/////
Keng Hong terbelalak memandang. Melihat pemuda buta yang berjalan saja tersandung hampir jatuh itu kini memasang kuda-kuda menantangnya, sungguh menggelikan dan juga mengharukan sekali. Ia menghela napas panjang dan berkata kepada Biauw Eng yang memandang sambil menangis.
"Kini terserah kepadamu, Biauw Eng. Kalau engkau sudi mengampuni aku dan masih mencintaku, marilah engkau ikut bersamamu, menjauhkan diri daripada segala keruwetan dunia. Aku cinta padamu!"
Sejenak Biauw Eng bingung, memandang kuda-kuda itu, berganti-ganti. Kemudian lari menghampiri Lai Sek, memeluk pundaknya dan menangis. "Koko... Aku ... Aku... Tidak bisa meninggalkanmu…."
Lega hati Lai Sek dan dengan lengan kiri memeluk pinggang Biauw Eng yang ramping dia berkata kepada Keng Hong, "Nah, laki-laki rendah budi. Engkau mendengar sendiri! Apa yang kau lakukan sekarang? Membunuhku kemudian memperkosa Biauw Eng seperti yang biasa kau lakukan kepada semua wanita muda dan cantik?"
Panas hati Keng Hong, akan tetapi dia menekan kemarahannya dengan kesadaran bahwa Lai Sek bersikap seperti itu kepadanya karena dorongan sakit hati atas kematian encinya. Ia menghela napas dan rasa panas di dadanya lenyap, kemudian dia tersenyum pahit mengelus hatinya yang sakit, dan berkata halus,
"Jangan khawatir, Sim Lai Sek. Aku tidak akan mengganggu engkau dan Biauw Eng. Biauw Eng telah bersikap bijaksana telah melakukan pilihan yang tepat sekali. Ku harap engkau akan hidup bahagia Biauw Eng. Pilihanmu tepat. Lai Sek adalah seorang pemuda gagah perkasa, murid Hoa-san-pai yang patut dibanggakan. Aku hanya bisa menghaturkan selamat, kalau saja doa seorang rendah budi dan pendosa macam aku ini ada harganya bagi kalian. Selamat tinggal..." Keng Hong menahan air mata dari sepasang matanya yang panas, kemudian membalikkan tubuh secara tiba-tiba dan berkelebat pergi dari situ mempergunakan ilmu kepandaian berlari cepat.
"Keng Honggg....!" Jerit yang melengking sekuatnya dari dasar hati Biauw Eng ini tidak mengeluarkan suara, melainkan menggema di rongga dada dan menghimpit jantung. Wajahnya seketika pucat, rangkulannya pada pundak Lai Sek terlepas dan gadis ini roboh terguling ke atas tanah! Betapapun lihainya gadis ini, tidak kuat ia menahan tekanan batin yang amat hebatnya itu. Ketika terpaksa ia "memilih" Lai Sek, ia melakukan hal ini karena mana mungkin ia tidak mempunyai siapa-siapa dan telah menjadi buta karena dia itu? Akan tetapi ketika melihat pemuda yang dicintanya itu pergi dengan muka pucat, dengan air mata bertahan, dengan hati hancur dan hal ini diketahuinya betul, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Tadi ia telah menerima hantaman jubah di tangan Thian Kek Hwesio, sudah terluka di sebelah dalam dadanya. Kini himpitan batin itu membuat lukanya menghebat dan ketika ia menjeritkan nama Keng Hong, melainkan darah segar yang dimuntahkannya kemudian ia roboh pingsan!
"Biauw Eng....!" Lai Sek menubruk tubuh yang pingsan itu. Ia menjadi bingung, menguncang-guncang memanggil-manggil dan meraba-raba muka gadis yang dicintanya. Akan tetapi tubuh Biauw Eng lemas, napasnya lemah sekali.
"Biauw Eng... Biauw Eng....!" Lai Sek memanggil-manggil dan dia menduga-duga yang bukan-bukan. Jangan-jangan kekasihnya telah dibunuh orang seperti yang terjadi pada encinya!" Biauw Eng....!"
Biauw Eng membuka matanya perlahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah muka Lai Sek yang penuh kegelisahan kemudian pandang matanya bergerak memandang kedua tangan pemuda buta itu yang penuh darah, darah yang diuntahkan tadi membasahi leher dan karena tangan Lai Sek menguncang-guncang dan meraba-rabanya, diluar pengetahuan pemuda itu kedua tangannya menjadi berlepot darah. Melihat ini, Biauw Eng teringat kepada Keng Hong dan ia merasa seolah-olah darah yang berlepotan di kedua tangan Lai Sek itu adalah darah Keng Hong. Darah yang mengucur keluar dari hati Kang Hong yang diremas-remas oleh kedua tangan Lai Sek.
"Engkau... Engkau kejam!" tiba-tiba ia berkata sambil bangkit duduk.
Lai Sek menjadi lega hatinya, mengira bahwa Biauw Eng memaki Keng Hong yang sudah pergi.
"Biauw Eng, engkau tidak apa-apa....?"
Biauw Eng seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Ia menatap wajah pemuda itu dan berkata lagi, "Sim Lai Sek, engkau .... manusia kejam...!"
Kini Lai sek terkejut bukan main. Suara gadis itu menggetar setengah berbisik, penuh kedukaan yang hebat, akan tetapi amat dingin. "Apa... Apa maksudmu...?" Ia bertanya penuh kekhawatiran dan hendak memegang pundak Biauw Eng.
"Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang berdarah. Berdarah dengan darah yang mengucur dari hati Keng Hong, Engkau kejam sekali!"
"Eh, Biauw Eng! Apa.... apa kesalahanku..?"
"Sim Lai Sek, engkau kejam sekali. Mengapa engkau memaki-maki seperti itu? Dia tidak bersalah, dia tidak berdosa, akan tetapi engkau menyerangnya dengan penghinaan dan maki-makian yang lebih tajam dari bacokan dan senjata pedang. Mengapa engkau menyiksa hatinya seperti itu?" Kini suara Biauw Eng mengandung kemarahan dan membuat Lai Sek lebih bingung lagi.
"Aku benci sekali padanya, Biauw Eng. Dia telah menyebabkan kematian enciku, satu-satunya orang yang kumiliki saaat itu, pengganti kedua orang tuaku. Aku benci sekali kepada Keng Hong dan andaikata aku tidak buta dan andaikata aku berkepandaian, aku tentu tidak akan memakinya, melainkan membunuhnya."
"Tapi dia tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh encimu, dan dia pun tidak memperkosa encimu. Kalau sampai terjadi hubungan cinta, tentu encimu yang tergila-gila kepadanya!" Suara Biauw Eng makin marah karena hatinya penuh dengan rasa iba terhadap Keng Hong.
"Biauw Eng! Engkau malah menyalahkan enciku?"
"Aku hanya bicara sebenarnya!"
Keduanya sama panas hati dan sama marah. Sampai lama mereka terdiam, akhirnya Lai Sek mengeluarkan suara, kini tidak lagi mengandung rasa marah dan penasaran, kata-katanya halus dan lemah, "Biauw Eng, engkau... Mencinta Keng Hong?"
"Sudah sejak dahulu aku mencinta Keng Hong dan engkau pun sudah tahu akan hal ini," Biauw Eng yang belum dapat mengenyahkan rasa kemarahannya karena sikap Lai Sek terhadap Keng Hong.
Lai Sek menundukkan mukanya, keningnya berkerut-kerut, garis tegak lurus membagi mukanya dari atas hidung sampai ke dalam mata yang buta itu dipejamkan rapat-rapat dan urat di kedua pelipis berdenyut-denyut, suaranya menggetar ketika dia berkata, halus penuh penerimaan dan penyerahan,
"Kalau begitu, Biauw Eng. Mengapa engkau tadi tidak pergi bersama Keng Hong? Aku seorang buta yang tak berharga, mengapa engkau menyiksa hati dan tidak meninggalkan aku saja? Aku akan rela kau tinggalkan, Biauw Eng. Aku tahu diri akan keadaanku yang tidak akan dapat membahagiakanmu...."
Biauw Eng memandang wajah itu dan keharuan membanjiri hatinya, mengusir semua kemarahan tadi. Sadarlah ia betapa sikapnya amat menyakitkan hati Lai Sek. Pemuda ini tidak pernah menuntut kebutaan matanya, tidak pernah membujuknya, sungguhpun pemuda ini menyatakan cintanya yang amat besar.
"Koko, maafkan aku, Koko...!" Ia menubruk dan merangkul pundak pemuda itu. "Aku bingung... Akan tetapi aku takkan dapat meninggalkanmu. Maafkan aku!"
Lai Sek tersenyum sedih dan mengelus-elus rambut kepala gadis yang dicintanya sepenuh jiwa raganya itu. "Akan tetapi, engkau mencinta Keng Hong, tak mungkin engkau dapat membagi cinta kasihmu kepadaku, Biauw Eng."
"Aku tidak perlu berbohong kepadamu, Koko. Memang cinta kasih di hatiku ku serahkan kepada Keng Hong. Akan tetapi jiwa ragaku ku serahkan kepadamu, Koko. Kalau engkau ragu-ragu, kuserahkan tubuhku kepadamu, kalau kau kehendaki sekarang juga!"
"Apa... Apa katamu....?" Lai Sek terkejut.
Biauw Eng menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda buta itu. "Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ambillah sekarang juga. Aku rela dan agar kau percaya kepadaku!"
Lai Sek yang memeluk tubuh itu tersenyum duka, menggeleng kepala dan berkata halus, "Aku bukan laki-laki macam itu, kekasihku. Cintaku kepadamu bukanlah semata-mata cinta berahi. Cintaku terhadap orang tuaku yang telah tiada, cintaku terhadap enciku yang terbunuh kini semua kubulatkan menjadi cintaku kepadamu. Aku tidak akan mempergunakan kesempatan akan kerelaan dan kepasrahanmu ini, Biauw Eng. Tidak! Dijauhkan Tuhan aku daripada perbuatan perbuatan itu. Aku akan memiliki ragamu setelah hubungan kita disyahkan dalam pernikahan dan sebelum itu engkau bebas, kekasihku. Aku tidak mau menyalahgunakan kepercayaanmu."
Biauw Eng menangis dalam pelukan pria ini. Betapa mulia hati Lai Sek, betapa jauh bedanya dengan Keng Hong. Kalau Keng Hong yang diserahi tubuh dengan wanita-wanita lain, tentu akan diterima oleh Keng Hong dengan segala kesenangan hati, dengan kedua tangan terbuka dan hati terbuka, siap selalu melayani cinta berani! Pikiran ini membuatnya cemburu dan memudahkan dia melupakan Keng Hong.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan di sepanjang jalan Lai Sek yang bijaksana tidak mau menyebut-nyebut tentang Keng Hong juga Biauw Eng berusaha untuk mengimbangi sikap yang penuh cinta kasih dari pemuda itu dengan pencurahan perhatian perhatian untuk pemuda yang buta ini.
***
Bagi orang muda di dunia ini tidak ada penyakit yang lebih menyiksa daripada sakit asmara gagal yang membuat patah hati. Tidak ada bagian tertentu dari tubuh rasanya tak nyaman, tidur tidak nyenyak, makan tidak sedap, segala keindahan di dunia lenyap berubah menjadi membosankan, hati seperti kosong, hati terasa sunyi sungguhpun berada di tengah kota ramai misalnya, dan tidak ada keinginan apa-apa lagi di hati. Tubuh yang lemas hanya ingin tidur, kalau mungkin tidur terus tidak usah bangun kembali karena begitu bangun, hati tersiksa lagi teringat akan pacar direbut orang.
Semenjak meninggalkan Biauw Eng dan Lai Sek, keadaan Keng Hong seperti orang linglung, wajah pucat seperti mayat, sinar matanya redup seperti lampu kehabisan minyak. Ia berlari asal lari saja, berjalan asal jalan saja, semua kemauan lenyap dari hatinya yang kosong melompong. Sepekan lamanya dia berjalan saja siang-malam. Lupa akan lupa tidur, yang terbayang di depan mata hanya bayangan Biauw Eng dan Lai Sek.
Akhirnya dia terkulai lemas pada suatu pagi di bawah sebatang pohon dan perutnya menuntut isi menyadarkan bahwa dia seorang manusia hidup, bukan patung berjalan. Begitu kesadarannya datang, Keng Hong cepat menguasai dirinya, maklum bahwa penderitaan yang dia buatnya sendiri ini dibiarkannya berlarut-larut, berarti dia menyia-nyiakan hidup dan percuma menjadi seorang manusia terutama seorang laki-laki. Ia lalu mencari buah-buahan pengisi perut setelah makan buah dan minum air, dia duduk mengaso di bawah pohon menjalankan pikirannya.
Ia tahu bahkan yakin, bahwa Biauw Eng mencintanya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa Biauw Eng memaksa diri memilih Lai Sek. Begitu dangkal dan tipiskah cinta kasih gadis kepadanya? Ataukah karena bertahun-tahun tidak muncul gadis itu hilang harapan dan cintanya membalik kepada laki-laki lain? Seorang laki-laki yang biarpun tampan dan agah perkasa namun buta, apakah dia kalah nilainya oleh seorang buta? Ah., mengapa Lai Sek buta? Ia meloncat bangun lalu duduk kembali. Baru sekarang dia teringat akan hal ini. Lai Sek dahulu tidak buta dan kalau dia kini buta, tentu ada sebabnya agaknya sebab kebutaan Lai Sek ini ada sangkut pautnya dengan " pemindahan" cinta dari hati Biauw Eng! Ia menganguk-angguk dan rasa penasaran di hatinya agak terhibur. Agaknya tidak semata-mata gadis itu memindahkan cintanya kalau tidak ada alasan yang kuat. Biarlah, dia mengalah dan dia kini teringat betapa besar penderitaan pemuda itu. Encinya tewas dibunuh orang, belum sempat membalas dendam, sekarang menjadi buta matanya! Ah, kalau dia pikir-pikir dengan hati dan kepala dingin kini dia dapat melihat bahwa awal kesengsaraan pemuda yang kehilangan encinya itu adalah karena dia! Kalau dia tidak menerima pencurahan cinta kasih Ciang Bi, agaknya gadis itu tidak akan terbunuh oleh Cui Im dan belum tentu pemuda itu akan menjadi buta, belum tentu pula akan menjadi kekasih baru Biauw Eng!
Dia harus pergi ke Hoa-san-pai! Hoa-san-pai mempunyai "perhitungan" yang belum beres dengan suhunya, yaitu ketika suhunya bermain cinta dengan seorang murid wanita Hoa-san-pai, kemudian suhunya mencuri pedang pusaka yang kini dilarikan Cui Im pula. Bahkan perhitungan antara gurunya dan Hoa-san-pai itu ditambah perhitungan baru lagi karena kematian Sim Ciang Bi yang sebab-sebabnya ditimpakan kepadanya. Dia harus ke Hoa-san-pai untuk menjelaskan kesemuanya itu dan untuk mendinginkan hati para pimpinan Hoa-san-pai, menghapus permusuhan dan berjanji akan mengembalikan pusaka yang dilarikan Cui Im.
Pada waktu ini, Hoa-san-pai diketuai oleh seorang tosu yang sudah amat tua usianya, tidak kurang dari seratus tahun, dan berjuluk Bun Hoat Tosu. Karena amat tua dan tosu ini lebih bersamadhi dan tidak suka lagi mengurus urusan duniawi maka segala urusan dunia terutama yang mengenai urusan Hoa-san-pai dia serahkan kepada dua orang muridnya yang paling dapat diandalkan, yaitu kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu, yang terkenal dengan julukan Hoa-san-Siang-sin-kiam. Kedua orang murid tertua ini dibantu oleh murid-muridnya yang lain yang jumlahnya semua ada sembilan orang. Pada waktu itu, Hoa-san Kiu-lojin (Sembilan Kakek Hoa-san), yaitu murid ketua Hoa-san-pai ini terkenal dan merekalah ynag boleh dibilang menjadi "tiang" Hoa-san-pai. Tentu saja tokoh-tokoh muda yang menjadi anak murid kesembilan orang kakek ini banyak sekali jumlahnya, di antara mereka ada yang menjadi tosu, ada pula ada yang menjadi orang biasa, namun kepandaian mereka juga terkenal karena memang ilmu silat Hoa-san-pai termasuk ilmu silat yang lihai, terutama sekali ilmu pedangnya.
Ketika pada pagi hari itu seorang pemuda yang tidak dikenal mendaki lereng Hoa-san-pai menuju ke puncak, gerakan-gerakannya telah dilihat oleh para murid Hoa-san-pai yang kebetulan berada di bagian lereng bawah puncak itu.
Segera terdengar suara seorang di antara mereka yang melengking tinggi memberi tanda kepada saudara-saudaranya. Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan khikang dan terdengar bergema sampai jauh. Beberapa datik kemudian terdengarlah lengking-lengking yang sama dari beberapa jurusan sebagai jawaban. Pemuda itu adalah Keng Hong. Begitu dia mendengar lengking pertama tadi, dia telah menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa dia berada di daerah kekuasaan Hoa-san-pai, maka dia tidak berani bersikap sembrono dan begitu mendengar lengking yang membuktikan kekuatan sinkang itu dia berhenti untuk duduk di bawah pohon, di atas sebuah batu gunung yang hitam sambil menanti perkembangannya karena dia dapat menduga bahwa tentu kehadirannya telah dilihat oleh orang-orang Hoa-san-pai. Ketika dia mendengar lengking-lengking yang menjawab, dia menghitung. Ada dua belas kali lengking yang menjawab lengking pertama. Diam-diam dia merasa kagum dan tahu bahwa Hoa-san-pai adalah partai persilatan besar yang mempunyai banyak murid pandai.
Keng Hong yang menanti di bawah pohon, bersikap tenang. Tidak lama dia karena segera muncul tiga belas orang yang gerakan-gerakannya gesit turun dari puncak di depan menuju ke tempat dia duduk. Mereka terdiri dari tiga orang wanita berusia tiga puluhan tahun dan sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih empat puluhan tahun. Sikap mereka amat gagah dan di punggung mereka tampak terselip sebatang pedang. Melihat mereka sudah datang dekat, Keng Hong berdiri menanti sampai mereka tiba di depannya. Ia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dadanya sambil menjura dan berkata,
"Siauwte Cia Keng Hong mohon diperkenankan menghadap ketua Hoa-san-pai atau para pemimpinnya. Kedua locianpwe Hoa-san Siang-sin-kiam sudah mengenal siauwte."
"Cia Keng Hong.....?!"
"Srat-srat-sing-singgggg…..!"
Hampir semua mulut menyebut nama itu dan seperti komando, tiga belas batang pedang telah terlolos dari sarungnya, berkilauan di tangan ketiga belas orang murid Hoa-san-pai itu. Dengan gerakan lincah namun teratur mereka itu bergerak mengurung dengan sikap mengancam sekali.
Keng Hong masih tenang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, "Harap cu-wi yang gagah perkasa tidak salah sangka. Siauwte datang bukan dengan niat hati buruk, melainkan siauwte sengaja datang untuk menemui para pemimpin Hoa-san-pai dan membersihkan semua urusan gelap yang dahulu timbul. Percayalah, siauwe datang dengan niat hati baik."
"Niat baik pulakah dalam hatimu dahulu yang menyebabkan kematian Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai?" tiba-tiba seorang di antara tiga orang wanita gagah itu betanya, nadanya mengejek dan marah.
"Sama baiknyakah dengan niat hati gurumu yang melarikan anak murid Hoa-san-pai pula, juga mencuri pedang pusaka dan ramuan obat?' seorang murid pria bertanya, nadanya marah.
"Guru dan muridnya sama saja! bahkan menurut Coa-twa-supek, muridnyalebih berbahaya. Tidak boleh dipercaya!" teriakan-teriakan ini dengan kacau terdengar dari banyak mulut dan pedang di tangan mereka yang tadi melintangi di depan dada kini telah menodong ke depan, ke arah Keng Hong. Perlahan-lahan tiga belas orang anak urid Hoa-san-pai itu melangkah miring ke kanan, kaki berselang, terbuka lagi, bersilang lagi dan dengan demikian mereka mengitari Keng Hong perlahan-lahan dalam jarak tiga meter dari pemuda yang berada di tengah-tengah lingkaran itu.
Keng Hong yang masih berdiri biasa, tidak menggerakkan tubuh dan dia menghela napas panjang. Kembali niat baiknya jatuh di tempat yang salah, datang-datang dia disambut tiga belas batang pedang telanjang yang menodongnya!
"Cu-wi adalah murid-murid gagah dari sebuah perkumpulan besar. Kalau siauwte diam tak bergerak, tidak melawan sama sekali, apakah cu-wi tetap akan menyerangku dengan senjata cu-wi itu?"
Seorang di antara mereka yang tertua, seorang tosu berjenggot panjang, menjawab, "Tentu saja! Engkau adalah musuh besar Hoa-san-pai dan kami seluruh anak murid Hoa-san-pai dapat dicuci dengan darahmu!"
Keng Hong menggelengkan kepalanya. Jelas bahwa mereka ini adalah orang-orang yang memiliki watak gagah. Buktinya sejak tadi mereka hanya mengurung dan mengancam saja karena dia tidak pernah bergerak melawan. Akan tetapi, dendam membuat orang gagah menjadi gelap akal budinya, nafsu telah menguasai kesadaran mereka. Kiranya tidak akan ada gunanya kalau dia berusaha untuk bicara dengan mereka yang hanya memenuhi tugas dan dikuasai nafsu dendam itu. Maka dia lalu berkata,
"Kalau siuwte diam saja cu-wi tetap akan membunuhku. Hemmm, padahal kalau siauwte menghendaki, dengan mudah dan siauwte dapat bersikap seperti cu-wi dan dalam waktu singkat siauwte dapat membunuh cu-wi sekalian. Akan tetapi kedatanganku ini mengandung niat hati yang baik, maka kalau cu-wi memaksa hendak membunuh siauwte terpaksa siauwte akan melucuti senjata cu-wi sekalian. Kalau siauwte berhasil, siauwte tentu akan menyerahkan diri dan harap cu-wi sudi membawa siauwte menghadap ketua Hoa-san-pai. Bagaimana?"
Wajah ketiga belas orang itu menjadi merah karena marah dan penasaran. Tosu berjenggot panjang itu mengerutkan kening. Boleh jadi mereka semua bukanlah orang yang terlalu lihai, akan tetapi kedudukan mereka di Hoa-san-pai adalah murid-murid tingkat dua, jadi menduduki tingkat pertama sesudah ketua Hoa-san-pai yang sudah tua. Masa kini dengan tiga belas orang menghadapi pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini, dalam waktu singkat pemuda ini akan mampu melucuti senjata mereka?
"Baiklah, pemuda yang sombong! Kami berjanji, kalau engkau dapat melucuti senjata kami, kami akan membawamu menghadap guru-guru kami."
Keng Hong mencurahkan perhatiannya, kedua kakinya masih berdiri biasa, dan dia berkata, "Kalau begitu, majulah dan seranglah saya!"
Akan tetapi tiga belas orang itu tidak ada yang bergerak menyerangnya, hanya kembali melanjutkan gerakan kaki mereka melangkah miring yang tadi dihentikan ketika mereka bicara. Hanya pedang yang menodongnya kini ditarik kembali melintang di depan dada. Keng Hong kagum bukan main. Ternyata murid-urid Hoa-san-pai ini amat hati-hati dan agaknya terlatih baik. Kini mereka bersikap untuk bertahan atau mempertahankan senjata mereka agar tidak terampas, dan mereka menanti dia melakukan gerakan lebih dulu! Dari sikap mereka, tahulah dia bahwa tiga belas orang ini memiliki ilmu pedang yang lebih lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Agak berbahaya kalau dia melucuti mereka dengan tangan kosong, kalau dia menggunakan Siang-bhok-kiam yang tersembunyi di balik bajunya tentu akan lebih mudah. Akan tetapi dia harus dapat menundukkan hati mereka, maka akan lebih mengesankan kalau dia dapat melucuti mereka dengan tangan kosong. Kiranya hanya ilmu pedang mereka yang lihai dan kalau dia menggunakan kekuatan sinkang tentu akan berhasil!
"Cu-wi, awas seranganku!" Tiba-tiba tubuhnya membalik ke kiri melakukan pukulan dengan tangan ke arah seorang laki-laki tinggi besar dan yang cepat menggelebatkan pedang embacok lengannya, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga membacok lengan itu. Mereka bertiga ini bekerja sama, sekaligus menangkis dan mengancam untuk membabat putus lengannya. Akan tetapi tiba-tiba Keng Hong membalikkan tubuh secepat kilat sehingga tidak tersangka-sangka oleh semua penggeroyoknya dan benar saja dugaannya.
Pada saat tiga orang yang berada di depannya itu menangkis, yang sepuluh orang di belakangnya telah menggerakkan pedang, ada yang menusuk dan ada yang membacok. Sambil membalikkan tubuhnya itu, kedua tangannya mendorong ke depan sinkang yang amat kuat. Angin dorongan kedua tangannya seperti angin taufan meniup dan sepuluh orang itu terhuyung ke belakang sambil mengeluarkan seruan kaget. Karena keadaan mereka kacau balau karena kaget ini, mereka menjadi makin panik ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebatan di depan mereka. Seorang demi seorang merasa lengan kanan mereka lumpuh dan tahu-tahu edang mereka telah terampas oleh Keng Hong. Pemuda lihai ini cepat membalik ketiga orang yang kini berada dibelakangnya itu berseru keras sambil menyerang nekat melihat saudara-saudaranya sudah dirampas pedangnya. Keng Hong menggunakan sebuah pedang rampasan, yang sembilan buah dipondong di lengan kiri, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Trang-trang-trang!" Tiga batang pedang di tangan tiga orang murid Hoa-san-apai itu terlempar ke atas. Keng Hong meloncat ke atas, memutar pedang rampasan yang dipakai menangkis tadi, terus diputar menerima tiga batang pedang yang melayang turun dan.....pedang-pedang itu seperti melekat pada pedangnya, ikut berputar, kemudian dia ambil dengan cara melepaskan empat batang pedang itu semua kini telah berada dalam pondongan lengan kirinya!"
Tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai memandangnya dengan muka pucat dan mata terbelalak, mulut ternganga. Bagi mereka, sungguh merupakan keajaiban betapa pemuda itu sedemikian mudahnya merampas pedang mereka tanpa mereka sangka, dan bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana tiba-tiba lengan mereka menjadi lumpuh dan pedang mereka terlepas!
Sesungguhnya, ilmu pedang ketiga belas orang ini sudah hebat, dan andaikata Keng Hong hanya mengandalkan ilmu silat, sungguhpun dia telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat tinggi peninggalan suhunya dan disempurnakan dengan ilmu dalam kitab Thai-kek Sin-kun kiranya tidak akan mudah baginya untuk menangkan pengeroyokan itu dalam waktu singkat. Bahkan agaknya dia baru akan dapat merampas pedang setelah merobohkan mereka, sedikitnya melukai mereka. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini mempergunakan sinkangnya yang amat hebat itu dapat membuat lawannya terhuyung dan kacau, kemudian mempergunakan kecepatan gerakan yang didasari ginkang tinggi, merampas pedang dan menotok pundak!
"Telah siauwte katakan bahwa siauwte tidak datang untuk bermusuhan, maka siauwte persilakan Cu-wi menerima kembali pedang masing-masing dan sudilah mengantarkan siauwte naik menghadap ketua Hoa-san-pai." Lengannya tidak bergerak, akan tetapi ketiga belas batang pedang itu mendadak seperti hidup dan terbang kepada ketiga belas orang murid Hoa-san-pai yang menjadi kaget dan cepat menangkap pedang-pedang itu. Sambil memandang penuh kaget, kagum dan jerih, mereka menyarungkan kembali pedang mereka dan tosu berjenggot panjang berkata,
"Baiklah, kami tidak akan melanggar janji, mari kami antar menghadap guru-guru kami." Keng Hong menjura penuh hormat dan berkata dengan sikap merendah sehingga dengan sendirinya menghapus sebagian besar rasa penasaran dan kemarahan mereka yang menyangka pemuda yang sudah menang itu tentu akan bersikap sombong, "Silakan, cu-wi, kalau cu-wi meragukan niat baikku, biarlah siauwte berjalan di tengah sehingga menjadi orang tangkapan cu-wi." Karena dia bicara dengan jujur, bukan mengejek, tiga belas orang itu tidak tersinggung dan beramai mereka lalu mengawal Keng Hong yang berjalan di tengah naik ke puncak."
Makin tinggi ke puncak, makin banyaklah anak murid Hoa -san-pai yang kini mengikuti rombongan ini dan ramai mereka membicarakan pemuda yang mereka kawal, pemuda yang semenjak dahulu di anggap musuh besar Hoa-san-pai, akan tetapi yang kini datang sendiri dengan "niat baik". Mereka ingin sekali melihat apakah yang akan terjadi kalau pemuda ini berhadapan dengan guru-guru mereka.
Seorang murid telah lebih dahulu melaporkan ke atas. Ketika kedua orang kakek Coa mendengar bahwa Cia Keng Hong datang minta menghadap, dan menundukkan tiga belas orang murid yang bersenjata pedang dengan jalan kosong, mereka berdua bersama tujuh orang sute mereka lalu siap mengadakan penyambutan di dalam ruangan lebar yang biasanya dipergunakan sebagai tempat berlatih. Mengingat akan pentingnya persoalannya yang mereka hadapi, yang menyangkut nama baik Hoa-san-pai, apalagi mengingat bahwa yang datang adalah murid Sin-jiu Kiam-ong yang dahulu ketika merampas pedang pernah mengalahkan guru mereka, maka kedua orang kakek she Coa ini memberitahukan pula kepada guru mereka yang sedang bersamadhi di dalam kamarnya.
Mendengar laporan dua orang muridnya, Bun Hoat Tosu yang tua itu menangguk-angguk dan berkata, "Dia sudah datang, itu baik sekali, apa pun yang dikehendakinya, kita harus menyambutnya dan menyelesaikan segala urusan. Tidak baik hati mengandung dendam yang tidak terselesaikan, hal itu akan meracuni hati sendiri." Maka keluarlah kakek tua ini dengan bertongkat, menuju ke ruangan lian-bu-thia ini.
Keng Hong merasa hatinya gentar dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilngi pagar hidup berupa anak murid Hoa-san-pai yang berdiri dengan disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan semua mata ditujukan kepadanya. Jumlah anak murid yang berkumpul disitu dia taksir kurang dari seratus orang!
Ketika dia memandang ke dalam ruangan, dia melihat seorang kakek tua sekali duduk memegangi tongkat dari akar cendana berbentuk naga didampingi Hoa-san Siang-sin-kiam dan tujuh orang tosu lain yang kesemuanya bersikap gagah dan keren. Diam-diam Keng Hong berdoa dalam hatinya semoga dia akan berhasil dalam menyelesaikan urusan dengan Hoa-san-pai secara damai. Kalau dia gagal sangat boleh jadi dia akan tewas di tempat ini! Para pengawalnya berhenti di luar ruangan dan menggabung dengan murid-murid lain yang berdiri mengelilingi ruangan itu diluar. Keng Hong melangkah maju dengan sikap hormat sampai terpisah kira-kira lima meter dari ketua Hoa-san-pai dan sembilan orang Hoa-san Kiu-lojin, kemudian dia menjura dan membungkuk sampai dalam sampai berkata,
"Boanpwe (saya yang rendah) Cia Keng Hong, menghaturkan hormat kepada Locianpwe yang mulia sebagai pimpinan Hoa-san-pai." Suasana hening sekali setelah dia bicara itu sehingga andaikata ada sebatang jarum jatuh ke lantai tentu akan terdengar nyata.
"Cia Keng Hong, apakah kehendakmu mendatangi Hoa-san-pai?" terdengar suara Coa Kiu yang nyaring dan penuh wibawa.
Keng Hong mengarahkan pandang matanya kepada kakek itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Sinar mata kakek itu penuh selidik dan mengandung kemarahan, akan tetapi Keng Hong memandang dengan ramah dan tenang. "Coa-locianpwe, saya sengaja menghadap untuk bicara dengan ketua Hoa-san-pai." Ia melirik ke arah kakek tua yang belum pernah dia kenal itu.
"Siancai.... bicaramu menarik seperti Sin-jiu Kiam-ong. Wajah dan sikapmu mengingatkan pinto akan Sie Cun Hong. Orang muda, pinto adalah ketua Hoa-san-pai, Engkau hendak bicara apa?"
"Maafkan saya, Locinpwe. Saya amat berterima kasih bahwa Locianpwe sudi menerima saya yang muda dan bodoh dan sudi memberi kesempatan kepada saya untuk bicara. Hati saya selamanya tidak akan tenteram kalau belum bicara urusan yang timbul antara mendiang suhu dan saya sendiri dengan Hoa-san-pai, dan besar harapan saya bahwa Locianpwe akan cukup bijaksana untuk membicarakan semua kesalahfahaman itu sehingga segala bentuk permusuhan dapat dihabiskan sampai disini saja.
"Enak saja bicara! Dosa gurumu dan engkau sudah bertumpuk-tumpuk setinggi langit, minta didamaikan bagaimana?" bentak Coa Bu dengan suara marah.
Bun Hoat mengangkat tangan ke arah muridnya itu dan tersenyum, kemudian memandang kepada Keng Hong sambil mengangguk-angguk. "Orang muda, engkau pandai bicara. Coba teruskan bicaramu. Bagaimana engkau akan mengusulkan tentang segala perbuatan yang telah dilakukan gurumu dan engkau sendiri?"
Keng Hong masih bersikap tenang. Ia maklum bahwa segala keputusan tergantung kepada kebijaksanaan kakek tua itu, maka dia harus dapat menundukkan kakek ini dengan kata-kata yang tepat karena kalau dia gagal, dia akan menghadapi ancaman maut di tempat ini.
"Locianpwe. Untuk menelaah urusan ini, sebaiknya kalau perkaranya sendiri dibicarakan. Maaf, bukan maksud saya untuk mendongkel-dongkel kembali urusan lama. Akan tetapi, karena yang menjadi mula-mula urusan ini adalah perbuatan guru saya terhadap Hoa-san-pai, maka sebaiknya kalau saya membicarakan urusan guruku itu. Kalau saya tidak salah mendengar cerita suhu dahulu, permusuhan antara suhu saya dan Hoa-san-pai terjadi karena seorang murid wanita Hoa-san-pai lari bersama suhu..."
"Dilarikan! Dicuri!" Coa Kiu memotong.
Keng Hong tersenyum memandang wajah ketua Hoa-san-pai. "Benarkah dilarikan dengan paksa, Locianpwe?" Menurut sepanjang pendengaran saya, suhu tidak pernah memaksa seorang wanita..."
Bun Hoat Tosu mengelus jenggotnya yang putih seperti benang perak. "Memang lari bersama Sie Cun Hong karena dibujuk omongan manis, akan tetapi dilarikan secara paksa."
"Demikianlah, baik dilarikan maupun lari secara suka rela, akan tetapi seorang murid wanita Hoa-san-pai pergi bersama suhu. Dan urusan ke dua, suhu mengambil sebuah pedang Hoa-san-pai juga ramuan obat."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Locianpwe, semua perbuatan suhu memang bersalah, akan tetapi karena beliau telah meninggal dunia, apakah sepatutnya dia dikejar-kejar terus, dan apakah sudah semestinya kalau muridnya juga harus memikul dosanya?"
"Urusan murid wanita dan ramuan obat, karena murid itu sudah meninggal dan obat itu sudah habis, tidak perlu dibicarakan, orang muda. Akan tetapi pedang pusaka itu tidak bisa lenyap dan tentu jatuh ke tanganmu. Pedang itu harus dikembalikan kepada Hoa-san-pai."
Keng Hong mengangguk. "Tepat dan adil sekali, dan sudah semestinya begitu, Locianpwe. Akan tetapi pedang pusaka Hoa-san-pai itu telah dicuri oleh Bhe Cui Im, murid Lam-hai Sin-ni!"
"Ahhhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut sembilan orang murid Hoa-san-pai, dan hanya ketua itu yang masih tenang sikapnya.
"Saya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong, merasa berkewajiban untuk menebus kesalahan suhu dan saya bersumpah untuk mencari dan merampas kembali pokiam itu, di kemudian hari pasti akan saya haturkan kepada Locianpwe di sini!"
"Apakah sumpahmu akan kau penuhi, orang muda?"
"Locianpwe, kalau saya tidak akan memenuhi sumpah saya, untuk apa saya datang menghadap Locianpwe untuk bersumpah? Kalau saya tidak memenuhi janji mengembalikan pedang, tentu saya tetap dianggap musuh besar Hoa-san-pai, padahal kedatangan saya menghadap Locianpwe ini justru hendak melenyapkan segala macam permusuhan." Kembali kakek itu mengangguk-angguk dan hati Keng Hong merasa lega karena agaknya urusan yang menyangkut suhunya sudah dapat dia bereskan, sungguhpun belum lenyap, namun sedikitnya telah mendinginkan permusuhan itu dan meredakan kemarahan Hoa-san-pai terhadap suhunya.
"Sekarang bagaimana pertanggung jawabmu tentang perbuatanmu sendiri orang muda? Pinto mendengar laporan-laporan yang amat tidak menyenangkan hati, dan amat tidak baik." Kini tosu tua itu memandangnya dan diam-diam Keng Hong terkejut melihat betapa sepasang mata tua di balik bulu mata yang putih itu menyorot seperti kilat menyambar. Ah, kakek ini amat hebat dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya, pikirnya dengan hati berdebar.
"Maaf, Locinpwe. Lebih baik saya bicara terus terang terhadap Locianpwe yang bijaksana. Saya mengaku bahwa memang saya telah melakukan hubungan cinta dengan mendiang Sim Ciang Bi murid wanita Hoa-san-pai. Akan tetapi hal ini merupakan urusan antara seorang pria dan seorang wanita yang melakukannya atas kehendak dan kerelaan sendiri tanpa ada yang memaksa, merupakan suatu kejadian wajar dan lumrah kalau terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang saling tertarik dan saling suka...."
"Hubungan gelap! Hubungan kotor, hubungan karena dorongan nafsu berahi!" Tiba-tiba Coa Bu tokoh Hoa-san Siang-sin-kiam yang lebih muda, membentak marah.
Dengan tenang dan sabar Keng Hong memandang kakek itu, tersenyum pahit dan berkata, "Terserahlah apa yang Totiang katakan atas hubungan anak-anak manusia muda yang belum mampu mengendalikan dirinya itu. Akan tetapi, hubungan kotor atau bersih, gelap maupun terang, hal itu adalah urusan saya dan Sim Ciang Bi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pai sama sekali. Ataukah... ada peraturan istimewa di Hoa-san-pai yang mengikat sehingga setiap orang anak murid Hoa-san-pai tidak dapat bebas lagi dalam segala hal mengenai pribadinya, sehingga untuk memilih pacar sekalipun harus ditentukan oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang duduk di pimpinan seperti JI-wi Totiang dari Siang-sin-kiam?"
"Hemmm, Cia Keng Hong, hati-hati menjaga mulutmu!" Coa Kiu membentak dengan muka merah.
Ketua Hoa-san-pai dan Bun-Hoat Tosu mengangkat tangannya dan berkata, "Siancai... Benar-benar mewarisi kepandaian bersilat lidah dari Sie Cun Hong, anak ini! Akan tetapi, ada benarnya apa yang diucapkan. Eh, orang muda, pinto dapat menerima alasanmu bahwa apa yang terjadi antara engkau dan murid Sim Ciang Bi adalah urusan pribadi kalian orang-orang muda. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat membela dirimu tentang kematian murid kami itu?"
"Saya bersumpah bahwa saya tidak membunuh Sim Ciang Bi, Locianpwe."
"Memang, tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu. Dia mati dalam pelukanmu dan kalau engkau tidak bermain cinta dengan dia, dia tidak akan mati terbunuh iblis betina yang merasa cemburu. Hayo, bantahlah kalau bisa!" Coa Kiu membentak lagi.
"Maaf, Totiang. Tidak ada kematian tanpa sebab, akan tetapi ada sebab langsung yang disengaja. Kalau saya dianggap sebab kematian Sim Ciang Bi maka saya hanya merupakan sebab tidak langsung dan tidak saya sengaja. Saya tidak berniat membunuh dia dan kalau kenyataannya dia dibunuh orang selagi berada dalam pelukanku, hal itu hanya kebetulan saja. Sebab yang langsung berada di tangan Bhe Cui Im, karena dialah yang membunuh Ciang Bi dan saya berjanji akan membuat perhitungan dengan Cui Im."
Bun Hoat Tosu mengangguk-angguk. "Bagus, engkau pandai membela diri dan memang pembelaanmu dapat diterima. Setelah mendengar semua alasan-alasan yang kau kemukakan, kami dari fihak Hoa-san-pai akan ditertawai dunia kang-ouw kalau masih hendak menyalahkanmu. Kiranya yang menjadi biang keladi dari kesemuanya ini adalah murid Lam-hai Sin-ni yang bernama Bhe Cui Im itu. Ahhh, betapa aneh peristiwa yang bermunculan di dunia kang-ouw sekarang ini.
Selain muncul engkau sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang cukup menghebohkan, muncul pula Bhe Cui Im yang menggegerkan dunia, bahkan namanya kini menjulang tinggi melampaui nama gurunya. Siapakah yang tidak mengenal dia yang kini berjuluk Ang-kiam Bu-tek, yang telah banyak membunuh tokoh besar dunia kang-ouw? Entah dari mana ia mendapatkan ilmu kepandaian tinggi, kabarnya lebih tinggi daripada Lam-hai Sin-ni sendiri. Orang muda, dia bersama murid Go-bi Chit-kwi yang berjuluk Jai-hwa-ong kini telah menjadi jago-jago nomor satu dari barisan pengawal kaisar, tahukah engkau?" Keng Hong terkejut. "Ahhh! Begitukah, Locianpwe? Baru sekarang saya mendengar dan terima kasih atas petunjuk Locianpwe. Sekarang juga boanpwe akan pergi ke kota raja mencarinya, selain untuk merampas kembali semua kitab dan pusaka yang dicurinya, juga untuk menghukumnya atas segala perbuatan jahatnya sehingga menyeret saya ke dalam jurang permusuhan dari semua orang gagah."
Keng Hong sudah menjura dengan hormat dan siap hendak berangkat, akan tetapi tiba-tiba Coa Kiu dan Coa Bu, Hoa-san Siang-sin-kiam telah meloncat maju dan Coa Kiu berkata, "Tunggu dulu, Cia Keng Hong."
Keng Hong berhenti dan membalikkan tubuh, berdiri tegak menanti dengan tenang apa yang dikatakan dua orang tosu yang dia tahu masih merasa penasaran bahwa dia dibebaskan secara demikian mudah oleh ketua Hoa-san-pai, kemudian Coa Kiu berkata, "Harap Suhu tidak mudah dibohongi pemuda yang pandai membujuk ini. Harap Suhu memperkenan teecu bicara dengan dia sebelum dia pergi meloloskan diri."
"Asalkan kau dapat menjaga agar Hoa-san-pai selalu bertindak berdasarkan kebenaran, lakukanlah apa yang kau kehendaki dari pemuda ini," jawab ketua Hoa-san-pai dengan sabar.
Sepasang Pedang Sakti dari Hoa-san-pai melangkah maju menghadapi Keng Hong, dan Coa Kiu berkata, "Cia Keng Hong, engkau telah berjanji untuk mencari Ang-kiam Bu-tek, merampas kembali pedang pusaka Hoa-san-pai dan menggembalikan kepada kami, kami juga menghukum Ang-kiam Bu-tek, atas semua perbuatannya. Benarkah itu?"
"Benar, Locianpwe. Dan sekali lagi untuk melakukan hal yang Locianpwe sebutkan tadi."
"Cia Keng Hong, apakah engkau cukup memiliki ilmu kepandaian untuk mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong tersenyum. Ia adalah seorang yang amat cerdik dan pertanyaan ini sudah cukup baginya untuk mengetahui apa yang dikehendaki Hoa-san Siang-sin-kiam,maka dia menjawab tanpa ragu-ragu, "Saya merasa yakin bahwa saya akan dapat mengalahkan dia, Locianpwe."
"Bocah sombong! Kalau engkau tidak dapat membuktikan sekarang juga di depan Hoa-san-pai, maka jelaslah bahwa engkau tadi telah menipu kami dengan kata-kata manis, muluk-muluk dan kosong belaka!" kata pula Coa Kiu, suaranya mengandung kemenangan. Keng Hong mengerti, akan tetapi pura-pura tidak mengerti dan bertanya,
"Apa yang Locianpwe maksudkan?"
"Nama Ang-kiam Bu-tek menjadi buah percakapan di dunia kang-ouw. Dia telah membunuh Thian Ti Hwesio dan Sin-to Gi-hiap, merobohkan banyak sekali tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.."
"Saya dapat menambah lagi, Locianpwe," kata Keng Hong memotong kata-kata Coa Kiu,
"Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im itu bahkan telah membunuh bekas gurunya sendiri, Lam-hai Sin-ni."
Semua orang kaget, bahkan Bun Hoat Tosu sendiri nampak tercengang. Coa Kiu melanjutkan ucapannya, "Nah, hal itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat dan jelas tingkat kepandaiannya melebihi tingkat kepandaian Hoa-san Siang-sin-kiam. Kami sendiri agaknya tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi engkau telah menyatakan keyakinanmu untuk mengalahkannya. Dapatkah engkau membuktikan kata-katamu itu sekarang juga?"
Keng Hong masih berpura-pura tidak mengerti. "Membuktikan dengan cara bagaimana, Locianpwe?"
"Dengan cara mengalahkan Hoa-san Sian-sin-kiam! Jelas bahwa kepandaian kami masih lebih rendah daripada Ang -kiam Bu-tek, maka kalau engkau sudah merasa yakin akan dapat mengalahkan dia, tentu engkau pun harus dapat mengalahkan kami. Sebaliknya, kalau terhadap kami saja engkau berani membohongi guru kami bahwa engkau akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong pura-pura kaget dan bingung kemudian dia menghadap ketua Hoa-san-pai sambil berkata, "Mohon pertimbangan Locianpwe mengenai tantangan Hoa-san Siang-sin-kiam ini. Locianpwe, saya datang menghadap Locianpwe dengan niat untuk menghabiskan segala permusuhan dan kesalahfahaman yang ada di antara kita, bagaimana mungkin saya berani menghadapi dua orang tokoh besar Hoa-san-pai dalam pertandingan? Bukankah hal ini akan membuat usaha dan niat baik boanpwe menjadi sia-sia belaka?"
Bun Hoat Tosu tersenyum dan berkata, "Tidak mengapa, orang muda. Apa yang diusulkan oleh kedua orang muridku memang benar, bukan sekali-kali untuk mengujimu karena tidak percaya. Engkau adalah murid tunggal Sin-jiu Kiam-ong tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi, bagaimana hati kami sepeninggalmu akan dapat tenang dan yakin bahwa pusaka Hoa-san-pai akan dapat dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan lebih dulu kelihaianmu. Harap jangan sungkan Hoa-san-pai akan dapat dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan lebih dulu kelihaianmu. Harap jangan sungkan dan perlihatkanlah kepandaianmu dan keampuhan Siang-bhok-kiam kepada kami."
Keng Hong menjadi kagum. Ketua Hoa-san-pai ini benar-benar bijaksana. Jawabannya sekaligus menyadarkan kedua orang muridnya bahwa pertandingan ini hanya merupakan ujian, dan sekaligus menarik kesempatan untuk menyaksikan kehebatan Siang-bhok-kiam dan ilmu pedangnya.
Ia pun kagum bahwa kakek tua renta ini sudah tahu bahwa dia membawa Pedang Kayu Harum itu, padahal pedang itu dia sembunyikan di balik jubahnya. Ia cepat memberi hormat dan berkata, "Baiklah kalau begitu, Locianpwe Ji-wi Hoa-san Siang-sin-kiam, saya telah siap menerima pelajaran Ji-wi!"
Lega hati kedua tokoh Hoa-san-pai itu. Mereka selalu merasa penasaran dan hal ini akan menganggu hati mereka kalau mereka belum mencoba kelihaian murid tunggal Sin-jiu Kaim-ong, yang selama beberapa tahun ini membuat mereka, seperti juga tokoh-tokoh lain di dunia kang-ouw, menjadi lelah badan dan kesal pikiran. Sudah bertahun-tahun mereka ikut mengejar Keng Hong tanpa hasil, kini setelah pemuda itu uncul sendiri, malah dibebaskan sedemikian mudahnya. Mereka tentu akan penasaran dan gelisah kalau belum menguji kepandaian pemuda ini yang oleh guru mereka kini tidak dianggap musuh lagi, melainkankan sahabat yang hendak mencarikan kembali pedang pusaka Hoa-san-pai! Kedua orang kakek itu melangkah ke tengah ruangan, dikuti pandang mata ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala lain yang menjadi adik-adik seperguruan Hoa-san Siang-sin-kiam. Juga para murid yang berkumpul mengelingi ruangan itu memandang dengan hati tegang, akan tetapi juga ada rasa gembira di hati mereka karena seperti semua ahli silat di dunia ini, pertandingan yang paling menarik, apalagi bagi mereka itu yang kini disuguhi pertandingan hebat dengan majunya Hoa-san Siang-sin-kiam melawan seorang pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong yang terkenal.
Karena merasa bahwa mereka berdua maju untuk menguji, apalagi karena maklum atau dapat menduga akan kelihaian pemuda ini, maka Siang-sin-kiam mengusir rasa sungkan di hati akan kenyataan bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang patut menjadi cucu murid mereka!
"Sing! Sing!" tampak sinar berkilat menyilauan mata ketika kakak beradik ini mencabut pedang mereka. Mereka sudah berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda yang sama, dengan pedang di tangan kanan melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari-jari disatukan menuding ke langit, lutut kaki kanan ditekuk depan kaki kiri, mata mereka menatap tajam kepada Keng Hong.
Keng Hong maklum bahwa dua orang kakek ini amat lihai ilmu pedangnya. Kalau tidak demikian masa mereka mendapat julukan Hoa-san Siang-sin-kiam? Mereka merupakan murid-murid utama dari Hoa-san-pai dan berkedudukan tinggi. Untuk dapat menimbulkan kesan baik dan membuktikan kesanggupannya, dia harus dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi mengalahkan mereka tanpa melukai, karena kalau hal ini terjadi tentu akan menimbulkan lagi perasaan bermusuh. Dia mengerti pula bahwa sekali ini, dia bertanding melawan dua orang lihai di bawah pengawasan mata yang tajam dari ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala yang lain, maka sudah tentu saja dia tidak berani main-main dan berpura-pura karena hal ini kalau sampai ketahuan tentu menimbulkan kesan seolah-olah dia memandang rendah Hoa-san-pai. Jalan satu-satunya harus mengalahkan mereka dengan ilmu pedang yang lebih tinggi, dan hanya Siang-bhok-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menundukkan Sepasang Pedang Sakti ini.
"Maafkan saya!" katanya dan tangannya meraba ke dalam jubahnya. Di lain saat dia sudah mencabut Siang-bhok-kiam dan yang tampak hanya sinar hijau berkelebat berbareng tercium bau yang harum.
"Siang-bhok-kiam....!" Terdengar bisikan-bisikan yang hampir berbareng keluar dari mulut murid-murid Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut murid-murid Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut itu menjadi tidak lirih lagi. Setelah sinar hijau lenyap, yang tampak hanya sebatang pedang kayu di tangan Keng Hong, dan sebagus-bagusnya pedang kayu, tentu tidaklah seindah dan segagah pedang baja.
Namun, begitu melihat pedang itu terpegang di tangan Keng Hong dan melihat pemuda itu membuat gerakan kuda-kuda pembukaan, Siang-sin-kiam mengikuti dengan pandang mata tajam dan penuh kewaspadaan. Gerakan kuda-kuda Keng Hong adalah gerakan pemubukaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang luar biasa. Kedua kaki pemuda itu, terpentang dengan lutut di tekuk ke depan, Pedang Kayu Haru mula-mula menuding ke langit dari atas kepala lalu perlahan-lahan melingkari leher terus turun menuding bumi di depan kaki, sedangkan tangan kiri membentuk lingkaran dan berakhir di depan dada dengan sikap menyembah, tangan miring dan jari terbuka rapat.
"Cia Keng Hong, jaga serangan kami!" Coa Kiu berseru keras dan tiba-tiba dia dan Coa Bu sudah menerjang maju, pedangnya menusuk leher dan pedang adiknya menusuk pusar.
"Trang-trang..!" Pedang Kayu Harum sudah menangkis kedua pedang itu sekaligus sehingga kedua pedang itu terpental. Namun kakak beradik Coa itu adalah ahli-ahli pedang yang kenamaan dan banyak pengalaman. Sungguhpun dari getaran yang melalui pedang mereka itu jelas membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda ini seperti yang sudah mereka ketahui, amat kuat, namun pedang mereka yang terpental itu mereka ikuti dengan tubuh, dan mereka kini berpencar ke kanan kiri. Cepat sekali datangnya penyerangannya itu, pedang Coa Kiu membabat kaki sedangkan pedang Coa Bu menusuk lambung.
"Sing-singggg...!"
Keng Hong tetap tenang ,kakinya meloncat ke depan, tubuhnya membalik, sinar hijau Siang-bhok-kiam membabat ke kanan kiri menangkis.
"Cring-cring...!"
Kembali dua kakek itu memutar tubuh karena pedang mereka terpental, kini mereka saling berdekatan, pedang mereka diputar membentuk gulungan dua sinar yang menyilaukan, makin lama makin cepat dan dua gulungan sinar itu kini bersatu, menjadi segulung sinar yang tebal dan kuat, kemudian tubuh ereka berkelebat lenyap dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal meluncur ke arah Keng Hong. Pemuda ini maklum bahwa "penyatuan" sinar pedang dua kakek ini amat berbahaya dan inilah agaknya yang membuat nama Sepasang Pedang Sakti amat terkenal. Ia pun lalu mengerahkan tenaganya, mempercepat pemutaran pedang Siang-bhok-kiam sehingga bayangan tubuhnya terbungkus sinar hijau yang meluncur dan menyambut sinar pedang putih yang mengeluarkan suara bercuitan itu. Terjadilah pertandingan ilmu pedang sakti, yang tampak hanya gulungan putih dan hijau, suara bercuitan dan berdesing-desing diselingi suara "crang-cring-trang-trang!" dan tampak bunga api kadang-kadang muncrat berhamburan.
Setelah bertanding selama empat lima puluh jurus, Keng Hong maklum bahwa kalau dia menghendaki, dengan mudah dia akan dapat erobohkan dua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak mau menyakitkan hati atau membuat malu dua orang kakek yang sudah memiliki nama besar di dunia kang-ouw ini. Maka dia bersuit nyaring dan gerakannya dipercepat. Gulungan sinar pedang berwarna hijau menjadi terang dan lebih panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan terus enghimpit dan membelit gulungan puti kedua kakek itu.
Kini tampak betapa Hoa-san Siang-sin-kiam terdesak hebat dan hal ini dapat diikuti dengan pandang mata dan jelas oleh Bun Hoat Tosu dan para muridnya sehingga mereka menjadi kagum sekali. Akan tetapi para murid Hoa-san-pai yang berdiri di luar ruangan itu, yang ilmu kepandaiannya belum mencapai tingkat setinggi itu dan belum memiliki ketajaman penglihatan sehingga dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat melihat tiga orang yang bertanding, hanya melihat gulungan-gulungan sinar pedang. Bagi mereka, pertandingan ini merupakan pertandingan hebat yang menegangkan di mana mereka melihat betapa gulungan sinar pedang putih tidak sehebat tadi bahkan kadang-kadang terpecah menjadi dua bersatu lagi, terpecah lagi bahkan kadang -kadang terpisah makin jauh, keduanya digulung oleh sinar pedang hijau.
"Ji-wi Locianpwe, maafkan saya!" Tiba-tiba terdengar seruan Keng Hong dan tampaklah dua orang kakek itu meloncat ke kanan kiri dengan muka pucat dan tanpa memegang pedang, sedangkan Keng Hong berdiri di tengah-tengah dengan pedang Siang-bhok-kiam diputar-putar sedangkan dua batang pedang milik kakek itu menempel dan ikut berputar di ujung Siang-bhok-kiam, kemudian tiba-tiba dua batang pedang itu mencelat dan meluncur ke arah pemiliknya masing-masing! Coa Kiu dan Coa Bu menyambut pedang mereka dan menyimpannya kembali, kemudian menjura ke arah Keng Hong dan berkata,
"Kepandaianmu hebat, orang muda. Kami Hoa-san Siang-sin-kiam mengaku kalah." Keng Hong sudah lebih dulu menjura dan dia cepat berkata, "Ah, Ji-wi Locianpwe terlalu mengalah dan sungkan. Terima kasih atas pelajaran yang diberikan kepada saya dan biarkan saya anggap bahwa saya telah lulus ujian."
Bun Hoat Tosu berkata, "Engkau telah lulus ujian, Cia-taihiap. Ilmu pedangmu benar-benar mentakjubkan!"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali mendengar dia disebut "taihiap"(pendekar besar) oleh ketua Hoa-san-pai. Benar-benar penghormatan yang berlebihan! Cepat dia memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, harap jangan menyebut boanpwe dengan sebutan taihiap. Sebutan itu bukan didasarkan atas kepandaian, melainkan atas sepak terjang dan perbuatan seseorang, sedangkan boanpwe adalah seorang yang sama sekali belum melakukan sesuatu yang penting. Selamat tinggal dan mudah-mudahan boanpwe akan dapat segera mengantarkan pedang pusaka Hoa-san-pai yang dahulu dipinjam mendiang suhu. Ji-wi Siang-sin-kiam,ilmu pedang Ji-wi bukan main, saya menyatakan kagum sedalam-dalamnya dan maafkan saya." Setelah berkata demikian, Keng Hong melangkah keluar meninggalkan Hoa-san-pai diikuti pandang mata mereka dan keadaan di ruangan itu menjadi sunyi sekali.
Terdengar helaan napas Bun Hoat Tosu memecah kesunyian. "Ahhh, hebat sekali ilmu kepandaian bocah itu, benar-benar mewarisi ilmu dan kelihaian Sie Cun Hong taihiap. Kalian berdua tidak usah merasa penasaran dikalahkan olehnya, karena pinto sendiri mungkin tidak akan dapat mengalahkan dia dengan mudah."
Mendengar pengakuan ketua Hoa-san-pai ini, para anak murid Hoa-san-pai makin kagum kepada Keng Hong dan keadaan pemuda itu memberi dorongan kepada mereka untuk berlatih lebih giat lagi.
***
Semenjak Kaisar Yung Lo mengalahkan keponakannya sendiri dalam perebutan kekuasaan dan naik tahta Kerajaan Beng pada tahun 1403, terjadilah perubahan besar yang menuju perbaikan keadaan pemerintah. Kaisar Yung Lo yang tadinya adalah seorang panglima perang, memegang tampuk kerajaan dengan tangan besi sesuai dengan jiwanya sebagai prajurit.
Segala macam bentuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang diberantas dan untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh buruk tuan-tuan tanah yang ada pada masa lalu seolah-olah mencengkeram semua alat pemerintah dengan kekuasan uang sogokan dan suapan, maka Kaisar Yung Lo memindahkan ibu kota dari Nanking ke Peking di utara. Ibu kota utara ini memang tepat di mana dia bertugas ketika masih menjadi panglima, memimpin barisan pertahanan di utara, maka tentu saja Kaisar Yung Lo lebih merasa "di tempat sendiri" kalau berada di utara. Pembangunan besar-besaran dilakukan di ibu kota atau kota raja ini, pembangunan yang dilakukan oleh semua ahli seni bangunan yang didatangkan dari segenap penjuru tanah air. Istana yang besar-besar dan amat indah dibangun sehingga Kota Raja Peking menjadi kota yang hebat dan indah luar biasa di masa itu, dan terkenal di luar negeri sebagai kota terindah dan mentakjubkan para musafir kelana yang datang dari segala penjuru dunia.
Tembok besar yang melintang di utara, yang merupakan keajaiban di dunia dan membuktikan kehebatan hasil tenaga manusia ( panjangnya lk.22500 mil), diperbaiki dan diperkuat. Juga Terusan Besar yang menghubungan Kota Raja Peking Sungai Yang-tse-kian dengan Sungai Huang-ho,yang belum selesai dibangun oleh kaisar-kaisar Mongol, kini diteruskan dan diperbaiki dan diselesaikan pembangunannya.
Selain mengadakan pembangunan besar-besaran, juga Kaisar Yung Lo berusaha keras untuk meningkatkan kecerdasan kaum petani yang menjadi sebagian besar daripada rakyat dengan jalan memerintahkan penyebarluasan kesusastraan dengan mencetak kitab-kitab pusaka lama dan ajara-ajaran Kong-hu-cu sehingga kitab-kitab itu menjadi murah dan mudah didapatkan dan dipelajari oleh rakyat tidak seperti jaman sebelum itu di mana kitab-kitab hanya dapat dimiliki dan dipelajari oleh kaum ningrat dan hartawan saja.
Maka muncullah sastrawan-sastrawan dari kalangan rakyat miskin, dan mereka itu diberi kesempatan untuk meningkatkan hidup dengan jalan menempuh ujian-ujian yang diadakan setiap tahun di kota raja dan bagi siapa yang lulus akan diberi gelar siucai dan diberi kesempatan menduduki jabatan.
Kaisar Yung Lo memang bijaksana, tidak hanya dalam hal kesussastraan di mana dia mencurahkan perhatiannya, mempersilakan kaum terpelajar dan sastrawan-sastrawan yang dahulunya banyak yang dikejar-kejar sebagai pemberontak apabila ada di antara mereka yang berani mengeritik istana, kini datang membantu pemerintahannya dan memberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka. Di samping usaha memajukan kesusastraan dan kesenian, sebagai seorang kaisar bekas panglima, tentu saja kaisar ini tidak mengabaikan pertahanan perang, juga dapat menghargai bantuan kaum persilatan. Maka Kaisar Yung Lo mengumumkan untuk membuka tangan kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang suka untuk membantunya, untuk diuji kepandaiannya dan diberi kedudukan pula, dari pengawal-pengawal istana sampai komandan-komandan pasukan, disesuaikan masing-masing dengan tingkat kepandaian dan pengalaman masing-masing. Dengan janji kedudukan tinggi, apalagi menjadi pengawal istana yang pada waktu itu merupakan pangkat yang amat besar kekuasaannya (biasanya pengawal lebih galak dan merasa lebih kuasa daripada yang dikawal), banyaklah para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi datang ke kota raja untuk menghambakan diri kepada kaisar baru Kerajaan Beng ini.
Akan tetapi, tidaklah mudah dapat diterima menjadi pengawal kaisar atau pengawal istana. Ujiannya terlampau berat. Ada tiga tingkat pengawal istana kaisar, yaitu tingkat pengawal istana kaisar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi, tingkat kedua adalah pengawal istana bagian dalam, dan tingkat ke tiga adalah tingkat istana bagian luar. Untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal ini, calon harus membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan penguji dari tiga tingkatan.
Dan ternyata tidaklah mudah dan jarang sekali ada tokoh kang-ouw yang dapat mengalahkan atau menandingi para penguji ketiga tingkatan itu, apalagi tingkat pertamanya!
Kaisar Yung Lo merasa perlu sekali menghimpun tenaga tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai untuk memperkuat barisannya karena dia mempunyai cita-cita memperkembangkan kekuasaan negara sampai jauh ke luar negeri, untuk menundukkan daerah-daerah barat dan selatan yang semenjak jatuhnya Kerajaan Mongol tidak mau mengakui lagi kekuasaan pemerintah pusat. Bahkan Kaisar Yung Lo bercita-cita lebih jauh lagi, yaitu mengirim pasukan-pasukan jauh menyeberangi lautan selatan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan mendatangkan keuntungan dan kebaikan bagi negaranya, karena di mendengar selatan amat kaya akan rempah-rempah dan hasil buminya yang subur.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, datanglah dua orang muda yang amat menarik perhatian ke kota raja. Mereka ini menarik perhatian orang karena merupakan pasangan orang muda yang cantik jelita dan tampan perkasa, seorang wanita muda yang sukar ditaksir usianya antara dua puluh dan tiga puluh tahun, berpakaian serba jambon, rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias burung hong kecil dari emas permata yang amat indah, di punggunggnya terdapat sarung pedang dari emas pula terukir indah sehingga hiasan ini mendatangkan sifat gagah pada kecantikannya. Adapun pria yang berjalan di sebelahnya juga amat menarik perhatian orang. Pria ini usianya antara empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Pakaiannya mewah sekali, dari ujung rambut yang tersisir rapi dan licin mengkilap sampai ke ujung sepatunya yang baru dan mengkilap pula dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pria pesolek yang amat menjaga diri dan pakaiannya agar selalu kelihatan tampan
Dan memang pria itu berwajah tampan, berpandang mata penuh pikatan, senyumnya pun dapat meruntuhkan hati wanita yang kurang kuat. Seperti juga wanita muda di sebelahnya, disamping ketampanan dan kegantengannya, laki-laki ini kelihatan gagah dengan adanya pedang yang tergantung di pinggang, pedang yang sarungnya berwarna hitam dan terukir bunga-bunga teratai terbuat dari emas pada gagang pedang dan sarungnya.
Wanita cantik jelita dan gagah itu bukan lain Bhe Cui Im, sedangkan pria di sebelahnya ini adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Cui Im yang mendengar pula akan pengumuman istana segera mempergunakan kesempatan ini untuk mengikuti ujian karena wanita yang haus kekuasaan ini menganggap bahwa cara yang paling tepat untuk menjadi nomor satu di dunia adalah menjadi jagoan nomor satu pula. Maka ia lalu mengajak sekutunya, Siauw Lek untuk datang ke kota raja. Berbeda dengan sebagian tokoh kang-ouw di masa itu yang segan untuk memperlihatkan diri sehingga terlibat dalam pertentangan, Cui Im dan Siauw Lek yang terlalu percaya kepada diri sendiri dan memandang rendah orang lain, secara terang-terangan bersikap sebagai ahli persilatan dengan lagak terbuka dan menantang! Maka tentu saja mereka menarik banyak perhatian orang di kota raja dengan lagak mereka yang menginap di rumah penginapan terbesar, makan di rumah makan termewah dan hidup secara royal sekali.
Mereka berdua tidak tergesa-gesa mengunjungi tempat pendaftaran di istana, melainkan berpesiar di kota raja sampai tiga hari. Siauw Lek yang selalu taat dan tunduk kepada Cui Im, selama di kota raja tidak berani melakukan kebiasaannya, yaitu menganggu wanita-wanita cantik.
"Kita menghendaki kedudukan tinggi sebagai pengawal kaisar, jangan merusak nama dengan perbuatan yang mengacaukan," kata Cui Im. Siauw Lek tidak berani melanggar dan dia hanya menelan ludah saja setiap kali melihat puteri-puteri cantik yang banyak terdapat di kota raja dan memuaskan nafsunya dengan berfoya-foya bersama wanita kelas satu di kota raja.
Tiga hari kemudian, Cui Im dan Siauw Lek menghadap para petugas pendaftaran, yaitu perwira-perwira pengawal yang menerima semua pendaftaran dan kantornya berada di bangunan samping depan istana. Pagi itu tidak ada orang lain yang mendaftarkan, dan memang makin lama makin berkuranglah para pendaftar setelah terdengar berita betapa beratnya syarat-syarat ujian dan betapa sebagian besar para peserta gagal dalam menempuh ujian, tidak dapat menandingi kelihaian si penguji.
Belasan orang perwira yang bertugas di situ memandang Cui Im dengan mata terbelalak, penuh kekaguman dan keheranan. Kalau yang datang mendaftarkan diri seorang pria seperti Siauw Lek, mereka tidak akmn merasa heran, dan kalau seorang wanita tua yang banyak terdapat di kalangan tokoh kang-ouw mendaftarkan, mereka pun akan menerima hal ini sebagai hal wajar dan tidak aneh. Akan tetapi seorang wanita muda dan cantik jelita seperti Cui Im datang mendaftarkan diri untuk menjadi pengawal! Benar-benar hal ini membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi mereka adalah petugas-petugas yang langsung berada di bawah pengawasan istana dan berdisiplin, maka mereka menerima Siauw Lek dan Cui Im sebagaimana mestinya dan bertanya kepada dua orang ini hendak mendaftarkan untuk calon pengawal tingkat apa.
"Tentu saja tingkat pengawal kaisar, atau adakah tingkat yang lebih tinggi dari itu? Kalau ada, aku hendak mendaftar untuk tingkat yang lebih tinggi, tingkat yang paling tinggi," kata Cui Im dengan sikap sembarangan.
Para petugas yang sudah terheran-heran itu menjadi melongo saking herannya. Seorang di antara mereka yang bertugas menuliskan nama pendaftaran khawatir kalau dia salah dengar dan bertanya,"Siapakah yang mendaftarkan untuk pertama, calon pengawal kaisar, Saudara inikah?" Ia menuding ke arah Siauw Lek.
Siauw Lek tersenyum. "Kedua-duanya, Sobat. Kami berdua mendaftarkan untuk calon pengawal kaisar. Apakah tidak boleh?"
“Ah, boleh... Boleh..., tentu saja boleh. Akan tetapi ujiannya amat berat dan salah-salah nyawa bisa melayang..."
"Kami sudah siap sedia untuk resiko itu," jawab Cui Im, dan harap catat bahwa aku mempunyai sebuah benda amat berharga yang hendak kupersembahkan kepada kaisar apabila aku dapat lulus ujian dan menjadi pengawal kaisar."
"Disini dilarang untuk menyuap dan menyogok, apalagi terhadap kaisar!" Tiba-tiba perwira itu berkata tegas.
Cui Im bertolak pingang, memandang tajam dan berkata lebih tegas lagi. "Siapa bicara tentang suap dan sogok? Aku akan menangkan kedudukan pengawal kaisar dengan kepandaianku,akan ku kalahkan pengujinya, dan tentang benda itu ketahuilah hai perwira yang lancang mulut bahwa persembahanku itu adalah kitab Thai-yang-cin-keng. Orang berkedudukan rendah seperti engkau mungkin tidak mengenalnya, akan tetapi aku merasa yakin bahwa kaisar akan mengenal kitab itu."
Para perwira itu diam-diam mendongkol akan tetapi terkejut juga. Dengan singkat dan tanpa banyak cakap agar tidak menimbulkan keributan dengan orang-orang kang-ouw yang mereka tahu berwatak aneh-aneh itu, nama Siauw Lek dan Cui Im dicatat dan juga rumah penginapan mereka dicatat.
"Ji-wi (kalian berdua) akan dipanggil kalau saat ujian tiba."
Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan tepat itu dan mereka berdua sambil menanti panggilan itu melihat-lihat pembangunan yang sedang dilakukan secara besar-besaran oleh kaisar. Tiada kunjung habis keheranan dan kekaguman mereka berdua akan kehebatan pembangunan itu dan mereka makin bersemangat untuk mencari kedudukan menghambakan diri kepada kaisar yang luar biasa ini.
Karena Bhe Cui Im dan Siauw Lek mendaftarkan nama mereka tanpa julukan, para petugas memandang rendah, akan tetapi ketika mereka menyebut tentang kitab Thai-yang-cin-keng, terkejutlah semua pegawai kaisar dan cepat-cepat mereka melaporkannya kepada kaisar. Kaisar Yung Lo terkejut juga dan merasa girang sekali. Tentu saja dia sudah mengenal nama kitab Thai-yang-cin-keng ini, karena sejak dahulu dia mencari-cari kitab ini. Thai-yang-cin-keng (Kitab Ilmu Barisan Matahari) adalah kitab pusaka ciptaan Raja Besar Jenghis Khan, berisi ilmu dan siasat mengatur barisan. Mengingat akan hasil yang gilang-gemilang dari bangsa Mongol di bawah bimbingan Jenghis Khan dahulu dapat dibayangkan betapa pentingnya isi kitab ini bagi Kaisar Yung Lo yang berjiwa perajurit.
"Panggil mereka dan biar mereka diuji oleh pengawal nomor satu! Kami akan menyaksikan sendiri ujian ini!" berkata kaisar dan sibuklah para pengawal mengatur untuk melaksanakan perintah ini. Dahulu memang kaisar sendiri sering menonton ujian kelihaian para calon pengawal, akan tetapi karena jarang sekali ada yang lulus, akhir-akhir ini kaisar jarang menonton. Hanya kalau ada calon yang namanya sudah terkenal, baru kaisar berkenan menonton karena memang menjadi sebuah di antara kesukaan Kaisar Yung Lo untuk menonton pertandingan silat, apalagi dia sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai. Kalau sekarang kaisar berkenan ingin menyaksikan sendiri ujian yang akan dilakukan terhadap Cui Im dan Siauw Lek, hal ini adalah karena kaisar amat tertarik mendengar bahwa wanita muda yang bernama Bhe Cui Im hendak mempersembahkan Thai-yang-cin-keng!
Ketika Cui Im dan Siauw Lek memenuhi panggilan menghadap ke istana, mereka memasuki halaman istana dengan sikap yang biasa saja, tidak kelihatan tegang sama sekali sehingga makin mengagumkan hati para pengawal yang menyambut mereka di pintu gerbang pertama.
Bhe Cui Im mengenakan pakaian berwarna merah muda yang ringkas dan ketat sehingga bentuk tubuhnya tampak membayang nyata, rambutnya digulung ke atas dan diikat pita dengan erat, pinggangnya yang ramping memakai ikat pinggang sutera kuning yang panjang sampai ke depan jari kaki, pedangnya tergantung di punggung,dan dekat pedang itu tampak sebuah buntalan sutera kuning yang berisi kitab dan menempel di punggung.
Siauw Lek berpakaian gagah, pakaian seorang jago silat yang ringkas, kedua pergelangan tangannya dipasangi kulit hitam pelindung pergelangan, rambut kepalanya tertutup kain pengikat kepala yang dihias bunga teratai emas, pedangnya tergantung di pimggang sebelah kiri, langkahnya tegap, dadanya bidang membusung ke depan, matanya berkilat dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir.
Cui Im dan Siauw Lek diantarkan masuk ke ruangan sebelah samping kiri dan di sepanjang jalan memasuki ruangan itu, mereka berdua melihat barisan pengawal berdiri menjaga di kanan kiri. Para pengawal yang menjaga sebelah dalam istana ini merupakan pengawal-pengawal tingkat dua dan sikap mereka angker, dengan pandang mata penuh kewaspadaan menjaga segala kemungkinan untuk menjamin keamanan dalam istana. Akan tetapi Cui Im dan Siauw Lek berjalan dengan sikap tenang, mengikuti petunjuk jalan yang kini berganti rombongan, yaitu rombongan pengawal dalam yang mengoper tugas dari pengawal luar yang tadi mengantar kedua orang itu. Rombongan pengawal dalam yang berjumlah enam orang ini terus membawa Cui Im dan Siauw Lek memasuki ruangan yang disediakan untuk menguji para calon pengawal tingkat satu atau pengawal pribadi kaisar.
Ruangan itu amat luas dan ketika mereka memasuki ruangan itu, di situ kosong tidak tampak seorang pun manusia, kecuali beberapa orang pengawal dalam yang menjaga di setiap sudut dengan tombak di tangan seperti arca batu. Akan tetapi, enam orang pengawal yang mengantar Cui Im dan Siauw Lek menjatuhkan diri berlutut menghadapi sebuah tirai yang berada di sebelah dalam.
Dari tempat itu dapat dilihat samar-samar bahwa di belakang tirai terdapat sebuah meja besar dan beberapa buah kursi. Akan tetapi di situ pun kosong.
"Harap Ji-wi suka berlutut untuk menghormat Sri Baginda Kaisar," bisik seorang di antara para pengawal kepada Cui Im dan Siauw Lek. Tempat itu mendatangkan suasana angker dan penuh wibawa, maka mendengar bisikan ini Siauw Lek dan Cui Im menjatuhkan diri berlutut di samping enam orang pengawal itu menghadap ke arah tirai.
"Riiiiittt!" Tiba-tiba tirai itu terkuak ke kanan kiri sehingga tampaklah meja dan beberapa kursi di balik tirai, juga kini tempat itu menjadi terang sekali, agaknya ada bagian-bagian rahasia yang dibuka sehingga sinar matahari masuk memenuhi ruangan. Bagaikan setan-setan saja, tahu-tahu di kanan kiri meja itu sudah berdiri lima orang yang berpakaian pengawal, bertopi yang dihias bulu burung sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota Gi-lim-kun, pasukan pengawal pribadi kaisar! Rata-rata mereka sudah berusia lima puluh tahun lebih, ada yang gemuk ada yang kurus, ada yang tinggi ada yang pendek sehingga mereka itu tidaklah kelihatan gagah perkasa seperti para pengawal istana dalam atau pengawal istana luar. Akan tetapi bagi pandang mata Cui Im dan Siauw Lek, mereka dapat melihat jelas bahwa lima orang anggota Gi-lim-kun itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tiba-tiba terdengar aba-aba yang tidak jelas dari sebelah dalam, pintu terbuka dari dalam dan muncullah kaisar dikawal oleh tujuh orang anggota Gi-lim-kun. Kaisar Yung Lo berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya angker sekali. Sepasang alisnya yang tebal itu merupakan garis yang ujungnya naik ke atas, demikian pula sepasang matanya yang tajam dan membayangkan kemauan keras. Hidungnya besar dan mulutnya yang juga membayangkan kekerasan hati terhias kumis yang dipotong pendek. Akan tetapi jenggotnya gemuk dan panjang sekali.
Wajah seorang gagah perkasa, seperti wajah pahlawan besar Kwan Kong! Akan tetapi pada saat itu kaisar tersenyum dan matanya memandang ramah ke arah kedua orang yang berlutut di atas lantai bersama enam orang pengawal.
