kau, siapa kau?"
Poan hou jiu sempat ganti napas, dengan serak dia memaki: "Kau Hui-hui, dia
inilah raja akhirat yang akan mengantar nyawamu ke neraka."
Dengan rasa hina dan mengejek Kau Hui-hui berludah, jengeknya: "Katakan, siapa
kau?"
Mendadak sesosok bayangan berkelebat di udara, seringan daun jatuh Loh Bong bu
telah melayang turun, dia mengawasi Te Yau sebentar, tanyanya kereng: "Terluka
tidak?"
Paras muka Te Yau, dia betulkan letak tutup matanya, sahutnya dengan tergagap:
"Tidak, tidak apa2 . . . . "
"Tunggu apa lagi kau di sini, lekas bantu para saudaramu berantas kawanan
binatang tangan hitam itu!" demikian seru Loh Bong-bu gusar.
Te Yau mengiakan dan cepat lompat ke sana. Kau Hui hui melotot, dia maju setapak
ke depan, Siang Cinpun tersenyum, dia juga maju setapak lebih dekat.
Otot hijau yang merongkol di jidat Kau Hui-hui bergerak2, mukanya yang tak
berhidung tampak menjijikan, ia melotot beringas ke arah Siang Cin dan berkata
lantang: "Orang yang berani merintangi sepak terjang Kau Hui hui pasti seorang
yang punya asal-usul, anak muda, sebutkan namamu?"
Sorot mata Siang Cin menatap luka jari2nya yang telah mulai mengering, katanya
tawar: "Naga Kuning Siang Cin dari angkatan muda memberi salam hormat kepada
Cianpwe Kau-longo."
Mata Kiau Hui hui mendelik lebih lebar, lama dia mengawasi Siang Cin kataaya
kemudian" "Orang she Siang, gerangan apa yang menimbulkan hasratmu main2
dengan
orang Hek jiu-tong, apakah sudah kau pikirkan apa akibat dari campur tanganmu
ini?"
Alis terangkat, Siang Cin berkata tenang: "Sudah tentu, paling2 jiwa melayang."
merandek sebentar, lalu disambungnya dengan tertawa: "Tapi, jiwaku ini harus
diimbali, beberapa jiwa kalian, malah bukan mustahil, hm, kau sendiri harus ikut
serta ke alam baka."
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
128
Gigi Kau Hui-hui gemeratak, pada saat itu sebuah jeritan, berkumandang dari
sebelah sana, tapi dia seperti tidak mendengar, katanya pula: "Siang-Cin,, kau
akan menyesal . . . . "
Siang Cin, menjawab: ""Entah sudah berapa tahun dan betapa banyak urusan telah
kubereskan, tapi selamanya Naga Kuning tidak pernah menyesal."
"Hayolah, Kau Hui-hui" Loh Bong-bu meraung tidak sabar: "Biarlah cuncu dari Bu
Siang-pay menghadapimu."
Sekilas ia melirik Loh Bung bu, Kiau Hui-hui berkata sinis: "Orang she Loh, tak
perlu kau menampilkan diri, sudah lama Kiau longo tahu siapa kau keparat ini."
Ditengah gelak tawanya mendadak Loh Bong bu menubruk maju secepat kilat,
sekaligus dia lontarkan sepuluh pukulan dan tujuh belas kali tendangan.
"Ciiiaat" Kau Hui hui menggembor keras, badannya yang besar tangkas luar biasa
berkelit ke samping, sementara kedua telapak tangannya dengan gencar membelah
dan menabas, Serangan balasan ini membawa damparan angin angin kencang,
ekuatannya mampu membelah batu mematah pilar.
Di tengah muncratnya air dan daun yang melayang, golok sabit Loh Bong-bu
menyambar kian kemari, terjadilah pertempuran sengit dengan Kau Hui hui yang
melawan dengan bertangan kosong.
Dengan tawar Siang Cin berkata: "Kau Hui-hui, ilmu pukulanmu nyata memang
lumayan, tapi kurang cepat, ingatlah pertempuran jago kosen mengutamakan
ketangkasan, terpaut sedetik saja akibatnya jiwapun bisa melayang."
Golok Loh Bong-bu bergerak semakin gencar, lincah dan mantap, dengan tangkas
Kau
Hui-hui berkisar ke samping, kedua telapak tangan berputar cepat menimbulkan
gejolak angin keras, jengeknya dingin: "Orang she Siang, kau boleh terjun
sekalian, Kau-longo tidak akan mundur karenanya."
Dengan memicingkan mata Siang Cin saksikan kedua orang saling serang lagi
puluhan jurus, katanya kemudian: "Jangan gelisah saudara, mungkin nanti kau
masih punya kesempatan."
Darah tampak berhambur dari belakang semak2 sana, seorang laki2 berpakaian
warna
hitam dengan sulaman benang putih sebagai hiasan tampak terhuyung beberapa
langkah, mungkin telah kehabisan tenaga, pelan2 dia tersungkor roboh ke dalam
air, di kuduknya tampak merekah besar sebuah luka tabasan golok yang mengerikan,
darah masih menyembur deras, jiwa anak buah Hek jiu-tong ini jelas akan menyusul
teman2nya yang telah mangkat lebih dulu.
Kau Hui hui sedikitpun tidak terpengaruh, seperti tidak mendengar dan melihat,
dia tetap bergerak lincah menempur Loh Bong bu dengan sengit, bayangan mereka
berlompatan naik turun di antara semak2 gelagah, sekejap saja mereka telah
bertempur tiga puluhan jurus.
Dinilai secara menyeluruh, Loh Bong-bu adalah orang pertama dari Hiat ji-bun di
Bu-siang-pay, dalam Bu-siang-pay tingkat kepandaiannya termasuk kelas wahid,
kaum persilatan di utara bila menyinggung nama Cap-kau-hwi-ce (sembilan belas
bintang terbang) pasti akan mengacungkan jempol dan memuji "bagus",
Si-bun-cap-sa-sek, ilmu goloknya dikombinasikan dengan tiga belas biji senjata
rahasia bintang terbang segi enam yang dibuat dari baja asli, entah telah
merobohkan berapa banyak tokoh2 persilatan. Tapi kini menghadapi Kau Hui hui dia
harus menguras tenaga, walaupun lambat-laun sudah menempatkan dirinya di atas
angin.
Jauh di luar semak2 sana terdengar derap langkah orang banyak berlari datang
dengan cahaya kemilau senjata tajam, dua puluhan murid Bu-siang-pay baru
sekarang menyusul tiba, dengan golok sabit mereka membabat rumput dan
membuka
jalan maju ke-semak2 cepat sekali sisa2 orang2 Hek-jiu-tong yang masih hidup
telah terkepung oleh mereka.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
129
Tiba2 Kau Hui-hui bergontai ke kanan kiri, ketika golok lawan menyambar lewat,
berbareng ia pun menghantam sambil bersuara keras memberi aba2: "Anak2 tangan
hitam, lekas lari"
Empat anak buah Hek-jiu-tong bagai memperoleh pengampunan serentak
mengembor
sambil angkat langkah seribu ke arah semak2 yang lebih lebat.
Golok sabit Poan-hou-jiu Te Yau sempat membacok tempat kosong, teriaknya
bengis:
"Setengah lingkar, cepat!"
Beberapa murid Bu-siang-pay yang tengah mengudak serentak berhenti, cepat
mereka
menyingkir kedua samping mengambil posisi setengah lingkaran, Te Yau diam
sejenak mengawasi keempat orang Hek-jiu-tong yang lari seperti dikejar setan
itu, mendadak ia memekik panjang, tumbak bersula di tangannya tiba2 meluncur
bagai lembing memecah udara, dua puluhan murid Bu-siang-pay serentak juga
menimpukkan tumbak masing2, keempat orang Hek-jiu-tong yang sedang lari itu
satu
persatu melolong terus roboh berkelejetan kesakitan di tengah semak, entah
kepala, punggung, kaki tangan keempat orang itu sama tertusuk tumbak bersula,
sebelum ajal mereka tetap berusaha melarikan diri, namun rasa sakit tak tertahan
lagi darah mereka mewarnai air yang sudah keruh ini.
Di bawah rangsakan golok sabit Loh Bong-bu, Kau Hui-hui terus bertahan dengan
serangan balasan yang gencar, dia tahu kematian seluruh anak buahnya, tapi
tampangnya yang kelihatan beringas sadis itu sedikitpun tidak menampilkan rasa
murka dan dendam, gerak-geriknya tetap tangkas, meski air merendam sebatas
lutut, mereka terus mengembangkan kegesitan masing2 dan saling labrak dengan
sengit kembali tiga puluh jurus telah berselang.
"Kau Hui-hui," Siang Cin berseloroh dengan menggosok telapak tangan, "apa kau
tidak ingin menyelamatkan jiwa?"
Mendadak Kau Hui-hui melancarkan pukulan dahsyat Siang jong-ciang dikala Loh
Bong-bu melompat berkelit, dia berkata dengan menyeringai: "Siang Cin, kalau
Kau-longo ingin pergi, kalianpun tak kuasa merintangi."
"Sudah tentu," Siang Cin mengedip mata, "tapi kau boleh coba."
Cap-kau-hwi-ce Loh Bong-bu menghardik lantang, golok sabit membabat ke
kanan-kiri lalu membacok naik-turun, begitu gencar dan ganas rangsakannya, hawa
di sekitar gelanggang seperti berpusar menimbulkan angin lesus, denging suara
yang timbul dari sambaran goloknya laksana tangisan setan. Inilah jurus ilmu
golok Tan-hun-liok-hoan ( enam gelang mega mendung ) dari Liong-hun-cap-sa-sek
yang lihay.
