Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 25 Februari 2012

Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4

"Habis, pertanyaan-pertanyaanmu aneh-aneh saja, sih. Kalau ada sesuatu di hatimu, katakanlah terus terang, Suheng. Bukankah kau tadi mengajak aku untuk bicara dari hati ke hati? Aku tahu bahwa engkau masih terkejut karena keputusan Subo yang tiba-tiba menjodohkan kita. Apakah kau hendak bicara tentang ini? Ataukah tidak setuju dan terpaksa menerima karena takut kepada Subo?"

Nah, rasakan sekarang! Keng Hong menundukkan mukanya seperti seorang pesakitan mendengarkan tuduhan-tuduhan hakim. Akhirnya dia memberanikan hatinya, mengangkat muka memandang wajah yang jelita itu dan berkata, "Terus terang saja, Suoi. Memang hal itulah yang membuat hatiku bingung bukan main. Karena berhutang hati kepada Subo yang telah menyelamatkan nyawaku, pula karena mengingat bahwa Subo adalah isteri Suhu yang tentu saja berhak mewakili Suhu, bagaimana aku berani membantahnya?"

"Jadi engkau tidak setuju dan engkau tidak suka kepadaku, Suheng ?"

"Wah-wah-wah, nanti dulu, Suoi. Disaksikan oleh langit dan bumi yang dapat kita lihat sekarang ini, sama sekali tidak demikian. Aku suka sekali kepadamu, Sumoi, dan untuk ke dua kalinya aku bersumpah bahwa belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis secantik, sepandai dan semulia engkau. Aku suka kepadamu, akan tetapi bukan hanya karena suka orang lalu bisa menjadi suami isteri. Eh, apakah engkau cin... cinta kepadaku, Sumoi?" Keng Hong ingin menampar mulutnya sendiri untuk keluarnya pertanyaan ini, akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia hanya dapat memandang muka gadis itu yang kini mengerutkan kening dan bibirnya diruncingkan, agaknya berpikir keras!

Keng Hong menanti jawaban yang memutuskan ini. Kalau sumoinya ini terang-terangan menyatakan cinta kepadanya, berati dia kalah dan harus bertekuk lutut tanpa syarat lagi! Karena kalau sumoinya ini mencintanya, tentu dia tidak akan tega untuk menghancurkan hati dan hidupnya, dan dia akan menyerahkan diri, pasrah bongkokan membiarkan hidungnya diikat dan dituntun seperti kerbau ke meja sembahyang pernikahan! Diam-diam dia berdoa agar gadis itu menjawab sebaliknya!

Sampai lama Yan Cu tidak menjawab, melainkan mengerutkan alis dan matanya memandang jauh ke puncak Pegunungan Cin-ling-san yang tertutup awan. Tiba-tiba ia menoleh, sinar matanya seperti dua cahaya menembus dahi Keng Hong dan bertanya,

"Cia-suheng! Apakah engkau mencinta gadis lain??"

Keng Hong tersentak kaget dan matanya terbelalak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tersangka-sangka seperti datangnya ujung pedang yang menusuk ulu hati. Ia tergagap dan menjawab seperti orang dikejar harimau atau seperti maling konangan,

"Eh... wah... ini... eh itu...wah bagaimana ya? Ya begitulah, Sumoi. Begitulah..."

"Begitu-begitu bagaimana, Suheng? Engapa tidak terus terang saja? apakah ini namanya bicara dari hati ke hati?"

Keng Hong mengangguk-angguk dan menelan ludahnya, baru bisa bicara. "Memang benarlah, Sumoi. Aku telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Maafkan Sumoi. Aku telah berterus terang, sekarang kuminta Sumoi suka berterus terang pula. Apakah Sumoi cinta padaku?"

Wajah gadis itu berubah agak cepat, sapai lama ia menatap wajah tapan di depannya itu, lalu bertanya, "Dan gadis itu.apakah dia juga mencintamu?"

Keng Hong menggeleng kepala. Sejenak terjadi perang dihatinya. Dahulu memang Biauw Eng mencintanya, bahkan mengaku cinta di depan ibunya sendiri, di depan banyak tokoh, secara terang-terangan.

Akan tetapi dalam pertemuan terakhir, Biauw Eng telah menyatakan benci kepadanya! Apakah bedanya antara cinta dan benci? Sukar membedakan kalau dia teringat akan sikap Biauw Eng.

"Tidak, dia malah... membenciku, Sumoi!"

Gadis itu menunduk, agaknya menahan senyum karena kembali ia merasa geli hatinya melihat sikap dan mendengar jawaban Keng Hong merendahkan kepalanya untuk mengintai muka yang tunduk itu, keningnya berkerut dan dia menuntut,

"Kenapa kau tertawa, Sumoi? Kau malah menertawakan aku yang dibenci padahal aku mencinta sedangkan dahulu aku yang benci dia dan dia mencintaku dan..."

Tiba-tiba Keng Hong sendiri tak dapat menahan ketawanya melihat betapa gadis itu terbatuk-batuk menahan ketawa dan keduanya lalu tertawa-tawa sambil memegangi perut karena geli!

"Wah, kalau begini terus kita berdua bisa gila, Suheng!" Gadis itu menahan ketawa sambil mengusap air matanya. Saking geli hatinya ia tadi tertawa sampai keluar air mata.

Keng Hong juga mengusap dua butir air mata yang dia tidak tahu lagi apakah karena tertawa ataukah karena hatinya sakit mengingat Biauw Eng. "Baiklah, Sumoi. Memang seharusnya kita berdua sebagai manusia-manusia sadar, membicarakan urusan perjodohan kita ini sebelum terlanjur. Percayalah, Sumoi. Andaikata di sana tidak ada gadis itu yang aku tidak tahu entah cinta entah benci kepadaku, demi Tuhan, ajakan perjodohan ini akan kusambut dengan kebahagian besar sekali..Karena itu, agar urusan ini dapat kita pecahkan bersama dengan kesadaran sehingga yang aku lakukan adalah hal yang sudah kita ketahui jelas dan tidak secara membuta, katakanlah sesungguhnya apakah engkau cinta kepadaku!"

"Aku mengerti maksudmu, Suheng dan hal ini malah menambah kekagumanku kepadamu. Engkau laki-laki yang jujur dan memang sebaiknya berterang begini,apalagi menghadapi urusan perjodohan yang akan mengikat kita satu sama lain untuk selama hidup.

Tentang cinta, terus terang saja aku sendiri tidak tahu dan tidak mengerti. Aku suka kepadamu, Suheng, dan kiranya kalau dipaksa harus memilih di antara seribu orang pemuda untuk menjadi jodohku, tanpa ragu-ragu lagi aku akan meilihmu. Akan tetapi tentang cinta...? Hemmm, Suheng, mungkin engkau yang lebih berpengalaman daripada aku dapat menjelaskan, apakah sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana? Aku tidak tahu bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu apakah aku cinta kepadamu atau tidak? Coba kaujelaskan padaku, Suheng. Apa sih cinta itu?"

Keng Hong mengerutkan alisnya. Berabe, pikirnya. Itu bukan jawaban namanya! Dan dia malah harus memberi kuliah tentang cinta, sedangkan dia sendiri mengenai urusan cinta kasih masih kelas nol! Urusan cintanya dengan Biauw Eng saja kacau balau tidak karuan. Akan tetapi, dia harus menjawab! Maka dia lalu mengurut-urut dahinya seperti aksi seorang guru besar hendak memberi kuliah,

"Cinta? Apa itu yang dinamakan cinta? Hemmm... cinta itu asmara... cinta itu kasih, cinta itu sayang... hemmm, cinta itu ya cinta, aku sendiri pun tidak mengerti!" Ia memandang wajah Yan Cu yang semenjak tadi mendenarkan penuh perhatian seolah-olah pandang matanya tergantung pada bibir Keng Hong. Ketika mendengar kaliat terakhir ini, Yan Cu terkekeh dan mencubit lengan Keng Hong dengan gemasnya, sampai Keng Hong teraduh-aduh kesakitan.

"Engkau mempermainkan aku, Suheng!" kata Yan Cu gemas.

"Wah, lihat kulit lenganku sampai biru. Kau memiliki kuku yang lebih jahat daripada kuku Ang-bin Kwi-bo!"

Mereka berdua kembali tertawa-tawa geli. "Aihhh, kiranya orang yang hendak kumintai kuliahtentang cinta juga menghijau, tidak lebih pintar dan tidak lebih bodoh dari aku sendiri. Suheng, apakah pernikahan harus disertai cinta?"

Kembali Keng Hong memasang muka sungguh-sungguh. "Harus! Mutlak! Syarat utama!"

"Tapi engkau tidak tahu apa itu cinta!"

"Cinta sukar dimengerti, hanya dapat dirasakan oleh hati." Keng Hong membantah.

Yan Cu bangkit berdiri dab berjalan maju lima langkah. Pakaiannya yang berwarna kuning terbuat dari sutera halus itu berkibar tertiup angin, juga rambutnya berkibar. Indah sekali pemandangan ini. Cantik jelita luar biasa gadis ini! Keng Hong benar-benar kagum dan kembali dia menghela napas. Kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng. Kemudian dia mendengar dara jelita itu bernyanyi, suaranya merdu sekali dan kata-kata dalam nyanyian itu membuat Keng Hong bengong terlongo :

"Cinta kasih asmara begitu indah mempesona begitu rumit berbahaya manis mengatakan madu pahit mengatakan empedu dapat mencipta sorga juga menyeret ke neraka!

Cinta kasih asmara perpaduan rasa mesra suka sayang dan iba. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya Ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya Ingin mengikat dan diikat hidupnya Harus mencakup seluruhnya satupun tak boleh kurang Lengkap mendatangkan bahagia mencipta sorga di dunia Kurang satu saja menjadi goyah berantakan gugur Menimbulkan deita sengsara Menyeret ke neraka penuh duka!"

Keng Hong meloncat dan memegang lengan gadis itu dari belakang, menarik tubuhnya sehingga membalik dan mereka berhadapan, beradu pandang. Keng Hong mencela sumoinya, "Wah, ternyata engkau adalah seorang guru besar tentang cinta! Sajakmu itu indah sekali, Sumoi."

Yan Cu menggeleng kepala dan kembali mereka duduk di atas rumput berhadapan.

"Keliru dugaanmu, Suheng. Sajak itu memang indah, akan tetapi aku hanya membacanya dalam sebuah kitab, entah kitab apa aku lagi. Akan tetapi biarpun indah, sayang sekali, aku tidak mengerti artinya sehingga sampai sekarang pun aku tidak mengerti apa itu disebut cinta!"

"Aku belum mengerti betul, Sumoi. Memang agaknya urusan cinta ini hanya bisa diengerti karena pengalaan. Marilah kita mencoba mempelajarinya dari sajakmu tadi."

"Engkau yang coba menjelaskan kepadaku, Suheng, setidaknya engkau tenti lebih berpengalaman daripada aku yang sama sekali tidak tahu."

Merah wajah Keng Hong. Teringat dia akan pengalamannya dengan Bhe Cui Im yang merupakan wanita pertama yang merenggut tubuhnya, akan tetapi terang itu bukan cinta melainkan nafsu berahi semata. Teringat pula dia akan pengalamannya dengan Sim Ciang Bi, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Mungkin sekali di antara tiga orang wanita yang telah tewas itu ada perasaan cinta, akan tetapi dia tidak mengangap peristiwa itu merupakan cinta kasih baginya, melainkan nafsu berahi pula, sungguhpun tidak sekasar pengalamannya dengan Cui Im. Kemudian dia teringat kepada Biauw Eng dan dia menjadi bingung lagi.

"Sajakmu menyatakan bahwa cinta dapat mencipta bahagia dan mencipta sengsara, itu tepat sekali. Memang demikianlah, seperti yang kualami sendiri. Sekarang ini cinta sedang menyeret aku ke neraka sehingga gadis yang dahulu mencintaku itu sekarang membenciku! Dikatakan pula dalam sajak itu bahwa cinta adalah perpaduan antara rasa suka, sayang dan iba. Nah, engkau bilang suka kepadaku, Sumoi, akan tetapi apakah engkau juga merasa sayang dan iba ?"

Gadis itu mengerutkan alis dan berpikir dan menggeleng kepala. "Aku suka kepadamu, Suheng, dan aku merasa iba ketika engkau sakit. Kalau engkau sehat dan segar bugar begini, kenapa mesti menaruh iba?”

Keng Hong mengangguk-angguk dan tersenyum. Lagaknya seperti seorang guru yang merasa senang mendengar jawaban yang tepat dari muridnya. "Nah, itu tandanya bahwa engkau tidak mencinta aku! Sekarang kita lanjutkan. Cinta itu adalah rasa ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya, hemmm, ini tentu ada hubungannya dengan nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya, hemmm, ini tentu timbul dari rasa sayang dan iba yang timbal balik. Ingin mengikat dan diikat hidupnya, wah yang tentu tibul dari kesadaran berkewajiban dan dari perasaan cemburu! Nah, sekarang kau coba enyelidiki hatimu sendiri, Sumoi. Pertama, apakah... apakah timbul... eh, nafsu berahimu kalau kau melihat aku?"

Semenjak kecil Yan Cu tinggal di puncak gunung bersama subonya, urusan cinta dia gelap sama sekali, apalagi mengenai pertanyaan itu yang hanya dapat ia kira-kira artinya oleh perasaan kewanitaannya, namun tentu saja sulit sekali untuk menjawabnya. Ia mengerutkan alisnya dan bibirnya yang merah basah itu cemberut.

"Hemmm, agaknya sukar bagimu, Sumoi. Sekarang kuajukan pertanyaan ini dengan cara yang jelas. Begini!" Keng Hong mengerutkan alisnya yang tebal mendekatkan mukanya dan matanya memandang tajam seolah-olah hendak menyihir gadis itu, lalu dia bertanya, "Apakah kalau engkau berdekatan dengan aku, engkau mempunyai perasaan ingin sekali.. Eh, kupeluk dan kucium...?"

Sepasang mata yang indah itu tiba-tiba membelalak dan mukanya ditarik ke belakang seolah-olah takut kepada muka Keng Hong yang mendekat itu. Akan tetapi Yan Cu menjawab juga,

"Kalau hatiku sedang gembira, hemmm... mungkin ada juga perasaan itu karena aku suka padamu dan engkau tampan, Suheng. Akan tetapi sekarang ini... melihat engkau begini kusut, kotor, berhari-hari tidak berganti pakaian... hemm, tentu saja sama sekali tidak persaan itu, Suheng!"

Keng Hong membelalakkan mata dan meloncat bangun. "Wah, celaka, aku sampai lupa..! Nanti dulu, Sumoi... Aku... aku mau mencuci muka dulu...!" Keng Hong lari cepat meninggalkan gadis itu encari air di lereng gunung. Yan Cu tertawa geli, bahkan terkekeh-kekeh seorang diri setelah Keng Hong pergi, akan tetapi ia mengakhiri kegelian hatinya dengan duduk bersunyi sendiri, termenung memikirkan keputusan yang di ambil gurunya. Ia mengerti bahwa agaknya tidaklah sukar baginya untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti Keng Hong. Akan tetapi kalau pemuda yang menjadi suhengnya itu telah terang-terangan menyatakan mencinta gadis lain, dan hatinya sendiri tidak merasa sakit mendengar pengakuan itu, dia tahu bahwa dia barulah tertarik dan suka belum jatuh cinta. Untung suhengnya berterus terang sehingga rasa sukanya tidak berlarut-larut menjadi cinta. Akan tetapi subonya telah menentukan hal itu, bagaiamana baiknya?

Yan Cu masih termenung ketika Keng Hong datang kembali. Pemuda itu sudah mencuci muka, bahkan rabutnya masih basah, wajahnya nampak segar. Yan Cu memandang dengan hati geli. Keng Hong duduk lagi menghadapi sumoinya itu dan berkata,

"Nah, aku sudah bersih, tidak menakutkan lagi sekatang. Bagaimana, Sumoi?"

"Bagaimana apa?"

"Apakah sekarang ada perasaan di hatimu, ingin kupeluk dan kucium?"

Yan Cu mengeleng kepalanya. Keng Hong menganguk-angguk girang. "Bagus, itu tandanya kau tidak cinta padaku. Sekarang pertanyaan yang merupakan ujian terakhir! Engkau dengar baik-baik,

“Sumoi! Aku... eh, terus terang saja... aku... Aku pernah melakukan hubungan jasmani dengan Bhe Cui Im si iblis betina, pernah pula melakukan hubungan hanya berdasarkan nafsu berahi dengan tiga orang gadis lain!”

Wajah Yan Cu mendadak menjadi merah sekali dan mulutnya cemberut, matanya memandang merah. "Ihhh, cabul! Kenapa engkau ceritakan hal semacam itu kepadaku, Suheng?"

"Jawablah! Setelah mendengar ini ditambah lagi, aku mencinta seorang gadis bernaa Sie Biauw Eng, aku mencintanya setengah mati, nah, setelah kau mendengar ini bagaimana rasanya hatimu?"

Yan Cu menjawab cemberut. "Rasanya muak mendengar yang pertama, dan terharu mendengar yang ke dua."

"Kau.. kau tidak marah? Aku bermesra-mesraan dengan gadis-gadis lain itu, bagaimana?"

"Bagaimana... bagaimana maksudmu? Aku muak mendengarnya!"

"Tidak cemburu? Tidak iri?"

"Mengapa mesti cemburu dan iri? Kau ingin bermesraan dengan seluruh monyet betina di gunung ini pun silakan!"

Keng Hong tertawa bergelak, memegang pundak Yan Cu, menarik gadis itu berdiri dan berjingkrakan menari-nari saking gembiranya. "Kau tidak cinta padaku! Kau tidak cinta padaku! Aduh, Sumoiku yang baik, engkau telah menolongku!"

Yan Cu menarik tangan Keng Hong. "Jangan bergirang-girang dulu, Suheng. Subo sudah memutuskan perjodohan itu. Bagaimana?"

Keng Hong menjadi serius kebali dan sambil menarik tangan Yan Cu, dia mengajak gadis itu duduk kembali di atas rumput, berhadapan dan saling pandang dengan wajah serius. "Benar, Subo telah mengancam bahwa kalau aku menolak, dia akan membunuhku!" Keng Hong menggigit-gigit kuku telunjuk kanannya, kedua alisnya berkerut.

"Bagaaimana baiknya, Suheng?"

"Menolak perintahnya, berati aku akan menjadi orang yang paling hina, tidak ingat budi, apalagi kalau aku melawannya. Menurut perintahnya, hem.. tanpa cinta, kita berdua kelak akan terseret ke neraka penderitaan, di samping menghancurkan hati Biauw Eng, yaitu kalau dia benar mencintaku. Sumoi, baiknya kita mengambil jalan tengah saja!"

"Jalan tengah bagaimana, Suheng?"

"Kita menghadap Subo dan menyatakan terus terang bahwa kita berdua hendak membuktikan dulu apakah kita berdua saling mencinta. Tanpa cinta kita berdua rela mati di tangan Subo. Aku akan menyatakan terusterang bahwa yang menjadi penghalang sambungan cinta kita adalah karena aku mencinta Biauw Eng, dan aku belum tahu apakah gadis itu mencintaku ataukah membenciku. Kita berdua akan mencarinya, kalau sudah beertemu dan kita mendapatkan bahwa Biauw Eng memang membenciku, kita akan kembali ke sini dan menerima keputusan Subo. Karena, kalau Biauw Eng tidak mencintaku, maka sudah pasti akan menumpahkan seluruh cinta kasihku kepadamu, Sumoi!"

"Aihhh, kenapa cinta kasih kau pindah-pindahkan seenakmu saja seperrti orang memindahkan kursi atau meja, Suheng?"

"Bukan begitu, Sumoi. Cinta kasih memang tidak akan dipindah-pindahkan seperti itu. Akan tetapi seperti dalam sajak tadi, cinta kasih itu harus berimbang dari kedua fihak, saling memberi dan saling meninta, kurang satu saja menimbulkan sengsara. Biarpun aku mencinta Biauw Eng, apakah aku harus menggerogoti hatiku sendiri sampai coplok? Di atas segala maca perasaan, termasuk perasaan cinta, masih ada kesadaran yang paling tinggi, Sumoi, yang akan menuntut kita mengatasi segala akibat perasaan sehingga mencegah kita melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya karena asmara gagal lalu minum racun tikus dan lain-lain perbutan rendah dan keji untuk membunuh diri! Eh, kita melantur lagi. Bagaiana pendapatmu, Sumoi? Setujukah engkau?"

Gadis itu mengangguk-angguk. "Baiklah, Suheng. Memang selain engkau harus yakin dulu akan cintamu terhadap gadis itu aku sendiri harus mempelajari dulu bagaimana sebetulnya perasaanku terhadap dirimu. Mudah-mudahan saja kalau kelak ternyata kau tidak dapat melanjutkan tali cintamu dengan gadis itu dan hendak "pindah" kepadaku, aku bisa menerimanya. Siapa tahu, kelak aku jatuh cinta kepada orang lain sehingga tak dapat membalas cintamu."

"Wah, celaka kalau begitu... Biauw Eng putus, engkau luput..., habis bagimana kelak dengan aku? Keng Hong mengaruk-garuk kepalanya dan Yan Cu tertawa. Gadis ini sudah mendapatkan kembali kegembiraannya.

"Kalau memang kelak terjadi begitu yaaaahhh, engkau rasakan saja, Suheng, hitung-hitung engkau melanjutkan nasib mendiang gurumu. Eh, kurasa tidak baik kalau kita menanti Subo. Aku mengenal watak Subo. Di waktu dia sedang marah, hatinya keras bukan main dan mungkin kita akan dibunuhnya seketika. Sebaliknya, kalau hatinya lagi lunak, dia merupakan orang yang paling sabar. Sebaiknya kita jangan mempertaruhkan nyawa. Lebih baik kita pergi saja sebelum dia pulang dan kita meninggalkan surat kepadanya, menjelaskan segala maksud kita. Biarpun dia marah, kalau kita tidak ada, akhirnya hatinya akan lunak dan dia akan memaafkan kita."

Keng Hong memegang kedua lengan gadis itu, memandang dengan mata bersinar-sinar gembira dan berkata, "Yan Cu, kalau di sana tidak ada Biauw Eng kalau kita sudah jelas saling mencinta, saat ini kau sudah kupeluk dan kugigit bibirmu yang manis ini!"

"Ihhh! Pantas kalau Biauw Eng membencimu! Engkau... genit sih!" Gadis itu melepaskan tangannya dan berlari cepat menuruni puncak, kembali ke pondok diikuti Keng Hong. Mereka berdua lalu membuat surat dan pada hari itu juga pergilah mereka meninggalkan tempat itu. Tentu saja pusaka peninggalan gurunya yang telah dia rapas dari Cui Im, dia bawa, demikian pula pedang Siang-bhok-kiam.

***

Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali di atas wuwungan rumah gedung Kwan-taijin. Bayangan ini berhenti dan mendeka di balik wuwungan dengan matanya dia menyapu ke bawah dan mata itu bersinar gembira ketika ia melihat bahwa keadaan di situ amat sunyi. Maklum bahwa saat itu telah menjelang tengah malam. bayangan ini lalu bangkit dan berindap-indap ke wuwungan sebelah belakang, kemudian bagaikan seekor burung garuda terbang, dia meloncat ke bawah dan kedua kakinya saa sekali tidak mengeluarkan suara ketika menginjak lantai di ruangan belakang.

Bayangan hitam itu ternyata adalah seorang laki-laki yang berusia empat puluh tahun lebih akan tetapi masih kelihatan tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya serba mewah dan indah, di punggungnya tampak pedang yang gaganganya terukir indah. Dia adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, penjahat cabul yang telah melarikan diri dari istana bersama Cui Im. Mereka lari berpencar karena mereka takut kalau-kalau fihak istana melakukan pengejaran. Setelah gagal mengejar kemuliaan di istana dengan menjadi pengawal karena perbuatan Cui Im yang hendak memancing Keng Hong akan tetapi gagal, Siauw Lek yang kini merantau seorang diri telah kambuh lagi penyakit lamanya dan mulailah dia melakukan kekejiannya yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-ong (Raja Pemetik Bunga), yaitu dengan menculik dan memperkosa wanita-wanita cantik!

Malam itu dia mencari korban di rumah gedung pembesar Kwan yang tinggal di kota Cin-an, sebuah kota besar yang terletak di tepi Sungai Huang-ho. Siauw Lek yang sudah berpengalaan dalam perbuatan keji seperti ini, menanti sampai para penjaga keamanan yang meronda lewat di ruangan belakang itu, kemudian dia mendongkel jendela samping dan masuk ke ruangan dalam dilihatnya anak tangga yang menuju ke loteng dan dia tersenyum. Biasanya, para wanita tinggal di tinkgat atas itu. Tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat ke atas.

Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela kamar besar dan melihat pembesat Kwan yang setengah tua itu di samping isterinya. Ia lalu mengintai kamar sebelah dan matanya berkilat ketika dia melihat dua orang wanita cantik tidur di kamar yang indah itu. Ia dapat menduga bahwa dua orang wanita muda itu tentulah selir si pembesar. Melihat tubuh muda dan wajah cantik itu, timbullah gairahnya dan tanpa menimbulkan suara berisik, Siauw Lek sudah berhasil membuka jendela dantubuhnya meloncat ke dalam, lalu ditutupnya kembali jendela kamar.

Dengan sikap tenang karena memang sudah biasa dia melakukan perbutan terkutuk ini, Siauw Lek mengambil lilin dari atas meja dan menyinkgap kelambu yang menutup tempat tidur itu. Dia tadi hanya dapat mengira-ngira saja akan kecantikan dua orang wanita itu karena tertutup kelambu yang tipis, dan kini dia hendak memeriksa dulu calon korbannya. Bukan main girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dugaannya benar. Mereka berdua itu adalah wanita-wanita muda, tentu selir bangsawan Kwan, wajah mereka menggairahkan. Dengan halus dan mesra Siauw Lek menggunakan telunjuknya meraba dan membelai bibir yang setengah terbuka dari wanita yang tidur di pinggir, yang memakai pakaian dalam berwarna hijau pupus.

Wanita itu membuka matanya, memandang dan mulutnya sudah bergerak hendak berteriak, akan tetapi jari tangan Siauw Lek menahan bibir merah itu dan Siauw Lek tersenyum, menggelengkan kepala memberi isyarat agar wanita itu jangan menjerit. Sejenak wanita itu terbelalak, memandang wajah Siauw Lek penuh perhatian, wajah yang tampan dan ganteng, jauh lebih menarik daripada kemudian pandang mata wanita itu menurun, menyapu tubuh Siauw Lek yang tinggi besar dan kokoh kuat, jauh bedanya dengan tubuh pembesar Kwan yang perutnya gendut itu.

Pandang mata Siauw Lek bicara banyak selir ini pun bukan seorang wanita yang bodoh, maka ia tersenyum lebar dan bangkit berdiri menarik telunjuk ke depan bibirnya yang merah seolah-olah memberi isyarat kepada Siauw Lek agar tidak berisik, kemudian ia menuding ke arah tubuh temannya dan memgang tangan Siauw Lek lalu menariknya ke sudut kamar itu Siauw Lek agar tidak berisik, kemudian ia menuding ke arah tubuh temannya dan memegang tangan Siauw Lek lalu menariknya ke sudut kamar itu Siauw Lek mengembalikan lilin ke atas meja dan begitu dia membalikkan tubuh menghadapi wanita itu, selir berpakaian dalam warna hijau ini sudah merangkul lehernya dan menciumnya seperti seekor harimau kelaparan!

Siauw Lek mendengus marah, tangan kirinya bergerak ke atas. "Prakkk!" Tanpa mengeluh lagi wanita itu roboh terkulai dengan nyawa melayang karena kepalanya sudah retak oleh hantaman jari tangan Siauw Lek! Memang watak Siauw Lek aneh dan kejam sekali. Dia paling tidak suka akan wanita yang genit, wanita yang menyambutnya dengan rayuan. Dia lebih senang memperkosa wanita yang melawannya! Benar-benar manusia ini memiliki watak binatang. Seperti seekor kucing yang kalau menangkap tikus selalu mempermainkan dan menyiksanya dulu sebelum memakannya, makan daging tikus sebelum mati sebelum mati sehingga terasa di mulut betapa tubuh tikus itu mengeliat-geliat dan meronta-ronta demikianlah watak penjahat cabul itu. Maka dia lalu membunuh begitu saja ketika selir berpakaian hijau itu menyambutnya dengan mesra dan penuh nafsu berahi. Setelah membunuh wanita itu, tanpa menengoknya lagi Siauw Lek lalu menghampiri tempat tidur dan sekali tangannya meraih terdengar suara "brettt!" dan pakaian merah yang dipakai wanita ke dua telah direnggutnya robek. Wanita itu terkejut, membuka mata dan memandang terbelalak, kemudian menjerit sekuatnya! Siauw Lek tidak jadi menotoknya ketika melihat bahwa wanita ini kalah cantik melihat bahwa wanita yang dibunuhnya tadi, memang wanita ini cukup muda dan cantik, berusia paling banyak tiga puluh tahun, akan tetapi karena kalah cantik oleh wanita yang dibunuhnya tadi, maka tampak buruk dalam pandangan matanya.

Jari tangannya yang tadi siap menotok urat gagu wanita itu agar tidak sempat berteriak, kini menyelonong ke arah tenggorokan dan terdengar suara "krekkk!" disusul rebahnya tubuh telanjang itu dalam keadaan tak bernyawa lagi!

Suara ribut-ribut di luar kamar, yaitu suara para penjaga yang terkejut mendengar jerit tadi, membuat Siauw Lek melompat dan tubuhnya sudah menerobos langit-langit dan berada di atas genteng.

"Jaga kamar Siocia...!" terdengar suara orang. Siauw Lek melihat ada beberapa orang penjaga lari ke sebuah kamar di ujung kiri. Ia cepat meloncat mendahului mereka, mendahului mereka, menendang daun jendela dan girang sekali hatinya ketika melihat seorang gadis muda yang amat cantik telah terbangun dari tidur dan duduk di ranjang dengan mata terbelalak ketakutan. Melihat Siaw Lek gadis itu kaget dan hendak lari, akan tetapi sekali sambar saja Siauw Lek sudah menotok lumpuh lalu mengempit tubuh gadis itu dan menerjang ke pintu yang didobrak dari luar oleh para penjaga yang melihat penjahat itu memasuki kamar melalui jendela. Empat orang pengawal itu roboh oleh tendangan kaki Siauw Lek dan dalam sekejap mata saja tubuh Siauw Lek sudah berloncatan ke atas genteng, dikejar oleh beberapa orang pengawal. Tentu saja para pengawal itu jauh kalah cepat sehingga mereka hanya dapat berteriak-teriak bingung ketika bayangan penculik itu lenyap.

Kekecewaan hati Siauw Lek terobati ketika dia mengempit tubuh yang hangat itu, membawanya lari keluar dari kota Cin-an. Sekali ini dia tidak mau gagal. Dia tahu bahwa karena yang diculiknya adalah puteri seorang pembesar, tentu para penjaga keamanan akan mengerahkan pasukan mencarinya. Maka dia terus melarikan diri ke pinggir Sungai Huang-ho dan di sebuah tempat yang sunyi dia membangunkan tukang perahu, menodong dada tukang perahu itu dengan pedangnya.

Tukang perahu yang kaget terbangun melihat dia ditodong ujung pedang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang mengempit seorang wanita yang agaknya pingsan, seketika menggigil seluruh tubuhnya. "Hayo lekas seberangkan aku ke sana!"

Tukang perahu tidak berani membantah. Siauw Lek meloncat ke perahu dan tukang perahu itu lalu mendayung perahunya ke tengah menyeberang Sungai Huang-ho yang lebar. Di dalam perahu, Siauw Lek duduk dan memangku tubuh gadis yang tak dapat bergerak karena ditotoknya tadi. Hatinya girang bukan main. Lampu di perahu itu kecil sekali, akan tetapi cukup untuk menerangi tubuh gadis yang montok dan padat dan wajahnya yang cantik manis. Dia akan menikmati korbannya ini, tanpa gangguan. Maka diperintahkannya tukang perahu untuk menyeberangkannya ke bagian seberang yang sunyi.

Malam telah terganti pagi ketika perahu kecil itu mendarat di pantai yang penuh pohon, sebuah hutan yang sunyi dan tak tampak sebuah pun perahu di situ. Siauw Lek menyuruh tukang perahu mengikatkan perahu pada sebatang pohon, kemudian pedangnya berkelebat dan tubuh tukang perahu itu roboh mandi darah, kemudian mencelat ke sungai oleh tendangan kaki Siauw Lek. Sambil tersenyum Siauw Lek melihat mayat tukang perahu terbawa air, kemudian dia memodong tubuh gadis itu dibawa ke dalam hutan!

Melihat betapa tempat itu sunyi sekali dan di pinggir sungai itu terdapat rumput yang hijau tebal, Siauw Lek tertawa, membebaskan totokan gadis itu dan melepaskan tubuh itu ke atas rumput. Dia sendiri duduk memandang sambil tersenyum. Gadis itu mengeluah, tubuhnya masih kaku-kaku, kemudian ia bangkit duduk. Ketika menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar yang memandangnya seperti seekor harimau memandang kelinci, ia mengeluarkan jerit tertahan, meloncat berdiri dan lari! Siauw Lek tertawa bergelak, membiarkan gadis itu berlari-lari di atas rumput sampai belasan langkah-langkah kecil, kemudian tubuhnya bergerak mengejar.

***

Gadis yang lari itu tiba-tiba tersentak kaget merasa betapa ujung pakaiannya dibetot dari belakang. Ia meronta dan menggunakan semua tenaga untuk meloncat ke depan. Terdengat bunyi robek dan sebagian baju luarnya tertinggal di tangan Siauw Lek yang tertawa-tawa girang. Sungguh menyenangkan sekali permainan ini baginya. Gadis itu berlari lagi akan tetapi tiba-tiba ia menjerit dan tubunya terjungkal. Ketika ia bangun lagi, kedua sepatunya telah berada di tangan Siauw Lek, juga sebagian celana luar yang robek. Gadis itu mengeluarkan suara seperti dicekik karena rasa ngeri dan takut membuat ia sukar mengeluarkan suara. Akan tetapi ia sudah berdiri lagi, terengah-engah dan memaksa kedua kakinya yang telanjang untuk lari lagi ke depan, kemana saja asalkan menjauhi laki-laki yang baginya lebih menakutkan daripada iblis sendiri.

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha! Engkau manis sekali. Larilah... ha-ha-ha, larilah...!"

Gadis itu berlari. Kakinya yang terasa nyeri tak dihiraukannya. Ia berlari sampai agak jauh, napasnya terengah dan tibalah ia di sekumpulan pohon-pohon besar. Tiba-tiba ia menjerit ngeri ketika melihat laki-laki tinggi itu tahu-tahu sudah berada di depannya, muncul keluar dari balik sebatang pohon sambil tertawa-tawa.

"Aiiihhhhhh.. Ja... jangan..!" Gadis itu menjerit, membalikkan tubuh dan lari lagi ke lapangan rumput hijau.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Larilah sekuatmu nona manis!" Siauw Lek berjalan-jalan mengikuti.

Gadis yang sudah hampir kehabisan napas itu akhirnya menjerit dan roboh terguling di atas rumput karena kakinya terjerat oleh sisa pakaiannya sendiri. Sambil tertawa puas Siauw Lek menubruknya.

"Ampunnn... jangan... tolooongggg...!" Akan tetapi tetapi di tempat sesunyi itu, siapa yang mampu menolongnya. Siauw Lek terkekeh-kekeh dan mencium muka yang pucat ketakutan itu.

Tiba-tiba Siauw Lek berteriak kesakitan, ternyata gadis yang sudah putus asa saking ngerinya itu, dan menjadi nekat dan menggunakan kesempatan selagi Siauw Lek yang diamuk berahi itu lengah, telah menggigit lehernya, menggigit dan mengerahkan tenaga tidak mau melepaskan lagi!

"Lepaskan! Keparat! Lepaskan...!" Siauw Lek membentak, akan tetapi gigitan pada lehernya itu makin mengeras. Siauw Lek menjadi marah sekali, tangan kirinya menampar.

"Plakkk!" Gigitan terlepas, gadis itu terkulai, darah keluar dari telinganya dan napasnya empas-empis, akan tetapi matanya masih terbelalak memandang Siauw Lek penuh kebencian.

Siauw Lek bangkit berdiri, meraba kulit lehernya yang berdarah. "Sialan! Anjing betina!" Ia memaki dan melihat ke bawah di mana gadis itu rebah terlentang dalam keadaan hampir mati karena kepalanya retak! Dengan gemas Siauw Lek mengangkat kakinya dan memaki, "Perempuan hina!" Kakinya menginjak dada yang tak tertutup lagi dan yang tadi amat menggairahkan hatinya, menginjak sambil mengerahkan tenaga. "Krakkk!" Tulang-tulang iga gadis itu remuk dan nyawanya melayang!

"Manusia iblis! Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek manusia terkutuk!"

Siauw Lek terkejut, cepat membereskan pakaiannya dan membalikkan tubuh. Ketika dia melihat ada dua orang gadis cantik sekali berdiri di situ, wajahnya seketika menjadi berseri. Kiranya yang memakinya itu adalah Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng, gadis puteri Lam-hai Sin-ni yang cantik jelita, sumoi dari Cui Im yang masih perawan dan yang pernah membuat dia tergila-gila. Kehilangan gadis bangsawan itu dan belum Biauw Eng sama dengan kehilangan ikan teri mendapatkan kakap! Mata laki-laki itu bersinar-sinar, apalagi ketika melihat bahwa wanita yang berdiri di samping Biauw Eng, yang memakai pakaian serba merah, juga amat cantiknya! Benar-benar dia mendapatkan keuntungan besar, padahal semalam dia tidak bermimpi kejatuhan bulan.

Dia tahu bahwa Biauw Eng bukan seorang gadis lemah, akan tetapi dia memandang rendah karena dia cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Dengan mudah dia akan dapat menundukan Biauw Eng dan hemmm... wanita baju merah itu pun bukan main manisnya!

Tentu saja Siauw Lek tidak pernah mimpi bahwa Biauw Eng yang berada di depannya sekarang ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan Biauw Eng yang pernah dilawannya dahulu!

"Ha-ha-ha-ha-ha! Terima kasih, Biauw Eng! Memang aku sudah bosan dengan gadis tak tahu malu seperti anjing betina yang suka menggigit ini. Kiranya engkau datang untuk menemaniku! Mari... Marilah manis. Sudah lama aku rindu sekali kepadamu. Tak usah malu-malu, di sini sunyi dan tidak ada orang lain. Kalau temanmu yang manis itu ingin pula main-main denganku, marilah. Aku masih kuat melayani kalian berdua, ha-ha-ha-ha-ha-ha!"

"Hi-hi-hik!" Hun Bwee, wanita pakaian merah terkekeh. "Sumoi, inikah monyet cilik murid tujuh ekor monyet tua Go-bi? Karena hanya macam ini saja? dia tidak seberapa akan tetapi mulutnya amat lebar, menantang kita berdua main-main dengannya? Hi-hi-hik, aku sendiri pun cukup untuk main-main dengannya!"

Diam-diam Siauw Lek terkejut. Wanita muda itu cantik sekali, akan tetapi sikapnya begitu aneh, seperti... Miring otaknya! Dan berani memaki guru-gurunya, yaitu Go-bi Chit-kwi yang terkenal.

"Biarlah Suci, jangan turut campur. Tangannya bernoda darah ibuku, maka harus aku sendiri yang menghadapinya", kata Biauw Eng sambil melangkah maju menghadapi Siauw Lek, sikapnya tenang sekali, akan tetapi sinar matanya mengandung ancaman maut yang mengerikan. Adapun Hun Bwee sudah berlutut di dekat mayat gadis yang telanjang itu, kemudian terdengar ia terisak menangis memondong mayat itu dan membawanya pergi dari situ. Hati wanita ini penuh rasa iba dan terharu melihat korban kebiadaban ini yang mengingatkan dia akan nasibnya sendiri ketika dia diperkosa oleh laki-laki yang tadinya ia kagumi, diperkosa oleh Cia Keng Hong! Hun Bwee lalu mengali lubang di tanah dan mengubur jenazah itu.

Biauw Eng yang menghadapi Siauw Lek berkata, "Siauw Lek, kekejianmu melampaui batas, kejahatanmu sudah melewati takaran. Hari ini, aku Sie Biauw Eng kalau tidak dapat membunuhmu, aku bersumpah takkan mau hidup lagi!" Kemarahan Biauw Eng melihat musuh besarnya, musuh ke dua setelah Cui Im, mendatangkan kemarahan yang memuncak sehingga keluarlah kata-katanya yang amat menyeramkan itu.

Diam-diam Siauw Lek merasa bulu tengkuknya berdiri. Ia dapat merasa ancaman yang dahsyat itu dan maklum betapa hebat itu dan maklum betapa hebat kebencian gadis ini kepadanya. Namun tentu saja dia tidak takut. Dia akan menangkap gadis ini, akan memperkosanya sepuasnya, kemudian dia harus membunuhnya agar kelak tidak menjadi ancaman baginya. Maka untuk melenyapkan rasa serem di hatinya, dia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, Biauw Eng. Ingin aku melihat engkau melawanku. Memang aku paling suka kalau dilayani wanita, nanti pun aku ingin merasai bagaimana engkau melawan, meronta dan menggeliat dalam pelukanku. Ha-ha-ha!" Mulutnya masih tertawa, akan tetapi dengan curang sekali tiba-tiba tubuhnya sudah menyambar ke depan, meloncat sambil menubruk seperti seekor harimau menubruk kijang.

Biauw Eng masih berdiri, tidak mengelak, malah mengangkat kedua tangan menyambut terkaman kedua tangan Siauw Lek. Jari-jari tangan mereka bertemu Siauw Lek sudah merasa girang karena tentu dia akan dapat menangkap gadis ini mengandalkan tenaga sinkangnya yang lebih besar.

"Cuh! Cuh! Tiba-tiba mulut Biauw Eng meludah dua kali ke arah mata Siauw Eng. Laki-laki yang tubuhnya masih di uadara ini kaget sekali. Belum pernah dia mengalami ilmu berkelahi seperti ini pakai meludah segala. Akan tetapi biarpun yang meludah seorang gadis cantik kalau cara meludahnya disertai sinkang kuat dan yang disambar air ludah adalah sepasang mata, amatlah berbahaya!

Siauw Lek miringkan mukanya, akan tetapi pada saat itu, Biauw Eng sudah melempar tubuh ke belakang. Tentu saja Siauw Lek terbawa pula karena kedua tangan mereka masih saling cengkeram dan begitu punggungnya menyentuh tanah, kedua kaki Biauw Eng diangkat dan menendang perut dan pusar Siauw Lek.

"Celaka..!" Siauw Lek berseru kaget, mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang ditendang.

"Blukkk!" Sinkangnya membuat perutnya kebal, akan tetapi tidak dapat menahan tubuhnya yang masih di udara itu terpental sampai lima meter lebih. Untuk bahwa Siauw Lek mempunyai ilmu ginkang yang sudah tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan turun dengan kedua kaki di bawah tidak terbanting. Cepat dia melompat ke depan dan menghadapi Biauw Eng yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapinya.

Kedua mata Siauw Lek merah. Hampir saja dia celaka dan sama sekali dia tidak pernah menduga bahwa gadis itu mempunyai cara berkelahi yang begini aneh! Ia marah sekali, akan tetapi kemarahannya masih belum menghapus rasa cintanya yang ingin menguasai tubuh Biauw Eng yang dirindukan, maka dia berseru keras dan cepat sekali menerjang maju dengan tangan diainkan secara hebat. Dari dua tangan yang terbuka itu menyambar angin pukulan yang kuat sekali, bertubi-tubi datangnya dan kedua telapak tangan itu berubah menjadi hitam. Namun Siauw Lek lebih banyak membuat gerakan mencengkeram untuk menangkap gadis itu daripada gerakan memukul. Dia sudah menggunakan ilmu pukulan Hek-liong-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Naga Hitam) yang amat lihai.

Namun, dengan masih tenang sekali, Biauw Eng mengelak dan kadang-kadang menangkis semua serangan lawan. Bahkan ketika menangkis dan lengannya yang berkulit halus putih itu bertemu dengan lengan tangan Siauw lek yang besar dan kuat, tubuh Siauw Lek tergetar dan lengannya gatal-gatal! Ia terkejut sekali., maklum bahwa ternyata gadis ini sudah memperoleh kemajuan yang hebat.

***

Ia teringat akan penuturan Cui Im bahwa Biauw Eng mempunyai pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang amat berbahaya, maka kini dia berseru hebat dan mempercepat gerakannya. Dengan jurus menyesatkan tangan kanannya menghantam susul-menyusuk dengan tendangan kaki kirinya ke arah perut Biauw Eng, akan tetapi ketika gadis itu mengelak dan menangkis, tiba-tiba tangan kirinya mencengkeram ke arah tengkuk Biauw Eng.

"Plakkk!" tengkuk itu kena disentuh, akan tetapi tiba-tiba tangan Siauw Lek yang mencengkeramnya meleset, tubuh Biauw Eng sudah berputar dan kedua tangan Biauw Eng sudah berputar dan kedua tangan Biauw Eng bergerak cepat menampar ke depan!

"Plak! Plak!"

Bagaikan disambar petir, tubuh Siauw Lek berputaran terhuyung-huyung. Telinganya yang kanan kena ditampar, menimbulkan bunyi mengiang tiada hentinya,kepalanya seperti pecah dan pandang matanya berkunang. Ketika dia meraba mukanya yang terasa nyeri, dia terkejut karena hidungnya ternyata kena taparan pula sehingga ujungnya pecah-pecah berdarah. Hidungnya yang biasanya dia banggakan, yang mancung dan besar, kini pecah berdarah, tidak mancung lagi!

Siauw Lek menggoyang kepala mengusir pening. Ketika bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya lenyap dan dia dapat memandang lagi, dia melihat Biauw Eng masih berdiri sambil bertolak pingang. Hal inilah yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri dan takut. Jelas bahwa dia tadi sudah tidak berdaya dan kalau Biauw Eng tadi mengirim susulan serangan maut, tak mungkin dia dapat mempertahankan diri lagi. Akan tetapi gadis itu berdiri saja memandang, sama sekali tidak mempergunakan kesempatan itu. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Biauw Eng memadang rendah kepadanya, bahwa Biauw Eng percaya penuh akan dapat mengalahkannya! Dan dia pun masih bingung mengapa gadis itu kini menjadi demikian hebat!

Dengan hati gentar Siauw Lek mengambil keputusan nekat. Dia mencabut senjatanya dan tampaklah sinar hitam berkelebat menyilaukan mata. Pedang hitam Hek-liong-kiam telah berada di tangannya dan tanpa memberi peringatan lagi, sesuai dengan wataknya yang curang, tangan kirinya bergerak dan belasan sinar-sinar kecil hitam menyambar ke arah jalan darah di tubuh depan Biauw Eng. Itulah senjata paku-paku hitam beracun yang dilepas dari jarak dekat secara tiba-tiba, kemudian selagi sinar-sinar hitam menyambar, dia sendiri sudah meloncat dan menerjang dengan pedang hitanya!

"Haiiiitttttt!" Biauw Eng terkejut juga melihat datangnya paku-paku yang amat berbahaya ini. Tubuhnya sudah mencelat ke atas dengan loncatan tinggi dan sambil meloncat ini dia telah melolos sabuk sutera putihnya yang dari atas merupakan gulungan sinar putih seperti naga mengeluarkan suara meledak-ledak menyambar ke arah kepala Siauw Lek. Laki-laki ini dengan kemarahan meluap menyabet ke arah ujung untuk membabat, akan tetapi ujung sabuk itu sudah melibat pedang. Melihat ini, Siauw Lek berseru keras dan dengan pengerahan tenaga sinkang, dia melontarkan tubuh Biauw Eng yang belum turun ke tanah Biauw Eng tak dapat menahan tenaga dahsyat ini, libatan sabuknya terlepas dan tubuhnya melayang ke atas! Akan tetapi, dia terjungkir balik dan tubuhnya menukik turun, didahului oleh gulungan sabuknya yang berputaran merupakan gulungan putih yang menyembunyikan tubuhnya!

Harus diketahu bahwa selama digembleng oleh Go-bi Thai-houw, nenek gila yanglihai sekali itu, tidak saja Biauw Eng menerima pelajaran ilmu silat aneh, akan tetapi ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam hal sinkang dan ginkang dan dengan petunjuk nenek itu ilmunya Pek-in-sin-pian, yaitu memainkan sabuk putih, menjadi hebat.

Melihat betapa lawannya itu kini meluncur turun dengan bersembunyi di balik gulungan putih seperti awan, Siauw Lek memutar pedangnya menyambut.

Biauw Eng menggerakkan sabuknya, ujung sabuk itu berputar menjadi seperti payung pedang Siauw Lek, ia sendiri meloncat ke pinggir dan menggerakkan ujung sabuk ke dua yang meluncur seperti anak panah menotok ke arah pelipis Siauw Lek. Jai-hwa-ong ini berteriak kaget karena pedangnya bertemu dengan benda lunak berbentuk payung, bahkan pedangnya ikut berputar seperti tersedot oleh daya putar gulungan sabuk itu, dan kini tiba-tiba ada suara meledak dan sinar putih menyambar pelipisnya. Ia menarik pedang dan melelmpar tubuh ke belakang, lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi dengan keringat dingin membasahi dahi, dia melihat Biauw Eng berdiri dengan sabuk di tangan dan memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek!

Siauw Lek menjadi makin panik dan gentar. Jelaslah sudah bahwa Biauw Eng kini memiliki kepandaian yang lihai bukan main dan dia merasa menyesal mengapa tadi dia memandang rendah. Kini untuk melarikan tipis sekali harapannya apalagi karena ketika dia melirik ke belakang, dia melihat nona baju merah tadi berdiri sambil bertolak pingang dan tertawa-tawa, menghadang jalan larinya! Celaka, pikirnya, dia tidak tahu bagaimana kepandaian nona baju merah itu, akan tetapi mengingat bahwa Biauw Eng tadi menyebutnya "suci", dia bergidik dan merasa ngeri! Tangan kirinya mengusap muka yang berpeluh dan dia menahan rintihan sehingga tergosok dan terasa perih. Tangannya penuh darah dan hatinya makin gentar.

"Hi-hi-hik! Kasihan sekali, Suoi. Dia sudah ketakutan setengah mati!" Nona baju merah itu tertawa dan Siauw Lek menjadi makin gelisah. Ia lalu menggereng keras, menubruk maju dengan pedangnya, membabat ke arah pingang Biauw Eng yang ramping dan yang tadi dia bayangkan akan dia lingkari dengan lengannya. Sambil membabat, dia menggunakan tangan kirinya membarengi dengan pukulan Hek-liong-ciang ke arah dada gadis itu!

"Tar-tar-tar..!" Ujung sabuk meledak-ledak dan melecut-lecut, berubah menjadi tiga sinar yang menangkis pedang, menangkis tangan kiri Siauw Lek dan yang ke tiga menotok ke arah hidung Siauw Lek yang sudah pecah! Siauw Lek mendengus arah, miringkan tubuhnya dan terus menerjang ke depan menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Biauw Eng.

Dua ujung sabuk putih itu berputar, yang satu menangkis sambil melibat ujung pedang, yang ke dua berputar dan melibat leher Biauw Eng sendiri, mencekik leher gadis itu! Siauw Lek terbelalak keheranan dan juga kegirangan, akan tetapi inilah kesalahannya. Karena heran dan girang melihat ujung sabuk itu melibat dan mencekik leher Biauw Eng sendiri sehingga gadis itu sampai menjulurkan lidahnya yang kecil merah, maka perhatiannya terlibat dan tak dapat lagi dia menghindarkan diri ketika kaki kecil mungil dari Biauw Eng menyambar dari bawah menggenai perutnya.

"Desss... ngekkk! Uaaak! Tubuh Siauw Lek terlempar ke belakang dan dia muntahkan darah segar. Dia telah menjadi korban jurus aneh yang dipelajari Biauw Eng dari nenek gila Go-bi Thai-houw! Siauw Lek terhuyung-huyung dan dapat berdiri pula mukanya pucat, bibirnya berlepotan darah, matanya beringas dan liar, sebagian pula karena marah. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pening. Dia maklum bahwa lari pun tidak ada gunanya. Suara ketawa terkekeh-kekeh di belakangnya lebih menyerakan daripada Biauw Eng yang berdiri tegak dengan sabuk putihnya. Dia tahu bahwa sekali ini dia harus membela diri mati-matian dan harus bertandingn untuk menentukan mati atau hidup. Maka dia menjadi makin nekat. Dengan suara gerengan yang tidak seperti manusia lagi dia menerjang ke depan. Namun Biauw Eng sudah siap dengan sabuknya, digerakkan tangannya dan ujung sabuknya terpecah menjadi banyak sekali mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan menotok ke arah tujuh belas jalan darah di tubuh lawan!

Siauw Lek yang sudah pening itu tidak begitu cepat lagi gerakkannya. Ia memutar pedang menangkis, namun tetap saja sebuah totokan menyambar lututnya dan dia roboh terguling. Namun, dengan mengguling-gulingkan tubuh dia membebaskan totokan, sedangkan tangan kirinya bergerak.

"Syut-syut-syuttt...!" Lebih dari tiga puluh batang paku hitam menyambar secara kacau ke arah Biauw Eng. Rupanya dalam keadaan panik ini Siauw Lek menguras habis paku-pakunya dari dalam kantungnya menyambitkan semua paku ke arah lawan. Biauw Eng tertawa dan tangan kirinya bergerak. Serangkum sinar putih menyambar ternyata itu adalah senjata rahasia bola-bola berduri putih yang enyambut datangnya sinar paku hitam sehingga semua paku runtuh di atas tanah, bahkan sebatang tusuk konde bunga bwe yang meluncur di antara banyak bola-bola putih tadi dengan kecepatan luar biasa menyambar ke arah tubuh Siauw Lek, tanpa dapat ditangkis lagi, menyambar ke arah mulut laki-laki itu! Siauw Lek terkejut. Miringkan kepalanya dan dia berteriak kaget dan.. telinga kirinya buntung!

"Hi-hi-hik, anjing bertelinga buntung.. Wah, jelek sekali...!" Hun Bwee tertawa dan bertepuk-tepuk tangan.

Kini Biauw Eng tidak mau memberi hati lagi. Ia menggerakkan tangan dan kedua ujung sabuknya menyambar-nyambar, meledak-ledak, dan melecut-lecut Siauw Lek berusaha menangkis, akan tetapi raa takut ditambah rasa nyeri membuat gerakannya ngawur dan tenaganya pun banyak berkurang, maka dia berteriak-teriak kesakitan, ketika ujung-ujung sabuk itu seperti paruh burung garuda mematuki tubuhnya, pakaiannya robek-robek dan kulitnya berikut sedikit daging di bawah kulit pula robek dan copot!

Dengan seruan keras, Siauw Lek yang sudah habis harapan itu mengangkat pedangnya, disabetkan ke arah lehernya sendiri. Akan tetapi ujung sabuk Biauw Eng menyambar, melihat pedang dan sekali sentakan saja pedang itu terbang dan terlempar ke dalam sungai!

***

Kemudian, sebelum Siauw Lek dapat berbuat sesuatu, ujung sabuk sudah melibat kedua kaki dan kedua tangannya, tubuh terangkat ke atas dan... dalam keadaan terbelenggu ujung sabuk, dia terbanting ke dalam air sungai! Ia gelagapan, menggerakkan kedua kaki yang terbelenggu, tubuhnya dapat timbul di permukaan air, akan tetapi tiba-tiba Biauw Eng menggerakkan tangan yang memegang ujung sabuk, membuat tubuh Siauw Lek yang sudah tidak berdaya itu terlempar ke atas dan terbanting lagi ke air. Demikianlah, dia dilelap-lelapkan oleh Biauw Eng yang pandang matanya sudah liar penuh dendam. Siauw Lek kini hanya dapat megap-megap dan mengeluarkan suara "up-up-up-up", perutnya mengembung, mukanya membiru, matanya melotot.

"Sumoi..! Berikan dia padaku...!" Tiba-tiba Tan Hun Bwee berteriak.

Biauw Eng yang masih memegang ujung sabuk dan membiarkan Siauw Lek megap-megap di permukaan air Sungai Huang-ho seperti seekor ikan kena di pancing, menoleh kepada Hun Bwee, mengerutkan alis dan bertanya,

"Untuk apa Suci? Harap jangan mencampuri urusan pribadiku!"

"Ihhh, Sumoi. Mengapa engkau begitu medit? Dia tukang perkosa, kau ingat? Aku benci kepada semua tukang perkosa di dunia ini, ingat?'

Biauw Eng termenung, lalu mengaguk-angguk. Ia dapat membayangkan dendam sucinya. Sebagai seorang gadis sucinya itu pernah diperkosa orang. Tadi ia melihat gadis yang ati dan diperkosa, tentu saja kebencian sucinya itu terhadap Siauw Lek belum tentu kalah besar oleh kebenciannya kepada Jai-hwa-ong itu. Ia lalu menggerakkan tangannya menyedal sabuk sutera dan tubuh Siauw Lek terlepat ke udara, terlepas dari belenggu dan melayang ke Hun Bwee!

"Hi-hi-hik! Terima kasih, Sumoi! Hun Bwee menyodorkan tangannya dan menangkap kaki Siauw Lek yang masih sadar hanya napasnya megap-megap karena perutnya penuh air yang membuat perutnya mengembung seperti bangkai anjing tenggelam.

Hun bwee menangkap kedua kaki Siauw Lek dan meutar-mutar tubuh laki-laki itu bagaikan kitiran angin cepatnya. Dari mulut Siauw Lek menyembur air sehingga pemandangan itu amat aneh. Seolah-olah Hun Bwee yang berpakaian merah itu sedang bermain sulap, atau seorang penari memperlihatkan tariannya, akan tetapi yang diputar-putar bukannya selendang melainkan tubuh orang yang ujungnya menyenbur-nyemburkan air!

"Augggghhh... Bunuhlah aku... Bunuhlah...!" Setelah air diperutnya habis, Siauw Lek dapat mengeluarkan suara dan minta dibunuh.

Hun Bwee menghentikan putarannya dan sambil terkekeh-kekeh ia melempar tubuh Siauw Lek ke dekat sebatang pohon, menelikung kedua tangan dan kedua kaki laki-laki itu ke belakang dan mengikat kaki tangannya dengan celana Siauw Lek sendiri yang sudah dirobek sambil tertawa-tawa oleh Hun Bwee. Dengan demikian, tubuh Siauw Lek pada batang pohon dan keadaannya amat mengerikan. Baju atasnya robek-robek bekas cambukan-cambukan sabuk Biauw Eng tadi, dan kini tubuh bawahnya telanjang bulat karena celananya direnggut Hun Bwee untuk mengikat kaki tangannya. Biauw Eng membuang muka, tidak sudi memandang, akan tetapi diam-diam ia merasa ngeri mendengar sucinya terkekeh-kekeh. Hatinya penuh keharuan. Sucinya itu tidak noral lagi. Biarpun tidak segila Go-bi Thai-houw, namun dendam sakit hati membuat sucinya tidak seperti manusia biasa lagi. Diam-dia ia berjanji dalam hatinya untuk membantu sucinya kelak membalas laki-laki biadab yang telah merusak kehidupan sucinya.

"Hi-hi-hik, kau tukang perkosa wanita, ya? Heh-heh-heh!" Biauw Eng mendengar sucinya berkata sambil tertawa-tawa. Kemudian ia mendengar suara Siauw Lek yang dibencinya.

"Bunuh saja aku! Bunuhlah aku... ampunkan... bunuh saja!"

"Hi-hi-hik, enak benar! Ingat, tentu telah ratusan kali engkau mendengar ucapan itu dari mulut para gadis yang kauperkosa.

Bukankah mereka pun mengeluh dan merintih, minta kau bunuh saja? hi-hi-hik, ingatkah engkau, anjing busuk?" Suara Hun Bwee penuh kebencian dan pandang matanya membuat Siauw Lek membelalakkan matanya penuh tasa takut.

"Kau tunggulah sebentar, Kim-lian Jai-hwa-ong! Hi-hi-hik!" Hun Bwee meloncat pergi.

"Song-bun Siu-li..., kau.. kau kasihanilah aku.. bebaskan aku dari tangan keji permpuan gila itu.. Kau bunuhlah aku, Sie Biauw Eng..!" Suara Siauw Lek penuh ketakutan dan agak terisak bercampur tangis. Namun Biauw Eng tidak menoleh, hanya berkata dengan suara dingin,

"Aku sudah menyerahkanmu kepadanya. Pengecut hina, kenangkan saja ratap tangis wanita-wanita yang menjadi korbanmu!"

Biauw Eng bergidik penuh muak ketika mendengar suara laki-laki itu benar menangis! Ia muak dan jijik. Orang yang sekeji-kejinya, yang mendapat julukan Jai-hwa-ong, yang telah memperkosa dan membunuh entah berapa ribu orang wanita, kini merengek-rengek seperti anak kecil minta mati dan minta ampun!

Tak lama kemudian Hun Bwee sudah datang kembali tertawa-tawa. Karena tertarik Biauw Eng menoleh dan melirik. Kiranya sucinya itu membawa sarang lebah penuh madu dan kini ia memeras keluar madunya dan memercikkan madu ke arah tubuh Siauw Lek di bawah pusar, ke alat kelamin laki-laki itu.

Siauw Lek merintih-rintih, bukan karena sakit melainkan karena takut. Biauw Eng tidak sudi memandang ke arah Siauw Lek, hanya bertanya, "Suci, apa yang kau lakukan? Bunuh saja anjing itu!"

"Hi-hi-hik, jangan kau kasihan kepadanya, Sumoi. Enak sekali kalau dia dibunuh begitu mudah. Lihat apa yang kubawa ini!" Tan Hun Bwee mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi dan melihat itu, Siauw Lek mengeluarkan suara parau saking takutnya. Yang dipegang oleh Hun Bwee adalah sarang terbuat dari daun kering penuh semut-semut api yang merah dan besar-besar.

Siauw Lek menjerit-jerit minta ampun, akan tetapi sambil terkekeh Hun Bwee melemparkan sarang semut api itu ke bagian tubuh Siauw Lek yang sudah tertutup madu. Tentu saja semut-semut itu berpesta pora ketika mencium dan merasai madu. Lalu merubung tepat itu dan menggigiti dengan lahapnya. Siauw Lek meraung-raung seperti babi disembelih dan Biauw Eng membuang muka. Bukan raungan laki-laki yang ikut membunuh ibunya itu yang membuat ia merasa ngeri, melainkan suara ketawa Hun Bwee yang bukan seperti suara ketawa manusia lagi!

Siksaan yang dilakukan oleh Hun Bwee memang hebat sekali. Penderitaan tubuh Siauw Lek amatlah mengerikan. Gigitan-gigitan ratusan ekor semut pada alat kelaminnya itu membuat seluruh tubuhnya terasa gatal dan sakit, semua bulu di tubuhnya berdiri, bahkan rambut kepalanya sampai berdiri satu-satu saking hebatnya rasa nyeri yang di deritanya. Kalau perasaan nyeri yang terlalu hebat akan membuatnya pingsan. Akan tetapi rasa nyeri oleh gigitan semut tidak membuatnya pingsan, melainkan menyengat-nyengat seluruh tubuh dan menggetarkan urat syarafnya! Tiba-tiba dia menjerit lebih menyayat hati lagi ketika Hun Bwee memoles mukanya dengan madu dan melempar segenggan semut merah ke mukanya.

Suara meraung-raung yang amat keras itu sampai membuat kerongkongan Siauw Lek seperti pecah, suaranya serak dan makin lama raungannya makin lemah. Biauw Eng bergidik dan berkata, "Suci, sudahilah saja. Aku muak!"

"Heh-hi-hi-hik! Ha-ha-ha-ha-ha! Rasakan kau sekarang, laki-laki keparat! Rasakan sekarang! Enak, ya? Hi-hik-hik, rasakan pembalasan Tan Hun Bwee kau, Keng Hong!!" Dan Hun Bwee tersedu-sedu menangis!

Biauw Eng tersentak kaget seperti disambar halilintar. Tidak salahkah pendengarannya? Sucinya menyebut nama Keng Hong! Ia cepat menengok dan kagetlah ia melihat sucinya yang tadi ia dengar tersedu itu meringkuk pingsan tak jauh dari tubuh Siauw Lek yang mengerikan. Anggauta kelamin dan muka laki-laki itu penuh semut merah dan tubuh Siauw Lek berkelojotan, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya kecuali suara seperti orang mendengkur dari kerongkongannya. Biauw Eng lalu menyambar tubuh Hun Bwee dan membawanya pergi dari situ, merebahkan tubuh sucinya yang pingsan ke dalam perahu yang tadi mereka naiki dan mendayung perahu ke tengah sungai. Perahu meluncur cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu!

Bagaimanakah kedua orang wanita murid Go-bi Thai-houw itu bisa muncul secara tiba-tiba di tempat itu sehingga manusia sesat Siauw Lek akhirnya menerima hukuman yang demikian mengerikan? Seperti telah dituturkan di bagian depan, secara kebetulan saja, Biauw Eng bertemu dengan Hun Bwee dan Go-bi Thai-houw, kemudian dia diambil murid dan digembleng secara aneh dan hebat oleh nenek yang gila namun luar biasa lihainya itu, bersama Hun Bwee yang menjadi sucinya. Bairpun Hun Bwee lebih dulu menjadi murid Go-bi Thai-houw dan menjadi suci Biauw Eng, akan tetapi karena dasar kepandaiannya jauh kalah tinggi oleh Biauw Eng, maka setelah Biauw Eng digembleng oleh Go-bi Thai-houw, dalam waktu beberapa bulan saja Biauw Eng sudah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga melampaui tingkat sucinya! Biarpun Go-bi Thai-houw otaknya miring, akan tetapi dalam hal silat, ia lihai dan awas sekali sehingga ia dapat melihat bahwa murid barunya ini paling boleh diandalkan. Setelah menggembleng dua orang muridnya secara tekun dan luar biasa, pada suatu hari ia memanggil mereka menghadap dan dengan suara tegas nenek gila ini berkata,

***

"Hun Bwee dan Biauw Eng, sekarang juga kalian harus pergi mencari Sin-jiu Kiam-ong dan membunuhnya mewakili aku!"

Hun Bwee dan Biauw Eng yang berlutut di depan nenek gila ini saling pandang dan diam-diam mereka terkejut karena baru sekarang mereka mendengar suara nenek itu seperti orang normal.

"Subo, Sin-jiu Kiam-ong telah mati." Jawab Hun Bwee.

"Betul, Subo. Sin-jiu Kiam-ong telah mati," Biauw Eng membantu sucinya.

"Kalau begitu, kalian berdua pergi sana mencari kuburannya dan bawa tengkoraknya ke sini!"

Kembali dua orang gadis itu saling lirik. Mereka berdua sudah mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia di puncak Kiam-kok-san dan kabarnya jenazah kakek raja pedang itu telah di perabukan, dibakar oleh muridnya.

"Subo, semua orang di dunia kang-ouw mengatakan bahwa jenazah Sin-jiu Kiam-ong tidak dikubur, melainkan di perabukan," kata pula Biauw Eng.

"Bukkk!!" Kaki kiri nenek itu dibanting ke atas tanah sehingga dua orang gadis itu merasa betapa tanah di bawah mereka tergetar, seperti ada gepa bui!

"Kau tidak bohong? Berani mempertaruhkan apa kalau bohong?"

"Teecu berani mempertaruhkan kepala teecu kalau teecu membohong, Subo," jawab Biauw Eng.

"Teecu juga sudah mendengar urusan itu sebelum teecu tiba di sini dan menjadi murid Subo," kata pula Hun Bwee.

"Hoahhh, sialan dangkalan! Siapa yang berani lancang membakar mayatnya sehingga aku tidak membalas orangnya, tidak mampu pula membalas tulangnya? Hayo katakan, siapa yang berani lancang demikian?"

Dua orang gadis itu sudah biasa menyaksikan watak yang aneh dan edan-edanan ini, maka mereka pula melayani terus. "Menurut kabar di dunia kang-ouw, yang membakar jenazahnya adalah murid tunggalnya," kata pula Biauw Eng dan jantungnya berdebar keras karena percakapan ini tanpa di sengaja telah menyinggung diri Keng Hong!

"Hayaaaaah-ha-ha-ha! Murid tunggalnya? Dia punya murid? Yahuuuu! Bagus sekali! Siapakah nama muridya itu? Siapa tahu?"

"Cia Keng Hong..!" Dua orang gadis itu saling lirik dengan heran karena nama itu mereka sebutkan dengan berbareng!

“Baik, sekarang kuperintah kalian pergi dan lekas tangkap muridnya yang bernama Cia Keng Hong itu. Seret dia ke sini! Mengerti?" "Baik, Subo!" kata Hun Bwee penuh gairah.

"Baik, Subo!" Biauw Eng juga menjawab, pikirannya melayang jauh.

"Awas, jangan sampai gagal. Kalau kalian pulang tidak membawa Cia Keng Hong, kalian berdua akan kubunuh!"

"Sumoi, mari kita berangkat!"

Demikianlah, kedua orang gadis itu meninggalkan guru mereka dan turun gunung, mulai dengan perjalanan mereka untuk mencari dan menangkap Cia Keng Hong.

"Ke mana kita akan mencari dia?" Tanya Biauw Eng setelah mereka tiba di kaki gunung.

"Aku pun tidak tahu. Kita nanti tanya-tanya kepada orang-orang kang-ouw."

"Kurasa sebaiknya mencari ke kota raja, di sana tentu kita dapat mendengar banyak."

Pada pagi hari itu, mereka melanjutkan perjalanan naik perahu di sepanjang sungai Huang-ho. Mereka tentu tidak akan bertemu Siauw Lek kalau tidak melihat mayat tukang perahu terapung-apung. Biarpun kedua orang gadis ini tidak peduli, akan tetapi sedikit banyak mereka tertarik, maka ketika mereka melihat perahu kosong di tepat sunyi itu, Biauw Eng mendayung perahu dan meloncat ke darat, kedua orang gadis ini tiba pada saat puteri bangsawan yang diperkosa itu menggigit leher Siiauw Lek sehingga dipukul mati oleh penjahat keji itu.

Demikianlah mengapa Biauw Eng dan Hun Bwee dapat tiba di tempat sunyi itu dan Biauw Eng kini mendayung perahunya meninggalkan tempat itu dengan cepat. Jantungnya berdebar keras, teringat ia akan teriakan Hun Bwee yang menyiksa Siauw Lek. Dahulu di depan Go-bi Thai-houw dia tidak merasa terlalu heran mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong amat terkenal, diketahui oleh semua tokoh kang-ouw karena memang menjadi perhatian berhubung adanya Siang-bhok-kiam yang dijadikan rebutan. Akan tetapi, ketika menyiksa Siauw Lek, mengapa sucinya menyebut nama Keng Hong? Apakah karena pikirannya yang sudah tidak waras itu tanpa disadarinya telah mencampuradukkan nama-nama orang?

"...Cia Keng Hong...Kubunuh kau... ahhh...!"

Mendengar ini, Biauw Eng cepat menengok dan ia melihat Hun Bwee sudah siuman dan sucinya itu menangis sambil menyebut nama Keng Hong berkali-kali! Jantung Biauw Eng berdebar keras. Cepat ia mendayung perahunya ke pinggir, mengikat tali perahu ke batang pohon kemudian ia cepat merangkul sucinya yang masih menangis sedih.

"Suci... sadarlah... engkau kenapakah, Suci?"

".... ahhh, Cia Keng Hong.. Betapa kejamnya engkau..!" Kembali Biauw Eng terkejut sekali.

"Suci, ingatlah. Kita berada di perahu dan yang kau bunuh tadi adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek." Hun Bwee mengangkat muka memandang sumoinya dan Biauw Eng makin heran karena pandang mata sucinya wajar, tidak membayangkan keruwetan batin. Hun Bwee memegang lengan Biauw Eng dan berkata perlahan sambil menyusut air matanya.

"Jangan khawatir, Sumoi. Aku tidak apa-apa dan aku sadar. Aku tahu bahwa anjing yang kusiksa itu adalah Siauw Lek. Akan tetapi semua itu membuat aku teringat akan pengalamanku dahulu, teringat akan.. Cia Keng Hong dan hatiku sakit sekali."

"Cia Keng Hong..?" Biauw Eng mengulang nama ini penuh pertanyaan.

Tan Hun Bwee menghela napas panjang dan mengangguk. "Diluar kesadaranku, karena hati sakit, aku telah menyebut namanya. Tadinya hendak kurahasiakan dari siapa pun juga, Sumoi, bahkan Subo sendiri tidak tahu. Akan tetapi ... biarlah, karena engkau sudah tahu sekarang. Memang, Cia Keng Hong itulah, orang yang oleh Subo disuruh kita menangkapnya, murid Sin-jiu Kiam-ong itulah yang telah memperkosaku.." Dan kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Hun Bwee. "Ah, sungguh tak kusangka.. betapa sakit hatiku memikirkan hal itu.. hu-hu-huuuuuukkk...!" Hun Bwee tersedu-sedu dan Biauw Eng cepat merangkulnya. Sepasang mata Biauw Eng sendiri menitikkan dua butir air mta dan gadis ini menggigit bibir bawahnya, Keng Hong pula!!

"Pemuda yang begitu tampan... begitu gagah perkasa.. Begitu halus budi... mengapa...? Mengapa..?" Ahhh....!!" Hun Bwee terisak-isak dan mencengkeram pundak Biauw Eng, menangis di atas dada sumoinya.

"Sudahlah, Suci. Tenangkan hatimu tak perlu kauceritakan kalau memang hal itu membangkitkan kenangan pahit.."

"Biar kau dengar, Sumoi, agar kau betapa buruknya nasib Sucimu ini...!" Hun Bwee mengangkat mukanya dan Biauw Eng cepat mengusap air matanya sendiri dan mendengar sambil memunduukan mukanya. "Ayah bundaku mengandung dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong karena dahulu pernah diganggu ketika ayah bundaku mengawal seorang puteri. Namun ayah bundaku tak pernah berhasil membalas denda, sehingga ayah bundaku meninggal dalam keadaan mengenaskan, menanggung dendam. Aku yang di tinggal mati dan hidup sebatangkara lalu berusaha membalas dendam. Aku yang ditinggal mati dan hidup sebatangkara lalu berusaha membalas dendam atau setidaknya merampas kembali barang-barang berharga yang dahulu dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kemudian aku bertemu dengan Cia Keng Hong! Tutur sapanya yang manis, nasihat-nasihatnya yang amat berharga menyentuh sanubariku, membuat aku insyaf dan aku menerima nasihatnya untuk menghapus permusuhan." Ia berhenti sebentar dan Biauw Eng mendengarkan dengan hati berdebar.

***

Terbayang di depan matanya wajah Keng Hong, terngiang suara yang selalu tak pernah ia lupakan. Kalau sucinya tahu akan semua pengalamannya, akan kekecewaan dan akan penghinaan-penghinaan yang dideritanya, akan cintanya kepada Keng Hong, kemudian betapa cintanya dihancurleburkan, ahhh, pengalaman sucinya itu masih belum apa-apa, masih ringan!

"Malah aku... aku tertarik... dan ketika itu muncul dua orang tosu Kun-lun-pai yang hendak menangkapnya. Aku mati-matian membelanya, malah aku sendiri sampai roboh oleh tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi.. apa yang dia lakukan sebagai balas jasa..? Aku dala keadaan pingsan.. Dan agaknya dia berhasil mengusir dua orang tosu Kun-lun-pai itu.. ketika aku sadar... aku telah diperkosa..!"

"Hemmmmm...!!" Biauw Eng menggigit bibirnya. Awas engkau, Keng Hong! Demikian hatinya berbisik.

"Kalau saja dia berterus terang... Ah, aku sudah seperti gila.. masih dapat diselesaikan dengan baik... akan tetapi dia.. si pengecut itu... Dia menyangkalnya...!" Hun Bwee kelihatan berduka sekali, menghapus air matanya lalu berkata, "Itulah sebabnya mengapa ketika Subo menyuruh kita pergi mencari Keng Hong, aku bersemangat sekali. Ketika tadi aku menyiksa dan membunuh Siauw Lek, terbayang olehku bahwa yang kusiksa itu adalah Keng Hong dan.. dan aku... uhu-hu-huuuh.. aku.... tidak tega.. Sumoi..!"

Biauw Eng memeluk pundak sucinya dan termenung. Hemmmmmm, betapa besar rasa cinta kasih yang berakar di dalam hati sucinya ini terhadap Keng Hong! Biarpun sudah diperkosa dan disangkal pula, kini masih belum lenyap rasa cinta kasih itu sehingga membayangkan betapa dia akan membalas dendam kepada pemuda itu saja membuat ia berduka dan tidak tega!

"Suci, katakanlah terus terang. Aku mohon kepadamu, katakanlah terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Cia Keng Hong?"

Hun Bwee mengangguk. "Semenjak dia menasehati aku untuk menghapus permusuhan, aku kagum kepadanya, aku tertarik dan aku sudah jatuh cinta kepadanya. Biarpun dia telah memperkosaku, kalau dia mengakui perbuatannya, dahulu pun aku bersedia mengampuninya...... tapi dia...... dia menyangkal........."

"Suci, katakanlah lagi secara terus terang. Andaikata dia itu suka mengakui perbuatannya terhadap dirimu, lalu mohon ampun kepadamu, apakah..... apakah Suci suka mengampuninya dan suka pula menerimanya sebagai ....... sebagai suamimu?"

Hun Bwee memandang sumoinya dengan mata terbelalak. "Mungkinkah.......? Mungkinkah dia...... mau........ melakukan hal itu?"

"Aku akan memaksa dia, Suci! Akulah orangnya yang akan memaksa dia agar jangan bersikap pengecut, agar suka mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu, dan agar minta maaf kepadamu dan mempertanggungjawabkan perbuatannya itu dengan mengawinimu!" Biauw Eng berkata penuh semangat dengan sepasang mata brani dan kedua tangan dikepal.

"Aaahhhh, Sumoi.......!" Hun Bwee merangkulnya smabil menangis. "Aku...... aku lemah. Aku cinta padanya......! Hi-hi-hi-hi-hik! Aku........ aku cinta Keng Hong, ha-ha-ha-ha-ha-ha-hah-hah!"

Biauw Eng bergidik. Hatinya penuh keharuan. Keng Hong bear-benar manusia keparat, pikirnya. Sudah merusak hatinya, merusak cintanya, kini menyebabkan Hun Bwee menjadi gila seperti ini! Ia menghibur dan akhirnya Hun Bwee yang kadang-kadang menangis kadang-kadang tertawa itu dapat tidur pulas di dalam perahu. Biauw Eng melanjutkan perjalanan itu, mendayung kembali perahu itu perlahan-lahan. Wajahnya yang cantik itu kini kelihatan kruh, pandang matanya sayu dan muram. Batinnya makin tertekan dan kalau ia mengenangkan wajah Keng Hong! Tak mungkin ia melenyapkan cinta kasihnya itu yang bersemi semenjak pertama kali ia bertemu Keng Hong. Bahkan ketika ia mengira bahwa Keng Hong sudah mati sekalipun, bertahun-tahun ia menyembahyangi arwahnya dengan hati masih penuh cinta kasih! Siapa mengira, Keng Hong telah menghancurkan hatinya, memandang rendah dan hina kepadanya ketika ia mencoba hati pemuda itu dengan mengatakan bahwa tubuhnya sudah dimiliki Sim Lai Sek. Ternyata bahwa cinta Keng Hong kepadanya tiada bedanya dengan cinta pemuda itu kepada perempuan-perempuan lain, kepada Cui Im umpamanya. hanya mencinta tubuhnya dan wajahnya yang cantik! Dan kini, ternyata Keng Hong bukan hanya mata keranjang seperti...... gurunya atau ayahnya sendiri, akan tetapi malah lebih jahat lagi, sudah memperkosa Hun Bwee!