"Kedua calon telah menghadap Paduka, Sri Baginda Kaisar yang mulia!" Seorang di antara pemgawal dalam berkata, suaranya nyaring memecah kesunyian ruangan itu. Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan seorang di antara pengawal pribadi, yang tua berabut putih bertubuh tinggi kurus, berkata kepada para pengawal dalam,
"Para pengawal dalam boleh mundur!" Enam orang pengawal itu meberi hormat, lalu bangkit dan mengundurkan diri, kembali ke pos mereka yang tadi. Pengawal berambut putih itu berkata lagi, kini ditujukan kepada Cui Im dan Siauw Lek,
"Kedua orang gagah diperkenankan bangkit berdiri oleh Sri Baginda Kaisar!"
Tempat, suasana, dan suara pengawal itu mendatangkan wibawa, dan Cui Im dan Siauw Lek segera memberi hormat sambil berlutut, kemudian bangkit berdiri menghadap ke arah kaisar. Betapapun lihai mereka ini, merupakan petualang-petualang yang tak pernah mengenal takut, akan tetapi wibawa yang keluar dari pribadi kaisar dan suasana tempat itu membuat denyut jantung mereka mengencang.
Kini mereka berdua dapat memandang jelas, mereka tidak berani memandang wajah kaisar secara langsung, akan tetapi diam-diam mereka memperhatikan dua belas orang pengawal kaisar itu. Ternyata tidak seorang pun di antara pengawal kedua orang ini memandang rendah, akan tetapi di hadapan kaisar yang mempunyai wibawa demikian hebat, tentu saja mereka berdua tidak berani banyak tingkah.
Setelah kaisar memandang wajah kedua orang itu, sebagai seorang yang bijaksana dan waspada, hati kaisar agak kecewa.
Ia melihat sifat-sifat tidak baik pada diri kedua orang itu, akan tetapi juga dapat menangkap kelihaian yang terbayang pada tubuh dan wajah mereka. Dia memerlukan tenaga mereka, dan soal sifat baik dan tidak baik, kekuasaanya akan dapat menundukkan mereka. Kuda-kuda yang liar memang berbahaya, akan tetapi sekali dapat menundukkan mereka, akan menjadi alat yang amat berguna karena tenaga mereka yang boleh diandalkan, demikian pikir kaisar yang cerdik ini.
"Siapakah di antara kalian berdua yang kabarnya hendak mempersembahkan kitab Thai-yang-cin-keng kepada kami?" Kaisar bertanya, suaranya halus, akan tetapi memiliki dasar wibawa yang menggetarkan hati pendengarnya.
"Hamba Bhe Cui Im yang membawa persembahan itu untuk Paduka Sri Baginda," jawab Cui Im dengan muka tunduk.
Kaisar memandang tajam, tersenyum dan hatinya tidak percaya, akan tetapi ia berkata."Wanita muda yang gagah, siapakah julukanmu di dunia kang-ouw?"
Biasanya, kalau ada orang menanyakan nama julukannya, Cui Im tentu akan memberi tahu dengan ahti besar dan bangga, akan tetapi sekali ini, ditanya oleh kaisar sendiri, hatinya menjadi berdebar, dan suaranya tidak garang ketika menjawab, "Hamba.... hamba.... disebut Ang-kiam Bu-tek!"
"Pedang Merah Tanpa Tanding! Hemm, tentu ilmu pedangmu hebat sekali. Bhe Cui Im, engkau berani menyebut kitab yang hendak kau persembahkan itu sebagai Thai-yang-cin-keng. Sudah yakin benarkah bahwa kitab itu tidak palsu?"
"Hamba bukan seorang ahli barisan tentu saja hamba tidak dapat membedakan mana yang palsu dan mana yang tulen. Akan tetapi hamba dapat mendapatkannya dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."
"Ahhh! Kalau begitu, tentu saja tulen!" Kaisar berseru gembira. Melihat kegembiraan kaisar, Cui Im cepat menurunkan buntalan kitab yang digendong di punggungnya dalam sutera kuning, lalu berlutut dan mengangkat buntalan kitab itu tinggi-tinggi sambil berkata,
"Hamba mempersembahkan kitab ini, mohon Paduka sudi menerima."
"Eh, Ang-kiam Bu-tek, bukankah engkau mengatakan pada para pengawal bahwa engkau akan mempersembahkan kitab itu kalau engkau telah berhasil lulus ujian?"
"Hamba yakin akan lulus," jawab Cui Im, kini dengan suara tegas, karena setelah bercakap-cakap dan mendengar suara kaisar itu ramah, kegentarannya berkurang.
Kaisar tersenyum lebar. "Engkau yakin? Pengawal tingkat mana yang hendak kau pilih?"
"Tingkat pertama, hamba ingin menjadi pengawal pribadi Paduka yang mulia."
"Ha-ha-ha! Engkau terlalu besar hati, Ang-kiam Bu-tek! Untuk menjadi pengawal pribadiku engkau harus mengalahkan pengawal kepala yang paling lihai di antara dua belas orang pengawal pribadiku ini. Dan engkau takkan menang!"
"Mohon ampun, Sri Baginda. Hamba tidak sombong, akan tetapi hamba merasa yakin akan dapat mengalahkan pengawal Paduka yang manapun juga."
"Wah, engkau benar-benar luar biasa. Hendak kulihat apakah kitab persembahanmu itu tidak palsu, kemudian akan kusaksikan apakah kesanggupanmu itu pun bukan hanya kosong belaka! Kaisar memberi isyarat dan seorang di antara pengawalnya, yang berambut putih itu, menuruni tangga, menghampiri Cui Im. Pengawal ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi yang sejak sebelum Kaisar Yung Lo menjadi kaisar telah menjadi pengawal pribadinya. Dia dahulunya adalah seorang tosu perantau yang sudah menjelajah di luar tembok besar daerah utara, mempelajari berbagai ilmu silat dari utara yang dia gabungkan dengan ilmu silat dari selatan. Setelah menjadi pengawal Kaisar Yung Lo yang dahulu masih raja muda, dia melepaskan jubah tosu dan mempergunakan nama sendiri, yaitu Theng Kiu. Ilmu silat Theng Kiu ini tinggi dan sukar dicari bandingnya, akan tetapi karena dia tidak pernah terjun di dunia kang-ouw, melainkan menjadi pengawal setia, maka namanya tidak terkenal di dunia kang-ouw.
Ketika melihat sikap Cui Im yang sama sekali belum dikenalnya dan mendengar ucapan yang begitu yakin, dia menjadi tidak senang dan menganggap bahwa wanita ini sombong sekali. Di antara duabelas orang pengawal pribadi kaisar yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, orang-orang pilihan dari berbagai daerah yang sudah diuji kepandaian dan kesetiannya, dia merupakan orang pertama dan boleh dibilang jago nomor satu kecuali lima orang "pengawal rahasia" kaisar yang diangkat setelah junjungannya menjadi kaisar. Kini ada seorang wanita muda, belum tiga puluh tahun usianya, menyatakan di depan kaisar bahwa wanita ini yakin akan dapat mengalahkan setiap orang pengawal pribadi kaisar. Alangkah sombongnya, dia menjadi penasaran sekali. Ia merasa yakin bahwa dalam satu dua jurus saja dia akan mampu mengalahkan wanita itu! Maka ketika dia menerima isyarat kaisar untuk menerima persembahan kitab ilmu perang itu, dia melangkah maju menghampiri Cui Im yang berlutut kemudian menggerakkan tangan untuk menerima kitab yang terbungkus sutera kuning. Akan tetapi dalam melakukan gerakan ini, dia telah mengerahkan tenaga sinkangnya dengan maksud untuk membikin tergetar tangan Cui Im sehingga wanita itu akan melepaskan kitab jatuh ke lantai. Hal ini akan membuat malu wanita yang bersumbar akan mengalahkan semua pengawal pribadi kaisar.
Tadinya Cui Im akan menyerahkan kitab itu, akan tetapi begitu tangannya tergetar setelah kakek berambut putih itu menyetuh kitab, dia terkejut dan memandang tajam. Dilihatnya pengawal itu tersenyum mengejek, maka tahulah ia bahwa pengawal ini sengaja hendak "menguji" dan membikin malu. Ia menjadi marah dan tanpa diketahui siapapun ia mengerahkan sinkangnya sambil mempererat pegangan jari tangannya pada kitab dalam bungkusan itu.
Kini giliran Theng Kiu yang kaget setengah mati. Tangan wanita itu sama sekali tidak menjadi lumpuh seperti lajimnya orang yang terkena serangan sinkangnya, dan buku itu sama sekali tidak terlepas, bahkan begitu erat terpegang ketika dia mencoba untuk mengambilnya. Kitab dalam bungkusan itu seolah-olah melekat di tangan Cui Im!
Theng Kiu menjadi penasaran. Ia lalu menghimpun seluruh tenaga sinkangnya dan mengerahkan tenaga untuk mengambil kitab itu secara paksa. Namun, tetap saja kitab itu tidak terampas, bergerak sedikit pun tidak! Tadinya dia masih merasa malu untuk memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaga, akan tetapi begitu mendapat kenyataan betapa kitab itu benar-benar diambil, dia tidak ingat lagi betapa dia telah memasangkan kuda-kuda di depan wanita yang berlutut itu, kedua kakinya terpentang tegak dan mengeluarkan tenaga sehingga lantai yang diijaknya seolah-olah melekat dengan telapak sepatunya, kemudian dia mengerahkan tenaga dan tampak jelas betapa dadanya melembung besar di balik bajunya. Hal ini tidak saja tampak oleh semua pengawal, bahkan kaisar sendiri melihatnya dan kaisar ini yang juga mengerti akan ilmu silat tinggi sampai mendoyong ke depan di atas kursinya untuk menyaksikan adu tenaga yang aat hebat itu. Ia tertarik sekali dan menjadi gembira karena ingin juga dia menyaksikan apakah wanita muda itu sanggup mempertahankan betotan tangan yang demikian kuat dari pengawal nomor satu.
Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya, dan berdiri seperti orang bingung.
Melihat ini, hampir saja kaisar bangkit dari kurisnya saking herannya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya, "Theng Kiu, bagaimana? Kenapa kau tidak menerima kitab itu?"
Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap, "Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda...."
Sepasang mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab. "Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?"
"Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar.
Pada saat itu, masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sabil melaporkan bahwa The-cai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata,
"Suruh dia cepat datang menghadap. Biarpun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!"
Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seolah-olah terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum di tanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab.
Tak lama kemudian, masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk.
Ketika Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam ia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu demikian terang dan tajam seperti mata harimau di tempat gelap.
Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar, sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar, kemudian mereka berdua berlutut menyembah.
"The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang amat menarik hati. Biarlah urusan kita itu kita bicarakan nanti setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah.. pembantumu yang sebut dahulu itu?"
"Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam.
"Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba bersiap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dahulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda."
"Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar. Pembesar itu adalah seorang panglima laksamana yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Adapun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisionil bahwa Ma Huan ini dikeral sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang).
Dua orang pembesar itu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki berpakaian sederhana yang seperti orang mengantuk itu lalu berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh.
"Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihat dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?"
The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Ketika Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika ia melirik ke arah Ma Huan, ia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang amat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya!
"Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya mentah isinya, Sri Baginda." Jawab The Ho yang tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka? Mereka menjadi gentar dan berjanji dalam hati untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga memiliki banyak orang sakti itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlalu mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal? Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?"
"Tergantung dari tingkat kepandaian mereka , Sri Baginda."
"Justeru itulah saat ini kami sedang mengujinya. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa dia selain datang untuk melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini mempersembahkan sebuah kitab Thai-yang-cin-keng kepadaku?" The Ho tampak kaget dan tercengang mengerutkan keningnya. "Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil."
"Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya kata pula Sri Baginda sambil tersenyum.
"Benarkah? Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?"
"Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)? Bagus, cobalah!"
The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Tio Hok Gwan dengan sikap hormat memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, lalu menghampiri Cui Im dengan malas-malasan. Cui Im maklum bahwa ia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau kini ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah? Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masa sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah. Ketika ia melihat si pengantuk itu mengulur tangan, ia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya. Ia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka ia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu meiliki tenaga dahsyat. Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya sedangkan dalam hal sinkang, dia belumlah terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena ia diuji dalam tenaga, tentu saja ia tidak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkangnya dan seperti tadi ia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat.
Biarpun Tio Hok Gwan diam-diam kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab setelah disambar hawa dari tanganya, namun pada wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Ia melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, kemudian mengerahkan tenaga membetot.
Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa sekuat-kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak terlepas dari tangan Cui Im! Biarpun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri.
Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal. Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata tenaga bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan.
"Brettt....!" Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah.
"Jangan merusakkan kitab....!" Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasihat.
Cui Im yang cerdik dapat mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu untuk menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan."
"Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia !" kata Cui Im dan ia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu. Senyum dan kedipan matanya seolah-olah mengatakan bahwa betapapun juga, si pengantuk itu tidak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar.
Mereka bertiga kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum karena mengenal kitab itu benar-benar adalah peninggalan Jenghis Khan berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting.
"Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kata kaisar sambil menyerahkan kitab kepada The Ho. The Ho menerima dan menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan. Pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk!
"Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!"
Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Adapun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggiran sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, demikian pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi. Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampak sinar merah berkelebat dan dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas.
"Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat kepada junjungannya.
"Wanita ini lihai dan dalam pertandingan senjata, hamba khawatir kalau-kalau ada fihak yang terluka atau tewas oleh senjata. Bagaimana kalau sampai hamba terlanjur menewaskannya?"
Kaisar menganguk-angguk. "Dalam pertandingan mengadu silat, terluka atau mati bukanlah hal yang aneh."
Akan tetapi Cui Im berkata kepada kaisar sambil menyoja dengan kedua tangannya, "Mohon ampun, Sri Baginda. Seorang yang benar-benar ahli dalam menggunakan senjata, akan dapat mengalahkan lawan tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya. Setiap detik senjata masih dapat ditarik kembali sebelum terlanjur."
The Ho mengelus jenggotnya dan berkata perlahan,"Omongan yang hanya dikeluarkan seorang yang benar-benar ahli. Wanita ini sombong, akan tetapi ucapannya memang benar, Sri Baginda."
"Mulailah!" Kaisar menggerakkan tangan ke atas dan semua mata memandang ke arah dua orang yang sudah siap itu.
"Lihat serangan!" Theng Kiu membentak dan ruyungnya menyambar, menjadi sinar keemasan menghantam ke arah kepala Cui Im. Wanita ini melihat bahwa gerakan lawannya cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa ruyung itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan pedangnya menyerampang kaki lawan. Cepat sekali gerakannya itu, hampir bersamaan dengan serangan Theng Kiu seningga pengawal kepala ini terkejut dan cepat meloncat sabil miringkan tubuh dan dia pun meniru lawan untuk bergerak cepat, ruyungnya yang melewati kepala tadi dia balikkan menimpa pundak Cui Im tidak membiarkan tulang pundaknya diremukkan ruyung, ia miringkan tubuh sambil meloncat ke atas dan otomatis pedangnya yang luput menyerapang kaki tadi sudah membentuk lingkaran ke atas dan menukik dengan tusukan ke arah mata Theng Kiu! Akan tetapi Theng Kiu sudah memutar pergelangan tangannya, ruyungnya menangkis keras.
"Tranggggg...!" Bunga api berhamburan dan secepat kilat Cui Im yang sudah ke bawah itu menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kembali menghadapi serangan yang cepat ini tidak ada lain jalan bagi Theng Kiu kecuali menggerakkan ruyung dari samping menangkis keras.
"Cringgggg....!"
Kini Theng Kiu sambil menangkis, membarengi dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Cui Im dari samping.Begitu kedua mendekati sasaran. Namun Cui I mengelak ke kanan dan mengayun kakinya menendang lutut lawan. Kalau saja Theng Kiu tidak cepat mengelak sambil memutar ruyungnya melindungi tubuh, tentu lututnya patah atau lehernya terbabat pedang karena sambil menendang tadi pedang Cui Im sudah menyambar ke leher. Kebali kedua senjata bertemu keras.
"Tranggggg...!" Theng Kiu menghantam ruyung dari bawah ke arah pinggang, ditangkis Cui Im. "Cringggg!" Dan tiba-tiba tampak sinar merah bergulung-gulung ketika Cui Im membalas dengan serangan bertubi-tubi. Cepat bukan main gerakan pedang wanita ini sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang merah. Theng Kiu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga mengimbangi kecepatan lawan, namun tetap saja dia kalah cepat sehingg di antara dua gulung sinar pedang erah dan sinar ruyung keeasan yang membungkus tubuh kedua orang itu, terdengar suara "crang-cring-crang-cring!" nyaring berkali-kali dan kesemuanya merupakan pedang yang menyerang dan ruyungnya yang terus menerus menangkis karena tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang!
Semua orang yang menonton termasuk kaisar sendiri, menahan napas, kecuali The Ho yang mengelus-elus jenggot, Ma Huan yang tersenyum-senyum dan Tio Hok Gwan yang makin mengantuk sungguhpun kedua mata yang mengantuk ini tak pernah berkedip menonton pertandingan. Pertandingan itu amat seru dan menegangkan, berlangsung dengan kecepatan yang memusingkan para penonton yang masih belum setinggi itu tingkatnya.
Cui Im memang seorang ahli pedang yang lihai. Dahulu pun, ketika ia masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah), ilmu pedangnya sudah hebat dan jarang ada yang mampu menandinginya
Sekarang, setelah ia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dan mujijat dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong selama empat tahun, kepandaiannya sudah meningkat luar biasa. Ilmu pedangnya kini amat hebat, merupakan gabungan dari ilmu pedangnya sendiri yang ia pelajari dari Lam-hai Sin-ni disempurnakan dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang inti sarinya merupakan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam dan yang hanya diiliki atau diwarisi oleh Keng Hong karena Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam ini dirahasiakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dan hanya Keng Hong yang telah menerima ajaran gurunya. Namun ilmu pedang ciptaan Sin-jiu Kiam-ong itu benar-benar mencakup semua inti dari ilmu pedang Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-li-pai menjadi satu. Di masa mudanya, Sin-jiu Kiam-ong yang mencuri ilmu-ilmu dari partai-partai besar telah memetik bagian-bagian yang terlihat kemudian menggabungkannya sehingga kini ilmu pedang yang dimainkan oleh Cui Im benar-benar luar biasa sekali. Di lain fihak, ilmu silat Theng Kiu adalah ilmu silat gabungan dari utara dan selatan, dan juga dia memiliki jurus-jurus gabungan yang aneh, akan tetapi dibandingkan dengan Cui Im, tingkat ilmu silatnya kalah tinggi. Selain itu, karena Cui Im sudah mempelajari cara bersamadhi dan menghimpun tenaga dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, terutama sekali dari kitab kedua Siauw-lim-pai Seng-to-cin-keng dan I-kiong-hoat-hiat, maka dia telah memiliki sinkang yang amat kuat, lebih kuat daripada tenaga sinkang Theng Kiu sehingga wanita ini menang tenaga dan menang cepat.
Sinar pedang merah yang bergulung-gulung itu makin lama makin membesar dan lingkaran-lingkarannya makin luas, menggulung sinar emas dari ruyung di tangan Theng Kiu.
"Bagaimana pendapatmu, The-ciang-kun?" Kaisar bertanya kepada Laksamana The Ho yang memandang dengan kagum.
"Hebat, Sri Baginda. Benar-benar hebat kiam-sutnya, dan kalau Sri Baginda dapat mempergunakan tenaga wanita ini sebagai pengawal, sungguh baik sekali. Hamba rasa, Tio Hok Gwan sendiri belum tentu mampu menandingi kiam-sutnya yang seperti itu. Bagaimana, Hok Gwan?"
Si pengantuk itu menggeleng-geleng kepala."Luar biasa sekali. Hamba takkan menang bertanding senjata dengan wanita itu." Dengan ucapan ini, Tio Hok Gwan hanya mengakui kelihaian Cui Im dalam permaian pedang, sedangkan kalau bertanding sungguh-sungguh mencari kemenangan, belum tentu dia akan kalah.
"Pedang yang ganas, semoga Allah menyadarkan untuk mempergunakan ilmunya demi kebenaran!" Ma Huan berkata sabil menggeleng-geleng kepala.
"Cukup, Theng-ciangkun...!" Tiba-tiba terdengar seruan Cui Im dan tampak tubuh wanita ini melesat keluar dari gulungan sinar yang lenyap pula. Wanita ini berdiri sambil tersenyum, wajahnya merah segar dan matanya berseri. Adapun Theng Kiu berdiri dengan muka lebih merah lagi, napasnya agak terengah.
"Maafkan saya, Theng-ciang-kun dan terimalah kembali kancing bajumu." Cui Im melemparkan sebuah benda kecil yang diterima oleh Theng Kiu. Keduanya lalu berlutut menghormat kaisar yang memandang kagum. Kiranya wanita itu sedemikian lihainya mainkan pedang sehingga dapat menanggalkan kancing baju lawan tanpa melukainya. Tentu saja peristiwa ini membuktikan kemenangan Cui Im secara mutlak, karena kalau wanita itu menghendaki, tentu saja ujung pedang bukan mengambil kancing, melainkan lebih dalam lagi dibalik baju dan kulit dada, menusuk jantung!
"Bhe Cui Im, engkau lulus ujian. Ilmu pedangmu benar-benar hebat," kata kaisar.
"Terima kasih, Sri Baginda!" kata Cui Im dengan girang sekali.
"Dan bagaimana dengan engkau? Siapakah namamu tadi?"
"Hamba bernama Siauw Lek, Sri Baginda. Hamba pun siap untuk menghadapi pengawal pribadi Paduka yang manapun untuk menguji hamba."
"Apa? Engkau pun berani menghadapi pengawal pribadiku? Dengan senjata?"
"Dengar senjata maupun tangan kosong hamba sanggup menghadapinya, Sri Baginda." Kaisar tertawa. "Wah, agaknya kalian berdua memang tokoh-tokoh kang-ouw yang jempol! Engkau telah menyaksikan kepandaian pengawal kepala. Apakah engkau sanggup menandinginya?"
"Theng-ciang-kun tentu telah lelah, kalau tidak, hamba sanggup menghadapinya, Sri Baginda."
Dengan muka merah Theng Kiu memberi hormat dan menjawab, "Tidak, Sri Baginda. Hamba tidak lelah dan tidak penasaran kalau dikalahkan oleh tokoh kang-ouw yang memang hamba tahu banyak sekali yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau Paduka Sri Baginda Kaisar menghendaki, hamba akan menguji Siauw Lek dengan ilmu silat tangan kosong."
"Baik, lakukanlah, Siauw Lek, bersiaplah menandingi Theng Kiu."
Kembali dua orang lawan berhadapan dan kini para pengawal yang menonton mengharapkan kemenangan bagi rekan mereka. Bukan karena iri hati melihat masuknya pengawal baru, hanya karena mereka maklum bahwa di samping ilmu silatnya yang hebat, Theng Kiu pernah menjadi juara dalam ilu gulat diantara orang-orang Mongol. Maka banyak harapan baginya untuk memenangkan pertandingan tangan kosong ini. Andaikata tadi menghadapi Cui Im mereka tidak mengadu ilmu pedang, kiranya belum tentu Theng kiu kalah, demikian pikir mereka. Betapapun juga, tidak mungkin di depan kaisar mengeluarkan ilmu gulat kalau bertanding melawan seorang wanita!
"Awas pukulan!"Theng Kiu berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan yang kuat dan mantap. Siauw Lek yang belum tahu sampai di mana tenaga lawan, tidak mau bersikap sembrono menangkis, mengelak ke kiri dan dari kiri dia balas memukul dengan tangan kanan, lutut ditekuk sehingga pukulannya yang lurus dari pinggang itu menuju ke lambung lawan. Theng Kiu juga mengelak sambil meloncat ke sebelah kiri Siauw Lek, cepat kakinya menendang ke bawah pusar. Terdengar suara angin bersiutan saking keras dan cepatnya tendangan ini. Namun dengan tangkas dan tenang Siauw Lek mengelak dan balas memukul. Karena pukulan ini cepat sekali datangnya, Theng Kiu menangkis, sekalian hendak mengukur tenaga lawan.
"Duukkk!" Kedua orang itu terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka beribang, sungguhpun dilihat dari jarak mereka terpental itu tampak bahwa Theng Kiu terpental lebih jauh. Makin serulah pertandingan itu, pukul-memukul, tendang menendang dan tusuk menusuk dengan jari tangan mengarah jalan darah yang akan ditotoknya. Keduanya sama sigap, sama tangkas dan sama kuat.
Seperti juga ilmunya bersenjata ruyung, juga ilmu silat tangan kosong Theng Kiu amat aneh gerakannya, namun ilmu silat Hek-liong-kun (Ilmu Silat Naga Hitam ) yang dimainkan Siauw Lek juga hebat, bukan main. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaan Gobi Chit-kwi, Tujuh iblis dari Go-bi, yang memiliki sifat ganas dan dahsyat.
Kaisar yang menonton pertandingan itu, diam-diam merasa kagum dan dia maklum bahwa biarpun tingkat kepandaian laki-laki pesolek dan tampan ini tidak dapat menandingi kelihaian Cui Im, namun tingkatnya tidak di sebelah bawah pengawal kepala itu. Diam-diam dia merasa girang sekali karena selain mendapatkan kitab Thai-yang-cin-keng yang sejak dahulu dia cari-cari, juga sekarang dia mendapatkan dua orang pembantu yang tenaga dan kepandaiannya boleh diandalkan.
"Orang ini kepandaiannya juga hebat, Sri Baginda. Akan tetapi hamba mohon agar Paduka bersikap waspada. Orang seperti dia ini sama sekali tidak boleh dipercaya secara bulat-bulat," kata The Ho perlahan secara kaisar.
Kaisar tersenyum. "Anjing yang betapa galak pun kalau pandai mempergunakannya, dapat menjadi penjaga yang setia, Ciangkun."
The Ho menganguk-angguk dan dia pun tidak merasa gelisah karena orang pandai ini sudah mengenal kebijaksanaan junjungannya. Sementara itu, dua orang yang bertanding itu masih terus saling menyerang dengan seru, akan tetapi kini terjadi perubahan. Siauw Lek kelihatan mulai mendesak dengan pukulan-pukulan ampuh yang bertubi-tubi sehingga Theng Kiu tidak mampu lagi membalas.
Sebetulnya Theng Kiu tidaklah terdesak, dan memang dia sengaja main mundur dan bersikap seolah-olah terdesak. Hal ini sengaja dia lakukan untuk membuat lawan lengah. Ia hendak mempergunkan ilmu gulatnya untuk menangkan pertandingan ini. Andaikata dia menghadapi lawan lain, tentu sudah dia keluarkan sejak tadi untuk mencapai kemenangan.
Akan tetapi dia maklum bahwa Siauw Lek adalah lawan yang amat tangguh dan senjatanya yang paling ampuh dalam pertandingan tangan kosong hanya ilmu gulatnya. Kalau dia keluarkan sembarangan dan diketahui lawan, agaknya lawan akan bersikap hati-hati sehingga sukar ditangkap. Maka dia sengaja bersikap terdesak untuk menyergap lawan secara tiba-tiba selagi lawan lengah.
Pada saat Siauw Lek mengiri pukulan dengan lengan kanan dengan kuat dan cepat sekali ke arah dada Theng Kiu, pengawal berambut putih itu menggerakkan tangan menangkis, akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah tadi, tangkisannya kurang tenaga sehingga kepalan tangan Siauw Lek masih meleset dan menuju dadanya. Agaknya Theng Kiu waspada sehingga mengirangkan hati Siauw Lek yang merasa bahwa pukulannya tentu akan mengenai sasaran. Duagaannya memang tepat, kepalan tangannya menyentuh dada lawan akan tetapi tangan yang menangkisnya tadi kini tahu-tahu telah mencekal pergelangan tangannya dan tubuh lawan secara tiba-tiba merendah, membungkuk dan Siauw Lek merasa tubuhnya terlempar tinggi di udara!
Hebat sekali serangan balasan Theng Kiu ini, yang menggunakan cara melontarkan yang istimewa, yaitu meminjam tenaga pukulan Siauw Lek dan mempergunakan tubuhnya sebagai pengganjel lengan Siauw Lek yang ditangkap sebagai pengayun maka terlontarlah tubuh Siauw Lek sampai tinggi dan jauh.
Kalau bukan Siauw Lek yang sudah memiliki ginkang tinggi, berbahayalah lawan yang dilontarkan seperti ini, karena kalau terbanting dengan kepala lebih dulu tentu akan tewas seketika. Akan tetapi Siauw Lek tidak kehilangan akal. Sungguhpun tubuhnya melayang ke atas di luar kehendaknya sehingga untuk sesaat dia kehilangan keseimbangan tubuhnya, namun di udara dia sudah dapat menggerakkan tubuh dengan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Mencuat) dan di udara itu tubuhnya berpoksai (bersalto) tiga kali sehingga ketika tubuhnya melayang turun kembali, dia sudah dapat menguasai tubuhnya dan turun dengan arah terkendali, yaitu turun menukik ke arah lawan sabil mengirim pukulan dengan kedua tangan seperti gerakan seekor garuda menyambar kelinci!
Gerakan Theng Kiu ketika menangkap dan melontarkan lawan tadi memang hebat, akan tetapi gerakan Siauw Lek itu lebih indah sehingga terdengar seruan-seruan memuji. Adapun Theng Kiu yang menjadi penasaran, sudah menggeser tubuh ke belakang sehingga serangan Siauw Lek luput dan mereka kembali saling berhadapan. Siauw Lek tersenyum dan maklumlah kini dia bahwa "simpanan" lawannya adalah ilu melontarkan tubuh lawan yang menjadi sebagian daripada ilu gulat utara. Siauw Lek bukanlah seorang pemuda hijau. Dia sudah mengalami banyak pertempuran dan dia banyak tahu akan ilmu silat ini, maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk mengalahkan lawan ini dengan mencari titik kelemahan ilmu gulat! Ia tahu bahwa seorang ahli gulat, amat takut terlalu lama menangkap seorang ahli silat, takut akan pukulannya, maka begitu menangkap tentu akan dilontarkan atau di banting. Sebaliknya, seorang ahli silat biasanya bersikap hati-hati kalau melawan seorang ahli gulat, dan selalu bertanding dengan jarak jauh karena maklum akan lihainya ilmu gulat yang bukan lain adalah ilmu mencengkeram dan menangkap semacam Eng-jiauw-kang dan Kin-na-hoat.
Setelah membuat perhitungan dan mencari akal, kembali Siauw Lek menerjang maju dengan pukulan-pukulan berat.
Sekali lagi dia tertangkap, bahkan kini kedua lengannya yang ditangkap dengan beberapa kali tekukan tubuh, Siauw Lek telah diangkat dan sekali ini dia dibanting ke atas lantai.
"Bruuukkkkk!" Debu mengebul ketika tubuh Siauw Lek terbanting ke atas lantai saking kerasnya bantingan, akan tetapi tubuh Siauw Lek sudah mencelat bangun kembali, sebaliknya, tubuh Theng Kiu terguling dan tidak dapat bangun karena pada saat dia dibanting dan dilepaskan oleh cekalan tangan lawan, Siauw Lek sudah secepat kilat menggerakkan tangan mengirim pukulan sinkang yang tepat mengenai lambung Theng Kiu. Biarpun tidak sangat tepat dan keras kenanya karena posisi Siauw Lek yang sedang dibanting itu, namun karena pukulan itu mengandung sinkang dan yang terkena adalah bagian tubuh yang lemah, cukup untuk merobohkan Theng Kiu yang perutnya menjadi nyeri dan napasnya sesak! Melihat keadaan lawannya, Siauw Lek cepat menghampiri dan dengan beberapa kali totokan dan pijatan, akhirnya Theng Kiu tidak begitu menderita. Keduanya lalu berlutut di depan kaisar dan Theng Kiu berkata,
"Hamba mengaku kalah dalam bertanding tangan kosong dengan saudara Siauw Lek, Sri Baginda."
Kaisar mengangguk-angguk dan The Ho tai-caiangkun berkata, "Mereka berdua lebih lihai daripada pengawal kepala, pangkat apakah yang akan Paduka berikan kepada mereka, Sri Baginda?"
Kaisar tersenyum memandang panglima tinggi yang dahulunya merupakan sahabat seperjuangan itu, dan berkata lirih, "Aku telah mempunyai lima orang pengawal rahasia yang terdiri dari orang-orang sakti, kalau kini ditambah dua orang lagi, bukankah lebih baik, The ciangkun? Mereka hidup mewah dan bebas, akan tetapi bertugas untuk secara rahasia mengawal kaisar dengan taruhan nyawa mereka. Ingin mengenal mereka?"
Tanpa menanti jawaban panglima itu tahu pasti akan menyetujuinya, kaisar sudah memasukkan sebuah benda kecil ke mulutnya dan meniup. Terdengarlah suara melengking tinggi dan beberapa detik kemudian, baru saja kaisar menyimpan kembali benda yang ternyata semacam peluit kecil itu ke dalam saku, dari jendela, pintu, dan atas genteng melayang turun lima bayangan orang yang gerakannya cepat laksana burung-burung menyambar dan tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri lima orang laki-laki tua yang memandang kaisar, kemudian memandang ke kanan kiri penuh kewaspadaan dan persiapan.
Cui Im memandang penuh perhatian dan dengan kaget dia mengenal bahwa seorang di antara lima orang kakek itu bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong, kakek tinggi besar yang berkulit hitam arang, matanya kelihatan putih dan telinganya lebar seperti telinga gajah, di pinggangnya tergantung senjata rantai dengan kedua ujungnya terdapat tengkorak! Akan tetapi Siauw Lek lebih kaget lagi karena dia mengenal lima orang itu yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh kang-ouw, datuk-datuk dunia hitam atau golongan sesat. Yang seorang jelas adlah Pak-san Kwi-ong, tokoh nomor satu dari utara, akan tetapi yang empat orang juga merupakan tokoh-tokoh besar yang telah lama menjagoi perbatasan utara dari barat ke timur, merupakan "iblis-iblis" sepanjang Tembok Besar. Yang pertama bernama Gu Coan Kok yang terkenal dengan julukan Iblis Cebol, tingginya tidak ada satu setengah meter, akan tetapi senjatanya adalah sebatang tongkatnya yang panjangnya lebih dari ukuran tubuhnya! Orang ke dua adalah seorang yang tubuhnya tinggi besar, lebih tinggi dari Pak-san Kwi-ong sendiri, akan tetapi punggungnya bongkok, senjatanya istimewa karena senjata ini tak pernah dapat dia lepaskan, yaitu cakar baja yang telah tertanam di ujung jari tangannya, menggantikan sepuluh kuku jari yang semuanya berbisa.
Dia ini adalah Hok Ku, seorang keturunan suku bangsa Kerait dan berjuluk Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Suku bangsa Kerait adalah suku bangsa di utara yang dahulu pernah mengalami masa jaya di samping suku bangsa Nalman, bahkan sebelum suku bangsa mongol menjadi besar. Mongol pernah tunduk kepada bangsa Kerait.
Orang ke tiga bermuka putih seperti mayat, tinggi kurus dan kedua tangannya memegang pisau kecil runcing dan taja mengkilap. Dia inilah Kemutani, seorang perankan bangsa Mongol dan Han, dan biarpun senjatanya hanya pisau-pisau kecil, akan tetapi justeru senjata sederhana inilah yang membuat namanya terkenal karena selain dia seorang ahli dalam bersilat menggunakan sepasang pisau ini, juga pisau-pisau itu dapat dia lontarkan dari jarak dekat atau jauh dengan cepat dan tepat sehingga dia mendapat julukan Hui-to (Si Pisau Terbang). Orang ke empat bertubuh bulat bundar seperti bola saking gendut dan pendeknya, kedua kakinya pendek dan besar seperti kaki gajah, tubuhnya merupakan bulatan besar seperti gentong dan kepalanya merupakan bulatan kecil seperti bola. Biarpun bentuk tubuhnya lucu, akan tetapi sepak terjang Couw Seng yang berjuluk Thai-lek Sin-mo ( Iblis Sakti Bertenaga Besar) ini sama sekali tidak lucu, apalagi bagi lawannya karena dia benar-benar lihai sekali dan sukar dikalahkan.
"Ha-ha-ha, kalian berlima jangan kaget. Kami memanggil kalian bukan karena ada ancaman bahaya, melainkan hendak kami perkenankan dengan dua orang pengawal rahasia yang baru sebagai rekan-rekan kalian. Mereka berdua itulah pengawal-pengawal yang baru." Kaisar berkata sambil menuding ke arah Cui Im dan Siauw Lek.
Mendengar ucapan kaisar ini barulah sikap lima orang pengawal rahasia itu tidak tegang dan mereka tersenyum-senyum, bahkan lalu menjura penuh hormat kepada kaisar.
Hanya lima orang pengawal rahasia inilah yang dibebaskan daripada kebiasan menghormat kaisar sambil berlutut karena mereka itu setiap detik harus waspada dan menjaga kaisar secara diam-diam dan rahasia, berbeda dengan para pengawal pribadi yang seolah-olah menjadi kaki tangan kaisar, ke manapun kaisar bergerak selalu harus menjaga di samping kaisar. Adapun liam orang pengawal rahasia ini seperti bayangan kaisar, kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak, namun selalu siap untuk membela kaisar pada saat-saat diperlukan. Maka begitu kaisar meniup peluit sebagai tanda rahasia panggilan, lima orang pengawal ini muncul secara tiba-tiba. Secara bergiliran, mereka berlima ini melakukan penjagaan siang malam.
Setelah lima orang ini merasa yakin bahwa keselamatan kaisar tidak terancam, mereka memandang ke arah dua orang yang disebut pengawal baru oleh kaisar itu dan terdengarlah seruan-seruan,
"Kim-lian jai-hwa-ong....!"
"Eh, Tok-sian-li, engkaukah ini?? Benarkah bahwa Lam-hai Sin-ni telah kau...."
"Pak-san Kwi-ong, perlukah kita harus membongkar-bongkar keburukan masing-masing di hadapan yang mulia Sri Baginda Kaisar?" Cui Im membentak marah sambil menudigkan telunjuknya kepada kakek tinggi besar berkulit hitam itu. "Urusan pribadi tidak sangkut-pautnya dengan pengabdian kita kepada Sri Baginda. Atau, kalau engkau dan empat orang kawanmu ini merasa terlalu tinggi untuk bekerja sejajar dengan aku, dan merasa terlalu pandai, hemmm.... aku Ang-kiam Bu-tek akan mampu membuktikan bahwa aku dapat merobohkan kalian seorang demi seorang atau bahkan sekaligus!"
Siauw Lek juga berkata tersenyum, "Kalau Sri Baginda ynag mulia menghendaki, aku pun sanggup menghadapi mereka seorang lawan seorang!"
Kaisar malah tertawa girang mendengar ini, akan tetapi dia lalu mengangkat tangan berkata, "Pak-san Kwi-ong, dengar baik-baik perkataan kami. Kami telah menguji Ang-kiam Bu-tek dan Siauw Lek dan kami memutuskan untuk mengangkat mereka berdua ini menjadi pengawal rahasia di samping kalian berlima. Karena itu, perintahku pertama kepada kalian bertujuh adalah agar kalian jangan membuat ribut sendiri dengan urusan pribadi kalian yang tak ingin kudengar. Nah, Pak-san Kwi-ong, ajaklah mereka berdua ini yang sekarang menjadi rekan-rekanmu ke dalam dan boleh kalian bercakap-cakap di sana, jangan datang kalau tidak kupanggil!"
Lima orang pengawal rahasia itu membungkuk, demikian pula Cui Im dan Siauw Lek yang sudah cepat dapat menyesuaikan diri, kemudian kedua orang baru ini berlalu mengikuti lima orang pengawal rahasia, tidak canggung-canggung lagi dan gerakan mereka bertujuh amat cepat tanpa mengeluarkan suara seolah-olah pribadi kaisar dilindungi oleh tujuh setan.
Setelah mereka bertujuh pergi, kaisar tertawa dan melanjutkan perundingannya dengan Laksamana The Ho dan Ma Huan, membicarakan rencana kaisar untuk mengirim barisan di bawah pimpinan The Ho ke selatan, memjelajah negeri-negeri di seberang lautan.
Adapun di sebelah dalam istana, di tempat rahasia, Cui Im berkata kepada Pak-san Kwi-ong yang oleh kaisar disebut Pak-san-kwi (Setan Pegunungan Utara) dan dihilangkan "ong" atau rajanya.
"Kwi-ong, kita harus mentaati perintah kaisar dan ingatlah engkau bahwa aku bukanlah Ang-kiam Tok-sian-li murid Lam-hai Sin-ni seperti dulu lagi. Aku adalah Ang-kiam Bu-tek, pewaris harta peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan tentang kepandaianku, ingat saja bahwa Lam-hai sin-ni juga roboh dan tewas di tanganku. Kalau kalian berlima menghendaki kerja sama dengan aku untuk mengawasi kaisar, baik sekali. Akan tetapi kalau kalian berlima hendak bertengkar dan menentangku, aku akan membunuh kalian dengan bantuan Kim-lian Jai-hwa-ong dan terpaksa kita semua tidak akan dapat mempertahankan kedudukan kita di sini. Mana yang kau pilih?"
Pak-san Kwi-ong yang dianggap paling sakti di antara teman-temannya, tertawa dan berkata, "Ang-kiam, sebelum engkau muncul aku sudah menjadi pengawal, tentu saja aku akan selalu mentaati perintah kaisar. Sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepadamu, akan tetapi selama engkau diterima oleh kaisar sebagai pengawal rahasia, engkau akan kuanggpap sebagai rekan dan kawan, demikian pula Jai-hwa-ong ini."
Demikianlah, mulai saat itu, Cui Im dan Siauw Lek menjadi pengawal-pengawal rahasia kaisar yang berarti bahwa mereka merupakan dua orang di antara pengawal-pengawal yang paling tinggi kedudukannya, merupakan jagoan-jagoan istana yang disegani dan ditakuti orang lain, kecuali kaisar sendiri. Bahkan pembesar-pembesar istana yang berpangkat tinggi sekalipun segan terhadap pengawal-pengawal rahasia ini karena mereka semua maklum bahwa apabila ada orang yang tidak setia kepada kaisar, apalagi yang berniat memberontak, tentu akan didatangi oleh pengawal-pengawal rahasia yang sakti ini dan menerima hukuman! Adanya tujuh orang pengawal rahasia yang kesemuanya terdiri dari bekas-bekas tokoh besar kaum sesat, membuktikan bahwa Kaisar Yung Lo memang pandai mempergunakan orang dan memanfaatkan kepandaian mereka, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam. Dan segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw bahwa tujuh orang tokoh besar itu menghambakan diri di istana, maka hal ini sudah cukup membuat gentar hati setiap orang yang berniat memberontak. ***
Biauw Eng bersama Lai Sek tiba di kota raja, sesuai dengan permintaan Lai Sek yang mengajak Biauw Eng mengunjungi sahabatnya yang menjadi orang berpangkat di kota raja untuk minta bantuan sahabatnya agar mereka berdua dapat menjadi suami isteri dan dapat bekerja di kota raja, hidup dengan tenteram. Atas petunjuk Lai Sek yang sudah tak dapat melihat lagi itu, dengan mudah Biauw Eng menemukan sahabat yang dicari. Sahabat Lai Sek ini ternyata telah menduduki pangkat tinggi, mendapat pangkat mengepalai pembangunan istana-istana di kota raja. Pangkat ini amat tinggi dan juga menjadi sumber korupsi karena semenjak jaman itu pun, pembangunan atau usaha pemerintah apa saja yang ada hubungannya dengan keuangan, baik penerimaan maupun pengeluaran uang, selalu menjadi sumber perbuatan korupsi. Ang Joan Ti, sahabat Sim Lai Sek itu, kini disebut orang Ang-taijin (pembesar Ang) dan menjadi bahan penjilatan dari lidah banyak orang yang menginginkan rejeki dalam usaha pembangunan besar-besaran di kota raja.
Dahulu Ang Joan Ti adalah seorang sahabat ayah Sim Lai Sek, dan masih menjadi pelajar kesusastraan yang tekun dari kota Liok-keng. Setelah dia menjdi pembesar yang selalu naik pengkat berkat ketekunan dan kecerdikannya, mulailah terjadi perubahan besar pada pribadi dan watak Ang Joan Ti. Dahulu, sebagai seorang pelajar miskin yang semenjak kecil selalu menderita kekurangan, Joan Ti berwatak sederhana, tidak banyak keinginan kecuali memperdalam pelajarannya dan kelak dapat menduduki pangkat sebagaimana dicita-citakan semua orang pada waktu itu. Memang, pada waktu itu, hidup yang terhormat, kaya raya atau setidaknya layak, hanya dapat dicapai oleh orang yang menjadi pegawai pemerimtah. Kecuali beberapa orang tuan tanah dan pedagang yang sudah terlahir kaya, maka seluruh rakyat yang tidak menjadi pegawai pemerintah hanyalah petani-petani miskin.
Setelah Joan Ti lulus ujian dan mendapat pangkat, yang mula-mula kecil di kota raja namun berkat kecerdikannya makin meningkat sampai sekarang ini. Ang Joan Ti menjadi mabuk kekayaan, mabuk kemuliaan dan mabuk kemewahan.
Karena disanjung banyak orang dan pejabat rendahan yang menjilat-jilatnya agar kebagian rejeki, diangkat-angkat dan dipuji-puji, timbullah sifat sombong pada diri bekas orang dusun miskin yang tadinya amat sederhana dan rendah hati ini. Puji-pujian membuat dia seperti sebuah balon melayang-layang ke atas tiada puas dan batas, tidak sadar bahwa sewaktu-waktu dapat meletus dan lenyap. Kedudukan yang mulia, kemewahan yang berlebihan membuat dia terikat lebih kuat kepada kesenangan dunia, membuat dia lupa bahwa kesenangan dunia tidak ada yang bertahan lama.
Yang paling cepat menjerumuskan Joan Ti sehingga menjadi berubah batinnya terutama sekali adalah pejabat bawahannya. Dalam usaha mereka menjilat dan menyenangkan hati Ang-taijin ini, bermacam-macamlah akal mereka untuk dipergunakan sebagai sogokan atau suapan. Karena pembesar ini sendiri sudah kaya raya sehingga penyuapan-penyuapan berupa harta benda takkan mengguncangkan hatinya, maka mulailah mereka itu mempergunakan alat lain, dan di antaranya adalah wanita-wanita cantik! Di waktu mudanya, Joan Ti bukan tergolong seorang yang mata keranjang atau gila wanita, akan tetapi semenjak dia "dilolohi" wanita-wanita cantik oleh para penjilatnya, maka hal ini merupakan kesenanagn baru yang segera mencengkeramnya. Nafsu harus dikekang, kalau dituruti akan menjadi binal seperti kuda liar, dan akan menyeret manusia ke dalam jurang.
Mula-mula Ang-taijin hanya menerima penyuapan berupa gadis cantik ini sebagai iseng-iseng belaka, akan tetapi dia lupa bahwa segala maksiat di dunia ini dimulai dengan iseng-iseng seperti juga api dimulai dengna bunga api yang akan menyala menjadi kebakaran besar. Iseng-iseng yang makin lama akan menjadi "hobby", akan menjadi ketagihan dan pada waktu itu, Ang-taijin terkenal sebagai seorang yang haus akan wanita cantik! Dan bagi seorang berkedudukan seperti dia, cadangan untuk korbannya tidak pernah surut, para penjilatnya dengan senang hati akan selalu menyediakan cadangan baru! Ang-taijin tinggal menunjuk saja kalau melihat wanita cantik dan para penjilat serta kaki tangannya akan berusaha sekuat tenaga, secara halus maupun kasar, untuk mendapatkan wanita cantik itu, baik dia bersuami atau masih gadis. Dan seorang yang sudah menjadi hamba nafsu berahi tidak lagi memiliki perasaan cinta kasih yang murni. Rasa cinta kasihnya sudah hambar dan setiap orang wanita yang berhasil didapatkan, dalam waktu satu dua bulan saja sudah membosankan baginya dan harus diganti yang baru. Wanita bagi seorang penghamba nafsu seperti Ang Joan Ti tiada lebih hanya sebagai benda yang akan membosankan setelah dipakai dan perlu diganti yang baru.
Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek denga kening berkerut, tidak senang hatinya harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah. Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertenu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apalagi tampak menonjol kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan membayangkan kehangatan dan kekuatan!
"Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata... Eh, mengapa matamu....?"
Sim Lai Sek tersenyum setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, "saya tidak lagi dapat melihat Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit.... dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya."
Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tidak akan mendatangkan untung baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, melainkan Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya! Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,
"Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan... Eh, siapakah adik ini?" Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut "siauw moi",. Menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya.
Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya mebisikkan bahwa laki-laki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka akan tetapi demi Lai Sek, ia diam saja.
"Maaf, Paman Ang, saya lupa meperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya."
"Tun... Tunanganmu...?" Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena dia benar-benar merasa kaget dan heran.
"Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya."
"Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!"
Lai Sek tersenyum, hatinya girang sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata, "Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang."
Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih, "Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin."
"Ah, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa girang sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kauperlukan?" Biarpun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.
"Kami berdua mohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membagun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha untuk menyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakilli kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami."
“Eh, jadi kalian belum menikah, jadi..... eh, belum.... belum berhubungan sebagai suami isteri?" tanya pembesar itu dengan hati girang sekali sungguhpun mata jalangnya sebagai seorang laki-laki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis.
Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, menekan perasaan marahnya. Adapun Lai Sek lalu menjawab malu, "Belum, Paman. Kami belum menikah..."
"Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal lebih dulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja kalau sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian."
"Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!" Lai Sek menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng.
Biauw Eng mengangkat mukanya dan bertemulah pandang mata mereka. Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong. Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja ia tidak menjadi gentar dan mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu mau bisa berbuat apakah terhadap dirinya?
Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Ia menganggap bahwa senyum itu merupakan "janji" dan "kode" dari si gadis bahwa dia telah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi. Dua orang pelayan wanita datang berlari dan Ang-taijin segera berkata,
"Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!"
"Baik, Taijin," jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah! Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Sebagai seorang pembosan, penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya sebuah kamar yang besar yang tidak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apalagi di waktu malam.
Namun nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tidak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suainya itu adalah "biasa" bagi seorang pembesar.
Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, dan baru meninggalkan pemuda ini setelah pelayan meyakinkan hatinya bahwa seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Ia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam ia kagum sekalli menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya.
Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek maupun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tidak enak dan dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri. "Ah, mana boleh, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita."
Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ. Malam itu selagi ia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya, dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.
Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu siap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi ia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu dan membukakan daun pintu. Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.
"Taijin mau ..... apakah....? Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu ia dapat menduga maksud kedatangan orang ini.
Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata, "Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!!"
Biarpun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.
"Nah, baru sekarang aku dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauw-moi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajaku makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, dan kusuguhkan arak untukmu!"
"Taijin, ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!"
"Heh heh heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm......hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh......kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah....!" Pembesar itu mendekat akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.
"Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimanan aku sudi berbuat serong? Aku bukan perempuan macam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku."
Ang Taijin tertawa. "Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu aku lebih suka kepadaku daripada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya......!"
"Cukup!!" Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusuk kan jari-jari tangannya ke permukaan meja.
"Plongggg!!" Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.
"Taijin aku dapat mengusai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang,. Pergilah!"
"Aihhh.....kiranya engkau pandai silat. Hemm..tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tidak akan mengganggumu kalau engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andaikata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku , bukan? Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang.
Biauw Eng sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia berkata, "Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!"
Pembesar itu menghela napas dan pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin, ia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudia meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tangah.
Di ruangan ini, Ang Taijin bicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.
"Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan, sekali tusuk dengan jari tangan ia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa denga kekerasan?" terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.
"Mengapa mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya,"
"Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka mendapatkan wanita denga kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm......!"
"Begini, Taijin....." Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu , berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, sedangkan pembesar itu mengerutkan kening, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum.
Biauw Eng tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, ia tidak khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri. Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek. Biarpun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena kedua matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya. Melihat hidangan yang masih panas dan ternyata merupakan masakan-masakan yang lezat , ia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak sambil kadang-kadang tersenyum mengenangkan sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan.
Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau. Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang amat keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu berahinya.
Tiga malam berturut-turut setelah kejadian itu, Biauw Eng tidak perbah diganggu dan ia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jerih oleh ancamannya, maka ia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan. Akan tetapi pada suatu pagi di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibukadari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.
"Celaka, Siocia.....celaka...... ah, mengerikan sekali....!"
"Apa yang terjadi?" Biauw Eng bertanya, masih tenang.
"Sim-kongcu.....dia.....dia membunuh diri di kamarnya....!"
Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ ia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai. Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak.
Mereka semua memandangnya ketika ia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung ia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang kini menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas.
Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar telah tewas. Ia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan ia mengenal tulisan Lai Sek.
Eng-moi,
Aku maklum bahwa seorang pemuda tak berharga seperti aku hanya akan menjadi pengahlang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Maka, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.
Selamat tinggal, Sim Lai Sek
"Ah, Twako....!" Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan dan kedukaan hatinya. Ia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu. Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu. Jelas kini tampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Ia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Ia tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun!
Cepat ia memeriksa luka di perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas! Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua tiga kali ia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisan, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi..... tiba-tiba wajahnya berubah. Tulisan yang berbunyi
"di samping seorang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu" amat menarik perhatiannya. Lai Sek mengerti bahwa satu-satunya orang yang ia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatangkara yang miskin.
Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?
"Aduh...., Siauw-moi.... ah, kaihan sekali Lai Sek....! Ah, bagaimana bisa terjadi malapetaka ini...?" Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini ketika hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat ia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, memandang pembesar itu dengan mata basah akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya ia bertanya cepat,
"Taijin, aku ... Aku tidak mengerti.... apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?"
"Masa engkau tidak mengerti, Siauw-moi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah karena merasa takkan mapu membahagiakan engkau.... maka, sudahlah jangan berduka, Siauw-moi, di sini ada aku yang...." Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu mmenjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.
"Bagaimana engkau bisa mengetahui isi suratnya??" Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.
"Aku... Aku sudah membacanya...." Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.
"Engkau baru datang bagaimana bisa mebacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, melainkan mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau.. pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semua ini, keparat!" Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.
"Jangan.... eh, tolooongg..!"
Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang, cepat menengahi dan berkata, "Nona, bersabarlah.... dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin...."
"Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikan!" Tangan kirinya menyambar dan ia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.
"Prokkk!" Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah dan pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika. Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.
“Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap...!" Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keaaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, adapun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.
Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang oleh si hidung bengkok sengaja di undang untuk menghadapi Biauw Eng. Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu meiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasihatnya.
Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin dan melemparkan mayatnya kepada mereka, seorang di antara mereka menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.
"Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu?" Biauw Eng berseru, mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, kemudian sambil bercucuran air mata gadis ini mengamuk, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Adapun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan terjadi dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat.
Dalam deretan tingkat para pengawal istana, pengawal pribadi rahasia tentu saja menduduki tingkat pertama, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Adapun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw, adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi dibandingkan dengan Biauw Eng, tentu saja mereka masih kalah jauh.
Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biarpun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-ciio Ngo-houw sehingga jumlah mayat di dalam kamar itu bertambah menjadi enam!
Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah menyerbu. Kota raja menjadi geger ketika mendengar bahwa seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya.
Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi makin marah, akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika ia berkata,
"Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu. Biauw Eng maklum bahwa untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang, amatlah berbahaya kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas.
Apa yang dikatakan Biauw eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum ia meninggalkan kamar maut itu terjadilah. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu dan para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung, akan tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini. Ruangan yang kuas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat menyeramkan, banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua pulah orang banyaknya!
Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka ia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada seorang pengeroyok dan begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh. Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang daripada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri.
Tidak perlu lagi ia mengamuk, kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat ia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang makin banyak berdatangan itu.
Sabuk sutera di tangan Biauw Eng memang merupakan senjatanya yang khusus dan kalau tadi ketika memegang pedang Biauw Eng dapat diumpamakan seekor harimau marah, kini memegang sabuk suteranya dia seperti harimau yang tumbuh sayap! Dengan membuka jalan berdarah ia berhasil keluar sambil terus mengamuk sampai di luar gedung, di mana telah menanti banyak penjaga keamanan yang terus mengurungnya. Namun Biauw Eng mengamuk terus, kini tidak lagi mengamuk untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya karena kematian Lai Sek, melainkan mengamuk untuk menyelematkan diri. Sabuk sutera putih itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung melindungi tubuhnya sehingga senjata para pengeroyoknya tidak ada yang dapat menyentuhnya, bahkan sekali-kali kalau ada pengeroyok yang kurang hati-hati, senjatanya akan terlibat ujung sabuk dan terampas, dilemparkan sampai jauh. Para pengeroyok berteriak-teriak saling menganjurkan kawan, dan biarpun mereka tidak mampu merobohkan Biauw Eng, sedikitnya mereka berhasil mengurung rapat sehingga sukarlah bagi Biauw Eng untuk dapat meloloskan diri.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring suara wanita, "Semua mundur! Biarkan aku menangkap dia!"
Para pengeroyok menengok dan ketika melihat bahwa yang membentak adalah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki tampan, keduanya menunggang kuda, dan sama sekali tidak mereka kenal, para pengeroyok tidak mau ambil peduli. Akan tetapi tiba-tiba seorang perwira pengawal luar istana yang mengenal dua orang ini cepat memberi aba-aba,
"Semua pasukan mundur!" Aba-aba ini tentu saja ditaati oleh semua pengeroyok yang menjadi terheran-heran dan terbukalah jalan yang lebar sehingga Biauw Eng kini berhadapan dengan dua orang penunggang kuda itu. Wajah Biauw Eng menjadi merah, matanya mengeluarkan sinar berapi saking marah dan bencinya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Bhe Cui Im dan laki-laki itu adalah Siauw Lek!
Tujuh orang pengawal rahasia kaisar mengatur penjagaan secara bergiliran maka terbukalah kesempatan bagi Cui Im dan Siauw Lek di waktu bebas tugas untuk berjalan-jalan. Pagi hari itu mereka berdua juga sedang bebas tugas, maka dengan menunggang kuda mereka jalan-jalan di kota raja dan kebetulan sekali mereka mendengar berita akan mengamuknya seorang gadis di gedung pembesar Ang. Karena mereka ingin menonjolkan jasa, cepat mereka mendatangi tempat itu dan ketika mereka melihat bahwa yang mengamuk adalah Biauw Eng, Cui Im terkejut dan cepat menyuruh para pengeroyok mundur.
Biauw Eng berdiri dengan sabuk sutera di tangan, maklum bahwa ia berada dalam cengkeraman bahaya maut, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Dan sesunguhnya, apa sih artinya kematian baginya? Dia tadinya telah merupakan seorang yang hampir mati, hanya karena kenekatan dan pembelaan Sim Lai Sek yang mencintanya dan yang mengorbankan matanya maka ia masih hidup sampai sekarang.
Dia adalah seorang manusia yang seolah-olah hidup kembali dari kematian, hidup untuk kedua kalinya yang sedianya akan ia lewatkan untuk membalas budi Lai Sek. Hidupnya yang pertama telah lenyap dan mati bersama.... nama Keng Hong. Hidupnya yang kedua pun kini tidak ada artinya lagi setelah Lai Sek mati. Mengapa ia takut menghadapi kematian? Hatinya menjadi dingin sekali dan ia menghadap Cui Im dengan senyum dingin yang membuat Cui Im meremang bulu tengkukunya. Melihat bekas sumoinya itu dalam keadaan seperti itu, pakaianya banyak yang robek dalam pertempuran tadi, rambutnya kusut dan mukanya membayangkan kedukaan besar, melihat mulut yang tersenyum dingin, tiba-tiba Cui Im teringat akan perhubungan antara mereka di waktu kecil. Tanpa turun dari kudanya ia berkata,
"Biauw Eng, engkau telah terlalu banyak menderita. Biarlah mengingat hubungan lama, aku akan mengampunimu asal engkau suka menyerah. Aku yang akan mengusahakan agar perkaramu di sini diperiksa dan engkau akan mendapat hukuman ringan."
Makin dingin senyum Biauw Eng ketika bibirnya merekah makin lebar. "Bhe Cui Im, aku tidak butuh pengampunanmu, dan kalau engkau hendak membunuhku, coba majulah. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah takut kepadamu, perempuan durhaka, murtad dan khianat. Kalau aku tidak dapat membunuhmu saat ini, lebih baik aku mati di tanganmu!"
Wajah Cui Im menjadi merah sekali. "Perempuan rendah! Tak tahu kebaikan orang! Mampuslah!" Tiba-tiba tubuhnya mencelat dari atas kuda dan berubah enjadi sinar merah karena dalam kemarahannya, Cui Im mencabut pedang merahnya dan sabil meloncat itu, ia menerjang dan menyerang dengan pedangnya dengan gerakan yang hebat dan dahsyat luar biasa!
Silau juga mata Biuaw Eng menyaksikan gulungan sinar pedang yang menerjangnya itu. Kedukaan karena kematian Lai Sek ditambah pertandingan ketika ia dikeroyok mebuat tubuhnya lemah dan lemas.
Akan tetapi semangatnya bangkit ketika ia melihat Cui Im, musuh besar yang membunuh ibunya. Biarpun ia maklum bahwa dia bukan tandingan Cui Im yang sekarang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, namun ia tidak gentar dan cepat sabuk suteranya bergerak mengeluarkan suara meledak ketika ia menyambut terjangan Cui Im.
"Cring.... Brettttt!" Biauw Eng terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika pertemuan sabuknya dengan sinar merah membuat sabuknya terbabat putus ujungnya!
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, bersiaplah untuk mampus!" Cui Im mengejek dan menyerang lagi, pedangnya yang berubah gulungan sinar merah itu mengeluarkan suara berdesing-desing. Cui Im sengaja mengerahkan tenaga dan kepandaiannya setiap kali Biauw Eng menangkis, sabuknya menjadi putus. Sampai enam kali sabuknya terbabat putus sehingga tinggal satu kaki panjangnya. Ia terpaksa membuang sabuknya itu dan tangan kirinya bergerak melepas senjata rahasia bola-bola putih berduri.
Akan tetapi Cui Im tertawa dan dengan mudahnya ia membabat dengan pedangnya sambil mendesak. Bola-bola itu terpukul runtuh dan sinar pedang terus mengejar Biauw Eng. Melihat datangnya tusukan ke dadanya, Biauw Eng berlaku nekat dan hendak mengadu nyawa. Biar ia mati asal ia dapat membawa serta nyawa Cui Im! Ia sengaja bergerak lambat dan tiba-tiba ia mendoyongkan tubuh ke kiri, mengepit pedang lawan di bawah ketiak kanan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut Cui Im! Gerakan tiba-tiba ini biarpun membahayakan dirinya sendiri akan tetapi sekali tangannya berhasil mencengkeram perut, tentu perut itu akan pecah!
"Setan!" Cui Im mendengus kaget, terpaksa menjatuhkan tubuh ke kiri, melepaskan gagang pedangnya dan rabutnya menyambar ke depan menotok ke arah leher Biauw Eng! Gadis ini miringkan tubuh, akan tetapi ujung rambut masih menampar pundaknya, membuat ia terhuyung ke belakang.
Akan tetapi Biauw Eng sudah melepaskan kempitan pedang merah dan kini ia menyambar gagang pedang itu. Pada detik berikutnya, tangannya yang memegang pedang itu ditendang Cui Im dengan cara menendang yang sama sekali tidak tersangka-sangka. Tubuh Biauw Eng yang masih terhuyung itu kehilangan keseimbangan, pedang rampasannya mencelat dan ia pun terguling. Sambil tertawa-tawa Cui Im yang berkepandaian luar biasa itu telah menyambar kembali pedangnya, kemudian dengan langkah perkahan dan pedang ditodongkan ia menghampiri Biauw Eng yang masih nanar oleh tamparan rambut Cui Im.
Sinar merah berkelabat cepat sekali, membuat sinar kilat di depan mata Biauw Eng yang sukar mengikuti ke mana pedang hendak menyerang dan gadis ini yang merasa tak mungkin dapat menyelamatkan diri, hanya memandang sambil tersenyum dingin penuh ejekan. Pedang merah menusuk ke arah dada Biauw Eng secepat kilat!
"Tranggggg....!"
"Aiiihhhhh....!" Cui Im kaget bukan main karena pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Cepat ia meloncat ke belakang dan dengan mata terbelalak ia melihat bahwa yang menangkisnya adalah Keng Hong yang menggunakan Pedang Kayu Harum!
Dengan sikap tenang namun cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar tubuh Biauw Eng yang setengah pingsan, kemudian sejenak matanya bagaikan dua ujung pedang menembus jantung Cui Im ketika dia memandang wanita itu sambil berkata,
"Cui Im, perempuan sejahat-jahatnya perempuan! Tak boleh engkau mengganggu seujung rambut pun dari wanita yang kucinta sepenuh jiwaku!" Setelah berkata demikian, menggunakan kesempatan selagi semua orang terbelalak heran dan kaget, tubuhnya meloncat tinggi melampaui kepala orang ke atas genteng, memondong tubuh Biauw Eng yang sudah pingsan ketika mendengar ucapan Keng Hong tadi.
"Keng Hong, manusia menjemukan! Kejar! Tangkap!" Cui Im menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar merah dari senjata rahasia jarumnya menyambar ke arah tubuh Keng Hong yang masih melayang. Namun dengan menggerakkan tangan kanan yang memegang Siang-bhok-kiam, hanya dengan angin sambaran pedang ini saja sudah cukup membuat sinar merah jarum-jarum itu lenyap karena jarum-jarumnya runtuh ke bawah. Sebelum Cui Im sempat menyerang lagi, Keng Hong telah menghilang di balik wuwungan istana. Kemudian pemuda perkasa ini mengerahkan seluruh ginkangnya berloncatan dari rumah ke rumah sampai berhasil keluar dari kota raja.
Cui Im meloncat ke atas genteng mengejar, disusul oleh Siauw Lek, namun mereka berdua tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Keng Hong sehingga jauh sebelum Keng Hong keluar dari kota raja, mereka berdua sudah kehilangan jejaknya. Terpaksa Cui Im dan Siauw Lek jejaknya. Terpaksa Cui Im dan Siauw Lek kembali ke tempat tadi dengan sikap murung, apalagi Cui Im yang menjadi gelisah setelah melihat munculnya Keng Hong yang ia tahu merupakan satu-satunya orang yang berbahaya dan terlalu lihai baginya. Baru tangkisan tadi saja sudah membuktikan bahwa Keng Hong benar-benar amat lihai, memiliki sinkang yang tak terlawan, kemudian gerakan Keng Hong ketika melarikan diri juga jelas membuktikan keunggulannya.
"Mulai sekarang kita harus berhati-hati. Sebelum manusia itu dapat kubunuh, hidup ini tidak tenteram bagiku," kata Cui Im kepada Siauw Lek yang sudah mendengar dari Cui Im tentang diri murid Sin-jiu Kiam-ong itu.
"Mengapa khawatir?" katanya memandang rendah. "Dengan kepandaian kita berdua, belum tentu kita kalah olehnya. Apalagi di sana ada lima orang rekan kita yang berilmu tinggi."
"Phuhhh! Apa kaukira manusia macam Pak-san Kwi-ong dan yang lain-lain itu akan suka membantu aku?"
"Kalau kita menggunakan akal sehingga Keng Hong dianggap berbahaya untuk istana, tentu saja mereka mau tak mau membantu kita menghadapi Keng Hong. Kalau kita bertujuh sudah maju mengeroyoknya, biar Keng Hong mepunyai kepala tiga dan lengan enam, masa kita tidak mampu membinasakannya?"
Ucapan Siauw Lek itu sedikit banyak menghibur hati Cui Im, akan tetapi wanita ini maklum bahwa mulai saat itu, ia tidak akan dapat menikmati makan lezat tidur nyenyak lagi.
***
"Mengapa..... mengapa engkau menolongku?"
Pertanyaan lirih sebagai kata-kata pertama yang keluar dari mulut Biauw Eng ini membuat Keng Hong terharu. Ia hanya memandang ketika gadis itu yang siuman dari pingsannya bergerak perlahan, bangkit dan duduk menyadarkan tubuhnya yang masih lemas itu ke batang pohon. Wajah itu pucat, rambut yang kusut itu sebagian menutupi muka, bibirnya agak menggigil ketika bertanya dan matanya yang memandang wajah Keng Hong benar-benar merupakan ujung pedang yang menikam jantung bagi Keng Hong.
"Mengapa... Mengapa engkau menolongku? Mengapa tidak kaubiarkan saja aku mati agar tidak memperpanjang penderitaan hidupku?" Kembali Biauw Eng bertanya dan kini dua butir air amta membasahi kedua pipi yang pucat.
"Biauw Eng, masihkah engkau bertanya lagi dan haruskah aku menjawabnya? Engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat membiarkan engkau terancam bahaya, apalagi ditangan Cui Im yang jahat. Engkau mengerti bahwa aku .... Aku mencintamu..."
"Ahhh.... Jangan sebut-sebut lagi hal itu....," Suara Biauw Eng terisak.
Keng Hong menghela napas. "Aku mengerti bahwa aku tidak berhak mengatakan hal itu karena engkau telah menjatuhkan pilihan hatimu kepada Sim Lai Sek. Seharusnya aku mengubur cinta kasihku di dalam hati ynag terluka.... Ah, sudahlah, memang benar bahwa kita tidak boleh lagi bicara tentnag itu. Di manakah dia? Di mana Sm Lai Sek?"
Dengan air mata masih berlinang, pandang mata kosong dan suara menggetar Biauw Eng menjawab lirih, "Dia... dia telah mati..."
Hampir saja Keng Hong meloncat saking kagetnya. "Heh....?? Mengapa, bagaimana....?"
"Itulah sebabnya aku mengamuk di kota raja, tidak menyangka bahwa Cui Im juga berada di kota raja." Dengan singkat, dengan suara pilu Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya kepada Keng Hong. Semenjak ibunya dibunuh Cui Im dan Siauw Lek, kemudian betapa ia terancam maut oleh racun Cui Im dan betapa Lai Sek menyelamatkan nyawanya dengan mengorbankan kedua matanya. Biauw Eng menceritakan ini sambil bercururan air mata. "Setelah menerima budi dan cinta kasihnya yang begitu suci murni, dapatkah aku menolaknya? Dapatkah aku meninggalkannya?"
Keng Hong merasa terpukul. Bagaikan ditusukkan ke dalam matanya cinta kasih yang sedemikian besar dan murninya! Mengertilah dia kini mengapa Biauw Eng memaksa diri mendampingi Lai Sek dalam hal ini kembali menjadi bukti betapa kuat batin gadis ini yang rela mengorbankan perasaannya sendiri demi membalas budi orang! Alangkah mulia hati gadis ini. Jauh bedanya dengan Cui Im, bagikan bumi dengan langit. Dan masih jauh bedanya dengan dia sendiri! Mengingat akan hal ini, mukanya menjadi merah dan dia berkata,
"Lalu bagaimana, Biauw Eng? Bagaimana kalian bisa sampai di kota raja dan siapa yang membunuh Lai Sek?"
Biauw Eng melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya di kota raja. Ketika menceritakan ini, matanya berapi dan ia menutup ceritanya dengan kata-kata duka.
"Sungguh menyedikan nasib yang menderita Sim-twako. Akan tetapi aku telah berhasil membalaskan sakit hatinya! Aku sudah puas, dan andaikata aku mati di tangan Cui Im sekalipun, sakit hati Sim-twako telah terbalas. Sayang..... kematian ibuku kiranya tak mungkin akan dapat kubalas, Cui Im terlalu lihai untukku...."
Diam-diam ada rasa girang yang luar biasa di Keng Hong, rasa girang yang membuat dia malu dan merasa berdosa. Mengapa dia bergirang hati mendengar kematian Lai Sek? Ia tidak mengaharapkan hal ini terjadi, akan tetapi hal itu terjadi di luar harapan dan pengetahuannya. Betapapun juga, sudah menjadi kenyataan bahwa Lai Sek telah tewas dan hal ini berarti bahwa Biauw Eng telah bebas! Bebas hatinya, dan dahulu gadis ini amat mencintanya!
"Biauw Eng...., mengapa engkau berduka akan hal itu? Engkau tahu bahwa aku selalu siap membantumu menghadapi Cui Im, bukan hanya untuk membalaskan sakit hatimu, juga membalaskan sakit hati ibumu, juga membalaskan segala perbuatan kejinya terhadap dirimu, betapa ia dahulu berusaha merusak namamu. Kemudian, ia malah mencuri kitab-kitab pusaka suhu. Antara dia dan aku terdapat perhitungan besar. Biauw Eng, marilah kita bersama menghadapinya dan percayalah mulai saat ini, aku tidak akan membiarkan engkau diganggu orang, tidak akan membolehkan engkau hidup menderita dan berduka, tidak akan membiarkan engkau terpisah lagi dari sampingku Biauw eng, engkau tentu maklum betapa sesungguhnya selama ini aku mencintamu, semenjak kita berjumpa. Betapa bodoh dan aku tolol aku dahulu, tidak dapat menghargai cinta kasih seorang gadis sepertimu. Engkau maafkan semua kesalahan-kesalahanku yang lalu, Biauw eng dan aku bersumpah bahwa semenjak saat ini aku Cia Keng Hong akan mencintamu dengan selalu jiwa ragaku..."
Biauw Eng mengeleng-geleng kepala lirih, air matanya mengucur lagi ketika berkata lirih, "Terlambat, Keng Hong.... terlambat sudah...."
Keng Hong memandang kaget dengan penuh kekhawatiran. "Apa maksudmu? Telambat bagaimana, Biauw Eng?" Ia menjadi tegang dan tanpa disadarinya dia memegang kedua tangan gadis itu yang terasa dingin sekali.
Biauw Eng menunduk, membiarkan tangannya di pegang. Diam-diam ia merasa betapa dari kedua tangan pemuda yang menggenggam tangannya itu keluar getaran hangat yang menyentuh hatinya, yang mendatangkan rasa bahagia, tenteram dan aman, seolah-olah dalam kelelahan yang hebat tiba-tiba mendapatkan sandaran yang melindungi.
"Terlambat... " Ia memaksa mulutnya bicara lirih. "Engkau pun tahu bahwa sejak dahulu, cintaku hanya untukmu, jiwaku adalah milikmu, akan tetapi tubuhku.... telah ku serahkan kepada Sim Lai Sek, jasmaniku telah menjadi milik mendiang Sim Lai Sek..." Tiba-tiba kedua tangan Keng Hong yang memegang tangan gadis itu terlepas dan seluruh tubuh pemuda itu menjadi lemas, seluruh tubuh pemuda itu menjadi lemas, pandang matanya penuh penasaran ditujukan kepada Biauw Eng, hatinya dibakar cemburu dan dia lalu bangkit berdiri dengan gerakan kasar.
"Biauw Eng ! Sungguh tidak kusangka.. seorang gadis seperti engkau mudah saja menyerahkan diri kepada orang yang belum menjadi suamimu. Ah... Semua perempuan sama saja di dunia ini.... lemah dan mudah dibujuk nafsu....! Engkau perempuan murah...! Biauw Eng juga bangkit berdiri, tidak kasar seperti Keng Hong, melainkan berdiri perlahan, pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah pemuda itu, kemudian ia berkata, suaranya tidak selemah tadi, melainkan tegas dan nyaring mengaandung kemarahan yang ditahan-tahan,
"Sudah kuduga bahwa cintamu kepadaku hanyalah cinta nafsu belaka, dan hanya tubuhku yang kau cinta, maka kini begitu mendengar bahwa tubuhku telah dimiliki pria lain, engkau menjadi kecewa dan marah! Cia Keng Hong, aku tadi hanya ingin mengujimu, sebelum aku mengambil keputusan dan ternyata bahwa aku mengambil keputusan untuk tidak sudi di sampingmu! Dahulu, setiap hari aku menangisimu, setiap hari bersembahyang untukmu akan tetapi ternyata bahwa pria yang kucinta sepenuh jiwaku, hanyalah seorang laki-laki yang diperhamba nafsu. Aku bukan seperti engkau, Keng Hong, aku tidak pernah tergelincir digoda nafsu, dan mendiang Sim Lai Sek adalah seorang pria yang tahu menghormati wanita, tidak sepertu engkau...." Teringat akan Lai Sek, kembali Biauw Eng menangis. Ucapan itu bagaikan cengkeraman maut yang mencabut semangat dari tubuh Keng Hong. Tahulah dia Biauw Eng hanya mengujinya dan dia yang diuji telah jatuh! Hatinya menjadi gelisah, rasa takut akan kehilangan gadis yang sungguh-sungguh dicintanya ini membuat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng dengan kedua kaki lemas!
"Ah, ampunkan aku, Biauw Eng..., ah, betapa bodohku selalu mencurigaimu! Ampunkan aku yang mencintamu dengan jiwa ragaku. Aku bersumpah...., hidupku takkan ada artinya kalau engkau meninggalkan aku. Biauw Eng.. maafkan ucapan dan sikapku tadi, dan ketahuilah bahwa aku dibikin gila oleh rasa cemburu yang besar. Rasa cinta kasih selalu mendatangkan rasa cemburu, Biauw Eng, dan harap engkau dapat mengerti perasaanku ini dan...."
"Cukuplah, Keng Hong. Engkau bilang bahwa engkau mencinta maka engkau bisa cemburu. Sebaliknya aku pun pandai mencintamu harus pula pandai membencimu. Aku pernah mencintamu dengan cinta kasih yang tulus ikhlas dan suci murni, bukan hanya mencinta jasmanimu sehingga biarpun aku tahu betapa jasmanimu bermain gila dengan wanita lain, cinta kasihku kepadamu tidak pernah goyah. Dan sekarang aku... Aku.... ben.....benci.....ahhhhh!" Biauw Eng tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tercekik isak tangis, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Keng Hong.