Dengan gelak tertawa Kau Hui-hui melompat naik turun, serunya: "Loh Bong-bu,
beginilah baru memenuhi seleraku."
Mendadak golok menusuk lurus kedepan, pada hal bagian atas tubuh Loh Bong-bu
doyong ke belakang, namun dalam gerakan singkat itu, entah bagaimana tahu2 tiga
benda sebesar kepalan tangan, yaitu bintang segi enam kemilau biru laksana kilat
melesat mengincar leher perut dan selangkang Kau Hui hui, baru saja ketiga
bintang terbang ini berkelebat di udara, kembali ia menimpuk lagi tiga bintang
terbang dan mengincar kanan kiri kepala musuh.
"Heit," tiba2 Kau Hui-hui melompat ke atas, badannya yang besar bagai gentong
air itu melayang ke samping, kedua tangannya berbareng memukul, di tengah
samberan bintang2 yang lebat, dengan golok sabit tergigit di mulut Loh Bong-bu
ayun tangan ber-ulang2, tiga belas biji bintang terbang memancarkan cahaya biru
berhamburan seperti hujan.
Kau Hui-hui yang terapung di udara tampak bergetar sekali, tiba2 dia menggeliat,
bagai anak panah terlepas dari busurnya tubuhnya melenting beberapa tombak
jauhnya.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
130
Siang Cin menyeringai, serunya: "Kau-longo, kau takkan bisa lolos." Di tengah
kumandang suaranya, Siang Cin terus menubruk ke arah Kau Hui hui.
Kau Hui-hui masih berusaha menahan tubuhnya di udara, sekilas tampak mukanya
telah berubah pucat menghijau, kedua matanya melotot berdarah ke arah Siang Cin.
sekali menyendal lengan kanan, seutas sabuk sutera tiba2 melecut kencang ke
depan, sabuk ini ternyata berisi terbagi beberapa ruas yang diikat kencang,
laksana ular hendak membelit tubuh Siang Cin.
Siang Cin tertawa ejek, telapak tangannya berkelebat dengan kecepatan tinggi,
berbareng dia miringkan tubuh ke kanan.
Sabuk itu tiba2 berbunyi bagai ledakan, kabut putih seketika berhamburan di
udara, begitu dihembus angin seketika melebar bagai kabut tebal tapi bersamaan
dengan itu terdengar pula rintihan tertahan, meski lirih masihi sempat didengar
Siang Cin, lekas dia menahan napas serta berteriak: "lekas menyingkir."
Dengan bergerak melawan arah angin Siang Cin melambung setingginya, dari
tempat
ketinggian ia menyapu pandang sekelilingnya, orang Bu-siang pay di bawah tampak
lari pontang panting menyingkirkan diri, semua menutup mulut dan hidung
sementara Loh Bong-bu berusaha mengitari kabut dan mengudak musuh.
Di tengah udara Siang Cin mendatarkan tubuh dan berputar lambat2 dengan kedua
tangan terpentang, sementara kedua kaki memancal, tubuhnya yang kurus seketika
meluncur bagai anak panah, matanya tidak lepas mengawasi keadaan semak2
sekitarnya, tapi setelah bubuk kapur putih sirna tertiup angin, kecuali rumput
yang bergontai tertiup angin, mana lagi ada jejak musuh.
Dengan ringan Siang Cin melayang turun, berdiri diam dan pasang kuping
mendengarkan dengan seksama, arus sungai di kejauhan terdengar gemercik,
suasana
sunyi senyap, entah di mana si hidung merah menyembunyikan diri.
Terlihat Loh Bong-bu lari mendatangi, katanya dengan napas memburu: "Siang-heng,
kau melihat dia?
Siang Cin menggeleng, katanya: "Mungkin melarikan diri dengan menyelam kalau
Kau
Hui hui tidak jaga gengsi, tentu dia sudah selulup dan berenang ke tengah
sungai"
Loh Bong-bu mengawasi air keruh dan berbau busuk, kalau harus lari dengan
menyelam di air seperti ini, wah, cukup nekat juga dia . . . . "
"Demi menyelamatkan jiwa sudah tentu Kau Hui-hui tidak peduli air kotor atau
berbau," ucap Siang Cin tertawa.
"Hahaha," Loh Bong bu bergelak tertawa, katanya: "Siang heng, menurut
pandanganku keparat tak berhidung itu agaknya terluka."
Siang Cin manggut2, katanya: "Betul, dia terkena tiga biji bintang terbangmu.
Loh-heng, kepandaian menimpuk senjata rahasia yang kau yakinkan sungguh hebat
dan dapat dikatakan sebagai ahli."
Lekas Loh Bong-bu goyang tangan, katanya: "Mana, permainan begini mana dapat
disebut sebagai ahli? Dihadapan Siang-heng mana berani kuterima pujian yang
berlebihan."
"Loh-heng jangan merendahkan diri sendiri, sekarang silakan Loh-heng menoleh ke
belakang .......
Dengan ragu2 Loh Bong bu menoleh, seketika berubah air mukanya. Ternyata
tempat
pertempuran di mana tadi Kau Hui-hui menebar bubuk kapur putih, tetumbuhan
rumput telah layu menguning, permukaan air yang keruh itu dilapisi kapur putih
yang ikut terombang-ambing oleh riak air, di antara kapur putih yang terapung
itu tampak bangkai ikan dan udang. Hanya sekejap saja kadar racan bubuk putih
itu telah memperlihatkan kekuatannya yang ganas.
"Keji amat . . . . " Loh Bong-bu mendesis dengan mengertak gigi.
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
131
Siang Cin menepuk pundaknya, katanya: "Tak usah marah, Loh-heng, beginilah
permusuhan dan pertempuran, sesungguhnya apa yang kita lakukan tadi juga tidak
kalah ganas daripada musuh."
Menyarungkan golok sabitnya Loh Bong-bu berkata: "Tapi kan harui ada batasnya,
kekejaman orang2 Hek-jiu-tong boleh dikatakan sudah melampaui takaran."
Siang Cin tak bersuara lagi, di sana Poan hou-jiu tengah ber teriak2 dan lari
datang, "Cuncu, kami harus pulang atau terus mengudak musuh?"
Loh Bong-bu mendelik ke arah anak murid Bu siang-pay yang masih berdiri
menjublek, semprotnya dongkol: "Nasib kalian lebih mujur, hayo lekas urus
saudara2 yang gugur, kenapa melamun. . ." Te Yau membungkuk sambil mengiakan,
ia
memberi gerakan tangan dan memimpin anak buahnya mengundurkan diri.
Mengawasi
mereka pergi, Loh Bong-bu menghela napas, katanya: "Lima orang kembali gugur
dalam pertempuran ini . . . . Ai, mereka adalah anak2 pilihan dari padang
rumput..."
Pelahan Siang Cin beranjak ketepi, katanya: "Mati atau hidup soal biasa,
Loh-heng, sudah kodrat alam, siapapun takkan terhindar. Cuma ada perbedaan
dalam
cara saja bagi masing2 orang, tapi akhir dari segala yang berbeda inipun sama
juga ......."
Sepanjang jalan kedua orang terus berbincang hingga memasuki restoran, tiga
jenazah murid Bu siang pay sudah dibawa pulang, waktu mereka menaiki undakan
restoran, Ceng-yap-cu Lo Ce memapak maju, katanya serak dengan menahan suara:
"Lapor Cuncu, tadi kedatangan petugas hukum dari pejabat setempat, maka menurut
hemat Tecu lebih baik kita lekas berangkat, dengan obat khusus bikinan kita
Yong-ki-hoe-kut-san (puyer pelebur tulang) Te-suheng telah mencairkan ketiga
jenazah saudara . kita yang gugur tadi . . . ."
"Sudah dimasukkan dalam kaleng belum?" tanya Loh Bong-bu.
"Sudah disimpan baik2," sahut Ceng- yap-cu dengan suara tersendat.
Loh Bong-bu mengangguk lalu ajak Siang Cin masuk ke dalam, Gui-poancu yang
bertubuh gerrbrot dengan koki dan pelayannya sama duduk di kursi pojok sana
dengan melamun. Loh Bong-bu mendekatinya, begitu melihat wajah Loh Bong-bu
yang
kereng, seketika gemetar si gendut, katanya dengan suara gemetar: "Loh-ya . . .
. engkau orang tua . . sukalah . . . . memberi ampun . . . . "
Loh Bong-bu memapahnya bangun, katanya ramah: "Tak usah takut, Lo Gui,
peristiwa
ini bukan salahmu, aku tahu kau diancam mereka, kalau aku sendiri juga terpaksa
berbuat demikian"
"Apa . . . . apa benar bukan salah hamba?" si gendut masih gemetar. "Loh-ya,
hamba memang diancam. Dia . . . . mengancam leherku dengan belati. . . pelayan
dan koki juga mereka belenggu dan digantung. . . . lalu menuang bubuk merah ke
dalam hidangan . . . . hamba tahu pasti musuh tuan menaruh racun dalam makanan,
tapi . . . . ai, hamba memang pantas mampus, hamba tidak berani buka mulut,
belati yang tajam kemilau itu terasa seperti masih mengancam tenggorokan.…
kedua
orang itu bilang, kalau hamba berani membocorkan rahasia ini, akan . . . . akan
disembelih.
"Sekarang kau tidak usah takut lagi," ucap Loh Bong-bu tertawa, "orang2 itu
sebagian besar sudah tak bisa melihat matahari lagi. Nah, Lo Gui, sediakan pula
hidangan yang tiada racunnya."
Gui-poancu mengiakan, dua pelayannya segera memapahnya berdiri, koki diperintah
menyiapkan hidangan baru, sambil menunggu masakan Loh Bung-bu berkata