"Aaahhhh..... Keng Hong, mengapa engkau menjadi begitu.....?" hatinya mengeluh dan hidup ini serasa kosong melompong baginya. Betapa senangnya kalau ia menjadi air Sungai Huang-ho ini saja, tidak mengenal susah tidak mengenal kecewa! Akan tetapi, dia masih mempunyai kewajiban yaitu mencari Cui Im dan balas dendam atas kematian ibunya! Dia sudah berhasil membalas kepada Siauw Lek, tinggal Cui Im dan...... dan....memaksa Keng Hong mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap Hun Bwee Ia percaya bahwa sucinya ini akan sembuh daripada serangan kegilaan itu kalau Keng Hong yang dicintanya itu suka menerimanya sebagai isteri.

Perahu yang didayung Biauw Eng meluncur cepat, akan tetapi lebih cepat lagi pikiran Biauw Eng yang hanyut mendahului perahu berlumba dengan riak air Sungai Huang-ho.

Ternyata peristiwa di tepi Sungai Huang-ho menyiksa Kim-lian jai-hwaong Siauw Lek itu mendatangkan pengaruh yang hebat atas jiwa Hun Bwee. Ketika masih belajar silat dibawah asuhan nenek gila Go-bi Thai-houw, Hun Bwee hanya pura-pura gila kalau berada di antara anak buah gurunya atau di depan gurunya. kalau sedang bicara berbisik-bisik di dalam kamar bersama Biauw Eng, dia waras. Akan tetapi sekarang, setelah penyiksaan atas diri penjahat cabul itu, benar-benar Hun Bwee mengalami perubahan dan hal ini amat kentara oleh Biauw Eng. Di sepanjang jalan, Hun Bwee kadang-kadang merenung, tertawa atau menangis sendiri, akan tetapi ada kalanya pula dia sembuh dan normal. Kalau sedang normal Hun Bwee mudah diajak bicara dan memang dasar watak Hun Bwee peramah, halus dan cerdik. Akan tetapi kalau sudah kumat, Biauw Eng kewalahan dan satu-satunya cara adalah ikut menggila!

Setelah melewati Cin-an, Biauw Eng yang kini selalu menjadi pelopor, mengajak Hun Bwee melanjutkan perjalanan ke utara, ke arah kota raja. Dua orang wanita muda yang cantik ini tentu saja menarik perhatian orang, terutama mata kaum pria, di setiap tempat yang mereka lalui. Akan tetapi sikap mereka yang gagah perkasa, terutama sekali pandang mata Hu Bwee yang liar dan wajah Biauw Eng yang dingin, membuat hati pria yang terbakar menjadi padam kembali.

Hari telah menjelang tengah hari, matahari amat panasnya ketika dua orang gadis ini melalui jalan yang lengang. Tidak tampak seorang pun manusia di tengah hari yang panas di sekitar tempat itu. Akan tetapi selagi mereka berdua jalan cepat agar segera sampai di hutan yang tampak di depan di mana perjalanan dapat dilakukan dalam keadaan tidak begitu panas terbakar matahari, tiba-tiba ada derap kaki kuda dari belakang mereka. Biauw Eng dan Hun Bwee berjalan minggir dan seorang penunggang kuda lewat. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki setengah tua. Ketika kudanya lewat dia menengok dan sejenak pandang matanya bertemu dengan wajah Biauw Eg.

"Aihhh.....!" Demikian terdengar penunggang kuda itu bersuara, akan tetapi kudanyadibedal makin cepat, meninggalkan debu mengebul di sepanjang jalan.

"Siapakah orang itu, Sumoi?" Hun Bwee bertanya. Suaranya normal. hati Biauw Eng lega karena sudah tiga hari ini Hun Bwee tidak kumat gilanya! Kalau sudah kumat, ia merasa cemas dan bingung.

"Entahlah, Suci. Aku merasa seperti pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana."

"Hemmm, dia mencurigakan. Ketika melihatmu, dia seperti melihat setan, kelihatan takut dan terkejut sekali."

Biauw Eng tersenyum. "Mungkin dia seorang di antara mereka yang pernah mengalami hajaranku dahulu, Suci."

"Mungkin, akan tetapi betapapun juga, kita harus hati-hati, sumoi."

Biauw Eng mengangguk. hari itu tidak terjadi apa-apa. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan di dusun dekat perbatasan Propinsi Shan-tung dan Hopak. Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Matahari belum naik tinggi ketika mereka tiba di perbatasan dan di sebuah jalan hutan yang sunyi Biauw Eng melihat empat orang kakek yang tua berdiri menghadang perjalanan! Melihat bahwa mereka itu adalah tosu-tosu tua dan sikap mereka membayangkan kewibawaan, Biauw Eng maklum bahwa mereka bukan orang-orang sembarangan dan ia menduga-duga sambil meneliti dari jauh. Seorang di antara mereka, yang paling tua dan rambutnya yang jarang itu sudah putih semua, memegang sebatang tongkat bambu dan mata kirinya buta. Dia inilah agaknya yang menjadi pemimpin karena kelihatan dia menggerakan tangan kiri memberi isyarat kepada tiga orang kakek lain yang kelihatannya marah ketika mereka memandang Biauw Eng.

Biauw Eng dan Hun Bwee hendak melewati saja empat orang tosu tua itu, akan tetapi tiba-tiba tongkat bambu di tangan kakek setengah buta dilonjorkan ke depan dan merintangi jalan.

"Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng, tibalah saatnya orang berdosa menebus kedosaannya dan menerima hukuman. Eng kau telah membunuh suteku termuda, Kok Cin-cu, dan sekarang engkau harus menyerahkan nyawamu kepada kami agar roh sute kami tidak selalu penasaran!"

***

Biauw Eng terkejut. Mendengar nama Kok Cin-cu disebut, ia dapat menduga siapa mereka ini. Terbayang di depan matanya peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika ia membantu Keng Hong menghadapi orang-orang kong-thong-pai ini. karena Keng Hong terancam bahaya dia turun tangan membantu dan dalam pertandingan itu ia berhasil menotok Kok Cin-cu dengan sabuknya yang mengakibatkan tewasnya tosu itu. Kalau ia kenangkan hal itu ia merasa menyesal. Kok Cin-cu adalah tokoh Kong-thong-pai yang terkenal sebagai seorang di antara Kong-thong Ngo-lo-jin (Lima Kakek Kong-thong-pai) dan dia telah kesalahan tangan membunuhnya untuk membela seorang seperti Keng Hong! Sedangkan yang dibelanya akhirnya hanya menghancurkan perasaannya!

"Ah, kiranya Su-wi adalah tokoh-tokoh Kong-thong Lo-jin? Aku Sie Biauw Eng merasa menyesal bahwa dahulu telah kesalahan tangan menewaskan Kok Cin-cu Totiang. Akan tetapi apakah anehnya kalah menang, terluka atau tewas dalam pertandingan? Yang jelas, dahulu sampai sekarang, aku tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Kong-thong-pai. harap Locianpwe berempat suka menghabiskan saja urusan ini dan membiarkan aku dan Suci lewat dengan aman."

"Hemmm....! Sucimu kau bilang?" Kok Kim Cu, tosu ke tiga dari Kong-thong Ngo-lo-jin, berkata sambil memandang Hun Bwee dengan penuh selidik. "Song-bun Siu-li! Siapakah yang tidak tahu bahwa engkau adalah puteri Lam-hai Sin-ni dan sumoi dari si iblis betina Ang-kiam Tok-sian-li yang sekarang berjuluk Ang-kiam Bu-tek? Dan nona ini sama sekali bukanlah Ang-kiam Bu-tek!"

"Sumoi, empat orang kakek tua bangka yang usianya sudah tidak seberapa lagi akan tetapi suka sekali mencari urusan ini siapakah? Dan mengapa mereka ini menghadangmu di sini?"

Biauw Eng lega bahwa saat ini sucinya waras benar, kalau sedang kumat dan menghadapi halangan seperti ini, bisa berabe sekali!" "Suci, keempat orang Locianpwe ini adalah tokoh-tokoh besar Kong-thong-pai. Dahulu dalam sebuah pertandingan yang terjadi tanpa dasar permusuhan pribadi, aku telah kesalahan tangan membunuh seorang di antara mereka dan sekarang mereka itu hendak menghukum aku."

Hun Bwee mengarahkan pandang matanya kepada empat orang tosu itu, kemudian berkata, "Kalian ini empat orang tosu benar-benar memiliki pandangan yang amat dangkal dan cupat! Di antara kaum persilatan, sudah lumrah kalau terjadi kematian dalam pertandingan mengadu ilmu. Kalau setiap orang yang tewas dalam pertandingan lalu dijadikan urusan dendam, tentu dunia ini akan penuh dengan orang yang saling dendam! Sumoiku sudah mengatakan bahwa ketika dia bertanding sampai berakhir dengan tewasnya temanmu, tidak ada dasar urusan pribadi, tidak ada permusuhan. Mengapa kalian tidak mau mengerti? Bagaimana kalau dalam pertandingan itu kebetulan Sumoiku yang kalah lihai dan tewas, lalu apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian juga mengharapkan balas dendam dari keluarga Sumoi?"

Empat orang tosu itu menjadi merah mukanya. Memang mereka pun maklum bahwa antara Kong-thong-pai dan puteri Lam-hai Sin-ni tidak ada permusuhan pribadi dan yang mereka musuhi adalah Cian Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi musuh Kong-thong-pai. Akan tetapi puteri Lam-hai Sin-ni itu membela Keng Hong sehingga mengakibatkan tewasnya seorang di antara Lima kakek Kok-thong-pai. Sekarang, kebetulan sekali seorang anak murid Kong-thong-pai melihat Biauw Eng di jalan dan melapor, masa mereka harus tinggal diam saja?

"Song-bun Siu-li! Kami berempat datang menemuimu di sini bukan untuk mengobrol dan berdebat! Lekas kau membunuh diri di depan kami atau terpaksa kami yang akan mengantar nyawamu menghadap sute kami!" Kembali si buta sebelah menghardik dan tongkat bambunya di todongkan ke arah Biauw Eng.

Biauw Eng tersenyum mengejek. "Totiang, ucapanmu benar-benar tekebur sekali. Dan kurasa karena kesombongan inilah pula maka dahulu Kok Cin-cu tewas! Aku tidak bersalah, tidak membunuhnya dengan sengaja karena membencinya. Kalau kalian tidak menerimanya dan hendak membalas, silahkan. Aku tidak takut menghadapi kalian dan kalau dalam pertandingan ini kalian nanti sampai tewas pula, hal itu terjadi bukan karena aku sengaja membunuh kalian. Tidak ada dendam dan benci di hatiku, seperti yang terdapat di hati kalian!"

"Hemmm.... mendiang Sin-jiu Kiam-ong banyak dosanya terhadap kami, muridnya akan kami hukum, engkau membelanya! Engkau puteri Lam-hai Sin-ni, mana bisa bicara tentang sopan-santun kang-ouw? Engkau adalah tokoh golongan sesat!" Teriak Kong Liong-cu, tosu ke dua sambil menerjang maju dengan tangannya. Terdengar bunyi berkerotokan dan tangannya telah berubah merah, mencengkeram ke arah pundak Biauw Eng.

Biauw Eng maklun akan kelihaian empat orang tosu itu maka cepat ia meloncat jauh ke belakang sambil melolos sabuk suteranya. Empat orang tosu itu memang lihai. Mereka ini adalah empat di antara Kong-thong Ngo-lo-jin yang amat terkenal dengan ilmu pukulan mereka yang disebut Ang-liong-jiauw-kang (Cakar Naga Merah)! Betapapun lihainya mereka itu, kalau maju seorang demi seorang, tentu saja bukanlah lawan Biauw Eng! Dahulu pun, sebelum Biauw Eng digembleng oleh Bo-bi Thai-houw, seorang di antara mereka, Kok Cin-cu, tewas di tangan dara perkasa ini. Apalagi sekarang setelah ilmu kepandaian Biauw Eng menanjak dengan hebatnya. Akan tetapi, empat orang kakek itu tidak maju satu-satu, melainkan berbareng mereka menerjang Biauw Eng.

Kok Sian Cu yang tertua dan paling lihai sudah menggerakan tongkat bambunya yang ternyata hebat sekali, cepat dan menjadi sinar dengan getaran yang amat kuat mengeluarkan suara mencicit. Kok Liong-cu, orang ke dua, menggunakan pedang dan gerakannya pun hebat, berdesing-desing bunyi mata pedang memecah udara. Kok Kiam-cu orang ke tiga juga menggunakan pedang, sedangkan Kok Seng-cu lebih mengandalkan sepasang tangannya yang membentuk cakar naga!

Diserang oleh empat orang pandai ini, Biauw Eng mengeluarkan pekik melengking dan sabuk suteranya sudah bergulung-gulung dengan hebatnya, menyambut dengan tangkisan dan membalas dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya. Namun, pengeroyokan empat orang tokoh Kong-thong-pai yang lihai itu terlalu berat sehingga Biauw Eng terpaksa menggunakan ginkangnya berkelebatan ke kanan kiri.

"Tosu-tosu tua yang tak tahu malu, mengeroyok seorang gadis muda!" Tiba-tiba Hun Bwee berseru keras dan tampaklah sinar pedang hitam bergulung-gulung menimbulkan angin yang dahsyat.

Empat orang kakek itu terkejut dan maklum bahwa suci Biauw Eng ini ternyata juga amat lihai. Maka dua di antara mereka, yaitu Kok Kiam-cu dan Kok Seng-cu, sudah memisahkan diri dan menyambut terjangan wanita baju merah ini. Biauw Eng juga terkejut melihat majunya Hun Bwee. Kalau ia teringat betapa Hun Bwee menyiksa Siauw Lek, ia masih merasa ngeri. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan sucinya itu kalau sudah kumat. Sekarang, selagi masih waras, lebih baik ia cepat memberi peringatan,

"Suci, mereka ini bukan musuh. Harap kau tidak membunuh mereka!"

"Hemmm....baiklah, Sumoi."

Empat orang tosu itu marah bukan main, Ucapan kedua orang gadis itu benar-benar merupakan tamparan bagi mereka. Merupakan penghinaan karena jelas bahwa kedua orang gadis ini memandang rendah! Seolah-olah dua orang itu dapat mengatur untuk mengalahkan, untuk membunuh atau tidak membunuh, seenaknya saja!

***

Akan tetapi, ternyata dua orang gadis itu bukannya memandang rendah atau menghina, melainkan bicara sewajarnya. Hal ini terasa oleh empat orang kakek itu setelah mereka berempat dibikin pening dan bingung oleh sinar hitam pedang Hun Bwee dan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng! Benar-benar bingung mereka karena ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis itu benar-benar aneh dan gila! Setelah lewat seratus jurus dan kepala Kok Sian-cu berdua Kok Liong-cu sudah pening oleh gulungan sinar putih yang seolah-olah berada disemua jurusan, tiba-tiba kedua tosu ini mengeluarkan seruan kaget melihat betapa Biauw Eng terlibat kedua kakinya oleh sabuknya sendiri sampai roboh terguling! Tadinya kedua orang kakek yang sudah terdesak hebat itu hanya memutar senjata melindungi tubuh, akan tetapi kini melihat betapa sabuk yang bergulung-gulung aneh itu ternyata menjadi kacau-balau dan mejegal kaki gadis itu sendiri sampai terguling roboh, mereka terkejut dan otomatis menghentikan gerakan pedang dan siap menyerang lawan yang sudah roboh itu. Akan tetapi tiba-tiba mereka berdua berteriak kaget dan tubuh mereka terguling karena kaki mereka sudah terbelit ujung sabuk yang mendekati kaki mereka ketika Biauw Eng roboh tadi dan kini seperti ular, tahu-tahu telah melibat kaki mereka dan dibetot dengan tenaga kuat bukan main. Biauw Eng melompat bangun dan cepat menggerakan ujung sabuk yang tadi membelit kakinya, yang tentu saja dilakukan dengan sengaja dan dua kali ujung sabuk itu menotok, tepat di jalan darah yang membuat tubuh Kok Sian-cu dan Kok Liong-cu menjadi lumpuh!

Biauw Eng meloncat dan membantu sucinya, akan tetapi tiba-tiba tubuh Kok Kiam-cu terguling, pedangnya terlepas karena pangkal lengannya tergores pedang Hek-sin-kiam, Kok Seng-cu pun tiba-tiba roboh terkena totokan ujung sabuk sutera Biauw Eng yang meluncur dengan tiba-tiba dan menotoknya selagi Kok Seng-cu sibuk memperhatikan nona baju merah yang sudah melukai suhengnya. Dengan demikian, pertandingan itu selesai. Tiga orang tosu tertotok lumpuh, yang seorang terluka lengannya.

Biauw Eng cepat menggerakan lagi sabuknya dan ujung sabuk itu berkelebat ke kanan kiri, menotok ke arah tubuh Kok Sian-cu, Kok Liong-cu danKok Seng-cu dengan tepat sehingga di lain saat ketiga orang tosu ini sudah dapat bergerak kembali. Mereka bangkit berdiri dan menarik napas panjang, wajah mereka menjadi pucat dan mereka itu benar-benar merasa malu sekali bahwa sebagai tokoh-tokoh terkenal Kong-thong-pai mereka terpaksa mengakui keunggulah dua orang muda! Biarpun kekalahan yang amat memalukan ini tidak disaksikan orang lain, akan tetapi mereka maklum bahwa dengan kekalahan mutlak ini mereka tidak ada muka lagi untuk muncul di dunia kang-ouw sebagai jago-jago tua yang sukar dikalahkan!

Biauw Eng maklum akan perasaan mereka. Maka ia lalu menjura dan berkata, "Harap Sam-wi suka maafkan kami. Adalah Su-wi sendiri yang terlalu mendesak. Akan tetapi, harap Su-wi tidak kecil hati karena Su-wi tidaklah kalah di tangan musuh. Kuulangi lagi, aku bukanlah musuh Su-wi. Kalau dahulu aku kelepasan tangan membunuh Kok Cin-cu, hal itu adalah gara-gara Keng Hong. Dan sekarang, kami berdua sedang mencari Keng Hong untuk menangkap dan menghukumnya! Dengan demikian, akan lenyaplah rasa penasaran Su-wi. Agar memudahkan usaha kami berdua menemukan Keng Hong, sukalah kiranya Su-wi memberitahukan, di mana kami dapat mencarinya."

Kok Sian-cu menghela napas panjang. "Mungkin engkau benar, Nona. Kalau engkau musuh kami, tentu engkau sudah membunuh kami dan sikapmu tidak seperti itu. Dan memang semula penasaran hati kami tertuju kepada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong. Nona hanya terbawa-bawa karena dahulu membantunya. Kalau sekarang Nona sendiri memusuhinya biarlah pinto sekalian tahu diri dan menghabiskan persoalan kami dengan Nona. Akan tetapi kami sendiri pun tidak tahu di mana adanya murid Sin-jiu Kiam-ong itu."

Biauw Eng kecewa, akan tetapi ia teringat akan tugasnya ke dua, yaitu mencari Cui Im untuk membalas kematian ibunya, maka setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Kong-thong-pai ini, mengapa tidak sekalian bertanya? "Locianpwe, dapatkah Locianpwe mengatakan kepadaku apakah Locianpwe tahu di mana adanya Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im?"

Mendengar disebutnya nama tokoh wanita iblis yang dibenci dan ditakuti ini, wajah empat orang tosu itu membayangkan hati tidak senang dan kembali mereka merasa menyesal mengapa mereka kini berbaik dengan adik seperguruan wanita iblis Ang-kiam Bu-tek itu. Biauw Eng cerdik sekali dan ia dapat menduga isi hati mereka, maka ia cepat berkata,

"Locianpwe, aku mencari dia untuk membalas dendam atas kematian ibuku di tangannya."

"Ahhhhh....!" Kok Sian-cu bersru. "Pinto teringat sekarang, menurut kabar, dia menjadi pengawal di istana kaisar. Kalau Nona pergi ke kota raja, agaknya tentu akan mendengar tentang iblis betina itu."

Girang hati Biauw Eng. Ia lalu berpamit kepada empat orang tosu itu dan mengajak sucinya melanjutkan perjalanan. Empat orang tosu tua itu memandang kagum dan berulang kali menghela napas panjang. Benar-benar mereka tidak menyangka bahwa di dunia kang-ouw kini bermunculan tokoh-tokoh muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa.

"Lihiap....! Tunggu dulu.......!!" Tiba-tiba Kok Sian-cu berseru sambil mengerahkan khikang sehingga kedua orang gadis itu terkejut, menghentikan langkah dan cepat mereka itu kembali menghampiri empat orang tosu tua itu.

"Ada apakah, Locianpwe?" Tanya Biauw Eng, memandang tajam.

"Setelah menyaksikan sepak terjangmu, kami menyesali kekasaran sendiri dan maklum bahwa Lam-hai Sin-ni ternyata telah melahirkan seorang wanita perkasa yang tidak tergolong kaum sesat! Lihiap, pinto nasihatkan agar engkau tidak mendatangkan keributan di istana, karena hal itu membuat Lihiap dianggap sebagai pengacau atau pemberontak. Di istana terdapat banyak sekali orang sakti......"

"Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi aku tidak takut. Biar dia bersembunyi di neraka, aku akan mencari dan membunuh Cui Im!"

"Jangan salah mengerti, Nona. Kini. Kaisar telah melakukan hal yang menyusahkan hati tokoh-tokoh kang-ouw, yaitu karena Kaisar telah menerima tenaga-tenaga dari kaum sesat untuk menjadi pengawal. Hal itu berbahaya sekali. Apalagi setelah mendengar bahwa orang-orang macam Ang-kiam Bu-tek, Pak-san Kwi-ong, dan banyak lainnya dijadikan pengawal pribadi. Orang-orang macam itu tidak bisa dipercaya. Karena itu, kini akan diadakan pertemuan antara partai-partai besar dan tokoh-tokoh terkemuka di puncak Tai-hang-san, semua tokohnya, bahkan ketua-ketua partai, akan hadir untuk membicarakan urusan itu, kemudian akan mengajukan permohonan dan peringatan kepada Kaisar akan bahayanya tenaga dari kaum sesat yang dipergunakan itu. Oleh karena itu, untuk menghadapi Ang-kiam Bu-tek, tidakkah sebaiknya Nona hadir dipertemuan itu? Kalau bertindak sendir, memang pinto percaya akan kesanggupanmu, akan tetapi pinto khawatir kalau iblis betina itu berlindung di balik kekuasaan Kaisar sehingga Nona akan dicap sebagai pemberontak!"

Biauw Eng mengangguk-angguk, maklum akan pentingnya ucapan kakek itu.

"Terima kasih, Locianpwe. Nasihat Locianpwe tentu akan kuperhatikan. Aku akan ke kota raja lebih dulu mencari Keng Hong dan kalau mungkin menghadapi Cui Im di luar istana. Akan tetapi andaikata aku menemui kesulitan, tentu aku akan ingat pesan Locianpwe untuk berkunjung ke Puncak Tai-hang-san bekerja sama dengan para Locianpwe."

***

Biauw Eng dan Hun Bwee lalu memberi hormata dan pergi menuju ke utara, sedangkan empat orang tuso itu melanjutkan perjalanan menuju ke tai-hang-san karena memang mereka bermaksud menghadiri pertemuan puncak antara tokoh-tokoh persilatan itu, mewakili ketua Kong-thong-pai yang sedang sakit dan berhalangan hadir.

Empat orang tosu Kong-thong-pai melakukan perjalanan perlahan karena waktu untuk pertemuan itu masih banyak. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap membicarakan kelihaian Biauw Eng juga keanehan bahwa puteri seorang tokoh utama datuk hitam yang dikenal sebagai iblis betina Lam-hai Sin-ni, kini bersikap baik sekali dan agaknya tidak akan melanjukan jejak ibunya.

Belum lama empat orang kakek Kong-thong-pai ini melanjutkan perjalanan, tiba-tiba mereka berhenti dan memandang dua orang yang datang dari depan dengan mata terbelalak. Kok Seng-cu berbisik,

"Cia Keng hong......!"

Kok Sian-cu si kakek setengah buta sudah berkelebat bersama putaran tongkatnya ke depan Keng Hong yang berjalan bersama Yan Cu, menodongkan tongkatnya dan membentak,

"Cia Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong, pengacau muda yang jahat! Sekali ini kami takkan melepaskan engkau!"

Melihat tosu tua itu menerjang dengan tongkatnya yang berubah menjadi sinar kehijauan bergulung-gulung, yan Cu cepat melangkah maju dan berkata,

"Eiiitt, eittttt.....! sabar dulu, Totiang!" gadis ini melihat bahwa tiga orang tosu tua yang lain juga sudah melesat ke depan dan mereka berempat itu memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kemarahan. "Kalian ini empat orang tosu yang sudah tua, mengapa berikap begini pemarah? ada urusan boleh dibicarakan, mengapa begitu bertemu terus hendak menggunakan kekerasan seperti sikap serombongan tukang pukul yang berengsek?"

Dengan matanya yang tinggal satu, Kok Sian-cu memandang Yan Cu. Karena Yan Cu hanyalah seorang gadis muda yang cantik dan tosu itu belum pernah melihatnya, tentu saja Kok Sian-cu merasa tidak perlu melayani gadis itu. Karena merasa bahwa gadis itu hanya akan menjadi penghalang saja dan tidak ingin kalau ada orang lain yang terbawa-bawa dalam urusan Kong-thong-pai menghadapi musuh besar murid Sin-jiu Kiam-ong. "Nona, jangan ikut campur. Minggirlah!" Berkata demikian, orang pertama dari Kong-thong-pai mendorong ke arah pundak Yan Cu. Dorongan itu bukanlah merupakan serangan berat, karena maksudnya pun hanya ingin mendorong tubuh nona itu agar terdorong ke pinggir.

"Wusssss!!" dorongan tongkat itu mengenai tempat kosong karena dengan gerakan mudah saja Yan Cu dapat mengelak tanpa menggerakan kedua kakinya. Kok Sian-cu terkejut. Dia adalah seorang tokoh yang lihai dari Kong-thong-pai, biarpun dia tidak ingin melukai nona muda ini, namun dorongan tongkatnya tadi tidak akan dapat dielakan oleh sembarang orang! Dan bocah ini hanya mengelak dengan sikap begitu tenang, tanpa menggerakan kaki seolah-olah memandang rendah serangan itu. Hal ini tentu saja membuatnya menjadi penasaran sekali.

"Bagus, biarlah pinto membuat engkau tak mampu bergerak untuk sementara agar jangan mengganggu!" Setelah berkata demikian, kembali tongkatnya bergerak. Akan tetapi sekali ini bukan bergerak sekedar untuk mendorong, melainkan melakukan totokan untuk menotok jalan darah Yan Cu agar tak mampu bergerak.Karena dia tidak mau gagal lagi seperti tadi, maka sekali ini totokannya bukan hanya berhenti pada sekali totokan saja, melainkan ada lanjutannya untuk menyusul totokan pertama apabila gagal, bahkan merupakan rangkaian totokan dengan ujung tongkatnya sampai beruntun lima kali.

"Wuuuuuuttt! Cus-cus-cus-cus-cus.....!"

Merah sekali muka Kok Sian-cu karena serangannya yang amat hebat itu, totokan beruntun selama lima kali susul menyusul, amat cepat dan mengarah jalan darah di tubuh bagian depan gadis itu, semua dapat dielakan oleh Yun Cu tanpa gugup sedikit pun juga. Bahkan gadis ini melakukan elakan-elakan itu sambil tersenyum mengejek dan berkata,

"Aihhhh...... aiiiihhhhh...... benar-benar galak sekali tosu ini! Eh, Totiang, apa sih kesalahanku engkau datang-datang terus saja mainkan tongkatmu yang buruk dan bau itu?"

Kok Siancu yang tadi terkejut itu kini dapat menduga bahwa gadis ini ternyata bukanlah orang sembarangan. Ia makin penasaran. Baru beberapa jam yang lalu dia dan tiga orang sutenya bertemu dengan Biauw Eng dan Hun Bwee, dua orang gadis yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mereka berempat tak mampu menandingi dua orang gadis itu. Kini, lagi-lagi muncul seorang gadis yang sama sekali tidak terkenal dan yang ternyata mampu menghadapi totokan-totokannya secara memandang rendah sekali! Mukanya menjadi merah dan mata tunggalnya itu memancarkan cahaya kemarahan, tongkat di tangannya tergetar dan dia sudah siap menerjang dengan sungguh-sungguh, mengirim terjangan maut.

"Totiang, tahan dulu!" Keng Hong cepat berkata dan menarik lengan Yan Cu ke belakang sambil berkata, "Sumoi, mundurlah. Mereka ini adalah keempat orang Locianpwe dari Kong-thong Ngo-lojin dan memang benar, mereka tidak ada urusan dengamu, Sumoi. Biarkan aku menghadapi meeka."

Yan Cu cemberut dan memandang empat orang kakek itu dengan matanya yang lebar dan bening, lalu mengomel, "Aku pun tidak ingin berurusan dengan orang-orang tua yang begini galak, akan tetapi mendengar kau disebut pengacau jahat, mana bisa aku diam saja?"

Keng Hong tersenyum lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada empat orang tosu itu. "Keempat Locianpwe, saya mengerti akan kemarahan Locianpwe sekalian terhadap diriku. Tentu karena peristiwa-peristiwa yang lalu yang berhubungan dengan mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, seperti telah para Locianpwe dengar dahulu di Kun-lun-pai, semua peristiwa yang terjadi itu adalah kesalah fahaman belaka, dan semenjak dahulu pun saya tidak ingin melanjutkan permusuhan yang timbul antara Kong-thong-pai dan mendiang suhu. Bahkan sebaliknya saya ingin memperbaiki hubungan dan kalau sampai terjadi korban-korban roboh di antara anak murid Kong-thong-pai, hal itu terjadi dalam pertandingan dan bukan kehendak saya. Dahulu, di puncak Kun-lun-pai saya pernah menuduhkan perbuatan itu sebagai perbuatan nona Sie Biauw Eng, akan tetapi baru-baru kemudian saya tahu bahwa pembunuhan-pembunuhan terhadap anak murid Kong-thong-pai yang diracun adalah perbuatan keji dari Bhe Cui Im!"

Kok Sian-cu menggerakan tongkat di depan dada dan berkata mewakili para sutenya yang memandang marah, "Orang muda, betapapun pandai engkau berputar lidah membela diri, namun kenyataannya baik gurumu maupun engkau adalah orang yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak benar, di antaranya telah berkali-kali menghina Kong-thong-pai secara hebat. Gurumu menewaskan lima orang murid Kong-thong-pai dalam pertandingan, engkau sendiri telah menyebabkan kematian suteku Kok Cin-cu dan empat orang muridnya......"

"Maaf, hal itu terjadi karena Kok Cin-cu Totiang dan murid-muridnya mendesakku dan muncul orang yang membantuku sehingga mereka tewas......"

"Hemmmm, kami pun tahu bahwa nona Sie Biauw Eng melakukannya demi untuk membantu dan menolongmu. Akan tetapi tetap saja kematian murid-murid Kong-thong-pai terjadi karena engkau! Kemudian, karena engkau pula yang tak tahu malu merayu dua orang murid wanita Kong-thong-pai, enam orang murid Kong-thong-pai mati keracunan!"

"Totiang! Hal itu adalah perbuatan busuk Bhe Cui Im!!!"

***

Kok Sian-cu melotot. "Kaukira kami bodoh tidak mengetahui hal itu? Kami telah menyelidiki ke dusun dan kami tahu semuanya. Akan tetapi, semua itu tidak terjadi kalau engkau tidak menjadi biang keladinya, menjadi sebab timbulnya urusan-urusan itu. Pula, engkau telah bersekutu dengan Ang-kiam Bu-tek, engkau pemuda yang tak berakhlak, engkau menjadi kekasih iblis betina itu, siapakah yang tidak tahu? Engkau malah telah membiarkan semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong kepada iblis betina itu sehingga dia menjadi amat lihai, dan semua pusaka milik partai-partai besar telah terjatuh di tangannya! Ahhh, dosamu terlalu besar, Cia Keng Hong! Semua korban yang jatuh di fihak kami, memang benar bukan terjadi karena sengaja engkau yang membunuhnya dan mengingat akan dasar itu, boleh saja kami meniadakan tuntutan. Akan tetapi, engkau penyebab segala bencana dan yang paling hebat adalah turut lenyapnya pula pusaka Kong-thong-pai yang selama ini memang kami rahasiakan agar tak diketahui orang bahwa pusaka kami pun terjatuh ke tangan Sin-jiu Kiam-ong!" Setelah berkata demikian, Kok Sian-cu menggerakan tongkatnya menotok ke arah dada Keng Hong. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak seperti yang dilakukan Yan Cu tadi, melainkan memasang dadanya untuk ditotok ujung tongkat yang menjadi sinar kehijauan saking cepatnya gerakan kakek itu.

"Dukkk!!" Totokan ujung tongkat itu tepat mengenai jalan darah di dada Keng Hong, akan tetapi yang ditotok tidak apa-apa, sebaliknya tongkat itu membalik dan Kok Sian-cu merasa betapa tangannya tergetar dan lengannya hampir lumpuh! Ia terkejut sekali dan meloncat mundur. Tiga orang sutenya sudah siap menerjang. Akan tetapi Keng Hong cepat mengangkat ke dua tangan ke atas sambil berkata,

"Sabarlah, para Locianpwe dari Kong-thong-pai yang terhormat! Dengarkan dulu kata-kata keteranganku. tidak benar kalau dikatakan bahw saya bersekutu dengan Bhe Cui Im si wanita jahat! Sebaliknya malah! Pusaka-pusaka peninggalan guruku itu bukan saya berikan kepadanya, melainkan dicurinya dariku! Dan dengan susah payah aku telah berhasil merampasnya kembali."

Empat orang tuso itu memandang penuh harapan dan Keng Hong cepat menghampiri Kon Sian-cu sambil bertanya, "Totiang, yang dimaksudkan dengan pusaka Kong-thong-pai yang telah diambil suhu dan dirahasiakan itu bukankah sepasang golok emas yang amat indah?"

Kok Sian-cu mengangguk-angguk, menelan ludah untuk menekan ketegangan hatinya sambil berkata, "Betul.....betul........"

Keng Hong merogoh baju dalamnya dan mengeluarkan sepasang golok emas, menyerahkan sepasang golok indah itu kepada Kok Sian-cu sambil berkata, "Inikah pusaka Kong-thong-pai? Kalau benar, nah, terimalah disertai permohonan maaf sebesarnya dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong!"

Begitu melihat sepasang golok emas itu empat orang tosu Kong-thong-pai terbelalak. Kok Sian-cu menerima dengan kedua tangan gemetar, tongkatnya terlepas dan begitu sepasang golok emas itu dipegangnya, kedua lututnya lalu ditekuk dan tiga orang sutenya pun menjatuhkan diri berlutut pula.

"Kong-thong Siang-sin-to (Sepasang Golok Sakti Kong-thong-pai)....." Terdengar mulut keempat orang tosu itu berkata penuh keharuan sambil memandang sepasang golok emas yang dipegang Kok Sian-cu dan diangkat tinggi-tinggi.

Keng Hong dan Yan Cu saling memandang dan mengertilah dua orang muda ini bahwa sepasang golok itu ternyata adalah pusaka yang amat dihormati oleh tokoh-tokoh Kong-thong-pai, maka pantaslah kalau mereka semenjak dahulu memusuhi Sin-jiu Kiam-ong dan menyimpan rahasia kehilangan sepasang golok itu karena hal ini akan menurunkan nama besar Kong-thong-pai! Dan Keng Hong dapat pula membayangkan betapa besar rasa syukur di hati empat orang tosu itu.

Akan tetapi tiba-tiba Kok Sian-cu meloncat bangun dan berseru marah, "Siapa telah menodai Siang-sin-to kami dengan darah??"

Tiga orang sutenya terkejut dan melompat bangun pula, mendekati Kok Sian-cu dan meneliti sepasang golok emas itu. Mereka semua kelihatan marah dan Kok Sian-cu segera membalikan tubuh menghadapi Keng Hong dan bertanya,

"Orang muda yang sudah berjasa besar mengembalikan Siang-sin-to, apakah engkau begitu keji menggunakan pusaka Kong-thong-pai yang suci ini untuk membunuh orang?"

Keng Hong menjawab tenang dan sabar, "Sepasang kim-to (golok emas) itu memang telah mencium darah orang, Totiang, akan tetapi bukan darah orang lain melainkan darahku sendiri! Setelah berhasil merampas semua pusaka dari Bhe Cui Im, saya bertemu dengan Ang-bin Kwi-bo dan saya ditangkap, pusaka-pusaka itu dirampasnya....."

"Ahhh.....!!" Empat orang kakek Kong-thong-pai itu kaget sekali mendengar disebutnya nama iblis betina yang menjadi datuk hitam itu.

"Sepasang golok emas pusaka Kong-thong-pai itu dipergunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk membuat saya tidak berdaya, yaitu dibengkokan menjadi kaitan dan dikaitkan tulang-tulang pundak saya. Untung kemudian pusaka-pusaka itu, termasuk sepasang kim-to dapat saya rampas kembali berkat pertolongan Subo dan Sumoi ini. Jangan khawatir, Totiang, golok pusaka yang suci itu tidak pernah dipergunakan membunuh manusia dan darah itu adalah darahku sendiri."

Empat orang tosu yang merasa girang dan bersyukur bisa memdapatkan kembali sepasang golok emas itu menjadi terharu dan ngeri mendengarkan pengalaman Keng Hong yang nyaris tewas mempertahankan pusaka-pusaka itu, termasuk pusaka Kong-thong-pai yang berhasil diselamatkan. Mereka bergidik kalau memikirkan betapa pusaka suci ini bisa terjatuh ke tangan seorang manusia iblis seperti Ang-bin Kwi-bo dan tentu akan kotor dan berubah menjadi pusaka maut yang haus akan darah manusia!

"Orang muda, jasamu tidak kecil dengan mengembalikan pusaka ini, dan biarlah kami membalas budimu dengan menghabiskan semua permusuhan yang pernah timbul. Kami dapat percaya bahwa dalam peristiwa-peristiwa itu, engkau tidak berdosa, atau setidaknya engkau tidak sengaja melakukan kejahatan. Betapapun juga, kami kira perbuatan-perbuatan yang telah engkau lakukan itu, bagaikan tanaman pohon, pasti akan berbuah pula. Siapa menanam dia akan memetik buahnya. Demikian pula dengan perbuatan baikmu mengembalikan pusaka kami ini, biarlah sekarang juga kami membalasmu dengan peringatan bahwa engkau sedang terancam bahaya dan sebaiknya sekarang juga segera pergi dari sini, jangan menuju ke kota raja."

Keng Hong mengerutkan alisnya, kemudian bertanya, "Kalau Totiang sudi menjelaskan, mengapa Totiang melarang saya ke kota raja dan bahaya apakah yang mengancam saya di kota raja?"

Empat orang tosu itu saling pandang, agaknya ragu-ragu, akan tetapi setelah kembali memandang sepasang golok emas di tangannya, Kok Sian-cu berkata, "Baru saja beberapa jam yang lalu ada dua orang mencarimu, Cia-sicu. Mereka itu mencarimu bukan dengan niat baik, melainkan hendak menangkap atau membunuhmu, dan...... dan mereka itu lihai bukan main...... mungkin engkau tidak akan dapat melawan mereka dan akan celaka kalau bertemu mereka. Mereka menuju ke kota raja mencarimu, maka demi membalas kebaikanmu yang telah mengembalikan pusaka kami ini, kami memperingatkan Sicu untuk cepat-cepat pergi dari sini menjauhi kota raja."

***

"Eh, Totiang!" Yan Cu tidak sabar lagi menjawab. "kami berdua memang hendak k kota raja dan kami berdua sama sekali tidak takut menghadapi ancaman mush yang manapun juga. Apakah dua orang yang mengancam Suheng itu bukan manusia?Kalau hanya manusia biasa seperti kami, hemmmm....... kami tidak takut sedikit pun juga!"

Baru sekarang empat orang tosu itu dapat memandang Yan Cu tanpa kemarahan di hati dan empat orang kakek ini diam-diam harus mengakui bahwa gadis itu amat ayu dan menggairahkan. Diam-diam mereka berpikir dari mana murid Sin-jui Kiam-ong ini mendapatkan seorang sumoi? Dan sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian gadis yang begini cantik jelita seperti sekuntum bunga mawar? Mereka memandang kagum dan menduga-duga. Apakah dara jelita ini pun memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan mengejutkan seperti yang dimiliki puteri Lam-hai Sin-ni dan sucinya yang aneh berpakaian merah itu?

"Mereka itu memang kelihatannya seperti manusia-manusia biasa, bahkan merupakan dua orang dara yang cantik, akan tetapi yang memiliki ilmu kepandaian seperti iblis!"

"Dua orang wanita muda?" Keng Hong memandang tajam. "Siapakah mereka, Totiang? Dan mengapa mengancam saya?"

"Mereka itu adalah dua orang gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Kami tidak mengenal orang ke dua, akan tetapi yang pertama adalah puteri Lam-hai Sin-ni, nona Sie Biauw Eng......eh, Sicu.....!"

Akan tetapi Keng Hong tak mempedulikan panggilan itu karena dia telah menggandeng tangan Yan Cu dan sekali berkelebat kedua orang ini telah lenyap dari depan mata empat orang tosu yang melongo. Kemudian Kok Sian-cu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, "Hebat sekali....., berakan mereka begitu cepat...... hemmmmm, tentu akan terjadi geger kalau mereka berempat itu saling jumpa. Tak dapat dibayangkan betapa akan hebatnya pertandingan antara mereka!" Kemudian dia menghela napas dan berkata kepada tiga orang sutenya, "Kita telah ketinggalan jauh oleh orang-orang muda itu. Sebaiknya kalau mulai sekarang, kita mencurahkan lebih banyak perhatian kepada anak-anak murid Kong-thong-pai yang muda-muda agar mereka itu tekun berlatih dan dapat memperoleh kemajuan-kemajuan hebat seperti orang-orang muda ini........ karena hanya dengan adanya orang-orang muda yang pandai saja maka perkumpulan kita akan memperoleh kemajuan dan mereka kelak akan dapat menggantikan kita yang sudah makin tua dan makin mundur....."

Keng Hong begitu mendengar disebtunya nama Biauw Eng, sudah tidak dapat lagi menahan hatinya yang tiba-tiba berdebar keras saking girangnya. Tanpa pamit dia sudah meninggalkan empat orang tosu itu. Juga Yan Cu amat girang mendengar bahwa dua orang yang mencari Keng Hong dan baru beberapa jam lewat menuju ke kota raja itu adalah Biauw Eng dan seorang wanita lain. Memang mereka berdua sedang mencari Biauw Eng! Pertemuan dengan Biauw Eng amatlah penting bagi mereka berdua, karena pertemuan itu akan menentukan nasib mereka berdua dan akan menjadi keputusan apakah mereka akan melanjutkan ikatan jodoh yang diperintahkan dan dipaksakan subo mereka itu ataukah tidak! Maka ketika Keng Hong menarik tangannya, Yan Cu pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat sekali mengimbangi suhengnya.

Biauw Eng dan Hun Bwee melakukan perjalanan seenaknya. Kota raja sudah tidak begitu jauh lagi dan perjalanan mereka melalui dusun dan hutan yang tidak liar karena daerah dekat kota raja sudah mulai ramai. Hati Biauw Eng tenang dan lega bahwa Hun Bwee tidak kumat lagi gilanya. Diam-diam ia menaruh kasihan sekali kepada sucinya ini, dan mulailah ia mengutuk Keng Hong di dalam hatinya, sungguhpun tadinya ia merasa ragu-ragu apakah benar Keng Hong sampai hati melakukan perbuatan sekejit itu. Ia sering kali termenung dan menjadi bingung sendiri, apakah yang harus ia lakukan terhadap Keng Hong jika ia bertemu dengan pemuda yang dicarinya itu. Kalau ia bertemu dengan Cui Im yang dicarinya, memang sudah jelas akan ia serang mati-matian. Akan tetapi kalau ia bertemu dengan Keng Hong, bagaimana? Subonya menghendaki agar Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong ditangkap dan diseret di depan kaki Go-bi Thai-houw yang gila itu. Sucinya sendiri ingin membalas dendamnya karena pernah diperkosa oleh Keng Hong, hal yang memang sudah semestinya dan dia sendiri yang akan memaksa Keng Hong untuk bertanggung jawab dan mengawini sucinya yang sudah diperkosanya itu!

Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Ah, di antara dia dan Keng Hong memang tidak ada urusan apa-apa! Dia mencinta Keng Hong, dan pemuda itu juga menyatakan cinta kepadanya. Akan tetapi betapa dangkal dan palsu cinta kasih Keng Hong kepadanya! Tidak seperti cintanya, yang mendalam dan tulus ikhlas, cintanya tidak akan luntur oleh kejadian apa pun juga. Benar, sama sekali tidak pernah brubah. Kemarahannya karena kepalsuan Keng Hong menimbulkan benci seketika saja, namun tetap tidak mampu menghapus cinta kasihnya terhadap pemuda itu. Akan tetapi, apakah yang ia lakukan? Bagaimana kalau ia nanti berhadapan dengan Keng Hong? dapatkah ia menguasai hatinya untuk tidak menjadi lemah kalau berhadapan dengan pemuda itu? Ataukah ia tidak akan dapat menguasai kemarahan dan hatinya yang sakit karena cintanya di sia-siakan lalu turun tangan membunuh pemuda itu? Ah, tidak! Tidak! Dia harus dapat menguasai dan mengatasi perasaan pribadinya. Dia harus menangkap Keng Hong sesuai dengan perintah gurunya. Dia harus dapat memaksa Keng Hong untuk bertanggung jawab dan mengawini sucinya yang telah diperkosanya! Setelah itu........dia.......dia akan pergi. Jauh! Entah ke mana! Akan tetapi, sebuah ingatan menyelinap di dalam kepalanya, membuyarkan semua angan-angan tadi. Betapa ia memudahkan persoalan. Seolah-olah ia berani memastikan bahwa dia akan dapat memperlakukan Keng Hong sebagaimana yang dia kehendaki!

Seolah-olah Keng Hong merupakan sebuah boneka yang dapat ia bunuh atau tidak! Sejenak ia tadi lupa bahwa yang dia hadapi bukan Keng Hong yang telah menyia-nyiakan cintanya, Bukan hanya Keng Hong yang telah memprkosa Hun Bwee, akan tetapi juga Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Memang, dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, apalagi ada Hun Bwee disampingnya, ia tidak takut dan percaya akan dapat mengatasi Keng Hong, namun betapapun juga, dia tidak boleh merasa terlalu yakin akan dapat menangkap pemuda itu.

"Biauw Eng.....!!"

Otomatis Biauw Eng menahan kakinya, berdiri dengan muka pucat. Suara itu! Suara itu! Suara laki-laki yang akan ia kenal di antara suara seribu orang laki-laki lain! Suara Keng Hong! Apakah karena sejak tadi melamunkan Keng Hong, kini telinganya mendengar yang bukan-bukan?

"Biauw Eng........!!"

Biauw Eng meloncat dan membalikan tubuhnya sambil berbisik, "Keng Hong.....!"

Melihat sikap Biauw Eng dan mendengar bisikan itu Hun Bwee juga terkejut dan cepat membalikan tubugnya. Amatlah menarik untuk memperhatikan wajah dua orang gadis cantik ini ketika mereka membalikan tubuh dan melihat Keng Hong datang bersama seorang dara jelita.

***

Wajah Biauw Eng pucat sekali. Mula-mula sekali, begitu ia membalik dan matanya menangkap wajah dan tubuh Keng Hong, tampak sinar memancar keluar dari pandang matanya, sinar penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Namun sinar itu segera menyuram dan lenyap, terganti oleh sinar kilatan penuh cemburu ketika ia melihat dara yang amat cantik jelita di samping Keng Hong. Kilatan cemburu yang terpancar dari sepasang matanya itu pun sebentar saja dan segeraWajahnya yang pucat itu tidak membayangkan apa-apa, tetap dingin tidak membayangkan sesuatu, wajah dan matanya kosong memandang kepada Keng Hong dan Yan Cu yang datang berlari-lari menuju ke tempat mereka berdiri menanti, di dalam hutan yang sunyi itu.

Adapun wajah Hun Bwee brubah menjadi merah sekali. Sulit untuk menduga apa yang bergolak di hati dan pikiran gadis ini. Dia segera mengenal Keng Hong, terbelalak memandang pemuda itu, sama sekali tidak mempedulikan gadis jelita yang berlari di samping Keng Hong dan wajahnya menjadi merah sekali. Entah perasaan apa yang berkecamuk di dalam hatinya, akan tetapi yang sudah jelas sekali, gadis baju merah ini merasa malu dan jengah sekali bertemu dengan orang yang telah memperkosanya, orang yang dikagumi an dicintanya akan tetapi kemudian merusak hatinya. Mungkin saat itu pernyataan Biauw Eng untuk memaksa pemuda itu mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap dirinya itulah yang membuat ia menjadi malu dan bingung!

"Biauw Eng....!" Untuk ketiga kalinya Keng Hong menyerukan nama ini dan kini dia dan Yan Cu telah berdiri berhadapan dengan Biauw Eng dan Hun Bwee. Keng Hong hanya menunjukan pandang matanya kepada Biauw Eng, kepada wajah yang tak pernah dia lupakan barang sedetik pun, kepada mata yang membuat hatinya terharu, mata yang indah dan dingin, terbayang kedukaan amat hebat di dalamnya. Keng Hong memandang Biauw Eng, tidak melihat apa-apa lagi, tidak pula melihat Hun Bwee. Dadanya turun naik, terengah-engah, bukan karena kelelahan, melainkan karena menahan gejolak hatinya yang menggetarkan seluruh tubuhnya.

Yan Cu juga berdiri terengah dan gadis ini terengah karena kelelahan, karena ia tadi harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari suhengnya. Kini Yan Cu berdiri memandang dua orang gadis itu dengan penuh perhatian dan penyelidikan. Kedua orang gadis itu sama cantik, sama menarik dan sama gagah perkasa. Akan tetapi amat mudah bagi matanya yang tajam itu untuk menduga yang manakah Biauw Eng. Bukan hanya karena kecantikan Biauw Eng yang indah dingin bagaikan lautan salju di utara, melainkan juga ia dapat melihat ke manakah sasaran pandang mata suhengnya yang seperti orang kena pesona. Dia tidak heran mengapa suhengnya jatuh cinta kepada Biauw Eng yang memang cantik luar biasa itu, akan tetapi keningnya berkerut menyaksikan sikap Biauw Eng yang begitu dingin sehingga tidak wajar dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Wanita sedingin ini, mana mungkin dapat dicairkan dengan panasnya api cinta?"

Baik Biauw Eng maupun Keng Hong belum dapat menemukan suara mereka kembali yang lenyap karena gelora hati yang membadai, yang timbul di saat mereka saling bertemu. Dua pasang mata itu bertemu dan seolah-olah bertanding mengadu kekuatan, ataukah saling peluk tak ingin dilepaskan kembali? Keduanya tidak berkedip, seperti terkena sihir.

"Apakah engkau yang bernama Sie Biauw Eng?" Tiba-tiba suara Yan Cu yang nyaring membuat Keng Hong dan Biauw Eng sadar dan gadis ini lalu memandang kepada Yan Cu. Sejenak pandang matanya mengeluarkan sinar kilat penuh cemburu sehingga mengejutkan Yan Cu. Akan tetapi dara ini tersenyum ketika melihat Biauw Eng mengangguk dan ia bertanya dengan suara wajar.

"Jadi kalau begitu Enci Biauw Eng dan Cici itu yang mencari-cari Suheng Cia Keng Hong?"

Kembali Biauw Eng mengangguk, tidak bernafsu untuk bicara dengan dara jelita yang entah menapa menyebut Keng Hong sebagai suhengnya itu.

Wajah Yan Cu berseri gembira. "Sungguh kebetulan sekali! Susah payah kami berdua mencari Enci Biauw Eng sampai ke mana-mana, sekarang dapat bertemu di sini sungguh amat menggirangkan hatiku."

"Hemmm......!" Biauw Eng mengeluarkan suara, sikapnya makin dingin. "Kami mencari dia ada sebab-sebabnya yang penting. Kalian mencari aku ada apakah?"

Heran, pikir Yan Cu. Gadis yang biarpun cantik akan tetapi sikapnya sdingin es dan agaknya amat galak ini bagaimana bisa menjatuhkan hati Keng Hong? Akan tetapi dia tetap tersenyum dan bertanya,

"Enci Biauw Eng, kami mencarimu hanya untuk bertanya apakah Enci Biauw Eng masih mencinta Suheng Keng Hong?"

"Sumoi.....!!" Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Sungguh sumoinya ini terlalu sekali, masa mengajukan pertanyaan seperti itu secara kasar dan langsung, seperti orang bertanya tentang hal sehari-hari yang biasa saja!

Juga Biauw Eng kaget bukan main. Pertanyaan itu datangnya begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga merupakan serangan tusukan pedang yang langsung mengenai jantungnya. Wajahnya yang tadinya pucat itu menjadi merah sekali. Ia balas bertanya dengan suara membentak,

"Bocah lancang mulut! Apa sangkut pautnya denganmu?"

Yan Cu memutar bola matanya mengerling ke arah Biauw Eng. "Lebih baik aku bicara terang-terangan saja, Enci Biauw Eng. Ketahuilah bahwa subo kami telah memutuskan bahwa aku dan Suheng harus menjadi suami isteri. Kami berdua masih tidak dapat mengambil kepastian karena kami tidak tahu apakah kami saling mencinta, apalagi karena Suheng menyatakan bahwa dia mencintaimu. Karena itu, kami berdua sengaja mencarimu untuk bertanya dan kalau kalian berdua masih tetap saling mencinta tentu saja Suheng hanya dapat menikah dengan engkau. Sebaliknya, kalau engkau tidak mencintainya, tentu saja Suheng akan dapat mengambil keputusan apakah dia akan dapat menikah denganku atau tidak, sedangkan aku sendiri pun baru akan dapat memutuskan apakah aku mencinta dia atau tidak. Kalau dia mencinta orang lain, tentu saja aku tidak akan membiarkan hatiku mencintainya. Nah, sekali lagi aku bertanya, sebagai seorang wanita terhadap wanita lain, tanpa bermaksud menghinamu. Apakah Enci mencinta dia, ataukah tidak?"

Mau tidak mau, hati Biauw Eng tersentuh rasa gagum terhadap dara jelita ini. Seorang dara yang jujur, tegas dan tidak berpura-pura sehingga bertanya soal cinta secara begini terbuka. Sifat seperti ini memang cocok sekali dengan sifatnya sendiri, namun sekarang, setelah ia menderita racun cinta yang membuatnya bertahun-tahun merana, berduka dan akhir-akhir ini mengisi perasaannya dengan rasa kebencian, membuat hatinya mengeras dan menjawab ketus,

"Pertanyaanmu itu tidak perlu dijawab lagi karena sekarang, Cia Keng Hong tidak akan menikah siapapun juga, tidak dengan aku atau tidak pula dengan engkau, melainkan dia harus menjadi suami Suciku ini!"

"Aiiihhhhh, mana bisa begitu?" Yan Cu berteriak heran dan juga penasaran.

Keng Hong yang mendengar ucapan Biauw Eng, terkejut dan baru sekarang dia sadar bahwa di samping Biauw Eng ada seorang wanita lain yang memakai pakaian merah. Ia cepat mengalihkan pandang matanya, memandang Hun Bwee. Ia melihat wajah yang cantik dari gadis ini merah sekali akan tetapi kedua matanya mengeluarkan air mata.

"Apa artinya ini?" Keng Hong berkata perlahan, "Nona ini siapakah......?"

"Hemmmm.... Cia Keng Hong, apakah engkau benar sudah lupa kepada Suciku ini, ataukah memang berpura-pura lupa?" Biauw Eng berkata, suaranya penuh kepahitan dan kemarahan ditekan.

"Biauw Eng , aku..... aku merasa pernah melihat Nona ini, akan tetapi entah di mana dan kapan. Siapakah dia?"

***

"Memang beginilah laki-laki yang berwatak bejat! Menganggap wanita seperti boneka atau bunga yang hanya dinikmati keharumannya, setelah dipermainkan lalu menjadi bosan dan akan dilempar dan dilupakan begitu saja!"

"Biauw Eng......!" Keng Hong mengeluh, memprotes.

Biauw Eng tersenyum, senyum yang menikam ulu hati Keng Hong. "Hendak menyangkal? Suciku ini adalah Tan Hun Bwee, gadis bernasib malang yang telah kau perkosa kemudian kau tingalkan pergi dan kau lupakan begitu saja! Cia Keng Hong, tak kusangka bahwa engkau sekejit itu. Sekarang engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang terkutuk! Engkau harus menjadi suaminya yang sah!"

"Aaaaaaahhh...... Suheng...... betulkah ini.....?" Yan Cu memandang Keng Hong dengan mata terbelalak dan wajah pucat.

Keng Hong memandang Hun Bwee dan teringkatlah dia kini akan gadis baju hijau yang dahulu diperkosa oleh Lian Ci Tojin. "Ahhh, kiranya Tan-sioca....." Ia memandang penasaran, lalu menoleh kepada Biauw Eng , hendak membantah. Akan tetapi melihat betapa sinar mata gadis yang dicintanya itu penuh kebencian dan penyesalan ditujukan kepadanya, dia menahan kembali protesnya dan menarik napas panjang, lalu memandang Yan Cu dan berkata,

"Sumoi, aku tidak melakukan berbuatan keji itu. Kuharap engkau dapat percaya kepadaku....."

"Pengecut!" Biauw Eng membentak marah. "Untuk merayu hati gadis ini, tentu saja engkau hendak menutupi segala cacadmu, bersikap seolah-olah engkau seorang laki-laki yang baik. Hemmm......., pemuda mata keranjang berhati palsu!"

Keng Hong memandang Biauw Eng, sinar matanya penuh penyesalan dan suaranya lirih ketika dia berkata, "Aku menerima semua penyesalan dan makianmu, Biauw Eng. Memang aku seorang yang telah melakukan banyak sekali kesalahan terhadap dirimu. Aku bersedia kau hukum, aku siap kalau engkau hendak membunuhku, akan tetapi aku tetap mencintaimu, Biauw Eng. Mencintaimu seorang dan tidak mungkin aku mencinta orang lain lagi."

Tiba-tiba terdengar jerit melengking yang mendirikan bulu roma dan Biauw Eng terkejut sekali melihat sucinya karena ia tahu bahwa tiba-tiba penyakit gila sucinya kumat! Sepasang mata yang tadi mngucurkan air mata itu kini terbelalak liar dan mulutnya membentak,

"Sumoi, tukang perkosa ini bukan orang baik-baik! Sudah kukatakan kepadamu, mengapa melayani dia bicara? Hi-hi-hik, akan kusiksa dia sampai mati! Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh, akan kusayat-sayat alat kelaminnya agar dia tidak mampu mengganggu wanita lagi!"

Tiba-tiba Hun Bwee menubruk Keng Hong dengan cengkeraman pada muka pemuda itu. Keng Hong miringkan tubuh mengelak, akan tetapi tangan Hun Bwee sudah mencengkeram lagi ke arah bawah pusar! Keng Hong meloncat mundur, dan Hun Bwee sambil terkekeh-kekeh menerjang lagi, kini mengirim hantaman dengan kedua tangan bertubi-tubi, cepat bukan main dan pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang amat kuat. Diam-diam Keng Hong terkejut juga. Nona gila ini ternyata amat luar biasa kepandaiannya, dan pantas saja kalau menjadi suci Biauw Eng! Padahal seingatnya dulu, puteri Tan-piauwsu ini tidaklah begini hebat kepandaiannya. Serangan Hun Bwee amat berbahaya, akan tetapi Keng Hong tentu saja tidak tega untuk merobohkannya, juga merasa tidak enak kalau melawannya, maka dia hanya menggerakkan tubuhnya, mengelak dari serangan Hun Bwee yang bertubi-tubi itu.

"Suci, jangan......"Biauw Eng mencegah Hun Bwee yang makin lama menjadi makin ganas itu.

"Apa? Engkau membelanya, Sumoi? Kalau begitu engkau benar mencinta Jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini?" Hun Bwee menunda serangannya dan menoleh ke arah Biauw Eng.

Wjah Biauw Eng menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar keras. Dalam detik itu, hatinya sendiri membisikan pertanyaan yang sama. Adakah dia masih mencinta Keng Hong? Kata-kata Keng Hong yang menyatakan cinta tadi mencengkeram hatinya, sungguhpun belum sama sekali menghapus rasa bencinya yang timbul karena sakit hatinya akan sikap Keng Hong yang sudah-sudah terhadap dirinya.

"Suci, aku tidak membelanya. Akan tetapi engkau pun tidak boleh membunuhnya. Apakah engkau lupa akan perintah subo untuk menangkapnya hidup-hidup?"

Hun Bwee kelihatan seperti orang terkejut dan ia cepat mundur, akan tetapi matanya memandang kepada Keng Hong dengan liar. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan menjadi terharu sekali. Dia merasa kasihan melihat Hun Bwee yang agaknya kini menjadi gila karena peristiwa perkosaan dahulu itu, akan tetapi dia pun terheran-heran mengapa dalam gilanya itu Hun Bwee kini menjadi begitu lihainya! Kalau begitu Biauw Eng tentu telah memperoleh kemajuan hebat pula dalam ilmu silatnya kalau gadis itu kini menjadi sumoi dari gadis gila ini! Keng Hong kembali memandang Biauw Eng dan kembali mereka saling pandang dengan perasaan hati yang tidak karuan sehingga sinar mata mereka seperti orang mimpi. Akhirnya Keng Hong berkata lirih.

"Biauw Eng, aku tidak merasa bersalah terhadap siapapun juga di dunia ini kecuali terhadap engkau, karena itu, kalau engkau yang mengambil keputusan mengenai diriku, sedikit pun aku tidak akan membantah atau melawan. Aku menyerah, Biauw Eng, menyerahkan jiwa raga kepadamu sebagai tebusan dosaku yang berkali-kali kepada engkau yang kini aku yakin adalah satu-satunya wanita yang kucinta sepenuh hatiku...."

"Tak perlu engkau merayuku!" Biauw Eng membentak dengan hati seperti diremas-remas karena ia menganggap betapa kata-kata yang amat menyenangkan dan membahagiakan hatinya itu tidak lain hanyalah rayuan kosong belaka dari pemuda yang cintanya palsu ini.

"Aku tidak merayu, dan kalau engkau menghendaki bukti, sekarang juga engkau boleh membunuhku dan aku takkan menggerakan sebuah jari pun untuk melawanmu."

Biauw Eng tersenyum dingin mengejek. "Engkau lupa bahwa tubuhku telah dimiliki orang lain......"

Senyuman dan ucapan itu menusuk jantung Keng Hong. Ia merasa betapa dia dahulu amat kejam dan tidak adil terhadap Biauw Eng. Dengan suara tergetar dia menjawab, "Aku tidak peduli akan itu, Biauw Eng".

Telah lama aku sadar bahwa cinta bukanlah nafsu semata, jauh lebih tinggi dan lebih agung.....seperti cintamu terhadap aku....."

"Cukup!" Biauw Eng membentak akan tetapi bentakannya mengandung isak tertahan. "Aku dan Suci mencarimu untuk menangkapmu atas perintah subo kami. Kalau kau melawan pun boleh, kami hendak menggunakan kekerasan!"

Keng Hong menggeleng kepalanya, wajahnya penuh duka . "Tidak, Biauw Eng. Sudah kukatakan bahwa aku menyerahkan jiwa raga kepadamu. Kalau orang lain yang hendak menangkapku tanpa kesalahan, demi Tuhan, akan kulawan mati-matian. Akan tetapi kalau engkau yang hendak menangkapku, nah, silahkan aku takkan melawanmu......."

"Berlutut!" Biauw Eng membentak sambil mengeluarkan sabuk suteranya. "Engkau harus dibelenggu!"

Keng Hong tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut. Biauw Eng melangkah maju.

"Tidak boleh!!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat ke depan Keng Hong dan berdiri tegak dengan sikap melindunginya. "Tidak boleh Suheng ditangkap begini saja tanpa kesalahan!"

Biauw Eng memandang Yan Cu dengan mata bersinar marah, akan tetapi Yan Cu tidak takut dan membalas pandangan mata Biauw Eng dengan marah pula. Dua orang dara cantik jelita ini saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata berapi. Keduanya sama cantik, sama gagah, dan sama marah hendak memperebutkan Keng Hong! Bukan memperebutkan cintanya, melainkan memperebutkan orangnya. Yang satu ingin menangkapnya, yang lain ingin membebaskannya.

"Hemmmm..... kau mau apa?" Biauw Eng bertanya pendek dan suaranya dingin sekali.

Yan Cu memandang dengan mata terbelalak lebar penuh rasa penasaran dan kemarahan. "Sie Biauw Eng, engkau ini wanita apa? Hatimu keras seperti batu, dingin seperti es! Padalah di dalamnya mengandung api cinta yang bernyala-nyala dan panas membara terhadap Suheng! Engkau mencinta Suheng! Mengapa....."

"Tutup mulutmu yang lancang!!" Biauw Eng membentak marah.

Yan Cu tersenyum lebar. "Hemmmm, Enci biauw Eng, cinta itu bagaikan matahari di hari cerah! Sinarnya memancar ke mana-mana dan biarpun engkau bersikap dingin kasar dan kejam terhadap Suheng, namun sinar matamu, gerak bibirmu, semua mengandung sinar itu! Entah aku yang buta karena salah lihat ataukah engkau yang buta tidak melihat cintamu sendiri, akan tetapi jelas engkau mencinta Suheng dan Suheng pun mencintamu! Tak perlu engkau menawanya karena hati kalian sudah saling menawan! Tidak perlu engkau membelenggunya karena cinta kalian sudah saling membelenggu!"

"Pergilah!" Biauw Eng membentak dan tangan kirinya menampar. Cepat sekali gerakannya, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat sekali. Akan tetapi Yan Cu juga bukan orang lemah. Melihat datangnya tamparan ini, ia menggerakkan tangan kanannya menangkis.

"Plakkkk!!" Dua buah lengan yang kecil halus saling bertemu dan akibatnya Biauw Eng terdorong mundur dua langkah, akan tetapi Yan Cu juga terdorong sampai tiga langkah. Biauw Eng mengerutkan keningnya. Kiranya dara jelita ini memiliki kepandaian yang tidak rendah, pikirnya. Yan Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa kuatnya tamparan Biauw Eng tadi.

"Tidak perlu engkau mencampuri urusanku!" Biauw Eng membentak.

Yan Cu meraba gagang pedangnya dan berkata, "Kalau engkau memaksakan kehendakmu untuk menawan Suheng yang tidak melawan, terpaksa akulah yang akan melawanmu!"

Sinar mata Biauw Eng menyambar tajam dan sabuk suteranya yang sudah berada di tangan itu tergetar, siap untuk dipakai menyerang dara yang cantik jelita itu, akan tetapi mulutnya bertanya,

"Bocah! Engkau mencinta Cia Keng Hong?"

Wajah yang halus putih itu menjadi merah, akan tetapi Yan Cu menggeleng kepalanya. "Setelah aku yakin bahwa dia dan engkau saling mencinta, bagaimana aku akan menjadi begitu bodoh untuk mencintanya? Tidak, aku tidak mencitanya seprti cinta seorang wanita terhadap calon suaminya! Kuhilangkan jauh-jauh nafsu jasmani dalam cinta itu dan berubahlah menjadi cinta saudara! Memang aku mencinta dan suka sekali kepada Cia Keng Hong, akan tetapi cinta dan rasa suka seorang sumoi kepada suhengnya, seorang adik terhadap kakaknya! Sie Biauw Eng, apakah kaukira seorang sumoi akan diam saja melihat suhengnya akan ditawan? Adakah seorang adik akan membolehkan saja kakaknya ditangkap?" Yan Cu menggerakan tangan mencabut pedangnya.

Keng Hong meloncat ke depan Yan Cu, memegang lengan gadis itu dan berkata,

"Sumoi, jangan.....! Jangan kau merusak lagi usahaku untuk menebus dosa terhadap Biauw Eng. Apakah engkau ingin membuat aku menjadi lebih sengsara lagi? Jangan sumoi. Aku memang sengaja membiarkan dia melakukan apa saja terhadap diriku sebagai pembalasan atas dosa-dosaku terhadapnya."

Wajah Yan Cu menjadi pucat. Biauw Eng begitu dingin dan galak, dalam kebencian tentu dapat berlaku kejam, sedangkan wanita yang seorang lagi adalah seorang gila.

"Suheng, aku tetap tidak percaya bahwa engkau bersalah terhadap Enci Biauw Eng. Dan aku sama sekali tidak percaya bahwa engkau telah melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap Enci berpakaian merah itu. Mereka tidak boleh mengganggumu, Suheng.."

"Hussshhh, engkau adikku, bukan? Adik harus menurut kata-kata kakaknya! Syukur engkau tidak mempercayai hal itu, akan tetapi engkau menurutlah kata-kataku, sumoi. Kau harus mewakili aku untuk membagi-bagikan benda pusaka ini kepada mereka yang berhak. Berjanjilah engkau akan melakukan tugas berat ini dengan taruhan nyawamu."

Sejenak Yan Cu memandang suhengnya, lalu menarik napas panjang, menyimpan kembali pedangnya dan mengangguk. Karena anggukan ini, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.

"Baiklah, Suheng."

Keng Hong lalu merogoh saku bajunya, mengeluarkan pusaka-pusaka yang dicurinya dari kamar Cui Im itu satu demi satu sambil menerangkannya kepada Yan Cu.

"Pedang ini adalah pusaka Hoa-san-pai, harap kau sampaikan lebih dulu kepada ketua Hoa-san-pai karena aku sudah menjanjikannya. Kitab ini adalah kitab dari Go-bi-pai, karena tempatnya jauh, biarlah kau kembalikan ke sana paling akhir saja. Adapun tujuh buah kitab pusaka peninggalan suhu ini harap kau simpan dulu, boleh juga dititipkan subo. Jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain."

Yan Cun menerima benda-benda pusaka itu sambil mengangguk dan menyimpannya ke dalam baju.

***

"Dan perhiasan-perhiasan ini......" Keng Hong teringat lalu membalikan tubuhnya, menyerahkan sekotak kecil perhiasan itu kepada Hun Bwee sambil berkata, "Nona Tan, perhiasan-perhiasan inilah yang dahulu dirampas oleh mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dari tangan ayah bundamu, Tan-piauwsu dan isterinya. Sekarang kukembalikan kepadamu. Bukankah Nona dahulu mencari suhu untuk mendapatkan kembali perhiasan ini?"

Ketika tutup kotak kecil itu dibuka dan pandang mata Hun Bwee bertemu dengan benda-benda terbuat dari emas permata itu, matanya terbelalak dan terdengarlah isak tangisnya ketika ia menerima kotak itu. Matanya yang tadi liar kini berubah, ia terharu dan memeluk kotak kecil itu sambil menangis.

"Ayah...... ibu......."

Keng Hong terharu. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, "Nona Tan, saya mengembalikan barang-barang itu disertai permohonan maaf atas perbuatan mendiang suhu terhadap ayah bunda Nona, dan mudah-mudahan dengan mengembalikan ini, semua rasa permusuhan lama dapatlah dihabiskan."

Hun Bwee mengangkat mukanya memandang. Dari kedua matanya bercucuran air mata, akan tetapi ketika ia memandang Keng Hong, terbayanglah pengalamannya yang amat menyakitkan hatinya, betapa ia dalam keadaan pingsan itu diperkosa dan setelah sadar ia melihat pemuda yang dikaguminya itu menyangkal telah melakukan perbuatan itu. Akan tetapi kembali teringat oleh pikirannya yang kacau bahwa pemuda ini akan dipaksa menjadi suaminya. Tiba-tiba pandang matanya kembali aneh dan liar seperti tadi dan ia tersenyum dengan air mata masih bercucuran!

"Kau...... kau memberikan ini sebagai emas kawin......? Ahhhh, terima kasih....." dengan sikap manja seperti anak kecil mendapat barang mainan, Hun Bwee membuka kotak, berlutut dan mengeluarkan perhiasan-perhiasan itu, terus saja dipakainya. Sepasang anting-anting batu giok berbentuk kupu-kupu, hiasan rambut dari mutiara berbentuk burung hong, kalung, gelang, cincin, dan ikat pinggang dari emas ditabut intan. Semua perhiasan dipakainya, kemudian ia bangkit berdiri, memasang aksi di depan Biauw Eng sambil berkata,

"Lihat, Sumoi. Dengan perhiasan ini sebagai pengantin, bukankah aku kelihatan cantik sekali?"

Semua orang memandang dengan terharu sekali, diam-diam Yan Cu sendiri merasa terharu sekali, diam-diam ia mengutuk orang yang telah memperkosa gadis itu. Dia tidak sangksi lagi bahwa tentulah Hun Bwee mengalami guncangan batin hebat sehingga menjadi gila, akan tetapi dia tetap merasa yakin bahwa bukan Keng Hong yang melakukan perbuatan terkutuk itu.

Keng Hong juga memandang terharu dan diam-diam dia merasa menyesal mengapa dia tidak mendapat kesempatan menyeret Lian Ci Tojin dan memaksanya mengakui perbuatannya yang terkutuk atas diri gadis yang bernasib malang ini. Ia hanya memandang dengan kening berkerut.

Di dalam hati kecilnya, Biauw Eng juga masih belum bercaya kalau Keng Hong yang melakukan perkosaan itu. Semenjak bertemu pemuda ini dan hatinya tertarik dan sekaligus jatuh cinta, ia merasa yakin bahwa murid ayahnya ini adalah seorang yang tak mau melakukan perbuatan keji. Kalau toh akhirnya ia melihat pemuda ini selalu melayani cinta setiap orang wanita yang tergila-gila kepadanya, hal ini masih tidak dapat disamakan lagi dengan perbuatan memperkosa yang merupakan perbuatan jahat dan keji terkutuk. Perbuatan Keng Hong yang menyambut uluran cinta para wanita, baginya adalah hanya menandakan kelemahan hati dan watak romantis yang telah menjadi watak mendiang ayahnya pula. Hal itu memang menyakitkan hatinya, namun ia telah memaafkannya asal saja Keng Hong mencintanya dengan cinta kasih murni, tidak dengan cinta berahi seperti terhadap wanita-wanita itu! Kemudian ternyata bahwa Keng Hong membuktikan bahwa cintanya itu tidak murni, dengan kemarahan dan kebencian ketika mendengar bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Sim Lai Sek, padahal pernyataan itu hanyalah sebagai ujian belaka. hatinya menjadi sakit hati sekali. Kini ditambah pengakuan Hun Bwee bahwa dia telah diperkosa Keng Hong, tentu saja kalau hal ini benar, dia tidak akan dapat mengampuni Keng Hong, akan memaksanya mengawini Hun Bwee atau...... membunuhnya dengan tangannya sendiri!

"Sudalah, Suci. Mari kita pulang dan membawa tawanan ini!" Kemudian ia menoleh kepada Keng Hong . "Berlututlah!"

Dengan hati sakit seperti disayat-sayat Yan Cu melihat betapa suhengnya itu berlutut di depan Biauw Eng dan memandang nona itu dengan tersenyum dan pandang matanya penuh kasih sayang! Biauw Eng juga melihat pandang mata ini, ia mendengus, membuang muka dang menggunakan sabuk suteranya mengikat kedua lengan Keng Hong di belakang tubuhnya.

"Mari kita berangkat, Suci!" Dan kepada Keng Hong yang dibelenggu kedua tangan dan ujung sabuk dipegang Biauw Eng, gadis ini menghardik, "Hayo jalan!"

Yan Cu berdiri dengan muka pucat, melihat suhengnya yang gagah perkasa itu berjalan dengan kedua tangan terbelenggu, seperti seekor kerbau dituntun.Gadis ini mengepal tangannya, menekan hatinya yang hendak memaksa dia menerjang maju menyerang dua orang gadis itu dan membebaskan suhengnya.

"Suheng......!" Ia terisak dan hendak mengejar maju.

Keng Hong menoleh dan sersenyum kepadanya, "Sumoi, pergilah dan penuhilah permintaanku tadi. Pergilah dan selamat berpisah. Percayalah bahwa biar sampai mati sekalipun, kalau mati di tangan Biauw Eng, aku rela dan tidak merasa penasaran. Selamat tinggal, Sumoi, semoga kelak engkau lebih berbahagai dalam cintamu daripada aku!"

Yan Cu menutupi mulutnya menahan isak tangis, sejenak memandang Keng Hong dengan air mata berlinang, kemudian memandang Biauw Eng dengan marah, lalu ia meloncat pergi dari tempat itu sambil menangis.

Keng Hong menoleh dan memandang ke arah berkelebatnya bayangan Yan Cu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara "tar-tar!" dan ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng sudah menampar pipinya dibarengi bentakan gadis itu. "Berangkat!"

Keng Hong merasa pipinya pedas, akan tetapi dia tersenyum. Kelirukah kalau dia menduga bahwa tamparan ini tadi timbul dari rasa cemburu? Ia masih merasa yakin akan kemurnian cinta kasih Biauw Eng dan percaya bahwa akan tiba saatnya ini akan dapat memaafkannya. Memang kalau disuruh memilih, dia lebih suka memilih mati di tangan Biauw Eng daripada hidup menjadi musuh gadis yang dicintanya ini. Sekarang makin jelaslah dia bahwa di dalam sanubarinya, sesungguhnya hanya kepada Biauw Eng seoranglah dia mencinta dengan seluruh jiwa raganya! Hanya kepada Biauw Englah ada rasa hormat dan murni dalam hatinya, tidak ingin mempermainkan, dan rasa cinta ini jauh lebih tinggi dan murni daripada rasa nafsu berahi yang ditimbulkan ketika dia menghadapi rayuan gadis-gadis cantik seperti Cui Im, mendiang Sim Ciang Bi, dan kedua orang murid wanita Kong-thong-pai!

"Sumoi, jangan siksa calon suamiku!" Tiba-tiba Hun Bwee berkata.

Keng Hong tersenyum pahit. Ia tidak tahu nasib apa yang akan dia alami. Persoalannya menjadi ruwet. Hun Bwee yang kini menjadi gila itu merasa yakin bahwa dia yang memperkosanya dan agaknya Biauw Eng percaya akan hal ini, maka hendak memaksanya mengawini Hun Bwee! Jalan satu-satunya hanyalah meyakinkan Hun Bwee bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu bukan dia melainkan Lian Ci Tojin, akan tetapi untuk meyakinkan hati gadis itu tidaklah mudah. Terutama harus dapat menangkap Lian Ci Toin. Dan kalau dia membebaskan diri untuk mencari tosu itu, tentu Biauw Eng akan merasa makin sakit hati! Biarlah, dia menyerahkan diri ke tangan Biauw Eng, hanya tentu saja dia akan menolak mati-matian kalau hendak dinikahkan dengan Hun Bwee.

Berangkatlah rombongan yang aneh ini menuju ke tempat tinggal Go-bi Thai-houw, melakukan perjalanan yang amat jauh. Di sepanjang jalan, Biauw Eng bersikap dingin, sukar dijajaki hatinya karena air mukanya tidak membayangkan sesuatu. Keng Hong tenang-tenang saja dan Hun Bwee kadang-kadang memperlihatkan sikap membenci dan marah-marah kepada Keng Hong, kadang-kadang mesra!

***

Suheng....... ah, Suheng......!" Yan Cu jalan sambil menangis. Air matanya bercucuran deras sekali di sepanjang kedua pipinya. Semenjak kecil gadis ini ikut dengan subonya belajar ilmu, belum pernah merasakan kegembiraan dan kebahagian seperti ketika ia berada di samping Keng Hong. Ia merasa amat suka kepada suhengnya itu, menganggapnya seperti kakaknya sendiri. Gadis ini yang memiliki watak periang dan jenaka sama sekali tidak merasa cemburu atau pun iri hati mendapat kenyataan bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng. Bahkan sebaliknya. Dia akan merasa girang sekali andaikata Biauw Eng membalas cinta kasih Keng Hong. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Keng Hong dijadikan tawanan dan pemuda itu menurut saja! Ia menjadi gelisah dan berduka sekali, merasa amat kasihan kepada suhengnya. Ia tahu bahwa di tangan Biauw Eng yang cintanya bercampur rasa benci yang hebat, dan di tangan suci Biauw Eng yang gila itu, tentu Keng Hong akan celaka. Lebih celaka lagi, Keng Hong agaknya menyerahkan mati hidupnya dengan rela kepada mereka berdua!