"Biauw Eng .... jangan pergi.... engkau tidak membenciku! Biauw Eng, kembalilah... Eangkau mencintaku, aku yakin akan itu.... ah, Biauw Eng...!”
Akan tetapi jeritan hati Keng Hong ini tidak terucapkan lehernya seperti tercekik dan dia hanya berdiri bengong dengan muka pucat dan wajah muram memandang ke arah bayangan Biauw Eng yang makin mengecil kemudian lenyap. Ia menarik napas panjang, menjatuhkan diri di atas tanah dan bersandar kepada batang pohon. Masih terasa olehnya kehangatan bekas tubuh Biauw Eng dan tak terasa pula mata pemuda itu menjadi basah. "Biauw Eng.... apa artinya hidup ini bagiku sekarang.....?" Ia mengeluh dengan hati hancur. Kemudian dia menjadi seperti orang beringas dan ditamparnya kedua pipinya sendiri kanan kiri menjadi biru-biru dan membengkak. Setelah matanya berkunang dan tubuhnya tergelimpang miring baru dia berhenti menampari mukanya sendiri dan dia menangis terisak-isak. Keng Hong, pemuda gagah perkasa yang memiliki kesaktian jarang ada bandingnya itu menangis seperti anak kecil! Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya, hatinya diremas-remas.
***
"Bodoh! Engkau laki-laki tolol! Rasakan sekarang....!" Seperti orang gila memaki-maki dirinya sendiri dan makin dia ingat dan kenangkan, makin sakit rasa hatinya, teringat betapa dia telah melakukan hal-hal yang amat tidak patut dan tidak adil terhadap Biauw Eng. Teringatlah dia betapa dengan mudahnya dia tergelincir oleh nafsu berahi, betapa dia melayani wanita-wanita bermain cinta. Dan dia telah memaki-maki Biauw Eng sebagai gadis tak tahu malu, bahkan sebagai perempuan murah karena gadis itu menyerahkan tubuhnya kepada Lai Sek. Andaikata gadis itu menyerahkan tubuhnya kepadanya, agaknya akan lagi sikapnya. Ah, dan ternyata gadis itu hanya mengujinyaa, membohong dan sama sekali belum pernah menyerahkan tubuhnya, apalgi hati dan cinta kasihnya, kepada pria lain! Biauw Eng selamanya hanya mencinta dia, dan kalau gadis itu dahulu memilih Lai Sek hanya karena gadis itu hendak membals budi. Ah, betapa mulianya gadis itu, betapa mendalam cinta kasihnya. Dan sebaliknya betapa rendahnya dia, betapa cintanya dikotorkan oleh nafsu semata. Dan sampai saat ini, dia tahu benar dan dapat meraba dengan perasaannya, betapa gadis yang merasa sakit hati dan bertekad untuk membencinya itu sebetulnya masih mencintanya. Bahkan, untuk mengatakan membencinya dengan mulut saja sampai tidak terucapkan.
Aduh, Biauw Eng.... bagaimana aku dapat menemukan engkau kembali? Bagaimana aku bisa mendapatkan engkau kembali....?" Keng Hong mengeluh dan menyembunyikan muka di antara kedua lengan yang dia tumpangkan di atas kedua lutut yang dia angkat naik. Sampai lama dia duduk di bawah pohon seperti itu, kedua pipinya membiru dan bengkak-bengkak, pandang matanya kosong dan sayu.
Menjelang senja, setelah duduk seperti itu selama setengah hari, tiba-tiba ia meloncat berdiri dan mengepal tinjunya. Bhe Cui Im! Wanita itulah yang menjadi gara-gara! Wanita itulah yang pertama kali menyeretnya ke dalam gelombang permainan nafsu!
Wanita itu yang menjatuhkan fitnah secara keji kepada Biauw Eng, bahkan kemudian membunuh ibu Biauw Eng dan hampir membunuh Biauw Eng kalau saja dia tidak ditolong Lai Sek. Wanita itu sebenarnya membuat Biauw Eng berhutang budi kepada Lai Sek dan menjadi biang keladi pertama sehingga timbul pertentangan dan keretakan dalam cinta kasih antara dia dan Biauw Eng. Dan Cui Im pulalah orangnya yang harus dia cari, tidak saja untuk mendapatkan kembali semua pusaka yang dicuri gadis itu, yang membuat dia dimusuhi banyak tokoh kang-ouw, juga untuk membunuhnya karena perbuatan-perbuatannya yang kejam dan yang dahulu hampir membunuhnya dalam tempat persembunyian gurunya. Masih ada urusan di dalam hidupnya! Masih banyak tugas memanggilnya dan pada saat itu, tugas terpenting adalah membasmi Cui Im dan Siauw Lek yang dia kenal dari cerita Biauw Eng tadi, disamping merampas kembali semua benda pusaka yang dicuri Cui Im.
Timbul kembali semangat hidup dalam diri Keng Hong yang tadinya sudah melayu. Dan pada saat itu juga dia lalu berlari meninggalkan hutan itu, kembali ke kota raja untuk mencari Cui Im!
Ternyata tidak mudah bagi Keng Hong untuk mendapatkan keterangan tentang Cui Im. Sekian banyakknya orang yang menyaksikan pertempuran di gedung bangsawan atau pembesar Ang, tidak ada yang mengenal Cui Im, hanya semua orang merasa kagum kepada wanita cantik yang menunggang kuda dan berhasil mengalahkan pembunuh pembesar Ang itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti diketahui, Cui Im adalah seorang pengawal rahasia yang memang tidak dikenal oleh orang biasa kecuali para perwira pengawal. Apalagi karena Cui Im dan Siauw Lek belum lama menjadi pengawal rahasia kaisar.
Setelah melakukan penyelidikan selama tiga hari, barulah Keng Hong berhasil mendapat keterangan dari seorang perwira yang sedang mabuk di dalam restoran, yang agaknya tergila-gila dan kagum kepada Cui Im.
"Ha-ha-ha, hebat bukan main dia! Kiraku, diantara tujuh orang pengawal rahasia kaisar, dialah orang pertama yang paling lihai! Cantik seperti bidadari dan kepandaiannya,.... Aaahhh....., hebat! Juga kepandaiannya dalam hal... Hi-hi-hik, matipun tidak penasaran seorang pria yang diberi kesempatan mengenalnya luar dalam! Ang-kiam Bu-tek, memang dalam segala macam pertandingan, ha-ha-ha!"
Mendengar ocehan perwira mabuk ini, Keng Hong yang juga makan di restoran itu mendekat dan bertanya, suaranya di buat-buat seperti orang yang punya gairah namun takut-takut. "Saya berkesempatan menonton ketika mengalahkan pembunuh Ang-taijin. Sungguh saya terpesona dan sekaligus jatuh cinta! Ah, Tai-ciangkun yang baik, dimanakah rumah wanita perkasa itu? Ingin...., ingin.... aku belajar kenal...."
Dengan mata merah karena mabuk perwira itu memandang Keng Hong. Tentu dia sudah marah kalau saja hatinya tidak terlalu senang disebut tai-ciangkun (panglima besar) tadi.
"Ho-ho-ho, engkau...? Biarpun engkau cukup tampan, akan tetapi untuk mencium telapak kakinya pun jangan harap...., akan tetapi siapa tahu.... sekali waktu kalau dia sedang berkeliling kota raja naik kuda dan dia merasa suka! Ahhh.... dia pengawal rahasia, tentu saja tempatnya di dalam istana...." Tiba-tiba perwira itu seperti orang tersentak kaget, agaknya dia telah membuka rahasia yang tidak boleh dibicarakan, maka dia membentak,
"Heh, cacing tanah! Mau apa kau tanya-tanya? Pergi sebelum kutendang mukau!" Keng Hong menjura dan cepat mengundurkan diri. Ia tidak marah, malah tersenyum dan berkata, "Terima kasih!" Memang dia berterima kasih karena dari ocehan perwira mabuk ini dia dapat mengetahui kemana dia harus mencari Cui Im.
Di dalam istana! Memang amat berbahaya dan besar resikonya, akan tetapi baginya, jangankan harus memasuki istana, walaupun harus menempuh lautan api dia akan mengejarnya juga.
Malam hari itu juga Keng Hong menyelinap di antara kegelapan malam di luar komplek istana, menanti saat baik baginya selagi para peronda baru saja lewat, melompat naik ke atas pagar tembok dan menggunakan kepandaiannya untuk melayang turun di sebelah dalam tembok. Biarpun para pengawal luar mengadakan penjagaan ketat, namun gerakan Keng Hong yang luar biasa cepatnya itu tak dapat terlihat oleh mereka karena di dalam kegelapan itu, andaikata ada yang kebetulan memandang ke tepat Keng Hong meloncat, tentu hanya akan melihat berkelebat bayang-bayang hitam yang secepat kilat.
Keng Hong menyelinap memasuki taman istana yang berada di belakang. Cepat dia bersembunyi di balik pohon cemara ketika melihat seorang penjaga, agaknya anggauta pasukan pengawal yang menjaga taman, berjalan perlahan, tangan kiri memegang lampu, tangan kanan memegang golok terhunus, celingukan memandang ke kanan kiri dan menyoroti bagian-bagian gelap dengan lampunya. Tiba-tiba penjaga ini terkejut melihat bayangan hitam menyambar. Namun dia tidak sempat bergerak, tidak sempat dia berteriak, bahkan dia tidak tahu mengapa tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Keng Hong cepat menyambar lampu yang terlepas dari tangan penjaga itu, meniup pada dan menyeret tubuh yang telah ditotok dan dicengkeram pundaknya itu ke balik pohon cemara.
"Aku bukan penjahat pengacau istana, juga tidak ingin menganggumu. Akan tetapi, kalau engkau tidak memberi tahu dimana aku dapat bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im pengawal rahasia kaisar yang baru, terpaksa aku akan membunuhmu." Setelah berbisik demikian Keng Hong menekan leher si penjaga yang segara dapat mengeluarkan suara kembali. Tubuhnya gemetar ketakutan dan dia berkata gagap.
"Kau... Siapa.... mau apa....?"
"Aku musuh pribadinya, dan aku hanya akan bertemu dia, tidak akan mengacaukan istana. Lekas jawab, dimana dia?" Keng Hong menekan pundak orang itu yang mengeluh kesakitan dan cepat menjawab,
"Pondok para pengawal rahasia.... di belakang istana sebelah kiri.. ada tirai bambunya berwarna kuning...!"
Keng Hong menotok kembali orang itu sehingga selain tidak mampu bergerak, juga tidak mampu mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya berkelebat ke arah yang ditunjuk penjaga itu. Setelah melewati taman yang luas itu, menghindarkan pertemuan dengan para penjaga, akhirnya dia melihat pondok yang bertirai bambu kuning itu. Ia berindap-indap mendekati dan betapa girang rasa hatinya ketika dia mengintai dari balik pintu samping, dia melihat Cui Im sedang duduk mengobrol sambil makan minum bersama Siauw Lek, hanya berdua saja di ruangan yang luas dan sunyi itu, bahkan pondok ini, sebagai pondok para pengawal rahasia, tentu saja tidak ada pasukan penjaganya.
Saking girang dan lega hatinya dapat menemukan musuh besarnya, Keng Hong lalu meloncat.
"Cui Im, akhirnya aku dapat menemukan engkau disini!"
Siauw Lek meloncat bangun dan mencabut senjatanya, pedang hitam yang selalu tergantung di pinggang. Namun Keng Hong tidak memperdulikan, pandang matanya ditujukan kepda Cui Im yang sama sekali tidak kelihatan gugup seperti Siauw Lek, bahkan wanita ini masih duduk, hanya memutar tubuh menengok sambil tersenyum.
"Hi-hi-hik, pancinganku berhasil melalui perwira mabuk itu ternyata berhasil, dan napas penjaga taman juga kau caplok Keng Hong? Betapa bodoh engkau!"
Keng Hong terkejut, akan tetapi sikapnya tenang. "Cui Im, tak perlu banyak cakap lagi. Kita sudah sama mengetahui mengapa aku datang mencariku. Lekas serahkan kembali semua kitab dan senjata rahasia kepadaku!"
***
Cui Im tertawa mengejek. "Hi-hi-hik, enak saja kau bicara, Keng Hong. Yang bodoh menjadi makanan yang pintar, yang lemah menjadi injakan kaki yang kuat, hukum ini sudah berlaku semenjak aku masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni. Engkau bodoh dan lemah,bahkan sampai sekarang pun masih bodaoh. Keng Hong, tengoklah engkau telah terkurung dan takkan dapat menyelamatkan diri. Engkau akan mati sebagai seorang penjahat dan pemberontak yang berani mengacau di istana kaisar!"
Siauw Lek sudah meniup peluitnya dan setiap orang pengawal rahasia membawa peluit semacam ini untuk memanggil teman. Terdengarlah suara berisik dan ketika Keng Hong melirik, ternyata di situ telah muncuk Pak-san Kwi-ong dan empat orang kakek yang kelihatannya menyeramkan dan berkepandaian tinggi, sedangkan di belakangnya telah muncul pasukan pengawal yang julahnya paling tidak ada tiga puluh orang, terdiri dari para pengawal dalam istana!
Keng Hong maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, namun dia tidak menjadi gentar. Ancaman bahaya maut bukanlah apa-apa bagi seorang yang memperjuangkan kebenaran, apalagi dalam menghadapi kejahatan, dan kedatangannya adalah untuk menentang Cui Im, untuk merampas kembali pusaka yang menjadi haknya, bahkan pusaka-pusaka yang harus dia kembalikan kepada para partai persilatan besar yang menjadi pemiliknya, serta menghukum Cui Im atas segala kejahatan yang dilakukannya terutama sekali terhadap diri Biauw Eng dan terhadap dirinya sendiri.
"Ha-ha-ha, bukankah ini murid Sin-jiu Kiam-ong? Eh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa bocah ini kesasar sampai di sini?" Pak-san Kwi-ong bertanya.
"Pak-san Kwi-ong, mau apalagi dia kalau tidak mau membikin kacau? Gurunya dahulu pun seorang pengacau besar tentu muridnya sama saja!" jawab Cui Im. Tujuh orang pengawal rahasia yang menjadi jago-jago nomor satu dari istana itu telah mengurung dengan sikap mengancam.
Melihat ini, Keng Hong berkata tenang, "Pak-san Kwi-ong, aku tidak mengerti bagaimana orang-orang macam engkau dan Cui Im, juga Kim-lian Jai-hwa-ong yang nama busuknya sudah kudengar di mana-mana, dapat menjadi pengawal-pengawal kaisar yang terkenal bijaksana. Akan tetapi hal itu bukan urusanku dan aku pun tidak peduli. Kedatanganku ke sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengawal, juga sama sekali tidak akan membuat kekacauan. Aku datang khusus untuk menemui Cui Im dan untuk membereskan perhitungan pribadi dengan dia. Harap kalian tidak mencampuri!"
"Ha-ha-ha, bocah lancang! Engkau sudah memasuki istana seperti maling, bagaimana kami tidak akan mencampuri?"
"Kalau tidak lekas dienyahkan, bocah ini membahayakan keselamatan kaisar. Serang!" Cui Im yang cerdik sudah berseru dan menerjang maju karena kalau Keng Hong diberi kesempatan bicara, mungkin akan mengubah keadaan. Bersama Siauw Lek ia sudah maju, mencabut pedang merahnya dan Siauw Lek sudah pula mencabut pedang hitamnya. Pak-san Kwi-ong, sudah pula menggerakkan senjata rantainya sehingga sepasang tengkorak di ujung rantai beterbangan! Demikian pula Gu Coan Kok Si Iblis Cebol sudah maju dengan tongkatnya, Si Tinggi besar bongkok Hok Ku sudah menyerang dengan cakar besi beracun, Kemutani mainkan sepasang hui-to di kedua tangan, dan Thai-lek Sin Cou Seng sudah menggerakkan pecut bajanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan nyaring. Melihat sinar-sinar berkelebatan menyerangnya, dan kesemuanya merupakan senjata-senjata ampuh dan berbahaya digerakkan oleh tangan-tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat maklum bahwa serangan-serangan itu dahsyat, Keng Hong cepat mencabut Siang-bhok-kiam, memutar pedang itu sehingga tampak berkelebatnya sinar hijau menyilaukan mata dan dia pun menggunakan tangan kirinya mendorong ke depan.
Terdengar berturut-turut suara nyaring disusul teriakan-teriakan kaget ketika tujuh orang itu merasa senjata mereka membalik dan disusul angin dorongan yang kuat sekali ke arah mereka!
"Aku Cia Keng Hong tidak bermaksud mengacau istana, tidak pula memusuhi para pengawal, melainkan hendak berurusan dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Seruan Keng Hong yang dikeluarkan deangan pengerahan tenaga khikang, keluar dari pusarnya ini amat nyaring sehingga menggema di seluruh istana, mengejutkan semua penjaga yang tidak berada di tepat itu, dan menggetarkan jantung para pengurung yang menjadi bengong dan berubah wajahnya.
"Serang pemberontak!" Kembali Cui Im berseru dan semua pengawal yang tadinya terkejut itu sudah siap mengurung Keng Hong.
Pada saat itu, terdengar suara yang berwibawa, "Hentikan pertempuran!"
Semua orang menengok dan para pengawal terkejut ketika melihat hadirnya tiga orang yang mereka tahu amat berpengaruh dan amat dekat dengan kaisar yaitu Laksamana The Ho yang menjadi panglima besar menguasai armada, Ma Huan seorang sakti dan terpelajar beragama Islam yang diperbantukan kepada laksamana itu dalam perantauannya yang datang, dan Tio Hok Gwan, si tinggi kurus sederhana yang selalu mengantuk dan berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal pribadi Laksamana The Ho.
"The-tai-ciangkun, dia adalah seorang pemberontak yang memasuki istana seperti penjahat!" Cui Im berusaha mempengaruhi pembesar itu. Akan tetapi The Ho mengangkat tangannya dan berkata,
"Harap para pengawal minggir semua dan biarkan aku bicara dengannya. Aku datang atas nama sendiri!" Mendengar ucapan ini, semua pengawal lalu minggir.
The Ho memandang Keng Hong yang masih berdiri tegak. Ketika Keng Hong memandang dan melihat sinar mata pembesar ini, dia terkejut sekali. Cepat-cepat dia menyimpan Siang-bhok-kiam dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, lalu berdiri kembali.
"Orang muda yang gagah, engkau siapakah?"
Tadi begitu bertemu pandang dengan The Ho, Keng Hong segera mengenal seorang sakti, kini melihat sikap dan mendengar suaranya, dia benar-benar menjadi kagum dan tunduk. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa di bawah naungan kekuasaan kaisar, terdapat pengawal-pengawal macam tujuh orang itu disamping pembesar seperti ini. Betapa mungkin kuda yang baik dapat bekerja sama dengan harimau yang ganas, betapa burung hong dapat terbang bersama dengan burung-burung gagak. Mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara halus itu, dia cepat menjawab singkat dan hormat.
"Hamba Cia Keng Hong."
"Cia Keng Hong, engkau bukan seorang pekerja istana, telah berani memasuki istana di waktu malam tanpa ijin. Apa kehendakmu?"
Dengan sikap penuh hormat Keng Hong menjawab, "Mohon maaf kepada Paduka, Taijin, hamba mengaku telah berbuat lancang. Akan tetapi hamba tidak bermaksud mengacau istana, melainkan hendak bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang menjadi musuh besar hamba."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara The Ho menegur, "Cia Keng Hong, sungguh lancang dan besar dosamu! Kalau aku tidak melihat engkau seorang muda yang gagah perkasa, tentu engkau akan kusuruh tangkap dan menerima hukuman berat. Karena engkau belum melakukan sesuatu yang merusak, biarlah atas nama kaisar kami ampuni. Pergilah sekarang dari tempat ini dan jangan sekali-kali engkau berani lagi masuk tanpa ijin karena tidak ada pengampunan dosa dua kali!"
Suara ini berwibawa sekali dan di dalam hatinya Keng Hong sudah tunduk dan tidak berani melanggar. Akan tetapi karena dia masih merasa penasaran melihat betapa orang-orang macam Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong bisa menjadi pengawal kaisar, dia lalu bertanya.
"Jadi, hamba tidak boleh menganggu musuh besar hamba ini?" Ia memandang ke arah Cui Im yang tersenyum mengejek.
"Tidak boleh! Dia adalah pengawal yang berada dalam istana, bagaimana engkau boleh menganggunya?"
"Kalau begitu.... apakah istana melindungi orang-orang jahat dan keji macam Bhe Cui Im, Siauw Lek dan...."
"Cia Keng Hong!" The Ho membentak, suaranya mengguntur, bukan mengandung kemarahan, melainkan mengandung bantahan dan peringaran. "Bukalah matamu, pergunakan pikiranmu dan lihatlah kenyataan! Istana mempergunakan orang-orang pandai menjadi pengawal, bukan membutuhkan riwayat hidupnya, melainkan tenaganya! Istana tidak akan memperdulikan urusan pribadi semua petugasnya, dan tidak mengenal siapa keji siapa tidak sebelum menjadi petugas istana! Urusan pribadi antara engkau dan dia sama sekali tidak ada sangkut - pautnya dengan istana, kalau engkau hendak menyelesaikan urusan pribadimu itu di luar lingkungan istana, di luar pelaksanaan tugas di istana, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan siapa. Akan tetapi, kedatanganmu malam-malam tanpa ijin memasuki istana, hal ini adalah urusan istana! Mengertikah engkau ataukah pura-pura tidak mengerti??"
Keng Hong terkejut sekali, merasa mukanya seperti di tampar dan matanya seperti dibuka lebar-lebar oleh ucapan yang keluar dari mulut The Ho ini. Betapa lancang dan bodohnya dia yang mencari Cui Im ke dalam istana sehingga dia membuat kesalahan dan perbuatannya ini saja sudah cukup untuk mendatangkan maut baginya, bisa dianggap pemberontakan. Dan biarpun pembesar yang memiliki pandang mata begitu tajam berwibawa ini seolah-olah marah kepadanya, namun ternyata telah menginsyafkannya dan telah mengampuninya. Tak terasa lagi Keng Hong menjatuhkan diri memberi hormat kepada The Ho dan berkata,
***
"Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih kepada Paduka atas kemurahan hati Paduka yang telah memberi ampun." Setelah berkata demikian, Keng Hong bangkit, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
"Tunggu dulu, Cia Keng Hong!" Tiba-tiba The Ho berkata dan Keng Hong cepat membalikkan tubuh, memandang tajam akan tetapi menanti dengan sikap tenang.
Laksamana yang bermata tajam berwibawa itu tersenyum. "Kedatanganmu amat menarik perhatianku, orang muda. Engkau tidak bisa pergi begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu."
Keng Hong memandang dengan alis berkerut. Apa pula kehendak pembesar yang berwibawa ini?
"Apakah yang harus hamba tinggalkan?" tanyanya, sikapnya tenang sekali sehingga The Ho dan Ma Huan, dua orang yang memiliki pandang mata waspada itu, diam-diam merasa kagum sekali. Jarang mereka bertemu dengan seorang pemuda seperti ini dan diam-diam menyesalkan bahwa pemuda seperti ini kini seolah-olah menjadi seorang pelanggar. Bepatapun juga, mereka tadi hanya menyaksikan sepak terjang Keng Hong segebrakan saja dan ingin mereka menyaksikan kelihaian pemuda ini.
"Aku bukan seorang yang menginginkan benda milik orang lain," jawab The Ho tertawa. "Akan tetapi aku mempunyai semacam penyakit, yaitu kalau bertemu orang pandai, hatiku belum merasa puas kalau belum menyaksikan kepandaiannya. Karena itu, sebagai imbalan keputusanku mengampunimu, aku minta agar engkau meninggalkan pertunjukkan ilmu silatmu dan suka melayani pengawalku barang sepuluh jurus! Tio Hok Gwan, kau cobalah kelihaian Cia Keng Hong ini, akan tetapi hatihatilah, sekali ini engkau bertemu tanding."
Tio Hok Gwan si pengantuk itu mengangguk dan melangkah lebar menghadap Keng Hong. Pemuda ini merasa serba salah. Menolak berarti dia tidak menghargai sikap pembesar yang baik itu kalau dia menerima berarti dia harus melawan si tinggi kurus yang baru langkahnya saja saja mendatangkan saja mendatangkan kesan bahwa si pengantuk ini tentu seorang ahli Iweekeh yang memiliki sinkang kuat sekali.
Juga dia tidak dapat menerka apa yang dikandung dalam hati pembesar itu di balik "ujian" ini. Maka dia lalu menjawab, "Baiklah, karena hamba telah melanggar dan berada di sini, hamba tidak dapat membangkang perintah Paduka. Akan tetapi hendaknya Paduka tidak menganggap hamba kurang ajar dan ingin memamerkan kepandaian, karena sesungguhnya hamba tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Mana dapat dibandingkan dengan Locianpwe ini yang menjadi pengawal Paduka?" Setelah berkata demikian, Keng Hong berdiri tegak dan siap menghadapi Tio Hok Gwan.
Sejenak kedua orang ini berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter, saling memandang penuh perhatian seolah-olah dengan pandang mata mereka itu mereka hendak mengukur keadaan lawan.
"Cia Keng Hong, sambutlah!" Tiba-tiba Tio Hok Gwan berseru dan tubuhnya sudah bergerak ke depan, sekaligus mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah dada Keng Hong.
"Wuuuttttt!" Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan sebelum kepalan itu datang, Keng Hong sudah merasai hawa pukulannya. Tidak salah dugaannya, pengawal yang mukanya seperti orang kurang tidur ini memiliki sinkang yang hebat. Cepat dia mementang kedua kaki memutar tubuh iring kekiri untuk mengelak dan dengan kontan dia membalas dengan pukulan tangan kiri ke arah lambung lawan. Tio Hok Gwan yang agaknya benar-benar hendak mengandalkan kemenangan, tidak mengelak seperti Keng Hong, melainkan cepat menggerakkan tangan kanan dengan jari terbuka menerima hantaman Keng Hong.
"Desss!" Dua telapak tangan bertemu dan mengeluarkan bunyi keras. Akibatnya, tubuh Keng Hong terpental ke belakang sedangkan tubuh Tio Hok Gwan tiga tindak ke belakang!
"Hebat...!" Terdengar The Ho berseru karena pembesar yang sakti ini dapat mengukur dari pertemuan tenaga kedua orang itu bahwa Keng Hong benar-benar memiliki sinkang yang dapat mengatasi pengawalnya!
Hok Gwan menjadi penasaran. Selama dia menjadi pengawal The Ho, belum pernah dia menemui tanding yang dapat melawan sinkangnya. Dalam hal ilmu silat, mungkin banyak tokoh-tokoh, umpamanya ke tujuh orang pengawal rahasia kaisar, yang akan dapat menandingi, bahkan mungkin melebihinya. Akan tetapi dalam hal kekuatan sinkang, dia berani diadu dengan siapapun juga dan merasa yakin bahwa dia akan lebih kuat. Siapa kira, pemuda ini dapat menandinginya, bahkan diam-diam dia merasa sangsi apakah dia lebih kuat daripada pemuda ini. Karena penasaran, dia lalu membuat gerakan miring dan mengirim tendangan dari samping, diikuti pukulan kedua tangannya ke arah muka dan perut lawan! Cepat dan kuat sekali gerakan Hok Gwan ini sehingga Keng Hong terpaksa harus mengerahkan ginkangnya, meloncat ke arah yang berlawanan dengan tendangan lawan sambil mengibaskan kedua tangan ke bawah dan atas untuk menangkis pukulan tangan lawan. Kembali kedua tangan saling bertemu dan membuat mereka berdua terhuyung. Keng Hong tidak mau mengalah karena maklum akan kekuatan lawan, dia cepat membalas dengan pukulan tangan miring menuju tengkuk selagi leher lawan miring. Namun sambil memutar tubuhnya, kembali Hok Gwan dapat menangkis, bahkan langsung membarengi dengan jotosan ke arah bawah ketiak lawan yang lengannya sedang terangkat itu. Keng Hong kembali mengelak karena pemuda ini maklum bahwa kalau dia mengandalkan sinkang untuk selalu menandingi kekuatan lawan, maka hal itu berati keras lawan dan tentu akan mengakibatkan luka-luka dalam di antara mereka. Hal ini tidak dia kehendaki, pertama karena dia tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Tio Hok Gwan, kedua karena dia ingin pergi dari situ tanpa meninggalkan kesan buruk.
Karena menemui tandingan yang seimbang, Hok Gwan dan Keng Hong menjadi gembira dan mereka beradu kelihaian sampai lebih dari lima puluh jurus tanpa ada yang terdesak! Keng Hong yang baru saja mewarisi kepandaian dari gurunya dan juga dari Thai Kek Couwsu, diam-diam juga menjadi penasaran. Kalau dia kalah oleh pengawal The Ho yang amat lihai ini, bukanlah merupakan hal yang besar baginya, akan tetapi karena Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong hadir disitu dan menonton, dia tidak ingin kalah di depan mereka! Dia harus menang dan pikiran ini membuat Keng Hong makin lama makin cepat dan kuat gerakannya. Mula-mula kedua orang itu mengandalkan tenaga, kini karena Keng Hong mengerahkan kecepatannya, terpaksa Hok Gwan harus pula mengerahkan ginkangnya yang ternyata tidak sehebat Keng Hong. Mulailah bayangan kedua orang itu berkelebat cepat dan berubah menjadi bayangan yang bergulung menjadi satu! Akan tetapi dalam pandangan mata para tokoh yang berada di situ, jelas tampak betapa Keng Hong mulai mendesak Tio Hok Gwan dengan serangan-serangan kilatnya.
"Hiaaaaaaahhhhh!" Tiba-tiba Hok Gwan mengeluarkan teriakan keras dan gerakannya kini berubah, tidak cepat lagi akan tetapi gerakan merupakan benteng yang amat kuat sehingga semua serangan Keng Hong menemui jalan buntu. Kalau serangan Keng Hong yang cepat itu seperti air mengalir, pertahanan Hok Gwan seperti tanggul dari baja yang menahan banjirnya air! Melihat ini, Keng Hong terkejut dan maklum bahwa lawannya sudah bersungguh -sungguh dan kini mengeluarkan simpanannya.
"Haaaiiittt!" Ia pun memekik dan kini caranya bersilat juga berubah pula. Gerakan-gerakannya juga lambat, namun setiap gerakan mendatangkan tenaga yang dahsyat, dan kedua lengan melakukan gerakan membentuk lingkaran-lingkaran! Inilah Thai Kek Sin-kun yang dia pelajari dari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu!
Ilmu silat sakti yang digerakkan dengan inti tenaga sinkang dan menghadapi ilmu silat ini, Hok Gwan terkejut dan tampak bingung, bahkan gerakan-gerakannya menjadi agak kacau.
"Ah...., gerakan-gerakan membuat lingkaran itu... Lihat.... delapan macam gerakan tangan.... dengan mengarah delapan jurusan.... eh, apakah ini Pat-kwa Kun-hoat? Akan tetapi berbeda benar... Dan lingkaran-lingkaran itu....." Terdengar The Ho berseru kaget dan kagum sekali setelah menyaksikan Keng Hong bersilat Thai Kek Sin-kun sampai belasan jurus yang membingungkan Hok Gwan.
"Akan tetapi, Taijin, harap lihat gerakan kakinya. Bukankah berdasarkan Ngo-heng? Gerakan kakinya seperti Ilmu Silat Ngo-heng Kun Hoat, akan tetapi gerakan atasnya lain. Dan lingkaran-lingkaran itu amat aneh....!" Demikian Ma Huan berkata. Kedua orang ini saking kagum dan tertariknya, bicara dengan suara keras sambil menonton, lupa bahwa di situ ada tujuh orang pengawal rahasia yang juga menonton dengan bengong dan kagum.
Kata-kata kedua orang pembesar itu tidak terlepas dari pendengaran Keng Hong dan pemuda ini terkejut. Biarpun tidak dapat menebak dengan tepat, namun pernyataan kedua orang itu sudah mendekati rahasia Ilmu Silat Thai Kek Sin-kun ! Hal itu sudah cukup membuktikan bahwa The Ho dan Ma Huan tentu bukan sembarang pembesar, melainkan orang-orang yang sakti, dan mungkin lebih lihai! Maka dia berlaku hati-hati sekali.
"Sambutlah!" Tiba-tiba Hok Gwan mengirim tendangan kilat. Itulah ilmu tendangan yang amat terkenal di Tiongkok Utara yang disebut Soan-hong-twi atau Tendangan Angin Taufan yang datangnya amat cepat dan susul-menyusul, sedangkan yang diarah oleh kedua kaki adalah bagian atas tubuh. Ketika kaki lawan menendang ke arah tenggorokannya dengan cepat sekali, Keng Hong lalu membuat gerakan yang indah. Kaki kirinya diluruskan ke dapan dengan tumit menempel lantai,
***
Kaki kanan berjongkok ketika dia mengelak dari tendangan yang menyambar lewat di atas kepalanya, tangan kiri yang tadinya melingkar di depan pusar itu membuat gerakan melingkar ke atas sambil mengangkat tubuh menjadi tegak dan dari tangan kanan yang tadinya melingkar dari tangan kanan yang tadinya melingkar di depan dada secara tiba-tiba mendorong ke depan dengan tangan kiri ditarik ke atas kepala. Inilah jurus yang disebut "Bidadari Meneropong" dari Ilmu silat Thai-kek Sin-kun! Gerakan yang sederhana namun karena dilakukan sebagai lanjutan mengelak tendangan dan pukulan dengan tangan kanan mendorong itu mengandung tenaga sinkang yang hebat luar biasa, membuat Hok Gwan yang tendangannya luput tadi terkejut. Ia masih dapat menjatuhkan diri ke kanan dan bergulingan, tendangan dari pukulan sakti, namun dia mengalami kekagetan dan ketika melompat bangun dia lalu menyerang lagi dengan hati-hati, lebih mengerahkan tenaga dan perhatian untuk bertahan!
Pertandingan antara jago sakti ini berlangsung sampai seratus jurus lebih dan para pengawal yang menonton pertandingan itu menahan napas. Bahkan Cui Im sendiri merasa penasaran sekali menyaksikan kehebatan ilmu silat yang dimainkan Keng Hong. Ia menjadi bingung dan menduga-duga. Dari mana Keng Hong mendapatkan ilmu ini? Semua kitab telah dibacanya, dipelajari, bahkan kitab-kitab telah dibacanya, dipelajarinya, bahkan kitab-kitab itu telah dibawanya. Apakah guru pemuda itu, Sin-jiu Kiam-ong, mempunyai simpanan kitab lain yang tak dilihatnya? Diam-diam ia menyumpah di dalam hati dan merasa menyesal mengapa dahulu di tempat rahasia ia tergesa-gesa berusaha melenyapkan Keng Hong. Kini menyaksikan kelihaian Keng Hong dia merasa ragu-ragu apakah dia akan dapat mengatasi pemuda yang makin lihai itu.
Biarpun Tio Hok Gwan ternyata amat lihai dan pertahanannya amat kuat, namun makin lama dia makin terdesak hebat. The Ho dan Ma Huan menonton dengan gembira, dan biarpun The Ho maklum bahwa pengawalnya tidak akan dapat menangkan Keng Hong.
Namun dia tidak mau menghentikan pertandingan itu saking tertariknya dan ingin menonton sepuasnya!
Hok Gwan diam-diam merasa penasaran sekali. Selama hidupnya, baru sekali ini baru bertemu tanding yang membuatnya kehabisan akal dan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membela diri, membentuk pertahanan yang amat kuat. Namun, ilmu silat yang melakukan gerakan-gerakan tangan melingkar-lingkar itu membingungkannya dan pengawal lihai ini pun maklum bahwa kalau dilanjutkan, lambat laun dia tentu akan roboh. Gerakan aneh dari lawannya sudah beberapa kali hampir dapat menyusup dan membobolkan pertahanannya. Ia merasa malu kalau harus menderita kekalahan di depan junjungannya. Tak lama lagi junjungannya akan memimpin barisan menyerang lautan dan dialah yang selalu akan diandalkan untuk melindungi pembesar itu. Kalau kini dia kalah oleh seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih, bukankah dia akan kehilangan muka? Karena itu, tiba-tiba pengawal ini mengeluarkan pekik yang menyerupai gerengan harimau marah, kedua tangannya membalas dengan pukulan nekat. Biarpun dia maklum bahwa dengan mengubah gerakan bertahan menjadi menyerang ini membuka sebagian pertahanannya dan dia dapat celaka, namun dia yakin bahwa kalau lawan melakukan penyerangan, sebuah daripada kedua tangannya akan mengenai sasaran pula dan kalau perlu dia akan roboh bersama lawannya. Pokoknya asal dia tidak kalah. Kalau keduanya roboh, berarti tidak ada yang menang!
Keng Hong tadinya bersilat dengan tekun dan sabar. Maklum akan pertahanan lawan yang amat kuat, dia tahu bahwa kalau akan menjatuhkan lawan tanpa melukainya, dia harus membuat lawan lelah dan pening. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat lawannya menyerang hebat, tidak begitu memperdulikan lagi pertahanannya. Ia terkejut, tahu bahwa lawan menjadi nekat dan pantang kalah. Satu-satunya jalan untuk mencapai kemenangan harus melancarkan pukulan maut mendahului kedua tangan lawan.
Posisi tubuhnya lebih baik karena dia dalam keadaan menekan. Kedua tangan menyambar lurus menuju dada dan lehernya sehingga penjagaan tubuh lawan di bagian bawah terbuka. Kalau dia merendahkan diri, membuat gerakan melingkar dan menyerang perut dan pusar lawan, dia yakin pasti menang. Akan tetapi kalau hal ini dia lakukan, berarti Tio Hok Gwan akan menderita luka berat dan mungkin sekali tewas. Padahal dia tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia maklum bahwa pembesar yang memiliki wibawa luar biasa itu tidak bermaksud buruk terhadap dirinya, dan kalau kini mengujinya semata-mata memang ingin sekali menyaksikan kepandaiannya, hal ini terbukti ketika dia tadi melirik ke arah dua orang pembesar itu, mereka itu menonton dengan wajah berseri dan pandang mata kagum, sama sekali tidak menjadi khawatir atau penasaran melihat pengawalnya didesak.
"Haaaiiittttt!" Pukulan tangan kanan Hok Gwan menghantam pundaknya, pukulan tangan kiri menghantam lehernya, namun Keng Hong kini menghentikan gerakannya sama sekali, mengerahkan sinkangnya dan menggunakan tenaga mujijatnya yang tidak akan dia keluarkan seandainya keadaan tidak seperti itu.
"Bukkk! Dessssss!!" Dua pukulan itu tiba pada saat yang hampir bersamaan, hanya setengah detik selisihnya. The Ho dan Ma Huan berseru kaget. Mereka benar-benar kaget dan menyesal karena mereka tadi hanya ingin menguji, sama sekali tidak bermaksud menyuruh pengawal itu membunuh pemuda yang amat lihai itu. Dan melihat terkejut melihat betapa pemuda itu yang tadinya sudah "menang angin" kini menerima pukulan begitu saja tanpa mengelak atau menangkis. Mereka cukup maklum betapa hebatnya pukulan kedua tangan Hok Gwan mampu memukul pohon menjadi remuk isi batangnya tanpa melecetkan kulit batang pohon! Tembok yang ditutup kertas tipis akan hancur oleh pukulan ini tanpa merobek kertasnya!
Akan tetapi kekagetan kedua orang pembesar ini disusul keheranan yang amat besar sehingga mereka melongo. The Ho adalah seorang pembesar sakti dan sudah mengalami banyak hal aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan yang seaneh itu. Jelas bahwa kedua kepalan tangan Hok Gwan mengenai leher dan pundak Keng Hong, akan tetapi pukulan-pukulan itu seperti dua buah batu besar dilempar ke permukaan telaga yang dalam dan amblas tanpa bekas! Tangan Hok Gwan yang kiri masih menempel di leher Keng Hong, sedangkan tangan kanannya masih melekat di pundak, akan tetapi pengawalnya itu kini membelakkan kedua mata yang biasanya sipit mengantuk itu, seolah-olah dia bangun tidur karena disiram air, mukanya pucat dan mulutnya mengeluarkan suara merintih! Kedua tangan itu tidak bisa ditariknya kembali seperti biasa dilakukan oleh ahli silat yang setiap memukul tentu menggunakan sasaran untuk menendang balik pukulannya. Kedua tangan itu melekat pada leher dan pundak Keng Hong sedangkan pemuda yang dipukul itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah tidak merasa sesuatu.
"Aihhh.... Thi-khi-I-beng ...!" Cui Im berseru kaget karena dia maklum bahwa ilmu yang dimiliki Keng Hong itu adalah ilmuya yang tidak wajar, yaitu yang dimiliki Keng Hong bukan berdasarkan ilmu, melainkan karena sesuatu keanehan dan biasanya pemuda itu tidak tahu bagaimana harus membebaskan lawan yang telah tersedot sinkangnya. Sejenak teringatlah wanita ini betapa dahulu, tanpa disengaja, Keng Hong telah "menyedot" pula sinkangnya secara halus ketika mereka memadu asmara! Sedetik mukanya menjadi merah sekali dan ia sudah melangkah maju hendak membantu Hok Gwan. Akan tetapi ketika sinar matanya bertemu dengan pandang mata The Ho, dia mundur lagi. Jelas tampak bahwa pembesar itu melarang dia turun tangan. Dan memang sesungguhnya The Ho sendiri tidak tahu akan keadaan pengawalnya sungguhpun dia heran mengapa pengawalnya tidak bergerak dan wajah pengawalnya itu menjadi pucat sekali.
Tio Hok Gwan merasa betapa tenaga sinkangnya membanjir keluar melalui kedua tangannya. Ia terkejut dan berusaha menarik tangan, makin keras pula tenaga sinkangnya membanjir keluar. Ia terkejut dan matanya terbelalak saking herannya.
Ketika Keng Hong mendengar seruan Cui Im, dia teringat dan cepat sekali dia mengeluarkan pekik melengking dan menggerakkan tubuh sendiri ke belakang dan menggunakan sinkang menolak. Tio Hok Gwan berteriak dan tubuh pengawal ini mencelat ke belakang seperti dilontarkan, sedangkan tubuh Keng Hong sendiri berjungkir balik sampai lima kali ke belakang.
Tio Hok Gwan masih dapat turun di atas kedua kakinya dengan terhuyung. Ia berdiri dan memandang Keng Hong dengan wajah pucat. Kaget sekali pengawal ini dan dia tidak lagi berani bergerak, melainkan menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan tenaga dan menyalurkan sinkang ke pusar, kemudian memutar hawa panas dari pusar untuk menyelidiki keadaan dalam tubuhnya. Ia merasa lega karena tidak terluka, hanya agak lemas karena ada tenaga sinkang yang membocor keluar secara aneh. Adapun Keng Hong yang mukanya lebih merah daripada biasanya, akibat kebanjiran sinkang, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan The Ho dan berkata,
"Harap Taijin sudi memberi maaf kepada hamba. Pengawal Taijin terlalu lihai, hamba tidak kuat melawannya."
The Ho yang masih terheran-heran menganngguk-anggguk dan berkata, "Orang muda yang hebat Cia Keng Hong, bagaimana kalau engkau bekerja padaku, membantuku seperti Tio Hok Gwan?"
"Terima kasih, Taijin. Kiranya akan berbahagia sekali bagi hamba untuk dapat menghambakan diri kepada seorang bijaksana seperti Paduka. Akan tetapi maaf, untuk waktu sekarang hamba belum sanggup karena urusan pribadi masih banyak yang harus hamba selesaikan lebih dulu."
***
Kembali The Ho dan mengangguk-angguk ke arah Cui Im yang memandang Keng Hong dengan wajah sebentar pucat sebentar merah. "Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum engkau pergi, katakanlah apakah benar engkau tadi menggunakan Ilmu Thi-khi-I-beng? Aku mendengar bahwa ilmu mujijat itu telah lenyap dari permukaan dunia kang-ouw!"
"Ah, sesungguhnya hamba sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu dan tidak tahu bagaimanakah macamnya Thi-khi-I-beng. Hamba mohon diperkenankan keluar, Taijin."
"Pergilah, mudah-mudahan kelak kita berjodoh untuk saling berjumpa kembali. Hok Gwan, kau antar Cia Keng Hong keluar dari istana dengan aman!"
Perintah ini melenyapkan harapan Cui Im untuk mencegat dan mengeroyok Keng Hong dalam perjalanannya keluar dari istana. Hok Gwan segera mengajak Keng Hong pergi dari tempat itu dan dengan adanya pengawal The Ho ini, Keng Hong dapat keluar dengan aman tanpa ada yang berani menganggu.
"Sahabat muda, terima kasih atas kemurahan hatimu dalam pertandingan tadi. Aku takluk benar kepadamu. Siapakah gurumu?" tanya Hok Gwan setelah mereka tiba di luar istana dan mereka akan berpisah.
"Mendiang suhu adalah Sin-jiu Kiam-ong..."
"Ah.... sungguh aku tidak tahu diri, maaf...maaf!" Hok Gwan menjura dan cepat-cepat Keng Hong membalas penghormatan ini.
"Engkau juga hebat sekali, Ciangkun. Dan engkau amat baik hati. Kuharap engkau suka berhati-hati menghadapi orang-orang macam pengawal-pengawal rahasia yang hadir di sana tadi tadi. Mereka bukanlah orang-orang yang baik dan boleh dipercaya."
Tio Hok Gwan mengangguk. "Aku sudah tahu akan hal itu, dan terima kasih atas peringatanmu. Engkau ingin membekuk wanita cabul itu, bukan?"
"Benar, akan tetapi tak mungkin sekarang. Dia telah menjadi pengawal bagaimana aku akan dapat menyentuhnya? Dia dilindungi oleh kekuasaan kaisar."
"Memang, kalau engkau mencarinya di dalam istana atau menyerangnya selagi ia bertugas sebagai pengawal, engkau akan dianggap pemberontak dan engkau tentu akan menghadapi bencana. Akan tetapi, kalau engkau bersabar, ada cara yang amat baik, yang membuka kesempatan bagimu."
Mendengar ini, Keng Hong cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Mohon petunjuk Ciangkun bagaimana aku akan dapat membentuk perempuan iblis itu?"
"Dia terkenal sebagai wanita cabul yang tak dapat bertahan lama melewatkan malam dingin sendirian saja." Hok Gwan tertawa mengejek dan merendahkan. "Selain ini, di waktu lepas tugas setiap malam dia selalu berkeliaran mencari pemuda untuk menemaninya. Nah, kalau engkau bersabar, Cia-taihiap, engkau dapat menggunakan kesempatan selagi ia bebas tugas seperti itu, menyergapnya dan kalau di waktu itu menewaskannya, engkau tidak akan dianggap pemberontak. Akan tetapi engkau harus bersabar dan untuk beberapa lamanya jangan muncul di kota raja, karena seorang perempuan iblis seperti dia amatlah cerdik dan tentu dia tidak akan berani muncul kalau dia tahu atau menduga bahwa engkau sedang mengintainya seperti seekor kucing menanti munculnya tikus. Mengartikah engkau apa yang kumaksudkan, Taihiap?"
Keng Hong menjadi girang sekali, akan tetapi dia merasa malu sendiri mendengar pengawal yang lihai ini menyebutnya taihiap (pendekar besar)! Ia cepat menjura dan berkata, "Banyak terima kasih atas petunjuk Ciangkun. Nah, selamat berpisah sampai jumpa pula." Tubuh Keng Hong berkelebat dan sebentar saja lenyaplah pemuda ini dari depan Tio Hok Gwan. Pengawal pengantuk ini sejenak termangu, kemudian menghela napas dan menggeleng kepalanya.
"Pemuda hebat....!" Kemudian dia pun kembali ke dalam istana.
Keng Hong mempergunakan ilmu lari cepat setelah dia keluar dari kota raja. Ia memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan kota raja, kemudian dia duduk di bawah pohon, termenung. Hatinya girang bahwa dia telah bisa menemukan tepat sembunyi Cui Im. Biarpun dia sekarang belum berhasil, akan tetapi dia yakin akan dapat menangkap Cui Im, merampas kembali kitab-kitab yang harus dia kembalikan kepada mereka yang berhak, kemudian menghukum gadis itu yang selalu mencelakainya dan telah mendatangkan kesengsaraan kepada Biauw Eng.
Biauw Eng ! Teringat akan gadis itu, tanpa disadarinya Keng Hong menyangga dagu dengan tangan dan menyangga siku lengan lutut. Hatinya berduka sekali. Memang ada rasa bahagia di hatinya bahwa dia telah bertemu dengan Biauw Eng, melihar dara itu selamat dan telah membukakan rahasia hatinya kepada Biauw Eng, bahkan telah menceritakan segala kesalahfahaman di masa lalu. Akan tetapi, akhirnya Biauw Eng marah-marah dan meninggalkannya! Dan semua itu adalah karena kesalahannya sendiri, karena sikapnya! Kalau dia kenangkan keadaan gadis itu, hatinya makin pedih dan tampak olehnya betapa mulia dan murninya hati gadis itu, gadis yang menjadi puteri Lam-hai sin-ni si nenek iblis, akan tetapi juga puteri gurunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia selalu menyangka yang bukan-bukan terhadap Biauw Eng, padahal gadis itu bersih dan tidak berdosa. Kalau dipikir-pikir kembali, jelas kini bahwa dialah yang kotor dan penuh dosa. Dan yang terakhir sekali, dia masih memaki Biauw Eng karena gadis ini membalas budi Lai Sek yang amat besar!
"Heh-heh-heh.. tak baik orang muda melamun kosong! Melamun membikin orang lekas menjadi lekas tua, heh-heh-heh!"
Keng Hong terkejut dan meloncat bangun sambil membalikkan tubuh. Tidak banyak di dunia kang-ouw ada orang datang tanpa dia ketahui, biarpun dia sedang melamun.
Ternyata di depannya telah berdiri seorang kakek bertubuh kecil bongkok, punggungnya berpunuk dan mukanya ramah tersenyum terus, rambutnya panjang akan tetapi di tengah kepalanya botak, tangan kirinya membawa guci arak. Siauw-bin Kun-cu ! Di antara selaksa orang, dia mengenal kakek ini, kakek yang selain aneh juga yang amat berjasa kepadanya karena kakek inilah yang membuka rahasia Siang-bhok-kiam. Kakek inilah yang tanpa disadarinya oleh kakek itu sendiri telah menolongnya sehingga berhasil mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Hanya tampak perbedaan pada pakaian kakek itu. Kalau dalam pakaiannya yang selalu bersih dan baru itu terbuat dari bahan sederhana dan dengan potongan tidak karuan pula, kini pakaiannya yang amat mewah, berkembang seperti pakaian orang berpangkatan, bahkan kedua kaki yang biasanya telanjang itu kini memakai sepatu baru, berkembang pula!
"Ah, kiranya Locianpwe yang datang!" Keng Hong cepat menjura penuh horat dan hatinya girang bertemu dengan kakek ini. "Siauw-bin Kun-cu Locianpwe, sungguh saya hampir tidak mengenal Locianpwe melihat pakaian dan sepetu Locianpwe yang indah!"
"Heh-heh-heh-he-he! Wah, engkau menyindir,ya? Memang pakaian dan sepatuku hebat. Manyalah, ya? Dan caraku berjalan juga berubah. Lihat...!" Kakek itu lalu mendemonstrasikan cara melangkah kaki seorang pembesar! Penuh gaya, dengan langkah tegap tenang berwibawa, dagu ditarik ke atas, mata memandang seperti dari angkasa memandang ke bawah. Akan tetapi karena punuk di punggunggnya membuat dia terpaksa membongkok, biarpun dia memasang aksi tetap saja kelihatan lucu!
Keng Hong menahan rasa geli hatinya dan berkata, "Locianpwe benar hebat! Telah memperoleh banyak kemajuan kiranya!"
"Tentu saja! Wah, aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Cia Keng Hong! Muird Sin-jiu Kiam-ong benar-benar menimbulkan gara-gara dan heboh!
Aku telah mendengar akan sepak terjangmu di istana. Sampai-sampai panglima besar seperti The-taijin yang gagah perkasa dan arif bijaksana juga kagum kepadamu. Bagaimana kabarnya, sahabat cilik? Aduh, betapa bahagianya bertemu dengan sahabat lama!"
Keng Hong tersenyum mendengar kalimat terakhir itu yang dikutib oleh si kakek dari pelajaran Nabi Khong Hu Cu.
"Sayalah yang bahagia dan girang dapat bertemu dengan Locianpwe yang bijaksana karena tentu akan mendapatkan banyak petunjuk. Di manakah Locianpwe kini tinggal? Ataukah masih merantau sebatangkara, bebas lepas di udara seperti burung?"
"Heh-heh-heh, orang setua aku, kalau seperti burung terus, bukankah berarti kelak akan mati terlantar dan menyia-nyiakan pengertian yang ku pelajari sampai puluhan tahun? Ha-ha-ha, tidak Cia Keng Hong. Aku sekarang telah menjadi guru besar, aku menjadi pembesar di kota raja, memimpin kebudayaan dan kesusastraan, mengurus pelaksanaan ujian bagi para calon siucai. Ha-ha-ha-ha-ha!"
Keng Hong tertegun. "Locianpwe... Menjadi pembesar...?" Kenyataan ini amat aneh dan lucu bagi Keng Hong. Sulit membayangkan seorang pendekar tua aneh seperti Siauw-bin Kun-cu menjadi seorang pembesar!
"Apa salahnya?" Mata kakek itu melotot, " Asal orang telah mengerti dan menjalankan tugas hidupnya sesuai dengan To, menjadi pembesar pun tidak ada salahnya. Seorang kuncu (budiman) bukan hanya sebutannya saja, juga harus dalam sepak terjangnya! Aku memegang jabatanku sebagai pembesar berdasarkan pelajaran dari Nabi Khong Hu Cu. Engkau mau tahu? Dengarlah!" Siauw-bin Kun-cu yang masih berdiri itu lalu menengadah dan membaca ujar-ujar dengan suara lantang dan memakai irama seperti orang bernyanyi berdeklamasi:
***
Cai-siang-wi, put-leng-he, Cai-he-wi, put-wan-siang! Ceng-ki-ji, put-kiu-I-jin...."
(Berada di atas tidak menghina yang bawah, berada di bawah, tidak menjilat atasan! Memperbaiki diri sendir tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain....)
Keng Hong melanjutkan, "Siang put wan Thian, he put yu jin! (Ke atas tidak mencela Tuhan, ke bawah tidak menyalahkan orang!)"
"Heh-heh-heh, engkau murid yang baik! Engkau tahu betapa Nabi Khong HU Cu sampai mengeluh menyaksikan betapa pada masa beliau hidup, pelajarannya yang amat indah dan menuntut manusia ke kebenaran, disia-siakan orang. Karena itu, sekarang aku ikut membantu menyebarkan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu agar sedikit banyak dapat berguna bagi manusia. Eh, orang muda, mari kita duduk dan mengobrol yang enak, jarang aku bertemu dengan orang yang dapat mengerti baik apabila diajak bicara soal filsafat dan kebatinan."
Keng Hong tersenyum dan mereka duduk di bawah pohon besar, di atas akar-akar pohon. Kakek itu menenggak arak dari gucinya, menawarkan kepada Keng Hong. Dengan halus pemuda itu menolak. Kakek itu minum lagi beberapa teguk, lalu berkata,
"Aah, apa katamu melihat aku menjadi pembesar dan mengajarkan pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang memang mulai disebarluaskan oleh kaisar yang pandai memakai orang dan menghargai kebudayaan ini?"
"Maaf, kalau pendapat saya keliru, Locianpwe. Sesungguhnya saya hanya seorang muda yang bodoh dan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu amatlah sukar bagiku..."
Kakek itu ribut menggoyang-goyang kedua tangannya. "Salah! Salah! Tidak ada orang pintar atau bodoh di dunia ini. Tidak ada pula sesuatu yang sukar atau mudah! Yang ada hanyalah belum mengerti atau sudah mengerti. Orang biasanya disebut bodoh karena belum mengerti, dan disebut pintar kalau sudah mengerti. Dan untuk jadi mengerti orang harus belajar! Engkau pandai silat, apakah engkau disebut orang pintar! Aku pandai filsafat, apakah aku orang pintar? Kalau kita berdua pergi melihat serorang tukang kayu membuat ukiran-ukiran kayu yang indah, apakah kita dapat melakukannya? Apakah kita pintar dalam pertukangan kayu? Tentu saja tidak. Oleh si tukang kayu kita akan dianggap bodoh. Bukan bodoh, hanya belum mengerti, belum bisa! Dan apakah itu sukar? Apa mudah? Tidak ada. Kalau sudah bisa tentu mudah, kalau belum bisa menjadi sukar. Soalnya hanya MENGERTI, dan untuk mengerti harus belajar!"
"Locianpwe benar sekali, akan tetapi pelajaran budi pekerti sungguh lain lagi, mudah dipelajari, mudah dihafal namun betapa sulitnya melaksanakannya!"
"Salah! Salah! Nabi Khong Hu Cu pernah bersabda demikian : Yang menyebabkan To tidak dilaksanakan : Orang pandai terlampau jauh melewatinya, orang bodoh tidak mampu mencapai/mengertinya. Yang menyebabkan To tidak dimengerti: Orang pintar terlampau jauh melewatinya, orang tidak pintar tidak mampu memahaminya."
Keng Hong mengangguk-angguk karena dia pun hafal akan ujar-ujar itu, akan tetapi dia mendengarkan terus. Kakek itu menggaruk-garuk botak di kepalanya lalu melanjutkan, "Ujar-ujar itu melanjutkan : Tidak ada seorang pun manusia yang tidak minum dan makan, akan tetapi hanya sedikit saja yang dapat mengenal cita rasanya!"
"Tepat sekali ujar-ujar itu, locianpwe. Memang manusia di dunia ini selalu tertarik oleh kulit tanpa mau memperhatikan isi. Betapa banyaknya orang yang hafal akan segala filsafat, kenal segala pengetahuan batin, mengerti akan segala ilmu kebatinan dan tentang kebajikan. Namun betapa sedikit sepak terjang dalam penghidupan manusia berlandaskan kebenaran dan kebajikan."
Kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas. "Orang muda, dengan kata-katamu itu engkau menampar mukaku pula! Memang demikianlah, banyak sekali orang, termasuk aku juga agaknya, gila akan kedudukan, akan nama, paling suka kalau disebut seorang kuncu, seorang budiman, seorang cerdik pandai dan arif bijaksana! Segala filsafat yang muluk-muluk ditelan semua, namun apa artinya mengenal dan menghafal seribu satu macam filsafat kebatinan namun tidak menerapkannya dalam hidup satu pun juga? Sama dengan gentong kosong nyaring bunyinya!"
"Kalau Locianpwe sudah tahu akan hal ini, mengapa Locianpwe kini menjadi seorang pembesar, menjadi seorang yang berusaha mengembangkan pelajaran kebatinan atau agama? Bukankah akan sia-sia belaka kalau ada selaksa orang yang mengerti akan semua filsafat kebatinan tanpa melaksanakannya dalam hidup?"
"Eh-eh-eh, orang muda. Lidahmu terlalu tajam dan berbahaya. Coba jelaskan!" Kakek itu melotot.
"Maaf, Locianpwe, akan pendapat saya yang pandir. Bagi saya, filsafat dan ujar-ujar dalam kitab-kitab suci dibuat untuk dilaksanakan!
Kalau hanya untuk dihafalkan belaka kemudian tidak dilaksanakan, sama halnya dengan menodai semua pengetahuan murni dan suci itu! Umpamanya saja, ada dua buah ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu yang kalau dituruti oleh semua orang di dunia ini, kiranya dunia akan menjadi aman."
"Heh-heh-heh, kaukira begitu? Ujat-ujar yang manakah itu?"
"Pertama ujar-ujar yang berbunyi : Semua manusia di empat penjuru adalah saudara! Kalau kita berpegang kepada pelajaran ini dan menganggap setiap orang manusia, bangsa apa pun juga, di manapun juga adanya, kaya maupun miskin, berpangkat tinggi maupun rendah, pintar maupun bodoh, adalah seperti saudara sendiri, tentu tidak akan ada musuh! Tentu akan saling bantu, seperti yang selayaknya di antara saudara! Kemudian yang ke dua ujar-ujar yang berbunyi : Jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu. Kalau semua orang mentaati pelajaran ini, saya kira tidak akan ada orang yang suka berbuat jahat terhadap orang lain karena dia sendiri tentu tidak mau kalau orang lain berbuat jahat kepadanya."
"Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Apa kau kira hanya untuk itu manusia hidup di dunia ? Apakah cukup dengan mencinta sesama dan tidak berbuat jahat kepada orang lain? Tidak, Keng Hong,. Manusia terikat kewajiban-kewajiban, kewajiban sebagai manusia hidup dan Nabi Khong Hu Cu menunjukkan jalan-jalan dan cara-cara betapa manusia dapat menunaikan kewajiban hidupnya dengan sempurna! Karena itu, mutlak penting bagiku, yang sudah berani memakai nama julukan Kun-cu, untuk menyebarluaskan pelajaran-pelajaran itu agar setiap orang manusia di dunia mengarti, mempejajari, dan kemudian melaksanakannya dalam hidup sehingga semua manusia akan tahu memenuhi kewajiban masing-masing!"
"Maaf, Locianpwe. Akan tetapi bukankah kewajiban pun dapat diartikan banyak sekali, tergantung daripada orang yang mengartikannya?"
"Tidak begitu, ada sabda Nabi Khong Hu Cu mengenai itu yang berbunyi begini : Melakukan kewajiban terhadap ayahku sebagaimana aku ingin melihat puteraku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap rajaku, sebagaimana aku ingin melihat sebawahanku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap kakakku sebagimana aku ingin melihat adikku melakukannya terhadap aku dan demikianlah selanjutnya. Singkatnya merupakan kebalikan daripada ujar-ujar yang kau sebut ke dua tadi. Kalau tadi ujar-ujar itu berbunyi jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu, yaitu, Lakukanlah kepada orang lain perbuatan yang kau ingin orang lain melakukannya kepadamu! Jelaskan?"
"Jelas, Locianpwe. Saya teringat akan sebuah pelajaran yang mengatakan bahwa untuk dapat mengatur dan memperbaiki orang lain harus lebih dulu mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri dan untuk dapat mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri harus lebih dahulu mengatur dan memperbaiki diri sendiri."
Kakek itu bersungut-sungut dan mengamang-amangkan telunjuknya kepada Keng Hong, seolah-olah hendak menusuk hidung pemuda itu dengan telunjuknya. "Wah-wah, engkau sekali lagi menyinggung aku, ya? Kata-katamu itu benar-benar "mengenai" namanya! Kau tentu bertanya dalam hatimu apakah aku yang mengajar orang lain ini sudah mengatur keluarga sendiri dan telah memperbaiki diri sendiri, bukan? Akan tetapi kata-katamu itu memang amat perlu diperhatikan tiap orang. Memang apakah artinya mengajar orang lain atau keluarga sendiri kalau tidak dapat lebih dulu memperbaiki diri sendiri. Siu-sin (mengatur dan memperbaiki diri sendiri) ini merupakan pelajaran terpenting dari Nabi Khong Hu Cu mengajarkan demikian : Seorang Kuncu tidak boleh tidak harus mengatur dan memperbaiki diri sendiri. Untuk dapat memperbaiki diri sendiri, tidak boleh tidak harus mencinta dan berbakti kepada orang tua.
Untuk dapat mencinta dan berbakti, tidak boleh tidak harus tahu akan prikemanusiaan. Untuk dapat tahu akan prikemanusiaan, tidak boleh tidak harus tahu akan ketuhanan!"
"Saya mengenal pelajaran itu, Locianpwe. Dilanjutkan dengan pelajaran bahwa ada lima macam jalan kebenaran, yaitu tata susila antara raja dan hulubalangnya, antara orang tua dan anaknya, antara suami dan isterinya, antara kakak dan adiknya dan antara sahabat dengan handai taulannya. Untuk melaksanakan tata susila itu terdapat tiga dasar kebajikan, yaitu pengertian (kesadaran), welas asih, dan gagah berani."
"Benar.... benar....!" Kalau sudah melaksanakan dalam hidupnya semua pelajaran itu, mau apalagi hidup di dunia? Heh-heh-ha-ha-ha! Senang sekali hatiku bertemu dan bicara denganmu Keng Hong! Engkau masih muda akan tetapi engkau sudah banyak mengerti tentang ilmu kebatinan!"
"Aahhh, Locianpwe. Saya hanya seperti seekor burung beo yang meniru-niru belaka. Ujar-ujar dan ayat-ayat suci, pengetahuan tentang agama bukannya hal yang perlu diributkan dalam percakapan melainkan pelajaran yang harus dilaksanakan dalam perbuatan. Kalau tidak dengan Locianpwe, sungguh saya tidak berani bicara soal itu. Hanya satu hal yang amat membingungkan hati saya, Locianpwe. Saya sudah banyak mendengar akan kebijaksanaan kaisar yang pandai mempergunakan orang-orang bijaksana, sehingga buktinya Locianpwe menghabakan diri kepada kaisar. Hal ini saja sudah cukup bagi saya untuk membuktikan kebenaran kabar yang saya dengar itu. Akan tetapi, Locianpwe. Mengapa dalam tempat yang bersih disimpan barang yang kotor? Mengapa kaisar yang bijaksana memelihara srigala dan harimau buas? Mengapa orang-orang macam mereka itu diangkat menjadi pengawal-pengawal?"
"Mengapa tidak? Hal itu justeru menunjukkan betapa bijaksananya kaisar ! Dapat menjinakkan srigala dan hariau sehingga mengubah mereka dari binatang-binatang buas perusak tiada guna menjadi anjing-anjing penjaga yang amat berguna, betapa bijaksananya itu!
***
Jauh lebih bijaksana daripada membiarkan mereka berkeliaran bebas melakukan pengrusakkan sehingga perlu mengerahkan tenaga untuk mengejar-ngejar dan berusaha membasmi mereka!"
Keng Hong tidak membantah, akan tetapi diam-diam dia tidak menyetujui kebijaksanaan itu.
Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri. "Cia Keng Hong, kuperingatkan kepadamu, jangan sekali lagi engkau mengacau istana, karena kalau engkau ulangi lain kali aku sendiri tentu akan ikut muncul untuk menentangmu! Aku suka kepadamu, akan tetapi kalau urusan pribadimu kau bawa-bawa ke istana sehingga mengacaukan istana, terpaksa aku melupakan rasa sukaku kepadamu. Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, kakek aneh itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Keng Hong memandang bengong, teringat akan nasihat Panglima The Ho dan juga nasihat pengawal lihai Tio Hok Gwan.
Baru pergi belasan langkah, Siauw-bin Kuncu menoleh dan berkata, "Aku mendengar bahwa pengawal rahasia wanita itu mempunyai pondok di luar kota raja sebelah barat, pondok mungil warna merah!" Setelah berkata demikian, kakek itu bergerak cepat sekali dan seperti juga dahulu. Keng Hong merasa geli dan kagum melihat kakek itu meloncat-loncat dengan kedua lengan digerakkan seperti seekor ayam lari akan tetapi gerakannya cepat sekali. Juga hatinya girang. Ternyata biarpun mulut orang-orang seperti Siauw-bin Kun-cu dan Tio Hok Gwan menentangnya, namun di hati mereka itu berfihak kepadanya dalam menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Ia harus bersabar dan menanti saat dan kesempatan baik untuk menyergap Cui Im di luar istana, dan kalau mungkin di luar kota raja.
Bayangan putih itu berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata manusia biasa saking cepatnya. Kalau ada orang melihat bayangan putih itu berkelebat di dalam hutan itu, mendengar isak tangisnya, tentu orang itu akan mengira bahwa yang berkelebatan itu adalah iblis penghuni hutan! Bayangan putih itu adalah Biauw Eng. Dara ini setelah melarikan diri dari kota raja lalu berlari ke utara. Di sepanjang jalan ia menangis, menangis dengan hati pilu. Ibunya telah dibunuh bekas sucinya dan denda ini bukan hanya tidak dapat ia balas, bahkan ia kehilangan Lai Sek, pemuda yang amat mencintanya. Dua peristiwa ini, kematian ibunya dan Lai Sek, merupakan malapetaka hebat yang amat melukai hatinya, akan tetapi lebih hebat lagi adalah luka di hatinya karena pertemuannya dengan Keng Hong. Dia harus mengakui bahwa cinta kasihnya terhadap Keng Hong tidak lenyap, bahkan makin mendalam. Akan tetapi setelah ia menguji hati Keng Hong, ternyata bahwa Keng Hong tidaklah setulus dia cintanya. Keng Hong hanya mencinta tubuhnya, mencinta kecantikannya sehingga ketika ia mencoba dan membohonginya, mengatakan bahwa tubuhnya telah dimiliki Lai Sek, pemuda itu menjadi marah dan menghinanya! Ah, betapa dangkal cinta kasih Keng Hong terhadap dirinya, kiranya sama saja dengan cinta kasih pemuda itu terhadap Cui Im atau terhadap para wanita yang pernah dilayaninya bermain cinta. Cinta pemuda itu sifatnya hanya badani belaka, cinta nafsu, cinta berahi! Buktinya, begitu mendengar bahwa tubuhnya telah dijamah pria lain, Keng Hong menjadi marah. Padahal, cinta kasihnya terhadap Keng Hong amatlah murni. Dia sudah memaafkan Keng Hong walaupun dia tahu bahwa pemuda itu telah bermain cinta dengan Cui Im dan dengan gadis-gadis lain. Cintanya amat mendalam dan dia sudah berkabung untuk pemuda itu selama bertahun-tahun. Biarpun tadinya menyangka bahwa pemuda itu telah tewas, ia tetap mencinta Keng Hong. Dan kini, setelah bertemu dengan pemuda yang ternyata masih hidup itu, ia dikecewakan!
Makin diingat, makin sakit hatinya dan dengan tubuh lemas Biauw Eng menjatuhkan diri di atas rumput dalam hutan itu. "Ahhh, Keng Hong.... alangkah kejam hatimu...!" Tentu saja ia melarikan diri dari Keng Hong karena maklum bahwa kalau ia mengikatkan diri dengan pemuda itu, akhirnya ia hanya akan dianggap sebagai sebuah benda indah, dijadikan benda permainannya. Tentu saja dia tidak sudi. Lebih baik berpisah! Akan tetapi, betapa sengsaranya perasaan hatinya terpisah dari pria yang dicintanya!
"Aduhhh..., daripada menderita siksa batin seperti ini, lebih baik aku mati saja...! mati menyusul ibu... Menyusul ayah...." makin terisak ia menangis ketika teringat bahwa dia adalah puteri Sin-jiu Kiam-ong. Dia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Dan Keng Hong adalah murid ayahnya, murid yang terkasih! Kalau saja ia dapat bersanding dengan Keng Hong, akan terobatilah rindunya kepada ayahnya. Akan tetapi Keng Hong....!
"Lebih baik aku mati...!" Dan gadis itu menangis sesenggukan, air matanya seperti air sungai meluap, membasahi kedua pipinya, terus menurun ke dagu dan menetes ke dada.
Akan tetapi Biauw Eng adalah seorang gadis yang semenjak kecilnya digembleng kegagahan oleh mendiang ibunya. Semenjak kecil dia diajar menghadapi segala apa pun di dunia ini penuh ketahanan, penuh keberanian dan kepercayaan kepada diri sendiri. Kini, pikiran ingin mati hanya terucapkan di mulut karena dorongan rasa duka yang amat mendalam. Di dalam hatinya, tidak seujung rambut pun keinginan untuk mati, apalagi bunuh diri yang dianggapnya perbuatan seorang pengecut. Ia tidak takut apa pun juga, mengapa takut melanjutkan hidup. Pula, kematian ibunya belum terbalas! Pada saat itu, tidak mungkin bagi dia untuk membalas dendam karena jelaslah bahwa menghadapi Cui Im, dia tidak dapat berbuat apa-apa.
Bekas sucinya itu, yang dahulu bekas lawannya dan akan dapat ia kalahkan dengan mudah, kini telah menjadi seorang wanita yang amat lihai, memiliki kepandaian ynag jauh mengatasinya. Apalagi di sebelah Cui Im terdapat Siauw Lek yang juga amat lihai. Kalau saja ada Keng Hong di sampingnya, tentu mereka berdua akan dapat mengalahkan Cui Im dan Siauw Lek. Keng Hong....! Ah, tak dapat diharapkan dan ia pun tidak sudi minta pertolongan pemuda berhati palsu itu! Dia tidak takut mati, akan tetapi dia pun bukan seorang tolol yang menyerahkan kematian begitu saja denagn nekat menyerang Cui Im. Ibunya dahulu meberi tahu bahwa dengan nekat menyerang lawan yang jauh lebih kuat sehingga diri sendiri dirobohkan, bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan seorang tolol!
Habis, apa yang akan ia lakukan? "Aduh, ibu...!" Biauw Eng menangis lagi, baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa tidak berdaya, kehabisan akal dan kehabisan semangat. Luka di hati karena asmara memang amat pedih, apalagi kalau dirasakan dan dikenang. Memang sesungguhnya bukan apa-apa, karena luka seperti itu akan lenyap dengan sendirinya, akan sembuh tanpa diobati. Obatnya hanya tidak memikirkannya lagi dan mencurahkan pikiran untuk hal-hal lain yang banyak terdapat dalam hidup. Akhirnya tentu akan lenyap dan kemudian orang yang tadinya terluka asmara akan tertawa geli kalau mengenang kelakuannya sendiri. Akan tetapi kalau dikenang dan dirasakan, memang tidak ada luka lebih pedih daripada luka asmara, tidak ada penyakit yang lebih parah dan berat daripada penyakit asmara!
Tidak, dia tidak akan mati! Dia tidak boleh putus asa! Ia teringat akan ibunya. Ibunya dahulu juga disakitkan hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong! Ayahnya, atau guru Keng Hong telah menggoda ibunya, bahkan lebih jauh perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, yaitu telah melakukan hubungan cinta dengan ibunya sehingga ibunya mengandung! Dan ayahnya itu tidak pernah kembali kepada ibunya.
Biarpun demikian, ibunya tidak putus asa, bahkan lalu mengasingkan diri dan berhasil memiliki ilmu kepandaian tinggi, menjadi Lam-hai Sin-ni, tokoh pertama dari semua datuk hitam! Mengapa dia tidak meniru perbuatan ibunya? Ia akan pergi jauh, jauh dari tempat ramai, menggembleng diri dengan ilmu sehingga ia akan dapat memiliki ilmu kepandaian yang akan dapat mengatasi Cui Im! Dia lebih beralasan untuk hidup daripada ibunya dahulu! Dia akan menggembleng diri dan kelak akan membalas dendamnya kepada Cui Im!
Pikiran ini mendatangkan semangat baru dalam hati Biauw Eng. Tidak, dia tidak akan putus asa. Sedikitnya, hubungannya dengan Keng Hong belum sejauh hubungan antara ibunya dengan Sin-jiu Kiam-ong! Dia masih gadis. Lai Sek sekalipun, Lai Sek yang amat mencintanya, yang selalu siap berkorban apa saja untuknya, bahkan yang telah ia serahi seluruh tubuhnya, Lai Sek pun tak pernah menyentuhnya! Sungguh seorang pemuda yang hebat! Cinta kasihnya demikian murni! Kalau saja Keng Hong memiliki cinta kasih seperti Lai Sek. Ah, tidak perlu memikirkan Keng Hong lagi.
"Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Dia laki-laki yang tidak berharga! Aku.... benci kepadanya!" Biauw Eng melompat bangun lalu lari secepatnya ke utara. Ia lari seperti dikejar setan, dan memang dia melarikan diri untuk lari dari bisikan yang mengejarnya, bisikan bahwa tidak mungkin ia dapat melupakan Keng Hong, bahwa tidak mungkin ia dapat membencinya. Betapapun cepat ia lari, suara bisikan ini terud mengejarnya, terus terdengar oleh telinganya karena yang berbisik adalah hatinya sendiri. Ah, cinta! Sungguh engkau dapat berubah dari seorang dewi pembawa bahagia menjadi seorang iblis yang kejam pembawa derita sengsara! Dan betapa bodohya orang muda yang sudah dicengkeram kuku-kuku beracun dari asmara! Lebih lagi, betapa bodohnya seorang pemuda seperti Keng Hong yang tadinya tidak dapat membedakan antara cinta kasih seorang gadis seperti Biauw Eng dari cinta nafsu seorang wanita macam Cui Im!
***
Biauw Eng melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah. Hanya kalau kakinya sudah mogok saking lelahnya, baru ia beristirahat. Kalau matanya sudah hampir tak dapat dibuka saking kantuknya, baru dia tidur dan kalau perutnya sudah tak dapat menahan laparnya, baru ia mencari makanan pengisi perut. Berbulan-bulan dara yang merana karena asmara ini melakukan perjalananke utara dan pada suatu pagi ia memasuki sebuah hutan di lereng Pegunungan Go-bi-san. Pakaiannya yang berwarna putih itu masih bersih karena sering kali dia berhenti dan mencucinya di sungai atau danau, akan tetapi pakaian itu sudah banyak yang robek, juga sepatunya sudah bolong-bolong. Kulit mukanya yang biasanya halus putih itu kini agak hitam karena setiap hari dibakar terik matahari. Hanya ada perubahan yang amat menyolok, yaitu pada pandang mata gadis ini. Dahulu, ketika masih bersama ibunya, ketika namanya terkenal sebagai Song-Siu-li (Dara Jelita Berkabung) pandang mata, sikap dan bicaranya dingin seperti sebuah gunung es, dingin akan tetapi amat ganas dan ia dapat membunuh lawannya dengan mata tanpa berkedip. Akan tetapi kini pandang matanya bersinar-sinar penuh api dan semangat, tanda bahwa di dalam hatinya terkandung cita-cita yang amat besar. Selain pandang matanya berubah panas, juga ada kematangan dalam sikap dan suaranya. Kematangan seorang dara muda yang tergembleng oleh tekanan-tekanan batin yang hebat.