kepada
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
132
Ceng-yap-cu: "Tadi apakah sudah kau bereskan kedua mayat orang Hek-jiu-tong?"
Kata -Lo Ce dengan tersenyum: "Sudah tentu, untuk mayat kedua orang itu telah
menghabiskan setengah botol obat bubuk milikku."
Tak lama kemudian tampak Gui-poancu muncul dengan penuh keringat membawa
daging
panggang, ayam panggang, ikan goreng dan lain2 yang dijinjing kedua pelayannya
di atas baki besar, si gendut juga menenteng keranjang yang berisi bakpao yang
masih mengepul hangat, setelah menaruh hidangan di atas meja, si gendut berkata
dan mohon maaf: "Loh-ya, inilah sisa yang semula siap untuk jualan besok,
persediaan tidak lengkap, silakan tuan2 makan seadanya, mumpung masih panas,
kalau sudah dingin rasanya tidak enak . . . . . . . . " lalu dia comot sebuah
bakpau terus digerogoti lebih dulu, setelah menelan beberapa kerat bakpao,
dengan tertawa dia berkata pula: "Rasanya cukup enak, tidak beracun . . . . . .
Mengawasi si gendut Loh Bong-bu tertawa, katanya: "Lo Gui, kau memang
pedagang
yang cerdik, hatimupun baik." Sambil melirik Ceng-yap-cu Lo Ce, Loh Bong-bu
menambahkan: "Lo Ce, suruh saudara2 kita lekas tangsal perut, selekasnva kita
harus berangkat."
Lo Ce mengiakan, dengan teratur anak murid Bu-siang-pay mulai sibuk makan dan
minum sekenyangnya, saat mana tampak Te Yau bersama beberapa murid Busiang-
pay
yang kelihatan kehabisan tenaga beranjak masuk, badan masih berlepotan darah
dan
lumpur, tampak lesu dan berduka cita, langsung mereka mendekati meja mengambil
makanan masing2 dan dimakan tanpa bicara.
Semula Loh Bong-bu sudah siap mendamperat mereka, tapi melihat keadaan
mereka
terpaksa dia urungkan maksudnya, sementara itu dengan suara pelan Siang Cin
ceritakan kejadian barusan kepada Pau Seh-hoa dan lain2, Pau Seh-hoa lantas
berkomentar: "Kelompok orang2 Hek-jiu-tong memang pengecut, kalau merasa kuat
mereka melawan dengan gigih, kalau merasa kewalahan lantas ngacir, aku orang
she
Pau merasa sebal dan kesal bila lihat tampang mereka, kalau luka2ku sudah
sembuh
nanti, coba saja kalau tidak kucari mereka dan mengganyangnya habis2an."
Loh Bong-bu berduduk pula, katanya tertawa: "Mengganyang orang2 Hek-jiu-tong
berarti melatih tinjumu, baiklah engkau pasti akan memperoleh bagiannya."
Dalam sekejap hidangan sebanyak itu telah dimakan habis, si gendut dengan
langkah cepat membawa keluar poci teh yang hangat serta mengisi cawan masing2,
sebelum dia membalik, Loh Bong-bu telah menyuapkan sebuah kantong kulit kecil ke
telapak tangannya, si gendut lantas tertawa berseri, sejenak jari2nya bergerak
meraba dan memijat, dia lantas tahu bahwa isi kantong adalah lima belas bentuk
uang emas murni.
Si gendut bergelak tertawa, katanya sambil munduk2: "Ai, masa sebanyak ini,
padahal pelayanan yang sederhana, tapi Loh-ya telah membayar seroyal ini, ai,
memangnya . . . . "
Loh Bong-bu tertawa, katanya: "Tak usah sungkan, terima saja, hari ini mungkin
kau sudah dibikin ketakutan setengah mati."
Dengan tertawa lebar si gendut menjura terus mengundurkan diri, cepat sekali dia
sudah keluar pula menyuguhkan teh ke meja2 lain, seorang diri dia telah
menyuguhkan teh pada lima puluhan tamu-tamunya.
Kata Siang Cin setelah termenung: "Setelah meninggalkan Ho-thau-toh, Loh heng,
ke mana, pula tujuan selanjutnya?"
Kata Loh Bong-bu lirih: "Memasuki daerah Hek-yang menyusuri sungai menuju ke
hulu, tiba di Hu-than-san, pada sebuah kelenteng bobrok kita akan bergabung
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
133
dengan dua kelompok kawan kita, lalu langsung menyerbu ke sarang Hek-jiu-tong."
"Berapa luasnya Hu-thau-san?" tanya Siang Cin.
"Tidak begitu besar, luasnya sekitar tiga li, letak kelenteng bobrok itu di
sebelah sayap kiri gunung di belakang hutan cemara, dulu dinamakan Lo kun san,
sekarang keadaannya sudah tak terurus lagi, beberapa tahun yang lalu pernah aku
lewat di sana."
Berpikir sejenak Siang Cin, berkata: "Tiga puluh li setelah melewati Hu-yang-ho
akan tiba Cap-ji-koay, pusat sarang Hek-jiu-tong, Cayhe belum pernah ke sana,
tapi pernah kudengar bahwa tempat itu terkenal sangat berbahaya, pihak
Hek-jiu-tong kini tentu sudah menambah kekuatan penjaganya, maka kita semua
harus membuat suatu rencana penyerbuan yang betul2 baik dan sempurna."
Loh Bong-bu mengangguk, Kata Siang Cin lebih lanjut: "Menggempur musuh
ditempat
yang jauh akan banyak makan tenaga kita sendiri dan akan banyak menimbulkan
kerugian, maka menurut pendapat Cayhe, lebih baik gunakan akal menyelundup
kesarang musuh untuk menimbulkan keributan di dalam sarang mereka, apalagi
beberapa kawan Cayhe ini perlu perawatan baik disuatu tempat yang tenteram . . .
. . "
"Kongcu," teriak Pau Seh hoa, "jangan kau menggunakan cara yang bodoh ini, dapat
bergerak tidak aku cukup tahu sendiri, memangnya perlu kau pikirkan tempat aman
persembunyian diriku segala?"
"Hm," jengek Siang Cin, "jangan kau bertingkah, ini bukan tugas melancong
menonton keramaian seminggu lagi akan kucoba kepandaianmu, kalau kondisimu
sudah
pulih, aku pasti takkan merintangi kau."
Sudah tentu Pau Seh-hoa menggerutu, dia terus menggeragot sebuah bakpau dan
melalapnya dengan mendongkol.
Cepat sekali mereka sudah makan kenyang, di bawah aba2 Loh Bong-bu,
barisanpun
segera meninggalkan restoran, setiba di jalan raya luar kota, kuda mulai
dilarikan, karena perut kenyang, orang dan kuda sama bersemangat tinggi,
maklumlah, perjalanan ke depan lagi akan lebih sukar di tempuh.
- - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - -
Dengan cara bagaimana Siang Cin akan membantu pihak Bu-siang-pay mengobrakabrik
Hek-jiu-tong ?
Rahasia apa di balik peristiwa permusuhan Hek-jiu-tong dan Bu-siang-pay yang
menyangkut kisah cinta anak murid mereka itu ?
Bacalah jilid ke- 8 –
Jilid 08
Hu-yang-bo mengalir dengan tenang di musim rontok yang hampir berakhir ini,
suasana terasa sunyi, salju akan turun tak lama lagi. Alam seakan kelabu, gunung
gemunung tinggi menjulang ke angkasa dibalut kabut tebal.
Cap-kau hwi ce Loh Bong bu menghentikan kudanya, dia memeriksa sekitarnya, Huyang
bo di sebelah kiri, sebelah kanan adalah hutan gundul, empat puluhan murid2
Bu siang pay dengan kuda mereka menyelinap ke dalam hutan, itulah sebuah
jalanan
yang tidak begitu lebar dan bercabang dua jurusan. jalan sebelah kiri memanjang
miring ke sebuah bukit batu yang curam, dilihat dari kejauhan tak ubahnya
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
134
seperti sebuah kampak raksasa.
Siang Cin bercokol di punggung kuda berwarna cokelat, setelah membersihkan
kotoran di badannya, kini dia mengenakan jubah kuning kemilau, wajahnya yang
masih pucat mulai bersemu merah, sinar matanya begitu terang dan cerah.
Sambil mengerut kening Loh Bong-bu berkata: "Mengitari daerah hutan gundul
sebelah kiri itu, perjalanan akan lebih dekat ke Hu thau-san. Lokun san terletak
di tengah hutan di bawah gunung itu, Hu-than san mirip kepala orang yang botak,
tapi beberapa pucuk pohon masih dapat tumbuh di situ . . "
Siang Cin berkata tenang: "Menyusur Hu- yang-ho dan tiba di Hu-than-san, jarak
ke Cap-ji-koay kurang dari tiga puluh li, di sini sudah termasuk daerah yang
sering turun hujan, bergerak di daerah seperti ini harus lebih hati2 dan waspada
kedua kelompok Bu siang pay kalian yang lain tentunya sudah tiba di sana."
Loh Bong bu mengangguk sahutnya: "Dua bulan yang lalu, hanya terpaut beberapa
waktu saja kami meninggalkan padang rumput, kecuali tertunda sepuluhan untuk
menempatkan kawan2 Siang-heng di tempat yang aman, selama ini perjalanan tidak
pernah tertunda, kukira mereka pasti sudah tiba lebih dulu."
Siang Cin, mengawasi kedua tangannya yang kini telah mengenakan sarung tangan
kulit menjangan, katanya kemudian: "Mari, maju lebih lanjut, kalau tiada alangan
apa2, pastilah bala bantuan kalian sudah tiba Ehm, setelah sepuluh hari merawat