Makin diingat makin gelisah dan makin sedih hati Yan Cu, membuat tubuhnya lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar dan menangis tersedu-sedu memikirkan nasib Keng Hong. Apakah dayanya? Untuk menolong, tak mungkin. Selain kedua orang gadis itu lihai bukan main, juga Keng Hong sendiri tidak mau di tolong.

Setelah berpisah dari Keng Hong, hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan. Kembali kepada subonya? Selain akan mendapat marah, juga ia tentu tidak akan betah lagi tinggal di puncak gunung yang sunyi, setelah mencicipi kesenangan merantau bersama Keng Hong. Melaksanakan tugas mewakili Keng Hong dan menyampaikan pusaka-pusaka itu? Selain tidak menarik, juga hal itu malah akan terus-menerus mengingatkan dia kepada Keng Hong sehingga hatinya akan selalu tersiksa. Ah, suheng, mengapa engkau begitu bodoh? Mengapa hendak memaksakan cinta kasih seseorang? Kalau memang Biauw Eng sudah membenci setengah mati, mengapa mengorbankan diri dan nyawa secara sia-sia?

Yan Cu berduka sekali. Selama hidupnya, yaitu selama dia ikut dengan gurunya sejak kecil, belum pernah Yan Cu mengalami duka nestapa seperti ini. Dan memanglah hal ini sudah sewajarnya dan sudah semestinya. Hidup ini merupakan perimbangan dua kekuatan. Dahulu Yan Cu hidup bersama gurunya bersunyi diri di gunung, tidak mengalami kesenangan terlalu besar, karenanya pun tidak mengalami kesusahan terlalu besar. Setelah bertemu dengan Keng Hong dan merantau bersama suhengnya ia menikmati kesenangan, oleh karena itu sekali kesenangan direnggut darinya, muncullah kesusahan hati karena kehilangan! Memang senang dan susah merupakan perimbangan yang adil, dibentuk oleh hati si manusia sendiri. Suka akan sesuatu itu sudah pasti berekor duka karena sesuatu yang disukainya itu sekali amat sedih kalau barangnya yang disayang sekali itu hilang. Sebaliknya, barang yang tidak disayang apabila hilang pun tidak akan menimbulkan kesedihan yang besar.

Dia tahu bahwa Biauw Eng bukan seorang gadis lemah, akan tetapi dia memandang rendah karena dia cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Dengan mudah dia akan dapat menundukan Biauw Eng dan hemmm... wanita baju merah itu pun bukan main manisnya!

Tentu saja Siauw Lek tidak pernah mimpi bahwa Biauw Eng yang berada di depannya sekarang ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan Biauw Eng yang pernah dilawannya dahulu!

"Ha-ha-ha-ha-ha! Terima kasih, Biauw Eng! Memang aku sudah bosan dengan gadis tak tahu malu seperti anjing betina yang suka menggigit ini. Kiranya engkau datang untuk menemaniku! Mari... Marilah manis. Sudah lama aku rindu sekali kepadamu. Tak usah malu-malu, di sini sunyi dan tidak ada orang lain. Kalau temanmu yang manis itu ingin pula main-main denganku, marilah. Aku masih kuat melayani kalian berdua, ha-ha-ha-ha-ha-ha!"

"Hi-hi-hik!" Hun Bwee, wanita pakaian merah terkekeh. "Sumoi, inikah monyet cilik murid tujuh ekor monyet tua Go-bi? Karena hanya macam ini saja? dia tidak seberapa akan tetapi mulutnya amat lebar, menantang kita berdua main-main dengannya? Hi-hi-hik, aku sendiri pun cukup untuk main-main dengannya!"

Diam-diam Siauw Lek terkejut. Wanita muda itu cantik sekali, akan tetapi sikapnya begitu aneh, seperti... Miring otaknya! Dan berani memaki guru-gurunya, yaitu Go-bi Chit-kwi yang terkenal.

"Biarlah Suci, jangan turut campur. Tangannya bernoda darah ibuku, maka harus aku sendiri yang menghadapinya kata Biauw Eng sambil melangkah maju menghadapi Siauw Lek, sikapnya tenang sekali, akan tetapi sinar matanya mengandung ancaman maut yang mengerikan. Adapun Hun Bwee sudah berlutut di dekat mayat gadis yang telanjang itu, kemudian terdengar ia terisak menangis memondong mayat itu dan membawanya pergi dari situ. Hati wanita ini penuh rasa iba dan terharu melihat korban kebiadaban ini yang mengingatkan dia akan nasibnya sendiri ketika dia diperkosa oleh laki-laki yang tadinya ia kagumi, diperkosa oleh Cia Keng Hong! Hun Bwee lalu mengali lubang di tanah dan mengubur jenazah itu.

Mereka adalah orang-orang kasar yang hidup liar, dan menggagahi wanita-wanita muda cantik merupakan satu di antara kesukaan mereka. Sudah gatal-gatal tangan mereka untuk menjamah tubuh yang rebah terlentang di bawah pohon itu dan mereka seperti sekumpulan kucing yang hendak berlomba menubruk seekror tikus. Akan tetapi, akan tetapi gerakan tangan pemimpin mereka membuat mereka itu menahan nafsu dan wajah mereka menjadi kecewa. Mereka sudah tahu bahwa sekali ini mereka tidak akan kebagian! Tahu bahwa pemimpin mereka, yang bertubuh tinggi kurus bermuka pucat, tergila-gila kepada gadis yang tidur itu dan menghendaki gadis itu untuk dirinya sendiri! Kalau sudah terjadi begini, terpaksa anak buah perampok yang berjumlah dua belas orang itu hanya dapat menelan ludah dan bersabar menanti sampai sang kepala menjadi bosan dan melemparkan wanita itu kepada mereka untuk dijatikan pesta-pora sampai mati seperti yang sering kali terjadi!

Sambil menyeringai kepala perampok yang tinggi kurus itu keluar dari tempat persembunyian, berindap-indap menghampiri Yan Cu yang tertidur pulas, dipandang oleh anak buahnya yang ketawa cekikikan, seolah-olah mereka menyaksikan pertunjukan yang lucu dan menyenangkan hati. Memang, orang-orang kasar ini sudah berdebar-debar ingin menyaksikan kepala mereka menubruk gadis itu, seperti seekor harimau menubruk seekor domba.

Selain dua belas pasang mataanak buah perampok itu, juga sepasang mata orang yang sejak tadi membayangi Yan Cu, ikut pula memandang dan sepasang mata ini mengeluarkan sinar berapi saking marahnya. Akan tetapi pemilik mata ini dapat menduga bahwa dara jelita yang melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan itu tentulah seorang dara yang memiliki kepandaian, maka dia tidak tergesa-gesa meloncat keluar menolong, hanya bersiap-siap untuk menolong apabila dara itu terancam bahaya.

Yan Cu yang sedang tidur pulas itu berkali-kali menarik napas panjang dan bahkan terisak. Ia bermimpi melihat Keng Hong disiksa oleh dua orang gadis yang menawannya, kemudian ia melihat Keng Hong merangkak mendekatinya, mengulur tangan seperti orang meminta pertolongan. Tangan suhengnya itu menyentuh jari tangannya dan ia pun cepat memegang tangan suhengnya yang minta tolong itu dan bibirnya mengeluarkan seruan penuh rasa kasihan, "Suheng Cia Keng Hong......!!"

Yan Cu tersentak kaget ketika mendengar suara orang ketawa. Ia terbangun, membuka matanya dan betapa kagetnya ketika melihat bahwa yang memegang tangannya adalah seorang laki-laki yang mukanya pucat, matanya bersinar liar dan mulutnya menyeringai kurang ajar, tertawa-tawa dan sama sekali bukan Keng Hong!

"Ihhh! Siapa engkau.....?" Bentaknya dan sekali renggut saja ia sudah dapat melepaskan tangannya sambil melompat berdiri. Kepala perampok itu tertawa-tawa dan bangkit berdiri pula. Kini dia terbelalak kagum. Selama dia menjadi kepala perampok, entah sudah berapa pula orang wanita menjadi korbannya dan korban anak buahnya, akan tetapi selama itu belum pernah dia bertemu dengan seorang dara yang secantik ini!

***

"Ha-ha-ha-ha-ha, bidadari yang cantik jelita! Sungguh pantas sekali engkau menjadi ratuku. Ketahuilah, aku adalah raja di hutan ini. Ha--ha-ha!"

Yan Cu mengerutkan keningnya, akan tetapi keheranannya mengatasi kemarahannya sehingga tak dapat ditahannya lagi ia bertanya, "Engkau raja hutan? Aku mendengar bahwa raja hutan adalah harimau........."

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa ini tidak hanya keluar dari mulut si kepala rampok, melainkan juga dari mulut para anak buah perampok yang kini sudah muncul keluar dari tempat persembunyian mereka.

Yan Cu memandang sekeliling dan ia dapat menduga bahwa orang-orang itu tentulah bukan orang baik-baik.

"Nona manis! Memang nama julukanku adalah Tiat-jiauw-houw (Harimau Cakar Besi), akulah harimau hutan ini dan mereka ini adalah anak buahku."

"Hemmmm, jadi engkau ini perampok-perampok? Mau apakah mengangguku? Aku tiadk mempunyai barang berharga."

Kepala perampok itu tertawa bergelak dan menoleh kepada para anak buahnya sambil berkata, "Dia bilang tidak mempunyai barang berharga! Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Nona manis, tubuhnya merupakan barang yang paling berharga di dunia ini! Marilah, Nona... kalau engkau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang........"

"Apa.......?" Yan Cu terbelalak, mukanya berubah merah, sebagaian kecil karena jengah dan sebagaian besar karena marah. "Aku menjadi isterimu? Eh, kepala perampok, apakah engkau sudah bosan hidup?"

Kini giliran si kepala rampok yang terbelalak. Gadis ini bertanya dengan sikap begitu wajar, seperti orang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, pertanyaan yang tidak seperti ejekan atau ancaman. Tentu saja dia menjadi heran dan menjawab, "Wah, tentu saja belum, Nona! Kalau aku bosan hidup tentu harus mati, dan kalau mati mana bisa menikmati hidup senang di sampingmu? Ha-ha-ha!"

Yan Cu sedang berduka hatinya, dia kehilangan kegembiraan. Andaikata dia tidak sedang berduka, tentu dia ingin mempermainkan perampok-perampok ini. Sekarang ia menarik napas panjang, dan berkata jengkel, ""Kepala rampok, kau ajaklah anak buahmu pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi. Kalau kau nekat dan membuat aku marah, kalian semua akan mampus. Padahal aku tidak suka membunuh orang. Pergilah!"

Yan Cu memang terlalu cantik dan terlalu halus sikapnya sehingga ucapannya itu pun tidak kelihatan seperti ancaman, lebih lucu kedengarannya daripada menyeramkan hati para perampok yang kasar itu. Tentu saja mereka itu tertawa geli mendengar ini. Kepala perampok itu pun tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha-ha, wanita yang cantik seperti bidadari! Tidur pun manis, sadar lebih cantik, dan marah-marah makin denok! Ha-ha-ha, nona manis calon isteriku, tidak usah kau turun tangan membunuhku, kecantikanmu sudah membuat aku setengah mati! Marilah, manis, kau obati aku, kalau tidak aku bisa mati di depan kakimu karena rindu. Ha-ha-ha!" Kepala perampok itu menubruk maju seperti seekor harimau kelaparan, karena nafsunya membuat dia ingin sekali menerkam dara jelita ini.

Kini Yan Cu menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul dari kedukaan hatinya. Di dalam kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang telah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya ia menahan kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegak mereka menawan Keng Hong. Kini semua kemarahannya mendapat jalan keluar dan ditumpahkan kepada para perampok yang kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil itu melayang.

"Krakkk!"

"Wadouhhhhhh..... aaahhhhh.....!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah di mana dia menggunakan kedua tangan menekan-nekan dadanya dan berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga dada!

Melihat peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan bagaikan segerombolan anjing srigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu menerjang maju.

Mungkin karena hati dan pikirannya masih penuh denan bayangan Keng Hong dijadikan tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu makin menjadi-jadi. Mulutnya mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali, tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh pula dua belas orang itu satu demi satu, tak kuasa bangkit kembali karena dalam kemarahannya Yan Cu telah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!

Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya, matany mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan. Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.

Ia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan tak terasa begitu teringat kepada Keng Hong ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong, kiranya dia tidak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, sungguhpun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.

"Keng Hong suheng....! Mengapa engkau mau saja ditawan......? Suheng..... Keng Hong.......... mengapa engkau begitu lemah..........?"

Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam segebrakan saja merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali membunuh tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si pengintai, dan membuat dia makin tertarik maka kini pun diam-diam dia membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis. Keluhan Yan Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, ketika menyebut nama suhengnya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu.

***

Yan Cu sedang berduka, namun pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan orang dan cepat mengangkat muka memandang. Melihat bayangan berbaju hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin perampok yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya.

Pemuda itu adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Setelah pemuda ini menerima dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong-hoan-hiat dan Seng-to Cin-keng, dari tangan Keng Hong, pemuda ini membawa dua buah kitab itu kepada suhunya. Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio. Demikianlah sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan menemuinya.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara jelita yang mengguncangkan hatinya itu telah menerjangnya maju dan menyerangnya dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang mengeluarkan angin keras!

"Ehhh...... jangan sekarang, Nona.......!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras.

Sepasang mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, Yan Cu makim marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus dibasmi!" Lalu ia menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut!

Cong San makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin mengadu tenaga keras lawak keras khawatir melukai lengan berkulit halus itu, akan tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget dan cepat dia miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia berseru kaget, "Wah, galak.....!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang menghindarkan diri.

Yan Cu menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa ia akan kesedihannya karena kini kemarahan menguasai hatinya dan membuat ia lupa segala. Dengan muka merah dan mata berapi ia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki,

"Kau bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, tidak sopan, jahat dan keji, tukang merampok dan memperkosa........"

"Wah, wah....... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat.....!" Cong San menangkis dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang amat jelita ini pun amat galak.

Yan Cu tertawa mengejek. Serrrrr! Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai terdengar oleh telinganya, amat keras! Melihat wajah itu tertawa benar-benar membuat dia terpesona, apalagi kini melihat mulut yang biarpun tertawa mengejek masih terlalu manis tampak olehnya itu mengeluarkan kata-kata, membuat pandang matanya seolah-olah melekat pada sepasang bibir yang bergerak-gerak itu,

"Tidak jahat? Engkau mengintai aku secara sembunyi, masih bilang bukan orang jahat? Hayo katakan, mengapa engkau mengintai dan membayangiku!"

Sampai lama Yan Cu menanti, pemuda itu tidak menjawab, hanya melongo memandang mulutnya. Memang Cong San tidak mendengar ucapan dan pertanyaan tadi. Pemuda ini masih terpesona, seperti melayang semangatnya, debar jantungnya yang keras membuat telinganya terngiang-ngiang dan tidak dapat menangkap kata-kata Yan Cu. Bagaimana mungkin ada mata seindah itu? Cong San bukan seorang pemuda mata keranjang. Jauh daripada itu. Selama berada dalam gemblengan Tiong Pek Hosiang di Siauw- lim-si, kakek ini selain mengajarkan ilmu silat tinggi, juga mengajarkan kebatinan dan karena itu dia tidak pernah memikirkan wanita. Karena batinnya yang kuat dan dasar susilanya tebal, tidaklah mudah kecantikan wanita menggiurkan hati pemuda jago Siauw-lim-pai ini. Akan tetapi, sekali ini berhadapan dengan Yan Cu, dia benar-benar terpesona dan kehilangan akal, seolah-olah matanya menjadi silau seperti langsung memandang cahaya matahari di tengah hari!

"Heiii! Jawab pertanyaanku!!" Yan Cu membentak makin marah.

"Eh.....! Ohhh.....! Apa..... apa yang kau kehendaki, Nona?" Cong San bertanya gugup. Akan tetapi karena tidak ingin mendapat kesan buruk, otomatis pemuda ini tersenyum ramah.

Kembali Yan Cu menganggap senyum yang membuat wajah itu makin tampan sebagai senyum kurang ajar, seperti senyum kepala rampok tadi. Kemarahannya memuncak dan ia memaki, "Cengar-cengir seperti monyet kurang ajar!" Dan serta merta gadis ini sudah mencabut sebatang pedang. Tampak sinar berkilat dan ketika pedang itu digerakan menyerang Cong San, terdengar bunyi berdesing dan pedang berubah menjadi gulungan sinar putih menyilaukan mata. Gulungan sinar ini berkelebat menyambar dan hendak "mengalungi" leher Cong San! Tentu saja pemuda ini kaget setengah mati, dan cepat mengelak. Kalau lehernya dikalungi rangkaian bunga atau lebih hebat lagi dikalungi kedua lengan berkulit halus nona itu, tentulah amat menyenangkan. Akan tetapi dikalungi pedang! Tujuh kali berturut-turut sinar pedang menyambar, akan tetapi dengan cekatan dan tubuh ringan sekali Cong San dapat mengelak. Dia amat terkejut menyeksikan kehebatan gerak dan serangan yan Cu, akan tetapi lebih kaget dia mengenal pedang itu.

"Pokiam (pedang pusaka) Hoa-san-pai.....!" Ia berseru ketika untuk ketujuh kalinya dia meloncat tinggi ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang kepinggangnya.

Memang Yan Cu telah mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai yang oleh Keng Hong diserahkan kepadanya brsama pusaka-pusaka yang lain. Ia menahan serangnya, sebagian karena kagum sekali menyaksikan betapa pemuda itu dengan tidak banyak kesukaran dapat menghindarkan serangan-serangannya, dan sebagian lagi karena tertarik mendengar seruan yang menyatakan bahwa pemuda ini mengenal pokiam dari Hoa-san-pai.

"kau mengenal Hoa-san Po-kiam? Dan masih tidak cepat-cepat minggat dari sini?" bentaknya.

***

Cong San cepat memberi hormat, bersoja, tanpa dibalas oleh Yan Cu, "Nona, harap maafkan, aku bukan orang jahat......"

Yan Cu membanting-banting kakinya tak sabar. "Sudahlah, berapa kali kau hendak bilang bahwa kau bukan orang jahat? Seperti penjual kecap saja yang memuji-muji dagangan sendiri! Kau jahat atau baik, apa hubungannya dengan aku? Apa kau mau mencari muka dengan memuji-muji diri sendiri?"

"Wah...... wah.....!" Cong San tak dapat bicara, menelan ludah dan mukanya menjadi merah sekali.

"Masih wah-wah-weh-weh mau apa lagi? Pergilah dan jangan mengganggu aku, dan jangan pula membayangiku!"

Akan tetapi Cong San masih belum pergi, menoleh pun tidak melainkan menunduk karena masih mengatur napasnya yang tidak karuan.

"Mau apa lagi?!" Yan Cu membentak, pedang di tangannya siap menyerang.

"Maaf, Nona. Aku...... aku memang bersalah, membayangimu karena aku tadi melihat kau berjalan sambil menangis. Kemudian muncul perampok-perampok itu...... dan aku kagum melihat betapa engkau merobohkan mereka........."

"Hemmmm...... dan kau diam saja, ya? Laki-laki apa ini? Melihat seorang wanita diganggu perampok malah menonton gratis. Senang, ya? Pertunjukan menarik, ya? Sudahlah, aku jemu mendengar dongengmu, Pergilah!"

"Maaf......."

Yan Cu membanting kakinya lagi. "Maaf....... maaf....... apa kaukira aku ini tempat orang minta maaf? Kalau mau minta maaf, pergilah ke kelenteng menebus dosa!"

Cong San makin guguk. Ia harus cepat menjelaskan, kalau tidak bisa berabe benar berurusan dengan gadis jelita yang galak ini. "Begini, Nona. Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Melihat sepak terjangmu terhadap perampok-perampok itu, bagaimana aku berani lancang turun tangan? Seratus orang seperti mereka masih tidak akan sanggup mengganggumu. Aku sudah hendak pergi, akan tetapi aku tertarik mendengar engkau menyebut nama Keng Hong. Cia Keng Hong adalah sahabat baikku, dan aku justeru sedang pergi mencarinya. Dapatkah engkau menunjukan di mana adanya sahabat Cia Keng Hong?"

Tiba-tiba timbul harapan di hati Yan Cu. Setelah agak lama melihat pemuda ini, ia pun merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang jahat dan kini mengaku sebagai sahabat suhengnya. Agaknya pemuda ini pun lihai sekali. Kalau pemuda ini membantunya menghadapi Biauw Eng dan Hun Bwee, kiranya mereka berdua akan dapat membebaskan Keng Hong! Akan tetapi ia masih belum yakin benar. Biauw Eng amat lihai, juga Hun Bwee wanita gila itu lihai sekali. Dia akan mencoba dulu!

"Tidak percaya! Engkau tentu akan mencelakakan suhengku Cia Keng Hong!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menerjang maju lagi dengan Hoa-san Po-kiam, mengirim serangan hebat.

Cong San kaget. Bukan hanya oleh serangan ini, akan tetapi mendengar pengakuan gadis ini sebagai adik seperguruan Keng Hong. Dia cepat mengelak akan tetapi sinar pedang yang putih menyilaukan mata itu terus mendesaknya. Biarpun dia merasa yakin akan dapat mengatasi gadis lihai ini, namun dengan tangan kosong menghadapi amukan pedang seperti itu, amatlah berbahaya.

Di samping ini, timbul pula di hatinya untuk menguji kelihaian gadis yang telah menjatuhkan hatinya tanpa dia sadari ini. Orangnya cantik jelita, wataknya lincah, galak, apalagi sebagai sumoi dari Keng Hong, tentu kepandaiannya hebat. Cepat dia pun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Im-Yang-pit yang berwarna hitam dan putih.

"Kau memaksaku, Nona. Apa boleh buat, marilah kulayani Nona berlatih sebentar!"

Yan Cu yang melihat pemuda itu memegang sepasang alat tulis, mendadak menghentikan serangannya. Con San sudah menggerakan sepasang senjatanya, yang kiri siap menjaga diri yang kanan siap membalas serangan. Ia sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah, akan tetapi karena lawannya menghentikan serangan, dia pun melongo dengan tubuh memasang kuda-kuda.

"Engkau ini sengaja hendak menghinaku ataukah barangkali memang engkau sudah begini?" Berkata "begini" Yan Cu melintangkan telunjuknya di depan dahi.

Cong San mengkal hatinya. Ingin dia membanting sepasang senjatanya. Sialan benar! Senjata yang ampuh darinya itu tidak dipandang mata, bahkan dia disangka sudah miring otaknya! Ia mengendurkan urat-urat tubuhnya dan menghentikan kuda-kudanya, hatinya kecewa dan murung. Susah payah dia tadi memasang gaya kuda-kuda agar kelihatan gagah..... eh, malah disangka menghina atau gila!

"Nona, yang menghina itu aku ataukah engkau? Sepasang Im-yang-pit ini adalah senjataku!" Ia berkata setengah membentak, suaranya serak seperti ingin menangis.

Tiba-tiba Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biarpun ditutupi, masih tampak mulutnya merekah dan Cong San yang tadinya mengkal dan marah, sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas mendadak menjadi dingin hangat melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis memabukkan. Kalah arak merah!

"Pena bulu itu senjatamu? Hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi, akan tetapi senjata bertanding ?Sobat, jangan kau main-main, sekali pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun agar kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi Siu-cai."

"Nona, kulihat engkau lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus buah pedang pusaka seperti yang kaupegang itu."

"Wiiihhhhh, sombong! Makan pedangku!" Yan Cu kini meloncat maju dan langsung menyerang dengan pedangnya.

"Singgggg..... trang-cring-cringggg.....!!"

Yan Cu meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tiak apa-apa. Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus ia kembalikan ke Hoa-san-pai dan sekarang ia hanya "meminjammya". Kalau sampai rusak kan repot! Ketika tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, ia merasa betapa tangan dan lengannyatergetar hebat dan benturan senjata yang ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Tentu saja ia cepat menarik tangannyadan mencelat ke belakang. Kini ia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda. Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan.Yan Cu menjadi panas.

"Kaukira aku kalah?" Ia membentak dan kembali ia mnerjang maju dengan amat ganas. Cong San yang maklum bahwa gadis ini sudah memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya juga tidak boleh dipandang ringan, cepat bergerak mengelak, menangkis, dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu.

Pertandingan berjalan dengan seru. Setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih, tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar amat lihai dan kalau saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya. Di lain pihak, hati Yan Cu yang tadinya menjadi girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar lihai sekali dan boleh diandalkan untuk membebaskan Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi ia sudah membuktikan kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar ia robohkan dalam waktu singkat hanya dengan tangan kosong saja. Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali tidak mampu mendesak? Apalagi melihat selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu........ entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar dan kedua pipinya terasa panas karena malu. Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan membuat ia merasa makin penasaran! Dia tidak boleh sampai kalah! Kalau kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya!

"Bocah sombong!" Tiba-tiba Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali.

Cong San kaget. Tak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi. padahal tadi sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya. Memang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun tingkat ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada gadis itu, namun selisihnya tidaklah banyak dan dia hanya dapat mengandalkan kematagannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah. akan tetapi kalau dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua fihak.

"Nona, sudahlah, Nona...... mari kita bicara....... aku mengaku kalah........!"

"Siuuuuttttt...... singggg....... cringggg......!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang disilangkan.

"Tidak! Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kauberi hadiah dengan mengaku kalah! Coba kaukalahkan aku dengan benar-benar kalau mapu! Aku tidak takut mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu sudah menyerang lagi.

Melihat pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang memegang pit putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga sehingga pedang lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal lengan kirinya. Secepat kilat dia pun membarengi dengan menotok pergelangan tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa lenganya lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya!

Cong San berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Ia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Yan Cu sambil berkata,

"Sudah kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum melukai aku."

Sejenak Yan Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, ia melihat bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit daging. Ia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi,

"Aku belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Ia sudah siap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan.

Cong San menggeleng kepalanya. "Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan lagi." Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas tanah di depan kaki gadis itu.

Sikap pemuda ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan "pasrah bongkokan" kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah. ""Kau laki-laki pengecut! Mengapa mengalah begini? Mengapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah! Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan pengecut kalau berhadapan dengan wanita?"

Cong San tidak mengerti mengapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran akan sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah?

"Aku..... aku tidak akan melawanmu, Nona."

"Benar? Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda itu.

Cong San mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu merasa aneh.

"Entah mengapa, Nona. Akan tetapi andaikata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak akan melawan."

Yan Cu merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong diturunkan, disarungkannya kembali dan sepintas lalu ia bertanya,

"Apakah engkau jatuh cinta kepadaku?"

Pertanyaan ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya.

"Aku....... aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu.......?"

"Tahu apa?"

"Tentang........ eh, tentang jatuh cinta......"

Yan Cu menggeleng kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama suhengku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta."

Cong San meloncat kaget, teringat akan Keng Hong. "Menyelidiki tentang...... cinta.....? Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat."

Yan Cu tertegun dan memandang tajam. "Siapa gurumu?"

Cong San memberi hormat. "Aku bernama Yap Cong San dan guruku adalah ketua Siauw-lim-pai."

Kini gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan dia mengira tadi seorang kepala perampok!

"Ahhhhh, kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmmmm, biarkan kuobati lukamu itu!" Tanpa menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu di bagian pangkal lengan yang luka, memeriksa kemudian memberi obat bubuk dan membalut lengan dengan sehelai saputangan bersih. Ia melakukan pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa. Cong San tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata, hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang mengobati luka di pangkal lengannya itu.

"Terima kasih, Nona. Engkau sugguh amat baik hati......." Cong San berkata dengan suara gemetar.

"Sudahlah, yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh. Tak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan suheng!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu dan diajak lari cepat. Tentu saja Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia berlari cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini.

"Eh, Nona...... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?"

Sambil berlari-lari cepat Yan Cu menjawab, "Ditangkap seorang gadis dan dibawa pergi!"

Tidak enak bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya lagi, "Mengapa? Siapa gadis itu?"

"Gadis yang dicintainya....... dia menyerahkan diri, tidak melawan......." karena sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus dan napasnya megap-megap.

Cong San makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah merupakan hal mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja mendengar ini dia menjadi penasaran.

"Dicinta mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?"

Tiba-tiba Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya mengomel, "Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek pikun!"

***

Cong San juga berhenti. Mereka saling berpandangan. Kini pemuda itu mulai mengerti atau sedikitnya mengenal watak Yan Cu, maka dia tidak kaget melihat gadis yang tadi mengobati pangkal lengannya dengan lemah lembut itu kini marah. Ia malah tersenyum dan berkata, "Nona, aku seorang laki-laki, mana mungkin seperti nenek-nenek yang cerewet ?"

"Kalau tidak seperti nenek-nenek yang cerewet, kenapa bertanya saja? Lari-lari sambil bicara mana enak?"

"Kalau begitu, kenapa kita tidak berhenti dulu dan bicara yang enak di bawah pohon yang teduh?"

Yan Cu menghapus keringatnya di leher dengan ujung lengan baju. "Kita harus cepat mengejar suheng, engkau ini memperlambat saja."

"Maaf, Nona. Aku pun ingin sekali segera menolong Keng Hong, akan tetapi aku ingin mendengar dulu siapa yang menangkapnya, dan kenapa dia ditangkap?"

"Baiklah, baiklah. Kalau tidak kuturuti, engkau tentu akan rewel seperti anak kecil minta kembang gula dan mengganggu terus. Nah, dengarkan baik-baik!" Yan Cu terpaksa ikut duduk di bawah pohon ketika melihat Cong San memberi isyarat dengan tangan kepadanya, mempersilahkan duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. Akan tetapi setelah mereka berdua duduk berhadapan, keduanya hanya saling pandang dan diam saja.

"Eh, bagaimana ceritanya, Nona?"

"kau dulu ceritakan keadaanmu dan bagaimana engkau bisa menjadi sahabat suheng."

Cong San menghela napas. Agaknya gadis ini masih belum percaya benar kepadanya. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Keng Hong ketika dia menyerbu ke Phu-niu-san untuk membalas dendam Siauw-lim-pai kepada Ang-kaim Bu-tek Bhe Cui Im dan betapa Keng Hong menyelamatkannya, kemudian mengembalikan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

"Ketika aku menyerahkan dua buah kitab itu kepada suhu, suhu lalu memerintahkan aku agar pergi mencari Cia-taihiap dan membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang lihai sebagai pembalas jasa. Nah, sekarang harap kau suka ceritakan keadaan Cia Keng Hong taihiap, Nona."

"Dia ditawan oleh gadis yang dicintanya."

"Mengapa? Dicinta mengapa malah menawannya?"

"Justeru karena suheng mencintanya, maka dia menyerahkan diri. Kalau tidak, mana mungkin Sie Biauw Eng itu dapat menawannya?"

"Sie Biauw Eng? Nona maksudkan Song-bun Siu-li puteri mendiang Lam-hai Sin-ni?" Cong San bertanya, kaget karena nama Sie Biauw Eng amat terkenal.Apalagi kalau diingat bahwa Song-bun Siu-li adalah sumoi dari Bhe Cui Im musuh besarnya!

Yan Cu mengangguk. "Bukan dia saja, masih ada seorang lagi yang begini!" Kembali ketika berkata "begini" Yan Cu melintangkan telunjuk di depan dahinya yang berkulit putih halus.

"Gila? Siapakah dia? Mengapa..........?"

Yan Cu cemberut. "Mengapa? Pertanyaanmu tak masuk akal dan bodoh. Mana bisa aku tahu mengapa dia gila?"

"Bukan gilanya yang kumaksudkan, Nona. Mengapa Cia-taihiap sampai ditawan?"

"karena dia dituduh memperkosa si gila itu dan oleh Biauw Eng, dia ditawan untuk dipaksa menikah dengan perempuan gila itu!"

Cong San sedang terpesona memandang wajah itu. Kini setelah dia mengenal sifat baik dara ini, wajah jelita itu makin menarik. Sepasang mata indah yang kini bersinar-sinar penuh semangat, dengan alis yang hitam kecil menjelirit, bulu mata yang panjang melengkung dan tebal sehingga membentuk garis hitam di seputar matanya. Hidung yang kecil mancung, yang cupingnya dapat bergerak-gerak kembang-kempis kalau sedang marah. Dan bibirnya! Ketika bicara bergerak-gerak demikian manisnya, seolah-olah bertetesan madu dari bibir itu, dan sepasang bibir itu bergerak demikian indahnya, seindah seekor kupu-kupu menggerak-gerakan sepasang sayapnya yang beraneka warna, ataukah seperti setangkai bunga mawar jambon tertiup angin, seperti cahaya keemasan bulan purnama bermain di permukaan air telaga? Entah seperti apa, namun yang sudah pasti, amat manis menarik, amat indah mempesona.

"Heeeiiii!" Kenapa kau mengangguk-angguk?" Yan Cu membentak heran.

Cong San yang sedang tenggelam dalam hikmat keindahan yang menyentuh perasaannya, bagaikan mabuk arak simpanan yang amat halus kerjanya, tadi mendengar penuturan Yan Cu, akan tetapi hanya setengah-tengah menangkap inti dan artinya. Kini dibentak dia menjadi kaget sekali dan menjawab sekenanya, "Memang betul! Sudah semestinya mengawini perempuan yang diperkosa!"

Yan Cu meloncat berdiri, kedua tangannya dikepal, matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Cong San terkejut sekali dan dia pun memandang dengan melongo, masih duduk dan menengadahkan kepalanya seperti orang tersadar dari mimpi.

"Apa kau bilang? Hati-hati engkau menjaga mulut, sembarangan saja bicara!"

"Eh...... aku bicara apakah, Nona? Apa yang salah?"

"Engkau percaya bahwa suheng Cia Keng Hong memperkosa perempuan gila itu?"

Barulah Cong San sadar bahwa yang dibicarakan adalah Keng Hong. Tentu saja dia tidak percaya. Setelah sadar kini dia menjadi pemuda murid Siauw-lim-pai yang tenang dan gagah perkasa kembali. Perlahan dia bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, seribu kali maaf, Nona. Demi tuhan, aku tidak percaya bahwa Cia-taihiap melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau tadi aku bicara seperti itu, hemmm......... aku lupa dan aku hanya mengatakan bahwa siapapun juga, kalau betula dia sudah memprkosa orang, harus bertanggung jawab! Akan tetapi............"

"Suheng tidak diperkosa wanita itu! Itu fitnah belaka!"

Cong San mengangguk. "Tentu begitu. Siapa sih wanita gila itu yang menjatuhkan fitnah keji terhadap Cia-taihiap?"

"Namanya Tan Hun Bwee, suci dari....."

"Tan Hun Bwee........? Ah, aku tahu! Bukan Cia-taihiap yang memperkosa, melainkan orang lain!"

Bukan main kaget dan girangnya hati Yan Cu. Seketika kemarahannya terhadap Cong San lenyap seperti api disiram air, bahkan saking gembiranya ia memegang tangan pemuda itu dan menariknya lari lagi! "Lekas! mari kita susul mereka!"

Kembali keduanya berlari-larian cepat sekali. "Nona, nanti dulu....."

"Ssttt.....! Jangan cerewet lagi!" Yan Cu memotong.

Cong San terpaksa menelan kembali kata-katanya. Akan tetapi dia tidak tahan. Sepuluh menit kemudian dia memaksa diri bertanya, "Aku hanya ingin mengetahui siapa Nona yang menyebut suheng kepada Cia-taihiap. Siapakah namamu, Nona?"

"Namaku Gui Yan Cu, guruku bernama Tung Sun Nio, dahulu isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah, cukup!"

Cong San melongo. Mendengar bahwa gadis ini murid bekas isteri Sin-jiu Kiam-ong, dia terheran-heran. Sin-jiu Kiam-ong mempunyai isteri? Baru sekarang dia mendengarnya. Karena melongo memandang wajah gadis itu sambil berlari cepat, kakinya tersandung akar pohon dan dia roboh terguling! Yan Cu berteriak dan cepat menyambar lengannya sehingga pemuda ini tidak sampai terguling ke dalam jurang di sebelah kirinya. Karena tarikannya yang tiba-tiba ini, padahal Cong San tadi ketika akan jatuh sudah menggerakan tubuh, maka tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Yan Cu sehingga kedua lengan Cong San merangkul pinggang yang ramping itu sedangkan kedua tangan Yan Cu juga memeganginya, yang satu memegang lengannya yang ke dua memegang pundaknya!

"Ihhh! Yan Cu melepaskan pegangannya dan meronta.

"Maaf! Maaf!" Cong San cepat melepaskan "pelukannya" dan keduanya menjadi tersipu-sipu dengan muka merah sekali.

"Matamu kau taruh di mana sih?" Yan Cu mengomel, akan tetapi melihat wajah gadis itu, Cong San maklum bahwa Yan Cu tidak marah, karena gadis ini pun mengerti bahwa peristiwa itu terjadi diluar kesengajaan Cong San.

"Aku...... aku sedang memandangmu, Gui-moi-moi!"

Yan Cu mengerling akan tetapi juga tidak marah disebut moi-moi oleh pemuda itu. "Sudahlah, hayo cepat!"

Mereka berlarian lagi, cepat sekali. Wajah Cong San berseri-seri dan ia sendiri merasa heran sekali mengapa mendadak dia merasa amat gembira, mengapa daun-daun dan rumput di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lebih segar dan lebih hijau dalam pandang matanya, langit tampak begitu cerah, sinar matahari yang terik terasa hangat dan pemandangan alam tampak jauh lebih indah daripada biasanya. Belum pernah selama hidupnya Cong San merasa begitu gembira. Betapa nikmat dan bahagianya hidup ini, pikirnya sambil lari mengimbangi kecepatan Yan Cu.

Memang demikianlah Cinta! Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari insan, Cinta merupakan titik terang satu-satunya yang meniadakan segala persoalan hidup, menjadi satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat yang terkena terapung muluk dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya. Cinta memang indah, namun keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga terlupakan orang bahwa di dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang ruwet dan rumit, lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan, madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan! Cinta! Bagaikan pohon kembang, indah sekali, namun sesungguhnya mengandung duri, mengandung ular yang mudah pula layu. Kalau pandai merawatnya, menghindarkan durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah!

"Tar-tar-tar!" Ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng melecut tiga kali dan mengenai kedua pipi dan leher Keng Hong. Pemuda ini menerima lecutan ujung cambuk itu dengan mata terbuka dan bibir tersenyum, sedikitpun tidak mengerahkan sinkangnya sehingga kulit pipi dan lehernya pecah berdarah!

"Sumoi jangan pukul dia!" Tiba-tiba Hun Bwee menubruk maju dan memukul Biauw Eng. Biauw Eng cepat mengelak dan berkata,

"Suci, aku hanya hendak memaksa dia mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu. Engkau diperkosa olehnya, bukan?"

Hun Bwee berhenti menyerang, sejenak memandang Keng Hong dengan mata liar namun membayangkan kemesraan. Dia maju berlutut dan menggunakan saputangannya mengapus darah yang mengalir di pipi dan leher pemuda itu.

"Koko........, sakitkah.......? Ah, kasihan kau." Hun Bwee mengusap kedua pipi Keng Hong dengan sentuhan jari tangan mesra. Diam-diam Keng Hong menjadi terharu sekali dan dia mengutuk Lian Ci Tojin dalam hatinya.

Hun Bwee bangkit berdiri menghadapi Biauw Eng. Gadis ini terkejut melihat sinar mata sucinya, maklum bahwa sucinya itu sedang kumat lagi gilanya! Namun ia menjadi terharu pula menyaksikan sikap Hun Bwee tadi terhadap Keng Hong, dan anehnya, di samping rasa haru terhadap Hun Bwee, ada pula rasa marah yang luar biasa terhadap Keng Hong dan ketika menyaksikan mesranya sentuhan-sentuhan tangan Hun Bwee pada pipi dan leher Keng Hong, ia hampir menjerit dan menangis!

"Sumoi, kalau kau memukulnya lagi, kubunuh kau!"

***

Biauw Eng menghela napas panjang. Kalau sucinya sedang kumat begini, dia harus mengalah. "Baiklah, Suci. Aku tidak akan memukulnya, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah memperkosamu." Ia lalu menghadapi Keng Hong yang berdiri sambil tersenyum dan memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kemesraan. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan terharu sekali terhadap Biauw Eng. Dia mengerti betapa tersiksanya hati kekasih hatinya itu, seolah-olah dia dapat merasakan kepedihan hati gadis itu, jauh lebih pedih dari pada pipi dan lehernya.

"Cia Keng Hong, engkau seorang laki-laki, mengapa begini pengecut? Engkau telah melakukan banyak hal memalukan dengan banyak wanita, mengapa sekarang engkau tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa Suci? Hayo mengakulah bahwa engkau telah memperkosanya!"

"Biauw Eng, di dalam hati nuranimu engkau pun tentu tidak percaya bahwa aku telah memprkosa nona Tan Hun Bwee. Aku tidak melakukannya, bagaimana harus mengaku?"

"Bohong!" Biauw Eng membentak. "Siapa tidak mengenalmu? Engkau seorang laki-laki mata keranjang, seorang laki-laki hidung belang! Dan engkau seorang laki-laki cabul! Engkau bermain gila dengan wanita manapun juga! Hayo berlutut dan mohon ampun kepada Suci!"

Keng Hong tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak merasa bersalah terhadap wanita mana pun juga, kecuali kepadamu, Biauw Eng. Kalau disuruh minta ampun kepadamu, biar harus berlutut selamanya aku bersedia melakukannya! Akan tetapi, tidak kepada wanita lain karena aku tidak merasa bersalah."

"Oooohhhh.....!" Jeritan ini keluar dari mulut Hun Bwee dan gadis ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Agaknya ucapan Keng Hong membuat dia sadar dan ucapan penyangkalan itu menusuk perasaannya.

Biauw Eng marah sekali. "Tar-tar.....!" Dua kali ujung sabuk menotok jalan darah di kedua pundak Keng Hong dan pemuda ini terguling roboh. Mukanya berkerut-kerut menahan rasa nyeri, akan tetapi mulutnya tetap berusaha untuk tersenyum dan pandang matanya tetap ditujukan kepada Biauw Eng dengan sinar penuh cinta kasih.

Karena maklum bahwa kini Hun Bwee sudah sadar dan tidak akan menghalanginya, Biauw Eng melangkah maju. "Pengecut! Kalau engkau tidak mengaku, aku akan menyiksa dan memaksamu!" Ujung sabuk di tangannya tergetar dan sekali tarik, ia membuat tubuh Keng Hong terseret dekat kakinya.

Keng Hong berlutut dan menengadah, memandang wajah Biauw Eng. Apapun yang akan dilakukan baiuw Eng terhadap dirinya, akan diterimanya dengan senang hati. IA telah melakukan banyak kesalahan terhadap gadis ini dan tidak ada hukuman baginya yang cukup berat untuk menebus kesalahannya itu. Kalau dia ingat betapa gadis ini amat mencintainya, telah melakukan pengorbanan-pengorbanan sungguhpun hatinya telah dibikin sakit oleh hubungan cintanya dengan gadis-gadis lain, betapa Biauw Eng membelanya di Kun-lun-pai, mengorbankan dirinya sendiri. Betapa gadis ini masih terus mencinta dan menantinya sampai bertahun-tahun ketika dia menghilang dalam tempat rahasia gurunya. Kemudian betapa semua cinta kasih yang amat mendalam itu, semua pengorbanan gadis itu dia balas dengan penghinaan-penghinan!

"Biauw Eng, jangankan hanya menyiksa, biar kau membunuhku, aku akan rela mati di tanganmu, hitung-hitung menebus dosaku kepadamu, Biauw Eng!"

"Desssss! Sebuah tendangan mengenai dada Keng Hong, membuat pemuda itu terjengkang dan sejenak tak dapat bernapas. Biarpun dia tidak mengerahkan sinkang, namun hawa sakti di tubuhnya yang amat kuat telah secara otomatis bergerak sendiri melindungi rongga dada sehingga tendangan itu tidak mendatangkan luka berat di dalam dadanya.

Ujung sabuk sudah diputar-putar di tangan Biauw Eng. "Mengakulah! Mengakulah...... dan nyatakan kesediaanmu mengawini Suci atau........ hemmmm......kuhancurkan kepalamu.........!"

Keng Hong yang sudah berlutut lagi menggeleng kepala dan tersenyum. "Hanya engkau di dunia ini satu-satunya wanita yang kucinta, Biauw Eng. Mana mungkin aku menikah dengan wanita lain?"

"Wuuuuut.......! Plakkk!" Ujung sabuk yang sudah menyambar ke arah kepala Keng Hong itu tertangkis oleh pedang hitam di tangan Hun Bwee.

Dua orang gadis itu saling pandang. Hun Bwee sudah tidak kumat lagi, kini mukanya agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. "Sumoi, engkau tidak berhak membunuhnya! Kalau ada orang yang akan membunuhnya, maka satu-satunya orang itu adalah aku sendiri!"

Biauw Eng menghela napas panjang dan memaki Keng Hong, "Laki-laki tidak setia, pengecut dan tidak tahu malu. Lihat betapa Suci yang telah kaurusakkan hatinya itu masih selalu melindungimu? dan engkau...... engkau...... ahhh!" Biauw Eng membalikan tubuh, cepat menggunakan ujung sabuknya menghapus dua titik air mata yang meloncat ke luar.

Sementara itu, Hun Bwee yang kini sudah sadar, memandang Keng Hong yang masih berlutut lalu berkata,

"Cia Keng Hong, engkau menjadi tawanan kami, tahukah engkau mengapa kami menawanmu dan hendak menyeretmu ke depan kaki guru kami?"

Keng Hong bangkit berdiri, kedua tangannya masih dibelenggu oleh ujung sabuk sutera putih yang kini sudah dilepaskan ke tanah ujung lainnya oleh Biauw Eng setelah tadi dipakai menghapus air matanya. Dia memandang gadis baju merah itu, diam-diam dia terheran karena seingatnya Tan Hun Bwee dahulu berpakaian hijau.

"Aku tidak tahu, nona Tan. Siapakah gurumu?"

"Subo Go-bi Thai-houw disakitkan hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong. Karena sekarang Sin-jiu Kiam-ong gurumu telah meninggal dunia, maka engkau sebagai muridnya harus kami bawa kepada subo."

"Hemmmm, sungguh tidak adil. Urusan antara guruku dan gurumu tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, mengapa aku yang harus dibawa menghadap?"

"Demikianlah kehendak guruku. Akan tetapi urusan guruku itu tidaklah berapa penting kalau dibandingkan dengan urusanku sendiri. Kita sama tahu apa yang telah terjadi pada pertemuan kita pertama kali. Sejak dulu engkau menyangkal, dan dahulu aku tidak berdaya melawanmu. Akan tetapi sekarang lain lagi! Aku telah mewarisi ilmu subo dan kalau kau tetap menyangkal, terpaksa aku akan membunuhmu di sini juga dan tidak akan membawamu kepada subo. Cia Keng Hong, masihkah engkau hendak menyangkal bahwa engkau dahulu telah........ memperkosaku?"

Berbeda ketika dia menghadapi tuduhan Biauw Eng tadi, kini Keng Hong memandang Hun Bwee dengan mata bersinar penuh penasaran dan suaranya lantang ketika menjawab,

"Tan-siocia! Biar aku bersumpah demi Tuhan dan disaksikan Bumi dan Langit bahwa aku tidak pernah memperkosamu! Kalau aku melakukan hal itu, perlu apa aku harus menyangkal?"

"Hemmmm....., kalau bukan engkau, siapa lagi?"

Keng Hong menggeleng kepala, tidak menjawab. Dia dapat menduga bahwa tentu Lian Ci Tojin yang melakukan perbuatan terkutuk itu, akan tetapi karena dia tidak menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana dia akan menuduh orang lain?

Tan Hun Bwee menjadi marah. "jadi engkau tetap menyangkal?'

"Aku tidak melakukannya!"

"Dan engkau tidak mau mempertanggungjawabkannya dan menikah dengan aku?"

"Aku tidak akan menikah dengan orang lain kecuali Biauw....." Keng Hong menghentikan kata-katanya karena sinar hitam pedang Hun Bwee sudah menyambar ke dadanya dengan sebuah tusukan kilat. Cepat pemuda yang kedua tangannya masih terbelenggu ke belakang ini mengelak dengan loncatan ke kiri. Pedang hitam itu tidak mengenai dadanya, akan tetapi dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali Hun Bwee melanjutkan serangannya, nenubruk dan mengirim tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan secara bertubi-tubi. Pedang Hek-sin-kiam berubah menjadi gulungan sinar hitam yang ganas sekali, bagaikan seekor naga hitam menyambar-nyambar dan terus mengejar ke manapun Keng Hong meloncat untuk menghindarkan diri. Dalam keputusasaan dan kemarahannya, Hun Bwee mnyerang dengan niat membunuh pemuda itu. Biauw Eng yang mendengar suara pedang sucinya bercuitan, sudah membalikkan tubuh lagi dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus berkata apa, bahkan dia tidak tahu apa yang tergerak di hati dan pikirannya. Ia menjadi bingung dan gelisah!

***

Keng Hong mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari. Setelah memperhatikan gerakan pedang Hun Bwee, diam-diam dia terkejut. Memang jauh sekali bedanya ilmu kepandaian puteri Tan-piauwsu ini dahulu dan sekarang. Gerakan pedangnya sekarang ini amatlah anehnya. Biarpun dia sudah banyak mempelajari ilmu silat tinggi dari kitab-kitab pusaka peninggalan gurunya, namun harus dia akui bahwa dia belum pernah membaca tentang ilmu pedang yang begini ganas dan anehnya. Biarpun dengan mengandalkan ginkangnya yang tingkatannya jauh lebih tinggi, namun dia mengerti bahwa kalau dia harus terus berloncatan mengelak dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang, akhirnya dia akan celaka. dan dia yang rela serela-relanya mati di tangan Biauw Eng, tentu saja tidak sudi mati konyol di tangan gadis gila yang menuduhnya memperkosanya itu.

"Tan-siocia! Jangan mendesak orang yang tidak bersalah. Hentikanlah seranganmu!" Keng Hong berteriak. Akan tetapi sebaliknya daripada menghentikan serangan, Hun Bwee malah memperhebat gerakan pedangnya.

Tiba-tiba Keng Hong mengeluarkan seruan perlahan dan....... kedua tangannya yang tadi dibelenggu oleh ujung sabuk sutera, telah lolos tanpa merusak sabuk. Dia telah mempergunakan ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Melepas Tulang Melepaskan Diri) sehingga kedua lengannya dapat lolos. Kini melihat datangnya sinar hitam ke arah lehernya, dia miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak ke depan dan menggunakan jari tangannya menjentik pedang.

"Cringgggg..... aihhhhh.....!" Tubuh Hun Bwee terhuyung ke belakang karena pedang yang dijentik jari tangan Keng Hong tadi membuat tangannya tergetar hebat dan tanpa ia ketahui, tahu-tahu pundaknya telah ditepuk perlahan oleh Keng Hong, membuat separuh tubuhnya seperti setengah lumpuh kehilangan tenaga!

"Berani engkau melukai Suci?" Biauw Eng meloncat maju dan memukul dada Keng Hong.

"Dessssss!!" Tubuh Keng Hong roboh.

Melihat ini, Hun Bwee sudah berteriak nyaring, pedangnya berkelebat dan tubuhnya meloncat maju menubruk dan mengirim tusukan ke arah perut Keng Hong yang karena pukulan keras Biauw Eng tadi agaknya nanar dan takkan dapat menyelamatkan diri lagi.

"Tranggggg.....!"

"Sumoi! Engkau malah membela dia?" Hun Bwee marah sekali ketika pedangnya ditangkis ujung sabuk Biauw Eng. Saking marahnya Hun Bwee kini menyerang Biauw Eng dengan menyabetkan pedangnya ke leher sumoinya itu. Biauw Eng mengelak dan ketika pedang menyambar lagi ke arah kaki, ia meloncat tinggi ke belakang sambil berseru,

"Tahan, Suci! Aku bukan membelanya. Akan tetapi kalau kau membunuhnya, berarti kita akan mendapat marah besar dari subo, dan kedua kalinya, engkau akan kehilangan calon suami. Apalagi dia belum mengaku!"

Tiba-tiba Hun Bwee tersentak kaget, menyarungkan pedangnya lalu menangis, berlutut menghadapi Keng Hong, "Ahhh, suamiku...... suamiku, kekasihku....."

Biauw Eng bernapas lega. Sucinya kumat lagi, akan tetapi kini jiwa Keng Hong terbebas dari kematian. Keningnya berkerut. Mengapa ia membela Keng Hong? Mengapa tidak ia biarkan saja Keng Hong mati di tangan Hun Bwee? Ia membiarkan Hun Bwee menangis menutupi mukanya, lalu ia menghampiri Keng Hong.

Pemuda itu sudah bangkit duduk, tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Biauw Eng. Engkau telah menyelamatkan nyawaku."

Ucapan dan senyum itu merupakan ejekan bagi Baiuw Eng, seolah-olah pemuda itu mengejek dan menanyakan bahwa gadis itu masih mencintanya! Hal ini membuat Biauw Eng menjadi marah. "Apa? Kaukira aku membela dan menyelamatkanmu? Hemmm........ aku lebih suka melihat engkau mati!"

Keng Hong kini memang benar-benar hendak menggodanya. Ia pun merasa penasaran mengapa Biauw Eng yang seperti tepat dikatakan Yan Cu sebelum mereka berpisah, amat mencintanya dan masih mencintanya itu kini hendak memaksa melawan hati sendiri. Padahal baru saja terbukti jelas telah membelanya dan menyelamatkannya dari kematian. Ia tersenyum lebar dan menggoda,

"Kalau begitu, mengapa engkau lebih suka melihat aku mati, Moi-moi?" Ia menyebut moi-moi dengan suara yang amat mesra.

Wajah Baiuw Eng menjadi merah. "Kaukira aku tidak tega membunuhmu?"

Keng Hong menggeleng kepala. "Engkau tidak akan membunuhku, Moi-moi, karena engkau mencintaku, seperti juga aku mencintamu!"

"Keparat bermulut palsu!" BiauwEng meloncat maju dan kedua tangannya bergerak cepat sekali-berturut-turut menotok jalan darah kematian di leher dan dada Keng Hong.

"Cusss-cusss!!" Tepat sekali jari-jari kedua tangannya menotok jalan darah di kedua tempat berbahaya itu. Keng Hong mengeluarkan suara tertahan, matanya mendelik, tubuhnya berkelojotan dan....... tubuh itu diam tak bergerak lagi, kedua matanya terpejam, napasnya terhenti!

Wajah Biauw Eng yang tadinya amat merah, kini berubah pucat sekali, matanya terbelalak memandang Keng Hong, kemudian dengan kedua tangan gemetaran ia memeriksa, membuka kelopak mata Keng Hong. Mata itu tidak bersinar lagi, mendekatkan tangan ke depan hidung yang tidak bernapas lagi, meraba pergelangan tangan, akan tetapi nadi tangan tidak berdetak lagi! Keng Hong telah mati!

"Keng Hongggg.......!!" Biauw Eng menjerit dan menubruk dada pemuda itu sambil menangis sesenggukan, kemudian malah mengerung-ngerung. "Keng Hong.....! Apa yang telah kulakukan ini.......? Keng Hongggggg.....!!" Ia memeluki dada merangkul leher, mencium muka yang pucat itu dan air matanya membasahi seluruh pipi, hidung, mulut dan leher Keng Hong.

"Keng Hong.....ah, Keng Hong.........aku telah membunuhmu...... kaubawalah aku serta.....! Keng Hongggggg.....!" Biauw Eng terisak-isak dan mendekapkan mukanya kepada muka Keng Hong, kepala, lehernya dan ke dadanya. Sementara itu, Hun Bwee yang masih kumat itu masih berlutut menangis dengan muka tersembunyikan di belakang kedua tangan.

"Moi-moi....... marilah kau ikut bersamaku, Moi-moi....."

Tangis Biuaw Eng makin menjadi. Itulah bisikan suara Keng Hong! Tentu dari alam baka! Roh Keng Hong yang baru saja meninggal mengajaknya! Ia memeluk tubuh itu lebih erat lagi.

"Keng Hong...... Koko....... bawalah aku.......aku ikut denganmu........! Bawalah aku mati bersamamu......!"

"Hussshhhh, bukan mati bersama, melainkan hidup berdua! Mari kita hidup bersama meneguk nikmat kebahagian........ kekasihku........."

Seketika isak tangis Biauw Eng terhenti. Bisikan itu keluar dari mulut Keng Hong, dekat sekali dengan telinganya! Dan tangan ini.....? Tangan Keng Hong membelai rambutnya? Mengusap air matanya? Cepat seperti tersentak kaget Biauw Eng mengangkat mukanya, menoleh, memandang dan..... ia melihat Keng Hong tersenyum penuh haru kepadanya dan dari mata pemuda itu bertitik keluar dua tetes air mata! Keng Hong masih hidup! Dia tidak tahu bahwa pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya sehingga biarpun totokannya tadi tepat mengenai jalan darah maut, namun tidak dapat menembus benteng pertahanan hawa sakti yang otomatis bergerak di tubuh pemuda itu melindungi jalan darah. Akan tetapi Keng Hong yang merasa penasaran mengapa Biauw Eng setega itu hatinya, menggunakan kepandaiannya dan berpura-pura mati!

***

"Kau......! Kau......! Plak! Plak! Dua kali pipi Keng Hong kena ditampar dan Biauw Eng meloncat bangun, mengeluarkan sabuk hitam dan membelenggu tubuh Keng Hong seperti orang mengikat kue bakcang! Sabuk hitam ini memang sengaja dibawa untuk menawan Keng Hong dan terbuat daripada kulit yang amat kuat. Keng Hong menyerah dan hanya tersenyum-senyum karena dia merasa tubuhnya masih seperti diayun-ayun di sorga ke tujuh kalau dia teringat betapa tadi Biauw Eng memelukny, menciuminya, menangisinya, dan minta diajak mati! Tak dapat dia bayangkan betapa cinta kasih Biauw Eng sepanas itu! gadis jelita yang begini mencintainya dan dia........masih bermain gila dengan segala macam wanita seperti Cui Im! Benar-benar dia layak mampus!

Setelah tubuh Keng Hong diikat dan dibelit-belit dengan sabuk kulit yang kuat itu, hati Biauw Eng masih belum puas. Ditotoknya Keng Hong di tiga tempat dan kini ia merasa bahwa totokan-totokannya itu berhasil membuat tubuh Keng Hong menjadi lumpuh.

Hun Bwee berhenti menangis. Melihat Keng Hong sudah diikat seperti itu, dia berkata, "Sumoi, kulihat orang ini tidak berjantung. Mengapa susah payah membawanya kepada subo? Kaupaksa juga tidak mungkin dia akan mau menjadi suamiku. Subo hanya membutuhkan bukti. Kalau kita penggal kepalanya dan bawa kepalanya kepada subo, kurasa dia akan puas dan kita tidak susah payah membawanya."

“Jangan, Suci. Kalau begitu, dia akan keenakan. Memang dia ingin mampus, akan tetapi aku ingin melihat dia menderita. Biarlah kita serahkan kepada subo, dan kelak untuk membunuhnya masih belum terlambat."

"Sucimu benar, Eng-moi. Kalau engkau tidak membunuhku sekarang, makin lama engkau makin tersiksa hatimu. Aku tahu betapa besar engkau mencintaku, Moi-moi, dan engkau pun tahu betapa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku."

"Keng Hong, tak perlu aku berpura-pura. Memang aku pernah mencintamu dan masih mencintamu, akan mencintamu selamanya. Aku adalah seorang yang memegang kesetiaan, tidak seperti engkau yang hanya mencinta karena dorongan nafsu binatangmu! Kau ingat, tubuhku telah dimiliki mendiang Sim Lai Sek!"

Keng Hong tersenyum. "Memang dahulu aku bodoh, sebodoh-bodohnya. Aku mencinta engkau, mencinta pribadimu, bukan hanya mencinta tubuhmu. Jangankan baru seorang Lai Sek, biar ada seribu orang, aku tetap yakin bahwa cinta kasih di hatimu hanya untukku seorang, seperti juga cinta kasihku hanya untukmu."

Sejenak mereka berpandangan. jantung di rongga dada Keng Hong berdebar penuh harapan ketika dia melihat sinar Biauw Eng sama seperti dahulu sebelum gadis ini marah-marah kepadanya, sinar mata yang penuh kemesraan, sinar mata yang membayangkan sorga bagi kehidupannya. Akan tetapi, perlahan-lahan mata yang bening indah itu berkaca-kaca, basah dan berderailah beberapa butir air mata seperti mutiara-mutiara lepas dari untaianya. Pelupuk mata tertutup memeras air mata terakhir, dua baris bulu mata bertemu dan merapat sampai lama. Setelah mata itu terbuka kembali, lenyaplah kemesraan yang tadi dan terbayang pandang mata yang dingin.

"Keng Hong, tidak perlu lagi engkau merayuku dengan ucapan manis-manis, dengan janji muluk-muluk. Tak perlu lagi engkau mengoles bibirmu dengan madu merah memikat karena aku tahu bahwa semua kemanisan itu mengandung racun. Apapun yang terjadi, tak dapat aku membiarkan penderitaan Suci tidak terobati. Suci telah kau perkosa dan engkau harus menjadi suaminya."

"Aku tidak memperkosanya."

"Itu adalah pengakuanmu, akan tetapi Suci tidak akan menjatuhkan fitnah tanpa dasar kepadamu. Sudahlah, biar subo yang akan memberi keputusan nanti."

Dengan suara dingin Keng Hong berkata, "Biauw Eng, engkau pun tidak perlu mengingkari bisikan hatimu sendiri. Aku cinta kepadamu dan engkau ini percaya kepadaku, akan tetapi engkau memaksa dirimu sendiri untuk menghancurkan kepercayaanmu. Engkau percaya pula bahwa aku tidak memperkosa nona Tan Hun Bwee, akan tetapi engkau memaksa diri untuk lebih percaya kepada keterangan Sucimu yang telah menderita sakit jiwa ini. Engkau sengaja hendak merusak kebahagiaan kita berdua. Aku tidak menyesal, Biauw Eng, karena aku rela menebus segala dosa dan kesalahanku yang amat besar terhadap dirimu. Hanya aku kasihan kepadamu......"

Biauw Eng hanya terisak-isak, tidak mampu menjawab karena apa yang dikatakan pemuda itu tepat sekali, setiap kata-kata menusuk menembus dadanya, mengiris hati menyayat-nyayat jantung.

"Dia memperkosaku! Cia Keng Hong, engkau memperkosaku!" Tiba-tiba Tan Hu Bwee berteriak.

"Tidak benar!" Tiba-tiba terdengar suara lantang dan muncullah Cong San dan Yan Cu! Yang berteriak itu adalah Cong San. Pemuda ini berdiri tegak, memandang dengan kagum kepada Biauw Eng dan dengan mata mengandung iba kepada Hun Bwee. Dia adalah seorang pemuda yang cerdik, maka sekali pandang saja maklumlah dia akan keadaan wanita berpakaian merah itu. Wanita ini menjadi korban perkosaan sehingga menjadi miring otaknya dan kini Keng Hong yang kejatuhan fitnah sebagai pemerkosanya!

"Cia Keng Hong taihaip sama sekali bukan tukang perkosa! Tidak benar kalau dikata dia yang memperkosa wanita. Nona, engkau tentulah nona Tan Hun Bwee, bukan? Dengarlah! Aku tahu bahwa yang memperkosamu adalah Lian Ci....."

"Yap-twako.....!" Keng Hong berteriak memotong keterangan pemuda murid Siauw-lim-pai itu. "Harap jangan mencampuri urusan ini. Sumoi, mau apa kau kembali lagi dan...... bagaimana bisa bersama Yap-twako?"

"Kau bohong!" Hun Bwee menjerit. "Yang memperkosaku adalah Cia Keng Hong! Tidak ada orang lain!" Sambil berkata demikian, Hun Bwee melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang Cong San. Pemuda ini terkejut menyaksikan gulungan sinar hitam yang amat cepat itu. Cepat dia meloncat jauh ke belakang. Ketika Hun Bwee mengejarnya, Cong San sudah mengeluarkan senjatanya, sepasang Im-yang-pit dan bertandinglah mereka dengan seru.

Sumoi, kenapa kau tidak mentaati prmintaanku?" Keng Hong menegur Yan Cu. gadis itu tersenyum dan berkata,

"Suheng, mana mungkin aku harus berpangku tangan saja sedangkan engaku terjatuh ke tangan dua orang wanita yang menderita penyakit jiwa? Tan Hun Bwee ternyata gila karena peristiwa pemerkosaan yang bukan kaulakukan, sedangkan Enci Biauw Eng ini juga gila karena melawan perasaan hati sendiri!"

"Hentikanlah.....! Hentikanlah.....!" Berkali-kali Keng Hong berteriak keras, namun sia-sia saja. Empat orang itu bertanding makin seru dan mati-matian. Keng Hong maklum bahwa baik Cong San maupun Yan Cu tidak akan menang melawan Biauw Eng dan Hun Bwee yang amat lihai dan yang memiliki ilmu silat amat aneh itu. Dia bersikap untuk mencegah jatuhnya korban dalam pertandingan yang tak dikehendakinya itu, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong berubah ketika dia melihat berkelebatnya bayangan beberapa orang yang gerakannya cepat sekali.

Memang benar wawasan Keng Hong. Yap Cong San terdesak hebat oleh gulungan sinar hitam dari pedang di tangan Hun Bwee. Pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini merasa heran dan terkejut sekali menyaksikan permainan pedang yang luar biasa anehnya, papalagi ketika Hun Bwee mulai terkekeh-kekeh dalam penyerangannya, membacok dengan pungung pedang, kadang-kadang malah memukulnya dengan gagang pedang, dan lebih gila lagi, ujung pedang yang runcing itu beberapa kali mengancam leher gadis itu sendiri! Justeru penyerangan-penyerangan aneh inilah yang beberapa kali hampir saja memcelakan Cong San. Akhirnya pemuda Siauw-lim-pai ini maklum bahwa ilmu pedang lawannyaamalah kukoai (janggal) dan amat berbahaya, maka dia lalu bersilat dengan tenang dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi tubuhnya. Ilmu silat Siauw-lim-pai amat terkenal dalam gaya pembelaan diri sehingga keadaan Cong San seumpama batu karang yang kokoh kuat dapat menahan segala gempuran ombak membadai dari serangan-serangan aneh Hun Bwee.

***

Yang payah keadaannya adalah Yan Cu. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Biauw Eng yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee. Untung bahwa Biauw Eng bukanlah seorang yang berwatak keji. Tadi memang ia merasa cemburu kepada gadis ini. Siapa yang tidak akan cemburu melihat gadis ini demikian cantik jelita sehingga dia sendiri pun sebagai wanita merasa tertarik, apalagi Keng Hong seorng pemuda yang mudah kagum akan keindahan wajah dan tubuh wanita? Akan tetapi setelah mendengar ucapan-ucapan Yan Cu ketika hendak pergi, ia maklum bahwa gadis ini memiliki watak yang mulia dan jujur sehingga kini dia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau Biauw Eng ingin membunuhnya, agaknya pertandingan di antara mereka tidak akan berlangsung terlalu lama. Akan tetapi, untuk merobohkan Yan Cu tanpa melukai berat, bukanlah hal yang mudah karena tingkat ilmu silat yang dimiliki Yan Cu sudah cukup tinggi, apalagi dia mempergunakan sebatang pedang pusaka yang ampuh!

Mengapa wajah Keng Hong berubah ketika dia melihat bayangan-bayangan berkelebat? Ternyata bayangan-bayangan yang kini telah berada di tempat itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Lian Ci Seng-jin, Kiam-to Lai Ban dan Thian It Tosu!

Melihat munculnya orang-orang ini, Cong San terkejut bukan main. Ia meloncat ke belakang dan berteriak berkali-kali, "Tahan.....!" Akan tetapi seorang yang sudah kacau pikirannya seperti Hun Bwee itu mana mau berhenti.

"Jai-hwa-cat!" Ia memaki dan menerjang terus, mendesak dengan pedang hitamnya. Tentu saja Cong San kembali menggerakan Im-yang-pit dengan marah karena dia ikut-ikutan dimaki penjahat cabul oleh wanita gila yang agaknya amat membenci penjahat-penjahat cabul dan menganggap semua laki-laki yang menjadi musuhnya sebagai penjahat cabul! Kembali mereka bertanding dengan seru.

Adapun Biauw Eng yang mengenal Cui Im, kaget sekali dan juga marah. Akan tetapi Yan Cu yang sudah marah itu kini melihat keraguan Biauw Eng, malah mendesak dengan pedangnya! Pertandingan yang seru itu membuat empat orang ini celaka sendiri. Sambil tertawa-tawa Cui Im bergerak ke depan dan di lain saat Biauw Eng dan Yan Cu sudah roboh ditotok oleh Cui Im yang amat lihai. Kalau saja Biauw Eng tidak sedang didesak Yan Cu, agaknya tidaklah akan mudah begitu saja bagi Cui Im untuk merobohkannya. Adapun Cong San dan Hun Bwee juga roboh oleh totokan Pat-jiu Sian-ong yang dibantu oleh Thian It Tosu.

"Hi-hi-hi-hi-hik! Kiranya si tampan ini sudah lebih dulu roboh oleh dara-dara manis ini!" Cui Im terkekeh-kekeh girang sambil menudingkan telunjuknya kepada Keng Hong yang masih rebah dengan tubuh terbelit-belit sabuk kulit hitam, sama sekali tidak mampu bergerak.

"Nah itulah dia!" Tiba-tiba Cong San yang tertotok lumpuh itu berseru, matanya memandang ke arah Lian- Ci Sengjin. "Perempuan gila Tan Hun Bwee, engkau menuduh Keng Hong! Hemmm, dia itulah laki-laki yang telah memperkosamu! Lihat baik-baik, apakah engkau tidak ingin lagi?"

Mendengar ucapan ini, Biauw Eng, Hun Bwee dan juga Yan Cu mengikuti pandang mata pemuda itu, semua memandang kepada Lian Ci Sengjin yang berdiri dengan muka pucat.

Cui Im menengok ke arah Lian Ci Sengjin yang terbelalak pucat memandang ke arah wanita baju merah. Kemudian Cui Im tertawa terkekeh-kekeh, "Heh-heh-hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, seleramu boleh juga! Memang dia itu cukup denok montok dan cantik! jangan khawatir, dia kini sudah tertawan dan engkau boleh memiliki dia sepuas hatimu, hi-hi-hik! Tidak perlu memperkosa lagi!"

Akan tetapi Lian Ci Sengjin tidak segembira yang disangka Cui Im. Sebaliknya dia berdiri terbelalak dengan muka pucat dan sikap penuh kengerian karena pada saat itu Hun Bwee memandangnya dengan mata yang liar.

"Kau.....! kau.....! kau..... tosu yang menawanku..... kiranya engkau.....! Ya benar...... demi Tuhan......! Engkaulah orangnya! Terkutuk.....!" Gadis ini mengeluarkan lengking mengerikan dan roboh pingsan!

Cringggg.....!" Pedang itu terpental dan kiranya Sian Ti Sengjin, suhengnya sendiri yang menangkisnya. "Sute! Apa yang kaulakukan? Sudah memperkosa malah hendak membunuhnya? Sampai begini gelapkah pikiranmu?" Bentak kakek itu dan Lian Ci Sengjin hanya menunduk, mukanya merah sekali karena malu mendengar suara ketawa Cui Im yang mengejeknya. Dia jatuh cinta kepada Cui Im yang pernah hampir menjadi isterinya. Kini rahasianya terbuka, bagaimana dia tidak merasa malu sekali? Akan tetapi Cui Im pada saat itu tidak mempedulikannya.

Wajahnya berseri ketika ia mengambil pedang pusaka Hoa-san-paidari atas tanah, pedang yang tadi dipakai Yan Cu, kemudian merenggut lepas perhiasan-perhiasan yang dipakai Hun Bwee. Bahkan setelah melakukan penggeledahan, ia menemukan sisa-sisa pusakanya dari sebelah dalam baju Yan Cu. Akan tetapi keningnya berkerut ketika ia tidak dapat menemukan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

Cong San, Yan Cu, Biauw Eng dan Hun Bwee kini pun dibelenggu dengan kedua lengan di belakang. Hun Bwee sudah sadar kembali, akan tetapi dia menjadi pendiam sehingga Biauw Eng sendiri sukar untuk menentukan apakah sucinya itu sedang kumat ataukah tidak. Gadis baju merah itu banyak menundukan muka, dan apabila sekali-kali mengangkat muka, ia memandang ke arah Lian Ci Sengjin dengan sinar mata seolah-olah hendak membakar bekas tokoh Kun-lun-pai itu.

Biauw Eng memandang ke arah Keng Hong yang berbeda dengan mereka berempat yang biarpun dibelenggu dapat berdiri, sebaliknya Keng Hong rebah karena seluruh tubuhnya dibelit-belit sabuk dengan amat kuat dan tubuhnya sudah lumpuh terkena totokannya pula. Ketika Biauw Eng memandang, Keng Hong juga sedang memandang kepadanya. Biauw Eng menahan tangis , akan tetapi tetap saja matanya menjadi merah sekali dan membasah. Mulutnya berbisik penuh penyesalan.

"Maafkan aku yang telah menjatuhkan fitnah padamu....."

Keng Hong tersenyum, menggerakan kepala mengangguk-angguk, pandang matanya penuh dengan pengampunan, kesabaran dan kasih sayang. Yan Cu yang dibelenggu pula dan berdiri di dekat Biauw Eng, dapat mendengar bisikan Biauw Eng itu. Hatinya menjadi panas dan ia segera berseru nyaring,

"Dasar engkau yang berhati kejam, Sie Biauw Eng! Kalau saja engkau tidak menawan suheng, tak nanti monyet-monyet ini dapat merobohkan kita! Sekarang, kita semua telah tertawan musuh karena kebodohanmu, menangis lagi perlu apa?"

Biauw Eng menoleh kepada Yan Cu dan menundukkan muka, berkata, "Engkau tidak tahu betapa hatiku telah tersayat-sayat, betapa segala kepahitan telah kurasakan sebagai akibat cinta kasihku kepadanya....."

Yan Cu tercengang an hatinya trharu melihat Biauw Eng yang terbelenggu itu perlahan-lahan menghampiri Keng Hong, berlutut, kemudian dengan gerakan kaku karena kedua lengannya dibelenggu ke belakang tubuh, ia membungkuk dan mencium Keng Hong! Bukan main kekasihnya ini! Keng Hong hampir menangis saking terharunya. Dahulu, dengan suara lantang Biauw Eng tidak ragu-ragu untuk mengaku cintanya di depan banyak tokoh kang-ouw di puncak Kun-lun-san. Sekarang, untuk menyatakan penyesalan dan cinta kasihnya, di depan begitu banyak orang, Biauw Eng dengan gerakan wajar dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi menciumnya! Ingin dia membisikan sesuatu, namun karena dia melihat betapa Cui Im memandang ke arah mereka penuh perhatian dengan senyum mengejek, dia tidak jadi berkata apa-apa, hanya memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kasih sayang dan penuh keyakinan agar kekasihnya itu tidak usah khawatir.

***

"Aku rela dan siap mati bersamamu, Keng Hong." Biauw Eng berbisik ketika ia menangkap isyarat pandang mata Keng Hong.

Cui Im menghampiri mereka, sejenak memandang tajam kepada Keng Hong lalu berkata, "Keng Hong, di mana kitab yang dua buah lagi? kitab-kitab Siauw-lim-pai?"

Keng Hong tersenyum mengejek. "Cui Im, engkau takkan dapat menemukan kedua buah kitab itu. Sampai mati pun takkan mungkin dapat kau temukan!"

Cui Im menggerakan tangan dan pedang merahnya sudah tercabut, ujungnya yang runcing menodong muka Keng Hong, hanya beberapa senti di depan mata pemuda itu, "Keng Hong, engkau boleh jadi seorang laki-laki yang keras hati dan keras kepala, yang tak mengenal takut akan tetapi kalau tidak kau jawab pertanyaanku, hemmmm..... hendak kulihat bagaimana sikapmu kalau pedangku ini mencongkel keluar biji matamu!"

Ang-kiam Bu-tek, hanya seorang pengecut besar yang mengancam orang yang sudah tidak berdaya. Ha-ha-ha, ingin sekali aku melihat apakah sikapmu masih seperti itu gagahnya mengancam Cia-taihiap kalau dia tidak terbelenggu. Dengarlah , kitab I-kiong-hoat-hiat dan kitab Seng-to-cin-keng oleh Cia-taihiap telah dikembalikan kepadaku dan telah kuserahkan ke tangan suhu. Kalau kau masih menginginkannya, coba saja engkau ambil dari tangan suhu Tiong Pek Ho-siang. Jelas engkau tidak berani, bukan? Ha-ha-ha!"

"Desss!" Tubuh Cong San terbanting roboh karena pukulan Lian Ci Sengjin yang mengenai punggungnya ini keras sekali. Cong San yang dipukul dari belakang ini menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun kembali sambil tersenyum mengejek. Kiranya Lian Ci Sengjin yang amat marah kepadanya karena pemuda murid Siauw-lim-pai ini yang tadi membuka rahasianya, menjadi marah mendengar pemuda ini mengejel Cui Im.

"Biar kubunuh saja bedebah ini!" Bentak Lian Ci Sengjin, makin penasaran melihat betapa pukulannya yang keras tadi ternyata tidak dapat membunuh pemuda itu. Akan tetapi Cui Im sambil tersenyum mengangkat tangannya.

"Jangan bodoh, Sengjin! Dia ini murid tersayang ketua Siauw-lim-pai, merupakan tawanan penting. Juga Keng Hong tidak boleh dibunuh, aku masih amat membutuhkannyasaat ini! Kita bawa saja mereka berlima ini ke tempat Pat-jiu Sian-ong dan baru di sana kita memutuskan apa yang harus kita lakukan kepada lima orang ini."

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha, Bhe Cui Im wanita cantik yang amat cedik. Murid Sin-jiu Kiam-ong ini amat gagah dan tampan, demikian pula murid ketua Siauw-lim-pai. Aku tahu mengapa engkau merasa sayang untuk membunuh mereka sekarang, ha-ha-ha!"

Cui Im juga terkekeh genit dan memainkan biji matanya ke arah kakek kecil kate berkepala besar yang memegang kebutan hudtim itu. "Ihhh! Bukankah sudah kukatakan bahwa bagiku, tua atau muda, tampan atau buruk, tidak ada bedanya? Aku sudah berjanji kalau kalian membantu dan kita berhasil, aku akan melayanimu sampai kau tidak kuat bangun kembali! Aku menawan Keng Hong karena ada persoalan penting mengenai ilmu silat antara dia dan aku....."

"Cui Im, kalau kau hendak memperlajari Thi-khi-i-beng, engkau harus mati dulu!" Keng Hong mengejek.

Akan tetapi Cui Im tidak mempedulikannya dan melanjutkan : "Adapun murid ketua Siauw-lim-pai ini, bukankah dapat kita pergunakan sebagai perisai kalau menghadapi ketua partai itu? Tiong Pek Hosiang si tua bangka itu lihai sekali, dan siapa tahu dia akan hadir pula. Mengertikah engkau sekarang, Pat-jiu Sian-ong?"

Kakek kecil kate berkepala besar itu tertawa dan mengangguk-angguk, mengebut-ngebutkan hudtimnya dengan lagak seorang dewa atau seorang pertapa sakti sambil berkata perlahan, "Kasihan..... kasihan..... orang-orang muda yang tak tahu diri, berani lancang menentang Ang-kiam Bu-tek..... hem.....!" Ia lalu melambaikan kebutannyadan terdengar suara bersuit nyaring.

Keng Hong yang masih rebah menahan napas dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tadi awas sehingga tidak semberono karena dia sudah menduga bahwa Cui Im kalau sudah berani menyergapnya tentulah mempunyai andalan. Kiranya di samping teman-teman yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, di sekitar tempat itu sudah terkurung dan kini muncullah puluhan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong dipimpin oleh dua orang kakek kembar yang bukan lain adalah Thian-te Siang-to, murid Pat-jiu Sian-ong.