Keadaan di hutan itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Banyak tetumbuhan yang aneh dan tak pernah dijumpainya di selatan. Juga banyak terdapat burung-burung indah beraneka warna bulunya. Banyak pula kembang-kembang yang indah bentuk maupun warnnanya. Biauw Eng duduk beristirahat di bawah pohon, memperhatikan bunga kuning yang tumbuh di dekatnya. Bunga itu aneh bentuknya, dapat dikatakan buruk dan tidak berbau wangi. Tak jauh dari bunga kuning ini tumbuh bunga lain yang warnanya merah, bentuknya indah seperti bunga kiok-hwa (seruni) dan berbau harum.
Bunga ini dikelilingi beberapa ekor kumbang yang seolah-olah berebut hendak memasuki kelopak bunga merah dan menghisap madunya. Bunga kuning yang buruk itu tidak dihiraukan kumbang.
Biauw Eng menarik napas panjang mengulur lengan dan menyentuh bunga kuning dengan ujung jar-jari tangannya, sentuhan halus penuh kasih sayang dan rasa iba.
"Jangan berduka, bunga kuning," bisiknya menghibur. "Dalam kesepianu, engkau lebih bahagia daripada bunga merah itu.
Biauw Eng memperhatikan bunga-bunga itu dan menghela napas panjang. Betapa sama nasib bunga-bunga ini dengan nasib para wanita. Di mana -mana, seperti bunga-bunga ini, wanita menjadi permainan kaum pria. Hanya wanita-wanita cantik yang dikejar-kejar kumbang. Pria dan kumbang sama saja. Pria tertarik oleh kecantikan wanita seperti kumbang tertarik oleh keharuman madu kembang. Kembang-kembang yang tidak harum, seperti kaum wanita yang tidak cantik, tidak dipedulikan dan tersia-sia. Namun, kembang-kembang tidak harum dan wanita-wanita tidak cantik tidaklah lebih sengsara daripada nasib kembang-kembang harum atau wanita-wanita cantik. Kembang bermadu setelah madunya habis dihisap kumbang, lalu ditinggal pergi tanpa pamit oleh si kumbang. Wanita cantik setelah dipermainkan oleh pria, seperti kembang habis madunya, seperti tebu habis manisnya, lalu disia-siakan dan ditinggal begitu saja! Seperti ibunya! Dan dia tidak mau dijadikan seperti ibunya seperti kembang beradu harum yang kelak disia-siakan. Tidak, lebih baik menjadi kembang kuning yang tidak dipedulikan kumbang, akan lebih segar dan dapat bertahan lama, tidak mudah layu! Persetan dengan kumbang-kumbang palsu itu! Persetan dengan cinta kasih pria-pria palsu yang hanya membutuhkan kecantikan wajah dan keindahan tubuh!
Tiba-tiba rasa bencinya kepada kaum pria yang mempunyai cinta kasih palsu melimpah dan membuat Biauw Eng marah kepada kumbang-kumbang itu.
Tangan kirinya bergerak menampar dan empat ekor kubang besar terkena tamparan tangannya, terbanting hancur di atas tanah, di bawah kembang kuning. Biauw Eng memandang puas. "Tersenyumlah, kembang kuning. Tertawalah, dan lihat kumbang-kumbang palsu itu kini menjadi bangkai, sebentar lagi membusuk dan dimakan semut!" Saking gembiranya dan puas hatinya melihat "kumbang-kumbang berhati palsu" itu tewas, Biauw Eng bicara dengan keras, seolah-olah kembang kuning merupakan seorang wanita lain yang perlu dihibur hatinya.
Tiba-tiba, agaknya terkejut oleh suaranya, dua ekor kijang berbulu coklat berkuningan seperti emas meloncat keluar dari balik semak-semak. Biauw Eng terkejut dan memandang, ketawa senang dan ia merasa kagum sekali menyaksikan dua ekor kijang jantan betina yang berkejaran itu. Saking gembiranya, Biauw Eng lupa diri dan seperti seorang anak kecil yang nakal, ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan meloncat pula, lari mengikuti dua ekor kijang yang berlari naik ke bukit.
Dua ekor kijang berlari makin cepat dan kelihatan ketakutan, mengira bahwa manusia yang dapat berlari cepat di belakang mereka itu mengejar mereka dan hendak menangkap mereka. Mereka mengeluarkan suara ketakutan dan lari kacau balau. Melihat ini, Biauw Eng menjadi kasihan dan mengikuti dari jauh agar dua ekor kijang itu tidak menjadi ketakutan. Ia berniat untuk mendekati mereka secara sembunyi agar dia dapat memandang mereka sepuas hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang amat nyaring, yang menggetarkan seluruh permukaan bukti. Gerengan ini disusul suara mengembik yang menyayat hati, dua kali beruntun. Biauw Eng terkejut bukan main dan cepat ia meloncat tubuhnya berkelebat mengejar ke arah suara. Ketika ia tiba di tempat itu, dara ini memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali saking marahnya.
Dua ekor kijang jantan dan betina yang berkejaran tadi kini telah menjadi bangkai, leher mereka terluka dan robek, darah mereka menjadi satu membasahi rumput dan di antara bangkai kedua kijang itu berdiri seekor harimau besar yang mengaum perlahan lalu mencium-cium darah dan tubuh kijang, agaknya hendak menikmati baunya yang sedap dan gurih sebelum mengganyangnya. Harimau itu besar seperti anak lembu, bulunya kehitaman, ekornya panjang melingkar dan yanganeh sekali adalah sebuah tanduk yang tubuh di antara kedua telinganya yang kecil!
Akan tetapi Biauw Eng tidak memperdulikan keanehan binatang ini. Hatinya telah dikuasai nafsu amarah dan sambil mengeluarkan jerit melengking ke depan, menerjang hariau bertanduk satu itu. Dalam kemarahannya, Biauw Eng menubruk maju dan menghantam dengan tenaga sekuatnya ke arah kepala harimau yang ada tanduknya itu.
"Siuuuuuuttt.... werrrrrrr!"
"Aihhhhh!" Biauw Eng berseru kaget karena pukulannya yang cepat dan kuat itu mengenai tempat kosong! Ternyata harimau bertanduk itu telah dapat mengelakkan pukulannya. Padahal pukulan tadi tidak akan mudah dielak begitu saja oleh seorang ahli silat yang belum memiliki kepandaian tinggi! Tentu saja merupakan hal yang amat aneh kalau seekor binatang dapat mengelak dengan gerakan yang begitu cepat akan tetapi juga seenaknya saja karena Biauw Eng melihat betapa harimau itu mengelak secara tenang tidak tergesa-gesa, hanya dengan miringkan kepala ke kiri!
Biauw Eng yang marah sekali melihat sepasang kijang menjadi bangkai diterkam oleh harimau ganas ini, cepat memutar tubuh dan melanjutkan gerakannya dengan sebuah tendangan. Ujung sepatunya meluncur cepat menyambar bawah iga binatang itu. Akan tetapi, sambil mengaum harimau itu kini mengelak dengan loncatan ke belakang dan kaki depan kiri yang bercakar runcing tiba-tiba diangkat menampar ke arah kaki Biauw Eng!
"Ehhh.....!" Biauw Eng terpaksa menarik kembali kakinya. Ia tidak takut dicakar, akan tetapi celana dan sepatunya bisa dirobek kalau terkait kuku-kuku yang kuat itu. Ia makin heran dan penasaran. Dua kali dia enyerang dan dua kali binatang itu mampu mengelak, bahkan balas mencakar ke arah kakinya. Biauw Eng hampir tidak percaya. Cepat ia menerjang lagi, kini menggunakan seluruh kecepatan gerakannya, melambung dan ketika tubuhnya menubruk dan menukik, tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah mata harimau itu, dan tangan kanannya diiringkan menghantam ke arah tengkuk. Dua serangan ini ia lakukan sambil mengerahkan Iweekang. Melihat gadis itu yang malah menerkamnya, harimau tanduk satu mengangkat muka, agaknya terheran, akan tetapi begitu angin serangan yang dahsyat menyambar, harimau mengaum dan tiba-tiba tubuhnya merendah dan diputar, lalu kaki depan kanannya membuat gerakan melingkar, menangkis tusukan jari ke arah matanya, sedangkan tangan kanan Biauw Eng yang menghantam tengkuk itu ditangkisnya dengan ekornya yang panjang, yang dipergunakan seperti cambuk diayun dari belakang.
"Plakkk! Dukkk!"
"Hayaaaaaa....!" Biauw Eng cepat melempar diri ke belakang. Tangkisan-tangkisan itu membuat kedua pukulannya tertahan dan harimau agaknya menjadi marah itu tadi sambil menangkis sudah menggerakkan kepala menggigit sehingga Biauw Eng terpaksa melempar tubuh ke belakang. Akan tetapi baru saja meloncat turun, harimau yang marah itu sudah menerjangnya dan membalas dengan serangan yang dilakukan secara aneh, bukan menubruk seperti harimau-harimau biasa, melainkan menggerakkan kedua kaki depan bertubi-tubi mencakarnya dari kanan kiri, sedangkan tubhnya bergerak maju dengan kaki belakang saja. seperti gerakan manusia!
Biauw Eng melangkah mundur dan melolos sabuknya. Dalam keadaan biasa kiranya gadis ini akan merasa malu menggunakan senjatanya menghadapi seekor binatang hutan.
***
Akan tetapi, ia sudah merasa amat marah melihat sepasang kijang yang dibunuh dan ia tahu bahwa hariau ini bukan sembarangan harimau, melainkan seekor harimau yang memiliki kelebihan daripada harimau lain. Gerakannya selain cepat dan kuat, juga aneh, mirip gerakan yang terlatih, gerakan yang memiliki dasar ilmu silat!
"Binatang jahat dan kejam, mampuslah!" Biauw Eng membentak dan tangannya bergerak. Sinar putih menyambar ke depan, sinar putih panjang dari sabuk suteranya. Dengan sabuk suteranya ini, dahulu Biauw Eng amat dikenal dan ditakuti lawan, karena memang hebat permainan sabuk suteranya yang dala segebrakan saja mampu merapas senjata lawan, kalau perlu mampu merampas nyawa lawan! Kini ujung sabuk sutera itu melayang ke arah kepala, tenggorokan dan lambung harimau dengan kecepatan yang menyilaukan mata. Ujung sabuk yang bergerak bertubi-tubi itu seolah-olah berubah menjadi pukulan banyaknya dan ketika menyambar ke arah harimau mengeluarkan bunyi bercuitan mengerikan.
"Cuiiiiiittttt.... dar-dar-dar...!" Tiga kali ujung sabuk sutera yang tidak mengenai sasaran itu meledak di tempat kosong. Sekali ini Biauw Eng benar-benar terkejut. Binatang buas itu mampu mengelak serangan sabuk suteranya secara beruntun tiga kali dengan cara menggulingkan diri. Mana di dunia ini ada harimau yang mempunyai akal untuk mengelak sambil bergulingan? Dan bukan sampai disitu saja karena tiba-tiba harimau itu mengaum dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu kini berguling mendekat dan secara mendadak sekali tubuh yang kehitaman itu mencelat ke atas dan sudah menubruk ke arah Biauw Eng dengan gerakan dahsyat. Keempat kakinya bergerak hendak mencengkeram akan tetapi dengan cakar-cakar digerak-gerakkan sehingga sukar ditentukan kemana keempat buah cakar yang mengerikan itu akan mencengkeram, dan serangan ini didahului oleh sebatang "cambuk" yaitu ekornya yang digerakkan lebih dulu, bukan menyabet seperti buntut harimau biasa, akan tetapi ekor ini dari bawah menjadi sebatang toya lurus yang menyodok ke arah leher Biauw Eng.
Hebat bukan main serangan binatang itu karena sekali serang, buntutnya menotok leher, keempat cakar kakinya mencengkeram dan mulutnya yang terbuka menggigiit kepala!
"Aihhhhh....!" Biauw Eng kaget, akan tetpi tidak menjadi gugup. Ia merendahkan tubuh, tidak mengelak mundur, bahkan cepat ia menyusup ke bawah tubuh harimau yang sedang meloncat. Harimau menggereng, agaknya menjadi bingung dan merasa diakali oleh lawan karena selagi tubuhnya meloncat tak mungkin membalik. Hanya buntutnya yang dapat digerakkan secara tidak terduga oleh Biauw Eng dan tiba-tiba menyabet ke bawah selagi gadis itu menyusup. Hal ini sungguh tidak terduga oleh Biauw Eng sehingga pundaknya terpukul ekor harimau yang menyambar. Dan ternyata pukulan itu amat keras sehingga Biauw Eng terbanting ke kanan dan pundaknya terasa nyeri seperti dipukul toya oleh lawan yang bertenaga besar! Kini Biauw Eng marah sekali. Ia tidak memperdulikan rasa nyeri di pundak cepat ia melompat bangun dan pada saaat harimau itu melayang turun, sabuk suteranya sudah menyambar ganas, merupakan dua sinar putih karena yang menyambar adalah kedua ujungnya sedangkan dara itu memegang bagian tengah. Kedua ujung sabuk itu dengan kecepatan kilat sudah menyambar dan membelit keempat kaki harimau itu, ujung pertama membelit kedua kaki belakang, ujung ke dua membelit dua kaki depan. Harimau menggereng dan meronta, namun sia-sia karena tubuhnya tiba-tiba terangkat naik tanpa dapat ditahannya lagi. Harimau masih meronta-ronta ketika Biauw Eng mengerahkan tenaga menggerakkan tangan. Tubuh harimau yang sudah dibelenggu oleh kedua ujung sabuk itu kini terbanting ke bawah menghantam sebuah batu gunung.
"Desssss!" Batu itu remuk dan harimau itu menggerang-gerang kesakitan. Kembali tubuhnya terangkat dan kini menghantam sebuah batu lain yang lebih besar, hanya kali ini ia terbanting dengan kepala lebih dulu.
"Prokkk!" Dan kembali batu yang pecah biarpun kepala harimau itu pun terluka dan berdarah. Biauw Eng menjadi penasaran. Betapa kuatnya harimau itu. Saking marah dan penasaran, berkali-kali ia membanting tubuh harimau yang sudah tak berdaya itu sampai kepala harimau itu pecah-pecah. Sebelum tewas harimau itu mengeluarkan suara mengaum yang amat dahsyat dan nyaring, menggetarkan gunung. Biauw Eng lalu melontarkan bangkai harimau itu jauh memasuki jurang. Kemudian Biauw Eng menghampiri bangkai sepasang kijang berjongkok dan memandang bangkai sepasang kijang itu dengan kening berkerut karena kasihan. Akan tetapi kemarahannya mereda dan sekarang, dalam keadaan tidak panas hatinya, baru ia teringat dan terheran-heran penuh kekaguman akan kelihaian harimau itu. Baru keadaannya sudah aneh, kepalanya bertanduk, sungguhpun dalam perkelahian tadi ia melihat bahwa benda di kepalanya itu bukan tanduk keras macam lembu,melainkan segumpal daging yang tumbuh di antara kedua telinga. Selain keadaanya yang aneh, juga kini ia teringat betapa gerakan harimau tidak wajar. Gerakan-gerakannya mengandung tehnik ilmu silat! Cara kaki depan menangkis dari samping dengan gerakan memutar dan membesut, cara buntut harimau itu menangkis dan menyerang, semua itu adalah gerakan ilmu silat!
Kemudian Biauw Eng termenung memandangi bangkai dua ekor kijang itu dan ia merasa heran teringat akan kelakuannya sendiri. Harimau itu membunuh dua ekor kijang ini karena lapar, karena kijang-kijang ini akan dijadikan mangsanya. Kenapa ia marah-marah dan membunuh harimau itu? Hal ini tidak biasa ia lakukan. Mengapa ia menjadi marah melihat harimau membunuh kijang? Bukankah hal itu sudah sewajarnya dan dahulu sudah sering kali ia melihat kejadian seperti ini tanpa terpengaruh sedikitpun? Ia memandang lagi dan tiba-tiba mengertilah dia, lalu menghela napas panjang.
Tadi ia melihat dua ekor kijang itu, sepasang kijang indah, jantan dan betina yang kelihatan rukun. Hatinya yang baru diobrak-abrik asmara itu tadi merasa mesra dan penuh gairah menyaksikan pasangan kijang ini, mengingatkan ia akan Keng Hong. Betapa akan mesra dan bahagianya kalau dia bersama Keng Hong bisa hidup rukun berdampingan seperti sepasang kijang itu. Dan harimau itu kemudian muncul menghancurkan kemesraan yang memenuhi dada. Melihat sepasang kijang rebah menjadi bangkai yang berlumuran darah, ia seolah-olah merasa bahwa si harimau juga menghancurkan kebahagiannya bersama Keng Hong, maka bangkitlah kemarahannya yang luar biasa.
"Ah, Keng Hong... Engkau membuat aku tidak hanya menjadi merana, juga menjadi ... Gila!" keluhnya dan kini hatinya mulai merasa menyesal mengapa ia membunuh harimau yang sesungguhnya tidak bersalah apa-apa terhadap dirinya itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras, teriakan-teriakan yang makin lama makin mendekati tepat itu. Biauw Eng terkejut dan cepat meloncat bangun sambil melibatkan sabuk suteranya di pinggang. Tak lama kemudian muncullah tiga belas orang wanita. Mereka muncul dari berbagai jurusan, ada yang berlari-larian dari atas, ada yang meloncat keluar dari jurang. Gerakan mereka gesit-gesit dan mereka memakai pakaian seraga berwarna kuning. Tangan mereka memegang pedang dan gerakan mereka gesit sekali. Sambil bertteriak-teriak marah mereka mengurung Biauw Eng yang berdiri tegak dengan sikap tenang.
"Dia membunuh tuan muda..!" Beberapa orang di antara mereka berteriak sambil menangis.
"Dia menyiksa tubuh tuan muda...., hi-hi-hik!" Beberapa orang lagi berseru dan…. Tertawa-tawa.
Melihat sikap mereka, meremang bulu tengkuk Biauw Eng. Wajah tiga belas orang wanita yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu rata-rata cantik, akan tetapi sinar mata mereka liar seperti mata orang yang miring otaknya!
Mereka menangis dan tertawa tidak karuan, meloncat-loncat seperti orang menari mengelilinginya.
"Kalian ini mau apakah?" Biauw Eng membentak. "Siapa pula yang membunuh tuan muda?"
"Kau yang membunuh siauw-ya (tuan muda)!" seorang di antara mereka, yang membiarkan rambutnya terurai dan yang kelihatan paling tua di antara mereka juga paling cantik, membentak dengan suara seperti orang menangis, akan tetapi bentakan marah itu disusul suara ketawa cekikikan!
"Aku? Tuan muda yang manakah yang kubunuh?" Biauw Eng bertanya, tengkuknya terasa dingin dan hatinya merasa serem. Mudah di duga bahwa wanita yang mengurai rambut ini tidak waras pikirannya. Akan tetapi kalau gila, masa tiga belas orang wanita yang melihat pakaiannya merupakan pasukan seragam ini gila semua?
"Eh, engkau masih berpura-pura? Engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw (Harimau Tanduk Satu)! Mayatnya kau lempar ke dalam jurang!" Sambil berkata demikian wanita itu menggerakkan pedangnya menyerang.
"Srattttt... Sing-sing....!" Cepat sekali gerakan pedangnya, sekaligus sudah membacok satu kali dan menusuk dua kali. Biauw Eng mengelak tiga kali lalu meloncat mundur, akan tetapi tiga belas orang wanita itu sudah menerjangnya dan menggunakan ginkangnya mengelak ke sana-sini sambil beerseru.
"Heeeeee! Nanti dulu, apakah kalian sudah gila semua? Yang kubunuh adalah seekor binatang! Seekor harimau karena dia telah membunuh sepasang kijang. Aku tidak membunuh seorang manusia, bagaimana kalian menuduhku membunuh tuan muda kalian?"
Tiba-tiba tiga belas wanita itu tertawa semua, tertawa dan dengan telunjuk kiri menuding ke arah hidung Biauw Eng, lalu tertawa lagi terpingkal-pingkal. Melihat ini, Biauw Eng makin terheran dan serem, bahkan otomatis dia meraba hidungnya sendiri. Mengapa hidungnya ditunjuk dan ditertawakan?
***
Hidungnya tidak apa-apa dan gerakannya itu agaknya memancing kegelian hati mereka karena meledaklah suara ketawa mereka makin keras, bahkan ada yang memegangi perut menahan ketawa.
"Hi-hi-hik, heh-heh, engkau sendiri gila mengatakan kami gila! Engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw dan masih menyangkal? Hayo lekas berlutut untuk kamu belenggu dan kami bawa menghadap Thai-houw (Ratu)!" kata pemimpin pasukan itu dan kembali Biauw Eng terkejut. Apakah di tempat seperti itu ada ratunya? Kalau harimau mereka sebut tuan muda, bagaimana macamnya ratu mereka? Tentu mereka ini sekawanan manusia jahat yang sengaja hendak mempermainkannya, dan marah Biauw Eng. Ia tadi melihat gerakan mereka amat gesit dan lihai, aka ia lalu meloloskan sabuk suteranya dan berkata dengan suara nyaring,
"Kalian ini orang-orang gila jangan main-main dengan aku! Pergilah atau kalian akan mampus seperti harimau siluman itu!"
Tiga belas orang wanita itu tertawa cekikikan, akan tetapi di antara suara ketawa ini terdengar oleh Biauw Eng suara tangis, sehingga keadaan amat menyeramkan. Gadis ini menjadi serem karena baru saja ia mengeluh dan merasa menyesal bahwa dia telah membunuh harimau, merasa bahwa Keng Hong membuatnya menjadi gila. Kini, tiga belas orang wanita itu sikapnya begitu aneh dan ia menganggap mereka seperti gila. Benar gilakah mereka ini? Ataukah..., dia sendiri yang sebetulnya gila sehingga hal yang wajar tampak olehnya sebagai tidak wajar? Ia mengkirik dan kemarahan memenuhi hatinya. Ia merasa ditertawakan dan dihina, maka sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring ia lalu menerjang maju, menggerakkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung.
Tiga belas orang wanita baju kuning itu berteriak-teriak dan mengeroyoknya. Biarpun mereka cekikikan seperti orang gila, namun ternyata gerakan mereka selain ringan cepat dan kuat, juga teratur baik sekali sebagai pasukan yang terlatih.
Gulungan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng selalu bertemu dengan sambaran-sambaran pedang yang datang bagaikan hujan. Terpaksa Biauw Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ternyata olehnya bahwa tiga belas orang itu benar-benat amat lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Gerakan pedang mereka aneh, kadang-kadang membacok atau menusuk secara kasar seperti gerakan tukang menebang pohon saja, akan tetapi kadang-kadang gerakan mereka melingkar-lingkar dan sukar sekali diduga kemana hendak menyerang. Namun Biauw Eng adalah seorang wanita yang sejak kecil telah dilatih dengan ilmu silat tinggi maka dengan tenang ia dapat menangkis semua serangan dengan membuat benteng dari sinar putih yang mengelilingi tubuhnya secara rapat sekali.
Yang membingungkan adalah gerakan tubuh dan kaki para pengeroyoknya. Mereka itu bergerak-gerak aneh, kadang-kadang seperti monyet menggoda, dan kadang-kadang seperti tarian manusia-manusia yang liar. Meloncat-loncat, berjongkok, bahkan ada yang bergulingan di atas tanah menyerang dengan pedang membabat ke arah kaki. Ada pula yang meloncat tinggi dan seperti burung mematuk, pedangnya menusuk-nusuk ke arah kepala Biauw Eng!
Biauw Eng terheran-heran. Ilmu silat apakah yang mereka mainkan itu? Dala hal ginkang dan tenaga sinkang, ia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi menghadapi ilmu silat edan-edanan yang selama hidupnya belum pernah ia saksikan itu, ia benar-benar tidak berani bersikap sembrono dan melawan dengan hati-hati sekali. Setelah ia melawan dengan pertahanan ketat sampai lima puluh jurus sambil memperhatikan gerakan mereka, Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa di balik semua gerakan anak-anak dan edan-edanan itu sebetulnya bersembunyi ilmu silat yang dasarnya tinggi dan indah sekali. Gerakan aneh-aneh itu hanya terbawa oleh sifat mereka dan juga dipergunakan untuk mengacau lawan!
Sebagai seorang ahli silat tinggi, begitu mengenal dasar mereka, Biauw Eng dapat melihat gerakan-gerakan yang mengandung kelemahan dari mereka yang lebih rendah, maka sekali ia berseru keras secara tiba-tiba ia merebahkan tubuh terlentang akan tetapi berbarengan sabuk suteranya menyambar dengan lingkaran lebar ke arah kaki tiga belas orang yang mengurungnya! Terdegat jerit-jerit dan tertawa-tawa dan dua orang yang terjungkal roboh karena terlibat sabuk sutera kakinya. Akan tetapi Biauw Eng cepat menarik kembali sabuknya dan menggunakan kedua tangan menekan tanah sehingga tubuhnya sudah mencelat berdiri di atas tanah. Tepat seperti dugaannya, sebelas orang yang berhasil mengelak dari serampangan sabuknya kini menusuk atau membacok pinggangnya. Ia berseru keras, tubuhnya meloncat tinggi. Ia maklum bahwa pedang-pedang itu akan mengejarnya, maka cepat ia menggunakan kedua kakinya membarengi saat semua pedang menyambar, menginjak pedang-pedang itu, meminjam tenaga mereka mengenjot tubuhnya ke atas. Sebelas batang pedang yang kena dienjot itu tertekan ke bawah sehingga memperlambat gerakan mereka, dan pada saat itu, tubuh Biauw Eng yang sudah melayang ke atas cepat membuat gerakan membalik, kepalanya menukik ke bawah dan sinar putih sabuk suteranya menyambar dari atas ke arah kepala orang-orang itu.
"Wuuuttt... Trang-trang-cringggg...!"
Beberapa batang pedang yang menangkisnya terlempar, beberapa orang lagi meloncat jauh menghindar, akan tetapi ada tiga orang yang kurang cepat mengelak sehingga pundak mereka terkena totokan ujung sabuk. Mereka terguling roboh dan.... tertawa cekikikan, padahal yang kena ditotok ujung sabuk adalah jalan darah kin-ceng-hiat-to dan tiong-ca-hiat-to. Mestinya mereka yang tertotok ini mengalami penderitaan karena nyeri, akan tetapi mereka tidak mengeluh tidak menangis malah tertawa sambil meraba-raba pundak!
Dua orang sudah roboh karena kaki mereka terkilir uratnya, tak dapat bangun, tiga orang lagi tertotok roboh, tinggal delapan orang yang kini mulai mengurung lagi. Mata mereka makin liar berputaran,mulut menyeringai, ada yang menjilat-jilat bibir basah dengan ujung lidah merah kecil meruncing,sikap mereka amat menyeramkan. Akan tetapi ada perasaan kasihan timbul di hati Biauw Eng. Dara ini sekarang merasa yakin bahwa yang mengeroyoknya adalah pasukan wanita yang miring otaknya alias gila! Ia pikir lebih baik melarikan diri dari situ meninggalkan orang-orang gila yang sebetulnya tidak berdosa ini. Akan tetapi selagi ia berpikir hendak pergi meninggalkan mereka, tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring melengking, ketawa merdu sekali, akan tetapi ternyata mengandung wibawa hebat bagi delapan serta merta mereka itu menjatuhkan diri berlutut sambil berseru,
"Sian-li datang....!"
Biauw Eng cepat menoleh ke arah wanita-wanita itu menghadap terkejut mendengar mereka menyebut sian-li (dewi) kepada wanita yang tertawa merdu tadi. Ia makin terheran dan terkejut ketika melihat seorang wanita muda berpakaian serba merah. Wanita itu masih muda, hanya dua tiga tahun lebih tua dari padanya, berwajah cantik manis dan bersikap gagah, matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi, akan tetapi di balik kemanisan wajahnya ini terbayng kebengisan dan kekerasan hati. Pakaian yang berwarna merah dan dipinggangnya juga tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir kembang-kembang merah pula.
Dua orang gadis jelita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Diam-diam Biauw Eng bergidik. Kalau para pelayannya yang tiga belas orang itu gila, apakah majikannya tidak lebih gila? Akan tetapi, pelayan-pelayannya sudah begitu lihai, tentu majikannya lebih lihai! Maka ia bersikap waspada, menggulung sabuk sutera dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
"Apa yang terjadi di sini?" Suara wanita baju merah itu halus dan merdu, sikapnya tenang sekali sehingga Biauw Eng menjadi kagum dan lebih hati-hati lagi. Sikap ini saja sudah menimbulkan dugaan bahwa wanita ini tentu amat lihai.
"Tanpa sebab aku dikeroyok oleh pasukan ini, terpaksa aku membela diri," kata Biauw Eng mendahului orang-orang gila itu.
"Hi-hi-hik, orang gila ini bicaranya tidak karuan, Sianli. Dia melakukan tiga macam kesalahan besar. Pertama, dia membikin marah Thai-houw, ke dua, dia membikin sakit hati Sianli, dan ke tiga, dia menyerang kami!" kata wanita gila berambut riap-riapan.
"Bohong!" Biauw Eng berteriak marah dan penasaran."Mereka itulah yang gila dan miring otaknya!"
"Kau yang gila!" Teriak tiga belas orang itu berbarengan.
"Kalian yang gila!" Biauw Eng balas berteriak, tak kalah nyaring.
"Kau......!" Tiga belas orang itu membalas.
"Kalian!" Biauw Eng berseru pula. Beberapa kali tiga belas orang itu dan Biauw Eng saling mengatakan gila.
Dara baju merah mengangkat tangan dan tiga belas orang wanita itu diam, terpaksa Biauw Eng juga diam. "Hemmm, ternyata kalian semua ini gila. Eh, orang berbaju putih dekil kotor. Benarkah engkau telah melakukan tiga dosa besar itu?"
"Tidak! Bohong semua. Coba buktikan, orang-orang gila. Tiga dosa apakah yang kulakukan? Mengapa aku membikin marah Thai-houw kalian sedangkan bertemu pun belum?"
Wanita berurai rambut bangkit berdiri dan menuding ke arah hidung Biauw Eng.
"Tentu saja engkau membikin marah Thai-houw. Engkau memasuki wilayah kekuasaan Thai-houw tanpa ijin, bukankah hal itu berarti engkau membikin marah Thai-houw?"
***
Biauw Eng meraba-raba dagunya. Biarpun alasan yang dikemukakan alasan gila, namun tak dapat disangkal, memang akibatnya akan memarahkan orang yang berkuasa di situ, biarpun ia tidak sengaja melanggar wilayah orang. Ia masih penasaran dan bertanya, "Kenapa kalian katakan aku menyakitkan hati Sianli dan menyerang kalian?"
"Dosamu ke dua, engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw yang menjadi kesayangan Sianli, bukankah berarti engkau menyakitkan hati Sianli? Dan engkau menyerang kami, kalau tidak menyerang, bagaimana lima orang teman kami bisa roboh? Hayo sangkal kalau bisa, orang gila!"
Biauw Eng mengerutkan alis. Mereka itu gila, akan tetapi agaknya memiliki kepandaian berdebat melebihi pokrol bambu! Percuma saja berdebat dengan orang gila, pikirnya. Maka ia lalu menghadapi gadis baju merah yang agaknya tidak gila itu lalu berkata,
"Aku kebetulan lewat di tempat ini, tidak tahu bahwa aku melanggar wilayah orang. Kemudian aku melihat seekor harimau membunuh dua ekor kijang, maka aku lalu membunuh binatang ganas itu. Tiba-tiba mereka ini muncul dan mengeroyokku, terpaksa aku membela diri dan kalau di antara mereka ada yang roboh, hal itu sudah wajar dalam pertandingan."
"Siapa namamu?" Tiba-tiba gadis berpakaian merah itu bertanya.
"Namaku Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng," Biauw Eng memperkenalkan nama julukannya karena bermaksud agar wanita itu tidak akan memandang rendah kapadanya. Akan tetapi ia kecelik, karena wanita itu seolah-olah tidak kaget mendengar nama julukan yang amat terkenal di dunia kang-ouw itu, bahkan bertanya,
"Julukanmu Gadis Berkabung? Untuk kematian siapa engkau berkabung?"
Pertanyaan ini membuat Biauw Eng tertegun sejenak. Semenjak kecil ia suka berpakaian putih, bukan untuk berkabung dan dia mendapat julukan "Berkabung" karena pakaiannya yang selalu putih itu. Kini pertanyaan itu membuatnya berpikir dan tanpa ragu-ragu ia menjawab,
"Aku berkabung untuk ayah bundaku yang sudah tiada."
"Kenapa engkau memakai pakaian putih?"
Pertanyaan tolol, ataukah gila? Biauw Eng mengerutkan keningnya dan menjawab tak sabar, "Tentu saja berpakaian putih, kan sudah jelas aku berkabung?"
Tiba-tiba wanita cantik berpakaian merah itu tertawa, suara ketawanya seperti tadi, nyaring dan merdu sekali dan anehnya, seperti juga tadi, wanita-wanita gila yang mendengar suara ketawa ini lalu menundukkan muka seperti orang ketakutan. Apakah suara ketawa itu merupakan tanda bahwa gadis itu sedang marah?
"Mengapa engkau tertawa?" Biauw Eng bertanya, suaranya dingin dan marah,
Gadis baju merah itu tertawa makin nyaring. "Siapa tidak akan tertawa mendengar engkau berkabung memakai pakaian putih? Lihat, aku pun berkabung karena kematian ayah bundaku, dan aku memakai pakaian serba merah. Ini baru benar-benar berkabung!"
Biauw Eng mengangkat muka dan memandang wajah yang cantik manis itu penuh perhatian. Celaka, pikirnya. Agaknya gadis cantik yang kelihatannya waras ini pun ternyata tidak kalah gilanya dengan ketiga belas orang pelayannya!
"Hemmm, seluruh dunia mengakui bahwa warna berkabung adalah putih yang berarti suci dan warna duka. Kalau engkau berkabung memakai pakaian merah, terserah kepadamu," jawab Biauw Eng yang menganggap tiada akan ada gunanya berdebat dengan orang berotak miring.
"Hi-hi-hi-hi-hik, alangkah lucunya! Siapa bilang warna putih itu suci? Apanya yang suci? Mengapa warna putih dianggap sebagai warna berkabung dan duka? Yang berkabung itu hatinya, ataukah pakaiannya dan warna pakaiannya?"
Diam-diam Biauw Eng mendongkol karena betapapun gilanya bantahan itu, memang sukar untuk dijawab. Memang harus ia akui bahwa yang menentukan berkabung atau tidaknya, berduka atau tidaknya, bukanlah warna pakaian melainkan hati orangnya.
"Sesukamulah, aku tidak ada waktu untuk mengobrol lagi. Aku hendak pergi dari sini!" Biauw Eng lalu meloncat hendak pergi, gerakannya cepat sekali. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan merah melesat cepat seperti kilat menyambar dan tahu-tahuu gadis pakaian merah itu sudah berdiri menghadang di depannya.
"Engkau mau apa?" Bentaknya marah, tidak takut sedikitpun biar ia tahu bahwa gadis itu ternyata memiliki ginkang yang luar biasa.
"Mau apa? Mau membunuhmu! Apakah sepasang kijang itu milikmu?"
"Bukan"
"Nah, engkau telah membunuh kesayanganku sekarang engkau harus menjadi penggantinya, menjadi kesayangan dan teman mainku, kalau tidak mau aku akan membunuhmu."
"Gila! Kau kira aku takut kepadamu?" Biauw Eng tak dapat menahan marahnya lagi dan ia sudah menubruk dan memukul ke arah muka wanita baju merah itu. Gadis itu tertawa, mengangkat tangan dan menangkis.
"Dukkk!" Dua buah lengan yang berkulit putih halus bertemu, dua tenaga dahsyat dari sinkang yang kuat bertumbuk. Akibatnya, Biauw Eng terhuyung ke belakang dan tubuh gadis baju merah itu bergoyang-goyang.
"Hi-hi-hik, tenagamu boleh juga!" Gadis berpakaian merah itu tertawa. "Engkau lebih kuat daripada Tok-kak-houw, pantas dia kalah. Engkau akan menjadi teman main yang lebih menyenangkan."
"Tidak sudi!" Biauw Eng membentak. Tentu saja dia marah sekali. Masa dia hendak dijadikan seekor harimau yang menjadi binatang peliharaan? Karena maklum akan kelihaian lawan, Biauw Eng sudah meloloskan sabuk suteranya dan ia menggerakkan pergelangan tangan.
"Hi-hi-hik, bagus sekali! Mari kita main-main!" Si nona berpakaian merah tertawa dan sinar merah berkelebat ketika ia mencabut pedangnya.
"Wuuuttt.. wirrrr.... cringgg....!" Sinar putih dan sinar hitam itu pecah membuyar dan masing-masing menarik kembali senjatanya ketika ujung sabuk sutera bertemu pedang hitam, membuat tangan mereka tergetar. Biauw Eng terkejut bukan main. Gila atau tidak, gadis baju merah itu benar-benar memiliki sinkang yang kuat, ginkang yang tinggi dan senjata pedang yang ampuh!
"Bagus, engkau lihai juga, Sie Biauw Eng! Jagalah pedangku ini!" Gadis baju merah itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking ketawa yang amat aneh sehingga Biauw Eng merasa jantungnya berdebar dan sinar bergulung-gulung berwarna hitam datang menyambar seperti badai datang mengamuk. Biauw Eng kaget, cepat memutar sabuk suteranya dan bertandinglah dua orang gadis cantik itu dengan seru. Tiga belas orang wanita yang sikapnya seperti gila itu ternyata amat suka menonton pertandingan silat. Mereka kini bangkit berdiri dan menonton, bahkan yang tadi dirobohkan Biauw Eng juga menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Mata yang tadinya liar berputar itu kini kehilangan sifat liarnya, seperti mata orang waras dan memang hanya dalam hal ilmu silat saja mereka ini dapat mengerahkan perhatian maka dapat mempelajari ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi. Betapapun juga, kini menyaksikan pertandingan hebat itu pandang mata mereka menjadi kabur dan kepala mereka terasa pening. Yang tapak oleh mereka hanyalah sinar hitam dan putih bergulung-gulung dan mereka mendengar suara ketawa merdu dari wanita baju merah diselingi pujian-pujian akan kelihaian Biauw Eng.
Puteri Lam-hai Sin-ni makin lama menjadi makin kaget dan juga kagum sekali. Memang banyak sudah ia bertemu tanding yang lihai, akan tetapi selain bekas sucinya yang kini amat lihai, belum pernah ia bertemu dengan wanita sebaya yang memiliki kepandaian seperti wanita baju merah ini. Hatinya panas mendengar pujian-pujian dan suara ketawa yang keluar dari mulut lawannya. Dia sudah mandi keringat dan harus mengerahkan semua tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, tidak berani memecah perhatian. Akan tetapi lawannya masih bisa tertawa-tawa dan memujinya. Pujian itu bagi telinganya merupakan ejekan yang memanas hati. Maka ia melengking nyaring dan mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in-sin-pian (Ilmu Cambuk Awan Putih). Ilmu silat ini sebetulnya diperuntukkan senjata joan-pian, yaitu ruyung lemas atau senjata seperti cambuk. Akan tetapi karena senjata Biauw Eng yang istimewa adalah sabuk sutera, maka kini ilmu itu dimainkan dengan sabuknya dan ibunya dahulu sengaja menciptakan ilmu yang khusus untuk sabuknya diambil dari dasar-dasar Pek-in-sin-pian itu. Segera sabuknya mengeluarkan suara bercuitan dan diakhiri dengan ledakan-ledakan yang keluar dari ujung sabuk yang dilepas kemudian ditarik tiba-tiba seperti orang membunyikan cambuk.
"Hi-hi-hik, ilmu cambuk yang luar biasa!" Wanita baju merah itu berseru keras, akan tetapi seruannya itu disusul pekik kaget ketika tiba-tiba pedangnya terlibat ujung sabuk dan tanpa dapat ia tahan lagi, pedang itu terlepas dari tangannya direnggut sabuk dan terlempar ke atas tanah! Pada detik berikutnya, wanita baju merah itu sudah menyambar ujung sabuk sutera dan terjadillah perebutan ketika mereka saling membetot sabuk sutera.
***
Biauw Eng maklum bahwa kalau mereka berdua berkeras mengeluarkan tenaga, sabuknya akan putus dan hal ini tidak akan menguntungkannya. Maka tiba-tiba ia melepas sabuknya sehingga ujung yang tadi dipegangnya melecut ke arah muka lawan. Wanita itu lihai sekali, melepaskan ujung sabuk sabil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sabuk sutera itu melayang ke belakangnya dan ia tidak mau mengambilnya. Bahkan ia tertawa-tawa dan meloncat maju menghadapi Biauw Eng dengan tangan kosong. "Hi-hi-hik, bagus sekali. Engkau teman main yang menyenangkan. Mari kita main-main dengan tangan kosong!"
Melihat datangnya pukulan, Biauw Eng mengelak dan balas menendang, namun lawannya sudah meloncat ke belakang sambil terkekeh. Biauw Eng kini merasa ragu-ragu. Agaknya lawannya ini yang dianggapnya gila dan jahat, belum tentu benar-benar jahat, karena siapa tahu maksud kata-katanya teman main adalah teman berlatih.
Mungkin sekali harimau tanduk satu yang juga lihai itu selain menjadi binatang peliharaan, juga menjadi teman berlatih silat! Agaknya dia bukan dihina, bukan hendak dijadikan binatang peliharaan teman bermain-main, melainkan dijadikan teman berlatih silat. Berkuranglah kemarahannya akan tetapi ia pun merasa penasaran. Dalam pertandingan tadi, dialah yang sesungguhnya terdesak karena ilmu pedang wanita itu benar-benar luar biasa sekali. Kalau ia tadi berhasil merampas pedang, hal itu mungkin karena lawannya terkejut dan bingung menyaksikan perubahan permainan sabuk suteranya, atau mungkin juga lawannya sengaja menyerahkan pedang untuk merampas sabuk sutera! Dan hasil pertandingan mengadu senjata tadi masih sama kuat, belum ada yang kalah karena keduanya kehilangan senjata.
Dalam hal ilmu silat tangan kosong, Biauw Eng juga amat lihai, maka ia tidak menjadi jerih dan menghadapi lawannya penuh semangat. Akan tetapi, setelah lewat tiga puluh jurus saling menyerang, saling mengelak dan menangkis, tiba-tiba Biauw Eng terkejut sekali menyaksikan perubahan luar biasa pada permainan silat lawan. Kini lawannya itu bersilat dengan aneh bukan main, gerakan-gerakannya kadang-kadang lemas dan indah melebihi keindahan orang menari, kadang-kadang amat kaku dan buruk seperti monyet pincang menari! Dan kadang-kadang bahkan secara tiba-tiba menjatuhkan diri duduk dan membanting-banting kedua kaki sambil menangis seperti seorang bocah nakal sedang ngambek! Akan tetapi dalam keadaan seperti itu diserang, tiba-tiba mencelat dan membalas serangan dengan lebih hebat!
Makin aneh gerakan wanita baju merah itu, makin sukar dilawan karena Biauw Eng menjadi bingung sekali.
Lima puluh jurus telah lewat dan beberapa kali Biauw Eng tertegun dan berhenti setengah jalan dalam penyerangannya karena melihat gerakan lawan yang terlalu aneh. Ia mencoba untuk menyatukan pikiran dan tidak mempedulikan sikap lawan yang luar biasa itu. Sambil berteriak ia menerjang maju, memukul ke arah peruh lawan. Nona baju merah menangkis dan karena posisinya miring ia terhuyung. Baiuw Eng mendesak akan tetapi tiba-tiba lawannya itu berteriak keras sekali. Biauw Eng siap menghadapi terjangan balasan lawan karena teriakan itu biasanya mendahului serangan yang dahsyat. Karena ia tidak berani memandang rendah lawan yang ia tahu amat lihai, mendengar teriakan itu ia siap membela diri. Wanita baju merah itu benar saja menggerakkan kedua tangan, yang kiri ditudingkan ke depan, ke arah hidung Biauw Eng, mulutnya tertawa dan tangan kanan dikepal, terus dihantamkan ke arah.... mukanya sendiri! Biauw Eng terhenti gerakannya, matanya terbelalak lebar saking herannya. Biarpun hanya sedetik dua detik ia terpesona dan terheran, namun yang sedetik dua detik ini sudah cukup mendatangkan bencana baginya karena tahu-tahu kaki lawannya sudah "menyelonong" dan ujung sepatu merah menyentuh lututnya. Tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuh Biauw Eng roboh miring dan sebuah totokan di pundak dan punggung membuat ia tak dapat berkutik lagi!
Lima orang anggota pasukan baju kuning sambil tertawa-tawa menubruk dan mengikat tubuh Biauw Eng seperti orang mengikat seekor domba yang hendak disembelih, kemudian beramai-ramai mereka mengangkat dan menggotong tubuh Biauw Eng, dibawa naik ke atas sebuah puncak sambil tertawa-tawa gembira. Sikap mereka mengingatkan Biauw Eng akan sikap serombongan pemburu yang pulang membawa seekor harimau hasil buruan. Ia bergidik. Akan diapakankah dia? Segala kemungkinan bisa saja terjadi atas dirinya di tangan orang-orang gila ini. Apakah mereka akan memanggangnya seperti orang memanggang domba di atas api sampai kulit dagingnya menjadi setengah matang untuk diganyang dengan teman arak wangi?
Kembali ia bergidik dan meramkan matanya, tidak tahan memandangi wajah yang cantik-cantik akan tetapi yang menyeringai seperti muka kuda sakit gigi itu.
Akan tetapi setelah rombongan aneh ini membawanya tiba di puncak, mata Biauw Eng terbelalak memandang ke depan dan kembali ia meragukan apakah mereka itu yang gila ataukah dia sendiri yang sudah berubah pandang mata dan pikirannya sehingga hal-hal yang sebetulnya biasa dan wajar dia anggap aneh dan gila. Jangan-jangan dia sendiri yang telah gila. Ingin ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi tidak dapat karena kedua tangan dan kedua kakinya dibelenggu pada kayu pikulan di mana ia digotong seperti seekor domba.
Yang membuat ia terbelalak keheranan adalah ketika ia melihat adanya bangunan besar di puncak itu. Bangunan itu besar dan megah, akan tetapi bentuknya sungguh tidak lumrah bangunan manusia. bentuknya pletat-pletot, bulat bukan persegi pun bukan. Tiang rumah yang biasanya dan seharusnya lurus itu berbentuk bengkang-bengkong tidak karuan, tembok yang biasanya rata itu brenjal-brenjol tinggi-rendah tidak karuan pula. Lantainya tidak rata, melainkan penuh lekuk-lengkung sehingga kalau tidak hati-hati berjalan di situ bisa tersanjung atau terjeblos! Pintunya sekecil jendela, sebaliknya jendelanya selebar pintu. Daun pintu bangunan itu dibuka dengan engsel di kanan kiri, atau terbuka dengan mengangkat daun pintu ke atas, melainkan daun pintunya amblas ke dalam lantai. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah ia melihat rumah seperti itu. Agaknya pembuatnya adalah orang-orang dengan pikiran kanak-kanak atau pikiran tidak waras! Ataukah.... Pikirannya sendiri dan pandang matanya yang sudah berubah sehingga ia melihat sesuatu yang wajar akan tetapi kelihatan aneh?
Para pemikulnya melemparkannya di depan pintu gedung aneh itu, dan mereka semua, termasuk gadis pakaian merah berdiri di pinggiran.
Tiga belas orang pelayan itu berlutut dan menyembah dengan muka mencium tanah, sedangkan gadis pakaian merah itu berlutut dengan sebelah kaki.
Tak lama kemudian terdengar suara ketawa dari dalam gedung. Suara ketawa terkekeh aneh dan menyeramkan, seperti suara ketawa kuntilanak. Tubuh ketiga belas orang anak buah pasukan baju kuning tidak ada yang bergerak, muka mereka tetap menempel tanah, sedangkan gadis baju merah yang berlutut dengan kaki kiri itu menunduk, sikapnya penuh hormat. Hati Biauw Eng berdebar tidak karuan. Mahluk apakah yang tertawa seperti itu? Mengingatkan ia akan suara burung hantu yang berbunyi pada tengah malam di tengah tanah kuburan. Apakah ia akan diserahkan mahluk ajaib yang akan mengganyangnya mentah-mentah? Ia bergidik dan membuka mata lebar-lebar penuh perhatian ke arah lubang pintu yang hitam gelap.
Suara ketawa disusul suara batuk-batuk serak dan agak lega hati Biauw Eng. Betapapun juga, yang dapat batuk-batuk seperti itu tentulah seorang manusia. Akan tetapi manusia macam apakah? Terdengar bunyi kaki diseret dan ketukan tongkat, tidak rata bunyinya dan Biauw Eng mengerti bahwa orang yang berjalan di atas lantai berlekuk-lengkung, seperti itu mana bisa rata langkahnya? Tentu sambil berloncatan kalau tidak mau tertelungkup.
Kini muncullah orang yang tertawa dan batuk-batuk itu. Kiranya seorang nenek yang tua sekali, mukanya sudah kempot peyot dan karena ia tertawa lebar, tampak mulutnya tidak bergigi sama sekali. Matanya sipit hampir tertutup, keriput, rambutnya putih semua, muntel seperti kapas basah, seluruh kulit tubuhnya yang tampak, dari muka, leher dan tangan, penuh keriput karena kelebihan kulit kekurangan daging.
Biarpun nenek itu sudah kelihatan tua sekali, akan tetapi pakaiannya amat mewah dan indah, terbuat daripada sutera halus dari barat dan berkembang-kembang lima macam warna, kuning merah biru hitam dan putih!
Sepatunya sulaman dan rambut yang putih tinggal sedikit itu dihias burung hong emas bertabur mutiara! Nenek ini memegang tongkat dan tongkatnya pun terbuat daripada gading yang kepalanya diukir indah merupakan kepala liong. Sukar ditaksir berapa usia nenek ini, tentu sedikitnya ada seratus tahun.
Bukan main, pikir Biauw Eng, setengah geli akan tetapi juga heran dan merasa ngeri hatinya. Inilah agaknya sang ratu yang menjadi peran utama di tempat ini! Ia mengingat-ingat akan penuturan ibunya dahulu tentang nama tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw bagian utara, akan tetapi seingatnya ibunya belum pernah menyebut-nyebut seorang nenek yang masih pesolek seperti ini, yang tinggal di rumah gila dan mempunyai pasukan wanita gila pula! Seingatnya, seorang di antara Bu-tek Su-kwi atau empat iblis tanpa tanding, yang disebut pula empat datuk hitam, yang menguasai daerah utara adalah Pat-jiu Sian-ong, di timur Ang-bin Kwi-bo dan di selatan adalah ibunya sendiri. Adapun tokoh-tokoh di Go-bi-san, yang ia dengar adalah Go-bi-pai atau partai persilatan Go-bi-san yang tersohor ilmu pedangnya akan termasuk golongan putih dan pimpinannya adalah hwesio-hwesio dari barat. Di samping Pak-san Kwi-ong, memang ada tokoh-tokoh Go-bi-san yang tergolong tokoh sesat, yaitu Go-bi Chit-kwi (Tujuh Iblis Go-bi) yang dahulu pernah hampir memperkosa ibunya akan tetapi mereka dipukul mundur oleh Sin-jiu Kiam-ong, sehingga ibunya yang masih gadis menjadi tergila-gila kepada pendekar itu. Akan tetapi Go-bi Chit-kwi sudah mati dan kini yang ada hanya muridnya, yaitu Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang menjadi sahabat bekas sucinya. Akan tetapi nenek gila dan aneh ini? Dia belum pernah mendengarnya!
"Heh-heh-heh! Hun Bwe muridku yang hebat, dewiku yang cantik, untuk apa engkau membawa pula hasil buruan seperti ini? Hi-hi-hi, dagingnya tentu tidak enak dan kalau dipelihara, dia ini gila, bukan?"
***
"Dia gila segila-gilanya, Thai-houw....!" Tiga belas orang anak buah pasukan baju kuning menjawab serentak.
"Dia mengatakan hamba semua gila, hi-hi-hik, ha-ha!" Perempuan berurai rambut berkata sambil tertawa.
"Hush, aku tidak tanya kamu! Mengapa mulutmu terbuka? Bau!" Sang ratu itu memencet hidungnya. Melihat ini hampir saja Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya. Benar-benar ia telah memasuki dunianya orang gila.
"Apa engkau pagi tadi menyikat gigimu?" Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada si rambut riap-riapan.
"Sudah, Thai-houw."
"Perlihatkan gigimu!"
Wanita itu meringis sehingga deretan giginya yang putih seperti mutiara itu tampak semua. Nenek itu menggangguk-angguk. "Baik, akan tetapi awas, kalau gigimu kotor dan bau, akan kucabuti semua. Gigiku dahulu tinggal sebuah, kuning dan bau maka kucabut sekali. Sekarang bersih. Nah, lihat, bagus dan tidak bau,kan?" Nenek itu meringis sehingga tampak gusinya yang kemerahan dan gundul tanpa gigi. Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya dan biarpun kaki tangannya masih terbelenggu, gadis ini cekikikan, tak dapat menahan kegelian hatinya. Melihat ini, nenek itu mencela muridnya yang berpakaian merah.
"Hun Bwe, bagaimana ini? Kulihat dia waras! Dapat tertawa sehat!"
Gadis berpakain merah itu cepat menjawab, "Dia memang gila, Subo, akan tetapi bisa disembuhkan."
"Hemmm, begitukah? Eh, mengapa dia dibelenggu? Kalau mau dipelihara, harus dibebaskan agar dia senang."
"Dia lihai sekali subo. Teecu khawatir dia memberontak."
"Di depanku, mana bisa memberontak?" Nenek itu menggerakkan tongkatnya, dan Biauw Eng terkejut bukan main. Tongkat itu menyambar bagaikan kilat ke arah tubuhnya. Dia memejamkan mata, siap menerima datangnya pukulan maut. Ia maklum bahwa menghadapi pukulan tongkat yang anginnya mendatangkan rasa dingin sekali itu ia takkan dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi betapa herannya ketika tiba-tiba kaki tangannya sudah terbebas daripada belenggu! Ia kagum bukan main, membuka matanya dan melihat betapa tali-tali kuat yang tadi mengikatnya sudah putus seperti dibabat pedang tajam. Padahal tongkat di tangan nenek itu runcing pun tidak melainkan tumpul. Cepat ia meloncat bangun dengan sigapnya, siap untuk mempertahankan diri dan membela diri mati-matian sebelum menyerah.
"Heh, di depan ratumu engkau berani berdiri? Hayo berlutut!" Nenek itu membentak. Biauw Eng adalah seorang gadis yang berhati keras dan tabah, tentu saja ia tidak sudi berlutut di depan nenek gila ini, biarpun nenek ini menamakan dirinya seorang ratu. Akan tetapi sebelum ia membantah, tampak sinar kuning berkelebat ke arah kakinya. Biauw Eng hanya melihat sinar, dapat menduga bahwa dia diserang maka cepat ia meloncat untuk mengelak. Akan tetapi sinar yang ternyata adalah tongkat nenek itu mengejar ke atas, kakinya ditotok dan ia roboh kembali ke atas tanah!
"Heh-heh-heh, berlutut.. rebahlah....!" Nenek itu berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Merah seluruh wajah Biauw Eng, merah saking malu dan marahnya. Ia meloncat bangun lagi, akan tetapi sekali ini bukan sinar kuning tongkat nenek itu yang menyambar, melainkan tangan kiri nenek yang kurus itu mendorong ke depan. Biauw Eng cepat mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi seperti juga tadi, percuma saja ia meloncat ke kiri karena pukulan jarak jauh itu tetap saja mengenai tubuhnya dan ia sekali lagi roboh terguling!"
"Nenek iblis!" Biauw Eng memaki sambil meloncat bangun lagi karena biarpun ia roboh, ternyata hawa pukulan nenek itu tidak melukainya, habya membuatnya terjengkang karena hawa pukulan itu amat kuat.
"Bagus, terima kasih, nona manis! Aku memang nenek iblis, juga nenek ratu! Pujianmu kuterima dengan hati terbuka!"
Nenek itu berjingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil mendapat pujian. Melihat ini, Biauw Eng tercengang. Benar-benar nenek yang miring otaknya dan agaknya nenek ini lihai sekali. Kalau ia tidak cepat merobohkan nenek ini, tentu tidak aka harapan lagi baginya terlepas dari tangan orang-orang gila ini. Pasukan baju kuning dapat ia atasi, sedangkan gadis baju merah biarpun lihai, dapat pula ia tahan karena tidak selihai nenek ini. Ia menggunakan kesempatan selagi nenek itu menari-nari dan memutar tubuh, secepat kilat ia menghantam punggung nenek itu dari belakang.
"Wuuuuuuttt..... bleggg!!" Pukulan Biauw Eng tepat mengenai punggung nenek itu, dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dilatih sambil merendam tangan dalam godokan lima macam racun karenanya dinamai Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Tadi dalam pertandingan melawan gadis baju merah ia tidak tega menggunakan tangan beracun itu, akan tetapi kini menghadapi nenek yang demikian lihainya, yang perlu ia pukul mati agar ia dapat bebas, ia terpaksa mengeluarkan pukulan ini, bahkan memukul dari belakang. Pukulannya mengenai punggungg dengan tepat. Nenek itu mengeluh dan terguling miring, dari mulutnya mengeluarkan darah hitam, tanda bahwa pukulan itu mengenai sasaran dan jantung nenek itu telah keracunan. Anehnya, baik nona baju merah maupun tiga belas orang perempuan baju kuning diam saja seperti patung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Biauw Eng untuk memutar tubuh dan hendak lari meninggalkan puncak. Akan tetapi baru melangkah beberapa tindak, terdengar suara ketawa,
"Heh-heh-heh, dewiku yang manis, kau hendak terbang ke mana?" Biauw Eng terkejut mengenal suara nenek itu dan pada saat itu pun ia terguling roboh karena kedua kakinya kena diserampang tongkat gading. Biauw Eng menggulingkan diri mendekati tambang yang tadi dipergunakan mengikat tubuhnya. Ia melihat nenek yang tadinya roboh mati oleh pukulannya itu kini telah berdiri lagi dan terkekeh-kekeh.
Kiaranya nenek itu tidak apa-apa dan tadi hanya mempermainkannya saja. akan tetapi mengapa mulutnya keluar darah hitam? Biauw Eng bergidik, maklum bahwa nenek ini luar biasa lihainya, memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, lebih lihai daripada ibunya sendiri. Sabuk suteranya telah lenyap ketika ia bertanding melawan nona baju merah tadi, maka ia teringat akan tambang yang tadi mengikat dirinya. Tambang itu pun merupakan benda lemas maka ia dapat pergunakan sebagai senjatanya. Begitu ia meraba tambang, ia cepat meloncat ke arah tubuh nenek itu, sekaligus ujung tambang menotok ketiga belas jalan darah di depan tubuh yang mematikan!
"Heh-heh-heh, engkau memiliki dasar yang lebih baik daripada Hun Bwe...!" Dengan matanya sendiri Biauw Eng melihat betapa totokannya yang bertubi-tubi itu semua mengenai sasaran, akan tetapi nenek itu tidak apa-apa, bahkan akhirnya ujung tambang itu membalik dan menotok dadanya sendiri. Ia cepat menyendal tambang itu sehingga ujung tambang lewat di atas kepalanya. Keringat dingin mulai keluar dari wajah Biauw Eng. Tahulah ia bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Nenek ini memiliki kepandaian yang amat luar bias seperti siluman saja.
"Sumoi, Subo telah mengambilmu sebagai murid, kenapa engkau masih melawan? Hi-hi-hik, Subo, sudah kukatakan bahwa dia ini memang gila. Betul tidak?"
Mendengar ucapan gadis pakaian merah ini. Biauw Eng terkejut. Dia diambil murid? Sejak kapan?
"Subo sudah menyebutmu dewi, berarti engkau menjadi muridnya," kata lagi wanita itu dan setiap kali bicara dengannya, suara wanita baju merah itu tenang dan wajar. Akan tetapi begitu bicara kepada nenek itu atau kepada pasukan baju kuning, gadis baju merah itu lalu ketularan gila!
Giranglah hati Biauw Eng. Bukankah dia mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak dapat menghadapi Cui Im?" Tempat mana yang lebih tepat untuk mengasingkan diri dari dunia ramai daripada tempat aneh di samping sekumpulan orang gila ini?
Dan guru mana yang akan dpat menggemblengnya lebih hebat daripada nenek gila yang meiliki kepandaian tidak lumrah manusia ini? Segera ia dapat mengambil keputusan dan cepat Biauw Eng menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata,
"Subo...!"
"Heh-heh-heh, muridku yang manis, engkau tidak lekas memberi hormat?"
Biauw Eng tercengang. Dia sudah berlutut masih disuruh lekas memberi hormat. Penghormatan apalagi yang harus ia lakukan? Cepat ia melakukan pai-kwi (menyembah) sampai delapan kali. Akan tetapi betapa kagetnya ketika nenek itu berkata lagi,
"Lekas engkau memberi hormat kepada gurumu. Apakah kau tidak suka menjadi muridku?"
Biauw Eng menjadi bingung dan wanita berpakaian merah di dekatnya berbisik,
"Lekas kau mencium ujung kedua sepatunya." Kemudian nona baju merah itu tertawa. "Hi-hi-hik, Subo. Bukankah Sumoi ini masih gila dan belum sembuh benar? Akan tetapi teecu percaya dia akan sembuh."
Biauw Eng terkejut dan hampir saja ia meloncat berdiri untuk memaki-maki nenek itu. Aturan mana ini kalau bukan aturan orang gila? Masa menjadi murid saja harus merendah diri melebihi budak belian, harus mencium kedua ujung sepatu gurunya! Akan tetapi kesadarannya membuat ia mempertimbangkan. Kalau ia bangkit dan menentang, tentu ia akan mati. Ia tidak takut mati, akan tetapi bukankah kematiannya itu akan sia-sia dan bagaimana ia akan dapat membalas dendamnya terhadap Cui Im dibiarkan enak-enak tak terhukum setelah melakukan kekejian terhadap dirinya dan terhadap ibunya?
***
Ia mengeraskan hatinya, lalu menghampiri nenek itu, berlutut dan mencium kedua ujung sepatunya.
"Heh-heh-heh, bagus, bagus, engkau mulai sembuh dari penyakit gilamu! Eh, siapa namamu?"
"Nama teecu Sie Biauw Eng," jawab Biauw Eng, diam-diam mengharap agar nenek itu tidak mengeluarkan perintah yang gila-gila lagi.
"Dukkk...!" Tubuh Biauw Eng terpental dan bergulingan sampai lia meter jauhnya. Kembali nafsu amarah hampir membuat Biauw Eng meloncat bangun, memaki-maki dan melawan. Biarpun tendangan itu tidak melukainya karena ia sebetulnya hanya didorong pada pundaknya dengan ujung kaki, namun penghinaan itu terlampau berat baginya. Untung bahwa sebelum ia melakukan sesuatu yang tentu akan berakibat hebat sesuatu yang tentu akan berakibat hebat bagi dirinya, nenek itu sudah membentak,
"Engkau she Sie ? Apa hubunganmu dengan Sie Cun Hong??"
Saking herannya mendengar nama mendiang ayahnya disebut-sebut nenek itu. Biauw Eng lupa akan kemarahannya. Nenek ini gila, semua orang yang berada disitu gila. Apa salahnya kalau ia membohong? Semua ucapan mereka pun kacau balau dan tidak ada yang benar!
"Teecu tidak mengenalnya. Mengapa Subo menyebut-nyebut nama itu? Siapakah dia?"
"Dia? Heh-heh-heh, dia laki-laki yang paling tampan, paling gagah perkasa di dunia ini! Dia laki-laki satu-satunya yang kucinta, akan tetapi.... sikeparat gila dia menolakku dengan mengatakan aku berotak miring! Heh-heh-heh!"
Mendengar ini dan melihat nenek itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian mendengar pula nona baju merah tertawa diikuti gelak tawa ketiga belas orang pasukan kuning, Biauw Eng lalu tertawa pula. Tertawa bergelak, lebih nyaring dari yang lain karena gadis ini tertawa sewajarnya, timbul dari hati yang girang bahwa ayahnya dahulu menolak nenek ini yang semenjak mudanya sudah gila! Melihat sikap Biauw Eng ini, nenek itu kelihatan senang.
"Heh-heh-heh, muridku yang baik, Biauw Eng dewi manis, ternyata engkau sudah sembuh, tidak gila seperti Sie Cun Hong. Biarlah, biar she-mu Sie akan tetapi engkau tidak ada hubungan dengan dia. Kalau masih keluarga, tentu kubunuh sekarang juga engkau. Dan ibumu, di mana ibumu?"
"Ibu sudah meninggal dunia, dibunuh orang. Ayah pun sudah meninggal dunia!"
"Heh-heh-heh-ha-ha! Orang tuamu sudah mati, orang tuaku pun sudah mati. Orang tua Hun Bwe juga sudah mati semua. Ha-ha-ha, betapa sengsara hidup kita, merana sebangkara... Heh-heh-heh!"
"Hi-hi-hik, sungguh sengsara kita!" Hun Bwe si nona baju merah juga terkekeh.
Biauw Eng menjadi bingung, memandang nenek dan "sucinya" itu yang tertawa-tawa. Mereka bilang hidup sebatangkara ditinggal mati orang tua akan tetapi mengapa mereka tertawa-tawa? Benar-benar gila!
Tiba-tiba nenek itu menghentikan ketawanya dan memandang Biauw Eng. "Eh, kenapa engkau tidak tertawa? Apakah engkau tidak berduka ditinggal mati orang tuamu?"
Biauw Eng terkejut. Ia memang berduka diingatkan bahwa ibunya telah mati dengan mengenaskan. Akan tetapi mengapa dia disuruh tertawa? Karena tidak dapat menyelami isi hati gurunya ia tertawa akan tetapi tidak seperti tertawa, melainkan menyeringai pahit.
"Wah, ketawamu tidak sedap! Mulutmu bau kalau tertawa seperti itu!" Nenek itu membentak.
"Subo, Sumoi masih belum sembuh dari gilanya." Hun Bwee mengingatkan gurunya yang mengangguk-angguk. "Benar, hampir aku lupa. Mari kita rayakan kedatanganmu Biauw Eng. Kita rayakan datangnya muridku yang baru!"
Biauw Eng digandeng tangannya oleh Hun Bwe dan diajak memasuki gedung aneh mengikuti guru mereka. Ternyata di sebelah dalam gedang itu amat luas dan biarpun lantainya tidak rata, namun di dalam gedung itu hawanya dingin dan sejuk.
Celaka bagi Biauw Eng, semua perabot rumah itu aneh-aneh. Bangku-bangkunya diletakkan terbalik, tempat duduknya di bawah dan empat kakinya mencuat ke atas. Mereka duduk di atas kaki-kaki bangku itu. Tentu saja amat tidak enak, akan tetapi Biauw Eng yang mulai dapat menyesuaikan diri, bagi orang yang memiliki kepandaian seperti dia, duduk di atas bangku atau di atas ujung tombak sekalipun, sama saja. Mejanya juga aneh, bentuknya segi tiga tidak rata pletat-pletot dan letaknya miring sehingga kalau meletakkan benda di aatas meja itu tentu akan tergelincir jatuh! Akan tetapi melihat permukaan meja yang miring itu kasar dan banyak lubang-lubangnya, mengertilah Biauw Eng bahwa menaruh benda di situ harus menggunakan sinkang sehingga bendanya ditekan menancap pada permukaan meja! Ketika ia melirik ke arah dinding, disitu terdapat gambar-gambar yang aneh. Warnanya menyolok beraneka macam sehingga menyakitkan mata, dan bentuk lukisan itu sendiri aneh sekali. Ada orang yang matanya hanya satu, hidungnya dua, bahkan ada lukisan orang yang kepalanya di bawah kakinya di atas, matanya berada di kuku jempol kaki! Banyak pula lukisan yang membuat Biauw Eng menjadi pening kepalanya hanya dengan memandanginya saja. sampai hampir pecah rasa kepalanya hanya dengan memandanginya saja. Sampai hampir pecah rasa kepalanya ketika ia berusaha untuk mengerti lukisan apa sebenarnya yang tergantung itu. Namun tetap saja ia tidak mengerti! Bayangkan saja. Lukisan itu merupakan coretan-coretan halus, malang melintang dan saling membelit seperti lima macam benang ruwet menjadi satu! Ada pula lukisan yang merupakan titik-titik hitam di atas putih, dan yang lebih gila lagi adalah lukisan yang hanya hitam saja tidak berbentuk, tak tentu garisnya, akan tetapi lukisan-lukisan aneh ini di taruh di tempat tertinggi dan ada yang diberi bingkai emas!
"Indah,ya?" tiba-tiba nenek itu bertanya kepada Biauw Eng ketika melihat gadis ini memandangi lukisan-lukisan yang menghias dinding.
Biauw Eng terpaksa mengangguk-angguk, akan tetapi ia tidak dapat menahan keingin tahuannya dan bertanya, "Subo, lukisan apakah itu? Apakah lukisan benang lima warna yang ruwet dan awut-awutan?"
"Wah, celaka....! Dasar engkau masih gila, belum sembuh benar, maka tidak bisa mengerti. Itu adalah lukisan yang bernama KECERDASAN!"
Biauw Eng menelan ludah bersama sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah. Lukisan berjudul Kecerdasan? Kecerdasan orang gila!
"Karena engkau gila maka engkau tidak dapat menikmati keindahannya. Lihat saja, betapa goresan si pelukis menjiwai lukisannya. Betapa jelas menggambarkan kecerdasan manusia, seperti benang-benang sutera halusnya, dapat menyusuri setiap liku-liku hidup dan seisi alam mayapada. Hemmm, betapa hebatnya si pelukis!" Nenek itu mengangguk-angguk.
"Dan yang hitam semua itu, Subo. Apakah itu lukisan keindahan waktu malam gelap tiada bulan?"
"Wah-wah, dasar gila! Itu namanya lukisan ketenangan! Dan yang titik-titik hitam di atas putih itu bamanya lukisan Titik-titik Dosa."
Bukan main! Biauw Eng tidak berani memandang atau bertanya lagi, bukan takut disebut gila oleh gurunya, melainkan takut kalau-kalau ia akan betul-betul gila jika ia dapat mengerti lukisan-lukisan seperti itu!
Para anak buah pasukan baju kuning yang kemudian ternyata merupakan pelayan-pelayan dan juga murid-murid si nenek, datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Semua mangkok dan panci berisi hidangan itu mereka taruh di atas meja sambil mengerahkan sinkang mangkok-mangkok itu tertekan di dalam permukaan meja dan tidak jatuh biarpun permukaan itu miring.
"Mari kita pesta, hayo makan, Biauw Eng!"
Biauw Eng mengambil mangkok dan sumpit, akan tetapi begitu sumpitnya menjadi sepotong daging di dalam panci, ia hampir menjerit karena yang disumpinya itu adalah buntut seekor kadal! Tiba-tiba, sebelum ia membuang buntut itu sambil menggigil jijik, kakinya diinjak orang dan ia tahu bahwa yang menyentuh kakinya itu kaki Hun Bwee yang duduk di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat sedetik mata yang indah dari gadis baju merah itu berkedip. Biauw Eng melihat Hun Bwee sengaja menyumpit sebutir kepala kadal yang mata melotot, lalu memasukkan kepala ini ke mulutnya yang merah dan mengunyah, kelihatan enak sekali! Biauw Eng menelan ludah, hampir muntah. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau ia menolak hidangan itu, gurunya yang gila akan marah dan sucinya itu telah memberi isyarat. Mengapa sucinya memberi isyarat ? Ia sambil memejamkan mata seperti orang makan jamu pahit ia memasukkan buntut itu ke mulutnya dan... Ternyata rasanya enak gurih dan baunya sedap. Entah bumbu apa yang digunakan, akan tetapi buktinya enak! Rasa enak ini mengurangi kemuakkannya dan mulailah dia ikut makan.
Dapat dibayangkan betapa muak rasa perut Biauw Eng ketika mendapat kenyataan bahwa yang dimasak itu adalah binatang yang tidak biasa dimakan orang waras. Ada sop cacing, ada tim cecak, goreng kacoa kering, ca ular berbisa dan kadal godok!
"Hayo makan yang kenyang, ini rasakan sopnya, wah lezat sekali!" Nenek itu berkata dan sekali sumpitnya bergerak seonggok cacing memasuki mangkok Biauw Eng! Gadis ini membelalakan matanya, hampir menjerit, akan tetapi kembali Hun Bwee berkedip kepadanya ! Biauw Eng meramkan mata, menyumpit cacing dan memasukkan ke mulutnya. Ihhhh, memang enak rasanya akan tetapi licin dan seolah-olah cacing-cacing itu masih hidup, terus saja meluncur memasuki tenggorokannya terus ke perut. Perut Biauw Eng mual dan hampir ia muntah, dan hanya dengan kekuatan kemauannya saja ia dapat bertahan.
***
Setelah pesta makan, nenek itu lalu menari dan semua orang menari, termasuk Biauw Eng. Gadis ini selalu berusaha mencontoh Hun Bwee, akan tetapi melihat sucinya itu mengegal-egolkan pantatnya yang bulat membusung, menjadi geli dan tertawa bergelak.
"Eh, mengapa engkau berduka? Mari bergembira!" Nenek itu menvela melihat Biauw Eng tertawa dan... Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil menari. Biauw Eng terbelalak heran, lebih lagi kaget dan herannya melihat Hun Bwee juga juga menangis sambil menari. Juga tiga belas pelayan wanita itu menangis semua, ada yang merauang-raung, ada yang sesunggukan, ada yang mengguguk, ada yang terisak-isak. Mereka menangis sambil menari, menggoyangkan pinggul, meliak-liukkan pinggang yang ramping! Benar-benar lucu dan aneh dan.... Gila! Terpaksa Biauw Eng juga ikut menangis dan karena ia teringat akan nasibnya,betapa ia sampai tersesat ke dunia gila dan terpaksa ikut-ikutan gila, tangisnya paling menyedihkan! Hal ini menyenangkan hati nenek itu. Ia menepuk-nepuk pundak biauw Eng sambil menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus, "Aahhh... Muridku yang baik.... engkau paling gembira... Ah, hu-hu-huuu, bagus... Engkau menikmati pesta ini... Hu-hu-huuukkk!"
Biauw Eng merasa pening kepalanya, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Akan tetapi hatinya penuh duka, dan ia sengaja mengenangkan ibunya, mengenangkan Keng Hong sehingga hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin mengguguk.
Akhirnya pesta berakhir dan Biauw Eng disuruh mengaso, tidur bersama Hun Bwee. Kamar tidurnya juga membuat ia menarik napas panjang. Bukan dipan dengan kasur empuk, melainkan dipan kasar dengan "kasur" batu-batu karang yang runcing dan tajam. Ia bekan beristirahat naanya, melainkan menyiksa diri! Melihat wajah suoinya muram Hun Bwee berbisik.
"Sumoi, kau harus pandai menyesuaikan diri. Pilihlah, tidur di atas dipan, atau tidur bersila di lantai atau tidur... Berdiri."
Biauw Eng kehilangan kesabarannya. Disabarnya tangan sucinya dan ia berkata, "Suci, apa artinya ini semua? Aku tahu betul, engkau tidak gila!"
"Sssttttt....!" Hun Bwee menarik tangan sumoinya, diajak duduk di atas lantai dan ia berbisik lirih sekali di dekat telinga suoinya. "Kalau subo tahu, kita tentu akan dibunuhnya. Engkau ingin memperdalam ilmu silat, bukan?"
Biauw Eng mengangguk.
"Sudah kuduga, maka engkau mau menjadi murid. Aku pun begitu hanya subolah yang akan dapat menggembleng kita. Aku baru setahun di sini akan tetapi ilmuku maju pesat secara luar biasa. Demi tercapainya cita-cita kita harus berani berkorban dan di sini kita hanya berkorban menyesuaikan diri dalam dunia yang tidak normal. Akan tetapi kau tunggu saja, hal ini bahkan akan dapat memberi kemajuan kepada ilmu silatmu. Setahun yang lalu, ketika aku tiba di sini, kepandaianku masih jauh di bawah tingkatmu sekarang."
Biauw Eng terkejut. Kalau begitu jelas bahwa kemajuan yang diperoleh sucinya memang hebat sekali. "Suci, siapakah subo itu.."
"Mari kita berbaring di atas dipan batu-batu karang itu. Baik sekali untuk latihan ginkang. Aku dapat menempelkan mulut ke telingamu dan kita dapat mengobrol dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain."
Hati Biauw Eng girang sekali. Kenyataan bahwa sucinya bukanlah orang gila seperti guru mereka dan para pelayan, memberi hiburan yang amat besar dan berpengaruh sehingga rasa mual di perutnya seketika lenyap. Kalau dia harus berpura-pura gila dan makan masakan yang menjijikan itu, kini ia tahu bahwa dia tidak menderita sendirian, ada Hun Bwee yang juga sama dengan dia nasibnya! Kedua dara ini lalu membaringkan diri di atas dipan berkasur batu karang dan melihat betapa sucinya dapat berbaring dengan enak Biauw Eng menjadi kagum akan ginkang sucinya.
Ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan berbaring di sebelah sucinya yang kini ia tahu sengaja mengajak dia untuk dijadikan teman agar penderitaaannya menjadi ringan. Tahulah ia mengapa sucinya ini tadi sengaja memaki-maki dia gila akan tetapi dapat disembuhkan. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hun Bwee dan merasa suka kepada sucinya ini.