diri, kesehatanku terasa sudah pulih, bagi pihak Hek-jiu-tong tentu hal ini
adalah kabar jelek"
Loh Bong bu bersiul sekali, kuda dikeprak ke depan, katanya sambil menoleh:
"Sudah tentu, terutama selama sepuluh hari ini Cayhe telah membuat sebuah peta,
dengan susah payah membuat pula dua belas Toa liong kak, kalau orange Hek
Jiu-tong tahu, pasti pecah nyali mereka."
Siang Cin juga larikan kudanya pelan2, Loh Bong-bu berkata pula: "Siang-heng,
mungkin kau tidak tahu betapa sukarnya membuat dua belas Toa-liong-kak sesuai
dengan permintaanmu, tak boleh lebih panjang, atau lebih pendek meski satu mili,
tidak boleh lebih tebal. juga tidak boleh lebih tipis, bagian yang tajam juga
harus diasah, di tengah batangan harus diukir Naga, untuk membuatnya dengan
baja
murni sungguh sukar dicari, untung di Thay-goan-hu berhasil kukumpulkan sembilan
pandai besi, lima hari lima malam mereka kubayar lipat untuk menyelesaikan
permintaanmu, tapi sekali kau coba ternyata masih kau cela, bobotnya kurang
berat, Wah, serba berabe . . . . . . . "
Memandang jauh ke puncak Hu-than-san, kata Siang Cin: "Untuk membikin
Toa-liong-kak, caranya memang lain daripada yang lain dan tak pernah kubocorkan
kepada siapapun, kalau bukan lantaran untuk menghadapi Hek jiu tong, sebetulnya
Cayhe tidak ingin cepat2 rnembikinnva lagi, selama ber-tahun2 orang yang
membikinkan Toa-liong-kak yang kuperlukan adalah seorang pandai besi tua yang
dulu pernah menjadi kepala pandai besi di istana raja, hasil karyanya memang
luar biasa, dan yang terpenting adalah pandai besi tua ini selamanya tutup
mulut, tak pernah membocorkan rahasa pembuatan Toa-liong-kak."
Loh Bong-bu bertanya ragu2: "Siang-heng, ada satu hal yang tersiar di kalangan
Kangouw entah benar . . . . . . ..
"Soal apa, katakan saja," sahut Sing Cin.
"Konon orang yang pernah ajal dibawah Toa liong-kak Siang-heng itu jumlahnya
sudah mencapai lima ratus lebih, malah tidak sedikit di antaranya adalah jago2
ternama dari Bu-lim . . . . . . "
"Tidak sebanyak itu," ucap Siang Cin, "tapi kalau tiga ratusan mungkin ada . . .
. . . . "
Rombongan berkuda itu kini beranjak di tegalan berumput yang jarang dilalui
manusia, kecuali suara berisik rumput yang terinjak, hanya suara embusan angin
sepoi2. Tidak lama kemudian, Hu-thau-san yang gundul tampak berdiri menjulang
itu semakin dekat, ada beberapa pucuk pohon yang setengah hijau setengah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
135
menguning daunnya kelrhatan tumbuh di celah2 batu di atas bunung, dipandang dari
kejauhan, tanah pegunungan yang kelabu, penuh mirip sekali dengan warna tulang
manusia yang mulai membusuk.
Siang Cin tak bersuara di punggung kudanya, wajahnya kaku, kuda yang berjalan
naik turun menyebabkan badannya ikut bergontai, biji matanya nan bening
memancarkan cahaya yang kemilau. .
"Apa yang kau pikirkan Siang-heng?" tanya Loh Bong-bu.
" Kun Cici," sahut Siang Cin dengan blak2an.
"Kun cici?" Loh Bong-bu melengak, tapi segera dia ketawa geli, katanya: "Apakah
nona pendiam karena luka terbakar itu.?"
Siang Cin mengangguk, sahutnya: "Betul, memang dia."
Seperti biasa suka mengelus jenggotnya, Loh Bong-bu tertawa: "Apakah kalian
saling mencintai?"
Sekilas melirik, Siang Cin berkata pelahan: "Ya, sudah sejak beberapa tahun yang
lalu."
Tanya Loh Bong-bu dengan heran : "Kalau demikian, kenapa kalian tidak menikah?"
Siang Cin mengebaskan lengan baju, katanya lirih: "Loh-heng, cinta bukan suatu
hal yang mudah untuk dilanjutkan menjadi suami isteri, masih banyak sebab dan
aral rintangan, ada yang nyata, ada pula yang tak kelihatan . . . . . "
Siang Cin menjilat bibir, lalu tanyanya: "Dan kau Loh-heng, kau sudah menikah?"
Loh Bong-bu menghela napas, katanya: "Terus terang, sudah sepuluh tahun aku
berkeluarga, sudah punya dua anak, laki dan perempuan."
"Loh-heng, memang kau lebih beruntung," ucap Siang Cin dengan tulus.
Loh Bong-bu menghela napas, katanya: "Ai, tapi itu merupakan beban yang tidak
ringan, beban keluarga merupakan beban lahir batin, kalau tidak, sejak beberapa
tahun lalu aku sudah mewarisi jabatan Lan-cian-tong Cuncu dari Bu-siang-pay
kami."
"O." hanya sepatah ini keluar dari mulut Siang Cin, dia tidak bicara lagi, dia
tahu apa tugas Lan-cian-tong dari Bu-siang-pay, yaitu tugas khusus mengurus
keluar masuknya rangsum, hasil pertanian dan peternakan suku bangsa mereka di
padang rumput nan luas itu.
Padang rumput adalah tanah warisan Bu-siang-pay turun temurun, sawah ladang
berlaksa ha, ternak tidak terhitung banyaknya, setiap tahun pada waktu yang
telah ditentukan mereka menjual hasil panen mereka keluar perbatasan, dibarter,
dengan barang2 keperluan suku bangsa mereka se-hari2, itulah tugas khusus
Lan-cian-tong. Dalam Bu-siang-pay, Cuncu Lan-cian-tong amat terpandang dan kaya
raya pula. tapi kerjanya cukup berat, berbahaya lagi, setiap tahun lebih sering
tugas keluar dan jarang kumpul dengan keluarga.
Barisan kuda mulai mengitari kaki bukit, di sini ada lereng, batu yang menjulur
jauh ke sana laksana naga terbang menembus awan, di bawah batu2 raksasa. yang
bergelantung itulah letak kelenteng bobrok di kaki bukit, pohon2 beringin yang
sudah tua dan besar berbaris di depan kelenteng.
Loh Bong bu menghentikan kudanya, dengan cermat dia awasi kelenteng bobrok itu
dari kejauhan, sesaat kemudian baru dia berkata: "Siang-heng, tiada tanda apa2
di kelenteng itu, mungkin kedua kelompok barisan bantuan kami belum tiba menurut
waktu yang ditentukan?".
Siang Cin memandang ke depan dengan tenang, katanya kalem: "Tujuh hari
menurut
ketentuan sudah lewat, mereka seharusnya sudah tiba lebih dulu, betapa besar
kekuatan gabungan dari kedua kelompok barisan itu, umpama kebentrok dengan
pihak
Hek jiu-tong juga, tak mudah kalah dalam waktu singkat, apalagi hal ini tak
mungkin . . . . "
"Siang-heng, memang mungkin, tapi juga sukar,"
Hek- jiu-tong tak boleh main2 terhadap mereka, Thi-ji-bun dipimpin langsung oleh
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
136
Liat-hwe kim-lun Siang Kong ceng sebagai Cuncunya. Demikian pula Wi-ji-bun
dipimpin sang Cuncu Hwi-ih Kim Bok, Anak buah sang cuncu ada Tok-ciang, Thi tan
dan Hek-oh cu, sementara anak buah Kim cuncu ada Ang oh, To-hu dan Lo-kian-tui,
semuanya adalah jago2 kosen yang sukar dilayani, kalau Hek-jiu-tong ingin
merobohkan mereka, ha, mungkin cuma mimpi di siang bolong .. . . .."
"Ya, aku cuma kira2 saja," ajar Siang Cin tertawa.
"Nama Bu-siang-pay betapa besarnya, sudah lama Cayhe mendengar"
Loh Bong-cu tertawa rikuh, katanya: "Ai. Siang-heng. mungkin apa yang kukatakan
terlalu takabur, harap Siang-heng jangan kecil hati. Cayhe kira Hek jiu-tong
adalah kawanan badut yang tidak perlu ditakuti. . . . . . ."
"Hek jiu-tong tidak perlu dikuatirkan," ucap Siang Cin, "hanya saja kita tidak
boleh memandang rendah musuh, Loh-heng, sekarang silakan suruh orangmu
memeriksa
ke sana, kemungkinan rombongan kedua barisan itu sengaja sembunyi di dalam
kelenteng.
Diam2 panas muka Loh Beng cu, lekas dia menggapai ke sana, Poan hou-jiu Te Yau
segera datang menghadap.
"Te Yau," kata Loh Bong bu, "gunakan isyarat dan cari huhungan dengan orang di
dalam kelenteng, kalau tiga kali tanda rahasia tidak memperoleh jawaban, itu
tandanya terjadi perubahan, kalian harus cepat bergerak menggerebek kelenteng
itu."
Te Yaw mengangguk dan segera bedal kudanya, semua orang sama mengawasi dia
melarikan kudanya keluar hutan.
Tiba2 terdengar suara lengking panjang yang berkumandang, mirip ringkik kuda
juga seperti lolong serigala.
Siang Cin tahu inilah cara untuk saling memberitahu jejak masing2 dari
Bu-siang-pay yang turun temurun, dengan tenang dia menunggu reaksi dari sebelah
depan, sementara Loh Bong-bu di sebelahnya kelihatan menahan napas dengan
tegang.
Maka terdengarlah suara lolong panjang yang sama bergema menyambut lolong tadi,