Beramai-ramai lima orang muda yang menjadi tawanan itu di giring ke tempat tinggal atau sarang Pat-jiu Sian-ong, yaitu di dekat tembok besar di sebelah utara puncak Tai-hang-san. Di bagian ini, tembok besar yang amat panjang itu melalui lereng-lereng gunung dan di dekat tembok di lereng Gunung Tai-hang-san sebelah utara inilah dijadikan sarang oleh pat-jiu Sian-ong, di mana dibangun sebuah benteng yang cukup kuat.

Perjalanan itu melalui lereng-lereng gunung dan hutan-hutan liar, memakan waktu beberapa hari. Para tawanan di jaga ketat dan sungguhpun mereka itu diberi waktu makan dan istirahat, namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk saling bicara. Bahkan di waktu rombongan berhenti bermalam, lima orang muda itu dipisahkan. Betapapun juga, hati Keng Hong dan teman-temannya merasa lega bahwa mereka tidak pernah menerima gangguan. Agaknya Cui Im memang melarang mereka diganggu.

Keng Hong diam-diam merasa gelisah. Bagi dia sendiri, dia tidak usah merasa takut karena kalau dia menghendaki, mudah saja baginya untuk membebaskan diri. Ketika dia dibelenggu oleh Biuaw Eng dan ditotok tiga kalipun, kalau dia menghendaki, mudah saja baginya untuk bebas. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini, pertama karena dia ingin menguji Biauw Eng untuk penghabisan kali, ke dua karena keadaan musuh yang amat kuat sehingga kalau dia berlaku nekat, tentu teman-temannya terancam bahaya. Di antara mereka berlima, yang boleh diandalkan kepandaiannya hanya Biauw Eng. Mungkin Hun Bwee juga memiliki kepandaian luar biasa, akan tetapi wanita yang terganggu jiwanya itu sama sekali tidak boleh diandalkan. Cong San dan Yan Cu memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi menghadapi tokoh-tokoh seperti Bhe Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong, mereka itu masih terlalu lemah. Apalagi menghadapi Cui Im! Agaknya harus dia sendiri yang maju, baru wanita keji itu akan dapat ditundukan.

Malam ke empat rombongn itu beristirahat di sebuah kuil kosong tua yang berada di sebuah lereng gunung. Lima orang tawanan itu dipisahkan dan dijaga ketat. Bahkan Keng Hong yang masih terbelit-belit sabuk kulit hitam itu direbahkan di sebuah kamar kuil tua dan dijaga sendiri oleh Cui Im! Selosin orang anak buah pat-jiu Sian-ong dengan golok terhunus masih menjaga di luar kamar, berdiri seperti patung.

"Uuuhhhh, pegal-pegal semua tubuhku. Cui Im, maukah engkau membantuku agar aku dapat duduk bersandar tembok?" Keng Hong berkata.

Cui Im yang duduk di sudut kamar itu mengangkat muka memandang penuh kecurigaan, kemudian tagannya menggapai seorang penjaga. Penjaga itu masuk dan Cui Im berkata,

"Bantu dia duduk bersandar tembok."

Penjaga itu menghampiri Keng Hong dan dengan gerakan kasar menyeret pemuda itu ke dekat dinding lalu menjambak rambutnya dan menariknya sehingga terduduk. Setelah mendengus, penjaga itu pergi lagi berjaga dengan teman-temannya di luar kamar.

Keng Hong tersenyum, "Aahhhh, terima kasih. Begini lebih enak, aku dapat duduk dan memandang wajahmu. Eh, Cui Im. Lama tidak berjumpa, sekarang engkau makin cantik saja dan tubuhmu..... hemmm..... makin padat dan montok menggairahkan!"

***

wanita yang duduk di sudut lain itu mengangkat muka dan memindahkan pandang matanya dari pedang Siang-bhok-kiam yang dipegangnya itu ke arah muka Keng Hong. Ia melihat betapa pandang mata pemuda itu menjalari seluruh tubuhnya. Ada getaran aneh terasa oleh Cui Im, seolah-olah bukan pandang mata melainkan jari-jari tangan pemuda itu yang menggerayangi tubuhnya, membuat semua bulu di tubuhnya bangkit penuh gairah. Akan tetapi ia tersenyum mengejek.

"Keng Hong, sungguh tidak kunyana seperti ini pertemuan kita yang terakhir.Yang terakhir kataku, kau dengar? Karena kalau sekali ini engkau tidak mau menuruti keinginanku, yaitu mengajarkan Thi-khi-i-beng dan ilmu silat baru yang kaumainkan tempo hari, yang seperti gabungan dari Pat-kwa-kun dan Ngo-heng-kun itu, tentu kau akan kubunuh!"

Keng Hong tersenyum. "Aku bukan orang bodoh, Cui Im, dan aku tahu menerima kekalahan. Sekali ini aku tidak berdaya, dan memang aku pun sudah melihat betapa bodohnya aku mencinta sorang seperti Biauw Eng yang tidak mempunyai cinta kasih dan tidak mengenal budi. Engkaulah wanita yang cocok untukku, Cui Im....."

"Ihhh! Tak perlu kau merayu. Kaukira aku percaya kepadamu?'

"Aku tidak merayu. Kalau kuingat betapa pertama kali mengenal wanita adalah denganmu! Engkaulah mengajarku tentang cinta, Cui Im, bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu?"

"Bohong! Engkau selamanya mencinta Biauw Eng."

"Itu dulu! Sekarang tidak lagi karena kau melihat sendiri betapa dia menawanku dan hendak memaksaku mengawini gadis gila itu. Phuuuhhh! Lebih baik aku mati. Dan engkau yang begini denok.....? Hemmmm, Cui Im. Perkara belajar Thi-khi-i-beng atau Thai-kek Sin-kun, apa sih susahnya? Ke sinilah, manis. Sesungguhnya sudah bertahun-tahun aku menahan kerinduan hatiku kepadamu, membayangkan manisnya bibirmu....."

Cui Im tertawa mengejek, akan tetapi biarpun dia tidak percaya, tetap saja ia tertarik dan meloncat bangun, menghampiri Keng Hong, berlutut di dekat pemuda itu. "Kau perayu yang canggung! Apa kaukira begitu mudah hendak merayuku dengan palsu itu? Hi-hi-hik, aku tidak percaya, Keng Hong."

"Cui Im........." Keng Hong berbisik, "Lupakah kau akan malam pertama itu, ketika engaku menawanku, sebelum muncul Biauw Eng? Engkau memberi minum arak merah....... dan kita........hemmmm....... betapa senangnya kita ketika itu......"

Jantung Cui Im berdegup keras. Dia bukan orang bodoh dan tentu saja dia tidak mau percaya akan ucapan Keng Hong itu. Akan tetapi memang pada dasar hatinya, wanita ini jatuh cinta kepada Keng Hong semenjak pertama kali bertemu dahulu. Karena cintanya inilah maka dahulu Cui Im membenci Biauw Eng dan berusaha merusak nama Biauw Eng di depan mata Keng Hong. Biarpun ia tahu bahwa pemuda ini tidak membalas cintanya dan bahwa kini membujuk rayu dengan palsu, tidak urung jantungnya berdebar dan nafsu gairahnya timbul.

"Aku..... aku tidak percaya...... hendak kubuktikan....." Karena tahu bahwa Keng Hong terbelenggu tak mampu bergerak sehingga tidak membahayakan, Cui Im mendekatkan mukanya, merangkul leher dan mencium bibir pemuda yang sebetulnya masih ia harapkan cinta kasihnya ini. Ia hendak menguji dan betapa gembira hatinya ketika merasa bahwa Keng Hong membalas ciumannya! Begitu gembira hati Cui Im sehingga ia lupa segala dan segera tubuhnya lemas karena sebelum ia sadar akan apa yang terjadi, tengkuknya sudah ditotok Keng Hong sehingga ia roboh pingsan dalam keadaan masih merangkul pemuda itu! Memang Keng Hong sebetulnya tidaklah dikuasai oleh belenggu sabuk kulit yang melibat-libat tubuhnya. Kalau dia kehendaki, dalam sekejap mata saja dia mampu meloloskan diri.

Dari balik pundak Cui Im, Keng Hong melihat pungung dua belas orang penjaga membelakangi kamar itu. Cepat dia merebahkan tubuh Cui Im yang masih pingsan, meniup padam lilin dan tubuhnya berkelebat ke arah pintu. Dengan kepandaiannya yang hebat, ginkangnya yang luar biasa, Keng Hong berkelebat cepat. Dua belas orang penjaga itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi sesungguhnya mereka itu berdiri secara tidak wajar lagi karena tubuh mereka menjadi kaku. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat cepat, tak tahu bayangan apa itu.

Keng Hong terkejut sekali ketika melihat betapa empat orang kawannya itu terpisah-pisah dan terjaga amat kuatnya. Tidak mungkin dia dapat membebaskan mereka semua tanpa diketahui penjaga dan sekali mereka tahu, tentu dia dan kawan-kawannya akan dikurung. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi karena tentu fihaknya akan jatuh korban, mengingat banyaknya jumlah lawan dan banyaknya pula orang-orang pandai di fihak lawan. Betapapun juga, dia harus membebaskan Biauw Eng! Maka dia cepat menghampiri kamar di mana Biauw Eng ditahan dan melihat bahwa kekasihnya ini dijaga oleh Thian-te Siang-to, sepasang kakek kembar murid Pat-jiu Sian-ong bersama selosin anak buah mereka.

Keng Hong tidak mau membuang waktu lagi. Dua buah kerikil di tangannya disambitkan ke dalam kamar dan padamlah dua buah lilin di atas lantai kamar itu. Selagi sepasang kakek kembar itu berteriak dan sibuk memasang api, tubuh Keng Hong sudah berkelebat cepat dan seperti halnya selosin penjaga di depan kamar di mana dia ditawan, kini selosin orang penjaga di situpun menjadi kaku oleh totokannya yang cepat dan tepat. Ia lalu menyerbu ke dalam.

Thian-te Siang-to adalah murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. tadinya mereka masih tidak mengira bahwa padamnya lilin-lilin itu adalah karena perbuatan musuh, akan tetapi begitu mendengar sambaran angin dari luar pintu, keduanya meloncat sambil mencabut golok dan menerjang ke arah pintu.

Keng Hong melanjutkan loncatannya, akan tetapi menukik ke bawah. Du buah golok itu menyambar di atas tubuhnya ketika dia menubruk dua pasang kaki Thian-te Siang-to yang berteriak kaget, akan tetapi segera tubuh mereka lemas karena Keng Hong cepat menotok mereka.

Biauw Eng tengah bersandar dinding dengan kedua lengan dibelenggu ke belakang. Tiba-tiba ia melihat lilin padam dan mendengar suara ribut-ribut, maka ia cepat meloncat bangun.

"Biauw Eng, lekas kau lari! Biar aku melindungimu dari pengejaran!" Bisik Keng Hong sambil merengut putus tali yang membelenggu kedua tangan Biauw Eng.

"Bagus...... mari kita bebaskan yang lain......!" Biauw Eng berbisik kembali.

"Sttt..... jangan! kau larilah dulu, biar aku yang akan membebaskan mereka. Engkau harus selamat dulu, Biauw Eng."

"Apa? Tidak! Aku tidak mau bebas sendiri tanpa engkau dan mereka!"

"Ah, berbahaya..... mereka amat kuat. Engkau pergilah dulu......."

"Tidak, Keng Hong. Aku tidak mau berpisah lagi denganmu!" Suara Biauw Eng terdengar tegas sehingga Keng Hong menjadi bingung. Dia maklum bahwa amatlah sukar untuk membebaskan mereka sekaligus dan dia baru akan merasa lega dan tenang kalau Biauw Eng sudah selamat. Bagi dia sendiri, tidak khawatirlah dia. Akan tetapi kalau mereka semua lari, tentu akan sukar sekali. Betapapun juga, dia sudah mengenal Biauw Eng dan dipaksa pun akan sia-sia saja.

"Baiklah, mari!" Mereka lalu berkelebat pergi dari kamar itu untuk membebaskan tiga orang kawan mereka.

Akan tetapi, tepat seperti yang dikhawatirkan Keng Hong, baru saja mereka mendekati tempat tahanan Cong san, gerakan mereka telah diketahui oleh Pat-jiu Sian-ong yang berteriak keras,

"Tangkap mereka!"

Ributlah dalam kuil tua itu dan puluhan orang penjaga, akan buah Pat-jiu Sian-ong yang berjaga di sebelah dalam kuil sudah menyerbu. Keng Hong dan Biauw Eng terpaksa mengamuk. Para penjaga itu merupakan makanan lunak bagi mereka, akan tetapi setelah pat-jiu Sian-ong membebaskan Cui Im dari totokan, dua orang ini lalu menyerbu sendiri menghadapi mereka. Terjadilah pertandingan hebat di dalam kuil, di bawah sinar penerangan obor-obor yang dinyalakan oleh para penjaga. Kalau mereka menghendaki, Keng Hong dan Biauw Eng tentu saja akan dapat melarikan diri dengan mudah di malam gelap itu. Akan tetapi mereka, terutama Biauw Eng, tidak sudi melarikan diri meninggalkan tiga orang kawan mereka dan dua orang lawan mereka yang amat tangguh itu tidak memungkinkan mereka dapat menolong kawan-kawan mereka yang masih ditawan dalam kamar.

"Berhenti! Cia Keng Hong, lihat, apakah kau ingin melihat mereka ini mampus di depan matamu?"

Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali melihat betapa Cong San, yan Cu dan Hun Bwee sudah diseret ke situ dan di ancam dengan pedang di leher mereka oleh Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin, Kim-to lai Ban dan Thian It Tosu!

***

"Hi-hi-hik! Keng Hong, apakah engkau masih belum mau menyerah? Ataukah engkau hendak mengorbankan mereka ini demi keselamatanmu?" Cui Im mengejek.

"Cui Im, engkau curang dan pengecut!" Keng Hong membentak marah.

"Hi-hi-hik, siapa yang curang? Apakah engkau yang merayu aku tadi untuk dapat membebaskan diri tidak curang?"

Terpaksa Keng Hong dan Biauw Eng menyerahkan diri dan tidak melawan ketika Pat-jiu Sian-ong dan Cui Im menotok mereka roboh. Mereka diikat lagi dengan erat, bahkan Keng Hong kini ditotok sendiri oleh Cui Im menggunakan ilmu Tiam-hiat-hoat dari kitab pusaka Sin-jiu Kiam-ong sehingga sekali ini Keng Hong benar-benar lumpuh tak dapat menggerakan kaki tangannya.

karena tidak ingin mengalami hal-hal tidak enak seperti yang telah terjadi tadi, malam itu juga Cui Im melanjutkan perjalanan membawa lima orang tawanan itu menuju ke arah Pat-jiu Sian-ong. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di tempat yang menjadi tempat tinggal Pat-jiu Sian-ong dan anak buahnya. Tempat ini merupakan sebuah benteng yang kuat, dikelilingi pagar tembok tinggi dan terjaga kuat. Diam-diam Keng Hong memperhatikan keadaan benteng itu dan harus mengaku di dalam hati bahwa sekali ini, kalau dia mendapat kesempatan, dia harus berkelahi mati-matian dengan empat orang temannya dan agaknya tidaklah akan mudah bagi dia dan teman-temannya untuk dapat lolos dari tempat yang kuat itu.

Mereka memasuki benteng ini pada siang hari dan betapa kaget hati Keng Hong ketika melihat banyak sekali orang-orang yang kelihatan berkepandaian tinggi, bahkan di antara mereka ini dia melihat Pak-san Kwi-ong! Selain ini, dia melihat pula Pak-san Su-liong, tokoh-tokoh yang bersenjata tengkorak, yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang lihai dan masih ada lagi empat orang pengawal-pengawal rahasia kaisar, yaitu Gu Coan Kok si Iblis Cebol, Huk Ku si setan bangsa Kerait dan Thai-lek Sin-mo Cou Seng! Heran dia mengapa pengawal-pengawal rahasia kaisar itu, yang tadinya berjumlah empat orang ditambah lagi Pak-san Kwi-ong, Bhe Cui Im dan Siauw Lek, bisa berkumpul di tempat ini.

Memang sesungguhnyalah, para pengawal rahasia itu kesemuanya melarikan diri setelah terjadi peristiwa di luar istana ketika Cui Im berusaha menjebak Keng Hong. Tio Hok Gwan, pengawal Laksamana Tinggi The Ho yang lihai dan telah bersimpati kepada Keng Hong, memberi pelaporan kepada jujungannya. Laksamana The Ho adalah orang yang bijaksana dan amat berpengaruh bijaksana dan amat berpengaruh serta dihormati kaisar, maka ketika The Ho memberi nasihat kepada kaisar betapa bahayanya mempergunakan tenaga orang-orang yang terkenal sebagai datuk-datuk dan tokoh-tokoh dunia hitam itu, kaisar lalu membebastugaskan mereka. Pak-san Kwi-ong dan tean-temannya lalu pergi dari istana dan diam-diam merasa marah sekali, di dalam hati mereka memberontak dan ingin menjatuhkan kaisar, maka mereka lalu beramai-ramai pergi mengunjungi Pat-jiu Sian-ong untuk mengumpulkan kawan dan bersekutu menjatuhkan kaisar!

Tugas pertama mereka adalah untuk menggunakan kesempatan selagi orang-orang kang-ouw berkumpul di Tai-hang-san untuk menggempur mereka karena mereka telah mendengar betapa orang-orang kang-ouw itu juga menentang Pak-san Kwi-ong dan sekutunya menjadi pengawal kaisar. Bahkan diam-diam Pak-san Kwi-ong dan para iblis Tembok Besar yang kini tinggal tiga orang itu karena Kemutani telah tewas di tangan Yap Cong San, menghubungi suku bangsa Mongol dan Mancu untuk bersekutu dan menyerang ke sebelah selatan tembok besar.

Ketika para tawanan itu dikumpulkan di ruangan dalam, kesemuanya dibelenggu, tiba-tiba Hun Bwee berteriak-teriak dan meronta-ronta, “Lepaskan aku! Lepaskan, mengapa kalian membelenggu aku? Awas, kalau tidak dilepaskan, kelak guruku Go-bi Thai-houw tentu akan mencabut nyawa kalian semua!”

Mendengar disebutnya nama Go-bi Thai-houw, Pak-san Kwi-ong terkejut. Apa? Gadis ini murid Go-bi Thai-houw? Bagaimana bisa menjadi tawananmu, Ang-kiam Bu-tek? Ia kelihatan gelisah dan heran.

“Hemmm... kalau dia menjadi muridnya, mengapa sih? Dia bersama dengan Biauw Eng, dan agaknya gila.”

“Lepaskan! Aku tidak memusuhi siapa-siapa, aku hanya akan membunuh Cia Keng Hong, bocah yang telah memperkosaku. Lepaskan!”

"Tan Hun Bwee, yang memperkosamu adalah Lian Ci"

"Plakkk!"

Pipi Cong San kena ditampar oleh Lian Ci Sengjin. ”Diam kau, monyet!”

"Bohong! Bukan siapa-siapa, melainkan Cia Keng Hong. Lepaskan aku!"

"Ang-kiam Bu-tek, sebaiknya kau bebaskan dia. Kalau dia murid Go-bi Thai-houw, berarti bukan musuh."

"Eh, eh, eh, Kwi-ong. Agaknya engkau jerih sekali mendengar nama Go-bi Thai-houw!" Cui Im mengejek.

Pak-san Kwi-ong terbatuk-batuk. "Eeehhhhhh... Dia... dia... Hemmm. Pat-jiu Sian-ong, apakah engkau pun memusuhi Go-bi Thai-houw?"

Tiba-tiba kakek kecil kate yang berkepala besar itu kelihatan bingung dan cepat mengeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa memusuhi siapa? Aku tidak pernah bentrok dengan nenek sakti itu."

"Nona Bhe, engkau belum tahu. Go-bi Thai-houw itu lihai bukan main, dan jauh lebih menguntungkan kalau kita bersekutu dengan dia. Lebih baik jangan menganggu muridnya. Pula, apakah perlunya gadis ini ditawan?" Pak-san Kwi-ong berkata.

Cui Im tersenyum dan mengeling kepada Lian Ci Sengjin. "Aku pribadi tidak mempunyai urusan dengan Tan Hun Bwee ini, juga tidak pernah mengenal Go-bi Thai-houw, maka soal membebaskan dia atau tidak, tidak penting bagiku. Hanya mesti menanyakan pendapat Lian Ci Sengjin, karena kalau nona ini dibebaskan, jangan-jangan dia akan menyerang Lian Ci Sengjin."

Wajah bekas tosu Kun-lun-pai itu sebentar merah sebentar pucat, akhirnya saking malu dan marah dia hanya mengomel, "Perempuan ini terang seorang yang gila, mau bebaskan dia atau mau bunuh, aku tidak peduli!"

Cui Im tertawa mengejak lalu menghampiri Hun Bwee. Kini ia memandang penuh perhatian karena disebutnya nama guru gadis ini sebagai seorang yang amat lihai, yang ditakuti oleh Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, benar-benar membuat ia menaruh perhatian. "Katakan kalau kau kubebaskan, apa yang hendak kau lakukan?"

Hun Bwee hanya sebentar saja memandang Cui Im, lalu matanya mencari-cari kemudian menatap wajah Keng Hong, mulutnya berkata nyaring, "Akan kubunuh Cia Keng Hong!"

Cui Im mengerutkan keningnya. "Eh, bukankah ada yang bilang bahwa yang memperkosamu bukanlah Keng Hong?"

"Bohong! Yang memperkosaku adalah Keng Hong, bukan orang lain!"

"Hemmm... benarkah itu? Bukan dia itu...?" Cui Im menuding ke arah Lian Ci Sengjin yang memandang dengan muka merah. Semua orang juga memandang karena ingin melihat apakah gadis gila itu kini akan membuka rahasia itu secara jelas. Dapat dibayangkan betapa menyesal dan kaget hati Keng Hong, Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San ketika melihat Hun Bwee menggeleng kepala dan berkata lantang,

"Bukan! Bukan dia...!" Cia Keng Hong yang memperkosa aku, orang gagah itu belum pernah kulihat selama hidupku!"

Bukan main girang hati Lian Ci Sengjin dan dia menekan kegirangannya, hanya mulutnya berkata dengan suara di bikin-bikin menjadi tenang sekali, "Nah, sekarang baru semua orang mendengarnya. Yang suka bermain gila dengan wanita adalah bocah pengacau Cia Keng Hong itu, sama sekali bukan aku. Sudah kukatakan, perempuan ini gila, maka tadinya dia menuduhku yang bukan-bukan."

Sian Ti Sengjin memandang kepada sutenya dengan kening dikerutkan. Bekas tosu Kun-lun-pai ini tidak berkata sesuatu, akan tetapi terjadi perang hebat di dalam dadanya yang tidak diketahui orang lain. Dia mengenal sutenya dan tahu akan kelemahan sutenya.

"Baiklah, Tan Hun Bwee, aku akan membebaskan engkau, akan tetapi dengan syarat bahwa engkau barus suka menjadi sekutu kami, kelak engkau membujuk guruu untuk bekerja sama dengan kai pula, dan yang terpenting sekarang ini, engkau harus mentaati semua perintahku. Bagaimana, sanggupkah?"

Betapa cemas dan khawatir hati Biauw Eng menyaksikan keadaan sucinya itu, apalagi ketika melihat sucinya menggangguk. Perasaan cemas ini bercampur rasa marah sekali. Ia tahu bahwa Hun Bwee memang menderita penyakit jiwa, akan tetapi selama ia merasa yakin bahwa di balik kegilaan Hun Bwee terdapat watak yang gagah perkasa dan tak mengenal takut. Mengapa sekarang Hun Bwee berubah seperti itu dan tunduk kepada Cui Im? Juga, biarpun gila, Hun Bwee biasanya cerdik sekali. Kenapa sekarang tetap menuduh Keng Hong sebagai pemerkosanya, sedangkan tadi begitu yakin bahwa Lian Ci Sengjin bekas tosu Kun-lun-pai itulah pelakunya?

"Suci! Jangan mendengarkan bujukan iblis itu!" Biauw Eng berseru memperingatkan Hun Bwee.

Akan tetapi Hun Bwee menoleh dan melotot kepadanya. "Jangan turut campur! Aku tidak sudi mendengar omonganmu, perempuan tak tahu malu!"

Biauw Eng kaget setengah mati. Belum pernah sucinya ini, waras atau sedang kuat, bersikap seperti ini kepadanya. Padahal ketika melotot kepadanya ia melihat bahwa pandang mata sucinya itu tidak seperti kalau sedang kuat.

Cui Im tertawa, kemudian bertanya kepada Hun Bwee. "Dia menyebutmu Suci? Hi-hi-hik, alangkah lucunya. Sebetulnya, akulah Sucinya. Apakah dia... ahhhhhh! Apakah dia menjadi murid Go-bi Thai-houw?"

Hun Bwee menggangguk. "Dia baru saja menjadi murid subo. Akan tetapi mulai sekarang aku tidak sudi mengakuinya sebagai Sumoi lagi. Dia curang, tak bermalu dan palsu!"

Cui Im tersenyum girang. "Mengapa?"

"Dia tahu Keng Hong memperkosaku dan hendak menangkap Keng Hong dan memaksa pemuda itu menjadi suamiku. Setelah berhasil menangkap Keng Hong, hemmm... dia ingin memilikinya sendiri!"

***

"Heh-heh-hi-hi-hik!" Cui Im tertawa senang sekali dan tangannya bergerak, bebaskan Hun Bwee. Gadis ini sejenak mengurut-urut kedua lengannya, kemudian dengan beringas ia menghampiri Keng Hong sambil berkata, "Kubunuh engkau, Cia Keng Hong!"

"Hun Bwee, tahan!" Cui Im membentak dan Hun Bwee menghentikan langkahnya lalu menoleh.

"Dengar baik-baik. Engkau sudah berjanji mentaati perintahku, bukan? Nah, perintah pertama engkau tidak boleh membunuh Keng Hong...

"Akan tetapi dia... dia..."

"Engkau tidak boleh mengganggunya tanpa seijin dariku, mengerti? Kalau sudah tiba saatnya aku harus membunuhnya, biarlah kuserahkan tugas itu kepadamu. Mengert?"

Dengan muka kecewa sekali Hun Bwee mengangguk, kemudian berdiri dekat Cui Im sambil menundukkan muka seperti orang melamun. Cui Im menepuk-nepuk pundaknya dan berkata, ‘Mulai sekarang engkau menjadi pebantuku yang setia, Hun Bwee... Hun Bwee hanya mengangguk-angguk dan semua ini dipandang oleh Biauw Eng dengan hati panas, akan tetapi bagaimana dia akan dapat menyalakan sucinya yang memang tidak waras pikirannya itu? Ia hanya dapat menghela napas panjang. Selain Hun Bwee berubah seperti itu, tentu saja kini menjadi makin sukar lagi bagi mereka untuk lolos. Berkurang seorang tenaga yang amat kuat. Tak terasa lagi, dalam keputusan-asaan ini Biauw Eng mengerling ke arah Keng Hong dan betapa heran hatinya melihat Keng Hong yang menyandar tubuh yang lemas itu ke tiang di mana dia terikat, juga memandangnya dan tersenyum! Pandang mata pemuda itu kepadanya seolah-olah mengantikan kata-kata yang menghibur, yang minta kepadanya agar tidak putus asa!

Tawanan yang kini tingga empat orang itu lalu dibawa pergi dan dijebloskan ke dalam kamar-kamar tahanan yang amat kuat dan terpisah. Kamar tahanan itu terbuat daripada dinding batu dan pintu serta jendelanya diberi jeruji besi yang amat kuat.

Empat orang muda yang ditahan ini masing-asing tenggelam dalam lamunan sendiri. Cong San amat khawatir akan keselamatan teman-temannya, terutama sekali Yan Cu. Ia harus mengakui bahwa baru satu kali ini dia jatuh cinta, yaitu kepada Yan Cu. Dia tidak khawatir akan keselamatan diri sendiri. Sebagai seorang pemuda gemblengan murid ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia mempunyai tenaga dan ilmu simpanan dan kalau dia menghendaki, dengan pengerahan tenaga sakti, dia akan dapat mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Akan tetapi tadi dia melihat tanda isyarat pandang mata Keng Hong dan dia dapat menangkap apa kehendak Keng Hong dengan isyarat itu. Memang benar kalau dia memberontak, hal ini akan membahayakan keselamatan mereka berlia, kini hanya tinggal berempat karena wanita gila itu berfihak kepada musuh. Fihak musuh terlalu kuat dan terlalu banyak. Dia harus menanti saat yang baik, mencari kesempatan agar sekali memberontak, dapat membebaskan mereka semua. Tentu Keng Hong juga berpendapat demikian, pikir Cong San yang duduk termenung bersandar dinding di dalam kamar tahanannya yang sempit?

Benarkah seperti murid Siauw-lim-pai ini pendapat Keng Hong? Hanya sebagian saja demikian. Sesungguhnya banyak hal yang menyebabkan Keng Hong mandah dan diam saja dijadikan tawanan. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, kalau dia mau tentu saja dia pada kesempatan pertama sudah dapat menyelamatkan dirinya sungguhpun belum tentu dia akan dapat menyelamatkan empat orang temannya. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu. Pertama kali, ketika mereka semua teertawan dan dia sendiri telah dibelenggu Biauw Eng, dia sengaja diam saja untuk sekedar mencoba Biauw Eng, akan tetapi tentu saja dia setiap saat siap untuk melindungi teman-temannya apabila terancam keselamatannya. Ketika melihat bahwa Cui Im hanya menawan mereka, dia pun diam saja, pura-pura tidak berdaya.

Kini, Keng Hong masih belum turun tangan, pertama karena usahanya pertama kali gagal, dan ke dua, selain melihat kokoh kuatnya penjagaan benteng itu dan banyaknya tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, juga dia harus mengingat akan pusaka-pusaka yang kembali terampas oleh Cui Im. Terutama sekali pusaka-pusaka yang harus dia kembalikan kepada partai-partai besar yang memilikinya. Kalau dia sampai gagal merampas tentu kelak akan sukar sekali baginya untuk merampas kembali dan tentu Cui Im akan lebih berhati-hati.

Biauw Eng juga melamun dalam kamar tahanannya. Hatinya masih penuh penasaran melihat sikap Hun Bwee. Tak disangkanya sama sekali bahwa sucinya itu ternyata adalah seorang yang rendah budi, yang begitu saja menyerah kepada mmusuh dan mengorbankan teman-temannya, terutama sekali mengorbankan dia, sumoinya. Benarkah bahwa Hun Bwee berbuat seperti itu karena iri hati dan cemburu kepadanya? Karena dia kini kembali menyatakan cinta kasihnya kepada Keng Hong? Dan gadis ini pun mulai meneliti perasaannya sendiri. Tadinya dia memang benci kepada Keng Hong, tidak saja karena sikap Keng Hong yang lalu, akan tetapi ditambah lagi certia Hun Bwee bahwa pemuda itu memperkosanya. Setelah bertemu dengan Keng Hong dan melihat bertapa Keng Hong menyatakan penyesalannya atas sikapnya yang dahulu terhadap dirinya, bahkan Keng Hong telah menyerah dan rela untuk ditawan atau dibunuhnya sekalipun. Apalagi ketika ia mendengar ucapan Cong San kemudian melihat sikap Hun Bwee dan Lian Ci Sengjin yang membongkar perkosaan itu, makin membuyar rasa bencinya dan timbul kembali cinta kasihnya terhadap Keng Hong yang memang tak pernah padam. Dia mencinta Keng Hong, hal ini terjadi semenjak dahulu. Akan tetapi Hun Bwee, yang katanya telah diperkosa Keng Hong, apakah juga mencinta Keng Hong dan cemburu kepadanya? Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa Hun Bwee kini hendak membunuh Keng Hong?

Benar-benar ia menjadi bingung. Apakah Hun bwee kuat gilanya? Akan tetapi sinat matanya tidak liar seperti biasanya kalau kumat.

Yan Cu juga termenung. Gadis ini merasa menyesal sekali kepada Biauw Eng yang ia anggap menjadi gara-gara sampai mereka tertawan. Akan tetapi ia pun merasa menyesal kepada Keng Hong mengapa suhengnya begitu tolol untuk mengorbankan diri demi cintanya kepada Biauw Eng yang tak dapat menghargai cinta orang itu! Dan ia teringat akan sikap Cong San kepadanya. Pemuda murid Siauw-lim-pai itu cinta kepadanya! Akan tetapi dia? Ah, sukarlah untuk menjawabnya. Hatinya masih belum dapat melenyapkan perasaan mesranya terhadap Keng Hong, sungguhpun ia sendiri tidak berani mengatakan apakah dia sebenarnya mencinta Keng Hong. Sapai saat itu pun Yan Cu mencar-cari arti cinta itu belu dapat menemukannya! Akan tetapi, dia tidak putus asa, juga tidak takut. Selama nyawa masih dikandung badan, dia tidak akan kehabisan akal dan harapan. Pasti akan muncul saat dan kesempatan bagi seorang di antara mereka untuk meloloskan diri dan menolong teman-temannya. Dia sendiri pun akan mencari kesempatan itu. Kalau mungkin malam nanti melepaskan ikatannya dan berusaha keluar dari kamar tahanan. Atau kalau tidak berhasil, dia akan menanti sampai penjaga memberi makanan. Mungkin dia akan dapat merobohkan penjaga. Kalau saja Keng Hong tidak begitu lemah terhadap cinta kasihnya yang amat mendalam kepada Biauw Eng! Ia percaya penuh bahwa dengan kelihaiannya, suhengnya itu akan dapat menolong mereka semua.

Sementara itu, Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong dan semua tokoh yang berada di benteng itu mengadakan perundingan. Cui Im yang dianggap paling lihai di antara mereka dan paling cerdik, memimpin perundingan

Mereka telah mengirim mata-mata dan kurir, untuk menyediliki keadaan kota raja, menyelidiki pertemuan para tokoh kang-ouw di puncak Tai-hang-san, dan mengirim utusan untuk menghubungi kepada suka bangsa Mongol dan Mancu yang berada di luar Tembok Besar di daerah utara. Mereka itu memutuskan untuk menanti kembalinya para penyedlidik sekalian menanti datangnya utusan Mongol dan Mancu yang mereka undang.

Tan Hun Bwee benar-benar diberi kebebasan. Mendapatkan sebuah kamar yang cukup indah dan dia tidak diganggu sama sekali. Namun Cui Im adalah seorang cerdik. Dia memang ingin menggunakan gadis gila itu untuk menarik Go-bi Thai-houw bersekutu, akan tetapi diam-dia ia pun selalu menyuruh orang memperhatikan dan menjaga gadis ini. Namun, dalam beberapa hari itu Hun Bwee kelihatan baik-baik saja, bahkan dia mulai mendekati Lian Ci Sengjin! Hal ini diketahui baik oleh Cui Im dan dia diam-diam tertawa. Lebih baik Lian Ci Sengjin didekatkan kembali dengan gadis yang telah diperkosanya itu. Dia tahu betapa Lian Ci Sengjin masih tergila-gila kepadanya dan sering suka menggodanya dengan celaan-celaan dan tuntutan-tuntutan agar dia suka mempertimbangkan lamarannya! Kalau Hun Bwee bisa menghiburnya, tentu akan berkurang bekas tosu itu menggodanya.

Malam itu bulan bersinar sepenuhnya Lian Ci Sengjin keluar dari pondoknya dengan muka merah. Baru saja dia kembali cekcok dengan suhengnya. Sian Ti Sengjin. Suehngnya itu telah beberapa kali mengajaknya agar kembali saja ke Phu-niu-san, dimana mareka berdua sedang membangun dan memperkembang partai yang mereka bentuk setelah mereka "tidak mendapat angin" di Kun-lun-pai.

"Suheng, mengapa tergesa-gesa? Bukankah kita membutuhkan bantuan Cui Im untuk membalas sakit hati kita ke Kun-lun-pai? Pula, kalau kita berhasil menghancurkan Kun-lun-pai, mana bisa nama kita bersih daripada noda setelah kita berdua diusir dari sana? Tentu dunia kang-ouw akan mencemoohkan nama partai Phu-niu-san yang akan kita kembangkan!" Demikian dia membantah ajakan suhengnya.

***

Akan tetapi aku merasa ragu-ragu, Sute. Mereka itu... ah, bagaiana kita sudah terpelosok begini rendah sehingga bersekutu dengan kaum sesat?" Sian Ti Sengjin berkata sambil menarik napas berulang-ulang dan keningnya berkerut.

"Aku pun tidak suka, akan tetapi kita terpaksa, Suheng! Sudahlah, kita sudah terlanjur basah, lebih baik terjun sama sekali!" Dengan kata-kata itu, Lian Ci Sengjin meninggalkan suhengnya dan keluar untuk mencari hawa sejuk agar mendinginkan hati dan pikirannya yang panas.

Di bawah sinar bulan purnama itu, teringatlah dia akan wajah-wajah cantik. Ia menengadah, memandang bulan purnama dan bekas tosu Kun-lun-pai yang gagal menguasai nafsunya sendiri itu menghela napas. Bulan yang bundar itu seolah-olah berubah menjadi wajah Cui Im yang tersenyum kepadanya. Ah, tiada harapan, pikirnya. Wanita cantik itu terlalu angkuh. Kemudian bulan itu mebayangkan wajah Hun Bwee dan dia menarik napas kembali. Gadis itu cantik juga dan kalau dia teringat akan peristiwa dahulu ketika dia berhasil merenggut kehormatan gadis itu, timbul pula gairahnya. Kalau saja dia bisa mendapatkan Hun Bwee untuk menjinakkan nafsunya yang liar bergelora, akan puaslah hatinya. Sayang bahwa gadis itu agaknya telah berubah ingatannya! Tapi, sekarang kelihatan sudah waras dan dengan pakaiannya yang merah dan ketat, sungguh tidak kalah menariknya oleh Cui Im yang jauh lebih tua. Biarpun kelihatan masih cantik, akan tetapi dia dapat menduga bahwa usia Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im sudah mendekati tiga puluh tahun, sedangkan Hun Bwee tentu baru dua puluh tahun lebih!

"Lo-enghiong...!" Suara halus ini menyadarkan Lian Ci Sengjin dari lamunan dan ketika dia menengok, dia melihat Hun Bwee berdiri sambil tersenyum manis dan pandang mata begitu indah, seperti sinar bulan purnama sendiri! Pertama-tama dia terkejut dan siap menghadapi wanita ini kalau hendak mengamuk, akan tetapi melihat senyum dan pandang mata itu, dia merasa lega.

"No... Nona..., engkau di sini?"

Hun Bwee tersenyum, senyum yang amat manis dalam pandang mata Lian Ci Sengjin, karena disertai bayangan malu-malu kucing!

"Lo-enghiong... mengapa engkau agaknya selalu menjauhkan diri dariku? Apakah... apakah Lo-enghiong termasuk golongan pria yang berwatak habis manis sepah dibuang?"

Berubah wajah Lian Ci Sengjin, menjadi pucat lalu berubah merah, matanya terbelalak. Tadinya dia mengira bahwa gadis ini benar-benar menjatuhkan tuduhan perkosaan itu kepada Keng Hong, akan tetapi pertanyaan ini berarti lain?"

"Apa... apa maksudmu, Nona?"

Kembali Hun Bwee tersenyum malu-malu dan mengerling. "Lo-enghiong, aku suah membersihkan nama baikmu dan menjatuhkan noda kepada Cia Keng Hong yang kubenci, apakah kau masih tidak mengerti apa yang kumaksudkan?"

"Marilah kita bicara di taman sana, Lo-enghiong. Sungguh tidak menyenangkan dan amat memalukan bagiku kalau ada telinga lain yang mendengarnya," kata gadis itu perlahan-lahan.

Timbul kecurigaan di hati Lian Ci Sengjin. "Katakan dulu mengapa kau lakukan itu, baru aku percaya," katanya terus terang.

Hun Bwee menarik napas panjang dan menoleh ke kanan kiri, kemudian melangkah maju mendekat dan berbisik lirih,

"Lo-enghiong, aku adalah puteri tunggal Tan-piauwsu. Ayah dan ibuku mendendam sakit hati kepada Sin-jiu Kiam-ong dan aku sudah bersumpah membalasnya. Karena ayah dan ibu mati oleh perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, maka aku harus membalas kepadanya dan karena dia pun sudah tidak ada, maka satu-satunya jalan hanya membalas dendam kepada muridnya,"

Lian Ci Sengjin mengangguk-angguk. Dia mengenal Tan-piauwsu dan sudah mendengar pula piauwsu itu merupakan seorang di antara musuh-musuh Sin-jiu Kiam-ong. "Lalu bagaimana?"

"Aku... eh, telah... Menjadi isteri Lo-enghiong... dan... Hal itu... amat membahagiakan hati..."

"Hemmm... sesunguhnyakah?" Jantung bekas tokoh Kun-lun-pai yang sudah setengah abad kurang sedikit usianya ini berdebar.

"Perlu apa aku bohong? Mengapa Lo-enghiong dahulu itu meninggalkan aku begitu saja? Padahal aku... aku mencari-carimu, maka aku menimpakan noda itu kepada Keng Hong."

"Tapi... tapi kenapa engkau mengancamku ketika murid Siauw-lim-pai itu membuka... Rahasia itu?"

"Aihhhhh... Lo-enghiong mengapa tidak tahu akan wanita? Tentu saja aku malu di depan begitu banyak orang dan... sudahlah, mari kita bicara ke taman sana sambil menikmati sinar bulan dan membicarakan masa depan kita. Ataukah... Lo-enghiong benar-benar berwatak habis manis sepah dibuang?"

Sejenak mereka berpandangan di bawah sinar bulan yang terang. Lian Ci Sengjin memandang dengan pandang mata penuh selidik namun sudah diamuk berahi tentu saja penyedilikannya percuma sehingga makin lama makin menipis sinar menyelidik, terganti seluruh oleh sinar mata mesra dan haus, maka akhirnya hanya sepasang mata yang indah, mulut yang manis menggairahkan saja yang tampak olehnya. Adapun Tan Hun Bwee memandang bekas tokoh Kun-lun-pai itu dengan mata dikerlingkan, tajam memikat, mulut agak terbuka sehingga di balik sepasang bibir merah basah tampak deretan gigi putih mengkilap dan ujung lidah merah mengintai genit.

Biarpun hatinya sudah yakin kini bahwa gadis ini benar-benar "jatuh cinta" kepadanya karena peristiwa dahulu itu, mulut Lian Ci Sengjin masih bertanya,

"Nona, mana bisa aku percaya begitu saja? Aku sudah tua, engkau masih begini mmuda, segar dan cantik jelita.”

"Ah, kenapa engkau berkata demikian, Lo-enghiong? Aku adalah seorang wanita dari keluarga baik-baik. Setelah... setelah menjadi milikmu... bagaiana aku tidak mencintamu? Engkkau telah memiliki diriku, berarti telah memiliki jiwa ragaku... Hun Bwee menundukkan muka dan kelihatan malu-malu kucing sehingga sikap ini makin membetot jantung Lian Ci Sengjin.

"Tapi... tapi... hatiku belum yakin..."

"Aahhh...!" Hun Bwee tiba-tiba melangkah maju. Lian Ci Sengjin terkejut dan siap menangkis. Akan tetapi kedua tangan Hun Bwee bergerak mesra sekali merangkul leher Lian Ci Sengjin, kedua lengan yang berkulit halus putih itu seperti dua ekor ular merayap melingkari leher, menarik leher itu sehingga Lian Ci Sengjin terpaksa menundukkan muka. Muka mereka perlahan saling mendekati, dua pasang mata bertemu pandang, makin dekat, makin dekat sehingga laki-laki itu merasa napas halus Hun Bwee menyapu pipinya, mencium keharuman yang memabukkan dan masih saja Hun Bwee menariknya sehingga akhirnya mulut bertemu dalam sebuah ciuman yang hanya pernah dialami Lian Ci Sengjin dalam alam mimpi sebelumnya! Hampir pingsan Lian Ci Sengjin dibuatnya! Sepasang matanya terbelalak dan sejenak dia tidak percaya akan pengalamannya, namun diam-diam menikmati permainan perasaan yang amat luar biasa. Betapa sepasang bibir yang lembut, hangat dan basah mengecup-ngecupnya! Betapa gigi yang putih-putih menggigit gemas! Betapa lidah kecil merah itu...!

Lian Ci Sengjin semenjak mudanya menjadi tosu. Seperti juga segala macam agama di dunia ini, Agama To pun merupakan agama yang amat baik, amat suci dan merupakan pelajaran bagi manusia untuk tidak menghambakan diri kepada nafsu dan kenikmatan duniawi. Kalau toh ada seseorang beragama yang melakukan penyelewengan, hal ini bukanlah sekali-kali salahnya agama itu sendiri, melainkan kesalahan si orang yang lemah batinnya sehingga menyeleweng daripada ajaran agamanya!

Agamanya sendiri tetap suci, tetap bersih, namun anusia juga tetap manusia, mahluk yang selemah-lemahnya! Semenjak mudanya, sudah banyak Lian Ci Sengjin digembleng dengan pelajaran-pelajaran Agama To, namun karena batinnya lemah, dia tidak mampu menanggulangi amukan nafsu-nafsu dirinya sendiri, terutama sekali nafsu birahi. Kini, pertahanannya yang umpama sebuah tanggul sudah bocor, mana kuat menahan nafsu yang membanjir karena dibangkitkan oleh Hun Bwee! Segala pertahanannya hancur berantakan dan dia tenggelam dalam lautan nafsunya sendiri. Geraman seperti suara seekor beruang keluar dari kerongkongan dan dia membalas ciuman Hun Bwee dengan kasar penuh nafsu, memeluk tubuh wanita itu yang seolah-olah hendak di telannya bulat-bulat di saat itu juga!

Hun Bwee memegang lengan Lian Ci Sengjin yang menggerayangi pakaiannya sambil berbisik,

"Lian Ci koko... Jangan ... Jangan disini... ohhh...!"

Lian Ci Sengjin merasa seolah-olah terapung di langit ke tujuh mendengar sebutan "koko" ini, kedua lengannya memeluk dan sambil tertawa seperti orang mabuk, dia menggendong tubuh kekasihnya itu dan membawanya lari ke dalam taman di mana terdapat banyak pohon-pohon sehingga mereka akan terlindung dalam kegelapan bayangan pohon.

Semenjak manusia tercipta, nafsu berahi merupakan nafsu yang paling kuat dan jika nafsu ini telah mencengkeram diri manusia, maka si manusia lupa akan segala hal, kehilangan kewaspadaannya dan seluruhnya menjadi permaianan nafsu. Dapat dilihat dalam catatan sejarah betapa banyaknya kaisar-kaisar yang jatuh kerena diperhamba nafsu berahi, orang-orang gagah runtuh karena wanita, dan orang-orang yang hendak menyucikan diri tergoda oleh nafsu yang merupakan godaan terkuat. Nafsu berahi merupakan anugerah alamiah yang memperindah cinta kasih antara pria dan wanita, mendorong manusia untuk berkembang biak dan sudahlah menjadi hukum alam.

***

Namun apabila nafsu berahi tidak dikekang dan sudah mencengkeram diri manusia yang telah menciptakan hukum-hukum kesusilaan, maka segala rintangan, segala pantangan akan dilanggar di luar kesadarannya.

Dalam cengkeraman nafsu berahinya yang memuncak, Lian Ci Sengjin lupa bahwa wanita cantik yang kini dipeluknya dan diletakkan dengan mesra di atas rumput tebal dalam taman itu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, jauh lebih tinggi tingkatnya daripada dia sendiri, lupa bahwa dia pernah melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap gadis ini. Dalam keadaan telanjang bulat, bagaikan seekor binatang buas dia menubruk gadis yang dianggapnya kekasihnya itu, dan gerengnya dahsyat keluar dari kerongkongannya. Akan tetapi gerengan dahsyat ini berubah menjadi pekik kaget yang tertahan. Untuk terkejut pun dia tidak sempat lagi, karena tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas, tertotok oleh dua ujung jari Hun Bwee yang amat lihai. Tubuh Lian Ci Sengjin tergelimpang tak berdaya di atas rumput dan hanya matanya yang memandang betapa gadis dengan tubuh yang bagaikan terselaput emas di bawah sinar bulan purnama itu kini tidak tampak lagi oleh Lian Ci Sengjin karena seolah-olah gadis itu telah berubah menjadi setan yang amat menyeramkan baginya.

"Hi-hi-hik, he-he-heh-heh-heh!" Hun Bwee merenggut pakaiannya dan tidak tergesa-gesa mengenakan pakaiannya menutupi tubuhnya yang telanjang di depan pandang mata Lian Ci Sengjin, seperti orang yang bersolek dan memikat. Setelah semua pakaian dikenakannya, ia menyanggul kembali rambutnya yang tadi terlepas dalam pergumulan mesranya dengan Lian Ci Sengjin!

Lian Ci Sengjin maklum bahwa dia telah terjebak, maklum akan bahaya maut mengancam dirinya. Cepat dia membuka mulut hendak menjerit untuk menarik perhatian kawan-kawannya.

Namun secepat kilat Hun Bwee menampar mulutnya, mencengkeram mulut itu dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menyambar pakaian Lian Ci Sengjin. Celana bekas tokoh Kun-lun-pai itu kini disubatkan ke dalam mulut sampai hampir memenuhi kerongkongan!

"Hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, ataukah Lian Ci Tojin? Enak benar ya engkau dahulu memperkosa aku? Hi-hi-hik, sekarang tiba saatnya engkau menerima hukumanku!"

Lian Ci Sengjin hanya membelalakan matanya dengan penuh rasa ngeri dan serem, kemudian saking takutnya, air keluar dari atas dan bawah! Ia terkencing-kencing saking takutnya, dan air matanya mengalir turun, pandang matanya minta dikasihani seperti mata seekor lembu yang sudah ditelikung akan disembelih. Namun tentu saja keadaannya ini bukan menimbulkan rasa iba di hati Hun Bweee, bahkan menambah kemarahan gadis yang sudah kumat lagi gilanya itu!

"Singggg...!" Sinar hitam berkelebat ketika Hek-sin-kiam dicabut.

"Apamu dulu yang harus dihukum? Hi-hi-hik!" Hun Bwee mengelebatkan pedangnya depan hidung Lian Ci Sengjin. "Mula-mula tanganmu, ya? Tanganmu mencengkeramku, merenggut lepas pakaianku, membelaiku. Benar, tanganmu yang lebih dulu kurang ajar. "Sinar hitam berkelebat dan andaikata mulut Lian Ci Sengjin tidak disumbat, tentu dia melolong-lolong saking nyerinya. Satu demi satu jari tangannya dibabat buntung oleh sinar pedang hitam, tinggal setengah jari saja! Dapat dibayangkan betapa nyerinya, kiut-miut rasanya, pedih perih seperti jarum-jarum ditusukkan ke ulu hatinya.

Hebatnya, gadis itu kini menari-nari di depan Lian Ci Sengjin! Menari-nari sambil terkekeh-kekeh kegirangan seperti seorang anak kecil bermain-main. "Bagus! Bagus! Hi-hik-hik, kini tanganmu tidak dapat mengerayangi tubuh wanita lagi! Sekarang apamu?" Tiba-tiba Hun Bwee berhenti menari, menengadah dan mengerutkan kening, mengingat-ingat.dahulu ketika dia diperkosa, dia berada dalam keadaan pingsan, atau setengah pingsan sehingga dia hanya ingat secara remang-remang saja.

"Hemmm, engkau menciumku! Hidungmu menciumi seluruh tubuhku, keudian mulutmu yang bau bangkai itu menggigit bibirku dan leherku!" Kembali sinar hita berkelebat dua kali seperti kilat menyambar dan... ujung hidung Lian Ci Sengjin terbabat putus disusul kedua bibirnya! Tentu saja wajah yang tersumbat mulutnya itu tampak buruk mengerikan sekali. Tampak dua buah lubang hidungnya yang kehilangan bukit hidung, dan giginya yang besar-besar kuning tampak pula setelah sepasang bibir penutupnya robek. Lian Ci Sengjin memejamkan matanya, keningnya berkerut-kerut saking nyeri yang hampir tak tertahankan lagi. Darah membasahi tubuh dan lehernya, darah dari kedua tangan dan dari mukanya. Ketika dia membuka mata lagi, biji matanya berputar-putar liar penuh ketakutan.

"Hi-hi-hik! Engkau makin buruk saja, menjijikan! Orang macam engkau ini hendak menjadi kekasihku? Heh-he-heh! Sekarang bagian tubuhmu yang paling menjijikan harus dibuang!"

Pedang berkelebat dan Lian Ci Sengjin memejamkan mata, maklum bahwa maut akan datang merenggut nyawanya. Akan tetapi pedang tidak jadi dibacokkan dan Hun Bwee tertawa-tawa. "Ah, nanti dulu, hi-hi-hik! Keenakan engkau kalau mati sekarang! Engkau pun telah menyiksaku dan sampai kini aku masih hidup, hu-hu-huuuuuk!" Gadis itu menangis. Lian Ci Sengjin makin mengkirik ngeri.

Tiba-tiba Hun Bwee tertawa lagi. "Ha-ha-hi-hi-hik! Benar! Matamu itu, ah, kalau saja matamu bukan yang kau pakai sekarang ini, belum tentu engkau akan melakukan perkosaan kepadaku. Matamu itu mata keranjang, dan lebih baik dibuang saja!" Dua kali pedang berkelebat dan sepasang biji mata Lian Ci Sengjin tercokel keluar!

Mengerikan sekali keadaan bekas tokoh Kun-lun-pai itu. Kalau tadi dia masih dapat memperlihatkan rasa takut dan rasa nyeri yang luar biasa melalui pandang matanya, kini dia hanya mampu berkelojotan.

Hanya gerakan berkelojotan lemah ini saja yang menandakan bahwa dia belum mati, belum pingsan dan masih menderita penyiksaan yang hanya dapat dilakukan seorang yang sudah gila itu, gila karena berubah ingatan atau juga gila karena diamuk dendam. Hun Bwee masih terkekeh-kekeh dan berkali-kali pedangnya berkelebat berubah menjadi sinar hitam. Mula-mula sepuluh buah jari kaki Lian Ci Sengjin dibabat buntung kemudian kedua telinganya dan semua anggauta tubuh yang "menonjol", dibuntungi semua satu demi satu.

"Heh-heh-heh, engkau tidak merintih. Ohhh, sumbat mulutmu!" Hun Bwee yang agaknya merasa kurang puas karena melihat korbannya tidak dapat mengluarkan suara itu, menyambar dan membuka sumbat yang dijejalkan ke mulut Lian Ci Sengjin. Begitu subat mulutnya dibuka terdengar rintihan dari mulut itu, rintihan yang tidak karuan bunyinya, akan tetapi masih dapat ditangkap kata-katanya, ...ampun... ampun... ampun...!"

"Hi-hi-hik! Bagus sekali...!" Tiba-tiba pedang menyambar ke bawah pusar Lian Ci Sengjin.

"Auggghhhhrrrrr...!" Jeritan terakhir yang keluar dari kerongkongan Lian Ci Sengjin amat nyaring, juga amat mengerikan karena itu adalah pekik kematian yang mungkin dibarengi dengan melayangnya nyawa dari tubuhnya. Lian Ci Sengjin sudah mati setelah disiksa selama hampir setengah jam, akan tetapi Hun Bwee belum puas agaknya, pedangnya masih terus menyambar-nyambar membacoki tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan tubuh itu kini terpotong-potong dicacah-cacah sampai tidak ada potongan yang lebih besar dari setengah kaki panjangnya. Kepalanya dibelah menjadi empat potong dan anggauta tubuh yang paling dibenci Hun Bwee dan paling membuatnya jijik itu telah dicacah-cacah seperti daging bahan bakso! Dan sekarang Hun Bwee tidak tertawa-tawa lagi melainkan menjerit-jerit menangis diselingi tawa sambil membacoki terus! Pakaian merahnya penuh dengan percikan darah tak dipedulikan. Pedang hitamnya juga sudah basah oleh darah.

Dalam keadaan seperti itulah lima orang annk buah Pat-liu Sian-ong yang kebetulan meronda di taman mendapatkan gadis itu. Lima orang anak buah ini cepat lari mendekati dan mereka terbelalak penuh kengerian ketika melihat gadis itu membacoki mayat yang sudah menjadi onggokan daging berceceran. Hanya ketika mereka melihat pakaian Lian Ci Sengjin di atas rumput saja yang membuat mereka sadar bahwa yang dibacoki itu adalah bekas tubuh Lian Ci Sengjin!

"Celaka...!" Seorang di antara mereka berseru kaget. Mendengar ini, Hun Bwee menengok dan sambil berteriak ganas ia menerjang ke depan, menggerakkan pedangnya. Lima orang itu cepat menggunakan senjata menangkis, akan tetapi dalam sekejap mata saja, empat orang di antara mereka roboh dengan nyawa melayang, dan hanya seorang yang terluka di pundaknya masih sempat lari sambil berteriak-teriak sekerasnya.

Han Bwee mengejarnya. Dua bayangan orang berkelabat dan muncullah Si Iblis Cebol Gu Coan Kok dan si raksasa Kerait yang bernama Hok Ku. Melihat keadaan Han Bwee, dua orang di antara iblis-iblis Tembok Besar ini cepat menyerangnya. Gu Coan Kok menyerang dengan tongkatnya yang panjang, gerakannya cepat dan aneh sekali, menyodokkan tongkatnya ke arah perut Hun Bwee. Pada saat itu juga, Hok Ku si raksasa tinggi besar bongkok sudah menggerakkan senjatanya berbentuk cakar besi yang beracun dan yang disambung dengan kedua tangannya, menyerangnya dengan Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dengan tangan kanan ke arah dada Hun Bwee.

Hun Bwee menjadi marah sekali. Mulutnya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang sekaligus menangkis tongkat yang menyodok perut dan cakar yang mencengkeram dada, sedangkan tangan kirinya dengan berani menyampok cakar yang mencengkeram kepalanya.

***

"Cring! Tranggg! Plakkk!"

Dua orang jagoan Tembok Besar terkejut sekali karena tangkisan pedang itu membuat senjata mereka terpental, sedangkan cakar besi beracun itu ketika disampok tangan kiri Hun Bwee, membuat Hok Ku hampir terguling! Padahal raksasa bongkok ini memiliki tenaga yang amat besar. Tahulah mereka bahwa wanita gila ini ternyata lihai luar biasa. Mereka bersilat dengan hati-hati sekali apalagi ketika Hun Bwee kini membalas dengan serangan yang bertubi-tubi dan gerakannya seperti gerakan ngawur, asal bacok dan tusuk saja bukan seperti gerakan seorang ahli pedang. Justru gerakan ngawur inilah yang menyembunyikan kelihaian ilmu pedang ajaran Gobi Thai-houw si nenek gila. Gerakan penyerangan yang ngawur ini benar-benar mengacaukan dua orang jagoan Tembok Besar. Kelihatannya ngawur, akan tetapi dari gerakan itu memancar keluar bahaya-bahaya maut sehingga mereka tidak berani memandang ringan dan cepat menggerakkan senjata untuk menangkis.

"Hi-hi-hik!" Hun Bwee terkekeh dan tiba-tiba tubuhnya jatuh terpelanting sendiri karena kakinya yang kacau itu membuat ia kehilangan keseimbangan tubuh! Melihat wanita baju merah itu terguling miring, pedangnya terhimpit tubuhnya sendiri, tentu saja dua orang jagoan Tembok Besar menjadi girang bukan main. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi dan melihat keadaan lawan, mereka tahu bahwa kini mereka tentu akan dapat menundukkan lawan aneh itu. Cepat mereka berdua menubruk, seperti berlumba, menggerakkan senjata. Betapapun juga, karena mereka ingin menawan wanita gila ini hidup-hidup, senjata tongkat bergerak menotok jalan darah sedangkan kedua cakar besi mencengkeram pundak. Mereka berdua tidak mengirim pukulan maut karena keadaan lawan yang sudah tidak berdaya seperti tiu, dengan penyerangan mereka itu pun pasti mereka akan berhasil.

Kedua orang jagoan Tembok Besar itu boleh jadi memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman bertanding yang matang, akan tetapi tentu saja mereka belum pernah bertemu dengan lawan yang memiliki ilmu dari Go-bi Thai-houw yang luar biasa, ilmu yang diciptakan oleh orang yang miring otaknya sehingga akal-akal yang terdapat dalam ilmu silatnya kiranya hanya akan diduga dan diperhitungkan oleh orang sinting pula. Jatuhnya tubuh Hun Bwee sehingga rebah sendiri bukanlah pedang sewajarnya, sungguhpun tampaknya demikian, melainkan gerak tipu yang berbahaya sekali!

Ketika ujung senjata kedua orang sudah hampir berhasil, secara tak tersangka-sangka dan tiba-tiba tubuh gadis itu terguling menelungkup dan kedua kakinya bergerak menendang, bukan menendang seperti biasa, melainkan "menyepak" ke belakang seperti kaki belakang kuda mengarah anggota rahasia pusar kedua orang lawan! Bukan main kagetnya Gu Coan Kok dan Hok Ku! Kalau serangan mereka itu mereka lanjutkan, tentu akan mengenai lawan, akan tetapi tidak menimbulkan kematian. Sebaliknya, sepakan gadis itu itu pun akan mengenai sasaran dan tentu akibatnya amat hebat. Namun, untuk menarik kembali serangan mereka, sudah tidak keburu lagi maka mereka berusaha mengelak. Masih untung bahwa mereka adalah dua orang yang amat pandai, sehingga dalam keadaan tubuh sudah condong ke depan dan menyerang itu mereka masih sempat meloncat ke belakang sehingga sepakan yang cepat dan kuat itu tidak mengenai sasaran secara tepat dan hanya mengenai paha mereka.

Dua orang itu berteriak dan masih dapat meloncat terus ke belakang, paha mereka terasa panas kena dicium belakang kaki Hun Bwee, dan serangan mereka yang tadi hanya menyentuh tubuh Hun Bwee sama sekali tidak mendatangkan kerugian apa-apa.

Sambil terkekeh girang Hun Bwee sudah meloncat bangun, kemudian memutar pedangnya, mendesak dengan tikaman-tikaman berantai ke arah kedua lawannya. Terpaksa dua orang jagoan Tembok Besar ini mengerakkan senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh sehingga terdengar suara nyaring berkali-kali bertemunya pedang dengan tongkat dan cakar besi. Dalam belasan jurus saja dua orang itu terdesak hebat oleh gulungan sinar pedang hitam.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Perempuan gila! Engkau telah membunuh lian Ci Sengjin?" Bentakan ini disusul dengan meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar dan ternyata kini di tempat itu telah muncul Pat-jiu Sian-ong sendiri, bersama Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang menggerakkan pecut bajanya sehingga menibulkan suara halilintar itu. Selain mereka berdua, juga Sian Ti Sengjin ikut datang karena mendengar bahwa sutenya terbunuh orang. Kini bekas tokoh Kun-lun-pai itu berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak memandang bekas tubuh sutenya yang sudah menjadi cacahan daging berceceran tidak karuan. Tak terasa lagi air mata menetes-netes turun membasahi pipinya yang mulai kisut.

"Sute. Ahhh, Sute...!" Ia mengeluh dan terbayanglah segala pengalamannya bersama sutenya. Lian Ci Sengjin merupakan sutenya yang paling dicintanya, bahkan akhir-akhir ini menjadi sekutunya, ketika mereka menetang Kian Tojin, suheng mereka. Melihat sutenya telah menjadi daging berceceran seperti itu, hati Sian Ti Sengjin menjadi ngeri dan dia mengingat-ingat, dosa apa gerangan yang dilakukan sutenya sehingga kini menemui kematian yang demikian mengenaskan.

Kini pertandingan dilanjutkan dengan amat hebat, akan tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong muncul di situ, keadaan Hun Bwee terdesak hebat sekali. Tentu saja kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sian-ong kakek kate kecil berkepala besar yang menjadi seorang di antara Bu-tek Su-kwi, Hun Bwee kalah jauh.

Betapapun juga, andaikata dia hanya menghadapi kakek ini satu sama satu, belum tentu Pat-jiu Sian-ong akan dapat merobohkannya karena gadis ini memiliki ilmu yang amat aneh sehingga Pat-jiu Sian-ong sendiri menjadi bingung dibuatnya. Dan andaikata gadis itu hanya dikeroyok ketiga orang jagoan Tembok Besar, yaitu Gu Coan Kok yang bersenjata tongkat, Hok Ku yang bersenjata pecut baja, kiranya Hun Bwee masih akan dpat mengalahkan mereka dengan akal-akalan yang aneh. Akan tetapi kini dia dikeroyok empat dan terutama sekali senjata kebutan hudti dari Pat-jiu Sian-ong dibarengi pukulan-pukulan sinkang tangan kiri kakek ini yang amat ampuh membuat Hun Bwee kewalahan.

Setelah lewat lima puluh jurus di mana Hun Bwee membela diri mati-matian, tiba-tiba ujung hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong berhasil membelit pedang Hek-sin-kiam sehingga kedua orang ini berkutetan mengadu tenaga untuk mempertahankan senjata masing-masing. Saat itu dipergunakan oleh Cou Seng untuk menyembar pecut bajanya ke arah kepala Hun Bwee dan dari depan, tongkat Gu Coan Kok menyodok dada sedangkan cakar baja Hok Ku mencengkeram muka! Hun Bwee yang masih berkutetan mempertahankan pedang, cepat berjongkok sehingga pecut baja Cou Seng bertemu dengan cakar besi, adapun tongkat Gu Coan Kok yang menyodok telah ditangkis oelh tangan kirinya. Akan tetapi pada saat itu, tahu-tahu tubuh Cou Seng yang bulat besar telah menubruknya dari belakang dan telah memeluk dengan kedua lengannya yang besar berbulu sehingga Hun Bwee tidak mampu berkutik!

Cou Seng ini selain merupakan seorang ahli bermain pecut baja, juga berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar), tenaganya hebat bukan main seperti tenaga seekor gajah, dan dia pun merasa ahli gulat maka pelukannya bukanlah sembarang pelukan. Kedua lengannya yang besar kuat itu menelikung Hun Bwee melalui bawah ketiak gadis itu dan terus membelit ke belakang leher di mana jari-jari tangannya yang kuat saling membelit. Pelukan maut!

"Ahhhhh...!" Uuhhh...!" Gadis itu meronta-ronta namun percuma saja, sedikit pun ia tidak mampu melepaskan diri. Meleihat keadaan gadis yang sudah tidak berdaya ini, Pat-jiu Sian-ong mengerahkan tenaganya membetot hudtim, akan tetapi dia menjadi kaget dan kagum sekali karena gadis itu tetap mampu mempertahankan pedangnya. Dua orang jagoan Tembok Besar yang lain kini tertawa saja melihat bahwa lawan yang lihai itu telah kena ditelikung.

Tiba-tiba Coa Seng mengeluarkan teriakan memaki secata tidak terduga-duga sama sekali Hun Bwee menundukkan muka dan menggigit lengan yang melingkari lehernya melalui bawah ketiak, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari lurus dan mengeras penuh tenaga sinkang ditusukkan ke belakang melalui pundak ke arah mata Cou Seng yang berada di belakangnya! Cou Seng yang merasa lengannya sakit karena kulit lengan robek dihujam gigi putih kecil yang kuat, menarik kepala ke belakang untuk menyealamatkan mata, akan tetapi kiranya jari-jari tangan kiri itu tidak jadi menusuk mata, melainkan menusuk jala darah di lehernya! Kaget sekali hati Thai-lek Sin-mo dan karena kaget, lingkaran lengannya mengendor dan dia miringkan tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hun Bwee yang tiba-tiba menggerakkan kaki kanan, kembali seperti seekor kuda "menyepak" ke belakang, tungkak (tumit) kakinya mengancam anggota tubuh paling lemah dari setiap pria, yaitu dibawah pusar!

"Celaka...!" Cou Seng cepat merenggangkan tubuh dan detik itulah yang dinanti Hun Bwee yang seperti seekor belut saja tiba-tiba menggeliat dan melempar tubuh ke bawah sehingga lingkaran lengan yang merupakan pelukan maut itu terlepas. Hun Bwee membalik dan menendang. Cou Seng mengelak, namun tetap saja tulang keringnya kena ditendang.

***

"Wadouuuwwwww...!" Raksasa ini meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil memegang kaki kirinya. Berdenyut-denyut rasanya saking nyerinya. Kalau tulang kering kakinya itu patah sekali, tidaklah akan sedemikian nyerinya. Akan tetapi patah tidak, utuh pun tidak, mendekati retak-retak, bukan main nyerinya sampai terasa menembus jantung!

Akan tetapi, pada saat itu, kebutan di tangan Pat-jiu Sian-ong sudah melepaskan belitan dan menyambar kepala Hun Bwee. Gadis ini sudah membuang tubuh ke belakang berjungkir balik, pedangnya diputar.

"Cringgg...! Tranggggg...!" Tongkat Gu Coan Kok dan tangan yang berselubung cakar besi Hok Ku ditangkisnya dengan tepat. Karena kedudukan tubuhnya sedang berjungkir-balik sambil menangkis, maka datangnya hudtim dari Pat-jiu Sian-ong tak mampu lagi ia mengelaknya. Ujung kebutan meledak dan menotok punggungnya. Untung Hun Bwee masih dapat mengerahkan sinkang yang aneh, yang membuat jalan darah yang tertotok itu seolah-olah "mati" sehingga ketika totokan mengenai sasaran, ia hanya roboh terguling dengan bantingan cukup keras. Cakar besi Hok Ku menyambar dan biarpun ia sudah menggulingkan tubuh di atas tanah, tetap saja bahunya robek berikut kulit dan daging terkena cakaran, sedangkan tongkat Gu Coan Kok menghantam pundak kirinya sehingga tulang pundak kirinya patah!

Hun Bwee menjerit lalu tertawa bergelak, tiba-tiba ia berlutut di depan Pat-jiu Sian-ong seperti orang minta ampun! Melihat ini, kakek yang merupakan seorang di antara datuk-datuk golongan sesat ini tertegun. Hanya beberapa detik tertegun namun cukuplah bagi Hun Bwee. Tangan kirinya yang pundaknya sudah patah itu masih dapat bergerak dan tanah berdebu menyembur ke atas.

"Celaka...!" Pat-jiu Sian-ong yang tadi menuduk, cepat mengelak tanpa berani memejamkan mata karena memejamkan mata menghadapi lawan merupakan pantangan besar. Hal inilah yang membuat matanya kemasukan debu. Sambil berseru keras hudtimnya menyambar ke depan dan tubuhnya sendiri mencelat ke belakang, matanya untuk sementara tak dapat melihat. Namun Hun Bwee sudah mengelak, meloncat jauh dan lari sambil terkekeh-kekeh. Di antara para pengeroyoknya, yang hebat kepandaiannya adalah Pat-jiu Sian-ong, aka dla keadaan terluka seperti itu satu-satunya jalan baginya untuk dapat melarikan diri haruslah membuat kakek lihai itu tidak berdaya lebih dulu. Benar saja, karena Pat-jiu Sian-ong membersihkan kedua matanya yang kelilipan debu, hanya tiga orang jagoan Tembok Besar yang melakukan pengejaran. Akan tetapi Cou Seng mengejar sambil terpincang-pincang, dan mereka bertiga tidak mampu menandingi ginkang Hun Bwee yang sudah menghilang ditelan bayang-bayang pohon yang gelap.

Selama terjadinya pertempuran itu, Sian Ti Sengjin hanya menonton saja, berulang-ulang dia menarik napas panjang dan ketika Hun Bwee melarikan diri, dia tidak ikut mengejar melainkan berlutut menghadapi ceceran daging-daging bekas tubuh sutenya.

"Biar dia lari! Jangan khawatir, dia tidak akan mampu keluar dari benteng ini! "Pat-jiu Sian-ong berkata penuh kemarahan ketika kedua matanya sudah dapat dibuka lagi. Ia merasa malu dan penasaran mengapa dia sebagai seorang datuk kenamaan sampai dapat diakali oleh seorang bocah gila. Justeru karena gila, maka akal yang dilakukan Hun Bwee tadi sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga dia kena ditipu. Dengan hati penasaran, Pat-jiu Sian-ong lalu mengeluarkan perintah untuk melakukan penjagaan ketat dan meronda agar gadis gila itu tidak sampai dapat lolos dari dalam benteng itu.

Ketika Cui Im mendengar laporan tentang peristiwa terbunuhnya Lian Ci Sengjin dan larinya Hun Bwee, dia menerima dengan sikap dingin dan tidak peduli. Lian Ci Sengjin bukan merupakan seorang pembantu yang terlalu kuat, bahkan lenyapnya tokoh ini malah meringankan gangguan terhadap dirinya, hanya dia menyayangkan Hun Bwee yang ia tahu memiliki kepandaian aneh dan hebat, terutama sekali terjadinya peristiwa itu melenyapkan harapan mereka semua untuk dapat menarik tenaga Bo-bi thai-houw sebagai sekutu.

"Sian-ong, kalau dia sudah membunuh Lian Ci Sengjin, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita karena mereka itu mempunyai urusan pribadi sendiri. Lebih baik biarkan dia lari dari sini, karena kalau sampai kita membunuhnya dan kelak hal ini didengar oleh gurunya kita malah akan menanam bibit permusuhan dengan lawan yang tidak lemah."

Ucapan ini dapat diterima oleh semua orang dan Cui Im sengaja melirik ke arah Sian Ti Sengjin, akan tetapi bekas tokoh Kun-lun-pai ini kelihatan diam saja, agaknya belum lenyap rasa kaget dan dukanya atas kematian sutenya. Pak-san Kwi-ong juga menerima berita ini sambil tertawa-tawa saja, sama sekali tidak memperdulikannya. Karena sikap dua orang sekutu inilah maka Pat-jiu Sian-ong tidak turun tangan sendiri dalam mengejar Hun Bwee sehingga seolah-olah membiarkan gadis yang sudah terluka itu meloloskan diri, kalau masih memmiliki kemampuan untuk menerobos garis penjagaan anak buahnya. Namun larinya Hun Bwee ini membuat Cui Im berhati-hati dan cepat ia mengatur rencana yang telah ia persiapkan untuk menghadapi empat orang tawanannya yang ia tahu merupakan orang-orang yang amat berbahaya karena mereka berempat itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Keng Hong.

Hun bwee yang berhasil lolos dari kepungan, lari di dalam gelap sambil menangis dan kadang-kadang tertawa. Kalau ia teringat betapa ia telah menemukan orang yang telah memperkosanya, kemudian melampiaskan dendamnya, ia sendiri tidak tahu harus enangis atau tertawa. Kelegaan hati telah dapat ebunuh orang yang telah merusak hidupnya membuat ia ingin tertawa bergelak sampai mati, akan tetapi kalau teringat lagi bahwa yang memperkosanya bukanlah Keng Hong seperti yang selaa ini di duganya, bahkan diharapkannya karena dia mencinta pemuda itu, membuat ia ingin menangisi nasibnya yang amat buruk. Kini dia tidak kumat lagi. Otaknya benar-benar waras dan kini ia menggunakan segala kecerdikanya untuk dapat lolos dari tempat berbahaya ini. Dia harus bebas! Untuk dirinya sendiri? Tidak! Dia harus lolos karena kalau tidak, tentu empat orang muda yang tertawan itu akan celaka nasibnya. Terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng! Dia harus lolos dan mencari daya upaya untuk menolong mereka dari cengkeraman Bhe Cui Im yang amat lihai.

Tiba-tiba Hun Bwee menyelinap di dalam gerombolan pohon yang gelap ketika mendengar suara para penjaga yang siap melakukan penjagaan ketat sesuai dengan perintah Pat-jiu Sian-ong. Dari balik pohon ia dapat melihat kegiatan mereka. Setiap pintu benteng dijaga ketat, bahkan di sepanjang tembok benteng itu dijaga dengan penjaga-penjaga dala jarak kurang sepuluh meter. Dia telah dikurung rapat! Dan lapat-lapat ia mendengar suara anjing-anjing mengonggong. Bulan hanya para penjaga anak buah Pat-jiu Sian-ong, juga anjing-anjing ikut menggurungnya. Hun Bwee menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya.

Gadis ini berindap-indap mencari bagian tebok benteng yang paling gelap. Dengan hati-hati ia merayap melalui semak-semak sampai berada tidak jauh lagi dari tembok benteng itu. Pandang matanya berusaha menembus keadaan remang-remang di bawah sinar bulan untuk meninjau keadaan

Tembok itu terlalu tinggi bagi tubuhnya yang sudah terluka. Akan gagallah kalau dia berusaha meloncati tembok setelah merobohkan beberapa orang penjaga yang tentu saja dipandangnya rendah. Pundak kirinya yang patah tulangnya itu akan menjadi penghalang besar. Jalan satu-satunya hanyalah menerjang pintu gerbang yang terjaga oleh kurang lebih dua losin orang itu. Tidak ada jalan lain. Biar pundaknya telah terluka, dengan pedangnya ia masih sanggup untuk membuka jalan darah melalui pintu gerbang itu, pikirnya.

Akan tetapi sebelum ia bergerak, tiba-tiba ia mendengar suara anjing menggereng tak jauh dari tempat ia bersembunyi dari arah belakangnya. Hun Bwee terkejut dan cepat menengok, akan tetapi pada saat itu, seekor anjing berbulan hitam sebesar anak kerbau telah meloncat menerkamnya dengan gerengan dahsyat. Hun Bwee sedang bertiarap, menelengkup dan pedangnya masih tergantung di punggung. Melihat binatang buas ini menerkamnya. Hun Bwee cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri sampai lima kali. Dia harus dapat membunuh binatang ini sebelu para penajga mendengar dan datang mengeroyok sehingga pintu gerbang akan terjaga lebih ketat sebelum ia dapat mendejangnya. Tubrukan anjing itu luput dan sebelum binatang itu dapat melakukan penyerangan susulan, tangan kanan Hun Bwee sudah melayang dengan hantaman kuat. Akan tetapi, anjing itu agaknya lebih awas di tempat gelap. Pukulan itu dapat ia elakkan sehingga bukan kepala anjing yang terpukul, melainkan lehernya yang amat kuat.

"Bukkk!" Anjing itu terlempar ke samping, akan tetapi dia mengeluarkan pekik yang menandakan diatakut, melainkan meloncat bangun dan menubruk lagi, moncongnya yang bergigi besar-besar dan runcing itu menyerbu ke arah tenggorokan Hun Bwee. Gadis ini melihat berkilaunya gigi tertipa sinar bulan yang menembus dari celah-celah daun pohon, cepat membuang diri ke samping dan kakinya melayang, menendang perut anjing itu kembali terdengar suara berdebuk keras dan tubuh anjing itu terlempar ke belakang.

***

Ternyata anjing itu tubuhnya kuat sekali karena kini ia sudah menubruk lagi. Hun Bwee sudah siap dengan pedangnya sekali Hek-sin-kiam menyambar leher binatang itu terbacok hampir putus! Pada saat ituu terdengar gerengan keras dan tiga ekor anjing sekaligus menubruk ke arah Hun Bwee! Gadis ini menjadi marah.

"Bedebah!" Ia memaki dan pedangnya berkelebatan. Sepandai-pandainya anjing, binatang ini kurang akal dan melihat sinar hitam, agaknya binatang-binatang ini tidak mengerti bahaya dan terus menubruk. Seekor anjing berbulu coklat roboh tak berkutik dengan leher putus, anjing ke dua mengeluarkan suara menguik keras, akan tetapi karena gerakan tiga ekor anjing yang nekat ini membuat Hun Bwee agak gugup sehingga ketika pedangnya menusuk ke dada anjing ke dua, pedang itu menyelip dan terjepit di antara tulang iga. Belum sempat ia menarik pedangnya, anjing ke tiga telah menubruknya sedeikian keras sehingga ia roboh terguling tertindih badan anjing yang berat. Dengan ganas dan mengeluarkan suara menggeram mengerikan anjing itu membuka lebar mocongnya dan menggigit ke arah leher. Hun Bwee cepat menggunakan tangan menampar mocong itu, akan tetapi karena ia terbanting dengan pundak kiri di bawah, tadinya terlupa akan luka di pundaknya, ia merasakan nyeri hebat yang membuat tenaganya berkurang. Moncong anjing itu menyeleweng dan masih berhasil menggigit punggungnya!