Mereka berbisik-bisik dan Hun Bwee menceritakan pengalamannya lebih dulu. Kini mereka bicara sewajarnya seperti orang waras dan Hun Bwee kelihatan berduka sekali, bercerita sambil bercucuran aiar mata. "Namaku Tan Hun Bwee, orang tuaku meninggal duni karena tekanan batin, tidak berhasil membalas dendam kepada musuh besarnya. Aku berusaha melanjutkan cita-cita mereka membalas dendam, akan teetapi musuh besar itu telah tewas. Aku bertemu dengan murid musuh itu, hendak kubalas dendam kepada muridnya, akan tetapi .... aku.... Aku.... Malah diperkosanya...!" Gadis itu menutupi mukanya dan menangis tanpa suara.
Biauw Eng memeluknya. "Aduh, sungguh buruk nasibmu, Suci. Siapakah jahanam itu? Biar kelak aku membantumu menghancurkan kepalanya!"
Hun Bwee menggeleng kepala. "Marilah kita berjanji Sumoi. Kita tidak akan mencampuri urursan kita masing-masing. Urusan pribadi kita harus kita selesaikan sendiri dan marilah kita disini saling melatih agar dapat cepat memperoleh hasil, yaitu kepandaian tinggi untuk membalas dendam."
Biauw Eng menarik napas panjang. Ada benarnya kata-kata sucinya ini. Urusan pribadi memang tidak baik kalau dicampuri orang lain, biarpun yang mencampuri itu saudara seperguruan sendiri. "Baiklah, Suci."
Tentu saja Biauw Eng sama sekali tidak pernah mimpi bahwa musuh besar yang dimaksudkan oleh Hun Bwee adalah ayahnya sendiri. Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan bahwa murid musuh besar yang dikatakan memperkosa dirinya itu bukan lain adalah...Keng Hong.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Hun Bwee, puteri mendiang Hek-houw Tan Kai Sek atau Tan-piauwsu yang bersama isterinya mati karena tekanan batin tak mampu membalas dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong, telah bertemu dengan Keng Hong dan betapa dia telah diperkosa oleh Lian Ci Tojin tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng dan menjadi hamba nafsu berahi, kemudian betapa Hun Bwee ditolong oleh Keng Hong akan tetapi menyangka pemuda itu telah memperkosanya.
"Sumoi, sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Tentu pengalamanmu hebat pula, tidak kalah sengsara dari pengalamanku, maka engkau kelihatan seperti orang yang putus asa. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah pengalamanmu kepadaku, Sumoi."
Diam-diam Biauw Eng merasa terharu mendengar ucapan Hun Bwee yang terdengar penuh kasih sayang. Suara seperti ini belum pernah ia dengar, dari mulut ibunya yang bersuara dingin pun belum pernah. Hanya pernah dari suara Keng Hong.... Akan tetapi, pemuda itu hanya menjual madu di bibir! Merasa betapa ia seolah-olah mendapat seorang kakak, ia lalu merangkul leher Hun Bwee dan menangis terisak-isak di dada gadis itu. Hun Bwee mengelus-elus rambut yang hitam berombak itu dan gadis itu pun menangis. Keduanya bertangisan, tangis karena terharu, tangis yang wajar dan tulen, tidak seperti tangis ketika mereka berdua menari-nari tadi.
"Kalau berat hatimu, tak usah kau ceritakan, Sumoi."
"Tidak, Suci... Engkau kuanggap enciku sendiri.. akan tetapi karena janjimu tadi, biarlah kuceritakan tanpa menyebut nama. Namaku memang Sie Biauw Eng, Ayahku telah meninggal dunia dan ibuku dibunuh secara keji sekali oleh suciku sendiri, murid ibuku! Aku telah mencarinya, akan tetapi dia telah memperdalam ilmunya dan kini menjadi seorang yang amat lihai, aku bukan tandingannya sehingga aku hampir putus harapan untuk dapat mengalahkannya.
Selain itu aku... aku, ah... aku mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia ternyata berhati palsu, hanya mencinta jasmaniku dan aku tidak sudi... Ahhh...."
"Sudahlah, Sumoi. Aku dapat mengerti kesengsaraan hatimu. Aku pun mencinta seorang pria, cinta yang baru bersemi karena melihat dia tampan dan gagah perkasa, akan tetapi dia.. dialah yang memperkosa aku..."
Kedua orang gadis itu menjadi akrab, merasa senasib sependeritaan, terutama sekali sependeritaan dalam menyesuaikan diri di tempat itu, di antara sekumpulan orang gila!
"Suci, siapakah sebenarnya subo? Benarkah dia amat lihai?"
"Untik masa sekarang agaknya sukar dicari orang yang lebih lihai dari dia. Engkau tahu, itu Go-bi Chit-kwi yang disohorkan amat lihai, pernah dihajar mati-matian oleh subo sehingga mereka bertujuh merangkak-rangkak minta ampun, baru dibebaskan oleh subo. Kiraku hanya ada satu orang yang mungkin dapat menandinginya, yaitu laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong!"
"Ohhhhh....!" Biauw Eng terkejut.
"Kenapa, Sumoi? Pernahkah engkau mendengar nama Sin-jiu Kiam-ong?"
"Tentu saja. siapakah yang tidak mendengar namanya?" Diam-diam Biauw Eng merasa lega bahwa sucinya tidak pernah mendengar nama julukannya sehingga tidak tahu bahwa dia adalah puteri Lam-hai Sin-ni, sungguhpun andaikata tahu sekalipun, tidak ada halangannya.
Demikianlah, sejak hari itu Biauw Eng menjadi murid nenek itu yang tidak ada orang mengenal namanya. Bahkan Tan Hun Bwee pun hanya mengenalnya sebagai Go-bi Thai-houw (Ratu Go-bi). Biauw Eng dilatih bersama Hun Bwee, akan tetapi tidak sama latihan mereka. Hal ini adalah karena dasar ilmu silat yang mereka miliki jauh berbeda. Nenek itu mempunyai cara mengajar yang amat lucu dan aneh, disesuaikan dengan dasar kepandaian mereka, akan tetapi tampaknya ilmu silat murid-muridnya itu malah "dirusak" karena semua diubah variasinya, diisi gerakan-gerakan seperti orang gila, sungguhpun dasarnya tetap tidak diubah.
***
Dan Biauw Eng mendapat penjelasan dari sucinya yang membuat ia mulai mengerti mengapa pelajaran nenek itu dapat mendatangkan kemajuan yang cepat luar biasa. Kiranya, keadaan nenek yang gila ini serba terbalik dari orang waras, sehingga kalau bergembira ia menangis, sebaliknya kalau berduka ia tertawa. Justeru orang yang dapat menguasai perasaan ini menimbulkan kekuatan batin yang hebat, yaitu dapat tertawa dalam duka dan dapat menangis dalam suka! Sikap seperti ini biasa saja bagi orang gila, akan tetapi kalau dilaksanakan oleh orang waras, merupakan latihan batin yang amat berat dan hasilnya pun bukan main besarnya, karena orang yang dapat melakukannya, berarti dapat mengatasi perasaan dan nafsu-nafsunya. Orang yang tidak dikuasai oleh nafsu, berati selalu dalam keadaan "tiong-yong" (lurus, tegak, tidak berat sebelah). Kalau datang nafsu-nafsu seperti suka-duka marah dan lain-lain, maka perimbangannya menjadi tidak lurus lagi, menjadi miring dan tentu saja hal ini membayangkan kelemahan batin yang dapat mendorong orang lupa diri dan melakukan hal-hal yang menyeleweng. Dalam ilmu silat pun perlu sekali orang dapat mengatasi semua nafsu, karena ia akan menjadi kuat batinnya dan dengan cepat tenaga sakti (sinkang) di tubuh yang terbenam dalam pusar akan menjadi makin kuat.
Karena pada dasarnya ilmu kepandaian Biauw Eng memang lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee, setelah belajar selama setahun saja, tingkat kepandaian Biauw Eng sudah melampaui tingkat Hun Bwee. Melihat ini, diam-diam, Hun Bwee menjadi kagum dan menduga-duga siapakah tadinya guru sumoinya ini. Akan tetapi ia tidak menjadi iri hati karena selama setahun ini ia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng seorang dara yang amat baik budi sehingga hubungan di antara mereka seperti kakak beradik saja. mereka berdua tekun belajar dan berlatih terus di bawah pengawasan Go-bo Thai-houw yang biarpun gila, akan tetapi ternyata amat tekun mengajar dan banyak macam ilmu aneh ia turunkan kedua muridnya.
Kita tinggalkan dulu Hun Bwee dan Biauw Eng yang belajar dengan tekun sekali karena keduanya mempunyai cita-cita. Mari kita mengikuti perjalanan Keng Hong yang telah lama kita tinggalkan. Semenjak pertemuannya dengan Siauw-bin Kun-cu, mulailah Keng Hong dengan sabar sekali melakukan pengintaian untuk dapat bertemu dengan Cui Im di luar kota sehingga ia akan dapat menyergap dan memaksa wanita itu mengembalikan semua pusaka peninggalan gurunya. Akan tetapi sampai tiga bulan lebih ia mengintai dan menunggu, tidak pernah Cui Im mendatangi pondok merah di luar kota raja yang ditunjukkan oleh Tio Hok Gwan itu. Ternyata bahwa Cui Im amat cerdik dan sudah dapat menduga bahwa Keng Hong tentu takkan tinggal diam dan akan berusaha menemuinya di luar istana atau luar kota raja sehingga gadis yang cerdik ini jarang sekali meninggalkan istana. Selain itu, juga Cui Im menyebar banyak mata-mata untuk menyelidiki sehingga akhirnya ia malah tahu bahwa Keng Hong mengintai dan menantinya di luar kota raja, menunggu dia datang ke pondok merahnya! Tentu saja diam-diam Cui Im menetertawakan Keng Hong, malah gadis ini yang mencari akal muslihat bagaimana caranya melenyapkan Keng Hong dari muka bumi karena selama pemuda itu masih hidup, tentu dia tidak akan merasa aman. Cui Im mengerti bahwa dia sendiri takkan dapat mengalahkan Keng Hong, bahkan biarpun ia dibantu oleh Siauw Lek sekalipun, belum tentu akan dapat menandingi Keng Hong. Dia merasa ngeri ketika menyaksikan pertandingan antara Hok Gwan dan Keng Hong, apalagi melihat betapa Keng Hong telah menguasai Thi-khi-I-beng demikian mahirnya, tidak seperti dulu. Tidak ada jalan baginya, untuk dapat menandingi Keng Hong, selain bantuan Siauw Lek.
Dia harus mendapat bantuan orang-orang pandai seperti Pak-san Kwi-ong dan beberapa orang rekannya pengawal rahasia yang berilmu tinggi. Mereka berjumlah tujuh orang. Tentu saja tugas mereka tak mungkin dapat ditinggalkan. Sedikitnya harus tiga orang yang menjaga keselamatan kaisar. Kalau ia dibantu Pak-san Kwi-ong dan Kemutani saja, datuk persilatan peranakan Mongol itu, bersama Siauw Lek, agaknya mereka berempat akan dapat menandingi Keng Hong.
Mendengar dari para penyelidiknya bahwa Keng Hong selalu menanti di luar kota raja sebelah barat, tak jauh dari sebuah pondok kecil mungil warna merah yang telah lama selalu kosong seperti kosongnya hati Keng Hong yang mengintai dengan sabar sampai berbulan-bulan, Cui Im lalu mengajak Pak-san Kwi-ong berunding,
"Engkau telah menyaksikannya sendiri, Kwi-ong, ketika Keng Hong melawan Tio Hok Gwan. Dia telah menguasai Thi-khi-I-beng (Mencuru Hawa Pindahkan Nyawa). Kalau dia tidak dilenyapkan dari muka bumi, bukankah kelak nama kita akan hancur olehnya?"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Nama siapa yang akan hancur, Ang-kiam?" Pak-san Kwi-ong seperti biasa tertawa bergelak dan dia memang tidak pernah mau menyebit Cui Im dengan julukan lengkapnya, yaitu Ang-kiam Bu-tek. Dia tidak mau menyebut gadis itu Bu-tek (Tanpa lawan) karena hal ini akan membuat dia seperti mengaku bahwa gadis itu tidak ada lawannya, berarti dia sendiri pun menyatakan takluk! Maka ia hanya menyebut Ang-kiam (Pedang Merah) saja. "Antara dia dan aku tidak ada urusan sesuatu yang dicarinya bukan aku melainkan engkau. Urusan pribadimu dengan dia kau bereskan sendiri saja kalau kau mampu menghadapinya, ha-ha-ha! Mengapa harus aku mencapuri urusanmu?"
Diam-diam Cui Im menyumpah kakek tinggi besar hitam ini. Akan tetapi biarpun dia jauh lebih muda, patut menjadi cucu kakek itu, dalam hal kecerdikan, Cui Im menang jauh. Ia hanya tersenyum manis, bukan untuk memikat hati Pak-san Kwi-ong.
Dia tahu bahwa kecantikan wajahnya dan keranuman tubuh mudanya tidak akan dapat menggerakkan hati kakek itu. Andaikata demikian halnya, pasti dia tidak akan segan untuk menggunakan umpan lain.
"Kwi-ong, jangan engkau membohong. Bukankah engkau dahulu merupakan seorang di antara mereka yang memperebutkan Sian-bhok-kiam untuk mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong? Keng Hong adalah murid Sin-jiu Kiam-ong!"
Kembali kakek hitam itu tertawa bergelak. "Aku bukan orang bodoh, Ang-kiam. Aku tahu bahwa bocah itu murid Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi kalau dahulu kita semua tidak berhasil membujuk dan mengepung gurunya, bagaimana sekarang akan dapat berhasil memaksa muridnya? Kulihat bocah itu lihai sekali, belum tentu kalah oleh mendiang gurunya, dan juga dalam kekerasan hati, dia tidak kalah. Tidak, aku sudah tua dan kedudukanku di sini sudah amat baik, mau apa lagi? Aku tidak akan mencari penyakit memusuhi murid Sin-jiu Kiam-ong, membahayakan keselamatan sendiri tanpa tujuan yang jelas, kecuali.... Ha-ha-ha, menolong dan membantumu!"
Cui Im tersenyum mengejek,"Hem, tertawalah, Kwi-ong karena engkau belum tahu, nanti ketawamu akan lain bunyinya. Katakanlah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang manakah yang dahulu amat kau inginkan?"
Pak-san Kwi-ong menghentikan tawanya dan memandang wajah cantik itu dengan sinar mata tajam menyelidik. "Hemmm, apa artinya kuberitahukan kepadamu? Akan tetapi tidak apalah kuceritakan juga. Di antara kitab-kitab yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, ada sebuah kitab yang amat kubutuhkan, yaitu kitab Siauw-lim-pai..."
"Seng-to-cin-keng? Ataukah kitab I-kiong-hoan-hiat?" Cui Im memotong.
Kakek hitam itu terbelalak. "Eh, engkau sudah tahu pula? Kitab ke dua itulah, I-kiong-hoan-hiat. Amat kubutuhkan karena ilmu dalam kitab itulah yang akan membantu sempurnanya ilmu yang sedang kuciptakan.
"Sekarang bagaimana? Masih inginkah? Kalau engkau membantuku menghadapi Keng hong, aku tanggung engkau akan memiliki kitab itu."
Kakek itu membelalakkan mata. "Hemmm, jangan main-main. Andaikata aku membantumu dan kita berhasil mengalahkan Keng Hong, dari mana aku akan bisa mendapatkan kitab itu? Aku sangsi apakah dia akan suka menyerahkan kitab itu, dia seorang yang keras hati dan tak mungkin dapat dipaksa dengan siksaan yang bagaimanapun."
"Hi-hi-hik, ternyata engkau biarpun sudah tua masih tetap bodoh, Kwi-ong."
"Apa maksudmu?" Kening tebal itu berkerut dan sinar mata datuk dari utara itu membayangkan kemarahan.
"Kau kira dari manakah aku mendapat kepandaian sehingga kini menjadi Ang-kiam Bu-tek, tokoh nomor satu tak terkalahkan? Kau kira bagaimanakah aku sampai dapat mengalahkan bekas guruku, Lam-hai sin-ni yang menjadi tokoh terkuat dari Bu-tek Su-kwi dan membunuhnya? Dari mana aku mendapatkan kepandaian untuk merobohkan semua jagoan yang berani menentangku, membunuh Sin-to Gi-hiap dan yang lain-lain? Akulah orangnya yang telah berhasil mewarisi semua pusaka Sin-jiu Kiam-ong dan termasuk kitab I-kiong-hoan-hoat. Kalau engkau mau membantuku menghadapi Keng Hong sampai dia tewaskan, aku akan memberimu kitab pusaka Siauw-lim-pai kepadamu."
Sepasang mata yang lebar dan tampak putih sekali karena mukanya hitam itu terbelalak, telinga yang lebar seperti telinga gajah itu bergerak-gerak. Pak-san Kwi-ong sudah maklum akan kelihaian bekas murid Lam-hai Sin-ni itu, akan tetapi mendengar pengakuan bahwa gadis ini yang berhasil mewarisi pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong, benar-benar merupakan hal yang tak disangka-sangkanya. Ia masih belum mau percaya benar, maka dia berkata,
***
"Ang-kiam, bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong?"
"Pak-san Kwi-ong, apakah kepandaianku masih belum meyakinkan hatimu? Apakah engkau perlu untuk mencobanya lebih dulu?" Cui Im meraba gagang pedang merahnya.
"Ha-ha-ha! Kita berdua tentu akan dihukum mati oleh kaisar kalau membuat ribut disini. Tentang engkau pandai sampai setinggi langit, aku tidak peduli. Akan tetapi bagaimana aku bisa percaya bahwa kitab I-kiong-hoan-hiat berada padamu kalau aku belum melihat buktinya?"
"Bagus! Aku akan memperlihatkan kitab itu. Kalau memang benar, maukah engkau membantuku menghadapi Keng Hong dan kalau dia tewas aku akan memberikan kitab itu kepadamu sebagai balas jasa?"
Kakek hitam yang amat membutuhkan kitab itu, mengangguk-angguk.
"Kau tunggulah sebentar!" Cui Im berkelebat pergi dan tak lama kemudian ia sudah datang lagi bersama Siauw Lek yang tersenyum-senyum.
"Lihatlah baik-baik, bukankah ini kitab yang kau inginkan itu?" Cui Im memegang sebuah kitab yang tadinya terbungkus kain kuning memperlihatkan sampulnya dan membuka-buka lembarannya. Sepasang mata kakek hitam itu makin melebar dan wajahnya berseri-seri. Ia mengenal kitab itu yang pernah dilihatnya dahulu di Siauw-lim-si akan tetapi yang tak pernah dapat dia miliki. Dahulu, dia siap mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan kitab ini. Dan sekarang, dia akan dapat memilikinya dengan mudah! Syaratnya hanya membantu Cui Im menewaskan Keng Hong! Kalau dia sendiri disuruh menandingi Keng hong, setelah dia melihat kelihaian pemuda itu bertanding melawan Tio hok Gwan, agaknya akan amat sukar mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi bersama-sama Cui Im dan Siauw Lek yang lihai benar-benar tidaklah amat sukar.
"Baiklah, Ang -kiam Bu-tek. Aku terima permintaanmu! Jawabnya penuh gairah.
Cui Im menyimpan kitabnya di balik baju dengan hati girang. Yang penting adalah menundukkan kakek ini supaya ikut membantunya. Yang penting adalah menewaskan Keng Hong. Kalau hal itu telah terlaksana, tentang pemberian kitab adalah merupakan urusan belakang! Mereka bertiga duduk melakukan perundingan.
"Aku tidak mau bertindak sembrono," kata Cui Im. "Menghadapi lawan yang demikian lihai, kita tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian sendiri agar jangan sampai gagal. Terus terang saja, ilmu kepandaian yang diiliki Keng Hong juga didapatnya dari kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Sesungguhnya, aku tidak akan kalah menghadapinya karena kepandaian kami berdua setingkat dan sesumber. Akan tetapi.." Cui Im menarik napas panjang karena ia benar-benar merasa penasaran dan kecewa, "dia telah dapat dapat menguasai Thi-khi-I-beng yang entah dia dapatkan dengan cara bagaimana. Bahkan dahulu sebelum kami menemukan kitab-kitab itu, dia sudah memiliki ilmu mujijat itu. Akan tetapi, kalau kita maju bersama, kurasa kita akan dapat mengatasinya."
Pak-san Kwi-ong yang kini menjadi bersemangat karena dia ingin sekali segera dapat memiliki kitab I-kiong-hoan-jiat, berkata,
"Kurasa bukan hanya ilmu menyedot sinkang lawan itu saja yang perlu kita perhatikan. Apakah engkau juga mengenal ilmu silatnya ketika dia melawan Tio Hok Gwan?"
Cui Im menggeleng kepala. "Belum pernah aku melihat dia mempergunakan ilmu silat aneh itu."
"Ha-ha-ha! Apa sih anehnya ilmu silatnya itu?" Tiba-tiba Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek berkata dengan suara menghina. "Mereka gerakan tangannya, ilmu silatnya itu bukankah mengambil dari Pat-kwa Kun-hoat dan melihat gerak kakinya, tentulah Ngo-heng-kun. Mungkin merupakan penyatuan dua ilmu silat itu."
Pak-san Kwi-ong yang tentu saja lebih banyak pengalamannya, menggeleng kepala dan berkata serius, "Bukan! Gerakan lengan yang membentuk lingkaran-lingkaran itu amat aneh dan kurasa merupakan ilmu silat simpanan yang tidak terkenal. Kita harus waspada menghadapi ilmu silatnya itu dan ilmu sedotnya yang lihai!"
"Aku percaya kita bertiga akan dapat mengalahkannya!" kata Siauw Lek.
Pak-san Kwi-ong mengangguk. "Kurasa pun begitu. Biarpun dia lihai, mustahil kita bertiga takkan dapat mengalahkannya."
Cui Im mengerutkan alisnya. "Aku ingin sekali turun tangan tidak sampai gagal. Kalau kita bertiga maju, kita hanya merasa unggul, akan tetapi aku belum yakin, sebaliknya kalau kita bisa mengajak seorang di antara rekan kita. Kurasa Kemutani paling boleh diandalkan dengan hui-to (pisau terbang) dia akan dapat mengacaukan lawan."
"Hemmm, akan tetapi wataknya yang keras mana mungkin dapat kita bujuk?" Siauw Lek meragu.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Kesukaan Kemutani hanya satu dan pandang matanya kepadamu Ang-kiam..."
Cui Im mengangguk. "Aku mengerti dan aku siap membalas budinya."
"Akan tetapi dia.... mengingatkan aku akan kuda Mongol..."
"Hussshhh, Siauw Lek. Jangan bicara begitu. Harap engkau suka memanggil dia ke sini." Cui Im mencela dan pandang matanya membuat Siauw Lek tak berani membantah lagi. Dia adalah kekasih Cui Im, dan dia tidak menjadi cemburu, bahkan tidak peduli kalau Cui Im berpesta pora membagi cinta berahinya kepada pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, membayangkan Cui Im dengan tubuhnya yang ranum dan menggairahkan, kulitnya yang halus putih kemerahan itu, harus melayani Kemutani? Dia bergidik. Teringat ia akan cerita orang betapa sudah ada tiga orang pelayan istana yang dihadiahkan kepada Kemutani, semua mati setelah berada di kamar peranakan Mongol itu selama tiga malam!
Kemutani yang memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat, bermuka pucat seperti mayat dan bertubuh tinggi kurus itu mengingatkan dia akan seekor kuda jantan Mongol yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!
Kemutani muncul bersama Siauw Lek dan segera duduk menghadapi Cui Im. Pandang matanya tanpa disembunyikan lagi melihat belahan dada membusung di atas meja di hadapannya itu, wajahnya pucat berseri dan dia berkata dengan suara yang agak kaku karena dia lebih mahir berbahasa Mongol daripada bahasa Han,
"Nona, engkau memanggil aku? Ada urusan apakah?"
"Kemutani, aku ingin minta pertolonganmu dalam urusan pribadiku."
Kemutani tersenyum dan matanya berkedip-kedip sebelum menjawab. "Ah, tentu saja, aku bersedia menolong, bukankah kita harus saling menolong? Siapa tahu sekali waktu aku pun ingin minta pertolongan darimu, Nona."
Cui Im mengangguk-angguk dan semua maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu. "Memang kita harus saling menolong dan aku berjani jika engkau suka membantuku dalam urusan ini, setelah berhasil aku pun akan suka membalasmu dengan membantumu."
"Heh-heh-heh, betulkah? Katakan dulu, apakah urusan itu?"
"Engkau sudah melihat sendiri bahwa ada datang musuh besarku yang hendak mencelakakan aku. Karena dia lihai, maka aku ingin minta bantuanmu menghadapinya bersama Pak-san Kwi-ong dan Jai-hwa-ong..."
"Ah, pemuda lihai bukan main itu?" Kemutani tampak kaget karena diapun telah mmenyaksikan sepak terjang Keng Hong ketika menghadapi Hok Gwan dan diam-diam dia pun telah dapat menilai bahwa dia bukanlah lawan pemuda hebat itu.
"Boleh jadi dia lihai, akan tetapi kalau kita berempat maju, aku yakin dia akan dapat kita tewaskan," jawab Cui Im dengan suara pasti.
"Akan tetapi... Apakah kita tidak akan mendapat teguran kalau melakukan pembunuhan di kota raja? Padahal The-taiciangkun sendiri sudah mengetahui duduknya perkara dan sudah mengenal pemuda itu."
"Kita harus cerdik. Aku akan memancingnya di luar kota raja dan kita habiskan nyawanya di sana. Pendeknya, hal itu kau tak usah khawatir, aku yang akan mengaturnya. Yang penting, maukah engkau membantuku menghadapi dia?"
Kemutani tapak meragu, akan tetapi pada saat itu, senyum manis sekali di bibir setengah terbuka penuh tantangan, pandang mata yang indah, dada yang agak dibusungkan, memberi janji yang menggetarkan nafsu berahinya. "Nona, apakah balas jasamu untuk membantuku?"
"Sudah kukatakan, kalau kau suka membantuku, aku pun bersedia membantu, apa saja yang kau minta dariku. Kalau engkau membantuku dan kita berhasil menewaskan dia, boleh kau terima balas jasa itu."
"Betul? Heh-heh-heh, engkau bersedia... Eh menemani aku semalam suntuk?" Ucapan kasar dan terang-terangan di depan orang-orang lain ini tentu akan membikin merah telinga orang, terutama telinga wanita yang bersangkutan.
***
Akan tetapi Cui Im kebal dan ia malah tersenyum, juga Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong mendengar ucapan ini dengan sikap biasa saja.
Cui Im mengangguk. "Dengan senang hati aku akan menemanimu, Kemutani, setelah engkau membantu kami menewaskan Keng Hong."
"Wah, aku tidak mau kalau syaratnya harus menewaskan. Bagaimana kalau usaha kita gagal dan dia tidak sampai tewas? Padahal aku sudah membantumu! Bukankah aku akan membantu dengan sia-sia belaka? Tidak, Nona. Janjinya harus begini. Aku akan membantumu menghadapi pemuda sakti itu dan akan kuusahakan sekuat tenagku agar engkau menang dan dia tewas. Akan tetapi, tidak peduli dia terbunuh atau tidak, setelah aku membantumu dan kita kembali ke istana, engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku berenang di lautan asmara selama semalam suntuk. Aku selalu rindu untuk mendapat teman yang akan dapat mengimbangiku dan kurasa hanya engkaulah orangnya, Nona. Bagaimana? Berhasil atau tidak membunuh Keng Hong, engkau harus menemani aku!"
Cui Im mengangguk dan tersenyum, mengerjapkan mata kirinya dengan gaya yang manis memikat, lalu berkata, "Baiklah, Kemutani. Aku pun ingin sekali menguji sampai di mana kekuatanmu berenang di lautan seperti yang disohorkan orang!" Ucapan Cui Im ini pun tentu akan terasa menggatalkan telinga orang-orang biasa, akan tetapi mereka yang mendengarkan hanya tertawa.
Mereka lalu berunding di dalam kamar itu mengatur siasat, atau tepatnya, Cui Im yang menjelaskan siasatnya kepada tiga orang pembantunya. "Menurut penyelidikanku, Keng Hong masih terus menanti di luar kota raja. Kalau kita langsung datang ke sana, tentu dia akan mendapat kesempatan melarikan diri apabila dia melihat akan dikeroyok. Lebih baik kita pura-pura tidak tahu bahwa dia mengintai di sana, biar dia menganggap aku sudah merasa aman dan aku akan bersenang-senang di sana bersama seorang pemuda. Tentu dia muncul dan kalian bertiga yang sudah bersembunyi lebih dulu, menyergap. Kalau dia terjebak memasuki pondok, tidak akan ada jalan keluar lagi baginya."
Tiga orang itu mengangguk-angguk dan akhirnya Siauw Lek bertanya, "Dengan pemuda mana engkau akan ke sana dan kapan akan dilakukan siasat ini?"
Pertanyaan itu sama sekali tidak mengandung nada suara cemburu, dan Cui Im menjawab, "Aku belum tahu. Harus kucari dulu, kemudian setelah dapat baru akan kutentukan waktunya."
Berakhirlah perundingan gelap ini dan Cui Im lalu keluar dan seperti biasa di waktu dia bebas tugas, ia menunggang kuda dan mengelilingi kota sambil memasang matanya mencari-cari pemuda yang mencocoki hatinya, seperti mata seekor burung elang mencari anak ayam atau burung kecil yang berdaging penuh.
Biarpun baru kurang lebih setahun Cui I menjadi pengawal istana, akan tetapi ia sudah amat terkenal di kota raja. Hampir semua orang tahu siapakah gerangan gadis berpakaian mewah dan indah, cantik, jelita, dan menunggang seekor kuda yang besar itu. Maklum pula bahwa di samping memiliki kepandaian yang disohorkan orang seperti kepandaian seorang dewi dari langit, juga bahwa wanita cantik menggairahkan ini memiliki hobby mencari pemuda tampan untuk diajak bersenang-senang.
Tentu saja bagi pemuda yang dipilih, hal itu merupakan pengalaman yang takkan terlupakan, merasa beruntung seperti kejatuhan bulan. Maka tidaklah mengherankan apabila Cui Im sedang menunggang kuda keliling kota, para pemudanya keluar dari dalam rumah dan memasang gaya masing-masing di depan pintu. Siapa tahu mereka akan terpilih!
Akan tetapi sekali ini, Cui Im tidak mau memilih pemuda sembarangan saja. Sudah terlalu lama, hampir tiga bulan ia terpaksa menahan nafsunya karena tidak berani keluar dari istana, apalagi pergi bersenang -senang di pondoknya di luar kota. Dia ingin memilih seorang pemuda yang betul-betul memenuhi syarat selera hatinya, untuk diajak bersenang-senang sampai sepuasnya dan juga untuk dipergunakan sebagai umpan memancing keluarnya Keng Hong. Jadi, untuk malam istimewa yang direncanakan itu dia harus mendapatkan seorang pemuda yang betul-betul istimewa!
Hatinya kesal karena dia tidak melihat pemuda yang baru. Dia bosan melihat para pemuda yang itu-itu juga berlumba gaya di depan pintu, memasang aksi dan tersenyum-senyum kepadanya. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara para pemuda itu yang berani bersikap kurang ajar. Mereka semua sudah mengenal siapa Cui Im, seorang wanita yang di satu saat dapat menjadi seorang bidadari dengan jari-jari tangan halus mesra membelai, akan tetapi di saat lain dapat menjadi iblis yang akan membunuh orang tanpa berkedip mata! Dengan hati kesal Cui Im menghentikan kudanya di depan sebuah restoran yang paling terkenal di kota raja. Seorang pelayan cepat menuruni anak tangga depan restoran dan sambil terbongkok-bongkok lalu meneria kendali kuda untuk menuntun kuda nona itu ke kandang kuda yang tersedia di belakang restoran. Cui Im melangkahkan kaki dengan sigap dan sikap angkuh memasuki restoran, tidak begitu mengacuhkan para pelayan yang menyambutnya dengan senyum-senyum menjilat dan tubuh terbongkok-bongkok.
"Sediakan meja di sudut dalam, menghadap keluar. Aku ingin makan masakan yang paling enak!" kata Cui Im singkat. Pengurus rumah makan itu dengan ramah lalu mempersilakan nona ini duduk di meja sudut sebelah dalam. Cui Im duduk dan memandang keluar. Dari tempat duduknya ia tidak hanya dapat melihat semua tamu yang memasuki restoran, bahkan dapat melihat orang-orang yang lewat dijalan besar depan restoran itu. Dia tidak peduli akan pandangan semua tamu yang menoleh ke arahnya sejak ia memasuki restoran sampai ia duduk. Ada di antara mereka beberapa orang pria muda yang cukup ganteng, akan tetapi tidak ada yang memenuhi seleranya. Hal ini agaknya disebabkan oleh sikap orang-orang muda itu sendiri yang memandangnya penuh gairah. Cui Im terlalu sering melihat pandang mata seperti itu sehingga ia menjadi kebal dan terbiasa. Pandangan laki-laki penuh gairah dan kagum kepadanya malah membosankan, bahkan menjemukan hatinya. Dia ingin mencari seorang pria yang betul-betul istimewa, muda atau tua tidak menjadi soal baginya.
Tiba-tiba pandang mata Cui Im berkilat dan seluruh tubuhnya menegang penuh getaran, semangatnya bangkit dan setiap urat syaraf di tubuhnya berdenyut, terbawa oleh jantungnya yang berdebar. Pandang matanya seperti lekat kepada seorang pemuda yang memasuki restoran itu. Begitu melihat wajah pemuda ini, melihat tubuhnya yang sedang berpakaian hijau, bertemu pandang dengan sepasang mata tajam di bawah alis yang hitam tebal, nafsu berahinya bangkit, menyala dan berkobar. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya membayangkan kejantanan, akan tetapi gerak-geriknya halus. Alisnya yang tebal hitam, matanya tajam dan hidungnya mancung, bibirnya merah membayangkan kesehatan. Wajah yang tampan dan membayangkan kehalusan budi. Melihat bentuk pakaiannya yang kehijauan mudah diketahui bahwa dia adalah seorang pemuda terpelajar, seperti pakaian sastrawan di masa itu, serba longgar, dengan lengan baju lebar.
Akan tetapi pakaian itu agaknya kotor dan berdebu, tanda bahwa dia adalah seorang pendatang dari luar kota raja dan agaknya baru saja datang dari perjalanan jauh. Ada kelelahan karena perjalanan tapamk dalam keadaan pakaian dan sepatunya yang berdebu. Sebuah buntalan kain kuning yang cukup besar, agaknya terisi bekal pakaian dan lain-lain, diletakkan pemuda itu di atas bangku dekat meja. Kemudian ia duduk dan tidak mengacuhkan keadaan sekelilingnya. Dia bukan seorang yang bersikap tinggi hati, akan tetapi jelas tidak merasa rendah berada di restoran, di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah bersih itu. Dengan suara tenang dan halus dia memesan makanan kepada pelayan.
Kebetulan sekali pemuda itu duduknya menghadap ke dalam sehingga Cui Im dapat melihat wajahnya dari depan. Debar jantung wanita ini makin mengencang. Ia merasa amat tertarik. Inilah pemuda yang dicarinya! Agaknya pandang mata Cui Im yang tajam penuh perasaan itu terasa getarannya oleh pemuda itu karena dia mengangkat muka dan beberapa detik pandang mata mereka bertaut. Pemuda itu cepat menunduk dan Cui Im makin tersiksa hatinya dan tergugah nafsunya. Pemuda itu memandangnya dengan heran, seolah-olah mengherankan kehadiran seorang wanita muda sendirian dalam restoran besar itu. Sama sekali tidak ada pandang mata gairah dan kagum seperti didapatkan Cui Im berada dalam sinar mata tiap orang pria yang memandangnya. Dia menjadi makin tertarik dan juga penasaran. Begitu angkuhkah pemuda ini sehingga tidak tertarik kepadanya? Hemmm, aku harus mendapatkan engkau dan akan kubikin mabuk engkau dengan kecantikanku, dengan sifat kewanitaanku, sampai engkau suka bertekuk lutut dan mencium telapak kakiku, demikian bisik hati Cui Im yang menjadi penasaran dan gemas karena baru pertama kali ini dia tidak dipedulikan oleh seorang pria!
Memang watak yang aneh dan juga sukar sekali yang dimiliki Cui Im. Tadi dia merasa jemu melihat semua pemuda memandangnya penuh kagum dan gairah. Kini bertemu dengan seorang pria yang tidak memandangnya dengan kagum dan gairah, ia menjadi penasaran dan mendongkol!
Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan juga sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah. Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu, Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan.
Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang mau makan. Melihat isyarat itu ia lalu menggerakkan tubuh membungkuk dan mengangkat kedua tangan di dada sebagai ucapan terima kasih dan minta maaf sekaligus, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi.
Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Ia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan kagum atau tertarik. Betapa sukarnya mencari pemuda yang memang sudah mengaguminya, kadang-kadang membosankan. Belum pernah ia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya
***
Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan semacam masakan bersama seguci arak. Setelah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi menawarinya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu sedang asyik makan sehingga dia mendapat alasan untuk tidak menawarkan, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya dan tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu! Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih.
Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya! Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan. Cui Im tersenyum lalu berkata lirih,
"Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak."
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk dan menjawab lirih, "Terima kasih." Kemudian mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena dia merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang.
Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang takkan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya!
Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya! Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus dan lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan sinar matanya yang penuh pancaran kasih. Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya dia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Harus ia dapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong. Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, ia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda. Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apalagi memintanya!
Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi makin heran.
Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tidak menyenangkan, sungguhpun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu. Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa. Karena tertarik, ketika dia selesai akan dam memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,
"Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk di situ tadi?"
Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu meandang pemuda itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggeleng kepala!
"Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemmm... sungguh aneh dunia ini... Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek.." Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seolah-olah merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek.
Pemuda itu lalu mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya!
Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti lari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya, "Siangkong, harap berhenti dulu...!"
Pemuda dapat menduga siapa yang menegurnya sungguhpun di dalam hati dia merasa terheran, maka ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi kaget. Ia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,
"Ah, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?"
Kembali Cui Im kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus. Akan tetapi ia mengusir keraguannya dan tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, ia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan kendali kuda di tangan ia membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,
"Tidak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya meerupakan seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku.." Cui Im menutupi mukanya untuk menyembunyikan senyum lebar, "aku bernama Bhe Cui Im..."
"Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolo-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San."
"Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya.." kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi, "Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?"
"Hemmm....., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah seorang yang amat bodoh..."
"Eh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentulah seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini.. eh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?"
"Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan."
"Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong.."
"Jangan merepotkan diri, Nona. Sesunguhnya saya... saya merasa amat malu menganggu Nona. Apalagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang bicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya…"
"Hemmm.... hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!" Cui Im sengaja menengok sekelilingnya dan Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.
"Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini.”
"Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!"
Pemuda kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum, "Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak."
***
Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat ahal. Diam-diam ia menghitung bekalnya yang tidak banyak. Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok sehingga pinggangnya hampir patah.
"Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan kehormatan besar mendapat kunjungan Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?" kata kuasa hotel itu tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San.
Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu. "Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap kau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula."
"Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!" Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San. Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im,
"Banyak terima kasih, Nona."
"Ah, diantara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?" bantah Cui Im mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti."
Cong San hendak membantah, akan tetapi nona itu sudah melangkah keluar, di ruangan depan ia menengok sambil tersenyum dan berkata, "Saya akan mengirim utusan mengundangmu, Siangkong." Lalu dengan langkah ringan dan lincah, Cui Im keluar, meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda pergi dari situ, meninggalkan debu mengepul di halaan hotel.
"Yap-siangkong amat beruntung menjadi sahabat baik Bhe-lihiap," kuasa hotel itu berkata sambil tertawa, "Silakan, Siangkong."
Terpaksa Yap Cong San mengikuti kuasa hotel itu, dipandang oleh para pelayan yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. Setelah mereka memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dengan perabotan dan amat bersih, Cong San menjadi khawatir dan berkata,
"Twako, terus terang saja, sahabatku nona Bhe Cui Im itu agak berlebihan. Aku seorang miskin, bagaimana dapat menyewa sebuah kamar sebesar dan semewah ini? Beri padaku sebuah kamar yang kecil saja, yang paling murah."
"Aiiihhhhh, mana bisa begitu. Saya masih sayang akan nyawa saya, Siangkong. Lihiap telah menentukan kamar yang terbaik untukmu, mana berani saya melanggar perintahnya? Harap Siangkong tidak merendahkan diri. Sebagai sahabat lihiap, saat ini Siangkong menjadi tamu agung bagi kamu."
"Tapi.... tapi... " Cong San memegang lengan kuasa hotel yang hendak meninggalkan kamar itu. "Saya... Tidak akan kuat membayar! Berapa sewanya sehari semalam, Twako?"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Siangkong berkelakar! Mana berani saya menerima uang sewa dari Siangkong? Tidak usah bayar, biar sampai sebulan sekalipun. Nah, selamat beristirahat, Siangkong. Pelayan akan siap menjaga di luar dan menanti segala perintah Siangkong."
Cong San berdiri tertegun di tengah kamar, kemudian dia menghela napas panjang dan menutup daun pintu, meletakkan buntalan besar di atas meja kemudian dia tertawa seorang diri mengingat segala peristiwa, peristiwa-pwristiwa yang sama sekali tidak pernah diduganya!
Benar saja pelayan hotel itu bersikap amat hormat kepadanya dan melayani segala keperluan. Cong San juga tidak sungkan-sungkan lagi, malah minta disediakan air panas untuk mandi dan pada sore hari itu ia memesan makanan yang cepat diantar ke kamarnya. Setelah makan sore, dengan pakaian yang bersih, sedangkan pakaiannya yang kotor cepat-cepat dicuci oleh para pelayan, dia duduk di kamarnya membaca buku. Melihat kitab yang dibacanya, yaitu kitab-kitab Susi Ngokeng, para pelayang maklum bahwa pemuda ini adalah seorang terpelajar yang datang dari jauh untuk mengikuti ujian negara.
Sementara itu, Cui Im sudah berunding dengan tiga orang pembantunya, yaitu Siauw Lek, Pak-san Kwi-ong dan Kemutani. Penjagaan sekitar kamar kaisar diserahkan kepada Gu Coan Kok, Hok Ku dan Cou Seng. Kemudian tiga orang pembantunya itu diam-diam berangkat keluar dan bersembunyi di dekat pondok merah di luar kota raja sebelah barat. Adapun Cui Im lalu mengirim seorang pelayan ke rumah penginapan untuk memberi tahu kepada Cong San, melalui sebuah surat yang ditulisnya sendiri.
Ketika Cong San yang sedang membaca kitab di kamarnya itu diberi tahu oleh pelayan hotel dan menerima surat dari pelayan istana, dia terkejut dan cepat merobek sampulnya dan membaca surat dengan kertas merah wangi dengan tulisan yang tidak terlalu buruk bagi seorang wanita yang begitu ditakuti orang. Ternyata surat itu memberitahukan bahwa Bhe Cui Im mengundangnya untuk minum arak sambil bicara tentang sastra di pesanggrahan wanita itu, dan bahwa Cong San diminta untuk bersiap-siap karena akan dijemput sendiri oleh wanita cantik itu!
Cong San, mengangguk-angguk dan berkata kepada pelayan utusan, "Harap sampaikan terima kasihku kepada nona Bhe, dan katakan bahwa aku siap."
Setelah utusan itu pergi, Cong San cepat berganti pakaian yang paling baik, juga berwarna hijau pupus, kemudian dia menanti di luar kamarnya. Malam telah mulai gelap dan lampu-lampu telah di nyalakan ketika terdengar derap kaki kuda dan seorang pelayan hotel berlari-lari menyampaikan warta bahwa "lihiap" telah menanti di luar. Cong San menutup pintu kamarnya dan dia berjalan keluar.
Diam-diam dia kagum juga melihat Cui Im yang berdandan serba indah, kelihatan cantik dan gagah perkasa, sedangkan bau yang harum semerbak menyambut hidungnya ketika wanita itu mendekat.
"Ah, engkau baik sekali, Siangkong. Ternyata telah siap. Mari kita segera berangkat sebelum malam terlalu gelap."
"Berangkat ke mana? Di manakah pesanggrahan itu, Nona?"
"Tidak jauh kalau berkuda. Marilah arak dan hidangan telah tersedia di sana! Siangkong duduk di depan atau di belakang?"
Muka Cong San menjadi merah sekali. Untung bahwa cahaya lampu di ruangan depan hotel itu juga merah sehingga warna mukanya tidak terlalu kentara, akan tetapi andaikata ketahuan juga, para pelayan yang berada di situ tidak ada yang berani mentertawainya.
"Maksudmu... Kita berboncengan?" tanyanya, agak gugup karena memang selama hidupnya, biar usianya sudah dua puluh lima tahun, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, apalagi boncengan menunggang kuda!"
Cui Im tertawa senang. Makin sukalah ia kepada pemuda yang masih "murni" itu, dan ia berkata merdu,
"Maaf, Siangkong. Karena tergesa-gesa, saya hanya membawa seekor kuda. Terpaksa kita boncengan!"
"Ah, mana saya berani, Nona? Biarlah Nona menunggang kuda aku berjalan kaki saja."
"Mana bisa begitu, Siangkong? Apakah Siangkok merasa jijik duduk dekat dengan saya? Ataukah ... Siangkong tidak sudi menerima undanganku?"
"Eh...., eh, bukan begitu, Nona. Engkau sudah begitu baik... Hanya, saya suka berjalan kaki dan... Saya senang sekali memenuhi undangan Nona..." Cong San berkata gagap.
"Nah, kalau begitu, kita harus boncengan. Jangan khawatir, kudaku ini kuat sekali, biar ditunggangi empat orang yang kuat. Tempat saya itu dekat kalau menunggang kuda, akan tetapi terlalu jauh kalau jalan kaki, di luar kota raja. Siangkong telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah kalau berjalan. Marilah Siangkong suka di depan atau di belakang?"
Melihat wanita cantik itu bicara terang-terangan di depan banyak pengawal yang tentu ikut mendengarkan, Cong San khawatir kalau menjadi buah tertawaan maka dia lalu berkata, "Biarlah.... Aku di belakang saja, Nona."
Cui Im tertawa dan Cong San merasa betapa pipi dan telinganya panas. Ia sadar akan kebodohannya. Kalau dia di belakang, ah, seolah-olah dia merasa senang memangku tubuh yang montok itu. Akan tetapi bagaimana? Masa dia seorang laki-laki harus duduk di depan?
Akan tetapi Cui Im sudah meloncat ke atas punggung kuda, menggeser ke depan dan berkata, "Memang seharusnya Siangkong di belakang, karena saya yang tahu jalan dan saya yang mengendalikan kuda. Marilah, Siangkong!"
Yap Cong San menghampiri kuda dan kelihatan bingung dan malu. "Kuda begitu tinggi.."
"Meloncatlah!" kata Cui Im yang menganggap meloncat ke punggung kuda seperti permainan kanak-kanak saja.
"Saya... Saya tidak bisa....!" Cong San berkata dan para pelayan yang mendengar ini pun tidak dapat menyalahkan si pemuda karena bagi yang tidak ada kepandaian, apalagi yang tidak biasa menunggang kuda, meloncat setinggi itu bukan pekerjaan mudah. Lebih-lebih karena di atas punggung kuda itu sudah ada orangnya!
"Mari tanganmu, kubantu!" Cui Im berkata, kehilangan kesabaran karena ia sudah ingin cepat-cepat berdua dengan pemuda yang menggugah nafsunya ini. Cong San mengulur tangan, ditangkap oleh tangan kecil halus itu dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas, ditarik oleh tenaga yang hebat bukan main. Tahu-tahu dia telah duduk di belakang tubuh nona itu.
***
"Berpeganglah kuat-kuat!" kata Cui Im dan kuda itu sudah meloncat ke depan. Cong San memegangi sela kuda dengan kaku, tubuhnya terguncang dan miring-miring.
"Eh, awas, engkau nanti jatuh. Berpeganglah padaku, peluk pinggangku kata Cui Im yang membalapkan kudanya lebih cepat lagi dengan maksud agar si pemuda menjadi ketakutan. Benar saja, terpaksa Cong San merangkul pingang yang ramping itu sehingga diam-diam Cui Im menjadi girang bukan main, tubuhnya terasa panas semua karena nafsu berahinya sudah berkobar!
Sela kuda itu legok bagian tengahnya. Karena Cui Im duduk di pinggir depan dan tubuh Cong San duduk di pinggir belakang tentu saja tubuh mereka merosot ke tengah dan berada di bagian yang melekuk. Cong San yang jauh daripada pengaruh nafsu, merasa malu dan canggung dan malu sekali. Tubuh bagian depannya terpaksa berhimpitan dengan tubuh belakang wanita itu yang lunak, halus dan hangat. Beberapa kali Cui Im terkekeh genit dan sengaja menggeser makin ke belakang sehingga tubuh mereka merapat berhimpitan! Bahkan kadang-kadang, kalau kuda meloncat, tubuh wanita itu melambung dan terjatuh di atas paha Cong San sehingga tubuh wanita itu seperti dipangkuannya, sedangkan pinggang wanita itu dipeluknya!
Para penjaga pintu gerbang di barat tadinya menghadang, akan tetapi melihat Cui Im, mereka memberi hormat dan tertawa lalu membukakan pintu gerbang, membiarkan kuda wanita itu lewat tanpa gangguan sedikit pun. Setelah keluar dari pintu gerbang, kuda membalap cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah pondok merah yang indah dan diterangi lampu-lampu dengan teng berkembang. Tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar segerta menyambut, seorang menerima kuda, dan dua orang mengiringkan Cui Im dan Cong San memasuki pondok merah.
Cong San terbelalak kagum menyaksikan isi pondok yang ternyata mewah dan serba indah. Di dalam pondok terdapat sebuah ruangan dan disitu tampak sebuah pintu terbuka, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang mentereng dan bau harum semerbak keluar dari kamar tidur yang terbuka menantang itu. Di dalam ruangan terdapat sebuah meja dengan dua bangku dan hidangan yang masih hangat mengepul telah tersedia di atas meja.
"Duduklah, Siangkong. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan enak sambil akan minum."
Yap Cong San mengerutkan alisnya sebentar, akan tetapi dia mengangguk dan duduk di atas bangku, berhadapan dengan Cui Im. Dua orang pelayan yang kelihatan kuat dan sigap itu keluar dari ruangan setelah menutupkan pintu ruangan itu.
Sambil tersenyum-senyum Cui Im menuangkan arak ke dalam cawannya dan cawan di depan Cong San sambil berkata, "Siangkong, mari kita minum demi persahabatan kita!"
Cong San mengangkat cawan dan minum araknya sekali teguk. Cui Im tertawa manis. "Siangkong sungguh amat baik, suka bersahabat dengan seorang kasar seperti saya."
"Ah, Nona. Sesungguhnya sayalah yang harus malu. Nona adalah seorang yang berpengaruh dan berkuasa, dan.... hemmm, melihat sikap semua orang, melihat cara Nona menunggang kuda dan tadi menarikku ke atas kuda dan tadi menarikku ke atas kuda, saya dapat menduga bahwa Nona tentulah seorang yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Bahkan pengurus hotel menyebut Nona lihiap. Sedangkan saya, seorang kutu buku yang lemah, seorang pelajar yang canggung dan seorang sasatrawan yang miskin."
"Wah-wah-wah, Siangkong terlalu merendah diri!" Cui Im menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan mereka. "Silakan minum demi....eh, rasa suka di hatiku terhadap Siangkong!" Ia mengerling tajam penuh arti.
Merah wajah pemuda itu ketika mengangkat cawannya. "Terima kasih, Nona. Aku ...., eh, tidak berharga untuk rasa suka Nona yang gagah perkasa dan terhormat." Akan tetapi ia minum juga araknya. Setelah meletakkan cawan kosong di atas meja Cong San berkata,
"Semenjak dahulu, banyak saya membaca tentang sepak terjang seorang pendekar wanita. Kini dapat bertemu, bersahabat, bahkan bercakap-cakap dengan seorang pendekar wanita, betapa bangga dan girang hattti saya. Tentu Nona seorang pendekar yang kenamaan. Maukah Nona menceritakan tentang pengalaman Nona bertualang di dunia kang-ouw seperti yang saya baca di dalam buku-buku?"
Cui Im sudah mabuk, bukan mabuk arak melainkan mabuk nafsu berahinya sendiri. Pemuda ini tadi ketika berhimpitan tidak tergerak nafsunya, hal itu menandakan bahwa dia termasuk golongan laki-laki kuat. Dia harus dapat membangkitkan gairahnya, menarik perhatiannya, menggugah berahinya. Dia tahu dari pengalamannya bahwa laki-laki yang tenang dan kuat seperti ini, sekali tergugah berahinya seperti laut yang tadinya tenang diamuk badai. Menghanyutkan dan menenggelamkan. Membayangkan ini, Cui Im makin mabuk, maka mendengar pertanyaan Cong San, ia berniat untuk membanggakan diri agar pemuda itu tertarik.
"Yap Cong San, engkau belum mengenal siapakah wanita yang menjadi sahabatmu ini," katanya tersenyum sambil berdiri dan menarik kedua pundak ke belakang sehingga dadanya yang penuh membusung ke depan, pakaiannya yang ketat itu membuat bentuk tubuhnya yang ramping padat tampak nyata. "Aku terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-kiam Bu-tek ! Bukan julukan kosong karena pedang merahku belum pernah ada yang mampu menandinginya!" Ia duduk kembali, matanya bersinar penuh bafsu berahi dan kegembiraan ketika melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar.
"Wah, engkau tentu hebat sekali, Nona! Aku belum pernah mendangar nama itu, akan tetapi aku dapat menduga bahwa engkau tentulah murid orang pandai, mungkin murid hwesio-hwesio Siauw-li-pai yang kudengar merupakan orang-orang sakti yang berkepandaian seperti dewa."
"Hi-hi-hi-hi-hi-hik! Hwesio Siauw-lim-pai? Mereka itu bukan apa-pa! Thian Ti Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai tingkat dua itu dengan mudah saja roboh dan tewas di ujung pedang merahku!"
"Aaaahhhhh!" Pemuda itu berseru kaget.
"Tidak perlu kaget, sahabatku yang tampan! Aku mempunyai banyak musuh dan jangan kau kaget kalau andaikata malam ini ada musuhku datang menyerangku, karena pedangku akan melindungimu. Nah, katakanlah, wahai pemuda pujaan hati, apakah engkau suka kepadaku?"
Cong San menelan ludah, sukar menjawab dan dia hanya dapat menggangguk. Diam-diam Cui Im girang, akan tetapi dia masih belum puas benar karena sikap pemuda itu masih membayangkan bahwa dia belum terangsang.
"Mari kita makan hidangan ini!" Ia mempersilakan dan mereka lalu mulai makan. Melihat sikap Cong San masih canggung dan belum kelihatan pemuda itu tertarik, Cui Im kembali menuangkan arak, akan tetapi kini ia menuangkan arak dari sebuah guci emas yang kecil dan begitu arak dituang di dalam cawan tercium bau yang harum dan arak itu berwarna merah.
"Minum, sahabatku. Mari kita minum demi.... Cinta kasih kita!"
Cong San mengangkat cawan dan minum habis arak itu. Cui Im tertawa genit, lalu menawarkan masakan-masakan lezat, diterima oleh Cong San yang tidak banyak bicara lagi. Arak yang diminum Cong San adalah arak istimewa, arak buatan Cui Im yang mengandung obat perangsang yang amat kuat, yaitu Ai-ang-ciu.
Belum pernah Cui Im mempergunakan arak perangsang ini sebelumnya karena setiap orang pria yang di bawanya ke pondok merah itu, tanpa minum obat perangsang pun sudah terangsang hebat oleh keindahan wajah dan tubuh Cui Im. Sekali ini terpaksa dia menggunakan araknya yang lihai karena melihat bahwa Cong San benar-benar merupakan seorang pemuda istimewa yang sukar sekali dibangkitkan gairahnya.
Mereka sudah kenyang akan dan arak di guci sudah habis. Pemuda itu telah minum secawan penuh Ai-ang-ciu dan belasan cawan arak biasa, arak tua dan harum yang keras. Akan tetapi masih kelihatan "dingin" saja. hal ini membuat Cui Im yang sudah tidak kuat menahan gelora nafsunya menjadi penasaran sekali. Ia bangkit, memindahkan bangkunya ke sebelah Cong San, duduk merapatkan tubuhnya dan berbisik,
"Cong San.... ah, Cong San.... belum tergerak jugakah hatimu...?" Aku suka sekali padamu..." Dalam gairah nafsunya, Cui Im memegang tangan kanan Cong San, mempermainakn jari-jari tangan pemuda itu yang halus seperti jari tangan wanita, jari tangan yang biasa dimiliki kaum sastrawan lalu menciumi tangan itu. Melihat pemuda itu masih saja dingin, Cui Im membawa tangan itu ke dadanya, dan ia mencondongkan tubuh ke depan mencium pipi Cong San. Karena gerakan ini, sebelah kakinya bergeser ke depan dan kaki itu menginjak sesuatu yang basah di lantai bawah meja. Cui Im melepaskan pipi yang diciumnya, melongok ke bawah meja.
"Aihhh...!" Ia menjerit lirih dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, bangku yang didudukinya terguling sehingga kini tidak mengalingi lagi lantai di bawah meja yang ternyata basah oleh arak!
Pada saat itu, berkelebat bayangan putih dan terdengar suara bentakan halus penuh kemarahan dan amat berpengaruh, "Cui Im, akhirnya kita dapat berhadapan juga!"
Cui Im cepat memutar tubuhnya dan ia tidak kaget melihat Keng Hong telah berdiri di situ, bahkan ia lalu tertawa terkekeh, kemudian mencabut pedangnya ke arah Keng Hong sambil membentak,
***
"Cia Keng Hong! Karena mendengar engkau masih berkeliaran di sini, aku memang sengaja datang untuk memancingmu keluar dari tepat sembunyimu. Sekarang dapat masuk ke pondok ini akan tetapi jangan harap akan dapat keluar sebelum meninggalkan nyawa!"
Keng Hong tersenyum, mengerling ke arah pemuda tampan yang kini mundur-mundur ketakutan dan berdiri di pojok ruangan. "Sobat, seorang terpelajar seperti engkau tidak semestinya dapat terpikat oleh wanita iblis ini!" Kemudian Keng Hong memandang Cui Im dengan sinar mata tajam penuh teguran, "Bhe Cui Im, agaknya setelah engkau mati baru engkau akan menghentikan perbuatanmu yang selalu berlandaskan nafsu! Semua perbuatanmu yang telah engkau menjatuhkan fitnah atas diri Biauw Eng menipuku dan berusaha membunuhku di Kiam-kok-san, membunuh gurumu sendiri, membunuh tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak berdosa, sungguh membuktikan bahwa engkau bukanlah manusia, melainkan iblis! Akan tetapi, masih belum terlambat bagimu untuk sadar dan bertobat."
"Heh-heh-heh, Keng Hong manusia sombong! Engkau memaki aku jahat seperti iblis, apakah engkau sendiri suci dan bersih seperti dewa? Dahulu aku cinta padamu dan bersumpah untuk membasmi semua wanita yang berani mencintamu. Dan Biauw Eng ternyata cinta kepadamu! Perbuatanku itu ada dasarnya, yaitu dasar cinta padamu. Apakah kau sendiri tidak sadar bahwa engkau pun seorang yang tidak mengenal cinta dan budi? Lupakah engkau betapa kita bersama menikmati cinta kita? Kemudian engkau malah menghinaku! Dan aku membunuhi tokoh-tokoh besar, apa hubungannya denganmu? Kalau aku tidak membunuh mereka, mana bisa aku disebut Ang-kiam Bu-tek, dan apa gunanya pula susah payah mempelajari semua ilmu, hidup tersiksa selama lima tahun di dalam neraka bersama seorang pria macam engkau yang tiada ubahnya sebuah arca batu? Huh, engkau sekarang mau apa, Keng Hong?"
"Cui Im, mengingat bahwa engkau, biarpun secara tidak resmi, adalah murid guruku juga, biarlah aku mengampunimu asal engkau suka memenuhi dua syaratku!"
"Hi-hi-hik! Keng Hong, engkau benar-benar sombong bukan main. Akan tetapi biarlah aku mendengar dulu apa syaratmu itu?"
"Pertama, sekarang juga engkau harus mengembalikan semua pusaka peninggalan suhu. Aku tidak ingin benda-benda itu, akan tetapi benda-benda itu menjadi hak milik orang-orang dan partai-partai persilatan lain, tidak boleh kau rampas dan curi begitu saja. Ke dua, mulai detik ini engkau harus bertobat, menghentikan perbuatan-perbuatamu yang jahat. Kurasa, dengan bekerja di istana, apalagi di bawah pengawasan pembesar-pembesar-pembesar sakti bijaksana seperti The-taijin, engkau akan dapat menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa."
Cui Im membanting kakinya dan mengelebatkan pedangnya sehingga tampak sinar merah, "Keng Hong, syarat-syaratmu adalah syarat yang hendak menang sendiri. Kau katakan aku merampas dan mencuri pedang. Hendak kutanya, bagaimana pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain bisa berada di tangan Sin-jiu Kiam-ong gurumu itu? Bukankah dia juga dahulu merampas dan mencurinya? Kau bilang sendiri bahwa aku juga murid Sin-jiu Kiam-ong, nah kalau benar begitu, akulah murid yang berbakti dan setia, melanjutkan cita-cita dan perbuatan guru. Sebaliknya engkau hendak mengembalikan pussaka-pusaka itu kepada peilik asal, berarti engkau hendak menentang perbuatan mendiang guru sendiri! Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali tidak kepada engkau! Dan soal ke dua, kau mengatakan aku melakukan perbuatan jahat! Yang mana? Apakah bersenang-senang dengan dia itu kau anggap jahat? Bagaimana dengan engkau sendiri dengan Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai, dengan Kim Bwee Ceng dan Tan Swat Si murid-murid Kong-thong-pai itu?"
"Cui Im, perempuan iblis! Engkau yang membunuh mereka, masih berani menyebut nama mereka?"
"Engkau mau apa?" Cui Im menantang dan mengejek.
"Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu!" bentak Keng Hong yang sudah marah sekali.
Cui Im mengeluarkan suara ketawa melengking tinggi sambil memutar pedangnya sehingga sinar merah bergulung-gulung menyilaukan mata. "Engkau sudah kutunggu-tunggu!"
Agaknya suara ketawa melengking itu dijadikan tanda rahasia, karena tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari jendela dan Siauw Lek bersama Pak-san Kwi-ong telah berada di ruangan itu. Keng Hong tidak kaget melihat ini. Biarpun dia tidak tahu bahwa dia dipancing, namun dia sudah menduga bahwa kalau Cui Im berani muncul di malam hari itu, tentu perempuan itu mempunyai andalan dan ternyata Cui Im diam-diam membawa dua orang lihai ini untuk mengeroyoknya.
"Bagus! Pak-san Kwi-ong dan Kim-lian Jai-hwa-ong memang bukan manusia baik-baik. Membunuh mereka amat berjasa bagi manusia!" Keng Hong mengeluarkan Siang-bhok-kiam dengan gerakan tenang.
"Sombong..!" Teriak Siauw lek dan begitu tangannya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah Keng Hong dan ternyata laki-laki ini membacokkan pedang Hek-liong-kiam ke arah kepala Keng Hong dari samping. Tanpa menoleh Keng Hong mengangkat Pedang Kayu Harum di tangannya.
"Cringgg..!!" Hek-liong-kiam tergetar hebat sehingga hampir saja Siauw Lek tidak mampu mempertahankannya. Cepat dia memutar pedangnya sehingga getaran itu terhenti dan dia melangkah mundur. Pak-san Kwi-ong sudah melolos senjatanya pula, yaitu rantai panjang yang di kedua ujungnya bergantung dua buah tengkorak.
Sambil memutar-mutar tengkorak di ujung rantai, Pak-san Kwi-ong melangkah miring, demikian pula Cui Im menggerakkan kaki sehingga Keng Hong terkurung oleh tiga orang lawannya.
Yap Cong San yang berdiri di pojok ruangan, dengan kedua tangan gemetar menuangkan isi guci arak ke dalam cawan di tangan kirinya. Entah kapan dia mengambil guci dan cawan itu, mungkin tadi dia meninggalkan meja dengan kedua tangan masih memegang guci cawan dan kini menyaksikan ketegangan di depan mata yang membuat kakinya seperti terpaku di lantai, dia ingin menenangkan hatinya dengan minum arak!
Sungguh sial bagi peuda sastrawan ini, dia mundur-mundur sehingga punggungnya menempel daun pintu untuk lebih menjauhkan diri dari mereka yang hendak bertanding, akan tetapi baru saja dia menuangkan arak, tiba-tiba daun pintu terbuka dari luar. Daun pintu itu menumbuk punggung Cong San membuat pemuda ini kaget dan hampir terperosok ke depan. Ia terhuyung-huyung dan menoleh marah saking kagetnya. Ternyata yang menerjang masuk adalah tiga orang pelayan yang bertubuh kuat tinggi besar yang tadi melayani Cui Im dan dia. Akan tetapi tiga orang pelayan itu kini memegang golok besar dan sikap mereka bukanlah seperti pelayan lagi, melainkan seperti algojo, gerakan mereka tangkas dan kuat. Memang tiga orang ini adalah tiga orang pengawal istana yang berhasil "dikait" oleh Cui Im untuk membantunya menghadapi Keng Hong malam itu.
"Matamu kau taruh di mana?" Cong San membentak marah. "Membuka daun pintu tidak melihat-lihat lebih dulu!"
"Eh, oh.... apa kau bilang?" Seorang di antara pengawal itu balas membentak. Dalam keadaan seperti itu mereka bukanlah pelayan-pelayan lagi, melainkan pengawal yang galak, apalagi mendengar betapa ucapan pemuda itu tidak sehalus tadi, bahkan membentak kasar.
Cong San yang masih memegang guci arak di tangan kanan, cawan penuh arak di tangan kiri, berkata, "Aku bilang kalian ini tiga ekor anjing gendut yang matanya buta dan tidak tahu aturan, masuk tanpa permisi dan menubruk-nubruk seperti anjing gila!"
Cui Im juga mendengar suara Cong San ini dan sedetik ia merasa heran, teringat pula akan lantai di bawah meja. Akan tetapi karena ia sedang siap mengeroyok Keng Hong yang lihai, ia tidak menengok. Adapun tiga orang pengawal yang mendengar maki-makian ini menjadi marah bukan main.
"Kutu buku busuk, mulutmu lancang sekali!" Teriak mereka dan ketiganya berluba aju untuk memukul Cong San.
Sungguh amat mengherankan kalau orang menyaksikan perubahan sikap pemuda sastrawan itu. Kalau tadi dia amat penakut, bahkan meloncat ke punggung kuda pun merasa ngeri, kini menghadapi ancaman tiga orang pengwal tinggi besar yang marah itu kelihatan tenang saja. Juga perubahan sikapnya yang tadi lunak halus menjadi kasar amat aneh. Melihat tiga orang itu berlumba-lumba menghampirinya, entah hendak memukul atau membacok dengan golok mereka. Cong San tenang-tenang saja, dan setelah ketiga orang itu mendekat, dia hanya menggerakkan kedua tangan dan mengangkat kaki kiri. Mungkin dia tidak bergerak, atau mungkin juga bergerak akan tetapi tentu cepat sekali karena sama sekali tidak diketahui tiga orang itu. Akan tetapi, secawan arak telah muncrat dan menyambar muka pengawal pertama yang menjerit karena muka dan kedua matanya seperti disiram air mendidih, kemudian pada setengah detik selanjutnya, ujung sepatu mencium dada, tepat mengenai bagain di mana jantung berada. Pengawal itu terguling dengan jantung pecah oleh tenaga yang keluar dari tendangan itu. Dalam detik berikutnya, cawan dan guci melayang, entah yang mana lebih dulu menyambar kepala dua orang pengawal yang lain karena hanya terdengar suara "prok-prok!" dua tubuh orang pengawal itu.
***
Dalam waktu tidak ada setengah menit, tiga orang pengawal itu telah roboh di depan kaki Cong San dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Cui Im tidak melihat ini semua karena dia berdiri membelakangi pemuda itu. Akan tetapi dia mendengar jerit tiga orang pengawalnya dan mendangar suara gaduh ketika mereka roboh. Dengan sedikit memutar kepala dan mengerling Cui Im dapat melihat ke belakang dan alangkah kagetnya melihat betapa tiga orang pengawal itu telah mati, sedangkan Cong San masih berdiri di sudut sambil memangku kedua lengan di atas dada!
Keng Hong tertawa. Dia berdiri menghadap ke arah Cong San maka dia dapat melihat jelas, "Ha-ha-ha-ha-ha! Betapa lucunya! Batu baja disangka arang lapuk. Aku bermata dua akan tetapi seperti lamur! Sobat, maafkan aku yang tidak mengenal orang gagah. Akan tetapi dalam urusan pribadi ini harap engkau tidak mencampuri dan aku tidak mengharapkan bantuan!"
"Cia-taihiap, lama aku mendengar nama besarmu, beruntung aku dapat bersua malam ini! Tidak ada bantu-membantu karena aku pun mempunyai perhitungan besar dengan iblis betina cabul tak bermalu itu. Aku Yap Cong San ingin membalas kematian suheng Thian Ti Hwesio!"
Keng Hong dan Cui Im menjadi heran sekali. Mereka mengenal Thian Ti Hwesio, tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai yang terbunuh oleh Cui Im, Hwesio itu sudah tua, hampir tujuh puluh tahun usianya dan kabarnya murid ketua Siauw-lim-pai sendiri? Mengapa mempunyai sute yang begini muda?
Akan tetapi Cui Im yang merasa kecelik dan tertipu, sudah menjadi marah sekali dan ia pun maklum bahwa kalau tidak lekas turun tangan, rencananya pasti gagal. Ia lalu melengking nyaring dan menggerakkan pedang merahnya menyerang Keng Hong.
Gerakannya ini cepat disusul oleh Siauw Lek yang menggerakkan pedang hitamnya, dan disaingi menyambarnya dua buah tengkorak di ujung rantai Pak-san Kwi-ong! Keng Hong bersikap tenang akan tetapi dia sama sekali tidak berani memandang rendah. Dia maklum bahwa Cui Im merupakan lawan yang amat tangguh dan banyak mengenal ilmu silatnya, bahkan mereka belajar bersama di dalam gua di bawah Kiam-kok-san. Juga dia maklum akan kelihaian Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang kabarnya murid tunggal Go-bi Chit-kwi. Tentu saja dia sudah mengenal pula kehebatan ilmu silat Pak-san Kwi-ong sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi, datuk-datuk hitam yang menggemparkan dunia persilatan. Dia dikeroyok tiga orang yang berilmu tinggi, maka pemuda sakti ini cepat menggerakkan Siang-bhok-kiam dan pertandingan yang amat seru terjadilah di dalam pondok merah di mana biasanya hanya terjadi pertandingan yang lain lagi sifatnya!
Yap Cong San masih berdiri tenang dan menonton pertandingan yang dahsyat itu. Dia maklum orang apa adanya Cia Keng Hong yang sudah dia dengar namanya, murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat lihai. Dan dia dapat menyelami watak seorang gagah seperti itu maka dia tidak berani turun tangan membantu begitu saja, khawatir kalau-kalau menyinggung harga dirinya. Dengan pandang mata tajam penuh selidik dan penilaian, dia menjadi kagum bukan main kepada Keng Hong. Memang bukan memiliki nama kosong pemuda ini, pikirnya, bahkan tidak lumrah. Dia pun terkejut menyaksikan gerakan-gerakan tiga orang pengeroyok yang dahsyat. Terutama sekali pedang merah yang digerakkan Cui Im. Maklumlah dia bahwa dia sendiri bukan tandingan wanita cabul itu. Pedang merahnya terlalu hebat dan kalau yang dikeroyok bukan seorang pemuda sakti seperti Keng Hong yang memegang Siang-bhok-kiam, agaknya tentu tak dapat bertahan lama. Cong San juga kagum menyaksikan gerakan dahsyat Pak-san Kwi-ong.
Dia pun sudah mendengar nama besar raksasa hitam ini, seorang datuk hitam dari utara tokoh besar giolongan sesat. Dan dia harus mengaku pula dalam hatinya bahwa untuk menangkan kakek hitam itu, harapannya tipis sekali. Pengeroyok ke tiga tidak dikenalnya akan tetapi karena dia sudah melakukan penyelidikan sebelum memasuki kota raja, dia dapat menduga bahwa laki-laki tampan pesolek yang memegang pedang hitam itu tentulah Kiam-lian Jai-hwa-ong! Di antara tiga orang pengeroyok kiranya si penjahat cabul ini yang paling rendah tingkatnya. Namun serendah-rendahnya Cong San masih tidak berani menentukan bahwa dia akan menang menghadapinya. Benar-benar Cia Keng Hong dikeroyok oleh tiga orang lawan yang amat tinggi kepandaiannya, dan hal ini membuat Cong San makin kagum terhadap Keng Hong.
Keng hong maklum bahwa dia sudah dikurung dan jalan keluar sudah ditutup oleh tiga orang pengeroyoknya. Hal ini berarti bahwa memang Cui Im sudah melalkukan rencana matang untuk membunuhnya karena dia dianggap penghalang besar dalam hidup wanita itu. Biarpun ruangan itu cukup luas akan tetapi kalau makin banyak datang anak buah Cui Im akan sukar baginya menyelamatkan diri. Sedangkan untuk merobohkan tiga orang ini dalam singkat saja merupakan hal yang tak mudah. Keng Hong memutar pedangnya sekaligus menangkis sambaran senjata tiga orang lawannya lalu melompat ke kanan, kakinya menyambar meja yang mencelat ke depan. Mangkok-mangkok dan sumpit yang tadi dipergunakan Cui Im dan Cong San, dengan cepat sekali menyambar ke arah tiga orang pengeroyok itu. Tentu saja mereka bertiga menganggap serangan meja seisinya itu bukan apa-apa, akan tetapi karena ternyata mangkok-mangkok itu masih mengandung banyak kuah, repot juga mengelak sambil berloncatan, bukan takut terluka melainkan takut menjadi kotor pakaian atau tubuh mereka disiram kuah masakan!
Kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk mencelat ke depan dan Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak seperti angin badai menyambar ke arah tiga orang itu. Hebat bukan main serangan Pedang Kayu Harum ini dan memang Keng Hong telah menyerang dengan jurus Ilmu Pedang Siang-bhok-Kiam-sut ciptaan gurunya. Getaran pedangnya terasa di seluruh ruangan, bahkan terasa oleh Yap Cong Sang yang berdiri di sudut sehingga pemuda ini tak kuasa menahan seruan pujiannya "Bagus sekali kiam-sut itu!"
Tiga orang pengeroyok itu pun terkejut karena tahu-tahu ada gulungan sinar kehijauan yang amat harum menyambar mereka dari angkasa. Ke tiganya sudah mengenal ilmu pedang itu. Cepat mereka menangkis dengan senjata masing-masing.
"Cring-cring-cringgggg...!!"
Siauw Lek terhuyung ke belakang. Pak-san Kwi-ong menggereng marah melihat betapa bagian dagu sebuah tengkoraknya semplok. Hanya Cui I yang dapat menangkis dengan baik dan kini wanita itu malah sudah membalas dengan serangan kilat sehingga tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar merah pedangnya meluncur seperti anak panah berapi. Serangan itu disusul Pak-san Kwi-ong yang marah dan Siauw Lek yang penasaran. Kembali Keng Hong dikurung oleh tiga orang yang membentuk barisan segitiga.
Yap Cong San mengangguk-angguk. Dia sangsi apakah di dunia ini ada tokoh kang-ouw yang ilmu kepandaian dapat mengatasi Keng Hong. Dia benar-benar kagum dan mengertilah dia mengapa dahulu nama Sin-jiu Kiam-ong menggetarkan langit dan bumi. Kiranya memang luar biasa lihainya dan hal itu dapat dilihat dari kelihaian muridnya.
Dia tidak khawatir kalau Keng Hong akan kalah menghadapi tiga orang itu, sungguhpun dia tahu pula bahwa bagi Keng Hong pun tidak akan mudah merobohkan mereka. Asal tiga orang itu tidak dapat bantuan lagi, dia percaya biarpun agak lama akhirnya murid Sin-jiu Kiam-ong akan menang.
Tiba-tiba Cong San mengeluarkan suara menyumpah marah ketika dia melihat berkilauan menyambar masuk dari jendela. Maklumlah dia bahwa yang menyambar itu adalah senjata-senjata rahasia yang amat hebat. Cepat dia merogoh bajunya, tangannya bergerak pula dan beberapa senjata rahasia touw-kut-chi (uang logam penembus tulang) melayang dan memapaki sinar-sinar putih itu. Terdengar suara nyaring dan beberapa batang pisau terbang itu runtuh ke lantai bersama uang logam yang dilepas Cong San. Pemuda ini terkejut juga melihat betapa senjata rahasia uang logamnya telah pecah menjadi berkeping-keping. Hal ini menandakan bahwa si pelempar pisau bukanlah orang sembarangan pula!
Pelempar pisau terbang itu bukan lain adalah Kemutani. Seperti telah direncanakan Cui Im, Kemutani membantunya dan karena ilmu silat Kemutani adalah paling rendah di antara mereka semua, maka Kemutani disuruh membantu dengan sambitan-sambitan pisau terbangnya! Dalam ilmu ini Kemutani memang merupakan seorang ahli sehingga biarpun empat orang itu sedang bertanding seru, dia masih sanggup untuk menyerang Keng Hong dengan pisau-pisaunya tanpa membahayakan teman-temannya. Ketika melihat betapa lemparan pertama dari pisaunya runtuh di tengah jalan. Kemutani terkejut dan marah sekali. Siapa yang berani main-main dengan dia? Ia lalu menerjang masuk melalui pintu untuk dapat menyerang dari luar pondok, melalui jendela. Karena dia tergesa-gesa masuk, dia tidak melihat Cong San yang berdiri di sudut dekat pintu.