tapi bukan berkumandang dari kelenteng dan bukan dari dalam hutan, tapi bergema
dari celah2 lembah di sebelah kiri bukit, di mana tumbuh pepohonan yang lebat.
Akhirnya Loh Bong- bu menarik napas panjang, dengan lega dia tertawa katanya:
"Lo Siang dan keparat she Kim itu memang pandai permainkan orang, tidak kumpul
di tempat yang ditentukan, malah sembunyi di lembah yang dingin, bukankah
menyiksa diri sendiri malah?"
Sejenak mendengarkan pula dengan cermat, akhirnya Siang Cin berkata: "Mungkin
ada terjadi apa2 sehingga mereka harus ganti batuan dan menyembuniykan diri di
sana Loh-heng, mari kita temui mereka."
Loh Bong-bu manggut2, ia memberi aba2 terus keprak kudanya maju bersama Siang
Cin, tampak Pon-hoan jiu sedang bedal kudanya mendatangi, serunya: "Lapor
Cuncu,
orang kita sudah tiba, tapi sembunyi di lembah .. ....."
Sambil mengiakan Loh Bong bu membedal kudanya ke arah lembah, empat puluhan
kuda
ikut berlari di belakangnya, derap kaki kuda yang gemuruh menggebu bukit dan
menimbulkan gema yang keras.
Mengitari kelenteng bobrok itu mereka menyusuri jalanan kecil yang biasa dilalui
pencari kayu, maka tampak sebuah lembah sempit yang diapit dinding gunung tinggi
se-olah2 Iembah ini hasil dari bacokan kampak raksasa, mulut lembah penuh semak
belukar, kalau tidak diperhatikan sukar juga untuk mencari jalan masuknya, tapi
puluhan laki2 berkuda dengan seragam yang sama telah muncul di mulut lembah,
dengan tangkas mereka menyingkirkan perintang yang sengaja mereka atur di mulut
lembah itu.
Loh Bong bu melompat turun dan teriaknya: "Di mana Siang dan Kim-cuncu?"
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
137
Puluhan laki2 itu beramai memberi hormat kepada Loh Bong bu, belum sempat
mereka
menjawab dari dalam lembah sudah berkumandang gelak tawa yang keras, lalu lima
orang tampak keluar.
Lima orang ini dipimpin seorang laki2 tua berwajah bersih berperawakan kurus
tinggi, jenggotnya sudah memutih perak, seorang lagi di sebelahnya berwajah
merah, matanya besar terang, sikapnya gagah perkasa. Melihat kedua orang ini Loh
Bongbu lantas tertawa ter-bahak2, serunya: "Kalian tua bangka yang belum mampus
ini, bukankah kelentleng bobrok itu lebih nyaman daripada lembah lembab ini?
Main sembunyi segala, bikin kami kuatir saja."
"Paras elok, memang kau sok membual, kau sendiri datang terlambat, sepanjang
jalan aku sudah banyak menderita kelaparan dan kedinginan, kau tidak menghiburku
tapi malah mengoceh tak keruan, kau harus dipukul."
Laki2 muka merah juga cekakakan, katanya: "Betul, memang harus dihajar, belasan
hari kami berkuatir bagimu, kalau kau tidak tahu diri begini, lebih baik kami
sembunyi saja supaya kau keparat ini mencari ubek2an."
Loh Bong-bu mendekati mereka dan berjabatan tangan, katanya: "Memangnya kau
kira
rombongan kami tidak menderita? Kalian datang diam2, kami harus berjalan
terang2an, golok tajam orang2 Hek-jiu tong seluruhnya ditujukan padaku, sedang
kalian enak2 langsung tiba di sini dengan aman, pahala menghancurkan musuh
kelak
harus diserahkan seluruhnya padaku."
Orang tua berjenggot putih memukul pundak Loh Bong-bu, katanya tertawa: "Jangan
mengagulkan diri, ketahuilah selama belasan hari ini orang2 Hek jiu tong telah
lima kali menggeledah daerah ini? Di tengah jalan pernah juga bentrok dengan
barisan pelopor kita, tiap waktu kita harus menunggu sambil menahan napas, kami
juga kuatir bila musuh mengirim orang2nya mencegat kalian, kalau sampai
demikian, kelak Ciangbunjin pasti akan mendamperat kami, lebih celaka lagi
binimu itu bisa minta ganti suami padaku."
Laki2 muka merah ter-gelak2, katanya: "Sebelum berangkat, binimu itu pesan
wanti2 padaku agar memperhatikan kesehatanmu, jangan sampai kedinginan dan
telat
makan, jaga badan dan lekas pulang dan banyak lagi, haha . . . . " mendadak dia
berhenti tertawa, dia menatap Siang Cin yang berdiri di belakang. Dengan
terseyum Siang Cm mengangguk.
Loh Bong-bu baru ingat, cepat ia berteriak: ""ah, aku jadi lupa dan telantarkan
tamu agung. He, kawan, biar kuperkenalkan kalian dengan seorang tokoh besar."
Siang Cm melangkah maju, laki2 tua berjenggotpun memapak maju, katanya sambil
menjura: "Siang Kong-ceng, pejabat Thi-ji-bun Bu-siang-pay."
Laki2 muka merah juga maju sambil merangkap kedua tangan, katanya: "Wi-ji-bun
Kim Bok dari Bu-siang pay"
Siang Cin membungkuk dengan gayanya yang lembut, katanya: "Cayhe Siang Cin."
"Apa?" si jenggot perak Siang Kong-ceng dan si muka merah Kim Bok sama
berteriak, keduanya tanya berbareng: "Siang Cin, Siang Cin si Naga Kuning?"
"Tidak berani, memang Cayhe adanya," sahut Siang Cin.
Kedua tangan Loh Bong-bu menepuk pundak Siang Kong-ceng dan Kim Bok,
katanya
dengan tertawa: "Meski dunia ini sangat luas, masa ada dua si Naga Kuning Siang
Cin? Hahaha, kalian tua bangka ini mimpipun tak pernah menyangka bukan?"
Siang Kong-ceng menggeleng kepala, sekian lama dia mengawasi Siang Cin, ia
bergumam: "Siang Cin si tangan gapah sangat terkenal di Bu lim, tentang wataknya
yang nyentrik, dingin dan angkuh lagi, semula kukira dia berparas jelek dan buas
. . . ."
Kim Bok juga berkata tergagap: "Tidak nyana dia masih semuda ini . . . . . . "
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
138
"Jangan menilai orang dari wajah dan usianya, kalau bicara soal gagah perkasa,
kau tua bangka she Kim ini boleh menjadi pelopornya."
Siang Cin tertawa, katanya: "Sudah lama Loh-heng menyebut nama besar kalian,
kaum persilatan umumnya juga sangat kagum terhadap kalian, hari ini dapat
bertemu, sungguh Cayhe sangat gembira dan amat bangga."
Hwi-ih ( si sayap terbang ) Kim Bok membuka mulut tapi urung bicara, seperti
senang tapi juga kikuk. Sementara Liat-hwe-kim-lun ( si roda emas berapi ) Siang
Kong-ceng mengelus jenggot, katanya: "Siang-lote terlalu memuji, nama kami
berdua meski digabung mungkin belum ada setengahnya ketenaranmu, terutama
tidak
kusangka bahwa engkau masih begini muda."
"Siang-cuncu terlalu memuji," ucap Siang Cin, ""Cayhe hanya bernama kosong saja.
. . . . . ""
Loh Bong-bu lantas menarik Siang Kong-ceng dan Kim Bok ke samping serta
ber-bisik2 kepada mereka, belum lagi Siang Kong-ceng memperlihatkan reaksinya,
Kim Bok lantas berjingkrak dan tergelak2: "Siang-lote, jadi kau datang hendak
membantu kami? Bagus sekali, biarlah kita berjuang berdampingan, setelah
berhasil merebut kembali puteri Ciangbunjin, orang she Kim akan ajak kau minum
seratus cangkir."
Siang Kong-ceng mendekat dua langkah, katanya sambil menjura dalam2: "lote,
terima kasih akan kesudianmu membantu."
Cepat Siang Cin balas menghormat, katanya: "Inilah kewajiban setiap insan
persilatan, menghadapi kelaliman siapapun pantang berpeluk tangan, buat apa
pakai terima kasih segala?"
Siang Kong-ceng tertawa, serunya sambil menoleh: "Pek-yang, Siu-cu, Piau-cu,
hayo kalian berkenalan dengan Siang-tayhiap."
Tiga orang yang sejak tadi berdiri di belakang itu kini maju bersama, seorang
berwajah pucat, sorot matanya hijau mengkilat seperti kunang2, pemuda ini
menjura serta memperkenalkan diri: "Jan Pek -yang."
Siang Cin pandang pemuda ini dengan tajam, dia tahu, pemuda ini adalah Tok-ciang
(si pukulan sakti) dari Thi-ji-bun yang terkenal aneh wataknya dan berangasan
lagi.
Di sebelah Jan Pek-yang adalah pemuda yang bersikap angkuh, alis tebal dengan
bibir tipis, dia memberi hormat dan berkata: "Thi-tan (peluru besi) Ang Sin cu."
Menyusul laki2 bertubuh tambun berkulit hitam dengan selebar mukanya mengkilap
berminyak tertawa lebar, suaranya kasar serak: "Aku ini Khu Hok-kui, Hok artinya
rejeki, Kui artinya agung."
Siang Cin balas menjura, ketiga orang lantas mundur pula ketempatnva semula.
Sambil mengelus jenggot Loh Bong-bu berkata dengan heran: "Lo Kim, mana anak
buahmu, kenapa satupun tidak kelihatan?"
Kim bok mendengus, katanya: "Memangnya harus gegabah seperti kau? Mereka
membawa
orang menyebar ke Cap-ji-koay, kalau Hek-jiu-tong boleh mengintip gerak-gerik