"Auhhh...!" Gadis itu menjerit perlahan, daging dan kulit punggungnya terasa nyeri. Ia cepat menggulingkan tubuhnya, berusaha melepaskan gigitan namun tidak berhasil. Anjing itu seperti seekor lintah besar yang terus menempel di belakang tubuhnya. Hun Bwee hampir tidak kuat menahan rasa nyeri, pedangnya masih tertinggal di dada anjing ke dua yang berkelojotan, maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, menagkap kaki belakang anjing dari belakang pinggungnya, membawa bagian belakang anjing itu ke depan, kemudian sambil mengerahkan tenaga dan menahan rasa nyeri ia menusukkan jari-jari tangan kananya ke dalam perut anjing.

“Crottt!" Lima buah jari tangan kanannya amblas memasuki perut anjing. Ia mencengkeram dan meremas isi perut anjing, menariknya keluar. Anjing itu mengeluarkan suara aneh, gigitannya terlepas dan terjatuh ke atas tanah, berkelojotan. Hun Bwee terhuyung menghampiri anjing yang "merampas" pedangnya, mencabut pedang itu. Tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang tentu saja makin parah kaena dipakai bergumul tadi, dan punggungnya yang terasa perih dan panas. Kulit punggungnya yang halus putih itu robek dan darah banyak keluar.

Suara perkelahiannya melawan empat ekor anjing tadi agaknya menarik perhatian para penjaga. Dari balik semak-semak Hun Bwee melihat bahwa para penjaga siap dengan senjata di tangan, menjaga pintu gerbang. Sekarang, pikirnya, atau terlambat! Kenekatan ini timbul dari harapan untuk dapat keluar agar dia dapat berdaya upaya menolong empat orang yang tertawan. Dengan lengking menyeramkan, gadis yang sudah koyak-koyak pakaiannya dan terkoyak kulit punggungnya itu lalu meloncat dan lari ke arah pintu gerbang. Para penjaga sudah siap dan begitu melihat munculnya gadis ini yang mereka anggap kumat gilanya, mereka segera menerjang maju. Hujan tombak dan golok melayang ke arah tubuh Hun Bwee, namun gadis ini sudah memutar pedangnya. Gulungan sinar hitam membentuk lingkaran dan terdengar suara nyaring ketika tombak-tombak dan golok-golok itu patah dan terlepas beterbangan ke kanan kiri, disusul jerit kesakitan ketika lima orang pengeroyok roboh terkena sambaran Hek-sin-kiam! Menyaksikan keganasan Hun Bwee, para pengerotok lainnya menjadi gentar.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Hun Bwee untuk mengeluarkan suara melengking, setengah tertawa setengah menangis yang membuat bulu tengkuk para pengeroyok berdiri, kemudian tahu-tahu gadis itu sudah meloncat ke dekat pintu gerbang!

"Tangkap! Bunuh...!" Teriakan-teriakan itu lebih gencar daripada datangnya pengeroyokan karena para penjaga benar-benar merasa ngeri dan jerih. Kembali di depan pintu gerbang, Hun Bwee di keroyok oleh belasan orang penjaga. Para penjaga itu rata-rata memiliki kepandaian ilmu silat, namun mereka bukanlah lawan berat bagi Hun Bwee. Biarpun gadis ini sudah terluka parah dan telah kehilangan setengah bagian kecepatannya, namun gerakannya masih terlalu hebat bagi para pengeroyok itu sehingga setelah bertanding hebat selama beberapa menit, kembali ada enam orang pengeroyok roboh binasa. Orang terakhir yang roboh adalah penjaga palang pintu gerbang. Hun Bwee cepat menggigit pedangnya yang berlumuran darah, karena kini tangan kirinya sama sekali tidak dapat ia pergunakan dan sudah lumpuh, kemudian dengan tangan kanannya, sekali renggut palang pintu dari besi itu terlepas dan sekali tendang, daun pintu terkuak lebar.

Dua orang penjaga mempergunakan kesempatan selagi gadis itu menggigit pedang dan menggunakan tangan merenggut palang pintu, menyerang dari belakang dengan bacokan golok mereka. Hun Bwee mendengar datangnya sambaran dua batang golok. Cepat ia mengelak dengan menarik tubuh ke belakang. Dua batang golok menghantam daun pintu.

"Keng Hong, berkali-kali kau menyakitkan hatiku, akan tetapi aku selalu mengampunimu. Bahkan yang terakhir kali engkau menipuku dengan bujuk rayumu, hampir kau berhasil. Menurut patut, engkau kubunuh sekarang juga, atau lebih tepat kalau kau kusiksa sebelum kubunuh. Akan tetapi... ahhhhh... Cui Im menundukkan mukanya, menarik napas panjang penuh penyesalan. Keng Hong yang masih terbelenggu pada tiang besi di dalam kamar tahanan, memandang tajam dan dapat menduga bahwa sekali ini, gadis itu tidak berpura-pura, melainkan benar-benar menyesal sekali.

"Kenapa, Cui Im? Lanjutkanlah," katanya, perlahan dan dengan suara dingin, menunjukkan bahwa hatinya telah tertutup sama sekali terhadap wanita ini.

Memang dia beberapa kali berlaku tidak sedap terhadap Cui Im, akan tetapi bukankah wanita ini yang lebih dahulu melakukan hal-hal yang mencelakakan Biauw Eng gadis yang dicintanya?

Cui Im mengangkat muka memandang Keng Hong dan pemuda ini terkejut melihat beberapa tetes air ata membasahi sepasang pipi wanita itu. Cui Im menangis! Air mata buayakah ini? Bukan, gadis itu benar-benar merasa berduka dan kecewa sekali.

"Keng Hong, apakah artinya hidup bagi seseorang tanpa cinta? Cinta yang murni maksudku, cinta yang timbul dari lubuk hati, cinta yang sudah ada tanpa dibuat-buat, yang menguasai seluruh jiwa, yang sudah ada seperti adanya napas dan denyut darah dalam tubuh..Aku cinta padamu, Keng Hong. Bukan! Bukan cintaku terhadap setiap pria tampan yang hanya merupakan dorongan nafsu berahi. Aku cinta padamu dari lubuk hatiku! Aku bersedia melakukan apa saja, bersedia bahkan mengubah seluruh jalan hidupku asal saja aku bisa mendapatkan cintamu, asal saja aku bisa menjadi isterimu!"

Keng Hong memandang dengan sinar mata kasihan, akan tetapi hanya sebentar karena dia teringat akan kekejaman hati yang sudah menjadi watak wanita ini, maka mulutnya segera tersenyum mengejek untuk menyakitkan hati Cui Im. "Cui Im, engkau tahu betapa hal itu tidak mungkin terjadi seperti juga aku telah tahu benar betapa palsu hatimu, betapa cintamu itu hanya kembang bibir saja karena sebenarnya tidak ada cinta di hatimu, yang ada hanya dengki, iri dan benci. Di balik cintamu itu tersembunyi benci yang sedalam lautan!"

Cui Im mengejek. "Demikianlah cinta, Keng Hong. Cinta yang tidak mendapat tanggapan, uluran tangan cinta yang tidak disambut jabatan, akan berubah menjadi benci yang mendalam. Aku cinta padamu, aku rela mengorbankan apa pun juga untuk merebut kasih hatimu, akan tetapi kalau tidak berhasil, kalau engkau menolak, aku membenci kepadamu, sebenci-benciku!"

Keng Hong tersenyum mengejek sungguhpun di dalam hatinya dia merasakan penderitaan batin wanita ini. Ia mau percaya penuh keyakinan bahwa wanita ini benar-benar mencintanya. Ia pun mau percaya bahwa semua perbuatan Cui Im yang amat keji terhadap Biauw Eng sesungguhnya adalah karena cinta kasih itulah. Karena tidak ingin melihat Keng Hong direbut lain wanita. Akan tetapi dia sendiri, tidak pernah ada perasaan cinta kepada Cui Im.

"Aku tetap tidak percaya, Cui Im. Engkau berhati palsu, dan perasaan cinta kasih terlalu murni, terlalu bersih bagi hati yang kotor dari seorang seperti engkau ini. Apa pun yang kaulakukan, kuanggap akan mencelakakan diriku. Kiraku, kebencianmu tidak akan melebihi sakitnya hatiku terhadap dirimu, Cui Im."

Cui Im memandang dan kini kedukaan lenyap dari mukanya, terganti sinar mata menertawakan dan mengejek, "Karena perbuatanku terhadap Biauw Eng?"

***

"Terutama karena itu, akan tetapi lebih daripada semuanya karena perbuatanmu menyesatkan aku di malam pertama itu. Engkau telah menyeretku ke dalam cengkeraman nafsu berahi, membangkitkan sifat binatang dalam diriku. Sungguh aku amat menyesal karena perbuatanmu itu, Cui Im. Cinta berahi yang bangkit antara dua orang yang saling mengasihi, dalam pertemuan yang murni dan tidak melanggar hukum, tidak dibayangi perasaan dosa karena pelanggaran hukum susila, cinta berahi yang wajar sebagai kembang daripada cinta kasih daripada pria dan wanita, akan berkembang dengan subur dan murni, suci sehingga menjadi landasan penciptaan manusia baru. Akan tetapi, di dalam tanganmu, cinta berahi hanyalah merupakan pemuasan nafsu binatang yang haus akan kenikmatan kotor. Kotor sekali cintamu, Cui Im. Kotor..."

"Diam!" Cui Im membentak dan sudah melangkah maju, tangannya diangkat untuk memukul. Akan tetapi melihat wajah Keng Hong yang tersenyum memandangnya tanpa berkedip, tangannya turun kembali dan ia menjatuhkan diri duduk di atas dipan sambil terisak.

"Kelemahanku... selalu tidak tega kalau hendak membunuhmu..." Cui Im menunduk, kelihatan berduka sekali, akan tetapi ia lalu mengangkat muka, memandang dengan sinar mata penuh penyesalan dan kemarahan. "Keng Hong, aku tidak dapat merenggut cintamu, akan tetapi sewaktu-waktu dapat merenggut nyawamu dan nyawa Biauw Eng! Biarlah, aku akan mengalah, akan membiarkan engkau dan Biauw Eng bebas agar kalian dapat menikmati cinta kasih kalian. Akan tetapi, kau berikan Ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku."

Keng Hong menggeleng kepalanya. "Memberikan ilmu dahsyat kepada seorang seperti engkau merupakan dosa besar, Cui Im, sama dosanya dengan memberikan sayap kepada ular berbisa yang berbahaya. Daripada hidup bergelimang dosa terhadap manusia dan dunia, lebih baik mati sebagai seorang gagah."

Biarpun mulutnya berkata demikian, namun seluruh urat di tubuh Keng Hong menegang dan siap untuk membela diri, seperti tadi ketika Cui Im hendak memukulnya.

"Keparat! Kau kira aku tidak kuat memaksa diri menyiksamu?" Cui Im bangkit berdiri, matanya memancarkan api kemarahan.

"Sesukamulah!"

Cui Im bertepuk tangan tiga kali dan muncullah Thian-te Siang-to, dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang malam itu ditugaskan menjaga pintu tahanan.

"Bawa Biauw Eng ke sini!"

Dua orang kakek itu mengangguk sambil melempar kerling dan senyum mengejek ke arah Keng Hong, kemudian mereka berdua pergi. Diam-diam Keng Hong berdebar hatinya penuh ketegangan dan kegelisahan, namun mukanya tidak memperlihatkan sesuatu, tetap tenang seolah-olah dia tidak mengacuhkan sama sekali apa yang dilakukan oleh Cui Im. Tak lama kemudian, dua orang itu menyeret tubuh Biauw Eng yang juga terbelenggu kaki tangannya memasuki kamar tahanan Keng Hong. Atas perintah Cui Im, tubuh Biauw Eng dilempar secara kasar oleh dua orang kakek itu ke atas pembaringan yang tadi diduduki Cui Im. Wajah Biauw Eng agak pucat dan kurus, rambutnya awut-awutan namun dalam pandangan Keng hong, gadis itu tampak makin cantik sehingga matanya melembut dan mesra ditujukan kepada Biauw Eng. Namun Biauw Eng tetap tenang, sinar matanya memandang wajah bekas sucinya dengan penuh tantangan.

"Cui Im, wanita yang kehilangan pegangan, apa pula yang hendak kaulakukan sekarang?" Tanyanya, dan ia mengerling ke arah Keng Hong, kemudian tersenyum melihat sinar mata mesra dari pemuda itu. Biarpun hanya sejenak, namun pertemuan pandang mata penuh cinta kasih dari kedua orang itu telah membakar hati Cui Im, seperti minyak disiramkan kepada api kebencian yang membakar hati.

"Keng Hong, kau lihat baik-baik! Biauw Eng juga tidak berdaya dan berada dalam cengkeraman tanganku. Kalau aku membunuhnya di depanmu, menyiksanya, apakah engkau masih hendak bersikap kukuh tidak pernah memberikan ilmu itu kepadaku?"

"Keng Hong, apakah engkau mendengar apa yang diocehkan oleh perempuan ini?"

"Biarlah, Biauw Eng. Biarlah dia mengoceh, karena aku tetap tidak akan memberikan apa yang dimintanya. Dia terlalu banyak dari kita, telah melakukan perbuatan-perbuatan keji dengan maksud menghancurkan kebahagiaan kita. Akan tetapi, kalau engkau menghendaki aku memberikan ilmu kepadanya, Biauw Eng, aku akan mentaati kehendakmu. Bukan karena takut aku disiksa atau takut engkau dibunuh, orang-orang seperti kita tidak akan gentar menghadapi kita tidak akan gentar menghadapi maut, melainkan karena aku yang sudah banyak membuat kesalahan, kini akan mentaati semua yang kau kehendaki."

Biauw Eng mengerutkan keningnya. Memang hatinya masih sakit kalau dia mengenang sikap Keng Hong kepadanya, sikap yang amat menyakitkan hati setelah ia melakukan semua pengorbanan demi cintanya terhadap pemuda itu, setelah ia menderita bertahun-tahun demi cinta kasihnya.

"Bhe Cui Im, ceritakanlah kepadaku apa yang telah kau lakukan selama ini dan setelah mendengar ceritau, baru aku akan mengambil keputusan tentang permintaanmu kepada Keng Hong. Engkau tentu menghendaki ilmu yang diperebutkan orang, Ilmu Thi-khi-I-beng itu, bukan?"

Cui Im tertawa mengejek. "Hemmm, kuceritakan atau tidak, apa artinya bagi kalian? Dan biarlah, untuk bekal ke akhirat engkau mendengar pengakuanku, Biauw Eng." Cui Im yang cerdik segera dapat menangkap sikap bekas sumoinya yang agaknya masih mendendam kepada Keng Hong sebagai akibat pemalsuan-pemalsuannya dahulu. Kalau sekarang dia ceritakan, tentu akan sadar bekas sumoinya betapa pemuda itu amat mencintanya dan mungkin hati Biauw Eng tidak rela kalau melihat Keng Hong mati, dan mungkin akan membujuk permuda itu menyerahkan ilmu yang amat diinginkan.

Kalau dia sudah mendapatkan ilmu itu, tentu dia akan mampu mengalahkan Keng Hong dibantu kawan-kawannya dan untuk membunuh mereka berdua ini kelak, masih banyak waktu!

Sebelum bicara, ia menghela napas panjang. "Semua itu kulakukan demi cintaku kepada Keng Hong. Engkau tentu sudah dapat menduga apa yang telah terjadi sebelum engkau menemukan aku dan Keng Hong untuk pertama kali dahulu. Antara dia dan aku telah terjalin cinta kasih... “

"Bukan cinta kasih, Cui Im. Ingatlah akan rayuanmu dan akan arak beracunmu, bukan cinta kasih, melainkan nafsu iblis yang kau pergunakan untuk menyeretku!"

Cui Im memandang kepada Keng Hong dengan senyum mengejek, lalu melanjutkan. "Katakan apa sukamu, Keng Hong, akan tetapi bagiku, semenjak saat itu aku telah jatuh cinta kepadamu. Demikianlah, Biauw Eng. Aku telah jatuh cinta kepada Cia Keng Hong sebelum kau menjumpainya, maka salahkah aku kalau aku menjadi iri hati dan cemburu melihat engkau mencintanya, bahkan engaku cintamu di depan mendiang ibumu. Saat itulah timbul kebencianku kepadamu, menghapus semua pertalian persaudaraan dan aku bertekad untuk mempertahankan Keng Hong dari wanita yang manapun juga, termasuk engkau!"

Biauw Eng mendengarkan dengan sinar mata tajam dan penuh perhatian, sedikit pun tidak memperlihatkan peerasaan hatinya pada wajahnya. Bahkan wajahnya yang cantik itu masih tenang dan tidak memperlihatkan perasaan apa-apa ketika dengan panjang lebar Cui Im menceritakan betapa dia mencuri senjata-senjata rahasia sumoinya dan menyamar sebagai sumoinya untuk menjelekkan nama suoinya itu agar selain sumoinya dimusuhi orang-orang kang-ouw, juga menibulkan kebencian di hati Keng Hong.

"Dengan perbuatan itu, sekali pukul aku mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, aku bisa memburukkan namamu di mata dunia kang-ouw sebagai pembalasanku karena engkau telah merampas cinta kasih Keng Hong dariku,

Ke dua aku dapat membangkitkan kebencian di hati Keng hong terhadap dirimu dan ke tiga aku dapat membunuh setiap wanita yang berani mendekati Keng Hong !"

Mendengar pengakuan-pengkuan ini,biarpun wajahnya tetap tenang, namun dua titik air mata membasahi bulu mata Biauw Eng, dan ketika ia mengerling kepada Keng Hong, pandang matanya mengandung rasa kasihan dan kemesraan. Kini terbukalah semua rahasia, sejelas-jelasnya tampak oleh Biauw Eng mengapa sikap Keng Hong dahulu amat menyakitkan hatinya. Kiranya malah Keng Hong yang tentu akan sakit hatinya menyaksikan semua perbuatan keji yang disangka dia yang melakukannya.

"Biauw Eng, maukah sekarang engkau mengampuni aku?" Keng Hong bertanya lirih ketika Cui Im menghentikan ceritanya.

Biauw Eng menatap wajah pemuda itu sampai lama, tak mampu menjawab, hanya mengagguk, kemudian setelah menekan perasaan harunya, baru ia dapat berkata perlahan, "Bukan engkau yang harus minta maaf, melainkan aku, harap kau suka maafkan..."

Dua orang muda itu saling berteu pandang, penuh keharuan dan kemesraan dan hal ini membakar hati Cui Im. Namun, gadis yang cerdik ini bersabar dan mengingat akan kebutuhannya ia lalu berkata,

"Biauw Eng, setelah engkau mendengar semua, kini tentu engkau yakin bahwa apa pun yang telah dilakukannya, Keng Hong hanya mencinta engkau seorang. Dan engkau pun telah yakin akan cinta kasihmu kepada Biauw Eng, Keng Hong. Karena itu, demi cinta kasih kalian, mengapa engkau tidak mau mengorbankan ilmu begitu saja agar kalian dapat bebas dan melupakan pertalian cinta kasih kalian?"

"Tidak! Keng Hong, jangan mendengarkan dia! Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, karena itu, aku tetap ingin melihat engkau sebagai seorang gagah yang patut kubela sampai mati! Kalau engkau menyerah kepada iblis betina ini, berarti engkau menodai cinta kasih antara kita!"

***

Mendengar ucapan yang bersemangat, Keng Hong tertawa dan menoleh kepada Cui Im, lalu berkata penuh ejekan, "Kau dengar sendiri, Cui Im! Kekasihku, pujaan hatiku Sie Biauw Eng adalah puteri dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang mewarisi watak gagah perkasa ayahnya, tidak seperti engkau yang rendah budi! Kalau engkau mau membunuh aku dan Biauw Eng, silakan. Dalam kematian pun kami berdua akan masih mencinta! Tidak ada kekuasaan di dunia dan akhirat yang akan dapat memisahkan cinta kasih kami!"

Pucat wajah Cui Im mendengar ini. Celaka, pikirnya. Dia sudah mengorbankan perasaan, sudah mengobati kepedihan hati Biauw Eng dengan pengakuannya, dengan harapan agar Biauw Eng suka membujuk Keng Hong menyerahkan ilmu itu demi kebahagian dan kehidupan mereka. Siapa kira, dua orang itu demikian keras kepala! Ia mengepal kedua tangannya, ingin sekali pukul membunuh dan orang yang kini makin dibencinya itu. Akan tetapi wajahnya yang pucat itu menyeringai dan dalam keadaan seperti itu, kecantikannya berubah menjadi serem menakutkan, seperti wajah iblis betina yang haus darah.

"Keng Hong dan Biauw Eng! Aku masih bersabar terhadap Keng Hong mengingat akan hubungan cinta kasihnya denganku dahulu, dan aku bersedia memaafkan Biauw Eng karena mengingat akan hubungan persaudarann. Akan tetapi kesabaran ada batasnya! Kalau engkau suka menurunkan ilmu itu kepadaku Keng Hong, bukan hanya engkau dan Biauw Eng yang akan bebas, melainkan juga Gui Yan Cu dan Yap Cong San. Akan tetapi kalau engkau menolak, berarti bukan hanya kalian berdua yang akan mati tersiksa, juga kedua orang muda itu!"

"Ha-ha-ha! Mereka berdua pun adalah dua orang gagah perkasa yang mengangap kematian seperti pulang ke kampung halaman!" Keng Hong menantang,

Dan sesungghunya pemuda ini bukan hanya omong kosong atau bicara besar, karena dia sudah memperhitungkan bahwa Cui Im tidak akan mudah begitu saja menyerah sebelum kehendaknya dipenuhi maka tidak akan membunuh mereka secara tergesa-gesa, sedangkan sebaliknya, sekali kehendaknya tercapai, tentu Cui Im akan membunuh mereka tanpa di tunda-tunda lagi. Selain ini, dia pun sudah bersiap sedia untuk turun tangan apabila keadaan sudah mendesak dan tidak ada jalan lagi untuk mengatasinya.

Akan tetapi tiba-tiba Cui Im tertawa, suara ketawanya bergelak menyeramkan seperti suara kuntianak menangis karena kehausan darah. "Mereka kini hampir mati, dan engkau masih bicara tentang kegagahan mereka? Aku telah menyerahkan gadis ayu yang menjadi sumoimu itu kepada Thai-lek Sin-mo. Hi-hi-hik,. Engkau tentu tahu siapa Thai-lek sin-mo Cou Seng, si raksasa yang tubuhnya seperti gajah! Hi-hi-hik, kalau tidak ada urusan dengan kalian di sini, ingin sekali aku menyaksikan betapa Yan Cu menggeliat-geliat digagahi oleh raksasa itu. Mungkin saat ini sedang merintih-rintih atau mungkin juga mampu. Gadis mana yang akan dapat bertahan terhadap Thai-lek Sin-mo? Sayang, aku masih banyak urusan, terutama sekali denganmu, Biauw Eng. Engkau keras kepala, sepatutnya dihukum seperti yang diderita Yan Cu. Akan tetapi Yan Cu masih untung setidaknya menerima penghinaan dari seorang di antara Iblis-iblis Tembok Besar. Adapun engkau, engkau akan kuberikan kepada dua orang raksasa kasar yang lebih rendah derajatnya daripada dua ekor. Di sini! Di kamar ini dan engkau akan menjadi saksinya, Keng Hong! Engkau dan aku, hi-hi-hik! Kira berdua akan menikmati pemandangan yang amat mesra! Hi-hi-hik!"

Biauw Eng dan Keng Hong terkejut bukan main, bukan mengkhawatirkan nasib mereka sendiri, melainkan mengkhawatirkan nasib dua orang teman mereka, Yan Cu dan Cong San. Mereka saling pandang dan menduga-duga, apa gerangan yang terjadi dengan mereka itu? Malapetaka apakah yang menimpa mereka?

Cui Im memang tidak membohong ketika menceritakan tentang Yan Cu. Memang ada saja akal yang aneh-aneh dan keji-keji dalam benak iblis betina ini untuk menyiksa musuh-musuhnya. Menyaksikan sikap mesra Yan Cu terhadap Keng hong, biarpun dia tahu bahwa Yan Cu adalah sumoi dari Keng Hong, namun tak dapat ia tahan rasa cemburu yang timbul di hatinya. Yan Cu demikian muda dan demikian cantik jelita, rasa cemburu bercampur dengan rasa iri yang menimbulkan kebencian hebat. Oleh karena Yan Cu tidak ada gunanya baginya, maka gadis itu harus dibunuh, akan tetapi selain untuk menyiksanya, juga dia hendak mempergunakan kesempatan itu untuk menyenangkan hati Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang haus wanita pula. Hal ini mudah saja ia tangkap dari pandang mata Cou Seng yang ditujukan kepadanya. Karena dia sendiri enggan melayani raksasa gendut itu, biarlah raksasa itu memuaskan nafsunya kepada Yan Cu. Dan untuk menyiksa Cong San, di samping membangkitkan gairahnya agar kelak mudah dia merayu pemuda tampan yang menarik hatinya itu, dia mengatur agar Cong San berada di dalam kamar menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Cou Seng terhadap Yan Cu!

Malam itu memang merupakan malam yang menyeramkan, malam yang penuh ancaman mengerikan bagi empat orang muda yang menjadi tawanan di benteng Pat-jiu Sian-ong di lereng Pegunungan Tai-hang-san itu. Mereka berempat tidak tahu bahwa tiga hari yang lalu, Hun Bwee telah membunuh Lian Ci Sengjin dan gadis itu melarikan diri dari benteng.

Pada malam hari itu, Yan Cu yang tadinya di tahan dalam kamar terpisah, didatangi Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang tertawa-tawa dan tanpa banyak bicara raksasa ini memondong tubuh Yan Cu yang dibelenggu kaki tangannya lalu dibawa keluar dari kamar tahanan.

Empat orang penjaga di luar pintu kamar tahanan hanya tertawa dengan pandang mata iri karena mereka sudah menerima perintah dari Cui Im bahwa tawanan yang jelita itu "diserahkan" kepada Thai-lek Sin-mo. Yan Cu maklum akan bahaya yang mengancam, akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya dalam kempitan lengan yang amat kuat itu, apalagi dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Sementara itu, Yap Cong San yang merasa prihatin sekali, tidak pernah berhenti dengan usahanya mematahkan belenggu. Dengan pengerahan tenaga sinkang, berkali-kali dia berusaha merenggut belenggu baja yang mengikat kedua tangannya pada tiang di dalam kamar tahanan, namun belenggu itu amat kuat sehingga semua usahanya hanya mengakibatkan kulit kedua pergelangan tangannya lecet-lecet. Kemudian dia mengubah cara usahanya. Pemuda ini sambil berdiri lalu menghimpun tenaga dalam, dan mulai bersamadhi untuk mempergunakan ilmu sakti dari Siauw-lim-pai, yaitu ilmu Sia-kut-sin-hoat, semacam ilmu untuk membuat tulangnya seolah-olah terlepas dan tubuhnya menjadi lemas dan licin. Untuk dapat mencapai ilmu ini diperlukan pengarahan hawa murni di tubuh sehingga dia bersamadhi sampai dua hari dua malam, barulah berhasil. Tulang pergelangan tangannya dapat dia gerakkan sedemikian rupa sehingga dapat tergeser dan dagingnya menjadi lemas sehingga akhirnya dia dapat meloloskan kedua tangannya dari belenggu demikian pula membebaskan kedua kakinya! Namun, setelah berhasil dia harus mengatur napas sampai lama untuk memulihkan tenaga.

Belum lama dia berdiri tak bergerak mengatur napas, tiba-tiba dia mendengar jejak kaki yang berat mendatangi dari luar kamarnya. Ia terkejut, cepat dia mengatur belenggu kaki tangannya sehingga tampak seolah-olah dia masih terbelenggu, dan dia melanjutkan usahanya memulihkan tenaga yang banyak diperasnya untuk mempergunakan Ilmu Sin-kut-sin-hoat tadi.

Pintu kamarnya terbuka dan dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hatinya ketika dia melihat bahwa yang memasuki kamarnya adalah raksasa gendut Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih terbelenggu kaki tangannya dan kemudian melemparkan tubuh Yan Cu di atas pembaringan yang berada di dalam kamar itu, di depannya.

"Ha-ha-ha!" Thai-lek Sin-mo tertawa bergelak dan bertolak pingang menghadapi Cong San. Pemuda ini bersikap tenang dan siap untuk melawan Yan Cu kalau si raksasa gendut ini hendak melakukan kekejian.

"Ang-kiam Bu-tek sungguh aneh sekali! Memberikan si jelita ini memakai syarat pula, harus kulakukan di kaar ini, di depan matamu, orang muda! Ha-ha-ha! Entah apa kehendaknya, akan tetapi di depanmu atau di mana saja, apa bedanya? Hanya kuharap engkau akan cukup sopan untuk memejamkan matamu dan hanya menikmati pertunjukkan ini dengan telingamu saja. Ha-ha-ha! Gadis manis seperti bidadari, kau bersiaplah menerima aku!"

Thai-lek Sin-mo membalikkan tubuh dan hendak menerkam tubuh Yan Cu yang rebah terlentang di atas pembaringan. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak, maklum dia terancam bahaya yang hebat, maka mengambil keputusan untuk melawan mati-atian biarpun tangan kakinya terbelenggu. Sebagai murid tersayang dari Tung Sun Nio, ia memiliki ginkang yang hebat. Kini melihat raksasa gendut itu melangkah maju dengan kedua lengan berbulu dipentang lebar, baju atas terbuka memperlihatkan dada yang berbulu lebat, muka yang menyeringai mengerikan, Yan Cu menggerakkan tangan dan kaki yang membelenggu ke atas dipan dan sekali mengenjot tubuh, ia telah menendangkan kedua kaki yang terbelenggu itu ke arah pusat Thai-lek Sin-mo!

"Blukkk!" Serangan ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh Thai-lek Sin-o yang sedang dimabuk nafsu berahi, maka mengenai perutnya dengan keras.

***

Namun ternyata raksasa gendut berbangsa Kerait ini memiliki kekebalan sehingga tendangan yang amat kuat itu hanya membuat dia terhuyung dan mengerutkan kening dengan perut terasa agak mulas. Sebaliknya, karena kaki tangannya terbelenggu, ketika kaki tangannya terbelenggu, ketika kedua kaki Yan Cu bertemu dengan perut yang gendut dan keras itu, tubuhnya sendiri terbanting kembali ke atas pembaringan dengan keras.

"Ha-ha-ha, engkau benar-benar liar! Aku senang... Aku senang sekali... Makin hebat kau melakukan perlawanan, makin menyenangkan, Manis!" Cou Seng sudah melangkah maju lagi mendekati pembaringan sambil tertawa terkekeh-kekeh, dari sudut mulutnya yang lebar menetes air liur seperti seekor anjing melihat daging.

"Thai-lek Sin-mo, tahan!" tiba-tiba Cong San berseru. Sudah gatal-gatal tangan pemuda ini hendak menerjang raksasa gendut itu. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang tenang dan cerdik. Kalau dia menerjang raksasa gendut itu di dalam kamar tahanan, mungkin dia akan berhasil membunuh lawan ini, akan tetapi tidak mungkin akan dapat membebaskan diri dan menolong Yan Cu. Kalau terjadi perkelahian di situ, tentu tokoh-tokoh fihak lawan akan datang dan mana mungkin dia dapat melawan mereka? Fihak musuh amat banyak dan banyak di antara mereka yang memiliki kepandaian amat tinggi.

Thai-lek Sin-mo memutar tubuh seperti singa menoleh. "Mengapa banyak cerewet? Kalau kau tidak suka menonton, pejamkan matamu!" Bentaknya.

"Thai-lek Sin-mo, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi dan gagah perkasa, siapa kira ternyata engkau hanya seorang pengecut dan penakut!"

Thai-lek Sin-mo mendelik marah dan inilah yang diharapkan Cong San. Lengan yang besar itu bergerak. "Plakkk!" Pipi Cong San ditamparnya keras sekali sehingga pemuda ini merasa kepalanya pening dan ujung bibirnya berdarah. Akan tetapi dia menahan sabar dan melajutkan kata-katanya.

"Engkau hendak menikmati tubuh gadis ini adalah hal yang wajar dan tidak aneh, akan tetapi ke mana perginya sifat gagahmu, sifat laki-lakimu sehingga engkau begitu merendah diri untuk melakukannya di sini, terlihat oleh orang lain? Hal itu akan membuat engkau malu dan hina! Apakah kalau engkau membawa dia itu ke hutan dan menikmatinya di tempat sunyi sepuas hatimu, engkau tidak berani? Takut kalau gadis yang sudah terbelenggu itu melawanmu? Begitu penakutnya engkau yang berjuluk Thai-lek Sin-mo?"

"Yap-twako...!! Kau... Kau...!! Yan Cu terbelalak marah.

Saking marahnya, Yan Cu kembali meloncat dan menerjang Thai-lek Sin-mo dengan kakinya, akan tetapi sekali ini, raksasa gendut itu cepat menyambar dan mengempit pinggangnya. Kemudian sambil menyeringai ke arah Cong San dia berkata,

"Kalau dipikir, omonganmu benar juga. Tempat ini, terlalu sempit untuk menaklukan kuda betina liar macam ini, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian Thai-lek Sin-mo lalu membawa Yan Cu keluar dari tempat tahanan sambil tertawa-tawa Yan Cu berteriak-teriak memaki, "Yap Cong San, kiranya engkau hanya seorang yang berwatak pengecut dan rendah!"

Tentu saja tidak ada penjaga yang merintangi larinya Thai-lek Sin-mo yang memondong tubuh Yan Cu yang masih berteriak-teriak memaki dan meronta-ronta itu. Ia memasuki sebuah hutan lebat yang sunyi, kemudian sambil tertawa-tawa dia merenggut pakaian Yan Cu, menelanjangi gadis itu yang menyepak-nyepak dan meronta-ronta tanpa hasil. Melihat tubuh yang menggairahkan itu di bawah sinar bulan, nafsu berahi bernyala-nyala di dalam hatinya dan dia lalu melemparkan tubuh Yan Cu ke atas rumput, sambil menyeringai dia tergesa-gesa melepas bajunya sendiri keudian dia mendekati tubuh Yan Cu. Yan Cu menggulingkan tubuhnya, berusaha menjauhi orang yang mengerikan itu.

Tentu saja usahanya sia-sia saja karena sambil tertawa-tawa seenaknya raksasa gendut itu melangkah lebar mengikuti ke mana tubuh gadis itu bergulingan, lagaknya seperti seekor kucing mempermainkan tikus dan hendak mempermainkan dulu sepuasnya sebelum akhirnya menerkamnya. Yan Cu mengerti bahwa dia tak mungkin dapat membebaskan diri, maka ketika melihat tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah jurang, tiba-tiba ia menggerakkan tenaga dengan kaki dan tangan menekan tanah dan tubuhnya sudah meloncat untuk terjun ke jurang. Dia memilih hancur ke dalam jurang daripada menjadi korban perkosaan Thai-lek Sin-mo. Akan tetapi, lengan raksasa itu sudah menyambarnya.

"Ha-ha-ha, tidak boleh, Manis!" kata raksasa itu dan membawa tubuh Yan Cu ke tempat tadi, merebahkan di atas rumput dan dia sendiri berlutut. Yan Cu memejamkan mata, tak tertahan lagi ia terisak menghadapi saat yang mengerikan itu.

"Keparat, lepaskan dia!" Tiba-tiba Cong San muncul dan mengirim pukulan dari belakang.

"Aihhh!" Cong San terkejut dan cepat meloncat bangun sambil menangis. Ke dua lengan mereka bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar hebat sekali.

Untung bahwa Cong San tidak terlambat datangnya dan bahwa Thai-lek Sin-mo hendak mempermainkan dulu korbannya sehingga gadis itu terhindar daripada perkosaan. Ketika tadi melihat Thai-lek Sin-mo melarikan Yan Cu, Cong San cepat berkelebat keluar, kaki tangannya bergerak cepat merobohkan empat orang penjaga di depan pintu kamar tahanan sehingga mereka roboh tanpa sempat berteriak lagi, kemudian Cong San menyelinap keluar, mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk meloncat-loncat dan menyelinap di antara pohon-pohon mengejar Thai-lek Sin-mo. Kalau saja dia tidak mendengar suara Thai-lek Sin-mo tertawa-tawa, agaknya akan sukar baginya untuk dapat menyusul dengan cepat.

Ketika melihat raksasa itu berlutut dan Yan Cu menangis, kemarahan membuat dada Cong San seperti hendak meledak maka dia langsung mengirim pukulan yang dapat ditangkis oleh raksasa gendut itu.

"Tar-tar-tarrr...!" Thai-lek Sin-mo sudah melolos cambuk bajanya menyerang Cong San. Raksasa gendut ini marah sekali karena dalam saat terakhir kerika dia hendak menikati korbannya muncul pemuda ini yang sama sekali tidak disangkanya. Dia tidak sempat lagi menyelidiki bagaimana pemuda itu dapat terlepas dan muncul, kemarahan membuat dia gelap mata dan langsung menyerang kalang kabut dengan sambaran pecut bajanya yang lihai.

Cong San bertangan kosong. Kedua macam senjatanya, yaitu senjata rahasia Touw-kut-chi (Uang logam Penebus Tulang) dan sepasang Im-yang-pit telah dirampas musuh. Namun pemuda gemblengan ketua Siauw-lim-pai ini bersikap tenang dan tabah. Melihat gulungan sinar hitam dari pecut baja lawan yang menyambar-nyambar, dia lalu mengerahkan ginkangnya, melesat ke kanan kiri dan berusaha membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan dekat.

"Yap Cong San manusia hina! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Terdengar Yan Cu memaki, menahan isak. Hatinya masih panas sekali mengingat akan sikap Cong San dalam kamar tahanan tadi yang seolah-olah tidak memperdulikan nasibnya malah memberi nasihat kepada raksasa gendut untuk melarikannya dan memperkosanya di dalam hutan.

Sambil meloncat tinggi mengelak sambaran pecut yang menyerampang kakinya, Cong San membela diri terhadap makian gadis yang menjatuhkan hatinya itu, "Harap jangan salah sangka, Moi-moi. Aku sengaja memancing dia ke tempat sunyi ini agar dapat menolongmu tanpa gangguan musuh-musuh yang lain!"

"Oohhh... maaf... maaf...!" Yan Cu kini terisak lagi seperti tadi, hanya bedanya, kini ia terisak karena menyesal akan dugaannya yang keliru sehingga dia memaki pemuda itu, dan karena girang mengharapkan pertolongan.

Mendengar isak tangis gadis itu, Cong San mendapat semangat baru dan gerakkannya makin lincah. Ketika cambuk itu dengan suara bercuitan menyambar lehernya, dia mengerahkan sinkang, membiarkan ujung cambuk baja membelit leher, namun secepat kilat dia menangkap cambuk dan kedua kakinya mengirim tendangan berantai ke arah pusar dan tangan lawan yang memegang cabuk. Gerakannya cepat sekali, juga amat kuatnya. Dalam hal ilmu silat, memang pemuda ini masih menang setingkat dibandingkan lawannya, menang cepat dan ilmu silatnya lebih murni, gerakannya lebih teratur, hanya dalam hal tenaga dia kalah sedikit.

Menghadapi tendangan yang susul-menyusul amat cepatnya ini, Cou Seng terkejut dan mengeluarkan gerengan dahsyat ketika dia terpaksa melepaskan gagang cambuk untuk menyelamatkan pergelangan tangannya dari sebuah tendangan kilat. Cong San cepat melepaskan cambuk dan melempar cambuk itu jauh dari tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba lawannya yang bertubuh gemuk bundar itu sudah menubruknya dan tahu-tahu kedua lengan yang berbulu dan besar telah memeluk pinggangnya. Betapapun Cong San mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terangkat ke atas dan di banting!

"Brukkk!’ Tubuh Cong San terguling-guling dan kembali raksasa gendut itu menubruk. Namun sekali ini Cong San yang merasa sakit-sakit pinggul dan punggungnya, telah siap dan kakinya menendang dari bawah.

***

"Desssss!" Tubuh Cong San yang sedang menubruk maju itu kena ditendang dadanya. Raksasa itu terbatuk-batuk dan napasnya seperti kan putus. Ternyata dia kuat sekali karena ketika Cong San meloncat bangun dan memukul ke arah ulu hatinya dengan pukulan keras, raksasa itu masih dapat mengelak miring dan tahu-tahu lengan kanan Cong San sudah ditangkapnya. Dengan jurus ilmu gulat yang tidak dikenal Cong San, tahu-tahu lengan itu dipelintir dan tubuh Cong San sudah ditelikung, hendak dipatahkan sambungan lengan dari pundaknya! Cong San merasa betapa pundaknya nyeri bukan main. Cepat dia membalik, mengendorkan lengan kanan yang hendak dipatahkan, jari tangan kirinya menyambar dan menotok pinggang lawan karena keadaan tubuhnya sudah dihimpit ke bawah. Sedetik saja dia terlambat tentu sudah terlepas sambungan lengannya dari pundak! Totokan itu membuat tubuh Cou Seng tiba-tiba lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cong San untuk merenggut lengannya terlepas, kemudian secepat kilat dia menamparkan tangan kirinya ke arah kepala lawan yang masih lemas dan belum pulih kekuatannya itu.

Kalau tamparan itu mengenai sasaran, betapa pun kebal tubuh Cou Seng, tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, Cou Seng bukanlah seorang lemah dan dia sudah mengalami banyak perkelahian mati-matian. Biar pun kepalanya pening dan tubuhnya lemas akibat totokan di pinggangnya tadi, melihat datangnya tamparan, dia merasa sempar melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan sehingga jalan darahnya pulih kebali. Ketika Con San meloncat mengejar dan mengirim tendangan, tangan kirinya menyambar. Ia memang ahli dalam ilmu gulat yang menggunakan kecepatan gerak jari tangan untuk menangkap bagian tubuh lawan. Kini jari-jari tangan kirinya berhasil menangkap tumit kaki Cong San yang menendang, lalu menggunakan tenaga sentakan karena untuk memegang terlalu lama pun berbahaya baginya.

Cong San mengeluarkan seruan kaget. Untuk menjaga kakinya yang bisa terkilir atau bahkan patah, dia tidak melawan, bahkan mengikuti gerak putaran lawan sehingga tubuhnya terbanting ke kiri. Terbanting keras namun cepat dia melanjutkan bantingan itu dengan loncatan ke atas terjungkir balik beberapa kali. Setelah dia meloncat turun, dia melihat Cou Seng sudah lari. Celaka, pikirnya, kalau setan itu memanggil kawan-kawannya, dia dan Yan Cu akan tertawan kembali! Cepat dia mengambil sebuah batu dan dengan kepandaiannya menyambitkan senjata rahasianya, batu itu melayang ke arah tubuh Cou Seng.

"Aduhhh...!" Tubuh raksasa itu terguling. Cong San cepat meloncat dekat dan hampir saja dia menjadi korban tipu muslihat Thai-lek Sin-mo. Ketika pemuda ini membungkuk, tiba-tiba kedua tangan raksasa itu menyambar ke atas hendak mencekik lehar.

"Aihhh...!" Cong San cepat menggunakan tangannya, bukan menangkis karena dia sudah maklum akan kekuatan kedua tangan yang sudah menyentuh kulit lehernya sehingga tangkisan mungkin takkan menyelamatkan lehernya yang tentu akan remuk oleh cengkeraman lawan. Sebaliknya dia menggunakan kedua lengan lawan dekat siku. Pemuda murid Siauw-lim-pai ini memang ahli totok jalan darah karena sepasang senjatanya, Im-yang-pit memang merupakan senjata untuk menotok. Tentu saja totokannya tepat mengenai sasaran sehingga kedua lengan lawan menjadi lumpuh dan cekikan itu pun terlepas.

Cou Seng memang hebat sekali ilmu gulatnya. Kedua lengannya sudah lumpuh untuk sementara, akan tetapi kedua kakinya tidak dan sebelum Cong San tahu apa yang akan dilakukan oleh jago gulat yang lihai ini, tahu-tahu kedua kaki raksasa gendut itu sudah membelit dan "menggunting" kedua kakinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terguling menindih tubuh Cou Seng.

Hebatnya, raksasa gendut ini biarpun perutnya gendut seperti kerbau, ternyata gerakan tubuhnya di atas tanah cepat bukan main karena begitu lawan roboh karena dia "sengkelit" kakinya, dia sudah menggulingkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya sendiri yang besar dan berat sudah menidih malang pada tubuh Cong San!

Dalam keadaan rebah tertelungkup ditindih tubuh sebesar Thai-lek Sin-mo yang masih menggunakan tenaga itu sama saja dengan ditindih tubuh seekor gajah sehingga Cong San sampai tak mampu berkutik! Masih untung bagi murid Siauw-li-pai itu bahwa kedua tangan lawannya masih setengah lupun, karena kalau kedua tangan lawannya sudah pulih tenaganya, dalam keadaan tertelungkup dan terhimpit itu tentu saja lawannya akan dapat mengirim pukulan maut dengan amat mudahnya! Cong San cepat menjangkau untuk meraih dan memukul, akan tetapi jago gulat itu sudah memperhitungkan ini sehingga dia menghimpit tubuh bagian bawah lawan, dan kedua tangan Cong San tidak dapat memukulnya. Dalam keadaan amat berbahaya ini, Cong San tidak memperdulikan lagi akan penuturan kaum persilatan karena lawannya pun menggunakan ilmu gulat. Ia mencengkeram ke atas dan berhasil menjambak rambut lawan yang terurai lepas, terus menarik rambut itu sekuatnya.

"Wadouuhhh...!" Kulit Thai-lek Sin-mo boleh jadi kebal, akan tetapi kalau akar-akar rambutnya hendak tercabut, sakitnya bukan kepalang dan terpaksa dia menjulurkan kepalanya agar tidak terlalu keras tertarik. Namun gerakannya inilah yang mencelakakannya karena kini tangan Cong San dapat bergerak cepat, melepas rambut dan jari tangannya di tusukkan ke ubun-ubun lawan.

"Crokkk!" Tiga buah jari tangan pemuda itu amblas memasuki batok kepala kurang lebih lima senti dalamnya, menembus otak. Teriakan dahsyat keluar dari mulut Cou Seng, tubuhnya berkelojotan dan nyawanya melayang. Cong San keluar dari himpitan tubuh berat itu, memandang dan setelah merasa pasti bahwa lawannya tewas, dia lalu lari menghampiri Yan Cu.

Melihat keadaan gadis yang telanjang bulat, Cong San cepat menyambar pakaian gadis itu dan dengan menahan debaran jantungnya serta menahan agar matanya tidak terlalu liar memandang tubuh itu, dia mengenakan pakaian pada tubuh Yan Cu sedapatnya. Yan Cu membantu sebisanya dengan gerakan tubuh karena kedua tangannya terbelenggu ke belakang sedangkan kedua kakinya masih terbelenggu pula.

"Kita harus cepat membuka belenggumu," bisik Cong San.

"Twako, maafkan aku..."

"Hushhh... sudahlah, aku yang salah, menggunakan akal kau keliru menyangka...!"

"Dan terima kasih atas pertolonganmu yang tak ternilai besarnya..."

"Ssttttt..., jangan ucapkan itu, Moi-moi. Yang penting sekarang bagaimana kita dapat mematahkan belenggu."

"Kau sendiri, bagaimana dapat meloloskan diri?"

"Dengan Ilmu Sia-kun-sin-hot, akan tetapi terlalu lama dan... ah...

"Eh, kau terluka, Twako?" Yan Cu bertanya kaget.

Cong San mengusap bibirnya yang berdarah. Memang dia terluka, luka di sebelah dalam tubuh yang dia derita dalam perkelahian mati-matian tadi. Selain luka dalam akibat bantingan dan pukulan, juga lehernya masih nyeri bekas libatan ujung cambuk baja, pundaknya agaknya terkilir ketika lengannya hendak dilepaskan dari pundak oleh lawan tadi.

"Luka tidak berarti, yang penting mematahkan belenggumu. Sayang kita tidak membawa senjata..." Cong San lalu pergi mengambil dua buah batu besar. Sebuah batu yang terbesar dia letakkan di atas tanah, kemudian dia minta supaya Yan Cu merebahkan tubuh miring sehingga kedua tangannya berada di dekat batu. Setelah mengatur agar belenggu tangan itu berada di atas batu, dia berbisik,

"Tahankanlah, Moi-moi, aku akan mencoba untuk mematahkan belenggu dengan batu ini!" Yan Cu mengangguk dan mulailah Cong San mengempur belenggu itu bertubi-tubi dengan batu yang dipegangnya kuat-kuat. Tentu saja tidak mungkin mematahkan belenggu besi dengan batu tanpa menggunakan tenaga sinkang dan untuk perkerjaan ini, Cong San mengerahkan seluruh tenaganya. Rasa sakit-sakit di tubuhnya bertambah dan keringat telah membasahi seluruh muka dan lehernya ketika akhirnya dia dapat juga mematahkan belenggu kedua tangan Yan Cu. Gadis ini pun bukannya tidak menderita. Setiap kali belenggu tangannya dipukul, rasa pedih dan panas menjalar dari pergelangan tangan seperti menusuk jantung. Maka begitu kedua tangannya terlepas, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan ia membenamkan mukanya di dada yang basah oleh keringat.

"Eh...! Ah...! Belenggu kakimu, Moi-moi...!" Cong San tidak tahu mana yang lebih membingungkan hatinya, rangkulan kedua lengan itu ataukah belenggu kaki Yan Cu yang belum patah! Untuk menyembunyikan kebingungannya, Cong San lalu mulai hendak mematahkan belenggu kaki dengan batu tadi sungguhv pun tenaganya sudah hampir habis dan dadanya terasa sasak. Karena kaki gadis itu agak jauh dari batu yang dipakai landasan, maka Cong San memegang pergelangan kaki gadis itu untuk di dekatkan dengan batu.

"Plakkk!" Cong San terkejut sekali karena tangannya yang memegangi kaki itu ditampar. Lebih kaget lagi ketika dia menengok, dia melihat pandang mata gadis itu penuh kemarahan.

"Yap-twako, apakah engkau juga menjadi kurang ajar?!"

Cong San terbelalak kaget, "Apa...??"

"Kau meraba-raba kaki, mau apa?"

"Eh... ohhh ... aku... aku hendak mematahkan belenggu kakimu..."

Sejenak pandang mata gadis itu menatapnya tajam penuh selidik, kemudian tersenyum dan merangkul pundak pemuda itu, melonjorkan kakinya, dan berkata lirih,

***

"Maafkan aku... ah. Aku selalu berprasangka buruk terhadap dirimu, Twako. Lakukanlah... dan... terima kasih."

Hemmm, sungguh gadis yang aneh dan... Menggemaskan, pikir Cong San. Bukan gemas marah, melainkan gemas mengkal membuat orang ingin mencubitnya! Gadis itu merangkul lehernya, kini merangkul pundaknya dan meletakkan pipinya di atas pundaknya, semua itu dilakukan dan tidak apa-apa. Sedangkan dia, baru meraba kaki karena hendak mematahkan belenggu saja, tangannya ditampar dan disangka kurang ajar! Aturan mana ini? Mau menang sendiri saja! Dengan hati gemas Cong San lalu memukuli batu yang dipegangnya pada belenggu kaki dan karena besi belenggu itu lebih besar daripada belenggu tangan, tentu saja lebih sukar dipatahkan. Namun dia bekerja terus, tidak sadar betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata sayu, tidak merasa betapa keringatnya bercucuran dari dagu dan lehernya.

"Twako...!"

Suara itu terdengar dekat sekali dengan telinga, bisikan yang menghembuskan napas halus ke kuduknya. "Hemmm...?" Cong San tidak menghentikan usahanya mematahkan belenggu, menghantam terus sampai telapak tangannya lecet-lecet berdarah.

"Kenapa engkau begini baik terhadapku, Twako?"

"Hemmm....?" Kini Cong San menghentikan hantamannya pada belenggu kaki itu dan melirik ke kanan, ke arah pundaknya di mana gadis itu meletakkan pipinya. Tiba-tiba jantung pemuda ini berdebar keras. Wajah itu begitu dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas hangat di pipinya, dan pandang mata itu begitu lembut, jari-jari tangan yang halus itu kini mengusap peluh dari lehernya, begitu mesra!

"Moi-moi, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku bersedia membela dan melindungi dengan taruhan nyawaku."

"Aku tidak menanyakan hal itu, Twako. Yang aku ingin ketahui adalah mengapa engkau amat baik terhadap aku?’

Benar-benar gadis yang aneh. Apa bedanya? Jawaban tadi bukankah sudah menjelaskan isi hatinya? Diam-diam Cong San tersenyum di dalam hatinya. Hemmm, agaknya gadis ini menghendaki jawaban yang langsung. Baiklah!

"Aku akan selalu bersikap baik terhadap dirimu, Moi-moi, selama hidupku, karena aku cinta padamu, Moi-moi."

"Benarkah Twako? Benarkah engkau mencintaku? Sungguh-sungguh?"

Hemmm! Betapa mengemaskan! Cong San menarik napas panjang. "Tentu saja, Moi-moi, tentu saja sungguh-sungguh. Aku berani bersumpah!" Ketika dia memberanikan diri untuk bertanya, "Dan bagaimana tanggapanmu, Moi-moi?"

"Apa? Tanggapan bagaimana?"

Hemmm, bocah ini! Ingin Cong San mencubit bibir yang bertanya seperti orang yang pura-pura tidak mengerti itu.

"Bagaimana dengan hatimu? Dapatkah aku menerima cinta kasihku? Apakah... Apakah mungkin seorang gadis jelita seperti engkau mencintaku?"

Yan Cu membelalakkan matanya dan merenggangkan matanya dari atas pundak Cong San, tidak tahu betapa gerangan itu amat mengecewakan hati pemuda itu. Cinta? Apa sih cinta itu, Twako?"

"Cinta ya cinta! Bagaimana, Moi-moi? Bagaimana perasaan hatimu terhadap diriku? Apakah engkau juga cinta kepadaku?"

Yan Cu mengeleng-geleng kepala, membuat hati Cong San seperti tertindih anak gunung. "Sampai kini pun aku belum mengerti jelas bagaimana cinta itu sebenarnya, Twako. Karena belum mengerti, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu itu?"

Cong San menarik napas panjang, hatinya tidak seberat tadi akan tetapi tetap saja dia masih belum puas, merasa seperti tergantung di awang-awang, tenggelam tidak terapung pun belum! Kemudian dia teringat akan pekerjaannya dan tanpa berkata apa-apa dia lalu melanjutkan menghantam belenggu kaki dengan batu sekuat tenaga.

"Yap-twako, kau marah?"

"Hemmm? Tidak.." Akan tetapi hantamannya makin keras saja.

"Biar kugantikan kau, Twako. Lihat tanganmu sudah lecet-lecet. Kasihan engkau, Twako."

Suara lembut ini merupakan kompres yang mendinginkan hati Cong San. Akan tetapi pada saat dia hendak menyerahkan batu itu kepada Yan Cu, tiba-tiba dia meloncat bangun dengan kaget. Juga Yan Cu meloncat berdiri, lupa bahwa kakinya masih terbelenggu sehingga dia hampir terguling kalau tidak disambar lengannya oleh Cong San. Ternyata di depan mereka telah berdiri Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, dua orang di antara Empat Datuk Golongan Sesat yang sakti! Namun, melihat dua orang musuh ini, Cong San berteriak keras dan menyerang dengan nekat ke arah Pat-jiu Sian-ong, menggunakan batu yang dipegangnya. Pat-jiu Sian-ong menangkis dengan tangan kiri. Batu ini hancur bertemu dengan tangan Pat-jiu Sian-ong dan Cong San yang sudah kehabisan tenaga itu terhuyung, kemudian roboh terkena tepukan tangan kakek kecil itu pada pundaknya. Yan Cu yang kakinya masih terbelenggu akan tetapi kedua tangannnya sudah bebas itu pun secara nekat telah meloncat ke kedua tangannya. Hebat pukulan gadis ini, akan tetapi yang diserangnya adalah seorang tokoh yang menjadi datuk hitam. Kalau saja dia tidak terbelenggu kakinya, mungkin dengan kepandaiannya yang sudah amat tinggi itu Yan Cu akan dapat melawan. Akan tetapi kini gerakannya kaku dan sebuah tamparan dari samping seperti raksasa dengan kulit hitam arang itu membuat Yan Cu terlempar dan terbanting di dekat Cong San. Sebelum dua orang muda itu sempat bergerak, ujung jari tangan kedua kakek itu telah menotok mereka lumpuh dan dengan mudah dua orang kakek itu mengempit tubuh mereka dan dibawa kembali ke dalam benteng!

Demikianlah keadaan dua orang muda itu yang kini sudah berada di dalam kamar tahanannya kembali. Mereka di lempar ke dalam kamat tahanan dan setelah Yan Cu dapat bergerak lagi, biar pun kedua tangannya kini telah dipasangi belenggu baru, gadis ini cepat menghampiri Cong San yang masih pingsan dan menggunakan pengertiannya tentang pengobatan untuk merawat pemuda itu memulihkan tenaga serta mengobati luka-luka di dalam tubuh yang tidak membahayakan nyawanya namun memerlukan perawatan yang teliti.

Peristiwa itu terjadi sehari sebelum Cui Im mengunjungi kamar tahanan Keng Hong dan membawa Biauw Eng ke kamar pemuda itu. Dia sengaja membohong dan menceritakan bahwa dia telah menghadiahkan Yan Cu kepada Thai-lek Sin-mo, tidak mengatakan bahwa kawannya itu telah tewas di tangan Cong San. Setelah membuat Keng Hong dan Biauw Eng menjadi gelisah memikirkan keselamatan Yan Cu dan Cong San, Cui Im bertepuk tangan lagi dan muncullah kedua orang murid Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to.

"Panggil dua ekor babi itu ke sini!"

Dua orang murid Pat-jiu Sian-ong itu saling pandang. Jelas mereka merasa kecewa dan ragu-ragu dan memang sayang sekali kalau Biauw Eng yang demikian cantik jelita hanya diberikan kepada dua orang anggauta anak buah benteng itu yang tingkatnya paling rendah! Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah dan cepat pergi. Tak lama keudian muncullah dua orang laki-laki bangsa Mongol yang setengah liar. Tubuh mereka tinggi besar dengan otot-otot menonjol pada kaki tangan dan dada mereka yang bertelanjang. Hanya sehelai cawat yang kecil kotor saja menutup tubuh mereka, tubuh yang kulitnya retak-retak seperti kulit buaya, kering keras dan kasar. Muka mereka buruk sekali, dengan mata sipit yang dilebar-lebarkan, mulut yang tak dapat tertutup rapat. Kedatangan mereka berdua ke dalam kamar itu membawa bau yang apek dan tidak enak.

Agaknya mereka telah diberi tahu sebelumnya akan tugas mereka, karena begitu memasuki kamar, mereka langsung memandang ke arah Biauw Eng dan tertawa-tawa ha-ha-he-he-he seperti sikap orang yang tidak normal pikirannya. Akan tetapi, betapa pun bodohnya, kedua orang liar kasar ini agaknya takut kepada Cui Im dan mereka hanya berdiri menghadapi Cui Im sambil menanti perintah.

Cui Im menoleh kepada Keng Hong dan hatinya yang penuh kebencian itu menjadi girang menyaksikan betapa wajah Keng Hong yang biasanya tenang itu kini berubah, memandang ke arah dua orang pria itu dengan penuh kengerian dan kebencian, juga ia gembira sekali melihat betapa wajah Biauw Eng pucat ketika pandang mata gadis itu tertuju kepada dua orang laki-laki setengah telanjang itu.

"Hi-hi-hik, Biauw Eng. Boleh jadi engkau tahan siksaan dan tidak takut mati, akan tetapi kuat dan beranikah engkau menghadapi kedua ekor babi hutan ini yang akan memperkosamu sampai mati di depan pandang mata kekasihmu, Keng Hong?"

Biauw Eng menggeleng-geleng kepala kuat-kuat dan bibirnya mengeluarkan suara gemetar.

Cui Im tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-heh-heh-heh, Sie Biauw Eng yang terkenal sebagai seorang wanita tak pernah mengenal takut, yang berwatak dan berdarah dingin seperti mayat hidup, sekarang baru mengenai artinya takut dan baru ngeri hatinya. Hi-hi-hik, alangkah lucunya!"

"Bhe Cui Im!" Suara bentakan Biauw Eng terdengar melengking dan mengandung hawa dingin yang mengejutkan Cui Im. Suara ini mengingatkan dia akan masa dahulu ketika ia masih menjadi suci dari gadis itu dan ketika tingkat kepandaiannya masih jauh berada di bawah Biauw Eng sehingga dia tunduk kepada sumoinya. Ia memandang dan melihat sinar mata Biauw Eng yang mengandung keberanian luar biasa seperti dahulu.

***

"Cui Im, jangan kira bahwa aku merasa takut atau ngeri menghadapi rencanamu yang keji. Engkau tahu bahwa dengan kepandaianku, aku dapat membuat tubuhku seperti mati dan apa pun yang akan dilakukan orang terhadap tubuhku, tidak akan dapat menyentuh perasaan hatiku. Akan tetapi, aku kasihan kepada Keng Hong yang akan menyaksikannya Cui Im, apa sih untungmu menyiksa kami seperti ini? Kalau memang sudah tidak ada jalan lain, kau bunuh saja kami."

Diam-diam Cui Im menjadi makin marah dan habislah harapannya untuk dapat memaksa Keng Hong agar memberikan ilmu yang diinginkannya. Maka ia tangannya kepada dua orang raksasa telanjang itu. Kedua orang Mongol ini saling pandang, menyeringai seperti dua ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang. Melihat ini, Cui Im cepat berkata, "Bedebah! Jangan berebut, lakukan berdua dengan kerja sama yang baik!"

Dua orang raksasa itu menjadi takut dan mereka bergerak perlahan menghampiri pembaringan di mana tubuh Biauw Eng rebah terlentang. Setelah dekat dengan pembaringan dan Biauw Eng yang sudah putus asa itu telah memejamkan mata dan menggunakan kepandaiannya untuk mematikan segala panca indera, dua pasang lengan yang panjang lengan yang panjang dan jari-jari tangan yang besar dan kasar itu bergerak hendak menjamah tubuh Biauw Eng, hendak merenggut lepas pakaian gadis sebagai langkah pertama kedua orang laki-laki liar yang melaksanakan tugas penuh gairah itu.

"Tahan! Kalau tangan-tanganmu yang kotor menyentuh gadis itu, kalian akan mampus!" bentak Keng Hong yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sepasang matanya memandang seperti mengeluarkan api bernyala-nyala kepada kedua orang raksasa Mongol. Kedua orang itu terkejut mendengar suara yang mengandung khikang kuat dan amat berwibawa itu, akan tetapi ketika mereka menoleh dan melihat betapa Cui Im hanya tertawa mengejek, mereka pun tertawa lalu melanjutkan gerakannya yang tertunda. Seorang meraih baju, seorang lagi meraih celana.

"Krakkkkk-krakkkkk!" Tiba-tiba terdengar suara keras, belenggu tangan dan kaki Keng Hong hancur berantakan dan tubuhnya sudah mencelat ke depan. Saking kagetnya menyaksikan hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu, Cui Im hanya memandang terbelalak melihat betapa tubuh Keng Hong sudah berkelebat maju, kedua tangannya menjambak rambut kepala dua orang raksasa itu dan sekali gerak, dia sudah membenturkan dua buah kepala itu satu sama lain sehingga terdengar suara keras dan dua buah kepala itu pecah berhamburan! Tanpa bersambat lagi dua orang raksasa Mongol itu tewas seketika. Demikian cepat gerakan Keng Hong sehingga kedua orang itu sama sekali tidak sempat untuk membela diri.

Keng Hong meraba belenggu kaki tangan Biauw Eng dan beberapa kali renggutan dengan pengerahan sinkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi, belenggu pada kaki tangan Biauw Eng patah-patah.

"Lekas kau pergi menolong mereka..." Keng Hong berkata sambil cepat membalikkan tubuh menghadapi Cui Im. Biauw Eng mengerti apa yang dimaksudkan Keng Hong, maka dia lalu meloncat keluar melalui pintu kamar tahanan itu, membiarkan Keng Hong yang ia percaya penuh akan kelihaiannya untuk menghadapi Cui Im yang merupakan lawan terkuat. Biauw Eng maklum pula bahwa saatnya untuk memberontak dan melawan mati-matian telah tiba, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi. Begitu tiba di luar pintu kamar itu, empat orang penjaga yang datang karena kaget mendengar suara ribut-ribut, dirobohkan oleh Biauw Eng dalam sekejap mata, bahkan gadis itu lalu menyambar sebatang pedang yang dirampasnya dari seorang di antara mereka yang dirobohkannya.

Cui Im telah dapat menguasai hatinya yang sejenak mengalami guncangan saking kagetnya melihat Keng Hong tiba-tiba dapat membebaskan diri itu. Kini mengertilah ia bahwa selama ini Keng Hong hanya berpura-pura manjadi tawanan dan bahwa kalau dikehendaki, pemuda luar biasa itu setiap saat dapat membebaskan diri sendiri. Akan tetapi Cui Im tidak menjadi takut. Cepat ia mencabut pedang Siang-bhok-kiam, pedang kayu milik Keng Hong yang telah dirampasnya dan ia telah siap melawan Keng Hong dengan pedang itu.

"Hemmm... kiranya engkau telah mengatur semua rencana untuk menyelamatkan diri, Keng Hong. Jangan kira akan mudah saja!" Ia tertawa dan memandang Pedang Kayu Harum di tangannya lalu menyambung, "Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa akhirnya Cia Keng Hong, pewaris utama Siang-bhok-kiam, akan mati di ujung Siang-bhok-kiam sendiri!"

Setelah berkata demikian, Cui Im lalu menerjang maju dengan pedang digerakkan cepat sekali, mengirim serangan kilat ke arah tenggorokan Keng hong dengan ujung digetarkan dan siap melanjutkan serangan dengan goresan ke bawah untuk membelah dada! Hebat sekali penyerangan Cui Im ini, selain cepat, juga mengandung sinkang yang kuat sekali. Keng Hong meraba ke arah pusarnya dan ketika tangan itu diangkat ke atas, berkelebatlah sinar kehijauan menangkis pedang kayu di tangan Cui Im.

"Krekkkkkk!"

"Aihhh...!" Cui Im terkejut bukan main melihat Pedang Kayu Harum di tangannya itu hancur berkeping-keping ketika bertemu dengan pedang di tangan Keng Hong. Ketika ia memandang, hatinya makin terkejut melihat bahwa pemuda itu ternyata juga memegang sebatang pedang kayu yang serupa benar dengan pedangnya tadi. Teringatlah ia akan akal Keng Hong dahulu mengelabui para pimpinan Kun-lun-pai, dan tahulah ia bahwa pedang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong dan yang tadi ia pergunakan itu ternyata pun hanya sebatang Siang-bhok-kiam palsu saja, sedangkan Pedang Kayu Harum yang aslinya masih berada di tangan Keng Hong, disembunyikan di dalam celananya!

"Keparat, penipu busuk!" Cui Im menjerit penuh kemangkalan dan membuang gagang pedang kayu palsu, kemudian sekali tangannya bergerak, tampak sinar merah menyilaukan mata dan pedang merahnya yang terkenal telah berada di tangannya, kemudian langsung ia mengirim tusukan dengan pedang merahnya. Keng Hong cepat menangkis dan melanjutkan tangkisan dengan tusukan Siang-bhok-kiam dengan gerakan melengkung, mengarah ubun-ubun lawan.

"Cringgggg...!" Cui Im maklum akan bahaya maut ini maka cepat enangkis sekuat tenaga. Namun tetap saja ia merasa betapa tangan kanan sampai ia cepat-cepat meloncat mundur. Pada saat itu, dari pintu muncullah Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong. Tanpa banyak cakap lagi, dua orang kakek yang sudah maklum akan kelihaian Keng Hong, maju menerjang pemuda itu dengan senjata mereka.

Keng Hong tahu akan bahayanya dikeroyok tiga orang sakti ini, apalagi di tempat yang sempit. Sebenarnya, dia tidak merasa takut dan merasa yakin akan sanggup menandingi mereka, akan tetapi hatinya penuh kekhawatiran akan nasib tiga orang temannya, terutama sekali tentu saja nasib Biauw Eng. Karena ini, tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak cepat menangkis kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong dan pedang merah di tangan Cui Im yang menyerangnya. Sekaligus dia menangkis dua senjata lawan ini, akan tetapi dia pun waspasa terhadap serangan Pak-san Kwi-ong, maka tubuhnya cepat sekali bagaikan burung terbang melesat di antara dua buah tengkorak manusia yang menyambar-nyambar di ujung rantai yang dipegang kedua tangan kakek tinggi besar hitam itu. Sambil melesat di antara dua buah buah tengkorak. Keng hong memutar pedang dibantu tangan kiri yang mendorong dengan pukulan sinkang sehingga angin bercuitan menyambar tiga orang lawan dibarengi sinar kehijauan Siang-bhok-kiam.

Tiga orang lawannya yang memiliki ilmu tinggi cukup waspada, maka mereka melangkah mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat keluar pintu kamar tahanan.

Suara hiruk-pikuk beradu senjata menarik perhatiannya dan ke tempat itulah Keng Hong meloncat secepat kilat. Dugaannya benar. Di dalam sebuah kamar tahanan lain, dia melihat Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengamuk dikeroyok banyak tokoh musuh. Biauw Eng bersenjatakan pedang, Yan Cu juga agaknya sudah berhasil merampas pedang perkasa ini juga mengamuk menggunakan kaki tangannya.

Ketika tadi dibebaskan Keng Hong, Biauw Eng berhasil menemukan Yan Cu yang sedang merawat Cong San di dalam kamar tahanan. Biauw Eng merobohkan beberapa orang penjaga dan dengan senjata rampasannya ia berhasil pula mematahkan belenggu kaki tangan kedua orang teman itu. Akan tetapi mereka segera dikurung dan dikeroyok oleh Gu Coan Kok, Hok Ku, keempat Pak-san Su-liong yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang bersenjata rantai tengkorak, dan kemudian datang pula Thian-te Siang-to bersama tokoh-tokoh anak buah Pat-jiu Sian-ong sehingga di dalam kamar tahanan itu terjadi pertempuran yang hebat dan mati-matian.

Melihat keadaan tiga orang kawannya yang masih selamat biar pun telah terdesak hebat, Keng Hong menjadi lega hatinya. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi dan tubuhnya menerjang maju. Bobollah kepungan itu dan beberapa orang terpelanting oleh terjangan pemuda sakti ini yang terus melompat ke dalam sambil berseru,

"Kita terjang keluar! Cepat...!"

Namun pada saat itu Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong sudah datang, dalam pengejarannya terhadap Keng hong sehingga jalan keluar melalui pintu telah terhalang oleh tiga orang yang lihai ini. Pat-jiu Sian-ong menggeluarkan suara bersuit nyaring dan semua orang yang mengeroyok berloncatan keluar dari kamar itu.

"Awas jebakan...!" Keng Hong memperingatkan teman-temannya, akan tetapi mereka berada di dalam kamar yang dipagari musuh dengan senjata siap menyerang kalau mereka keluar, maka jalan keluar pada saat itu sama sekali tertutup. Terdengar suara keras dan tiba-tiba lantai kamar tahanan itu turun ke bawah!

Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu terkejut sekali, namun betapa pun tinggi kepandaian empat orang muda ini, mereka sama sekali tidak berdaya menyelamatkan diri dan terpaksa tubuh mereka ikut terbawa turun oleh lantai kamar itu. Ketika mereka memandang ke atas, ternyata lubang di atas telah tertutup dan mereka terjebak ke dalam sumur yang amat dalam dan gelap!

Cui Im membanting-banting kaki. "Sialan! Mereka telah menimbulkan kekacauan besar sehingga kita telah kehilangan tiga orang pembantu!"

"Hanya dua orang, Lian Ci Sengjin dan Thai-lek Sin-mo, bukan tiga orang," kata Pat-jiu Sian-ong menghibur. "Kita masih cukup kuat."

"Tiga orang," bantah Cui Im."Yang dua orang tewas, yang seorang, yaitu Sian Ti Sengjin tenggelam dalam kedukaan seperti orang kehilangan semangat."

"Kedukaannya akan dapat diatasinya," kata Pak-san Kwi-ong. "Yang patut disayangkan adalah terlepasnya harapan kita mendapat bantuan Go-bi Thai-houw."

"Lebih baik sekarang juga kita bergerak ke puncak. Siapa tahu akan terjadi perubahan yang merugikan. Pat-jiu Sian-ong, harap dipersiapkan barisan sekarang juga. Kita gempur mereka di puncak!"

"Mereka itu, bagaimana? Tanya tuan rumah yang menudingkan telunjuknya ke arah sumur jebakan di bawah kamar tahanan di mana empat orang muda itu terjeblos.

***

"Bunuh mereka! Hujani anak panah!" kata Pak-san Kwi-ong.

Cui Im menggeleng kepala. "Percuma. Mereka adalah orang-orang lihai. Mana mungkin anak-anak panah membunuh mereka? Sian-ong, apakah di dalam lubang itu tidak ada alat rahasia yang dapat membunuh mereka?’

Pat-jiu Siang-ong menggeleng kepala. "Tempat itu dibuat khusus untuk menjebloskan tawanan, bukan dimaksudkan untuk membunuh."

"Hemmm, kalau begitu kita pergunakan cara yang paling menyakitkan, biar pun agak lama akan tetapi pasti Keng Hong tidak mampu melawannya, yaitu membiarkan mereka mati kelaparan dan kehausan. Akan tetapi, tempat ini harus diteliti agar tidak sampai mereka bobol."

Pat-jiu Sian-ong tertawa. "Ha-ha-ha! Jangankan manusia, biar gajah sekali pun kalau sudah terjeblos di situ takkan mampu lolos. Dindingnya terbuat dari baja, dan tidak ada cara untuk meloncat ke atas karena bagian atas tertutup pula oleh lapisan baja yang tebal."

Demikianlah setelah mengadakan perundingan, Cui Im dan kawan-kawannya lalu memimpin pasukan untuk menyerang ke puncak tai-hangsan di mana berkumpul tokoh-tokoh partai besar yang menetang mereka. Sian Ti Sengjin memerintahkan anak buah Phu-niu-san yang ikut bersama dia dan mendiang sutenya, akan tetapi dia sendiri tinggal di benteng itu, pertama untuk mengabungi kematian sutenya, ke dua untuk membantu penjagaan kalau-kalau para tawanan akan meloloskan diri. Cui Im menyetujui permintaannya, pertama karena kepandaian bekas tokoh Kun-lun-pai ini pun baginya tidaklah amat dibutuhkan, ke dua karena memang perlu ada orang pandai yang membenci Keng Hong ikut pula menjaga agar tawanan tidak sampai lolos. Dan dia tahu betapa bencinya bekas tokoh Kun-lun-pai ini kepada Keng Hong, karena bukankah pemuda itu yang telah menyeret kedudukannya yang tinggi di Kun-lun-pai?

Menjelang pagi, rombongan ini berangkat dan mereka yang ditinggalkan di benteng melakukan penjagaan di sekitar benteng, dan Sian Ti Sengjin sendiri tidak pernah meninggalkan bekas kamar tahanan yang kini menjadi sumur atau kuburan bagi empat orang muda yang terjeblos.

Keng Hong dan tiga orang temannya tidak mudah putus asa. Di bawah pimpinan Keng Hong, mereka melakukan segala usaha untuk mencari jalan keluar. Mereka memeriksa dinding, mencoba untuk meloncat ke atas mendobrak penutup di bagian atas. Namun semua usaha sia-sia belaka dan akhirnya mereka berempat harus mengakui bahwa sekali ini mereka benar-benar tidak berdaya.

"Agaknya kita akan terkubur hidup-hidup di tempat ini sampai mati," kata Biauw Eng dengan suara tenang.

"Kalau benar Tuhan menghendaki demikian, aku tidak menyesal, Biauw Eng. Hidup atau pun mati, aku tetap akan merasa bahagia karena ada engkau di sampingku."

Hening sejenak di tempat gelap dekat itu, kemudian terdengar suara Biauw Eng lirih, "Setelah mendengar penuturan Cui Im, baru aku sadar betapa engkau amat baik kepadaku, Keng Hong. Engkau terlalu baik untukku..." Ia menahan ucapannya seolah-olah baru teringat bahwa ada dua pasang telinga lain yang mendengarkan percakapan mereka. Maka Biauw Eng diam saja dan hanya menyambut jari-jari tangan Keng Hong yang dalam gelap itu mencengkeram tangannya dan membalas dengan tangan yang menggetarkan perasaan kasih mesra.

Di sudut lain dari sumur itu, Cong San memegang tangan Yan Cu dan berbisik,

"Aku sependapat dengan Keng hong, Moi-oi. Aku tidak menyesal, biar sampai mati sekalipun, asal bersama engkau."

"Ssttt... Didengar orang. Malu...!" Bisik Yan Cu akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya.

Tanpa berkata-kata, dua pasang orang muda itu saling berpegang tangan di dalam gelap. Cong San berbahagia karena sungguhpun gadis yang dicintanya belum melakukan pengakuan dengan mulut, namun dia merasa yakin bahwa Yan Cu sendiri masih ragu-ragu, mencari-cari, karena hatinya masih bimbang apakah dia mencinta Cong San ataukah mencinta Keng Hong. Keduanya merupakan pemuda yang sepenuhnya memenuhi syarat untuk dicinta, keduanya sama berharga, akan tetapi mengingat bahwa Keng Hong jelas mencinta Biauw Eng, agaknya terpaksa harus menjatuhkan pilihan hatinya kepada murid Siauw-li-pai yang perkasa ini.

Adapun Keng Hong dan Biauw Eng yang duduk sambil berpegang tangan, mengenang semua peristiwa yang mereka alami. Masing-masing mengaku betapa mulia hati orang dicinta sehingga timbul perasaan aneh, yaitu baik diri sendiri kurang berharga untuk menjadi jodoh masing-masing. Diam-diam Biauw Eng merasa betapa orang seperti Keng Hong lebih tepat menjadi suami seorang gadis cantik jelita dan bersih seperti Yan Cu, tidak seperti dia, seorang puteri tokoh dunia hitam, seorang yang pernah menerima cinta kasih laki-laki , yaitu Sim Lai Sek. Di lain fihak, Keng Hong juga menyesal sekali atas semua kelakuannya yang sudah-sudah, merasa betapa dia sama sekali tidak berharga untuk mempersunting seorang gadis sehebat Biauw Eng!

Demikanlah, di dalam sumur maut ini, di mana nyawa mereka tergantung di ujung rambut, tidak ada jalan keluar dan tidak ada harapan untuk hidup, hanya menanti datangnya maut entah secara bagaimana, terjadi getaran-getaran dari perasaan empat orang muda itu, empat orang muda yang dibuai oleh cinta kasih. Mereka itu sama sekali tidak memikirkan akan keadaan mereka, tidak ingat bahwa mereka akan mati, sehingga sia-sia belaka segala cita-cita mereka. Maka terbuktilah kekuatan cinta yang maha hebat, yang mengalahkan maut sendiri. Dengan senjata cinta kasih di hati, manusia sanggup menghadapi maut dengan senyum ikhlas di mulut!

Tan Hun Bwee melakukan perjalanan dengan susah payah, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang merangkak, dalam keadaan terluka parah, dengan anak panah masih menancap di perutnya dan darah menetes-netes sepanjang jalan. Namun mulutnya tak pernah berhenti berbisik, "Aku harus menolong mereka... harus menyelamatkan mereka... Ketetapan hati untuk dapat menolong empat orang muda terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng inilah agaknya yang menolong empat orang muda terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng inilah agaknya yang memperkuat tekadnya, yang menimbulkan daya tahan luar biasa sehingga gadis yang terluka parah ini masih mampu merayap dan mendaki puncak Tai-hang-san selama tiga hari tiga malam tanpa mengaso!