***
"He, siapa kau dan mau apa?" Cong San menegur dengan suara dibuat-buat.
Kemutani membalikkan tubuhnya dan begitu melihat Cong San. Dia meludah! Tadi ketika berada dalam persembunyian, dia menjadi cemburu dan iri hati sekali melihat betapa pemuda ini dicumbu Cui Im.
"Kau....? Phuah, cacing tanah tiada guna! Kenapa engkau belum menggelinding pergi dari sini? Menghalangi orang bertempur saja!" sambil berkata demikian, Kemutani meludah lagi, kini sengaja meludah di dekat kaki Cong San dengan sikap menghina sekali, dan dia membalikkan tubuhnya, tangannya meraba-raba pinggangnya di mana dipasang banyak pisau-pisau kecil yang amat tajam dan runcing. Itulah pisau-pisau terbangnya, semacam pisau belati yang selain dapat dia pergunakan sebagai senjata dalam pertempuran, juga dapat dia lemparkan seperti anak panah. Karena senjatanya inilah Kemutani terkenal dengan julukan Hui-toi (Si Golok Terbang) dan dipilih menjadi pegawai rahasia kaisar.
"Eeeiiit-eeeiiit..., nanati dulu. Mengapa tergesa-gesa?"
Merasa betapa lengannya dipegang orang dari belakang, Kemutani mebalikkan tubuh dan betapa heran dan marahnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa yang memegang lengannya adalah si sastrawan lemah yang dimakinya cacing tanah itu! Ia melotot, mukanya yang pucat menajadi agak merah dan dia membentak dengan suara serak dan dengan ludah berhamburan.
"Mau apa...? Perlu apa kamu...??"
"Engkau belum membayar!" Cong San menjawab sambil menjauhkan mukanya agar tidak kehujanan air ludah.
"Bayar? Bayar apa? Gilakah kamu?"
"Bayar karena kau meludah sembarangan. Bayar pajak, dan inilah bayarannya!"
"Plak-plak-plak....!" Kedua pipi Kemutani telah ditampar oleh telapak tangan Cong San. Keras sekali tamparan itu sehingga Kemutani merasa dunia seperti melambung-lambung dan bintang-bintang di langit berjatuhan dan menari-nari di depan kedua matanya. Akan tetapi rasa heran, kaget dan marah membuat dia cepat dapat menguasai dirinya kembali. Ia merasa malu terlalu heran melihat sastrawan lemah itu berani menamparnya!
"Kau... Kamu yang menamparku tadi?"
Cong San mengangguk, bertolak pinggang. "Apakah mau tambah?"
"Setan demit keparat!" Kemutani memaki-aki dalam bahasa Mongol dan dua sinar putih menyambar ketika tahu-tahu kedua tangannya yang sudah memegang sebuah belati itu menyambar. Sebuah menyambar leher dan sebuah lagi menyambar perut.
"Hemmm, bagus juga!" Cong San cepat mengelak dengan melengkungkan dan menarik tubuh ke belakang. Diam-diam dia terkejut. Orang ini tidak hanya lihai melempar pisau, akan tetapi serangannya ini pun hebat. Ia tidak boleh main-main dan sekali tangan pemuda ini bergerak, dia telah mencabut keluar sebuah pensil putih di tangan kiri dan sebatang lagi pensil hitam di tangan kanan.Inilah senjatanya yang amat lihai yang disebut Im-yang-pit. Keistimewaan senjata pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini adalah bahwa selain Im-yang-pit dapat dipakai menotok jalan-jalan darah terpenting juga dapat dipakai sebagai alat tulis yang sesuai pula dengan keahliannya, yaitu melukis dan menulis sajak pasangan!
Juga senjata rahasia uang logam yang dipergunakan oleh Yap Cong San adalah uang logam sungguh-sungguh sehingga selain dipakai untuk menyerang lawan, juga bisa dipakai untuk jajan!
Yap Cong San adalah murid terbaru dan tersayang dari Tiong Pek Hoasiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua dan amat sakti itu. Sebetulnya, setelah menyerahkan urusan-urusan dunia yang menyangkut Siauw-li-pai kepada dua orang muridnya, yaitu murid-murid kepala Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang tua ini sudah mengundurkan diri, dan hanya tekun bertapa. Akan tetapi, pada suatu hari Thian Ti Hwesio yang baru pulang dari tugas keluar, membawa seorang bocah laki-laki menghadap ketua yang menjadi gurunya itu dan menceritakan bahwa bocah itu terpaksa dia bawa ke kelenteng Siauw-lim-pai karena seluruh keluarganya telah terbunuh ketika terjadi perang saudara. Melihat anak itu yang bukan lain adalah Yap Cong San, hati kakek tua itu terharu dan merasa suka sekali. Maka, selain Cong San diterima menjadi kacung bukan calon hwesio, juga dia malah menjadi kacung pribadi Tiong Pek Hosiang dan akhirnya malah diangkat menjadi murid terakhir. Cong San amat cerdik, tidak saja dalam ilmu silat, juga dia pandai sekali dalam ilmu sastra, sehingga ketua Siauw-lim-pai makin menyayangnya. Hanya ada satu hal yang mengecewakan hati Tiong Pek Hosiang, yaitu bahwa muridnya ini tidak menjadi hwesio.
Betapapun juga, bakat besar yang ada pada diri Cong San membuat Tiong Pek Hosiang tidak segan-segan untuk mencurahkan seluruh perhatiannya dan mengajarkan semua ilmunya kepada pemuda itu. Apalagi karena Cong San amat tekun belajar sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, pemuda itu tidak pernah keluar kuil, bahkan belum pernah bermalas-malasan.
Kalau tidak membaca kitab-kitab memperdalam ilmu kesusastraan, tentu dia berlatih silat! Tidaklah mengherankan kalau dengan bakat besar ditabah ketekunan dan bimbingan sorang guru sakti, Cong San dapat menguasai ilmu-ilmu Siauw-li-pai yang tinggi-tinggi dan tingkat kepandaiannya malah melampaui tingkat kedua orang suhengnya, yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio!
Baru setelah Thian Ti Hwesio terbunuh oleh Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, pemuda ini bersumpah untuk membalas dendam dan bermohon kepada gurunya untuk mengijinkannya mencari pembunuh suhengnya. Tiong Pek Hosiang mengijinkan dan pemuda itu turun gunung, mulai dengan perantauannya mencari jejak Ang-kiam Bu-tek yang akhirnya membawanya ke kota raja. Biarpun dia telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, namun Cong San tetap berpakaian sebagai seorang pelajar dan tidak menonjolkan kepandaian silatnya sehingga ahli-ahli silat seperti Cui Im, bahkan Keng Hong sendiri sampai tidak mengenalnya.
Ketika dia diserang oleh Kemutani, Cong San maklum bahwa untuk menghadapi lawan yang bersenjata dua batang pisau lihai itu, tak mungkin dia akan menang jika bertangan kosong. Diam-diam dia juga merasa terkejut mengapa malam ini di tempat itu, ketika hatinya sudah girang dapat menemukan pembunuh suhengnya, dia bertemu dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan orang bermuka pucat yang menyerangnya ini pun amatlah lihainya, sama sekali bukan seperti tiga orang pengawal yang dirobohkannya tadi.
Pertandingan segera berlangsung seru antara Kemutani dan Yap Cong San. Senjata mereka sama sepasangnya, juga sama kecilnya, dan karena senjata kecil membutuhkan kecepatan besar, mereka bergerak cepat seolah-olah bayangan mereka saling belit menjadi satu. Kemutani bertanding sambil memaki-maki saking marahnya dan saking penasaran hatinya mendapat kenyataan bahwa pemuda yang tadinya dibelai dan dipermainkan Cui Im, ternyata adalah seorang lihai dan seorang musuh pula.
Ia merasa penasaran karena ternyata orang yang dianggap lemah ini merupakan lawan tangguh, dan lebih penasaran hatinya karena halangan Cong San ini membuat dia tidak sempat membantu Cui Im menghadapi Keng Hong.
Seperti juga Cong San yang perlahan-lahan dapat mendesak lawan, Keng Hong yang dikeroyok tiga juga mulai mendesak ketiga orang lawan lihainya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu silat ini dapat dia mainkan pedang, bahkan dipetik inti sarinya dan digabung dengan Siang-bhok Kiam-sut yang lihai sehingga tiga orang lawannya menjadi bingung. Cui Im yang lebih mengenal ilmu-ilmu Keng hong dan yang memiliki kepandaian paling tinggi, di samping ilmu pedangnya sendiri yang amat tangguh, juga menjadi bingung menyaksikan gerakan-gerakan tubuh Keng Hong.
Hanya Cui Im yang berani mengadu tenaga sinkang lewat pedang melawan Keng Hong, karena gadis ini selain memiliki sinkang kuat, juga dapat menghindarkan diri dari tenaga sedotan yang juga dipergunakan Keng Hong dalam menghadapi para pengeroyoknya. Beberapa kali sudah Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek kena disedot sinkang mereka oleh Keng hong pada saat senjata mereka bertemu. Senjata kedua orang pengeroyok ini melekat pada Siang-bhok-kiam dan tenaga sinkang mereka membanjir melalui telapak tangan yang memegang senjata. Untung bahwa Cui Im bergerak cepat dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lengan Keng Hong sehingga terpaksa pemuda ini membebaskan senjata lawan dari tempelan pedangnya untuk menghadapi Cui Im. Dan karena beberapa mengalami kekagetan, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek yang berilmu tinggi menjadi hati-hati sekali, tidak lagi berani mengadu senjata secara berterang. Hal ini membuat Keng hong mendapat angin dan dia terus mendesak, dan menunjukkan desakannya terutama kepada Cui Im. Karena gadis ini menolak untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa dia akan membunuh Cui Im dan baru kemudian menyelidiki di mana adanya pusaka yang yang dicuri wanita itu.
Hebat bukan main desakan Keng Hong. Suatu saat, sinar hijau dari pedangnya meluncur ke arah tubuh Cui Im, dan semua tenaga dikerahkan menjadi satu. Cui Im terkejut bukan main, berusaha menangkis beberapa kali dengan pedang merahnya, akan tetapi sinar hijau itu seperti seekor naga sakti mengamuk, tiap kali ditangkis menyerang terus, makin lama makin cepat dan kuat. Melihat ini, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek berseru keras dan menerjang Keng Hong yang sedang mendesak Cui Im itu dari belakang. Mendadak Keng Hong membalikkan tubuh, sebelah lututnya ditekuk dan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke depan.
"Wirrrrr....!!" Hawa pukulan sinkang yang keluar dari telapak tangan kiri Keng Hong ini bukan main kuatnya sehingga Pak-san Kwi-ong sendiri sampai terhuyung ke belakang, bahkan Siauw Lek terdorong dan roboh bergulingan sebelum bangkit kembali. Keng hong sudah mencelat lagi sambil membuat poksai tiga kali dan dari atas tubuhnya didahului sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam, menusuk ke bawah dan meluncur ke arah kepala Cui Im.
"Crinnnnggggg...!!" Cui Im yang menangkis, terdorong dan terjengkang terus bergulingan untuk menyelamatkan diri dari sinar hijau yang hendak menyambarnya.
"Sret-srettt-sretttt...!!"
Keng Hong sudah mengenal Cui Im dan tahu bahwa selain lihai ilmu silatnya, wanita ini juga curang sekali dan amat berbahaya jika sudah terdesak, karena senjata rahasianya amat keji. Maka ketika tadi Cui Im bergulingan, dia mengejar dengan waspada. Tepat seperti dugaannya, sinar-sinar merah kecil dari jarum-jarum merah beracun yang disambitkan Cui Im sambil bergulingan menyambarnya. Keng Hong menggerakkan pedang Siang-bhok-kia dan jarum-jarum itu runtuh semua. Akan tetapi Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek sudah dapat mengurungnya kembali dengan terjangan dahsyat sehingga Keng Hong cepat mengelak dan menangkis.
***
Namun sebentar saja Keng Hong yang mainkan ilmu silat campuran Thai-kek Sin-kun dan Siang-bhok Kiam-sut, telah membuat bingung ketiga orang lawannya yang kembali terdesak hebat. Melihat keadaan tidak menguntungkan ini, Cui Im tanpa malu-malu berteriak,
"Kemutani, hayo bantu....!!"
Pada saat itu, Kemutani sendiri sudah mandi keringat, terdesak oleh sepasang Im-yang-pit yang lihai di tangan Yap Cong San. Beberapa kali dia terkena totokan, dan biarpun totokan itu tidak tepat kenanya karena selain dia sempat menangkis ditambah kebalnya tubuh, namun dia masih merasakan nyeri sehingga permainan sepasang pisaunya menjadi kacau balau. Ia kini hanya dapat menangkis dan mengelak, tidak sempat membalas serangan lawan. Mendengar seruan Cui Im itu, dia menjadi bingung dan mendadak peranakan Mongol ini melempar tubuh ke belakang sambil menyambitkan dua batang pisau yang tadi dipegangnya. Sambitannya amat cepat dan karena jarak mereka dekat, melihat dua sinar yang menuju ke dada dan perutnya itu Cong San segera menggulingkan tubuh ke kiri terus bergulingan. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kemutani untuk meloncat sambil mencabut beberapa batang pisau, menerjang maju ke gelanggang pertempuran dan kedua tangannya bertubi-tubi, menyambitkan pisau-pisau itu ke arah Keng hong.
Biarpun Keng Hong dapat memukul runtuh semua pisau satu demi satu, namun gangguan ini membuat dia repot juga melayani desakan tiga orang lawannya yang lihai. Sementara itu, Cong San yang meloncat bangun lagi dan melihat Kemutani sudah meninggalkannya dan menghujani tubuh Keng Hong dengan sambitan-sambitan pisau terbang, menjadi marah dan membentak,
"Pengecut!" Ia menyimpan kedua pensilnya dan mengeluarkan segenggam uang tembaga, kemudian kedua tangannya juga bekerja.
Belasan buah uang tembaga itu bercuitan menyambar ke arah punggung Kemutani. Sebagai seorang ahli menggunakan senjata rahasia, Kemutani dapat mengenal desir angin bercuitan ini. Cepat dia memutar tubuh dan siap untuk mengelak atau menangkis. Namun karena tadi perhatiannya dicurahkan kepada Keng Hong, dia terlambat mengelak. Biarpun dia sudah meloncat ke atas untuk menghindarkan sambaran sinar-sinar kehitaman itu, masih ada sepotong uang tembaga yang tadinya menyambar ke perutnya, kini menancap di bawah pusar, tepat pada anggauta rahasia di bawah pusar. Kemutani mengeluarkan suara jeritan mengerikan dan ketika tubuhnya terbanting ke atas lantai, rasa nyeri membuat dia gelap mata. Kedua tangannya mencengkera bagian yang nyerinya bukan main itu dan tentu saja sekali remas anggauta badannya sendiri menjadi hancur lebur! Nyawanya melayang bersama jeritan ke dua yang lebih menyeramkan daripada tadi!
"Cia-taihiap, aku tidak membantumu, akan tetapi aku harus membalas kematian suhengku di tangan wanita iblis ini!" Sambil berkata demikian, Yap Cong San yang sudah mencabut kembali Im-yang-pit, menubruk maju, pit atau pensil hitamnya menotok mata kanan Cui Im sedangkan pensil putih menotok ulu hati di antara sepasang buah dada.
Cui Im kaget melihat Kemutani roboh dan tewas, juga kaget menyaksikan serangan berbahaya itu. Ia mengelak dari totokan pada mata dan menangkis totokan pada dadanya, kemudian membarengi tangkisan pedangnya, tangan kirinya bergerak maju mencengkeram ke arah leher Cong San yang cepat meloncat mundur. Sejenak Cui Im memandang pemuda yang tadi diharapkan akan dapat memuaskan nafsunya itu, dan pandang matanya kehilangan kemesraannya yang tadi, terganti pandangan penuh kebencian.
"Manusia tak kenal budi, mampuslah!" Pedang merahnya berkelebat dan gerakan pedang yang aneh ini biarpun sudah tiga kali dapat ditangkis oleh sepasang pensil Cong San, tetap saja mendesak terus dan Cong San mundur-mundur terdesak hebat!
Untung baginya bahwa Keng Hong yang melihat bahwa betapapun lihainya pemuda murid Siauw-lim-pai itu takkan dapat menendingi Cui Im, sudah menerjang lagi dengan Siang-bhok-kiam sehingga terpaksa Cui Im meninggalkan Cong San untuk melindungi tubuh terhadap sinar hijau yang bergulung-gulung dahsyat.
Cong San tidak menjadi jerih dan kapok. Ia sudah menyerang lagi dengan totokan-totokan maut ditujukan kepada tujuh jalan darah di tubuh Cui Im, jalan darah kematian. Namun Siauw Lek sudah menghadapinya dan menangkis serangannya dengan pedang hitam.
Pak-san Kwi-ong maklum bahwa fihaknya makin lemah dengan robohnya Kemutani, maka dia lalu mengeluarkan suara bercuitan nyaring. Memang telah direncanakan oleh Cui Im bahwa apabila fihak mereka menang angin, mereka tidak akan membawa-bawa para penjaga tembok kota raja untuk mencampuri urusan pribadi mereka. Akan tetapi kalau mereka menghadapi kegagalan, tidak ada lain cara untuk menyelamatkan diri kecuali memberi tanda kepada para penjaga, mengerahkan pasukan untuk membantu mereka! Pak-san Kwi-ong kini menggunakan tanda itu untuk memanggil pasukan yang menjaga di pintu gerbang dan di sepanjang tembok kota raja.
Keng hong dapat menduga apa artinya suitan nyaring itu. Tentu kakek hitam itu memanggil bala bantuan. Celaka, pikirnya. Kalau sampai dia bentrok dengan para pengawal, biarpun terjadi di luar kota raja, dia bisa dianggap pemberontak. Ia menjadi marah sekali kepada Pak-san Kwi-ong menyabetkan rantainya. Sebuah tengkorak menangkis pedang Siang-bhok-kiam dan yang sebuah lagi melayang ke arah muka pemuda itu seperti hendak menciumnya. Ciuman tengkorak senjata Pak-san Kwi-ong adalah ciuman maut!
"Krekkk...! Darrrr....!!" Rantai itu patah dibabat Siang-bhok-kiam, sedangkan tengkorak yang akan mencium Keng Hong, dihantam tangan kiri pemuda sakti ini dan meledak! Untung bahwa Keng Hong sudah waspada, begitu menghantam tengkorak lalu meloncat ke atas. Kalau tidak tentu dia akan menjadi korban senjata-senjata rahasia yang menyambar keluar dari tengkorak yang pecah dihantamnya tadi. Bahkan ujung pedangnya yang membabat putus rantai, masih berhasil menusuk leher si kakek hitam. Pak-san Kwi-ong yang terkejut sekali masih berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya tertusuk Siang-bhok kiam. Ia menggereng dan melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan sampai jauh kemudian meloncat bangun dan menghilang di dalam gelap!
Pada saat itu, pasukan pengawal yang menjaga di sepanjang tebok dan di pintu gerbang, sudah berlari-lari mendatangi, membawa obor dan senjata. Keng Hong dan Cong San masih bertanding melawan Cui Im dan Siauw Lek ketika pasukan itu datang dan sambil berteriak-teriak mengurung dua orang muda itu.
Cui Im dan Siauw Lek yang mengerti bahwa sekali ini mereka tidak mungkin dapat kembali ke istana karena tentu akan menerima hukuman karena selain meninggalkan tugas, juga mebuat ribut sehingga mengorbankan nyawa Kemutani dan bahkan Pak-san Kwi-ong yang terluka tadi agaknya juga melarikan diri, cepat berseru keras dan menggunakan kesempatan Keng Hong dan Cong San dikeroyok banyak pengawal, mereka meloncat dan menyelinap di antara para pasukan, melarikan diri.
"Saudara Yap, jangan melawan pasukan istana. Kita kejar iblis betina itu!" Keng Hong mengingatkan pemuda murid ketua Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu, kemudian dia melompat dan merobohkan para penghadang dengan dorongan-dorongan tangannya, mengejar ke arah larinya Siauw Lek dan Cui Im. Cong San maklum akan maksud Keng Hong. Memang amat berbahaya kalau mereka memusuhi pasukan istana.
Pula, dia sama sekali tidak ada urusan dengan pasukan pemerintah, melainkan Ang-kiam Bu-tek yang sekarang melarikan diri. Cepat dia mencontoh perbuatan Keng hong, merobohkan para pengeroyok tanpa melukai mereka dan melarikan diri mengejar Keng Hong yang sudah berhasil lolos dari kepungan.
"Siauw Lek, kita berpencar!" kata Cui Im berseru kapada kawannya itu ketika ia melihat ke belakang dan tahu bahwa Keng Hong tentu akan melakukan pengejaran. Siauw Lek pun mengerti bahwa kalau mereka berpencar, hal ini akan membingungkan Keng Hong dalam melakukan pengejaran. Selain itu, dia tahu betul bahwa yang diincar oleh Keng Hong dan murid Siauw-limpai itu adalah Cui Im. Kalau dia lari bersaa Cui Im tentu akan ikut celaka di tangan Keng Hong yang lihai bukan main.
"Baik, sampai jumpa, Cui Im !" katanya. Mereka lalu berpencar secepat mungkin. Malam yang gelap menolong mereka karena bayangan mereka segera lenyap pada saat Keng Hong dan Cong San masih memaksa keluar dari kepungan pasuka.
Ketika akhirnya dua orang muda itu berhasil meninggalkan para pasukan dan mengejar, mereka menjadi bingung karena bayangan Cui Im dan Siauw Lek lenyap dalam hutan yang gelap. Cong San hendak mengejar terus, akan tetapi tangannya dipegang Keng Hong yang berkata,
"Tiada gunanya dikejar. Selain sia-sia, juga amat berbahaya. Dia lihai dan curang bukan main."
Cong San berhenti mengejar dan mereka sejenak berhadapan. Akhirnya Keng Hong menarik napas panjang dan berkata, "Aku kagum sekali kepadamu, Yap-loheng (kakak Yap). Aku tak pernah mendengar akan seorang murid Siauw-limpai seperti engkau, akan tetapi kulihat tingkat kepandaianmu tadi benar-benar hebat, tidak kalah oleh suheng-suhengmu, mendiang Thian Ti Hwesio dan Thhian Kek Hwesio. Tidak kusangka bahwa Siauw-lim-pai masih menyimpan seorang jago muda seperti engkau."
***
"Hemmm, kapandaianku tidak ada artinya. Kalau tidak ada engkau. Cia-haihiap, tentu aku sudah tewas. Aku tidak akan menang melawan mereka yang lihai sekali itu."
"Yap-loheng, sungguh tidak enak sekali mendengar seorang gagah seperti engkau menyebutku taihiap (pendekar besar). Aku suka sekali berkenalan, mari kita sama-sama mencari Cui Im. Kalau dia sudah mengembalikan semua pusaka yang ia curi, termasuk pusaka-pusaka yang berupa kitab-kitab dari Siauw-lim-pai, dia akan kuserahkan kepadamu, baik untuk kau tawan dan bawa ke Siauw-lim-pai atau pun hendak kau bunuh, terserah. Dia seorang manusia yang berwatak iblis."
Cong San menjawab, suarnya agak dingin. "Cia-taihiap. Gurumu, Sin-jiu Kiam-ong juga disebut taihiap oleh suhu sendiri. Engkau sebagai muridnya amat lihai dan sepatutnya aku menyebutmu taihiap. Akan tetapi, maaf... Tentang bekerja sama di antara kita... Hemmm, terus terang saja, Taihiap, secara pribadi aku suka kepadamu dan amat kagum. Akan tetapi...sebagai murid Siauw-lim-pai agaknya tidak mungkin lagi bagi saya untuk bekerja sama denganmu. Tentu Taihiap telah mengerti apa yang kumaksudkan..." Terdengar dalam gelap pemuda baju hijau itu menghela napas panjang.
Keng Hong tersenyum pahit, "Aku tahu, Loheng. Aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu. Mendiang suhu telah melakukan kesalahan terhadap Siauw-li-pai, telah mengambil dua buah kitab. Justeru untuk itulah aku mengejar-ngejar Cui Im, untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka suhu yang dicurinya, di antaranya ada dua buah kitab Siauw-lim-pai itu. Sebelum dua buah kitab itu kukembalikan kepada Siauw-lim-pai, tentu fihak siauw-lim-pai akan menganggap mendiang suhu sebagai musuh, dan karena aku muridnya... Hemmm, baiklah. Kita tidak dapat bekerja sama karena engkau sebagai murid yang baik dan berbakti tentu tidak akan mau melanggar pendirian Siauw-lim-pai.
Nah, sampai jumpa, Loheng!" Setelah menjura, Keng Hong berkelebat llenyap dari depan pemuda itu. Cong San kembali menghela napas dan merasa menyesal sekali. Dia akan suka sekali bersahabat dengan Keng Hong. Pula, tanpa bantuan Keng Hong bagaimana dia akan mampu membalas kematian suhengnya? Tidak mungkin dia akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek yang lihai itu, apalagi perempuan cabul itu mempunyai seorang teman yang lihai seperti pria yang dilawannya tadi. Juga kakek hitam itu amat lihai. Betapapun juga, dia akan terus mencari Cui Im sampai dapat dan akan berdaya upaya untuk dapat membalas dendam kematian suhengnya.
Karena Cong San maklum pula bahwa tentu Keng Hong tidak akan tinggal diam dan tentu mencari Cui Im, dan dia pun dapat mengerti bahwa Keng Hong tentu akan lebih dulu dapat menyusul wanita itu, maka dia pun kini tinggal mengikuti jejak Keng Hong saja. ia bermalam di hutan itu dan pada keesokan harinya dia baru melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah perginya Keng Hong malam tadi, yaitu ke selatan. Ketika dia akan keluar dari hutan, pandang matanya tertarik oleh sebatang pohon yang sebagian kulit batangnya terkupas batang yang "telanjang" dan putih itu. Ia menghampiri dan melihat ukiran huruf yang indah dan kuat goresannya.
JEJAKNYA MENUJU DUSUN SIN-NAM
Mudah saja bagi Cong San untuk menduga siapa penulis huruf-huruf terukir itu. Siapa lagi kalau bukan Keng Hong ." Diam-diam merasa kagum, dan menyesal mengapa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai berkukuh menganggap murid Sin-jiu Kiam-ong ini sebagai musuh. Padahal dia mengerti akan penderitaan batin Keng Hong yang jelas bertekad untuk "menebus dosa" gurunya dan mengembalikan pusaka-pusaka yang dahulu diambil gurunya, dan kini telah dicuri oleh Ang-kiam Bu-tek. Dia merasa girang sekali. Keng Hong agaknya tidak lupa, kepadanya dan memberi petunjuk.
Di ladang-ladang yang terdapat di luar hutan, dia bertanya kepada seorang petani yang menggarap ladang di mana letak dusun Sin-nam. Kiranya dusun itu berada di sebelah selatan, hanya belasan li dari situ. Dengan cepat Cong San melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun Sin-nam.
Akan tetapi di dusun ini dia tidak melihat Keng Hong, apalagi Cui Im yang dia cari. Selagi dia bingung, tidak tahu harus mengejar kemana dan selagi dia hendak bertanya-tanya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu menghampirinya dan bertanya.
"Apakah Kongcu ber-she Yap?"
"Hemmmm, bagaimana kau bisa tahu?" Cong San bertanya curiga.
"Ada seorang tuan muda she Cia memesan kalau ada Kongcu yang berpakaian hijau dan she Yap, saya disuruh menyampaikan bahwa Cia-kongcu menuju ke kota Tek-an di selatan."
"Hemmm.....!" Jauhkah kota Tek-an dari sini?"
"Saya tidak pernah ke sana, Kongcu. Akan tetapi kata orang membutuhkan perjalanan satu hari penuh."
Lega hati Cong San. Ia merogoh saku mengambil beberapa potong uang tembaga dan memberikannya kepada anak itu. "Nih hadiah untukmu."
"Tidak, Kongcu. Saya sudah menerima upah dari Cia-kongcu!" Anak itu lalu berlari meninggalkan Cong San yang melongo. Pemuda ini menarik napas terharu. Anak yang jujur dan terdidik baik agaknya oleh orang tuanya. Ataukah memang anak dusun meiliki watak lebih jujur daripada anak kota?
Ia lalu melanjutkan perjalanan. Di kota Tek-an pun dia tidak bertemu dengan orang-orang yang dikejarnya. Seorang pelayan restoran memberitahukan bahwa tuan muda Cia minta Yap-kongcu menyusulnya ke Nam-khia!"
Demikianlah, sampai berulang-ulang Cong San mengikuti jejak yang selalu ditinggalkan Keng Hong di sepanjang jalan! Ditinggalkan dengan sengaja untuknya.
Makin lama Cong San merasa makin berterima kasih kepada Keng Hong, akan tetapi juga gemas kepada Ang-kiam Bu-tek yang demikian sukar disusul.
Pada suatu hari, mengikuti jejak yang ditinggalkan Keng Hong, Cong San tiba di kota Lok-yang. Kemarin dia menyeberangi sungai Huang-ho di sebelah utara kota Lok-yang dan dia diberi peninggalan jejak Keng Hong melalui seorang nelayan yang menyeberangkannya. Di Lok-yang, dia menerima peberitahuan Keng Hong melalui seorang pelayan hotel. Memang kini Cong San tidak dapat lagi meninggalkan petunjuk-petunjuk Keng Hong, maka di setiap tempat dia malah mencari jejak Keng Hong dengan memasuki restoran-restoran, penginapan-penginapan, dan lain-lain. Petunjuk terakhir yang dia terima di Lok-yang dua hari yang lalu menuju ke Gunung Phu-niu-san, di sebelah barat kota itu, di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Shen-si!
Karena dia mendengar keterangan dari hasil penyelidikannya bahwa perjalanan ke gunung Phu-niu-san amat sukar dan juga berbahaya karena di sana banyak sekali perampok sehingga oleh umum tidak dijadikan jalan umum lagi, maka Cong San bermalam di Lok-yang dan baru berangkat ke tempat yang dimaksudkan pada keesokan harinya, pagi-pagi. Ia mendengar bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke barat, ke Propinsi Shen-si dan ke kota Sian, tidak lagi ada yang berani melalui jalan darat karena bahayanya daerah Pegunungan Phu-niu-san. Mereka lebih suka memakai jalan air, yaitu melawan arus Sungai Huang-ho kemudian yang hendak ke utara memasuki Sungai Ceng-ho dan yang ke selatan melalui Sungai Wei-ho. Kedua sungai ini memasuki Huang-ho di tempat yang sama.
Karena dia tahu bahwa daerah yang dilalui berbahaya dan jauh daripada kota atau dusun, sebelum berangkat Cong San makan dulu sampai kenyang, kemudian dia membeli bekal roti kering secukupnya. Sambil menggendong buntalan pakaian dan bekalnya, Cong San berangkat menuju ke Gunung Phu-niu-san yang sudah tampak begitu dia keluar melalui pintu kota Lok-yang sebelah barat.
Akan tetapi begitu dia tiba di kaki Gunung Phu-niu-san, dia terheran-heran melihat banyak orang berduyun-duyun naik ke bukit, bahkan ada yang membawa kereta berisi bermacam barang. Ada kereta penuh sayuran, ada pula yang menggotong babi, ada yang membawa gulungan kain sutera dan lain-lain barang berharga. Yang mengherankan hati Cong San adalah ketika dia melihat bahwa yang mengepalai pembawa barang-barang ini adalah orang-orang yang melihat caranya berpakain jelas orang kang-ouw. Ada pula yang berjalan seorang diri, ada yang bergerombol sambil mengobrol gembira. Bermacam-macam cara pakaian mereka. Ada hwesio, ada tosu, ada pula yang berpakaian seperti dia, golongan ahli sastra, ada pula yang berpakaian seperti pengemis! Akan tetapi dari gerak-gerik mereka ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya hendak mengunjungi Gunung Phu-niu-san untuk mengunjungi sesorang. Sama sekali tidak kelihatan berbahaya perjalanan ke Phu-niu-san ini.
Melihat tiga orang laki-laki berpakaian seperti dia, berusia empat puluh tahun, Cong San sengaja mendekati mereka, mengangkat kedua tangan dengan sikap hormat dan berkata,
"Kalau Sam-wi tidak merasa terhina siauwte akan merasa terhormat sekali jika Sam-wi suka menerima siauwte sebagai teman seperjalanan. Bukankah Sam-wi juga hendak ke puncak?"
Tiga orang itu memandang Cong San penuh perhatian, kemudian balas menjura dan seorang di antara mereka bertiga yang bertahi lalat di dahinya menjawab "Tentu saja boleh, mari silakan! Kita sama-sama segolongan kutu buku mengapa harus bersungkan-sungkan?" Mereka bertiga itu tertawa dan Cong San juga tersenyum. Mereka berempat lalu berjalan perlahan di atas jalan yang mulai mendaki.
"Hiante siapakah? Dan dari mana? Tentu Hiante orang jauh maka tidak mengenal kami bertiga," kata pula si tahi lalat di jidat.
***
Cong San menjura lagi. "Maaf, siauwte Yap Cong San hanya anak seorang guru silat di dusun kecil jauh dari sini. Mohon tanya siapakah Sam-wi?"
Orang ke dua yang matanya sipit sekali dan sikapnya angkuh menjawab, "Kami bertiga di daerah ini terkenal sebagai Siangkoan Sam-hengte (Tiga Saudara Siangkoan) yang dijuluki Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar Terpelajar)! Dia ini yang tertua, kakakku bernama Siangkoan Lok, aku yang ke dua bernama Siangkoan Leng dan dia ini adikku Siangkoan Cit."
Cong San kembali menjura, "Ah, kiranya Sam-wi adalah pendekar-pendekar besar yang terkenal. Maafkan kalau saya tidak mengenal Gunung Thaisan. Sungguh beruntung saya dapat berkenalan dengan Sam-wi."
"Yap-hiante, engkau masih begini muda sudah mengenal Phu-niu-sancu (Majikan Gunung Phu-niu)? Sungguh beruntung, masih begini muda sudah mengenal orang pandai. Wah, kabarnya pesta pernikahan yang akan diadakan oleh Sancu dibuat amat meriah dan diadakan pertunjukan ilmu silat tinggi. Dan yang lebih hebat lagi, kabarnya Sancu akan menikah dengan seorang.... bidadari!"
Diam-diam Cong San girang mendengar si tahi lalat itu membuka mulut memberi keterangan seperti itu. Mengertilah dia bahwa kiranya orang-orang kang-ouw ini hendak mengunjungi pesta pernikahan tokoh Gunung Phu-niu-san. Pantas banyak yang membawa barang-barang berharga untuk sumbangan!
"Ah, seorang muda dan bodoh seperti saya mana ada kehormatan untuk berkenalan dengan Phu-niu-sancu? Sebetulnya adalah ayah saya yang sudah mengenal Sancu, dan saya hanya diutus oleh ayah untuk mewakilinya datang hadir dalam pesta pernikahan Sancu dan menghaturkan selamat."
"Ah, pantas saja kau belum mengenal kami. Kiranya engkau masih amat hijau, "Yap-hiante," kata si mata sipit. "Apakah ayahmu juga mengajarkanmu ilmu silat?"
"Wah, kalau dibicarakan sungguh memalukan. Saya hanya bisa sedikit ilmu silat kampungan, mana pantas dibicarakan dengan Sam-wi yang terkenal sebagai pendekar besar?"
"Memang tidak perlu bicara tentang ilmu silat. Nanti di sana kita akan menyaksikan ahli-ahli silat kelas satu. Kalau begitu, engkau pun belum tahu sampai di mana kelihaian Lian Ci Tojin Sengjin dan Sian Ti Sengjin?"
Cong San menjadi bingung karena tidak pernah mendengar nama ini, maka dia hanya menggeleng kapala. Si tahi lalat kelihatan bangga menceritakan kelihaian dua orang yang disebutnya itu, maka dia melanjutkan, "Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu sudah hebat bukan main, ilmu kepandaian Sian Ti Sengjin yang menjadi suhengnya, lebih hebat lagi!"
Cong San mengangguk-angguk. "Saya hanya mendengar dari ayah bahwa mereka berdua itu hebat kepandaiannya. Akan tetapi belum pernah menyaksikan sendiri. Dan kalau mempelai prianya begitu lihai, tentu mempelai wanitanya juga bukan sembarangan wanita, bukan?" Cong San sengaja memancing lebih banyak keterangan lagi. Kiranya tidak percuma Keng Hong memberitahukan tempat ini kepadanya. Apakah Cui Im lari ke Phu-niu-san dan akan berada di antara banyak tamu? Ataukah musuh besar itu mempunyai hubungan dengan Phu-niu-sancu? Dia harus bisa mendapatkan keterangan yang jelas untuk dapat mengatur sikap, dan dia pun sama sekali tidak boleh bertindak sembrono karena kalau benar dugaan bahwa Cui Im memiliki hubungan dengan Phu-niu Sancu, tentu perempuan itu akan dibantu banyak orang di situ.
"Entahlah," jawab si tahi lalat yang memang doyan mengobrol. "Hal itu masih merupakan rahasia karena kami semua baru sekarang mendengar berita dan undangan bahwa Sancu hendak menikah. Hanya ada berita yang membocor, berita desas-desus bahwa Sancu akan menikah dengan seorang wanita yang kecantikannya seperti bidadari, dan yang kabarnya pun bukan orang sembarangan."
Jantung Cong San berdebar. Agaknya mempelai wanita itulah yang dikejarnya!
Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang berbondong naik ke puncak dan diam-diam hatinya agak khawatir. Tiga orang yang sombong dan membanggakan diri sebagai Bun-bu Sam-taihiap ini kiranya hanya lagaknya saja yang hebat, tentu bukan lawan yang perlu diperhatikan, akan tetapi di antara mereka yang berjalan naik itu dia melihat beberapa orang yang membayangkan kepandaian tinggi. Terutama sekali seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang berjenggot panjang dan di pinggangnya terdapat sebatang golok bergagang emas, yang berjalan bersama seorang tosu tua. Mereka berdua itu berjalan tanpa bercakap-cakap, akan tetapi dari langkah kaki dan sikap kedua prang itu, Cong San dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai. Selain dua orang ini, dia melihat pula seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, membawa sebatang tongkat butut dan pakaiannya butut dan kotor pula, rambutnya kusut dan mukanya penuh kerut merut berwarna kotor kehitaman. Keadaan kakek ini pun kotor menjijikan, akan tetapi anehnya dia bergandengan tangan dengan seorang kakek berpakaian seperti sastrawan yang bersih dan mewah, yang mengandeng pula seorang kakek berpakaian pendeta. Sikap tiga orang kakek ini menarik perhatian, mereka tertawa-tawa dan si kakek jembel beberapa kali berkata,
"Ha-ha-ha, tuan pengantin, berjalan lebih gagah agar tidak membikin malu nona pengantin!"
Si kakek pendeta tersenyum-senyum dan si kakek sastrawan berjalan digagah-gagahkan. Semua orang memandang dengan muka khawatir. Apakah tiga orang kakek ini sengaja bermain-main hendak mengejek Phu-niu-sancu? Akan tetapi karena keadaan mereka yang aneh, melihat usia mereka yang sudah amat tinggi, tidak ada yang berani menegur, bahkan ketiga orang Bun-bun Sam-taihiap yang memandang sambil menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek yang bersikap seperti anak-anak kecil itu.
Rombongan tamu yang bersamaan dengan Cong San terdiri dari dua puluh orang lebih. Setelah tiba di puncak bukit, Cong San melihat bahwa di atas puncak itu, dari bawah tidak tampak karena tersembunyi di antara pohon-pohon, terdapat bangunan-bangunan mewah merupakan perkampungan. Para tamu disambut oleh orang-orang yang berpakaian seragam biru bersikap gagah, lalu dipersilakan duduk ke dalam ruangan gedung terbesar di mana telah tersedia ratusan buah bangku dan di situ telah menanti pula dua orang tuan ruah yang menerima para tamu dengan senyum ramah akan tetapi hanya terhadap beberapa orang tamu saja mereka bangkit berdiri dan balas menghormat.
Terhadap tamu-tamu yang tidak dikenal , termasuk Cong San, dua orang tuan ruah itu hanya mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan mereka. Cong San melihat betapa dua orang itu pun tidak bangkit berdiri ketika membalas penghormatan tiga orang Bun-bu Sam-taihiap tadi, akan tetapi tiga orang itu tidak kelihatan kurang senang sehingga diam-diam Cong San menjadi geli hatinya. Ia pun lalu mengambil tempat duduk di antara para tamu, dekat dengan tiga orang sastrawan sombong itu. Dari tepat duduknya dia memandang ke arah dua orang tuan rumah penuh perhatian.
Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang gagah dan bersikap angkuh penuh wibawa. Melihat wajah mereka dia dapat menduga yang mana suhengnya dan mana sutenya. Dia tadi mendengar bahwa yang menjadi "majikan gunung" adalah yang muda, yang disebut Lian Ci Sengjin atau juga Phu-niu-sancu, sedangkan suhengnya adalah Sian Ti Sengjin. Tentu laki-laki bertubuh tegap, bermuka gagah dan angkuh, berusia empat puluh tahun lebih itu yang menjadi ketua atau majikan Gunung Phu-niu-san. Laki-laki di sebelah kanannya yang lebih tua beberapa tahun, yang berwajah pendiam dan serem itu tentu suhengnya. Dia tidak mengenal mereka dan setelah memandang sejenak Cong San mencari-cari dengan pandang matanya, namun yang dicarinya tidak tampak.
Baik Cui Im maupun Keng Hong tidak tampak bayangannya di antara tamu-tamu yang sudah puluhan orang banyaknya itu. Ia mulai ragu-ragu apakah dia tidak salah duga, jangan-jangan yang dimaksudkan Keng Hong bukan tempat pesta ini!
"Ssttt, Hiante, engkau tentu mencari pengantin wanita, bukan?" Tiba-tiba si tahi lalat yang duduk di belakangnya berbisik. "Sabarlah, benda berharga tentu disimpan baik-baik, wanita cantik tentu tidak diobral untuk ditonton banyak orang, melainkan dikeram dalam kamar. Nanti tentu diperkenalkan..."
Wajah Cong San menjadi merah akan tetapi dia sengaja tersenyum dan mengangguk. Ia lebih tertarik ketika betapa kedua orang tuan rumah itu menyambut kedatangaan tiga orang kakek aneh. Dua orang itu cepat bangkit dan dengan wajah berseri lalu memberi hormat sambil membungkuk. Bahkan Phu-niu-sancu segera berkata, "Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe benar-benar sudi datang mengunjungi kami? Harap banyak maaf bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya!"
Melihat sikap tuan rumah dan mendengar ucapan sancu itu, semua orang terkejut, termasuk Cong San dan juga ketiga orang "pendekar" yang duduk di belakangnya. Semua orang tidak ada yang mengenal kakek itu dan melihat penghormatan yang demikian besar, sebutan "locianpwe" dari majikan gunung, mereka semua menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek tua renta yang aneh itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kakek berpakaian jembel yang merupakan orang paling suka ketawa dan bicara di antara mereka bertiga, kini tertawa bergelak."Kami tiga setan tua paling tak tahu diri! Di mana ada pesta pengantin dan arak wangi, tentu kami akan datang. Sancu, kami harus memberi selamat dengan tiga cawan arak sebelum menikmati hidanganmu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian kakek jembel itu menggerakkan tangan tiga kali ke arah meja yang berada di dereta terdepan dan.... "wuuut-wuuut-wuuuttt.....!"
***
Tiga buah guci arak yang berada di meja-meja itu terbang ke arahnya, diterima oleh tiga orang kakek itu dan terus ditenggak isinya setelah mereka berkat, "Selamat menikah!" Sungguh cara pemberian selamat yang aneh sekali.
"Eh-eh.... ke mana arak.... arakku...?" Seorang di antaara tamu-tamu yang duduk di depan meja yang kehilangan guci araknya tiba-tiba berseru keras.
Para tamu tertawa, akan tetapi Cong San berdebar jantungnya mendengar suara itu. Itulah suara Keng Hong! Ia cepat ikut berdiri seperti tamu lain yang hendak melihat tingkah Keng Hong yang bersikap seperti seorang tamu tolol yang kehilangan guci araknya. Cong San terbelalak kaget dan heran melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki muda bermuka hitam tolol-tolol seperti muka orang bopeng, sama sekali tidak ada bekas-bekas muka Keng Hong yang tampan. Pakaiannya pun seperti seorang pertapa, berwarna kuning dan terlalu besar, kepalanya dibungkus kain kuning. Kalau saja tadi tidak mendengar suaranya, Cong San tentu tidak akan mengenal orang ini, akan tetapi orang itu mencari-cari guci araknya sambil memutar tubuh dan bertemu pandang mata dengan Cong San, murid Siauw-lim-pai ini yakin bahwa orang itu memang Keng Hong! Maka dia menjadi girang dan legalah hatinya.
Seorang pelayan sambil tertawa-tawa seperti yang lain menyaksikan sikap tamu yang berpakaian pendeta akan tetapi kehilangan guci arak menjadi bingung seperti ini, lalu menyediakan guci arak lain sedangkan tiga orang kakek itu sambil tertawa dipersilakan duduk di kursi kehormatan yang berada di sebelah tepat duduk tuan rumah, agak tinggi tempatnya, tidak seperti ruangan duduk para tamu biasa yang berhadapan dengan tuan rumah.
Dua orang laki-laki gagah yang di tengah jalan tadi sudah diperhatikan Cong San, yaitu laki-laki tinggi besar berjengot panjang dan bergolok emas bersama tosu tua, juga diterima penuh bormat dan di beri tempat duduk di tempat kehormatan bersama tiga orang kakek aneh tadi dan masih ada belasan orang lain.
Biarpun hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa Keng Hong berada di tempat itu, namun Cong San diam-diam merasa khawatir. Mereka hanya berdua, dan di situ terdapat banyak orang lihai. Cui Im sendiri memiliki kepandaian yang amat hebat, dan kakek-kakek yang tiga orang itu tentu merupakan lawan berat. Baru demonstrasi yang diperlihatkan kakek jembel ketika dengan sinkangnya dapat mengambil tiga guci arak tanpa menyentuhnya sudah membuktikan kekuatan sinkang yang dahsyat.
"Heee, mana mempelai wanitanya? Eh, Phu-niu-sancu, harap jangan terlalu pelit untuk memperlihatkan mempelai wanita kepada kami. Mulut dan perut kami sudah mendapat hidangan cukup, akan tetapi mata kami pun perlu hidangan memandang wajah cantik, ha-ha-ha!" Kakek jembel itu tertawa dan dua orang temannya pun tertawa bergelak. Tentu saja ucapan itu terdengar amat kurang ajar, dan baru setelah melihat fihak tuan rumah tidak marah, para tamu lainnya pun tertawa karena diam-diam mereka menyetujui ucapan kakek itu dan mereka semua ingin sekali menyaksikan calon isteri Sancu yang selama ini dirahasiakan.
Mempelai pria tertawa dan berkata kepada kakek itu,"Harap Locianpwe suka bersabar karena dia sedang berhias. Sambil menanti munculnya pengantin wanita, lebih baik kalau kami memperkenalkan para tamu kehormatan kepada tamu-tamu lain sambil minum arak dan menikmati hidangan. Untuk hidangan mata, kami pun sudah mempersiapkan serombongan pemain musik, nyanyi dan tari." Tuan rumah memberi isyarat dan muncullah belasan orang wanita cantik dan bersikap genit memikat, berlari dengan gerakan tubuh lemah gemulai. Mereka ini adalah penari-penari dan penyanyi-penyanyi, juga pemain musik yang terdiri dari yang-khim, suling, tambur dan lain-lain. Para tamu menjadi gembira dan mata-mata yang lapar melahap wajah-wajah mereka yang cantik dan tubuh-tubuh mereka yang membayangkan di balik pakaian sutera tipis.
"Ha-ha-ha, nanti dulu, Sancu!" kata si kakek jebel ketika melihat tuan rumah hendak memperkenalkan mereka bertiga. "Sebelum tamu-tamu diperkenalkan, tentu lebih dulu tuan rumah diperkenalkan." Kakek itu bangkit berdiri dan berkata menghadap para tamu. "Mengkin semua orang hanya mengenal Lian Ci Sengjin sebagai Sancu dari Phu-niu-san, dan Sian ti Sengjin sebagai suheng dan penasihatnya. Akan tetapi agaknya jarang ada yang tahu bahwa mereka berdua kakak beradik seperguruan ini adalah tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai!'
Cong San terkejut sekali. Sungguh dia tidak mengira bahwa dua orang tuan rumah itu adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai.
Tentu saja Cong San tidak tahu bahwa dua orang itu adalah dua tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng atau memberontak dan melarikan diri dari Kun-lun-pai. Mereka itu bukan lain adalah Lian Ci Tojin yang kini tidak lagi menjadi tosu dan mengubah sebutan tojin menjadi sengjin, dan suhengnya, Sian Ti Tojin yang kini menjadi Sian Ti Sengjin. Setelah mereka meninggalkan Kun-lun-pai dengan hati sakit, keduanya menghimpun tenaga dan mempunyai banyak anak murid, bermarkas di Phu-niu-san. Akan tetapi ketika Cong San mendengar bahwa fihak tuan rumah adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, hatinya menjadi lega. Dia sudah mendengar banyak tentang Kun-lun-pai sebagai perkumpulan besar yang terkenal dan murid-murid Kun-lun-pai dikenal sebagai pendekar-pendekar yang berjiwa gagah perkasa, pengabdi kebenaran. Maka dia lalu memandang dua orang tuan rumah itu sebagai orang-orang segolongan yang dapat dia harapkan dalam menghadapi Cui Im nanti. Pula, kalau benar Cui Im yang dikawin oleh tokoh Kun-lun-pai itu, tentu terjadi karena tokoh itu belum mengenal siapa adanya Cui Im. Kalau tahu bahwa Cui Im seorang iblis wanita yang jahat, tentu tokoh Kun-lun-pai itu tidak akan sudi!
Phu-niu-sancu yang berdiri itu tersenyum mendengar ucapan kakek jembel, lalu berkata lantang,"Memang tak perlu kami pungkiri lagi bahwa kami kakak beradik adalah murid-murid Kun-lun-pai. Akan tetapi sayang bahwa sekarang ini Kun-lun-pai kemasukan pengacau sehingga terpaksa kami berdua meninggalkannya untuk sementara. Di dalam jaman kacau ini, tidak hanya Kun-lun-pai yang dikacau orang orang. Juga Tiat-ciang-pang yang namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw, yang menjadi tetangga kami, kini dikacau orang sehingga tokoh-tokohnya yang berjiwa gagah lebih suka meninggalkannya. Kami memperkenalkan tokoh besar Tiat-ciang-pang yang kebetulan hadir disini, ialah Kim-to Lai Ban. Lai-sicu terkenal dengan ilmu goloknya dan ilmu goloknya dan ilmu Tiat-ciang-kang yang lihai!"
Cong San kembali tercengang. Ia sudah mendengar pula akan nama besar Tiat-ciang-kang sebagai perkumpulan orang-orang gagah. Kiranya laki-laki gagah yang membawa golok emas tadi adalah seorang tokoh Tiat-ciang-pang, jadi segolongan pula dengan dia dan boleh diharapkan bantuannya!
"Heh-heh-heh, tuan rumah yang tidak adil! Kenapa kami tidak diperkenalkan? Ha-ha-ha!" Kakek jembel tadi menegur sambil terkekeh.
Phu-niu-sancu tertawa. "Locianpwe adalah golongan teratas yang sudah terkenal sekali. Saya kira semua orang sudah mengenal Sa-wi Locianpwe." Kemudian tuan rumah itu menghadapi para tamu dan berkata lantang, "Siapakah orang yang belum mengenal Thian-te Sam-locianpwe?"
Kakek yang berpakaian sastrawan cepat berkata, "Sancu tidak perlu mengubah julukan kami. Katakan saja bahwa kami adalah Thian-te Sam-lo-mo! Kami tidak malu disebut Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua)!"
Banyak di antara para tamu menjadi pucat mukanya. Thian-te Sam-lo-mo? Nama ini sudah banyak dikenal orang, akan tetapi karena sudah puluhan tahun Thian-te Sam-lo-mo tidak pernah muncul di dunia ramai, maka nama mereka itu dianggap dongeng.
Siapa kira, kini tahu-tahu di situ muncul tiga iblis tua yang dahulu dianggap sebagai datuk-datuk dunia penjahat! Juga Cong San menjadi bengong. Betapa anehnya keadaan di situ. Gurunya pernah memberi tahu, juga suhengnya, bahwa sebelum muncul Bu-tek Su-kwi yang menjadi datuk-datuk kaum sesat, nama Thian-te Sam-lo-mo amat terkenal sebagai datuk dunia penjahat. Setelah Bu-tek Su-kwi muncul, tiga orang Thian-te Sam-lo-mo itu menghilang. Kalau kini muncul lagi, Cong San tidak akan merasa heran, akan tetapi yang membuatnya heran adalah bahwa datuk-datuk penjahat itu dapat menjadi sahabat tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan menjadi satu dalam pesta bersama tokoh-tokoh golongan putih.
Akan tetapi dia segera memperhatikan lagi karena tuan rumah telah memperkenalkan para tamu yang duduk di kursi-kursi kehormatan. Tosu yang tadi datang bersama Kim-to Lai Ban diperkenalkan sebagai Thian It Tosu, dan belasan orang lagi diperkenalkan kepada para tamu. Kesemuanya merupakan orang-orang ternama yang tinggal di perbatasan kedua propinsi.
Setelah semua tamu kehormatan diperkenalkan, terdengarlah tetabuhan dibunyikan dan para wanita penari mulai menari sambil menyanyi. Tamu-tamu menikmati hidangan dan tertawa-tawa melihat para penari itu mengerling genit sambil tersenyum-senyum ke arah mereka.
Seorang pelayan datang menghadap Sancu dan berkata dengan suara bisik-bisik. Sancu bangkit berdiri, menoleh kepada tamu kehoramatan dan berkata, "Maaf, saya hendak menjemput mempelai wanita."
Mendengar ini kakek jembel orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo bertepuk-tepuk tangan dan berkata nyaring, "Bagus, bagus...! Pengantin wanita datang! Tentu lebih menyenangkan dipandang daripada penari-penari yang genit itu!" Semua orang tertawa dan ketika penari-penari itu melotot dan cemberut kepada kakek jembel, kakek ini mengambil aksi ketakutan dan berseru, "Idiiihhh... Serem....!!"
***
Sikap kakek ini membuat orang tertawa bergelak dan diam-diam Cong San menjadi heran mengapa seeorang tokoh dunia hitam yang sudah amat terkenal sebagai Thian-te Sam-lo-mo itu sikapnya seperti anak-anak atau badut yang tidak lucu. Memang dunia kang-ouw banyak mempunyai orang-orang aneh, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitamnya.
"Mempelai datang....!!" Terdengar seruan orang-orang dan semua tamu mengangkat muka memandang ke arah sepasang mempelai yang muncul dari pintu dalam. Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu yang sudah berusia empat puluh lima tahun itu dengan sikap bangga dan wajah berseri-seri menuntun seorang wanita yang memakai pakaian pengantin yang mewah, gemerlapan dengan hiasan emas berlian, dan wajahnya tertutup tirai terbuat daripada benang-benang emas yang berkeredepan. Tak dapat dilihat dengan jelas wajah dibalik tirai, hanya tampak bayangannya saja. akan tetapi bentuk tubuhnya yang tersembunyi di balik pakaian pengantin yang longgar dapat dibayangkan sebagai tubuh yang ramping padat dan tinggi semampai.yang kadang-kadang tersembul dari balik lengan baju ketika jalan melenggang, amat putih dan halus.
Sepasang pengantin duduk di atas kursi yang sudah dipersiapkan, dan para penari melanjutkan pertunjukkan mereka yang terganggu sebentar dengan munculnya sepasang mempelai. Akan tetapi baru saja mereka membuka mulut, belum juga suara nyanyian keluar, tiba-tiba kakek jembel meloncat bangun dan menggoyang-goyangkan tangannya ke arah penari itu. "Stop! Jangan membikin bising dulu, mempelai wanita belum diperkenalkan!" Para penari itu melotot dan terpaksa duduk kembali, ditertawai oleh banyak tamu, sedangkan kakek jembel sudah menghadapi sepasang mempelai, berkata nyaring,
"Tuan rumah tidak adil! Kenapa pengantin wanita dibungkus seperti ini sehingga kami tidak dapat memandang wajahnya? Apakah hidungnya pesek? Atau bibirnya sumbing dan barangkali matanya juling?" Tamu-tamu tertawa bergelak dan menghadapi ucapan seperti itu, fihak tuan rumah terpaksa tersenyum.
"Tadi setiap orang diperkenalkan, kenapa mempelai wanita tidak diperkenalkan kepada tamu-tamu? Ini tidak adil!" Kakek jembel mencela.
Sambil tertawa mempelai pria hanya tertawa, sedangkan Sian Ti Sengjin yang hendak menolong sutenya lalu berkata, "Locianpwe, yang diperkenalkan hanyalah tamu-tamu kehormatan...."
"Wah-wah-wah, apakah Sicu hendak menghina adik iparmu? Pada saat ini, siapakah yang lebih terhormat daripada mempelai wanita? Hayo, katakan yang lebih terhormat daripada mempelai wanita? Aku menuntut agar mempelai wanita diperkenalkan, tidak hanya wajahmya, akan tetapi juga nama dan julukannya. Aku mendengar desas-desus bahwa mempelai wanita tidak kalah terkenal dari mempelai pria!" Kakek jembel itu mendesak terus dan karena ucapannya ini menarik perhatian, maka para tamu juga ingin tahu dan mengangguk-angguk membenarkan. Bahkan diam-diam Cong San sendiri juga ingin sekali melihat, karena dalam keadaan tertutup tirai seperti itu sukar bagi Cong San untuk mengenal Cui Im
Phu-niu-san tampak berbisik-bisik dengan mempelai wanita yang mengangguk perlahan, kemudian mempelai pria ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar tamu tidak berisik. Setelah semua orang diam, dia lalu berkata,
"Terima kasih atas perhaitan Cui-wi sekalian yang ingin mengenal wajah dan nama isteriku. Dan memang sesungguhnya sudah sepatutnya kalau isteriku memperkenalkan diri, sungguhpun tadinya kami bermaksud untuk memenuhi tuntutan upacara bagi seorang mempelai wanita untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi, mengingat bahwa kita berada di antara teman-teman segolongan dan isteriku pun bukan seorang yang tidak terkenal, maka saya mempersilakan isteri saya untuk memperkenalkan diri sendiri kepada Cu-wi! Ia menoleh kepada isterinya yang segera bangkit berdiri dan perlahan-lahan tangan yang berkulit halus putih itu menyingkap tirai benang emas keatas kepala dan terus ke belakang sehingga wajahnya tampak jelas.
Semua tamu memandang dengan melongo saking kagumnya melihat wajah yang amat cantik jelita itu, dengan mulut tersenyum manis sekali. Semua orang diam menahan napas dan tidak mengeluarkan suara ketika mempelai wanita berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring,
"Cu-wi sekalian mungkin ada yang sudah pernah mendengar nama saya. Sebelum menjadi isteri Sancu sekarang ini, saya dikenal sebagai Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek!"
Para tamu menjadi kaget dan terdengarlah suara bisik-bisik sehingga keadaan menjadi berisik sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan hijau dan tahu-tahu Yap Cong San sudah berdiri di ruang kehormatan menghadapi tuan rumah dan para tamu kehormatan, sikapnya tenang namun pandang matanya penuh semangat dan keberanian.
"Harap sancu dan para tamu suka memaafkan saya, akan tetapi saya mempunyai urusan pribadi dengan mempelai wanita. Karena saya tidak ingin menodai nama orang lain di tempat terhormat ini, saya persilakan kepada Ang-kiam Bu-tek untuk memenuhi tantangan saya untuk membereskan perhitungan di luar ruangan ini!" Sambil berkata demikian Cong San menghadapi Cui Im dan memandang dengan sinar mata tajam. Cui Im membelalakkan mata, mengangkat alis dan tersenyum, diam-diam timbul kembali gairah hatinya. Pemuda yang disangkanya seorang yang lemah itu ternyata adalah murid Siauw-lim-pai yang amat gagah perkasa. Tentu saja dia tidak takut akan tetapi dia diam saja, ingin melihat reaksi suaminya dan para tamu. Karena dia tidak melihat Keng hong datang bersama Cong San, dia tenang-tenang saja. Hanya Keng Hong yang ia takuti, dan karena takut akan Keng Honglah maka ia lalu menggabungkan diri di Phu-niu-san bahkan rela menjadi isteri Lian Ci Sengjin.
Sementara itu, Lian Ci Sengjin sudah melompat bangun dan dengan mata melotot menghadapi Cong San, menudingkan telunjuknya dan memaki,
"Keparat jahanam bermulut kotor! Siapakah engkau berani bersikap seperti ini, menghina isteriku?"
Cong San tersenyum. "Sancu, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak ingin menodai nama baikmu dan nama baik orang lain. Akan tetapi karena engkau bersikap begini, apakah aku harus menceritakan urusanku dengan Ang-kiam Bu-tek?"
"Seorang laki-laki gagah tidak akan menyembunyikan sesuatu! Kalau memang ada urusan hayo katakan saja, siapa hendak menyimpan rahasia?" Lian Ci Sengjin membentak, mukanya merah sekali, kedua tangan mengepal seakan-akan dia sudah ingin menghantam remuk kepala pemuda itu. Semua tamu memandang heran dan khawatir. Apakah ada hubungan antara pemuda tampan baju hijau dengan mempelai wanita? Jangan-jangan bekas kekasihnya. Bisa ribut kalau begitu! Biarpun di hatinya Lian Ci Sengjin ada dugaan seperti ini pula melihat ketampanan wajah pemuda itu, namun dia tidak merasa khawatir andaikata rahasia itu dibuka, karena dia sendiri adalah seorang yang jauh lebih tua daripada isterinya sehingga hal-hal mengenai percintaan isterinya dengan pria lain yang telah lewat tidak diperdulikannya.
Cong San menghela napas, lalu berkata, "Sancu, saya bernama Yap Cong San, seorang anak murid Siauw-lim-pai. Saya tidak tahu bagaimana Sancu sebagai tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, juga para enghiong dari Tiat-ciang-pang dan tamu terhormat, sampai bisa kemasukan seorang seperti dia ini!" Ia menuding ke arah Cui Im yang masih duduk tersenyum-senyum, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im adalah seorang wanita iblis, dan aku sengaja datang mencarinya untuk membalas kematian murid Siauw-lim-pai yang dibunuh olehnya!"
Mendengar bahwa pemuda ini murid Siauw-li-pai, keadaan makin tegang. Nama besar Siauw-lim-pai amat dikenal, bahkan Lian Ci Sengjin sendiri sebagai tokoh atau bekas tokoh Kun-lun-pai mengenal pengaruh Siauw-lim-pai dan dapat melihat gawatnya persoalan, sehingga dia merasa ragu-ragu untuk berlaku lancang, bahkan lalu menoleh kepada isterinya seperti hendak menyerahkan keputusan mengenai diri pemuda ini kepada isterinya.
***
"Harap kau duduk," kata Cui Im lirih kepada suaminya, kemudian ia memandang ke arah tamu-tamu dengan wajahnya yang cerah, senyumnya yang manis dan sikapnya yang amat tenang seolah-olah ia menganggap kehadiran Cong San seperti gangguan seorang bocah nakal yang tidak banyak artinya.
"Cu-wi sekalian maklum bahwa bocah ini datang mencari penyakit, datang-datang menghina orang. Karena saat ini aku disebut nona pengantin, akan memalukan sekali kalau turun tangan sendiri. Siapakah di antara Cu-wi sekalian yang sudi mewakili aku memberi hajaran dan mengusir bocah lancang ini dari sini?"
"Kami sanggup...."
"Biarkan kami mengusir anjing itu!"
Semua orang memandang dan ternyata yang maju adalah tiga orang berpakaian sastrawan yang tadi datang bersama Cong San, Bun-bu Sam-taihiap, (Tiga Orang Pendekar Ahli Sastra)! Dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah tiga orang itu naik ke ruangan besar dan mereka menjura ke arah Cui Im. Si tahi lalat lalu berkata mewakili dua orang saudaranya,
"Kami Siangkoan Sam-heng-te yang dijuluki orang Bun-bu Sam-taihiap mengharap agat Toanio tidak mencapekkan diri dan duduk saja menonton kami mewakili Toanio memberi hajaran kepada bocah lancang mulut ini!"
Cui Im diam-diam merasa geli hatinya dan memandang rendah tiga orang ini, akan tetapi ia memberikan senyum manis semanis-manisnya kepada tiga orang itu dan berkata merdu,
"Siangkoan taihiap bertiga sudi membantuku, sungguh besar budi yang kuterima. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih."
Melihat bibir merah basah merekah di sertai kerling mata menyambar dan senyum yang memperlihatkan kilatan gigi bersih berderet rapi, tiga orang itu menjadi bengong sehingga sampai lupa sejenak untuk apa mereka berdiri di situ, hanya memandang ke arah wajah yang mempesona itu! Akhirnya mereka sadar dan cepat membalikkan tubuh menghadapi Cong San yang masih berdiri tenang.
"Eh, engkau she Yap! Kalau tahu bahwa engkau ternyata seorang manusia jahat yang datang-datang menghina nyonya rumah, tentu tadi-tadi telah kami hajar!" kata si tahi lalat sambil menudingkan telunjuknya ke muka Cong San.
Cong San tersenyum dan menjawab, "Harap Sam-wi tidak mencampuri urursan ini. Saya sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan siapapun juga. Kedatanganku memang khusus untuk membuat perhitungan dengan Ang-kiam Bu-tek yang telah membunuh suhengku, seorang murid Siauw-lim-pai. Harap Sam-wi minggir, aku tidak bermusuhan dengan Sam-wi."
"Pengecut!" Si mata sipit memaki. "Beraninya menantang seorang wanita. Kalau memang kau jantan, hayo lawan aku!"
Diam-diam Cong San mendongkol. "Aku tidak mau menyerang Sam-wi, akan tetapi kalau Sam-wi memaksa hendak menyerangku, silakan, tidak usah satu-satu, boleh maju bertiga."
Panas rasa perut tiga orang itu. Dengan gerakan penuh aksi mereka memasang bhesi. Lalu menggeser-geser kedua kaki dan mainkan tangan seperti orang menari. Hati Cong San menjadi sebal karena tiga orang ini jelas masih rendah kepandaiannya dan hanya pandai berlagak sambil mainkan ilmu silat kembang yang hanya indah dipandang namun sebetulnya kosong dan tidak berarti kalau dipakai bertanding. Ia sengaja berdiri seenaknya bahkan matanya tidak memandang mereka, melainkan memandang kepada Cui Im dengan penuh kebencian. Ia melihat Cui Im tersenyum mengejek dan tiba-tiba Cong San yang tadinya marah dan mendongkol kepada tiga orang itu menjadi kasihan. Mereka ini menjadi korban senyuman manis Cui Im sehingga tanpa mengenal diri mereka rela terjun mewakili wanita itu. Padahal, tentu saja sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi Cui Im aklum bahwa tiga orang ini dangkal ilmunya, mengapa wanita itu demikian kejam membiarkan mereka itu menghadapi bahaya dan bahkan menjadi buah tertawaan? Padahal tentu saja Cui Im bisa mencegah mereka turun tangan mewakilinya? Betapapun Cong San ingin pula menundukkan tiga orang yang sombong ini.
"Heeeiiiiiittttt!!"
"Hyyyaaatttttt!!"
Tiga orang itu dengan lagak hebat sudah menyerang Cong San dengan pukulan-pukulan mereka. Cong San dengan tetap tidak bergerak, hanya menggerakkan sinkang menerima pukulan-pukulan ke arah dada, punggung dan lambung kanan itu.
"Bukkk! Bukkk! Bukkk!
"Hayaaaaaa..!" Tiga orang itu menjerit kesakitan dan ternyata tangan mereka yang memukul telah menjadi bengkak karena Cong San menggunakan sinkang untuk melawan keras sama keras sehingga mereka seperti memukul tubuh yang terbuat daripada baja! Tiga orang sastrawan konyol itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi Cong San yang tidak memberi kesempatan mereka memperpanjang aksi mereka di situ, sudah menggerakkan kaki dan tiga kali ia menendang membuat tubuh mereka terlempar turun dari ruangan itu, jatuh terbanting menabrak meja kursi mengaduh-aduh, merayap bangun dan.. lari keluar tanpa pamit lagi.
"Huah-ha-ha-ha-ha-ha! Lian Ci Sengjin, mengapa tamumu begitu konyol? Apakah memang engkau mengundang tiga orang badut itu untuk melawak di sini? Ha-ha-ha!" Kakek jembel, orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo, tertawa bergelak.
Lian Ci Sengjin terkejut menyaksikan kelihaian pemuda baju hijau tadi, dan maklumlah dia bahwa untuk menghadapi pemuda itu harus dia sendiri yang maju. Ia sudah bangkit dan berkata, "Biar kuhajar sendiri dia!"
Akan tetapi Cui Im sudah menahan lengan suaminya dan memandang kakek jembel sambil berkata, "Sudah lama aku mendengar akan nama besar Thian-te Sam-lo-o yang berjumlah tiga orang pula. Jangan-jangan tidak bedanya dengan tiga orang badut tadi? Locianpwe, pemuda baju hijau bernama Yap Cong San ini adalah murid Tiong Pek Hosiang, apakah Sam-wi Locianpwe berani menghadapinya?"
Kakek jembel itu tertawa lagi. "Waduh-waduh, kiranya nona pengantin adalah seorang yang begini cerdik, hendak menyeret kami masuk ke dalam api permusuhan yang panas! Kami tidak takut siapa-siapa, akan tetapi kami sudah bosan bermusuhan. Kami hanya mau bertanding untuk mengukur kepandaian Pemuda ini tidak ada nama besar, tidak seperti nona pengantin yang julukannya menjulang tinggi sampai ke langit.
Kalau sudah berani menggunakan julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), tentu sudah dapat menandingi Bu-tek Su-kwi!"
Cui Im adalah seorang cerdik dan tadi ia berusaha memanaskan hati Thian-te Sam-lo-mo untuk menghadapi Cong San. Siapa kira, kakek jembel itu kiranya lebih cerdik dan lebih berpengalaman sehingga bukan dia yang berhasil membakar, bahkan dia sendiri yang kini di bakar hatinya. Cui Im tersenyum mengejek dan mendengus dengan menghina, "Bu-tek Su-kwi? Huh, apa sih mereka? Tokoh utamanya, Lam-hai Sin-ni dengan mudah tewas di tanganku!"
Thian-te Sam-lo-mo terkejut. Memang mereka sudah mendengar pula berita itu, akan tetapi setelah melihat Cui Im, mereka mengira berita itu dilebih-lebihkan. Akan tetapi kalau wanita ini berani mengakuinya, agaknya wanita muda ini memiliki kepandaian hebat, hal yang benar-benar tak dapat mereka percaya.
"Bhe Cui Im, mengapa banyak cakap dan hendak sembunyi di balik punggung orang lain? Majulah dan kita membuat perhitungan!' Cong San membentak, suaranya keren dan penuh semangat. Cong San yang maklum bahwa Keng Hong berada di situ, dan karena di situ hadir pula orang-orang gagah, merasa mendapat angin.
Kembali Cui Im tersenyum. "Kalau aku yang maju sendiri, berarti aku tidak mengindahkan kepandaian para tamuku. Adakah lagi para enghiong yang hadir ini sudi mewakili aku memberi hajaran kepada bocah ini?"
Sunyi saja, agaknya para tamu menjadi ragu-ragu setelah melihat kelihaian Cong San yang dalam segebrakan saja merobohkan tiga orang lawan tadi. Juga para tamu yang duduk di tempat kehormatan merasa ragu-ragu untuk menerjunkan diri ke dalam permusuhan pribadi, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Mereka sebagai orang-orang berilmu tidak takut menghadapi pemuda itu, akan tetapi segan menanam bibit permusuhan dengan Siauw-lim-pai.
"Biarlah aku sendiri yang maju menghajarnya!" Lian Ci Sengjin sudah bangkit dari kursinya, tetapi Sian Ti Sengjin menahannya, dengan menyentuh lengannya.
"Sute, engkau duduk sajalah. Karena saat ini engkau adalah seorang mempelai, tidak pantas kalau engkau harus turun tangan sendiri, demikian pula isterimu. Kalau pemuda ini berkeras, biarlah aku yang menghadapinya." Sian Ti Sengjin bangkit berdiri.
"Tidak baik tuan rumah turun tangan sendiri ! Biarlah aku yang mencobanya!" Teriakan ini keluar dari mulut Kim-to Lai Ban yang sudah mencelat dari kursinya dan berdiri di depan Cong San. Kim-to Lai Ban sedang mencari sekutu untuk diajak menghadapi Tiat-ciang-pang karena dia masih merasa sakit hati terhadap Ouw Kian yang kini menjadi ketua Tiat-ciang-pang, maka dia yang menganggap bahwa murid Saiauw-limpai yang muda itu tidak berapa mengkhawatirkan, ingin memberi jasa.
Cong San terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa seorang tokoh Tiat-ciang-pang akan turun tangan membantu Cui im. Juga tadi dia heran menyaksikan sikap dua orang tuan rumah. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai, mengapa setelah dia membuka rahasia Cui Im mereka itu masih hendak melindunginya? Akan tetapi dia masih dapt mengerti sikap mereka ini karena kalau Sancu itu hendak menikah dengan Cui Im, memang sepantasnya dia membela isterinya, dan suhengnya pun sudah selayaknya membela sutenya, sungguhpun mereka itu sebenarnya harus insyaf bahwa mereka telah bersekutu dengan seorang wanita tokoh sesat. Akan tetapi tokoh Tiat-ciang-pang yang menjadi tamu? Kini hendak turun tangan pula melindungi Cui Im!
Cepat Cong San menjura ke arah Lai Ban dan berkata, "Lo-enghiong! Kalau Lo-enghiong seorang tokoh Tiat-ciang-pang, mengapa"
Tiba-tiba ucapannya disambung suara lain yang datangnya dari atas genteng. "Dia bekas pengurus Tiat-ciang-pang yang murtad dan melarikan diri!"
Cui Im menggerakkan tangan ke atas, "Brakkk!" Beberapa buah genteng berikut langit-langit dari mana suara itu datang pecah berantakan, akan tetapi tidak ada apa-apa di sana! Semua orang terutama Thian-te Sam-lo-mo, terkejut sekali menyaksikan kehebatan pukulan nona pengantin ini yang membuktikan sinkang yang amat kuat! Sebetulnya yang mengeluarkan suara tadi adalah Keng Hong, akan tetapi pemuda sakti ini menggunakan khikang sehingga suaranya seperti terdengar dari atas padahal dia masih berada di antara tamu yang tingkatnya rendahan. Dia mempergunakan kesempatan selagi semua mata dan perhatian tertuju kepada Lai Ban dan Cong San untuk mengeluarkan suara itu. Kini Cong San mengerti mengapa Lai Ban seorang tokoh Tiat-ciang-pang membantu Cui Im. Kranya orang ini adalah seorang pelarian dari Tiat-ciang-pang! Ia mengerti akan bahaya. Kini dia telah di antara musuh-musuh lihai yang akan membantu Cui Im. Ia menyesal bahwa dia telah teburu nafsu turun tangan. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,
"Aku datang untuk membuat perhitungan dengan perempuan iblis Ang-kiam Bu-tek. Siapa yang hendak membelanya, boleh maju!"
Lai Ban marah mendengar dibukanya rahasia tadi, dan dia sudah mencengkeram ke arah Cong San dengan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang! Cong San mengenal serangan ampuh. Ternyata bekas tokoh Tiat-ciang-pang ini lihai juga dan tak boleh disamakan dengan tiga orang sastrawan konyol tadi, maka dia cepat menangkis dengan tangan kanan.
"Desssss..!"
"Aaahhhhh..!" Lai Ban terhuyung ke belakang dan berseru kaget. Sungguh jauh di luar persangkaannya bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang begitu kuat sehingga dapat menangkis serangannya yang mengandung tenaga sakti Tiat-ciang-kang sehingga dia terhuyung ke belakang. Tahulah dia kini mengapa pemuda itu berani mengacau tempat itu, kiranya memang memiliki kepandaian tinggi.
***
Mengingat bahwa pemuda itu seorang tokoh Siauw-lim-pai dan kalau seorang tokoh Siauw-lim-pai sudah memiliki tenaga sinkang seperti itu, tentulah seorang yang benar-benar lihai, Lai Ban lalu mencabut goloknya.
"Singgggg,..!" Sinar berkelebat menyilaukan mata ketika golok besar bergagang emas itu keluar dari sarungnya.
"Kelauarkan senjatamu!" Kim-to Lai Ban yang masih mempunyai sifat kegagahan seorang pendekar menantang.
Cong San masih tenang saja dan menjawab, "Lai-lo-enghiong, mengapa engkau tidak mau sadar bahwa sebagai seorang gagah tidak layak mencampuri urusan pribadi orang lain dan lebih tidak baik lagi membantu seorang iblis betina seperti Ang-kiam Bu-tek?"
"Keluarkan senjatamu, atau... engkau akan mati konyol!" Lai Ban yang wataknya memang berangsan apalagi dia sudah marah dan penasaran karena dalam segebrakan saja dia terhuyung, membentak dan menganca.
"Mau serang, seranglah!" Cong San masih tenang karena pemuda ini maklum bahwa tanpa senjata pun dia masih akan dapat mengatasi orang pemarah ini, apa lagi dia memang tidak ingin memindahkan permusuhannya dengan Cui Im ke pundak orang lain, maka tidak ingin melukai lawan ini.