kita, kenapa kita tidak mengawasi tingkah laku mereka?"
Dengan kuatir Loh Bong-bu berkata: "Si jagal dan jenggot merah berwatak jelek,
jangan2 menggagalkan urusan .. . . "
Kim Bok mendengus: "Dia berani? Sudah kupesan Lo-kian-tui untuk mengawasi dia,
setiap gerak geriknya harus patuh akan petunjuk Lo-kian-tui."
Berpikir sebentar, Loh Bong-bu berkata pula: "Berapa banyak anak buah yang
kalian bawa kemari?"
"Masing2 seratus orang," sahut Kim Bok.
"Lalu berapa orang yang ditugaskan ke Cap-ji-koay?" tanya Loh Bong-bu pula.
Siang Kong-ceng tertawa, dia mewakili Kim Bok menjelaskan: "Seluruh anak
Thi-ji-bun yang datang kemari telah dikerahkan semuanya, hanya dia seorang yang
masih ber-malas2an di sini." - Sampai di sini Siang Kong-ceng berpaling ke arah
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
139
Siang Cin, katanya: "Siang-lote, silahkan masuk ke lembah dulu untuk istirahat."
"Betul," seru Loh Bong bu sambil menyeret Siang Cin, katanya sambil berjalan:
"Memang gegabah, kenapa hanya berdiri makan angin di luar?" lalu dia berpaling
dan berkata: "Te Yau, panggil anak2 masuk ke lembah, suruh Jan Pek-yang ikut
mengatur . . . .
Murid2 Hiat-ji-bun di bawah pimpinan Te Yau mulai membagi diri, Tok-ciang Jan
Pek yang ikut mengatur. maka suasana yang semula hening menjadi ramai oleh
gelak
tawa mereka.
Melewati mulut lembah yang sempit dan tertutup oleh semak2 dan dahan2 pohon,
akhirnya mereka memutar lagi kebelakang sebuah batu gunung, batu yang menonjol
ini kebetulan mengalangi sebuah mulut gua setinggi manusia, gua ini tidak dalam,
mulutnya sempit tapi di dalam cukup lebar, lantainya dialasi rumput kering yang
tebal, keadaan agak gelap, enam obor besar tertancap dl dinding.
Mereka, masuk gua dan berduduk. Mengawasi sekeliling gua Loh Bong-bu bertanya:
"Gua ini buntu?"
"Bukan saja buntu, lembah di sinipun lembah mati, sementara murid2 yang lain
terpaksa pasang tenda di luar."
"Aku tahu, waktu nasuk tadi kulihat anak2 tersebar di mana2, tubuh sama
dibungkus selimut, meski tidak berisik tapi mereka bersendau gurau dengan riang
gembira."
"Siang-cuncu," tiba2 Siang Cin menyeletuk, "penjagaan di sekitar sini apakah
sudah diatur baik2?"
"Dan kuda ditaruh di mana?" Loh Bong-bu menambahkan.
"Ada sepuluh tempat penjagaan di sekeliling lembah, juga sudah diatur belasan
rintangan di sepanjang jalan Hu-thau-san di tempat yang berbahaya, kalau malam
nanti belum juga mulai beraksi, anak2 Hiat ji-bun kalian harus bergilir jaga.
Sementara kuda kami sembunyikan di dalam lembah"
"Menurut hematku, malam ini juga dipilih beberapa orang untuk menyelundup ke
Cap
ji koay mencari tahu keadaan di sana, besok pagi kita tentukan waktunya yang
tepat untuk menyerbu ke sarang musuh."
Siang Cin mengangguk, katanya pelahan: "Lebih baik kalau malam nanti dikerahkan
seluruh kekuatan, karena untuk menyelundup ke Cap ji-koay tanpa diketahui musuh
terang tidak mungkin, lebih baik sekaligus terjang saja, dengan kerja sama luar
dalam kita sapu habis seluruh musuh."
"Sayap Terbang" Kim Bok berkeplok gembira, serunya: "Aku setuju usul Siang-lote,
sekian hari kita sembunyi di lembah ini, tentu orang2 kita sudah bosan dan gatal
pula tangannya, bagaimanapun juga berilah kesempatan untuk melampiaskan
kekesalan mereka."
Sambil melonjorkan kakinya Loh Bong-bu berkata: "Kalau malam ini juga beraksi,
aku harus tidur sebentar, demikian pula anak2 Hiat-ji bun perlu waktu untuk
memulihkan tenaga, tak lama lagi hari pun akan gelap."
Pelan2 Loh Bong bu merebabkan diri tapi baru saja kepala menyentuh jerami,
mendadak dia berjingkrak bangun pula, serunya seperti ingat sesuatu: "Lo Siang,
permainan khusus yang kita bikin itu apa sudah kau bawa lengkap?"
"Sudah kubawa lengkap," ajar Sang Kong-ceng sambil tertawa, "setiap orang kuberi
jatah satu sabuk berminyak bakar, tiga biji granat belirang, sepuluh batang
panah yang sudah direndam minyak, ditambah lagi Bian-hok-ci-cu (labah2) satu
dos, semua itu cukup untuk membuat geger seluruh penghuni Cap ji koay . . . . "
Menarik napas lega pelan2 Loh Bong-bu merebahkan diri pula, sementara Siang Cin
juga memejamkan mata, dalam hati dia berpikir: "Hek-jiu-tong biasanya pandai
bertempur secara gerilya, licik dan ganas pula, tapi berhadapan dengan tamu2
dari padang pasir ini mungkin mereka takkan memperoleh keuntungan, apalagi
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
140
perlengkapan yang dibawa Bu-siang-pay ini serba aneh, keji dan cukup
memusingkan
musuh,"
Tengah berpikir, tiba2 Siang Kong-ceIg berpaling ke arahnya dan menutur: "Bian
hok-ci cu adalah serangga berbisa yang hanya tumbuh di pegunungan Tiang-peksan,
selamanya tak pernah dia keluar dari sarangnya, badannya putih, kira2 sebesar
jari tangan, bila kulit daging orang tergigit, daliam waktu enam jam seluruh
badan akan membengkak hitam dan mati setelah air kuning berbau busuk
merembes
keluar dari pori2. Tapi di mana ada Bian-hok-ci-cu disekitarnya pasti tumbuh
sejenis rumput aneh dengan buahnya yang coklat dan dua lembar daunnya,
buahnya
yang coklat itu mengeluarkan bau harum memabukkan, dalam jarak beberapa
tomhak
dapat tercium, kalau buah itu ditumbuk dan dihaluskan menjadi bubuk, ditambah
gula dan dimasak menjadi sirup, bila orang memakannya, Bian-hok-ci-cu takkan
berani mendekat, malah kalau disentuh dengan tangan, dia segera mengkeret . . .
. "
Seperti ingat apa2 Siang Cin berkata: "Kenapa buahnya tidak dimakan langsung,
tapi harus dimasak dengan gula dan dijadikan sirup?"
Kim Bok tertawa, katanya: "Siang-lote, setiap makhluk di dunia ini satu sama
lain saling mengatasi, di luar sarang Bian-hok-ci-cu pasti tumbuh rumput sejenis
itu, maka binatang berbisa ini selamanya mengeram dalam sarangnya, setapakpun
tak berani keluar."
"Kalau demikian, selaih dapat untuk menjaga gigitan labah2 itu, apakah buah
itupun dapat menawarkan racun lainnya?"
"Khasiatnya sama," sahut Siang Kong-ceng, "sangat mujarab, kami namakan buah
coklat ini Ceng-ci."
Kim Bok menyela: "Sekali memakannya, khasiat sirup Ceng-ci ini dapat bertahan
sepuluh tahun tanpa kuatir digigit Bian-hok-ci-cu, untung kanii memiliki obat
mujarab ini, kalau tidak, kolesom yang tumbuh subur di Tiang-pek-san siapa yang
berari memetiknya." "
Bicara sampai di sini dengan keras Kim Bok bertepuk tangan dua kali, bayangan
seorang berkelebat di luar gua, seorang pen»uda perawakan tinggi melangkah
masuk, dengan membawa sebuah mangkok porselin hertutup.
"Lote," ucap Siang Kong-ceng, "sirup Ceng-ci sudah tersedia, silakan kau
meminumnya."
Siang Cin berdiri, dari tangan pemuda dia terima mangkok itu serta membuka
tutupnya, bau harum seketika merangsang hidung, dia menghirup napas panjang
serta mengawasi sirup berwarna kehijauan di dalam mangkok sebentar, lalu
menenggaknya habis.
"Bagaimana rasanya?" tanya Siang Kong-ceng tertawa.
"Em, manis dan semerbak." sahut Siang Cin.
"Mulai sekarang," ucap Kim Bok dengan muka merah, "Bian-hok-ci-cu hanya khusus
ditujukan kepada orang2 Hek-jiu-tong saja."
Semua orang sama bergelak tertawa. Tidak lama datanglah hidangan malam, ada
ayam
panggang, dendeng dan makanan kering lain, sekaleng arak keras meski rasanya
kurang sedap, tapi harum dan membakar tenggorokan.
Setelah kenyang makan, haripun sudah gelap, angin pegunungan mengembus
kencang
hawa mulai dingin, hujan gerimis lagi.
Dalam gua sempit orang telah bersimpuh, memejamkan mata menghimpun
semangat dan
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
141
tenaga, di luar gua, ratusan murid Bu-siang-pay juga sibuk mempersiapkan diri,
mereka berteduh dalam kemah, yang kasihan adalah orang yang bertugas jaga,
mereka hanya membalut badan dengan selimut yang cukup tebal.
Sang waktu terus merambat tanpa terasa, sementara angin semakin kencang,
hujanpun semakin deras.
Obor yang tertancap di dinding gua semakin pendek, bau asapnya semakin