Di puncak Tai-hang-san, bertempat di pondok yang dahulu dibangun oleh seorang pertapa yang kini telah meninggal dan merupakan pondok kosong yang tidak terpakai lagi, berkumpullah tokoh-tokoh partai persilatan dan tokoh-tokoh kang-ouw untuk membicarakan keadaan pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw yang kini mengalami perubahan besar. Sementara Kaisar Yung Lo merebut kekuasaan mengalahkan keponakannya sendiri dan naik tahta kerajaan sebagai Kaisar Beng-tiauw pada tahun 1403, dan dipindahkan kota raja ke utara, maka terjadilah perubahan besar dan perang saudara terhenti. Akan tetapi, melihat betapa kaum sesat kini mulai mengulurkan tangannya mencari pengaruh di antara para pembesar kerajaan, bahkan ada yang menyusup ke istana kaisar, para tokoh partai besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw merasa gelisah. Munculnya tokoh-tokoh kaum sesat ini sudah pasti akan menimbulkan kekacauan, apalagi kalau mereka itu ditunggangi oleh kaum pemberontakan, yaitu mereka yang diam-diam masih bersetia kepada raja yang dikalahkan. Biarpun pada lahirnya mereka ini tidak bergerak, namun diam-diam mereka dapat melakukan gerakan di bawah tanah dan bersekongkol dengan tokoh tokoh kaum sesat.

Inilah yang menyebabkan para tokoh partai besar mengadakan perundingan dan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Pada waktu itu, banyak sudah tokoh kang-ouw yang hadir, tidak kurang dari lima puluh orang wakil-wakil partai besar dan perorangan yang bersepakat untuk mengirim utusan menghadap kaisar agar berhati-hati dan tidak mempergunakan tenaga tokoh-tokoh sesat. Di dalam pertemuan ini, hadirnya utusan-utusan yang merupakan tokoh-tokoh penting. Dari Siauw-lim-pai hadir Thian Kek Hwesio yang berwatak kasar dan jujur bersama tiga orang tokoh-tokoh lebih muda, dari Hoa-san-pai hadir kedua kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu mewakili ketua Hoa-san-pai. Dua orang kakek ini terkenal sebagai Hoa-san Siang-sin-kiam. Adapun dari partai Kong-thong-pai hadir empat orang kakek yang telah berjumpa dengan Keng Hong ketika mereka ini mendaki puncak, yaitu Kok Sian-cu, Kok Liong-cu, Kok Kim-cu dan Kok Seng-cu, keempat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin. Seperti telah diketahui, orang termuda dari mereka ini. Kok Cin-cu telah tewas dalam pertandingan melawan Biauw Eng. Dari Tiat-ciang-pang hadir ketuanya, Ouw-pangcu bersama tiga orang pembantunya, sedangkan dari Kun-lun-pai hadir pula empat orang sute dari Kiang Tojin yang menjadi ketua Kun-lun-pai. Di samping mereka ini masih terdapat belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang kesemuanya menentang kaum sesat dan mempunyai jiwa patriot pembela negara dan bangsa. Memang harus diakui bahwa dahulu, ketika terjadi perang saudara antara para pengikut Raja Muda Yung Lo dan keponakannya, banyak kaum kang-ouw menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri karena mereka segan untuk berusuhan dengan bangsa sendiri hanya untuk mendukung orang besar yang memperebutkan kedudukan. Akan tetapi sekarang lain lagi. Kaisar Yung Lo telah menjadi satu-satunya kaisar yang memimpin negara, maka kalau ada kaum sesat yang mengancam negara, mereka serentak bangkit untuk menentang kaum sesat.

***

Karena partai-partai besar lainnya hanya mengirim wakil sedangkan yang ketuanya hadir di situ hanya Kiang Tojin ketua Kun-lun-pai sebagai ketua yang besar dan terhormat, apalagi karena mereka semua tahu bahwa di antara yang hadir, Kiang Tojin kakek tua ini memiliki tingkat kepandaian yang paling tinggi, maka dialah yang menjadi pemimpin pertemuan itu.

Pada pagi hari itu merupakan pertemuan atau perundingan terakhir untuk memilih utusan dan membagi-bagi tugas. Selagi mereka itu berkumpul di depan pondok karena pondok itu sendiri terlalu kecil, dan duduk bersila di atas rumput membentuk lingkaran, tiba-tiba Kiang Tojin yang paling tajam pendengarannya mendengar suara yang luar biasa. Ia meloncat bangkit dan mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam. Kini jelas terdengar suara rintihan dari bawah puncak. Mendengar ini, Kiang Tojin meloncat dan lari ke arah suara itu, menuruni puncak, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya.

Yang merintih itu adalah Hun Bwee. Gadis yang terluka parah ini sambil memegangi batu dan mendekap perutnya, terengah-engah. Empat orang kakek Kong-thong-pai mengenal gadis ini yang mereka temui bersama Biauw Eng, maka cepat mendekat dan berseru,

"Bukankah Nona yang berjalan bersama Song-bun Siu-li tempo hari?"

Hun Bwee mengangguk, tubuhnya telah diangkat oleh Kiang Tojin dan diletakkan di atas rumput. Kakek ketua Kun-lun-pai ini maklum bahwa gadis itu tak mungkin dapat ditolong lagi, bahkan dia merasa heran mengapa dalam keadaan seperti itu, gadis itu agaknya masih mampu mendaki puncak.

"Lekas... tolong mereka... mereka tertawan oleh Ang-kiam Bu-tek dan kawan-kawannya..."

"Mereka siapa, Nona?" Kiang Tojin bertanya dengan sikap tenang setelah enotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaan gadis itu.

"Keng Hong... Biauw Eng... Yap Cong San dan Gui Yan Cu ... cepat tolong mereka... ditawan oleh Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong". Dan banyak sekali anak buah dan kawan mereka... cepat...

Kaget bukan main mereka semua mendengar keterangan ini, akan tetapi setelah mengeluarkan kata-kata yang sudah sekian lamanya ia tahan-tahan di hatinya, Hun Bwee menjadi lemas. Kiang Tojin terkejut mendengar bahwa Keng Hong ditawan, juga Thian Kek Hwesio dan teman-temannya terkejut mendengar nama Yap Cong San disebut-sebut.

"Di mana mereka? Di mana ditawannya?" Banyak mulut menghujankan pertanyaan ini, akan tetapi Kiang Tojin mengangkat tangannya dan mengurut leher dan dada gadis yang pingsan itu, atau lebih tepat lagi sudah sekarat.

Hun Bwee membuka matanya, bibirnya bergerak lemas akan tetapi yang keluar hanya bisikan lirih sekali, ...benteng... benteng... kemudian ia menghembuskan napas terakhir!

"Ahhh.... kiranya mereka yang menyelundup ke istana telah keluar semua dan berada di sini...!" kata Kiang Tojin kaget. Akan tetapi pada saat itu, ratusan batang anak panah menyambar ke arah sekumpulan orang gagah itu dari empat jurusan.

"Awas senjata rahasia...!" Kiang Tojin berseru dan semua orang gagah itu cepat mengelak, menangkis dan menangkap anak-anak panah yang menyambar. Kalau hanya diserang anak panah saja, mereka semua mampu melindungi diri. Ketika anak-anak panah berhenti menyambar, tampak oleh mereka betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang dan di sebelah depan muncul tokoh-tokoh kaum sesat yang mengejutkan mereka karena mereka itu adalah tokoh-tokoh terkenal yang amat lihai. Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im tersenyum-senyum menghampiri mereka, didampingi oleh Pak-san Kwi-ong, Pat-jiu Sian-ong, Thian-te Siang-to kedua murid Pat-jiu Sian-ong, empat orang tinggi besar Pak-san Su-liong, Gu Coan Kok si iblis cebol dan Hok Ku si raksasa bongkok!

Kiang Tojin yang bermata tajam maklum bahwa keadaan mereka terkurung dan terancam bahaya, namun dengan tenang dia lalu melangkah maju menghadapi Cui Im sambil berkata,

"Nona Bhe Cui Im, telah lama pinto mendengar akan nama besarmu sebagai Ang-kiam Bu-tek. Apakah maksud kedatanganmu yang datang-datang menyerang kami?"

Cui Im tertawa dan menunjuk kepada Thian Kek Hwesio. "Hi-hi-hik, Kiang Tojin, kau tanyalah kepada Hwesio Siauw-lim-pai itu, apakah dia tidak akan menyerangku kalau aku tidak mendahului menyerang."

"Iblis betina, pinceng akan mengadu nyawa denganmu!" Thian Kek Hwesio yang marah sekali melihat musuh besarnya sudah meloncat maju dan menyerang dengan jubahnya.

"Plak! Plak!" Dua kaki Cui Im menangkis dengan lengannya dan hwesio Siauw-lim-pai itu terhuyung mundur.

Kiang Tojin memegang lengan Hwesio itu, menyuruhnya bersabar, kemudian dia menghadapi Cui Im lagi dan bertanya, "Engkau belum menjawab pertanyaan pinto."

"Kiang Tojin engkau bertanya apa maksud kedatanganku? Jawablah dahulu apa maksud kalian berkumpul dan berunding di sini? Bukankah untuk menentang kami? Dari pada kalian susah-susah mencari kami di istana, kami mendahului kalian datang ke sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kami yang kalian yang mengangkat diri menjadi orang-orang gagah. Hi-hi-hik! Lihat baik-baik, kalian telah terkurung. Anak buah kami lebih dari dua ratus orang jumlahnya dan dengan mudah kami akan dapat membasmi kalian semua!"

"Hemmm, mengapa belum kau lakukan itu?" Kiang tojin bertanya, sikapnya masih tenang, karena tosu tua ini dapat menduga bahwa kalau kini Cui Im mengajak mereka bicara, tentu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari wanita muda yang amat cerdik ini.

"Aku tidak tergesa-gesa, Kiang Tojin. Aku akan menerima baik kalau saja kalian semua ini berjanji untuk tidak mencampuri urusan kami, bersumpah tidak akan menentang kami. Nah, bukankah hal ini berarti bahwa aku masih memandang persahabatan antara kaum persilatan. Kami hanya membutuhkan janji dan sumpah kalian untuk ditukar dengan nyawa kalian!"

Para orang gagah yang hadir di situ menjadi merah mukanya dan terdengar bentakan-bentakan marah menentang permintaan Cui Im itu. Bagi mereka semua, nama lebih berharga daripada nyawa dan tentu saja mereka tidak sudi untuk merendahkan nama mereka dengan tunduk dan bersekutu dengan golongan sesat hanya untuk menolong keselamatan mereka. Pula, biarpun dikurung, mereka tidak menjadi gentar dan bersedia untuk melawan mati-matian. Kiang tojin dapat memaklumi pendirian para sahabatnya maka dapat ragu-ragu dia pun berkata,

"Nona, kami berkumpul di sini bukan bermaksud untuk mengadakan perang karena kalau demikian halnya, kiranya kami akan dapat dengan mudah mengumpulkan orang seratus kali jumlah orang-orangmu sekarang. Akan tetapi, biarpun demikian, kalau engkau menghendaki hal seperti yang kau kemukakan tadi, tanpa dijawab sekalipun tentu engkau sudah mengenal atau setidaknya mendengar jiwa orang-orang gagah yang tidak mungkin menukar kehormatannya dengan nyawa! Hanya sedikit yang pinto ingin ketahui, mungkinkan tokoh-tokoh seperti engkau yang memakai julukan Ang-kiam Bu-tek, dan tokoh-tokoh itu seperti Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong yang terkenal sebagai datuk-datuk persilatan, tidak malu mempergunakan siasat rendah berupa penggeroyokan jumlah besar terhadap jumlah yang jauh lebih kecil?" Kiang Tojin memang seorang yang cerdik dan juga seorang yang berpengalaman, maka sengaja dia mengeluarkan ucapan yang memanaskan hati ini, ucapan yang merupakan pantangan bagi jagoan yang mana pun juga, yaitu kalau dipandang tidak mempergunakan kegagahan melainkan menggunakan kecurangan.

"Kiang Tojin engkau manusia sombong!" Pak-san Kwi-ong menggereng marah. "Biarpun engkau telah menjadi ketua Kun-lun-pai, siapa sih yang takut menghadapimu? Biarpun terhadap Thian Seng Cinjin gurumu, dahulu aku tidak pernah merasa takut, apalagi terhadap engkau!" Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan senjatanya sepasang tengkorak di ujung rantai sehingga dua buah tengkorak itu seperti hidup bergerak-gerak dan dari tenggorokan kakek tinggi besar kulit hitam itu keluar gerengan yang mendatangkan getaran sedemikian hebatnya sehingga sebagian besar anggauta rombongan orang gagah cepat-cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang untuk bertahan. Namun masih ada beberapa orang di antara mereka yang tidak kuat sehingga cepat mereka duduk bersila memejamkan mata untuk mengelak dari getaran itu dengan mengerahkan hawa murni sebanyaknya. Memang hebat sekali gerengan penuh tenaga dahsyat yang timbul dari khikangnya yang amat kuat!

"Bagus sekali! Demikianlah suara seorang laki-laki sejati yang tidak sudi berlaku curang dan mencari kemenangan dengan jalan mengandalkan pengeroyokan jumlah banyak," kata Kiang Tojin, suaranya nyaring melengking melawan getaran dari gerengan Pak-san Kwi-ong itu. "Ang-kiam Bu-tek, pinto melihat bahwa agaknya engkaulah yang mewakili rombongan kami, maka sekarang bagaimana kau akan mengatur setelah mendengar bahwa kami menolak usulmu yang menghina itu? Dengar jawaban kami. Selama kami masih hidup, dan selama golongan sesat masih melanjutkan perbuatan-perbuatannya yang jahat dan kotor untuk menimbulkan kekacauan, selama itu pula kami akan menentangnya! Ada jahat tentu ada baik, ada hitam tentu ada putih, ada gelap pasti ada terang. Kalau ada golongan yang menghambur nafsu jahat melakukan penindasan dan mengakibatkan kekacauan, pasti ada pula golongan yang menentangnya. Kalau kalian yang mewakili golongan hitam tidak melakukan perbuatan jahat, tentu saja kami pun tidak mempunyai alasan untuk mencari permusuhan.

***

Akan tetapi, selama kalian masih merajalela dengan perbuatan jahat, kami akan selalu menentang!"

Cui Im diam-diam merasa marah sekali. Dia pun seorang wanita yang biar pun masih muda namun memiliki kecerdikan luar biasa, maka ia pun tahu akan siasat Kiang Tojin tadi yang ternyata sudah berhasil dengan panasnya hati Pak-san Kwi-ong sehingga mengucapkan kata-kata menantang tadi. Namun karena dia mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan bantuan kedua datuk hitam itu, tentu saja ia tidak khawatir dan bibirnya yang manis tetap tersenyum.

"Kiang Tojin, engkau mengatakan bahwa kalian tidak ingin berkelahi, demikian pula kami kalau tidak perlu sekali, tidak ingin bentrok dengan kalian. Akan tetapi oleh karena di antara kita tidak terdapat kecocokan, maka marilah kita mengadakan pertandingan antara jago-jago kita untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tentu saja fihak yang kalah dinyatakan harus tunduk akan perintah fihak yang menang, ini merupakan hukum kalangan kang-ouw. Bagaimana?"

Kiang Tojin terpaksa mengangguk, dan diam-diam berpikir bahwa kalau fihaknya kalah sekali pun, para orang gagah tentu akan memilih mati daripada harus tunduk dan melakukan hal-hal yang menyeleweng daripada kegagahan dan kebenaran. "Baiklah, memang sebaiknya begitu. Kami siap!" Diam-diam Kiang Tojin memilih-milih, siapa kiranya yang akan patut dia jadikan jago dalam pertandingan ini. Kalau saja di situ terdapat orang-orang muda yang lihai seperti Keng Hong, atau seperti Yap Cong San murid ketua Siauw-lim-pai yang dia dengar dari Thian Kek Hwesio merupakan tokoh yang paling kuat di antara murid-murid ketua itu. Akan tetapi menurut penuturan gadis yang tewas tadi, kedua orang muda itu telah ditawan!

Cui Im sejak tadi melihat mayat Hun Bwee, dan ia merasa tidak senang, akan tetapi karena ia disitu tidak terdapat Go-bi Thai-houw,

Dan pula mengingat bahwa empat orang muda yang lihai masih terkurung dalam sumur, tak mungkin mereka itu dapat keluar, menjadi lega hatinya dan ia tidak mempedulikan.

"Kiranya tidak perlu mengajukan jago-jago yang tidak memiliki kepandaian Kiang Tojin. Mari kita mengajukan masing-masing tiga orang jago dari fihak kita. Aku mengajukan tiga orang jagoan dan engkau pun mengajukan tiga orang jago. Jumlah kemenangan dalam pertandingan ini menentukan siapa yang menang siapa kalah. Beranikah engkau?"

Cui Im menggunakan siasat balasan yang sama, ia menanyakan berani atau tidak sehingga terpaksa Kiang Tojin tidak dapat memilih jawaban lain kecuali menerima tantangan itu.

"Terserah kepadamu, Ang-kiam Bu-tek!" Katakanlah siapa jago-jagomu agar pinto dapat pula mengimbangi dengan jago-jago kami."

Cui Im tersenyum lebar, "Hi-hi-hik, jangan kau main akal-akalan menghadapi aku, Kiang Tojin. Aku tahu bahwa fihak yang terakhir mengajukan jagonya dapat menilai dan menentukan tandingan, akan tetapi sekali ini, engkau bolak-balikkan semua jagoanmu akan sia-sia, hi-hi-hik ! Tiada halangan bagiku untuk mengajukan nama ketiga jagoku. Pertama adalah aku sendiri, ke dua Pak-san Kwi-ong dan ke tiga Pat-jiu Sian-ong. Nah, siapa jago-jagomu?"

Kiang Tojin memang sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia pun diam-diam merasa gelisah dan bingung. Akan tetapi dia menenangkan hatinya dan menjawab, "Engkau memang licik, Ang-kiam Bu-tek. Andaikata semua ketua partai berada di sini, pinto rasa engkau tidak sesombong ini! Akan tetapi jangan dikira pinto takut, karena seorang gagah mendasarkan keberanian bukan di atas perhitungan menang kalah, melainkan di atas kebenaran. Baiklah, dari fihak kami yang akan maju adalah kami sendiri, kemudian Thian Kek Hwesio dari Siauw-lim-pai, dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam. Seperti kau tentu tahu, Siauw-lim-pai mempunyai urusan denganmu atas kematian ThianTi Hwesio, dan Hoa-san-pai juga mempunyai urusan denganmu atas kematian murid Hoa-san-pai. Kami siap!"

Thian Ti Hwesio sudah menggereng dan meloncat maju, demikian pula Coa Kiu, kakek Hoa-san-pai yang lihai. Biarpun mereka berdua ini maklum bahwa mereka tidak akan menang menghadapi seorang di antara ketiga musuhnya yang sakti itu, namun keduanya siap melawan sampai mati!

"Hi-hi-hik!" Cui im terkekeh mengejek. "Biarlah semua orang gagah yang hadir di sini menyaksikan pertunjukan yang menarik. Kita maju seorang demi seorang agar dapat dinikmati pertandingan antar puncak! Siapakah di antara kalian yang akan maju lebih dulu?"

"Pinto yang akan maju dulu." Kata Kiang Tojin kemudian menoleh kepada dua orang jagonya. "Harap Ji-wi bersabar dan menanti giliran," kemudian dia berkata Kok Sian-cu, rang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, "Jika pinto tewas dalam pertandingan, harap Lo-enghiong sudi mewakili pinto memimpin para saudara." Setelah dua orang jagonya mundur dan Kok Sian-cu mengangguk, Kiang Tojin melangkah maju, mencabut pedangnya dan melintang pedang di depan dada, sikapnya tenang.

"Ang-kiam Bu-tek, pinto telah siap, Majulah!" Kiang Tojin yang sudah mendengar betapa wanita itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sehingga membunuh banyak tokoh pandai, di antaranya malah mebunuh bekas gurunya sendiri, yaitu Lam-hai Sin-ni yang lihai, menduga bahwa wanita inilah yang paling kuat maka dia hendak menandinginya sendiri. Akan tetapi, Cui Im adalah seorang yang licik dan juga cerdik. Dia pun maklum bahwa Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai amat lihai, kalau dia sampai kalah, selain dia rugi, juga ia khawatir fihaknya akan kalah. Adapun kalau dia maju melayani seorang di antara dua jago lawan, sudah dipastikan dia akan menang di samping harapan bahwa seorang di antara kedua datuk kawannya belum tentu pula kalah oleh Kiang Tojin. Maka ia menoleh dan bertanya kepada dua orang kawannya.

"Sian-ong dan Kwi-ong, siapa di antara kalian yang berani menghadapi ketua Kun-lun-pai?"

Pak-san Kwi-ong meloncat maju sambil tertawa bergelak, "Siapa sih yang takut? Ha-ha-ha-ha-ha, sudah lama aku ingin mencoba kelihaian ketua Kun-lun-pai!" Kakek tinggi besar ini lalu menggerakkan rantai dan dua buah tengkoraknya berputaran mengeluarkan angin bersiutan mengerikan. Cui Im tersenyum dan mundur, juga Pat-liu Sian-ong mundur sambil mengebut-ngebutkan hudtimnya mengusir hawa panas. Dia tentu saja memandang rendah calon lawannya dan maklum bahwa hanya pertandingan antara ketua Kun-lun-pai dan Pak-san Kwi-ong ini yang akan menarik dan paling berharga untuk ditonton.

Menghadapi Pak-san Kwi-ong yang dia tahu amat lihai, Kiang Tojin segera memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Biarpun dia sudah tua, namun gerakannya masih kuat dan mantap, pedang yang dipegangnya tidak sedikit pun bergoyang. Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong mengeluarkan gerengan keras dan sepasang senjata tengkorak itu dan fihak orang-orang gagah menjadi cemas. Bukan main hebatnya gerakan senjata mengerikan itu. Namun dengan lincah Kiang Tojin meloncat untuk menghindarkan sambaran pada kakinya sambil menarik kepalanya miring untuk mengelak sambaran tengkorak ke dua pada kepalanya, berbareng pedangnya meluncur, berubah menjadi sinar terang menusuk dada lawan. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangan, rantai di tangan kanan raksasa hitam itu menangkis pedang sehingga terdengar suara nyaring dan keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar. Pak-san Kwi-ong sudah memutar senjatanya lagi dan kini sepasang senjata tengkorak itu berubah bentuknya, menjadi gulungan sinar abu-abu yang melingkar-lingkar dan mengeluarkan suara bercuitan dibarengi gerengan-gerengan seperti srigala, namun mengandung khikang yang menggetarkan semangat lawan.

Gulungan sinar yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar ini menerjang ke arah Kiang Tojin. Dahsyat bukan main serangan datuk kaum sesat dari utara ini. Kiang Tojin dengan tenang namun cepat sekali dia menggerakkan pedangnya, melawan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang sudah mencapai tingkat tinggi. Baru sinar pedang yang mengeluarkan bunyi berdesingan itu saja dapat memenggal leher lawan yang kurang kuat!

Terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru dan menegangkan. Kedua orang itu sama-sama kuat, sama-sama memiliki banyak pengalaan dan keduanya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi di masa itu, namun sekali ini Kiang Tojin kalah ampuh senjatanya. Senjata di tangan Pak-san Kwi-ong adalah senjata yang khusus untuk dia sendiri, senjata yang khusus untuk dia sendiri. Senjata yang dapat diputar cepat dan selain itu, dua buah tengkorak itu pun bukan tengkorak itu pun bukan tengkorak biasa, melainkan tengkorak yang mengandung racun jahat. Di dalam jurang jurus terdapat gerakan liar dan ganas luar biasa sehingga setelah lewat lima puluh jurus lebih, Kiang Tojin terdesak karena dia harus lebih banyak melindungi tubuhnya sehingga kurang mendapat kesempatan untuk menyerang.

Fihak anak buah Pat-jiu Sian-ong yang tentu saja kurang tinggi tingkatnya tidak dapat mengikuti jalannya pertandingan yang terlalu cepat untuknya sehingga hanya melihat betapa bayangan ketua Kun-lun-pai itu mundur-mundur terdesak, maka mereka mulai tertawa-tawa girang karena jago mereka akan menang. Tidak demikian dengan Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong. Dua orang sakti ini tiba-tiba terkejut sekali menyaksikan perubahan dalam gerangan Kiang Tojin. Masih memainkan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi ada terselip perubahan pada gerak kaki dan tangan yang mengingatkan Cui Im akan gerakan-gerakan aneh dari Keng Hong. Gerakan yang seperti merupakan perjodohan antara Pat-sian-kun dan Ngo-heng-kun, akan tetapi juga bukan itu.

***

Gerakan yang kelihatan lemah dan sederhana namun mengandung pengaruh yang amat kuat, yang seolah-olah mengunci gerakan-gerakan lawan dari yang kini memungkinkan Kiang tojin untuk mengirim serangan balasan, makin lama makin sering sehingga keadaan mereka kembali berimbang, bahkan berkali-kali terdengar Pak-san Kwi-ong mengeluarkan seruan kaget di antara gerengan-gerengannya karena secara aneh pedang lawan hampir mengenai tubuhnya dalam jurus-jurus yang dia tidak kebal! Kakek yang menjadi Datuk Hitam di utara ini mengenal gerakan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi setelah kini Kiang Tojin mengubah permainannya, dia menjadi bingung. Disebut bukan Kun-lun Kiam-sut, mengapa begini aneh? Apakah ketua baru dari Kun-lun-pai ini telah menciptakan ilmu pedang baru? Suara angin sambaran pedang yang berdesing mengaung makin nyaring dan kini mulai mengurung lingkaran sinar senjata rantai tengkorak.

Sebetulnya Kiang Tojin tidak menciptakan ilmu pedang baru, melainkan dia kini mencampurkan unsur-unsur ilmu silat sakti Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari dari kitab itu yang dia terima dari Keng Hong. Setelah dia mempergunakan dasar dari ilmu pedang yang hebat ini, maka dia dapat mengimbangi gerakan lawan sampai dua ratus jurus lebih dan mulailah pedangnya mengurung dan menindih senjata lawan! Akan tetapi sayang sekali. Kiang Tojin sudah tua dan dia sudah banyak kehilangan daya tahan dan daya tempurnya. Kalau dia memiliki watak yang liar dan ganas seperti lawannya, tentu dia dapat memperoleh kemenangan. Sebagai seorang dari golongan bersih, tentu saja dia tidak mau menyimpang daripada tata tertib persilatan dan hanya mau merobohkan lawan dengan gerak silat yang teratur. Apalagi Kiang Tojin adalah seorang ketua partai persilatan besar, tentu saja dia harus menjaga "gengsi" perkumpulannya!

Setelah lewat tiga ratus jurus yang memakan waktu hampir dua jam, mulailah desakan Kiang Tojin berkurang, bahkan kini tangkisan dan serangannya kurang tenaga. Sebaliknya Pak-san Kwi-ong yang menggereng-gereng itu masih kuat sekali dan ulailah dia yang sebaliknya terdesak lagi. Kalau saja usia ketua Kun-lun-pai ini masih muda seperti Keng Hong, tentu tidak akan terjadi hal demikian karena Ilmu Silat Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari adalah ilmu yang benar-benar dahsyat dan yang pada masa itu belum dikenal orang rahasianya. Akan tetapi dia sudah tua dan ketika memperlajari ilmu silat sakti itu sama sekali tidak ditujukan untuk menghadapi pertempuran, melainkan hanya untuk menambah pengetahuan silat belaka. Oleh karena hasilya pun tidak sehebat Keng Hong.

"Robohlah!" Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong membentak keras sekali, tengkorak di tangan kanannya meluncur ke depan, menyerang ke arah muka Kiang Tojin. Ketua Kun-lun-pai ini yang merasa betapa tenaganya berkurang dan kalau dilanjutkan dia akan kehabisan tenaga, segera mengambil keputusan untuk mencari kemenangan dengan cepat, yaitu mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya untuk merusak senjata lawan. Melihat tengkorak itu menyambar ke arah mukanya, Kiang Tojin lalu membacokkan pedang sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, bukan ke arah tengkorak yang menyambar, melainkan ke arah rantai yang mengikat tengkorak itu.

"Cringgggg!!" Terdengar suara keras di antara bunga api yang berhamburan menyilaukan mata. Tengkorak manusia itu jatuh menggelinding di atas tanah, akan tetapi pedang Kiang Tojin telah terlibat rantai di tangan kanan Pak-san Kwi-ong yang menjadi marah sekali. Tiba-tiba terdengar suara meledak dan Kiang Tojin terhuyung-huyung tubuhnya. Yang meledak dan menghaburkan asap dan jarum baracun adalah tengkorak yang terbabat buntung dari rantainya tadi sehingga kaki Kiang Tojin terkena jarum berbisa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pak-san Kwi-ong untuk menggerakkan tengkorak ke dua di tangan kirinya.

Tengkorak itu berputar-putar kemudian menukik dan menyerang Kiang tojin dari arah belakang tosu ini! Pada saat itu, Kiang Tojin tengah berusaha menarik kembali pedangnya yang terbelit rantai lawan, dan baru saja tubuhnya terguncang oleh ledakan tengkorak yang mengandung asap dan jarum beracun, maka terhadap serangan hebat yang aneh karena tengkorak itu menyerangnya dari belakang, dia hanya dapat mengelak senjata berarti kalah. Maka tentu saja elakannya kurang tepat dan tengkorak ke dua itu masih saja mengenai punggungnya.

"Bukkk!"

"Dessssss!" Pada detik yang hampir bersamaan, tangan kiri Kiang Tojin juga mengirim pukulan sinkang ke arah dada lawan pada saat dia dihantam tengkorak. Pukulannya dengan telapak tangan ini, sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pak-san Kwi-ong yang sudah kegirangan menyaksikan serangannya berhasil. Tubuh Kiang tojin terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya, akan tetapi tubuh Pak-san Kwi-ong juga terhuyung ke belakang. Kedua orang kakek ini menyemburkan darah segar dari mulut, kemudian tanpa mempedulikan apa-apa lagi mereka berdua itu sudah menjatuhkan diri bersila dan mengatur napas karena dalam keadaan terluka hebat seperti itu, yang terpenting adalah mengobati diri sendiri melalui pernapasan mengumpulkan hawa murni. Bahkan mereka berdua tidak peduli lagi akan senjata masing-masing yang tadi ketika mereka terpental telah terlepas dari libatan dan kalau Kiang tojin kini masih memegang pedangnya sambil bersedakap, adalah Pak-san Kwi-ong masih memegangi rantai tengkorak yang tinggal sebuah itu, disampirkan di pundaknya.

Kok Sian-cu, tosu tua yang mata kirinya buta, tokoh utama Kong-thong-pai segera lari menghampiri Kiang tojin dan cepat memeriksa punggung ketua Kun-lun-pai itu Ternyata pukulan tengkorak itu menimbulkan warna hitam bundar pada punggung maka tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung racun.

Sambil menahan kemarahan Kok Sian-cu bangkit berdiri menghadapi Cui Im, suaranya terdengar penuh wibawa, "Ang-kiam Bu-tek, bagaimana pendapatmu atas hasil pertandingan pertama ini?"

Cui Im mengerti bahwa Pak-san Kwi-ong telah menerima pukulan yang hebat dan menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi ia pun tahu bahwa ketua Kun-lun-pai itu pun menderita luka yang lebih berbahaya karena tengkorak itu mengandung racun di samping jarum beracun yang menusuk kakinya, maka ia lalu berkata sambil tertawa,

"Kalau aku mengakui bahwa fihakku menang, tentu kau akan menganggap bahwa aku takut kalah! Hi-hi-hik, tosu buta sebelah! Biarlah kita anggap saja tidak ada yang kalah tidak ada yang menang karena kedua fihak terluka. Sekarang, kami mengajukan dua orang jago kami, aku sendiri dan Pat-jiu Sian-ong. Hayo, suruh jago-jagomu maju karena kami berdua akan merobohkan mereka dalam sepuluh jurus, hi-hi-hik!"

Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai dan Thian Kek Hwesio sudah marah sekali. Mereka sudah bergerak maju hendak menyambut tantangan itu akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua ekor burung walet menyambar, dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng!

"Cui Im perempuan curang, akulah lawanmu!" bentak Keng Hong.

Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong terkejut bukan main, apalagi ketika tak lama kemudian muncul pula Yap Cong San Gui Yan Cu di tempat itu! Bagaimana mungkin ini? Empat orang muda ini telah terjebak di dalam sumur, bagaimana tahu-tahu telah berhasil meloloskan diri dan menyusul ke sini? Siapakah yang telah menolong mereka?

Memang sesungguhnyalah, tanpa pertolongan dari luar, biarpun empat orang itu merupakan orang-orang muda yang berilmu tinggi tidak mungkin mereka akan dapat lolos dari dalam sumur itu.

Dan pertolongan ini memang datang dari orang yang sama sekali tidak pernah mereka duga dan harapkan. Yang menolong mereka adalah Sian Ti Sengjin bekas tosu tokoh Kun-lun-pai!

Telah terjadi perang besar dalam batin Sian Ti Sengjin semenjak kakek ini mendapat kenyataan bahwa sutenya, Lian Ci Sengjin benar-benar telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk, yaitu memperkosa Tan Hun bwee. Semenjak dia tahu akan hal itu, mulailah timbul rasa penyesalan besar di hatinya. Barulah dia sadar betapa jauh dia menyeleweng dari pada jalan benar dan betapa dia telah membela sutenya yang ternyata telah menjadi hamba nafsu yang jahat. Mulailah dia teringat akan gemblengan batin yang telah puluhan tahun dia pelajari dan latih. Kalau tadinya dia masih mempertahankan keadaannya dan diam saja adalah karena dia mengharapkan sutenya akan insyaf. Maka dia membujuk-bujuk sutenya agar mereka berdua kembali saja ke Phu-niu-san karena dia tahu bahwa dia telah terjerumus makin dalam dengan menggabungkan diri dengan orang-orang golongan sesat. Namun sutenya selalu menolak dan akhirnya dia menerima pukulan batin terhebat ketika menyaksikan sutenya tewas dengan tubuh hancur lebur oleh Hun Bwee. Timbul penyesalan besar dan dia mulai memikirkan cara untuk menebus dosa-dosanya.

Demikianlah, begitu Cui Im memimpin rombongan untuk menyerbu ke puncak Tai-hang-san, dia mencari alasan untuk tinggal menjaga di dalam benteng. Kemudian, tidak lama setelah rombongan berangkat, Sian Ti Sengjin cepat memasuki kamar Cui Im, membongkar barang-barang wanita itu dan berhasil mengumpulkan barang-barang pusaka yang dirampas oleh Cui Im dari tangan Keng Hong, yaitu benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Setelah itu, dia cepat mencari tambang, membuka lantai kamar tahanan yang kini menjadi sumur tertutup dan menurunkan tambang itu kebawah.

***

Keng Hong dan tiga orang temannya terkejut melihat betapa ada sinar terang dari atas menyorot ke bawah, dan ternyata bahwa penutup sumur itu terbuka. Makin heranlah hati mereka ketika melihat dari bawah betapa Sian Ti Sengjin menurunkan sehelai tali tambang ke dalam sumur.

"Thian Yang Maha Adil!" Keng Hong berbisik. "Kiranya Thian akhirnya menggerakkan hatinya untuk menyadari kesesatannya. Biarlah aku yang naik lebih dulu, siapa tahu ini merupakan jebakan pula. "Cepat pemuda ini lalu menyambar tali dan merayap naik sambil menggigit Siang-bhok-kiam untuk bersiap-siap kalau di atas ada bahaya menantinya. Akan tetapi setelah tiba di atas dan meloncat ke lantai, dia melihat Sian Ti Sengjin memandangnya dengan wajah pucat dan bekas tosu yang amat dikenalnya sejak dia menjadi kacung di Kun-lun-pai ini berbisik,

"Keng Hong, lekas suruh teman-temanmu cepat naik!"

Bukan main girangnya hati Keng Hong. Ia menjenguk ke dalam sumur dan berkata, "Naiklah semua!"

Tiga orag muda yang menanti dengan hati penuh ketegangan di dalam sumur itu pun menjadi girang sekali dan mereka cepat merayap naik melalui tali. Setelah tiba di atas, Keng Hong menjatuhkan diri berlutut di depan bekas tosu itu dan berkata,

"Sian Ti Totiang, terimalah ucapan terima kasih kami."

Sian Ti Sengjin cepat membangunkan Keng Hong dan menarik napas panjang.

"Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?"

Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, dan sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu.

Ketika dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian ti Sengjin memegang kedua pundaknya dan berkata, "Tak usah berterima kasih karena kalian telah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang kalian cepat mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi mereka yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!"

Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang telah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat.

Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka menuju ke puncak Tai-hang-san. Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka. Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Kini dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali.

Kiang Tojin yang sedang bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengobati lukanya, membuka mata dan tersenyum lemah. "Thian selalu berfihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di fihak kami telah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jaog-jago kami yang ke dua dan ke tiga!"

"Heh-heh-heh, beginikah sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih? Tidak dapat dipegang janjinya! Bukankah tadi kau mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago? Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?" Cui Im tertawa mengejek.

"Cui Im!" Keng Hong membentak marah. "Orang macam engkau masih mau bicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji? Berapa kali sudah engkau menipuku? Kalau engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecuranganmu!"

"Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!" Bentak pula Biauw Eng yang sudah siap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan.

Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa lalu berkata halus, "Binatang kerbau diikat hidungnya, akan manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau? Jangan dikira bahwa aku jerih menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin."

Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!"

Kiang Tojin menghela napas panjang. "Siancai...!" Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!" Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung.

Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia cepat benyanyi,

"Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Dengan tanah liat membuat mangkok bundar Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Membobol pintu jendela pada sebuah rumah Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Yang ada hanya sebagai pegangan Yang kosong itulah yang berguna!"

Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justeru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin.

Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, maka sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya. Sambil tersenyum Keng hong menangkis dengan Siang-bhok-kiam dan kedua orang yang sama saktinya ini sudah bertanding hebat. Juga Pat-jiu Sian-ong biarpun mengenal nyanyian itu namun tidak tahu mengapa pemuda aneh ini menyanyikannya dalam saat seperti itu, sudah menggerakkan senjata hudtimnya menyerang Biauw Eng yang menghadapinya dengan sambaran sabuk sutera putih.

Kiang Tojin adalah seorang ahli Agama To, tentu saja mengenal sajak itu. Kalau saja dia belum mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun yang belum lama ini dia terima dari Keng Hong, agaknya dia pun akan sukar sekali menangkap apa yang dimaksudkan oleh pemuda itu. Akan tetapi kini dia mengerti dan diam-diam dia kagum sekali karena melihat akan tepatnya "nasihat" yang diberikan pemuda lihai itu untuk memberi petunjuk kepadanya menghadapi lawan

Pak-san kwi-ong adalah seorang tokoh utara yang memiliki kepandaian dahsyat namun liar dan ganas, mengandalkan senjata ampuh dan tenaga kuat. Kini, seperti juga Kiang Tojin, dia sudah terluka hebat. Kalau saja kakek hitam ini tidak yakin benar bahwa Kiang Tojin sudah terluka parah, tentu dia tidak berani menantang dengan nekat. Kini melihat keadaan lawan yang kelihatan lebih lemah, dia sudah menerjang cepat dengan mengayun tengkoraknya yang tinggal sebuah. Kiang Tojin cepat mengelak dengan gerakan ringan sekali dan sebentar saja tosu ini sudah terdesak hebat oleh lawan yang kelihatannya tergesa-gesa hendak cepat merobohkan dan membunuh lawan agar dia dapat beristirahat dan melanjutkan usahanya mengobati luka di dalam dadanya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh Kiang Tojin dengan mudah dan pada serangan ke tiga, Kiang Tojin menangkis dengan pedangnya.

***

"Tranggg... Semua orang gagah terkejut menyaksikan betapa pedang di tangan Kiang tojin terpental lepas dari tangan tosu itu. Pak-san Kwi-ong tertawa girang dan memutar senjatanya lebih dahsyat lagi untuk merobohkan Kiang Tojin yang kini bertangan kosong. Akan tetapi Keng Hong yang melayani Cui Im sempat melirik dan diam-diam dia menjadi girang karena ketua Kun-lun-pai itu dapat menangkap maksudnya ketika memberi petunjuk melalui sajak tadi. Kini Kiang tojin hanya mengandalkan kelincahan tubuh berkat ginkang yang tinggi, mengelak ke sana-sini untuk menghindarkan sambaran tengkorak yang rantainya diputar-putar kuat-kuat oleh lawan.

Dengan hati lega dan tidak mengkhawatirkan keadaan Kiang Tojin seperti para orang gagah yang memandang gelisah, Keng Hong melirik ke arah Biauw Eng dan dia menjadi kagum bukan main. Ternyata Biauw Eng sekarang jauh bedanya dengan Biauw Eng dahulu! Gerakan sabuk suteranya mengandung tenaga hebat, gerakannya lebih ringan dan jurus-jurus serangannya amat aneh. Pat-jiu Sian-ong sudah tidak berani memandang rendah lagi dan pertandingan antara mereka ini seru sekali dalam keadaan berimbang. Betapa Pat-jiu Sian-ong takkan menjadi bingung kalau melihat gerakan sepasang ujung sabuk sutera yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran itu dan kadang-kadang menyerang tanah, kadang-kadang malah bermain di atas kepala gadis itu sendiri seperti hendak menotok tubuh sendiri, akan tetapi tiba-tiba melejit dan menotok ke arah jalan darah kematian kalau dia menjadi lengah dan heran?

Sementara itu, Cui Im mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi Keng Hong, namun dengan hati panas dan penasaran ia mendapat kenyataan bahwa gerakan-gerakan pemuda itu seluruhnya mengatasi gerakannya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan dengan benteng baja amat kuat yang tak mungkin ia tembusi dengan penyerangannya, sebaliknya dari dalam "benteng baja" itu keluar sinar-sinar yang menyerangnya secara tiba-tiba dan tak terduga-duga! Mulailah Cui Im marah-marah dan memaki-maki,

"Keng Hong, kau curang! Agaknya dahulu engkau tidak membaca sungguh-sungguh semua kitab itu! Banyak yang kau sembunyikan dariku!" ia memaki-maki dan menyerang terus kalang kabut. Akan tetapi Keng Hong hanya tersenyum saja dan melayaninya seenaknya. Keng Hong tidak dapat cepat mengalahkan Cui Im, karena selain memang wanita ini amat lihai dan rapat menjaga tubuh, juga Keng Hong membagi sebagian perhatiannya kepada Biauw Eng untuk melindungi gadis itu kalau-kalau terancam bahaya di tangan Pat-jiu Sian-ong yang dia tahu amat lihai. Maka dia selalu memancing Cui Im untuk bertanding dekat kekasih hatinya itu.

Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Keng Hong, terjadilah perubahan hebat dalam pertempuran antara Pak-san Kwi-ong dan Kiang Tojin. Sebetulnya tidak patut disebut pertempuran karena dalam pertandingan ini, Kiang Tojin sama sekali tidak pernah membalas serangan. Kelihatannya saja seolah-olah dia sudah terlalu lemas sehingga terdesak dan tidak sempat membalas, padahal memang tosu ini sengaja tidak mau balas menyerang, hanya mengandalkan ginkangnya untuk mengelak terus, membiarkan lawan menyerangnya makin hebat. Inilah petunjuk yang diberikan oleh Keng Hong dalam sajaknya tadi.

Yaitu agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan. Ketua Kun-lun-pai ini segera dapat menangkap maksud Keng Hong. Mereka berdua sudah luka parah, luka di sebelah dalam tubuh dan pantangan besar bagi orang terluka di dalam tubuhnya untuk mempergunakan tenaga, apalagi tenaga sinkang karena tenaga ini akan membuat luka di dalam tubuh makin parah. Karena itu, maka Keng Hong menganjurkan agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan, berarti tidak menggunakan tenaga dan membiarkan lawan yang mempergunakan tenaga sebanyaknya dan dia sendiri hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak tanpa mengerahkan tenaga. Kini mulai tampak perubahan. Biarpun Kiang Tojin kelihatan didesak terus, namun dia masih tetap seperti semula, sebaliknya Pak-san Kwi-ong makin lama makin limbung, wajahnya yang hitam menjadi pucat sekali, matanya merah, mulutnya mengeluarkan buih dan kepalanya mengepulkan uap, kedua kakinya mulai menggigil dan serangan-serangannya mulai ngawur!

Pak-san Kwi-ong bukanlah seorang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga luka di dadanya makin parah, napasnya sesak sekali dan seluruh isi dada dan perut terasa nyeri. Akan tetapi di samping kecerdikannya, dia memiliki watak yang kasar, liar dan ganas, watak seekor binatang buas. Ia penasaran melihat lawan yang seakan-akan tinggal injak saja begitu sukar dirobohkan, maka makin lama dia makin bernafsu sampai akhirnya dia terlambat menyadari kesalahannya. Sambaran tengkoraknya makin lemah dan tiba-tiba dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut, matanya gelap dan jantungnya seperti akan meledak. Ia masih menubruk maju dan menghantamkan tengkoraknya sekuat tenaga sehingga Kiang Tojin terkejut dan terpaksa meloncat ke belakang. Tubuh Pak-san Kwi-ong terjelungup ke depan dan robohlah raksasa hitam itu. Biarpun demikian, dia masih melakukan serangan dari bawah, tengkorak itu menyambar ke arah perut Kiang Tojin.

Ketua Kun-lun-pai ini cepat memutar tubuh, kakinya bergerak mendorong tengkorak dari samping. Tengkorak itu meluncur kembali ke bawah, ke arah muka Pak-san Kwi-ong seolah-olah hendak mencium muka raksasa hitam itu.

"Prokkk!" Tengkorak pecah berantakan dan kepala Pak-san Kwi-ong juga pecah sehingga dia tewas seketika. Kiang Tojin meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum yang meluncur dari dalam tengkorak, kemudain dia terhuyung dan cepat mundur ke rombongan, lalu duduk bersila dan memejamkan mata.

Melihat tewasnya Pak-san Kwi-ong, barulah Cui Im mengerti dan dengan marah ia berseru, "Keng Hong, engkau manusia curang!" dan ia mempercepat serangan pedangnya.

Pat-jiu Siang-ong juga kaget menyaksikan tewasnya Pak-san Kwi-ong yang diandalkan. Ia mengeluarkan suara bersuit keras dan kini majulah semua pembantunya, menyerbu, bukan hanya pembantu tokoh-tokoh persilatan, juga pasukan yang menjadi anak buahnya mulai menyerbu dan memperketat pengurungan!

Cong San dan Yan Cu berseru keras, mencabut senjata dan menerjang ke depan menyambut lawan, diikuti oleh semua tokoh kang-ouw yang memang sejak tadi sudah siap-siap untuk bertempur dan membela diri. Maka terjadilah perang tanding yang dahsyat dan tidak teratur lagi. Cong San dan Yan Cu mengamuk dan sebentar saja sudah merobohkan dua orang lawan, akan tetapi mereka segera dihadapi oleh Gu Coan Kok dan Hok Ku, dua orang iblis tembok besar yang lihai. Menghadapi Coan Kok, Yan Cu terdesak, sebaliknya Cong San dapat membikin Hok Ku sibuk melindungi dirinya maka Cong San yang selalu memperhatikan Yan Cu segera bertanding sejajar dengan Yan Cu untuk melindungi gadis yang dicintanya itu. Maka ramailah pertandingan antara empat orang itu, gerakan mereka cepat dan dahsyat sehingga yang lain-lain tidak sempat untuk mencampuri pertempuran ini. Dari fihak orang gagah, mengamuklah Thian Kek Hwesio, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam, keempat orang kakek tokoh Kong-thong-pai, ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian, dan empat orang tosu menjadi sute Kiang Tojin.

Mereka ini dihadapi oleh kawan-kawan Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to keempat Pak-san Su-ong dan masih banyak tokoh kaum sesat dibantu oleh ratusan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong.

Melihat betapa fihak Kiang Tojin terdesak hebat karena memang jauh kalah besar jumlahnya, Keng Hong menjadi khawatir. Untuk cepat-cepat mengalahkan Cui Im bukan merupakan hal yang mudah, maka tiba-tiba tubuhnya melesat mengirim serangan ganas dengan Siang-bhok-kiam. Cui Im menangkis akan tetapi ia terpekik dan mencelat ke belakang karena tenaga sinkangnya jauh kalah kuat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat ke dekat Biauw Eng yang masih bertanding ramai sekali melawan Pat-jiu Sian-ong. Keng Hong langsung menyerang dengan tusukan Siang-bhok-kiam sehingga terdengar suara bercuit nyaring dan tampak sinar hijau yang amat terang dan cepat menyambar leher Pat-jiu Sian-ong. Kakek ini mendengus, dengan gugup melihat cepat dan kuatnya serangan ini telah mengebutkan hudtimnya menangkis Siang-bhok-kiam dan terus membelit ujung pedang itu untuk merampasnya. Akan tetapi saat yang hanya seteangah detik itu dipergunakan dengan tepat oleh Biauw Eng,. Sabuk suteranya berubah kaku dan menusuk perut Pat-jiu Sian-ong.

"Crottt!" Sabuk sutera yang telah berubah kaku oleh tenaga sinkang itu menembus perut kakek kate itu. Pat-jiu Sian-ong mengeluarkan teriakan kaget, matanya terbelalak seolah-olah tidak percaya ke arah perutnya, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong yang sudah berhasil menarik pedangnya, menusukkan Siang-bhok-kiam menembus dada kakek itu.

"Aihhhhh...!!" Pat-jiu Sian-ong memekik dan hudtimnya menyambar ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini sudah menarik kembali ujung sabuk pada hudtim sehingga bulu kebutan itu tertarik pedang Siang-bhok-kiam berkelebat lagi dan hudtim itu patah menjadi dua!

Putusnya kebutan itu agaknya berbareng dengan putusnya napas Pat-jiu Sian-ong, tubuhnya terkulai, roboh dan dari perut dan dadanya keluar darah yang memancar deras.

Cui Im menjerit, "Keng Hong, manusia curang!" Wanita ini sudah menerjang lagi dengan ganas. Keng Hong menangkis dengan pedang kayunya dan berkata kepada Biauw Eng,

"Kau bantulah teman-teman!"

Tanpa diperintah dua kali, Biauw Eng lalu mengamuk dan membantu Cong San dan Yan Cu. Keng Hong melanjutkan pertempurannya melawan Cui Im. Diam-diam harus dia akui bahwa andaikan dia tidak mempelajari Thai-kek Sin-kun, agaknya amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan melawan Cui Im yang benar-benar amat ganas pedang merahnya ini. Pantas saja gadis ini berani menamakan diri Ang-kiam Bu-tek Pedang Merah Tanpa Tanding, karena memang pada masa itu, agaknya sukarlah dicari lawan yang dapat menandingi ilmu pedang gadis ini. Bahkan sekarang pun agaknya tidak akan mudah baginya untuk merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya. Dan sukarnya Keng Hong tidak tega untuk membunuh Cui Im! Dia bukannya tidak ingat akan semua perbuatan jahat wanita ini terhadap dirinya, akan tetapi ada beberapa hal yang tak dapat dilupakan Keng Hong dan yang membuatnya tidak tega untuk membunuhnya, yaitu pertama mengingat akan cinta kasih wanita ini terhadap dirinya. Ke dua, karena betapapun juga, setelah sama-sama mempelajari ilmu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, sedikitnya Cui Im boleh dikatakan saudara seperguruan dengannya. Ketiga, kalau saja Cui Im tidak menipunya di dalam tempat rahasia di batu pedang, belum tentu dia akan dapat menemukan dan mempelajari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu sehingga secara tidak langsung, Cui Imlah yang berjasa! Oleh karena itu, Keng Hong hanya mau merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya dan hal ini benar-benar amat sukar karena serangan-serangan biasa saja mana mampu mengalahkan Cui Im?

***

Maka dia lebih banyak bertahan dan membela diri sambil menanti kesempatan baik untuk merobohkan lawannya yang tangguh ini tanpa membunuhnya.

Hebat bukan main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapapun lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, namun karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga setiap orang terpaksa harus menghadapi empat lima orang lawan, maka mulailah fihak mereka terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali. Korban kedua fihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh, teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring.

Tiba-tiba terdengat bunyi terompet disusul sorak-sorai dan menyerbulah pasukan pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan didampingi oleh Sian Ti Sengjin! Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas tokoh Kun-lun-pai ini dari tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat sebelah dengan keuntungan fihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat sebelah dengan kerugian mereka! Kini fihak pemberontak kalah banyak jumlahnya dan mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan

Perang tanding yang terjadi selama setengah hari di puncak Tai-hang-san itu bagi golongan sesat merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di fihak orang kang-ouw juga jatuh korban yang tidak sedikit.

Yang hebat adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum dapat merobohkan Cui Im pada perang telah terhenti karena musuh telah terbasi habis.

"Keng Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!" Cui Im meloncat maju mengirim tusukan maut.

"Trang-trang-cringgg!" Keng Hong menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah paha lawannya.

"Wuuutttttt!" Cui Im melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput.

"Keng Hong, engkau selamanya menjadi penghalang untukku. Engkau manusia satu-satunya di dunia yang paling kubenci!" Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat sekali, keringatnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak memperlihatkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api menyala-nyala.

"Cui Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu," kata Keng Hong sambil memutar pedangnya menangkis.

"Menyerah? Lebih baik mati!" Cui Im kembali menerjang maju.

Keng Hong tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu, menonton penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis berkerut.

"Keng hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?" Tiba-tiba Biauw Eng bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar.

Keng Hong kaget dan maklum bahwa dia menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tidak mau membunuh lawan, akan tetapi pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lain akan mudah melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan ketika pedang merah itu berkelebat menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkangnya dan menangkis sekuat tenaga.

"Trakkk!" Pedang merah itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui Im.

"Aihhhhhh!!" Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran.

Sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Itu adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas sucinya. Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im.

"Takkk!" Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput mengenai sasaran.

"Keng Hong...!" Biauw Eng berseru kaget.

Keng Hong menarik napas panjang. "Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuhnya? Dia bekas sucimu dan kalau kuingat-ingat secara adil, dia pun masih terhitung sumoiku sendiri karena dia telah mempelajari pusaka warisan suhu. Dia sudah kalah, kehabisan sagala-galanya, perlukah kita membunuhnya begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng."

"Tapi... Tapi... dia telah membunuh ibuku!"

"Benar, akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam? Memang ibumu terbunuh olehnya dalam pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng, kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam. Kalau dia melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti akan ia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi permintaanku, yaitu kita bebaskan lawan yang sudah kalah, jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan lagi."

Biauw Eng meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang sudah merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit. "Akan tetapi, andaikata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan membunuhnya!"

"Aku tidak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia terbunuh...?" Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan mayat, Keng Hong memandang sedih.

"Cia-taihiap benar! Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju. "Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di tangan iblis betina itu, akan tetapi setelah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi pinceng... merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng membebaskan dia!"

"Pinto juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia itu bekas suci Nona, dan masih sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.

"Biarlah dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!" Berkata Kok Sian-cu mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai.

Biauw Eng menunduk dan tidak membantah lagi.

"Cui Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka itu akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan pusaka-pusaka yang kau pelajari pula," kata Keng Hong.

Cui Im bangkit berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan, wajahnya pucat. "Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat dari pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik... kau bunuh aku atau kelak engkau yang akan kubunuh...!" Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan semua orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis!

Setelah bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di kantungnya, menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian berkata kepada semua orang,

"Setelah semua pusaka suhu kuambil dan sebagian kepada yang berhak, maka kumohon para Locinapwe sudilah memaafkan semua perbuatan suhu dahulu. Hanya sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku dan kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak."

Coa Kiu dan Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima kasihnya dan semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas, baik fihak sendiri maupun fihak lawan, menguburkan mereka di puncak Tai-hang-san. Hanya Kiang tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong dan ketika pemuda ini berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, Kiang Tojin menggeleng kepala dan memegang pundak pemuda itu,

"Pinto tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk kepadamu. Memang semua manusia ini dan pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain dan mengakibatkan" ah, semua pembunuhan antar manusia ini... Tosu itu kelihatan menyesal sekali.

Tiba-tiba Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut dan menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan.

Melihat kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal sebagai seorang yang arif bijaksana itu. "Totiang, mengapa manusia saling berbunuhan karena terbagi menjadi dua golongan? Mengapa ada yang baik dan ada yang buruk? Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?’

***

Kiang Tojin memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari angkasa,

"Perbuatan yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk, maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang menjadi hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat dan berdosa. Kalau di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan perbuatan yang baik atau jahat."

"Mohon penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti."

"Anak-anak kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, adalah manusia yang bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain, akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Kalau orang tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri? Karena anak itu belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa. Setelah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu terlarang, kemudian dia melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang sudah dikenalnya. Di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu termasuk tidak baik namun tetap di lakukannya, maka berdosalah dia.

Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh hukum-hukum yang yang diciptakannya sendiri, maka penuhlah dunia ini oleh dosa. Sungguh menyedihkan..."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kita yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengatahuan antara baik dan buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?"

"Kita sudah terlanjur mengenal baik dan buruk, tentu saja kita harus selalu mengabdi kebaikan, hanya dengan hati besar kita harus dapat mengampuni mereka yang kita angap melakukan perbuatan jahat setelah kita tahu bahwa perbuatannya itu merupakan pelanggaran bagi hukum yang sudah dikenalnya, berarti bahwa dia itu lemah, atau sedang sakit, terdorong oleh nafsunya sendiri sehingga melakukan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan pengenalan hukum dalam sanubarinya sendiri."

"Terima kasih atas petunjuk Totiang yang bijaksana."

Kiang Tojin membuka matanya dan tersenyum kepada pemuda itu. "Semua orang bijaksana, orang muda yang baik. Di dunia tidak ada orang pandai atau bodoh. Yang sudah mengerti disebut pandai. Padahal yang sudah mengerti itu pun tadinya tidak mengerti, sebaliknya yang belum mengerti itu pun kelak akan mengerti. Karena itu, adalah menjadi, kewajiban kita untuk belajar mengerti, setelah mengerti lalu sadar, setelah sadar lalu menjadikan pengertian sebagai dasar setiap perbuatan."

Demikianlah, menggunakan kesempatan itu Keng Hong menerima wejangan-wejangan dari ketua Kun-lun-pai itu, sedangkan orang-orang kang-ouw yang lain bersama pasukan dari Tai-goan mengadakan pembersihan terhadap mayat-mayat yang berserakan. Pembicaraan Keng Hong dan Kiang Tojin terhenti Sian Ti Sengjin datang berlutut di depan ketua Kun-lun-pai sambil berkata,

"Suheng..., Sute yang penuh dosa datang menghadap."

Kiang tojin memandang, sejenak pandang matanya penuh teguran dan keren, akan tetapi kemudian melunak dan dia berkata, "Sute, jauh lebih baik seorang yang sadar dan bertobat, menyesali dan mencuci kekotorannya daripada seorang yang menyombongkan kebersihannya. Pinto telah mendengar semua tentang dirimu dan merasa berbahagia dapat menerimamu kembali sebagai seorang murid Kun-lun-pai yang baik."

Keng Hong lalu meninggalkan kedua kakak beradik seperguruan yang sudah rujuk kembali untuk membantu orang-orang lain mengurus mayat-mayat yang amat banyak. Kembali dia bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu mengubur mayat Tan Hun Bwee di tempat terpisah.

Pada keesokan harinya, barulah pasukan pemerintah kembali ke Tai-goan dan para rokoh kang-ouw meninggalkan puncak Tai-hang-san. Biauw Eng tidak mau meninggalkan tempat itu karena dia hendak berkabung selama tiga hari di situ. Keng Hong menemaninya dan Cong San juga berpamit kepada suhengnya, Thian Kek Hwesio, untuk menemani Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja Yan Cu tidak mau ketinggalan menemani Biauw Eng di puncak yang menyeramkan itu.

Setelah semua orang pergi, sunyilah puncak Tai-hang-san, sunyi menyeramkan. Di tempat bekas pertempuran tampak banyak sekali gundukan tanah kuburan baru, dan untuk memudahkan pekerjaan, ada satu lubang yang diisi sampai lima mayat manusia. Hanya kuburan para tokoh besar saja yang dipisahkan, termasuk kuburan Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong.

Biauw Eng merasa kasihan dan terharu sekali mengenang nasib sucinya, Tan Hun Bwee, yang pada akhir hidupnya mengorbankan nyawa dan berusaha untuk menolong mereka, duduk bersila di depan makam sucinya dengan wajah berduka. Keng Hong tidak mau mengganggunya, malah pemuda ini lalu mengukir nama-nama para tokoh di atas batu-batu dan memasang batu nisan sederhana ini kuburan masing-masing.

Juga Cong San dan Yan Cu tidak berani mengganggu Biauw Eng. Sepasang orang muda ini tampak rukun dan sering kali bicara bisik-bisik sehingga diam-diam Keng Hong merasa girang sekali hatinya, mengharapkan agar sekali ini Yan Cu yang lincah itu benar-benar dapat menemukan cintanya!

Tak seorang pun di antara orang muda ini mengira bahwa urusan di puncak itu belumlah habis sampai di situ saja. masih ada bahaya besar mengancam mereka. Bahaya yang merupakan diri seorang nenek tua renta, yang berlari cepat seperti terbang sambil kadang-kadang tertawa atau menangis tanda bahwa otaknya tidak waras. Nenek ini adalah Go-bi Thai-houw!

Secara kebetulan saja Go-bi Thai-houw yang melakukan perjalanan mencari kedua orang muridnya, bertemu dengan Cui Im di kaki Gunung Tai-hang-san. Andaikata tidak bertemu dengan Cui Im, tentu nenek ini tidak akan mendaki puncak sambil berlari secepat terbang. Dia sedang berjalan seenaknya ketika mendengar suara rintihan dicampur isak tangis. Ketika melihat bahwa yang merintih-rintih dan menangis itu adalah seorang wanita muda cantik yang pundaknya terluka besar, nenek ini menghampiri, berdiri di depan Cui Im kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Cui Im!

"Ha-ha-ha, heh-heh, sungguh bocah lucu engkau! Lelah, setengah mati dan terluka, kenapa malah menangis?" Nenek itu lalu meletakkan telunjuk ke depan dahinya yang penuh keriput dan bertanya, "Eh, bocah lucu, apakah engkau begini?"

Cui Im mengangkat mukanya dan biar pun dia sudah terluka lahir batin, kemarahannnya memuncak ketika ia diejek dan dianggap gila. Cepat ia meloncat dan memukul dada nenek itu.

"Dessssss!" Cui Im terkejut karena dada yang dipukulnya itu lunak seperti kapas, maka maklumlah ia bahwa tentu nenek ini seorang yang lihai luar biasa.

"Nenek gila! Siapa kau...?" Tiba-tiba ia teringat. Nenek yang gila dan amat lihai. Siapa lagi kalau bukan Go-bi Thai-houw? "Engkau... engkau Go-bi Thai-houw?"

"Hi-hi-he-he-heh! Engkau benar gila tapi matamu tajam. Benar aku Go-bi Thai-houw, dan mengapa engkau menangis di sini?"

Tiba-tiba Cui Im tertawa, tertawa didorong kecerdikannya yang pada saat seperti itu masih mempunyai akal untuk membalas kekalahannya. "Hi-hi-hik, nenek gila. Sekarang kau boleh mentertawakan aku yang menangis, akan tetapi engkau takkan bisa tertawa lagi kalau mendengar penuturanku tentang muridmu!"

Biarpun otaknya miring, mendengar tentang muridnya, nenek itu cepat bertanya nafsu, "Di mana murid-muridku?"

"Muridmu bernama Tan Hun Bwee dan Sie Biauw Eng, bukan? Muridmu Tan Hun Bwee itu pun gila seperti engkau?"

"Setan kau! Muridku keduanya waras seperti aku, tidak gila seperti engkau?"

Cui Im tidak mau berbantahan dengan seorang gila, cepat ia berkata, "Percuma saja kau mencari. Muridmu Tan Hun Bwee sudah dibunuh oleh Cia Keng Hong, tuh mayatnya masih menggeletak di atas puncak!" Cui Im sengaja berkata demikian padahal sudah sehari semalam ia sampai di kaki gunung ini dalam perjalanannya setengah merangkak.

"Bedebah!" Tanpa bertanya lagi Go-bi Thai-houw lalu melompat dan lari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak Tai-hang-san. Cui Im tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanannya dengan terhuyung-huyung.

Demikianlah, pada siang hari itu secara tiba-tiba Go-bi Thai-houw muncul di puncak dan begitu melihat Biauw Eng bersama tiga orang berada di situ, cepat ia berseru,

"Mana Hun Bwee? Mana yang bernama Cia Keng Hong?"

Semua orang terkejut dan menengok karena kedatangan nenek itu tidak mereka ketahui sama sekali, tahu-tahu nenek itu telah berada di situ!

"Subo...!" Biauw Eng lari dan berlutut di depan Go-bi Thai-houw sambil menangis. "Subo... suci telah tewas...!"

***

"Eh, Biauw Eng, apakah kau mendadak telah menjadi gila? Ha-ha-ha, Hun Bwee mati, kenapa engkau malah menangis?" Tentu saja Keng Hong, Cong San dan Yan Cu terkejut dan terheran-heran mendengar ucapan yang aneh ini.

Biauw eng tahu bahwa bagi nenek ini, orang berduka harus tertawa, kalau senang barulah menangis. Betapa selama dia menjadi murid nenek itu dia dan Hun Bwee selalu harus ikut menggila. Akan tetapi kini dia tidak bernafsu untuk bermain sandiwara dan tangisnya mengguguk. "Subo... dia... Tewas...

"Aku sudah tahu?" Nenek itu membentak. "Mana murid Sin-jiu Kiam-ong? Mana dia yang bernama Cia Keng Hong yang membunuh Hun Bwee?"

Keng Hong terkejut. Dia sudah mendengar bahwa nenek sakti ini miring otaknya, maka cepat dia menghampiri, memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, sayalah yang bernama Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong dan tentang nona Tan..."

"Wuuuuuttttt!" Nenek itu telah menghantamnya dengan gerakan yang cepat bukan main. Keng Hong terkejut, mengelak sambil menangkis, akan tetapi dia masih terpelanting. Nenek itu memiliki kekuatan yang mujijat!

"Bagus, murid Sie Cun Hong engkau mampuslah!" Nenek itu menyerang lagi lebih hebat daripada tadi. Keng Hong kembali mengelak.

"Locianpwe, tunggu dulu...! Bukan saya yang membunuhnya..."

"Cerewet! Membunuh atau tidak, murid Sie Cun Hong harus mampus!" Kini serangan Go-bi Thai-houw benar-benar hebat dan gerangannya membingungkan Keng Hong yang terpaksa harus mengerahkan kecepatannya untuk mengelak sambil meloncat ke sana-sini.

"Heh-heh-heh, engkau pandai juga, keparat!" Kini nenek itu mengeluarkan serangan dengan gerakan aneh dan lucu tampaknya kacau-balau akan tetapi setiap gerak tangannya mengeluarkan angin yang menyambar-nyambar seperti badai mengamuk.

Keng Hong terkejut, maklum bahwa membantah pun percuma saja terhadap nenek gila yang amat lihai ini. Dia cepat mainkan Thai Kek Sin-kun dan menjaga dirinya rapat-rapat, mengelak sambil menangkis dengan kedua tangan, namun dalam belasan jurus saja dia sudah terdesak hebat dan dipaksa mundur terus.

"Subo...!" Biauw Eng meloncat ke depan nenek itu menghalangi nenek itu menyerang Keng Hong. "Subo, jangan menyerang Keng Hong...!"

"Apa kau bilang? Kau sudah gila? Dia murid Sie Cun Hong, hayo kau bantu aku membunuhnya!" Nenek itu membentak-bentak.

"Tidak, Subo! Aku tidak akan menyerangnya, aku cinta kepadanya!"

Nenek itu tertawa. "He-he-heh, justeru kalau cinta harus membunuhnya, tolol!"

Keng Hong memandang penuh keharuan kepada Biauw Eng, penuh kemesraan. Terbayanglah dia dahulu ketika dia hendak dibunuh Lam-hai Sin-ni, gadis itu pun membelanya dan seperti juga sekarang, secara terang-terangan penuh ketulusan hati, gadis ini mengaku cinta kepadanya! Ah, Biauw Eng... hatinya menjerit.

"Tidak Subo. Engkau tidak boleh menyerangnya, dan dia tidak membunuh suci Tan Hun Bwee!"

"Apa? Engkau hendak membela Cia Keng Hong? Hendak membela murid Sin-jiu Kiam-ong? Engkau tidak mau membantu memusuhi Sie Cun Hong?"

"Tidak mungkin, Subo, Sie Cun Hong itu adalah mendiang ayahku."

"Heh...???" Agaknya untuk detik itu, kegilaan meninggalkan hati dan pikiran nenek itu dan ia memandang terbelalak. "Bukankah kau puteri Lam-hai Sin-ni?’

"Ibuku memang Lam-hai Sin-ni, akan tetapi ayahku Sie Cun Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong, karena itu tidak mungkin aku memusuhinya dan apalagi aku cinta kepada murid ayahku..."

"Iblis!" Nenek itu menendang dan tubuh Biauw Eng mencelat sampai lima meter jauhnya. Gadis itu roboh berguling-guling akan tetapi cepat meloncat bangun lagi.

"Keparat, kau puteri Sie Cun Hong, he-he-heh! Kalau begitu engkau pun harus mampus. Kau puterinya, dan Lam-hai Sin-ni sainganku, ha-ha-ha!" Nenek itu meloncat maju hendak menyerang Biauw Eng, akan tetapi Keng Hong sudah menghadangnya.

"Locianpwe, harap sabar...!"

"Mampus kau!" Go-bi Thai-houw menghantam kedua tangannya dan tampaklah uap hitam menyambar dari sepasang telapak tangannya. Keng Hong terkejut bukan main dan cepat dia membuang diri ke belakang, namun tetap saja dia masih merasa hawa yang amat dahsyat menyerempet pundaknya sehingga biarpun dia sudah berjungkir balik, tetap saja dia terbanting jatuh.

Biauw Eng yang menyaksikan ini, cepat meloncat dan mengirim pukulan dari samping ke arah lambung nenek itu. Go-bi Thai-houw berusaha mengelak, namun kepalan tangan Biauw Eng masih masih menyerempet pinggulnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan ia meloncat ke belakang sambil memasuki.

"Aku tidak mengaku engkau sebagai murid, engkau musuhku!"

"Terserah! Aku hanya berhutang budi setahun lamanya padamu, akan tetapi aku telah berhutang budi selamanya terhadap orang tuaku, terutama ibuku. Tak mungkin aku mendiamkan saja engkau memaki-maki orang tuaku, terutama ibuku!" Biauw Eng juga membentak arah dan kembali ia menyerang. Hampir saja lengannya dapat ditangkap oleh nenek yang lihai itu kalau saja Keng Hong tidak cepat menyambar tubuh Biauw Eng ke samping dan mengirim tendangan yang dapat ditangkis oleh Go-bi Thai-houw. Pada saat itu, Cong San dan Yan Cu juga maju membantu dan mengeroyok nenek itu. Dikeroyok empat orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, nenek itu kewalahan juga, memaki-maki dan menyeling tangis dan tawa.

Menyaksikan kehebatan si nenek gila, Cong San dan Yan Cu mencabut pedang, juga Biauw Eng telah melolos sabuk suteranya, akan tetapi Keng Hong berseru,

"Jangan pergunakan senjata!" Cong San dan Yan Cu segera menyimpan pedang mereka kembali, akan tetapi Biauw Eng memandang penasaran.

"Kenapa, Keng Hong? Dia gila dan jahat!"

"Justeru karena dia tidak waras pikirannya kita harus dapat memaafkannya Biauw Eng. Pula, sedikitnya dia adalah gurumu. Kau tidak boleh membunuhnya."

Nenek itu mengamuk dengan hebat dan karena Keng Hong melarang teman-temannya membunuh, mereka berempat menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan nenek itu sehingga berganti-ganti empat orang muda itu terpelanting dan terlempar. Pukulan-pukulan empat orang muda itu jika mengenai tubuh si nenek hanya membuat nenek itu bergoyang tubuhnya. Hanya pukulan Keng Hong yang membuat ia terhuyung dan hampir roboh. Kalau saja Keng Hong menggunakan seluruh tenaganya, agaknya dibantu tiga orang muda yang lihai itu tentu dia dapat memukul tewas lawannya. Namun pemuda yang bijaksana ini tidak menghendaki demikian.

Untuk ke sekian kalinya, ketika nenek itu sibuk menangkis serangan Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, Keng Hong dapat menampar punggungnya dari belakang. Nenek itu menggeluarkan keluhan dan tubuhnya terpelanting, akan tetapi sambil bergulingan ia berhasil menyambar pinggang Yan Cu, terus mengempit tubuh dara ini dan mengayun tangan memukul ke arah ubun-ubun Yan Cu!

"Celaka...!" Cong San berseru kaget dan dengan nekat dia menubruk nenek itu, menangkap tangannya dan menelikung ke belakang. Juga Biauw Eng sudah menubruk dan menarik tangan satunya yang mengempit pinggang Yan Cu, sedangkan Keng Hong maju pula menotok pundak untuk membuat nenek itu roboh lemas.

Akan tetapi, betapa kaget hati Keng Hong ketika jari tangannya menotok jalan darah yang seolah-olah kering dan kaku seperti kawat baja!

Nenek itu tertawa, tubuhnya bergoyang seperti seekor anjing mengeringkan bulu dan... tubuh Yan Cu , Cong San dan Biauw Eng terlempar dan terbanting keras ke kanan kiri! Tiga orang muda ini bergulingan dan meloncat bangun, tidak terluka akan tetapi amat kaget dan sedikitnya kulit tangan kaki mereka babak-bundas!

Nenek itu mendengus-dengus, tertawa-tawa bercampur isak, dikurung seperti seekor anjing gila digoda empat orang anak nakal. Tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring berwibawa,

"Hian Wi...!" Apa yang kaulakukan ini...??"

Go-bi Thai-houw kelihatan terkejut sekali, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan tubuhnya cepat membalik ke arah suara halus itu. Ketika ia melihat seorang nenek tua lain berdiri tak jauh dari situ dengan sikap agung dan angkuh memandangnya, Go-bi Thai-houw menjadi makin ketakutan, tubuhnya gemetar dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut!

"Ahhhhh... Nyonya... am... Ampunkan hamba.. hamba tidak apa-apa...!"

Nenek yang berdiri dengan sikap angkuh dan agung Tung Sun Nio. Sejenak ia memandang nenek gila itu, kemudian berkata dengan suara dingin, "Hemmm... kalau begitu, pergilah, Hian Wi!"

"Baik.. baik... Nyonya!" Nenek gila itu memberi hormat dengan berlutut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah mencelat dan lari turun dari puncak seperti dikejar setan!

"Subo...!" Keng Hong dan Yan Cu lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Tung Sun Nio yang masih menengok ke arah larinya Go-bi Thai-houw.

***

"Subo, sungguh menakjubkan! Go-bi Thai-houw itu lihai bukan main, kepandaiannya seperti iblis, akan tetapi dia begitu takut kepada Subo. Mengapakah?" Yan Cu yang memang berwatak jenaka bertemu gurunya sudah bertanya dengan ramah. Agaknya pertemuannya dengan Go-bi Thai-houw itu menimbulkan kenang-kenangan yang amat mempengaruhi batin Tung Sun Nio sehingga sejenak ia seperti lupa akan segala urusan yang dihadapi, melainkan terbayang kembali semua pengalaman masa dahulu. Seperti orang mimpi ia menjawab pertanyaan Yan Cu.

"Mengapa? Dia bernama Oh Hian Wi, semenjak kecil menjadi pelayan ibuku, bahkan setelah aku menikah dengan Sie Cun Hong, dia lalu ikut bersamaku, menjadi pelayanku. Biarpun pelayan, dia kami perlakukan dengan baik, malah diberi pelajaran ilmu silat sesuai dengan pelayan keluarga ahli silat. Akan tetapi... Nenek itu menarik napas panjang, "dia tergila-gila kepada suamiku, ketahuan olehku, merasa bersalah dan melarikan diri. Sungguh tidak nyana dia sekarang menjadi Go-bi Thai-houw yang gila, ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku, akan tetapi rasa bersalah masih menggores hatinya maka dia ketakutan berjumpa denganku..."

Keterangan ini membuat Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu tercengang. Pantas saja nenek gila itu lari seperti seekor anjing diancam penggebuk! Dan untung nenek itu lari karena sesungguhnya nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia! Tung Sun Nio agaknya masih terharu dan perjumpaannya dengan bekas pelayan itu membuat ia termenung, tenggelam dalam lamunan sehingga keadaan menjadi sunyi sejenak.

Tiba-tiba nenek itu sadar kembali dan kini pandang matanya ditujukan kepada Yan Cu dan Keng Hong, kemudian terdengar suaranya dingin dan keras,

"Keng Hong! Yan Cu! Apa yang telah kalian lakukan? Mengapa kalian melarikan diri?"

"Subo, teecu ingin mencari pengalaman, maka teecu mengajak suheng untuk pergi merantau," kata Yan Cu.

"Maaf, Subo. Teeculah yang mengajak Suoi pergi untuk meluaskan pengalaman, teecu yang bersalah dalam hal ini."

"Tidak, Subo, Suheng tidak bersalah, teecu yang bersalah dan kalau Subo hendak menjatuhkan hukuman, teecu siap menerimanya," bantah Yan Cu.

"Sumoi tidak bersalah, teecu yang harus dihukum." Keng Hong tidak mau mengalah.

Tung Sun Nio yang biasanya berwajah dingin dan ura itu tersenyum. "Bagus, agaknya sekarang kalian sudah saling membela dan saling melindungi. Itu artinya kalian saling mencinta! Anak-anak nakal, aku memaafkan kalian. Mari kita pulang dan akan kurayakan pernikahan kalian!"

"Tidak...!" Teriakan ini terdengar hampir berbarengan dari mulut Keng Hong dan Yan Cu sehingga mengejutkan hati Tung Sun Nio. Nenek ini seketika kehilangan senyum dan seri wajahnya, memandang tajam penuh kemarahan.

"Apa kalian bilang? Sekarang juga kalian harus ikut aku pulang dan menikah. Hayo jawab!"

"Tidak, Subo!" Kembali kedua orang muda itu menjawab serempak dan wajah nenek itu menjadi merah. Cong San dan Biauw Eng hanya mendengarkan sambil menonton dengan hati tegang.

"Keng Hong! Mengapa kau berani membangkang?"

"Maaf, Subo. Teecu tidak mungkin dapat menikah dengan Yan Cu Suoi karena teecu mencinta gadis itu!" Keng Hong menunjuk ke arah Biauw Eng yang tiba-tiba menundukkan mukanya dengan wajah kemerahan.

"Setan! Engkau mewarisi watak gurumu! Siapa gadis ini?"

"Dia bernama Sie Biauw Eng dan dia... Dia... dia adalah puteri suhu sendiri."

"Apa??" Mata nenek itu terbelalak memandang ke arah Biauw Eng. "Puteri ... Sie Cun Hong?"

"Benar, Subo. Ibunya adalah mendiang Lam-hai Sin-ni. Teecu dan dia sudah saling mencinta semenjak dahulu, mengharapkan kebijaksanaan Subo."

Wajah nenek yang masih cantik itu kerut-merut tanda bahwa hatiya terguncang. Kemudian ia menunduk, memandang Yan Cu membentak,

"Dan engkau, Yan Cu?"

"Teecu tidak dapat menikah dengan Suheng karena... karena... Dara itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan melirik ke arah Cong San, kemudian menggigit bibir seolah-olah hendak menambah ketabahannya dan berkata lantang, "Karena teecu mencinta pemuda lain..."

"Siapa dia?" Bentak gurunya, tercengang mendengar semua ini.

"Dia itulah...!" Yan Cu menuding ke arah Cong San dan pemuda ini memandang dengan wajah berseri penuh kebahagiaan. Baru sekarang Yan Cu menyatakan cinta kasih dengan kata-kata, bahkan pengakuan ini dilakukan di depan banyak orang! Hampir Cong San menari-nari kegirangan dan tiba-tiba sinar matahari makin gemilang baginya, dunia tampak seperti sorga!

Seperti tadi, nenek itu memandang Cong San dengan sinar mata penuh selidik bercampur kemarahan. "Siapa pemuda ini?"

"Dia bernama Yap Cong San, murid ketua Siauw-lim-pai. Kami sudah saling mencinta, Subo, maka hanya dengan dialah teecu mau menikah."