"Sombong, makan golokku!" Golok itu berkelebat, berubah enjadi sinar menyambar ke arah leher Cong San. Pemuda ini dengan tenang namun cepat mengelak dengan menggeser kaki mengubah pasangan, tubuhnya miring dan saat menyambarnya golok lewat tubuhnya dia barengi dengan hantaman dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang golok. Lai Ban kaget dan cepat dia meloncat ke depan sambil memutar golok menyambar ke belakang tubuhnya, menusuk perut lawan. Cong San dengan mudah mengelak dan menendang dari pinggir ke arah lutut lawan Lai Ban meloncat mundur dan goloknya membabat ke arah kaki yang menendang.
Namun Cong San sudah memperhitungkan gerakan balasan lawan ini, menarik kakinya dan tangan kirinya sudah menusuk ke atas mata Lai Ban dengan gerakan di perlambat. Pancingan ini berhasil karena Lai Ban berseru girang, mengelebatkan goloknya untuk membacok putus lengan Cong San. Secepat kilat dia menotok pergelangan tangan lawan yang sedang membabat lengannya. Perhitungannya tepat sekali, kalau tidak, ada bahayanya dia kalah cepat dan lengannya putus!
"Aduhhh...!" Golok terlepas dari pegangan tangan Lai Ban yang tiba-tiba menjadi lumpuh, akan tetapi tangan kirinya masih memukul dengan cepat, menggunakan tenaga Tiat-ciang-kang! Inilah kesalahannya. Kalau dia tidak nekat, tentu dia akan melepaskan golok dan tidak menderita nyeri. Kini pukulannya itu diterima oleh Cong San yang melihat pukulan keji lalu menangkis dengan pukulan telapak sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Desssss!" Tubuh Lai Ban mencelat ke belakang dan terbanting ke atas lantai,dari mulutnya tersebur darah segar! Cepat Lai Ban duduk bersila untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya yang terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Cong San menggunakan kakinya mencongkel golok di atas dan sekali kakinya bergerak, golok itu melayang dan menancap lantai tepat di depan Lai Ban!
"Bagus sekali...!" Wah, murid Siauw-lim-pai lihai.. Ha-ha-ha!" Kakek jembel tertawa-tawa gembira. Memang kakek ini dan dua orang saudaranya paling suka menonton pertandingan silat, akan tetapi kalau ada lawan tanggung-tanggung saja mereka tidak sudi turun tangan. Kini menyaksikan kelihaian Cong San, tangan mereka sudah gatal-gatal!
"Uh-uh-uh, bocah jahat!" Seruan ini halus perlahan, akan tetapi Cong San cepat mencelat ke belakang untuk mengelak. Tampak sinar berkeredepan ketika golok di tangan Thian It Tosu menyambar, dan begitu golok itu luput mengenai sasaran lalu membalik dan sudah menyambar lagi.
Suara golok merobek udara sampai mengeluarkan suara mengaung tiada hentinya dan sinar golok itu bergulung-gulung mengurung tubuh Cong San. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa ilmu golok Thian It Tosu amat hebat. Terpaksa dia lalu mengeluarkan senjatanya Im-yang-pit.
"Trang-trang-trang-cringgg...!" Bunga api berhamburan ketika berkali-kali golok bertemu sepasang pensil yang digerakkan secara istimewa oleh Cong San. Memang ilmu silat pemuda ini mainkan sepasang pensilnya amat lihai. Setiap kali menangkis, senjata yang kecil ringan ini tentu terus meleset dan menotok pergelangan lawan, malah disusul oleh pensil ke dua yang melakukan totokan ke arah jalan darah yang berlawanan. Thian It Tosu terpaksa mengelak ke sana ke mari dan goloknya diputar melindungi tubuh, namun sepasang pensil itu seperti dua ekor burung yang amat gesit, selalu dapat menyusup di antara sinar golok mencari sasaran jalan darah secara bertubi-tubi dan susul-menyusul! Dalam belasan jurus saja Thian It Tosu sudah terdesak hebat dan hanya main mundur.
"Wah-wah-wah, bocah itu hebat...!" Si kakek jembel berjingkrak-jingkrak girang sekali. "Tosu tukang sembelih babi dengan goloknya itu takkan menang!"
Diam-diam Lian Ci Sengjin menjadi mendongkol juga kepada Thian-te Sam-lo-mo, apalagi kepada si kakek jembel itu. Mereka adalah golongan cianpwe yang berkedudukan tinggi dan dia harapkan akan turun tangan meredakan kekacauan, akan tetapi kakek itu malah berjingkrak-jingkrak memuji si pemuda Siauw-lim-pai, seolah-olah merasa girang melihat fihak yang membelanya menderita kekalahan. Sambil mengeluarkan seruan keras, bekas tokoh Kun-lun-pai ini meloncat ke depan, pedangnya sudah terhunus dan terjangannya hebat ketika dia menusuk ke arah dada Cong San.
"Cringgg..!!" Pedang itu terpental ketika tertangkis pensil hitam. Thian It Tosu sudah menerjang lagi goloknya dan Cong San dikeroyok dua. Pemuda ini menjadi mendongkol sekali.
Tak disangkanya bahwa dalam mengejar musuh besarnya, dia malah bentrok dengan tokoh-tokoh dari partai besar seperti Kun-lun-pai dan Tiat-ciang-pang, padahal menurut patut, tokoh-tokoh partai besar itu semestinya membantu dia menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang jahat. Dengan marah dia lalu menggerakkan kedua pesilnya sedemikian rupa sehingga Lian Ci Sengjin dan Thian It Tosu yang diserang totokan maut pada jalan darah mereka berseru keras dan meloncat mundur. Sementara itu, Sian Ti Sengjin juga sudah melompat maju.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan halus berwibawa dari Cui Im,
"Mundur semua! Biar aku memberi hajaran kepada bocah ini!"
Bayangan merah berkelebat didahului angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Cong San ketiga tiga orang pengeroyoknya termasuk Sian Ti Sengjin mundur dan minggir mendengar seruan Cui Im. Pukulan sinkang yang dilontarkan Cui Im hebat bukan main. Cong San yang belum pernah bertanding mati-matian melawan wanita itu menangkis dan dia terjengkang! Untung dia segera menekan lantai dengan sikunya dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi sambil menggerakkan kedua pensilnya.
"Cring-cring-cring..!" Sinar merah dari jarum-jarum merah Cui Im runtuh semua terpukul sepasang pensil. Pemuda itu sudah meloncat bangun dan memandang Cui Im dengan marah. Ia maklum akan kelihaian wanita itu dan tadi pun hampir saja dia celaka.
"Wah, nona pengantin benar-benar hebat! Sekarang baru ramai!" Kakek jembel itu berseru dan sekali ini dia benar-benar memuji karena maklum bahwa tingkat kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat. Kalau tadi tiga orang iblis tua ini kepengin sekali menantang dan menggempur Cong San untuk menguji kepandaian tokoh muda Siauw-lim-pai yang lihai itu, kini mereka pun ingin sekali mencoba kesaktian Cui Im.
Tiba-tiba terdengar pekik seorang pelayan wanita berlari keluar, "Celaka... Toanio.. Kamar Toanio kebongkar..!"
"Apa..?" Mendengar ini, Cui Im membalikkan tubuh dan lari meninggalkan Cong San untuk memeriksa kamarnya. Melihat ini, Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin dan Thian It Tosu sudah maju lagi mengeroyok Cong San. Sementara itu, kakek jembel yang sudah tak dapat tahan menahan nafsunya ingin bertanding, tiba-tiba tertawa bergelak, tubuhnya melayang ke udara dan bagaikan seekor burung dia menerkam kepala Cong San.
"Dukkkkkk! Ayaaaaa...!" Tubuh kakek itu mencelat kembali ke belakang di mana dia hinggap di atas lantai dengan mata terbelalak memandang seorang pemuda bermuka hitam bopeng yang berpakaian longgar seperti pakaian pendeta yang tadi menyambut tubuhnya di udara dan mendorongnya kembali ke tempatnya. Hampir dia tidak percaya bahwa yang telah menolak tubuhnya tadi adalah pemuda bopeng itu! Kakek yang tadinya banyak bicara dan suka ketawa itu kini terbelalak memandang dengan muka melongo.
"Apakah kita mimpi...?" Ia berkata kepada dua orang saudaranya. "Muncul tokoh Siauw-lim-pai, dan nona pengantin yang hebat, kemudian bocah bopeng ini.. Bagaimana dunia sekarang penuh dengan orang-orang muda sakti berkeliaran?"
Pemuda muka bopeng itu melayang turun dan begitu kaki tangannya bergerak, golok Thian It Tosu terlempar, pedang Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin terpental ke belakang sedangkan tubuh mereka terhuyung.
"Lian Ci Sengjin, apakah engkau masih belum sadar dari kesesatanmu?" kata pemuda muka bopeng sambil meraba mukanya sehingga terbukalah kedok karet tipis dan tampak mukanya yang aseli.
"Keng Hong...!" Keparat, engkau pemuda busuk, dimana-mana menimbulkan kekacauan...!" Lian Ci Sengjin berseru memaki.
"Hemmm, ingatlah akan perbuatanmu sendiri! Lupakah kau akan nona Tan Hun Bwee yang perkosa di dalam hutan?"
"Apa...??" Lian Ci Sengjin menjadi pucat wajahnya.
***
"Sute, benarkah itu...?" Sian Ti Sengjin memandang sutenya dengan mata tajam.
"Tidak.. Eh, aku..." Lian Ci Sengjin tergagap.
"Lian Ci Sengjin, setelah engkau menjadi Sancu di Phu-niu-san, apakah engkau tetap menjadi pengecut? Seorang jantan sudah berani berbuat tentu berani mengakui perbuatannya. Engkau memperkosa nona Tan!"
Muka Lian Ci Sengjin menjadi merah dan matanya melotot. "Benar! Habis engkau mau apa?"
"Mau menghajarmu!" Keng hong berteriak dan tangan kirinya memukul dengan jari tangan terbuka ke arah perut ketua atau kepala di Phu-niu-san itu. Kalau pukulan ini mengenai sasaran tentu perut itu akan pecah dan agaknya Lian Ci Sengjin tak dapat mengelak lagi.
"Desssss!"
Pukulan sinkang tangan kiri Keng Hong tertangkis oleh tangan Cui Im yang melesat dari dalam. Muka wanita itu merah sekali dan matanya menyinarkan maut ketika dia berpandangan dengan Keng Hong.
"Cia Keng Hong! Kembalikan pusa-pusaka itu!" Jeritnya, setelah menangis saking marah dan bencinya.
Keng Hong tertawa dan bersedakap seperti hendak melindungi pusaka-pusaka yang sudah dapat dia rampas kembali dan kini dia sembunyikan di dalam baju yang longgar itu.
"Enak saja! Susah payah aku mencari. Engkau asyik menjadi pengantin, maka lengah. Salahmu sendiri!"
"Kau... pencuri laknat!"
"Husssssshhhhh, engkau sendiri mencurinya dari aku, dan sekarang aku mencurinya kembali. Adil, bukan?"
"Bangsat!" Pedang merah di tangan Cui Im menyambar, akan tetapi Keng Hong sudah mengelak.
"Cringgggg...!" Pensil putih di tangan Cong San yang menangkis pedang itu.
"Iblis betina, sekarang nyawamu harus kuambil!" bentak pemuda ini.
Cong San hendak menyerang, akan tetapi Keng Hong memegang pundaknya dan mendorongnya keras sekali sehingga tubuh pemuda murid Siauw-lim-pai terlempar. "Mari kita pergi, Yap-twako.."
"Tetapi...!"
"Nanti bicara, sekarang lari!" Keng Hong juga sudah meloncat dan sekali lagi dia mendorong dengan tenaga sepenuhnya sehingga tubuh Cong San seperti dilontarkan keluar dari gedung itu, diikuti bayangan Keng Hong.
"Berhenti, Keng Hong manusia keparat!" Cui Im mengejar.
"Eh-eh-eh, murid Siauw-lim-pai, bocah bopeng, tunggu, mari kita mengadu kepandaian. Coba kalau kalahkan Thian-te Sam-lo-mo!" Si jembel dan dua orang saudaranya juga mengejar keluar. "Kalau mereka tidak mau, engkau saja, nona pengantin. Engkau pun cukup lihai!" Teriak pula si jembel dari belakang Cui Im.
Cui Im sudah menyambitkan jarum-jarum merahnya ke arah pungung Keng Hong. Akan tetapi Keng Hong mengulur tangan dan dari samping dia menangkap jarum-jarum itu, kemudian sambil tertawa berseru, "Lian Ci Sengjin, kutitipkan nyawamu kepadamu. Ini untuk peringatan, terimalah!" Tangan Keng Hong bergerak dan jarum-jarum merah itu menyambar seperti sinar-sinar merah ke arah Cui Im, tiga orang kakek iblis dan ke arah Lian Ci Sengjin!
Dengan mudah Cui Im dan tiga orang kakek iblis mengelak, akan tetapi Lian Ci Sengjin memaki marah karena daun telinganya ditembus sebatang jarum merah isterinya!
Cui Im meloncat lagi hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara di belakangnya. "Jangan pergi semua! Layani dulu kami beberapa jurus, nona pengantin!" Cui Im kaget karena ada angin menyambar dari belakang. Cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan ternyata tiga orang Thian-te Sam-lo-mo telah menyerangnya dan memaksanya untuk menguji kepandaiannya.
"Apakah kalian gila?" Cui Im memaki dengan mendongkol sekali mengelebatkan pedang merahnya. Demikian hebat sambaran pedangnya sehingga tiga orang kakek iblis itu terpaksa meloncat ke belakang.
Ketika Cui Im menoleh ternyata bayangan Keng Hong dan Cong San telah lenyap. Pintu depan penuh dengan para tamu yang kacau balau lari ke sana ke mari. Cui Im marah bukan main, dan karena yang menghalanginya adalah Thian-te Sam-lo-mo, maka sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring ia lalu menerjang tiga orang kakek itu dengan pedangnya!
"Aduh, ganas..!" Teriak si kakek jembel.
"Kiam-sut yang hebat!" Si sasatrawan juga berseru sambil mengelak.
"Bukan main!" Seru pula orang ketiga yang berpakaian tosu.
Cui Im tidak peduli lagi, kemarahannya memuncak dan ia menerjang tiga orang itu kalang kabut. Tiga orang kakek itu mula-mula hanya mengelak ke sana ke mari, menganggap Cui Im main-main dan ingin menguji kepandaian, akan tetapi pedang itu makin ganas, bahkan di barengi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung sinkang kuat, mereka terkejut dan mencabut pedang masing-masing yang tersembunyi di balik jubah mereka.
"Trang-trang-trang...!" Bunga api berhabuan dan tiga orang kakek itu terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Cui Im hanya mundur selangkah. Tiga orang kakek iblis tua itu benar-benat kaget dan kagum bukan main, akan tetapi mereka menjadi makin gembira. Bagi mereka ini, makin tangguh lawan, makin menggembirakan, maka mereka sudah bergerak maju pula.
"Tahan...!" Teriak Lian Ci Sengjin.
"Harap berhenti...!" teriak pula Sian Ti Sengjin.
"Tidak perlu bertanding antara teman sendiri!" ucapan ini keluar dari mulut Lai Ban. Mereka semua, golongan tamu-tamu kehormatan sudah tiba di situ dan melerai Cui Im dan ketiga orang kakek iblis. Tiga orang kakek iblis itu mundur dan si kakek jembel memuji sambil mengacungkan jempolnya. "Engkau hebat, nona pengantin. Aku si tua benar-benar kagum sekali!"
Cui Im cemberut, akan tetapi diam-dia ia pun berpikir bahwa ia tadi hanya mengejar sendirian, ia tidak akan mampu memenangkan Keng Hong. Kalau saja tiga orang kakek iblis itu tidak seperti anak kecil dan suka membantunya, agaknya mereka berempat masih ada harapan untuk merampas pusaka-pusaka itu kembali. Pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Tadinya semua disimpan di kamarnya dan kini semua lenyap dicuri Keng Hong. Gemas bukan main hatinya.
"Mari kita kembali dan mari kita rundingkan bersama untuk menghadapi musuh-musuh itu karena tanpa direncanakan, akan sukar menghadapi mereka yang lihai. Keng Hong itu memang seorang pengacau besar dan.."
"Sudahlah!" Cui Im memotong omongan calon suaminya. " Aku suka menjadi isterimu karena mengharapkan kalian semua dengan kawan-kawan kalian akan membantuku menghadapi Keng Hong dan aku berjanji akan membantu kalian membalas dendam kalian. Akan tetapi siapa kira, kalian adalah manusia-manusia tolol sehingga begitu Keng Hong tiba, semua barangku telah digondolnya! Kalian bodoh dan tolol, terutama Thian-te Sam-lo-mo ini!" Setelah berkata demikian, Cui Im mencengkeram pakaian pengantin yang dipakainya dan "brettt-brettt!" pakaian itu sudah direnggut dan dirobek-robeknya. Ternyata di sebelah dalamnya dia telah mengenakan pakaian merahnya yang biasa!
"Eh-eh-eh.. Niocu.. eh...!" Lian Ci Sengjin berseru kaget dan menghapiri calon isterinya.
"Plak! Plak! Plak!" Pipinya ditampar oleh Cui Im. "Kau boleh mencari gadis Tan yang kau perkosa!" Setelah berkata demikian, Cui Im melesat pergi dengan cepat sekali, meninggalkan bekas calon suaminya yang melongo, kedua pipinya merah bekas ditampar dan daun telinganya berdarah karena tertembus jarum merah. Untung bahwa dia telah diberi obat yang ditinggalkan Cui Im di kamarnya, kalau tidak dia bisa mati terluka jarum itu.
"Hayaaaaa... sial dangkalan!" Kakek jebel membanting-banting kaki. "Lama tidak bertemu tanding, sekarang muncul tiga orang muda sakti, mereka pergi semua tanpa menguji kami!"
Akan tetapi Lian Ci Sengjin yang sudah marah dan makin malu, tidak memperdulikannya lalu lari memasuki rumahnya di mana dia mengeram diri ke dalam kamar. Ingin dia menangis saking marah dan malunya. Kebenciannya terhadap Keng Hong makin menghebat akan tetapi dia pun teringat akan Tan Hun Bwee dan diam-diam dia bergidik. Bagaimana Keng Hong tahu akan perbuatannya itu? Dan dimanakah Tan Hun Bwee sekarang? Ia menjadi ngeri kalau membayangkan betapa gadis itu akan mendendam sakit hati kepadanya.
Sementara itu, dengan bijaksana Sian Ti Sengjin lalu membubarkan pesta dengan pernyataan maaf. Para tamu kecewa, sungguhpun mereka kehilangan barang sumbangan untuk pengantin yang tidak jadi menikah, akan tetapi mereka diberi suguhan pertandingan tingkat tinggi dan peristiwa-peristiwa lucu dan aneh yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
"Cia-taihiap, mengapa engkau menyerangku membunuh iblis betina itu?" Cong San menegur Keng Hong setelah mereka melarikan diri selama setengah hari dan baru berhenti di tepi Sungai Han-sui di sebelah selatan Pegunungan Phu-niu-san.
Keng Hong menarik napas. Hatinya lega bahwa dia telah berhasil merampas kembali semua pusaka selengkapnya. Hari telah menjelang malam dan mereka beristirahat sambil duduk di dekat api unggun yang mereka buat untuk mengusir nyamuk.
"Yap-twako, kalau aku tidak memaksa kau pergi, belum tentu kita akan dapat hidup sampai sekarang. Engkau tidak tahu, tiga orang kakek itu adalah Thian-te Sam-lo-mo yang berkepandaian hebat bukan main. Kalau mereka membantu Cui Im, ditambah bantuan para yang agaknya semua berfihak mereka, dan dikeroyok anak buah Phu-niu-san yang seratus orang lebih jumlahnya, mana mungkin kita dapat menang, apalagi dapat keluar dari Phu-niu-san dengan selamat?"
***
"Aku tidak gentar menghadapi kematian dalam usahaku melaksanakan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai!"
Keng Hong menghela napas dan berkata, nada suaranya sedih karena dia teringat akan seua pengalaannya dahulu ketika dikejar-kejar di mana tokoh-tokoh Siauw-lim-pai juga turut mengejarnya. Teringat pula betapa dia pernah bentrok akhir-akhir ini dengan Thian Kek Hwesio dan lima hwesio Siauw-lim-pai yang hendak membunuh Biauw Eng.
"Yap-twako, di dunia ini kiranya tidak ada orang yang pernah meragukan kegagahan dan kejantanan jago-jagi Siauw-lim-pai. Akan tetapi sesungguhnya, hanya mengandalkan keberanian dan kekerasan saja, selain hidup ini tidak akan menjadi aman, juga sering kali menimbulkan hal-hal yang meruwetkan. Pernah aku sendiri dikejar-kejar Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio tanpa bersalah hanya karena aku adalah murid Sin-jiu Kiam-ong! Pernah pula belum lama ini nona Sie Biauw Eng diserang oleh tokoh tokoh Siauw-lim-pai di bawah pimpinan Thian Kek Hwesio hanya karena nona itu adalah sumoi dari Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Padahal, antara nona Sie Biauw Eng sudah tidak ada hubungan apa-apa, berbeda jauh seperti bumi dengan langit, bahkan ibu nona Sie Biauw Eng yaitu Lam-hai Sin-ni sendiri telah dibunuh oleh Cui Im dan nona Sie Biauw Eng hampir saja mati di tangan bekas sucinya. Inilah, Twako, buruknya watak keras dan kaku, hanya mengandalkan asal berani dan benar terus merunduk saja tanpa wawasan dan pertimbangan lagi."
Wajah pemuda baju hijau yang tampan itu menjadi merah. Ia tidak senang mendengar pemuda itu mencela tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi karena celaan itu sebenarnya menurut kenyataan dan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghina, dia pun tidak dapat membantah dan berkata,
"Habis, kalau menurut pendapatmu bagaimana, Cia-taihiap? Apakah karena kedudukannya yang sedemikian kuatnya itu aku lalu harus lari ketakutan dan melapor kepada suhu di Siauw-lim-si bahwa aku tidak sanggup melaksanakan perintah suhu?"
Keng Hong tersenyum sabar, maklum bahwa hati pemuda yang gagah perkasa ini agak tersinggung. "Bukan begitu, Twako. Tugas dari guru merupakan tugas suci yang harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa, akan tetapi kalau tugas itu gagal karena kecerobohan, hal itu tentu terjadi kalau kau nekat melawannya, bukankah akan berarti kau menyia-yiakan dan menggagalkan tugasmu pula? Melawan dengan nekat sampai mati padahal sudah tahu bahwa melawan hanya berarti akan mengantar nyawa sendiri sama sekali bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan pernuatan orang bodoh yang nekat. Terus terang aku memberitahu kepadamu,Yap-twako, bahwa dengan tingkat kepandaianmu yang sekarang, engkau tidak akan dapat menangkan Cui Im. Ketahuilah, dia telah mewarisi ilmu-ilmu dalam kitab-kitab pusaka peninggalan guruku Sin-jiu Kiam-ong dan agaknya tokoh Siauw-lim-pai yang akan dapat menundukkan hanya gurumu sendiri!"
Yap Cong San termenung dan dihatinya dia benar-benar terkejut mendengar ini. Memang tadi dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian wanita itu, akan tetapi tidak menyangka bahwa Keng hong akan menyatakan seperti itu. Dia menjadi bingung dan bertanya, suaranya mengandung penasaran.
"Mohon petunjuk Cia-taihiap. Bagaimanakah saya harus bersikap sekarang? Apa yang harus saya lakukan?"
Keng Hong mengeluarkan dua buah kitab yang sudah kuning dan menyerahkannya kepada pemuda itu. Yap Cong San menerima dua kitab itu dan begitu melirik ke atas judul yang tertulis di kulit sampul, dia berseru, "Ahhhhh!" Kitab I-kiong-hoan-hiat dan kitab Seng-to-cin-keng! Bukankah ini dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dikabarkan hilang..?"
"Benar. Itulah dua buah kitab yang dahulu di Pinjam oleh mendiang guruku, Sin-jiu Kiam-ong dan yang pernah kujanjikan kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk ku cari dan kukembalikan kepada Siauw-lim-pai. Baru sekarang aku berhasil merampasnya kembali dari Cui Im. Nah, dua buah kitab ini kuserahkan kepadamu, Yap-twako, agar kau bawa ke Siauw-lim-pai, disertai hormat dan permohonan maaf dariku demi nama mendiang guruku. Biarpun kau tidak berhasil membunuh Cui Im, namun dengan membawa kembali dua buah kitab yang amat penting ini, berarti perjalanamu tidak sia-sia belaka. Untuk membalas dendam kepada Cui Im, sekarang ini percuma. Dia tentu tidak lagi berada di Phu-niu-san setelah melihat aku mencarinya, dan engkau pun perlu memperdalam ilmu kepandaianmu untuk menghadapinya, Twako. Lebih baik kau ceritakan terus terang semua pemberitahuanku tentang kelihaian Ang-kiam Bu-tek kepada suhumu agar beliau dapat pula mempertimbangkan dan mempertinggi tingkat kepandaianmu sebelum kau ditugaskan lagi untuk menandingi Cui Im."
Yap Cong San mengangguk-angguk hatinya terharu melihat dua buah kitab itu. Dia tahu karena pernah mendengar penuturan suhunya tentang dua buah kitab pusaka yang hilang dibawa Sin-jiu Kiam-ong dan hal itu selain merupakan pukulan memalukan bagi Siauw-lim-pai, juga merupakan kehilangan yang amat besat. Kini dua buah kitab itu telah diberkan kepadanya, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya.
Pemuda Siauw-lim-pai itu cepat menjura dengan hormat dan berkata, "Banyak terima kasih, Cia-taihiap. Bukan hanya atas pengembalian dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai ini, akan tetapi juga atau nasihat-nasihat Taihiap yang kini dapat kulihat dan kurasakan kebenarannya. Baiklah, aku akan menghadap suhu, Mempersembahkan dua buah kitab ini dan menceritakan keadaan musuh besar itu yang kini menjadi amat lihai.
Tentu dia sudah pula mempelajari ilmu dari kedua buah kitab ini."
Keng Hong menghela napas panjang. "Memang benar demikianlah, maka dia menjadi demikian lihai."
Yap Cong San menganggu-angguk dan berkata dengan suara tegas, "Betapa pun juga, aku mohon kemurahan hati suhu utnuk memberi gemblengan agar aku dapat memperdalam ilmu sehingga akan dapat menandingi wanita iblis itu! Sekali lagi terima kasih, Tai-hiap, dan selamat berpisah sampai jumpa pula."
Selamat jalan dan berhati-hatilah. Dua buah kitab yang kau bawa itu kalau sampai terlihat tokoh-tokoh kang-ouw tentu akan mendatangkan bahaya dan gangguan hebat."
Yap Cong San menyimpan dua buah kitab di sebelah dalam bajunya dan mengaguk,
"Aku mengerti, Tai-hiap, dan karena dua buah kitab ini adalah benda-benda pusaka Siauw-lim-pai, aku akan melindunginya dengan nyawaku!' Sekali lagi dia memberi hormat, kemudian tubuh pemuda Siauw-lim-pai ini berkelebat cepat, pergi meninggalkan Keng Hong yang memandang kagum. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah perkasa keberaniannya luar biasa membuat dia kagum dan suka sekali.
Setelah Yap Cong San pergi, Keng Hong lalu membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan Cui Im dari tempat persembunyian gurunya. Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya di tabur mutiara, yaitu benda pusaka dari Khong-thong-pai, sekumpulan benda perhiasan yang dahulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirapasnya dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda milik pembesar yang dikawalnya, sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu.
Tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kia-ong sendiri yang ditulis oleh pendekar sakti itu, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya.
Hemmm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menibulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dahulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.pertama-tama dia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu. Tiba-tiba, secepat kilat, dia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu telah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik
Biarpun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu telah berada di situ, berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo!
Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tingi, kurang lebih seratus tahun! Di antara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua. Sudah puluhan tahun semenjak dahulu mereka dikalahkan Sin-jiu Kiam-ong, tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak mencapuri urusan dunia, karena mereka sudah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa fihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw!
***
Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak kalau perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong! Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan kesempatan lagi untuk menebus kekalahan!
Namun, ketiga tiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu. Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, tiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu dengan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi! Watak tiga orang yang sudah terlalu tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak.
Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang San-cu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa San-cu dan suhengnya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan. Apalagi ketika Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri San-cu itu,
Mereka menjadi terheran-heran dan dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu! Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat,Cia Keng Hong.
Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali meninggalkan Phu-niu-san,tiga orang kakek itu pun segera menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang telah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu. Tiga orang itu memang kakak beradik seperguruan. Yang tertua adalah si kakek jembel itu yang mempunyai watak ugal-ugalan dan suka berkelakar. Dahulu dia berjuluk Kai-ong Lo-mo (Iblis tua Raja Pengemis) maka sampai sekarang pun pakaiannya seperti seorang jembel gelandangan ! Orang ke dua adalah Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastrawan) yang berwatak angkuh dan menganggap diri sendiri yang paling pandai, baik mengenai ilmu sastra maupun ilmu silat! Pakaiannya pun sampai sekarang seperti pakaian seorang sastrawan! Adapun orang ke tiga dahulu berjuluk Thian-to Lo-mo seorang penganut to-kauw yang fanatik! Mereka ini setelah tua selalu berkumpul maka terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit)!
Karena penasaran, tiga orang kakek itu melanjutkan pengejaran mereka, akan tetapi mereka salah mengambil jalan, bukan Cui Im yang mereka temui, melainkan Keng Hong. Sejenak mereka terkejut, akan tetapi hati mereka girang sekali. Kini mereka malah bertemu dengan pemuda yang merupakan lawan Ang-kiam Bu-tek!
Keng Hong maklum bahwa tiga orang kakek ini amat lihai, dan dia biarpun tidak gentar, akan tetapi tidak ingin menanam bibit permusuhan baru dengan tokoh-tokoh datuk hitam ini, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
"Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe yang datang. Saya kagum sekali akan kepandaian Sam-wi Locianpwe dan perkenankan saya yang muda menyatakan hormat dan kagum!"
Ketiga orang kakek itu saling pandang. Si sastrawan hanya tersenyum, si tosu juga menyeringai akan tetapi si kakek jembel tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha! Engkau ini orang muda sungguh mempunyai banyak bakat! Bakatmu pertama, engkau tampan sopan santun dan pandai ilmu silat dan bakatmu ke dua engkau pandai bermulut manis, dan bakatmu ke tiga engkau pandai menjadi pencuri. Ha-ha-ha!"
"Locianpwe, saya bukan pencuri!" Keng Hong membantah.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh, dia bukan pencuri katanya! Ha-ha-ha! Orang muda, apakah engkau mengira kami tiga orang kakek sudah pikun dan lamur? Engkau mencuri benda-benda berharga dari dalam kamar mempelai wanita. Mencuri pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Engkau masih tidakk mengaku? Kami tadi mengenal pedang pusaka Hoa-san-pai dan sepasang golok emas Kong-thong-pai! Bahkan kami sudah lama tahu bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong itu disipan oleh si mempelai wanita. Ha-ha-ha, dan sekarang kami akan mengambilnya darimu!"
Keng Hong mengangguk-angguk. Di mana-mana, tokoh kaum sesat ini sama saja, tidak lain hanyalah orang-orang yang diperhamba nafsu menginginkan benda lain orang, biarpun sudah setua mereka itu!
"Sam-wi Locianpwe, kalau sudah tahu mengapa tidak mendahului saya mencurinya dari kamar mempelai?"
"Bocah lancang, tutup mulutmu!" Tiba-tiba kakek berpakaian sastrawan Bun-ong Lo-mo membentak sambil melangkah maju, matanya mendelik dan kepalanya dikedikkan ke belakang, dadanya membusung. "Kau lihat baik-baik, siapakah kami? Lancang mulutmu menuduh kami pencuri! Apa kaukira kami ini hanyalah golongan maling-maling kecil seperti engkau yang secara pengecut mengambil barang orang lain di luar tahunya si pemilik? Puluhan tahun lamanya, kalau kami menghendaki sesuatu, kami ambil saja, pemiliknya yang melihat di depan hidungnya akan dapat berbuat apakah?"
Keng Hong terkejut. Benar-benar aneh kakek sastrawan ini. Marah disangka maling, akan tetapi dengan bangga mengaku bahwa mereka kalau menghendaki barang, mengambilnya begitu saja dari depan hidung pemiliknya alias merampok!
"Maaf, saya tidak menuduh Sam-wi Locianpwe, hanya karena penasaran Sam-wi menuduh saya pencuri. Memang saya mengambil benda-benda itu dari kamar mempelai wanita, akan tetapi saya hanya mengambil barang yang menjadi hak saya karena lima enam tahun lalu barang-barang itu dicuri oleh Bhe Cui Im dari tangan saya."
"Nah-nah-nah, tambah satu lagi bakatmu, bakat membohong! Barang itu adalah peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, bagaimana kau bisa mengatakan berhak atas pusaka itu?"
Keng Hong tidak perlu menyembunyikan keadaan dirinya lagi. "Memang berhak, karena Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku."
"Siancai...!" Engkau murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong?" Kini kakek tosu itu bertanya sambil merangkap kedua tangan penuh keheranan.
"Benar, Locianpwe."
"Phuuuuahhh!" Gurunya maling besar, muridnya pun maling kecil!" Si sastrawan mengejek, mukanya membayangkan hati yang muak. Akan tetapi kakek jembel berjingkrak dan bertepuk-tepuk tangan. "Ha-ha-ha-heh-heh, lucunya.. ha-ha-ha, lucunya! Sie Cun Hong hidup lagi! Ha-ha-ha! Persisi sekali Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong hidup lagi dalam diri muridnya.
Sama-sama tampan dengan sepasang mata yang genit dan tentu akan dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita! Dengan lidah yang pandai bergoyang, pandai bicara dengan sikap lemah-lembut dan halus, pandai menanam tebu di bibir dan pandai membujuk rayu di tambah lagi pandai mencuri dan membohong! Ha-ha-ha, lucunya!"
"Bocah, siapa namamu?" Si sastrawan bertanya.
"Nama saya Cia Keng Hong, Locianpwe."
"Cia Keng Hong? Ha-ha-ha, pakai hurug Hong pula, sama dengan gurunya, Sie Cun Hong! Wah-wah, huruf Hong yang dipakai guru dan murid ini entah berarti apa? Kalau Hong lebah, pantas karena memang Sie Cun Hong seperti seekor lebah yang suka sekali mengejar bunga untuk dihisap madunya sampai habis kemudian ditingglkan begitu saja! Kalau Hong, burung Hong, memang tepat karena guru dan murid ini sama-sama tampan dan angkuh seperti burung hong yang pandai berlagak. Kalau Hong angin, tentu angin busuk.."
"Alias kentut!" Kakek jembel menyambung kata-kata kakek sastrawan sambil tertawa. "Pandai bicara namun kosong dan hanya membohong menipu apa bedanya dengan kentut?"
Keng Hong merasa panas juga perutnya mendengar gurunya yang sudah mati diejek dan dipermainkan namanya, maka dia cepat berkata, "Sam-wi Locianpwe! Kapankah guruku membohong dan menipu Sam-wi? Menuduh orang tanpa bukti berati fitnah dan fitnah hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa pengecut, curang dan berwatak hina!"
"Siancai! Engkau memang membohong atau menipu kalau mengatakan bahwa kau berhak atas benda-benda pusaka itu, Cia Keng Hong." Kini si kakek tosu mencela "Baik engkau maupun Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong tidak berhak atas benda-benda pusaka itu!"
***
"Saya membenarkan akan hal itu, Locianpwe. Memang tidak berhak memiliki, akan tetapi berhak dan berkewajiban untuk mendapatkannya kemudian mengembalikannya kepada yang berhak untuk mengembalikan semua pusaka ini kepada pemiliknya masing-masing untuk menebus kesalahan mendiang suhu yang dilakukan terhadap mereka."
"Wah-wah-wah, tidak benar! Kalau kau mengembalikan pusaka-pusaka itu, apakah jenazah gurumu tidak akan berbalik di dalam kuburnya? Apakah arwahnya tidak kan turun mencari dan mencekikmu? dia susah-sussah merampas dan mencuri, engkau menjadi muridnya malah akan mengembalikan pusaka-pusaka itu. Benar-benar murid yang putahauw (tidak berbakti)!"
"Hemmm, apakah pendapat Locianpwe sebagai seorang satrawan tentang hauw (kebakitan)?" Keng Hong bertanya dengan penasaran kepada kakek sastrawan yang memakinya sebagai puthauw lebih rendah dari pada kalau dimaki penjahat! Seorang penjahat sekalipun, kalau masih mempunyai kebaktian, akan mudah dimaafkan kejahatannya. Sebaliknya seorang putahwauw diangggap manusia serendah-rendahnya dan takkan dipercaya oleh siapapun juga!
"Ha-ha-ha, bocah yang baru lahir kemarin sore seperti engkau hendak berdebat tentang hauw dengan aku?" Bun-ong Lo-mo mengejek. "Mengadbi kepada negara, itulah hauw! Kalau sebaliknya daripada itu adalah puthauw!"
"Hanya sebegitu. Locianpwe? Betapa dangkal dan sederhananya. Dan memang tidak mengherankan, segala sesuatu di dunia ini tergantung manusianya, sehingga pelajaran dan filsafat tentang hidup dan segala lika-likunya sekalipun ditafsirkan menurut selera dan kebenaran masing-masing. Locianpwe, saya tidak peduli disebut putahauw atau tidak, akan tetapi bagi saya, yang penting adalah kebenaran. Biarpun perbuatan itu dilakukan oleh musuh guru atau orang tua saya, kalau perbuatan itu saya anggap benar, tidak akan saya tentang. Sebaliknya kalau ada perbuatan yang dilakukan guru saya itu saya anggap tidak benar, tentu tidak akan saya turut dan malah akan saya tentang. Menentang perbuatan keliru dari orang tua atau guru, kuanggap bukanlah sikap yang puthauw, Locianpwe, karena yang ditentang bukanlah orangnya melainkan perbuatannya! Guru yang melakukan perbuatan tidak benar, sama halnya dengan tersesat jalan memasuki rawa berlumpur. Kalau muridnya membenarkan kesesatannya, sama saja dengan si murid mendorong pungung gurunya dari belakang sehingga si guru makin jauh tersesat ke dalam lumpur. Inikah yang Locianpwe anggap sebagai hauw?"
Merah wajah kakek sastrawan itu. "Bocah she Cia, engkau manusia yang sombong dan besar kepala! Mari kita berdebat tentang."
"Ha-ha-ha-ha-ha, perlu apa melayani dia berdebat? Engkau akan kalah, Sute, seperti juga dulu ketika berdebat dengan Sie Cun Hong. Memang bocah ini agaknya telah dilatih dan mewarisi kepandaian Sin-jiu Kiam-ong dalam soal berdebat dan bersilat lidah!" Si jembel memotong dan meloncat ke depan, menghadapi Keng Hong, memandang penuh selidik dengan wajah berseri kemudian berkata, "Cia Keng Hong, kami tiga orang tua sudah bosan untuk merampok, bosan untuk bermusuhan akan tetapi makin gemar untuk mengadu ilmu!
Dulu, puluhan tahun yang lalu sebelum engkau dapat menangkis, entah masih menjadi apa, kami pernah bertanding mengadu ilmu dengan Sin-jiu Kiam-ong, disertai taruhan.kami kalah dan kami memenuhi janji dalam taruhan itu. Kini kami bertemu muridnya. Kebetulan sekali. Kami mengulangi peristiwa puluhan tahun yang lalu dan kami menantangmu untuk menguji kepandaian sambil bertaruh!"
"Saya tidak berniat mengadu ilmu dengan Sam-wi, juga saya bukan seorang penjudi yang biasa bertaruhan."
"Itu tandanya kau pengecut, engkau takut dan engkau sama sekali tidak menghargai kesenangan orang yang menjadi gurumu! Kalau betul sedemikian rendahnya engkau memandang gurumu, biarpun kami pernah dikalahkan sehingga terpaksa menyembunyikan diri sampai puluhan tahun, biarlah hari ini kami mewakili gurumu untuk menghajarmu dan mengirimmu ke akhirat agar di sana gurumu sendiri akan dapat memberi hukuman kepadamu!" Suara si kakek jembel kini berubah, tidak ramah dan ugal-ugalan seperti tadi, melainkan serius sekali dan senyumnya lenyap dari wajahnya.
Keng Hong terkejut sekali dan merasa bahwa kalau dia menolak terus, tentu akan terjadi ribut dan dia pun mulai dapat menangkap maksud dari tiga orang kakek ini tentang sikap gurunya yang agaknya mereka kenal baik di waktu mudanya.
"Baiklah, kalau Sam-wi mendesak, saya menerima tantangan Sam-wi untuk mengadu ilmu. Tentang taruhan itu.. Apa yang Sam-wi maksudkan? Saya belum pernah bertaruhan, maka tidak mengerti.."
Berseri kembali wajah kakek jembel. "Bagus... bagus...!" Nah, begitu, baru murid baik namanya! Kita melakukan pibu (mengadu ilmu silat). Kalau engkau kalah, pusaka-pusaka yang kau curi dari mempelai wanita tadi harus kau serahkan kepada kami!"
"Hemm.. kiranya pada dasarnya Sam-wi memang menginginkan pusaka-pusaka ini!" Keng Hong berkata dengan suara mengejek dan mencela. "Kalau memang harus memakai jalan berputaran dan sungkan-sungkanan, mengapa tidak terang-terangan merampas saja dari saya kalau bisa?"
"Wah, monyet cilik ini sombongnya!" Si kakek sastrawan menuding. "Cia Keng hong simpanlah lidahmu yang tajam berbisa itu!"
Akan tetapi Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak. "Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk apakah? Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tidak butuh harta benda, dan kamipun tidak punya banayk waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu? Atau engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?"
Keng Hong sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus menggerahkan Sam-lo-o ini, maka dia menjawab,
"Maafkan dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah tiga orang tokoh besar yang naanya sudah menjulang tinggi ke langit selama puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia kalau tiga orang tokoh besar dan tua seperti Sam-wi menggeroyok seorang hijau seperti saya?"
Tusukan kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan membentak, "Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Kaukira kami perlu maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?"
Diam-diam Keng Hong menjadi girang. Biarpun mereka itu masing-masing merupakan lawan yang berat, namun kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar amat berbahaya. Cepat dia lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di attas saputangan yang dia bentangkan di atas tanah.
***
"Nah, inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai kalah bertanding melawan seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk sementara pusaka ini kutitipkan kepada Sam-wi dengan mengalahkan Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi tidak akan mengangguku lagi."
"Baik, baik.. Biarlah pinto mencobamu lebih dulu!" kata kakek yang berpakaian dan bersikap seperti pendeta.
"Silakan, Locianpwe." Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap. Melihat kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada dan memandang penuh perhatian. Dahulu dia sudah membaca tulisan-tulisan suhunya tentang inti ilmu-ilmu silat tinggi hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat dan dasar ilmu-ilmu silat ini amat penting karena kalau dia sudah mengenal dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya.
"Cia Keng Hong, jaga serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu berkata dan tiba-tiba sajatubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah! Tubuh kakek itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong mendorong hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik!
Keng Hong cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh yang memasang kuda-kuda berjongkok itu telah mengejak elakannya dengan pukulan susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar. Akan tetapi kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat, posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah. Begitu tubuh kakek itu hinggap di tanah depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat ke depan menendang dan seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang aat kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang membuat Keng Hong terpaksa menggunakan ginkangnya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam keadaan terdesak. Ia masih bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari samping seperti ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti ular menyerang dengan giginya. Karena kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak sukar membalas serangan lawan. Apalagi karena serangan-serangan Thian-te Sam-lo-mo ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan biasa. Setiap serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan.
Setelah terdesak hebat sampai tiga puluhan jurus dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghadapi kelincahan gerakannya untuk menghadapi penyerangan dari bawah yang amat berbahaya itu sambil memperhatikan.
Akhirnya Keng Hong dapat menilai dasar dari ilmu silat aneh yang dimainkan oleh Thian-to Lo-mo. jika orang bersilat dan menghadapi lawan secara biasa, wajarlah kalau di samping menyerang orang ini harus mengerahkan pula sebagian kepandaian dan perhatian untuk menjaga diri dan serangan balasan laaawan bisa saja datang dari segala jurusan, juga yang dijaga adalah seluruh bagian tubuh dari kepala sampai kaki. Akan tetapi, dengan cara bersilat seperti yang dilakukan kakek ke tiga dari Thian-te Sam-lo-mo ini, otomatis kakek itu hanya menjaga tubuh bagian atas saja karena bagian bawah tak mungkin diserang. Dengan demikian, tenaga dan perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga diri tidaklah sebanyak kalau orang berdiri, dan sebagian besar dari tenaga dan perhatian dapat dicurahkan untuk penyerangan! Di samping itu, Keng Hong juga mengenal gerakan-gerakan dan jurus-jurus seperti yang dipakai dalam Ilmu Silat sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), maka setelah mengetahui, dasar ilmu silat lawan, mengertilah dia bagaimana harus menghadapi lawan.
"Locianpwe, jaga serangan saya!" Tiba-tiba Keng Hong berkata dan mulutnya lalu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan hutan itu.
"Heiiiiihhhhhh!" tubuh pemuda ini sudah menerjang maju dan berputaran sehingga tubuhnya lenyap menjadi segulungan bayangan putih yang maju perlahan dengan kekuatan dahsyat sekali yang menyambar ke arah tubuh Thian-to Lo-mo yang setengah berjongkok dengan kaki kanan dilonjorkan ke depan. Melihat datangnya serangan hebat ini dan bagaiana peuda itu mengakhiri perputaran tubuhnya dengan menekuk kedua lutut rendah-rendah dan kedua lengannya membuat gerakan memutar ke depan sehingga ada angin pukulan yang amat kuat dan menyerangnya, kakek itu menjadi kaget bukan main.
Dia tidak tahu bahwa kini pemuda bahwa yang menjadi lawannya ini telah menggunakanjurus Soan-hong-liap-in (Angin Berpusing Mengejar Awan), yaitu sebuah jurus dari San-in-kun-hoat yang sebanyak delapan jurus, akan tetapi yang merupakan ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dari Sin-jiu Kiam-ong.
"Siancai...!" Thian-to Lo-mo yang tadinya menangkis dengan tamparan kedua lengannya dan sudah siap membalas dengan tendangan, menjadi terkejut karena tubuhnya tiba-tiba terbawa oleh hawa yang berputar itu menariknya ke atas, seolah-olah kedua lengannya yang menangkis tadi terlibat oleh hawa pukulan lawan yang membetotnya ke atas. Karena kaget, dia mengeluarkan seruan itu dan cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan. Sambil bergulingan itu kedua tangannya bergerak dan "wut-wut-wut-wut-wut-wut!" sinar-sinar hitam menyambar ke arah jalan darah di depan tubuh Keng Hong, bahkan ada yang menyambar ke arah matanya. Keng Hong kagum sekali. Kakek itu tidak dapat terpancing oleh jurusnya Soan-hong-lian-in dan tidak mau mengubah kedudukannya yang merendahkan tubuh, malah bergulingan dan setiap kali bergulingan, tangannya menjumput tanah dan kerikil yang terus dia pergunakan sebagai senjata rahasia yang sungguh-sungguh tidak kalah berbahayanya daripada senjata rahasia runcing dan tajam!
Keng Hong tentu saja dapat menghindarkan sambaran "senjata rahasia" itu dengan mudahnya, hanya dengan menyampok tanah dan kerikil itu akan tetapi dia gagal menyerang lawan dan kini, mengikuti senjata rahasianya yang tadi dia kiri sambil bergulingan, tubuh kakek itu sudah bergulingan dekat dan kembali dia menghujani Keng Hong dengan serangan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang amat dahsyat.
"Aihhhhh!" Keng Hong berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas, kemudian dia membuat gerakan berjungkir-balik tujuh kali dan tubuhnya meluncur ke bawah setelah menukik dan dengan tenaga yang amat dahsyat dia menerjang lawan dari atas seperti seekor burung garuda menyambar ular! Inilah jurus ke delapan dari San-in-kun-hoat yang disebut In-keng-hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Dahulu, sebelum dia mendapatkan pusaka-pusaka gurunya dan ilmu silat yang dia dapatkan dari puncak Kiam-kok-san hanyalah San-in-kun-hoat dan ilmu kepandaiannya itu masih dangkal dan mentah, dengan jurus in-keng-hong-I ini dia sudah mampu membuat Kian Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang lihai itu, menjadi terkejut dan kewalahan. Sekarang, dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu itu, kepandaiannya sudah meningkat hebat dan ilmu silatnya sudah matang. Maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya ketika dia menggunakan jurus terakhir dari San-in-kun-hoat ini.
"Bukan main..." Kakek sastrawan terbelalak kagum dan biarpun kakek ini tahu betapa hebatnya serangan pemuda ini dan bahwa sutenya terancam bahaya, namun sedikitpun dia tidak menaruh khawatir. Kalah atau mati sekalipun bagi tiga orang kakek yang sudah lanjut usianya ini bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan.
"Heh-heh-heh, hebat... hebat... kau awaslah Sute terhadap serangan itu!" Teriak pula si kakek jembel bukan karena khawatir melainkan karena gembira dan ingin sekali menikmati dengan pandang matanya bagaimana kakek berpakaian pendeta yang menjadi sutenya itu akan menyambut serangan dahsyat dari jurus aneh itu.
Tubuh Keng Hong meluncur ke arah Thian-to Lo-mo yang masih memasang kuda-kuda dengan tubuh rendah sehingga terpaksa kakek ini mengangkat muka untuk melihat datangnya serangan dari atas. Tadinya, tubuh Keng Hong menukik seperti seekor naga, kepala dan kedua tangan di depan, kaki di belakang, akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba dia melakukan gerakan jungkir-balik dan sekali membalik dia telah menyerang lawan dengan kedua tangan dan kaki secara bertubi-tubi. Dengan kecepatan yang luar biasa, kedua kakinya susul-menyusul melakukan tendangan ke arah belakang telinga dan tenggorokan lawan, kemudian kedua tangannya siap untuk memukul dada dan menampar ubun-ubun! Semua gerakan ini dilakukan dengan cepat dan juga dengan tenaga sinkang yang dahsyat sehingga merupakan terjangan maut yang sukar dihindarkan lawan.
"Hayaaaaa...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget. Baru hawa pukulan yang menyambar saja sudah membuat kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian terasa panas dan pandang matanya kabur menyaksikan cepatnya gerakan kedua kaki Keng Hong. Namun, Thian-to Lo-mo bukanlah tokoh silat sembarang saja. ia maklum bahwa kalau dia mengelak secara tadi dengan menggulingkan tubuh, selain belum tentu dapat menghindarkan kedua tendangan susul-menyusul itu tentu akan celaka oleh serangan susulan yang dia tahu pasti akan datang. Maka dia cepat menaikkan tubuhnya dan menerima kedua tendangan itu dengan tangkisan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud agar tubuh pemuda itu akan terbanting ke samping sehingga selain tidak akan mampu melanjutkan serangan susulan, juga tentu dia akan cepat menubruk dan membalas. Memang niat atau akal kakek ini beralasan.
***
Dia memang tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh kekuatannya sendiri, namun betapapun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan dalam tubuh manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga.
Akan tetapi, kakek ini tidak mengenal keanehan dan kelihaian Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu yang dicipatakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dengan dasar gerakan-gerakan ilmu yang tinggi. Ketika Keng Hong melihat lawannya menangkis, dia tahu bagaimana harus mengembangkan jurusnya. Memang jurus-jurus ilmu silatnya mempunyai perkembangan yang banyak sekali, disesuaikan dengan sikap lawan menghadapi jurus itu. Tanpa menghentikan tendangannya, tubuhnya terus menerjang ke bawah, akan tetapi ketika dia sudah merasa sambaran angin tangkisan kedua tangan kakek itu yang mengerahkan tenaga yang amat kuat, seepat kilat Keng Hong menggerakkan kakinya ke bawah, menarik kembali kedua tendangan susul-menyusul itu akan tetapi melanjutkan serangan susulan yang kini dapat dia lakukan dengan kedua kaki menginjak tanah karena ketika memapaki tendangannya tadi, Thian-to Lo-mo sudah menaikkan tubuhnya.
"Celaka...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget tahu-tahu kepalan tangan kiri Keng Hong sudah menghantam dadanya dengan kekuatan yang dahsyat sekali! Namun dia masih dapat cepat menggerakkan tangan yang tadi luput menangkis pukulan yang ketika kedua lengan beradu membuat seluruh tubuhnya terasa tergetar dan panas, dan pada detik itu, tangan kanan Keng Hong yang terbuka jari-jari tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepalanya dengan kecepatan yang tak mungkin dapat ditangkis lagi karena terlalu dekat.
"Habis aku...!!" Thian-to Lo-o melempar tubuhunya ke belakang, akan tetapi maklum bahwa dia tetap kalah cepat dan sekali tangan pemuda yang amat lihai ini mengenai ubun-ubun kepalanya biarpun perlahan saja, sudah cukup membuat nyawanya melayang!
Akan tetapi Keng Hong masih dapat menguasai tangannya. Pemuda ini tentu saja tidak mau membunuh lawannya. Selagi dia masih dapat menguasai diri tentu dia masih dapat menguasai diri tentu dia akan menghindarkan pembunuhan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan bahwa dia menang dalam pertandingan ini, maka tangannya yang menampar ubun-ubun kepala itu itu dia ubah sedikit.
"Plakkk!" Bukan ubun-ubun kepala yang ditampar, melainkan pangkal leher dekat pundak. Namun cukup membuat Thian-to Lo-mo terbanting dan bergulingan. Napas kakek ini sesak dan setelah meloncat bangun, kakek ini cepat duduk bersila untuk mengerahkan sinkang agar tidak terluka di sebelah dalam tubuhnya.
"Hebat sekali! Cia Keng Hong, suteku sudah kalah. Mari kau berilah pelajaran kepadaku!"
Keng Hong maklum bahwa kalau dia hendak pergi dengan selamat dan aman membawa pusaka-pusaka itu, dia harus dapat mengalahkan tiga orang kakek itu. Dia sudah berhasil mengalahkan seorang di antara mereka dan dia tahu bahwa kakek sastrawan ini tentu lebih lihai atau paling tidak juga tidak kalah lihai oleh kakek pendeta. Membantah pun tiada guna, maka dia lalu melangkah mundur dan bersiap saja dengan sikap tenang. Seperti juga Thian-to Lo-mo, Bun-ong Lo-mo ini tidak mengeluarkan senjatanya, maka Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Kalau tidak terpaksa sekali, tentu dia tidak akan mau mengeluarkan Siang-bhok-kiam.
Bun-ong Lo-mo berseru, "Haaooowww!" dan tiba-tiba tubuhnya sudah membentuk kauda-kuda yang kuat dengan kedua kaki disilangkan dan tubuh tegak lurus, matanya memandang Keng Hong kemudian kedua tangannya bergerak, jari-jaari tangannya terbuka dan kedua tangan itu membuat gerakan di uadara depan mukanya, gerakan yang tidak karuan dan aneh tidak seperti gerakan memukul atau menangkis, pendeknya bukan gerakan silat. Mula-mula Keng Hong heran melihat ini. Dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu akan tetapi akhirnya dia mengerti bahwa kakek sastrawan yang merupakan orang ke dua dari Thian-te Sam-lo-mo ini membuat gerakan-gerakan menulis huruf-huruf besar! Karena dari tempat dia berdiri huruf-huruf yang dicoret-coret di udara itu terbalik, maka sukar baginya untuk menduga, huruf-huruf apakah yang sedang ditulis secara aneh oleh calon lawannya ini!
Bun-ong Lo-mo terus menggerak-gerakkan kedua tangannya, akan tetapi sekarang yang dipakai "menulis" di udara itu hanya tinggal jari telunjuknya saja sedangkan jari yang lain menggenggam. Dua buah jari telunjuk kanan kiri itu masih membuat gerakan corat-coret di depan mukanya dan kedua kakinya mulai digeser dan secara cepat telah tiba di depan Keng Hong.
"Cuuuuuutttttt!" Tiba-tiba jari tangan kiri yang tadinya membuat gerakan mencoret ke atas itu dilanjutkan dengan "coretan" ke bawah menuju ke mata Keng hong! Tentu saja Keng Hong tidak membiarkan mata kanannya dicolok oleh jari telunjuk itu, maka dia cepat miringkan kepala mengelak. Terasa olehnya betapa angin yang dingin sekali lewat menyambar mukanya ketika tusukan telunjuk ke matanya yang masih terus mencorat-coret udara itu mencoret dengan telunjuk ke tenggorokan Keng Hong. Kembali Keng Hong mengelak.
"Cuuuuuussssss...brettt!"
"Ayaaaaa...!" Keng Hong cepat meloncar mundur saking kagetnya melihat betapa ketika dia mengelak tadi, ujung telunjuk lawan mampir ke baju di pundak dan... kain baju itu bagaikan disabet pedang yang amat tajam menjadi robek! Kiranya jari telunjuk itu berbahaya bukan main dan kukunya amat kuat dan tajam seperti pedang!
Sastrawan tua itu agaknya gembira dengan hasilnya merobek baju Keng Hong dan kini tubuhnya menerjang cepat sakali dengan serangan kedua ujung jari telunjuk yang dia maklum bahwa dua buah jari telunjuk itu dipergunakan sebagai sepasang senjata pit untuk menotok dan bahkan dapat dipakai untuk menusuk dan membacok menggunakan kuku, menjadi hati-hati sekali dan dia pun menggunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana ke mari. Untuk mempelajari sifat ilmu silat aneh dari lawannya, terpaksa dia harus selalu mengelak sambil memandang penuh perhatian. Seperti juga ilmu silat dari Thian -to Lo-mo tadi, kini ilmu silat Bun-ong Lo-mo benar-benar hebat luar biasa dan amat aneh. Sukar bagi dia untuk mengenal ilmu silat ini, akan tetapi setelah lewat belasan jurus dan kadang-kadang meloncat tinggi di udara sambil meneliti, dia mengerti bahwa dasar ilmu silat yang menggunakan kedua telunjuk sebagai senjata penotok dan penusuk ini adalah ilmu Poan-koan-pit, akan tetapi gerakkannya dilakukan dengan coreatan-coretan seperti menulis huruf. Justeru gerakan inilah yang amat lihai dan membingungkan lawan. Gerakan corat-coret huruf ini menyembunyikan gerakan inti yang merupakan serangan!
Setelah maklum akan sifat ilmu silat lawan, Keng Hong mengerti bahwa penggunaan San-in-kun-hoat tidak akan menguntungkan. Sesuai dengan nama dan sifatnya, ilmu silat San-kun-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) banyak menggunakan serangan dari atas, seperti jalannya awan yang bergerak setiap saat di puncak Kiam-kok-san.
Adapun ilmu silat Bun-ong Lo-mo justeru menggunakan coretan-coretann ke udara, maka amatlah berbahaya apabila dia menggunakan ilmu silatnya yang hebat, yang dia temukan di tempat rahasia gurunya, ilmu satu-satunya yang tidak dicuri Cui Im disamping ilmu penggunaan tenaga sinkang yang dia dapat secara mujijat ketika gurunya mengoperkan sinkang kepadanya, yaitu Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun,
"Wah-wah-wah,bocah ini bukan main hebatnya! Tidak kalah oleh mendiang gurunya!" Kakek jembel bertepuk-tepuk tangan dengan girangnya ketika menyaksikan sutenya bersama pemuda itu sudah mulai bergebrak, saling serang dengan gerakan yang kuat dan cepat sekali. Tubuh keduanya sampai lenyap dan yang tampak hanya bayangan mereka bergerak ke kanan kiri. Memang kakek sastrawan itu hebat sekali, selain memiliki sinkang yang kuat serta ginkang yang membuat tubuhnya seperti tidak menginjak tanah, juga gerakan kedua tangan yang selalu mencorat-coret itu amat berbahaya. Namun, Keng Hong bergerak dengan tenang dan membentuk lingkaran-lingkarang yang selain dapat memunahkan semua serangan lawan, juga dapat membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah hebatnya daripada serangan lawan.
Sratus jurus telah lewat dan Keng Hong merasa khawatir. Menghadapi kakek ini saja begini sukar mencapai kemenangan, apalagi kalau si jembel tua itu yang maju tentu lebih hebat lagi kepandaiannya dan lebih sukar baginya untuk mencapai kemenangan.
Sejak tadi, semenjak bajunya robek oleh serempetan kuku jari telunjuk, Keng Hong selalu menjaga agar jangan sampai tubuhnya terkena sepasang telunjuk lawan. Inilah sebabnya mengapa sampai lama dia tidak mampu mencapai kemenangan. Karena, dia terlalu berhati-hati, maka dia lebih memusatkan perhatian kepada pertahanan dan hanya membalas serangan lawan kalau tiba kesempatan dan ada lubang saja
***
Padahal, sifat ilmu silat lawan itu lebih diutamakan menyerang daripada bertahan, sehingga kini kehatian-hatian Keng Hong dipergunakan secara baik oleh Bun-ong Lo-mo yang terus mendesak dengan cepat sekali sambil membuat coretan-coretan yang membingungkan lawan sungguhpun Keng Hong tetap tenang.
Setelah memutar otak dan mengetahui kelamahannya, tiba-tiba Keng Hong berseru keras ketika untuk ke sekian kalinya telunjuk kiri lawan menusuk ke arah mata dan telunjuk kanan menotok jalan darah di dekat iga. Keng Hong mengangkat tangan menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk kanan lawan yang menotok iga. Keng Hong mengangkat tangan menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk kanan yang menotok iga. Ia sudah memperhitungkan dengan seksama, sengaja memperlambat gerakannya sehingga tidak kentara bahwa dia memang membiarkan totokan itu, akan tetapi diam-diam dia telah mempergunakan Ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu ilmu memindahkan jalan darah yang dia pelajari dari kitab curian suhnya dari Siauw-lim-pai yang tadi dia berikan kepada Yap Cong San.
"Cusss...! Plakkkk!!"
Tepat pada saat telunjuk yang amat keras seperti baja itu mengenai kulit iganya, dimana jalan darahnya telah dipindahkan dengan Ilmu I-kiong-hoan-hiat, cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar, membarengi totokan lawan, tangan yang terbuka itu telah mendorong dada Bun-long Lo-mo. Tubuh kakek itu terlempar sampai empat meter jauhnya, terbanting roboh dan terengah-engah, namun cepat dia bangkit bersila untuk mengerahkan sinkang memulihkan keadaan di tubuhnya yang mengalami gempuran hebat. "Luar biasa... Ha-ha-ha, baru sekaranglah kami dapat puas! Hebat bukan main kau Cia Keng Hong. Bereskan napasmu dulu dan bersiaplah engkau karena sekarang aku sendiri yang akan menguji kepandaianmu,"
Kakek jembel itu meloncat maju dan berhadapan dengan Keng Hong yang masih berdiri dan memejamkan mata, mengatur pernapasannya, karena biarpun dia tadi sudah memindahkan jalan darah sehingga yang kena ditotok hanyalah tempat yang kosong, namun kulit dagingnya terasa nyeri, tulang iga linu dan rongga dagingnya tergetar oleh hawa pukulan yang amat kuat tadi. Namun hanya sebentar saja dan pemuda perkasa ini sudah mampu memulihkan keadaannya dan dia kini menghadapi Kai-ong Lo-o yang sikap tenang dan waspada. Ujian ini tiba di puncak dan akhirnya, karena dia mengerti bahwa kakek jembel yang menjadi orang pertama dari Thian-te Sam-lo-mo ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
"Locianpwe, masih belum cukupkah Locianpwe bertiga menganggu aku, Keng Hong bertanya.
Kai-ong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, bocah bodoh! Engkau seorang tokoh muda yang luar biasa, mengapa menganggap kami menganggu? Pertandingan ini amat berguna, tidak saja bagi pengalaman kami, akan tetapi juga bagimu sendiri. Kelak kau akan berterima kasih kepada kami. Hebat memang kepandaianmu, engkau patut menjadi murid Sie Cun Hong. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu silat tangan kosong yang hebat, kini aku ingin sekali menyaksikan kepandaianmu menggunakan senjata! Keluarkan senjatamu, Cia Keng Hong!"
Keng Hong menggeleng kepala. "Aku tidak memusuhi Sam-wi Locianpwe, mengapa harus menggunakan senjata? Senjata tidak bermata, sekali salah tangan aku mendatangkan bencana."
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau berani menghadapi Kai-ong Lo-mo tanpa senjata!" Sambil tertwa-tawa kakek itu menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah pelipis Keng Hong. "Syuuuuuuttt... Cettt!"
"Ihhhhh!" Keng Hong berteriak kaget. Ketika dia mengelak tamparan itu dengan menggerakkan tubuh atasnya ke belakang sehingga tangan kakek itu menyambar lewat tidak mengenai sasaran, tiba-tiba ujung lengan baju kakek itu menyambar ke arah pundaknya dengan kecepatan yang amat hebat.
Hanya dengan menjatuhkan diri ke belakang saja Keng Hong dapat menyelamatkan pundaknya. Kiranya kakek ini selain memiliki tenaga yang hebat, juga kedua ujung lengan bajunya yang panjang itu merupakan sepasang senjata yang amat ampuh. Setiap pukulan tangannya tentu didahului atau diikuti oleh menyambarnya ujung lengan baju ke depan ke bagian tubuh lawan yang tak dapat disangka-sangka, maka tentu saja biarpun bertangan kosong, kakek jembel ini sama dengan memegang sepasang senjata. Malah lebih lagi. Kalau dia memegang senjata berati kedua tangannya tidak dapat dipakai menyerang. Kakek ini kedua tangannya dapat menyerang, dan dua senjata istimewa itu pun dapat menyerang sehingga dia seolah-olah mempunyai empat buah lengan tangan!
Ketika kakek itu terbahak sambil menubruk maju dan kini tangan kanannya mendorong, Keng Hong sengaja mengakhiri pertandingan ini secepatnya maka melihat tangan kakek itu mendorong, dia lalu menyambut dengan dorongan tangannya sambil mengerahkan sinkangnya.
"Desssss...!" Tak dapat di tahan lagi tubuh Keng Hong mencelat sampai lima meter lebih ke belakang sedangkan kakek jembel itu tertawa-tawa. Keng Hong terkejut dan menyesal mengapa dia tadi lupa akan "senjata" istimewa kakek itu. Ketika dia menyambut telapak tangan kakek itu dengan telapak tangannya sendiri, tiba-tiba tangan dan lengannya menjadi lumpuh seketika, dan ternyata pergelangan tangannya telah tertotok oleh ujung lengan baju kakek itu. Maka tentu saja dia tidak dapat menahan dan tubuhnya terlempat jauh ke belakang. Untung dia masih menguasai tubuhnya dan berjungkir-balik sehingga dia tidak sampai terbanting.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Apakah sekarang engkau asih tidak mau mencabut senjatamu, Keng Hong? Jangan khawatir, biarpun engkau bersenjata, belum tentu engkau akan dapat menang dariku!" Kakek ini memang tidak senang kalau dia dapat mengalahkan pemuda itu tanpa melalui pertandingan yang seimbang dan ramai. Kalau pemuda itu tidak bersenjata, tentu dia akan dapat memperolah kemenangan dengan mudah dah hal ini amat tidak menyenangkan hatinya!
Keng Hong maklum bahwa memang kakek itu lihai sekali. Kalau dia memaksa diri melawan dengan tangan kosong sehingga kalah, bukankah dia akan menyia-nyiakan semua usahanya mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu? Dan kalau pusaka-pusaka itu tidak cepat dikembalikan kepada partai-partai yang berhak, berarti dia akan selalu dimusuhi orang. Apalagi kalau sampai terjatuh ke tangan tiga orang kakek iblis yang lihai ini, sampai kapan dia akan mampu merampasnya kembali?
Berpikir demikian, dia mencabut Siang-bhok-kiam dan berseru, "Maaf, Locianpwe! Engkau terlalu mendesak dan memaksaku!" Tubuhnya mencelat ke depan, sinar hijau Siang-bhok-kiam didahului bau yang harum menyambar ke arah Kai-ong Lo-mo. Kakek ini terkejut bukan main, cepat mengelak dan kedua ujung lengan bajunya juga bergerak, yang kiri menyampok sinar hijau, yang kanan membantu tangan kanan menghantam lambung dan perut Keng Hong.
"Brettt! Plak-plak!" Kakek itu terkejut karena ujung lengan bajunya putus disambar Siang-bhok-kiam, sedangkan pukulannya dapat ditangkis oleh Keng Hong dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuh kakek itu tergetar. "Siang-bhok-kiam...!!" Kakek jembel berteriak dan matanya berkilat. "Siang-bhok-kiam...!! Tiba-tiba Bun-ong Lo-mo juga berteriak dan tubuh kakek sastrawan ini pun menerjang maju, memukul dan mencoba merampas pedang.
"Siang-bhok-kiam...!!" Thian-to Lo-mo juga menarjang dan mencoba merampas Pedang Kayu Harum.
"Eitttttt...!!" Keng Hong menggerakkan pedangnya membabat ke arah enam buah lengan yang seperti ular-ular rakus kelaparan hendak merampas pedangnya itu. Sinar hijau menyambar dan tiga orang kakek itu cepat menarik kembali lengan mereka. Keng Hong menggunakan kesempatan ini untuk meloncat mundur dan dia menegur dengan suara nyaring dan marah.
"Apa pula ini? Apakah Sam-wi sebagai orang-orang gagah yang terkenal hendak melanggar janji? Tidak malukah hendak mengeroyok saya?"
"Tidak ada janji!" Teriak kakek jembel. "Kami sudah kalah. Bawalah semua pusaka itu, kami tidak peduli. Akan tetapi, tinggalkan Siang-bhok-kiam itu kepadaku!"
"Tidak! Berikan kepadaku!"teriak Bun-ong Lo-mo, matanya memandang pedang kayu itu dengan sinar berapi. "Harus diberikan kepada pinto!" Thian-to Lo-mo juga berteriak.
Keng Hong marah sekali. "Apa-apaan ini? Pedang pusaka peninggalan suhu yang diberikan kepadaku. Mengapa Sam-wi memintanya?"
Tiga orang itu saling pandang, "Dahulu kita berebut pedang itu dengan Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong dan kita kalah. Sekarang pedang itu dibawa muridnya, kita harus merampas kembali dan kita tidak perlu saling berebut. Pedang itu cukup untuk kita bertiga." Kemudian dia memandang Keng Hong dan berkata, "Orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam itu hanya pedang kayu, apa gunanya bagimu? Berikanlah kepada kami. Kami amat membutuhkannya."
Keng Hong mengerutkan keningnya menduga-duga namun tidak tahu apa gunanya pedang itu bagi mereka bertiga? Untuk mencari pusaka? Tidak mungkin karena pusaka-pusaka itu telah diambilnya dan sekarang bertumpuk di bawah pohon itu, di atas saputangannya. Untuk apakah?
"Sam-wi membutuhkan pedang kayu untuk apakah?"
***
"Ketahuilah, orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam mempunyai khasiat yang mujijat untuk memperpanjang usia manusia! kayunya mengandung khasiat, obat yang dapat menambah umur sampai puluhan tahun! Kami yang sudah tua renta ini amat membutuhkannya!"
Keng Hong menjadi geli. Selain dia tidak percaya, juga dia merasa geli betapa tiga orang kakek yang tadinya tidak membutuhkan apa-apa itu kini seperti orang-orang kelaparan melihat roti ketika melihat pedang yang khasiatnya mereka duga bisa memperpanjang umur mereka! Sungguh manusia ini lucu sekali. Ingin sekali berusia sepanjang-panjangnya, kalau mungkin tidak bisa mati! Dan tentu saja, andaikata mereka itu benar-benar dapat diperpanjang usia mereka dan menjadi seperti orang muda lagi, tentu akan timbul pula nafsu-nafsu yang membuat mereka melakukan hal-hal jahat seperti di masa muda mereka dahulu! Akan tetapi, Keng Hong tidak peduli akan hal itu. Yang membuat dia keberatan memberikan pedang Siang-bhok-kiam adalah karena pedang itu peninggalan gurunya dan mutlak menjadi hak pribadinya!
"Tidak mungkin dapat saya berikan pedang ini, Sam-wi Locianpwe."
"Kalau begitu engkau akan kami bunuh dulu!!" Teriak mereka dan seperti orang gila tiga orang itu menerjang maju. Beru memperebutkan pedang saja mereka kini sudah kumat sifat jahat mereka pikir Keng Hong. Apalagi kalau diberi kesempatan memperpanjang usia. Dia cepat menggerakkan pedangnya menyambut serangan mereka. Dia mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung seperti seekor naga hijau mengamuk di angkasa. Akan tetapi, tiga orang kakek itu masing-masing telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, kini mereka maju bertiga, tentu saja dalam waktu lima puluh jurus saja Keng Hong sudah terdesak hebat!
"Serahkan pedang...!" Tiba-tiba Thian-to Lo-mo menggulingkan tubuh dan mencengkeram ke arah kedua kakinya! Keng Hong kaget dan meloncat ke atas, akan tetapi dua jari telunjuk Bun-ong Lo-mo sudah mencegatnya dengan totokan-totokan kilat yang mengeluarkan bunyi bercuit nyarung. Kini tiga orang kakek itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dalam kegairahan hati mereka untuk merampas pedang! Ia membabatkan pedangnya ke arah telunjuk kanan Bun-ong Lo-mo, akan tetapi pada saat itu, pinggangnya kena dipeluk oleh Kai-ong Lo-mo dan tubuhnya ditarik ke bawah sehingga mereka berdua terjatuh. Ketika Keng Hong dapat melompat bangun kembali. Ternyata tiga buah tangan kakek itu telah mencengkeram pedang Siang-bhok-kiam dan mereka berempat saling mempertahankan dan hendak membetot pedang! Lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa ku bunuh engkau!" Kakek jembel membentak.
Akan tetapi Keng Hong tidak ingin kehilangan pedang warisan gurunya! Ia mempertahankan dan diam-diam dia mengerahkan sinkangnya yang hebat, bersedia untuk melawan sampai titik darah terakhir mempertahankan Siang-bhok-kiam!
"Bu-buk-buk...!" Melihat Keng Hong tidak mau melepaskan pedang, tiga buah kepalan tangan menghantamnya, di leher, pungung dan lambung. Akan tetapi, ketiga tangan kakek itu sekaligus menempel di tempel di tempat yang di pukul, bahkan kini tangan mereka yang mencengkeram pedang juga melekat! Serentak mereka merasa betapa hawa sinkang mereka itu menerobos keluar melalui kedua tangan seperti balon-balon membocor! Ketiganya terkejut sekali dan berusaha melepaskan kedua tangan. Akan tetapi karena dalam usaha ini mereka mengerahkan lebih banyak tenagalagi, hawa sinkang mereka membanjir keluar sehingga mereka menjadi lemas!
"Celaka... Thi-khi-I-beng...!" Si kakek jembel berteriak kaget. Beru sekarang dia teringat, juga kedua orang sutenya. Tadinya mereka tidak menyangka karena memang ilmu itu dianggap sudah lenyap.
Rasa kaget ini membuat hawa sinkang mereka menerobos lebih hebat. Keng Hong yang menerima sinkang itu, menampungnya di pusar, namun hawa sinkang ketiga orang kakek itu benar-benar amat kuatnya sehingga tubuh pemuda ini terguncang hebat, menggigil dan mukanya merah matanya melotot!
"Pergilah...!!!" Keng Hong berteriak, usaha yang baru berhasil setelah dia sejak tadi mencoba untuk melepaskan mereka. Biarpun dia sudah dapat menguasai tenaga sedot itu, akan tetapi karena hawa sinkang yang masuk amat kuatnya, melebihi kekuatannya sendiri, maka sukarlah dia menguasainya dan setelah ketiga orang kakek itu hampir habis tenaganya, barulah dia berhasil menggerakkan tubuh mereka mencelat dan roboh tak dapat bangun kembali karena sebelum terlempar pun mereka itu sudah sekarat! Keng Hong juga terguling dan roboh dengan pedang Siang-bhok-kiam masih di tangan, dan dia pingsan!
Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak-semak dibarengi ketawanya yang mengerikan. "Hi-hi-hik-heh-heh-hehhhhh!" Dan bayangan itu setelah berdiri di situ, memandang tiga sosok mayat Thian-te Sam-lo-mo, lalu memandang tubuh Keng Hong yang pingsan, kemudian memandang tumpukan pusaka dan pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, kembali tertawa terkekeh-kekeh, kelihatannya gembira sekali. Akan tetapi kalau ada orang melihatnya ini tidak akan ikut menjadi gembira seperti dia, melainkan ketakutan dan mungkin tidak bisa lari dan akan terkencing saking takutnya. Memang, nenek ini amat mengerikan, menyeramkan dan menjijikan. Usianya tentu tidak kalah jauh oleh Thian-te Sam-lo-mo, akan tetapi biar dia sudah amat tua, kulit mukanya masih berwarna merah sekali, malah terlalu merah seperti berlepotan darah!
Giginya masih lengkap, besar-besar dan meruncing seperti gigi gergaji, rambutnya riap-riapan seperti sarang burung dirusak angin, kuku tangannya panjang-panjang melengkung dan runcing. Akan tetapi, setua itu, hampir seratus tahun, pakaiannya terbuat dari sutera hitam yang baru dan tipis, membungkus tubuhnya dengan ketat sehingga kelihatan seperti telanjang sedangkan buah dadanya luar biasa besarnya.