menyesakkan napas. Siang Kong-ceng yang duduk bersila tiba2 membuka mata,
sekilas dia melirik keluar gua, mendadak dia tepuk tangan dua kali, katanya
lantang: "Hai, waktunya sudah tiba."
Loh Bong-bu mendahului melompat berdiri, lalu menggeliat, ia masih ngantuk,
katanya: "Begini cepat, jam berapa sekarang?"
"Mendekati kentongan pertama," ujar Siang Kong-ceng, "baiklah kita bekerja
sesuai rencana tadi, selundupkan beberapa kawan ke sarang musuh untuk
membikin
onar, sementara barisan besar siap menyerbu dari luar, semoga berhasil menyapu
habis komplotan jahat itu serta merebut kembali puteri Ciangbunjin."
"Cuaca bagus," ujar Lob Bong bu sambil melongok keluar gua.
"Ya, angin kencang dan gelap gulita lagi," kata Kim Bok.
"Siang-lote," kata Clang Kong-ceng kepada Siang Cin, "adakah persoalan yang
belum sempat kau bicarakan?"
Siang Cin menggeleng, maka Siang Kong-ceng tepuk tangan tiga kali pula, seorang
murid Bu-siang-pay berlari masuk, setelah membetulkan pakaian putihnya, Siang
Kong-ceng berkata dengan lantang dan kereng: "Perintahkan Jan Pek yang menarik
seluruh murid yang dinas jaga, beritahukan pula kepada Ang Siu-cu untuk
mengumpulkan semua orang di luar lembah, dalam waktu setengah sulutan dupa
lagi
Lo Ce harus pimpin sepluluh orang membuka jalan ke arah Cap ji-koay, beritahu
mereka supaya memeriksa perlengkapan, dua sulutan dupa kemudian barisan besar
harus berangkat."
Murid Bu-siang-pay itu mengiakan terus mengundurkan diri, sementara empat orang
dalam gua juga sibuk bebenah, sambil menerima sebuah sabuk minyak sepanjang
tiga
kaki Loh Bong-bu bertanya kepada Siang Cin: "Siang heng, Caybe ingin tanya,
apakah selamanya kau tidak pernah menggunakan senjata?"
"Sampai sekarang ini memang belum pernah memakai senjata," sahut Siang Cin.
"bukan Cayhe suka mengagulkan diri, soalnya permainan senjata Cayhe belum
sempurna, kalau pakai senjata rasanya kurang leluasa, lebih baik bertangan
kosong saja "
Siang Kong ceng melirik ke arah Siang Cin, katanya prihatin: "Siang-lote terlalu
rendah hati, kukira bila Lote menggunakan senjata, kepala musuh bisa kau penggal
seperti membabat rumput ...."
"Senjata Lote tentu luar biasa," timbrung Kim Bok, "sekali dikeluarkan pasti
menggemparkan Bulim.
"Hanya besi karatan, apa artinya?" sahut Siang Cin tertawa.
Di luar gua mulai terdengar suara berisik dan langkah orang banyak diselingi
ringkik kuda, barisan sudah mulai bergerak, tujuannya adalah Cap-ji-koay, sarang
utama Hek jiu-tong.
Bayangan seorang tiba2 muncul di mulut gua, itulah Thi-tan Ang Siu-cu, alisnya
yang tebal bertaut kencang, serunya: "Lapor Cuncu bertiga, segala persiapan
sudah sempurna, tinggal tunggu perintah untuk berangkat."
Siang Kong-ceng mengangguk, tanyanya: "Apakah Pek-yang dan murid2 yang dinas
jaga sudah kembali?"
"Seluruhnya sudah siap di luar lembah menunggu perintah," sahut Ang Siu-cu.
Siang Kong ceng menyapu pandang tiga orang yang lain dalam gua, Siang Cin
hanya
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
142
tersenyum saja, sementara Loh Bong bu dan Kim Bok sama mengangguk, Siang
Kong-ceng lantas berseru: "Perintahkan segera berangkat, murid2 Thi ji-bun di
tengah, Hiat-ji-bun paling akhir, kau dan Pek-yang masing2 di sayap kanan dan
kiri, hati2 jangan sampai membuat gaduh dan mengagetkan musuh."
Thi tan Ang Sin-cu mengiakan terus mengundurkan diri, mantel putihnya melambai
tertiup angin, betapa gagah dan tegap langkahnya.
Barisan berkuda terus berpacu ke depan, di sebelah kanan mengalir Hu-yang-ho
dengan airnya yang kemilauan.
Liat- hwe-kim lun Siang Kong ceng mendekati Siang Cin, katanya lirih: "Setengah
jam lagi akan tiba Cap ji-koay menurut laporan beberapa murid siang tadi,
jalanan tempat itu terdiri dari dua belas jalan yang melingkar ke atas gunung,
para petani di sekitair sini menamakan gunung itu sebagai Pik-ciok-san, karena
gunung itu hanya batu2 cadas hitam melulu, di puncak gunung ada sebuah
perkampungan besar yang berlapis dengan tembok2 sebagai benteng, di sanalah
pusat Hek-jiu-tong . . . . . . ."
Termenung sebentar, Siang Cin berkata: "Belum pernah kupergi ke Cap-ji-koay,
tapi dari namanya dapat diduga pasti sangat rumit, pihak kalian belum lagi jelas
seluk-beluknya, tapi didesak oleh keadaan, terpaksa harus menempuh bahaya,
bahwa
mereka mendirikan perkampungan dengan batu2 besar, maka senjata berapi kalian
mungkin kurang bermanfaat."
"Soal ini tak usah dikuatirkan," ujar Siang Kong ceng, "dalam perkampungan
Hek-jiu-tong pasti ada bangunan dari kayu atau bambu, kalau di luar tidak bisa
dibakar, membakar yang di dalam kan sama juga."
Loh Bong-bu menyusul maju, katanya lirih: "Ada murid yang kembali memberi
laporan tidak? Tempat tujuan sudah hampir sampai."
Siang Kong-ceng menjawab: "Belum ada, mungkin sebentar lagi,"
Tengah bicara, dari arah depan terdengar kuda mendatangi.
Barisah tidak berhenti dengan kecepatan sama terus laju ke depan, kedua
penunggang kuda tadi menarik kendalinva hingga kuda berdiri dengan kaki
belakang, setelah berputar sekali lalu maju ke samping Siang Kong-ceng, salah
satu yang berbadan agak gemuk berkata dengan cepat: "Lapor Cuncu, penjagaan
orang2 Hek-jiu-tong di Cap-ji-koay amat ketat, pos penjagaan tersebar di-mana2,
barisan rondapun hilir mudik, enam jalan menuju Cap ji-koay terang benderang
oleh sinar obor, sementara enam jalan berliku yang lain gelap gulita, tapi
perkampungan di puncak bukit terang benderang, bayangan orang banyak kian
kemari
seperti ada perayaan, ramainya bukan main."
Siang Kong-ceng mendengus, tanyanya: "Apakah mata2 yang ditugaskan menyusup
ke
sarang musuh tidak ketahuan jejaknya?"
"Tidak," sahut orang itu, "musuh belum tahu .. ."
"Lekas kembali dan beritahukan mereka supaya lebih waspada, jangan
sembarangan
bertindak, barisan besar segera akan tiba, suruh mereka siap tempur," seru Siang
Kong-ceng.
Murid gemuk itu mengiakan, lalu memberi tanda kepada temannya, kedua kuda
kembali dibedal pergi ditelan kegelapan. Keadaan ternyata jauh daripada
perhitungan semula, mungkinkah Hek-jiu-tong mengadakan pesta besar2an pada
saat
situasi segenting ini? Memangnya muslihat apa yang tengah mereka atur?
Siang Kong-ceng memeras otak, sesaat baru dia bergumam: "Apakah mereka
sengaja
mau memperlihatkan bahwa mereka tidak jeri? Ataukah memberi peringatan kepada
kita bahwa mereka tidak gentar sedikitpun?" Tiba2 Siang Cin yang ada di samping
BARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI
143
berkata:, "Menurut dugaanku mungkin mereka sedang mengadakan pesta
pernikahan."
Siang Kong-ceng melengak, katanya dengan air muka berubah: "Apa…..? Kau
bilang
mereka sedang mengadakan pesta pernikahan?"
Loh Bong-bu juga bingung katanya tergagap: "Siang-heng, maksudmu . . . . ."
"Betul," ucap Siang Cin, "kukira Ji ih kim-kiam Khong Giok-tik yang menculik
puteri Ciangbujin kalian itu tengan melangsungkan pesta pernikahan, malam ini
mereka menikah menjadi suami isteri."
Sekian lama Siang Kong-ceng melongo, mendadak dia berjingkrak murka: "Tidak
mungkin terjadi, Khong Giok-tik sedang bermimpi, mimpi yang kosong."
"Anak domba yang sudah berada di mulut harimau memangnya bisa berbuat apa?"
ujar
Siang Cin.
"Tapi Yang-ji berhati keras dan suci bersih, dia takkan menyerah begitu saja
seperti gadis lemah umumnya . . . . " Siang Kong-ceng marah2.
"Memang, justeru di sinilah letak persoalan ini. Nikah adalah urusan dua orang,
harus suka sama suka dan tak mungkin main paksa, kalau putri Ciangbunjin kalian
tidak setuju dikala upacara berlangsung dia menangis dan meronta di depan umum,
tentu Khong Giok-tik akan kehilangan muka"
"Jadi maksud Siang-heng, Yang-ji suka rela?" tanya Loh Bong-bu.
"Cayhe tidak berani bilang begitu," kata Siang Cin sambil larikan kudanya.
Pucat muka Siang Kong-ceng, katanya dengan gregeten: "Harus dicegah, perbuatan
kotor dan gila, mereka memaksa dan mengancam seorang gadis yang lemah,
keparat .
. . . "
 
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/09/cerita-dewasa-abg-amoy-bara-naga-3.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Dewasa ABG Amoy : Bara Naga 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/09/cerita-dewasa-abg-amoy-bara-naga-3.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 24 komentar... read them below or add one }

hendri prastio mengatakan...

artikelnya bagus sekali sob,,menambah pengetahuan dan wawasan.. terima kasih banyak atas sharenya..semoga selalu menciptakan karya" terbaiknya,,,dan ditunggu UPDATEan terbarunya sob,,,pokoknya mantap deh! keren buat blog ente ! dan saya mohon dukungannya sob buat lomba kontes SEO berikut:
Ekiosku.com Jual Beli Online Aman Menyenangkan
Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia
terima kasih atas dukungannya sob,, saya doakan semoga ente selalu mendapatkan kebaikan,, dan terus sukses!! amin hehe sekali lagi terima kasih banyak ya sob...thaks you verry much...

Ace Maxs mengatakan...

mantap nih sob critanya

Ace Maxs mengatakan...

crita yg cukup menarik

Obat alami kanker payudara mengatakan...

crita yg inspiratif

Obat Maag mengatakan...

di tunggu updatean barunya

cara pemesanan Jelly Gamat Gold G mengatakan...

artikel yang bagus dan bermanfaat..makasih buat infonya

Cara Pemesanan Jelly Gamat mengatakan...

Menarik sekali..
Artikel yang Anda berikan sangat bermanfaat,,
salam semangat..

Obat Kolesterol Tinggi hebal mengatakan...

terima kasih telah berbagi berita nasional yang telah anda berikan.
salam sejahtera Indonesia

Pengobatan penyakit naag mengatakan...

Waw rasa ngantuk saya jadi hilang setelah baca artikel bapak,, makasih pak!!!!

gejala rematk mengatakan...

share nya semoga bermanfaat dan bertambah lagi ilmunya !!! trimakasih atas infonya pencerahan baru untuk say

jual jelly gamat gold g mengatakan...

Thanks atas artikelnya, makin nambah wawasan saya

Obat rematik mengatakan...

terima kasih telah berbagi berita nasional yang telah anda berikan.
salam sejahtera Indonesia

Jelly Gamat Gold mengatakan...

ceritanya manteppppp

baju muslim hyeongnim mengatakan...

nama pemerannya orang cina ya, kirain apa

suratan makna mengatakan...

mantabb banget sob.

Obat Hipertensi mengatakan...

makasih informasinya
salam sehat selalu .

Suplemen Pembakar Lemak mengatakan...

Makasih infonya guys..
http://goo.gl/sJuXNQ

Obat Hipertensi mengatakan...

Terimakasih Informasinya ..
http://goo.gl/voadAK

Agen Bola Promo 100% SBOBET IBCBET Casino Poker Tangkas Online mengatakan...

waduh..jadi ingat kho ping ho hehehe

manfaat xamthone untuk jantung mengatakan...

manfaat xamthone untuk jantung

obat jantung berdebar mengatakan...

Obat jamtun koroner
Obat jamtun koroner

Unknown mengatakan...

panjang sekali ceritanya bikin mata ngantuk jadinya,,,

Ramuan Herbal Untuk Maag Kronis

Anonim mengatakan...

ciri ciri wanita yang tidak subur ( sulit hamil / mandul )

obat penguat tulang sendi mengatakan...

Obat Herbal Penguat Tulang Sendi
triflex capsule green world

Posting Komentar