Hening sejenak, keheningan yang mencekam hati empat orang muda penuh ketegangan. Tiba-tiba nenek itu membanting kakinya dan menjerit, "Tidak...!! Kalian tunduk kepadaku. Kalian harus pulang sekarang juga dan melangsungkan pernikahan!"

"Teecu tidak mau, Subo!" Yan Cu berkata dengan isak tertahan.

"Murid celaka!" Tung Sun Nio menggerakkan kakinya menendang.

"Desss!" tubuh Yan Cu terlempar jauh dan bergulingan.

"Moi-moi...!" Cong San menubruk dan memeluk gadis itu, membantunya bangun.

"Subo, jangan...!"

"Kau pun murid celaka!" Kakinya menendang lagi. Kalau Keng Hong menghendaki, tentu saja akan mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia tidak berani melakukan perlawanan.

"Desss!" Tubuhnya pun terlempar.

"Keng Hong...!" Biauw Eng menubruknya.

Dua pasang orang muda itu berpelukan dan memandang kepada nenek itu yang menjadi makin marah.

"Keparat, kubunuh kalian kalau tidak mau menurut!" Bentaknya dan sekali ia sudah mendekati Keng Hong yang berpelukan dengan Biauw Eng, menendang lagi. Biauw Eng menggerakkan tangan menangkis, akan tetapi tangannya cepat dipegang Keng Hong yang membiarkan dirinya ditendang.

"Desss!!" Kini tubuh Keng Hong dan Biauw Eng keduanya terpental dalam keadaan masih berangkulan dan bergulingan di atas rumput.

Nenek yang sudah marah itu meloncat dan menendang Yan Cu dan Cong San yang juga terlempar dalam keadaan saling berpelukan.

Sungguh sial empat orang muda itu. Baru saja mereka dihajar oleh Go-bi Thai-houw si nenek gila sampai babak bundas, kini dihajar oleh Tung Sun Nio sampai dua kali terguling-guling dan kulit mereka bertambah lecet-lecet!

"Subo, pernikahan tak dapat dipaksakan!" Keng Hong berseru. "Apa artinya perjodohan tanpa cinta kasih? Apakah Subo hendak mengulang kembali peristiwa antara Subo dengan mendiang Suhu?"

Nenek itu tiba-tiba berhenti dan tubuhnya seperti kaku mendengar seruan Keng Hong ini.Wajahnya menjadi makin merah dan matanya seperti mengeluarkan api yang akan membakar empat orang muda itu. Bibirnya menggigil dan sukar sekali ia mengeluarkan kata-kata, kemudian ia menjerit, "Apa...??" Tangannya meraba gagang pedang dan sinar maut membayangi pandang matanya!

"Omitohud...!" Tepat sekali ucapan orang muda ini. Sun Nio, mengapa engkau belum insyaf?" Tiba-tiba terdengar suara yang halus.

Nenek itu terpekik dan membalikkan tubuhnya. Sejenak ia berdiri terbelalak memandang hwesio tua yang berdiri di situ dengan wajah tenang dan sinar mata penuh kebijaksanaan. Nenek itu seolah-olah telah berubah menjadi arca, menatap hwesio itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

"Suhu...!" Cong San yang masih memeluk Yan Cu melepaskan gadis itu dan menjatuhkan diri berlutut di tempatnya memberi hormat kepada hwesio yang bukan lain adalah gurunya sendiri, Tiong Pek Hosiang ketua Siauw-lim-pai! Kalau Tung Sun Nio dapat tiba di puncak Tai-hang-san untuk mencari dan menyusul dua orang muridnya, adalah ketua Siauw-lim-pai ini yang merasa tidak tenteram hatinya ingin menghadiri pertemuan puncak menyusul murid-muridnya yang mewakilinya.

"Tiong-koko...!" Nenek itu akhirnya menjerit, lari menghampiri hwesio itu dan berlutut di depannya, merangkul kedua kakinya dan menangis terisak-isak. "Tiong-koko... Puluhan tahun aku mencarimu... Betapa kejam hatimu meninggalkan aku. Siapa kira... Ketua Siauw-lim-pai adalah engkau... Hu-hu-huuuk... Kiranya engkau menjadi hwesio..."

"Omitohud.. tenangkan hatimu, Sun Nio. Aku menjadi hwesio untuk menebus dosaku yang amat besar terhadap mendiang suamimu, Sie Cun Hong Taihiap. Dan untuk melupakanmu." Nenek itu menangis makin mengguguk di depan kaki Tiong Pek Hosiang, sedangkan empat orang muda itu memandang dengan melongo. Kembali mereka disuguhi pemandangan yang aneh dan tidak terduga-duga.

***

"Kalian dengarlah penuturan pinceng, orang-orang muda, agar dapat kalian jadikan contoh. Memang tadi pinceng kagum mendengar bantahan orang muda murid Sin-jiu Kiam-ong dan memanglah, jodoh yang dipaksakan tanpa cinta kasih hanya akan mengakibatkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah Tung Sun Nio ini sendiri. Tanpa cinta kasih dijodohkan orang tuanya dengan Sie Cun Hong, padahal dia mencinta Ouw-yang Tiong, yaitu pinceng sendiri! Kalau saja Sie Cun Hong bersikap bijaksana dalam hubungan suami isteri, agaknya Sun Nio perlahan-lahan akan dapat melupakan pinceng. Akan tetapi sayang, Sie Cun Hong mempunyai watak romantis, suka berenang dalam lautan nafsu sehingga Sun Nio menderita batin dan makin condong hatinya terhadap pinceng! Malapetaka menimpa ketika pinceng yang memang sejak dahulu bersahabat dengan Sie-taihiap, mengunjungi mereka. Cinta kasih lama kambuh, getaran perasaan meluap sehingga Sun Nio dan pinceng lupa diri, menjadi hamba nafsu melakukan pelanggaran!” Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Menyesal pun sudah kasep, pinceng melarikan diri dan tekun menjadi hwesio di Siauw-lim-si sehingga akhirnya terangkat menjadi ketua. Sungguh menyesal sekali bahwa rumah tangga Sie-taihiap menjadi berantakan, Sie-taihiap makin menggila dan Sun Nio.. Ah, sungguh kasihan dia...!"

"Tiong-koko.. hu-huuuuukkkk...!" Nenek itu menangis tersedu-sedu dan hati empat orang muda yang mendengarkan penuturan ini menjadi terharu sekali. Bahkan Biauw Eng dan Yan Cu tak dapat menahan mengalirnya air matanya. Yan Cu terisak dan menubruk subonya, menangis berpelukan dengan gurunya yang bernasib malang menjadi korban cinta kasih.

"Demikiankahlah, anak-anak. Cinta adalah perasaan yang suci dan gaib, kekuasaannya besar sekali mempengaruhi kehidupan manusia. Cinta yang murni membutuhkan kesadaran dan kebijaksaan karena memiliki cabang-cabang yang dapat membingungkan manusia dan kalau tidak hati-hati dapat dikotori nafsu berahi semata sehingga menyeret manusia menjadi hamba nafsu. Cinta bukan hanya meminta, melainkan lebih banyak memberi, tidak hanya menuntut disenangkan, melainkan terutama sekali harus menyenangkan orang dicintanya. Cinta suci telah diberikan oleh Thian kepada manusia, tengoklah sekelilingmu, sedemikian besar dan suci cinta kasih dari Thian Yang Maha Kasih, menciptakan alam dan memberikan seluruhnya kepada manusia tanpa menuntut sesuatu! Ingatlah akan cinta orang tua terhadap terhadap anaknya, terutama cinta seorang ibu kepada anaknya, hanya memberi, memberi dan memberi! Kalau cinta antara pria dan wanita, yang dibahayakan oleh nafsu yang menjadi cabangnya, mencontoh cinta kasih murni itu, memberi, menyenangkan, pinceng kira cinta kasih itu akan menjadi sumber kebahagiaan suami isteri."

Yan Cu memandang kepada hwaseio itu dengan terharu dan wajah berseri. Kini dia telah mendapatkan cinta yang dicari-carinya, dalam diri... Cong San!

"Sun Nio. Engkau telah banyak menderita karena cinta. Apakah engkau sekarang ingin melihat muridmu menderita pula seperti engkau karena cinta? Muridmu mencinta muridku Cong San. Nah, sekarang pinceng mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan pinangan atas diri muridmu yang menjadi jodoh muridku. Bukankah ini pemecahan yang amat baik, Sun Nio? Sewaktu kita berdua masih berada di ambang pintu kematian, sudah sama-sama tua, kita masih dapat melanjutkan ikatan di antara kita, menjadi besan! Muridmu menjadi isteri muridku, bukankah hal ini amat membahagiakan?"

Nenek itu menyusut air matanya, lalu perlahan bangkit berdiri, masih merangkul Yan Cu. Ia menganggung-angguk, kemudian dengan suara serak bertanya, "Yan Cu, engkau kusayang seperti anakku sendiri. Benarkah engkau mencinta Cong San?"

"Benar, Subo."

"Baiklah, Tiong-koko.. Eh, bukankah sekarang namamu Tiong Pek Hosiang? Aku menerima pinanganmu, akan tetapi pernikahan harus dirayakan di tempatku."

Tiba-tiba Keng Hong yang masih berlutut, "Subo, teecu sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai wali. Subo sebagai isteri mendiang Suhu merupakan satu-satunya orang yang dapat teecu anggap sebagai wali. Sudikah Subo memberi ijin kepada teecu untuk berjodoh dengan Sie Biauw Eng?"

Biauw Eng yang cerdik cepat pula berkata, "Locianpwe adalah isteri pertama dari ayahku, maka Locianpwe juga merupakan ibu tiriku, maka aku mohon doa restu Locianpwe."

"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Tiong Pek Hosiang tertawa. "Omitohud...!" Betapa besar berkah yang dilimpahkan oleh Thian kepada kita semua! Sun Nio, tidak dapatkah kau melihat betapa membahagiakan peristiwa ini? Cia Keng Hong adalah murid Sie Cun Hong, Sie Biauw Eng adalah puterinya dan anak tirimu. Gui Yan Cu adalah muridmu, dan Yap Cong San adalah murid pinceng. Dahulu, cinta segi tiga antara kita orang-orang tua menimbulkan derita, kini keturunan kita mengakhiri derita itu dengan penggabungan kembali keturunan kita bertiga, menjadi satu! Terima kasih kepada Thian yang memberi kebahagiaan ini kepada kita!"

Tung Sun Nio tersenyum dan sinar terang membuat wajahnya yang dahulu selalu muram itu menjadi berseri. Ia mengangguk-angguk memandang Biauw Eng, bulu matanya basah dan air matanya mengalir turun ketika Biauw Eng bangkit dan memelukya sambil menangis.

“Kita rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya secara besar-besaran!” kata Tiong Pek Hosiang. “Akan pinceng undang semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong. Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita turun dari puncak ini."

Maka turunlah dua pasang orang muda dan sepasang kakek nenek itu dari puncak Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajak manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia sewaktu masih hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas! Bahwa segala macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan bunga-bunga pohon tiada "Kita rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya secara besar-besaran!" kata Tiong Pek Hosiang. "Akan pinceng undang semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong. Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita turun dari puncak ini."

Maka turunlah dua pasang orang muda dan sepasang kakek nenek itu dari puncak Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajak manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia sewaktu masih hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas! Bahwa segala macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan bunga-bunga pohon tiada hentinya sampai berakhir dengan gugur dan rontoknya daun-daun dan bunga-bunga itu dari tangkainya.

Keng Hong bergandeng tangan dengan Biauw Eng. Cong San bergandeng tangan dengan Yan Cu. Dua pasang orang muda ini berjalan di lereng belakang nenek dan kakek. Mereka tersenyum-senyum, kadang-kadang saling pandang dengan sinar mata berseri-seri penuh kebahagian hidup. Mereka bergembira, memang. Hasrat hati yang tercapai menimbulkan kegembiraan, bukan kebahagian. Kebahagian sejati tidak dapat di capai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati, tidak dapat dicapai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati sudah ada dalam diri setiap orang manusia. tenggela di dasar telaga hati, tergantung pada tali kesadaran. Kalau air telaga menjadi keruh karena getaran gelombang nafsu, maka takkan tampaklah dia. Hanya hati yang hening jernih saja yang akan membuat dia tampak melalui kesadaran.

Kota kecil Sun-ke-bun terletak di tepi Sungai Fen-ho di sebelah selatan kota besar Tai-goan dan masih termasuk wilayah kaki Gunung Tai-hang-san. Pagi hari itu kota kecil Sun-ke-bun diselimuti kabut dingin yang bergerak perlahan turun dari arah lereng-lereng Gunung Tai-hang-san, akan tetapi Sungai Fen-ho sendiri mengepulkan kabut yang hangat.

Perang saudara yang berkobar karena perebutan kekuasaan antara Raja muda Yung Lo dan keponakannya yang menjadi kaisar Kerajaan Beng telah padam. Perang selesai dengan kemenangan di fihak Raja Muda Yung Lo yang kemudian naik tahta Kerajaan Beng di tahun 1403. Setelah memindahkan pusat pemerintahan di Peking yang dijadikan ibu kota.

Pemerintah yang baru ini masih sibuk membangun kerusakan-kerusakan akibat perang sehingga belum sempat mengatur daerah-daerah yang jauh dari ibu kota. Seperti lajin terjadi di dunia ini, kalau kedudukan pemerintah belum teratur, maka keamanan pun belum dapat terjamin penuh dan muncullan kekuasaan-kekuasaan liar sehingga terjadi hukum rimba. Siapa kuat dia menang dan berkuasa.

Dalam keadaan sekacau itu, rakyat yang tinggal di dusun-dusun dan di kota-kota kecil yang jauh dari ibu kota, di cekam rasa ketakutan dan terpaksa tunduk kepada kekuasaan liar yang merajalela. Bajak, rampok dan golongan hitam (penjahat) berpesta-pora, melakukan segala macam perbuatan maksiat tanpa ada yang berani melarangnya. Bahkan para pembesar setempat yang masih belum tentu keadaannya dan kedudukannya berhubung dengan peralihan kekuasaan di pemerintah pusat, terpaksa lunak dan mengalah terhadap orang-prang golongan hitam.

***

Kota Sun-ke-bun tidak terkecuali dari keadaan itu. Kota kecil ini seakan-akan dikuasai dan diperintah oleh para pembesar lemah bersama kaum hitam! Betapa pun juga, rakyat yang selalu tunduk akan keadaan karena terpaksa itu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kota itu tetap ramai dan seolah-olah di situ tidak terdapat penindasan dan kekacauan.

Pagi hari itu toko-toko dan warung-warung makan belum buka, bahkan pintu-pintu rumah penduduk banyak yang belum buka karena mereka sibuk dengan pekerjaan di dalam dan di belakang rumah. Hawa amat dinginnya, membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan rumah-rumah penduduk masih sunyi sekali. Orang-orang segan bermandi kabut dingin di luar rumah.

Akan tetapi, sesosok bayangan orang yang hampir tak tampak ditelan kabut dingin, berjalan memasuki kota Sun-ke-bun dari pintu timur. Ia berjalan terseok-seok terhuyung-huyung dan keadaannya seperti orang kehabisan tenaga, kadang-kadang berhenti dan menyandarkan diri di luar dinding rumah orang untuk mengatur napas. Diselimuti kabut yang tebal, sukar menentukan siapa orang itu, laki-laki atau wanita, tua atau muda, hanya yang sudah pasti orang itu tentu dalam keadaan menderita kelelahan atau mungkin dalam keadaan sakit.

Tiba-tiba kesunyian dipecahkan suara derap kaki kuda yang datang dari selatan. Serombongan orang berkuda lewat di jalan itu, akan tetapi mereka tidak melihat orang yang bersandar pada dinding rumah di pinggir jalan. Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berpakaian seperti seperti orang-orang kang-ouw, dengan senjata di pinggang atau punggung. Sikap mereka kasar dan mereka kini menjalankan kuda perlahan sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap.

"Setan! Malas-malas benar penduduk kota ini, seperti babi!"

"Kalau kita bakar rumah-rumah mereka, hendak kulihat apakah mereka akan tetap berpelukan dengan isteri mereka di bawah selimut. Ha-ha-ha!"

"Sialan! Semua masih tutup dan perutku sudah lapar sekali! Seekor lembu pun bisa habis kuganyang pada saat ini!"

"Itu ada rumah makan. Gedor saja, paksa pemiliknya suruh buka melayani kita!"

"Bagaimana kalau dia belum membeli daging?"

"Ha-ha-ha! Koki restoran mesti gemuk, kita sembelih saja dia dan masak dagingnya!"

Mereka tertawa-tawa dan menghentikan kuda di depan sebuah rumah makan "Arak Merah" yang masih tertutup daun pintunya, berloncatan turun, mengikatkan kendali kuda pada tempat yang disediakan untuk itu di luar, kemudian sambil tertawa-tawa mereka berteriak-teriak kasar dan parau sambil menggedor pintu rumah makan "Arak Merah".

"Duk-duk-brukkk! Buka pintu, babi malas! Cepat... kalau tidak kuhancurkan pintu ini!"

Dari dalam terdengar suara bakiak terdaruk-saruk dan terdengar suara orang tergesa-gesa, "Baik...baik...! Harap sabarlah...akan saya buka pintunya!"

Tujuh orang laki-laki itu tertawa bergelak dan daun pintu terbuka lebar-lebar oleh seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gemuk sekali, pakaiannya masih tidak karuan, bercelana akan tetapi tidak berbaju sehingga daging dadanya yang bulat seperti buah dada wanita dan perutnya yang berlipat lima itu tampak. Munculnya pemilik restoran yang amat gemuk ini memancing ketawa tujuh orang tadi.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Benar-benar babi gemuk yang sudah sepatutnya disembelih!"

"Tentu tebal gajihnya!"

"Wah, Sam-can (potongan daging lemak kulit) yang lezat nih, apalagi kalau dipanggang setengah matang!"

"Akan tetapi harus banyak jahe dan mericanya, kalau tidak... wah minta ampun bau keringatnya! Ha-ha-ha!"

"Buntutnya untuk aku saja..."

"Bodoh, makin besar babinya, makin kecil buntutnya,ha-ha-ha!"

Pemilik restoran itu sudah terbiasa akan sikap kasar orang-orang seperti ini, maka dia tidak menjadi takut. Dia maklum bahwa orang-orang kang-ouw yang kasar ini tidak akan mengganggunya, hanya suka menggodanya, dan paling-paling mereka ini datang karena membutuhkan makan dan minum. Maka dia tertawa lebar, menyeringai seperti babi menguap dan berkata,

"Wah, wah, tentu Chit-wi Taihiap (Ketujuh Pendekar Besar) hanya main-main saja. Babi gemuk yang tua seperti saya ini tentu alot dan nyinyir!"

Seorang di antara ketujuh orang yang tertawa-tawa mendengar ini, yang jenggotnya dipotong pendek sehingga merupakan sikat kawat dan bermata bundar, melotot sambil membentak,

"Kami boleh main-main, akan tetapi perut kami yang lapar dan golok kami yang haus darah tidak main-main. Lekas sediakan masakan yang paling lengkap, arak merah yang paling keras dan wangi. Kalau tidak ada kayu bakar, kami akan cabut daun pintu restoranmu untuk kayu bakar, kalau tidak ada air, darahmu pun boleh dibuat pengganti dan kalau tidak ada daging... hemmm..." Si brewok menusukkan telunjuknya perlahan ke perut pemilik restoran, "...biar alot, dagingmu pun boleh kau panggang untuk kami!"

Pemilik restorang bergelak bersama mereka sambil mengangguk-angguk, "Ada, semua siap. Chit-wi tunggu sebentar, akan saya masakan sop buntut naga, kuah telinga harimau, dan panggang paha burung hong!"

"Babi tua penipu! Nama masakanmu selalu sepeti dewa, siapa tidak tahu bahwa nagamu itu hanya ular sawah, harimaumu hanya kelinci dan burung hong itu hanya ayam!

Hayo cepat, kami sudah lapar sekali, jangan-jangan kawan-kawanku tidak sabar lagi dan mengganyang dagingmu hidup-hidup! Ha-ha-ha!"

Si pemilik restoran yang gendut itu berlari anjing ke dalam sambil berteriak-teriak nyaring, “Heh, kucing betina! Hayo cepat berpakaian dan masak air, panaskan arak. Tidur saja kerjanya!"

Tujuh orang itu yang sudah melepaskan pedang dan golok di atas meja dan menyeret-nyeret kursi, tertawa.

"Babi tua, kalau binimu itu sudah mogok tidur, engkau yang berkaok-kaok ketagihan, ha-ha-ha!"

Tak lama kemudian muncullah isteri si pemilik restoran yang tubuhnya kurus sekali, berlawanan dengan suaminya, disusul pula oleh dua orang kacung pelayan restoran yang masih menggosok-gosok mata yang penuh tahi mata.

"Kalian semua cuci muka dulu dan mencuci tangan bersih-bersih!" teriak si brewok yang agaknya menjadi pemimpin tujuh orang berkuda itu.

Selagi si pemilik restoran dibantu isteri dan dua orang kacungnya sibuk di dapur untuk menyiapkan masakan dan arak, tujuh orang itu bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya di tempat yang masih kosong itu. Ada yang menaruh kedua kakinya di atas meja dan menyandarkan leher di sandaran kursi sambil melenggut karena lelah dan mengantuk, ada yang duduk metongkrong di atas meja. Si brewok mengeluarkan sebatang huncwe dan mulailah mengisap tembakau yang baunya memenuhi ruangan restoran yang cukup luas itu.

"Twako, apakah kantung itu tidak perlu dibawa ke sini?" Seorang di antara mereka yang termuda, usianya tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan, berbeda dengan enam orang kawannya yang lebih tua dan yang semua berwajah kasar buruk, bertanya kepada si brewok.

Si brewok menghembuskan asap tembakaunya dan mendengus sambil membuang kerling keluar restoran di mana tampak kuda mereka tertambat.

"Phuah Siapa berani mengganggu milik kita? Biar saja di sana. Siauw-ong tentu belum bangun sepagi ini, nanti dari sini kita langsung ke gedungnya dan menyerahkan hasil kita semalam."

"Wah, sungguh menjemukan. Hanya perhiasan dan benda mati yang kita dapat! Tiga orang perempuan yang di kapal itu hanya nenek-nenek. Sialan! Biasanya tentu ada gadis-gadis cantik di kapal pesiar itu!" Berkata seorang yang dahinya codet bekas goresan senjata tajam.

"Boan-te, mengapa mengomel? Setelah selesai menghadapi Siauw-ong, apa sukarnya mencari perempuan cantik di kota ini? Tentu banyak persediaan untuk kita, dan Siauw-ong tentu takkan melupakan jasa kita semalam. Ha-ha-ha!" kata seorang yang matanya juling.

Tak lama kemudian pemilik restoran yang gendut dibantu isterinya yang kurus dan dua orang kacungnya keluar membawa hidangan yang masih mengepul panas dan mengeluarkan bau sedap, membuat tujuh orang yang kelaparan itu menitikkan air liur.

Si mata juling dengan gerakan kurang ajar mencubit pinggul isteri pemilik restoran yang sudah setengah tua itu sambil berkata, "Eh, Gendut, isterimu begini kurus dan engkau begini gendut, bagaimana bisa? Ha-ha-ha!"

Pemilik restoran itu tertawa bersama para penunggang kuda, sedangkan isterinya tersipu-sipu malu dan lari masuk. "Ha-ha-ha! Bodoh engkau!" kata si brewok. "Gendut dan kurus itulah yang cocok sekalli, betul tidak, Paman Gendut?"

"Aaaaahhh, Taihiap bisa saja, ha-ha-ha!" Si pemilik restoran tertawa, akan tetapi di dalam hatinya dia menyumpah-nyumpah dan memaki orang-orang kurang ajar itu. Tujuh orang itu mulai menyerbu masakan dan si pemilik restoran bersama dua orang kacungnya mulai membereskan meja-meja lain, membersihkannya dan membuka semua pintu restoran.

Sesosok tubuh orang yang tadi berjalan terhuyung-huyung telah tiba di depan restoran itu. Hidungnya kembang kempis mencium bau masakan sedap dan dia lalu memasuki rumah makan.

Begitu orang ini muncul di pintu dan disambut oleh si pemilik restoran dengan pandang terbelalak, tujuh orang yang sedang makan itu menghentikan makan mereka dan semua menoleh ke arah pintu dengan pandang mata terbelalak dan sinar mata liar. Makin lama, sinar mata liar itu menjadi makin mengandung gairah. Mereka adalah sekumpulan laki-laki kasar dan orang yang muncul di pintu restoran itu memang benar-benar dapat membuat setiap mata pria terbelalak penuh gairah.

Dia adalah seorang wanita berusia kurang tiga puluh tahun, cantik sekali, amat manis dan mempunyai daya tarik yang luar biasa karena sinar matanya yang penuh tantangan, bibirnya yang setengah terbuka, kemerahan dan seolah-olah mengajak pria yang memandangnya untuk mencumbu! Biarpun wajahnya di saat itu pucat dan menunjukkan tanda kelelahan dan penderitaan, biarpun rambutnya yang hitam halus dan panjang itu terurai lepas, namun kejelitaannya menonjol sekali. Apalagi ketika mata ketujuh orang laki-laki itu menjelajahi ke arah tubuh wanita ini, mereka diam-diam menelan ludah dan si juling menjadi makin juling berkumpul di dekat hidung karena dia mempergunakan semua tenaga matanya untuk menelan tubuh itu! Tubuh yang padat, montok denok dengan kulit yang putih kuning bersih tanpa cacat! Sungguh pun pakaian wanita ini agak kotor berdebu, bahkan di bagian pundaknya terobek dan ternoda banyak darah dari luka di pundaknya, namun bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya, pinggang yang ramping, pinggul dan dada yang penuh membulat dan membusung!

Wanita ini maklum akan pandang mata ketujuh orang laki-laki kasar itu, namun dia tidak peduli dan langsung berjalan dengan langkah perlahan ke arah meja di ujung kiri, hanya empat meter jauhnya dari meja kumpulan penunggang kuda itu. Pemilik rumah makan mengikutinya dengan pandang mata meragu, hatinya tidak nyaman karena selain wanita yang terluka ini kelihatannya sakit dan lemah serta belum tentu mempunyai uang, juga dari pandang mata ketujuh orang laki-laki itu dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang membuatnya tidak enak.

***

Maka dia lalu menghampiri dan membungkuk di depan wanita itu sambil berkata diiringi senyum,

"Maaf, Toanio. Toanio memerlukan apakah? Sebenarnya, restoran kami belum buka dan belum siap, maka jika Toanio menghendaki sesuatu lebih baik.."

"Keluarkan arak hangat dan nasi serta masakan seadanya..." Wanita itu mengerling ke arah meja tujuh orang laki-laki lalu menyambung, "Seperti yang kau hidangkan kepada mereka itu!" Biarpun suara wanita ini merdu dan halus, namun mengandung tekanan mengancam dan nadanya keras serta terdengar dingin, membuat pemilik restoran itu menggigil.

"Akan tetapi... kami..."

"Brukkkkk!" Wanita itu menjatuhkan sebuah pundi-pundi di atas meja, membuka talinya dan mengambil sepotong perak yang besarnya cukup untuk membeli masakan tiga meja penuh! "Apa kau kira aku tidak akan membayar? Nih uangnya, sisanya untukmu!"

Melihat sepotong perak besar itu, sepasang mata si gendut terbelalak berseri-seri. Cepat dia mengambil uang itu dan tersenyum-senyum sambil membongkok-bongkok, "Baik-baik... Toanio... tunggu sebentar, akan saya sediakan masakan paling lezat untuk Toanio."

Tujuh orang laki-laki itu dengan terang-terangan memandang kepada wanita cantik ini dan mereka kagum bukan main.

"Aduhhhhh... bukan main... putihnya!" Si juling berkata, tidak lirih dan memang dia sengaja bicara agar terdengar oleh wanita itu yang duduk sambil menundukkan mukanya, sikapnya tidak peduli sama sekali.

"Bukan putihnya yang membuatku terpesona, halusnya kulit itu...! bukan main...!" kata seorang kawannya.

"Dan harumnya tercium dari sini.. apalagi kalau dekat... waduhhh, mimpi apa kita semalam...?" kata si brewok yang biar pun tidak semata keranjang si codet atau si juling, namun sekali ini dia benar-benar tertarik dan timbul berahinya menyaksikan wanita luar biasa itu.

"Amboiiiii.. bidadari dari mana gerangan yang muncul menghibur kita?" kata si codet, mengendus-endus dengan hidungnya seperti seekor anjing mencium tahi.

Wanita itu tetap diam saja, bergerak pun tidak, melirik pun tidak. Ketika seorang kacung membawa arak hangat, cepat seperti orang kehausan ia menuangkan arak dalam cawan terus diminumnya sekali tenggak. Melihat ini, tujuh orang laki-laki kasar itu menjadi makin berani. Sikap minum arak seperti yang diperlihatkan wanita itu bukanlah sikap seorang nona simpanan, maka si juling segera berkata,

"Minum arak sendirian mana enak? Kami siap menerima bidadari kesepian untuk bersama-sama minum dan makan sambil mengobrol!"

Akan tetapi wanita itu tetap tidak peduli, malah sampai tiga kali ia menenggak habis cawan arak sekali teguk. Kemudian ia menarik napas panjang, agaknya merasa lega dan dirabanya pundak yang terluka dengan bibir agak terbuka seperti menahan rasa nyeri.

"Ssttt, biarkan dia makan dulu," Si brewok berbisik kepada teman-temannya. "Dia kelihatan luka, lelah dan kelaparan, mana akan mampu melayani kita bertujuh? Kalau sudah makan kenyang tentu pulih kembali tenaganya..."

Mendengar bisikan pimpinan mereka ini, mereka tertawa-tawa dan menyatakan setuju, bahkan keenam orang kasar itu mulai mengadu untung dengan jari tangan untuk menentukan siapa yang menang dulu berhak mendapatkan wanita itu setelah sang pemimpin yang tentu saja mempunyai hak pertama! Biar pun mereka itu bicara perlahan, namun karena sikap mereka, wanita yang luka itu mendengar dan mengetahui semua perbuatan mereka, namun ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap mengacuhkan, malah ketika hidangan datang ia lalu mulai makan dengan lahapnya.

Tujuh orang laki-laki yang sudah selesai lebih dahulu, kini semua memutar kursinya menghadap ke arah si wanita sambil memandang dengan sikap terbuka, terang-terangan menjadikan wanita itu seperti tontonan sampai wanita itu selesai menghabiskan hidangannya dan menenggak arak lagi.

"Tanpa dipameri emas pun dia tentu mau melayani kita," kata si codet. Si brewok tertawa, mengangguk dan mulai melangkah ke arah meja wanita itu diikuti enam orang kawannya.

Tiba-tiba wanita itu mengangkat muka memandang mereka. Si brewok tiba-tiba berhenti melangkah. Baru sekali ini wanita itu langsung memandang mereka dan melihat sinar mata yang berkilat seperti halilintar menyambar itu, si brewok kaget sekali.

"Inikah yang kalian cari-cari?" Wanita ini berkata lirih namun jelas terdengar dan biar pun suaranya merdu, penuh dengan ejekan. Tangannya bergerak merobek pundi-pundi uang di atas mejanya dan berhamburan potongan perak dan emas di atas meja itu karena kantung itu telah pecah terobek.

Tujuh orang itu memandang dengan mata terbelalak ke arah potongan perak dan emas yang berserakan itu. Kiranya wanita itu yang mencopet kantung uang mereka dari atas kuda! Bukan main marahnya hati ketujuh orang itu. Mereka adalah pimpinan bajak Sungai Fen-ho dan tidak ada orang yang berani main gila terhadap mereka. Kini, kantung berisi emas dan perak itu dicuri seenaknya oleh seorang wanita terluka, diambilnya dari depan hidung mereka begitu saja!

Adapun si pemilik restoran, isterinya dan dua orang kacung mereka, begitu mendengar disebutnya nama Fen-ho Chit-kwi, telah menggigil ketakutan dan cepat-cepat keluar dari dalam restoran mereka karena maklum bahwa tentu akan terjadi huru-hara di restoran mereka itu! Mereka hanya menonton dari luar melalui pintu dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

"Perempuan rendah! Berani engkau main gila dengan Fen-ho Chit-kwi? Untung engkau cantik molek, kalau tidak tentu kubunuh sekarang juga. Akan tetapi kami akan mempermainkan tubuh sampai engkau mampus!" bentak si brewok dan mereka bertujuh sudah melangkah maju dengan sikap penuh ancaman.

Tiba-tiba wanita itu tertawa. Suara ketawanya merdu akan tetapi nyaring melengking seperti suara ketawa kuntilanak dari dalam kuburan, membuat tujuh orang itu kembali menghentikan langkah dan bulu tengkuk mereka meremang, terasa dingin.

"Kalian hendak mengambil kembali emas dan perak ini? Nah, terimalah!' Tangan kiri wanita itu meraih ke atas meja, gerakannya cepat sekali dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih dan kuning berkelebatan dibarengi suara bercuitan. Potongan-potongan emas dan perak tadi telah menyambar ke arah tujuh orang itu seperti peluru-peluru dengan kecepatan mengejutkan dan mengarah bagian-bagian tubuh yang mematikan!

"Aihhh...!"

"Hiaaattt...!"

"Hayaaa...!"

Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi bukan orang sembarangan. Ilmu silat mereka tinggi, bahkan mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia. Akan tetapi kini menyaksikan perak dan emas beterbangan meyambar mereka sedemikian cepatnya, benar-benar membuat mereka terkejut bukan main. Hanya dengan membuang diri, berloncatan ke kanan kiri dan atas, ketujuh orang itu dapat menghindarkan diri dari ancaman maut.

"Cet-cet-cettt...!" Semua perak dan emas itu menyambar lewat dan menancap masuk ke dalam dinding restoran sampai tidak kelihatan lagi, hanya kelihatan tembok tebal itu berlubang-lubang!

Wanita itu masih duduk dan sambil menenggak arak dari cawannya, ia menaruhkan tangan kanan yang terluka pundaknya di atas meja. Kemudian ia mengangguk-engguk dan berkata lirih, "Kalian lumayan juga, dapat mengelak dan masih hidup. Biarlah kumaafkan."

Melihat sikap wanita cantik itu, si brewok menjadi marah bukan main. Ketika mengelak tadi, kedua tangannya dapat menangkap dua potong perak yang menyambar, kini dia meremas dua potong perak itu di tangannya sehingga menjadi hancur!

***

Ia membuka kedua tangan, memperlihatkan hancuran perak kepada wanita itu sambil membentak,

"Perempuan sombong! Kalau belum menghancurkan tubuhmu seperti ini, aku belum mau sudah!"

Perempuan itu menghela napas panjang dan tersenyum. Senyumnya manis sekali, senyum penuh memikat yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. "Begitukah? Kalau begitu berarti kalian minta mati sendiri."

"Perempuan sombong!" Teriakan ini terdengar dari semua mulut ketujuh orang itu. Mereka adalah Fen-ho Chit-kwi dan selamanya belum pernah dipandang rendah orang, apalagi hanya oleh seorang wanita terluka seperti ini! Bahkan Mo-kiam siauw-ong (Raja Muda Pedang Iblis) yang menjadi "datuk" kaum hitam di daerah Fen-ho dan yang bertempat tinggal di kota Sun-ke-bun, sudah menaruh kepercayaan kepada mereka untuk menguasai Sungai Fen-ho dan mengirimkan semua hasil kepada datuk itu untuk kemudian mereka mendapat bagian. Mo-kiam Siauw-ong sendiri tidak memandang rendah kepada mereka, akan tetapi kini perempuan ini sama sekali tidak memandang mereka sebagai jagoan-jagoan yang jarang tandingnya!

"Cuat! Cuat! Sing! Sing!" Tampak sinar golok dan pedang berkelebat ketika tujuh orang itu menyambar senjata mereka dari atas meja dan mencabutnya. Mereka tertegun menyaksikan betapa wanita itu sama sekali tidak mengacuhkan, bahkan melihat mereka mencabut senjata, wanita itu kini malah menuangkan lagi arak ke dalam cawannya sambil tersenyum-senyum, dan minum arak itu tanpa melirik ke arah mereka! Kesombongan yang melewati takaran ini tak dapat mereka tahan lagi. Tadinya mereka memang timbul gairah dan berahi menyaksikan wanita yang berwajah cantik manis dan bertubuh denok itu, akan tetapi kini kemarahan mengalahkan berahi mereka dan nafsu satu-satunya yang berkobar di dalam dada mereka hanyalah mencincang hancur tubuh wanita itu!

"Hiaaaaattt!" Tujuh orang itu menerjang berbareng dengan teriakan dahsyat, pedang dan golok menyambar dari tujuh jurusan ke arah tubuh si wanita yang sedang minum arak.

"Crok-crok-krak-kerakkk!" Kursi yang tadinya diduduki wanita itu hancur berkeping-keping, bahkan mejanya terbang diterjang tujuh orang yang marah itu. Akan tetapi mereka terbelalak kaget karena si wanita itu sendiri lenyap dari atas kursi, hanya tampak bayangannya berkelebat ke atas dengan kecepatan yang mentakjubkan.

"Hi-hi-hik!"

Mendengar suara ketawa terkekeh itu ketujuh orang yang kehilangan lawan mengangkat muka memandang dan ternyata wanita itu telah berada di langit-langit sambil tetap minum araknya! Tiba-tiba wanita itu menyemburkan arak dari mulutnya ke bawah. Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi cepat mengelak akan tetapi tetap saja tubuh mereka terkena percikan arak yang rasanya seperti jarum-jarum menusuk. Mereka memekik kaget dan makin marah, biar pun maklum bahwa wanita cantik itu memiliki kepandaian yang hebat, mereka tidak menjadi jerih malah dengan serentak tubuh mereka melayang ke atas didahului senjata mereka yang semua menusuk ke arah tubuh yang menempel di langit-langit ruangan itu.

"Cep-cep-cep-ceppp!" Tujuh batang senjata runcing itu menancap pada langit-langit.

"Celaka..!" Si brewok berseru akan tetapi seruannya disusul jerit mengerikan dan tubuhnya roboh ke bawah, disusul jerit kawan-kawannya dan berjatuhanlah enam tubuh di antara mereka dalam keadaan tak bernyawa lagi karena punggung mereka kena tampar tangan kiri wanita itu yang berloncatan seperti gerakan seekor burung terbang. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloncat turun dan tidak terpukul, yaitu laki-laki berwajah tampan. Dia meloncat turun setelah mencabut pedangnya yang menancap di langit-langit, matanya terbelalak memandang mayat keenam orang kawannya yang telah tewas, kemudian memandang kepada wanita yang telah berdiri di depannya dan memandangnya sambil tersenyum-senyum.

"Perempuan siluman!" Si wajah tampan berseru marah dan menerjang dengan tusukan pedang ke arah tenggorokan wanita itu. Namun sambil tersenyum-senyum wanita ini menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kedua jari kiri, telunjuk dan jari tengah, telah menjepit ujung pedang. Laki-laki tapan itu kaget sekali, berusaha mencabut pedangnya, namun sedikit pun tidak bergeming! Sampai terbelalak dia saking kagetnya menyaksikan kelihaian yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya ini.

"Hi-hi-hik, tampan, apa kaukira engkau masih dapat hidup sampai saat ini, kalau tadi aku menghendaki kau mampus bersama kawan-kawanmu? Aku kesepian, terluka, aku perlu kawan yang baik dan mesra. Hemmm, kalau kau ingin mati apa sukarnya bagiku?" Berkata demikian, wanita itu mengerahkan tenaganya dan..."krakkk!" pedang itu patah!

Sebelum laki-laki itu lenyap kagetnya tahu-tahu tangan kiri wanita itu telah menyambar ke depan, ke arah dadanya. Laki-laki itu mengeluh dan maklum bahwa dia tentu akan mati, maka dia sudah menyerah untuk mati menyusul keenam orang kawannya. Akan tetapi tangan kiri yang berjari kecil meruncing dan halus itu tidak memukulnya, melainkan mencengkeram bajunya dan sekali tarik... "brettttt!" baju laki-laki itu terobek dan terlepas dari tubuhnya berikut baju dalam sehingga tubuh atasnya telanjang sama sekali!

Wanita itu membuang baju tadi, kini tangannya meraba-raba dan mengelus-elus dada laki-laki yang bidang dan berotot itu, dada yang penuh kejantanan dan pandang mata wanita itu berseri, mulutnya yang main tersenyum dan berkata lirih,

"Hemmm... engkau mengairahkan... engkau temani aku hari ini dan kau bantu merawat lukaku, Tampan!"

Laki-laki yang tadinya sudah yakin akan kematiannya itu, terbelalak. "Aku... aku tidak bisa mengobati.."

"Hi-hi-hik, bodohnya! Hanya mencuci dan menaruh obat lalu membalut dan hemmm, mengusir kesepian yang mencekam hatiku. Aku mempunyai obatnya. Lihat lukaku ini, apakah engkau tidak kasihan melihat seorang wanita terluka seperti ini?"

Berkata demikian, wanita itu menggunakan tangan kirinya merenggut pakaiannnya sendiri bagian pundak kanan yang bernoda darah. "Bretttttt!" Robeklah pakaian di bagian pundak kanan, robek lebar bukan hanya membuka pakaian luar dalam memperlihatkan pundak yang terluka lebar, akan tetapi juga memperlihatkan sebagian besar buah dada kirinya yang membusung penuh!

Laki-laki tampan itu melongo, menatap bagian yang menarik itu dan menelan ludah!

"Hi-hi-hik! Bagaimana, kau memilih mati atau menjadi teman baikku?"

Laki-laki itu mengangguk-angguk. "Engkau lihai dan cantik, aku lebih suka menemanimu."

Tangan itu menyambar ke depan dan mengelus dagu laki-laki itu. "Tampan, kau pondonglah aku, bawa ke kamar dalam restoran ini, lukaku perlu dirawat."

Laki-laki itu kini sudah tunduk benar, karena dia maklum bahwa wanita yang cantik jelita ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan dia tahu bahwa selain lihai, wanita ini pun kejam bukan main dan juga agaknya gila laki-laki. Kalau kini dia berkenan di hati wanita itu, hemmm, bukan hal yang merugikan. Maka dia lalu memondong tubuh itu yang terasa ringan sekali, ringan hangat dan tercium olehnya bau harum yang amat aneh, harum yang memabukkan dan sekaligus membakar hati jantannya, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan seluruh tubuhnya menjadi panas.

"Heh, babi gendut!" Wanita yang dipondong dan merangkul leher laki-laki itu dengan sikap manja dan mesra, berseru kepada si pemilik restoran yang masih berdiri di luar pintu dengan wajah pucat.

Diam-diam dia tadi telah menyuruh seorang kacungnya pergi berlari untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siauw-ong karena dari percakapan tadi dia dapat menduga bahwa tujuh orang yang amat terkenal sebagai pimpinan bajak Sungai Fen-ho itu tentulah anak buah atau sekutu Siauw-ong. Kini mendengar panggilan si wanita yang lihai seperti iblis itu, dengan tubuh menggigil dia terpaksa memasuki restoran, hati-hati malangkah menghindari enam buah mayat yang bergelimpangan di dalam restorannya.

"Toanio hendak memerintah apakah ?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Malam ini sewa kamarku, dan jangan ganggu kami. Sekarang, lempar enam ekor anjing itu keluar, kemudian suruh orangmu memasakkan air sepanci untuk mencuci lukaku. Cepat Emas dan Perak memenuhi dindingmu boleh kau ambil kalau kau mentaati kalau tidak, perutmu yang gendut itu akan kurobek dan kukeluarkan isi perutmu!"

Dengan seluruh tubuh menggigil si gendut ini menganggu-angguk, kerongkongannya sampai terasa kering saking takutnya sehingga dia tidak dapat mengeluarkan jawaban.

Wanita itu tersenyum, kemudian mendekatkan mukanya, mencium mulut laki-laki tampan yang memondongnya dengan mesra dan tanpa malu-malu sehingga laki-laki itu menjadi merah mukanya dan seperti diayun di sorga ke tujuh.

"Tampan, lekas bawa aku ke kamar.." Bisik wanita itu.

Setelah laki-laki tampan yang memondong wanita itu menghilang ke dalam kamar pemilik restoran, barulah si pemilik restoran, barulah si pemilik restoran dapat bergerak lagi. Dia cepat berlari keluar, menyeret isterinya, kacungnya dan beberapa orang tetangganya untuk menyingkirkan enam buah mayat dan dia sendiri cepat-cepat memasak air di dapur dengan tubuh masih menggigil dan kadang-kadang matanya melirik ke arah kamarnya dari mana dia mendengar suara ketawa terkekeh wanita itu.

***

Dengan hati kebat-kebit pemilik restoran yang gendut itu membawa air yang sudah mendidik ke dalam kamar.

"Ini airnya, Toanio.." katanya tanpa berani mengangkat muka.

"Letakkan di atas meja, kemudian engkau siapkan arak guci dan masakan-masakan yang paling lezat, antarkan ke kamar ini, kemudian jangan ada yang berani memasuki kamar ini. Mengerti?'

Si gendut mengangkat muka dan dia melihat betapa wanita yang mengerikan hatinya itu duduk di atas tempat tidurnya, membelai-belai dan menciumi laki-laki tampan yang dipangku oleh wanita itu.

"Baik, Toanio." Ia tergesa-gesa keluar dari kamar dan di dalam hatinya dia terheran-heran. Bukan main, gerutunya dalam hati. Seorang wanita yang demikian lihai dan kejam membunuh orang seperti membunuh ayam saja, dan... dalam bercumbu, malah memangku seorang pria! Celaka, tentu dia itu sebangsa siluman! Sering dia mendengar dongeng dan membaca cerita bahwa ada siluman rase yang menjelma menjadi manusia, menjadi seorang wanita cantik. Kalau bukan siluman rase tentu siluman ular dan laki-laki yang tampan itu tentu akan disedot habis darah dan sum-sumnya! Mengerikan! Besok pagi-pagi tentu dia akan mendapatkan laki-laki itu sudah menjadi mayat yang kering di atas pembaringan! Celaka! Siapa mau berbelanja di restorannya lagi? Dia bakal bangkrut! Akan tetapi.. Emas dan perak yang tertanam di dinding restorannya itu banyak sekali. Dia akan mengambil harta itu dan mengajak isterinya pindah, pindah kota.

Kurang lebih satu jam kemudian, terdengar suara hiruk-pikuk di depan restoran dan tampak lima orang lebih berkerumun di depan restoran di pimpin oleh seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian mewah, dibantu oleh lima orang yang agaknya menjadi pembantu-pebantu utamanya.

Si gendut cepat keluar dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki berpakaian mewah itu. "Ong-ya... tolonglah saya.. Harap Ong-ya suka bekuk siluman rase itu..."

Laki-laki itulah yang berjuluk Mo-kiam Siauw-ong. Dia adalah seorang tokoh kang-oow yang berilmu tinggi dan di daerah lembah Sungai Fen-ho, dia terkenal sebagai datuk golongan hitam yang dianggap seperti "raja" oleh kaum petualang dan penjahat. Setelah dia menjadi sekutu para pembesar di kota Sun-ke-bun, dia hidup makmur dan biar pun semua urusan pemerintahan dijalankan oleh para pembesar daerah, namun sesungguhnya dialah yang berkuasa karena para pebesar tunduk kepadanya. Apa lagi ketika Mo-kiam Siauw-ong yang hidup sebatangkara dan tidak beristeri itu oleh pembesar setempat diambil mantu sebagai taktiknya, untuk mengambil hati orang pandai ini, kedudukan Mo-kiam makin menanjak. Dia menikah dengan puteri kepala daerah yang baru berusia delapan belas tahun hidup mewah dan terhormat, akan tetapi sebagai imbalan kebaikan sang kepala daerah, Mo-kiam Siauw-ong yang menjamin kekuasaan sang mertua, bahkan karena datuk golongan hitam ini selalu menerima semacam upeti dari perampok dan bajak sungai, sebentar saja dia menjadi kaya raya, bahkan sang mertua juga ikut ambil bagian! Dengan adanya Mo-kiam Siauw-ong sebagai mantu, kedudukan kepala daerah menjadi makin kuat sehingga dia tidak khawatir lagi kalau-kalau kedudukannya akan ada yang berani menggulingkan dalam masa peralihan pemerintahan itu.

Mo-kiam Siauw-ong memang bukan orang sembarangan. Dia adalah murid dari tiga orang datuk hitam yang amat terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Mereka itu berjuluk Kai-ong Lo-mo, Bun-ong Lo-mo dan Thian-te Lo-mo, tiga orang yang berilmu tinggi sekali. Ketika Thian-te Sam-lo-mo ini akhirnya tewas di dalam tangan pendekar sakti Cia Keng Hong, kepandaian mereka diwarisi oleh Mo-kiam Siauw-ouw inilah.

Dapat dibayangkan betapa marah Mo-kiam Siauw-ong ketika dia mendengar kacung restoran tentang tewasnya Fen-ho Chit-kwi yang dia tahu tentu datang untuk menyerahkan hasil pembajakan. Fen-ho Chit-kwi merupakan anak buahnya yang paling kuat dan boleh diandalkan. Kini mendengar bahwa mereka itu roboh di tangan seorang wanita cantik, dia menjadi penasaran dan marah sekali. Namun, di samping kepandaiannya yang tinggi dan yang membuatnya jumawa, Mo-kiam Siauw-ong adalah seorang yang cerdik dan hati-hati. Oleh karena itu, dia tidak sembrono turun tangan seorang diri menurutkan kemarahannya, melainkan minta kepada ayah mertuanya untuk membawa sepasukan penjaga kota untuk menangkap penjahat yang mengacau kota Sun-ke-bun! Dengan bantuan lima puluh orang pasukan, apa sukarnya menangkap seorang wanita? Dia mendengar wanita itu cantik sekali, maka sudah dia bayangkan betapa akan senangnya menangkap wanita itu hidup-hidup dan sebelum membunuhnya, akan mempermainkan lebih dulu sepuasnya. Dengan demikian, baru impaslah kematian Fen-ho Chit-kwi yang merupakan sebuah pukulan dan kerugian baginya.

Penduduk banyak yang datang melihat dari jauh. Restoran itu sudah ditinggalkan pemiliknya, dan di dalam restoran yang kelihatan kosong itu kini tinggallah si wanita bersama laki-laki tampan, seorang di antara Fen-ho Chit-kwi yang menjadi "tawanannya"!

"Siluman betina! Keluarlah menghadap Mo-kiam Siauw-ong!" Tiga kali Mo-kiam Siauw-ong berteriak dari pintu restoran, menantang wanita yang sedang dibalut lukanya oleh tawanannya.

"Celaka.. Dia.. dia datang...." Laki-laki tampan yang selesai membalut pundak yang sudah diobati itu berkata dengan muka pucat.

"Ihhh... takutkah engkau, Tampan?" Wanita ini merangkul dan menciumi pipinya.

Akan tetapi, laki-laki itu kini tidak membalas ciumannya seperti tadi, bahkan tidak tampak lagi gairahnya. "Dia.. Dia berbahaya sekali, amat lihai.., celakalah kita.."

Wanita itu mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan melengkung panjang lalu menghentikan belaiannya. "Siapakah dia?"

"Dia... Mo-kiam Siauw-ong, kiam-hoatnya (ilmu pedangnya) luar biasa lihainya.. dan tentu membawa pasukan yang banyak jumlahnya."

"Hi-hi-hik! Tikus-tikus busuk macam itu perlu apa ditakuti? Jangan hiraukan mereka, kita mempunyai urusan yang lebih penting, hi-hi-hik! Ayolah!" Wanita itu merangkul lagi dan membawa muka laki-laki itu ke dadanya. Akan tetapi, tubuh atas yang tak berpakaian itu, yang tadi membuat pria itu bergelora darahnya oleh gairah dan nafsu berahi, kini agaknya tidak menarik lagi, tertutup oleh rasa takutnya.

Melihat betapa laki-laki itu sama sekali tidak terangsang, wanita itu menghentikan usaha menggumulinya, bangkit duduk, menggelung rambutnya dan wajahnya keruh.

"Apa kau lebih senang kubunuh?"

Laki-laki itu menggigil dan berusaha memeluk wanita itu, berusaha membangkitkan lagi gairahnya, akan tetapi sia-sia dan akhirnya dia terisak seperti orang akan menangkis, "Maafkan aku... aku... takut sekali.."

"Pengecut!"

Pada saat itu, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak sabar lagi, menggapai dan menyuruh sepuluh orang anggauta pasukan menyerbu ke dalam. Sepuluh orang itu mencabut golok lalu memasuki restoran, kemudian mereka menyerbu kamar karena sudah mendapat keterangan dari si gendut pemilik restoran bahwa "siluman rase" itu berada dalam kamar bersama laki-laki tampan seorang di antara Fen-ho Chit-kwi.

Ketika laki-laki tampan melihat sepuluh orang anggauta pasukan menyerbu, dia tidak berani bergerak karena maklum bahwa mereka adalah anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang amat ditakutinya. Akan tetapi, dia melihat wanita itu menggerakkan tangan kiri.

Tampaklah sinar merah berkelebat dan terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya sepuluh orang itu bertumpang tindih di pintu kamar. Tepat di dahi mereka, di antara kedua mata, ditembusi jarum merah yang dilepas oleh wanita itu!

"Hi-hi-hik! Engkau masih takut? Lempar-lemparkan bangkai mereka keluar!" Wanita itu terkekeh.

Bukan main kagetnya hati laki-laki tampan menyaksikan kelihaian si wanita melepas jarum merah yang dia tahu merupakan jarum-jarum beracun yang amat lihai. Ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya dia melihat orang dapat melepas jarum setepat itu, sekali gerak merobohkan sepuluh orang dan semua jarum tepat mengenai dahi di antara kedua mata! Hatinya menjadi besar. Berteman dengan seorang wanita secantik dan selihai ini, agaknya memang tidak perlu lagi takut terhadap Mo-kiam Siauw-ong! Ia melangkah maju dan kedua tangannya yang kuat sekaligus menyeret empat orang yang sudah menjadi mayat, kemudian dia melemparkan mereka itu keluar. Tiga kali dia melemparkan sepuluh buah mayat itu melayang keluar rumah makan! Kemudian dia embalik dan matanya terbelalak melihat bahwa wanita itu telah membuka semua pakaiannya dan mengembangkan kedua lengan yang berkulit putih halus. Ia mengeluarkan suara seperti gerengan harimau, lalu menubruk maju disambut oleh wanita itu yang tertawa cekikikan.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka yang melihat sepuluh buah mayat orang melayang keluar. Mo-kiam Siauw-ong cepat menghampiri dan mengerutkan alisnya ketika melihat luka di dahi para anak buahnya, luka merah sekali dan masih tampak ujung merah yang menancap sampai hampir tidak kelihatan lagi.

"Ong-ya, biar saya membawa semua pasukan menyerbu ke dalam!" Seorang pembantunya mengajukan usul. Marah melihat betapa anak buahnya tewas sedemikian mudahnya.

Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong mengenal bekas tangan orang pandai dan mengangkat tangan kiri mencegah.

***

"Pergunakan api, bakar restoran ini agar siluman itu terpaksa keluar!"

Si gendut pemilik restoran sampai jatuh berlutut hampir pingsan ketika dia melihat betapa restorannya dikelilingi pasukan yang membawa minyak, kemudian dia benar-benar roboh pingsan dirangkul isterinya ketika restorannya mulai terbakar. Para penduduk yang menyaksikan menjadi makin tegang dan ngeri, diam-dia mereka sudah bersiap-siap untuk mengangkat langkah seribu kalau siluman rase yang muncul itu mengamuk!

"Restoran terbakar...!" Laki-laki tampan itu bangkit duduk dan terbelalak memandang asap yang memasuki kamar.

"Sialan!" Si wanita menyumpah. "Tikus-tikus itu ingin mampus semua!" Dengan tenang namun jelas memperlihatkan wajah kecewa karena merasa kesenangannya terganggu, ia mengenakan pakaiannya lagi yang didahului oleh si laki-laki yang kembali menjadi ketakutan.

"Hayo ikuti aku keluar!"

Mengandalkan kepandaian wanita itu, laki-laki ini terpaksa mengikutinya keluar dengan hati berdebar-debar tegang. Kini dia harus berhadapan dengan datuk golongan hitam yang ditakutinya itu sebagai lawan! Betapapun juga, dia tidak dapat mundur karena lawan wanita ini berarti mati, kalau bersekutu dengannya masih ada harapan si wanita lihai ini akan menyelamatkannya dan di masa depan tampak harapan yang amat menyenangkan menjadi sahabat dan terutama kekasihnya! Namun dia bersikap cerdik, tidak mau memperlihatkan sikap bermusuh kepada Mo-kiam Siauw-ong dan akan melihat gelagat dahulu. Kalau wanita ini tewas di tangan Mo-kiam Siauw-ong, dia masih dapat menggunakan alasan bahwa dia dipaksa dan tidak berdaya menjadi tawanan si wanita lihai! Maka dia mengikuti wanita itu dari belakang, menuju ke pintu rumah makan yang sudah terbakar.

"Jangan bergerak, aku akan membawamu keluar melalui api!" Wanita itu berkata dan tiba-tiba laki-laki itu merasa pinggangnya dipeluk dan tubuhnya melayang keluar.

Ia makin kagum dan terheran-heran. Manusia ataukah iblis wanita ini? Kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali. Bagaimana orang selihai ini sampai terluka pundaknya?

Ia hanya merasa panas sedikit ketika tubuhnya meluncur cepat menerjang api di luar restoran, berdiri di samping wanita itu yang tersenyum-senyum memandang Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya yang sudah siap mengepungnya.

Mo-kiam Siauw-ong tercengang. Tak disangkanya bahwa orang yang amat lihai itu hanyalah seorang muda yang amat cantik, melebihi isterinya sendiri cantiknya dan berdiri tersenyum tenang tanpa ada senjata menempel di tubuh! Para pasukan juga bengong, demikian pula para penonton, hampir tidak percaya karena siluman rase itu ternyata tidak menggiriskan, hanya seorang wanita yang cantik dan agaknya seorang manusia biasa! Ataukah memang penjelmaan siluman?

Biarpun hatinya marah sekali, Mo-kiam Siauw-ong terpesona dan tertarik, merasa sayang kalau sampai wanita itu dibunuh begitu saja. "Wanita siluman, menyerahlah sebelum aku turun tangan!" bentaknya.

"Hi-hi-hik, aku keluar bukan untuk menyerah, melainkan untuk membunuh kalian yang sudah mengganggu kesenanganku!"

"Serbu...!" Pembantu Mo-kiam Siauw-ong tak sabar lagi dan menyerbulah pasukan yang tinggal empat puluh orang itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat lenyap dan terdengar jerit di sana-sini disusul robohnya enam orang pasukan sendiri. Gerakan wanita itu sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata. Yang menusuknya, tahu-tahu goloknya membalik dan menusuk perutnya sendiri. Yang membacoknya pun demikian dan tahu-tahu wanita itu telah berada di depan Mo-kiam Siauw-ong! Datuk golongan hitam itu dapat mengikuti gerakan si wanita itu benar-benar memiliki ginkang yang dia sendiri tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli tidak takut dan pedangnya menyambar ganas.

"Bagus! Kiam-hoat lumayan juga!" Wanita itu mengejek dan mengelak, tangan kirinya tahu-tahu menyambar ke depan, mengirim pukulan dengan telapak tangan terbuka kepada lawannya.

Mo-kiam Siauw-ong cepat miringkan tubuh akan tetapi hawa pukulan tangan itu tetap saja menyambar dan menyerempetnya. Dia terhuyung dan merasa pundaknya seperti dilanggar benda yang panas. Makin terkejutlah dia. Ginkang wanita ini juga luar biasa hebatnya. Dia mengerahkan kepandaiannya sehingga pedang di tangannya berubah menjadi segulungan sinar yang berkilauan dan yang menggunakan tubuh wanita itu.

Para pasukan berbesar hati melihat pimpinan mereka sudah turun tangan maka mereka pun cepat mengurung dan menyerbu. Wanita itu berada dalam keadaan terluka, lengan kanannya tidak dapat dipergunakan untuk bertanding sehingga dia hanya melawan dengan gerakan tangan kiri saja. Namun, ia cepat meloncat menjauhi Mo-kiam Siauw-ong yang benar-benar lihai ilmu pedangnya itu, dan dengan mudah tangan kirinya merobohkan setiap anak buah pasukan yang menyerangnya. Apalagi kini tangan kirinya mulai menyebar jarum-jarumnya sehingga kembali ada lima orang pasukan roboh dan tewas!

"Heh-heh-heh-hi-hi-hikkk! Ang-kiam Bu-tek benar-benar tak boleh dipandang ringan!" Tiba-tiba terdengar suara yang lembut dan muncullah seorang nenek tua sekali berdiri di barisan depan para penonton.

Wanita itu terkejut, merobohkan dua orang lagi dengan dua kali tendangan kaki yang menghancurkan anggauta rahasia tubuh mereka, menoleh ke arah nenek itu dan dia cepat berkata,

"Go-bi Thai-houw, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan ini. Tikus-tikus ini tidak ada gunanya. Biarlah lain kali aku Ang-kiam Bu-tek menghaturkan terima kasih dan mengangkat guru kepadamu!"

"Heh-heh-hi-hi-hik! Punya murid macam engkau ini menyenangkan juga!" Nenek itu menjawab kemudian tiba-tiba saja ia lenyap dari situ.

Mendengar disebutnya nama Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong seperti mendengar halilintar menyambar di atas kepalanya dan cepat-cepat dia berseru,

"Pasukan mundur semua..!"

Pasukan yang sudah merasa gentar sekali cepat lari mundur dan kini Mo-kiam Siauw-ong melangkah maju, menekuk sebelah lututnya dan mengangkat kedua tangan depan dada ke arah wanita itu sambil berkata, "Mohon kebijaksanaan Sianli untuk mengampunkan saya yang bermata akan tetapi seperti buta tidak mengenal Sianli, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata."

Melihat sikap Mo-kiam Siauw-ong, anak buah pasukan menjadi terkejut dan mereka yang belum pernah mendengar nama Ang-kiam Bu-tek, cepat-cepat mengikuti mereka yang mengenalnya dan yang sudah menjatuhkan diri berlutut. Sebagian besar mengenal nama itu dengan hati penuh rasa takut.

Wanita yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tanding) itu tersenyum mengejek, memandang kepada Mo-kiam Siauw-ong dan bertanya, "Hemmm..., siapakah engkau sebenarnya?"

"Harap Sianli memandang kepada mendiang ketiga orang suhu saya, yaitu Thian-te Sam-lo-mo" kata pula laki-laki berpakaian mewah itu.

Ang-kiam Bu-tek mengangguk-angguk dan otaknya yang amat cerdik itu membuat perhitungan. Dia membutuhkan sekutu di saat itu dan setelah lawan menyerah dan ternyata adalah murid yang merupakan orang segolongan dengannya, memang tidak perlu lagi membunuh mereka.

"Kiranya engkau adalah murid tiga orang iblis tua itu? Baiklah, aku mengampunkan engkau dan anak buahmu."

"Terima kasih, Sianli!" Mo-kiam Siauw-ong menjadi girang sekali dan meloncat bangun. Bersahabat dengan Ang-kiam Bu-tek merupakan hal yang amat menguntungkan, pula dia maklum kalau pertandingan dilanjutkan, jangankan baru dia dan pasukannya, biar ditambah tiga orang gurunya yang sudah meninggal sekalipun takkan menang!

"Karena saya melihat Sianli terluka dan perlu beristirahat, saya perlihatkan Sianli beristirahat di dalam rumah saya."

"Baiklah, Eh, Tampan, kau gendong aku ke rumah Mo-kiam Siauw-ong!" kata Ang-kiam Bu-tek sambil tersenyum kepada kekasihnya. Laki-laki tampan, seorang di antara ketujuh Fen-ho Chit-kwi yang sebenarnya bernama Ma Kiat Su itu menjadi girang dan lega bukan main. Tanpa malu-malu lagi, ditonton begitu banyak orang, dia lalu memondong tubuh Ang-kiam bu-tek yang merangkul lehernya.

Mo-kiam Siauw-ong cepat menyerahkan seekor kuda. Ma Kiat Su membungkuk dengan hormat kepada Mo-kiam Siauw-ong kemudian melompat ke atas punggung kuda sambil memondong tubuh wanita cantik itu, kemudian mereka di iringkan oleh Mo-kiam Siauw-ong sendiri menuju ke gedung kepala daerah. Para pasukan sibuk mengurus mayat-mayat para kawan mereka dan para penonton kini sibuk memadamkan api yang membakar restoran.

Siapakah wanita cantik itu dan mengapa seorang datuk golongan hitam seperti Mo-kiam Siauw-ong sampai begitu ketakutan mendengar namanya? Dan siapa pula nenek tua renta yang agaknya lebih aneh dan menyeramkan lagi sehingga Ang-kiam Bu-tek sendiri sampai bersikap hormat, bahkan berjanji untuk berguru kepadanya?

***

Mereka berdua merupakan tokoh-tokoh besar, bahkan Ang-kiam Bu-tek merupakan seorang tokoh penting. Semenjak kecil, wanita cantik ini yang bernama Bhe Cui Im, adalah murid nenek Lam-hai Sin-ni, seorang di antara Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang puluhan tahun lamanya menjadi tokoh-tokoh utama kaum sesat. Sebagai murid Lam-hai Sin-ni, kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena semenjak muda dia merupakan seorang wanita yang haus akan laki-laki dan besar nafsu, lihai ilmu pedangnya dan lihai pula senjata rahasianya yang beracun, ia terkenal dengan julukan Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Mera). Akan tetapi, setelah dia bersama Cia Keng Hong berhasil menemukan tempat rahasia penyimpanan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan mempelajari kitab-kitab itu selama bertahun-tahun, dia keluar dari gua rahasia sebagai seorang wanita yang sukar dicari tandingannya lagi. Ia bahkan membunuh bekas gurunya, Lam-hai Sin-ni, membunuh banyak sekali tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw sehingga julukannya yang ia ubah menjadi Ang-kiam Bu-tek menjulang tinggi di dunia kang-ouw dan dikenal oleh semua tokoh dengan hati penuh rasa ngeri dan takut.

Itulah dia wanita cantik yang pagi hari itu menimbulkan keributan di dalam restoran di kota kecil Sun-ke-bun, menyebar maut seperti menyebar pasir saja! Bhe Cui Im, berusia dua puluh sembilan tahun, cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat kuat, membuat hati pria terangsang apabila melihatnya, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Ketika ia terhuyung-huyung dalam keadaan terluka pundaknya, baru saja dia melarikan diri dari puncak Tai-hang-san di mana terjadi pertemuan puncak antara tokoh-tokoh besar yang dilanjutkan dengan pertandingan-pertandingan hebat, di mana dia terluka oleh Cia Keng Hong, si pendekar sakti yang biarpun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dapat disebut adalah suhengnya, karena Cia Keng Hong adalah murid langsung dan tunggal dari mendiang Sin-jiu Kiam-ong.

Karena kekalahannya terhadap Cia Keng Hong inilah yang membuat Cui Im tidak membunuh Mo-kiam Siauw-ong. Dia tidak membutuhkan bantuan orang-orang pandai, membutuhkan bantuan tokoh yang anak buahnya itu. Dan karena cintanya yang berubah kebencian amat mendalam terhadap Cia Keng Hong pulalah yang membuat ia berjanji untuk berguru kepada nenek Go-bi Thai-houw karena ia maklum bahwa nenek itu memiliki kesaktian yang luar biasa, memiliki banyak ilmu yang dapat ia pelajari untuk kelak dipergunakan menghadapi Keng Hong dan terutama sekali, untuk dapat mengajak nenek itu bersama-sama menghancurkan kehidupan Keng Hong yang amat dibencinya!

Ketika Coa-taijin, yaitu kepala daerah kota Sun-ke-bun mendengar dari mantunya akan kesaktian Ang-kia bu-tek, dia menyambut dengan ramah, bahkan mempersilakan Cui Im menempati sebuah kamar kehormatan di dalam gedungnya, sebuah kamar yang mewah sekali. Kepala daerah yang cerdik ini tahu bahwa makin banyak orang pandai membantunya, makin kuatlah kedudukannya!

Cui Im merasa girang bukan main. Dia langsung mengajak Ma Kiat Su memasuki kamar mewah itu, menutupkan daun pintunya dan tenggelamlah dia dan Ma Kiat Su dalam lautan nafsu yang membuat laki-laki itu mabuk dan merasa beruntung sekali karena selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang wanita hebat seperti Cui Im!

Selama tiga hari tiga malam Cui Im tidak boleh meninggalkan kamarnya, tidak memperbolehkan kekasihnya keluar pula. Mereka dilayani oleh pelayan-pelayan Coa-taijin seperti sepasang pengantin baru, seperti tamu-tamu terhormat.

Pada malam hari ke tiga, tiba-tiba pintu kamar itu dibuka orang dari luar, daun pintunya tertolak perlahan dan muncullah seorang pemuda di ambang pintu. Cui Im yang sedang membelai tubuh Ma Kiat Su yang tidur kelelahan, mengangkat muka dan seketika wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak memandang pemuda yang juga berdiri seperti terpesona menyaksikan wanita cantik setengah telanjang yang rebah menelungkung di atas pebaringan itu. Pemuda itu tampan sekali, pakaiannya indah dan sikapnya tenang. Yang membuat Cui Im terkejut adalah wajah pemuda ini, sehingga tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengar suaranya lirih, "Cia Keng Hong..!"

Pemuda itu tidak mendengar suara lirih ini, dianggapnya Cui Im menegur dan mencelanya, maka dia cepat menjura dan berkata, suaranya halus sekali dan sopan, "Harap Sianli sudi memaafkan saya karena kesalahan masuk ke kamar ini.."

Cui Im menarik napas lega, cepat ia bangkit duduk, menurunkan kedua kakinya dari atas pembaringan tanpa mempedulikan baju dalamnya yang tidak lengkap menutupi tubuh atasnya, tersenyum manis dan bertanya, "Kongcu siapakah..." Ia masih memandang heran akan persamaan wajah pemuda itu dengan wajah Keng Hong, bahkan bentuk tubuhnya hampir sama besarnya.

Kembali pemuda itu menjura. "Saya Coa Kun, putera dari Coa-taijin pemilik rumah ini. Saya baru datang dari luar kota, sudah mendengar bahwa Sianli bertamu di sini, sudah mendengar akan nama Sianli yang sakti dan mulia. Akan tetapi saya mengira Sianli berada di kamar tamu sebelah, tidak menyangka bahwa kamar saya yang diberikan oleh ayah untuk Sianli, maka saya lancang membuka pintu kamar ini. Maafkan, saya..." Pemuda itu menjura, membalikkan tubuh dan hendak pergi.

"Coa-kongcu, tunggu...!" Cui Im sudah meloncat turun, kakinya telanjang dan ia melangkah menghampiri pemuda yang sudah membalikkan tubuh lagi memandang dengan kedua pipi kemerahan karena keadaan Cui Im benar-benar membuat dia merasa jengah dan kikuk. Wanita cantik itu lebih telanjang daripada berpakaian!

"Kongcu, masuklah dan mari kita bicara dulu. Engkauah yang harus memaafkan aku karena kamarmu kupakai! Ahhh, aku menganggu saja padamu. Kalau aku tahu bahwa aku akan menganggu seorang yang begini... hemmm... ganteng seperti engkau, aku lebih suka tidur di dapur!"

Coa Kun menjadi makin merah mukanya. "Ah, harap Sianli jangan berkata demikian. Dengan senang hati aku menyerahkan kamarku untukmu. Sudahlah, saya tidak berani menganggu lebih lama..!" Kembali dia hendak pergi.

Cui Im melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. "Nanti dulu, Kongcu, mari duduklah, kita bicara dulu.. Atau... engkau tidak sudi bicara dengan orang seperti aku?" dia tersenyum dan memandang penuh tantangan.

Pemuda itu makin tersipu, akan tetapi dia tidak berani menarik tangannya yang kini dituntun oleh Cui Im. Dia terpaksa memasuki kamar dan dia melirik ke arah tubuh Ma Kiat Su yang tidur dengan perasaan tidak sedap. Laki-laki itu pun tidak berpakaian, hanya berselimut sebagian tubuhnya yang kekar.

"Tidak baik, Sianli. Dia... dia..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena keadaan di tepat itu benar-benar membuatnya malu dan kikuk.

Cui Im tersenyum lebar, "Memang babi itu menganggu saja. Tunggu kulempar dia keluar!" Tanpa menanti jawaban, sekali bergerak tubuh Cui Im sudah meloncat ke atas pembaringan dan sekali kakinya menendang, tubuh Ma Kiat Su terlempar ke bawah pembaringan.

"Aehhhhh.. ada apa... apa yang terjadi...?" Ma Kiat Su terbangun, merangkak dan meloncat berdiri. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh ketika tangan kiri Cui Im bergerak dan dua buah jari tangannya menusuk dan mengenai pelipisnya. Ia roboh tak bernyawa lagi, di pelipis kanannya terlihat bekas dua jari tangan yang membiru!

Cui Im kembali menendang dan... mayat laki-laki yang selama tiga tiga malam menjadi kekasih dan kawan bermain cinta itu terlempar keluar melalui pintu kamar. Dia cepat menghampiri daun pintu dan ditutupnya, kemudian ia membalikkan tubuh dan seperti tak pernah terjadi sesuatu, dia melangkah maju menghampiri Coa Kun yang duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.

"Kenapa.... kenapa kau membunuhnya...?"

"Ah, aku sudah bosan dan jemu dengan dia. Apalagi dia hanyalah seorang anak buah rendah saja, tidak tepat menjadi sahabatku. Coa-kongcu, engkaulah orang yang paling patut menjadi sahabat baikku dan kamar ini adalah kamarmu."

Sambil tersenyum manis sekali dengan pandang mata panas membakar hati, Cui Im menghampiri pemuda itu dengan langkah dan lenggang memikat, kemudian merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu.

Coa Kun memandang dengan mata terbelalak, hidungnya mencium keharuman yang aneh dari tubuh wanita itu, jantungnya berdebar ketika merasa betapa hangat tubuh yang menempel rapat di dadanya.

"Eh, Sianli... Ah, apa artinya ini?" Ia tergagap, karena biarpun sebelum salah mamasuki kamar itu dia sudah mendengar cerita tentang Ang-kiam Bu-tek yang sakti seperti iblis dan cabul seperti siluman rase namun tak mengira sama sekali bahwa wanita ini akan membunuh kekasihnya begitu kemudian mengalihkan cintanya kepadanya!

Tiba-tiba Cui Im meraih ke atas dan memaksa muka pemuda itu tunduk, kemudian mencium mulut Coa Kun yang membuat pemuda itu makin mabuk kepayang dan makin terheran-heran. Setelah melepaskan ciumannya, Cui Im berbisik halus, "Kongcu, apakah engkau tidak suka aku menemanimu di kamarmu ini? Apakah engkau tidak suka menjadi sahabat baikku?"

Coa Kun dapat mendengar ancaman hebat bersembunyi di balik bisikan halus penuh getaran berahi itu dan dia bergidik. Ia mengangguk dan cepat menjawab, "Tentu saja aku suka sekali, Sianli, tapi..."

"Kongcu yang tampan dan halus, engkau mengingatkan aku akan seseorang.. Ahhh, jangan engkau khawatir, terhadap engkau, aku tidak akan menganggu. Kalau kau memang suka, mengapa tidak memondongku ke ranjangmu?' Coa Kun adalah seorang pemuda yang biarpun sudah berusia dua puluh tahun lebih dan sebagai putera kepala daerah, biarpun belum menikah namun sudah memiliki beberapa orang selir dan bukan tidak berpengalaman menghadapi wanita, namun dibandingkan dengan Cui Im dia hanyalah seorang pemuda yang masih hijau! Kini, berada dalam cengkeraman Cui Im, menghadapi rayuan Cui Im yang merupakan seorang ahli dalam permainan cinta, mana mungkin dia dapat bertahan? Menghadapi rayuan Cui Im yang luar biasa, dalam waktu singkat saja dia sudah bertekuk lutut dan menyambut serta melayani segala kehendak wanita itu!

Biarpun Cui Im memang seorang wanita yang haus akan cinta kasih laki-laki dan mata keranjang, selalu ingin memeluk pria tampan, pembosan dan ingin selalu berganti teman bercinta, namun Cui Im memilih Coa Kun bukan semata-mata karena pemuda ini tampan. Terutama sekali karena kemiripan wajah Coa Kun dengan wajah Keng Hong amat menarik hatinya dan otaknya yang cerdik segera sudah mendapatkan siasat untuk sewaktu-waktu mempergunakan pemuda ini untuk membantunya menghancurkan penghidupan Keng Hong, satu-satunya laki-laki di dunia ini yang pernah meruntuhkan hatinya, pernah dicintanya dengan cinta murni, akan tetapi yang kini telah berubah menjadi satu-satunya orang yang paling dibencinya di dunia ini!

Sementara itu, ketika Mo-kiam Siauw-ong mendengar pelaporan para penjaga akan adanya mayat Ma Kiat Su di depan pintu kamar tidur, hanya tersenyum dan dia menyuruh anak buahnya membawa pergi mayat itu dan menguburnya. Ia mengangguk-angguk dan menggosok kedua tangannya. Kalau Ang-kiam Bu-tek jatuh hati kepada Coa-kongcu, hal itu amat baik sekali. Lebih baik lagi kalau Ang-kiam Bu-tek suka menjadi isteri putera kepala daerah itu, pikirnya.

Hati Cui Im gembira sekali karena pemuda putera Coa-jin itu sebentar saja sudah benar-benar jatuh hati dan kepadanya dan dapat memuaskan hatinya. Ia senang tinggal di gedung itu, selain menerima penghormatan berlebihan, menerima pelayanan yang menyenangkan, ditemani seorang kongcu yang halus dan tampan mirip Cia Keng Hong, juga ternyata luka di pundaknya oleh pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong tidaklah merupakan luka parah dan dalam beberapa hari saja tentu akan sembuh.

Akan tetapi malam hari itu, selagi dia asyik bercumbu dengan kekasihnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara terkekeh dari arah jendela kamarnya. Mendengar dan mengenal suara ini, Cui Im melompat turun dari atas pembaringan, secepat kilat menyambar pakaiannya dan ketika ia membalik dengan pakaian yang belum lengkap, ia melihat Go-bi Thai-houw telah melayang masuk dari jendela yang dibuka dari luar dan berada di kamar itu, tertawa-tawa.

Bukan main kagetnya Coa Kun melihat munculnya seorang nenek yang amat tua dan menyeramkan itu. Ia cepat-cepat menutupi tubuhnya dengan selimut dan hanya berani mengintai dari balik selimut.

Cui Im cepat maju dan berlutut menyambut Go-bi Thai-houw. "Subo telah datang…."

"Heh-heh-hi-hi-hik! Benar-benarkah engkau mengangkat aku sebagai gurumu, Ang-kiam Bu-tek?"

"Subo adalah seorang yang paling sakti di dunia ini, tentu saja teecu (murid) akan senang sekali menjadi murid Subo. Apalagi dengan adanya Subo. Kita dapat bekerja sama untuk membalas sakit hati terhadap Cia Keng Hong."

"Hemmmmm..!" Nenek itu mendengus, keningnya yang sudah putih itu mengkerut, dahinya yang sudah penuh keriput itu makin mendalam garis-garisnya. "Cia Keng Hong manusia busuk! Aku harus bunuh dia.. Akan tetapi.. Di sana ada isteri Sin-jiu Kiam-ong.."

"Takut apa, Subo? Kalau kita bekerja sama, dibantu oleh Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya, tentu kita akan dapat membasmi mereka! Mo-kiam Siauw-ong adalah murid dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo, masih segolongan sendiri. Marilah teecu perkenalkan Subo dengan Mo-kiam Siauw-ong dan mertuanya, Coa-taijin kepala daerah Sun-ke-bun, pemilik gedung ini." Nenek itu melirik ke arah Coa Kun yang masih memandang ketakutan di atas pembaringan, kemudian tertawa lebat memperlihatkan mulut yang tiada giginya lagi.

"Ha-ha-ha, engkau cocok sekali dengan aku muridku. Aku pun dahulu seperti engkau ketika muda, mengejar kesenangan, setelah cintaku ditolak oleh Sie Cun Hong (Sin-jiu Kiam-ong) si keparat! Besok saja aku berkenalan dengan mereka. Kau lanjutkan permainanmu dengan Kongcu ini, aku ingin menonton."

"Subo..!"

"Hi-hi-hik! Aku sudah terlalu tua, tidak bisa main sendiri, akan tetapi menonton menimbulkan kesenangan yang besar pula. Hayolah, anggap saja aku tidak berada di sini!" Nenek itu lalu duduk di atas sebuah bangku, duduk tegak tak bergerak seperti arca. Semenjak ia bertemu dengan bekas majikan wanitanya, yaitu Tung Sun Nio isteri mendiang Sin-jiu Kiam-ong, gilanya menjadi sembuh karena pertemuan itu mendatangkan guncangan batin yang hebat. Dia tidak gila lagi, akan tetapi setelah menjadi waras, timbul kembali wataknya yang seperti iblis, watak yang sama dengan watak Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im di waktu dia masih muda. Watak yang amat cabul dan keji!

Dan terjadilah perbuatan maksiat yang tiada keduanya di dunia ini, yang dapat dilakukan oleh wanita. Cui Im melanjutkan permainan cintanya dengan Coa Kun yang makin lama makin hilang rasa ngerinya terhadap nenek itu, ditonton oleh nenek itu! Bagi manusia-manusia yang mengenal kesusilaan, yang telah hidup di dalam jaman yang beradab, perbuatan mereka bertiga itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat cabul tak mengenal susila dan rasa malu lagi! Coa Kun, putera seorang pembesar yang terpelajar, yang sejak kecil telah membaca kitab-kitab dan tahu akan tata susila dan sopan santun, sedikit banyak mengenal pula ilmu silat, kini terseret dan terguling ke dalam jurang kehinaan, terseret melakukan perbuatan yang patutnya hanya dapat dilakukan oleh golongan hitam tingkat paling rendah!

Dan pada keesokan harinya, setelah ketiga orang ini merasa Coa Kun merasa puas karena merasa diayun ke sorga oleh cumbu rayu dan permainan cinta Cui Im yang merupakan seorang ahli berpengalaman dalam hal itu, Cui Im puas karena selain mendapatkan seorang kekasih baru yang tampan juga diterima menjadi murid Go-bi thai-houw dan nenek itu puas karena sudah lama ia kehilangan seperti yang dinikmatinya semalam dengan menoton pertunjukan yang menggairahkan hati tuanya, diadakan pertemuan yang dia sambung dengan perundingan? Sebuah perundingan yang tujuannya hanya satu, yaitu menghancurkan penghidupan Cia Keng Hong! Go-bi Thai-houw membenci Keng Hong karena dianggap sebagai biang keladinya sehingga dia kehilangan dua orang muridnya yang tercinta, yaitu mendiang Hek-sin-kiam Tan Hun Bwee dan Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Cui Im membenci Keng Hong, benci yang timbul karena cinta yang tak terbalas dan karena banyak hal lagi. Mo-kiam Siauw-ong juga membenci Keng Hong karena pendekar sakti itu telah membunuh ketiga orang gurunya, Thian-te Sam-lo-mo.

Hanya Coa-taijin dan Coa Kun yang hadir dalam perundingan itu saja yang tidak membenci Keng Hong karena mengenal pun tidak, akan tetapi mereka terbawa karena hubungan mereka dengan Mo-kiam Siauw-ong dan dengan Cui Im.

Benci! Perasaan ini merupakan nafsu manusia yang menjadi pokok penyebab utama daripada timbulnya segala kekacauan di dunia ini oleh manusia. penyebab timbulnya nafsu kebencian bersumber kepada rasa sayang diri dan iba diri (egoisme), terdorong oleh iri hati. Kalau merasa diri dirugikan, maka timbullah bibit yang menjadi benih nafsu kebencian. Kalau sudah bertunas bibit kebencian dalam hati, maka si manusia yang dicengkeram kebencian itu akan tertutup mata batinnya dan muncullah perbuatan-perbuatan kekejaman. Kebencian menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Kebencian menciptakan perbuatan yang merugikan dan merusak, akan tetapi sebenarnya yang paling di rugikan dan dirusak adalah diri si pembenci sendiri. Kebencian merupakan sifat yang paling buruk yang harus dijauhi oleh setiap orang manusia, karena kebencian ini bertentangan dengan sifat alam. Tidak ada sifat benci pada alam yang hanya mempunyai satu sifat, yaitu Kasih! Yang tidak mau menyadari akan hal ini, yang tidak mau berusaha sekuat tenaga kemauan untuk mengenyahkan sifat benci dari hatinya, merupakan orang yang sungguh patut dikasihani, karena perasaan bencinya akan menyeretnya ke dalam segala macam kesengsaraan batin.

Orang yang percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, tentu akan mudah melenyapkan dan menjatuhkan perasaan benci kepada siapa pun juga. Karena orang ini akan menyadari bahwa segala yang menimpa dirinya, tidak terkecuali apakah hal itu menguntungkan atau merugikan, adalah hal yang sudah dikehendaki oleh Tuhan! Di luar kehendak Tuhan, segala tidak akan terjadi! Tuhan Maha Kuasa, kuasa untuk memberi, kuasa untuk mengambil.

***

Kalau hanya merasa senang apabila diberi, akan tetapi mengomel apabila di ambil, dia adalah seorang yang kurang tebal kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan. Di dalam memberi maupun mengambil tentu saja ada yang menjadi lantarannya. Kalau kepercayaan akan kekuasaan Tuhan sudah menjadi keyakinan bijaksana ini tentu tidak akan membenci yang menjadi lantarannya, karena lantaran itu hanyalah dipergunakan atau dipilih oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya. Misalnya, seseorang kehilangan seorang anaknya tercinta. Anak itu tidak akan mati kalau tidak dikehendaki oleh Tuhan untuk pelaksanaan kehendak-Nya ini, tentu saja ada lantarannya. Bermacam-macamlah yang bisa menjadi sebab, karena terbunuh, karena penyakit, karena kecelakaan dan sebagainya. Kelirulah kalau orang yang kehilangan anaknya itu menimpakan kesalahan dan timbul kebencian terhadap penyebab atau yang menjadi lantaran, karena kejadian itu baru saja bisa terjadi oleh kehendak Tuhan! Tanpa dikendaki Tuhan biar segala iblis dan setan di dunia ini tentu tidak akan mampu mencabut nyawa anak itu! Demikian pula dengan kerugian dan kehilangan lainnya, atau sebaliknya, demikian pula dengan keuntungan dan hal yang menyenangkan lainnya.

Segala yang dikehendaki oleh Tuhan, akan terjadilah! Hal ini mutlak, tiada kekuasaan yang dapat menentangnya semenjak dahulu, sekarang dan kemudian yang penting bagi manusia hanyalah berikhtiar, berusaha yang sudah menjadi kewajibannya untuk menghindarkan diri daripada hal-hal yang tidak dikehendaki hatinya. Namun, bukanlah ikhtisar yang menentukan melainkan kehendak Tuhan juga! Berikhtiar dengan kesungguhan hati sebagai kewajiban, berlandaskan penyerahan akan kekuasaan Tuhan, dengan pasrah, dengan penerimaan, maka orang ini akan selalu merasa tenang dan dapat mengatasi segala hal yang menimpanya tanpa terseret nafsu kebencian yang akan menjadi awal rantai panjang tak berkeputusan yang berupa kesengsaraan batin.

Orang-orang seperti Mo-kiam Siauw-ong, Go-bi Thai-houw dan terutama Bhe Cui Im adalah orang-orang yang telah menjadi hamba nafsu dan tidaklah amat mengherankan kalau mereka itu mabuk oleh kebencian sehingga mereka berunding, mengatur rencana dan siasat untuk menghancurkan hidup orang yang mereka benci, yaitu Cia Keng Hong.

"Mereka itu tentu akan melangsungkan pernikahan. Aku akan menyelidikinya dan perayaan pernikahan mereka merupakan kesempatan baik bagi kita. Kita serbu mereka, kita kacaukan perayaan itu dan kalau dapat kita bunuh Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan kawan-kawan mereka.dalam hal ini aku mengharapkan bantuan Mo-kiam Siauw-ong untuk mengerahkan pasukan yang kuat dan banyak." Cui Im berkata. "Saya siap membantu, Sianli, harap jangan khawatir!" Mo-kiam Siauw-ong cepat berkata.

Coa-taijin mengerutkan alisnya dan berkata, "Maaf, Sianli. Saya percaya penuh bahwa Cia Keng Hong itu tentulah bukan manusia baik maka Sianli memusuhinya dan di dalam hati, saya memihak Sianli sepenuhnya dan andaikata saya memilliki kepandaian, tentu saya akan ikut pergi membantu untuk membasmi Cia Keng Hong da kawan-kawannya yang telah merugikan dan melukai Sianli dan juga yang dimusuhi oleh Locianpwe."

"Thai-houw, sebut aku Thai-houw, aku adalah ratu di Go-bi, tahu?" Tiba-tiba Go-bi Thai-houw berkata.

Coa-taijin terkejut dan cepat berkata, "Maaf, Thai-houw, maaf."

"Lanjutkan kata-katamu, Taijin. Apa yang hendak kauusulkan?"

"Sianli tentu maklum kedudukan saya sebagai kepala daerah, maka saya dan para pasukan penjaga kota ini adalah orang-orang dari pemerintah. Maka, kalau pasukan saya dipergunakan untuk urusan pribadi, hal itu tentu amat tidak baik bagi saya, karena tentu akan ada teguran dari pemerintah pusat."

Cui Im mengerutkan alisnya dan memandang Mo-kiam Siauw-ong. Orang ini cepat berkata, "Apa yang dikatakan oleh mertua saya memang benar, Sianli. Akan tetapi harap Sianli tidak usah khawatir. Saya tidak begitu bodoh untuk menggunakan pasukan penjaga kota Sun-ke-bun karena pasukan penjaga iru biarpun banyak, tidaklah boleh diandalkan. Saya akan mengerahkan semua anak buah kaum liok-lim dan kang-ouw di daerah lembah Fen-ho dan percayalah, saya akan dapat mengumpulkan pasukan yang sudah jauh lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya daripada pasukan penjaga kota."

Wajah Cui Im berseri lagi mendengar ini. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan senyum manis, "Bantuan Taijin dan Siauw-ong yang amat berharga tentu tidak akan kulupakan."

"Aihhh, Niocu, setelah kita menjadi orang sendiri, mengapa masih sungkan? Katakanlah, apa yang dapat aku kulakukan untuk membantumu? Aku siap membantu dengan taruhan nyawa!" Tiba-tiba Coa Kun berkata. Pemuda ini sekarang tidak lagi menyebut "sianli" melainkan menyebut niocu kepada kekasihnya itu.

CuiIm dengan kepandaiannya yang tinggi dapat membuat kedua pipinya kemerahan seperti wanita biasa kalau merasa malu dan lengah, kemudian ia mengerling ke arah kekasihnya itu sambil berkata, "Terima kasih, Kongcu. Memang aku amat membutuhkan bantuanmu, akan tetapi kelak kalau usahaku yang pertama ini tidak berhasil. Engkau bersiap-siap sajalah, dan dalam penyerbuan yang kita rencanakan ini, harap kau tidak ikut...:"

"Ah, mana bisa? Mana bisa aku berpisah darimu? Aku akan ikut, Niocu!" Biarpun berada di depan banyak orang, bahkan di depan ayahnya sendiri, namun pemuda yang sudah tergila-gila ini tidak malu-malu lagi menyatakan perasaannya yang tidak mau berpisah dari wanita yang membuatnya mabuk itu.

Cui Im tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak boleh ikut menyertai penyerbuan. Kalau engkau terluka atau tewas, aku yang kehilangan!

Keng Hong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, aku sendiri tidak kuat menandinginya."

"Hi-hi-hik, jangan takut muridku. Aku pernah membuat dia dan bekas muridku Sie Baiuw Eng, dibantu dua orang temannya, jungkir-balik dan kalau tidak muncul isteri sin-jiu Kiam-ong, mereka sudah mati di tanganku!" kata Go-bi Thai-houw.

Diam-diam Cui Im terkejut. Dia mengenal siapa kedua orang teman itu, tentulah Yap Song Can urid ketua Siauw-lim-pai yang lihai dan Gui Yan Cu. Kedua orang muda itu lihai bukan main, ditambah lagi dengan Sie Biauw Eng yang kini memiliki ilmu kepandaian hebat di samping Keng Hong. Benarkah nenek ini dapat emperainkan mereka? Diam-diam ia pun girang karena orang seperti nenek ini tentu tidak perlu membohong dan menyombongklan diri.

"Dan aku dapat mencari bantuan orang-orang pandai di lembah Fen-ho," kata [ula Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bertekad bulat, mempergunakan kesempatan baik itu, selagi dia dibantu dua orang sakti seperti Go-bi Thai-houw dan Ang-kiam Bu-tek, untuk membalas kematian ketiga orang gurunya di tangan Cia Keng Hong.

Sampai jauh malam mereka melakukan perundingan dan mengatur siasat, perundingan yang diseling dengan makan minum yang serba mahal dan mewah. Mo-kiam Siauw-ong, atas petunjuk Cui Im, pada hari itu juga mengirim kaki tangannya untuk melakukan penyelidikan ke siauw-lim-pai dan ke tempat tinggal Tung Sun Nio atau isteri sin-jiu Kiam-ong, yaitu di lereng Pegunungan Cin-ling-san sebelah timur.

Mereka mengadakan persiapan dan tinggal menanti berita dari para penyelidik yang melakukan perjalanan cepat dengan berkuda. Sambil menanti, Cui Im tidak membuang waktu dengan sia-sia, melainkan dia mempererat hubungan cintanya dengan coa Kun sehingga semua penduduk kota itu kini tahu bahwa wanita cantik yang sakti seperti dewi itu adalah kekasih atau selir baru putera kepala daerah, bahkan didesas-desuskan menjadi calon isteri Coa-kongcu.

Di lereng Pegunungan Cin-lin-san yang sunyi, tempat pertapaan nenek Tung Sun Nio, kini menjadi amat ramai dan meriah karena akan dirayakan pernikahan dua pasang pengantin. Dua pasang orang muda yang saling mencinta, yang sudah bersama-sama mengalami suka duka penuh bahaya. Perayaan pernikahan dua pasang mempelai diadakan di tempat itu, memenuhi permintaan nenek Tung Sun Nio.

Dan memang nenek itu berhak menentukan tempat perayaan, karena orang-orang muda yang menjadi pengantin, sebagian besar adalah keluarganya. Cia Keng Hong yang akan menikah dengan Sie Biauw Eng, adalah muridnya, juga murid utama mendiang suaminya, Sin-jiu Kiam-ong, Sie Biauw Eng adalah puteri mendiang suaminya yang dilahirkan oleh Lam-hai Sin-ni, jadi adalah anak tirinya sendiri. Adapun Gui Yan Cu yang akan menikah dengan Yap Song Can, adalah muridnya yang disayang seperti anak sendiri. Hanya Yap Cong San seorang yang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan nenek ini. Akan tetapi Yap Cong San adalah murid ketua Siauw-lim-pai yaitu Tiong Pek Hosing dan ketua Siauw-lim-pai ini dahulu adalah kekasih Tung Sun Nio. Karena itu, bukan sama sekali tidak ada hubungan dengannya! Maka, pernikahan dua pasang mempelai itu benar-benar merupakan peristiwa yang besar dan menggembirakan bagi Tung Sun Nio.

Sudah puluhan tahun lamanya Tung Sun Nio mengasingkan diri sehingga dia tidak dikenal orang di dunia kang-ouw. Adapun Cia Keng Hong sendiri, biarpun akhirnya dapat membersihkan nama gurunya dan telah menyadarkan nama gurunya dan telah menyadarkan para tokoh kang-ouw akan niatnya mengakhiri permusuhan yang ditimbulkan mendiang gurunya dengan hampir semua tokoh kang-ouw masih merasa segan untuk mendekat pemuda itu.

***

Karena inilah maka perayaan itu hanya dihadiri oleh beberapa orang tokoh kang-ouw yang memiliki hubungan baik dengan Cia Keng Hong dan Yap Cong San. Adapun Gui Yan Cu yang sejak kecil ikut gurunya tidak mempunyai kenalan pula, sedangkan Sie Biauw Eng sebagai puteri Lam-hai Sin-ni, tentu saja hanya dikenal oleh para tokoh golongan hita yang sekarang bahkan menjadi musuh-musuhnya karena wanita cantik jelita yang lihai ini telah mengubah cara hidupnya semenjak dia bertemu dan jatuh cinta kepada Cia Keng Hong.

Di antara para tokoh kang-ouw yang hadir tampak dua orang wakil dari Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai yang diutus sendiri oleh ketua Kun-lun-pai yaitu Kiang Tojin yang menjadi sahabat baik Cia Keng Hong. Ouw Kian yang menjadi ketua tiat-ciang-pang bersama dua orang pembantunya, dan belasan orang tokoh kang-ouw lain yang merasa kagum kepada Cia Keng Hong. Biarpun tidak banyak tokoh kang-ouw yang hadir, namun suasana pesta meriah karena dipenuhi oleh penduduk dusun-dusun di kaki Pegunungan Cin-lin-san yang banyak mengenal Gui Yan Cu.

Yap Cong San sebagai pengantin pria dari Siauw-lim-pai, diantar oleh lima orang hwesio tokoh Siauw-lim-pai ini tidak datang sendiri karena dia adalah sebagai orang yang punya kerja" di fihak pengantin pria dan dikuil Siauw-lim-si sudah diadakan upacara tersendiri sebelum Yap Cong San berangkat.

Semua tamu sudah berkumpul, meja sembahyang sudah diatur dan dua pasang empelai sudah diarak keluar untuk melakukan upacara sembahyang pengantin. Mengagumkan dan menyenangkan sekali kalau melihat dua pasang pengantin ini karena memang merupakan pasangan yang amat setimpal. Sie Biauw Eng berwajah cantik manis dan agung, seperti puteri istana, bayangan dingin yang dahulu kini telah berubah penuh kehangatan dan gairah. Gui Yan Cu berwajah cantik jelita seperti bidadari, cerah dan memandang wajah dara ini seperti memandang matahari pagi.

Adapaun dua orang pengantin prianya juga tapan dan gagah. Cia Keng Hong berwajah tampan dengan sinar mata tajam seperti berkilat, sikap tenang dan biarpun usianya baru dua puluh empat tahu, namun wajahnya sudah membayangkan kematangan batin, sinar matanya penuh pengertian dan sikapnya seperti sebuah telaga yang amat dalam. Yap Cong San juga tampan sekali, gerak-geriknya halus sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ahli sastra, karena di samping ilmu silatnya yang tinggi juga pemuda ini merupakan seorang sastrawan yang pandai.

Dua pasang pengantin itu bersembahyang, dipimpin oleh seorang hwesio Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng dari Yap Cong San sendiri. Memang sebagai seorang hwesio, tentu saja suhengnya itu ahli dala urusan upacara sembahyang maka dialah yang ditunjuk untuk memimpin upacara sembahyang pengantin. Tung Sun Nio menyaksikan dengan air mata membasahi pipinya saking terharu.Terkenanglah nenek ini akan masa dahulu, sebagai isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong. Menyesallah hatinya kalau mengenang masa mudanya, di mana ia mengalami penderitaan dalam rumah tangganya. Teringat ia betapa ketika ia menikah dengan Sie Cun Hong, mereka berdua pun bersembahyang seperti yang dilakukan dua pasang mempelai ini, akan tetapi kenyataannya kemudian amat menyakitkan hati. Dia sudah menjatuhkan cinta hatinya kepada Ouwyang tiong, akan tetapi orang tuanya dia diharuskan menikah dengan Sie Cun Hong. Karena Sie Cun Hong adalah seorang yang tampan dan gagah perkasa, ia masih mengharapkan dapat hidup bahagia di samping suaminya itu. Akan tetapi, ternyata Sie Cun Hong yang sudah terkenal sebagai seorang laki-laki yang gila wanita itu, tidak berubah dan bermain cinta dengan wanita mana saja yang mau melayaninya! Bahkan pelayannya sendiri, Oh Hian Wi, pelayan yang setia, dilayani pula oleh suaminya itu dan mereka melakukan hubungan gelap ketika gadis pelayan itu ikut bersamanya untuk melayaninya.

Padahal, dia baru saja menikah belum sebulan lamanya, masih dalam suasana pengantin baru! Dia menangkap basah suaminya dan Oh Hian Wi dan mengerti bahwa hubungan mereka itu telah dilakukan semenjak dia dan pelayannya tinggal di rumah suaminya, bahkan mungkin di malam pengantin setelah dia tidur, suaminya itu mendatangi Oh Hian Wi yang tergila-gila kepadanya. Sekali menikah, suaminya mendapatkan dua orang wanita! Semenjak itu, hambarlah perkawinannya sehingga menciptakan serangkaian kejadian yang merupakan malapetaka!

Nenek Tung Sun Nio menghela napas dan diam-diam ia berdoa untuk kebahagiaan dua pasang pengantin itu. Pernikahannya yang gagal, batinnya yang leah sehingga sebagai isteri Sie Cun Hong dia berlaku serong, bermain cinta dengan bekas kekasihnya, Ouwyang Tiong ketika orang ini mengunjunginya, telah menagakibatkan kehancuran hidupnya. Dia menderita puluhan tahun lamanya, menderita batin. Juga Ouwyang Tiong menderita batin sehingga pemuda itu lari kepada agama sehingga dia memperoleh kemajuan dan kedudukan tinggi, akhirnya menjadi ketua Siauw-li-pai. Biarpun biang keladinya adalah suaminya sendiri yang masih mengobral cinta, namun dia sendiri pun bersalah. Pernikahan yang hanya berlandaskan cinta bergelimang nafsu berahi, akan gagal! Yang menjadi pengikat erat, yang mengekalkan pernikahan bukan hanya berahi semata, sungguhpun hal ini merupakan syarat penting sekali. Tanpa kemesraan hubungan badani antara suami isteri, pernikahan pun akan gagal! Baru sekarang ia menyadarinya betapa agung cinta kasih antara suami isteri yang hanya akan dapat menjadi kekal sampai kematian memisahkan mereka kalau kedua fihak bersama-sama memupuknya dengan kebijaksanaan, dengan kesetiaan dan dengan kesadaran akan kewajiban masing-masing, sebagai isteri dan sebagai suami, kemudian sebagai ibu dan sebagai ayah anak-anak mereka!

Tung Sun Nio tenggelam dalam lamunannya dan baru sadar setelah upacara sembahyang selesai dan kedua mempelai itu berlutut memberi hormat di depan kakinya.

Tung Sun Nio membalas penghormatan mereka, kemudian dengan terharu ia menggunakan jari-jari tangannya menjamah dan mengelus kepala empat orang muda, bibirnya berbisik hampir tidak kedengaran, "Semoga Tuhan memberkahi kelian dengan kehidupan yang rukun dan bahagia." Ia mengusap air matanya dan dua pasang pengantin itu sudah bangun berdiri dan memberi hormat kepada para tamu yang sudah bangun dari tempat duduk dan membalas penghormatan mereka.

"Ha-ha-hi-hi-hik! Hanya tiga kali dalam hidup manusia disambut orang-orang lain. Lahir, menikah dan mati. Kalian berempat sudah menjalani yang dua, tinggal terakhir! Bersiaplah kalian berempat untuk mati, hi-hik-hik!"

Semua orang terkejut dan menengok keluar di mana tahu-tahu telah berdiri seorang nenek yang bukan lain adalah go-bi thai-houw, bersama Cui Im dan Mo-kiam Siauw-ong!

Tung Sun Nio yang juga terkejut kini mengerutkan alisnya dan membentak. "Hian Wi manusia rendah budi ! engkau mau apa??"

Biasanya, bekas pelayan ini amat takut kepadanya, bahkan dalam pertemuan terakhir di puncak Tai-hang-san, kedatangannya membuat nenek iblis itu lari ketakutan. Akan tetapi sekali ini, Go-bi Thai-houw sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tertawa mengejek, "Tung Sun Nio, engkau bukan majikanku lagi, dan mestinya sudah dulu-dulu kau kubunuh. Hi-hi-hik, engkau mengusirku untuk menjauhkan aku dari suamimu, siapa tahu,kiranya engkau sendiri malah berhubungan gelap dengan Ouwyang tiong dan.."

"Tutup mulutmu, Iblis tua!" Keng Hong membentak marah sekali sehingga suaranya menggeledek, mengejutkan semua orang.

"Wah, Keng Hong, engkau bersikap seolah-olah engkau seorang yang bersih dan suci. Heh-heh-heh, siapa yang tidak mengenal Cia Keng Hong? Guru kencing berdiri murid kencing berlari! Sin-jiu Kiam-ong seorang yang gila perempuan, muridnya tidak kalah hebat! Eh, Keng Hong, sudah berapa banyak perempuan yang mabuk dalam pelukanmu dan rayuanmu? Hi-hi-hik! Masih teringat aku betapa pandai engkau merayu...!"

"Bhe Cui Im perepuan hina!" Biauw Eng kini sudah melepas kerudung pengantin dari mukanya. Mukanya pucat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat saking marahnya.

"Hi-hi-hik, sumoiku yang manis. Engkaulah yang hina dan bodoh, mau dijadikan isteri seorang laki-laki cabul yang wataknya sama saja dengan mendiang Sin-jiu Kiam-ong. Aku berani bertaruh bahwa dalam waktu beberapa hari saja dia akan melakukan penyelewengan dengan wanita yang mana saja asal cantik dan suka melayaninya. Dia tampan Biauw Eng, tentu banyak wanita yang suka kepadanya!"

"Go-bi Thai-houw! Kalau bukan Keng Hong yang melarang, engkau sudah mampus di tangan kami berempat ketika bertanding di puncak Tai-hang-san! Mengapa engkau sekarang malah datang untuk mengacau? Mengapa kalian berdua yang telah diberi kesempatan hidup tidak mengubah kelakuan, tidak bertobat alah kini melanjutkan kesesatan kalian?" Yap Cong San tak dapat menahan hatinya mendengar ucapan dua orang wanita itu yang amat menghina dan hendak membongkar rahasia mendiang guru dan ibu guru Keng Hong bahkan menghina Keng Hong secara keterlaluan.

Go-bi Thai-houw hanya terkekeh, akan tetapi Cui Im memandang pemuda itu dengan mata mengejek. Ia pernah tergila-gila kepada pemuda Siauw-lim-pai yang tampan itu dan terang-terangan di tolak oleh Cong San sehingga kini timbul pula kebenciannya kepada pemuda itu.

***

"Yap Cong San, engkau berlagak bicara seperti orang bijaksana, padahal engkau pun tolol dan bodoh seperti Biauw Eng! Siapa yang kaujadikan isteri itu? Apakah engkau tidak mengenal siapa isteri itu? Apakah engkau tidak mengenal siapa Gui Yan Cu ini? Memang dia cantik jelita, akan tetapi siapa tahu isi hatinya? Dia murid Tung Sun Nio, seorang isteri yang serong! Dan lama dia merantau berdua saja dengan Keng Hong, mana dia mau melepaskan seekor domba berdaging lunak seperti Yan Cu? Hi-hi-hik, aku berani bertaruh potong leher kalau di antara Yan Cu dan Keng Hong tidak ada hubungan cinta, ha-ha-ha!"

"Bhe Cui Im, kau perempuan rendah dan keji!" Yan Cu jaga sudah merenggut kerudungnya dengan muka merah saking marahnya. Namun diam-diam ia merasa khawatir sekali karena tak dapat disangka pula bahwa memang dahulu ia amat tetarik kepada Cia Keng Hong. Agaknya, kalau tidak ada Biauw Eng dan Cong San, laki-laki pertama yang akan dicintanya lahir batin adalah Cia Keng Hong!

"Go-bi Thai-houw dan Cui Im! Tidak perlu banyak cakap lagi. Katakanlah, apa maksud kedatangan kalian ini?" Keng Hong melangkah maju dan bertanya, sikapnya tenang namun sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat yang membuat Cui Im di luar kesadarannya melangkah mundur setindak. Di dalam hatinya, dia amat gentar kalau harus menghadapi Keng Hong yang ia tahu memiliki ilu kepandaian yang amat hebat.

Mo-kiam Siauw-ong yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata,

"Cia Keng Hong, perlukah pertanyaan itu kau ajukan? Mereka berdua ini telah kau musuhi dan tentu kedatangan mereka untuk membalas dendam, seperti juga aku."

"Engkau siapakah?"

"Aku Mo-kiam Siauw-ong datang untuk menuntut balas jasa atas kematian tiga orang suhuku, Thian-te Sam-lo-mo!"

"Hemmm... bagus! Kalian bersekutu untuk mengacaukan upacara pernikahan. Benar-benar perbuatan hina dan curang, di dalam dunia kaum sesat sekalipun orang akan menghormati upacara pernikahan mengadakan perhitungan atas urusan pribadi. Akan tetapi karena kalian sudah datang, kami pun sudah siap! Akan tetapi, ingatlah, Cui Im, sekali ini aku tidak mau mengampunkan engkau."

"Srattt!"

Tampak sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Keng Hong telah emagang sebatang pedang kayu. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang terbuat dari kayu harum yang pernah menjadi perebutan seluruh tokoh dunia kang-ouw. Melihat pedang ini, kembali ati Cui Im menjadi gentar sekali dan ia melirik ke arah Go-bi Thai-houw sambil berbisik, "Harap subo hadapi keparat ini, biar teeecu menghadapi yang lain."

"H-hi-hik, Cia Keng Hong, kepandaianmu tidak seberapa hebat akan tetapi lagakmu seperti jagoan. Kau akan bisa berbuat apa terhadap Go-bi Thai-houw?" Nenek ini melangkah maju menghadapi Keng Hong dengan kedua tangan kosong!

Keng Hong maklum akan kelihaian nenek itu. Di puncak Tai-hang-san dia bantu oleh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San, dan mereka berempat masih terdesak. Akan tetapi pada waktu itu, dia memang tidak menyerang atau melawan dengan sungguh-sungguh karena memang dia masih menghormati nenek yang pernah menjadi guru Biauw Eng selama setahun lamanya itu dan tidak berniat untuk merobohkannya. Biarpun dia maklum bahwa dengan tangan kosong akan sukar baginya untuk mengalahkan nenek sakti ini, namun Keng Hong yang berjiwa pendekar besar merasa segan menghadapi lawan bertangan kosong dengan senjata di tangannya. Akan tetapi, ketika dia hendak menyimpan kembali pedangnya untuk melawan Go-bi Thai-houw dengan tangan kosong pula, terdengar suara riuh rendah dan tampak kurang lebih seratus orang datang menyerbu atas perintah Cui Im yang dikeluarkan melalui lengkingan panjang yang amat nyaring.

Itulah pasukan bantuan Mo-kiam Siauw-ong yang terdiri dari bajak sungai, dikepalai oleh tokoh-tokoh kaum sesat Melihat serbuan ini, Keng Hong tidak menyimpan pedangnya kembali. Bahkan Biauw Eng sudah melolos sabuk sutera putih, senjatanya yang amat lihai. Cong San sudah mencabut sepasang senjatanya, yaitu Im-yang pit, pensil yang berwarna hitam putih sedangkan Gui Yan Cu pun sudah mencabut pedangnya. Para tamu yang memiliki ilmu kepandaian, sudah mencabut senjata masing-masing dan tanpa diminta mereka sudah menyambut datangnya para penyerbu yang ganas itu, sedangkan para tau yang tidak memiliki kepandaian silat, sudah bubar dan berusaha menyelamatkan diri, akan tetapi beberapa orang di antara tamu ini sudah roboh oleh senjata para bajak yang menyerbu dengan perintah untuk mengacau dan membunuh siapa saja tanapa pandang bulu! Kasihan para tamu yang terdiri dari para petani Pegunungan Cin-ling-san. Biarpun mereka berusaha menghindar, percuma saja mereka melawan keganasan para bajak sungai.

Melihat ini, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil partai dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi marah dan menyerbu para bajak. Terjadilah perang di tempat pesta pernikahan itu, perang kecil-kecilan yang hiruk-pikuk dan kacau- balau. Dan apalagi ketika para bajak yang banyak jumlahnya itu mulai membakar rumah Tung Sun Nio. Tempat yang disediakan untuk pesta perayaan pernikahan terbuat daripada bahan yang mudah terbakar karena memang dibangun secara darurat sehingga sebentar saja tempat itu menjadi lautan api, memaksa mereka yang bertanding memindahkan arena pertandingan di luar, menjauhi api.

Keng Hong yang biasanya tenang dan sabar, menjadi marah sekali. Dia meninggalkan Go-bi Thai-houw, tubuhnya berkelebat ke arah para bajak lalu mengamuklah pendekar ini bagaikan seekor naga yang marah.

Sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam menjadi bergulung-gulung dan setiap orang anggauta bajak yang terkena sambaran sinar ini roboh dan tewas seketika! Karena kemarahannya menyaksikan bajak-bajak membakar dan membunuh tamunya yang sama sekali tidak berdosa dan tidak memiliki kepandaian untuk membela diri, Keng Hong mengamuk dan meninggalkan Go-bi Thai-houw, lupa bahwa nenek itu dan Cui Im-lah yang sesungguhnya merupakan dua orang yang paling berbahaya!

Nenek Tung Sun Nio sudah menyambar pedang dan menerjang Go-bi Thai-houw, dibantu muridnya, Yan Cu yang juga memegang pedang. Namun Go-bi Thai-houw menyambut pengeroyokan guru dan murid ini sambil tertawa-tawa, tubuhnya membuat gerakan-gerakan aneh, meliuk ke sana-sini, kedua tangannya bergerak cepat, kadang-kadang mencakar, mendorong dan menangkis pedang dengan tangan kosong! Menyaksikan kehebatan Go-bi Thai-houw, Tung Sun Nio menjadi terkejut bukan main. Dahulu di waktu mudanya, bekas pelayan ini pernah menerima latihan ilmu silat, akan tetapi tentu saja masih jauh sekali di bawah tingkatnya. Siapa tahu, mereka setelah menjadi seorang nenek, setelah diusir pergi, Oh Hian Wi telah menjadi seorang nenek iblis yang memiliki ilmu kesaktian sedemikian hebatnya!

Baiuw Eng yang amat benci kepada bekas sucinya, Cui Im yang sudah banyak mendatangkan kesengsaraan kepadanya dan kepada Keng Hong, sudah menyerang dengan ganas, mempergunakan sabuk suteranya yang bergerak seperti ular putih menotok jalan-jalan darah yang berbahaya secara cepat sekali. Namun Cui Im telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang merah pula. Sebelum menyerbu, wanita ini telah berhasil menyuruh bikin sebatang pedang merah, terbuat dari baja merah yang biarpun keampuhannya tidak seperti pedang merahnya yang telah patah oleh Keng Hong di puncak Tai-hang-san, namun masih amat lihai dan berbahaya karena selain ilu pedangnya memang hebat semenjak dia mempelajari kitab-kitab warisan Sin-jiu Kiam-ong, juga dia telah menaruh racun di mata pedangnya.

Mengetahui kelihaian Cui Im, Cong San membantu Biauw Eng, menggerakkan kedua pit-nya untuk menyerang lawan tangguh itu sehingga terjadilah pertandingan mati-matian yang amat hebat. Cui Im tertawa-tawa seperti Go-bi Thai-houw, memandang ringan dan ia malah masih dapat mengejek sambil menghalau senjata kedua orang lawannya dengan sinar pedang merahnya,

"Kalian orang-orang tolol! Biauw-Eng, engkau menyerahkan diri pada seorang laki-laki yang cintanya palsu, seorang laki-laki mata keranjang yang tidak akan malu-malu melakukan hubungan kotor dengan ibunya sendiri! Dan kau, Cong San... hi-hi-hik, apakah kaukira isterimu itu belum ditiduri Keng Hong?"

"Perempuan hina, tutup mulutmu!" Cong San marah sekali dan menubruk maju, kedua pit-nya menyerang tenggorokan dan pusar secara berbareng dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.

"Tring-cringgg..!" Cong San terhuyung ke belakang oleh tangkisan Cui Im.

"Yap Cong San, kau pemuda tolol yang tak mau melihat kenyataan! Engkau mengenal siapa Keng Hong! Aku berani bertaruh bahwa isterimu itu bukan gadis lagi! Karena hanya Biauw Eng ini satu-satunya gadis yang belum bisa dia dapatkan, maka dia memilih Biauw Eng. Isterimu adalah bekasnya, hi-hi-hik!"

"Cui Im, aku harus membunuhmu!" Biauw Eng membentak marah sekali.

Cui Im cepat meloncat ke kiri menghindarkan serangan sabuk sutera putih yang amat berbahaya itu. "Sumoi, kau marah karena omonganku emang merupakan kenyataan? Ha-ha-ha, engkau tentu tahu siapa Keng Hong, akan tetapi karena cintamu engkau menjadi buta! Da karena gobloknya maka Cong San ini pun menjadi buta!"

"Wuuuttttt!" Sabuk sutera putih menerjang ganas.

Sepasang Im-yang-pit di tangan Cong San juga menerjang.

"Aihhhhh... brettt...!" Biarpun Cui Im sudah menggerakkan pedang dan mengelak, tetap saja bajunya dekat lambung terobek oleh pit hitam di tangan kanan Cong San.

***

"Baiklah, kalau kalian lebih suka mampus!" bentak Cui Im yang maklum bahwa ia menghadapi dua lawan yang tangguh. Kalau mereka maju satu-satu, tentu akan mudah ia akan merobohkan mereka. Akan tetapi, kalau dua orang itu maju bersama mengeroyoknya, ia harus benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan. Kini Cui Im tidak bicara lagi karena harus memusatkan perhatiannya kepada kedua orang pengeroyok yang lihai itu. Namun, diam-diam omongan-omongannya tadi yang merupakan serangan-serangan lebih dahsyat daripada pedang merahnya, telah menggores hati Biauw Eng, terutama sekali Cong San. Biauw Eng sudah mengenal betul suaminya, tahu bahwa Keng Hong mempunyai kelemahan terhadap kecantikan wanita dan melihat bahwa Yan Cu amat cantik jelita, tuduhan yang dilontarkan Cui Im tadi bukanlah kosong belaka, mengandung banyak kemungkinan. Sebetulnya, perasaan cemburu sudah lenyap dari hatinya terhadap Keng Hong. Hal yang sudah lewat tidak akan diingatnya kembali karena pernikahan merupakan lembaran baru dalam hidupnya. Apa yang telah dilakukan Keng Hong di masa lampau, tidak akan dipedulikan, karena yang pentingnya baginya adalah masa depan. Kalau saja Keng Hong menghentikan sifatnya yang suka kepada wanita cantik di masa mendatang, dia sudah memaafkan dan akan melupakan segala peristiwa yang pernah terjadi antara suaminya dengan wanita-wanita lain. Akan tetapi, ucapan-ucapan Go-bi Thai-houw dan Cui Im erupakan racun yang sedikit banyak mengusik hatinya. Kalau benar Keng Hong mewarisi watak Sin-jiu Kiam-ong, ayahnya... ia bergidik dan kedua pipinya menjadi panas. Ayahnya pun sudah menikah dengan nenek Tung Sun Nio di waktu mudanya, namun masih saja melanjutkan petualangannya dengan wanita, bahkan bermain cinta gelap dengan Oh Hian Wi, pelayannya sendiri! Bagaimana kalau benar-benar Keng Hong mewarisi watak guru suaminya dan juga ayahnya sendiri itu?

Dan Yan Cu... kini ia ragu-ragu apakah di dalam hubungan antara mereka tidak ada cinta! Semua ini membuatnya marah sekali, marah kepada Cui Im dan dia menyerang dengan mati-matian.

Omongan beracun itu pun mempengaruhi hati Cong San. Memang tadinya dia pun menduga bahwa Yan Cu mencinta keng Hong, dan baginya merupakan hal yang amat tidak diduga-duganya bahwa Yan Cu suka menjadi isterinya. Benarkah Yan Cu telah ditiduri Keng Hong seperti yang diucapkan Cui Im? Dan hanya mau menerima dia karena tidak mempunyai harapan mempersuamikan Keng Hong yang memilih Biauw Eng? Benarkah... benarkah Yan Cu bukan gadis lagi? Biarpun dia sudah mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak bisikan-bisikan yang mengganggu hatinya ini, namun tetap saja dia merasa tidak enak dan marah. Seperti juga Biauw Eng, dia menimpakan kemarahannya kepada Cui Im dan menyerang dengan sengit.

Pertandingan antara Cui Im yang dikeroyok oleh Biauw Eng dan Cong San ramai dan seimbang, tidak seperti pertandingan antara Go-bi Thai-houw yang dikeroyok oleh Tung Sun Nio dan Yan Cu. Go-bi Thai-houw terlampau sakti bagi guru dan murid ini, terutama sekali bagi Yan Cu. Gadis ini menjadi bingung menyaksikan gerakan nenek itu yang amat aneh sehingga beberapa kali hampir saja ia terkena cakaran tangan si nenek yang melakukan pertandingan sambil tertawa-tawa mengejek. Ia dan gurunya terdesak hebat dan hanya dengan kerja sama yang erat dan saling melindungi saja mereka masih sanggup mempertahankan diri. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Go-bi Thai-houw, pinceng hendak bicara!" ternyata lima orang hwesio Siauw-lim-pai telah berada di situ menghadapi Go-bi Thai-houw yang meloncat mundur sambil terkekeh memandang rendah.

Ketika para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu tadi semua maju menyambut para bajak yang datang menyerbu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai ini tidak bergerak, bahkan meraka saling berbisik dengan wajah sungguh-sungguh sehabis endengar omongan Go-bi Thai-houw. Setelah bersepakat, kini mereka menghampiri nenek itu dan menghentikan pertandingan yang sedang ramai-ramainya. Mereka adalah murid-murid ketua Siauw-lim-pai, dan biarpun dalam hal ilmu silat, tingkat mereka masih lebih rendah dari Yap Cong San, akan tetapi Cong San masih terhitung sute mereka. Usia mereka rata-rata sudah lima puluh tahun lebih dan mereka memiliki kedudukan yang cukup tinggi di Siauw-lim-pai.

"Heh-heh-heh, hwesio-hwesio Siauw-lim-pai menghentikan pertempuran! Kalian mau bicara apakah? Kalau mau mengeroyok, mengapa pakai banyak cakap? Majulah!" Go-bi Thai-houw menantang.

Thian Lee Hwesio, yang tertua di antara mereka, menggeleng kepalanya, "Omitohud, kami adalah orang-orang beragaa yang pantang berkelahi, apalagi membunuh. Akan tetapi, kami pun hamba-hamba yang mengabdi kebenaran yang siap mempertaruhkan nyawa demi kebenaran. Go-bi Thai-houw, engkau telah mengucapkan kata-kata yang amat menghina suhu kami, Tiong Pek Ho-siang ketua Siauw-lim-pai. Pinceng hanya minta agar engkau suka menarik kembali kebohongan yang menghina itu, kalau tidak, terpaksa pinceng berlima mengorbankan nyawa demi membela kebersihan nama suhu dan Siauw-lim-pai!"

"Heh-heh-hi-hi-hik! Kalian ini gundul-gundul yang tolol, tidak mengenal guru dan ketua sendiri! Siapa membohong? Gurumu itu, si tua bangka gundul Tiong Pek Hosiang yang sekarang kelihatannya seperti orang suci bersih, dahulu di waktu mudanya bernama Ouwyang tiong dan dialah orangnya yang berjina dengan isteri Sin-jiu Kiam-ong!"

"Omitohud... tak mungkin!" Thian Lee Hwesio membentak, menahan kemarahannya.

"Heh-heh-heh, tidak mungkin? Kau tanyakan saja kepada isteri Sin-jiu Kiam-ong ini. Eh, Tung Dun Nio, bukankah engkau telah berjina dengan Ouwyang Tiong sehingga tertangkap basah oleh suamimu? Hayo, menyangkallah!"

Lima orang hwesio itu dengan mata terbelalak menoleh dan memandang kepada Tung Sun Nio.

"Maaf, Toanio... benarkah itu...?" Thian Lee Hwesio memberanikan hatinya bertanya.

Yang ditanya tidak dapat menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng, hanya berdiri dengan muka pucat sekali dan dua titik air mata turun di sepasang pipi yang keriput. Tak disangkanya bahwa sampai sekarang pun bekas kekasihnya itu, Ouwyang Tiong yang kini telah menjadi ketua Siauw-lim-pai yang terhormat, masih akan menderita karena perbuatan mereka dahulu yang disesatkan oleh pengaruh iblis, rahasia mereka dibuka secara menghinakan sekali oleh Go-bi Thai-houw!

Menyaksikan keadaan gurunya, Yan Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia meloncat maju dengan serangan kilat sambil membentak, "Nenek iblis! Aku akan mengadu nyawa denganmu!"

"Toanio.. bagaimana..?" Thian Lee Hwesio mendesak. Urusan itu amat penting baginya, bagi para saudaranya, bagi seluruh anggauta Siauw-lim-pai, karena menyangkut nama baik ketuanya yang berarti menyangkut kehormatan Siauw-lim-pai sendiri.

Tung Sun Nio seperti orang termenung, melihat muridnya menerjang nenek iblis itu. Kemudian seperti orang kehilangan semangat, ia mengangguk dan berkata, "Harap kalian jangan menyalahkan dia. Kasihan dia yang sudah banyak menderita..."

"Omitohud...!" Pengakuan itu membuat lima orang hwesio Siauw-lim-pai terbelalak pucat da merangkap sepuluh jari tangan ke depan dada.

Go-bi Thai-houw yang diserang oleh Yan Cu, cepat membuat gerakan meliuk ke belakang, kedua tangan bergerak dan tahu-tahu sepasang pergelangan tangan Yan Cu telah ditangkapnya!

Lepaskan muridku!" Tung sun Nio yang melihat bahaya mengancam muridnya, segera menyerang dengan tusukan pedang ke arah kepala Go-bi Thai-houw mengerahkan tenaga, memaksa tangan Yan Cu yang memegang pedang itu bergerak membalik sehingga pedangnya menangkis pedang gurunya sendiri.

"Krakkk!" Kedua pedang itu patah.

"Aku atau kau yang harus mampus!' Tung Sun Nio memekik dan menubruk maju dengan kedua tangan, mencengkeram ke arah dada dan ubun-ubun Go-bi Thai-houw yang masih memegang kedua pergelangan tangannya membiru dan nyeri sekali. Akan tetapi, ia cepat bangkit berdiri dan terbelalak, memandang betapa gurunya kini sudah saling mengadu telapak tangan dengan Go-bi Thai-houw. Tubuh gurunya menggigil seperti orang kedinginan, sedangkan Go-bi Thai-houw masih terkekeh-kekeh.

"Subo...!" Yan Cu maklum bahwa gurunya terancam nyawanya. Ia tidak mempedulikan kedua lengannya yang nyeri, tidak peduli akan kesaktian nenek iblis itu dan menerjang maju. Akan tetapi sebuah tendangan kaki kiri Go-bi Thai-houw yang melayang dengan cepat tak tersangka-sangka membuat dia terlempar dan terguling-guling lagi.

"Keng Hong suheng...!!" Tolong Subo...!!" Yan Cu yang menjadi panik dan khawatir akan keselamatan subonya, menjerit dengan teriakan melengking nyaring.

Pada saat itu, Keng Hong masih mengamuk. Memang benar bahwa para tamu yang berkepandaian, seperti dua orang wakil Hoa-san-pai, lima orang wakil Kun-lun-pai, tiga orang tokoh Tiat-ciang-pang dan belasan orang kang-ouw lain membantu fihaknya menghadapi para bajak sungai, akan tetapi jumlah mereka amat banyak dan mereka dipimpin oleh oran-orang yang pandai pula, terutama sekali Mo-kian siauw-ong yang lihai. Maka dia sendiri mengamuk dan robohlah puluhan orang anggauta bajak sungai di tangan pendekar sakti ini. Ketika mendengar jerit Yan Cu, barulah dia teringat akan dua orang musuh yang amat sakti.

***

Setelah sadar akan hal ini, dia terkejut sekali, tubuhnya mencelat ke belakang dan dengan gerakan kilat dia meloncat ke arah suara Yan Cu. Kaget dia melihat Yan Cu yang untuk ke sekian kalinya sudah terguling-guling lagi dan melihat pula nenek Tung Sun Nio terhuyung-huyung dan roboh terdorong oleh kedua tangan Go-bi Thai-houw dan juga dia terheran-heran melihat lima orang suheng Cong San hanya berdiri memandang, sama sekali tidak membantu subonya itu.

Sekilas pandang maklumlah dia bahwa subonya telah terluka hebat, maka dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang Go-bi Thai-houw denan serangan dahsyat, memukul dengan dorongan telapak tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun nenek iblis itu. Serangan ini dahsyat bukan main karena Keng Hong mempergunakan jurus ilmu silat Thai-kek Sin-kun dan keduia tangannya dijalari tenaga sinkang yang amat kuat. Karena kekhawatirannya menyaksikan keadaan subonya dan sumoinya, Keng Hong sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya.

"Plak! Bresssss!!!" Hebat bukan main pertempuran antara tenaga sinkang yang dahsyat itu ketika si nenek iblis menangkis kedua pukulan Keng Hong. Keduanya terdorong mundur sampai lima langkah dan kembali diam-diam Keng Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa selama dia berhadapam dengan tokoh-tokoh hitam, para datuk golongan sesat, baru sekaranglah dia bertemu lawan yang amat hebat tenaga sinkangnya, bahkan yang agaknya masih mengatasi kekuatannya sendiri karena pertemuan tenaga tadi memuat dia menjadi agak pening sedangkan nenek itu masih terkekeh-kekeh. Dia tidak tahu bahwa nenek itu terkekeh bukan karena tidak merasakan akibat benturan tenaga itu, melainkan terkekeh untuk menutupi rasa kagetnya! Nenek itu pun terkejut bukan main ketika erasa betapa seluruh tubuhnya tergetar. Mengapa pemuda itu sehebat ini tenaganya? Belum lama yang lalu, di puncak Tai-hang-san, tidak sedahsyat ini tenaga Cia Keng Hong!

"Heh-heh-heh, sekali ini engkau akan mampus di tanganku, murid Sin-jiu Kiam-ong!" Tiba-tiba nenek itu menubruk maju dan entah kapan mengeluarkannya, kedua tangannya sudah memegang sepasang kebutan yang digerakkan cepat sekali ke arah muka dan pusar Keng Hong.

"Wuuuttt... syuuuttt!" Keng Hong yang melihat berkelebatnya sinar merah dan biru, cepat membuang diri ke belakang sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Ia merasa angin menyambar mukanya dan untung bahwa hawa pukulan yang keluar dari lengan bajunya dapat menyampok buyar ujung kebutan merah yang dia tahu amat berbahaya. Sambil berjungkir balik ketika membuang diri ke belakang, tangannya bergerak mencabut Siang-bhok-kiam!

Karena gentar menghadapi tenaga sinkang Keng Hong setelah benturan tangan pertama tadi, Go-bi Thai-houw mencabut keluar senjatanya, sepasang kebutan yang sesungguhnya hampir tak pernah ia keluarkan apabila ia menghadapi lawan. Dan hal ini merupakan kesalahannya karena dengan ilmu silatnya yang tinggi dan aneh, dengan tenaga sinkangnya yang mujijat karena bercampur dengan ilmu hitam yang didapat di waktu ia masih gila, belum tentu Keng Hong akan dapat mengalahkannya apabila mereka bertanding dengan tangan kosong. Akan tetapi sekali pemuda sakti itu mencabut pedang Siang-bhok-kiam dan memutar senjata itu, terkejutlah Go-bi Thai-houw karena sinar hijau bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing melengking itu benar-benar merupakan kiam-sut yang amat luar biasa dan bagi dia jauh lebih berbahaya kalau menghadapi lawan ini dalam pertandingan tangan kosong!

Betapapun juga, dia tidak percaya bahwa dia akan kalah melawan seorang pemuda yang patut menjadi cucunya! Sepasang kebutannya bergerak dan tiba-tiba beberapa helai benang kebutan merah dan biru terlepas dari ikatannya menyambar ke arah tiga belas jalan darah maut di depan tubuh Keng Hong!

Benang-benang kebutan ini merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya karena selain dilepas dari jarak amat dekat selagi mereka bertanding, juga benang-benang itu karena dilepas dengan dorongan tenaga sinkang yang mujijat, menjadi kaku seperti jarum-jarum panjang! Kaget juga Keng Hong menyaksikan sinar-sinar berkelebatan menyerangnya ini, akan tetapi dengan sikap tenang dia memutar pedangnya melindungi tubuhnya dan benang-benang itu runtuh menjadi potongan-potongan halus karena beberapa kali terbabat pedang, kemudian dia melanjutkan gerakan pedangnya, mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam-sut yang dia warisi dari suhunya, Sin-jiu Kiam-ong!

Go-bi Thai-houw menjadi kagum bukan main. Setajam-tajamnya sebatang pedang kayu, tentu tidak setajam pedang logam, akan tetapi pedang kayu itu dapat membabat benang-benang kebutannya yang melayang itu sampai menjadi potongan-potongan halus membuktikan betapa ampuh pedang itu dan betapa dahsyat tenaga sinkang tangan yang memegangnya. Kini nenek itu tidak berani memandang rendah lagi dan berhentilah suara ketawanya. Ia menyerang dengan pengerahan tenaga dan kepandaian sekuatnya sehingga terjadilah petandingan hebat yang membuat pandang mata para penonton menjadi kabur.

Gui Yan Cu yang tadi terkena tendangan dua kali oleh Go-bi Thai-houw, tidak terluka hebat, akan tetapi tendangan kedua yang mengenai bawah pusar membuat tubuh bagian itu terasa nyeri. Dia sudah bangkit kembali dan ketika melihat bahwa Keng Hong sudah melayani Go-bi Thai-houw, da tidak berani membantu karena maklum bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat mereka.Apalagi dia percaya akan kesaktian suhengnya, maka dia lalu menghampiri subonya yang masih menggeletak rebah terkena pukulan Go-bi Thai-houw ketika kedua orang nenek itu tadi mengadu tenaga sinkang.

Ia melihat subonya berusaha bangkit duduk dengan susah payah, wajah subonya pucat sekali.

"Subo...1" Ia menubruk dan membantu subonya bangkit duduk.

"Jangan pedulikan aku... lekas bantu mereka... suamimu dan Biauw Eng..." Tung Sun Nio berkata lemah sambil menuding ke medan pertempuran Yan Cu memandang subonya dengan ragu-ragu.

"Subo terluka hebat.. perlu dirawat..."

Subonya menggeleng kepala. "Dahulukanlah yang lebih penting, suamimu terancam bahaya..."

Mendengar ini, Yan Cu cepat menengok dan ia segera meloncat bangun. Memang benar apa yang diucapkan subonya. Kalau tadi Cong San bersama Biauw Eng dapat mengimbangi Cui Im yang amat lihai dengan pengeroyokkan mereka, kini keadaan kedua orang itu terdesak hebat dengan masuknya Mo-kiam Siauw-ong dalam pertempuran itu membantu Cui Im!

Kiranya pertempuran antara para bajak yang dipimpin oleh kepala masing-masing melawan para tokoh kang-ouw, tidaklah terlalu berat lagi bagi para bajak setelah kini Keng Hong meninggalkan medan pertempuran untuk menghadapi Go-bi Thai-houw. Yang paling hebat kepandaiannya di antara para tokoh kang-ouw hanyalah ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian yang mengamuk dengan kedua tangan kosong yang merupakan tangan baja, akan tetapi Ouw Kian dikeroyok oleh enam orang kepala bajak yang semua memegang senjata sehingga terjadi pertempuran mati-matian yang amat hebat pula. Tentu saja Mo-kiam Siauw-ong lebih memeperhatikan Cui Im dan Go-bi Thai-houw daripada keselamatan para bajak, maka ketika dia melihat bahwa Keng Hong yang kepandaiannya menggetarkan hatinya kini bertanding melawan nenek Go-bi Thai-houw dan melihat Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im dikeroyok dua oleh Cong San dan Biauw Eng yang juga amat lihai, dia sudah membantu Cui Im tanpa diminta.

Kalau dibandingkan dengan kepandaian Biauw Eng, tokoh lembah Sungai Fen-ho ini masih kalah jauh, bahkan jika dia sendiri saja melawan Cong San, dalam dua puluh jurus saja dia tentu akan roboh. Akan tetapi, di sampingnya terdapat Cui Im yang lihai sehingga bantuannya merepotkan Biauw Eng dan Cong San karena murid Thian-te Sam-lo-mo ini pun bukan seorang lemah.

Tung sun Nio sudah terluka hebat dan nenek ini maklum bahwa luka di dalam dadanya akibat himpitan tenaga sinkang Go-bi Thai-houw yang luar biasa kuatnya itu tak mungkin dapat diobati lagi. Dia tidak peduli akan keadaan dirinya sendiri. Dia sudah tua, usianya sudah sembilan puluh tahun! Mati bukan apa-apa lagi bagi seorang setua dia. Akan tetapi hatinya gelisah bukan main menyaksikan pertandingan itu, maka dia tidak mau membuat gelisah hati muridnya dan memaksa muridnya membantu Biauw Eng dan Cong San.

Yan Cu cepat merobohkan seorang bajak sungai yang berpedang, merampas pedangnya dan sekali hantam, telapak tangannya membikin pecah kepala bajak itu. Dengan pedang rampasan di tangan, ia meloncat dan menyerbu membantu suaminya dan Biauw Eng, langsung menyerang Mo-kiam Siauw-ong!

"Tranggg!" Mo-kiam Siauw-ong menangkis dan terkejutlah dia karena pedangnya hampir terpental dari tangannya sedangkan sinar pedang dara yang cantik jelita, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar saking merahnya itu telah menyambar lagi ke arah lehernya.

"Hayaaaaa...!" Ia membuang diri ke belakang sampai berdebuk suaranya dan terus dia bergulingan menjauhkan diri. Yan Cu mengejar, membacok bertubi-tubi sampai tiga kali. Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong bukanlah orang lemah, sambil bergulingan dia dapat menangkis tiga kai bacokan itu. "Trang-trang-trang... singgggg...!" Dalam gulingan keempat, pedangnya menyabar ke arah kaki Yan Cu. Terpaksa gadis ini melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Mo-kiam Siauw-ong untuk meloncat berdiri dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Yan Cu merasa penasaran sekali. Kiranya teman Cui Im ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Ia melirik ke arah Biauw Eng dan suaminya dan hatinya lega karena setelah kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, kedua orang itu dapat mengimbangi lagi permainan pedang merah Cui Im sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa mereka itu mendesaknya. Cui Im terlalu lihai dan Yan Cu yang sudah mendengar dari Keng Hong maklum bahwa kepandaian Cui Im terlalu lihai dan Yan Cu yang sudah mendengar dari Keng Hong maklum bahwa kepandaian Cui Im tidak jauh di bawah itu telah mewarisi pula kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.

"Cong San koko! Enci Biauw Eng, hati-hatilah menghadapi siluman itu. Biar aku yang membasmi anjing busuk ini!" katanya dan kembali ia menerjang dengan ganas, pedangnya menusuk perut Mo-kiam Siauw-ong yang sudah bersiap-siap dan menangkis sambil balas menyerang.

Tung Sun Nio duduk bersila dan napasnya sesak sekali, akan tetapi ia masih mencurahkan perhatiannya kepada jalannya pertempuran. Para bajak yang kini ditinggalkan Mo-kiam Siauw-ong, menjadi kacau balau dan kehilangan semangat, tidak kuat menghadapi tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi tamu dan kini membantu fihak tuan rumah. Keng Hong masih bertanding dengan seru melawan Go-bi Thai-houw dan karena gerakan mereka amat cepat sedangkan gerakan Go-bi Thai-houw anehnya luar biasa, sukar baginya untuk dapat mengikuti dan menentukan siapa di antara mereka yang akan menang. Akan tetapi hatinya merasa khawatir sekali melihat betapa Biauw Eng dan Cong San agaknya kewalahan menahan serangan-serangan hebat dari Cui Im, sedangkan sumoinya dapat mendesak Mo-kiam Siauw-ong. Ia menoleh ke arah lima orang hwesio Siauw-lim-pai yang masih berdiri seperti arca, agaknya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing.

"Ngo-wi Suhu dari Siauw-lim-pai, apakah tidak malu berpeluk tangan saja menyaksikan orang-orang jahat mengacau?" Tung Sun Nio memaksa diri berkata.

Lima orang hwesio itu menoleh dan Thian Lee Hwesio menarik napas panjang, "Omotohud..... pinceng sendiri tidak tahu mana itu orang baik dan mana orang jahat.....! Setelah apa yang pinceng dengar tadi....... ahhhhh......"

"Thian Lee Hwesio! Sudah kuakui akan kesesatanku di waktu muda dengan ketua kalian, akan tetapi itu adalah urusan dulu! Sekarang yang penting, kalian melihat sute kalian Yap Cong San terancam oleh wanita iblis Ang-kiam Bu-tek yang dahulu pernah membunuh sudsiok kallian Thian Ti Hwesio. Apakah kalian kini akan berpangku tangan saja menyaksikan sute kalian dibunuh juga? Ataukah kalian menggunakan alasan pantang berkelahi untuk menyembunyikan rasa takut kalian terhadap Ang-kiam Bu-tek?"

Wajah lima orang hwesio itu menjadi merah dan Thian Lee Hwesio berkata, "Apa yang dilakukan oleh suhu memang telah lewat puluhan tahun lamanya, dan sekarang ditambah lagi dengan pernikahan Yap-sute dengan seorang gadis keluarga yang banyak melakukan penyelewengan....... omitohud........ kalau dunia kang-ouw mendengar akan semua ini........ habislah nama baik Siuw-lim-pai.......!" Biarpun berkata demikian, hwesio itu memberi isyarat kepada empat orang sutenya dan mereka melangkah lebar mendekati tempat pertandingan antara Cong San dan Biauw Eng yang mengeroyok Cui Im.

Melihat ini, Tung Sun Nio yang tadi mengerahkan seluruh tenaga untuk dapat bicara dan membakar hati para hwesio Siauw-lim-pai itu, menarik napas lega, akan tetapi wajahnya memperlihatkan rasa nyeri yang ditahan-tahannya dan ia memejamkan kedua matanya.

Pertandingan antara Keng Hong melawan Go-bi Thai-houw sudah berjalan seratus jurus lebih, makin lama makin seru dan gerakan kedua orang ini benar-benar dahsyat. Kalau Keng Hong bertempur dengan tenang dan hati-hati karena maklum akan kelihaian nenek itu, Go-bi Thai-houw menjadi marah-marah dan penasaran sekali. Masa dengan sepasang kebutannya dia tidak mampu mengalahkan seorang pemuda seperti ini? Bahkan mendesak pun dia tidak dapat dan sudah beberapa kali hampir saja ia disambar pedang Siang-bhok-kiam yang amat berbahaya itu. Ia mengeluarkan bunyi seperti gerakan seekor binatang buas, kemudian menubruk maju dengan gerakan aneh, kebutan kanan menyambar ke arah leher Keng Hong sedangkan yang kiri meluncur kaku seakan-akan bulu kebutan lemas itu berubah menjadi baja, menusuk ke arah pusar lawan.

Keng Hong yang merasa khawatir akan keselamatan isterinya, sumoinya, dan Cong San yang menghadapi Cui Im karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian iblis betina yang juga sumoinya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat Biauw Eng dan lain-lain, mengambil keputusan untuk cepat-cepat merobohkan nenek yang lihai ini. Agaknya kalau hanya mengandalkan pedang dan ilmu silatnya saja, akan amat sukarlah baginya merobohkan lawan yang selain lihai juga jauh lebih berpengalaman daripada dia itu. Di samping ilmu-ilmunya yang tinggi dan dahsyat, Keng Hong memiliki semacam ilmu yang disebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), ilmu penyedot sinkang lawan yang tadinya timbul di dalam tubuhnya di luar kesadarannya semenjak dia menerima pemindahan sinkang dari tubuh gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, setelah dia menemukan kitab-kitab peninggalan suhunya dan mempelajari ilmu sakti Thai-kek Sin-kun yang ditemukan juga di dalam tempat rahasia suhunya, dia kini dapat menguasai ilmu itu sepenuhnya dan dapat mempergunakannya jika perlu. Dahulu dia banyak mengakibatkan robohnya orang-orang sakti di dunia kang-ouw dengan ilmu penyedot sinkang ini, akan tetapi hal ini terjadi di luar kehendaknya dan dia tidak tahu bagaimana cara menghentikan bekerjanya ilmu mujijat ini. Sekarang, ilmu yang telah dikuasainya ini dapat dia pergunakan dan hentikan sesuka hatinya. Kalau Keng Hong mengingat akan pengalamannya dahulu, betapa banyak orang roboh dan binasa sebagai korban ilmunya yang mujijat dan tidak dia kuasai sehingga merupakan ilmu yang liar dan yang timbul sewaktu-waktu di luar kehendaknya, dia merasa ngeri sehingga tadinya dia mengambil keputusan untuk tidak mempergunakan ilmu yang dianggapnya terlalu keji ini untuk menghadapi lawan, kalau tidak amat terpaksa.

Kini, menghadapi Go-bi Thai-houw yang benar-benar amat lihai, dia mengambil keputusan untuk menggunakan Thi-khi-i-beng agar dia dapat merobohkan si nenek iblis kemudian cepet-cepat membantu isteri dan teman-temannya mengalahkan Cui Im, apalagi karena dia tahu bahwa subonya, nenek Tung Sun Nio, telah menderita luka dalam yang amat berbahaya.

Keng Hong sedikit memperlambat gerakannya, memberi kesempatan kepada sepasang kebutan nenek itu menyambar dekat, kemudian dia mengangkat lengan kirinya menangkis kebutan yang menyambar leher, memindahkan langkah kaki untuk mengelak dari kebutan yang menyambar pusar dan Siang-bhok-kiam sudah berkelebat cepat menyambar ke arah pergelangan tangan Go-bi Thai-houw yang sebelah kanan.

Nenek itu terkejut sekali melihat sinar hijau berkelebat ke arah tangannya. Kalau yang diserang itu bagian tubuh lain, tentu dia sudah siap untuk mengelak atau menangkis. Akan tetapi hatinya sudah terlalu girang karena melihat tangkisan tangan kiri Keng Hong tadi, ia cepat mempergunakan kesempatan ini untuk membelit tangan kiri Keng Hong dengan ujung kebutan dan dia berhasil. Hal ini membuatnya agak lengah dan baru ia terkejut bukan main setelah Siang-bhok-kiam menyambar dekat!

"Crokkk!!" Kebutan itu jatuh ke atas tanah karena gagangnya terbabat putus oleh Siang-bhok-kiam! Nenek itu ternyata lihai bukan main. sambaran pedang yang tiba-tiba datangnya itu masih dapat ia hindari dengan tarikan lengan cepat sekali sehingga pedang itu bukan membabat lengannya, melainkan gagang kebutan, dekat sekali dengan jari tangannya yang memegang gagang! Akan tetapi, nenek itu terkejut, terpaksa melepaskan libatan kebutan kanannya dari tangan Keng Hong dan melompat mundur. Keng Hong merasa pergelangan tangan kirinya perih dan ternyata kulitnya lecet-lecet bekas lilitan ujung kebutan itu.

***

Go-bi Thai-houw yang merasa kaget menjadi marah sekali. Ia memindahkan kebutan ke tangan kiri, kemudian mengeluarkan teriakan melengking yang membuat orang-orang di dekat situ merasa kaget dan seperti seekor harimau mengamuk ia menubruk maju, kebutan di tangan kiri menghantam ke arah kepala Keng Hong dengan tenaga dahsyat! Keng Hong cepat menangkis dengan pedangnya.

"Wuuuttt..... plakkk!" Pedang itu kini terlibat oleh ujung kebutan dan Keng Hong merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat. Terdengar nenek iblis itu tertawa dan tangan kanannya mencengkeram ke arah dada Keng Hong!

"Bagus!" Keng Hong berseru karena memang ini yang dia kehendaki untuk mengalahkan nenek itu dengan Thi-khi-i-beng, maka dia menyambut cengkeraman tangan kanan nenek itu dengan tangan kirinya.

"Plakkkkk!!" Dua tangan bertemu dan melekat kuat, pada saat pertemuan kedua telapak tangan itu, Keng Hong menggunakan ilmunya dan ada daya sedot yang amat kuat keluar dari telapak tangannya, membuat tangan nenek itu melekat pada tangannya dan tenaga sinkang nenek itu tersedot.

"Aihhhhh.....!" Go-bi Thai-houw berteriak seperti jeritan seekor binatang buas. Untuk dua tiga detik hawa sinkangnya menerobos keluar tersedot oleh lawan.

"Heeeiiiiittt!" Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia mencelat ke belakang dengan mata terbelalak. Tadinya memang dia merasa berhasil menyedot sinkang nenek itu, akan tetapi tiba-tiba saja hawa sinkang nenek itu berhenti mengalir dan telapak tangannya seolah-olah menyedot sebatang kayu sudah kering sama sekali, bahkan tenaga menempel tangannya pun membuyar dan nenek itu sudah dapat menarik kembali tangan kanan yang tertempel dan tersedot, langsung mengirim tusukan dengan dua buah tangannya ke arah mata Keng Hog! Untung pemuda ini dapat cepat mencelat ke belakang, kalau dia terlambat sedikit saja tentu sepasang biji matanya tercokel keluar!

Sementara itu, lima orang hwesio Siauw-lim-pai tanpa banyak cakap lagi telah menerjang ke depan dan mengeroyok Cui Im. Thian Lee Hwesio sendiri bertangan kosong, hanya menggunakan ujung kedua lengan bajunya sebagai senjata, akan tetapi empat orang sutenya mempergunakan toya pendek yang biasanya mereka pakai sebagai tongkat. Biarpun tingkat kepandaian lima orang hwesio ini tidak ada artinya bagi Cui Im karena masih lebih rendah dari pada tingkat kepandaian Gui Yan Cu, namun pengeroyokan mereka ini membuat dia yang sudah terdesak oleh Biauw Eng dan Cong San, menjadi makin repot menghindarkan diri dari hujan serangan.

Yan Cu mempercepat gerakan pedangnya, mendesak Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak mampu balas menyerang.

"Cring-tringgg..... auggghhh....!" Mo-kiam Siauw-ong hanya berhasil menangkis dua kali, tusukan ketiga kalinya yang dielakannya masih menyerempet pundak sehingga baju dan kulit pundaknya terobek, luka berdarah dan dia meloncat mundur sambil memutar pedang menjaga diri.

Go-bi Thai-houw memandang Keng Hong dengan mata terbelalak. Ia bergidik mengingat daya sedot yang keluar dari telapak tangan pemuda itu dan diam-diam merasa gentar karena maklum bahwa kalau dilanjutkan melawan pemuda ini, akhirnya dia akan kalah. Ia lalu menoleh dan melihat betapa Cui Im juga terdesak hebat, dikeroyok oleh Biauw Eng, Cong San dan lima orang hwesio Siauw-lim-pai. Bahkan Mo-kiam Siauw-ong agaknya sudah terluka dan Yan Cu sudah bersiap membantu pengeroyokan atas diri Cui Im.

Nenek itu tiba-tiba melengking nyaring dan dari kebutannya menyambar sinar-sinar kecil ke arah Keng Hong. Itulah bulu-bulu kebutan yang hampir separuh dari seluruh bulu kebutan itu meluncur seperti jarum-jarum panjang menyerang Keng Hong. Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian si nenek iblis dan betapa bahayanya bulu-bulu itu, maka cepat pedangnya berkelebat membentuk gulungan sinar meruntuhkan semua senjata rahasia itu.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Go-bi Thai-houw untuk mencelat ke belakang dan sekali sambar ia memegang lengan Mo-kiam Siauw-ong sambil berseru, "Muridku kita pergi dulu!"

Cui Im yang sudah terdesak hebat itu tertawa, kemudian pedangnya berputar cepat membuat para pengeroyoknya menangkis dan mundur. Ia lalu meloncat ke belakang dan tangannya terayun. Berhamburanlah jarum-jarum merah ke arah para pengeroyok. Tentu saja para pengeroyok yang terdiri dari orang-orang pandai itu dapat menghindarkan diri dari jarum-jarum ini, bahkan Biauw Eng yang maklum bahwa sekali terlepas akan sukar melepas bekas sucinya, sudah melepaskan senjata-senjata rahasianya yang tidak kalah hebatnya daripada jarum-jarum merah Cui Im, yaitu bola-bola kecil putih berduri dan sebatang tusuk konde bunga bwee.

Terdengar suara berdencingan nyaring dan ternyata semua senjata rahasia itu runtuh disambar kebutan Go-bi Thai-houw yang memberi kesempatan kepada Cui Im untuk lari lebih dulu. Para pengeroyok Cui Im kini menerjang nenek itu, akan tetapi dengan memutar kebutan, nenek itu dapat menghalau semua pengeroyok kemudia sekali melesat dia telah meloncat jauh sambil menarik tubuh Mo-kiam Siauw-ong.

Keng Hong tidak mengejar karena dia telah berlutut dekat tubuh nenek Tung Sun Nio, memeriksa sebentar kemudian tetap berlutut dengan wajah berduka. Tanpa menoleh dia berteriak,

"Sumoi.....!"

Yan Cu dan Biauw Eng ingin sekali mengejar musuh, akan tetapi mendengar suara panggilan suhengnya, Yan Cu menoleh dan wajahnya berubah pucat. Cepat ia lari menghampiri dan begitu melihat subonya yang masih duduk bersila, dia cepat berlutut dan menangis.

"Subo.....! Subo.....!" Suaranya tercekik di kerongkongan dan ia tentu roboh pingsan kalau tidak cepat dirangkul oleh Keng Hong yang menghiburnya,

"Sumoi, kuatkan hatimu!"

Biauw Eng juga berlutut di depan tubuh Tung Sun Nio yang telah menjadi mayat itu. Ketika Cong San hendak lari menghampiri, Thian Lee Hwesio berkata,

"Yap-sute.....!"

Cong San tersentak kaget dan menoleh. Suara suhengnya terdengar keras seperti mengandung kemarahan, apalagi ketika dia memandang kelima orang suhengnya dan melihat sikap mereka yang kaku dan dingin. "Ada apakah.....?" Ia tergagap bertanya.

"Sute, hayo tingalkan tempat ini dan ikut kami menghadap suhu. Tempat dan keluarga ini tidak layak bagimu dan ada urusan besar mengenai kedudukan suhu sebagai ketua Siauw-lim-pai!"

Cong San makin terbelalak heran dan kaget. "Akan tetapi.....!" Ia menoleh dan melihat Yan Cu, isterinya, menangis tersedu-sedu dihibur Keng Hong yang merangkulnya. Ada perasaan yang amat tidak enak naik ke hati dan kepalanya, akan tetapi cepat ditekannya dan dia menjawab, "Mana mungkin, Suheng? Aku baru saja menikah dan....dan guru isteriku agaknya meninggal.... biarlah kelak aku menyusul Suheng."

"Yap Cong San! Kalau engkau tidak mau memutuskan hubungan dengan isterimu dan keluarganya, engkau bukan sute kami lagi, bukan murid Siauw-lim-pai lagi!" kata Thian Lee Hwesio dengan sikap dingin dan suara mengandung kemarahan.

Cong San menjadi terkejut sekali. "Suheng! Ada apakah......? Apa artinya semua ini......?"

Thian Lee Hwesio mengerti bahwa tadi sutenya ini tidak mendengar kata-kata Go-bi Thai-houw dan belum tahu akan rahasia yang amat memalukan dari suhu mereka. "Mari engkau ikut kami dan akan kami ceritakan semua. Pendeknya, kalau engkau ingin dianggap murid Siauw-lim-pai, engkau harus mentaati kami dan memutuskan hubunganmu dengan mereka itu!"

Cong San mengerutkan keningnya. Apapun yang terjadi, tidak mungkin dia harus memutuskan hubungannya sebagai suami isteri dengan Yan Cu yang dicintanya, dan dia merasa penasaran melihat sikap suheng-suhengnya.

***

"Suheng tidak adil. Biarlah kelak aku menghadap suhu dan minta pengadilan!"

Lima orang itu menghela napas, kemudian mereka pergi tanpa berkata apa-apa meninggalkan tempat itu, meninggalkan Cong San yang masih berdiri dengan kedua alis berkerut. Setelah menggerakan kedua pundak karena benar-benar merasa bingung dan tidak mengerti akan sikap lima orang suhengnya, dia lalu menghampiri Yan Cu yang masih menangis. Tanpa berkata apa-apa dia lalu berlutut di dekat isterinya. Keng Hong melepaskan rangkulannya dan berbisik,

"Cong San, kauhiburlah isterimu," katanya perlahan yang tidak dijawab oleh Cong San, akan tetapi dia lalu merangkul pundak isterinya. Yan Cu tersedu dan menyandarkan kepalanya di dada suaminya.

"Aihhh..... Subo..... tewas dalam membela kita......! Si keparat Bhe Cui Im, aku bersumpah hendak membalas kematian Subo!" Teriak Yan Cu. Baginya, nenek Tung Sun Nio bukan hanya merupakan seorang guru, melainkan juga menjadi pengganti ibu karena sejak kecil dia dirawat dan dididik oleh nenek itu.

"Sumoi, tenanglah. Lupakah engkau bahwa kematian adalah kehendak Tuhan? Tangan Cui Im dan Go-bi Thai-houw hanya merupakan alat saja bagi kematian Subo. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada sepuluh Go-bi Thai-houw tak mungkin Subo sampai tewas. Pula, Subo sudah berusia tinggi dan beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa, tewas dalam pertempuran melawan musuh yang memang amat sakti. Lebih baik kita mengurus jenazahnya secara baik-baik."

Pertempuran telah selesai karena para sisa anak buah bajak yang melihat betapa pimpinan mereka melarikan diri, cepat melarikan diri pula. Ada beberapa orang di antara mereka yang tidak sempat dan roboh oleh para tokoh kang-ouw yang mengamuk. Ternyata perang kecil itu menjatuhkan korban yang amat banyak, terutama sekali di fihak bajak yang kehilangan lebih dari lima puluh orang yang kini malang melintang menjadi mayat. Belasan orang tamu yang tidak berkepandaian juga menjadi korban, dan enam orang kang-ouw yang tadinya menjadi tamu, tewas pula. Beberapa orang terluka, di antaranya Ouw Kian ketua Tiat-ciang-pang yang terluka pahanya karena sabetan golok. Kini mereka sibuk mengobati yang luka dan mengurus mayat-mayat yang memenuhi lereng Gunung Cin-ling-san. Pesta bersukaria menyambut pernikahan dua pasang mempelai kini berubah menjadi perkabungan yang menyedihkan disertai sumpah serapah terhadap para bajak yang datang mengacau, terutama sekali terhadap dua orang tokoh golongan hitam, yaitu Ang-kiam Bu-tek dan Go-bi Thai-houw.

Biauw Eng dan Yan Cu menangisi jenazah Tung Sun Nio dan setelah mereka mengangkat jenazah itu ke dalam ruangan rumah yang masih belum dimakan api yang keburu dipadamkan oleh para tokoh kang-ouw yang tadi ikut bertanding membantu fihak tuan rumah, kedua orang pengantin wanita ini lalu mencari ganti pakaian untuk mengganti pakaian pengantin mereka. Ketika Yan Cu bertukar pakaian menanggalkan pakaian pengantinya, baru ia terkejut melihat tanda darah di pakaian dalam yang dipakainya ketika bertanding tadi. Maklumlah ia bahwa tendangan kaki Go-bi Thai-houw tadi biarpun tidak mendatangkan luka dalam yang parah, namun telah mengakibatkan sesuatu di bagian tubuhnya yang membuat ia merasa terkejut dan juga cemas sekali. Kedua pipinya menjadi pucat, kemudian merah dan dia cepat membersihkan darah dan berganti pakaian, kemudian keluar lagi untuk mengurus jenazah gurunya dengan hati penuh duka.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4
Anda sedang membaca artikel tentang Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4 dan anda bisa menemukan artikel Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/02/kho-ping-hoo-pedang-kayu-harum-4.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Kho Ping Hoo : Pedang Kayu Harum 4 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2012/02/kho-ping-hoo-pedang-kayu-harum-4.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

poker mengatakan...

poker online terpercaya
poker online
Agen Domino
Agen Poker
Kumpulan Poker
bandar poker
Judi Poker
Judi online terpercaya

Posting Komentar