"Hi-hi-hik! Dicari setengah mati tidak dapat, tidak dicari malah datang sendiri! Ha-ha-ha-heh-heh! Thi-khi-I-beng tadi benar hebat sekali, sampai tiga ekor anjing tua bangka itu tidak dapat menahan. Hebat! Tentu di sana kitabnya!"Nenek itu cepat memeriksa tumpukan kitab, perhiasan dan senjata, membalik-balik semua kitab lalu menyumpah-nyumpah! Sekali bergerak tubuhnya melesat dekat tubuh Keng Hong yang pingsan, menyambar Siang-bhok-kiam, kemudian ia mengayun pedang itu ke arah leher Keng Hong! Akan tetapi, tiba-tiba ia menahan sabetannya dan terkekeh lagi. "Hanya dia yang punya Thi-khi-I-beng! Ho-ho-hi-hi-hik, mungkin dia keras hati seperti Sie Cun Hong. Akan tetapi hendak kulihat sampai di mana kekerasannya!" Sabil tertawa-tawa mengikik nenek ini lalu mengambil sepasang golok emas pusaka Kong-thong-pai dan dengan mudahnya ia menekuk kedua golok emas itu sapai melengkung dan membentuk dua buah kaitan dari emas! Kemudian, sambil terkekeh-kekeh sehingga air ludah muncrat-muncrat melalui giginya yang besar-besar, nenek itu lalu menancapkan sepasang kaitan ke arah pundak Keng Hong.
"Plak-plak-plak...! Aiiihhhhh!!" Tubuh nenek itu terhuyung-huyung ke belakang dan sepasang golok yang sudah menjadi kaitan-kaitan emas itu terlepas dari tangannya. Ternyata bahwa hawa sinkang yang memenuhi tubuh Keng Hong sampai melewati takaran, yaitu hawa sinkang Thian-te Sam-lo-mo tadi, masih berputaran di tubuhnya, tidak menemukan jalan keluar sehingga ketika pundak itu tersentuh tenaga dari luar, otomatis tenaga sinkang itu menyambut dan menendang.
Nenek ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, seorang di antara keempat datuk hitam yang terkenal disebut Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding). Dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, memiliki pengalaman yang amat luas, maka setelah hilang kagetnya, ia mengangguk dan memandang ke arah pemuda itu yang masih pingsan. Ia mencelat maju lagi, kini kepalanya digerakkan dan ujung rambutnya melecut ke depan, dua kali menotok ke arah dua jalan darah Keng Hong di kedua pundak. Karena ujung rambut ini merupakan benda lemas, dan memang menjadi keistimewaan Ang-bin Kwi-bo untuk menggunakan rambutnya di samping kukunya sebagai senjata, maka jalan darah di kedua pundak itu kena ditotok sehingga tertutup dan hawa sinkang yang berputaran di tubuhnya itu tidak dapat menembus ke pundak. Setelah terkekeh girang Ang-bin Kwi-bo kembali menggerakkan sepasang kaitan emas itu dengan kedua tangannya.
"Cresss! Cresss!" Karena tangan Ang-bin Kwi-bo memang ahli dan tanaganya kuat sekali, dengan mudah saja kedua kaitan emas itu menancap di daging pundak, terus di putar sehingga kaitan-kaitan itu kini menancap dan mengait kedua tulang pundak Keng Hong!
"Auggghhh...!" Keng Hong bergerak, matanya terbuka dan mulutnya mengeluh. "Aduhhh... aduhhh..." Ia mencoba akan bangun namun terbanting kembali ketika Ang-bin Kwi-bo menarik ikat pinggangnya yang ujungnya ditalikan kepada dua gagang golok dan mengait kedua pundak Keng Hong itu. Tentu saja tarikan itu membuat sepasang kaitan itu mengait dan menarik tulang pundak Keng Hong dan Keng Hong terbanting roboh sambil mengeluh. Rasa nyeri di pundaknya bercampur dengan rasa uak yang timbul oleh gerakan sinkang yang berlebihan di tubuhnya.
"Hah-hah-hah-hi-hik! Cia Keng Hong, engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah kepadaku?"
***
Keng Hong menengok dan tanpa menegnok sekalipun dia akan mengenal suara ketawa itu.
"Hemmm..." Ia hendak bicara, akan tetapi dadanya seperti hendak meledak, perutnya mengeras dan dia muak sekali, hendak muntah. Maklumlah dia bahwa kedua pundaknya dikait dan dia tidak berdaya lagi. Kalau dia meronta, berarti kedua tulang pundaknya akan patah-patah dan kalau hal ini terjadi, kedua lengannya kan lumpuh tak dapat dia gerakkan lagi! Maka, soal pundaknya terkait dan soal Ang-bin Kwi-bo adalah soal ke dua yang membutuhkan pemikiran tenang dan mendalam, lebih dulu dia harus membereskan soal pertama, yaitu tenaga atau hawa sinkang ketiga orang kakek iblis yang kini "pindah" ke dalam tubuhnya. Maka dia tidak jadi bicara, meramkan matanya dan mengatur napas, menyedot hawa yang berkeliaran dan berputaran itu ke dalam pusarnya.
Ang-bin Kwi-bo sambil terkekeh-kekeh dan memegangi ujung ikat pinggangnya lalu menghampiri tumpukan pusaka. Ia mengikatkan ujung ikat pingang pada pinggangnya, dengan girang dia membungkus pusaka-pusaka itu dengan saputangan dan dia kaitkan di pundaknya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di pinggang. Setelah terkekeh-kekeh lagi saking girang dan puas hatinya ia berkata kepada Keng Hong.
"Cia Keng Hong, engkau minta hidup atau mati?"
Pada saat itu, Keng Hong sudah berhasil menaklukan hawa sinkang liar itu dan dia merasa betapa hawa yang kini berkupul di pusarnya amat kuat dan panas. Ia telah memperoleh kemajuan dalam waktu singkat, padahal kalau harus melatih diri, untuk mendapatkan tenaga sinkang seperti yang "diberikan" tiga orang kakek itu kepadanya, mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun! Mendengar pertanyaan nenek itu, Keng Hong menjawab tenang.
"Ang-bin Kwi-bo, mati hidupmu sendiri saja engkau tidak mampu menguasai, bagaimana engkau akan dapat menguasai mati hidup orang lain? Mati hidup manusia sepenuhnya berada di tangan Thian!"
"Heh-heh-heh! Hi-hi-hik! Omongan melantur! Omongan kosong dari orang yang sudah putus harappan! Lihat, dengan kedua pundakmu terkait, kalau aku menghendaki, sekali sendal saja dengan ikat pinggang ini, kedua tulang pundakmu akan patah-patah dan kalau sudah begitu, seorang anak kecil pun akan mampu membunuhmu karena kau tidak dapat menggerakkan lagi kedua tanganmu. Bukankah hal ini berarti bahwa kau ati hidup berada di tanganku? Kalau aku menghendaki kau mati, engkau akan mati, akan tetapi kalau aku menghendaki engkau hidup, mungkin engkau dpat hidup lebih lama."
Keng Hong bukanlah orang bodoh. Kalau memang nenek iblis itu menghendaki dia mati, tentu tidak perlu kedua pundaknya dikait seperti ini. Tadi ketika dia pingsan, apa sukarnya bagi nenek itu untuk membunuhnya? Akan tetapi nenek itu tidak membunuhnya, melainkan menawannya. Hal ini sudah meyakinkan bahwa nenek itu tidak akan membunuhnya begitu saja!
"Engkau tersesat, Kwi-bo. Mati hidupku bukan berada di tanganmu, melainkan di tangan Tuhan, seperti juga mati hidupmu. Kalau Tuhan menghendaki, biarpun keadaan kita seperti ini, bisa saja engkau yang mati dan aku yang hidup!"
"Tutup mulutmu yang sombong!" Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo membentak dan menarik sedikit ikat pinggang itu. Keng Hong merasa seolah-olah semua urat di tubuhnya dibetot, demikian hebat rasa nyeri di tubuhnya sehingga jari-jari kaki tangannya mengkerut, mukanya berkerut dan peluh sebesar kacang hijau keluar memenuhi mukanya. Namun dia mengeraskan hati tidak mau mengeluh.
"Apa kehendaku, Kwi-bo?"
"Katakan, engkau minta mati atau hidup?"
"Maksudmu bagaimana? Kalau minta mati bagaimana kalau hidup bagaimana?"
Ang-bin Kwi-bo mengeget kedua baris giginya sehingga terdengar bunyi berkerot.
"Bedebah engkau, keras kepala dan sombong seperti Sie Cun Hong! Sudah menghadapi maut masih bicara besar! Dasar engkau murid seorang yang besar kepala, seorang yang sejahat-jahatnya di dunia ini, seorang..."
"Cukup, Kwi-bo! Suhu sudah menginggal dunia, tidak perlu kau maki-maki. Apapun yang kaukatakan, aku yakin bahwa suhu seorang yang paling gagah perkasa dan berbudi mulia di dunia ini!"
"Mulia? Cuhhh!" Ang-bin Kwi-bo meludah. Ludah kental itu meluncur ke tanah dan amblas seperti sebutir peluru. "Kau bangun dan duduklah, agar aku dapat melihat mukamu!"
Keng Hong menahan rasa nyeri yang membuat pandang matanya berkunang ketika dia bangkit duduk dan menghadap nenek itu. Nenek itu memandang penuh perhatian, kemudian berkata,
"Memang cocok menjadi murid Sie Cun Hong, gagah dan tampan." Nenek itu mengangguk-angguk, lalu melanjutkan "Sayang kalau harus mari dalam usia muda. Gadis-gadis cantik akan kehilangan seorang penggoda dan pemikat menarik, hi-hi-hik! Cia Keng Hong, kau berikan ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku dan engkau takkan kubunuh!"
"Hemmm, itukah yang dikehendakinya? Keng Hong memutar otaknya dan teringatlah dia akan Kiu-bwe Toa-nio yang pernah juga menawannya dan memaksanya mengajarkan Thi-khi-I-beng akan tetapi kemudian malah hendak menyedot habis sinkangnya! Nenek ini, Ang-bin Kwi-bo, adalah seorang datuk kaum sesat, yang selain jauh lebih lihai daripada Kiu-bwe Toa-nio, juga jauh lebih kejam, lebih curang dan jahat. Ia harus dapat bertahan, karena kalau dia ajarkan ilmu itu, tetap saja sedikit harapan dapat hidup setelah terjatuh di tangan nenek iblis ini dan dengan memiliki ilmu itu berarti dia membantu nenek ini merajalela melakukan banyak kejahatan. Tentu nenek ini akan menjadi lebih lihai dan lebih jahat.
"Aku tidak pernah mempelajari ilmu yang kau sebut Thi-khi-I-beng itu, Kwi-bo. Bagaimana aku akan dapat memberikan kepadamu?"
Nenek yang tadinya terkekeh-kekeh itu tiba-tiba seperti serigala, dan dua kali ia menggerakkan ikat pinggangnya, Keng Hong mengeluh dan terguling pingsan. Rasa nyeri tak tertahankannya lagi. Melihat pemuda itu pingsan, Ang-bin Kwi-bo menjadi makin marah dan panas hatinya. Melihat korbannya pingsan, ia merasa seperti diejek. Kalau pemuda itu sudah pingsan, apa yang dapat ia lakukan? Menyiksanya pun tiada guna, biar disayat-sayat tubuh itu, takkan terasa dan juga dia tidak akan mendapatkan Thi-khi-I-beng!
Keng Hong siuman. Kedua pundaknya terasa panas dan nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh.
"Cia Keng Hong! Apakah engkau masih berkeras kepala tidak mau memberikan ilu itu kepadaku?" Ang-bin Kwi-bo yang melihat pemuda itu siuman cepat bertanyya. Keng Hong maklu bahwa tidak perlu lagi berpura-pura. Memang dia tidak pernah mempelajari Thi-khi-I-beng, melainkan mendapatkan ilmu itu secara otomatis ketika gurunya memindahkan sinkang ke tubuhnya, kemudian dia dapat menguasai dan mengendalikan hawa mujijat itu setelah dia memperdalam ilmunya di tempat rahasia dalam batu pedang di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia kini sudah memiliki ilmu itu dan agaknya ilmu itulah yang disebut Thi-khi-I-beng dan yang selama ini dikabarkan sudah lenyap dari dunia persilatan.
"Ang-bin Kwi-bo, andaikata aku memiliki ilmu yang kau sebutkan itu sekalipun, agaknya tak mungkin dapat kuberikan kepadamu. Engkau adalah seorang tokoh yang jahat seperti iblis..."
"Sombong! Kau kira engkau ini orang apa? Kau kira gurumu itu manusia baik-baik? Sin-jiu Kiam-ong adalah seorang manusia busuk, seorang suami yang tidak setia!"
"Cukup, Kwi-bo! Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut mati. Tidak perlu engkau menjelek-jelekkan nama baik suhu. Suhu adalah seorang yang mulia, mana bisa dibandingkan dengan engkau?"
"Sie Cun Hong, hi-hi-hik. Dengarlah omongan muridmu ini!" Nenek itu berdongak dan bicara kepada awan di angkasa seolah-olah dia bicara dengan arwah Sin-jiu Kiam-ong. "Hi-hi-hik, Cia Keng Hong, engkau benar kepala batu. Kalau tidak disiksa engkau tentu akan berkeras kepala terus. Sekarang kita kesampingkan dulu ilmu Thi-khi-I-beng! Aku hanya minta kau mengatakan bahwa Sie Cun Hong gurumu itu adalah seorang manusia cabul. Hayo, katakan!"
"Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong guruku itu adalah seorang laki-laki sejati, dan perepuan-perempuan itulah, termasuk engkau , yang tergila-gila kepadanya!"
Ang-bin Kwi-bo memelintir ikat pinggang itu di kedua telapak tangannya. Hawa panas beracun dari kedua tangannya yang membuat ia terkenal, yaitu Ilmu Ban-tok-sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) menjalar ke dalam ikat pingang itu, terus kepada kaitan eas dan memasuki tubuh Keng Hong melalui pundaknya. Pemuda itu seketika menjadi pucat wajahnya. Ia merasa betapa kedua pundaknya diasuki hawa panas yang gatal-gatal, seperti ada ribuan ekor semut yang memasuki tubuhnya dan menggigit dari dalam, dari kepala sampai kaki! Rasa nyeri tidak hebat sekali, tidak sampai membuat ia pingsan, akan tetapi rasa gatal-gatal ini membuat dia lebih menderita, merupakan siksaan yang tiada taranya. Seluruh tubuhnya berdenyut seua bulu di tubuhnya bangun satu-satu, lubang-lubang kulitnya terbuka dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Keng Hong cepat memejamkan kedua matanya dan dengan kemauannya yang keras, dapat dia mematikan perasaannya sehingga siksaan itu tidak akan terasa lagi.
***
"Bocah goblok,aku lebih tahu akan watak Sie Cun Hong! Engkau tahu apa? Dia dahulu telah mempunyai isteri yang cantik dan mencintanya, akan tetapi karena dia itu hidung belang, mengejar-ngejar perempuan saja kerjanya, isterinya lalu lari meninggalkannya! Apakah itu bukan bukti yang cukup jelas?"
"Tidak, aku tidak percaya, Kwi-bo! Kalau betul dia berpisah dari isterinya, tentu ada sebab lain.aku tetap yakin dala perpisahan itu pun, suhu tidak salah!"
"Aku tidak tahu dan aku pun tidak berhak tahu mengenai urusa dalam suami isteri, akan tetapi aku merasa yakin bahwa suhu tidak bersalah dalam hal itu!"
"Bocah sombong dan keras kepala!" Nenek itu membentak makin marah. Ia benar-benar merasa tidak berdaya dan "mati kutunya" terhadap Keng Hong. "Rasakan ini!" Nenek itu kini menancapkan kuku lima jari tangan kirinya ke pungung Keng Hong. Pemuda ini tidak mampu melawan karena sekali mengerahkan tenaga melawan berarti dia akan mencelakakan diri sendiri. Maka dia meneria serangan itu. Lima kuku jari tangan kiri Ang-bin Kwi-bo menancap di punggung Keng Hong dan pemuda itu memejamkan mata akan tetapi tanpa dapat dia tahan lagi dan seperti tanpa disadari, mulutnya terbuka dan terdengar keluhan berat. Ia terengah-engah dan setelah nenek itu menarik kembali lima kuku jari tangan kirinya Keng Hong merasa betapa tubuhnya seperti disayat-sayat dari dalam!
"Ban-tok-sin-ciang telah meracuni tubuhmu. Dalam waktu dua puluh empat jam engkau akan tersiksa oleh bermacam rasa nyeri yang hebat seolah-olah semua siksaan dari neraka telah masuk ke tubuhmu dan akan kau rasai dalam waktu sehari semalam sebelum engkau mampus. Akan tetapi, kalau engkau mau memaki gurumu sebagai manusia sesat dan memberikan Thi-khi-I-beng kepadaku, aku akan memberi obat penawar racun."
Keng Hong memejamkan mata dan mulutnya masih terbuka, terengah-engah , akan tetapi dia berhasil berkata, "Suhu manusia mulia!!"
Sekali ini Ang-bin Kwi-bo sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Bocah sinting! Engkau memang layak mampus! Dahulu aku amat merindukan tubuh Cun Hong! Selaksa orang pemuda ganteng tidak dapat memuaskan hatiku, akan tetapi Cun Hong yang kuingini terlalu besar kepala dan menolakku. Aku hampir gila karena malu dan sakit hati. Apa bedanya antara dia dan aku? Aku suka melayani selaksa orang muda ganteng, dia pun suka melayani selaksa gadis cantik. Dia dan aku sebetulnya cocok akan tetapi dia memandang rendah, merasa dia termasuk golongan bersih dan aku dianggapnya golongan kotor. Macam engkau sekarang ini! Engkau jahat, seperti dia, sapai isterinya sendiri yang kabarnya amat cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, puteri seorang bangsawan, meninggalkannya!'
"Kwi-bo, tidak perlu mengoceh lagi. Aku tetap tidak percaya dan aku yakin bahwa suhu adalah manusia baik, tidak seperti engkau!"
Pada saat itu terdengar suara orang menarik napas panjang disusul ucapan yang halus, "Ahhh, betapa untungmu, Sie Cun Hong, mempunyai seorang murid yang masih mati-matian membela nama baikmu biarpun engkau sudah mati dan muridmu terancam bahaya maut...!"
Keng Hong melihat munculnya seorang nenek yang sudah amat tua, kiranya tidak kalah tua oleh Ang-bin Kwi-bo, namun masih membayangkan bahwa nenek ini dahulu di waktu mudanya tentu bertubuh tinggi ramping dan berwajah cantik. Di samping nenek ini berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya, berpakaian kuning. Gadis ini, seperti juga nenek itu, membawa sebuah keranjang obat yang terisi beberapa helai daun dan beberapa potong akar obat.
Ang-bin Kwi-bo cepat membalikkan tubuh seperti seekor harimau marah. Dia tidak berani sembarangan karena maklum bahwa nenek dan gadis yang dapat tiba di belakangnya tanpa ia dengar sama sekali tentu bukanlah manusia-manusia biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Engkau siapa?" bentaknya kepada nenek itu.
Nenek itu tersenyum dan biarpun mulutnya tidak ada giginya, ketika tersenyum tidak kelihatan buruk. "Ang-bin Kwi-bo, baru saja engkau bicara tentang diriku, setelah aku muncul, engkau malah tidak mengenalku. Bukankah ini lucu sekali? Biarlah ini menjadi pelajaran bagiu bahwa tidak baik membicarakan urusan orang lain yang diketahuinya betul."
"Heh, siapa engkau?" Kembali Ang-bin Kwi-bo membentak sambil meneliti keadaan nenek yang kelihatannya halus dan ringkih (lemas) itu.
"Namaku Tung Sun Nio..."
Ang-bin Kwi-bo mencelat ke belakang sampai tiga langkah, memandang tajam dan sepuluh buah kuku jarinya terulur, seperti seekor kucing bertemu anjing dan siap mencengkeram. "Apa...? Engkau isteri Sie Cun Hong?"
Nenek itu mengangguk dan memandang Keng Hong yang masih duduk dan kini pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak. Saking kaget dan herannya, sejenak Keng Hong melupakan penderitaannya!
"Benar akulah Tung Sun Nio dahulu isteri Sie Cun Hong. Murid mendiang suamiku ini benar! Tak perlu ku sembunyikan lagi, dahulu aku adalah isteri Sin-jiu kiam-ong Sie Cun Hong.Dia seorang suami yang baik, tidak pernah menyeleweng, tidak pernah memperdulikan wanita lain. Akan tetapi terjadi perpecahan dan aku kemudian melarikan diri sehinga suamiku itu berubah wataknya, menjadi petualang cinta, hanya berbeda dengan engkau yang suka menculik dan memaksa pemuda-pemuda tampan, suamilku yang amat tampan itu hanya melayani wanita-wanita yang tergila-gila kepadanya, sama sekali tidak pernah memaksa seperti yang kau lakukan!"
Akan tetapi, dicela tentang perbuatannya, Ang-bin Kwi-bo sama sekali tidak peduli. Dia lalu berkata, "Nah, benar kataku! Sie Cun Hong bukan manusia baik-baik, sehingga engkau yang menjadi isterinya sampai lari meninggalkannya!"
Nenek itu menggeleng-geleng kepala dan sejenak wajahnya kelihatannya suram. "Sama sekali tidak. Kau mau tahu mengapa aku meninggalkan dia? Karena akulah yang tergila-gila dengan seorang sahabat baiknya! Akulah yang berlaku serong, tidak kuat menahan nafsu sewaktu suamiku tidak berada di rumah dan aku melakukan hubungan dengan pria lain. Sie Cun Hong tetap seorang yang mulia, seperti dikatakan muridnya ini. Ang-bin Kwi-bo, engkau tidak tahu betapa puluhan tahun aku menderita tekanan batin karena perbuatanku itu. Aku mengerti bahwa perbuatanku itulah yang membentuk watak suamiku, dan akulah yang berdosa. Namun, aku hanya dapat menyesali diri sendiri, tidak mempunyai kesempatan menebus dosa sampai matinya! Kini kesempatan itu muncul! Engkau telah menganiaya muridnya, engkau merampas pusaka peninggalan suamiku. Maka, sekarangalah aku dapat menebus dosaku dengan membela muridnya yang berbakti dan setia, jauh lebih setia daripada aku yang menjadi isterinya. Hayo serahkan kembali pusaka itu!"
Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo tertawa terkekeh-kekeh dan menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku panjang, "Bagus sekali! Dan aku pun belum pernah mendapat kesempatan membalas sakit hatiku kepada Sie Cun Hong. Sekarang engkau isterinya muncul, sungguh kebetulan. Aku akan membunuhmu, akan menyiksamu seperti yang kulakukan kepada muridnya, hi-hi-hik!"
Akan tetapi nenek iblis ini terpaksa menghentikan ketawanya ketika tubuh Tung Sun Nio sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa dan tongkat kecil di tangannya berubah menjadi sinar bergulung menyambar ke arah dada Ang-bin kwi-bo! Nenek iblis ini terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan tangan, kukunya seperti lima batang pisau itu menangkis tongkat.
"Triiiiikkkkk!" Ang-bin Kwi-bo meloncat jauh ke belakang, matanya terbelalak merah penuh kemarahan. Ia tadi merasa betapa jari-jari tangannya sakit dan lengannya tergetar hebat. Maklumlah ia bahwa nenek isteri Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan! Dengan gerengan marah ia meloncat maju, rambutnya menyambar-nyambar seperti pecut dan sepuluh buah jari berkuku runcing itu mencakar-cakar. Serangannya dahsyat bukan main dan Tung Sun Nio, nenek bekas isteri Sie Cun Hong yang bersikap tenang, cepat memutar tongkatnya dan ia harus mengerahkan semua kepandaian untuk mneghadapi terjangan dahsyat dari nenek iblis itu.
"Kuatkanlah, aku akan melepaskan kaitan-kaitan ini."
Keng Hong yang sedang memperhatikan jalannya pertandingan, menoleh ke kiri ketika mendengar suara halus itu dan dia melihat betapa gadis baju kuning yang cantik luar biasa itu telah mendekatinya. Ia mengangguk lalu mengumpulkan sinkang, mematikan perasaan di kedua pundak dan kini yang terasa olehnya hanyalah bekas tusukan buku beracun di punggungnya.
***
Seperti kalau dia bertemu dengan pemandangan alam di pegunungan yang indah, seperti kalau dia melihat bunga-bunga mekar dengan indah , seperti dia melihat bintang-bintang gemerlapan di langit atau bulan purnama tersenyum-senyum di angkasa. Salahkah kalau dia menikmati segala keindahan itu dengan matanya, termasuk keindahan wanita cantik? Mereka bertemu pandang dan agaknya gadis itu dapat melihat pula sinar kagum dan terpesona di mata Keng Hong,buktinya dia lalu menundukkan muka dengan kening berkerut dan kedua pipi yang sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali!
Keng Hong cepat memalingkan mukanya. Benar-benar dia telah memiliki watak suhunya. Tidak tahan melihat wanita cantik, tak dapat menyebunyikan rasa kagum dan terpesona sungguhpun dia sangsi apakah perasaan ini termasuk perasaan yang buruk. Betapapun juga, memang keterlaluan sekali. Dia terancam maut. Racun Ban-tok-sin-ciang mengalir di tubuhnya. Akan tetapi dia masih berkesempatan menikmati dan mengagumi wajah cantik! Karena malu kepada diri sendiri, Keng Hong lalu memejamkan matanya dan mengheningkan cipta bersiulian untuk mencoba menolong dirinya dengan kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi, makin dia kerahkan hawa sakti, punggungnya makin nyeri seperti ditusuk besi membara, sehingga terpaksa dia menghentikan usahanya itu dan hanya mengumpulkan hawa bersih yang disedotnya untuk menahan rasa nyeri yang menggerogoti seluruh tubuhnya dari dala. Entah berapa lama Keng Hong bersamadhi memejamkan mata. Tiba-tiba lengannya disentuh oleh sebuah tangan halus dan terdengar suara yang berbisik halus namun mengandung penuh kekhawatiran.
"Sadarlah... bangunlah... suhu terancam... bagaimana baiknya?"
Keng Hong membuka matanya dan yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah lima buah jeriji tangan yang kecil mungil menyentuh lengannya itu. Akan tetapi cepat dia mencela dirinya sendiri, dan mengalihkan perhatiannya ke depan, ke arah dua orang nenek yang sedang bertanding seru sekali. Ternyata bahwa nenek yang memegang tongkat itu terdesak hebat oleh Ang-bin Kwi-bo yang menyerang dengan kuku jari dan rambutnya. Ilmu silat yang dimainkan isteri gurunya itu baik sekali dan amat kuat, pikir Keng Hong, juga gerakan nenek itu tidak kalah cepat atau ringan dari lawan. Pertemuan tongkat dengan jari berkuku panjang yang mengeluarkan bunyi nyaring pun membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, mereka berimbang. Hanya nenek itu terdesak oleh Ang-bin Kwi-bo, oleh terjangan nenek iblis yang amat dahsyat dengan rambut dan kuku-kuku jarinya yang berbahaya sekali. Nenek bertongkat itu berkali-kali terpaksa mengelak dan berloncatan ke belakang untuk menghindarkan pukulan atau cakaran Ban-tok-sin-ciang dari Ang-bin Kwi-bo.
Keng Hong sendiri terluka parah dan tak mungkin dia membantu. Ia mengerling ke arah gadis itu dan berbisik, "Apakah Nona murid dari... eh, subo itu?" Dia menyebut subo kepada nenek itu, karena bukankah nenek itu isteri mendiang gurunya sehingga nenek itu boleh dibilang adalah ibu gurunya. Gadis itu mengangguk.
"Subo sebetulnya tidak kalah lihai, hanya repot menghadapi senjata yang amat banyak itu, rambut dan sepuluh kuku jari. Ban-tok-sin-ciang itu memang berbahaya sekali. Kalau nona maju membantu kurasa subo tidak akan begitu repot."
"Itulah yang menggelisahkan hatiku," Nona itu berbisik dan alis yang hitam kecil menjelirit seperti dilukis itu mengerut. "Tadi aku hendak membantu, dilarang oleh subo karena diejek iblis itu yang mengatakan subo pengecut hendak mengeroyok."
Keng Hong mengerutkan keningnya. Berabe juga kalau begitu. Dia mengenal kelicikan dan kecurangan Ang-bin Kwi-bo dan agaknya subonya ini, kalau dia tidak salah dengar tadi adalah bekas puteri bangsawan, tentu memiliki keangkuhan dan setelah diejek begitu tentu merasa malu kalau dibantu muridnya atau orang lain. Sedangkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, isteri gurunya itu agaknya akan kalah. Kalau isteri gurunya tewas, gadis ini akan tewas pula, demikian juga dia. Keng Hong mencari akal, kemudian teringat akan Siang-bhok-kiam. Nenek iblis itu mempunyai ilmu pukulan beracun yang ganas yaitu Ban-tok-sin-ciang dan untuk menghadapi ilmu dengan kuku-kuku beracun itu, paling tepat hanya menggunakan Siang-bhok-kiam karena pedang pusaka itu justeru "anti racun"! Akan tetapi pedang pusakanya itu, seperti pusaka lain, telah dirampas oleh si nenek iblis. Bahkan pedangnya itu kini terselip di pinggang Ang-bin Kwi-bo! Setelah memeras otaknya menahan rasa nyeri di punggungnya, akhirnya Keng Hong berbisik, "Nona, dekatkan telingamu..."
Nona itu mengerti bahwa pemuda ini hendak berbisik sesuatu yang tak boleh didengar nenek iblis yang tentu memiliki pendengaran amat tajam, maka ia lalu menggeser tubuhnya yang berlutut dan jantungnya berdebar keras. Telinga itu begitu indah bentuknya, rambut pelipis yang halus dan melingkar-lingkar itu menyapu mukanya, berbau harum seperti bunga mawar. Muka itu begitu dekat. Eh, benar engkau bajul buntung, Keng Hong! Kembali Keng Hong memaki dirinya sendiri dan cepat dia berbisik perlahan sekali. Gadis itu menggerak-gerakkan sepasang alisnya, kelihatannya terheran, akan tetapi ia mengangguk tanda mengerti apa yang diminta oleh Keng Hong.
Setelah Keng Hong membisikkan siasatnya, nona itu menjauhkan lagi tubuhnya lalu berkata, kini suaranya keras,
"Subo terdesak oleh nenek iblis itu!"
Keng Hong tertawa, suara ketawanya mengejek. "Ahhhhh, siapa tidak mengenal nenek iblis Ang-bin Kwi-bo? Namanya saja besar, padahal dia seorang yang pengecut dan penakut sehingga kuku-kuku jari tangannya pun diberi racun dan dipanjangkan, masih pula ia menggunakan rambutnya yang kotor dan penuh kutu! Ilmu silatnya sih hanya ilmu silat pasaran saja, dan kepandaiannya pun bolehnya mencuri-curi dan meniru-niru dari orang lain. Biarpun begitu, dia masih tidak malu-malu memakai nama sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi. Menggelikan dan menjijikkan!"
Terdengar Ang-bin Kwi-bo memekik marah dan meloncat mundur. "Bocah bermulut busuk! Murid Sie Cun Hong mulutnya busuk seperti gurunya! Kau tunggu saja, setelah aku membunuh isterinya, engkau akan kubunuh sedikit demi sedikit, akan kusayat-sayat dagingmu, kuberikan kepada gagak dan anjing...!" Akan tetapi ia berhenti memaki karena nenek itu sudah menerjang lagi dengan tongkatnya, marah mendengar caci maki yang kotor dan keji itu.
Melihat keduanya bertanding lagi, nona yang sudah diberi isyarat kedipan mata Keng Hong, berkata lagi dengan suara nyaring, "Akan tetapi, kulihat nenek iblis itu demikian kuat dan cepat, ilmu silatnya aneh sekali! Sungguh mengerikan!"
"Uwaaah! Siapa bilang? Coba kalau gurumu menggunakan senjata Siang-bhok-kiam yang secara tidak tahu malu ia rampas dari tanganku ketika aku pingsan, hemmm... tentu dalam sepuluh jurus lagi dia mampus! Siang-bhok-kiam adalah pedang pusaka guruku yang dianggap suci, tidak mungkin dipergunakan terhadap sembarangan manusia, bahkan pantang minum darah manusia. akan tetapi kalau darah iblis seperti nenek itu, guruku tentu tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakan. Dia pengecut, mana berani?
Ha-ha-ha!" Keng Hong tertawa, akan tetapi sesungguhnya ketika dia tertawa itu, punggung dan dadanya rasanya nyeri bukan main hampir tak dapat dia menahan.
Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo terkekeh. "Heh-heh-heh-hi-hik! Cia Keng Hong, kaukira aku manusia tolol yang dapat kau bakar hatiku? Ha-ha-ha, biar kau mencaci maki aku, tidak nanti aku begitu bodoh menjadi marah dan terkena pancinganmu lalu memberikan pedang Siang-bhok-kiam kepada isteri gurumu! Kau lihat ini! Aku malah akan menggunakan pedang pusaka gurumu untuk membunuh isterinya! Heh-heh-heh-heh, bagus sekali! Pedang pusaka suci ini akan minum darah isteri gurumu sendiri!"
Keng Hong memebelalakkan matanya mengangkat tangan ke atas dan mulutnya menyeringai saking sakitnya. "Jangan...! Ahhh, Kwi-bo, jangan sekeji itu...!
Gadis itu meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke hidung Keng Hong sambil memberntak, "Engkau... dengan akal bulusmu yang tolol! Engkau malah mencelakakan subo...!"
Ang-bin Kwi-bo terkekeh dan mencabut Siang-bhok-kiam dari pinggangnya. Melihat Pedang Kayu Harum milik suaminya ini, nenek itu menjadi pucat wajahnya, akan tatapi ia sudah nekat dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menerjang dengan tongkatnya.
Ang-bin-Kwi-bo megerahkan sinkangnya dengan amat kuat dan menangkis dengan pedang Siang-bhok-kiam.
"Krekkk!" Tongkat di tangan nenek itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam. Nenek itu menjerit dan meloncat mundur. "Hi-hi-hi-hi-hik!" Ang-bin Kwi-bo terkekeh girang.
"Celaka...!" Gadis itu menjerit dan sekali ini jeritnya bukan lagi pura-pura, melainkan jerit karena khawatir dan ngeri. Sambaran Siang-bhok-kiam yang berubah menjadi sinar hijau dapat dielakkan oleh Tung Sun Nio, akan tetapi karena hawa pedang itu amat mujijat, ia terhuyung dan tiba-tiba sinar hitam dari rambut Ang-bin Kwi-bo telah meluncur ke depan dan melibat leher dan pundak Tung Sun Nio!
Sambil terkekeh-kekeh, Ang-bin Kwi-bo melangkah maju, pedang Siang-bhok-kiam diangkat tinggi dan akan dihantamkan ke arah kepala nenek itu.
"Tung Sun Nio, lihat pedang suamimu yang suci akan membelah kepalamu, hi-hi-hi..."
Tiba-tiba nenek iblis itu mengeluarkan suara meraung keras, pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan kanannya dan ia menjerit. "Aduhhh... tanganku...tanganku...!" -Ternyata tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedang yang terlepas itu cepat disambar oleh Tung Sun Nio dan sekali pedang tiu berkelebat, rambut yang membelitnya telah dibabat putus!
"Aihhhhh... keparat... pedang celaka...!" Ang-bin Kwi-bo memaki dan tangan kirinya dengan jari-jari berkuku runcing menyambar. Tung Sun Nio memapaki lengan itu dengan Siang-bhok-kiam.
"Srattt... krekkkkk!" Lengan nenek iblis yang kiri terbabat buntung! Ia memekik keras. Akan tetapi pekik ini dilanjutkan dengan raung yang mendirikan bulu roma ketika pedang Siang-bhok-kiam yang ditusukkan Tung Sun Nio amblas ke dalam perutnya menembus punggung! Tubuh itu meronta keras sehingga Tung Sun Nio tidak mampu menguasai lagi, terpaksa melepaskan gagang Siang-bhok-kiam dan meloncat ke belakang. Tubuh Ang-bin Kwi-bo terguling roboh dan tewaslah nenek iblis itu dengan pedang Siang-bhok-kiam masih menancap di perutnya. Buntalan pusaka yang disampirkan di pundak jatuh terlepas dan berserakan di atas rumput.
"Subo...!" Gadis itu berseru girang dan memeluk gurunya. Nenek ini yang masih pucat mukanya, menghela napas panjang.
***
"Sie Cun Hong, tidak urung engkau juga yang menolongku, melalui pedangmu dan siasat muridmu..." Mereka berdua menengok dan ternyata Keng Hong juga sudah roboh terguling dan pingsan. Ia tadi mempertahankan dirinya untuk menyaksikan siasatnya yang berbahaya. Dia maklum akan kecerdikan iblis wanita itu untuk menjalankan siasatnya.
Nenek iblis itu tentu merasa ditipu dan berlaku cerdik, tidak mau dipancing, padahal justeru itulah kehendak Keng Hong. Andai kata nenek itu menyerahkan pedang kepada Tung Sun Nio, belum tentu isteri gurunya itu akan menang menghadapi nenek iblis yang amat lihai ilmunya Ban-tok-sin-ciang itu. Akan tetapi nenek itu berlaku cerdik, dan terpancing oleh pujian Keng Hong akan pedang Siang-bhok-kiam. Kejahatan dan kekejian nenek iblis itu mendatangkan akal untuk membunuh isteri Sin-jiu Kiam-ong dengan pedangnya sendiri yang oleh muridnya disebut pedang suci. Hal ini dekehendaki oleh Keng Hong karena pemuda ini mempunyai keyakinan bahwa Ban-tok-sin-ciang akan luntur dan punah kalau terkena hawa murni dan mujijat dari Siang-bhok-kiam. Dugaannya terbukti karena begitu tangan kanan nenek iblis itu memegang Siang-bhok-kiam dan mengerahkan sinkang, otomatis hawa sakti pedang itu menumpas dan memusnahkan hawa Ban-tok-sin-ciang seperti air memadamkan api sehingga lengan kanan nenek iblis menjadi lumpuh yang mengakibatkan kematiannya! Setelah melhat siasatnya berhasil dan isteri gurunya tertolong, Keng Hong terguling pingsan!
Keng Hung mengeluh perlahan dan membuka matanya. Ia mendapatkan dirinya terbaring di atas dipan bambu dalam sebuah kamar yang amat bersih. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan lantainya dari batu putih. Tubuhnya terasa nyeri semua dan amat panas, seolah-olah di dalam dadanya ada api unggun menyala. Akan tetapi perasaan nyeri sejenak lenyap terlupa olehnya ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik dari gadis yang duduk di atas bangku, tak jauh dari pembaringannya.
"Suheng..., bagaimana rasanya...?" Tanya gadis itu dengan suaranya yang halus, wajahnya yang cantik memandang serius sekali dan terbayang kegelisahan.
"Suheng...?" Keng Hong mengulang dengan suara terheran.
"Engkau adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, suami subo. Berarti kita masih saudara seperguruan." Gadis itu menjelaskan.
"Aahhh... terima kasih, Sumoi. Tentu engkau dan subo yang menolongku dan membawaku ke sini. Budimu dan budi subo amat besar, aku berterima kasih sekali."
"Aihhh, Suheng. Baru sekarang aku tahu setelah subo memberi penjelasan sesungguhnya engkaulah yag telah menyelematkan subo. Kalau mau bicara tentang budi, engkau pun telah berjasa besar. Akan tetapi, Suheng..." Gadis itu berhenti dan memandang wajah Keng Hong penuh keharuan dan kegelisahan!"... lukamu..., subo bilang..."
"Bagaimana? Bahwa luka akibat Ban-tok-sin-ciang di punggungku ini tidak dapat disembuhkan?"
Gadis itu mengangguk dan... menangis, menutupi mukanya. Keng Hong membelalakkan matanya, memandang heran. "Eh, Sumoi! Kenapa engkau menangis?"
Gadis itu mengangkat mukanya dari balik kedua tangannya, muka yang menjadi merah oleh tangis, sehingga bibirnya menjadi merah sekali, dengan kulit bibir tipis seperti buah apel, seolah-olah mudah sekali pecah. "Suheng, subo sudah berusaha keras untuk mengobatimu, akan tetapi menurut subo... dia hanya berhasil menghentikan racun itu menjalar, namun tidak berhasil melenyapkannya dan... dan... engkau hanya akan bertahan saapai sehari semalam... Sekarang sudah hampir tengah malam... besok pagi..." Gadis itu tidak melanjutkan menangis lagi. Keng Hong menjadi terharu. Perasaannya seperti lilin terbakar api dan dalam keharuannya dia memegang tangan gadis itu. Gadis itu pun balas memegang sehingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram!
"Kau mau bilang bahwa nyawaku tinggal setengah malam lagi? Kalau begitu mengapa, Sumoi? Kalau sudah semestinya besok pagi aku mati, aku tidak takut. Biarlah, mengapa kau yang baru saja berjumpa denganku menangisi keadaanku?"
Gadis itu menarik kembali tangannya, mukanya menjadi merah sekali akan tetapi ia memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kejujuran. "Suheng, selamanya aku tidak mempunyai saudara seperguruan. Sekarang, bertemu denganmu dan tiba-tiba mempunyai seorang suheng, hatiku... amat bahagia. Akan tetapi besok pagi...ahhh..." Ia menangis lagi.
Keng Hong mengerti dan dia menyumpahi diri sendiri mengapa hatinya menjadi kecewa mendengar keterangan itu. Tentu saja! Gadis ini menangis karena kasihan kepadanya, kepada suhengnya! Sama sekali bukan karena... cinta kepadanya, seperti yang diharapkan oleh hatinya yang lemah apabila bertemu dengan gadis jelita! Benar-benar memalukan. Laki-laki mata keranjang benar dia!
"Sudahlah, Sumoi. Harap jangan menangis dan tolong kau minta subo supaya suka datang ke sini dan membawa Siang-bhok-kiam. Kalau Tuhan menghendaki, aku tidak akan mati besok pagi."
Gadis itu memandang penuh harapan, lalu mengangguk dan melangkah keluar dari dalam kamar itu. Keng Hong kembali menyumpahi dirinya. Mengapa mata ini tidak mau diam, seperti besi terbetot besi semberani dan memandang tubuh belakang gadis itu ketika berjalan pergi sehingga tampak pemandangan yang amat menggairahkan?
Tak lama kemudian, nenek itu melangkah masuk diikuti gadis itu, langkahnya halus dan biarpun sikapnya tenang dan wajahnya juga tidak membayangkan sesuatu, namun sinar matanya terselimut kegelisahan ketika ia memandang wajah Keng Hong. "Subo..." Keng Hong mengangkat kedua tangan ke depan dada dan menyeringai karena pundaknya yang terluka terasa nyeri. "Harap subo maafkan bahwa teecu tidak dapat memberi hormat sebagaimana mestinya. Teecu telah menerima budi pertolongan Subo, teecu amat berteia kasih..."
"Ssttt, engkau benar-benar seperti gurumu, pandai sekali menyenangkan hati orang. Namamu Cia Keng Hong, benarkah? Aku hanya mendengar iblis betina itu memanggilmu."
"Benar, Subo. Teecu Cia Keng Hong."
"Keng Hong, terus terang saja, biarpun sudah puluhan tahun aku mempelajari ilmu pengobatan, akan tetapi luka dipunggungmu akibat cengkeraman kuku dengan ilmu beracun Ban-tok-sin-ciang itu aku tidak dapat menyembuhkannya. Maka aku khawatir sekali engkau hanya akan bertahan sampai besok pagi..." Kalimat terakhir terdengar lirih, penuh keharuan. Mata Keng Hong tak dapat ia kuasai, sudah menyelonong lewat balik pundak subonya itu, memandang wajah gadis jelita dan melihat betapa sepasang mata yang indah itu menitikkan air mata..Aihhh, sungguh aneh. Dia mempunyai perasaan seolah-olah dia akan girang sekali kalau besok pagi mati, ditangisi oleh sepasang mata seperti itu! Gila! Gila engkau Cia Keng Hong, dia menyumpahi diri sendiri. Mata keranjang yang tiada taranya!
"Subo, dahulu suhu pernah memberi tahu bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah sebuah pedang mustika yang dapat menyembuhkan segala macam racun di dunia ini. Selain itu, juga di dalam tubuh teecu sudah mengeram banyak sekali racun yang disuruh minum oleh suhu sehingga sedikit banyak tubuh teecu sudah agak kebal terhadap racun. Oleh karena itu, betapapun lihainya Ban-tok-sin-ciang, namun jika benar keterangan suhu, dan jika Tuhan masih belum menghendaki teecu rasa pedang Siang-bhok-kiam dapat menyelamatkan nyawa teecu."
Seketika berserilah wajah nenek itu dan baru sekarang dapat dilihat bahwa sebetulnya dia tadi berduka sekali. "Benarkah? Dia tidak pernah membohong, Keng Hong. Kalau dia mengatakan demikian, pasti pedang Siang-bhok-kiam ini akan dapat menyembuhkanmu. Akan tetapi... bagaimana caranya...?"
"Harap Subo suka menusukkan Siang-bhok-kiam di punggung teecu, tepat di bagian yang terkena pukulan Ban-tok-sin-cinag. Tentu saja terserah kepada kebijaksanaan dan keahlian Subo agar tusukan tidak mengenai jalan darah dan tidak merusak bagian yang mematikan, tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu dangkal pun berarti racun yang sudah menggeram di bagian agak dalam tidak dapat tersedot keluar." Keng Hong membicarakan hal-hal yang menyangkut bahaya bagi nyawanya ini seenaknya saja, seperti orang membicarakan urusan makan minum!
Nenek itu memandang kagum, kemudian berkata dan suaranya mengandung isak! "Sungguh...!Engkau... seperti... seperti dia...! Mirip sekali...!"
Keng Hong tersenyum, maklum bahwa yang dimaksudkan oleh subonya adalah gurunya. Jelas bahwa subonya ini selamanya mencinta suhunya. Mengapa dahulu bisa menyelewang? Dia menarik napas panjang. Manusia manakah di dunia ini yang tidak pernah berdosa? Subonya ini pun tidak terkecualikan. Ia dapat membayangkan betapa suhunya tentu sedang pergi dan subonya yang sedang kesepian itu tergoda nafsunya sendiri, tergoda sahabat suhunya dan terjadilah pelanggaran.
***
Apakah anehnya dalam peristiwa itu? Kalau direnungkan dengan hati dan pikiran dingin, sebenarnya bukanlah apa-apa!
"Teecu menyerahkan keselamatan teecu dalam tangan Subo. Silakan dan...eh, Sumoi... tolonglah bantu aku membalik dan menelungkup."
Gadis itu cepat melangkah maju dan kedua pipinya masih basah ketika ia membantu Keng Hong rebah menelungkup sehingga punggungnya berada di atas. "Bukalah bajunya, telanjangi punggungnya!" kata subonya.
Keng Hong kembali menyumpahi dirinya dan ingin menempiling kepala sendiri ketika jantungnya berdebar dan hatinya merasa senang sekali merasa betapa jari-jari tangan yang halus dan hangat itu membuka bajunya.
"Eh, Suheng... engkau berdebar-debar! Kalau kau takut...ah, amat berbahaya...!" Gadis itu berseru sambil meraba iga kiri Keng Hong. Mampus kau! Keng Hong menyumpahi dirinya. Terbongkar rahasia mata keranjangmu! Ia menoleh dan memaksa diri tersenyum. "Sumoi, siapa sih yang tidak takut menghadapi detik hidup atau mati ini? Akan tetapi aku cukup tabah, harap jangan khawatir, aku percaya penuh akan keahlian Subo menggunakan pedang!"
Kalau gadis itu tidak mengerti dan percaya akan keterangan Keng Hong, adalah nenek itu yang tak dapat dibohongi. Orang yang berdebar takut tidak bisa tersenyum seperti itu. Ia mnghela napas dan berkata lirih, "Hemmm,,,,, persis dia..! Tiada sedikit pun bedanya... hemmmmm!"
Keng Hong terkejut. Suara. "Hemmm!" yang terakhir itu benar-banar mencurigakan, karena terdengar jelas subonya itu gemas. Tentu sudah tahu bahwa jantungnya berdebar karena sentuhan jari-jari tangan mungil! Celaka dua belas! Keng Hong cepat membenamkan muka pada bantal dan berkata dengan suara bindeng karena hidungnya terhimpit di bantal,
"Silakan, Subo!"
Nenek itu memegang Siang-bhok-kiam yang sudah dicuci bersih karena tadi memasuki perut Ang-bin Kwi-bo, dan mengheningkan cipta untuk membuat seluruh urat syaraf di tubuhnya menjadi tenang. Kemudian terdengar ia berkata,
"Cia Keng Hong, semoga Tuhan menitahkan arwah gurumu untuk membimbing tanganku menggerakkan pedang ini. Sudah kuperiksa lukamu dan racun ini mengeram dekat jantung. Tusukanku harus tepat, kurang atau lebih satu inci saja berarti nyawamu akan melayang, sampaikan maafku kepada gurumu!"
Sunyi menyeramkan setelah nenek itu mengeluarkan ucapan yang seperti orang berdoa ini, dan terdengarlah isak tadi tahan dari gadis yang berdiri di sudut kamar dengan kedua kaki menggigil dan muka pucat sekali.
"Teecu mengerti. Silakan!" Suara Keng Hong sedikitpun pun tidak terdengar takut, tenang sekali. Nenek itu mundur dua langkah, menodongkan pedang, matanya yang tua namun masih awas itu memandang tanpa berkedip pada punggung yang akan ditusuknya, mengukur dengan cermat sekali. Kemudian terdengar dia mengeluarkan suara melengking, sinar hijau berkelebat dan... "Ceppp!" Ujung pedang Siang-bhok-kiam menusuk punggung Keng Hong dibarengi sedu-sedan gadis yang menonton pertunjukan mengerikan ini.
Terdengar keluhan yang didekap dari mulut Keng Hong. Nenek itu melepaskan gagang pedang. Pedang Siang-bhok-kiam menancap seperempat bagian di punggung itu. Keng Hong kelihatan lemas, entah pingsan entah tidur! Akan tetapi, perlahan-lahan pedang yang putih kehijauan itu berubah hitam, kemudian dari gagangnya menetes-netes cairan berwarna hitam.
"Ya Tuhan... Terima kasih..., terima kasih, Sie Cun Hong...!" Nenek itu menjatuhkan diri di depan pembaringan dan terisak! Gadis itu pun menangis dan menubruk, terus merangkul gurunya.
Kedua orang wanita itu menangis, menangis karena girang, karena sudah merasa yakin bahwa "operasi istimewa" itu berhasil baik!
"Yan Cu... Yan Cu... dengarlah baik-baik. Murid dia inilah yang harus menjadi suamimu. Aku telah menentukan detik ini juga. Engkau harus menjadi isterinya!"
"Subo...!" Gadis yang bernama Gui Yan Cu itu mencela dengan muka merah sekali dan menoleh ke arah dipan. "Dia..."
Nenek yang masih mengucurkan air mata itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Dia pingsan, tidak mendengar. Andaikata mendengar sekalipun, mengapa? Dia tentu setuju! Adakah perawan yang lebih hebat daripada engkau?"
"Ssssttttt... Subo... teecu malu... kalau-kalau dia mendengar..."
Nenek itu bangkit perlahan, sejenak memandang ke arah punggung Keng Hong. Akin banyak kini cairan berwarna hitam menetes turun dari gagang pedang. "Dia sudah selamat. Kepulihan kesehatannya hanya tergantung dari kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi aku percaya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong dia telah memiliki sinkang amat kuat dan dalam waktu sepuluh hari tentu dia sudah dapat turun dari pembaringan. Kau jagalah dia baik-baik. Racun yang menetes itu cepat bersihkan dan kalau sudah berhenti cairan hitam dan pedang itu sudah menjadi putih kembali, kau boleh mencabutnya dengan cepat dan obati luka di punggung dengan daun obat pembersih luka. Beri minum obat akar penambah darah, engkau sudah tahu." Nenek itu lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan Yan Cu sendirian bersama Keng Hong.
Yan Cu duduk di bangku yang diseretnya dekat pembaringan, sejenak ia termenung seperti patung memandang ke arah punggung dan belakang kepala Keng Hong. Emang yang tampak hanya punggung dan belakang kepala, muka pemuda itu menunduk dan miring ke sebelah dalam. Punggung itu bergerak perlahan naik turun, pernapasannya yang normal, tanda sehat. Tiba-tiba Yan Cu seperti sadar dan tergopoh-gopoh ia mengambil kain, dicelupkan di air panas, lalu ia membersihkan tetesan-tetesan racun hitam.
Dengan jari telunjuknya ia perlahan-lahan menyentuh kulit punggung dekat luka, hati-hati sekali, seolah-olah khawatir kalau-kalau kulit punggung itu akan rusak oleh sentuhannya, seperti orang menyentuh sebuah perhiasan yang mahal. Kemudian ia memegang urat nadi lengan Keng Hong untuk meneliti denyut darahnya yang juga normal. Ia bernapas lega, lalu menjaga di situ, mengusap setiap tetes racun, menjaga dengan penuh kesetiaan, penuh ketelitian dan penuh kebahagiaan. Dia suka kepada pemuda ini. Dia tadinya merasa girang sekali endapatkan seorang suheng yang begini lihai dan begini... Ganteng! Sekarang, suheng ini tiba-tiba menjadi calon suaminya! Benar-benar kini berbeda sekali perasaannya. Dia hanya girang, gembira, bahagia. Selanjutnya dia tidak akan berpisah dari pemuda ini kalau sudah menjadi isteri pemuda ini. Cinta? Dia tidak tahu, tidak mengerti. Yang ia tahu hanya bahwa dia suka kepada Keng Hong, suka dan kagum.
Dengan amat telaten dan penuh perhatian Yan Cu merawat Keng Hong, merawat luka di punggungnya yang sekarang sudah tidak hitam lagi setelah semua racun disedot oleh Siang-bhok-kiam yang kini sudah dicabut oleh Yan Cu. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar dan dalam waktu dua hari dua malam dia selalu dijaga oleh Yan Cu yang tak pernah meninggalkan kamarnya. Bahkan gadis ini hanya tidur sambil duduk di atas bangku, hanya makan bubur setelah ia menyuapi Keng Hong yang masih setengah pingsan itu dengan bubur encer. Karena kurang tidur dan lelah, tubuh gadis ini menjadi agak kurus, rambutnya kusut dan wajahnya pucat. Akan tetapi mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya berseri melihat betapa Keng Hong makin sehat. Pada hari ke tiga, Keng Hong siuman. Pagi itu dia tersadar dan membuka mata, melihat Yan Cu tertidur, duduk di atas bangku, kepalanya menyandar dinding. Di atas meja terdapat obat-obat dan di sudut kamar terdapat anglo tempat masak bubur dan obat.
Keng Hong kaget meraba punggungnya dan hatinya teharu sekali. Ia tahu bahwa dia telah selamat dan agaknya gadis ini selalu menjaganya entah berapa lamanya dia tidak tahu. Akan tetapi dia bisa menduga, tentu lama sekali, buktinya gadis itu sampai tertidur kelelahan di atas bangku!
Ia mengamat-amati wajah yang tertidur itu. Rambut yang kusut itu sebagian menutupi pipi. Hatinya terharu sekali. Aiiihhh, gadis yang amat cantik jelita yang telah menjaga dan merawatnya, entah berapa hari lamanya! Budi yang amat besar ini, dan dia membalasnya dengan pandang pandang mata tertarik, dengan gairah yang seperti dikutik-kutik! Benar-benar dia keparat tak tahu malu, tak kenal budi! Ia bangkit bersila dan bersamadhi. Sinkangnya dia gerakkan dan ternyata seluruh tubuhnya sudah sehat kembali. Luar biasa sekali, kini sinkangnya dapat dia gerakkan lebih cepat daripada biasanya, jauh lebih kuat! Ia teringat, inilah hasilnya menyedot hawa sinkang dari tiga orang kakek iblis! Terbayanglah semua pengalamannya seenjak dia bertemu dengan Thian-te Sam-lo-mo dan dia bergidik. Ia berhutang budi kepada subonya, berhutang nyawa. Juga kepada gadis cantik ini.
"Ehhhhh... Engkau belum boleh duduk, Suheng...!" Tiba-tiba Keng Hong mendengar suara gadis itu. Betapa merdunya suara itu. Ia membuka mata, tersenyum. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sebentar dan... gadis itu menundukkan mukanya, kedua pipnya merah sekali, mulutnya tersenyum-senyum penuh rasa jengah! Eh, mengapa begini? Apakah pandang matanya kembali membayangkan perasaan terpikat? Membayangkan sifatnya yang mata keranjang? Celaka kalau begitu. Tidak boleh begini!
"Maaf, Sumoi... Mengapa tidak boleh duduk?"
Yan Cu mengangkat muka, kini berani memandang. "Subo berpesan agar engkau berbaring dan memulihkan tenaga sampai sepuluh hari. Engkau baru tiga hari..."
***
"Apa?" Keng Hong memotong, terkejut. "Sudah tiga hari tiga malam aku rebah di sini dan engkau terus-menerus menjaga dan merawatku di sini, Sumoi?"
Sepasang mata yang indah itu memandang Keng Hong dan seolah-olah mata itu bertanya apa salahnya dengan itu, akan tetapi bibirnya bergerak, berkata halus. "Ah, Suheng. Itu sudah menjadi kewajibanku."
"Kewajibanmu? Dan engkau menjaga terus-menerus tanpa istirahat sehingga engkau kelelahan dan tertidur di bangku. Mukamu pucat, engkau agak kurus, pakaianmu dan rambutmu kusut... Ah, Sumoi aku benar tak tahu diri, mebuat Sumoi capek sekali.:
Yan Cu bangkit berdiri, meneliti pakaiannya, otomatis tangannya meraba rambutnya. "Wah, aku... Aku harus berganti pakaian... Harus mandi, rambutku... ah, tentu jelek sekali..."
Keng Hong tak dapat menahan ketawanya. "Bukan begitu, Sumoi. Engkau tetap cantik, ah, malah lebih cantik dalam keadaan begini. Engkau telah merawatku, sungguh aku harus berterima kasih!' Keng Hong meloncat turun dan menjura di depan gadis itu.
Yan Cu tersipu-sipu. "Eh-eh-eh, jangan Suheng. Aku... aku harus menjagamu, dan engkau tidak boleh turun. Kesehatanmu belum pulih. Subo bilang, kalau sinkangmu cukup kuat, dalam waktu sepuluh hari barulah Suheng boleh turun."
"Ha-ha-ha! Aku sudah cukup sehat dan kuat berkat perawatanmu, Sumoi. Lihat!" Keng Hong membusungkan dada, menarik napas panjang dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, dan... Punggungnya menempel di langit-langit. Kemudian dia melompat turun lagi, demikian ringan tubuhnya. "Nah, bukankah aku sudah pulih kembali?"
Yan Cu memandang kagum. "Engkau... engkau hebat, suheng. Baru malam tadi aku... Engkau makan dengan..." Sukar ia melanjutkan kata-katanya dan ia hanya memandang ke arah bekas mangkok dengan sendoknya.
Keng Hong memandang, terharu. "Engkau masih menyuapi aku, bukan? Terima kasih, Sumoi. Aku tidak akan mungkin membalas budimu, biarlah Thian saja yang akan membalasmu." Kembali Keng Hong menjura. "Dimanakah subo? Aku harus menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Subo telah tiga hari pergi seperti biasa, mencari daun-daun obat... nah itu subo datang!"
Benar saja, nenek itu sudah berdiri di ambang pintu dengan sebuah keranjang penuh daun dan akar obat. Keng Hong cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Subo, terimalah hormat dan terima kasih teecu atas pertolongan Subo. Sungguh teecu tidak akan dapat melupakan budi Subo dan Sumoi yang amat besar terhadap diri teecu!" Keng Hong bersoja sampai delapan kali.
Nenek itu memandang dengan wajah berseri dan penuh kekaguman. "Baru tiga hari dan engkau sudah sehat kebali. Entah betapa hebat sinkangmu, Keng Hong! Engkau benar-benar mengagumkan, agaknya sinkangmu malah sudah melebihi mendiang suhumu!"
"Subo, terlalu memuji. Kalau tidak ada Subo dan Sumoi, tentu teecu sekarang hanya tinggal nama saja. Entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi Subo dan Sumoi!"
"Keng Hong, orang yang ingat akan budi adalah orang yang baik. Syukurlah kalau engkau suka ingat akan budi orang. Untuk membalasku, engkau harus memenuhi permintaanku dan untuk membalas budi Sumoimu, engkau harus suka menurut menjadi calon suaminya. Aku menjodohkan engkau dengan muridku." Terbelalak mata Keng Hong dan otomatis dia menengok kepada sumoinya. Akan tetapi gadis itu sudah lari keluar dari kamar.
"Akan tetapi, Subo..." Keng Hong sudah bangkit berdiri dan memandang nenek itu dengan bingung. Dia benar-benat itdak dapat menggunakan pikirannya, bingung karena keputusan itu benar-benar amat mendadak dan sama sekali tidak pernah diduganya. Dia dijodohkan dengan gadis jelita itu
"Cia Keng Hong, apakah engkau hendak menolak? Tegakah engkau menolak setelah apa yang dilakukan oleh muridku? Dia sudah setuju, dan kulihat kalian memang berjodoh. Engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, dia muridku. Engkau tampan gagah, dia pun cantik jelita dan gagah. Adakah gadis yang lebih cantik dari dia? Eh, Keng Hong, apakah engkau sudah mempunyai calon isteri laiinya?" Nenek itu memandang penuh perhatian dan penuh selidik.
Keng Hong menggelengkan kepala. Memang dia belum mempunyai tunangan. Akan tetapi pada saat itu, terbayanglah wajah Biauw Eng di pelupuk matanya. Biauw Eng! Bagaimana dia dapat memilih gadis lain menjadi calon isterinya kalau dia sudah yakin benar bahwa Biauw Englah satu-satunya wanita di dunia ini yang dicintanya? Cintanya terhadap Biauw Eng adalah cinta yang murni, yang mendalam bukan hanya cinta berahi atau tertarik oleh kecantikan Biauw Eng saja. memang dia suka akan kecantikan, selain tertarik, akan tetapi itu bukanlah cinta! Mana mungkin dia mencinta wanita lain, biar sejelita gadis itu sekalipun? Cinta kasihnya sudah direnggut Biauw Eng. Memang Biauw Eng sekarang membencinya, karena kebodohannya sendiri, akan tetapi apa pun yang terjadi, andaikata kelak Biauw Eng menjadi isteri orang lain sekalipun, dia akan tetap mencinta Biauw Eng!
"Nah, kalau engkau belum bertunangan, mengapa ragu-ragu? Engkau harus menjadi suai muridku, karena hanya untuk jodoh muridku inilah aku bertahan hidup selama ini. Kini aku telah mendapatkan jodoh untuknya, yaitu engkau. Kalau engkau menolak, berarti engkau adalah seorang yang tak kenal budi dan akan kuanggap sebagai musuh. Aku akan membunuhmu!"
"Subo...!!" Keng Hong berteriak kaget. Nenek itu menurunkan keranjangnya. "Dengarlah, dahulu aku telah melakukan dosa terhadap gurumu. Karena itu, aku kini melihat jalan untuk menebus dosa, yaitu untuk membahagiakan muridnya.
Karena itu, aku memilihmu untuk menjadi suami muridku, padahal andaikata ada seorang putera kaisar sekalipun yang melamar uridku, belum tentu akan kuterima! Engkau bahagia sekali menjadi calon suami muridku. Kalau engkau menolak, berarti engkau menghancurkan harapanku menebus dosa dan sekaligus engkau menghina aku, engkau menghancurkan perasaan muridku yang juga akan merasa terhina karena ditolak. Nah, aku telah cukup bicara. Kalau menerima dan akan kuatur pernikahan kalian bulan ini juga atau engkau menolak dan harus mengadu jiwa dengan aku!"
"Subo...!!" Keng Hong mengeluh, akan tetapi nenek itu sudah menyambar keranjangnya dan pergi dari situ.
Keng Hong bangkit perlahan-lahan, kemudian menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di pembaringan itu. Pikirannya tidak karuan, gelap dan ruwet, hatinya tertekan, membuatnya bingung sekali. Apa yang harus dia lakukan? Harus dia akui bahwa kalau tidak ada guru dan murid itu, dia tentu sudah mati di tangan Ang-bin Kwi-bo! Dia berhutang budi, berhutang nyawa! Hutang benda seperti yang dilakukan gurunya, dapat dibayar, pusaka-pusaka yang "dihutang" gurunya dapat dia cari kembali dan dia kembalikan. Akan tetapi hutang budi? Hanya dapat dibalas dengan budi pula. Kalau dia menolak, berarti dia akan menjadi orang yang paling tidak mengenal budi di dunia ini! Dia masih jejaka, belum menikah belum bertunangan. Alasan apa yang dapat dia pakai untuk menolak? Yang mengatur perjodohan adalah isteri gurunya sendiri, berarti berhak untuk mewakili gurunya yang sudah tidak ada. Adapun jodoh yang demikian cantik jelita, berkepandaian tinggi, berbudi mulia, gadis yang telah menjaga dan merawatnya selama tiga hari tiga malam tanpa mempedulikan dirinya sendiri. Dari sikap itu saja dia sudah dapat menduga bahwa gadis itu tentu suka kepadanya! Bagaimana dia dapat menolak? Keng Hong menjadi pening kepalanya dan dia duduk sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.
"Suheng...!!" Halus merdu sekali suara itu, akan tetapi mendengar itu, kepala Keng Hong menjadi makin pening. Ia mengangkat muka memandang dan matanya terbelalak. Gadis itu sudah mandi, sudah menyisir rambut dengan rapi, sudah bertukar pakaian yang bersih dan indah, pakaian berwarna serba kuning. Rambutnya yang hitam gemuk dikelabang dua, diikat dengan pita sutera kuning pula. Segar dan cantik mempesonakan. Akan tetapi, melihat kecantikan gadis ini, kepalanya berdenyut-denyut rasanya sehingga dia memejamkan mata dan menekankan kedua tangannya keras-keras dari kanan kiri.
"Suheng... apakah kepalamu masih terasa pening...?"
Keng Hong mencium bau yang amat sedap harum. Perlahan-lahan dia membuka matanya dan cepat memejamkannya kembali karena melihat sepasang mata seperti dua buah bintang cemerlang menatapnya dekat-dekat di depan mukanya. Ia mengelengkan kepalanya dan dengan kedua mata masih terpejam dia bertanya,
"Sumoi, di mana Subo?" Ia heran sendiri mendengar suaranya tiba-tiba menjadi parau dan gemetar, seperti suara orang terserang penyakit demam, suara orang gelisah dan bingung dan kehabisan akal!
"Subo sudah pergi lagi, katanya hendak mencari akar jin-som di puncak paling ujung. Paling cepat lima hari lagi akan kembali. Mengapa. Suheng? Mukamu pucat sekali. Subo sudah bilang, bahwa engkau boleh turun setelah beristirahar sepuluh hari. Baru tiga hari engkau turun. Lebih baik berbaringlah dan mengasolah sampai sembuh, Suheng. Hari ini engkau boleh makan masakan daging. Kutangkapkan kelinci untukmu, ya? Ataukah engkau lebih senang daging ayam hutan? Atau kijang? Aku akan masak yang enak untukmu..."
Keng Hong merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Ia memaksa diri membuka mata, memandang sumoinya itu dengan tajam, lalu bertanya,
"Sumoi, apakah engkau... engkau... Tadi mendengar...?"
***
Gadis itu memandang, matanya kini terbuka agak lebar. Mati aku, pikir Keng Hong. Sepasang mata itu luar biasa indahnya! Akan tetapi menikah dengannya? Ahhh, bagaiamana mungkin? Biauw Eng...!
"Mendengar apa, Suheng?"
Keng Hong mengerutkan keningnya. Kalau gadis berpura-pura tidak tahu berarti gadis ini mempunyai watak yang suka mempermainkan! Akan tetapi sepasang mata itu memandangnya begitu jujur, sewajarnya dan tidak menyembunyikan apa-apa, jelas memang tidak mengerti.
"Itu... tuhhh... Tentang... eh, tentang perjodohan..."
Tiba-tiba gadis itu menundukkan mukanya. Setelah menunduk, tampak sekali betapa lentik panjang bulu matanya, betapa mancung hidungnya dan betapa runcing dagunya. Bukan main ! Keng Hong tidak percaya di dunia ini ada yang lebih manis daripada wajah di depannya ini! Gadis ini mengangguk, kemudian terdengar suaranya yang keluar dari bibir yang merah basah tanpa gincu, lebih merah sedikit dari sepasang pipinya yang tiba-tiba menjadi amat merah. "Aku sudah tahu... bahkan Subo sudah memberi tahu tiga hari sebelumnya, setelah Subo berhasil menusukkan Siang-bhok-kiam itu..."
Keng Hong tertegun. "Kalau begitu.. Ketika engkau menjaga dan merawatku selama tiga hari tiga malam... eh. Engkau sudah tahu akan perjodohan itu?"
Gadis itu mengangguk dan mengerling sambil tersenyum manis, bukan sikap memikat melainkan agaknya merasa geli dan hendak menggoda. Keng Hong merasa betapa hawa pagi dalam kamar itu tiba-tiba menjadi panas. Ah, dia harus bicara dari hati ke hati dengan gadis ini. Kalau dia tidak berani nekat sekarang, nanti akan terlambat dan dia takkan dapat menghindarkan diri lagi dari ikatan jodoh ini. Dia harus dapat menyelesaikan urusan ini sebelum isteri gurunya itu pulang!
"Sumoi, mari kau ikut bersamaku...!"
"Eh... eh... kemana...?" Yan Cu berkata heran ketika pemuda itu menggandeng tangannya dan menganjaknya lari keluar dari dalam pondok. Keng Hong tidak menjawab melainkan terus menarik tangan gadis itu, setelah tiba di luar dia berkata,
"Kemana saja, asal jangan di dalam pondok. Aku... aku membutuhkan udara segar, dan aku ingin bicara kepadamu, Sumoi. Bicara dari hati ke hati, bicara sejujurnya demi kebaikan kita bersama, demi masa depan penghidupan kita!"
Gadis itu memandang dengan sinar mata heran, akan tetapi ia mengangguk dan berkata. "Marilah. Di puncak sana itu amat indah pemandangannya dan sejuk hawanya. Aku paling suka duduk melamun sendirian di sana!"
Berlari-larilah mereka dan Keng Hong sengaja hendak menguji ginkang gadis itu. Ia berlari cepat sekali.
"Wah, larimu cepat bukan main, Suheng!" Teriak gadis itu akan tetapi Keng Hong mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki ginkang yang hebat juga. Ini pun tidak mau mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengimbangi kecepatan gadis itu sampai mereka tiba di puncak.
Keng Hong memandang sekeliling dan dia menjadi kagum. Memang indah bukan main pemandangan dari puncak itu. Di sebelah timur tampak menjulang puncak Pegunungan Phu-niu-san, sedangkan sebelah barat menjulang tinggi puncak Pegunungan Cin-ling-san. Di sebelah bawah tampak jurang-jurang yang curam dan anak sungai yang berlika-liku seperti ular naga. Hawanya pun nyaman sekali. Berdiam di tempat seperti inilah yang membuat manusia merasa kecil, dan merasa lebih dekat dengan alam yang maha besar, merasa bahwa dirinya tidak berarti, hanya menjadi sebagian kecil saja dari alam ini.
Mereka lalu duduk di atas rumput yang hijau tebal seperti permadani. Sejenak mereka berpandangan dan gadis itu bertanya,
"Suheng, pandang matamu aneh. Engkau kau hendak bicara apakah?"
"Sumoi, pertama-tama, siapakah namamu?"
Gadis itu membelalakkan matanya kemudian tertawa geli, menutupi mulut dengan lengan bajunya. Hemmm, bukan main manisnya kalau begini, pikir Keng Hong kagum. Ia dapat mengerti kegelian hati gadis itu. Seorang suheng yang tidak tahu nama sumoinya! Atau lebih lagi, seorang calon suami yang tidak tahu nama isterinya! Mana ada keduanya di dunia ini?
"Aihhh, kukira Suheng sudah tahu. Jadi belum tahukah?"
Keng Hong tersenyum. Sikap gadis itu kini lebih terbuka, lincah dan tidak malu-malu setelah mereka berdua berada di tempat sunyi yang amat indah itu. Sikap ini menular kepadanya dan dia pun menjadi gembira. "Kalau aku sudah tahu, masa aku bertanya lagi, Sumoi?"
Gadis itu bangkit berdiri dan menjura sambil bersoja, sikapnya lucu dan manis. "Kalau begitu, perkenalkanlah, nama saya Gui Yan Cu!"
"Saya Cia Keng Hong!" Keng Hong juga sudah bangkit berdiri dan membalas penghormatan sumoinya seolah-olah mereka itu merupakan dua orang yang baru bertemu dan baru berkenalan. Keduanya saling pandang lalu tertawa bergelak. Kini Yan Cu bahkan tertawa gembira tanpa malu-malu menutupi mulut seperti tadi sehingga Keng Hong terpesona melihat deretan gigi yang putih seperti mutiara dan sekilas pandang melihat rongga mulut dan ujung lidah yang merah.
"Yan Cu sumoi, marilah kita duduk dan bicara. Aku tidak main-main lagi, aku ingin bicara denganmu mengenai diri kita dan kuharap kau suka bicara sejujurnya seperti aku, karena ini demi kebahagiaan masa depan kita sendiri."
Ternyata Yan Cu adalah seorang gadis yang selain lincah dan jujur, juga dapat diajak berunding, karena gadis itu telah dapat menghapus kegembiraannya dan duduk sambil memandang Keng Hong penuh perhatian. Melihat sikap gadis ini, sepasang matanya yang bening, sepasang bibirnya yang merah indah, rambutnya yang melambai tertiup angin gunung, diam-diam Keng Hong membayangkan betapa akan bahagia hidupnya menjadi jodoh gadis seperti ini kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng!
"Sumoi, engkau tentu sudah tahu bukan bahwa Subo telah menetapkan agar kita menjadi pasangan, menjadi calon suami isteri?"
Gadis itu mengangguk, kembali sepasang pipinya menjadi merah, akan tetapi karena maklum bahwa suhengnya bicara dengan sungguh-sungguh, ia berani menentang pandang mata suhengnya, bahkan kini pandang matanya sendiri penuh selidik.
"Bagaimana tanggapanmu mengenai urusan itu, Sumoi? Bagaimana perasaanmu ketika Subo menyatakan urusan penjodohan itu kepadamu?"
"Hemmm, apa maksudmu, Suheng? Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana!"
"Jawab saja, apakah engkau girang mendengar itu? Ataukah engkau terpaksa menerima akan tetapi dalam hatimu sebetulnya tidak suka?"
Gadis itu kelihatan canggung, akan tetapi ia memaksa mulutnya menjawab. "Aku girang dan suka mendengar itu Suheng."
"Sumoi, katakanlah terus terang, apakah engkau... suka kepadaku? Mengapa engkau merasa girang dan suka mendengar bahwa engkau hendak dijodohkan denganku?"
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan dia menyumpahi dirinya sendiri yang dia tahu amat kejam mengajukan pertanyaan seperti ini kepada seorang gadis, malah tunangannya sendiri! Akan tetapi dia harus melakukan hal ini, agar urusan yang ruwet itu dapat beres.
"Aku... aku suka kepadamu, Suheng. Mengapa tidak? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa, yang... eh, amat tampan dan yang baik budi, bahkan engkau murid suami Subo yang terkenal. Apakah engkau tidak suka kepadaku, Suheng?" Kini sepasang mata yang bening dan membayangkan hati yang bersih itu seolah-olah hendak menembus jantung Keng Hong. Mampus kau sekarang, demikian Keng Hong memaki diri sendiri.
Senjata makan tuan! Dia dibalas oleh gadis itu dengan ucapan sederhana dan dengan pertanyaan langsung yang menancap di ulu hatinya.
"Aku... aku... Ah, nanti dulu, Sumoi. Sekarang engkau dulu menjawab pertanyaanku, nanti aku yang mendapat giliran menjawab semua pertanyaanmu."
Yan Cu memandang aneh, lalu menghela napas.
"Engkau aneh, Suheng. Akan tetapi baiklah, kau mau bertanya apa lagi?"
"Ketika engkau merawatku selama tiga hari tiga malam, apakah hal itu kaulakukan karena... engkau memang kasihan kepadaku, apakah karena suka, ataukah karena kau merasa hal itu menjadi kewajibanmu sebagai.. eh, calon isteri?"
Keng Hong menanti jawaban dari gadis itu dengan hati berdebar tanpa berani memandang wajah Yan Cu. Sampai lama gadis itu tidak menjawab dan selama itu Keng Hong tidak berani memandang wajahnya. Kemudian terdengar suaranya, halus namun penuh keheranan,
"Aku tidak mengerti mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti ini, Suheng. Aku merawatmu karena merasa hal itu sudah semestinya, sudah kewajibanku, bukan hanya karena aku menjadi calon isterimu, akan tetapi karena aku kasihan kepadamu juga suka kepadamu, apalagi engkau adalah suhengku."
Keng Hong mengaruk-garuk kepalanya. Dasar engkau sendiri yang tolol, makinya kepada diri sendiri, ingin menjenguk hati gadis yang murni! Mengapa tidak terus terang saja?
Mengapa tidak terus terang saja, Suheng?"
"Hahhh..?" Keng Hong kaget karena pertanyaan yang diajukan Yan Cu begitu tepat dengan suara hatinya sendiri? Siapakah yang bertanya tadi? Benarkah suara Yan Cu, atakah suranya sendiri? Ia menjadi bingung sendiri dan memandang kepada Yan Cu dengan mata kosong.
Gadis itu tersenyum geli. "Suheng, jangan-jangan sebagian dari racun Ban-tok-sin-ciang ada yang naik memasuki kepalamu.."
***
Keng Hong memegangi kepalanya. "Wah... Kau menghina..." Akan tetapi dia tertawa dan gadis itu pun tertawa geli. Suasana yang tegang membingungkan tadi membuyar. "Kau terlalu, Sumoi. Apakah kau anggap aku sudah menjadi gila...?"
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar